Selir Pamungkas
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Tiba-tiba
lantai mengepul. Memandang ke bawah wiro melihat lingkaran putih di sekeliling
kakinya berubah merah lalu wusss! Satu lingkaran api menjulang ke atas setinggi
kepala! Wiro sekarang benar-benar sadar kalau dirinya telah masuk dalam jebakan
ken parantili. Nyala kobaran api yang hanya satu jengkal mengitari tubuhnya
membuat wiro, seperti dipanggang. “selir jahanam! Jangan harap kau bisa lolos
dari tanganku!” Rutuk wiro. Dia cepat menjejakkan dua kaki kelantai, siap
melompat keluar dari lingkar kobaran api. Tapi astaga! Dua kaki tak mampu
bergerak! Dua telapak kaki laksana dipantek ke lantai!
*********************
SATU
SEPERTI
dituturkan dalam Episode “Sesajen Atap Langit”, ketika berada di kawasan Candi
Plaosan Lor, Wiro dan kawan-kawan kedatangan seorang perempuan muda cantik
jelita mengaku bernama Ken Parantili dan merupakan selir pertama Penguasa atau
Raja Negeri Atap Langit.
Gadis ini
datang dengan duduk berjuntai di batang kayu pohon Beringin yang melayang di
udara, membekal maksud meminta budi pertolongan Pendekar 212 untuk
menyelamatkan dirinya dari pembunuhan yang bakal dilakukan oleh Penguasa Negeri
Atap Langit. Ketika ditanya bagaimana caranya menolong, Ken Parantili
memberitahu bahwa Wiro harus tidur bersamanya sejak matahari tenggelam sore
nanti sampai fajar menyingsing keesokannya.
“Ratu,
Kunti, Dewi Kaki Tunggal, Jaka, bagaimana menurut kalian?”Wiro bertanya.
“Waktu di
Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu Semirang Biru berhasil disusupkan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah karena dia tidak memiliki delapan benjolan di kening. Bukan
mustahil gadis di atas batang pohon itu juga orang kiriman Sinuhun Merah.”Yang
menjawab adalah Dewi Kaki Tunggal.
“Tapi dia
menyebut nama Nyi Roro Manggut, orang Sakti di kawasan pantai selatan. Pembantu
kepercayaan Nyi Roro Kidul yang sangat kukenal dan malah sudah kuanggap seperti
guru…”Ucap Wiro pula.
“Dia bisa
saja menjual nama.”Kata Kunti Ambiri. “Orang licik selalu menipu dengan
mempergunakan nama-nama orang paling dekat dengan kita lalu mengatur keadaan
begitu rupa sehingga segala sesuatunya sangat meyakinkan.”
Ratu
Randang hanya mengangkat bahu ketika Wiro memandang padanya. Diam-diam Wiro
jadi ingat ketika dulu dia menolong Ratu Duyung dari kutukan yang melepaskan
dirinya dari ujud setengah manusia setengah ikan. Waktu itu dia juga harus
tidur dengan gadis cantik bermata biru itu walau kemudian ternyata dia tidak
harus melakukan hubungan badan. Apakah hal yang sama akan terjadi jika dia
memenuhi permintaan Ken Parantili? Tapi ada satu perbedaan, ketika menolong
Ratu Duyung Wiro telah lebih dulu mengenal gadis cantik itu.
Sebaliknya
Ken Parantili baru dilihatnya saat itu. “Ucapan Kunti Ambiri ada benarnya.”Kata
sang pendekar dalam hati.
Setelah
menarik nafas dalam dan sambil menggaruk kepala Wiro lantas bertanya pada gadis
yang mengaku selir pertama Penguasa Atap Langit itu.
“Sahabat
Ken Parantili, apa tidak ada cara lain yang bisa menolongmu agar dapat lolos
dari kematian di tangan Penguasa Atap Langit? Misalnya kau menyuruh seseorang
menghadangnya ketika dia hendak melaksanakan niat jahatnya atas dirimu?”
Ken
Parantili gelengkan kepala. “Aku hanya bisa lolos dari kematian dan Penguasa
Atap Langit tidak mampu. membunuhku bila ada lelaki lain tidur di
pembaringanku.”
“Kalau
cuma lelaki berarti banyak lelaki lain yang bisa melakukan itu!”
Berkata
Jaka Pesolek. Ratu Randang angguk-anggukkan kepala tanda menyetujui ucapan Jaka
Pesolek, Tapi si nenek kemudian mendengus ketika Jaka Pesolek menyambung
ucapannya.
“Aku juga
laki laki. Malah bisa letaki bisa perempuan! He … he.”
Di atas
batang pohon Ken Parantili tampak tersenyum lalu berkata. Petunjuk mengatakan
hanya pemuda berjuluk Pendekar Dua Satu Dua itu satu-satunya yang mampu dan
ditakdirkan dapat menolongku. Kalau aku bisa mencari lelaki lain sebagai
pengganti mengapa aku harus mencari dirinya sampai ke sini? Kalau aku tidak
percaya pada nenek bernama Nyi Roro Manggut mengapa aku mengikuti petunjuknya?”
Semua
orang terdiam.
Wiro
ingat sesuatu. Lalu bertanya. “Sahabat Ken Parantili, apa hubunganmu dengan
seorang bernama Laras Parantili?”
“Siapa
Laras Parantili?”Tanya Ratu Randang berbisik
“Dia
kekasih dimasa muda Datuk Rao Basaluang Ameh…”
“Siapa Datuk
Rao Basaluang Ameh?”Tanya si nenek lagi.
“Seorang
kakek sakti di Danau Maninjau. Dia salah seorang guruku. Sudah Nek, jangan
bertanya terus…”Jawab Wiro lalu menatap ke atas ke arah Ken Parantili, menunggu
jawaban perempuan muda cantik itu. (Mengenai Laras Parantili riwayatnya bisa
pembaca telusuri dalam serial Wiro Sableng berjudul “Janda Pulau Cingkuk”dan
“Bayi Titisan”)
“Laras
Parantili … ?”Ucap Ken Parantili mengulang menyebut nama. “Apakah aku bisa
mengetahui dan mengingat ingat? Ohh Nenek sakti bernama Laras Parantili itu.
Aku dan dia hidup di alam berbeda. Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Apa
lagi yang namanya pertalian darah…”
Wiro
tercengang-cengang. Dalam hati dia membatin. “Aku tadi bertanya asalasalan saja
karena mengingat nama belakang mereka yang sama. Walau katanya tidak mengenal
tapi ternyata Ken Parantili tahu kalau si nenek adalah seorang sakti. Kalau
gadis ini bukan orang berilmu mana mungkin dia mampu menjajagi seseorang yang
berada di alam delapan ratus tahun mendatang. Jangan-jangan ada orang yang
menyuruh dia mengatur jebakan maut bagi diriku … Sinuhun Merah Penghisap
Arwah?”
“Sahabat
Wiro, waktu menjelang matahari tenggelam tidak terlalu lama. Apakah kau mau
memberi jawaban bahwa kau bersedia menanam budi menolong diriku?”Dari atas
batang pohon Ken Parantili bertanya. Raut wajahnya penuh pengharapan. Lalu
gadis ini rapikan rambut dan letak mahkota emas di atas kepala.
“Menolong
orang adalah satu kehormatan dan kebajikan yang tidak pernah aku sia-siakan.
Tapi saat ini aku dan semua sahabat yang ada di sin! tengah menghadapi berbagai
kesulitan yang sangat berat. Kalau saja gunung dihimpitkan di atas pundakku,
rasanya masalah yang tengah aku hadapi jauh lebih berat dari itu…”
Wajah Ken
Parantili tampak redup sesaat namun berubah terang kembali. Mulut berucap.
“Pendekar
Dua Satu Dua, sebenarnya aku tahu. Mungkin tidak semua. Tapi aku tahu sebagian
besar perkara besar yang tengah kau hadapi bersama para sahabat di sini. Aku
merasa sangat prihatin. Namun ketahuilah, maksudku datang minta tolong bukan
untuk menambah masalah. Tapi siapa tahu di dalam kebajikan yang kau berikan
padaku aku bisa ganti berbalas kebajikan menolong dirimu dan para sahabat.”
“Sahabat
Ken Parantili, kesulitan apa yang kau ketahui yang tengah kami hadapi?”Bertanya
Kunti Ambiri. Gadis ini ingin menguji. Selain itu setelah sempat bermesraan
dengan Wiro beberapa waktu lalu gadis cantik alam roh ini merasa tidak ingin
berpisah barang sekejappun dengan sang pendekar.
“Baik,
akan aku katakan. Mohon diriku ditegur jika apa yang aku sampaikan ada yang
salah atau keliru.”Jawab Ken Parantili. Setelah merubah duduknya agar lebih
enak selir pertama Penguasa Negeri Atap Langit ini memandang ke arah Wiro lalu
berkata.
“Sahabat Wiro,
ketika tadi kau duduk di depan candi sana, kau merenung dan mengawatirkan
beberapa hal. Pertama kau ingat pada Kuda Lumping yang telah menerbangkan
dirimu ke Bhumi Mataram ini. Kau kawatir tidak bisa menemukan Kuda Lumping itu
hingga kau tidak mungkin kembali lagi ke negeri asalmu. Lalu kau juga merasa
kecewa dengan perbuatan gurumu yang telah mengambil senjata sakti milikmu. Kau
dan para sahabat tidak tahu dimana gurumu berada. Padahal mudah sekali
mencarinya…”
Wiro
melengak kaget. Ratu Randang terkesiap ternganga. Yang lain-lain ikut heran
mendengar ucapan Ken Parantili.
“Sepertinya
dari Negeri Atap Langit dia bisa melihat semua apa yang terjadi di atas bumi
ini, Hebat sekali!”Ujar Jaka Pesolek lalu keluarkan suara berdecak beberapa
kali.
“Katamu,
mudah sekali untuk mencari guruku. Bagaimana caranya?”Tanya Wiro.
Ken
Parantili tidak mau langsung menjawab pertanyaan Wiro. Dia seperti ingin
merahasiakan dan tak mau memberitahu begitu saja.
“Penuturanku
belum selesai. Nanti akan aku beri tahu. Atau mungkin sudah cukup, tidak perlu
diteruskan mengatakan apa yang aku ketahui mengenai kesulitan yang kalian
hadapi?”
Wiro
menggaruk kepala. “Sudah, teruskan saja penuturanmu,”kata Wiro pula,
“Kalian
juga sangat resah karena seorang anak perempuan sahabat kalian lenyap diculik
orang. Lalu kalian juga harus mencari seorang Empu bernama Semirang Biru.
Bukankah Empu itu telah membuat salah seorang dari kalian tidak bisa kencing?”
“Hai!”Jaka
Pesolek berseru sambil tekap bagian bawah perutnya. “Bagaimana kau bisa tahu?!”
Di atas
batang pohon Ken Parantili tampak tertawa. Barisan gigi giginya yang putih
berkilat bak untaian mutiara tampak indah dan sedap dipandang mata. Kalian
punya dua musuh besar. Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mereka
dibantu oleh seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Selain itu banyak lagi
yang menjadi kaki tangannya. Seperti seorang pendekar congkak dari negeri
asalmu yang konon disini dipanggil sebagai Satria Roh Jemputan. Yang muncul
membawa senjata berupa Lentera Iblis. Lalu ada lagi mahlukmahluk bernama
Delapan Tabir Mayat. Juga ada delapan ekor anak kucing sakti berbulu merah yang
luar biasa ganas. Mereka semua bukan saja memiliki ilmu kesaktian tinggi,
tetapi juga jahat dan juga licik Kalau mereka sampai kembali dapat menguasai
mahluk bernama Arwah Ketua, para sahabat di sini semua benarbenar dalam bahaya
besar. Aku turut merasa kawatir. Kalau kita bisa berbagi budi mengapa tidak
dilakukan?”
*********************
DUA
WIRO dan
semua orang yang ada di tempat ltu sating pandang tercengang cengang. Sang
selir temyata tahu banyak hal. Padahal kalau menurut ceritanya selama ini dia
lebih banyak mendekam di Negeri Atap Langit. Kunti Ambiri lalu berkata.
“Sahabat
Ken Parantili, kalau kau tahu banyaknya kesulitan yang kami hadapi, mengapa kau
malah hendak menambahkan satu kesulitan baru. Paling tidak membuat segala daya
upaya kami jadi tertunda.”
“Sahabat
berpakaian hijau, harap kau dapat membedakan orang tidak berdaya yang meminta
tolong, dengan kalian yang sebenamya masih mampu menghadapi semua kesulitan.
Menunda begitu banyak urusan besar bukankah lebih baik dari pada ikut tenggelam
ke dalamnya? Seperti nyanyianku tadi. Dari Atap Langit ke Kaki Bumi. Perjalanan
jauh terasa satu jengkal. Datang untuk memohon budi. Bukan untuk mencari tumbal.
Dari Atap Langit ke Koki Bumi. Menyanding budi dengan balas. Kalau selamat
nyawa di badan. Sebagai balas arwah jahat tentulah amblas.”
Wiro
tatap wajah cantik di atas batang pohon Beringin. “Ken Parantili, aku ingin
bertanya. Dari mana kau tahu semua kesulitan kami?”
“Raja
Negeri Atap Langit boleh dikatakan adalah mahluk tempat Sinuhun Merah Penghisap
Arwah meminta segala kesaktian. Sebagian besar ilmu kesaktian yang dimilikinya
berasal atau ditunjang oleh Penguasa Atap Langit. Dulu Sinuhun Merah Penghisap
Arwah dan nyawa kembarannya Sinuhun Muda Gharna Karadipa sangat berpantang
dengan emas murni. Tubuh mereka bisa rontok jika sampai tersentuh emas murni.
Penguasa Negeri Atap Langitlah yang memberi ilmu penangkal hingga kemudian emas
murni tidak mampu lagi mencelakainya…”
“Oala,
aku baru tahu kalau Penguasa Atap Langit yang memberikan ilmu penangkal itu.
Wiro, apa yang dikatakan Ken Parantili benar adanya.”Ratu Randang ingat
peristiwa ketika dia dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah bercumbu di dalam sebuah
goa di belakang air terjun. Saat itu dia memalsu diri menjadi seekor anjing
tapi di mata sang Sinuhun tetap terlihat sebagai nenek cantik bertubuh mulus.
“Ken
Parantili, ada lagi yang hendak kau ceritakan?”Bertanya Sakuntaladewi.
“Penguasa
Atap Langit berulang kali memberikan tempat dan kesempatan pada Sinuhun Merah
untuk melakukan upacara Sesajen Atap Langit.”
“Sesajen
Atap Langit? Upacara sesajen apa itu?”Tanya Ratu Randang.
“Itu
merupakan upacara sangat penting. Bocah bernama Dirga Purana memelihara delapan
ekor anak kucing berbulu merah. Kesaktian binatang ini hanya bisa
berkesinambungan jika pada waktu tertentu kepadanya diberikan Sesajen Atap
Langit. Sinuhun Merah Penghisap Arwah sangat berkepentingan mengatur upacara
sesajen. Karena nyawanya konon terpecah dalam tubuh delapan ekor anak kucing
itu.”
Wiro
berpaling pada Sakuntaladewi yang tegak di samping kirinya lalu berbisik. “Dewi
Kaki Tunggal, ceritamu memang benar. Nyawa Sinuhun Merah terpecah delapan.
Masing-masing pecahan berada dalam tubuh delapan anak kucing merah.”Lalu pada
Ken Parantili sang pendekar berkata. “Lanjutkan ceritamu. Kami ingin tahu lebih
banyak.”
“Dari
Raja Negeri Atap Langit aku acap kali mendengar beberapa macam ilmu yang
dimiliki Sinuhun Merah. Sebagian berikut penangkalnya. Karenanya tidak heran
Sinuhun Merah sangat tergantung pada Raja Negeri Atap Langit. Bahkan bocah
sakti bernama Dirga Purana kurasa agak gentar pada Penguasa Negeri Atap Langit.
Mungkin tidak bisa semua aku ceritakan pada kalian. Tetapi bukankah para sahabat
sebelumnya sudah mengetahui seperti apa yang pernah dikatakan gadis cantik
berkaki satu itu? Bahwa nyawa Sinuhun Merah Penghisap Arwah terpecah ke dalam
sosok delapan ekor anak kucing berbulu merah? Bahwa binatang itu sulit dibunuh
kalau tidak membunuh sang pemilik lebih dulu yaitu Dirga Purana. Membunuh bocah
itu bukan soal mudah. Tapi selalu ada jalan untuk menamatkan riwayat delapan
ekor anak kucing.”
Semua
orang yang ada di tempat itu kembali terdiam saling pandang dalam rasa heran
teramat sangat.
“Dia tahu
semua masalah kita. Tahu semua apa yang terjadi. Tahu banyak tentang Sinuhun
Merah ……”Berbisik Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi.
“Kalau
dia memang bisa memberikan rahasia kelemahan musuh-musuh kita, aku rasa kita
bukan saja bisa menemukan gurumu kembali, mendapatkan kapak sakti, memperoleh
kesembuhan bagi diriku dan ……”Gadis cantik berkaki satu itu tidak meneruskan
ucapan karena melihat perubahan wajah Ratu Randang dan Kunti Ambiri yang
agaknya tidak senang kalau Wiro sampai memenuhi permintaan Ken Parantili.
Tiba-tiba
Jaka Pesolek bertanya. “Sahabat Ken Parantili. Kau tahu banyak tentang diri
kami. Apakah kau juga tahu bagaimana cara menyembuhkan kaki sahabatku ini
hingga kembali menjadi dua dan wajar seperti kami-kami ini? Benarkah keris sakti
yang dicuri itu bisa menyembuhkan dirinya?”
Ken
Parantili tersenyum.
“Siapa
bilang keris sakti itu dicuri. Bukankah keris disimpan oleh nenek muda cantik
itu?”
Semua
orang keluarkan seruan tertahan. Ratu Randang terbelalak! Dia cepat meraba
pinggang kiri dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli disimpannya di batik
pakaian. Dart mendadak kawatir si nenek merasa lega. Ternyata senjata sakti itu
masih tersisip di pinggang di balik pakaiannya.
“Wiro,
selir Penguasa Atap Langit di atas pohon itu agaknya bukan orang sembarangan.
Tapi aku tetap saja kawatir akan keselamatan dirimu jika kau sampai mengikuti
permintaannya.”Berkata Kunti Ambiri ketika dilihatnya air muka sang pendekar
membayangkan kebimbangan. “Jangan kau tergoda oleh kepandaiannya bicara sambil
menggantung teka-teki. Dia tahu banyak tentang kesaktian Sinuhun Merah. Tapi
apa benar dia memiliki penangkal? Setelah kau menolong menyelamatkan nyawanya
apa benar dia akan ganti membalas budi?”
“Wiro,”kini
Jaka Pesolek yang berbisik. “Apa yang dikatakan Kunti Ambiri betul adanya.
Bagaimana kalau sampai terjadi setelah dia bebas dari kematian tahu-tahu dia
menguasai dirimu? Bagaimana kalau kau sampai dijadikan budak nafsu dan dipendam
seumur-umur di Negeri Atap Langit. Ihh … merinding aku jadinya!”
Wiro
menggaruk kepala. Mulut diusap usap. “Ken Parantili, siapakah sebenarnya Raja
atau Penguasa Atap Langit itu? Apakah dia berupa manusia sama dengan kami atau
mahluk alam roh, mahluk gaib sebangsa arwah yang gentayangan?”
“Tidak
ada yang tahu mahluk apa dia sebenarnya. Selama enam bulan aku menjadi selir
aku tidak pernah melihat dia makan. Hanya minum. Itupun cuma delapan teguk
dalam satu hari.”
“Ken
Parantili,”Wiro kembali berkata. “Tadi kau bilang kalau seorang sahabatku,
seorang anak perempuan diculik orang…”
“Oh, anak
berusia empat belas tahun bernama Ni Gatri itu?”Ujar Ken Parantili pula. “Wajah
cantik, tubuh bagus karena sedang beranjak dewasa…”Ken Parantili menghela nafas
dalam, wajahnya tampak redup.
“Ah, jadi
kau sudah tahu nama anak itu!”Kata Wiro pula.
“Lebih
dari tahu. Karena Penguasa Atap Langit punya rencana. Dia akan mengambilnya
menjadi selir baru. Aku punya dugaan, begitu dia membunuhku, Ni Gatri jadi pengganti.
Jadi selir paling muda.”
Wiro
tersentak kaget. “Jadi anak itu sekarang berada di tangan Raja Negeri Atap
Langit?!”
Ken
Parantili gelengkan kepala.
“NiGatri
ada di tangan Dirga Purana, bocah sakti yang biasa dipanggil dengan sebutan
Sang Junjungan. Bagi Penguasa Atap Langit hanya soal mudah kapan saja dia
menginginkan anak perempuan itu. Para sahabat dibawah sana, dari sekian banyak
kesulitan yang kalian hadapi saat ini justru gadis itulah yang harus segera
diselamatkan. Karena kehormatannya sangat terancam.”
“Apa
maksudmu dengan ucapan itu?”Tanya Ratu Randang.
“Dirga
Purana membujuk anak itu untuk diajak bercumbu bersenang-senang. Ni Gatri tidak
mau. Cepat atau lambat pasti Dirga Purana akan memperkosanya!”
“Keparat
kurang ajar!”Rutuk Pendekar 212 sambil kepalkan tinju kanan hingga mengeluarkan
suara berkereketan. “Setahuku bocah itu baru berusia sekitar dua belas tahun.
Dua tahun lebih muda dari Gatri! Setan mana yang masuk ke dalam dirinya hingga
hendak melakukan perbuatan terkutuk itu! Ken Parantili, lekas beritahu dimana
kami bisa mencari Ni Gatri. Dimana anak perempuan itu berada!”
Ken
Parantili tersenyum.
“Ada ubi
ada talas. Ada budi ada balas. Aku akan memberi tahu malam nanti di tempat
ketiduran. Itu jika kau memang bersedia datang ke Negeri Atap Langit dan
menolongku…”
“Aku
kawatir bisa-bisa terlambat menyelamatkan anak perempuan itu!”Kata Wiro pula.
Kunti
Ambiri menyambung setengah membentak.
“Kau
hanya mementingkan diri sendiri! Tidak perduli keselamatan orang lain! Ni Gatri
masih terlalu kecil untuk diperlakukan sekeji itu!”Ken Parantili menatap paras
Kunti Ambiri sesaat lalu menjawab. “Di atas setiap kepentingan pasti ada
kepentingan lebih tinggi. Aku tidak punya niat mementingkan diri sendiri. Aku
datang untuk meminta budi. Kalau berhasil maka aku akan balas menanam budi.
Jika kalian tidak sudi maka, biarlah Para Dewa yang menjatuhkan takdir.” Habis
berkata begitu selir Penguasa Atap Langit itu mengambil mahkota emas berbentuk
atap yang ada di atas kepalanya.
Salah
satu ujung lancip mahkota emas ditorehkan di batang pohon beringin, mulai dari
bagian akar terus ke atas sampai ke ujung batang yang ada cabang serta
dedaunan.
“Rrrrtttt!”
Torehan
ujung mahkota emas membuat batang pohon beringin terbelah menjadi dua. Ken
Parantili berdiri di atas salah satu belahan batang. Sambil meletakkan mahkota
emas kembali ke atas kepalanya dia berkata.
“Pendekar
Dua Satu Dua, aku akan kembali ke Negeri Atap Langit. Belahan batang pohon
beringin yang satu itu akan aku tinggalkan mengambang di atas pedataran Candi
Plaosan Lor. Waktumu hanya sampai sesaat sebelum matahari terbenam. Jika kau
memang berniat menolong diriku, naiklah ke atas belahan batang pohon Beringin.
Dalam sekejapan batang itu akan membawamu ke Negeri Atap Langit. Aku akan
menunggu di sana. Aku sangat berharap. Semoga Yang Maha Masa melindungi kita
semua.”
Bagian
akar dan cabang, ranting serta dedaunan belahan pohon beringin dimana Ken
Parantili berdiri bergetar mengeluarkan suara angin berkesiuran, membuat
daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang goyang dan debu beterbangan ke
udara. Ken Parantili lambaikan tangan.
“Ken
Parantili! Tunggu!”Wiro berteriak.
“Kau
hendak mengatakan sesuatu?” Tanya sang selir.
“Aku akan
memenuhi permintaanmu! Tapi aku ingin semua sahabatku yang ada di sini ikut
bersamaku!”
Ken
Parantili menatap ke arah sang pendekar lalu tertawa.
“Apakah
mereka semua juga ingin tidur denganku? Hik … hik! Yang ditakdirkan sebagai
penolong adalah dirimu seorang. Berarti yang aku tunggu kedatangannya di Negeri
Atap Langit juga hanya kau seorang.”
Begitu
selesai berucap, belahan batang pohon Beringin dimana sang selir berdiri
bergerak. Wusss! Batang pohon bersama, Ken Parantilli melesat ke langit. Dalam
sekejapan saja kemudian lenyap dari pemandangan.
“Celaka!
Bagaimana ini?!”Wiro berseru. Mata menatap ke arah belahan batang pohon
beringin yang mengambang di udara.
“Wiro,
tidak perlu kawatir. Kalau kau tidak bisa menolong selir itu dengan cara yang
dimintanya, biar saja dia mati di tangan Penguasa Negeri Atap Langit!” Ucap
Jaka Pesolek.
“Jangan-jangan
sahabatku ini sudah terpikat pada selir cantik jelita itu!”Kata Kunti Ambiri
menyindir.
Wiro
tersenyum pencong. Kepala digaruk. “Siapa yang akan mati aku tidak perduli.
Tapi kalau guruku, Ni Gatri dan kita semua bakal celaka sengsara mana aku
sudi!”
“Kita
semua bersahabat. Didalam kesulitan kita harus merasa senasib. Kita merasa
lebih dekat dari saudara kandung. Kita wajib saling membantu!”Tiba-tiba Jaka Pesolek
keluarkan ucapan dengan sikap gagah. “Wiro sahabatku, biar aku mewakili dirimu
pergi ke Negeri Atap Langit! Apapun yang terjadi dengan diriku akan menjadi
tanggung jawabku sendiri! Kalau sampai aku diambil selir oleh sang Penguasa,
kalian semua akan kebagian pesta besar! Ha … ha … ha!”
Habis
keluarkan ucapan dan umbar tawa bergelak Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat
melesat ke udara dan kurang dari sekejapan dia sudah berdiri di ujung belahan
batang pohon beringin sambil memegang erat-erat satu cabang. Dedaunan dan akar
pohon bergetar, mulai mengeluarkan suara bersiur.
“Banci
sialan! Apa yang kau lakukan!”Teriak Ratu Randang.
“Jangan
memaki begitu! Aku merasa gamang! Aku pingin kencing! Aduuhhh!” Jaka Pesolek
berteriak menjawab.
“Kalau
manusia satu itu tidak dicegah urusan bisa jadi kapiran!”Kata Kunti Ambiri.
Lalu gadis cantik alam roh ini pegang lengan kiri Ratu Randang. Sekali
mengenjot kaki, keduanya telah melesat ke arah belahan batang pohon beringin.
“Wiro!
Kita harus berbuat sesuatu! Ikuti aku!”
Teriak
Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi lalu kakinya yang hanya satu menjejak ke
tanah. Tubuh melesat mental ke udara.
Wiro
memandang ke kiri dan kanan. Dia tinggal sendirian di tempat itu.
“Wiro!
Lekas! Kunti Ambiri berteriak sementara belahan pohon mulai bergerak.
Tidak
pikir panjang lagi murid Sinto Gendeng segera melompat pula ke udara, jungkir
balik satu kali dan di lain saat dia sudah menjejakkan kaki di atas belahan
batang pohon beringin, tepat di samping Ratu Randang.
Si nenek
memeluk pinggangnya. “Hidup mati kita semua sama-sama!”Kata Ratu Randang pula.
Lalu cuppp! Tanpa malu-malu dia mengecup bibir sang pendekar! Kemudian si nenek
berbisik “Jangan salah menghitung. Tinggal berapa ciuman lagi hutangku? Hik …
hik … hik!”
Gila kau
Nek! Dalam keadaan begini siapa yang sempat menghitung!”Jawab Wiro. Ratu
Randang kembali tertawa cekikikan.
*********************
TIGA
BELUM
selang berapa lama kelima orang itu melayang di udara, langit di sebelah barat
kelihatan berubah kemerahan. Di kejauhan sang surya tampak bulat besar dan
merah laksana bola api. Belahan batang pohon Beringin membawa mereka terbang
membelakangi matahari ke arah timur. Sambil memegang kuat-kuat salah satu
cabang pohon Beringin Kunti Ambiri yang berdiri paling ujung di samping kiri
Pendekar Dua Satu Dua berkata perlahan dibawah deru angin.
“Wiro,
tadi di depan para sahabat aku tidak mau bicara apa yang aku rasakan. Sekarang
aku berterus terang padamu, walau aku tidak suka tapi sebenarnya kau harus
menolong selir itu. Aku punya dugaan dia tidak akan menipu dirimu setelah
mendapat pertolongan.”
Wiro
menatap wajah Kunti Ambiri sesaat lalu berkata. “Sebagai sahabat, kau merasa
ikhlas aku tidur dengan selir itu?”
Kunti
Ambiri tidak menjawab. Dia palingkan kepala dan menatap ke arah barat.
Ucapannya tidak ditujukan pada Wiro tapi pada semua orang yang ada di atas
batang pohon Beringin. “Kita belum lama melayang di udara. Rasanya belum jauh
meninggalkan kawasan Candi Plaosan. Mengapa udara mendadak berubah seperti
matahari mau tenggelam?”
“Ini
keanehan yang ada sangkut paut dengan Negeri Atap Langit. Ingat ucapan selir
bernama Ken Parantili itu? Dia mengatakan Negeri Atap Langit hanya sejengkal ke
arah matahari terbit. Walau tidak terasa kita sebenarnya melayang sudah cukup
lama. Ketika meninggalkan Plaosan sang surya baru menggelincir ke barat. Kini
siap hendak tenggelam…”Yang berkata adalah Ratu Randang.
“Aku
melihat puncak sebuah gunung! Di sana!”Tiba-tiba Sakuntaladewi berseru sambil
menunjuk ke arah depan.
Semua
orang memandang ke arah yang ditunjuk. Memang benar. Sebuah gunung besar
menjulang tinggi hijau kebiruan. Lereng sebelah atas sampai ke puncak tertutup
kabut putih.
“Gunung
apa ini?”Tanya Ratu Randang. Lalu dia, menjawab sendiri. “Janganjangan Gunung
Semeru. Berarti kita akan memasuki kawasan Negeri Atap Langit!”
Semua
orang serta merta menjadi tegang. Mendadak belahan batang pohon beringin dimana
kelima orang itu berada bergerak turun kebawah, menerobos kabut putih.
Samar-samar kelihatan puncak gunung yang memiliki sebuah kawah luas. Udara
mendadak berubah, dingin hingga Wiro, Ratu Randang, Jaka Pesolek, Kunti Ambiri
dan Sakuntaladewi menggigil.
“Aneh,
mengapa kita tidak dibawa naik ke atas, malah turun ke bawah!”
Berseru
Ratu Randang. Si nenek cantik punya firasat di balik keanehan itu sesuatu akan
terjadi.
“Aduh
dingin sekali! Aku mau kencing. Tapi tidak bisa!”Jaka Pesolek mengeluh, tubuh
terbungkuk. bungkuk.
“Hai! Batang
pohon ini seperti melayang mau melempar kita ke dalam kawah!”Berseru
Sakuntaladewi.
Wiro yang
juga sudah menyadari kejanggalan itu segera berteriak.
“Cepat
menelungkup! Berpegang kuat-kuat pada batang kayu!”Semua orang mengikuti apa
yang dikatakan dan dilakukan Wiro. Namun sebelum sempat menelungkup, ketika
berada hanya satu tombak di atas puncak gunung pada bibir kawah sebelah
selatan, mendadak belahan batang pohon beringin bergetar keras lalu melenting
ke bawah. Semua orang berteriak keras. Ratu Randang, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek
dan Sakuntaladewi terpental, jatuh bergedebukan di puncak gunung. Wiro sendiri
tidak ikut terpental. Dia segera hendak melompat turun ke tanah tapi menjadi
kaget karena tidak mampu bergerak. Ternyata secara aneh ranting-ranting dan
akar gantung pohon Beringin menjirat tubuhnya dengan kencang. Selagi empat
orang di bawah sana kelabakan selamatkan diri, belahan batang pohon Beringin
kembali melesat ke udara, menembus kabut tebal di puncak gunung, lenyap dari
pemandangan.
Ratu Randang
dan Kunti Ambiri pertama sekali bangkit berdiri. Mereka memandang berkeliling
dan hanya melihat Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek yang saat itu tengah
berusaha bangun.
“Wiro
tidak ada di sini!”Teriak Kunti Ambiri.
Ratu
Randang menatap ke langit. “Pohon beringin itu membawanya ke Negeri Atap
Langit. Kita dicampakkan di tengah jalan, di puncak gunung ini. Aku
mengawatirkan keselamatan pemuda itu.”
“Apa yang
harus kita lakukan?”Tanya Jaka Pesolek. “Kita bisa mati kedinginan di tempat
ini. Kalian semua punya tenaga dalam dan hawa sakti. Bisa bertahan. Bagaimana
diriku?!”
“Selagi
masih ada sisa terang matahari kita harus cepat mencari kayu untuk dibuat
perapian. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Malam tiba. Kita akan
mengalami kesulitan jika nekad menuruni gunung ini dalam kegelapan!”Kata Ratu
Randang pula.
“Nyala
api bisa sebagai tanda bagi Wiro jika dia nanti mencari kita!”Berkata
Sakuntaladewi.
Sebelum
sang surya tenggelam orang-orang itu berhasil mengumpulkan cukup banyak kayu
untuk dibuat perapian. Namun karena basah tidak mudah membakarnya. Kunti Ambiri
lalu pergunakan ilmu kesaktian. Dengan sambaran cahaya panas berwarna hijau
yang keluar dari telapak tangan kanannya, tumpukan batang dan ranting kayu
menyala membentuk kobaran api.
Sambil
mencangkung di depan perapian Jaka Pesolek berkata. “Apa kita harus tetap
berada di sini semalam suntuk?”
“Memangnya
kau mampu mau pergi kemana?”Tanya Kunti Ambiri.
“Bukan
mau pergi kemana. Tapi apa kalian tidak akan melakukan sesuatu untuk mencari
tahu dimana beradanya Wiro sekarang. Atau mencari tahu dimana anak perempuan
bernama Ni Gatri itu disekap dan menolongnya?”
“Kalau
tahu kami tidak mungkin akan berdiam diri saja. Selain itu malam gelap begini
rupa kita bisa berbuat apa?! Ini daerah serba asing bagi kita semua. Salah
melangkah bisa celaka!”Menyahuti Kunti Ambiri.
“Tempat
ini dingin dan angker. Aku takut ada binatang buasnya. Lalu tidak mustahil ada
hantu gentayangan di sekitar sini. Aku rasa-rasa mencium bau kemenyan.”
“Hidungmu
sudah rusak! Kami tidak mencium bau apa-apa!”Kata Ratu Randang. “Mungkin
mulutmu yang bau kemenyan! Hik…hik!”
“Kalaupun
ada hantu di sini, past! kau yang dicekiknya duluan hingga kau
terkencing-kencing!” Menyambung Kunti Ambiri.
Sakuntaladewi
dan Ratu Randang senyum-senyum mendengar ucapan Kunti Ambiri.
Jaka
Pesolek merengut. Tiba-tiba gadis ini menjerit keras sambil menunjuk dengan
tangan bergetar, mata nyalang ke arah satu gundukan batu.
“Kunti!
Mulutmu asin! Lihat di sana! Ada hantu di dekat batu besar!”
Semua
orang sama-sama palingkan kepala ke arah beberapa gundukan batu besar. Mata
mereka sama-sama mendelik. Di atas salah satu gundukan batu yang gelap karena
tertutup bayang-bayang lamping tinggi pinggiran kawah, tampak sosok berjubah
panjang dan bersorban duduk bersila. Anehnya tidak ada bagian tubuh yang
menyentuh batu. Tubuh itu mengambang satu jengkal di atas gundukan batu.
Ratu
Randang yang paling terkesiap. Perlahan-lahan mulutnya berucap. “Itu bukan
hantu ……”
“Matamu
buta apa rabun Nek!”Kata Jaka Pesolek.
“Jelas
terlihat dari sini sosok mahluk itu tidak menyentuh batu, mengambang di udara!
Di sekitar tubuhnya ada kabut. Di sini tidak ada kabut! Dari hidungnya mengepul
keluar asap!”
Ratu
Randang tidak perdulikan ucapan. Perlahan lahan dia melangkah mendekati sosok
mengambang.
“OalaNek!
Kau pingin dicekik duluan oleh hantu itu!”Kata Jaka Pesolek.
Sakuntaladewi
walau merasa ragu perlahan-lahan langkahkan kaki mengikuti si nenek. Kunti Ambiri
dan Jaka Pesolek saling pandang.
“Sahabat,
kau jangan pergi mengikuti mereka,”kata Jaka Pesoiek.
Tapi
ternyata Kunti Ambiri kemudian telah bergerak pula menyusul. Sambil menekap
bagian bawah perutnya, terbungkuk-bungkuk akhirnya Jaka Pesolek terpaksa
mengikuti pula walau dengan tengkuk terasa dingin. Di depan sana gundukan batu
besar di atas mana orang berjubah dan bersorban duduk mengambang pancarkan hawa
luar biasa dingin. Sosok di atasnya seperti mengepul.
*********************
EMPAT
RATU
RANDANG sampai di depan gundukan batu, hentikan langkah, menatap ke arah orang
yang mengambang bersila. Si nenek kerahkan hawa sakti untuk menahan hawa dingin
yang keluar dari batu.
“Seperti
tengah bersemedi ….”Kata Sakuntaladewi dalam hati dan tak mau melangkah lebih
dekat. Sementara Kunti Ambiri memperhatikan tidak berkesip dan Jaka Pesolek
sengaja berdiri menjauh.
“Embah
Buyut Kumara Gandamayana, engkaukah ini …. ?” Ratu Randang menyapa.
Tak ada
jawaban. Sosok yang mengambang di atas batu tidak bergerak. Di belakang si
nenek tiga orang memperhatikan dengan tegang.
“Embah
Buyut Kumara Gandamayana. Maafkan kalau kami mengganggu. Apa ini benar sosok
dirimu? Aku yang bertanya adalah orang yang pernah kau selamatkan. Ingat?”
Sepasang
bahu mahluk di atas batu bergerak sedikit. Perlahan-lahan kepala berputar ke
kiri ke arah Ratu Randang dan tiga orang di belakangnya. Begitu wajah di bawah
sorban terlihat jelas Jaka Pesolek terpekik duluan, jatuh terduduk di tanah.
“Apa
kataku!”
“Criiit!”
Wajah
Jaka Pesolek berubah ketika mendadak saja dia terkencing tapi hanya sedikit
lalu berhenti!
Ratu
Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama-sama keluarkan suara tercekat,
serentak mundur satu langkah. Begitu kepalanya menghadap lurus ke arah mereka,
terlihat jelas ternyata wajah mahluk di atas batu itu merupakan tengkorak
berwarna putih, sepasang mata yang bolong gelap hitam angker. Pipi cekung,
mulut menyeringai, barisan gigi tersingkap menakutkan!
Tangan
kiri mahluk muka tengkorak batu bergerak. Tangan yang tersingkap dari lengan
jubah kelabu itu ternyata berupa tangan jerangkong alias hanya tulang belulang.
Tangan itu mengusap ke arah wajah. Mulut merenggang keluarkan ucapan perlahan.
“Harap
maafkan, aku belum sempat merubah diri dari ujudku yang asli hingga kalian
semua menjadi ketakutan.”
Ucapan
berakhir, tangan kiri yang mengusap turun ke bawah, wajah berupa tengkorak
langsung berubah menjadi wajah jernih seorang kakek. Ratu Randang lepas nafas
lega. Kunti Ambiri terdiam, otak berpikir, Sakuntaladewi dan juga Jaka Pesolek
ikutan lega. Mahluk di atas batu ternyata memang adalah Embah Buyut Kumara
Gandamayana yang sebelumnya telah menyelamatkan Ratu Randang dari racun Cakar
Delapan Sukma Merah dan membawanya masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa menemui
Empu Semirang Biru.
“Embah Buyu
Kumara Gandamayana, aku Ratu Randang dan para sahabat merasa gembira bertemu
denganmu. Kalau boleh bertanya mengapa kau berada di puncak Gunung Semeru ini?
Eh, apa aku salah menyebut nama Gunung?”
“Ratu
Randang, dari mana kau tabu kalau dirikuadalah Embah Buyut Kumara
Gandamayana?”Si kakek di atas batu balik bertanya.
“Waktu
kau menolongku sampai di Ruang Segi Tiga Nyawa di dalam tanah di bawah Candi
Plaosan, bukankah kau mengatakan bahwa orang tua di dalam ruangan itu yang akan
memberitahu siapa dirimu? Nah aku tahu dari dia!”
“Empu
Semirang Biru?”tanya si kakek lagi ingin menegaskan.
“Benar.”Jawab
Ratu Randang.
“Apakah
dia memberi tahu namaku?”
Ratu
Randang menggeleng.
“Kek, apa
benar kita saat ini berada di puncak Gunung Semeru?” Sakuntaladewi bertanya.
“Benar
sekali. Ini kawasan sangat berbahaya karena sering dilewati oleh berbagai macam
mahluk halus yang pulang pergi ke Kawasan Atap Langit. Aku juga tidak menyangka
bisa bertemu kalian di sini. Kalau aku hitung, ada seorang yang kurang. Mana
pemuda berambut panjang yang datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang
itu? Aku sengaja bersemedi memohon pada Para Dewa untuk dapat menemuinya.”
“Pemuda
itu tengah menuju ke Negeri Atap Langit. Tadinya kami sama-sama menaiki belahan
batang pohon Beringin yang dibawa oleh seorang perempuan muda mengaku bernama
Ken Parantili. Katanya dia adalah selir tertua dari Penguasa Atap Langit. Tapi
sewaktu sampai di puncak gunung belahan batang pohon Beringin melempar kami ke
bawah.”
Kakek di
atas batu terkejut mendengar penjelasan Ratu Randang itu. Tubuhnya yang masih
mengapung bergerak ke kiri, menghadap lurus ke arah empat orang di bawahnya
hingga kini baru mereka melihat kalau kedua pergelangan kakinya terikat oleh
seuntai rantai merah yang memancarkan cahaya nyala redup. Ratu Randang terkejut
karena mengenali rantai yang mengikat dua kaki Embah Buyut Kumara Gandamayana
adalah sama dengan rantai besi merah yang menggulung tubuhh Empu Semirang Biru
ketika berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa sebelum diputus habis oleh
Sakuntaladewi dengan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Rantai Kepala Arwah Kaki Roh!
Melihat
rantai di kaki si kakek Kunti Ambiri mendekati Ratu Randang dan berbisik Ingat
Empu sialan yang berusaha merampas keris sakti di dalam Ruang Segi Tiga
Nyawa?”Kunti Ambiri tidak menunggu jawaban si nenek, terus saja menyambung
bisikan.
“Jangan-jangan
ini satu tanda yang sama yaitu sebenarnya dia telah berada dalam kekuasaan dan
kendali dua Sinuhun….”
“Aku …”
Ucapan
Ratu Randang cepat dipotong oleh Kunti Ambiri sementara Sakuntaladewi datang
mendekat berusaha mendengar apa yang dibicarakan kedua orang ini.
“Nek,
ketika kita berada di Ruang Segi Tiga Nyawa dan belum tahu kalau Empu Semirang
Biru kemudian ternyata adalah orang susupan dua Sinuhun dan kita kebingungan
mau menolong Wiro bagaimana, tiba-tiba saja muncul sosok Embah Buyut Kumara
Gandamayana yang ternyata palsu. Di dalam tubuh jejadiannya mendekam nenek kurus
hitam gurunya Wiro. Nenek itu merampas kapak sakti dari dalam tubuh Wiro. Aku
kawatir Nek, kakek yang ada di hadapan kita, mengambang di atas batu sana
adalah juga mahluk jejadian susupan dua Sinuhun. Lihat di kakinya juga ada
rantai. Pasti untuk mengelabui kita…”
“Aku jadi
bingung,”kata Ratu Randang pula. Sepasang matanya yang juling menatap ke arah
kegelapan. “Kalau saja Wiro ada di sini, pasti dia bisa melihat apa ada mahluk
lain mendekam dalam tubuh kakek itu. Dulu aku pernah menawarkan bertukar ilmu.
Aku memberikan ilmu mengirim suara mengiang dia memberikan ilmu yang mampu
menembus pandang. Sayang dia tidak mau.”
“Sahabat
berdua,”Sakuntaladewi berkata. “Biar aku mengajukan pertanyaan.”
Lantas
gadis berkaki tunggal ini mendongak menatap ke arah Sosok bersorban dan
berjubah. “Kek, kami melihat kedua kakimu terikat rantai besi merah. Apa yang
terjadi?”
“Ah, aku
tidak begitu merisaukan rantai ini, Aku masih bisa berjalan bahkan berlari
leluasa.”Jawab Embah Buyut Kumara Gandamayana.
“Maaf,
yang kami ingin tahu mengapa kedua kakimu terikat begitu rupa? Siapa yang telah
berlaku jahat terhadapmu? Kau sendiri tentu saja tidak mungkin merantai kaki
sendiri.”Menukas Kunti Ambiri.
“Oh….Aku
berusaha menerobos masuk ke dalam Kawasan Negeri Atap Langit. Untuk menggagalkan
agar di lain ketika tidak ada lagi upacara Sesajen Atap Langit. Tapi ilmu
kesaktianku masih terlalu rendah. Penguasa Atap Langit pergunakan tiga
pengawalnya untuk menghalangi. Lalu dengan ilmu kesaktian yang pernah diberikan
pada bocah sakti bernama Dirga Purana, dua kakiku dirantai.”Si kakek lalu
menceritakan apa yang dialaminya beberapa waktu lalu.
Pada
akhir cerita dia berkata. “Mengenai diriku tidak usah dipikirkan. Harap kalian
ceritakan apa yang terjadi dengan pemuda berambut gondrong itu. Jangan sampai
ada hal yang terlupakan.”
Kunti
Ambiri yang sesekali diselingi oleh Ratu Randan,g dan Sakuntaladewi lalu
menceritakan apa yang telah terjadi sementara Jaka Pesolek masih bersimpuh di
tanah. Dari tadi ingin kencing tapi tak bisa.
“Apakah
Pendekar dari alam delapan ratus tahun mendatang itu masih membekal delapan
Bunga Matahari kecil?”Bertanya Embah Buyut Kumara Gandamayana.
“Kek,
bagaimana kau tahu kalau sahabatku itu membekal delapan Bunga Matahari
kecil?”Tiba-tiba saja Jaka Pesolek membuka mulut setelah sekian lama berdiam
diri. Nada suara dan raut wajahnya membayangkan rasa curiga.
*********************
LIMA
EMBAH
Buyut Kumara Gandamayana menatap Jaka Pesolek beberapa ketika. Wajahnya tetap
jernih dan sikapnya tetap tenang.
“Anak
gadis, ah tahu siapa dirimu. Kalau bukan karena pertolonganmu bersama gadis
berkaki satu itu niscaya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak akan dapat
diselamatkan dari orang-orang dua Sinuhun. Mengenai delapan Bunga Matahari
kecil. Bukankah bunga itu tadinya berasal dari sekuntum bunga Matahari besar
milik gadis berkaki satu itu? Bunga diberikan pada Kesatria Panggilan sewaktu
dirinya ditolong dari himpitan batu besar. Bunga diisi kesaktian oleh Patung
Nyi Roro Jonggrang sewaktu dibawa oleh Kesatria Panggilan ke dalam Candi Siwa.
Kuasa Para Dewa melalui sang patung membuat bunga Matahari menjadi bunga sakti.
Mampu memberi pertolongan, meredam dan menghancurkan kejahatan. Mampu mengobati
berbagai penyakit aneh. Suatu ketika Nyi Roro Jonggrang merubah bunga Matahari
besar menjadi delapan kuntum bunga lebih kecil. Dibalik kejadian itu tentu ada
maksud terkandung. Begitu riwayat yang aku ketahui. Maafkan kalau aku keliru.”
“Embah
Buyut, kau tidak keliru. Apa yang kau katakan benar adanya. Delapan Bunga
Matahari ada bersama Wiro, pemuda berambut panjang itu.”Berkata Sakuntaladewi.
“Terima
kasih kau memberi tahu. Aku jadi merasa lega,”kata si kakek pula.
“Embah
Buyut, apa kau bisa melakukan sesuatu untuk menolong Wiro?” Bertanya
Sakuntaladewi.
“Aku dan
kita semua disini tidak bisa melakukan suatu apapun. Kecuali memanjatkan doa
kepada Yang Maha Kuasa, memohon agar Wiro selamat pergi dan selamat kembali.
Mendengar cerita kalian bahwa ada seorang selir bernama Ken Parantili meminta
pertolongannya dan berjanji akan membalas budi, aku memang pernah menyirap
kabar kalau di Negeri Atap Langit ada selir bernama Ken Parantili. Aku juga
tahu kalau Penguasa Atap Langit punya kebiasaan, setiap enam purnama membunuh
selir tertua lalu mencari ganti yang baru.”
“Kek,
kalau kau mahluk dari alam arwah, mengapa sulit masuk ke dalam Kawasan Atap
Langit?”Bertanya Kunti Ambiri.
“Ada
putih ada hitam. Di antara keduanya seharusnya ada abu-abu. Tapi di Kawasan
Atap Langit tidak ada yang disebut abu-abu. Yang putih tidak akan mampu masuk,
ke dalam hitam. Begitu kira-kira perumpamaannya. Dan seperti ceritaku tadi, aku
sudah mencoba menerobos masuk melewati pintu yang disebut Pintu Gerbang Atap
Langit. Tapi aku tidak sanggup melewati tiga pengawal berujud tiga ekor
Kelelawar.”
“Hanya
tiga ekor Kelelawar dan orang sakti sepertimu tidak sanggup mengalahkan?”Ucap
Jaka Pesolek pula.
“Tiga
Kelelawar itu bukan binatang biasa. Mereka bisa bicara seperti manusia. Tubuh
mereka besarnya sepuluh kali tubuhmu!”Menjawab Embah Buyut Kumara Gandamayana.
Jaka
Pesolek ternganga. Tapi bertanya lagi. “Kek, apa kau pernah melihat Penguasa
Atap Langit itu?”
Embah
Buyut Kumara Gandamayana menggeleng. “Aku tidak pernah bertemu atau melihatnya.
Konon, orang luar yang mendapat izin masuk ke dalam Kawasan Atap Langit tapi
bukan kerabat yang sudah dikenalnya, maka orang itu harus berdiri dengan kepala
di tanah kaki di atas baru dapat meliat ujud sang Penguasa.”
Semua
orang yang ada di tempat itu sama-sama terdiam mendengar keanehan yang
dikatakan si kakek.
“Sekarang
sebaiknya kita duduk di tanah mengelilingi perapian. Masingmasing memanjatkan
doa pada Yang Maha Kuasa agar sahabat kita Satria Panggilan bisa kembali dan
berkumpul lagi. Sesungguhnya Para Dewa telah menentukan bahwa hanya pemuda itu
kelak yang diberi kekuatan dan kemampuan untuk memunculkan bulan biru di langit
Mataram.”
“Bulan
biru … ?”Ujar Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek hampir berbarangan.
“Agaknya
akan ada lagi satu kejadian besar di Bhumi Mataram Kek?”Tanya Ratu Randang.
“Aku tak
bisa mengatakan karena pengetahuanku tidak sejauh itu.”Habis berkata begitu
Embah Buyut Kumara Gandamayana melayang turun ke bawah dan dalam keadaan
bersila, dia duduk di tanah.
Dari
balik jubahnya kakek ini keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun jati kering
berisi kumpulan doa mohon perlindungan dan keselamatan. Si kakek kembangkan
kitab dan siap mulai membaca. Sakuntaladewi dekati Ratu Randang dan berbisik.
“Nek, kau
masih menyimpan keris sakti. Bagaimana kalau dipakai untuk memutus rantai besi
merah yang mengikat dua kaki kakek itu?”
“Sebenarnya
aku sejak tadi sudah memikirkan hal itu,”jawab Ratu Randang.
“Tapi aku
masih was-was dan ingat kejadian Empu Semirang Biru. Begitu rantai yang
menggulung tubuhnya putus, dia berubah menjadi mahluk jahanam, lalu melarikan
diri setelah lebih dulu mencelakai kita. Terserah pada para sahabat semua.
Kalau kakek satu ini memang perlu ditolong, aku akan keluarkan keris sakti itu
untuk menghancurkan rantai merah. Tapi kita semua harap berlaku waspada. Begitu
melihat ada kelainan, ingat! Hanya satu hal yang kita lakukan! Menghabisi kakek
itu!”
Mendengar
ucapan Ratu Randang, semua orang kecuali Jaka Pesolek secara diam-diam segera
kerahkan tenaga dalam.
Di depan
sana Embah Buyut Kumara Gandamayana sebenarnya mendengar orang bicara
berbisik-bisik dan juga melihat gelagat ke empat orang itu. Namun berpura-pura
tidak tahu si kakek tundukkan kepala dan mulai membaca kitab doa yang
diletakkan di pangkuannya. Saat itu dia masih duduk bersila dengan tubuh
menyentuh tanah.
“Doa
Keselamatan
Memanjatkan
doa dengan hati yang suci
Menyampaikan
doa dengan jiwa yang pasrah
Hanya
kepada Yang Maha Kuasa
Itulah
doa yang paling didengar oleh Yang Di Atas
Doa
keselamatan
Bukan
bagi diri sendiri
Tapi
untuk seluruh ummat
Itulah
doa yang paling terpuji
Ketika
insan ……..”
Kunti
Ambiri pertama sekali bergerak.
“Jangan
melakukan apa-apa dulu! Biar aku bicara dulu,”kata Jaka Pesolek dengan
tiba-tiba lalu beringsut ke belakang Ratu Randang kemudian cepat, berdiri dan
berkata ditujukan pada Embah Buyut Kumara Gandamayana.
“Kek,
kami berniat memutus rantai merah yang mengikat kedua kakimu! Kami mohon
izinmu.”
Embah
Buyut Kumara Gandamayana angkat kepala sedikit, menunduk lagi dan meneruskan
bacaannya yang tadi terputus karena ucapan Jaka Pesolek.
“Ketika
insan dalam sengsara
Mereka
memohon pertolongan Yang Maha Kuasa
Ketika
insan dalam suka cita
Mereka
tidak ingat Dia Yang Di Atas
Ketika
insan….”
“Kek!
Maafkan aku! Kami para sahabat di sini ingin menolong memutuskan rantai besi
merah yang mengikat kedua kakimu. Apakah kau mengizinkan?!”Jaka Pesolek kembali
keluarkan ucapan. Kali ini lebih keras, setengah berseru.
Kembali
Embah Buyut Kumara Gandamayana hentikan bacaan, angkat kepala dan menatap ke
arah Jaka Pesolek.
“Anak
gadis, terima kasih atas niat baikmu dan juga semua yang ada di sini. Tapi
seperti kataku tadi. Aku tidak begitu perduli dengan rantai ini. Aku masih bisa
berjalan bahkan berlari. Lebih baik kalian semua mendengarkan bacaanku dan ikut
berdoa dalam hati untuk keselamatan did kalian, keselamatan pemuda berambut
panjang itu dan keselamatan Kerajaan.”
“Tapi
Kek, kami kawatir!”Kata Jaka Pesolek pula.
“Kau
mengkawatirkan apa, anak gadis?”Tanya si kakek.
“Kalau
rantai itu masih menempel di tubuhmu, bisa-bisa mahluk seperti dua Sinuhun
menyusupkan roh jahat ke dalam dirimu.”
“Aku
sudah menjadi mahluk alam roh hampir seratus tujuh puluh tahun. Mengapa aku
harus takut dengan sesama roh sekalipun mereka berniat jahat … ?”
Kunti
Ambiri maju selangkah.
“Sebelumnya
mahluk berujud menyerupai cucumu telah kesusupan guru Kesatria Panggilan. Kami
kawatir akan terjadi hat yang sama. Harap kau mau menerima pertolongan kami
“Berkata Kunti Ambiri lalu memberi isyarat pada Ratu Randang. Nenek ini segera
mengeluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dibungkus robekan kain dari balik
pakaiannya lalu diserahan pada Sakuntaladewi. Selagi si kakek mengerenyit
melihat cahaya-cahaya aneh yang melingkari senjata sakti itu, Sakuntaladewi
melompat ke depan sambil berkata.
“Kek,
maafkan kelancanganku!”
Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi dibabatkan ke bawah. Cahaya biru berkiblat, Sembilan
cahaya gabungan memancar silau.
“Traangg!”
Rantai
besi merah yang mengikat kedua pergelangan kaki Embah Buyut Kumara Gandamayana
bukan hanya putus tapi hancur lebur. Setelah memancarkan cahaya merah kemudian
berubah jadi asap dan akhirnya sirna di atas perapian. Ketika rantai besi
musnah, sosok si kakek terangkat sampai setengah tombak. Ketika turun lagi ke
tanah pakaian dan sorban yang dikenakannya mengepulkan asap. Begitu asap lenyap
semua orang yang ada di tempat itu berseru kaget, unjukkan air muka pucat dan
tersurut mundur!
*********************
ENAM
UJUD
Embah Buyut Kumara Gandamayana yang mengenakan sorban dan jubah kelabu serta
kasut putih sirna entah kemana. Yang kini tampak duduk bersila di depan
perapian adalah sosok jerangkong bertulang putih berkepala tengkorak! Tidak
seperti pertama kali dilihat, kali ini sosoknya hanya tinggal tulang belulang
polos karena tidak lagi bersorban tidak pula berjubah! Jaka Pesolek kembali
jatuh terduduk di tanah.
“Untung
bukan aku yang memegang keris dan memutus rantai besi itu…”kata gadis ini dalam
hati.
Di
tempatnya berdiri Sakuntaladewi merasa tengkuk dingin dan tubuh bergetar. Ratu
Randang dan Kunti Ambiri saling berpegangan. Ratu Randang kemudian cepat-cepat
mengambil Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Sakuntaladewi lalu menyimpan
dibalik pakaiannya.
“Embah
Buyut, apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah kami telah melakukan kesalahan
dan dosa besar?”Ratu Randang beranikan diri keluarkan ucapan.
Kepala
berbentuk tengkorak memandang ke atas, menatap ke langit kelam. Tulang mulut
yang ditonjoli barisan gigi terbuka sedikit. Lalu terdengar suara berucap.
Walau ujudnya jerangkong namun suara yang terdengar sama, tidak ada beda dengan
suara Embah Buyut Kumara Gandamayana.
“Tidak
ada kesalahan, tidak ada dosa yang telah kalian lakukan. Niat baik di hati
kalian adalah kebajikan besar yang pasti akan mendapat imbalan dari Yang Maha
Kuasa, Yang terjadi adalah aku tidak sanggup menerima kesaktian luar biasa yang
ada pada Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Selain menghancurkan rantai besi merah
yang mengikat kedua kakiku, keris juga telah membersihkan diriku. Kesaktian
senjata itu telah menembus jauh ke dalam alam arwah, membuat aku berubah,
kembali pada keadaan dan ujud diriku yang sebenarnya yaitu seperti yang
sekarang kalian saksikan sendiri.”
“Embah
Buyut, maafkan aku. Aku yang tadi memutus rantai itu dengan keris
sakti…”Berkata Sakuntaladewi dengan suara tersendat. Wajah gadis ini tampak
pucat.
Kepala
tengkorak bergerak menggeleng.
“Tidak
ada yang salah, tidak ada yang berdosa.”Kata mahluk jerangkong.
“Dalam
keadaan dan ujudku yang seperti ini, aku tidak mungkin berlama-lama berada di
alam terbuka. Aku harus segera kembali ke tempat asalku, alam arwah. Setelah
aku pergi kalian semua berhati-hatilah karena puncak Gunung Semeru ini sangat
dekat dengan Kawasan Atap Langit. Sebaiknya padamkan perapian agar keberadaan
kalian di tempat ini tidak diketahui. Bila berada di alam arwah, mudah-mudahan
aku masih bisa membantu kalian. Sesungguhnya Yang Maha Kuasa selalu mampu
melakukan apa yang tidak sanggup bahkan tidak terpikir oleh manusia ……”
Belum
selesai mahluk jerangkong berucap tiba-tiba dari lereng gunung arah timur
terdengar suara keras.
“Embah
Buyut Kumara Gandamayana yang aku kenal bernama Lor Pengging Jumena mengapa
berhiba hati seolah dirimu sudah lebur di alam baka! Aku Sinuhun Merah
Penghisap Arwah masih bisa menolongmu agar tetap berada dan hidup di muka bumi
ini. Sahabat tua, apa jawabmu?!”
Saat itu
juga di sebelah timur tampak selarik sinar merah. Semua orang yang ada di
tempat itu sama-sama tersentak kaget. Mahluk jerangkong cepat berdiri. Sebelum
menjawab mahluk ini meniup ke arah perapian hingga kobaran api serta merta
padam dan keadaan di tempat itu menjadi gelap gulita.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah, terima kasih atas tawaranmu. Tapi aku harus tahu diri.
Bumi alam terkembang bukan tempatku lagi …”
Suara
mahluk jerangkong terdengar keras lantang tapi anehnya suara itu seolah datang
dan memantul dari beberapa tempat.
“Pengecut!
Lor Pengging Jumena! Mengapa kau bicara mempergunakan ilmu Memantul Suara
Menghilang Jejak! Kau takut aku mengetahui dimana keberadaanmu?!”Sinuhun Merah
Penghisap Arwah memaki marah.
“Sinuhun
culas! Mahluk mana yang percaya padamu!”Jawab Embah Buyut alias Lor Pengging
Jumena.
“Lor
Pengging Jumena! Aku ingin bersahabat denganmu! Kita sama-sama mahluk alam
arwah! Dengan kesaktianku aku akan mengembalikan ujudmu dan kau bisa
menempatkan dirimu dimana kau suka. Sekarang bersiaplah menerima tanda
pengabdian berupa delapan benjolan merah sakti di keningmu!”
Selarik
cahaya merah di langit sebelah timur memancar terang, memecah menjadi delapan
lalu melesat ke arah jerangkong Embah Buyut Kumara Gandamayana yang ternyata
bernama Lor Pengging Jumena. Mahluk Jerangkong angkat tangan kanannya.
Sinuhun,
aku harus menolak maksudmu! Kita memang sama-sama mahluk alam arwah! Tapi ada
hati nurani yang membedakan di antara kita.”
Dari
tangan kanan yang diangkat memancar delapan cahaya putih kebiruan yang langsung
melesat menghadang sambaran delapan cahaya merah. Delapan dentuman keras
menggelegar di puncak Gunung Semeru. Tanah bergetar. Batu-batu bergoyang
mengeluarkan suara berderak. Beberapa pohon tumbang. Di atas langit tampak
seperti dibelah-belah oleh larikan cahaya putih dan merah. Di kejauhan
terdengar suara lolongan anjing dan gelepar sayap binatang yang tak tampak
ujudnya.
“Lor
Pengging Jumena! Kau telah melakukan perbuatan paling tolol di dunia
ini!”Terdengar teriakan dari arah timur.
“Sinuhun
Merah! Kalau ada mahluk tolol di dunia ini dan di alam arwah, mahluk itu adalah
dirimu! Tidak lama lagi kau akan melihat hasil ketololanmu itu!”
Selesai
keluarkan ucapan sosok jerangkong Lor Pengging Jumena melesat sepuluh tombak ke
udara lalu menukik ke bawah. Meski gelap namun semua orang yang ada di tempat
itu samar-samar masih bisa melihat bagaimana sosok jerangkong itu melesat masuk
dan lenyap di dalam kawah Gunung Semeru. Untuk beberapa lama suasana di tempat
itu selain gelap juga diselimuti kesunyian. Sampai terdengar suara Jaka Pesolek
berkata.
“Embah
Buyut tadi sudah memperingatkan agar kita berhati hati. Sebaiknya kita lekas
pergi sebelum mahluk bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul di sini.
Dengan ilmu gerakan kilatku kita bisa sama-sama meninggalkan tempat ini mencari
selamat. Kita hanya saling berangkulan saja …”
Sunyi
sesaat. Tak ada yang menjawab.
Lalu
terdengar suara Ratu Randang.
“Kalau
kau mau pergi silahkan saja. Tidak ada yang melarang. Aku akan berusaha masuk
ke Kawasan Atap Langit. Kalau tidak bisa aku akan tetap berada di sini.
Menunggu sampai Wiro kembali.”
“Aku juga
akan tetap di sini, Nek.”Kata Kunti Ambiri.
“Aku
juga,”ucap Sakuntaladewi.
Jaka
Pesolek pencongkan mulut. Lalu sambil menunduk dia berkata. “Terus terang aku
tidak ada niat meninggalkan kalian. Aku juga ingin menolong Wiro kalau bisa.
Sekarang begini saja. Aku akan pergi sendiri mencari yang namanya Negeri Atap
Langit itu. Kalian tetap menunggu di sini. Kalian tidak usah ikut. Jika aku
mati, maka aku akan mati sendirian. Kalian bertiga tetap selamat!”
Selesai
keluarkan ucapan Jaka Pesolek jejakkan dua kaki ke tanah. Saat itu juga tubuh
gadis cantik berbaju merah muda ini melesat ke udara, tampak mengecil di
kegelapan. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi seolah baru sadar apa
yang terjadi setelah sosok Jaka Pesolek lenyap di batas pandang.
Perlahan-lahan
Sakuntaladewi duduk di bekas perapian. Walau nyala api sudah padam namun masih
terasa ada hawa hangat memancar.
“Sahabat
muda, apa yang ada dalam pikiranmu?”Bertanya Ratu Randang ketika dilihatnya
Sakuntaladewi duduk termenung.
“Nek,
ketika Embah Buyut Kumara Gandamayana masih dalam ujud seperti manusia, aku
lupa menanyakan apa betul Keris Kanjeng Sepuh Pelangi bisa mengobati dan
mengembalikan keadaan kakiku seperti semula. Kalau memang bisa bagaimana
caranya…”
Ratu
Randang pegang bahu gadis berkaki satu itu. “Aku punya firasat, kesembuhanmu
hanya tertunda. Satu hari kelak, entah besok entah lusa berkat Yang Maha Masa
pasti akan berlimpah atas dirimu.”
Kunti
Ambiri mendudukkan diri di samping Sakuntaladewi lalu memeluk bahu gadis itu
dan berkata. “Aku tahu kau telah berkaul akan mengawini lelaki yang telah
menolongmu dari himpitan batu kutukan. Sekarang berdoa saja agar Wiro selamat
kembali dari Negeri Atap Langit.”
“Justru
yang aku kawatirkan Wiro akan terpasung di sana.” Sahut Sakuntaladewi. Sepasang
mata gadis ini tampak berkaca kaca.
Kunti
Ambiri terdiam. Diam-diam hatinya membatin. “Sahabat, kekawatiranmu adalah
kekawatiranku juga. Malah sekarang aku dihimpit beban batin yang sungguh besar.
Mengapa cintaku pada pemuda itu justru bersemi di Bhumi Mataram ini. Tapi jika
manfaat dirinya lebih besar untuk kesembuhan dirimu aku menaruh ikhlas, aku
rela…”Sepasang mata Kunti Ambiri mulai
merebak
basah. Ratu Randang perhatikan wajah kedua orang di hadapannya itu. Jauh di
lubuk hatinya muncul pertanyaan,
“Aku yang
jauh lebih tua, apakah masih bisa menuai harapan. Wahai Para Dewa. Mengapa aku
dilahirkan terlalu cepat hingga sudah jadi tua bangka ketika aku menaruh sayang
pada seseorang ….?”
Ketika
Kunti Ambiri mengangkat kepala dan memandang ke arahnya, si nenek cepat-cepat
memalingkan wajah. Dia tidak ingin gadis alam roh itu melihat kalau kedua
matanya juga telah basah!
*********************
TUJUH
KITA
ikuti apa yang terjadi dengan Empu Semirang Biru. Setelah kesusupan arwah jahat
Sinuhun Merah dan merasa telah mendapatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang
asli yang diserahkan Ratu Randang, sang Empu keluar dari Ruang Segi Tiga Nyawa
melalui sebuah lobang rahasia di lantai ruangan. Lobang yang menyerupai
terowongan panjang dan gelap itu seolah tidak berujung, Dadanya mulai sesak,
nafas terasa megap.
“Apa yang
terjadi dengan diriku sebenarnya? Aku tengah menuju kemana saat ini?”
Baru saja
sang Empu membatin mendadak dia merasa ada hembusan angin kencang dari arah
depan. Lalu ada seberkas cahaya terang. Tak selang berapa lama bruukk! Tubuhnya
tergelimpang di satu tempat yang tidak dikenainya. Di langit sang surya
memancar terik. Telinganya menangkap suara curahan air tiada henti.
Empu
Semirang Biru memandang berkeliling. Ternyata dia ada di dalam sebuah goa, berhadapan
dengan satu telaga ditebari bebatuan besar dan hitam. Antara telaga dan goa
mencurah bergemuruh air terjun. Di belakang air terjun terbentang rimba
belantara.
“Air
terjun…” Ucap Empu Semirang Biru dengan mulut ternganga. Dimana
ini…?”Perlahan-lahan dia berdiri, memandang lagi berkeliling. “Hatiku tidak
enak, aku harus segera meninggalkan tempat ini. Tapi mau menuju ke mana?
Menyeberangi telaga berarti menghadang bantingan air terjun yang beratnya
ribuan kati. Tubuhku bisa remuk! Atau masuk ke dalam goa. Mungkin di dalam goa
ada jalan rahasia.”
Tiba-tiba
ada suara mengiang di kedua telinga sang Empu.
“Empu
Semirang Biru, jangan berani beranjak dari tempatmu. Aku Sinuhun Merah
Penghisap Arwah segera menemuimu!”
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah!”Ucap Empu Semirang Biru dengan suara bergetar. Sepasang
lutut mendadak goyah. Tubuhnya jatuh terduduk di tanah.
Sekonyong-konyong
air terjun berhenti mencurah. Ada satu kekuatan luar biasa menahan gerak turun
air terjun. Lalu tampak satu celah besar. Tak lama kemudian beberapa orang
berkelebat melewati celah dan menjejakkan kaki di depan goa.
Ternyata
Sinuhun Merah Penghisap Arwah tidak datang sendirian. Bersamanya ikut serta
Sinuhun Muda Ghama Karadipa, Kesatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari,
serta seorang bocah lelaki yang berdiri sambil menggendong sosok anak perempuan
berwajah cantik ayu tapi pucat. Dalam gendongan tidak bergerak, mata terpejam.
Entah tidur entah pingsan. Sesekali si bocah menciumi wajah anak perempuan itu.
Walau
sebelumnya tidak pernah bertemu atau melihat namun Empu Semirang Biru bisa
menduga kalau kakek mengenakan belangkon dan pakaian serba merah itu adalah
Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia juga tidak kenal dengan Pangeran Matahari
serta Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Tapi sudah bisa menerka kalau anak lelaki
yang menggendong anak perempuan adalah bocah sakti Dirga Purana yang konon
dipanggil dengan sebutan Sang Junjungan. Anak perempuan yang digendongnya
pastilah Ni Gatri. Tahu berhadapan dengan siapa Empu Semirang Biru jatuhkan diri
setengah berlutut.
“Sinuhun
Merah dan semua yang datang bersama, salam hormat saya untukmu!”
Sinuhun
Merah usap janggut merahnya.
“Empu
Semirang Biru, apa kau tahu dan mengerti kalau aku yang telah menyusupkan
kekuatan arwah ke dalam tubuhmu dan mengendalikan dirimu sejak beberapa saat
setelah kau berada di Ruang Segi Tiga Nyawa?”Sinuhun Merah Penghisap Arwah
membuka mulut.
“Saya
tahu, saya mengerti Sinuhun,”jawab Empu Semirang Biru sambil tundukkan kepala
dan dada.
“Apa kau
sadar kalau aku pula yang mendatangkanmu ke tempat ini melalui Terowongan
Arwah?!”
“Saya
sadar Sinuhun.”Ucap sang Empu dan lagi-lagi sambil menundukkan kepala serta
sebagian badan. Kakek yang sudah dikuasai Sinuhun Merah ini tampak ketakutan
sekali.
“Apakah
kau telah berhasil melakukan tugas yang aku perintahkan melalui suara
mengiang?!”Tanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
“Saya
berhasil Sinuhun.”
“Sinuhun
Merah memerintahmu mengambil Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!” Berkata Sinuhun Muda
yang sejak tadi berdiam diri.
“Saya
berhasil mengambilnya Sinuhun. Keris sakti itu ada pada saya sekarang.”
Tepat
keluarkan dan serahkan padaku! Me. ngapa menunggu beriama fama?!”
Sinuhun
Muda maju dua langkah mendekati Empu Semirang Biru. Empu Semirang Biru sibakkan
pinggang pakaiannya lalu mengeluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Dengan
beringsut dia mendatangi Sinuhun Muda, serahkan keris.
Sepasang
mata Sinuhun Merah bergeletar. Tampang bocah sakti Dirga Purana mengerenyit.
Pangeran Matahari tegak tak bergerak. Sinuhun Muda cepat mengambil keris dari
tangan sang Empu. Kakinya tersurut dua langkah. Keris tak bergagang tak
bersarung itu terasa dingin mati, berwarna merah kehitaman.
Dengan
cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan menghitung luk di badan keris, “Sinuhun
Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk. Tapi rasanya ada sesuatu…”
“Kemarikan
senjata itu. Aku akan meneliti!”Kata Sinuhun Merah yang sejak pertama kali
melihat keris sudah menaruh curiga. Begitu juga dengan bocah sakti Dirga Purana
walau sibuk dengan Ni Gatri yang berada dalam keadaan tidak sadar dan berada
dibawah pengaruh totokan.
Begitu
memegang keris, Sinuhun Merah segera mendekatkan senjata itu ke hidung. Di
bawah hidung keris digerakkan ke kiri dan ke kanan sambil mencium.
“Palsu!”Teriak
Sinuhun Merah menggeledek. Mata mendelik merah. Ini bukan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
yang ash! Keris jahanam ini terbuat dari kepingan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh!
Aku bisa menciumnya! Empu keparat! Kau berani menipuku!”
“Bukk!”
“Kraakk!”
Empu
Semirang Biru menjerit keras ketika dadanya dihantam tendangan Sinuhun Merah.
Dua tulang iganya patah! Megap-megap orang tua ini berkata.
“Saya
mana berani menipu. Keris itu saya terima langsung dari Ratu Randang.”
“Ah,
pasti nenek jahanam itu yang punya pekerjaan. Dia memang punya ilmu merubah
diri dan benda…”Kata Sinuhun Muda pula,
Sinuhun Merah
melangkah mendekati Dirga Purana. “Junjungan, coba kau lihat. Apa pendapatmu?”
Keris
diangsurkan ke depan.
Si bocah
tersenyum. “Yang namanya keris sakti pasti akan memancarkan cahaya, redup atau
terang. Ada hawa dingin atau hangat. Kau benar Sinuhun Merah. Keris ini bukan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sama sekali tidak ada cahaya kehidupan. Bahannya
terbuat dari besi merah Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Logam Arwah milik kita
sendiri yang sudah lenyap kesaktiannya!”
“Kurang
ajar! Kalau begitu Empu celaka ini harus dihabisi sekarang juga! Kesatria Roh
Jemputan! Bunuh tua bangka penipu itu!”Teriak Sinuhun Merah Penghisap Arwah
memerintah Pangeran Matahari.
Pangeran
Matahari menyeringai tapi dia tidak melangkah ke arah Empu Semirang Biru
melainkan mendekati Sinuhun Merah lalu bicara setengah berbisik bisik. Sinuhun
Merah terdiam sejenak mendengar apa yang dikatakan Pangeran Matahari. Lalu
tampak senyum menyeruak di mulutnya. Dengan tangan kirinya dia menepuk-nepuk
bahu Pangeran Matahari.
“Tidak
percuma kau digelari Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala
Licik, Segala Congkak. Sesuai usulmu aku akan segera mengatur siasat!”
Sinuhun
Merah lalu menjambak rambut Empu Semirang Biru.
“Sekali
ini aku ampuni nyawa busukmu! Tapi kau harus melakukan satu pekerjaan untukku!
Kau dengar?!”Sinuhun menyentakkan jambakannya hingga tubuh Empu Semirang Biru
terangkat sampai beberapa jengkal ke atas.
“Ampun
Sinuhun. Saya tidak tahu telah berbuat dosa apa! Saya akan lakukan apapun yang
Sinuhun perintahkan.”Kata Empu Semirang Birti dengan wajah meringis akibat
sakitnya jambakan, juga ketakutan setengah mati.
“Kau
boleh menyimpan keris itu kembali. Pergi dari sini, cari Raja Mataram Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala! Berpura pura kau hendak menyerahkan keris itu padanya!
Saat dia berlaku lengah kau harus menikamnya dengan keris itu! Cukup satu
tikaman saja. Nyawanya pasti melayang! Aku akan memberi kekuatan berlipat ganda
pada dirimu dan membungkus keris dengan racun Cakar Sukma Merah!”
“Mohon
maafmu Sinuhun. Tapi saya tidak tahu dimana beradanya Raja Mataram…”
“Plaakkk!”
Satu
tamparan melanda pipi kiri Empu Semirang Biru hingga bibirnya pecah dan
kucurkan darah.
“Aku
tidak peduli kau tahu atau tidak dimana beradanya Raja keparat itu! Kau harus
mencari sendiri sampai dapat!”Bentak Sinuhun Merah dengan mata mendelik.
Keris
diserahkan pada Empu Semirang Biru.
Sinuhun
Merah kemudian pentang dua tangan. Telapak dikembang. Begitu cahaya kuning
kemerahan memancar, dia lalu sapukan dua tangan ke kepala, wajah, sekujur tubuh
dan kaki Empu Semirang Biru. Hal yang sama juga dilakukannya pada keris. Lalu
dari lipatan belangkon merahnya Sinuhun Merah mengambil sebuah benda bulat
merah sebesar ujung jari kelingking.
“Buka
mulutmu!”Bentak Sinuhun Merah.
Empu
Semirang Biru buka mulutnya. Sinuhun Merah masukkan benda bulat merah ke dalam
mulut sang Empu. “Telan!”Hardiknya.
Penuh
takut Empu Semirang Biru segera telan benda yang dimasukkan ke dalam mulutnya.
Sinuhun
Merah tertawa bergelak
“Benda
yang barusan kau telan adalah Racun Kala Merah! Jika dalam waktu tiga hari kau
tidak berhasil membunuh Raja Mataram, aku tidak akan memberikan penangkal! Kau
akan mampus dengan tubuh berubah leleh menjadi lendir. Sekarang lekas pergi
sana."
“Saya …
saya harus lewat mana?”Tanya Empu Semirang Biru kebingungan.
“Merangkak
di bawah selangkanganku! Cepat!” Jawab Sinuhun Merah lalu kembangkan dua kaki
lebar-lebar.
Empu
Semirang Biru tampak ragu. Tapi ketika dibentak disertai pelototan mata, orang
tua ini segera merangkak di tanah, bergerak memasuki bawah selangkangan Sinuhun
Merah. Sang Sinuhun tertawa gelak-gelak sambil berkacak pinggang,
Begitu
Empu Semirang Biru lewat dari bawah selangkangan mahluk alam arwah itu
tiba-tiba wusss! Sang Empu melihat sinar merah menyilaukan. Ketika sinar lenyap
tahu-tahu dia telah tersandar di salah satu dinding bangunan candi di kawasan
Plaosan Lor.
*********************
DELAPAN
KEMBALI
pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Di atas belahan batang pohon beringin Wiro merasa
kawatir memikirkan apa yang terjadi dengan Jaka Pesolek, Ratu Randang, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi setelah jatuh ke puncak Gunung Semeru.
“Walau
mungkin mereka tidak cidera, aku merasa ada satu kekuatan gaib sengaja
melemparkan mereka dari atas batang pohon ini. Kekuatan gaib tidak ingin mereka
ikut bersamaku ke Negeri Atap Langit. Mungkin selir itu yang melakukan?”
Wiro
memandang ke bawah. Kini semua tampak samar dalam keremangan senja. Belahan
batang pohon beringin melesat terus ke udara. Wiro merasa seperti dibungkus es
akibat luar biasa dinginnya angin yang menyapu tubuhnya. Daun telinga seolah
dikikis pisau tajam. Dia segera mengerahkan hawa sakti namun tidak cukup untuk
menghangati aliran darah dan kulit. Dia masih menggigil. Kalau saja Kapak Naga
Geni 212 masih ada padanya, hawa dingin bagaimanapun pasti bisa diredamnya.
Tiba-tiba
Wiro mendengar suara bersiur. Ketika mendongak ke atas dia melihat satu
pemandangan yang sulit dipercaya. Langit di atas kepalanya mendadak seperti
terbelah membentuk celah lebar.
“Wuuttt!”
Belahan
batang pohon beringin melesat memasuki dan melewati celah lalu dess! Begitu
lewat celah menutup kembali.
“Luar
biasa aneh. Apakah aku sudah memasuki Negeri Atap Langit?”Wiro memandang ke
bawah. Suasana terasa sangat sunyi. Tak ada suara bahkan hembusan anginpun kini
tidak terdengar lagi. Di kejauhan di ufuk barat sang surya tampak tinggal
separuh. Pertanda sebentar lagi akan tenggelam dan siang memasuki malam.
“Dimana
aku harus mencari selir bernama Ken Parantili itu? Sebentar lagi keadaan akan
menjadi gelap”Wiro kembali bertanya tanya dalam hati.
Perlahan-lahan
belahan batang pohon beringin bergerak turun. Saat itulah Wiro mulai mencium
bau aneh. Kemana pun dia berpaling udara menebar bau setanggi terbakar. Wiro
usap tengkuknya yang terasa dingin. Lalu dia melihat banyak bangunan beratap
aneh. Sama bentuknya dengan mahkota emas milik Ken Parantili, semua berwarna
kuning emas. Kelompok bangunan ini terletak di sebuah bukit. Merupakan kelompok
bangunan berjumlah sembilan belas, bersusun membentuk lingkaran, mengelilingi
satu bangunan besar di sebelah tengah. Dari gerakan batang pohon Wiro maklum
kalau dirinya tengah dibawa turun menuju bukit.
“Mungkin
ini kawasan Istana sang Penguasa”Pikir Wiro. Di beberapa tempat dia melihat nyala
obor namun terangnya tidak menerangi seluruh kawasan bukit. Tiba-tiba di arah
depan Wiro melihat tiga benda besar melayang cepat.
“Wuttt!”
“Plaak ….
plaak!”
Ada sayap
mengepak.
Bau busuk
menebar sesaat.
“Bukan
burung. Aneh, binatang apa itu. Sayapnya sepanjang batang pohon kelapa. Berbulu
lebat. Menebar bau busuk.”
Tiba-tiba
di udara malam menggema suara. Meski datangnya dari arah kejauhan tapi Wiro
bisa mendengar jelas.
“Penguasa
Atap Langit! Kami bertiga telah menyelidik. Tidak terlihat ada mahluk yang
menyusup! Suasana aman-aman saja!”
“Tiga
Ketelawar Pengawal Negeri Atap Langit! Tetap berjaga jaga. Aku masih merasa
getaran ganjil pada kedua telingaku! Periksa kembali delapan penjuru angin Atap
Langit! Jangan lengah! Malam ini sebelum fajar menyingsing aku harus melakukan
satu pekerjaan besar!”
“Kami
mengerti! Kami tidak akan berlaku lengah!”
“Minta
seratus Arwah Hitam dan Arwah Putih untuk turut berjaga-jaga! Pusatkan
perhatian kalian pada Puri Kesatu!”
“Perintah
segera kami lakukan!”
Udara
bergetar. Angin berhembus dingin.
“Tiga
Kelelawar Pengawal…”Ucap Wiro dalam hati. “Berarti yang aku lihat tadi adalah
tiga Kelelawar raksasa! Bicara dengan Penguasa Atap Langit! Heran, lewat di
atasku, mengapa tiga Kelelawar raksasa itu tidak melihat diriku? Paling tidak
seharusnya mereka melihat batang pohon Beringin yang menerbangkanku! Ada
seratus Arwah Hitam dan seratus Arwah Putih akan turun berjaga jaga. Apakah aku
bisa lolos tanpa ketahuan? Selir itu, berada di mana dia?”Pendekar 212 mulai
merasa kawatir kalau-kalau dirinya telah masuk jebakan orang!
Batang
pohon beringin membuat tiga kali putaran di atas bukit. Pada akhir putaran ke
tiga tiba-tiba batang pohon meluncur ke bawah cepat sekali, mengarah ke halaman
depan sebuah bangunan besar yang seluruh dinding terbuat dari kayu hitam penuh
ukiran-ukiran aneh. Atap berwarna kuning menyala. Ketika memperhatikan ke bawah
Wiro terkejut. Di halaman rumah besar tampak menancap belahan batang pohon
Beringin yang pasti adalah padanan belahan pohon Beringin yang menerbangkan
dirinya.
Belum
habis kejut murid Sinto Gendeng sekonyong-konyong batang pohon beringin yang
tadinya melayang melintang kini berputar. Bagian atas mengarah ke langit,
bagian akar mengarah ke bumi. Lalu cepat sekali belahan batang pohon ini
meluncur ke arah belahan pohon yang menancap di tanah dan desss! Sebelum dua
belahan batang pohon beringin menempel jadi satu dan akarnya menghunjam tanah
Wiro cepat melompat menjauh hingga tangan dan sebagian tubuhnya tidak sampai
terjepit.
Belum
sempat menarik nafas lega sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh angin
disertai hiruk pekik jeritan-jeritan menggidikkan. Ketika memandang ke atas
Wiro tersentak kaget. Puluhan mahluk menyeramkan berambut riap-riapan berwajah
putih dan hitam melayang di udara, berkelebat kian kemari. Gerak-gerik mereka
dan sorot pandangan mata seolah tengah mencari sesuatu. Yang mengerikan,
sepasang mata semua mahluk ini bisa
menjorok
keluar masuk dari rongganya yang cekung angker. Dari gerak-gerik serta cara
mereka memandang sambil sesekali mengendus panjang jelas dua ratus mahluk arwah
ini tengah mencari sesuatu. “Mereka pasti mencari aku! Jarak mereka hanya
beberapa jengkal di atas kepalaku, Aneh, mengapa tidak melihat diriku? Aku
merasa tidak menerapkan ilmu apa-apa? Ratu Randang juga tidak memberikan aku
ilmu untuk melenyapkan diri dari pandangan mahluk lain. Bagaimana bisa
terjadi?”
Setelah
melayang mundar-mandir berulang kali dekat pohon beringin dimana Wiro berada,
lalu mengitari bangunan di depan sana bahkan naik menebar menyelidik naik ke
atas atap. Merasa tidak ada yang janggal dan menganggap segala sesuatu dalam
keadaan aman akhirnya dua ratus mahluk arwah berwajah hitam putih tersebut
melayang menuju bangunan paling besar di puncak bukit. Hanya sesaat setelah dua
ratus mahluk arwah pergi tiba-tiba Wiro mendengar suara perempuan bernyanyi.
Tadinya
hati ini begitu kawatir
Lebih
menakutkan dari mendengar suara petir
Ternyata
sahabat telah datang untuk menanam budi
Selamat
datang di Puri Kesatu
Silahkan
masuk dengan ucapan terima kasih
Wiro
menatap ke arah bangunan. Dia mengenali suara orang yang menyanyi. Suara Ken
Parantili. Tiba. tiba kawasan kelompok sembilan belas bangunan disapu
kegelapan. Ternyata kegelapan itu ditimbulkan oleh bayangan tiga Kelelawar
raksasa yang kembali terbang di atas bukit. Tiga binatang alam gaib ini
keluarkan suara menguik panjang. Kepak sayap menggetarkan tanah menggoyang
pepohonan. Bau busuk menebar kemana mana mengalahkan bau setanggi walau hanya
sesaat. Sepasang mata merah memandang menyorot kian kemari. Wiro tegak tak
bergerak. Saat itu dia masih berada di halaman terbuka di depan bangunan yang
disebut Puri Kesatu.
“Tadi
selagi masih di atas belahan pohon mereka tidak melihatku. Aku kawatir sekarang
…”
Wiro
tetap berdiri tak bergerak di halaman bangunan Puri Kesatu. Dia tidak berusaha
mencari perlindungan atau tempat untuk sembunyi. Kawatir gerakannya justru akan
menarik perhatian. Dia, baru merasa lega ketika tiga Kelelawar raksasa akhirnya
meninggalkan tempat itu. Sementara itu dinginnya udara bukan kepalang. Tanah
basah ikut mengepulkan hawa dingin, kabut menggantung di beberapa tempat. Semua
bangunan basah seperti habis disapu hujan. Juga pepohonan yang ada di sekitar
tempat itu.
“Sahabat
dari negeri jauh, jangan berlama-lama di luar sana. Cepatlah masuk ke dalam
Puri Kesatu.”Terdengar suara Ken Parantili dari dalam bangunan berdinding hitam
beratap kuning. Kali ini tidak dalam bentuk nyanyian. Memandang ke arah
bangunan besar Wiro tidak melihat pintu ataupun jendela.
Sang
pendekar menggaruk kepala. Mau masuk lewat mana? Di dalam bangunan terdengar
suara tertawa,
“Sahabat,
maafkan diriku. Aku lupa memberi tahu kalau setiap bangunan di Negeri Atap
Langit tidak memiliki pintu tidak punya jendela. Satu satunya jalan masuk
adalah lewat atap. Melompatlah ke atas atap. Kau pasti akan menemukan jalan masuk.”
“Hemmm …”
Wiro menggumam. “Dia bisa tahu gerak-gerikku. Berarti selir itu bisa melihat
diriku dari dalam bangunan. Mengapa dia tidak keluar menampakkan diri?”Rasa
curiga kembali muncul dalam diri Pendekar 212. Wiro tidak menunggu lama. Dia
segera melompat ke atas atap bangunan. Sebelum kakinya menginjak atap, salah
satu bagian atap tiba-tiba terkuak ke atas membentuk pintu. Di bagian bawah
pintu ada tangga kayu berukir terdiri dari delapan anak tangga. Wiro cepat
menyelinap masuk dan menuruni tangga. Atap yang terbuka menutup kembali.
Setelah
menuruni tangga delapan undakan Pendekar 212 sampai di satu ruangan terbuka.
Ruang ini luas sekali tapi tidak ada satu perabotanpun. Juga tak kelihatan
pintu atau jendela. Hanya ada permadani besar berwarna kuning berhias delapan
garis merah terhampar di lantai. Di dua sudut ruangan menancap sepotong ranting
pohon berwarna hitam yang ujung membersitkan sinar terang tapi tidak cukup
terang untuk ruangan seluas itu hingga suasana di tempat itu redup temaram.
“Ken Parantili
… ? Kau berada di mana? Mengapa tidak menampakkan diri?”
Wiro
keluarkan ucapan. Dia jadi kaget sendiri ketika suaranya menggetarkan dinding
dan lantai permadani yang dipijak.
Setelah
getaran lenyap terdengar suara perempuan jawaban.
“Pendekar
Dua Satu Dua, melangkahlah ke tengah hamparan permadani. Tetap di tempatmu
berdiri, jangan bergerak sampai kau melihat ada kepulan asap putih berbentuk
lingkaran mengelilingi kedua kakimu.”
“Waktu di
luar sana, kau mudah saja datang menampakkan diri. Mengapa di tempat kediamanmu
justru harus melewati cara susah untuk menemui dirimu?”
“Sahabat,
lakukan saja apa yang aku katakan. Jika kau menaruh kawatir atau curiga maka
buang hal itu jauh-jauh. Satu hal aku beritahukan padamu, malam di Negeri Atap
Langit hanya setengah dari panjangnya malam di luar sana. Jadi kita harus
bertindak cepat.”
Wiro
menggaruk kepala. Mau tak mau dia, melangkah juga ke tengah ruangan yang
tertutup permadani. Seperti yang dikatakan Ken Parantili tiba. tiba lantai
mengepul. Memandang ke bawah Wiro melihat lingkaran putih di sekeliling kakinya
berubah merah lalu wuss! Satu lingkaran api menjulang ke atas setinggi kepala
Wiro!
*********************
SEMBILAN
WIRO
sekarang benar-benar sadar kalau dirinya telah masuk dalam jebakan Ken Parantili.
Nyala kobaran api yang hanya satu jengkal mengitari tubuhnya membuat Wiro
seperti dipanggang. Dalam kesakitan yang amat sangat Wiro masih bisa menahan
diri untuk tidak berteriak. Rahang menggembung, geraham bergemeletakan.
“Selir
jahanam! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!”Rutuk Wiro. Dia cepat
menjejakkan dua kaki ke lantai, siap melompat keluar dari lingkar kobaran api.
Tapi astaga! Dua kaki tak mampu bergerak! Dua telapak kaki laksana dipantek ke
lantai permadani merah sementara api semakin mendekat dan kini berjarak kurang
satu jengkal di sekitar tubuh dan kepalanya.
“Edan!”Wiro
memaki. Dalam keadaan seperti itu dia tidak kehilangan akal.
Dia
segera merapal ilmu kesaktian Angin Es pemberian Eyang Sinto Gendeng. Dua
tangan diangkat di depan dada, telapak dikembang. Desiran angin menderu keluar
dari dua telapak tangan. Wiro jadi terkejut. Hawa yang keluar dari dua telapak
tangan yang seharusnya dingin laksana es dan bisa membuat beku seantero ruangan
serta melindungi dirinya dari kobaran api, justru hawa itu malah panas!
“Celaka!
Mengapa bisa jadi begini?!”Wiro masih berusaha tenang walau kecemasan mulai
menghantui dirinya. Kobaran api memang belum membakar ataupun rambutnya namun
saat itu dia sudah merasa seperti digarang bara panas!
Keringat
membasahi tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki! Dalam keadaan seperti itu
Wiro segera hendak melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Matahari, dibarangi
dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Lagi-lagi sang pendekar
dibuat kaget dan kecut karena sekarang ternyata dia tidak bisa pula
menggerakkan kedua tangan!
“Ken
Parantili! Aku mengadu jiwa denganmu!”
Kertak
Wiro lalu sepasang mata dibuka lebar-lebar, mulut berteriak. “Sepasang Pedang
Dewa!” Kepala diarahkan ke jurusan dimana dia memperkirakan beradanya selir
sang Penguasa Negeri Atap Langit itu. Ilmu Sepasang Pedang Dewa adalah salah
satu dari beberapa kesaktian yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh. Sekali
ilmu diucapkan maka dari sepasang mata Pendekar 212 akan melesat keluar dua
larik sinar hijau laksana dua bilah pedang berkiblat ke arah sasaran. Konon
karena ilmu kesaktian ini luar biasa dahsyat maka hanya boleh dikeluarkan dua
kali dalam 360 hari dan dalam keadaan sangat terdesak. Namun sekali ini
lagi-lagi Wiro dibuat terkejut. Teriak rapalan yang menggeledek sama sekali
tidak mengeluarkan sepasang cahaya hijau dari kedua matanya!
“Celaka!
Mati aku sekarang!”Dua lutut sang pendekar mulai goyah, Keringat mengucur
laksana mata air. Tubuhnya terasa panas kering kerontang. Tulang belulang
seolah mulai leleh!
“Datuk
Rao Bamato Hijau! Tolong saya…”Itu ucapan yang masih bisa dikeluarkan oleh
Pendekar 212 memanggil harimau sakti putih yang selama ini menjadi tuan
penolongnya pada saat-saat menghadapi bahaya besar dan dia tidak berdaya
menghadapi. Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara auman harimau. Namun
binatang sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh dari Pulau Andalas itu tidak
muncul memperlihatkan diri memberi pertolongan!
“Tamat
riwayatku! Gusti Allah saya rela menemui ajal. Tapi bagaimana para sahabat yang
lain. Guru saya, Ni Gatri … Mohon mereka diselamatkan semua!”
“Braakk!”
Dalam
keadaan basah oleh keringat sekujur tubuh dan pakaian, Wiro terkapar di atas
permadani merah sementara api terus berkobar!
*********************
ENTAH
oleh bau harum mewangi ruangan, entah karena suara gamelan yang mengalun lembut
di kejauhan Pendekar 212 perlahan lahan nyalangkan mata. Pertama sekali yang
dilihatnya adalah langit-langit ruangan dimana dia berada. Langit-langit
ruangan berwarna merah muda bergaris delapan warna kuning. Di pertengahan
langit-langit ada satu benda putih bulat aneh memancarkan cahaya menerangi
kamar. Empat dinding ruangan juga berwarna sama, merah muda bergaris kuning.
Lagi-lagi tak ada pintu tak tampak jendela. Wiro gerakkan dua tangan. Kaki
digeser.
“Aku bisa
bergerak…”Wiro heran sendiri. Sebelumnya dia tidak mampu menggerakkan sepasang
tangan dan kedua kaki. Wiro cepat bangkit dan duduk. Saat itu baru dia
menyadari kalau dirinya berada di atas satu tempat tidur sangat bagus dan empuk
dalam sebuah ruangan harum semerbak. Menoleh ke belakang dan ke bawah dia
melihat sebagian kain alas tempat tidur di atas mana tadi dia terbaring dalam keadaan
basah bekas keringat yang melekat ditubuh dan pakaiannya.
“Apa yang
terjadi?”Wiro bertanya tanya dalam hati. “Aku tidak mati! Malah berada di atas
ranjang dalam ruangan bagus harum. Ada suara alunan gamelan. Dimana selir itu?
Apa tadi memang dia tidak menjebakku atau tengah menyiapkan siasat lain yang
lebih menyengsarakan sebelum aku benar-benar dihabisi…”
Selagi
Wiro berpikir pikir begitu tiba-tiba satu sosok berpakaian serba putih
menyeruak keluar dari dinding ruangan di arah ujung kaki tempat tidur. Di atas
kepalanya ada sebuah mahkota sederhana berbentuk atap rumah, terbuat dari emas.
Di tangan kanannya ada sebuah seloki kecil terbuat dari kaca, berisi cairan
putih bening. Ken Parantili!
“Sahabat,
aku gembira kau mau datang. Berarti kau punya niat baik untuk menolongku,”sang
selir menegur.
“Kau…”Ucap
Wiro.
“Memang
aku. Tadinya kau mengira siapa?”
“Selir
jahat! Kurang ajar …”
“Ssshh!
Jangan bicara kotor di ruang ketiduranku.”Ken Parantili tersurut dua langkah.
Walau wajahnya berubah tapi perempuan muda ini kemudian tersenyum.
“Bicara
kotor tidak boleh. Tapi berbuat kotor di tempat ini boleh!”Wiro menukas.
“Apa
maksudmu, sahabat?”Tanya Ken Parantili.
“Jangan
kau berpura pura. Sudah berapa puluh kali kau melayani nafsu kotor Penguasa
Atap Langit di atas tempat tidur ini”.
“Oh….”
Ken Parantili terpana. Sepasang mata bagus membesar. Jari-jari tangan kiri
ditutupkan ke mulut. “Aku seorang selir! Kau tidak bisa mengatakan apa yang aku
lakukan dengan Penguasa Atap Langit adalah sesuatu yang kotor!”
“Aku mau keluar
dari tempat ini! Tunjukkan jalan!”Wiro turun dari atas ranjang.
“Sahabat,
dengar. Aku menduga mungkin kau tiba-tiba saja menjadi cemburu pada Penguasa
Atap Langit …”
“Aku
cemburu?!”Wiro garuk kepala, mulut dipencongkan lalu tertawa terbahak bahak.
“Atau kau
mengira aku hendak mencelakaimu waktu di ruangan berpermadani merah tadi?”
“Bukan
hendak, tapi kau memang sudah mencelakai! Kau membakar diriku! Untung tidak
mati! Tapi siapa tahu sebentar lagi kau akan benar-benar membunuhku!”Kata Wiro
pula.
“Begitu?”Ken
Parantili tersenyum. “Aku meminta tolong padamu. Bagaimana mungkin aku akan
berlaku jahat?”
“Kau
mampu keluar dari Negeri Atap Langit. Mengapa tidak langsung melarikan diri?
Meminta pertolongan padaku bukankah hanya satu kepurapuraan?”
“Tidak ada
seorang manusia atau mahluk arwah penghuni Negeri Atap Langit bisa melarikan
diri. Aku bisa keluar tapi jantungku ada di tangan Penguasa Atap Langit!
Percuma melarikan diri!”
Walau
terkejut mendengar ucapan selir Penguasa Atap Langit itu Wiro kembali membuka
mulut.
“Seumur
hidup aku baru mendengar ada manusia yang jantungnya di tangan mahluk lain!”
“Kalau
tidak percaya silahkan lihat sendiri!”
Ken
Parantili membuka bagian kiri dada baju putihnya. Lalu dengan ujung jari
telunjuk yang berkuku merah dia menggurat dadanya.
“Seett!”
Dada yang
digurat terbelah tanpa ada darah mengucur. Wiro yang tadi hanya memperhatikan
keindahan payudara Ken Parantili kini tersurut kaget dan memandang mendelik. Di
dalam dada yang terkuak dia tidak melihat gumpalan daging merah yang bernama
jantung!
“Kalau
jantungmu memang ada pada Penguasa Atap Langit, berarti dia bisa membunuhmu
dengan sangat mudah! Sekali meremas dia bisa menghancurkan jantungmu!”
“Untuk
membunuhku melalui jantung, dia harus menunggu satu purnama lagi. Padahal malam
ini, sebelum fajar menyingsing aku harus mati dan besok dia mengambil selir
baru. Sekarang apakah kau percaya padaku?”
Ken
Parantili usap dada kirinya dengan tangan kanan. Dada yang terbelah menutup
kembali tanpa bekas. Sang selir lalu rapikan pakaiannya.
Wiro
menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. Ilmu kesaktian gadis ini luar biasa.
Padahal dia hanya seorang selir. Berarti kesaktian sang Penguasa pasti
jauh
lebih tinggi. Aneh, bagaimana mungkin ada manusia bisa hidup tanpa jantung!
Setan saja kurasa tidak bisa!”Wiro menatap wajah Ken Parantili sejurus lalu
berkata.
“Aku
memang tidak melihat jantung di dalam dadamu. Tapi kau masih punya hati. Nah
siapa tahu isi hatimu! Di Bhumi Mataram sangat banyak manusia dan mahluk culas
serta jahat!”
“Pendekar
Dua Satu Dua, coba kau perhatikan keadaan dirimu. Jika aku berhati culas dan
bermaksud mencelakai dirimu apakah pakaianmu ada yang hangus terbakar? Apakah
kulit tubuhmu ada yang terkelupas luka bakar akibat kobaran api?”
Wiro
perhatikan pakaiannya, usap kedua tangan serta wajah.
“Memang
tidak ada pakaianku yang terbakar. Kulit juga tidak ada yang terluka. Tapi aku
merasa lemas…”
“Sebenarnya
ada satu hal yang terlupa aku beritahu padamu. Hanya itu saja kealpaan yang aku
buat, bukan niat jahat!”Berkata Ken Parantili sambil menatap ke dalam seloki.
Dia melihat cairan putih bening di dalam seloki mulai mengeluarkan kepulan asap
tipis berwarna kebiruan. Wajah sang selir berubah.
“Ken
Parantili, apa maksud ucapanmu tadi!”Tanya Wiro.
“Kobaran
api yang seolah menggarang dirimu adalah untuk menguras keluar sebanyak mungkin
air atau keringat yang ada dalam tubuhmu. Itu sebabnya saat ini tubuhmu terasa
lemas ……
“Lalu?!”
“Ketika
kau jatuh pingsan, aku membawamu ke dalam ruangan ini, membaringkanmu di atas
tempat tidur. Cairan tubuhmu atau keringatmu membasahi dan menempel diatas
pembaringan. Bekas keringat itu sangat diperlukan untuk membuat Penguasa Atap
Langit mengetahui bahwa ada orang lain yang telah tidur di atas ranjangnya.
Begitu dia mengetahui hal ini maka dia tidak punya daya membunuhku …”
Wiro
terdiam. Setelah menggaruk kepala dia berkata. “Jadi hanya begitu saja caraku
menolongmu. Mudah sekali, rasa rasanya sulit dipercaya.”
Ken
Parantili menggeleng. “Itu baru sebagian. Seperti kau lihat, aku membawa satu
seloki berisi air yang berasal dari embun murni. Cairan ini akan mengembalikan
seluruh cairan yang ada di dalam tubuhmu hingga kekuatanmu pulih kembali.
Minumlah …” Sang selir angsurkan seloki kaca ke hadapan Wiro.
Wiro
perhatikan sebentar cairan di dalam seloki. Dia tidak mengambil seloki, malahan
bertanya.
“Jika
cairan dalam seloki aku minum, apakah ususku tidak akan hancur, dadaku tidak
akan leleh atau darahku tidak akan mengalir menyungsang? Atau tubuhku tidak
serta merta menjadi lebam biru karena racun jahat. Menggelepar dua tiga kali
lalu mampus?!”Walau bicara keras namun saat itu Wiro merasa tubuhnya semakin
lemas.
Selir
pertama sang Penguasa Atap Langit geleng-geleng kepala. Masih dengan tersenyum
dia berkata.
“Pendekar
Dua Satu Dua, jalan pikiranmu sungguh sangat jauh dan luar biasa sekali! Kalau
aku meracunimu, lalu siapa yang kelak bisa menolongku dari kematian di tangan
Penguasa Atap Langit?”
“Bagaimana
kalau minuman dalam seloki kita bagi dua. Kau minum setengah. Aku minum
sisanya. Kau minum duluan!”Kata Wiro pula.
“Sahabat,
begitu maumu rupanya. Baik. Akan aku turuti!”
Ken
Parantili angkat seloki kaca yang dipegang di tangan kanan, didekatkan ke
bibir. Mulut dibuka. Gluk … gluk! Dalam dua teguk setengah isi seloki telah
berpindah ke dalam perutnya melalui tenggorokan yang putih jenjang. Selesai
minum sang selir kembangkan jari-jari tangan yang memegang seloki dan masih
berisi setengah cairan putih. Pegangan dilepas. Seloki tidak jatuh ke lantai
melainkan melayang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Sahabat,
giliranmu meneguk air embun murni.”
Wiro
cepat mengangkat tangan kanan untuk memegang seloki kaca. Tapi astaga,
tangannya tak bisa diangkat. Di saat bersamaan kedua lututnya goyah. Tulang
belulang di sekujur tubuhnya laksana rontok. Dia merasa lemas luar biasa.
Cepat-cepat Wiro kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Namun tubuhnya keburu
terhuyung. Seloki yang mengambang dalam ruangan bergerak miring lalu jatuh ke
bawah!
*********************
SEPULUH
KEN PARANTILI
cepat menyambar seloki kaca dengan tangan kanan hingga air embun murni di
dalamnya tidak tumpah dan seloki tidak jatuh pecah ke lantai. Sementara tangan
kiri dilingkarkan ke pinggang Wiro agar sang pendekar tidak tersungkur.
Perlahan-lahan Wiro direbahkan ke atas tempat tidur.
“Kehati-hatian
adalah pangkal keselamatan. Kehati-hatian yang berlebihan justru bisa
mendatangkan celaka.”Sang selir berucap.
“Aku ….
ugh…”Wiro batuk-batuk beberapa kali. Mukanya tampak pucat. Tubuh dingin.
Tidak
menunggu lebih lama Ken Parantili dekatkan seloki ke bibir Wiro.
Perlahan
lahan air embun murni dituangkan ke dalam mulut sang pendekar seraya berkata.
“Minumlah. Kalau cairan di dalam seloki mengandung racun, kita samasama mati di
tempat ini.”
“Giuk …
gluk.”Wiro meneguk. Lalu kembali batuk-batuk. Ken Parantili cepat menekap mulut
Wiro agar air yang sudah masuk ke tenggorokan tidak tersembur keluar. Untuk
beberapa saat Wiro terbaring tertelentang di atas tempat tidur. Dia merasa
seperti ada hawa yang mengalir dalam tubuhnya. Tak selang berapa lama rasa
lemas yang tadi membuat dirinya setengah tak berdaya lenyap. Kekuatannya pulih
kembali. Tubuh yang dingin menjadi hangat lagi dan wajah yang tadi pucat tampak
berdarah.
Dengan
cepat Wiro melompat bangun, berdiri di tepi tempat tidur, menatap ke arah Ken
Parantili.
“Sahabat
Wiro, apakah kau masih menaruh curiga padaku?”
Wiro
memandang berkeliling. “Mungkin aku menduga salah. Tapi ada beberapa hal yang
aku ingin tanyakan. Pertama, ketika aku memasuki Kawasan Atap Langit, aku
mendengar suara Penguasa Atap Langit. Tapi tidak kelihatan ujudnya. Lalu aku
melihat tiga kelelawar raksasa dan dua ratus jin berwajah hitam putih. Semua
mahluk itu agaknya tidak melihat diriku. Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
“Ketika
masih berada di kawasan Candi Plaosan, tanpa kau ketahui aku menyusupkan
sehelai rambut ke balik pakaianmu. Coba kau buka bajumu sampai seperut. Kau
akan menemukan sehelai rambut menempel di tubuhmu, membelintang dari bahu kiri
sampai ke dada.”
Wiro buka
baju putihnya yang telah lusuh, kotor dan robek. Ketika dia memperhatikan
tubuhnya, dia memang melihat ada sehelai rambut panjang hitam menjulai panjang
dari bahu sampai ke dada. Wiro gerakkan tangan hendak mengambil rambut.
“Biarkan
terus rambut itu menempel di tubuhmu. Kau baru boleh mengambil dan membuangnya
setelah kau meninggalkan Negeri Atap Langit. Sekarang kau harus mandi dulu di
Telaga Bersuci dan Bersegar Diri.”
“Telaga
Bersuci dan Bersegar Diri? Telaga apa itu? Dimana letaknya? Mengapa harus mandi
segala? Hemm…” Wiro menarik dan mencium dada bajunya, mencium lengan. Lalu
tertawa sendiri. “Memang aku sudah patut mandi. Tapi setelah mandi lalu masih
memakai pakaian ini juga tubuhku tetap saja bau. Berarti sama saja bohong…”
Ken
Parantili tersenyum. Di menunjuk dengan ibu jari tangan kirinya ke dinding
ruangan sebelah kanan. “Melangkahlah ke arah dinding itu. Tubuhmu akan menembus
melewati dinding. Di balik dinding kau akan melihat sebuah telaga. Ada delapan
buah pancuran terbuat dari bambu kuning. Mandilah dibawah pancuran itu.
Pastikan setiap air pancuran membasahi kepala dan tubuhmu, Di salah satu batu
di tepi telaga ada sehelai kain pengering tubuh. Juga ada seperangkat pakaian
berwarna merah bergaris kuning. Setelah mengeringkan tubuhmu dan mengenakan
pakaian kau kembali ke dalam ruangan ini. Caranya sama, dengan menembus dinding
ruangan. Satu hal harus kau ingat. Selama mandi dan mengenakan pakaian jangan
sampai rambutku yang menempel di dadamu terlepas jatuh atau hilang. Karena
hanya selembar itu rambutku yang mengandung kesaktian.”
“Aku
sulit percaya akan semua ini!”Kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Negeri
Atap Langit adalah negeri dimana kepercayaan sama tipisnya dengan hembusan
angin,”menjawab Ken Parantili. Lalu dia menganggukkan kepala memberi isyarat
agar Wiro segera melangkah ke dinding ruangan sebelah kanan.
“Tunggu,
aku masih ada satu pertanyaan lagi,” berkata Wiro. “Dalam perjalanan ke sini,
empat orang sahabatku ikut bersamaku. Kau sudah melihat mereka waktu di Candi
Plaosan. Kami sama-sama berada di atas belahan batang pohon Beringin. Namun
kemudian keempatnya mental dan jatuh di atas puncak sebuah gunung. Aku ingin
tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Ada yang berbuat jahat! Apakah mereka berada
dalam keadaan selamat?”
“Tak ada
yang berniat apa lagi berbuat jahat. Sudah ditetapkan bahwa tidak ada seorang
lainpun bisa masuk ke dalam Negeri Atap Langit kecuali dirimu. Siapa yang nekad
akan mendapat celaka! Mungkin tidak akan mampu lagi keluar dari Negeri Arwah
ini untuk selama lamanya. Empat temanmu sudah diselamatkan. Mereka berada dalam
keadaan baik. Mereka tidak mengalami cidera apapun.”
“Siapa
yang menolong mereka? Kau?”Tanya Wiro pula.
“Uluran
Tangan Yang Maha Kuasa dalam memberi keselamatan lebih ampuh dari mahluk
apapun, termasuk kita manusia.”Jawab Ken Parantili.
“Nah,
sekarang melangkahlah ke dinding. Malam di Negeri Atap Langit lebih singkat dan
lebih cepat berlalu. Kau dengar suara alunan gamelan?”
Wiro
mengangguk. “Aku mendengar sejak pertama kali memasuki Negeri Atap Langit.”
“Bila
suara gamelan berhenti itu pertanda Penguasa Atap Langit telah meninggalkan
Puri Agung tempat kediamannya, datang ke sini untuk membunuhku. Sebelum
membunuh untuk terakhir kali dia akan mencumbuku. Dan kau harus tetap berada di
ruangan ini untuk menyaksikan kejadian itu…”
“Apa?!”Wiro
terbetalak kaget.
“Kau
bukan anak kecil. Bocah dua belas tahun bernama Dirga Purana saja mampu
bercumbu. Kau hanya melihat saja. Apa sulitnya?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Aneh, juga edan!”Kata sang pendekar dalam hati.
Ken
Parantili menggoyangkan kepala ke arah dinding di sebelah kanan. Wiro akhirnya
langkahkan kaki ke arah dinding itu. Seperti angin berhembus di udara kosong,
begitu bersentuhan dengan dinding tubuhnya langsung menembus masuk. Di lain
saat Wiro dapatkan diri telah berada di tepi sebuah telaga kecil yang sebagian
tepinya ditumbuhi berbagai macam bunga menebar bau harum. Keseluruhan telaga
berada dalam lingkungan satu tembok batu luar biasa tinggi hingga dia tidak
bisa melihat bagian atasnya, apakah merupakan sebuah atap atau tembus ke
langit.
Walaupun
terkungkung namun keadaan di telaga cukup terang seolah berada di alam terbuka.
Di kejauhan sayup-sayup masih terdengar suara alunan gamelan.
“Jadi ini
yang namanya Telaga Bersuci dan Bersegar Diri…”Wiro berucap dalam hati.
Seperti
yang dikatakan Ken Parantili, di atas sebuah batu datar di tepi telaga sebelah
kiri terlipat sehelai kain biru dan seperangkat baju serta celana luar berwarna
merah bergaris kuning. Ketika Wiro memeriksa lipatan pakaian dia juga menemukan
sehelai pakaian dalam.
“Lengkap
juga…”Ucap Wiro sambil senyum-senyum. Pada dinding telaga sebelah kanan
berderet delapan pancuran bambu kuning. Air yang memancur bening kebiruan.
Begitu juga air yang ada di dalam telaga. Wiro mengusap sekuntum bunga mekar
berwarna putih di sampingnya, lalu mulai membuka pakaian. Delapan bunga
Matahari kecil diletakkan hati-hati di atas lipatan pakaian. Tanpa diketahui
sang pendekar, dari balik sebuah lubang kecil yang ada di salah satu bagian
dinding telaga mengintip sebuah mata. Tubuh si pengintip bergetar, darah
mengalir cepat dan panas. Dia berucap dalam hati.
“Ken
Parantili, aku tahu giliranku akan tiba. Aku juga ingin keselamatan. Maafkan
kalau aku mempergunakan kesempatan mendahuluimu.”
Orang
yang mengintip kemudian cabut selembar rambutnya. Rambut yang panjang
disusupkan ke dalam lobang lalu ditiup perlahan. Rambut melayang di atas
telaga, masuk ke dalam air bersamaan dengan saat Pendekar 212 telah masuk ke
dalam telaga. Tubuhnya tenggelam sebatas pinggang. Sambil menekankan telapak
tangan kiri di atas rambut Ken Parantili yang melintang di bahu dan dadanya,
Wiro bergerak ke bawah delapan pancuran bambu kuning. Tanpa diketahuinya rambut
sang pengintip meluncur di atas permukaan air, telaga, mendekatinya.
*********************
SEBELAS
DI DALAM
ruangan Ken Parantili mulai merasa gelisah. Sekian lama menunggu Wiro masih
belum kembali dari dalam telaga. Selir pertama Penguasa Atap Langit ini
melangkah mundar-mandir. Setelah tidak sabar lagi akhirnya dia melangkah menembus
dinding. Begitu keluar dari dinding dan berada di depan telaga, kejut Ken
Parantili bukan alang kepalang.
Wiro
berada di dalam telaga. Tapi tidak sendirian. Ada seorang perempuan berambut
panjang ikut berada di dalam telaga, mengenakan pakaian putih berenda seperti
yang dikenakannya. Perempuan ini membelakanginya dan tengah membersihkan
punggung Wiro dengan beberapa helai daun yang mengeluarkan minyak serta bau
harum.
“Manusia
penyusup! Siapa kau! Apa yang kau lakukan di sini?!”Bentakan Ken Parantili menggeledek
membuat seantero telaga dan dinding yang mengelilingi bergetar. Wiro berpaling
kaget. Perempuan mengenakan pakaian putih berenda juga terkejut dan memutar
kepala. Ketika Ken Parantili melihat wajah perempuan itu astaga! Kejutnya
selangit tembus! Wajah orang yang ada di dalam telaga sama dengan wajahnya.
Begitu juga bentuk sosok tubuh serta pakaiannya!
“Kurang
ajar! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu, kau akan jadi mayat
kejap ini juga!”
“Kau! Kau
siapa?!”Wiro yang terheran-heran bertanya pada Ken Parantili lalu berpaling
pada perempuan yang wajahnya serupa dan berada di dalam telaga bersamanya.
“Aku Ken
Parantili! Tempat ini telah kesusupan mahluk jahat!”Jawab Ken Parantili.
Perempuan
di dalam telaga cepat menjawabi ucapan selir pertama Penguasa Atap Langit itu.
“Wiro, jangan kau sampai tertipu! Perempuan itu adalah Ken Parantili palsu! Dia
sejak lama punya niat jahat padamu! Aku Ken Parantili yang asli! Wiro, lekas
pegang tanganku! Kita harus meninggalkan tempat ini sekarang juga! Aku akan
menyelamatkan dirimu keluar dari Negeri Atap Langit sebelum dibantai oleh sang
Penguasa dan perempuan penipu jejadian ini!”
Perempuan
di dalam telaga lalu ulurkan tangan kirinya. Wiro jadi bingung. Mana sebenarnya
Ken Parantili yang asli dan mana yang palsu!
“Wiro!
Jangan sampai tanganmu dipegangnya!”teriak Ken Parantili asli. Lalu dia
membentak. Perempuan kurang ajar! Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!”
Dari
pinggiran telaga Ken Parantili asli pentang lima jari tangan kanan. Begitu kuku
lima jari memancarkan cahaya kuning langsung dihantamkan ke arah perempuan di
dalam telaga.
Lima
cahaya kuning berkiblat.
Perempuan
di dalam telaga sunggingkan seringai seolah tidak takut mendapat serangan yang
bisa meruntuhkan tembok batu itu! Kepala digoyang. Wuuttt!
Rambutnya
yang panjang melesat berputar menebar sinar hitam!
“Blaarr!
Blaarr!”
Perempuan
di dalam telaga menjerit. Tubuhnya terpental ke pinggiran telaga. Wiro bergerak
hendak menolong tapi diteriaki oleh Ken Parantili asli.
“Wiro!
Jangan sentuh tubuhnya!”
Perempuan
di dalam telaga melompat keluar dari dalam air. Berdiri di tepi telaga.
Pakaiannya yang basah mencetak lekuk bagus tubuhnya. Wajah yang cantik berubah
luar biasa garang. Sepuluh jari tangan dipentang, jari tengah dilipat ke
belakang. Saat itu juga delapan jari tangan berubah menjadi cakar besar merah
dan mengepulkan asap.
“Delapan
Cakar Sukma Merah!”Teriak Ken Parantili kaget tapi tidak merasa jerih. “Dari
siapa kau mendapatkan ilmu hantu itu?! Pasti kau telah berselingkuh dengan
salah satu dari dua Sinuhun atau bocah bernama Dirga Purana!”
“Selir
setan! Perduli apa kau mau tahu dari mana aku mendapatkan ilmu Delapan Cakar
Sukma Merah! Umurmu hanya tinggal beberapa kejap saja!”
Perempuan
di tepi telaga berpaling pada Wiro. “Lekas melompat ke sampingku!”
“Jangan!”Teriak
Ken Parantili.
Perempuan
di tepi telaga keluarkan suara menggereng. Dua tangan didorong ke depan.
Delapan sinar merah menderu ke arah Ken Parantili. Janda pertama Penguasa
Negeri Atap Langit ini cepat membungkuk. Jari tengah tangan kiri kanan dilipat.
Craasss! Delapan jari lainnya ditancapkan ke sebuah batu besar di tepi telaga.
Rupanya inilah penangkal serangan hebat lawan!
Ken
Parantili palsu menjerit keras. Sekujur tubuh bergetar. Delapan sinar merah yang
keluar dari delapan jari tangannya menekuk ke atas lalu musnah mengeluarkan
suara meletus keras. Delapan jari berkuku merah kemudian mencekik lehernya
sendiri hingga menguak luka dan mengucurkan darah!
“Perlihatkan
siapa dirimu sebenarnya!”Ken Parantili berteriak. Delapan jari ditusukkan ke
batu semakin dalam, Di seberang sana perempuan yang sosok dan wajah serta
pakaiannya menyerupai sang selir kembali menjerit.
“Ampun!
Jangan!”Sambil berteriak dia berusaha menjangkau delapan bunga Matahari kecil
di atas lipatan pakaian yang terletak di atas batu di tepi telaga.
Ken
Parantili lipat gandakan tenaga dalam, terus tancapkan delapan jari semakin
dalam ke batu hitam. Sekujur tubuh perempuan yang menyerupai Ken Parantili
terhuyung kepulkan asap hitam, mengeluarkan suara berkeretekan lalu jatuh
tersandar ke dinding telaga. Ketika asap hitam lenyap kelihatan sosok, wajah
dan pakaiannya telah berubah. Wajah tetap merupakan wajah seorang perempuan
muda cantik, tubuh putih sintal dan pakaian sebentuk jubah dalam berwarna hijau
polos yang bagian atasnya dipotong rendah hingga menyingkap dadanya yang putih
besar.
“Windu
Resmi! Selir Ketiga!”Teriak Ken Parantili begitu mengenali siapa adanya
perempuan muda yang tersandar di tembok telaga. Perempuan ini pelototkan mata menatap
ke arah Ken Parantili, lalu sepasang mata itu meredup dan terkancing. Dari
tenggorokannya terdengar suara tercekik. Lalu leher dan kepala terkulai ke
kiri.
“Mati!
Celaka!”Teriak Ken Parantili. “Di Negeri Atap Langit tidak boleh ada mayat di
udara terbuka! Tiga pengawal dan puluhan Arwah Hitam Putih pasti akan mengendus
dan datang ke sini! Mayat ini harus dikubur sebelum para pengawal datang. Mana
ada waktu! Bagaimana ini?!”Ken Parantili tampak bingung dan takut. Wajahnya
yang cantik kelihatan pudar.
“Kita
sembunyikan saja mayat itu,”Berkata Wiro.
“Mau
disembunyikan kemana? Mahluk-mahluk pengawal Penguasa Atap Langit tetap saja
bisa mengendus sekalipun dari jarak puluhan tombak! Sebentar lagi mereka pasti
akan datang ke sini! Celaka besar! Rencanaku mencari selamat agaknya tidak akan
kesampaian gara-gara selir pengkhianat itu!”
“Ken
Parantili, tenang saja. Mudah-mudahan aku bisa menolong menyembunyikan mayat
itu.”Kata Wiro. Lalu dia keluar dari dalam telaga. Berdiri di tanah berumput di
tepi telaga. “Tolong seret perempuan itu ke depanku. Baringkan di atas rumput.
Jangan terlalu dekat.”
Walau
tidak tahu apa yang akan dilakukan Wiro, dalam bingungnya Ken Parantili segera
melakukan apa yang dikatakan pendekar itu. Sosok Windu Resmi digendongnya lalu
dibaringkan di atas tanah berumput sejarak sepuluh langkah dari Wiro. Wiro
bersurut mundur beberapa langkah lagi. Kaki kanan dikedepankan.
“Kau mau
melakukan apa?”Bertanya Ken Parantili.
Wiro
tidak menjawab. Jari-jari kaki kanan diguratkan ke tanah.
“Rerrttt!”
Tiba-tiba
tanah terbelah. Dari dalam belahan terdengar deru angin, Bukan berhembus keluar
tapi justru menyedot dahsyat! Sekejap saja sosok mayat Windu Resmi selir ketiga
Penguasa Atap Langit masuk ke dalam belahan tanah. Tanah yang terbelah menutup
kembali. Mayat perempuan muda itu lenyap tidak berbekas!
“Hebat!”Seru
Ken Parantili memuji. Dia hendak memeluk Wiro sebagai tanda suka cita. Namun
saat itu Wiro baru menyadari kalau dirinya dalam keadaan bugil segera
menghambur masuk ke dalam telaga!
*********************
DUA BELAS
SELESAI
mandi dan berpakaian Wiro merasa sangat enteng, segar dan wangi. Delapan bunga
Matahari diselipkan di balik pinggang, Setelah memastikan rambut panjang hitam
milik Ken Parantili masih melekat membelintang di dadanya Wiro sematkan kancing
baju lalu melangkah ke arah dinding dari mana sebelumnya dia secara aneh
menembus masuk. Sebelum meninggalkan telaga dia melirik dulu ke arah tanah
berumput di dalam mana mayat Windu Resmi terkubur.
“Selir
itu berkhianat agar bisa menyelamatkan diri keluar dari Negeri Atap Langit.
Masih ada belasan selir lainnya. Apa tidak ada lagi yang ingin melakukan hal
yang sama?”Pikir Wiro lalu dia ingat ucapan Ken Parantili. “Negeri Atap Langit
adalah negeri dimana kepercayaan sama tipisnya dengan hembusan angin.”Ketika
Wiro masuk kembali ke dalam ruangan besar yang ada ranjangnya Ken Parantili
dilihatnya berdiri bersandar ke dinding. Dua tangan disilang di depan dada.
“Wiro,
aku bersyukur kau selamat dari tipu daya Selir Ketiga. Sekarang ikuti
aku.”Berkata Ken Parantili.
Perempuan
ini balikkan tubuh, melangkah ke arah dinding dari mana tadi dia menembus
masuk.
“Tunggu
dulu,”kata Wiro.
“Ada apa
?”tanya Ken Parantili.
“Aku
tidak tahu. Apakah kau ini Ken Parantili benaran atau selir ke dua, keempat….
Aku tidak ingin peristiwa seperti tadi terulang kembali.”
“Bagus
kau mau berlaku hati-hati.”Ken Parantili singkap bajunya di bagian dada kiri.
Lalu dengan ujung jari telunjuk dia menggurat dada.
“Settt !”
Seperti
terjadi sebelumnya dada itu terbelah.
“Apakah
kau melihat ada jantung di dalam dada kiriku ?”Bertanya Ken Parantili.
Wiro
menggeleng. Dia memang tidak melihat jantung di dalam dada yang terbelah itu.
“Kau
telah menyaksikan keadaan dadaku sebelumnya. Berarti aku adalah Ken Parantili
yang asli.”
“Aku
percaya padamu. Sekarang ada satu hal lain. Selir Ketiga bernama Windu Resmi
itu. Bagaimana dia bisa menguasai Ilmu Delapan Cakar Sukma Merah? Setahuku ilmu
itu hanya dimiliki dua Sinuhun dan bocah sakti bernama Dirga Purana.”
“Kemungkinan
dia mendapatkan dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Karena Sinuhun tua itu yang
selalu datang ke sini setiap melaksanakan Sesajen Atap Langit.”
Wiro
menggaruk kepala sambil bergumam. “Hemmm …. Berarti sang selir berselingkuh
dengan Sinuhun Merah lalu Sinuhun memberikan ilmu kesaktian itu padanya …”
Ken
Parantili tersenyum. Dipegangnya lengan Wiro seraya berkata. “Jalan pikiranmu
selancar semua sungai yang mengalir dari puncak Semeru. Sekarang ikuti aku.”
“Tunggu,
sekarang kau hendak mengajakku berselingkuh!”Kata Wiro pula yang membuat Ken
Parantill berpaling, cepat tutup mulut dengan telapak tangan kiri menahan tawa.
“Jangan
hanya tertawa. Apa jawabmu?”
Sang
selir turunkan tangan kiri yang menutup mulut lalu menjawab. “Untuk
pertanyaanmu itu, aku tidak punya jawaban!”Lalu Ken Parantili tarik tangan sang
pendekar. Keduanya melangkah ke arah dinding dan seperti angin di udara terbuka
sosoknya menembus masuk ke dalam dinding. Wiro segera pula melakukan hal yang
sama. Tubuhnya seperti tidak terhalang, ikut menembus dinding. Di balik dinding
ada sebuah ruangan yang lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Bau harum
semerbak bunga mawar terhirup segar ke dalam rongga dada Wiro. Di dalam ruangan
terdapat sebuah tempat tidur berkasur tebal. Pada bagian kepala ada dua bantal
besar sementara di arah kaki terletak bantalan kasur kecil empat persegi
panjang. Di sisi kanan tempat tidur, merapat ke dinding ada sebuah meja panjang
terbuat dari kayu jati hitam dengan empat kaki diukir berbentuk Ular Naga. Di
atas meja ada tiga jambangan kaca. Pada setiap jambangan terdapat sekuntum
Bunga Mawar merah. Bunga inilah yang menebar bau harum di dalam ruangan. Selain
tiga jambangan bunga, di atas meja ada satu nampan perak. Di atas nampan
terletak beberapa macam buah buahan segar. Lalu ada sebuah gelas kaca berisi
cairan kuning kental.
“Ini
ruang ketiduranku,”menerangkan Ken Parantili. “Ruang tidur di sebelah adalah
ruangan tidur kalau aku menerima Penguasa Atap Langit.”
“Lagi-lagi
tidak ada pintu tidak ada jendela.”Kata Wiro.
“Di
Negeri Atap Langit hanya ada dua pintu. Satu di pinggir kawasan paling ujung
sebelah timur, satu lagi tergantung di awang-awang. Pintu Pertama di sebut
Pintu Gerbang Atap Langit. Melalui pintu ini semua orang yang mendapat izin
diperkenankan masuk dan keluar. Siapa yang tidak mendapat izin tapi nekad
mencoba masuk akan menemui ajal secara mengerikan. Siapa yang berbuat tidak
disenangi Penguasa Atap Langit, dia tidak akan mampu keluar dari dalam Kawasan
Atap Langit kecuali memiliki penangkal atau menerima pengampunan. Pintu kedua
disebut Pintu Akhirat. Adanya di arah langit tinggi. Hanya dipergunakan untuk
jalan keluar masuk mahluk-mahluk tertentu.”
“Waktu
datang aku tidak melewati Gerbang Atap Langit. Apakah waktu keluar dari Negeri
ini aku juga tidak akan melewati Pintu Akhirat ?”
“Kita
lihat saja nanti,”jawab Ken Parantili. Lalu dia menerangkan. “Semua bangunan di
Negeri Atap Langit memang tidak satupun memiliki jendela atau pintu. Pertama
kali aku datang ke sini enam bulan lalu, aku juga merasa heran. Kemudian aku
ketahui bahwa pintu dan jendela adalah satu pantangan besar bagi Penguasa Atap
Langit.”
“Pantangan
? Pantangan bagaimana ?”Wiro bertanya ingin tahu.
“Kau
cerdik. Kau orang pertama yang menanyakan hal itu.”Jawab Ken Parantili. Lalu
selir cantik ini menjelaskan. “Konon Penguasa Atap Langit tidak boleh berada di
dalam ruangan atau rumah, atau bangunan apa saja yang ada pintu dan jendela.
Hal itu merupakan pantangan besar karena menurut kepercayaannya ilmu kesaktian
yang dimilikinya satu persatu bisa keluar meninggalkan tubuhnya lewat jendela
atau pintu, sekalipun dalam keadaan tertutup. Itu sebabnya kami semua para
selir dan penghuni Negeri Atap Langit diberi ilmu kesaktian untuk bisa menembus
atap bangunan, tembok dan dinding….”
“Luar
biasa aneh.”Kata Wiro pula. “Sekarang apa yang akan aku lakukan untuk dapat
menolongmu agar tidak sampai dibunuh oleh Penguasa Atap Langit.”
“Aku
mohon saat ini kau memelukku. Sambil memeluk kau harus menghitung dalam hati
sampai dua puluh tujuh. Setelah itu baru kau melepaskan pelukan.”
“Setelah
aku memelukmu, apa berarti kau bakal terlepas dari maksud jahat Penquasa Atap
Langit?”
“Masih
belum. Seperti yang aku katakan waktu di Plaosan, kau harus tidur bersamaku
malam ini.”
Wiro
menggaruk kepala. Ken Parantili melangkah ke hadapan Wiro. Begitu dekatnya
hingga pakaian mereka saling bersentuhan dan hembusan nafas menghangati wajah
masing-masing. Ken Parantili pejamkan sepasang mata sambil kembangkan dua
tangan merangkul Wiro. Teluk diriku dan mulai menghitung,”
bisik
selir pertama Penguasa Atap Langit itu. Kepala disandarkan ke dada Wiro, dua
tangan memagut punggung sang pendekar.
Untuk
beberapa lama Wiro hanya tegak berdiam diri. Bau harum rambut, wajah dan tubuh
Ken Parantili masuk ke jalan pernafasannya. Sekujur tubuh sang pendekar mulai
bergetar.
“Kalau
kau memang berniat untuk menolongku, lakukanlah dengan segala keikhlasan. Cepat
peluk diriku.”Kembali Ken Parantili berbisik.
Wiro
akhirnya gerakan dua tangan memeluk perempuan muda itu dan dalam hati mulai
menghitung. Tak selang berapa lama Wiro angkat kepala, bertanya.
“Aku
lupa. Aku harus menghitung sampai berapa?”
"Tiga
puluh tujuh.”
“Walah,
aku kebablasan. Aku sudah menghitung sampai empat puluh tujuh!”
Wiro
cepat lepaskan pelukannya.
Ken
Parantili tertawa. Lepas rangkulannya.
“Tidak
apa. Berarti kau memang sungguh-sungguh ingin menolongku.”
“Sekarang
apa lagi…. ?”Wiro bertanya.
“Saatnya
kita tidur.”
Wiro
melirik ke arah tempat tidur berkasur tebal di sampingnya. Lalu berkata.
“Kalau
masih ada cara lain untuk menolongmu selain tidur, aku lebih suka…”
“Cara
lain bagaimana?”Bertanya Ken Parantili.
“Aku bisa
membuat pintu di setiap bangunan yang ada di Negeri ini. Termasuk di Puri Agung
tempat kediaman Penguasa Atap Langit.”
Ken
Parantili letakkan dua telapak tangan di dada Pendekar 212. Sepasang mata
dikedipkan. Mulut berbibir bagus tersenyum, lalu perempuan muda ini berucap.
“Perjanjian
kita tidak menyebut soal membuat pintu.”Ken Parantili dorongkan dua tangan
hingga Wiro tersurut dan akhirnya terduduk di tepi tempat tidur.
Perempuan
itu kembali menekan dua tangan. Kali ini Wiro terdorong begitu rupa hingga
terbaring menelentang di atas tempat tidur. Kepala berada di atas salah satu
bantal empuk.
“Setelah
ini pasti dia menyuruh aku membuka pakaian. Kalau tidak mau dia yang akan
melakukan.”Wiro menduga-duga. Dia memandang berkeliling seputar ruangan. Dalam
hati Wiro mengucap. “Gusti Allah, berikan kemampuan pada saya untuk bisa kabur
dari tempat ini.”
Ken
Parantili menatap tersenyum. Wajahnya didekatkan ke wajah Wiro. Mulut berbisik,
“Apapun yang ada dalam pikiranmu, jangan sekali-kali berani melakukan…”
Wiro
terkejut. “Selir ini, apa dia memang bisa membaca jalan pikiranku!”
Ucap Wiro
dalam hati. Baru saja dia membatin begitu, di tepi tempat tidur Ken Parantili
bertanya.
“Wiro,
apakah kau tidak hendak membuka Pakaiamu?”
Murid
Sinto Gendeng terperangah.
“Kalau ti
… tidur aku sel …. selalu mengenakan pakaian.”Kata Wiro gagap sambil letakkan
dua tangan di atas dada macam orang kedinginan.
“Begitu?”Ken
Parantili kembali tersenyum. “Kalau begitu biar aku saja yang menanggalkan
pakaian.”Katanya.
Wiro
merasa darahnya panas berdesir !
*********************
TIGA BELAS
TUBUH Ken
Parantili melayang ke atas, berdiri di atas tempat tidur. Kaki kiri kanan
berada di samping sosok Wiro. Tiba-tiba suasana terang dalam ruangan berubah
redup. Ken Parantili kembali melayang ke atas, bergerak merebah sejajar tubuh
Pendekar 212 lalu meluncur ke arah kaki tempat tidur dimana terdapat bantalan
kasur empat persegi. Di kejauhan masih terus terdengar gema alunan gamelan. Di
atas bangunan mendadak ada suara gaduh kibasan sayap serta jerit pekik mahluk
alam arwah. Atap bangunan serasa hendak runtuh. Wiro tersentak, cepat bergerak
bangun. Duduk di atas tempat tidur, menatap ke langit-langit ruangan.
“Tenang
saja.”Kata Ken Parantili. “Yang barusan lewat adalah tiga Kelelawar Raksasa dan
puluhan Arwah Hitam Putih. Selama rambutku masih melekat di tubuhmu, mereka
tidak akan pernah berhasil menemukan dirimu. Tidurlah kembali.”
Wiro
baringkan tubuhnya kembali. Saat itu dilihatnya Ken Parantili telah duduk di
atas bantalan kasur di kaki tempat tidur. Sosok tubuhnya perlahan-lahan
mengeluarkan cahaya putih kebiruan hingga walau dia sama sekali tidak
menanggalkan baju namun dalam keredupan ruangan dia tampak seolah tidak
mengenakan sehelai benangpun. Wiro merasa dadanya sesak dan tenggorokan turun
naik. Beberapa kali dia menelan ludah. Dalam keadaan kejantanannya teruji rasa
takut melebihi segala-galanya.
“Aku
tidak akan berkhianat pada orang-orang yang aku kasihi. Aku tidak akan
melanggar perintah Gusti Allah. Gusti Yang Maha Kuasa jangan biarkan setan
memasuki darah saya, jangan biarkan iblis merasuk hati dan pikiran saya, Gusti
Allah saya mohon pertolongan-Mu …”
Ucapan
dalam hati sang pendekar terputus ketika tiba-tiba sosok Ken Parantili
menggeliat lalu terdengar suaranya bernyanyi perlahan.
Ada
ujar-ujar
Ada ubi
ada talas, ada budi ada balas
Biasanya
budi datang lebih dahulu
Balas
menyusul kemudian
Tetapi
jika balas datang lebih dulu
Budi
menyusul kemudian
Maka
itulah berkat Para Dewa yang paling indah
Suara
nyanyian berabir. Ruangan diselimuti kesunyian. Ken Parantili menggeliat sekali
lagi. Wiro menatap ke langit langit ruangan di atasnya sambil bertanya tanya
dalam hati apa maksud dan arti nyanyian sang selir.
“Wiro,
saatnya kita mulai tidur.”
Pendekar
212 merasa ada tiupan angin hangat di wajahnya, membuat sepasang mata menjadi
berat.
Sadar
sesuatu akan segera terjadi atas dirinya Wiro cepat kerahkan tenaga dalam dan
hawa sakti. Namun dia tidak kuasa mencegah kedua matanya yang perlahan lahan
mengecil terpejam. Di ujung tempat tidur Ken Parantili bangkit dari duduknya
lalu perlahan lahan baringkan tubuh menelungkup melayang di atas sosok Wiro,
hanya terpisah sejarak satu jengkal. Wiro mengangkat dua tangannya, berusaha
mendorong tubuh Ken Parantili supaya lebih menjauh ke atas. Ketika dua
tangannya tinggal seujung rambut lagi akan menyentuh aurat Ken Parantili
tiba-tiba blaarr! Satu cahaya benderang. berkiblat dalam ruangan disertai
letusan dahsyat. Wiro merasa telinganya tuli tak bisa mendengar apa-apa,
sepasang mata mendelik tapi segala sesuatunya berubah menjadi gelap. Lalu murid
Sinto Gendeng ini tidak ingat apa-apa lagi!
*********************
WIRO
dapatkan diri terbaring di atas batu besar. Di sekitarnya terdapat banyak batu
besar. Dalam gelapnya malam batu-batu itu terlihat berbentuk mahlukmahluk aneh
menyeramkan. Di langit tampak bulan sabit yang cahayanya terlalu redup untuk
dapat menerangi seantero tempat. Wiro bergerak bangun, duduk di atas batu,
memandang berkeliling. Dia mendengar suara air bergemericik. Ketika
memperhatikan ke bawah ternyata di antara sela-sela bebatuan mengalir air
bening mengepul hawa luar biasa dingin. Di arah kiri ada satu pohon besar
dikobari api namun tidak terbakar hangus, berubah gosong atau musnah dan
tumbang. Di sekeliling pohon ada delapan batu besar merah membara. Anehnya,
sedemikian besar kobaran api yang membakar pohon serta ada delapan batu merah
membara, tetap saja keadaan di tempat itu gelap temaram dan dingin!
“Tempat
aneh, bagaimana aku bisa di sini? Apakah aku masih berada di Negeri Atap
Langit?”Pikir Wiro. Dia pasang telinga. Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara
alunan gamelan. Bebunyian itu menandakan dia memang masih berada di Kawasan
Atap Langit. Lalu dimana Ken Parantili, Selir Pertama sang Penguasa?
Tiba-tiba
pada bagian depan batu besar yang didudukinya dia melihat gerak bayangan hitam.
Wiro berpaling ke belakang.
“Wuttt!”
Delapan
cahaya merah menderu. Hawa panas menggidikkan menyambar. Pendekar 212 kaget
bukan main. Dua tumit cepat dihunjamkan ke atas batu yang didudukinya. Saat itu
juga tubuh Wiro melesat ke belakang, melompat ke atas batu yang lain. Memandang
ke depan dia melihat Selir Penguasa Atap Langit berdiri di atas batu yang tadi
didudukinya. Wajah cantik menyeringai seram. Dua tangan dipentang kedepan. Dua
kaki yang menginjak batu kepulkan asap kelabu. Delapan jari mengeluarkan cahaya
merah, membentuk cakar angker.
“Ken
Parantili!”Dalam kagetnya Wiro membatin. “Kecurigaanku selama ini tidak
meleset. Dia hendak membunuhku dengan Delapan Cakar Sukma Merah!”
Tiba-tiba
dari mulut Ken Parantili melengking keluar suara garang. Suara kucing mengeong!
Di saat bersamaan tubuh perempuan itu melesat ke arahnya. Delapan cakar merah
kembali berkelebat. Wiro cepat menghindari serangan dengan cara melompat lagi
ke batu besar yang lain. Tapi Ken Parantili terus mengejar.
“Ken
Parantili! Semua ucapanmu ternyata tipuan belaka! Buktinya sekarang kau hendak
membunuhku! Kau pasti kaki tangan Sinuhun Merah Penghisap Arwah!”Wiro berteriak.
“Ngeoong!”
Sosok Ken
Parantili kembali berkelebat. Sekilas Wiro melihat wajah perempuan cantik itu
telah berubah menjadi muka seekor kucing buas!
“Ken
Parantili!”Kalau kau tidak berhenti menyerangku, aku akan habisi dirimu
sekarang juga!”Wiro mengancann sambil siapkan Pukulan Harimau Dewa. Sebelumnya
dengan pukulan sakti itu dia telah menciderai tiga anak kucing merah.
Ken
Parantili sunggingkan seringai mengejek.
“Pukulan
Harimau Dewa memang sakti. Tapi tidak cukup sakti untuk membunuh delapan anak
kucing merah! Bukankah kau hanya mampu menciderai tiga saja dari mereka? Kalau
tidak percaya silahkan buktikan sendiri! Cepat serang diriku!”
“Edan,
bagaimana dia tahu kejadian itu!”Maki Wiro dalam hati. Merasa ditantang,
penasaran Pendekar 212 lipat gandakan tenaga dalamnya ketika melihat di
seberang sana Ken Parantili Kembali melancarkan serangan. Delapan larik sinar
merah menggebubu. Wiro balas menghantam dengan Pukulan Harimau Dewa yang sudah
disiapkan. Satu gelombang sinar putih dan dua larik cahaya hijau menggelegar.
“Bieepp!
Bleepp! Bleepp!”
Seperti
pelita ditiup angin, cahaya putjh dan dua larik sinar hijau luruh ke tanah.
Sebaliknya deJapan cahaya merah Pukulan Cakar Sukma Merah terus menderu ke arah
sang pendekar. Wiro serta merta melompat ke udara selamatkan diri. Delapan
cahaya merah menghantam batu besar dimana dia tadi berada. Batu besar menyala
terang lalu blaaarr! Pecah berkeping keping.
Di udara
Wiro merasa getaran hebat menyungkup udara, membuat tubuhnya bergoyang. Dia
tidak dapat mengimbangi diri. Walau mampu mencapai salah satu batu besar, namun
dia jatuh tertelungkup, Untuk beberapa ketika dia merasa sekujur tubuh
kesemutan. Dalam keadaan seperti itu di depannya Ken Parantili tertawa bergelak
berkacak pinggang. Tawa lenyap, dua tangan dipentang, delapan jari berbentuk
cakar dijentikkan. Delapan cahaya merah berkiblat luar biasa ganas dan cepat!
Kali ini Wiro benar-benar tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri atau
menangkis serangan.
Dalam
keadaan maut hanya tinggal sekejapan mata lagi, Wiro ingat pada apa yang
dilakukan Ken Parantili sewaktu diserang dengan Pukulan Delapan Cakar Sukma
Merah oleh Selir Ketiga Windu Resmi! Tenaga dalam dialirkan ke tangan kiri
kanan. Sepuluh jari berubah laksana sepuluh batangan besi. Lalu crasss! Wiro
hunjamkan sepuluh jari tangan ke batu hitam di atas mana dia tertelungkup! Asap
hitam mengepul! Batu besar yang berlobang delapan kemudian hancur berkeping
keping! Di seberang sana terdengar jeritan Ken Parantili!
*********************
EMPAT BELAS
TUBUH
Selir Pertama Penguasa Atap Langit itu mencelat ke udara setinggi tujuh tombak.
Pakaian putihnya mengepulkan asap kelabu. Rambut, sepasang mata memancarkan
cahaya merah. Sebaliknya delapan jari tangan yang sebelumnya berwarna merah
kini tampak hitam gosong. Sambil melayang turun, Ken Parantili membuat
gerakan-gerakan silat, memukul dan menendang, menimbulkan suara angin
berkesiuran. Mulut meniup tiada henti. Dari mulut itu membersit keluar kepulan
asap merah.
Terhuyung-huyung
Ken Parantili jejakkan dua kaki di atas sebuah batu besar. Warna merah di
rambut dan mata serta warna hitam di delapan jari tangan lenyap. Wajah masih
agak pucat namun mulut melayangkan senyum. Lalu terdengar suaranya menyanyi!
Manusia
diberi akal
Mengapa
tidak mau berpikir?
Di dalam
setiap kejadian
Selalu
ada pelajaran
“Benar-benar
edan! Masih bisa bernyanyi dia!”Rutuk Pendekar 212.
“Wiro,
aku bersyukur kau masih mengingat kejadian di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri.
Kalau kau terlambat menancapkan sepuluh jari ke dalam batu, mungkin kau tak
bakal lolos dari kematian.”
Wajah
Wiro berubah. Ada kemarahan dalam hatinya. “Jadi begini caranya kau memohon
budi dengan membahayakan nyawa orang?!”
“Wiro,
apa kau tidak sadar kalau barusan kau telah menguasai ilmu menangkal serangan
Delapan Cakar Sukma Merah”
“Apa?!”Wiro
terkejut.
“Setiap
kau diserang dua Sinuhun atau kaki tangannya dengan ilmu jahat yang memancarkan
delapan cahaya merah, apapun nama ilmunya, jika kau menancapkan sepuluh jari ke
batu maka semua serangan akan musnah dan balik menciderai si penyerang.”
“Bagaimana
kalau tidak ada batu?”Tanya Wiro pula.
“Kau bisa
menancapkan sepuluh jari tanganmu ke tanah atau ke pohon atau dinding bangunan,
bahkan ke dalam air seandainya saat itu kau berada di tengah sungai, di dalam
danau atau di laut.”
Wiro
menggaruk kepala dan bertanya lagi. “Bagaimana kalau tidak ada tanah, tidak ada
pohon, tidak ada bangunan, juga tidak ada air?”
“Mana mungkin?
Seseorang selalu akan menginjak tanah atau berada di dalam atau dekat bangunan,
di dekat pohon, di dalam sungai atau laut atau telaga …. “ Ujar Ken Parantili
pula.
Wiro
goyangkan tangan. “Semisal aku diserang lalu melompat ke udara. Selagi melayang
di udara datang serangan delapan cahaya merah! Nah, aku mau menusuk apa? Mau
menusuk langit?”
Mendengar
ucapan Wiro, Ken Parantili tertawa lalu menjawab. “Kalau di sekitarmu memang
tidak ada apa-apa selain dirimu, maka tusukkan sepuluh jari tanganmu ke dada
sendiri.”
“Batu
saja bolong dan hancur apa lagi tubuh butut sepertiku!”
Ken
Parantili tersenyum.
“Kalau
tidak percaya mari kita coba. Kau melompatlah ke udara sampai lima tombak. Lalu
aku akan menyerangmu dengan Delapan Cakar Sukma Merah.”
Wiro
gelengkan kepala.
“Tidak,
tidak usah. Aku percaya padamu.”Kata sang pendekar lalu dia melompat ke batu
besar di samping batu dimana Ken Parantili berdiri.
“Kau
tidak apa-apa?”
“Tadi
dadaku mendenyut sakit sedikit. Sekarang sudah tidak lagi.”
“Aku
salah menduga. Aku minta maaf. Aku juga berterima kasih kau memberikan ilmu
hebat padaku. Apakah setiap orang yang diserang dengan delapan cahaya merah
bisa mempergunakan cara itu untuk menangkal serangan?”
Ken
Parantili mengangguk. “Syaratnya cuma satu. Dia punya tenaga dalam untuk mampu
menusuk benda keras.”
“Aku
sangat berterima kasih padamu. Yang kau lakukan apakah itu yang kau sebut balas
datang lebih dulu, budi menyusul kemudian?”
Ken
Parantili tersipu. “Ternyata kau masih ingat nyanyian itu.”
“Tusukan
sepuluh jari. Berarti itu jurus pamungkas untuk menghancurkan serangan delapan
cahaya merah …”
“Kira-kira
begitu,”sahut Ken Parantili.
Wiro
menggaruk kepala. “Lain kali kalau mau memberikan ilmu, jangan memakai cara
berbahaya seperti itu. Celanaku bisa kedodoran saking kaget!”
“Kenapa
tidak dibuka sekalian?!”Ujar sang selir.
“Hah!
Apa?!”Wiro mendelik tapi senyum-senyum.
“Wiro,
kalau ilmu kesaktian bisa didapat secara mudah, dunia ini bisa kacau balau!
Orang-orang tolol dan jahat bisa mempergunakan sekehendak hatinya.”
“Kau
betul juga,”kata Wiro pula. “Aku ingin bertanya lagi. Pada waktu kau diserang
Selir Ketiga dan kau pergunakan jurus menancap sepuluh jari ke batu, selir yang
memalsukan diri itu berganti rupa dan akhirnya menemui ajal. Tadi aku melakukan
hal yang sama, Tapi mengapa kau hanya mengalami cidera sedikit, tidak sampai
menemui kematian? Apa karena kau memiliki kesaktian luar biasa?”
“Aku
tidak punya ilmu apa-apa…” Jawab Ken Parantili.
“Jangan
merendah.”
“Rambutku
masih melekat di tubuhmu. Itu yang melindungi diriku”,
menjelaskan
Ken Parantili. “Ilmu Pamungkas penangkal serangan delapan cahaya merah tidak
akan memiliki kekuatan menghancurkan atau membunuh jika orang Yang diserang
memiliki bagian tubuh atau pakaiannya pada diri si penyerang.”
Wiro
goleng-goleng kepala, “Benar-benar aneh. Sekarang kita mau melakukan apa? Ada
beberapa pertanyaan lagi. Waktu datang di Plaosan kau berlanji akan memberi
tahu … “
“Apapun
yang akan kau tanya akan aku jawab setelah kita kembali ke tempat tidur di dalam
Puri Kesatu.”Jawab Ken Parantili, “Jadi ….”
Wiro
tidak bisa lanjutkan ucapan. Ken Parantili meniup ke arah wajahnya, Saat itu
juga Wiro merasa dua matanya menjadi berat dan perlahan-lahan tertutup. Di
kejauhan masih terdengar sayup-sayup suara alunan gamelan.
*********************
KETIKA
mata dibuka, Wiro dapatkan dirinya kembali terbaring di atas ranjang dalam
kamar ketiduran Ken Parantili. Dia berpikir-pikir.
“Heran,
aku berpindah tempat dan waktu diluar kekuasaanku. Apakah selir itu yang
melakukan? Kalau ilmu kesaktiannya begitu tinggi, tidak dapat kubayangkan,
bagaimana tingginya ilmu kesaktian Penguasa Atap Langit.”
Seperti
sebelumnya, suasana di dalam ruangan itu redup. Selir Pertama sang penguasa
dilihatnya berada di ujung tempat tidur, duduk di atas bantalan kasur empat
persegi. Cahaya putih kebiruan yang membalut membuat tubuhnya seolah sama
sekali tidak mengenakan selembar benangpun. Wiro raba sekujur badan. Ternyata
dia masih mengenakan pakaian lengkap. Walau demikian sang pendekar diam-diam
merasa tegang.
“Kali ini
pasti dia akan melaksanakan apa yang dikatakannya waktu di Plaosan. Minta aku
menidurinya …”
Namun apa
yang diduga Wiro tidak menjadi kenyataan. Di ujung kaki tempat tidur Ken
Parantili berkata.
“Sekarang
silahkan kau mau menanyakan apa.”
“Apakah
aku boleh bicara sambil duduk menyandarkan punggung dan kepala ke dinding di
belakang tempat tidur?”Tanya Wiro.
“Tidak,
kau harus tetap berbaring sampai saat kemunculan Penguasa Atap Langit.”Jawab
Ken Parantili. “Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Anak
perempuan yang menurutmu berada di angan bocah lelaki bernama Dirga Purana.
Dimana aku bisa menemukannya?”
“Tidakkah
kau akan lebih dulu mencari dan menyelamatkan gurumu?”Tanya Ken Parantili.
“Menurutmu
anak perempuan itu yang perlu diselamatkan lebih dulu. Karena kehormatannya
terancam. Kalau guruku siapa yang mau memperkosa nenek peot, kurus kering dan
bau pesing itu?”
Ken
Parantili tertawa cekikikan. “Berdosa kau mengatakan gurumu seperti itu. Aku
belum pernah melihat tapi dari kabar yang aku dengar gurumu adalah seorang
gadis cantik bertubuh elok.”
Kini Wiro
yang ganti tertawa. “Kau mau memberi tahu?”
“Anak
perempuan itu disekap dalam sebuah goa di belakang air terjun di satu rimba
belantara. Orang biasa termasuk dirimu dan juga aku tidak akan sanggup
menemukan tempat itu. Karena air terjun dan goa tidak bisa terlihat oleh mata
biasa. Selain itu jarang ada orang yang mampu menerobos melewati curahan air
terjun”
“Lalu apa
yang harus aku lakukan? Jika kau selamat dari kematian, apakah kau mau menolong
menunjukkan tempat itu.”
“Satu
satunya orang luar yang bisa menemukan air terjun dan goa itu adalah nenek
cantik bernama Ratu Randang….”
“Kalau
begitu aku akan minta tolong padanya.”
“Memang
bisa. Tapi dia tidak mampu membendung atau melewati air terjun. Di Bhumi
Mataram hanya ada empat mahluk yang mampu menahan curahan air terjun. Sinuhun
Muda Ghama Karadipa dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lalu bocah sakti Dirga
Purana dan Penguasa Atap Langit. Konon ada mahluk ke lima. Namun aku tidak tahu
siapa dia adanya.”
“Kau
tidak memiliki ilmu penangkal untuk mampu menembus melewati air terjun? Atau
mungkin kau tahu jalan rahasia di belakang goa?”
Ken
Parantili menggeleng. “Mohon dimaafkan. Kau terpaksa mencari akal dan berusaha
sendiri untuk melakukan hal itu.”
“Menurutmu
Penguasa Atap Langit akan mengambil anak perempuan itu sebagai selir pengganti
dirimu. Lalu apa perlunya susah-susah mencari goa di balik air terjun segala?!
Aku bisa mencegatnya di sini.”
“Maksud
Penguasa Atap Langit mengambil anak perempuan itu jadi selir baru tidak akan
kesampaian. Karena kalau dia tidak bisa membunuhku semua ilmunya akan amblas
bahkan dia bisa-bisa menemui ajal!”
“Lalu
bagaimana dengan guruku. Kau tahu dia berada dimana?”
“Menurut
yang aku dengar, setelah merampas kapak sakti milikmu dan menyerahkannya pada
Sinuhun Merah Penghisap Arwah gurumu diberikan sedikit kebebasan, tidak disekap
lagi. Meskipun demikian dia tidak bisa pergi kemana mana karena tetap berada
dibawah kendali dua Sinuhun. Dibantu pula oleh Dirga Purana. Dia dipersiapkan
untuk membunuhmu kalau kau berani muncul menyelamatkannya.”
“Aku
sudah tahu hal itu karena Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah mencuci otaknya
dengan Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak.”Wiro tiba-tiba terdiam, menggaruk
kepala lalu berkata. “Ada yang aneh. Mengapa kebanyakan hampir semua ilmu yang
hebat-hebat dari Dua Sinuhun dan bocah bernama Dirga Purana itu selalu memakai
angka delapan. Sepertinya ada rahasia dibalik angka delapan itu.”
Ken
Parantili menggeliat lalu berdiri dari duduknya. Dua kaki terkembang, kepala
mendongak. Ketika dia menarik nafas dalam-dalam dadanya tampak membusung. Namun
semua gerakan itu tidak dilihat Wiro karena dia tidak mau memandang ke arah
kaki tempat tidur. Sang pendekar menahan nafas ketika Ken Parantili melangkah di
atas tempat tidur, mendekati dirinya. Wiro pura-pura memejamkan mata. Dia tahu
kalau sang selir tengah memandangi dirinya. Terasa tempat tidur goyang. Wiro
tak berani bergerak. Bernafaspun ditahan-tahan! Dalam hati dia berulang kali
menyebut “Gusti Allah. …Gusti Allah …”
*********************
LIMA BELAS
DI ATAS
atap Puri Kesatu kembali terdengar suara ,tiga Kelelawar Raksasa lewat. Kepakan
sayap menggetarkan bangunan, Lalu menyusul suara hiruk puluhan mahluk Arwah
Hitam Putih. Rupanya atas perintah Penguasa Atap Langit mereka terus melakukan
pengawasan.
Wiro
beranikan membuka mata. Bau harum sosok Ken Parantili tidak terlalu santar
lagi. Wiro melirik ke samping. Ternyata selir itu tidak ada lagi di sebelahnya.
Lalu Wiro mendengar suara kibasan lengan baju, angin pukulan dan tendangan
disertai suara hembusan nafas. Ruangan bergetar hebat. Tempat tidur berderak.
Tiga jambangan bunga Mawar di atas meja bergoyang-goyang. Begitu juga seloki
besar berisi cairan kuning. Udara terasa panas. Ketika dia menatap ketengah
ruangan Wiro melihat Ken Parantili mengambang di udara, bergerak cepat kian
kemari, memainkan jurus-jurus silat aneh.
“Ken
Parantili, apa yang kau lakukan?”Wiro bertanya sambil bergerak duduk.
Yang
ditanya tidak menjawab. Setelah dua puluh jurus berlalu baru Ken Parantili
berhenti. Perlahan-lahan dia kembali duduk diatas bantalan kasur di kaki tempat
tidur. Wajah cantik berkeringat. Setelah merasa tenang dan menarik nafas
panjang selir Pertama Penguasa Atap Langit itu berkata.
“Beban
batinku terlalu berat. Aku harus mengeluarkannya dari dalam tubuhku. Aku bukan
saja berperang menghadapi batinku sendiri tapi juga melawan kehebatan batinmu
….”
Wiro
terdiam sesaat. “Sahabat, kau berhasil melewati saat-saat sangat sulit.
Bersyukurlah Gusti Allah menolong kita berdua dari perbuatan …”
“Siapa
Gusti Allah?”Ken Parantili memotong.
“Dia Yang
Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih dan Maha Pelindung. Yang menjadikan langit serta
bumi. Yang menciptakan kita semua….”
“Aku
tidak mengerti. Bukankah …”
“Kita
hidup di kurun waktu yang berbeda sangat jauh. Nanti kalau ada kesempatan aku
akan menjelaskan.”Kata Wiro pula.
Setelah
termenung berdiam diri beberapa ketika, Ken Parantili berkata.
“Wiro,
apa kita akan melanjutkan pembicaraan. Atau sudah cukup dan tinggal menunggu
kedatangan Penguasa Atap Langit?”
Saat itu
Wiro masih mendengar suara alunan gamelan di kejauhan.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku tentang angka delapan.”Menjawab Wiro.
“Angka
delapan adalah tingkat kesaktian paling tinggi yang ada dalam ilmu yang
dimiliki dua Sinuhun dan Dirga Purana …”
“Bagaimana
dengan Penguasa Atap Langit? Berapa tingkatan ilmu kesaktiannya?”
“Sama,
delapan juga. Hanya kadarnya lebih tinggi. Sebagian ilmu yang dimiliki dua
Sinuhun dan Dirga Purana berasal dari Penguasa Atap Langit. Namun setahuku
selama ini Penguasa Atap Langit tidak pernah meninggalkan Negeri Atap Langit
dan mempergunakan ilmu kesaktiannya. Terus terang dia mahluk hitam putih.
Maksudku terkadang baik terkadang jahat. Kejahatan utamanya sampai saat ini adalah
selalu membunuh Selir Pertama setiap enam bulan sekali.”
“Aku
punya dugaan. Penguasa Atap Langit membunuh Selir Pertama setiap enam bulan
serta mencari selir baru yang lebih muda bukan karena nafsu semata…”
“Kau
betul, Wiro. Dia melakukan itu juga untuk melanggengkan semua ilmu kesaktian
yang dimilikinya, Agaknya itu merupakan tuntutan atau syarat ilmunya.”
“Sekarang,
apakah kau mengetahui dimana Guruku berada?”
“Cerita
yang aku dengar dari Penguasa Atap Langit gurumu dipasung dengan rantai panjang
di sebuah rawa buaya. Rantai itu bernama Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Dijaga
oleh delapan mahluk alam arwah bernama Tabir Delapan Mayat Kadang-kadang satu
mahluk alam roh yang datang dari negeri asalmu ikut menjaga. Mahluk ini disebut
sebagai Kesatria Roh Jemputan …”
“Di
negeri delapan ratus tahun mendatang dia disebut Pangeran Matahari. Dosa
kesalahannya selangit tembus. Dia menemui ajal di tangan sekian banyak musuh
besarnya. Termasuk aku dan guruku.”
“Kesatria
Roh Jemputan selalu mencari kesempatan untuk membunuh gurumu. Tapi takut
melangkahi dua Sinuhun karena belum dapat perintah. Dua Sinuhun akan
memanfaatkan gurumu habis-habisan sebelum membantainya.”
“Ken
Parantili, sebelumnya kau mengatakan mudah saja bagiku untuk mengetahui dimana
guruku berada. Kau mau mengatakan bagaimana caranya?”
“Sahabat,
lagi-lagi kau harus minta bantuan nenek cantik Ratu Randang. Ketika gurumu
membelah dada dan mengambil kapak dari dalam dadamu …”
“Tunggu,
aku tidak melihat sendiri kejadian itu karena dalam keadaan pingsan. Yang
menyaksikan justru empat sahabat. Apa guruku juga mengambil batu hitam sakti
yang ada dalam tubuhku?”
Ken
Parantili merenung sejenak baru menjawab. “Sesuai cerita Penguasa Atap Langit
yang mengetahui kejadian itu lewat salah satu mahluk Arwah Putih, yang keluar
dari dalam tubuhmu hanya kapak sakti. Tunggu, coba aku jajagi lagi…”
Selir
Pertama Penguasa Atap Langit pejamkan mata. Kepala didongakkan dan dada
dibusung sambil menarik nafas. Wiro merasa mata seolah silau dan dada bergetar
melihat sosok Ken Parantili dalam keadaan seperti itu, Cepat-cepat dia
tundukkan kepala. Lalu didengarnya suara perempuan muda itu berkata.
“Aku
hanya melihat samar. Peristiwanya cukup lama. Ketika seorang kakek memasukkan
kapak sakti ke dalam tubuhmu, sebelumnya dia telah lebih dulu memasukkan sebuah
batu hitam ke dalam kapak. Batu dan kapak telah menyatu. Hanya itu yang bisa
aku jelaskan padamu …”
Wiro
tercengang. “Kiai Gede Tapa Pamungkas yang memasukkan kapak sakti ke dalam
tubuhku. Eyang Sinto ikut menyaksikan. Tapi mereka tidak memberi tahu kalau
batu hitam sakti sudah lebih dulu disatukan ke dalam kapak. Berarti untuk
mengeluarkan semburan api, kapak dan batu tidak perlu digosokkan lagi satu sama
lain. Ken Parantili, aku sangat berterima kasih padamu. Kau telah memberi balas,
aku belum menanam budi.”
“Saatnya
akan tiba. Ada lagi yang ingin kau tanyakan?”Jawab Ken Parantili.
“Tadi kau
mengatakan bahwa untuk menemukan dimana guruku berada lagilagi aku harus minta
pertolongan Ratu Randang. Kau bisa menjelaskan?”
“Ketika
gurumu mengambil kapak sakti dari dalam dadamu, dua tangannya meninggalkan
bekas di tubuhmu. Ratu Randang memiliki ilmu yang disebut Tanpa Mata
Mengandalkan Penciuman. Dengan ilmu itu kau bisa menjajagi dimana beradanya
gurumu.”
“Luar
biasa! Ken Parantili kau sungguh luar biasa … Aku tidak memikir sampai ke
situ!”
“Wiro,
kau bisa mudah menemukan tempat gurumu dipasung. Tapi tidak mudah untuk
menyelamatkannya. Karena nenek itu telah dicekoki Ilmu Delapan Jalur Arwah
Pencuci Otak. Ilmu hitam itu yang harus dimusnahkan lebih dulu.”
Wiro
menggaruk kepala. Mau bertanya lagi agak sungkan karena dari tadi terus terusan
bertanya. Namun Ken Parantili malah keluarkan ucapan.
“Bukankah
kau memiliki delapan bunga Matahari?”
Wiro
mengangguk..
“Jika
gurumu bisa menelan satu saja dari delapan bunga maka dia akan sembuh. Tapi hal
itu mungkin sulit dilakukan. Ada cara lain. Rendam delapan bunga itu dalam air.
Satu kendi kecil saja sudah cukup. Jika kau dapat mengguyurkan air ke kepala
gurumu, maka ilmu jahat yang menguasai dirinya akan lenyap. Aku menyarankan
agar kau melakukan cara kedua. Delapan bunga Matahari utuh kelak akan kau
pergunakan untuk menghadapi Delapan Tabir Mayat.
Kau harus
menjaga delapan bunga itu baik-baik. Karena delapan bunga sesungguhnya adalah
delapan pocong gadis cantik. Jika kau melantunkan sepenggal nyanyian maka
mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan kehendak Yang Maha Masa mereka akan
melakukan apa saja yang kau inginkan. Terutama menolong dan menjaga keselamatan
dirimu. Tetapi ingat, dia hanya bisa dipanggil dan dimintai pertolongan
sebanyak satu kali.”
Wiro
keluarkan delapan bunga Matahari kecil dari balik pakaian. Bunga diusap,
diciumi lalu sang pendekar berkata. “Aku tidak pernah tahu kalau di dalam
delapan bunga ini sesungguhnya ada mahluk hidup. Ken Parantili, apa nyanyian
yang harus aku lantunkan agar delapan pocong keluar dari dalam bunga?”
“Nyanyiannya
mudah dan sederhana saja. Kau tinggal mengucapkan kata tapi dalam nada
nyanyian. Misalnya : Delapan Pocong gadis cantik. Keluarlah dari dalam bunga
Matahari. Aku sahabatmu perlu pertolongan kalian.”
“Jika
mereka sudah menolong, apa yang harus aku lakukan untuk mereka?” Bertanya Wiro.
“Tidak
ada. Mereka memberikan pertolongan tanpa pamrih. Habis menolong mereka akan
masuk kembali ke dalam bunga Matahari.”Jawab Ken Parantili.
“Apakah
aku bisa mencobanya sekarang?”
“Bisa
saja. Tapi ingat, kau tidak bisa meminta mereka keluar untuk kedua kali.”Jawab
Ken Parantili. Baru saja selir ini selesai berucap tiba-tiba dia tampak
tersentak. Paras berubah.
“Ada
apa?”Tanya Wiro.
“Tidakkah
kau dengar suara alunan gamelan mulai terdengar mengeras?”
“Aku
mendengar”Jawab Wiro.
Itu
pertanda Penguasa Atap Langit sudah bersiap siap meninggalkan Puri Agung. Jika
suara gamelan kemudian berubah perlahan itu tanda dia tengah menuju ke sini.
Kalau suara gamelan lenyap, pertanda dia sudah ada di dekat Puri Kesatu. Siap
masuk. Wiro, waktuku tak lama lagi …”
“Apa yang
harus aku lakukan untuk menolongmu?”Wiro melompat turun dari tempat tidur.
“Peluk
aku sekali lagi. Sebentar saja. Agar batinku lebih kuat menghadapi ujian besar
ini. Setelah itu …”
Belum
sempat Ken Parantili menyelesaikan ucapan, tiba-tiba di luar sana terdengar
suara teriakan lantang.
“Penguasa
Atap Langit! Ada penyusup masuk ke dalam Kawasan Atap Langit! Berhati-hatilah!”
Ken
Parantili terlonjak kaget. Selir ini cepat turun dari bantalan kasur, berdiri
di hadapan Wiro dengan wajah tampak mendadak pucat.
“Siapa
yang berteriak?”tanya Wiro.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Ada yang tidak beres. Bagaimana dia bisa tahu …” Ucap
Ken Parantili dengan suara gemetar.
“Boleh
aku memelukmu sekarang?”Tanya Wiro.
Ken
Parantili maju lebih mendekat. Wiro cepat rangkul perempuan ini. Sambil memeluk
dia mencium kepala Ken Parantili. “Kau banyak memberi tahu hal yang sangat
menolong. Aku berterima kasih. Katakan apa yang harus aku lakukan.”
Ken
Parantili benamkan wajah ke dada Pendekar 212 lalu angkat kepalanya.
“Kita
harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah. Aku harus sudah ada di atas
tempat tidur ketika Penguasa Atap Langit datang. Apa yang harus kau lakukan
nanti akan aku beri tahu …”
Di luar
sana kembali terdengar suara teriakan.
“PenguasaAtap
Langit! Ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya
besar!”
T A M A T
No comments:
Post a Comment