Makam Ketiga
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
“ iblis
penculik! Bersiaplah menerima kematian! Akan kukikis setiap gumpalan daging
yang melekat di tulang belulang dalam tubuhmu!” Nenek muka setan gondoruwo
patah hati berseru kaget ketika dapatkan dirinya terbungkus dalam serangan
pedang yang menabur cahaya putih menyilaukan dan sambaran hawa dingin
menggidikan. Dengan cepat nenek ini melompat selamatkan diri sambil tangan
kanannya melepas pukulan. Lima sinar hitam menderu keluar dari lima kuku.
**********************
1
SEBAGAIMANA
diceritakan dalam Episode sebelumnya (Gondoruwo Patah Hati) untuk menyelamatkan
diri dari kurungan orangorang Kerajaan, Pendekar 212 Wiro Sableng melarikan
diri dengan mencuri dan mempergunakan kuda besar milik Patih Selo Kaliangan.
Wiro sengaja memencet kantong anggota rahasia kuda itu hingga dalam sakit luar
biasa binatang ini merasa kepala dan sekujur tubuhnya seolah disengat api lalu
seperti kesetanan lari menuruni bukit teh, tak perduii arah, tak perduii apapun
yang menghadang di depannya.
Tak
selang berapa lama Wiro sampai di kaki bukit. Kuda yang ditunggangi mulai
memperlambat lari. Mungkin keletihan, bisa juga karena rasa sakit sudah
berkurang. Senyum-senyum, tapi juga berbalik kasihan Wiro usap-usap tengkuk
kuda itu. Walau udara dingin bukan main namun tubuh Wiro dan kuda yang
ditungganginya basah oleh keringat. Di satu tempat Wiro kembali mengusap leher
kuda. Saat itu untuk pertama kali dia melihat kalau binatang ini berlari agak
pincang. Wiro hentikan kuda itu lalu melompat turun. Ketika diperiksa ternyata
ada cidera di salah satu kaki binatang itu.
Wiro
kerahkan tenaga dalam, mengalirkannya ke kaki yang cidera. Lalu dia mengelus-elus
dan meniup-niup kantong anggota rahasia si kuda hingga binatang ini
kedap-kedipkan mata dan meringkik halus. Mungkin keenakan. Wiro menyeringai.
“Kuda
baik…” kata Wiro sambil mengelus hidung kuda.
“Kau
telah menolong menyelamatkan diriku. Aku berterima kasih padamu. Sekarang kau
boleh pergi kemana kau suka….” Wiro tepuk pinggul kuda, tapi binatang ini hanya
melangkah perlahan berputar-putar lalu menggosok-gosokkan badan ke sebatang
pohon, akhirnya merebahkan diri di bawah pohon itu.
Wiro
menggaruk kepala. “Apa yang harus aku lakukan sekarang. Kemana aku harus
pergi.” Sang pendekar lalu ingat pada kejadian yang barusan dialaminya di
puncak bukit teh.
Dalam
pertempuran melawan Iblis Batu Hitam, Momok Dempet Tunggul Gono dan Ki Sepuh
Item dia memang berhasil membunuh Iblis Batu Hitam dan Tunggul Gono. Tapi itu
sama sekali tidak ada artinya dibanding dengan diculiknya Bunga oleh Iblis
Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh.
“Makhluk
kepala batu sialan itu! Gila betul! Ilmu jahanam apa yang dimilikinya. Dia
mampu membuat sosok Bunga leleh menjadi asap. Lalu menyedot dan memasukkan ke
dalam guci tembaga! Kemana aku harus mencarinya! Bagaimana aku harus
menyelamatkan Bunga!” Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala berulang kali.
Terdiam sesaat. Lalu Wiro ingat. Kembali dia membatin.
“Ketika
tanah terbelah hampir melumat bangsat bernama Ki Sepuh Item, ada penunggang
kuda muncul menolong. Aku rasa-rasa pernah melihat manusia itu sebelumnya. Tapi
dimana…?! Otakku seperti tidak mau bekerja lagi!” Wiro lalu pukul-pukul
keningnya sendiri.
Saat
itulah tiba-tiba Wiro mendengar satu suara.
“Suara
isakan di malam buta. Siapa yang menangis?!” Pendekar 212 memandang
berkeliling.
Pandangannya
membentur sebuah pohon besar sejarak dua puluh langkah di depart sebelah kiri.
Suara isakan datang dari balik pohon itu. Dengan hati-hati Wiro bergerak
mendekati pohon besar. Dia sengaja tidak melangkah langsung ke arah pohon, tapi
bergerak agak menjauh ke kanari. Murid Eyang Sinto Gendeng ini selalu ingat
pengalaman. Jika menemui keanehan, bukan mustahil di balik keanehan itu
tersembunyi malapetaka bahkan maut. Ada orang menangis di malam buta, di tempat
begitu rupa, bukankah ini satu keanehan? Karena itu sebaiknya dia berjaga-jaga,
berlaku hati-hati. Di satu tempat Wiro membungkuk, berlindung di balik semak
belukar rendah. Dari balik semak belukar Wiro melihat seorang berjubah hitam,
berambut panjang kelabu duduk di bawah pohon. Dua kaki dilipat ke atas, kepala
diletakkan di atas ujung lutut. Setelah sekian lama sembunyi menunggu, suara
isak tangis orang di bawah pohon bukannya reda, tapi semakin keras. Wiro
garuk-garuk kepala sambil berpikir-pikir apakah dia perlu mendatangi orang yang
menangis itu dan menyapanya.
“ Suara
tangisnya semakin keras dan pilu. Jika tidak ada satu hai yang sangat
mengganjal hati pasti orang itu tidak akan menangis di tempat begini sepi,
malam hari pula. Dari rambutnya yang kelabu keputihan jelas dia seorang
perempuan lanjut usia.”
Setelah
bimbang dan menunggu sebentar akhirnya Wiro bangkit berdiri. Dia melangkah ke
arah pohon. Empat langkah dari sosok orang yang menangis Wiro berhenti. Suara
isakan tangis tidak berhenti, tapi dari tangan yang bergerak Wiro maklum kalau
orang yang menangis tahu kehadirannya. Maka setelah mendehem, dengan suara lembut
dan sopan murid Sinto Gendeng menyapa.
“Orang
tua, gerangan kesedihan apakah yang membuatmu sampai menangis di malam hari, di
tempat terpencil begini rupa?” Orang di bawah pohon terus saja menangis. Seolah
tidak mendengar teguran Pendekar 212.
“Jangan-jangan
dia tuli,” pikir murid Sinto Gendeng. Maka dia menegur sekali lagi.
“Orang
tua, suara tangismu ikut mendatangkan kesedihan dalam diriku. Aku tidak ingin
mengganggumu. Tapi jika aku bisa membantu, hentikan tangismu. Jawab
pertanyaanku. Mengapa kau menangis di tempat ini. Malam-malam begini?”
Tiba-tiba dua tangan yang terletak di ujung lutut bergerak keluar dari balik
rambut kelabu. Tangan yang sebelah kanan mendadak menyambar ke depan. Lima
larik sinar hitam mengeluarkan hawa dingin berkelebat dalam gelapnya malam.
“Breett!”
Wiro keluarkan seruan tertahan. Mukanya pucat. Untung dia berlaku sigap. Hanya
baju putihnya yang robek. Waktu tangan orang menyambar dia cepat melompat
mundur. Memandang ke depan dia meiihat bagaimana jari-jari tangan yang menyerang
itu memiliki kuku panjang berwama hitam. Dari keadaan tangan orang Wiro segera
maklum kaiau saat itu dia berhadapan dengan seorang tokoh rimba persilatan
berkepandaian tinggi. Sepuluh jari kuku yang panjang hitam itu past! merupakan
senjata andalan. Tapi diam-diam Wiro jadi penasaran karena masih belum melihat
wajah orang. Rambut kelabu panjang riap-riapan menutupi mukanya.
“Orang
tua….” Ucapan Wiro terputus. Orang yang ditegur bergerak mengangkat kepala.
Kepala itu digoyangkan. Rambut yang menutupi muka tersibak. Ketika wajahnya
dipalingkan ke arah Wiro, murid Sinto Gendeng ini melengak kaget ialu bergerak
surut due langkah. Orang berjubah hitam berambut kelabu yang menangis ternyata
memiliki muka seram luar biasa. Wajahnya wajah seorang nenek hancur-hancuran
seolah wajah itu cacat bekas dicacah! Tiba-tiba suara tangis nenek muka setan
di bawah pohon sirap. Berganti dengan suara tawa panjang. Lalu ketika tawa
panjang ini sirna, sosoknya bergerak dan tahu-tahu dia sudah berdiri dua
langkah di hadapan Wiro! Wiro seperti mendadak mau kencing dan mundur lagi
beberapa langkah. Dia jadi ingat pada sahabatnya kakek berjuluk Si Setan
Ngompol. Dalam hati dia membatin.
“Begini
rasanya kalau mendadak kaget. Ingin kencing. Kalau Setan Ngompol hadir di sini
pasti kencingnya sudah mancur kalang kabut!”
“Tadi kau
beraninya menegurku! Sekarang kau ketakutan seperti melihat seribu setan! Hik…
hik… hik!”
“Nek, aku
tidak mengira….”
“Tidak
mengira apa?!” bentak si nenek.
“Tidak
mengira kalau wajahku mengerikan seperti ini?!” Dalam kejut dan takutnya Wiro
jadi bicara polos.
“Nek,
terus terang memang baru sekali ini aku melihat orang berwajah luar biasa seram
sepertimu ini. Tapi rasa heran dan ingin tahuku lebih besar lagi dibanding rasa
takut. Tadi aku bertanya mengapa kau berada di tempat terpencil ini,
malam-malam begini menangis pilu.”
“Kau
sendiri mengapa bisa kesasar ke sini? Begitu muncul mau tahu urusan orang
lain!” membentak si nenek.
“Maafkan
aku Nek. Bukan maksudku mau tahu urusanmu. Tadi sudah kubilang. Suara tangismu
ikut mendatangkan kesedihan dalam hatiku!” Si nenek tertawa panjang mendengar
ucapan Wiro.
“Kenal
tidak, bukan sanak bukan kandangmu, bukan ibu bukan nenekmu! Mengapa kau bisa
ikutikutan sedih?!”
“Nek, aku
cuma bermaksud baik….”
“Bermaksud
baik! Laki-laki semua sama saja! Tidak muda tidak tua! Punya sifat suka merayu!
Anak muda, kalau ingin bicara manis merayu perempuan, cari gadis muda! Jangan
merayu diriku yang sudah tua bangka begini rupa!” Wiro tertawa lebar. Dalam
hati dia berkata.
“Nenek
gila! Siapa yang merayu dirinya! Setan beneranpun tidak akan mau merayunya!”
“Kau
tertawa! Apa yang kau tertawakan! Ayo katakan! Apa yang kau tertawakan!” Si
nenek tibatiba membentak.
“Aku
tertawa karena apa yang kau ucapkan tadi betui adanya, Nek. Mengapa aku merayu
dirimu yang tua bangka begini rupa. Lebih baik merayu gadis cantik! Nah aku
pergi dulu Nek. Aku mau mencari gadis cantik untuk dirayu!” Habis berkata
begitu murid Sinto Gendeng kerutkan hidung dan kedipkedipkan mata lalu memutar
badan siap melangkah pergi. Si nenek melirik ke arah kuda besar di kegelapan,
memperhatikan pakaian Wiro yang robek. Bukan cuma robek bekas sambaran kukunya
tadi. Dengan cepat nenek ini melompat menghadang gerakan Wiro.
“Aku tahu
kau datang menunggang kuda besar itu. Aku juga mengenali, kuda dengan dandanan
seperti itu bukan kuda sembarangan. Hanya ada di Keraton. Pakaianmu robek besar
di bagian perut. Hemm…. Anak muda, kukira kau bukan ma.nusia baik-baik. Kau
mencuri kuda Istana, meiarikan diri. Mungkin sebelumnya teiah melakukan satu
kejahatan hingga ada yang menyerangmu. Untung hanya bajumu yang robek, tidak
perutmu!”
“Nek,
matamu tajam, otakmu cerdik. Aku tidak membantah. Kuda itu milik Patih
Kerajaan. Terpaksa aku curi untuk selamatkan diri….”
“Nah,
nah! Betul rupanya dugaanku! Sekarang katakan kejahatan besar apa yang telah
kau lakukan hingga meiarikan diri dengan mencuri kuda Patih Kerajaan?”
“Aku
tidak melakukan kejahatan apa-apa. Beberapa tokoh culas Istana memf itnah,
menuduhku yang bukan-bukan!”
“Hemm,
begitu?” Si nenek menyeringai.
“Aku jadi
curiga padamu. Coba katakan. Apa fitnah dan tuduhan yang bukan-bukan itu?”
“Ah, kau
seperti tengah menyelidikiku! Tapi tidak ada salahnya kujawab semua
pertanyaanmu. Pertama aku dituduh membunuh perempuan muda bernama Kinasih,
istri mendiang juru ukir Keraton bernama Sura Kalimarta….”
“Padahal
kau memang membunuh perempuan itu bukan? Hik… hik… hik!” si nenek kembali
menyeringai lalu tertawa cekikikan. Wiro menggeleng.
“Aku
malah juga dituduh sebagai pembunuh juru ukir itu! Sial! Dan katanya juga harus
ikut bertanggung jawab atas ienyapnya keris pusaka Keraton bernama Kiai Naga
Kopek! Gila!”
“Siapa
yang gila?!” tanya si nenek.
“Patih
Kerajaan! Para tokoh silat Istana!” jawab Wiro. Si nenek manggut-manggut lata
tertawa panjang. Begitu tawanya lenyap dia berkata.
“Kalau
kau tidak membunuh Kinasih dan suaminya lalu siapa yang melakukan? Setan? Kalau
kau tidak mencuri keris Kiai Naga Kopek lalu siapa yang melakukan? Setan?! Hik…
hik… hik!”
“Siapa
pembunuh Kinasih dan suaminya mana aku tahu! Kalau keris pusaka Keraton itu
memang aku pernah melihatnya. Dirampok oleh Warok Mata Api dari Alas Roban.
Lalu dijarah oleh seorang pemuda tak dikenal!” Tiba-tiba saja saat itu Wiro
ingat.
“Astaga!”
Wiro berseru tertahan.
“Apa yang
astaga!” tanya si nenek. Wiro tak menjawab. Kepalanya digaruk berulang kali.
Mulutnya berucap perlahan.
“Aku
ingat kini! Orang berpakaian kuning bercelana hitam, menunggang kuda coklat,
yang menyelamatkan Ki Sepuh Item! Dia adalah pemuda yang sama yang membunuh
Warok Mata Api dan anak buahnya! Yang menjarah kotak-kotak barang perhiasan dan
uang emas milik Keraton. Termasuk yang merampok keris Kiai Naga Kopek. Waktu
itu aku dan Kinasih menyaksikan dengan mata kepala sendiri! Kalau tidak salah
dia mengaku bernama Damar Wulung.” (Baca Episode sebelumnya berjudul “Roh Dalam
Keraton“) Si nenek muka setan memperhatikan kelakuan Wiro yang bicara perlahan
seorang diri.
“Bangsat
gondrong ini kurang waras otaknya rupanya…” kata si nenek dalam hati. Lalu
kembali dia membentak.
“Gondrong
otak miring! Racau apa yang barusan keluar dari mulutmu! Apa yang astaga?!”
“Pencuri
keris pusaka itu Nek. Aku ingat, aku tahu orangnya!”
“Siapa?!”
si nenek delikkan mata.
“Seorang
pemuda bernama Damar Wulung. Kau kenal atau mungkin pernah tahu orangnya?” Nenek
muka setan gelengkan kepala.
“Kau
sengaja menuduh orang lain, untuk menghindari diri dari tuduhan dan kejahatanmu
sendiri.”
“Terserah
kau mau bicara apa. Aku tak ingin mengganggumu lebih lama. Aku mau pergi
saja….”
“Kau
takut orang-orang Kerajaan akan memergokimu di sini?”
“Selama
aku tidak bersalah, aku tidak takut pada siapapun,” jawab Wiro tandas.
“Kau
boleh pergi, tapi jawab dulu beberapa pertanyaanku!”
“Walah,
dapat urusan lagi!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Baik
Nek, lekaslah. Apa yang hendak kau tanyakan.”
“Kau
pernah mendengar seorang bernama Rana Suwarte?”
“Tidak.”
Si nenek terdiam. Dia seperti tengah berpikir-pikir.
“Pertanyaanmu
cuma satu itu, Nek?” “Menurutmu, apakah seseorang bisa kawin dengan orang yang
tidak dicintainya?” Wiro tidak menyangka ditanya begitu.
“Nenek
satu ini, aneh pertanyaannya. Nah, nah! Biar aku permainkan dia.”
“Nek,
yang namanya orang itu, tentu saja bisa kawin dengan siapa saja! Namanya juga
kawin! Tapi kalau nikah, nah itu baru urusan lain! Tidak bisa sembarangan!”
“Pemuda
kurang ajar! Yang aku maksud memang kawin secara benar! Nikah! Bukan
kawin-kawinan! Gondrong, kau pasti suka dan sering kawin-kawinan ya?!” Wiro
tertawa gelak-gelak sampai keluar air mata.
“Kau
tertawa! Berarti benar dugaanku!”
“Nek, kau
pasti tengah menghadapi masalah rumit, sangat menyedihkan. Sampai-sampai
memencilkan diri di malam buta begini rupa, di tempat sepi seperti ini,
menangis berpilu-pilu.”
“Pemuda
geblek! Jangan kau berani bicara macam-macam! Nanti kujadikan semacam kau baru
tahu!” Wiro tersenyum, tidak perdulikan ucapan orang.
“Nek,
apakah orang bernama Rana Suwarte itu ada sangkut pautnya dengan semua
kesedihanmu saat ini? Apakah kau hendak menikah dengannya?” Si nenek tergagau
mendengar ucapan Wiro. Matanya mendelik, tapi perlahan-lahan mengecil kembali.
“Pemuda
ini, tampangnya tolol, otaknya rada-rada miring. Tapi bagaimana dia bisa
menduga hubunganku dengan Rana Suwarte?”
“Bocah
gendeng! Siapa yang mau menikah dengan Rana Suwarte! Enak saja kau bicara!”
Wiro garuk kepala, tertawa lebar.
“Kalau
bukan dengan dia, pasti dengan seorang lain. Tapi yang bernama Rana Suwarte itu
rupanya menjadi penghalang. Atau ada orang yang memaksamu kawin dengan Rana
Suwarte. Padahal kau mencintai seorang lain.” Dalam hati Wiro berkata.
“Sudah
tua bangka begini rupa, berwajah lebih angker dari setan. Apa iya ada lelaki
yang suka padanya?” Tersirap darah si nenek mendengar ucapan murid Sinto
Gendeng tadi.
“Pemuda
sinting aneh. Bagaimana dia bisa menduga apa yang tengah terjadi dengan
diriku!” kata si nenek dalam hati. Wiro garuk lagi kepalanya, lantas berkata.
“Nek,
maafkan kalau kehadiranku mengganggumu. Aku harus pergi sekarang. Kau boleh
kembali ke bawah pohon sana dan meneruskan tangismu tadi sampai tiga hari tiga
malam. Ha… ha… ha!”
“Benar-benar
kurang ajar! Jangan harap kau bisa pergi sebelum menjawab pertanyaanku yang
satu ini!” Sekali berkelebat si nenek tahu-tahu sudah berada di depan Wiro.
Lima jari tangan kanannya yang berkuku panjang hitam mencengkeram di batang
leher sang pendekar. Wiro terkesiap sesaat lalu mulut usilnya kembali bicara.
“Walah,
apalagi yang hendak kau tanyakan, Nek. Hemm…. Aku tahu. Kau pasti mau
menanyakan dimana tukang rias paling handal yang bisa mendandanimu kalau nanti
melangsungkan pernikahan! Bukan begitu?!” Nenek bermuka setan memaki panjang
pendek. Tapi kemudian wajahnya agak mesem-mesem lalu dia lepaskan cengkeraman
lima jari tangannya di leher Wiro dan tertawa gelak-gelak
“Apa
pertanyaanmu Nek?” Wiro mendesak.
“Kau
kenal dengan seorang bocah bernama Naga Kuning?” Kagetlah murid Sinto Gendeng
mendengar pertanyaan ini.
“Bola
matamu kulihat membesar dalam gelap! Berarti kau memang kenal dengan anak itu!”
“Lebih
dari kenal Nek!” jawab Wiro.
“Hai! Apa
maksudmu dengan ucapan itu?!” Wiro melihat nenek di hadapannya seperti
tersenyum dan ada bayangan harapan di balik keseraman wajah setan itu.
**********************
2
WIRO
pandang wajah setan si nenek seketika lalu berkata.
“Naga
Kuning, bocah konyol, dia sahabatku. Saat jni justru aku tengah
mencari-carinya.”
“Naga
Kuning sahabatmu katamu? Bagaimana mungkin pemuda dewasa sepertimu punya
sahabat seorang anak seusia duabelasan tahun….”
“Naga
Kuning bukan anak sembarangan Nek. Ilmunya tinggi. Selain itu kami bertiga….”
“Kami
bertiga siapa maksudmu?” memotong si nenek.
“Aku,
Naga Kuning dan seorang kakek bernama Setan Ngompol….”
“Setan
Ngompol! Aku pernah mendengar nama kakek bau pesing itu! Lanjutkan ceritamu,
anak muda,” kata si nenek muka setan.
“Karena
senasib sepenanggungan, kami bertiga sudah sama mengangkat diri sebagai
saudara….”
“Hemm,
rupanya ada satu kejadian besar yang membuat kalian saling mengangkat jadi
saudara. Kejadian apa?”
“Kalau
kuceritakan, kau belum tentu mau percaya,” kata Wiro pula. Si nenek
menyeringai.
“Tergantung
kadar kedustaan dalam ceritamu!” Wiro berpikir sebentar.
“Baiklah,
tak ada salahnya kuceritakan padamu. Soal percaya atau tidak itu urusanmu
sendiri.” Lalu murid Sinto Gendeng ini menuturkan riwayat bagaimana dia, Naga
Kuning dan Setan Ngompol terpesat ke negeri Latanahsilam, negeri seribu dua
ratus tahun lalu.
“Ketika
batu sakti Pembalik Waktu pecah dan Istana Kebahagiaan Hancur, semua orang yang
ada dalam Isana itu termasuk aku, Naga Kuning dan Setan Ngompol, terlempar
melesat ke udara seolah menjebol langit. Tahu-tahu aku jatuh terpesat di satu
bukit karang tak jauh dari Teluk Penanjung kawasan Pangandaran. Di situ aku
menemui beberapa orang tokoh aneh. Bahkan nyawaku hampir dihabisi oleh sepasang
momok berjuluk Momok Dempet Kaki Kuda. Kemudian ketika aku mengalami nasib sial
dibekuk dan dijebloskan ke penjara Kerajaan, di penjara aku bertemu dengan
sahabatku Setan Ngompol. Kalau tidak ditolong seorang sahabat kami berdua tidak
mungkin lolos.”
“Hemm….
Bisa lolos dari penjara Istana bukan satu pekerjaan mudah. Tidak sembarang
orang mampu berbuat begitu, apalagi menyelamatkan dua orang sekaligus. Aku jadi
kepingin tahu, siapa sahabat yang menolongmu dan Setan Ngompol itu?” Wiro tak
segera menjawab tapi menggaruk kepala lebih dulu. Melihat hal ini si nenek
lantas berkata.
“Dari
tadi aku melihat kau suka menggaruk-garuk kepala. Apa kau jarang mandi? Mungkin
cuma sekali setahun? Hik… hik! Pantas kau kelihatan gemuk, padahal gemuk
tebalnya daki! Hik… hik!” Wiro menyeringai.
“Kalau
kau mau tahu Nek, sahabat yang menolong aku itu seorang gadis cantik….”
“Nah…
nah!”
“Tapi dia
bukan manusia utuh. Setengah roh….”
“Makhluk
halus jejadian?” ujar si nenek.
“Bisa
dikatakan begitu.”
“Luar
biasa! Baru sekaii ini aku mengetahui ada anak manusia bersahabat dengan gadis
cantik setengah roh setengah manusia. Jangan-jangan kalian bukan cuma
bersahabat, tapi saling bercinta! Eh, aku mau tanya anak muda. Jangan-jangan
kau sendiri juga makhluk halus jejadian.” Wiro tertawa lebar.
“Asal aku
berteman dengan setan tua sepertimu, aku tidak keberatan kau sebut sebagai
makhluk halus jejadian. Kabarnya setan dan makhluk halus jejadian masih ada
kaitan saudara! Ha… ha… ha!”
“Hik…
hik… hik!” Si nenek ikut tertawa cekikikan. Diam-diam dia mulai merasa senang
dengan pemuda yang baru dikenalnya ini.
“Aku
masih mau melanjutkan ceritaku Nek. Kau masih mau mendengar?”
“Tentu-tentu!”
jawab si nenek.
“Setelah
lolos dari penjara aku dan Setan Ngompol berpisah. Aku sudah menemukan Setan
Ngompol, tapi belum ketemu Naga Kuning. Aku belum dapat memastikan apakah anak
itu ikut terlempar dan melesat kembali ke tanah Jawa ini.”
“Aku
malah sudah bertemu dengan dia. Sudah dua kali!” kata si nenek. Wiro terkejut
“Kalau
kau sudah bertemu dengan bocah itu, mengapa dan apa perlunya bertanya padaku?”
“Dua kali
berjumpa, dua kali muncul keraguan dalam hatiku. Karena sosoknya yang kulihat
dua kali itu bukan sosok yang pernah kukenal puluhan tahun silam. Sulit
dipercaya ada manusia bisa berganti wajah, apa lagi berubah bentuk
sosoktubuhnya. Aku khawatir kalau-kalau bocah itu bukan dia….”
“Dia
siapa Nek?” tanya Wiro.
“Aku
tidak bisa mengatakan padamu….”
“Rupanya
ganjalan hidupmu sangat berat. Hingga kau tidak percaya begitu saja pada semua
orang, termasuk aku. Tapi kalau hidup tidak bisa memberikan rasa percaya, kau
bakal menghadapi banyak kesulitan Nek.” Si nenek menyeringai. Dia mendongak
memandang langit malam yang hitam gelap.
“Dalam
hidup kita memang tidak boleh percaya polos-polos saja pada semua orang. Itu
kalau mau selamat. Tapi dengar, anak muda. Aku akan berterus terang dan
bercerita lebih banyak padamu, asal kau mau memberitahu kau ini sendiri siapa
adanya. Tadi walau bajumu robek, tapi kau telah sanggup menghindar dari
serangan Lima Cakar Langit yang aku lancarkan. Hanya sedikit saja tokoh silat
di tanah Jawa ini yang sanggup selamatkan diri dari serangan itu! Aku
benar-benar ingin tahu siapa kau ini sebenarnya. Awas, jangan berani berdusta!”
“Seperti
kau lihat, aku seorang pemuda gondrong, yang katamu cuma mandi setahun sekali,
otaknya rada-rada miring dan badannya gemuk karena ketebalan daki!” Si nenek
tertawa lebar.
“Anak
tolol! Maksudku bukan itu! Sebagai manusia kau tentu punya nama. Kalau kau
orang rimba persilatan tidak mustahil punya julukan. Kalau kau orang hebat
lantas siapa gurumu….”
“Apa kau
juga ingin tahu apa aku sudah punya bini atau belum?”
“Menurut
dugaanku kau belum punya bini. Tapi bini-binian mungkin banyak. Hik… hik… hik!”
“Kalau
aku katakan siapa diriku, apa kau juga mau menceritakan siapa dirimu?” Si nenek
muka setan mengangguk.
“Aku
berjanji, tapi dengan satu syarat kau tidak akan mengatakan pada siapapun.
Termasuk Setan Ngompol dan bocah bernama Naga Kuning itu.”
“Aku
berjanji!” kata Wiro pula.
“Namaku
jelek. Wiro. Lebih jelek lagi karena ada tambahan nama Sableng di belakang nama
Wiro itu.” Wajah setan si nenek berubah. Kakinya tersurut sampai beberapa
langkah. Matanya membeliak, menatap tak berkesip.
“Jadi,
jadi kau… kau Wiro Sableng?!” Wiro mengangguk.
“Si
geblek yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?” Wiro mengangguk lagi.
“Murid
nenek kurang ajar bernama Sinto Gendeng yang diam di puncak Gunung Gede?” Wiro
pencongkan mulut mendengar gurunya disebut sebagai nenek kurang ajar. Tapi
kemudian kepalanya kembali dianggukkan.
“Waktu
kecil, bukankah namamu sebenarnya adalah Wiro Saksana?” Pendekar 212 Wiro
Sableng terkejut.
“Bagaimana
kau bisa tahu nama asliku Nek?” tanya Wiro.
“Setan…
setan!”
“Eh,
mengapa kau memaki setan-setan segala Nek?” tanya Pendekar 212 heran. Si nenek
menjawab dengan tawa panjang. Kepalanya didongakkan ke langit. Sepasang matanya
seolah ingin menembus kepekatan gelapnya malam.
“Aku tahu
namamu sejak kau berusia enam tahun.” Rasa heran Wiro semakin bertambah.
“Waktu
itu aku… aku berada di puncak Gunung Gede,” kata Wiro pula.
“Apa… apa
kau juga ada di sana?” Si nenek geleng-gelengkan kepala.
“Ada satu
kisah menyangkut dirimu pada masa puluhan tahun silam. Yang kurasa kau sendiri
tidak pernah mengetahui. Dan kurasa Sinto Gendeng juga tidak pernah
menceritakan.”
“Kisah
apa Nek?” tanya Wiro, heran dan ingin tahu.
“Selagi
kau masih digembleng Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede, seorang sahabat
pernah datang ke tempat kediamanku. Waktu itu aku menetap di pantai selatan.
Sahabat itu memberitahu bahwa di tempat kediaman Sinto Gendeng di Gunung Gede
ada seorang anak kecil. Anak itu menurut pengamatannya memiiiki susunan tulang,
urat dan otot nyaris sempurna. Anak seperti itu suiit dicari. Mungkin tidak
akan ditemukan satu dafam seratus tahun. Di masa mendatang dia kelak akan
menjadi seorang pendekar besar. Sahabat itu ingin mengambilmu jadi muridnya. Tapi
tentu saja sulit terlaksana karena Sinto Gendeng sudah mengambil si anak
menjadi murid. Sahabatku lalu berniat menculik anak itu lalu membawanya ke
tempatku untuk digembleng bersama-sama. Anak itu adalah engkau yang waktu itu
masih bernama Wiro Saksana.”
“Kalau
aku boleh tahu, siapakah sahabatmu yang hendak menculik diriku itu?” Wiro
bertanya.
“Namanya
Sukat Tandika….”
“Sukat
Tandika? Astaga?!” Wiro terkejut besar.
“Nek,
bukankah dia si Tua Gila, tokoh rimba persilatan dari Andalas?” Si nenek
mengangguk.
“Aku tak
pernah tahu. Juga tidak menyangka. Eyang Sinto Gendeng tidak pernah
menceritakan, mungkin beliau tidak tahu adanya rencana penculikan itu. Aku
sering bertemu dengan Tua Gila. Malah ketika aku datang ke pulau Andalas, aku
sempat bertemu dan diajarkannya beberapa ilmu silat. Sebenarnya kalau Tua Gila
punya niat baik, mengapa dia tidak bicara langsung dengan guruku?” (Mengenai
riwayat pertemuan Wiro dengan Tua Gila pertama kali harap baca serial Wiro
Sableng berjudul “Banjir Darah Di Tambun Tulang.”)
“Pada
saat kau diambil murid oleh Sinto Gendeng, antara gurumu dengan Tua Gila masih
ada silang sengketa gara-gara cinta di masa muda. Setahuku Sinto Gendeng sangat
mencintai Tua Gila. Tapi lelaki itu meninggalkannya, terpikat dan kawin dengan
seorang janda. Cinta kasih Sinto Gendeng berubah menjadi sejuta kebencian. Bila
ada kesempatan dia ingin membantai Tua Gila. Untung saja belakangan dimasa tua
antara keduanya terdapat saling pengertian dan melupakan semua hal yang terjadi
di masa muda. Sejak patah hati dengan Tua Gila, kabarnya gurumu gentayangan
kemanamana, bercinta dengan setiap pemuda gagah dan berilmu yang dijumpainya.”
Lama Wiro terdiam mendengar kisah yang dituturkan nenek muka setan itu. Setelah
gelengkan kepala dan menggaruk Wiro berucap.
“Sekarang
giliranmu Nek. Kau sendiri siapa adanya?”
“Rasanya
aku tidak bisa mempercayai kalau saat ini benar-benar berhadapan dengan
Pendekar 212. Tapi baiklah. Aku harus memegang janji. Mengenai diriku, aku
terlahir dengan nama Ning Intan Lestari…” Wiro tercengang mengetahui si nenek
punya nama demikian bagus. Tidak sesuai dengan keadaan mukanya yang seperti
setan. Dalam hati murid Sinto Gendeng ini berkata.
“Kau ini
rupanya keberatan nama Nek. Nama bagus selangit tembus, tapi tampang jelek
sebumi hangus!” Melihat pemuda di hadapannya seperti terkesiap, si nenek
tersenyum.
“Aku tahu
apa yang ada di dalam benakmu. Hatimu mungkin berkata, bagaimana aku si muka
setan ini punya nama sebagus yang barusan aku katakan. Itulah kehidupan.
Terkadang kenyataan yang kita lihat tidak sesuai dengan keadaan yang kita
harapkan. Penglihatan mata tidak selalu sama dengan suara hati nurani….”
“Nek,
kata orang apalah artinya nama. Lalu wajah yang buruk sepertimu tidak seiamanya
menyiratkan keadaan pribadi yang sesungguhnya. Kau boleh punya muka setan namun
hatimu mungkin lebih tulus, lebih bersih dan lebih baik dari seorang
bidadari….” Si nenek tertawa panjang. Dalam hatinya ada sekelumit rasa bahagia
mendengar ucapan Wiro itu walau perasaan itu terbungkus oleh perasaan lain,
yakni perasaan sedih.
“Di usia
tua bangka seperti ini, orang-orang menjuluki aku Gondoruwo Patah Hati”
“Gondoruwo
Patah Hati,” mengulang Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Maaf
Nek, Gondoruwo rasanya memang cocok dengan keadaan wajahmu. Tetapi mengapa ada
tambahan Patah Hati?”
“Nasibku
tidak jauh berbeda dengan gurumu Sinto Gendeng. Di masa muda aku pernah
bercinta dengan seorang pemuda. Kemudian dia lenyap begitu saja tanpa kabar
berita. Kalau Sinto Gendeng masih bisa menjalani hidup dan bercinta dengan
siapa saja yang disukainya, sebaliknya aku memencilkan diri. Tak ada keinginan
untuk mencari pemuda lain, apalagi menjalin cinta kasih baru. Aku seolah-olah
sirna dari rimba persilatan. Hanya ada satu dua tokoh yang mengetahui keadaanku
dan dimana aku berada. Merekalah yang memberikan gelar Gondoruwo Patah Hati
padaku. Dalam masa menyembunyikan diri itu, aku menemukan seorang anak. Dia
kugembleng menjadi seorang pendekar sakti mandraguna. Dua tahun lalu dia
kulepas pergi. Namun apa jadinya dia dikemudian hari tidak dapat kupastikan.
Belakangan aku sering kedatangan mimpi-mimpi buruk menyangkut diri muridku
itu.”
“Kalau
aku boleh tahu, siapa nama muridmu itu?” bertanya Wiro.
“Namanya
Adisaka. Kau pernah kenal, atau pernah dengar?” Wiro menggeleng.
“Sekian
lama kau memencilkan diri, lalu mengapa sekarang kau muncul lagi dalam rimba
persilatan?” bertanya Wiro.
“Kalau
aku boleh bertanya, siapa orang yang sangat kau cintai itu, lalu meninggalkan
dirimu begitu saja?”
“Tak ada
salahnya aku ceritakan padamu. Karena aku punya firasat, kau satu-satunya orang
yang bisa menolongku.”
“Terima
kasih kau punya kepercayaan seperti itu,” kata Wiro. Dia pandangi wajah si
nenek, menunggu apa yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati. Tempat itu sesaat
berada dalam kesunyian. Tiba-tiba kesunyian itu dirobek oleh geiegar bentakan,
merobek kesunyian, melabrak kegelapan.
“Nenek
muka setan! Kepercayaanmu hanya satu kesia-siaan! Pemuda itu tidak mampu
menolongmu! Karena Kerajaan telah memutuskan untuk memancung kepalanya di
tempat!” Pendekar 212 dan Gondoruwo Patah Hati samasama terkejut dan palingkan
kepala. Mereka baru menyadari kalau tempat itu telah dikurung oleh banyak
orang!
**********************
3
PENDEKAR
212 tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya sementara Gondoruwo Patah Hati
tetap tenang-tenang saja. Yang mengurung tempat itu ternyata adalah orangorang
Kerajaan dan para tokoh silat Istana. Tetapi anehnya dalam rombongan tersebut
bergabung pula beberapa tokoh yang tidak dikenal atau belum pernah dilihat oleh
Wiro. Di bawah bayang-bayang gelap pohon besar berdiri Selo Kaliangan, Patih
Kerajaan yang kudanya dilarikan Wiro. Di sebelah kirinya kelihatan si jubah
kelabu berenda kuning Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Dia memandang pada Wiro
seperti mau menerkam dan mengunyah murid Sinto Gendeng. Dendam kesumatnya
terhadap Pendekar 212 memang tidak terkirakan.
Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya (Gondoruwo Patah Hati) ketika terjadi
perkelahian antara Wiro dengan Hantu Muka Licin, untuk menyelamatkan diri dari
serangan Wiro, Hantu Muka Licin terpaksa melompat dan bergelantungan di cabang
sebuah pohon. Saat itulah sebuah benda kecil melesat, menyambar putus celana
hitam yang dikenakan Hantu Muka Licin. Begitu tali celana putus dan celana itu
merosot jatuh ke tanah, Tak ampun lagi Hantu Muka Licin tersingkap bugil
tubuhnya sebatas pinggang ke bawah! Walau bukan Wiro yang berlaku jahil memutus
tali celana Hantu Muka Licin, tapi Hantu Muka Licin menganggap Wirolah yang
jadi biang kerok membuatnya malu besar begitu rupa. Di samping kanan Patih
Kerajaan berdiri tokoh silat istana bernama Jalak Kumboro berjuluk Pendekar
Keris Kembar.
Tokoh
silat Istana berikutnya adalah si muka merah dikenal dengan julukan Sanca Merah
Bengawan Solo. Lalu di situ tampak pula Tumenggung Cokro Pambudi. Wiro memandang
ke belakang. Di sana berdiri tokoh silat Istana Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa
Suara. Manusia satu ini berdiri sambil senyumsenyum memandang pada Wiro. Dia
tersenyum mungkin masih ingat kejadian bagaimana Hantu Muka Licin berbugil ria
menggelantung di atas cabang pohon. Di kiri kanan tokoh bisu ini ada beberapa
tokoh silat yang belum pernah dilihat Wiro sebelumnya. Salah satu diantaranya
adalah seorang kakek berpakaian serba hitam, berpipi sangat cekung. Bibirnya
tak bisa dirapatkan karena giginya tonggos menjorok keluar. Di tangan kanan
kakek ini memegang sebilah tombak yang ujungnya digelantungi dua ekor ular
hitam bertotol kuning! Jelas dua ekor binatang itu sangat berbisa.
Di
kalangan para tokoh silat Istana kakek ini dikenal dengan julukan Setan Bertongkat
Ular. Sebenarnya dia sendiri bukan tokoh silat Istana. Kalau dia muncul disitu
berarti ada yang mengundang atau meminta bantuannya. Di belakang para tokoh
silat Istana itu, mengurung dalam bentuk lingkaran puluhan perajurit.
“Hebat,
mereka berhasil mengejar dan memergoki diriku dalam waktu sangat cepat…” kata
Wiro dalam hati. Di jurusan lain tegak satu sosok tinggi besar berjubah putih
menjeia tanah. Di atas kepalanya ada sebuah tudung tinggi berlapis kain hitam
hingga kepala dan sebagian wajahnya tertutup tidak terlihat, tidak bisa
dikenali. Sambil mendugaduga siapa adanya orang ini Wiro melirik ke samping
kiri. Darahnya tersirap. Yang tegak disitu ternyata adalah Luhjahilio, tokoh
jahat Negeri Latanahsilam. Rambutnya yang hitam riap-riapan menutupi sebagian
wajahnya yang hancur menyeramkan. Potongan tangan kanannya masih menempel di
atas keningnya.
“Jahanam
satu ini ternyata ikut terpesat ke Tanah Jawa. Dia muncul sendirian, dimana
gendaknya bernama Lajahilio.” Wiro sempatsempatnya berkata dalam hati. Wiro
melirik kembali pada si tinggi besar bertudung tinggi dengan lapisan kain
hitam.
“Aku
rasa-rasa bisa menerka bangsat satu ini. Jangan-jangan….” Masih ada satu orang
lagi yang tidak dikenal Wiro. Orang ini berdiri di sisi kanan Luhjahilio. Dia
adalah seorang kakek berwajah bersih, mengenakan pakaian ringkas serba biru.
Wiro tidak mengenal orang ini. Dia menganggap kakek berpakaian serba biru ini
adalah salah satu tokoh silat kaki tangan Istana. Sebaliknya dengan si nenek
muka setan Gondoruwo Patah Hati. Kalau sebelumnya dia tenang-tenang saja tapi
darahnya jadi tersirap ketika melihat kakek berpakaian biru itu. Orang ini
bukan lain adalah Rana Suwarte, lelaki yang dimasa mudanya menyukai dirinya.
Bahkan belum lama ini muncul bersama ayah angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Sang Kiai meminta agar si nenek mau menikah dengan kakek bernama Rana Suwarte
itu,
“Heran,
mengapa dia bisa muncul bersamasama orang Kerajaan?” pikir Gondoruwo Patah
Hati. Si nenek tidak mengetahui, sejak niat baiknya ditolak, Rana Suwarte telah
menanam kebencian teramat besar terhadap Gondoruwo Patah Hati. Dia sudah punya
niat jahat. Kalau dia tidak bisa mendapatkan Ning Intan Lestari alias Gondoruwo
Patah Hati, maka orang lain yang dicintai Ning Intan Lestari akan dicelakainya hingga
tidak dapat pula memiliki si nenek. (Baca Episode sebelumnya berjudul
“Gondoruwo Patah Hati“) Seperti diketahui, orang yang diincar dan hendak
dicelakai Rana Suwarte adalah Naga Kuning. Ketika dia mendengar kabar pasukan
Kerajaan hendak menangkap Pendekar 212 yang diketahuinya adalah sahabat dekat
Naga Kuning, maka untuk menyirap kabar dimana beradanya Naga Kuning dia
bergabung dengan pasukan Kerajaan. Bagaimanapun si nenek terkejut melihat
munculnya Rana Suwarte di tempat itu namun dia segera dapat menguasai diri.
Berdiri saling memunggung dengan Pendekar 212 si nenek berbisik.
“Aku
tidak ada permusuhan dengan orang-orang ini. Lebih baik aku angkat kaki dari
sini. Apakah kau sanggup menghadapi mereka seorang diri?”
“Nek, aku
tak mau melibatkan dirimu dalam urusanku. Orang-orang Kerajaan ini rupanya
keras kepala. Mereka pasti datang dengan segudang fitnah tuduhan. Apalagi
sebeiumnya aku telah membunuh dua orang pentolan mereka. Momok Dempet Tunggul
Gono dan Iblis Batu Hitam. Kalau kau mau pergi cepatlah berlalu. Aku ucapkan
selamat jalan padamu. Jika umurku panjang aku akan mencarimu untuk mendengar
kelanjutan kisahmu yang tadi terputus. Kalau umurku pendek, harap kau mau
menunggu diriku di emperan neraka. Terus terang aku belum tentu bakalan masuk
sorga! Ha… ha… ha!” Si nenek Gondoruwo Patah Hati ikut tertawa mengekeh
mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Lalu dia berkata.
“Wiro,
tadi aku hanya bergurau. Kau jangan khawatir. Waiau kita baru saja bertemu tapi
kita telah menjalin persahabatan. Ketika seorang sahabat dalam kesulitan dan
bahaya besar, masakan aku tidak tahu diri meninggalkanmu begitu saja. Aku akan
tetap bersamamu di sini.”
“Terima
kasih Nek. Wajahmu memang seperti setan. Tapi seperti yang aku bilang hatimu
putih bersih, tu!us dan lebih baik dari seorang bidadari! Walau cuma bidadari
kesasar!”
“Sialan
kau!” Si nenek memaki tapi dia keluarkan suara tawa panjang mengikik.
“Anak
sableng, kau dengar baik-baik. Dalam menghadap orang-orang ini, kalau mau
sama-sama selamat kau harus ikuti apa yang aku bilang.”
“Cepat
bilang Nek. Patih Kerajaan kulihat sudah memberi isyarat pada beberapa tokoh
silat di dekatnya. Agaknya mereka segera akan bergerak,” kata Wiro pula.
“Keluarkan
kapak dan batu saktimu! Begitu mereka menggebrak hantam dua kali dengan lidah
api. Arahkan serangan pertama pada kakek yang memegang tombak ular. Saat ini
dia yang paling berbahaya. Serangan kedua terserah kau mau melabrak siapa saja
tapi usahakan lidah apimu melewati atas bahu kananku!”
“Aku akan
lakukan Nek,” kata Wiro walau dalam hati dia bertanya mengapa si nenek meminta
dia melakukan hal yang terakhir diucapkannya. Dengan cepat Wiro mengeluarkan
Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam.
“Satu
lagi, dengar apa yang aku bilang. Kita tidak perlu berlaku bodoh menghadapi
orang-orang gila ini sampai hidup mati di tempat ini. Kita yang hidup, mereka
yang mati! Begitu aku melihat kesempatan aku akan membawamu keluar dari tempat
celaka ini. Tapi kau harus memberi pelajaran pada salah satu dari mereka. Siapa
yang akan kau pilih?”
“Patih
Kerajaan. Selo Kaliangan!” jawab Wiro.
“Tepat!”
kata si nenek.
“Apa yang
hendak kau lakukan terhadapnya?”
“Akan
kubuat dia malu seperti kejadian dengan Hantu Muka Licin. Akan kutanggalkan
celananya!” jawab Wiro. Si nenek tersenyum.
“Boleh
juga! Tapi pekerjaan itu biar aku yang melakukan. Kau lihat saja apa yang akan
aku perbuat. Hik… hik.. hik!” Si nenek tertawa cekikikan seolah ada yang sangat
lucu bakal terjadi. Sebenarnya sejak tadi Patih Selo Kaliangan dan para tokoh
silat Istana merasa sangat jengkel, merasa dianggap remeh. Wiro dan si nenek
mereka lihat saling bisik lalu tertawa-tawa. Seolah-olah keduanya tidak
takutkan bahaya dan menganggap mereka tidak ada di tempat itu. Patih Selo
Kaliangan mengangkat tangan kanan. Para tokoh silat di kedua sisinya segera
bersibak, memberi jalan sambil sekaligus memperciut lingkar kurungan.
“Pendekar
212!” Sang Patih berseru dengan suara besar parau membahana.
“Sekali
ini kami tidak akan memintamu menyerahkan diri hiduphidup. Kerajaan telah
memutuskan untuk menghabisimu dimana saja kami menemuimu! Namun sebelum
riwayatmu kami tamatkan, kami melihat ada seorang tokoh bersamamu. Kalau aku
tidak salah menduga, orang disampingmu adalah nenek berjuluk Gondoruwo Patah
Hati. Benar?!”
“Tanya
saja sendiri langsung pada orangnya! Mengapa malu-malu kucing. Dia kan bukan
seorang gadis cantik! Mengapa bertanya padaku?!” Wiro menyahuti setengah
mengejek.
“Hik…
hik… hik!” Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro
barusan. Merah padam muka Patih Kerajaan.
“Gondoruwo
Patah Hati, kami masih mau menghormati dirimu. Harap kau segera tinggalkan
tempat ini!”
“Aku
memilih tetap berada di tempat ini. Agaknya di sini akan banjir darah. Ini
memang yang aku tunggu. Gondoruwo sudah lama tidak minum darah segar! Hik… hik…
hik!”
“Kau rupanya
sengaja memilih mati! Jangan menyesal kalau nasibmu lebih buruk dari pemuda
itu!” kata Patih Kerajaan.
“Intan!”
tiba-tiba Rana Suwarte berseru.
“Jangan
jadi orang toloi! Lekas tinggalkan tempat ini!” Si nenek menyeringai, memandang
pada kakek bermuka jernih itu lalu menjawab.
“Rana
Suwarte!” si nenek berucap. Wiro kaget. Tidak mengira kalau kakek yang ditegur
itu adalah Rana Suwarte yang sebelumnya ditanyakan si nenek. Dalam hati Wiro
menduga, bukan mustahil memang kakek satu ini adalah kekasih di masa muda
Gondoruwo Patah Hati. Sementara itu dengan tenang si nenek lanjutkan ucapannya.
“Aku
tidak tahu sejak kapan kau jadi kaki tangan Kerajaan. Kau akan lihat! Siapa
yang toloi antara kami berdua dengan kalian semua!” Habis berkata begitu si
nenek tusukkan sikut kanannya ke punggung Wiro. Inilah tanda yang ditunggu
murid Sinto Gendeng. Pendekar 212 serta merta berbalik. Dua tangan yang
memegang batu dan kapak bergerak cepat. Begitu dua benda sakti itu beradu
keras, lidah api menyembur dahsyat, berkiblat ke arah Setan Bertongkat Ular.
Tidak mengira akan dijadikan korban serangan mendadak begitu rupa kejut kakek
berpipi cekung ini bukan alang kepalang. Tapi sebagai seorang tokoh silat luas
pengalaman dia cepat menguasai diri.
“Wusss!”
Lidah api
menyambar di bawah kakinya, nyaris menghanguskan ujung kaki celananya. Sambil
melompat ke udara si kakek bergigi tonggos ini berteriak marah. Dia tusukkan
tongkatnya ke arah Wiro. Dua ekor ular hitam bertotol kuning yang sejak tadi
meiingkar di ujung tombak keluarkan suara mendesis lalu laksana anak panah
melesat ke arah Pendekar 212. Pada saat itu pula dibawah pimpinan Patih Selo
Kaliangan, para tokoh silat Istana segera menggebrak menyerbu ke arah dua orang
musuh di tengah kalangan pertempuran. Kebanyakan dari mereka mengandalkan
tangan kosong. Hanya Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro yang menghunus dua
bilah kerisnya. Sepasang senjata ini memancarkan sinar hitam angker pertanda
mengandung kekuatan hebat serta racun jahat.
“Serangan
kedua!” Gondoruwo Patah Hati berteriak.
Wiro tahu
apa yang harus dilakukannya. Untuk ke dua kali batu hitam dipukulkan ke mata
kapak sakti. Seperti yang diminta si nenek, Wiro sengaja mengarahkan demikian
rupa hingga lidah api menyambar dua jengkal di atas bahu Gondoruwo Patah Hati. Wiro
yang tidak tahu apa maksud si nenek meminta dia berbuat begitu jadi melengak
besar ketika melihat apa yang kemudian terjadi.
Pada saat
lidah api tepat di atas bahunya, tanpa menoleh Gondoruwo Patah Hati angkat
tangan kanannya. Saat itulah Wiro melihat bagaimana lima jari tangan kanan si
nenek sampai ke kuku berubah menjadi sangat merah seperti bara api. Seolah
menyambut sebuah bola yang dilemparkan Gondoruwo Patah Hati menyambar ujung
lidah api. Dia kini seolah memegang pangkal sebuah cemeti. Didahului pekikan
keras si nenek memutar tangannya. Lidah api yang keluar dari gesekan batu dan
kapak, melesat ke udara, mengeluarkan ledakan-ledakan dahsyat, berputar ganas
dalam bentuk lingkaran lalu menyambar ke arah orangorang yang datang menyerang.
Para
penyerang mengeluarkan seruan kaget tertahan. Pendekar Keris Kembar terpaksa
lepaskan salah satu kerisnya yang dihantam api dan berubah menjadi besi bangkok
mengepuikan asap. Ketika diperhatikan tangannya ternyata merah melepuh. Patih
Kerajaan melompat mundur selamatkan diri. Setan Bertongkat Ular yang paling
kaget dan kecut diantara semua penyerang. Ketika dua ekor ularnya melesat ke
arah Wiro, ular pertama terpental dihantam lidah api yang datang berputar. Si
kakek bermulut tonggos menggerung ketika melihat bagaimana ularnya itu kemudian
jatuh menggeletak di tanah, berubah menjadi daging dan tulang kering hangus!
Belum
habis kejut amarahnya, di atas sana si nenek melayang menyambar ular kedua
dengan tangan kiri. Lalu dengan tiga kali berjungkir balik di udara, ketika
sampai di tanah tahu-tahu dia sudah berada di depan sosok Patih Selo Kaiiangan.
Dengan tangan kanannya si nenek menarik pinggang celana merah sang putih
sementara tangan kirinya kemudian memasukkan ular hitam ke dalam celana. Karuan
saja Patih Selo Kaiiangan menjeritjerit dan lari menghambur pontang panting
tidak karuan. Carut marut ikut berhamburan dalam jeritannya.
“Celaka!”
ujar Setan Bertongkat Ular.
Melihat
apa yang terjadi dengan Patih Kerajaan kakek tonggos ini segera berteriak.
“Selamatkan
Patih! Ular itu berbisa mematikan! Selamatkan Patih!” Para tokoh silat Istana
yang masih belum hilang kaget masing-masing kini jadi tersentak kaget mendengar
teriakan Setan Bertongkat Ular dan menyaksikan apa yang terjadi dengan Patih
Kerajaan.
Saat itu
mereka melihat, dalam takutnya Patih Kerajaan tidak sadar lagi apa yang
dilakukannya. Sang patih membuka celananya. Lalu dalam keadaan telanjang di
sebelah bawah dia lari melompat-Iompat tak perduli lagi arah yang dituju
sementara ular hitam bertotol kuning ternyata masih melingkar di pinggangnya.
Ini yang membuat sang patih terus lari sambil berteriakteriak. Di sebelah
belakang para tokoh silat mengejar, berusaha menolong. Setan Bertongkat Ular
paling depan. Dia sangat khawatir. Kalau sampai Patih Kerajaan mati dipatuk
ular berbisa itu, sedikit banyak dia akan dimintakan pertanggungan jawab!
Para
tokoh silat itu tidak lagi memperdulikan Wiro dan si nenek muka setan saking
takutnya akan malapelaka besar mengancam sang Patih Kerajaan, Gondoruwo Patah
Hati tertawa cekikikan. Hatinya puas menyaksikan semua itu. Dia memandang pada
Wiro.
“Anak
muda malam ini aku gembira sekali, Cuma sayang waktunya singkat. Lain hari aku
akan mencarimu lagi untuk meneruskan berbincang-bincang!”
“Nek, kau
mau kemana! Tunggu dulu!” Wiro memanggil. Si nenek sudah berbalik, berkelebat
ke kanan. Saat itu juga delapan orang prajurit segera menghadang.
“Kalian
mencari mati!” teriak Gondoruwo Patah Hati. Tangan dan kakinya bergerak.
Delapan prajurit terpekik, mental dan berkaparan di tanah. Wiro masih berusaha
mengejar. Tapi si nenek sudah lenyap ditelan kegelapan. Wiro menggaruk kepala.
“Dari
pada urusan jadi panjang lebih baik aku juga minggat saja dari sini!” Lalu
murid Sinto Gendeng berkelebat pula meninggalkan tempat itu. Di satu tempat dia
hentikan larinya, tertegun sejenak sambil usapusap dagunya. Wiro ingat sesuatu
dan bicara sendiri dalam hati.
“Ketika
nenek itu berbalik hendak berkelebat pergi, jubahnya sebelah bawah tersingkap
sedikit. Aku sempat memperhatikan. Sepasang betis itu. Bagus dan putih. Nenek
seperti dia mana mungkin punya betis seperti itu. Ah….” Wiro garuk-garuk
kepala.
“Dia
menanyakan Naga Kuning. Apa hubungan si muka setan ini dengan bocah konyol
sialan itu?” Beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa Patih Kerajaan berada
dalam keadaan sakit keras. Kalaupun dia bisa disembuhkan maka dia akan cacat
seumur hidup. Cacatnya ini ialah berupa derita lemah syahwat seumur hidup
akibat patukan ular berbisa yang bersarang sejengkal di bawah pusarnya. Setan
Bertongkat Ular yang memiliki ular lenyap entah kemana. Sementara Pendekar 212
Wiro Sableng dan Gondoruwo Patah Hati menjadi orang buronan yang dicari sampai
ke pelosok Kerajaan, ditangkap hidup atau mati!
**********************
4
GEROBAK
yang ditarik dua ekor kuda besar tidak bisa bergerak cepat di jalan berbatubatu
dan banyak lobangnya itu. Empat orang gadis jelita berada di atas gerobak. Yang
bertindak sebagai sais adalah dara berpakaian ringkas biru berbunga-bunga
kuning. Rambutnya yang panjang hitam berkibar-kibar ditiup angin. Tanpa
dandanan pipi dan bibirnya kelihatan merah segar. Walau letih, senyum simpul
selalu menyeruak di wajahnya. Gadis ini adalah Puti Andini, pemegang sebilah
pedang sakti keramat bernama Pedang Naga Suci 212, merupakan cucu Tua Gila,
puteri dari Andam Suri, salah seorang tokoh silat Pulau Andalas yang pernah
membuat heboh rimba persilatan tanah Jawa beberapa waktu lalu. (Baca rangkaian
kisah “Tua Gila Dari Andalas” terdiri dari 11 Episode)
Selain
pedang sakti, Puti Andini juga memiliki senjata lain yang aneh, yakni tujuh
buah payung. Tujuh payung itu berada dalam satu keranjang besar dan saat itu
diletakkan di bagian belakang gerobak. Di sebelah Puti Andini, agak
terkantuk-kantuk duduk si jelita berkulit putih berlesung pipit Anggini. Di
lehernya melingkar sehelai selendang ungu. Pada salah satu ujung selendang
terdapat guratan angka 212 yang pernah dibuat Wiro sebagai kenangkenangan dan
satu pertanda bahwa diantara mereka terdapat jalinan hubungan yang lebih erat
dari hanya persahabatan biasa.
Seperti
diketahui Dewa Tuak, guru Anggini begitu ingin muridnya itu berjodoh dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Tetapi sampai sebegitu jauh niat baiknya itu tidak
kesampaian karena kalau sudah sampai kepada hal yang satu itu, Wiro berusaha
menjauh menjaga jarak. Anggini sendiri yang tadinya begitu mengasihi Wiro,
lamalama menyadari dan pasrah bahwa dia ataupun gurunya tidak bisa memaksa Wiro
untuk memenuhi keinginan itu. Sedang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro
selalu ayem-ayem saja mengenai perjodohan muridnya dengan murid Tua Gila.
Di bagian
belakang kereta, dua orang gadis cantik lainnya berbaring di atas tumpukan
jerami kering. Yang satu adalah Ratu Duyung dan satunya lagi bukan lain
Bidadari Angin Timur. Kalau Bidadari Angin Timur saat itu bisa tertidur pulas,
sebaliknya Ratu Duyung tidur-tidur ayam. Mata memang terpejam tapi pikiran
kemana-mana. Empat gadis cantik itu tengah dalam perjalanan menuju Gunung Gede.
Perjalanan jauh itu didorong oleh apa yang telah mereka alami sebelumnya yang
membuat mereka menjadi penasaran besar. Selain itu keempatnya yang sama-sama
mengasihi Pendekar 212 Wiro Sableng ingin mengetahui, ingin mengungkap rahasia
apa sebenarnya yang telah terjadi dengan sang pendekar.
Apa benar
Wiro telah menemui ajal? Seperti diceritakan sebelumnya (Baca “Tiga Makam
Setan.”) di makam pertama yang terletak di pekuburan dekat Candi Kopeng, ketika
makam dibongkar, mereka menemukan sepucuk surat aneh. Dalam surat itu tertera
tulisan berbunyi:
“Selamat
Datang Di Makam Setan Pertama. Kalian Ditunggu Di Makam Setan Kedua.”
Jengkel
dan marah serta penasaran besar, keempat gadis kemudian pergi menyelidik makam
ke dua yang terletak di pekuburan Banyubiru, tak jauh dari telaga Rawapening.
Di pekuburan ini mereka memang menemukan satu makam dengan papan nisan
bertuliskan.
“Disini
Dimakamkan Wiro Sableng – Pendekar 212.”
Tetapi
ketika rnakam itu dibongkar mereka hanya menemukan sebuah peti besi karatan.
Begitu peti dibuka di dalamnya terdapat selembar kertas yang ada tulisan
berbunyi:
“Selamat
Datang Di Makam Setan Kedua. Kalian Memang Hebat. Kalian Ditunggu Di Makam
Setan Ketiga. Di Puncak Gunung Gede.”
(Baca
Episode sebelumnya, berjudul “Roh Dalam Keraton“) Semakin besar amarah,
kejengkelan dan rasa penasaran empat gadis itu, semakin kuat pula dorongan
dalam diri mereka untuk menyelidik tuntas makam ke tiga. Walau Gunung Gede
sangat jauh, namun empat gadis cantik memutuskan untuk berangkat ke sana.
“Bagaimana
kalau sampai di puncak Gunung Gede kita menemukan Makam Ke Tiga tapi lagi-lagi
isinya hanya surat sialan seperti dalam dua makam sebelumnya?” Ratu Duyung
memecahkan kesunyian dalam perjalanan.
“Berarti
sia-sia belaka perjalanan kita sejauh ini.”
“Terus
terang,” Anggini menyahuti ucapan Ratu Duyung.
“Dalam
hatiku juga ada perasaan seperti yang barusan kau ucapkan. Namun jika kita
tidak menyelidik, kita tidak tahu apa arti semua kejadian ini. Kita tidak dapat
memastikan apakah Wiro benarbenar sudah mati atau masih hidup. Kalau mati
dimana kuburnya, kalau masih hidup dimana beradanya. Lalu aku berpikir, Gunung
Gede adalah tempat kediamannya Sinto Gendeng, guru Pendekar 212. Siapa berarti
mati berbuat kurang ajar di tempat itu?” Tak ada yang bicara. Setelah lama
saling berdiam diri akhirnya Puti Andini membuka mulut.
“Anggini,
jalan ini seperti tidak ada ujungnya. Menurutmu berapa lama lagi kita akan
sampai ke Gunung Gede?” Anggini memandang ke arah barat, memperhatikan kawasan
di sebelah timur baru menjawab.
“Masih
cukup jauh. Paling cepat dua hari lagi baru kita sampai di tujuan. Itupun kalau
kita bisa mengganti dua ekor kuda penarik gerobak dengan kuda-kuda baru yang
masih segar.”
“Menurutmu
apakah Sinto Gendeng ada di tempat kediamannya saat ini?” bertanya lagi Puti
Andini.
“Nenek
satu itu sulit dipastikan dimana beradanya. Kalaupun dia berada di Gunung Gede,
pertemuan dengan dirinya kurasa bukan satu hal menyenangkan. Bicaranya tak
karuan, terkadang kasar. Ketawa cekikikan tak ada ujung pangkalnya. Dan bau
pesing tubuhnya itu. Hemm…. Asal tahan saja….”
“Jangan
kau berucap begitu. Siapa ta iu kelak dia bakal menjadi mertuamu!” kata Puti
Andini pula. Sesaat wajah Anggini jadi kemerah-merahan lalu gadis ini tertawa
lepas sekedar untuk menenangkan debaran dadanya. Di sebelah belakang Bidadari
Angin Timur yang rupanya sudah terbangun dan sempat mendengar ucapan Puti
Andini itu berpura batuk-batuk sementara Ratu Duyung cuma senyumsenyum.
“Aku
masih merasa kalau perjalanan kita ini sejak siang tadi ada yang mengikuti,”
Anggini mengalihkan pembicaraan.
“Kalau sampai
sore memasuki malam kita masih diikuti, kita harus melakukan sesuatu. Mungkin
sekali si penguntit punya maksud tidak baik dan baru akan dilaksanakan pada
malam hari.”
“Setiap
orang yang mengikuti orang lain secara sembunyi-sembunyi biasanya memang punya
niat buruk,” kata Bidadari Angin Timur. Dia berpaling pada Ratu Duyung.
“Sahabatku
Ratu Duyung, kurasa sudah saatnya kau mempergunakan ilmu kesaktianmu, melihat
dari kejauhan.” Ratu Duyung yang tengah enak-enakan berbaring di atas tumpukan
jerami kering menggeliat, lalu mengambil sikap duduk.
Dia mulai
mengerahkan ilmu kesaktian yang bernama Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia
bisa melihat sesuatu benda di kejauhan, sekalipun benda itu terhalang oleh
benda lain. Dalam keadaan duduk, Ratu Duyung pasang telinganya untuk mendengar
dan menentukan dimana beradanya orang yang mengikuti. Setelah dia dapat
memperkirakan arah sasaran, sang Ratu arahkan kepalanya ke tempat itu. Darah
dan hawa sakti dialirkan ke bagian mata, lalu mata dikedipkan dua kali berturut-turut.
Anggini, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini memperhatikan, menunggu apa yang
bakal dikatakan Ratu Duyung. Beberapa saat kemudian Ratu Duyung mulai membuka
mulut, memberitahu pada tiga gadis lainnya.
“Yang
mengikuti kita seorang penunggang kuda. Warna kudanya kurang kentara, tapi
mungkin sekali coklat. Orangnya masih muda, raut wajahnya….” Ratu Duyung
terdiam. Tiga gadis menunggu. Puti Andini tidak sabaran.
“Raut
wajahnya bagaimana?” Gadis ini bertanya. Bidadari Angin Timur memperhatikan
mimik wajah sang Ratu. Dalam hati dia membatin.
“Ada
sesuatu yang tidak mau dikatakannya. Sengaja disembunyikan.”
“Raut
wajahnya tidak begitu jelas. Orang ini mengenakan baju kuning, bercelana hitam.
Dia berada kira-kira dua puluh tombak di balik pepohonan sebelah kiri kita.
Mengikuti perjalanan kita sejajar tapi agak sedikit ke belakang.”
“Kita
harus memancingnya keluar,” kata Bidadari Angin Timur pula.
“Aku mau
lihat tampang manusia itu! Yang lebih penting mengetahui apa maksudnya
mengikuti kita. Kita semua harus waspada bersiapsiap. Segala sesuatu tidak
terduga bisa saja terjadi.”
“Bagaimana
kita akan memancing orang itu?” tanya Anggini. Bidadari Angin Timur memandang
ke jalan di depannya sambil mulutnya berucap.
“Anggini,
mulailah berteriak memakiku! Aku akan balas memaki! Puti Andini dan Ratu Duyung
berada di pihakku, ikut memaki Anggini. Di pengkoian jalan sana Puti Andini
hentikan gerobak. Kita turun berlompatan. Pura-pura berkelahi. Kita bertiga
purapura kalah dan bergelatakan pingsan di jalanan. Aku rasa setelah itu si
penguntit pasti akan keluar unjukkan diri.”
“Usulmu
boleh juga,” kata Puti Andini lalu dia memberi isyarat pada Anggini.
Murid
Dewa Tuak ini mulai beraksi. Dia berdiri di atas gerobak. Menunjuk ke arah
Bidadari Angin Timur dan mulai berteriak memaki-maki tak karuan. Di bagian
belakang gerobak Bidadari Angin Timur kelihatan meradang, bangkit berdiri,
bertolak pinggang lalu balas memaki. Di sebelahnya Ratu Duyung ikut berteriak
sambil acung-acungkan tangan ke arah Anggini. Di kelokan jalan Puti Andini
hentikan gerobak lalu ikut pula memaki Anggini. Seperti yang direncanakan ke
empat orang itu kemudian melompat dari atas gerobak. Lalu terjadilah
perkelahian seru tiga lawan satu.
Anggini
bergerak cepat, tubuhnya berkelebat kian kemari. Terdengar suara bak-buk
bak-buk. Lima jurus kemudian Bidadari Angin Timur keluarkan pekik keras lalu
roboh terguling di tanah. Menyusul Puti Andini, terjengkang di tanah. Setelah
itu Ratu Duyung yang seo!ah-olah kena hantaman tendangan kaki kanan Anggini,
menjerit terguling-guling di tanah lalu terkapar tak berkutik lagi. Anggini
tegak berkacak pinggang. Wajahnya tampak bengis memandangi ke tiga orang gadis
yang bertebaran di tengah jalan itu. Matanya melirik ke kanan, ke arah deretan
pohon-pohon di pinggir jalan. Bidadari Angin Timur buka pula matanya sedikit,
mengintai ke arah yang sama.
“Celaka!
Orang itu tidak muncul! Jangan-jangan dia tahu kalau mau dipancing! Apa yang
hams aku lakukan?” Hendak bertanya pada Bidadari Angin Timur tentu saja tidak
mungkin. Anggini memutar otaknya. Tiba-tiba dia jatuhkan diri di tanah,
memeriksa satu persatu tiga gadis yang bergeletakan. Setiap dia habis memeriksa
Anggini berteriak keras.
“Sahabat-sahabatku!
Aku tidak bermaksud membunuh kalian semua! Aku tidak bermaksud menurunkan
tangan jahat! Aku tak sadar tadi telah mengeluarkan pukulan dan tendangan
beracun! Aku berdosa besar! Tuhan ampuni aku!” Anggini lalu tekap wajahnya,
keluarkan ratap tangis memilukan tapi sambil memasang telinga dan melirik lewat
selasela jari tangan.
Kali ini
pancingan berhasil. Dari balik deretan pohon-pohon di kanan jalan muncul kepala
seekor kuda coklat dengan warna putih di bagian hidungnya. Tapi kuda itu sama
sekali tidak ada penunggangnya! Anggini kerenyitkan kening. Alisnya yang hitam
lengkung mencuat ke atas.
“Ada kuda
tak ada orangnya. Jangan-jangan Ratu Duyung salah melihat. Atau orang yang
hendak dipancing sudah mengetahui….” Selagi Anggini membatin seperti itu
tiba-tiba di belakangnya ada suara orang berucap.
“Tendangan
beracun! Sungguh luar biasa! Baru hari ini aku menyaksikan! Tiga gadis cantik
menjadi korban. Sungguh disayangkan.” Kaget Anggini bukan kepalang. Bagaimana
mungkin dia tidak mampu mendengar atau mengetahui kalau ada orang mendatanginya
dari belakang.
“Ilmu
kepandaianku yang sudah tidak berguna atau ilmu orang yang jauh lebih tinggi!”
pikir sang dara lalu dia cepat menoleh.
Kejut si
gadis mendadak sontak berobah menjadi ketercengangan bercampur kagum. Di
hadapan Anggini berdiri seorang pemuda berpakaian kuning celana hitam. Warna
pakaian ini sesuai dengan yang dilihat Ratu Duyung lewat ilmu “Menembus
Pandang” dan diceritakan pada kawankawannya. Pemuda ini bertubuh tinggi tegap.
Ketika memandang wajahnya, inilah yang membuat Anggini menjadi kagum. Ternyata
pemuda ini berparas cakap. Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini
yang sejak tadi berpura-pura menggeletak mati, diam-diam membuka mata
masing-masing.
Seperti
Anggini, tiga gadis cantik ini sama-sama terkesima melihat kegagahan dan
ketampanan si pemuda serta potongan tubuhnya yang tinggi tegap. Anggini dan
tiga temannya sama sekati tidak menduga kalau orang yang selama ini mengikuti
mereka ternyata adalah seorang pemuda begitu gagah. Bidadari Angin Timur kini
mengerti mengapa sewaktu mengerahkan ilmu “Menembus Pandang” Ratu Duyung tidak
berterus terang mengatakan raut wajah orang yang mengikuti rombongan para gadis
cantik itu. Pertanda sang Ratu yang melihat pertama kali dan pertama kali pula
terguncang hatinya. Melihat wajah setampan itu mustahil pemuda seperti ini
punya niat jahat terhadap mereka. Rasa marah yang sebelumnya ada dalam diri
empat gadis itu menjadi sirna. Rasanya tidak ada guna mereka meneruskan
berpura-pura. Bidadari Angin Timur bergerak bangkit. Ratu Duyung melompat. Puti
Andini berguling lalu meloncat tegak. Anggini berdiri tertegun. Pemuda
berpakaian kuning terkejut. Matanya membesar memandangi ke empat gadis itu.
“Tidak
kusangka,” katanya.
“Jadi
kalian memperdayaiku! Aneh! Mengapa?” Puti Andini maju selangkah.
“Tadinya
kami mengira kau mengikuti kami secara diam-diam dengan maksud jahat….”
“Hemmm….
Itu tadinya, sekarang bagaimana? Apakah kalian semua jadi berubah pikiran?”
tanya si pemuda sambil senyum gagah tersimpul di bibirnya. Empat gadis terdiam.
Si pemuda tertawa lebar.
“Sebenarnya
aku memang mengikuti perjalanan kalian sejak tengah hari tadi….”
“Kalau
begitu…” ujar Bidadari Angin Timur.
“Tapi aku
tidak membekal niat jahat. Malah berjaga-jaga sepanjang jalan. Jika saatnya
sudah tiba aku akan muncul, menemui kalian untuk memberitahu agar
berhati-hati.”
“Memberitahu
agar berhati-hati? Memangnya ada apa?” tanya Puti Andini.
“Ada
serombongan penjahat menguntit kalian berempat. Mereka adalah sempalan rampok
hutan Roban yang malang melintang mulai dari perbatasan sampai ke pendalaman
sini. Saat ini mereka masih mengikuti kalian. Sebentar lagi mereka pasti akan
muncul….”
“Cuma
perampok siapa takut!” kata Bidadari Angin Timur.
“Aku
memang melihat….” si pemuda tampan berkata.
“Melihat
apa?” bertanya Ratu Duyung.
“Dibalik
kecantikan kalian, pasti tersembunyi satu kekuatan hebat, kesaktian tinggi. Aku
mengagumi keberanian kalian. Hanya saja jika kalian meneruskan perjalanan
berlakulah hati-hati. Rombongan perampok itu jumlahnya cukup banyak. Mereka
kejam-kejam dan…. Tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Aku tidak akan mengganggu
kalian lebih lama. Sebenarnya tujuanku adalah ke selatan….” Pemuda gagah itu
memutar tubuh, segera hendak melangkah ke arah kuda coklat.
“Tunggu!”
Puti Andini berseru.
“Kau
belum menerangkan siapa dirimu. Siapa namamu.” Si pemuda tersenyum.
“Apakah
perlu aku menerangkan diri dan namaku?”
“Tentu
saja perlu. Karena bukan mustahil kau tahu-tahu malah pimpinan perampok yang
kau katakan itu.” Yang berkata adalah Bidadari Angin Timur. Kembali si pemuda
tersenyum. Namun sepasang matanya menatap tajam ke arah Bidadari Angin Timur.
Gadis berambut pirang dengan panjang sepinggang ini balas memotong namun
kemudian alihkan pandangannya ke jurusan lain seolah tidak kuasa hatinya
bertahan memandang terus.
“Di
tempat sunyi dan terpencil seperti ini, sudah pada tempatnya kalian curiga pada
siapa saja. Aku senang karena kalian ternyata bukan saja menunjukkan sikap
berhati-hati, tetapi juga cerdik,” si pemuda memuji sambil layangkan senyum
lalu meneruskan.
“Namaku
Damar Wulung. Aku berasal dari timur. Aku dalam perjalanan menuju pantai
selatan. Di satu tempat aku memergoki serombongan perampok. Rupanya salah
seorang mata-mata mereka telah melihat rombongan kalian. Mata-mata ini
memberitahu pada pimpinan rampok. Lalu bersama anak buahnya pimpinan rampok itu
mengejar kalian….”
“Kalau
memang ada serombongan oi-ang jahat hendak menjarah kami….” Ucapan Ratu Duyung
terputus karena dipotong oleh pemuda bernama Damar Wulung.
“Tunggu,
harap kalian menyadari hal ini. Mereka bukan cuma ingin menjarah harta benda
berharga milik kalian, tapi mereka juga punya maksud keji dan mesum. Kurasa aku
tidak perlu menceritakan sejelas-jelasnya….”
“Kami
tidak takut!” jawab Ratu Duyung.
“Ucapanku
tadi belum selesai. Kalau para perampok itu sudah mengetahui perjalanan
rombongan kami dan mengikuti, lalu mengapa sampai saat ini mereka tidak muncul?
Padahal kawasan ini sepi sekali.”
“Pertanyaanmu
itu merupakan juga pertanyaanku. Itu sebabnya sejak siang tadi aku sengaja
mengikuti kalian dalam jarak lebih dekat. Sebelum pergi, bolehkan aku
mengetahui nama kalian satu persatu? Siapa tahu kelak dikemudian hari kita
bertemu lagi dan aku tidak keliru menyebut nama.”
“Aku Puti
Andini,” cucu Tua Gila ini yang pertama memberitahu. Bidadari Angin Timur
delikkan mata. Dia tidak suka melihat dan mendengar Puti Andini memberitahu
nama. Namun disebelahnya terdengar suara.
“Aku
Anggini.”
“Aku Ratu
Duyung.”
“Nama
kalian bertiga sungguh bagus. Jangan menyangka aku keliwat memuji atau bersikap
ceriwis kalau tadi aku katakan nama kalian sangat cocok dengan wajah kalian yang
cantik jelita.” Damar Wulung memandang pada Bidadari Angin Timur.
“Lalu
sahabat yang berambut pirang, siapakah namanya?” Bidadari Angin Timur diam,
tidak menjawab. Tiba-tiba ada suara berucap lantang.
“Dia
calon kekasihku! Biar aku yang akan menanyakan nama si jelita berambut pirang
itu.”
**********************
5
SESAAT
kemudian melesat seorang tinggi besar, kulit hitam, dada telanjang penuh bulu,
tampang garang. Kepala ditutup dengan kain hitam belang putih. Di lehernya
tergantung kalung akar bahar. Sepanjang lengan kiri kanan penuh dengan gelang
akar bahar, mulai dari pergelangan sampai bagian bawah siku. Hampir bersamaan
dengan munculnya si garang dada berbulu ini, dari berbagai jurusan berlompatan
delapan orang berseragam hitam. Seperti orang pertama, delapan orang ini
memiliki tampangtampang seram sembrawutan serta kotor menjijikan. Di pinggang
masing-masing terselip sebilah golok besar. Pemuda bernama Damar Wulung
bertindak cepat. Dia melompat ke depan, langsung membuat kudakuda siap untuk
melindungi empat gadis cantik yang kins berada di sebelah belakangnya. Orang
bertelanjang dada menyeringai. Rahangnya digembungkan lalu dia berucap.
“Kawan-kawan,
jauh-jauh kita mengikuti tahu-tahu ada yang mau jadi malaikat mau melindungi
empat gadis incaran kita!”
“Habisi
saja!” Salah seorang dari yang delapan berteriak. Orang tadi menyeringai. Dua
lengannya disilangkan. Gelang-gelang bahar pada dua tangan itu merosot ke dekat
siku. Lalu dia gosokkan dua lengannya satu sama lain. Terdengar suara keras
seperti dua potong besi saling digesek. Hebat juga pertunjukan orang ini. Rupanya
dia punya ilmu andalan pada dua tangannya itu.
“Anak
muda, menyingkirlah. Minggat dari sini! Atau terpaksa aku yang menyingkirkan.
Lalu membuat nyawamu minggat ke dalam rimba belantara sebelah sana, menjadi
setan penasaran!”
“Jangan
berani macam-macam terhadap komplotan pimpinan Burangrang alias Sepasang Gada
Besil” kembali salah seorang dari delapan lelaki garang berpakaian serba hitam
berteriak. Damar Wulung berdiri tenang, malah tersenyum.
“Sepasang
Gada Besi! Aku sudah lama mendengarjulukan itu! Kepala rampok pelarian dari
hutan Roban!”
“Kurang
ajar! Kau berani menghina pemimpin kami!” Teriakan itu disertai dengan satu
lompatan serta berkelebatnya sebilah golok, memapas ke arah batang leher Damar
Wulung. Tenang saja pemuda yang diserang rundukkan kepala sambil melompat ke
samping tiga langkah. Golok berkilat lewat di samping kepalanya.
“Aku
tidak begitu suka menurunkan tangan kasar sekalipun terhadap orang-orang jahat
seperti kalian. Tapi kalau kalian sampai memaksa, ini contohnya!” Sosok Damar
Wulung berkelebat lalu buukkk! Penjahat yang tadi hendak membacok si pemuda
menjerit keras. Tubuhnya mencelat hampir dua tombak, jatuh bergedebuk di tanah
dengan mata mendelik, mulut menganga dan mengucurkan darah!
“Kau!”
teriak Burangrang, kepala penjahat berjuluk Sepasang Gada Besi.
“Yang
kita….”
“Diam!
Jangan banyak mulut! Lekas pergi dari sini! Bawa semua anak buahmu!” bentak
Damar Wulung. Sepasang mata Burangrang alias Sepasang Gada Besi membeliak
besar. Empat gadis memperhatikan. Mata yang membeliak itu bukan menyatakan
kemarahan tapi lebih banyak menyatakan perasaan heran. Begitu juga tujuh orang
anak buah Sepasang Gada Besi. Mereka memandang terbelalak ke arah Damar Wulung.
“Anak
muda, kalau anak buahku sampai jadi korban ini satu hal yang aku tidak suka!
Empat gadis itu bagian kami. Sebelumnya bukankah….” Ucapan Sepasang Gada Besi
terputus dan tertindih teriakan dahsyat yang keluar dari mulut Damar Wulung.
Pemuda ini melompat ke hadapan kepala penjahat itu langsung menghantam dengan
pukulan berantai.
“Kurang
ajar! Kecantikan empat gadis itu rupanya membuatmu berubah pikiran…” kata
kepala rampok penuh berang.
“Duukkk…
duukkkk… duukkkk!”
Tiga
pukulan yang dilancarkan Damar Wulung berhasil ditangkis Burangrang dengan dua
lengannya yang sekeras batangan besi. Walau dia tidak sampai cidera namun
tubuhnya terpental jauh dan bergulingan di tanah. Sambil melompat bangkit
kepala penjahat ini berteriak.
“Anak-anak!
Bunuh pemuda penipu itu!”
“Srettt!”
Tujuh
golok besar dihunus berbarengan. Lalu berkelebat ganas dalam gelapnya malam,
membabat dan membacok ke arah pemuda bernama Damar Wulung, mulai dari kepala
sampai ke pinggang! Damar Wulung keluarkan suara mendengus. Sosoknya melesat ke
atas, berputar laksana gasing. Tujuh golok maut hanya menyapu angin. Para pemiliknya
kemudian berseru kaget ketika si pemuda pergunakan badan golok sebagai injakan
kaki, melompat ke udara, jungkir balik ke bawah lalu bukk… bukk… bukkk! Tiga
anak buah Burangrang Sepasang Gada Besi mencelat, bergeletak di tanah dengan
kepala hancur dimakan tendangan. Burangrang si kepala penjahat menggerung
keras. Dua bilah golok milik anak buahnya yang berjatuhan di tanah disambarnya.
Sambil berlari ke arah Damar Wulung dia lemparkan dua golok itu. Damar Wulung
berkelit, baru saja si pemuda berhasil mengelak selamatkan diri dari sambaran
dua golok terbang, Sepasang Gada Besi sudah berada di hadapannya, langsung
menggebuk ke arah kepala dan dada. Kali ini dia kerahkan seluruh kekuatan aji
kesaktiannya. Damar Wulung gerakkan dua tangan, menangkis.
“Bukk! Bukkk!”
Empat
lengan saling bentrokan.
“Kraakk!
Kraakkk!”
Sepasang
Gada Besi menjerit keras. Tubuhnya terlempar jauh. Dua lengannya yang selama
ini dibanggakan sebagai seatos besi patah dua. Susah payah dia berusaha
bangkit, tapi terduduk sesaat di tanah. Tubuhnya menggigil menahan sakit.
Matanya mendelik seperti mau melompat dari rongganya. Karena lawan tadi
mempergunakan kekuatan tenaga dalam sangat besar, walau hanya merasa sakit pada
dua tangannya namun Damar Wulung sempat terpental, jatuh berlutut di tanah.
Selagi dia mencoba bangun, empat anak buah Sepasang Gading Besi sudah
menyerbunya dengan golok masing-masing. Dari kiri berkelebat selarik benda
berwarna ungu. Ini adalah selendang milik Anggini.
“Plaakk!
Plaakk!”
Ujung
selendang menghantam wajah dua anggota penjahat. Yang satu terguling dengan
hidung remuk, satunya lagi terjengkang dengan bibir pecah. Pada saat Anggini
menghantam dua anggota penjahat dengan selendangnya, dari jurusan lain Puti
Andini tidak tinggal diam. Gadis ini menyambar salah satu dari tujuh payung
yang ada di dalam gerobak. Sesaat kemudian satu sinar hijau bergulung di udara.
Debu beterbangan, daun-daun dan semak belukar bergoyangan. Belum tahu benda apa
yang menyerang mereka, dua anak buah Sepasang Gada Besi mendadak dapatkan tubuh
mereka laksana digulung lalu diangkat ke atas dan sesaat kemudian dibantingkan
ke tanah. Lalu terdengar suara breett… breettt!
Dua orang
penjahat itu terduduk pucat ketika melihat pakaian mereka robek besar di bagian
dada, perut dan lengan. Dan ada darah mengucur dari balik robekan-robekan itu!
Puti Andini angkat tangan kanannya, lengan diputar, lima jari digerakkan
seperti menarik ke belakang. Payung hijau yang masih berputar di udara melesat
gesit, berbalik ke arah si gadis. Dengan tangan kirinya cucu Tua Gila ini
menyambar payung hijau yang tadi dilemparkannya untuk menyerang dua orang
penjahat. Damar Wulung cepat berdiri. Di hadapan empat gadis dia membungkuk
seraya berkata.
“Terima
kasih, kalian telah menyelamatkan jiwaku. Ini satu hutang besar yang tidak tahu
entah kapan dapat kubayar!” Si pemuda melirik ke arah empat penjahat yang
terluka lalu berkata.
“Manusia-manusia
seperti mereka, sulit diperbaiki. Kalau tidak dihabisi bisabisa menimbulkan
malapetaka lebih besar dikemudian hari.” Habis berkata begitu Damar Wulung
melompat ke arah empat penjahat. Tangan dan kakinya bekerja cepat sekali. Hanya
satu kejapan saja ke empat penjahat itu sudah bergeletakan di tanah dengan
kepala hancur. Empat gadis bergidik menyaksikan kejadian itu. Mereka terpaksa
berpaling ke jurusan lain. Di tempat lain, terbungkuk-bungkuk menahan sakit
Burangrang berusaha berdiri.
“Pemuda
jahanam…. Penipu kurang ajar! Aku bersumpah mencari dan membunuhmu!” Dalam
keadaan dua lengan patah tergontai-gontai kepala penjahat itu lari tinggalkan
tempat tersebut. Tapi Damar Wulung tidak memberi kesempatan. Dia membungkuk
mengambil sebilah golok yang tergeletak di tanah. Sekali senjata itu
dilemparkan, melayang di udara lalu menancap di punggung kiri Sepasang Gada
Besi, terus menembus jantung. Kepala penjahat ini langsung roboh dan menemui
ajalnya di tempat itu juga.
“Dia
sudah tidak berdaya, seharusnya tak usah dibunuh…” berkata Ratu Duyung. Oamar
Wulung berpaling, menatap wajah sang Ratu lalu berkata.
“Sahabatku
bermata biru, seperti aku bilang tadi. Manusia jahat seperti mereka sulit
diperbaiki. Apalagi yang satu itu adalah biang menu pimpinannya. Dari pada
tambah menyusahkan di kemudian hari, tidak ada salahnya diselesaikan sekarang
saja….” Damar Wulung tersenyum. Lalu kembali dia membungkuk dan berkata.
“Sekali
lagi aku mengucapkan terima kasih. Kalian telah menyelamatkan diriku dari
serangan maut empat golok tadi….”
“Kau
sendiri telah berusaha menyelamatkan kami dari komplotan orang-orang jahat itu.
Sebenarnya kami yang lebih pantas mengucapkan terima kasih,” kata Puti Andini
sambil tersenyum sementara sepasang matanya memandangi wajah si pemuda dengan
bersinar-sinar. Diam-diam Bidadari Angin Timur memperhatikan sikap dan air muka
Puti Andini. Dalam hati dia berkata.
“Aku
mempunyai kesan, agaknya gadis satu ini punya perasaan tertentu terhadap pemuda
itu. Aku tidak menyalahkan. Sejak dia mengetahui Panji pemuda yang dicintainya
adalah saudara seayah, hatinya pasti hancur. Siapa tahu kepatahan hatinya bisa
terobat dengan kehadiran pemuda ini. Tapi aku melihat beberapa keanehan. Aku
perlu membicarakannya nanti dengan teman-teman….”
“Kami
akan melanjutkan perjalanan. Budi baik pertolonganmu tidak akan kami lupakan.”
Yang berkata adalah Anggini. Gadis ini melingkarkan selendang ungunya ke leher
lalu naik ke atas gerobak. Ratu Duyung menyusul, diikuti oleh Bidadari Angin
Timur. Tinggal Puti Andini sendirian. Untuk sesaat gadis ini masih berdiri di
hadapan si pemuda. Bidadari Angin Timur mendehem keraskeras. Sesaat wajah Puti
Andini menjadi kemerahan. Damar Wulung tersenyum.
“Teman-temanmu
sudah menunggu,” katanya. Ketika Puti Andini naik ke atas gerobak, si pemuda
menolongnya dengan sikap penuh hormat, membuat sang dara jadi berbunga-bunga.
“Para
sahabatku,” Damar Wulung berkata sambil berdiri di samping gerobak, di sisi
kanan Puti Andini.
“Kalian
sudah menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Kejahatan ada dimana-mana dan
datangnya tidak terduga. Perjalanan jauh bukan satu hal mudah. Apalagi bagi
kalian dara-dara berparas rupawan. Aku punya keinginan baik. Kaiau tidak
keberatan aku bersedia mengawal kalian sampai ke tujuan….” Puti Andini hendak
menjawab. Tapi dia melihat pandangan mata Bidadari Angin Timur yang seperti
memberi isyarat. Puti Andini terpaksa batal membuka mulut.
“Perjalanan
kami tidak seberapa jauh lagi. Kami tidak ingin merepotkanmu. Sekali lagi
terima kasih….” kata Bidadari Angin Timur. Dia memberi isyarat pada Puti Andini
yang bertindak sebagai sais.
“Sahabat,
kalau aku boleh tahu sebenarnya kalian ini tengah dalam perjalanan kemana?”
“Kami
tengah menuju ke Gunung Cede,” Puti Andini yang menjawab. Bidadari Angin Timur
memegang bahu Puti Andini.
“Hari
sudah rembang petang. Jangan sampai kita nanti bermalam di tempat yang kurang
aman….” Puti Andini sentakkan tali kekang. Dua kuda gerakkan kaki. Gerobak
mulai berjalan. Damar Wulung lambaikan tangan. Dia bam melangkah mendekati kuda
coklatnya setelah rombongan empat gadis itu lenyap di kejauhan. Di atas gerobak
untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara. Akhirnya Bidadari Angin Timur
memecah kesunyian.
“Sebenarnya
ada baiknya kalau sahabat kita Puti Andini tadi tidak memberitahu kemana tujuan
kita pada pemuda bernama Damar Wulung itu.”
“Apa
salahnya? Memangnya kenapa?” tanya Puti Andini merasa kurang senang mendengar
ucapan Bidadari Angin Timur.
“Kurasa
teman kita ini tertarik pada si pemuda. Melihat sikap si pemuda aku menaruh
dugaan kalau dia juga terpikat pada Puti Andini.” Yang berucap adalah Ratu
Duyung. Wajah Puti Andini bersemu merah. Kali ini dia diam saja tak menjawab
ucapan orang.
“Kita tidak
kenal dan tidak tahu siapa sebenarnya pemuda itu…” berkata Bidadari Angin
Timur.
“Orang
telah berbuat baik. Dia menolong kita dari tangan sembilan penjahat. Apakah hal
itu tidak bisa dijadikan alasan kita bersikap baik terhadap pemuda tadi?”
Anggini keluarkan suara. Dia ingat, sewaktu terjadi perkelahian hanya dia dan
Puti Andini yang turun tangan sementara Bidadari Angjn Timur dan Ratu Duyung
diam saja. Puti Andini melirik ke arah Bidadari Angin Timur. Ingin tahu apa
yang hendak dikatakan gadis itu setelah mendengar ucapan Anggini.
“Anggini,”
kata Bidadari Angin Timur.
“Apa yang
kau ucapkan betul adanya. Tetapi kita harus ingat. Kebaikan tidak beda dengan
dua sisi dari satu uang logam….”
“Aku
kurang mengerti. Apa maksudmu….”
“Maksudku
begini. Sisi pertama, kebaikan adalah kebaikan sejati. Sisi kedua, kebaikan
yang terselubung untuk menyembunyikan satu niat yang tidak baik.”
“Lalu
menurutmu pemuda tadi berada pada sisi yang mana?” tanya Puti Adini tak tahan
lagi untuk tidak bicara.
“Aku
tidak tahu, tidak satupun diantara kita yang tahu. Hidup ini penuh dengan hal
tidak terduga. Itu sebabnya kita perlu berhati-hati. Segala sesuatunya tidak
boleh diungkapkan pada orang yang baru kita kenal. Perjalanan yang kita lakukan
bukan perjalanan sembarangan. Kita tengah mencari Pendekar 212. Sebelumnya kita
telah menemukan keanehankeanehan yang menimbulkan malapetaka. Bukan mustahil
pemuda tadi adalah si pembuat surat yang kita temukan di makam pertama dan
kedua….”
“Sahabatku,
aku rasa kau terlalu membesarbesarkan urusan. Tidak baik berprasangka buruk
terhadap orang lain,” kata Puti Andini agak sengit.
“Berprasangka
buruk demi kebaikan apa salahnya?” tukas Bidadari Angin Timur.
“Aku
tidak menyalahkan kalau mungkin kau punya perasaan tertentu terhadap pemuda
gagah tadi. Tapi ada beberapa kejanggalan yang aku lihat sejak pemuda itu
muncul pertama kali.” Tiga gadis saling pandang. Bidadari Angin Timur maklum
arti pandangan itu. Mereka sulit mempercayai ucapannya. Bidadari Angin Timur
tidak perduli.
“Ketika
pertama kali dia muncul, ketika kita tanyai dia mengaku memang telah mengikuti
kita secara diam-diam sejak tengah hari. Dia sengaja tidak menampakkan diri
karena katanya ada serombongan penjahat mengincar kita. Kalau memang itu benar,
mengapa dia tidak langsung turun tangan? Sengaja menunggu para penjahat muncul
di depan kita baru melakukan sesuatu?”
“Mungkin
dia sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya di depan kita. Itu sebabnya dia
menunggu sampai sembilan penjahat tadi muncul melaksanakan niat kejinya,”
berkata Anggini.
“Bisa
saja begitu,” sahut Bidadari Angin Timur.
“Namun
masih ada hal lain yang menurutku bisa lebih meyakinkan dugaanku bahwa pemuda
itu sebenarnya berkomplot dengan Sepasang Gada Besi….”
“Sulit
aku mempercayai,” Puti Andini kembali memberikan tanggapan.
“Entah
mengapa sejak pertama melihat pemuda itu sahabat kita Bidadari Angin Timur
bersikap ketus terhadapnya. Kalau Damar Wulung adalah juga komplotan para
penjahat itu, mengapa dia membunuhi mereka termasuk pimpinan mereka?” Bidadari
Angin Timur tersenyum lalu menjawab,
“Bisa
saja. Mungkin karena ada yang hendak ditutupi. Mungkin ada sesuatu yang
bertolak belakang dengan rencana semula. Tidakkah kalian memperhatikan
bagaimana kagetnya pimpinan penjahat dan teman-temannya ketika Damar Wulung
membunuh anggota penjahat yang pertama?" Kepala penjahat itu bahkan sempat
berteriak.
"Kau…!"
Lalu dia berteriak lagi "Yang kita…. Kita berarti dia dan para anak
buahnya dan termasuk Damar Wulung". Tapi ucapan kepala penjahat itu
terputus oleh bentakan Damar Wulung.
"Aku
juga mendengar Sepasang Gada Besi berkata Empat gadis itu adalah bagian kami.
Sebelumnya bukankah…. Apa arti ucapan itu. Sebelumnya bukankah…. Mungkin saja
aku keliru dan membesar-besarkan urusan seperti kata Puti Andini. Tapi bagiku
ucapan kepala penjahat itu berarti sebelumnya terjadi sesuatu antara dia dan
Damar Wulung. Sesuatunya apa memang tidak bisa diduga. Tapi kesanku, antara
Damar Wulung dengan para penjahat itu sebelumnya pernah saling bertemu. Yang
lebih jelas lagi ketika Sepasang Gada Besi berteriak memaki Kurang ajar!
Kecantikan empat gadis itu rupanya membuatmu berubah pikiran. Tidak sampai
disitu saja teman-teman. Apa kalian tidak mendengar kemudian kepala penjahat
itu berteriak marah. Anak-anak! Bunuh pemuda penipu itu! Siapa yang menipu,
siapa yang ditipu? Sebelumnya ada pertemuan, sebelumnya ada perjanjian. Tapi
Damar Wulung menyalahi perjanjian. Perjanjian apa?” Bidadari Angin Timur angkat
bahunya sendiri.
Ratu
Duyung dan Anggini tidak berkata apa-apa. Mungkin apa yang dikatakan Bidadari
Angin Timur tadi mulai termakan di dalam hati dan benak mereka. Lain halnya
dengan Puti Andini yang entah mengapa menjadi kesal terhadap Bidadari Angin
Timur. Dalam hati Puti Andini berkata.
“Mungkin
Bidadari Angin Timur merasa kurang senang terhadap si pemuda, karena merasa
dirinya tidak diperhatikan. Padahal dia merasa dirinya paling cantik diantara
para gadis, memiliki kelebihan yaitu rambut pirang panjang, ditambah iekuk
tubuh yang bagus. Itu sebabnya dia bicara ketus dan selalu berprasangka buruk terhadap
Damar Wulung. Hemmm…. Katanya mencinta setengah mati pada Pendekar 212. Tapi
buktinya kini hatinya tergoda….” Diam-diam Bidadari Angin Timur memperhatikan
raut wajah Puti Andini sambil menduga-duga apa yang ada dalam pikiran gadis
dari Pulau Andalas yartg berjuluk Dewi Payung Tujuh itu. Akhirnya Puti Andini
membuka mulut.
“Kalau
ada kesempatan bertemu lagi dengan Damar Wulung, akan aku cecar dia dengan
pertanyaan. Apa benar memang dia telah berkomplot dengan Sepasang Gada Besi.
Apa benar dia punya niat keji terhadap kita!” Habis berkata begitu Puti Andini
mencambuk punggung dua ekor kuda. Binatang-binatang ini berlari lebih kencang.
Di antara gemeletak roda-roda gerobak Bidadari Angin Timur menyahuti ucapan
Puti Andini.
“Mudah-mudahan
saja kau bisa bertemu lagi dengan pemuda itu.”
**********************
6
BANGUNAN
tua bekas kuil di jalan yang mendaki itu masih utuh keadaannya sehingga empat
gadis cantik memutuskan untuk bermalam di tempat itu. Ketika Bidadari Angin
Timur, Ratu Duyung dan Anggini telah tertidur lelap karena keletihan, Puti
Andini masih tergolek menelentang di dalam kegelapan memandangi atap kuil.
Entah mengapa sampai saat itu dia sulit memicingkan mata. Bayangan wajah Damar
Wulung tak putusputusnya hadir di pelupuk matanya. Jika dicobanya memejamkan
mata raut wajah pemuda itu malah semakin jelas terlihat. Di kejauhan terdengar
suara jangkrik dan binatang malam yang mendadak putus ketika lapatlapat
terdengar suara raungan anjing. Dalam keadaan seperti itu Puti Andini tiba-tiba
mencium bau sesuatu.
“Aneh,
bau apa ini?” pikir sang dara.
Semakin
santar bau yang dihirup semakin berat terasa kepalanya sedang tubuhnya menjadi
lemah. Sepasang matanya mendadak dilanda kantuk berat. Puti Andini kerahkan
tenaga. Dua siku ditekankan ke lantai kuil. Perlahan-lahan dia mengangkat dada
dan kepalanya sedikit. Dia melihat asap aneh seperti tebaran kabut bergerak
dari halaman terus memasuki kuil. Otak Puti Andini masih bisa bekerja.
“Yang aku
lihat bukan kabut. Kalaupun asap adanya bukanlah asap biasa. Kepalaku tambah
berat, tubuhku semakin letih, rasa kantuk tak tertahankan. Aku harus melakukan
sesuatu, kalau tidak… kurasa aku bisa jatuh pingsan….” Cucu Tua Gila ini cepat
kerahkan tenaga dalam dari pusar ke arah dada, tenggorokan, jalan pernafasan, bagian
hidung dan dua matanya.
Lalu dia
menotok dirinya sendiri pada beberapa bagian tubuh, menjaga agar apa yang telah
tercium oleh hidungnya tidak merambat masuk ke tempat berbahaya di dalam
peredaran darah. Ketika dia tengah berusaha melepas nafas panjang, tiba-tiba di
halaman kuil dia melihat satu sosok bergerak mefangkah. Dia tidak dapat melihat
jelas raut wajah orang karena selain gelap, asap aneh menghalangi pemandangan.
Puti Andini rebahkan kembali tubuhnya, berpura-pura tidur. Dadanya bergemuruh
menanti apa yang akan terjadi. Tangan digerakkan ke pinggang dimana dia
menyimpan Pedang Naga Suci 212, satu senjata sakti mandraguna yang didapatnya
di Telaga Gajahmungkur, pemberian orang sakti setengah roh setengah manusia
bernama Kiai GedeTapa Pamungkas. (Mengenai Pedang Naga Suci 212 baca rangkaian
serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas” terdiri dari 11 Episode)
Tetapi
alangkah kagetnya gadis ini ketika dia merasakan tangan kanannya berat, sulit
digerakkan. Dicobanya menggerakkan tangan kiri. Sama!
“Celaka!
Asap berbau aneh itu sudah melumpuhkan dua tanganku!” Puti Andini menggerakkan
kakinya. Tidak bisa!
“Ya
Tuhan, malapetaka apa yang menimpa diriku! Siapa orang itu. Agaknya dia yang
menebar asap penyirap. Pasti dia punya niat jahat! Sebelum kejadian aku harus
berbuat sesuatu!” Puti Andini membuka mulut hendak berteriak membangunkan
kawan-kawannya.
Tapi
mulutnya seperti terkancing, sama sekali tidak bisa digerakkan apalagi dibuka.
Tahu-tahu orang itu di haiaman telah berada di daiam kuil. Sesaat dia tegak di
pintu. Lalu masuk ke dalam. Berdiri di depan Puti Andini, memandangi gadis ini
sambil tersenyum lalu masuk lebih jauh ke dalam kuil. Bidadari Angin Timur
tergolek di sudut sebelah kanan. Orang ini melangkah mendekati si gadis. Lama
dia berdiri memperhatikan Bidadari Angin Timur mulai dari wajah sampai ke kaki.
Tiba-tiba orang ini berlutut. Tangan kirinya membelai rambut pirang Bidadari
Angin Timur. Tangan kanan mengusap pipi. Perlahan sekali dia berucap.
“Kali
pertama melihatmu aku sangat tergoda untuk memilikimu. Aku suka pada gadis
bersifat ketus tapi berotak cerdik sepertimu. Di atas ranjang pasti kau akan
sebuas harimau betina. Cuma sayang, hatiku telah lebih dulu terpikat pada
sahabatmu bermata biru itu. Lain hari, jika memang kesampaian, pasti giliranmu
menyenangi diriku akan tiba. Mata biru, dimana kau berada?” Walau kata-kata itu
diucapkan sangat perlahan, namun di dalam kuil sepi dan tidak seberapa luas itu
Puti Andini masih bisa mendengar cukup jelas meskipun tidak bisa mengenali orang
itu dari suaranya.
“Mata
biru… dia mengincar Ratu Duyung. Ya Tuhan….” Puti Andini hanya bisa bersuara
dalam hati. Gadis ini buka matanya sedikit. Orang yang berlutut di samping
Bidadari Angin Timur memandang berkeliling. Dia melihat dua sosok tergoiek di
sudut kuil sebelah kiri, terlindung dalam bayangan kegelapan. Sebelum bangkit
berdiri orang ini mengecup bibir Bidadari Angin Timur lumat-lumat hingga
mengeluarkan suara berdecak, membuat Puti Andini kembali merinding. Meski sejak
beberapa waktu ini Puti Andini merasa tidak senang terhadap Bidadari Angin
Timur, tapi menyaksikan apa yang barusan dilakukan lelaki tak dikenal itu
membuat Puti Andini meradang dalam hati.
“Bangsat
terkutuk! Atas perlakuan kejimu itu, aku bersumpah akan membunuhmu!” Orang tadi
bangkit berdiri, melangkah ke sudut kiri kuil. Yang dilihatnya pertama kali
ternyata adalah sosok Anggini. Dia menyeringai lalu berlutut di samping si
gadis.
“Aku
kagum pada kemulusan tubuhmu. Walau pakaianmu longgar tapi aku tahu dibalik
pakaian itu kau memiliki tubuh dengan seribu lekuk mengagumkan. Kalau kau bisa
menunggu, kelak satu hari aku akan mencarimu….” Habis berkata begitu orang ini
memegang ke dua paha Anggini lalu berpindah pada sosok satunya lagi.
“Ah, mata
biru…. Di sini rupanya kau menungguku. Kekasihku, nyenyak sekali tidurmu.”
Orang itu berucap, tenggorokannya turun naik. Lidahnya dijulurkan membasahi
bibir. Sambil membelai rambut hitam Ratu Duyung orang ini meneruskan ucapannya.
“Kuil ini
sebenarnya cocok untuktempat kita bersenang-senang memadu kasih. Tapi
bagaimanapun juga aku masih bisa menghormati tempat. Lagi pula tiga kawanmu ada
di sini. Aku khawatir belum selesai kita berpuas-puas salah satu dari temanmu
itu ingin ikut-ikutan….” Orang ini tutup mulutnya dengan tangan kiri menahan tawa.
Tiba-tiba dengan satu gerakan cepat dia mengangkat tubuh Ratu Duyung,
diletakkan di bahu kiri. Dengan langkah cepat, beberapa kali menindak orang itu
sudah berada di halaman kuil.
“Celaka!
Kurang ajar! Dia menculik Ratu Duyung! Ya Tuhan!” Puti Andini ingin melompat,
tapi menggerakkan tangan saja tidak bisa. Ingin berteriak tapi membuka mulut
saja tidak mampu.
“Tuhan….
Tuhan, tolong saya. Berikan kekuatan pada saya untuk memusnahkan sirapan celaka
ini! Saya… saya harus menyelamatkan Ratu Duyung. Tuhan…. Adakah kau mendengar
doa permintaanku?” Air mata meleleh di sudut-sudut mata Puti Andini. Dia
picingkan mata kencang-kencang. Lalu mulai berusaha mengerahkan tenaga dalam.
Kali pertama gagal. Kali kedua masih belum mampu. Sama saja pada kali ke tiga
dan keempat. Keringat dingin memercik di permukaan wajah dan sekujur tubuh si
gadis.
“Tenagaku
sudah terkuras habis. Aku coba sekali lagi. Kalau masih gagal habislah sudah!
Ratu Duyung tak mungkin bisa ditolong!” Puti Andini tenangkan diri. Pikiran
dikosongkan. Seluruh kekuatan yang masih tersisa disatukan di bagian pusar lalu
dia mulai menahan nafas sambil kerahkan segala daya untuk mengalirkan tenaga
dalam yang ada ke pembuluh darah dan syaraf. Satu pekikan tiba-tiba menggeledek
keluar dari mulut Puti Andini. Bersamaan dengan itu tubuhnya melompat sebat.
Dia berteriak.
“Anggini!
Bidadari! Bangun! Ratu diculik orang!” Tak ada jawaban. Sosok Anggini dan
Bidadari Angin Timur tidak bergerak. Puti Andini segera memeriksa dua temannya
itu, berteriak memanggil sambil menggoyang-goyang tubuh Bidadari Angin Timur
dan Anggini. Ternyata kedua gadis ini berada dalam keadaan kaku, tak bisa
bergerak tak bisa bersuara. Terkena asap sirapan aneh selagi mereka dalam
keadaan tidur.
“Celaka!”
Puti Andini kerahkan tenaga dalam, lalu berganti-ganti disalurkan ke tubuh
Bidadari Angin Timur dan Anggini lewat dada dan perut. Menotok urat-urat besar,
menyedot racun sirapan melalui mulut. Pokoknya apa saja yang bisa dilakukannya
agar dua temannya itu siuman kembali. Setelah bekerja keras cukup lama sampai
tubuhnya basah kuyup oleh keringat, tenaga terkuras, Puti Andini akhirnya
terduduk letih di lantai kuil. Bidadari Angin Timur dan Anggini masih dalam
keadaan seperti tadi. Kaku dan tak bersuara! Dalam bingungnya Puti Andini ingat
pada senjata sakti yang disimpannya di balik pinggang. Pedang Naga Suci 212.
Cepat dikeluarkannya. Senjata sakti mandraguna ini tidak bersarung, bentuknya
sangat tipis dan berada dalam keadaan tergulung seperti ikat pinggang.
“Ya
Tuhan, tolong saya. Tolong kami! Dengan kekuasaanMu semoga senjata sakti ini
mampu memusnahkan racun sirapan dalam tubuh Anggini dan Bidadari Angin Timur.”
Puti Andini gerakkan tangan kanannya. Gulungan pedang terbuka dengan
mengeluarkan suara bersiur halus. Cahaya putih berkiblat menerangi kuil yang
gelap.
**********************
7
DALAM
gelapnya malam Damar Wulung dan sosok kuda tunggangannya berkelebat laksana
bayangan setan. Di atas pangkuannya Ratu Duyung tergeletak membelintang masih
berada dalam keadaan tidak sadarkan diri akibat asap sirapan yang terhirup
sewaktu dia tidur pulas di dalam kuil. Sambil memacu kudanya Damar Wulung
berpikir hendak dibawa kemana gadis culikan itu. Dia tidak begitu mengenal
kawasan dimana dia berada. Di satu tempat ketinggian Damar Wulung hentikan kudanya.
Dia memandang seputar kegelapan malam sampai matanya membentur satu lamping
bukit tertutup batu-batu besar membentuk dinding tinggi.
“Dibukit
batu seperti ini biasanya terdapat goa,” pikir Damar Wulung. Dia turun dari
kuda, menyelidik. Di langit awan yang sejak tadi menutupi bulan setengah
lingkaran bergerak menjauh hingga malam yang tadi gelap pekat kini menjadi
terang temaram. Dugaan Damar Wulung tidak meleset. Pada lamping bukit batu
ternyata memang terdapat dua buah goa. Satu kecil di sebelah kanan, satu lagi
lebih besar di ujung kiri. Sinar rembulan yang jatuh di lamping bukit batu
menerangi sebagian goa. Damar Wulung memilih goa yang besar. Ternyata bagian
dalam goa selain sejuk juga bersih. Tubuh Ratu Duyung dibaringkannya di lantai
joa lalu dia pandangi wajah jelita dan tubuh bagus sang Ratu.
“Cantik
luar biasa. Tidak pernah aku melihat gadis seperti ini. Aku ingin melihat
sepasang matanya yang biru.” Damar Wulung meraba urat besar di leher Ratu
Duyung.
“Racun
sirapan masih menguasai dirinya. Harus aku keluarkan dulu….” Si pemuda lalu
menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Duyung.
Dengan
jari-jari tangannya pemuda ini membuka bibir yang terkatup. Lalu bibirnya
ditempelkan ke bibir sang Ratu. Perlahanlahan Damar Wulung mulai menyedot.
Sekali, dua kali, tiga kali. Pada kali yang kelima dia muntahkan ludah yang
memenuhi mulutnya. Ludah itu berwarna kebiruan. Damar Wulung merasa iega.
Kembali dia menyedot sampai lima kali dan seperti tadi memuntahkan ludah. Di
bawah terangnya sinar rembulan kelihatan sepasang mata Ratu Duyung bergerak
membuka. Damar Wulung segera menotok beberapa urat penggerak otot tangan dan
kaki si gadis. Begitu matanya terbuka Ratu Duyung memandang seputar ruangan.
Dia maklum kalau saat itu berada di dalam sebuah goa, di satu tempat sunyi.
Belum habis herannya mengapa dia bisa berada di tempat itu, ketika dia memutar
mata ke kanan, Ratu Duyung tersentak kaget dan bertambah heran begitu melihat
Damar Wulung.
“Kau!”
ujar Ratu Duyung.
“Bukankah
kau pemuda bernama Damar Wulung yang siang tadi menolong aku dan teman-teman?”
Ada perasaan heran juga takut di hati Ratu Duyung.
“Bagaimana
aku bisa berada di tempat ini. Mana kawankawanku. Apa yang terjadi?” Damar
Wulung tersenyum. Dibelainya rambut Ratu Duyung lalu berkata.
“Aku
gembira kau masih mengenali diriku. Berarti kau menaruh perhatian padaku.
Mungkin juga telah jatuh cinta sehagaimana aku jatuh cinta padamu pada
pandangan pertama siang tadi.” Merinding bulu kuduk Ratu Duyung mendengar
ucapan Damar Wulung. Mata membeliak, rahang menggembung. Tadi ketika pemuda itu
membelai rambutnya, dia berusaha menjauhkan kepala tap! tak bisa. Untuk pertama
kalinya Ratu Duyung menyadari kalau dirinya berada dalam bahaya.
“Mulutmu
bukan saja lancang tapi juga kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhku!”
Habis membentak Ratu Duyung segera hendak melompat bangkit. Tapi bukan kepafang
kagetnya gadis bermata biru ini ketika dapatkan dirinya tak mampu bergerak.
Tangan dan kaki lumpuh!
“Jahanam!
Kau pasti menotokku! Lepaskan diriku! Kau pasti punya niat keji!” teriak Ratu
Duyung.
“Kekasihku
Ratu Duyung. Bukankah itu nama yang kau sebutkan waktu memperkenalkan diri…?”
“Pemuda
kurang ajar! Beraninya kau menyebut aku kekasihmu!” Membentak Ratu Duyung marah
sekali.
“Ratu,
kau tak perlu marah, tak usah takut. Aku baru saja menyelamatkan dirimu dari
racun sirapan….”
“Racun
sirapan?” Damar Wulung mengangguk.
“Tiga
temanmu tak bisa ditolong. Aku sengaja melarikanmu ke sini agar bisa
diselamatkan….”
“Aku tak
percaya pada ucapanmu….”
“Kau tak
perlu percaya pada segala ucapanku,” kata Damar Wulung dengan seringai bermain
di mulut.
“Kau
mungkin telah berbuat keji terhadap tiga temanku! Lepaskan totokan di tubuhku!”
teriak Ratu Duyung.
“Sudahlah,
bukankah lebih baik kita habiskan sisa malam ini berdua-dua di tempat ini,
bersenang-senang meneguk cinta kasih kebahagiaan?”
“Benar-benar
kurang ajar! Jika kau berani berbuat keji terhadapku aku bersumpah membunuhmu
Damar Wulung!”
“Aku
kurang percaya pada sumpah seperti itu!” sahut Damar Wulung.
“Karena
begitu selesai kau meneguk kebahagiaan, kau akan ketagihan, ketagihan dan
ketagihan. Kau akan mencariku. Meminta dan meminta….”
“Lepaskan
totok di tubuh atau aku….”
Damar
Wulung bukannya melepaskan totokan yang melumpuhkan kaki tangan si gadis, malah
dia menambah satu totokan lagi hingga saat itu juga Ratu Duyung tak bisa lagi
keluarkan suara. Hanya dua matanya yang biru saja yang masih mampu membeliak,
bergerak liar kian kemari.
“Kekasihku,
aku siap membawamu ke alam penuh nikmat…” kata Damar Wulung dengan seringai
mesum bermain di mulut. Sekujur tubuh Ratu Duyung bergetar, bulu tengkuknya
merinding ketika pemuda itu susupkan tangan ke pinggang pakaiannya.
“Jahanam
kurang ajar! Aku bersumpah membunuhmu!” rutuk Ratu Duyung. Tapi suaranya tidak
keluar. Dua matanya yang biru seperti hendak melompat keluar dari rongganya. Di
balik pinggang pakaian Damar Wulung merasakan kulit yang halus dan daging tubuh
yang lembut hangat. Namun selain itu jari-jari tangannya juga menyentuh sebuah
benda. Dicobanya memegang. Satu hawa aneh menjalar memasuki tangan terus ke
lengan. Pemuda ini segera maklum ada satu benda sakti tersembunyi di balik
pinggang pakaian si gadis. Segera dipegangnya lebih kuat lalu ditarik
dikeluarkannya.
“Sebuah
cermin bulat…” ujar Damar Wulung heran sambil pegangi gagang cermin dan
meneliti membolak balik.
“Ada hawa
aneh mengalir dari dalam benda ini. Jelas benda ini bukan cermin biasa untuk
dipakai berhias diri….” Si pemuda memandang pada Ratu Duyung. Tersenyum dan
berkata dalam hati.
“Beberapa
waktu lalu aku mendapat penjelasan. Gadis bermata biru dan tiga temannya itu
adalah tokoh-tokoh muda rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.”
Damar Wulung memandang ke dalam cermin. Samar-samar dia melihat wajahnya
sendiri. Cermin diputar, diarahkan ke pintu goa sebelah atas. Lalu dia kerahkan
tenaga dalam. Selarik sinar putih menyilaukan berkiblat lalu braakkk! Batu
keras bagian atas mulut goa hancur berkeping-keping. Bagian yang masih utuh
kelihatan hitam hangus mengepulkan asap. Damar Wulung terkesiap lalu tertawa
lebar. Sambil memandang pada Ratu Duyung dia berkata.
“Kekasihku,
senjata aneh ini lebih pantas berada di tanganku. Akan kujadikan
kenang-kenangan seumur hidup tanda percintaan kita di malam hari ini. Ha… ha.,
ha…!”
“Keparat
terkutuk!” Ratu Duyung kerahkan tenaga dalamnya untuk bebaskan diri dari
pengaruh totokan yang melumpuhkan. Tapi gagal. Dia alirkan hawa sakti ke arah
mata untuk mengeluarkan ilmu kesaktian berupa sinar maut berwarna biru.
Lagi-lagi dia tak mampu melakukan. Totokan yang dilancarkan Damar Wulung atas
dirinya benar-benar luar biasa hingga dia tidak berdaya sama sekali. kanannya
bergerak ke dada.
“Breettt!”
Pakaian
yang melekat di tubuh Ratu Duyung robek besar. Auratnya tersingkap lebar. Ratu
Duyung merutuk habis-habisan sebaliknya Damar Wulung semakin beringas dilanda
nafsu bejat. Nyaris dia hampir menelanjangi tubuh gadis itu tiba-tiba di
kejauhan terdengar suara orang bersiul. Sesaat Damar Wulung hentikan
kebejatannya. Telinganya dipasang mendengar suara siulan. Bukan siulan itu yang
membuat darahnya tersirap dan berubah air muka. Tapi nyanyian dalam siulan
itulah yang menyebabkannya tercekat hebat. Tanpa tunggu lebih lama dia melompat
ke mulut goa lalu lari ke luar. Di satu tebing batu tinggi Damar Wulung tegak
berdiri. Telinga dipasang tajam, pandangan mata dilayangkan ke arah timur.
“Dari
arah situ tadi suara siulan muncul. Kini lenyap tiada bekas….” Penasaran Damar
Wulung lari menuruni tebing batu di tepat ketinggian.
Dia lari
ke arah lenyapnya suara siulan. Di kejauhan di dalam gelap dia seperti melihat
ada bayangan berkelebat lalu lenyap.
“Hai!”
Damar Wulung berteriak.
Yang
menjawab hanya gaung tipis suaranya sendiri. Si pemuda hentikan larinya. Sesaat
dia tegak termangu memandangi kegelapan.
“Telingaku
tidak tuli. Jelas sekali aku mendengar suara siulan itu. Jelas sekali itu
adalah kidung Kami Anak Desa yang sering aku nyanyikan dengan adikku dimasa
kecil di desa. Mataku tidak buta, tadi aku melihat satu bayangan di kejauhan.
Adikku, engkaukah yang tadi bersiul itu? Adimesa, bayanganmukah tadi yang aku
lihat dalam gelap?” Damar Wulung pejamkan mata menarik nafas panjang
berulangulang.
Terbayang
olehnya kehidupan di masa kecil di desa Kaliurang. Terbayang wajah adiknya yang
terpisah dengan dirinya belasan tahun silam yaitu ketika terjadi bencana gunung
meletus. Terbayang saat-saat dia dan adiknya membantu orang tua mereka di
sawah, memandikan kerbau, mengagon itik. Semua pekerjaan itu mereka lakukan
dengan rasa suka cita sambil menyanyikan iagu Kami Anak Desa. Semula dia
mengira adiknya telah menemui ajal dalam bencana itu. Tapi suara siulan tadi
seolah membangkitkan satu kepercayaan dalam dirinya bahwa Adimesa, adiknya
masih hidup. Saat itu ingin dia terus mengejar ke arah lenyapnya bayangan tadi,
namun ketika teringat pada Ratu Duyung yang ditinggalkannya di dalam goa, Damar
Wulung batalkan niatnya. Dia memutar tubuh, dengan cepat kembali ke goa di
lamping bukit batu bersusun. (Mengenai kehidupan masa kecil Damar Wulung alias
Adisaka dan adiknya Adimesa harap baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke
Tanah Jawa.”)
Sebelum
masuk ke dalam goa masih penasaran Damar Wulung alias Adisaka palingkan kepala
ke arah kejauhan. Dia berharap suara siulan tadi akan terdengar kembali. Dia
berharap bayangan orang di dalam gelap yang dilihatnya tadi akan muncul kembali.
“Adimesa
adikku. Tak ada lain orang yang tahu nyanyian itu kecuali kau…” ucap Damar
Wulung perlahan dengan suara bergetar. Pemuda ini menarik nafas dalam lalu
berbalik dan langkahkan kaki masuk ke dalam goa. Bergerak tiga langkah ke dalam
goa, mendadak sontak gerakan kaki Damar Wulung terhenti. Sepasang kakinya
laksana dipakukan ke lantai goa. Dua matanya mendelik. Mulutnya ternganga.
Sulit dipercaya gadis itu berubah menjadi makhluk lain! Yang kini tergolek
miring di lantai goa, membelakanginya.
“Aku
tidak lamur, aku tidak salah melihat! Bagaimana ini bisa terjadi? Jangan-jangan
gadis tadi bangsa setan jejadian!” Damar Wulung maju lagi satu langkah.
Membungkuk ulurkan kepala. Membuka mata besar-besar.
Pemuda
ini benar-benar melengak. Sosok yang terbaring menelentang di lantai goa bukan
sosok Ratu Duyung si gadis cantik bermata biru. Tapi sosok lain seorang
berambut panjang kelabu riap-riapan, mengenakan jubah hitam. Dada Damar Wulung
berdebar, hatinya berdetak. Tiba-tiba sosok yang tergolek di lantai itu
bergerak membalik. Cahaya rembulan setengah lingkaran jatuh tepat di mukanya.
Kelihatanlah satu wajah menyeramkan seperti setan! Damar Wulung keluarkan
seruan tertahan. Kakinya tersurut ke belakang. Nyawanya serasa terbang. Walau
lidahnya mendadak kelu namun mulutnya masih bisa berucap.
“Guru!”
**********************
8
ORANG
berjubah hitam bermuka setan rambut kelabu riap-riapan membuat gerakan aneh.
Tubuhnya melesat ke atas, hampir menyandak atap goa dan tahu-tahu telah berdiri
hanya satu langkah di hadapan Damar Wulung.
“Guru…”
si pemuda kembali berucap. Yang dipanggil guru menyeringai, membuat wajahnya
semakin seram menggidikkan.
“Adisaka,
buka matamu besar-besar. Benarkah yang kau lihat berdiri di hadapanmu ini
adalah gurumu? Bukannya gadis bermata biru yang hendak kau gagahi itu?!”
Pucatlah wajah Damar Wulung alias Adisaka. Keringat dingin membasahi
tengkuknya. Dia tak bisa menjawab. Matanya melirik jelalatan mencaricari.
Hatinya bertanya-tanya. Kalau si nenek ini sekarang ada di dalam goa, lalu
dimana beradanya Ratu Duyung yang tadi jelas-jelas ditinggalkannya di tempat
ini?
“Adisaka,
perbuatan keji terkutuk inikah yang jadi hasil jerih payahku menggemblengmu
selama bertahun-tahun untuk menjadi seorang pendekar pembela kebenaran penegak
keadilan, pembela kaum lemah menghancurkan kesewenangwenangan?! Semula aku
mendengar banyak cerita tentang dirimu. Semua serba tak jelas karena mungkin
hanya berita dilayangkan angin belaka. Kini kalau tidak melihat dengan mata
kepala sendiri rasanya sulit aku mempercayai. Muridku, kau yang tadinya aku
harapkan menjadi pendekar besar ternyata adalah manusia keji yang tubuh dan
hatinya karatan oleh kebiadaban!” Damar Wulung dalam kaget dan kecut tak kuasa
menjawab jatuhkan diri, berlutut bahkan kemudian bersujud di hadapan gurunya si
nenek muka setan, yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah Hati adanya!
“Bangun!
Jangan bersujud di hadapanku!” bentak nenek muka setan dengan suara
menggeledek. Damar Wulung tersentak lalu cepat-cepat bangkit berdiri. Kepalanya
ditundukkan, tak berani menatap wajah apa lagi sepasang mata gurunya yang
berkilat laksana sambaran api.
“Dari
sikapmu bersujud, jelas otakmu sudah terbalik dan hatimu diselimuti air
comberan busuk! Aku tidak pernah mengajarkan padamu bahwa manusia harus
bersujud kepada manusia! Hanya pada Gusti Allah tempat manusia bersujud! Dalam
usahamu hendak coba selamatkan diri jangan kau berbuat salah kaprah! Kalau
tombak besi kau tusukkan ke dadaku, sakitnya mungkin tidak seberapa dibanding
dengan semua perbuatan yang telah kau lakukan.”
“Guru,
mohon maafkan diriku. Mohon aku diberi kesempatan untuk menjelaskan satu hal….”
“Aku
menyesal. Mungkin aku telah kesalahan mengambilmu sebagai murid. Karena
belakangan, setelah kau kugembleng kujadikan murid, terbetik berita bahwa sebenarnya
adikmulah yang aku inginkan untuk jadi murid. Entah bagaimana kejadiannya,
waktu terjadi bencana alam, aku hanya melihat dan menemuimu di dalam rimba….”
Damar Wulung jadi terdiam. Dia tidak menyangka gurunya akan mengeluarkan ucapan
seperti itu.
“Guru,
aku mohon sekali lagi. Aku tidak bermaksud membela diri. Namun izinkan aku
menjelaskan sesuatu yang ada hubungannya mengapa aku sampai menjalankan hidup
sesat seperti ini….”
“Hemm….
Setan mana yang menyambatmu hingga kau jadi manusia jahat, bejat budi pekerti!
Apa yang hendak kau jelaskan!” Gondoruwo Patah Hati meluluskan permintaan
muridnya walau sebenarnya dia tidak suka berlama-lama di tempat itu dan sudah
gatal tangan untuk segera menjatuhkan hukuman.
“Aku akan
jelaskan guru, harap kau suka mendengar. Tak berapa lama setelah aku kau lepas
meninggalkan pertapaan, aku terpesat ke satu rimba belantara di pantai selatan.
Di sana aku jatuh sakit, terserang demam panas. Rasanya saat itu tidak ada satu
orangpun yang bisa menolong. Aku sendiri tak mampu keluar dari hutan. Jangankan
melangkah, merangkakpun aku tak sanggup. Ajal sudah di depan mata. Lalu terjadi
satu keanehan. Seperti mimpi aku melihat muncul sosok seorang perempuan muda
berwajah cantik sekali. Di kepalanya ada sebuah mahkota terbuat dari emas berbentuk
kepala seekor ular. Sehelai pakaian hijau tipis membungkus tubuhnya. Karena ada
cahaya aneh menutupi auratnya maka tubuhnya soolah tidak mengenakan apa-apa.
Perempuan itu berkata bahwa dengan mudah dia bisa menyembuhkan sakitku. Tetapi
dengan satu syarat yaitu bahwa aku harus menyebadaninya. Memandangi tubuh
nyaris telanjang itu nafsuku bergejolak. Aku berusaha bertahan tapi sia-sia.
Apalagi perempuan cantik itu menunjukkan sikap mengundang dan aku perlu
kesembuhan. Dalam keadaan tidak sadar dan dirangsang nafsu setelah aku
disembuhkannya dengan cara aneh, perempuan itu mengajak aku melakukan hubungan
badan….”
“Kau
menerima ajakan setan betina itu! Kau menidurinya! Betul begitu?!” bentak
Gondoruwo Patah Hati.
“Betul
guru…” jawab Damar Wulung alias Adisaka.
“Cuahh!”
si nenek meludah ke tanah.
“Siapa
perempuan edan yang membuat kau mau melakukan perbuatan maksiat itu?”
“Dia
mengaku bernama Kunti Ambiri. Belakangan aku ketahui dia sebenarnya adalah Dewi
Ular….” Kagetlah si nenek muka setan mendengar nama dan gelar yang disebutkan
muridnya itu.
“Dewi
ular dari pantai selatan! Bukankah dia sudah lama menemui ajal dan rohnya
gentayangan tidak diterima bumi? Makhluk itu yang kau tiduri Adisaka?!” Damar
Wulung mengangguk. Si nenek terdiam, mata melotot memandangi muridnya.
“Adisaka,
aku tidak melihat apa hubungan Dewi Ular dengan banyak kejahatan yang telah kau
lakukan!” Gondoruwo Patah Hati akhirnya berkata. Damar Wulung usap mukanya yang
keringatan.
“Setelah
aku melakukan hubungan, dalam diriku terasa ada beberapa keanehan. Pertama ada
dorongan untuk selalu melakukan kejahatan. Kedua aku seperti tidak bisa
melupakan Dewi Ular. Akibatnya aku dijadikan budak nafsu oleh makhluk siluman
ular itu. Berbulan-bulan aku berada di tempat kediamannya….”
“Tidak
disangka, jadi kau sudah hidup bergendak dengan makhluk terkutuk jejadian itu!
Edan!” Damar Wulung hanya bisa menelan ludahnya. Dia ragu hendak meneruskan
ceritanya.
“Apa
kisah edanmu sudah selesai?!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
“Belum,
Nek. Kalau boleh aku melanjutkan. Setelah berbulan-bulan berada bersamanya,
suatu hari Dewi Ular berkata. Ada satu tugas yang harus aku lakukan.”
“Tugas
apa?” tanya sang guru muka setan.
“Mencari
seorang pendekar, menangkapnya hidup-hidup lalu membawanya ke hadapan Dewi Ular
di pantai selatan….”
“Siapa
pendekar yang diinginkan Dewi Siluman itu?”
“Pendekar
212 Wiro Sableng,” jawab Damar Wulung. Terkejutlah si nenek mendengar gelar dan
nama yang disebutkan. Matanya sampai mendelik memandang tak berkedip pada sang
murid. Lalu muiutnya menyeringai. Perlahan-lahan keluar suara tertawa.
“Mencari,
menangkap dan membawa Pendekar 212! itu bukan pekerjaan mudah. Selusin manusia
berkepandaian setingkatmu belum tentu mampu melakukannya. Kau mencari penyakit
Adisaka! Jika kau patuhi perintah dewi siluman itu, firasatku mengatakan umurmu
tidak akan lama. Kecuali jika kau mengikuti apa yang akan kukatakan. Malam ini
juga kau harus ikut ke pertapaanku di Kali Lanang. Kau harus bertobat di sana.
Jika kau membangkang, kuhabisi seluruh ilmu yang ada di tubuhmu saat ini juga!
Sebelum matahari muncul kau akan berubah menjadi seorang kere pasar tanpa
kepandaian, tanpa ilmu kesaktian!” Pucat muka Damar Wulung alias Adisaka.
“Guru,
aku berterima kasih kau masih memperhatikan diriku. Tapi aku tidak mungkin
mematuhi perintahmu….”
“Apa kau
bilang?!” hardik si nenek.
“Dewi
Ular telah memberiku minum air sorga iblis….”
“Air
sorga, tapi ada iblisnya! Minuman laknat apa itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati.
“Pertama
kali berada di tempat kediamannya Dewi Ular menyuguhkan secangkir minuman
berwarna putih. Ketika kuminum, tubuhku terasa sangat segar dan enteng. Ada
satu kekuatan aneh mengalir di setiap pembuluh darahku. Bersamaan dengan itu
hasrat kelaki-lakianku menggebu seperti kobaran api yang tidak padam oleh tiupan
topan dan curahan hujan. Selama cairan itu mendekam dalam diriku, aku tak
mungkin melepaskan diri dari perbuatan keji. Tubuhku seperti terbakar jika
dalam satu kali bulan purnama aku tidak dapat melepas kobaran nafsu. Selama di
tempat kediamannya Dewi Ular selalu melayani diriku. Tapi setelah berada di
luaran, aku terpaksa mencari sendiri….”
“Jahanam!
Laknat terkutuk! Kejahatanmu bukan cuma memperkosa gadis. Aku mendengar lebih
dari itu!” teriak Gondoruwo Patah Hati. Saking marahnya dia hantamkan tangan kanannya.
“Bukkk!
Byaarrr!”
Dinding
batu goa amblas runtuh.
“Adisaka,
sebelum dosamu makin bertumpuk setinggi gunung, malam ini juga kau harus ikut
ke Kali Lanang….”
“Guru,
jika kau mau memberi kesempatan. Setelah aku menangkap dan membawa Pendekar 212
ke hadapan Dewi Ular, Dewi berjanji akan memberikan obat pemunah air sorga
iblis itu.” (Kisah dendam kesumat Dewi Ular terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng
dapat diikuti dalam serial berjudul “Dewi Ular“. Baca juga Episode berjudul
“Dendam Dalam Titisan” yaitu Episode ke 10 dari 11 Episode “Tua Gila dari
Andalas“.)
“Jangan
kau percaya omongan dan janji-janji siluman betina itu. Sekali kau telah
dijadikan budak nafsu, kau tak akan dilepaskannya seumur hidup. Kau baru akan
dilepas kalau sudah tidak berguna lagi baginya. Dan ingat, bukan tubuhmu yang
dilepas pergi, tapi nyawamu yang akan dilepas amblas olehnya! Sekarang ikut aku
ke Kali Lanang….” Waktu bicara Gondoruwo Patah Hati tak bergerak di tempatnya.
Tak kelihatan ada bagian tubuhnya yang bergerak. Tapi tiba-tiba lima sinar
hitam menderu.
“Bet…
bet… bet… bet… bet!”
“Totokan
Lima Jari Langit!” Damar Wulung berteriak keras. Dia cepat menghindar
selamatkan diri. Tapi kalah cepat. Lima sinar hitam mendarat di lima bagian
tubuhnya. Saat itu juga tangan dan kakinya menjadi kaku tak bisa bergerak.
“Guru,
mengapa kau lakukan ini terhadapku?” ujar sang murid.
“Bukankah
aku sudah bersedia mengikuti kehendakmu kalau aku sudah menangkap Pendekar 212
dan membawanya ke hadapan Dewi Ular….”
“Urusan
kentut busuk! Siapa mau ikut campur! Biar aku selesaikan urusanmu di sini
saja!” jawab si nenek. Lalu dia melangkah mendekati muridnya, siap membembeng
leher pakaian pemuda itu dan menyeretnya keluar goa. Tapi alangkah kagetnya
Gondoruwo Patah Hati ketika melihat apa yang terjadi. Di tempatnya berdiri dia
melihat bagaimana mulut muridnya dalam keadaan terkancing bergerak komat-kamit.
Lalu tubuh si pemuda bergetar hebat. Bersamaan dengan itu ada hawa tipis
kebiruan keluar dari permukaan tubuh dan pakaiannya. Lalu terdengar suara letupan
halus lima kali berturutturut.
“Dess…
dess… dess… dess… dess!”
Satu
teriakan keras melesat keluar dari mulut Adisaka. Tubuhnya yang tadi kaku
tiba-tiba bergerak lalu dalam satu gerakan kilat melesat ke mulut goa.
“Murid
jahanam! Jangan lari!” Gondoruwo Patah Hati mengejar sambil lepaskan satu
pukulan sakti.
“Kraakkk…!”
Batang
pohon besar di seberang mulut goa hancur. Pohonnya tumbang dengan suara
bergemuruh. Tapi Damar Wulung sang murid yang terlahir Aengan nama Adisaka
lenyap sirna tak kelihatan lagi bayangannya. Hanya dikejauhan terdengar suara
kuda dipacu dan suara inipun kemudian lenyap.
“Anak
itu…. Kalau tidak ada yang mencegahnya, rimba persilatan tanah Jawa bisa
kiamat! Dia mampu melepaskan diri dari Totokan Lima Jari Langit yang aku
lepaskan dari jarak jauh. Ilmu setan apa yang dimilikinya? Dari siapa dia
mendapatkannya? Dari Dewi Ular?” Si nenek geleng-geieng kepala dan tarik nafas
panjang berulang kali.
Tiba-tiba
dia ingat sesuatu. Cepat dia Jari ke balik sebuah batu besar di ujung kiri
dinding batu. Di situ menggeletak sosok tubuh seorang gadis. Auratnya di bagian
dada hampir tidak tertutup karena pakaiannya robek besar. Matanya yang biru
mendelik ketakutan ketika melihat munculnya nenek berwajah setan. Tapi ketika
si nenek mulai memeriksa keadaannya dia segera maklum orang tidak berniat
jahat, malah hendak menolongnya. Gadis ini bukan lain adalah Ratu Duyung.
Ketika Damar Wulung keluar dari goa untuk mencari orang yang bersiul, si nenek
yang memang sudah lama mengikuti gerak-gerik muridnya sampai di tempat itu. Dia
segera menggendong Ratu Duyung keluar dari goa dan meninggalkannya di satu
tempat yang aman di balik batu.
“Gadis
cantik, ketika tadi kau kutolong kau masih dalam keadaan pingsan. Tidak salah
kalau saat ini kau ketakutan setengah mati melihat tampangku! Keadaanmu cukup
parah. Anak keparat itu telah menotokmu dengan Totokan Jari Bumi, dua tingkat
lebih rendah dari Totokan Jari Langit. Kau tak usah khawatir. Aku akan
menclongmu, kau akan sembuh. Jika kau sudah bebas berjanjilah untuk menceritakan
apa yang terjadi!” Gondoruwo Patah Hati mendongak ke langit.
Telapak
tangan kanan dikembang, lima jari berkuku panjang dipentang lurus.
Perlahan-lahan, mulai dari kepala sampai ke kaki si nenek sapukan tangannya
satu jengkal di atas permukaan tubuh Ratu Duyung. Setiap sapuan tangan sampai
di bagian tubuh yang terkena totokan terdengar suara letupan halus.
“Dess…
desss….”
Dari
bagian tubuh yang barusan terlepas totokannya keluar cahaya biru, tersedot dan
menempel di telapak tangan si nenek. Ternyata ada tujuh bagian tubuh Ratu
Duyung yang terkena totokan. Begitu totokan ke tujuh lepas Ratu Duyung
menggeliat lalu melompat bangkit. Dadanya bergoncang keras. Perutnya terasa
mual. Dia meludah. Tengkuknya merinding ketika melihat ludahnya yang jatuh di batu
berwarna kebiru-biruan.
“Murid
keparat itu! Pasti dia yang melakukan. Dia menebar asap sirapan….” Sadar kalau
dirinya baru saja diselamatkan orang Ratu Duyung segera melangkah ke hadapan
Gondoruwo Patah Hati.
“Nenek,
aku Ratu Duyung menghaturkan terima kasih setinggi langit sedalam samudera.
Kalau tidak kau yang menolong, diriku tentu sudah kejatuhan aib besar.” Si
nenek yang diberi ucapan terima kasih bukannya merasa senang tapi unjukkan
tampang kaget dan mundur sampai dua langkah.
“Telingaku
tidak tuli. Tapi coba ulang sekali lagi. Kau menyebut namamu tadi. Siapa…?”
“Aku Ratu
Duyung….”
“O walah!
Tidak pernah mimpi bakal bertemu dengan penguasa kawasan selatan paling cantik!
Tidak pernah menyangka gadis yang aku tolong ternyata Ratu Duyung, gadis cantik
sakti mandraguna yang punya nama besar di delapan penjuru angin Tanah Jawa….”
Ratu Duyung tersipu malu.
“Nek, kau
jangan keliwat memuji….”
“Aku
tidak memuji. Aku berkata apa adanya!” jawab si nenek.
“Gadis
bermata biru, pakaianmu tidak karuan. Pakai ini untuk menutupi tubuhmu. Setelah
itu aku ingin mendengar penjelasanmu. Bagaimana kau sampai berada dalam keadaan
ini. Diculik orang!” Dari buntalan yang ada di pinggang kirinya si nenek muka
setan keluarkan sehelai pakaian. Begitu diserahkan Ratu Duyung segera
mengenakan pakaian itu untuk menutupi pakaiannya yang robek besar di bagian
dada. Ratu Duyung seolah baru sadar. Wajahnya yang cantik mendadak bengis.
Sepasang matanya memancarkan kilatan sinar biru.
“Pemuda
jahanam bernama Damar Wulung itu! Dia layak mati di tanganku! Dia juga telah
mencuri cermin saktiku!” Ratu Duyung hendak melompat ke arah goa. Tapi si nenek
cepat memegang bahunya.
“Tak ada
gunanya mengejar. Pemuda itu sudah kabur. Kalau tidak selesai di tanganku,
kelak akan ada orang lain membereskannya. Mengenai cermin saktimu itu, aku
berjanji akan merampasnya dan mengembalikan padamu.”
“Nek,
tadi kau menyebut pemuda itu sebagai muridmu. Aku….”
“Dia
memang muridku. Tapi ketahuilah, belasan tahun sifam ketika aku memasuki satu
rimba belantara dalam mengejar seorang anak leiaki yang jadi rebutan para tokoh
rimba persilatan, aku berhasil lebih dulu mendapatkan anak itu. Tapi mungkin
aku kesalahan tangan memilih. Nasibku sial. Yang kudapat bukan murid baik-baik,
tapi murid celaka! Aku sungguh menyesal. Apalagi setelah mengetahui apa yang
dilakukannya atas dirimu. Dia kena batunya. Dia mungkin tidak tahu siapa kau
sebenarnya….” Si nenek terdiam sebentar. Dipandanginya wajah Ratu Duyung yang
cantik jelita dengan pandangan haru tapi juga penuh rasa kagum.
“Ratu
Duyung, sebelum kita berpisah aku ingin kau menceritakan kejadian bagaimana kau
sampai dicuiik dan dibawa murid keparat itu ke tempat ini….”
“Aku
sendiri tidak sadar kalau telah jadi korban penculikan. Aku baru tahu setelah
berada dalam goa. Tadinya aku dan tiga orang kawan berada di sebuah kuil. Aku
yakin saat itu kami telah tertidur. Ketika bangun dan sadar aku dapatkan diriku
hendak digagahi muridmu yang bernama Damar Wulung itu….”
“Damar
Wulung itu nama paisu. Nama sebenarnya adalah Adisaka…” kata Gondoruwo Patah
Hati.
“Melihat
pada telapak tanganku yang berwarna biru, juga pada air ludahmu yang berwarna
biru, agaknya Adisaka telah menyirap dirimu dan kawan-kawan dengan sejenis
sirapan mengandung racun. Tadi katamu kau bersama tiga orang teman. Mereka
sekarang berada di mana?”
“Astaga!
Jangan-jangan mereka masih berada di kuil. Jangan-jangan mereka telah
diperlakukan keji oleh Adisaka! Aku harus segera kembali ke kuil itu….”
“Ya,
pergilah cepat. Aku ada kepentingan lain. Tak bisa ikut bersamamu.”
“Tak jadi
apa Nek. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih padamu. Kalau umur sama
panjang kita akan bertemu lagi. Semoga Gusti Allah memberi jalan bagiku untuk
membalas budi luhurmu ini!” Si nenek tertawa perlahan. Walau perempuan tua ini
berwajah seram seperti setan tapi entah mengapa Ratu Duyung merasa senang
padanya. Begitu ingat sesuatu Ratu Duyung berkata.
“Nek,
maafkan kalau aku bicara mungkin menyinggung perasaanmu. Kalau kau mau ikut aku
ke pantai selatan, aku dan orang-orangku bisa mengobati cacat diwajahmu. Kau
akan kembali memiliki wajah secantik yang kau inginkan….” Si nenek pandangi
Ratu Duyung. Matanya tampak berkaca-kaca. Lalu mulutnya berucap.
“Ratu
Duyung, terima kasih atas kebaikan hati dan budi tulusmu itu. Namun aku merasa
bahagia hidup dengan wajah seperti ini. Biarlah aku tetap berada dalam keadaan
begini.” Ratu Duyung merasa terharu mendengar ucapan si nenek. Si nenek sendiri
masih bisa tersenyum. Seolah didorong oleh perasaan yang sama, kedua orang ini
saling melangkah mendekat lalu berpelukan.
“Nek,
sekali lagi terima kasih….”
“Kau
gadis cantik luar biasa. Aku kagum karena kecantikan bukan cuma ada di wajahmu,
tapi juga ada di lubuk hati sanubarimu….” Selagi kedua orang itu saling
berangkulan sebelum berpisah, di balik sebuah batu besar ada orang berbisik
pada dua temannya.
“Lihat
apa yang terjadi! Ratu Duyung berpelukpelukan dengan penculiknya!”
“Celaka,
jangan-jangan sahabat kita itu telah kena diguna-guna…” menyahuti orang di
samping kiri. Orang ke tiga yang ada di sebeiah kanan ikut bicara.
“Aku
pernah mendengar tentang perempuan-perempuan aneh yang hanya suka pada sesama
jenisnya! Jangan-jangan Ratu Duyung telah melakukan hubungan gila dengan nenek
muka setan itu!”
“Kita
harus segera keluar! Kalian berdua selamatkan Ratu Duyung, aku biar membeset
tua bangka keparat itu!” Laksana kilat, tiga bayangan berkelebat dari balik
batu besar. Gondoruwo Patah Hati tersentak kaget ketika merasakan gadis yang
tengah dipeluknya terbetot lepas dari rangkulannya. Ratu Duyung sendiri tak
kalah kejutnya. . Bersamaan dengan itu terdengar satu bentakan garang.
“Iblis
penculik! Bersiaplah menerima kematian! Akan kukikis setiap gumpalan daging
yang melekat di tulang belulang dalam tubuhmu!” Cahaya putih terang berkiblat
dalam gelapnya malam!
**********************
9
NENEK
muka setan Gondoruwo Patah Hati berseru kaget ketika dapatkan dirinya
terbungkus dalam serangan pedang yang menabur cahaya putih menyilaukan dan
sambaran hawa dingin menggidikan. Dengan cepat nenek ini melompat selamatkan
diri sambil tangan kanannya melepas pukulan. Lima sinar hitam menderu keluar
dari lima kuku.
“Wuttt!”
Cahaya
putih kilauan pedang menyambar.
“Bett…
bett… bett… bett… bett!”
Lima
larik sinar hitam amblas bertaburan. Si nenek terpekik. Cepat tarik tangan
kanannya yang mendadak ngilu kesemuatan. Wajah setannya mengkeret garang.
Mulutnya membentak lantang pada orang yang barusan menyerangnya.
“Gadis
liar! Tak ada ujung pangkal mengapa kau menyerangku?!” sepasang mata si nenek
mengawasi pedang tipis di tangan orang. Yang dibentak balas menghardik.
“Penculik
busuk! Sudah tertangkap basah masih bisa jual lagak di hadapanku! Lihat pedang
dan mampuslah!”
“Gadis
jahanam! Siapa jadi penculik! Enak saja kau menuduh! Kau yang mampus duluan!”
Gondoruwo Patah Hati tekankan tumit kanannya ke tanah. Bersamaan dengan
menyambarnya pedang di tangan lawan, tubuh nenek ini melesat ke udara,
berjungkir balik satu kali. Begitu melayang turun, laksana kilat lima kuku jari
tangan kanannya menyambar ke kepala lawan.
“Breettt!”
Jubah
Gondoruwo Patah Hati robek besar di sebelah bawah termakan ujung pedang.
Sebaliknya si penyerang berseru kaget, muka pucat ketika kuncir rambut di atas
kepalanya putus, membuat rambutnya yang panjang hitam terurai lepas
riap-riapan. Kalau tidak cepat dia rundukkan kepala tadi, bisa-bisa ubun-ubun di
batok kepalanya amblas dijebol orang! Sementara itu Ratu Duyung yang dicekal
dua orang membentak marah. Sambil berusaha lepaskan diri dia coba melihat siapa
dua orang di kiri kanannya yang mencekal dirinya.
“Anggini!
Bidadari Angin Timur! Apa-apaan ini? Mengapa kalian mencekalku begini rupa?!”
Berseru Ratu Duyung ketika dia mengenali siapa dua orang yang tengah
mencekalnya.
“Ratu
Duyung, mengucaplah! Sebut nama Tuhan!” menyahuti Anggini yang berada di
sebelah kiri.
“Kami
baru saja melepaskanmu dari penculikmu!”
“Lebih
dari itu,” berucap Bidadari Angin Timur.
“Beruntung
kau kami lepaskan dari aib besar!”
“Kalian
berdua apa sudah gila? Kalian sadar apa yang barusan kalian ucapkan?!” Anggini
dan Bidadari Angin Timur jadi saling pandang. Ratu Duyung menyusul ucapannya
tadi.
“Nenek
muka seram itu bukan penculik! Justru dia yang menyelamatkan diriku dari
penculik sebenarnya! Gila! Aib besar apa yang telah aku perbuat?”
“Kami…
kami lihat kau berpeluk bermesramesra dengan nenek itu. Bagaimana mungkin
kalian yang sesama jenis….”
“Benar-benar
gila! Kalian berdua salah duga! Tunggu! Nanti aku jeiaskan pada kalian!” Saat
itu Ratu Duyung menyaksikan bagaimana Pedang Naga Suci 212 di tangan Puti
Andini bertabur laksana curahan hujan menyerbu mengurung Gondoruwo Patah Hati
hingga si nenek kelihatan terdesak hebat. Meski diserang gencar habishabisan
namun Gondoruwo Patah Hati masih sanggup bertahan sambil sesekali lepaskan
pukulan tangan kosong sangat berbahaya. Jika perkelahian itu tidak segera
dihentikan, salah satu dari keduanya pasti akan celaka.
“Brettt!”
Ujung
jubah hitam lengan kiri si nenek terbabat putus.
“Bukkk!”
Bahu kiri
Puti Andini kena dihajar pukulan lawan. Walau tidak telak, hanya terserempet
tapi cukup membuat Puti Andini melintir. Selagi dia berusaha mengimbangi diri
tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang sudah kena dicekal lawan. Lima
kuku panjang mencengkeram pergelangannya. Kalau si nenek mau sekali meremas
lima kuku itu akan masuk amblas ke dalam daging lengan sampai ke tulang. Tapi
anehnya walau dalam keadaan marah besar si nenek tidak melakukan hal itu.
Sebaliknya Puti Andini merasa tidak sanggup lepaskan tangan dari cekalan,
dengan cepat hantamkan sikut kirinya ke rusuk lawan. Si nenek menangkis dengan
menyambut serangan itu dengan telapak tangan kiri. Melihat Puti Andini tidak
berdaya bahkan bisa celaka di tangan lawan, Bidadari Angin Timur dan Anggini
segera lepaskan cekalannya pada Ratu Duyung lalu melompat seraya lepaskan
pukulan tangan kosong ke arah si nenek.
“Bukk!”
“Bukk!”
Dua pukulan
keras melabrak tubuh Gondoruwo Patah Hati. Sosok si nenek terpental,
bergulingan di tanah tapi sesaat kemudian sosok itu melesat ke atas, melompat
dan tegak berdiri sambil menyeringai. Pedang Naga Suci 212 yang tadi ada dalam
genggaman Puti Andini kini berada dalam pegangan tangan kanan si nenek.
“Penculik
keparat! Kembalikan pedangku!” teriak Puti Andini. Bidadari Angin Timur dan
Anggini ikut membentak. Tiga gadis itu kemudian serentak menyerbu si nenek.
Saat itulah Ratu Duyung berkelebat memapaki gerakan tiga sahabatnya sambil
dorongkan dua tangannya.
“Teman-teman!
Tahan!” Tubuh Puti Andini, Bidadari Angin Timur dan Anggini seolah tertahan
oleh satu tembok semu, tak dapat meianjutkan serangan.
“Ratu
Duyung, kau pasti telah kena digunagunai nenek muka setan itu. Kami hendak
menolongmu dari tangan jahatnya, kau malah membelanya!” berkata Puti Andini.
“Teman-teman.
Kalian salah menduga! Nenek itu bukan penculikku. Justru dia yang menyelamatkan
diriku dari tangan penculik sebenarnya! Yang menculikku bukan dia, tapi pemuda
bernama Damar Wulung!” Kagetlah tiga gadis itu di hadapan Ratu Duyung. Tapi
juga ada rasa kurang percaya.
“Damar
Wulung?!” ujar Bidadari Angin Timur.
“Bukankah
dia pemuda yang siang tadi menolong kita dari tangan para penjahat? Mengapa
sekarang tahu-tahu….” Saat itu Gondoruwo Patah Hati telah berdiri di hadapan
Puti Andini. Dia pandangi si gadis lalu perhatikan Pedang Naga Suci 212 di
tangan kanannya.
“Pedang
bagus…. Bukan saja sakti mandraguna tapi juga sarat dengan riwayat….” Si nenek
angsurkan senjata itu pada Puti Andini sambil tersenyum dan kedipkan matanya.
“Ketika
kau belum dilahirkan, aku sudah mendengar riwayat pedang ini. Bahkan aku adalah
sahabat salah seorang pewarisnya. Gadis cantik, kau beruntung menjadi pewaris
berikutnya. Terima kembali pedangmu!” Puti Andini sesaat jadi terkesima
mendengar kata-kata Gondoruwo Patah Hati.
“Kau
nenek penculik…. Aku…. An!”
“Ambil
dulu pedang ini! Kalau aku berubah pikiran, ingin memiliki dan melarikannya.
Sampai diliang kubur kau tak bakalan mendapatkannya kembali! Hik… hik… hik!”
Puti Andini sadar. Cepat-cepat dia mengambil senjata itu. Dia ingat satu hal.
Pedang Naga Suci bukan senjata sembarangan. Jika ada orang yang ingin berbuat
jahat hendak memiiikinya, bahkan seorang yang dianggap tidak suci atau tidak
perawan lagi, maka tangannya akan terkelupas hangus dimakan hawa sakti yang ada
dalam pedang. Sambil pegangi Pedang Naga Suci 212 Puti Andini membatin.
“Nenek
muka setan ini, tangannya tidak terkelupas tidak cidera. Berarti dia memang
tidak punya niat jahat. Lalu, apakah seusia begini lanjut dia masih perawan?”
“Anak
gadis, apa yang ada dalam benakmu?” Gondoruwo Patah Hati bertanya. Suaranya
penuh kelembutan.
“Nek,
apakah kau… kau…?” Si nenek tertawa lebar,
“Aku tahu
apa yang hendak kau tanyakan. Simpan dulu pertanyaanmu itu. Satu hari kau bakal
menemukan jawabannya. Sekarang di hadapan teman-temanmu aku ingin bertanya,
apakah kau masih menuduhku sebagai penculik?” Puti Andini jadi bingung sendiri,
tak bisa menjawab.
“Kami
melihat kalian bermesraan. Kami menduga kalian tengah melakukan hubungan yang
tidak wajar!” Bidadari Angin Timur berucap. Si nenek kembali tertawa.
“Kalau
sahabatmu ini punya kelainan, masakan dia mau-mauan dengan seorang tua bangka
bermuka seram seperti diriku? Pasti dia akan mencari gadis cantik seusia atau
lebih muda dari dirinya.” Gondoruwo Patah Hati berpaling pada Puti Andini lalu
berkata.
“Tenangkan
jalan pikiran dan hatimu! Ingat baik-baik apa yang sebelumnya terjadi. Aku
yakin kau bakal tahu kalau aku ini bukan penculik keji itu….” Puti Andini
merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata.
“Ya, aku
ingat sekarang Nek. Maafkan diriku….”
“Jangan
buru-buru minta maaf. Cerita saja apa adanya,” kata Gondoruwo Patah Hati pula.
“Waktu
itu aku dan teman-teman berada di sebuah kuil. Mereka mungkin sudah terlelap
dalam tidur nyenyak. Aku sendiri sulit memejamkan mata. Lalu di halaman kulihat
ada kepulan asap, berhembus memasuki kuil. Lalu samar-samar kulihat ada orang
di halaman, melangkah memasuki kuil. Karena gelap aku tidak dapat melihat
wajahnya….”
“Wajahnya
tidak kau lihat, tapi sosoknya pasti kau kenali. Apakah dia mengenakan jubah
hitam seperti yang aku kenakan?” Puti Andini menggeleng.
“Apakah
dia seorang perempuan, seorang nenek tua buruk seperti diriku?” Puti Andini
terdiam, lalu kembali gelengkan kepala.
“Aku
sadar sekarang. Orang yang memasuki kuil itu adalah seorang lelaki. Dia
berhenti di hadapanku, lalu mendekati salah seorang sahabatku. Lalu bergerak ke
tempat Ratu Duyung. Mendukung sahabatku di atas bahunya lalu melarikannya. Aku
hendak mengejar tapi tangan dan kakiku lumpuh, kepala terasa berat, pemandangan
berkunang. Untung aku kemudian masih mampu membebaskan diri dari hawa aneh yang
menguasai tubuhku. Aku segera membangunkan dua sahabatku. Ternyata mereka bukan
cuma tidur tapi dalam keadaan setengah pingsan. Aku berhasil memulihkan keadaan
mereka lalu melakukan pengejaran….”
“Kau
beruntung. Ketika asap pehyirap memasuki kuil kau berada dalam keadaan terjaga
hingga racun jahat tidak banyak terhirup ke dalam jalan darahmu. Tapi dua
temanmu ini masih mengindap cukup banyak hawa beracun dalam tubuhnya. Aku akan
menolong keduanya. Cuma sekarang aku ingin tahu, apakah kau dan kawankawanmu
masih menuduh aku sebagai penculik?”
“Maafkan
aku dan teman-teman Nek. Kau, kau bukan penculik Ratu Duyung…” jawab Puti
Andini.
“Kalau
begitu siapa yang telah menculik sahabat kami? Apa kau tahu orangnya?” tanya
Bidadari Angin Timur.
“Sebelum
aku menjawab pertanyaan itu, apa aku boleh mengetahui satu persatu siapa kalian
bertiga yang jadi sahabat Ratu Duyung?”
“Aku Puti
Andini. Maafkan diriku tadi telah menyerangmu habis-habisan….” Si nenek
tertawa.
“Kalau
tak salah kau gadis berkepandaian tinggi dari Pulau Andalas….”
“Aku
Bidadari Angin Timur.”
“Hemmm….
Rambut pirang, tubuh menebar bau wangi, pakaian warna biru, tubuh tinggi
semampai dan ada lesung pipit di pips. Aku sudah menduga sejak tadi kau adalah
gadis cantik yang dijuluki Bidadari Angin Timur….”
“Aku
Anggini….”
“Anggini!”
si nenek kerenyitkan kening.
“Namamu
mengingatkan aku pada satu kisah yang pernah diriwayatkan oleh seorang sahabat.
Kisah perjodohan antara kau dengan seorang pemuda gagah berjuluk Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212….” Wajah Anggini serta merta bersemu merah. Puti Andini
sengaja alihkan pandangan ke jurusan lain. Ratu Duyung tundukkan kepala. Hanya
Bidadari Angin Timur yang melontarkan lirikan, memperhatikan sikap Anggini.
Jelas bayangan kecemburuan tak bisa disembunyikan si cantik berambut pirang
ini. Si nenek tertawa perlahan.
“Dalam
keadaan seperti ini harap maafkan kalau aku bermulut lancang membicarakan
urusan pribadi orang. Empat gadis cantik! Kalian berada jauh dari tempat
kediaman masing-masing. Apa yang tengah kalian lakukan? Kalian mencari
sesuatu?”
“Kami
dalam perjalanan menuju Gunung Gede,” jawab Anggini.
“Gunung
Gede! Itu adalah pertapaan tempat kediaman Sinto Gendeng, guru Pendekar 212!”
kata si nenek lalu pandangi wajah empat gadis itu satu persatu. Dalam hati dia
membatin.
“Empat
gadis cantik… dari bayangan di balik wajahmu aku tahu hati kalian sama
tertambat pada pemuda itu. Entah siapa yang beruntung diantara kalian yang
bakal dapat menjadikan dirinya sebagai teman hidup.”
“Kami
memang tengah mencari pemuda sahabat kami itu, Nek,” kata Ratu Duyung. Lalu dia
menceritakan riwayat dua makam setan yang telah mereka temui di Kopeng dan
Banyubiru serta maksud perjalanan menuju puncak Gunung Gede.
“Kisah
aneh tapi nyata. Di balik keanehan dan kenyataan itu kalian harus berhati-hati.
Aku punya firasat ada seseorang tengah menyiasati jebakan berbahaya. Karena
ketahuilah, beberapa waktu lalu aku telah berjumpa dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng yang kalian cari.”
“Hah?!”
Empat mulut bagus sama keluarkan seruan kaget.
“Dimana
kau menemui dia Nek?!” tanya Anggini.
“Jadi
Wiro masih hidup!” ujar Bidadari Angin Timur. Gondoruwo Patah Hati lalu
menuturkan pertemuannya dengan Wiro di satu kaki bukit. Tak lupa dia
menceritakan bagaimana secara tidak terduga muncul rombongan orang-orang
Kerajaan hendak menangkap murid Sinto Gendeng itu.
“Kami
berdua berhasil memperdayai para tokoh silat Kerajaan dan melarikan diri. Bukan
itu saja. Banyak korban berjatuhan di pihak lawan. Kini aku dan pemuda itu
menjadi buronan Kerajaan. Sial dan celakanya hidup ini. Hik… hik… hik!” Si
nenektertawa cekikikan.
“Lalu
bagaimana dengan kabar bahwa dia sebenarnya sudah mati dua tahun lalu?” Puti
Andini ikut bicara.
“Mungkin….”
Anggini tidak meneruskan ucapannya.
“Mungkin
apa?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Mungkin
Wiro memang sebenarnya sudah menemui kematian. Yang ditemui si nenek adalah
arwahnya yang gentayangan…” jawab Anggini.
“Berani
dan teganya kau berkata seperti itu!” kata Bidadari Angin Timur.
“Maksudku
bukan apa-apa. Semua yang terjadi jauh dari jangkauan akal.” Ratu Duyung cepat
menengahi sebelum terjadi pertengkaran antara Bidadari Angin Timur dan Puti
Anggini.
“Ada
orang sangat jahat menyiasati kita. Ingin mencelakai kita berempat!”
“Nek,
jika Wiro masih hidup, seteiah berpisah dengan dirimu, apakah dia memberitahu
apa yang hendak dilakukannya? Kemana dia hendak pergi?” bertanya Puti Andini.
“Pendekar
seperti dia sukar diduga apa yang hendak dilakukan. Dicari sulit setengah mati.
Tidak dicari muncul sendiri. Tapi aku punya dugaan karena semua prasangka
datang dari Kerajaan maka dia mungkin akan masuk ke dalam lingkaran Kerajaan.
Bukan mustahil dia akan menyusup ke Kotaraja.” Empat gadis sama terdiam. Tak
terasa meluncur ucapan Anggini.
“Kalau
saja Kotaraja dekat dari sini….”
“Gunung
Gede tak berapa jauh lagi. Kalau kita menuju Kotaraja sekarang sama saja
mencari kesia-siaan,” kata Puti Andini pula.
“Para
sahabat,” kata Bidadari Angin Timur.
“Apapun
yang kini kita ketahui, satu hal harus tetap kita lakukan. Menyelidik sampai ke
puncak Gunung Gede dimana Makam Ke Tiga berada….”
“Empat
gadis cantik. Apapun yang kalian lakukan agar selalu hati-hati…” kata Gondoruwo
Patah Hati. Sesaat tempat itu tenggelam dalam kesunyian sampai akhirnya
Bidadari Angin Timur berkata.
“Nek, kau
belum menjawab pertanyaanku tadi. Yaitu siapa sebenarnya yang telah menculik
sahabat kami Ratu Duyung?” Si nenek memandang sebentar ke arah Ratu Duyung.
Melihat cara memandang si nenek Anggini, Puti Andini dan Bidadari Angin Timur
segera memaklumi kalau sahabat mereka satu itu sebenarnya sudah tahu siapa
penculik dirinya. Gondoruwo Patah Hati menghela nafas panjang. Dengan suara
tabah dia berkata.
“Aku
tidak malu mengatakan. Orang yang menculik sahabat kalian itu adalah seorang
pemuda yang kalian kenal dengan nama Damar Wulung. Dia adalah muridku
sendiri….” Tiga pasang mata terpentang lebar. Tiga orang gadis langsung menunjukkan
sikap waspada. Melihat gerakan-gerakan yang dibuat tiga temannya Ratu Duyung
cepat berkata.
“Nenek
ini telah mengambil keputusan untuk mencari dan menghukum muridnya. Harap
kalian tidak menaruh syak wasangka buruk lagi terhadapnya….”
“Nek,
kalau aku boleh tanya, siapakah kau sebenarnya?” Si nenek menatap paras
Bidadari Angin Timur yang barusan mengajukan pertanyaan.
“Dalam
rimba persilatan aku dikenal dengan nama Gondoruwo Patah Hati,” jawab si nenek.
Bidadari Angin Timur dan Puti Andini tidak memberikan kesan apa-apa pada wajah
masingmasing. Lain halnya dengan Anggini yang telah lebih lama malang melintang
dalam rimba persilatan dibanding tiga gadis sahabatnya itu. Walau tidak banyak,
dari kakeknya Dewa Tuak, dia pernah mendengar riwayat tentang nenek satu ini.
Satu pikiran terlintas dalam benak Anggini. Dia segera mendekati Ratu Duyung.
“Nek,”
Puti Andini berucap.
“Ada satu
hal yang masih belum masuk dalam jalan pikiranku. Siang tadi Damar Wulung
menolong kami dari tangan sembilan penjahat. Mengapa sekarang dia berbalik
hendak berbuat jahat terhadap kami?” Gondoruwo Patah Hati menarik nafas
panjang.
“Aku
tidak tahu apa yang terjadi dengan anak itu. Sejak dia menjadi budak nafsu Dewi
Ular pikirannya boleh dikatakan tidak waras lagi. Sesaat dia bisa menjadi orang
baik. Di lain kejap dia bisa berubah menjadi manusia laknat paling terkutuk di
muka bumi ini.” Saat itu Anggini telah berada di samping Ratu Duyung. Dia
segera berbisik.
“Lekas
kau pergunakan llmu Menembus Pandang. Aku menaruh duga….”
“Aku
mengerti maksudmu,” jawab Ratu Duyung berbisik. Lalu segera kerahkan aliran
darah disertai hawa sakti ke arah sepasang matanya yang biru. Gondoruwo Patah
Hati diam-diam memperhatikan bisik-bisik antara dua gadis cantik di hadapannya
itu. Ketika dia melihat ada kilatan cahaya aneh di mata biru Ratu Duyung,
perempuan tua yang luas pengalaman ini segera maklum. Orang hendak melakukan
sesuatu padanya. Maka dengan cepat dia berkata.
“Empat
gadis cantik sahabatku, aku harus melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi aku akan
memberikan empat butir obat. Harap kalian menelannya satu seorang.
Mudah-mudahan hawa beracun yang telah kalian hirup akan bersih dari jalan darah
dan pernafasan kalian!” Habis berkata begitu si nenek lemparkan empat butir
benda berbentuk hitam. Dia sengaja melemparkan ke arah Ratu Duyung yang sedang
memusatkan diri untuk mengerahkan llmu Menembus Pandang. Karena obat
dilemparkan ke arahnya mau tak mau Ratu Duyung gerakkan tangan menyambuti.
Akibatnya pusat perhatian yang tengah diiakukan untuk pengerahan ilmu menjadi
buyar. Begitu sang Ratu menyambuti empat butir obat yang dilemparkan dengan dua
tangannya, nenek bermuka setan sudah berkelebat lenyap dari pemandangan. Di
timur langit kelihatan mulai terang kemerahan. Ratu Duyung menarik nafas
kecewa.
“Nenek
cerdik itu. Dia sengaja melemparkan obat ke arahku. Pikiranku buyar. Aku tak
sempat mengerahkan llmu Menyusup Pandang. Aku tak dapat mengetahui siapa dia
sebenarnya….”
**********************
10
DUA KUDA
penarik gerobak dipacu tiada henti. Siang itu panasnya udara bukan alang kepalang.
Matahari seolah berada di atas kepala. Sore memasuki malam cuaca mendadak
berobah. Awan tebal membentuk mendung menutupi langit. Dalam gelapnya udara
hujan lebat turun mengguyur bumi.
“Cari
tempat berteduh. Kita harus mencari perlindungan. Kuda perlu istirahat!”
berseru Bidadari Angin Timur.
“Gunung
Gede sudah di depart mata. Apapun yang terjadi malam ini kita harus sampai di
puncaknya!” menjawab Anggini yang duduk di depan gerobak bersama Puti Andini.
“Jangan
toiol. Di udara seburuk ini sulit melanjutkan perjalanan ke puncak gunung.
Kalaupun kita sampai di sana, keadaan bisa membuat kita lengah. Paling tidak
tunggu sampai hujan berhenti. Tengah malam kita lanjutkan perjalanan agar
sampai dipuncak gunung menjelang terbitnya sang surya!” Anggini tidak setuju
pada ucapan Bidadari Angin Timur itu. Ratu Duyung diam saja.
“Bagaimana
pendapatmu?” tanya Anggini pada Puti Andini. Puti Andini yang memegang tali
kekang dua ekor kuda tak menjawab. Tapi tanpa bicara gadis ini kemudian
membelokkan gerobak ke arah sederetan pohon bambu di tepi kanan jalan ialu
menghentikan kuda. Hujan masih terus turun malah makin deras.
“Ada
payung kenapa tidak dipergunakan?!” Bidadari Angin Timur mengambil keranjang
besar berisi tujuh buah payung milik Puti Andini.
Puti
Andini memperhatikan apa yang dilakukan Bidadari Angin Timur, tidak melarang,
tidak mengucapkan apa-apa. Bidadari Angin Timur kemudian membagibagikan payung
dalam keranjang. Puti Andini sendiri ikut menerima payung berwarna hitam. Empat
gadis pergunakan payung untuk melindur.g! kepala dan tubuh masing-masing dari
curahan air hujan dan tetap berada di atas gerobak. Menjelang dinihari,
gelapnya udara dan dinginnya malam serta fetihnya tubuh membuat ke empat gadis
itu terduduk di tempat masing-masing setengah tertidur setengah jaga. Satu saat
tiba-tiba salah seekor kuda penarik gerobak meringkik keras. Gerobak bergoyang.
Bidadari Angin Timur dan teman-temannya tersentak kaget. Mereka geserkan payung
masing-masing ke atas, memperhatikan bagian depan gerobak.
“Ada
apa?” tanya Anggini.
“Tak ada
apa-apa. Hanya kuda meringkik,” jawab Bidadari Angin Timur. Dia mengawasi Ratu
Duyung di pojok kiri gerobak sementara Puti Andini tenggelam di balik payung
besar hitam. Hujan besar mulai surut mengecil.
“Hatiku
tidakenak…” berucap Anggini.
“Siapa
yang enak dalam keadaan seperti ini? Dingin, geiap dan basah kuyup,” jawab
Bidadari Angin Timur. Gadis ini luruskan dua kakinya yang terasa pegal.
“Kita
semua ketiduran. Sudah lewat tengah malam. Mungkin hampir pagi. Kita harus
melanjutkan perjalanan sekarang juga.” Anggini menggeliat lalu membangunkan
Ratu Duyung.
“Tidurmu
nyenyak amat. Apa tadi tidak tahu kuda meringkik, gerobak bergoyang oleng?!”
menegur Anggini.
“Siapa
bilang aku tidur. Aku mendengar kuda meringkik. Juga merasakan gerobak
bergoyang. Tapi malas bangun. Dinginnya udara. Uh… pakaianku nyaris kuyup
semua….”
“Kita
berangkat sekarang. Hai! Sahabat kita Puti Andini masih enak-enakan tidur.
Perlu dibangunkan.” Bidadari Angin Timur lalu mendekat ke sudut gerobak tempat
Puti Andini duduk tertidur. Diangkatnya payung hitam besar yang melindungi
sosok Puti Andini. Begitu payung tersingkap kagetlah Bidadari Angin Timur.
Kosong! Puti Andini tidak ada di sudut gerobak itu! Tiga gadis heboh besar. Apa
yang terjadi? Ketiganya saling pandang. Anggini mulai berteriak
memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Puti Andini tak kunjung muncul.
“Kita
cari sekitar sini,” kata Bidadari Angin Timur. Lalu dia melompat turun dari
gerobak diikuti Anggini dan Ratu Duyung. Mereka mencari sampai beberapa jauh
sekitar gerobak. Tapi Puti Andini tidak ditemukan.
“Tadi
kuda gerobak meringkik. Sepertinya melihat sesuatu…” ujar Anggini.
“Sulit
diduga apa yang terjadi. Apa yang dilakukan Puti Andini?” kata Ratu Duyung
pula.
“Mungkinkah
dia meninggalkan kita secara diamdiam?” menduga Ratu Duyung.
“Kalau
dia punya niat seperti itu, mustahil dia meninggalkan tujuh payung senjata
andalannya begitu saja,” jawab Bidadari Angin Timur.
“Tapi
apakah kalian tidak memperhatikan? Sejak dia mengetahui yang menculik diriku
adalah pemuda bernama Damar Wulung itu, sikapnya jadi berubah. Dia lebih banyak
diam. Kelihatannya dia menyukai pemuda itu. Mungkin hatinya jadi hancur dan
pikirannya jadi kacau.”
“Apa yang
akan kita lakukan?” tanya Anggini.
“Tunggu
sampai matahari terbit. Kalau sampai siang datangif dia tidak juga muncul, kita
terpaksa meninggalkannya. Meneruskan perjalanan menuju puncak Gunung Gede.”
“Tidak
berusaha mencarinya lebih dulu?” tanya Ratu Duyung.
“Waktu
kita tidak banyak. Mungkin setelah turun dari Gunung Gede kita baru ada
kesempatan mencarinya….”
“Hatiku
tidak enak…” kata Anggini.
“Semua
kita merasakan seperti itu,” jawab Bidadari Angin Timur.
“Yang aku
khawatirkan pemuda jahanam bernama Damar Wulung itu muncul lagi malam tadi.
Menculik Puti Andini…” kata Ratu Duyung.
“Sayang,
cermin saktiku dicuri Damar Wulung. Kalau tidak pasti bisa membantu mencari
gadis itu.” Sampai sang surya muncul esok paginya, Puti Andini tetap tidak
muncul, juga tidak diketahui dimana beradanya. Bidadari Angin Timur merapikan
perbekalannya. Lalu dia pindah duduk ke bagian depan gerobak bertindak sebagai
sais.
“Terus
terang, ada semacam ganjalan kalau kita melanjutkan perjalanan tanpa mengetahui
nasib sahabat kita Puti Andini….” Mendengar ucapan Anggini itu Bidadari Angin
Timur menjawab.
“Kalau
begitu rombongan kita pecah dua. Rombongan pertama mencari Puti Andini.
Rombongan kedua melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Gede. Kalian silahkan
memilih!” Tak ada jawaban.
Melihat
hal ini Bidadari Angin Timur segera mencabuk punggung dua ekor kuda. Gerobak
serta merta bergerak. Dalam perjalanan selanjutnya ketiga gadis itu jarang
bercakap-cakap. Mereka seperti tenggelam dalam pikiran masingmasing. Di satu
tempat di kaki gunung perjalanan tak mungkin lagi dilanjutkan dengan gerobak.
Tiga gadis turun dari gerobak, mengerahkan ilmu kepandaian masing-masing,
berlari menuju puncak Gunung Gede. Anggini mendapat tugas membawa keranjang
besar berisi payung tujuh warna milik Puti Andini. Walau sudah ada jalan
setapak dan walau Anggini sebelumnya sudah pernah naik ke puncak Gunung Gede
namun tetap saja tiga gadis itu tidak bisa bergerak cepat. Baru lewat tengah
hari mereka akhirnya sampai di puncak gunung. Matahari bersinar terik tapi
udara terasa sejuk.
“Dimana
kira-kira letak makam ke tiga itu?” untuk pertama kalinya Ratu Duyung membuka
pembicaraan setelah sekian lama tiga gadis berdiam diri.
“Bagaimana
kalau mencari tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng lebih dulu!” ujar Anggini.
“Lebih
baik begitu. Kalau nenek sakti itu ada di pondoknya siapa tahu kita bisa mendapat
petunjuk. Tidak mustahil dia tahu seluk beluk semua kejadian ini. Lagi pula
bukankah kau sudah pernah ke sana dan tahu jalan?” Anggini mengangguk mendengar
kata-kata Ratu Duyung. Dia lalu berjalan lebih dulu ke arah timur. Dua gadis
lainnya mengikuti dari belakang. Cukup lama menempuh perjalanan di puncak
gunung karena dihadang oleh semak belukar lebat akhirnya tiga gadis sampai di
satu tempat datar.
“Itu
pondoknya!” Anggini hentikan langkah, menunjuk ke sebuah bangunan kayu di ujung
kiri pedataran.
“Sepi,
rumput liar telah setinggi lutut di sekitar bangunan. Tak ada yang memelihara.
Berarti tak ada yang diam di pondok itu….” Bidadari Angin Timur berkata sambil
mengawasi.
“Mari
kita selidiki,” kata Anggini pula. Tiga gadis mendekati pondok kayu di ujung
pedataran kecil. Mereka sampai di depan pondok. Pintu kayu tertutup. Rumput
setinggi betis dan lumut menutupi undak-undak batu di depan pintu. Bidadari
Angin Timur mengajak teman-temannya ke samping kanan pondok. Dia berjalan di
sebelah depan, dua gadis iainnya mengikuti di sebelah belakang. Baru saja
melewati ujung dinding pondok, memasuki halaman di samping kanan bangunan,
Bidadari Angin Timur menjerit keras dan tersurut mundur. Muka pucat, mata
mendelik besar menatap ke depan. Gadis ini menjerit sekali lagi lalu tekap
wajahnya dengan dua telapak tangan dan jatuh berlutut.
“Bidadari
Angin Timur! Ada apa?!” Anggini dan Ratu Duyung melompat. Keduanya hendak
menolong mendirikan Bidadari Angin Timur, namun gerakan mereka serta merta
terhenti. Seperti Bidadari Angin Timur tapi dua gadis ini menjerit keras,
begitu mata mereka membentur satu pemandangan yang menyayat hati di seberang
sana.
“Ya
Tuhan!” mengucap Ratu Duyung.
“Gusti
Allah! Mengapa kau biarkan kebiadaban ini terjadi?!” ujar Anggini lalu menggerung.
Di depan sana, di ujung halaman samping pondok kayu terdapat onggokan tanah
merah berbentuk satu makam yang masih baru. Di salah satu ujung menancap papan
nisan sangat besar bertuliskan:
“DISINI
BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG.”
Papan dan
tulisan di atas papan itu masih baru. Tetapi bukan onggokan tanah kuburan yang
masih merah, atau papan nisan bertuliskan nama Wiro Sableng yang membuat tiga
gadis tadi menjerit. Di belakang papan nisan ada satu tiang besar. Pada tiang
ini terikat sosok Puti Andini. Pakaian yang melekat di tubuhnya tak karuan
rupa, membuatnya nyaris tidak mengenakan apa-apa. Pada bagian tubuh yang
tersingkap kelihatan bekas-bekas luka mengerikan. Satu luka memanjang
membelintang di pipi kirinya. Darah yang hampir mengering menutupi sebagian
wajah serta tubuh dan pakaiannya.
“Puti…
Puti Andini…” ucap Anggini perlahan.
“Kasihan….
Kasihan sekali. Kita harus menolong. Kita harus turunkan tubuhnya.
Mudah-mudahan dia masih hidup. Ya Tuhan siapa yang tega-teganya melakukan
kebiadaban ini?!” Lutut Bidadari Angin Timur goyah ketika dia berusaha berdiri.
Saling berangkulan tangan, sambil bertangisan tiga gadis itu melangkah
mendekati makam. Makam Ke Tiga!
TAMAT
No comments:
Post a Comment