Roh Jemputan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
SESUAI
petunjuk Para Dewa yang diterima melalui Satria Lonceng Dewa Mimba Purana, Sri
Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berhasil menemui Empat Mayat
Aneh yang terbujur dalam sebuah peti mati hitam besar. Peti mati ini muncul
dari dalam sebuah kuburan raksasa yang datang dari langit, turun ketanah lalu
secara aneh terbelah menguak.
Ketika
penutup peti mati terpentang membuka sendiri, dari dalam peti memancar empat
cahaya coklat menyilaukan mata hingga Raja Mataram Rakai Kayuwangi tercekat
mundur. Suasana tambah mencekam sewaktu dari dalam peti terdengar suara keras
berucap.
“Pelihara
mata hanya melihat kebaikan.”
“Pelihara
mulut hanya bicara kebaikan.”
“Pelihara
telinga hanya mendengar kebaikan.”
“Pelihara
kemaluan hanya untuk kebaikan.”
Untuk
beberapa ketika Raja Mataram tidak dapat melihat apa yang terdapat di dalam
peti mati karena ada kepulan asap kelabu menutupi pemandangan. Tak selang
berapa lama, begitu asap kelabu sirna, Rakai Kayuwangi menyaksikan satu
pemandangan yang sungguh luar biasa! Di dalam peti mati terbujur empat sosok
mayat laki-laki dengan sekujur tubuh kecuali wajah dan kepala terbalut gulungan
kain putih. Mayat pertama dalam keadaan dua tangan ditutupkan ke mata. Mayat
kedua tangan menutupi mulut. Mayat ketiga dua tangan ditutupkan ke telinga kiri
kanan. Mayat terakhir yaitu mayat keempat dalam keadaan menekapkan dua tangan
di atas kemaluan. Rupanya inilah Empat Mayat Aneh yang dikatakan bocah sakti
pilihan Para Dewa, Mimba Purana!
Raja
Mataram memberi salam. Salam dibalas oleh mayat kedua setelah lebih dulu
menurunkan dua tangan yang menutupi mulut. Begitu Empat Mayat Aneh merasa pasti
bahwa orang yang berdiri di samping peti mati adalah benar-benar Raja Mataram,
mayat kedua berkata.
“Saudaraku
bertiga, orang yang di hadapan kita memang adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala, putera dari mendiang Sri Mahara ja Rakai Pikatan Syah Saladu.
Tiada keraguan untuk membantu dirinya, keluarganya, Kerajaan dan rakyat Mataram
agar terlepas dari malapetaka yang menimpa…”
Tiga
kepala mayat di samping mayat kedua tampak bergerak mengangguk-angguk.
“Sahabatku
Empat Mayat Aneh,” berkata Raja Mataram. “Saya sangat berterima kasih. Saya
mohon malapetaka itu dimusnahkan dengan segera.”
Mayat
keempat yang menutupkan dua tangan di atas kemaluan tiba-tiba angkat dua tangan
kanan ke atas. Mulut keluarkan ucapan lantang.
“Salah
satu peyebab kejahatan angkara murka di alam arwah dan di muka bumi berasal
dari kemaluan yang tidak terpelihara secara baik! Hyang Jagat Bathara Dewa,
kami Empat Mayat Bersaudara yang tiada daya ini, mohon pertolonganMu. Kirimkan
kuasaMu untuk menjemput pemuda pilihan, yang berada di negeri dan alam
delapanratus tahun mendatang nun jauh di sana. Yang telah tertulis di dalam
aksara takdir suciMu, satu-satunya yang kau berikan kekuatan dan kemampuan
untuk menyelamatkan Raja, rakyat, dan Kerajaan Mataram dari malapetaka yang
sedang menimpa!”
Mendadak
di kejauhan terdengar suara kuda meringkik, Lalu, Wusss!
Kuda
Lumping yang terbuat dari kajang bambu yang tadi disandarkan Raja Mataram di
rerumpunan semak belukar berpijar terang pertanda ada satu kekuatan gaib masuk
ke dalam raga matinya. Di kejauhan terdengar suara kuda meringkik. Lalu sosok
Kuda Lumping melesat ke udara! Selagi Raja Mataram tercekat melihat apa yang terjadi,
tibatiba mayat keempat ulurkan tangan kanan sambil berkata.
“Yang
Mulia, serahkan pada saya batu putih segitiga yang diberikan Satria Lonceng
Dewa, Pendekar Bhumi Mataram Mimba Purana…”
Raja
Mataram tersentak kaget. Mata menatap tak berkesip pada mayat keempat, melirik
ke arah tiga mayat lainnya. Otak berpikir dan hati membatin.
“Bagaimana
salah satu dari Empat Mayat Aneh ini mengetahui kalau aku membekal batu pipih
segitiga yang ada teraan angka dua satu dua pada tiga ujungnya. Mengapa mereka
menginginkan benda itu. Padahal menurut Satria Lonceng Dewa, benda itu akan
menjadi tanda pengenal bagi seseorang yang bakal datang dari alam delapanratus
tahun mendatang. Kalau batu ini aku serahkan, berarti aku akan putus hubungan
dengan orang yang dipastikan sebagai satu-satunya penolong rakyat dan Kerajaan
Mataram dari malapetaka yang sedang menimpa. Hyang Jagat Bathara, bagaimana
ini. Saya mohon petunjukMu. Apakah ini…, jangan-jangan ini satu ujian lagi tapi
mungkin juga satu tipuan. Sekarang aku jadi berpikir apakah Empat Mayat Aneh
ini sebenarnya mahluk yang dikatakan Mimba Purana. Atau mahluk jejadian yang
bermaksud menipu dan selanjutnya berbuat jahat… ?”
“Sahabatku,”
Raja akhirnya berkata. Ditujukan pada Mayat Aneh Keempat yang tadi meminta batu
titipan. “Satria Lonceng Dewa memang memberikan saya sebuah batu putih
berbentuk segitiga. Namun Satria Lonceng Dewa tidak mengata kan kalau benda itu
harus diberikan pada salah seorang dari sahabat. Saya mohon maaf…”
“Tapi
setelah saya meminta, mengapa barusan Yang Mulia telah memberikan pada saya.
Bukan kah begitu saudara-saudaraku?”
Tiga
Mayat Aneh lainnya anggukkan kepala lalu keempat mahluk itu tertawa
gelak-gelak. Mayat Keempat acungkan tangan kanannya ke atas.
“Yang
Mulia, kami mengucapkan terima kasih. Bukankah ini batu yang tadi Yang Mulia
berikan…?”
Mendengar
ucapan dan merasa tidak pernah memberikan batu putih segitiga, pandangan mata
Rakai Kayuwangi segera diarahkan pada tangan kanan Mayat Keempat yang di angkat
tinggi-tinggi. Astaga! Bagaimana mungkin! Raja Mataram melihat tangan kanan
Mayat Keempat memegang batu putih segitiga bergurat angka 212. Rakai Kayuwangi
memeriksa setiap sudut pakaiannya. Ternyata batu yang diberikan oleh Mimba
Purana itu tak ada lagi padanya. Sudah berpindah ke dalam genggaman tangan
Mayat Keempat!
“Sahabat
Mayat Keempat, saya mohon batu itu dikembalikan pada saya…”
“Saya
akan mengembalikan jika memang begitu kemauan Yang Mulia.” Jawab Mayat Aneh
Keempat. “Tapi bukankah Yang Mulia datang dari jauh ke sini, berpacu dengan
waktu untuk menyelamatkan rakyat dan Kerajaan Mataram? Batu putih ini adalah
salah satu tanda bahwa siapa nanti yang datang ke hadapan Yang Mulia dan
membawa batu ini maka dialah orang yang diharapkan bisa menolong Bhumi Mataram.
Bilamana batu pertanda jati diri ini tidak sampai ke tangan orang yang dimaksud
maka hubungan akan terputus. Kami tidak punya kemampuan lagi untuk menolong.
Begitu cara yang dikehendaki Para Dewa di Kahyangan untuk menyelamatkan
Mataram, begitu pula yang harus kami laksana kan. Kuda penjemput sudah dikirim
ke alam delapanratus tahun mendatang. Batu segitiga putih sebagai pengenal
harus segera pula sampai kepada orang yang dituju.”
Rakai
Kayuwangi terdiam, tidak memberikan jawaban walau dalam hati bertanya-tanya
bagai mana Empat Mayat Aneh ini tahu semua apa yang telah kejadian dengan
dirinya.
Mayat
Kedua yang selalu menutup mata, turunkan dua tangan lalu berkata. “Kami tahu
ada keraguan dalam hati Yang Mulia. Hal itu karena dua kali pengalaman buruk.
Pertama Yang Mulia diserang delapan mahluk serba merah. Kedua Yang Mulia
diserbu Seratus Jin Perut Bumi. Yang Mulia pasti menaruh curiga bahwa kami
empat bersaudara ini adalah mayat-mayat jejadian yang hendak menipu dan
bermaksud jahat. Harap Yang Mulia lupakan semua prasangka ini…”
“Ketika
Yang Mulia pertama kali bertemu dengan orang tua bernama Kambara Walanipa ber
juluk Si Tringgiling, bukankah Yang Mulia juga merasa bimbang dan curiga?
Nyatanya kemudian orang tua itu menolong Yang Mulia.” Yang berkata adalah Mayat
Aneh Pertama.
Karena
Rakai Kayuwangi masih diam maka Mayat Ketiga yang selalu menutup telinga kini
keluarkan suara. “Yang Mulia telah menghabiskan waktu lebih dari setengah hari
sejak meninggalkan Bukit Batu Hangus. Berapa lama menurut Yang Mulia semua
orang yang ada di sana dan juga rakyat Mataram yang masih hidup, mampu bertahan
dari ancaman maut yang boleh dikatakan sudah di depan mata? Penyakit lumpuh,
demam panas, kelaparan dan kehausan, genangan air darah di mana-mana, bau
busuk…”
“Saudaraku
Keempat,” berkata Mayat Kedua dengan suara agak tersendat. “Kalau Sri Maharaja
Mataram tetap menginginkan kita mengembalikan batu, kita tidak bisa menunggu
lebih lama. Harap kau segera menyerahkan kembali pada Yang Mulia batu segitiga
putih itu. Kau tadi memang mengambilnya tanpa kerelaan Yang Mulia. Yang Mulia,
untuk kelancangan itu kami Empat Mayat Bersaudara memonon maafmu.”
Mayat
Keempat menghela nafas panjang. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Tiga
pasang mata mayat lainnya juga tampak basah.
“Kasihan
Kerajaan… Kasihan rakyat Mataram…Kasihan karena dalam keadaan seperti ini kami
tiada daya untuk menolong. Semoga Yang Maha Kuasa mengampuni kami berempat.”
Empat mulut Mayat menyuarakan ucapan yang sama.
Mayat
Keempat ulurkan tangan kanan yang memegang batu ke arah Rakai Kayuwangi. Selagi
sang Raja diselimuti kebimbangan untuk mengambil atau tidak batu putih segitiga
itu, dalam keadaan kelam karena kabut kelabu tebal masih menggantung di atas
kawasan Candi Gedong Pitu, mendadak didahului cahaya putih terang disertai
tebaran bau harum, di udara melayang sosok seorang perempuan muda berpakaian
merah.
Perempuan
ini berdiri mengambang di udara, di antara Rakai Kayuwangi dan peti mati di
mana terbujur Empat Mayat Aneh. Bukan saja wajahnya cantik mempesona, pakaian
merah yang dikenakannya demikian tipis hingga dalam cahaya putih benderang
auratnya nyaris terlihat polos! Apa lagi dia berdiri dengan sikap gairah
menantang!
Peti mati
hitam besar tampak bergeletar. Empat
Mayat
Aneh di dalamnya serentak bangun duduk, kepala dipalingkan, mata sama menatap
melototi sosok perempuan muda.
“Ihhhhh…!”
Lalu,
braakk!
Keempatnya
dengan cepat jatuhkan diri kembali ke dasar peti mati. Satu persatu mereka
berseru keras.
“Pelihara
mata hanya melihat kebaikan!”
“Pelihara
mulut hanya bicara kebaikan!”
“Pelihara
telinga hanya mendengar kebaikan!”
“Pelihara
kemaluan hanya untuk kebaikan!”“Aduh celaka! Bagaimana ini!” Mayat Aneh Keempat
berteriak. “Bagian bawah perutku mendadak jadi keras!”
“Hik…
hiik… hik!” Tiga Mayat Aneh tertawa cekikikan.
*******************
2
SUARA
tawa cekikikan tiga Mayat Aneh serta merta lenyap tertindih suara tawa
melengking tinggi dan panjang. Yang menimpali tawa adalah perempuan muda cantik
berpakaian merah tipis. Sementara itu di tempatnya berdiri Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi tegak tertegun. Pertama karena kagum melihat kecantikan orang, kedua
dari sosoknya yang tegak mengambang, Raja tahu kalau perempuan cantik
berpakaian merah tipis itu memiliki ilmu kesaktian tinggi atau mungkin…, Sang
Raja belum mau berprasangka buruk.
“Empat
sahabat berselubung gulungan kain putih, mengaku bernama Empat Mayat Bersauda
ra. Sungguh aku merasa berbahagia bisa bertemu dengan kalian. Lebih dari itu
kita dapat pula sama-sama membagi tawa gembira. Betapa indah nya hidup antara
alam arwah dan alam nyata. Sahabat berempat, ketahuilah aku datang sebagai
utusan Para Dewa.” Ketika bicara, dua mata perempuan muda itu melirik ke arah
batu tipis putih berbentuk segitiga yang ada di tangan kanan Mayat Aneh
Keempat.
Selesai
bicara perempuan cantik berpakaian merah tipis putar tubuhnya ke arah Rakai
Kayu wangi. Masih tegak mengambang di udara dia membungkuk seraya berkata. “Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi, terima salam hormat saya. Saya turut berduka atas
bencana yang telah dialami Yang Mulia, keluarga serta rakyat dan Kerajaan Mata
ram. Berhubungan dengan itulah saya diutus oleh Para Dewa untuk datang ke
tempat ini. Guna membantu melenyapkan malapetaka.”
Empat
Mayat Aneh kembali bergerak duduk, menatap sebentar pada perempuan cantik,
mulut sama-sama diruncingkan mengeluarkan suara seperti orang bersiul lalu
kembali cepat-cepat membaringkan tubuh di lantai peti mati.
Rakai
Kayuwangi membalas penghormatan dengan membungkuk. Dugaannya bahwa perempuan muda
cantik itu bukan orang sembarangan ternyata benar. Namun dia belum mengetahui
apakah orang ini manusia biasa seperti dia, mahluk alam gaib, mahluk alam arwah
atau roh. Tadi dia memperhatikan, ketika bicara sepasang mata perempuan yang
masih mengambang di udara itu mengarah ke tangan kanannya. Adakah sesuatu yang
aneh pada tangan kananku, pikir Raja Mataram.
“Utusan
Para Dewa yang turun dari langit. Saya bersyukur atas kedatanganmu. Kebajikan
apakah yang bisa kau perbuat untuk menyelamatkan rakyat Mataram dan Kerajaan?”
Bertanya Rakai Kayuwangi setelah membalas penghormatan.
“Saya
diperintahkan Para Dewa untuk mempercepat penyelamatan atas diri rakyat dan
Kerajaan Mataram, tentunya termasuk diri Yang Mulia serta keluarga dan seluruh
pejabat. Semua kejahatan yang bermula dan terjadi pada apa yang disebut Malam
Jahanam siang ini juga, sebelum sang surya tenggelam harus dimusnahkan dari
Bhumi Mataram. Malam ini juga Yang Mulia bisa kembali ke Bukit Batu Hangus,
selanjutnya menuju Kota raja…” Menjawab perempuan muda berpakaian merah tipis.
“Saya
sangat berterima kasih.” Jawab Raja.
“Boleh
saya mengetahui bagaimana caranya atau apa yang hendak sahabat lakukan?”
“Yang
Mulia,” tiba-tiba salah seorang dari Empat Mayat Aneh yang ada di dalam peti
mati besar berkata. “Tidakkah Yang Mulia ingin mengetahui dan menanyakan lebih
dulu siapa nama sahabat cantik itu?! Kami berempat bersaudara dari tadi
kepingin tahu, tapi tidak berani mendahului Yang Mulia.”
Wajah si
cantik berpakaian merah tipis unjukkan rasa tidak senang ketika dia melirik ke
arah peti mati. Lalu perempuan ini berpaling kembali pada Rakai Kayuwangi
sambil mengulum senyum.
“Yang
Mulia, sebenarnya saya merasa malu menyebut nama memberi tahu diri. Saya
khawatir dianggap berlaku sombong. Namun jika Yang Mulia menginginkan…” Sambil
bicara lagi-lagi sepasang mata perempuan itu memperhatikan ke arah tangan kanan
Raja Mataram.
“Kalau
tidak berkeberatan…” Jawab Rakai Kayuwangi. Tiba-tiba ada suara mengiang di
telinga kanan. Namun suara ini tidak jelas karena di saat yang bersamaan muncul
pula suara mengiang lain yang juga tidak jelas namun lebih kuat dan menindih
suara mengiang pertama.
“Yang
Mulia, saya ditakdirkan bernama buruk.”
Si baju
merah berkata. “Saya bernama Kunthi Pithaludra. Mengenai bagaimana cara…”
Ucapan
perempuan cantik mengaku bernama Kunthi Pithaludra terputus ketika dari dalam
peti mati besar terdengar suara tawa riuh Empat Mayat Aneh.
“Empat
Mayat itu memang aneh dan lucu!” Ucap Kunthi Pithaludra. Walau mulutnya
tersenyum namun jelas ada perasaan kurang senang. Setelah diam sebentar,
perempuan itu menerus kan ucapan.
“Mengenai
bagaimana cara saya untuk mempercepat penyelamatan bagi Yang Mulia dan keluarga
serta rakyat dan Kerajaan, sesuai dengan petunjuk Para Dewa, saya mohon batu
putih tipis yang akan dikembalikan oleh salah seorang sahabat Empat Mayat
Bersaudara harap diterima saja. Untuk selanjutnya Yang Mulia menyerahkan batu
tersebut pada saya. Pada kejap saya meninggalkan tempat ini dengan kuasa Yang
Maha Pengasih maka sebagian malapetaka yang menimpa akan lenyap. Lalu besok
pagi, begitu fajar menyingsing seluruh malapetaka akan sirna.”
“Sungguh
luar biasa!” kata Raja Mataram memuji. Namun dalam hati dia membatin. “Mengapa
penjelasan perempuan ini berbeda dengan keterangan yang aku terima dari Satria
Lonceng Dewa Mimba Purana…”
“Sungguh
indah kata-kata!” Dari dalam peti mati tiba-tiba terdengar suara Mayat Aneh
Pertama.
Menyusul
suara Mayat Aneh Kedua. “Sungguh besar kuasa yang datang dari langit. Tapi
apakah itu nyata?”
Mayat
Aneh Ketiga menimpali. “Saudaraku Keempat, pegang erat-erat batu pipih putih
segitiga seperti kau menekap erat-erat kemaluanmu! Hik..hik… hik!”
Mayat
Aneh Keempat tak ketinggalan bicara.
“Yang
Mulia, selagi Yang Mulia merasa bingung menghadapi segala kejadian saat ini,
mengapa Yang Mulia tidak meminta agar sahabat kita Kunthi Pithaludra agar turun
ke tanah, menginjakkan dua kaki ke pedataran kawasan Candi Gedong Pitu. Hingga
kita semua bisa melihat wajahnya yang cantik lebih jelas?”
Perubahan
pada wajah Kunthi Pithaludra tampak nyata. Perempuan ini cepat berkata.
“Yang
Mulia, kita semua tidak punya waktu banyak. Kalau Yang Mulia tidak mau menerima
batu putih segitiga itu dan menyerahkan pada saya, daripada saya mendapat
amarah dan kutuk Para Dewa, maka maafkan kalau saya berlaku lancang, mengambil
sendiri batu itu dari tangan Mayat Aneh yang Keempat!”
Raja
Mataram sebenarnya hendak memenuhi permintaan yang diucapkan Mayat Aneh
Keempat. Namun saat itu Kunthi Pithaludra dengan gerakan luar biasa cepat berkelebat
ke jurusan peti mati. Tangan menyambar ke arah tangan kanan Mayat Aneh Keempat
yang memegang batu pipih putih berbentuk segitiga. Seujung rambut lagi lima
jari tangan si cantik akan berhasil merampas batu putih, dengan tindakan yang
jauh lebih cepat Mayat Aneh Keempat masukkan batu putih ke dalam mulut. Mata
mendelik dan glekk! Batu di telan seperti orang meneguk air!
Rakai
Kayuwangi tersentak kaget. Sebelum sempat bicara atau melakukan sesuatu, di
depan sana Kunthi Pithaludra telah mendahului berteriak. “Mahluk kurang ajar!
Para Dewa akan mengutukmu!” Lima jari tangan kanan dijentikkan ke arah Mayat
Aneh Keempat. Saat itu lima jari tangan kanan perempuan cantik ini telah
berubah menjadi lima paku besar berwana hitam memancarkan cahaya redup angker!
Wuuutt!
Lima paku
besar menderu ke arah Mayat Aneh Keempat. Saat itu Mayat Aneh Keempat yang
sejak tadi-tadi sudah mencium bahaya dengan cepat melesat ke udara. Begitu
tubuhnya melesat keluar dari dalam peti mati hitam besar, braakk! Penutup peti
mati tertutup. Lima paku menancap pada penutup peti, mengepulkan asap namun
tidak mampu menembus! Lalu peti mati bergerak cepat naik ke udara dan dengan
cepat pula melayang turun ke bawah, siap menghimpit Kunthi Pithaludra,
memaksanya bergerak ke bawah.
Perempuan
cantik itu dengan gerakan sebat menghambur melayang ke kiri. Lalu, bukk!
Tubuhnya
seolah membentur tembok yang tidak kelihatan. Dia berbalik cepat ke kanan. Hal
yang sama terjadi. Dia tidak mampu menembus udara kosong! Dicoba menjebol ke
depan dan ke belakang, sama sia-sianya!
“Empat
Dinding Mayat!” Teriak Kunthi Pithaludra yang rupanya mengenali ilmu kesaktian
yang tengah membendung dirinya dari empat penjuru hingga dia tidak mampu
loloskan diri.
Sementara
itu dari atas peti mati raksasa terus bergerak turun. Membuat mau tak mau pada
akhirnya Kunthi Pithaludra harus menjejakkan ke dua kakinya ke tanah. Sebelum
hal itu terjadi Kunthi Pithaludra menghantamkan jotosan tangan kiri kanan pada
bagian bawah peti mati. Pukulan yang dilepaskan sanggup menghancurleburkan batu
besar. Namun jangankan pecah atau hancur berantakan, bergemingpun peti mati
hitam besar itu tidak! Kunthi Pithaludra kini berusaha mencegah turunnya peti
mati itu. Dua tangan ditempel kan pada dasar peti lalu didorong ke atas. Namun
dia laksana menahan jatuhnya Candi Prambanan!
Begitu
dua kaki perempuan ini menyentuh tanah pedataran, terjadilah hal yang luar
biasa mengejutkan Raja Mataram Rakai Kayuwangi. Dimulai dengan menggelegarnya
dua letusan keras.
*******************
3
DUA kaki
Kunthi Pithaludra hancur berkeping-keping sampai ke pangkal paha. Jeritan
kesakitan dan pekik kemarahan bercampur jadi satu. Walau keadaannya hancur
mengerikan namun tubuh yang tinggal sepotong ini yaitu bagian pinggang sampai
kepala masih berusaha menyelinap loloskan diri dari himpitan peti mati besar
namun gagal.
Braakk!
Peti mati
menghunjam tanah. Sosok Kunthi Pithaludra lenyap amblas tak kelihatan lagi.
Tidak terdengar lagi suara raungan perempuan itu. Yang terdengar justru suara
raungan anjing, panjang menggidikkan lalu lenyap. Kesunyian yang menegangkan
menggantung di udara, membungkus kawasan Candi Gedong Pitu yang masih gelap
akibat tertutup awan tebal kelabu.
Rakai
Kayuwangi menatap ke langit. Sosok Mayat Aneh Keempat yang tadi menelan batu
putih segitiga bergurat angka 212 lenyap tak berbekas. Memandang kembali ke
arah peti, merasa kawatir telah terjadi sesuatu dengan tiga Mayat Aneh lainnya,
Raja segera mendekati peti namun langkahnya tersurut ketika tiba-tiba dari
bawah peti mati muncul dua kaki hitam aneh, berkuku panjang seperti paku,
berwarna kuning emas. Dua kaki ini menggapai-gapai sambil mengorek tanah hingga
membentuk lobang besar. Tak selang berapa lama dari lobang di bawah peti mati
muncul keluar kepala seekor anjing hitam. Lidah yang terjulur berwana kuning.
Nafas tersengalsengal. Sepasang mata juga kuning dengan garis putih memanjang
di sebelah tengah. Kening dipenuhi delapan benjolan berwarna merah mengepulkan
asap!
“Bathara
Agung, saya mohon perlindunganMu. Apakah ini mahluk yang disebut Delapan Sukma
Merah?” Membatin Rakai Kayuwangi sambil terus memperhatikan anjing aneh yang
berusaha keluar dari lobang di bawah peti mati hitam.
Ketika
seluruh kepala anjing telah keluar dari lobang kelihatan sepasang kuping
berantinganting bulat kuning. Binatang aneh ini menatap sebentar ke arah Rakai
Kayuwangi, membuka mulut lebar-lebar lalu meraung panjang. Sehabis meraung
anjing hunjamkan dua kaki depan berkuku kuning panjang ke tanah. Begitu dua
kaki terpancang ke tanah tubuhnya melesat keluar dari lobang. Astaga, ternyata
anjing hitam ini berperut besar bergoyang-goyang. Barisan puting susunya tampak
merah berair. Binatang ini rupanya dalam keadaan bunting besar!
Tiba-tiba
anjing hitam merunduk. Dua kaki depan menggurat-gurat tanah hingga mengepulkan
debu dan menutup pandangan mata Rakai Kayuwangi. Didahului suara raungan keras,
anjing hitam melompat ke arah Raja Mataram! Yang diarah adalah tangan kanan
sang Raja. Dengan cepat Rakai Kayuwangi melompat mundur. Namun brett! Tak urung
dada kanan pakaiannya masih sempat dicakar robek.
Ketika
melompat sambil menyerang, anjing hitam semburkan asap kuning dari mulutnya
yang dengan telak mengenai wajah Rakai Kayuwangi. Kejap itu juga pandangan Raja
Mataram ini menjadi gelap, dada sesak dan dua lutut goyah. Tubuh terhuyung-huyung
namun masih bisa bertahan tegak. Dari mulut keluar busa kuning sementara mata
mendelik memandang ke depan tak berkesip. Untungnya sang Raja masih bisa
bertahan untuk tidak sampai jatuh pingsan.
Anjing
hitam bunting meraung satu kali. Lalu dengan cepat binatang ini menyergap.
Mulut yang menganga menyambar ke arah pangkal lengan kanan Rakai Kayuwangi yang
sejak tads diincar, sementara tubuhnya yang bunting besar ditengkurapkan di
atas tubuh Raja dan jelas binatang ini berusaha menyentuhkan anggota rahasianya
dengan anggota rahasia Raja Mataram itu!
Walau
Mayat Aneh Keempat tidak ada lagi di tempat itu namun dari dalam peti mati
terdengar tiga saudaranya berteriak keras.
“Pelihara
kemaluan hanya untuk kebaikan!”
Anjing
hitam yang menindih tubuh Rakai Kayu wangi menyalak dua kali. Saat itu terjadi
satu keanehan. Dalam pandangan mata Raja Mataram sosok anjing yang menindihnya
telah berubah menjadi sosok seorang perempuan yang berada dalam kedaaan bugil
menebar bau harum merangsang. Lalu sementara kepala anjing bergerak kearah
kanan siap untuk mengoyak tangan, dari leher binatang itu mencuat keluar kepala
seorang perempuan muda berwajah cantik.
“Raja
Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, saatnya kau ikut aku ke alam yang penuh
keindahan. Tinggalkan alam duniawi yang penuh kenistaan ini. Kalau kita bisa
menemukan kebahagiaan di alam lain mengapa mau menyengsarakan diri di Bhumi
Mataram…”
Kepala berwajah
cantik itu buka mulut dan ulurkan lidahnya yang merah basah dan segar. Ujung
lidah diarahkan ke mulut Rakai Kayuwangi. Hanya sesaat lagi ujung lidah akan
masuk ke dalam mulut dan tangan kanan Raja Mataram akan putus dikoyak kepala
bermulut anjing, tibatiba di kejauhan terdengar suara genta lonceng. Di atas
langit ada kilatan cahaya kuning. Tanah di pedataran kawasan Candi Gedong Pitu
bergetar.
Rakai
Kayuwangi sadar dan ingat akan suara itu. “Genta Lonceng Dewa Mimba Purana.
Anak itu pasti ada di sekitar sini…”
Mendadak
tubuh Sri Maharaja Mataram bergerak naik ke atas seolah ada yang mengangkat.
Dari tangan kanannya yang menjulai ketanah mencuat keluar sebuah benda yang
bukan lain adalah batangan tongkat kayu milik Eyang Dhana Padmasutra yang dulu
pernah disusupkan oleh Satria Lonceng Dewa Mimba Purana ke dalam tangan kanan
Rakai Kayuwangi, tanpa sang Raja menyadari.(Baca: Wiro Sableng "Empat
Mayat Aneh")
Raja
Mataram berusaha berdiri. Ujung tongkat kayu yang jadi pegangan mengarah ke
tanah, sedang bagian ujung yang lebih kecil berada di sebelah atas. Begitu
ujung tongkat menyentuh tanah, sosok perempuan cantik yang ada di atas Raja
Mataram menggeliat dan menjerit keras lalu terguling ke samping kiri. Di
sebelah kanan sosok anjing bunting terjengkang menggelepar, punggung di tanah,
empat kaki terpentang lebar. Tibatiba sosok perempuan cantik terangkat ke udara
lalu melayang masuk ke dalam sosok anjing! Di saat itu juga anjing hitam
meraung keras. Dua kaki belakang terkembang semakin lebar. Raja Mataram merinding
dan mundur dua langkah ketika melihat dari bagian bawah perut anjing hitam
mencuat keluar kepala seekor bayi anjing! Anjing aneh rupanya siap melahirkan
anaknya!
Dari
dalam peti mati terdengar teriakan.
“Yang
Mulia! Lekas bunuh induk dan bayi anjing! Pergunakan tongkat kayu pemberian
Dhana Padmasutra!”
Saat itu
baru Rakai Kayuwangi menyadari kalau di tangan kanannya telah tergenggam
tongkat sakti pemberian kakek Dhana Padmasutra. Sang Raja tidak bisa berpikir
bagaimana tongkat itu tahu-tahu berada dalam pegangannya, karena kembali
terdengar teriakan.
“Yang
Mulia! Lakukan cepat! Bunuh anjing betina dan bayinya!”
Rakai
Kayuwangi angkat tongkat di tangan kanan. Siap untuk gebuk. Namun tiba-tiba
saja hatinya tidak tega melakukan. Apalagi dalam saatsaat hendak melahirkan,
anjing betina hitam itu kelihatan sangat kesakitan dan keluarkan suara memelas
serta sepasang mata menatap sayu seperti minta dikasihani. Di tanah darah telah
menggenang.
“Sang
Hyang Agung Dewa Jagat Bathara! Saya mohon ampun! Saya tidak mampu membunuh
mahluk itu dan anaknya betapapun jahatnya!”
Rakai
Kayuwangi jatuhkan diri berlutut.
Braakkk!
Tiba-tiba
penutup peti mati terbuka. Salah seorang dari tiga Mayat Aneh yang ada di
dalamnya berseru.
“Yang
Mulia! Dalam bahaya mengancam kau telah berbuat kebajikan! Kau menyelamatkan
nyawa mahluk yang justru hendak merampas jiwamu! Sungguh luar biasa! Yang Maha
Kuasa akan memberikan rahmat besar pada Yang Mulia! Lekas masuk ke dalam peti!”
Selain
kaget mendengar seruan dari dalam peti Rakai Kayuwangi juga bingung. Sementara
itu di tanah anjing betina hitam keluarkan suara meraung lemah mungkin menahan
sakit dan sepasang mata terus menatap sayu berkaca-kaca, sesekali berkedip ke
arah Rakai Kayuwangi.
“Kasihan…
Anjing betina itu tidak bisa melahir kan anaknya dengan kemampuan sendiri…”
Kata Rakai Kayuwangi dalam hati. Lalu tiba-tiba saja Raja Mataram ini jatuhkan
diri, berjongkok di bawah kaki anjing betina hitam. Mulut berkomatkamit membaca
doa. Dua tangan diulurkan.
Perlahan-lahan
dia menarik kepala anak anjing yang telah menjulur keluar dari bawah perut
induknya. Si induk melolong panjang ketika anak nya berhasil dikeluarkan. Sang
anak yang belum mampu menggonggong hanya keluarkan suara menguik halus, lidah
menjilati tangan Rakai Kayu wangi seolah sebagai ucapan terima kasih. Rakai
Kayuwangi patahkan serumpun semak belukar lembut. Anak anjing yang baru lahir
diletakkan di dalam semak belukar lalu ditaruh di samping induknya. Saat itulah
sang induk anjing hitam tiba-tiba mengeluarkan ucapan seperti manusia.
“Yang
Mulia Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Ketika kejahatan kau balas
dengan kebajikan maka runtuhlah sebagian atap pelindung angkara murka. Aku Sri
Padmi Kameswari bertobat dan minta ampun pada Dewa Agung Penguasa Langit dan
Bumi. Aku Sri Padmi Kameswari memohon maaf padamu dan bersumpah selanjutnya
akan mengabdi hanya kepadamu.
Namun roh
jahat membuatku tidak berdaya. Raja Mataram, izinkan aku melepas sebagian dari
penderitaanmu dan semua rakyat serta semua mahluk yang masih hidup di Mataram.”
Begitu
selesai berucap, empat benjolan merah yang ada di kening anjing betina hitam
itu pancarkan cahaya merah menyilaukan. Ujung cahaya jatuh tepat di atas empat
benjolan merah di kening Rakai Kayuwangi.
Dess!
Dess! Dess! Dess!
Empat
benjolan merah di kening Raja Mataram pecah, menyemburkan nanah dan bau busuk
luar biasa. Sesaat kemudian semburan nanah berhenti. Bau busuk sirna dan empat
dari delapan benjolan yang ada di kening Rakai Kayuwangi lenyap tak berbekas.
Hal yang sama ternyata terjadi pula pada semua orang yang ada di Bukit Batu
Hangus, pada semua rakyat Mataram termasuk mahluk hidup lainnya yaitu ternak
dan hewan.
Raja
meraba keningnya. “Benjolan di kepalaku, kini tinggal empat…” Rakai Kayuwangi
menatap ke arah anjing betina yang masih terus menatap ke arahnya sambil
kedipkan mata beberapa kali. Saat itulah Raja Mataram ini sekilas melihat
kepala anjing betina di hadapannya berubah bentuk menjadi kepala perempuan
berwajah cantik.
“Dia
mengaku bernama Sri Padmi Kameswari. Dewa Agung, aku jadi ingat cerita Empu
Semirang Biru…” Ucap Rakai Kayuwangi perlahan.
“Yang
Mulia! Cepat masuk ke dalam peti!”
Dari
dalam peti mati kembali terdengar suara salah seorang dari tiga Mayat Aneh
berteriak. Saat itu juga Rakai Kayuwangi merasakan sepasang kakinya terangkat,
tidak lagi menjejak tanah.
Sebelum
tubuhnya melayang ke arah peti, tibatiba dari langit delapan cahaya merah
menyilau kan menyambar ke bawah. Empat larik menderu ke arah dirinya dan empat
larik lagi mengarah ke anjing betina yang menyebut dirinya sebagai Sri Padmi
Kameswari. Tidak pikir panjang lagi Rakai Kayuwangi babatkan tongkat kayu yang
masih tergenggam di tangan kanannya.
Selarik
sinar putih membentuk kipas raksasa terkembang berkiblat. Delapan letusan keras
menggelegar. Udara yang sejak tadi gelap untuk beberapa ketika menjadi terang
diliputi cahaya merah dan putih. Di langit delapan cahaya merah bertabur
berpencar-pencar lalu lenyap dari pemandangan. Sepertiga dari ujung tongkat
yang dipegang Rakai Kayuwangi dikobari api. Ketika api padam, bagian tongkat
yang tadi terbakar tampak hangus menghitam.
Sebelum
tubuhnya masuk ke dalam peti mati Rakai Kayuwangi masih sempat mendengar suara
anjing betina berucap.
“Yang
Mulia, aku tidak meminta budi balasan. Namun hatimu begitu baik dan bersih. Kau
masih mau melindungi diriku dari mahluk yang hendak merenggut nyawaku! Aku
berterima kasih dan memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dirimu,
keluargamu, semua pejabat Kerajaan dan rakyat Mataram…”
Braakk!
Peti mati
hitam tertutup begitu Rakai Kayu wangi masuk ke dalamnya. Lalu peti ini
melayang ke udara, lenyap di balik kabut kelabu tebal.
Tiba-tiba
di kawasan Candi Gedong Pitu terdengar suara teriakan-teriakan riuh sekali.
Membuat telinga mendenging sakit dan benak serasa di cucuk. Dari arah timur
kelihatan puluhan sosok hitam bugil melayang laksana setan gentayangan tengah
mencari mangsa. Seratus Jin Perut Bumi!
Anjing
betina hitam meraung pendek lalu gulingkan diri. Dengan cepat dia menggigit
kuduk anaknya lalu menyelinap di antara tiga buah candi untuk kemudian
menghilang ke arah selatan.
Mengenai
siapa adanya perempuan muda cantik mengaku bernama Sri Padmi Kameswari, seperti
dituturkan sebelumnya perempuan ini adalah mahluk alam roh yang dikuasai oleh
satu kekuatan gaib dan diperintahkan untuk merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
yang tengah dikerjakan pembuatannya oleh Empu Semirang Biru.(Baca: Wiro Sableng
" Malam Jahanam Di Mataram")
*******************
4
DALAM
kesunyian di rimba belantara yang jarang dimasuki manusia, sayup-sayup
terdengar suara curahan air terjun. Saat itu matahari siang bersinar terang dan
terik. Namun kerapatan pepohonan dan dedaunan dalam rimba belantara seolah
tidak dapat ditembus. Dalam keremangan hutan yang berhawa lembab kesunyian
dipecah oleh suara rentak kaki kuda. Tidak lama kemudian tampak seorang
berpakaian biru memacu seekor kuda coklat. Dari sikap duduk serta
gerak-geriknya jelas orang ini sangat handal dalam menunggang kuda. Lalu dari
kecepatan kuda yang dipacu agaknya dia cukup mengetahui seluk beluk rimba
belantara itu.
Orang ini
menunggangi kuda ke arah barat hutan, ke jurusan terdengarnya suara air terjun.
Karena kepala dan wajah ditutup dua carik kain biru dan hanya mata yang
tersembul, tidak bisa diketahui siapa adanya orang ini.
Di ujung
hutan sebelah barat si penunggang kuda berhenti sewaktu jalan yang ditempuh
mulai berbatu-batu, licin dan mendaki. Dengan gerakan enteng dia melompat turun
dari kuda. Setelah lebih dulu menambatkan binatang itu pada sebatang pohon dia
lalu berlari ke arah ketinggian.
Di satu
batu besar yang agak datar, orang ini berhenti. Sepasang telinga jelas
mendengar suara deru curahan air terjun. Namun aneh, sepasang matanya tidak
mampu melihat air terjun itu, padahal pasti dekat sekali. Yang tampak hanya
pohon-pohon raksasa yang mungkin telah berusia ratusan tahun. Orang yang tegak
di atas batu dongakkan kepala, hidung menghirup udara dalamdalam.
“Aku
mencium sesuatu…” Orang tadi berucap dalam hati. “Agaknya ada yang menerapkan
ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi. Pandangan mataku terhalang. Pasti dia…” Orang
berpakaian biru usap dua mata dengan tangan kanan. Sambil mengusap dia kerahkan
tenaga dalam namun tetap saja dia masih belum bisa melihat air terjun.
Tiba-tiba
di langit tampak delapan larikan cahaya merah berkiblat lalu melesat turun ke
bumi.
“Ah, dia
sudah datang…” Ucap orang bercadar biru di atas batu. Dia menunggu dengan dada
berdebar. Mata dibuka lebar-lebar, hampir tidak berkedip untuk beberapa lama.
Tiba-tiba satu letusan dahsyat laksana gemuruh geluduk menggelegar di tempat
itu. Begitu suara hanya tinggal ngiangan muncul kabut putih membumbung tinggi
ke udara. Tak lama kemudian perlahanlahan kabut putih ini lenyap tak berbekas.
Memandang
ke depan tampak orang di atas batu melihat sebuah air terjun besar. Air yang
mencurah ke bawah, memasuki sebuah jurang batu terjal. Di dasar jurang ada satu
telaga besar tapi dangkal sepinggang karena dipenuhi bebatu an sebesar-besar
tinju. Di satu tempat, air telaga yang berasal dari air terjun yang curahannya
tidak pernah berhenti, meluncur ke bagian yang lebih rendah, selanjutnya
mengalir membentuk sebuah sungai kecil ke arah timur.
“Kawasan
ini masih dalam wilayah Bhumi Mataram. Tapi aneh, mengapa banjir tidak sampai
ke sini dan air terjun serta air di dalam telaga tidak berwarna merah. Tidak
ada tebaran bau busuk. Mengapa tidak ada rakyat Mataram yang menyelamatkan diri
ke tempat ini. Semua serba sunyi, kecuali suara deru air terjun itu…”
Orang
berpakaian, bertutup kepala dan bercadar biru menatap ke arah air terjun.
Pandangan matanya yang tajam seolah mampu menembus curahan air. Dibalik air
terjun terdapat satu dinding batu yang pada pertengahannya membentuk sebuah
cekungan. Lebih tepat disebut sebuah goa besar.
“Belum
kelihatan. Tapi dia pasti sudah berada di sekitar sini. Mungkin dia tengah
menyelidiki keadaaan kawasan. Semua harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Aku sendiri, hemm… Aku yakin tidak ada yang curiga dan mengikuti diriku. Biar
aku bersabar sedikit. Aku tahu. Dia tidak pernah mungkir janji…” Maka orang
berpakaian biru tetap tak beranjak dari atas batu. Dua tangan disilang di atas
dada. Saat itulah baru terlihat jelas kalau sepuluh jari tangannya digelungi sepuluh
cincin perak bertahta permata. Sepasang matanya terus mengawasi. Tiba-tiba
sepasang bola mata itu tampak membesar. Di balik curahan air terjun tampak
samar keluar dari dalam goa seorang berpakaian merah, bertubuh agak bungkuk,
mengenakan belangkon hitam dengan hiasan logam suasa berbentuk bintang sudut
delapan di bagian depan. Orang ini menatap ke arah batu besar di atas jurang.
Setelah memastikan orang berpakaian biru yang berdiri di atas batu adalah
memang orang yang akan menemuinya maka orang di dalam goa angkat dua tangan ke
atas. Dari telapak tangan kiri kanan mencuat keluar gabungan dua larik sinar
putih membentuk dinding gaib memancarkan cahaya putih berkilau seperti baja
tertimpa cahaya matahari. Begitu dinding gaib ini menembus air terjun, serta
merta air terjun yang mencurah dari atas berhenti tertahan. Pemandangan ke arah
goa di dasar jurang di depan telaga kini menjadi sangat jelas. Kini tampak
sosok berpakaian dan berbelang kon merah yang berdiri di mulut goa ternyata
adalah seorang kakek memelihara jangut, kumis dan cambang bawuk tipis berwarna
merah. Di atas keningnya, mulai dari pelipis kiri sampai ke pelipis kanan
berjejer benjolan merah mengepulkan asap. Di bawah sepasang alis yang juga
berwarna merah dia memiliki dua mata besar yang bagian putihnya berwarna merah
pekat.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Aku gembira akhirnya bisa menemui dirimu kembali…”
Orang
bercadar biru di atas jurang batu berseru. Astaga. Dari suaranya ternyata dia
adalah seorang perempuan!
“Sinuhun,
apakah aku boleh turun ke bawah menemuimu?!”
Kakek di
mulut gua yang dipanggil dengan nama angker Gusti Merah Penghisap Arwah
sunggingkan senyum dan julurkan lidahnya yang ternyata basah dan sangat merah.
“Tentu,
tentu! Asal saja kau tidak lupa syarat yang harus kau lakukan mendahului setiap
pertemuan kita. Kebetulan di bawah ini ada telaga besar dangkal sepinggang,
berair jernih dan sejuk pula…”
“Sinuhun!
Aku mengerti maksudmu! Aku akan membersihkan diri terlebih dulu. Apakah kau
sudah menyiapkan bunga delapan rupa?” Jawab perempuan di atas jurang. Tidak
menunggu lebih lama dia lalu melompat dari tepi jurang, melayang ke bawah
dengan gerakan yang indah. Sambil melayang dia buka kain penutup kepala dan
cadar. Lalu… ini yang tidak terduga! Perempuan ini juga menanggalkan pakaian
ringkas biru yang dikenakannya. Sehingga ketika dia menjejakkan dua kaki di
atas sebuah batu di depan goa besar di pinggiran telaga, keadaannya sudah polos
tanpa selembar benangpun menutupi auratnya. Melompat dari ketinggian hampir dua
puluh tombak, menjejakkan kaki di atas batu yang licin bukanlah satu pekerjaan
mudah. Kalau dia tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi pasti
perempuan itu tidak mampu melakukan.
Perlahan-lahan
perempuan tadi letakkan penutup kepala, cadar dan pakaian birunya di atas batu.
Lalu dia juga menanggalkan sepuluh cincin emas dan menaruh di atas lipatan
pakaian. Setelah itu dia berdiri lurus-lurus menghadap ke arah goa dengan sikap
luar biasa menggairahkan. Perempuan ini tinggi semampai, memiliki lekuk tubuh yang
indah, dibalut kulit mulus sawo matang. Rambut dikuncir di atas kepala. Wajah
cantik dihias sepasang alis hitam tebal dan bibir menawan. Dua matanya yang
berkilat tampak juling. Kejulingan ini seolah menambah daya tarik kecantikan
wajahnya. Dia membuka ikatan kuncir. Kini rambutnya yang hitam tergerai lepas
di atas bahu, membuat dirinya tambah mempesona. Ada satu keanehan! Pada
payudara kiri kanan perempuan ini ada tanda telapak tangan berjari empat
berwarna kemerahan.
“Ah…”
Kakek di depan goa berdecak kagum.
“Usianya
memang tidak muda lagi. Tapi setiap kali bertemu, aku melihat lekuk tubuhnya
semakin kencang mempesona. Seorang gadis beliapun belum tentu bisa menandingi.”
Kakek ini kemudian berseru. “Aku melihat ada tanda delapan jari di dadamu.
Hemm… Sang Junjungan rupanya telah memberi tanda persetujuan bahwa kepangkatan
dirimu akan disamakan dengan diriku. Sungguh aku sangat berbahagia…”
“Sinuhun,
aku juga merasa senang. Saatnya aku melantunkan nyanyian dan mulai mandi…”
“Lakukanlah.
Aku sudah menyiapkan bunga delapan rupa.” Si kakek duduk di atas batu goa.
Tangan
kanan dilambaikan ke tengah telaga di mana saat itu perempuan cantik telah
turun masuk ke dalam telaga. Dari tangan kanan itu menebar keluar puluhan bunga
aneka warna menebar bau wangi. Sebagian bunga masuk ke dalam air telaga,
sebagian lagi jatuh di tubuh telanjang. Perempuan ini kemudian menyanyikan
sebuah tembang merdu. Sambil menyanyi dia mulai mandi membersihkan diri dengan
air telaga yang sejuk. Si kakek memandang dengan mata nyaris tidak berkedip.
Sesekali nafasnya tersentak bilamana perempuan yang mandi di dalam telaga
melesat ke udara setinggi satu tombak. Di udara tubuh itu mengambang sejenak,
kepala digoyang hingga air yang membasahi rambut memercik. Tubuh disentakkan,
dua tangan dan dua kaki dikembangkan begitu rupa lalu masuk lagi ke dalam air.
Hal ini dilakukan oleh perempuan itu sampai empat kali! Siapakah adanya
perempuan yang mandi berbugil diri di dalam telaga? Siapa pula kakek yang
dipanggil dengan nama Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang memiliki kesaktian
sanggup membendung curahan air terjun?
*******************
5
TAK
SELANG berapa lama perempuan yang bernyanyi sambil mandi di dalam telaga
hentikan nyanyiannya lalu berseru memberi tahu. “Sinuhun, aku sudah selesai
mandi. Apakah sekarang aku boleh mendekatkan diri padamu?”
“Datanglah,
selain rindu memang banyak pembicaraan yang harus kita lakukan. Ada beberapa
tugas yang harus dibicarakan dan satu perkara yang harus segera dilaksanakan!”
“Berarti
apakah kau sudah siap kembali ke dalam ujud asli dan aku panggil dirimu dengan
nama sebenarnya serta kau boleh pula menyebut namaku tanpa kebimbangan?”
Kakek
berpakaian dan berbelangkon merah di depan goa tertawa lebar.
“Aku
senang kau selalu ingat semua perjanjian. Aku sudah siap dari tadi. Tapi ada
satu hal yang belum kau lakukan.”
“Gerangan
apakah itu wahai Sinuhun?” Tanya perempuan di telaga yang perlahan-lahan
bergerak naik ke atas batu besar, siap untuk melompat pindah ke depan goa di
mana si orang tua bungkuk berdiri.
“Anting-anting
emas murni di telinga kirimu. Kau lupa menanggalkan. Apakah kau ingin aku
celaka kalau sampai bersentuhan dengan benda berhala itu?”
Perempuan
di dalam telaga terkejut. Wajahnya berubah.
“Maafkan
saya Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Saya lupa. Anting-anting emas ini
sebelumnya tidak pernah saya pakai. Ini diberikan beberapa hari lalu sebagai
tanda terima kasih oleh seorang abdi dalem istana yang anaknya saya sembuhkan
dari sakit yang sudah menahun. Saya tahu Sinuhun tidak boleh bersentuhan dengan
emas murni. Maafkan saya…”
Buru-buru
perempuan itu tanggalkan antinganting emas yang mencantel di daun telinga
kirinya. Perhiasan ini lalu dilemparkan ke atas lipatan pakaian yang terletak
di atas batu besar.
“Sinuhun,
bagaimana sekarang? Sudah boleh kah?”
Kakek di
mulut goa kembangkan dua tangan. Kepala mendongak, bibir bergetar mengucapkan
mantera. Saat itu juga tubuh bungkuk si kakek berubah menjadi sosok seorang
muda berwajah gagah, memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk tipis tapi
tidak lagi berwarna merah, melainkan hitam rapi berilat. Pakaian yang tadi
merah kini berubah hijau. Blangkon di atas kepala lenyap tak berbekas. Rambut
menjulai hitam sampai ke bahu. Di kening terikat secarik kain hijau. Dari wajah
dan perawakannya pemuda ini belum lagi memasuki usia duapuluh lima tahun.
“Ratu
Randang, datanglah ke dalam pelukanku!”
Perempuan
di dalam telaga ternyata adalah Ratu Randang, penasehat Sri Maharaja Mataram.
Perempuan berusia sekitar setengah abad tapi memiliki wajah masih cantik dan
tubuh sangat molek ini melesat dari dalam telaga. Di udara dia membuat beberapa
kali putaran hingga seluruh air yang menempel di rambut dan kulitnya menjadi
kering. Dalam keadaan aurat tiada terlindung sehelai benangpun dia kemudian
melompat ke arah goa dan masuk ke dalam pelukan pemuda gagah.
“Ghama
Karadipa kekasihku. Apakah selama ini kau merindukan diriku?” tanya Ratu
Randang sambil bergelangan di leher sang pemuda yang barusan dipanggil dengan
nama aslinya.
“Ratu
Randang, tiada siang maupun malam tanpa aku bisa melupakan dirimu.”
Ratu
Randang tertawa manja. “Aku senang mendengar ucapanmu itu.” Lalu pemuda itu
dipagut dan diciumnya berulang kali. “Sekarang katakan. Apakah kita akan
membicarakan urusan atau bercinta lebih dulu?”
“Ratu,
biasanya perempuan lebih tabah dan tahan menghadapi berbagai masalah. Tapi
dalam masalah bercinta terkadang perempuan hanyut lebih dulu dan menarik tangan
kekasihnya hingga sama-sama hanyut…”
“Astaga!
Kau telah berubah menjadi seorang sastrawan. Seorang penyair! Hik… hik… hik!
Tapi aku terpaksa membenarkan ucapanmu. Aku ingin hanyut dalam lautan cinta
bersamamu saat ini juga!”
“Ratu,
Junjungan memberi kita waktu cukup banyak sebelum melakukan satu tugas besar.
Kita berdua diperintahkan untuk mengatur penjemputan roh seorang yang berada di
alam delapan ratus tahun di muka dan…”
Ratu
Randang tekap mulut si pemuda dengan tangan kanannya seraya berbisik. “Kita
sudah sepakat untuk bercinta dulu baru bicara soal urusan lain…”
Ghama
Karadipa tertawa lalu mengangkat tubuh Ratu Randang dan membenamkan hidungnya
di dada perempuan itu.
“Sebelum
kita bercinta, ada satu hal aku minta kau lakukan,” ucap Ratu Randang sambil
menggeliat kegelian.
“Katakan…”
“Aku
minta kau melenyapkan dulu tanda dua telapak tangan berjari empat di dadaku.
Walau aku tahu dengan cara itu Junjungan telah memberikan ilmu kesaktian
padaku, tapi aku merasa aku bukan seperti diriku sebenarnya. Aku yakin kau juga
agak merasa terganggu dengan tanda itu…”
“Permintaanmu
akan aku turuti,” jawab si pemuda. Lalu dia gerakkan tangan kanannya ke arah
air terjun yang menggantung. Saat itu juga air terjun mencurah kembali setelah
tertahan secara gaib sekian lamanya.
*******************
6
RIMBA
belantara yang terletak tak jauh dari Candi Prambanan itu berada di kawasan
berbukit-bukit. Seperti yang diceritakan dalam serial sebelumnya berjudul Empat
Mayat Aneh, mahluk gaib yang ada di dalam tubuh Ni Gatri memberi tahu bahwa dia
perlu menyelamatkan gadis bekas pemain kuda lumping itu
karena
anak itu akan menjadi penghubung dengan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi
Lokapala dalam usaha menyelamatkan Kerajaan dan rakyat Mataram.
Mahluk di
dalam tubuh Ni Gatri kemudian meminta agar Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro Sableng
serta Ni Gatri pergi ke hutan di dekat Candi Prambanan dan menunggu sampai
sesuatu terjadi.
Di langit
tak ada rembulan. Bintang hanya tampak satu-satu. Di dalam rimba tentu saja
gelap bukan main. Mereka tidak mau menyalakan perapian karena kawatir menarik
perhatian. Nyamuk berkeliaran mencari mangsa menghisap darah ketiga orang yang
ada di tempat itu. Sinto Gendeng mulai menggerendeng. Dia berdiri. Kain panjang
hitam yang basah dikibas hingga air kencing yang menempel muncrat bertebaran ke
mana-mana, menyiprati Wiro dan Ni Gatri. Kalau Ni Gatri cuma diam saja maka
sang murid berani membuka mulut.
“Nek,
kira-kira kalau mengibas air kencing. Jangan seenaknya saja…”
“Air
kencing obat mujarab untuk menolak nyamuk!” Jawab Sinto Gendeng lalu kibaskan
lagi kain panjangnya beberapa kali.
“Oala
Nek. Tobat! Sudah Nek! Jangan dikibas lagi! Kalau Nenek mau selamat dari
gigitan nyamuk, usap saja air kencing ke tubuh dan wajahmu!” Wiro menjauh
sambil memencet hidung.
“Anak
setan! Kenapa takut dengan air kencing. Padahal kau dulu lahir dan keluar dari
lubang yang hanya serambut jaraknya dari lobang kencing! Hik… hik… hik!” Si
nenek mendamprat lalu tertawa cekikikan. Namun tawanya mendadak terhenti. Dia
dan juga Wiro serta Ni Gatri menatap kelangit. Walau keadaan gelap tapi di
udara jelas terlihat ada sebuah benda aneh melayang mengeluarkan suara
berdesing. Benda ini berputar tiga kali mengelilingi puncak bukit di mana ke
tiga orang itu berada. Lalu terdengar suara ringkikan kuda. Ketika benda
tersebut melayang turun di sela-sela pepohonan Ni Gatri berseru tertahan. Dia
mengenali.
“Ada
apa?” Tanya Wiro sambil memegang bahu anak perempuan itu.
“Benda
yang melayang. Itu kuda lumping yang Gatri selalu mainkan dalam pertunjukan…”
Baru saja
anak perempuan itu menjawab, braakk! Benda yang dikatakannya kuda lumping itu
melesat turun dan bagian bawahnya yang rata menancap tegak di tanah. Benar,
benda itu ternyata adalah sebuah kuda lumping terbuat dari kajang bambu.
“Kuda
lumpingku!” Seru Ni Gatri. Anak ini berlari hendak memegang dan merangkul kuda
lumping yang dulu selalu dimainkannya dalam setiap pertunjukan keliling bersama
perkumpulan Kuda Lumping Cahaya Utara pimpinan Ki Sugeng Jambul.
Wiro
cepat memegang lengan anak perempuan ini sambil berbisik. “Ni Gatri, kau harus
berlaku hati-hati. Kuda lumping itu muncul secara aneh. Bukan mustahil ada
penghuni gaib di dalamnya. Iya kalau mahluk baik seperti kakek yang pernah
dilihat guruku, kalau jahat, kau bisa celaka!”
Sinto
Gendeng sendiri menjaga jarak sambil memperhatikan penuh waspada. Dalam hati
dia berkata. “Walau aku belum bisa melihat, aku ya kin ada mahluk gaib di dalam
kuda main-mainan itu. Mudah-mudahan saja dia kakek gagah yang tadi siang masuk
ke dalam tubuh Ni Gatri…” Dari tempatnya berdiri Sinto Gendeng terus mengawasi.
Sementara
itu meski sudah dipegang namun Ni Gatri rupanya tak bisa dicegah. Anak ini
lepaskan cekalan Wiro lalu lari menghampiri kuda lumping.
Berulang
kali dia mengusap dan membelai kuda lumping seraya berkata. “Sahabatku,
bagaimana kau bisa muncul di sini. Malam-malam begini. Aku kangen memainkanmu.
Sayang tak ada yang meniup terompet dan menabuh tambur…”
Tiba-tiba
dari dalam sosok kuda lumping terdengar suara tertawa. “Anak baik, saat ini
bukan waktunya kita bermain-main. Ada urusan yang harus kau bantu melakukan.
Aku minta izin masuk ke dalam tubuhmu, baru bisa melanjutkan bicara. Aku
membekal tugas yang amat berat.
Hanya
melalui dirimu aku bisa menyampaikan kepada orang yang berkepentingan karena
dirimu telah dipilih dan diberkahi oleh Para Dewa…”
Ketika
mendengar suara gaib yang keluar dari dalam kuda lumping, Sinto Gendeng merasa
kecewa. Suara yang dia dengar bukan suara kakek gagah yang pernah dilihatnya
dan masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Saat itu Ni Gatri hendak mengatakan sesuatu
namun Sinto Gendeng cepat mendahului.
“Mahluk
di dalam kuda lumping, aku tidak bisa melihat ujudmu. Tapi kau bukan kakek
berwajah gagah berjubah kelabu yang pernah masuk dan bicara melalui tubuh anak
perempuan itu…”
“Nenek
yang aku hormati, diriku memang bukan orang yang kau maksudkan…”
“Jadi kau
kenal dengan kakek itu. Wajahnya gagah, dia mengenakan jubah kelabu…” Kata
Sinto Gendeng penuh harapan.
“Benar
Nek. Kami datang dari alam yang sama. Kerajaan Mataram Kuna, delapanratus tahun
silam dari sekarang. Kedudukannya setingkat lebih tinggi dari aku.”
“Sayang
sekali. Mengapa dia tidak datang sendiri? Hemm… mungkin dia kapok melihat
diriku yang jelek ini…” Ucap Sinto Gendeng kecewa.
“Kakek
sahabatku itu memang ada mencerita kan tentang dirimu. Dia berkata, waktu
bertemu denganmu dia dapat melihat ujudmu yang sebenarnya. Ketika dirimu masih
seusia gadis remaja. Tidak seperti keadaan sekarang. Katanya kau seorang gadis
cantik, berkulit hitam manis, berilmu tinggi, pandai bicara tapi kadang-kadang
ketus…”
“Apa?!
Kakek itu bicara begitu padamu?!” Sinto Gendeng terkejut. Wajahnya tampak
kemerahan pertanda jengah tapi senang. Lalu nenek ini tertawa panjang.
“Sahabat, katakan padaku mengapa kakek itu tidak datang sendiri. Beritahu
padaku siapa namanya…”
“Kakek
itu tengah mengurus perkara besar di Kerajaan Mataram Kuna. Karena itu dia
mengutus diriku untuk datang ke sini menemui gadis kecil bernama Ni Gatri itu.
Perihal namanya, menyesal aku tidak punya kewenangan untuk memberi tahu. Mohon
dimaafkan…”
Sinto
Gendeng manggut-manggut beberapa kali. Dia bolang-balingkan tongkat kayu
bututnya lalu bertanya. “Sahabat, boleh aku minta tolong?”
“Kalau
aku mampu pasti akan aku tolong. Katakan apa permintaanmu…”
Sinto
Gendeng cabut salah satu dari lima tusuk konde perak yang menancap di batok
kepalanya. Lalu melangkah ke dekat kuda lumping. Tangan yang memegang tusuk
konde diulurkan seraya berucap. “Berikan tusuk konde ini pada kakek berpakaian
kelabu itu. Dia pasti ingat…”
“Baik,
akan aku serahkan tusuk konde itu pada kakek sahabatku itu. Namun aku tidak
akan mengambilnya sekarang. Karena aku harus lebih dulu masuk ke dalam tubuh
gadis bernama Ni Gatri itu lalu bicara dengan pemuda berpakaian putih berambut
panjang yang kami orang-orang di Mataram mengetahui adalah murid tunggalmu.
Benarkah dia memiliki sebuah senjata sakti mandraguna di dalam tubuhnya?”
Saat itu
Wiro yang tengah garuk-garuk kepala melihat gurunya hendak menyerahkan tusuk
konde karuan saja menjadi kaget ketika dirinya disebut-sebut.
Sebelum
Sinto Gendeng sempat menyahuti ucapan mahluk di dalam kuda lumping tiba-tiba
dari dalam kuda lumping melesat keluar satu cahaya putih yang kemudian masuk ke
dalam tubuh Ni Gatri hingga anak ini tersentak. Wajahnya pucat sesaat namun
kemudian tampak tenang kembali. Ketika Ni Gatri kemudian menatap ke arah Wiro
dan keluarkan ucapan, suaranya bukan lagi suara dirinya tapi berubah menjadi
suara mahluk yang tadi ada di dalam kuda lumping.
“Anak
muda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, izinkan aku
memperkenalkan diri. Namaku Swara Pancala. Aku datang dari Bhumi Mataram,
tepatnya Kerajaan Mataram Kuna yang keberadaannya delapan ratus tahun silam dan
saat ini tengah dilanda angkara murka akibat perbuatan orang-orang jahat yang
bergabung dengan mahluk alam gaib…”
Lalu
mahluk gaib yang ada dalam tubuh Ni Gatri dan mengaku bernama Swara Pancala itu
menceritakan malapetaka hebat yang telah terjadi di Mataram. “Menurut petunjuk
Para Dewa, hanya kaulah satu-satunya orang yang bisa menolong melepaskan Raja,
rakyat dan Kerajaan Mataram dari malapetaka itu. Aku mewakili Sri Maharaja
Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala dan seluruh rakyat Mataram, mudah-mudahan
kau mau menolong…”
Wiro jadi
garuk garuk kepala dan memandang pada gurunya. Sinto Gendeng langsung berucap.
“Ingat
apa yang aku katakan tadi siang? Ini arti mimpiku dua malam lalu. Ada orang
memberikan mahkota besar padamu. Kau bakal mendapat satu tugas sangat berat.
Tapi sangat mulia. Sekarang mimpi itu menjadi kenyataan…”
“Sahabat
di dalam tubuh Ni Gatri… Apa tidak keliru kalau diriku yang tidak punya ilmu
kepandaian apa-apa ini akan mampu melakukan pekerjaan begitu besar? Kau meminta
tanduk pada seekor kucing bodoh…”
Mahluk di
dalam tubuh Ni Gatri tertawa.
“Begitulah
memang rendah hatinya orang berbudi dan berilmu. Wahai anak muda, petunjuk Yang
Maha Kuasa menyatakan demikian, tak mungkin keliru kalau kaulah orangnya. Kami
di Bhumi Mataram tidak berani membantah. Itulah sebabnya aku diutus datang ke
sini. Disertai permohonan dan doa dari Raja dan rakyat Mataram. Sekarang
waktuku sudah habis. Tugasku sudah selesai. Aku mohon diri. Namun sebelum pergi
ada satu hal yang perlu aku beritahu. Setelah aku pergi akan ada satu mahluk
datang ke tempat ini. Dia akan menyerahkan sebuah benda padamu. Apa bentuk dan
kegunaan benda itu nanti kau lihat dan kau tanyakan sendiri pada mahluk itu…”
“Lalu
kuda lumping dari kajang itu mau dibuat apa?” Tanya Wiro. “Apa aku akan disuruh
berkeliling ngamen kemana-mana main kuda lumping?”
“Ah, aku
lupa memberi tahu. Kuda Lumping itu akan menjadi tungganganmu pergi ke Bhumi
Mataram lalu menuntunmu menemui Sri Mahara ja Rakai Kayuwangi. Sekarang izinkan
aku mohon diri…”
Wiro
melengak. Cahaya putih berkelebat keluar dari tubuh Ni Gatri, melesat ke udara.
Sinto Gendeng tersentak. Buru-buru berseru.
“Swara
Pancala! Kau lupa membawa titipan tusuk kondeku!” Si nenek lalu lemparkan tusuk
konde perak yang sejak tadi dipegang. Benda ini melesat ke langit, mengejar
cahaya putih sosok si mahluk gaib.
Tidak
terduga saat itu mendadak muncul delapan larik cahaya merah. Dari gerakan
cahaya jelas hendak membokong cahaya putih si mahluk gaib dari Mataram. Di saat
bersamaan tusuk konde Sinto Gendeng sampai pula di bagian langit yang sama.
Bentrokan tidak terhindar lagi. Tusuk konde sakti menghantam delapan larik
cahaya merah!
“Oala!
Sialan! Hancur tusuk kondeku!” teriak Sinto Gendeng.
*******************
7
DI LANGIT
delapan cahaya merah tercabikcabik mengeluarkan suara menggelegar. Tusuk konde
perak Sinto Gendeng sendiri hangus leleh lalu meledak berkeping-keping.
“Pertanda
buruk! Pertanda buruk!” si nenek berkata berulang kali sambil banting-banting
kaki kanan ke tanah.
Tiba-tiba
Sinto Gendeng mendengar suara mengiang di telinga kanannya. “Sahabat, aku Swara
Pancala. Tidak ada yang buruk. Kau telah berbuat kebajikan. Tusuk kondemu telah
menyelamatkan diriku dari serangan gelap orang-orang Delapan Sukma Merah.
Merekalah pangkal bahala yang menimbulkan malapetaka di Bhumi Mataram. Budi
baikmu tidak akan aku lupakan. Aku pasti akan minta sahabatku kakek gagah
berjubah kelabu itu untuk mengganti tusuk konde perak mu.”
Muka
Sinto Gendeng yang tadi cemberut kini tampak tersenyum. Dia berkata. “Aku tidak
minta ganti apa-apa. Memang sudah begitu kejadiannya mau dikata apa…”
Wiro
saling pandang dengan Ni Gatri. Lalu sang murid bertanya. “Nek, kau bicara
sendirian. Memangnya tadi kau bicara dengan siapa?”
“Anak
setan, kau tak perlu tahu urusan orang. Kau tahu, saat ini aku cuma merasa
kasihan pada dirimu. Aku sudah punya firasat kau akan berada dalam satu perjalanan
jauh. Menghadang bahaya di negeri antah berantah sana. Kau dengar sendiri tadi
ucapan mahluk gaib bernama Swara Pancala itu. Dia datang dari Kerajaan Mataram
Kuna yang berada delapanratus tahun sebelum kita berada saat ini. Oala dulu kau
pergi ke negeri seribu dua ratus tahun silam. Untung masih bisa kembali. Kali
ini aku tidak bisa memastikan…”
“Sudah
Nek, mengapa harus kawatir. Mimpimu cuma kembang tidur. Lalu anggap saja mahluk
jejadian yang tadi muncul di sini hanya mahluk kesasar yang bicara ngacok…”
“Ngacok!
Kau yang ngacok! Apa matamu buta melihat kenyataan. Pertemuan kita dengan kakek
berjubah kelabu yang masuk ke dalam tubuh Ni Gatri, meminta kita datang ke
tempat ini. Lalu kuda lumping bambu itu. Mahluk bernama Swara Pancala. Sebentar
lagi, tunggu saja. Masih ada mahluk yang akan datang! Dan kau enak saja bilang
ngacok! Mahluk kesasar! Edan!”
“Kalau
nanti kenyataannya aku memang harus pergi Nek, aku titip Ni Gatri padamu…”
Berkata Wiro dengan suara agak memelas.
“Saya
tidak mau ditinggal. Saya ikut sama Kakak.” Berkata Ni Gatri lalu tangan
kanannya memegang lengan kiri Wiro erat-erat.
“Anak
perempuan! Kau mulai bengal ya! Aku saja tidak ikut! Kau yang masih hijau bau
kencur begini mau ikutan muridku!”
Sejurus
Ni Gatri terdiam. Namun kemudian anak perempuan ini berkata. “Nenek, kalau
Nenek mau pergi sama kakak tidak ada yang melarang. Ikut saja Nek. Nanti kan
bisa ketemu kakek gagah berjubah kelabu itu…”
“Anak
setan!” Maki Sinto Gendeng. “Baru beberapa hari kau ikutan muridku sudah
ketularan berani bicara konyol!”
“Kakak,
kalau aku tidak ikut dengan Kakak, tolong antarkan aku kembali ke rumah Kakek
Nenek Pringkun di Kotaraja. Mereka pasti mau menerima Gatri. Nanti…”
Belum
selesai anak perempuan itu berkata tibatiba terdengar suara berdesing.
Memandang keudara, ketiga orang itu melihat satu benda aneh berwarna putih
dengan sangat cepat melayang turun ke bukit dan tahu-tahu telah berdiri di
hadapan mereka!
Sinto
Gendeng berseru kaget sampai terkencing. Ni Gatri terpekik, setengah mau
menangis. Pendekar 212 Wiro Sableng bersurut mundur sambil memegang kuduk yang
terasa dingin. Hanya sesaat mahluk itu tegak tiba-tiba tubuh nya, braakk! Tubuh
si mahluk rebah menelentang di tanah!
Dari
tadinya kaget dan takut Sinto Gendeng kini jadi jengkel penasaran. “Hantu
bukan, demit juga bukan! Apalagi jin! Mahluk jahanam katakan siapa dirimu atau
tongkatku akan meremukkan kepalamu!”
Mahluk
yang tertelentang di tanah, sekujur tubuhnya kecuali kepala dan wajah
terbungkus gulungan kain putih. Sepasang mata terbuka nya lang, menatap tak
berkesip ke arah langit kelam.
Tiba-tiba
mahluk ini yang bukan lain adalah Mayat Aneh Keempat membuka mulut.
Pelihara
mata hanya melihat kebaikan Pelihara mulut hanya bicara kebaikan Pelihara
telinga hanya mendengar kebaikan Pelihara kemaluan hanya untuk kebaikan Sinto
Gendeng delikkan mata. Mulut memaki keras. “Mahluk sialan! Ditanya malah
berpantun! Pantun gila yang tidak pernah aku dengar sebelumnya! Menyebut-nyebut
kemaluan segala! Ihhh! Lekas pergi dari sini! Jangan membuat kacau urusanku!”
Sinto
Gendeng lalu tusukkan ujung tongkat nya. Cukup keras hingga Mayat Aneh Keempat
keluarkan suara tercekik. Mulut terbuka lidah terjulur. Bersamaan dengan
juluran lidah di mulut nya kelihatan muncul sebuah benda bercahaya berwarna
putih berbentuk segitiga. Mahluk ini keluarkan benda putih itu dari dalam mulut
dengan tangan kanan lalu tangan diacungkan ke udara.
“Aku
Mayat Aneh Keempat. Datang dari negeri delapanratus tahun silam yang disebut
Bhumi Mataram. Aku diutus oleh Para Penguasa Langit Dan Bumi, mewakili Raja
Mataram Rakai Kayu wangi Dyah Lokapala. Untuk menyerahkan batu putih ini di
tempat ini pada seorang yang punya sangkut paut dengan tiga angka yang tergurat
pada batu putih segitiga ini!”
Wiro
terkejut. Sinto Gendeng kembali delikkan mata. Tongkat yang menekan leher Mayat
Aneh Keempat ditarik sedikit.
“Benda
apa itu! Berikan padaku.” Teriak Sinto Gendeng. Laksana kilat tangan kirinya
menyambar. Namun begitu tangan si nenek hanya tinggal seujung kuku dari batu
putih segitiga yang hendak dirampasnya tiba-tiba, wusss! Satu cahaya putih yang
luar biasa panasnya memancar keluar dari batu. Sinto Gendeng terpekik. Lima
jari tangannya tampak hitam mengepulkan asap!
“Jahanam
kurang ajar! Tamat riwayatmu sekarang juga!” Sinto Gendeng hantamkan tongkat
bututnya ke kepala Mayat Aneh Keempat. Sekali kena dipukul pasti kepala itu
pecah berantakan mengerikan!
Walau
diancam bahaya, Mayat Aneh Keempat tenang saja. Malah dia berkata. “Mengambil
benda yang bukan milik kita namanya mencuri. Jika memaksa maka namanya
merampas! Batu putih segitiga hanya akan diserahkan pada orang yang telah
ditunjuk Para Dewa demi untuk menyelamatkan Mataram…”
*******************
8
SINTO
GENDENG jadi tambah marah mendengar ucapan Mayat Aneh Keempat. Tongkat di
tangan kanan terus dihantamkan kekepala mahluk yang terbaring di tanah itu.
Malah tenaga dalam dilipatgandakan hingga tongkat memijar cahaya kecoklatan.
Melihat perbuatan sang guru Wiro bertindak cepat. Dia segera memegang tangan
kanan Sinto Gendeng seraya berkata.
“Nek,
kenapa kau jadi kalap tak karuan? Apa Eyang lupa penjelasan mahluk gaib bernama
Swara Pancala yang tadi masuk ke dalam tubuh Ni Gatri? Eyang tidak ingat apa
barusan yang dikata kan mahluk ini… Aku yakin, Nek. Mahluk inilah orang yang
dimaksud Swara Pancala, yang akan datang menemui kita membawa sebuah benda dan
menyerahkan benda itu padaku…”
Seolah
sadar Sinto Gendeng bersurut mundur. Nenek ini berulang kali golengkan kepala
lalu tegak bersandar ke sebatang pohon.
“Anak
muda, cepat kau ambil batu putih segitiga yang ada di tangan kananku. Aku yakin
kau lah orang yang dimaksud Para Dewa di Bhumi Mataram…”
“Memangnya
ada kejadian apa di Bhumi Mataram?” Tanya Wiro. Dia belum mau mengambil batu
segitiga putih.
Mayat
Keempat lalu menuturkan malapetaka dahsyat yang telah menimpa Kerajaan Mataram,
Raja dan rakyatnya.
“Kalau
kau tidak mau mengambil batu ini, berarti kau tidak berkehendak menolong. Jika
kau tidak memiliki hati nurani untuk menolong maka besok pagi korban mulai
berjatuhan. Sebelum matahari terbit lagi keesokan hari, semua yang hidup di
Mataram mungkin sudah menemui kematian termasuk Sri Maharaja Rakai Kayu wangi…”
Wiro
menggaruk kepala. Berpaling pada sang guru yang tegak bersandar ke pohon. Sinto
Gendeng diam saja. Dia menoleh pada Ni Gatri. Anak ini membuka mulut. Tapi yang
terdengar adalah suara anak kecil laki-laki.
“Raja
Mataram adalah sepuh dari Raja yang ada di tanah Jawa sekarang. Rakyat Mataram
adalah nenek moyang rakyat yang hidup di zaman ini. Tidakkah ikatan batin bisa
mengetuk pintu hati untuk minta pertolongan?”
“Anak
lelaki yang bicara dalam tubuh Ni Gatri, kau siapa?” Wiro bertanya.
“Jika
tali budi kita memang akan saling bersentuh dan berkaitan, jika Yang Maha Kuasa
menghendaki kelak kita akan bertemu di Kerajaan Mataram Kuno…”
Perlahan-lahan
Wiro ulurkan tangan kanan mengambil batu putih berbentuk segitiga. Tidak
seperti ketika hendak dirampas oleh Sinto Gendeng, batu putih itu sama sekali
tidak mengeluarkan cahaya putih panas. Sebaliknya di dalam tangan Wiro batu itu
memancarkan cahaya lembut yang di dalam gelap cukup terang hingga Wiro dapat
melihat guratan angka pada masing-masing ujung batu.
“Aneh,
batu putih berbentuk segitiga. Datang dari alam delapanratus silam. Bagaimana
bisa ada guratan tiga angka? Dua satu dua.” Murid Sinto Gendeng berpikir.
“Anak
muda. Angka Dua Satu Dua itu, benar kah ada kaitannya dengan dirimu?” Mayat Aneh
Keempat bertanya.
Wiro
perhatikan batu segitiga putih. Sambil diperhatikan jari-jari tangannya
mengusap batu. Makin diusap tubuhnya terasa sejuk dan bertambah enteng.
“Angka
Dua Satu Dua memang ada sangkut pautnya dengan diriku,” Wiro memberi tahu.
“Aku
tidak mampu melihat. Tapi kata orang yang tahu, di dalam tubuhmu tersimpan
sebuah senjata sakti mandraguna. Betulkah itu… ?”
Murid
Sinto Gendeng jadi terkesima.
“Anak
muda, kau berdusta sekalipun aku tidak akan tahu.” Kata Mayat Aneh Keempat lalu
sunggingkan senyum. Kemudian dua tangannya ditekapkan ke bagian bawah perut.
Dari jauh Sinto Gendeng memperhatikan hal ini. Dalam hati dia menggerendeng.
“Mayat
edan! Mengapa sekarang memegang itunya segala? Jangan-jangan dia mau membuka
balutan kain putih. Mau memperlihatkan…”
“Nek,
auratku buruk. Tidak ada yang bagus dan pantas diperlihatkanl” Tiba-tiba Mayat
Aneh Keempat berkata, ditujukan pada Sinto Gendeng. Habis berkata mahluk ini
tertawa cekikikan.
Serrr!Si
nenek sampai terkencing mendengar ucapan itu lalu cepat-cepat membuang muka,
memandang ke jurusan lain sambil membatin. “Gelo! Bagaimana mahluk sialan itu
tahu kalau aku bicara dalam hati merasani dirinya…”
“Aku rasa
tugasku sudah selesai.” Kata Mayat Aneh Keempat pada Pendekar 212. “Anak muda,
aku bersyukur telah menemuimu.”
“Aku ada
pertanyaan. Apa yang akan aku lakukan dengan batu ini?” Bertanya Wiro.
“Ah,
untung kau mengingatkan. Aku sudah pelupa rupanya. Maklum otak dan pikiran
mayat seperti diriku tidak seampuh manusia seperti dirimu. Hik… hik…” Setelah
tertawa Mayat Aneh Keempat meneruskan ucapan. “Aku hanya sekedar menambahkan
penjelasan yang telah kau terima dari seseorang yang datang menemuimu sebelum
nya. Bila kau sudah sampai di Bhumi Mataram dan bertemu dengan Sri Maharaja
Rakai Kayu wangi maka kau harus memperlihatkan batu tersebut pada Raja. Sebagai
pertanda bahwa memang kaulah adanya orang yang dipercayakan akan dapat
menyelamatkan Kerajaan dari malapetaka yang sedang menimpa. Aku meminta,
setelah aku meninggalkan tempat ini kau harus segera menunggangi kuda lumping.
Dia akan membawamu dalam kecepatan kilat menemui Sri Maharaja.”
“Di alam
delapanratus silam?” Tanya Wiro.
“Betul,”
jawab Mayat Aneh Keempat. “Ada sesuatu yang merisaukanmu? Mungkin kau kawatir
di alam sana tidak ada anak gadis yang cantik? Maaf, aku tidak mengatakan kalau
kau ini seorang pemuda mata keranjang. Hik… hik… hik!”
Wiro
pencongkan mulut lalu tersenyum tapi tak menjawab, hanya menggaruk kepala.
“Delapanratus
tahun silam tidak ada artinya. Bukankah kau pernah masuk dan berada cukup lama
di alam yang lebih jauh, di alam seribu dua ratus tahun silam?”
Wiro
tercengang. “Bagaimana kau mengetahui riwayatku?”
Mayat
Aneh Keempat tertawa. “Aku sudah hampir seribu limaratus tahun jadi mayat. Apa
yang terjadi selama kurun waktu itu pasti tidak luput dari pengetahuanku dan
tiga saudaraku…”
“Jadi kau
ternyata punya tiga saudara?” tanya Wiro. “Di mana mereka?”
“Di alam
delapanratus tahun silam. Kelak kau akan bertemu dengan mereka…” Jawab Mayat
Aneh Keempat.
“Seribu
lima ratus tahun jadi mayat! Bagaimana mungkin keadaanmu masih seperti ini?
Tidak busuk dan tidak rusak! Malah muncul masih bisa bicara dan bergurau!
Heh?!”
“Kalau
Yang Maha Kuasa melakukan sesuatu, apa anehnya? Apa kau mau aku doakan jika kau
mati nanti bisa jadi mayat seribu lima ratus atau mungkin malah dua ribu
tahun?”
“Tobat!”
Wiro mundur beberapa langkah. Kepala digeleng tangan kiri kanan digoyang.
“Mayat
Aneh, kenapa kau hampir selalu menutupi kemaluanmu dengan kedua tangan?”
Tibatiba Sinto Gendeng bertanya.
Mahluk
yang ditanya tertawa lebar. Lalu menjawab. “Kemaluan yang tidak dipelihara
adalah salah satu pangkal sebab seorang insan menemui malapetaka dalam
kehidupannya. Kau pasti tahu maksudku Nek.”
Air muka
keriput berkulit tipis Sinto Gendeng tampak berubah. Mulut komat kamit
mengunyah susur. “Mahluk aneh, apakah aku boleh menemani muridku dalam
perjalanan ke Mataram?” Sinto Gendeng kembali ajukan pertanyaan.
Wiro
menoleh menatap sang guru. Dalam hati dia berkata. “Nek, jangan-jangan kau
bukan cuma sekedar menemaniku. Tapi mau ketemu kakek gagah berjubah kelabu
itu…”
Mayat
Aneh Keempat yang sampai saat itu masih terbujur menelentang di tanah palingkan
kepala ke arah si nenek. Lalu menjawab.
“Tidak
ada yang menyuruh, tidak ada yang melarang. Tapi kau lihat sendiri, kuda
lumping itu terlalu kecil untuk ditunggangi dua orang.”
Sinto
Gendeng terdiam. Dia maklum orang menolak keikutannya bersama Wiro secara
halus. Mayat Aneh Keempat berpaling pada Ni Gatri. Mulut tersenyum dan mata
dikedip-kedipkan.
“Aku puya
firasat anak perempuan itu mungkin diperlukan di Bhumi Mataram. Anak muda, tak
ada salahnya kau membawa serta anak itu. Kau bisa memangku atau menggendongnya
di punggung.”
“Curang!”
Sinto Gendeng berteriak. “Kalau anak perempuan hijau bau kencur itu boleh pergi
bersama muridku mengapa aku yang sudah bangkotan dan bau pesing tidak?!”
Habis
berteriak Sinto Gendeng langsung melompat ke arah kuda lumping lalu dengan cepat
duduk di atas punggungnya.
“Kuda
lumping! Bawa aku ke Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan delapanratus tahun silam!”
Si nenek berteriak.
Begitu
merasa ada orang mencemplak punggungnya dan mendengar suara teriakan, kuda
lumping terbuat dari kajang bambu itu mengepul kan asap. Debu beterbangan
membuat udara bertambah kelam di dalam rimba.
“Nek!
Eyang!” teriak Wiro ketika melihat bagaimana kuda lumping yang ditunggangi
gurunya perlahan-lahan bergerak ke atas. Tidak pikir panjang lagi Wiro segera
memburu.
“Kakak!
Aku ikut!” Ni Gatri berteriak lalu cepat mengejar.
Wiro
terkesiap sejenak, berpikir. Dia ingat katakata Mayat Aneh Keempat tadi.
Buru-buru Wiro simpan batu segitiga putih di balik pakaian lalu berbalik ke
arah Ni Gatri dan menarik tangan anak ini. Wiro melompat ke arah kuda lumping
dan berhasil memagut pinggang Sinto Gendeng tepat pada saat kuda lumping
melesat ke udara, menembus kegelapan malam rimba belantara dan lenyap di langit
kelam.
“Kakak,
Gatri mau muntah. Bau pesing…” Bisik Ni Gatri yang tidak tahan mencium bau
tubuh dan pakaian Sinto Gendeng yang bau pesing. Apalagi Wiro yang
bergelantungan lebih dekat dengan Sinto Gendeng, mencium bau itu Iebih keras
dan lebih parah lagi. Sang pendekar hanya bisa manggut-manggut perlahan dan
mesem-mesem sambil menahan nafas mendengar ucapan Ni Gatri.
“Anak-anak
setan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan?!” Di sebelah depan
Sinto Gendeng berteriak. Lalu tongkat kanannya digebukkan ke pinggul kuda
lumping. Wusss!
Asap
tebal mengepul di bagian bawah kuda lumping. Sang tunggangan melesat laksana
kilat.
Di satu
tempat tiba-tiba Kuda lumping menukik kebawah sambil membuat gerakan berputar
sebat.
Begitu
kencangnya tukik dan putaran kuda lumping, pegangan Wiro terlepas dari pinggang
Sinto Gendeng. Cekalannya pada tangan kanan Ni Gatri yang bergelung di lehernya
juga lepas. Akibatnya sementara Sinto Gendeng melesat deras ke arah utara
bersama kuda lumping yang ditunggangi, Wiro dan Ni Gatri berpelantingan di
udara. Satu kebarat, satu ke selatan. Untungnya daratan hanya tinggal pada
ketinggian dua langkah saja.
**********************
Hanya
beberapa saat setelah kuda lumping membawa ketiga orang itu melesat ke langit,
tibatiba dari dalam tanah mencuat keluar satu sosok bugil hitam tinggi besar
berperut buncit. Kepala botak bercula. Sepuluh kuku tangan panjang berwarna
merah. Sepasang mata merah dan tampak menyala dalam kegelapan. Pada cuping
hidung sebelah kiri mencantel sebuah anting-anting bulat terbuat dari batu
hitam. Walaupun bugil namun bagian bawah perut mahluk ini licin hingga tidak
bisa diduga apakah dia lelaki atau perempuan. Ketika dia menyeringai, dari
mulut yang terbuka menjulur lidah panjang menjulai sampai ke tanah. Dengan
ujung lidahnya mahluk ini menyapu permukaan tanah, menjilat batang pepohonan.
Dari tenggorokannya kemudian keluar suara menggereng seperti harimau.
“Aku bisa
merasakan. Aku bisa mencium. Manusia yang katanya mampu menangkal malapetaka
itu tadi ada di sini. Ada dua orang lain bersamanya. Aku terlambat. Mengapa
Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu baru memberi tahu setelah sang surya
tenggelam. Lalu pergi begitu saja. Katanya menemui Sinuhun…”
Tiba-tiba
terdengar suara pekik riuh membuncah rimba belantara. Tak lama kemudian dari
dalam tanah puluhan mahluk yang sama ujudnya dengan mahluk tadi yang pertama
kali melesat keluar. Bedanya yang sembilan puluh sembilan ini tidak memakai
anting-anting batu di hidung. Rimba belantara jadi sesak oleh mahluk-mahluk
mengerikan itu. Yang baru datang berjumlah sembilan puluh sembilan. Ditambah
yang datang duluan berarti seratus mahluk! Mereka bukan lain adalah Seratus Jin
Perut Bumi!
“Kita
terlambat! Mereka sudah keburu pergi!”
Berkata
mahluk bugil hitam pertama pada puluhan mahluk yang berdiri di sekitarnya yang
rupanya adalah anak buahnya.
“Ketua,
kalau begitu kita cepat kembali ke Mataram!” Seorang Jin Perut Bumi berkata.
“Betul.
Kita hadang orang itu di atas Bhumi Mataram. Mulai dari langit ke satu sampai
ke tujuh. Masakan bisa tembus!” Jin Perut Bumi yang lain ikut bicara.
Yang
bertindak sebagai pimpinan dan dipanggil Ketua berkata. “Tugas kita sudah
ditentukan. Kita tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus tunduk dan
menemui Sinuhun lebih dulu untuk mendapat petunjuk. Baru melakukan apa yang
diperintahkannya. Lagi pula aku mendengar kabar ada serombongan orang
kepercayaan Junjungan…”
Sang
Ketua tidak meneruskan ucapan. Sekian banyak anak buahnya tidak ada yang
memperhatikan.
“Tapi
bukankah Sinuhun sedang bersuka-suka dengan penasihat Raja Mataram yang bernama
Ratu Randang itu? Junjungan mengetahui hal itu, pasti Junjungan sudah memberi
izin.” Menyeletuk Jin Perut Bumi yang berdiri sambil berkacak pinggang.
“Kurasa
saat ini Sinuhun sudah berada di puncak Gunung Merapi. Kita harus segera menuju
ke sana…” Jin Perut Bumi yang bertindak sebagai pimpinan mengambil keputusan.
“Mengapa
harus ke puncak Gunung Merapi, Ketua?” Dua orang Jin perut Bumi bertanya hampir
berbarengan.
“Tidak
perlu banyak tanya. Bersiap-siap saja menghadapi apa yang akan terjadi!” Jawab
sang Ketua.
Seratus
Jin Perut Bumi di dalam rimba belantara kemudian satukan dua telapak tangan di
atas kepala. Lalu wusss! Hanya dalam bilangan kejapan mata saja semua mahluk
itu amblas lenyap masuk ke dalam tanah. Rimba belantara yang dipagut kegelapan
kini kembali sunyi seolah tidak ada sesuatu terjadi di kawasan itu.
*******************
9
WALAU
sang surya masih jauh dari waktu nya tenggelam namun langit di atas bukit
Kopeng tampak redup. Awan kelabu menggantung sejak tengah hari. Di pelataran
rusak dalam sebuah bangunan candi setengah jadi karena pembuatannya tidak
pernah terselesaikan, seorang berpenampilan aneh dan mengerikan duduk
mencangkung di hadapan potonganpotongan kayu sebanyak delapan buah yang di
tancapkan ke lantai candi membentuk lingkaran.
Di dalam
lingkaran potongan kayu terletak delapan keping besar kemenyan. Dari mulut
orang ini keluar suara meracau, agaknya tengah melafal mantera dan hanya
berhenti sesaat jika dia memasukkan kepingan-kepingan kemenyan ke dalam mulut.
Orang
yang duduk mencangkung di lantai candi ini sulit diduga usianya karena wajahnya
tertutup lumut tebal berwarna ungu. Sepasang mata terletak bukan di bawah alis,
tapi di atas alis. Telinga kiri kanan masing-masing memiliki dua daun telinga.
Rambut tebal ungu. Di kening ada delapan benjolan merah mengepulkan asap.
Sekujur tubuh seperti mengenakan pakaian bergerunjulan tapi sebenarnya tubuh
itu ditumbuhi batu berlumut sebesar tinju berwarna ungu. Inilah manusia bernama
Jambal Ungu, bergelar Raja Dukun Batu Berlumut.
Menurut
orang yang mengetahui riwayatnya, Jambal Ungu dulunya adalah seorang Resi
terkenal dan sangat dekat hubungannya dengan Raja serta para penguasa di Bhumi
Mataram. Namun kutukan Dewa jatuh atas dirinya sewaktu dia terpikat oleh
kehidupan dunia, kemudian tersesat melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
baik dan menguasai ilmu hitam termasuk santet.
Konon
ilmu perdukunannya jauh lebih tinggi dari Eyang Dukun Umbut Watukura yang
selama ini membaktikan diri pada Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Apa lagi dia dibantu oleh beberapa orang dukun yang juga rata-rata
berkepandaian tinggi. Itu salah satu sebab mengapa Eyang Dukun Umbut Watukura
tidak mampu menghadapi termasuk melenyapkan petaka kelumpuhan, benjolan serta
demam panas yang terjadi di Mataram.
Para Dewa
menjatuhkan hukuman atas Eyang Dukun. Wajah dan tubuh Jambal Ungu ditutup
dengan batu berlumut berwarna ungu. Mata di pindah ke atas alis dan daun
telinga ditambah menjadi empat. Berada dalam keadaan kutuk seperti itu Jambal
Ungu bukannya sadar, minta ampun dan bertobat pada Yang Maha Kuasa, tapi malah
kini berserikat dengan mahluk jahat yang telah merencanakan Malam Jahanam di
Kerajaan Mataram.
Saat itu
sambil menunggu kedatangan seseorang, Jambal Ungu membaca mantera sementara
sepasang mata memperhatikan lantai candi yang dilingkari dengan tancapan
delapan potong kayu. Walau yang dihadapi lantai candi, namun yang terlihat oleh
sepasang mata sang dukun adalah kawasan alam gaib. Sesekali kening mengerenyit,
mata membesar dan empat daun telinga bergerakgerak.
Kalau
kemenyan di dalam mulut habis, dia mengambil kepingan kemenyan baru yang tak
boleh terputus untuk dikunyah.
Sekonyong-konyong,
wusss!
Ada
sambaran angin disertai larikan cahaya merah. Di lain kejap ujung delapan
potongan kayu yang menancap di lantai candi telah menyala hingga
potongan-potongan kayu itu menyerupai pelita, menerangi pelataran candi. Jambal
Ungu merasa lega. Perlahan-lahan bangkit berdiri. Astaga! Ternyata orang yang
dijuluki Raja Dukun ini bertubuh katai!
Baru saja
Jambal Ungu meluruskan tubuh, di hadapannya berkelebat satu bayangan. Di lain
kejap di hadapan sang dukun telah berdiri seorang kakek mengenakan belangkon
dan pakaian merah. Di bagian depan belangkon menempel sebuah bintang bersudut
delapan terbuat dari suasa. Alis, cambang bawuk, jenggot serta kumis termasuk
rambut, juga sepasang mata, semua berwarna merah. Di kening berderet delapan
benjolan merah mengepulkan asap. Seperti yang telah dituturkan, mahluk ini
adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah alias Ghama Karadipa, yang sebelumnya
telah bertemu dan bercinta dengan Ratu Randang.
“Puji
syukur Sinuhun Merah bisa datang tepat pada waktunya,” Jambal Ungu berucap
menyam but kedatangan Sinuhun. Walau tertutup lumut tapi wajahnya jelas
menunjukkan rasa cemas.
“Raja
Dukun Batu Berlumut, waktu kita semakin sempit. Belakangan ini sangat cepat dan
banyak terjadi perubahan yang bisa mengacaukan rencana kita. Aku sangat ingin
melihat agar semua orang Mataram termasuk Rakai Kayuwangi yang telah membantai
ayah dan saudaraku, menemui ajal setelah lebih dulu menderita sengsara. Agak
nya kematian mereka harus dipercepat. Namun ada saja halangan jahanam yang
muncul. Raja Dukun, apa saja yang telah kau lihat dalam lingkaran delapan
batang kayu di lantai candi?”
“Ada
beberapa hal yang mencemaskan saya walau terlihat agak samar,” jawab Jambal
Ungu.
“Pertama
orang kepercayaan kita Sri Padmi Kameswari alias Kunthi Pithaludra telah
kembali ke ujud semula yaitu seekor anjing betina. Dia melakukan perselingkuhan
bahkan melahirkan bayi pada saat hendak dibunuh. Semua tugas yang diberikan
padanya gagal. Saya tidak bisa menduga di mana dia sekarang berada…”
“Kalaupun
dia jadi debu, dia seharusnya datang menemuiku. Jika kelak aku menjumpainya aku
akan menjatuhkan hukuman yang lebih ganas. Aku akan membuatnya bunting
terus-terusan hingga menderita seumur-umur. Raja Dukun, hal apa lagi yang kau
lihat…?”
“Satria
Lonceng Dewa, si anak keramat Mimba Purana…”
“Dia
lagi!” tukas Sinuhun Merah dengan air muka berubah. “Teruskan bicaramu.”
“Anak
berusia dua belas tahun itu telah bertemu dengan Rakai Kayuwangi. Mereka
menyusun beberapa rencana. Ada beberapa mahluk alam gaib menolong mereka. Yang
paling berbahaya adalah mereka membuat satu rencana besar dan sangat rahasia
untuk mendatangkan seorang ksatria sakti mandraguna berasal dari alam delapan
ratus tahun mendatang. Ada kabar yang saya terima bahwa ksatria itu menyimpan
sebuah senjata hebat di dalam tubuhnya. Senjata inilah yang harus kita rampas
atau kalau tidak ksatria itu dibunuh lebih dulu…”
“Kau
sudah menjajagi siapa adanya ksatria itu?”
“Siapa
namanya tidak mungkin saya ketahui. Bahkan Raja Mataram dan Mimba Purana juga
tidak tahu. Satu hal yang saya ketahui paling lambat orang itu akan muncul di
Bhumi Mataram sekitar tengah malam nanti.”
“Apa?!”
Sinuhun Merah tersentak kaget.
“Kurang
ajar! Waktunya singkat sekali. Kita harus melakukan segala upaya untuk
mencegah…”
“Tentu
saja Sinuhun. Saya telah merencanakan sesuatu. Ksatria itu harus dihalangi dan
dibunuh secepatnya dia menjejakkan kaki di Bhumi Mata ram.”
“Kau aku tugaskan
untuk melakukan hal itu!” Kata Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Jambal
Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut terdiam sesaat lalu gelengkan kepala.
“Sinuhun Merah, saya tahu batas kemampuan saya. Ksatria Panggilan itu bukan
manusia sembarangan. Dari pada gagal dan mengecewakan Sinuhun kalau saya turun
tangan sendiri maka saya mengusulkan…”
“Raja
Dukun Batu Berlumut! Kau dengan ke saktianmu mampu menjatuhkan Malam Jahanam
hingga Bhumi Mataram dilanda banjir air darah busuk! Sri Maharaja Mataram dan
para pengikut nya yang sakti-sakti serta hampir semua orang yang ada di Bhumi
Mataram menjadi lumpuh, diserang demam panas serta terjangkit delapan benjolan
di kepala. Masakan melawan seorang kurcaci musuh yang belum diketahui
juntrungan nya kau merasa takut…”
“Saya
jauh dari takut Sinuhun. Namun percayalah pada yang saya katakan. Selain itu
Sinuhun harus tahu, ksatria yang akan datang itu benarbenar bukan manusia
sembarangan. Bukan bangsa kurcaci…”
“Aku
tidak perduli! kau tetap harus menghadapinya. Kalau perlu minta bantuan
orang-orang sakti yang selama ini berserikat dengan kita. Jika dikeroyok
masakan dia tidak akan amblas!”
“Sinuhun
Merah, maafkan saya. Saya tetap mengatakan tidak sanggup.”
“Kau
belum mencoba tapi sudah menyerah. Kau tahu, aku bisa memecatmu sekarang juga
dan jangan berani lagi memperlihatkan tampangmu di hadapanku!”
Diancam
seperti itu Raja Dukun Batu Berlumut balas mengancam sambil kepalkan tinju
tangan kanan dan diangkat di atas kepala.
“Kalau
begitu keputusan Sinuhun Merah, saya memilih untuk bunuh diri sekarang juga!”
Tangan kanan sang dukun bergerak.
Sinuhun
Merah tersentak kaget.
“Tunggu!”
teriaknya lalu dengan cepat mencekal lengan kanan Raja Dukun yang nekad hendak
mengepruk kepala sendiri! “Aku percaya kita masih bisa bicara baik-baik.
Mencari jalan. Apa yang ada dibenakmu?!”
“Saya
ingin Sinuhun tahu,” kata Raja Dukun sambil turunkan tangan kanan. “Delapan
benjolan yang ada di kening semua orang yang ada di Mataram, termasuk Rakai
Kayuwangi sekarang hanya tinggal empat. Ini disebabkan Raja Mataram telah
berbuat satu kebajikan luar biasa besar. Dia tidak membunuh Sri Padmi Kameswari
ketika melahirkan anak anjingnya! Dan Sri Padmi Kameswari bertobat minta ampun
pada Para Dewa sambil mendoakan Raja dan rakyat Mataram…”
“Luar
biasa! Sungguh gila! Anjing betina pengkhianat!”
Sinuhun
Merah memperhatikan delapan benjolan di kening sang Raja Dukun lalu meraba
keningnya sendiri sambil menghitung.
“Aku
lihat benjolan di keningmu masih tetap delapan. Yang di keningku juga tetap
delapan…”
“Sinuhun,
kita bersama-sama menciptakan delapan benjolan itu. Yang ada pada diri kita dan
kawan-kawan merupakan kunci ilmu yang tidak akan lenyap sebelum Raja dan rakyat
Mataram menemui kematian! Kita tetap memantek mereka walau kini benjolan di
kening mereka hanya tinggal empat.”
Sinuhun
terdiam sejurus lalu berkata.
“Dalam
waktu yang sangat singkat ini mungkin aku harus turun tangan lagi untuk
menghisap roh arwah orang-orang sakti. Aku sudah lama mengincar arwah Ketua
dari Candi Miring. Aku sudah mengirim Ratu Randang untuk menemui dan
membujuknya. Raja Dukun, tadi kau mengatakan hendak mengusulkan sesuatu
padaku.”
“Sinuhun,
kita harus mempergunakan mahluk dari alam yang sama untuk menghadang dan
membunuh Ksatria Panggilan.”
“Maksudmu?”
“Dari
penglihatan saya, Ksatria Panggilan itu pernah membunuh seorang musuh besarnya
di alam kehidupannya. Namun sang musuh baru tewas setelah dihadang beberapa
tokoh berilmu tinggi lainnya. Jika orang itu hanya mampu dihabisi oleh beberapa
orang sakti, berarti dia memiliki kesaktian yang tidak berada di bawah Ksatria
Panggilan yang hendak didatangkan Rakai Kayuwangi dan Mimba Purana. Kita
pergunakan roh orang itu untuk menghadang dan membunuh Ksatria Panggilan…”
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah terkesiap lalu tertawa lebar.
“Hebat!
Aku memuji kecerdikanmu Raja Dukun. Soal menjemput roh musuh besar Ksatria Panggilan
itu serahkan padaku. Aku akan masuk ke alam delapanratus tahun mendatang. Kau
bisa menjajaki di mana pembunuhan atas musuh besar Ksatria Panggilan itu
terjadi?”
Raja
Dukun memandang ke lantai candi dalam lingkaran delapan batang kayu menyala.
Beberapa saat kemudian dia memberi tahu.
“Saya
melihat tanda-tanda. Ada rimba belantara terbakar di puncak gunung. Dari bentuk
gunungnya saya mengira itu adalah Gunung Merapi. Berarti tempat pembantaian itu
terjadi di puncak Gunung Merapi. Mudah-mudahan apa yang saya lihat tidak
keliru.”
“Aku
yakin ilmu kesaktianmu tidak memberikan petunjuk yang keliru. Hanya saja untuk
memudahkan apakah ada kemungkinan kau mengetahui nama orang itu atau
tanda-tanda lain yang dimiliki dirinya?”
“Sulit
Sinuhun. Kita tidak mungkin mengetahui siapa namanya seperti kita juga tidak
bisa mengetahui siapa nama Ksatria Panggilan. Namun saya akan mencoba lagi
melihat ke alam gaib…”
Raja
Dukun Batu Berlumut mengusap wajah ungunya beberapa kali lalu kembali menatap
ke arah lantai candi yang dilingkari delapan batang kayu menyala. Setelah cukup
lama menatap, sang dukun usap lagi wajahnya lalu angkat kepala.
“Kau
mendapatkan petunjuk?” tanya Sinuhun Merah Penghisap Arwah tidak sabaran.
“Benar
Sinuhun. Saya melihat sebuah benda. Sepertinya sebuah lentera yang memancarkan
cahaya tiga warna. Merah, hitam dan kuning. Agaknya lentera ini pernah menjadi
milik orang yang dibunuh itu. Mungkin merupakan satu senjata luar biasa…”
“Bagus!”
ucap Sinuhun Merah sambil menepuk-nepuk bahu kiri Raja Dukun. “Sekarang kita
berbagi tugas. Aku akan masuk ke alam delapan ratus tahun mendatang. Aku akan
menghisap dan menjemput roh musuh besar Ksatria Panggilan! Kau siapkan
orang-orang kita di sekitar kaki selatan Gunung Merapi. Aku punya firasat
Ksatria Panggilan akan muncul pertama kali di kawasan itu. Jangan sampai dia
menghilang atau lolos sebelum aku membawa Ksatria Roh Jemputan!”
“Akan
saya lakukan Sinuhun. Hanya saja tidakkah kita harus terlebih dulu memberitahu
semua ini pada Junjungan?”
Sinuhun
hanya menjawab dengan tertawa lebar.
“Aku
pergi sekarang. Awas, jangan sampai Ksatria Panggilan itu lolos. Kalau perlu
kau terapkan ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi yang telah aku ajarkan padamu. Sekali
dia menginjakkan kaki di satu tempat, dia tidak akan mampu berjalan lebih dari
seratus langkah!”
“Baik
Sinuhun!” jawab Raja Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu. “Sebelum pergi izinkan
saya melindungi diri Sinuhun dengan ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan”
Sebenarnya
Sinuhun tidak memerlukan ilmu itu. Namun dia tidak mau mengecewakan anak
buahnya. Maka begitu dia anggukkan kepala Raja Dukun Batu Berlumut angkat dua
tangan keudara. Dua larik cahaya ungu melesat keluar. Yang pertama memasuki
tubuh Sinuhun dari bagian kepala, yang kedua memasuki dari telapak kaki. Saat
itu juga, jika ada orang lain di tempat itu maka dia tidak akan dapat melihat
sosok Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Setelah
Sinuhun Merah Penghisap Arwah lenyap dari pemandangan untuk beberapa lamanya
mahluk berwajah dan bertubuh ditumbuhi batubatu berlumut itu masih berdiri di
tempat itu.
“Aku
merasa heran. Ketika aku menyebut nama sang Junjungan, Sinuhun hanya tertawa.
Janganjangan apa yang dikisikkan Ketua Jin Seribu Perut Bumi padaku tempo hari
benar adanya. Bahwa Sinuhun itu sebenarnya…”
Raja
Dukun Batu Berlumut Jambal Ungu mendadak merasa tengkuknya menjadi dingin. Dia
tidak berani meneruskan ucapan kata hatinya.
*******************
10
HANYA
dalam bilangan kilatan cahaya, Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah berada di
sekitar puncak Gunung Merapi. Saat itu mentari penerang jagat siap masuk keufuk
tenggelam, meninggalkan sapuan cahaya benderang merah kekuningan di langit
sebelah barat.
“Waktu
berlalu sangat cepat. Sebelum sang surya tenggelam aku harus sudah bisa
berhubungan dengan Ksatria Roh Jemputan itu. Kalau tidak bisa terlambat. Bisa
keduluan!” Sinuhun Merah berucap dalam hati. Lalu dia mengelilingi puncak
gunung satu kali. Akhirnya dia menemu kan satu tempat yang baik untuk mulai
memasuki alam gaib delapanratus tahun mendatang. Tempat itu adalah bagian rata
sebatang pohon jati tua yang putus disambar petir.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah duduk bersila di atas pohon. Dua tangan diletakkan di
atas dada. Mata dipejam dan perlahan-lahan mulut dibuka. Dari dalam mulut
menjulur lidah merah pekat. Lidah bergerak keluar makin lama makin panjang,
melibat sekujur tubuh Sinuhun mulai dari bahu sampai ke kaki. Untuk beberapa
lama mulutnya tampak komat-kamit mengeluarkan suara bergumam yang tidak jelas.
Tiba-tiba
suasana di tempat itu menjadi sunyi senyap, lengang bahkan suara siuran
anginpun tidak lagi terdengar. Saat itulah Sinuhun Merah berucap perlahan.
“Mahluk
alam roh, yang aku tidak tahu namanya, tapi yang akan aku kenal sebagai Ksatria
Roh Jemputan, yang tewas dibunuh secara keji oleh para pengeroyok pengecut.
Yang peristiwanya terjadi di masa delapanratus tahun mendatang di puncak Gunung
Merapi ini. Sudilah datang menemui diriku. Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah
memanggilmu agar kau muncul di Bhumi Mataram untuk membalas dendam kesumat atas
musuh besarmu yang aku sebut dengan nama Ksatria Panggilan. Sebentar lagi
matahari akan tenggelam, malam akan datang. Sebelum sang surya menghilang aku
mohon kau sudah berada di hadapanku…” Begitu ucapan Sinuhun Merah berakhir,
delapan benjolan merah di kening pancarkan cahaya terang. Lidah panjang yang
menggulung sekujur tubuhnya bergulung membuka. Ketika ujung lidah terakhir
masuk ke dalam mulut, Sinuhun Merah hirup udara dalam-dalam lalu mulutnya
menghisap keras.
Wusss!
Pepohonan
besar di sekitar tempat itu bergoyang keras berderak-derak. Pohon-pohon kecil
dan semak belukar tercabut dari akarnya, melesat ke udara. Debu, pasir dan
tanah menghambur keatas hingga untuk beberapa lama keadaan menjadi gelap. Dalam
keadaan seperti itu terdengar suara hiruk pikuk jeritan dari mahluk yang tidak
kelihatan yang jumlahnya mungkin puluhan. Suara pekik jerit itu ada yang datang
dari atas langit, ada yang keluar dari dalam tanah!
Tiba-tiba
tanah di bawah pohon jati bergetar keras dan terbelah. Dari celah belahan,
didahului suara tawa cekikikan panjang melesat keluar satu sosok perempuan
menebar bau harum.
Karuan
saja Sinuhun Merah Penghisap Arwah jadi tersentak kaget luar biasa. Tengkuk
terasa dingin. Dia menghisap dan menyedot sekali lagi. Namun sosok di depannya
tetap tidak berubah, bahkan lemparkan senyuman ke arahnya! Saat itu Sinuhun
tidak lagi mempergunakan ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan yang diterapkan
Raja Dukun Batu Berlumut hingga sosoknya terlihat seperti biasa.
“Yang aku
hisap arwah lelaki. Mengapa sekarang muncul roh perempuan?! Jangan-jangan ada
kesalahan ketika mengucap mantera. Siapa mahluk ini?!”
Kejut
Sinuhun Merah perlahan-lahan mengendur bilamana dia memperhatikan sosok roh di
hadapannya.
Roh
perempuan yang muncul berwajah cantik, tidak tertandingi oleh Ratu Randang,
perempuan yang selama ini menjadi kekasih dan dipergunakan ilmu kepandaiannya
untuk membantu diri nya. Pakaian panjang yang dikenakan terbuat dari sutera
halus berwana hijau. Tubuh dan pakaian menebar bau harum semerbak yang bisa
menggoncang darah lelaki. Rambut hitam berkilat di gerai lepas di belakang
punggung. Di sebelah depan kepala bertengger sebuah mahkota kecil dari emas
dengan ukiran berbentuk kepala ular dengan sepasang mata terbuat dari permata
hijau bersinar.
Sepasang
mata Sinuhun Merah mengerenyit ketika dia melihat dari balik perut pakaian roh
perempuan itu menyembul keluar seekor ular besar hitam berkepala putih,
meliuk-liuk di permukaan pusar! Lalu lenyap kembali masuk ke dalam perut!
“Roh
perempuan cantik, apakah kau datang dari alam delapanratus tahun mendatang?”
Sinuhun Merah ajukan pertanyaan.
“Betul
sekali.” Yang ditanya menjawab pendek. Mulut masih merekah senyum.
“Aku… aku
tidak merasa memanggilmu.” Ber kata lagi Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sepasang
alis kereng hitam perempuan cantik mencuat ke atas. Kepala diangkat sedikit
lalu mulut keluarkan tawa renyah.
“Kau
membaca mantera memanggil roh. Ratu san roh berebut keluar dari alam gaib.
Namun hanya aku sendiri yang mampu hadir di hadapan mu. Adalah aneh kalau kau
kini berkata tidak memanggil diriku…”
“Demi
Dewa Bhatara Agung…”
“Jangan
menyebut nama Dewa untuk pekerjaan keji yang sedang kau lakukan!” Perempuan
berpakaian sutera hijau memotong ucapan Sinuhun yang membuat Sinuhun tersentak
kaget.
Kini ada
rasa curiga juga waspada dalam dirinya. “Roh dari alam delapanratus tahun mendatang.
Jika aku kesalahan telah memanggilmu harap dimaafkan. Aku mohon kau segera
kembali ke alammu.” Berkata Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Mendengar
ucapan Sinuhun Merah si cantik berpakaian sutera hijau kembali tertawa.
“Aku akan
kembali ke alamku asal saja kau ikut mengantar!”
“Apa?!
Maaf hal itu tak mungkin aku lakukan.” Jawab Sinuhun Merah.
“Kalau
begitu apa perlunya menyesalkan kehadiranku di sini? Suatu ketika kau akan
memerlukan diriku. Mungkin untuk berbagi ilmu, Mungkin juga untuk berbagi
cinta. Hik… hik.. hik…”
Setelah
mengumbar tawa panjang roh perempuan cantik yang dari perutnya tadi menyembul
keluar ular hitam kepala putih lambaikan tangan lalu melesat ke udara. Sinuhun
Merah Penghisap Arwah berusaha mencegat dengan melompat pula ke udara. Mulut
dan hidung menghisap berbarengan. Namun sia-sia saja. Si cantik bermahkota itu
telah lenyap di atas langit Bhumi Mataram. Sinuhun Merah tertegun merenung.
“Mahluk
perempuan itu. Aku akan menemuinya lagi! Pasti! Siapapun dia mungkin aku bisa
memanfaatkan diri dan ilmu kesaktiannya. Penampilannya garang. Tapi kecantikan
wajahnya…Astaga, apakah aku telah tertarik pada dirinya?”
*******************
11
SINUHUN
Merah Penghisap Arwah melayang turun dan duduk kembali bersila di atas batangan
pohon jati. “Bagaimana mungkin bisa terjadi kekeliruan. Mahluk perempuan tadi.
Bisa jadi dia salah seorang yang juga pernah di bantai beramai-ramai di sekitar
kawasan ini. Kalau dia berada di pihakku mungkin ada baiknya. Tapi kalau dia
hendak mengacaukan semua rencanaku yang hampir rampung ini, benar-benar celaka!
Gerak-geriknya, walau cantik agaknya dia bukan roh baik-baik. Apalagi membekal
seekor ular di dalam perut! Aneh! Apa yang terjadi? Baru sekali ini kejadian
seperti ini. Mungkin ada sesuatu yang terlupa aku ucapkan di dalam mantera?”
Dari atas
pohon tinggi Sinuhun Merah coba mengingat-ingat sambil memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Di timur cahaya benderang merah kekuningan sang surya mulai memudar
pertanda siap memasuki ufuk tenggelamnya. Tiba-tiba Sinuhun Merah ingat.
Tampangnya berubah.
“Memang,
ada sesuatu yang terlupa. Senjata sang Roh Jemputan. Aku tadi tidak
menyebutkan. Aku tidak melafal dalam mantera. Aku harus mengulang mantera…”
Lalu
seperti tadi tangan segera didekapkan kedada. Mata dipejam, mulut dibuka. Dari
dalam mulut ini kembali keluar lidah merah, bergulung panjang membelit sekujur
tubuhnya. Mulut kemudian mengeluarkan suara bergumam panjang. Kesunyi-senyapan
serta merta menggantung di seantero kawasan.
Sinuhun
Merah berkata perlahan. Mengulang mantera. Kali ini dalam ucapan yang lebih
lengkap. “Mahluk alam roh, yang aku tidak tahu nama, tapi yang aku kenal
sebagai Ksatria Roh Jemputan, yang tewas dibunuh secara keji oleh para
pengeroyok pengecut. Yang peristiwanya terjadi di masa delapanratus tahun
mendatang di puncak Gunung Merapi ini. Yang dikabarkan memiliki sebuah senjata
sakti mandraguna berupa Lentera yang mampu memancarkan tiga cahaya berwarna
merah, kuning dan hitam. Sudilah datang menemui diriku. Aku Sinuhun Merah
Penghisap Arwah, ingin bersahabat denganmu, ingin kau muncul di Bhumi Mataram
untuk membalas dendam kesumat atas musuh besarmu yang aku sebut dengan nama
Ksatria Panggilan. Sebentar lagi matahari akan segera tenggelam. Siang berganti
malam. Sebelum sang surya menghilang aku mohon kau sudah berada di hadapanku.”
Delapan
benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah memancar terang. Lidah panjang yang
menggulung tubuh membuka dan masuk kembali ke dalam mulut. Sinuhun Merah hirup
udara dalam-dalam lalu mulut menghisap keras.
Wuss!
Untuk kedua
kalinya pepohonan di tempat itu bergoyang dan berderak. Daun-daun berguguran.
Rerantingan patah beterbangan. Semak belukar menghambur ke udara bersama pasir,
tanah dan debu. Udara serta merta menjadi gelap. Apa lagi saat itu sang surya
telah masuk ke ufuk tenggelamnya. Suara jerit pekik menggelegar dari langit dan
dari dalam tanah. Bumi bergetar, lebih dahsyat dari yang terjadi sebelumnya.
Kalau
sebelumnya tanah di depan pohon jati tua mencuat terbelah, kini tanah di
samping kanan yang menguak lebar. Didahului suara bentakan lantang serta
sambaran tiga cahaya merah, kuning dan hitam, dari dalam tanah yang terbelah
melesat keluar satu sosok tinggi besar seorang berpakaian dan bermantel hitam
di punggung. Pada dada pakaian ada gambar biru puncak Gunung Merapi dengan
latar belakang matahari berwarna merah membersitkan garis cahaya merah. Di
kening terikat secarik kain berwarna merah.
Pemuda
dari alam roh ini menatap ke arah Sinuhun Merah sebentar lalu dongakkan kepala
dan umbar tawa bergelak yang membuat tanah bergetar dan pohon jati yang
diduduki Sinuhun bergoyang keras.
“Tenaga
dalamnya luar biasa. Dasar dari ilmu kesaktian tinggi. Kali ini tidak keliru.
Dialah Roh Jemputan dari alam delapanratus tahun mendatang. Tapi aku melihat
ada bayangan keangkuhan dan kekerasan di wajahnya.” Membatin Sinuhun Merah.
“Mahluk
alam roh yang berasal dari masa delapanratus tahun mendatang. Aku Sinuhun Merah
Penghisap Arwah merasa bersyukur dan mengucapkan terima kasih kau sudah sudi
datang menemuiku. Aku akan memanggilmu dengan sebutan Ksatria Roh Jemputan.
Namun aku minta terlebih dulu kau mau menerangkan siapa dirimu sebenarnya.
Setelah itu kau ikut bersamaku untuk menghadang dan membunuh seseorang yang
datang dari alam yang sama dengan dirimu, yang aku sebut sebagai Ksatria
Panggilan…”
Pemuda di
bawah pohon kembali menatap Sinuhun Merah, setelah tertawa panjang dia baru
membuka mulut.
“Mahluk
mengaku bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah, kau memanggil aku dari alam
gaib. Tapi kau tidak tahu siapa diriku. Sungguh edan!”
Telinga
Sinuhun Merah berdesing panas mendengar dirinya dimaki edan. Namun dia berusaha
mempersabar diri.
“Aku
mohon maaf. Harap…” Ucapan Sinuhun Merah dipotong dengan bentakan.
“Mahluk
merah di atas pohon buntung! Kalau kau ingin meneruskan bicara denganku
turunlah ke tanah. Tidak pantas mahluk buruk seperti dirimu bicara denganku
dari atas pohon!”
Sinuhun
Merah Penghisap Darah langsung berubah tampangnya. Dalam hati dia menggeram.
“Mahluk
sombong, aku akan memberi pelajaran padamu! Kalau saja aku tidak membutuhkanmu
sudah kulumat tubuhmu saat ini juga!”
Dengan
gerakan cepat dan ringan Sinuhun Merah melompat turun dari atas pohon. Begitu
berdiri berhadap-hadapan ternyata tinggi Sinuhun Merah hanya sampai sepundak
sang Roh Jemputan.
“Mahluk
merah, kau mendatangkan diriku dari alam gaib delapanratus mendatang, katakan
apa keinginanmu?”
“Aku akan
memperlakukan dirimu dengan segala hormat dan menyebut dirimu dengan nama
Ksatria Roh Jemputan. Membawamu ke Bhumi Mataram untuk membunuh satu Roh
Panggilan yang juga berasal dari alam yang sama seperti dirimu…”
“Mengapa
aku harus membunuh Roh Panggilan itu?”
“Karena
dia adalah musuh besar yang telah membunuhmu bersama beberapa tokoh rimba
persilatan lainnya. Kau membalas dendam sakit hatimu, sekaligus memberi bantuan
pada diriku.”
“Siapa
musuh besar yang kaumaksudkan?”
“Aku
tidak tahu namanya. Ujudnya akan segera muncul malam ini juga di Bhumi
Mataram.”
“Menolongmu
urusan kecil bagiku. Tapi imbalan apa yang akan kau berikan padaku?”
Sinuhun
Merah terdiam. Dia semakin merasakan keangkuhan dan kecerdikan yang memuakkan
dalam diri Roh Jemputan ini. Setelah berpikir sejenak akhirnya Sinuhun
Menjawab.
“Ksatria
Roh Jemputan, kau saja yang menga takan apa imbalan yang kau inginkan.”
“Begitu…?”
Mahluk alam roh yang disebut Ksatria Roh Jemputan menyeringai lalu tertawa
bergelak. “Baiklah, aku akan mengatakan imbalan apa yang aku minta. Sinuhun
Merah, aku minta aku diberi hak dan kesempatan untuk mendirikan Partai Bendera
Darah di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan menguasai dunia nyata dan alam
gaib. Kau akan menjadi salah seorang pembantuku. Berarti mulai saat ini kau
harus tunduk padaku!”
Kejut
Sinuhun Merah Penghisap Darah bukan alang-kepalang. Darahnya serasa mendidih
terbakar amarah. Delapan benjolan merah memancar terang. “Jahanam kurang ajar!
Aku yang memang gilnya datang ke Bhumi Mataram. Sekarang aku pula yang harus
tunduk padanya! Mahluk jahanam tidak tahu diri ini harus aku hajar sekarang
juga!” Kata Sinuhun Merah dalam hati. Amarahnya sudah meledak di kepala. Kaki
kanan dihentakkan ke tanah. Tinju kanan dipukulkan kelangit. Kejap itu juga
delapan larik sinar merah berkiblat di udara, dan delapan lagi menderu di
tanah. Masing-masing delapan larik sinar merah ini laksana kilat masuk ke dalam
tubuh Roh Jemputan lewat kepala dan kaki!
Dalam
kejutnya Roh Jemputan tidak sempat berbuat apa-apa.
Dess!
Dess!
Sosok
tinggi besar Roh Jemputan bergoncang dua kali. Asap mengepul. Di keningnya
muncul delapan benjolan merah! Merasa ada hawa panas di kepala, Roh Jemputan
meraba keningnya. Dia terkejut ketika merasa ada delapan benjolan. Sepasang
mata mahluk ini membeliak besar. Rahang menggembung. Mulut siap melabrak. Namun
Sinuhun yang diam-diam telah merapal mantera mendahului menghardik.
“Roh
Jemputan! Kesombonganmu tidak berlaku di hadapanku! Mulai saat ini kau harus
tunduk padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan memberikan setiap perintah
yang harus kau patuhi! Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau menolak aku
akan membuat kau tidak kembali ke alammu untuk selama-lamanya. Rohmu akan
berkeliaran tak karuan, tergantung antara bumi dan langit. Tunduk dan
berlutut!”
Aneh!
Saat itu juga Roh Jemputan yang tadi bersikap garang perlahan-lahan menekuk
sepa sang kaki lalu berlutut di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
“Nyatakan
kepatuhanmu dengan sumpah!” Bentak Sinuhun Merah.
“Mulai
saat ini aku bersumpah tunduk dan patuh padamu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”
Sinuhun
Merah tertawa bergelak.
“Sekarang
berdiri dan katakan roh siapa dirimu sebenarnya!”
Perlahan-lahan
Roh Jemputan bangkit berdiri, kepala ditundukkan. Mulut berucap.
“Aku roh
Pangeran Anom. Putera Raja Surokerto dari istri bernama Siti Hinggil. Aku
dikenal dengan julukan Pangeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala
licik, segala congkak. Tapi aku lebih sangat dikenal dengan nama panggilan
Pangeran Matahari!”
Mendengar
kata-kata angkuh yang diucapkan itu Sinuhun Merah kembali tertawa bergelak.
*******************
12
SEKARANG
kita ikuti apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Ni Gatri yang terdampar di Bhumi Mataram. Kita lihat Ni Gatri lebih dulu.
Setelah
tubuhnya terguling-guling di tanah, Ni Gatri terpental ke atas semak belukar.
Jatuh tepat ke atas pangkuan seorang yang sedang khusuk melakukan samadi yaitu
seorang nenek berwajah bundar, berdandan tebal, tapi tidak memiliki alis!
Di atas
kening ada empat benjolan merah mengepulkan asap. Sepasang mata si nenek yang
terpejam membuka mendelik. Mulut hendak mendamprat marah karena ada yang berani
mengganggu memutus samadinya di tengah malam itu. Tapi begitu melihat siapa
adanya anak perempuan yang pingsan dan berada di atas pangkuannya, nenek
berjubah biru ini berseru kaget. Buru-buru dia peluk tubuh Ni Gatri, wajah si
anak dicium berulang kali. Sambil memeluk dan mencium si nenek berkata.
“Terima
kasih wahai Para Dewa di Swargaloka. Anak ini akhirnya Kau kirimkan kepada
saya. Rupanya dia memang berjodoh dengan diri saya. Saya bersyukur kehadirannya
akan membuat saya mampu melakukan sedikit kebajikan bagi Raja dan rakyat
Mataram. Terima kasih Dewa Agung!”
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa seolah menyahuti ucapan si nenek tadi. Disusul ucapan
lantang.
“Rauh
Kalidathi! Iblis perempuan tidak beralis! Tidak ada yang berjodoh dengan
dirimu! Anak perempuan itu harus kau serahkan padaku! Kalau ada sedikit
kebajikan yang dapat kaulakukan maka itu adalah untuk Sang Junjungan! Kau ikut
bersamaku saat ini juga! Menghadang Roh Panggilan yang datang dari negeri
delapanratus tahun mendatang!”
Kejut
perempuan yang duduk di atas semak belukar bukan alang kepalang. Dia menjawab
tawa dan ucapan orang dengan pekikan dahsyat.
“Ludra
Bhawana! Sekarang jadi jelas bagiku! Kau adalah salah seorang dari tujuh dukun
sesat penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram! Kau anak buah Raja
Dukun Batu Berlumut! Pasti ilmu setanmu yang telah mengirimkan delapan benjolan
merah di keningku! Aku mengadu nyawa denganmu!”
Habis
keluarkan ucapan nenek bernama Rauh Kalidathi angkat tubuh Ni Gatri lalu
dimasukkan ke dalam semak belukar. Dua tangan kemudian membuat gerakan seperti
mencengkeram. Saat itu juga semak belukar dikobari api. Di sebelah luar api itu
panas luar biasa namun di dalam semak belukar hanya ada kesejukan. Nyatanya Ni
Gatri yang masih pingsan tidak mengalami cidera sedikitpun. Malah kini anak itu
tampak seperti tidur nyenyak!
“Ilmu
Kesejukan Di Dalam Api! Siapa takut?! Ilmu permainan anak-anak! Ha… ha… ha!”
Orang
bernama Ludra Bhawana mengejek. Ternyata dia adalah seorang lelaki berusia
sekitar empatpuluh tahunan, mengenakan pakaian dan destar kuning. Sambil
bertindak mundur dua langkah orang ini dorongkan dua telapak tangan ke arah si
nenek di atas semak belukar.
Wusss! Wusss!
Dua larik
sinar kuning menghantam mengeluarkan suara menggelegar. Si nenek yang diserang
cepat melesat ke udara lalu melayang turun sambil kebutkan dua ujung lengan
jubah biru. Dua gelombang cahaya biru berkiblat.
Blaarr!
Blaar!
Empat
cahaya sakti saling bentrokan di udara. Empat letusan dahsyat membahana di
malam buta. Ranting dan daun-daun pepohonan patah rontok bertaburan. Debu
beterbangan. Namun anehnya semak belukar di mana Ni Gatri berada hanya
bergoyang-goyang.
Akibat
benturan ilmu kesaktian tingkat tinggi yang dilepas dengan aliran tenaga dalam
dahsyat, Ludra Bhawana terpental dan bergulingan di tanah namun dengan cepat
berdiri kembali setelah lebih dulu memungut destar kuning yang tercampak di
tanah. Mukanya pucat karena tak menyangka si nenek bisa menghadapi serangannya.
Akan halnya si nenek, benturan dua kekuatan tadi membuat tubuhnya mencelat
delapan tombak seolah lenyap hendak menembus langit malam. Namun dengan gerakan
jungkir balik sambil mengebutkan bagian bawah jubah birunya untuk melindungi
diri dia berhasil melayang turun ke tanah tanpa cidera. Sampai di tanah,
braakk! Dia terduduk menjelepok begitu rupa. Astaga!
Ternyata
nenek ini berada dalam kedaan lumpuh dua kakinya! Lumpuh akibat ikut terkena
malapetaka Malam Jahanam!
Ludra
Bhawana tertawa mengekeh. “Nenek tolol! Kau ikut maka akan aku berikan obat
penawar kelumpuhan! Jika menolak kau aku habisi kejap ini juga!”
“Aku
memilih mati!” Jawab Rauh Kalidathi.
Tubuh si
nenek membubung ke udara. Dua lengan jubah biru dikebut. Namun si nenek kalah
cepat.
Karena
Ludra Bhawana telah lebih dulu menghan tamkan dua tangan melepas pukulan
bernama Arwah Malam Menjemput Mangsa.
Rauh
Kalidathi berteriak lantang. Tubuh yang lumpuh melesat ke udara setinggi tiga
tombak. Namun serangan lawan memotong dan mengejar dengan ganas. Dua larik
sinar kuning menghantamnya dari kiri dan kanan. Dalam keadaan tubuh menderita
lumpuh seperti itu si nenek tentu saja tidak bisa bergerak cepat.
“Celaka!
Aku tidak takut menemui ajal! Tapi bagaimana dengan anak perempuan itu?” Sekeja
pan lagi sekujur tubuh lumpuh Rauh Kalidathi akan hancur berantakan dihantam
dua larik pukulan Arwah Malam Menjemput Mangsa si nenek menggeliat, mulut
melafal mantera lalu berteriak.
“Tiga
Bayangan Pelindung Raga!”
Serentak
dengan itu muncul tiga sosok baya ngan menyerupai sosok si nenek, masing-masing
berujud lima kali lebih besar! Tiga bayangan berkeliling membentuk benteng gaib
melindungi Rauh Kalidathi. Saat itulah dua larik serangan Arwah Malam Menjemput
Mangsa datang menghantam. Semula Ludra Bhawana memang sempat terkesiap namun
teruskan serangan, malah kini dengan mengerahkan tenaga dalam penuh hingga dari
batok kepalanya mengepul asap kuning!
Ledakan
dahsyat seolah hendak meruntuhkan langit malam. Satu pohon besar berderak patah
dan tumbang. Beberapa pohon kecil tercabut dari akar lalu roboh. Tiga Bayangan
Pelindung Raga meraung keras, mental cerai berai! Dan lagi-lagi terjadi
keanehan. Semak belukar terbakar di mana Ni Gatri berada seolah tidak
tersentuh. Hanya kobaran api yang tampak bergoyang-goyang.
Tubuh
Rauh Kalidathi mencelat ke udara, menyangsrang melintang di atas cabang satu
pohon besar lalu jatuh bergedebuk ke tanah. Sekujur tubuh dan pakaiannya kini
tampak berwarna kekuningan dan mengepulkan asap. Si nenek menggeliat, berusaha
duduk namun tak kuasa. Tubuhnya terbanting kembali ke tanah. Mengerang halus.
Kalau saja dirinya tadi tidak terlindung oleh ilmu Tiga Bayangan Pelindung
Raga, saat itu tubuhnya mungkin sudah lumat tak karuan rupa!
Ludra
Bhawana sendiri setelah terguling sampai dua tombak, masih mampu bangkit
berdiri walau mulut menyemburkan darah kental. Dengan terhuyung-huyung dia
melangkah mendekati Rauh Kalidathi. Tangan kanan dipentang ke atas. Satu
langkah di samping si nenek dia merutuk.
“Tua
bangka tolol! Diberi nirwana minta neraka!”
Wuttt!
Tangan
kanan Ludra Bhawana menghantam. Lancarkan pukulan bernama Batu Neraka
Menggoncang Jagat. Diarahkan ke kepala Rauh Kali dathi. Pukulan ini bukan
pukulan sembarangan. Jangankan kepala manusia, batu gunung sebesar rumahpun
akan hancur berkeping-keping!
Hanya
satu kejapan lagi Rauh Kalidathi akan menemui ajal dihantam pukulan maut yang
dilepas Ludra Bhawana, mendadak sosok Ni Gatri yang ada dalam semak belukar
terbakar melesat ke arah Ludra Bhawana laksana anak panah lepas dari busur.
Mata yang tadi tertutup seperti tidur kini terbuka nyalang. Telunjuk tangan
kanan menunjuk tepat-tepat ke arah Ludra Bhawana.
Mulut
keluarkan teriakan lantang. Suara yang terdengar bukan suara anak perempuan
itu, tapi suara seorang lelaki yang sudah lanjut usia!
“Manusia
culas Ludra Bhawana! Masih muda tapi dosa setinggi langit sedalam samudera!
Kerajaan memberi pangkat tinggi dan anugerah besar padamu. Tapi kau berkhianat!
Malam ini dosamu sudah lewat dari takaran! Malam ini kau harus menyerahkan nyawa
busukmu pada penjaga Pintu Neraka!”
Baru saja
suara teriakan berakhir tiba-tiba reeetttt… reetttt! Dua buah tangan besar
merah seperti bara menyala melesat keluar dari dalam tanah langsung mencekal
pergelangan kaki kiri kanan Ludra Bhawana.
Cess!
Cesss!
Dua
pergelangan kaki Ludra Bhawana leleh sampai ke tulang. Bersamaan dengan itu
tubuhnya tertarik amblas, lenyap masuk ke dalam tanah!
Kobaran
api yang membakar semak belukar padam. Bersamaan dengan itu Ni Gatri yang tadi
melayang di udara dan kini terguling di tanah sadarkan diri.
“Malam
gelap, udara dingin. Aku berada di mana… Ihhh.” Ni Gatri bertanya-tanya dalam
hati. Anak ini merasa takut. Memandang berkeliling dia melihat sosok seorang
nenek berjubah biru tergeletak di tanah yang bukan lain adalah Rauh Kalidathi.
Sebagian
pakaian dan tubuhnya diselimuti warna kuning. Anak perempuan itu segera
melangkah mendekat lalu membungkuk di samping si nenek.
“Nek…
Nek. Kau kenapa?” Ni Gatri usap-usap punggung Rauh Kalidathi.
Tiba-tiba
satu bayangan samar seorang tua berjubah kelabu muncul. Ni Gatri merasa
pinggangnya dirangkul. Lalu tubuhnya terangkat. Dia melihat sosok si nenek
berjubah biru juga terangkat ke udara. Lalu ada suara berucap.
“Kalian
berdua biar aku titipkan dulu di Bukit Batu Hangus. Keadaan di sekitar sini
akan sangat berbahaya.”
“Tunggu,
siapa kau?! Saya tidak mau pergi sendirian. Kakak saya… di mana dia?” Ni Gatri
berteriak.
“Kakak?
Kau punya seorang kakak?” Orang tua bayangan bertanya.
“Saya
datang bersamanya. Saya tidak mau pergi kalau tidak bersama dia. Nenek bau
pesing itu biar saja. Saya tidak perduli. Tapi kakak saya…”
“Anak
perempuan? Siapa nama kakakmu?” Mahluk bayangan kembali bertanya.
“Wiro,
namanya Wiro Sableng. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut 212…”
“Ah…
Ksatria Roh Panggilan! Sudah datang dia rupanya. Bagaimana aku sampai tidak
mengeta hui? Ada arwah jahat yang berusaha menangkal. Tapi mengapa muncul
bertiga…? Nenek bau pesing, siapa dia? Ah…! Mungkin nenek yang aku temui di
alam delapanratus tahun mendatang itu?”
Diam seketika.
Agaknya orang tua bayangan tengah berpikir. Lalu kembali terdengar suaranya.
“Anak
perempuan bernama Ni Gatri. Aku akan menghadapi urusan besar. Lebih cepat kau
dan nenek ini berada di Bukit Batu Hangus akan lebih baik..”
Wutttt!
Ni Gatri
menjerit ketika dapatkan dirinya melayang ke udara. Lalu di sebelahnya dia juga
melihat sosok nenek berjubah biru ikut melesat ke udara.
“Oala…
Ihh… Ini semua gara-gara nenek bau pesing itu! Kalau dia tidak menyerobot
menunggangi kuda lumping itu! Kakak, kau di mana?! Kuda lumpingku, kau di mana?
Dewa Agung, tolong diri saya!”
**********************
Sekarang
mari kita ikuti apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Setelah
terhempas ke tanah, dalam keadaan terhuyunghuyung dia mencoba bangun dan
memandang berkeliling. Ke mana mata mengawasi hanya kegelapan yang tampak. Di
kejauhan samar-samar dia melihat bayangan sebuah puncak gunung.
“Aku
berada di mana? Apakah ini Bhumi Mata ram, alam delapanratus tahun silam?” Wiro
meng garuk kepala. Mata dipentang telinga dipasang.
Selagi murid
Sinto Gendeng berpikir-pikir tibatiba tanah yang dipijak bergetar. Menyusul
suara berkereketan.
Krekk…
kreekkk… kreekkk!
Wiro
memandang ke bawah. Astaga! Nyawanya terasa terbang. Delapan anak lelaki
telanjang berwarna merah mencuat keluar dari dalam tanah. Di kening ada delapan
benjolan kecil merah. Wajah mereka tampak sama semua!
“Bocah
kembar delapan! Banyak amat!” ucap Wiro dalam hati sambil menggaruk kepala
sementara mata dipentang waspada mengawasi delapan bocah bugil. Menghadapi
mahluk aneh seperti ini bahaya maut bisa muncul secara mendadak.
Delapan
anak ini masing-masing membawa sebatang suling. Ketika suling ditiup bukan
lengkingan suara yang terdengar tapi dari enam lobang suling menyembur keluar
larikan api berwarna merah. Empat puluh delapan larikan api ini langsung
membentuk lingkaran tembok dan mengurung Pendekar 212!
“Bocah
sialan! Pakaian saja tidak punya, berani-beranian mau membunuhku! Mending
barang mu pada bagus semua! Budukan! Apa salahku? Siapa yang menyuruh kalian?!”
Wiro membentak.
Sejak
tadi dia maklum kalau yang dihadapinya bukan anak-anak biasa tapi mahluk gaib
berasal dari alam arwah!
Dibentak
demikian rupa delapan anak kecil telanjang tertawa haha-hihi, malah ada yang
berteriak-teriak mengejek mencibir-cibir. Ketika Wiro balas mencibir anak-anak
itu tertawa gelak-gelak sambil berjingkrak-jingkrak dan menunjuk-nunjuk ke arah
bawah perut Wiro. Beberapa di antara mereka berteriak.
“Telanjang!
Ayo telanjang seperti kami! Hik..hik!”
“Buka
baju, buka celana! Ayo telanjang seperti kami! Hik.. hik… Nanti kita sama-sama
menari Tarian Api Berhala…”
“Pasti
anunya besar! Hikkkk… hik… hik!”
“Pasti rimbun!
Hua… ha… ha!”
“Anak-anak
sialan!” Maki Pendekar 212.
Sambil
terus berteriak-teriak delapan bocah telanjang maju selangkah demi selangkah.
Lingkaran tembok api yang mengurung Wiro jadi tambah menyempit. Murid Sinto
Gendeng merasa hawa panas siap melelehkan sekujur tubuhnya. Pakaian putih yang
dikenakan sudah mengepulkan asap. Sebentar lagi siap terbakar!
Tidak
tunggu lebih lama Wiro cepat merapal aji kesaktian Angin Es untuk melindungi
tubuhnya dari gempuran kobaran api yang mengurung. Delapan bocah bugil
terkesiap dan saling pandang heran ketika merasa ada hawa dingin menyambar dan
membuat redup nyala api yang keluar dari tiupan seruling. Wiro jatuhkan diri
sambil menerapkan ilmu Belut Menyusup Tanah.
“Tahan
nafas! Tiup suling api lebih keras!”
Salah seorang
bocah bugil berteriak. Lalu delapan suling api secara serentak ditiup lebih
keras. Hawa sejuk kembali berubah panas. Kobaran lingkaran api yang tadi redup
kini membesar kembali, menyambar ke arah Wiro.
Di tanah
Wiro cepat gulingkan tubuh sambil kerahkan tenaga dalam penuh dan meniup ke
arah lingkaran api!
Wusss!
Delapan
bocah telanjang berteriak kaget ketika empatpuluh delapan larikan api yang
keluar dari dalam empatpuluh delapan lobang suling kini berbalik. Delapan bocah
melompat surut empat langkah, menjerit kesakitan. Lingkaran api lenyap!
Delapan
suling jatuh ke tanah. Mulut dan hidung mereka tampak hangus hitam!
Selagi
delapan bocah telanjang itu kalang kabut kesakitan Wiro melompat menyambar
salah seorang di antara mereka. Lalu terdengar jeritan setinggi langit.
“Tobat!
Ampun! Jangan diremas! Wadauwww!”
Apa yang
terjadi?
Murid
Sinto Gendeng berhasil menangkap salah seorang dari delapan bocah bugil. Lalu
kemaluan anak itu diremasnya hingga si anak menjerit-jerit kesakitan. Tujuh
bocah lain yang merupakan kembarannya, karena memiliki hubungan batin alam
arwah yang sangat dekat langsung ikut merasa sakit dan menjerit-jerit pula.
Wiro
tertawa gelak-gelak.
“Jangan!
Ampun!”
“Bocah-bocah
geblek! Aku mau memberi ampun! Tidak meremas hancur barang budukmu! Tapi beri
tahu siapa kalian dan siapa yang menyuruh kalian membunuhku!”
“Kami
akan memberi tahu! Kami minta ampun!”
Teriak
tujuh bocah termasuk satu yang diremas kemaluannya oleh Wiro.
Tujuh
bocah bugil jatuhkan diri. Kening diletakkan di tanah. Seperti mau bersujud
minta ampun. Tapi tahu-tahu tujuh bocah ini benturkan kepala masing-masing
dengan keras ke tanah!
Praakkk!
Tujuh
kepala hancur! Tubuh mereka serta mer talenyap meninggalkan kepulan asap merah!
Bocah yang dicekal Wiro menjerit keras. Aneh!
Walau
tidak membenturkan kepala ke tanah tapi kepalanya juga ikut hancur lalu
tubuhnya lenyap pula. Namun tidak keseluruhannya lenyap. Anggota kemaluannya
yang tadi diremas hingga remuk ternyata masih ada dalam genggaman tangan kanan
Wiro.
“Hah!”
Remasan
tangan dibuka. Wiro melengak kaget dan jijik melihat hancuran daging
bergelimang darah! Dia keluarkan suara seperti mau muntah!
“Bocah
kembar sialan! Anak jahanam! Huekkk!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment