Singa
Gurun Bromo
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
SATU
Warung
nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai malam. Lezat
makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang bersantap di
sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat embayar dan pergi. Mereka
seperti mengawatirkan sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi begitu saja
melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini sengaja
berdiri di sini, memandang warung, epertinya ada sesuatu yang mereka tunggu dan
hendak mereka saksikan.
“Kalau
Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!” berkata seorang lelaki
muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-dalam dia
melanjutkan.
“Seharusnya
dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini. Ah, mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun
Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan. Walau ayah dan ibunya
sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin dia melupakan Kuto
Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang
ketiga ikut bicara.
“Enam
tahun dia menghilang. Kalau dia berani muncul pasti dia sudah membekal ilmu
yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun lalu? Waktu dia melumpuhkan para
pengawal kadipaten, memberi malu Adipati Dirgo Sampean?”
Orang
pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata.
“Singa
Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di dalam
dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalau dia memang
tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena bersalah.
Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu sendiri
kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah terjelaskan
itu…..”
“Yah …..
Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu
di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu yang duduk
menikmati makan siang terdepat enam orang berpakaian petani. Yang dua bertubuh
tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua orang perwira
tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di balik
baju-baju gombrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung masih
ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak jauh
dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima
puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka
adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi
Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua
tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo Sampean
setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji
Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan
muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu
udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan tak pernah
turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan beterbangan
menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
“Lihat! Singa
Gurun datang!” Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung jalan. Semua mata serta
merta memandang ke arah yang ditunjuk.
“Dia
benar-benar berani mati!”
Di
tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian dan
berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan
kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu
warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih
kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat
pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya.
Dalam
hatinya dia berkata “Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan.
Sepertinya ada yang sengaja mengatur.”
Setelah
melirik ke kiri dan ke kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah bangku kosong.
Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja berdiri
dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara
bentakan-bentakan.
“Singa
Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”
“Berani
melawan amblas nyawamu!”
Pemuda
yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan memandang
berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di tangan.
Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan ujung
golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.
Setelah
sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat! Kalau kalian
hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang manusia
miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?”
Enam
orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda menahan amarah.
Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan senjatanya hingga kulit
leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara bergetar. “Kami bukan
perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan. Empat orang ini
perajurit-perajurit kelas satu.”
“Eh,
hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa, apalagi
kambing!”
“Sebelum
mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau sudah di liang
kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setansetan kuburan!”
“Eh, kau
menyebut aku buronan? Kau tadi menyebut namaku apa? Singa Gurun…..? “Panji
Argomanik! Jangan kau berpura-pura!” bentak orang yang menodong dengna ujung
goloknya ke perut si pemuda.
“Nah,
nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini anehaneh saja! Sudah
pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan sandiwara konyolmu
ini!”
“Siapa
yang konyol dan siapa yang main sandiwara!” bentak salah seorang dari perwira
tinggi itu.
“Aku
Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah aku bisa mencincangmu saat ini
juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau mampus di tiang
gantugnan!”
“Mencincangku?
Memangnya aku daging perkedel?!” semprot si pemuda lalu menyeringai lebar.
“Setan
alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menusuk ke
arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu angkat
tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang
gila!” desis pemuda itu.
“Siapapun
kau adanya, aku muak melihat tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan
singa Gurun Bromo! Pergi!” si pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang
memegang golok dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat
membuat gerakan aneh. Tahu-tahu tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke
atas. Dari mulut Kunto Areng keluar suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan
sambungan tulang bahunya berderak.
Melihat
kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan
goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalah cepat. Si pemuda sudah dapat
menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang
dia sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga
dengan pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan
balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
“Bretttt!”
Pinggang
baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi dirinya sendiri
selamat. Warung nasi itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto Areng yang
masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia memberi
isyarat pada empat perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih itu
dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai
penjuru.
Si pemuda
yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya mengandalkan tangan
kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia berhasil menjotos
keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini terpental
dengan muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah dihantam
tinju si pemuda.
Meskipun
dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti, namun si
pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya. Dia
berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan
gerakan keras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya.
Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja
dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka
para pengeroyok.
“Kawan-kawan!”
Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir telur bercabe menghantam mata
kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan.
“Aku
perintahkan kalian untuk mencincang manusia satu ini!” Lalu dia memberi isyarat
pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan
goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini
memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan
mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani
lagi petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya
terkuntungkuntung.
Selain
itu masih ada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah beratnya tekanan
para pengeroyok. Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan
Jala Toga mulai saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan
bahwa setelah keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga
perajurit yang berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih
belum dapat menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
“Kunto……”
berkata jalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang dimainkan
pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan…….”
“Mengapa
musti ragu!” balas Kunto Areng.
“Enam
tahun menghilang bukan mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus
terang kita belum pernah melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi
aku yakin kita tiak menghadapi orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!”
Baru saja
kedua orang itu selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka keroyok kembali
melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak pinggang sambil
cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian kemari.
Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali dia
melompat sambil tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh
duduk. Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah
diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para
pengeroyok terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika
mereka dapatkan justru dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda
semakin sulit untuk dirobohkan.
Malah
dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala seorang
perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di atas
salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya
menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun
tercekat melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
“Para
sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!” Satu suara
terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka
ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo.
*****************
DUA
Sebenarnya
baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima bantuan itu karena
hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau meringkus si pemuda.
Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka mungkin akan mendapat
malu lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima bantuan kedua tokoh silat
itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng sengaja berkata dengan suara
dikeraskan “Memang tugas kita semua untuk membekuk cacing tanah ini! Tapi aku
ingin dia dicincang di tempat ini juga!”
Ki Bumi
Wirasulo menyeringai. “Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap hidup-hidup.
Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan kematiannya d
tiang gantungan?!”
“Perintah
atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku mengikuti apa mau
kalian berdua saja!” berkata Kunto Areng.
Dengan
masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya perkelahian kini
menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok tetap saja cengar
cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum tersentuh tangan
atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya semakin terjepit. Di
satu sudut warung dia harus bertahan mati-matian dengan hanya mengandalkan
sebuah kursi kayu. Dalam waktu singkat kursi kayu ini musnah berantakan dibabat
golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
“Sialan!”
maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku
Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan hendak menghantam
dengan pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandung kesaktian dan tenaga
dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat. Tangan mereka tampak
bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang seutas tali
halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat atau
mengikatnya. Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada
asap kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada
sesuatu yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda
dapatkan kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!
“Celaka!”
keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskan atau memutuskan ikatan
tali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha membebaskan diri,
Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari belakang. Tak ampun lagi
pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik ataupun bersuara!
“Gotong
dia! Lemparkan ke dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.
Empat
orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu
melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu di halaman depan
warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai
di luar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo.
“Sesuai
pesan begitu tertangkap Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja.
Tapi kalau kita langsung berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan
sampai. Bagaimana kalau kita mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah
Adipati juga ingin lebih dulu menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi
Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng seolah minta
pendapat.
Mangku
Sanggreng kemudian berkata “Tangkapan besar sudah kita dapat.
Rasa
tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita perlu sedikit istirahat.
Bagaimana kalau kita menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap di sana lalu
pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!” Habis berkata begitu mangku Sanggreng
mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku
sudah beberapa bulan tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni, perempuan
penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula menemui
pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana……?”
Ki Bumi
Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan dan berkata.
“Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi sekali baru
kita berangkat menuju Kotaraja.”
Tepat
dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama Panji Argomanik
dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar Kadipaten Lumajang.
Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja jatuh rintik-rintik.
Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi dingin. Waktu
rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah terletak
Lumajang yang menjadi tujuan.
“Percepat
jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!” berteriak Mangku Sanggreng.
Setiap
anggota rombongan menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais gerobak mencambuk
dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu menghambur lebih cepat.
Kunto Areng yang berkuda di sebelah depan tiba-tiba berseru.
“Lihat!
Ada nyala api di dalam hutan sana!”
“Rombongan
berhenti!” teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama memperhatikan ke arah
hutan kecil di tepi kiri jalan.
“Aneh,”
kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya, memang
aneh!” menyahuti Jalak Toga. “Setahuku hutan ini jarang didatangi orang. Hari
gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu? Kelihatannya seperti api unggun.”
“Mungkin
kelompok penjahat pimpinan Warok Keling!” ikut bicara Kunto Areng.
Saat itu
tercium bau daging panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini membuat setiap
anggota rombongan seolah baru menyadari bahwa perut mereka memang minta diisi.
“Hemmmmm,
dugaanmu kurasa betul, Kunto.” Kata Ki Bumi Wirasulo.
“Gembong
penjahat itu justru sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat ini
berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda
tentu sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?”
Mangku
Sanggreng menengadahkan kepalanya lalu menghirup udara malam yang gerimis itu
dalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hatihati. Warok
Keling memiliki kepandaian tidak lebih rendah dari Singa Gurun Bromo!”
Sebenarnya
Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu keadaan bahu
dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa Gurun Bromo
waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap pengecut
Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua
perwira tinggi dan dua tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka turun dari
kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua orang
perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja ditinggal
untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin
dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau daging
panggang. Tak lama kemudian enam orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka
melihat ada binatang yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala api.
Mungkin
kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun di
tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk
tidur.
“Aneh,
daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!” kata Ki
Bumi Wirasulo.
“Mungkin
orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain…..” kata Jalak Toga.
“Tak
masuk akal,” sahut Mangku Sanggreng. “Sama sekali tidak ada tandatanda orang
berkemah di tempat ini!”
“Lalu
bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa sabaiknya kita
tinggalkan tempat ini!” berkata Kunto Areng yang memang ingin cepat-cepat pergi
saja.
“Kita
tunggu sebentar. Kalau memang tidak ada yang muncul kita akan pergi!” jawab
Mangku Sanggreng.
“Tapi
daging panggang itu tak ada salahnya kita sikat dulu untuk mengganjal perut!”
lalu dia mendekati nyala api. Dengan sepotong ranting dia mengorek daging
panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya ikut mencicipi daging
panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit yang tidak ikut makan.
Selesai menghabiskan daging panggang orang-orang itu lalu bersembunyi di balik
pohon atau semak belukar.
Waktu
berjalan. Tunggu punya tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto Areng berpaling
pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.
Yang
ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. “Ya sudah. Kita kembali saja
melanjutkan perjalanan ke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang
itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan gerobak. Begitu
sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru tegang!
*****************
TIGA
Enam
orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang di
tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat
sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang
dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat
itu,hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke
dalam gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
“Kita
tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi
Wirasulo, Mangku Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat tampang mereka.
Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
“Celaka!
Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap begitu saja!”
ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi
Wirasulo walaupun sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan sepotong ucapanpun
tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Singa Gurun Bromo
berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri. Pasti ada
yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu? Orang yang menyalakan api dan
membakar daging hanya untuk sekedar menipu?
“Begitu
mudahnya kita tertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja kita tidak
menyelidiki apa yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa melarikan
diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas
memang begitu. Tapi siapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada
yang bisa memberikan jawaban.
“Gara-gara
ingin tahu beginilah jadinya!” gerutu Jalak Toga.
“Apa yang
akan kita lakukan sekarang? Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke
Kotaraja. Memberi laporan bahwa kita kebobolan? Kita semua pasti akan didamprat
habishabisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal
mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu…..”
“Tutup
mulutmu Jalak!” bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. “Tak ada gunanya memaki dan
menggerutu panjang lebar. Semua salah kita…..”
“Siapa
tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan?!” memotong Kunto Areng. “Dia
yang bertanggung jawab!”
Semua
mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi yang mula-mula
mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu. Paras tokoh silat
Istana itu jadi berubah mengelam.
“Jadi
kalian menuduh aku yang salah dan harus bertanggung jawab? Bangsat! Aku memang
mengajak tapi kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut
bertanggung jawab!”
“Sudah
tak perlu kita bertengkar di tempat ini!” Mangku Sanggreng menengahi.
“Adipati
dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita harus melanjutkan
perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda penarik gerobak
itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat! Kalian agaknya
terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi…..”
“Kau
memilih enakmu saja!” memotong Jalak Toga.
“Kalau
kami harus jalan kaki semua harus jalan kaki!” Lalu dia cabut goloknya. Dengna
senjata ini diputuskan tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu
digebraknya binatang-binatang itu hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
“Keparat
kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu?!” bentak Ki Bumi Wirasulo
seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah siap menyambuti
sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan cepat
menengahi.
“Kalian
tolol semua! Mengapa bertengkar dan saling gebuk? Kita berangkat sama-sama,
sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” lalu dengan langkah
terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng melangkah
lebih dulu.
Ki Bumi
Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada Jalak Toga.
Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. “Kalian perwira-perwira
kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih memperhatikan kami
tokoh-tokoh silat Istana. Itu semua karena ketololan kalian sendiri yang mabuk
pangkat…..”
Jalak
Toga menyeringai. “Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi. Apakah Sri
Baginda akan tetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya lebih banyak
petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa main
perempuan!”
“Kurang
ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!” teriak Mangku Sanggreng marah lalu melompat ke
hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak
Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas putus
tangan celakamu!”
Rahang
Mangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang bahunya. “Sudah Mangku.
Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi pelajaran sopan santun
pada cacing tanah ini!”
“Aku
bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu peradatan!” kata
Mangku Sanggreng pula.
Jalak
Toga menjawab dengan meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan melangkah menyusul
kawannya Kunto Areng.
“Aku
ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!” kata Mangku Sanggreng begitu Jalak
Toga berlalu.
“Sama,
aku juga!” jawab Ki Bumi Wirasulo.
“Tapi
jangan sekarang. Kita harus mencari saat yang baik……”
Apa
sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota rombongan
lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?
Hanya
beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam rimba
belantara, dari balik sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu bayangan
putih. Sosok ini bergerak cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang
dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak
melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan
berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan
golok di tanan. Orang yang hendak melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda
berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapa
kau?!” hardik salah seorang perajurit.
Baru saja
dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
“Krak!”
perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi.
Mukanya
hancur dimakan tendangan!
Tentu
saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam keadaan cidera
juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan ikut membantu
kawannya mengeroyok si pemuda. Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda
tak dikenal itu melompat ke atas kereta. Lalu dari atas kereta
tendangan-tendangannya berkelebat menebar maut. Tiga perajurit menemui kematian
dilanda tendangan kakinya yang memang luar biasa. Dua perajurit lainnya masih
untung hanya cidera muntah darah, namun agaknya nyawa mereka pun tak bakal
lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang pecah.
Setelah
menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa Gurun Bromo
yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan kehebatan
pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi. Si rambut coklat
membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo dengan cepat lalu
membalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian lepaskan totokan di
punggung pemuda itu.
“Terima
kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti
saja kujawab pertanyaanmu,” jawab si pemuda. “Kita tak ada waktu banyak. Harus
lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!”
“Sesudah
kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin aku
menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!”
Pemuda
penolong tersenyum. “Kau mau ikut aku atau tidak?”
“Tidak!
Kecuali kau terangkan siapa dirimu!”
“Baiklah.
Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun Bromo!” kata pemuda
itu pada akhirnya.
Si gondrong
yang satu jadi melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat.
“Sialan!
Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!”
“Aku
sudah tahu apa ang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku menguntit
perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan memanggang
seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke dalam
hutan aku segera keluar dari persembunyian!”
“Sialan!
Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan kau?!”
“Usia
kita sebaya. Potongan tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu tidak pernah
mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku menghilang!”
“Sialan!”
maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
“Dari
tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!”
“Aku Wiro
Sableng!”
“Namamu
boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!” kata Panji Argomanik alias
Singa Gurun Bromo yang asli.
“Kenapa
kau menolongku?” tanya Wiro.
“Aku
tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka mencari aku tapi
menyangka kaulah Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai hati membiarkan kau
digantung tanpa salah dan dosa!”
“Ah, kau
orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro “Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu
agaknya segera akan kembali ke tempat ini!”
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
“Gila!
Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak kau
tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!”
“Sudah
jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun dari atas
gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro bertanya.
“Apa
dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita
cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus menemui
seseorang dulu di Kuto Inggil!”
“Orang
tuamu?”
Singa
Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudah meninggal.”
“Hemmmm…..
Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan. Kekasihmu! Betul?!”
Sambil
berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah
saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih memerlukan menemui
orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!”
“Rupanya
dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik pula yang
disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga!
Jangan kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang itu bisa
berbahaya…..”
“Siapa
takutkkan mereka? Terus terang aku penasaran hendak menjajal kepandaian mereka.
Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu kedua tanganku sudah
terikat!”
“Dua
orang yang muncul kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi Wirasulo dan
Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka berasal dari satu
guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun mereka memiliki
kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang Dewa yang
sempat membuatmu tak berdaya itu!”
Diam-diam
Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun
jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu sanggup
ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid Sinto
Gendeng tidak ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain menyukainya,
Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu
karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan sahabat
barunya itu berlari di sebelah depan.
*****************
EMPAT
Dua
pemuda yang baru saling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana
terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
“Hatiku
tidak enak….” Kata Panji Argomanik begitu mereka memasuki pinggiran kampung.
“Lihat
ada kepulan asap di sebelah sana…..?”
Wiro
memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk.
“Sepertinya
barusan saja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji
Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka masuk ke
Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah kayu dalam
keadaan gelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk kosong
Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya yang
merah karena berlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan…..”
Pemuda ini mengucap.
Murid
Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang dipandang
Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
“Rumah
kekasihmu….?”
Panji tak
menjawab. Dia lari sambil berteriak. “Larasati…..!”
Panji
Argomanik tegak dengan tubuh gemetar di depan puing-puing rumah yang terbakar.
Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang dimakan api
berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang masih
dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
“Jangan
lakukan. Semua sudah musnah!”
“Aku
kawatir Larasati ikut terbakar…..” kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro
memandang berkeliling. “Aneh,” katanya dalam hati. “Rumah satu ini terbakar.
Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar untuk
memberikan pertolongan ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang
kampung!” Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
“Aku
yakin ini bukan kebakaran biasa!” kata pemuda berambut coklat itu.
“Rumah
ini sengaja dibakar! Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk menolong,
pasti ada yang mereka takutkan!”
“Siapa
menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?”
“Tak
dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya disebabkan oleh
satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati
Lumajang. Dirgo Sampean!”
“Kalau
begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten.”
Panji
mengangguk.
“Aku
memang sudah bersumpah untuk mematahkan batang leher adipati keparat itu dengan
tanganku sendiri. Dia yang membuatku harus kabur dari Kuto Inggil. Juga dia
penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia juga yang menyuruh bakar rumah
ini. Larasati….. Di mana kau Larasati…..? Keparat! Jangan-jangan dia telah
membakar kekasihku bersama rumah ini!” Panji Argomanik melompat berdiri.
Rahangnya menggembung.
“Aku
harus memastikan dulu!” katanya.
Lalu dia
mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba terdengar
teriakan Panji Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
“Ada
apa……?”
“Lihat di
balik gedek yang masih terbakar itu…..”
Wiro
merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir musnah
menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada
sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang
perempuan.
“Mereka
membakar Larasati! Mereka membunuh kekasihku!” teriak Panji Argomanik seperti
gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang terbakar. Lagi-lagi
Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita
bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan menyabung
nyawa melompat masuk ke dalam api!” Wiro lalu ambil sebatang bambu yang
tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang
dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat
salah satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah,
apalagi nyala api yang menyengat panas. Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh
keringat Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah
kajang. Lalu dengan tengkuk masih merinding, disaksikan dengan tegang oleh
Panji Argomanik, murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan
hati-hati dan perlahanlahan.
Sedikit
demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula
kelihatan sepasang betis yang sudah hangus hitam. Lalu….. Wiro mengerenyit.
Panji pejamkan kedua matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke pinggang
bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak dapat
dikenali lagi.
“Demi
Tuhan….. Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku ingin melihat
bagian kepalanya…..” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan
hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok yang terbakar
mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang dipakai
untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk. Panji
Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
“Wiro
lakukan sesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!” teriak Panji seperti mau
gila.
“Kalau
sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kau masih bisa mengenali tengkorak kepalanya
yang mungkin sudah jadi debu?!”
“Tidak!
Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu atau aku akan
melompat ke dalam api itu!” teriak panji Argomanik lagi.
Wiro
berdiri. Perlahan-lahan dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri, melangkah
dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan ujung bambu
dicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali,
dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa langkah.
Panasnya
api bukan alang kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan yang ada
dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang
yang terbakar terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke
atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak
satu kepala yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih
tersisa sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya
Tuhan….. Ya Tuhan…..!” Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya turun naik.
“Bukan
dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin itu mayat Bibi
kanoman yang selama ini memelihara Larasati….”
Wiro
menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih sahabat
barunya itu? Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
“Kalau
penjahat yang melakukan hal ini pasti Larasati diculik….”
“Mungkin
kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia dalam
keadaan selamat.”
“Tak
dapat kupastikan Wiro…. Aku harus menyelidikinya. Aku harus mendatangi gedung
Adipati Dirgo Sampean! Biadab!”
Wiro
memandang berkeliling. “Aku yakin ada satu atau dua tetangga di sekitar sini
yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai mereka!”
Pendekar
212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah itu dengan
keras. Digedor berulang kali tak ada yang menjawab apalagi muncul membuka
pintu.
“Sialan!”
Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke rumah di
sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah kaki di
sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat
ketakutan.
“Kami….
Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang berharga yang bisa
kuserahkan pada kalian…..”
“Sialan!
Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang itu lalu
menariknya keluar. “Tapi aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau tidak
menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!”
“Saya……saya…..”
“Plak!”
Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu Panji
Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat pemuda
ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya pemuda
ini.
“Kau…..
Panji…. Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau akan kembali
ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini. Tapi begitu
mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu
Kanoman…..”
“Bagaimana
dengan Larasati?!” tanya Panji memotong.
“Mereka
menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak berani menolong.
Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang….”
“Kau
mengenali siapa mereka….?” Tanya Wiro.
Orang
yang ditanya menggeleng.
“Gerombolan
rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak
bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain….. Mereka
menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati…..”
Panji
Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
“Kalau….
Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di dalam anak
istriku setengah mati ketakutan….”
Wiro
menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat itu. “Kita
harus mencari petunjuk siapa orang-orang yang menculik kekasihmu, Panji.”
“Kalau
mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali?!” ujar Panji hampir putus asa.
“Apa
silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?”
“Aku
dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada Larasati dan ingin
mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah atas kejadian itu
karena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku karena ingin
berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran dan Sri
Baginda!”
“Aku ingat
keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena menyangka kau ada di
rumah kekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang Pangeran atau
petugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati Lumajang
yang menyuruh mereka untuk turun tangan!”
“Mungkin
begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain segala? Berati
mereka takut wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!” menjawab Panji.
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada sebuah benda yag
tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya lalu
memperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah ladam
kuda.
“Mungkin
ini bisa dijadikan bahan pengusutan…..” kata Wiro.
Panji
tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik ke gedung
Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa sampai ke
sana.”
“Aku ikut
bersamamu,” kata Wiro pula.
*****************
LIMA
Karena
mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan Pendekar 212 Wiro
Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung menuju gedung
Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja datang dari
bagian belakang gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana mereka akan
mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah
memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik
jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu
di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu
Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara orang
bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan
terbuka. Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima
orang ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka
berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja
menunggu di halaman depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak
meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
“Hatiku
berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang membakar rumah dan
menculik Larasati….” Kata Panji Argomanik pada Wiro.
“Dugaanmu
mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa mengambil dua kuda
tunggangan dan mengejar rombongan tadi….”
“Aku
setuju. Kita harus bergerak cepat!” kata Panji pula.
Baru saja
kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tibatiba di halaman
depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang
penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat penjaga ini
masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul kembali dan
mempersilahkan masuk empat dari enam orang yang datang. Keempat orang yang
masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu Kunto Areng
dan Jalak Toga.
Melihat
kemunculan orang-orang ini yang datang tanpa kuda dan pakaian serta tubuh basah
oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo Sampean yang baru
saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu
pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa mempersilahkan
keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu wajah keempat
orang itu dengan pandangan tajam.
“Ada
apa?!”
“Waktu
hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan serombongan
orang. Apaah mereka barusan datang dari sini?” yang membuka mulut adalah Ki
Bumi Wirasulo.
Rahang
sang Adipati tampak menggembung. “Ki Bumi! Kau seperti orang yang tidak tahu
peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya menjawab malah balik
bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau menanyaiku!”
“Harap
maafkan saya, Adipati,” jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah merah.
“Bukan
maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu rata-rata
berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir……”
“Siapa
adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili
kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau tak enak
saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi
Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng dan berkata.
“Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku
Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
“Kami
mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil meringkus Singa
Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung nasi Mbok Sinten.
Dalam perjalanan kemari kami melihat ada nyala api yang mencurigakan dalam
hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil gerombolan Warok
Keling yang berkemah di tempat itu…..” Mangku Sanggreng kemudian menuturkan apa
yang terjadi selanjutnya.
Tampang
Adipati Lumajang itu tampak kelam membesi begitu mendengar seluruh keterangan
yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat
sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang memandang
melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan kelihatan dia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“C….c….c…!
Bukan main!” kata Dirgo Sampean pula.
“Dua
orang tokoh silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi
Kerajaan. Ditambah delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian
sampai bisa ditipu orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini
pada Sri Baginda. Kalian harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang
juga ke Kotaraja!” Keempat orang itu terdiam.
“Kalau
begitu perintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan bicara
terlalu keras!” berkata mangku Sanggreng.
“Apa
maksudmu?!” tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
“Kami
bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati mengeluarkan
kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini silahkan saja.
Menggebuk merekapun kami tidak mau tahu karena memang bekerja untuk kerajaan
dan berada di bawah pimpinan Adipati…..!”
Adipati
Dirgo Sampean menyeringai. “Jika kalian berdua berkata begitu, silahkan angkat
kaki dari gedung ini saat ini juga!” Lalu Adipati Lumajang itu bergegas ke pintu.
Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat dengan goyangkan
kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum
keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga dan Kunto
Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka. Adipati Dirgo Sampean
membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua perwira tinggi yang tegak tak
bergerak dengan wajah kuncup.
“Kalian
berdua tidak usah takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya melepaskan
kebencianku pada dua orang tadi.”
Mendengar
ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan berdarah kembali
wajah masing-masing.
“Mereka
sedikit bekerja tapi hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana. Kita yang
telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak diperhatikan. Kaum
penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!”
“Ah,
rupanya bukan kami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau Adipati
mengetahui hal itu….” kata Jalak Toga.
“Kalian
boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!”
“Terima
kasih, Adipati masih mempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya membungkuk.
“Kita
orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja sama,” kata
Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di
halaman samping begitu melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng
meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu
mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan keduanya!”
“Baik
bagimu tidak bagiku sobat!” kata Panji seraa menarik celana sang pendekar.
“Apa yang
hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut di mana Larasati saat
ini berada dan siapa yang telah menculiknya.”
“Ingat
ladam kuda yang kita temui itu? ujar Wiro. “Tunggu saja sampai pagi. Kau hanya
tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki atau
memasang ladam kudanya…..”
“Cuma ada
satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu.” Jawab Panji.
“Bagus
kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu menyelidik ke
mana-mana.”
Kedua
orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan penjagaan keliling
lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju halaman belakang,
memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malan dan udara dingin menjelang
pagi itu.
*****************
ENAM
Di
bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala keperluan
yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda, tali
kekang, pelana dan juga ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan
perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu
Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di bengkelnya.
Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh tahun.
Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh. Seperti
namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo
Lugu menyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia mengangkat
kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak
Lugu…..”kata Panji, begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu.
“Kau
kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi
setan?!”
“Anak
muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?”
“Rupanya kau
sudah mendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung Mbok Sinem,” kata
Panji pula dengan tersenyum.
“Tentu
saja. Berita itu tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan dibawa ke
Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?”
“Kau tak
usah merisaukan hal itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat saja….”
“Siapa
anak muda ini?” tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
“Sahabatku,”
jawab Panji.
“Panji,
sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat dan
melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka…..”
“Ada hal
penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro pula.
“Eng…..”
pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
“Pak
Lugu,” kata Panji.
“Semasa
hidupnya kau bersahabat baik dengan ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa
kau melupakan begitu saja persahabatan dengan ayahku?”
“Tentu
saja bukan begitu. Tapi kau adalah orang buronan. Jika ada yang…. Sudahlah.
Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja.” Orang tua itu menunjuk ke arah pintu.
Panji dan
Wiro segea masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu memandang dulu
ke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila dirasakannya
aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di dalam dia
bertanya pada kedua pemuda itu.
“Hal
penting apa yang hendak kalian tanyakan?”
Wiro yang
menjawab. “Tadi malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini dibakar orang.
Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat terbakar
hangus….”
“Ya
Tuhan, belum kudengar berita itu…….” seru Karjo Lugu.
“Larasati
lenyap diculik orang…..”
“Gusti
Allah!” mengucap Karjo Lugu.
Wiro
meneruskan. “Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang melakukan
perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah yang
terbakar.”
"Lugu.
itu?”
Wiro
keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo “Apa hubungan
ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan Yang menjawab kini
adalah Panji Argomanik.
“Kami
yakin ladam kuda ini adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang
membakar rumah dan menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami
datang, apakah ada seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu
kakinya tidak berladam. Lalu minta dipasangkan ladam baru…..”
Paras
Karjo Lugu jadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya menunggu.
“Pagi
buta tadi….” Kata Karjo Lugu.
“Ada
orang menggedor bengkelku. Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua
orang temannya. Tampangtampang tak dapat kukenal karena tertutup kain
menyerupai topeng. Salah seorang dari mereka minta agar aku memasangkan ladam
baru pada kaki kudanya sebelah kiri belakang. Aku bilang besok saja kalau
bengkel sudah buka. Tapi orang-orang itu mengancam akan menggorok leherku kalau
aku tidak melakukannya malam itu juga.
Masih
dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang yang
punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan……”
“Berpesan?
Pesan apa?” tanya Panji.
“Agar aku
tidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke bengkelku…..!”
“Hemmmmmm,”
Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala.
"Kalau
begitu mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka
menutupi wajah masing-masing dengan kain….. Coba kau ingat-ingat Pak Lugu.
Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau
pada kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka
sebenarnya.”
Karjo
Lugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek berwarna putih.
“Rasan-rasanya memang ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan. Tapi setelah kau
mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga yang datang itu
mengenakan baju berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas, dekat bahu
ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah
mengembangkan sayapnya…..”
“Itu
rajah tanda komplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.
“Terima
kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga.” Pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan tempat itu.
“Aku tahu
sarang penjahat keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga! Larasati pasti
berada di tangan mereka!”
“Mendatangi
sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya, Panji?”
“Aku
sudah siap mati untuk menyelamatkan Larasati”! jawab Panji Argomanik alian
Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kau takut kau boleh saja tidak ikut dan kita
berpisah sampai di sini.”
Wiro
menyeringai. “Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat ada satu
rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya
beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo Lugu, tiga
orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika
memperhatikan. Ternyata mereka adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi
untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo
Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah,
kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu?’
Lelaki
yang lengan sebelah atasnya memiliki rajah turun dari kudanya.
“Malam
tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya. Kebetulan kami
lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya.”
“Wah,
kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal kita bisa
jadi langganan.” Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki
yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia menggerakkan tangan
kirinya ke arah pinggang seperti layaknya orang hendak mengambil uang. Tetapi
ketika tangan itu keluar lagi dari balik pakaian, yang kelihatan bukan kantong
uang tetapi sebilah pisau berkilat yang panjang matanya hampir dua jengkal.
Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang itu, tiba-tiba pisau
sudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi lehernya cepat
dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
“Tua
bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah memberitahu sesuatu
tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha….h…ha….hu!”
Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih dicekik sementara perutnya
yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang. Lelaki berajah itu lemparkan
tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang tua itu mengeluh
tingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru putus!
*****************
TUJUH
Dua
pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki Pegunungan
Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah dataran tinggi.
Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang segala binatang
buas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat mendekam
dan bersarang di tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia
menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang
tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling
menjadi raja di raja perampok yang memiliki anak buah hempir seratus orang.
Bersama
kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun
hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu juga buah
serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang
tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya meninggi. Wiro dan
Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di puncak
kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat dari
batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di
atas pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya
berjaga-jaga mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati
pagar kayu satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu
sekitar sepuluh orang muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah
yang siap dibidikkan ke arah kedua pemuda itu.
Di
sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika berpaling
mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon. Di
cabang-cabang terendah mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula
panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
“Kita
terkurung!” kata Wiro.
“Tenang
saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anakanak panah dan
sumpritan itu beracun!” kata Panji. Lalu dia membawa kudanya mendahului Wiro
menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu meupun di atas
pohon dapat melihatnya dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke samping Panji.
Panji
Argomanik kemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. “Aku Panji Argomanik
dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!”
Dari atas
rumah penjaggan terdengar jawaban. “Dua cacing tanah seperti kalian mana cukup
pantas menemui pimpinan kami!”
“Keparat!”
maki Wiro.
“Diam
saja!” tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. “Kami memohon sekali lagi! Ada hal
penting yang hendak kami bicarakan!”
“Bicaralah
dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera meninggalkan
tempat ini atau tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah beracun!”
“Edan!”
Kini Panji yang keluarkan suara makian.
“Kalau
kita tidak diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa
menyusup malam hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya.
Tapi semua itu memakan waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada
Larasati……”
“Agaknya
kita tak ada pilihan lain. Mari…..” kata Wiro.
Kedua
orang itu memutar kuda masing-masing.
Sementara
itu di atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa, berkulit sangat
hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam sorban berwarna
merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku
mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang terjadi?”
tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember. Inilah
manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa
itu.
Seorang
anak buahnya segera menerangkan.
“Ada dua
pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok….”
“Ah,
begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini. Dua
pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau gelar?”
“Gelar
tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji Argomanik!”
“Panji
Argomanik…..” mengulang Warok Keling samgil mengusap dagunya yang klimis.
Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok dan kumis
tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan wajahnya
yang hitam cukup keren.
“Panji
Argomanik…. Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat
dulu….. Hem….. Jangan-jangan….. Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama
Argomanik itu. apakah dia orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanya
sudah pergi Warok.”jawab si anak buah.
“Beri
tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang itu kembali.”
Anggota
penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi. Di
dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling meluncur turun
dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan Panji sambil
membidikkan panah-panah beracun.
“Pimpinan
kami meminta kalian kembali!” kata salah seorang di antara mereka.
Wiro dan
Panji saling pandang.
“Ada apa
kami disuruh kembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa kau
orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun Bromo?”
Panji
mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
“Kalau
begitu kau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia tidak cukup
layak menginjakkan kaki di tempat kami!”
“Sialan!
Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro.
Saat itu
pintu gerbang kayu tampak terbuka.
“Kau
masuklah. Aku biar menunggu di sini,” kata Wiro.
Panji
Argomanik mengangkat tangannya. “Aku tidak akan masuk kalau temanku ini tidak
diperbolehkan ikut serta!”
Dari atas
rumah penjagaan terdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu itu. apa dia
punya julukan?!”
“Namanya
Wiro Sableng!” berteriak Panji.
Sunyi
sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak,
bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”
Panji
Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya.
“Tidak! Dia tidak…..”
Wiro
tekap mulut Panji Argomanik lalu dia sendiri berteriak. “Gelarku Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212!”
Kedua
mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan tangannya pemuda
bergelar Singa Gurun Bromo itu berseru. “Kau…..! Jadi kau pendekar dari Gunung
Gede yang terkenal itu?!”
“Aku
tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!”
“Jangan
merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro
tertawa. “Orang selalu menambah bumbu dalam setiap cerita…..” katanya.
Dari atas
rumah penjagaan tiba-tiba terdengar suaa teriakan. “Kalian berdua boleh masuk!”
Pintu
gerbang terbuka. Kali ini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam.
Pintu
menutup kembali. Begitu masuk ke dalam dua orang bertubuh besar menghampiri
mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu
binatang-binatang itu dibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang
lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak tengah
bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk di
bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan
di tempat itu bukan seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan kampung
biasa. Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk
pada dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga
yang lebih besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu. Tak lama kemudian
muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban merahnya. Tapi dia kini
telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari kain sangat tebal yang
beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat orang pengawal
bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok
Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat pengawalnya.
Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka sang Warok
lantas berkata. “Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar
ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji merasa heran
karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua
sahabat muda. Kuucapkan selamat daang di tempatku yang buruk ini. seumur hidup
baru kali ini ada dua orang tokoh silat yang punya nama besar menyambangiku di
sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?”
“Kami
orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji,” kata Panji.
“Terus
terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu.”
“Kau
bagaimana?” tanya Warok Keling pada Wiro.
“Aku
memang haus sekali. Aku tiak malu-malu minta minum apa saja. Kawanku juga…..”
Warok
Keling tertawa lebar.
“Kau
orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!” Warok
Keling
lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Ini puteriku,
Jayengsari…..” Warok Keling memberitahu.
Dalam
hatinya Wiro berkata. “Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini rupa punya
puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang bidadari
yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!”
“Anakku.
Ita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis dan jangan
lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!”
Jayengsaru
Mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk ke dalam dengan
langkah-langkah lincah.
“Sobat-sobatku
muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang ceriakan apa hal penting
yang hendak kau bicarakan denganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku
aku mengalami kesulitan…..”
Warok
Keling tersenyum “Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun kau menghilang
gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo….”
“Bagaimana
kau bisa tahu Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dan
anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata dan telinga di
mana-mana…. Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku,
selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini aku butuh
bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati. Rumahnya
dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati
diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari? Eh, tadi kudengar kau meminta
aku agar bersedia mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau kira….”
“Maafkan
aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada orang memberi
kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan menculik gadis itu
memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!”
Warok
Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu dia
memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. “Rajah seperti ini?”
“Kira-kira
begitu Warok.”
“Seperti
ini?” Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi sebuah rajah
kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras
Warok Keling berubah semakin hitam. “Singa Gurun Bromo…..”
katanya
dengan suara bergetar. “Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan kulempar
ke luar pagar tanpa kepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau juga!”
hardiknya sehingga pendekar 212 tersentak kaget. “Siapa yang memberikan
kesaksian padamu?”
“Karjo
Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil.”
“Aku akan
perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang perlu
kuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman tak
dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.
“Aku tahu
kalian pasti haus danjuga lapar….”
Wiro
ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling segera
mengepret tangannya.
“Aku
tidak akan menyuruh kalian minum dan makan sebelum kalian mendengar dulu
keteranganku.” Kata Warok Keling dengn mata berkilat-kilat.
“Aku
sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini.
Selama aku malang melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok
habishabisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus
kalian ingat baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang
tidak mau memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang
kekayaannya seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin.
Padahal kekayaan itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang
terlalu rakus mencari keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun
mereka berada. Tapi dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat
jelata! Dengar lagi baikbaik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak
istri orang! Waktu datang kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang
perempuan. Anak-anak bermain-main. Orang-orang perempuan duduk merenda atau
melakukan pekerjaan lain sambil ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah
perempuan-perempuan yang dikawin sah oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu
bukan anak-anak haram! Ini memang perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini
kehidupan lebih baik dari pada di luar sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang
culik apalagi tukang perkosa orang-orang perempuan., jika anak buahku bertemu
seorang perempuan yang disukainya, dia akan mengajaknya baik-baik dan tinggal
di sini. Jika mereka menolak, mereka dilepas dengan aman. Bahkan diantar pulang
sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena cara-cara kami itulah maka tidak ada
orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami. Tapi mereka juga sungkan untuk
mendekati kami, tidak seperti yang saat ini kalian lakukan. Kalian orang-orang
muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak kerajaanpun tidak bisa berbuat
apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi sebenarnya kami lebih cocok
dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit harta benda yang
berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji
terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro hanya bisa
garuk-garuk kepala!
“Aku
tidak bisa percaya akan penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat penculikan
Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku dia akan
kuhukum berat dan Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang kalian
boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!”
Wiro dan
Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak masing-masing. Tapi
ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak bergerak sedikitpun.
Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga untuk mengangkatnya
semakin melekat keras kedua tabung bambu itu. Wiro dan Panji segera maklum
bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi mereka hanya
mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam keduanya
mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi tampak duduk
sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi percikan
keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar.
“Hem….
Dua anak muda ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!” kata
sang Warok dalam hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di
dalam tabung bambu itu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji merasakan tangan
mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap bertahan. Di samping
mereka perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas sampai
setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda ini
tiba-tiba secara serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan
terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena
tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong maka tak ampun lagi
tubuhnya yang tadi terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar biasa terbanting
jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
“Brak!”
Kursi
kayu yang kokoh itu patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh tinggi besar
Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat
orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok dan siap untuk
menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan tertawa mengekeh.
Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergi
saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah aku kursi
baru!”
Walau
ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi membawa
kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan. Warok Keling seka keringat yang
membasahi mukanya.
“Kalian
orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa mengirimku ke
akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari silang sengketa.
Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan
Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi tuak. Setealh
meneguk minuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus yang
dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke dalam
perut mereka, kedua pemuda itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal.
Makin
digaruk makin gatal.
“Bibirmu
bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
“Mulutmu
juga bengkak!” ujar Wiro pula.
Kedua
pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan menggaruk tiada henti.
Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya
sng Warok tertawa gelak-gelak.
“Warok,
apa yang kau perbuat terhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap lagi bibirnya
yang semakin melendung.
Gelak
sang Warok semakin keras. “Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama kali makan
talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama kelamaan
kami jadi kebal karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian mengalami
nasib sama. Itu bukan disengaja. Ha….ha….ha! Kalian berdua jangan marah pada
siapapun!”
Panji
berdiri dari duduknya. Wiro mengikuti.
“Warok,
kami minta diri…..”
“Silahkan.
Aku gembira mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian ketahui. Jika suatu
waktu kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu terbuka!”
Kedua
pemuda itu menyeringai. Karena mulut mereka pada bengkak, ketika menyeringai
tampang-tampang mereka menjadi lucu dan ini membuat sang Warok jadi
terpingkal-pingkal!
*****************
DELAPAN
Keluar
dari rimba belantara hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari tempat
untuk berlindung. Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak jauh dari
situ. Keduanya segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan atapnya penuh
lobang itu.
“Sobat,
kurasa sekarang saat yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau bilang terpaksa
kabur dari Kuto Inggil enam tahun lalu. Lalu punya silang sengketa dengan
kerajaan dan Adipati Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran Sendoyo?”
Panji
meraba rambutnya yang coklat yang kejatuhan tirisan air hujan.
Digelengkannya
kepalanya. “Tidak, tidak betul. Ada orang yang mengatur fitnah. Menjebakku
demikian rupa hingga tuduhan jatuhan padaku. Aku akan ceritakan padamu awal
malapetaka enam tahun yang lalu itu…..”
Larasati
bunga Kuto Inggil baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang memang luar
biasa telah dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang pangeran bernama
Sendoyo yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja menyempatkan diri
untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk melamar Larasati
agar dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu jenggolo. Bibi Kanoman
yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak berani menolak walau
dia tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama mendengar bahwa putera
Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka mengganggu anak istri
orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara halus dia menyerahkan
persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah menjalin cinta
dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang
Pangeran kembali ke Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan marah.
Diam-diam dia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan Larasati, bagaimanapun
caranya. Untuk itu dia meminta bantuan Dirgo Sampean, adipati Lumajang yang
membawahi Kuto Inggil. Dirgo Sampean mau membantu karena dijanjikan akan
diberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itu
merupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di alun-alun
ramai dikunjungi orang. Rumah makan dan tempat-tempat minum penuh oleh manusia.
Para perjaka dan para gadis mempergunakan hari ini sebagai kesempatan untuk
bertemu dan berhandai-handai.
Siang itu
Panji memerlukan datang ke pasar untuk mencari seorang teman karibnya. Belum
sampai ke pasar di tengah jalan dia berpapasan degnan Tayub Jenggolo diiringi
oleh tiga orang temannya. Keempat pemuda itu sedang mabuk sehabis menenggak
banyak minuman di satu rumah minum. Tapi yang terparah adalah putera Pangeran
Sendoyo itu.
Begitu
melihat Panji, Tayu Jenggolo seperti kemasukan setan dan berteriak marah. Dia
mencaci maki Panji dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya jadi panas
mendengar caci maki itu namun karena tahu Tayub Jenggolo sedang mabuk maka
Panji tidak melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi begitu
berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar dari
pinggangnya.
Panji
Argomanik terkejut sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub Jenggolo
adalah pisau miliknya yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari lalu.
“Aneh,
bagaimana pisau itu bisa berada di tangan putera Pangeran ini?” pikir Panji.
Tapi pemuda ini tidak bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub sudah
menyerangnya. Dengan cepat Panji mengelak.
Tayub
membalik, “Bangsat kau Panji! Kau yan hendak merampas Larasati dari tanganku!
Kau tak bakal dapat memperistrikannya! Kau akan kawin dengan cacing-cacing
tanah di liang kubur! Kau boleh bawa gelar besarmu Singa Gurun Bromo itu ke
liang kubur!”
Tayub
Jenddolo kembali menyerbu. Karena saat itu dia sedang mabuk dan Panji sendiri
sudah menguasai ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah goa di Gurun
Bromo sehingga dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah Panji
menghadapi setiap serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub Jenggolo
yang juga dalam keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya lalu
melarikan diri entah kemana.
Beberapa
lama kemudian, seorang pedagang sayur yang tengah memikul dagangannya ke pasar
menemukan sosok Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan dalam keadaan mandi
darah. Muka dan beberapa bagian tubuhnya penuh dengan luka-luka. Sebuah pisau
besar- pisau milik Panji Argomanik menancap di pertengahan dadanya! Panji
sendiri lenyap entah kemana!
Setelah
kejadian itu serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah kediaman
Panji. Ketika mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka menangkap
ayah Panji Argomanik. Di sebuah rumah kayu mereka menyekap orang tua itu,
menyiksanya setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidak muncul
menyerahkan diri maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu
pagi Panji Argomanik akhirnya muncul di kadipaten untuk menyerahkan diri.
Ayahnya dilepas. Tapi dua hari kembali ke rumah, orang tua ini menghembuskan
nafas karena luka-luka dan cidera berat yang dideritanya. Kabar kematian
ayahnya itu disampaikan seorang kawan Panji di tempat dia disekap. Panji
seperti hendak gila. Apalagi ketika dia mendengar bahwa dirinya akan digantung
dalam dua hari mendatang. Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap di
tubuh Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto
Inggil bernama Janar Gandewo memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji
Argomanik yang menusukkan pisau ke tubuh Tayub jenggolo….
Selama
satu hari satu malam Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang Kuasa. Suatu
malam seperti mendapat kekuatan gaib, pemuda ini menghancurkan dinding papan
tebal dan kokoh ruang tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang pengawal di
tempat itu. Lalu dengan seekor kuda curian dia melarikan diri menuju ke Utara.
Larinya
Panji Argomanik segera dilaporkan kepada Adipati Lumajang.
Rombongan
pengejar yang terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh Adipati
Dirgo Sampean. Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka larinya
Singa Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara,
rombongan pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik
dikurung lalu dikeroyok. Panji mengamuk hebat untuk mempertahankan diri dan
kehormatannya. Tapi musuh terlalu banyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki
kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang
mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh tersungkur
di tanah.
Adipati
Dirgo Sampean menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya lalu melompat
turun. Tombak itu dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji Argomanik yang berada
dalam keadaan tak berdaya antara sadar dan tiada.
Sesaat
lagi mata tombak akan menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda bulat
menghantam pertengahan batang tombak hingga senjata itu patah dua dan terlepas
mental dari genggaman Adipati Dirgo Sampean. Sang Adipati merasakan tangannya
seperti disengat api. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama juga
dilakukan oleh para perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat ada
seorang tua berjubah putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup
angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka
hanya melihat sekejapan saja. Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua
tangannya ke depan, terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir
gurun beterbangan menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang
ada di sana berusaha bertahan dengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan
mereka tertutup oleh pasir-pasir yang beterbangan.
Ketika
gelombang angin mereda dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah kembali semua
orang terkejut. Tubuh Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas pasir tak
ada lagi di situ. Memandang ke arah kiri mereka dapatkan kakek penunggang kuda
hitampun sudah lenyap entah kemana!
Para
perajurit yang ada di tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean
diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau
hantu gurun pasir. Tetapi kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa
muncul dan lenyap bersama hilangnya tubuh Panji.
“Pasukan!
Kita kembali ke Lumajang!” seru Adipati itu pada para perajuritnya.
Ketika
siuman, mula-mula Panji merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia berada saat
itu. Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulih kembali dia segera mengenali
tempat itu dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama beberapa
tahun. Dengan mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa
sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian
dalam goa itu.
“Guru….?!”
Suara Panji bergema dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di ruang
sebelah dalam goa batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu terdengar suara
batuk-batuk. Lalu sesosok tubuh tua muncul.
“Kau
sudah siuman Panji….?”
“Sudah
guru. Saya tahu pasti. Guru yang telah menyelamatkan saya dari orang-orang
itu….. Saya berterima kasih padamu guru.”
“Berterima
kasih pada Tuhan. Dia yang masih memanjangkan umurmu,” kata orang tua sambil
memegang bahu muridnya. Lalu dia bertanya. “Mengapa mereka mengejar dan ingin
membunuhmu?”
Panji
lalu menceritakan apa yang terjadi.
Si orang
tua menarik nafas panjang. “Ada orang atau orang-orang yang sengaja menjebakmu
muridku. Dan kau belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau berani muncul di
Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”
“Saya
mohon petunjukmu guru.”
Si orang
tua tersenyum kecut. “Itu sebabnya dulu kukatakan padamu, kalau berguru jangan
kepalang tanggung. Belum selesai semua kepandaia kuwariskan padamu kau sudah
seperti anak kecil minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu masih rendah.
Ilmu meringankan tubuhmu masih cetek. Kau memang telah menyandang julukan hebat.
Singa Gurun Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar muridku!”
“Maafkan
segala tindakan saya di masa lampau guru.” Kata Panji. “Kalau guru tidak
keberatan saya ingin menyambung pelajaran lagi di sini….”
“Pengalaman
pahit itu rupanya menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau memang berjodoh
untuk meneruskan pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng selama enam
tahun. Jika kau berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku tak akan
mengajarkan apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!”
“Saya
berani mematuhi semua peraturan guru….” Jawab Panji.
“Kalau
begitu kau teruskan dulu beristirahat. Besok pagi-pagi pelajaran pertama akan
dimulai.”
“Terima
kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu lalu
diciumnya penuh hormat dan terima kasih.
Hujan
deras telah berhenti. Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup.
Pendekar
212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Nah, itu
kisahku enam tahun lalu,” kata Panji menyudahi riwayatnya. “Kini aku muncul
untuk meluruskan segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu siapa biang
racun di balik semua kejadian ini. Aku curiga terhadap Pangeran Sendoyo.
Kematian
ayahku perlu aku balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera menemukan
Larasati kembali!”
“Kau
tidak menceritakan tentang ibumu setelah ayahmu meninggal.” Kata Wiro.
“Ah, itu
satu sisi gelap lagi dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih mengikuti
guru, aku mendapat kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan
kemudian.”
Wiro
terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia
tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku. Singa Gurun
Bromo. Ketika dia melepas aku enam tahun lalu, dia menyuruh aku memakai gelar
itu.”
Sunyi
sesaat di dalam gubuk itu. “Kita harus berangkat sekarang Wiro.”
“Ya. Tapi
kemana tujuan kita?”
“Aku akan
mencari Janar Gandewo pedagang keliling yang memberi kesaksian palsu itu.”
Pendekar
212 mengangguk. Kedua pemuda itu lalu naik ke atas kuda masingmasing.
*****************
SEMBILAN
Hari
hampir malam ketika mereka emmasuki Kuto Inggil dari arah Selatan.
Setelah
melewati sebuah lereng bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya menemui
sebuah kali kecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat musim
panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali
walaupun sangat dangkal dan kotor. Panji Argomanik menunggangi kudanya di
sebelah depan diikuti oleh Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan
nyala sebuah lampu minyak.
“Itu
rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu. Lalu dia
mempercepat lari kudanya. Di satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari
rumah kecil di daerah terpencil itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi
isyarat pada Wiro agar terus mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa
belas langkah lagi dari rumah yang dituju Wiro berbisik.
“Kau
duluan saja Panji. Aku mau kencing dulu….. Dari tadi aku berusaha menahan.
Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan!
Ada-ada saja kelakuanmu!” maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi
memperdulikan Wiro dan bergerak sendirian dalam rumah kecil yang lantainya
berkolong rendah.
“Ada
nyala lampu berrarti ada orangnya,” kata Panji dalam hati. Dia melangkah ke
pintu depan lalu berseru. “Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas keluar!”
Tak ada
jawaban dari dlam rumah itu.
“Janar!”
“Si…..siapa
di luar?!” Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
“Aku
Panji Argomanik!”
“Tung…..tunggu
sebentar…”
“Suaranya
seperti gemetar dan gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya,” kata Panji dalam
hati. Dia menunggu sesaat. Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam.
Panji
jadi curiga dan melompat ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama.
Pintu
belakang rumah kecil kelihatan terbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi
langsung melompat keluar, dengan cepat menyelinap hendak melarikan diri. Panji
segera mengejar dan menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng
leher pakaian orang itu.
“Mau
kabur ke mana Janar?!”
“Si….siapa
bilang aku mau kabur…..?” Janar Gandewo si pedagang keliling menjawab tapi
jelas dia berdusta dan sangat ketakutan.
Panji
tarik leher pakaian orang itu lalu membantingkannya hingga punggungnya
terhempas ke dinding rumah. Janar Gandewo merintih kesakitan.
Tulang
punggungnya seperti luluh. “Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini…..?”
“Ini
belum seberapa!” kertak Panji. “Aku tak segan-segan menghancurkan batok
kepalamu!”
“A…..apa
salahku?!”
“Keparat!
Kau pandai berpura-pura!” Tangna kiri Panji bergerak meninju muka Janar Gandewo
hingga bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung kesakitan. “Kau mau
minta mampus sekarang juga?!” bentak Panji lalu kedua tangannya dicekikkan ke
leher orang itu.
“Jang….jangan…..
Jangan bunuh aku. Apa salahku…..”
“Siapa
yang menyuruhmu memberi kesaksian palsu enam tahun lalu. Kau bersaksi melihat
aku membunuh Tayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku…..”
“Bangsat!
Jawab cepat!” Panji angkat lagi tangan kanannya.
“Aku….
Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong! Aku akan
dikebiri!”
“Siapa
yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriak Panji.
“Walang
Daksi…..”
“Walang
Daksi….? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”
Janar
Gandewo mengangguk.
“Aku
tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
“Aku
tidak dusta! Aku tidak berbohong Panji. Aku tahu Walang Daksi juga disuruh
orang lain….”
“Siapa?!”
“Su…..Sur……”
Belum
sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar suara berdesing.
Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di mata kiri
Janar Gandewo. Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur. Mukanya
kelihatan menjadi biru.
“Panah
beracun!” desis Panji serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar terkulai
lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam
keadaan masih terkesiap Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah anak panah
lagi melesat dan kali ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia mendengar
suara berdesing namun perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia
bertindak lengah. Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya
tiba-tiba sebuah benda hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran
anak panah dan trak! Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulah
dia baru sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok
tubuh melompat ke hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini
berkelebat dan siap untuk menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya ketika
dilihatnya yang datang adalah Wiro.
“Ada
untungnya aku kencing tadi,” kata Pendekar 212.
“Kalau
tidak mungkin kita berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah
kau, bukan kunyuk jangkung itu!” Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda
yakni batu hitam sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain
memungut batu hitamnya Wiro juga mengambil patahan anak panah yang tadi
dihantamnya dengan batu hitam itu.
“Aku
mengenali mata panah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panji
memperhatikan anak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan anak panah
milik orang-orangnya Warok Keling….” Katanya.
“Berarti
bangsat itu memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalam amarahnya Panji
kemudian ingat.
“Terima
kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku.” Dia memandang ke arah mayat Janar
Gandewo.
“Manusia
sialan itu tadi menyebutkan nama seseorang. Orang yang katanya menyuruh dia
melakukan kesaksian palsu. Sur…… entah Sur siapa. Dia juga menyebutkan nama
seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun itu sekarang juga!”
“Kau
dengar suara derap kaki kuda di kejauhan itu?”
“Ya…..”
“Apa
maksudmu Wiro?”
“Itu
derap kaki kuda si pembokong. Dia belum lari jauh. Kita masih punya kesempatan
untuk mengejarnya! Kau harus memilih satu di antara dua. Mengejar si pembokong
atau pergi ke Lembah Waru.”
“Si
pembokong itu lebih dulu!” jawab Panji.
“Tepat!”
sahut Wiro seraya acungkan ibu jari tangan kanannya. Kedua pendekar ini segera
berkelebat ke tepat di mana mereka meninggalkan kuda sebelumnya.
Di malam
yang gelap dan dingin itu memang tidak mudah untuk mengejar seseorang yang
melarikan diri dengan menunggang kuda. Satu-satunya petunjuk ke arah mana
larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya di satu
tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!”
maki Panji. “Dia menghilang!”
Pendekar
212 tidak menjawab. Telinganya dipasang baik-baik. “Aku mendengar suara
kaki-kaki kuda di air….”
“Kau
ingat kali kecil itu?!” ujar Panji.
“Dia
pasti tengah menyebrangi kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya lenyap.
Ayo kita kejar!”
Kedua
pendekar ini memacu kuda masing-masing ke arah kiri. Tak lama kemudian mereka
sampai di satu tempat ketinggian. Di bawah sana keliahtan kali kecil berair
dangkal. Di seberang kali tampak seorang penunggang kuda baru saja menyeberangi
kali itu.
“Itu
bangsatnya!” kertak Panji. “Aku akan memintas jalannya dari arah kiri.
Kau
memotong dari arah kanan. Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang sana
merupakan kawasan terbuka!”
Panji
membedal kudanya. Wiro menyentakkan tali kekang tunggangannya.
Kedua
orang ini melesat dalam kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka
berpencar menggunting larinya orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat di
pertengahan pelataran terbuka, Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari
belakang.
Orang
yang dikejar mengenakan pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya ditutupi sebuah
topi berbentuk aneh dan wajahnya tersembunyi di balik sehelai cadar.
Tahu
kalau ada dua orang mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok ke kiri
dan memacu kudanya sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari jauh
karena dalam waktu singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak
sepuluh langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi
lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarah
adalah pinggang orang itu.
Selarik
angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran sebilah mata
pedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo.
Jangankan
tubuh manusia, batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman pukulan
sakti ini!
Rupanya
orang di atas kuda sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari balik cadarnya
dia keluarkan suara mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke atas.
Serangan Singa Gurun Bromo lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena kedua
tangannya masih memegang tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali dia
membuat gerakan jungkir balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas
pelana kuda dan menghambur menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar
212 leletkan lidah mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji Argomanik
walaupun terkesiap tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus dapat
menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia
memanah mati Janar Gandewo lalu hendak membunuh dirinya pula. Tetapi amarah
lebih mempengaruhi hingga Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu
serangan pertamanya gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya dan mengejar
kembali. Tapi sekali ini gerakannya tertahan karena sambil melarikan diri orang
yang dikejar lambaikan tangan kanannya. Puluhan benda sebessar-besar pasir
beterbangan di udara mengeluarkan kilauan aneh.
“Awas
pasir beracun!” teriak Pendekar 212 yang mengenali apa adanya benda-benda yang
melesat ke arah sahabatnya itu.
Singa
Gurun Bromo menggertak marah. Tangan kanannya diangkat.
“Wusss!”
Satu gelombang sinar putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir beracun tersapu
habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa ke arah orang bercadar.
Orang ini cepat angkat tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan kosong.
Dua kekuatan dahsyat saling bentrokan di udara. Terdengar suara berdentum
disusul oleh suara ringkikan tiga ekor kuda!
Singa
Gurun Bromo merasakan sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai sedang kuda
tunggangannya menjadi liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212 yang berada
tak jauh dari Panji dan sempat tersapu angin serangan juga merasakan getaran
hebat menjalari tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan meringkik
beberapa kali.
Yang
bernasib buruk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke samping
lalu jatuh ke tanah. Kudanya meringkik keras dan lari meninggalkannya.
Puluhan
langkah di depan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya jatuh
ke tanah, Singa Gurun Bromo segea melompat turun dari atas kuda dan kirimkan
tendangan ke arah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangan kanannya ke
pinggang.
“Wuut!”
Lalu
sebilah golok menyambar tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa Gurun
Bromo membuat pendekar ini terkejut dan cepat melompat. Tak urung sebagian
bajunya di sebelah perut masih kena tersambar ujung senjata lawan hingga robek.
Singa
Gurun Bromo melompat mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya berubah mengelam
tanda amarahnya sudah mencapai di puncaknya. Di depannya orang bercadar tegak
sambil putar-putar goloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu lenyap dari
pemandangan hanya suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah
demi selangkah, sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati Singa Gurun
Bromo. Tiba-tiba dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu bacokan
deras. Singa Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan
dengan itu kedua tangannya menyusup ke atas. Begitu dia berhasil mencekal
lengan yang memegang golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke tanah.
Kaki
kanannya menendang ke arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas lalu
tertarik keras. Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik
cadar terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
*****************
SEPULUH
Pendekar
212 dan Singa Gurun Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar suara
jeritan orang itu adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun Bromo
sudah berdiri di samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya
menginjak leher lalu dia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi
wajah orang itu.
“Kau!”
keluar teriakan kaget dari mulut Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo.
Pendekar 212 sendiri tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya pada
penglihatannya. Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Jadi kau
rupanya! Bapaknya perampok besar. Ternyata anaknya juga penjahat keji! Mengapa
kau hendak membunuhku?! Mengapa kau membunuh Janar Gandewo! Pasti bapakmu yang
menyuruh!”
“Mulutmu
lancang! Belum tahu urusan sudah mendamprat! Jika kau ada persoalan denganku jangan
hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di tanah dan lehernya masih
diinjak oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lain adalah Jayengsari, puteri Warok
Keling, raja diraja para perampok!
“Baik!
Sekarang jawab dulu pertanyaanku tadi. Kalau kau tidak menjawab kuinjak hancur
batang lehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa
yang hendak membunuhmu? Siapa itu Janar Gandewo?” balik membentak Jayengsari.
Lalu
dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak takut mati! Kau mau bunuh
aku saat ini juga silahkan! Ayo injak leherku!”
“Akalmu
selicik akal bapak moyangmu!”
“Kurang
ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi sampai
seratus jurus! Buktikan bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo bukan
seorang pendekar banci yang hanya berani melawan perempuan!”
Amarah
Singa Gurun Bromo jadi mendidih lagi mendengar kata-kata Jayengsari itu.
“Manusia sepertimu tidak perlu dihormati! Matipun kau aku tak merugi! Nah,
mampuslah!”
Singa
Gurun Bromo injakkan kaki kanannya kuat-kuat ke leher si gadis.
Namun
sebelum hal itu terjadi, murid Eyang Sinto Gendeng cepat mendorongnya hingga
injakkannya lepas dan tubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro!
Kau hendak membelanya?! Kau bersekutu dengan gadis iblis ini?!” teriak Singa
Gurun Bromo marah.
“Tenang
Panji, sabar dulu sedikit,” kata Wiro. “Apa untungku membela gadis cantik
ini…..!”
“Gila!
Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini dengan
kata-kata gadis cantik!” semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar pujian
Wiro itu.
“Aku
tidak memujinya berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia cantikkan?” Wiro
berpaling pada si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata.
“Jayeng,
berdirilah….”
Puteri
Warok Keling itu tampak merengut walau hatinya sempat berbungabunga mendengar
pujian Wiro atas kecantikan wajahnya.
“Wiro,
katakan apa maumu?!” tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar menahan
amarah.
“Dengar
Panji, aku punya dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo dan juga bukan
dia yang tadi hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!”
“Hebat!
Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”
“Kau
lihat sendiri. Dia tidak membawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku
sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan
mengandalkan tipu daya! Bisa saja dia membuang busur dan kantong panahnya di
tengah jalan!”
Jayengsari
terdengar mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro dan Panji. “Aku
memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik!
Sekarang katakan bagaimana kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa keperluanmu!
Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikan diri ketika kami kejar
dan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh Janar Gandewo
jelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”
“Soal
panah memanah aku tidak menahu. Perduli setan! Aku tak mau membicarakannya! Aku
tidak tahu kalau kalian tadi yang mengejarku! Aku menyerangmu karena menyangka
kalian orang-orang jahat!”
“Kau
dengar Wiro. Seorang anak penjahat enak saja mengatakan kita orangorang jahat!”
“Jangan
tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu muncul di
belakangku!”
“Kalau
kau tidak bermaksud culas mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?!” sentak
Singa Gurun Bromo.
“Hem……
Kau ingin tahu sebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa kau merasa tenang
mengetahui dia berjalan seorang diri dalam pakaian dan dandanan perempuan?!”
Panji
Argomanik terdiam.
“Jayeng,”
Wiro menengahi. “Coba katakan saja mengapa kau ada di sini.
Kalau
memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa pelakunya?”
“Aku, aku
ditugaskan ayah ke Kuto Inggil.” Jawab gadis itu. “Sebetulnya bukan ditugaskan.
Tapi aku sendiri yang minta…..”
“Apa
keperluanmu ke Kuto Inggil?” tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis mau dan
lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi tidak
sabaran dan merasa sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
“Aku
sebenarnya bermaksud menemui kalian guna menyampaikan pesan ayah.” Jawab
Jayengsari.
“Jejak
kalian berhasil kuketahui dan kuikuti sampai di tempat kediaman Janar Gandewo.
Aku sampai di situ ketika seorang penunggang kuda berusaha melarikan diri.
Kurasa dialah yang membunuh pedagang keliling itu dan juga hendak membunuhmu….”
“Kau
mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.
“Kalau
kau berpendapat begitu boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini. Kau
pendekar gagah bergelar hebat. Silahkan kau selesaikan sendiri urusanmu!”
Jayengsari
segera membalikkan diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan memegang lengannya.
“Jangan
pergi dulu. Kau jangan marah padaku…..” kata Wiro membujuk.
“Aku
tidak marah padamu. Tapi jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu ditolong
orang malah memaki, menuduh dan mendamprat seenaknya!” jawab Jayengsari.
“Maafkan
dia. Pikirannya sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari tangan gadis
itu. Jayengsari cepat menariknya sambil berseru. “Ihhhh!” Murid Eyang Sinto
Gendeng menyengir. Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti akan
senang dipegang dan dicium.
“Kau sama
saja kurang ajarnya dengan dia. Malah lebih kurang ajar!” bentak Jayengsari.
Wiro
menyengir lagi. “Aku hanya bergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba kau katakan
apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku sendiri? Ah,
kalau pesan itu untukku aku berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin untuk
membicarakan soal perjodohan kita!”
Jayengsari
terpekik marah sedang Panji Argomanik segera membentak.
“Wiro!
Tidak pantas dalam keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!”
Wiro
senyum-senyum. “Banyolanku tadi memang tidak lucu,” katanya. Dia berpaling
kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari
tampak merengut. Namun kemudian dia melanjutkan keterangannya. “Aku berusaha
mengejar orang yang membunuh dengan panah itu.
Tapi dia
keburu melarikan diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah
keletihan tidak berhasil mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang.
Justru begitu dia lenyap kalian berdua muncul mengejarku!”
“Sayang
bangsat itu lolos. Tapi mungkin kau dapat mengenali sosok atau perawakannya
meskipun gelap?” tanya Wiro.
“Wajahnya
memang tidak sempat kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku hampir yakin dia adalah
Daruka…..”
“Siapa
Daruka?” tanya Wiro.
“Salah
seorang anak buah ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan penculikan atas diri
Larasati. Tapi nyatanya nanti ceritanya jadi lain…..”
“Hemmmm….
Kalau begini jelas ada seseorang di belakang Daruka.” Kata Wiro.
“Menurut
Janar Gandewo sebelum mati, dia disuruh oleh Walang Daksi.
Walang
Daksi disuruh oleh Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan ingin
membunuhku juga? Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi seorang
lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panji memandang pada Wiro.
Wiro
menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat Istana dan
dua perwira kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai mencium
baunya. Nanti saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang
kita harus mencari tahu di mana Suryaning menyekap Larasati.” Wiro memandang
pada puteri Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masih jengkel. Maka Wiro
mengalihkan pembicaraan. “Kau masih meneruskan keteranganmu yang terputus
tadi?”
“Tak lama
setelah kalian pergi ayah segera mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala
kelompok untuk menyelidiki siapa di antara para anggota yang berada di luar
perkampungan. Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah sejak
beberapa waktu lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar
tanpa setahu ayah ataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatau tugas apapun.
Mungkin sekali dialah yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda di
Kuto Inggil itu. Ayah mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih
jelas. Seorang lain ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar
aku yang pergi. Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa
dia mengaku memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi
kanoman dna Karjo Lugu. Celakanya Daruka sempat melarikan diri. Namun satu
pengakuan penting sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik
Larasati. Gadis itu telah diculik lebih dulu oleh seseorang…..”
“Siapa?!”
tanya Panji cepat.
“Tunggu
dulu!” ujar Jayengsari. “Apa hubunganmu dengan seorang dukun perempuan bernama
Walang Daksi?”
“Eh,
mengapa kau bertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.
“Dukun
itu ditemui mati di rumahnya. Ada yang menggantungnya!” Panji berpaling pada
Wiro.
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. “Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa orang yang
disebutkan Janar Gandewo. Kita hanya tahu sepotong nama depannya. Sur….. Bisa
Surga, bisa Susur….. bisa…..”
“Sudah!
Kau jangan ngacok!” potong Panji dengan suara keras.
“Mungkin
aku tahu kelengkapan sepotong nama yang barusan kau sebut itu. tasa-rasanya
orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan….”
“Siapa?”
tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
“Suryaning…..”
jawab Jayengsari.
“Suryaning?”
ujar Panji dengan nada terkejut dan wajah berubah. “Hanya ada satu orang
bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru
dia yang menculik Larasati kekasihmu!”
“Hah?!
Apa katamu?! Suryaning puteri Adipati Dirgo Sampean yang menculik Larasati?!”
sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak. Jayengsari mengangguk.
“Tidak
masuk akal. Bagaimana mungkin!” kata Panji masih tidak berkedip.
“Perempuan
menculik perempuan! Apa perlunya? Apa untungnya?!” ujar Wiro pula. “Kalau aku
menculikmu atau kau menculik aku, nah itu masih masuk akal…..”
“Kurang
ajar! Siapa mau menculikmu!” damprat Jayengsari denan mata melotot sedang Wiro
menutup mulut menahan tawa.
Panji
mendekati Wiro lalu berbisik. “Aku punya dugaan gadis ini sengaja menipu kita.
Dia punya maksud buruk terhadap kita…… Larasati tidak punya silang sengketa
dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang
juga tidak jelas. Siapa yang membunuh dukun perempuan bernama Walang Daksi
itu.”
Panji
memandang Jayengsari. Lalu dia bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau puteri
Adipati itu yang menculik Larasati?”
Jayengsari
menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu di mana
kekasihmu sekarang disekap!”
“Kalau
begitu lekas kau beritahu padaku tempatnya!”
Kembali
Jayengsari menyeringai. “Kau cari tahulah sendiri!” katanya.
Rupanya
dia masih dendam atas perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu gadis
ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali membujuknya.
“Sobatku
cantik. Jika kau mau menolong orang jangan kepalang tanggung. Ayo kita pergi
sama-sama ke tempat Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi petunjuk biar
kubawa kudamu kemari.” Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah lari ke tempat
di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang ini pada
pemiliknya dan mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang pada
Jayengsari sambil tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut
juga.
Sebenarnya
dia memang tertarik pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama kali
melihatnya di perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu
disadarinya kalau seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat
jatuh tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
“Gadis
secantikmu tentu saja tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku ada
salinan di kantong perbekalan. Kau bisa ganti pakaian saat ini juga…..”
“Tak
perlu,” jawab Jayengsari cepat. “Aku tidak percaya pada manusia macammu….”
“Eh, maksudmu
apa?” tanya Wiro.
“Waktu
aku ganti pakaian kau pasti mengintip!”
Pendekar
212 tertawa bergelak. Panji Argomanik mau tak mau juga jadi tertawa. Jayengsari
memandang pada pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu berkata sambil
cemberut.
“Ih…..
Ikut-ikutan tertawa…..!” ucapan Jayengsari membuat gelak tawa Wiro semakin
menjadi.
*****************
SEBELAS
Walaupun
malam gelap namun dari bibir lembah podnok kayu itu masih dapat terlihat cukup
jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok.
“Itu
tempatnya.” Katanya dengan nada dingin.
“Aku
masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri!” berucap Singa Gurun Bromo.
Lalu disentakkannya tali kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari
menuruni lembah. Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada di depan
pondok kayu. Singa Gurun Bromo di depan sekali dan lebih dulu melompat dari
kudanya.
Di dalam
pondok yang hanya merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi oleh sebuah
lampu minyak berkelap kelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis yang
kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi kayu.
Dia mengenakan baju dan celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya
tampak penuh robek sampai sebatas lutut. Dari robekan itu kelihatan sepasang
kakinya yang penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka
pucat dan ada air mata jatuh di atas pipinya.
Di
hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadis lain berpakaian serba merah
yang saat itu memegang seutas cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya dengan
sehelai kain tipis hingga parasnya hanya kelihatan samar-samar.
“Jadi
namamu Larasati huh?!” Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada ketus.
Tiba-tiba dia angkat tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat.
Terdengar
suara keras menggidikkan ketika cambuk itu menghantam kedua kaki gadis yang
duduk terikat di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka baru kelihatan
mengoyak kakinya.
Gadis
yang melakukan cambukan tertawa mengekeh. “Sakit? Hik….hik…hik….! Kau
menjerit?! Kau menangis?! Gadis cengeng! Sakit yang kau rasakan tidak ada
artinya dibandin dengan sakit hati yang kualami selama ini!”
“Persetan
dengan sakit hatimu! Mengapa kau menculik dan memperlakukan aku seperti ini?!
Kau manusia biadab!” teriak gadis di kursi.
“Diam!”
Lalu cambuk itu menghantam kembali. Gadis di kursi kembali menjerit. Kedua
kakinya luka lagi. Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu
Larasati! Kau bakal benar-benar mengalami lara seumur hidup! Jangan harap kau
bakal mendapatkan pemuda itu! Jika aku tidak bisa mendapatkan Panji Argomanik, kau
juga tidak bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu!”
“Siapa
kau sebenarnya? Mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?! Kau perempuan
iblis….!”
Gadis
yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusia iblis. Bahkan biasa
lebih buas dari iblis! Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah wajahmu
kurusak aku mau lihat apakah kekasihmu itu masih mencintaimu! Hik…hik…hik….!”
“Manusia
celaka! Apa yang hendak kau lakukan?!”
“Sabar,
jangan banyak tanya dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!” lalu gadis yang
kepalanya ditutup kain tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya kemudian
terdengar suara teriakan keras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan kanannya
menghantam ke arah wajah gadis di atas kursi. Larasati menjerit.
Saat itu
pula pintu pondok hancur berantakan diterjang orang dari luar.
Seseorang
bekelebat masuk dan melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia mengulurkan
tangan, dia berhasil menangkap ujung cambuk yang hendak menghantam wajah
Larasati!
Gadis
yang memegang cambuk tampak terkejut. Dia segera menyentakkan cambuk agar
terlepas dari pegangan Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang pendekar begitu
kuat hingga sekalipun dia mengerahkan tenaga sekuatnya, cambuk itu tak bisa
lepas. Sebaliknya dengan sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik cambuk
hingga si gadis terbetot ke depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh gadis
ini mau tak mau harus lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat ke
dinding pondok, menajuhi Singa Gurun Bromo.
“Siapa
kau?!” bentak Singa Gurun Bromo dengna mata membelalang.
“Mengapa
kau menculik Larasati?!”
Gadis
bercadar tertawa tinggi.
“Kau mana
mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat diriku. Dia
kekasihmu, ya? Hik….hik…..hik!”
“Diam!
Jawab pertanyaanku!” hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada Larasati. Cambuk
yang dipegangnya dibantingkannya ke lantai lalu dia segera menghampiri
Larasati, memeluk gadis itu sesaat.
Selagi
Panji Argomanik membuka ikatan Larasati, kesempatan ini dipergunakan oleh gadis
bercadar untuk melarikan diri. Dia melompat ke pintu. Tapi di pintu saat itu
sudah menghadang Pendekar 212. Di belakangnya berdiri Jayengsari.
“Eh, kau
mau pergi ke mana?” tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk menarik
pinggang si gadis. Tapi tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilah keris
dan menusukkannya ke dada Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan
yang tidak mengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak
memiliki kepandaian silat, apalagi tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro
dapat meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
“Wiro,
lepaskan dia!” kata Panji Argomanik.
“Aku akan
menanyainya. Jika dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!”
Lalu pemuda itu melangkah ke hadapan si gadis bercadar yang saat itu bersurut
dan baru berhenti begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
“Lekas
katakan siapa dirimu! Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka cadarmu!”
Gadis
bercadar hanya menjawab dengan suara mendengus.
Panji
Argomanik mulai hilang sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi dicampakkannya.
“Tadi kau
hendak merusak muka kekasihku! Sekarang biar wajahmu dulu yang akan kurusak!”
Anehnya
si gadis bercadar malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang.
“Kua
hendak merusak mukaku?!” katanya menantang dan sambil maju selangkah.
“Lakukanlah!”
tiba-tiba gadis ini merenggutkan cadar yang menutupi kepalanya.
Larasati
yang berada di sudut pondok terpekik ngeri. Jayengsari keluarkan seruan
tertahan. Panji Argomanik sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro
sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kuduk terasa dingin. Wajah
yang tadi tersembunyi di balik cadar itu kini tersingkap jelas mengerikan.
Wajah itu bukan wajah seorang gadis tapi merupakan wajah yang sangat seram.
Hidungnya gerumpung. Mata kirinya menyembul membeliak. Kening dan pipinya penuh
guratan luka yang dalam. Bibirnya sebelah atas robek sedang yang sebelah bawah
menggelantung hampir copot!
“Mahluk
bermuka setan! Siapa kau?!” teriak Panji Argomanik sambil mundur satu langkah.
Orang itu
keluarkan suara tertawa panjang. “Tentu saja kau tidak mengenali diriku Panji.
Tidak ada satu orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan ibukupun benci
padaku! Aku adalah Suryaning, puteri dan anak tunggal Adipati Dirgo Sampean
dari Lumajang!”
Semua
orang di dalam pondok itu tersentak kaget dan sekaligus juga diselimuti rasa
ngeri melihat wajah seram yang tidak pernah mereka sangkakan sedikitpun.
“Kalian
ngeri? Takut atau jijik melihatku?!” Suryaning membuka mulut dan maju beberapa
langkah hingga kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya Larasati dan
Panji serta Wiro dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut pondok.
Puteri
Adipati iu tertawa panjang.
“Kalian,
seperti juga semua orang tidak pernah menyangka wajah seorang puteri Adipati
seperti wajahku yang kalian lihat saat ini! Nasibku memang malang! Ketika
berusia delapan tahun ayah membawaku ke Hutan Jatiroto, ikut berburu. Ketika
berkemah, ayah dan para pengawal berlaku lengah. Tiba-tiba ada seekor harimau
menyerbu kemah pada saat aku terbaring tidur keletihan. Binatang itu memang
berhasil diusir tapi dia sempat mencakar wajahku hingga jadi rusak begini.
Semua orang mengira aku kaan mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap aku mati
saja. Ternyata aku bertahan hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka
menyembunyikan diriku. Mereka mengurungku di sebuah kamar. Hanya karena
kabaikan para pengawal yang merasa iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar
pada malam hari. Setiap kesempatan ada kupergunakan untuk mendekati rumah
kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi buronan dan menghilang selama enam tahun,
aku seperti mau mati rasanya…..”
Semua
orang yang ada di tempat itu jadi terdiam mendengar penuturan Suryaning itu.
“Dengar…..”
kata Panji Argomanik dengan suara gemetar.
“Siapapun
kau adanya, mengapa kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak
merusak wajahnya? Karena kau iri? Karena parasnya cantik dan wajahmu seburuk
setan?!”
Dari
mulut Suryaning keluar suara menggembor. “Kau betul Panji! Aku memang iri! Aku
cemburu! Aku ingin kau adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin dia merampasmu
dari tanganku!”
“Apa
maksudmu…..?” tanya Panji heran.
“Aku
sudah lama mencintaimu Panji….. Tapi kau tak pernah membalasnya. Tidak secara
nyata, juga tidak dalam mimpi!”
Panji
berpaling pada Larasati, lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis ini
pasti tidak waras! Bertemupun sebelumnya aku tidak pernah…..”
“Memang
Panji, kita memang tidak pernah bertemu. Kau tak pernah melihatku. Tapi aku
sering melihatmu. Hampir setiap malam aku memimpikanmu. Tapi aku tahu diri.
Keadaanku yang begini tidak memungkinkan aku bisa memperlihatkan rupa padamu.
Apalagi mendapatkan cinta darimu! Karena itu aku bersumpah. Kalau aku tidak
bisa memilikimu, tidak seorang gadis lainpun boleh memilikimu! Tidak juga gadis
itu!” Suryaning menunjuk tepat-tepat ke arah Larasti yang membuat Larasati
seperti terbang nyawanya.
“Jadi
karena itu kau menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!” kata Panji
pula.
“Betul!
Memang itu yang hendak kulakukan!” jawab Suryaning.
“Tapi
ketahuilah, aku bukan hanya tak mau gadis itu jadi milikmu, tapi juga tidak
ingin melihat dia jadi istri muda ayahku!”
Terkejutlah
semua orang yang ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati.
Gadis ini
sesaat menutupi wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan. “Adipati
Lumajang memang pernah melamarku pada Bibi Kanoman. Waktu itu aku baru berusia
empat belas tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telh berakhir
sampai di situ saja…….”
“Bagimu
dan bagi bibimu mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah tergila-gila
padamu! Dia sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan ditempuhnya
untuk mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahun kemudian meminta ayahku
untuk melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama Tayub Jenggolo,
ayahku melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu
menolak pinangan sang Pangeran. Pngeran Sendoyo tersinggung. Ayahku memperuncing
keadaan dengan mengatakan bahwa sebenarnya pinangan itu ditolak karena Larasati
sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di Kuto Inggil
dikenal dengna julukan Singa Gurun Bromo. Ayah lalu membujuk Pangeran agar
melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika Panji mati,
dia bisa mengulang maksudnya untuk mengawinimu…..” Sampai di situ Suryaning
menatap ke arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
“Apa yang
kemudian dilakukan Adipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah
mengumpan putera sang Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam keadaan mabuk
agar memancing keributan dengan Panji. Ayah sengaja membayar tiga orang pemuda
kawan-kawan tayub berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di satu tempat. Begitu
mereka berkelahi ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu sewaktu tayub
tergeletak di tengah jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk putera
Pangeran itu sampai mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan….”
Pelipis
Panji Argomanik tampak bergeark-gerak. Rahangnya menggembung.
“Tayub
ditemukan dengan pisau milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana pisau
itu berada di tangan Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan
dijadikan bukti bahwa akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu?!”
Suryaning
berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata.
“Itu juga
sebagian dari siasat ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung. Pisau itu
disuruhnya curi ketika kau tidak ada di rumah!”
“Manusia
keji!” rutuk Panji sambil kepalkan tinju. “Siapa yang melakukan pencurian itu?
Kau tahu juda siapa yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?”
“Orangnya
sama…..”
“Aku
sudah dapat memastikan siapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti Daruka!”
Suryaning
menoleh pada puteri Warok Kelin itu lalu menganggukkan kepalanya.
“Kau tahu
siapa yang membakar rumah dan membunuh Bibi Kanoman?” tanya Larasati.
“Daruka
juga. Adipati yang menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka kemudian membawa
beberapa orang penjahat dari Barat. Maksud semula adalah untuk menculikmu.
Ketika Daruka dan para penjahat itu tidak menemukan dirimu, mereka membakar
ruamhmu dan membunuh Bibi Kanoman……. Kemudian Daruka juga….”
Belum
sempat Suryaning melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok terdengar suara
orang membentak.
“Anak tak
tahu diri! Apa yang talah kau ceritakan pada manusia-manusia keparat itu!”
Paras
setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku…..” desisnya.
Lalu di
atas atap ada nyala terang.
“Mereka
membakar pondok!” teriak Jayengsari.
Semua
orang lari berserabutan ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat menghalangi.
“Jangan
lari lewat pintu depan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid
Eyang Sinto Gendeng melompat ke bagian belakang pondok. Dengan pukulan sakti
Kunyuk Melempar Buah dia menghantam dinding belakang pondok hingga hancur
berantakan. Lewat dinding yang porak poranda itu semua orang lalu menghambur
keluar pondok. Apa yang dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat
tepat. Jika seandainya mereka keluar lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka
akan disambut oleh panah-panah beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka dan
delapan orang kawan-kawannya!
*****************
DUA BELAS
Kelima
orang itu bersembunyi di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat
sebagian dari pondok kayu sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang
kuda mengitari pondok yang terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat
yang dibawa serta oleh Daruka untuk membantunya. Saat itu mereka tidak lagi
mengenakan kain penutup muka. Daruka sendiri kelihatan di sebereang sana
bersama Adipati Dirgo dan beberapa orang anak buahnya serta sekelompok
perajurit kadipaten.
Dalam
gelap mereka juga melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro segera
mengenali keduanya dan berbisik pada Panji. “Kunto Areng dan Jalak Toga ada di
antaa mereka.”
Seorang
anak buah Daruka memberitahu bahwa di dalam pondok tidak kelihatan satu
orangpun.
“Mereka
pasti bersembunyi di sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda mereka
sudah kita preteli…..” Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean.
“Pimpin
anak buahmu melakukan pencarian! Ingat tak ada satu orangpun yang boleh lolos.
Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”
“Orang
tua bangsat!” terdengar Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia bergerak. Wiro
cepat memegang tangannya.
“Kau mau
kemana?” tanya Wiro.
“Aku
ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapun
kesalahan ayahmu, dia tetap orang tuamu. Jangan jadi anak durhaka. Ayahmu
serahkan pada kami….”
Suryaning
jadi terdiam. Tapi dari kedua matanya yang cacad samar-samar tampak melelehkan
air mata.
Saat itu
Daruka dan tiga orang anak buahnya lewat di depan mereka, memandang kian
kemari. Terangnya nyala api yang membakar pondok kayu memaksa Wiro dan empat
orang lainnya itu menajuh dan mencari tempat terlindung yang lebih gelap.
“Itu
pasti Daruka…..” desis Singa Gurun Bromo. “Aku ingin mengorek jantungnya saat
ini juga!”
“Tidak
bisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini aku yang
mewakili ayahku Warok Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu samasama berdiri
lalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak merengut.
Lalu
sekali tubuhnya berkelebat dia sudah menghambur dari balik semak belukar.
Daruka
terkejut ketika melihat ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat gelap
dan berusaha membetot tali kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika
mengenali bahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lain adalah
Jayengsari puteri pimpinannya.
“Kau
terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat itu
Singa Gurun Bromo sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat munculnya sang
pendekar mau tak mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya.
Dia
berteriak “Adipati! Mereka di sini!” Lalu pada tiga orang anak buahnya dia
memerintahkan “Cincang orang berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan
urusan lebih dulu dengan gadis ini!”
Tiga
orang lelaki berbadan tegap dengan bersenjatakan golok segear menggerakkan kuda
masing-masing menyerbu Singa Gurun Bromo. Tiga golok menderu dalam gelapnya
malam.
Singa
Gurun Bromo yang sudah sampai di puncak amarahnya tidak tinggal diam.
Jotosannya menghantam kepala kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik
kesakitan dan melemparkan penunggangnya hingga jatuh terbanting ketanah.
Serangan
golok yang datang dari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitu golok mendesing
di atas kepalanya Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua tangannya
menyambar lengan anak buah Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot ke depan.
Saat itu juga Singa Gurun Bromo lipat tangannya hingga golok yang dipegangnya
menghujam menembus perutnya sendiri!
“Jayengsari…..
Bagaimana kau bisa berada di sini?!” tanya Daruka.
“Kau tak
layak bertanya! Kau tahu kau sudah membuat banyak kesalahan. Warok Keling
menugaskanku untuk membawa kepalamu ke hadapannya!”
“Kau anak
yang baik. Tapi aku yakin kau bisa jadi kekasih atau istri yang baik!”
“Bangsat!
Apa maksud mulut kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar
gadis cantik. Aku sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana kalau saat ini kau
bergabung bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kau ikut aku. Kita bisa hidup
sebagai sepasang kekasih!”
Paras
Jayengsari kelihatan merah gelap. “Bagus! Kuterima usulmu! Aku bersedia
bergabung! Tapi terima dulu ini!”
Sebagai
anak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan berbagai ilmu
langsung oleh ayahnya sendiri. Dibanding dengan Daruka, kepandaiannya lebih
tinggi dua tingkat. Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan satu jotosan keras
ke pinggangnya Daruka cepat mengelak selamatkan diri. Walaupun saat itu dia
memegang sebilah golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari membuat Daruka
tidak tega untuk mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia coba menendang
bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut nyawanya.
Sambil
membungkuk Jayengsari berhasil menangkap pergelangan kaki Daruka lalu
ditariknya kuat-kuat ke bawah hingga Daruka yang bertubuh tinggi besar itu
jatuh dari punggung kudanya. Belum lagi dia sampai di tanah jotosan tangan kiri
Jayengsari melabrak perutnya. Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah.
Selagi
dia tegak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri Singa
Gurun Bromo yang baru saja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkan tinju
menghantam batok kepalanya.
“Praaaak!”
Batok
kepala Daruka rengkah. Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat beberapa kali
lalu diam tak berkutik lagi.
Beberapa
orang berkuda menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali adalah Adipati
Lumajang Dirgo Sampean. Di belakangnya enam penunggang kuda, tiga di antaranya
adalah anak buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam orang ini
merentang busur menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat pada Jayengsari
dan Singa Gurun Bromo.
“Jika
kalian ingin segera mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu beracun!”
“Adipati
keparat! Kau kira aku takut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati
Dirgo Sampean menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu tersenyum lebar.
“Bukan main! Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan manusia buronan
ini! rejekiku besar sekali malam ini! mendapatkan buronan pembunuh putera
Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala rampok!”
Adipati berpaling ke belakang. “Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis ini
tangkap hidup-hidup!”
Tiga
orang anak buah Daruka yang merentang busur serta merta menarik anak-anak panah
lebih ke belakang dan siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo.
Pada saat
itu, di tempat gelap di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi kelihatan sinar
terang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro dan terheran-heran ketika
melihat tangan kanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang
hendak kau lakukan….?” Bertanya Larasati.
Sebagai
jawaban Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangna kanannya ke arah tiga orang
anak buah Daruka yang siap melepaskan panah-panah beracun. Saat itu juga
terdengar suara menderu disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan.
Hawa
panas menghampar di tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik
keras. Adipati Dirgo Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari aas
kudanya.
Sinar
panas menyilaukan tadi lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang di
belakangnya. Ketiganya mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke
tanah mereka sudah tak bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga
perajurit yang juda tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah beracun dan
tadinya bersiap-siap untuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda masing-masing
begitu pukulan Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka bergulingan di tanah.
Panah dan busur lepas entah kemana. Ketiganya menyangka sudah selamat tapi
selagi mencoba bangkit tendangan demi tendangan menghantam kepala, dada dan
perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang kena tendang
kepalanya menemui ajal saat itu juga. Yang kena hantaman di bagian dada muntah
darah dan siap untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan perut
pecah!
“Gadis
Iblis! Tak dapat menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!”
Dua
penunggang kuda muncul di tempat itu. merka adalah Kunto Areng dan yang
berteriak adalah Jalak Toga. Keduanya bukan lain adalah perwira-perwira
kerajaan kaki tangan Adipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turun dari
kuda masingmasing, lalu menyerbu Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
“Bagus!
Aku kenal siapa kalian!” teriak Jayengsari.
“Perwira-perwira
culas macam kalian harus disingkirkan dari kerajaan!” dengan mengandalkan
tangan kosong puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong
serangan kedua lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu
jatuh di tanah dan berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap Singa Gurun
Bromo. Keduanya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti sama-sama mengerahkan
pukulan-pukulan sakti dan tenaga dalam. Dengan kepandaiannya yang masih rendah
enam tahun lalu Singa Gurun Bromo berhasil melarikan diri dari tempat sang
Adipati menyekapnya. Kini setelah digembleng lagi selama enam tahun, tingkat
kepandaian Singa Gurun Bromo tentu saja semakin tinggi dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu singkat Adipati itu segera
terdesak hebat. Beberapa pukulan Singa Gurun Bromo berhasil mendarat di
tubuhnya. Satu mampir di pinggiran matanya sebelah kiri hingga robek dan
mengucurkan darah.
Dengna
menggertakkan rahang menahan sakit Adipati Dirgo Sampean kerahkan tenaga
dalamnya ke tangan kanan. Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu dari telapaknya
disertai hawa busuk bukan main.
“Awas
asap beracun!” satu teriakan perempuan keluar dari tempat gelap. Panji
Argomanik cepat tutup jalan pernafasannya. Kalau saja bukan karena teriakan
tadi mungkin sang Adipati akan meneruskan serangan asap beracunnya yang bisa
mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun dia terkejut sekali ketika mengenali
suara yang berteriak tadi adalah suara puterinya sendiri. Disamping terkejut
dia juga jadi sangat marah. Serta merta dia melompat ke balik semak belukar
dari mana datangnya teriakan tadi.
“Hemmmm,
kalian berdua lengkap sudah berada di sini!” kata Adipati Dirgo Sampean sambil
memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
“Bertiga
dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu jotosan ke
arah perut sang Adipati.
Karena
masih mempelototi anaknya dan gadis yang digilainya itu ketika serangan datang
Adipati Dirg seperti tak acuh hanya menepis dengan tangan kirinya.
Tepi
begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang lengannya
serasa patah. Selagi dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru
“Ayah, sebaiknya kau menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak
setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini……”
Tadinya
masih ada sedikit rasa kasihan dalam diri Suryaning terhadap ayahnya. Tetapi
setelah dimaki begitu rupa gadis bermuka cacat dan seram ini jadi mendidih
amarahnya.
“Kau
keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan gadis itu
dan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman…..”
“Anak
sundal! Seharusnya dulu kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!”
Suryaning
menjawab tak kalah sengitnya. “Kau menyesal punya anak seburukku! Aku juga
menyesal punya ayah sejahatmu!”
Adipati
Dirgo tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan puterinya itu
sambil menghantamkan tangan kanannya ke muka Suryaning. Namun jotosannya itu
tidak sampai di sasaran karena saat itu Pendekar 212 telah lebih dulu
menggebuknya dengan pukulan tangan kiri ke arah dadanya. Selagi Adipati ini
melintir kesakitan Singa Gurun Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap
hitamnya melompat dari samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan
leher Adipati Dirgo. Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi
musuh besarnya saat itu juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Saat itu jalak Toga dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari
ke dekat sebuah pohon besar. Tanpa sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo
tengah berlari untuk menerkam Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi
keadaan sekeliling ataupun dirinya sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. golok di tangannya dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
“Panji
awas!” terdengar suara orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah Suryaning
puteri sang Adipati.
Kesempatan
bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro sendiri terhalang
oleh tubuh Adipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu, tanpa pikir
panjang Suryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul tubuh pemuda
ini. Kejap itu pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata yang
seharusnya menancap di pangkal leher Panji Argomanik itu kini menancap di
punggung kiri Suryaning, terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis
malang ini hanya keluar satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih
memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati
Dirgo Sampean berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada Suryaning,
namun kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa sangat
mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang perlahan-lahan
merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
Dengan
tubuh bergetar Adipati Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah anak
tunggalnya itu di tanah. Sesaat dia seperti hendak menangis. Tetapi yang keluar
dari mulutnya adalah satu raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba
berubah merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
“Bangsat!”
kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan Panji. Singa
Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Buk!
Bukk!”
Tinju
kiri kanan Singa Gurun Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak ampun lagi
tubuhnya terjengkang jatuh. Dari mulutnya keluar darah segar.
Seharusnya
pukulan itu bisa membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan segala
tenaga yang ada Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan
terhuyung-huyung.
Singa
Gurun Bromo siap menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu tiba-tiba
muncul dua orang penuggang kuda disertai sesrombongan pasukan dari Kotaraja.
Orang di sebelah kiri berteriak keras.
“Atas
nama kerajaan hentikan perkelahian!”
Singa
Gurun Bromo batalkan serangannya. Adipati Dirgo tertegun lemas.
Pendekar
212 Wiro Sableng yang hendak melabrak Jalak Toga juga hentikan gerakannya.
Hanya Kunto Areng yang sepertinya tidak mau perduli. Saat itu perwira ini
tengah mendesak Jayengsari habis-habisan dan siap untuk mengirimkan satu bacokan
maut. Dia sama sekali tidak mau menghentikan serangannya. Sebaliknya Jayengsari
hanya bisa tertegun diam seperti tidak menyadari kalau kematian mengancam
dirinya. Melihat hal ini Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh Jalak
Toga lalu dilemparkannya ke arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng
tengah membacokkan goloknya. Tak ampun lagi golok yang gseharusnya bersarang di
kepala Jayengsari itu kini menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini
menjerit setinggi langit. Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi
pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya
saja yang terluka ditambah dua tulang iga terbabat putus!
Kunto
Areng yang seperti tak percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya
tertegun terkesiap. Tubuhnya mendadak terasa lemas lalu akhirnya jatuh terduduk
di tanah.
“Hentikan
perkelahian!” terdengar suara teriakan seperti tadi sekali lagi.
Semua
mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah tokoh
silat Istana yaitu Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya memandang
berkeliling dan pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
“Mangku,
kunyuk gondrong itu ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?”
“Isi
surat Sri Baginda tidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah
mengetahui dia bukan Singa Gurun Bromo yang sebenarnya,” jawab Mangku
Sanggreng.
“Lekas
kau bacakan saja surat Sri Baginda.”
Ki Bumi
Wirasulo lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya. Dengan suara keras
dia membaca.
“Atas
nama kerajaan dan keadilan Sri Baginda memerintahkan untuk menangkap Adipati
Lumajang Dirgo Sampean. Yang bersangkutan terbukti menjadi perencana keji
sehingga terbuhnya Tayub Jenggolo, putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira
kerajaan masing-masing Kunto Areng dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap
karena terbukti berkomplot membantu Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang
bernama Panji Argomanik dikenal dengan gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan
bebas dari segala tuduhan dan kesalahan.
Tertanda
Sri Baginda.
Ki Bumi
Wirasulo menggulung surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat Sri Baginda
dibacakan menguatkan diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar isi surat
langsung rebah kembali dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya pasrah saja
karena dia tidak bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu pada Panji
argomanik yang berdiri di depannya.
Lain
halnya dengan Kunto Aeng. Begitu mendengar dirinya dinyatakan ditangkap
tiba-tiba dia melompat bangkit melarikan diri. Namun satu tangan tiba-tiba
menahan jidatnya. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk melarikan
diri, jidatnya tetap saja tertahan tangan itu.
“Bangsat
keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marah lalu mencabut sebilah belati
berkeluk dari pinggangnya. Senjata ini ditusakkannya sekuat tenaga ke perut
orang yang sejak tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan jidatnya itu
tiba-tiba melesat ke atas lalu turun lagi mengemplang ubun-ubunnya!
Kunto
Areng mengeluh kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya
berputar-putar. Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan
tumit kirinya untuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah,
mukanya jatuh tepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji
Argomanik masih tertegak tak bergeak ketika Larasati berlari mendatanginya lalu
memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
“Hentikan
tangismu Laras…. Semua sudah berakhir…..” bisik Panji.
Wiro
sendiri celingak celinguk mencari seseorang. Yang dicarinya adalah jayengsari.
Puteri Warok Keling itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Kau
mencari aku, Wiro?” Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling.
"Astaga, ternyata gadis itu bersembunyi di balik punggungnya!"
“Lihat
mereka itu,” kata Wiro sambil menunjuk pada Panji dan Larasati.
“Tidakkah
kau ingin merangkul aku seperti itu….?”
“Pemuda
nakal bermulut usil! Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!” kata Jayengsari.
Wiro
tertawa lebar. “Maksudmu tidak, artinya tidak di sini kan? Kalau di tempat lain
ya mau? Begitu?”
Jeyangsari
menjewer telinga kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya keras-keras
hingga Wiro mau tak mau terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si gadis.
Sampai di tempat gelap jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja dia
memeluk pemud aitu dengan penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu
jadi kelagapan.
“Aku
membawa pesan khusus dari ayah,” bisik Jayengsari. “Beliau ingin bicara
denganmu. Apa soal aku tidak tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang juga…..”
“Meninggalkan
orang-orang itu begitu saja?!” ujar Wiro.
“Tahanan
kerajaan itu sudah ada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa mengurus diri
mereka berdua. Mereka pasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning. Mengenai
mayat-mayat lain yang bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku atau harus
kujewer lagi?!”
Wiro
tertawa lebar. Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari. Kedua insan itu
kemudian lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
TAMAT
No comments:
Post a Comment