Episode
Petualangan Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
SATU
Tiga
orang lelaki bertelanjang dada memacu tunggangan mereka, menghambur
menyeberangi sungai berair kehijauan. Ikan-ikan dalam sungai yang tengah
berenang menikmati kesejukan alam pagi terkejut berlompatan ke permukaan air.
Binatang tunggangan tiga orang tadi bukanlah kuda melainkan tiga ekor kadal
raksasa berkulit coklat berkilat. Setiap telinga mereka ditarik
binatang-binatang itu keluarkan suara menguik aneh lalu berlari lebih kencang.
Pada saat
matahari muncul lebih tinggi di balik bukit hijau di sebelah timur, tiga
penunggang kadal raksasa berhenti di sebuah bangunan tinggi terbuat dari batu
berwarna merah. Ketiganya memandang ke arah sebuah jendela di ketinggian
bangunan. Di belakang jendela tampak tegak seorang perempuan masih sangat muda,
berambut hitam yang diberi hiasan sederet sunting. Di wajahnya yang cantik tapi
pucat terpancar bayangan keletihan dan juga rasa gelisah. Sejak kemarin pagi
dia berada di belakang jendela itu. Menatap ke arah jalan kecil yang membelah
kawasan penukiman. Tadi malam boleh dikatakan dia sama sekali tidak bisa
memicingkan mata. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ketika di jalan di
bawah sana tiga penunggang kadal coklat muncul, sepasang mata perempuan di
bangunan tinggi membuka besar-besar. Hatinya kecewa karena ternyata yang datang
bukan orang yang ditunggunya.
“Wahai
tiga kerabat suamiku, penunggang kadal coklat! Gerangan kabar apa yang kalian
bawa! Mana suamiku Lakasipo?!” Perempuan di belakang jendela bertanya.
Salah
seorang penunggang kadal angkat dua tangannya di atas kepala. Telapak tangan
dirapatkan. “Wahai Luhrinjani istri Kepala Negeri Latanahsilam! Datang kami
membawa kabar buruk!”
Berdesir
darah perempuan di belakang jendela. Tengkuknya mendadak terasa dingin dan
wajahnya bertambah pucat.
“Istri
Kepala Negeri, bolehkah kami menyampaikan kabar buruk itu sekarang juga…?”
Lelaki di atas punggung kadal coklat ajukan pertanyaan. Setiap mulai bicara dia
rapatkan telapak tangan di atas kepala.
“Wahai
kerabat suamiku! Yang buruk tak bisa dihindarkan, yang baik belum tentu
didapat. Berucaplah engkau! Kabar buruk itu katakan padaku!” kata perempuan
muda bernama Luhrinjani.
Lelaki di
bawah sana berpaling dulu pada dua temannya lalu menjawab. “Wahai Luhrinjani!
Tabahkanlah hatimu. Suamimu Lakasipo tewas di tangan komplotan pemberontak!
Maafkan kami Luhrinjani….”
Lantai
batu di bawah kaki Luhrinjani seolah runtuh. Ucapan orang seolah sambaran petir
di depan wajahnya. Bola matanya membesar. Lehernya yang putih jenjang turun
naik. “Tidak boleh jadi! Lakasipo seorang sakti! Mana mungkin terbunuh dia di
tangan pemberontak!” Suara Luhrinjani tersendat. Tubuhnya mendadak terasa
lemas. Cepat-cepat dia menggapai pinggiran jendela batu agar tidak terhuyung
jatuh. “Maafkan kami Luhrinjani. Kami hanya menyampaikan apa yang kami lihat.
Sebentar lagi kerabat Lahopeng akan datang! Kau bisa dari dia mendapat lebih
jelas keterangan!” Baru saja pengawal itu selesai bicara tiba-tiba terdengar
suara genta berkepanjangan. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki berwajah
tampan, berambut ikal. Wajahnya yang kebiru-biruan dihias kumis dan janggut
hitam berkilat. Seperti tiga lelaki penunggang kadal, pemuda ini juga
bertelanjang dada. Di pinggangnya melingkar sebuah sabuk kulit penuh tempelan
batu-batu berbagai warna. Di balik sabuk ini terselip sebilah parang pendek
terbuat dari batu berwarna kelabu. Orang ini datang dengan menunggang seekor
biawak raksasa bersisik hitam. Pada leher biawak tergantung sebuah genta besi
yang setiap bergerak mengeluarkan suara berkerontang.
Tiga
penunggang kadal rapatkan tangan di depan kening. Yang di tengah berkata.
“Wahai kerabat Lahopeng. Berita buruk sudah kami sampaikan pada istri kerabat
Luhrinjani.” Pemuda bernama Lahopeng mengangguk sedikit. “Kalian bekerja bagus.
Hadiah yang kujanjikan kuberikan pasti. Bertiga kalian sekarang boleh pergi.”
Tiga
orang penunggang kadal rapatkan tangan di depan kening lalu segera tinggalkan
tempat itu. Setelah mereka pergi penunggang biawak memandang ke atas bangunan.
Setelah menatap sejurus maka dia pun berkata dengan suara keras.
“Wahai
Luhrinjani, istri sahabatku Lakasipo. Aku hadir sudah di bawah sini. Apa aku
boleh memberi keterangan dari tempat ini?”
Di atas
jendela Luhrinjani mengusap dadanya. “Wahai Lahopeng, sahabat suamiku adalah
kau! Wakil suamiku adalah kau. Naiklah ke atas sini agar kau bisa memberi
keterangan lebih jelas.”
Mendengar
ucapan Luhrinjani, Lahopeng melompat dari atas punggung biawak lalu berlari ke
arah sebuah pintu di bagian bawah bangunan. Di sini ada tangga menuju tingkat
atas. Sesaat kemudian Lahopeng telah berhadap-hadapan dengan Luhrinjani. Tempat
di mana mereka berada ternyata adalah ruang ketiduran.
“Salam
dalam duka cita untukmu wahai Luhrinjani. Aku tidak berani memberi penjelasan
jika tidak kau meminta,” kata Lahopeng setelah menatap perempuan muda di
hadapannya itu beberapa ketika.
“Aku
masih rasa-rasa tidak percaya pada keterangan tiga kerabat tadi wahai Lahopeng.
Katakan, apa salah aku mendengar atau para kerabat berucap salah. Atau memang
suamiku Lakasipo benar telah tewas di tangan para pemberontak?”
“Maafkan
aku wahai Luhrinjani. Benar adanya berita itu. Aku merasa ikut bersalah tak
dapat menolong suamimu. Musuh sangat kuat. Aku sendiri pasti kalau tidak
berlaku cerdik sudah menjadi korban keganasan para pemberontak. Aku terpaksa
menyelamatkan diri. Masih sempat kulihat kerabat Lakasipo dikurung lawan lalu
dibantai. Maafkan aku wahai Luhrinjani.”
Sesaat
sepasang mata Luhrinjani menatap tak berkesip pada pemuda di hadapannya. Lalu
tampak mata itu berkaca-kaca. Isaknya tersendat. “Lakasipo lelaki sakti.
Mungkin bagaimana dia bisa mengalami nasib buruk begitu?!”
“Aku tahu
kehebatan suamimu wahai Luhrinjani. Tapi para pemberontak yang tak seberapa itu
ternyata dibantu oleh Hantu Muka Dua.”
“Hantu
Muka Dua?” Luhrinjani mengulang nama itu dengan penuh rasa kejut. Air mata
mulai menetes jatuh ke pipinya yang pucat. “Antara suamiku dan Hantu Muka Dua
selama ini tak ada silang sengketa. Mengapa dia berbuat jahat tega-teganya.”
“Wahai Luhrinjani, kau tahu sendiri adanya siapa Hantu Muka Dua. Kejahatannya
setinggi langit sedalam lautan. Hari ini jadi teman besok jadi lawan. Hatinya
tak bisa ditimba. Apalagi sejak dia mengagulkan diri sebagai raja di raja para
Hantu di negeri Latanahsilam ini. Sementara kita mencari jalan untuk membalas
dendam, kau kuharap bisa bertabah diri wahai Luhrinjani.”
Luhrinjani
tak bisa menahan tangisnya lagi. Ratapannya menyayat hati. “Buruk nian nasib
diriku. Ayah tiada ibu tak punya. Baru tiga hari aku menjadi istri kanda
Lakasipo. Belum lagi kami sempat mengecap cita rasa bahagianya pengantin baru.
Tahu-tahu suamiku terbunuh. Kejam sekali hidup di alam ini.”
“Suamimu
mati secara terhormat wahai Luhrinjani. Sebagai pahlawan perkasa gagah. Aku
sudah meminta beberapa kerabat untuk menyelamatkan jenazah Lakasipo dan
memakamnya di satu tempat.”
“Aku
ingin melihat dirinya terakhir kali sebelum dikuburkan….”
“Aku
mohon Luhrinjani. Hal itu jangan kau lakukan,” kata Lahopeng.
“Mengapa
wahai Lahopeng?” tanya Luhrinjani heran.
“Karena….
Karena keadaan jenazah suamimu sangat rusak. Jika sampai kau melihat, aku
khawatir bayangan rasa ngeri akan seumur hidup menghantuimu.”
“Aku
bersumpah untuk membalas dendam!”
“Sebelum
sumpah itu kau ucapkan wahai Luhrinjani, aku sudah lebih dulu tujuh kali
bersumpah. Namun saat ini hanya satu pintaku….”
Kepala
Luhrinjani yang tertunduk terangkat sedikit. “Apa yang hendak kau katakan
Lahopeng?”
“Kau tahu
selama ini perasaanku terhadapmu. Cintaku setinggi langit. Kasihku sedalam
lautan. Hanya nasibku yang belum beruntung. Karena cinta kasihmu kau berikan pada
Lakasipo. Sekarang setelah Lakasipo tidak ada lagi, apakah kau berkenan
mengambil diriku sebagai penggantinya?”
Luhrinjani
menatap dalam-dalam ke mata pemuda itu. “Lahopeng, jenazah suamiku saja belum
kulihat. Mungkin bagaimana kau sampai hati berkata begitu?”
“Maafkan
aku wahai Luhrinjani,” kata Lahopeng. Sepasang matanya menatap tajam seolah mau
menembus sampai ke kepala perempuan muda cantik di hadapannya. “Aku mengikuti
hanya adat kebiasaan di negeri leluhur ini. Yaitu jika ada seorang perempuan
menjadi randa, jangan ditunggu sampai lewat tujuh hari. Dirinya harus segera
mendapatkan suami baru. Atau para roh akan mengutuk dan dia harus menunggu
sampai dua puluh empat kali bulan purnama. Jangan kau lupa wahai Luhrinjani.
Kalau paman dan bibimu tidak ikut campur terlalu jauh, diriku pasti adalah
suamimu satu-satunya. Sekarang kesempatan terbuka bagiku. Walau kini kau hanya
seorang randa….”
“Lahopeng,
mana mungkin aku melupakan adat di negeri Latanahsilam ini. Tapi aku tak bisa
memikirkan hal itu saat ini. Aku ingin melihat suamiku terakhir kali.
Bagaimanapun keadaan jenazahnya.”
“Kalau
begitu akan kuperintahkan para kerabat untuk mendapatkan mayat suamimu. Namun
kuharap kau mau berjanji. Malam ini, jika kau mau memberi kepastian, aku akan
memanggil nenek Lamahila si juru nikah. Kita cari seorang saksi. Bersama kita
pergi ke Bukit Batu Kawin. Di situ kita memadu cinta sebagai tanda ikatan suami
istri. Sebelum matahari terbit kita sudah kembali kesini.”
Luhrinjani
tegak dengan mulut terkancing. Dia seperti tidak percaya akan pendengarannya.
Air mata semakin deras mengucur.
“Lahopeng,
aku tahu kau mencintaiku. Kita pernah berkasih sayang. Tapi aku tak bisa
menolak pesan ayah bundaku melalui paman dan bibi. Bahwa harus aku menikah
dengan Lakasipo….” “Luhrinjani, yang sudah terjadi biar berlalu. Saat ini aku
menunggu jawabanmu. Jika memang diriku tidak lagi berkenan di hatimu, aku akan
pergi dari Latanahsilam ini. Membawa kehancuran hati….” “Lahopeng, aku perlu
bicara dengan paman dan bibiku dulu terlebih.”
“Luhrinjani
tambatan hatiku. Jangan lupakan adat istiadat negeri kita. Seorang perempuan
yang telah bersuami, maka lepas dirinya dari segala ikatan dua orang tuanya.
Apalagi sekarang kau cuma punya paman dan bibi. Hanya kau sendiri yang berhak
menentukan apa yang kau lakukan….”
“Lahopeng,
aku….” Luhrinjani tak bisa meneruskan ucapannya. Perempuan ini menangis keras
dan tanpa sadar menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pemuda yang memang pernah
dicintainya.
“Luhrinjani,
aku mencintaimu. Aku akan menerimamu apa adanya….” bisik Lahopeng seraya
menjatuhkan ciumannya ke kening Luhrinjani.
“Lahopeng,
aku kini memang seorang randa. Tapi ketahuilah…. Lakasipo belum sempat
menyentuh diriku secara keseluruhan….”
“Waktu
upacara pengukuhan perkawinanmu di Bukit Batu Kawin….?”
“Dia
tidak melakukan hal itu Lahopeng. Karena dia terlalu sayang padaku. Dia sengaja
menunggu sampai di rumah. Namun sampai terbunuh, dia belum sempat
melakukannya….”
“Wahai
Luhrinjani,” bisik Lahopeng dengan nafas memburu. “Maksudmu sampai saat ini kau
masih perawan?”
Luhrinjani
mengangguk dalam pelukan si pemuda.
“Ah,
nasib peruntunganku ternyata tidak seburuk yang kuduga….” lalu Lahopeng memeluk
tubuh Luhrinjani dengan sangat bernafsu. Ketika dia coba menekankan tubuhnya ke
tubuh perempuan itu di dinding ruangan sambil tangannya mengusap ke dada,
Luhrinjani cepat mendorong pemuda itu.
“Dengar
Lahopeng. Aku tidak akan memberikan apapun padamu sebelum kita berada di Bukit
Batu Kawin.”
“Maafkan
aku wahai Luhrinjani. Aku terlalu gembira hingga lupa diri….”
“Sekarang
ku harap kau mau pergi dulu Lahopeng. Untuk beberapa lama ingin aku bersunyi
diri di tempat ini….”
“Aku akan
menunggumu di bawah sana wahai Luhrinjani….” kata Lahopeng lalu mencium kening
Luhrinjani.
*********************
DUA
Dalam
gelapnya malam dan dinginya udara di puncak bukit batu, empat sosok kelihatan
duduk bersila mengelilingi perapian kecil. Dua pertama adalah pasangan Lahopeng
dan Luhrinjani. Yang ke tiga seorang nenek berambut putih riap-riapan berwajah
angker dan dari mulutnya terus menerus keluar suara meracau entah merapal apa.
Dia adalah Lamahila nenek yang dikenal sebagai juru nikah di negeri
Latanahsilam. Di sebelah si nenek duduk seorang lelaki berusia sekitar setengah
abad bernama Laduliu. Lamahila duduk membelakangi sebuah batu besar rata setinggi
lutut, berbentuk tempat ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah gundukan
batu rata menyerupai dua buah bantal.
Tiba-tiba
suara racau si nenek berhenti. Menyusul mulut perotnya berucap mengajukan
pertanyaan. “Wahai kalian yang meminta dipertemukan dalam satu perkawinan
sakral! Bukit Batu Kawin telah siap. Apakah berdua kalian sudah siap?”
“Kami
sudah siap nek,” jawab Lahopeng dan Luhrinjani berbarengan.
“Sebutkan
nama kalian. Satu persatu!” kata si nenek Lamahila.
“Aku
Lahopeng.”
“Aku
Luhrinjani.”
Lamahila
memandang dengan sepasang mata dibesarkan pada dua orang di depannya lalu
mendongak ke langit kelam dan lengkingan satu pekik menggidikkan.
“Wahai
Lahopeng, apa kau kunikahkan bersedia dengan Luhrinjani? Apa kau bersedia
menjadi suami Luhrinjani?”
“Aku
bersedia karena aku mencintainya,” jawab Lahopeng.
“Wahai
randa tiga hari bernama Luhrinjani. Apa kau kunikahkan bersedia dengan
Lahopeng? Apa kau bersedia menjadi istri Lahopeng?”
“Aku
bersedia nek,” jawab Luhrinjani.
Si nenek
lontarkan seringai angker pada kedua orang itu. Dia angkat kedua tangannya ke
atas lalu berseru. “Aku Lamahila hanyalah si juru nikah. Segala apa yang
terjadi di tempat ini tanggung jawabku menjadi. Tapi semua apa yang terjadi
setelah itu adalah bagian tanggung jawab kalian berdua! Wahai Lahopeng dan
Luhrinjani. Apa kalian berdua bersedia menerima tanggung jawab itu?!”
“Kami
bersedia nenek Lamahila,” Lahopeng dan Luhrinjani sama berikan jawaban.
“Langit
bersaksi. Bumi bersaksi. Di antara keduanya roh dan para Peri dan Dewa ikut bersaksi!
Wahai anak manusia bernama Laduliu, apa kau sudah siap menjadi saksi hidup di
bawah langit di atas bumi?!”
Lelaki
separuh baya yang duduk di sebelah si nenek segera menjawab. “Aku Laduliu siap
menjadi saksi perkawinan antara Lahopeng dengan Luhrinjani. Dengan syarat
segala tanggung jawab adalah bagian mereka berdua!”
Dari
mulut Lamahila melengking satu pekik keras. Lalu dari balik bajunya nenek ini
keluarkan sepotong kayu. Begitu ujung kayu disorongkan ke perapian dan terbakar
maka tempat itu serta merta menjadi sangat wangi harumnya bau kayu cendana.
“Syarat
perkawinan di Negeri Latanahsilam! Ada lelaki sebagai pengantin lelaki. Ada
perempuan sebagai pengantin perempuan. Jika dia gadis maka jadilah dia
pengantin perawan. Jika dia seorang randa maka jangan menunggu sampai lewat
tujuh hari. Kecuali kalau dia mau menunggu selama dua puluh empat kali bulan
purnama. Ada saksi di langit. Ada saksi di bumi. Ada saksi di antara keduanya.
Bukit Batu Kawin! Malam ini aku Lamahila yang dikuasakan sebagai juru nikah di
Negeri Latanahsilam ingin melakukan pengesahan perkawinan antara pemuda bernama
Lahopeng dengan seorang randa bernama Luhrinjani. Perkenankan sepasang
pengantin ini bersatu raga di atas pelaminan batu!”
Saat itu
terjadilah satu hal yang aneh. Batu besar berbentuk tempat tidur di belakang si
nenek tiba-tiba bergoyang lima kali.
Luhrinjani
merasakan dadanya berdebar dan mukanya seolah tidak berdarah. Terbayang olehnya
peristiwa empat hari lalu. Di tempat itu juga dia melakukan upacara perkawinan
dengan Lakasipo.
“Tanda
terlihat sudah. Perkenan sudah didapat. Upacara syahnya perkawinan siap
dilaksanakan.” Lamahila memberi isyarat agar semua orang yang ada di situ
bangkit berdiri. Tongkat kayu cendana yang ujungnya masih terbakar nyala api
diputar-putar di udara membentuk lingkaran-lingkaran merah sabung menyabung dan
menebar bau harum kemana-mana.
“Wahai
Lahopeng dan Luhrinjani. Berjalanlah kalian berdua. Tangan berpegangan.
Kelilingi batu pelaminan. Tiga kali dari arah kiri. Tiga kali dari arah kanan.
Setelah itu lepaskan pakaian masing-masing. Naik ke atas pelaminan batu. Di
situ kalian harus melakukan kewajiban pertama kalian sebagai suami istri yang
syah.”
Lamahila
memberi isyarat pada Laduliu. Orang yang bertindak sebagai saksi merangkap
pembantu si nenek ini segera mengambil selembar tikar terbuat dari jerami
berwarna kuning yang sudah disiapkannya. Tikar ini dibentangkan di atas
pelaminan batu. Lamahila keluarkan sebuah pundi-pundi kecil terbuat dari tanah
berisi cairan harum yang kemudian dituangkannya di empat sudut tikar. Lalu dari
sebuah kantong kain diambilnya beberapa jumput tujuh macam bunga dan disebar di
atas tikar jerami.
Setelah
melakukan itu semua Lamahila diikuti Laduliu melangkah mundur ke tempat gelap.
Dari mulut si nenek kembali terdengar suara meracau tapi sangat perlahan,
antara terdengar dan tidak. Dari tempat gelap bersama pembantunya dia siap
menyaksikan apa yang akan dilakukan Lahopeng dan Luhrinjani.
Diterangi
nyala perapian, sambil berpegangan tangan Lahopeng dan Luhrinjani melangkah
mengelilingi pelaminan batu. Mula-mula tiga kali dari sebelah kiri. Setelah itu
berputar ke sebelah kanan.
Seperti
apa yang dikatakan si juru nikah Lamahila, Lahopeng menanggalkan pakaiannya
yakni sehelai celana berwarna merah. Akan halnya Luhrinjani, perempuan muda ini
tidak segera mengikuti apa yang dilakukan si pemuda.
Dari arah
kegelapan tiba-tiba terdengar suara Lamahila.
“Jika
terjadi keragu-raguan di salah satu pihak. Maka perkawinan di Bukit Batu Kawin
ini menjadi batal!”
“Luhrinjani,”
bisik Lahopeng. “Lekas tanggalkan pakaianmu.”
Saat itu
di pelupuk mata Luhrinjani mendadak muncul bayangan wajah suaminya. “Lakasipo…”
desis Luhrinjani. Dia melihat Lahopeng seolah sosok Lakasipo. Itu sebabnya
perempuan ini diam saja ketika Lahopeng mulai melepas tali pengikat pinggang
pakaiannya. Tali pengikat jatuh kebawah. Sebagian aurat Luhrinjani tersingkap.
Pada saat
itulah sekonyong-konyong di kejauhan terdengar suara menggemuruh derap kaki
kuda. Bergerak cepat sekali menuju puncak Bukit Batu Kawin. Semua orang yang
ada di tempat itu tersentak kaget.
Luhrinjani
putar kepalanya ke arah datangnya suara itu. “Lakasipo…” bibir Luhrinjani
bergerak bergetar. “Aku mengenali suara binatang tunggangannya.”
Melihat
gelagat yang tidak baik itu Lahopeng bergegas berusaha menanggalkan seluruh
pakaian yang melekat di tubuh Luhrinjani.
Laksana
hantu turun dari langit tiba-tiba melesatlah sesosok makhluk hitam besar
disertai gelegar ringkik kuda. Tiupan angin kencang menerbangkan tikar jerami
kuning dari atas pelaminan batu. Bunga-bunga aneka warna bertebaran ke udara.
*********************
TIGA
Braaakkk!
Tiga pasang kaki berbulu aneh mendarat di atas bukit batu. Itu adalah kaki-kaki
seekor kuda hitam bermata merah yang pada kepalanya terdapat dua buah tanduk
mencuat tajam. Keanehan lain dari kuda ini ialah dia memiliki tiga pasang kaki.
Tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan!
Di atas
kuda aneh itu duduk seorang lelaki yang muka dan tubuhnya penuh luka bersimbah
darah.
“Lakasipo!”
teriak Luhrinjani begitu melihat orang di atas kuda yang bukan lain adalah
suaminya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Bukankah menurut Lahopeng
suaminya itu telah menemui ajal di tangan komplotan pemberontak. Luhrinjani
berpaling ke arah Lahopeng. Pemuda ini tampak tegak tertegun. Matanya terbeliak
dan mukanya yang kebiru-biruan mendadak pucat. Luhrinjani hendak menghambur
lari mendapatkan lelaki itu tapi langkahnya tertahan begitu sadar akan keadaan
dirinya yang saat itu tidak tertutup selembar benang pun karena tadi Lahopeng
telah sempat menanggalkan pakaiannya. Dengan cepat Luhrinjani mengambil
pakaiannya lalu mengenakannya dengan tergesa-gesa. Lahopeng segera pula
menyambar celana merahnya.
Walau
matanya laksana ditusuk tombak api dan dadanya seolah terbakar menyaksikan
keadaan istrinya namun Lakasipo tidak perdulikan perempuan itu. Dia melesat
dari atas kuda dan langsung menghadapi Lahopeng.
“Lahopeng
kerabat keparat! Busuk tidak kusangka sifatmu! Diriku kau khianati!”
“Lakasipo,
jangan salah kau bersangka! Biar kujelaskan padamu…” Lahopeng tergagap.
“Tidak
perlu penjelasan! Aku tahu sudah apa yang terjadi! Lebih dari itu sudah
kubuktikan sendiri apa yang ada dalam bungkusan kepalamu! Keji!” Alis dan kumis
Lakasipo yang lebat sampai berjingkrak saking marahnya.
“Lakasipo,
tunggu dulu!”
“Jahanam!
Jangan kau berani bermulut banyak! Kau sengaja menjebak aku Lahopeng! Kau
katakan ada sekelompok orang hendak merampas kedudukanku sebagai Kepala Negeri
Latanahsilam. Kau bawa aku ke Lembah Labengkok. Ternyata yang menunggu di sana
bukan pemberontak. Tapi kaki tanganmu. Dibantu Hantu Muka Dua! Kau begitu yakin
aku akan terbunuh! Kau beritahu Luhrinjani bahwa aku sudah tewas. Agar kau bisa
mengawininya! Pengkhianat laknat terkutuk! Dari belakang kau menohok! Kau
gunting leherku dalam lipatan! Tapi para roh dan para dewa menolongku! Aku
masih hidup Lahopeng! Kau harus tebus kejahatanmu dengan nyawa busukmu!”
“Lakasipo
wahai suamiku!” jerit Luhrinjani yang saat itu sudah mengenakan pakaiannya dan
menghambur ke arah Lakasipo. Tapi lelaki itu membentaknya dengan suara garang
dan wajah sebuas setan.
“Perempuan
tidak berbudi! Mana kesetiaanmu!”
“Suamiku….”
“Jangan
panggil aku suamimu! Tiga hari baru kau jadi istriku! Belum satu minggu kau
kukawini! Sampai hati kau menyerahkan hati dan tubuhmu pada lelaki lain!”
“Lakasipo,
aku tertipu. Aku….”
“Kau
tidak tertipu Luhrinjani! Justru kau sendiri menipu diri!” Lakasipo lalu
mendorong tubuh perempuan itu hingga Luhrinjani jatuh terjengkang dekat
pelaminan batu.
Di tempat
gelap Lamahila dan Laduliu saling berbisik.
“Tak
kusangka hal seperti ini bakal terjadi! Lahopeng dan kaki tangannya rupanya
sengaja menipu Luhrinjani agar dapatkan randa itu. Kita ikut tertipu Nenek
Lamahila…” suara Laduliu bernada penuh khawatir.
“Ditakuti
tak ada yang perlu!” jawab Lamahila. “Bukankah aku sudah merapal. Apapun yang
bakal terjadi semua tanggung jawab Lahopeng dan Luhrinjani! Itu perjanjian
disaksikan langit dan bumi. Disaksikan pelaminan batu! Didengar para roh, para
Peri dan para Dewa!”
“Tapi
Nenek Lamahila. Pikirkan keselamatan sendiri. Lebih baik kita segera angkat
kaki dari puncak Bukit Batu Kawin ini!”
Si nenek
berambut putih riap-riapan anggukkan kepala. “Aku setuju ucapanmu Laduliu!
Lekas kita merat dari sini!” kata si nenek pula. Lalu dua orang itu dengan
cepat segera tinggalkan Bukit Batu Kawin, menghilang dalam kegelapan.
Dengan
keluarkan suara menggembor Lakasipo menerjang ke arah Lahopeng. Tangan kanannya
bergerak. Lima jari tangan kanannya menjentik. Lima larik sinar hitam menderu
menghantam Lahopeng.
“Pukulan
Lima Kutuk Dari Langit!” teriak Lahopeng yang mengenali pukulan maut itu dan
menjadi sadar kalau Lakasipo benar-benar nekad ingin membunuhnya.
Secepat
kilat Lahopeng jatuhkan diri ke bukit batu. Lima larik sinar hitam lewat hanya
sejengkal di sampingnya. Menghantam dua buah pohon besar enam tombak di ujung
kiri. Sesaat kemudian terdengar suara bergemeletak seperti kayu kering dimakan
api. Padahal tak ada kayu yang terbakar. Ketika Lahopeng palingkan kepalanya
untuk melihat apa yang terjadi, mukanya yang kebiru-biruan menjadi putih dan
nyawanya seperti terbang. Dua pohon tinggi besar yang terkena pukulan Lima
Kutuk Dari Langit saat itu telah berubah ciut mengkeret menjadi dua pohon
kering kerontang tanpa daun. Dan tingginya kini hanya sampai sebatas lutut!
Lahopeng
sadar bahaya besar yang dihadapinya. Dia memang memiliki ilmu kesaktian. Tapi
ilmu yang dimiliki Lakasipo sulit ditandingi. Padahal lawan baru mengeluarkan
satu saja dari beberapa ilmu hebat yang dimilikinya.
Sambil
melompat bangkit Lahopeng cabut senjata yang terselip di pinggangnya. Yakni
sebilah parang terbuat dari batu kelabu. Walau bentuknya buruk namun parang
batu ini bukan senjata sembarangan. Jangankan tubuh manusia, batu sebesar
apapun bisa hancur kena tikamannya. Selain itu untuk menyerang musuh senjata
itu tidak perlu tetap digenggam di tangan. Cukup dilempar dilepas ke udara maka
parang batu ini akan melayang menyerang musuh.
“Parang
Batu Penjungkir Arwah!” ujar Lakasipo dengan suara bergetar menyebut nama
senjata di tangan Lahopeng. Dia tahu betul kehebatan senjata itu. Tapi nyalinya
tidak leleh. “Lahopeng! Boleh kau punya sepuluh parang sakti! Aku Lakasipo
tidak takut!”
Lahopeng
pemuda berwajah kebiru-biruan menyeringai. “Waktu sudah kuminta untuk memberi
penjelasan. Tapi kau mendesak dan memburu laksana setan! Jangan menyesal
Lakasipo! Kalau kau benar-benar mati menjadi setan!”
“Jahanam
takabur! Perampok istri orang! Kau punya roh yang bakal minggat duluan! Kau
yang bakal jadi setan gentayangan! Arwahmu tergantung antara langit dan bumi!
Tersiksa dalam siang maupun malam! Tersesat di delapan penjuru angin! Para Peri
dan Dewa mendengar kutukku!”
“Aku
tidak merampok istri Lakasipo! Kau yang merampas kekasihku!” teriak Lahopeng.
“Kalian
berdua! Hentikan perkelahian!” teriak Luhrinjani. Perempuan ini tidak berani
mendekati dua orang yang tengah berhadap-hadapan untuk saling membunuh itu.
Namun tak
ada yang memperdulikan jeritan Luhrinjani.
“Lakasipo,
jika kau memang merasa diri hebat! Jika kau masih inginkan istrimu majulah!”
tantang Lahopeng.
Lakasipo
merasa sekujur tubuhnya seperti terbakar mendengar ucapan orang. “Aku tidak
ingin perempuan penjual cinta dan tubuh itu! Hanya satu niatku saat ini!
Membunuhmu sampai lumat!”
“Kau
mimpi Lakasipo! Majulah cepat! Akan kubuktikan bahwa kau seorang lelaki tak
berguna! Kau tidak pantas menjadi Kepala Negeri Latanahsilam. Lebih dari itu
kau tidak pantas menjadi suami Luhrinjani!”
Lakasipo
keluarkan suara menggereng dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke depan. Di saat yang
sama Lahopeng lemparkan Parang Batu Penjungkir Arwah ke udara. Senjata ini
serta merta memancarkan sinar kelabu lalu secara aneh berputar seperti titiran.
Memancarkan cahaya kelabu dan mengeluarkan angin dingin menggidikkan. Parang
batu ini menyambar ganas ke arah Lakasipo. Menyerang bagian-bagian tubuh secara
tidak terduga!
Lakasipo
tahu kehebatan senjata lawan cepat berkelebat mengelak. Tubuhnya seolah berubah
menjadi bayang-bayang. Sambil mengelak tangannya bergerak tiada henti.
“Hulu
parang… hulu parang! Aku harus dapat menangkap hulu parang!” kata Lakasipo
dalam hati berulang kali. Dia memang tahu kelemahan senjata lawan. Siapa saja
yang diserang tapi sanggup menangkap gagang parang batu maka senjata itu akan
menjadi miliknya, dapat dipergunakan untuk menyerang lawan termasuk pemiliknya.
Tapi bukan hal mudah untuk dapat menangkap hulu parang batu. Selama Lahopeng
memiliki senjata itu, sekian lama pula ayahnya menguasai parang tersebut
sebelum diwariskan pada Lahopeng, tidak pernah ada satu musuh pun yang sanggup
menangkap parang batu! Agaknya Lakasipo juga tidak mungkin melakukan hal itu.
Usahanya bukan saja sia-sia tapi dua lengan dan tangannya yang sebelumnya
memang sudah penuh luka bergelimang darah kini tampak cidera bertambah parah.
Satu tikaman malah mengoyak lambungnya hingga tulang iganya tersembul memutih.
Luhrinjani terpekik!
“Lakasipo!
Kematian akan segera menjemputmu! Aku bersedia memberi pengampunan! Tinggalkan
tempat ini! Jangan berani kembali ke Negeri Latanahsilam!”
Lakasipo
mendengus keras. Dari hidung dan mulutnya mengepul hawa putih. “Memang aku akan
pergi jauh Lahopeng. Aku akan pergi ke Negeri Neraka Langit Ke Tujuh! Dan kau
akan kubawa serta!”
Habis
berkata begitu Lakasipo keluarkan satu pekik dahsyat. Tubuhnya mencelat dua
tombak ke atas. Dari ujung dua kakinya mengepul asap hitam yang langsung
membungkus kedua kakinya sampai sebatas betis sehingga saat itu dia seperti
mengenakan sepasang kasut hitam memancarkan cahaya angker.
“Kaki Roh
Pengantar Maut!” seru Lahopeng penuh kejut. Dalam hati dia membatin kecut.
“Jadi benar rupanya dia telah memiliki ilmu luar biasa itu. Aku waspada harus!
Atau….”
“Wutttt!”
“Wuuuut!”
Laksana
dua ekor elang besar, dua kaki Lakasipo melayang turun, menyambar ke dada dan
kepala Lahopeng. Dua larik sinar menggidikkan menambah angker serangan maut
itu. Lahopeng cepat berkelebat selamatkan diri sambil gerakkan tangan kanannya.
Di bawah kendali gerakan tangan itu, Parang Batu Penjungkir Arwah melesat ke
atas memapasi hantaman dua Kaki Roh Pengantar Maut.
“Breettt!”
Sambaran
parang merobek selaput hitam yang membungkus kaki kiri Lakasipo dan merobek
telapak kakinya. Darah mengucur. Namun kemarahan dendam kesumat membuat
Lakasipo tidak merasakan sakitnya luka di kaki itu. Kaki kanannya digerakkan
menghantam parang batu.
“Braaakkk!”
Parang
Batu Penjungkir Arwah patah dua mengeluarkan suara seperti hancurnya sebuah
batu besar. Dua patahan parang terlempar lenyap dalam kegelapan.
Putuslah
nyali Lahopeng melihat apa yang terjadi dengan senjata yang sangat
diandalkannya itu. Tanpa menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik sebatang
pohon besar lalu melesat ke atas biawak hitam tunggangannya dan kabur melarikan
diri dari puncak Bukit Batu Kawin.
“Jahanam
Lahopeng! Mau ke mana kau lari!” teriak Lakasipo. Masih melayang di udara
tubuhnya membuat gerakan berjungkir balik lalu melesat mengejar ke arah larinya
pemuda berwajah biru. Kaki kanannya menghantam.
“Braaakkk!”
Batang
pohon besar di balik mana barusan Lahopeng menyelinap kabur hancur terkena
tendangan Lakasipo lalu tumbang menggemuruh. Lakasipo berkelebat mengejar ke
balik tumbangan pohon. Namun Lahopeng dan tunggangannya telah lenyap dalam
kegelapan malam. Lakasipo kertakkan rahang. Dia siap lari mendatangi kuda
berkaki enam yang jadi tunggangannya untuk mengejar. Tapi tiba-tiba Luhrinjani
telah memagut tubuhnya. Merasa dirinya dihalangi Lakasipo membentak marah.
“Sengaja
kau menghalangi diriku mengejar pemuda jahanam itu! Makin jelas bagiku kau
ingin membela melindunginya! Pertanda kau bukan perempuan suci! Bukan perempuan
setia bisa dipercaya! Kudengar di masa muda ibumu juga bersifat seburuk
dirimu!”
Luhrinjani
menjerit mendengar kata-kata Lakasipo itu. Perempuan ini jatuhkan diri dan
merangkul kaki Lakasipo seraya meratap.
“Wahai
Lakasipo, sabarkan dirimu. Buang amarahmu jauh-jauh. Jika sudah kau menguasai
diri, mari kita bicara dulu….”
Lakasipo
mendengus dan sibakkan dua tangan Luhrinjani. “Jangan sentuh diriku Luhrinjani!
Mulai saat ini tidak aku sudi lagi melihat dirimu! Pergi kejar Lahopeng! Kawini
dirinya! Bukan dengan tubuh kasarnya! Tapi dengan roh busuknya! Karena aku akan
segera membunuhnya! Pasti!”
“Lakasipo….”
“Jangan
panggil namaku!” teriak Lakasipo lalu menjambak rambut Luhrinjani sehingga
sederet sunting yang menghias kepalanya berjatuhan. “Ingat malam perkawinan
waktu kita berada di pelaminan batu sana empat hari lalu! Aku begitu
mengasihimu hingga tidak sungguh-sungguh bersatu badan denganmu! Sebagai
istriku hal itu bisa kudapatkan nanti. Bukan disaksikan oleh orang banyak yang
punya adat kebiasaan gila itu! Menyuruh orang bersatu badan sementara mereka
menyaksikan! Bejat sungguh adat gila negeri ini!”
“Lakasipo!
Jangan kau berani berkata begitu. Itu adat aturan Negeri Latanahsilam sejak
jaman nenek moyang kita…!” seru Luhrinjani.
“Kujaga
dirimu baik-baik pada malam pengantin kita! Tapi tadi kau begitu mudah hendak
menyerahkan tubuhmu pada Lahopeng pemuda pengkhianat keparat itu! Sungguh
budimu rendah sekali! Martabatmu di mana sebagai gadis terpandang di Negeri
Latanahsilam! Perempuan lacur di Negeri Lahansesat sekalipun jika dikawini
secara baik-baik tidak akan berbuat serendah pekerti dirimu!”
Luhrinjani
terpekik mendengar ucapan Lakasipo itu. Mukanya pucat memutih. Matanya
terbelalak dan sekujur tubuhnya menggeletar. Dua tangannya dipergunakan menekap
pipinya kiri kanan. Dalam keadaan setengah berjongkok dia bersurut mundur.
Sekali lagi perempuan ini menjerit. Lalu tiba-tiba sekali dia bangkit berdiri,
memutar tubuh dan lari ke arah timur puncak Bukit Batu Kawin di arah mana
terdapat sebuah jurang batu sedalam seratus tombak.
“Luhrinjani!”
teriak Lakasipo. Dia segera mengejar karena sadar apa yang hendak dilakukan
perempuan itu. Namun lelaki ini hanya sempat menyentuh pundak istrinya itu.
Luhrinjani telah lebih dulu menghambur membuang diri ke dalam jurang batu.
Suara pekikannya menggema selagi tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Lalu suara
pekik itu lenyap. Puncak Bukit Batu Kawin ditelan keheningan. Tak ada suara
apa-apa. Bahkan suara hembusan angin pun tidak menyentuh pendengaran. Lakasipo
tegak terkesiap, memandang membeliak ke dalam jurang gelap menghitam.
“Luhrinjani!”
Tiba-tiba Lakasipo berteriak. Hanya gema suaranya yang menyahuti, menggaung
dari dasar jurang batu yang kelam.
*********************
EMPAT
(Seperti
diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Malaikat” Episode ke 9
dari 11 Episode) ketika masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, Puti Andini alias
Dewi Payung Tujuh telah ditelan oleh ular naga betina peliharaan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Di dalam perut ular gadis ini menemukan tiga buah benda. Pertama
Pedang Naga Suci 212 yang memang tengah dicarinya atas perintah Tua Gila. Benda
ke dua adalah sebuah kitab daun lontar bernama Kitab Wasiat Malaikat. Benda ke
tiga sebuah batu aneh memiliki tujuh macam warna seperti warna pelangi.
Sewaktu
perut ular robek besar oleh sambaran Pedang Naga Suci 212, senjata sakti ini
bersama Kitab Wasiat Malaikat dan batu tujuh warna terpental ke luar. Pedang
Naga Suci 212 diperebutkan oleh beberapa orang tokoh silat antara lain Sinto
Gendeng, Sika Sure Jelantik dan Sabai Nan Rancak. Setelah berpindah tangan
pedang sakti itu akhirnya jatuh ke tangan Puti Andini dan dipergunakan untuk
menyembuhkan Pendekar 212 dari musibah kutuk yang dideritanya.
Kitab
Wasiat Malaikat didapat oleh Ratu Duyung sedang batu tujuh warna berhasil
diambil oleh kakek aneh bermata jereng bertelinga lebar yang dikenal dengan
panggilan Si Setan Ngompol.
Setelah
peristiwa besar di saat gerhana matahari di Telaga Gajahmungkur yang
mengisahkan matinya dedengkot golongan hitam Datuk Lembah Akhirat (dituturkan
dalam serial Wiro Sableng berjudul “Gerhana Di Gajahmungkur”) tiga dari sekian
banyak tokoh silat golongan putih yang terlibat dalam peristiwa itu kini
tersesat di kawasan pantai selatan. Mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, si
bocah bernama Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Lalu kakek
berjuluk Si Setan Ngompol.
“Kita
pergi tanpa tujuan. Mendingan aku ikut saja bersama Ratu Duyung yang cantik
itu. Mencari Hantu Balak Anam yang katanya membekal Kalung Permata Kejora. Atau
ikut dengan gadis berambut pirang Bidadari Angin Timur. Pergi dengan kalian
pemandanganku malah jadi sepet. Apa untungnya aku ikut kalian!”
Pendekar
212 dan Setan Ngompol saling pandang dan kedipkan mata. Setan Ngompol baru saja
hendak menjawab ucapan si bocah Naga Kuning tadi tapi mendadak ada suara lain
mendahului.
“Wahai
bocah jelek! Tidak ada memang untungnya! Malah kau segera akan jadi buntung!”
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol serta merta sama palingkan kepala ke arah
datangnya suara tadi. Mereka melihat seorang kakek tak dikenal duduk bersila di
atas sebuah batu. Orang tua berambut, berkumis dan berjanggut putih riap-riapan
ini mengenakan pakaian aneh, terbuat dari sejenis daun yang dikeringkan. Dia
duduk bersila di atas sebuah batu. Wajahnya aneh karena kening, hidung dan
pipinya sama rata. Di balik keanehan ini terpancar sesuatu yang menakutkan.
“Aneh,”
bisik Wiro. “Barusan kita melewati batu itu tak ada siapa-siapa di sana.
Bagaimana sekarang tahu-tahu kakek itu berada di situ?” Naga Kuning tidak
sahuti ucapan Wiro. Dia yang barusan ditegur dan memang sedang jengkel langsung
berkata pada si orang tua.
“Kakek
tak dikenal. Tolong jelaskan apa maksud ucapanmu barusan.” Naga Kuning lalu
melangkah mendekati orang tua itu. Tapi Si Setan Ngompol cepat pegang lengan si
bocah seraya berkata.
“Cuma
seorang jembel bulukan begitu perlu apa dilayani.”
Naga
Kuning – bocah yang sebenarnya adalah seorang kakek berusia lebih dari seratus
tahun ini – semula hendak mengiyakan. Namun mendadak Pendekar 212 Wiro Sableng
pegang bahu Naga Kuning dan Setan Ngompol seraya berkata setengah berbisik.
“Coba
kalian perhatikan. Tadinya aku mengira kakek itu duduk di atas batu. Ternyata
tubuhnya berada setengah jengkal di atas batu! Dia duduk mengapung di udara!”
Setan
Ngompol dan Naga Kuning sama-sama besarkan mata lalu sama-sama tersurut. Setan
Ngompol leletkan lidah. “Hanya orang-orang berkepandaian sangat tinggi mampu
melakukan hal seperti itu. Nyanyuk Amber tokoh paling hebat dalam rimba
persilatan sekalipun belum tentu bisa berbuat seperti itu….”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Maju selangkah lalu cepat menjura. “Ah, maafkan kami
yang buta ini. Tidak tahu kalau saat ini tengah berhadapan dengan seorang
pandai. Kek, siapa kau gerangan dan mengapa berada di rimba belantara ini. Apa
kau kesasar…?”
Kakek
yang mengapung di atas batu tertawa mengekeh. Suara kekehannya terdengar aneh
karena seolah bergema di empat sudut hingga Wiro dan kawan-kawannya memandang
berkeliling terheran-heran.
“Kau
benar-benar hebat Kek! Memiliki ilmu memindahkan suara hingga tawamu terdengar
di empat tempat!” Pendekar 212 memuji.
Si kakek
gelengkan kepala. “Wahai anak muda. Ilmu memindahkan suara yang kau kenal
adalah dasar paling rendah dari kepandaian mempermainkan lidah dan tenaga dalam
dari perut. Yang barusan padamu aku perlihatkan adalah ilmu bernama Empat
Penjuru Angin Menebar Suara! Lima tingkat lebih tinggi dari ilmu memindahkan
suara!”
“Ah,
seumur hidup baru sekali ini aku mendengar ilmu yang kau sebutkan itu!” kata
Setan Ngompol. “Sahabat tua, kami belum mendengar penjelasanmu. Apa benar kata
sahabatku ini tadi. Kau kesasar ke tempat ini?”
“Wahai
kakek yang tubuhnya menebar bau kencing kuda! Tidak kesasar aku ini! Perjalanan
dan pertemuan ini sudah kurencanakan sejak lima abad silam memang!”
Tiga
orang itu melengak ternganga. Wiro berbisik. “Si tua ini bukan saja aneh
keadaan tubuhnya tapi caranya bicara juga aneh. Kata-kata dalam ucapannya
kadang-kadang terbalik-balik. Lalu katanya dia telah merencanakan ini sejak
lima abad lalu….”
“Biar aku
yang bicara,” kata Setan Ngompol. Lalu dia maju satu langkah mendekati orang di
atas batu. “Sobat, kita sama-sama tua. Pengalaman hidup kita tentu sudah
bergudang-gudang. Tapi baru sekali ini aku mendengar ada orang merencanakan
perjalanan dan pertemuan sejak lima ratus tahun lalu. Bagaimana ini?”
“Wahai
bagi bertiga kalian mungkin saja aneh. Tapi bagiku sama sekali anehnya tidak
ada. Apa yang kurencanakan kini menjadi kenyataan. Kalian bertiga sudah ada
dalam penglihatanku lima ratus tahun lalu. Nyatanya wahai kini kalian hadir
benar-benar di hadapanku!”
“Aku
melihat gelagat tidak baik,” bisik Setan Ngompol pada Pendekar 212. “Melihat
pada pakaiannya yang terbuat dari daun kering tidak mustahil dia ini lama
terpendam dalam rimba belantara.”
“Kek,
rencana apa yang ada dalam benakmu sejak lima ratus tahun silam itu?” bertanya
Naga Kuning.
Belum si
kakek menjawab Wiro menyambung. “Kek, setiap bicara kau suka memakai kata
wahai. Selain itu logat bicaramu aneh. Kata-katamu suka terbalik-balik. Kau
bukan orang sini. Kau dari mana sebenarnya Kek?”
Kembali
kakek di atas batu tertawa mengekeh dan seperti tadi suara tawanya terdengar
menggema di empat tempat.
“Aku
datang dari negeri seribu dua ratus tahun silam…” kata orang tua di atas batu
sambil menyeringai lalu mengusap mukanya yang rata.
“Kakek
kau tentu bergurau!” kata Naga Kuning pula.
“Kek,
kami memang tidak kenal siapa kau. Tapi kalau katamu kau datang dari masa
seribu dua ratus tahun silam, rasanya sulit kupercaya…” kata Wiro sambil
garuk-garuk kepala.
“Itulah
sifat jelek manusia hidup dalam jamanmu wahai anak muda. Terkadang tidak mau
percaya pada kenyataan. Tapi lebih percaya pada kebohongan. Percuma saja aku
menjelaskan pada wahai kalian bertiga. Karena kujelaskan pun kalian tidak akan
mengerti. Biar satu contoh aku berikan!” Kakek yang duduk mengapung di atas
batu memandang pada Naga Kuning. “Orang ini. Perwujudan muka dan sosok tubuhnya
adalah seorang bocah. Berusia tidak lebih dari dua belas tahun. Tapi siapa
mengira sebenarnya kalau dia adalah seorang tua berusia seratus dua puluh
tahun! Siapa bisa menerangkan keanehan ini! Padahal keanehan dalam dirinya adalah
sepersepuluh saja dari segala keanehan yang terdapat dalam kehidupanku!”
Naga
Kuning diam-diam menjadi gelisah. “Bagaimana orang tua ini tahu keadaan
diriku,” ujarnya dalam hati.
“Kek,
tadi pun kami sudah mengatakan kau adalah orang hebat. Bukan sembarangan.
Sekarang apakah kau mau mengatakan siapa dirimu? Apa rencanamu terhadap kami
sesuai penglihatanmu lima ratus tahun yang lalu?”
Mendengar
ucapan Wiro itu orang tua di atas batu berkata. “Wahai anak muda yang jarah
tiga angka ada di dadanya! Akan kujawab tanyamu. Coba pandang dulu wajahku
baik-baik!” Habis berkata begitu si orang tua gerakkan tangan kanannya untuk
mengusap wajah serta bahunya kiri kanan. Saat itu juga wajahnya yang tadi rata
kini berubah menjadi wajah makhluk sangat menyeramkan. Rambutnya berjingkrak
lurus berwarna merah. Dari kulit kepalanya mengepul asap kemerah-merahan.
Hidungnya panjang tinggi dan bengkok. Lalu sepasang matanya seolah berada di
luar rongga, membeliak merah. Dari sela bibirnya yang kini berubah biru pekat
mencuat keluar barisan gigi-gigi panjang besar dan lancip. Sesekali lidahnya
terjulur keluar bergelimang cairan merah seperti darah! Perubahan yang terjadi
atas diri orang tua ini tidak sampai disitu saja. Ternyata tangannya kini telah
menjadi empat buah. Dua di kiri dua di kanan! Empat tangan itu bergerak kian
kemari tak bisa diam.
Pendekar
212, Naga Kuning dan Setan Ngompol tersurut sampai tiga langkah. Setan Ngompol
langsung terkencing-kencing.”Celaka! Jangan-jangan kita berhadapan dengan
dedemit rimba belantara!” bisik kakek ini sambil pegangi bagian bawah perutnya
kencang-kencang menahan kencing.
Didahului
suara tawa bergelak, sosok menyeramkan kakek di atas batu kembali berubah
seperti semula. Mukanya kembali rata dan tangannya kembali hanya dua. Wiro
beranikan diri berkata. “Kami sudah lihat keadaan dirimu. Sungguh luar biasa.
Cuma kalau tanganmu empat seharusnya kakimu juga kau rubah empat, tidak cuma
dua!”
Naga
Kuning tertawa cekikikan. Setan Ngompol senyum-senyum tak berani tertawa
keras-keras karena takut terkencing-kencing.
“Orang
tua, sekali lagi kami meminta. Harap terangkan siapa dirimu adanya!” Naga
Kuning kini yang bicara.
Wajah
rata si orang tua tampak hitam mengelam. Dadanya bergoncang tanda dia menahan
perasaan tidak enak akibat ucapan Wiro yang memperolokkannya tadi.
“Wahai
kalian bertiga. Ketahuilah sejak lahir tidak pernah diriku diberi nama.
Orang-orang memanggilku dengan sebutan Hantu Tangan Empat!”
“Hantu
Tangan Empat!” mengulang Wiro sementara Setan Ngompol dan Naga Kuning saling
berpandangan.
“Aneh,”
bisik Setan Ngompol. “Hantu benaran mana bisa bicara ngobrol seperti dia! Kita
harus hati-hati. Aku punya firasat dia ada niat jahat terhadap kita bertiga!
Bukankah dia sengaja mencegat kita di tempat ini. Seperti yang katanya
direncanakan sejak lima ratus tahun lalu? Gila! Apa masuk di akal?!”
Wiro
pegang lengan Setan Ngompol lalu berkata pada Hantu Tangan Empat. “Kakek hebat!
Terima kasih kau sudah memberi tahu siapa dirimu. Sekarang apa kau suka
menjelaskan rencana apa yang kau buat terhadap kami bertiga?”
“Wahai
anak muda! Dalam penglihatanku lima ratus tahun yang silam maka adalah kau
orangnya yang bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Benar?”
Wiro
garuk kepala lalu mengiyakan walau dalam hati dia membatin. “Lima ratus tahun
yang lalu lahir pun aku belum! Semakin aneh manusia satu ini bagiku!”
Kakek di
atas batu berpaling pada Naga Kuning. “Dan kau wahai bocah! Seperti aku kau
juga dilahirkan tidak bernama. Orang-orang menyebutmu Naga Kuning alias Naga
Kecil alias Naga Cilik. Salahkah ucapanku?!”
“Kau, kau
benar wahai Kakek!” jawab Naga Kuning. Walau heran tapi dia sengaja meniru cara
bicara si orang tua yang sering-sering mempergunakan kata wahai.
“Siapa
diriku, apakah kau juga tahu?” bertanya Si Setan Ngompol sambil tekap bagian
bawah perutnya.
“Wahai
orang tua berjereng mata, berlebar telinga. Menerka siapa dirimu semudah
membalikkan tangan. Badanmu menebar bau pesing kencing kuda. Pasti sudah kau
adalah manusianya yang dijuluki Si Setan Ngompol!”
“Ah!”
Setan Ngompol berkata setengah berseru, kagum lalu terkencing.
“Sekarang
Kek, harap katakan apa rencanamu terhadap kami,” ucap Wiro pula.
Kakek
yang mengaku sebagai Hantu Tangan Empat tertawa lebar. Dia usap muka ratanya
lalu rangkapkan dua tangan di atas dada. Setelah mendongak ke langit baru dia
berkata.
“Aku
mendapat tugas dari Hantu Muka Dua….”
“Hemmm….
Kau tadi mengaku sebagai Hantu Tangan Empat. Hantu Muka Dua…. Siapa dia?
Temanmu, gurumu, embahmu, atau pimpinanmu?” Yang bertanya adalah Naga Kuning.
“Hantu
Muka Dua adalah raja di raja semua hantu di negeri seribu dua ratus tahun silam
Latanahsilam!” jawab Hantu Tangan Empat.
“Hantu
Muka Dua memberimu tugas. Tugas apa…?” tanya murid Sinto Gendeng Wiro Sableng.
Hantu
Tangan Empat terlebih dulu pandangi satu persatu tiga orang di depannya. Lalu
dia menyeringai dan berucap. “Tugasku membunuh kalian bertiga!”
Setan
Ngompol langsung terkencing. Naga Kuning pegangi lengan Wiro. Pendekar 212
sendiri menatap si orang tua sambil garuk kepala, tak percaya atas apa yang
barusan dikatakan.
“Apa
kubilang,” bisik Setan Ngompol. “Manusia ini ternyata memang punya maksud jahat
terhadap kita bertiga!”
*********************
LIMA
Pendekar
212 maju selangkah mendekati orang tua yang bersila mengapung di atas batu.
“Hantu Tangan Empat, kami baru sekali ini bertemu denganmu….” “Aku sudah
bertemu dengan kalian sejak lima ratus tahun silam wahai anak muda!”
“Tidak
perduli kapan kau bertemu kami. Yang jelas antara kita tak ada silang sengketa.
Kami tidak tahu di mana itu negeri seribu dua ratus tahun silam! Kami juga
tidak tahu siapa adanya Hantu Muka Dua. Mengapa tahu-tahu muncul kau ingin
membunuh kami bertiga?! Apa tidak edan?!”
Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh. “Wahai Pendekar 212. Dengar baik-baik. Bagi kami
para Hantu, tidak perlu harus ada alasan saling silang sengketa untuk membunuh
seseorang. Tidak sudi aku bicara berpanjang-panjang. Siapa di antara kalian
yang secara suka rela ingin lebih dulu menyerahkan nyawa!”
“Keparat
sialan…!” maki Wiro dengan suara perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning dan
Setan Ngompol. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku
mendengar segala macam hantu takut pada air kencing,” berkata Naga Kuning.
“Bagaimana kalau kau kencingi saja kepalanya sekarang juga! Ayo Kek, lekas buka
celanamu….”
Si Setan
Ngompol terkesiap bimbang. “Makhluk keparat itu tangannya empat. Bagaimana
kalau salah satu dari tangannya sampai meremas barangku! Bisa celaka diriku
seumur-umur!”
“Kalau
begitu celanamu saja buka. Bukankah celanamu sudah basah oleh air kencingmu.
Lemparkan celana itu ke kepalanya!”
“Naga
Kuning, jangan kau berani menyuruh seenaknya. Kau tahu di balik celana luar ini
aku hanya mengenakan sehelai celana kolor rombeng! Kau mau suruh aku berdiri
bugil di sebelah bawah?!”
“Wahai
kalian bertiga! Apa berunding tengah menentukan siapa yang mau mati duluan?!”
Hantu Tangan Empat berseru. “Berunding jangan keliwat lama! Aku bisa tidak
sabaran dan menyapu kalian bertiga sekaligus!”
“Hantu
sialan! Bagaimana kalau aku hantam saja dia saat ini juga!” Naga Kuning jadi
naik darah.
“Tunggu,
ada sesuatu yang harus kita selidiki!” kata Wiro. “Dari tadi kulihat matanya
berulang kali melirik ke arah pinggang Setan Ngompol. Seperti ada yang
diincarnya.” Murid Sinto Gendeng ini lalu maju lebih mendekati orang tua di
atas batu. “Hantu Tangan Empat, kau menyembunyikan sesuatu. Mustahil Hantu Muka
Dua menugaskanmu membunuh kami tanpa satu alasan. Kurasa ada sesuatu yang
kalian inginkan dari kami bertiga!”
Hantu
Tangan Empat menatap wajah Pendekar 212 sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Kau
cerdik wahai anak muda berambut gondrong! Terkadang kecerdikan seseorang bisa
menyelamatkan dirinya dari kematian. Dari kalian kami memang menginginkan
sesuatu! Tidak masalah kalian mau memberikan apa tidak. Karena yang terjadi
apapun bertiga kalian tetap saja akan menemui kematian!”
“Hemm…
begitu,” ujar Wiro sambil menyeringai. Otak jahilnya mulai bekerja. “Katamu kau
mendapat tugas dari Hantu Muka Dua. Pernahkah kau mendengar makhluk bernama
Hantu Muka Tiga? Satu muka di kepala, satu di dada, satu lagi di bawah
selangkangan!”
“Di
negeri seribu dua ratus tahun silam tidak ada Hantu seperti itu,” jawab Hantu
Tangan Empat.
“Hantu
Muka Tiga adalah bapak dari Hantu Muka Dua! Dan Hantu Muka Tiga adalah sahabat
kami! Jika kau berani macam-macam Hantu Muka Tiga akan merebusmu dalam kuali
raksasa!!”
Kakek di
atas batu sesaat terdiam tapi mulutnya menyunggingkan seringai.
“Sebaiknya
kita panggil saja Hantu Muka Tiga sekarang juga! Biar tua bangka satu ini
dilalapnya mentah-mentah!” berkata Naga Kuning.
“Betul!”
sahut Setan Ngompol. “Biar aku yang memanggil!” Orang tua yang sudah tahu
akal-akalan Wiro ini melesat ke cabang sebuah pohon.
Hantu
Tangan Empat tertawa bergelak.
“Kami
para Hantu tidak pernah termakan tipu daya manusia!” Tangan kanannya diacungkan
ke depan. “Wahai Pendekar 212! Aku minta senjata saktimu! Nyawamu sekaligus!”
Bersamaan
dengan itu Hantu Tangan Empat gerakkan tangan kanannya. Tangan itu robek di
bagian pinggang sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng berseru kaget sambil pegangi
pinggangnya. Di depan sana dilihatnya si kakek masih tetap duduk mengapung di
atas batu dan di tangan kanannya orang tua itu telah memegang Kapak Maut Naga
Geni 212!
“Tua
bangka berkedok hantu! Ternyata kau adalah maling tengik yang mencoba menjadi
rampok picisan!” teriak Wiro. Tangan kanannya segera diangkat. Tangan ini
sampai sebatas siku serta merta berubah menjadi seputih perak.
Kakek di
atas batu gelak mengekeh. “Pukulan Sinar Matahari! Wahai Pendekar 212! Apakah
aku mendapat kehormatan untuk merasakannya?!”
Habis
berkata begitu si kakek usap muka dan bahunya kiri kanan. Seperti tadi maka
wajahnya segera berubah. Sangat menyeramkan. Tangannya yang dua kini menjadi
empat. Salah satu dari empat tangan itu memegang Kapak Maut Naga Geni 212 milik
Wiro.
“Wussss!”
Pukulan
Sinar Matahari berkiblat. Cahaya putih panas menyambar.
“Bummm!”
Tanah di
tempat itu bergetar keras. Pepohonan berderak-derak. Batu besar hancur
berkeping-keping, mengepulkan asap seolah berubah menjadi bara. Di sebelah sana
Hantu Tangan Empat tetap tak terusik dari tempatnya semula. Duduk bersila
mengapung di atas batu yang telah hancur. Satu tangan memegang kapak, tiga
lainnya bergerak kian kemari menggulung cahaya putih pukulan Sinar Matahari
yang masih bersisa. Begitu tiga tangan dihantamkan ke depan maka buntalan
cahaya Sinar Matahari menderu menyambar ke arah pemiliknya sendiri, Wiro
Sableng!
Murid
Sinto Gendeng berteriak kaget dan cepat jatuhkan tubuh selamatkan diri. Cahaya
putih panas menderu di atasnya. Cahaya yang berasal dari pukulan Sinar Matahari
yang secara aneh luar biasa ditangkap oleh Hantu Tangan Empat menghantam pohon,
membakar semak belukar!
Setan
Ngompol dalam keadaan terkencing-kencing berkata. “Celaka! Kalau begini
naga-naganya kita bisa mati semua!”
“Aku
sudah bilang! Buka celanamu, lemparkan pada jahanam itu! Dia pasti tidak
berdaya kalau kena air kencing!” kata Naga Kuning.
Termakan
oleh ucapan si bocah Setan Ngompol segera loloskan celana luarnya hingga kini
dia hanya mengenakan baju dan sehelai celana rombeng butut. Begitu celana yang
basah kuyup oleh air kencing lepas dari tubuhnya lalu diberikan Wiro. “Kau saja
yang melemparkan!”
“Sialan!
Mengapa aku!” jawab Wiro sambil pencongkan hidung menutup jalan nafas karena
sengitnya bau pesing dari celana yang disodorkan padanya. “Berikan pada Naga
Kuning! Dia yang menyuruh, dia yang harus melakukan!”
“Wuuuut!”
Setan
Ngompol lemparkan celana basahnya yang bau pesing yang jatuh tepat di kepala
Naga Kuning. Sesaat bocah ini jadi kelagapan dan memaki habis-habisan. Celana
yang menutupi kepala dan tubuhnya ditarik lalu dilemparkan ke arah Hantu Tangan
Empat.
Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh. Sebelum celana yang basah oleh air kencing itu
menimpa kepalanya, salah satu dari dua tangan kirinya didorongkan ke depan.
Celana milik Setan Ngompol yang melayang di udara mencelat mental, bertaburan
menjadi cabikan-cabikan kecil!
“Naga
Kuning! Ajaranmu tak ada gunanya! Lihat! Sekarang aku jadi setengah bugil
seperti ini!” teriak Si Setan Ngompol.
“Setan
Ngompol! Awas!” Wiro tiba-tiba berteriak. Saat itu dilihatnya salah satu dari
dua tangan kanan Hantu Tangan Empat tiba-tiba melesat ke depan, menyambar ke
arah pinggang Si Setan Ngompol.
Sambil
berteriak murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan “Kunyuk Melempar Buah.” Segulung
angin laksana batu raksasa yang tidak kelihatan menggelundung melabrak sosok
kakek yang sampai saat itu masih tetap dalam keadaan duduk bersila mengapung di
udara. Di saat yang sama Naga Kuning menarik tangan Setan Ngompol hingga
keduanya jatuh bergulingan di tanah. Ketika dia berdiri kembali Setan Ngompol
sudah basah kuyup kedua pahanya. Tangan kanannya meraba ke pinggang kiri. Cepat
dia menyingkapkan pakaiannya. Hatinya lega ketika melihat batu tujuh warna
masih terselip di pinggang celana kolornya.
Walau dia
tidak tahu batu apa itu adanya tapi entah mengapa saat itu dia merasa benda itu
merupakan satu barang yang sangat berharga dan harus diselamatkannya seperti
dia menyelamatkan jiwa sendiri!
“Kek,
benda apa itu?!” bertanya Naga Kuning.
“Batu.
Aku sendiri tidak tahu batu apa! Aku merasa Hantu Tangan Empat mengincar benda
ini!”
“Bukkkk!”
Pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah menghantam tubuh Hantu Tangan Empat. Sosok
manusia ini bergoyang tergontai-gontai beberapa saat. Empat tangannya bergerak
kian kemari. Walau dari mulutnya keluar teriakan keras namun kakek ini sama
sekali tidak cidera sedikit pun! Padahal jangankan manusia. Pohon saja pasti
akan tumbang. Tembok tebal akan jebol dan batu besar bisa hancur berantakan
dilanda pukulan sakti itu!
Empat
tangan Hantu Tangan Empat bergerak semakin cepat. Kapak Naga Geni 212 yang ada
di salah satu tangan kanannya mengiblatkan cahaya putih perak menyilaukan
disertai gaung seperti suara tawon mengamuk. Sepasang matanya yang memberonjol
merah terus menerus mengincar ke pinggang Setan Ngompol. Waktu tadi Setan
Ngompol menyingkapkan pakaiannya Hantu Tangan Empat sempat melihat batu tujuh
warna yang terselip di pinggang kakek itu. Kilatan aneh memancar dari dua
matanya yang merah. Tubuhnya mendadak berputar seperti gasing. Begitu putaran
berhenti terdengar seruannya.
“Wahai
Pendekar 212! Aku berubah pikiran! Aku kembalikan Kapak Naga Geni 212 padamu!
Terimalah!”
Hantu
Tangan Empat lemparkan kapak sakti yang dipegangnya ke arah Wiro. Walau tidak
mengerti mengapa hal itu dilakukan lawan namun Pendekar 212 cepat melompat
menyambar senjata saktinya.
“Hati-hati!
Pasti ada sesuatu yang jahat dalam benak makhluk jahanam itu!” berbisik Naga
Kuning.
“Hantu
Tangan Empat, apa yang ada dalam otakmu hingga kau berubah pikiran?” bertanya
murid Sinto Gendeng sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Hantu
Tangan Empat menyeringai. “Wahai Pendekar 212, dalam otakku tetap saja ada
darah dan kematian! Tetapi jika kita bisa berunding mungkin ada sedikit
kebaikan bagi bertiga kalian! Setan Ngompol harus menyerahkan padaku Batu Sakti
Pembalik Waktu!”
Naga
Kuning dan Pendekar 212 berpaling pada Si Setan Ngompol. “Memangnya kau
memiliki benda yang disebutkan tua bangka keparat itu?” Bertanya Naga Kuning
dengan suara setengah berbisik.
“Aku
memang membekal sebuah batu. Tapi aku tidak tahu kalau itu batu sakti,” jawab
Setan Ngompol.
“Jangan-jangan
ini tujuan sebenarnya Hantu Tangan Empat mencegat kita di sini! Malah seperti
katanya dia telah merencanakan sejak lima ratus tahun silam!” ujar Wiro.
“Dengar
kalian berdua. Apapun yang terjadi benda itu jangan sampai jatuh ke tangan
Hantu Tangan Empat!” Lalu Wiro berbalik pada kakek aneh yang masih dalam
keadaan bersila mengapung di udara. “Hantu Tangan Empat, benda yang kau
sebutkan itu tidak ada pada sahabatku si Setan Ngompol!”
“Wahai
Pendekar 212! Kau tak tahu apa-apa! Malah berani dusta bicara! Mataku sendiri
melihat batu itu tersembul di pinggang kolornya!”
“Yang kau
lihat bukan batu! Tapi barang si kakek yang memang panjang, tersembul di balik
kolor bututnya!” ujar Wiro.
“Benar!
Aku pernah melihat anunya!” menimpali Naga Kuning. “Setan Ngompol barangnya
memang panjang tapi peot hitam. Ada lumutnya sedikit! Sepintas memang seperti
batu! Pasti itu yang kau lihat! Hik… hik!” Naga Kuning tak bisa menahan
tawanya. Sebaliknya Setan Ngompol memaki. “Anak gila! Enak saja kau bilang
barangku panjang! Peot! Berlumut! Kapan kau pernah melihat?!”
“Diam
saja! Aku dan Naga Kuning coba mengakali manusia satu itu!” kata Wiro.
Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh. “Jadi yang menyembul dibalik celana kolor si
mata jereng itu adalah barangnya sendiri! Kalau begitu biar kubetot lepas
sampai ke akar-akarnya!”
Setan
Ngompol tersentak kaget. Kencingnya terpancar. “Apa kataku! Sekarang aku yang
kebagian celakanya!”
Hantu
Tangan Empat tiba-tiba melayang di udara, melesat ke arah Setan Ngompol. Empat
tangan berkelebat. Dua mengarah leher siap mencekik. Satu menjotos ke arah dada
dan tangan ke empat menyambar ke pinggang di mana terselip batu tujuh warna!
Seumur
hidup baru kali ini Setan Ngompol mendapat serangan begitu hebat. Dia berseru
kaget lalu terkencing. Dua kakinya menekuk ke bawah. Di lain kejap tubuhnya
membal ke belakang.
“Breettt!”
Salah
satu tangan Hantu Tangan Empat yang tadi hendak mencekik masih sempat merobek
leher pakaian Setan Ngompol hingga kakek ini kembali terkencing-kencing.
Masih
dalam keadaan bersila dan mengapung di udara Hantu Tangan Empat bergerak
melayang memutari Setan Ngompol. Sekonyong-konyong tubuh itu membuat gerakan
dan tahu-tahu telah melesat ke jurusan Setan Ngompol. Empat tangan membuat
gerakan ganas, lancarkan serangan maut.
Kali ini
Setan Ngompol tidak tinggal diam. Tangan kirinya ditekapkan ke bawah perut.
Tangan kanan dipukulkan ke depan.
“Setan
Ngompol Mengencingi Bumi!” teriak Setan Ngompol menyebut jurus yang
dimainkannya. Dari tangan kanan kakek ini melesat angin deras menebar bau
pesing luar biasa!
Hantu
Tangan Empat keluarkan suara seperti tercekik. Salah satu tangannya cepat
ditutupkan ke hidung menghindari bau pesing yang menyengat. Angin bau pesing
itu ternyata bukan saja menyesakkan pernafasan tapi juga memerihkan mata dan
menusuk kulit!
“Ilmu
sampah tak berguna! Tanganku makan!!” teriak Hantu Tangan Empat. Tangan kanan
sebelah bawah melesat membuat gerakan mengemplang ke batok kepala Setan
Ngompol. Tangan kanan yang memukul ini telah berubah menjadi panjang besar.
Jari-jarinya saja sebesar pisang tanduk!
Selagi
Setan Ngompol terkesial kaget melihat perubahan tangan yang menyerangnya, si
Naga Kuning serta Pendekar 212 Wiro Sableng juga terkejut melihat perubahan
tangan Hantu Tangan Empat itu. Keduanya segera kirimkan serangan untuk
menyelamatkan Setan Ngompol.
Wiro
hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pinggang Hantu Tangan Empat. Cahaya putih
panas berkiblat disertai gaung seperti suara ratusan tawon mengamuk. Naga
Kuning melesat sambil dorongkan dua tangannya ke depan. Dua larik sinar biru
pekat disertai letupan-letupan keras menyambar ke arah kepala dan dada Hantu
Tangan Empat. Mendapat serangan begitu hebat Hantu Tangan Empat malah tertawa
keras. “Begini caranya orang di negeri ini bermain keroyok!” Satu tangan masih
menekap hidung, tiga lainnya berkelebat cepat.
“Bukkk!”
Pendekar
212 Wiro Sableng mengeluh tinggi ketika lengan kanannya beradu keras dengan
salah satu tangan lawan. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas mental. Belum sempat
dia imbangi diri tiba-tiba rambutnya yang panjang telah dijambak orang. Ada hawa
aneh mengalir ke dalam tubuhnya lewat rambut yang dijambak. Hawa aneh ini
laksana puluhan jarum menusuk kulit kepalanya hingga Wiro mengeluh kesakitan.
Namun dari dalam tubuh Wiro saat itu juga ada aliran sakti yang berusaha
mencegat hawa aneh itu. Begitu saling bentrokan Wiro merasa kepalanya seperti
ditindih batu besar. Sebaliknya Hantu Tangan Empat berteriak kaget karena
mendadak tangannya yang menjambak terasa panas! Serta merta dia sentakkan
rambut Wiro dan lemparkan pemuda ini sampai setinggi tiga tombak ke udara!
Melayang jatuh Wiro cepat memasang kuda-kuda namun tak urung tubuhnya
terbanting jatuh punggung. Dari atas tiba-tiba melesat kaki kanan Hantu Tangan
Empat. Menghunjam ke arah perutnya!
“Wahai
Pendekar 212! Sudah lama aku tidak melihat isi perut manusia! Jebol perutmu!
Amblas ususmu!” teriak Hantu Tangan Empat.
Di saat
yang sama dari samping kiri melesat dua sinar biru pekat. Inilah serangan hebat
yang dilancarkan Naga Kuning. Tapi seperti tak acuh, Hantu Tangan Empat
kibaskan dua tangannya sebelah kiri.
Naga
Kuning terkesiap kaget melihat bagaimana kibasan dua tangan lawan bukan saja
sanggup mematahkan serangannya, malah dua larik sinar biru serangannya
bergulung-gulung di udara ketika lawan gerakkan dua tangannya berputar-putar di
udara. Begitu Hantu Tangan Empat pukulkan dua tangannya itu ke bawah maka dua
larik sinar biru menderu ke arah Naga Kuning!
Sambil
berteriak keras Naga Kuning melompat ke samping lalu jatuhkan diri di tanah dan
berguling cari selamat.
Sementara
itu kaki kanan Hantu Tangan Empat terus saja menghunjam ke perut Wiro. Hanya
sesaat lagi kaki itu akan menghantam ambrol perut sang pendekar tiba-tiba dari
arah depan melesat Setan Ngompol.
“Setan
Ngompol Mengencingi Pusara!” seru Setan Ngompol menyebutkan jurus serangannya.
Gerakan kakek ini luar biasa cepatnya hingga Hantu Tangan Empat tidak sempat
menghindar. Dua paha Setan Ngompol tahu-tahu telah menindih bahunya kiri kanan.
Dua tangan mencengkeram kepala. Sedang bagian bawah perutnya yang hanya
mengenakan celana kolor butut basah oleh air kencing mendarat telak di
permukaan wajah angker Hantu Tangan Empat.
“Huueeekkk!”
Hantu
Tangan Empat keluarkan suara tercekik lalu mulutnya menghambur muntah. Muntahan
ini tentu saja menyembur tepat di selangkangan Setan Ngompol. Si kakek memaki
panjang pendek. Namun suara makiannya berubah menjadi jeritan keras begitu
salah satu tangan kiri Hantu Tangan Empat menjotos perutnya. Setan Ngompol
terpental sampai dua tombak. Tapi karena dia tidak mau melepaskan cengkeraman
dua tangannya di kepala Hantu Tangan Empat maka sang hantu ikut tertarik hingga
keduanya jatuh saling tindih. Hal ini menyelamatkan Wiro dari hantaman kaki
kanan Hantu Tangan Empat. Namun Setan Ngompol menerima celakanya. Karena begitu
jatuh kembali Hantu Tangan Empat menghantam.
“Bukkkk!”
Jotosan
keras melabrak dada Setan Ngompol. Kakek ini menjerit keras. Matanya mendelik
putih. Dua kakinya tersentak ke atas. Kencingnya terpancar habis-habisan. Dari
mulutnya menyembur darah segar!
Selagi
Setan Ngompol meliuk kesakitan, kaki kanan Hantu Tangan Empat kembali
berkelebat. Menyambar ke kepala Setan Ngompol.
*********************
ENAM
Dua
hantaman melabrak sosok Hantu Tangan Empat. Hantaman pertama bacokan Kapak Maut
Naga Geni 212 yang melanda bahu kiri. Hantaman ke dua berupa jotosan yang
dilancarkan Naga Kuning dan bersarang tepat di punggung. Padahal saat itu
sebenarnya Hantu Tangan Empat sudah siap untuk merampas batu tujuh warna yang
terselip di celana kolor Setan Ngompol.
Hantu
Tangan Empat terbanting ke tanah sejauh dua tombak. Wiro dan Naga Kuning segera
mengejar, siap untuk menghantam kembali. Namun mendadak tubuh orang ini lenyap
dari hadapan mereka.
“Menghilang
ke mana dia!” seru Naga Kuning sambil usap-usap tangan kanannya yang lecet
akibat memukul tadi. Wiro sendiri saat itu tengah terbengong-bengong
menyaksikan bagaimana kapak saktinya tidak mampu melukai lawan malah tangannya
bergetar pedas.
Tiba-tiba
terdengar tawa mengekeh. Naga Kuning dan Wiro mendongak ke atas sementara Setan
Ngompol masih terkapar di tanah mengerang kesakitan. Hantu Tangan Empat yang
tadi lenyap kini kelihatan berdiri di atas cabang sebuah pohon. Hantaman kapak
memang tidak melukainya tetapi pakaiannya yang terbuat dari daun kering tampak
hangus di bagian bahu. Begitu juga di bagian punggung yang tadi kena jotosan
Naga Kuning, kelihatan berlubang hitam.
“Wiro,
jangan-jangan kita memang benar-benar berhadapan dengan hantu,” ujar Naga
Kuning. “Aku tadi mengerahkan tenaga dalam penuh. Pukulanku hanya sanggup
melubangi pakaiannya. Padahal batu karang saja bisa ambrol berkeping-keping!
Makhluk apa dia kalau bukan hantu?!”
“Jangankan
cuma tangan,” sahut Wiro. “Kapak saktiku saja tidak mempan! Aku masih
penasaran! Bangsat itu telah menciderai kawan kita Si Setan Ngompol!” Kapak
Naga Geni 212 dipentang keatas. Tangan kiri bersilang di depan dada memancarkan
sinar putih menyilaukan pertanda murid Sinto Gendeng itu telah mengerahkan
hampir seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Didahului
teriakan menggelegar tubuh Pendekar 212 melesat ke arah pohon di mana Hantu
Tangan Empat tegak berdiri di atas salah satu cabang sambil terus mengumbar
tawa bergelak. Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahari. Tangan kanan memutar
Kapak Maut Naga Geni 212. Suara gelegar pukulan Sinar Matahari dan gaung suara
seperti ratusan tawon mengamuk yang keluar dari Kapak Maut Naga Geni 212
bergabung menjadi satu.
“Wuusss!”
“Kraakk!”
Pohon
besar di mana Hantu Tangan Empat berada dilalap sinar putih panas. Di lain
kejap pohon itu telah dilamun api. Lalu bagian batang yang kena sambaran kapak
sakti putus amblas dan terbakar. Bagian atas tumbang mengeluarkan suara
menggemuruh.
Apa yang terjadi
kemudian dan sempat disaksikan Naga Kuning dari bawah pohon sungguh luar biasa.
Hantaman pukulan Sinar Matahari dan sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 bukan
saja tidak sanggup membakar dan melukai Hantu Tangan Empat, malah sambil
tertawa bergelak sementara Wiro melayang ke atas pohon Hantu Tangan Empat malah
melayang turun dengan empat tangan terkembang. Dari mulutnya mengumbar tawa
bergelak. Sesaat lagi tubuh Wiro dan tubuh Hantu Tangan Empat siap untuk
bertabrakan. Tapi anehnya sosok Wiro seolah melewati bayang-bayang. Seperti
menembus makhluk yang terbuat dari asap. Dia lewat begitu saja!
Saking
kagetnya Wiro jadi hilang keseimbangan dan hampir terpeleset jatuh sewaktu
berusaha menginjakkan kakinya di cabang pohon besar.
“Aneh
atau gila ini namanya! Jelas-jelas aku tadi mau tabrakan dengan keparat itu!
Mengapa aku seolah hanya melewati angin?!” Kuduk Pendekar 212 jadi dingin dan
bulu kuduknya merinding. “Hanya hantu yang memiliki tubuh seperti itu…” desis
murid Sinto Gendeng.
Di bawah
pohon Naga Kuning juga terkejut besar melihat apa yang terjadi. Selagi dia
tertegun bengong tahu-tahu sosok Hantu Tangan Empat melayang lewat di depannya,
menukik ke arah Setan Ngompol yang masih tergeletak di tanah. Satu dari dua
tangan kiri dipukulkan ke batok kepala Setan Ngompol sedang tangan kanan
sebelah bawah menyambar ke arah pinggang.
“Naga
Kuning! Awas! Dia hendak membunuh Setan Ngompol dan merampas batu tujuh warna!”
teriak Wiro dari atas pohon lalu dengan cepat melompat turun seraya tangan
kirinya lepaskan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi dalam jurus
yang disebut Tangan Dewa Menghantam Tanah. Ini merupakan salah satu dari enam
jurus ilmu silat yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa berintikan Delapan
Sabda Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Di bawah
sana begitu mendengar teriakan Wiro dan melihat sendiri apa yang hendak
dilakukan Hantu Tangan Empat, Naga Kuning serta merta melesat memotong gerakan
Hantu Tangan Empat. Kepalanya ditandukkan ke tubuh sebelah kanan lawan. Tangan
kanan menusuk ke ulu hati. Sementara itu dari atas datang menyambar pukulan
jarak jauh yang dilepaskan Wiro.
“Dukkkk!”
“Bukkkk!”
“Wussss!”
Kepala
Naga Kuning mendarat telak di sisi kanan Hantu Tangan Empat membuat makhluk
dari masa seribu dua ratus tahun silam ini terdorong satu tombak. Di saat yang
sama tangan kanan Naga Kuning yang menggebuk menghunjam di ulu hatinya. Dari
mulut Hantu Tangan Empat keluar jeritan keras. Tapi itu bukan jeritan kesakitan
melainkan jeritan kemarahan. Dia berputar ke arah Naga Kuning. Empat tangannya
melesat ke depan. Begitu cepatnya gerakan tangan-tangan ini hingga Naga Kuning
tidak sempat menghindar. Rambutnya yang jabrik kena dijambak. Bahu kirinya
diremas. Dua tangan lainnya mencengkeram di batang leher.
“Anak
celaka! Mampus kataku harus mampus!” kertak Hantu Tangan Empat. Lalu empat
tangannya bergerak. Tangan yang menjambak membetot ke atas. Dua tangan yang mencengkeram
siap mematahkan batang leher Naga Kuning. Bahu yang dicengkeram pasti akan
hancur luluh. Sekejapan lagi kepala Naga Kuning akan tanggal, pukulan yang
dilepaskan Wiro mendarat di punggung Hantu Tangan Empat.
Untuk ke
dua kalinya makhluk ini berteriak marah. Pakaiannya yang terbuat dari daun
hancur berantakan hingga bagian belakangnya nyaris bertelanjang. Namun tubuhnya
tidak cidera sedikit pun. Dan empat tangannya yang mencekal tubuh Naga Kuning
tidak satu pun dilepaskan. Ketika hantaman pukulan Wiro membuatnya terdorong
keras ke depan dan jatuh saling tindih dengan Naga Kuning, empat tangan itu
tetap mencengkeram. Dengan menyeringai makhluk berwajah seram luar biasa itu
menoleh ke arah Wiro yang saat itu telah menjejakkan kakinya di tanah.
“Kau boleh
menghantamku dengan seribu pukulan! Jangan harap kau bisa menolong bocah ini!”
Lalu tanpa perdulikan Wiro lagi Hantu Tangan Empat berpaling pada Naga Kuning.
“Tanggal
kepalamu!” teriak Hantu Tangan Empat. Tangan yang menjambak membetot ke atas,
dua tangan yang di leher mencengkeram ganas. Sesaat lagi kepala Naga Kuning
benar-benar akan dibuat tanggal terjadilah hal yang aneh. Hantu Tangan Empat
mendadak merasakan rambut, leher dan bahu Naga Kuning licin sekali seolah-olah
diselimuti sejenis minyak. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga, jambakannya
pada rambut jabrik si bocah terlepas. Sepuluh jari tangannya yang mencekik
leher melejit kian kemari seolah terbenam dalam lumpur licin. Begitu juga
tangannya yang hendak menghancurkan bahu seperti berada di atas batu yang
dilumuri minyak. Setiap dicoba menekan tangan itu hanya meluncur di atas
pakaian hitam Naga Kuning.
Apa yang
sebenarnya terjadi. Seperti diketahui Naga Kuning bukanlah seorang anak biasa.
Keadaannya saat itu memang terlihat seperti seorang bocah. Padahal sebenarnya
dia adalah seorang kakek sakti mandraguna yang telah berusia 120 tahun dan
menjadi orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, satu makhluk setengah roh
setengah manusia. (Baca serial Wiro Sableng Tua Gila Dari Andalas terdiri dari
11 Episode).
Satu dari
sekian banyak ilmu yang dimiliki Naga Kuning adalah yang disebut Ilmu Ikan Paus
Putih. Dengan mengerahkan ilmu ini maka tubuh serta pakaiannya akan berubah
sangat licin hingga tak ada satu kekuatan pun yang bisa memegang sosoknya.
“Anak
jahanam! Jangan kau coba mengakali diriku!” bentak Hantu Tangan Empat. Dari
mulutnya melesat satu pekikan keras. Dua puluh jari tangannya mendadak sontak
berubah menjadi besar. Selain itu pada setiap jari mencuat gerigi-gerigi tajam
dan runcing! Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Sekujur tubuhmu boleh
berubah selicin belut! Apa sekarang masih sanggup lolos?!”
Naga
Kuning mencibir. Kepalanya digoyangkan. Tubuhnya digeliatkan.
“Huppp!”
Si bocah berteriak keras. Saat itu juga tubuhnya terlepas dari cengkeraman
empat tangan. Dia melompat menjauhi lawan. “Ha-ha! Aku mampu lolos! Apa katamu
sekarang?!” ujar Naga Kuning seraya tertawa mengejek ha-ha hi-hi.
Dalam
kagetnya Hantu Tangan Empat juga marah sekali. Dia melompat mengejar. Empat
tangannya kembali berkelebat. Saat itu Naga Kuning tetap tegak di tempatnya.
Namun tangannya dengan cepat membuka pakaian hitamnya di bagian dada. Begitu
tubuhnya tersingkap di dada anak ini kelihatan terpampang gambar naga bergelung
berwarna kuning memiliki sepasang mata berwarna merah. Naga Kuning usap dadanya
yang bergambar sosok naga itu.
Lompatan
Hantu Tangan Empat mendadak sontak jadi tertahan. Dua matanya yang memberojol
seolah mau keluar dari rongganya menatap tak berkesip. Ada getaran aneh masuk
ke dalam tubuhnya lewat sepasang mata. Hantu Tangan Empat mundur satu langkah.
Lalu mundur lagi dua langkah ketika dilihatnya bagaimana gambar naga di dada
Naga Kuning seolah berubah hidup, membesar lalu bergerak keluar dari rongga
dada si bocah dengan mulut membuka besar memperlihatkan lidah hijau bercabang
serta gigi-gigi besar runcing siap menerkam! Dari liang hidung naga kuning ini
keluar semburan asap biru.
Wiro yang
menyaksikan kejadian itu tersentak kaget. Untuk beberapa lamanya dia tegak
tertegun tak bergerak seolah terkena sirap. Setan Ngompol yang masih terhantar
di tanah dalam keadaan kesakitan dan barusan mencoba bangkit berdiri langsung
rebah ke tanah sambil terkencing-kencing! Baik Wiro maupun Setan Ngompol yang
sudah cukup lama mengenal anak itu baru kali ini mengetahui kalau Naga Kuning
memiliki satu ilmu yang begitu hebat tapi mengerikan.
“Naga
Hantu Dari Langit Ke Tujuh!” teriak Hantu Tangan Empat tercekat. Serta merta
sosoknya yang angker berubah kembali ke asal. Tangannya yang tadi empat kini
kembali menjadi dua. Dia mundur dengan sangat ketakutan. Sepuluh jari disusun.
Dua tangan dirapatkan lalu diletakkan di atas kening. Sikapnya seperti orang
menyembah.
“Ampun….
Wahai Naga Hantu…. Aku mohon maaf. Aku tidak tahu kalau berada kau dalam tubuh
anak itu. Aku mohon ampun beribu ampun!” Ketika punggungnya tertahan sebatang
pohon besar, Hantu Tangan Empat jatuhkan diri berlutut. Dua tangan terus
menerus melakukan sikap menyembah.
Naga
Kuning tidak perduli. Dia maju dua langkah. Ular naga kuning yang keluar dari
tubuhnya meluncur di udara, menyambar ke arah Hantu Tangan Empat. Jeritan Hantu
Tangan Empat setinggi langit begitu binatang ini menggelung di pohon besar
sekaligus melibat tubuhnya.
“Jangan
bunuh diriku! Mohon ampun beribu ampun wahai Naga Kuning! Jangan biarkan Naga
Hantu Dari Langit Ke Tujuh membunuhku! Jangan… tolong!”
“Kreekek!”
“Kraaakk!”
Batang
pohon berderak hancur. Hantu Tangan Empat berusaha bertahan. Gelungan ular naga
kuning semakin keras siap menghancurkan dan melumat tubuhnya mulai dari kaki
sampai kepala. Darah mengucur dari mata, telinga, hidung dan mulutnya. Sosok
Hantu Tangan Empat boleh dikatakan tidak terlhat lagi, lenyap dalam gelungan
naga kuning.
“Naga
Kuning! Tahan!” Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru sambil mengangkat
kapak saktinya.
“Eh, apa
maumu Wiro?!” tanya Naga Kuning.
“Lepaskan
dia! Jangan dibunuh!!”
“Eh, kau
sudah gila?! Atau sudah kerasukan hantu temannya kakek itu?!” ujar Naga Kuning.
“Kau
betul!” Setan Ngompol ikut berteriak sambil pegangi perutnya sebalah bawah.
“Aku hampir mampus di tangannya! Kau tadi hendak dibunuhnya! Tahu-tahu sobat
kita satu ini menjadi gila memintamu tidak membunuh makhluk itu! Benar-benar
gila! Otakmu pasti sudah sableng Wiro!”
*********************
TUJUH
Wiro
melangkah mendekati Naga Kuning dan bicara cepat tapi perlahan. “Jangan jadi
orang tolol seumur-umur! Jika dia memang bangsanya hantu apa kau kira kau
benar-benar bisa membunuhnya? Dia bisa punya seribu nyawa. Muncul lagi dalam
ujud lain. Mungkin datang bersama puluhan temannya! Apapun kesaktianmu, apa kau
kira bisa selamatkan diri dari pembalasannya?! Dia mengaku salah, takut dan
minta ampun. Kalau dia bisa kita manfaatkan jadi sahabat….”
“Gila!
Hantu hendak kau jadikan sahabat! Hari ini kau berteman besok kau mampus
dicekiknya!”
“Dengar
Naga Kuning, aku melihat keanehan di balik semua ini. Aku minta sekali lagi
agar kau melepaskannya! Apa untungnya membunuh hantu?!”
Naga
Kuning mencibir. Dia melirik ke arah Setan Ngompol. Lalu berkata. “Baik, aku
akan bebaskan makhluk itu. Jangan menyesal kalau begitu bebas kau yang duluan
ditelannya!”
“Aku
yakin dia tidak akan melakukan hal itu,” jawab Wiro.
“Asal kau
mau tanggung saja akibatnya!” kata Naga Kuning.
“Bocah!
Jangan ikut-ikutan sableng! Jangan dengar apa yang dibilangnya! Bunuh makhluk
itu!” kata Setan Ngompol.
“Lakukan
apa yang aku katakan Naga Kuning!” kata Wiro dengan suara keras.
“Baik…
baik!” jawab Naga Kuning seraya mencibir. Tangan kanannya diusapkan ke dada.
Ular naga kuning besar menderu keras. Asap biru membuntal keluar dari lubang
hidungnya. Mulutnya membuka lebar dan kepalanya ditegakkan ke atas.
Perlahan-lahan binatang jejadian ini lepaskan gelungannya dari pohon dan tubuh
Hantu Tangan Empat. Lalu sosoknya melayang mundur di udara, bergerak ke arah
Naga Kuning. Buntutnya bergerak masuk ke dalam dada anak itu, menyusul bagian
tubuhnya yang lain dan akhirnya bagian kepalanya yang menyeramkan ikut lenyap.
Kini yang kelihatan adalah gambaran naga kuning bergelung bermata merah
terpampang di dada si bocah.
Di bawah
pohon sosok Hantu Tangan Empat tergeletak dengan muka bergelimang darah. Salah
satu bahunya remuk dan beberapa tulang iganya patah. Tulang pahanya sebelah
kiri retak. Dari mulutnya terdengar suara mengerang. Lalu tubuh itu bergerak,
berusaha bangkit dan duduk di tanah. Sepasang matanya yang basah oleh darah
menatap ke arah Naga Kuning. Dua tangan dirapatkan di atas kepala. Sambil
membungkuk Hantu Tangan Empat berkata pada si bocah. “Terima kasih kau telah
mengampuni selembar nyawaku….” Lalu kakek ini beringsut ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng. “Terima kasihku juga padamu wahai Pendekar 212. Kalau tidak
karena gerak hati dan kehendakmu tentu aku sudah menemui ajal saat ini. Hantu
Tangan Empat tidak akan melupakan budi baikmu.” Habis berkata begitu kakek ini
letakkan dua tangannya di atas tanah. Kepalanya diturunkan hingga keningnya
menyentuh tanah. Lalu “dess… desss!”
Asap
putih mengepul dari tanah yang disentuh dua tangannya. Bersamaan itu tubuhnya
terangkat ke atas lalu melesat ke udara. Seolah amblas masuk ke dalam langit
sosok Hantu Tangan Empat kemudian lenyap tanpa bekas.
“Makhluk
aneh….” ujar Wiro.
“Seumur
hidup baru sekali ini melihat ada sebangsa hantu yang bisa minta maaf dan
berterima kasih!” ujar Naga Kuning pula.
Kedua
orang itu lalu mendekati Setan Ngompol yang saat itu tengah berusaha bangkit
berdiri. Wiro memberikan sebutir obat sedang Naga Kuning memeriksa
bagian-bagian tubuh Setan Ngompol yang terluka sambil mengalirkan hawa sakti
dari tubuhnya ke dalam badan si kakek untuk mempercepat penyembuhan.
“Setan
Ngompol,” kata Wiro. “Hantu Tangan Empat mengincar batu yang terselip di
pinggang kolormu. Dari mana kau dapat benda itu. Boleh aku melihat?”
Setelah
duduknya tenang dan nafas serta peredaran darahnya lancar kembali, Setan Ngompol
lalu menuturkan riwayat batu yang didapatnya di Telaga Gajahmungkur itu. Batu
kemudian diambilnya dan diserahkan pada Wiro.
Setelah
memperhatikan batu berwarna tujuh itu sejenak Wiro berkata. “Hantu Tangan Empat
menyebut batu ini sebagai Batu Sakti Pembalik Waktu. Satu nama yang aneh. Apa
khasiat batu ini sebenarnya?”
“Aku
sendiri baru tahu kalau batu itu bernama begitu. Soal khasiatnya mana aku
mengerti,” jawab Setan Ngompol.
“Aku
menaruh kira batu itu sesuatu yang sangat berharga bagi Hantu Tangan Empat.
Katanya Hantu Muka Dua menugaskan dirinya untuk mencari batu tersebut. Rencana
sudah disusun sejak lima ratus tahun silam…. Aku jadi ingin melihatnya.” Naga
Kuning ulurkan tangan. Wiro serahkan batu tersebut pada si anak. Lama Naga
Kuning memperhatikan batu itu. Dielus dan dibolak balik berulang kali.
“Bentuknya hampir tidak beda dengan batu pengasah pisau. Memiliki tujuh warna
depan belakang. Bagian sebelah sini ujungnya bulat seperti kepala manusia. Di
pinggiran kiri kanan ada tonjolan seperti telinga orang. Jangan-jangan batu ini
mengandung satu rahasia besar. Mungkin merupakan satu senjata sakti
mandraguna….”
“Aku
tidak setuju pendapatmu,” kata Setan Ngompol. “Kalau itu senjata sakti mengapa
aku masih terus-terusan ngompol?”
“Jangan
tolol. Batu sakti tak ada sangkut pautnya dengan penyakitmu Kek! Walau batu itu
kau tempelkan di bawah perut dekat anumu!” kata Wiro pula.
“Mungkin
juga di dalam batu ini ada sesuatu petunjuk. Peta harta karun atau…. Bagaimana
kalau kita pecahkan saja?!”
“Itu batu
milikku! Jangan kau berani lancang memecahkannya! Kembalikan padaku!” teriak
Setan Ngompol.
Naga
Kuning mencibir. “Cuma batu jelek begini saja disayang-sayang!” Batu pipih
tujuh warna diulurkannya pada Setan Ngompol. Sewaktu mengembalikan batu ini
Naga Kuning acuh tak acuh memegang hanya dengan jari telunjuk dan ibu jari
tangan kanannya, pada tonjolan berbentuk telinga. Jari-jari tangannya menekan
sedikit lalu batu digoyang-goyang. Pada saat itulah tiba-tiba terjadi satu hal
aneh. Dari dua tonjolan di kiri kanan batu melesat tujuh larik sinar seperti
cahaya pelangi disertai terdengarnya suara mendesing keras. Dua kumpulan sinar
ini lalu bergerak bergelung ke satu arah, bersambung satu dengan yang lain
hingga akhirnya membentuk satu lingkaran cahaya besar yang berputar terus
menerus dengan ketinggian dua kali tinggi manusia. Terkurung dalam putaran
lingkaran cahaya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol seolah berada dalam sebuah
tong besar yang berputar dan tembus pandang.
“Astaga!
Apa yang terjadi! Tubuhku terangkat ke atas!” teriak Naga Kuning.
“Tubuhku
juga!” seru Setan Ngompol terkejut dan langsung terkencing.
Wiro
memandang ke tanah. Ternyata tubuhnya juga saat itu perlahan-lahan terangkat ke
atas.
“Jangan-jangan
ini pekerjaan tipu dayanya Hantu Tangan Empat!” teriak Setan Ngompol dengan
muka pucat.
“Sudah
kubilang bangsa hantu mana bisa dipercaya!” kata Naga Kuning.
Dalam
bingungnya ketiga orang itu bergerak kian kemari, berusaha menerobos lingkaran
cahaya tujuh warna. Tapi tidak berhasil. Malah mendadak muncul hawa sejuk dan
ketiganya seolah terkena sirap, hanya bisa tegak berdiri tak mampu bergerak
sementara tubuh mereka terangkat ke udara. Makin lama makin cepat. Demikian
cepatnya hingga mereka tidak dapat lagi melihat keadaan di sekeliling atau di
bawah mereka. Yang masih bisa mereka lihat hanyalah langit putih di atas
kepala!
“Celaka!
Apa yang terjadi!” seru Naga Kuning.
Setan
Ngompol tak bisa mengeluarkan suara. Yang keluar hanya kencingnya.
“Gila!
Kita melesat ke langit!” teriak Wiro yang saat itu masih memegang Kapak Maut
Naga Geni 212 di tangan kanannya.
*********************
DELAPAN
Dalam
keadaan basah kuyup karena diguyur hujan lebat Lahopeng hentikan tunggangannya
biawak raksasa di depan goa di puncak bukit. Dengan cepat dia melompat turun
lalu masuk ke dalam goa. Bau harum tapi angker menggidikkan menusuk hidung
Lahopeng. Di lantai, dinding dan langit-langit goa yang dilewatinya bertebaran
tulang-belulang dan tengkorak manusia.
Di ujung
dalam goa ada sejenis asap tipis seperti kabut menutupi pemandangan.
Samar-samar di balik kabut tipis itu tampak duduk seorang nenek kurus yang
tubuhnya sebelah bawah ditimbuni tumpukan jerami kering. Di sekelilingnya ada
selusin pendupaan berasap, sumber bau harum angker. Orang ini walau sosoknya
berwujud manusia tapi mukanya mirip-mirip seekor burung gagak. Selain muka itu
tertutup bulu-bulu hitam, hidung dan mulutnya jadi satu berbentuk paruh burung.
Sepasang matanya hitam kecil tanpa alis, menatap setiap apa yang ada di
hadapannya dengan pandangan dingin menggidikkan.
“Sudah
lama tidak ada tamu yang datang! Orang bagus bermuka biru siapakah dirimu!
Maksud apa kedatanganmu?!” Nenek bermuka burung gagak menegur. Suaranya aneh.
Kecil tapi keras menyentak.
Orang
yang barusan masuk rapatkan dua tangan di atas kepala lalu membungkuk dan duduk
bersila. “Aku Lahopeng. Penduduk Latanahsilam. Maksud kedatanganku untuk
meminta tolong padamu wahai Hantu Santet Laknat.”
“Hemmm…”
nenek bermuka burung gagak hitam yang disebut sebagai Hantu Santet Laknat
bergumam. Mulutnya yang berbentuk paruh burung dipencongkan ke kanan. “Nama dan
riwayatmu pernah kudengar wahai anak muda. Aku bisa menebak saat ini kau tengah
berada dalam satu masalah besar.”
Lahopeng
susun sepuluh jari di atas kepala dan mengangguk. “Tebakanmu benar adanya wahai
Hantu Santet Laknat.”
“Wahai
Lahopeng, pertolongan apa yang kau maukan. Imbalan apa yang bisa kau berikan….”
“Aku
ingin kau membunuh seseorang. Dan ini imbalan yang bisa kuberikan….”
Lahopeng
mengeluarkan sebuah kantong kulit, membuka ikatannya lalu menebar isi kantong
itu di lantai goa di hadapan nenek Hantu Santet Laknat.
Sepasang
mata si nenek kelihatan membuka berkilat ketika melihat butir-butir batu
permata aneka warna yang ditebar Lahopeng di depannya. “Wuuuttt!” Tangan kiri
Hantu Santet Laknat bergerak. Sekali menyambar semua butiran batu permata yang
ada di lantai disapunya bersih. Mulut paruh burungnya dibuka lebar. Semua batu
yang dipegangnya dimasukkan ke dalam mulut. Sekali mulutnya menelan dan
tenggorokannya bergerak maka semua batu permata itu amblas ke dalam perutnya.
Lahopeng
tercekat melihat apa yang dilakukan si nenek. Sebaliknya Hantu Santet Laknat
tertawa cekikikan sambil mengusap air liur yang berlelehan di mulutnya seolah
barusan dia habis menyantap makanan lezat.
“Wahai
Lahopeng, sudah kutelan imbalan darimu. Sekarang katakan siapa yang ingin kau
santet?” Bertanya Hantu Santet Laknat.
“Seorang
bernama Lakasipo. Aku ingin kau membunuhnya saat ini juga wahai Hantu Santet
Laknat….”
Si nenek
luruskan lehernya, menatap angker pada Lahopeng lalu tertawa panjang. “Aku
sudah tahu riwayat dirimu. Aku sudah menduga siapa yang kau inginkan nyawaku!
Hik… hik… hik. Lebih dari itu bukankah kau dulu pernah bercinta dengan istri
Lakasipo, Kepala Negeri Latanahsilam itu?”
“Aku
mendengar kabar perempuan itu telah menemui ajal. Bunuh diri di jurang Bukit
Batu Kawin satu hari yang lalu…” kata Lahopeng dengan suara sedih.
“Aku ikut
bersedih atas nasib malangmu wahai Lahopeng. Kemauan para Dewa dan takdir para
Peri tak bisa dihindari. Dengar baik-baik wahai Lahopeng. Sebelum aku melakukan
apa pintamu, perlu aku mengetahui keadaan korban. Ilmu kepandaian apa yang
dimiliki Lakasipo?”
“Dia punya
beberapa ilmu kesaktian. Tapi cuma dua yang aku tahu wahai Hantu Santet
Laknat.”
“Dua
sudah bagus dari pada tidak tahu sama sekali. Katakan ilmunya yang dua itu!”
“Pertama
yang disebut ilmu Lima Kutuk Dari Langit. Apa saja yang terkena hantaman ilmu ini
sosoknya akan ciut mengkeret, hitam gosong dan mati! Ilmunya yang ke dua adalah
Kaki Roh Pengantar Maut. Ini ilmunya yang sangat berbahaya. Benda apa saja yang
terkena tendangan kedua kakinya pasti hancur. Makhluk bernyawa apa saja yang
terkena tendangannya pasti menemui ajal. Hanya itu yang aku ketahui wahai Hantu
Santet Laknat…. Harap kau segera membunuhnya!”
“Akan
kulihat dulu keadaan. Akan kuperhatikan dulu suasana di langit dan di bumi.
Akan kujajagi dulu hawa udara. Akan kutanyakan dulu pada para Peri dan Dewa.
Kalau nasib peruntunganmu baik, aku akan menyantetnya mampus dalam sekejapan
mata saja. Harap kau suka menunggu dan tidak bergerak di tempatmu!”
Si nenek
bermuka burung gagak hitam lalu ambil enam buah pendupaan berasap. Enam
pendupaan yang sangat panas itu diletakkannya satu persatu di atas kepalanya,
disusun tiga tingkat. Walau pendupaan itu panas bukan main tapi baik tangan
maupun rambut serta kepala si nenek sama sekali tidak cidera sedikit pun. Lalu
dia angkat dua tangannya ke atas, dikembangkan lebar-lebar. Mulutnya meracau
aneh. Mata kecilnya memandang ke langit-langit goa. Lalu perlahan-lahan
dipejamkan. Kepulan asap dari enam pendupaan yang disusun di atas kepala
semakin membuntal. Hawa harum aneh semakin menusuk hidung membuat Lahopeng
hampir sulit bernafas.
Menunggu
tak berapa lama si nenek hentikan racauannya. Secara aneh satu persatu
pendupaan di atas kepalanya melayang turun, kembali ke tempatnya semula.
“Wahai
Lahopeng, nasib buruk bagimu! Mendapat petunjuk aku. Lakasipo tidak bisa
dibunuh secara langsung dengan ilmu santetku!”
Berubahlah
tampang pemuda bernama Lahopeng. “Mengapa begitu wahai Hantu Santet?”
“Pertama
para Peri ternyata memberikan perlindungan padanya. Dua para roh yang ada di
sekitar Negeri Latanahsilam ternyata berpihak padanya. Ke tiga ilmu
kesaktiannya yang bernama Kaki Roh Pengantar Maut sulit ditembus….”
Lahopeng
seperti dihenyakkan ke lantai goa mendengar ucapan si nenek. Tapi si nenek
sendiri keluarkan tawa cekikikan. “Lahopeng anak muda malang. Wahai kau jangan
dulu berputus asa. Hantu Santet Laknat masih bisa mencari jalan. Memang
Lakasipo tak bisa segera dibunuh. Tapi apa salahnya kalau dirinya dibuat mati
tidak hidup pun tidak!”
“Tidak
mengerti aku ucapanmu wahai Hantu Santet….”
“Kau
memang tidak perlu mengerti. Yang jelas kau tak perlu takutkan pembalasan
dendam dari Lakasipo. Selama langit terkembang dan bumi terbentang di atas
Latanahsilam, orang itu tidak akan bisa mengganggumu. Dia akan menemui ajal
secara perlahan-lahan. Sekarang kau boleh pergi. Pulanglah ke rumahmu wahai
Lahopeng!”
Sebenarnya
banyak yang hendak ditanyakan Lahopeng tapi pemuda ini takut si nenek akan
menjadi kesal dan marah. Dia sudah mendengar banyak tentang keanehan si tukang
santet ini. Orang yang minta tolong bisa saja bukan ditolong malah akhirnya
dibunuhnya! Setelah memberi penghormatan dengan menyusun tangan di atas kepala
dan membungkuk dalam, Lahopeng segera tinggalkan goa di puncak bukit itu.
*********************
Dua hari
dua malam lamanya Lakasipo menyiapkan makam batu untuk istrinya di lereng Bukit
Latinggihijau. Sore itu pekerjaannya selesai. Sebuah makam batu sedalam lima
jengkal siap menerima jenazah Luhrinjani yang telah diawetkan dengan sejenis
bubuk kayu yang diramu dalam cairan hingga tidak rusak dan busuk. Tubuhnya
terasa sangat letih. Kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi sedang dua
tangannya penuh luka. Namun Lakasipo merasa puas. Semua keletihan dan rasa
sakit terhibur dengan selesainya makam batu itu.
Disaksikan
oleh sang surya yang sebentar lagi akan segera tenggelam, Lakasipo mendukung
jenazah Luhrinjani. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati lubang batu. Dengan
hati-hati jenazah istri yang hanya sempat dikawininya selama tiga hari itu
diturunkan ke dalam lubang. Pada saat itulah cuaca mendadak sontak berubah.
Gulungan
awan hitam menutupi langit. Di utara petir sabung menyabung. Gelegar suara
guntur menggetarkan lereng bukit Latinggihijau. Lalu hujan yang sangat lebat
turun mendera bumi.
“Petunjuk
buruk apa yang hendak diberikan para Dewa dan Peri padaku…” membatin Lakasipo
seraya memandang ke langit. Sesaat gerakannya menurunkan jenazah Luhrinjani
terhenti. Udara cepat sekali menjadi gelap. Lakasipo memandang ke dalam lubang
batu. Air hujan melai menggenangi makam itu. Lakasipo segera membungkuk. Dengan
hati-hati jenazah Luhrinjani dimasukkannya ke dalam lubang batu. Kilat kembali
menyambar. Sesaat keadaan di tempat itu menjadi terang benderang. Lakasipo
melihat satu keanehan. Sepasang mata Luhrinjani yang sejak tadi tertutup
terlhat terbuka dan wajahnya tampak tersenyum.
“Luhrinjani…”
desis Lakasipo. Cahaya kilat lenyap. Bukit Latinggihijau kembali tenggelam
dalam kegelapan. Sesaat Lakasipo masih terkesiap. Namun begitu sadarkan diri
dia segera mengangkat sebuah batu pipih besar dan meletakkannya di atas makam
sebagai batu penutup. Enam buah batu besar kemudian disusunnya di atas batu
penutup makam.
“Wahai
Luhrinjani…. Apapun yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku Lakasipo telah
melupakan den memaafkan semuanya. Di bawah hujan lebat ini, dalam gelapnya
udara, disaksikan oleh bukit dan makammu! Disaksikan para Peri dan Dewa, aku
Lakasipo bersumpah untuk membalaskan sakit hati kematianmu. Akan kucari
Lahopeng. Akan dia kubunuh! Bila dendam terbalas nanti aku akan menyusul
dirimu. Kau lihat sendiri Luhrinjani. Aku sudah menyiapkan satu makam untuk
diriku di samping makammu!” Lakasipo melirik ke arah sebuah makam kosong yang
sengaja dibuatnya di sebelah kubur Luhrinjani. Sebelumnya memang lelaki itu telah
membuat sebuah makam untuk dirinya sendiri.
“Wahai
Luhrinjani, akau akan meninggalkanmu. Aku akan kembali dan sering-sering
melihatmu. Tenanglah dalam tidurmu. Para Dewa dan para Peri akan menghiburmu.
Selamat tinggal wahai Luhrinjani….” Lakasipo mencium batu makam di bagian
kepala lalu bangkit berdiri. Sesaat sebelum pergi dipandanginya makam batu itu.
Di bawah hujan yang mulai mereda, Lakasipo menuruni bukit Latinggihijau,
mendapatkan kuda berkaki enam tunggangannya yang ditinggalkan di bawah bukit. Dalam
gelapnya udara Lakasipo mendera binatang itu, memacunya sepembawa sang
tunggangan.
Belum
lama menunggangi kudanya tiba-tiba lelaki ini melihat satu bayangan putih
melintas di depannya. Kuda besar kaki enam bertanduk dua mendadak sontak
hentikan larinya. Empat dari enam kakinya diangkat ke atas. Dari mulut binatang
aneh ini keluar ringkikan keras. Dua matanya yang merah memancarkan sinar aneh.
Lakasipo
cepat mengusap tengkuk binatang itu seraya berbisik. “Laekakienam…. Tenanglah.
Tak ada yang perlu ditakutkan.” Lakasipo memandang berkeliling, menduga-duga
berada dimana dia saat itu. Menurut perkiraannya dia menjelang mencapai kaki
bukit Latinggihijau, kira-kira setengah hari perjalanan dari Negeri
Latanahsilam. Sudut mata Lakasipo menangkap sesuatu di sebelah kiri. Kudanya
yang bernama Laekakienam kembali gelisah. Lakasipo cepat berpaling. Bayangan
putih itu! Lakasipo kembali melihatnya.
Dia
memperhatikan dengan dada berdebar dan mata terbuka lebar. Di kejauhan sana, di
antara kerapatan pepohonan dia melihat sosok seorang perempuan berpakaian aneh
berwarna putih. Sosok itu meliuk-liuk seperti asap atau kabut tertiup angin.
Ketika dia memperhatikan wajah perempuan itu terkejutlah Lakasipo. Wajah itu
adalah wajah Luhrinjani.
“Wahai
Luhrinjani…. Bagaimana mungkin! Barusan saja aku menguburmu di makam batu…”
desis Lakasipo.
Sosok
putih di depan sana tiba-tiba melambai-lambaikan tanganya seperti memanggil
Lakasipo. Lalu sayup-sayup ada suara.
“Lakasipo….
Lakasipo suamiku…. Datanglah kemari. Tolong diriku…. Keluarkan aku dari alam
gelap ini. Lakasipo kemarilah….”
“Wajah
itu wajah Luhrinjani. Suara itu suara Luhrinjani…” ujar Lakasipo.
“Lakasipo
kemarilah…. Turun dari kudamu. Datang kemari. Tolong diriku wahai suamiku….”
Mula-mula
Lakasipo masih diselimuti rasa takut, heran dan bimbang. Matanya digosok
berulang kali. “Aku tidak bermimpi. Itu memang Luhrinjani…” desis lelaki ini.
Lalu da bergerak turun dari kuda kaki enam tunggangannya. Setengah berlari
lelaki ini segera mendekati sosok putih Luhrinani. Dia berlari di sela-sela
pepohonan, melompati semak belukar. Tidak memperhatikan lagi jalan yang
dilaluinya.
“Wahai
Lakasipo suamiku…. Lekaslah. Larilah lebih cepat. Jarak kita hanya tinggal
dekat….” Di depan sana sosok Luhrinjani kembali berseru.
Lakasipo
melompati serumpunan semak belukar pendek. Tapi begitu turun ke tanah, dua
kakinya amblas masuk ke dalam dua buah lubang sedalam pangkal betis. Kalau
tidak cepat mengimbangi diri lelaki ini pasti jatuh tersungkur di tanah. Dia
tarik dua kakinya. Tapi alangkah terkejutnya Lakasipo. Dia sama sekali tidak
sanggup mengeluarkan kedua kakinya. Lalu dia mendengar suara menggelegak
seperti air mendidih. Ketika dia memandang ke bawah tambah kagetlah Kepala
Negeri Latanahsilam ini. Di dalam dua lubang dilhatnya ada cairan aneh berwarna
kelabu menyembul berbuih-buih. Begitu gejolak buih berhenti, cairan itu berubah
menjadi keras, memendam sepasang kaki Lakasipo ke tanah.
“Wahai….
Apa yang terjadi…?!” ujar Lakasipo. Dia membungkuk. Meraba cairan beku yang
membenam dua kakinya.
“Batu…”
desis Lakasipo begitu tangannya menyentuh. “Tidak bisa jadi…!” Laki-laki ini
gerak-gerakkan kakinya berusaha melepas diri. Tak berhasil. Dia memukul dengan
tangan kanannya berulang kali. “Dukkk… dukkk… dukkk!” Batu itu tak sanggup
dihancurkan. Maka dia segera kerahkan ilmu kesaktian Lima Kutuk Dari Langit.
Lima sinar hitam menggidikkan menghantam batu di sebelah kanan.
“Wussss!
Buummmm!”
Sinar
hitam berbalik mental ke udara mengeluarkan suara dentuman keras. Tapi batu
keras yang memendam kaki Lakasipo hanya bergeming sedikit saja. Jangankan
hancur, retak saja tidak!
Lakasipo
tidak mau menyerah. Kini dia kerahkan ilmu kesaktian Kaki Roh Pengantar Maut.
Cahaya hitam keluar dari kakinya kiri kanan. Tapi segera meredup lenyap. Malah
lelaki ini mengeluh kesakitan karena pendaman batu seperti mencengkeram membuat
kedua kakinya sebatas pangkal betis ke bawah sakit bukan kepalang.
“Celaka,
tak bisa aku melepaskan diri! Apa yang terjadi dengan diriku? Pasti ada orang
jahat….” Lakasipo ingat pada sosok putih Luhrinjani yang tadi ada di depannya.
Ketika dia memandang ke depan justru dilihatnya sosok itu bergerak seperti
melayang mendekatinya.
“Luhrinjani….
Wahai….”
Tiba-tiba
terdengar suara berdentringan. Sosok Luhrinjani ternyata memegang sebuah rantai
di tangan kanannya. Pada kedua ujung rantai ini ada penjapit besi besar.
“Luhrinjani….
Betul kau yang ada di hadapanku ini?” ujar Lakasipo begitu sosok putih itu
sampai di hadapannya.
Luhrinjani
tersenyum. Justru pada saat itu pula wajah perempuan itu berubah. Mula-mula
pada mulutnya. Mulut itu mencuat menonjolkan gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit
wajahnya seolah leleh hingga tinggal tulang tengkorak. Menyusul dua matanya
berubah menjadi sepasang rongga mengerikan. Rambut hitam juga lenyap. Yang
tinggal hanyalah kepala licin plontos sebuah tengkorak mengerikan. Dua
tangannya yang tersembul dari balik pakaian putih berubah menjadi tulang
belulang menggidikkan.
Lakasipo
menjerit keras saking kaget dan takut.
Sosok
tengkorak merunduk. Dengan satu gerakan cepat makhluk ini memasang dua japitan
rantai besi pada pangkal betis Lakasipo kiri kanan. Selesai memasang jepitan
rantai makhluk ini berdiri kembali, melangkah mundur menjauhi Lakasipo.
“Kau
bukan Luhrinjani. Kau makhluk jahat jejadian…!” teriak Lakasipo.
“Lakasipo…”
sosok aneh itu berucap. “Takdir buruk jatuh padamu! Kau akan terpendam dalam
dua batu bernama Bola-Bola Iblis seumur hidupmu. Tubuhmu akan rusak, busuk dan
hancur. Kau akan menemui kematian secara tersiksa… perlahan-lahan!”
“Makhluk
jahanam! Kau pasti suruhan orang! Katakan siapa yang menyuruhmu!” teriak
Lakasipo.
Kau akan
mendapatkan jawaban lama sekali Lakasipo…” jawab makhluk bermuka tengkorak. “Setelah
sosokmu berubah menjadi jerangkong dan rohmu melayang di langit hampa!”
Mendengar
jawaban itu Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Lima Larik sinar hitam menderu.
Itulah pukulan sakti Lima Kutuk Dari Langit.
“Bummmm!”
Pukulan
sakti menghantam telak sosok putih di depan sana.
“Braaakkk!
Byaaarrr!”
Sosok
putih itu hancur berantakan. Serpihan tulang tengkorak dan tulang jerangkok
bertaburan di udara lalu berubah menjadi asap dan lenyap tanpa bekas.
Lakasipo
meraung keras. Seperti orang gila dia menghantam dengan pukulan-pukulan sakti
kian kemari. Namun akhirnya dia lemas sendiri dan jatuh terduduk di tanah.
*********************
SEMBILAN
Lingkaran
cahaya tujuh warna berbentuk tabung besar laksana sambaran kilat menukik ke
bawah menghunjam ke bumi. Sejarak dua ratus tombak dari permukaan tanah daya
jatuhnya berubah menjadi perlahan. Akhirnya bagian bawah lingkaran cahaya
menyentuh tanah. Bersamaan dengan itu lingkaran tujuh warna lenyap. Maka
kelihatanlah tiga sosok tegak saling tertegun yakni Pendekar 212 Wiro Sableng, si
bocah Naga Kuning dan si kakek Setan Ngompol.
Untuk
beberapa lamanya mereka kelihatan seperti berada dalam sirapan. Tidak bergerak,
tidak bersuara. Wiro masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan.
Naga Kuning masih memegang batu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik
Waktu. Sedang Setan Ngompol tegak terbungkuk sambil pegangi bagian bawah
perutnya dengan tangan kiri.
Sesaat
kemudian, seolah terbangun dari tidur ketiga orang itu sama-sama tersadar.
“Eh, kita
berada dimana saat ini?” Wiro yang pertama sekali membuka mulut lalu memandang
berkeliling. Begitu memandang begitu sang pendekar jatuh terduduk dan berseru
kaget.
Setan
Ngompol terkencing dan berteriak. “Apa yang terjadi denganmu Wiro?! Apa yang
terjadi dengan kita?!”
“Lihat!
Lihat sekeliling kalian! Buka mata kalian lebar-lebar!” jawab Wiro dengan suara
keras tapi bergetar.
Naga
Kuning dan Setan Ngompol sama memandang berkeliling. Barulah keduanya kaget.
Berseru tegang dan jatuh terduduk di samping Wiro.
“Pohon-pohon
raksasa… batu-batu sebesar rumah…. Rumput setinggi manusia. Ya Tuhan, di mana
kita berada?!” seru Naga Kuning.
Seperti
yang mereka saksikan sendiri, saat itu mereka berada di satu tempat asing yang
pepohonannya besar tinggi luar biasa. Di sekitar mereka rerumputan tumbuh
setinggi bahu. Lalu di sebelah sana ada sederet batu-batu sebesar rumah. Suara
deru angin pun terdengar aneh kencang menakutkan. Ketiga orang itu sampai
terhuyung-huyung terkena sambarannya.
Wiro
memandang pada Naga Kuning. Memperhatikan batu tujuh warna yang masih berada
dalam genggaman anak ini.
“Batu
celaka itu!” seru Wiro. “Kau ingat apa namanya yang disebut Hantu Tangan
Empat?!”
“Batu
Sakti Pembalik Waktu…” jawab Naga Kuning dengan lidah serasa kelu.
“Ya
Tuhan…. Sesuatu telah terjadi dengan kita! Jangan-jangan….”
Mendadak
ada suara menggeresek di samping kanan mereka. Ketiganya cepat menoleh.
“Tiga
ekor kucing!” ujar Setan Ngompol dan tentu saja sambil memancarkan kencingnya.
Matanya dan juga mata Wiro serta Naga Kuning sama-sama mendelik. Di sela-sela
rerumputan bergerak tiga sosok binatang sebesar kucing.
“Besarnya
memang sebesar kucing. Tapi binatang-binatang ini bukan kucing! Coba kalian
perhatikan!” kata Wiro lalu memperhatikan lebih teliti tapi tak berani
mendekati.
“Semut!”
teriak sang pendekar kemudian. “Tiga ekor binatang ini bukan kucing tapi semut!
Paling tidak menyerupai semut!”
“Jangan
ngacok! Mana ada semut sebesar kucing!” kata Naga Kuning pula.
“Kawan-kawan….
Kurasa kita tidak berada lagi di dunia kita. Lihat pohon-pohon raksasa itu!
Lihat batu-batu sebesar rumah di sebalah sana. Rasakan tiupan angin yang
membuat kita terhuyung-huyung. Lalu semut-semut sebesar kucing itu. Lihat….
Gila! Di sebelah sana ada puluhan lagi bergerak ke jurusan tiga temannya ini!”
Wiro melangkah mundur. Naga Kuning begitu melihat langsung lari menjauh. Setan
Ngompol melompat, tapi terserandung jatuh. Berteriak ketakutan sambil
terkencing lalu lari sambil menubruk Wiro hingga keduanya jatuh bergulingan.
Malang bagi Pendekar 212 waktu bergulingan selangkangan Setan Ngompol menempel
di mukanya!
“Kakek
sialan! Jaga barangmu! Jangan sampai kuremas hancur!” teriak Wiro marah dan
pergunakan baju putihnya untuk mengusapi mukanya yang basah oleh air kencing.
“Aku
tidak sengaja! Aku….”
Wiro
lemparkan tubuh Setan Ngompol ke samping sambil terus mengomel panjang pendek.
“Sebaiknya
kalian berdua jangan bertengkar. Aku khawatir kita berada dalam bahaya besar.
Jika makhluk disela-sela rumput dan yang merayap di tanah itu benar semut apa
kalian bisa membayangkan berapa besar makhluk-makhluk lainnya yang pasti ada di
sekitar sini?”
“Wuuttt…
wuuttt… wutttt!”
Tiba-tiba
ada angin deras menerpa dari atas. Ketiga orang ini sama berteriak kaget dan
jatuh terjengkang. Dari balik rerumputan mereka melihat ke atas. Tiga benda
besar tampak melayang cepat di udara. Kepakan sayap mereka menimbulkan angin
kencang yang membuat tiga orang itu tersapu jatuh ke tanah!
“Burung-burung
raksasa…” ujar Naga Kuning. “Apa kataku! Kita berada di antara makhluk-makhluk
aneh!”
“Kita harus
tinggalkan tempat ini! Mencari tempat yang aman!” kata Setan Ngompol.
“Tapi
kita mau kemana?” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Untuk menjaga segala
sesuatunya Wiro masih terus menggenggam kapak saktinya.
Baru saja
Wiro berkata begitu tiba-tiba ada suara menghentak-hentak keras sekali. Tanah
di mana mereka berada bergetar hebat. Untuk kesekian kalinya ketiga orang ini
jatuh berpelantingan.
“Apa yang
terjadi?” desis Setan Ngompol dengan muka pucat.
“Gempa….
Pasti gempa!” menyahuti Naga Kuning. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Wiro
bukankah kau memiliki ilmu kesaktian bernama Menembus Pandang. Kau bisa melihat
di mana kita berada. Kau bisa mengetahui apa saja yang ada di sekitar kita!”
“Betul!
Kita harus segera cari selamat!” kata Setan Ngompol lalu dengan cepat
diambilnya batu tujuh warna dari tangan Naga Kuning.
Wiro
mengangguk lalu kerahkan tenaga dalamnya ke kepala. Sepasang matanya melihat ke
arah kejauhan, menembus rerumputan tinggi yang menghalang di sekitarnya.
Sementara itu suara hentakan keras tadi semakin dahsyat. Sebelum tubuhnya
terbanting ke tanah murid Sinto Gendeng ini masih sempat melihat sesuatu di
kejauhan yang membuatnya berteriak ketakutan.
“Apa yang
kau lihat!” tanya Naga Kuning sambil menjatuhkan diri di samping Wiro. Setan
Ngompol segera pula mendekati kedua orang itu.
“Binatang
raksasa aneh. Tubuhnya setinggi bukit! Bentuknya menyerupai kuda. Tapi memiliki
tanduk dan berkaki enam. Tiga di kiri tiga di kanan….”
“Kau
jangan menakut-nakuti kami!” kata Setan Ngompol sambil menahan kencing.
“Siapa
yang menakut-nakuti!” bentak Wiro jadi jengkel.
Saat itu
tiba-tiba suara hentakan berubah menjadi suara menggemuruh. Bumi laksana
terbalik-balik porak poranda. Debu menggebubu menutupi seantero tempat.
“Wuutttt!”
Satu
makhluk luar biasa besarnya menderu melewati mereka. Rerumputan hancur luluh.
Pasir dan bebatuan beterbangan. Sebuah batu sempat menyerempet kening Pendekar
212 hingga luka dan mengucurkan darah.
Di tanah
kelihatan lubang-lubang besar. Tiga orang itu mencelat bermentalan dan
sama-sama berseru tegang. Setan Ngompol hampir terperosok ke dalam salah satu
lubang kalau tidak cepat ditolong Naga Kuning. Tanpa diketahui oleh Setan
Ngompol Batu Sakti Pembalik Waktu yang barusan diselipkannya di pinggang celana
kolornya jatuh ke dalam lubang. Ketiga orang itu terbatuk-batuk akibat debu
yang memasuki jalan pernafasan. Muka mereka bercelemongan debu.
“Itu!”
teriak Wiro sambil menunjuk ke arah kejauhan. “Itu binatang raksasa yang aku
lihat. Dia barusan lewat di tempat ini!”
Walau
binatang itu sudah lari jauh namun Setan Ngompol dan Naga Kuning masih sempat
melihat. Keduanya menggigil ketakutan. Wiro kembali kerahkan ilmu kepandaiannya
untuk melihat jauh. Lalu mengatakan apa yang dilihatnya. “Kuda raksasa itu lari
ke jurusan sana. Aku melihat sebuah batu besar, mungkin bukit batu. Ah, bukan…
bukan bukit batu. Benda itu bergerak…. Astaga! Ya Tuhan…!” Dua mata Wiro
terbelalak. Tubuhnya gemetaran.
“Katakan
apa yang kau lihat!” tanya Naga Kuning.
“Ada
makhluk raksasa di sebelah sana. Duduk di tanah. Kepalanya seperti menyondak
langit. Mukanya tertutup rambut lebat, janggut dan kumis panjang. Dua kakinya
terbenam ke tanah. Ada seuntai besi besar mengikat kakinya. Gila…. Dia
menyeringai melihat kedatangan kuda raksasa. Gigi-giginya sebesar jendela!”
Tiba-tiba
kembali tanah bergetar dahsyat dua kali berturut-turut.
“Apa yang
terjadi?” tanya Setang Ngompol. “Apa yang kau lihat Wiro?!”
“Kuda
raksasa itu. Ternyata dia membawa dua buah bola besar. Astaga bukan bola tapi
dua butir buah kelapa sangat besar. Kelapa-kelapa itu dijatuhkannya di tanah di
hadapan manusia raksasa. Itu barusan yang menimbulkan getaran hebat. Raksasa
membelah buah kelapa dengan hantaman tangan. Dia meneguk air kelapa…. Tobat!”
“Apa yang
tobat!” tanya Setan Ngompol.
“Ada
sesuatu terbang di atas kepala raksasa itu….”
“Pasti
burung!” kata Naga Kuning.
“Bukan….”
Wiro kedipkan matanya beberapa kali. “Bukan burung. Tapi seekor kelelawar
sebesar tetampah! Raksasa pergunakan tangan kirinya menangkap kelelawar.
Lalu….” Wiro perlihatkan muka jijik dan ngeri. “Raksasa melahap mentah-mentah
kelelawar itu! Habis! Tak ada yang tersisa!”
“Hueekk!”
Setan Ngompol muntah. Bukan cuma dari mulut tapi juga dari bawah perut alias
terkencing-kencing.
“Lebih
cepat kita meninggalkan tempat ini lebih baik!” kata Naga Kuning dengan wajah
memucat. Dia menarik tangan Wiro. Setan Ngompol sudah bergerak lebih dulu.
“Tunggu!
Kalian semua jangan bergerak! Sembunyi di balik rumput lebat….”
“Memangnya
ada apa?” tanya Naga Kuning.
“Ssstttt!
Jangan bicara keras-keras. Manusia raksasa itu kulihat tengah memasang telinga.
Matanya memandang liar kian kemari seperti mencari-cari. Hidungnya
mengendus-endus membaui sesuatu! Dia… dia tegak berdiri. Memandang ke arah
sini! Celaka! Lekas berlindung!”
Wiro
mendorong Naga Kuning dan Setan Ngmpol ke balik rumput lebat. Dari celah-celah
rumput dengan muka pucat dan dada berdebar ketakutan mereka menyaksikan satu
sosok tinggi besar luar biasa berdiri berkacak pinggang. Rambutnya kotor
panjang awut-awutan. Kumis dan jenggotnya riap-riapan tak karuan. Matanya yang
merah memandang ke jurusan di mana tiga orang itu bersembunyi.
“Kudaku
Laekakienam, sayup-sayup aku mendengar suara halus. Seperti ada makhluk yang
bicara. Apakah kau juga mendengar?”
Bagi Wiro
dan dua kawannya, suara makhluk raksasa seolah suara guntur menggelegar.
Ketiganya tekap telinga masing-masing sementara suara raksasa itu membuat
mereka tergoncang-goncang.
Kuda kaki
enam yang di ajak bicara luruskan leher dan gerakkan daun telinganya. Lalu
binatang ini meringkik keras. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berteriak
kaget. Tubuh mereka kembali bermentalan di sela-sela rerumputan. Suara teriakan
ketiga orang ini tertangkap oleh makhluk raksasa. Dia memandang ke bawah, ke
arah kelebatan rerumputan di mana Wiro dan dua kawannya bersembunyi.
“Aha! Aku
melihat sesuatu…. Mungkin serangga atau kutu daun…. Tapi….” Si raksasa
membungkuk. Matanya dibuka lebar-lebar memandang tak berkesip ke arah
rerumputan. Dia hendak bergerak maju tapi tertahan oleh kedua kakinya yang
tertanam ke batu. Dia terpaksa membungkuk lalu meniup.
Bagi Wiro
dan dua kawannya tiupan itu tidak beda dengan angin puting beliung. Rerumputan
tersibak dan ketiganya terpelanting berkaparan.
“Wahai,
ada tiga makhluk aneh di sela rerumputan!” seru makhluk raksasa yang suaranya
bagi Wiro dan dua kawan seolah gelegar guntur. Merasa senasib seketakutan
ketiganya saling berangkulan. Pada saat itulah makhluk raksasa ulurkan
tangannya menyambar tubuh ketiga orang itu.
“Mati
kita semua!” jerit Naga Kuning.
“Pecah
barangku!” teriak Setan Ngompol.
Wiro tak
bisa berteriak karena salah satu jari tangan raksasa tepat menekan mukanya.
Kepalanya serasa remuk. Makhluk raksasa perlahan-lahan duduk kembali di tanah.
Tangan kanannya yang menggenggam dibuka. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
bergeletakan di atas telapak tangannya.
*********************
SEPULUH
Tiga
makhluk aneh cebol! Ha… ha… ha!” Suara tawa makhluk raksasa membuat ketiga
orang yang ada di atas telapak tangan bergulingan. Setan Ngompol malah sempat
jatuh, tapi lekas di sambut kembali oleh makhluk raksasa itu. Untuk beberapa
lamanya ketiganya tertelentang di atas telapak tangan, tak bergerak dan telinga
masing-masing seolah mau pecah.
“Wahai
makhluk-makhluk aneh, kalian dari mana datang! Mengapa sosok kalian sekecil
ini! Perutku masih lapar….”
Tiga
orang di atas tangan tergoncang-goncang. “Kalau dia terus bicara hancur telinga
kita bertiga!” teriak Naga Kuning.
“Wahai,
kau si cebol yang bicara! Apa yang barusan kau ucapkan?!” Makhluk raksasa
bertanya seraya gerakkan tangan kanannya sedikit hingga tiga orang itu terlempar
ke atas lalu cepat disambut kembali. Bagi si raksasa melempar-lemparkan Wiro ke
udara mungkin hanya sekedar permainan. Tapi bagi ketiga orang itu sangat
menyakitkan. Tubuh mereka jatuh saling tindih dan kepala pada benjut karena
beradu!
“Wahai,
makhluk yang paling cebol! Kau tidak menjawab pertanyaanku! Apa mau aku tindis
seperti kutu di kepalaku?!”
Wiro
menepuk bahu Naga Kuning. “Lekas kau jawab pertanyaannya tadi! Kalau dia sampai
marah kita bertiga bisa dibunuhnya!”
“Aku mati
ketakutan! Aku tak ingat apa pertanyaannya tadi!” jawab Naga Kuning.
“Bocah
sialan! Sudah! Biar aku saja yang bicara!” kata Pendekar 212. Lalu
perlahan-lahan dia coba bangkit. Kapak di tangan kanannya digoyang-goyangkan.
Lalu dia berteriak.
“Hai!”
“Kau mau
bilang apa? Suaramu tidak kedengaran wahai orang cebol!”
Wiro
garuk kepalanya dan berteriak kembali. Tapi tetap saja tidak terdengar apa yang
diucapkannya. Makhluk raksasa gerakkan tangan kanannya ke dekat telinganya.
Telinga raksasa itu seolah sebuah goa mengerikan bagi Wiro dan kawan-kawannya.
“Hai! Apa
sekarang kau bisa mendengar?!” teriak Wiro.
Raksasa
menyeringai. “Suaramu masih kecil tapi kudengar sudah bisa!”
“Hai!
Tanganmu jangan digoyang-goyang. Kami bertiga bisa jatuh! Kalau bicara jangan
keras-keras! Telinga kami bisa pecah!”
Raksasa
itu tertawa gelak-gelak. Akibatnya Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kembali
berpelan-tingan. Tahu apa yang terjadi si raksasa hentikan tawanya, lalu bicara
perlahan. “Wahai makhluk-makhluk cebol lekas katakan siapa kalian bertiga! Sosokmu
menyerupai diriku tapi mengapa kecil begini? Jari tanganku saja lebih besar
dari kalian!”
“Kami
manusia biasa…. Kami bukan orang cebol!” teriak Naga Kuning.
Raksasa
tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu tertawa. “Manusia biasa adalah seperti
diriku ini! Kalian hanya tiga ekor kutuyang menyerupai manusia! Kalian bukan
manusia benaran!”
“Kami
manusia benaran, kau yang raksasa. Ini pasti negeri raksasa!” ujar Wiro.
“Huh?!
Apa katamu? Di Negeri Latanahsilam tidak ada makhluk bernama raksasa!”
Naga
Kuning membisikkan sesuatu ke telinga Wiro. “Kau benar Naga Kuning, biar aku
tanyakan…”
“Wahai
tiga makhluk cebol! Perutku masih lapar. Walau sosok kalian tidak mengenyangkan
tapi lumayan dari cuma makan angin!”
“Mati
aku!” kata Setan Ngompol lalu terkencing. Merasakan ada sesuatu membasahi
tangannya si raksasa kerenyitkan alis dan mengendus-endus berutang kali.
“Hai!”
teriak Wiro. “Kami bertiga tidak akan mengenyangkan perutmu! Tidak ada gunanya
membunuh dan menelan tiga ekor kutu seperti kami! Kami tidak sengaja kesasar ke
tempat ini! Dengar dulu! Caramu bicara mengingatkan kami pada seseorang.
Mungkin dia juga berasal dari tempat ini. Orang itu mengaku bernama Hantu
Tangan Empat!”
Raksasa
gerakkan tangan kanannya ke depan mata. Melihat mata besar luar biasa itu Wiro
dan kawan-kawan merasa ngeri bukan main. Apalagi dari lubang hidungnya yang
sebesar lubang sumur selalu menyambar hembusan nafas panas.
“Hantu
Tangan Empat! Bagaimana kalian tahu nama itu! Kalian mengenal orang itu?”
bertanya makhluk raksasa.
“Kami
bertemu dengan Hantu Tangan Empat beberapa waktu lalu di dunia kami!” jawab
Naga Kuning.
“Mustahil
dia bisa berada di luar Latanahsilam. Kecuali jika kau bisa menceritakan apa
yang terjadi wahai manusia kutu!”
“Sialan!
Kita terus-terusan dikatakannya manusia kutu!” kata Wiro pada dua temannya,
Walau mengomel namun kemudian Wiro menceritakan pertemuannya dan kawan-kawan
dengan Hantu Tangan Empat.
Si
raksasa manggut-manggut berulang kali. “Ceritamu menarik! Aku memang mengenal
Hantu Tangan Empat. Kami sama-sama berasal dari Negeri Latanahsilam….”
“Berarti
negeri seribu dua ratus tahun silam!” kata Setan Ngompol yang bicara untuk
pertama kalinya.
“Eh,
bagaimana kau tahu hal itu?”
“Hantu
Tangan Empat yang mengatakan sewaktu bertemu. Berarti antara negeri kami dan
negeri ini terpaut sejauh seribu dua ratus tahun silam!”
“Hemmm….
Apakah Hantu Tangan Empat berhasil menemukan benda yang dicarinya? Lalu
bagaimana sampai kalian bisa kesasar ke tempat ini?” tanya si raksasa pula;
“Hantu
Tangan Empat tidak berhasil menemukan benda yang dicari,” jawab Wiro. “Dia
seperti ketakutan terhadap sesuatu lalu lenyap menggaibkan diri. Perihal
bagaimana kami bisa kesasar ke tempat ini kami bertiga juga tidak mengerti.”
Wiro sengaja tidak menceritakan batu sakti tujuh warna yang ada pada Setan
Ngompol.
“Aneh,
kalian bertiga sungguh aneh….”
“Kau juga
aneh! Mengapa tubuhmu seperti raksasa begini!”
“Aku
bukan raksasa! Aku manusia biasa! Tubuhmu yang sekecil kutu hingga menganggap
aku raksasa!”
“Apa kau
bisa mempertemukan kami dengan Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro.
“Mengapa
kalian ingin menemuinya?”
“Mungkin
dia bisa menolong mengembalikan kami ke alam kami semula….”
“Hantu
Tangan Empat memang sakti, banyak ilmunya. Tapi untuk mengembalikan kalian ke
alam kalian semula dia tidak akan mampu melakukan. Para Peri dan Dewa sekalipun
tidak bisa melakukan!”
“Celaka
kita bertiga!” seru Setan Ngompol lalu kembali terkencing-kencing. Naga Kuning
dan Wiro Sableng terdiam tak bisa mengeluarkan ucapan barang sepatah pun.
“Tunggu
dulu,” kata Setan Ngompol. “Aku teringat pada satu ujar-ujar yang mengatakan
begini. Setiap ada jalan masuk tentu ada jalan keluar. Setiap ada pintu masuk
pasti ada pintu keluar.”
“Ujar-ujar
itu hanya berlaku di duniamu, tidak di dunia kami! Ada jalan masuk belum tentu
ada jalan keluar. Ada pintu masuk belum pasti ada pintu keluar. Kecuali jika
kalian bisa menemukah benda yang dicari Hantu Tangan Empat itu.”
“Maksudmu
Batu Sakti Pembalik Waktu?” tanya Naga Kuning.
Makhluk
raksasa anggukkan kepala,
“Kalau
batu itu yang kau maksud, ada pada temanku kakek berkuping lebar ini!”
“Berkuping
lebar dan bau!” kata si raksasa pula sambil menyeringai.
“Setan
Ngompol! Lekas keluarkan batu saktimu. Perlihatkan padanya!”
Setan
Ngompol segera meraba pinggang kirinya. Tangannya berpindah ke pinggang kanan.
Seluruh pinggang diraba. Tidak percaya si kakek singkapkan baju atasnya,
merorotkan celana kolornya, bahkan selinapkan tangannya sampai ke bawah perut.
Mukanya pucat
“Celaka!
Batu itu lenyap!”
Naga
Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut besar. Lalu ikut bantu
menggeledahi aurat si kakek. Tetap saja Batu Sakti Pembalik Waktu tidak
ditemukan.
“Jangan-jangan
jatuh di kawasan rerumputan tadi…” kata Wiro. “Kita harus mencarinya sampai
dapat!”
“Batu itu
besarnya tak sampai seujung jari kelingkingku! Bagaimana mungkin kalian bisa
menemukan?!” ujar makhluk raksasa.
“Bagimu
sebesar ujung kuku jari. Bagiku dan kawan-kawan sebesar lengan!” jawab Wiro.
Lalu cepat menyambung ucapannya. “Kuharap kau mau berbaik hati. Menurunkan kami
bertiga di tempat tadi….”
“Kalau
itu maumu wahai kutu cebol, silahkan saja…. Tapi ingat sebentar lagi hari akan
gelap. Siang akan berganti malam. Di sekitar sini banyak binatang buas. Kalian
bertiga mungkin tidak akan disantap. Tapi kalau sempat terpijak, maka kalian
akan mati percuma!”
“Kalau
begitu aku minta kau berbaik hati sekali lagi. Turunkan kami ke tanah. Jika
tidak dapat kau boleh mengambil kami kembali!” kata Wiro pula.
Makhluk
raksasa membungkuk. Tangannya diulurkan dekat-dekat ke tanah yang ditumbuhi
rumput. Jari-jarinya yang menggenggam dibuka. Ketiga prang itu menggelinding
jatuh. Memang dengan keadaan . tubuh mereka yang begitu kecil bukan satu bal
yang mudah untuk mencari batu tujuh warna itu. Setelah mencari cukup lama
termasuk meneliti ke dalam lubang-lubang bekas injakan kaki kuda, mereka tak
berhasil menemukan. Sementara itu hari mulai gelap.
“Manusia-manusia
cebol! Kalian bertiga akan terus mencari atau ikut bersamaku kembali?!” Makhluk
raksasa bertanya. Suaranya yang keras membuat tiga orang yang berada di
sela-sela rerumputan itu tersentak kaget dan terhenyak ke tanah.
“Kami memilih
tetap di sini! Kami akan mencari batu itu sampai dapat!” jawab Setan Ngompol.
Tentu saja suaranya tidak sampai ke telinga si makhluk raksasa.”
“Jangan
berlaku tolol Setan Ngompol. Kita bisa mati kedinginan di tempat serba asing
dan aneh ini!” kata Naga Kuning.
“Jangan
bicara,” kata Wiro tiba-tiba. “Aku mendengar ada langkah-langkah berat
mendatangi. Lekas sembunyi ke balik rumput!
Tak lama
menunggu Wiro dan kawan-kawannya melihat satu sosok besar berwarna hijau
berbenjol-benjol menyeruak di antara rerumputan. Sepasang kaki depan memiliki
kuku-kuku hitam panjang menghunjam ke tanah. Satu mulut besar dengan lidah
hijau ber-cabang dua terbuka mengerikan. Lalu sepasang mata merah bergerak liar
kiah kemari.
“Kodok…”
bisik Naga Kuning dengan suara bergetar. “Kodok raksasa….”
“Jangan
bicara, jangan berani bergerak!” bisik Wiro. Tapi terlambat. Katak,raksasa
hijau di depan mereka telah mengetahui kehadiran ketiganya di balik rerumputan.
Binatang ini ulurkan kaki depannya lalu turunkan kepalanya ke bawah. Dengan
satu gerakan luar biasa cepatnya mulut binatang ini menyambar.
Sesaat
lagi Wiro dan dua kawannya akan menjadi lahapan kodok raksasa, tiba-tiba satu
tangan menyambar dan membawanya tinggi-tinggi ke udara. Selamatlah ketiga orang
ini dalam genggaman makhluk raksasa,
Wiro
megap-megap sementara Naga Kuning tertelentang tak bisa berkata-kata. Sedang Si
Setan Ngompol duduk menungging di atas telapak tangan makhluk raksasa, beser
habis-habisan!
“Terima
kasih, kau sudah menyelamatkan kami dari kodok raksasa itu…” kata Wiro
megap-megap. Lalu sambungnya, “Kurasa kita bisa bersahabat….”
Makhluk
raksasa tertawa bergumam. “Apa untungnya dengan kalian bersahabat!
Paling-paling kalian bertiga hanya kujadikan barang mainan. Kalau bosan sudah
dan tak berguna lagi kalian kulempar ke mana aku suka!”
“Kami
makhluk tak berdaya mau berkata apa! Tapi siapa tahu diantara kita bisa saling
tolong menolong! Kulihat kakimu seperti dipendam ke dalam batu. Lalu masih ada
sebuah rantai besi. Di negeri kami jika seseorang diperlakukan seperti dirimu
maka dia adalah seorang penjahat maha buas! Apa kau juga seorang penjahat besar
di negeri ini?!”
“Makhluk
cebol keparat! Kau tahu apa tentang diriku! Sekali lagi kau berani bilang
penjahat besar aku ini, kulumat kalian bertiga!” Makhluk raksasa marah bukan
kepalang.
“Sahabatku,
jangan marah dulu!” kata Wiro. “Mengapa tidak kau ceritakan pada kami apa yang
telah terjadi dengan dirimu? Kami bertiga berasal dari tanah Jawa. Kami tidak
tahu dimana saat ini kami berada. Mengapa makhluk di sini semua besar-besar.
Namaku Wiro Sableng. Anak ini bernama Naga Kuning. Kakek itu biasa dipanggil
dengan sebutan Si Setan Ngompol!”
“Pantas
dari tadi aku mencium bau pesing. Pasti kau sudah mengencingi tanganku berulang
kali!” kata makhluk raksasa tapi raut wajahnya tidakmenunjukkan kemarahan.
”Wahai
tiga manusia cebol. Tak ada salahnya aku memperkenalkan diri. Aku Lakasipo. Aku
adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Diriku sampai berada dalam keadaan seperti
ini tidak ada salahnya aku ceritakan pada kalian.”
*********************
SEBELAS
Mendengar
riwayat yang dituturkan Lakasipo Wiro dan kawan-kawannya jadi terdiam untuk
beberapa lama. Namun begitu mereka ingat nasib mereka sendiri, ketiganya
kembali menjadi gelisah. “Soba
tku
Lakasipo…” akhirnya Wiro membuka mulut. “Kau sudah bisa mengira-ngira siapa
yang mencelakaimu sampai jadi begini?”
“Siapa
lagi kalau bukan Lahopeng si keparat itu! Tapi dia tidak bekerja sendirian.
Pasti ada yang membantu. Kesaktiannya tidak sampai pada kemampuan untuk
mencelakai diriku seperti ini.”
“Kau juga
tahu siapa yang membantunya?” Naga Kuning ganti bertanya.
“Di
Negeri Latanahsilam satu orang hanya yang mampu berbuat sejahat ini! Seorang
dukun durjana dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat! Aku bersumpah untuk
membunuhnya!”
“Sahabat
Lakasipo, melihat keadaan dirimu sudah berapa lama kau dipendam di tempat ini?”
Setan Ngompol ikut bertanya. Sampai saat itu dia lebih banyak memejamkan mata.
Takut pandangannya membentur ke bawah, membuatnya jadi gamang dan
terkencing-kencing.
“Kalau
aku tidak berhitung salah, mungkin sudah enam kali bulan purnama!”
“Lama
sekali! Bagaimana kau bisa bertahan hidup…?” tanya Wiro pula.
Lakasipo
menggoyangkan kepalanya ke arah kuda tunggangannya. “Kudaku yang setia itu. Dia
yang mencarikan makanan untukku di hutan sekitar sini….”
“Kuda
aneh. Kakinya saja enam…” kata Naga Kuning sambil goleng-goleng kepala.
“Selama
enam bulan kau tidak berhasil meloloskan diri. Bagaimana mungkin kau akan
membalas dendam?” tanya Wiro.
Lakasipo
mehgheja nafas dalam. “Jika ini memang pekerjaan si dukun laknat Hantu Santet,
berarti aku terpaksa menunggu sampai dia menemui ajal. Begitu mati ilmunya akan
leleh dan aku akan terbebas. Tapi berapa lama baru dia akan mampus? Orang di
sini rata-rata hidup sampai sampai ratusan tahun. Hantu Santet kurasa baru
berusia sembilan puluh tahun!”
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi saling pandang mendengar ucapan Lakasipo
itu.
“Tapi
setiap hari aku selalu berdoa memohon pertolongan para Dewa dan para Peri. Aku
tidak putus asa. Disamping itu diam-diam aku berusaha meningkatkan tenaga
dalamku dengan melakukan samadi berhari-hari. Satu ketika kelak aku bisa
memutus rantai dan mencabut dua kakiku yang terpendam dalam batu celaka ini!”
Wiro
terdiam sambil garuk-garuk kepala. Tidak sadar meluncur saja ucapannya. “Kalau
saja keadaan tubuhku sebesar dirimu, mungkin aku bisa menolong membebaskan
dirimu….”
Lakasipo
tertawa bergelak hingga tiga orang yang ada di telapak tangannya itu
terpental-pental ke udara. “Ilmu kepandaian apa yang kau miliki manusia cebol!
Yang harus kau pikirkan justru bagaimana kau bisa keluar dari alam ini! Kecuali
kalau kalian bertiga memang sudah pasrah hidup seumur-umur di tempat ini!”
“Kami
akan berusaha. Tapi kalau bisa kami ingin menolong dirimu lebih dulu…” kata Wiro
pula.
“Aku
tidak mengharapkan hal itu,” kata Lakasipo. “Malam datang sudah. Aku harus
melakukan doa dan semedi pada para Peri dan para Dewa….”
“Kami
akan berdoa dan memohon pada Tuhan Yang Masa Kuasa….”
“Tuhan…?”
ujar Lakasipo. “Makhluk apa itu? Apa dia sesakti Peri dan Dewa?”
Wiro
hendak tertawa bergelak. Tapi Setan Ngompol cepat membisiki. “Jangan kau
bersilat lidah dengan dia soal yang satu ini. Kita berada di alam seribu dua
ratus tahun silam. Lakasipo mana mengenal Tuhan!”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Lakasipo, kalau kau mau memberi izin kami
bertiga akan mencoba. Harap kau menurunkan kami ke tanah, tepat di depan dan
antara kedua kakimu!”
“Makhluk-makhluk
cebol yang sombong!” kata Lakasipo, Tapi dia menurut juga. Perlahan-lahan dia
turunkan tangan kanannya ke tanah. Begitu tangan dimiringkan maka
menggelindinglah sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol ke tanah. Lakasipo
letak-kan kepalanya di tanah. “Apa yang hendak kalian lakukan sobat-sobatku
kutu boncel?”
Wiro
angkat tangan kanannya yang memegang kapak sakti.
“Pertama
akan kucoba memutus rantai besar itu dengan senjata ini. Mungkin butuh lebih
dari sepuluh bacokan untuk memutusnya!”
“Hemmm,
aku tidak mau merendahkan seorang sahabat. Aku berterima kasih ada yang coba
mau menolong! Lakukanlah!” Lakasipo angkat kepalanya. Dia duduk dengan kaki
terkembang.
Pendekar
212 kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Maut Naga Geni 212 mengeluarkan
cahaya panas menyilaukan. Di mata Lakasipo cahaya itu tidak lebih dari satu
percikan api kecil jauh di tengah lautan atau padang pasir!
Wiro
berteriak keras. Kapak Naga Geni 212 dihantamkan ke pertengahan rantai besi
yang menggeletak di tanah antara dua kaki Lakasipo. “Traanggg!” Bunga api
memercik.
Wiro
terpekik. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak. Kapak Naga Geni 212 lepas dari
pegangannya. Mukanya seputih kertas.
“Wahai
sobatku! Apa kataku. Kau tidak berhasil!” berucap Lakasipo.
Pendekar
212 merasa sangat malu. Cepat-cepat dia ambil kapaknya kembali. Ketika dia
memandang ke arah rantai, pemuda ini jadi kaget. “Lihat, hantaman kapak telah
meretakkan satu mata rantai!”
“Wahai
sobatku, jangan terlalu gembira. Sebelum kau bisa memutus salah satu mata
rantai, senjatamu itu mungkin sudah hancur dan tanganmu sudah tanggal dari
persendian! Jangan keliwat memaksa. Biar para Dewa dan para Peri yang
menolongku!”
“Aku
belum menyerah!” kata Wiro seraya simpan Kapak Maut Naga Geni 212 di balik
pinggang pakaiannya.
“Apalagi
yang hendak kau lakukan Wiro?” tanya Setan Ngompol.
Wiro tak
menjawab. Dia tegak dengan kaki terkembang di depan rantai besi. Mulutnya
tertutup rapat. Sepasang matanya menatap tepat-tepat ke arah rantai besi besar.
Tiba-tiba dari mulutnya keluar satu teriakan keras.
“Sepasang
Pedang Dewa!” Saat itu juga dari dua mata Pendekar 212 melesat keluar dua larik
sinar hijau menyilaukan. Sinar hijau ini laksana sepasang pedang panjang yang
sangat tajam, bergabung menjadi satu lalu dengan kecepatan yang sulit dilihat
mata membabat ke pertengahan rantai besi besar yang tergeletak di tanah. Bagi
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kilauan sinar hijau itu merupakan satu hal
yang luar biasa. Tapi di mata Lakasipo yang keadaan, tubuhnya seperti raksasa
dibanding ketiga orang itu, kilauan cahaya sakti yang disebut Sepasang Pedang
Dewa itu tidak lebih dari percikan sinar sepanjang jari telunjuknya! Padahal
ilmu kesaktian itu adalah ilmu sangat langka yang didapat Pendekar 212 Wiro
Sableng dari Datuk Rao Basaluang Ameh makhluk setengah roh setengah manusia.
Ilmu kesaktian ini dalam waktu 360 hari hanya bisa dikeluar dan dipergunakan
sebanyak dua kali.
Satu
letupan keras berkumandang begitu gabungan dua sinar hijau menghantam rantai
besi. Tanah di antara dua kaki Lakasipo terbongkar. Rantai besi mengeluarkan
suara berdentrangan dan terangkat ke tanah lalu jatuh kembali ke tanah. Wiro
sendiri terhuyung mundur empat langkah lalu jatuh duduk di tanah.. Dua larik
sinar hijau yang keluar dari matanya lenyap. Di depan sana rantai besi tidak
berubah walau tadi sempat terbungkus sinar hijau seolah dilamun api.
Lakasipo
menunduk lalu angkat rantai besi dengan tangan kirinya. “Wahai sobatku Wiro.
Paling sedikit kau harus menghantam lima kali dengan ilmu kesaktianmu tadi.
Baru rantai ini bisa putus!”
Wiro tak
berkata apa-apa. Sambil garuk-garuk kepala dia bangkit berdiri dan melangkah
mendekati Naga Kuning. “Mungkin dengan ilmu gaib Naga Kuning yang mendekam di
dadamu kau bisa menolong Lakasipo,” katanya.
Tapi Naga
Kuning gelengkan kepala. “Aku mau mencoba. Kalau gagal kemana kubuang rasa
maluku! Kita berhadapan dengan ilmu kesaktian aneh beberapa tingkat lebih
tinggi dari ilmu yang kita miliki, Wiro. Ingat kata-kata Hantu Tangan Empat
mengenai ilmu memindahkan suara? Ilmu yang dimilikinya empat tingkat lebih
tinggi dari yang diketahui orang di tanah Jawa….”
Murid
Sirito Gendeng kembali garuk-garuk kepala. “Aku mau mencoba satu kali lagi!”
katanya kemudian.
Wiro
angkat tangan kanannya. Diusapnya beberapa kali. Ketika dia hendak meniup,
niatnya dibatalkan. Dia merenung sejenak. Lalu memusatkan alam pikiran pada
satu titik gaib yang seolah ada di antara kedua matanya. Mulutnya berucap.
“Datuk Rao Bamato Hijau sahabat dan pelindungku! Dengan Kuasa Tuhan Seru
Sekalian Alam aku mohon bantuanmu! Datanglah padaku!”
Baru saja
Wiro selesai berucap tiba-tiba terdengar suara menggereng disusul auman
dahsyat. Setan Ngompol langsung terkencing sedang Naga Kuning bersurut dua
langkah. Sesaat kemudian satu sosok harimau berbulu putih dengan sepasang mata
memancarkan sinar hijau muncul di tempat itu.
“Seekor
kutu berbentuk harimau, apa yang bisa dilakukannya!” kata Lakasipo dalam hati
sambil geleng-geleng kepala ketika melihat kemunculan harimau yang dikenal
dengan panggilan Datuk Rao Bamato Hijau itu. Namun apa yang terjadi kemudian
membuat Lakasipo tersentak kaget hampir terloncat dari duduknya, didahului
auman dahsyat yang menggelegar sosok harimau yang tadinya kecil itu
perlahan-lahan berubah besar. Makin besar, bertambah besar dan akhirnya sampai
sebesar sosok Lakasipo. Membuat orang ini bergidik ngeri. Wiro sendiri melompat
ke balik sebuah batu. Setan Ngompol sudah lebih dulu lari terkencing-kencing
sementara Naga Kuning sembunyi di balik sebatang pohon besar.
Datuk Rao
Bamato Hijau merangkah berputar-putar mengelilingi Lakasipo. Mulutnya tiada
henti mengeluarkan auman. Ekornya melesat kian kemari. Tiba-tiba binatang
jejadian ini merunduk. Moncongnya menyambar ke arah rantai besi besar yang
tergeletak di tanah.
“Kraaakkk!”
Rantai
besi putus dihantam gigitan Datuk Rao Bamato Hijau. Binatang ini mengaum keras.
Lakasipo berteriak gembira. Namun dia masih belum bebas. Dua kakinya masih
berada dalam batu yang terpendam di tanah.
Datuk Rao
Bamato Hijau kembali mengelilingi Lakasipo. Lalu seperti tadi dia membuat
gerakan mendadak. Kalau tadi mulutnya yang bekerja kini dua kaki depannya
dengan cepat menggaruk tanah sekitar dua kaki Lakasipo yang terpendam. Beberapa
„saat -kemudian dua lubang besar kelihatan di tanah. Dua batu dimana sepasang
kaki Lakasipo terpendam ternyata berbentuk bulat seperti bola. Sambil mengaum
keras dengan garang Datuk Rao Bamato Hijau mencengkeram dan menggerogot bola
batu di kaki kanan Lakasipo.
“Kraaakkk…
kraakkk… kraaakkk!” Terdengar suara berderakan berulang kali. Namun batu besar
itu tidak gugus, retak atau pecah!
Harimau
putih mengaum keras lalu mundur beberapa langkah. Makhluk jejadian ini
melompati batu sebelah kiri. Kembali terdengar suara berderak-derak ketika
Datuk Rao Bamato Hijau coba menghancurkan batu dengan gigi dan cakaran kukunya.
Namun seperti batu pertama, batu yang satu ini juga kukuh atos tak mampu
diapa-apakan. Datuk Rao menggereng panjang. Dari sela-sela giginya kelihatan
lelehan darah.
“Datuk
Rao…” seru Wiro.
Harimau
berbulu putih itu gelengkan kepalanya. Seolah mau mengatakan bahwa dia tidak
mampu membebaskan sepasang kaki Lakasipo yang dipendam dalam bola batu yang
oleh sosok jejadian Luhrinjani disebut sebagai Bola-Bola Iblis! Datuk Rao
Bamato Hijau mendongak ke langit lalu mengaum panjang. Perlahan-lahan tubuhnya
mengecil kembali. Wiro segera melompat mendekati Datuk Rao Bamato Hijau. Tangan
kiri mengusap kuduk binatang itu tangan kanan menyeka lelehan darah.
”Datuk
Rao Bamato Hijau sahabatku. Aku tidak berkecil hati dan jangan kau kecewa. Kau
telah berusaha keras hingga mengeluarkan darah dari mulutmu. Walau kau tidak
dapat menghancurkan batu itu tapi kau telah menolong Lakasipo dari pendaman
yang membuatnya menderita selama puluhan hari. Aku berterima kasih. Lakasipo
juga pasti sangat berterima kasih….”
Datuk Rao
Bamato Hijau kedip-kedipkan matanya seolah mengerti apa yang diucapkan Pendekar
212 Wiro Sableng. Tiba-tiba satu tangan besar menyambar sosok Datuk Rao Bamato
Hijau. Lakasipo mengangkat binatang ini ke atas, didekatkan ke mukanya.
“Makhluk kecil berbentuk harimau putih! Aku Lakasipo berterima kasih atas
pertolonganmu! Para Dewa dan Peri akan membalas jasa dan budi baikmu….”
Di atas
telapak tangan Lakasipo Datuk Rao Bamato Hijau mengaum keras. Lalu sosoknya
berubah menjadi kabut yang kemudian sirna dari pemandangan mata Lakasipo.
“Makhluk
luar biasa…” desis Lakasipo. Dia ingat pada Wiro dan dua temannya. Dengan cepat
Lakasipo membungkuk mengambil ketiganya. “Kalian bertiga, terutama kau wahai
Wiro Sableng telah menolongku! Aku sangat berterima kasih! Hari ini mulai, aku
mengangkat sumpah bahwa kalian bertiga adalah saudara satu darahku!”
“Terima
kasih kau mau berbaik hati mengangkat kami jadi saudara-saudaramu!” kata Wiro.
“Mudah-mudahan saja kau tidak malu punya tiga saudara kutu cebol begini!”
“Ya,”
menyahuti Naga Kuning. Dia menudingkan ibu jari tangan kanannya pada Setan
Ngompol. “Apalagi saudaramu yang satu ini. Sudah kakek peot, eh tukang ngompol
bau pesing lagi!”
“Bocah
sialan! Jaga mulutmu! Rasakan ini!” Setan Ngompol memaki marah lalu mengerukkan
tangannya ke bawah perut. Tangan yang basah dengan air kencing ini kemudian
dipoleskannya ke hidung dan mulut Naga Kuning hingga bocah ini meludah-ludah
dan ganti memaki panjang pendek!
Lakasipo
buka mulutnya lebar-lebar hendak tertawa bergelak mendengar ucapan Naga Kuning
itu. Tapi Wiro cepat berteriak. “Jangan tertawa! Kami bertiga bisa mental ke
udara! Jatuh ke tanah!”
Lakasipo
segera tekap mulutnya dengan tangan kiri lalu berkata. “Sahabat Wiro,
sebelumnya aku telah berulang kali mengejek dan menghinamu dan dua kawanmu- Ternyata
kau seorang sakti berkepandaian tinggi. Ilmu memelihara dan memanggil harimau
sakti seperti yang kau miliki itu benar-benar luar biasa. Kau dan kawan-kawanmu
ini siapakah sebenarnya…?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Soal diriku tidak usah dibicarakan dulu. Yang penting saat
ini adalah urusan dirimu sendiri. Tadi kau saksikan sendiri Lakasipo. Harimau
putih itu tidak sanggup menghancurkan bola-bola batu yang membungkus dua
kakimu. Menurut aku yang tolol, bisa saja dua bola batu itu kini menjadi
sepasang senjata maut yang hebat! Jangankan manusia. Gunung pun bisa kau
hancurkan!”
Lakasipo
ternganga mendengar kata-kata Wiro itu. Untuk beberapa saat dia pandangi wajah
Wiro yang besarnya seujung kuku. Perlahan-lahan Lakasipo memandang ke bawah
memperhatikan dua kakinya.
“Kau
mungkin benar wahai Wiro saudaraku. Dengan pertolongan para Dewa dan para Peri,
dua kakiku ini bisa menjadi senjata ampuh. Aku teringat pada ucapan seseorang.
Bola-Bola Iblis…” desis Lakasipo begitu dia ingat akan ucapan sosok gaib
Luhrinjani satu malam puluhan hari lalu di kaki Bukit Latinggihijau. Sekujur
tubuhnya bergetar. “Wahai para Dewa dan Peri, aku mohon pertolonganmu! Jadikan
sepasang kakiku benar-benar sebagai Bola-Bola Iblis untuk menghancurkan
manusia-manusia yang telah memperlakukan diriku secara jahat dan
sewenang-wenang! Jadikan dua kakiku sebagai dua senjata sakti agar aku dapat
membalaskan sakit hati kesumat dendam atas ke-matian Luhrinjani!” Sekujur tubuh
Lakasipo kembali bergetar. Di atas telapak tangannya Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol terhuyung-huyung kian kemari; Untuk cari selamat agar tidak jatuh
ke bawah ketiganya segera baringkan diri di atas telapak tangan Lakasipo.
Selama
180 hari lebih sepasang kaki Lakasipo telah dipendam dalam batu. Selama itu
pula dia tidak pernah berjalan melangkahkan kaki. Kini kakinya bebas, tapi
masih terpendam dalam dua bola batu. Sanggupkah dia menggerakkan kakinya dan
berjalan. Lakasipo sesaat merasa cemas. Dengan menabahkan hati disertai
pengerahan tenaga, dia angkat kaki kanannya keluar dari lubang di tanah. Terasa
sangat berat. Dia kerahkan lagi tenaga lebih besar. Keringat memercik di muka
dan tengkuknya. Otot-ototnya melembung bergetar. Perlahan-lahan bola-bola batu
itu bergerak sedikit. Lakasipo genggamkan lima jari tangan kanannya lalu
berteriak keras.
“Dukkk!”
Batu
besar yang membungkus kaki kanan Lakasipo keluar dari lubang dan menghunjam di
tanah. Tanah bergetar hebat. Pohon-pohon bergoyangan. Untuk ke dua kalinya
Lakasipo berteriak sambil mengerahkan tenaga.
“Dukkkk!”
Seperti
kaki kanan tadi kaki kiri juga mampu dikeluarkannya dari dalam lubang.
“Dukkkk..,, dukkk… dukk… dukkk!”
Setiap
langkah yang dibuatnya menimbulkan suara keras serta getaran di tanah.
“Bunyi
apa itu?!” seru Setan Ngompol dalam genggaman Lakasipo.
“Rasanya
kita seperti melayang-layang!” ujar Naga Kuning pula.
Lakasipo
buka genggaman tangan kanannya.
“Wahai
kalian bertiga…. Ada tugas besar yang harus aku laksanakan. Aku.akan mencari
manusia-manusia yang telah membuat diriku celaka! Kalian, bertiga tidak akan
kutinggal. Akan kubawa kemana aku pergi!”
Di
pinggang Lakasipo ada sebuah ikat pinggang kulit. Pada bagian sebelah kanan
terdapat sebuah kocek terbuat dari jerami kering yang dianyam. Lakasipo membuka
penutup kocek lalu memasukkan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol kedalam
kocek!
“Hai! Kau
masukkan kemana kami ini?!”; teriak Naga Kuning. “Gelap sekali di sini!”
“Aku tak
bisa bernafas!” seru Setan Ngompol. “Aduh! Mau kencing rasanya!”
“Awas!
Jangan kau berani beser di tempat ini!” teriak Wiro.
“Duukkk…
duukkkk.„ dukkk… dukkkk!”
Lakasipo
kerahkan tenaga luar dan tenaga dalamnya.
Ketiga
orang itu tergoncang-goncang ketika Lakasipo melang kah cepat mendekati kuda
tunggangannya. Dua buah batu berbentuk bola besar yang membungkus sepasang kaki
Lakasipo sampai ke pangkal betis beratnya bukan kepalang. Apalagi ditambah
dengan potongan besi yang masih mencantel. Namun karena memiliki ilmu dan
tenaga dalam tinggi dan didorong oleh dendam kesumat hendak membalaskan sakit
hati maka walau diberati benda-benda itu dia mampu melangkah.
Namun
baru berjalan beberapa langkah ke arah kudanya yang menunggu sekonyong-konyong
dari tempat gelap muncul tiga sosok yang segera menghadang jalan Lakasipo.
“Lakasipo!
Manusia durjana! Di cari-cari akhirnya kau kami temui juga! Telah kau membunuh
Luhrinjani keponakanku! Nyawa busukmu jadi tebusan! Roh jahatmu akan tergantung
antara langit dan bumi!” Orang paling depan membentak.
Kawan di
sebelahnya berucap kaget. “Lihat! Bagaimana bangsat jahat ini bisa lepas dari
pendaman batu iblis?!”
“Ada batu
berbentuk bola dan rantai putus mengganduli dua kakinya!” Orang ke tiga ikut
bicara.
“Wahai
tiga orang penghadang di malam hari! Lantai terjungkal tidak kucari. Segala
fitnah tidak kusenangi! Izinkan aku memberi keterangan terlebih .dulu!”.
Di dalam
kocek jerami kering, Wiro dan dua kawannya mendengar jelas bentakan-bentakan
itu. Dengan susah payah mereka menggeser penutup kocek lalu mengintai.
“Celaka,
naga-naganya akan terjadi perkelahian hebat!” kata Naga Kuning. “Kalau sampai
tendangan atau senjata lawan mengenai kocek ini, kita bisa medel semua!”
“Kalau
begitu biar aku ke luar saja dan merosot lewat kaki celana Lakasipo!” kata
Setan Ngompol.
“Mati
hidup kita tetap dalam kocek ini! Berada di luar mungkin lebih besar
bahayanya!” kata Wiro lalu menarik daun telinga lebar Setan Ngompol.
*********************
DUA BELAS
Lelaki di
sebelah depan yang mengenakan destar tinggi warna hitam terbuat dari sejenis
kulit kayu meludah ke tanah. “Dasar manusia anjing! Setelah membunuh
ke-ponakanku kau masih bisa berkata tidak mencari lantai terjungkat! Menuduh
kami memfitnah! Jahanam!”
“Wahai
Lasalut, Pamanda, Luhrinjani istri yang kucintai! Perihnya hati dan jiwa akibat
kematian istri masih terobat belum! Bagaimana tega-teganya kau menuduhku
membunuh Luhrinjani?!” ujar Lakasipo dengan sikap tetap tenang walau telinganya
panas mendengar ucapan orang.
“Iblis
jahanam! Jangan kau berani bermanis mulut! Aku punya, saksi yang melihat kau
membunuh Luhrinjani keponakanku! Mayatnya kau lemparkan ke dalam jurang di sisi
Bukit Batu Kawin!”
“Kau
boleh punya seribu saksi Lasalut Pamanda, tapi aku punya saksi para Peri dan
Dewa!”
“Kurang
ajar! Berani-beraninya kau membawa-bawa nama Dewa dan Peri!” bentak orang
bernama Lasalut.
“Aku
berani karena aku tidak membunuh Luhrinjani. -Dia bunuh diri menjatuhkan badan
ke dalam jurang! Itu bukti penyesalan diri karena berlaku khianat. Mau
mengawini Lahopeng yang menjadi pangkal bencana!”
“Pandainya
dia memutar balik kenyataan!” kata lelaki di samping kanan Lasalut yang
kira-kira seusia dengan Lakasipo. Dia adalah Laberang, saudara sepupu
Luhrinjani. “Lahopeng sendiri yang menyaksikan kau melempar tubuh saudara
sepupuku itu ke dalam jurang!”
“Laberang,
aku tahu sejak lama kau benci padaku! Jangan kesempatan ini kau pergunakan
untuk mengarang cerita membela Lahopeng!”
“Lakasipo!
Ketahuilah bahwa Lahopeng kini telah menjadi Kepala Negeri Latanahsilam!
Seorang Kepala Negeri tidak akan berdusta! Karena dia telah disumpah oleh para
Dewa dan para Peri untuk berkata benar!”
Lakasipo
menyeringai. “Kebenaran seseorang tidak dinilai dari jabatan yang dimilikinya!
Apalagi Lahopeng menduduki jabatan Kepala Negeri secara curang! Kuharap bertiga
kalian menyingkir dari hadapanku!”
“Laberang
dan Lakasat! Mengapa kalian tidak segera berebut pahala menghabisi manusia
jahanam ini?!” seru Lasalut.
Mendengar
kata-kata paman Luhrinjani itu, dua orang muda Laberang dan Lakasat segera
menghunus parang besi. Keduanya langsung menyerbu Lakasipo. Di antara kedua
serangan itu secara licik Lasalut hantamkan tangan kanannya. Sebuah benda bulat
berpijar melesat ke arah kepala Lakasipo!
Lakasipo tidak
gentar menghadapi sambaran dua parang besi. Yang dikhawatirkannya justru benda
bersinar yang dilemparkan Lasalut ke arahnya. Dengan cepat Lakasipo jatuhkan
diri ke tanah. Dalam keadaan miring, sementara tangan kiri bersitahan ke tanah,
kaki kanan Lakasipo tiba-tiba melesat ke atas. Bola batu dan rantai besi
berputar menderu berkerontangan.
“Traanggg…
traaangg!”
Dua
parang besi terlepas dari tangan para penyerang. Hancur patah menjadi beberapa
bagian dan mental ke udara. Lakasat dan Laberang berseru kaget lalu cepat
melompat mundur dengan muka pucat.
Lasalut
menggereng geram ketika benda yang dilemparkannya berhasil dielakkan Lakasipo.
Sekali lagi dia melemparkan benda serupa. Kali ini dua kali sekaligus. Begitu
melempar dia melesat sambil kirimkan satu pukulan tangan kosong yang ganas.
Saat itu
Lakasipo baru saja berusaha bangkit. Melihat dua benda bercahaya kembali
.menyambar ke arahnya dengan kertakkan geraham lelaki ini menyongsong serangan
lawan dengan bola batu yang membungkus kaki kanannya:
“Bummm!”
Satu
letusan keras menggelegar begitu kaki batu Lakasipo menghantam hancur benda
bercahaya paling depan. Kakinya bergetar hebat dan terasa panas sampai ke
pangkal paha! Di dalam kocek di pinggang Lakasipo Setan Ngompol tak dapat lagi
menahan pancaran kencingnya: Wiro dan Naga Kuning mengomel panjang pendek.
Benda
bercahaya ke dua datang menyambar bersamaan dengan angin pukulan tangan kosong
Lasalut. Menyadari bola-bola batu yang membungkus kakinya dapat diandalkan
sebagai senjata ampuh, untuk ke dua kalinya Lakasipo tendangkan kakinya
menyambut serangan. Untuk ke dua kalinya pula benda bercahaya itu hancur
mengeluarkan letusan keras. Lakasipo merasakan anggota tubuhnya sebelah kanan
seperti bertanggalan. Selagi dia jatuhkan diri menahan sakit datanglah hantaman
pukulan tangan kosong Lasalut.
Lakasipo
menjerit keras ketika pukulan sakti itu menghantam telak di dadanya. Lelaki ini
terbanting ke tanah sambil muntahkah darah segar! Merasa dia bakalan dapat
mengalahkan lawannya Lasalut segera melompat untuk menghabisi riwayat orang
yang dianggapnya sebagai pembunuh keponakannya itu. Namun malang bagi dirinya.
Selagi tubuhnya masih melayang di udara, Lakasipo telah melompat dan menyergap
dengan tendangan kaki kiri.
“Kraakkk!”
Lasalut
menjerit keras. Tulang pinggulnya hancur.
Tubuhnya
mencelat sampai tiga tombak. Untuk beberapa lama dia menggeliat-geliat di tanah
lalu merangkak mendekati Lakasipo. Mukanya seperti setan. Dari mulutnya keluar
buih berwarna kehijauan, Mukanya tiba-tiba berubah menjadi muka seekor ular
kepala hijau. Perlahan-lahan tubuhnya ikut berubah menjadi tubuh ular.
“Hantu
Ular Siluman!” teriak Lakasipo tegang. Dia memang pernah mendengar kalau paman
Luhrinjani ini memiliki semacam ilmu yang bisa merubah dirinya menjadi ular
besar berwarna hijau. Namun baru sekali ini dia menyaksikan sendiri.
Di
hadapan Lakasipo ular hijau bergerak secara aneh. Binatang ini tidak melata di
tanah melainkan, tegak lurus di atas ekornya yang laksana besi dipancang.
Didahului desisan keras dan semburan racun berwarna hijau, sosok Lasalut yang
telah jadi ular itu melesat ke depan. Kepala mematuk ke arah leher sedang
bagian tubuh berusaha menggelung sementara ujung ekor tetap tegak di tanah dan
mampu bergerak cepat kian kemari.
Wiro,
Setan, Ngompol dan Naga Kuning yang berada dalam kocek jerami dan menyaksikan
apa yang terjadi menjadi sangat ketakutan. Kalau sampai hantaman ular jejadian
itu mengenai kocek maka tamatlah riwayat mereka bertiga!
Sambil
menyingkir hindari serangan Lakasipo berseru.
“Wahai
Pamanda Lasalut! Aku Lakasipo yang muda bersedia menyudahi perkelahian ini.
Asalkan kau mau menghentikan serangan!”
Tapi
Lasalut yang telah jadi ular hijau besar itu tidak perduli ucapan orang.
Patukannya menyambar ganas. Untung Lakasipo masih bisa mengelak hingga serangan
Lasalut lewat setengah jengkal dari leher kiri yang diincar! Sebelum lawan
menyerang kembali Lakasipo melompat menjauh seraya berseru.
“Wahai
Pamanda Lasalut, aku tidak ingin berkelahi denganmu! Biar semua sengketa habis
sampai di sini. Izinkan aku pergi dengan tenang!” Dengan mengambil sikap
mengalah Lakasipo balikkan tubuh lalu melangkah pergi.
Di atas
kepala ular menggeledek teriakan kemarahan. Dari mulut ular itu sendiri
menyembur cahaya hijau. Lalu “wuuuut!” Binatang jejadian itu melesat ke depan,
mematuk Lakasipo yang sedang membelakangi, tepat di punggung kirinya!
Lakasipo
menjerit keras. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
“Mati
kita semua!” jerit Wiro di dalam kocek jerami. Masih untuk pinggang Lakasipo di
bagian mana kocek tergantung tidak menghunjam tanah. Terhuyung-huyung Lakasipo
bangkit berdiri.
Di atas
kepala ular hijau ada suara tawa bergelak. Suara tawa Lasalut. “Lakasipo
manusia pembunuh istri! Dendamku terbalas sudah! Patukanku mengenai tubuhmu!
Kehidupan hanya tinggal tujuh hari dalam jazad kotormu! Ha… ha… ha…!” Tubuh
Lasalut yang berbentuk. ular besar hijau perlahan-lahan berubah menjadi sosok
manusia kembali. Mulai dari kepalanya.
“Pamanda
Lasalut…. Aku tak ingin menurunkan jahat tangan padamu! Tapi kau telah berlaku
curang dan jahat! Saat ini biaraku memilih mati bersama! Para Dewa dan para
Peri akan menghukummu! Karena aku tahu dimana kelemahan ilmu Hantu Ular Siluman
yang kau miliki!”
Muka
Lasalut sampai ke leher yang telah berubah kembali pada bentuk aslinya
menyeringai. Malah orang ini keluarkan tawa bergelak.
Melihat
sikap orang seperti itu Lakasipo tidak sungkan-sungkan lagi. Didahului teriakan
keras dia menyergap ke depan- Bola batu kaki kanannya berkelebat ke arah ekor
ular hijau yang tegak lurus di tanah. Ekor! Di sinilah letak kelemahan ilmu
Hantu Ular Siluman yang diandalkan Lasalut.
Lasalut
terkejut besar. Dalam keadaan merubah diri seperti itu dia tidak bisa bergerak
cepat.
“Lakasipo!
Jangan!” teriak Lasalut.
“Wuuttt!”
“Praakkk!”
Tubuh
Lasalut yang masih dalam perubahan hancur di sebelah bawah. Lolongan Lasalut
setinggi langit. Tubuhnya terlempar tiga tombak. Begitu terbanting di tanah
sekujur tubuhnya yang sebelumnya masih berbentuk ular hijau kini telah berubah
menjadi sosok manusia kembali namun sepasang kakinya sebatas lutut ke bawah
kelihatan dalam keadaan hancur. Dagingnya lumat dan tulang-tulangnya hanya
tinggal serpihan-serpihan mengerikan. Sesaat Lasalut masih menggeliat-geliat.
Sepuluh jari tangannya mencakar-cakar tanah. Orang ini meraung keras lalu tak
berkutik lagi. Entah pingsan entah tewas!
Laberang
dan Lakasat ketakutan setengah mati melihat apa yang terjadi. Tidak menunggu
lebih lama keduanya segera menghambur kabur. Namun Lakasipo lebih dulu melesat
memotong jalan sambil kaki kirinya menendang.
“Praaakkk!”
Korban ke
dua jatuh. Laberang terlempar dan melingkar di tanah dengan kepala pecah!
Hancuran kepala dan darahnya muncrat ke arah Lakasat. Pemuda ini menjerit ngeri
setengah mati. Suara jeritannya lenyap begitu sepuluh jari tangan Lakasipo
tahu-tahu telah mencekiknya. Dengan lidah terjulur dan mata mendelik Lakasat
meratap.
“Laka….
Lakasipo…. Jangan… jangan bunuh diriku. Aku… aku tidak ada perselisihan
denganmu. Ampuni diriku….”
Lakasipo
meludah ke tanah. Mukanya mengerenyit karena tiba-tiba ada rasa sakit mencucuk
di punggungnya yang terkena patukan Hantu Ular Siluman.
“Sekarang
meratap kau wahai Lakasat! Tadi bicaramu segarang anjing! Tapi aku Lakasipo mau
saja mengampuni dirimu! Pergi ke Negeri Latanahsilam. Temui Lahopeng! Katakan
padanya besok nyawanya akan melayang! Aku akan membunuhnya!”
Lakasipo
bantingkan Lakasat ke tanah. Orang ini merintih kesakitan. Bangkit berdiri lalu
lari sekencang yang bisa dilakukannya.
Di dalam
kocek jerami di pinggang Lakasipo Wiro jatuhkan diri di lantai kocek. Mukanya
yang pucat berdarah kembali. Dia memandang pada Naga Kuning dan Setan Ngompol
yang terkapar tak bergerak dengan mata melotot.
“Bagaimana…?”
tanya Naga Kuning”tersendat.
“Lakasipo
membunuh orang bernama Lasalut dan Laberang….”
“Jadi
sudah aman sekarang?” tanya Setan Ngompol sambil pegarigi kolornya yang basah
oleh air kencing.
“Belum….
Lakasipo masih akan mencari musuh besarnya. Dia mau membunuh Lahopeng!” jawab
Wiro menerangkan.
“Lalu
bagaimana dengan kita?” tanya Naga Kuning.
“Jangan
terlalu mengharap. Kita sendiri akan berada dalam bahaya berkepanjangan.
Mungkin kita harus menunggu sampai Lakasipo menghabisi Lahopeng. Kalau dia
menang! Kita tetap harus mencari jalan kembali ke dunia kita! Tanah Jawa!
Sekarang hari sudah gelap. Malam akan segera tiba. Aku tidak dapat membayangkan
ngerinya malam di negeri aneh ini! Tapi kalau siang datang, aku minta Lakasipo
mengantarkan kita ke kawasan berumput itu. Kita harus dapatkan Batu Pembalik
Waktu itu kembali!” Murid Sinto Gendeng sandarkan badannya ke dinding kocek.
“Sialnya nasib kita ini…” katanya sambil garuk-garuk kepala.
“Kita
berdua tidak sial! Yang membawa sial adalah kakek tukang ngompol bau pesing
ini!” kata Naga Kuning pula.
“Jangan
kau berani bicara seenaknya! Jaga mulutmu kalau tidak mau kusumpal dengan
kolorku!” bentak Setan Ngompol. Dua matanya yang lebar tampak bertambah lebar.
“Kau yang membuat sialan kita semua! Kita kesasar ke tempat ini tepat pada saat
kau memegang batu tujuh warna itu! Kau yang sialan bocah jelek!”
Naga
Kuning berdiri dan hendak balik mendamprat. Tapi saat itu mereka merasakan
seperti melayang di udara. Lalu ada suara menggemuruh.
“Apa yang
terjadi?!” seru Setan Ngompol sambil berusaha menahan kencingnya.
Naga
Kuning coba mengintai. Sesaat kemudian dia memberi tahu. “Lakasipo berada di
atas kuda kaki enamnya!”
“Berarti
kita tengah menuju Negeri Latanahsilam!” ujar Wiro pula.
*********************
TIGA BELAS
Kuda
berkaki enam itu lari menggemuruh cepat sekali. Menjelang pagi Lakasipo
berharap dia sudah sampai di Latanahsilam. Di dalam kocek jerami Wiro, Naga
Kuning dan Setan Ngompol bergelung tergoncang-goncang. Karena keletihan ketiga
orang itu akhirnya tertidur pulas. Pagi hari begitu sinar sang surya menembus
dinding kocek yang terbuat dari jerami ketiganya terbangun. Lakasipo masih
terus memacu kudanya. Wiro dan Naga Kuning mendorong penutup kocek ke atas lalu
menjengukkan kepala. Begitu memandang ke luar keduanya langsung jatuh terduduk.
Bukan saja karena gamang tapi juga ngeri. Mereka melihat pohon-pohon raksasa
seperti terbang bergerak cepat ke arah berlawanan dari lari kuda kaki enam yang
ditunggangi Lakasipo.
Di satu
lereng bukit Lakasipo perlambat lari kudanya. Wiro dan Naga Kuning kembali
beranikan diri mengintai. Jauh di bawah sana mereka melihat, sebuah lembah lalu
satu kawasan pemukiman yang cukup luas.
“Mungkin
itu Latanahsilam, tujuan Lakasipo…” kata Wiro.
Ketika
Lakasipo sampai di kaki bukit, dari kawasan pemukiman terdengar suara kentongan
bertalu-talu. Suara kentongan di kejauhan ini bagi Wiro dan Naga Kuning serta
Setan Ngompol seolah menggema dekat liang telinganya.
“Orang
sudah tahu kedatangan Lakasipo. Musuhnya yang bernama Lahopeng itu pasti sudah
mempersiapkan sambutan! Kita bakal diancam bahaya lagi!” berkata Wiro.
“Bagaimana
kalau kita beritahu Lakasipo agar menurunkan kita di sini,” ujar Setan Ngompol.
Lalu dia memukul-mukul dinding kocek jerami dengan tangan kanannya. Wiro dan
Naga Kuning diam saja karena bagi mereka berada di luar, di alam yang serba
asing belum tentu lebih aman dari pada terus berada dalam kocek jerami itu.
Di satu
tempat Lakasipo melihat binatang tunggangannya menggerak-gerakkan kedua
telinganya. Lelaki ini segera elus rambut tebal di kuduk si kuda. Sepasang
telinganya dipasang sedang dua matanya memperhatikan keadaan sekitarnya dengan
tajam. Sebelumnya Lakasipo telah melepaskan Lakasat dan menyuruh pemuda itu
memberi tahu Lahopeng akan kedatangannya. Saat ini Lahopeng pasti sudah
menerima berita itu. Dan tentu saja sudah dapat dipastikan dia tidak akan
berdiam diri.
Ada suara
bergemerisik. Dari balik rumpun besar deretan pohon-pohon bambu yang dimata
Wiro dan kawan-kawannya seolah tinggi menjulang langit sekonyong-konyong muncul
enam orang lelaki bertelanjang dada, bersenjatakan parang terbuat dari besi
bengkok. Tiga dari samping kiri, tiga lagi dari samping kanan. Yang membuat
kaget dan ngeri Wiro, Naga Kuning serta Setan Ngompol bukan tampang atau
keadaan keenam orang itu, melainkan binatang-binatang yang jadi tunggangan mereka.
Setiap langkah yang dibuat binatang ini menggetarkan tanah.
“Kadal
raksasa…” desis Wiro dengan suara bergetar.
“Betul…”
menyahuti Naga Kuning. “Benar-benar negeri gila! Bagaimana ada kadal sebesar
ini, jinak dan bisa ditunggangi!”
“Mulut,
mata, gigi dan lidahnya mengerikan sekali!” Setan Ngompol masih berusaha
melihat lebih lama.
Tapi
tidak tahan. Dia meluncur turun ke dalam kocek sambil terkencing.
Enam
penunggang kadal raksasa segera bertebar membentuk setengah lingkaran,
mengurung Lakasipo. Lakasipo kenal orang-orang itu. Mereka adalah penduduk
Negeri Latanahsilam dan diketahuinya adalah teman-teman dekat Lahopeng.
Lakasipo
sampai di hadapan enam penunggang kadal. Dia segera hentikan kudanya.
“Wahai
enam kerabat penunggang kadal coklat! Gerangan apa sengaja maka kalian
menghadang jalanku!” Lakasipo menegur.
“Kami
mendapat tugas untuk berjaga-jaga di tempat ini!” jawab salah seorang dari
enam. penunggang kadal besar.
“Pekerjaan
mulia! Ada petaka apa yang terjadi maka kalian berjaga-jaga. Lalu siapa gerangan
yang memberi tugas pada kalian, wahai enam kerabat?!” Bertanya Lakasipo.
Yang
menjawab penunggang kadal coklat di ujung kanan. “Malapetaka itu bersumber pada
dirimu wahai Lakasipo!” Lalu teman di sampingnya menyambung, “Yang memberi kami
tugas adalah Kepala Negeri Latanahsilam!”
“Hemmm…”
Lakasipo bergumam sambil usap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang, kasar dan
kotor. “Siapakah gerangan Kepala Negeri Latanahsilam itu?!”
“Yang
terjunjung bernama Lahopeng!”
Lakasipo
tersenyum walau telinganya mendadak menjadi panas. “Sejak kapan,pemuda itu
menjadi Kepala Negeri. Siapa yang mengangkatnya…?”
“Sejak
beberapa bulan lalu. Penduduk yang mengangkatnya. Selain masih muda dan cakap
Lahopeng memiliki ilmu silat dan kepandaian tinggi!”
“Kalian
semua wahai kerabat tahu kalau aku adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Kalian
melihat aku segar bugar dan masih hidup! Selama Kepala Negeri masih hidup
apakah ada adat dan aturan di negeri Latanahsilam seseorang lain dijadikan
Kepala Negeri?”
“Menurut
Lahopeng kau sudah tewas sekitar enam kali bulan purnama lalu.”
“Latole….
Latole,” kata Lakasipo sambil geleng-geleng kepala. “Apa kau dan lima kerabat
sudah pada buta? Dengan siapa saat ini kalian berhadapan?!”
Latole
menjawab. “Yang kami lihat memang sosok kasar Lakasipo, bekas Kepala Negeri
Latanahsilam. Tapi kami tidak tahu apakah ini benar jazad hidupnya atau rohnya
yang gentayangan dari alam kematian!”
Kembali
telinga Lakasipo menjadi panas. Malah dadanya kini mulai terasa seolah dibakar.
“Wahai enam kerabat, tidak tahu aku siapa yang buta dan pandir di antara kita.
Aku tidak ingin bicara berlama-lama dengan kalian. Beri aku jalan! Aku akan
segera menuju Latanahsilam!”
“Wahai
Lakasipo, harap kau mau bersadar diri. Keadaan sekarang berubah sudah. Dulu kau
Kepala Negeri Latanahsilam yang kami hormati. Tapi sekarang tidak. Saat ini
kami adalah para wakil kepercayaan Lahopeng, Kepala Negeri Latanahsilam yang
baru! Kami diperintahkan untuk mencegatmu. Kau tidak boleh memasuki
Latanahsilam!”
“Hemmm….
Begitu rupanya?” ujar Lakasipo. Dia angkat kakinya kiri kanan yang berbentuk
bola-bola besar terbuat dari batu.
“Kalian
berenam, lihat baik-baik! Aku menyebut dua batu bulat yang membungkus kakiku
sampai pangkal betis sebagai Bola-Bola Iblis! Dua bola batu ini masih bernoda
darah. Itu adalah darah Lasalut dan Laberang. Mereka menemui ajal karena
kebodohan mereka sendiri. Mereka mati dengan kepala hancur dihantam Bola-Bola
Iblis ini! Apa kalian berenam ingin pula bertindak bodoh?!”
“Wahai
Lakasipo! Perihal kematian Lasalut dan Laberang sudah kami ketahui dari
Lakasat! Kau sekarang adalah orang terhukum. Kami akan menangkapmu hidup atau
mati!” kata orang bernama Latole.
“Kalau
begitu di antara kita tidak bisa dihindari bentrokan besar! Kau adalah para
kerabatku. Aku tidak ingin menyakiti apalagi sampai melukai kalian! Tapi jika
kalian mencari mati, mungkin kesabaranku bisa putus!”
“Kalau
begitu ucap katamu wahai Lakasipo terpaksa kami mencabut nyawamu, menanggalkan
kepalamu dan menyerahkan pada Lahopeng!”
“Sayang
sekali! Sayang sekali! Dulu kita bersahabat. Dulu aku adalah pimpinan kalian.
Tapi kehendak tolol kalian membuat kita saat ini tidak ada kaitan apa-apa! Aku
hanya ingin berucap sekali lagi. Menyingkirlah. Beri aku jalan!”
“Maafkan
kami Lakasipo. Kalaupun kami harus menyabung nyawa, sejengkal pun kami tidak
akan beranjak dari tempat ini!”
“Kalian
orang-orang gila dan pandir! Kalian tidak sayang nyawa, akupun tidak akan
banyak perhitungan membunuh kalian semua! Di mataku kalian tidak lebih dari
pada kaki tangan manusia jahat bernama Lahopeng! Pengkhianat busuk!”
Habis
berkata begitu Lakasipo gebrak kuda kaki enamnya. Binatang ini meringkik keras.
Suara ringkikan ini disambut suara melengking aneh enam ekor kadal raksasa.
Lakasipo melompat dua tombak ke udara. Enam penunggang kadal sama keluarkan
pe-kikan nyaring. Ternyata pekik ini adalah satu aba-aba. Karena begitu memekik
keenamnya melompat turun dari tunggangan masing-masing. Serentak dengan itu
enam kadal raksasa coklat menyerbu Laekakienam. Kuda tunggangan Lakasipo
meringkik keras. Matanya menyorotkah sinar merah. Kepalanya membeset ke bawah.
Dua tanduk berkeluk menyambar menyongsong serangan enam ekor kadal. Dua kaki
paling depan menendang ganas!
Saat enam
kadal raksasa menyerang kuda kaki enam, Lakasipo telah melesat ke udara.
Melihat hal inf enam orang lelaki suruhan Lahopeng diam-diam merasa tercekat.
“Latole,”
bisik laki-laki di samping kiri. “Menurut Lahopeng, selama dipendam Lakasipo
telah kehilangan ilmu kesaktiannya! Kau saksikan sendiri! Bagaimana mungkin dia
melesat setinggi Itu sementara kakinya dibungkus dua bola batu sangat berat?!”
Latole
tidak punya kesempatan untuk menjawab. Karena saat itu dari atas dua kaki
Lakasipo menyambar ganas. Dua orang mengangkat parang besi mereka. Yang satu
berusaha menabas paha kiri Lakasipo. Satunya lagi menghantam batu bola di kaki
kanan!
“Praaakkk!”
“Traaangg!”
Lelaki
yang hendak membacok paha Lakasipo mencelat dengan kepala pecah. Parang besi
yang menghantam bola batu di kaki kanan lawan satu lagi patah berantakan.
Rantai besi yang masih melibat kaki Lakasipo berkelebat menghajar lengannya.
“Traakkk!” Orang itu menjerit keras kesakitan. Dia menjerit sekali lagi ketika
menyaksikan bagaimana kutungan lengan kanannya melayang di udara.
Gebrakan
Lakasipo tidak sampai di situ saja. Sambil melayang turun kaki kirinya
ditendangkan ke arah kepala salah seekor kadal raksasa yang tengah menyerang
kudanya.
“Praaaakkk!”
Kepala
kadal raksasa hancur. Darah dan isi kepalanya bermuncratan. Tapi sosok tubuhnya
masih tegak berdiri. Malah buntutnya tiba-tiba menggelepar ke atas. Lakasipo
berseru kaget tak menyangka. Ujung ekor kadal yang tertutup sirip-sirip tebal
setajam pisau menyambar lambungnya, “Craaasss!”
Darah
mengucur dari perut sebelah kanan Lakasipo. Masih untung dia berlaku cepat,
melompat ketika ekor kadal raksasa menghantam hingga lukanya tak cukup dalam
dan tidak berbahaya, Di dalam kocek jerami, Wiro dan dua kawannya terhenyak
dengan muka putih. Kalau sambaran ekor tadi sempat menghantam kocek di mana
mereka berada, tak bisa dibayangkan apa yang terjadi.
“Kerabat
Latole, aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Bawa tiga temanmu. Tinggalkan
segera tempat ini!”
Di
sebelah kiri kuda kaki enam meringkik keras sewaktu salah seekor kadal raksasa
menancapkan gigi-giginya di tengkuk. Kuda ini berlaku cerdik. Dia jatuhkan
diri, berguling di tanah sambil menyorongkan kepalanya. Tanduknya yang tajam
berkeluk menancap di perut kadal coklat yang tadi menyerangnya!
Niat baik
Lakasipo ternyata tidak mendapat sambutan Latole. Malah dia melompati Lakasipo
dan memiting lehernya dari belakang. Dari depan dua kawannya menyerbu dengan
parang terhunus!
“Bacok!
Lekas kalian bacok dia!” teriak Latole.
Lakasipo
kertakkah rahang. Kesabaran dan rasa kasihannya hilang. Dengan bola batu kaki
kirinya dia menginjak kaki kiri Latole hingga berderak hancur. Selagi Latole
menjerit kesakitan dan lepaskan pitingan-nya, Lakasipo tarik sosok orang ini
lalu dilemparkan ke depan. Tepat pada saat dua parang besi datang membacok.
Latole
menjerit keras lalu roboh ke tanah mandi darah. Dua orang kawannya yang barusan
secara tak sengaja membunuh Latole, berseru kaget dan melompat mundur dengan
muka pucat. Parang mereka tak sempat dicabut hingga masih menancap di dada dan
perut Latole. Nyali mereka leleh sudah! Diikuti dua teman yang masih hidup,
satu di antaranya yang hancur lengannya, mereka melompat ke atas kadal-kadai
raksasa lalu menghambur lari.
Lakasipo
hampiri Laekakienam, kuda tunggangannya yang cidera cukup parah di bagian
tengkuk. Diusapnya kening binatang ini seraya berkata. “Akan kuobati kau wahai
Laekakienam. Lukamu akan sembuh….”
Lakasipo
ingat pada tiga orang yang ada dalam koceknya. Kocek itu ditanggalkannya dari
ikat pinggang lalu didekatkannya ke mukanya. “Wahai saudaraku tiga manusia
cebol. Apakah kalian baik-baik saja?!”
Tiga
orang yang masih diselimuti rasa ngeri itu tak satu pun bisa memberi jawaban.
Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala. Lakasipo masukkan mereka kembali ke
dalam kocek.
“Hai!
Kami lebih suka diluar saja! Keluarkan kami dari dalam kocek!” Naga Kuning
berteriak.
“Tenang
wahai sobat-sobatku! Masih ada satu urusan besar yang harus kuselesaikan!” kata
Lakasipo. Lalu naik ke punggung kuda kaki enam.
“Dia
pasti akan mencari manusia bernama Lahopeng itu!” kata Wiro.
“Dia akan
berkelahi lagi! Ah, nyawa kita bertiga kembali terancam!” ujar Naga Kuning.
Mendengar
ucapan rtu Setan Ngompol tersandar ke dinding kocek dan “serrr”. Kencingnya
terpancar kembali
*********************
EMPAT BELAS
Ketika
suara menggemuruh memasuki Latanahsilam, penduduk di kawasan itu segera tahu
siapa yang muncul. Mereka berhamburan keluar dari rumah masing-masing dan lari
menuju sebuah tanah lapang yang terletak di tengah-tengah kawasan pemukiman.
Banyak di antara mereka termasuk anak-anak lari sambil berteriak-teriak.
“Lakasipo
datang! Lakasipo datang!” “Bakucarok! Bakucaroookkkk!” Di ujung timur tanah
lapang besar, debu mengepul ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu lenyap
tertiup angin tampaklah Lakasipo di atas punggung kuda raksasanya. Sesaat
lelaki ini pegangi perutnya yang terluka akibat hantaman ekor kadal. Darah pada
luka itu sudah berhenti mengucur namun masih tertinggal rasa perih. Lakasipo
melompat turun dari tunggangannya. Sepasang matanya memandang tak berkesip
ke-ujung lapangan di .sebelah sana. Di sekeliling lapangan ratusan penduduk
tegak berkerumun, menyaksikan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Banyak di
antara mereka yang terus berteriak. “Bakucarok! Bakucarok!”
Penutup
kocek terangkat ke atas. Tiga kepala muncul keluar. “Walah! Banyak sekali
orang! Semua besar-besar! Lihat! Anak-anak saja besarnya sampai setinggi
pohon!” berseru Naga Kuning.
“Apa yang
akan terjadi di tempat ini? Tanah lapang itu sebesar lautan di mataku!” kata
Setan Ngompol. “Orang-orang itu, mereka meneriakkan Bakucarok berulang kali.
Apa artinya!”
“Wow!
Lihat di sebelah sana! Ada anak perempuan kecil berukuran raksasa!” Berseru
Naga Kuning. Wiro dan Setan Ngompol menoleh ke arah yang ditunjuk si bocah. Di
antara kerumunan orang banyak memang terdapat anak-anak. Seorang diantaranya
anak perem-puan berkulit putih berwajah manis. Anak ini hanya mengenakan
pakaian dari sejenis kulit kayu yang tidak terlalu menutupi seluruh auratnya.
Naga Kuning usap-usap matanya, berulang kali. “Lihat pahanya! Putih amat! Eh,
kalian lihat dadanya. Besar menonjol. Pasti kencang! Hik… hik… hik!” Naga
Kuning seka air liurnya.
“Bocah
tak tahu diri!” ujar Wiro. “Sekalipun kau naksir padanya, dengan tubuhmu
seperti ini apa yang bisa kau perbuat! Sekali anak perempuan itu mengempitmu di
ketiaknya, kau pasti mejret!”
“Jangan
bicara usil Wiro!” sahut Naga Kuning. “Dari wajahnya kulihat dia anak
baik-baik. Kalau aku bisa berteman dengan dia, tidak akan aku dikempit di
ketiaknya. Malah aku mau minta agar diselipkan di celah antara dua dadanya dan
dibawa kemana-mana. Rasa-rasanya seumur-umur aku mau diam di negeri aneh ini!
Hik… hik… hik!” Naga Kuning melirik pada Wiro dan Setan Ngompol. Dia melihat si
kakek memandang ke arah timur lapangan tidak berkedip-kedip. “Eh, apa yang
diperhatikan tua bangka ini?” pikir Naga Kuning. Si bocah menatap ke arah
timur. Lalu “Hemmm…. Aku tahu pasti kakek bau pesing ini tengah memperhatikan
nenek berdandan menor di bawah pohon sana…” Lalu dia berbisik. “Kek, kau suka
pada nenek yang di bawah pohon sana?! Hik… hik…!”
Setan
Ngompol tersipu-sipu.
“Sempat
kau diciumnya tubuhmu amblas tersedot masuk ke dalam lubang hidungnya!”
Senyum
Setan Ngompol langsung lenyap mendengar ucapan Naga Kuning itu. “Bocah brengsek!
Aku tidak sepertimu! Aku masih tahu diri dan sadar kita ini berada di mana!
Tidak sama dengan kau! Tapi kalau kau memang mau mencari kawan anak perempuan
kukira yang cocok denganmu yang di sebelah kiri sana. Kelihatannya dia sudah
siap pakai. Cuma mengenakan baju bawah, atasnya polos!”
Mendengar
kata-kata Si Setan Ngompol mau tak mau Naga Kuning memandang ke arah yang
ditunjuk. Anak perempuan yang ditunjuk si kakek ternyata adalah seorang anak
kecil yang tubuhnya penuh koreng dan ingusnya mengambang turun naik di atas
bibirnya!
Naga
Kuning mengomel panjang pendek sedang Wiro tertawa gelak-gelak.
Penutup
kocektiba-tiba jatuh ke bawah. Tiga orang jatuh terhempas jatuh. Wiro cepat
berdiri dan berusaha mendorong.penutup kocek ke atas. Dia tahu sesuatu yang hebat
bakal terjadi.
“Bakucarok!
Bakucarok!” Kembali orang banyak di seputar tanah lapang berteriak-teriak
sambil mengacung-acungkan tangan atau benda apa saja yang mereka pegang.
Di ujung
tanah lapang besar di hadapan Lakasipo, di atas sebuah kursi batu duduklah
seorang pemuda berwajah kebiru-biruan. Di kepalanya ada sebuah destar terbuat
dari kulit kayu berwarna merah dan berukir-ukir gambar kepala harimau bersilang
tombak. Destar itu adalah destar kebesaran milik Kepala Negeri Latanahsilam.
Dan orang yang memakainya bukan lain adalah Lahopeng!
“Bakucarok!
Bakucarok!”
Di
kalangan penduduk Negeri Latanahsilam ada semacam aturan yang disebut
Bakucarok. Artinya dua orang lelaki berkelahi secara jantan satu lawan satu
untuk menyelesaikan urusan mereka. Sudah dapat dipastikan salah seorang dari
mereka akan tewas, Malah tidak jarang kedua-duanya akan menemui ajal! Inilah
yang akan terjadi antara Lakasipo dan Lahopeng.
Lahopeng
memang telah menunggu kedatangan Lakasipo. Dia sengaja duduk di kursi batu di
ujung tanah lapang. Di kiri kanannya empat pemuda bertindak sebagai pengawal,
tegak menghunus tombak rotan berkepala batu lancip.
“Dukkk…
dukkk… dukk… dukkkkk!”
Tanah lapang
bergetar hebat ketika dua kaki batu Lakasipo menjejak dan melangkah. Suara
orang yang berteriak-teriak langsung berhenti. Banyak yang heran tapi lebih
banyak yang unjukkan wajah ngeri. Termasuk Lahopeng dan empat pengawalnya.
Lakasipo
berhenti di tengah lapangan. Dia menatap tajam ke arah Lahopeng dengan mata
berkilat-kilat penuh dendam. Tiba-tiba Lahopeng berdiri dari kursi batu,
mengangkat tangan kanannya dan berteriak keras.
“Wahai
para kerabat penghuni Negeri Latanahsilam! Kalian sendiri saksikan Lakasipo
telah muncul dengan kutuk di kedua kakinya! Para Dewa dan Peri telah menyumpah
hingga dua kakinya menjadi batu! Lakasipo! Manusia pembunuh istri! Dia juga
yang membunuh Lasalut, paman Luhrinjani, Membunuh Laberang dan juga beberapa
orang pemuda lainnya! Pembunuh!”
“Pembunuh!”
Orang banyak di tepi tanah lapang ikut berteriak.
“Bakucarok!
Bakucarok!”
Lakasipo
masih tetap tegak tak bergerak di tengah lapangan. Hanya sepasang matanya tidak
beralih dari menatap tajam ke arah Lahopeng. Rambut dan janggut lebatnya
melambai-lambai ditiup angin. Wajahnya tampak membesi. Dalam hati dia membatin.
“Waktu di
Bukit Batu Kawin dulu ketika terjadi perkelahian, dia melarikan diri. Dia tidak
memiliki lagi Parang Batu Penjungkir Arwah. Sekarang dia sengaja dan berani menunggu
kedatanganku. Mengatur Bakucarok! Pasti ada ilmu kepandaian baru yang
didapatnya. Mungkin sekali dari Hantu Muka Dua atau si dukun keparat Hantu
Santet Laknat!”
Penutup
kocek kembali terangkat. Tiga kepala keluar ingin menyaksikan apa yang berlangsung.
Perlahan-lahan
Lakasipo angkat tangan kirinya ke atas. “Aku Lakasipo! Kepala Negeri
Latanahsilam! Semua orang dengar apa yang aku ucapkan….!”
“Kau
bukan Kepala Negeri Latanahsilam! Akulah yang sekarang menjadi Kepala Negeri!”
teriak Lahopeng memotong. Lalu dia memandang seputar lapangan dan berteriak.
“Wahai penduduk Latanahsilam! Katakan siapa Kepala Negerimu!”
“Lahopeng
Kepala Negeri kami! Lahopeng Kepala Negeri Latanahsilam!” teriak orang banyak.
Rahang
Lakasipo menggembung. “Bangsat ini pasti telah mengarang cerita busuk dan
menghasut penduduk Negeri,” pikir Lakasipo. Lalu dia angkat tangannya kembali.
“Penduduk Negeri Latanahsilam! Dengar kalian semua! Lahopeng telah merampas
jabatan Kepala Negeri secara licik! Aku tidak membunuh Luhrinjani istriku
sendiri! Perempuan itu tewas menjatuhkan diri di jurang Bukit Batu Kawin karena
dia sadar telah ternoda oleh tipu daya Lahopeng! Lahopeng dan kawan-kawannya
mengarang cerita bahwa aku telah menemui ajal di tangan kaum pemberontak! Itu
sebabnya Luhrinjani sampai bersedia dikawininya!”
“Dusta!”
teriak Lahopeng.
“Dusta!”
teriak orang banyak.
“Para
Dewa dan Peri maha tahu! Aku tidak berdusta!” teriak Lakasipo. “Aku memang
membunuh Lasalut, Laberang dan beberapa pemuda lainnya. itu karena mereka
disuruh oleh Lahopeng untuk membunuhku!”
“Dusta!”
teriak Lahopeng.
“Dusta!”
teriak orang ramai tapi tidak sebanyak dan sekeras tadi lagi.
“Lakasipo!
Masih beruntung kau karena aku bersedia memberi kesempatan bagimu untuk mati
secara terhormat! Bakucarok! Seharusnya kau aku suruh cincang saat ini juga!”
Lakasipo
menyeringai. Kaki kanannya dihantamkan ke tanah.
“Dukkkk!”
Tanah
lapang bergetar. Hantaman kakinya membuat sebuah lubang besar terkuak di tanah.
Di dalam kocek Wiro berkata pada dua temannya. “Lakasipo siap berkelahi dengan
Lahopeng. Berarti kita bersiap-siap menghadap kematian sendiri!”
“Aku
belum mau mati!” ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing.
“Duukkk!”
Kembali
Lakasipo menghunjamkan kaki ke tanah. Kali ini dengan kaki kiri. Lubang besar
ke dua terkuak di tanah.
“Bakucarok…!”
teriak orang banyak.
Lakasipo
tepuk dadanya dengan tangan kanan hingga mengeluarkan suara keras dan membuat
Wiro serta dua orang yang ada dalam kocek berjatuhan.
“Lahopeng!”
Lakasipo tiba-tiba berteriak. “Lihat baik-baik keadaan dua kakiku! Dua batu
bulat membungkus kakiku! Aku menyebutnya Bola-Bola Iblis! Kaulah yang punya
pekerjaan sampai aku jadi begini! Kau menyantet diriku! Tapi hari ini kau akan
menyesal sampai ke alam roh! Karena dua kakiku ini yang akan mengirimmu ke alam
sesat neraka jahanam! Aku Lakasipo siap melakukan Bakucarok dengan manusia
laknat Kepala Negeri palsu!” Masih menggema teriakan Lakasipo itu tahu-tahu
tubuhnya tampak melayang di udara. Kaki kanannya menyambar menimbulkan suara
laksana sambaran angin puting beliung. Orang banyak di tepi lapang berseru
kaget dan cepat-cepat menjauh.
Lahopeng
berteriak keras sambil melompat dari atas kursi batu. Tangan kanannya
menghantam. Tapi luput. Masih untung dia selamatkan diri dari tendangan kaki
batu.
“Braaakkk!
Byaaarrr!”
Kursi
batu yang tadi diduduki Lahopeng hancur berkeping-keping dan bertaburan di
udara. Lakasipo cepat berbalik. Lahopeng saat itu sudah siap menghantamnya
secara licik dari belakang.
Tiba-tiba
ada suara mengiang di telinga kiri Lahopeng.
“Lakasipo
lawan tangguh. Di dalam kakinya yang dibungkus bola batu masih ada ilmu
kesaktian Kaki Roh Pengantar Maut! Bola-bola batu itu tak bisa kau hancurkkan!
Jangan berlaku ayali Lekas keluarkan ilmu yang aku berikan!”
“Duukkk…
duukkkk… dukkkk… dukkkk!”
Lakasipo
melangkah mendekati Lahopeng.
“Maju….
Maju lebih dekat Lakasipo!” tantang Lahopeng dengan seringai mengejek. Mendadak
semua orang melihat satu hal aneh terjadi dengan sosok Lahopeng. Secara cepat
tubuhnya lenyapdan kini yang terlihat adalah sebuah benda berbentuk kepompong
besar, bergerak-gerak kian kemari. Selagi semua orang tercekat bagian atas
sosok aneh itu meletup keras. Di antara kepulan asap kelabu, dari bagian atas
yang terbongkar robek muncul keluar sosok ulat raksasa berwarna coklat
berbintik-bintik hitam putih!
“Hantu
Kepompong!” teriak Lakasipo sambil melompat mundur. Orang banyak di seputar
tanah lapang berpekikan ngeri dan menghambur menjauh.
“Dessss!”
Sosok
ulat raksasa melesat ke luar dari dalam sarangnya, menyambar ke arah kepala
Lakasipo. Yang diserang cepat tundukkan kepala dan menghantam dengan pukulan
sakti bernama Lima Kutuk Dari Langit. Pukulan sakti ini bukan saja sanggup
membunuh lawan tapi juga membuat tubuh korban gosong mengkerut!
“Wussss!”
“Dessss!”
Ulat
raksasa terpental ke udara kena hantaman pukulan sakti. Tubuhnya terbakar lalu
leleh meng kerut. Tapi saat itu pula ulat ini seolah tersedot masuk kembali ke
dalam sarangnya. Lakasipo merasa lega. Tapi jadi terkejut bukan kepalang ketika
tiba-tiba sarang kepompong itu mengeluarkan letupan dan dari dalamnya melesat
lagi ulat raksasa coklat tadi! Sekali melesat ulat raksasa itu sudah menyambar
ke arah Lakasipo.
Lakasipo
angkat kaki kirinya. Begitu kepala ulat raksasa hanya tinggal beberapa jengkal
lagi dari hadapannya kaki kirinya ditendangkan!
“Praaakkk!”
Kepala
Hantu Kepompong hancur sampai ke ruas leher. Bagian badannya yang masih bersisa
mental ke udara. Tapi seperti tadi, laksana disedot sosok ulat itu masuk
kembali ke dalam sarangnya. Lalu di lain kejap didahului letupan keras dan
kepulan asap, ulat raksasa itu kembali muncul dan menyerang Lakasipo lebih
dahsyat dan lebih ganas.
Berkali-kali
Lakasipo berhasil menghancurkan Hantu Kepompong. Tapi setiap dihancurkkan
makhluk jejadian ini kembali muncul utuh dari dalam sarangnya. Mati, hidup
lagi. Mati hidup lagi. Begitu terus menerus. Lama kelamaan kekuatan Lakasipo
mulai mengendur. Pada kejadian melesatnya Hantu Kepompong yang ke dua puluh
tiga, Lakasipo tak bisa bertahan. Moncong Hantu Kepompong berhasil menyambar
bahu kirinya hingga terkoyak luka. Lakasipo meraung keras. Di dalam kocek
jerami Wiro dan dua kawannya berpelantingan.
“Aku
melihat Lakasipo terluka!” memberi tahu Wiro penuh cemas.
“Dia tak
bisa membunuh ulat raksasa itu!” kata Naga Kuning pula.
“Jika
Lakasipo mati, riwayat kita ikut tamat!” ujar Setan Ngompol sambil terbungkuk
menahan kencing tapi tetap saja dia terbeser.
Dari
dalam sarang Kepompong keluar suara tawa bergerak. “Lakasipo! Ajalmu sudah di
depan mata. Roh para kerabat yang kau bunuh telah siap menyambut kedatanganmu
di pintu alam sesat!”
“Wuuttt!”
Lakasipo hantam Hantu Kepompong di bagian perut. Tubuh makhluk berbentuk ulat
raksasa ini hancur terputus dua. Tapi seperti tadi sosok ini masuk ke dalam
sarangnya dan keluar lagi, terus menyerang Lakasipo.
Dua luka
baru bekas gigitan kelihatan di tubuh Lakasipo yakni di pinggul kanan dan pada
paha kiri. Darah membasahi tubuhnya. Daya kekuatannya semakin menurun walau dia
terus menerus mengerahkan tenaga dalam.
Pada
serangan ke tiga puluh satu, Hantu Kepompong berhasil mencengkeramkan
gigi-giginya di paha kanan Lakasipo. Sesaat lagi paha itu akan hancur putus,
Lakasipo hantam tubuh ular sebelah atas dengan pukulan Lima Kutuk Dari Langit.
Bersamaan dengan itu dia hunjamkkan kaki batunya sebelah kiri ke ekor ulat.
Hantu Kepompong hancur di dua tempat. Untuk kesekian kalinya Lakasipo berhasil
menyelamatkan diri. Sementara itu dari dalam sarangnya Hantu Kepompong kembali
melesat ke luar.
“Ulat
raksasa itu pasti akan dapat membunuh Lakasipo!” kata Naga Kuning di dalam
kocek.
Setan Ngompol
mulai menggigil. Dia melihat sendiri bagaimana sekujur tubuh Lakasipo bermandi
darah.
“Kita
harus menolong Lakasipo! Kalau tidak kita bisa ikut celaka!”
“Menolong
bagaimana? Keluar dari dalam kocek ini saja kita tidak mampu!” tukas Naga
Kuning.
“Kalaupun
bisa keluar apa yang bisa kau lakukan?!” Menimpali Setan Ngompol.
“Pasti
ada sesuatu yang bisa kita lakukan! Pasti!” kata Wiro. Tangan kiri
dipukul-pukulkan ke kening sedang tangan kanan menggaruk kepala habis-habisan.
Saat itu
Hantu Kempompong begitu keluar dari dalam sarangnya kembali melesat menyerang
Lakasipo. Kali ini ekornya ikut menggebuk. Selagi dia berusaha menghindarkan
gebukan ekor ulat raksasa tiba-tiba kepala Hantu Kepompong menyambar ke
lehernya!
“Celaka!”
keluh Lakasipo. Dia coba mencekal leher ulat raksasa namun gigi-gigi Hantu
Kepompong sudah menempel di lehernya. Dalam usahanya menyelamatkan diri
Lakasipo jatuh punggung dan terbanting di tanah. Dua kakinya ditendangkan
berusaha menghantam tubuh ulat raksasa sementara dua tangan mencekal leher dan
kepala Ulat, menahan gerakan gigitan yang siap memutus lehernya!
Pada saat
Lakasipo terjatuh ke tanah penutup kocek jerami terpental. Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol terlempar ke luar. Setan Ngompol langsung terkencing-kencing
sedang Naga Kuning menggigil ketakutan karena dia hampir tertindih sosok Hantu
Kepompong yang meliuk-liuk. Walau juga merasa ngeri setengah mati namun
Pendekar 212 masih bisa berlaku tenang. Tubuh Lakasipo yang terlentang di tanah
di bawah tindihan sosok ulat raksasa laksana bentangan bukit besar di mata
Wiro. Sesaat dia bingung tidak tahu mau melakukan apa. Kemudian pandangannya
membentur sospk sarang kepompong di ujung tanah lapang. Saat itu keadaan
Lakasipo benar-benar dalam bahaya besar. Sisa-sisa tenaganya terkuras untuk
mempertahankan diri mencekal kepala dan leher Hantu Kepompong guna menghindari
gigitan maut.
“Sarang
ulat jahanam itu..,.” Wiro membatin. “Aku harus melakukan sesuatu! Ah!” Wiro
pukul-pukul jidatnya berulang kali. Tiba-tiba dia berteriak lalu lari menembus
debu mendekati kepala Lakasipo.
Orang
banyak yang berada di tepi tanah lapang menjadi terheran-heran ketika mereka
melihat ada tiga sosok aneh terlempar keluar dari dalam kocek jerami di
pinggang Lakasipo.
“Hai!
Makhluk apa yang barusan keluar dari kocek Lakasipo?!” seorang di antara mereka
berseru.
“Kutu
berbentuk manusia!” Yang lain berteriak.
“Lihat!
Yang satu lari ke sana! Hai Lihat! Dia memanjat telinga Lakasipo!”
Saat itu
begitu mencapai kepala Lakasipo Wiro memang segera memanjat daun telinga orang
itu. Lalu berteriak keras-keras.
“Lakasipo!
Ini aku! Wiro! Kau bisa mendengar? Lakasipo?”
Lakasipo
yang tengah berusaha mati-matian menyelamatkan nyawa walau bisa mendengar
teriakan Wiro mana sempat menjawab.
“Lakasipo!
Dengar! Hantu Kepompong pasti punya kelemahan! Aku sempat melihat berulang
kali! Setiap tubuhnya hancur dan mati dia masuk ke dalam sarangnya. Lalu hidup
lagi! Aku yakin kalau kau menghancurkan sarangnya ulat jahanam itu tak bisa
hidup lagi! Lakukan cepat Lakasipo! Hancurkan sarangnya!”
Dua gigi
atas Hantu Kepompong telah menancap di leher Lakasipo. Darah mulai mengucur.
“Lakasipo!
Kau dengar ucapanku?! Hancurkan sarangnya! Hantu Kepompong pasti bisa kau
musnahkan!” Wiro kembali berteriak.
Kepala
Lakasipo tersentak ketika dia menahan sakit gigitan Hantu Kepompong. Wiro yang
berada di daun telinga Lakasipo terpeleset dan jatuh ke tanah. Sebelum tubuhnya
tergencet kepala atau badan Lakasipo cepat-cepat Wiro melompat menjauhkan diri.
“Lakasipo!
Kau dengar ucapanku tadi?!” teriak Wiro penasaran. …….
Tiba-tiba
dari mulut Lakasipo keluar suara ge-rengan keras. Wiro terbanting ke tanah. Dua
kaki Lakasipo berusaha menjepit tubuh bagian bawah Hantu Kepompong hingga
gerakan ulat raksasa ini sesaat tertahan. Dengan sisa tenaganya Lakasipo membetot
leher ulat itu lalu dengantangan kanannya dihantamnya mata sebelah kanan. Hantu
Kepompong keluarkan suara mendesis keras dan jauhkan kepalanya dari leher
Lakasipo tapi siap menerkam kembali.
Walau
hanya sekejapan mata namun Lakasipo bisa mempergunakan tangannya untuk melepas
pukulan Lima Kutuk Dan Langit! Ternyata Lakasipo memang telah mendengar
teriakan-teriakan Pendekar 212 tadi!
Lima
larik sinar hitam menggidikkan menyambar ke arah sarang Hantu Kepompong yang
berada di ujung tanah lapang sebelah sana!
“Bummm!”
Satu
letusan dahsyat menggelegar di Seantero tanah lapang. Sarang Hantu Kepompong
tenggelam dalam kobaran api, lalu hancur dan bertebaran ke udara dalam bentuk
kepingan-kepingan menyala!
Hantu
Kepompong yang masih berada dalam cekalan Lakasipo dan sebagian tubuhnya masih
menindih lelaki itu keluarkan raungan dahsyat. Wiro, Naga Kuning dari Setan
Ngompol mencelat berpelantingan. Lakasipo sendiri seolah tersirap oleh raungan
itu sesaat terbaring tak bergerak seolah menjadi kaku tegang! Dia baru tersadar
ketika Hantu Kepompong berusaha menggelung meremukkan tubuh dan mematukkan
kepala. Lakasipo balikkan badan. Berhasil. Kini dia yarjg menindih Hantu
Kepompong, Tangan kanannya yang masih bebas langsung dihantamkan ke kepala ulat
raksasa itu. yang diarahnya kini adalah mata sebelah kiri.
“Craattt!”
Kalau
tadi pukulan Lakasipo seolah tidak mempan maka kini jotosannya membuat mata
kiri Hantu Kepompong hancur! Selagi ulat ini menggeliat-geliat kejutan Lakasipo
cepat bangkit berdiri. Sosok Hantu Kepompong dibantingkannya ke tanah. Makhluk
ini kembali meraung lalu lesatkan diri ke atas. Mulutnya menyambar ke kepala
Lakasipo. Tapi kaki kanan Lakasipo lebih cepat bergerak menginjak pertengahan
tubuh Hantu Kepompong hingga hancur dan putus menjadi dua bagian! Untuk pertama
kalinya ada darah yang menyembur dari kutungan tubuh itu. Bagi Wiro dan dua
kawannya semburan darah ini tidak beda seperti ombak besar yang hendak
menggulung mereka. Ketiganya berlarian pontang panting selamatkan diri.
Sosok
bagian atas Hantu Kepompong terbanting ke tanah. Bagian sebelah bawah
menggeliat-geliat beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi. Lakasipo tidak
menunggu lebih lama. Dibarengi dengan teriakan garang kaki kanannya dihantamkan
ke kepala Hantu Kepompong.
“Praaakkk!”
Kepala ulat
raksasa itu hancur begitu Bola Bola Iblis menghantam telak. Seolah keluar dari
langit, satu teriakan dahsyat terdengar menukik bumi! Sosok ulat coklat
perlahan-lahan berubah. Yang terlihat kini adalah tubuh Lahopeng, hancur putus
di bagian perut dan remuk mengerikan di bagian kepala.
Lakasipo
tegak terhuyung-huyung sambil pegang lehernya yang luka. Dia memandang
berkeliling ke arah orang-orang yang tegak di seputar tanah lapang.
“Lakasipo!
Kami ingin kau kembali menjadi Kepala Negeri Latanahsilam!” seseorang
berteriak.
“Lakasipo
Kepala Negeri Latanahsilam!”
“Lakasipo!
Lakasipo!”
“Yang
jahat Lahopeng! Bukan Lakasipo!”
Wajah
Lakasipo yang tertutup rambut riap-riapan, cambang bawuk dan janggut serta
kumis tebal tidak berubah sedikit pun mendengar teriakan-teriakan penduduk
Negeri Latanahsilam itu.
Dia
memandang ke tanah dan melihat tiga sosok kecil itu. Lakasipo membungkuk
mengambil Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
“Syukur
kalian bertiga tidak apa-apa. Wahai Wiro, kalau bukan karena ucapanmu aku tidak
mungkin membunuh Lahopeng! Kalau tidak karena pertolonganmu saat ini sudah
pasti menjadi mayat diriku! Lagi-lagi aku berhutang budi padamu manusia kutu
cebol!”
“Kalau
kau mati, apa kau kira kami masih bisa hidup panjang?!” sahut Pendekar 212 lalu
tertawa lebar.
“Hai! Kau
mau bawa kemana lagi kami ini?!” tanya Naga Kuning ketika dirasakannya Lakasipo
mulai bergerak melangkah yang membuat tanah lapang kembali bergetar.
“Kita
pergi. Tak ada gunanya berlama-lama di tempat ini,” jawab Lakasipo.
“Tapi
orang-orang itu! Penduduk Negeri Latanahsilam menginginkan kau jadi Kepala
Negeri mereka kembali!” kata Wiro pula.
Lakasipo
gelengkan kepala. “Aku kasihan pada orang tolol. Tapi aku sangat benci pada
orang-orang munafik seperti mereka!”
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol menjerit keras ketika Lakasipo membawa mereka
melompat dan naik ke punggung Laekakienam, kuda tunggangannya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment