Api Cinta Sang Pendekar
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
TANGAN
kiri menggoyang kaleng butut hingga mengeluarkan suara berkerontang nyaring.
Tubuh terbungkuk-bungkuk melangkah sementara tongkat putih di tangan kanan
dipakai sebagai penuntun jalan.
"Dukkk!"
Tiba-tiba
kaki kanan kakek buta bercaping lebar itu membentur satu benda tergeletak di
jalan.
"Oala!
Apa ini? Pasti bukan batang pohon yang menyandung kakiku!"
Si kakek
sapukan tongkatnya di sekujur benda yang barusan menyandung kaki. "Aha!
Ada manusia tergolek di jalanan. Lagi tidur, pingsan atau sudah jadi
mayat?" Orang tua ini berjongkok. Tongkat diletakkan di tanah. Tangan
kanan meraba-raba. "Dari debu yang menempel di pakaiannya, agaknya manusia
ini sudah cukup lama tergeletak di sini. Mungkin dari tadi malam hemmm…"
Tangan yang meraba terhenti di bagian kepala. "Aneh, kenapa kepalanya
dibungkus? Ah….Jangan-jangan mahluk ini yang disebut Manusia pocong. Berarti
aku di arah yang betul. Mulai dekat dengan sarang gerombolan jahat itu."
Si kakek merasa terus. "Masih hidup…" ucapnya dalam hati begitu
jari-jari tangannya merasakan denyutan nadi di lengan kiri orang. Dia
kerontangkan kaleng rombeng dua kali. Rabaannya berpindah ke tangan kanan.
"Eh, lengan kanan mengapa gontal-gantil begini rupa. Patah? Digebuk
orang?"
Kakek
bercaping tarik kain yang menutupi kepala dan untuk lebih meyakinkan dia
dekatkan telapak tangannya ke hidung orang. Ada hembusan nafas pertanda orang
itu memang masih hidup. Setelah meraba di bagian leher dan mengusap dada, kakek
bercaping pergunakan ujung tongkatnya untuk menotok. Satu di pangkal leher,
satu lagi di dada kiri menunggu sesaat sambil pasang telinga. Tak lama kemudian
terdengar suara keluhan. Si kakek goyangkan kaleng di tangan kiri lalu buka
capingnya. Tangan kanan menepuk-nepuk pipi orang. Mulutnya berucap.
"Manusia pocong, apa yang terjadi dengan dirimu?"
Orang
yang tergeletak di tanah perlahan-lahan buka kedua matanya. Dia melihat satu
wajah tua berambut, berjanggut dan berkumis putih. Sepasang mata orangtua ini
|uga berwarna putih menggidikan.
"Orang
tua, aku tidak kenal kamu. Matamu buta, tapi bagaimana kau tahu aku manusia
pocong?"
Si kakek
menyeringai, goyang kalengnya hingga orang yang tergeletak di tanah mengerenyit
menahan suara nyaring yang menusuk sakit ke liang telinga.
"Omongan
tololmu memberi tahu sendiri siapa dirimu adanya. Ha…ha…ha!" Jawab si
kakek lalu tertawa. "Manusia pocong, dengar ucapanku. Kalau kau mau
membantu, aku akan sembuhkan lengan kananmu yang patah."
Orang
yang tergeletak di jalan dan memang adalah Manusia pocong dari 113 Lorong
Kematian melengak kaget. Dalam hati dia berkata. "Luar biasa tua bangka
buta ini. Dia tahu tangan kananku patah!"
Lalu Si
Manusia pocong ini bertanya. "Bantuan apa yang kau perlukan?" Sambil
bicara dia tekankan siku kiri ke tanah, berusaha bangkit. Tapi ujung tongkat Si
kakek yang ada di atas dadanya membuat dia tak mampu bergerak. Orang ini merasa
dadanya seperti ditindih sebuah batu besar.
"Katakan,
apa yang terjadi dengan dirimu?" Tanya Si kakek buta.
Tak ada
jawaban.
"Kau
tak menjawab. Apa yang ada dalam benakmu? Kau menyembunyikan sesuatu?"
"Aku
jatuh ke jurang." Akhirnya memberi tahu Manusia pocong.
"Aneh!
Jatuh ke jurang tapi mengapa menggeletak di jalan begini rupa?"
"Tadinya
aku coba bunuh diri. Menghambur masuk jurang. Tapi tubuhku tersangkut di cabang
pohon tak berdaun. Kalau sebelumnya aku ingin mati, waktu tergantung di cabang
aku malah jadi takut mati. Aku berusaha memanjat tebing, naik ke atas jurang.
Tenagaku terkuras. Aku tak ingat apaapa lagi begitu berhaSil sampai di
Sini." (Untuk jelasnya peristiwa bunuh diri Manusia pocong Ini baca Bab 7
Episode sebelumnya berjudul "Pernikahan Dengan Mayat")
"Aneh
kalau ada Manusia pocong mau bunuh diri. Lalu mengapa tanganmu bisa
patah?"
"Aku
diberi tugas oleh Yang Mulia Ketua…."
"Yang
Mulia Ketua Siapa itu?" tanya Si kakek walau dia sudah bisa menduga duga
karena telah pernah mendengar sebelumnya
"Dia
adalah Ketua Barisan Manusia pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."
Si kakek
goleng-goleng kepala "Hebat sekali," katanya. Lalu kaleng di tangan
km digoyang dua kali. "Apa masalahnya sampai kau nekad bunuh diri?"
"Aku
takut sekali. Aku tidak dapat melaksanakan tugas dari Sang Ketua. Lebih baik
bunuh diri dari pada kembali ke markas, disedot darah dan dicopot
jantung!"
"Tugas
apa yang diberikan oleh Ketuamu?" Tanya kakek bercaping.
"Merampas
sebuah kain putih dari tangan seorang bertubuh gemuk luar biasa. Ternyata dia
adalah tokoh rimba perSilatan berjuluk Raja Penidur."
Jawab Si
Manusia pocong. Tangan kirinya mengambil kain putih penutup kepala yang tadi
dibuka Si kakek lalu dipakaikan untuk menutup kepala dan wajahnya kembali.
Mendengar
ucapan orang, Si kakek mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh. "Pasti
Raja Penidur yang mematahkan tangan kananmu! Ha…ha…ha."
"Apa
yang lucu? Mengapa kau tertawa?" tanya Manusia pocong, jadi geram.
Dari
dalam capingnya kakek buta keluarkan satu gulungan kecil kain putih. Gulungan
dibuka lalu kain digoyang-goyang di atas wajah Manusia pocong.
"Kain
putih ini yang kau maksudkan?"
Manusia
pocong tersentak kaget. Melotot dan berusaha bangkit. Tapi lagi-lagi dorongan
ujung tongkat yang terbuat dnn tulang putih membuat punggungnya terhenyak ke
tanah.
“Bagaimana
kain itu bisa berada di tanganmu? Temanku harus melepas nyawa dan aku menderita
cidera berat untuk dapatkan kain itu. Kakek buta, Siapa kau ini adanya?"
Sebagai
jawaban kakek buta goyangkan kaleng rombengnya. Dia baru berhenti setelah Si
Manusia pocong berteriak-teriak karena liang telinganya seperti mau jebol.
"Siapa
aku tidak penting. Bantuanmu lebih penting. Dengar, aku akan obati lengan
kananmu yang patah. Asal kau berjanji mau mengantarkanku ke markasmu."
Si
Manusia pocong kaget, terdiam. Tapi otaknya bekerja.
"Hai,
apa jawabmu?"
"Kalau
cuma mengantarkan apa susahnya. Cepat saja mengobati tanganku. Dan tolong,
ujung tongkatmu itu jangan lagi dipakai menindih dadaku."
"Begitu?"
Si kakek menyeringai dan masukkan gulungan kain putih ke dalam caping. Lalu
caping dikenakan di atas kepala. "Ulurkan tangan kananmu!"
Si kakek
berkata.
Dengan
kening mengerenyit dan muka keringatan Manusia pocong ulurkan tangan kanannya
yang patah. Ujung tangan dan pergelangan ke bawah mengambai-ngambai. Sakitnya
bukan main. Dalam keadaan seperti itu Si kakek usap-usapkan ujung tongkat
putihnya pada sekujur lengan kanan yang entah. Tiba-tiba tongkat itu dipukulkan
ke tangan orang, Si Manusia pocong menjerit setengah mati. Tubuhnya sampai
tersentak dua jengkal ke atas. Namun anehnya tangan kanan itu menjadi lurus,
tulang yang patah bersambung kembali!
Si kakek
kerontangkan kaleng rombengnya sambil tertawa-tawa.
Manusia
pocong peiotkan mnta, usap-usap tangan kanannya dengan tangan kiri. Lalu saking
tak percaya tangan kanan itu ditumbuk-tumbukkan ke tanah.
"Duk!
Duk! Duk!"
Tanah
bergetar. Sama sekali tak ada rasa sakit. Tangan yang tadi patah benar-benar
sembuh utuh!
"Luar
biasa! Orang tua. aku sangat berterima kasih…."
"Sekarang
bangun. Giliranmu menolongku. Saatnya kau mengantarkan aku ke markasmu. Aku
ingin ngobrol dengan yang kau sebut Yang Mulia Ketua itu."
"Pasti,
tentu! Aku akan antarkan kau ke sana sekarang juga." Suara ucapan Manusia
pocong bersemangat sekali.
Si kakek
jauhkan tongkat tulangnya dari dada Manusia pocong. Orang ini cepat berdiri.
Dia tepuktepuk debu yang melekat di pakaiannya. Rapikan kain putih penutup
kepala.
"Orang
tua, mari. Biar kutuntun.’ Kata Si Manusia pocong sambil pegang lengan kanan
kakek buta bercaping.
Tapi
begitu lengan Si kakek berada dalam cekalannya, mendadak sontak Manusia pocong
itu membuat gerakan demikian rupa hingga tubuh Si kakek mencelat ke atas dan
Siap dibanting remuk ke tanah! Namun apa yang terjadi membuat Manusia pocong
melengak. Entah bagaimana sosok yang hendak dibanting itu terlepas dari
cekatannya. melesat ke udara lalu melayang turun sambil tertawa haha-hihi.
Kaget dan juga geram, selagi tubuh Si kakek masih mengapung kaki ke atas kepala
ke bawah. Manusia pocong hantamkan dua jotosan kiri kanan.
"Bukk!
Bukkk!"
Dua
pukulan itu jelas mengeluarkan suara bergedebuk keras. Namun tubuh Si kakek
tidak bergeming sedikitpun. Manusia pocong serasa memukul tumpukan kapas’
"Setan
alas! Dengan pukulan sakti ini masakan tidak remuk tubuhmu!" Teriak
Manusia pocong marah. Tangan kanannya bergetar hebat pertanda dia hendak
melancarkan satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi.
Tangan
bergerak melepas pukulan.
"Wuttt!"
Satu
gelombang angin menerpa dahsyat. Si kakek keluarkan seruan keras, jungkir balik
di udara. Namun sapuan angin pukulan membuat capingnya terlepas dan melayang
jatuh. Melihat ini secepat kilat Manusia pocong sambar caping yang melayang
jatuh lalu jejakkan kaki di tanah, membuat lompatan dan langsung ambil langkah
seribu. Dari mulutnya terdengar seruan. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua
yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!’
"Hah!
Ucapan Sinting apa itu?" maki kakek mata putih.
Jelas,
rupanya sejak tadi Manusia pocong ini sudah mengincar gulungan kain putih yang
disimpan di dalam caping. Yang ada dalam benaknya, jika dia dapatkan kain putih
itu, dia bisa kembali ke markas menemui Yang Mulia Ketua Barisan Manusia pocong
113 Lorong Kematian, selamat dari hukuman maut. Dan pasti akan mendapat imbalan
besar. Namun dia tidak tahu kalau saat itu berhadapan dengan tua bangka yang
berjuluk Kakek Segala Tahu. Yang dalam rimba persilatan tanah Jawa terkenal
sebagai salah seorang tokoh Silat aneh dan konon sulit dijajagi ketinggian ilmu
Silat serta kesaktiannya.
Di udara
Si kakek berjungkir satu kali. Enteng sekali dia melayang turun dan tahu-tahu
sepasang kaki sudah menginjak tanah. Setelah batuk-batuk sambil usap dadanya
yang tadi dihantam orang, dia keluarkan ucapan.
"Heran,
masih ada saja manusia yang diberi susu membalas dengan air tuba. Tipu….tipu!
Kebaikanku
dibalas dengan keculasan! Sayang… sayang sekali."
Kakek
bermata putih buta ini kerontangkan kalengnya dua kali. Lalu tubuh atasnya
bergerak condong ke belakang. Bersamaan dengan itu kaki kanannya ditendangkan
ke depan. "Sebelumnya kau gagal mati bunuh diri. Sekarang Silahkan
mengulang kembali! Hik..hik..hlk."
“Kraaakk!"
Terdengar
suara tulang patah.
Jarak
antara Si kakek dan Manusia pocong saat itu terpisah sekitar lima langkah.
Walau kaki kanan yang menendang jelas-jelas tidak mengenai atau menempel di
sasaran tapi luar biasanya saat itu juga kelihatan bagaimana tubuh Manusia pocong
mencelat ke depan, terlempar ke arah jurang batu. Caping yang dipegangnya
terlepas dan jatuh ke anah di depan kaki Si kakek.
Suara
jeritan panjang menggema di dalam jurang sewaktu Manusia pocong itu melayang
jatuh ke dasar jurang lalu sunyi.
Kakek
mata buta tarik nafas panjang, gelenggeleng kepala. Dengan ujung tongkat
tulangnya dia mengedut pinggiran caping. Benda ini melayang dan bertengger di
atas kepalanya.
"Telaga
Sarangan…." Kakek Segala Tahu berkata sambil benahi buntalan di punggungnya
lalu angkahkan kaki. "Aku harus pergi ke utara Telaga
Tangan.
Mumpung masih pagi berangkat saja
sekarang.
Aku harus menikahkan seseorang disana. Siapa yang aku nikahkan. Dengan Siapa?
Raja Penidur? Ada-ada saja kelakuannya mengerjai diriku! dan! Ini pekerjaan
gendeng! Hik…hik..hik.’ Orang tua ini tutup ucapannya dengan goyangkan kaleng,
rombeng di tangan kiri.
Begitu
suara berisik sirap, alis Si kakek berjingkat. mata buta berputar, Telinganya
menangkap suara orang bertari disertai suara menangis.
*********************
2
Belum
habis heran Si kakek tiba-tiba ada suara anak lelaki berteriak
“Tolong!"
Suara
anak lelaki yang berian menangis dan berteriak mendatangi ke arah Si kakek
"Bocahl
Siapa kau Ada apa?”
"Aku
dikejar orang Mereka mau membunuhku!"
Anak
lelaki yang berlari dan menangis sampai di hadapan Kakek Segala Tahu dan
gelungkan dua tangannya ke pinggang Si orang tua Mengharapkan perlindungan
sambil memandang ke belakang dengan wajah penuh ketakutan
Kakek
Segala Tahu usap kepala anak itu.
"Anak,
tenang saja Jangan takut. Katakan Siapa dirimu dan Siapa yang mengejarmu."
"Nama
saya Magiyo Saya dikejar mahluk pocong penghuni lorong maut Mereka membunuh
nenek saya. Mereka mengejar saya. Mau membunuh saya Kek, saya takut sekali
Tolong..’
Kakek
Segala Tahu mendongak ke langit Sepasang telinga dipentang.
"Anak
ini tidak bohong Aku mendengar suara beberapa orang berlari ke arah Sini.
Hemmm… Tingkat kepandaian mereka tidak bisa dibuat main. Masih ada waktu….masih
ada waktu mencari keterangan."
Si kakek
usap kembali kepala anak bernama Magiyo lalu berkata.
"Bocah,
tak perlu takut Coba ceritakan. Pendekpendek saja. Siapa nenekmu. Mengapa
mereka membunuhnya. Bagaimana kau bisa berada di lorong maut itu. Lalu mengapa
manusia-manusia pocong itu ingin membunuhmu
"Pertanyaanmu
banyak sekali Kek. Saya….Saya dan nenek diculik. Nenek saya Paimah, dukun
beranak di Sarangan…."
"Ah.
pasti ada yang mau melahirkan di lorong maut itu. Tidak heran. Bukankah selama
ini kabarnya banyak perempuan bunting yang diculik? Bocah. teruskan
ceritamu…"
"Saya
berusaha melarikan diri dari lorong…"
"Kata
orang sekali masuk ke dalam lorong sulit bisa keluar. Aneh kalau bocah
sebesarmu mampu keluar dari tempat itu.’
"Saya
sembunyi di salah satu sudut lorong yang gelap. Setiap ada Manusia pocong lewat
saya ikuti. Tiga minggu lebih saya mendekam di dalam lorong. Pagi tadi ada satu
manusia pocong keluar dari dalam lorong. Saya ikuti dan saya berhasil
keluar…"
"Kalau
kau tidak dusta maka kau adalah anak cerdik luar biasa. Bagaimana kau bisa
bertahan hidup selama tiga minggu. Apa yang kau makan?"
"Di
dalam lorong, dindingnya penuh lumut. Itu yang saya makan. Mula-mula saya
muntah. Sakit perut. Tapi tidak berak. Lama-lama jadi biasa."
‘Kau
tidak berak katamu? Selama tiga minggu? Ha..ha. Ku satu keanehan…."
"Kek,
orang yang mengejar sudah kelihatan. Di sebelah sana…"
"Ya,
ya….Aku tahu. Lekas berdiri di belakangku." Kata Kakek Segala Tahu.
Anak
lelaki usia enam tahun itu segera lakukan apa yang dikatakan.
"Wuuttt!"
Sebuah
benda tiba-tiba sekali melayang di udara.
Kakek
Segala Tahu gerakkan tangan kanan yang memegang tongkat tapi terhalang oleh
sosok bocah yang tengah melangkah di arah sisi kanannya. Di lain saat tiba-tiba
anak ini menjerit keras. Tubuhnya terhuyung ke depan. Dia coba merangkul
pinggang Si kakek tapi luput. Magiyo terkapar menelungkup di tanah. Sebuah
bendera berbentuk segi tiga, basah oleh cairan berwarna merah menancap amblas
di batok kepala sebelah belakang, nyaris tembus sampai di kening! Bendera
Darah!
"Magiyo!"
seru Kakek Segala Tahu. Telinga dipentang sambil menghirup dalam-dalam.
"Bau amis darah…" ucap Si kakek dalam hati. Tongkat putih diusapkan
kesekujur tubuh Magiyo yang tertelungkup di tanah. Mulai dari kaki dan baru
berhenti waktu membentur gagang kayu Bendera Darah yang menancap di kepala anak
itu. (Mengenai kisah Magiyo bersama neneknya, seorang dukun beranak dari
Sarangan bernama Paimah, Silahkan baca Episode sebelumnya berjudul
"Bendera Darah")
Kakek
Segala Tahu dongakkan kepala. Kaleng rombeng digoyang sampai tiga kali. Dalam
hati dia berkata. "Manusia-Manusia pocong, pasti mereka…" Dugaan Si
kakek tidak keliru. Tiga orang yang muncul adalah tiga Manusia pocong dari 113
Lorong Kematian. Begitu suara berisiknya kerontangan kaleng lenyap. Kakek
Segala Tahu keluarkan ucapan.
"Kejam
dan keji! Iblis sekalipun tidak akan membunuh anak kecil begini rupal"
Dari arah
depan ada suara orang berdecak leletkan lidah.
"Orang
tua bercaping bermata buta putih. membekal kaleng rombeng. Ketahuilah setiap
kematian ada pangkal sebabnya!"
"Hemm
begitu?" Kakek Segala Tahu tetap dongakkan kepala. Din kerahkan kekuatan
pendengaran serta perasaan. Selain orang yang barusan bicara, tiga langkah di
kiri kanannya saat itu ada orang kedua dan ketiga. "Kalian bertiga! Coba
katakan apa pangkal sebab kesalahan bocah ini hingga kalian tega
membunuhnya?!"
Orang
yang tadi bicara dan dua kawannya samasama terkejut. Bagaimana kakek buta ini
tahu kalau mereka ada bertiga. Matanya jelas putih buta. Lalu dengan apa dia
melihat?
"Kami
punya alasan. Tapi tidak perlu memberi tahu tua bangka sepertimu1′
"Tolol
sekalil" damprat Si kakek.
"Kami
tolol?!" Orang yang menyahuti kembali leletkan lidah lalu bersama dua
temannya tertawa jelak-gelak.
"Tolol
dan pengecut!" Kakek Segala Tahu memaki.
"Tua
bangka! Tutup mulutmu!" Orang di sebelah kanan Kakek Segala Tahu
membentak.
Kakek
Segala Tahu ganda tertawa. Kepala masih mendongak di angkat tangan kanannya,
tudlngkan ujung tongkat tulang ke arah orang yang barusan membentak.
"Mahluk
dajal bermulut besar! Aku perintahkan padamu untuk mengurus jenazah bocah Ini.
Kuburkan dia secara baik-baik!"
"Tua
bangka Sinting! Siapa sudi turut perintahmu!" Teriak Si Manusia pocong.
“Mahluk
pocong, apapun kau adanya, nasibmu bakal jelek. Kau akan mati tanpa
kubur!"
Sambil
berkacak pinggang Manusia pocong di sebelah kanan tertawa gelak-gelak. Dua kaki
bergeser maju, tangan kanan bergerak. Tahu dirinya akan diserang, Kakek Segala
Tahu acungkan tongkat tulang.
"O-oo!
Tunggu dulu! Biar aku yang kau bilang Sinting ini diberi kesempatan untuk
mengubur jenazah bocah teraniaya ini!"
Habis
berkata begitu Kakek Segala Tahu tancapkan dalam-dalam tongkat tulang ketanah
lalu tongkat digerakkan membuat garis empat persegi panjang. Ketika tongkat
disentakkan ke atas. tanah berhamburan membentuk gundukan di samping kiri kanan
dan di tempat itu kini menganga sebuah lobang.
Tiga
Manusia pocong untuk sesaat lamanya jadi terkesiap bahkan saling pandang. Yang
tadi didamprat bakal mati tanpa kubur mendadak saja kuduknya terasa dingin
Sementara itu Kakek Segala Tahu susupkan tongkatnya ke bagian bawah perut mayat
anak yang tertelungkup di tanah. Perlahanlahan jenazah Magiyo diangkat.
Lagi-lagi membuat tiga manusia pocong tampak melengak. Walau Magiyo adalah
seorang anak kecil, tapi bagaimana tongkat tulang yang kelihatan seperti rapuh
mampu dipergunakan untuk mengangkat beban seberat itu.
Jenazah
Magiyo diturunkan dan sampai di dasar lobang. Kakek Segala Tahu kembali
unjukkan kehebatan. Dengan ujung tongkat dia membuat gerakan menyapu ke arah
lobang. Gundukan tanah di sekitar lobang didorong menutupi jenazah, membentuk
sebuah kuburan!
"Mahluk-mahluk
tolol! Begitu caranya mengurus dan menghormati jenazah manusia!" Kakek
Segala Tahu mendamprat.
Manusia
pocong yang berdiri di antara dua temannya menyeringai di balik kain putih
penutup kepala.
"Terima
kasih kau telah menyuguhkan satu pertunjukan hebat! Sekarang saat kami untuk
mengurus dan menghormati dirimu!" Lalu Manusia pocong ini gesekkan ujung
ibu jari dan jari tengah tangan kanannya hingga mengeluarkan suara keras.
Mendengar tanda ini dua Manusia pocong yang berada di kiri kanan Si kakek
keluarkan seruan lantang.
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!"
Kakek
Segala Tahu tertawa dan cibirkan bibir mendengar ucapan itu.
Dua
Manusia pocong berkelebat lancarkan serangan. Serangan didahului dengan
melemparkan dua Bendera Merah. Dua Bendera Merah ini dengan mudah dipukul
mental oleh Kakek Segala Tahu dengan tongkat tulang putih. Tongkat di tangan
kanan, kaleng rombeng dikerontangkan di tangan kiri, Kakek Segala Tahu hadapi
lawan yaitu dua Manusia pocong yang ternyata memiliki kepandaian tinggi. Selama
lima jurus orang tua ini menjadi bulan-bulanan serangan yang sangat berbahaya.
Manusia
pocong ketiga yang bukan lain adalah Wakil Ketua Barisan Manusia pocong 113
Lorong Kematian geleng-geleng kepala. Rasa kagum melihat semua kehebatan Si
kakek justru membuat dia merasa kawatir.
Memasuki
jurus ke tujuh Kakek Segala Tahu putar tongkat putihnya sambil berkata.
"Aku jarang berkelahi! Berkelahi membuat tubuh rongsokan ini pegal
sakit-sakit! Hai! Aku bosan bercanda dengan orang-orang tolol seperti
kalian!" Tongkat putih lalu berubah menjadi titiran, mengeluarkan suara
berdesing menggidikan. Jubah dan kain putih tutup kepala dua Manusia pocong
berkibar-kibar.
"Lihat
tongkat!" Tiba-tiba Kakek Segala Tahu berseru.
"Wuuuttt!"
Suara
deru tongkat tulang disusul dengan jeritan Manusia pocong di sebelah kanan.
Kakek Segala Tahu .tertawa mengekeh. Ujung tongkatnya menancap di leher Manusia
pocong itu sampai sedalam satu jengkal. Ketika tongkat diangkat ke atas. sosok
Manusia pocong ikut terangkat dan berayun-ayun. Sewaktu tongkat ditarik, darah
langsung menyembur dari lobang besar di leher, membasahi kain penutup kepala
dan jubah putih.
"Aku
bilang apa! Kau bakal mati tidak berkubur!"
Sosok
tubuh yang tengah terhuyung-huyung itu digebuk di bagian kaki. Tak ampun lagi
Manusia pocong itu jatuh tergelimpang. Dua kaki melejanglejang beberapa kali
lalu diam pertanda nyawanya amblas sudah!
Melihat
kematian temannya, Manusia pocong di sebelah kiri berteriak marah. Dari jarak
tiga langkah dia lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi. Di depan sana Manusia pocong ke tiga tidak tinggal diam. Mulutnya
keluarkan suara suitan seolah memberi tanda. Tangan kanan mengeruk ke saku
jubah. Manusia pocong yang hendak menyerbu cepat membuat langkah surut sambil
tutup jalan pernafasan. Kakek Segala Tahu bersikap waspada. Ketika dia hendak
menghajar lawan di sebelah kiri tiba-tiba dia mencium bau sesuatu. Orang tua
ini cepat menutup hidung. Tapi terlambat. Sejenis asap beracun yang
disemprotkan Manusia pocong ke tiga keburu masuk ke dalam saluran
pernafasannya. Tubuhnya mendadak limbung. Kaki seperti tidak menginjak tanah
lagi. Dia masih sempat kerontangkan kaleng rombengnya satu kali tergelimpang
miring di tanah. Tongkat masih tergenggam di tangan. Caping dan kaleng butut
terlepas jatuh.
Wakil
Ketua Manusia pocong rangkap dua tangan di atas dada.
"Sudah
lama aku mendengar kehebatan kakek satu ini. Baru kali ini menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Yang Mulia Ketua benar. Kalau tidak mempergunakan asap
beracun pelumpuh syaraf akan sangat sulit membekuk dedengkot rimba persilatan
ini!" Setelah berikan perintah pada Satria Pocong anak buahnya agar segera
memanggul Kakek Segala Tahu dia lalu dekati mayat Manusia pocong yang terbujur
di jalanan. Sekali tendang saja mayat itu terlempar belasan langkah dan
akhirnya jatuh masuk ke dalam jurang.
*********************
3
KAKEK
Segala Tahu terbujur di atas tempat tidur batu di dalam kamar tempat dia
disekap. Untuk beberapa saat dia tergeletak tak bergerak, masih tidak sadarkan
diri akibat menghisap asap beracun Tak selang berapa lama di kejauhan
sayup-sayup terdengar suara orang menyanyi. Entah suara nyanyian ini. atau
mungkin juga pengaruh asap beracun yang perlahan sirna, Si kakek mulai siuman.
Dua kaki bergeraki Tapi gerakannya tertahan. Dia geser dua tangan. Sama,
gerakannya juga tertahan
"Ada
apa dengan diriku ? Aku mendengar suara nyanyian. Apakah saat ini aku sudah
mati dan berada di sorga?" Si kakek membatin dalam hati tertawa membatin
sendiri Mulutnya berucap. "Tua bangka rongsokan seperti aku, banyak dosa
seumurumur. Mana mungkin masuk sorga! Ha…ha…ha!" Lalu orang tua ini
nyalangkan sepasang matanya yang putih buta. Dia coba lagi menggerakkan tangan
dan kaki, berusaha bangun. Tapi tidak mampu. "Ada suatu pada pergelangan
tangan dan pergelangan kakiku! Setan alas. Siapa yang mengikat aku?!"
Kakek ini
kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke pergelangan tangan dan kaki untuk menjebol
putus ikatan.
“Dess!"
"Dess!"
Dari
pergelangan tangan dan kaki Si kakek mengepul asap kelabu.
"Oala!
Ilmu Sihir apa yang menguasai diriku?l" ucap Kakek Segala Tahu.
Saat itu
di dalam ruangan tiba-tiba menghambur gelak tawa keras.
"Ah
rupanya ada orang lain di tempat ini…." membatin Kakek Segala Tahu.
"Tua
bangka goblok!" Ada suara orang memaki. "Tidak ada ilmu Sihir yang
menguasai dirimu! Tangan dan kakimu berada dalam keadaan terikat! Kau boleh
punya ilmu setinggi langit sedalam lautan! Tangan dan kakimu tak akan bisa
bebas! Kau sudah kena ringkus! Tangan dan kakimu diikat dengan benang sutera
halus. Itulah yang disebut Benang Kayangan."
Kakek
Segala Tahu melengak, tapi hanya sesaat.
Dia
terdiam sambil berpikir pikir. Namun jalan pikirannya masih belum jernih akibat
pengaruh asap beracun.
"Orang
yang barusan bicara dan tertawa. Siapa dirimu? Barusan kau menyebut Benang
Kayangan. Aku rasa-rasa…."
"Hidup
tidak bisa hanya merasa-rasa. Kau lihat sendiri akibatnya. Terlalu banyak
merasa-rasa akhirnya nasibmu berakhir di tempat celaka ini! Disini kau bakal
melepas nyawa!"
"Tempat
celaka Melepas nyawa? Memangnya aku berada dimana?’
"Kau
berada dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian!"
"Ahh….
Kakek Segala Tahu lepas nafas panjang. "Apakah saat ini aku berhadapan
dengan Manusia pocong yang disebut Yang Mulia Ketua?"
"Tahu
juga kau siapa pemimpin kami! Tunggu saja. Sebentar lagi Yang Mulia Ketua akan
datang ke tempat ini. Dia akan menyuruh sedot seluruh kekuatan tenaga dalam dan
ilmu kesaktian yang ada dalam dirimu. Tubuhmu sudah rongsokan. Tidak pantas
menguasai semua kehebatan itu!"
Kakek
Segala Tahu tidak perdulikan ucapan orang. Dia berusaha memusatkan ingatan pada
satu hal. Mulutnya berkata. "Benang Kayangan…Ah! Aku ingat sekarang. Benda
itu hanya dimiliki oleh satu orang. Kalau aku tidak salah dia…."
Tiba-tiba
pintu besi setebal setengah jengkal di samping kanan ruangan batu terbuka. Tiga
Manusia pocong masuk ke dalam. Dua bertubuh tinggi besar, yang ketiga agak
pendek. Orang yang barusan bicara dengan Kakek Segala Tahu keluarkan ucapan
lantang.
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!"
"Hik….hik…hik!"
Kakek Segala Tahu tertawa geli. "Lagi-lagi ucapan itu! Ah, rupanya Yang
Mulia Ketua sudah berada di Sini. Sayang tangan dan kakiku dalam keadaan
terikat hingga tak bisa memberi salam hormat!"
"Wakil
Ketua!" Manusia pocong tinggi besar yang berada di sebelah depan berkata.
"Kita tak perlu berbasa basi dengan tua bangka rongsokan ini. Lekas
geledah manusia satu ini. Temukan benda yang kita perlukan itu!"
Manusia
pocong tinggi besar kedua yang berdiri di belakang Sang Ketua membungkuk
hormat. Dia memberi tanda pada Manusia pocong di sampingnya. Wakil Ketua dan
anak buahnya segera menggeledah sekujur tubuh Kakek Segala Tahu. Baju dan
celana rombeng disingkap. Tubuh Si kakek dibolak balik. Rambut putih panjang
dan janggut disingkap. Tapi apa yang mereka cari tidak ditemukan.
"Telanjangi
dia! Pasti dia menyembunyikan benda itu di salah satu bagian tubuhnya!"
Perintah Sang Ketua.
"Hai!
Kalian semua sudah pada gila apa?! Apa enaknya melihat aku telanjang! Aku bukan
perempuan muda bertubuh putih montok!"
"Plaakk!"
Satu
tamparan mendarat di pipi kiri Kakek Segala Tahu membuat orang tua ini sesaat
seperti kelojotan tapi kemudian malah menyeringai dan tertawa.
"Kalau
kau tidak hentikan tawamu, akan kurengkah batok kepalamu!" Sang Ketua
mengancam.
"Apa
yang kalian cari sampai-sampai mau menelanjangi diriku?"
"Dimana
kau sembunyikan segulung kain putih?!"
"Ah,
mengapa aku mendadak menjadi tuli, budek…" Kakek Segala Tahu berucap.
"Apa…apa tadi yang kau tanyakan?"
"Setan
tua! Jangan berpura-pura tuli! Jawab pertanyaan Ketua kami. Dimana kau Simpan
gulungan kain putih yang kau dapat dari Raja Penidur?" Yang bicara keras
kali ini adalah Wakil Ketua Manusia pocong.
"Apa?
Kau mau menyuruh aku tidur? Dengan Siapa? Dengan perempuan-perempuan bunting
itu? Ha..ha…Tak pernah aku bayangkan…"
"Gulungan
kain pulih! Bukan tidur!" Teriak Wakil Ketua.
"Ooo,
tubuh perempuan itu putih. Aku memang paling suka perempuan putih. Apa lagi
kalau gemuk banyak lemaknya. Ha..ha..ha! Padahal….ha…ha! Aku disuruh menikahkan
orang! Hai, apakah Yang Mulia Ketua hendak kawin? Dengan Siapa? HA…ha… Pasti
aku bakal menerima imbalan besar kalau menikahkan Yang Mulia Ketua!
Ha…ha…ha!"
Saking
marahnya Yang Mulia Ketua kepalkan tinju kanan, Siap hendak menjotos kepala
Kakek Segala Tahu. Kalau ini sampai kejadian kepala Si kakek akan pecah dan
nyawanya tak akan tertolong agi. Tapi tiba-tiba saja tangannya dipegang oleh
seseorang. Orang ini adalah yang tadi pertama kali berada dalam ruangan batu
tempat Kakek Segala Tahu disekap.
"Yang
Mulia Ketua, tua bangka satu ini tidak bodoh. Aku tahu betul dirinya. Akalnya
banyak. Walau disiksa sampai tubuhnya lumat dan otaknya terbongkar tak bakalan
dia mau bicara. Malah salahsalah dia bisa memberi keterangan menyesatkan kita.
Kita tidak akan menemukan gulungan kain itu di tubuhnya. Pasti dia menyembunyikan
di tempat lain. Setahuku biasanya dia memakai caping, membawa kaleng rombeng.
Aku tidak melihat dua benda itu. Bukan mustahil dia menyembunyikan di dalam
kaleng atau dibalik caping."
Yang
Mulia Ketua berpaling pada wakilnya. Sepasang mata dibalik kain putih penutup
kepala menyorotkan Sinar angker. "Aku tahu, apa yang dikatakan Dewa Tuak
betul adanya. Dimana caping dan kaleng rombeng itu?"
"Agaknya,
mungkin tertinggal di tempat kami meringkusnya."
"Lalu
apa yang akan kau perbuat? Hanya bertambah tolol dengan tetap berada di tempat
ini?!" Bentak Sang Ketua pada wakilnya.
"Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Saya dan satria pocong akan kembali ke tempat itu.
Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintail Namun ada sebuah tongkat sakti milik kakek
ini…" Dari balik punggung jubah putihnya. Wakil Ketua Barisan Manusia
pocong keluarkan tongkat putih terbuat dari tulang. Benda ini segera diserahkan
pada Sang Ketua.
"Pencuri
busuk! Lekas kembalikan tongkatku!" Kakek Segala Tahu berteriak.
"Hanya
tongkat tulang butut dan rapuh! Tak ada gunanya!" ucap Yang Mulia Ketua.
Wakil
Ketua segera mendekati pimpinannya. Setengah berbisik dia menceritakan
kehebatan tongkat itu. Dengan tongkat butut dan kelihatan rapuh itu Kakek
Segala Tahu mengangkat tubuh manusia. Dengan benda itu pula dia menggali tanah
untuk mengubur bocah bernama Magiyo.
"Jadi
sudah kalian bunuh anak itu?" tanya Sang Ketua pula.
"Sesuai
perintah Yang Mulia," jawab Wakil Ketua.
Yang
Mulia Ketua perhatikan tongkat tulang putih yang dipegangnya. "Aku tidak
percaya tongkat ini begitu sakti," ucap Sang Ketua. "Tidak mustahil
dia menyembunyikan gulungan kain putih dalam rongga tongkat!"
"Kraakkk…..kraakkk!"
Terdengar
suara berderak patah berulang kali. Di lain kejap Sang Ketua telah patahkan
tongkat tulang itu menjadi tujuh potongan. Setiap patahan diperiksa. Kosong
semua. Gulungan kain putih tidak ada dalam rongga patahan tulang. Dengan geram
Yang Mulia Ketua lemparkan tujuh patahan tongkat ke dinding batu. Luar biasa!
Tujuh patahan tongkat amblas hampir sama rata dengan dinding batu! Kesunyian
menggantung dalam ruangan Wakil ketua dan anak buahnya terdiam kagum
menyaksikan kehebatan tenaga dalam pimpinan mereka. Hanya Dewa Tuak yang walau
ikutan diam tapi kelihatan seperti tak acuh.
Tiba-tiba
kesunyian dalam ruangan batu pecah oleh gelak tawa Kakek Segala Tahu.
"Tua
bangka jahanam! Apa yang lucu! Mengapa kau tertawa?!" Bentak Yang Mulia
Ketua.
"Tidak
ada yang lucu!" Sahut Kakek Segala Tahu.
Hanya
saja…"
"Hanya
saja apa?!" bentak Sang Ketua.
"Banyak
orang gila di tempat ini. Mereka semua akan mati konyol dalam kegilaan itu! Dan
diantara mereka akan ada tulangnya aku ambil pengganti tongkatku!
Ha…ha…ha!"
"Begitu?"
Sang Ketua usap-usap dagunya yang tertutup kain putih. Dia melangkah mendekati
tempat tidur batu. "Kalau begitu biar kepalamu kuhancurkan lebih
dulu!"
"Yang
Mulia Ketua, tahan!" Dewa Tuak bergerak menghalangi. "Jangan sampai
terpancing oleh Siasat tua bangka satu ini. Kita lebih banyak ruginya kalau dia
mati lebih cepat. Sesuai rencana"
"Sudah!
Menjauh sana!" Ucap Yang Mulia Ketua sambil mendorong Dewa Tuak hingga
terjajar ke pintu beSi.
Di atas
pembaringan batu kembali Kakek Segala Tahu tertawa-tawa.
Setelah
Wakil Ketua dan anak buahnya tinggalkan tempat itu. Sang Ketua ingat sesuatu
dan berpaling pada orang tua yang berdiri di samping kiri. "Dewa
Tuak," tegurnya. "Apa kau sudah memberikan minuman selamat datang
pada tua bangka ini?’
"Belum
Yang Mulia Ketua. Bukankah kita perlu lebih dulu mengorek keterangan dari
dirinya? Bagaimana mungkin dia bicara kalau otaknya dicuci dan ingatannya
lenyap? Yang Mulia tak usah kawatir. Dia tak bakal bisa lolos. Tidak ada satu
manusiapun yang mampu menjebol ikatan Benang Kayangan itu."
"Aku
percaya padamu. Tapi tidak selalu. Jika dia sampai kabur, nyawa busukmu
imbalannya!"
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang wajib dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai."
Yang
Mulia Ketua sesaat memandang pada Kakek Segala Tahu yang terbujur di atas
ketiduran batu. "Tua bangka keparat ini tadi menyebut-nyebut soal
pernikahan. Kawin. Siapa yang nikah? Siapa yang kawin? Diriku? Gila! Tapi
kupikir ada sesuatu yang aneh. Dibalik keanehan ucapan mungkin ada satu
rahaSia…."
Pintu
beSi dibuka. Sang Ketua tinggalkan tempat itu.
"Dewa
Tuak" Kakek Segala Tahu berucap.
Tak ada
jawaban.
"Dewa
Tuak kakek keparat! Kau masih ada disini?"
Tetap tak
ada jawaban.
"Jahanam
pengkhianat! Tunggu pembalasanku!" Dua mata putih Si kakek berputar.
"Dia pasti ikutan keluar bersama ketuanya. Edan, sebelum aku rupanya dia
sudah kena diringkus duluan. Heran, mengapa dia mau bercokol di sini dan jadi
kaki tangan Manusia pocong? Tega-teganya dia mengikat aku begini rupa.
Pengkhianat busuk! Jangan-jangan kakek itu diumpan penganan perempuan-perempuan
muda bunting? Minuman selamat datang. Pencuci otak pelupa ingatan. Minuman
setan apa itu? Mungkin Dewa Tuak sudah dicekoki minuman itu. Kalau aku juga
sampai kena dicekoki. Ihhh. “
************************
Ketika
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian bersama anak buahnya
sampai di tempat kejadian dimana mereka berhaSil melumpuhkan Kakek Segala Tahu
dengan asap beracun, keduanya tidak menemukan caping dan kaleng rombeng milik
Si kakek. Seluruh tempat mereka periksa. Telap saja caping dan kaleng tidak
ditemukan.
"Aneh,
kalau memang jatuh dan tertinggal, pasti caping dan kaleng itu ada di Sini.
Kalau jatuh tercecer di jalan pasti tadi sudah ditemukan…" Wakil Ketua
berkata sambil melangkah mundar mandir. Manusia pocong anak buahnya tidak keluarkan
ucapan. Saat itu pikirannya kalut membayangkan hukuman apa yang bakal
diterimanya dari Sang Ketua. Wakil ketua kembali keluarkan ucapan.
"Kita
telah berbuat ceroboh Mungkin sekali apa yang dikatakan Dewa Tuak benar adanya.
Gulungan kain putih itu ada di dalam caping atau dalam kaleng. Agaknya orang
lain telah menemukan lalu mengambil benda-benda itu sebelum kita sampai di
Sini." Lalu dia menyambung ucapan, membantah sendiri kata-katanya tadi.
"Kalaupun ada orang yang melihat caping dan kaleng rombeng itu tidak nanti
dia akan mengambilnya. Pasti orang itu tahu riwayat dan pemilik dua benda
sialan itu!"
Wakil
Ketua sesaat tampak agak masygul. Setelah mencari-cari lagi tanpa haSil, kedua
Manusia pocong itu akhirnya kembali ke markas mereka.
Kembali
ke 113 Lorong Kematian.
Dalam
Episode sebelumnya berudul "Pernikahan Dengan Mayat" kepada Wakil
Ketua Yang Mulia Ketua Barisan Manusia pocong menyatakan bermaksud menyedot
semua kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki Yang Mulia Sri Paduka
Ratu. Namun Wakil Ketua mengingatkan jika hal itu dilakukan maka rencana semula
yaitu ingin memanfaatkan dan mempergiat Sang Ratu untuk menghadapi para tokoh
rimba perSilatan yang cepat atau lambat akan menyerbu ke dalam 113 Lorong
Kematian, tidak akan dapat dilaksanakan. Seandainya Sang Ketua memaksa maka dia
menyarankan agar semua kehebatan yang dimiliki Sri Paduka Ratu disedot melalui
ubun-ubun. Namun Sang Ketua merasa kawatir, otak dan kepala Yang Mulia Sang
Paduka Ratu akan hancur sebelum dia berhaSilmenguras tenaga dalam dan hawa
sakti. Satu-satunya cara, menurut Sang Ketua, adalah dengan jalan meniduri Sang
Ratu dan menyedot semua kehebatan yang dimiliki perempuan itu ketika terjadi
hubungan badan.
Karena
terpaksa menunda maksud mesumnya terhadap Yang Mulia Sri Paduka Ratu, Sang
Ketua memilih perempuan lain. Satu-satunya perempuan yang belum sempat dan
ditiduri oleh Sang Ketua adalah Nyi Larasati, istri Loh Gatra. Selain itu,
perempuan ini memang adalah giliran berikutnya yang bayinya akan dibunuh dan
diambil darahnya untuk mengusap ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Matu. Yaitu
seperti yang tertulis dalam "Aksara Batu Bernyawa" sebagai perwujud
dan kesinambungan kehidupan mahluk yang memiliki nyawa kedua.
Sesuai
dengan perintahnya untuk membawa Larasati ke ruang ketidurannya, ketika Sang
Ketua masuk ke dalam kamar, Larasati telah berada di Situ, duduk di atas sebuah
kursi batu, memegang sebuah cangkir terbuat dari kayu. Walau berdandan dan
dipoles bedak, wajah perempuan in? tampak agak pucat karena sekian lama berada
di dalam goa. tidak pernah tersentuh Sinar matahari. Ketika melihat Yang Mulia
Ketua memasuki kamar. Larasati tersenyum dan bangkit berdiri.
Sambutan
berupa senyuman yang membuat gairah itu pertanda Larasati berada dalam pengaruh
minuman pencuci otak, pelupa diri pelupa ingatan. Namun Sang Ketua masih ingin
menguji.
"KekaSihku
Larasati, sudah lamakah kau menunggu diriku di Sini?"
Larasati
mengangkat cangkir kayu yang dipegangnya lalu berkata. "Hanya perintah
Yang Mulia seorang yang wajib dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang
wajib dikasihi."
Yang
Mulia Ketua tertawa lebar. Dia melangkah mendekati Larasati, membelai pipi
perempuan itu lalu mengusap perutnya yang hamil besar.
"Larasati,
kau berkata hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dikasihi. Bisakah kau
membuktikan hal itu?’
"Seribu
bukti untuk Yang Mulia Ketua…." jawab Larasati.
"Bagus
sekali. Sekarang tinggalkan pakaianmu. Semua."
Larasati
tersenyum. Perempuan yang sudah dicuci otaknya ini dengan minuman pelupa diri
pelupa ingatan, angkat cangkir kayu di tangan kanan dan mendekatkan ke bibir
Yang Mulia Ketua. Sang Ketua pegang tangan halus perempuan hamil itu lalu teguk
habis minuman dalam cangkir kayu. Sambil memegang cangkir kosong, Sang Ketua
memperhatikan bagaimana Larasati mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu.
Dalam keadaan tanpa selembar benangpun menutupi auratnya yang hamil besar
perempuan ini lemparkan senyuman mesra, menggeliat tubuh lalu berputar dan
melangkah ke arah tempat tidur besar di tengah ruangan. Yang Mulia Ketua basahi
bibirnya dengan ujung lidah. Dibanding dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu
wajahnya memang kalah cantik. Namun dari sekian banyak perempuan hamil yang
telah diculik dan digaulinya, baru yang satu ini dilihatnya memiliki tubuh
begitu mulus dan luar biasa bagus. Yang Mulia Ketua lemparkan cangkir kayu yang
dipegangnya lalu buka kain putih penutup kepala.
*********************
4
DI SATU
rimba belantara, tak jauh dari lembah batu di selatan kawasan 113 Lorong
Kematian. Loh Gatra yang tengah berlari cepat bersama Anggini tiba-tiba menekap
telinga kirinya. Wajah yang keringatan mendadak tampak pucat. Dada berdebar
kencang. Larinya tersaruk-saruk. Suami Larasati ini akhirnya hentikan lari dan
duduk berSila di tanah dengan dada turun naik, mata setengah terpejam.
"Loh
Gatra, ada apa?" Tanya Anggini.
Lelaki
muda itu buka sepasang mata, menatap jauh ke depan.
"Aku
barusan mendapat firasat buruk. Telinga kiri mengiang. Jantungku berdetak
keras. Aku kawatir. Sangat kawatir. Nyi Lara, istriku. Janganjangan…."
Anggini
pandang wajah Loh Gatra sambil menggigit bibir. Dia sudah mendengar dan tahu
semua bahaya sangat besar dan segala kekejian yang ada di dalam 113 Lorong
Kematian. Setiap saat hal itu bisa jatuh menimpa perempuan-perempuan hamil yang
disekap di tempat itu. Selain Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak ada seorangpun mampu
menjamin keselamatan dan menolong perempuanperempuan malang itu. Termasuk
keselamatan Nyi Larasati, istri sahabat barunya itu. Anggini coba menghibur.
"Loh
Gatra, firasat terkadang menyesatkan. Kuatkan hatimu. Tabahkan diri. Mohon
kepada Tuhan agar istrimu diselamatkan Ayo kita lanjutkan perjalanan”
"Aku
akan memusnahkan tempat jahanam itu, membunuh semua Manusia pocong kalau sampai
istriku mendapat celaka…"
Anggini
tepuk bahu kiri Loh Gatra dan membantu lelaki muda ini bangkit berdiri.
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan berlari cepat. Jauh di belakang sana
terdengar sayup-sayup curah air terjun Ngadiloyo. Sebelumnya, walau sebentar
kedua orang itu telah menyempatkan diri istirahat di tepi telaga.
Anggini
yang ternyata memiliki kecepatan lari melebihi Loh Gatra tidak mau meninggalkan
lelaki itu di sebelah belakang. Dia sengaja memperlambat larinya hingga sepanjang
jalan mereka selalu bersisian. Loh Gatra maklum kalau gadis cantik itu lebih
tinggi ilmu larinya berkata.
"Aku
mengagumi ketinggian ilmu larimu. Dewa Tuak tentu telah menggembleng dirimu
secara luar biasa. Anggini, kalau kau ingin lari lebih dulu Silahkan saja. Aku
mengikuti dari belakang."
Sang dara
melirik. Tersenyum. Mulutnya tidak berucap namun hati kecilnya berkata.
"Lelaki rendah hati. Pasti tinggi budi. KaSihan istrinya. Aku kawatir
sesuatu telah terjadi dengan perempuan malang itu"
Anggini
tidak mau mempercepat lari hingga keduanya tetap berdampingan. Diperlakukan
seperti itu, kalau saja pikirannya tidak kalut menghadap. perkara besar yang
dialaminya mungkin perhatian Loh Gatra telah terbagi pada kebaikan Sifat Si
gadis.
Kedua
orang itu hentikan lari ketika di hadapan mereka membentang sebuah cegukan
panjang membentuk tiga buah lembah batu.
"Buntu"
ucap Anggini sambil menyeka peluh yang membasahi kening.
"Tidak,"
menyahuti Loh Gatra. "Di bibir lembah seberang sana ada gugusan bukit
batu. Dugaanku, markas Manusia pocong atau Seratus Tiga Belas Lorong Kematian
ada di bebukitan itu. Kita harus bertindak cepat menuju ke sana. Kali ini biar
aku lebih dulu. Semakin dekat dengan lorong markas Manusia pocong kita harus
sangat hati-hati karena bahaya tak terduga bisa muncul secara mendadak. Mungkin
ada banyak jebakan maut. mungkin juga dibokong secara pengecut." Loh Gatra
segera perhatikan keadaan lembah batu. "Kita bisa sampai ke seberang sana
dengan dua cara. Pertama memutari bibir lembah, cukup lama dan jauh. Kedua akan
lebih cepat, jika menuruni lembah di arah tengah." Selesai berucap Loh
Gatra segera menuruni lembah batu.
Untuk
beberapa lama Anggini perhatikan lelaki itu. Hatinya membatin. "Dia tidak
malu mengakui bahwa ilmuku lebih tinggi dari yang dimilikinya. Tapi sepertinya
dia mau mengorbankan diri demi melindungiku." Murid Dewa Tuak ini gigit
bibirnya sendiri. Dia ingat. Dulu di dalam banyak kejadian Pendekar 212 Wiro
Sableng selalu membela dan melindunginya. Dia mengharapkan semua itu adalah
cermin dari rasa kaSih sayang. Namun segala harapan itu tidak menjadi
kenyataan. Dia berharap, tapi orang tak hendak. Tali perjodohan yang diuntai
oleh gurunya Dewa Tuak dan Sinto Gendeng guru sang pendekar sampai saat ini tak
kunjung menjadi buhul ikatan. Dia harus mengakui bahwa dia tidak bisa melupakan
pemuda itu. Namun apakah dia harus menunggu seumur-umur tanpa satu kejelasan.
Lalu gadis ini ingat akan kata-katanya sewaktu membentak Wulan Srindi.
"Soal perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan Siapa bukan perduliku!"
Anggini menggigil bibirnya lebih keras. "Aku menunjukkan ketidak
perdulianku padanya. Apakah dia tersinggung? Marah? Mungkin dia tidak menyukaiku
lagi? Aku salah? Gadis bernama Wulan Srindi itu! Aku benar-benar benci padanya.
Tapi Wiro mengapa kelihatan begitu dekat padanya?"
Murid
Dewa Tuak itu usap dagunya yang basah oleh keringat. Lalu permainkan ujung
selendang ungu yang dilingkarkan di pinggang. Ketika matanya diarahkan ke
bawah, pandangannya membentur angka 212 pada ujung selendang. Kenangan lama
kembali terbayang. Tiga angka di ujung selendang itu Wiro sendiri yang dulu
mengguratkan dengan ujung jarinya. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Maut Bernyanyi Di Pajajaran")
Di bawah
saputan cahaya sang surya yang semakin tinggi, wajah Anggini bersemu merah.
Bibirnya bergerak, suaranya bergetar perlahan ketika mulutnya berucap.
"Aku
tidak akan pernah melupakan, dia pemuda yang pertama kali memeluk tubuhku. Mencium
pipi dan keningku. Mengecup bibirku. Dia pemuda kepada Siapa aku membisikkan
kata bahwa aku mencintainya. Tapi mengapa semua berjalan begitu hampa dan
agaknya akan berakhir tidak seperti yang aku dambakan? Apakah aku telah salah
dan ketelepasan bicara bahwa aku tidak perduli lagi akan segala ikatan tali
perjodohan. Karena memang ikatan itu tidak pernah ada?" (Baca serial Wiro
Sableng berjudul "Keris Tumbal Wilayuda")
Anggini
angkat kepala, menatap ke langit putih berSih kebiruan di atas sana. Tidak terasa
butir-butir air mata meluncur jauh di kedua pipinya. Ketika di pejamkan dua
mata yang berkaca-kaca itu entah bagaimana tiba-tiba muncul wajah lain. Wajah
seorang pemuda gagah dengan hiasan anting-anting emas di telinga kanannya.
"Panji"
mulut Anggini berucap perlahan menyebut nama pemuda itu. "Aku tahu kau
mencintai diriku. Namun. Ah,mungkin seharusnya aku tidak pergi dari Danau
Maninjau. Tidak meninggalkan dlrinya" (Mengenai pemuda bernama Panji bisa
dibaca dalam serial Wiro Sableng pada Episode berjudul "Lembah
Akhirat". Dalam serial berjudul "Kiamat Di Pangandaran")
Diceritakan setelah terjadi bentrokan hebat antara para tokoh sesat golongan
putih melawan golongan hitam di pantai Pangandaran, Anggini bersama Panji
berangkat ke Pulau Andalas, tinggal di Danau Maninjau dimana menetap Nyanyuk
Amber seorang dedengkot rimba Persilatan. Dari kakek sakti berkepandaian tinggi
ini sepasang muda mudi itu mendapat tambahan ilmu kepandaian. Namun Anggini
merasa tidak kerasan berlama-lama di Pulau Andalas. Kerinduan terhadap tanah
Jawa terlebih terhadap gurunya Dewa Tuak tidak dapat ditahan. Selain itu tentu
saja terselip semua kenangan manis dirinya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng,
yang menambah kobaran hasratnya untuk cepat-cepat berangkat ke tanah Jawa. Setelah
meminta izin dan memohon diri kepada Nyanyuk Amber dan Panji disertai janji
akan segera kembali, Anggini kemudian berangkat ke Tanah Jawa. Semula Panji
ingin ikut pergi mendampingi gadis itu. Tapi entah mengapa Nyanyuk Amber
melarang.
"Anggini!
Cepat turuni Tapi hati-hati. Batu diSini licin sekali.!"
Suara
teriakan Loh Gatra membuat Anggini sadar dari lamunannya.
"Ya…ya
aku datang," balas berteriak Anggini. Dia cepat usap wajahnya yang jelita.
Lalu lagi-lagi hatinya bicara. "Dia mengingatkan aku berhati-hati. Wiro
dulu juga begitu. Ah ada apa dengan diriku ini. Mengapa jadi membandingkan
lelaki yang sudah beristri itu dengan Wiro."
Walau
sudah diingatkan bahwa lembah batu itu licin, namun seperti burung yang terbang
dan hinggap sana hinggap Sini Anggini menuruni lembah dengan cara melompat dari
tonjolan batu satu ke gundukan satu lainnya. Sesaat kemudian dia sudah berada
di hadapan Loh Gatra yang memandangnya penuh rasa kagum. Tadi waktu menuruni
lembah kakinya hampir terpeleset
"Kau
melamuni apa di atas sana?" tanya Loh Gatra.
"Aku?
Aku melamun?" Anggini tertawa lebar berusaha menyembunyikan
keterkejutannya karena tidak menyangka orang bisa menduga apa yang tadi
dilakukannya. Barisan gigi sang gadis tampak putih dan rata. "Justru aku
saat ini melihat kau berdiri seperti orang bingung. Ayo naik keatas sana. Di
daerah berbahaya jangan terlalu lama berdiam diri.
Bisa jadi
sasaran empuk pembokong gelap."
“Eh, dua
matamu kelihatan agak merah…."
Anggini
terkejut Dia barusan memang habis menangis. Cepat gadis ini usap kedua matanya
seraya berkata. "Rupanya mataku tak tahan sengatan Sinar matahari di atas
sana." Gadis ini lalu mendahului naik ke atas lembah. Loh Gatra
geleng-geleng kepala lalu cepat mengikuti.
Begitu
sampai di atas lembah batu. di hadapan Anggini dan Loh Gatra membentang sebuah
bukit batu. Bukit batu itu tidak terlalu tinggi. Dengan mudah kedua orang itu
mendaki dan sampai di salah satu puncaknya. Sinar sang surya memancarkan terik.
Batu yang dipijak terasa panas. Satu-satunya suara yang terdengar saat itu
adalah desau angin. Kemanapun mata memandang yang kelihatan adalah pohon-pohon
tinggi berdaun lebat, kerumunan semak belukar luar biasa lebat. Agak ke barat
mendekam sebuah jurang batu berlumut hijau. Tidak lebar tapi sangat dalam.
"Tidak
ada tanda-tanda kehidupan. Mustahil di tempat begini rupa beradanya markas
Manusia pocong yang disebut Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Agaknya kita
datang ke tempat yang salah. Kita sudah kesasar!" kata Anggini pula. Nada
suaranya geram dan penuh penasaran karena merasa tidak mendapat jalan untuk
mencari, menemui dan menyelamatkan gurunya Dewa Tuak. Juga niatnya yang ingin
menolong menyelamatkan istri Loh Gatra.
"Aku
melihat atap bangunan…." kata Loh Gatra tiba-tiba seraya menujuk ke arah
kanan jurang batu berlumut.
Anggini
ikuti arah yang ditunjuk Loh Gatra.
Di
kejauhan kelihatan sebuah atap bangunan terbuat dari bambu, tertutup oleh
tumpukan dedaunan, tanaman jalar serta lumut dan semak belukar.
"Mari
kita selidiki." Kata Loh Gatra pula. Anggini mengangguk.
Kedua
orang itu segera menuruni bukit batu, bergerak cepat tapi penuh hati-hati ke
arah bangunan di sebelah kanan jurang. Namun sebelum sampai ke sana, mereka
menemui sebuah pedataran. DiSini terdapat dua buah batu besar berwarna hitam
pekat. Loh Gatra perhatikan tanah pedataran.
"Walau
agak samar, aku melihat bekas jejak kaki manusia. " ucap Loh Gatra. Untuk
memastikan dia berjongkok dan memperhatikan lebih seksama. Ketika Loh Gatra
bergerak bangkit dilihatnya Anggini melangkah ke balik salah satu batu besar lalu
terdengar Si gadis memanggil.
Di balik
dua batu besar, tepat di sebelah tengah terdapat sebuah batu lagi. Tinggi dan
besar melebar. Keduanya segera hendak melangkah ke balik batu. Tapi gerakan
mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar suara suitan panjang dari arah
timur. Sesaat kemudian ada suitan lain dari sebelah selaian.
"Ada
orang memberi tanda dengan suitan," kata Anggini, "Mungkin
orang-orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Mereka sudah mengetahui
kedatangan kita…."
"Kita
harus tambah hati-hati," ucap Loh Gatra. Dipegangnya lengan Anggini dan
mengajak gadis ini meneruskan langkah ke balik batu besar. Di balik batu besar
terdapat satu pedataran sempit. Di Sini lebih jelas kelihatan tanda-tanda atau
jejak orang pernah berada di tempat itu. Di salah satu SiSi pedataran yang
merupakan dinding batu terdapat sebuah mulut goa dengan tinggi melebihi kepala
manusia. Kedua orang itu sesaat saling pandang. Dengan dada berdebar mereka
bergerak mendekati mulut goa. Memperhatikan ke dalam walau hanya melihat
remang-remang, tampak satu lorong panjang. Dikiri kanan menjelang ujung lorong
kelihatan banyak sekali terowongan atau cabang lorong.
"Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian," ucap Anggini dengan suara bergetar.
"Mulut goa ini pasti pintu masuknya. Apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Aku
akan segera masuk. Istriku disekap di dalam sana!" Jawab Anggini.
"Tunggu
dulu," kata Anggini sambil memegang bahu lelaki itu.
Loh Gatra
menoleh. "Kau tampak ragu. Mungkin juga takut Kalau kau memang takut
tunggu saja di Sini. Biar aku sendm yang masuk ke dalam."
Anggini
menggeleng. "Guruku juga ada di dalam sana. Aku harus menolongnya. Berarti
aku harus masuk ke dalam lorong. Tapi satu hal harus diingat Akal dan
kehati-hatian adalah jalan utama bagi keselamatan. Kalau salah bertindak kita
tidak akan berhaSil menyelamatkan istrimu dan guruku! Malah kita bisa diringkus
hidup-hidup atau mati konyol percuma!"
"Kalau
kita cuma bicara, kapan kita akan menolong istriku dan gurumu?!" ucap Loh
Gatra pula.
"Kau
ingat ucapan orang tentang lorong celaka ini? Sekali masuk ke dalam Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian jangan harap bisa keluar"
"Aku
lebih suka mati di dalam lorong celaka itu daripada tidak berbuat
apa-apa."
"Kau
ingat ucapan nenek sakti Sinto Gendeng? ilmu rotan jangan dipakai. Karena tak
ada lobang masuk tak ada lobang keluar Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena
ada lobang masuk ada lobang keluar."
"Nenek
sakti itu hanya memberi kita teka-teki. Bukan pertolongan."
Anggini
tersenyum. Dia melangkah menjauhi mulut goa batu, mendongak ke langit.
"Anggini,
melihat tingkah lakumu aku jadi tidak sabaran. Kita seharusnya segera masuk ke
dalam lorong. Kau malah melihat ke langit! Apa yang kau cari di sana? Istriku
dan gurumu ada di dalam lorong!"
"Tenang,
sabar sebentar" jawab Anggini. Saat itu jauh di atas bukit batu tampak
melayang dua ekor burung. Tepat ketika dua burung berada di atas mereka,
Anggini angkat dua tangannya ke atas. Lalu secepat kilat dua tangan itu membuat
gerakan membetot ke bawah. Apa yang terjadi menyebabkan Loh Gatra
terkagum-kagum.
Seperti
ditarik ke bawah, dua ekor burung yang sedang terbang di udara melayang turun
dan sesaat kemudian telah berada dalam pegangan tangan kiri kanan Anggini.
"Luar
biasa! Baru sekali ini aku melihat kepandaian seperti itu. Di tanah Jawa ini
kurasa tak ada orang lain yang memiliki ilmu seperti ini. Bahkan gurumu Dewa
Tuak hanya bisa melakukan hal itu jika dia menggunakan peralatan saktinya yaitu
benang sutera putih."
"Ah,
ini hanya permainan anak-anak," jawab Anggini merendah. "Tidak sangka
kau tahu banyak tentang guruku…"
"Kau
hebat sekali." Memuji Loh Gatra.
"Jangan
memuji. Aku hanya kebagian rejeki besar dipercaya dan diberi ilmu oleh seorang
kakek sakti di Pulau Andalas," Anggini memberi tahu. Dia memang
mendapatkan ilmu kepandaian itu dari Nyanyuk Amber, kakek sakti yang tinggal di
Danau Maninjau.
"Mau
kau apakan dua ekor burung itu?" tanya Loh Gatra. "Mau
dipanggang?"
"Mereka
bisa menolong kita mencari jaian di dalam lorong."
"Cerdik
sekali!" kembali Loh Gatra memuji. "Tapi asal kau tahu saja. Seekor
burung akan selalu terbang ke arah yang lebih terang, ke tempat terbuka."
"Kita
harus menjaga agar mereka jangan sampai terbang ke arah mulut goa. Itu sebabnya
aku menangkap dua ekor sekaligus. Jika yang satu sudah terbang ke dalam,
temannya pasti mengikuti…" Habis berkata begitu Anggini lalu melompat
masuk kedalam goa batu. Burung di tangan kanan dilepas lebih dulu. Binatang ini
sesaat terbang berputar lalu melayang membalik ke arah mulut goa. Cepat-cepat
Anggini menguSirnya hingga sang burung terpaksa berbalik terbang ke dalam
lorong. Setelah itu baru Anggini melepaskan burung di tangan kiri. Burung ini
melesat ke dalam terowongan mengikuti temannnya yang telah terbang lebih dulu.
Anggini memberi tanda. Lalu lari mengikuti arah terbang dua ekor burung. Loh
Gatra menyusul walau hati kecilnya merasa ragu apakah dua binatang itu
benar-benar mampu memandu mereka masuk ke dalam markas Barisan Manusia Pocong
113 Lorong Kematian.
*********************
5
NYI
LARASATI masih tergolek di atas tempat tidur tanpa sehelai kainpun menutupi
auratnya ketika Wakil Ketua Barisan Manusia pocong datang menyampaikan laporan.
Yang Mulia Ketua cepat mengenakan jubah dan kain penutup kepala lalu menemui
wakilnya itu didepan tirai besar tipis.
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!"
"Wakil
Ketua. Kau menganggu saat aku bersenangsenang. Bagaimana penyelidikanmu? Kau
temukan caping dan kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu?"
Wakil
Ketua membungkuk dalam.
"Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Hukuman apapun akan saya terima. Saya dan anak buah
telah berusaha keras mencari. Namun caping dan kaleng rombeng itu tidak
ditemukan. Besar kemungkinan sudah ditemui lebih dulu oleh orang lain dan
diambil."
"Menurutmu,
apa perlunya caping butut dan kaleng rombeng itu bagi orang lain?" ucap
Yang Mulia Ketua dengan mata melotot beringas dan nada suara tinggi.
"Saya
menduga yang menemukan adalah orang yang kenal dengan Kakek Segala Tahu…"
Di balik
kain putih penutup kepala rahang Sang Ketua menggembung menahan luapan amarah.
"Aku
sedang bersenang-senang, kau datang mengganggu. Membawa laporan sangat tidak
menyenangkan! Apa yang sekarang ada dibenak tololmu?!"
"Yang
Mulia Ketua. Kalau benda itu ditemukan oleh orang yang kenal Kakek Segala Tahu,
berarti ada tokoh rimba persilatan lain yang akan mendatangi tempat ini."
"Kalau
begitu mengapa kau dan anak buahmu tidak segera menyelidik dan menangkap
mereka?"
"Segera
akan saya lakukan Yang Mulia" Jawab Wakil Ketua. Lalu menyambung
ucapannya. "Seorang Satria Pocong melapor. Dia bersama kawannya melihat
dua penyusup masuk ke dalam mulut lorong dari arah kawasan bukit batu."
"Begitu?
Apa sudah diketahui Siapa mereka?"
tanya
Yang Mulia Ketua
"Yang
lelaki adalah Loh Gatra, suami Nyi Larasati.."
"Ha…ha…!
Sayang dia datang terlambat Tidak sempat menyaksikan bagaimana barusan aku
bersenang-senang dengan istrinya!"
Sepasang
mata Wakil Ketua melirik ke arah tirai tipis pemisah ruangan seolah mau
menembus ke ruangan di balik sana
"Siapa
penyusup kedua?" Yang Mulia Ketua bertanya.
"Seorang
gadis bernama Anggini."
"Bagus!
Dia adalah satu dari tiga gadis cantik yang harus kau tangkap hidup-hidup!
Tawanan kita mulai berdatangan Dengar Wakil Ketua! Gadis ini sangat penting
artinya bagiku! Bukan saja karena dia cantik. Tapi dia adalah juga murid Dewa
Tuak dan sekaligus kekaSih Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Setahuku
beberapa waktu lalu dia menuntut ilmu kesaktian di Pulau Andalas. Begitu kau
berhaSil meringkusnya segera bawa ke hadapanku!"
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!" Ucap Wakil Ketua. Lalu sebelum pergi dia bertanya.
"Bagaimana dengan lelaki bernama Loh Gatra?. Saat ini kita kekurangan
orang. Hanya tinggal satria pocong."
"Ilmunya
tidak seberapa tinggi. Nasibnya buruk! Bunuh saja!’ jawab Yang Mulia Ketua.
‘Saya
Siap melakukan perintah Yang Mulia."
"Bawa
serta Yang Mulia Sri Paduka Ratu."
"Akan
saya laksanakan," jawab Wakil Ketua sambil membungkuk dan matanya
lagi-lagi melirik ke arah tirai tipis.
"Ada
sesuatu yang ingin kau lihat di balik tirai ini?" Yang Mulia Ketua
bertanya. Anak kesal dengan Sikap wakilnya itu.
"Maafkan
saya Yang Mulia."
“Nyi
Larasati, istri Loh Gatra ada di tempat ketiduranku. Apakah kau berminat?"
Wakil
Ketua tersenyum lalu menggeleng.
"TerimakaSih
Yang Mulia Ketua. Saya mohon diri untuk melaksanakan perintah."
"Tunggu
dulu. Siapa perempuan hamil yang akan kita ambil darah bayinya untuk mengusap
ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu beberapa hari dimuka?’
"Nyi
Upti, puteri mendiang Ki Mantep Jalawardu Kepala Desa Plaosan ‘ Menerangkan
Wakil Ketua.
‘Seingatku,
kehamilannya belum mencapai sembilan bulan."
‘Betul
sekali Yang Mulia Ketua. Tidak ada perempuan lain yang usia kandungannya setua
dia. Lagi pula kita punya cara untuk mempercepat kelahiran bayinya’
"Bagus.
Kalau begitu kau boleh pergi."
Wakil
Ketua Barisan Manusia pocong menjura lalu tinggalkan kamar itu.
************************
Kembali
kepada Loh Gatra dan Anggini yang memasuki 113 Lorong Kematian dengan
mengandalkan panduan dua ekor burung. Setelah terbang sejauh lima puluh langkah
di dalam lorong batu. dua ekor burung berputar-putar seperti bingung karena di
kiri kanan terdapat banyak cabang lorong. Saat itu mereka baru memasuki dan
berada di lorong pertama. Anggini dan Loh Gatra berjagajaga agar kedua
binatang itu tidak kembali terbang ke arah mulut goa. Setelah berputar terus
sampai enam kali. salah seekor burung melesat memasuki cabang lorong ke lima
sebelah kanan. Burung kedua mengikuti. Anggini memberi tanda pada Loh Gatra.
Keduanya lari ke arah cabang lorong yang dimasuki dua ekor burung.
Sejarak
dua puluh langkah dari tikungan cabang lorong tiba-tiba terdengar suara benda
berdesing. Disusul suara kelepakan sayap disertai pekik denyit binatang. Lalu
blaakk blaakk!
Loh Gatra
dan Anggini terkejut, sama hentikan lari.
Di depan
mereka, di lantai cabang lorong batu ke 5, dua ekor burung yang dijadikan
sebagai pemandu tergeletak mati. Masing-masing kepala ditancapi sebuah bendera
berbentuk segi tiga, berwarna merah basah!
"Bendera
Darah" biSik Loh Gatra.
"Perangkat
maut Manusia pocong." ucap Anggini sambil memandang waspada seputar lorong
temaram.
"Sebelum
istriku diculik, bendera seperti ini menancap di pintu rumahku. Wiro juga
pernah dibokong dengan benda ini," balas berucap Loh Gatra.
"Betttt"
Satu
bayangan putih berkelebat muncul dari tikungan lorong. Manusia pocong! Mahluk
ini berdiri sekitar tujuh langkah di depan Loh Gatra dan Anggini.
Sepasang
mata di balik kain putih penutup kepala memandang tak berkesip. Dua tangan
terkembang ke samping. Salah satu kaki berada di depan kaki lainnya. Jelas ini
merupakan satu kuda-kuda menutup jalan yang setiap saat bisa berubah menjadi
gerak penyerangan.
Loh Gatra
dan Anggini merasa ada sambaran angin di sebelah belakang. Keduanya cepat
berpaling. Seorang manusia pocong lagi sudah berada di belakang mereka. Heran,
dari cabang lorong sebelah mana munculnya mahluk satu ini hingga tahu-tahu sudah
berada di tempat itu. Perawakan tinggi besar, dua tangan dirangkap di atas dada
sementara dua mata memancarkan kilatan menggidikkan. Dari penampilan Manusia
pocong ini baik Loh Gatra maupun Anggini segera memaklumi kalau dia memiliki
tingkat jabatan serta kepandaian melebihi dari Manusia pocong pertama. Mungkin
sekali dia adalah pimpinan dari Barisan Manusia pocong 113 Lorong Kematian.
"Bangsat
penculikl Dimana istriku?!" Loh Gatra tiba-tiba keluarkan bentakan keras
hingga suaranya menggelegar di Seantero lorong batu.
"Ha..ha….Jadi
kau rupanya manusia yang kehilangan istri." Manusia pocong yang berdiri
sambil rangkapkan tangan di atas dada keluarkan ucapan. Lalu leletkan lidah,
keluarkan suara berdecak. Dia bukan lain adalah Wakil Ketua Barisan Manusia pocong.
"Bukankah kau manusianya yang bernama Loh Gatra?"
Loh Gatra
kaget orang tahu Siapa dirinya.
"Hantu
keparat! Iblis jahanam! Dengar! Siapapun kau adanya katakan cepat dimana
istriku! Kalau dia sampai cidera aku…"
Wakil
Ketua Manusia pocong potong bentakan Loh Gatra dengan hamburan tawa bergelak.
Anggini yang sudah tidak sabaran berteriak keras.
"Kalian
menculik guruku!"
Gadis
cantik ini langsung menerjang dan lancarkan serangan tangan kosong dahsyat
dalam jurus bernama Memagut Naga Membungkam Matahari. Saat itu Anggini bukan
saja ingin membungkam gelak tawa sang Wakil Ketua, tapi sekaligus ingin
memecahkan kepalanya.
Orang
yang diserang cepat bersurut mundur sambil dua tangan bergerak mengebutkan
lengan jubah. Dua gelombang angin dahsyat menderu. membuat pukulan Anggini
terpental ke samping, menghantam dinding batu.
"Braakkk!"
Dinding
lorong yang tebal keras hancur berhamburan. Sebuah lobang terpampang di dinding
batu.
Wakil
Ketua keluarkan suara berdecak, leletkan lidah lalu berkata. ‘Gadis galak! Kalu
saja Yang Mulia Ketua tidak menyuruh aku meringkusmu hidup-hidup dan membawamu
ke hadapannya, sudah tadi-tadi aku ingin menangkap dan membawamu ke kamarku
sendiri! Kami orang-orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tahu kau adalah
kekaSih Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Kami punya dendam kesumat setinggi
langit sedalam lautan terhadap manusia satu itu!"
"Aha!
Semakin jelas kepengecutan kalian!" ucap Anggini keras. "Bukan cuma
berani terhadap perempuan-perempuan hamil tidak punya daya! Sekarang malah pergunakan
Siasat licik. Tidak berani menghadapi Wiro Sableng secara langsung, pergunakan
diriku sebagai umpan! Bukan begitu?! Mahluk setan! Buktikan kalau kau memang
punya kemampuan meringkus diriku!"
Wakil
Ketua Barisan Manusia pocong menggembor marah. Dia bergerak maju dengan dua
tangan terpentang Anggini mendahului. Tangan kanannya bergerak cepat. Mendadak
sontak tiga buah benda melesat di dalam lorong temaram, memancarkan cahaya
berkilat. Sang Wakil Ketua yang tidak mengira akan mendapat serangan mendadak
keluarkan seruan keras dan cepat-cepat menghindar ke samping.
“Brettt”
Dua benda
berkilat yang melesat di udara menghantam dinding batu, tembus amblas tak
kelihatan lagi. Asap kelabu mengepul dari dua lobang tempat benda-benda tadi
menancap.
Benda
berkilat ke tiga berhaSil merobek bahu kiri jubah putih Wakil Ketua dan
menyerempet daging bahunya. Walau tidak parah tapi luka yang dideritanya cukup
sakit serta rasa geram amat sangat.
"Gadis
edan Sialan!" maki Wakil Ketua. Sepasang mata berkilat merah memandang ke
arah Anggini lalu melirik ke lantai. Di Situ tergeletak benda yang tadi
menyerempet bahunya. Benda itu ternyata adalah sebuah paku terbuat dari perak
murni. Itulah senjata rahasia pemberian Dewa Tuak yang dalam rimba persilatan
terkenal dengan sebutan Paku Perak Pemburu Nyawa. Dalam sakit dan geram sesaat
Sang Wakil Ketua juga tercekat pula.
"Mau
lagi?" ucap Anggini mengejek. Tangannya bergerak membuka ikatan selendang
ungu di pinggang. Di dalam rimba perSilatan, selendang ungu yang terbuat dari
sutera ini merupakan salah satu senjata hebat dan langka yang ditakuti lawan.
Wakil
Ketua Manusia pocong memaki dalam hati lalu berkata. "Gadis galak! Saatmu
sudah tiba"
Sementara
itu di bagian lorong yang lain Loh Gatra bertempur hebat dengan Satria Pocong
yang tadi muncul bersama Wakil Ketua. Loh Gatra sangat bernafsu ingin
cepat-cepat membunuh mahluk ini. Ternyata tingkat kepandaian Si Manusia pocong
tidak berada di bawahnya. Menempur hampir lima jurus Loh Gatra memang mampu
menghajar dada lawan dengan satu jotosan keras. Namun yang dihantam hanya
meliuk sedikit lalu menerjang kirimkan serangan balasan cepat dan ganas.
Membuat Loh Gatra terdesak ke sudut lorong batu.
"Yang
Mulia Sri Paduka Ratu! Apa yang kau tunggu?!" Pada saat Anggini Siap
menyerangnya dengan selendang ungu Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian tiba-tiba berseru lantang.
Baik
Anggini maupun Loh Gatra sama-sama merasa heran mendengar teriakan Manusia
pocong itu. Siapa yang dimaksudkan dengan Yang Mulia Sri Paduka Ratu? Apakah
pimpinan mereka? Tetapi teriakan tadi mengapa bernada perintah? Apakah Manusia
pocong satu ini lebih tinggi kedudukannya dari yang dipanggil dengan sebutan
Yang Mulia Sri Paduka Ratu? Ternyata 113 Lorong Kematian bukan saja penuh
dengan maut tapi juga menyimpan keanehan!
Loh Gatra
dan Anggini tidak menunggu lama. Di dalam lorong tiba-tiba ada orang bernyanyi
Aneh. Suaranya merdu, memelas. Tapi syair nyanyian membuat bulu tengkuk
bergidik. Selain itu, suara nyanyian menyebabkan Seantero lorong bergetar. Di
lantai batu terasa ada hawa aneh menjalar, masuk ke dalam tubuh Loh Gatra dan
Anggini lewat dua kaki Membuat tubuh keduanya bergetar ngilu. Loh Gatra dan
Anggini cepat kerahkan tenaga datam.
Kematian
datang tidak disangka
Di dalam
bukit batu
Ada
seratus tiga beias lorong
Siapa
masuk akan tersesat Tidak ada jalan keluar
Sampai
kematian datang menjemput
Di dalam
lembah
Ada Rumah
Tanpa Dosa
Inilah
tempat teraman bagi mahluk tidak berdosa
Bendera
Darah lambang kematian
Tiada
daya menentang ajal
Darah
suci bayi yang dilahirkan
Pembawa
kehadiran Nyawa Kedua
Sambungan
hidup insan tak bernyawa
Di dalam
lorong ada kesepian
Di dalam
kesepian ada kehidupan
Di dalam
lorong ada kesunyian
Di dalam
kesunyian ada kematian
Manusia
pocong yang menggempur Loh Gatra mendadak hentikan serangan dan tegak diam,
bersandar di dinding lorong batu. Sang Wakil Ketua bertindak mundur menjauhi
Anggini yang Siap menyerang dengan selendang ungu. Di lantai tibatiba ada
getaran-getaran. Mula-mula halus, antara terasa dan tidak. Makin lama makin
keras dan pada puncaknya lorong ke 5 itu seperti digoyang gempa. Saat itulah
muncul satu sosok manusia pocong, tinggi semampai. Kain jubah maupun kain putih
penutup kepalanya terbuat dari bahan yang bagus lembut dan berkilat. Pada kain
penutup kepala yang berbentuk pocong itu menempel sebuah mahkota kecil berwarna
hijau memancarkan Sinar benderang. Di sebelah belakang, di bagian bawah kain
putih penutup kepala menjulai rambut hitam sampai ke pinggang. Sosok Manusia
pocong satu ini menabur bau harum kayu seperti kayu cendana.
"Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Inikah mahluknya? Diakah yang barusan menyanyi?"
Anggini bertanyatanya dalam hati.
Manusia
pocong bermahkota hijau melangkah melewati Satria Pocong yang tadi bertempur
melawan Loh Gatra. Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan suara getaran
hebat di lantai terowongan.
"Luar
biasa, belum pernah aku menemui mahluk seperti ini. Yang memiliki kekuatan
tenaga dalam seperti gunung berjalan!" Kembali Anggini membatin.
Lima
langkah di hadapan murid Dewa Tuak, Manusia pocong bermahkota berhenti. Anggini
memperhatikan. "Aneh," kata murid Dewa Tuak dalam hati.
"Sepasang mata mahluk ini tampak bagus. Tapi mengapa redup tanpa cahaya
sama sekali? Seorang memiliki tenaga dalam sehebat dia seharusnya memiliki mata
yang memancarkan Sinar kekuatan luar biasa. Matanya redup. Tapi mengapa hatiku
berdebar memandangnya? Tengkukku bergidik…."
Manusia
pocong yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu berpaling pada Satria Pocong
yang tadi berkelahi melawan Loh Gatra. Lalu alihkan pandangan pada Wakil Ketua.
Di lain saat dari mulutnya keluar suara tawa memanjang.
"Yang
Mulia Sri Paduka Ratu!" Wakil Ketua Barisan Manusia pocong 113 Lorong
Kematian menegur heran. "Ada apa kau tertawa seperti ini?!"
"Hanya
dua mahluk tak berguna seperti ini kalian tidak sanggup menghadapi! Kalian
hanya membuat aku membuang-buang waktu saja!" Habis berkata begitu Yang
Mulia Sri Paduka Ratu putar tubuhnya.
"Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, jangan pergi dulu!" Wakil Ketua mengingatkan.
"Aku
tahu apa yang harus aku lakukan!" menjawab Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Lalu dia melangkah ke arah datangnya semula. Setelah melewati Loh Gatra yang
tegak masih dalam keadaan tercekat, mahluk ini pergunakan tangan kiri untuk
menanggalkan kain putih penutup kepalanya.
"Ah.
sayang sudah lewat. Aku tidak dapat melihat wajahnya," kata Loh Gatra
dalam hati.
Saat itu
Anggini juga ingin sekali melihat wajah Sang Ratu. Namun dia berada lebih jauh
di sebelah belakang.
Walau
melangkah perlahan tetap saja dua kakinya membuat lantai terowongan ke 5 itu
bergetar hebat. Rambut hitam panjang sepinggang beralur-alur bagus mengikuti
gerakan langkah dan goyangan pinggul.
Tiba-tiba
Yang Mulia Sri Paduka Ratu goyangkan kepala.
"Bettti"
Terjadilah
satu hal luar biasa.
Rambut
panjang hitam sepinggang melesat ke udara.
Kepala
Loh Gatra terbanting ke belakang. Tubuhnya langsung roboh dan tergelimpang tak
berkutik di lantai batu lorong 5. Dua mata melotot besar. Wajah mulai dari
kening sampai ke dagu seolah terbelah dihantam golok besar. Darah meleleh
kemana-manal Lelaki malang ini menemui ajal tanpa tahu apa sebenarnya yang
membunuh dirinya!
"Loh
Gatra!" Pekik Anggini begitu melihat apa yang terjadi. Gadis ini melompat
namun di depan sana sekali Yang Mulia Sri Paduka Ratu goyangkan kepala. Kembali
rambut hitam sepinggang melesat dan desssl
Ujung
rambut mendarat tepat di urat besar jalan darah pada pangkal leher Anggini.
Serta merta gadis Ini tertegun kaku. Tak mampu bergerak, tak bisa bersuara.
Bibirnya kelihatan membiru.
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu kembali umbar tawa panjang lalu melangkah pergi
tinggalkan lorong 5.
Wakil
Ketua cepat mendekati Anggini. Pada bawahannya dia berkata. "Lekas
Singkirkan mayat itu. Lempar ke dalam jurang. Aku akan membawa gadis ini dan
menyerahkan pada Yang Mulia Ketua!"
Yang
diberi perintah membungkuk hormat lalu panggul mayat Loh Gatra dan tinggalkan
tempat tersebut Untuk beberapa saat lamanya Wakil Ketua berdiri pandangi wajah
dan tubuh bagus Anggini Sambil mengusap bibir Si gadis yang berwarna biru
hatinya berkata. "Kalau kubawa barang sebentar ke kamarku, Yang Mulia
Ketua pasti tidak akan tahu. Kekasihnya musuh besarku! Saat yang tepat untuk
membalas dendam dengan terlebih dulu melampiaskan nafsu menodai orang yang
dikasihinya! Sekail ini aku tidak mau kebagian Sisa terus-terusan!"
DI balik
kain putih penutup kepala. Wakil Ketua menyeringai. Dia usap lagi bibir Si
gadis. Membelai pipi, mengusap wajah. Lalu memanggulnya di bahu kiri. Ketika
hendak melangkah tiba-tiba di ujung lorong sana terdengar suara menggaung
keras.
"Wakil
Ketua, jangan ada pikiran kotor di benakmu! Jangan ada hasrat mesum dalam
hatimu! Aku penghuni Rumah Tanpa Dosa! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilakukan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
Sang
Wakil Ketua jadi tercekat dan hentikan langkah.
"Luar
biasa sekali. Kini dia bahkan mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan hati
orangl Aku kawatir ketinggian ilmunya bisa-bisa menjadi senjata makan tuan.
Mungkin aku perlu bicara dengan Yang Mulia Ketua. Ratu keparat! Kau menghalangi
diriku melampiaskan hasrat! Mungkin dirimu yang harus aku gauli lebih
dulu!" Wakil Ketua pandangi lagi
wajah
cantik Anggini. Setelah menarik nafas dalam sesaat kemudian baru dia tinggalkan
lorong 5 itu.
*********************
6
Dalam
Episode sebelumnya (Pernikahan Dengan Mayat) diceritakan bagaimana Bidadari
Angin Timur berhasil mempengaruhi perasaan Anggini. Gadis cantik rimba
persilatan berambut pirang ini memberi tahu kepada Anggini bahwa dara hitam
manis bernama Wulan Srindi telah mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Juga
menyatakan bahwasa dirinya telah dijodohkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bagi
Anggini, seperti yang dikatakannya terus terang pada Wiro. walau hatinya
tersenyuh perih dan kemudian ada seberkas penyesalan, dia tidak pernah lagi
memikirkan soal rencana perjodohannya dengan pemuda itu. Karena selama ini
tidak pernah ada kejelasan, kelanjutan apalagi keputusan. Namun yang membuat
Anggini seolah jadi terbakar darahnya ialah pengakuan Wulan Srindi kalau
dirinya adalah murid Dewa Tuak. Ketika Anggini menanyakan hal itu langsung
kepada Wulan Srindi, antara kedua gadis itu terjadi perang mulut yang menjurus
pada perselisihan besar. Walau Anggini menyatakan tidak memikirkan soal
perjodohan dengan Wiro, sebagai seorang manusia betapapun rasa cemburu ikut
membakar perasaannya. Bagaimanapun juga Pendekar 212 Wiro Sableng adalah pemuda
pertama dalam kehidupannya.
Panas
hati akibat perbuatan Bidadari Angin Timur, Pendekar 212 Wiro Sableng secara
bergurau memberi tahu Anggini kalau Jatilandak, pemuda berkepala botak dan
berkulit kuning itu adalah kekasih Bidadari Angin Timur. Tentu saja Anggini
terheran-heran. Sebelum sempat Anggini mengetahui apa yang sebenarnya yang
terjadi antara Bidadari Angin Timur dengan Wiro dan Jatilandak, gadis berambut
pirang itu melompat ke atas kuda milik Anggini, menghambur pergi. Jatilandak
akhirnya tinggalkan pula tempat itu, berusaha mengejar Bidadari Angin Timur.
Sementara
itu Loh Gatra yang istrinya jadi korban penculikan oleh komplotan manusia
pocong dan tidak mau ikut terlibat dengan segala macam perseliSihan segera pula
tinggalkan tempat tersebut. Dia ingin cepat-cepat menembus masuk kedaiam 113
Lorong Kematian. Begitu Anggini tahu kemana pemuda itu hendak pergi, murid Dewa
Tuak ini langsung bergabung mengikuti lelaki itu. Wiro berusaha mencegah karena
dia tahu bahaya besar yang ada di lorong angker itu. Namun tak berhaSil.
Ditinggal
berdua, Wiro dan Wulan Srindi akhirnya memutuskan untuk segera pula berangkat
menuju 113 Lorong Kematian. Sebelumnya Wulan Srindi telah pernah diculik dan
disekap di markas Barisan Manusia pocong. Karenanya bersama Wiro dia mampu
bergerak cepat ke arah tujuan.
Pagi hari
kedua orang itu sampai di satu rimba belantara. Wulan Srindi ingat dan berkata
pada Wiro. "Waktu aku disekap di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian,
aku berhaSil memperdaya seorang Manusia pocong. Rayuanku membuat dia mau
membawa aku keluar lorong maut. Aku dilarikan ke dalam rimba belantara ini. Di
sebelah sana ada sebuah pondok. Aku dibawa ke pondok itu. Ketika Manusia pocong
hendak merusak kehormatanku muncul Dewa Tuak…."
"Jadi
begitu pangkal cerita pertama kali kau bertemu dengan kakek sakti itu."
Wulan
Srindi anggukkan kepala.
Wiro
memandang ke langit. Lalu bertanya. "Bukit batu dimana markas Manusia
pocong itu berada, apakah masih jauh dari Sini?"
Wulan
Srindi menuju ke arah depan, agak miring ke kiri. "Selepas rimba belantara
ini ada satu lembah batu, membujur dari barat ke timur. Bukit dimana markas
Manusia pocong berada, terletak di seberang lembah batu."
"Pondok
di dalam rimba, aku ingin melihatnya. Antarkan aku kesana."
Wulan
Srindi agak heran mendengar ucapan Wiro. "Perlu apa kau ingin melihat
pondok itu?"
"Hanya
sekedar ingin tahu." jawab Wiro. "Kau duluan, aku mengikut dari
belakang."
Dengan
hati bertanya-tanya Wulan Srindi masuk ke dalam rimba belantara. Tak lama
kemudian, di balik sederetan pohon besar tampak sebuah pondok kayu tanpa pintu.
Salah satu dindingnya terlihat jebol.
"Itu
pondok yang aku ceritakan padamu," menerangkan Wulan Srindi.
Begitu
sampai di pondok. Wulan Srindi langsung mau masuk ke dalam. Wiro sendiri
berhenti beberapa langkah di depan pintu pondok. Ada satu benda menarik
perhatiannya. Pendekar ini membungkuk mengambil benda tersebut yang ternyata
adalah sebuah bumbung terbuat dari bambu yang remuk ujungnya dan retak salah
satu sisinya Wiro dekatkan ujung bumbung ke hidungnya. Walau agak samar dia
masih bisa mencium bau sesuatu. Bau tuak.
Perlahan-lahan
murid Sinto Gendeng itu alihkan pandangannya pada Wulan Srindi yang tegak di
depan pintu pondok.
"Kau
tidak berdusta," ucap Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Maksudmu?"
tanya Wulan Srindi.
"Bumbung
bambu ini milik Dewa Tuak."
"Dia
punya dua bumbung bambu. Dengan bumbung satu itu dia menghantam kepala Manusia
pocong yang hendak menggagahiku. Anehnya mayat Manusia pocong itu tidak ada di
Sini. Kalau masih ada pasti sudah membusuk."
Sambil
memandang berkeliling Wiro berkata. Orang-orang dari lorong kematian pasti sudah
menyingkirkan mayat itu." Wiro memandang ke langit lalu menatap ke arah
Wulan Srindi. "Setelah Dewa Tuak menolongmu, apa yang terjadi? Apa yang
dilakukannya?"
"Hai!
Aku tahu sekarang. Kau sengaja minta diantar kesini untuk mencari bukti babwa
Dewa Tuak memang pernah kesini. Bahwa semua kejadian yang aku ceritakan tidak
bohong!" ‘
"Tadipun
sudah aku katakan kau tidak berdusta." jawab Wiro sambit tersenyum.
"Wulan, kau belum menjawab pertanyaanku."
"Ah,
Ku pertama kali kau menyebut namaku. Aku suka sekali." Ucap Wulan Srindi.
"Aku yakin Dewa Tuak masuk ke dalam lorong kematian. Aku berusaha menunggu
di bebukitan. Lama sekali. Dia tidak kunjung muncul. Aku kawatir
manusiamanusia pocong itu telah meringkusnya."
"Dewa
Tuak satu dan beberapa tokoh rimba persilatan yang tingkat kepandaiannya sulit
dijajaki. Tidak mudah untuk mengalahkan apa lagi meringkusnya." Wiro diam
sejenak. Wulan Srindi bertanya-tanya dalam hati apa yang kini ada di benak sang
pendekar. Kemudian didengarnya Wiro berkata. "Aku tidak mengerti,
bagaimana mungkin dalam waktu perkenalan sesingkat itu Dewa Tuak mengangkatmu
sebagai murid."
"Aku
juga tidak mengerti," jawab Wulan Srindi cerdik. "Yang jelas aku
berhutang budi dan berhutang nyawa serta kehormatan pada kakek itu. Aku tahu
dia akan masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Aku minta ikut
bersamanya."
"Mengapa
kau mau ikut masuk ke dalam lorong maut?"
"Aku
punya dendam kesumat terhadap manusiamanusia pocong itu. Mereka membunuh guru
dan saudara seperguruanku. Selain itu aku ingin berbakti pada Si kakek…."
"Maksudmu
kau minta dijadikan murid?"
Wulan
Srindi tidak mau terpancing.
"Menjadi
murid tidak selalu berarti harus lebih dulu menerima segala macam pelajaran.
Saat itu aku tidak melihat cara lain.."
"Katakan
saja, apakah Dewa Tuak benar mengangkatmu sebagai murid?"
"Mana
mungkin dia bicara terang-terangan. Si kakek maklum pasti urusan bisa jadi
rincu karena dia sudah punya murid. Aku tahu dia suka padaku. Dia berlaku
bijaksana. Katanya nanti dia akan datang ke Gunung Lawu ke tempat kediamanku.
Untuk apa kalau bukan mau memberikan ilmu?"
"Kakek
itu juga mengatakan bahwa kau adalah calon jodohku?"
"Ah,
soal yang itu…" Wulan Srindi tersenyum, sembunyikan rasa kagetnya. Dia
lalu menjawab secara cerdik. "Dewa Tuak menyuruh aku mencarimu. Perlu apa
dia sengaja berbuat begitu kalau bukan ingin mempertemukan kita berdua?"
"Pertemuan
bukan berarti perjodohan." ucap Wiro agak kesal.
"Dengar
Wiro. Dewa Tuak bukan orang kolot yang asal menjodohkan orang tanpa keduanya
kenal lebih dulu. Setelah terjadi perjodohan bisa saja orang-orang yang
dijodohkan itu tidak perlu ketemuketemu. Buktinya seperti kejadian antara kau
dengan gadis bernama Anggini itu. Ihh, sombongnya dia. Juga gadis berambut
pirang yang aku dengar bernama Bidadari Angin Timur itu. Uallah. Sepertinya
semua pemuda gagah di dunia ini miliknya. Termasuk dirimu! Apakah dua gadis itu
memang kekasihmu? Bagaimana kau bisa bedaku adil membagi cinta dan tidak ada
saling cemburu diantara mereka. Malah keduanya cemburu padaku!" Wulan
Srindi tertawa panjang. Habis tertawa dia bertanya. "Hai, kalau kau nanti
kawin, apakah sekaligus akan memperistrikan kedua gadis itu?"
Wiro
melengak lalu garuk-garuk kepala. Wajahnya agak bersemu merah.
"Aku
tidak bercinta dengan mereka."
"Oo
la lal Begitu? Betulkah?" Gadis hitam manis ini kembali tertawa. "Kau
tidak menjawab, tapi menggaruk kepala. Bingung ya?"
Wiro
bertolak pinggang. "Gadis satu ini benarbenar centil." katanya dalam
hati. Tangan kanannya menyentuh secarik kain di pinggang. Kain itu adalah sapu
tangan pemberian Wulan Srindi ketika bibirnya luka akibat tamparan Sinto
Gendeng. (Baca Episode "Pernikahan Dengan Mayat") Wiro menarik sapu
tangan itu dari pinggangnya, maksudnya hendak dikembalikan pada Wulan Srindi
Tapi Si gadis menolak.
"Kau
marah padaku. Lalu mau mengembalikan sapu tangan yang memang tidak ada harganya
itu. Simpan saja. Mungkin ada gunanya. Paling tidak untuk menyeka keringat Kalau
kau tidak suka buang saja."
Wiro
garuk kepala lalu SiSipkan kembali sapu tangan ke pinggangnya.
"Aku
tahu…." ucap Wulan Srindi.
“Tahu
apa?"
"Dua
gadis itu. Mereka cantik-cantik. Aku saja yang perempuan sebenarnya suka pada
mereka. Apa lagi yang namanya laki-laki. Malah pada yang berambut pirang aku
berhutang budi besar sekali. Dia yang menyelamatkan diriku sewaktu hendak
diperkosa oleh seorang manusia bejat bernama Warok Jangkrik. Dia sendiri
kemudian ditotok dan dilarikan oleh seorang lelaki tinggi besar berjubah dan
beri lup kepala kain putih."
"Manusia
pocong?"
"Hampir
sama. Tapi dandannya agak lain. Mungkin yang aku lihat itu pemimpin mereka.
Gadis itu sekarang sudah selamat. Hanya saja aku tidak tahu Siapa dan bagaimana
ceritanya dia bisa selamat…"
"Waktu
pertemuan malam itu. kau melihat seorang pemuda berkepala botak berkulit serba
kuning?" ujar Wiro.
Wulan
Srindi anggukkan kepala.
"Kurasa
dia yang menolong Bidadari Angin Timur."
"Aku
melihat waktu itu, kau cemburu pada Si kuning itu. Betul? Kau juga tampak
terpukul sewaktu Si pirang pergi diikuti pemuda botak berkulit kuning
itu."
Wiro
tidak menyangka kalau Wulan Srindi begitu memperhatikan semua kejadian malam
itu. Dia hanya bisa tersenyum dan garuk-garuk kepala.
"Aku
tidak yakin, gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur itu adalah
pasangan yang cocok bagimu."
"Hemm..Kau
berkata begitu karena merasa Dewa Tuak ingin menjodohkanmu dengan diriku? Kau
cemburu."
Wulan
Srindi cemberut. Tapi Ini hanya satu kepura-puraan belaka. "Jelas aku
cemburu. Wong aku sudah dijodohkan denganmu". Si gadis melihat Wiro
pencongkan mulut dan garuk-garuk kepala.
"Kau
tahu. aku melihat ada bayangan lain dibalik kecantikan wajah Bidadari Angin
Timur. Dia memang mengasihimu. Namun dia ingin menguasai dirimu secara berlebihan.
Mungkin saja dia akan menempuh segala cara untuk mendapatkanmu. Kalau kau kawin
dengan dia kau bisa jadi seperti katak dibawah tempurung."
Wiro
tercengang mendengar semua ucapan Wulan Srindi itu. "Mulutmu centil
sekali!"
"Begitulah
adanya dirikul Aku tidak pernah memendam apa yang terasa dalam hati dan dalam
benakku. Mendiang guruku Ki Surablandong mengajarkan agar kita selalu jujur
terhadap semua orang. Dalam perkataan maupun perbuatan. Aku cuma ingin berterus
terang padamu. Bukan karena cemburu pada Si pirang itu."
Wiro
kembali garuk-garuk kepala, dia ingat pada ucapan Bunga alias Suci yang
berjuluk Dewi Bunga Bangkai. Satu kali gadis dari alam roh ini pernah berkata,
"….jika kelak di kemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka
sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung…"
Wiro
menatap wajah Wulan Srindi. Si gadis balas memandang. Dan tersenyum. Sang
pendekar lagilagi dibuat garuk-garuk kepala. Gadis satu ini benarbenar
bengal.
"Sebaiknya
kita lanjutkan perjalanan," kata Wiro mengalihkan pembicaraan. Bumbung
bambu yang sejak tadi dipegangnya dilempar ke dalam pondok.
Tak lama
setelah menyusuri sebuah kali kecil dan mendaki bebukitan batu Wiro dan Wulan
Srindi sampai di satu pedataran sempit yang disebelah kanannya membujur sebuah
jurang. Mereka sampai di tempat itu sebelum Wakil Ketua Barisan Manusia pocong
bersama anak buahnya datang menyelidik.
"Tahan!"
Tiba-tiba Wiro berkata sambil tangannya dimeiintangkan di depan pinggang Wulan
Srindi.
"Ada
apa?" tanya sang dara.
Wiro
menunjuk ke depan. "Lihat, di depan sana."
Wulan
Srindi perhatikan arah yang ditunjuk Wiro.
Sekitar
sepuluh langkah di hadapan mereka, ditanah tergeletak sebuah caping dan sebuah
kaleng. Wulan besarkan kedua matanya lalu tertawa. "Hanya sebuah caping
butut dan sebuah kaleng rombeng! Kau begitu kaget! kukira tadi kau melihat
hantu atau harimau! Kau membuat orang kaget. Ada-ada saja!" Sambil bicara
Wulan tepuk keningnya sendiir.
Wiro
tidak perdulikan tawa dan ucapan Wulan Srindi. Dia melangkah cepat menghampiri
dan mengambil caping serta kaleng yang tergeletak di tanah.
"Kakek
Segala Tahu…." kata Wiro perlahan.
"Eh,
kau mengucapkan apa?" tanya Wulan Srindi.
"Caping
dan kaleng ini…"
"Ya…ya.
Itu memang caping dan kaleng. Bukan bantal dan selimut!" ujar Wulan Srindi
bercanda.
"Ini
milik Kakek Segala Tahu." Ucap Wiro pula.
"Kakek
Segala Tahu? Siapa dia?"
"Sahabat
guruku. Aku sudah menganggapnya sebagai kakek sendiri. Dia salah seorang
dedengkot rimba persilatan. Seangkatan guruku. Eyang Sinto Gendeng."
"Bagaimana
ini? Barang-barang miliknya ada tapi orangnya tidak kelihatan…"
Wiro
memandang berkeliling lalu berjalan mendekati tepi jurang. Memperhatikan ke
dalam jurang dia tidak melihat apa-apa.
"Kakek
Segala Tahu!" teriak Wiro. Karena berteriak dengan mempergunakan tenaga
dalam suaranya menggema hebat di dalam jurang lalu memantul ke atas membuat
Wulan Srindi tersurut satu langkah. Wiro berteriak sampai tiga kali. Tidak ada
jawaban.
"Kalau
kakek itu berada dalam jurang dan dalam keadaan hidup, pasti dia mendengar.
Pasti dia akan memberikan jawaban. Bagaimanapun juga caranya. Kecuali kalau dia
sudah menemui kematian di bawah sana…"
"Aku
tak suka kau bicara begitu!" potong Wiro.
"Jangan
marah! Kita harus mampu berpikir mencari kenyataan. Kita harus bisa
menduga-duga untuk mendapat bukti."
Murid
Sinto Gendeng terdiam mendengar ucapan Wulan Srindi yang kemudian dirasakan
benar adanya.
"Kakek
Segala Tahu sangat tinggi Ilmu kesaktiannya. Tidak mungkin dia dicelakai orang
lalu dibuang ke dalam jurang."
"Siapa
tahu nasibnya lagi Sial. Mungkin kakek sahabat gurumu itu ditawan oleh
komplotan Manusia pocong. Astaga!"
"Ada
apa?" tanya Wiro.
"Kenapa
kita tidak melihat dari tadi?!"
Wulan
Srindi melangkah ke kiri jurang dimana terdapat satu gundukan tanah. Wiro
mengikuti. Kedua orang ini berjongkok di depan gundukan tanah.
"Seperti
kuburan," ucap Wulan Srindi.
"Siapa
yang mati? Siapa yang di kubur? Kakek Segala Tahu?" kata Wiro pula.
"Tidak
mungkin. Kalau ini memang kuburan, yang mati pasti anak kecil. Soalnya kubur
ini kecil."
"Bisa
saja orang tua tapi tubuhnya kontet. katai." Jawab Wiro, membuat Wulan
Srindi tertawa lebar.
"Kita
harus memastikan. Walau mungkin bukan Kakek Segala Tahu, bisa saja mayat di
dalam kubur seseorang yang aku kenal. Tanah gundukan masih merah, berarti kubur
ini masih sangat baru. Aku akan membongkar kuburan ini!" ujar Wiro.
"Kau
hanya membuang waktu." Kata Wulan Srindi. "Kalau ini benar makam
kakekmu itu. Siapa yang membunuhnya? Siapa yang menguburnya?"
"Mungkin
manusia-manusia pocong itu." Jawab Wiro.
"Wiro.
perhatikan tanah di tempat ini. Banyak jejak kaki, nyaris membentuk lobang.
Katamu kakekmu itu tinggi ilmu kepandaiannya. Lantas apa mungkin bisa
dipecundangi oleh manusia-manusia pocong? Kalau mereka memang membunuhnya, aku
tidak yakin mahluk-mahluk setan itu mau bersusah diri menguburkan segala.
Disana ada jurang, pasti kakekmu akan dilempar ke dalam jurang. Aku yakin
kakekmu masih hidup. Bisa saja dia ditawan oleh manusia-manusia pocong.
Buktinya guruku juga sudah kena diringkus. Lalu sebelum dibawa pergi dia
sengaja tinggalkan caping dan kalengnya ini untuk tanda bagi Siapa saja yang
menemukan."
Wiro
terdiam dan tatap lama-lama wajah Wulan Srindi. Dalam hati murid Sinto Gendeng
ini berkata.
"Gadis
satu ini. Ucapannya bisa saja ceplas-ceplos.
Tapi
caranya berpikir benar-benar luar biasa dan masuk akal!"
"Apa
yang ada dalam pikiranmu?" Tanya Wulan Srindi karena dipandang seperti
itu.
"Manusia-Manusia
pocong itu. Mereka bukan cuma menculik perempuan-perempuan hamil. Tapi juga
menculik tokoh-tokoh persilatan. Apa sebenarnya maksud tujuan mereka? Rahasia
apa yang ada di balik semua perbuatan yang mereka lakukan?"
"Jawabnya
baru ketahuan setelah kita berada dalam lorong itu," jawab Wulan Srindi.
Wiro
hanya bisa anggukkan kepala.
"Matahari
pagi mulai menyengat. Biar aku pakai caping. Kau pegang kaleng rombeng."
Wulan Srindi lalu tarik caping yang dipegang Wiro dan diletakkan di atas
kepalanya. Lalu dia melangkah lebih dulu.
Baru
berjalan lima tindak gadis ini buka capingnya.
"Kepalaku
mendadak gatal! Caping ini pasti tidak pernah dibersihkan." Setelah
menggaruk kepalanya Wulan Srindi pakai kembali caping itu. Namun sesaat
kemudian dibuka lagi. Dan dia menggaruk lagi.
"Jangan-jangan
banyak kutunya! Aku tak mau pakai caping! Kau saja yang pakai. Aku biar membawa
kaleng rombeng itu." Wulan Srindi lemparkan caping yang kemudian jatuh
bertengger di atas kepala Wiro. Lalu dia ambil kaleng rombeng yang dipegang
pemuda itu. Begitu dipegang tangannya digoyangkan. Dari dalam kaleng serta
meria keluar suara keras berisik. Si gadis tertawa cekikikan dan kerontangkan
lagi kaleng itu tiga kali berturut-turut hingga suara beriSik menggema di
seantero tempat.
"Aneh,
kepalaku jadi ikutan gatal!" Ucap Wiro sambil menurunkan caping dari atas
kepalanya.
Wulan
Srindi tertawa. "Apa kataku! Caping itu pasti banyak kutunya! Apa lagi kau
yang memakai. Tidak pakai caping juga kulihat sudah sering garuk kepala!
Sebaiknya cuci dulu caping itu di sungai!
"Mending
ketemu sungai," jawab Wiro. Caping dibalikkan. Ketika memperhatikan bagian
dalam caping yang terbuat dari bambu itu. di bawah lempengan bambu melingkar
yang menjadi tempat dudukan kepala Wiro melihat sebuah benda.
"Apa
ini?" ucap Wiro dengan kening mengerenyit.
"Aha!
Mungkin ini sarang kutunya!" Wiro ambil dan mengeluarkan benda yang
terselip di dalam caping. Benda Ku ternyata adalah gulungan kecil kain putih.
"Kain
putih digulung. Dua ujungnya dekil. Jangan-jangan ini korek kupingnya Si
kakek." kata Wulan Srindi. "Coba saja kau buka gulungannya. Mau tahu
apa isinya."
Wiro buka
gulungan kain. Ketika gulungan kain putih kecil terbuka disitu ternyata ada
tulisannya. Wiro dan Wulan Srindi sama-sama membaca tulisan yang tertera.
Batas
antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan
Kehidupan
yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa
Akan
menimbulkan bencana malapetaka dimana-marna
Jika
kehidupan pertama tidak dimusnahkan
Rimba
persilatan akan kiamat
Dalam
kiamat tangan-tangan jahat akan jadi penguasa
Darah
mengalir sederas air sungai di musim hujan
Nyawa
tiada artinya lagi
Hanya
pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat
Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan
Nikahkan
dia dengan seorang perjaka
Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang lelaki
Nikahkan
dia dengan seorang perawan
Pernikahan
adalah sesuatu yang sakral
Dalam
kesakralan ada kesucian
Dalam
kesucian ada jalan untuk selamat
Maka
kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan
"Aneh."
kata Wiro. "Bunyi tulisan ini agaknya menyangkut satu rahasia besar yang
kita tidak tahu."
“Aku
memang masih perawan. Tapi nyawaku tidak dua. Aku bukan mayat. Jadi bukan aku
yang dimaksudkan dalam tulisan itu. Bukan aku yang mau dinikahkan." Wu.an
Srindi berucap dalam hati
“Tapi…"
sang dara menatap pemuda di
hadapannya.
Lalu tersenyum. "Kenapa kau tersenyum," tanya Wiro. "Aku merasa
bahagia." jawab Wulan Srindi. "Bahagia? Apanya yang bahagia? Bahagia
bagaimana?"
"Tulisan
di atas kain putih itu. Cukup jadi petunjuk. Aku dan kau akan menikah. Ada yang
akan menikahkan kita di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian." Wulan
Srindi tekapkan dua telapak tangannya satu sama lain. Kepala mendongak dan
mulut kemudian berucap. Terima kasih Tuhan. Akhirnya kesampaian maksudku untuk
berbakti sebagai seorang istri pada pemuda bernama Wiro ini."
"Gila!"
Wiro setengah berteriak. Kain putih hendak dibuangnya.
"Jangan!
Biar aku yang menyimpan!" kata sang dara.
Wiro
akhirnya masukkan gulungan kain putih itu ke dalam kantong hitam di pinggang,
tempat pembungkus batu sakti hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212.
"Kita
lanjutkan perjalanan. Coba kau pakai lagi capingnya." kata Wulan Srindi.
"Kau
saja yang pakai. Kemarikan kaleng itu. Kau selalu mau menggoyang, bikin suara
beriSik. Padahal kita berada sekitar markas Manusia pocong."
Wiro
ambil kaleng dari tangan Wulan Srindi lalu letakkan caping bambu di atas kepala
Si gadis. Wulan diam sebentar, kemudian mulai melangkah sambil merasa-rasa.
"Aneh.
tidak gatal lagi." kata sang dara pula. "Pasti kakekmu itu
mempermainkan kita." Wulan Srindi melirik ke arah bawah pinggang Wiro.
"Apa
yang kau lirik?" tanya murid Sinto Gendeng.
Si gadis
tersenyum. "Hati-hati kau meletakkan gulungan kain itu. Nanti ada bagian
tubuhmu sebelah bawah yang Jadi gatal. Di depanku kau pasti sulit dan malu mau
menggaruk!"
"Kau
benar-benar gadis centil! Bengal!"
"Sudah,
ayo Jalan!" Wulan Srindi tarik tangan Wiro.
Wiro
berjalan sambil otaknya berpikir dan hatinya bertanya-tanya. Jangan-jangan
ucapan Wulan Srindi tadi bisa saja betul adanya. Ada orang yang hendak menikahkan
mereka di 113 Lorong Kematian. Hatinya bimbang. Apakah dia perlu meneruskan
perjalanan menuju 113 Lorong Kematian? Kalau dia membatalkan, lalu bagaimana
naSib Dewa Tuak serta para tokoh lain yang diculik. Dan yang paling kasihan
adalah perempuan-perempuan hamil yang disekap di sana. "Gadis satu ini!
Dia membuat pikiranku kacau saja!" Wiro mengomel dalam hati sambil garuk
kepala dan melirik ke arah Wulan Srindi.
Dalam
keadaan Wulan Srindi berjalan sambil senyum-senyum dan Wiro berpikir-pikir
seperti itu tiba-tiba!
"Dicari
lama tidak bersua! Sekarang muncul bersama seorang dara. Rejekiku besar nian!
Kalau urusan sudah selesai bolehlah aku bersuka-suka dengan Si hitam manis ini!
Ha….ha!"
Satu
suara keras yang ditutup dengan tawa bergelak, menggelegar di tempat itu.
Siapapun adanya orangnya pasti dia memiliki tenaga dalam tinggi sekali!
*********************
7
WULAN
Srindi melompat ke kiri. Wiro geser kaki kanan lalu cepat membalik. Di hadapan
mereka saat itu berdiri seorang tinggi besar, jubah putih menjela tanah, kain
penutup kepala tinggi putih. Sepasang mata di balik dua lobang kecil tampak
berkilat, memandang menyorot ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Manusia
pocong!" ucap Wiro.
"Wiro,"
bisik Wulan Srindi. "Mahluk ini yang muncul di pondok tempat aku disekap
penjahat bernama Warok Jangkrik. Aku yakin dia juga yang kemudian menculik
Bidadari Angin Timur." (Baca Episode sebelumnya berjudul "Rumah Tanpa
Dosa")
"Mahluk
tolol pocongan!" hardik Wiro.
"Sembunyikan
wajah di balik kain putih penutup kepala! Kau suka pada temanku ini? Aneh!
Setahuku manusia jelek macammu hanya senang pada perempuan-perempuan
bunting!"
"Anak
manusia bernama Wiro Sableng! Yang pernah kesasar ke Negeri LatanahSilam!
Apakah kau tidak mengenali diriku?!" Orang tinggi besar berjubah dan
berpenutup kepala kain putih keluarkan ucapan sambil bertolak pinggang.
Pendekar
212 Wiro Sableng tersentak kaget Tidak banyak orang yang tahu riwayjt beradanya
dia di negeri 1200 tahun Silam. (Baca kisah Wiro di negeri LatanahSilam terdiri
dari 18 Episode mulai dari "Bola Bola Iblis" diakhiri "Istana
Kebahagiaan")
"Jahanam
satu ini Siapa dia sebenarnya?" Wiro berpikir, menduga-duga.
"Lihat
sepasang mataku!" Tiba-tiba orang itu membentak.
Wiro dan
juga Wulan Srindi arahkan pandangan ke arah dua lobang di kain putih penutup
kepala. Tiga pasang mata saling bentrokan.
Denyut
jantung Pendekar 212 Wiro Sableng mendadak menjadi cepat. Dadanya berdebar
keras. Sepasang mata membeliak tak berkesip. Lain hal dengan Wulan Srindi.
Sebelumnya gadis ini pernah melihat mahluk itu. namun tidak sempat
memperhatikan keadaan sepasang matanya.
Dua mata
di balik dua lobang kecil itu ternyata berbentuk aneh. Dua bola mata yang
semustinya bulat berbentuk segi tiga berwarna hijau!
"Astaga,
dia…" desis Wiro. "Sejak kapan dia jadi manusia pocong? Rupanya dia
yang jadi pemimpin mahluk-mahluk jahanam itu!"
"Kau
masih belum bisa mengenali diriku dari sepasang mataku?!," Si jubah putih
mendengus.
"Lihat!"
Orang itu
tutup ucapannya dengan menarik tinggi-tinggi bagian atas kain putih penutup
kepala. Begitu wajahnya terSingkap, dia membuat gerakan berputar. Lalu kain
dilepas. Kepala dan wajahnya tertutup kembali.
"Hantu
Muka Dua!" ucap Wiro dengan satu kaki tersurut
Sementara
itu Wulan Srindi seperti melihat hantu beneran di Siang bolong. Tengkuknya
dingin, kaki bergetar. Bagaimanakan tidak! Orang yang barusan menyingkap kain
putih penutup kepalanya itu ternyata memiliki dua muka. Satu di sebelah depan
sebagaimana wajarnya. Lalu ada satu muka atau wajah lagi di sebelah belakang.
Kalau kulit wajah sebelah depan putih kekuningan maka wajah sebelah belakang
hitam keling berkilat.
"Wiro,
Siapa adanya mahluk mengerikan ini?" bisik Wulan Srindi.
Murid
Sinto Gendeng dari Gunung Gede tidak perdulikan pertanyaan Si gadis. Saat itu
dia berlaku waspada dan sangat hati-hati. Di Negeri LatanahSilam, mahluk ini
dikenal dengan nama Hantu Muka Dua dan merupakan musuh besar, musuh bebuyutan
Wiro. Tidak dinyana sewaktu Istana Kebahagiaan meledak hancur, mahluk satu ini
ikut terpesat ke tanah Jawa.
Hantu
Muka Dua memiliki sepasang bola mata berbentuk segi tiga warna hijau.
Masing-masing sudut segi tiga merupakan perlambang tiga sifat dirinya yaitu
Segala Keji. Segala Tipu dan Segala Nafsu.
"Kau
rupanya yang jadi dedengkot mahlukmahluk terkutuk Barisan Manusia pocong
Seratus . Tiga Belas Lorong Kematian!"
Mahluk di
depan Wiro keluarkan suara mendengus lalu tertawa bergelak.
"Manusia
pocong Hantu Muka Dua! Dosa besarmu mungkin bisa berkurang jika kau membawa
kami ke markasmu. Membebaskan semua tawanan. Perempuan-perempuan hamil dan para
tokoh rimba persilatan."
Hantu
Muka Dua kembali umbar tawa bergelak.
"Dari
dulu sifatmu tidak berubah. Keras kepala.
Mau
menang sendiri! Sombong dan selalu meremehkan orang lain! Bukan kau yang
memerintahku, tapi aku yang akan memaksa kehendak atas dirimu!"
"Begitu?"
Wiro balas tertawa sambil mulutnya dipencong-pencongkan.
"Kau
menghancurkan Istanaku! Lebih dari itu kau membuat aku terpesat ke negeri
celaka ini! Aku datang untuk membuat perhitungan atas segala dendam kesumat
sakit hati semasa kau berada di LatanahSilam!"
"Ha…ha!
Aku mau tahu bagaimana hitunghitungannya!" kata Wiro sambil rangkapkan
dua tangan di depan dada. "Dua ditambah tiga atau lima dikurang tiga atau
bagaimana?"
"Setan
alas! Terima kematianmu! Bangkaimu akan jadi lumpur busuk! Arwahmu akan
melayang tersiksa sampai ke negeri Seribu dua ratus tahun Silam" Hantu
Muka Dua berteriak marah. Kaki kanannya dihentakkan hingga tanah bergetar. Dari
sepasang matanya yang tersembunyi dibalik kain putih penutup kepala melesat dua
larik Sinar hijau. Setiap ujung Sinar berbentuk segitiga lancip.
"Hantu
Hijau Penjungkir Roh! Wulan, lekas menyingkir!" teriak Wiro yang pernah
tahu keganasan ilmu kesaktian Hantu Muka Dua itu. Walau tahu kalau Hantu Muka
Dua tidak akan membunuh Wulan Srindi karena konon mahluk dari negeri 1200 tahun
Silam ini mempunyai pantangan membunuh perempuan Wiro yang tetap merasa
kawatir, cepat mendorong bahu Si gadis sehingga Wulan Srindi terpental jauh.
"Wusss!
Wusss!"
Dua larik
Sinar hijau angker berkiblat mengeluarkan suara menggidikkan. Ilmu kesaktian
yang dimiliki Hantu Muka Dua dan dipergunakan untuk menyerang Wiro saat itu
bernama Hantu Hijau Penjungkir Langit. Menurut riwayat di Negeri LatanahSilam,
ilmu kesaktian ini dulunya adalah milik seorang tokoh bernama Hantu Lumpur
Hijau. Secara licik Hantu Muka Dua berhasil merampas ilmu itu dari sang pemilik.
Benda apa saja yang kena hantaman serangan itu, termasuk manusia, ujudnya akan
hancur meleleh lunak, berubah hijau seperti lumpur. (Baca riwayat petualangan
Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terpesat ke negeri 1200 tahun Silam
LatanahSilam. mulai dari Episode "Bola Bola Iblis" s/d "Istana
Kebahagiaan")
Untuk
selamatkan diri dari serangan maut yang luar biasa ganasnya itu Pendekar 212
Wiro Sableng secepat kilat jatuhkan diri. Telapak tangan kiri bersitekan ke
tanah. Tangan kanan diangkat ke arah mulut. Mulut meniup telapak tangan. Saat
itu juga pada telapak tangan Wiro muncul gambar kepala harimau putih bermata
hijau. Masih setengah jalan dua larik Sinar sakti Hantu Hijau Penjungkir Roh
berkiblat di udara ke arah Wiro. murid Sinto Gendeng dorongkan tangan kanannya
ke depan. Dia menghantam tanpa mengerahkan tenaga dalam sama sekali karena
semua kekuatan justru berada didalam pukulan sakti yang dilepas!
"Desss!
Desss!"
"Blaarr!
Blaarr!"
Gelombang
angin sakti tanpa warna yang keluar dari telapak tangan Wiro yang disebut
sebagai Pukulan Harimau Dewa menyongsong dan menghantam dua larik Sinar hijau
ilmu kesaktian Hantu Penjungkir Roh. Ilmu pukulan langka ini didapat Wiro dari
seorang kakek sakti di Pulau Andalas bernama Datuk Rao Basaiuang Amen. (Baca
serial Wiro Sableng Episode "Wasiat Iblis" s/d Episode "Kiamat
Di Pangandaran")
Dua
letusan dahsyat menggelegar. Tanah bergetar seperti digoncang lindu Angin deras
bertiup laksana topan. Wulan Srindi pegangi caping di atas kepala agar tidak
melayang lepas. Wajah gadis ini nampak pucat. Dadanya turun naik.
Sosok
Hantu Muka Dua tampak tergontai-gontai. Kepalanya yang tertutup kain putih
bergoyang miring ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya terdengar suara hembusan
nafas panjang pendek berulangulang.
Wiro
sendiri terhempas ke tanah. Celakanya dua larik Sinar hijau serangan lawan yang
tadi berhaSil dihantam ke atas dan dibuat buyar kini bertaut lagi, menukik
melesat, kembali menyerang ke arah dirinya!
"Wiro
awas!" teriak Wulan Srindi.
Wiro
gulingkan diri di tanah sampai tubuhnya tenggelam masuk ke dalam serumpun semak
belukar. Dua larik Sinar hijau sakti melabrak tanah hingga terbongkar
meninggalkan dua lobang dalam dan lebar, lalu menghantam bagian bawah sebuah
pohon besar. Pohon terbongkar bersama akarakarnya, tumbang bergemuruh. Sesaat
setelah pohon besar ini menyentuh tanah, keadaannya berubah. Seluruh pohon
mulai dari akar sampai ke ujung-ujung ranting menjadi hijau pekat, leleh
gemburseperti lumpur! Bisa dibayangkan kalau sampai tubuh Pendekar 212 Wiro
Sableng yang jadi sasaran! Wulan Srindi sampai terbelalak dan merinding bulu
tengkuknya menyakSikan kejadian itu.
"Manusia
sombong! Kau masih mengenali ilmu kesaktianku tadi! Apakah kau juga mengenali
yang satu ini?!" Hantu Muka Dua keluarkan ucapan sambil berkacak pinggang.
Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua perlahanlahan angkat tangan kanan ke atas. Di
balik kain putih penutup kepala mulutnya komat kamit melafalkan sesuatu.
Tiba-tiba tangan yang di atas kepala diputar setengah lingkaran. Sinar merah
menderu terang.
"Ilmu
jahat Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi! Siapa takut!" teriak
Wiro menyebut nama pukulan sakti yang hendak dilepaskan lawan. Dalam melengak
kaget mendengar Wiro mengetahui dan menyebut ilmu pukulannya. Hantu Muka Dua
penuh geram menghantam ke depan.
Satu
gelombang angin luar biasa derasnya dan memancarkan cahaya merah melabrak ke
arah Pendekar Wiro Sableng.
"Wulan!
Lekas menyingkir!" teriak Wiro lalu secepat kilat melompat setinggi satu
tombak. Walau dia punya kemampuan untuk menangkis serangan lawan namun kawatir
Simbahan cahaya merah akan melanda Wulan Srindi.
"Wusss’"
Gelombang
Sinar merah lewat ganas di bawah sepasang kaki Wiro. Di belakang sana satu
gundukan batu besar meledak hancur seperti disambar petir. Pecahannya bertabur
merah ke udara lalu luruh ke tanah membakar semak belukar Sebuah pohon
berketinggian tiga kali manusia dan besar dua pemelukan tangan kelihatan merah
laksana dipanggang lalu berubah menjadi kerangka hitam dan akhirnya tumbang ke
tanah!
Lolos
dari pukulan "Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi" yang
barusan dilepas Hantu Muka Dua, Pendekar 212 melayang turun dengan tengkuk
berkeringat dingin. Dia tahu. kalau sampai dirinya terkena hantaman pukulan
sakti itu maka sekujur tubuhnya mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki
akan terkelupas, tinggal tulang belulang memutih!
"Hantu
Muka Dua!" Berseru Wiro begitu dua kakinya menjejak tanah. "Aku
memberimu kesempatan satu kali lagi! Antar kami ke dalam lorong kematian!
Bebaskan perempuan-perempuan hamil dan para tokoh rimba persilatan! Perkara
dlantara kita akan selesai sampai d’ Sini!"
Hantu
Muka Dua tertawa bergelak.
"Perkara
antara kita hanya selesai setelah tubuhmu jadi bangkai busuk dan rohmu melayang
tersiksa sampai langit ke tujuh!"
"Setan
geblek!" maki Wiro.
Selesai
keluarkan ucapan Hantu Muka Dua angkat dua tangan lurus-lurus ke atas. Tubuhnya
membuat gerakan berputar. Mula-mula perlahan lalu berubah cepat dan makin
cepat. Keadaan dirinya tak ubah seperti gaSing. Sementara dua tangan kelihatan
melambai-lambai di udara, gerakannya seperti orang memanggil-manggil. Wiro
merasa tubuhnya menjadi gontai. Pandangan mata agak berkunang. Dua kaki
terseret ke depan. Dia cepat kerahkan tenaga dalam. Daya putaran tubuh Hantu
Muka Dua luar biasa dahsyat. Wiro merasa tubuhnya seperti disedot!
"Jahanam,
ilmu kesaktian apa yang hendak dikeluarkan setan alas ini!" Maki murid
Sinto Gendeng.
"Bless!
Blesss!"
Karena
berusaha mempertahankan diri dari daya sedotan, dua kaki Wiro amblas masuk ke
dalam tanah sampai sebatas mata kaki. Tapi hanya sesaat. Di lain kejap dua kaki
serta tubuhnya kembali tersedot ke arah putaran tubuh Hantu Muka Dua! Tangan
Hantu Tanpa Suara. Itulah ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Hantu Muka Dua
untuk menghabisi Wiro.
"Kurang
ajar! Kau mau menyedot tubuhku?!" Wiro memaki geram. Dia lipat gandakan
aliran tenaga dalam ke kaki. "Hantu Muka Dua! Apa kau kira kau saja yang
punya ilmu kepandaian seperti itu! Lihat tanah!"
Kaki
kanan digeser ke depan seperti membuat guratan garis tebal dan dalam. Mulut
merapal cepaL Dilain kejap rrrreettttttt! Tanah di depan kaki Wiro terbelah
menguak. Belahan tanah mengejar ke arah dua kaki Hantu Muka Dua.
Putaran
tubuh Hantu Muka Dua mendadak sontak berhenti. Dari mulutnya menggelegar suara
keras. Dia cepat melompat ke udara. Namun terlambat. Sepasang kakinya laksana
disedot satu kekuatan dahsyat tertarik masuk ke dalam belahan tanah! Sebelum
tubuhnya amblas sampai ke paha. tiba-tiba mengumandang satu suitan keras. Tiga
buah benda yang bukan lain tiga Bendera Darah adanya menyambar ke arah Wiro.
mengarah kepala dada dan perut!
Selagi
murid Sinto Gendeng berusaha selamatkan diri dari serangan tiga bendera, satu
bayangan putih berkelebat dari kiri. Secepat kilat menotok urat besar di
punggung Hantu Muka Dua. Dalam keadaan tertotok kaku, tubuh Hantu Muka Dua
diboyong dibawa kabur dari tempat itu.
"Kurang
ajar! Mau dibawa kemana calon bangkai itu?!" teriak Wiro mengejar. Namun
dari arah depan sekonyong-konyong ada sambaran tiga cahaya menggidikkan. Wiro
cepat melompat selamatkan diri. Ketika tiga cahaya lewat dan dia memandang ke
depan, sosok Hantu Muka Dua dan mahluk yang melarikannya tak tampak lagi.
"Wulan!
Ikuti aku!" teriak Wiro seraya lari mengejar ke arah lenyapnya HanM Muka
Dua yang diboyong orang
"Tunggu!"
"Ada
apa?!" tanya Wiro dan terpaksa hentikan lari, berpaling ke arah Wulan
Srindi. Dilihatnya Si gadis berdiri dengan muka pucat bingung. Caping yang tadi
menempel di atas kepalanya kini tak ada lagi!
"Ap
i yang terjadi? Mana capingmu?!" tanya Wiro.
Wulan
Srindi goleng-goleng kepala. "Waktu tadi kau mengejar ke sana. aku berlaku
lengah. Aku hanya melihat sekilas satu bayangan putih. Tahutahu capingku sudah
lenyap!"
"Manusia
pocong! Ayo ikuti aku! Kejar mereka sebelum lari jauh!"
Berlari
sampai akhirnya mereka mencapai lembah batu, bayangan orang yang dikejar tidak
terlihat sama sekail. Wiro berhenti, berdiam di atas satu batu hitam, memutar
pandangan mata ke dalam dan seberang lembah.
"Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian ada di seberang sana. Di daerah berbukit batu
itu…." Wulan Srindi memberi tahu sambil monunjuk ke arah bukit batu di
seberang lembah. Dia tahu karena sebelumnya pernah diculik dan disekap di
markas Manusia pocong.
"Aku
sudah menduga," wihut Wiro. "Kita harus segera ke sana. Tapi ada
beberapa pertanyaan yang mengganjal dalam benakkul Mungkin kita bisa bertukar
pikiran."
"Bertukar
pikiran bernrti kepalaku ditukar dengan kepalamu! Aku tidak maui Bisa
kacau!"
"Jangan
konyol! Bukan saatnya bergurau!" kata Wiro dengan mata melotot karena
kesal.
Wulan
Srindi tersenyum lebar
"Mahluk
dan negeri LatanahSilam bernama Hantu Muka Dua itu. Dia mengenakan pakaian
Manusia pocong. Berarti dia adalah anggota Barisan Manusia pocong Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian. Bisa jadi dia yang jadi pimpinan atau salah satu
pentolannya."
"Bisa
jadi begitu," jawab Wulan Srindi. "Lalu?"
Wiro
menggaruk kepala.
"Dua
Manusia pocong muncul. Satu merampas capingmu, satunya menyelamatkan Hantu Muka
Dua." Wiro diam, garuk kepala kembali baru meneruskan ucapan. "Perlu
apa pocong yang satu merampas caping?"
"Mudah
saja jawabnya. Dia ingin mendapatkan benda yang ada di dalam caping. Gulungan
kain putih yang kini kau sembunyikan dalam kantung hitam di pinggangmu
itu."
Wiro
mendadak merasa gatal di bagian bawah perutnya. Tak sadar dia usap kantong
hitam lalu menggaruk-garuk bagian bawah tubuhnya. Wulan Srindi senyum-senyum
dan putar kepala ke jurusan lain.
"Aku
masih belum yakin," ucap Wiro sambil terus menggaruk karena rasa gatal
kini jadi merembet-rembet.
"Kalau
bicara, bicara saja. Jangan menggaruk terus! Nanti bisa lecet!"
"Ahhh!"
Wiro sadar, menyeringai lalu cepat-cepat keluarkan tangan kirinya dari balik
celana.
"Apanya
yang belum yakin?" Tanya Wulan Srindi pula.
"Manusia
pocong yang satu. Apa benar dia
muncul
untuk menolong menyelamatkan Hantu Muka Dua, yang berarti Hantu Muka Dua memang
anggota komplotan atau salah seorang pimpinan Barisan Manusia pocong Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian. Atau! Atau mungkin sebenarnya dia justru jadi
korban penculikan. Berarti Hantu Muka Dua bukan orang Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian."
"Kurasa
hal yang kedua itu yang betul." Kata Wulan Srindi pula. "Pertama
guruku Dewa Tuak diculik. Lalu kakekmu yang segala tahu itu juga lenyap. Semua
jelas pekerjaan orang-orang lorong kematian."
"Wulan,
kita harus segera masuk ke dalam lorong. Kau pernah berada di sana waktu dirimu
diculik.
Kau jalan
duluan."
"Maksudmu
kita masuk ke markas manusia pocong lewat pintu goa di bukit batu sana?"
"Kau
yang lebih tahu."
"Bahaya!
Terlalu berbahaya. Kita mudah saja melewati pintu lorong. Tapi begitu sampai di
dalam kita akan kesasar."
"Belum
tentu. Kalau kita berusaha pasti bisa tembus. Ayo jalan."
Selagi
Wulan tak menjawab karena diselimuti kebimbangan, Wiro tarik tangan gadis itu
lalu diajak menuruni lembah batu. Wulan Srindi senang saja dipegangi lengannya
seperti Itu. Namun dia ingat sesuatu.
"Wiro,
apa kau lupa petunjuk gurumu Eyang Sinto Gendeng?"
Wiro diam
saja. Pandangannya tertuju ke depan, ke arah lembah batu yang mereka daki.
"Malam
itu gurumu berkata. Ilmu rotan Jangan dipakai. Karena tidak ada lobang masuk
tak ada lobang keluar. Ilmu bambu mungkin bisa menolong. Karena ada lobang
masuk ada lobang keluar."
Wiro
garuk-garuk kepala. Terus pegang lengan Wulan Srindi dan terus mendaki lembah
ke arah bukit batu di atas sana.
"Kau
diam saja." Wulan Srindi berkata sambil sentakkan sedikit tangannya yang
dipegang Wiro. Perlahan-lahan Wiro lepaskan pegangannya.
"Ah,
menyesal aku menyentakkan tangan. Kini dia tidak memegang lenganku lagi.
Padahal maksudku tadi hanya agar dia ingat pesan gurunya," kata Wulan
Srindi dalam hati. Lalu didengarnya Wiro berkata.
"Terus
terang, sampai saat ini aku masih belum bisa mencerna ucapan nenek itu. Kalau
ada jalan masuk yang jelas dan bisa cepat sampai ke markas manusia pocong itu,
mengapa tidak ditempuh saja?"
"Jangan
jadi orang tolol. Gurumu sudah memberi petunjuk. Nenek itu pasti sudah menduga
bahaya besar yang bakal dihadapi Siapa saja yang masuk ke dalam lorong lewat
pintu depan yaitu mulut goa di dinding batu. Dia tahu ada jalan lain masuk ke
dalam lorong. Kita bisa saja masuk ke dalam lorong menurut caramu. Tapi
tanggung sendiri akibatnya. Gurumu memberi petunjuk. Masuk ke dalam rumah tidak
selalu hanya dari pintu depan. Kalau ada pintu belakang yang lebih aman mengapa
tidak dilakukan?" Sekarang terserah kamu. Kalau kita celaka, Sia-Sia semua
jerih payah inil. Sekali kita tertangkap, kita akan menjadi boneka hidup budak
manusia-manusia pocong! Dengar Wiro. Kalau mereka menangkapi para tokoh rimba
persilatan, berarti mereka juga mengincar dirimu. Aku merasa ada satu rahasia
besar, busuk keji dan sangat jahat dibalik semua kejadian ini."
Wiro diam
saja. Sesekali menggaruk kepala. Akhirnya meraka sampai di atas bibir lembah
dan berada di bukit batu.
"Di
sebelah sana ada satu pedataran. Di balik sebuah batu besar, disitu terletak
mulut goa yang menuju ke dalam lorong." Menerangkan Wulan Srindi.
"Mau terus ke sana?"
Wiro
anggukkan kepala.
"Kau
keras kepala."
Wiro
tertawa lalu mendahului memasuki kawasan bukit batu. Seperti yang dikatakan
Wulan Srindi, dia menemukan sebuah pedataran. Di Situ ada tiga batu besar. Dua
berdampingan, satunya di sebelah tengah agak ke depan.
"Mulut
goa dibalik batu sebelah tengah," ucap Wulan Srindi agak perlahan karena
dirinya mulai terasa tegang.
Pendekar
212 melangkah ke pedataran, bergerak ke balik batu besar. Sepasang matanya
langsung membentur goa di dinding batu.
"Sunyi
dan tenang-tenang saja," kata Wiro. "Kita masuk?"
"Kau
saja, aku tidak mau mati konyol."
"Dewa
Tuak yang katanya gurumu itu ada di dalam sana. Kau tak berniat untuk
membebaskannya?"
"Tentu
saja aku ingin sekali menolongnya. Tapi aku harus pakai ini!" Wulan
menunjuk ke arah kepalanya sendiri. Maksudnya pakai otak.
"Kalau
aku masuk apa yang bakal kau lakukan?"
"Menunggu
di satu tempat Jika sampai malam kau tidak muncul berarti kau sudah kena
ditawan Manusia pocong."
"Rasa
kawatirmu terlalu berlebihan. Ingat lelaki muda bernama Loh Gatra yang pergi
lebih dulu dari kita bersama Anggini? Mereka mungkin sudah lebih dulu sampai
dan berada dalam markas Manusia pocong."
"Boleh
jadi mereka sudah ada di dalam sana.
Tapi
sebagai tawanan," jawab Wulan Srindi pula.
Wiro
garuk kepala. Dia melangkah lebih dekat
kemulut
goa. memandang menyelidik ke dalam. Dia melihat satu lorong panjang yang suram.
Lalu lebih ke dalam tampak cabang lorong di kiri kanan. Angker memang. Ada hawa
aneh keluar dari dalam lorong terasa di jangat dan tercium di rongga hidung.
Wiro mundur tiga langkah. Sepasang mata menatap tak berkesip ke dalam goa.
"Apa
yang kau lakukan?" tanya Wulan Srindi melihat gerak gerik aneh sang pendekar.
Wiro memberi isyarat dengan gerakan tangani agar Si gadis diam.
Perlahan-lahan
Wiro alirkan darah dan hawa sakti ke sekitar matanya. Lalu dua mata dikedipkan.
Wiro tengah mengerahkan ilmu yang disebut Menembus Pandang. Dengan ilmu langka
yang didapatnya dari Ratu Duyung ditambah dengan peningkatan kemampuan daya
lihat yang diperoleh dari Datuk Rao Basaluang Ameh, sebelum masuk ke dalam
lorong lewat pintu goa Wiro ingin lebih dulu menyelidik keadaan Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian.
Dia bisa
melihat dengan jelas lorong lurus di depannya. Lalu cabang-cabang lorong banyak
sekali di kiri kanan lorong utama. Di dalam sana cabang lorong semakin banyak.
Dalam dia bingung arah lorong mana yang harus diikuti, tiba-tiba dari dalam
lorong menderu satu angin aneh. Wiro merasa ada satu kekuatan keras menghantam
dadanya. Tanpa dia bisa berbuat sesuatu tubuhnya terpental dan nyaris
terbanting jatuh ke tanah kalau tidak cepat dirangkul oleh Wulan Srindi.
"Wiro!
Ada apa?l" tanya Si gadis cemas karena melihat wajah Wiro agak pucat dan
keringat dingin membasahi tubuhnya.
"Aku
tak apa-apa." jawab Wiro sambil pegangi dadanya yang masih bergetar akibat
hantaman hawa aneh. "Barusan aku berusaha menyelidik keadaan di dalam
lorong. Mendadak ada hawa aneh menghantamku" Wiro menatap ke dalam lorong,
tapi tidak berani lagi mengerahkan ilmu Menembus Pandang.
"Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian sangat panjang, penuh cabang. Aku tidak bisa menduga
apakah Ketua Barisan Manusia pocong itu demikian hebatnya hingga mampu
melancarkan serangan jarak jauh ke arahmu…."
"Kekuatan
yang menghantamku luar biasa. Tidak pernah aku mendapat serangan seperti ini.
Untung aku tidak mengalami luka dalam. Aku…"
Murid
Eyang Sinto Gendeng hentikan ucapan.
Telinganya
menangkap sesuatu.
"Kau
mendengar sesuatu?" tanya Wiro.
"Ya.
Suara menyanyi. Suara perempuan. Aneh, bagaimana mungkin di tempat angker
begini rupa ada perempuan bernyanyi. Jangan-jangan dedemit perempuan."
ujar Wulan Srindi dengan suara dan wajah tercekat. "Sebaiknya kita lekas
tinggalkan tempat ini. Kedatangan kita pasti sudah diketahui manusia-manusia
pocong. Ikuti petunjuk gurumu. pasti ada jalan lain menuju ke dalam
lorong."
‘Wulan,
selain suara perempuan menyanyi itu aku mendengar suara lain."
"Heh.
suara apa?"
"Kurasa
ada binatang di sekitar ini. Dari baunya aku dapat meyakinkan binatangnya
seekor kuda."
Wulan
Srindi pasang telinga, mata berputar, memandang berkeliling. Tiba-tiba di balik
batu besar sebelah kanan dia melihat sesuatu berwarna coklat melambai-lambai.
"Buntut
kuda!" ucap Wulan. Dia melompat. Wiro mengikuti.
Benar
adanya. Di balik batu besar kedua orang itu menemukan seekor kuda coklat. tegak
diam. kepala menunduk dan ekor bergerak-gerak. Wulan memperhatikan dengan
seksama lalu mengusapusap kepala binatang itu.
"Hai!
Bukankah ini kuda milik Anggini yang dibawa kabur oleh gadis berambut pirang
malam tadi?"
Wiro
terkejut. Garuk-garuk kepala. "Matamu tajam, ingatanmu kuat. Memang tidak
salah. Ini kuda milik Anggini."
"Berarti
Si rambut pirang bernama Bidadari Angin Timur itu ada di sekitar Sini. Ayo kita
cari" Kembali Wulan Srindi menarik lengan Wiro.
"Kurasa
tidak perlu. Kalaupun dia ada di sini pasti tidak sendiri."
"Aku
tahu. Maksudmu dia bersama pemuda botak berwajah dan bertubuh kuning itu.
Hemm….kau cemburu ya?!"
Wiro
tertawa. "Cemburu? Sama Siapa? Perlu apa cemburu segala?"
"Jangan
dusta. Kau cemburu pada Si botak itu karena kau suka pada Bidadari Angin Timur.
Betulkan?! Ah jeleknya nasibku.." Wulan Srindi unjukkan wajah memelas.
"Aku suka tapi orang tertambat pada yang lain.
Air muka
Pendekar 212 jadi bersemu merah. Namun kemudian meledak tawanya.
Wulan
Srindi cepat tekap mulut Wiro dengan telapak tangan kiri.
"Geblek
apa! Tertawa di tempat seperti ini!"
“Dengar,
kita kembali ke mulut lorong."
"Buat
apa?" tanya Wulan Srindi.
"Aku
ingin mencoba sekait lagi. Masuk ke dalam lorong lewat mulut goa itu,"
kata Wiro. Wiro bermaksud masuk ke dalam lorong dengan mempergunakan Ilmu
Meraga Sukma. Namun saat itu Wulan Srindi berbisik.
"Aku
tahu kau punya banyak ilmu kepandaian. Tapi saat ini jangan dulu berusaha
mencoba-coba. Aku tak ingin kita celaka di tempat ini. Sesuai petunjuk gurumu
kita harus menemukan jalan masuk ke dalam lorong dari arah belakang."
Wiro
garuk kepala. Wulan Srindi lepaskan rangkulannya. Kalau saja dalam keadaan lain
mungkin gadis ini tidak ingin cepat-cepat melepaskan pelukannya di tubuh sang
pendekar.
"Terima
kaSih, kau telah menolongku. Kalau tidak kau pegang pasti aku tadi jatuh
terbanting ke tanah," kata Wiro sambil pegang bahu Si gadis.
Dipegang
seperti itu Wulan Srindi merasa seperti di kayangan. Ditatapnya dalam-dalam
sepasang mata Wiro. Yang ditatap jadi salah langkah. Sambil garuk kepala dia
berkata. " Kau jalan duluan. Aku mengikuti."
Wulan
Srindi mengangguk. Dia pegang lengan kiri Wiro lalu menariknya dan melangkah
cepat tinggalkan tempat itu. Walau saat itu tengah menghadapi urusan besar
namun sang dara berlari dengan wajah tersenyum cerah. Dalam hati malah dia
berkata. "Gadis rambut pirang! Kalau kau memang masih ada di sini,
sembunyi mengintip aku dan Wiro, hatimu pasti seperti ditusuk duri! Cemburu
akan menjadi api dalam dadamu!"
*********************
8
TAK
SELANG berapa lama setelah Wiro dan Wulan Srindi meninggalkan pedataran kecil
di depan mulut goa yang merupakan jalan masuk ke dalam 113 Lorong Kematian,
dari balik gundukan batu lebar di bibir lembah muncul dua kepala. Satu botak
kuning, satu lagi berambut pirang. Kedua orang ini bukan lain adalah Jatilandak
dan Bidadari Angin Timur.
Seperti
dituturkan sebelumnya, malam itu Bidadari Angin Timur tinggalkan tempat
pertemuan para tokoh rimba persilatan dengan menunggang kuda milik Anggini.
Jatilandak, pemuda berkulit kuning dari Negeri Latanahsilam berusaha mengejar
sambil terus-terusan berteriak memanggil nama Si gadis. Dalam kesalnya terhadap
Wulan Srindi dan Wiro, Bidadari Angin Timur seperti tidak mendengar teriakan
Jatilandak. Kalaupun sesaat dia sadar dan mendengar maka dia sama sekali tidak
perduli.
Bagaimanapun
tingginya ilmu lari yang dimiliki Jatilandak, namun mengejar orang yang memacu
kuda dalam pikiran kacau dan hati panas galau, hanyalah merupakan satu
kesia-siaan. Tapi Jatilandak tidak putus asa. Walau nafas menyesak dada.
sepasang kaki laksana mau tanggal, terus saja pemuda ini berlari kencang
mengejar Si gadis berambut pirang.
"Sahabat!
Bidadari Angin Timur Tunggu Berhenti dulu!"
Jatilandak
terus berteriak memanggil. Yang dikejar dan dipanggil-panggil jangankan
menjawab. Menolehpun tidak. Apa lagi hentikan kuda yang dipacu seperti diamuk
setan.
Kemampuan
Jatilandak ada batasnya. Manakala dua kakinya terasa seperti hancur dan tak
mampu lagi diajak berlari, ketika nafasnya menyengat mencekik leher. Jatilandak
akhirnya melosoh jatuh ditengah jalan. Dalam keadaan megap-megap pemuda ini
beringsut lalu rebahkan diri di tanah. Sekujur tubuh mandi keringat. Mata
menatap sayu ke langit kelam. Saat itulah ingatannya kembali ke LatanahSilam.
Berada seorang diri di tempat itu dia merasa jauh dan sangat terpencil. Entah
bagaimana tiba-tiba saja terbayang wajah ibunya. Sepasang mata Jatilandak mulai
berkaca-kaca. Dirinya larut dalam kenangan penuh duka. Lalu didengarnya
langkah-langkah kaki kuda disusul suara perempuan menyebut namanya.
"Jatilandak…?"
"Ibu…?"
Meluncur kata-kata itu dari mulut Jatilandak. Pemuda kepala botak berkulit
kuning itu cepat bangkit dan duduk. Dia terkejut karena membayangkan kehadiran
sang ibu ternyata yang muncul adalah orang lain.
"Bidadari
Angin Timur, engkau rupanya…" Jati’andak berusaha tersenyum, namun
bayangan kesedihan tetap kentara.
Orang
yang menegur turun dan kuda, menatap wajah kuning itu beberapa saat, diam tanpa
suara. Hanya hati yang membatin. "Wajahnya seperti sedih. Pandangan mata
sayu. Barusan dia memanggilku dengan sebutan ibu. Apa yang ada dalam hati dan
pikiran pemuda ini?"
"Aku
gembira kau kembali. Tapi mengapa?"
Bidadari Angin
Timur tidak segera menjawab. Masih terheran-heran. Tadi ketika dikejar pemuda
itu, dia menggebrak kudanya habis-habisan. Namun sewaktu suara Jatilandak yang
memanggil-manggil tidak terdengar lagi sang dara tersadar. Dia hentikan kuda,
memandang ke belakang. Hanya kegelapan malam yang menyelubung. Sosok Jatilandak
tidak kelihatan. Suaranyapun tidak terdengar lagi. Kawatir sesuatu terjadi
dengan pemuda Itu, mungkin saja diserang manusia pocong. Bidadari Angin Timur
putar kuda, kembali ke arah sebelumnya. Akhirnya dia menemukan Jatilandak
terbaring di tanah. menatap ke langit kelam.
"Seumur
hidup baru kali ini aku melihat lelaki menangis," Bidadari Angin Timur
keluarkan ucapan ketika memperhatikan sepasang mata Jatilandak yang
berkaca-kaca. Rasa herannya semakin bertambah.
Jatilandak
masih memandang ke langit. Dia tidak tahu apakah ucapan gadis itu merupakan
teguran, rasa prihatin atau ejekan. Dengan suara perlahan Jatilandak berkata.
‘Ternyata
aku seorang lemah." Si pemuda usap kedua matanya. "Tapi. ketahuilah
sahabatku. Air mata adalah tanda abadi dari kejujuran yang memancar dari dalam
hati yang berSih. Air mata tidak pernah berdusta."
Bidadari
Angin Timur kerenyltkan kening, mulut terkancing diam. "Mengapa orang ini
tiba-tiba berubah Sifat jadi aneh begini rupa? Ucapannya seperti seorang
penyair yang sedang bersedih hati. Pancaran wajahnya memperlihatkan hal itu.
Ditambah mata yang berkaca-kaca."
"Tadi
aku mengejarmu bukan karena apa-apa. Kita tengah menghadapi urusan besar.
Kawasan ini tidak aman. Aku tidak ingin kau menghadapi bahaya sendirian."
Bidadari
Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Anggukkan kepala dan berkata. "Terima
kaSih kau memperhatikan diriku. Saat itu pikiranku sedang kacau.’
"Aku
tahu." jawab Jatilandak. "Kacau pikiran hal yang biasa. Bisa dialami
semua orang. Tapi jangan sampai pikiran yang kacau itu membuat kacau pula hati
nurani."
"Apa
maksudmu, Jatilandak? Kau sendiri wajahmu tampak seperti sedih. Barusan kau menangis.
Kau memanggil diriku ibu. Aneh. kali ini kau kelihatan begitu aneh."
Pemuda
dari LatanahSilam itu tersenyum.
"Ketika
kau datang tadi. aku tengah merenung diri. Rasa-rasanya akulah mahluk yang
paling buruk nasibnya di Negeri LatanahSilam yang kemudian terpesat ke negeri
ini."
Bidadari
Angin Timur duduk di tanah, terpisah dua langkah di depan Jatilandak.
"Aku
belum lama mengenalmu. Ada hutang budi dalam diriku padamu, ketika kau
menyelamatkan diriku dari mahluk jahat berjubah putih itu. Kalau kau memang
punya riwayat hidup yang menyedihkan, ceritakan padaku…"
"Siapa
yang mau mendengar cerita orang buruk sepertiku ini?"
"Aku,"
jawab Bidadari Angin Timur sambil menyentuh lengan Si pemuda. "Aku mau
mendengarkan."
"Sungguh?"
Sang dara
anggukkan kepala.
"Terima
kaSih ada yang mau mendengar kisah naSibku. Mudah-mudahan penuturan ini bisa
mengurangi sedikit derita batin yang selama ini kubawa kemana-mana selama
bertahun-tahun." Jatilandak bangkit dari berbaringnya, duduk di tanah,
menatap sesaat ko wajah jelita di hadapannya.
"Aku
dilahirkan dari perkawinan yang tidak direstui oleh para Peri di Negeri
LatanahSilam. Di LatanahSilam para Peri mempunyai kekuasaan luar biasa. Mereka
bisa menghukum. Bahkan menjatuhkan kutuk dan malapetaka. Ayahku konon bernama
Lahambalang. ibuku bernama Luhmintari. Akibat kutuk para Peri, aku dilahirkan
dengan ujud tubuh seperti seekor landak. Ayah malu besar. Rasa malu berubah
menjadi amarah. Aku dibuang di sebuah pulau, terdampar dalam rimba belantara
Lahitam kelam. Seharusnya aku menemui ajal karena tidak ada yang memelihara dan
memberi makan. Namun tidak disangka di pulau itu ada seorang kakek yang
tubuhnya bersisik, bernama Tringgiling Liang Batu. Kakek ini hidup di pulau
bersama dua ekor landak yang dianggap sebagai anak sendiri. Aku kemudian
dipelihara, dianggap sebagai cucu. Di pulau itu pula kemudian aku bertemu
dengan Wiro. Semula atas perintah seorang jahat bernama Hantu Muka Dua aku dan
Tringgiling Liang Batu harus membunuh Wiro. Namun hal itu berhasil digagalkan
dan aKhirnya kami bersahabat. Hanya sayang… saat ini agaknya ada hubungan yang
terjungkal antara aku dengan Wiro. Kalau saja aku bisa bertemu dan memberi
keterangan…" (mengenai kisah Jatilandak dari Negeri Latanah Siam harap
baca Episode berjudul "Hantu Jatilandak").
Jatilandak
terdiam. Bidadari Angin Timur membisu.
"Aku
tak pernah mengenal ayah ataupun ibuku," Jatilandak meneruskan ceritanya.
"Ada yang menceritakan padaku, setelah ibu menemui kematian sewaktu
melahirkan diriku, ayah membawa dan meninggalkan mayatnya di puncak sebuah
bukit. Para Peri merasa kawatir kalau mayat ibuku akan menimbulkan malapetaka
di Negeri Atas Langit, negeri kediaman para Peri. Mereka kembali menurunkan
kutuk, ibuku berubah jadi patung batu. Seorang Peri yang baik hati kemudian
memindahkan patung ibuku ke sebuah goa. Aku rindu ingin bertemu ibu. Walau
ujudnya hanya sebuah patung. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Di Sini aku
sebatang kara. Wiro teman baik satu-satunya yang aku kenal sejak di Negeri
LatanahSilam kini menjadi orang yang tidak menyukai diriku. Atau
mungkin-mungkin memang aku yang salah…"
Bidadari
Angin Timur gelengkan kepala.
"Tidak,
kau tidak bersalah. Kau tidak punya salah apapun. Justru aku yang merasa diri
ini telah berbuat kekeliruan…"
"Keliru
ketika Wiro memergoki kita berdua-dua begitu dekat di mata air…? Lalu keliru
ketika aku mendukungmu sewaktu kau menangis?" (baca Episode sebelumnya
berjudul "Bendera Darah")
"Aku
bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika dia melihat kita berdua-dua di
mata air. Aku ingin bicara padanya. Ingin menerangkan. Namun tak ada
kesempatan. Dia pergi begitu saja. Aku masih sempat melihat wajahnya saat
itu…" ucap Bidadari Angin Timur.
"Aku
orang buruk ini telah merusak hubungan baikmu dengan Wiro. Aku merasa sangat
bersalah. Namun hatiku berSih. Tidak ada maksud mengkhianati Siapapun. Apa
lagi pemuda sahabatku itu."
Bidadari
Angin Timur memandangi wajah kuning Jatilandak. Ada perasaan hiba di hati gadis
berambut pirang ini. Seperti yang pernah dirasakannya dahulu, kalau saja pemuda
ini tidak memiliki kulit cacat kuning begitu rupa. pastilah dia seorang pemuda
yang tampan. Gagah dan baik hati.
Malam
yang mendekati pagi terasa dingin.
"Aku
ingat sesuatu." berucap Bidadari Angin Timur.
"Apa?"
"Aku
punya seorang sahabat. Entah dimana dia sekarang. Tubuhnya gendut luar biasa.
Suka pakai baju terbalik. Pakai peci hitam kupluk. Wajahnya seperti bocah
tolol. Tapi ilmu kepandaiannya luar biasa. Dia dijuluki Bujang Gila Sakti .
Sepasang tangannya memiliki kesaktian hebat. Dia mampu mengobati luka. Orang
yang cidera akan sembuh tanpa kelihatan bekasnya sedikitpun. Kalau saja aku
bisa mempertemukan kau dengan Bujang Gila. Siapa tahu dia bisa melenyapkan
warna kuning kulitmu."
Jatilandak
tersenyum. "Aku gembira mengetahui ada niat baik dalam hatimu. Tapi
kupikir, buruk rupa begini saja hidupku sudah susah, apalagi kalau aku bisa
hidup wajar, kulitku tidak kuning lagi. Ah, rasanya orang-orang yang tidak suka
padaku pasti akan tambah tidak senang."
Bidadari
Angin Timur tarik nafas panjang dan dalam. "Negeri LatanahSilam, aku tidak
dapat membayangkan bagaimana keadaannya. Juga tidak pernah mengerti bagaimana
Wiro bisa terpesat ke sana. Lalu kau sendiri terpesat ke Sini."
"Kau
tidak bakal percaya kalau tidak berada sendiri di sana. Ketika Wiro pertama
kali muncul di negeri LatanahSilam bersama dua orang sahabatnya, sosok mereka
sangat kecil dibanding dengan orang-orang LatanahSilam. Seorang kakek sakti
kemudian menolong mereka hingga tubuh mereka jadi besar. menyamai orang-orang
LatanahSilam…"
"Selama
disana. apa saja yang dilakukan Wiro?"
tanya
Bidadari Angin Timur sambil lipatkan lutut, letakkan dua tangan di atas lutut
lalu dagu diletakkan di atas tangan. Dua mata menatap wajah kuning Jatilandak.
"Dia
banyak bersahabat Banyak orang sakti yang suka padanya. Dia pernah mendapatkan
beberapa ilmu kesaktian dari mereka. Dia dan temantemannya banyak menolong
orang. Dia bersahabat dengan para Peri "
"Yang
disebut Peri itu, apakah mereka cantikcantik?"
Jatilandak
tersenyum. "Namanya mahluk. pasti ada yang buruk rupa macamku, namun juga
ada yang cantik. Salah seorang dari mereka bernama Peri Angsa Putih. Cantik
sekali. Sepasang bola matanya berwarna biru."
"Peri
Angsa Putih ini. apakah dia bersahabat dengan Wiro?"
"Wiro
orangnya baik. Mudah bersahabat dengan semua orang di Negeri LatanahSilam.
termasuk Peri Angsa Putih. Malah kalau aku tidak salah dengar dia sempat
melakukan perkawinan dengan seorang perempuan bernama Hantu Santet
Laknat…"
Bidadari
Angin Timur terkejut. Kepala diangkat. air muka berubah, dada berdebar, mata
menatap lekat-lekat ke arah Jatilandak.
"Di
Negeri LatanahSilam Wiro kawin dengan hantu?"
"Seperti
kataku tadi, Negeri LatanahSilam penuh dengan segala macam kutuk. Yang bernama
Hantu Santet Laknat itu sebenarnya adalah seorang gadis bernama
Luhrembulan."
Bidadari
Angin Timur terdiam. Lemas.
"Kabarnya
upacara perkawinan itu dilakukan di sebuah bukit bernama Bukit Batu Kawin.
Namun aku tidak tahu bagaimana akhir peristiwanya karena kalau tak salah saat
itu muncul badai luar biasa hebatnya."
Untuk
beberapa lamanya Bidadari Angin Timur masih diam membisu. Kemudian meluncur
perlahan ucapannya. "Jadi Wiro pernah kawin rupanya. Dia tidak perjaka
lagi…"
"Kuharap
kau tidak menjadi gelisah, sahabatku. Semua hal itu hanya kudengar. Bagaimana
yang terjadi sesungguhnya aku tidak tahu." Kata Jatilandak pula yang
tiba-tiba saja merasa menyesal karena terlanjur bercerita mengenai riwayat
perkawinan Wiro di Neger LatanahSilam.
"Ada
Bukit Batu Kawin. Ada gadis bernama Luhrembulan. Semuanya jelas…" Ucap
Bidadari Angin Timur. Perlahan-lahan gadis berambut pirang ini bangkit berdiri,
melangkah ke kuda yang ditinggalkannya dekat pepohonan. (Mengenai perkawinan
Wiro dengan Luhrembulan dapat dibaca dalam riwayat di Negeri LatanahSilam
berjudul "Rahasia Perkawinan Wiro")
"Kau
mau kemana?" tanya Jatilandak seraya berdiri pula.
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab. Dia naik ke atas kuda lalu tinggalkan tempat itu.
Jatilandak cepat mengejar. Namun kemudian hentikan larinya. "Kalau orang
ingin pergi, kalau orang tak mau jalan bersamaku, perlu apa aku
mengikuti?"
Di depan
sana Bidadari Angin Timur hentikan kuda. menoleh ke belakang.
"Jatilandak,
kau tak ingin pergi bersamaku?"
Si pemuda
tercengang, tak menyangka sang dara akan berkata begitu.
"Kita
menuju kemana?" tanya Jatilandak pula.
"Lurus-lurus
ke arah timur. Kawasan bukit batu sarangnya manusia-manusia pocong. Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian."
"Aneh,’
kata Jatilandak dalam hati. "Tadi dia meninggalkan Wiro. pergi tanpa tujuan.
Kini dia sengaja mau menuju ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Tempat yang
juga bakal didatangi Wiro. Apakah ceritaku tadi merubah hati dan pikiran gadis
ini? Sengaja menunggu Wiro disana untuk menanyai pemuda itu? Ah. seharusnya
tadi aku tidak keteiepasan bicara."
Bidadari
Angin Timur menunggangi kudanya perlahan-lahan. Jatilandak mengikuti dari
belakang.
************************
KEESOKAN
harinya Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sampai di kawasan bukit batu di
seberang lembah Setelah memberSihkan diri di sebuah kali kecil keduanya
menyadari betapa laparnya mereka. Beruntung keduanya menemukan pohon jambu
hutan yang cukup lebat buahnya.
Melanjutkan
perjalanan ke arah bukit batu. Bidadari Angin Timur sengaja tidak menunggangi
kudanya Binatang ini di tuntun dari sebelah kanan sementara Jatilandak berjalan
di sebelah kiri.
Di satu
tempat Bidadari Angin Timur Angin Timur hentikan langkah. Dia memberi tanda
pada Jatilandak lalu cepat menarik kuda kebalik serumpunan semak belukar lebar
di belakang sederetan pohon besar.
"Aku
sudah tahu," biSik Jatilandak. "Ada orang mendatangi ke jurusan
Sini."
"Dua
orang," biSik Bidadari Angin Timur.
Si gadis
dan pemuda kulit kuning cepat bersembunyi dan menunggu. Tak selang berapa lama
dua orang berlari cepat melewati tempat itu. Mereka bukan lain adalah Wiro dan
Wulan Srindi. Jatilandak menoleh, memperhatikan ke arah Bidadari Angin Timur.
"Agaknya
mereka tengah menuju ke bukit dimana terletak markas manusia pocong. Tujuan
kita sama. Bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka?"
Bidadari
Angin Timur serta meria gelengkan kepala.
"Jika
kau suka jalan bersama mereka Silahkan saja. Aku memilih jalan sendiri. Mungkin
aku tidak akan pergi memasuki lorong itu."
"Aku
tidak memaksa. Bagaimanapun Wiro pernah menjadi sahabatku. Aku ingin melihat apa
yang akan mereka lakukan dan memberi pertolongan bila dibutuhkan. Sebagai orang
rimba perSilatan, apakah kau akan pergi begitu saja? Padahal kau tahu Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian adalah pusat segala kejahatan keji yang harus kita
musnahkan. Termasuk manusia-manusia pocong itu. Sahabat, apapun yang kau
rasakan saat ini. jangan sekali-kali mengacaukan hati dan pikiranmu. Aku akan
kesana. Kau ikut?"
Bidadari
Angin Timur diam saja. Namun ketika Jatilandak melangkah pergi dia akhirnya
beranjak juga mengikuti. Kuda yang tadi jadi tunggangannya dibiarkan begitu
saja.
Bidadari
Angin Timur dan Jatilandak sengaja menempuh jalan tertutup pohon dan semak
belukar agar jangan sampai diketahui Wiro dan Wulan Srindi. Di atas satu tempat
ketinggian mereka bisa melihat jelas ke bawah, termasuk melihat Wiro dan Wulan
Srindi Segala apa yang terjadi di bawah sana. yaitu bagaimana Wiro dan Wulan
Srindi tampak begitu akrab tertawa-tawa dan sesekali berpegangan tangan sempat
disaksikan oleh Bidadari Angin Timur. Rasa cemburu seolah kobaran api membakar
dirinya.
"Kita
pergi saja. Tak ada gunanya berada di tempat ini," kata Si gadis pada
Jatilandak. Pemuda dari Negeri LatanahSilam ini terpaksa hendak mengikuti
ajakan Bidadari Angin Timur. Dia tahu Si gadis sangat terpukul dengan apa yang
disaksikannya di bawah sana. Lebih terpukul lagi karena mungkin merasa
sebelumnya dia telah melakukan hal yang sama. bermesraan dan tertangkap basah
oleh Wiro. Kini. yang disaksikannya itu apakah berupa balasan?
Belum
sempat Bidadari Angin Timur melangkah pergi tanpa mencari kuda coklat
tunggangannya yang entah berada di mana, belum sempat pula Jatilandak bergerak
mengikuti, seperti yang diceritakan sebelumnya, di tempat itu muncullah orang
berjubah dan berpenutup kepala kain putih yang bukan lain adalah Hantu Muka
Dua.
"Jatilandak!
Lihat!" seru Bidadari Angin Timur. "Mahluk berpakaian dan bertutup
kepala serba putih itulah yang hendak melakukan kekejian terhadapku beberapa
waktu lalu sebelum kau datang menolong! Jahanam Aku akan membunuhnya saat ini
juga!"
"Jangan!
Tunggu! Lihat! Aku merasa akan terjadi perkelahian hebat antara orang
berpakaian serba putih dengan Wiro. Kalau Wiro terdesak, baru kita keluar
membantu."
"Aku
akan tetap di Sini Siapa sudi membantu orang seperti dia. Turut ceritamu kini
aku tahu manusia belang macam apa dia adanya!"
"Jangan
berkata begitu." ujar Jatilandak sambil pegang lengan Si gadis.
Dibawah
sana perkelahian berlangsung hebat. Ketika Wiro mengetuai kan ilmu yang membuat
tanah terbelah dan Siap menyedot amblas sosok Hantu Muka Dua, tiba-tiba melesat
tiga Bendera Darah. menyerang tiga bagian tubuh Pendekar 212. Selagi murid
Sinto Gendeng berusaha selamatkan diri. berkelebat seorang manusia pocong yang
langsung menotok Hantu Muka Dua lalu membawanya kabur.
Jatilandak
yang memperhatikan jalannya perkelahian, tersentak kaget dan berucap.
"Wiro mengeluarkan ilmu yang disebut Membelah Bumi Menyedot Arwah. Di
Negeri LatanahSilam hanya Hantu Santet Laknat alias Luh Rembulan yang memiliki
ilmu kesaktian itu. Berarti Luhrembulan telah memberikan ilmu kesaktian itu
pada Wiro. Tidak disangka begitu jauh hubungan mereka…"
"Mengapa
heran?" ucap Bidadari Angin Timur dengan wajah unjukkan rasa tidak senang.
Menurut ceritamu, kalau perempuan itu sudah menjadi isterinya. apapun akan diberikannya
kepada Wiro."
Setelah
manusia pocong yang membawa kabur Hantu Muka Dua lenyap. Wiro dan Wulan Srindi
melanjutkan perjalanan mendaki bukit batu hingga akhirnya sampai di satu
pedataran yang ada tiga buah batu besar. Di tempat ini kembali Bidadari Angin
Timur melihat Wiro dan Wulan Srindi saling bercanda. Malah berpelukan segala.
Hati Bidadari Angin Timur serasa luluh, darahnya seperti aliran api. Diluar
dugaan, kuda tunggangan Bidadari Angin Timur tahu-tahu muncul dibalik salah
satu batu besar dan terlihat oleh Wiro serta Wulan Srindi. Si gadis segera
mengenali kalau kuda itu adalah milik Anggini yang ditunggangi oleh Bidadari
Angin Timur. Berarti Bidadari Angin Timur, mungkin juga bersama Jatilandak, ada
di sekitar tempat itu.
"Pasti
mereka melihat bagaimana aku bersenda gurau dengan Wulan. Tapi gadis ini malah
memeluk diriku sewaktu hampir jatuh dilabrak hawa aneh dari dalam lorong,"
membatin Wiro. "Biar saja," katanya sambil menggaruk kepala.
"Mudah-mudahan sekarang dia bisa merasakan bagaimana rasanya sakit hati
sewaktu aku melihat dia bermesraan dengan Jatilandak!" Sang pendekar
tersenyum lalu garuk-garuk kepala sementara Bidadari Angin Timur yang takut
kalau kehadirannya sampai diketahui Wiro dan Wulan Srindi cepat-cepat mengajak
Jatilandaktinggalkan tempat itu.
*********************
9
CERMIN
bulat sakti di tangan Ratu Duyung mulai bergetar. Kebeningan di permukaan
cermin perlahan-lahan berubah redup. Sesaat kemudian malah menjadi gelap. Ratu
Duyung tambahkan tenaga dalam. Sepasang mata biru tak berkesip menatap cermin.
Getaran ditangan semakin keras. Tiba-tiba ada guratan-guratan terang. Ratu
Duyung merasa heran, juga cemas.
"Wiro,
dimana kau…" ucap gadis jelita yang berasal dari kawasan pantai selatan
ini. "Mengapa setiap aku mencoba memantau dimana dia berada, cermin ini
memperlihatkan tanda-tanda aneh. Apakah cermin ini telah hilang kesaktiannya?
Beberapa malam lalu ketika aku coba memantau pemuda itu. aku melihat
pemandanganpemandangan aneh. Lalu ada suara genta dahsyat sekali. Aku
terpental. Kini cermin ini kembali menunjukkan keanehan…"
Seperti
diceritakan sebelumnya. Ratu Duyung bersama Sutri Kaliangan meninggalkan Gedung
Kepatihan di Kotaraja. Keduanya dengan menunggang kuda akan mencari Wiro
sekaligus menyelidiki tempat-tempat aneh yang terlihat dalam cermir secara
samar. Tujuan paling utama adalah menemukan markas manusia pocong yang disebut
113 Lorong Kematian. (Baca Episode sebelumnya berjudu "Rumah Tanpa
Dosa")
Dalam
perjalanan Sutri Kaliangan berusaha bahkan setengah memaksa agar Ratu Duyung
mau mampir ke rumah milik orang tuanya yang terletak di Jatipurno. Rupanya
puteri Patih Kerajaan itu mempunyai maksud tertentu mengajak’Ratu Duyung
Singgah di Jatipurno. Di malam hari itu dia ingin bercinta dengan gadis jelita
bermata biru itu. Ternyata Sutri Kaliangan mempunyai kelainan. Yakni hanya
berhasrat pada sesama jenis. Ratu Duyung berhasil melarikan diri dan sembunyi
dalam sebuah gerobak.
Saat itu
ada dua orang manusia pocong melakukan pengintaian di atap rumah, melihat Sutri
Kaiiangar dalam keadaan bugil. Yang satu berhasrat hendak menggagahi putri
Patih Kerajaan itu. Manusia pocong satunya yang tidak mau mencari perkara
kembali ke sarang mereka di 113 Lorong Kematian.
Sewaktu
manusia pocong hampir berhasil hendak memperkosa Sutri Kaliangan yang berada
dalam keadaan tertotok muncul Naga Kuning bersama nenek sakti berjuluk
Gondoruwo Patah Hati Naga Kuning meremas hancur kemaluan manusia pocong yang
hendak memperkosa Sutri Kaliangan.
Ratu
Duyung coba mengejar manusia pocong yang hancur kemaluannya dan melarikan diri
dengan membedal salah seekor kuda yang ditambatkan di halaman rumah. Dia coba
mengerahkan ilmu Menembus Pandang agar bisa lebih mudah mengejar manuSia pocong
yang melarikan diri. Ternyata dia hanya mampu melihat kudanya saja sementara
manusia pocong yang menunggangi tidak kelihatan sama sekali. Agaknya ada satu
kekuatan hebat melindungi manusia pocong itu. (Baca Episode berjudul
"Bendera Darah")
Ratu
Duyung tenangkan hati cemas, jernihkan pikiran yang kacau lalu kembali menambah
kekuatan tenaga dalam pada sepasang tangan yang memegang cermin bulat.
"Ah…"
gadis bermata biru ini tarik nafas agak lega. Walau agak samar namun kini dia
bisa melihat bayangan rimba belantara di dalam cermin Lalu sebuah lembah,
menyusul bukit batu. Dua sosok manusia muncul dalam cermin. Satu lelaki, satu
perempuan.
"Yang
lelaki pasti Wiro. Aku tak bisa menduga Siapa yang perempuan. Anggini atau
Wulan Srindi? Mungkin juga Bidadari Angin Timur?"
Bayangan
dua manusia di dalam cermin pupus. Berganti dengan bangunan aneh terdiri dari
loronglorong yang jumlahnya banyak sekali. "Aku pernah melihat lorong ini
sebelumnya dalam cermin," membatin Ratu Duyung. Sepasang mata Ratu Duyung
tak berkesip. Dadanya mendadak berdebar. Bayangan lorong di cermin lenyap.
Muncul pemandangan sebuah rumah tua. Lalu sebuah bangunan berwarna putih. Saat
itu pula ada suara aneh, seperti suara genta luar biasa kerasnya. Membuat
telinga Ratu Duyung mengiang kesakitan. Dua tangannya bergetar hebat. Lalu ada
satu kekuatan dahsyat yang tak kelihatan. Karena pernah mengalami kejadian
seperti ini sebelumnya waktu di Gedung Kepatihan. sambil berteriak keras Ratu
Duyung cepat melompat setinggi dua tombak. Satu tangan mengangkat cermin bulat
tinggi-tinggi ke atas. tangan yang lain dipukulkan ke bawah guna meredam
hantaman hawa aneh yang menyerangnya.
"Rumah
putih itu… Agaknya disana letak semua sumber kekuatan." Ucap Ratu Duyung
begitu melayang turun dan jejakkan dua kaki di tanah. "Aku harus mencari
bangunan itu. Aku harus menuju kesana. Bukan mustahil itulah sarangnya para
manusia pocong."
Ratu
Duyung Simpan cermin saktinya di balik pakaian. Ketika dia hendak melangkah
pergi dari samping berkelebat satu bayangan disertai menebarnya bau pesing
santar sekali. Semula gadis ini menyangka nenek sakti dari Gunung Gede Sinto
Gendeng yang muncul. Ternyata kakek berkuping lebar, berbaju lusuh, bercelana
basah oleh air kencing. Setan Ngompol!
"Ratu
Duyung, senang bisa berjumpa kau lagi."
"Kau
sendirian?" tanya sang dara.
"Sama
seperti dirimu," jawab Setan Ngompol lalu kedipkan mata dan tertawa
mengekeh. "Sobatku Si Naga Kuning tengah berleha-leha dengan kekasihnya Si
Gondoruwo Patah Hati. Entah berada dimana mereka saat ini. Tadinya aku bersama
Bidadari Angin Timur. Gadis itu pergi begitu saja meninggalkan aku bersama
pemuda botak berkulit kuning. Kurasa kau juga tahu, sebelumnya sudah disusun
rencana untuk mencari sarang manusia pocong di satu bukit batu. Aku mengira
saat ini kau juga tengah menuju kesana.”
Ratu
Duyung mengiyakan dengan anggukkan kepala.
“Kalau
begitu apakah kita boleh jalan berbarengan?”
“Asal kau
tidak jahil dan jangan dekat-dekat,” jawab Ratu Duyung bercanda.
“Aku
tidak pernah jahil. Paling-paling Cuma ngompol saja,” jawab Si kakek lalu
serrr! Air kencingnya terpancar dan dia tertawa gelak-gelak.
************************
DI DALAM
Lorong Kematian.
Yang
Mulia Ketua berdiri di tepi ranjang sambil usap-usap dua telapak tangan satu
sama lain. Seringai mesum tersungging di wajahnya yang tersembunyi dibalik kain
putih penutup kepala.
"Cantik
sekali… cantik sekali. Aku pernah mendengar, mungkin juga pernah melihatmu
sebelumnya. Tapi tidak sedekat seperti sekarang ini. Anggini. itu namamu? Bagus
nama cantik orangnya. Alur nasib akhirnya membawa kita pada pertemuaan ini.
Ha…ha…ha!"
Di atas
tempat tidur. Anggini terbaring tak bergerak akibat totokan ujung rambut Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Mata melotot, dadanya turun naik. Takutnya tentu saja
bukan kepalang. Dia rela menghadapi mati bagaimanapun caranya dari pada dinisak
kehormatan dan dibiarkan hidup seumurumur dalam keadaan menanggung derita
sengsara tak berkeputusan. Namun murid Dewa Tuak ini tidak mau unjukkan rasa
takut. Karena jalan suaranya tidak ikut ditotok, dia segera membuka mulut.
"Jadi
ini mahluknya yang disebut manusia pocong! Kau pimpinan di tempat ini?!"
"Betul
sekali," jawab Yang Mulia Ketua. Dia membungkuk sedikit, membelai wajah Si
gadis dengan tangan kanan lalu tertawa gelak-gelak.
"Pengecut’"
Hardik Anggini.
Tawa Yang
Mulia Ketua semakin keras.
"Kau
tahu Siapa aku?!" Kembali Anggini membentak.
"Oo-o!
Siapa tidak tahu gadis cantik terkenal sepertimu ini. Namamu Anggini. Kau murid
Dewa Tuak. Kau juga adalah kekasih Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Kalau
sudah tahu Siapa aku mengapa tidak segera melepas diriku? Apa aku harus
mengambil nyawamu lebih dulu? Atau kau mau orang-orang yang barusan kau sebut
namanya itu akan mencincangmu sampai lumat?!"
"Aha!
Bicaramu hebat! Aku suka gadis macammu" Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kemitian itu duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya enak saja memegang
paha Anggini.
"Manusia
jahanam! Jangan berani menyentuh Diriku” Teriak Anggini.
Sang
Ketua mendongak, tertawa panjang lalu berkata.
"Aku
akan membebaskan dirimu, jika aku sudah merasa puas menerima pelayananmu!
Ha…ha…ha!"
"Mahluk
keparat! Jika kau punya maksud berbuat keji padaku, lebih baik kau bunuh aku
sekarang juga! Aku tidak takut mati!"
"Kau
gadis pemberani. Kau memang hebat! Tapi dengar dulu. Kita akan
bersenang-senang. Kekasihmu pemuda sableng itu, jika sudah kena diringkus akan
aku bawa ke dalam kamar ini. Dia akan ikut menyaksikan bagaimana mesranya kau
melayani diriku. Setelah itu kau sendiri yang akan membunuhnya! Ha…ha…ha!"
"Setan
keparat! Siapa kau sebenarnya? Permusuhan apa antara kau dengan Wiro hingga
punya rencana sangat keji?!"
"Saat
ini aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu. Bila sampai waktunya, kau akan
tahu sendiri. Sekarang biar aku menanggalkan pakaianmu.
"Jahanam!
Tidak! Jangan!"
Tangan
Sang Ketua meluncur ke dada pakaian Anggini. Ketika jari-jarinya hendak
merenggut robek pakaian itu tiba-tiba dikejauhan terdengar suara genta. Lantai
dan dinding kamar batu bergetar. Di lain saat ada ketukan di pintu.
"Setan
alas! Apa yang terjadi?’ Siapa berani menggangu?!"
Walau
marah besar kesenangannya terganggu. Yang Mulia Ketua turun dari tempat tidur,
melangkah ke pintu. Begitu pintu dibuka, tampak berdiri wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong.
"Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Saya datang untuk memberi laporan sangat penting.
Mulut
Sang Ketua berkomat kamit menahan amarah. "Bicara!" bentaknya.
"Saya
dan anak buah berhasil menawan seorang tokoh berkepandaian tinggi. Berasal dari
negeri 1200 tahun Silam. Dia tidak mau memberi tahu nama. Tapi dari
pembicaraannya yang dilakukannya di satu tempat diketahui dia bernama Hantu
Muka Dua. Sesuai namanya, kepalanya memang memiliki dua wajah. Satu di sebelah
depan, satu lagi di belakang. Mahluk satu ini sungguh luar biasa. Sepasang
matanya bisa menyemburkan dua larik Sinar hijau. Hal ini saya saksikan sewaktu
dia berkelahi melawan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng."
"Jadi
pendekar sableng itu sudah berada di sekitar kawasan lorong?" tanya Yang Mulia
Ketua.
"Benar
sekali Yang Mulia. Dia muncul bersama seorang gadis bernama Wulan Srindi Gadis
ini dulu pernah disekap di lorong tapi berhaSil kabur setelah merayu seorang
anggota kita."
"Aku
ingat peristiwa itu." kata Yang Mulia Ketua pula
"Harap
Yang Mulia Ketua mau menyempatkan diri untuk melihatnya sendiri. Juga memberi
petunjuk apa yang akan kita lakukan."
"Mahluk
aneh dari 1200 tahun Silam. Hemmm…" Yang Mulia Ketua usap kain penutup
kepalanya. "Aku pernah mendengar kabar tentang manusiamanusia aneh yang
muncul di tanah Jawa, entah datang dari mana. Jadi kita berhaSil menawan
seorang diantara mereka. Bernama Hantu Muka Dua. Memiliki dua wajah! Luar
biasa! Tentu, aku ingin sekail melihatnya. Siapa tahu dia pantas menjadi
anggota barisan manusia pocong. Kita sedang kekurangan orang."
“Terus
terang saya punya usul lain. Yang Mulia Ketua. Selain hebat dan luar biasa
mahluk ini sangat berbahaya. Dia bisa menjadi musuh dalam selimut. Bagaimana
kalau kita hadapkan pada Yang Mulia Ketua Sri Paduka Ratu?"
"Akan
aku putuskan nanti. Apakah mahluk itu sudah dicekoki minuman selamat
datang?"
"Sudah
Yang Mulia. Dua cangkir besar. Sama sekali tidak ada bekas. Tidak ada pengaruh.
Dia memiliki kekuatan aneh yang punya daya tolak luar biasa. Saat ini dia
berada dalam keadaan tertotok. Namun saya kawatir dia punya kemampuan untuk
membuyarkan totokan itu."
"Begitu?"
Yang Mulia Ketua usap-usap dua tangannya satu sama lain.’ Antarkan aku ke
tempat mahluk itu disekap "
Sebelum
keluar dari kamar, Yang Mulia Ketua mendekati Anggini yang masih terbaring di
atas ranjang. Diciumnya pipi gadis itu seraya berkata. "Harap kau sabar
menunggu. Nanti kau harus melayaniku sampai puas." ‘
"Mahluk
jahanam! Pergilah ke neraka! Jangan kembali lagi" Maki Anggini.
************************
KAMAR
batu dimana Hantu Muka Dua disekap dijaga oleh dua orang Satria Pocong. Ketika
Sang Ketua masuk, keadaan Hantu Muka Dua masih berpakaian lengkap yaitu jubah
dan penutup kepala kain putih. Sang Ketua tidak menyangka kalau orang itu
mengenakan pakaian dan berpenampilan seperti manusia pocong. Dia memberi
isyarat agar Wakil Ketua membuka kain penutup kepala. Begitu kain putih penutup
kepala dibuka. Yang Mulia Ketua sempat melengak kaget, sepasang mata menyipit,
kening mengerenyit. Orang yang tegak di depannya. seperti keterangan Wakil
Ketua tadi. ternyata memang memiliki dua wajah. Satu di depan berwarna putih
kekuningan, satu lagi di belakang berwarna hitam berkilat. Selain itu. yang
juga dahsyat adalah sepasang bola matanya yang berbentuk segi tiga hijau.
"Namamu
Hantu Muka Lua?" tegur Yang Mulia Ketua.
"Apa
maumu?! Kalau bicara padaku apa kau tidak berani membuka kain penutup
kepala?"
"Nyalimu
hebat juga!" Ucap Yang Mulia Ketua. Dia perhatikan gerakan urat besar di
leher kiri Hantu Muka Dua. Ada bagian urat yang mengembung dan bergerak cepat
pertanda Hantu Muka Dua tengah berusaha melepaskan diri dari totokan. Yang
Mulia Ketua cepat luruskan dua jari tangan kanannya dan dess! Dua jari menotok
urat besar di pangkal leher kanan hantu Muka Dua. Yang ditotok langsung menjadi
tambah kaku tak punya kemungkinan lagi untuk memusnahkan totokan yang menguasai
dirinya.
"Benar
kabar yang mengatakan kau mahluk dari negeri 1200 tahun Silam?"
"Aku
tidak mau bicara apapun denganmu. Lepaskan totokanku! Baru nanti kita bicara.
Jika aku suka. mungkin saja kita bisa bersekutu."
Sang
Ketua tidak perdulikan ucapan orang. Dia perhatikan sepasang mata yang
berbentuk segi tiga hijau. Menurut Wakil Ketua, sepasang mata orang ini bisa
menyemburkan dua larik Sinar hijau
‘Kau
merasa aneh melihat dua mataku yang berbentuk segi tiga?"
Ketika
Sang Ketua tidak menyahut. Hantu Muka Dua tertawa bergelak.” Tiga sudut
sepasang mataku adalah pelambang Sifat diriku. Hantu Segala Keji. Segala Tipu,
Segala Nafsu!"
Yang
Mulia Ketua sampai tersentak kepalanya mendengar ucapan Hantu Muka Dua
"Mahluk
satu itu memang bisa berbahaya. Bisa menimbulkan bencana bagi diriku.
Malapetaka bagi kelangsungan Partai Bendera Darah Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian yang hendak aku dirikan," ucap Yang Mulia Ketua dalam hati. Dia
berpaling pada Wakil Ketua, memberi isyarat agar mendekat. Begitu Wakil Ketua
berada di sampingnys. Sang Ketua berkata perlahan. "Hadapkan mahluk satu
ini pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Perintahkan Sri Paduka Ratu untuk menyedot
semua kesaktian yang dimilikinya."
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dflakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai!" Wakil Ketua keluarkan ucapan Mu bersama seorang anak
buahnya cepat-cepat menggotong sosok Hantu Muka Dua keluar dari kamar sekapan.
Ketika
Yang Mulia Ketua kembali ke kamarnya, dia dapatkan Anggini tidak ada lagi
diatas tempat tidur. Ledakan amarah membuat Ketua Barisan Manusia Pocong
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian ini berteriak tak karuan. Wakil Ketua yang
tengah membawa Hantu Muka Dua ke Rumah Tanpa Dosa tempat kediaman Yang Mulia
Sri Paduka Ratu terpaksa mendatangi.
"Geledah
semua tempat! Periksa semua orang! Temukan gadis itu! Kalau tidak kalian semua
akan menerima hukuman berat!”
Wakil
Ketua membungkuk hormat. "Selesai membawa Hantu Muka Dua ke hadapan Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, perintah Yang Mulia Ketua akan saya laksanakan. Saya
akan memeriksa Dewa Tuak terlebih dulu Karena kakek itu adalah guru
Anggini."
Yang
Mulia Ketua menjawab dengan menghantamkan tiniu kanannya ke dinding batu
hingga din-ding berlobang besar dan pecahan batu bertaburan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment