Rahasia
Bayi Tergantung
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
SATU
Dalam
rimba belantara di kaki Gunung Labatu Hitam yang biasanya diselimuti kesunyian
sekali ini terdengar suara aneh berkepanjangan. Seperti ada seseorang yang
tengah mengucapkan atau merapal jampi-jampi tak berkeputusan. “Kau mendengar
suara itu wahai tiga saudaraku?” bertanya sosok tinggi besar berewokan yang dua
kakinya terbungkus batu besar berbentuk bola. Orang ini adalah Lakasipo, bekas
Kepala negeri Latanahsilam yang kemudian dikenal dengan julukan Bola-Bola Iblis
alias Hantu Kaki Batu.
Seperti
diceritakan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya, berkat pertolongan Hantu
Tangan Empat maka Wiro dan Naga Kuning serta si kakek berjuluk Setan Ngompol
sosok tubuhnya berhasil dirubah menjadi lebih besar walau belum mencapai
sebesar sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Karena itulah jika sedang
mengadakan perjalanan jauh Lakasipo selalu membawa ke tiga saudara angkatnya
itu dengan cara menyelipkan mereka di balik sabuk besar yang melilit
pinggangnya.
“Kedengarannya
seperti orang membaca mantera panjang…” berkata Wiro menyahuti ucapan Lakasipo
tadi.
“Mungkin
dia orang yang kita cari. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,” ikut bicara Setan
Ngompol.
“Mungkin
juga itu adalah suara hantu atau jin rimba yang sedang mengigau!” ucap Naga
Kuning.
“Bocah
sialan!” maki Setan Ngompol. “Jangan bicara yang membuat aku kaget dan kepingin
beser!” Kakek ini cepat tekap bagian bawah perutnya sementara Naga Kuning
usap-usap mulutnya menahan geli.
“Sebaiknya
kita turun dari kuda. Menyelidik ke jurusan datangnya suara itu. Siapa tahu
yang bersuara seperti orang membaca mantera adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab yang kita cari.”
“Berarti
penjelasan yang diberikan Tringgiling Liang Batu tidak dusta. Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab itu benar-benar berada di kawasan kaki gunung ini.” (Mengenai
riwayat Tringgiling Liang Batu harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu
Jatilandak).
Lakasipo
berpikir sejenak. Lalu dia anggukkan kepala. Diusapnya kuduk Laekakienam, kuda
hitam besar berkaki enam yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Lalu dia
turun dari punggung tunggangannya itu. “Laekakienam, jangan kemana-mana. Tunggu
di sini sampai kami kembali!”
Kuda
berkaki enam kedipkan dua matanya yang merah lalu menjilat tangan Lakasipo.
“Lakasipo,
kau hams pergunakan kesaktianmu agar langkah kaki batumu tidak mengeluarkan
suara dan menggetarkan tanah. Aku khawatir orang yang meracau akan mendengar
lalu melenyapkan diri sebelum kita sampai ke tempatnya.” berkata Wiro.
“Hal itu
sudah kupikirkan,” jawab Lakasipo. Dia mulai melangkah ke jurusan datangnya
suara orang meracau. Tanpa mempergunakan ilmu meringankan tubuh dan
mengandalkan tenaga dalam, setiap langkah yang dibuat Lakasipo akan
mengeluarkan suara duk-duk-duk dan menggetarkan tanah yang dipijaknya. Tapi
kali ini setelah dia mengeluarkan kesaktian maka setiap langkah yang dibuatnya
selain cepat juga tidak mengeluarkan suara atau menggetarkan tanah. Berjalan
kira-kira lima puluh tombak memasuki rimba belantara yang pepohonan serta semak
belukarnya semakin rapat, suara orang yang seperti merapal mantera itu semakin
keras tanda orangnya semakin dekat. Lakasipo melangkah terus. Setan Ngompol
yang diam-diam merasa tegang tambah keras memegang dan menekan bagian bawah
perutnya.
“Aku
mendengar suara sesuatu!” Wiro berseru.
Baru saja
seruannya itu berakhir tiba-tiba terdengar suara menggemuruh di belakang mereka
disertai rambasnya semak belukar dan tumbangnya beberapa pohon. Lakasipo cepat
berkelebat ke balik sebatang pohon besar. Sesaat kemudian hanya tiga tombak di
depan mereka meluncur menggelinding sebuah benda aneh berwarna kuning. Semak
belukar rambas bermentalan. Sebatang pohon yang cukup besar patah lalu tumbang
menggemuruh. Di lain kejap benda yang bergulung tadi lenyap di balik kerapatan
pepohonan sementara di tanah makhluk yang menggelinding meninggalkan jejak
berupa puluhan lubang-lubang dalam sebesar jari kelingking.
“Makhluk
a pa yang barusan lewat itu!” ujar Setan Ngompol yang sudah basah bagian bawah
perutnya,
“Manusia
bukan, binatang juga rasanya bukan!” menjawab Naga Kuning.
“Aku mencium
baunya ketika barusan lewat. Sepertinya bau itu pernah kucium sebelumnya…”
berucap Lakasipo.
Wiro
garuk-garuk kepala sambil pandangi lo-bang-lobang di tanah lalu perhatikan
batang pohon di sebelah kiri yang kulitnya retak-retak seperti digurat benda tajam.
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini lalu berkata. “Aku menduga
jangan-jangan yang barusan lewat adalah makhluk berduri dari Rimba Lahitamkelam
yang bernama Hantu Jatilandak itu!”,
“Wahai!
Dugaanmu tidak salah Wiro. Bau yang kukatakan tadi memang bau tubuhnya!” kata
Lakasipo pula.
“Mungkin
dugaan kalian tidak salah. Tetapi ketika kita meninggalkan pulau kediamannya
jelas Hantu Jatilandak tidak kemana-mana. Lagi pula perlu apa dia gentayangan
ke tempat ini?” berkata Naga Kuning.
“Tidakkah
kalian memperhatikan sesuatu?” Tiba-tiba si kakek Setan Ngompol berkata.
“Apa
maksudmu Kek?” tanya Lakasipo.
“Suara
orang meracau saat ini tidak terdengar lagi! Lenyap!” jawab Setan Ngompol.
“Berarti
kita bisa-bisa kehilangan jejak mencarinya!” kata Lakasipo. Baru saja dia
berucap beg it u tiba-tiba di kejauhan terdengar suara bentakan-bentakan.
“Sesuatu
terjadi di dalam hutan sana! Lakasipo! Ayo cepat melangkah ke jurusan itu!”
Mendengar
kata-kata Wiro segera saja Lakasipo melangkah cepat memasuki rimba belantara ke
arah terdengarnya suara-suara bentakan. Dia lupa mengeluarkan kesaktiannya.
Akibatnya setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara duk-duk-duk dan
tanah yang terpijak selain amblas juga menimbulkan getaran keras. Memasuki
rimba sejauh tiga puluh langkah, di satu tempat Lakasipo berhenti. Matanya
mendelik besar. Tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Wiro, Naga Kuning
dan juga Setan Ngompol tak kalah heran dan kejut masing-masing.
Di
hadapan ke empat orang itu, di satu bagian rimba belantara yang pohon-pohonnya
bertumbangan tegak sesosok tubuh kuning tinggi kurus. Sekujur badannya, makhluk
yang hanya mengenakan sehelai cawat terbuat dari kulit kayu ini ditumbuhi
duri-duri panjang berwarna coklat, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki.
“Kau
benar Wiro,” bisik Setan Ngompol. “Makhluk yang tadi menggelinding melewati
kita memang Hantu Jatilandak. Kini dia berada di tempat ini!”
Kalau
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sesaat masih pandangi sosok yang ditumbuhi
duri-duri panjang dan runcing itu maka lain halnya dengan Lakasipo. Dua mata
lelaki ini membeliak besar melihat kuda kaki enam miliknya yang entah bagaimana
tahu-tahu telah berada di tempat itu. Binatang ini tegak diam tidak berkesip
tidak bergerak seolah kena sirap. Lalu di atas punggung binatang ini duduk
bersila seorang kakek mengenakan celana hitam terbuat dari kulit kayu. Bagian
tubuhnya yang tidak tertutup yakni tangan, dada dan juga kulit mukanya, lalu
sepasang kaki penuh dengan totol-totol hitam, dan coklat seperti bulu macan
tutul.
“Lakasipo,”
berkata Wiro. “Bagaimana kudamu tahu-tahu bisa berada di tempat ini dan
dijadikan tunggangan oleh kakek aneh itu?!”
“Wahai!
Justru itu yang jadi tanda tanya besar dalam benakku!” jawab Lakasipo dan
matanya masih terus membeliak. “Sesuatu yang hebat telah terjadi! Kakek yang
bertubuh seperti macan tutul itu pasti memiliki kepandaian luar biasa.
Laekakienam kulihat seperti kena sirap dan berada di bawah kekuasaannya!
“Kau tahu
siapa makhluk tua bangka yang duduk di atas Laekakienam itu?” Naga Kuning
bertanya.
“Tak
pernah kulihat makhluk ini sebelumnya. Aku hanya bisa menduga. Pernah kudengar
tentang seorang kakek berjuluk Hantu Seratus Tutul! Jangan-jangan dia orangnya.
Setahuku dia bukan orang baik-baik. Sama jahatnya dengan Hantu Muka .Dua!”
“Kita
harus berhati-hati Lakasipo,” kata Wiro. “Kelihatannya dia sudah sengaja
mencari lantaran dengan menguasai Laekakienam seperti itu!”
Seolah
tidak perdulikan kehadiran Lakasipo dan tiga manusia cebol yang terikat di
pinggangnya, makhluk yang tubuhnya seperti macan tutul di atas kuda hit am
berkaki enam memandang tak berkesip pada Hantu Jatilandak. Lalu orang ini
dongakkan kepala dan dari mulutnya keluar suara meracau panjang seperti orang
merapal mantera atau jampi-jampi. Sesaat kemudian perlahan-lahan kepalanya yang
tadi mendongak diturunkan, mulutnya masih terus meracau sedang dua matanya
menatap tajam ke a rah Hantu Jatilandak. Tiba-tiba racauannya putus. Dari
mulutnya menyembur bentakan keras.
“Hantu
Jatilandak! Takdir telah jatuh atas dirimu! Pada hari pertama kau meninggalkan
pulau kediamanmu maka hari itu pula kau akan menemui kematian! Aku akan
menguliti tubuhmu! Aku memerlukan kulitmu yang berduri itu untuk kujadikan
sehelai mantel sakti!”
“Gila!
Enak saja tua bangka bertubuh seperti macan tutul itu hendak menguliti si
Jatilandak!” kata Naga Kuning.
Orang
diatas kuda hitam kaki enam lalu gerakkan tangannya kiri kanan ke pinggang.
Sesaat kemudian dua pisau berbentuk arit kecil tampak berkilauan dalam
genggamannya.
Melihat
Hantu Jatilandak hanya berdiam diri dan tidak menanggapi ucapannya, orang di
atas kuda hitam kembali membentak.
“Hantu
Jatilandak! Kau diam saja! Agaknya kau memang sudah siap untuk ku pesiangi saat
ini juga!”
Kuping
lebar Hantu Jatilandak tiba-tiba bergerak mencuat kaku ke atas. Duri-duri di
kepalanya berjingkrak kaku. Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Ludahnya
berwarna kuning. Dari tenggorokannya terdengar suara menggereng. Lalu mulutnya
menyeringai, disusul keluarnya suara ucapan.
“Kakekku
Tringgiling Liang Batu pernah bertutur. Negeri Latanahsilam penuh keanehan. Di
dalam keanehan itu ada orang-orang menginginkan kematian orang lain seolah
dirinya sendiri punya lebih dari satu nyawa dan tidak takut menerima balasan!
Wahai makhluk bertubuh macan tutul yang duduk di atas punggung kuda milik orang
lain, apakah benar kata kakekku itu bahwa kau punya dua nyawa?! Hingga kalau
kau kubunuh kau masih punya nyawa cadangan?!”
Menggembunglah
rahang kakek di atas kuda hitam berkaki enam. Dua matanya membeliak menyorotkan
sinar kematian. Tiba-tiba dia keluarkan teriakan dahsyat. Tubuhnya lenyap dari
punggung kuda, melesat ke arah pohon kayu di sebelah kanan. Dua tangannya
bergerak. Dua pisau yang dipegangnya berkelebat berkilauan cepat sekali. Sesaat
kemudian ketika dia kembali melesat duduk di atas punggung kuda, batang pohon
di sebelah kanan kelihatan gundul memutih. Gulungan kulit kayu yang sebelumnya
membungkus pohon itu kini terhampar di kaki pohon!
Kalau
Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terbeliak besar melihat apa yang
dilakukan Hantu Seratus Tutul, bahkan Setan Ngompol sudah kembali kucurkan air
kencing maka Hantu Jatilandak tetap tenang saja malah meludah ke tanah.
“Lakasipo,”
kata Pendekar 212. “Untung bukan kudamu yang dijadikannya contoh dikuliti!”
Di atas
punggung kuda hitam berkaki enam Hantu Seratus Tutul tertawa gelak-gelak.
“Hantu
Jatilandak! Kau saksikan sendiri bagaimana aku menguliti pohon besar itu! Untuk
menguliti tubuhmu waktu yang ku perlukan hanya sepertiga dari waktu menguliti
pohon itu! Wahai! Bersiaplah Jatilandak! Selagi pisauku masih tajam, kau tidak
akan merasa sakit sedikitpun! Kau akan menemui ajal senikmat bayi yang tidur
nyenyak! Ha… ha… ha!”
Habis
berkata dan tertawa seperti itu Hantu Seratus Tutul melesat dari atas punggung
Laekakienam. Berkelebat ke arah Hantu Jatilandak dan tahu-tahu dua pisau
berbentuk arit kecil di tangannya kiri kanan telah berkiblat ke arah kepala
Hantu Jatilandak. Rupanya dia hendak menguliti cucu Tringgiling Liang Batu ini
dari kepala lebih dulu!
Hantu
Jatilandak tentu saja tidak tinggal diam. Sepasang matanya sorotkan sinar
kuning. Tangan kirinya dikibaskan ke depan. Dua belas duri panjang dan lancip
laksana paku-paku besi melesat ke arah selusin sasaran di kepala dan tubuh
Hantu Seratus Tutul.
Hantu
Seratus Tutul tertawa bergelak. Dia gerakkan dua tangannya yang memegang pisau.
Dua larik sinar putih bertabur!
*******************
DUA
raasss!
Craaasss!” Dua duri yang melesat ke arah kepala berhasil dibabat putus oleh
sepasang pisau berbentuk arit. Dengan membungkuk dan melompat ke samping kiri
Hantu Seratus Tutul berhasil mengelakkan delapan sambaran duri landak. Begitu
serangan tidak mengenai sasaran secara aneh delapan duri ini berputar membalik
dan kembali menancap ke tempatnya semula yakni di tangan kiri Hantu Jatilandak.
Sisa dua duri ternyata tidak sempat dielakkan si kakek. Walau tidak sampai
menancap di tubuhnya namun duri-duri itu masih sempat menyerempet bahu kiri dan
ping-gang kanan mengakibatkan luka yang mengucurkan darah. C
Dari
mulut Hantu Seratus Tutul melesat suara gerengan marah. Demikian hebatnya suara
gerengan ini hingga menggetarkan seantero tempat. Bersamaan dengan itu wajah si
kakek mendadak sontak berubah menjadi tampang seekor macan tutul benaran. Daun
telinganya yang lebar berjingkrak. Taring runcing mengerikan mencuat di
sudut-sudut mulut. Di bagian bawah tubuhnya muncul ekor panjang yang
menyentak-nyentak kian kemari. Lalu “cleeep… cleeppp!” Dari ujung-ujung jari
tangan dan kakinya mencuat keluar kuku-kuku panjang, hitam runcing mengerikan.
Si kakek kini telah berubah menjadi seekor macan tutul jejadian. Membuat
Lakasipo, Wire-dan Naga Kuning tak bergeming ngeri. Setan Ngompol tak usah
ditanya lagi. Saat itu juga ia sudah terkencing-kencing karena kaget dan ngeri!
Hantu
Jatilandak sesaat terkesiap melihat perubahan sosok dan wajah lawannya. Dalam
hati dia yakin bahwa musuh memang berniat hendak menguliti membunuhnya. Dia
meludah ke tanah lalu berkata. “Wahai! Baru hari ini aku meninggalkan hutan
Lahitamkelam. Tak kenal orang tak pernah punya musuh maupun seteru. Mengapa kau
ingin mencelakai diriku? Mengapa kau inginkan jiwa dan ragaku?! Siapa kau
sebenarnya?!”
“Aku
Hantu Seratus Tutul! Sudah kubilang hari ini adalah hari takdir kematianmu!
Jadi tidak perlu berbanyak tanya!” Habis berkata begitu Hantu Seratus Tutul
kembali keluarkan gerengan keras. Lalu tubuhnya berkelebat ke depan. Dua pisau
siap menguliti tubuh Hantu Jatilandak sedang kuku-kuku jari mencari kesempatan
merobek-robek!
Hantu
Jatilandak meludah ke tanah. Duri-duri di muka dan kepalanya berjingkrak kaku.
Dari sepasang matanya tiba-tiba berkiblat dua larik sinar kuning. Menghantam ke
arah dada dan perut Hantu Seratus Tutul!
“Lakasipo!”
Wiro berteriak. “Bagaimanapun Hantu Jatilandak telah menjadi sahabat kita! Kita
harus menolongnya! Apa lagi kau tadi mengatakan Hantu Seratus Tutul sama
jahatnya dengan Hantu Muka Dua! Ayo bantu Hantu Jatilandak! Tunggu apa lagi?!”
“Kurasa
Hantu Jatilandak tidak akan kalah. Apa lagi Hantu Seratus Tutul sudah terluka.
Sebentar lagi racun duri landak akan membuatnya kelojotan. Tapi….”
“Dua
pisau di tangan macan jejadian itu mungkin bukan apa-apa bagi Hantu Jatilandak.
Tapi kuku-kuku tangan serta kakinya pasti sangat berbahaya. Mengandung racun
jahat mematikan! Kalau kita tidak lekas menolong Hantu Jatilandak, dia akan
segera menemui kematian. Lalu lawan akan menguliti tubuhnya!.”
“Ucapan
Wiro ada benarnya!” kata Setan Ngompol pula. “Tapi kalau kau mau berniat
membantu Hantu Jatilandak, lebih dulu harap kau menurunkan aku ke tanah agar
bisa mencari tempat aman!” Lalu setelah menggeliat beberapa kali kakek ini
berhasil lepaskan diri dari sabuk di pinggang Lakasipo. Sambil
terkencing-kencing dia lari mencari perlindungan di balik sebatang pohon besar.
Wiro dan Naga Kuning yang juga maklum besarnya bahaya jika mereka masih terikat
di balik sabuk melakukan hai yang sama. Keduanya melompat turun lalu bergabung
dengan Setan Ngompol.
Melihat
tiga saudara angkatnya telah melepaskan diri dan lari ke balik pohon, tanpa
tunggu lebih lama Lakasipo segera melompat ke kalangan pertempuran sambil
lepaskan tendangan yang disebut Kaki Roh Penghantar Maut. Dari batu hitam yang
membungkus kakinya, didahului kepulan asap hitam maka menyambarlah satu
gelombang angin yang amat dahsyat!
Hantu
Seratus Tutul tersentak kaget ketika dapatkan sekujur tubuhnya seolah tertahan
oleh satu tembok baja yang tidak kelihatan. Ketika dia coba memaksa, tubuhnya
bergoncang keras. Dengan menggereng penuh amarah makhluk satu ini melesat dua
tombak ke udara. Gelombang angin yang tadi berusaha ditahannya lewat deras di
bawah kakinya lalu “braakkkk!” Satu pohon yang ada di belakangnya berderak
patah dan tumbang menggemuruh!
Hantu
Seratus Tutul jungkir balik dan cepat melayang turun. Begitu injakkan kaki dia
membentak garang. “Ada setan alas berkaki batu dari mana yang. berani ikut
campur urusan orang lain!” Hantu Seratus Tutul delikkan matanya. Tiba-tiba dia
berseru. “Wahai! Kalau tidak salah penglihatanku, kalau tidak meleset dugaanku,
bukankah kau manusianya yang bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu?!”
“Kalau
kau sudah tahu lalu kau mau apa?!” Balik membentak Lakasipo.
“Kenapa
kau tahu-tahu muncul dan membantu manusia bertubuh landak itu?!” tanya Hantu
Seratus Tutul.
“Hantu
Jatilandak adalah sahabatku! Sebagai sahabat aku tidak ingin dia dicelakai
orang di depan mataku!”
“Ah,
memang sudah kudengar. Ternyata Hantu Kaki Batu seorang berbudi tinggi berhati
luhur! Tetapi mungkin kau tidak tahu wahai Hantu Kaki Batu. Antara kau dan aku
ada hubungan yang lebih kuat dari tali persahabatan. Antara kita ada kaitan
hubungan darah!”
Terkejutlah
Lakasipo mendengar kata-kata Hantu Seratus Tutul itu. Sesaat dia tegak termangu
dan bertanya-tanya. “Bertemu baru kali ini. Dia bilang ada hubungan darah
antara aku dengan dirinya. Apakah bisa kupercaya?”
“Hantu
Seratus Tutul! Jika ucapanmu benar maka sebagai orang bersaudara harap kau
menghabisi niat jahatmu terhadap Hantu Jatilandak sampai di sini!”
“Wahai
Lakasipo! Berat nian permintaanmu! Aku sudah terlanjur bersumpah untuk membunuh
Hantu Jatilandak dan menjadikan kulitnya sebagai mantel sakti!”
“Kuharap
kau suka melupakan sumpahmu itu dan pergilah dari sini dengan aman!”
Hantu
Seratus Tutul gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Sumpah sudah terucap! Tak
mungkin ditarik kembali!”
“Biasanya
orang bersumpah dengan orang lain. Dengan siapa kau bersumpah? Siapa yang
menyuruhmu?!” bentak Hantu Jatilandak.
“Kau tak
perlu tahu! Kau tak layak bertanya!” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Kalau
begitu kutuk sumpah akan menelan dirimu sendiri!” kata Hantu Jatilandak lalu
meludah ke tanah. Dari dua matanya kembali muncul sinar kuning menggidikkan.
Dia maju satu langkah. Lakasipo cepat menengahi sambil berseru. Tapi dua orang
itu agaknya tak bisa dicegah lagi. Pada saat keduanya sama-sama melesat hendak
saling menyerang dan Lakasipo bermaksud hantamkan kakinya kembali ke arah Hantu
Seratus Tutul, mendadak ada suara teriakan perempuan berkumandang di dalam
rimba belantara itu.
“Kalian
tiga makhluk menyedihkan. Mengapa mencari mati padahal masih ada kehidupan?
Sebelum kalian sama menemui ajal dalam ketololan bisakah kalian menjawab
beberapa pertanyaanku lebih dahulu?!”
Suara
teriakan itu terdengar keras namun ada serangkum nada kelembutan pertanda
orangnya memiliki rasa welas asih yang tinggi. Selain itu suara teriakan tadi
datangnya dari kejauhan di sebelah timur rimba. Namun belum lagi gemanya lenyap
sosok orang yang berteriak sudah muncul di tempat itu, tegak di atas batang
pohon besar yang tumbang, delapan langkah di belakang Hantu Seratus Tutul.
“Astaga!
Kalau bukan bidadari pasti yang muncul ini adalah Peri paling cantik di negeri
Latanahsilam!” kata Setan Ngompol dari balik potion dengan sepasang mata dibuka
lebar-lebar. Naga Kuning leletkan lidah. Murid Sinto Gendeng sendiri diam-diam
harus mengakui bahwa perempuan yang tegak di atas batang pohon itu memang lebih
cantik dari Luhjelita ataupun Peri Bunda, maupun Peri Angsa Putih. Namun
dibalik kecantikan itu dia melihat adanya satu bayangan aneh yang saat itu
tidak bisa ditebaknya apakah bayangan itu sesuatu yang baik atau sesuatu yang
jahat atau hanya satu ganjalan yang terpendam di lubuk hati.
Hal yang
sama terjadi juga dengan Hantu Jatilandak dan Lakasipo. Ke dua orang ini sesaat
jadi tegak terdiam. Sama-sama mengagumi kecantikan si gadis yang bertubuh
tinggi semampai, ramping dan mengenakan sehelai kulit kayu berwarna biru
sebagai pakaiannya. Di keningnya ada sebuah kembang tanjung berwarna kuning.
Rambutnya hitam berkilat, tergerai jatuh sampai di pinggangnya yang langsing.
Bibirnya tiada henti mengulas senyum.
Karena
dia satu-satunya yang tegak membelakangi gadis cantik di batang pohon maka
Hantu Seratus Tutul segera balikkan diri. Kalau makhluk ini ikut-ikutan
terpesona melihat kecantikan gadis itu sebaliknya si gadis kerenyitkan wajahnya
ketika melihat tampang Hantu Seratus Tutul yang merupakan tampang macan tutul
bahkan lengkap dengan ekornya segala!
“Gadis
cantik! Wahai! Siapa kau?! Apakah tidak menyadari besarnya bahaya berada di
tempat ini?!”. “Apa lagi kalau kau sampai berani ikut campur urusan kami!
Menyingkirlah! Cari tempat yang aman sampai aku menyelesaikan mempesiangi dua
orang itu! Begitu urusanku selesai kau akan kubawa ke satu tempat yang disebut
Istana Kebahagiaan! Di sana kita bisa bersenang-senang. Untuk gadis secantikmu
apa saja yang kau inginkan pasti menjadi kenyataan!” Hantu Seratus Tutul
julurkan lidah membasahi bibir dan kedip-kedipkan mata.
*******************
TIGA
Semula
semua orang yang ada di tempat itu sama menyangka si gad is akan menjadi marah
mendengar ucapan yang tidak senonoh itu. Nyatanya dia malah tersenyum lalu
tertawa berderai. “
Gadis
aneh! Jelas manusia makhluk berupa macan jejadian itu bicara kotor, dia malah
tertawa seolah senang!” kata Setan Ngompol.
“Suara
tawanya terdengar merdu menyejukkan hati! Ah, aku bisa-bisa jadi jatuh cinta
padanya!” kata Naga Kuning.
“Bocah
amis tidak tahu diri!” semprot Setan Ngompol. “Kencing saja belum lempang!
Bicara jatuh cinta segala!”
Naga
Kuning jadi panas. “Tapi Kek! Kalau memilih diantara kita berdua, gadis itu
pasti memilih aku! Tidak mungkin dia memilih kau yang sudah reyot dimakan rayap
dan bau pesing!”
“Naga
Kuning, agaknya kau lupa pada gadis bernama Luhkimkim yang kau gila-gilai itu,”
Wiro ikut bicara.
“Hik…
hik!” Setan Ngompol tertawa. “Gadis cilik ingusan itu saja kau masih belum
mampu mendapatkan, sekarang mau jatuh cinta pada si jelita itu! Hik… hik! Tapi
siapa tahu nasibmu bagus bocah! Kau diambilnya untuk jadi ganjalan tempat
ketidurannya! Hik… hik… hik!”
“Kakek
brengsek! Kelak akan ku buktikan gadis berpakaian biru itu lebih menyukai
diriku ketimbang dirimu! Lihat saja nanti!” kata Naga Kuning dengan muka
bersungut-sungut.
Gadis
yang tegak di atas tumbangan batang pohon hentikan tawanya. Sepasang mat any a
yang bening bagus menatap Hantu Seratus Tutul. Lalu dia berucap. Suaranya
lembut.
“Senang
hatiku diajak ke Istana Kebahagiaan. Pasti banyak hal-hal luar biasa yang
membahagiakan bakal kutemui di sana. Makhluk bermuka macan, baru bertemu kau
sudah bersikap baik terhadapku. Ah, sungguh hatiku sudah bahagia walau belum
sampai ke Istana Kebahagiaan yang kau katakan itu. Hanya saja wahai makhluk
bermuka macan. Apakah kau terlebih dulu sudi menjawab beberapa pertanyaanku?”
“Jangankan
beberapa, seribu atau sejuta pertanyaanmu pun akan kujawab. Tetapi wahai gadis
cantik bermata bagus. Biaraku menyelesaikan urusan dulu dengan dua cecunguk
ini. Nanti kita bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk saling bertanya jawab….”
“Wahai,
begitu tegakah hatimu menyuruh aku menunggu? Lagi pula aku tidak kuat melihat
kalau nanti dirimu sampai celaka di tengah ke dua orang itu”
“Aku
tidak akan celaka. Mereka berdua yang bakal menemui kematian!” kata Hantu
Seratus Tutul sambil busungkan dada. “Tetapi baiklah, orang secantikmu tidak
boleh dibiarkan menunggu terlalu lama. Apa lagi di tempat seperti ini.
Silahkan, pertanyaan apa yang hendak kau ajukan wahai gadis cantik? Tapi wahai!
Bolehkah aku bertanya dulu siapa gerangan namamu?”
“Namaku
Luhcinta,” jawab si gadis.
Di balik
pohon Naga Kuning langsung berkata. “Kalian dengar! Namanya saja Luhcinta! Ah,
aku benar-benar jatuh cinta!”
“Bocah
geblek!” kembali Setan Ngompol menyemprot.”
“Wahai,
orangnya cantik namanya pun bagus!” memuji Hantu Seratus Tutul. “Aku sendiri
dikenal orang dengan panggilan Hantu Seratus Tutul….”
Si gadis
tertawa merdu. “Namamu pun bagus! Cocok dengan keadaanmu!”
Hantu
Seratus Tutul tertawa lebar. Hidung macan nya mengembang. “Sekarang kau boleh
menyampaikan apa yang hendak kau tanyakan padaku wahai Luhcinta.”
“Pertanyaan
pertama, apakah kau pernah mengetahui seorang lelaki bernama Latampi?”
Begitu
ditanya begitu Hantu Seratus Tutul gelengkan kepala.
“Sayang
kau tak bisa menjawab pertanyaan pertama. Aku beralih pada pertanyaan ke dua.
Apakah kali pernah mendengar riwayat seorang perempuan bernama Luhpiranti…”
“Luhpiranti….
Luhpiranti….” Hantu Seratus Tutul menyebut nama itu berulang-ulang sambil
pukul-pukul keningnya. “Rasa-rasanya aku memang pernah mendengar mama itu. Tapi
lupa entah di mana dan kapan. Ah….”
“Pertanyaan
ketiga mungkin bisa menjadi petunjuk padamu. Pernah kau mendengar seorang
bernama Hantu Penjunjung Roh?”
“Pertanyaanmu
yang satu ini bisa kujawab!” kata Hantu Seratus Tutul pula sambil menyeringai.
“Dia adalah seorang nenek sakti yang tak punya tempat kediaman. Selalu
mengembara….”
“Hanya
itu yang kau ketahui?”
“Ada satu
hal. Nenek sakti itu tidak bakalan panjang umurnya!”
“Wahai!
Mengapa kau bisa berkata begitu?” tanya gadis bernama Luhcinta.
“Karena
aku akan membunuhnya!” jawab Hantu Seratus Tutul sambil busungkan dada.
“Mengapa
kau hendak membunuhnya?” tanya Luhcinta lagi.
“Karena
dia tidak tunduk padaku. Tidak mau tunduk pada pimpinan tertinggi Istana
Kebahagiaan!”
“Siapa
gerangan pimpinan tertinggi Istana Kebahagiaan yang kau maksudkan itu?”
Luhcinta memburu terus dengan pertanyaan beruntun. Setiap bertanya senyum tidak
pupus dari bibirnya yang bagus.
“Hal itu
tidak bisa ku terangkan saat ini,” jawab Hantu Seratus Tutul.
“Mengapa
tidak bisa?”
“Karena
belum saatnya!”
“Kalau
begitu, kapan saatnya kau bisa memberi tahu?!” tanya gadis di atas batang kayu
pula.
“Tergantung
keadaan. Yang pasti kalau kita sudah sampai di Istana Kebahagiaan nanti.”
Luhcinta
tersenyum. “Aku kecewa padamu wahai Hantu Seratus Tutul. Dua pertanyaanku yang
pertama tidak bisa kau jawab. Pertanyaan ke tiga hanya kau jawab sedikit, malah
membuatku jadi bingung. Wahai walau hatiku suka tapi kurasa tak ada gunanya aku
ikut bersamamu ke Istana Kebahagiaan itu. Ha rap maafkan, aku tidak akan mau
bicara lagi denganmu. Tak ingin aku bertanya lagi! Pergilah dari sini! Dengan
begitu kau bisa menghindari malapetaka mati terbunuh di tempat ini.”
“Wahai
Luhcinta…!” seru Hantu Seratus Tutul.
Namun si
gadis tidak perdulikan dirinya lagi. Dia melompat dan tahu-tahu sudah berada di
hadapan Hantu Jatilandak.
“Makhluk
aneh berkulit kuning bertubuh seperti landak! Wahai, apakah kau mempunyai nama?
Mungkinkah kau bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku tadi?”
Hantu
Jatilandak tundukkan kepalanya sedikit seolah memberi hormat lalu menjawab.
“Aku biasa dipanggil dengan nama Hantu Jatilandak. Mengenai semua pertanyaanmu
tadi, harap maafmu. Aku baru saja meninggalkan rimba dan pulau kediamanku.
Segala sesuatu yang terjadi di dunia luar tidak pernah kuketahui. Jadi tidak
mungkin aku menjawab atau memberi keterangan.”
“Hemm….
Ternyata kau berhati polos dan jujur. Aku tak ingin lagi bicara denganmu tapi
kau boleh tetap berada di sini.” Luhcinta berpaling ke arah Hantu Seratus
Tutul. “Wahai, kau masih berada di sini. Apa tidak mendengar ucapanku tadi?
Tinggalkan tempat ini. Agar tidak mendapat celaka.”
“Gadis,
walau kau cantik dan baik budi perilaku tapi jangan terus-terusan berucap yang
membuat aku jadi tidak sabaran! Tidak ada seorangpun di tempat ini yang boleh
mengatur diriku!”
Luhcinta
tersenyum. “Begitu…?” Gadis ini lalu memandang pada Lakasipo. Setelah menatap
sejurus dia berkata. “Orang gagah, dalam rasa sukaku melihatmu aku merasakan
agaknya ada satu ganjalan besar di hati sanubarimu dalam menghadapi kehidupan
ini. Aku turut merasa prihatin. Kalau saja aku bisa menolong pasti aku akan
lakukan. Namun demikian, apakah kau menyadari bahwa dalam kehidupanmu yang
malang kau seharusnya bersyukur bahwa ada beberapa perempuan cantik diam-diam
mencintaimu?”
Paras
Lakasipo jadi berubah kemerahan.
“Orang
gagah berkaki batu, apakah kau pernah mendengar ujar-ujar: Syukurilah hidup
sebelum datang kematian. Syukurilah cinta kasih sebelum berubah menjadi
kebencian.”
“Ujar-ujar
itu indah dan bagus sekali,” kata Lakasipo. “Artinya dalam dan banyak sekali
maknanya bagiku, Akan kuingat baik-baik. Dan aku sangat berterima kasih kau
telah member! tahu ujar-ujar itu padaku.”
Gadis
bernama Luhcinta tersenyum. “Sekarang kalau kau bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaanku tad?!”
“Mengenai
orang lelaki bernama Latampi. Puluhan tahun silam dia pernah tinggal di salah
satu pelosok terpencil Negeri Latanahsilam. Kemudian dia meninggalkan negeri,
mengembara mencari ilmu. Kudengar dia menemukan seorang guru sakti dan berhasil
mendapatkan berbagai ilmu yang aneh-aneh. Namun dia lenyap begitu saja.”
Ketika
mendengar ucapan Lakasipo itu walau bibirnya merekah senyum namun sepasang mata
bening gadis bernama Luhcinta kelihatan membesar bercahaya.
“Apakah
menurutmu dia sudah meninggal dunia wahai orang gagah berkaki batu?” tanya
Luhcinta. Sepasang matanya yang tadi membesar bagus kini mengecil sayu seolah
takut mendengar jawaban yang mengkhawatirkan.
“Tidak
pernah kudengar kabar kematian dirinya. Pada masa itu ada kejadian orang-orang
gagah di Negeri Latanahsilam memiliki kemampuan meninggalkan negeri ini seperti
yang terjadi dengan Hantu Balak Anam. Dia lenyap dan pindah ke alam lain yang
seribu dua ratus tahun lebih dahulu dari alam di sini. Namun sulit diketahui
ataupun dibuktikan apakah Latampi juga ikut melenyapkan diri meninggalkan
Negeri Latanahsilam, pergi ke dunia lain itu.”
“Apakah
orang bernama Hantu Balak Anam itu pernah muncul kembali di negeri ini? Atau
mungkin ada yang mengetahui hal ihwalnya?” tanya Luhcinta.
Lakasipo
tak segera menjawab. Dia melirik pada Wiro dan kawan-kawannya sesaat. Si gadis
ikut memandang ke arah yang dilirik Lakasipo. Tapi dia tidak dapat melihat
Wiro, Naga Kuning ataupun Setan Ngompol karena terhalang oleh pohon besar. Lalu
didengarnya ucapan Lakasipo. “Hantu Balak Anam tak pernah datang lagi ke
Latanahsilam. Juga tak banyak diketahui hal ihwalnya di negeri seribu dua ratus
tahun mendatang itu.”
“Keteranganmu
tidak terlalu lengkap tapi sudah cukup membuat hatiku lega karena ada satu
kenyataan dan kebenaran yang kini bisa kupastikan. Apakah kau juga bisa memberi
tahu tentang perempuan bernama Luhpiranti?”
“Kalau
aku tidak salah menduga Luhpiranti adalah istri dari Latampi. Perempuan ini
juga lenyap bersama lenyapnya Latampi. Sampai pada satu ketika ditemukan
sesosok mayat perempuan di dalam satu rimba belantara. Mayat itu sudah demikian
rusaknya. Nyaris tinggal tulang belulang Walau banyak yang menduga tapi sulit
membuktikan itu adalah jenazah Luhpiranti yang menemui kematian entah karena
dibunuh entah bunuh diri….”
Wajah
Luhcinta kelihatan seperti membeku. Sepasang matanya seolah berubah menjadi
batu dan menatap Lakasipo tanpa berkesip. Membuat lelaki ini merasakan
munculnya getaran aneh dalam dadanya.
“Lelaki
berkaki batu, apakah kau bisa memberi petunjuk untuk membuktikan bahwa
Luhpiranti adalah benar-benar istri Latampi?”
Lakasipo
merenung sejenak. “Ke dua orang tua mereka kabarnya sudah tiada. Sanak kerabat
dekat mereka juga tak punya. Namun….”
“Namun
apa wahai orang gagah berkaki batu?” Pertanyaan si gadis terdengar lembut
tetapi juga bernada penuh harapan.
“Ada
seorang yang sekarang masih hidup dan menjadi saksi upacara perkawinan mereka
di Bukit Batu Kawin puluhan tahun silam….”
“Katakan
siapa orangnya dan di mana aku bisa menemuinya!” kata Luhcinta seraya maju
mendekat hingga jaraknya dengan Lakasipo kini hanya terpisah satu langkah.
Berada
sedekat itu Lakasipo pandangi wajah cantik di depannya penuh rasa kagum.
Debaran dalam dadanya semakin bergejolak. Dalam hati dia berkata. “Tak pernah
aku melihat gadis secantik ini. Hatiku berdebar. Detak jantungku mengeras.
Wahai perasaan apakah yang menggelora dalam diriku terhadap gadis ini?”
“Orang
gagah berkaki batu. Apakah kau tidak ingin memberi tahu siapa adanya orang yang
bisa memberi petunjuk kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar adalah istri
Latampi?”
“Orang
itu adalah nenek bernama Lamahila. Nenek yang biasa menjadi pimpinan upacara
adat perkawinan bagi semua orang di Latanahsilam.”
“Apakah
nenek itu masih ada di Latanahsilam saat ini?”
Lakasipo
anggukkan kepala.
“Semua
keteranganmu sangat besar artinya bagiku wahai orang gagah berkaki batu. Siapa
gerangan namamu?” “
“Aku
bernama Lakasipo. Orang-orang menjuluki Hantu Kaki Batu.”
Luhcinta
mengangguk-angguk beberapa kali lalu dia ulurkan tangannya memegang tangan
Lakasipo. “Lakasipo, aku sangat berterima kasih atas semua keteranganmu. Tapi
aku akan lebih berterima kasih jika kau bisa men jawab pertanyaanku yang
terakhir…”
“Kau
ingin menanyakan tentang nenek sakti bernama Hantu Penjunjung Roh itu…?”
Luhcinta
tersenyum lebar. “Tadinya memang hendak ku tanyakan. Tapi semua jawabanmu telah
bisa kucerna hingga lebih baik aku menanyakan hal lain yang lebih penting. Kau
pernah mendengar seorang bernama Lajundai?”
“Kenapa
kau menanyakan orang itu?!” Yang bertanya adalah Hantu Seratus tutul.
Luhcinta
tersenyum dan berpaling. Lalu gadis ini geleng-gelengkan kepala.
“Hantu
Seratus Tutul, bukankah aku sudah memintamu agar pergi dari sini?”
“Kau
tidak bisa mengatur Hantu Seratus Tutul! Kau yang harus tunduk padaku
Luhcinta!”
Si gadis
tersenyum. “Dari pertanyaanmu agaknya kau tahu siapa dart di mana beradanya
orang bernama Lajundai itu.”
“Aku akan
memberi tahu jika kau bersedia ikut aku ke istana Kebahagiaan!” jawab Hantu
Seratus Tutul.
“Kalau
beg it u kau pergilah duluan ke istana yang kau sebutkan itu. Aku menyusul
kemudian!”
“Luhcinta!
Aku memang suka padamu! Kecantikan dan tubuhmu yang bagus menggairahkan
darahku! Tapi jangan bersikap keras kepala berani membantah! Aku tidak
segan-segan menguliti tubuhmu seperti yang akan kulakukan terhadap Hantu
Jatilandak!”
“Aku
sedih mendengar kata-katamu itu. Bukankah sesama manusia saling bersaudara?
Mengapa kalian mengandalkan hidup pada amarah dan angkara murka? Padahal cinta
dan kasih sayang jauh lebih baik bagi semua orang….”
Kalau
semua orang terkesiap mendengar kata-kata si gadis maka Hantu Seratus Tutul
tertawa gelak-gelak. “Angkara murka sangat cocok buat orang-orang ini. Cinta
kasih paling cocok untuk kita berdua. Bukankah begitu gadis cantik Luhcinta?!
Ha… ha… ha!”
“Ah, aku
salah menduga hatimu,” berucap si gadis. Lagi-lagi sambil tersenyum. “Cinta
kasih yang ada dalam dirimu ternyata sesuatu yang kotor dan keji. Tidak cocok
untukku. Bahkan tidak untuk binatang sekalipun….”
Merahlah
tampang macan Hantu Seratus Tutul. Tenggorokannya turun naik dan keluarkan
suara menggembor. Didahului teriakan yang lebih merupakan gerengan keras
manusia yang mewujudkan dirinya sebagai macan tutul jejadian ini menyergap ke
depan. Dua pisau di tangannya kiri kanan berkiblat ganas. Salah satu kakinya
menendang ke perut Luhcinta!.
*******************
EMPAT
Gadis
yang diserang tidak tinggal diam. Sekali dia jejakkan sepasang kakinya ke
tanah, tubuhnya melesat dua tombak. Lalu dari atas dia membuat gerakan
menggeliat seperti seorang penari. Dua tangannya didorongkan perlahan ke bawah.
Melihat gerakan si gadis yang lemah-lemah saja apa lagi disertai senyum
dikulum, Hantu Seratus Tutul ikut melesat ke atas. Dua pisau di tangannya
kembali berkelebat. Tapi setengah jalan tiba-tiba satu gelombang angin yang
sangat sejuk menerpa batok kepala, ke dua bahu dan dadanya. Tak ampun lagi
Hantu Seratus Tutul terbanting ke tanah. Kalau tidak cepat berjungkir balik
pasti dia akan jatuh duduk terhenyak atau muka berkelukuran lebih dulu!
“Gadis
binal! Kau membuatku marah!” teriak Hantu Seratus Tutul. Tangannya kembali
berkelebat ke atas. Namun di saat yang sama tubuhnya membuat gerakan aneh. Dua
kakinya melesat dan ini ternyata serangan sebenarnya sedang gerakan dua tangan
tadi hanya tipuan saja.
“Sreettt!”
Luhcinta
terpekik. Ujung pakaian kulit kayunya robek tersambar kuku-kuku runcing kaki
kanan Hantu Seratus Tutul. Untung kulit kakinya tidak ikut tersambar.
“Wahai
Hantu Seratus Tutul. Tidak ada rasa hiba di hatimu terhadap kaum perempuan
sepertiku. Atau mungkin kau makhluk yang tidak punya hati? Tidak punya
perasaan? Tidak punya rasa kasihan?”
“Aku akan
menangkapmu hidup-hidup. Akan ku-bawa kau ke Istana Kebahagiaan! Di situ kau
bakal tahu apa yang aku punya untukmu! Ha… ha… ha!” Hantu Seratus Tutul lalu
kembali lancarkan serangan.
Melihat
kejadian ini Lakasipo dan Hantu Jatilandak tak tinggal diam. Keduanya melompat
memapasi serangan Hantu Seratus Tutul. Maka terjadilah perkelahian seru tiga
lawan satu.
Bagaimanapun
hebat dan tingginya ilmu kepandaian Hantu Seratus Tutul namun dikeroyok tiga
seperti itu dia menjadi kelabakan dan lama-lama terdesak hebat.
“Kurang
ajar! Kalau aku tidak segera merat selamatkan diri nyawaku bisa kapiran!” Hantu
Seratus Tutul memaki sendiri dalam hati. Dia lepaskan dua jotosan yang
mengeluarkan sepuluh larik sinar coklat. Bersamaan dengan itu kuku-kuku jari
kakinya mencakar ke tanah. Begitu dua kakinya ditarik keluar maka tanah dan
pasir beterbangan ke udara menutupi pemandangan.
“Hantu
keparat! Jangan lari!” teriak Hantu Jatilandak. Dua larik sinar kuning melesat
dari matanya. Namun terlambat. Hantu Seratus Tutul telah lenyap dari tempat
itu. Di tanah yang tadi dicakar dua kakinya kini kelihatan dua buah lobang
besar.
“Makhluk
satu ini sungguh tidak punya rasa welas asih dan berbahaya!” kata Luhcinta lalu
alihkan pandangannya pada Lakasipo dan Hantu Jatilandak. “Kalau kalian berdua
tidak membantu pasti aku sudah celaka. Aku mengucapkan terima kasih pada kalian
berdua….”
“Ketahuilah
wahai Luhcinta,” kata Lakasipo. “Manusia tadi hanya satu saja dari sekian
banyak orang-orang berhati culas, jahat dan keji!”
“Ah,
betapa aku harus berhati-hati menjaga diri…” kata Luhcinta pula seraya
tersenyum.
“Ilmu
kepandaianmu mengagumkan. Gerakanmu selembut penari tetapi mengandung tenaga
dalam luar biasa. Kalau aku boleh bertanya siapa kau ini sebenarnya dan siapa
gerangan gurumu?”
Luhcinta
tersenyum. Dalam hati dia memuji ketajaman mata Lakasipo. .Namun dengan
merendah dia berkata. “Aku hanya seorang gadis tolol kesasar di Negeri
Latanahsilam ini. Lagi pula kalau kuberi tahu siapa diriku, mungkin banyak
kesulitan yang akan menghadang walau datangnya bukan dari kalian. Karenanya
biarlah saat ini -Siapa adanya diriku tetap menjadi rahasia. Lakasipo, apakah
kau bisa memberi tambahan keterangan mengenai orang bernama Lajundai itu?”
“Manusia
satu itu tidak kuketahui siapa dia adanya. Tak pernah kudengar nama itu
sebelumnya. Maafkan sekali ini aku tidak dapat membantu. Tapi dari
ucapan-ucapan Hantu .Seratus Tutul tadi jelas dia tahu banyak tentang orang
itu…”
Luhcinta
mengangguk. Tiba-tiba gadis ini mendengar suara orang berucap halus dari balik
batang potion besar.
“Lakasipo,
aku tadi ikut menyimak pembicaraan-Agaknya mengenai orang bernama Lajundai itu
ada sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan yang disebut-sebut Hantu Seratus
Tutul. Itu sebabnya dia menggantung keterangan dengan mengajak gadis berpakaian
biru itu ke Istana Kebahagiaan,…”
“Hai! Aku
tak melihat orangnya. Tapi aku mendengar suaranya. Halus dan kecil! Lakasipo!
Siapa gerangan yang barusan bicara?” Si gadis melirik ke arah pohon besar.
“Wahai….
Aku lupa memberi tahu. Aku punya tiga orang saudara angkat. Salah satu
diantaranya adalah yang barusan bicara.”
“Kau
punya tiga saudara angkat! Sungguh beruntung! Bolehkah aku melihat siapa mereka
adanya? Suara yang tadi bicara terdengar aneh di telingaku.”
“Saudara-saudaraku,
kalian bertiga keluarlah. Ada gadis cantik hendak melihat kalian!” berseru
Lakasipo.
Wiro
langsung mendorong Setan Ngompol hingga kakek ini terjerembab jatuh dan
terkencing-kencing. Sambil senyum-senyum dan satu tangan menekap bagian bawah
perutnya si kakek bangkit berdiri. “Orang-orang memanggilku Si Setan Ngompol!”
“Setan
Ngompol? Nama yang aneh? Mengapa orang menyebutmu seperti itu wahai kakek
cebol?” bertanya Luhcinta.
“Anu…
sebabnya….” Si kakek kelagapan tak bisa menjawab.
Naga
Kuning langsung saja nyerocos. “Anunya punya penyakit….”
“Anunya….
Apa anunya itu?” tanya Luhcinta yang membuat Lakasipo menutup mulut menahan
ketawa sedang Wiro dan Naga Kuning sudah keburu meledak tawa masing-masing.
“Saluran
kencing si kakek sudah tidak punya perasaan welas asih!” jawab Naga Kuning.
“Kaget sedikit saja langsung beser! Hik… hik… hik! Jangan dekat-dekat dengan
dia. Bau pesing! Hik… hik… hik!”
Si Setan
Ngompol merengut lalu beser lagi. Luhcinta tertawa lebar dan berkata. “Justru
kakek itu masih beruntung. Kalau dia masih bisa kencing berarti masih ada
saluran welas asih. Yang repotkan kalau dia tidak bisa kencing sama sekali!
Salurannya tersumbat!”
“Mampet!”
kata Wiro.
“Buntu!”
ujar Naga Kuning hingga semua orang yang ada di situ kembali tertawa.
“Lakasipo,
saudara angkatmu ini sungguh lucu. Sudah kakek tapi tingginya hanya selutut.
Pakaiannya juga aneh. Apa yang lain-lainnya juga sama tingginya? berkata
Luhcinta.
Dari
balik pohon menyusul keluar Naga Kuning. Bocah ini lambaikan tangannya pada
Luhcinta. “Banyak sudah aku melihat gadis cantik di Negeri Latanahsilam ini.
Tapi tidak ada yang secantikmu. Bahkan Peri sekalipun kalah cantik dengan
dirimu!”
Luhcinta
tertawa lebar. “Kau pandai memuji. Tapi aku tahu pujianmu bukan dibuat-buat
atau sekedar untuk mencari perhatian. Aku suka padamu walau kau agak genit.
Hik… hik… hik!” Luhcinta menunggu sesaat. Lalu dia memandang pada Lakasipo.
“Katamu kau punya tiga saudara angkat. Yang muncul cuma dua. Mana satunya lagi?”
“Wiro,
mengapa kau masih sembunyi di balik pohon? Ayo lekas keluar perkenalkan diri!”
berseru Lakasipo.
Tapi
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak juga keluar dari balik pohon. Terpaksa Lakasipo
ulurkan kepalanya.
“Hai apa
yang kau lakukan!” tanya Lakasipo ketika dilihatnya Wiro sibuk membetulkan
pakaiannya.”
“Ssttt…!
Jangan keras-keras!” kata Wiro dari bawah pohon sambil membetulkan celananya
yang melorot ke bawah karena putus tali pengikatnya. Ternyata waktu dia tadi
mendorong Setan Ngompol, kakek itu menarik celananya hingga tali pengikatnya
putus. Kini Wiro jadi kelabakan membenahi diri agar bisa menyambung tali
celananya lebih dulu. Tapi setiap disambung selalu lepas. Tidak sabar Lakasipo
mendorong Wiro dari balik pohon. Terbungkuk-bungkuk sambil satu tangan
memegangi pinggang celana dan satunya lagi garuk-garuk kepala Wiro terpaksa
keluar dari balik pohon.
“Gadis
cantik Luhcinta maafkan aku. Ada aral yang melintang hingga keadaanku jadi
seperti ini! Namaku Wiro….”
“Kalau
bicara dua tangan harus lepas menghormat!” kata Naga Kuning pula. Lalu dengan
jahilnya dia tarik tangan kiri Wiro yang memegangi pinggang celana. Kalau tidak
lekas Wiro jatuhkan diri ke tanah pasti auratnya sebelah bawah akan tersingkap
tak karuan.
“Anak
setan kurang ajar! Apa yang kau lakukan padaku!” sentak Wiro sementara semua
orang yang ada di situ termasuk Hantu Jatilandak dan Luhcinta tertawa
terpingkal-pingkal.
“Walah!”
Setan Ngompol menimpali. “Kalaupun tersingkap seberapa besarnya anumu? Kecil
pitit saja pakai disembunyikan segala. Pasti tidak kelihatan oleh gadis itu!
Hik… hik…hik!”
Sambil
pegangi celananya, kali ini dengan dua tangan sekaligus Wiro bangkit berdiri.
“Awas kau berani jahil lagi!” kata wiro sambil delikkan mata pada naga kuning.
Lalu dia mendongkak memandang ke arah Luhcinta. “Bolehkah aku menayakan
sesuatu?”
“Hei….
Apa yang hendak kau tanyakan wahai anak muda yang tingginya selutut?” Sambil
berkata Luhcinta perhatikan sosok Pendekar 212. Pandangannya mendekat dan
membesar hingga sesaat kemudian seluruh wajah Wiro berada dalam ruang tatapan
matanya. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki si gadis. Yaitu mampu
mendekatkan pandangan matanya hingga benda yang jauh atau kecil bisa besar
dalam penglihatannya. Berdebarlah dada si gadis ketika melihat bahwa sosok
kecil si pemuda ternyata memiliki Wajah yang gagah walau gerak-gerik dan
mimiknya kelihatah konyol.
“Wiro,
orang menunggu pertanyaanmu!” berkata Lakasipo mengingatkan Wiro yang masih
belum juga mengajukan pertanyaan dan masih sibuk dengan celananya yang tanggal
talinya.
“Anu,
begini….. Namamu itu….”
“Ya, ada
apa dengan namaku?” tanya si gadis.
“Namamu
bagus tapi aneh. Mengapa kau diberi nama Luhcinta? Siapa yang memberi nama….”
“Pertanyaan
tolol! Kata Naga Kuning Mencela. “Orang mau bernama apa, apa pedulimu Wiro.
Siapa yang memberi namanya begitu apa urusanmu?”
Wiro jadi
garuk-garuk kepala walau hatinya jengkel mendengar ucapan Naga Kuning itu.
“Gadis berpakaian biru, kalau kau tidak suka harap tak usah menjawab
pertanyaanku tadi.” kata wiro.
“Aku akan
menjawab,” menyahuti Luhcinta dengan tersenyum. Namun sekali ini ada sesuatu
yang membayangi senyumnya itu. “Tapi dengan satu syarat. Setelah kujawab kau
tidak akan mengajukan pertanyaan susulan.”
“Syaratmu
kusetujui,” jawab Wiro tanpa pikir panjang.
“Siapa
yang memberi nama bukan ayah atau ibuku. Tapi seorang nenek yang kuanggap
sekaligus pengganti ayah dan ibuku. Mengapa nenek itu memberiku nama Luhcinta
itu adalah karena dia mempunyai satu pandangan hidup dimana segala-galanya
harus berdasarkan cinta kasih. Hanya dengan cinta kasih manusia akan menemui
kebahagiaan sejati dalam hidupnya….”
Wiro
hendak membuka mulut tapi Luhcinta cepat mengingatkan. “Hai, ingat syarat
perjanjian kita! Kau tidak akan mengajukan pertanyaan susulan!”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Aku… aku tidak bermaksud bertanya. Tapi hanya sekedar
bicara memberi tahu jalan pikiranku….”
“Kalau
begitu silahkan kau bicara,” kata Luhcinta pula.
“Sewaktu
kau masih bayi mungkin nenekmu sudah melihat bahwa kelak kau akan menjadi
seorang gadis yang sangat cantik. Kau akan menjadi gadis kecintaan puluhan
bahkan mungkin ratusan pemuda, Sebaliknya kau sendiri akan menyadari bahwa
kelak hanya ada satu lelaki yang kau cintai….”
Wiro
tidak teruskan ucapannya. Dalam hati Pendekar 212 berkata. “Wajah gadis itu
mendadak berubah. Dia menatap diriku aneh. Tidak… bukan aneh!
Ada
kemesraan dalam sinar bening sepasang matanya.”
Untuk
beberapa lamanya tempat itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara tak ada yang
bergerak. Akhirnya Luhcinta berkata memecah kesunyian.
“Lakasipo,
semua sahabat yang ada di sini. Pertemuan dengan kalian memberi banyak
kejelasan pada beberapa hal yang selama ini masih samar dalam diriku. Ucapan-ucapan
kalian banyak yang baik untuk dijadikan bahan renungan. Aku sangat berterima
kasih atas kebaikan kalian semua. Kalau saja ada kesempatan aku ingin sekali
bertemu lagi dengan kalian….”
“Luhcinta…”
menegur Setan Ngompol. “Memangnya kau mau kemana?”
“Aku
terpaksa meninggalkan kalian saat ini juga. Ada urusan besar yang harus
kukerjakan…,”
“Kalau
kami bisa membantu…” kata Wiro.
Luhcinta
tersenyum. Sekilas kembali Wiro melihat bagaimana gadis itu menatapnya dengan
mesra. “Terima kasih. Aku percaya ketulusan hati kalian semua. Tap! urusan ini
harus aku selesaikan sendiri. Selamat tinggal para sahabat….”
Luhcinta
hendak putar tubuhnya.
“Tunggu
dulu!” Tiba-tiba Wiro berseru. Ketika Luhcinta memandang padanya Wiro teruskan
ucapannya. “Saat ini kami dalam perjalanan mencari seorang sakti bernama Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Siapa tahu dia bisa memberi penjelasan tentang
hal-hal yang masih gelap bagimu.”
“Terima
kasih kau mengingatkan pada orang sakti itu. Sebelumnya guruku juga telah
memberi tahu. Jika ada kesempatan mencari orang tua itu mungkin besar
manfaatnya. Namun saat ini aku belum bisa melakukan hat itu. Masih ada urusan
lebih besar, lebih pelik dan penting yang harus aku selesaikan. Aku terpaksa
mendahului kalian meninggalkan tempat ini. Namun sebelum pergi ada satu hal
ingin kutanyakan padamu Lakasipo. Mengenai saudara-saudara angkatmu itu.
Keadaan mereka tidak beda dengan dirimu. Hanya saja, mengapa sosok mereka
begitu kecil…?”
Lakasipo
hendak menjawab tapi memandang dulu pada Wiro. “Tak ada salahnya. Katakan saja
padanya.” ujar Wiro.
“Luhcinta,
tiga saudara angkatku ini sebenarnya bukan penduduk Negeri Latanahsilam. Mereka
datang tersesat dari negeri yang seribu dua ratus tahun mendatang…. Keadaan
sosok mereka yang begini kecil menimbulkan kesulitan. Kalau kau melihat
sebelumnya mereka tidak lebih dari sejari kelingking. Saat ini, kami tengah
berusaha mencari satu batu sakti agar mereka bisa kembali ke negeri mereka.
Kalau batu itu tidak ditemukan maka kami harus mencari tahu siapa adanya orang pandai
yang sanggup membuat mereka bisa menjadi besar seperti kita…:”
“Ah,
sungguh kasihan kalian bertiga…” kata Luhcinta seraya menatap sayu pada Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol. “Kalau saja aku bisa menolong….”
“Terima
kasih kau memperhatikan kami,” kata Wiro. “Kau sendiri juga punya urusan lebih
besar. Jangan memikirkan kami….”
Luhcinta
tersenyum. Walau sekilas kembali dia menatap mesra ke arah Wiro. “Para sahabat,
aku pergi sekarang.” Sekali berkelebat gadis cantik bertubuh tinggi dan ramping
itupun lenyap dari tempat itu. Setan Ngompol dan Naga Kuning jatuhkan diri ke
tanah.
“Sukar
dipercaya ada gadis secantik itu…” kata Lakasipo sambil terus memandang ke arah
lenyapnya Luhcinta. Di sebelahnya Hantu Jatilandak juga tampak tegak termangu.
“Jangan-jangan
kita semua sudah pada jatuh cinta pada gadis itu!” kata Naga Kuning perlahan.
Lakasipo
akhirnya alihkan pandangan pada Hantu Jatilandak. “Sahabatku, kau meninggalkan
pulau dan tahu-tahu berada dalam rimba belantara ini. Tentu ada satu urusan
besar dan penting yang tengah kau telusuri.”
“Kau
benar Hantu Kaki Batu. Tak lama setelah kau dan tiga sobat ini meninggalkan
pulau aku bersikeras pada kakekku Tringgiling Liang Batu agar dia mengizinkan
diriku pergi untuk menyelidik asal usulku. Menurut kakek, ayahku masih hidup.
Bernama Lahambalang sedang ibu yang katanya bernama Luhmintari kabarnya sudah
meninggal. Aku akan berusaha mencari makamnya. Kalau kalian tidak keberatan,
aku ingin ikut bersama kalian mencari orang sakti bernama Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab itu. Siapa tahu dia bisa menolong menyingkapkan tabir gelap asal
usul diriku. Tapi jika kalian keberatan aku terpaksa menempuh jalan sendiri di
negeri yang serba asing bagiku ini.”
“Hantu
Jatilandak. Kau sahabat kami. Kau boleh ikut kemana kami pergi…” kata Wiro.
Hantu
Jatilandak membungkuk lalu tersenyum. “Terima kasih…” katanya. Lalu tiba-tiba
tangannya berkelebat menangkap sosok Wiro. Sekali tangan itu bergerak maka Wiro
terlempar ke udara setinggi sepuluh tombak lebih.
“Hai! Apa
yang kau lakukan ini?!” teriak Pendekar 212. Bukan saja dia gamang ketakutan
tapi juga khawatir kalau Hantu Jatilandak berniat jahat terhadapnya. Sebaliknya
Hantu Jatilandak sambil tertawa-tawa ulurkan tangannya menangkap tubuh Wiro
kembali. (Mengenai riwayat Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng
berjudul Hantu Jatilandak).
*******************
LIMA
Sinar
terik sang surya menyambut Luhcinta begitu gadis ini keluar dari rimba
belantara. Di satu daerah berbatu-batu yang tanahnya mendaki gadis itu
perlambat jarinya. Sayup-sayup dia mendengar suara air mengucur di sebelah
depan. Rasa haus tiba-tiba saja membuat tenggorokannya seperti kering. Tepat di
puncak pendakian Luhcinta hentikan langkah. Memperhatikan ke bawah dia melihat
satu pemandangan sangat indah.
Di
hadapannya terbentang sebuah lembah subur. Sisi sebelah kanan ditumbuhi
berbagai bunga-bungaan yang sedang berkembang. Sebaliknya sisi sebelah kiri
tertutup kawasan berumput di selang-seling bebatuan besar. Di sela-sela
batu-batu itu ada satu aliran air menuju dasar lembah. Di dasar lembah, air
ditampung oleh sebuah telaga dangkal sebelum mengalir lagi melalui celah-celah
batu ke bagian yang lebih rendah.
Pemandangan
itu membuat Luhcinta ingat akan lembah tempat kediaman gurunya dimana dia
digembleng selama bertahun-tahun hingga menjadi seorang gadis memiliki
kepandaian tinggi. Hanya saja Luhcinta hams mengakui bahwa lembah yang kini
terbentang di hadapannya jauh lebih indah dari lembah tempat kediaman sang
guru. Dengan melompat dari satu batu ke batu lainnya Luhcinta menuruni lembah
menuju telaga dangkal di bawah sana. Udara di lembah terasa sejuk membuat rasa
hausnya berkurang. Begitu sampai di telaga jernih, si gadis celupkan kaki,
masukkan ke dua tangannya ke dalam air lalu membasahi mukanya. Setelah itu
ditampungnya curahan air yang mengucur di celah-celah batu dan meneguk
sepuasnya.
Air
telaga yang sejuk dan bersih membuat wajah Luhcinta memerah segar. Namun di
balik semua kecantikan dan kesegaran wajah itu masih terlihat satu bayangan
adanya ganjalan berat di lubuk hati si gadis. Hal inilah yang terlihat dan
terbaca oleh Pendekar 212 sewaktu sebelumnya bertemu dengan Luhcinta di dalam
rimba belantara siang tadi.
Semula
ada keinginannya hendak mandi di dalam telaga itu. Namun entah mengapa niatnya
diurungkan lalu dia duduk di satu tempat yang bersih, bersandar ke sebuah batu
besar. Angin lembah bertiup sejuk. Membuat sepasang mata Luhcinta menjadi
berat. Dalam keadaan terkantuk-kantuk gadis ini ingat akan nasib dirinya.
Berulang kali Luhcinta menarik nafas panjang. Lalu terbayang wajah sang guru
yang pada akhirnya membuat dia ingat akan riwayat dirinya sebagaimana
dituturkan oleh si nenek.
*******************
Sore itu
hujan turuh lebat sekali. Cuaca gelap sesekali diterangi oleh sambaran petir.
Guntur menggelegar menambah mencekamnya suasana. Dalam keadaan seperti itu
kelihatan sosok seorang nenek berjalan basah kuyup terseok-seok. Di tangan
kanannya dia memegang sebatang tongkat terbuat dari bambu kuning yang besarnya
sepergelangan lengan dan panjang kurang dari sepuluh jengkal.
Sambil
melangkah si nenek tiada hentinya keluarkan suara nyanyian. Selain itu
tangannya yang memegang tongkat tak bisa, diam. Sebentar-sebentar tangan itu
digerakkan untuk memukul rambas semak belukar yang menghalangi jalannya. Bahkan
beberapa kali tongkat itu diayun menggebuk batang-batang pohon hingga patah
bertumbangan.
Hujan
lebat begini rupa
Tubuh
reyot seharusnya berada di dalam goa
Membaca
doa sambil hidupkan pendupa
Agar sisa
hidup bisa mengurangi segala dosa.
Hujan
gila begini rupa
Cuaca
gelap menutup pandangan mata
Seharusnya
tubuh reyot ini berada di dalam goa
Tapi
mengapa suara hati mengajak bicara
Tua
bangka di dalam goa!
Keluarlah
membawa langkah!
Berjalan
ke arah utara!
Akan kau
Temui sesuatu menusuk mata!
Tua
bangka reot di dalam goa!
Keluarlah
ayunkan langkah!
Pada saat
sesuatu tertumbuk mata!
Itulah
artinya awal perkara
Kenyataan
di depan mata
Jangan
lari cari selamat
Tanggung
jawab di atas kepala
Agar
selamat seluruh ummat
Tiba-tiba
si nenek jatuhkan dirinya, duduk menjelepok di tanah becek, mendongak ke langit
lalu tundukkan kepala menatap tanah di hadapannya.
“Aneh
berbilang aneh. Wahai aku yang tua ini bagaimana bisa berada di tempat ini. Di
bawah curahan hujan lebat, udara gelap dan dingin. Aneh dan gila! Aku bisa
menyanyi…. Astaga… apa yang kuucapkan tadi dalam nyanyianku? Gila! Aku tak
ingat! Aku tak ingat lagi…!”
Tiba-tiba
si nenek sentakkan kepalanya. Seperti tadi dia mendongak ke langit. Hujan
membasahi mukanya yang keriput. Cuping hidungnya tampak bergerak-gerak. “Aku
mencium sesuatu. Bau busuk…, Sangat busuk….” Si nenek palingkan kepalanya ke
arah kiri, menatap dengan sepasang mata menyorot ke arah rimba belantara di
kejauhan. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu melangkah ke arah sumber bau
d! dalam. rimba belantara. Saat itu tidak ada suara apa lagi nyanyian keluar
dari mulutnya.
“Aneh,
tadi aku bisa menyanyi. Sanggup keluarkan suara…. Sekarang mengapa mulutku
terkancing bungkam seribu bahasa. Dan bau itu… semakin menusuk…”
Si nenek
ayun-ayunkan tongkatnya kian kemari hingga mengeluarkan suara menderu-deru. Di
satu tempat dia hentikan langkah. Matanya berputar-putar. Telinganya sebelah
kiri dielus-elus berulang kali, “Aku belum tuli. tapi yang kudengar itu jelas
suara tangisan bayi! Ada bayi menangis di dalam hutan!”
Dengan
langkah-langkah cepat si nenek lanjutkan perjalanan. Belum terlalu jauh dia berjalan,
di bawah sebatang pohon yang tak seberapa tinggi tiba-tiba nenek ini hentikan
langkahnya, Dua kakinya yang kurus seolah ditancap ke tanah becek. Matanya
mendelik. Mulutnya menganga pencong!
“Demi
segala Peri, demi semua Dewa dan para roh yang ada di langit dan di bumi! Wahai
mataku tidak lamur apa lagi buta! Betulkah apa yang kulihat ini?!”
Di atas
sana, pada cabang paling rendah pohon di hadapan si nenek, tergantung satu
sosok tubuh perempuan. Seutas tambang menjirat lehernya yang mulai membusuk. Di
dada perempuan ini ada sebuah kantong terbuat dari jerami. Kantong itu
bergerak-gerak seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Curahan air hujan
yang mengguyur sekujur tubuh mayat tergantung itu mengucur deras ke bawah,,
melewati kaki dan jatuh ke tanah.
Si nenek
seperti beku kaku, memandang melotot, berusaha, memperhatikan wajah perempuan
yang tergantung itu. Dia tersentak ketika tiba-tiba dari dalam kantong jerami
melesat suara tangis bayi. Si nenek tersadar.
“Ada orok
di dalam kantong itu! Wahai!” Si nenek terlonjak. Kaki kiri dibanting ke tanah.
Saat itu juga tubuhnya melayang ke atas. Tongkat di tangan kanan berkelebat.
“Craasss!” Tali yang mengikat kantong jerami ke tubuh mayat putus. Mayat
tergantung bergoyang-goyang. Di lain kejap si nenek sudah menjejakkan kakinya
kembali di tanah. Di bawah pohon besar kantong jerami diletakkannya di tanah.
Lalu dengan tangan gemetar dia buka kantong itu.
“Demi
para Dewa penguasa alam! Sungguh tak dapat kupercaya!” Perempuan tua itu
keluarkan suara lalu jatuhkan diri berlutut. Dari dalam kantong jerami dia
keluarkan satu sosok kecil yang menangis keras dan ternyata adalah satu bayi
perempuan!
“Wahai
anak! Berkah apa yang diturunkan para Dewa hingga aku menemuimu di tempat ini?
Melihat keadaanmu usiamu belum lagi dua bulan! Siapa perempuan yang tergantung
di pohon itu? Ibumu…? Kasihan…. Berapa lama kau sudah tergantung di atas pohon
wahai anak? Ah, bagaimana ini? Akan kubawa kemana dirimu? Akan kuapakan engkau
wahai anak? Semoga para Dewa member! petunjuk! Wahai…!” Saat itu entah
bagaimana si nenek tiba-tiba ingat kembali pada bait-bait nyanyian yang tadi
dibawakannya. “Tidak bisa tidak, ini semua pasti petunjuk dan tuntutan para
Dewa….” Si nenek membatin. Diusapnya pipi dan kepala si bayi. Lalu dengan
hati-hati dimasukkannya ke dalam kantong jerami kembali. Saat itulah dia
melihat ada sebuah benda kecil di dalam kantong. Ketika diperhatikan ternyata
sebuah batu merah berukir bentuk bunga mawar yang biasa dijadikan hiasan rambut
perempuan. Si nenek masukkan batu merah itu ke dalam kantong kembali.
Perlahan-lahan dia berdiri. Bayi di dalam kantong didekapnya erat-erat di
tangan kiri. Sesaat sebelum berlalu dia memandang ke cabang pohon, tempat mayat
tergantung.“
“Wahai
perempuan malang di atas pohon. Jazadmu telah membusuk tapi rohmu masih utuh
dan bisa melihat serta mendengar. Jika bayi ini adalah anakmu, aku akan
membawanya, bukan mengambil bukan mencuri. Aku membawanya dengan satu tanggung
jawab. Akan memeliharanya. Akan mengasihinya seperti anak dan cucu sendiri. Wahai
roh perempuan di atas pohon, aku pergi sekarang. Relakan bayi ini berada di
tanganku dan jangan kau ikuti kemana kami pergi….”
Gadis
cantik berpakaian kulit kayu yang diberi jelaga warna biru tegak di atas batu
besar di tengah a lira n sungai kecil yang mengalir di pertengahan Lembah
Laekatakhijau. Di keningnya, tepat di pertengahan menempel sekuntum kecil bunga
tanjung berwarna kuning. Di sekitarnya ratusan bahkan mungkin ribuan ekor katak
hijau yang ukurannya mulai sebesar ibu jari sampai sebesar kelapa tanpa kulit
mendekam tak bergerak tetapi mata binatang-binatang ini memandang tak berkesip
ke arah sang dara.
“Luhcinta!”
Tiba-tiba ada seruan keras. Datangnya dari atas sebuah pohon besar yang tumbuh
menjulang di tepi sungai sebelah kiri. Di atas salah satu cabang pohon ini
kelihatan duduk seorang nenek menampilkan satu hal yang luar biasa. Si nenek
duduk di satu cabang kecil yang seekor kucing saja jika berada di atasnya akan
merunduk jatuh ke bawah! Nyatanya si nenek duduk enak-enakan malah sambil enjot-enjotkan
tubuhnya. Dan cabang itu sama sekali tidak patah. Kalau dia tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sangat tinggi, tidak mungkin si nenek mampu berbuat
seperti itu. Lalu hal kedua yang mungkin bisa membuat orang lain menyaksikan
dengan tengkuk merinding ialah keadaan si nenek yang duduk dengan sekujur tubuh
digelayuti ratusan katak hijau! Demikian banyak dan rapatnya binatang ini
menempel di kepala dan tubuh si nenek hingga hanya sepasang mata, lobang hidung
dan mulut si nenek saja yang tidak tertutup katak-katak hijau itu!
Mendengar
si nenek berseru menyebut namanya gadis di atas batu mendongak dan palingkan
kepala sedikit.
“Apa kau
sudah siap?!”
“Saya
siap wahai Nenek Lembah Laekatakhijau!” Suara si gadis nyaring tetapi tidak
terasa adanya sesuatu yang menggelegar yang disertai hawa kekerasan.
“Ingat
Luhcinta! Kau boleh bertahan, boleh balas menyerang. Tapi tidak satupun
katak-katak itu boleh cidera, apa lagi matt! Sesama makhluk hidup adalah
bersaudara. Kecuali kalau takdir mengatakan Iain! Kau hanya boleh mengandalkan
tangan kosong! Sumber kekuatanmu adalah cinta dan kasih sayang!”
“Saya
ingat Nek! Saya perhatikan!”
Nenek di
atas pohon yang disebut dengan nama Nenek Lembah Laekatakhijau acungkan tongkat
bambu kuning di tangan kanannya lalu dari mulutnya keluar satu suitan keras.
Mendengar suitan itu ratusan katak yang ada di seantero tempat, termasuk yang
sejak tadi menempel di tubuh si nenek melesat ke udara, menyerbu gadis tinggi
semampai di atas batu di tengah sungai. Walaupun yang menyerang cuma kodok tapi
gigitan dan cakarannya cukup berbahaya. Apa lagi jumlahnya demikian banyak,
Bisa-bisa sekujur sosok si gadis hanya tinggal tulang-belulang sementara kulit
dan dagingnya hancur dan ludes digeragot!
Anehnya
gadis di atas batu di tengah sungai perlihatkan wajah penuh senyum lalu dua
tangannya dikembangkan ke depan, dua telapak terbuka. Gerakan tangannya,
dorongan dua telapak tangan dengan jari-jari yang bergerak tiada henti serta
geseran sepasang kaki berbetis putih dan bagus, nyaris merupakan gerakan
seorang penari yang penuh kelembutan. Dari dua telapak tangan yang terbuka dan
mengandung tenaga dalam tinggi keluar tiupan angin yang sama sekali tidak
keras, tidak beda tiupan angin lembah di pagi hari penuh kelembutan.
“Kalian
semua sahabat-sahabatku. Tidurlah…!”
Terjadilah
hal yang aneh, sukar dipercaya. Siuran angin lembut yang keluar dari dua
telapak tengah si gadis membuat ratusan katak melayang jatuh secara
perlahan-lahan. Di atas batu, di dalam air atau di tanah. Ada juga yang
menyangsrang di semak belukar atau jatuh di atas pohon. Semuanya diam tak berg
era k. Sepasang mata mereka terkatup. Semua binatang itu berada dalam
keheningan alias benar-benar tidur!
Ternyata
ada beberapa ekor katak yang berhasil lolos, menyelusup dan hinggap di tubuh si
gadis. “Ah, kalian anak-anak nakal! Tidurlah!” Si gadis usap kepala katak-katak
itu. Semuanya masih menempel di tubuhnya tapi begitu diusap langsung diam
tertidur. Satu demi satu sang dara ambil binatang-binatang itu lalu
meletakkannya di atas batu.
Di atas
cabang pohon Nenek Lembah Laekatakhijau tertawa terkekeh-kekeh sambil
uncang-uncang ke dua kakinya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang.
“Bagus…
bagus! Tidak seekor pun katakku yang terluka. Tapi menyuruh mereka tidur
terus-terusan tidak baik! Luhcinta! Lekas kau bangunkan mereka!”
“Akan
saya bangunkan Nek!” jawab si gadis lagi-lagi dengan senyum menghias wajah.
Lalu dia bertepuk tiga kali dan berteriak nyaring. “Wahai para sahabat! Hari
sudah siang! Lekas bangun!”
Suara
mengorek terdengar di mana-mana. Semua katak yang tadi diam tidur kini gerakkan
kepala, kedipkan mata lalu melesat kian kemari. Puluhan di antaranya kembali
hinggap di sekujur kepala dan muka si nenek!
“Bocah-bocah
nakal! Kalian pergilah dulu bermain-main sambil mencari makan. Aku perlu
membicarakan sesuatu dengan Luhcinta!” Mendengar ucapan si nenek puluhan katak
yang menempel di kepala dan badannya segera melesat pergi. Si nenek sendiri
melompat turun dari cabang pohon. Dia memberi tanda pada si gadis lalu
melangkah terbungkuk-bungkuk memasuki sebuah goa.
*******************
ENAM
Si nenek
pandangi wajah gadis cantik di hadapannya dengan sepasang mata berkaca-kaca.
Yang dipandang sendiri saat itu berulang kali mengusap air mata yang meluncur
jatuh ke pipinya seolah tak mau berhenti. “
Wahai
Nenek pemelihara dan tempat saya berlindung selama berbilang tahun. Mengapa
baru pada saat saya hendak kau lepas pergi kau menuturkan riwayat hidup saya.
Mengapa tidak dari dulu-dulu kau ceritakan pada saya….”
Wajah
perempuan tua itu tampak tambah rawan. Bagaimanapun dia berusaha namun air mata
akhirnya tumpah juga ke pipinya yang keriput. Dengan tangan kirinya dibelainya
rambut si gadis.
“Wahai
cucuku Luhcinta. Jangan kau bersalah duga berburuk sangka. Tidak ada maksud
yang tidak baik dari semua apa yang kulakukan. Jika riwayatmu kuceritakan sejak
kau masih kecil, maka berarti aku telah memberikan satu ganjalan pahit dalam
jalan kehidupanmu. Dalam keadaan pikiran dan hatimu saling tumpang tindih
dilanda ganjalan itu, tidak mungkin aku akan mendidik dan menempamu menjadi
seorang gadis lembut sekaligus berkepandaian tinggi seperti sekarang ini. Aku
sengaja memberikan nama Luhcinta padamu, karena hanya cinta kasihlah yang
membuat manusia bisa tabah dan selamat menghadapi kehidupan dunia. Hanya dengan
cinta kasihlah manusia bisa hidup bahagia. Dicintai dan saling mencinta. Banyak
manusia, mengira bahwa kekuatan yang dahsyat adalah kekuasaan atau kesaktian.
Padahal kekuatan paling dahsyat di antara, langit dan bumi adalah, cinta kasih!
Kelak kau akan, membuktikannya sendiri wahai cucuku Luhcinta. Aku juga sengaja
memilih saat yang tepat hari ini. Saat kau akan kulepas pergi ke dunia luar.
Inilah saat yang paling tepat bagimu untuk menyelidiki asal usul dirimu. Aku
telah menceritakan ciri-ciri dan wajah perempuan yang tergantung di dalam hutan
itu. Mungkin itu tidak terlalu, dapat menolong. Tapi ada sesuatu yang bisa kau
andalkan dalam penyelidikanmu wahai cucuku….”
Si nenek
lalu keluarkan sebuah benda berwarna merah. Ketika si gadis memperhatikan
ternyata adalah sebuah batu merah yang diukir demikian rupa membentuk setangkai
bunga mawar. Dia pernah melihat benda seperti ini sebelumnya yang biasa
dijadikan hiasan pada ikatan rambut.
“Mawar
merah ukiran batu ini, kutemukan, dalam kantong jerami tempat kau terbungkus.
Aku yakin benda ini dapat kau pergunakan sebagai bahan petunjuk menelusuri asal
usulmu. Mungkin sekali ini adalah milik perempuan yang tergantung itu. Ibumu.
Dia sengaja meletakkan di dalam kantong jerami dengan satu maksud tertentu.
Ambil lah wahai Luhcinta….”
Si gadis
mengambil bunga mawar dari batu itu. Memperhatikan dan mengusap-usapnya
beberapa lama lalu perlahan-lahan mendekatkannya ke hidung dan menciumnya. Saat
itu terjadilah satu keajaiban. Di depan Luhcinta muncul satu bayangan biru yang
makin lama makin jelas dan akhirnya membentuk sosok perempuan separuh baya
berwajah cantik. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil bertabur batu permata.
Pakaiannya terbuat dari gulungan sutera biru yang panjang sekali seolah-olah
bergulung sampai ke langit. Saat itu juga tempat tersebut dipenuhi oleh bau
harum semerbak. Hidung si nenek tampak kembang kempis. Dia dapat mencium bau
harum itu tetapi tidak melihat sosok perempuan cantik berpakaian biru yang
barusan seolah turun dari langit.
Walau
hatinya tergoncang melihat keanehan ini namun Luhcinta berhasil tabahkan diri.
Dengan mengulas senyum di bibir dia berkata. “Wahai perempuan cantik
bermahkota! Siapa gerangan kau adanya?”
“Aku
adalah Peri Bunda dari Negeri Atas Langit. Kedatanganku untuk memberi petunjuk.
Jika kau tinggalkan lembah ini pergilah ke arah matahari terbit. Pada pagi hari
ke dua setelah kau berada di perjalanan kau akan mendapatkan petunjuk yang
kelak bakal menyingkapkan asal usul dirimu. Namun ingat baik-baik wahai gadis
bernama Luhcinta. Apapun kelak yang bakal kau dapat dan ketahui dari petunjuk
itu janganlah kau berpaling rasa dan duga, janganlah hatimu berontak membara
bahwa tidak ada keadilan di dunia ini, bahwa cinta kasih hanya satu hal yang
palsu belaka bahkan keji dan kotor. Ingat baik-baik wahai Luhcinta. Tabahkan
hatimu! Jangan goyang dalam pikiran, jangan goyah di lubuk hati…. Kalau gurumu
menanamkan cinta kasih dalam dirimu maka ketahuilah cinta kasih adalah sesuatu
yang utuh, satu kekuatan yang ada kalanya tak bisa dibagi tapi seringkali bisa
diberikan untuk semua makhluk dan berkahnya bisa untuk semua orang. Ingat
baik-baik petuah gurumu dan camkan apa yang barusan aku katakan. Selamat
tinggal Luhcinta….”
“Wahai
Peri… Tunggu dulu! Saya ingin bertanya!” Luhcinta memburu ke mulut goa. Tapi
sosok Peri Bunda telah sirna.
“Cucuku
Luhcinta. Kau berlaku aneh. Kulihat kau bicara sendirian. Lalu lari ke pintu
seolah mengejar seseorang. Apa yang terjadi? Kau barusan bicara dengan siapa?”
Teguran
sang guru membuat Luhcinta palingkan diri. “Nek, apa kau tidak melihat…?”
“Melihat
apa?”
“Seorang
perempuan cantik barusan berada dalam goa ini. Dia mengaku bernama Peri
Bunda….”
“Peri
Bunda?” Nenek Lembah Laekatakhijau terkejut.
“Kau
tidak mengigau tidak bergurau Luhcinta?”
“Mana
saya berani berlaku begitu Nek….”
“Ceritakan
apa yang terjadi! Katakan apa yang diucapkan Peri itu padamu!”
Begitu
mendengar penuturan Luhcinta, si nenek pegang kepala murid yang sudah dianggap
seperti anak atau cucunya sendiri itu seraya berkata. “Luhcinta, kau telah
mendapat berkah dari sang Peri. Kau telah diberi petunjuk. Lakukan apa yang
dikatakannya.. ..” “;
“Akan
saya lakukan Nek,” jawab Luhcinta.
*********************
Terbitnya
Sang Surya pada hari ke dua perjalanannya setelah meninggalkan Lembah
Laekatakhijau menimbulkan rasa tegang di diri Luhcinta. Seperti yang dikatakan
Peri Bunda, hari itu dia akan menemukan petunjuk yang akan menyingkapkan tabir
rahasia asal usulnya. Namun kedatangan pagi kali ini justru memunculkan
setumpuk pertanyaan dalam hatinya. Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan
memberi petunjuk? Di mana? Saat itu Luhcinta berada di kaki bukit yang
dikelilingi sawah luas. Sejauh mata memandang hanya padi yang masih hijau yang
kelihatan. Belum kelihatan seorang petani pun berada di sawah. Luhcinta berdiri
di dekat sebuah dangau. Memandang ke langit bersih, memperhatikan serombongan
burung terbang ke arah selatan.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba ada sambaran angin. Luhcinta cepat berpaling.
Satu bayangan berkelebat tahu-tahu satu sosok telah berdiri berkacak pinggang
di atas dangau! Sebagai murid nenek sakti di Lembah Laekatak hijau, Luhcinta
telah digembleng menjadi seorang gadis lembut tapi berhati tabah. Walau baru
beberapa hari saja berada di dunia luar yang serba asing baginya namun
kemampuan bersikap waspada membuat dia tidak merasa takut akan hal apapun. Akan
tetapi saat itu si gadis merasakan tengkuknya dingin dan lututnya bergetar.
Seumur hidup belum pernah dia melihat manusia memiliki dua muka di satu kepala.
Dan saat itu, kejadian aneh itulah yang dialaminya!
Di atas
dangau tegak bertolak pinggang seorang pemuda sangat gagah yang mukanya ada
dua, satu depan satu di belakang. Wajah di sebelah depan bersih kuning sedang
Wajah di sebelah belakang hitam berkilat. Dua wajah itu memandang lekat-lekat
ke arah Luhcinta, mulut menyeringai, dua mata bergerak tak bisa diam.
“Makhluk
aneh apakah ini adanya. Guru tak pernah menceritakan padaku. Mukanya dua, satu
putih satu hitam. Bola matanya berbentuk segitiga. Keseluruhan wajahnya walau
tersenyum tidak membersitkan kelembutan, malah tidak ada bayangan cinta kasih.
Aku harus berhati-hati….”
“Gadis
cantik berpakain biru. Pagi hari berada di tengah sawah. Dari dandanan dan
gerak gerikmu jelas kau orang asing di Latanahsilam ini. Seandainya engkau
tersesat biarlah aku menunjukkan arah jalan yang benar. Kemana tujuanmu wahai
gadis yang menghias keningnya dengan sekuntum bunga tanjung? Bolehkah aku
bertanya siapa gerangan namamu?”
Luhcinta
memandang dengan tersenyum membuat orang di atas dangau yang bukan lain adalah
Hantu Muka Dua tambah berkobar hasrat kejinya. Seperti diketahui Hantu Muka Dua
memiliki kemampuan merubah-rubah dua wajah di kepalanya. Jika dua wajahnya
muncul dalam rupa pemuda gagah maka itu berarti dia terangsang untuk bercinta.
Sambil
memandang, otak Luhcinta bekerja. Dalam hati dia membatin. “Hemm…” Makhluk
bermuka dua ini muncul seperti kilat yang berubah menjadi bayang-bayang.
Pertanda dia memiliki kepandaian tinggi. Wajah, sikap dan cara bicaranya seolah
tulus tapi aku mencium tak ada cinta kasih dibalik semua itu. Pertanyaannya
banyak sekali seperti dia tengah menyelidik. Makhluk satu ini tak bisa
kupercaya, tetapi jika aku hadapi dengan tenang dan kebaikan hati mungkin aku
bisa memanfaatkannya. Mungkin dialah petunjuk yang diberikan Peri Bunda. Orang
yang akan menyingkap tabir asal-usul diriku”
Luhcinta
kembali tersenyum. “Pemuda gagah, aku Luhcinta sungguh kagum padamu. Kurasa di
jagat raya ini hanya kaulah satu-satunya manusia yang memiliki dua wajah di
satu kepala. Jika aku boleh bertanya siapa gerangan kau adanya. Mungkin aku
bisa minta bantuanmu menjawab beberapa pertanyaan…”
Hantu
Muka Dua balas senyuman si gadis dengan tawa lebar. “Aku dikenal dengan
panggilan Hantu Muka Dua. Sebagai orang asing kau tentu tidak tahu siapa
diriku, Tetapi kau telah berlaku tepat. Jika meminta bantuan akulah orang
satu-satunya yang bisa menolongmu. Apa lagi kalau hanya bantuan berupa menjawab
pertanyaan….”
“Wahai
Hantu Muka Dua, apakah kau pernah mendengar riwayat seorang perempuan yang
menemui ajal, bunuh diri dengan cara menggantung diri di sebuah rimba
belantara. Kejadiannya sudah cukup lama, berbilang tahun yang silam….”
Empat
alis Hantu Muka Dua di dua wajahnya menjungkat ke atas. Satu pertanda bagi
Luhcinta bahwa makhluk itu mengetahui sesuatu tentang kejadian yang
ditanyakannya. Terlebih ketika dilihatnya empat mata aneh Hantu Muka Dua menatapnya
lekat-lekat.
“Wahai….
Aku ingat sekarang. Wajah gadis ini sama nian dengan wajah perempuan itu…. Ah!
Mungkinkah?!” Kata-kata itu menyeruak dalam hati Hantu Muka Dua. “Wahai gadis
bernama Luhcinta, memang pernah aku mendengar kejadian itu. Peristiwanya telah
lama sekali. Mengapa kau bertanyakan hal itu. Apa dirimu ada sangkut paut
dengan peristiwa itu?”
“Seseorang
mengatakan diriku memang punya hubungan darah dengan perempuan yang mati
menggantung diri itu….” menerangkan Luhcinta.
“Melihat
kepada usiamu, kau tentulah anak perempuan yang malang itu.”
Luhcinta
tersurut satu langkah. “Bagaimana kau bisa menduga seperti itu?”
Hantu
Muka Dua melompat turun dari atas dangau. “Dengar wahai gadis cantik. Dirimu
rupanya menyimpan satu rahasia hidup maha besar. Aku Hantu Muka Dua kebetulan
banyak tahu tentang riwayat perempuan tergantung itu. Tapi di sini bukan tempat
yang tepat untuk menuturkan semuanya padamu. Ha rap kau suka ikut aku ke tempat
kediamanku. Talk jauh dari sini. Di situ aku akan terangkan semuanya padamu.
Aku yakin kau memang adalah anak perempuan yang bunuh diri itu!”
“Hantu
Muka Dua, kau baik sekali. Bagaimana kalau semua riwayat yang kau ketahui kau
ceritakan saja langsung di sini? Budimu pasti tidak akan kulupakan.”
Hantu
Muka Dua menyeringai. “Aku merasa kau tidak percaya pada diriku. Sosokku memang
menakutkan. Kepalaku memiliki dua wajah yang mengerikan. Mana ada manusia yang
mau menganggap aku orang baik-baik….”
“Aku
percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Buruk rupa seseorang bukan jaminan bahwa
dia tidak memiliki perilaku yang baik. Bukan jaminan bahwa dia tidak mempunyai
cinta kasih..,.”
“Dengar
wahai Luhcinta,” Perempuan yang mati tergantung itu adalah Luhpiranti. Dia
memiliki seorang suami bernama Latampi. Apa kau masih tidak percaya bahwa aku
benar-benar mengetahui kejadian hebat di masa lalu itu?”
“Luhpiranti….
Latampi….” Si gadis mengulang menyebut nama-nama itu. “Guru sendiri tidak
pernah tahu siapa nama ayah dan ibuku….” Luhcinta menatap Hantu Muka Dua
sejurus lalu berkata. “Aku percaya padamu wahai Hantu Muka Dua. Aku bersedia
ikut ke tempat kediamanmu….”
“Kau
gadis berotak jernih. Kita berangkat sekarang!” kata Hantu Muka Dua sambil
menyeringai lebar dan usap-usap telapak tangannya satu dengan lainnya.
*******************
TUJUH
Seperti
pernah dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng berjudul Peri Angsa
Putih) diketahui bahwa Hantu Muka Dua memiliki sat u tern pat kediaman rahasia
terletak di bawah Telaga Lasituhitam. Pada kejadian dia membawa Luhcinta ke
tempat itu belum ada ruangan yang disebut Ruangan Obor Tunggal yaitu ruang
penyiksaan terkutuk bagi perempuan-perempuan yang dibencinya. Yang ada barulah
Ruang Dua Belas Obor yakni satu ruangan batu diterangi dua belas obor dan
menjadi tempat ketiduran Hantu Muka Dua.
Hantu
Muka Dua langsung membawa murid Nenek Lembah Laekatakhijau itu ke dalam Ruang
Dua Belas Obor. Saat itu di dalam ruangan terdapat tiga orang gadis yang
rata-rata berpakaian seronok nyaris bugil. Pemandangan ini membuat Luhcinta
serta merta menjadi tidak enak, khawatir serta curiga. Apa lagi di situ tidak
ada bangku atau kursi. Yang ada hanya sebuah batu besar dialasi anyaman rumput
kering dan dijadikan ranjang tempat tidur. Walaupun hatinya tidak enak namun
Luhcinta tetap saja memoles senyum di bibirnya yang bagus.
“Jangan
perhatikan mereka wahai Luhcinta. Tiga gadis ini adalah pembantu yang mengurus
dan menjaga tempat kediamanku jika aku pergi.” Lalu pada tiga gadis di dalam
ruangan Hantu Muka Dua segera berkata. “Lekas kalian memberi hormat pada
tamuku! Kalau sudah memberi hormat segera siapkan hidangan dan minuman. Kami
lapar! Setelah itu kalian Semua boleh pergi! Kami haus! Berikan minuman lebih
dulu!”
Tiga
gadis di dalam Ruang Dua Belas Obor segera berdiri lalu menjura memberi hormat
pada Luhcinta. Sebelum sempat si gadis membalas penghormatan itu ketiganya
telah meninggalkan ruangan.
“Wahai
Hantu Muka Dua, kita telah berada di tempat kediamanmu. Apakah kau bisa segera
mulai memberi keterangan tentang orang-orang bernama Latampi dan Luhpiranti
itu…?”
“Luhcinta
gadis cantik dan cerdik! Mengapa terburu-buru. Kau perlu istirahat barang
sebentar. Lagi pula apa salahnya menunggu sampai pembantuku datang membawakan
minuman untuk kita….”
“Kalau
begitu katamu aku menurut saja. Tetapi begitu kau selesai minum harap kau suka
memberi keterangan….”
“Jangan
khawatir wahai Luhcinta. Sejuta keterangan akan kuberikan padamu walaupun
mulutku harus bicara sampai pagi besok dan pagi besoknya lagi…. Lelaki mana
yang tidak mau bertutur cakap dengan gadis secantikmu walau tidak tidur
sekalipun sampai berhari-hari….”
Luhcinta
tersenyum. Salah satu dari tiga gadis tadi muncul dan masuk ke dalam Ruang Dua
Belas Obor. Dia membawa satu nampan kayu di atas mana terletak dua cangkir
tanah berisi minuman yang mengepulkan asap dan bau enak segar. Dua gelas tanah
itu diletakkannya di atas ranjang batu. Ketika Luhcinta memandang kepadanya
gadis ini kedipkan matanya tiga kali berturut-turut.
“Wahai,
apa arti kedipan mata gadis itu…” pikir Luhcinta.
“Lekas
keluar kau dari sini!” Hantu Muka Dua membentak. Gadis pembawa minuman serta
merta menghambur pergi. Sambil tersenyum Hantu Muka Dua kemudian berkata pada
Luhcinta. “Ini minumanmu, teguk sampai habis. Kau tentu haus dan letih….” Hantu
Muka Dua lalu ambil salah satu gelas tanah dan memberikannya pada Luhcinta. Dia
sendiri mengambil gelas kedua langsung meneguk isinya sampai habis. Dua pasang
matanya kelihatan membersitkan sinar aneh. Dua wajahnya kelihatan merah. Di
dalam tubuhnya darahnya mengalir makin cepat dan tambah panas. Hal itu
disebabkan di dalam minuman yang diberikan si pembantu untuknya sesuai dengan
kebiasaannya Hantu Muka Dua mempergunakan sejenis bubuk yang dapat memberi
kekuatan seperti kuda setan pada dirinya.
Secara
diam-diam dia juga telah memerintahkan para pembantu untuk membubuhi sejenis
serbuk perangsang di dalam minuman yang disuguhkan pada tamu perempuan.
Pembantu yang membawa minuman tadi dan mengetahui hal itu serta hiba hati
melihat Luhcinta yang kelak bakal menerima perbuatan aib dari Hantu Muka Dua
berusaha memberi peringatan dengan kedipan mata tadi. Hanya sayang Luhcinta
tidak mengetahui apa arti isyarat tersebut!
“Harap
kau suka meneguk minuman yang disuguhkan. Sebagai tanda penghormatan padaku
selaku tuan rumah….”
“Kau tuan
rumah yang baik,” kata Luhcinta. “Sebentar lagi akan ku minum. Saat ini aku
belum begitu haus…. Sementara itu apakah kau bisa memberi keterangan yang kau
janjikan?”
“Teguk
habis dulu minumanmu, baru aku memberi keterangan,” jawab Hantu Muka Dua.
Suaranya mulai kasar dan tampangnya agak beringas. Kulit mukanya sebelah depan
tambah merah sedang sebelah belakang tambah menghitam.
“Wahai,
aku tidak haus. Sebentar lagi pasti ku minum….”
“Kalau
kau tak suka meneguk minuman itu,, serahkan gelas minuman itu padaku!” kata
Hantu Muka Dua pula. Lalu gelas tanah dirampasnya dari tangan Luhcinta. “Gadis
cantik…. Kau datang ke tempat yang salah! Ha… ha..ha.”
“Wahai!
Apa maksudmu Hantu Muka Dua?” tanya Luhcinta.
“Maksudku
ini!” Hantu Muka Dua gerakkan tangannya yang memegang gelas tanah. Minuman yang
ada di dalam gelas tanah itu melesat ke muka Luhcinta. Sebagian di antaranya
ada yang masuk ke dalam mulutnya tapi tidak sampai tertelan.
“Hantu
Muka Dua, mengapa kau berlaku kasar!” Berseru Luhcinta. Pada saat Itu Hantu Muka
Dua sudah mendobraknya. Memeluk penuh nafsu dan menciumi wajahnya dengan
beringas.
“Wahai!
Ternyata dirimu begini adanya!” seru Luhcinta yang kini sadar kalau dirinya
telah terjebak. Dengan kanannya bergerak. Telapak menempel di perut Hantu Muka
Dua. Begitu dia mendorong terpekiklah Hantu Muka Dua. Tubuhnya terpental dan
terbanting ke dinding batu!
“Pukulan
kasih Mendorong Bumi!” seru Hantu Muka Dua dengan wajah kaget dan dua muka di
kepalanya langsung berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat pasi. Sambil pegangi
perutnya yang mendenyut sakit sementara tulang punggungnya serasa hancur,
kemarahan meluap dalam diri Hantu Muka Dua. Saat itu juga dua mukanya kembali
berubah. Kali ini berupa dua muka raksasa mengerikan. “Pukulan itu hanya
dimiliki nenek keparat di lembah Katak. Berarti kau adalah muridnya Nenek
Lembah Laekatakhijau!”
Dua kali
Luhcinta terkejut. Pertama ketika Hantu Muka Dua mengetahui pukulan yang
barusan dilepaskannya. Kedua sewaktu Hantu Muka Dua mengetahui siapa gurunya.
“Ha… ha…
ha! Nenek satu ini memang sudah lama kucari untuk kujadikan makhluk pertama
percobaan ruang penyiksaan yang kuberi nama Ruang Obor Tunggal! Sekarang rejeki
besar di depan mata. Tidak tahu kau muridnya si Laekatakhijau! Dendam karatanku
selama ini akan kesampaian…!”
“Wahai….
Pembicaraan kita mengapa jadi berubah Hantu Muka Dua? Bukankah kau berkata
hendak memberi tahu riwayat dua orang bernama Latampi dari Luhpiranti itu?
Sekarang kau bicara hal-hai yang aku tidak mengerti….”
“Kau
tidak perlu mengerti. Yang kau harus mengerti adalah melayani diriku sampai
puas! Ha… ha… ha!”
Kembali
Hantu Muka Dua menyergap Luhcinta. Kali ini si gadis cepat menghindar lalu
berkelebat ke arah pintu ruangan. Namun dari belakang tiba-tiba melesat dua
larik sinar hijau. Sinar-sinar aneh ini ternyata menyembul keluar dari sepasang
mata Hantu Muka Dua sebelah depart.
Luhcinta
berteriak kaget ketika dua larik sinar hijau seperti dua utas tali tahu-tahu
mengguluhg sekujur tubuhnya hingga dia tidak mampu menggerakkan kaki maupun
tangan! Sekali Hantu Muka Dua menyentakkan kepalanya tubuh Luhcinta terlempar
ke atas ranjang batu dan masih dalam keadaan terikat dua larik sinar hijau itu!
“Makhluk
jahat! Apa yang hendak kau lakukan padaku?!” teriak Luhcinta. “Apa tidak ada
rasa hiba di hatimu? Apa kau tidak punya rasa cinta kasih sesama manusia?!”
“Cinta
kasih?! Ha… ha… ha! Justru aku akan menunjukkan rasa cinta kasihku padamu! Ini
bukti pertama!”
“Breeettt!”
Pakaian
Luhcinta robek besar di bagian dada. Si gadis menjerit. Dia coba menendang dan
memukul. Tapi tak mampu bergerak. Dalam hati Luhcinta jadi mengeluh dan
meratapi nasib sendiri.
“Wahai
Peri Bunda. Karena mengikuti petunjukmu aku menemui nasib seperti ini. Tolong
diriku. Insyafkan makhluk bermuka dua itu. Masukkan rasa kasih ke dalam
tubuhnya hingga dia tidak berlaku jahat padaku…”
Namun
permintaan si gadis seolah tidak terdengar oleh Peri Bunda. Seperti orang
kemasukan setan, sambil tertawa-tawa Hantu Muka Dua yang wajahnya kini telah
berubah menjadi dua muka anak muda melompat ke atas ranjang batu. Ketika dia
hendak menanggalkan pakaian tiba-tiba Ruang Dua Belas Obor dilanda getaran
aneh. Bersamaan dengan itu dinding sebelah kiri jebol mengeluarkan suara
bergemuruh. Pecahan batu berhamburan. Dari lobang besar di binding kiri ruangan
menyeruak keluar satu sosok tubuh yang di kepalanya ada asap aneh berwarna
merah, bergulung-gulung membentuk kerucut dengan bagian runcing tegak di atas
batok kepalanya…”
Hantu
Muka Dua tersentak kaget seperti melihat setan. Cepat dia melompat ke sudut
ruangan. Bersamaan dengan itu dua alur sinar merah menderu menyirami tubuh
Luhcinta. Dua larik sinar hijau laksana tali yang sejak tadi mengikat sekujur
tubuh Luhcinta serta merta lenyap.
*******************
DELAPAN
Hantu
Penjunjung Roh! Kau…!” teriak Hantu Muka Dua yang saat itu dua wajahnya
mendadak sontak telah berubah menjadi dua wajah kakek pucat keriput. Ini satu
pertanda selain terkejut dia juga tengah dicekam rasa takut. Orang yang barusan
memasuki ruangan lewat dinding yang jebol tertawa mengekeh. Ternyata dia adalah
seorang nenek aneh. Sekujur tubuhnya ditutupi akar-akar panjang berwarna coklat
gelap. Di atas kepalanya yang ditumbuhi rambut kelabu tipis dia seperti
menjulang satu pendupaan berbentuk kerucut terbalik. Kerucut aneh ini berwarna
merah dan mengepulkan asap angker.
Si nenek
hentikan kekehannya. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah Hantu Muka
Dua. Astaga! Ternyata dua bola mata si nenek juga berbentuk kerucut kecil
berwarna merah. Bagian lancipnya menjorok keluar hampir sama rata dengan
hidungnya!
“Tujuh
ratus purnama aku memberi kesempatan padamu untuk bertobat! Tapi dasar otak dan
hatimu sudah jadi batu! Kau tidak melakukan itu! Kau tetap gentayangan dengan
wujud Hantu Muka Dual Menyebar melapetaka di delapan penjuru angin!”
“Nenek
keparat! Kalau saja aku tidak punya pantangan membunuh perempuan! Pasti sudah
kuhabisi dirimu saat ini!” teriak Hantu Muka Dua. “Hik… hik… hik! Kau takut
membunuh perempuan! Anggap saja aku ini laki-laki! Lihat diriku!”
“Wusss!!”
Asap
merah di atas kepala si nenek yang berbentuk kerucut mengepul tinggi ke atas
menyondak langit-langit ruangan batu. Ketika asap itu kembali ke bentuknya
semula maka keadaan si nenek telah berubah menjadi seorang lelaki separuh baya,
tegak berkacak pinggang.
“Aku
sudah menjadi laki-laki! Apa kau masih takut membunuhku?! Hik… hik… hik!”
“Perempuan
jahanam! Aku bersumpah akan menjebloskanmu ke ruang penyiksaan abadi!” teriak
Hantu Muka Dua. Lalu tangan kanannya bergegas ke balik pakaian.
“Wusss!
Dessss!”
Satu
kepulan asap hijau pekat membumbung menutupi pemandangan. Sosok Hantu Muka Dua
berkelebat lenyap ke arah pintu ruangan.
“Kau kira
kali ini bisa lolos dari tanganku?!” Tempat untuk rohmu sudah ku sediakan di
atas kepalaku!” teriak Hantu Penjunjung Roh yang saat itu telah berubah pada
bentuknya semula yaitu sosok seorang nenek berambut kelabu. Dia berkelebat ke
pintu ruangan berusaha mengejar.
Di atas
ranjang batu, Luhcinta yang sejak tadi terhenyak dalam kejut dan aneh melihat
semua yang terjadi tiba-tiba melompat turun, jatuhkan diri di hadapan si nenek
sehingga gerakan perempuan tua itu jadi terhalang.
“Nek, tak
usah kau kejar orang jahat itu. Beri dia kesempatan untuk berpikir. Siapa tahu
tidak sekarang tapi nanti cinta kasih akan masuk ke dalam tubuhnya, mengalir di
dalam darahnya dan tertanam di lubuk hatinya. Hingga kelak dia mau bertobat dan
menjadi orang baik…”
Mendengar
kata-kata itu, si nenek yang sudah nekad hendak mengejar Hantu Muka Dua jadi
hentikan gerakannya. Saat itu dia masih belum melihat jelas wajah Luhcinta
karena asap hijau yang ditinggalkan Hantu Muka Dua masih mengambang dalam
ruangan. Namun dengan suara perlahan si nenek berkata.
“Kau
gadis berhati baik dan tulus. Agaknya ajaran kasih sayang begitu mendalam dalam
hati sanubarimu. Tetapi wahai gadis tulus! Tahukah engkau bahwa begitu banyak
makhluk yang menemui celaka bahkan kematian hanya karena berbuat baik secara
berkelebihan?”
“Mereka
mati dalam kebaikan. Dalam cinta kasih. Apakah ada kematian yang lebih indah
dan” itu Nek?”
Hantu
Penjunjung Ron tersurut dua langkah. Mukanya mengerenyit mendengar kata-kata
Luhcinta itu. Dalam hati dia berkata. “Aneh! Seharusnya aku ma rah besar
mendengar ucapan gadis bau ken-cur yang seperti mengajari diriku si tua bangka
ini! Tetapi ucapannya sangat menyentuh, mendatangkan kesejukan dalam hatiku.
Siapa gerangan adanya anak ini?!”
Si nenek
kibaskan tangan kirinya. Asap hijau yang memenuhi ruangan serta merta lenyap.
Begitu keadaan terang kembali dan si nenek bisa melihat jelas wajah Luhcinta,
terpekiklah perempuan tua ini. Sepasang kakinya mundur dua langkah, mukanya
yang keriputan memutih sementara kerucut asap merah di atas kepalanya naik
hampir menyentuh langit-langit batu.
“Kau…!”
Suara si nenek keras tapi bergetar dan seolah tercekik. “Nenek, wahai gerangan
apakah yang membuatku memandang begitu rupa? Apakah salah saya telah
menghalangimu mengejar Hantu Muka Dua? Atau apakah….” “
“Wajahmu!”
desis si nenek lagi-lagi dengan suara bergetar dan mata kerucutnya membesar,
membeliak tak berkedip.
“Wajah
saya…?” Luhcinta usap mukanya. “Ada a pa dengan wajah saya wahai Nenek penolong
diriku? Apakah wajah saya jelek, menyeramkan hingga kau seperti takut atau
mungkin benci melihatku…?”
Hantu
Penjunjung Ron gelengkan kepala.
“Anak….
Siapa namamu?!”
“Saya
Luhcinta….”
“Kau… kau
berasal dari mana Luhcinta?”
“Saya…
saya, kata guru saya berasal dari Negeri Latanahsilam….”
Si nenek
maju mendekati Luhcinta. Tiba-tiba dia ulurkan ke dua tangannya, membelai wajah
si gadis. Luhcinta merasakan adanya getaran-getaran aneh pada jari-jari yang
membelai itu.
“Wajahmu…”
kata si nenek perlahan. “Mengapa sama benar dengan….”
“Nek!”
Luhcinta pegang dua tangan si nenek. “Kau melihat wajah saya. Sama dengan wajah
siapa saya ini Nek?”
“Wahai!
Barusan kau menyebut guru. Katakan siapa gurumu!”
“Hantu
Lembah Laekatakhijau…” jawab Luhcinta semakin jauh dibawa rasa heran melihat
tindak tanduk dan ucapan si nenek yang telah menyelamatkannya dari Hantu Muka
Dua.
“Demi
sejuta Dewa sejuta Peri!” Si nenek berteriak. “Anak, kau ikut aku sekarang
juga!”
“Ikut
kemana Nek…?” tanya Luhcinta.
“Kita ke
Lembah Laekatakhijau! Menemui gurumu si tua bangka sialan itu!”
“Wahai,
mengapa kau memaki nenek guru saya itu?” tanya Luhcinta.
“Karena
berpuluh tahun dia menjadikanmu sebagai muridnya, tapi dia tidak pernah memberi
tahu padaku! Luhmasigi! Kau benar-benar tua bangka keparat!”
“Eh,
siapa perempuan bernama Luhmasigi itu Nek?” tanya Luhcinta lagi.
“Itu nama
asli gurumu si nenek keparat di Lembah Katak itu!” teriak Hantu Penjunjung Roh.
Lalu sekali dia bergerak tahu-tahu sosok Luhcinta sudah berada di panggulan
bahu kirinya.
*******************
SEMBILAN
Sepasang
mata merah berbentuk kerucut aneh Hantu Penjunjung Ron memandang seputar
lembah. Luhcinta yang berdiri di sebelah si nenek ikut memperhatikan
berkeliling. Kemanapun mata memandang hanya katak-katak hijau yang kelihatan.
Di tanah, di atas bebatuan, di dalam sungai kecil, di batang-batang dan
cabang-cabang pohon bahkan sampai ke daun-daunnya dipenuhi oleh ribuan katak-katak
hijau mulai dari yang sekecil ibu jari kaki sampai sebesar buah kelapa.
“Aku
tidak melihat nenek sialan itu!” kata Hantu Penjunjung Roh. “Dimana dia?!”
“Saya
juga tidak melihatnya Nek,” jawab Luhcinta sambil terus memperhatikan ke setiap
sudut lembah.,
Di goanya
dia tidak ada. “Jangan-jangan sedang pergi keluyuran! tua bangka geblek! Masih
suka jual tampang!” kata Hantu Penjunjung Ron lagi. Dia luruskan tubuhnya yang
bungkuk, lalu berteriak.
“Luhmasigi!
Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau! Dimana kau?! Kalau ada di sini jangan
sembunyi! Apa kau sedang berak atau bagaimana?! Hik…hik!”
Luhcinta
tutup mulutnya dengan tangan untuk menahan semburan tawa mendengar teriakan si
nenek tadi. Suara teriakan keras itu mengejutkan ratusan katak. Banyak diantara
mereka berlompatan dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Sampai suara gaung
teriakan Hantu Penjunjung Roh lenyap tak ada suara jawaban.
“Sialan!
Aku tahu dia ada di sini! Aku tahu dia mempermainkan aku!” kata Hantu
Penjunjung Roh. Asap merah berbentuk kerucut di atas kepalanya bergoyang-goyang
ke kiri dan ke kanan. Sesekali naik ke atas lalu turun lagi. Dua matanya yang
juga berbentuk kerucut lancip sejak tadi bergerak terus tak bisa diam.
“Luhmasigi! Kalau kau tidak mau muncul, akan kupanggang semua katak peliharaanmu
di lembah ini!”
Dua mata
si nenek mendadak keluarkan sinar merah terang menggidikkan. Agaknya dia tidak
main-main. Kalau dua larik sinar merah mengandung hawa panas disemburkannya
maka jika benda mati yang terkena seperti batu, akan hancur lebur. Jika benda
hidup akan mati seolah terpanggang!. Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan.
Tumpukan katak yang ada di tengah sungai kecil kelihatan bergerak. Bangkit
membentuk sosok manusia yang ditempeli ratusan katak hijau. Hanya mata, hidung
dan mulutnya saja yang kelihatan. Inilah dia si Nenek Hantu Lembah
Laekatakhijau yang tubuhnya tertutup oleh katak-katak peliharaannya!
“Muridku
Luhcinta! Wahai! Enam hari lalu kau tinggalkan lembah ini! tahu-tahu kau muncul
kembali di sini! Ada apakah wahai muridku? A pa dunia luar sana tidak kau sukai
atau ada sesuatu yang memaksamu kembali ke sini?!”
Hantu
Penjunjung Roh yang berdiri di sebelah Luhcinta serta merta menjadi jengkel.
“Jelas-jelas aku berada di sini! Tegak di samping muridnya! Masakan dia tidak
melihat?! Si nenek sialan ini benar-benar melecehkan diriku!”
Luhcinta
menjadi bingung untuk menjawab. Dia melirik pada Hantu Penjunjung Roh. Saat itu
sambil melangkah mendekati si gadis, nenek ini berkata. “Orang yang kita cari
tak ada di lembah ini! Mari kita pergi saja. Lain waktu kita kembali lagi!”
Kali ini
Hantu Lembah Laekatakhijau yang merasa dianggap seolah tidak ada di tempat itu.
Tapi tidak seperti Hantu Penjunjung Roh, nenek satu ini tertawa cekikikan. Lalu
berkata.
“Aku
barusan berlangir! Mataku masih tertutup wewangian lulur. Harap maafkan kalau
tidak melihat muridku datang membawa seorang tamu agung! Hik… hik… hik!
Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, sifat dan keadaanmu masih saja tidak
berobah. Masih cepat naik darah lalu bicara ngaco! Puluhan tahun sampai saat
ini kau masih saja menjunjung asap merah itu? Apa yang kau panggang di atas
kepalamu? Daging tidak ikan pun tidak! Hik… hik… hik!”
Tampang
Hantu Penjunjung Roh menjadi kelam membesi. Melihat hal ini Luhcinta segera
mendahului bicara, memberi tahu. “Nek, aku membawa nenek ini ke sini karena ada
sangkut pautnya dengan diriku….”
“Wahai!
Kau cantik, dia jelek! Bagaimana bisa ada sangkut pautnya?!” tukas Hantu Lembah
Laekatakhijau lalu tertawa lagi cekikikan.
“Luhmasigi!
Kau jangan kelewat menghina! Waktu masih sama-sama muda tidak ada lelaki yang
suka padamu! Itu sebabnya kau memilih hidup bersama katak-katak bau itu!”
“Hai!
Jangan menghina binatang peliharaanku! Jika mereka kusuruh menggerogoti dirimu,
dalam tempo sekejapan mata kau bisa berubah jadi jerangkong! Katakan mengapa
kau datang ke sini mengganggu aku sedang berlangir!”
“Puih!
Seribu tahun kau mandi lulur tak bakal kau jadi cantik! Tidak akan kulitmu yang
keriput akan menjadi padat bagus! Dengar Luhmasigi! Aku mau marah padamu!”
“Wahai!
Itulah sifatmu! Selalu marah-marah tak karuan!”
“Dengar!”
bentak Hantu Penjunjung Roh. “Berbilang tahun kau menggembleng seorang anak
menjadi muridmu hingga dia menjadi gadis begini besar! Mengapa kau tidak pernah
memberi tahu padaku?!”
“Wahai!
Apa urusanmu nenek penjunjung ketiding asap!” sahut Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Apa
urusanku?! Enak saja kau bicara! Menurut gadis ini kau menemuinya di satu rimba
belantara. Berada di dalam satu kantong yang terikat di dada seorang perempuan
yang mati gantung diri di atas pohon!”
“Wahai!
Apa sangkut pautnya peristiwa itu dengan dirimu? Apa kau mau tanya bagaimana
caranya mati gantung diri? Hik… hik… hik!”
“Tua
bangka sialan!” maki Hantu Penjunjung Roh. “Coba asah dulu otakmu! Coba kau
ingat-ingat! Waktu kau menemukan mayat tergantung itu, apa kau masih ingat
bagaimana wajahnya?”
“Memangnya
kenapa?!”
“Sialan
kau! Jawab saja pertanyaanku!” bentak Hantu Penjunjung Roh.
“Perempuan
yang mati tergantung itu adalah ibu muridku ini….”
“Itu aku
sudah tahu. Dia sudah cerita padaku! Jawab saja pertanyaanku tadi! Terangkan
ciri-ciri perempuan itu!”
“Orangnya
masih muda….”
“Sialan
kau Luhmasigi! Aku tidak tanya muda atau tua! Aku ingin tahu ciri-ciri
wajahnya. Bentuk rupanya….”
“Wajahnya
cantik…. Seperti muridku ini. Kulitnya putih. Kalau aku tidak salah ada tahi
lalat di dagunya sebelah kiri..,.”
Hantu
Penjunjung Roh tiba-tiba menjerit.
“Sialan!
Kau jangan mengejutkan aku! Berteriak seperti orang kemasukan setan!” Membentak
Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Ada tahi
lalat di dagu kirinya katamu!”
“Kau
tidak tuli! Itu yang aku katakan tadi. Ada tahi lalat di dagu kirinya!” kata
Hantu Lembah Laekatakhijau.
Hantu
Penjunjung Roh kembali menjerit. Dia melompat ke hadapan Luhcinta dan memeluk
gadis itu seraya menggerung. “Jangan-jangan kau ini…. Wahai! Aku tidak
bersangsi! Pasti! Pasti kau adalah anaknya! Kau adalah anak Luhpiranti,
perempuan muda yang mati bunuh diri itu! Wajahmu sama dengan wajahnya. Tidak
beda sedikitpun! Wahai anak! Kau… kau adalah cucuku!”
Luhcinta
merasa seperti mendengar suara halilintar yang mengejutkan. “Nek, kau pasti
akan apa yang kau ucapkan barusan? Yakin?”
“Aku
pasti! Aku yakin sejuta yakin! Kau adalah puteri anakku Luhpiranti!”
Hantu
Lembah Laekatakhijau melangkah keluar dari dalam sungai. “Luhcinta…. Apakah kau
masih menyimpan benda yang kutemukan dalam kantong gendongan itu?”
“Saya
masih menyimpannya Nek,” jawab Luhcinta.
“Keluarkan
dan perlihatkan padanya….”
Dengan
tangan gemetar Luhcinta keluarkan batu merah yang diukir berbentuk bunga mawar
lalu diperlihatkannya pada Hantu Penjunjung Roh. Untuk kesekian kalinya si
nenek terpekik lalu jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya bergeletar. Asap berbentuk
kerucut terbalik yang ada di atas kepalanya mengepul , tinggi lalu turun lagi.
Matanya yang merah dan juga berbentuk kerucut membesar aneh.
Luhmasigi
alias Hantu Lembah Laekatakhijau mendongak ke langit. Sepasang matanya tampak
berkaca-kaca. Dengan suara tersendat dia menjelaskan. “Hiasan kepala berbentuk
mawar merah terbuat dari batu itu kutemukan dalam kantong gendonganmu, wahai
Luhcinta. Tergantung di dada perempuan yang menggantung diri itu….”
Luhniknik
alias Hantu Penjunjung Roh menggerung keras. “Ukiran bunga mawar batu merah itu
dulunya adalah milikku. Ketika anakku Luhpiranti menginjak dewasa, hiasan
rambut itu kuberikan padanya. Benda hiasan seperti itu cuma ada satu di Negeri
Latanahsilam. Wahai Luhcinta. Kau… kau adalah cucuku sendiri. Luhpiranti adalah
anak sekaligus muridku. Luhpiranti itu ibumu…”
Luhcinta
menangis keras. Lalu peluk tubuh si nenek kuat-kuat. Di tepi sungai kecil Hantu
Lembah Laekatakhijau jatuh berlutut. Memperhatikan dua orang yang berpelukan
dan bertangisan di depannya dengan seribu rasa.
Luhcinta
usap air mata yang membasahi pipinya kiri kanan.
“Wahai
Nenek Luhniknik, aku…. Walau akan hancur rasanya hati ini, apakah kau
mengetahui riwayat duka mengapa sampai ibuku meninggal mengenaskan begitu rupa?
Apia dia benar-benar bunuh diri atau ada orang jahat yang membunuhnya?”
“Hantu
Penjunjung Roh,” Hantu Lembah Laekatakhijau keluarkan ucapan. “Aku juga buta
dengan latar belakang kematian perempuan yang katamu bernama Luhpiranti itu.
Wahai Luhniknik, jika kau memang mengetahui riwayat hi tarn atau putihnya harap
kau suka menuturkan pada kami berdua….”
Hantu
Penjunjung Roh usap mukanya berulang kali.
“Cucuku
Luhcinta, aku memang tahu rahasia riwayat kematian ibumu. Tetapi apakah kau
bisa tabah mendengarnya jika aku memberi tahu?”
“Saya
akan tabah Nek. Ceritakan padaku semuanya…” jawab Luhcinta.
“Karena
jika kau tidak tabah, tidak sanggup menerima kenyataan aku khawatir kau akan
hancur dalam duka berkepanjangan atau dendam kesumat hebat mengerikan!”
“Nek,
apapun nanti yang akan terjadi harap jangan jadikan alasan untuk tidak
menceritakan apa yang kau ketahui. Betapapun juga itu adalah rahasia diriku.
Apakah kau tega melihat diriku yang seolah sebatang kara ini tenggelam terus
dalam kegelapan seumur-umur?”
Luhniknik
alias Hantu Penjunjung Roh memandang pada Nenek Lembah Laekatakhijau. Guru yang
memelihara dan menggembleng Luhcinta sejak kecil ini anggukkan kepala.
“Ceritakan semuanya pada Luhcinta. Jangan ada yang disembunyikan.
Bertahun-tahun aku menggembleng dan menempanya sehingga menjadi seorang gadis
kokoh jasmani maupun rohani. Muridku akan sanggup menerima kenyataan betapapun
pahitnya….”
Si nenek
berjuluk Hantu Penjunjung Roh menghela nafas dalam lalu anggukkan kepala.
“Baiklah, akan kuceritakan semuanya….”
*******************
SEPULUH
Dua mata
si nenek bernama Luhniknik yang berbentuk kerucut aneh itu melesak masuk ke dalam.
Kelopak mata menutup. Beberapa saat lamanya dia kelihatan duduk tak bergerak
dengan mata terpejam. Sepertinya tengah berusaha. memusatkan pikiran, mungkin
juga berusaha menguatkan hati.
Tak lama
kemudian bersamaan dengan terbukanya dua mata itu meluncurlah kata demi kata
dari mulut si nenek.
“Waktu
itu hujan turun cukup lebat. Namun anehnya di langit kelihatan matahari
bersinar terang. Selagi aku berusaha menepekuri keanehan itu tiba-tiba muncul
Luhpiranti, ibumu. Dia tampak gagah. Datang dengan menunggang seekor capung
raksasa. Ini adalah aneh. Aku bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan
tunggangan aneh itu. Ibumu memang telah berbuat kesalahan. Meninggalkan tempat
kediaman lebih lama dari yang sudah kutentukan. Mungkin aku masih bisa memberi
maaf. Namun ketika dia turun dari tunggangannya dan aku melihat keadaan sosok
tubuhnya, rasanya tubuhku dipanggang. Darahku tersirap, nyawa seolah melayang
ke langit ke tujuh. Bagaimana tidak! Kulihat ibumu dalam keadaan hamil! Aku
marah besar dan langsung mendampratnya….”
*******************
“Hebat!”
Sungguh luar biasa! Wahai Luhpiranti! Aku memberi kesempatan enam purnama
padamu wahai anakku, untuk mencari pengalaman di dunia luar. Ternyata delapan
belas purnama kau menghilang tinggalkan tempat kediaman kita tanpa kabar tanpa
berita! Mengembara boleh saja tapi jangan mengembara seperti orang gila. Tak
ingat pulang tak ingat rumah! Dan kini sekalinya kau pulang kulihat perutmu
besar! Kau hamil wahai Luhpiranti! Kau mengandung!” Sepasang mata berbentuk
kerucut merah nenek berjuluk Hantu Penjunjung Roh itu mencuat keluar. pari
kepalanya yang ada asap berbentuk kerucut terbalik mengepul asap merah. Dengan
suara bergetar Hantu Penjunjung Roh lanjutkan ucapannya.
“Luhpiranti,
dirimu yang hamil apakah karena memang kau telah bersuami atau akibat
terperosok ke dalam jurang nafsu hinamu sendiri atau ada lelaki yang menodai
dirimu? Lekas berucap! Katakan padaku!”
Luhpiranti
jatuhkan diri. Karena perutnya yang besar dia tak bisa bersila, dia hanya
berlutut saja di hadapan sang guru. Wajahnya yang cantik kelihatan merah dan
sepasang matanya mulai berkaca-kaca.
“Wahai
Bunda, saya sadar telah membuat banyak kesalahan besar. Saya tak tahu apakah
harus memohon maaf lebih dulu atau meminta padamu untuk segera menjatuhkan
hukuman! Apapun yang akan kau lakukan terhadap saya akan saya terima dengan
sepuluh jari tersusun di atas kepala….” Lalu gadis hamil bernama Luhpiranti itu
rapatkan dua telapak tangan di atas kepala.
Saat itu
ingin sekali Hantu Penjunjung Roh menjenggut rambut muridnya. Namun melihat
keadaan Luhpiranti yang hamil besar dia masih bisa menahan luapan amarah dan
hanya membentak saja. “Lekas katakan apa yang terjadi Luhpiranti! Jangan kau
membuat kesabaranku hilang!”
“Bunda,
sewaktu masa enam purnama yang kau berikan berakhir, saya memang dalam
perjalanan pulang. Namun di tengah jalan muncul satu halangan besar. Seorang
yang rupanya telah lama menguntit saya unjukkan diri secara terang-terangan.
Ternyata dia adalah seorang pemuda berwajah cakap bertubuh kekar. Dia mengaku
bernama Lajundai.”
“Lajundai….
Aku seperti pernah mendengar nama itu. Teruskan dulu ceritamu Luhpiranti…” kata
Hantu Penjunjung Roh.
Sang
murid lanjutkan penuturannya. “Lajundai mengaku memang telah sejak lama
mengikuti saya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Walau saat itu dia
menunjukkan sikap baik namun saya punya firasat pemuda itu membekal niat yang
tidak baik. Saya katakan saya memaafkan perbuatannya dan minta agar dia tidak
mengikutiku lagi. Ketika saya hendak meneruskan perjalanan dia berusaha
menghalangi, Malah mengajak pergi ke satu tempat yang katanya penuh dengan
pemandangan indah. Waktu saya menolak pemuda itu marah. Belangnya tersingkap.
Dia berusaha melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap saya. Peringatan
saya tidak di perdulikannya. Antara kami akhirnya terjadi perkelahian hebat.
Ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Melebihi apa yang
saya miliki. Saya bertahan hampir seratus jurus. Setelah itu saya tidak mampu
lagi menghadapinya. Dalam keadaan tak berdaya Lajundai membawa saya ke satu
tempat lalu….”
*******************
“Dia memperkosamu!” kata Hantu Penjunjung Roh
dengan suara bergetar, muka mengelam dan sepasang mata kerucut melesat keluar
sementara di atas kepalanya yang ada kerucut aneh kepulkan asap merah.
Luhpiranti
menggeleng.
“Anak
yang kau kandung itu adalah anak si jahanam bernama Lajundai itu!” kata Hantu
Penjunjung Roh lagi.
Kembali
Luhpiranti menggeleng. “Maksud keji Lajundai mungkin akan terlaksana,
malapetaka dan aib besar akan menimpa diri saya kalau saja saat itu tidak
muncul secara tiba-tiba seorang pemuda gagah menolong saya. Pemuda itu
menyerang Lajundai. Antara mereka terjadi perkelahian hebat selama belasan
jurus. Rupanya Lajundai kalah ilmu. Dalam keadaan babak belur akhirnya dia
melarikan diri. Saya mengucapkan terima kasih pada pemuda yang menolong.
Mengingat dia telah menanam budi dan sikapnya sangat baik serta tulus, saya
tidak menolak sewaktu dia mengatakan ingin mengantarkan saya kembali ke tempat
kediaman guru. Kami sengaja mengambil jalan pintas agar bisa lekas sampai.
Namun di tengah jalan kami dilanda hujan lebat yang turun terus menerus selama
beberapa hari disertai banjir besar. Kami terpaksa mencari perlindungan di
dalam sebuah goa di puncak bukit. Di tempat itu kami…,” Luhpiranti tersendat
sesaat. Kepalanya tertunduk dan sepasang matanya menatap sayu ke tanah. “Di
dalam goa kami melakukan sesuatu yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang
yang telah menjadi suami istri.
Kami….”
Luhpiranti teteskan air mata tapi cepat diusapnya. “Begitu sadar kalau kami
telah melakukan satu kesalahan dan dosa besar kami berdua menjadi sangat takut.
Walau pemuda itu mengatakan akan bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya dan bersumpah tidak akan meninggalkan saya, namun saya begitu
takut hingga tidak berani meneruskan perjalanan pulang. Lebih-lebih ketika saya
menyadari bahwa akibat hubungan di dalam goa itu ternyata saya, telah
mengandung. Kami memutuskan menemui seorang nenek yang biasanya menjadi ketua
adat pernikahan. Kami meminta bantuan nenek itu untuk menikahkan kami dengan
beberapa orang saksi. Kami kemudian dinikahkan. Sementara itu pemuda yang telah
menjadi suami saya berulang kali membujuk agar saya mau menemui guru….”
“Mengapa
dia tidak membawamu menemui orang tuanya saja?!” memotong Hantu Penjunjung Ron.
“Menurutnya
dia tak punya ayah lagi, ibunya pun dia tidak tahu berada dimana. Entah masih
hidup atau sudah mati,” jawab Luhpiranti. “Setelah berulang kali mendesak dan
membujuk akhirnya saya mau juga mengikuti permintaan suami saya. Datang menemui
Bunda di sini….”
Hantu
Penjunjung Roh menatap anak yang sekaligus muridnya itu beberapa saat lalu
melangkah mondar-mandir. Dari mulutnya tiada henti keluar suara tak jelas
karena hanya gumamnya saja yang kedengaran. Tiba-tiba dia membalik, memandang
kepada anaknya. “Luhpiranti, kau belum mengatakan siapa nama pemuda suamimu
itu!”
“Dia
bernama Latampi wahai Bunda….”
“Siapa?!”
Suara Hantu Penjunjung Roh keras luar biasa membuat Luhpiranti tersentak kaget.
Ketika Luhpiranti angkat kepalanya memandang sang ibu, dia melihat bagaimana
wajah ibunya berubah pucat.
“Suami
saya bernama Latampi, wahai Bunda.”
Kini
Luhpiranti melihat jelas bagaimana tubuh ibunya bergeletar keras dan wajahnya
bertambah pucat. “Luhpiranti, kau datang dengan menunggang seekor capung sakti.
Pasti binatang ini milik suamimu.” Luhpiranti membenarkan.
“Dia
menyuruhmu datang bersama seekor capung! Dia sendiri tidak kemari! Tidak berani
unjukkan muka! Suami macam apa dia wahai Luhpiranti? Pengecut! Tidak punya rasa
tanggung jawab!”
“Bunda,
sebenarnya kami datang berdua. Tapi tak jauh dari sini saya minta dia turun
dari capung dan menunggu. Saya khawatir begitu langsung bertemu, Bunda akan
khilaf melakukan sesuatu padanya….”.
Hantu
Penjunjung Roh pelototkan mata anehnya. “Aku mau marah atau tidak, aku mau
menggebuknya atau tidak itu hakku!” kata Hantu Penjunjung Roh pula. “Sekarang
lekas kau panggil suamimu itu! Aku mau lihat bagaimana tampangnya!”
“Bunda,
kalau kau mau berjanji….”
“Setan
alas! Aku tidak mau berjanji apa-apa! Kalau aku mau menghajar akan aku lakukan!
Siapa yang berani menghalangi? Kau?!”
Walau
bingung akhirnya Luhpiranti melangkah mendekati capung raksasa yang tadi
ditungganginya. “Laecapung, pergilah temui suamiku Latampi. Bawa dia kemari….”
Capung
raksasa putar kepalanya ke kiri dan ke kanan tanda mengerti. Lalu sekali
binatang ini kepakkan sayap-sayapnya, tubuhnya yang raksasa membumbung ke
angkasa. Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh sesaat tegak termangu. Hatinya
berulang kali berkata.
“Nama
bisa saja sama… nama bisa saja sama. Aku berharap… wahai!”
“ Tak
lama menunggu Laecapung muncul kembali membawa penunggang seorang lelaki muda
berwajah gagah. Begitu turun dari capung lelaki ini langsung jatuhkan diri,
berlutut di depan Hantu Penjunjung Roh.
Sepasang
mata kerucut Hantu Penjunjung Roh yang sebenarnya bernama Luhniknik ini
memandang tak berkesip, menatap wajah suami anaknya itu. Dalam hati dia berkata
dengan ada penuh guncangan. “Demi semua Dewa dan semua Peri. Wahai! Mengapa
wajahnya sama benar dengan Lasegara, suami keparat itu….”
“Orang
muda benar kau bernama Latampi?! Benar kau telah menikahi anakku Luhpiranti
walau bunting duluan?!”
Wajah
lelaki muda di hadapan Hantu Penjunjung Roh kelihatan menjadi merah. Tanpa
angkat kepalanya orang ini anggukkan kepala. “Benar wahai Ibunda…. Saya bernama
Latampi dan Luhpiranti adalah istri saya. Saya datang untuk meminta maaf….”
“Jangan
bicara segala maaf dulu! Aku ingin menyelidik perihal dirimu! Siapa nama ibumu?
Dimana dia sekarang?!”
“Maafkan
saya Ibunda. Saya tidak tahu siapa nama ibu saya dan dimana dia berada
sekarang. Ayah tidak pernah mengatakan apa-apa.”
“Lalu
siapa nama ayahmu?” tanya Luhniknik yang saat itu mendadak saja merasa dadanya
sesak.
“Ayah
bernama Lasegara,” jawab Latampi.
Dua kaki
Hantu Penjunjung Roh tersurut dua langkah. Dari tenggorokannya keluar suara
parau. Mata kerucutnya melesat keluar lalu masuk kembali.
Tubuhnya
huyung.
“Bunda,
wajahmu pucat sekali. Apakah kau sakit wahai Bunda?” tanya Luhpiranti sambil
bangkit berdiri dan memegang lengan Luhniknik.
“Aku
tidak apa-apa…” ucap Luhniknik. Suaranya jelas terdengar bergetar. “Latampi,
berdirilah. Putar tubuhmu! Hadapkan punggungmu ke punggungku!” Tiba-tiba
Luhniknik berkata.
Walau
tidak mengerti apa maksud mertuanya itu namun Latampi lakukan apa yang dikatakan.
Luhniknik ulurkan tangannya.
“Breeettt!”
Pakaian
kulit kayu Latampi robek besar di sebelah belakang. Punggungnya tersingkap
lebar. Di punggung itu ada tanda hijau sebesar telapak tangan. Melihat tanda
ini Luhniknik seperti melihat setan kepala sepuluh. Dia menjerit keras sambil
mundur menjauh.
“Bunda….
Ada apa?!” seru Luhpiranti cepat memburu.
“Latampi….
Kau… kau adalah…. Wahai para Dewa! Wahai para Peri! Mengapa hal ini bisa
terjadi!”
“Bunda….”
“Latampi,
kau adalah anakku. Kau adalah darah dagingku! Luhpiranti yang kau jadikan
istrimu ini adalah adik kandungmu….” Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh
keluarkan satu teriakan dahsyat lalu roboh tak sadarkan diri. Luhpiranti dan
Latampi laksana mendengar suara halilintar. Keduanya berteriak pula lalu
menubruk tubuh Luhniknik.
Mendengar
kisah yang dituturkan si nenek, Luhcinta sang cucu langsung meratap keras dan
jatuhkan diri, bersimpuh di kaki neneknya itu. Hantu Penjunjung Roh pejamkan
mata sambil usap-usap kepala cucunya sementara si Nenek Hantu Lembah
Laekatakhijau tegak termangu-mangu dengan mata berkaca-kaca. Ribuan katak yang
ada di lembah seolah mengerti. Kalau tadi mereka mengorek keluarkan suara
hiruk-pikuk, kini semuanya diam tak bergerak tak bersuara hingga hanya ratap
tangis Luhcinta yang terdengar di lembah itu.
“Wahai
Nenek Hantu Penjunjung Roh,…” Luhcinta berucap diantara tangis nya. “Kalau
benar saya ini anak Latampi dan Luhpiranti, lalu anak apa saya ini sebenarnya?
Saya lebih hina dari anak haram….”
Hantu
Penjunjung Roh yang berada dalam keadaan terguncang hebat tak bisa menjawab.
Hantu Lembah Laekatakhijau akhirnya yang bersuara. “Wahai muridku Luhcinta. Di
dunia ini sebenarnya tidak ada yang dinamakan anak haram. Semua itu terjadi
atas kehendak takdir. Jangan kau menganggap dirimu hina. Perjalanan hidup
seseorang sudah ada garisnya. Dirimu sama sucinya dengan air embun yang turun
dari langit….”
“Wahai
dua nenek yang kukasihi. Bagaimana saya mampu hidup menanggung beban berat
begini rupa. Berat gunung mungkin bisa saya pikul. Tapi berat beban batin
mungkin akan menghancurkan diri saya….”
“Luhcinta!
Jangan kau berkata begitu! Kau adalah muridku Hantu Lembah Laekatakhijau.
Berbilang tahun aku menggembleng menjadi manusia yang kokoh jasmani dan rohani.
Apakah kau akan membiarkan dirimu hancur menghadapi baru satu cobaan ini?
Jangan kau membuat aku malu wahai muridku!”
Mendengar
kata-kata gurunya itu Luhcinta jadi tersendat tangisnya. Dadanya menggemuruh.
Jiwanya nuraninya berguncang hebat. Tak tahu apalagi yang hendak dikeluarkannya
dalam ratapannya. Dia mendengar gurunya berkata pada neneknya Hantu Penjunjung
Roh.
“Luhniknik,
ceritamu tadi cukup panjang. Namun belum sampai ke ujung yang memberi tahu
bagaimana kejadian selanjutnya dengan ibu muridku yang bernama Luhpiranti itu.
Bagaimana sampai peristiwa itu bisa terjadi? Bagaimana sampai Luhpiranti tidak
tahu kalau dia punya seorang kakak bernama Latampi….”
“Kau
benar Luhmasigi. Akan kuceritakan pada kalian berdua…” jawab Luhniknik pula.
“Ketika Latampi dan Luhpiranti masih kecil, waktu itu mereka baru berusia
sekitar dua dan satu tahun. Aku dan suamiku Lasegara berpisah. Luhpiranti tetap
bersamaku sedang Latampi dibawa oleh Lasegara. Selama belasan tahun sampai ke
dua anak kami menjadi dewasa, kami maupun anak-anak tak pernah bertemu satu sama
lainnya….”
“Kau tak
pernah mengatakan pada Luhpiranti bahwa dia sebenarnya punya seorang kakak
kandung bernama Latampi…” ujar Nenek Hantu Lembah Katak.
Itulah
dosa dan kesalahanku. Jadi…. Jika dalam peristiwa ini ada yang bersalah maka
akulah orangnya. Dan si jahanam Lasegara itu…” kata Luhniknik.
“Lalu apa
yang kemudian terjadi? Luhpiranti ibu muridku ini hati gantung diri? Kau tidak
tahu…. Tidak berusaha mencegah nya?”
“Ketika
aku sadar dari pingsan, kudapati Luhpiranti dan Latampi tak ada lagi di tempat
itu. Capung sakti juga lenyap. Berarti mereka sudah kabur entah kemana.
Beberapa waktu kemudian aku menyirap kabar tentang adanya mayat perempuan muda
yang mat! tergantung di rimba belantara. Aku tidak begitu menaruh perhatian
karena tidak akan menyangka setelah melahirkan anak Luhpiranti kemudian mati
menggantung diri…. Saat itu waktuku lebih banyak tersita dalam menuntut ilmu
kesaktian. Aku berhasil mendapatkan ilmu aneh dan langka seperti yang kalian
lihat. Di kepalaku ada kerucut asap merah. Aku berhasil mendapatkan ilmu tetapi
aku menelantarkan anak-anakku sendiri…”
“Sudahlah,
kau tak usah terlalu menyalahi dan menyesali diri sendiri Luhniknik. Itu
sebabnya aku tak pernah mau kawin. Kalau laki-laki dan perempuan sudah tahu
nikmatnya bergaul satu sama lain, segala macam urusan aneh bisa muncul dan
membuat diri tak karuan….”
Dua nenek
itu menunggu sampai Luhcinta reda tangisnya. Lalu Luhmasigi alias Nenek Hantu
Lembah Laekatakhijau bertanya. ”Muridku, aku tahu kau pasti bisa tabah
menghadapi kenyataan ini. Yang aku tidak tahu apa yang bakal kau lakukan
sekarang?”
“Wahai,
memang itu juga yang ingin aku ketahui cucuku Luhcinta,” kata Hantu Penjunjung
Roh pula.
Walau
sebenarnya di dalam hatinya sudah ada tekad yang muncul namun setelah agak lama
berdiam diri baru Luhcinta berkata. “Dengan izin guru dan nenek saya akan
mencari jejak dimana beradanya makam ibunda Luhpiranti. Lalu saya akan mencari
Latampi. Dia adalah paman, sekaligus ayah saya. Saya juga akan mencari makhluk
bernama Lajundai itu. Dia pangkal sebab terjadinya peristiwa besar ini….”
“Hemmm….
Kalau aku jadi engkau, aku pasti akan melakukan a pa yang barusan kau katakan
itu,” kata Hantu Lembah Laekatakhijau.
“Cucuku
Luhcinta, kau memang harus mencari makam ibumu sampai dapat. Kau juga harus
mencari ayahmu Latampi. Dalam mencari Lajundai berhati-hatilah. Puluhan tahun
silam aku pernah menyirap kabar bahwa manusia itu tengah berusaha mendapatkan
satu ilmu yang sangat hebat. Kalau saat ini dia masih hidup pasti dia telah
menguasai ilmu itu.”
“Terima
kasih atas nasihat Nenek dan Guru. Kapankah saya boleh meninggalkan tempat
ini?”
“Kau
boleh pergi kapan saja kau suka!” jawab Hantu Penjunjung Roh.
“Kalau
begitu izinkan saya pergi sekarang juga wahai Nenek dan Guru….”
“Doaku
bersamamu wahai cucuku…” ujar Hantu Penjunjung Roh.
“Doaku
juga bersamamu Luhcinta!” kata Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau.
Luhcinta
berlutut dan cium tangan nenek serta gurunya.”
Tak lama
setelah Luhcinta pergi, Hantu Penjunjung Roh berpaling pada Hantu Lembah
Laekatakhijau.
“Luhmasigi,
apa kau cukup memberi bekal ilmu pada cucuku? Kau tahu dunia ini penuh seribu
satu macam mara bahaya dan tipu daya….”
“Kau tak
usah khawatir Luhniknik. Luhcinta adalah murid tunggalku. Semua ilmu yang aku
miliki sudah kuwariskan padanya….”
“Jangan-jangan
kau hanya mengajarkan ilmu tidur dengan katak!” ujar Hantu Penjunjung Roh
sambil menyeringai.
“Wahai
Luhniknik. Ada satu hal ingin aku katakan padamu. Tidur dengan katak lebih
nikmat dari pada tidur dengan laki-laki. Hik… hik… hik!”
“Jadi itu
rupanya sebab kau tidak pernah kawin dengan laki-laki! Hik… hik… hikkkk!”
Dua nenek
itu sama-sama tertawa terkekeh-kekeh.
*******************
SEBELAS
Selama
perjalanan di dalam hutan sampai keluar lagi dari hutan, orang-orang itu tak
banyak bicara. Mereka seolah tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
Lakasipo malah lebih suka menuntun Laekakienam dari pada menunggang kuda
berkaki enam itu.
“Aneh,
aku tak bisa melupakan gadis itu…” bisik Naga Kuning perlahan sekali agar tidak
ada yang mendengar.
Si kakek
Setan Ngompol yang dibisiki pura-pura tolol. “Gadis yang mana? Luhkimkim
maksudmu..?”
“Bukan!
Gadis berbaju biru tadi. Itu…. Yang bernama Luhcinta….”
“Hemmm….
Dia memang cantik sekali. Terus terang aku juga selalu ingat-ingat dirinya,”
kata Setan Ngompol sambil menyeringai.
Apa yang
dibicarakan ke dua orang itu walau berbisik-bisik sebenarnya didengar oleh
Wiro. tapi dia berpura-pura tidak tahu. Malah dia berkata pada Lakasipo.
“Sobatku Hantu Kaki Batu! Sejak tadi kau kulihat berjalan setengah melamun. Apa
yang ada dalam benakmu?! Siapa yang kau pikirkan?!”
“Aku
tidak melamun. Aku tidak memikirkan siapa-siapa!” jawab Lakasipo tetapi mukanya
menjadi merah. Karena sebenarnya saat itu dia memang tengah melamun
mengingat-ingat Luhcinta!
Wiro
usap-usap perut Lakasipo hingga lelaki ini menggeliat kegelian. “Sobatku,
jangan kau menipu diri sendiri. Aku tahu semua kita yang ada di sini termasuk
sobat kita Hantu Jatilandak pasti tengah mengingat membayang-bayang wajah
cantik jelita gadis bernama Luhcinta itu…. Kalian jangan ada yang berpura-pura.
Benar lean?”
Semua
yang ada di situ sama-sama tertawa lebar.
“Dengar,
apa kalian masih mau ketemu dengan gadis itu?”
“Tentu
saja mau! Tapi kita tidak tahu dia pergi kemana!” Yang menjawab Naga Kuning.
“Kalau
dia suka bertemu kita, kalau tidak bagaimana?” tanya Setan Ngompol.
“Kalau
tidak suka paling-paling tidak suka padamu!” kata Naga Kuning pula. Membuat si
kakek merengut marah. ,
“Aku bisa
menduga kira-kira kemana gadis itu perginya!” kata Wiro pula seraya rangkapkan
dua tangan di depan dada.
“Kemana?!”
Beberapa mulut bertanya hampir berbarengan.
Wiro
tersenyum. “Lakasipo, kau tahu rumah perempuan tukang mengawinkan orang di
Negeri Latanahsilam itu? Siapa namanya nenek satu itu?”
“Aku tahu
tempat kediamannya. Namanya Lamahila.,.” menerangkan Lakasipo.
“Gadis
itu pasti menuju ke sana!” kata Wiro pula.
“Bagaimana
kau bisa menduga begitu?” Hantu Jatilandak untuk pertama kalinya bersuara.
“Waktu
dia bertanya padamu tentang apakah ada orang yang bisa memberi petunjuk
kesaksian bahwa Luhpiranti benar-benar istri Latampi, bukankah kau mengatakan
bahwa orang itu adalah Lamahila. Nenek tukang mengawinkan orang di
Latanahsilam! Nah, jelas Luhcinta ingin membuktikan dan mengetahui dari si nenek
langsung. Jelas dia akan mencari Lamahila….”
“Jelas
pula kita akan menemuinya di sana!” sambung Naga Kuning.
“Kau
mungkin benar sobatku Pendekar 212.”
“Bukan
mungkin tapi pasti!” kata murid Sinto Gendeng pula seraya garuk kepala. “Agar
lebih cepat sampai ke sana, sebaiknya kita tunggangi saja kuda kaki enammu. Eh,
apa kita semua bisa naik?”
“Pasti
bisa!” jawab Setan Ngompol. “Tapi sobat kita Hantu Jatilandak apa mungkin duduk
di atas punggung Laekakienam dan kuda itu tidak bakalan luka tertusuk
duri-durinya?!”
“Pasti
bisa!” kata Hantu Jatilandak pula. Lalu dia usap bagian belakang tubuhnya
sampai ke kaki. Serta merta puluhan duri-duri lancip yang menempel di tubuhnya
rebah sama datar dengan kulitnya.
“Hebat
juga kawan kita satu ini,” kata Naga Kuning memuji. Lalu dia berbisik pada
Wiro. “Menurutmu apa duri yang ada di badan Hantu Jatilandak itu tumbuh sampai
ke dalam-dalam…?”
“Dalam-dalam
mana maksudmu Naga Kuning?”
“Maksudku
duri itu juga tumbuh di bagian anunya….”
“Kalau
itu kau tanya saja langsung kepadanya. Atau minta Lakasipo agar kau diceploskan
ke balik celananya!” jawab Wiro sambil menyeringai.
“Walah!
Bisa jadi saringan tubuhku!” kata Naga Kuning pula.
*******************
Dugaan
Wiro Sableng tidak meleset. Ternyata Luhcinta memang pergi ke Latanahsilam
mencari rumah kediaman nenek bernama Lamahila itu. Walau gadis ini memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sanggup membuat dia berlari sangat cepat namun
Latanahsilam cukup jauh. Paling cepat menjelang malam baru dia akan sampai.
Sepanjang
perjalanan dia mengingat-ingat semua pengalaman dan kejadian yang dialaminya
sejak dia meninggalkan lembah tempat kediaman gurunya sampai dia ditolong oleh
Hantu Penjunjung Roh yang ternyata adalah neneknya sendiri. Kemudian gadis ini
teringat pada Lakasipo dan tiga kawannya.
“Tiga manusia
kerdil itu. Entah mengapa aku selalu saja ingat pada yang satu. Pemuda kerdil
konyol bernama Wiro itu. Kalau selesai urusanku di Latanahsilam dan aku tahu
pasti bahwa aku ini anak yang dilahirkan Luhpiranti dan ayahku memang lelaki
bernama Latampi, aku akan berusaha menemui Hantu Raja Obat. Mudah-mudahan saja
dia bisa menolong membesarkan tiga orang kerdil itu.”
Tepat
ketika sang surya menggelincir ke ufuk tenggelamnya Luhcinta dengan diantar
oleh seorang anak kecil sampai di depan pintu rumah kediaman Lamahila. Setelah
mengucapkan terima kasih gadis ini memperhatikan keadaan rumah kayu di tengah
kawasan peladangan itu. Pohon-pohon besar tumbuh di beberapa tempat.
Bayang-bayangnya membuat keadaan di depan rumah menjadi gelap. Luhcinta
mengetuk pintu seraya berseru.
“Nenek
Lamahila, apakah kau ada di dalam?!”
Tak ada
jawaban.
Luhcinta
mengetuk kencang dan memanggil lebih keras. ”Siapa di luar?” Tiba-tiba
terdengar suara orang di dalam rumah.
“Saya
Luhcinta. Datang dari jauh untuk satu keperluan!”
“Apa kau
hendak minta dikawinkan?!” Orang di dalam rumah bertanya.
Luhcinta
tersenyum. “Aku datang untuk urusan lain. Ada satu hal yang ingin kutanyakan!”
“Kalau
begitu masuklah wahai tamu dari jauh. Pintu tidak dikunci!”
Luhcinta
mendorong daun pintu yang serta merta mengeluarkan suara berkereketan begitu
terbuka. Masuk ke dalam rumah gadis ini dapatkan keadaan agak gelap. tak ada
lampu minyak atau obor. Dia tegak sesaat untuk membiasakan penglihatannya.
Bagian dalam dari rumah yang cukup besar itu hanya merupakan satu ruangan
terbuka. Di sudut kanan dekat sebuah tempayan besar ada satu bangku terbuat
dari kayu. Di atas bangku inilah Luhcinta melihat sesosok tubuh duduk
terbungkuk-bungkuk membelakanginya.
“Nenek
Lamahila…” tegur Luhcinta,
Yang
disapa keluarkan suara bergumam lalu batuk-batuk. Luhcinta melangkah mendekati
sosok yang duduk. ternyata orang ini mengenakan sehelai kerudung kulit kayu
hingga hampir seluruh wajahnya tertutup. Apalagi di dalam rumah keadaannya
gelap hingga dia tidak dapat melihat jelas wajah si nenek.
“Nenek
Lamahila, maafkan kalau saya mengganggu dirimu. Agaknya kau dalam keadaan
kurang sehat. Dengar, saya tidak akan lama. Saya….”
Luhcinta
hentikan ucapannya ketika tiba-tiba si nenek keluarkan suara tawa mengekeh lalu
singkapkan kerudung yang menutupi wajahnya!
Terkejutlah
gadis ini begitu melihat kepala dan wajah yang tersingkap itu. Dia tidak
melihat wajah seorang nenek tapi satu kepala berbentuk kepala macan tutul!
“Hantu
Seratus Tutul!” seru Luhcinta dan cepat melompat mundur.
Suara
kekehan sosok di atas bangku kayu berganti dengan suara seperti macan
menggereng. Makhluk ini memang bukan lain adalah Hantu Seratus Tutul yang
sebelumnya telah melarikan diri dari rimba belantara setelah dikeroyok oleh
Lakasipo, Hantu Jatilandak dan Luhcinta. Karena dia mendengar percakapan
Lakasipo dengan Luhcinta, seperti Wiro Hantu Seratus Tutul ini bisa menduga
bahwa cepat atau lambat Luhcinta akan mencari nenek bernama Lamahila itu. Maka
Hantu Seratus Tutul mendahului mendatangi tempat kediaman si nenek. Pada saat
mana nenek Lamahila tidak berada di rumah.
“Waktu di
hutan kalian mengeroyokku. Sekarang kita berhadapan satu lawan satu wahai gadis
bernama Luhcinta. Kalau kau turuti apa mauku kau tidak akan ku apa-apakan! Tapi
jika kau melawan nasibmu lebih jelek. Kau akan kubunuh sampai aku merasa puas!
Wahai Luhcinta, mengapa kita tidak berbaik-baik dan berbuat cinta? Kau datang
kemari, bukankah sengaja mencariku?”
Luhcinta
tersenyum.
“Wahai
Hantu Seratus Tutul! Kekejian rupanya masih ada dalam benakmu. Nafsu kotor
masih mengalir dalam darahmu! Aku kemari bukan mencarimu. Tetapi mencari nenek
Lamahila….”
“Orang
yang kau cari tidak ada di rumah. Dia tidak akan kembali sampai besok pagi. Kau
boleh menunggu. Lalu sambil menunggu bukankah kita lebih baik bersenang-senang?
Di sudut sana ada sebuah ranjang. Walau terbuat dari kayu tapi alasnya jerami
kering yang lembut….”
“Kalau
pemilik rumah tidak ada, aku terpaksa pergi dulu. Kau boleh tinggal di sini.
Seorang diri…!” Luhcinta kemudian balikkan tubuh, melangkah ke pintu. Tapi
cepat sekali kakek yang tubuhnya berbentuk macan Tutul itu menghadang
langkahnya.
“Jangan
membuat kesabaranku hilang wahai gadis cantik. Lekas tanggalkan pakaianmu…!”
“Wahai!
Kau rupanya sudah terlalu jauh dirasuk nafsu keji dan kotor. Aku minta jalan….”
“Aku
minta tubuhmu!” jawab Hantu Seratus Tutul. Lalu dia menyergap.
Luhcinta
segera dorongkan dua telapak tangannya. Gerakannya perlahan dan lembut. “Macan
jejadian, hari sudah malam. Tidurlah….” Dua larik angin sangat sejuk berhembus
menerpa Hantu Seratus Tutul. Orang ini terkejut besar ketika merasakan
tiba-tiba tubuhnya terdorong dan matanya menjadi berat. Rasa kantuk yang amat
sangat menyerangnya. Perlahan-lahan tubuhnya huyung ke tanah.
“Celaka!
Apa yang terjadi dengan diriku!” Hantu Seratus Tutul cepat sadarkan diri. Dia
segera kerahkan tenaga dalam menolak kekuatan yang laksana mau menyirap tidur
dirinya. Dari mulutnya melesat auman dahsyat yang membuat rumah kayu itu
berderik-derik. Bersamaan dengan itu sosok tubuhnya berubah menjadi lima. Lima
manusia berbentuk macan Tutul ini kemudian secara berbarengan menyerbu
Luhcinta. Dua tangan keluarkan kuku-kuku hitam panjang. Membeset ganas ke arah
wajah dan badan Luhcinta.
“Wahai
Hantu Seratus Tutul, jika kau inginkan aku mengapa kau dan empat macan hendak
melukai diriku!” Berseru Luhcinta. Tangan kirinya didorongkan ke depan. Tangan
kanan membuat gerakan mengayun dari bawah ke atas sementara dua kaki borings
dengan tumid menjejak tanah.
Empat
rangkul angin sejuk menyambar ke depan. “Jika kesejukan tidak mendatangkan
kesabaran maka berubahlah menjadi hawa panas!”
“Wusss…
wusss!”
Dua larik
angin yang datang dari bawah serta merta menjadi panas luar biasa. Dua ekor
macan tutul yang mendapat serangan menggereng keras lalu melompat. Yang satu
sempat cidera karena sambaran angin panas. Daun telinganya sebelah kiri dan
bulu-bulu kepala sekitar tengkuk kelihatan hangus mengepulkan asap! Makhluk ini
meraung keras: Tanpa perdulikan rasa sakit dia kembali menyerbu Luhcinta
bersama empat kawannya.
Murid
nenek dari Lembah Laekatakhijau ini menghadapi semua serangan dengan tenang.
Dua tangan dan dua kakinya bergerak tiada henti. Dia seperti seorang penari di
atas panggung. Meliak-liuk lembut dan sesekali tiba-tiba menempelak lawan
dengan pukulan yang sangat keras. Seekor lagi dari lima macan tutul itu cidera,
hidungnya hancur.
Meski dua
teman mereka sudah terluka namun tiga lainnya masih terus menyerbu. Malah
bertambah beringas dan ganas. Luhcinta yang berkepandaian tinggi namun boleh
dikatakan tidak punya pengalaman sama sekali lambat laun menjadi terdesak juga.
Ketika gadis ini bersiap-siap hendak mengeluarkan ilmu kesaktian yang disebut
“Tangan Dewa Merajam Bumi” yang sanggup membuat para penyerang terbanting ke
tanah dan lumpuh, tiba-tiba Hantu Seratus Tutul keluarkan suitan keras.
Bersamaan dengan itu dia melesat ke depan seolah terbang. Empat sosok macan
lainnya berguling lantai rumah.
“Seettttt!”
“Dess…
desss… dess… dess!”
Luhcinta
terpekik. Tubuhnya terjatuh ke tanah. Sebelum dia sempat menghantam tubuhnya
telah jatuh tertelentang di lantai rumah. Dua tangan dan kakinya berada di
dalam cekalan empat macan jejadian hingga sulit baginya untuk melepaskan diri.
Kuku-kuku macan itu mencekam demikian rupa. Kalau dia bergerak sedikit saja maka
akan lukalah keempat anggota badannya.
Hantu
Seratus Tutul tertawa bergelak. “Luhcinta gadis cantik tapi keras kepala!
Apakah kau sudah siap untuk bercinta? Ha… ha… ha…?” Kakek bermuka dan bertubuh
macan ini berjongkok di samping si gadis. Sepasang matanya berkilat-kilat.
Lidahnya diulur berulang kali menjilati bibirnya. Tangannya bergerak ke dada
Luhcinta. Sebelum dia berhasil menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba terdengar
satu auman dahsyat. Membuat Hantu Seratus Tutul terlonjak lalu jatuh terduduk di
lantai. Sementara empat macan lainnya dongakkan kepala dan mengaum keras. Empat
buntut mereka bergerak liar kian kemari. Sepasang mata mereka kemudian
memandang besar ke dinding rumah sebelah kanan yang tiba-tiba jebol. Dari
jebolan dinding tiba-tiba menyeruak muncul satu kepala harimau besar berbulu
putih bermata hijau!”
*******************
DUA BELAS
Ketika
harimau putih melangkah ke arahnya Hantu Seratus Tutul berteriak pada empat
macan tutul jejadian agar segera menyerang. Empat macan tutul mengaum keras
lalu melompat menyergap harimau putih. Begitu mendapat serangan, harimau putih
tundukkan kepala. Dari sepasang matanya melesat dua larik sinar hijau. Dua
macan tutul sebelah depan terpental melabrak dinding rumah. Dibarengi auman
keras tubuh dua binatang ini berubah menjadi asap dan akhirnya lenyap. Melihat
kejadian itu dua kawan mereka segera putar tubuh siap untuk larikan diri.
Kembali dua larik sinar hijau membeset. Seperti tadi dua macan tutul terpental
jauh, meraung keras lalu berubah jadi asap!
Bulu
tengkuk Hantu Seratus Tutul merinding dingin. Sekujur tubuhhya gemetar seperti
diguyur air es .
“Harimau
putih bermata hijau! Kau kesasar ke tempat yang salah! Lekas tinggalkan tempat
ini kalau tidak mau kubunuh!”
Harimau
putih tanpa perdulikan ancaman itu mengaum dahsyat lalu melompat menyerang
Hantu Seratus Tutul.
“Jangan
bunuh orang itu!” Satu suara perempuan berteriak. Ternyata Luhcinta. Gadis ini
walaupun dirinya tadi hendak dinodai Hantu Seratus Tutul namun dalam keadaan
seperti itu masih bisa timbul rasa kasihannya. Saat itu tubuh Hantu Seratus
Tutul sudah ada dalam gigitan harimau putih. Sekali binatang ini mengatupkan
rahangnya amblaslah tubuh kakek bermuka macan itu. Nyawanya tidak tertolong
lagi. Namun teriakan Luhcinta tadi membuat harimau putih menahan gerakan
mulutnya. Sesaat dia menatap si gadis. Lalu kepalanya diputar ke arah dinding
rumah yang jebol. Binatang ini tak bergerak seolah menunggu seseorang.
Dari luar
rumah terdengar suara teriakan. “Datuk Rao Bamato Hijau! Kau dengar ucapan
gadis itu. Sampai jelas apa maksudnya jangan bunuh orang dalam gigitanmu!”
“Duukkk…
duukkkk… dukkkk.” Tanah terasa bergetar. Seolah ada raksasa yang melangkah di
luar sana. Sesaat kemudian masuklah Hantu Kaki Batu ke dalam rumah. Diiringi
Hantu Jatilandak. Di balik sabuk yang melintang di pinggang Hantu Kaki Batu
tiga sosok kecil yaitu Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol bersiap-siap
melompat turun.
Luhcinta
kerenyitkan kening lalu mengulas senyum di bibir. “Wahai, salah satu dari
mereka pasti telah menolong diriku. Harimau besar bermata hijau ini agaknya
yang bernama Datuk Rao Bamato Hijau,” katanya dalam hati. Dia sama sekali tidak
menduga kalau yang jadi tuan penolongnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Datuk Rao
Bamato Hijau menggereng lalu campakkan sosok Hantu Seratus Tutul yang saat itu
telah berubah kembali wujudnya menjadi seorang kakek-kakek. Beberapa bagian
tubuhnya tampak luka mengucurkan darah akibat gigitan harimau putih. Ketika
melihat siapa-siapa yang datang dia jadi bertanya-tanya mengapa ada diantara
orang-orang itu mengeluarkan perintah agar dia tidak dibunuh. “Berarti salah
satu diantara mereka adalah orang sakti dan memiliki harimau putih itu…” pikir
Hantu Seratus Tutul.
“Wahai
Luhcinta, kami tidak mengerti mengapa kau inginkan orang yang hendak melakukan
perbuatan terkutuk atas dirimu dibiarkan hidup! Yang bicara adalah Lakasipo
alias Hantu Kaki Batu.
Luhcinta
cepat menjawab. “Membunuh orang yang tidak berdaya itu semudah membalikkan
telapak tangan wahai sahabatku Lakasipo. Tetapi apakah kau tidak tahu bahwa
kematian tidak selamanya jalan keluar dari satu persoalan? Kekuatan kasih jika
dipergunakan mungkin lebih menguntungkan dari pada pembunuhan….”
Walau
tidak memahami akan ucapan si gadis namun Lakasipo jadi terdiam. Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya. “Tidak mengerti aku sifat gadis cantik ini. Sudah dua
kali orang hendak mencelakainya. Masih saja dia unjukkan sikap sabar. Setiap
ucapan dan tindakannya berdasarkan kasih. Tidak percuma dia bernama Luhcinta!”
Semua
orang tak ada yang bicara. Mereka seolah menunggu dan ingin melihat apa yang
hendak dilakukan Luhcinta. Gadis ini melangkah melewati Hantu Jatilandak, Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol. Di hadapan Lakasipo dia berhenti sebentar dan
berkata. “Aku tidak mau orang itu dibunuh karena aku ingin mengorek keterangan
lebih dulu darinya. Apa artinya kematian tak berguna dibanding keterangan
penting yang bisa kudapat….”
Lakasipo
hanya anggukkan kepala. Wiro garuk-garuk kepala dan melirik pada Naga Kuning
serta Setan Ngompol. Sebelum melangkah mendekati Hantu Seratus Tutul yang
sampai saat ini masih tergelimpang di lantai rumah, Luhcinta lebih dulu
mendatangi Datuk Rao Bamato Hijau. Tanpa rasa takut diusapnya tengkuk binatang
itu seraya berkata. “Wahai Datuk Rao Bamato Hijau. Aku Luhcinta mengucapkan
terima kasih atas pertolonganmu tadi….”
Datuk Rao
Bamato Hijau seolah senang mendengar kata-kata itu lalu menjilat-jilat lengan
si gadis. Luhcinta kemudian dekati Hantu Seratus Tutul. (Mengenai harimau sakti
bernama Datuk Rao Bamato Hijau harap baca serial Wiro Sableng Wasiat Iblis
terdiri dari 8 Episode).
“Orang
tua, ini saat yang tepat kau harus menceritakan padaku siapa adanya Lajundai.
Siapa penguasa Istana Kebahagiaan itu dan aku merasa kau sebenarnya adalah kaki
tangan seseorang….”
“Aku
punya pendapat yang sama!” Tiba-tiba Hantu Jatilandak ikut bicara. “Kau hendak
membunuh dan menguliti tubuhku! Siapa yang menyuruhmu….”
“Tidak
ada! Tidak ada yang menyuruhku…!” kata Hantu Seratus Tutul.
“Wahai,
jika kau tidak mau bicara mungkin sekali ini aku sendiri yang akan meminta
harimau sakti ini untuk membunuhmu!” kata Luhcinta. Waktu bicara suaranya tetap
lembut bahkan disertai ulasan senyum di bibirnya.
“Gadis
cantik….” Siapapun kau adanya aku Hantu Seratus Tutul tidak berdusta..,.”
Luhcinta
kembali tersenyum. “Kek, apakah kau masih ingin mengajakku ke Istana
Kebahagiaan? Bukankah penguasa istana itu yang menjadi majikanmu?” Sebenarnya
Luhcinta hanya menduga-duga dan memancing saja. Namun ucapannya itu ternyata
membuat berubah paras Hantu Seratus Tutul. Namun orang ini masih saja
mengancing mulutnya.
“Aku juga
tahu, kau tahu banyak tentang manusia bernama Lajundai. Hatiku sedih kalau kau
tidak mau bicara….” Luhcinta berpaling pada Datuk Rao Bamato Hijau. “Harimau
sakti Datuk Bamato Hijau. Aku tak dapat menolong kakek itu lagi. Terserah kau
mau berbuat apa terhadapnya!”
“Datuk
Rao sahabatku! Kau telah mendengar ucapan gadis itu. Tunggu apalagi?!” Satu
suara kecil berteriak. Luhcinta berpaling. Gadis ini terkejut ketika mengetahui
yang barusan bicara adalah Wiro, salah satu dari tiga orang bersosok setinggi
lutut itu.
Datuk Rao
mengaum keras. Dua larik sinar hijau memancar dari kedua matanya. Ketika
binatang ini melangkah ke arahnya, putuslah nyali si kakek.
“Jangan!
Tahan!” Si kakek berteriak. . “Ah, kau akhirnya mau bicara juga…” kata Luhcinta
sambil tersenyum. “Bicaralah. Tak perlu takut….”
“Memang…
memang ada yang menyuruhku. Tapi bukan membunuhmu wahai gadis bernama Luhcinta.
Aku hanya ditugaskan membunuh Hantu Jatilandak. Juga lelaki berkaki batu itu
beserta tiga temannya manusia-manusia kerdil itu! Tapi aku tidak diperintahkan
membunuhmu. Aku hanya kebetulan bertemu dengan kau di tengah jalan. Terhadapmu
aku hanya hendak melampiaskan….”
“Hantu
Seratus Kutul!” berteriak Wiro.
“Namaku
Hantu Seratus Tutul. Bukan Kutul!”
“Persetan
Tutul atau Kutul!” bentak murid Sinto Gendeng. “Katakan siapa yang menugaskanmu
membunuh kami-kami ini semua?!”
Hantu
Seratus Tutul terdiam. Matanya memandang melotot pada Wiro. Murid Sinto Gendeng
berpaling pada harimau putih. “Datuk Rao! Bunuh manusia tidak berguna itu!”
Harimau
putih mengaum keras. Dua matanya pancarkan sinar hijau angker. Hantu Seratus
Tutul jadi leleh nyalinya. Dia angkat kedua tangannya dan jatuhkan diri
berlutut di hadapan Wiro yang tingginya kini sepinggangnya.
“Jangan
suruh binatang itu membunuhku! Jangan…. Aku akan bicara. Aku akan katakan
semua….”
Wiro
angkat tangan, member] tanda pada Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti ini
rundukkan kepala dan hentikan langkah.
“Yang
memerintah aku membunuh gadis itu, juga semua kalian adalah…”
Belum
sempat Hantu Seratus Tutul mengucapkan nama tiba-tiba berkiblat selarik sinar
merah disertai deru angin laksana sambaran puting beliung. Semua orang berseru
kaget dan berlompatan jauhkan diri. Hantu Seratus Tutul hanya keluarkan jeritan
pendek. Lalu “wuuussss!”
Pendekar
212 berseru kaget ketika melihat sinar merah itu menghantam ke jurusan tempat
dia dan Hantu Seratus Tutul berada. Sambil melompat selamatkan diri Wiro
pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar putih perak menyilaukan mata menderu ke
depan, berusaha menangkis hantaman cahaya merah! : “Dessss!”…”-
Wiro
terguling di tanah. Dia cepat bangkit. Dadanya sesaat mendenyut sakit. Tangan
kanannya seperti kesemutan. Walau tengkuknya agak dingin karena sangat tegang
dan lututnya goyah namun dia gembira melihat kenyataan. Dalam keadaan tubuh
yang tidak sebanding dia masih mampu melepaskan pukulan Sinar Matahari dan
sanggup mendorong sinar merah hingga dirinya selamat. Tapi apakah memang dia
yang hendak dihantam oleh pembokong gelap itu? Wiro memandang berkeliling. Dia tidak
melihat Hantu Seratus Tutul.
Ketika
semua orang memandang ke tengah rumah, termasuk Wiro, mereka jadi merinding.
Sosok Hantu Seratus Tutul hanya tinggal tulang belulang. Kulit dan daging
tubuhnya terkelupas mengerikan!
“Pukulan
Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi!” seru Lakasipo yang mengenali
pukulan yang telah menamatkan riwayat Hantu Seratus Tutul.
“Pukulan
itu hanya dimiliki Hantu Muka Dual” berucap Pendekar 212. “Berarti dia barusan
ada di sini. Membunuh si kakek karena tidak mau rahasianya terbuka….”
“Tunggu
dulu. Menduga boleh saja. Tapi bersikap penuh selidik harus diutamakan,”
Luhcinta ikut bicara. “Mungkin juga bukan kakek ini yang jadi sasaran. Tapi
salah satu dari kita…” berkata Luhcinta. “Atau mungkin penyerang gelap memang
inginkan nyawa si kakek, tapi sekaligus juga mengincar nyawa sahabatku bernama
Wiro Sableng itu!”
Sesaat
semua orang jadi terdiam. Wiro garuk-garuk kepala berulang kali.
“Sebaiknya
kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat,” kata Setan Ngompol sambil pegangi
bagian bawah perutnya yang sudah basah kuyup oleh kucuran air kencing.
“Tunggu,
kita perlu bicara. Mencari kejelasan siapa kira-kira orang di belakang layar
yang mengatur perintah atas diri Hantu Seratus Tutul,” kata Lakasipo.
“Juga
mencari tahu siapa si pembokong sialan tadi!” kata Naga Kuning.
“Aku
tetap berbesar duga si pembokong adalah Hantu Muka Dua,” berkata Lakasipo.
“Antara
Hantu Seratus Tutul dan Hantu Muka Dua ada kesamaan ilmu yang mampu mengelupas
atau menguliti tubuh manusia. Hanya bedanya kakek bermuka macan ini
mengandalkan dua pisau kecil berbentuk arit sedang Hantu Muka Dua pukulan sakti
bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Lalu si pembunuh Hantu
Seratus Tutul pasti sekali Hantu Muka Dua. Hanya dia yang memiliki kesaktian
yang mengerikan itu. Jelas karena Hantu Muka Dua tidak mau rahasianya
tersingkap. Tapi dibalik semua itu kurasa ada hal lain yang hendak
disembunyikan Hantu Muka Dua. Yang saat ini sulit kuduga apa adanya. Dia
membunuh Hantu Seratus Tutul dengan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk
Kerak Bumi. Berarti dia membiarkan atau sengaja memberi tahu bahwa dialah
pelakunya….” Wiro berpaling pada Luhcinta lalu berkata. “Hantu Seratus Tutul
menyebut-nyebut Istana Kebahagiaan. Jangan-jangan Hantu Muka Dualah penguasa istana
itu….” “Mungkin sekali!” kata Lakasipo. “Bukankah selama ini dia selalu
mengumbar kata bahwa dia adalah Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam?!”
“Selain
itu!” Wiro rnenyambungi. “Mungkin sekali Hantu Muka Dua membunuh si kakek muka
macan itu agar dia tidak memberi keterangan tentang manusia bernama Lajundai.”
“Kalau
benar makhluk bernama Hantu Muka Dua itu yang jadi biang racun semua kejadian
ini, sungguh dia makhluk yang sangat keji. Akupun hampir dicelakainya….” Lalu
Luhcinta menceritakan pertemuannya dengan Hantu Muka Dua yang membawanya ke
tempat kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam.
“Sahabat
kami Luhcinta,” Setan Ngompol ikut bicara setelah terus-terusan berdiam diri.
“Waktu bertemu pertama kali kau pernah menanyakan tentang beberapa orang. Yang
masih kuingat antaranya Latampi, Luhpiranti…. Jika kau mau memberi tahu siapa
adanya orang-orang itu lalu juga siapa adanya Lajundai, mungkin kita bisa
berbagi pikir dan akal untuk membantumu….”
“Betul,
kau juga menyebut satu nama yaitu Hantu Penjunjung Bakul… Maksudku Hantu
Penjunjung Roh!” kata Wiro pula.
Luhcinta
tersenyum. “Panjang ceritanya. Semua menyangkut riwayat diriku. Aku tak
mungkin….”
“Bagaimanapun
panjangnya kami bersedia dan ingin sekali mendengar,” kata Lakasipo.
“Ya,
betul. Walau sampai tujuh hari tujuh malam, kami akan mendengarkan
penuturanmu!” ucap Naga Kuning pula.
Luhcinta
tersenyum. Dia memandang ke arah Wiro seolah minta persetujuan. Hal ini membuat
Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol menjadi agak cemburu.
“Ada apa
sebenarnya antara kau dengan gadis itu. Dari tadi kulihat dia terus-terusan
memandangmu seperti kau ini kecakepan saja!” bisik Naga Kuning.
“Mengapa
salahkan diriku! Dia punya mata! Boleh saja melihat siapa saja. Mungkin matanya
menjadi sepat kalau melihat dirimu atau si kakek itu. Jadinya aku yang
dipandang-pandang…” jawab murid Sinto Gendeng sambil menyengir. Naga Kuning dan
Setan Ngompol donggakkan kepala lalu menoel puncak hidung masing-masing dengan
jari telunjuk mengejek Wiro. Wiro sendiri saat itu melangkah menghampiri Datuk
Rao Bamato Hijau. Dia peluk leher harimau sakti ini dan ciumi bagian kepalanya
diantara dua mata. “Sahabat pelindungku Datuk Rao Bamato Hijau. Aku berterima
kasih kau bersedia kupanggil untuk menolong gadis itu. Kalau saja kita tidak cepat
bertindak tentu saat ini dirinya telah ternoda….”.
Datuk Rao
Bamato Hijau kedip-kedipkan matanya. Lidahnya dijulurkan menjilati tangan Wiro.
“Datuk,
aku tidak boleh membiarkanmu berlama-lama di tempat ini. Sekali lagi aku dan
gadis itu mengucapkan terima kasih….”
“Datuk
Rao Bamato Hijau, jika aku ingat padamu dan ingin bertemu apakah bisa?” tanya
Luhcinta lalu enak saja dia ikut memeluki dan menciumi wajah sang datuk.
Harimau putih itu keluarkan suara menggereng halus dan usap lengan Luhcinta
dengan jilatan lidahnya. Si gadis tersenyum dan terpekik kecil kegelian.
“Selamat
jalan Datuk…” kata Wiro.
Datuk Rao
Bamato Hijau mengaum. Semua orang tergagau kaget. Pada saat sosok harimau putih
itu lenyap Wiro dan Luhcinta yang kini hanya memeluk angin sama-sama
terjerembab dan pipi mereka saling bergeseran!
“Sialan
si Wiro itu! Dia pasti berpura-pura jatuh!” kata Naga Kuning berbisik pada
Setan Ngompol.
“Anak itu
rejekinya memang lebih besar. Kalau saja sosoknya sama besar dengan si gadis,
lebih keenakan lagi dia! Lalu kita mau bilang apa?!” Setan Ngompol mencibir
lalu tertawa perlahan. “Dikata apa…?” jawab Setan Ngompol.
Dengan
wajah agak kemerahan Luhcinta memandang berkeliling lalu berkata.
Kita
belum lama berkenalan. Tapi begitu banyak saling menanam budi. Aku percaya pada
kalian semua sahabatku. Kalau memang kalian mau tahu, aku akan ceritakan
riwayat diriku. Aku mulai sejak diriku yang masih berusia dua bulan ditemukan
seorang nenek sakti di dalam hutan. Di dalam satu kantong yang tergantung di
badan seorang perempuan muda yang mati menggantung diri….”
Selagi
semua orang terkejut mendengar kata-kata si gadis, Luhcinta melangkah
meninggalkan tern pat itu. Semua orang serta merta bergerak mengikuti. Di satu
tempat yang sunyi yang dipilih sendiri oleh Luhcinta, gadis itu lalu menuturkan
riwayat dirinya.
*******************
TIGA BELAS
Suasana
hening sunyi menyelimuti tempat itu begitu Luhcinta selesai menceritakan riwayat
kehidupannya. Lakasipo menatap si gadis dengan perasaan penuh haru. Wiro dan
Naga Kuning serta Setan Ngompol tertunduk sedih. Bahkan kuda hitam berkaki enam
milik Lakasipo yang ada tak jauh dari tempat itu tegak diam seperti termenung,
seolah turut larut dalam keharuan.
Dalam
keadaan seperti itu ada suara prang menahan isak dan menarik nafas panjang
berulang kali. Orang ini adalah Hantu Jatilandak. Dia duduk di tanah tundukkan
kepala. Wajahnya yang penuh duri berusaha ditutupinya dengan ke dua tangan.
“Hai,
apa-apaan si Jatilandak itu!” bisik Naga Kuning pada Wiro dan Setan Ngompol.
“Kita semua memang terharu mendengar riwayat sedih Luhcinta, tapi mengapa pakai
sesenggukan segala….”
“Dia
ingin diperhatikan gadis cantik itu. Kepingin disayang-sayang…” jawab Setan
Ngompol seraya pencongkan mulutnya yang kempot.
Saat itu
Luhcinta sendiri telah melangkah mendekati Hantu Jatilandak. Dipegangnya bahu
Hantu Jatilandak lalu berkata. “Wahai sahabatku yang gagah. Rupanya kesedihanku
adalah kesedihanmu juga….”
“Maafkan
saya orang buruk yang berlaku bodoh ini. Wahai sahabatku Luhcinta, riwayatmu
mengingatkanku pada diriku sendiri. Walau kini hatiku bahagia bahwa di dunia
ini tidak aku sendiri yang bernasib malang, namun menghadapi kehidupan
selanjutnya aku seperti berada di lautan kebingungan….”
“Apa yang
membuatmu berperasaan seperti itu Hantu Jatilandak? Ingin aku mendengar untung
perasaanmu, apakah juga sehebat derita nasib diriku…?”
“Sebenarnya
aku meninggalkan pulau tern pat kediaman guruku Tringgiling Liang Batu bukan
untuk bersuka-suka melihat dunia luar. Tapi dalam maksud mencari ayah dan
ibuku. Menurut guru kedua orang tuaku telah kejatuhan musibah berupa kutuk dari
para Peri di Negeri Atas Langit. Konon ayah adalah seorang bernama Lahambalang,
penduduk Latanahsilam sedang ibu adalah Peri dari Negeri Atas Langit. Antara
mereka sebenarnya tidak boleh kawin. Tapi ayah dan ibu sudah demikian saling
mencinta. Mereka melanggar pantang larangan. Ketika aku lahir ibu meninggal dan
ayah lenyap entah kemana. Aku sendiri lahir dalam keadaan buruk mengerikan
seperti ini….”
Semua
orang, termasuk Naga Kuning dan Setan Ngompol yang tadi mencemooh Hantu
Jatilandak jadi terdiam.
“Wahai
Hantu Jatilandak, ternyata kita sama-sama mempunyai ganjalan dalam hidup ini.
Aku, juga teman-teman di sini sangat ingin mendengar riwayatmu. Kalau kau
bersedia menceritakan…”
Hantu
Jatilandak menatap wajah Luhcinta sesaat lalu anggukkan kepala. (Mengenai
riwayat Hantu Jatilandak harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu
Jatilandak) Untuk ke dua kalinya semua orang yang ada di tempat itu ikut dalam
haru setelah mendengar kisah yang diturunkan Hantu Jatilandak. Mereka tidak
menyangka begitu hebat kisah kehidupan pemuda yang tubuhnya mulai dari kepala
sampai ke kaki ditumbuhi duri-duri menyerupai bulu landak itu.
“Wahai
para sahabat,” Lakasipo akhirnya keluarkan ucapan setelah cukup lama mereka
berdiam diri. “Ternyata kita semua termasuk diriku mempunyai ganjalan hidup.
Rasanya sudah saatnya kita memusatkan usaha mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk bagaimana aku bisa bebas dari dua
kaki batu ini. Juga memberi petunjuk dimana beradanya ayah Luhcinta yang
bernama Latampi itu. Siapa adanya Lajundai. Lalu dimana beradanya ayah Hantu
Jatilandak yang bernama Lahambalang. Di mana pula makam ibunda Luhcinta serta
makam ibunda Hantu Jatilandak. Juga sangat diharapkan Hantu Sejuta Tanya dan
Sejuta Jawab bisa menolong tiga sahabatku ini agar bisa kembali ke dunia seribu
dua ratus tahun mendatang dari mana mereka berasal. Atau menolong membuat sosok
mereka bisa Sebesar kita agar keselamatan mereka tidak terus-terusan terancam.
Sahabat kami Luhcinta, apakah kau akan melanjutkan perjalanan seorang diri atau
bergabung bersama kami mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”
Luhcinta
jadi terdiam. Ditatapnya wajah Lakasipo beberapa lama lalu dia berpaling pada
Wiro.
“Lihat,
lagi-lagi dia memperhatikan Wiro,” bisik Naga Kuning.
“Sudah,
biar saja dia mau melihat pada siapa,” jawab Setan Ngompol. “Yang penting kalau
dia mau ikut bersama kita pasti asyik jadinya perjalanan kita….”
“Wahai
Lakasipo dan semua sahabatku! Beruntung aku bertemu dengan kalian. Terus terang
saja Negeri Latanahsilam ini sangat luas dan serba asing bagiku. Apalagi guru
telah memberi ingat banyaknya hal yang bisa membahayakan diriku. Jika kalian
tidak keberatan, aku mau ikut bersama kalian….”
Naga
Kuning berseru gembira. Si Setan Ngompol berjingkrak-jingkrak tapi lalu pegangi
bawah perutnya yang mendadak basah lagi! Wiro garuk-garuk kepala melihat
kelakuan dua temannya itu. Luhcinta tersenyum-senyum. Lakasipo melangkah
mendekati kuda hitamnya. Ketika semua orang bersiap hendak pergi tiba-tiba
mengumandang satu seruan disertai menghamparnya bau seperti rempah-rempah
direbus. “
“Luhcinta
sahabatku gadis tercantik di seluruh jagat! Jangan pergi dulu sebelum aku
membayar hutang budi baikmu! Jangan bikin aku tidak bisa tidur tidak sedap
makan! Bukan karena rindu atau jatuh hati padamu! Tapi karena ganjalan hutang
piutang budi baik itu! Ha… ha… ha!”
Sesaat
kemudian terdengar suara “beerrr… beerrr… beerrr!” Lalu muncullah seorang gemuk
bermuka bulat, mengenakan pakaian panjang dan sangat gombrong terbuat dari
anyaman rumput kering menyerupai jerami. Di pipinya sebelah kiri ada satu tahi
lalat besar atau tompel berwarna hi tarn ditumbuhi bulu-bulu hitam halus. Di
atas kepalanya ada segulung kain menyerupai sorban. Lalu hebatnya, di atas
sorban ini dia menjunjung sebuah belanga besar terbuat dari tanah. Dari dalam
belanga ini mengepul asap kecoklatan menebar bau harumnya rempah-rempah!
“Sahabatku
kakek sakti berjuluk Hantu Seribu Obat!” seru Luhcinta begitu melihat siapa
yang muncul di tern pat itu. “Hidup saling tolong menolong adalah satu
keharusan. Itu tandanya manusia harus hidup berdasarkan kasih sayang satu sama
lainnya. Mengapa kau menganggap pertolonganku menyelamatkan dirimu tempo hari
sebagai hutang budi segala. Aku harap kau tidak lagi punya pikiran seperti
itu….”
Yang
disebut Hantu Seribu Obat tertawa lebar lalu batuk-batuk. “Wahai…. Ternyata kau
punya banyak sahabat di tempat ini. Tapi Luhcinta,, aku sudah bersumpah tidak
akan pergi dari tempat ini sebelum kau meminta satu pertolongan apa yang kau
inginkan dariku! Aku bisa memberimu obat agar tetap awet muda sejuta tahun….”
Luhcinta
tertawa merdu mendengar kata-kata hantu bersosok gemuk itu.
“Aku
tidak main-main…. Akan kuramu sekarang juga obat awet muda itu untukmu!”
berkata Hantu Seribu Obat lalu usap-usap tompel di pipi kirinya sementara
tangan kanannya menyelinap ke balik jubah dan tahu-tahu dia sudah memegang
sebuah gelas terbuat dari tanah.
“Tunggu!”
kata Luhcinta. “Terima kasih kau mau memberi obat ajaib itu untukku wahai Hantu
Seribu Obat. Namun jika memang aku boleh meminta, bukan semata memenuhi
permintaanmu sebagai balas budi, tapi untuk menolong orang lain. Bisakah kau
memberikan obat agar tiga sahabatku yang kecil-kecil ini menjadi besar sosok
mereka? Besar seperti kita-kita ini..?”
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol tentu saja terkejut tetapi gembira sekali
mendengar kata-kata Luhcinta itu.
“Ya
Tuhan! Ternyata besar sekali rejeki kita malam ini! Ada orang yang mau menolong
kita!” ujar Naga Kuning.
“Kalau
benar si gendut bertompel besar itu bisa menolong kita, ah! sungguh bahagia
hatiku! Kita tidak akan dibayangi rasa takut celaka lagi. Dan aku akan mencari
nenek cantik bernama Luhlampiri itu!”
“Husss!”
Wiro pelototkan matanya pada Setan Ngompol. Tapi mulutnya menyeringai. “Belum
apa-apa niatmu sudah jelek saja!” Setan Ngompol yang terkejut disentak langsung
pegang bagian bawah perutnya.
“Kau
punya tiga sahabat yang kecil-kecil katamu! Wahai apa mereka tiga kurcaci di
dekat belukar itu?!”
“Sialan!
Kita disebutnya tiga kurcaci!” maki Naga Kuning.
“Betul
sekali wahai sahabatku Hantu Seribu Obat. Mereka masing-masing bernama Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalau kau bisa menolong aku sangat berterima
kasih…” kata Luhcinta pula.
“Kami
juga sangat berterima kasih!” menyambungi Wiro.
Hantu
Raja Obat dekati ke tiga orang itu lalu jongkok di hadapan mereka. “Hee…. Tidak
sulit! Tidak sulit! Tapi ada syaratnya walau cuma gampang! Mereka harus sabar
menunggu….”
“Walau
bersiang bermalam hari, kami akan menunggu Kek!” kata Naga Kuning.
Hantu
Seribu Obat menyeringai. Dia pejamkan kedua matanya. Dari mulutnya keluar suara
merapal. Lama sekali dia berbuat seperti itu hingga semua yang ada di tempat
itu diam-diam mulai merasa gelisah. Menjelang tengah malam dari balik jubah
jeraminya Hantu Seribu Obat keluarkan sebuah gelas tanah. Lalu belanga berisi
godokan rempah-rempah yang ada di atas kepalanya diturunkan. Hawa panas
menyambar ke arah semua orang yang ada di tempat itu. Tapi Hantu Raja Obat enak
saja memegang belanga yang panas itu dengan tengah kirinya. Perlahan-lahan
sambil terus merapal dia kucurkan cairan dalam belanga ke dalam gelas tanah.
Gelas tanah kemudian diletakkannya di tanah di hadapan Naga Kuning.
“Kurcaci
bernama Naga Kuning, ini obat untukmu. Jangan minum sebelum kuberi tahu
saatnya!”
“Terima
kasih Kek. Eh Bapak…” kata Naga Kuning.
“Aku
bukan kakek apalagi bapakmu!” kata Hantu Seribu Obat tapi sambil tersenyum dan
kedipkan mata….”
Dari
dalam jubahnya Hantu Seribu Obat keluarkan gelas tanah ke dua. Seperti tadi
diiringi rupakan mantera dia terangkan cairan dalam belanga ke gelas tanah,
lalu gelas tanah diletakkannya di depan Setan Ngompol.
“Kakek
bau pesing. Ini batumu! Jangan minum sebelum kuberi tahu saatnya!”
“Hantu
Seribu Obat, aku si Setan Ngompol mengucapkan ribuan terima kasih,” kata Setan
Ngompol seraya menjura.
Hantu
Seribu Obat tertawa lebar. Lalu dia keluarkan gelas tanah ke tiga. Sebelum
menerangkan cairan godokan rempah-rempah yang harum ke dalam gelas tanah itu
dia perhatikan dulu wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu orang ini tersenyum.
“Anak muda, aku melihat seribu akal seribu rencana dalam benakmu. Tap! aku
gembira akal dan rencana itu semua menuju kepada yang baik-baik…. Bolehkah aku
membisikkan sesuatu padamu?”
“Hantu
Seribu Obat, aku….” Wiro terpaksa tidak teruskan ucapannya karena saat itu
Hantu Seribu Obat sudah membungkuk dan mendekatkan mulutnya ke telinganya. Lalu
dengan suara sangat perlahan orang ini berkata. “Bagaimana kalau aku meramal
sesuatu tentang dirimu wahai anak muda bertampang tolol, konyol tapi berhati
polos….”
“Sil…
silahkan saja. Aku suka mendengar…” kata Wiro.
“Ratusan
orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada satu pemuda yang berkenan
di hatinya. Kau!”
Wiro
undur melangkah dan tetap wajah besar Hantu Seribu Obat. “Gadis itu…. Maksudmu
gadis yang mana? Siapa?”
“Anak
setan! Ha… ha… ha! Bukankah begitu gurumu selalu memanggilku?!”
“Astaga!
Bagaimana kau bisa tahu?!” tanya Wiro dengan terkejut, mulut ternganga dan mata
melotot.
Hantu
Seribu Obat tertawa mengekeh hingga Wiro merasa tanah yang dipijaknya bergetar.
“Sudahlah, kau tak usah tanyakan hal itu. Sekarang….”
“Tunggu
dulu. Kau belum mengatakan siapa adanya gadis itu….”
“Siapa
lagi kalau bukan si cantik tinggi semampai bertubuh ramping dan berwajah selagi
tembus itu. Luhcinta!”
“Hantu
Seribu Obat! Kau jangan bergurau….”
“Bergurau
yang enak-enak apa salahnya! Lagi pula aku tidak bergurau padamu. Kau akan
lihat kenyataan di kemudian hari. Bisa-bisa kau lupa jalan pulang ke negeri
asylum anak muda! Ha… ha… ha!”
Hantu
Seribu Obat kembali jongkok dan mulai menerangkan cairan di dalam belanga ke
gelas tanah ketiga. Gelas diletakkannya di depan Wiro seraya berkata. “Ini
batumu. Jangan di minum sebelum aku beritahu saatnya!”
“Terima
kasih Hantu Seribu Obat,” kata Wiro seraya menjura dalam-dalam.
Hantu
Seribu Obat lalu duduk bersila di tanah. Dua tangan dirangkapkan di depan dada.
Matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit entah merapal apa dan tanpa suara.
Makin larut malam makin dingin udara di tempat itu. Secara aneh kantuk mulai
menyerang semua orang yang ada di situ. Secara aneh pula mereka seperti
dihantui oleh rasa ketidaksabaran.
Setan
Ngompol dan Naga Kuning menatap ke arah gelas tanah di hadapan masing-masing
secara terus menerus dan sesekali mereka sating pandang. Wiro juga duduk
bersila di tanah, sikapnya tenang. Matanya dipejamkan seolah bersamadi.
Luhcinta duduk di bawah sebatang pohon. Sesekali memperhatikan wajah Pendekar
212 dari kegelapan. Hantu Jatilandak sebenarnya ingin Luhcinta memintakan obat
bagi dirinya agar duri-duri di sekujur kepala dan tubuhnya bisa dilenyapkan.
Tapi karena merasa sungkan dia memilih diam saja. Sebaliknya Lakasipo sengaja
agak menjauhkan diri di satu sudut yang gelap. Sambil menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya dia selalu menatap wajah jelita Luhcinta.
Menjelang
dini hari hawa dingin semakin menjadi-jadi. Rasa kantuk hampir tak dapat
ditahan lagi. Hawa ketidaksabaran semakin menggila. Tiba-tiba Hantu Seribu Obat
bangkit berdiri. Tanpa berkata apa-apa dia melangkah pergi dan akhirnya lenyap
ditelan kegelapan. Lama ditunggu tak kunjung kembali.
“Hantu
Seribu Obat pergi begitu saja! Bagaimana dengan kita? Jika dia kembali tujuh
hari kemudian apa kita harus menunggu dan baru minum obat itu setelah
mendapatkan tanda dari dia? Walah, tidak kukira sesulit ini urusannya….”
“Kita
tunggu saja. Kalau dia tidak muncul kembali bagaimana nanti saja…” jawab Setan
Ngompol.
Ketika
langit di ufuk timur mulai terang dan di dalam rimba belantara ayam-ayam hutan
terdengar berkokok, Hantu Seribu Obat tidak juga muncul. Hantu Jatilandak dan
Lakasipo telah tertidur. Luhcinta masih tetap duduk di bawah pohon dan Wiro
masih terus dalam sikap tadi yaitu bersila seperti bersemadi.
“Aku
sudah tidak sabaran…” kata Naga Kuning pada Setan Ngompol. ,
“Aku
juga. Dari tadi aku sudah enam kali ngompol. Bagaimana menurutmu?” bertanya
Setan Ngompol.
“Mungkin
Hantu Seribu Obat hanya mau menguji kita. Sebenarnya kita sudah boleh meneguk
obat itu. Aku yakin dia tidak akan kembali…” sahut Naga Kuning.
“Kalau
begitu kita teguk saja obat dalam gelas tanah itu!” berkata Setan Ngompol.
“Setuju!”
jawab Naga Kuning.
Dua orang
itu yakni Naga Kuning dan Setan Ngompol segera saja menyambar gelas tanah. Lalu
“gluk… gluk… gluk!” Keduanya teguk habis cairan di dalam gelas tanah yang
selain harum ternyata juga masih hangat. Sesaat kemudian keduanya merasa tubuh
mereka ringan dan segar sekali.
“Kakiku
mulai membesar!” berseru Naga Kuning seraya pegang kaki kanannya yang saat itu
memang berubah menjadi besar, tambah besar dan akhirnya mencapai ukuran kaki
orang di Negeri Latanahsilam. Namun bocah ini kembali berteriak. “Ya Tuhan!
Mengapa cuma kaki kananku saja yang membesar. Bagian lain tubuhku tetap tidak
berubah!” Naga Kuning jadi kelabakan dan pegangi kepala, tubuh serta kaki
kirinya. Memandang ke samping dia tambah terkejut menyaksikan si kakek Setan
Ngompol. Kakek ini tak kalah kaget dan bingungnya. Ternyata dari keseluruhan
auratnya hanya kaki kirinya saja yang besar!
“Kau kaki
kanan! Aku kaki kiri!” teriak Setan Ngompol. “Aduh! Bagaimana ini. Kaki kiriku
membesar. Anuku jadi miring kejepit. Aku jadi kepingin ngompol terus-terusan!
Celaka! Kalau begini jadinya menyesal aku minum obat itu!”
Tiba-tiba
terdengar suara tawa bergelak. Sesaat kemudian muncullah Hantu Seribu Obat di
tempat itu. Lakasipo dan Hantu Jatilandak telah terbangun. Mereka kaget melihat
apa yang terjadi atas diri Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luhcinta merasa
bersalah dan pucat bingung wajahnya. Hanya Pendekar 212 saja yang masih tetap
duduk , bersila, diam tak bergerak dalam keadaan mata terpejam.
“Itulah
akibat kalau manusia tidak menurut kata, tidak mendengar ucapan. Tidak mematuhi
segala tanda dan isyarat! Itu satu pertanda bagaimana akibatnya kalau manusia
tidak menunjukkan rasa setia kawan. Kalau kawanmu yang satu masih mau menunggu
dan bersabar dengan segala ketenteraman hati dan ketenangan jiwa, mengapa
kalian berdua mau melakukan kesalahan, melanggar apa yang aku katakan? Meneguk
obat sakti sebelum aku memberi tahu saatnya? Aku kasihan padamu wahai Naga
Kuning dan Setan Ngompol. Kalian harus menunggu sampai bulan purnama terbit.
Pada saat itulah kalian boleh meneguk obat di dalam gelas tanah. Dan kalian
akan menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam….”
“Tapi
obat dalam gelas tanah itu sudah kami minum habis!” kata Naga Kuning.
“Ah, kau
keliru. Coba lihat lagi ke dalam gelas tanah..”
Naga
Kuning dan Setan Ngompol ulurkan kepala, memandang ke dalam gelas tanah di
hadapan mereka. Keduanya terkejut karena ternyata mereka melihat gelas tanah
itu masih berisi penuh obat berbau harum itu!
“Aneh…”
kata Naga Kuning perlahan sambil memandang pada Setan Ngompol.
“Bagaimana
dengan sahabat kami Wiro?” tanya Naga Kuning pula.
“Oh,
dia…. Karena dia patuh pada apa yang aku katakan maka dia akan menerima berkah
seperti apa yang diinginkannya dan seperti apa yang dimintakan Luhcinta.” Hantu
Seribu Obat berpaling pada Wiro. “Anak muda, apakah kau sudah siap meneguk obat
yang kuberikan?”
Pendekar
212 Wiro Sableng buka kedua matanya, menatap ke arah Hantu Seribu Obat lalu
berkata. “Dengan izinmu aku akan meneguk obat cairan sakti.”
Hantu
Seribu Obat tersenyum. “Kau ku ijinkan meneguk obatmu. Aku tahu di sini kami
hanya mengenal Dewa sebagai penguasa tertinggi yang serba kuasa dan penuh
kasih. Di negerimu kau mengenal Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kasih dan Maha Kuasa.
Apakah kau keberatan kalau aku memohon kepada Dewa agar permintaanmu bisa
dikabulkan dan di dalam hatimu kau berdoa pada Tuhanmu minta agar permohonanmu
dikabulkan?”
Wiro
mengangguk. Diam-diam dia merasa tegang.
“Kalau
begitu mari kita sama-sama berdoa…” kata Hantu Seribu Obat pula.
Wiro
pejamkan mata, berdoa dalam hati, memohon kepada Yang Maha Kuasa, Tuhan Seru
Sekalian Alam.
“Kau
boleh minum obatmu wahai anak muda….”
Terdengar
suara Hantu Seribu Obat. Dengan tangan gemetar dan tak lupa menyebut nama
Tuhan, Pendekar 212 ambil gelas tanah di hadapannya lalu meneguk cairan harum
hangat di dalamnya sampai habis. Belum sempat dia meletakkan gelas tanah itu ke
tempat semula, ajaib!
Tiba-tiba
dia melihat tubuhnya semakin tinggi. Tanah tempat dia hendak meletakkan gelas
semakin jauh. Di sekitarnya terdengar seruan Naga Kuning dan Setan Ngompol.
Juga decak kaget Lakasipo, Hantu Jatilandak dan Luhcinta. Memandang berkeliling
Wiro dapatkan dirinya telah sama tinggi dengan Hantu Jatilandak, Lakasipo dan
Luhcinta. Wiro raba pakaiannya. Lalu dia meraba pinggang. Kapak Maut Naga Geni
212 yang ada di pinggangnya ternyata juga ikut menjadi besar!
“Benar-benar
ajaib…” kata Wiro dalam hati. Lalu dia ingat pada dua temannya. Di sebelah sana
Naga Kuning dan Setan Ngompol tegak termiring-miring karena hanya satu kaki
mereka saja yang jadi besar. Keduanya melambaikan tangan pada Wiro.
“Terima
kasih Tuhan. Kau mengabulkan permintaanku,” kata Wiro. “Terima kasih Hantu
Seribu Obat! Kau telah menolongku….” Wiro memandang berkeliling. Mencari-cari.
Tapi Hantu Seribu Obat tak ada lagi di tempat itu.
“Dia
sudah pergi…” kata satu suara lembut dan merdu di samping Wiro.
Ketika
Wiro berpaling pandangan Pendekar 212 saling beradu dengan Luhcinta.
“Sahabatku
Luhcinta, kalau bukan kau yang meminta mungkin aku tak bisa jadi seperti ini.
Aku sangat berterima kasih padamu….”
Luhcinta
membuka mulut hendak menjawab. Namun sesaat dia hanya tegak terdiam. Matanya
yang bening terbuka lebar. Dia berdiri seperti terpesona. Setelah keadaan Wiro
menjadi sebesar dirinya, dia tidak menyangka kalau pemuda ini benar-benar
memiliki wajah tampan.
“Sahabat,
kau hendak mengatakan sesuatu?” tanya Wiro.
Luhcinta
tersenyum. Walau agak kikuk dia membuka mulut juga. “Kasih sayang adalah sumber
kekuatan di alam ini. Kasih sayang adalah bagian semua manusia. Para Dewa telah
menunjukkan kasihnya padamu. Aku gembira melihat keadaan dirimu seperti
sekarang ini wahai Wiro…” kata Luhcinta. Matanya yang bagus bening menatap
mesra pada Pendekar 212. Lalu dia ulurkan tangan memegang lengan si pemuda.
Saat itu juga keduanya merasakan ada hawa hangat mengalir di tubuh
masing-masing, mendatangkan rasa bahagia yang tiada taranya.
Si kakek
Setan Ngompol unjukkan wajah cemberut. Termiring-miring dia melangkah mendekati
Naga Kuning lalu berkata. “Kalau tahu akan jadi begini, lebih baik aku minta
obat supaya tidak ngompol-ngompol aja pada Hantu sialan itu!” Setan Ngompol
saking kesalnya lalu tepuk-tepuk bagian bawah perutnya. “Nasibmu masih jelek
buyung.” Katanya tapi apa lacur. Karena ditepuk-tepuk langsung si buyung
terpancar beser!
TAMAT
No comments:
Post a Comment