Geger
Di Pangandaran
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
SEPASANG
mata Pendekar 212 sesaat membesar tak berkesip. Dadanya berdebar keras. “Dewi
Payung Tujuh! Akhirnya kutemui kau!” kata Wiro menggeram dalam hati. Kalau
dituruti amarahnya, rasanya mau dia menyerbu si gadis saat itu juga. Sambil
mengepalkan tinju murid Sinto Gendeng berusaha menekan gejolak dendam yang
bersarang dalam dirinya sejak beberapa waktu.
Orang tua
pemilik rumah makan menyambut kedatangan Wiro lalu dengan ramah mempersilahkan
tamunya ini memilih tempat duduk. Namun sang tamu sama sekali tidak
mengacuhkan. Terus saja memandang melotot ke arah gadis berpakaian biru
berkembang-kembang kuning yang duduk di sudut rumah makan, asyik menyantap
makanan.
“Kalau
kuhajar sekarang rasanya kurang pantas. Biarkan dia meneruskan makan dulu.
Mungkin ini makan yang terakhir baginya. Akan kutunggu dia di luar!”Wiro keluar
dari rumah makan itu. Dengan cepat dia menyelinap ke balik sebuah bangunan
kayu, mendekam di bawah sebatang pohon. Dari sini dia dapat melihat pintu rumah
makan hingga orang yang ditunggu tak bakal luput dari pengawasannya.
“Heran…Masuk
ke rumah makan lalu keluar lagi. Jangan-jangan tak punya uang. Pemuda
geblek..!" Orang tua pemilik rumah makan mengumpat lalu berpaling pada
gadis baju biru berbunga-bunga. Dia ingat bagaimana tadi pemuda tak dikenal itu
memandang menyorot seolah marah besar.
“Tidak
mustahil pemuda tadi punya niat jahat terhadap gadis cantik itu… Lebih baik aku
beritahu padanya agar berlaku hati-hati.” Lalu orang ini mendatangi gadis yang
tengah bersantap. Setelah membungkuk dia memberitahu kejadian barusan.
“Mungkin
cuma seorang pemuda mata keranjang!”kata si gadis dan terus saja menyantap
makanannya.
“Bapak
sudah tua. Cukup berpengalaman mengartikan pandangan seorang lelaki terhadap
perempuan. Pemuda yang Bapak katakan tadi bukan memandang kagum akan kecantikanmu,
Nak. Dan kelihatannya bukan seorang pemuda mata keranjang. Dia memandang anak
seolah melihat seorang yang dibencinya. Cuping hidungnya mengembang, pelipisnya
bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan dua matanya tidak berkesip. Urat
besar di lehernya kelihatan bergerak-gerak Dia seolah menahan satu dendam besar
terhadapmu.”
“Hemm…”Gadis
cantik beralis tebal dan berbulu mata lentik itu bergumam lalu tenang saja
meneguk minumannya. Tanpa memandang pada pemilik rumah makan dia berkata.
“Bapak, keteranganmu cukup lengkap. Bisakah Bapak menceritakan ciri-ciri orang
itu."
“Masih
muda, rambut panjang sebegini.. Si orang tua meletakkan tangan kiri dibahu.Lalu
meneruskan.“Dia mengenakan pakaian serba hitam. Ikat kepala putih.”
“Kulitnya
hitam atau putih? tanya si gadis sambil mengunyah makanannya pelan-pelan.
“Tidak
putih, Kuning langsat seperti kulit perempuan. Tapi tubuhnya kekar. Tampangnya
seperti orang tolol, tapi berbahaya!".
“Tolol
tapi berbahaya! Aneh juga!” kata si gadis. Lalu dalam hati dia membatin. “Setahuku
dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam. Sulit kuduga siapa dia adanya.”Gadis
itu menyelesaikan makannya dengan cepat.
Tak lama
kemudian dia tampak muncul di ambang pintu rumah makan. Sesaat dia
memperhatikan seputar halaman lalu melangkah ke tempat di mana dia menambatkan
kudanya. Begitu berada di atas punggung tunggangannya, sebelum bergerak pergi
terlebih dulu diperiksanya bungkusan besar yang tergantung di leher kuda.
Parasnya berubah tanda terkejut. Sekali lihat saja dia sudah maklum sesuatu telah
terjadi dengan bungkusannya. Di dalam bungkusan itu dia menyimpan tujuh buah
payung tujuh warna. Setelah diperiksa ternyata hanya ada enam payung.
“Seharusnya
bungkusan ini kubawa masuk ke dalam. Heran, mengapa aku terlalu tolol! Kini
payung merahku lenyap!”kata si gadis dalam hati menyesali diri.
Dia
berpikir keras. “Seorang pencuri tidak akan mengambil cuma satu payung! Manusia
jahat macam mana yang berani main-main terhadapku!”
Gadis ini
memandang berkeliling. Ada beberapa orang lalu-lalang di sekitar situ namun
tidak terlihat hal-hal yang mencurigakan.
“Aku
tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menemukan payung merahku kembali!”Si
gadis segera hendak turun dari kudanya. Saat itulah dari atas sebatang pohon
melayang turun satu sosok tubuh berpakaian hitam.
“Dewi
Payung Tujuh! Apakah kau mencari ini?”Orang yang melompat dari atas pohon
menegur dengan pertanyaan. Terdengar suara clep! Lalu serangkum angin
bergulung-gulung menerpa ke arah gadis di atas kuda. Gerakan gadis berbaju biru
tertahan. Sambil mendorongkan tangan kirinya untuk menangkis serangan angin dia
berpaling. Matanya membentur sosok seorang pemuda berpakaian hitam. Di tangan
kanannya dia memegang sebuah payung berwarna merah.
“Dugaanku
tidak salah.Memang dia rupanya.” kata sigadis yang memang adalah Dewi Payung
Tujuh alias Puti Andini. Gadis berkepandaian tinggi dari Pulau Andalas yang
muncul di tanah Jawa untuk mencari Kitab Putih Wasiat Dewa.
“Pendekar212!”seru
Andini lalu melompat turun dari atas kuda.
Wajahnya
membentuk perubahan yang sulit diartikan. Dia melangkah maju. Begitu sampai
dihadapan Pendekar 212 dia berkata "Jadi kau rupanya si pencuri payung
itu?”
Sekuntum
senyum menyeruak hingga wajahnya yang cantik tanpa dihias itu tampak tambah
jelita. Sesaat murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Kebenciannya terhadap
gadis itu selangit tembus. Tapi wajah yang begitu cantik mau tak mau membuat
rasa terpesona terselip juga di hatinya.
“Kau mau
mengembalikan payung itu atau benar-benar hendak mencurinya?”tanya Puti Andini
setengah bergurau.
Wiro
masih diam. Sesaat kemudian perlahan-lahan dia ulurkan tangannya menyerahkan
payung setelah lebih dulu menguncupkannya.
“Terima
kasih.”kata Dewi Payung Tujuh begitu menerima kembali payung merahnya.“Lama
kita tidak bertemu,apa kabarmu?”
Seharusnya
kau bertanya apakah aku sudah mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Bukankah itu
tujuanmu sejak berangkat dari pulau Andalas?”
Sesaat si
gadis menatap tajam. Dari cara orang bertanya serta nada suaranya gadis ini
segera maklum ada sesuatu. Masih sambil tersenyum, sambil mempermainkan ujung
payung merah dia berkata "Kau sudah tahu hal itu sejak lama. Kalaupun aku
bertanya kau pasti tak akan memberitahu. Biar aku menyelidiki terus".
“Dewi
Payung Tujuh, aku datang untuk menghukummu!”
Dua bola
mata Andini membesar, alisnya yang hitam naik sesaat lalu dari mulutnya yang
berbibir merah keluar suara tawa berderai.
“Menghukumku?
Ini adalah aneh! Apa dosa dan kesalahanku? Coba kau beritahu. Kalau aku sudah
mendengar lalu hukuman apa yang hendak kau jatuhkan atas diriku?!”
“Hukuman
mati! jawab Pendekar212 tandas.
*****************
2
SEPASANG
mata Andini terbelalak. Senyum di wajahnya yang cantik serta merta pupus. “Tak
percaya aku akan pendengaranku! Pendekar 212 Wiro Sableng muncul hendak
menjatuhkan hukuman mati terhadapku! Hemm…”.
Si gadis
menyilangkan payung merahnya didepan dada lalu menyambung.“Aku tidak mengungkit
cerita lama. Tapi setelah aku menyelamatkan nyawamu dari kematian di tangan
Tiga Bayangan Setan, apakah itu balas budimu?”
“Dosamu
jauh lebih besar dari hutang nyawa dan budi yang kau tanam terhadapku!”
“Oh
begitu? Coba kau sebutkan apa dosaku!” jawab si gadis. Suaranya keras meradang.
Parasnya yang jelita tampak mengeras tapi di mata Pendekar 212 justru
membuatnya tambah cantik.
“Gila !
Gadis ini benar-benar cantik” Mau tak mau dalam hatinya murid Sinto Gandeng ini
jadi kembali bimbang. Namun kalau ingat kematian mengenaskan yang dialami Raja
Obat Delapan Penjuru Angin, orang tua yang telah berjasa besar dalam
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa serta Bidadari Angin Timur yang hampir
menemui ajal mati digantung kaki ke atas kepala ke bawah maka darah Pendekar
212 kembali menggelegak.
“Gadis
cantik, jauh-jauh datang dari Andalas kau bukan cuma memburu kitab sakti tapi
juga menebar maut secara keji. Sekarang di hadapanku malah berpura-pura! Jangan
mengira aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan! Beberapa waktu lalu kau
membunuh orang tua bergelar Raja Obat Delapan penjuru Angin dalam sebuah rumah
kayu di satu bukit tak jauh dari Kutogede! Lalu kau juga berusaha membunuh
seorang gadis berjuluk Bidadari Angin timur dengan cara menggantungnya kaki ke
atas kepala ke bawah… !”
Wajah
cantik Dewi Payung Tujuh berubah sebentar putih memucat sebentar memerah saga.
Mulutnya ternganga.
“Ini
cerita paling hebat yang pernah aku dengar dalam hidupku! Guruku pernah
berpesan agar jangan ragu-ragu membunuh setiap orang jahat yang tak bisa dibuat
sadar. Mengenai dua orang yang kau sebutkan itu aku pernah mendengar siapa
mereka tapi bertemu pun belum! Kau mengarang dusta agaknya Pendekar 212?!”
“Itu
bukan cerita kosong atau dusta! Tapi kenyataan! Jangan kau berani berdalih dan
pengecut mengakui kejahatanmu!” bentak Pendekar 212.
“Eh,
melihat tampangmu bicara dan nada suaramu agaknya kau tidak main main!” tukas
Andini.
“Sialan!
Siapa bilang aku main-main!”
“Hemmm…"
begitu sang dara tampak tenang saja membuat murid Sinto Gendeng menjadi tambah
naik darah. “Kalau aku boleh bertanya apa hubunganmu dengan orang tua berjuluk
Raja Obat Delapan Penjuru Angin itu?"
“Dia
sudah kuanggap kakek sendiri"
“Lalu
gadis yang punya julukan hebat si Bidadari Angin Timur itu punya sangkut paut
apa kau dengan dirinya? Kekasihmu?!”
“Apa
hubunganku dengan dia bukan urusanmu!”
Dewi
Payung Tujuh menghela nafas dalam. Payung merah dimasukkannya ke dalam
bungkusan besar di leher koda. “Aku masih ada urusan lain yang lebih penting!
Kau salah alamat menuduhku! Kau harus memutar otak dan bekerja keras untuk
mencari siapa pembunuh Raja Obat Delapan Penjuru Angin dan bidadarimu itu… !
Aku harus pergi sekarang… !” Enak saja si gadis lantas putar tubuhnya, siap
melompat ke atas punggung kuda.
“Perempuan
jahat! Kau kira bisa melarikan diri begitu saja?!” bentak Pendekar 212.
Mendengar
bentakan itu si gadis urungkan niat naik ke atas kuda. Dia membalik dan balas
membentak. “Siapa mau melarikan diri! Aku cuma tidak mau berurusan dengan orang
gila yang tidak tahu juntrungan menuduhku membunuh orang!”
Dari
balik pakaian hitamnya Wiro mengeluarkan secarik robekan kain merah. Benda itu
dilemparkannya ke hadapan Dewi Payung Tujuh.
“Apa
ini?!” tanya si gadis sambil memperhatikan robekan kain itu dengan pandangan
setengah acuh.
“Itu
robekan pakaianmu yang berhasil digigit hingga robek sewaktu hendak membunuh
BidadariAngin Timur!”
“Hebat!
Menuduh lengkap dengan bukti! Tapi bukti palsu!” teriak Dewi Payung Tujuh. Dari
dalam bungkusan yang tergantung di leher kuda dikeluarkannya sehelai pakaian
berwarna merah. Pakaian itu dicampakkannya ke depan kaki Wiro seraya berkata
setengah berteriak.
“Itu
pakaian merahku yang kau sebut-sebut. Silahkan buka matamu lebarlebar. Lihat
apa ada bagian yang robek?!”
"Perlu
apa aku melihat pakaian butut itu” jawab Wiro “Kau bisa saja punya selusin
pakaian sepert ini!”
“Pendekar
212! Aku kira kau memang sengaja membuat-buat alasan! Apa maumu sebenarnya aku
tidak tahu! Tapi kalau kau terus menuduh mungkin aku akan lebih dulu membunuhmu
daripada kau meminta nyawaku!”
Wiro
menyeringai. "Siapa yang bakalan mati duluan di antara kita hanya malaikat
maut yang tahu! Tapi aku harus menegakkan kebenaran! Menghukum manusia jahat,
keji dan penuh dosa sepertimu!" Habis berkata begitu Pendekar 212 segera
melompat kirimkan serangan. Tinju kanannya melesat ke arah pelipis kiri Dewi
Payung Tujuh!
“Hemmm…
Pemuda gila ini benar-benar hendak membunuhku! Dia mengarah salah satu titik
kematian dikepalaku!” membatin Dewi Payung Tujuh.
Didahului
satu teriakan keras Andini berkelebat ke samping. Dengan satu gerakan kilat dia
menyambar pakaian merahnya yang tercampak di tanah lalu… wut!
Pendekar
212 Wiro Sableng terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya menyambar sinar merah
disertai dorongan angin yang keras sekali. Kalau dia tidak cepat menarik pulang
tangannya dan melompat ke belakang niscaya sekujur tubuhnya akan terjebak dalam
pakaian merah yang dipergunakan sebagai senjata oleh Andini. Selagi Wiro
terhuyung-huyung mengimbangi diri si gadis cepat melompat ke atas punggung
kudanya. Namun sebelum dia sempat menarik tali kekang menggebrak tunggangannya
dari samping menderu selarik angin, menggemuruh laksana batu raksasa
menggelinding. Ternyata Pendekar 212 telah lepaskan pukulan sakti bernama
“Kunyuk melempar buah.”
Andini
yang tahu bahaya cepat menyambar kantong perbekalannya berisi tujuh payung.
Sebelum melompat setinggi satu setengah tombak ke udara gadis ini tendangkan
tumit kaki kirinya ke pinggul. Binatang ini melompat ke depan. Meski bagian
belakangnya sempat tersambar angin pukulan yang menyebabkan kuda itu terbanting
dan roboh ke kiri namun dia selamat dari hantaman telak yang bisa membuat
hancur setengah dari tubuhnya. Setelah meringkik keras kuda ini menghambur ke
balik sebuah bangunan dan meringkik lagi beberapa kali.
Pendekar
212 cepat berpaling ketika tiba-tiba terdengar suara clep… clep beberapa kali.
Delapan langkah di hadapannya Dewi Payung Tujuh tegak dengan kaki terkembang.
Di atas kepalanya dua buah payung yakni payung warna biru dan kuning terkembang
melayang dan berputar mengeluarkan suara bersiuran. Di sebelah kirinya payung
hijau dan putih mengambang di udara, berputar kencang. Lalu di sisi kanan dua
payung lagi yaitu hitam dan ungu berputar naik turun ke atas. Andini sendiri
memegang payung merah dalam keadaan terkembang dengan ujungnya yang runcing
menghadap ke arah Wiro. Sepasang matanya yang berbulu lentik memandang tak
berkesip ke arah lawan. Rupanya gadis ini sudah siap untuk menghadapi Pendekar
212 dalam satu perkelahian hidup mati.
“Bagus!
Kau sudah siap menerima hukuman! Kau akan mati bertabur kembang tujuh
payungmu!”
Andini
keluarkan suara mendengus. “Kesombongan dan otak tolol membawa manusia ke liang
kubur! Majulah kalau kau ingin segera mencari mati!”
Dewi
Payung Tujuh goyangkan kepalanya. Set… set… Enam buah payung yang melayang di
udara menukik ke depan. Bagian runcingnya kini menghadap ke arah Wiro dan putarannya
bertambah kencang hingga enam payung itu mengeluarkan suara seperti angin
prahara yang bertiup membabat dari enam titik kematian!
“Cuma
payung kertas siapa takut!”
Baru saja
Wiro mengejek enam buah payung melayang di udara, menebar membentuk lingkaran
mengurungnya. Di sebelah tengah mengapung di udara tampak Puti Andini
bergantung pada payung merah. Tiba-tiba gadis ini jentikkan jari-jari
tangannya. Enam buah payung mendadak sontak melesat ke arah Pendekar 212. Tiga
membuat gerakan menusuk dengan bagian runcing. Tiga lainnya membabat seperti
gergaji berputar yang siap untuk membuat tubuh Wiro terkutung-kutung!
*****************
3
PENDEKAR
212 terbelalak melihat datangnya hujan serangan itu. Sesaat tubuhnya masih
terhuyung ke depan. Di lain kejap dia jatuhkan diri di tanah. Dua kaki membagi
serangan berupa tendangan. Tangan kiri kanan serentak melepas dua pukulan
sakti.Yaitu “Benteng Topan Melanda Samudera”dengan tangan kiri dan “Sinar
Matahari” dengan tangan kanan.
“Wusss!Wusss!”
Dua angin
sakti menerpa dahsyat. Satu mengeluarkan sinar panas berkilauan. Satunya tidak
terlihat oleh mata!
Puti
Andini berteriak nyaring. Tangan kanannya diputar dengan cepat. Terdengar suara
clep-clep berulang kali. Enam payung yang terkembang secara aneh serta merta menguncup.
Walau payung-payung itu berpelantingan kian kemari namun lolos dari hantaman
dahsyat pukulan “Benteng Topan Melanda Samudera” Kini tinggal pukulan “Sinar
Matahari”yang oleh Wiro sengaja diarahkan pada Puti Andini.
Untuk
kedua kalinya gadis berjuluk Dewi Payung Tujuh itu keluarkan teriakan keras.
Sepasang kakinya ditendangkan ke belakang. Tubuhnya menukik ke bawah. Serentak
dengan itu gadis ini putar payung merahnya. Sinar merah berkiblat laksana
lingkaran setan langsung menggulung sinar putih pukulan sakti Sinar Matahari”
“Dess…dess…dess
Bum!”
Tempat
itu laksana dihantam gelegar petir dihunjam gempa. Di dalam rumah makan orang
berteriak dan berlarian keluar! Payung merah hancur berantakan. Setiap hancuran
berubah menjadi kepingan-kepingan api yang bertaburan di udara. Dewi Payung
Tujuh menjerit keras. Sosoknya mencelat sampai enam tombak. Lengan bajunya
tampak terbakar. Mukanya sepucat kain kafan. Hebatnya dalam keadaan seperti itu
gadis ini tidak kehilangan akal. Setelah membuat jungkiran dua kali berturut
turut, dengan sigap dia menyambar payung hitam yang mental ke arah. Dia menekan
tombol pembuka payung. Begitu payung mengembang gadis ini perlahan-lahan
melayang turun ke tanah. Lima payung lainnya, dengan jentikan-jentikan jari
tangan segera mengembang lalu bersusun di sebelah bawah, melindunginya jika ada
serangan dari bawah.
Paras
Puti Andini tampak pucat pasi. Di sela bibirnya ada genangan darah tanda dia
menderita luka dalam yang cukup parah. Lima payung menancap di tanah lalu
clep-clep ke enamnya menguncup.
Di
tengah-tengah lingkaran payung itu Puti Andini mendarat. Begitu sepasang
kakinya menginjak tanah, Dewi Payung Tujuh alias Puti Andini segera mengatur
jalan darah dan tenaga dalam Dadanya mendenyut sakit. Dia melirik pada tangan
kanannya. Lengan pakaiannya hangus tersambar pukulan “Sinar Matahari”. Masih
untung tangannya hanya menderit luka bakarringan. Untuk beberapa saat lamanya
gadis ini tegak dengan tubuh tergontai-gontai, memandang ke arah Wiro dengan
bola mata laksana menyala!.
Sepuluh
langkah di hadapan Puti Andini, Pendekar 212 terkapar di tanah. Muka dan
sebagian pakaian hitamnya tampak kemerahan. Ini akibat hantaman hawa yang
keluar dari payung merah yang dipergunakan Puti Andini untuk menyerangnya. Muka
dan lehernya terasa panas dan seolah ada puluhan jarum menusuk-nusuk. Walaupun
sakit Wiro tidak perduli. Tekadnya sudah bulat untuk membunuh gadis di depannya
itu saat itu juga. Sekali bergerak dia sudah melompat.
“Pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera tidak menghancurkannya. Pukulan Sinar Matahari
tidak membunuhnya! Ini saatnya aku menjajal pukulan Harimau Dewa!”Wiro dekatkan
tangan kanannya ke mulut lalu meniup. Pada saat itulah berkelebat satu bayangan
biru disertai suara perempuan keras menegur.
“Lawanmu
seorang perempuan! Berada dalam keadaan cidera Apakah sudah pantas mengeluarkan
ilmu kepandaian untuk melakukan pembunuhan?!” Murid Sinto Gendeng berpaling ke
kiri.
“Bidadari
Angin Timur!” serunya ketika melihat siapa yang tegak hanya beberapa langkah
darihadapannya.“Kau tahu mengapa aku membunuhnya! Semua demi kau!”
Di tempat
itu kini berdiri seorang gadis berambut pirang panjang sepunggung, mengenakan
pakaian biru tipis. Bagaimanapun cantiknya Dewi Payung Tujuh Puti Andini namun
yang satu ini benar-benar memiliki kecantikan luar biasa. Sepasang mata si
gadis naik ke atas, keningnya mengernyit. Dari mulutnya yang bagus keluar
ucapan heran.
“Kau
membunuhnya demi aku? Ah! Inilah satu keanehan yang tidak pernah kuduga!” kata
gadis berbaju biru yang bukan lain memang Bidadari Angin Timur adanya.
“Bidadari!
Kau ini bagaimana?!”Kini Pendekar 212 yang jadi heran.
Ketika
kedua orang itu bicara, Dewi Payung Tujuh pergunakan kesempatan. Tangannya kiri
kanan digerakkan. Lima payung yang menancap di tanah tiba tiba melesat ke atas
lalu melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Lima ujung payung yang runcing
menusuk ke arah lima bagian tubuh sang pendekar, dua di kepala, dua di bagian
dada dan satu lagi di perut!
“Pembokong
licik!” teriak Wiro marah sekali. Dia cepat menyingkir sambil siap menghantam
dengan pukulan “Sinar Matahari”
Pada saat
itulah Bidadari Angin Timur berkelebat. Tubuh kasarnya lenyap, berubah menjadi
bayang-bayang. Tangannya bergerak sulit untuk dilihat. Ketika dia berhenti
berkelebat dan tegak dua langkah di hadapan Dewi Payung Tujuh, lima buah payung
yang tadi dipakai menyerang kini tersusun melintang di atas ke dua lengannya
yang saat itu tampak diangsurkan pada si gadis berbaju biru berkembang kuning.
Selagi Puti Andini melongo heran. Bidadari Angin Timur berkata.
“Ambil payungmu
dan pergilah dari sini!”
Untuk
beberapa saat lamanya Puti Andini tegak dengan memandang tercengang pada
Bidadari Angin Timur. "Bagaimana ini" dia membatin.
“Katanya
aku yang menggantung dia."
“Kau
mendengar apa yang aku ucapkan! Mau menunggu apa lagi?!”Bidadari Angin Timur
menegur.
Dewi
Payung Tujuh ulurkan tangannya untuk mengambil payung. Namun matanya diarahkan
pada Pendekar 212.
“Hemmm
Kau bimbang. Agaknya kau mencintai pemuda itu". Paras Dewi Payung Tujuh
menjadi sangat merah. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Lalu secepat
dia mengambil ke lima payung itu, secepat itu pula dia meninggalkan tempat itu.
“Pembunuh
keji! Kau mau lari ke mana?!” teriak Wiro mengejar. Namun gerakannya di halangi
Bidadari Angin Timur. Kalau saja bukan gadis yang dicintainya ini yang
menghalangi pasti Wiro sudah menerjang bahkan menggebuk.
“Aku
tidak mengerti! Betul-betul tidak mengerti!” kata Wiro sambil menggeleng-geleng
dan garuk-garuk kepala.
“Apa yang
tidak kau mengerti” tanya BidadariAngin Timur.
Wiro
memandang berkeliling. Saat itu tempat tersebut telah penuh dengan kerumunan
orang yang menyaksikan apa yang terjadi di situ.
“Dengar,
kita tak bisa bicara di sini. Kita perlu bicara di tempat lain… Ikuti aku!”
Wiro
segera tinggalkan tempat itu. Sesaat Bidadari Angin Timur hanya memandangi.
"Heran…Ada apa dengan dirinya?” Setelah berpikir-pikir sejenak akhirnya
dia berkelebat mengejar Wiro.
Di satu
tempat sepi Wiro hentikan larinya. Begitu Bidadari Angin Timur sampai si gadis
langsung bertanya.
“Nah
sekarang coba katakan apa yang tidak kau mengerti”
“Pertama!”jawab
Wiro. “Waktu di air terjun tempo hari mengapa kau pergi meninggalkan aku begitu
saja? Seolah-olah setelah mendapatkan kitab itu diriku tak ada harganya lagi
dimatamu!”
Gadis di
depan Wiro tampak tercengang pertanda heran mendengar ucapan si pemuda. “Kini
aku yang tidak mengerti. Kau bicara tentang air terjun. Air terjun dimana? Kau
menyebut tentang kitab. Kitab apa?”
“Jangan
bergurau BidadariAngin Timur."
“Kurasa
kaulah yang tengah bergurau Pendekar212 Wiro Sableng."
Air muka
murid Sinto Gendeng jadi kelam membesi. Dia hendak marah tapi yang keluar
justru tawa bergelak.
“Dunia
ini sudah gila rupanya!” kata Wiro kemudian setengah berteriak.
“Waktu itu
kau bahkan memberitahu bahwa kau hendak dibunuh oleh gadis itu. Aku menemukan
dirimu digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Di sebatang pohon di dalam
hutan! Tadi malah kau yang melarang aku membunuhnya! Padahal demi dirimu dan
pembunuhan yang dilakukannya terhadap Raja Obat aku bersumpah untuk
membunuhnya!Apa dunia tidak gila menurutmu?!”
Bidadari
Angin Timur menggeleng.“Dunia tidak gila. Mungkin otakmu sendiri yang tidak
waras!”
“Apa
katamu?!’teriak Wiro dengan mata melotot.
“Wiro kau
tidak dalam keadaan sakit ingatan bukan?!”
“Gila,
Mengapa kau sampai berkata begitu?”
“Karena
semua ucapanmu sangat aneh bagiku!”
“Apa yang
aneh?! Aku menyesal menyerahkan kitab itu padamu! Tapi aku tidak malu untuk
memintanya kembali! Harap kau kembalikan kitab yang aku serahkan tempo hari!
Pendekar212 ulurkan tangannya.
Sepasang
mata gadis jelita itu memandangi Wiro mulai dari ujung rambut sampai ke kaki.
Ada yang tidak wajar dengan dirinya. "Kapan aku dan kau berada di air
terjun! Kitab apa yang pernah kau berikan padaku?! Lalu siapa bilang aku pernah
mengatakan bahwa gadis tadi pernah menggantungku di atas pohon! Padahal setelah
sekian lama baru kali ini kita bertemu lagi!”
Wiro
garuk kepalanya habis-habisan hingga rambutnya yang gondrong acakacakan tak
karuan.
“Bidadari
Angin Timur, mari kita bicara sebagai orang waras. Bukan bicara seperti orang
gila”
Sigadis
tertawa cekikikan.“Siapa yang waras dan siapa yang gila Wiro? Aku bilang baru
sekarang bertemu denganmu. Dan kau bicara yang aku tidak mengerti.!”
“Taruh
kata kau lupa semua itu. Lalu apakah kau juga lupa bagaimana kita mandi berdua
di telaga dulu? Bagaimana kita berulang kali bercumbu mesra! Bahwa aku
mengatakan cinta padamu dan kau!".
“Kau
memang sudah gila!” teriak Bidadari Angin Timur.
“Kau yang
gila!” balas berteriak Wiro “Kau mungkin lupa tapi apa kau lupa apa yang kau
katakan setelah aku memberikan kitab itu padamu?! Dengar! Aku masih ingat dan
akan aku ulang di depanmu saat ini juga. Kau bilang bahwa kau ingin menyerahkan
tubuh dan kehormatanmu padaku! Lalu kau merobek pakaianmu hingga berada dalam
keadaan setengah tanjang dan..".
Plaaakk!
Tamparan
keras yang dilayangkan Bidadari Angin Timur mendarat di pipi kiri Pendekar 212
membuat sang pendekar tergagau menahan sakit disertai rasa tidak percaya.
Berulang kali diusapnya pipinya yang kena tampar sementara matanya membeliak
tidak berkedip memandangi gadis di depannya.
“Kalau
kau tidak mau mengembalikan kitab itu tak jadi apa". kata Wiro dengan
suara perlahan. “Tapi aku sangat sedih dan tidak pernah mengira diri seculas
ini. Kau mengatakan cinta padaku".
“Demi
Tuhan! Aku tidak pernah mengatakan hal itu padamu! Tidak ada orang yang
menggantungku. Aku belum pernah melihat gadis tadi. Aku tidak mau tahu ada
urusan atau silang sengketa apa di antara kalian. Tapi aku menyuruh gadis
berbaju kembang-kembang itu pergi karena kasihan! Karena dia terluka di dalam!
Aku juga tidak tahu kitab apa yang kau maksudkan! Dan ini yang penting! Sejak
peristiwa Guci Setan dan terbukanya kedok Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi
yang bukan lain adalah Pangeran Matahari, aku tak pernah lagi bertemu denganmu.
Baru har ini..” (Baca seri Wiro Sableng berjudul“Guci Setan”)
“Kau
berdusta!” hardik Wiro memotong.
“Apa
untungnya aku berdusta?!”
“Mana aku
tahu”jawab Wiro Tubuhnya bergetar menahan amarah.“Kalau saja aku tidak
mencintaimu, saat ini juga sudah kuhajar kau habis-habisan!".
Wiro
termangu sejenak sementara Bidadari Angin Timur memandanginya dengan wajah
merah. Dia seolah tak percaya mendengar ucapan Wiro yang terakhir. “Dia
mencintaiku?". kata sigadis dalam hati.
“Sudahlah!"
terdengar Wiro berucap perlahan. Nadanya penuh keputusasaan. "Anggap saja
aku yang salah. Aku yang memang sudah gila, Kalau saja aku saat ini bisa mampus
alangkah enaknya mati sebagai orang gila” Habis berkata begitu Wiro putar
tubuhnya siap untuk melangkah pergi.
“Wiro
tunggu!”seru Bidadari Angin Timur.
Wiro
melangkah terus malah kini mulai berlari. Si gadis cepat berkelebat. Sekejapan
saja dia sudah menghadang di depan Wiro.
“Apa
maumu…?”tanya Pendekar 212.
“Persoalan
di antara kita harus diselesaikan dulu sampai jernih!”
Wiro
menggeleng. “Aku orang gila! Otakku tidak waras! Aku tidak pernah menyerahkan
kitab sakti itu padamu! Kita tidak pernah berkasih sayang. Aku orang gil
Gilaaaa..".
“Wiro!
Dengar dan jangan pergi dulu! Ada sesuatu yang tidak beres dibalik semua apa
yang kau ucapkan dan kau sangkakan!”
“Betul!
Memang ada yang tidak beres! Aku orang gila inilah yang tidak beres! Nah,
kuharap kau puas! Jangan menghalangi langkahku!Atau…Wiro kepalkan tinjunya,
siap untuk dipukulkan ke muka Bidadari Angin Timur. Si gadis diam tak bergerak.
Caranya memandang terasa aneh di mata Wiro.
“Wiro,
pertama sekali aku ingin kau menceritakan ciri-ciri gadis itu! Rambutnya,
pakaiannya, kulit nya…Apa saja yang kau ingat!”
Mendengar
kata-kata Bidadari Angin Timur Wiro membuka mulut.“Rasanya aku ingin berteriak
sampai ke langit! Perlu apa aku memberikan keterangan panjang lebar! Orang yang
ingin kau tanyakan itu ia di hadapanku saat ini! Kau sendiri".
“Apakah
dia mempunyai lesung pipit di kedua pipinya? Seperti yang aku miliki?”bertanya
Bidadari Angin Timur tanpa menghiraukan kemarahan Wiro “Aku sudah lupa karena
otakku kurang waras. Mungkin dia punya sepuluh lesung pipit disetiap pipinya!”
Si gadis
sesaat terdiam. Tampaknya dia tengah berpikir keras. Lalu terdengar suaranya
berucap perlahan. “Jangan-jangan dia. Tapi bagaimana dia bisa t lepas!"
Wiro yang
hendak melangkah pergi, sesaat tertahan gerakannya. Namun kemudian dia
cepat-cepat membalikkan tubuh.
“Wiro
..!Bidadari Angin Timur berseru.“Aku yakin gadis yang kau temui dan kau anggap
diriku itu adalah saudara kembarku!”
Sepasang
kaki Pendekar 212 seperti dipantek ke tanah. Langkahnya tertahan. Tubuhnya
diputar kembali ke arah si gadis. Matanya membesar penuh selidik namun mulutnya
terkancing. Satu senyum aneh kemudian menyeruak dibibirnya.“Kalau saja, aku
juga punya saudara kembar tentu akan lebih hebat segala kejadian di dunia
ini!”. Habis berkata begitu Wiro segera berkelebat. Tapi bagaimanapun cepat
gerakannya, dia tak bisa menandingi kecepatan gerakan si gadis yang sampai
membuat dia memberi nama Bidadari Angin Timur itu.
“Kalau
kau mau pergi silakan! Tapi aku ingin kau mendengar dulu keteranganku!” kata si
gadis pula. “Aku dilahirkan ke dunia bersama adik kembarku. Sejak kecil kami
dititipkan pada seorang perempuan yang tinggal bersama seorang pandai di kaki
gunung Bromo. Dari orang tua inilah kami mendapat segala ilmu kepandaian. Walau
kami kembar namun sejak kecil adikku memiliki sifat sangat berlainan. Setelah dewasa
kelainan ini berubah menjadi satu hal yang menakutkan. Karena dia memiliki
kesaktian dan ilmu silat yang sangat tinggi dan telah beberapa kali
mempergunakannya secara sesat maka guru menghukumnya. Sampai waktu yang tidak
ditentukan dia tidak diperkenankan meninggalkan tempat kediaman guru. Dia
setengah dipenjara dalam sebuah lembah batu. Kalau kau mengatakan telah bertemu
dengan seorang yang sangat sama dengan diriku, pasti dia adalah adik kembarku.
Kurasa dia tah melarikan diri dari lembah batu itu..”
Wiro
tetap tegak tak bergerak.
“Aku
tidak menyalahkanmu kalau kau tidak mempercayai. Hanya saja aku khawatir
seseorang telah memperalatnya. Kau mengatakan telah menyerahkan sebuah kitab
padanya. Kalau aku boleh bertanya kitab apakah?”
Wiro
tetap tidak menjawab.
“Kalau
kau tidak mau menerangkan tidak jadi apa! Namun aku sudah bisa mengira-ngira.
Aku menyirap kabar bahwa sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa
telah muncul dalam dunia persilatan. Sangat santar terdengar bahwa kitab itu
berada di tanganmu. Karena kau cuma punya satu nyawa rasanya tidak perlu
mengingatkan bahwa tiap kejapan mata nyawamu terancam oleh orang yang
menginginkan kitab sakti itu".
“Mereka
boleh membunuhku sampai seribu kali. Mereka tidak bakal mendapatkan apa-apa.
Seperti kuterangkan kitab itu kuberikan pada Bidadari Angin Timur. Entah engkau
orangnya entah benar ada yang lain! Aku merasa benar-benar tertipu..!
BidadariAngin
Timur tersenyum sinis.“Bukan orang yang menipu tapi kau sendiri yang telah
berlaku bodoh. Cinta bisa saja buta, tapi otak jernih tidak perlu digadaikan
pada orang lain!”Wiro terdiam namun si gadis tahu bahwa pemuda ini memaki
panjang pendek dalam hatinya. Maka diapun segera menyambung ucapannya.
“Maafkan, aku tidak bisa bicara lebih lama. Aku harus mencari adikku. Aku yakin
dia berada dalam satu bahaya besar. Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia adalah
saudaraku sedarah sedaging. Aku wajib menolong menyelamatkannya…! Sebelum pergi
ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Kau boleh menjawab boleh tidak. Di luaran
tersiar kabar ada satu pertemuan besar para tokoh persilatan pada hari sepuluh
bulan sepuluh di Pangandaran. Berarti kurang satu bulan dari sekarang. Kau tahu
pertemuan macam apa adanya?”
“Aku tak
bisa mengatakan. Jika kau merasa sebagai orang persilatan mengapa tidak mencari
tahu dan datang sendiri ke sana?”
“Hemm
Begitu? Kalau umurmu masih panjang mudah-mudahan aku bisa melihatmu lagi di
Pangandaran!”
“Urusan
umur manusia ditangan Tuhan. Bukan di tangan manusia ataupun setan!”jawab Wiro
saking kesalnya dan merasa terhina oleh ucapan Bidadari Angin Timur itu.
Tanpa
berkata apa-apa lagi si gadis putar tubuhnya.
“Tunggu!”
ujarWiro “Kau tak bisa membuktikan ucapanmu.Aku tidak bisa memastikan bahwa kau
memang punya adik kembar. Tapi satu hal harus kau ketahui. Jika memang ada dua
Bidadari Angin Timur di dunia ini, maka Bidadari Angin Timur yang kucintai itu
adalah dirimu. Karena kaulah yang pertama sekali kukenal..
Ucapan
itu membuat gadis di hadapan Wiro diselimuti berbagai perasaan. Sebetulnya dia
ingin pertemuan itu berlangsung lebih lama. Tanpa berkata apaapa Bidadari Angin
Timur tinggalkan tempat itu.
Begitu si
gadis pergi Wiro kelihatan mengangkat kepala dan mengendusendus beberapa kali.
“Bagaimana aku bisa percaya ucapannya. Bagaimana aku yakin dia punya saudara
kembar. Bau harum tubuh dan pakaiannya tidak berbeda dengan BidadariAngin
Timuryang kutemui beberapa waktu lalu".
*****************
4
PANGERAN
Matahari menjambak rambut pirang gadis itu. Dia menggeram beberapa kali baru
berkata.“Aku masih mau memberi pengampunan padamu! Yang pertama dan yang
terakhir! Lain kali nyawamu tak akan tertolong! Tapi agar kau tahu pengampunan
ini bukan tanpa syarat! Kau dengar ucapanku?!”
“Aku
mendengar Pangeran. Harap kau katakan apa syarat pengampunanmu,” kata gadis
berpakaian biru yang berada dalam keadaan tidak berdaya dan tampaknya ketakutan
sekali.
“Pertama
kau harus dapat mencari Pendekar 212 dan membunuhnya sebelum hari sepuluh bulan
sepuluh! Membunuh bangsat itu bukan cuma sekedar membunuh, tapi juga
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang asli! Dia pasti menyembunyikan kitab
sakti itu di satu tempat dan memberikan yang palsu padamu!”
“Apa
syarat yang ke dua?”
“Gadis
sialan! Kau tak perlu bertanya! Aku yang akan mengatakan. Untuk berjaga-jaga,
jika kau tidak mampu melakukan syarat pertama tadi. Kau harus dapat menemui
Delapan Tokoh Kembar yang kabarnya barusan saja kembali setelah tujuh tahun
gentayangan di lautan sebelah timur. Bujuk mereka agar mau bergabung dengan
kita dan hadir di Pangandaran pada hari sepuluh bulan sepuluh!”
“Setahuku
walau mereka tidak terlalu bersih tapi mereka bukan orang-orang golongan hitam.
Tidak mudah membujuk mereka".
“Bidadari
Angin Timur! Kau punya wajah cantik dan tubuh bagus menggiurkan! Aku dengar Delapan
Tokoh Kembar bukanlah manusia-manusia yang punya pantangan bermain-main dengan
perempuan!”
Berubahlah
paras cantik gadis berambut pirang itu. Pangeran Matahari maklum apa yang ada
di benak Bidadari Angin Timur. Sambil menyeringai dia berkata. “Kau gadis
cerdik. Terserah padamu bagaimana melayani mereka. Mau satu-satu atau delapan
sekaligus! Ha… ha… ha…!”
Dalam
hatinya gadis berpakaian biru itu menyumpah habis-habisan.“Tidak kusangka
dirinya sekeji ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlanjur jatuh
ke dalam tangannya"
“Pangeran!",
kata si gadis pula sementara rambutnya masih terus dijambak. "Apa
perintahmu akan kulaksanakan. Kau sudah mengatakan syarat untuk pengampunan
diriku. Sekarang giliranku untuk meminta satu syarat..!" Pangeran Matahari
tertawa lebar.“Kau berada dibawah kekuasaanku! Aku yang mengatur diri ”
“Aku
mengerti. Aku hanya ingin menyampaikan dan minta kau mau mendengar. Apakah kau
mau memenuhi atau tidak aku tak bisa berbuat apa. Terserah padamu!".
Sang
Pangeran menggeram. “Bilang apa yang kau mau katakan..!" bentaknya.
“Bila
semua urusan sudah selesai, aku ingin kau menikahiku sesuai dengan
janjimu"..
“Itu bisa
kita bicarakan nanti!"
“Ketahuilah
Pangeran, akibat hubungan kita selama ini, saat ini aku telah berbadan dua. Ada
jabang bayi seusia tiga puluh hari dalam rahimku.!".
Pangeran
Matahari seperti mendengar sambaran halilintar di depannya mendengar ucapan
gadis itu. Jambakannya terlepas. Kakinya tersurut mundur dan sepasang matanya
memandang mendelik.
“Jahanam!
Bagaimana itu bisa terjadi?”teriak sang Pangeran.
“Apakah
hal itu perlu kau tanyakan?”ujar Bidadari Angin Timur.
“Aku
tidak ingin punya anak! Kandunganmu harus kau gugurkan. Aku tahu orang pandai
yang bisa melakukannya.Kalau ti ..”
“Kau akan
membunuhku! Bukan begitu terusan ucapanmu Pangeran? Aku sudah mengatakan syarat
permintaanku.Terserah padamu untuk memikirkan!”
Pangeran
Matahari tersenyum. Dengan mesra dibelainya pipi si gadis lalu berkata. “Kau
salah menduga kekasihku. Bukan itu terusan ucapanku. Yang betul adalah kalau
tidak bisa aku tidak akan lari dari tanggung jawab untuk menikahimu. Kita akan
hidup sebagai suami istri, punya anak. Rasanya dalam usiaku yang sekarang ini
sudah saatnya aku harus mempunyai pendamping setia dalam hidupku.”
Sepasang
mata Bidadari Angin Timur membesar dan berkaca-kaca.
“Pangeran,aku
benar-benar bangga mendengar ucapanmu itu! Langsung saja gadis ini merangkul
Pangeran Matahari. Keduanya saling berpelukan lama sekali. Dua insan bersatu
raga seolah berusaha bersatu hati. Namun dalam benak masing-masing saat itu
telah muncul benih kebusukan dan kekejian. Dalam hatinya si gadis membati “Aku
kenal betul diri dan sifatmu Pangeran. Aku meragukan apa kau benar-benar akan
melaksanakan apa yang kau katakan. Aku menaruh firasat kau akan menghabisi
diriku begitu urusan besar di Pangandaran selesai. Aku tidak bodoh Pangeran!
Aku akan membunuhmu lebih dulu dan merampas Kitab Wasiat dari tanganmu! Kau
boleh tertawa saat ini tapi lihat dan tunggu saja saatnya!”
Firasat
yang didapat si gadis saat itu memang benar karena sambil merangkul sang
Pangeran dalam hatinya berkata. “Gadis tolol! Apa kau kira aku benar-benar
ingin menikahimu?! Ha… ha… ha! Pangeran Matahari mana mau barang rongsokan
sepertimu! Umurmu hanya sampai hari sepuluh bulan sepuluh! Begitu urusan di
Pangandaran selesai dan aku telah menjadi raja di raja dunia persilatan, saat
itu pula riwayatmu akan selesai! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal,
segala congkak tidak sebodoh yang kau sangkakan! Ha… ha… ha…!"
Pangeran
Matahari mencium kening gadis dalam pelukannya lalu berbisik.
“Aku
ingin membelai perut yang menyimpan jabang bayi calon anakku bolehkah?".
Si gadis
angkat kepalanya sedikit lalu mengangguk. Tangannya bergerak membuka ikat
pinggang pakaian birunya. Sesaat kemudian pakaian itu jatuh lepas ke lantai.
Dalam pelukan sang Pangeran si gadis tidak lagi mengenakan apa-apa.
*****************
SEKALI
ini agak lama Pangeran Matahari berendam dalam air telaga sejuk dan jernih itu.
Kerindangan pohon-pohon besar di sekitar telaga menahan sinarsang surya.
Pangeran Matahari menyelam dua kali berturut-turut. Tubuhnya terasa segar.
Ketika dia hendak menyelam untuk kali terakhir tiba-tiba sudut matanya
menangkap satu bayangan di tepi kiri telaga. Di situ, di atas sebuah batu dia
telah meninggalkan pakaian hitam dan mantelnya. Tergulung dalam mantel hitam
dia menyembunyikan Kitab Wasiat Iblis.
Pangeran
Matahari cepat berbalik. Dia hanya sempat melihat satu bayangan putih
berkelebat. Sebelum bayangan itu lenyap Pangeran Matahari telah menghantam
dengan pukulan ‘Telapak Matahari’ Suara angin panas menggemuruh keluar dari
telapak tangan kanan sang Pangeran. Batu besar di tebing telaga hancur
berkeping-keping hangus menghitam dan mengepulkan asap. Semak belukar rambas
berentakan, musnah terbakar. Sebatang pohon besar langsung tumbang begitu
batangnya yang sebesar pemelukan tangan patah dilabrak pukulan sakti. Tanpa
perduli akan keadaan dirinya yang tidak mengenakan apa-apa Pangeran Matahari
melompat keluar dari dalam telaga. Dia berkelebat ke balik tumbangan pohon di
arah mana tadi dilihatnya bayangan putih itu berkelebat.
“Bangsat
pencuri! Jangan kira kau bisa lolos dari Kematian ”teriak Pangeran Matahari.
Begitu sampai di balik reruntuhan pohon besar dia lepaskan pukulan “Gerhana
Matahari”. Siapapun yang bersembunyi di situ dalam keliling lima tombak tak
bakal luput dari pukulan maut itu. Udara mendadak redup. Cahaya kuning
bercampur merah dan hitam pekat berkiblat menggidikkan. Suara menggemuruh
terdengar laksana ada air bah mengamuk. Hawa panas mendadak sontak menyelubung.
Kembali pohon-pohon bertumbangan, semak belukar terbakar berhamburan. Pasir dan
debu serta pecahan batu membubung ke udara!
Pada saat
itulah terdengar suara tawa bergelak. Di balik saputan pasir dan debu tampak
satu bayangan putih melayang turun dari sebatang pohon besar yang barusan
tumbang.
“Pangeran
Matahari! Pukulan saktimu hebat tanpa cacat! Tapi kewaspadaanmu berkurang dan
gerakanmu kulihat lamban!”Suara keras menggetarkan seantero tempat. Pangeran
Matahari tersentak kaget. Kepalanya mendongak dan sepasang matanya memandang
tajam tak berkesip ke depan. Begitu pasir, debu dan kerikil surut jatuh ke
tanah dan udara kembali terang maka tampaklah jelas sosok tubuh yang tadi
melayang dari atas pohon. Dia ternyata adalah seorang kakek berpakaian putih
kotor dan rombeng. Sepasang matanya yang besar menjorok ke dalam cekungan
rongga mata yang mengerikan. Mukanya sangat pucat. Mayat sekalipun tidak akan
sepucat itu! Mulutnya yang perot kelihatan berkomat-kamit. Orang ini memiliki
rambut putih menjela sampai ke punggung dan dia berdiri terbungkuk-bungkuk
pertanda keadaannya sudah dimakan usia lanjut. Di kempitan tangan kirinya
kelihatan pakaian hitam dan mantel milik Pangeran Matahari.
“Guru!”seru
Pangeran Matahari ketika dia mengenali siapa adanya kakek di hadapannya. Si
kakek tertawa panjang dan mendongak lalu goyang-goyangkan kepalanya beberapa
kali.
Saat itu
Pangeran Matahari sudah melompat ke hadapan si orang tua dan membungkuk satu
kali. “Guru! Tidak sangka kau sekonyong-konyong muncul membuat kejutan!”
Si kakek
yang memang adalah guru Pangeran Matahari tertawa panjang. Dalam dunia
persilatan manusia ini dikenal dengan julukan angker Si Muka Bangkai alias Si
Muka Mayat!
“Muridku!
Jelas kulihat kewaspadaanmu berkurang dan gerakanmu lamban! Itu satu pertanda
bahwa ada bisikan hati yang mempengaruhi jalan pikiranmu! Apa yang terjadi
dengan diri Pangeran Anom?” Sang guru menyebut nama asli Pangeran Matahari yang
memang terlahir sebagai seorang Pangeran bernama Anom, putera Raja dari istri
ke tiga bernama R. A. Siti Hinggil.
“Terima
kasih atas teguranmu Guru. Aku memang tengah menghadapi urusan besar. Tapi aku
bisa menghadapi sendiri! Kau tak usah menyusahkan diri ikut campur
segala.”Jawaban Pangeran Matahari jelas menunjukkan sikap segala pandai dan
segala congkak.
Si Muka
Bangkai kembali tertawa bergelak. “Aku senang mendengar jawabanmu. Kau masih
seperti dulu! Segala cerdik, segala pandai, segala congkak! Bagus, itu bagus
kalau kau memang bisa mengurus diri sendiri! Tapi yang aku saksikan tadi
membuat aku ragu apakah kau benar-benar bisa menjaga diri dan menjaga barang
berharga itu!” Habis berkata begitu Si Muka Bangkai lemparkan gulungan pakaian
dan mantel hitam Pangeran Matahari yang tadi disambarnya dari atas batu di tepi
telaga. Pangeran Matahari cepat menyambuti pakaian, mengenakan baju dan celana
hitamnya. Terus mengikatkan mantel hitam ke leher dan mengikatkan Kitab Wasiat
Iblis ke dadanya.
“Kau
harus mengatakan terus terang apa yang terjadi dengan dirimu. Kau tengah
menghadapi urusan besar Muridku. Bukan cuma menyelamatkan nyawamu sendiri tapi
juga harus memikirkan cara yang mulus untuk menguasai dunia persilatan!”
“Aku
sudah memiliki Kitab Wasiat Iblis! Siapa yang sanggup melawanku? Siapa yang
berani menghalangi diriku menjadi raja diraja dunia persilan?!” jawab Pangeran
Matahari dengan congkaknya sambil mendongakkan kepala seolah saat itu dia bukan
berhadapan dengan guru yang harus dihormatinya.
“Kau
betul! Tidak salah! Kitab Wasiat Iblis ada di tanganmu! Siapa yang sanggup
melawanmu? Kau hanya tegak berdiam diri, tidak bergerak bahkan tidak bernafas.
Dan musuh-musuhmu akan mampus berkaparan. Tapi apakah kau sudah mendengar kabar
tentang sebuah kitab sakti lain bernama Kitab Putih Wasiat Dewa? Kitab itu
kabarnya sudah jatuh ke tangan musuh besarmu. PendekarKapak MautNaga Geni212!”
“Aku
sudah mendengar. Mungkin lebih dulu tahu dari padamu. Guru. Bahkan aku sudah
melakukan sesuatu walau saat itu maksudku belum kesampaian… “
Hemmm….Harap
kau memberitahu padaku apa yang kau lakukan”
“Aku
telah menugaskan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan untuk mencari dan membunuh
Pendekar 212. Aku juga telah memerintah Bidadari Angin Timur untuk melakukan
hal yang sama. Kalaupun mereka gagal aku tetap tidak merasa takut! Kitab Wasiat
Iblis segala-galanya diatas dunia ini!”
Si Muka
Mayat alias Si Muka Bangkai menarik nafas dalam. “Muridku, bagaimanapun
hebatnya dirimu aku tetap merasa khawatir. Pertama sekali kau harus
menceritakan apa yang kau alami saat ini hingga gerakanmu begitu lamban,
kewaspadaanmu jauh di bawah ukuran seorang berkepandaian tinggi seperti ”
Pangeran
Matahari terdiam beberapa lamanya. Akhirnya dia berkata juga.
“Aku
telah menghamili seorang gadis. Dia menuntut minta dinikahi!”
“Hemmm
Ah… ha… ha… ha… !” Si Muka Bangkai mula-mula terbatuk-batuk beberapa kali lalu
tertertawa bergelak. “Hanya urusan sepele begitu sampai otak dan hatimu menjadi
mumet!? Tak sanggup merasa, tak sanggup berpikir? Alangkah bodohnya! Aku yakini
gadis yang kau katakan itu adalah si cantik yang suka berpakaian biru tipis
merangsang itu?”
Pangeran
Matahari mengangguk perlahan. Sang guru kembali tertawa gelak-gelak.
“Guru,
tak usah mencemooh mentertawai diriku! Aku sudah menemukan jalan untuk
menyelesaikan urusan yang satu itu”
“Hemmm…
Pasti kau memuslihatinya dan mengakhiri muslihatmu dengan kematian baginya! Ah!
Terlalu sayang gadis secantik itu cepat-cepat dikirim ke liang kubur. Serahkan
semua urusan padaku asalkan kau mau menghadiahkan dirinya untukku! Atau kita
miliki dia bersama-sama sampai akhirnya kita bosan sendiri
“Sekali
ini aku tidak bisa memenuhi permintaanmu Guru,” kata Pangeran Matahari. Gadis
itu bisa mengundang bahaya yang tidak terduga. Ular kepala dua. Mungkin lebih!
Aku tetap memutuskan. Akan membunuhnya setelah hari sepuluh bulan sepuluh!”
“Ah aku
si tua bangka ini jadi kecewa mendengar penolakanmu itu muridku. Kuharap dalam
waktu dekat kau bisa berubah pikiran… Aku sudah lama tidak menggauli perempuan.
Kalau aku dapat gadis itu walau cuma untuk beberapa hari, hemmm. Apalagi dia
sedang hamil muda. Kata orang…" Si Muka Bangkai tidak meneruskan ucapannya
melainkan tertawa mengekeh.
“Guru.
saat ini aku tengah memusatkan segala daya dan pikiran pada hari sepuluh bulan
sepuluh! Apakah kau telah melakukan sesuatu untukku?” ujar Pangeran Matahari.
“Hah!
Nyatanya kau tidak melupakan hari itu.Kau tak perlu khawatir. Sesuai
permintaanmu dulu aku akan pergi ke Pangandaran untuk membuat segala persiapan
agar jalanmu menjadi penguasa rimba persilan bisa lebih mulus!’
“Apa saja
yang akan kau lakukan Guru?”tanya Pangeran Matahari.
“Kau tahu
beres sajalah. Mengikuti kemauan dan segala akal licikmu, tiga minggu lalu
seorang sakti berjuluk Makhluk Pembawa Bala menemuiku di satu tempat. Keadaan
manusia satu ini mengerikan, hanya menunggu hari kematiannya saja. Ada sebatang
kayu menancap di ubun-ubun kepalanya! Dia punya dendam kesumat besar terhadap
Pendekar 212. Ternyata dia punya niat juga untuk memiliki Kitab Putih Wasiat
Dewa. Kutipu dirinya dengan mengatakan akan membantunya mendapatkan kitab itu.
Karenanya dia mau melakukan apa saja yang aku perintahkan. Dibantu oleh seorang
ahli dari Kotaraja dia akan memasang bahan peledak serta berbagai senjata
rahasia di salah satu bukityang akan menjadi tempat berkumpulnya musuh kita”
Pangeran
Matahari menyeringai. Aku tahu manusia berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Jika
dia orangnya memang kita tidak perlu kawatir. Musuhmusuh kita akan menemui ajal
sebelum sempat melakukan sesuatu. Terima kasih Guru, kau telah bersusah payah
melakukan sesuatu untukku.” Berbasa basi Pangeran Matahari lalu membungkuk
dalam-dalam.
Si Muka
Bangkai alias Si Muka Mayat tertawa kempot-kempot “Sekarang apakah kau sudah
berubah pikiran dan mau menghadiahkan gadis berbaju biru itu padaku?”
“Guru,
aku tidak mau mengecewakanmu. Ada satu hadiah memang sudah kusediakan untukmu
Masuklah ke ruang dalam. Langsung ke kamar tidur di sebelah kiri.”
Sepasang
mata cekung Si Muka Bangkai tampak berkilat. Mulutnya yang perot
berkomat-kamit. Tanpa menunggu lebih lama dia masuk ke ruangan dalam. Pintu
kamar dibukanya lebar-lebar. Si Muka Bangkai sesaat merasakan jantungnya seolah
berhenti berdetak. Nafasnya seolah putus! Betapakan tidak. Di atas ranjang
putih terbaring sesosok tubuh gadis jelita. Selain rambutnya yang panjang hitam
sepinggang gadis ini tidak mengenakan apa-apa lagi. Kakek bungkuk ini tertawa
mengekeh. Dengan tumit kaki kirinya ditendangnya pintu kayu di belakangnya!
*****************
5
HARI
sepuluh bulan sepuluh hanya tinggal dua minggu. Hari itu pantai selatan tampak
tenang. Udara di Teluk Penanjung di mana terletak pantai Pangandaran tampak
terang dan cerah. Dua bukit batu karang menjorok sejajar ke arah laut, mengapit
sebuah pedataran pasir berbatu-batu selebar lima tombak. Satu sosok tubuh
bungkuk berkelebat cepat dari arah utara. Setelah melewati beberapa gundukan
batu karang akhirnya dia sampai di satu tempat ketinggian di mana terpancang
sebuah tiang besi. Di ujung tiang besi berkibar sehelai bendera besar berwarna
hitam, melambai-lambai ditiup angin. Tepat di bawah bendera itu duduk bersila
satu sosok luar biasa mengerikan. Melihat pada keadaannya yang tidak bergerak
dan tidak bersuara, jika tidak diperhatikan benar sulit diduga apakah sosok ini
sudah jadi mayat atau masih hidup!
Sosok ini
hanya mengenakan sehelai cawat rombeng. Sekujur tubuhnya penuh dengan koreng
cacar air menebar bau busuk. Beberapa bagian tubuhnya tampak hangus hitam
seperti pernah terbakar. Perutnya robek besar. Dari robekan ini membusai usus
yang bergerak-gerak setiap dia menarik nafas! Sepasang kakinya hanya merupakan
tulang-tulang menghitam dan hancur di beberapa bagian. Dia duduk
termiring-miring karena bagian dadanya tampak aneh seperti pernah putus lalu
disambung tetapi tidak pas betul sambungannya. Makhluk ini tidak memiliki
tangan sama sekali alias buntung!
Kedua
daun telinganya sumplung. Hidung gerumpung. Pipi hancur dan pada lehernya ada
guratan luka tertutup darah yang telah mengering. Mulutnya yang hancur membuat
bibirnya bergontai-gontai. Salah satu matanya melesak ke dalam. Mata yang lain
hanya merupakan lobang besar mengerikan. Yang paling angker ialah menancapnya
sebatang kayu di batok kepala orang ini, tepat di ubun-ubun! Seperti dituturkan
sebelumnya dalam Episode berjudul “Muslihat Cinta Iblis". batangan kayu
itu ditancapkan oleh Iblis Putih Ratu Pesolek sewaktu terjadi pertempuran
antara Wiro dengan orang di dalam lobang ini yang bukan lain ialah Makhluk
Pembawa Bala.
“Muka
Bangkai! Apakah itu kau yang datang?!” tiba -tiba makhluk mengerikan yang duduk
di atas batu karang tetapi manusia juga adanya! Suaranya keras tapi sember
karena lehernya yang robek.
Tubuh
bungkuk yang berkelebat dari arah utara melesat dan jejakkan ke dua kakinya di
depan manusia angker yang duduk bersila di atas batu karang. Lalu terdengar
suara tawanya keras dan panjang.
“Makhluk
Pembawa Bala sobatku bertubuh baja berhati besi! Aku gembira melihat kau tetap
berada di sini! Itu satu pertanda kesetiaan yang hebat luar biasa!” Orang tua
bungkuk yang barusan datang ternyata adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka
Mayat, guru Pangeran Matahari!
Makhluk
Pembawa Bala mendongak ke langit hingga luka besar pada lehernya terkuak dan
darah busuk mengalir keluar. "Sobatku Si Muka Bangkai! Bukankah ada
ujar-ujar mengatakan ada ubi ada talas. Ada budi ada balas! Apa yang aku
lakukan tidak lepas dari janji yang kau ucapkan tempo hari!
“Sobatku
kau tak perlu kawatir Bagiku Si Muka Bangkai, janji yang diucapkan adalah
titipan nyawaku padamu. Kitab Putih Wasiat Dewa akan menjadi milikmu begitu
muridku menamatkan riwayat Pendekar 212!”
Aku
percaya pada janjimu! Aku percaya kata Makhluk Pembawa Bala pula. Sekarang aku
ingin kau melakukan sesuatu!”
“Hemmm….katakanlah!”
“Aku
ingin kau mencabut batangan kayu yang menancap dibatok kepalaku!”
Kakek
bungkuk Si Muka Bangkai tercekat sesaat. Mulutnya yang perot dipencongkan ke
kiri. Dia mendongak ke atas menyembunyikan seringai penuh arti. Dalam hati dia
membatin “Makhluk Pembawa Bala, aku tahu kalau kayu yang menancap di
ubun-ubunmu itu tidak dicabut, nyawamu hanya tinggal dua puluhan hari saja!
Hik… hik! Siapa yang ingin melihat kau hidup lebih lama! Pada hari sepuluh
bulan sepuluh begitu urusan di tempat ini selesai, aku tidak butuh dirimu lagi!
Kau hanya tinggal menunggu mampus!!”
“Muka
Bangkai kau tuli atau bisu hingga tidak melakukan permintaanku tadi!”
“Sobatku
Makhluk Pembawa Bala. Sebelum ke sini aku telah menemui seorang dukun besar di
Nusa Kambangan Aku mendapat keterangan dan dia bahwa saat sekarang hampir tidak
mungkin untuk mencabut kayu itu dan batok kepalamu…
“Tidak
mungkin? Tidak mungkin kenapa? Kalau aku punya tangan sudah dari dulu-dulu aku
melakukannya! Perempuan sundal berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek itu membuat
buntung tanganku yang tinggal satu hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa!
Tunggu saja! Aku akan membunuhnya dengan cara sangat mengerikan! Aku akan sate
tubuhnya dari selangkangan sampai ke ubunubun!”
Makhluk
Pembawa bala keluarkan suara menggerendeng panjang endek.
“Menurut
dukun besar itu jika kayu dicabut sekarang maka otakmu akan ikut tertarik.
Akibatnya mengerikan sekali. Hanya satu di antara dua. Kau tetap hidup tapi
kehilangan kewarasan atau kau tetap hidup tapi sekujur badanmu lumpuh!”
Sosok
tubuh Makhluk Pembawa Bala nampak bergetar begitu mendengar keterangan Si Muka
Bangkai. Lama mulutnya yang hancur tak sanggup mengeluarkan suara. Setelah
selang beberapa lama akhirnya dia ajukan pertanyaan. “Lantas apakah kelak aku
akan mampus mengenaskan begitu saja?! Lebih baik kau bunuh aku saat ini juga
Muka Bangkai!”
Si Muka
Bangkai maju selangkah dan pegang bahu Makhluk Pembawa Bala walau diam-diam dia
merasa jijik. Lalu dia berkata. “Sobatku tunjukkan hati besimu! Tunjukkan
kesabaranmu yang seatos batu karang! Kau masih punya harapan untuk hidup. Satu
hari sebelum batas waktu kematian dukun besar itu akan kubawa padamu. Karena
menurutnya hanya pada saat itulah kayu bisa dicabutdan nyawamu diselamatkan!”
Makhluk
Pembawa Bala menarik nafas panjang.
“Sobatku
Makhluk Pembawa Bala, selama kau mendekam disini apakah kau pernah melihat
Iblis Pemabuk muncul ditempat ini?” tanya Si Muka Bangkai. Yang ditanya
menggeleng.“Ada apa kau tanyakan setan alas satu itu? Kau jerih padanya heh…?!”
Si Muka
Bangkai tertawa panjang lalu menjawab. “Puluhan tahun hidup aku tidak pernah
merasa takut pada makhluk apapun! Hanya seorang pemabuk seperti dia siapa
takutkan! Aku bertanya karena dialah yang jadi biang kerok punya pekerjaan
menyebar undangan untuk pesta darah di teluk Penanjung Pangandaran ini! Dia
tidak sadar darahnya juga akan tertumpah disini!”
“Muka
Bangkai, kau tahu Iblis Pemabuk itu sebenarnya berada di pihak kita atau pihak
musuh?”
“Tentu
saja dipihak kita, Aku akan mendatangkan beberapa gentong besar berisi minuman
keras kesukaannya. Kita akan jamu dia, lalu memperalatnya untuk menghadapi
lawan. Dia boleh menenggak minuman keras sampai perutnya ambrol lalu
mampus!Ha…ha…ha!”
Dua orang
di puncak bukit karang itu tertawa gelak-gelak.
Makhluk
Pembawa Bala hentikan tawanya lalu berkata. “Muka Bangkai, sudah dua hari dua
malam aku tidak tidur. Aku ingin beristirahat memicingkan mata barang sejenak.
Harap kau jangan mengganggu!”
Habis
berkata begitu sosok tubuh Makhluk Pembawa Bala merosot turun ke bawah.
Ternyata dia masuk ke dalam sebuah lobang batu. Jadi sejak tadi sebenarnya
orang ini duduk di atas lobang! Gerakannya turun berhenti pada saat tinggal
kepalanya saja yang kelihatan. Makhluk Pembawa Bala senderkan bagian belakang
kepalanya ke pinggiran lobang batu karang. Si Muka Bangkai tidak tahu apakah
manusia ini telah memejamkan mata dan tidur karena ke dua matanya hanya
merupakan rongga-rongga mengerikan.
*****************
6
SETELAH
cukup lama menunggu akhirnya abdi dalem berusia lanjut yang dinantikan muncul
juga di pendopo yang teduh itu.
“Anak
muda harap maafkan kalau kau menunggu cukup lama. Kelihatannya kau datang dari
jauh. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” Si abdi dalem menyapa ramah dan duduk
bersila di hadapan Wiro.
“Saya
butuh beberapa keterangan…"
“Menyangkut
kerajaan atau apa?"
“Sedikit
menyangkut kerajaan,”jawab Wiro
Orang tua
it mengangguk.“Aku akan menjawab sepanjang kemampuanku dan selama tidak
menyangkut rahasia kerajaan serta keluarga kerajaan.”
“Orang
tua, apakah kau pernah mengenal seorang Tumenggung bernama Sindu Winoto?”
“Tumenggung
Sindu Winoto? Hemm… Sindu Winoto…Sindu Winoto.." Abdi dalem itu menyebut
nama tersebut berulang-ulang. Akhirnya dia gelengkan kepala dan berkata.“Ada
banyak sekali Tumenggung baik diKeraton maupun yang ditugaskan di berbagai
Kadipaten. Tapi seingatku tidak ada yang bernama Sindu Winoto. Ada satu bernama
Jarot Winoyo"
"Yang
saya cari Sindu Winoto, Bukan Jarot Winoyo” kata Wiro pula.
“Tidak
ada Tumenggung dengan nama sepert itu.”
“Kau
pasti tahu,orang tua?’
“Pasti
sekali. Mengapa kau tanyakan orang yang tidak pernah ada itu? Masih punya
hubungan kerabat atau sanak saudara dengan dia?”
Wiro
tidak menjawab.“Tumenggung itu mempunyai seorang putera bernama Handoko…”
“Ada
seorang bernama Handoko di Keraton. Bukan putera seorang Tumenggung. Tapi
pelayan kepala membawahi semua urusan di Kaputeran!".
Wiro
terdiam.
“Kalau
tidak ada lagi yang kau tanya,aku terpaksa harus kembali ke tempat
pekerjaanku." kata abdi dalem tua itu.
“Tunggu.
Ada satu pertanyaan lagi. Putera sang Tumenggung dikabarkan ditemukan telah
jadi mayat di hutan Watuireng. Lehernya digorok hampir putus. Ini tentu
merupakan satu peristiwa besar. Apakah kau tahu atau pernah mendengar hal itu?
Kejadiannya belum lama berselang…
“Tidak…tidak
pernah ada kudengar kejadian seperti itu ” kata siabdi dalem pula.“Kalau memang
ada tentu telah terjadi kegegeran di Kotaraja ini.”
“Hanya
itu yang ingin saya tanyakan. Terima kasih atas waktumu, orang tua… Abdi dalem
itu mengangguk lalu berdiri dan meninggalkan pendopo dengan cepat.
Di tempat
sepi di bawah pohon Pendekar 212 duduk memikirkan dan menghubung-hubungkan
semua keterangan dengan kejadian-kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini.
“Sebelum
mati Raja Obat Delapan Penjuru Angin memberi ahu bahwa pembunuhnya adalah gadis
berpakaian merah, bernama Andini alias Dewi Payung Tujuh! Gadis itu katanya
menceritakan tentang nasib perjodohannya dengan pemuda bernama Handoko yang
ditemui mayatnya di hutan Watuireng mati digorok! Handoko katanya putera
seorang Tumenggung bernama Sindu Winoto. Tapi setelah aku selidiki tidak ada
Tumenggung bernama Sindu Winoto. Tidak ada pemuda bernama Handoko dan juga
tidak ada orang yang ditemui mati di hutan Watuireng! Gila! Apa artinya semua
ini?”Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala lu melanjutkan berpikir.“Puti
Andini belum lama datang di tanah Jawa ini. Mana mungkin dia menjalin hubungan
cinta dengan seorang pemuda bernama Handoko yang ternyata tidak pernah ada?
Hemm Siapa pun adanya orang yang mengaku bernama Andini itu pasti telah memalsu
diri ..”Lama murid Sinto Gendeng merenung.
“Mungkinkah
saat itu dalam keadaan meregang nyawa Raja Obat bicara tak karuan hingga
memberikan keterangan aneh yang sebenarnya tidak ada? Atau memang benar gadis
bernama Andini itu yang telah mencelakainya? Buktinya sebelum aku sempat
menghukumnya dia melarikan diri begitu saja! Hemmm… Atau mungkin ada gadis lain
punya nama sama dengan Dewi Payung Tujuh? Tidak bisa jadi! Andini yang aku
kenal itu datang dari Pulau Andalas memang membawa maksud tertentu. Dia menginginkan
Kitab Putih Wasiat Dewa! Itu sebabnya dia membunuh Raja Obat setelah
mendapatkan keterangan menyangkut diriku! Urusan gila ini benar-benar
berbelit!" Wiro kembali garukgaruk kepala Dia kini teringat pada gadis
itu.
“Bidadari
Angin Timur,teka-teki apa yang kau berikan padaku? Kita bercinta… Kuberikan
Kitab Putih Wasiat Dewa padamu. Lalu kau menghilang begitu saja seolah ingin
melarikan kitab sakti itu untuk selama-lamanya. Lalu ketika kau tiba-tiba
muncul sikapmu aneh. Kau seolah tidak ingat lagi apa-apa yang telah kita
lakukan. Dia bahkan menampar mukaku! Bagaimana aku bisa mendapatkan petunjuk
bahwa memang gadis itu mempunyai saudara kembar? Lalu bagaimana aku bisa
memastikan yang mana Bidadari Angin Timur asli yang membawa kitab itu! Gila… oh
gila sekali! Hari sepuluh bulan sepuluh hanya tinggal sepuluh hari lagi!
Pangeran Matahari tentu sudah menyiapkan segala sesuatunya. Aku masih saja
sibuk dengan persoalan gila ini! Ah… aku benar-benar ingin menemui seseorang
yang bisa diajak bicara dan memberi petunjuk! Tapi siapa? Guruku entah berada
di mana. Kakek Segala Tahu terlalu sulit untuk dicari. Kalau saja…"
Tiba-tiba
terdengar derap suara kaki kuda mendatangi dari arah kiri. Dalam waktu
bersamaan dari arah kanan terdengar suara orang menyanyi tak karuan diseling
tertawa ha-ha hi-hi.
“Aku
punya firasat orang berkuda disebelah kiri dan orang yang menyanyi dari arah
kanan akan bertemu di tempat ini. Sesuatu akan terjadi sini!”
Memikir
sampai di situ Wiro segera menyelinap di balik serumpunan semak belukar tinggi
dan lebat.
Penunggang
kuda muncul duluan. Malah hentikan kudanya tak jauh dari semak belukar tempat
Pendekar 212 bersembunyi. Sepasang mata murid Sinto Gendeng ini terbeliak besar
ketika melihat siapa adanya penunggang kuda itu. Seorang gadis berpakaian merah
berparas jelita tanpa riasan dan bukan lain adalah Dewi Payung Tujuh alias Puti
Andini!
Begitu
melihat gadis ini Wiro segera saja hendak melompat keluar dari balik semak
belukar.“Pembunuh Raja Obat penggantung Bidadari Angin Timur! Kali ini jangan
harap bisa lolos dari anganku!”kertaknya sambil kepalkan tangan. Baru saja Wiro
hendak bergerak tiba-tiba Dewi Payung Tujuh melompat turun dari kudanya.
Setelah menurunkan bungkusan binatang itu dihalaunya ke satu tempat. Lalu
dengan cepat dia menyelinap ke balik semak belukar di tempat mana murid Sinto
Gendeng mendekam!
Sadar
kalau di sampingnya ada seorang lain Dewi Payung Tujuh perlahanlahan palingkan
kepala. Gadis ini jatuh terduduk dan beringsut mundur di tanah saking kagetnya
ketika melihat siapa yang ada di dekatnya. Pendekar 212 menyeringai.
“Sekalipun
kau lari ke ujung dunia, ternyata akhirnya kau datang juga menyerahkan diri
untuk menerima hukuman!”
“Pemuda
sinting! Siapa bilang aku mau menyerahkan diri!"
Wuttt….!
Kaki
kanan Dewi Payung Tujuh melesat ke arah kepala Pendekar 212. Kalau saja Wiro
berlaku ayal dan terlambat menyingkir pasti hidungnya akan remuk dan bibirnya
akan pecah dihantam tendangan keras itu. Begitu serangannya meleset Dewi Payung
Tujuh cepat bergulingan di tanah dan menyambar bungkusan yang tadi
diturunkannya dari atas kuda. Sesaat kemudian gadis ini telah tegak sambil
memegang payung hitam sementara dua payung lainnya hijau dan putih
dilemparkannya ke udara langsung mengembang mengapit dirinya satu di kiri satu
di kanan.
Ketika
Wiro bergerak mendekatinya gadis ini membentak.
“Tetap di
tempatmu! Tunggu sampai aku menyelesaikan urusan dengan orang gila satunya
itu!”
“Eh orang
gila satunya siapa yang dimaksudkan gadis ini?!”bertanya Wiro dalam hati.
Saat itu
suara orang menyanyi diseling tawa datang semakin dekat. Hanya tinggal beberapa
langkah lagi dari depan semak belukar, suara orang bernyanyi dan tertawa
mendadak lenyap. Lalu terdengar suara seruan.
“Tidak
ada hujan tidak ada panas terik! Mengapa ada dua payung mengapung di udara? Eh
setankah yang memegangi payung-payung itu hingga tidak terlihat ujudnya? Hik…
hik… hik! Lucu juga! Coba kuambil yang warna putih”
Wuttt!
Terdengar
suara orang berkelebat. Satu sosok tubuh muncul di atas rumpun semak belukar
sambil mengulurkan tangan untuk menyambar gagang payung putih. Pada saat itu
juga Dewi Payung Tujuh jentikkan tangannya dua kali berturut-turut. Payung
putih menukik lalu melesat ke depan. Ujung runcingnya menyambar ke arah kepala
orang yang barusan hendak mengambilnya. Payung ke dua yang berwarna hijau
datang dari samping laksana gerinda besar menyambar ke arah pinggang!
“Oo la
la! Hik… hik! Siapa yang berani mengajak bersenda gurau siang bolong begini?!
Siapa yang hendak menjebol batok kepalaku, memutus tubuhku?!
Orang
yang mendapat serangan dua payung keluarkan seruan. Di udara tubuhnya bergerak
aneh tak karuan seolah jungkir balik ditiup badai. Sesaat kemudian sosok yang
jungkir balik itu laksana batu jatuh dan masuk menyangsrang ke dalam semak
belukar!
Payung
hijau membabat ujung semak belukar hingga putus mental laksana ditebas golok
tajam. Payung putih membalik dan melesat ke udara. Dewi Payung Tujuh begitu
melihat serangannya gagal segera menyergap dan tusukkan payung hitamnya yang
telah lebih dulu dikuncupkan.
“O la la!
Apa lagi ini!”seru orang yang menyangsrang di dalam semak belukar. Tangan
kirinya diangkat melindungi kepalanya yang hendak ditusuk, dengan satu gerakan
aneh sementara dua kakinya mencak-mencak tak karuan sedang dari mulutnya keluar
suara tawa ha-ha hi-hi!
Dewi
Payung Tujuh merasakan gerakannya menusuk tertahan. Dia kerahkan tenaga dalam.
Tapi sia-sia. Payungnya tak bisa bergerak sedikit pun! Malah tiba-tiba dia
melihat satu tangan kurus kering menyelinap di bawah payung.
Sebelum
dia sempat berbuat sesuatu tahu-tahu tangan kanannya yang memegang payung telah
dicengkeram orang! Puti Andini terpekik kaget!
Tiba-tiba
tubuhnya terangkat melayang ke atas. Sesaat kemudian melayang turun ke bawah
sampai ke dua kakinya menjejak tanah.
“Ha… ha!
Sungguh sedap berpayung-payung dengan gadis cantik jelita! Cucuku manis ayo
kita menari payung bersama-sama! Aku akan menyanyi sambil kita menari! Ha…
ha…ha!”
Lalu
terdengar suara orang menyanyi membawakan lagu tak karuan. Puti Andini berusaha
melepaskan diri tapi dirinya laksana dibungkus satu kekuatan yang tak bisa
dilawannya. Tangan kanannya terpentang ke atas memegang gagang payung hitam.
Lengan kanannya sendiri dipegang orang. Lalu ada satu tangan merangkul
pinggangnya. Sesaat kemudian tubuhnya terdorong kian kemari. Dia seperti tidak
menginjak tanah dan mengikut saja ke mana tubuhnya didorong dan ditarik! Secara
sadar dia mengikut saja melakukan tarian aneh!
Dewi Payung
Tujuh untuk pertama kali palingkan kepala melihat siapa yang mengajaknya menari
gerabak-gerubuk secara aneh seperti itu. Begitu melihat paras orang maka
terpekiklah gadis ini!
Paras itu
paras seorang kakek yang bukan seperti paras manusia, lebih menyerupai
tengkorak karena kulit yang menutupi sekujur mukanya sangat tipis! Di atas pipi
dan rongga mata yang sangat cekung bersarang dua buah mata mendelik besar. Di
atas muka tak berdaging itu tumbuh rambut putih jarang. Orang ini memelihara
kumis dan janggut putih dan mengenakan pakaian serba putih.
Melihat
si gadis menjerit ketakutan orang itu lepaskan rangkulannya dan batuk-batuk
beberapa kali. “Ah! Kalau mengikuti kemauan rasanya ingin aku menari bersamamu
sampai pagi cucuku! Tapi umurku sudah sangat lanjut.
Badan
rongsokan ini sudah tidak mau lagi diajak berleha-leha! Ha… ha… ha…! Anak muda!
Apakah kau mau meneruskan tarian tadi bersama cucuku ini?! Menyesal kalau kau
sampai menolak menggandeng gadis secantik ini! Orang tua bermuka jerangkong itu
melambaikan tangannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
*****************
7
PENDEKAR
212 yang sejak tadi menyaksikan apa yang terjadi di depannya dengan mata
melotot tiba-tiba berteriak keras.
“Guru!”
Lalu dia melompat ke hadapan si orang tua berpakaian putih dan membungkuk
dalam.
“Anak
tolol! Kusuruh kau menari dengan gadis cantik cucuku itu kau malah
berbasa-basi! Hilang sudah kesempatanmu!”
“Tua
bangka edan! Aku bukan cucumu!” Puti Andini tiba-tiba berteriak tak kalah
kerasnya.
“Oo la
la!Bagaimana bisa jadi tidak karuan begini?!”si orang tua berkata sambil
tertawa dan usap-usap janggut putihnya. Tubuhnya menghuyung kian kemari seperti
ilalang ditiup angin.
“Aku Puti
Andini, murid Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang! Guruku memberiugas untuk
mencari dan membunuhmu!”
“Gadis
keji pembunuh Raja Obat! Jangan kau berani kurang ajar di hadapan
guruku!”bentak Wiro
“Oh! Jadi
tua bangka gila ini gurumu! Bagus! Biar kalian mampus satu kubur berdua!”
teriak Dewi Payung Tujuh lalu menyergap dengan tusukan payung hitam.
Si kakek
palangkan tangan kirinya yang kurus kering. Payung hitam melenceng ke kiri.
“Anak
gadis! Mari kita bicara dulu!”
“Siapa
sudi bicara dengan orang tua gila, Bicara saja nanti dengan malaikat maut!”
“Gadis
bermulut kotor! Biar kurobek mulutmu!’ teriak Wiro Gerakannya tertahan karena
bahunya cepat dipegang oleh orang tua di sebelahnya.
“Tak usah
marah! Gadis ini betul! Aku memang orang tua bangka gila! Itu sebabnya aku
dipanggil orang Tua Gila!Bukan begit Ha…ha…ha!”
“Sudah
jangan banyak bicara ngacok! Hadapi kematian dalam kegilaanmu!” kata Dewi
Payung Tujuh pula. Dia gerakan tangannya ke arah bungkusan miliknya yang ada di
dekat semak belukar. Sekali dia menggerakkan tangan, empat buah payung melesat
keluar dari dalam bungkusan itu. Enam buah payung kini mengembang di udara.
Satu berada dalam genggamannya. Wiro memperhatikan. Ternyata kini Puti Andini
telah memiliki lagi sebuah payung merah yang dulu pernah dihancurkannya.
“Payung
bagus! Oo la la! Payung bagus! Ada enam di udara. Satu di tangan! Siapa yang
akan menyanyi kalau aku menari”Orang tua yang kelihatannya berotak miring itu
tertawa gelak-gelak. Dia bukan lain adalah Tua Gila dari pulau Andalas yang
dikenal dengan dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila
Pencabut Jiwa!
Puti
Andini membuat gerakan berputar dengan tangan kirinya. Enam payung yang
mengambang di udara melayang berputar ke arah Tua Gila, mengeluarkan suara
menderu deru. Payung-payung ini bergerak bersusun turun tangga. Berarti ada enam
bagian tubuh Tua Gila yang akan menjadi sasarannya.
“Guru Tua
Gila Awas!”teriak Wiro memberi ingat.Tangan kanannya serta merta berubah putih
menyilaukan tanda dia siap melepas pukulan “Sinar Matahari”. Namun apa yang
kemudian terjadi sangat cepat. Orang tua berpakaian putih itu kelihatan
terhuyung-huyung lalu jatuh berdebam ke tanah. Kakinya melejang-lejang. Dua
buah gagang payung kena sambaran kakinya, mencelat ke udara. Seperti membal
tubuh si orang tua kemudian mencelat ke atas. Tangannya bergerak laksana kilat.
Settt…
sett… sett… sett!
Empat
buah payung dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Melayang bergabung dengan
dua payung lain yang ditendangnya sebelumnya. Apa yang diperbuat Tua Gila tidak
cuma sampai di sana. Sambil tertawa haha hi-hi dia jejakkan ke dua kakinya ke
tanah. Tubuhnya melesat laksana terbang melewati enam buah payung. Sambil
bernyanyi-nyanyi Tua Gila melayang turun. Dengan lincah sepasang kakinya
menjejak dari kepala payung satu ke kepala payung lainnya, terus menerus
berganti-ganti. Gerakan tubuhnya walau seperti menari tapi tak karuan. Gerabak
gerubuk terhuyung malah kadang-kadang seperti mau terjerembab jatuh atau
terperosok tertelentang!
“Hai!
Astaga! Hari sudah siang! Aku enak-enak saja menari! Urusanku masih banyak.
Cukup bersenang-senang sampai di sini. Aku kawatir ada payung yang rusak.Cucuku
pastiakan marah!Ha ha…ha!”
Tua Gila
melayang turun Tapi tidak turun begitu saja. Sambil turun tangannya kiri kanan
bergerak masing-masing tiga kali. Tahu-tahu enam payung sudah berada dalam
pegangannya. Begitu sampai di tanah enam payung itu dikuncupkannya. Lalu dia
melangkah ke hadapan Dewi Payung Tujuh.
“Terima
kasih kau telah meminjamkan payung-payung bagus ini! Silahkan ambil payungmu
kembali!" Si kakek ulurkan enam buah payung kepada si gadis. Puti Andini
tegak dengan muka merah padam. Dia tidak bergerak, apalagi mengulurkan tangan
mengambil payung-payung yang disodorkan. Hanya sepasang matanya yang bagus
memandang menyorot pada Tua Gila.
“Oo la
la! Cucuku marah berat padaku!’ seru si orang tua. Lalu dia melangkah ke arah
Wiro “Kau saja yang menyerahkan payung-payung ini padanya!” Habis berkata
begitu enak saja Tua Gil emparkan enam buah payung pada Wiro. Mau tak mau
Pendekar 212 terpaksa menyambuti. Setelah enam payung berada dalam pegangannya
dia jadi bingung sendiri. Bagaimana dia akan menyerahkan payung-payung itu pada
Puti Andini yang sudah dianggapnya sebagai musuh besar dan ingin sekali
dihajarnya sampai mati?!
“Hai! Ada
apa di antara kalian sebenarnya?! Yang perempuan berdiam diri, muka asam
cemberut merah padam. Yang lelaki seolah-olah berubah jadi patung tolol!”
“Guru!
Gadis itu telah membunuh seorang tokoh rimba persil an sahabat dan penolongku.
Dia juga hendak membunuh seorang gadis sahabatku! Aku bermaksud menghukumnya
sampai mati!”
“Sampai
mati?! Oo la la! Sungguh hebat kejadian di rimba persilatan akhirakhir ini!
Semakin tua usia dunia semakin banyak terjadi keanehan! Dan hanya
manusia-manusia tolol saja yang mau terseret ke dalam keanehan lalu mati dalam
keanehan itu” kata Tua Gila Orang tua itu lantas menuding ke arah Puti Andini.
Gadis itu tadi bilang dia ditugaskan gurunya untuk mencari dan membunuhku!
Rupanya gurunya berteman dengan malaikat maut. Kau sendiri barusan berkata
hendak menghukumnya sampai mati! Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan malaikat
maut. Tapi membunuh karena alasan sepele sungguh perbuatan tidak terpuji!
Puti
Andini keluarkan suara mendengus keras hingga si orang tua berpaling ke
arahnya. “Aku tahu riwayat hidupmu orang tua! Kau pernah menghabisi nyawa
manusia sampai tiga ratus orang! Apa kau punya alasan tepat untuk membunuhi
mereka?!”
Paras Tua
Gila sesaat tampak tercekat. Tunggu!” katanya seraya mendongak sementara
tubuhnya kembali menghuyung tak karuan. Dia memijat-mijat keningnya seolah
tengah berpikir keras.“Cucuku..".
“Aku
bukan cucumu! Kau bukan kakekku!” bentak Puti Andini.
“Bagaimanapun
juga aku tetap akan membunuhmu! Jangan mengira aku takut padamu setelah melihat
kehebatanmu memamerkan ilmu kepandaian menari di udara di atas payung-payungku!”
Tua Gila
tertawa pendek lalu geleng-gelengkan kepala.
“Gadis
cantik kau dengar baik-baik. Mengenai riwayatku kau tentu mendengar dari
seseorang!"
“Guruku
yang menceritakan!”
“Tidak
salah dugaanku!” kata Tua Gila pula. “Ketika peristiwa itu terjadi puluhan
tahun silam, kau belum lahir. Kau masih jadi angin! Hik… hik! Kau kemudian
mendengar cerita dari gurumu. Apakah dia mengatakan semuanya dengan jujur
padamu?”
“Guruku
tidak mungkin berdusta!”‘
“Aku
tidak mengatakan gurumu si Saban Nan Rancak dari Gunung Singgalang itu
berdusta. Tapi aku yakin ada kepentingan pribadi yang membuat dia menyisihkan
mana yang baik buat dirinya dan menimpakan mana yang buruk bagi orang lain!
Urusanku dengan gurumu biar kami yang tua-tua ini menyelesaikan sendiri.”
“Aku
tidak akan kembali ke Singgalang berhampa tangan!”jawab Puti Andini keras. Lalu
berkelebat kirimkan serangan ganas. Payung hitam disapukan ke udara hingga
mengeluarkan angin deras dan sinar redup hitam. Tangan kiri membuat gerakan
mencengkeram, diarahkan ke leher Tua Gila.
“Gadis
laknat! Ambil payungmu!” Pendekar 212 menerjang ke depan menyongsong serangan
Puti Andini. Enam buah payung yang sejak tadi dipegangnya dilemparkan ke arah
si gadis. Lemparan ini bukan lemparan biasa karena disertai tenaga dalam. Enam
payung berubah menjadi enam senjata maut yang melesat ke arah kepala dan
bagian-bagian tubuh Puti Andini! Si gadis kertakkan rahang. Dia melesat ke
udara untuk menghindari serangan payung miliknya sendiri. Dari udara payung
hitam dilemparkannya ke arah Wiro. Begitu melempar dia membuat gerakan jungkir
balik. Tahu-tahu tubuhnya menukik menyambar ke arah Tua Gila!
“Hebat!
Luar biasa!” memuji Tua Gila.
Sementara
Wiro melompat menghindari serangan payung hitam. Tua Gila miringkan badan ke
samping. Sambaran tangan si gadis lewat di samping telinga kirinya. Ketika dia
hendak mencekal tangan itu tiba-tiba kaki kanan lawan menghantam ke arah
dadanya.
Bukkk!
“Guru!”
teriak Wiro ketika meli Tua Gila terlempar sampai dua tombak akibat tendangan
keras yang dilancarkan Puti Andini Tapi si orang tua sendiri hanya
senyum-senyum. Dia mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi memperlihatkan
sesuatu.
Puti
Andini keluarkan seruan tertahan. Wiro melotot lalu menyeringai sambil
garuk-garuk kepala. Di tangan kiri Tua Gila saat itu ada kasut kaki kanan milik
si gadis! Tua Gila dekatkan matanya ke kasut yang dipegangnya seolah-olah
meneliti.
“Untung
tak ada bagian kasut ini yang rusak. Kalau sampai rusak bagaimana aku
menggantinya. Kasut seperti ini tentu mahal sekali harganya!” Tua Gila
tersenyum. Dia melangkah ke hadapan Puti Andini yang tegak bergerak dengan muka
merah padam. Jika orang tua itu tadi mau mencelakainya pasti mudah saja
baginya. Semudah dia mencabut kasut di kaki kanannya tanpa dia merasakannya.
Di
hadapan Puti Andini Tua Gila membungkuk seraya berkata, “Harap maafkan tua
bangka ini. Biar aku tolong mengenakan kasut ini ke kakimu kembali!”
Entah
marah entah sangat malu Puti Andini melompat menjauhi Tua Gila. Dia
mengumpulkan tujuh payungnya dengan cepat lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
berlari kencang meninggalkan tempat itu. Di sudut matanya tampak genangan air
mata!
Ketika si
gadis melarikan diri. Pendekar 212 hendak mengejar tapi lengannya cepat
dipegang oleh Tua Gila.“Tak perlu dikejar.Nanti kau akan bertemu juga dengan
dia! Lebih baik kita duduk-duduk dulu di sini. Berbincang-bincang.
Bertahun-tahun
aku tidak bertemu denganmu. Tentu banyak cerita yang bakal aku dengardarimu!”
“Tua
Gila, apakah selama ini kau baik-baik saja?”tanya Wiro
“Ya
begitulah Banyak perubahan terjadi di Pulau Andalas. Banyak perubahan terjadi
pada diri tua ini. Semakin lama aku merasa diri yang sudah rongsokan ini tidak
ada harganya lagi. Kadang-kadang aku berpikir mengapa aku tidak segera saja
mati! Tapi malaikat rupanya selalu kesasar datang mencari namun orang lain yang
dicabutnya nyawanya.Ha…ha…ha…”
“Tua
Gila, aku perlu memberitahu padamu walau tadi kau sudah mendengar. Gadis tadi bernama
Puti Andini. Dia juga dari Pulau Andalas…
“Aku
sudah tahu siapa dia adanya!”memotong Tua Gila
“Bagus
kalau begitu Siapa pun dia adanya dia adalah pembunuh sahabat dan tuan
penolongku Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Dia juga yang hendak menggantung gadis
yang kucintai."
Tua Gila
batuk-batuk beberapa kali.
“Itu
berita hebat! Kau punya gadis yang dicintai. Berarti punya kekasih. Punya
kekasih berarti punya calon istri! Apakah gurumu si Sinto Gendeng itu sudah kau
beriahu?”
“Memang
belum.Saatnya akan tiba!.”
“Yang
penting apakah gadis itu mencintai dirimu?’ tanya Tua Gila seraya
senyum-senyum.
“Dia
mengaku mencintaiku. Bahkan untuk membuktikan cintanya dia bersedia menyerahkan
tubuhnya dan kehormatannya!”
Tua Gila
menyeringai. Lalu keluarkan suara berdecak berulang kali. Saat itu hari telah
larut petang. Karena tempat itu ditumbuhi banyak pohonpohon rindang, keteduhan
membuat keadaan di situ lebih cepat menjadi gelap. Tanpa diketahui kedua orang
yang asyik bercakap-cakap itu sesosok tubuh mengendap-endap lalu mendekam di
satu tempat mendengarkan pembicaraan mereka.
*****************
8
WIRO
pandangi orang tua di hadapannya. Lalu bertanya. “Kenapa kau menyeringai Tua
Gila Seperti kau menganggap cinta it satu ketololan?!”
Tua Gila
tertawa mengekeh. Dia menepuk nyamuk yang lewat di depan hidungnya. “Cinta
tidak tolol. Cinta sesuatu yang suci jika saja manusia mau berlaku jujur.
Justru para manusia yang katanya berotak dan lebih tinggi derajatnya dari
binatang itulah yang berlaku tolol!”
“Kau
menyindirku!”kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Tidak,
tidak menyindir.Tapi sekedar untuk membuat matamu terbuka dan otakmu bekerja”
“Heh,apa
maksudmu sebenarnya, Guru?!”
“Kau
dengar baik-baik apa yang aku ucapkan! Katamu gadis yang kau cintai itu
menyatakan cintanya dengan bersedia menyerahkan tubuh serta kehormatannya
padamu! Hal seperti ini tidak akan ditemui dalam dunia percintaan yang wajar.
Muridku! Tidak ada seorang gadis akan mau mengeluarkan ucapan seperti itu
bagaimanapun dia mencintai seorang pemuda.Kecuali. .”
“Kecuali
apa?!’tanya Wiro ketika Tua Gila memutus ucapannya.
“Kecuali
ada sesuatu di luar wajar dibalik semua itu. Muridku, jika kau tidak keberatan
harap kau menceritakan secara jelas apa saja yang sebenarnya telah terjadi.”
“Kalau
begitu maumu, baiklah Tua Gila” Lalu Pendekar212 menceritakan kisah panjang
sejak terbunuhnya Raja Obat Delapan Penjuru Angin, ditemuinya Bidadari Angin
Timur yang hampir menemui ajal digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Lalu
lenyapnya Bidadari Angin Timur bersama Kitab Putih Wasiat Dewa, disusul
pertempuran dengan Dewi Payung Tujuh di halaman rumah makan dan ditutup dengan
pertemuan terakhir kali dengan Bidadari Angin Timur yang dirasakan sangat aneh
oleh Wiro.
Mendengar
cerita Wiro, Tua Gila geleng-geleng kepala. “Puluhan tahun hidup di dunia baru
sekali ini aku mendengar cerita begini hebat! Tapi anak muda, jika aku boleh
mengeluarkan pendapat maka terus terang aku katakan siapa pun gadis binal yang
membunuh Raja Obat, dia bukanlah Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh!”
“Tua
Gila! Kau membela gadis jahanam itu!” kata Wiro dengan suara keras.
“Aku
tidak membela siapa pun karena tidak ada untungnya bagiku! Tapi coba kau pikir
dalam-dalam. Kau bakal melihat keanehan dan kejanggalan. Mungkin benar ada dua
Bidadari Angin Timur, yang satu jahat yang satu baik. Entah yang mana Bidadari
yang kau cintai itu. Tapi mungkin pula cuma ada satu saja dan menjalankan peran
ganda. Sekarang tergantung pada kepandaianmu menyelidik!”
Wiro
menarik nafas panjang dan menggaruk kepala berulang kali.
“Kau
masih hendak membunuh gadis dari Pulau Andalas itu” tanya Tua Gila.
Lama baru
Wiro menjawab. “Kedatangannya ke tanah Jawa ini jelas hendak mendapatkan Kitab
Putih Wasiat Dewa dan membunuhku!".
“Tunggu
dulu anak muda! Hal yang satu itu jangan kau sangkut pautkan dengan kematian
Raja Obat serta penggantungan kekasihmu. Itu adalah dua halyang berbeda."
“Ah.semakin
bingung aku jadinya!" kata Pendekar212 pula.
“Kalau
begitu biar kita alihkan pembicaraan pada hal lain. Aku ingin bertanya. Di luar
tersebar kabar akan terjadi satu peristiwa besar di Pengandaran pada hari
sepuluh bulan sepuluh! Tolong kau jelaskan kegilaan apa yang hendak dibuat
orang-orang rimba persilan kali ini!”
“Aku
sendiri mendapat undangan datang ke sana dari Iblis Pemabuk."
“Maksudmu
si Dewa Tuak tua bangka geblek yang hendak menjodohkan muridnya denganmu?”tanya
Tua Gila lalu tertawa mengekeh.
Wiro
menyengir. “Rupanya urusan itu sampai juga ke telingamu! Iblis Pemabuk tidak sama
dengan Dewa Tuak. Dia seorang sakti aneh yang membunuh manusia semudah dia
mengedipkan mata. Aku sendiri hampir jadi korbannya!”
“Hemmm…
Mendengar keteranganmu rupanya semakin banyak orang-orang saktiyang ti aku
kenal bermunculan dirimba persilan…
“Di tengah
semua kejadian itu aku paling bernasib jelek. Dua senjataku Kapak Naga Geni 212
dan batu hitam pasangannya lenyap dirampas kawanan Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan. Senjata-senjata itu diserahkannya pada Pangeran Matahari!
“Kau
menyebut nama itu! kata Tua Gila setengah berteiak. “Aku berani bertaruh
mengentuti hidung masing-masing! Pangeran keparat itu racun yang menjadi biang
kerok semua ini! Berarti… lalu ada yang mengatur pertemuan kau dengan dia di
Pangandaran! Ada yang benar-benar menginginkan kematian Pangeran Matahari, tapi
ada yang berusaha mencari untung… Kegegeran besar akan berlangsung disana!”
“Kau
mungkin benar Tua Gila..”
“Hari
sepuluh bulan sepuluh tidak berapa lama lagi. Apakah kau sudah bersiap-siap
Wiro?”
“Itulah
yang aku khawatirkan. Pikiranku banyak tersita pada apa yang terjadi belakangan
ini. Dua senjata sakti andalanku tak ada di tanganku. Kitab Wasiat Dewa lenyap
begitu saja. Lalu Pangeran Matahari telah menguasai Kitab Wasiat Iblis…
“Tugasmu
berat amat.Muridku! Kalau saja nyawamu ada tiga aku tak akan ikut-ikutan
bingung." kata Tua Gila dengan nada sedih tapi lantas dia tertawa mengekeh
membuat Pendekar 212 jadi jengkel.
“Tiga
Bayangan Setan akan menjadi salah satu musuh berat bagiku” kata Wiro."Dia
memiliki ilmu iblis yang membuatnya tidak bisa dikalahkan, tidak bisa mati!
Iblis Pemabuk pernah mengatakan padaku kelemahan manusia itu. Tapi aku tak bisa
memecahkan petunjuknya!’
“Apa yang
dikatakannya padamu?”tanya Tua Gila pula.
“Tepat
tengah hari bolong. Pilih yang ditengah.”
“Dasar
Iblis Pemabuk! Memberitahu pun tidak karuan!” menggerutu Tua Gila. “Sulit aku
memecahkan arti unjuknya itu. Mungkin aku harus mabuk dulu baru bisa menerka…
Tapi! menurut keteranganmu dia memiliki ilmu hitam aneh. Tiga makhluk jejadian
berbentuk raksasa keluar dari kepalanya dan.." Ucapan Tua Gila terputus
ketika tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan berkelebat di kegelapan.
“Ada
orang mencuri dengar semua pembicaraan kita” seru si orang tua.
Serta
merta dia melompat ke arah kegelapan. Wiro mengikuti.
"Sial!”
gerutu Tua Gila. Dia berhasil melarikan diri! Sosoknya seperti sosok perempuan!
Wiro mendongak lalu menghirup udara berulang kali.
“Kulihat
kau seperti babi bunting yang mau beranak!” kata Tua Gila lalu tertawa
mengekeh.“Apa yang tengah kau lakukan?”
“Aku
berusaha membaui. Kalau Bidadari Angin Timur yang muncul biasanya harum tubuh
dan pakaiannya masih tertinggal beberapa lama!"..
“Lalu apa
kau mencium bau harum itu?" Wiro menggeleng.
“Berarti
bukan bidadarimu itu!” ujar Tua Gila. Dia memandang berkeliling.
“Astaga!Ternyata
malam sudah tiba, Aku harus meninggalkanmu Muridku".
“Tua
Gila, Tunggu dulu!” panggil Wiro.
Tapi sang
guru sudah lenyap dalam kegelapan malam. (Mengenai Tua Gila harap baca serial
Wiro Sableng berjudul Banjir Darah diTambun Tulang”).
Pendekar
212 dudukkan diri di bekas Tua Gila tadi duduk. Saat itu baru disadarinya
betapa letihnya sekujur tubuhnya. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan
peredaran darah namun tidak mampu memusatkan pikiran. Wajah Bidadari Angin
Timur muncul silih berganti dengan paras Dewi Payung Tujuh. Siapa di antara
kedua gadis itu yang bisa dipercayanya?
“Puti
Andini jelas tak bisa kupercaya. Dia datang membawa tugas untuk membunuhku!
Tapi Bidadari Angin Timur sendiri setelah mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa
mengapa bersikap aneh terhadapku?! Sampai-sampai aku ditamparnya! Sialan
betul!” Wiro bangkit berdiri. Saat itu terbayang pula paras Ratu Duyung di
pelupuk mata Wiro.
“Bagaimana
keadaan gadis itu? Kasihan kalau dia tidak sampai mendapatkan jalan keluar
penyembuhan atas kutukan yang dialaminya… Kalau saja dia ada di sini mungkin
banyak petunjuk yang bisa kudapatkan. Mungkinkah dari sini aku dapat
melihatnya!"..
Pendekar
212 lantas salurkan tenaga dalamnya ke mata. Lalu dia berdiri menghadap ke arah
pantai selatan. Ke dua matanya dikedipkan dua kali. Dia kini mengerahkan ilmu
melihat jauh yang disebut “Menembus Pandang” yang didapatnya dari Ratu Duyung.
“Ratu, perlihatkan dirimu.” Dalam hati Wiro membatin. Mula-mula hanya kegelapan
yang terlihat. Lalu samar-samar muncul bentangan laut luas.
“Ratu
Duyung.." bisik Pendekar212. Dadanya berdebar ketika tiba-tiba dia melihat
sosok tubuh seorang perempuan berjalan membelakanginya. Di kepalanya ada sebuah
mahkota biru. Pakaiannya terbuat dari untaian manik-manik berkilauan.
“Aku
berhasil melihatnya. Dia melangkah memasuki sebuah ruangan. Aku pernah berada
di ruangan itu. Dia keluar dari ruangan… memasuki sebuah lorong. Ah, sayang aku
tidak dapat melihat wajahnya. Di ujung lorong ada satu ruangan aneh… berbentuk
bundar. Di tengah ruangan… apa itu. Satu benda setinggi manusia tertutup
selubung kain… Ratu Duyung menarik kain penutup. Eh…! Astaga… Aku melihat
diriku berdiri di tengah ruangan bundar itu Bukan… bukan diriku. Tapi sebuah
patung. Ratu Duyung memeluki patung diri ..Aku…
Perlahan-lahan
Ratu Duyung letakkan kepalanya di dada patung. Tangannya merangkul ke punggung
patung. Ketika kepalanya digeserkan ke samping kanan Wiro dapat melihat
sebagian paras sang Ratu. Ada air mata menggelinding jatuh ke pipinya yang
licin. Wiro merasakan tenggorokannya seperti tersekat. Kepalanya mendenyut.
Bayangan ruangan bundar, Ratu Duyung dan patung dirinya lenyap dengan seketika.
“Patung
itu..” kata Wiro dalam hati.Waktu aku di sana tak pernah aku melihat. Berarti
sengaja disembunyikan. Sejak kapan diriku dalam bentuk patung berada di tempat
itu? Ah anehnya dunia ini!” Wiro bangkit berdiri Dengan pikiran dibuncah oleh
berbagai hal dia tinggalkan tempat itu.
*****************
9
DELAPAN
bayangan merah berkelebat laksana topan menuju danau Karang pucung yang
terletak di tengah rimba belantara sunyi sepi. Di tengah danau yang cukup luas
itu terlihat satu bangunan bambu bertingkat dua. Antara tepi danau dengan
bangunan bambu sama sekali tidak ada jembatan penghubung. Juga tidak kelihatan
perahu atau getak di sekitar situ. Yang tampak hanya potongan-potongan bambu
menyembul setinggi dua jengkal di atas permukaan air danau yang tenang.
Potongan bambu ini ditancap ke dasar danau demikian rupa berjarak satu tombak
satu dengan lainnya, membentuk garis-garis patah, mulai dari salah satu tepi
danau sampai ke hadapan bangunan bambu.
Delapan
bayangan tadi yang ternyata memiliki keringanan luar biasa, menjejakkan kaki
dari satu ujung bambu ke ujung bambu berikutnya hingga akhirnya sampai di
serambi bawah rumah bambu. Serambi itu tidak seberapa besar. Namun diberati
oleh delapan sosok tubuh tinggi besar berjubah merah darah sedikit pun tidak
bergerak apalagi miring. Delapan manusia ini memiliki kepala botak plontos
bercat kuning. Masing-masing kepala dihias dengan satu angka, mulai dari angka
1 sampai angka 8. Luar biasanya delapan orang berjubah dan botak ini memiliki
wajah mirip satu dengan lainnya. Mereka inilah yang dijuluki Delapan Tokoh
Kembar. Selama beberapa tahun mereka malang melintang d kawasan timur mencari
pengalaman sambil menambah ilmu. Kini mereka muncul di barat setelah mendengar
banyak hal-hal menarik dalam rimba persilatan di kawasan ini.
Orang
yang kepalanya berangka 1 begitu menjejakkan kaki di lantai bambu memberi tanda
pada tujuh kawannya yang menyusul satu persatu.
“Jauh-jauh
kita datang ke sini, ternyata kita sudah kedahuluan orang" kata si nomor1.
“Ada tamu
tak diundang menyusup ke tempat kediaman kita”
Si botak
bernomor 4 memandang berkeliling. “Aku sudah punya firasat sejak berada
ditepian danau tadi. Kita harus menggeledah seluruh bangunan ini!”
“Mengapa
susah-susah menggeledah segala!” kata orang si botak nomor 3.
“Mari
kita bermain jingrak-jingkrakan. Ingat waktu kita masih kanak-kanak dulu
bermain diatas rakit dimuara Kali Jatiroyo?!”
“Kau
betul! Mari kita mulai saja!" menjawab sibotak nomor 8 yakni Delapan Tokoh
Kembar paling bungsu.
Delapan
orang berjubah angkat tangan mereka ke atas lurus-lurus. Kepala didongakkan.
Lalu serentak mereka meniup. Terjadilah satu hal yang hebat. Angin tiupan
mereka menggemuruh laksana puting beliung. Langit di atas danau seperti
terbongkar. Bangunan bambu bergoncang keras tetapi anehnya tidak ambruk
“Mulai!”
Si Botak nomor 1 berteriak memberi aba-aba!.
Delapan
pasang kaki di balik jubah merah darah melesat setengah tombak ke atas lalu
turun lagi menjejak lantai bambu. Demikian terus berulang ulang hingga bangunan
bambu bertingkat itu sebentar oleng ke kiri, sebentar oleng kekanan seolah, mau
roboh dan amblas ke dalam danau! Di lain saat bangunan berputar keras hingga
air danau bergejolak bergelombang keras. Sambil melompat Delapan Tokoh Kembar
ini terus saja meniup.
“Meroboh
Langit Membuncah Bumi!” teriak Delapan Tokoh Kembar nomor 1 menyebut nama jurus
yang mereka lakukan. Tujuh saudaranya menyambut dengan teriakan keras lalu
kembali meniup dan terus berjingkrak-jingkrak. Bangunan bambu berderak-derak.
Gelombang air danau semakin membuncah.
“Sambil
menyelam minum air! Ha… ha…! Mencari penyusup memunggah ikan! Lihat kita
kejatuhan rezeki!” Si botak nomor 6 berseru sambil menunjuk ke seputar air
danau. Saat itu di permukaan air danau kelihatan mengambang puluhan ikan besar
menggelepar-gelepar. Akibat perbuatan Delapan Tokoh Kembar yang seolah
membuncah air danau, ikan-ikan yang ada di danau itu menjadi mabuk, naik ke
atas air dalam keadaan setengah mati setengah hidup.
“Saudara
saudaraku!” tiba-tiba si bungsu nomor 8 berseru. “Tamu gelap kita sudah ikut
mabok! Lihat dia melayang turun dari bangunan sebelah atas. Aduh harumnya… !”
Delapan
pasang mata ditujukan ke bangunan bambu sebelah atas. Dari sebuah jendela yang
terbuka tampak melayang turun sosok perempuan berambut pirang, berpakaian biru
tipis. Angin kencang menebar bau harum yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.
“Amboi!
Tamu gelap kita ternyata seorang bidadari!" teriak sibotak nomor 1.
“Pakaiannya
tipis sekali! Aku dapat melihat setiap lekukan tubuhnya!”seru si botak nomor 7.
Sosok
yang melayang itu begitu menjejakkan kaki di lantai bambu segera saja dikurung
oleh delapan lelaki botak berjubah merah. Karena bangunan itu tidak seberapa
besar maka yang terkurung dan mengurung hanya terpisah beberapa jengkal saja!
Delapan pasang mata membeliak menyaksikan wajah seorang gadis cantik jelita
mengenakan pakaian tipis biru tembus pandang. Delapan Tokoh Kembar berdiri
dengan rangkapkan tangan di muka dada, memandang tak berkesip.
Sementara
gadis baju biru itu sesaat tampak tegak dalam keadaan masih menghuyung pertanda
jurus “Meroboh Langit Membuncah Bumi” yang dimainkan oleh Delapan Tokoh Kembar
tadi masih mempengaruhinya. Itulah yang menyebabkan dia tidak dapat bertahan
lebih lama di bangunan sebelah atas dan terpaksa turun ke bawah.
“Kali
semua dengar!” si gadis tiba-tiba berkata sambil rapikan rambutnya yang pirang.
“Jangan
salah sangka! Aku bukan tamu gelap!’.
“Ah!
Bagus!” Tokoh Kembar nomor 2 menyahuti. Kalau begitu siapa dirimu! Harap beri
tahu nama!”
“Aku
datang dengan maksud bersahabat. Mengenai namaku kau boleh saja menyebut diri
Bidadari. Apa kau rasa itu cukup cocok!" Sambil bertanya gadis berbaju
biru itu menarik nafas panjang hingga dadanya yang montok membusung. Apa lagi
saat itu bagian atas pakaiannya agak tersingkap hingga semua mata dapat melihat
satu pemandangan mencolok yang mendebarkan.
“Cocok!
Kau sangat cocok!” berkata si nomor 2.
“Bidadari
berambut pirang! Kami ingin tahu maksud kedatanganmu, masuk ke bangunan ini
tanpa setahu dan izin kami!” Tokoh Kembar nomor 5 ajukan pertanyaan.
Gadis
berpakaian biru lemparkan senyum manis. Lidahnya dijulurkan sedikit untuk
membasahi bibirnya. Delapan Tokoh Kembar jadi semakin kelangsangan dan beberapa
di antara mereka jadi usap-usap kepala masing-masing.
“Aku
datang kemari membawa pesan bersahabat dari Pangeran Matahari!"
“Astaga!
Jadi kau orangnya Pangeran yang terkenal itu. Hemmm.." Tokoh Kembar nomor
3 geleng-geleng kepala.
Si botak
nomor 1 segera membuka mulut. Selama ini kami tidak pernah berhubungan dengan
Pangeran Matahari! Kami tidak menganggapnya sebagai teman juga tidak sebagai
musuh. Coba kau katakan apa pesan Pangeranmu itu”
“Kalian
sudah mendengar tentang Kitab Wasiat Iblis?”
Delapan
kepala botak sama mengangguk.
“Kitab
maha sakti itu kini berada di tangan Pangeran Matahari. Ini berarti bahwa sudah
ada kepastian bahwa dia akan menjadi raja diraja dunia persilatan!”
Delapan
Tokoh Kembar tertawa lalu mendongak dan sama meniup ke atas. Suara menggemuruh
merobek danau Karangpucung Air danau bergelombang.
“Kalian
pernah mendengar satu senjata mustika luar biasa bernama Kapak MautNaga
Geni212?!” tanya si gadis.
“Itu
senjata sakti milik Pendekar 212 dari Gunung Gede!” menyahuti si botak nomor 3.
“Sekarang
tidak lagi! Senjata itu sudah jatuh ke tangan Pangeran Matahari!”
“Uuuuhhh….!”
Delapan kepala kembali mendongak dan delapan mulut kembali meniup. Suara
bergemuruh kembali menggelagari seantero danau.
“Apa
kalian juga sudah mendengar tentang satu kitab sakti lain bernama Kitab Putih
Wasiat Dewa?”
“Justru
kami jauh-jauh datang dari timur karena tertarik dengan kitab sakti itu…” jawab
Tokoh Kembar nomor 1.
“Kitab
itu akan menjadi milik kalian!” kata si gadis baju biru.
“Uhhh….!Apa?!”
Delapan mulut bergumam dan bertanya berbarengan.
“Dengar,
pada hari sepuluh bulan sepuluh akan ada satu peristiwa menggegerkan di
Pangandaran. Pangeran Matahari akan menghabisi tokoh tokoh golongan putih
dipimpin oleh Pendekar 212. Pangeran merasa kurang berkenan jika kalian tidak
diberitahu dan tidak diminta bantuannya".
“Ah,Pangeran
segala cerdik segala licik itu hendak memperalat kita” kata si bungsu nomor 8.
“Jangan
salah menduga!”gadis baju bir cepat memotong
.“Jasa
kali tidak akan dilupakan. Kalian akan mendapat kedudukan sangat tinggi begitu
Pangeran Matahari berkuasa".
“Kami
tidak ingin jabatan setinggi apa pun. Kami lebih suka malang melintang ke mana
kami senang..".
“Itu bisa
diatur.."
“Tidak!
Bukan Pangeranmu yang mengatur, tapi kami Delapan Tokoh Kembar!” tukas Tokoh
Kembar nomor1.
“Kalian
tidak usah kawatir. Kalau kalian tidak suka jabatan tinggi masih ada imbalan
lain yang dijanjikan Pangeran Matahari untuk kalian!.”
“Hemmm…apa?”
tanya si nomor 1.
“Diriku”
jawab si gadis baju biru seraya merapikan rambut pirangnya dan mengangkat
bagian bawah pakaiannya hingga kakinya yang putih tersingkap sampai di atas
lutut.
Delapan
pasang mata membeliak menyaksikan kaki putih mulus bagus itu.
“Delapan
Tokoh Kembar, selesai urusan besar diPangandaran kali bisa memiliki diriku
sampai kali bosan!”
Delapan
Tokoh Kembar saling pandang satu sama lain. Beberapa di antara mereka usap-usap
kepala botak mereka yang berwarna kuning. Lalu tampak mereka berbisik-bisik.
Sigadis
maklum kalau jeratnya mulai mengena. Maka dia pun berseru. “Hai! Apa yang
kalian bisikkan?! Apa wajahku kurang cantik dan tubuhku tidak menarik” Habis
berkata begitu si gadis angkat lagi pakaiannya lebih tinggi dengan tangan kiri
sementara tangan kanan dipakai untuk mengusap-usap perutnya.
Delapan
pasang mata Delapan Tokoh Kembar seperti silau melihat paha yang tersembul
putih hampir sampai ke pangkal! Gerakan mengusap perut yang diperagakan si
gadis membakar nafsu mereka!
Tenggorokan
Delapan Tokoh Kembar nomor1 turun naik.
“Baik!
Kami terima tawaran Pangeran Matahari. Tapi kami inginkan dirimu sekarang
juga!"
"Tidak
setelah urusan selesai!”
“Kalian
boleh tidak percaya pada Pangeran Matahari. Tapi aku tidak berdusta akan
menyerahkan diriku untuk kalian! Aku belum pernah melihat delapan orang gagah
seperti kalian Aku belum pernah merasakan…"
Tokoh
Kembar nomor 4 tiba-tiba melompat ke depan hendak merangkul si gadis penuh
nafsu.
“Kalau
kalian berlaku kurang ajar terpaksa aku meninggalkan tempat ini! Kalian akan
menyesal dan kecewa besar!” kata sigadis seraya angkat tangan kirinya dan
mendorong ke depan. Gerakan Tokoh Kembar nomor 4 tertahan.
Tubuhnya
laksana didorong oleh satu tembok kokoh hingga ke dua kakinya bergetar ketika
berusaha bertahan. Walau berhasil menolak niat keji orang namun diam-diam gadis
berbaju biru itu merasa ngeri. Kalau semua lelaki botak di sekelilingnya tidak
dapat mengendalikan nafsunya, celakalah dirinya.
“Baik!”
tokoh nomor1 kembali membuka suara.
“Kami
percaya pada janjimu. Tapi untuk meyakinkan kami terpaksa memintamu menelan
sesuatu!”
“Menelan
apa?!”tanya sigadis. Dadanya mendadak berdebar.
“Obat.
Obat ini baru bekerja dua hari setelah hari sepuluh bulan sepuluh. Jika kau
mendustai kami kau akan menemui ajal! Tapi kalau tidak kami akan memberikan
penangkalnya!”
Tengkuk
gadis berbaju biru menjadi dingin mendengar ucapan Tokoh Kembar nomor 1 itu.
“Bidadari!
Mengapa kau terdiam?!” sibungsu nomor 8 bertanya.“Jika kau tidak menerima
aturan kami berarti memang kau datang ke sini dengan maksud licik!”
“Kalau
begitu biar tubuhnya kita pesiangi sekarang juga!” kata sibotak nomor 2 seraya
maju mendekati si gadis.
Gadis
yang terkurung di tengah-tengah sunggingkan senyum lebar.
"Tadi
sudah kubilang aku suka kalian… Kalian tuan rumah di sini. Aku harus menerima
aturan yang kalian buat. Mana obat itu?”
Baru saja
si gadis bertanya si botak nomor 1 jentikkan jari-jari tangan kanannya. Sebuah
benda hitam seujung jari kelingking melesat. Sebelum gadis itu sempat mengelak
benda itu telah masuk ke dalam mulutnya langsung tertelan!
“Nah
urusan pertama sudah selesai! Sekarang katakan ke mana kami harus mengikutimu?”
bertanya Tokoh Kembar nomor 1.
“Pengandaran
cukup jauh dari sini. Hari sepuluh bulan sepuluh hanya tinggal beberapa hari
saja.Sebaiknya kita segera menuju ke sana,” menjawab gadis baju biru.
“Bagus, kalau
begitu aku akan jalan duluan Kau berikutnya dan saudara saudaraku menyusul
dibelakang!”
“Tunggu…!"
kata si gadis. Delapan Tokoh Kembar yang siap berkelebat urungkan gerakan
mereka.
“Ada
apa?” tanya sinomor satu dengan pandangan mata menyelidik.
“Saat ini
kepalaku masih pusing akibat jurus Meroboh Langit Membuncah Bumi yang kalian
mainkan tadi! Kalau boleh aku minta tolong, harap ada seseorang yang menolong
menggendongku membawa ke seberang.."
Delapan
Tokoh Silat serentak sama-sama maju berebut rejeki. Si gadis memandang
berkeliling sambil tersenyum.
“Aku
memilih saudara kalian yang nomor 4!” katanya.
Si botak
nomor 4 tertawa bergelak sambil acung-acungkan tangan kanannya. Tujuh
saudaranya tampak kecewa. Si gadis langsung saja sandarkan dirinya ke dada si
nomor 4. Tidak tunggu lebih lama lelaki ini segera menggendong gadis cantik
jelita yang harum tubuhnya menimbulkan rangsangan. Si gadis sebenarnya hanya
berpura-pura. Sejak tadi dia tahu di antara Delapan Tokoh Kembar itu, yang
nomor empat adalah yang paling bernafsu terhadap dirinya.
Selagi
berada dalam gendongan dan si nomor 4 itu melompat dari satu ujung bambu ke
ujung lainnya gadis berbaju biru berbisik. “Kau tahu, kau adalah yang paling
gagah dan kekar di antara saudara-saudaramu. Jika ada kesempatan aku ingin
berdua-duaan saja denganmu…"
Si botak
berangka 4 ini menyeringai. Cuping hidungnya langsung mengembang dan darahnya,
menjadi panas. "Jangan khawatir, aku akan mencari kesempatan.."
“Ah,
bahagia sekali rasanya membayangkan berdua-dua denganmu. Aku suka lelaki gagah
dan kuat sepertimu. Kau pasti sanggup bercumbu berlama lama".
“Apa
maumu akan kuturuti. Kau mau kucumbu, satu hari satu malam tidak ada masalah.
Sampai tiga hari tiga malam pun akan kulayani” jawab si nomor 4. Lalu tangan
kirinya bergerak mengelus bagian belakang tubuh si gadis.
“Ah,aku
benar-benar bahagia menemui seorang lelaki jantan sepertimu. Namun aku punya
satu syarat.." kata si gadis sambil balas membelai tengkuk si nomor 4 ini.
"
"Sebutkan
saja apa yang harus kulakukan. Kukira malam ini kita bisa memisahkan diri
dengan mereka…”
“Berikan
padaku obat penangkal racun yang tadi dimasukkan kakakmu ke dalam
mulutku…"
“Ah, itu”
suara si nomor 4 setengah mengeluh. Aku tidak punya obat penangkal itu. Yang
memiliki hanya kakak sulungku si nomor 1 itu"
“Aku
tahu. Tapi kau pasti mampu mencurinya!” tekan si gadis seraya kembali mengusap
tengkuk si botak nomor 4 itu.
Kepala
kuning si nomor 4 menggeleng. “Tidak mungkin,” katanya. “Kakakku menyimpan obat
penangkal itu di dalam mulutnya. Ditempelkan ke langit-langit diatas lidahnya…
“Jahanam!”
maki gadis baju biru.
"Sayang
sekali kalau begitu, ternyata kau tidak sejantan yang aku duga. Lepaskan
diriku! Aku sanggup berjalan sendiri.”
Gadis
baju biru lepaskan dirinya dari dukungan si nomor 4. Tubuhnya melesat ke udara
dan sesaat kemudian tampak dia berada di belakang Tokoh Kembar nomor 3,
melompat dari ujung bambu satu ke ujung bambu lainnya, berkelebat menuju ke
tepi danau.
*****************
10
HARI
delapan bulan sepuluh, Makhluk Pembawa Bala masih mendekam di dalam lobang
batu. Tak jauh dari lobang batu Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat duduk
bersila terbungkuk bungkuk di alas satu gundukan batu karang. Sejak tadi malam
dia melakukan samadi dan merencana baru akan menyelesaikan samadinya sebelum
matahari terbit pada hari sepuluh. Saat itu rambutnya yang putih panjang
kelihatan bergoyang-goyang. Bukan oleh tiupan angin teluk tetapi oleh kekuatan
dahsyat yang keluar dari tubuhnya. Tak lama kemudian kepulan asap tipis
berwarna kebiruan tampak mengepul keluar dari batok kepalanya! Ini satu
pertanda bahwa orang tua guru Pangeran Matahari ini memiliki satu kekuatan
hebat di dalam tubuhnya.
Namun
agaknya Si Muka Bangkai tidak akan mampu meneruskan samadinya. Dari arah teluk
mendadak lapat-lapat terdengar suara orang menangis. Suara tangis itu walaupun
datang dari jauh tetapi mengiang masuk ke telinga dua orang yang ada di bukit
batu karang di mana menancap bendera besar warna hitam. Bagaimana pun Makhluk
Pembawa Bala dan Si Muka Bangkai menutup jalan pendengarannya tetap saja
telinganya seperti tersentak sentak. Si Muka Bangkai buka sepasang matanya.
Mulutnya memaki.
“Jahanam!
Makhluk Pembawa Bala, kau dengar suara orang menangis itu”
“Aku
dengar sobatku!” jawab Makhluk Pembawa Bala. Tubuhnya masih saja mendekam dalam
lobang dan kepalanya mendongak ke arah langit.
“Belum
sampai hari sepuluh bulan sepuluh. Sudah ada orang yang minta mampus! Makhluk
Pembawa Bala, aku minta kau menyelidik siapa adanya orang itu! Kalau teman
harap diberi nasihat agar jangan mengganggu dan minta dia datang bergabung di
sini. Kalau musuh kau tahu apa yang harus kau perbuat!”
“Aku
cukup tahu sobatku!” kata Makhluk Pembawa Bala pula dengan suaranya yang
sember.
“Apa?!”
tanya Si Muka Bangkai.
“Membunuhnya!"
Si Muka
Bangkai tertawa bergelak. Makhluk Pembawa Bala goyangkan kepalanya yang ditancapi
kayu. Lalu tubuhnya melesat keluar dari dalam lobang batu karang. Di udara dia
berjumpalitan tiga kali berturut-turut. Pada gerakan berikutnya sepasang
kakinya yang hanya merupakan tulang-tulang menghitam menjejak kaki di batu
karang. Dia mendongak ke langit. Lalu berkata. “Dua telingaku memang sumplung!
Tapi pendengaranku tak bisa ditipu! Yang menangis itu seorang lelaki tua! Dia
berada di teluk! Sobatku Muka Bangkai. Kau tunggu di sini. Aku tak bakal lama!”
“Hati-hati
bergerak! Jangan sampai tubuhmu cerai-berai oleh senjata rahasia yang kau
pasang sendiri!" memperingatkan Si Muka Bangkai.
Makhluk
Pembawa Bala ganda tertawa. “Aku tahu setiap sudut di mana senjata rahasia itu
aku pasang! Tak perlu kawatir."
Habis
berkata begitu Makhluk Pembawa Balai berkelebat menuruni bukit karang. Tak lama
kemudian dia sudah sampai di teluk. Sebuah perahu kecil kelihatan terdampar di
atas pasir pantai teluk Penanjung. Mata Makhluk Pembawa Bala yang cuma satu dan
melesak ke dalam sesaat berputar-putar. Lalu dengan gerakan cepat dia
berkelebat menuju perahu. Di atas perahu duduk seorang kakek mengenakan pakaian
selempang kain putih. Kulitnya hitam legam. Rambutnya digulung dan dikonde di
atas kepala. Sepasang alis matanya panjang hitam, menjulai sampai ke pipi.
Orang tua inilah yang ternyata tengah menangis tersedu-sedu sedih sekali. Untuk
beberapa lamanya Makhluk Pembawa Bala tegak memperhatikan.
“Hemm….!
Aku rasa-rasanya pernah mendengar dajal yang punya ciri-ciri seperti dia!” si
makhluk membatin Lalu dia membentak “Orang gila! Siapa kau! Mengapa kau
menangis disini?!”
Suara
tangisan serta merta lenyap. Kakek di atas perahu palingkan kepalanya pada
Makhluk Pembawa Bala.
“Huk…huk…huk…"
dia terisak-isak beberapa kali. Matanya berputar-putar, sebentar menatap ke
langit sebentar menatap pada sosok mengerikan Makhluk Pembawa Bala. Tangan
kirinya diangkat. Ibu jarinya ditudingkan tepat-tepat ke hidung gerumpung
Makhluk Pembawa Bala.
“Kau…desis
sikakek. Lalu suara tangisnya meledak kembali. Sambil menangis dia mengeluarkan
ratapan aneh.
“Aku
melihat langit. Hik…hik…hik…Uhhhh sedihnya dunia…Aku melihat laut… Hik… hik!
Aduh biung sedihnya dunia… Aku melihat bukit-bukit karang…Hemmm… hik… hik…
Uhhhh… Sedihnya dunia! Aku melihat kau! Uhhh…"
Kakek di
atas perahu kembali menuding ke arah Makhluk Pembawa Bala lalu meratap keras.
“Aku melihat darah… darah… Sedih… sedih sekali! Aku melihat maut gentayangan…
Dan kau… Kau bakal anak manusia yang akan mampus pertama kali di tempat ini!
Hik… hik… hik! Sedihnya dunia… Aku sedih… Aku sedih!” Orang tua di atas perahu
lantas menangis melolong-lolong.
“Tua
bangka jahanam!” teriak Makhluk Pembawa Bala marah sekali. Dia menggembor
keras. Lalu melompat setinggi satu tombak. Di udara dia berjungkir balik.
Ketika melayang turun kaki kanannya yang hangus hitam melesat ke arah si tua
aneh yang menangis dalam perahu.
“Aku
sedih…aku sedih…Orang dalam perahu masih terus menangis dan meratap. Lalu
tiba-tiba tubuhnya rubuh sama rata dengan lantai perahu. “Aku sedih…Aku
sedih…"
Wuuuttt!
Tendangan
Makhluk Pembawa Bala yang sanggup menghancurkan kepala kerbau itu lewat
menghantam angin.
“Bangsat
rendah! Jangan mengira bisa lolos untuk ke dua kali! Hampir tubuhnya menyentuh
air laut Makhluk Pembawa Bala kembali melesat ke atas. Kini tubuhnya kelihatan
seolah terbang satu jengkal di atas permukaan air laut. Sesaat kemudian.
Braakk!
Perahu
kayu itu hancur berkeping-keping dihantam tumit kanan Makhluk Pembawa Bala lalu
tenggelam masuk ke dalam laut.
“Mampus
kau sekarang!” ujar si makhluk. “Sebentar lagi mayatmu akan mengambang di
permukaan laut!” Dia mengira orang tua dalam perahu ikut tenggelam bersama
hancuran debu.
“Aku
melihat laut… aku melihat darah! Hik… hik… hik! Uhh Aku sedih. Sedihnya dunia…!
Aku sedih… Aku sedih!”
Makhluk
Pembawa Bala tersentak kaget dan cepat berpaling. Orang tua yang disangkanya
sudah hancur dan mati tenggelam di dalam air laut ternyata kini kelihatan duduk
di satu gundukan batu karang yang banyak bertebaran di teluk! Dan meneruskan
tangisnya!.
“Aku
sedih…Aku sedih…"
“Manusia
iblis!” kertak Makhluk Pembawa Bala. Dua kali melompat dia sudah sampai
dihadapan orang tua berselempang kain putih itu.
“Tamat
riwayatmu sekarang!” Teriak Makhluk Pembawa Bala. Tubuhnya melesat ke udara.
Kaki kanannya membabat ke arah tenggorokan orang tua yang tengah menangis.
“Makhluk
Pembawa Bala! Tahan seranganmu!” Tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat.
Makhluk Pembawa Bala terdorong ke belakang beberapa langkah. Dia menggembor
keras dan hendak menggebut. Tapi batalkan niatnya ketika melihat yang barusan
menghalanginya adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
“Sobatku!
Apa kau sudah berubah ingatan hingga menghalangi aku menghajar pengacau itu?!”
teriak Makhluk Pembawa Bala. Matanya yang tinggal satu dan melesak ke dalam
berputar-putar mengerikan. Tenggorokannya yang robek bergerak-gerak hingga
darah busuk kembali mengucur.
“Jangan
tolol! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa!” bentak Si Muka Bangkai.
“Eh,memangnya
orang tua gila itu siapa…?" Suara Makhluk Pembawa Bala agak merendah
sekarang.
“Dia
adalah sahabat yang akan membantu kita Dia tokoh besar dunia persilatan. Pasang
baik-baik dua telingamu yang sumplung! Dia adalah tokoh hebat dan terhormat
Dewa Sedih!”
Dari
tenggorokan Makhluk Pembawa Bala keluar suara tercekat. "Celaka, aku
memang sudah sering mendengar nama besar manusia aneh ini. Tapi tidak pernah
bertemu. Jadi mana aku bisa mengenal!” membatin Makhluk Pembawa Bala. Lalu
cepat-cepat dia mendekat Si Muka Bangkai dan berbisik “Kau aturlah urusan
dengan dia agar tidak jadi kapiran!"
"Tak
usah kawatir aku bisa membujuk orang gila satu ini!” jawab Si Muka Bangkai.
Lalu dia melangkah mendekati Dewa Sedih yang duduk di atas batu. Sambil menjura
dalam-dalam hingga mukanya hampir menyentuh lutut orang dia berkata setengah
meratap.
“Sobatku
paduka dewa segala dewa yang aku panggil dengan julukan hormat Dewa Sedih,
sedih hatimu melihat langit, lebih sedih lagi hatiku! Sedih hatimu melihat
laut, lebih sedih lagi hatiku! Hik… hik… Sedih hatimu melihat bukit karang, aku
terlebih sedih melihat Dunia penuh kesedihan hik… hik…hik…" Si Muka
Bangkai keluarkan suara sesenggukan lalu seolah mengiringi Dewa Sedih dia pun
ikut menangis dan meratap.
Tiba-tiba
Dewa Sedih hentikan tangis. Sambi! mengusut kedua matanya dengan belakang
telapak tangan dia menatap kearah Si Muka Bangkai. Lalu dari mulutnya terdengar
pertanyaan.
“Mayat
hidup, siapakah kau yang lebih pandai menangis dari padaku? Hik…hik!”
“Paduka
yang terhormat Dewa Sedih, lama tak bersua menyebabkan lupa, lama tidak bertemu
menyebabkan mata menjadi semu. Aku yang rendah tiada lain adalah sahabat lamamu
Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Harap dimaafkan kalau aku tidak menyambut
kedatanganmu sebagaimana mustinya!"
"Tapi
ketahuilah kau adalah tamu pertamaku di Pangandaran ini. Penghormatan
terbesaraku berikan padamu…"
“Hemmm…
k… k!” Dewa Sedih mengangguk sedikit lalu sesenggukan lagi. Dia berpaling ke
arah Makhluk Pembawa Bala. Sobatku Muka Bangkai, siapakah sundal yang tubuhnya
menebar bau busuk itu?!”
Dalam
hati Makhluk Pembawa Bala menggeram dipanggil sebagai sundal. Namun karena
sudah tahu gelagat dia terpaksa berdiam diri saja walau matanya yang cuma satu
kelihatan berkilat menahan amarah.
“Sobatku,
kau tak perlu mengacuhkan dirinya!.”
“Kau tahu
Muka Bangkai Aku sedih melihatnya… Aku ingin menangis. Kasihan
dia…Huk…huk…" Lalu Dewa Sedih meraung dan menangis panjang.
“Kasihan
bagaimana maksudmu sobatku Dewa Sedih?” tanya Si Muka Bangkai pula.
“Dia…
dia… akan jadi korban pertama pada hari sepuluh bulan sepuluh! Hik…hik!”
Paras
pucat Si Muka Bangkai jadi bertambah pucat. Dia melirik sekilas ke arah Makhluk
Pembawa Bala dan melihat bagaimana muka angker manusia itu mengelam dan
tubuhnya bergetar karena menindih amarah.
“Sobatku
Dewa Sedih,udara ditempat ini kurang baik.Angin kencang dan hawa laut menebar
garam yang bisa menyesakkan pernafasan. Mari ikut aku ke puncak bukit karang
sana. Sambil menunggu hari ke sepuluh ada baiknya kita menghabiskan waktu
berbincang-bincang bertukar p ikiran".
Si Muka
Bangkai tersenyum dan ulurkan tangannya memegang lengan Dewa Sedih.
“Uhh…
hik… hik! Hatiku sedih… Aku sedih… Aku melihat darah… aku sedih…!Aku sedih!
Teluk Penanjung akan geger Pengandaran akan geger! Dunia persilatan akan geger!
Aku sedih dalam semua kegegeran itu! Hik… hik…hik.” Sambil berjalan, mengikuti
Si Muka Bangkai orang tua itu kembali menangis dan meratap.
*****************
11
HARI
sembilan bulan sepuluh. Dua penunggang kuda bersipacu cepat memasuki Penanjung
dari arah utara. Lima tombak sebelum memasuki alur teluk yang diapit oleh dua
gugusan bukit karang mereka menghentikan kuda masing-masing. Saat itu matahari
sedang terik-teriknya. Sambil menadangkan tangan di depan kening menangkis
silaunya matahari mereka memandang berkeliling.
“Ada
bendera hitam dipuncak bukit karang sebelah barat” kata penunggang kuda sebelah
kanan. “Sesuai petunjuk itu adalah tanda bukit tempat berkumpulnya orang-orang
Pangeran Matahari! Jadi kita harus segera menuju ke sana!”
“Menurutmu
apakah Pangeran Matahari sudah berada di sana saat ini?” tanya orang di sebelah
kanan.
“Tidak
bisa kuduga sebelum kita sampai disana. Kalaupun dia belum datang, kita harus
menunggu sampai dia muncul!"
“Terus
terang aku kawatir. Apakah dia segera akan menghabisi kita begitu bertemu
muka?!”
Kawan si
penanya menggeleng. “Dalam urusan besar begini rupa dia membutuhkan kita. Kita
tidak usah malu dan takut minta ampun padanya karena kita telah menipunya. Aku
akan katakan bahwa kita berdua bersedia menyabung nyawa menghadapi orang-orang
golongan putih demi menebus kesalahan kita tempo hari. Menipunya dengan kepala
Pendekar 212 bohongan!”
“Kalau
begitu katamu aku mengikut saja. Tapi hati-hatilah! Sang Pangeran adalah
manusia segala akal segala licik!”
Ke dua
orang itu lantas melanjutkan perjalanan menuju bukit karang sebelah kanan di
mana tampak berkibar sehelai bendera hitam besar. Ketika mencapai puncak bukit
di satu tempat mereka dikejutkan oleh satu bentakan dahsyat.
“Tidak
boleh ada binatang mengotori puncak bukit karang itu!”
Wuuttt!
Wuttt!
Dua
gelombang angin laksana prahara menghantam Dua penunggang kuda berseru keras
dan cepat melompat selamatkan diri. Kuda-kuda tunggangan mereka meringkik
keras. Dua ekor binatang itu kelihatan terlempar. Dari perut mereka yang jebol
berbusaian usus dan bermuncratan darah. Binatang binatang yang malang ini
akhirnya amblas masuk ke dalam laut.
Keheningan
hanya terjadi seketika. Sesaat kemudian terdengar suara mengekeh ramai sekali.
Ada dua orang yang tertawa! Mereka bukan lain adalah Si Muka Bangkai dan
Makhluk Pembawa Bala. Ketika suara kekehan lenyap, mendadak terdengar suara
orang meratapi.
“Sobatku
Elang Setan, jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah!” berkata lelaki
tinggi besar di sebelah kanan. Orang ini mengenakan jubah hitam, mata sebelah
kanan mendelik besar sedang mata kiri tertutup seolah terpejam. Kepala sebelah
kanan berambut lebat sebaliknya yang kiri sudah plontos. Ditambah dengan brewok
cambang bawuk serta tiga guratan aneh di keningnya manusia ini sungguh
mengerikan untuk dipandang. Dia bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan. Momok
golongan hitam yang bersama saudara angkat darahnya berjuluk Elang Setan
merupakan makhluk-makhluk ditakuti dan menjadi musuh besar orang-orang golongan
putih.
“Dua
manusia berwajah setan!” Tiba-tiba ada suara berseru dari puncak bukit karang.
“Teruskan langkah kalian ke puncak sini. Kalian tidak datang ke tempat yang
salah! Ini adalah tempat yang besok akan menjadi tempat pembantaian para tokoh
silat golongan putih!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan saling berpandangan. Baru saja mereka hendak
melangkah tiba-tiba di atas bukit sana terdengar suara orang menangis!
“Jahanam!
Apa yang kita takutkan!” kertak Tiga Bayangan Setan.“Ayo!”
Dua orang
itu lalu berkelebat dan sesaat kemudian keduanya sudah berada di puncak bukit
karang. Di situ mereka melihat tiga orang yang membuat mereka jadi kerenyitkan
kening karena merasa aneh dan juga ngeri!
Orang
pertama hanya kepalanya saja yang terlihat. Sebatas leher ke bawah tenggelam
dalam lobang batu. Kepalanya ditancapi sebatang kayu. Mukanya yang seram
tertutup darah kering. Bau busuk yang bukan alang kepalang membersit dari
kepala dan tubuhnya.
Orang
kedua seorang kakek berselempang kain putih yang rambutnya dikonde di atas kepala,
duduk di atas gundukan batu karang dan menangis tiada henti. Orang ke tiga
kakek bungkuk bermuka seperti mayat hidup.
“Kalian
ini siapa?!" membentak Elang Setan. Dia menutup hidungnya dengan belakang
telapak tangan kiri. Tidak tahan oleh bau busuk yang keluar dari tubuh dan
kepala Makhluk Pembawa Bala.
“Manusia-manusia
setan tidak tahu peradatan! Kami yang layak bertanya siapa kalian!”
Elang
Setan mendengus sedang Tiga Bayangan Setan menyeringai dan meludah ke tanah.
“Sobatku, kau beritahu saja siapa kita agar tua bangka bungkuk ini tahu diri!”
Elang
Setan yang mengenakan pakaian tebal dekil dan rombeng busungkan dada dan angkat
ke dua tangannya yang berbentuk cakar elang ke atas.“Aku dikenal dengan julukan
Elang Setan. Saudaraku ini menyandang gelar Tiga Bayangan Setan!”
“Hemm…!Julukan-julukan
bagus?” memuji kakek bungkuk lalu tertawa mengekeh.
“Aku
melihat langit. Aku sedih… k… ik… hik! Aku melihat laut… Aku sedih…! Aku
melihat bukit karang… Ooo sedihnya dunia! Aku sedih… Hik…hik…hik!” Tiba-tiba
Dewa Sedih meratap keras membuat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan palingkan
kepala dan mendelikkan mata.
"Belum
pernah aku melihat orang yang gilanya macam begini!" kata Tiga Bayangan
Setan.
“Mulutnya
pantas disumpal!” tukas Elang Setan!
“Pantatnya
sekali ” sambung Tiga Bayangan Setan. Lalu ke dua orang itu tertawa
gelak-gelak.
Hekk!
Hekk!
Suara
tawa ke dua orang itu mendadak sontak lenyap. Keduanya pegangi leher
masing-masing yang seperti dicekik oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
“Aku
sedih… hik… hik… hik! Aku melihat dua makhluk biadab… Datang mencari mati! Hari
sepuluh bulan sepuluh! Di langit malaikat sudah mengukir nyawa mereka!
Oo…dunia! Aku sedih…Hik…hik…hik!”
Dewa
Sedih meratap berhiba-hiba. Sambil menangis jari telunjuk tangan kanannya
diarahkan lurus-lurus ke leher Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Saat itu
muka-muka seram ke dua orang itu telah membiru. Nafas mereka menyesak. Mereka
menggapai-gapai berusaha melepaskan cekikan tangan yang tidak kelihatan.
Perlahan-lahan Dewa Sedih turunkan ke dua tangannya ke bawah hingga menyentuh
batu di depan kakinya. Bersamaan dengan itu pula kepala Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan seolah ditarik oleh satu kekuatan dahsyat ikut rebah ke batu.
“Bersujud…
bersujud… Nah bagus… bagus! Hik… hik! Kalian telah mencium tanah daerah
kematian kalian! Hik… hik… hik. Aku sedih… benar-benar sedih…!” Perlahan-lahan
Dewa Sedih tarik tangannya. Bersamaan dengan itu tubuh Tiga Bayangan Setan dan
Elang Setan bergelimpangan di atas batu karang. Cekikan pada leher masing-masing
lenyap secara aneh. Megap-megap keduanya bangkit berdiri.
Tiga
Bayangan Setan memandang dengan mata menyorot pada Dewa Sedih yang kembali
meratap. Mulutnya berkomat-kamit. Tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua
tinjunya lalu diadu satu sama lain. Tiga guratan di keningnya mengeluarkan
kilatan-kilatan aneh. Dari mulut manusia ini kemudian keluar bentakan garang.
“Bunuh!”
Tiga
kepulan asap putih kelabu melesat keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan. Si
kakek yang sudah tahu ilmu andalan lawan, sebelum kepulan asap kelabu berubah
menjadi tiga momok yang menakutkan segera dorongkan tangan. Tubuh Tiga Bayangan
Setan terjungkal jatuh duduk.
“Anjing
tak tahu diri Kau kira kau berhadapan dengan siapa saat ini?!” bentak si
bungkuk.
“Setan
alas! Memangnya kau siapa?!” balas menghardik Tiga Bayangan Setan. Karena
jampai-jampai yang dirapalnya tidak keterusan maka kepulan asap di kepala pupus
sirna.
“Aku Si
Muka Bangkai alias Si Muka Mayat!Guru Pangeran Matahari! Mendengar ucapan itu.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi geger. Langsung tampang setan dua
manusia di depan kakek bungkuk menjadi berubah. Tiga Bayangan Setan cepat bangkit.
Elang Setan segera jatuhkan diri. Keduanya terus membual gerakan seperti
menyembah.
“Harap
dimaafkan dan mohon ampunanmu! Kami berdua tidak pernah mengenalmu. Kami
sendiri adalah teman-teman Pangeran Matahari. Kami datang ke sini untuk
menemuinya. Kami yang tidak punya kepandaian apa-apa ini ingin menyumbangkan
sedikit tenaga membantunya menghadapi musuh musuhnya pada harisepuluh
besok".
Si Muka
Bangkai terdiam sesaat. Bola matanya yang berada dalam rongga mata dan pipi
sangat cekung tanpa daging berputar liar. Lalu meledak tawa dari mulutnya.
“Muridku belum datang. Tapi aku mewakilinya untuk menerima kedatangan kalian”
Si Muka Bangkai kembali tertawa bergelak. Dewa Sedih semakin keras sementara
Makhluk Pembawa Bala mendongak ke langit, mengeluarkan suara menggembor.
*****************
12
HARI
sembilan bulan sepuluh malam hari. Langit gelap menghitam. Tak ada bulan bahkan
bintang-bintang pun seolah takut menampakkan diri. Angin dari teluk bertiup
kencang dan dingin, membuat bendera hitam yang menancap di puncak bukit karang
Pangandaran berkibar-kibar mengeluarkan suara angker. Dalam kegelapan malam,
laksana setan-setan bergentayangan tampak berkelebat sosok-sosok tubuh manusia.
Ada yang bergerak seorang diri, ada yang berteman satu dua orang. Mereka datang
dan muncul dari berbagai jurusan. Begitu sampai di teluk mereka berkelebat
memilih salah satu dari dua puncak bukit karang sebagai tujuan. Satu kali
terdengar suara aneh. Suara gemeletak roda-roda yang berputar perlahan. Lalu
melengking ringkikan kuda. Seolah membangunkan makhluk lainnya, suara ringkikan
itu disambut oleh suara lolongan anjing dan suara berbagai binatang malam
lainnya.
Malam
merayap tenang dan sunyi. Sesekali terusik oleh debur ombak besar yang memecah
di pantai teluk. Dibalik ketenangan dan kesunyian itu sosoksosok tubuh yang
berkelebat menyelinap menuju puncak dua bukit karang diam-diam merasakan adanya
satu ketegangan menggantungan di udara malam yang hitam pekat dan dingin.
Datangnya pagi sekali ini terasa lama dan seolah menunggu sesuatu yang
menakutkan! Hari sepuluh bulan sepuluh akhirnya datang!
Beberapa
saat sebelum sang surya muncul di timur di puncak bukit karang sebelah timur
yaitu di mana menancap bendera hitam sekonyong-konyong terdengar suara aneh.
Dikatakan terompet bukannya terompet. Diduga sebagai suara seruling juga bukan.
Suara itu mengalun perlahan, tapi menggetarkan telinga siapa saja yang
mendengar, mencekam hati dan membuat bulu tengkuk berdiri. Perlahan-lahan
langit di timur tampak kekuningan. Air laut laksana disepuh sinar keemasan yang
saat demi saat berubah menjadi putih. Matahari terbit sudah. Dalam terangnya
udara pagi ini segala sesuatunya terlihat dengan jelas. Dan tampaklah satu
pemandangan luar biasa. Di bukit karang sebelah barat, tepat di bawah kibaran
bendera hitam tegak seorang lelaki gemuk pendek. Mukanya seram dan tambah seram
karena warnanya yang merah gelap. Pada cuping hidungnya sebelah kiri mencantel
sebuah anting terbuat dari akar bahar. Dia tidak mengenakan baju hingga dada
dan perutnya yang gemuk berlemak dan juga berwarna merah kelihatan
bergoyang-goyang. Orang ini tegak mendongak langit. Di mulutnya ada sebuah
kendi yang bagian bawahnya diberi berlobang. Kendi yang ditiup si gemuk pendek
inilah ternyata yang mengeluarkan suara aneh. Karena di dalam kendi terdapat
cairan minuman keras maka alunan suara terdengar naik turun menyengat telinga!
Orang ini memakai sebuah ikat pinggang besar. Dua belas kendi berisi minuman
keras bergelantungan seputar ikat pinggang. Dari rambut sampai ke kaki si gemuk
pendek ini menebar bau minuman keras. Di belakang si gemuk pendek yang meniup
kendi terletak lima buah gentong besar berisi tuak. Di samping si gemuk tegak
Elang Setan memegang sebuah gayung. Sekali-sekali gayung dipakainya untuk
menciduk tuak dalam gentong lalu diguyurkan ke kepala si gemuk. Semakin sering
minuman keras itu diguyurkan semakin keras tiupan kendi! Di samping kanan Elang
Setan tegaklah saudaranya yaitu Tiga Bayangan Setan dengan mata jelalatan kian
kemari.
Satu
bayangan hitam berkelebat. Tiupan kendi si gemuk mencuat laksana mau merobek
langit.
“Pangeran
datang!” Seseorang berseru.
Si gemuk
pendek merah segera berhenti meniup kendi. Dia berputar lalu melangkah
mendekati sebuah gentong. Enak saja kemudian dia mencelupkan kepalanya ke dalam
gentong berisi minuman keras itu. Dia tidak hanya membasahi kepala tapi juga
mereguk tuak keras itu selahap-lahapnya Seorang pemuda bertubuh tinggi kekar,
berikat kepala merah, mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan mantel
tegak dengan kaki direnggangkan dan dua tangan di pinggang. Tampangnya keren
tapi penuh keangkuhan dan tak dapat menyembunyikan kelicikan yang menjadi
sifatnya mendarah daging. Ketika angin teluk menyingkapkan mantel hitamnya, di
pinggang pemuda ini kelihatan terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Begitu
mengetahui siapa yang datang Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera
mendatangi dan jatuhkan diri.
“Pangeran!
Kami datang kemari untuk minta ampunan darimu!” kata Tiga Bayangan Setan.
Elang
Setan lalu menyambung. “Jika diperkenankan kami ingin ikut menyabung nyawa
membunuh musuh-musuhmu. Hitung-hitung sebagai penebus dosa mendustaimu tempo
hari”
Pangeran
Matahari melihat pun tidak kepada kedua orang itu. Kaki kanannya diangkat.
Tumitnya diletakkan di kening Tiga Bayangan Setan lalu didorongnya hingga orang
ini terjengkang menggeletak. Hal yang sama dilakukannya pada Elang Setan.
“Kalian kuampuni! Tapi setelah urusan hari sepuluh bulan sepuluh ini selesai,
aku minta kalian dengan suka rela menyerahkan jantung masing masing padaku!”
“Pangeran!”
seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berbarengan.
“Jangan
banyak mulut! Atau kau ingin aku mempercepat kematian kalian?!" bentak
Pangeran Matahari.
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan beringsut mundur. Pangeran Matahari memandang ke
arah bukit karang di sebelah barat. Seseorang melangkah mendekatinya. Tanpa
menoleh Pangeran Matahari sudah tahu siapa yang datang. Maka dia pun berkata.
“Guru,
terima kasih kau mau datang!”
“Aku dan
teman-teman sengaja datang duluan. Untuk mengatur segala sesuatunya.Membuat
mulus janmu menjadi raja diraja dunia persilan!”
“Sekali
lagi terima kasih. Aku ingin tahu siapa saja teman-teman kita itu”
“Kau
sudah melihat si peniup sangkakala tadi. Iblis Pemabuk! Dia salah satu andalan
kita! Tidak percuma kita susah payah mengirimkan lima gentong besar berisi tuak
keras itu kesini!” Sang guru yaitu Si Muka Bangkai tertawa bergelak.
Pangeran
Matahari hanya sunggingkan seringai lalu berkata. “Yang lain lainnya siapa?!”
Si Muka
Bangkai angkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu tukikkan kepalanya ke arah
lereng bukit karang di sebelah bawahnya. “Teman-teman! Harap perlihatkan dirimu
pada Pangeran Matahari!”
Saat itu
juga dari balik gundukan batu-batu karang di lereng bukit sebelah bawah
bermunculan sepuluh sosok tubuh. Dua perempuan dan delapan orang lelaki. Yang
menarik adalah delapan lelaki ini. Mereka semua mengenakan jubah merah darah.
Kepala mereka yang botak licin dicat kuning. Tepat pada ubun-ubun masing-masing
tergurat dengan cat hitam angka 1 sampai 8. Yang luar biasanya mereka memiliki
wajah sama semua!
“Delapan
Tokoh Kembar.. " desis Pangeran Matahari dengan senyum dikulum.
“Hemm…Dia
berpaling ke kiri kearah gundukan batu karang lancip di mana berdiri seorang
gadis berpakaian serba biru berambut pirang panjang yang melambai-lambai ditiup
angin teluk. “Dia berhasil membujuk Delapan Tokoh Kembar dan membawanya ke
mari. Kematiannya kelak akan kupilihkan yang paling tidak menyakitkan…”. Sang
Pangeran lu palingkan kepalanya ke jurusan kanan. Di situ tegak seorang dara
berpakaian merah, membekal sebuah bungkusan beri tujuh buah payung. “Hemm…Yang
satu itu sungguh tidak terduga! Ini bakal menambah kegegeran di Pangandaran!
Hemmm… apa yang membuatnya memilih berada di pihakku? Aku akan membalas jasanya
dengan kenikmatan… Kembali senyum tersungging di mulut Pangeran Matahari. Dia
berpaling pada Si Muka Bangkai. “Guru, jadi semua teman teman kita".
“Masih
ada satu lagi Muridku! Biar aku panggil! Si Muka Bangkai menoleh kebelakang
lalu berseru. “Sobatku, harap kau suka keluar dari dalam lobang!”
Baru saja
seruan kakek bungkuk itu lenyap sesosok tubuh yang menyebar bau busuk melesat
di udara, jungkir balik dua kali berturut-turut lalu settt. Dia tegak di
hadapan Pangeran Matahari dengan segala keseramannya. Dia bukan lain adalah
Makhluk Pembawa Bala.
“Tokoh
besar maha gagah!” berkata Pangeran Matahari. Satu kehormatan bagiku kau berada
di pihakku. Kelak aku akan memberikan satu jabatan tinggi padamu jika aku sudah
berada ditampuk tertinggi rimba persilatan…"
“Terima
kasih Pangeran!” kata Makhluk Pembawa Bala dengan suara sembernya.
“Jahanam!
Belum pernah aku melihat makhluk mengerikan dan busuk luar biasa seperti ini!
Rasanya mau kumuntahi mukanya saat ini juga!” menyumpah sang Pangeran dalam
hati.
Saat itu
Si Muka Bangkai terdengar berkata pada muridnya. “Makhluk Pembawa Bala telah
mengatur segala peralatan rahasia di kawasan ini. Musuhmusuhmu akan menemui
ajal sebelum mereka sempat menjamahmu!"
“Hemmm…
bagus! Hadiah untukmu akan kulipat gandakan. Sekarang harap kau suka menyingkir
dari hadapanku dan bersiaplah menentukan korban yang bakal kau cabut nyawanya!”
Gluk!
Gluk! Gluk!
“Aku
tidak perlu jabatan tinggi. Aku tak perlu hadiah berlipat ganda. Aku hanya tahu
minuman keras! Gluk! Gluk! Gluk!" Pangeran Matahari berpaling mendengar
ucapan itu.
“Ah!
Orang hebat tiada tandingan! Aku benar-benar gembira melihat kau ada di sini
membantu perjuanganku! Aku tahu kalau bukan karenamu semua perhelatan besar di
Pangandaran yang kelak bakal menggegerkan dunia persilatan tidak bakal
kesampaian. Jasamu tidak akan aku lupakan. Begitu urusan di tempat ini selesai
aku akan membangunkan satu Istana dikelilingi kolam minuman untukmu. Sekarang,
Iblis Pemabuk terimalah hormatku!”
Pangeran
Matahari lalu menjura pada Iblis Pemabuk yang duduk berjuntai di salah satu
pinggiran gentong. Yang diajak bicara hanya menyeringai lalu jatuhkan diri ke
dalam gentong berisi tuak keras itu!
Pangeran
Matahari hendak melangkah ke kiri ketika tiba-tiba seolah untuk pertama kalinya
dia mendengar suara itu. Dia berpaling ke kanan.
“Dewa
Sedih! Ternyata kau tidak melupakan diriku!” seru Pangeran Matahari.
Laksana
terbang dia melompat ke hadapan Dewa Sedih yang duduk di atas satu gundukan
batu dalam keadaan menangis.
“Aku
melihat langit. Aku sedihi…Aku melihat laut..Aku sedih…Hik…hik…”
Pangeran
Matahari yang sudah tahu gelagat segera memotong. “Apa yang kau lihat, juga
terlihat olehku Dewa Sedih. Kesedihanmu adalah juga kesedihanku. Aku akan
membuatkan sebuah puri untukmu. Dipenuhi oleh orang-orang yang mau menangis
bersamamu seumur hidupmu!”
Tangis
Dewa Sedih tersendat-sendat. Dia manggut-manggut beberapa kali lalu kembali
menyambung ratapannya. Sang Pangeran geleng-gelengkan kepala lalu beranjak
mendekati gurunya.
“Bukit
karang di seberang sana! Aku tidak melihat satu orang pun di situ! Apa mereka
takut lalu pengecut untuk datang?!”
“Mereka
pasti datang.Muridku! Datang untuk menerima kematian” jawab Si Muka Bangkai
lalu tertawa gelak-gelak.
Mendadak
dia hentikan tawanya dan memandang ke arah bukit batu karang di seberang sana
"Aku mendengar suara sesuatu…" katanya perlahan.Semua mata lalu
diarahkan ke bukit batu karang di seberang barat.
Dari
balik bukit batu karang di sebelah timur kelihatan muncul sebuah kereta kencana
berwarna putih, ditarik oleh dua ekor kuda putih pula. Kusir kereta seorang
gadis cantik berpakaian panjang warna hitam yang sangat ketat. Di sebelah atas
dada pakaiannya dipotong rendah hingga hampir setengah dari payudaranya yang
putih tersingkap membusung. Di sebelah bawah pakaian hitam itu dibelah setinggi
pinggul. Duduk di atas kereta dengan sendirinya kakinya mulai dari betis sampai
ke paha tersingkap lebat. Di sebelah kusir kereta yang cantik ini duduk seorang
gadis yang parasnya tak kalah menawan, mengenakan pakaian yang sama dan
memegang sebatang tongkat terbuat dari besi.
Dua mata
Pangeran Matahari berputar liar. Rahangnya menggembung. Walaupun belum pernah
bertemu tapi sang Pangeran sudah bisa menduga siapa adanya orang di dalam
kereta putih. Dia dan juga semua orang yang ada di bukit karang sebelah barat
tidak menunggu lama. Tepat di puncak bukit kereta berhenti. Pintu kereta
terbuka. Sesosok tubuh yang bagus terbungkus pakaian ketat terbuat dari
manik-manik merah turun dari kereta kencana. Di atas keningnya ada sebuah
mahkota kecil terbuat dari untaian kerang kerang berwarna biru. Kalung serta
gelang yang menjadi hiasannya juga terbuat dari benda yang sama. Sepasang
matanya yang sangat bagus berwarna biru berkilat cemerlang. Wajahnya secantik
bidadari. Di tangan kanannya gadis ini memegang sebuah cermin bundar yang
memantulkan sinar angker menyilaukan setiap terkena sinar matahari. Dia tegak
dengan anggunnya di samping kereta, memandang ke arah bukit di sebelah timur.
Semua orang yang ada di bukit karang barat menjadi geger.
“Ratu
Duyung…" desis Pangeran Matahari. Suaranya jelas bergetar tanda hatinya
tidak enak.
“Bertahun-tahun
dia tidak pernah muncul di daratan. Kalau kini dia memperlihatkan diri
benar-benar tidak terduga. Dia bisa melakukan apa saja merusak keadaan!
Perempuan terkutuk! Sejauh mana hubunganmu dengan Pendekar 212 hingga kau
mau-mauan keluar dari sarangmu di laut selatan?!”
Apa yang
terasa di hati Pangeran Matahari terasa juga di hati sang guru Si Muka Bangkai
alias Si Muka Mayat.
“Kalau
sampai Ratu Duyung muncul urusan muridku tidak akan semulus yang aku
perkirakan. Aku harus mencari akal melumpuhkan musuh yang satu ini!” Orang tua
bungkuk bermuka pucat ini berpaling pada muridnya. Untuk membesarkan hati dan
semangat sang Pangeran dia berkata.
“Muridku,
gadis itu pantas menjadi pendampingmu seumu rhidup…"
“Kesaktiannya
sukar dijajagi. Celakanya dia berada di pihak musuh!”
“Dengan
Kitab Wasiat Iblis berada di tanganmu apa sulitnya menundukkan dirinya!” bisik
Si Muka Bangkai. "Lagipula aku punya satu gagasan. Sebelum pertempuran
berdarah yang menggegerkan di Pangandaran ini terjadi aku akan mendatanginya.
Aku punya akal untuk mengajaknya menyeberang ke pihak kita”
Tanpa
berpaling pada sang guru Pangeran Matahari sunggingkan seringai dan
gosok-gosokkan ke dua telapak tangannya.
“Aku
percaya padamu Guru.Mengapa kau tidak segera saja menyeberang ke bukit sana
menemui Ratu Duyung?!”
“Pintamu
akan segera aku lakukan, Muridku. Namun aku harus memberi nasihat. Harap kau
berlaku tabah. Aku mendapat firasat tidak lama lagi akan bermunculan
tokoh-tokoh silat golongan putih di bukit sebelah timur sana. Kau tak usah
kawatir. Kau sudah ditakdirkan untuk menjadi penguasa tunggal rimba persilatan!
Kita akan benar-benar membuat kegegeran di tempat ini! Setelah urusan selesai
kuharap kau tidak lagi menolak menyerahkan Bidadarimu itu padaku!Hik…hik…hik!”
Pangeran
Matahari hanya mengangguk perlahan. Hatinya tetap saja tidak tenteram. Sebelum
pergi Si Muka Mayat mendekati Makhluk Pembawa Bala lalu berkata.
“Dalam
waktu dekat di bukit sana akan segera bermunculan musuh-musuh kita. Harap kau
mengawasi baik-baik peralatan rahasiamu. Begitu mereka muncul lekas kau
hubungkan kawat-kawat penghidup semua peralatan rahasia dan bola-bola peledak!”
Makhluk
Pembawa Bala menyeringai lalu berkata dengan suaranya yang sember. “Kegegeran
apa lagi yang paling hebat kalau tidak disertai genangan darah tokoh-tokoh persilatan
golongan putih itu!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment