Episode
Badik Sumpah Darah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
Hanya
sekejapan lagi dua golok akan membabat leher dan perut loh gatra, tiba-tiba
terdengar suara siulan. Lalu dua benda hitam sebesar ujung ibu jari tangan
melesat di udara. Dan "crosss!" "crosss!" dua orang
menjerit keras. Sama-sama jatuhkan golok mereka. Sama-sama pegangi mata kanan.
Darah mengucur darl mata kanan mereka, membasahi pipi dan jari-jari tangan
tidak sanggup menahan sakit, dua orang ini jatuhkan diri di tanah, meraung
sambil bergulingan. Lelaki bernama . Gondo berbalik. Memandang melotot kearah
loh gatrayang maslh terduduk dengan muka pucat bersimbah darah di bagian
dada."tidak mungkin! Tidak mungkin monyet ingusan keparat ini yang
melakukan. Aku lihat sendiri dia dalam keadaan tldak berdaya! ” ”lalu
siapa?" gondo memandang berkeliling. "hah!" pandangannya
tiba-tiba membentur sosok seorang pemuda yang duduk enak-enakan di atas
serumpunan semak belukar. Di atas semak belukar! Gondo kerenyitkan kening. Mana
ada orang blsa duduk di atas semak belukar kalau tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa!
*******************
1
KADIPATEN
Temanggung masih dalam suasana berkabung. Dua minggu lalu Adipati Jalapergola berpulang
meninggal dunia setelah mengalami sakit selama hampir satu bulan, meninggalkan
Nyi Larasati, seorang istri yang cantik dan masih muda. Umbul-umbul hitam tanda
perkabungan kelihatan di mana-mana, terutama sepanjang jalan menuju gedung
Kadipaten.
Hari itu
menjelang sang surya tenggelam, lima penunggang kuda meninggalkan Temanggung,
memacu tunggangan mereka ke arah timur di mana terletak kawasan rimba belantara
Kulonprogo. Empat dari lima penunggang kuda itu berseragam perajurit Kadipaten.
Orang ke lima seorang tua berpakaian putih sederhana. Di bawah blangkon yang
bertengger di kepalanya menjulai rambut panjang berwarna putih. Misai serta
janggutnya juga telah memutih. Orang tua ini adalah KI Sarwo Ladoyo, yang telah
mengabdikan diri pada Dua Adipati sebagai sesepuh penasihat Kadipaten
Temanggung.
Setelah
beberapa lama menyusuri pinggiran Hutan Kulonprogo, di satu tempat rombongan
lima orang itu membelok ke kiri, masuk ke dalam hutan. Bergerak sejauh belasan
tombak, prajurit di sebelah depan yang bertindak sebagai penunjuk jalan
mengangkat tangan kiri memberi tanda lalu hentikan kudanya. Begitu kuda
berhenti, perajurit ini ganti angkat tangan kanan, menunjuk ke atas pohon besar
beberapa tombak di depan rombongan. Lima kepala sama mendongak. Di atas pohon,
pada cabang paling rendah tergantung sosok seorang lelaki muda, berpakaian
bagus. Dua matanya terkatup sementara lidah agak terjulur. Melihat keadaan muka
dan tubuhnya yang sudah membengkak, ditambah bau busuk yang menebar, paling
tidak sosok orang itu sudah tergantung lebih dari satu hari.
"Gusti
Allah," Ki Sarwo Ladoyo mengucap.
"Kalau
tidak melihat sendiri sulit aku bisa percaya. Prameswara, cucu Pangeran Alit,
mati menggantung diri."
Sesaat
setelah memperhatikan tubuh yang tergantung itu, Ki Sarwo Ladoyo turun dari
kudanya. Dia memeriksa keadaan sekitar pohon. Setelah merasa cukup dia memberi
perintah pada empat perajurit.
"Kalian
turunkan jenazah itu. Minta bantuan Penduduk desa terdekat. Cari gerobak atau
apa saja untuk mengangkutnya. Bawa langsung ke Kotaraja. Aku mendahului kembali
ke Temanggung. Kita bertemu di Kotaraja, di tempat kediaman pangeran Alit.”
DARI
hutan Kulonprogo Ki Sarwo Ladoyo tidak langsung ke Kotaraja tapi mampir dulu di
Temanggung, menemui Nyi Larasati.
"Nyi
Lara, saya datang memberi tahu. Raden prameswara, cucu Pangeran Alit ditemui
mati menggantung diri dalam hutan Kulonprogo."
Wajah
cantik Nyi Larasati yang masih diselimuti kedukaan sama sekali tidak berubah.
Dia menatap orang tua di hadapannya itu dengan pandangan kosong. Ki Sarwo
segera berucap. "Maafkan saya Nyi. Saya tahu Nyi Lara masih dalam keadaan
berkabung. Tidak ingin diganggu dengan segala kejadian seperti ini. Namun jika
saya hubungkan kematian Raden Prameswara dengan kematian Raden Tambak Suryo
satu minggu yang lalu, saya merasa ada sesuatu di balik kematian kedua orang
pemuda gagah itu."
Nyi
Larasati masih menatap kosong, namun mulutnya terbuka. "Ada sesuatu di
balik kematian dua orang pemuda itu. Sesuatu apakah gerangan Ki Sarwo?"
"Hanya
beberapa hari setelah Adipati Jalapergola berpulang, kedua orang itu pernah
mengirimkan utusan untuk melamar Nyi Lara…." Nyi Larasati mengangguk
perlahan. "ltu benar. Bagi saya mereka adalah orang-orang yang tidak tahu
adab dan sopan santun. Tanah makam Adipati masih merah, mereka sudah berani
menyampaikan pinangan. Sungguh keterlaluan…."
"Nyi
Lara, apakah Nyi Lara tidak merasa heran? Dua orang yang pernah meminang Nyi
Lara sama-sama menemui kematian. Raden Tambak Suryo mati lebih dulu. Mayatnya
ditemukan dekat jurang Bangil dengan kepala hampir terbelah. Tersiar kabar
bahwa pemuda itu jadi korban keganasan perampok yang memang sering malang
melintang di sekitar jurang Bangil. Namun, ketika mayatnya ditemukan kalung
emas besar masih tergantung di lehernya. Tiga buah cincin emas berbatu permata
mahal masih ada di jari-jari tangannya. Lalu satu kantong kecil berisi uang
juga tak tersentuh dari sabuk besar yang melilit di pinggangnya. Jika memang
dia mati dibunuh perampok mengapa semua harta perhiasan dan uang itu tidak
dijarah?"
"Ki
Sarwo, apa yang barusan Ki Sarwo katakan itu memang merupakan suatu keanehan.
Lalu apakah keanehan juga terjadi dengan kematian Raden Prameswara?"
Bertanya Nyi Larasati.
"Waktu
saya memeriksa sekitar pohon tempat tergantungnya Raden Prameswara, saya
melihat beberapa hal. Di tanah sekitar pohon terdapat banyak jejak ladam kuda.
Lebih dari hanya seekor kuda. Paling tidak ada tiga ekor kuda berada di tempat
itu sebelutnnya. Berarti ada orang lain selain Raden Prameswara. Lalu cabang
pohon tempat cucu Pangeran Alit itu tergantung, cukup tinggi. Saya tidak yakin
ada orang yang mau bersusah payah mencari kematian dirinya sendiri. Selain itu
setiap orang yang putus asa dan melakukan bunuh diri pasti ada sebab
musababnya. Saya tidak bisa percaya kalau Raden Prameswara bunuh diri karena
kecewa berat pinangannya ditolak oleh Nyi Lara."
"Menurut
Ki Sarwo ada sesuatu di balik kematian ke dua orang itu, apakah Ki Sarwo sudah
mengetahui apa sesuatu itu?"
"Saya
punya dugaan, ke dua pemuda itu sengaja dibunuh. Mungkin oleh orang yang
sama…."
"Kalau
memang demikian, hal itu perlu diselidiki. Perlu pembuktian. Atau mungkin Ki
Sarwo sudah bisa menduga siapa orangnya?" tanya Nyi Larasati pula.
"Saya
belum mengetahui siapa orangnya Nyi. Tapi saya kira-kira bisa menduga si
pembunuh tidak suka ke dua orang itu meminang Nyi Lara. Dengan kata lain si
pembunuh tidak sudi Nyi Lara kawin dengan dua pemuda itu." Setelah berdiam
diri beberapa lamanya Nyi Lara akhirnya berkata. "Ki Sarwo, saya masih
letih. Saya ingin istirahat dulu. Saya harap Ki Sarwo mau menyelidiki kematian
ke dua pemuda itu, jika memang ada apa-apanya."
"Akan
saya lakukan Nyi," jawab Ki Sarwo Ladoyo seraya bangkit berdiri. Pada saat
itulah seorang pengawal Kadipaten masuk, memberi tahu ada tamu ingin menemui
Nyi Larasati.
"Siapa
orangnya?" bertanya Ki Sarwo Ladoyo.
"Adipati
Jatilegowo dari Salatiga," menerangkan pengawal. Ki Sarwo Ladoyo berpaling
pada Nyi Larasati.
"Ada
keperluan apa Adipati Salatiga itu berkunjung ke mari? Bukankah tempo hari dia
telah datang untuk menyampaikan rasa duka citanya?" Nyi Larasati tidak
bisa menjawab.
"Apakah
Nyi Lara bersedia menemuinya?" tanya Ki Sarwo.
"Saya
sangat letih. Ingin istirahat. Tapi jika tamu datang dari jauh tidak dilayani,
kawatir yang bersangkutan salah penafsiran. Asal tidak terlalu lama, saya tidak
keberatan menerimanya."
Ki Sarwo
mengangguk lalu memberi isyarat pada pengawal. Tak lama kemudian pengawal itu
kembali masuk ke ruangan mengiringi seorang lelaki bertubuh tinggi besar,
berwajah gagah tapi garang. Kumis tebal melintang kelihatan berkilat karena
selalu dipoles dengan minyak kayu wangi. Walau dia seorang Adipati namun dia
tidak mengenakan pakaian kebesaran Adipati. Pakaiannya kain tebal berwarna biru
gelap dihias sulaman burung garuda berwarna kuning di dada kiri. Di keningnya
melintang secarik ikat kepala kain merah. Di lehernya tergantung seuntai kalung
emas besar berbentuk rantai. Sebuah gelang emas juga berbentuk rantai menghias
lengan kirinya. Rambutnya yang panjang tebal menjulai sampai ke kuduk. lnilah
Jatilegowo, Adipati Salatiga yang sering dikatakan sebagai Adipati Urakan.
Sebagai
tuan rumah yang baik Ki Sarwo Ladoyo segera memberi hormat dan menegur tamunya.
Adipati Jatilegowo membalas penghormatan itu tapi bukan ditujukan pada si orang
tua melainkan langsung pada Nyi Larasati, bahkan memandang ke arah Ki Sarwopun
Adipati itu tidak. lni membuat si orang tua menjadi tersinggung. kentara dari
perubahan wajahnya.
"Saya
Jatilegowo, menyampaikan salam hormat rakyat Salatiga. Kami, sebagaimana
penduduk di sini masih ikut berkabung atas berpulangnya Adipati
Jalapergola," berucap lelaki tinggi besar itu sambil matanya secara kurang
ajar menatap wajah cantik jelita Nyi Larasati.
"Terima
kasih. Adipati dan rakyat Salatiga telah memberikan perhatian begitu
besar," menyahuti Nyi Larasati. "Kalau saya boleh tahu, ada keperluan
apakah Adipati mengunjungi kami di sini?"
"Ada
sesuatu yang hendak saya sampaikan.” Jawab Adipati Salatiga.
"Oo,
silahkan. Apa yang hendak Adipati sampaikan?" ujar Nyi Larasati.
"Kalau
boleh, saya hanya mau bicara empat mata dengan Nyi Lara." . Janda Adipati
Temanggung itu agak tercengang mendengar ucapan tamunya. Sebaliknya Ki Sarwo
Ladoyo kembali tersinggung karena dirinya lagi-lagi dianggap sepi. Orang hanya
mau bicara kalau dia tidak ada di tempat itu.
"Adipati,"
kata Nyi Larasati pula. "Ki Sarwo Ladoyo telah puluhan tahun mengabdi di
Kadipaten Temanggung. Saya menganggapnya sebagai ayah sendiri. Tak ada rahasia
yang perlu disembunvikan. Adipati tidak perlu meragukan kepercayaan atas
dirinya."
"Bagi
saya ini bukan menyangkut kepercayaan. Jika saat ini Nyi Lara tidak berkenan
bicara empat mata dengan saya, saya sanggup menunggu. Lain waktu saya akan
kembali ke sini." Nyi Lara memandang pada Ki Sarwo. Yang dipandang tetap
berdiri tenang. Janda Adipati Jalapergola itu kemudian berpaling pada tamunya.
Dia sudah banyak mendengar sifat Adipati yang disebut Adipati Urakan ini.
"Saat ini saya kurang enak badan. Jika Adipati tidak bersedia bicara tidak
jadi apa. Tapi saya tidak menjanjikan apakah nanti saya masih punya kesempatan
untuk menemui Adipati." Ki Sarwo Ladoyo menyambungi ucapan Nyi Larasati.
”Nyi Lara, sebaiknya mari saya antar masuk ke dalam. Saya tidak ingin dalam
masa berkabung ini Nyi Lara sampai jatuh sakit pula …."
Merasa
terpojok, Adipati Salatiga itu menjadi geram. Rahangnya menggembung, pelipisnya
bergerak-gerak. "Sebagai tamu memang seharusnya saya menghormati kemauan
tuan rumah. Baiklah, tak jadi apa saya bicara di hadapan Ki Sarwo. Mungkin ada
baiknya ada pihak ke tiga yang mendengar dan menyaksikan pembicaraan ini. Nyi
Lara, saya datang untuk memberi tahu bahwa saya ingin meminang Nyi Lara. Karena
ini permintaan baik, saya harap Nyi Lara tidak menolak. Sesuatu yang baik seyogiyanya
dilaksanakan secepat mungkin."
*******************
2
KESUNYIAN
yang tidak enak menyelimuti ruangan besar di mana ke tiga orang itu berada.
Baik Ki Sarwo, apa lagi Nyi Lara tidak menyangka kedatangan Adipati Salatiga
itu adalah untuk melamar. Siapa yang akan mengira, Adipati berusia empat puluh
tahun yang telah punya dua istri itu datang untuk memiriang. Rasa tidak enak
menyamaki diri Nyi Lara. Ini kali ke tiga ada lelaki ingin melamarnya. Padahal
suaminya berpulang masih belum empat puluh hari. Dua orang terdahulu yang
mengajukan lamaran walau dua pemuda yang belum beristri itupun sudah dianggap
keterlaluan. Kini Adipati Salatiga ini lebih gila lagi. Bukan saja melamar di
saat orang masih berkabung tapi bahkan dirinya sudah punya dua istri!
"Ki Sarwo
saya percayakan Ki Sarwo untuk menjawab maksud Adipati Salatiga ini."
Mendengar ucapan Nyi Lara, Jatilegowo cepat memotong.
"Saya
berurusan langsung dengan Nyi Lara, mengapa Nyi Lara mempergunakan orang lain
untuk menjawab? Saya tidak melamar orang tua ini!" Ki Sarwo Ladoyo untuk
kedua kalinya berubah wajahnya. Karena orang keliwat memaksa, Nyi Lara menjadi
tidak senang. "Jawaban Ki Sarwo adalah sama dengan jawaban saya pribadi.
Jika Adipati tidak sudi mendengar, saya tidak memaksa." Untuk kedua kalinya
Adipati Jatilegowo dipojokkan. Dengan geram dia berkata. "Orang tua,
baiklah! Aku ingin mendengar apa jawaban Nyi Lara yang disampaikan lewat
mulutmu!" Ki Sarwo memandang dulu pada Nyi Lara. Setelah janda muda ini
anggukkan kepala memberi isyarat, si orang tua lalu berkata. "Nyi Lara
merasa mendapat kehormatan dengan maksud baik Adipati hendak meminangnya. Namun
jangan Adipati berprasangka keliru. Saat ini Nyi Lara masih dalam suasana
berkabung. Mendiang Adipati Jalapergola belum empat puluh hari berpulang.
Selain itu belum terniat dalam hati Nyi Lara untuk mencari pengganti almarhum
Adipati Jalapergola."
Tanpa
berpaling pada Ki Sarwo, Adipati Salatiga berkata. "Nyi Lara, saya
mengerti sekali semua jawaban yang Nyi Lara sampaikan. Bagi saya sudah jelas bahwa
setelah empat puluh hari nanti, Nyi Lara akan bersedia untuk bersanding dengan
saya di pelaminan."
Terkejutlah
Nyi Lara mendengar kata-kata Jatilegowo itu. Dia memandang pada Ki Sarwo. Orang
tua ini cepat berucap. "Adipati, jangan salah menafsir. Bukan berarti
setelah empat puluh hari Nyi Lara akan bersedia menerima pinangan Adipati.
Entah sampai kapan. Nyi Lara belum terpikir untuk mencari pengganti suaminya.
Sebelumnya telah dua orang mengajukan pinangan. Raden Tambak Suryo, putera
bangsawan Ki Harto Jembangan. Lalu Raden Prameswara, cucu Pangeran Alit.
Dua-duanya ditolak. Kemudian mungkin Adipati telah mendengar apa yang telah
terjadi dengan dua pemuda itu. Mereka menemui kematian. Raden Tambak Suryo
dibunuh ditepi jurang. Kepalanya terbelah. Raden Prameswara mati gantung diri
….
"Orang
tua! Kau jangan menakut-nakuti diriku!" Tiba-tiba Adipati Jatilegowo
membentak.
"Menakut-nakuti
bagaimana maksud Adipati?" tanya Ki Sarwo Ladoyo.
"Tua
bangka licik! Kau sengaja menceritakan kematian dua pemuda yang melamar Nyi
Lara. Bukankah kau hendak memberi kesan jika aku berani mengajukan lamaran, aku
kelak akan menemui ajal pula? Mati dibunuh orang!"
"Adipati,"
kata Ki Sarwo. "Soal ajal seseorang adalah urusannya Gusti Allah. Kalau
manusia bisa menghindar mengapa tidak berusaha?"
"Hemm…
begitu?" ujar Jatilegowo. "Aku sekarang jadi punya dugaan
janganjangan dua pemuda itu jadi korban orang-orang Kadipaten Temanggung yang
tidak ingin melihat Nyi Lara mencari pengganti mendiang Adipati Jalapergola.
Orang tua, aku akan menyelidiki kematian dua pemuda itu. Aku berharap kau tidak
terlibat. Tapi jika nanti memang ketahuan kau yang punya pekerjaan, Aku akan
melapor ke kotaraja. Atau mungking juga Aku akan menempuh jalan pintas.
Mematahkan batang lehermu dengan tanganku sendiri!”
Walaupun
ucapan Jatilegowo merupakan tuduhan yang sangat menyinggung perasaan namun Ki
sarwo ladoyo sunggingkan seringai dan berkata.
”
Adipati, waktumu sudah habis. Nyi Lara ingin segera masuk untuk istirahat.
Jawab dari maksudmu sudah jelas. Nyi Lara belum memikirkan soal perkawinan …..?
” Nyi
lara, aku berharap kau mempertimbangkan kembali pinananganku, hari ini aku
datang secara baik-baik. Jika aku kembali lagi aku ingin tetap secara
baik-baik. Tapi jika lamaranku sampai ditolak, jangan salahkan diriku jika aku
melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku punya banyak kaawan di kotaraja. Mereka
mendukung penggabungan kadipaten Salatiga dan Kadipaten Temanggung dimana aku
kelak akan menjadi Adipatinya”. Jatilegowo untuk pertama kalinya berpaling ke
Ki Sarwo dan menuding denga telunjuk kirinya.
„Orang
tua, aku punya dugaan kuat kau berada dibalik kematian dua pemuda yang melamar
Nyi Lara! Cepat atau lambat aku akan membuktikan !”
Adipati
Salatiga itu memandang Nyi Lara dan berkata ”Saya akan kembali kesini setelah
empat puluh hari perkabungan ……”
”Adipati,”
Nyi larasati yang sejak tadi berdiam diri karena tidak tahan akhirnya berkata ”
Saya tidak mengharapkan kedatangan Adipati, setelah empat puluh hari ataupun
setelah seratus atau dua ratus hari. Saya tidak menginginkan lagi pertemuan
dengan Adipati, kapan atau dimanapun. Saya ingin menegaskan ucapan Ki Sarwo,
Saya tidak bisa menerima pinangan Adipati ….”
”Apa
karena saya sudah punya dua istri hingga Nyi Lara menolak ?”
”Bukan,
bukan karena itu, saya hanya belum terpikir untuk menikah lagi ….”
”Ketika
Adipati Jalapergola berpulang usianya hampir enampuluh tahun. Jauh lebih tua
dari saya yang baru tiga puluh tahun. Di usia saya yang lebih muda, dengan
kedudukan yang akan menjulang tinggi, saya bisa memberikan kebahagiaan tak terhingga
kepada Nyi Lara.
Nyi Lara
menggeleng, ” kebahagiaan tidak selamanya terletak pada usia, harta atau
pangkat tinggi. Malah usia yang terlalu belia terkadang membawa bencana cupak
dangkalnya jalan pikiran” Jatilegowo menyeringai. Tampangnya mengelam mendengar
ucapan Nyi Larasati.
”Nyi
Lara” katanya, ” Saya hanya memperingatkan, mudah-mudahan Nyi Lara mau
memikirkan kembali niat baik saya. Jika Nyi Lara berani menolak, saya tidak
segan-segan untuk menjadikan gedung kadipaten ini rata dengan tanah. Semua
orang yang berani menentang maksud saya akan menemui ajal secara mengenaskan
!”. Habis berkata begitu dengan tubuh bergetar karena menahan geram, Jatilegowo
hunjamkan tumit kirinya. "Braakkk!" lantai batu pualam hancur
berantakan, melesak membentuk lobang besar sedalam satu jengkal!
Nyi
Larasati menjerit kaget. Ki Sarwo Ledoyo berteriak marah. "Adipati
Jatilegowo! Apa yang kau lakukan?! Beraninya kau merusak bangunan
Kadipaten!".
"Orang
tua! Masih untung lantai ini yang kubuat berlobang! Bukan batok kepalamu!"
tukas Adipati Jatilegowo seraya keluarkan suara mendengus. Ki Sarwo melangkah
ke hadapan Adipati Salatiga itu. Sambil menunjuk ke arah pintu dia membentak.
"Keluar!
Jangan berani lagi menginjakkan kaki di tempat ini!" Jatilegowo tertawa
bergelak. "Orang tua, aku sudah lama mendengar nama besarmu yang konon
dijuluki Pendekar Badai Pesisir Selatan. Kurasa sekarang saatnya yang tepat
untuk menjajal kehebatanmu!"
”Kau
membeli aku menjual! Siapa takut!" Ki Sarwo Ladoyo keluarkan ucapan keren.
Sekali berkelebat tubuhnya berubah menjadi bayangan putih, melesat ke luar
pintu ruangan. Di lain kejap sosoknya sudah berada di halaman depan gedung
Kadipaten, tegak kaki merenggang dua tangan ditangkap di atas dada. . . Adipati
Urakan Jatilegowo tak mau kalah. Dua kakinya digerakkan. Saat itu juga laksana
terbang tubuhnya menghambur ke halaman gedung Kadipaten. Ketika hendak melayang
turun dia tidak langsung jantuhkan diri di tanah tapi kaki kanannya sengaja
dihunjamkan ke kepala Ki Sarwo Ladoyo. Orang tua ini, yang sudah berlaku
waspada cepat miringkan kepala. Dua kaki tetap tak bergerak menjejak tanah tapi
tangan kanan menyambar ke atas.
”Wuutt!"
Kalau tidak cepat Jatilegowo mengibaskan kakinya menghindari pukulan, kaki
kanan itu pasti akan remuk dimakan pukulan Ki Sarwo Ladoyo. Sambil tertawa
bergelak Adipati Urakan dari Salatiga itu tegak berkacak pinggang. "Orang
tua, aku yang muda ingin menjajal sampai di mana kehebatan pukulan Badai
Pesisir Selatan. Aku siap menerima pukulan!" Tangan yang berkacak pinggang
perlahan-lahan diturunkan ke samping.
"Manusia
sombong takabur! Kau meminta aku memberi!" Ki Sarwo Ladoyo palangkan dua
lengan di depan dada, membuat dua kali gerakan sambil kerahkan tenaga dalam.
Saat itu juga seolah turun dari langit, menggelegar suara angin membadai,
berputar laksana gasing, terlihat oleh mata menyusup masuk ke dalam tangan
kanan Ki Sarwo yang telah membentuk kepalan. Ketika kepalan itu dipukulkan ke
arah Adipati Salatiga, suara menderu dahsyat melabrak ganas. Tubuh Jatilegowo
bergetar lalu bergoyang keras tapi dua kakinya masih tetap menjejak tanah.
Ki Sarwo
terkesiap melihat kejadian itu. Selama ini jika musuh dihantam demikian rupa
pasti akan mencelat mental dengan sekujur tubuh hancur memar. Tapi Jatilegowo
masih sanggup bertahan, bahkan dua kakinya tidak bergerak dari tanah yang
dipijaknya. Mulut Ki Sarwo berkomat-kamit. Tenaga dalam dialirkan penuh ke
tangan kanan. Untuk ke dua kalinya dia menghantam.
"Byuurrr!"
Gelombang angin badai melabrak. Jatilegowo bertahan sambil melintangkan dua telapak
tangan di depan dada menyambuti pukulan Badai Pesisir Selatan yang kali ini
memang bukan olah-olah dahsyatnya. Dia kerahkan tenaga dalam. Tak urung dua
kakinya terangkat ke atas. Ini membuat Jatilegowo terkejut, cepat dia kerahkan
seluruh tenaga dalam lalu dorongkan dua tangan ke depan, lnilah pukulan yang
disebut Dua Gunung Meroboh Langit!
Dua
pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi beradu dahsyat. Ki Sarwo
terpental, jatuh terbanting dan tergeletak di tangga gedung Kadipaten.
Blangkonnya mencelat mental entah kemana. Rambutnya yang putih kelihatan
berjingkrak kaku. Dari sela-sela rambut mengepul asap tipis. Ki Sarwo mencoba
bangkit. Baru setengah tegak dia muntahkan darah segar. Orang tua ini cepat
jatuhkan diri, duduk bersila. Atur jalan nafas dan peredaran darah. Di kejauhan
dia mendengar suara gelak Jatilegowo. Adipati ini melompat ke atas kudanya,
tinggalkan halaman Kadipaten diikuti tiga orang pengawal Dadanya terasa sesak.
Dia memang masih bisa tertawa tapi di sela bibirnya ada darah kental menetes.
Dua lengannya mendadak bengkok dan kaku. Belum sampai dua puluhan tombak memacu
kuda dia terbatuk-batuk, semburkan darah segar, pemandangannya gelap, tubuhnya
rebah ke atas punggung kuda. Pingsan! Kalau tidak lekas ditolong oleh para
pengawal, tubuhnya kan roboh terbanting ke tanah.
*******************
3
BERPERAHU
di Kali Tuntang memang nyaman. Selain air kali tenang, sejuk jernih,
pemandangan di kiri kanan kali juga indah. Siang itu mentari sering tersembunyi
dibalik gumpalan awan tebal hingga udara tidak terasa panas. Di atas air kali
yang tenang, meluncur sebuah perahu. Penumpangnya seorang lelaki separuh baya
berkumis lebat, duduk di bagian belakang perahu, bertindak sebagai pendayung
merangkap juru kemudi. Di depan si kumis ini duduk perempuan berbaju
kembang-kembang. Dia adalah pelayan yang saat itu tengah mengipas bara api
pembakar ikan segar di atas sebuah pembakaran besar yang diletakkan di lantai
perahu. Harumnya daging yang dipanggang menyebar ke mana-mana. Tiga bungkus
nasi dengan lalapan dan sambal siap disantap, tinggal menunggu matangnya ikan
yang sedang dipanggang.
Di bagian
depan perahu duduk seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tiga tahun,
berwajah cantik jelita, murah senyum, mengenakan pakaian jingga. Rambut kecoklatan
diikat dengan sehelai setangan di atas kepala hingga wajahnya yang bujur telur
terlihat mulus menawan. Sambil menikmati pemandangan indah di kiri kanan Kali
Tuntang, mulutnya yang mungil perlahan-lahan menyanyikan sebuah tembang. Dari
pancaran wajahnya jelas perempuan ini benar-benar menikmati semua keindahan
yang ada di sepanjang kali yang dilewati. Jarang-jarang dia berada dalam
keadaan seperti ini. Karena itu dia benar-benar ingin memuaskan hati.
"Parnan
Rejo, saya ingin kita mampir dulu di Telaga Pening. Pemandangannya indah,
ikannya besar-besar…." Lelaki berkumis di bagian belakang perahu
tersenyum. "Jeng Ayu Kemuning, Paman mau-nau saja mengikuti keinginan Jeng
Ayu, tapi kawatir kita kemalaman. Kalau Adipati Jatilegowo lebih dulu kembali
ke Kadipaten, Paman dan Bi Suti bisa kena damprat habis-habisan. Jeng Ayu tahu
sendiri kalau Adipati sudah marah. Tangan dan kaki bisa melayang ke
mana-mana." Perempuan muda bernama Sri Kemuning tersenyum.
"Adipati
tidak akan pulang malam ini. Paling cepat besok pagi. Dia ada urusan besar di
Temanggung."
"Paman
tahu kalau Adipati ke Temanggung. Tapi tidak tahu urusannya. Mungkin Jeng Ayu
mengetahui. Ah, lupakan ucapan Paman. Tidak sepantasnya Paman mau tahu urasan
Adipati, suami Jeng Ayu."
"Tidak
apa-apa. Saya tahu mengapa dia ke Temanggung. Saya suka kalau Paman Rejo dan Bi
Supi mengetahui. Urusan Adipati Jatilegowo ke Temanggung adalah untuk melamar
janda Adipati Temanggung yang konon kabarnya cantik sekali. Bernama
Larasati." Paman Rejo dan Bi Supi sama-sama terkejut mendengar kata-kata
Sri Kemuning.
"Adipati
mau kawin lagi? Paman hampir tak bisa percaya mendengar ucapan Jeng Ayu,"
kata Rejo sambil memandang pada Bi Supi.
"Memang,
siapa yang bisa percaya. Adipati sudah punya dua istri. Masih mencari istri
lagi. lstri ketiga. Nanti kalau masih tidak puas cari lagi istri ke empat, ke
lima. Bisa-bisa sampai sepuluh. Dasar mata keranjang. Itu sebabnya setiap dia
tidak ada, saya ingin bersenang-senang. Di gedung Kadipaten walau semuanya
tersedia dan serba mewah namun hati rasanya tertekan. Nasib saya punya suami
Adipati, tapi Adipati galak dan mata keranjang! Beberapa kali saya coba kabur
dari gedung Kadipaten, tapi para pengawal selalu menemukan saya dan membawa
saya kembali ke Kadipaten. Kalau sudah begitu tempelengan datang seperti hujan.
Padahal kalau Adipati membunuh saya, rasanya saya lebih suka. Kalau sudah mati
bebas sudah dari semua kepahitan hidup ini."
"Jeng
Ayu," kata Bi Supi. "Tidak baik menyesali nasib. Semua itu sudah
takdir dari Gusti Allah. Saat ini Jeng Ayu bernasib seperti ini, siapa tahu
lain hari ada perubahan."
"Ya
… ya … ya. Takdir. Mungkin begitu," kata Sri Kemuning. "Tapi selama
saya jadi istri Adipati Jatilegowo rasanya nasib saya tidak akan pernah
berubah." Sunyi sebentar.
"Bi
Supi, perut saya sudah lapar. lkannya sudah matang?" Sri Kemuning
bertanya.
"Siap
untuk disantap Jeng. Saya ambilkan nasi, lalap dan sambalnya. Kita makan di
atas perahu atau turun ke darat?"
"Rasanya
lebih sedap makan di atas perahu saja," jawab Sri Kemuning.
Ketiga
orang itu lalu membuka bungkusan nasi masing-masing. Belum sempat mereka
menyuap, tiba-tiba di sekeliling perahu yang meluncur perlahan mengikuti arus
air kali yang tenang itu bermunculan empat kepala. Empat wajah ganas basah
kuyup menyeringai. Empat golok angker berkilat ikut menyembul. Bi Supi menjerit
kesakitan. Sri Kemuning menutup mulut menahan pekik sedang Paman Rejo terkesiap
kaget. Jangan-jangan empat orang itu adalah gerombolan penjahat.
"Siapa
kalian?!" bentak Paman Rejo sambil melintangkan kayu pendayung di depan
dada. Matanya melirik pada sebilah golok besar yang ada di lantai perahu di
ujung kakinya.
"Siapa
kami?!" orang di samping perahu sebelah kanan menyeringai. Seperti
kawan-kawannya orang ini berambut gondrong, wajah tertutup kumis dan cambang
bawuk basah.
"Kawan-kawan!
Apakah kita perlu menerangkan siapa kita?! Ha … ha … ha!"
Empat
orang itu tertawa bergelak. Orang yang muncul di bagian depan perahu memandang
mendelik pada Sri Kemuning lalu berseru. "Kawan-kawan! Rejeki kita besar
sekali hari ini. Lihat, ada gadis cantik jelita duduk di depan perahu!"
Orang yang berseru tidak mengetahui dan menyangka bahwa Sri Kemuning masih
seorang gadis. Mendengar seruan itu, tiga orang lainnya yang berada di bagian
belakang dan samping kiri kanan segera bergerak ke bagian depan perahu.
"Ah
…." Ketiganya sama keluarkan suara berdecak kagum. Salah seorang
diantaranya bermata belok dan menjadi pimpinan berkata. "Wajah cantik,
kulit mulus. Dandanan kalung, gelang, giwang dan cincin emas! Lengkap sudah!
Aku akan mengambil bagianku lebih dulu! Kalian boleh antri menunggu!"
Habis bicara si mata belok lalu perintahkan temannya mendorong perahu ke
pinggir kali.
"Tunggu!
Kalian siapa?! Kalian mau berbuat apa?!" Dari belakang perahu Rejo
berteriak sambil berdiri. Sebilah golok tergenggam di tangan kanannya.
"Bangsat
goblok! Berani cari penyakit!" Orang bermuka burik berteriak marah lalu
babatkan goloknya ke kaki Rejo. Lupa kalau dirinya berada di atas perahu, Rejo
melompat selamatkan kaki. Akibatnya perahu bergoyang keras. Di udara Rejo
kehilangan keseimbangan. Masih untung dia jatuh melintang di badan perahu,
tidak kecebur ke dalam kali. Saat itu si muka burik kembali gunakan goloknya.
Entah mengapa dia tidak membacok tapi pergunakan gagang golok untuk memukul
kening Rejo. Orang ini langsung pingsan dengan kening robek mengucurkan darah.
Bi Supi dalam puncak ketakutannya terkulai di lantai perahu, ikutan pingsan.
Tinggal Sri Kemuning sendirian. lstri Adipati Salatiga ini menjerit ketakutan.
"Aku
istri Adipati Jatilegowo dari Salatiga! Jika kalian berani berbuat jahat
terhadapku kepala kalian berempat akan dipancung!" Empat orang yang tengah
mendorong perahu ke pinggir kali jadi saling pandang, sama terkejut mendengar
teriakan Sri Kemuning. Di antara mereka ada yang tidak percaya. Si mata belok
yang jadi pimpinan kemudian malah tertawa bergelak.
"Kalau
kau memang istri Adipati Salatiga, kami akan mendapat untung berlipat ganda.
Kami akan bersenang-senang dulu dengan dirimu lalu minta tebusan uang pada
suamimu!" Si mata belok usap betis Sri Kemuning. Perempuan ini mengelak,
coba menendang kepala orang dengan kakinya tapi meleset. Perahu akhirnya sampai
ke pinggir kali. Si mata belok naik ke atas perahu, tiga temannya memegangi
perahu agar tidak goyang.
"Jangan
sentuh! Pergi!" teriak Sri Kemuning. Si mata belok keluarkan suara
berdecak berulang kali, mata memandang Sri Kemuning dari kepala sampai ke kaki
seperti mau menelanjangi, dia geleng-gelengkan kepala tanda kagum. Tiba-tiba
dia menyergap. Sri Kemuning tenggelam dalam rangkulannya. Puas menciumi
perempuan itu dia melompat ke daratan sambil memanggul Sri Kemuning. Di pinggir
kali saat itu berdiri seorang pemuda berpakaian putih, tertawa lebar ketika
melihat si mata belok melangkah ke arahnya sambil membopong Sri Kemuning.
Melihat pemuda itu timbul harapan dalam diri Sri Kemuning karena menyangka
dirinya akan mendapat pertolongan. Tapi dia jadi lemas ketika mendengar ucapan
si pemuda.
"Sobat
mata belok, aku sudah lama menunggu di sini! Si cantik itu tentu hendak kau
serahkan padaku! Kalau aku sudah puas nanti kuberikan padamu!"
"Ya
Tuhan, pemuda itu rupanya pimpinan empat orang jahat ini!" kata Sri
Kemuning dalam hati. Namun dia jadi heran ketika mendengar penjahat yang
membopongnya membentak garang.
"Bangsat
gondrong! Siapa kau!"
Tiga
kawan si mata belok yang masih berada dalam kali serta merta melesat ke daratan
sambil menghunus golok.
"Kawasan
Kali Tuntang adalah wilayah kekuasaanku! Apa salah kalau aku meminta agar
kalian menyerahkan si cantik jelita itu padaku? Seharusnya aku menggebuk kalian
karena berani berbuat kejahatan tanpa sepengetahuanku!" Pemuda itu
menyeringai, basahi bibir dengan ujung lidah lalu ulurkan dua tangan seolah
siap menerima tubuh Sri Kemuning.
"Burik!
Bunuh pemuda gila ini!" teriak si mata belok.
"Akan
kucincang!" teriak penjahat yang mukanya penuh dengan bercak-bercak hitam.
Golok di tangan Si Burik membabat deras ke arah dua tangan si pemuda yang
terulur. Laksana kilat dua tangan yang hendak dibabat putus ditarik lalu kaki
kanan si pemuda bergerak.
"Bukkk!"
Satu tendangan mendarat telak ke perut Si Burik. Tak ampun penjahat ini
mencelat mental lalu jatuh kecebur ke dalam air. Sesaat kelihatan dia
megap-megap sambil berusaha berenang ke pinggir kali, namun sosoknya kemudian
tenggelam tak muncul lagi! Tiga penjahat mendelik kaget, tidak mengira pemuda
yang disangka berotak miring itu ternyata punya ilmu silat tinggi.
Sambil
menyeringai si pemuda kembali ulurkan dua tangannya ke arah si mata belok.
"Mata
belok, kau masih belum mau menyerahkan si cantik itu padaku! Tunggu apa
lagi?"
"Jahanam
kurang ajar!" Si belok totok urat besar dipangkal leher Sri Kemuning.
Tubuh Sri Kemuning yang kini menjadi kaku tak bisa bergerak itu diturunkan lalu
disandarkan ke sebatang pohon. Si belok mencabut goloknya. Mata beloknya
berkilat mencorong mengerikan.
"Pemuda
edan! Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa! Aku Suto Menggolo! Akulah
penguasa Kali Tuntang mulai dari hulu sampai ke hilir! Siapa berani berlaku
kurang ajar, nyawa imbalannya!" Suto Menggolo kepala penjahat memberi
tanda pada dua temannya. Tiga orang penjahat yang memang sudah sejak lama
malang melintang di sepanjang Kali Tuntang itu segera menyerbu. Tiga golok
berkelebat ganas di udara mencari sasaran di kepala, dada dan pinggang si
pemuda.
Pemuda
yang diserang keluarkan suitan keras. Tubuh menghuyung, kepala merunduk. Golok
pertama lewat berdesing sejari di atas rambutnya. Golok kedua yang membabat ke
dada juga tak mengenai sasaran karena dengan membuat satu gerakan aneh si
pemuda berhasil selamatkan diri. Golok ketiga menyambar ke pinggang, tak sempat
mencapai sasaran karena lengan si penyerang keburu dimakan tendangan kaki
kanan.
"Kraaak!"
Tulang lengan patah. Golok mental ke udara. Si pemuda melornpat menyambar golok
seraya kakinya sekali lagi bekerja menendang dada orang hingga menyusul
kawannya, terlempar kecebur masuk ke dalam kali.
Suto
Manggolo dan anak buahnya yang tinggal satu heran ada kecutpun ada melihat apa
yang terjadi. Tidak masuk di akal, mereka yang sudah punya segudang pengalaman
bisa dibuat tak berdaya dengan beberapa gebrakan saja oleh secrang pemuda tak
dikenal. Suto Menggolo tidak mau cari penyakit. Jelas pemuda itu seorang
pendekar dari rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Dari pada babak
belur hancur-hancuran lebih baik pergunakan akal.
"Orang
muda, kalau kau inginkan istri Adipati itu silahkan ambil! Aku hanya akan
mengambil perhiasannya!" Suto Menggolo bergerak ke pohon besar di mana Sri
Kemuning tadi disandarkannya dalam keadaan tertotok.
"Mana
bisa begitu! Aku justru inginkan ke dua-duanya. Si cantik berikut perhiasannya!
Kau boleh mengambil kentutnya saja! Ha … ha … ha!" Mendengar ucapan si
pemuda menggelegaklah amarah Suto Menggolo. Rasa kecutnya lenyap. Darah naik ke
kepala. Mata membeliak tambah besar. Golok di tangan kanan bersuit di udara,
lenyap berubah menjadi kilatan maut, menyambar ke arah tenggorokan si. pemuda.
Dari samping anak buah Suto Menggolo ikut menggebrak. Dua golok besar bertabur
di udara. Rupanya pimpinan dan anak buah penjahat Kali Tuntang ini sengaja
keluarkan jurus-jurus maut mereka. Mau tak mau pemuda yang jadi bulanbulanan
serangan harus berlaku hati-hati. Dua jurus terdesak hebat. Jurus ke tiga dia
mulai membuka serangan. Gerakannya aneh, seperti sempoyongan, seperti orang mabok,
terkadang mendorong lawan seenaknya. Lalu tertawa-tawa seperti orang kemasukan.
Merasa
dipermainkan dua orang penjahat kertakkan rahang, memperhebat serangan mereka.
Tapi sampai tubuh mereka mandi keringat, tak satupun serangan mereka mampu
mengenai lawan. Gagang golok terasa licin oleh basahan keringat. kalau
diteruskan senjata itu bisa-bisa terlepas dari genggaman.
"Cukup!"
tiba-tiba di jurus ke dua belas si pemuda berteriak. Tubuhnya melesat ke depan.
Tangan kanannya berputar seperti titiran. Ltulah jurus yang dinamakan
"Kincir Padi Berputar".
"Plaakk!"
Anak buah Suto Menggolo menjerit keras ketika mukanya dilabrak tamparan keras
yang membuat mulutnya kucurkan darah, tiga buah gigi rontok! Belum lepas jerit
kesakitan keluar dari mulutnya, satu sodokan siku menghantam rusuknya.
"Kraaakk!"
Dua tulang iga patah. Penjahat itu megap-megap sempoyongan lalu jatuh terkapar
mengerang menggeliat-geliat.
Tinggal
sendirian Suto Menggolo putus nyalinya. Kepala rampok itu tak ingat lagi muka
cantik, tubuh mulus dan perhiasan yang melekat di tubuh Sri Kernuning. Dia
cepat memutar tubuh siap melarikan diri. namun lawan tak memberi kesempatan.
Sebelum penjahat Kali Tuntang itu merat tulang tunggirnya keburu dimakan
tendangan. Suto Menggolo menjerit keras. Tubuhnya mencelat, tersungkur di
tebing kali. Dia coba bangkit berdiri tapi pemandangannya gelap. Dia tak bisa
melihat apa-apa. Selain itu dua kakinya mendadak lumpuh. Suto Menggolo melosoh
di tanah, mengerang tak berkeputusan. Si pemuda melangkah ke pohon besar.
Sepasang mata Sri Kemuning membeliak ketakutan. Walau totokan Suto Menggolo
membuat tubuhnya kaku tapi jalan suaranya masih terbuka. lstri Adipati Salatiga
ini keluarkan suara keras.
"Jangan
berani berlaku kurang ajar padaku! Aku istri Adipati Salatiga!" Si pemuda
sesaat hentikan langkah, pandangi wajah cantik jelita itu lalu tertawa lebar.
"Kau begini muda, cantik rupawan. Tadinya aku mengira kau masih seorang
gadis remaja. Bunga indah di tengah belantara. Tidak tahunya sudah jadi istri
orang. Beruntung sekali Adipati Salatiga punya istri secantik ini! Tapi mengapa
dia kurang perhatian membiarkan istri cantik jelita berkeliaran seorang
diri!"
"Berkeliaran!
memangnya aku kerbau atau sapi!" Sri Kemuning membentak. Si pemuda tertawa
tergelak-gelak. "Aku orang desa," katanya. "Jadi tidak tahu
mempergunakan bahasa yang baik!" Pemuda itu mendekat, ulurkan tangannya.
"Kau
mau berbuat apa! Jangan berani menyentuh tubuhku!" Si pemuda masih
tertawa-tawa.
"Aku
cuma mau melepaskan totokan di tubuhmu," katanya.
"Alasan!
Awas! Jangan tanganmu berani menyentuh tubuhku!" Si pemuda garuk-garuk
kepala. "Kalau kau tidak mau kusentuh dengan tangan, baiklah. Aku akan
pergunakan cara lain untuk membuka totokan di lehermu. Cara ini mungkin lebih
kau suka!" Lalu tidak terduga, tiba-tiba si pemuda rundukkan kepalanya.
Mulutnya mengecup urat besar di pangkal leher Sri Kemuning di bagian mana Suto
Menggolo tadi menotoknya. Begitu totokan yang membuat sekujur tubuhnya punah,
Sri Kemuning meraba lehernya. Ada rasa aneh menjalari sekujur auratnya, yang
selama ini tidak pernah dirasakannya. Dia seolah terkesiap dalam satu
kenikmatan. Namun begitu sadarkan diri, Sri Kemuning berteriak marah, wajahnya
bersemu merah. Dia pukulkan dua tangannya ke dada si pemuda.
"Pemuda
kurang ajar! Aku … !" Sri Kemuning kembali hendak memukul. Namun dua
lengannya cepat dicekal oleh si pemuda.
"Tunggu!
Apa aku salah?! Aku cuma menuruti kemauanmu!" kata si pemuda. "Kau
bilang tidak boleh menyentuh tubuhmu dengan tanganku! Apa aku salah kalau
menyentuhmu dengan bibirku?!"
"Kurang
ajar! Lepaskan tanganku!" Si pemuda tersenyum dan lepaskan pegangannya
pada dua tangan Sri Kemuning.
"Nah,
sudah kulepaskan. Sekarang apa lagi? Mau bibir lagi?!"
"Manusia
kurang ajar! Sinting! Aku akan laporkan perbuatan kurang ajarmu pada Adipati!"
"Aku
senang kalau sampai dipenjara. Asal penjaraku di Kadipaten berdampingan dengan
kamar tidurmu dan ada pintu rahasianya! Ha … ha … ha! Selamat tinggal orang
cantik!"
"Pemuda
sinting! Jangan berani melarikan diri!" Si pemuda garuk-garuk kepala. Saat
itu Rejo dan Bi Supi telah sadar dari pingsan mereka, dengan susah payah
keduanya turun dari perahu. naik ke tebing kali. Rejo melangkah sambil pegangi
kepalanya yang luka. Bi Supi berjalan terbungkuk-bungkuk. Keduanya sampai di
tempat dimana Sri Kemuning berada bersama seorang pemuda.
"Jeng
Kemuning, siapa pemuda itu? Apa yang terjadi di tempat ini?" Rejo
memandang berkeliling. Pikirannya masih belum jernih.
"Ah,
ini suamimu?" Si pemuda tiba-tiba bertanya.
"Edan!
Enak saja asal bicara!" hardik Sri Kemuning. "Orang ini adalah
pembantu kepercayaanku!"
"00
…. Maaf, aku kira dia Adipati Salatiga suamimu," ujar si pemuda sambil
senyum-senyum dan garuk-garuk kepala. "Sekarang kau sudah aman. Ada dua
pembantu menemanimu. Lekas pulang, sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dan
ingat, lain kali jangan suka berkeliaran kemana-mana …."
"Kurang
ajar! Aku bukan sapi! Bukan kerbau!" teriak Sri Kemuning.
"Aku
tahu, aku tahu!" jawab pemuda itu lalu kedipkan mata, lambaikan tangan dan
tinggalkan tempat itu.
"Jeng
Ayu Sri Kemuning, siapa pemuda itu? Kembali Rejo bertanya.
"Saya
tidak tahu, Paman. Semula saya sangka dia pimpinan empat penjahat di kali tadi.
Ternyata tidak …." Lalu Sri Kemuning menuturkan apa yang terjadi sewaktu
Rejo dan Bi Supi masih pingsan di atas perahu.
"Jeng
Ayu, jika benar pemuda itu telah menolong Jeng Ayu, seharusnya Jeng Ayu tidak
bersikap kasar padanya …."
"Tapi
dia …." Sri Kemuning tidak meneruskan ucapannya. Tangan kanannya berulang
kali dipergunakan mengelus pangkal leher yang tadi dikecup si pemuda sewaktu
melepaskan totokan.
"Sayang,
kita tidak tahu siapa adanya pemuda itu. Tidak tahu namanya …." Rejo
berkata dan kembali pegangi keningnya yang luka dan benjut. Dia terdiam
sebentar. Lalu berkata lagi. "Paman ingat sesuatu. Sekilas tadi ketika dada
bajunya tersingkap Paman lihat ada jarahan tiga angka didadanya…."
"Angka
apa Paman?" tanya Sri Kemuning.
"Angka
212," jawab Rejo.
"Angka
212? Apa artinya itu?"
"Paman
tidak tahu artinya. Paman cuma tahu pendekar dengan angka pengenal 212 itu
adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng…”
”Wiro
sableng?” ujar sri kemuning lalu secercah enyum muncul dibibirnya yang mungil.
"Ya,
namanya Wiro Sableng. Di masa lalu, dia dan juga gurunya banyak membantu
Kerajaan."
"Wiro
Sableng," gumam Sri Kemuning.
"Heemrm
pantas" jari -jari tangannya mengelus leher di bekas kecupan si pemuda.
"Pantas?
Pantas apa maksud Jeng Ayu?"
"Tidak,
tidak apa-apa," jawab Sri Kemuning masih mengulum senyum. Dalam hati Paman
Rejo berkata. "Aneh, tadi dia marah besar pada pemuda itu. Sekarang
mengapa senyum-senyum seolah-olah ada rasa suka?”.
*******************
4
SOSOK tua
Ki Sarwo Ladoyo terbaring di atas ranjang, dalam sebuah kamar yang terletak
jauh di halaman belakang bangunan Kadipaten Temanggung. Tubuh itu nyaris hampir
sama rata dengan pembaringan. Sejak menderita luka dalam akibat bentrokan
kekuatan hawa sakti dengan Jatilegowo Adipati Salatiga hampir sebulan lalu,
orang tua sesepuh Kadipaten Temanggung itu tak pernah lagi meninggalkan tempat
tidur. Sakit yang menyerang dadanya, membuat nafasnya sesak berkepanjangan tak
pernah dapat disembuhkan. Beberapa orang tabib telah didatangkan. Berbagai
macam obat telah diberikan namun sakit Ki Sarwo Ladoyo tidak berkurang, apa
lagi disembuhkan. Tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Hanya sepasang mata
orang tua ini yang masih kelihatan tegar, berusaha bertahan hidup denga
sisa-sisa semangat yang ada. Seorang pemuda berwajah cakap duduk bersila di
samping tempat tidur. Selama Ki Sarwo sakit, pemuda ini sering menjagainya.
Melayani keperluan si orang tua, memberikan obat atau memberikan minum. Pemuda
ini bernama Loh Gatra dan dia adalah cucu tunggal yang sangat disayangi oleh Ki
Sarwo Ladoyo.
Loh Gatra
mengusap kening kakeknya. Lalu bertanya. "Kakek Sarwo, apakah kau ingin
minum?" Tak ada jawaban. Lalu mata Ki Sarwo bergerak sedikit ke kiri. Itu
sudah cukup sebagai pertanda bagi Loh Gatra bahwa kakeknya memang ingin minum.
Pemuda ini mengambil selembar daun sirih dari atas sebuah meja kecil di samping
tempat tidur. Daun sirih ditekuk lalu disiram dengan air putih dari dalam
sebuah kendi tanah. Setetes demi setetes air yang ditampung di atas daun sirih
itu dimasukkan Loh Gatra ke mulut kakeknya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di
ambang pintu berdiri Nyi Larasati didampingi seorang pembantu perempuan. Loh
Gatra cepat berdiri, meletakkan daun sirih di atas meja lalu membungkuk hormat.
Sesaat
Nyi Larasati menatap ke arah si pemuda. Sebelumnya mereka sudah sering bertemu.
Dalam setiap pertemuan Loh Gatra selalu menunjukkan sikap hormat hingga lambat
laun menimbulkan rasa suka di hati Nyi Larasati terhadap pemuda ini. Apa lagi
Loh Gatra adalah cucu tunggal pembantu kepercayaannya. Nyi Larasati melangkah
masuk ke dalam kamar. Pembantu tetap berdiri di ambang pintu. Di tepi
pembaringan janda cantik itu tegak sesaat memandangi wajah dan sosok Ki Sarwo
dengan hati sedih haru.
"Ki
Sarwo, harap dimaafkan. Saya terpaksa kembali mengganggu dalam sakitmu. Keadaan
gawat."
"Nyi
Lara, saya minta diri keluar ruangan. Mungkin Nyi Lara ingin bicara berdua saja
dengan Kakek." Loh Gatra berucap seraya siap melangkah menuju pintu.
"Tidak
usah, tetap saja di sini. Lebih baik jika kau juga mengetahui keadaan yang akan
saya bicarakan dengan Kakekmu," kata Nyi Larasati.
"Dengan
izin Nyi Lara saya akan tetap berada di sini," kata Loh Gatra seraya
membungkuk.
"Nyi
Lara …." Ki Sarwo berucap. Suaranya sangat perlahan, hampir-hampir tidak
terdengar. Karenanya Nyi Lara lebih mendekat ke tepi tempat tidur. "Katamu
keadaan mulai gawat. Apa yang terjadi?"
"Adipati
Jatilegowo. Pagi tadi dia mengirimkan utusan. memberitahu sekaligus
mengingatkan bahwa minggu depan tepat empat puluh hari berpulangnya Adipati
Jalapergola. Pada hari ke empat puluh satu dia akan berangkat dari Salatiga
untuk menyampaikan pinangan. Dia akan membawa sejumlah besar pasukan. Jika saya
menolak Kadipaten Temanggung akan ditumpasnya, sama rata dengan tanah."
"Manusia
sesat itu …." ujar Ki Sarwo Ladoyo.
"Sudah
punya istri dua, apa tidak cukup? Nyi Lara, apa yang bisa saya bantu? Nyi Lara
tahu sendiri keadaan saya."
"Saya
mohon maaf kalau menyusahkan Ki Sarwo. Saya tidak takut menghadapi ancaman
Adipati Jatilegowo. Tapi saya sangat takut rakyat akan menderita. Minggu lalu
saya sudah mengirimkan utusan ke Kotaraja. Tapi utusan itu tak pernah kembali.
Belakangan saya ketahui utusan itu dihadang di tengah jalan lalu dibunuh."
"Pasti
Jatilegowo yang punya pekerjaan!" kata Ki Sarwo.
"Saya
juga menduga begitu," jawab Nyi Lara.
"Berarti
di gedung Kadipaten ini ada musuh dalam selimut yang memberi tahu pada
Jatilegowo apa yang hendak kita lakukan. Kita harus berhati-hati Nyi Lara.
Sangat berhati-hati,"
"Ki
Sarwo, jika saya menolak Jatilegowo pasti akan melaksanakan niatnya …."
"Nyi
Lara, apakah Nyi Lara bermaksud hendak menerima pinangan orang itu?" tanya
Ki Sarwo,
Wajah Nyi
Lara tampak kemerahan. Dia melirik ke samping ke arah Loh Gatra yang sejak tadi
memandanginya. Ditatap oleh Nyi Lara, si pemuda cepat tundukkan kepala.
"Apapun
yang terjadi saya tidak akan menerima pinangan Jatilegowo. Harus ada sesuatu
yang bisa kita lakukan. Itu sebabnya saya datang ke sini. Meminta petunjuk Ki
Sarwo."
"Satu
minggu lagi. Waktu kita tidak banyak …." Mata cekung Ki Sarwo menerawang
menatap langit-langit kamar.
"Bagaimana
kalau saya sendiri yang berangkat ke Kotaraja?" Nyi Lara tiba-tiba
bertanya.
"Jangan,
terlalu bahaya …. Kita harus mencari satu atau dua orang yang bisa menghadapi
Jatilegowo dan menahan maksud gilanya. Tapi siapa?"
"Untuk
keselamatan Nyi Lara, saya bersedia mengorbankan jiwa raga …." Mendadak
Loh Gatra keluarkan ucapan. Nyi Lara berpaling pada pemuda itu. "Terima
kasih atas kesetiaanmu Loh Gatra …." kata Nyi Lara dan dalam hati dia
bertanya-tanya apakah pemuda ini sanggup menghadapi Jatilegowo yang memiliki
ilmu tinggi?”
"Loh
Gatra," Ki Sarwo membuka suara. "Aku tahu kau pernah berguru pada
seorang sakti di Goa Blorong. Namun tingkat ilmumu masih belum sanggup
menghadapi Adipati Jatilegowo itu. Ada satu hal yang bisa kau lakukan. Mendekatlah
ke sini. Aku akan mengatakan sesuatu …." Loh Gatra mendekat, lalu duduk di
samping tempat tidur. Kepalanya didekatkan ke kepala kakeknya.
"Pergilah
ke bukit kapur di selatan Gunung Merbabu. Cari seorang kakek buta yang biasa
dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu. Minta bantuannya untuk mencari tahu
di mana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika dia memberi tahu, kau harus
mencari pendekar itu dan sebelum satu minggu kau sudah membawanya ke sini. Ini
pekerjaan berat, bukan mustahil kau tidak sanggup melakukan. Apa lagi Pendekar
212 Wiro Sableng tidak mudah ditemukan. Tapi kau harus berusaha. Kita semua
harus berusaha."
"Tugas
dari Kakek akan saya laksanakan," kata Loh Gatra pula. "Jika
diizinkan saya akan berangkat sekarang juga."
"Kau
boleh pergi setelah Nyi Lara memberi izin," kata Ki Sarwo.
"Saya
memberi izin," ujar Nyi Larasati pula.
"Tapi
tunggu sampai saya menyelesaikan pembicaraan dengan kakekmu." Nyi Lara
lalu berpaling pada si orang tua di atas pembaringan.
"Ki
Sarwo, tidak seorang orang bakal sanggup menghadapi Jatilegowo. Saya pernah
merenung mencari jalan keluar untuk menghadapi manusia satu itu. Muncul satu
kaul dalam hati saya. Siapa saja laki-laki yang sanggup membunuh Adipati sesat
itu, asalkan dia orang baik-baik, saya akan mengambilnya sebagai suami."
Ki Sarwo terdiam beberapa lamanya mendengar ucapan Nyi Lara itu. Sesaat
kemudian baru dia berkata. "Nyi Lara, mohon maafmu. Saya rasa keliru
mempunyai kaul seperti itu."
"Waktu
mengucap kaul di dalam hati, pikiran saya sangat kacau dan takut. Saya memohon
pada Gusti Allah. Saat itulah kaul saya terucap di dalam hati. Ki Sarwo, apa
yang menjadi kaul saya tidak perlu disebar luaskan secara terbuka, cukup
disampaikan pada orang-orang tertentu saja. Tapi saya tidak akan melakukan apa-apa
jika Ki Sarwo tidak menyetujui. Ki Sarwo jauh luas pengalaman dari saya. Saya
tidak mengganggu Ki Sarwo lebih lama. Saya pergi …." Nyi Lara memegang
tangan kurus Ki Sarwo lalu melangkah ke pintu. setelah tinggal berdua dalam
kamar itu bersama cucunya, Ki Sarwo berkata.
"Loh
Gatra cucuku. Berapa usiamu sekarang?"
"Dua
puluh empat," jawab Loh Gatra sambil hatinya bertanya-tanya mengapa
kakeknya menanyakan usianya.
"Berarti
kau beberapa tahun lebih tua dari Nyi Larasati. Kau mendengar apa, yang tadi
diucapkan Nyi Lara. Apakah kau berniat untuk membantu Nyi Lara memenuhi
kaulnya?" Loh Gatra terkejut mendengar pertanyaan kakeknya itu. Si pemuda
tersenyum lalu berkata.
"Nyi
Lara cantik sekali. Saya memang suka padanya. Tapi saya tahu diri siapa saya.
Jika bersangkutan dengan kaul saya tak berani menjawab. Seperti kakek katakan
tadi, Jatilegowo bukan tandingan saya."
"Kau
tak usah kawatir, aku akan memberikan satu senjata sakti mandra guna padamu.
Kau bisa menghadapi Jatilegowo dengan senjata itu …. Tapi yang penting kau
lebih dulu harus berangkat mencari Kakek Segala Tahu, harus menemukan Pendekar
212 Wiro Sableng."
"Selama
saya pergi, siapa yang akan menjaga dan merawat Kakek?" tanya Loh Gatra.
"Gusti
Allah," jawab si orang tua. Sementara sang cucu memandang wajahnya dengan
air muka keheranan, Ki Sarwo Ladoyo tersenyum, lalu pejamkan dua matanya.
*******************
5
KAWASAN
selatan Gunung Merbabu luas sekali. Namun hanya ada satu bukit kapur di situ.
Berarti tidak sulit bagi Loh Gatra untuk mencarinya. Hari itu, lewat tengah
hari, dibawah terik sinar sang surya, di kejauhan Loh Gatra telah melihat bukit
itu, putih membujur dari timur ke barat. Tanpa memperdulikan rasa letih si
pemuda segera memacu kudanya. Untuk mencapai bukit kapur itu dia harus menempuh
satu rimba belantara lalu melewati daerah berbatu-batu, baru sampai ke bukit
kapur.
Walau
tidak perduli keletihan yang mendera tubuh namun Loh Gatra sangat memperhatikan
kuda tunggangannya. Karenanya sebelum memasuki rimba belantara Loh Gatra
berusaha mencari mata air untuk memberi minum binatang itu. Ketika dia naik ke
punggung kuda untuk meneruskan perjalanan tiba-tiba, entah dari mana munculnya,
tiga penunggang kuda telah mengurungnya. Tiga ekor kuda tunggangan itu bertubuh
besar kokoh, bersih tanda terawat dan memiliki pelana bagus. Namun hal ini
tidak terperhatikan oleh si pemuda. Loh Gatra pemuda sopan walau memiliki
kepandaian silat cukup tinggi namun nyaris tidak punya pengalaman. Dia
menganggap semua orang itu baik dan bersahabat. Maka dengan tersenyum dia
menyapa.
"Tiga
sahabat, kalian datang dari mana dan mau menuju kemana? Ada sesuatu yang bisa
kulakukan untuk kalian?" Menegur orang dengan sopan disertai senyum, Loh
Gatra jadi kaget ketika salah seorang dari tiga penunggang kuda malah membentak
dengan garang.
"Pemuda
ingusan kami datang dari neraka! Memang ada sesuatu yang bisa kau lakukan!
Yaitu bunuh diri!" Dua lelaki lainnya tertawa bergelak. Loh Gatra
ternganga heran. Ada tiga orang tak dikenal menyuruhnya bunuh diri. Apa dia
berhadapan dengan orang gila? Tapi bagaimana mungkin ada tiga orang gila
sekaligus!
"Sobatku,
monyet bau kencur ini agaknya tidak punya senjata. Biar kupinjamkan golok agar
dia bisa menggorok lehernya sendiri!" Orang yang bicara lalu cabut golok
yang tergantung di leher kuda. Golok telanjang ini kemudian dilemparkan ke arah
Loh Gatra. Cucu Ki Sarwo ini jadi serba salah. Kalau dia tidak menyambuti
golok, senjata yang dilemparkan itu akan mengenai dan melukai tubuhnya. Kalau
dia menyambuti, orang mengira dia memang mau saja disuruh bunuh diri. Mau tak
mau Loh Gatra akhirnya gerakkan tangan kanan menangkap gagang golok.
"Ha
… ha! Lihat! Kawan-kawan! Monyet itu menangkap golok yang kulemparkan. Berarti
dia memang rela mau bunuh diri!"
"Tiga
sahabat, antara kita tidak ada permusuhan, mengapa kalian mempermainkan
diriku?" tanya Loh Gatra. Dia majukan kudanya lalu ulurkan golok.
"lni golokmu, ambil kembali."
"Ha
… ha … ha!" Orang yang punya golok bukannya mengambil tapi malah tertawa
bergelak.
"Kawan-kawan!
Jika dia tidak mau bunuh diri, biar aku menunjukkan bagaimana caranya mampus!
Ha … ha … ha!" Lelaki yang tadi melemparkan golok renggutkan senjata itu
dari pegangan Loh Gatra. Ketika dia hendak membacok, Loh Gatra berseru sambil
tekap kepalanya.
"Tunggu!
Apa salahku?! Mengapa kalian mau membunuhku?!" Orang yang hendak membacok
tahan gerakannya. Dengan ujung lidahnya dia jilat badan golok lalu berkata.
"Kau layak mampus karena berserikat dengan orang-orang yang hendak
mencelakai Adipati Jatilegowo dari Salatiga!"
"Kalau
begitu, apakah kalian ini orang-orang Kadipaten Salatiga?" tanya Loh
Gatra.
"Ha
… ha! Bedebah ingusan ini cerdik juga akalnya!"
"Dengar,"
kata Loh Gatra. "Aku tidak berserikat dengan siapapun. Aku tidak punya
maksud hendak mencelakai Adipati Salatiga."
"Begitu?
Lalu saat ini kau tengah menuju kemana?!" Loh Gatra tak menjawab. Yang menjawab
malah kawan orang tadi.
"Bukankah
kau tengah dalam perjalanan ke bukit kapur? Mencari seorang bernama Kakek
Segala Tahu?! Bukankah kau ditugaskan untuk mencari seorang pendekar yang bisa
membunuh Adipati Jatilegowo?!" Loh Gatra terkejut mendengar brondongan
pertanyaan itu. Jika tiga orang ini benar dari Kadipaten Salatiga, bagaimana
mereka bisa tahu bahwa dia tengah dalam perjalanan menuju bukit kapur, mencari
kakek Segala Tahu dan mencari seorang pendekar untuk dimintai bantuan
menghadapi Adipati Jatilegowo. mungkin benar sekali dugaan kakeknya bahwa ada
musuh dalam selimut di gedung Kadipaten.
"Monyet
ingusan! Mengapa kau mendadak menjadi bisu tak bisa bicara? apa barusan
ditampar setan gagu?! Hah?!"
"Dia
tak mau bunuh diri! Biar aku yang mempesiangi dirinya!" Lelaki paling
kanan cabut golok yang tersisip di pinggang lalu langsung dibacokkan ke kepala
Loh Gatra. Cucu Ki Sarwo Ladoyo ini cepat rundukkan kepala sambil tarik tali
kekang kuda menjauhi penyerangnya. Gagal menghantam sasaran pada gebrakan pertama,
orang tadi memburu dengan serangan berikutnya. Dengan cekatan kembali Loh Gatra
mengelak sambil menjauh. Dua teman si penyerang jadi marah. Keduanya melompat
dari kuda masing-masing. Dua golok berdesing di udara. Melihat gelagat bakal
menerima celaka begini rupa Loh Gatra segera meluncur turun dari atas kuda.
Sambil turun kaki kirinya bergerak menendang menghantam pangkal leher kuda
salah seorang penyerang.
"Kraaakkk!"
Tulang leher kuda itu remuk. Binatang tinggi besar ini meringkik keras, angkat
dua kaki depan. melemparkan penunggangnya lalu lari seperti kesetanan namun
beberapa belas langkah di depan sana roboh ke tanah! Tiga penghadang tersentak
kaget. Tidak mengira pemuda yang mereka anggap masih ingusan itu memiliki ilmu
silat tinggi. Loh Gatra sendiri setengah terheran-heran. Tidak menyangka dia
punya kemampuan sanggup menghantam kuda lawan. Karena selama ini dia hampir
tidak pernah berkelahi. Namun dia tidak bisa berpikir panjang. Saat itu tiga
orang yang mengeroyoknya kembali lancarkan serangan. Dikeroyok tiga hanya
mengandalkan tangan kosong bagaimanapun sebat dan cepatnya gerakan Loh Gatra,
pemuda yang tidak berpengalaman ini akhirnya terdesak hebat. Bahu kiri
pakaiannya robek besar dimakan ujung golok salah seorang pengeroyok. Dia merasa
perih dan terkejut ketika melihat ada darah merembes membasahi pakaiannya. Dia
terluka! Rasa kawatir akan keselamatan dirinya mulai menyelinap Loh Gatra. Tapi
bila dia ingat tugas besar yang tengah dijalaninya, demi Nyi Larasati yang
diam-diam memang dikaguminya, pemuda ini kembali bersemangat. Dia kerahkan
seluruh kepandaian. Keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya. Satu
kali dia berhasil menjotos dada salah seorang lawan hingga terpental, terguling
di tanah. Begitu bangkit terbungkuk-bungkuk. Loh Gatra melihat di mulut orang
itu ada lelehan darah!
Melihat
darah lawan keberanian Loh Gatra laksana disulut. Dia mengamuk. Tubuhnya
berkelebat cepat. Gerakan enteng. Tendangan dan jotosannya tidak terduga. Namun
lagi-lagi dia kalah pengalaman. Setelah menggebrak tiga lawan sampai enam
jurus, memasuki jurus selanjutnya Loh Gatra mulai keteteran. Tenaga laksana
terkuras. Gerakan-gerakan mulai melemah. Serangannya mengendur, daya pertahanan
ambruk.
"Wuuuttttt!"
Golok lawan berkelebat di udara.
"Breettt!"
Dada pakaian Loh Gatra robek besar Pemuda ini cepat melompat mundur dan
dapatkan pakaiannya di bagian dada basah merah oleh darah. Sesaat kemudian baru
dia merasa sakit yang amat sangat. Loh Gatra melangkah mundur, mukanya pucat.
Dua lawan melompat sambil babatkan golok. Satu ke leher, satu ke arah perut.
Loh Gatra mundur. Berusaha selamatkan diri. Tapi salah satu kakinya tertekuk.
Dia tak punya kesempatan lagi untuk mengelak selamatkan diri. Dia hanya bisa
terduduk pasrah, menunggu kematian dengan mata membeliak.
Hanya
sekejapan lagi dua golok akan membabat leher dan perut cucu Ki Sarwo Ladoyo
itu, tiba-tiba terdengar suara siulan. Lalu dua benda hitam sebesar ujung ibu
jari tangan melesat di udara. Dan!
"Croosss!"
"Croosss!"
Dua orang penyerang menjerit keras. Samasama jatuhkan golok mereka. Sama-sama
pegangi mata kanan. Darah mengucur dari mata kanan mereka, membasahi pipi dan
jari-jari tangan! Tidak sanggup menahan sakit, dua orang ini jatuhkan diri di
tanah, meraung sambil bergulingan! Kawannya yang tidak tahu apa-apa terkejut
heran melihat dua kelakuan temannya itu. Apa yang terjadi?
"Kalian
kenapa? Jawul! Ronggo! Kalian kenapa?" Orang itu berteriak lalu dekati
temannya yang bernama Jawul. Dia angkat tangan yang dipakai menutupi mata
kanan. Ternyata mata itu telah pecah. Sebuah benda hitam melesak di sebelah
dalam rongga. Ketika dia memeriksa kawannya yang satu lagi, hal yang sama
ditemukan.
"Gondo!
Bunuh! Bunuh pemuda itu! Dia memecahkan mataku!" kata Ronggo lalu kembali
menggerung kesakitan.
Lelaki
bernama Gondo berbalik. Memandang melotot ke arah Loh Gatra yang masih terduduk
dengan muka pucat, bersimbah darah di bagian dada.
"Tidak
mungkin! Tidak mungkin monyet ingusan keparat ini yang melakukan. Aku lihat
sendiri, dia dalam keadaan tidak berdaya! Lalu siapa?!" Gondo memandang
berkeliling.
”ah?!"
Pandangannya tiba-tiba membentur sosok seorang pemuda yang duduk enak-enakan di
atas serumpunan semak belukar. Di atas semak belukar! Gondo kerenyitkan kening.
Mana ada orang bisa duduk di atas semak belukar kalau tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh tinggi luar biasa! Gondo buka matanya lebar-lebar. Seperti
tidak percaya apa yang dilihatnya. . Loh Gatra yang melihat Gondo mendelik
besar tapi tidak ditujukan ke arahnya dan sejak tadi ikut bingung sendiri tidak
tahu apa yang terjadi dengan dua penyerangnya, palingkan kepala ke belakang,
memandang ke arah yang dilihat Gondo.
Seperti
Gondo dia juga terkejut ketika melihat ada pemuda duduk di atas semak belukar
sambil makan buah jamblang. Dan ketika memandang padanya pemuda tak dikenal itu
tertawa lebar, malah lambaikan tangan. Pemuda itu berpakaian serba putih.
Rambut gondrong sebahu. Di tangan kirinya ada setangkai buah jamblang. Mulut
termonyong-monyong asyik menyantap buah jamblang masak manis sampai
mengeluarkan suara menyiplak. Lagaknya seperti tidak melihat Gondo di tempat
itu. Gondo cekal gagang golok besarnya erat-erat. Sekali lompat dia sudah
berada di depan semak belukar.
"Bangsat
tengik! Siapa kau!" hardik Gondo. Orang yang ditanya semburkan biji
jamblang yang ada di dalam mulutnya.
"Plaak!
" Biji jamblang mendarat di kening Gondo. Gondo menjerit kesakitan,
pegangi keningnya yang benjut dan kucurkan darah. Loh Gatra melengak. Kalau
menyembur biasa tidak mungkin kepala orang dibuat cidera begitu rupa. Semburan
buah jamblang itu pasti disertai kandungan tenaga dalam tinggi. Siapa adanya
pemuda gondrong itu. Sekarang Loh Gatra menyadari kalau pemuda itulah yang tadi
telah menyelamatkan dirinya dari dua golok maut dengan cara menghantam mata
kanan Jawul dan Ronggo dengan buah jamblang hingga pecah!
Amarah
Gondo tidak terbendung lagi. Golok di tangan kanannya berkelebat, menyambar ke
pinggang pemuda yang duduk di atas belukar.
"Eit!
Tunggu dulu sobatku!" Pemuda di atas belukar berseru. Kaki kanannya
nyelonong ke depan menekan dada Gondo hingga gerak serangan Gondo tertahan dan
sambaran goloknya tidak mengenai sasaran, lewat setengah jengkal di depan dada
si pemuda. Ketika pemuda itu dorongkan kakinya dengan keras, tak ampun lagi
Gondo terjajar ke belakang, jatuh terjengkang di tanah.
"Luar
biasa … benar-benar luar biasa!" kata Loh Gatra dengan mata mendelik.
"Untuk bisa duduk di atas belukar itu saja bukan sembarang orang bisa melakukan.
Apalagi
melancarkan gerakan serangan berupa tendangan! Hebat! Siapa orang itu? Masih
muda tapi punya ilmu selangit tembus!"
Di atas
semak belukar si gondrong kembali menyiplak makan buah jamblang. Saat itu Gondo
yang tadi jatuh terjengkang, melompat bangun, siap hendak menyerbu dengan golok
di tangan.
"Jahanam!
Kucincang tubuhmu!" teriak Gondo. Si gondrong menyembur. Biji buah
jamblang melesat keluar dari mulutnya.
"Pletaaakkk!"
Gondo terpekik. Bibirnya pecah. Satu gigi depannya patah dihantam biji
jamblang!
"Salah
sendiri! Aku bilang tunggu, masih terus menyerang!" si gondrong di atas
belukar berkata.
"Hai!
Tadi kau tanya aku ini siapa? Biar kujawab dulu! Aku datang dari neraka! Aku
ingin kau melakukan sesuatu! Yaitu bunuh diri!" Gondo melengak dan jadi
beringas. Apa yang diucapkan pemuda gondrong itu adalah sama dengan apa yang
dikatakannya pada Loh Gatra tadi.
”Setan
alas! Makin cepat kau mampus makin baik!" Gondo putar goloknya hingga
keluarkan suara berkesiuran.
"Hebat
juga!" seru pemuda di atas belukar. Kepalanya bergerak kian kemari,
tubuhnya digoyang miring ke kiri kanan mengelakkan sambaran senjata iawan. Lalu
tiba-tiba bukk! Satu jotosan mendarat di dagu Gondo. Bersamaan dengan itu
goloknya direnggut orang. Gondo masih sanggup berdiri. Namun tubuhnya bergoyang
limbung. Hantaman keras pada dagunya bukan saja membuat tulang dagu itu retak
tapi juga menyebabkan kepalanya kini jadi pencong miring! Di atas belukar si
gondrong masih duduk menyantap jamblang sedang golok milik Gondo kini ada di tangan
kanannya. Ketika Gondo melihat pemuda di atas belukar tiba-tiba mengenjot tubuh
melayang turun ke tanah, putuslah nyalinya. Terlebih lagi ketika dia menyadari
bahwa dua kawannya, Jawul dan Ronggo ternyata tidak ada lagi di tempat itu,
sudah kabur sejak tadi-tadi!
"Gila!
Aku tak mau mati berdiri jadi setan penasaran di tempat ini!" rutuk Gondo
dalam hati lalu cepat putar tubuh, siap untuk kabur.
"Mau
buron? Boleh saja! Tapi perlihatkan dulu siapa dirimu sebenarnya" Golok di
tangan si gondrong berkelebat. Gondo menjerit, mengira tubuhnya akan
terkutungkutung dimakan senjatanya sendiri.
"Breettt
… breett… breeett!" Terdengar suara robeknya pakaian berkali-kali. Tubuh
Gondo menggigil, mukanya seputih kain kafan. Loh Gatra melengak ternganga
melihat bagaimana sambaransambaran golok di tangan pemuda gondrong merobek
pakaian Gondo. Kalau dia tidak mengenakan pakaian lain di bawah pakaiannya yang
robek itu, pasti saat itu dia akan telanjang bugil. Dan Loh Gatra terkejut
besar ketika melihat pakaian yang dikenakan Gondo di balik pakaiannya yang
robek ternyata seragam perwira pengawal Kadipaten Salatiga!
"Ha
… ha! Monyet besar ini ternyata terlepas dari Kadipaten Salatiga!" kata si
gondrong pula.
"Siapa
yang memerintah kalian bertiga membunuh pemuda itu?!"
"Tidak
ada, tidak ada yang memerintah…" jawab Gondo.
”Lidahmu
perlu kubuntungi agar tidak bicara ngaco!" Si gondrong membuat gerakan
hendak menyusupkan ujung golok ke mulut Gondo. Perwira Kadipaten Salatiga ini
jadi ketakutan. .
"Ampun,
jangan …. Aku … Kami… kami diperintah oleh Adipati Jatilegowo…" Gondo
akhirnya mengaku.
"Bagus,"
si gondrong manggut-manggut.
"Sekarang
aku mau lihat, kau ini monyet jantan atau betina!" Si gondrong mendekati
Gondo yang kembali jadi ketakutan setengah mati.
"Kau
… kau mau apa? Jangan bunuh! Ampun! Jangan!" Gondo menjerit. Tangan yang
memegang golok bergerak dua kali.
"Brett!
Breett!" Pinggang celana Gondo putus. Celana dibagian bawah perut robek
besar lalu merosot ke bawah menyingkapkan auratnya.
"Ha
… ha! Ternyata kau monyet jantan!" Si gondrong tertawa bergelak "Tapi
aku bisa membuatmu jadi monyet betina!"
”Ampun
jangan!”
"Mau
burungmu aku roba jadi kue apem?!" Si gondrong membentak sambil angkat
golok di tangan kanan. Gondo tahu apa yang hendak dilakukan si gondrong. Kalau
burungnya ditebas putus dan licin. Dia benar-benar bisa berubah jadi monyet
betina!
"Ampun!
Jangan!" teriak Gondo. Dalam takutnya Gondo yang sebenarnya memang perwira
muda Kadipaten Salatiga, anak buah Adipati Jatilegowo ini jatuhkan diri di
tanah, berguling, melompat lalu kabur langkah seribu. Si gondrong tidak
mengejar, hanya berkacak pinggang tertawa-tawa. Loh Gatra yang sadar kalau
dirinya telah diselamatkan orang segera lari ke hadapan pemuda gondrong,
jatuhkan diri berlutut di tanah.
"Raden
… Kakak Raden, aku Loh Gatra mengucapkan terima kasih. Kau telah menolongku.
Kau telah menyelamatkan jiwaku."
"Hus!
Raden, Kakak Raden! Omongan apa itu?!" kata si gondrong lalu campakkan
golok milik Gondo ke tanah.
"Aku
tak tahu harus memanggilmu apa. Tapi aku harus mengucapkan terima kasih. Lalu
kalau boleh aku ingin menjadi muridmu!"
"Menjadi
muridku? Ha … ha … ha!" Si gondrong tertawa dan garuk-garuk kepala.
"Masih muda sudah ngaco! Sahabat, aku ingin tahu mengapa orang-orang
Kadipaten Salatiga yang menyamar itu ingin membunuhmu?"
"lni
ada sangkut paut dengan tugas yang diberikan Nyi Larasati," jawab Loh
Gatra.
"Nyi
Larasati? Siapa dia?"
"Dia
randa mendiang Adipati Temanggung. Dia dan kakekku Ki Sarwo Ladoyo menugaskan
aku mencari Kakek Segala Tahu, lalu mencari seorang pendekar berjuluk Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 …"
"Hemm
… mengapa kau harus mencari dua orang itu?" tanya si gondrong.
"Kadipaten
Temanggung dalam keadaan gawat. Ada ancaman besar dari Jatilegowo Adipati
Salatiga. Gara-gara Nyi Lara menolak pinangannya. Kakak, biar aku ceritakan
semuanya padamu." Lalu Loh Gatrapun bercerita panjang lebar.
"Tugasmu
cukup berat Loh Gatra." kata si gondrong. "Tidak mudah mencari Kakek
Segala Tahu. Kalau dicari sampai sepuluh tahunpun mungkin tidak ketemu. Tapi
kalau tidak dicari dia kadang-kadang muncul sendiri…"
"Bagaimana
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng?” Tanya Loh Gatra.
"Uhh!
Apalagi dia! Namanya saja sableng. Lebih sulit dicarinya dari Kakek Segala
tahu. Sudah, daripada susah-susah tapi tak berhasil lebih baik kau kembali saja
ke Temanggung."
"Kembali
ke Temanggung? Aku lebih baik menemui ajal daripada kembali dengan tangan
hampa!" jawab Loh Gatra. "Kakak, apakah kau mengenal Pendekar 212.
Mungkin bisa bantu mencari dan membawanya ke Temanggung dalam waktu beberapa
hari ini?" Si gondrong tertawa lalu geleng-gelengkan kepala. Dia membalikkan
tubuh membelakangi Loh Gatra. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sesuatu.
Entah apa yang dilakukannya, tidak terlihat oleh Loh Gatra, si gondrong ini
kemudian mengambil sehelai daun lebar. Daun itu dilipatlipatnya, ditusuk dengan
ranting kecil lalu diberikan pada Loh Gatra. Terheran-heran Loh Gatra menerima
daun itu. Belum sempat dia bertanya si gondrong berkata.
"Serahkan
daun itu pada Nyi Larasati. Jangan kau sekali-kali berani membukanya di tengah
jalan. Ingat, yang boleh membuka bungkusan daun hanya Nyi Larasati."
"Kakak,
didalam lipatan daun ini pasti ada benda berharga. Kalau aku boleh bertanya
benda apakah adanya?"
"Sudah,
tak perlu bertanya. Kalau Nyi Lara membukanya kau akan melihat sendiri.
Sekarang jangan membuang waktu. Lekas kembali ke Temanggung."
"Tapi
bagaimana nanti …." Ucapan Loh Gatra terputus. Dia hanya merasakan siuran
angin serta berkelebatnya bayangan putih. Ketika memandang ke depan, astaga!
Pemuda gondrong itu tak ada lagi di hadapannya. Loh Gatra pandangi lipatan daun
yang dipegangnya. Hati kecilnya mendorong-dorong agar dia membuka lipatan daun,
melihat benda yang ada di dalamnya. Namun jiwa besarnya memegang amanat
kepercayaan orang membuat dia tidak mau melakukan hal itu.
"Pemuda
gondrong itu, ilmunya tinggi sekali. Mungkin lebih tinggi dari Pendekar 212
Wiro Sableng. Tololnya aku ini. Mengapa tadi tidak kuminta saja bantuannya,
kuajak ke Temanggung?!" Loh Gatra memukul-mukul keningnya sendiri berulang
kali.
*******************
6
MALAM itu
seorang diri di atas pembaringan Sri Kemuning tak bisa memejamkan mata. Adipati
Jatilegowo belum kembali dari perjalanannya ke Temanggung. Mungkin besok baru
pulang. Kejadian di Kali Tuntang siang tadi tidak mau pupus dari ingatan Sri
Kemuning. Dan wajah pemuda berambut gondrong yang menurut Paman Rejo bernama
Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212 setiap saat terbayang di pelupuk matanya.
Sesekali istri termuda Adipati Salatiga ini mengusap lehernya. Kalau sudah
begitu dia turun dari pembaringan, melangkah dan berdiri di depan kaca besar.
Memandang memperhatikan tanda kemerahan di pangkal leher. Bekas kecupan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sudah berulang kali diusapnya, dibasahi dengan air,
namun tanda kemerahan itu tak mau hilang. Akhirnya Sri Kemuning membiarkan
saja. Ada satu kenangan indah setiap dia meraba lehernya atau melihat tanda
kemerahan itu di kaca. Seumur hidup belum pernah ada lelaki mengecup lehernya
begitu rupa, tidak juga suaminya. Kecupan Pendekar 212 seolah membakar
tubuhnya, membuat darahnya laksana mendidih.
Sri
Kemuning kembali baringkan diri di atas tempat tidur, menggeliat beberapa kali
lalu usap kembali lehernya.
"Pemuda
itu, dia ternyata orang baik. Kalau tidak dia yang menyelamatkan entah sudah
jadi apa aku saat ini. Wiro … apakah aku bisa bertemu lagi denganmu?" Sri
Kemuning berkata-kata sendiri dalam hati. Jari-jarinya yang halus mengusap
tanda kemerahan di pangkal leher. Tangan itu lalu turun ke dada, menyusup ke
balik pakaian tidurnya yang tipis. Matanya terpejam. Dia membayangkan jari-jari
tangan itu bukan jari-jari tangannya, tapi jari-jari tangan Wiro. Dia meremas
dan mendesah sendiri. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh langkah-langkah berat dan
cepat. Lalu pintu kamar terbuka. Sosok tinggi besar Jatilegowo muncul di ambang
pintu. Tidak seperti yang diperkirakan Sri Kemuning, sang Adipati kembali lebih
cepat.
"Kangmas
Jati," sapa Sri Kemuning seraya turun dari pembaringan menyambut suaminya.
"Kangmas
pasti letih. Saya akan meminta pelayan menyiapkan air untuk taersiram. Makanan
dan …"
"Tidak
usah," jawab Jatilegowo. Di wajahnya memang tidak terlihat bayangan
keletihan, melainkan gejolak nafsu. "Saat ini aku ingin kau dan Sumini
melayaniku. Aku sudah memberitahu pelayan, menyuruh dia datang ke kamar
ini." Mendengar ucapan suaminya itu Sri Kemuning hanya bisa tundukkan
kepala. Dulu ketika pertama kali dia dan istri tua sang Adipati diperlakukan
seperti itu, Sri Kemuning menolak karena merasa diperlakukan seperti binatang.
Akibatnya dia ditampar dipukuli. Berkali-kali Sri Kemuning berusaha melarikan
diri, tetapi selalu tertangkap kembali. Kalau sudah begitu gebukan datang
bertubitubi. Akhirnya perempuan yang dikawini Jatilegowo dalam usia delapan
belas tahun itu hanya bisa pasrah. Mula-mula dia masih malu dan menangis setiap
harus melayani nafsu aneh sang Adipati. Tapi lama-lama tak bisa berbuat lain.
Apalagi Sumini, madunya berulang kali memberi nasihat agar mengikuti saja
kemauan suami mereka.
"Dari
pada muka rusak badan remuk, lebih baik menurut saja. Nasib kita punya suami
seorang pejabat tinggi, seorang Adipati. Tapi dia tidak lebih dari seekor
binatang buas. Yang akan menelan kita jika kita menolak apa saja
permintaannya." Begitu kata Sumini ketika satu saat mereka berada
berduaan.
Sementara
menunggu kedatangan istri tuanya yang usianya terpaut empat tahun dengan Sri Kemuning,
sang Adipati tak dapat menahan gejolak nafsunya. Ini memang aneh. Pertemuan
dengan Nyi Larasati yang membuatnya terpaksa menahan marah besar, kini hendak
dilampiaskan terhadap ke dua istrinya. Tanpa belaian kasih sayang sama sekali,
benar-benar seperti binatang Adipati Jatilegowo merangkul tubuh Sri Kemuning
dengan kasar. Sri Kemuning merasa seperti tulang-tulangnya mau hancur. Nafasnya
sesak, tak dapat menyembunyikan wajahnya dari ciuman bertubi-tubi. Tibatiba
seperti disengat kala jengking, Adipati Jatilegowo tersentak. Dipegangnya bahu
istrinya kuat-kuat, matanya membeliak memandang ke pangkal leher Sri Kemuning.
"Ada
tanda merah di lehermu!" kata Jatilegowo. Kecurigaan dan cemburu membuat
matanya yang besar berkilat-kilat laksana dikobari api.
"Waktu
aku pergi tanda itu tidak ada! Tanda apa ini?!" Sri Kemuning terkejut, tak
dapat menyembunyikan perubahan wajahnya. Jatilegowo mengguncang tubuh Sri
Kemuning.
"Jawab!
tanda apa ini? Apa penyebabnya sampai ada tanda ini di lehermu? Jawab!"
"A …
ada serang … serangga menggigit saya Kangmas," jawab Sri Kemuning gagap.
"Hemmmm…
Serangga berambut hitam berkaki dua! Jangan dusta! Kupecahkan kepalamu! Katakan
siapa yang menggigit lehermu!"
"Tidak
ada Kangmas. Tidak ada orang yang menggigit leher saya," jawab Sri
Kemuning. Jawaban ini sebenarnya tidak dusta. Karena Pendekar 212 memang hanya
mengecup leher perempuan itu, tidak menggigit. Tapi karena kecupan itu disertai
sedotan tenaga dalam agar dapat memusnahkan totokan di leher Sri Kemuning,
akibatnya di leher itu muncul tanda kemerah-merahan yang tidak akan hilang
dalam waktu satu dua hari. Tamparan pertama mendarat di pipi Sri Kemuning.
Perempuan itu terlempar ke atas tempat tidur. Menjerit kesakitan. Jatilegowo
menjambak rambutnya. "Kalau kau tidak mau bicara, atau bicara dusta
padaku, akan kusiram mukamu dengan air panas!"
Sri
Kemuning tentu saja ketakutan setengah mati mendengar ancaman itu. Dengan
menangis dia menceritakan apa yang terjadi ketika dia berperahu di Kali
Tuntang.
"Perempuan
liar! Jadi kalau aku tidak ada di Kadipaten kau masih saja suka menyelinap
keluar mencari kesenangan sendiri!" Tamparan kedua melanda muka Sri
Kemuning. Kali ini membuat sudut bibirnya pecah hingga darah mengucur. Tubuhnya
terguling di lantai kamar. Kaki kanan Jatilegowo bergerak hendak menendang
punggung Sri Kemuning. Saat itusah pintu terbuka dan ada suara perempuan
berseru.
"Kangmas,
jangan!" Yang masuk adalah Sumini, istri pertama Adipati Jatilegowo. Perempuan
ini jatuhkan diri di atas tubuh Sri Kemuning, melindungi madunya itu.
"Saya mohon Kangmas, jangan sakiti dia. Kasihani Sri Kemuning. Kasihani
kami berdua. Kami adalah istri-istri Kangmas. Kami ingin berbakti pada Kangmas,
tapi jangan perlakukan kami seperti ini …" Sumini berkata setengah
meratap. Matanya basah oleh air mata, terlebih ketika Sri Kemuning memeluk
merangkulnya. Dua perempuan ini saling bertangisan.
"Perempuan-perempuan
sial! Tidak tahu diuntung!" teriak Jatilegowo marah. Dia melangkah ke
pintu. Pintu itu bukan dibukanya baru keluar dari kamar, tapi ditendangnya
hingga hancur berantakan.Melalui pintu yang hancur jebol dia melangkah keluar.
Mulutnya kembali merutuk.
"Pendekar
212 jahanam! Aku sudah lama mendengar kalau kau pendekar mata keranjang! Tapi
berani menyentuh istriku berarti mampus! Mampus!" Jatilegowo pukulkan
tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Ketika melewati sebuah kursi kayu jati,
kakinya menendang hingga kursi itu mental, hancur berantakan.
**********************
NYI
LARASATI merasa heran ketika melihat Loh Gatra kembali lebih cepat dari yang
diduganya. Dia juga kaget melihat bahu kiri dan dada pakaian si pemuda robek
serta ada noda darah.
"Loh
Gatra, apa yang terjadi. Pakaianmu robek, tubuhmu penuh luka. Kau berhasil
menemui Kakek Segala Tahu, Pendekar 212 Wiro Sableng?"
"Maafkan
saya Nyi Lara. Saya gagal tapi …" Pemuda ini lalu menuturkan peristiwa
yang dialaminya menjelang akan sampai ke bukit kapur. Lama Nyi Lara terdiam
mendengar cerita Loh Gatra. Dari kantong perbekalannya si pemuda mengeluarkan
daun yang diberikan pemuda berambut gondrong yang telah menyelamatkannya. Daun
itu diserahkan pada Nyi Lara seraya berkata.
"lni
daun yang diberikan pemuda itu. Dia minta saya memberikan pada Nyi Lara …"
Nyi Lara
tidak segera menerima bungkusan daun itu. Dia memandangi saja, seperti
bimbang
atau juga kawatir.
"Apa
isinya?" tanya Nyi Lara kemudian.
"Saya
tidak tahu. Pemuda itu melarang saya membuka bungkusan …" jawab Loh Gatra
"Orang-orang
suruhan Adipati Jatilegowo. Menghadang dan hendak membunuhmu. Adipati itu
ternyata memang biadab, jahat sekali …" ujar Nyi Larasati. Lalu menyambung
ucapannya. "Aneh, orang menyelamatkan nyawamu. Tapi kau tidak tahu
namanya. Dan dia menyerahkan bungkusan daun ini tanpa kau tahu apa isinya
…"
"Maafkan
saya Nyi Lara. Saya terpaksa mengikuti apa kemauan pemuda itu. Saya yakin dia
berniat baik. Saya harap Nyi Lara suka menerima bungkusan daun ini. Saya, saya
juga ingin tahu apa isinya …" Nyi Lara akhirnya ulurkan tangan menerima
bungkusan daun. Bungkusan itu diletakkannya di atas pangkuan. Lalu dengan
hati-hati ditariknya ranting kecil yang dipergunakan sebagai buhul penutup
daun. Setelah itu perlahan-lahan dibukanya lipatan daun. Dua pasang mata, mata
Nyi Lara dan mata Loh Gatra sama-sama terbuka lebar. Di dalam bungkusan daun
itu ternyata hanya ada secarik kain putih yang sudah lusuh. Bagian tengah kain
berlubang, membentuk deretan tiga buah angka. Angka 212!
"Dua
satu dua …" ujar Loh Gatra dengan suara agak bergetar.
"Berarti
…." Nyia Lara bangkit dari kursi. "Kita temui Kakekmu." Kedua
orang itu masuk ke dalam kamar dimana Ki Sarwo Ladoyo terbaring sakit.
"Kau
telah kembali, Loh Gatra?" tegur Ki Sarwo.
"Matanya
membesar ketika melihat noda darah dan pakaian cucunya yang penuh robek.
"Saya
tidak apa-apa Kek," kata Loh Gatra yang tahu kekawatiran kakeknya. Nyi
Lara memperlihatkan kain putih yang dipegangnya pada si orang tua, lalu
menyuruh Loh Gatra menceritakan secara singkat apa yang telah dialaminya.
"Tuhan
Maha Kuasa, Maha Besar …." kata Ki Sarwo dan secara aneh dirinya yang
sedang sakit seolah mendapat kekuatan hingga sanggup bangkit dan duduk di
tempat tidur. "Orang … pemuda berambut gondrong yang memberikan kain ini,
dia … dia adalah Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia sengaja melubangi kain ini
dengan jarinya, dengan kekuatan hawa sakti yang ada padanya, mengirimkan kepada
kita, sebagai satu pertanda bahwa dia akan menolong kita. Terima kasih Tuhan.
Terima kasih Gusti Allah!" Ki Sarwo mencium kain itu berulang kali lalu
menyerahkannya pada Nyi Lara. "Simpan baik-baik kain ini Nyi Lara. Simpan
baik-baik …."
*******************
7
DI SATU
tebing batu, di kaki Gunung Lompobatang, sosok kakek berambut biru berminyak
duduk bersila tidak bergerak. Sepasang matanya menatap ke arah matahari
tenggelam namun mata itu dalam keadaan terpejam. Di kening si kakek melilit
seuntai tali aneh berbentuk jalin. Konon tali itu terbuat dari usus anak muda
yang meninggal jejaka.
Di
pangkuan orang tua ini tertelentang seorang pemuda berwajah cakap yang nyaris
hampir tidak berpakaian sama sekali. Seperti si kakek dua mata pemuda ini juga
terpejam, tubuh tak bergerak. Di kiri kanan si kakek, di atas tebing batu
terdapat dua tumpuk batu hampir sebesar-besar kepalan. Sinar sang surya mulai
memudar kuning pertanda siap bergerak memasuki ufuk tenggelamnya. Di langit
sebelah timur serombongan burung besar berjumlah dua puluh empat ekor melayang
terbang. Dalam waktu dekat burung-burung itu akan melintas di atas tebing batu
dimana si kakek yang memangku pemuda berada. Satu seringai menyeruak di mvlut
si kakek berambut biru berminyak. Mulutnya terbuka sedikit. Suaranya mengucap
perlahan.
"Saatnya
memberi makan anak-anak di hutan Bantaeng." Dua tangan orang tua itu
bergerak ke samping, ke arah batu-batu sebesar kepalan. Matanya tetap terpejam.
Pada saat rombongan burung besar lewat tepat di atasnya dua tangan kakek ini
bergerak cepat sekali, silih berganti. Di udara terdengar suara menguik. Dua
puluh empat burung besar yang disambar lemparan baru terjungkal, melayang jatuh
ke kaki Gunung Lompobatang sebelah selatan dimana terbentang rimba belantara
Bantaeng.
Luar
biasa! Selain jarak burung-burung itu jauh di udara, si kakek melempar dengan
mata terpejam. Dan tidak seekor burungpun yang luput! Sesaat kemudian dari arah
rimba belantara itu terdengar suara lolongan-lolongan anch. Antara suara
raungan anjing dan jeritan manusia. Siapa saja yang sempat mendengar pasti akan
mengkirik dingin kuduknya. Tapi si kakek di atas tebing batu malah menyeringai.
Dua tangannya yang tadi melempar digosok-gosokkan satu sama lain. Lalu
perlahan-lahan tangan ini bergerak turun ke atas tubuh pemuda yang ada di
pangkuannya, satu di dada, satu tepat di atas pusar. Begitu dua tangan
menempel, pemuda di atas pangkuan buka sepasang matanya, menatap sesaat pada si
kakek yang juga telah membuka matanya yang sejak tadi dipejamkan. Si kakek
tersenyum. Pernuda itu balas tersenyum. Dua tangan si kakek bergerak perlahan,
mengusap. Yang kiri ke arah atas, yang kanan ke arah bawah. Si pemuda
mengeluarkan desah lirih panjang.
"Kekasihku
Bontolebang, apakah kau merasa bahagia saat ini?" Si kakek bertanya.
"Kakek
Sarontang, saya merasa bahagia, bahagia sekali …"
Si kakek
tersenyum Dua tangannya bergerak lebih cepat. Desah pemuda bernama Bontolebang
semakin keras. Tiba-tiba si kakek hentikan gerakan dua tangannya. Di langit
sebelah timur dia melihat seberkas cahaya. Cepat dia pejamkan mata, merapal
sesuatu. Tubuhnya bergetar, wajahnya keringatan.
"Kek,
Kakek Sarontang, mengapa kau berhenti? Ada apa?" Bontolebang buka dua
matanya. Melihat keadaan si kakek dia tidak berani mengganggu. Sesaat kemudian
Sarontang buka matanya.
"Kekasihku,
ada urusan sangat penting. Aku harus menemui seseorang. Kau tunggu aku di Goa
Nipanipa. Aku akan menemuimu dalam waktu tiga hari." Mendengar ucapan si
kakek, Bontolebang segera turun dari pangkuan orang tua itu. Sebelum pergi
Sarontang memeluk si pemuda erat-erat. Di lain saat dia sudah berkelebat lenyap
dari tebing batu.
MENJELANG
tenggelamnya sang surya Telaga Malakaji diselimuti kesunyian. Udara dingin
karena sejak siang tadi hujan turun berkepanjangan. Kabut menuhi sebagian
permukaan dan pinggiran telaga.
Kakek
berambut biru Sarontang hentikan kudanya di pinggir timur telaga. Dia sudah
acap kali datang ke tempat itu. Namun sekali ini dalam udara buruk begitu rupa
dia tidak mau tersesat. Dia memperhatikan seputar telaga sampai pandangannya
membentur nyala api kecil di kejauhan.
"Pasti
itu nyala api pembakaran besi di pondok saudaraku." Sarontang menarik tali
kekang kudanya. Telaga Malakaji tidak seberapa besar tapi jalan liar sepanjang
tepian dihalang oleh semak belukar dan batu-batu besar hingga cukup lama baru
Sarontang sampai ke pondok tujuannya. Lewat pintu pondok yang terbuka Sarontang
melihat saudaranya tengah khusuk melakukan sholat Magrib. Sementara menunggu
orang selesai sembahyang Sarontang melihat-lihat ke tempat pengecoran besi
dimana saudaranya menghabiskan sebagian dari umurnya bekerja di tempat itu
membuat segala macam senjata bertuah.
Di atas
sebuah lempengan besi tebal, dekat api pengecor Sarontang melihat bilahan besi
hitam kebiru-birugn. "Saudaraku Daeng Wattansoppeng sudah mulai malas
rupanya. Dua bulan silam ketika aku datang ke sini, bentuk besi biru itu tidak
banyak berbeda dengan yang kulihat sekarang …"
Kakek
dari Gunung Lompobatang ini membungkuk hendak mengambil bilahan besi biru itu.
Mendadak di belakangnya terdengar suara orang mendehem disusul ucapan memberi
salam.
"Assalammu’alaikum."
Sarontang tarik tangannya lalu berbalik sambil membalas salam. Di hadapannya
berdiri seorang tua berwajah jernih, berjubah merah, memiliki rambut, kumis
dan.janggut putih menjela dada.
"Saudaraku
Sarontang, kau datang tidak sesuai dengan janji," orang tua berjubah merah
menegur tapi sambil melontar senyum.
“Aku tahu
Daeng," jawab Sarontang. "Apakah aku tidak boleh mengunjungi saudara
sendiri? Lagipula ada sesuatu yang membuat aku cepat-cepat datang ke
sini."Daeng Wattansopeng, si kakek berjubah merah dengan masih tersenyum
berkata.
"Saudaraku
Sarontang, sebaiknya sebelum kita meneruskan percakapan, pergilah sholat
dulu."
"Ah,
pakaianku tidak bersih …" jawab Sarontang. Kakek bernama Daeng
Wattansoppeng tahu kalau Sarontang hanya mencari-cari alasan. Maka diapun
berkata. "Kau tahu Sarontang. Sembahyang itu bukan cuma merupakan tiang
agama. Tapi juga mencegah seseorang dari berbuat yang tidak baik, menjauhkan
diri dari perbuatan maksiat. Aku kawatir jangan-jangan kau masih saja menjalani
hidup keliru itu. Benar?"
"Manusia
dilahirkan sama. Tapi alam menjadikan aku seperti ini. Apa mau dikata,"
jawab. Sarontang lalu menghela nafas panjang.
"Sarontang,
kau yang membuat ulah. Jangan salahkan alam. Kau tahu alam ini diselimuti
kemurnian dan serba suci. Manusia menjadikannya busuk dengan berbagai macam
maksiat. Aku masih terus berharap dan selalu berdoa agar kau meninggalkan hidup
sesat itu. Umur kita tinggal berapa lagi kita tidak tahu. mengapa tidak
lekaslekas bertobat?" Wajah Sarontang kelihatan menjadi marah.
"Daeng
Wattansoppeng, aku berharap kita tidak membicarakan perihal diriku. Apapun yang
aku lakukan menjadi tanggung jawabku. Segala dosa ada dipundakku…"
"Aku
selalu berharap dan berdoa agar kau bisa berubah, saudaraku." Sambil
berkata Daeng Wattansopeng memasukkan batu-batu hitam ke dalam perapian.
Batubatu ini menyerupai batu bara. Memiliki daya panas sepuluh kali dari kayu
biasa.
"Aku
berterima kasih untuk doamu itu. Daeng, aku sengaja datang kesini menyalahi
perjanjian karena aku melihat pertanda yang aku hubungkan dengan mimpi. Orang
yang kita tunggu agaknya akan muncul lebih cepat. Minggu ini akan ada kapal
merapat di Teluk Bantaeng. Mungkin ada kabar …"
"Lalu
apa yang bisa aku lakukan untukmu Sarontang?" tanya Daeng Wattansoppeng.
"Bisakah
kau menyelesaikan badik itu lebih cepat?"
"Satu
bulan? Satu minggu … ?"
"Satu
hari kalau kau memang sanggup!" jawab Sarontang. Kakek berjubah merah
tertawa. "Sarontang saudaraku, menolong saudara sendiri besar pahalanya.
Aku akan lakukan apa yang bisa kulakukan untukmu. Tapi apakah kau mau menerima
segala perjanjian yang pernah kita bicarakan dulu?"
"Jangan
kawatir. Aku akan menghormati perjanjian itu. Namun tanpa melibatkan si calon
penerima, rasanya perjanjian itu akan kurang sempurna." Jawab Sarontang.
"Betul,
tapi satu ha1 perlu aku ingatkan kembali. Perjanjian yang aku maksudkan itu
bukan cuma sekedar perjanjian. Lebih tepat kalau dikatakan sumpah darah."
"Sumpah
darah! Aku tahu betul hal itu Daeng," kata Sarontang sambil anggukkan
kepala. Daeng Wattansoppeng mengambil bilahan besi biru dari atas lempengan
besi tebal dengan tangan kirinya. Sambil membungkuk dan tersenyum pada
saudaranya kakek ini mengucapkan Basmalah lalu seperti acuh tak acuh dia
ulurkan tangan kanan, susupkan jari-jarinya ke dalam tumpukan batu yang
menyala. Sarontang kerenyitkan kening. Ketika Daeng Wattansoppeng menarik
tangan kanannya, tangan itu sampai sebatas ujung telapak telah berubah menjadi
bara menyala!
"Luar
biasa …. Benar-benar luar biasa!" kata Sarontang dalam hati. Sambil duduk
di atas tikar pandan dengan tangan kanan yang membara panas Daeng Wattansoppeng
mulai membentuk bilahan besi hitam kebiruan yang dipegang di tangan kiri. Besi
itu mengepulkan asap panas. Sedikit demi sedikit bilahan besi biru berubah menjadi
bentuk kasar sebilah badik tak bertangkai.
"Sarontang,
untuk saat ini hanya sampai disini aku bisa berbuat. Masih butuh waktu untuk
memperhalus badik ini. Lalu perlu waktu lagi untuk mengisinya. Dan tambahan
waktu lagi untuk memendamkan tuba ke dalamnya. Lalu membuat gagangnya …."
"Soal
gagang kau tak usah kawatir. Aku sudah menyiapkan gagangnya. Dari gading asli
…" Dari balik pakaiannya Sarontang mengeluarkan sebuah benda berupa gagang
senjata terbuat dari gading asli. Daeng Wattansoppeng tersenyum. "Rupanya
kau membantu tidak kepalang tanggung. Apakah kau bisa datang lagi tiga minggu
dari sekarang?"
"Terima
kasih Daeng, aku akan datang tepat pada waktu yang kau katakan …" Daeng
Wattansoppeng angkat tangan kanannya yang masih merah menyala. Dia membaca
sesuatu dalam hati lalu meniup. Tangan yang merah menyala itu berubah, kembali
ke bentuk semula. Sarontang geleng-gelengkan kepala. "Terkadang aku
bersombong diri. Seolah didunia ini cuma aku yang memiliki ilmu silat dan
kesaktian tinggi. Tapi melihat apa yang baru kau lakukan, aku merasa kecil di
hadapanmu. Benar ujar-ujar yang diucapkan orang di tanah Jawa. Di atas langit
masih ada langit lain." Daeng Wattansoppeng tersenyum. "Kita manusia
ini bisanya apa? Dibanding dengan kuasa dan kemampuan Tuhan kita bukan apa-apa.
Kalau Tuhan memberikan sedikit kepandaian pada kita, kita wajib bersyukur kepadaNya
dan mempergunakan kepandaian itu untuk kebaikan, terutama menolong
sesama."
*******************
8
RENCANA
Ki Sarwo adoyo untuk mengungsikan Nyi Larasati keluar dari Temanggung terpaksa
dibatalkan seorang mata-mata memberitahu bahwa delapan penjuru Kadipaten
Temanggung telah dikurung oleh ratusan perajurit Kadipaten Salatiga. Rupanya
Adipati Jatilegowo dengan cerdik telah sengaja mengirimkan sejumlah besar
pasukan untuk mengurung Temanggung, lima hari sebelum dia sendiri datang
memunculkan diri. Pasukan ini hanya tinggal menanti kedatangan sang Adipati dan
siap menunggu perintah penyerbuan.
Siang itu
suasana di gedung Kadipaten Temanggung sangat mencekam. Itulah hari Adipati
Jatilegowo akan muncul. Di dalam kamar Ki Sarwo Ladoyo yang belum sembuh benar
dari luka dalamnya, duduk di tepi tempat tidur. Di depannya berdiri Loh Gatra.
Dari bawah bantal orang tua itu keluarkan sebilah keris bersarung perak.
Gagangnya yang juga terbuat dari perak berbentuk ukiran kepala ayam aneh. Keris
ini memancarkan cahaya redup pertanda merupakan satu senjata sakti mandraguna.
"Cucuku
Loh Gatra, ini senjata yang pernah kusebutkan padamu. Ini Keris Ki Tumbal
Bekisar. Berasal dari Kerajaan Blambangan, diwariskan padaku melalui dua Raja
terakhir. Dengan senjata ini kau bisa menghadapi Adipati Jatilegowo. Kau pasti
berhasil mengalahkannya. Karenanya jangan tunggu sampai dia memberi aba-aba
pada pasukannya untuk menyerbu. Tantang dia bertempur satu lawan satu. Jika dia
berhasil dibunuh, para pengikutnya pasti tidak berani meneruskan rencana jahat
mereka menghancurkan Kadipaten Temanggung." Ki Sarwo berikan keris itu
pada cucunya, yang diterima Loh Gatra dengan tangan bergetar.
"Sisipkan
di pinggangmu, sebelah belakang. Lindungi dengan pakaian agar tidak terlihat
orang." Selesai Loh Gatra menyisipkan Keris Ki Tumbal Bekisar di
pinggangnya sebelah belakang, sang kakek minta dipapah menuju serambi depan
gedung Kadipaten di mana sesuai permintaannya sebuah kursi telah disediakan
untuknya, diletakkan menghadap ke tangga gedung. Di halaman puluhan perajurit
pengawal melakukan penjagaan. Di luar tembok halaman sekitar dua ratus
perajurit bersiap siaga. Berdasarkan penyelidikan beberapa mata-mata Kadipaten
Temanggung yang disebar sampai ke pelosok, didapat petunjuk bahwa paling lambat
siang itu Adipati Salatiga dan orang-orangnya akan memasuki Temanggung, pasti
langsung menuju gedung Kadipaten.
Saat demi
saat berlalu dengan tegang. Walau di dalam dan diluar tembok Kadipaten terdapat
banyak perajurit namun suasana terasa sunyi. Tak selang berapa lama kesunyian
itu dipecahkan oleh suara genderang di kejauhan. Loh Gatra mendekati Ki Sarwo
Ladoyo. "Mereka datang Kek." Ki Sarwo mengangguk. Tak lama kemudian
Nyi Larasati, diapit oleh Domas Tunggul dan Akik Pranata, dua orang perwira
Kadipaten keluar menuju serambi gedung. Ki Sarwo Ladoyo segera berdiri seraya
berkata.
"Nyi
Lara, lebih baik Nyi Lara tetap berada di dalam gedung. Jika pertempuran tidak
terhindarkan, Nyi Lara bisa. .."
"Ki
Sarwo, saya sengaja ingin berada di tempat ini. Untuk menyaksikan bagaimana
kita memberi pelajaran pada Adipati tidak tahu diri itu." Menjawab Nyi
Larasati lalu melirik pada Loh Gatra. Pemuda ini bungkukkan badan dan berkata.
"Nyi
Lara, saya siap mengorbankan raga dan nyawa demi keselamatan Nyi Lara …"
"Terima
kasih Loh Gatra. Jasa pengabdianmu tidak akan aku lupakan …." kata Nyi
Lara, menimbulkan semangat besar di dada si pemuda. Di kejauhan suara genderang
semakin keras. terdengar. Saat itulah tiba-tiba di pintu gerbang gedung
Kadipaten muncul seorang pemuda bertubuh gemuk luar biasa, mata besar belok,
muka lucu segar kemerahan dan tu h keringatan. Di atas kepalanya bertengger
sebuah peci kupluk. Si gemuk ini mengenakan baju terbalik. Yaitu bagian
depannya yang berkancing justru ada di sebelah punggung. Sehelai kain sarung tersandang
di bahu, melintang di depan dada. Di tangan kirinya orang ini memegang sebuah
kipas kertas. Sambil menyengir ha-ha he-he dia berjalan dan kipas-kipas
wajahnya yang keringatan.
Di luar
sana puluhan, bahkan ratusan prajurit Kadipaten melakukan pengawalan ketat,
bagaimana manusia sebesar itu bisa lolos? Para perajurit yang berada di halaman
dalam gedung Kadipaten segera berlari menghadang tapi seperti dilabrak topan,
setiap mendekat mereka terhuyung-huyung ke belakang. Yang berani memaksa
terpental jatuh duduk. Nyi Gatra ternganga, Ki Sarwo kerenyitkan kening. Dua
perwira Kadipaten bersiap waspada.
"Pendekar
212 Wiro Sableng …" ujar Nyi Larasati.
"Bukan,
orang itu bukan Pendekar 212 Wiro Sableng," kata Loh Gatra cepat.
"Pendekar
212 yang saya temui tidak gemuk begitu. Rambutnya gondrong
sebahu.
Tidak pakai peci hitam. Tidak punya kipas kertas …."
"Lalu
siapa dia?" tanya Nyi Larasati terheran-heran. Ki Sarwo tak bisa menjawab.
Loh Gatra apa lagi. Dua perwira di kiri kanan Nyi Lara bungkam tapi terus mengawasi
si gemuk dengan pandangan tak berkedip.
"Dukk
… dukk … dukk … dukkkk!" Setiap langkah yang dibuat si gemuk mengeluarkan
suara, menggetarkan tanah halaman. Enak saja orang ini melangkah ke satu pohon
besar di sisi kiri serambi gedung, lalu duduk menjelepok di tanah, bersandar ke
batang pohon sambil berkipaskipas. Selusin perajurit mengelilinginya. Tapi tak
ada yang berani berbuat sesuatu.
"Panasnya
hari ini! Aku haus, aku lapar …." Si gemuk buka peci kupluknya. Tangan
kiri menggaruk rambut, tangan kanan memegang peci sambil ditengadahkan,
memandang ke arah orang-orang yang ada di serambi.
"Dalam
gedung besar dan mewah ini, pasti ada air sejuk dan makanan lezat. Apakah aku
bisa menikmati?Aduh panasnya hari. Aku haus. .. aku lapar." Si gemuk
ulurkan kopiah hitamnya.
"Pengemis
sinting," kata perwira Kadipaten bernama Domas Tunggul. "Akik, kau
urus orang gila itu. Usir dia keluar tembok gedung Kadipaten. Kalau tak mau
pergi, perintahkan para perajurit menggotong, lemparkan ke luar halaman!"
Ki Sarwo
Ledoyo hendak melarang tapi Akik Pranata, perwira kadipaten itu telah melesat
ke halaman. Para perajurit yang mengurung si gendut di bawah pohon segera
memberi jalan.
"Pemuda
sinting!" Aki Pranata membentak.
"Kadipaten
sedang menghadapi urusan besar! Jangan kau berani menambah perkara!"
"Perwira,
aku … aku Kakekmu ini tida berniat mengganggu, apa lagi mencari perkara! ku
hanya haus dan lapar. Jika kau sudi memeri sekendi air putih dan sepiring nasi,
Kakekmu ini akan sangat berterima kasih …." Si gendut lalu ulurkan kopiah
kupluknya. Sepasang mata Akik Pranata mendelik besar. Jelas-jelas si gendut itu
seorang pemuda berusia sekitar dua puluhan. Mengapa dia memperbasakan dirinya
sebagai seorang kakek? Dan sejak kapan dia punya kakek seperti ini?!
"Dasar
sinting!" hardik Akik Pranata. "Pergi mengemis di tempat lain! Angkat
kaki dari sini! Atau aku suruh pasukan melemparkanmu ke luar tembok Kadipaten.
Biar dicincang orang-orang Salatigo!"
"Kualat
… kualat!" kata si gendut sambil usap mukanya yang keringatan dan tenggerkan
kembali kopiah bututnya di atas kepala. "Kualat kau menyebut kakekmu ini
sinting. Apa lagi sampai melemparkan aku keluar sana …" Si gendut julurkan
dua kakinya, sandarkan punggung ke batang pohon. "Sudahlah, kalau kau
tidak mau memberi air dan makanan, biar aku berteduh di bawah pohon ini,
melepaskan lelah. Mohon jangan diganggu.
"Lalu
si gendut pejamkan mata sambil tangan kirinya menggoyang-goyang kipas kertas.
"Pasukan!"
teriak Akik Pranata. "Gotong dan lemparkan orang gila ini keluar halaman
Kadipaten!" Enam orang perajurit segera bergerak cepat hendak menggotong
si gendut. Tapi baru saja mendekat ke enamnya terhuyung-huyung lalu jatuh duduk
di tanah. Si gemuk acuh saja, seperti tidak ada kejadian apa-apa terus saja
pejamkan mata berkipas-kipas.
Di
serambi gedung Kadipaten Ki Sarwo gelenggeleng kepala. Nyi Lara semakin
tercengang. Loh Gatra tercekat ada, merasa lucu juga ada sedang Domas Tunggul
kepalkan tinju tanda jengkel. Akik Pranata jadi marah. Dia ambil golok yang
tersisip di pinggang salah seorang perajurit. Maksudnya hendak menggetok kepala
si gendut dengan gagang golok. Kalau dibikin pingsan lebih dulu nanti akan
mudah menggotong dan melemparkannya ke luar halaman. Namun sebelum maksudnya
itu dilakukan suara genderang menggema keras di pintu gerbang Kadipaten.
Perhatian jadi terpecah. Puluhan perajurit Kadipaten berjubalan di pintu
gerbang namun tidak berbuat sesuatu sebelum mendapat perintah. Di ambang pintu
gerbang, lima orang penabuh genderang berdiri di depan kuda besar tunggangan
Adipati Salatiga Jatilegowo. Kuda ini diberi hiasan-hiasan kebesaran.
Jatilegowo sendiri mengenakan pakaian kebesaran Adipati, lengkap dengan topi
tinggi berwarna hitam dengan umbai-umbai kuning keemasan. Di kiri kanan
mengapit dua orang perwira, lalu disebelah belakang ada seorang tua berpakaian
dan memakai sorban putih. Disamping orang tua ini kelihatan seorang perwira
yang dari pakaiannya kentara kalau dia adalah perwira dari Kotaraja.
Begitu
suara genderang menggema keras, si gemuk di bawah pohon serta merta buka
sepasang matanya yang sejak tadi terpejam. Sekilas dia memandang ke arah pintu
gerbang, lalu settt! Hampir tak dapat dipercaya. orang luar biasa gemuk itu
melayang enteng ke depan pintu gerbang, lalu menari-nari, berjoget ria
lnengikuti suara gebrakan lima genderang. Dadanya yang gembrot dan perutnya
yang buncit bergoyang-goyang. Pantatnya diogel-ogel. Sesekali kopiah hitam
butut di kepala dilemparkan ke atas, ditangkap. Dilemparkan lagi. Kalau saja
saat itu bukan dalam suasana tegang mencekam karena orang tahu sewaktu-waktu
bisa terjadi pertempuran di tempat itu, melihat tingkah si gendut itu, sulit
orang menawan tawa.
Di atas
punggung kuda Adipati Jatilegowo membelak besar. Rahangnya menggembung dan
mukanya kelam memerah. Dia mengira si gendut sinting itu sengaja dipergunakan
untuk menyambut sekaligus menghinanya.
"Jahanam
kurang ajar! Orang-orang Temanggung berani menghinaku! Menyambut kedatanganku
dengan orang gila seperti ini!" Geraham sang Adipati bergemelatakan. Dia
mengangkat tangan. Suara tambur serta merta berhenti.
"Hai!
Kenapa berhenti?!" Si gendut berseru, memandang ke arah lima pemain
tambur. Sementara pantatnya masih menyonggeng. "Terus! Terus! Ayo
terus!" Adipati Jatilegowo tak dapat lagi menahan marahnya. Dia sentakkan
tali kekang kuda. Begitu kuda maju, kaki kanannya menendang ke arah batok
kepala si gendut. Si gendut seperti tak acuh kenakin topi kupluknya kembali.
Bersamaan dengan gerakannya itu, satu gelombang angin bersiur deras. Kaki kanan
Adipati Jatilegowo seperti dipagut tangan yang tak kelihatan. Hawa dingin aneh
mendadak menjalar dari kaki sampai ke ubun-ubun, membuat tubuhnya yang tinggi
besar itu menggigil, geraham bergemeletakan.
Jatilegowo
cepat kerahkan tenaga dalam, tapi sial, tubuhnya malah semakin keras terbetot
ke bawah dan tak ampun lagi jatuh dari kuda. Masih untung dia bisa membuat
gerakan berjumpalitan hingga tidak jatuh bergedebukan di tanah. Ketika dia
memandang ke depan dengan marah beringas, si gemuk dilihatnya tak ada lagi di
hadapannya. Pemuda itu sudah duduk kembali di bawah pohon besar sambil
berkipaskipas!.
*******************
9
KINI
semua orang tahu, pemuda gendut itu bukan orang sinting biasa tapi seorang
berkepandaian tinggi yang punya sifat konyol atau mungkin juga sengaja menutupi
ketinggian ilmunya dengan berpura-pura bersikap seperti orang kurang waras.
Orang-orang Kadipaten Temanggung walau tidak ada yang dicederai tetap saja
merasa kawatir. Lain halnya dengan Adipati Jatilegowo yang merasa sangat dihina
dan marah besar karena dirinya dipermainkan oleh pemuda gendut berpeci kupluk
itu.
"Adipati,"
salah seorang dari dua perwira pengiring berkata. "Serahkan si gendut gila
itu pada kami. Sementara kami mengawasi harap Adipati segera menemui tuan rumah
sesuai rencana." Mendengar ucapan pembantunya itu Adipati Jatilegowo jadi
agak mengendur amarahnya. Dia memberi isyarat pada orang tua berpakaian dan
bersorban putih serta lelaki berdandanan perwira dari Kotaraja. Kepada seorang
perajurit kepala dia berkata. "Jangan bergerak sebelum aku beri tanda."
Adipati Salatiga itu diringi perwira Kotaraja dan orang tua bersorban putih
kemudian melangkah menuju gedung Kadipaten, berhenti di depan anak tangga
pertama. Ki Sarwo segera mengenali, orang berpakaian perwira Kotaraja itu
adalah Ki Ageng Suranyala. Sikap Jatilegowo seperti dulu, tidak memandang
sebelah mata pada Ki Sarwo Ladoyo, menganggap seolah orang tua itu tidak ada di
depannya. Dia menatap Nyi Larasati sebentar, tersenyum sedikit lalu berkata.
"Nyi
Lara, aku datang memenuhi janji."
"Maaf
Adipati, saya merasa tidak ada janji apa-apa diantara kita," menyahuti Nyi
Lara. Adipati Jatilegowo tertawa lebar. "Aku tidak akan berdebat denganmu
Nyi Lara. Aku juga bersedia melupakan penyambutan yang sangat menghina yang
baru kau suguhkan…"
"Mengenai
si gendut sinting itu," menengahi Ki Sarwo Ladoyo. "Kamipun tidak
kenal padanya."
"Ki
Sarwo," lelaki berpakaian perwira dari Kotaraja bernama Ki Ageng Suranyala
bersuara untuk pertama kalinya. "Aku tahu kau orang jujur. Tapi mengapa
kali ini bicara dusta! Orang sinting itu berada di dalam halaman gedung
Kadipaten. Sudah ada di sini sebelum kami datang! Aneh kalau kau berkata tidak
kenal padanya!"
"Ki
Ageng,tidak usah perdulikan orang gila itu," kata Adipati Jatilegowo. Lalu
dia kembali memandang pada Nyi Lara dan berkata.
"Empat
puluh hari telah lewat. Suka atau tidak suka, hari ini adalah hari kenyataan,
hari perjanjian. Aku datang untuk meminangmu, bersamaku saat ini, aku membawa
serta Ki Tumapel BabadSara, kadi dari Wonosegoro yang bertindak selaku penghulu
dan akan menikahkan kita." Semua orang yang ada di serambi gedung
Kadipaten tentu saja terkejut mendengar ucapan Jatilegowo itu. Sang Adipati
tidak main-main. Dia datang membawa serta penghulu untuk menikahkannya dengan
Nyi Larasati. Ki Sarwo mendehem beberapa kali lalu berkata.
"Adipati
Jatilegowo, pinanganmu tidak pernah diterima dan disetujui oleh Nyi Lara,
bagaimana mungkin melakukan pernikahan?"
”Orang
tua!" kata Jatilegowo dengan mata besar mencorong. "Aku tidak ada
urusan denganmu! Kau seharusnya bersyukur tidak kubunuh habis dalam bentrokan
tempo hari!" Jatilegowo palingkan muka ke arah Nyi Lara kembali.
"Nyi
Lara, kurasa kau tidak akan berlaku bodoh menolak pernikahan kita hari ini.
Tetapi jika kau keras kepala, saat ini aku membawa tiga ratus perajurit. Gedung
Kadipaten ini sudah terkurung. Para pengawal dan perajurit Kadipaten tidak akan
sanggup membendung kami. Puluhan bahkan ratusan korban akan jatuh. Aku tidak
akan ragu-ragu meratakan Kadipaten Temanggung sama rata dengan tanah. Namun
sebelum itu terpaksa aku lakukan, ada baiknya kalian mendengar Ki Ageng
Suranyala membacakan surat perintah dari Patih Kerajaan." Adipati
Jatilegowo anggukkan kepala, memberi isyarat pada lelaki berpakaian perwira
Kerajaan di samping kanannya.
Orang
ini, Ki Ageng Suranyala membuka satu gulungan kertas yang sejak tadi
dipegangnya. Dari bentuk dan warna kertas Ki Sarwo Ladoyo tahu kalau kertas ilu
adalah kertas yang biasa dipakai untuk surat-surat Kerajaan. Dengan lantang Ki
Ageng Suranyala membacakan isi surat.
"Surat
Perintah. Patih Kerajaan Pertama, atas nama Kerajaan dengan ini memerintahkan.
Perintah
Pertama. Memerintahkan penangkapan atas diri Ki Sarwo Ladoyo dan segera dibawa
ke Kotaraja. Yang bersangkutan dicurigai sebagai pelaku, sekurang-kurangnya
terlibat atas kematian dua orang pemuda yaitu Raden Tambak Suryo dan Raden
Prameswara.
Perintah
Kedua. Ditujukan pada Nyi Larasati, janda almarhum Adipati Temanggung
Jalapergola. Dengan meninggalnya Adipati tersebuf maka Nyi Larasati tidak
berhak lagi menempati atau tinggal di gedung Kadipaten Temanggung. Untuk itu,
kepadanya diberikan waktu selama tujuh hari dari saat pembacaan Surat Perintah
ini, agar segera meninggalkan gedung Kadipaten dan tidak diperkenankan membawa
barang-barang yang bukan miliknya pribadi, Atas nama Kerajaan.
Patih
Kerajaan.
Tertanda:
Selo Kaliangan."
Selesai
Ageng Suranyala membacakan surat, suasana di tempat itu diselimuti kesunyian.
Sesaat kemudian kesunyian baru meledak oleh teriakan Loh Gatra.
"Fitnah!
Fitnah busuk! Kakekku tidak berbuat jahat. Beliau tidak membunuh Raden
Prameswara dan Raden Tambak Suryo!" Ageng Suranyala memperhatikan Loh
Gatra lalu bertanya pada Adipati Jatilegowo. Siapa pemuda itu?"
"Namanya
Loh Gatra. Dia cucu Ki Sarwo …"
"Pemuda
yang mungkin menjadi sainganmu dalam mendapatkan Nyi Lara?" ujar Ageng
Suranyala sambil tersenyum.
"Jangan
bicara yang membuatku tidak senang. Tugasmu sudah selesai membacakan Surat
Perintah. Mundur ke belakangku!" Ageng Suranyala tersenyum tapi dia memang
jerih terhadap Adipati Salatiga ini, maka tanpa banyak bicara dia ikuti
perintah, mundur dua langkah.
"Nyi
Lara," tiba-tiba Jatilegowo keluarkan ucapan.
"Seperti
aku katakan dulu, aku punya banyak teman di Kotaraja. Jika kau menerima
pernikahan kita hari ini maka aku bisa membuat Surat Perintah itu untuk tidak
diberlakukan …." Di atas kursi, Ki Sarwo Ladoyo angkat tangan kirinya.
"Ki Ageng Suranyala," kata Ki Sarwo.
"Setahuku
Patih Kerajaan Selo Kaliangan dalam keadaan sakit. Bagaimana dia mungkin
membuat dan menandatangi Surat Perintah itu? Ki Ageng, apa aku boleh melihat
surat itu?" (Mengenai riwayat sakitnya Patih Selo Kaliangan, harap baca
serial Wiro Sableng berjudul "Kembali ke Tanah Jawa" terdiri dari 6
Episode)
"Ki
Sarwo, sebagai orang terhukum kau tidak punya hak dan tidak layak bicara!"
membentak Adipati Jatilegowo.
"Justru
seorang tertuduh dan terhukum punya hak untuk bicara dan membela diri! Kerajaan
adalah tempat mencari keadilan hukum! Bukan untuk mencelakakan warga! Apa yang
dituduhkan dalam Surat Perintah itu masih harus dibuktikan!" Loh Gatra
berkata setengah berteriak.
"Pemuda
bau kencur! Jangan banyak bicara! Kalau perlu kaupun akan
kupenjarakan
dengan tuduhan membantu kakekmu membunuh dua pemuda itu!" "Semua ini
akal licikmu karena Nyi Lara menolak pinanganmu!" teriak Loh Gatra.
"Ha … ha! Cucu Ki Sarwo sudah pandai bicara besar seperti kakeknya.
Pengawal!
Tangkap
pemuda itu!" perintah Jatilegowo.
Seorang
perwira dan lima orang perajurit segera bergerak. Dari pihak Kadipaten
Temanggung,
perwira Domas Tunggul dan dua belas perajurit segera pula bergerak
menghalangi
orang-orang Jatilegowo.
“Tunggu!”
tiba-tiba ada orang berseru dari bawah pohon besar. Itu bukan bentakan biasa
karena membuat tanah dan pohon besar bergetar, telinga mengiang dan dada
berdenyut. Ternyata yang berseru adalah si gendut sinting. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri, sisipkan kipas di ketiak kiri lalu sett! Sekali berkelebat
sosoknya yang besar gembrot itu melayang ke udara, melewati perajurit-perajurit
Salatiga yang mengurungnya. Sesaat kemudian dia sudah berada di pertengahan
tangga gedung Kadipaten. Selagi semua orang melongo melihat kejadian itu si
gendut membuka peci hitam kupluknya, membungkuk sambil mengayunkan peci dari
kiri ke kanan, memberi hormat ke arah Nyi Lara, Ki Sarwo dan Loh Gatra.
"Nyi
Lara," ucap si gendut dengan suara dibikin-bikin semerdu mungkin dan mulut
dikecil-kecilkan.
"Jika
Nyi Lara, memang tak sudi mengambil si kumis melintang muka sangar itu menjadi
suami Nyi Lara, apakah Nyi Lara sudi mengambil patik yang hina buruk dan
sebatang kara ini sebagai pengganti suami yang hilang? Hik … hik, apa iyya Nyi
Lara sudi? Hik … hik!" Habis berkata begitu si gendut ini lalu petatang
peteteng memperagakan diri, kepala dimiringkan, pantat diogel-ogel,dada
dibusungkan .. lalu perut yang buncit dikedut-kedut. Tak lupa mata
dikedip-kedipkan.
"Suit
… suittt!" Entah dari mana datangnya begitu sigendut tadi selesai berucap
terdengar dua kali suara suitan. Sepasang mata si gedut berputar-putar.
Beberapa orang berusaha mencari sumber suitan tapi tak berhasil. Suara suitan
itu seolah datang dari berbagai jurusan. Walau saat itu keadaan tegang
mencekam, tapi banyak orang tak dapat lagi menahan diri mendengar ucapan dan
melihat lagak si gendut. Ledakan tertawa terdengar dimana-mana, terutama dari
orang-orang Kadipaten Temanggung.
”Bedebah
kurang ajar!” Jatilegowo tak dapat menahan diri. "Makan tendanganku!"
Lalu dia melompat ke tangga gedung. Kaki kanan menderu ke punggung si gendut
yang niasih petatang-peteteng jual lagak. Kalau tendangan itu mengenai
sasarannya, punggung si gendut bukan saja akan remuk, tubuhnya akan mencelat
mental. Tapi hebatnya tanpa berpaling ke belakang si gendut gerakkan tangan
kirinya. Tahu-tahu tangan itu berhasil mecangkap pegelangan kaki Adipati
Jatilegowo lalu diangkat tinggi-tinggi sehingga sang Adipati terpaksa
mengimbangi diri agar tidak jatuh. Dalam marah dan malu amat sangat, Adipati
Jatilegowo gerakkan tangan kiri dan kanan, siap melepas pukulan Dua Gunung
Merobah Langit. Ini adalah pukulan sakti yang jarang musuh sanggup menghadapi.
Salah satu contohnya adalah Ki Sarwo Ladoyo. Sampai saat itu si orang tua masih
menderita luka dalam yang parah. Tapi Adipati Jatilegowo menjadi heran ketika
dia dapatkan tak bisa inenggerakkan dua tangan. Malah dari kakinya yang
dipegang si gendut terasa ada hawa dnigin mengalir. Saat itu juga sekujur
tubuhnya seolah berubah menjadi es. kaku dingin luar biasa!
"Nyi
Lara, patik menunggu jawaban. Percayalah, sekalipun Nyi Lara menolak. patik
tidak akan meratakan Kadipaten Temanggung sama rata dengan tanah seperti
ancaman si kumis melintang muka biyawak ini!"
"Bangsat
jahanam! Kau minta mati! Lepaskan kakiku!" teriak Adipati Jatilegowo.
"Huss
diam!" kata si gendut sambil melintangkan jari tangan di depan mulut.
"Aku tidak bicara denganmu, binyawak hutan!" Ki Sarwo Ladoyo
geleng-geleng kepala. Loh Gatra tercekam heran. Semua orang ikut heran dalam
ketegangan. Hanya Nyi Lara yang tersenyum. Walau mungkin kemunculan si gendut
ini menjengkelkan banyak orang termasuk dirinya, namun diam-diam Nyi Lara
merasa, si gendut aneh dan lucu konyol seperti orang sinting dan tak tahu diri
ini adalah seorang berhati baik disamping memiliki kepandaian tinggi dan
agaknya berada di pihaknya. Maka Nyi Larapun berkata.
"Sahabatku
gendut, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Jujur saja aku tak bisa memenuhi
permintaanmu." Nyi Larasati akhirnya keluarkan ucapan.
"Ah,
patik suka orang jujur. Terima kasih atas penolakanmu. Patik yang buruk ini
harus tahu diri. Kau sebut patik ini sebagai sahabat saja sudah senang rasanya.
Terima kasih, Nyi Lara. Semoga Nyi Lara menemukan jodoh yang baik. Patik mohon
diri, kembali ke bawah pohon!"
"Settt!"
si gendut goyangkan tubuhnya. Sosok gemuk itu melesat di udara dan di lain saat
dia sudah kelihatan kembali di bawah pohon, duduk menjelepok di tanah sambil
berkipas-kipas. Tapi kali ini matanya tidak- dipejamkan, malah melirik kian
kemari. Dalam hati dia membatin. "Suara siulan tadi. Dua kali …. Susah
kuketahui dari mana asal datangnya. Seolah datang dari empat jurusan. Hemrnm ….
mudah-mudahan saja menang dia. Tapi setahuku dia tidak punya ilmu mengacaukan
suara seperti itu …" Kembali pada Adipati Jatilegowo. Si gendut sudah
kembali duduk di bawah pohon, berkipas-kipas. Tapi anehnya sang Adipati masih
tertegak di anak tangga gedung Kadipaten, kaki kiri berdiri lurus di atas
tangga, kaki kanan naik ke atas seperti saat tadi ditahan oleh si gendut. Tubuh
Adipati itu kelihatan bergetar, kulitnya berubah memutih. Sekujur badannya
dilanda hawa dingin yang hebat hingga mengeluarkan asap tipis. Dari mulutnya
terdengar suara "Uuhh … uhhh …" berulang kali diseling kutuk serapah
panjang pendek!
Ki Ageng
Suranyala dalam kagetnya melihat keadaan sang Adipati segera lari menaiki
tangga.
"Adipati,
apa yang terjadi?!" Perwira Kotaraja itu bertanya. Dipegangnya bahu
Jatilegowo. Tangan itu tersentak. Bahu sang Adipati dingin luar biasa, seolah
telah berubah jadi es Ki Ageng, lekas bantu aku! Alirkan hawa panas ke
punggungku. Cepat!" Mendengar ucapan Jatilegowo Ki Ageng Suranyala segera
letakkan dua telapak tangan di punggung Jatilegowo lalu kerahkan tenaga dalam
untuk mengalirkan hawa panas. Asap mengepul dari punggung yang ditempeli dua
telapak tangan. Ki Ageng Suranyala memang dikenal sebagai perwira yang memiliki
tenaga dalam tinggi, satu tingkat di atas Adipati Jatilegowo. Tubuhnya bergetar
ketika dia merasa hawa dingin yang hendak di tumpas malah merembet, menjalar
masuk ke dalam tubuhnya. "Celaka!" keluhnya dalam hati.
"Adipati!
Tak ada jalan lain! Hawa dingin tak mungkin ditumpas. Aku terpaksa harus
memukul punggungmu agar hawa panas bisa menembus masuk!"
"Suittt
… suiitt!" Tiba-tiba kembali terdengar suara siulan keras.
"Jahanam!
Siapa yang bersuit itu!" Jatilegowo memaki. Ki Ageng Suranyala tarik dua
tangannya ke belakang. Tenaga dalam dikerahkan habis! Lalu dia memukul.
"Bukk!
Bukkk!" Asap kelabu mengepul dari punggung yang dipukul. Adipati
Jatilegowo tersungkur ke depan lalu jatuh ke bawah tangga. Topi tingginya
tanggal, tercampak ke tanah. Ki Ageng Suranyala terpental, terguling ke bawah
tangga. Ketika sama-sama jatuh di tanah, kedua orang itu bergeletakan satu di
atas satu dibawah. Hidung Adipati Jatilegowo mendarat di pipi Ageng Suranyala.
Di bawah
pohon si gendut tiba-tiba berjingkrak dan tertawa gelak-gelak sambil
menunjuk-nunjuk ke arah dua orang yang jatuh tumpang tindih.
"Adipati!
Rupanya kau suka mencium laki-laki. Ha … ha! Jangan-jangan kau punya kelainan!
Pantas Nyi Lara tidak suka padamu! Ha … ha…!" Amarah menggelegak di dada
Adipati Jatilegowo. Dia melompat dan berteriak pada orang-orangnya.
"Kurung
gendut jahanam itu! Jangan sampai lolos! Aku akan menanggalkan kepalanya dengan
tanganku sendiri!" Masih dalam kobaran amarah Adipati Salatiga itu
berpaling pada Nyi Larasati.
"Nya
Lara, janda keparat tak tahu diri! Pasti kau dan jahanam tua Sarwo Ladoyo
mengatur semua ini. Kau menyuruh si gendut jahanam itu membokongku!" Saat
itu hawa dingin di tubuh Jatilegowo telah lenyap. "Kalau aku terpaksa
tidak mendapatkanmu, tidak jadi apa. Tapi tidak seorang lainpun bisa
memperistrikanmu! Terima kematianmu!" Jatilegowo angkat dua tangannya. Ki
Sarwo Ladoyo terkejut. Dari gerakan orang dia segera tahu kalau Adipati
Jatilegowo benarbenar hendak membunuh Nyi Larasati. Karena serangan yang hendak
dilancarkannya adalah pukulan maut Dua Gunung Merobah Langit. Di atas kursi Ki
Sarwo Ladoyo segera berkata pada cucunya. "Loh Gatra, saatnya kau turun
tangan!" Mendengar perintah kakeknya itu Loh Gatra segera melompat ke
hadapan Adipati Jatilegowo.
*******************
10
DIHADANG
orang Adipati Jatilegowo jadi tambah menggelegak amarahnya. Apalagi yang
menghadang adalah pemuda yang dianggapnya bau kencur dan dicemburuinya sebagai
hendak merebut Nyi Lara.
"Bocah
jahanam! Kau memang minta mampus!" Jatilegowo menggeram. Tubuhnya
berkelebat sambil tangan kanannya bergerak. Cepat sekali jotosan mautnya
menggebuk ke arah batok kepala si pemuda. Serangan yang dilancarkan sang
Adipati bukan pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit." Mungkin Adipati
ini mengira untuk menghabisi bocah tengik satu ini tidak perlu mengeluarkan
pukulan saktinya itu, cukup pukulan biasa dengan pengerahan setengah kekuatan
tenagadalam. Tapi alangkah kagetnya Jatilegowo ketika tiba-tiba di depannya
bersiur angin deras disertai berkiblatnya cahaya berkilauan.
"Breett!"
Jatilegowo terpekik kaget, cepat melompat mundur dan dapatkan ujung lengan
kanan bajunya hangus, robek besar. Memandang ke depan dilihatnya Loh Gatra
tegak memegang sebilah keris memancarkan sinar putih, terbuat dari perak murni.
Ageng Suranyala perwira Kotaraja terkesiap. Dia mengenali senjata di tangan si
pemuda. ‘Keris Tumbal Berkisar!" serunya tertahan. Saat itu kejut Adipati
Jatilegowo telah sirna. Dia mendengar apa yang barusan diucapkan Ageng
Suranyala. Dia pernah mendengar kehebatan senjata mustika itu. Ageng Suranyala
cepat mendekati sang Adipati dan berbisik.
"Keris
di tangan pemuda itu tidak bisa dibuat main. Adipati harus bisa merampas keris
atau membunuh si pemuda dengan cepat. Jangan tunggu lebih lama. Langsung
pergunakan pukulan Dua Gunung Meroboh Langit. Tenaga dalam penuh. Satu arahkan
ke dada si pemuda, satu tujukan pada keris yang dipegangnya!" Habis
membisiki Ageng Suranyala cepat menjauh. tak mau jadi korban keganasan Keris
Tumbal Bekisar. Melihat gerak gerik Ageng Suranyala, Loh Gatra maklum kalau
lawannya tengah menyiapkan satu serangan dahsyat. Karenanya sebelum Adipati
Jatilegowo menyerang, pemuda itu cepat mendahului. Dia menyergap sambil
mengirimkan serangan berantai. Satu tusukan dua kali babatan.
"Bagus,
maju lebih dekat! Maju lebih dekat!" teriak Jatilegowo. Lalu dugangannya
dihantamkan ke depan.
"Wusss!
Wusss!" Dua gelombang angin melanda Loh Gatra. "Pukulan Dua Gunung
Meroboh Langit! Loh Gatra! Awas!" teriak Ki Sarwo memberi ingat cucunya.
Saat itu Loh Gatra telah melompat, membuang diri ke samping. Pukulan yang
mengarah dada berhasil dihindarkan. Tapi serangan yang menghantam ke tangan
kanan, melabrak telak Keris Tumbal Bekisar. Letupan keras disertai pancaran
bunga api menjulang ke udara. Keris Tumbal Bekisar kepulkan asap putih. Kalau
keris ini bukan merupakan senjata sakti mandraguna niscaya begitu dihantam
pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit" akan hancur, paling tidak bengkok
tak karuan. Keris boleh ampuh tapi Loh Gatra yang memegang senjata itu ternyata
tak sanggup menahan hebatnya hantaman pukulan. Tubuhnya terpental sampai satu tombak.
Nyi larasati
terpekik, Ki Sarwo terlonjak dari kursinya Loh Gatra merasa tangan kanannya
berat dan kaku. Dadanya mendenyut sakit. Ketika dia berusaha bangkit, muka
pucat kaki tertekuk, dari mulutnya kelihatan lelehan darah. Hantaman lawan
melukai tubuhnya sebelah dalam. Masih untung Loh Gatra memegang keris sakti
hingga sebagian Kekuatan pukulan Jatilegowo terbendung. Kalau tidak pasti saat
itu nyawanya sudah amblas Dengan tubuh hancur! Namun Loh Gatra belum terlepas
dari bahaya maut. Lawan yang Melihat di rinya berada dalam keadaan tak berdaya
seperti itu kembali menghantam melepas pukulan. ”Dua Gunung Meroboh
Langit" dengan tangan kiri kanan sekaligus!
"Celaka
cucuku!" seru Ki Sarwo Ladoyo. Kakek yang masih belum sembuh dari luka
dalamnya ini melompat dari kursi. Dorongkan dua tangan ke Arah Jatilegowo.
Namun dari samping kiri Ageng Suranyala, perwira dari Kotaraja tak tinggal
diam. Begitu Ki Sarwo bergerak dia segera melompat sambil kirimkan satu jotosan
ke dada si orang tua. llmu kepandaian Ageng Suranyala maupun tingkat tenaga
dalamnya tidak berada di atas Ki Sarwo. Namun sesepuh Kadipaten Temanggung itu
masih berada dalam keadaan cidera berat. Karenanya begitu dia menangkis pukulan
lawan dengan tangan kiri, Ki Sarwo langsung terhuyung. Selagi dia berusaha mengimbangi
diri jotosan berikutnya yang dilancarkan Ageng Suranyala bersarang tepat di
dadanya.
"Bukkk!"
Ki Sarwo terpental. Darah menyembur dari mulutnya. Nyi Larasati kembali
terpekik. Dua perwira Kadipaten Temanggung Domas Tunggul dan Akik Pranata tak
tinggal diam. Domas Tunggul cepat menolong Ki Sarwo sedang Akik Pranata
melompat ke hadapan Ageng Suranyala. Antara keduanya segera terjadi perkelahian
kosong. Jurus-jurus pertama perkelahian tampak seimbang, namun jurus-jurus
berikutnya Akik Pranata mulai terdesak. Setelah menerima beberapa pukulan
keras, Akik Pranata terpaksa cabut kelewang yang tersisip di pinggangnya.
Melihat lawan menghunus senjata Ageng Suranyala segera pula mencabut pedangnya.
Pertempuran antara ke dua orang ini kembali berkecamuk seru, ditonton oleh
pasukan ke dua belah pihak. Pukulan "Dua Gunung Meroboh Langit"
menderu dahsyat ke arah Loh Gatra, tak mampu ditangkis tak mungkin dielakkan.
Loh Gatra hanya bisa melintangkan Keris Tumbal Bekisar di depan dada. Di bawah
pohon besar si gendut berseru keras melihat pukulan maut yang tak dapat
dielakkan Loh Gatra itu. Tangannya yang memegang kipas siap bergerak namun dia
kedahuluan oleh sambaran cahaya putih menyilaukan disertai menggebuhnya hawa
panas, memapas pukulan Dua Gunung Meroboh Langit.
"Pukulan
Sinar Matahari!" teriak si gendut di bawah pohon.
"Bummm!
Bummmm!" Dua ledakan dahsyat menggelegar. Halaman dan bangunan gedung
Kadipaten bergetar. Tanah dan pasir berhamburan ke udara. Loh Gatra jatuh
terduduk di kaki tangga. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Pada
tanah halaman Kadipaten dia melihat dua buah lobang besar kehitaman. Di
seberang sana Adipati Jatilegowo berdiri seperti patung. Mukanya pucat pasi.
Lututnya tertekuk. Perlahan-lahan lelaki tinggi besar ini jatuh berlutut di
tanah. Dia sadar sesuatu terjadi dengan dirinya. Maka dia cepat duduk bersila
atur jalan darah dan pernafasan.
Ketika
Loh Gatra alihkan pandangan ke arah pintu gerbang, kagetlah pemuda ini. Kaget
bercampur gembira. Di tiang tinggi pintu gerbang sebelah kanan, duduk seorang
pemuda berambut gondrong, uncang-uncang kaki seenaknya sambil menyantap buah
jamblang.
"Pendekar
212!" ujar Loh Gatra. Di serambi gedung Kadipaten Nyi Larasati yang juga
telah melihat orang di atas tiang pintu gerbang itu ikut berucap.
"Pendekar 212. Dia pasti Pendekar 212 …." Kehadiran si gondrong di
atas pintu gerbang serta merta menarik perhatian semua orang yang ada di sana.
"Pendekar
212 anak edan!" si gendut di bawah pohon berteriak pada pemuda di atas
pintu gerbang.
"Kau
makan apa?! Jangan makan sendirian!"
"Aku
makan jamblang! Dut, gendut! Kau mau?!" jawab si gondrong yang memang
Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.
"Mau
… mau! Sudah lama aku tidak makan jamblang!"
"Ambil
sendiri ke sini!" teriak Wiro.
"Ah,
aku malas jalan ke sana! Lemparkan saja!" jawab si gendut lalu dongakkan
kepala dan buka mulutnya lebar-lebar. Wiro Sableng menyeringai. Tangannya
bergerak. Tiga buah jamblang melesat di udara, satu persatu kemudian masuk ke
dalam mulut si gendut. Si gendut segera melahapnya sampai mengeluarkan suara
menyiplak keras. Habis menelan buah jamblang itu dia lalu tertawa gelak-gelak.
"Enak
… enak …." katanya. Di atas pintu gerbang Pendekar 212 Wiro Sableng ikutan
tertawa gelak-gelak. Membuat semua orang tambah terheran-heran melihat tingkah
dua manusia aneh itu tapi juga dibuat jadi senyum-senyum.
"Sahabatku
Bujang Gila Tapak Sakti!" murid Sinto Gendeng berseru. "Lama tidak
bertemu. Ada urusan apa kau di tempat ini?!"
”Lama
tidak bertemu! Aku dengar kau sudah empat kali kawin!"
"Sialan!"
maki Wiro. Si gendut tertawa mengekeh.
"Kata
orang ada gula ada semut. Dimana ada perempuan cantik disitu si gendut ini ada!
Ha …ha…!" Pemuda gendut berkopiah kupluk ternyata adalah pendekar aneh
yang dikenal dengan sebutan Bujang Gila Tapak Sakti. Dia tertawa gelak-gelak
sambil menundingkan ibu jarinya ke arah Nyi Larasati yang berdiri di serambi
gedung Kadipaten. (Mengenai riwayat Bujang Gila Tapak Sakti silahkan baca
serial Wiro Sableng berjudul "Bujang Gila Tapak Sakti")"
Pendekar 212 Wiro Sableng melirik ke arah serambi gedung lalu tertawa lebar.
Diamdiam dia mengagumi kecantikan Nyi Larasati. Nyi Larasati sendiri seperti
harap-harap cemas. Dia memang mengharapkan kemunculan Pendekar 212 untuk
menolongnya. Tapi mana dia menduga kalau sang pendekar ternyata sama sintingnya
dengan si gendut di bawah pohon. Apakah orang-orang berkepandaian tinggi itu
memang sinting semua pikir Nyi Lara.
"Hai
Wiro!" Bujang Gila Tapak Sakti berseru sambil berkipas-kipas.
"Tadinya aku mau melamar Nyi Lara yang cantik itu. Tapi dapat saingan sama
si kumis melintang muka kadal itu!" Bujang Gila Tapak Sakti menunjuk ke
arah Adipati Jatilegowo.
"Untungnya
Nyi Lara tidak suka pada si muka kadal itu. Di suruh pulang eh malah mengancam
mau meratakan Kadipaten Temanggung sama rata dengan tanah dan mau membunuh Nyi
Lara. Apa tidak edan?!" Di tempatnya duduk bersila Adipati Jatilegowo
langsung mendidih amarahnya begitu mengetahui pemuda gondrong di atas pintu
gerbang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia kerahkan tenaga dalam penuh,
melompat bangkit. Tampang mengelam, rahang menggembung dan dua tinju terkepal.
"Pendekar
212 jahanam! Kau berani berbuat mesum dengan istriku! Turun dari pintu gerbang
itu!"
"Waladalah!"
Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget. "Wiro, hebat juga kau sekarang.
Suka mengganggu istri orang!"
"Enak
saja! Main tuduh sembarangan!"
"Pendekar
212 turun!" teriak Jatilegowo sambil maju dua langkah.
"Aku
lagi enak makan jamblang! Kalau kau mau naik saja kesini!"
"Keparat
sinting setan alas!" teriak Jatilegowo berang besar. Dia gerakkan dua
tangannya melepas pukulan Dua Gunung Meroboh Langit.
"Wuttt
… wuttttt!"
"Braaakkk!
Byaarrrr!" Pintu gerbang Kpdipaten Temanggung hancur berantakan. Selusin
sosok bergeletakan di sekitar pintu gerbang yang hancur. Mereka adalah para
perajurit Kadipaten Temanggung dan Kadipaten Salatiga yang tak sempat
selamatkan diri dari pukulan Dua Gunung Meroboh Langit yang tadi dilepaskan
Jatilegowo. Pendekar 212 sendiri tidak kelihatan. Si gondrong tak kelihatan,
apa sudah jadi mayat dan terkapar di antara sosok-sosok hancur para perajurit?
Semua mata mencari-cari, termasuk Jatilegowo sendiri.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa bergelak. Mula-mula cuma satu, lalu dibarengi oleh
suara tawa lainnya. Ketika semua orang memandang ke bawah pohon, ternyata
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berada di sana, saling memegang bahu dengan si
gendut Bujang Gila Tapak Sakti dan tertawa gelak-gelak. Adipati Jatilegowo
benar-benar merasa dihina dipermainkan. Dia melompat ke bawah pohon.
"Pendekar
212! Aku mengadu jiwa dengan kau! Bangsat!" Jotosan keras menderu ke arah
kepala Wiro. Murid Sinto Gendeng cepat menyingkir.
"Bujang
Gila, kau tolong orang-orang Kadipaten Temanggung yang bertempur di sekitar
tangga. Biar kadal ini aku yang menghadapi …"
"Wiro,
tangkap dia hidup-hidup. Kadal berkumis macam dia mungkin enak dibuat
pepes!" jawab Bujang Gila Tapak Sakti. Sambil tertawa mengekeh dia melompat
ke arah serambi gedung kadipaten dimana terjadi perkelahian seru antara Akik
Pranata dan Domas Tunggal melawan Ageng Suranyala dan seorang perwira Kadipaten
Salatiga. Setelah selamatkan kepalanya dari jotosan Jatilegowo, Wiro bersikap
seenaknya, sandarkan diri ke batang pohon dan rangkapkan dua tangan di atas
dada lalu berkata.
"Adipati,
sebaiknya kau dan orang-orangmu kembali saja ke Salatiga. Nyi Lara tidak suka
bersuamikan orang macammu. Sebagai laki-laki seharusnya kau malu dan tahu diri.
Setahuku kau sudah punya dua istri. Muda-muda dan cantik-cantik. Jika tak dapat
Nyi Lara, kau bisa cari yang lain …."
"Bangsat
gondrong! Mulut kotormu biar kusumpal dengan ini!" teriak Jatilegowo.
Kembali pukulannya menderu. Wiro cepat mengelak.
"Braaakkk!"
Pukulan Jatilegowo mengyntam pohon di belakang Pendekar 212 hingga hancur,
patah lalu, tumbang dengan suara menggemuruh. Luar biasa, jarang Wiro melihat
ada pukulan begitu hebat hingga sanggup menumbangkan pohon besar. Serangan
Jatilegowo datang bertubi-tubi. Dua jurus pertama murid Sinto Gendeng dibuat
kalang kabut dan harus andalkan kecepatan untuk mengelakkan pukulan dan
tendangan lawan. Jurus ke tiga sampai ke lima Wiro masih bisa bertahan. Pada
jurus ke enam dia terpaksa keluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tapi
serangan lawan laksana air bah. Apa lagi pukulan-pukulan yang dilancarkan
Adipati Salatiga itu adalah pukulan Dua Gunung Meroboh Langit yang sangat
berbahaya.
Melihat
Wiro keluarkan jurus silat aneh, Jatilegowo tak mau kalah. Dia segera rubah
jurus-jurus silatnya. Setiap pukulan yang dilancarkan disertai aji kesaktian
Dua Gunung Meroboh Langit. Hal ini sangat berbahaya bagi Wiro. Jika tubuh
apalagi kepalanya sampai terkena pukulan lawan, nyawanya tak akan tertolong.
Wiro kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Kelebatannya Caksana
bayangbayang. Jatilegowo mengejar terus. Wiro bertahan dan sesekali ganti
menyerang. Dia ingin menangkap Adipati ini hidup-hidup. Beberapa kali dia
berusaha menotok urat besar di leher dan dada lawan tapi Jatilegowo yang sudah
bisa membaca apa yang hendak dilakukan Wiro mempercepat gerakannya. Di jurus ke
dua puluh dia membuat gerakan tipuan dan berhasil susupkan satu tendangan keras
ke pinggul kiri Wiro.
*******************
11
PENDEKAR
212 terpental sampai dua tombak. Dia menggigit bibir sendiri menahan sakit.
Pinggulnya serasa hancur. Ketika dia bangkit berdiri tubuhnya kelihatanmiring
ke kiri.
"Sobatku,
nasibmu malang nian! Jangan-jangan akibat kebanyakan makan jamblang!"
Bujang Gila Tapak Sakti meledek lalu tertawa gelak-gelak. Sebelumnya perhatian
semua orang tertuju pada pertempuran antara Wiro dengan Jatilegowo. Ketika
Bujang Gila berseru tadi, sebagian dari orang-orang itu berpaling dan jadi
kaget tapi juga merasa lucu. Ternyata saat itu Bujang Gila Tapak Sakti
enak-enakan duduk sambil berkipas-kipas diatas tumpukan dua sosok tubuh yang
berada dalam keadaan tertotok. Kedua orang yang dijadikan bantalan dudukan itu
adalah Ageng Suranyala dan seorang perwira pembantu yang sebelumnya bertempur
melawan orang-orang Kadipaten Temanggung. Si gendut yang pemalas itu mana mau
berkelahi berpanjangpanjang.
Dua kali
berkelebat dia berhasil meno ok lawan, lalu ditumpuk, dijadikan dudukan! Setiap
tertawa tubuh Bujang Gila Tapak Sakti bergoncang-goncang. Dua orang yang jadi
dudukannya merasa seperti di himpit batu besar ratusan kati, merintih tak
berkeputusan. Murid Sinto Gendeng tidak perdulikan ejekan Bujang Gila. Masih
menahan sakit tendangan, di depan sana Adipati Jatilegowo dilihatnya kembali
melancarkan pukulan Dua Gunung Meroboh Langit.
Sepasang
tangannya bergetar dan memancarkan cahaya redup pertanda serangannya kali ini
dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam serta kekuatan hawa sakti yang
dimilikinya. Dua lutut Pendekar 212 menekuk. Kaki menjejak tanah. Di lain saat
tubuhnya melesat ke udara. Dua tangan menghantam berbarengan. Tangan kiri
melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah untuk membentengi diri dari
serangan lawan sedang tangan kanan melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam
Tanah. Dua pukulan sakti ini didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh melalui
Kitab Putih Wasiat Dewa. Begitu melepas dua pukulan dengan cerdik Wiro segera
berpindah tempat dengan cara berjungkir balik di udara sehingga dia terhindar
dari terpaan berbahaya angin pukulan yang masih mengandung tenaga dalam
dahsyat. Lain halnya dengan Jatilegowo. Ketika angin pukulan berbalik, dia
hanya sempat membungkuk. Angin pukulan berdesing, memang hanya melesat lewat di
atas kepalanya, namun dua kakinya melesak ke dalam tanah sampai satu jengkal,
dada mendenyut sakit, pemandangan berkunang. Aliran darah tersendat kacau!
Beradunya dua pukulan sakti membuat halaman Kadipaten laksana dilanda gempa.
atap serambi gedung Kadipaten runtuh. Loh Gatra cepat membawa kakeknya dan Nyi
Larasati ke tempat aman. Di halaman belasan orang jatuh berkaparan termasuk
penghulu Tumapel Babadsara. Malah sorban orang tua ini sampai tanggal dan
bergulingan di tanah! Kuda-kuda meringkik keras. Tanah, pasir dan debu
bertaburan menutupi pemandangan.
Saat itulah
Jatilegowo melihat ada bayangan putih berkelebat lalu merasakan sambaran angin
di wajahnya. Ada hawa dingin di bagian hidung. Dia meraba dengan tangan kiri
dan tersentak kaget. Hidungnya tak ada lagi! Apa yang terjadi? Ketika tanah,
pasir dan debu surut dan pemandangan terang kembali, Tumapel Babadsara yang
tengah berusaha bangkit dan tak sengaja memandang ke arah Adipati Jatilegowo
jadi terkesiap kaget.
"Astaga!
Adipati, apa yang terjadi. Hidungmu…." Jatilegowo kembali meraba
hidungnya, meraba dan mengusap pulang balik. Tapi hidung itu memang sudah tidak
ada di tempat semestinya. Adipati berteriak tak karuan. Semua orang kini
memandang padanya. Heran dan kasihan ada, lucu juga ada. Bujang Gila Tapak
Sakti tertawa gelak-gelak. Saat itu Pendekar 212 telah berdiri di sebelahnya,
ikut-ikutan tertawa. Dari balik pakaian dia keluarkan buah jamblang, dibagi
separuh pada Bujang Gila Tapak Sakti. Sambil menyantap jamblang manis itu
keduanya terus saja tertawa-tawa.
"Usap
terus sampai tua!" seru si gendut.
"Sayang
tak ada cermin. Adipati Jatilegowo, apa tidak tahu kalau hidungmu sudah amblas,
berpindah ke jidat? Ha … ha … ha!" Adipati Jatilegowo kaget setengah mati.
Ketika dia meraba keningnya, mukanya yang garang jadi pucat pasi. Benar apa
yang dikatakan si gendut. Hidungnya telah pindah dan kini menempel di kening.
Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi? Siapa yang punya perbuatan?!
"Ha
… ha!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa geli.
"Kau
apakan si muka kadal itu? llmu apa yang kau pergunakan sampai bisa memindah
hidung besarnya ke jidat?! Ha … ha … ha! Eh sobatku jahil! Dari mana kau dapat
ilmu itu."
Seperti
diketahui, ketika tersesat ke Negeri Latanahsilam, dari nenek sakti bernama
Luhkentut alias Luhpingitan dan bergelar Hantu Selaksa Angin Wiro telah
mendapat ilmu kesaktian bernama Menahan Darah Memindah Jasad, Dengan ilmu ini
Wiro bisa memindahkan bagian tubuh orang ke mana saja yang diinginkannya. (Baca
kisah petualangan Wiro di negeri 1200 tahun silam mulai dari Episode "Bola
Bola Iblis") Pendekar 212 menyengir dan garuk-garuk kepala.
"Kau
mau hidung si kadal itu kupindah ke jidatmu?!"
"Tobat!
Tampangku sudah jelek. Kalau ditambah satu hidung lagi di jidatku ampun! Mukaku
akan lebih jelek dari kadal benaran! Ha … ha…!"
Orang-orang
Kadipafen Salatiga jadi geger. Mereka tak ingat lagi maksud kedatangan semula
ke Temanggung yakni untuk menyerbu. Semua memperhatikan Adipati mereka tanpa
bisa berbuat suatu apa.
"Pendekar
212 jahanam! Dia mengerjai aku! Harus kubunuh dia sekarang juga!" Adipati
Jatilegowo menggeram. Tangannya masih mengusap muka dan hidung. Darah mendidih.
Di dahului teriakan dahsyat Jatilegowo melompat ke hadapan Wiro. Dua tangan
menghantamkan pukulan Dua Gunung Meroboh Langit. Wiro semburkan biji
jamblang
di mulutnya.
"Edan!
Si kadal ini masih galak rupanya!"
"Dia
benar-benar minta kubikin jadi ikan pepes!" Bujang Gila Tapak Sakti berkata.
"Wiro, kalau kita bunuh si kadal ini bisa jadi urusan dengan Kerajaan.
Bagaimana kalau kita gembosi ‘ saja ilmu kesaktiannya yang sangat berbahaya
itu!"
"Apa
kita mampu, Dut?! Kalau serangannya tembus kita berdua yang jadi ikan
pepes!"
"Kalau
kita mati, kita mati terhormat! Dalam membela kebenaran dan keadilan!"
"Enak
saja kau bicara. Aku masih ingin hidup!" tukas Wiro.
"Ya,
ya! Karena kau banyak kekasih!" jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu sambil
tertawa bergerak menyongsong serangan Jatilegowo. Dia berseru.
"Kau
tangan kanan, aku tangan kirinya! Kau hawa panas aku hawa dingin!" Habis
berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti angkat tangan kirinya menyambut jotosan
tangan kiri Adipati Jatilegowo. Tangan kiri itu mengeluarkan hawa dingin luar
biasa, berubah putih dan mengepulkan asap kebiru-biruan. Menurut riwayatnya
Bujang Gila Tapak Sakti pernah dipendam selama bertahun-tahun di puncak maha
dingin Gunung Mahameru. Dari situlah dia mendapatkan ilmu kesaktian berupa
kandungan hawa sakti dingin. Konon ilmu "Angin Es" yang dimiliki
Pendekar 212 warisan gurunya Eyang Sinto Gendeng masih kalah hebat dengan ilmu
yang dimiliki Bujang Gila Tapak Sakti.
Wiro tak
bisa berbuat lain. Serangan Jatilegowo sudah menderu ke arahnya. Dia segera
kerahkan aji "Pukulan Sinar Matahari." Tangan kanannya serta merta
berubah menjadi putih laksana perak. Berlawanan dengan tangan kiri Bujang Gila
Tapak Sakti yang mengeluarkan hawa sangat dingin maka tangan kanan Wiro
menghampar hawa sangat panas. Ki Ageng Suranyala yang saat itu masih dalam
keadaan tertotok dan berada ditawah himpitan tubuh perwira Kadipaten Salatiga
dan sempat melihat apa yang terjadi serta merta berteriak memberi ingat.
"Adipati!
Lekas menyingkir! Berbahaya!" Tapi dalam amarah begitu rupa Jatilegowo
mana mau mendengar seruan Ageng Suranyala. Dua tangannya meneruskan
menghantamkan pukulan Dua Gunung Meroboh Langit. Dua tangan memukul, dua tangan
lainnya menyambuti. Masing-masing disertai aliran tenaga dalam tinggi dan ilmu
kesaktian luar biasa.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Empat tangan beradu di udara. Dua cahaya berkibiat. Satu putih menyilaukan dan
panas, satunya lagi putih kebiruan dan dingin.
"Mati
aku!" Bujang Gila Tapak Sakti yang sosoknya ratusan kati itu mencelat tiga
tombak, menggelundung di tanah di depan kaki tangga gedung Kadipaten. Ki Sarwo
pejamkan mata, mengira si gendut itu sudah menemui ajal. Loh Gatra keluarkan
seruan tertahan. Nyi Larasati yang satu-satunya menghambur mendatangi ke bawah
tangga.
"Pendekar
… Saudara, kau tak apa-apa?" Sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti berdiri
terhuyung~huyung. Nafasnya menguiknguik seperti orang bengek. Hidungnya
kembang kempis. Mukanya merah sekali. Tapi dia masih bisa tersenyum dan
kedipkan matanya. "Terima kasih Nyi Lara, kau ada perhatian terhadap diri
patik yang buruk ini." Si gendut tertawa lebar, kedipkan lagi matanya lalu
batuk-batuk. dari mulutnya keluar darah.
"Kau
terluka!" ujar Nyi lara kaget. Bujang Gila Tapak Sakti seka mulutnya.
Tangannya kelihatan merah oleh darah. Lalu sambil tertawa dia berkata.
"Ah, ini bukan darah. Tapi gula aren. Tinggal mencari getuknya saja. Ha …
ha … ha!" Nyi Lara geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa orang terluka
dalam seperti itu masih sempatsempatnya bergurau. Dia berpaling ke kiri, ke
arah dimana Pendekar 212 tadi terlempar dan saat itu tengah duduk bersila di
tanah, mata terpejam, mengatur jalan nafas dan aliran darah. Mukanya pucat.
Tangan kanannya kaku dan kelihatan membengkak kemerahan. Dari sela bibirnya
meleleh darah. Nyi Lara cepat mendatangi Wiro, melihat hal ini si gendut Bujang
Gila mencibir.
"Patik
cemburu … Patik cemburu!" katanya berulang kali lalu tertawa mengekeh dan
bangkit berdiri sambil pegangi perut gendutnya.
"Pendekar
212, Wiro …" Nyi Lara hendak memegang bahu Wiro, bahkan saat itu hendak
memeluk sang pendekar. Tapi dia sadar dan segera membatalkan niat itu. Wiro
buka sepasang matanya. "Saya tak apa-apa. Sebaiknya Nyi Lara kembali ke
dalam gedung. Semuanya telah berakhir, tapi hal tak terduga bisa saja terjadi
…" Nyi Lara mengangguk. Karena tak tahu mau berkata apa lagi dia kembali
ke serambi gedung. Di bagian lain dari halaman gedung, puluhan perajurit
Kadipaten Salatiga mengelilingi Adipati mereka yang saat itu tergeletak di
tanah. Tangan kanannya menghitam seperti hangus. Sebaliknya tangan kiri putih
memucat. Kedua tangan itu sama-sama mengepulkan asap. Yang kanan mengepulkan
asap panas, yang kiri asap berhawa dingin. Dari mulut Jatilegowo keluar erang
tak berkeputusan. Dua matanya terpentang lebar seperti orang siap sekarat. Di
dalam tubuhnya, aliran darahnya berkecamuk aneh. Ada hawa panas dan hawa dingin
membuatnya seolah disayat-sayat dari kepala sampai ke kaki. Darah berlelehan
dari mulutnya. Mukanya yang garang sangat tampak mengerikan, apa lagi tanpa
hidung dan hidung yang ada kini melekat di kening.
"Aku
… aku perintahkan kembali … kembali ke Salatiga …" Ucapan itu keluar
tersendat-sendat dari mulut Jatilegowo. Adipati ini kemudian minta tolong
dipapah bangun. Begitu berdiri, matanya mencorong beringas. Pandangannya garang
menerpa Nyi Lara, Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti.
"Orang-orang
Temanggung. lngat baik-baik! Aku akan kembali untuk membuat perhitungan dengan
kalian!" Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Sambil
menunjuk-nunjuk pada Jatilegowo dia berkata. "Cara perhitungan itu .
bagaimana? Satu ditambah satu sama dengan dua atau …."
"Sobatku
Bujang Gila!" Pendekar 212 Wiro Sableng memotong. "Aku rasa ,dia tak
mungkin lagi berhitung satu tambah satu sama dengan dua. Tapi kini menurut dia
pasti satu tambah satu sama dengan dua setengah! Ha … ha … ha!" Rahang
Adipati Jatilegowo menggembung. Tubuhnya terbakar oleh amarah dan dendam
kesumat luar biasa. "Aku bersumpah akan membunuh kalian semua!
Semua!" Lalu tubuhnya terkulai lemah. Para perajurit segera menggotongnya
meninggalkan halaman gedung Kadipaten. Bujang Gila Tapak Sakti lepaskan totokan
di tubuh Ageng Suranyala dan perwira muda Salatiga yang tadi dijadikannya
bantalan dudukan. Walau ada rasa dendam dan marah tapi ke dua orang ini tanpa
berani berbuat atau berucap apa segera tinggalkan tempat itu. Tinggal kini si
orang tua Tumapel Babadsara. Dia tidak segera pergi tapi melangkah dan
memandang kian kemari seperti mencari-cari sesuatu. Bujang Gila Tapa Sakti
dekati orang tua ini. Dari balik punggung pakaiannya dia keluarkan sebuah benda
putih yang ternyata adalah sorban milik Tumapel Babadsara.
"Orang
tua, apa kau mencari ini?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti. Tumapel
Babadsara berpaling. Melihat sorban putihnya di tangan orang segera dia hendak
mengambil, tapi Bujang Gila Tapa Sakti cepat tarik tangannya. Dia tanggalkan
kopiah butut kupluk di kepalanya dan kenakan sorban putih.
"Kita
tukaran, ya? Kau ambil peciku ini. Aku ambil sorbanmu!" kata Bujang Gila
Tapak Sakti pula.
"Aku
sudah tua, jangan bergurau," kata Tumapel Babadsara pula.
"Sudah
tua … sudah tua. Aku lebih tua darimu, tahu! Kau pantas memanggil Kangmas
padaku! Ha … ha … ha!"
"Kembalikan
sorbanku," pinta Tumapel Babadsara. Bujang Gila Tapak Sakti ambil sorban
di atas kepalanya. Sorban itu diulurkannya, ketika si orang tua hendak
mengambil, Bujang Glla tarik tangannya lalu tertawa gelakgelak. "Aku akan
kembalikan sorbanmu, tapi kau harus mau meluluskan satu permintaanku…"
"Permintaan
apa?" tanya Tumapel Babadsara dengan perasaan jengkel.
"Kau
harus menikahkan aku dengan Nyi Lara!" Si orang tua tercengang, memandang
ke arah Nyi Lara di serambi gedung Kadipaten yang jadi terkejut pula mendengar
kata-kata si gendut itu. Pendekar 212 sendiri ikut melengak. Dia ulurkan tangan
kiri. Telapak tangan, diletakkan di atas kening si gendut lalu sambil kersenyum
dia berkata.
”Panas,
pantas sintingnya angot lagi! Ha … ha … ha! Kek, kalau kau nanti menemukan
kerbau bunting, kau boleh menikahkan sobatku ini dengan kerbau itu. Ha … ha …
ha!"
"Kalian
berdua sama sablengnya!" Tumapel Babadsara memaki marah lalu dengan kesal
dia memutar tubuh tinggalkan tempat itu.
"Hai!
Kek! Sorbanmu!" teriak Bujang Gila Tapak Sakti. Tumapel Babadsara tidak
menjawab, berpaling pun tidak . Dia melangkah terus kearah kudanya. Bujang Gila
Tapak Sakti geleng-geleng kepala.
"Sudah
tua masih gede ambegnya," katanya. Lalu tangannya bergerak melemparkan
sorban. Sorban putih itu melesat berputar-putar di udara lalu melayang turun
dan tepat jatuh di atas kepala Tumapel Babadsara SIANG itu Gunung Lompobatang
diselimuti mendung tebal. Tapi hujan tak kunjung turun dan sang surya tidak
muncul menampakkan diri. Orang tua bernama Sarontang duduk tak bergerak di
tebing batu. Mata terpentang, telinga dipasang. Dia sudah menangkap suara ladam
kaki-kaki kuda di kejauhan. Hatinya lega. Orang yang ditunggu tak lama lagi
akan segera datang. Perlahan-lahan Sarontang pejamkan mata. Tangan kanan
mengusap-usap tali berbentuk jalin yang melilit keningnya.
Tak
selang berapa lama dua penunggang kuda muncul di tebing batu itu. Di sebelah
depan seorang pemuda berpakaian dan berdestar biru, di sebelah belakang seorang
lelaki tinggi besar yang bukan lain adalah Jatilegowo, Adipati Salatiga. Dia
mengenakan kain kepala warna merah yang menutup sampai di kening. Si pemuda
segera turun dari kudanya menemui Sarontang. "Kakek," pemuda berbaju
biru berkata. "Saya membawa orang jemputan dari tanah Jawa yang berlabuh
di Teluk Bantaeng." Tanpa membuka matanya Sarontang berkata.
"Kekasihku
Bontolebang, kau telah melaksanakan tugas dengan baik. Kau boleh pergi. Tunggu
aku . di Gua Nipanipa." Si pemuda berpaling pada orang yang dibawanya ke
tempat itu, lalu naik ke atas kuda. Jatilegowo hendak menanyakan sesuatu tapi
Bontolebang sudah berlalu. Perlahan-lahan Adipati Salatiga ini turun dari
kudanya. Berdiri di hadapan si orang tua dan berucap.
"Saya
Jatilegowo, Adipati Salatiga Tanah Jawa. Apakah saya berhadapan dengan kakek
sakti bernama Sarontang?"
"Benar
sekali. Tamu yang telah lama ditunggu dan datang dari jauh. Aku adalah
Sarontang." Perlahan-lahan Sarontang membuka ke dua matanya yang sejak
tadi terpejam. Mata itu mendadak membesar, kerring mengerenyit dan mulut ternganga
terkesiap.
"Wajahmu
tidak seperti yang kulihat dalam mimpi sambung rasa. Hidungmu … Jatilegowo, apa
yang terjadi dengan hidungmu?" Jatilegowo mengusap hidungnya yang licin
gerumpung. "Seorang pendekar gila Tanah Jawa tapi berkepandaian tinggi
mencelakai saya. Hidung saya dipindahkannya ke kening."Habis berkata
begitu Jatilegowo membuka kain ikatan kepalanya.
Kembali
mata Sarontang membesar dan kening mengerenyit ketika melihat di kening tamunya
memang menempel daging berbentuk hidung.
"Tidak
pernah aku mendengar, apa lagi melihat ilmu kesaktian aneh yang bisa memindah
bagian tubuh manusia ke tempat lain seperti ini. Jatilegowo, siapa pendekar
berkepandaian tinggi yang kau maksudkan itu?"
"Namanya
Wiro Sableng. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212." Sarontang
terlonjak kaget. Dia bangkit berdiri dan tegak berhadap-hadapan dengan
Jatilegowo.
"Aku
tidak mengira kalau pendekar itu yang melakukan. Kau akan mengalami kesulitan
seumur hidup jika dia yang kau jadikan lawan. Aku pernah mendengar kehebatan
pemuda itu dari para pelaut Mengkasar yang sering pergi ke Tanah Jawa."
"Orang
tua, saya kecewa mendengar kata-katamu," ujar Jatilegowo pula.
"Jauhjauh saya menyeberang lautan. Datang ke Tanah Makasar, Tanah Bugis
yang katanya gudang orang pandai, gudang segala macam ilmu. Ki Sulung
Kertogomo, orang yang memberi petunjuk begitu yakin bahwa kau akan mampu
menolong saya. Tapi barusan mendengar ucapanmu, saya jadi punya dugaan bahwa
nama Pendekar 2P2 Wiro Sableng menggetarkan hatimu. Apakah juga menggetarkan
Tanah Makasar?" Sarontang tersenyum. "Jatilegowo. Orang pandai ada
dimana-mana. Setiap ada yang hebat, ada yang lebih hebat. Begitu seterusnya.
Aku tidak malu mengatakan bahwa di negeri ini ilmu kepandaianku tidak seberapa
dibanding dengan para tokoh lainnya. Tapi itu bukan berarti aku tidak bisa
menolongmu. Selain itu, ada seorang lain yang bakal membantumu."
Jatilegowo
terdiam sebentar. Lalu berkata.
"Perihal
senjata badik yang saya inginkan itu, apakah saya akan mendapatkannya?"
"Senjata
itu telah disiapkan. Kau akan mendapatkannya. Aku akan mengantarkanmu pada
orang sakti yang membuatnya …"
"Apakah
senjata itu akan memberi kekebalan pada saya seperti yang diterangkan oleh Ki
Sulung Kertogomo?" Sarontang mengangguk. "Apa yang kau minta akan
terpenuhi. Tapi ada satu hal harus kau ingat. Pemberian badik itu adalah
merupakan satu perjanjian. Perjanjian antara kau dengan aku. Lalu pemberian
badik itu juga merupakan satu persumpahan. Persumpahan antara kau dengan orang
yang memberikan. Badik itu adalah Badik Sumpah Darah …. "
"Apapun
perjanjian dan sumpah yang perlu saya angkat, akan saya lakukan." Jawab
Jatilegowo.
"Satu
hal ingin saya tanyakan. Apakah orang sakti pembuat Badik Sumpah Darah itu
mampu mengangkat hidung di kening saya, mengembalikannya ke tempat
semula?"
"Aku
tidak bisa menjawab. Kau bisa tanyakan langsung nanti pada orang pandai
itu."
"Siapa
orang pandai itu. Dimana dia sekarang?" tanya Jatilegowo.
"Namanya
Daeng Wattansoppeng. Dia adalah saudaraku sendiri. Dia diam di Telaga Malakaji,
dikaki selatan Gunung Lompobatang ini …."
"Kapan
saya bisa menemuinya?"
"Dalam
satu dua hari ini kita akan turun gunung. Aku akan membawamu padanya …."
"Mengapa
tidak berangkat sekarang saja? Saya tak bisa meninggalkan tanah Jawa terlalu
lama."
"Kalau
menurut keinginanku, akupun mau cepat-cepat berada di tanah Jawa. Apakah Patih
Kerajaan Selo Kaliangan masih terbaring sakit?"
"Bagaimana
kau tahu sakitnya Patih Kerajaan?" balik bertanya Jatilegowo.
"Itulah
alam terkembang. Berita baik berita buruk dilayangkan angin kemanamana …"
jawab Sarontang sambil tersenyum.
"Orang
tua, jadi kita tak bisa berangkat sekarang?" Jatilegowo mendesak.
"Segala
sesuatunya telah diatur. Kita harus melakukan sesuatu ketentuan. Tidak lebih
tidak kurang. Harap kau bisa bersabar. Aku akan memberi makan anak-anak di
Hutan Bantaeng terlebih dulu …."
Jatilegowo
tak sempat bertanya. Sarontang gerakkan tangan kiri kanan mengambil batu-batu
yang bertumpukan di sampingnya lalu dilemparkan ke udara ke arah serombongan
burung-burung besar yang melayang tepat di atas puncak Gunung Lompobatang.
Terdengar suara menguik tak berkeputusan. Jatilegowo mendongak ke langit. Dia
menyaksikan bagaimana puluhan burung besar dihantam lemparan batu lalu melayang
jatuh ke kaki gunung. Di kaki gunung yang diselimuti rimba belantara itu
kemudian terdengar suara lolongan aneh. Seperti raungan binatang dan pekik
jerit manusia. Kalau sebelumnya Jatilegowo merasa kagum akan kehebatan si orang
tua, kini diam-diam tengkuknya terasa dingin. Mulutnya tak bisa menahan untuk
bertanya.
”Orang
tua, siapa yang kau maksudkan dengan anak-anak di Hutan Bantaeng itu. Saya
mendengar suara lolongan, suara pekik jerit aneh di bawah sana …."
Sarontang usap rambut birunya yang berminyak lalu tersenyum. "Satu ketika,
jika kau ada kesempatan kau akan melihat mereka. Mereka adalah anak-anak yang
aku bawa dari Tanah Jawa, anak-anak yang aku lindungi dan sebaliknya mengawal
diriku siang malam." Jatilegowo merasa heran mendengar ucapan Sarontang.
Lalu dia ingat sesuatu. "Masih ada satu hal yang ingin saya
tanyakan," katanya. Si orang tua tersenyum dan anggukkan kepala.
"Ketika
saya sampai di sini, kau memanggil pemuda bernama Bontolebang yang menjemput
saya diteluk dan mengantar saya ke sini dengan sebutan kekasihku. Saya tidak
mengerti." Sarontang tertawa perlahan. Dia usap-usap dua tangannya.
"Kelak kau akan mengerti." Lalu Sarontang duduk bersila di tebing
batu. Dia menatap lekat-lekat ke wajah Jatilegowo lalu berucap.
"Sekarang
aku harap kau menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhmu." Terkejutlah
Adipati Salatiga ini mendengar kata-kata si orang tua. "Orang tua, apa
saya tidak salah mendengar?"
"Kau
tidak salah mendengar, aku tidak salah berucap. Tanggalkan semua pakaianmu.
Kalau sudah berbaring di atas pangkuanku." Jatilegowo balas menatap si
orang tua. "Kau tidak bergurau,tidak main-main. .?"
"Aku
tidak bergurau, juga tidak main-main," Jawab Sarontang.
"Untuk
apa aku harus membuka pakaian dan berbaring di pangkuanmu?" Sarontang
mendongak lalu tertawa panjang. "Itu adalah salah satu dari perjanjian
yang harus kau lakukan demi mendapatkan Badik Sumpah Darah!"
"Gila!"
rutuk Jatilegowo dalam hati. "Perjanjian aneh. Sebelumnya kau tidak
menerangkan, tidak mengatakan janji itu …."
"Perjanjian
aku yang membuat. Aku hanya akan memberitahu dan mengucapkan. Kau hanya tinggal
melaksanakan. Itu ketentuan dan aturan yang berlaku. Semua apa yang aku katakan
tidak sulit untuk melakukan. Apa susahnya membuka pakaian. Bukankah
begitu?"
"Aneh,
manusia aneh!" kata Jatilegowo dalam hati. Namun saat itu keanehan juga
telah menyungkupi dirinya. Semakin lama dia menatap wajah orang tua yang duduk
bersila di hadapannya, semakin bergetar hatinya. Lalu Jatilegowo mengusap
matanya sampai berulang kali. Wajah: tua itu mendadak berubah menjadi wajah
seorang perempuan muda berparas jelita. Mirip-mirip paras Nyi Larasati yang
digilainya.
Sarontang
tersenyum. Entah sadar entah tidak Jatilegowo balas tersenyum. Lalu
perlahan-lahan tangannya bergerak membuka pakaiannya. Di kejauhan terdengar
suara lolongan aneh. Di balik sebuah batu besar seorang pemuda memperhatikan
apa yang terjadi. Pemuda ini adalah Bontolebang, sang kekasih Sarontang yang
rupanya tidak segera meninggalkan tempat itu, tapi bersembunyi dibalik batu
besar dan mengintai. Dalam hati Bontolebang berkata. "Lima tahun aku
menunggu untuk mendapatkan ilmu yang dijanjikan. Orang asing berwajah aneh itu
agaknya akan mendapatkan apa yang dimintanya lebih cepat dari diriku. Pak Tua
Sorentang berlaku licik padaku. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus menemui
Kakek Daeng Wattansopeng. Badik Sumpah Darah itu harus jadi milikku!"
Bontolebang tinggalkan tempat persembunyian, berlari cepat ketempat dimana dia
meninggalkan kudanya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment