Dendam Mahluk Alam Roh
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Melihat
Purnama menyerbu dengan kapak sakti Luhrembulan cepat putar Pedang Naga Suci
212 lalu dengan sebat dibabatkan ke arah lawan. Ternyata serangan Purnama hanya
tipuan belaka. Karena begitu dia melihal gerakan tangan Luhrembutan yang
memegang pedang. Purnama cepat rundukkan kepala Pedang Naga Suci 212 lewat di
atas kepala Purnama.sempat membabat putus sejumput rambutnya yang hitam dan
membuat gadis ini terpekik, Dalam keadaan sekujur tubuh terasa dingin akibat
serangan pedang. Purnama masih mampu lancarkan serangan ke dua berupa babatan
kapak membalik ke atas. "Purnama Jangan!" Teriak Wiro. Namun
terlambat. "Craassss!!" Kapak Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di
atas dada LUHREMBULAN! Gadis alam gaib ini terpekik keras.
*********************
1
PULAU
Watu Gilang di pantai Parangkusumo. Dua bukit karang menjulang tinggi di
kegelapan malam.
Pendekar
212 Wiro Sableng yang baru saja menabas putus leher Patih Kerajaan Wira Bumi
mengusap kuduk yang terasa dingin mengkirik. Bulu roma merinding. Dia merasa
ngeri sendiri.
"Edan,
kalau dia tidak mempergunakan ilmu setan, tidak menyamar Jadi Nyi Retno Mantili
untuk merampas bayi Itu, aku mungkin tidak akan membunuhnya! Aku sekarang Jadi
pembunuh! Pembunuh Patih Kerajaan!
PikanUrusan
lagli, Perkara lagi! Geblek! Sial."
Murid
Sinto Gendang menggaruk kepala, memandang sekeliling pulau yartg diterangi belasan
obor. Di pantai Parangtritis dan Parangkusumo ratusan orang berdatangan untuk
merayakan malam Satu Suro.
Biasanya
mereka Juga menyeberang ke pulau Watu Gilang. Namun karena ombak di laut sedang
besar, sampai saat itu belum ada seorangpun yang datang.
"Waktu
aku bertemu perempuan itu bersama boneka kayunya di Bantul, dia berjanji akan
datang menemuiku di pantai Parangtritis pada malam Satu Suro Ini. Yang datang
ternyata Wira Bumi, merubah diri Jadi Nyi Retno Mantili. Berarti yang kutemui
di Bantul sejak semula memang bukan Nyi Retno Mantili yang asli. Edan! Lalu
sekian lama dimana perempuan itu bersembunyi. Ah, aku tidak yakin dia sembunyi.
Mungkin pergi ke satu tempat. Apa dia benar-benar marah padaku?" Wiro
terdiam sejenak. Dadanya mendadak berdebar oleh rasa kawatlr ketika hatinya
berucap. "Jangan-jangan Nyi Retno telah dibunuh Wira Bumi atau gendaknya
yang bernama Nyai Tumbal Jiwo itu."
Kalau
saja saat itu dua nenek sakti yaitu Nyai Roro Manggut dan kembaran ke tiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu masih ada bersamanya Wiro mungkin bisa bicara bertukar
pendapat dan pikiran. Sayang mereka telah menyeberang ke Parangtritis untuk
melihat keramaian malam Satu Suro. Wiro akhirnya pergi ke pantai, ke tempat
dimana dia sebelumnya meninggalkan perahu di bagian selatan pulau.
Ketika
sampai di perahu dan hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat
seorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok berbaring
meneientang di lantai perahu. Dua tangan dan kaki dikembang, diletakkan di atas
pinggiran perahu. Tubuhnya nyaris tersingkap di setlap bagian.
Betul-betul
menggoda! Namun murid sinto gendeng tenang saja. Dia sudah banyak pengalaman
dengan hal dan kejadian seperti Ini. Wiro tidak mengenal siapa adanya si cantik
ini.
"Kau
siapa?" tanya Pendekar 212, Dia berpikir jangan-jangan mahluk jejadian
lagi.
Yang
ditanya tersenyum. Giginya tampak rata dan putih.
"Namaku
Nyi Wulas Pikan…"
"Nama
bagus. Tapi aku tidak mengenalmu. Apakah kau mengenalku sebelumnya?"
"Tentu
saja aku mengenalmu," jawab si cantik.
"Bahkan
mulai malam ini kau telah menjadi kekasihku. Pengganti Wira Bumi yang telah kau
bunuh…"
Pendekar
212 undur satu langkah. Memperhatikan lekat-lekat wajah perempuan muda yang
berbaring menelentang di atas perahu sambil menggaruk kepala.
"Kepalamu
gatal? Apa banyak kutunya? Mau aku carikan kutu, aku bersihkan? Mungkin rambut
lain di tubuhmu Juga banyak kutunya! Hik… hik… hik." Si cantik tertawa
cekikikan.
Wiro
menyeringai. Lalu berkata. "Aku ingat, kau … kau adalah perempuan yang
berbuat mesum dengan Patih Kerajaan di balik semak belukar di tepi
pantai…"
"Waw!
Jadi kau mengintip rupanya?! hik… hik? Dengar, mengintip itu cuma bikin pusing
kepala. Kau tidak mau melakukannya sendiri?"
Wiro
pencongkan mulut lalu menggeleng.
"Ah,
aku tahu. Kau tidak mau mendapat yang bekas. Lihat, wajahku bisa berubah-ubah.
Kau tinggal mengatakan pilih yang mana."
Diiringi
suara tawa panjang rupa perempuan di atas perahu berubah berulang kali. Semua
menampilkan wajah-wajah cantik. Wiro sempat terperangah ketika melihat dua di
antara wajah-wajah itu sangat menyerupai wajah Ratu Duyung dan Bidadari Angin
Timur.
"Kau
pasti Jejadian Nyai Tumbal Jiwo!" kata Pendekar 212.
"Lebih
baik kau kembali ke ujud aslimu!" Lalu Wiro angkat tangan kanan, siap
melepas pukulan. Tangan Dewa Manghantam Batu Karang. Pukulan sakti Ini
dipelajari Wiro dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao
Basaluang Amen.
Namun
sebelum pukulan itu melesat sosok perempuan cantik di atas perahu yang mengaku
Nyi Wulas Pikan telah lenyap dari pemandangan. Yang terdengar hanya suara tawa
cekikikan yang kemudian juga lenyap seolah masuk menghilang ke dalam laut,
ditelan gemuruh ombak. Perahu yang terkena pukulan hancur berentakan
berkeping-keping.
Wiro
berbalik. Dia melengak kaget dan keluarkan seruan tertahan lalu menyumpah
panjang pendek karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu.
Ternyata
yang tertendang adalah sosok Wira Bumi.
Anehnya
tubuh dan kepala yang sebelumnya kutung terpisah tergeletak kini dalam keadaan
saling berdekatan. Mulut menganga, mata kanan mencelat!
Namun di
lain kejap sosok itu kemudian lenyap dari pemandangan.
"Edan!
Edan!" maki Wiro berulang kail.
"Hik…
hik."
Tiba-tiba
ada tawa mengiang di telinga Wiro.
"Ini
aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Pikan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi,
apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi di pulau yang sepi ini?
Suara tetabuhan gamelan di pantai seberang akan mengalun! percintaan kita.
Bukankah Indah sekali?"
"Hik..hik!"
Saking kesalnya Wiro menirukan tawa mengiang lalu memaki."Gila!
Edan!"
"Gila!
Edan! Yang gila dan yang edan itu yang paling enak! Kita akan sama-sama
merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm … Kau
tidak akan meninggalkan diriku seumur-umur! Dan aku akan setia padamu! hik …
hik …hik!"
"Setan
perempuanl Mampuslah!" teriak Wtro. Lalu tidak kepalang tanggung dia
hantamkan tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara
mengiang. Hawa panas menghampar. Cahaya putih menyilaukan berkiblat di Watu
Gilang. Membuat terkejut dan heran semua orang yang ada di pantai Parangtritis
dan Parangkusumo. Namun yang dihantam pukulan sakti itu hanya udara malam
kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di atas pulau menjadi gelap.
"Sialan!
Sialan!" maki Wiro berulang kali.
"Tidak
siali Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung mendapatkan
dirimu!"
Suara
mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.
MASIH
dalam suasana malam Satu Suro. Menjelang pagi Kota raja yang ramai dengan
berbagai perayaan menyambut pergantian tahun berangsur-angsur sepi.
Sebelumnya
di berbagai tempat terdapat banyak panggung hiburan. Arak-arakan yang membawa
obor dan lampion berputar-putar sepanjang Jalan di dalam kota. Berbagai alat
bunyi-bunyian seperti gendang, beduk kecil ditabuh, Seruling dan terompet
ditiup melengking keras. Menjelang pagi suasana berangsur sepi. Sewaktu hujan
rintik-rintik turun dan hawa dingin mulai membungkus Kotaraja, keadaan Jadi
benar-benar sunyi. Hanya sesekali terdengar suara lolongan anjing di kejauhan.
Dalam
kegelapan malam yang dipagut hawa dingin, dari arah barat tampak sebuah gerobak
ditarik seekor kuda hitam bergerak memasuki Kotaraja. Luar biasanya, gerobak
ini membawa sebuah peti mati dari kayu kasar, ditutup secarik kain merah. Dan
ternyata gerobak ini menuju ke Gedung Kepatihan yang terletak di selatan
alun-alun.
*********************
2
KETIKA
gerobak yang ditarik kuda hitam meluncur ke arah pintu gerbang yang tertutup
dua pengawal penjaga pintu gerbang serta meria menghadang sambil melintangkan
tombak besi berujung tajam.
Pengawal
di sebelah kanan hendak membentak kusir gerobak. Namun begitu melihat sosok dan
tampang kusir gerobak, mulurnya langsung terkancing dan wajahnya menjadi pucat.
Pengawal yang satu lagi tertegun mendelik, juga tak mampu keluarkan suara.
Kusir
gerobak ternyata adalah seorang nenek bermuka seseram setan, berambut merah
panjang riap-riapan, mengenakan pakaian merah. Seluruh kulit termasuk kulit
wajahnya Juga berwarna merah.
Sepasang
mata yang laksana api Jadi bertarnbah seram karena dilingkari sepasang alis
berwarna merah menjulai! Ketika dia menyeringai tampak daratan gigi yang hanya
tinggal beberapa buah serta lidah yang basah merah.
"Buka
pintu gerbang!" SI nenek memerintah dengan suara bergaung membuat dua
pengawal tambah ketakutan.
Karena
yang diperintah tidak bergerak dan tidak bersuara, si nenek tidak sabaran
gerakkan tangan kanan. Selarik sinar merah melesat "Braaakkk”
Pintu
gerbang besar yang terbuat dari kayu besi tebal dan kokoh hancur berantakan. Si
nenek sentakkan tali kekang kuda. Pada saat gerobak meluncur melewati pintu
gerbang baru dua pengawai sadar. Keduanya berteriak keras dan berusaha
menghalangi. Salah seorang dari mereka malah melompat naik ke tempat duduk kusir.
"Manusia-manusia
kurang ajar! Tidak tahu diri! Apa tidak melihat aku membawa barang
keramat?!"
Tangan
kiri si nenek bergerak.
"Bukk”
Pengawal
yang melompat ke atas kereta terpental.
Tergelimpang
di tanah tak berkutik lagl.Tulang dada hancur!
Pengawai
satunya melihat apa yang terjadi dengan temannya berteriak marah lalu
melemparkan tombak besi ke arah si nenek. Orang yang diserang cuma menyeringai.
Sekali tangannya diangkat tombak besi berhasil ditangkap lalu dilempar balik ke
arah perajurit yang tadi menyerang. Perajurit pengawal hanya sempat keluarkan
suara jeritan pendek lalu roboh ke tanah dengan dada ditambus tombaki.
**************************
PAGI
harinya Gedung Kepatihan geger besar.Yang pertama sekail melihat gerobak
berhenti di depan gedung adalah seorang pembantu lelaki yang setiap pagi biasa
menyapu membersihkan halaman.
"Aneh,
pagi-pagi begini ada gerobak di depan Kepatihan. Kusirnya tidak kelihatan.
Siapa yang membawa?" Pembantu ini melangkah mendekati.
Beberapa
langkah di samping gerobak gerakannya terhenti ketika pandangannya membentur
peti mati berselubung kain merah. Dia mencium bau aneh.
"Bau
busuk… Seperti bau busuk bangkai.„." Ucap tukang sapu dalam hati. Rasa
takut mendadak saja menggerayangi diri.Terlebih ketika dia memandang ke arah
kiri dan melihat pintu gerbang dalam keadaan hancur berentakan. Lalu ada dua
perajurit tergeletak
tak
bergerak. Salah satu dengan dada ditancapi tombak. Seekor anjing tengah
menjilati cairan merah di dada perajurit yang sudah jadi mayat itu.Tengkuk
tukang sapu merinding dingin. Dia segera saja berteriak-teriak memanggil
pengawal.
Lebih
dari selusin pengawal kemudian mendatangi halaman depan Gedung Kepatihan. Empat
orang lari ke arah pintu gerbang dimana dua pengawal tergeletak tewas. Sisanya
mengerubungi gerobak. Bersama mereka Ikut seorang kakek berjubah gombrong hitam
berkepala botak yang dicat hitam. Kakek ini adalah seorang tokoh silat golongan
hitam yang menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Patih Wira Bumi dikenal
dengan nama panggilan Kloneng Hitam. Wajah si orang tua botak tampak berkerut
Hatinya membatin. Dia seolah sudah tahu apa yang terjadi dan mayat siapa yang
ada dalam peti mati.
"Malapetaka
besar akhirnya datang juga. Kepala Pengawal Bantarangln tewas. Juga Perwira
Tinggi Suko Daluh. Lalu tokoh silat Ki Wulur Jumena dan Ki LuwakIreng terbunuh.
Sekarang…" Kioneng Hitam tidak teruskan ucapan hati dia berteriak pada
para pengawal Kepatihan yang mengerubungi gerobak.
"Jangan
diam saja! Lekas turunkan peti mati itu!"
Seorang
pengawal menarik kain merah yang menyelubungi peti mati. Delapan orang kemudian
dengan susah payah menurunkan peti mati ke tanah. Bau busuk semakin santar.
"Buka
tutup peti mati!" perintah kakek kepala botak hitam.
Delapan
pengawal yang barusan menurunkan pati mati sesaat tertegun. Wajah mereka jelas
menunjukkan rasa bimbang dibalut ketakutan.
"Perajurit-perajurit
pengecut!" maki Kloneng Hitam.
Kakek
botak ini pergunakan kaki kiri menendang pinggiran peti mati hingga papan
penutup peti mati terpental, melesat ke udara. Dalam keadaan tanpa penutup, apa
yang ada di dalam peti mati terpentang jelas. Semua pengawal yang ada di
sekeliling peti bersurat mundur, keluarkan saruan tertahan dan serentak menutup
hidung.
Kloneng
Hitam walau sudah menduga tak kurang kaget di dalam peti mati tergeletak mayat
Patih Wira Bumi. Yang mengerikan kepalanya terpisah dari badan.
Mata kiri
dibalut kain hitam. Mata kanan melotot mencelet. Mulut menganga. Bagian yang
kutung bekas tabasan senjata tajam tampak telah membusuk. Bagian tubuh yang
luka inilah yang menebar santar bau busuk.
Kloneng
Hitam menyuruh para pengawal menutup peti mati kembali lalu dia masuk ke dalam
Gedung Kepatihan menemui Ni Ketut Ragi, perempuan keturunan Bali yang menjadi
Kepala Pelayan di Gedung Kepatihan.
"Ni
Ketut, beri tahu kedua istri almarhum kanjeng Patih Kerajaan apa yang terjadi.
Tapi cegah kalau mereka Ingin melihat jenazah."
Begitu
tahu kalau majikannya telah meninggal dunia, Nl Ketut Ragi sambil menangis
pergi menemui dua orang Istri Patih Wira Bumi yang tinggal di dua bangunan
terpisah. Seperti’ diketahui Wira Bumi memiliki tiga orang istri. Istri ketiga
dan yang paling muda adalah Nyi Retno Mantili. Pagi Itu Juga seluruh penghuni
Gedung Kepatihan dilanda kegegeran. Ratap tangis terdengar dimana-mana.
Kioneng
Hitam sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah kamar rahasia yang diketahuinya
sering dipakai Wira Bumi untuk bersemadi dan bertemu serta bercinta dengan
gurunya Nyai Tumbal Jiwa. Cukup lama kakek kepala botak Ini berada dalam kamar.
Dia berusaha merenung dan berpikir mencari tahu siapa adanya orang yang telah
membunuh Patih Wira Bumi.
"Setahuku
Patih Wira Bumi baru saja mendapatkan ilmu dari seorang nenek sakti di pantai
selatan. Dengan ilmu yang dimilikinya tidak mudah bagi musuh untuk
menghabisinya." Kekek botak Ini terus merenung. "Aku Ingat cerita
Patih Wira Bumi tentang golok besar miliknya yang pernah hilang. Mungkin dengan
menjajagl dimana keberadaan senjata itu aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya
telah terjadi. Aku harus menemui seseorang. Aku juga harus mengutus seseorang
untuk melapor ke Istana"
Kioneng
Hitam keluar dari kamar. Langkahnya tertahan ketika entah dari mana datangnya
tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang nenek bermuka setan. Wajah,
pakaian serta rambut berwarna merah menyala. Walau berkepandaian tinggi dan
punya banyak pengalaman namun menghadapi nenek angker ini Kloneng Hitam
bergetar juga nyalinya.
"Kakek
botakl Kau telah berlaku lancangi. Memasuki kamar rahasia Patih Kerajaan tanpa
Izin!" si nenek berkata. Suaranya perlahan tapi menimbulkan gaung aneh di
dalam kamar.
"Kau
siapa? Punya hak apa menegurku?!" Balik menjawab Kloneng Hitam.
"Kau
tidak layak bertanya.Tapi biar kujawab agar kau tahu diri! Aku Nyai Tumbal Jiwo
Guru Patih Kerajaan Wira Bumi!"
Kloneng
Hitam tertegun sesaat talu berkata.
"Ah,
aku tidak menyangka. Terima salam hormatku."
SI kakek
lalu membungkuk memberi penghormatan.
Setelah
berdiri lurus-lurus dia berkata.
"Aku
tidak bermaksud beri ancang diri. Aku memasuki kamar dalam menjajagl
kalau-kalau ada sesuatu yang bisa aku jadikan bahan untuk mencari tahu siapa
pembunuh Patih Kerajaan."
"Kau
tidak perlu melakukan hal itu. Semua tanggung jawab ada padaku! Aku yang akan
mencari pembunuh Patih Wira Bumi!"
"Aku…
aku sangat berterima kasih kalau kau mau melakukan, Nyai." Kata Kloneng
Hitam pula walau dalam hati dia merasa tidak enak. Sebagai tokoh silat golongan
hitam sedikit banyak dia tahu mahluk macam apa adanya Nyai Tumbal Jiwo.
"Kalau
kau sudah mengerti pergilah! Jangan sekali lagi berani berlaku lancang. Apa
lagi masuk ke dalam kamar ini!"
"Baik
Nyai." Ucapanmu akan aku ingat baik-baik!" Jawab Kloneng Hitam. Lalu
cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Setelah
Kloneng Hitam pergi, Nyai Tumbal Jiwo masuk ke dalam kamar, langsung merebahkan
diri menelentang di atas ranjang. Mulutnya berucap perlahan.
"Pendekar
Dua Satu Dua, kekasihku. Kalau kau ada di sini alangkah bahagianya diriku.
Hanya kau seorang yang mampu menjadi pengganti Wira Bumi."
Sambil
membayangkan wajah Wiro, Nyai Tumbal Jiwo tanggalkan pakaian merahnya.
Bersamaan dengan Itu wajah dan tubuhnya berubah menjadi wajah dan tubuh seorang
gadis cantik. Nyi Wulas Pikan!
*********************
3
TELAGA
tiga warna di puncak Gunung Gada sebelah timur tampak begitu indah. Udara terasa
nyaman pagi itu. Kicau burung terdengar bersahutan di pepohonan. Di kejauhan
ada suara perempuan menyanyi.
Kemuning
anakku
Pagi
begini Indah
Udara
aegar melegakan kalbu
Adakah
kau mendengar begitu merdu
Suara
kicau burung dipepohon
Ataukah
kau masih berduka
Karena
ayahmu tak kunfung Jumpa
Kemuning
anakku
Jangan
kau bersedih
Suara
nyanyian tiba-tiba terputus. Penyebabnya adalah kemunculan seorang dara
berambut hitam sepinggang, mengenakan pakaian putih berkilat. Berhenti di tepi
telaga wajahnya yang Jelita tampak berkerut "Jelas tadi aku mendengar
suara perempuan menyanyi di arah sini. Mengapa mendadak lenyap?"
Gadis di
tepi telaga memandang berkeliling. Hatinya berkata. "Aku yakin perempuan
yang menyanyi masih ada di sekitar sini. Aku tidak melihat dia tapi bisa saja
dia tengah memperhatikan diriku. Ah sudah, aku tidak ada urusan dengan
perempuan Itu. Bisa saja dia pengamen murahan yang kesasar. Tapi, bagaimana
kalau yang menyanyi tadi gadis bermata biru Itu? Apa dia sudah datang lebih
dulu? Sayang aku tidak mendengar Jelas apa syair nyanyiannya."
Gadis itu
akhirnya duduk berjuntai di tepi telaga.
Dia tidak
perdull ujung celana putihnya masuk ke dalam air. Dan ternyata ujung kaki
celana Itu memang tidak basah. Sambil menggoyang-goyang dua kaki perlahan-lahan
gadis ini kerahkan tenaga dalam.Tak selang berapa lama air telaga tiga warna
tampak mulai bergelombang. Gelombang-gelombang kecil ini bukan gelombang biasa
karena menimbulkan getaran aneh yang terasa sampai di dasar telaga.
"Getaran
sudah sampai ke dasar telaga, saatnya aku bicara." Membatin gadis yang
duduk di tepi telaga.
Sepasang
mata bening memandang ke permukaan, kepala disentakkan hingga Wuutt Rambut
hitam panjang melesat berputar membuat ranting pohon bergoyang dan dedaunan
yang luruh jatuh. Lalu mulut berbibir marah bagus berucap. Dia mempergunakan
Ilmu yang disebut Menyadap Suara Batin, Ilmu yang mampu menyampaikan suara ke
tempat jauh melalui angin. Suara yang disampaikan sanggup menembus tembok,
melewati air.
"Kiai
Gede Tapa Pamungkas, saya datang dari jauh. Apakah kau sudi menemui
diriku?"
Suara
yang diucapkan gadis berpakaian putih itu membuat gelombang di permukaan air
telaga yang tadinya kecil berubah membesar.
Si gadis
menunggu. Tidak ada balasan suara kecuali suara tiupan angin yang tiba-tiba
mengencang. Tidak ada yang muncul, baik dari sekitar tepi telaga maupun dari
dalam telaga.
"Kiai.
saya tahu kau ada di dalam telaga. Kalau saja saya bisa masuk menembus batas
air saya akan langsung mendatangi dirimu. Kalau kau tidak mau menerima diriku,
mungkin kau sedang bersamadi atau tengah berzikir dan memanjatkan doa pada
Tuhan. Kalau begitu saya yang tidak tahu diri. Datang menganggu ketenteraman
dirimu. Saya mohon maafmu Kiai. Tapi karena saya ada kepentingan, saya akan
menunggumu sampai kapanpun hingga kau mau menemui diri saya."
Habis
berkata begitu gadis berpakaian putih itu melesat dan duduk ke cabang pohon di
tepi telaga. Sambil duduk dia memandang berkeliling, memperhatikan keadaan
kalau-kalau dia bisa melihat perempuan yang tadi menyanyi. Namun setelah
memperhatikan sekian lama dia tetap tidak melihat seorangpun di sekitar situ.
Tiba-tiba
gadis ini mendengar suara sesuatu meluncur dari dasar telaga. Matanya
dialihkan, menatap tak berkesip ke permukaan air. Sesaat kemudian air telaga
tampak muncrat sampai setlnggl dua tombak.
Bersamaan
dengan Ku muncullah sosok seorang kakek berpakaian selempang kain putih,
berambut putih, kumis dan janggut Juga putih. Wajah klimis segar dan jernih.
Luar biasanya walau keluar dari dalam telaga, baik tubuh maupun pakaiannya sama
sekail tidak tidak basah.
Di
pertengahan telaga sementara air telaga yang tadi muncrat kembali surut ke
bawah, dengan tenang orang tua berpakaian selempang kain putih melangkah di
permukaan air seolah dia berjalan di atas tanah. "Kiai" Gadis yang
duduk di cabang pohon berseru gembira lalu melayang turun dan menunggu kakek
berpakaian putih di tepi telaga. Begitu orang tua ini sampai di hadapannya, si
gadis langsung jatuhkan diri memberi penghormatan.
“Tetamu
muda berpakaian putih," sapa si orang tua yang bukan lain adalah Kiai
GedeTapa Pamungkas, "berdirilah." Di dalam hati orang tua ini
membatin.
"Lain
yang ditunggu lain yang datang. Apakah Nyi Retno mengetahui kemunculan gadis
Ini?"
Gadis
berambut hitam panjang cepat berdiri.
Setelah
menatap sejurus Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
"Apakah
aku mengenal dirimu?" Si gadis menggeleng.
"lni
kali pertama kita bertemu Kiai. Saya mohon maaf kalau telah mengganggu
dirimu."
"Kau
tidak menganggu siapapun di tempat ini. Tadi kau berkata datang dari jauh dan
punya satu kepentingan." Sepasang mata Kiai Gede Tapa Pamungkas perhatikan
ujung celana putih si gadis yang tidak basah meski tadi dia memasukkan dua kaki
ke dalam air telaga.
"Sangat
penting Kiai." Jawab si gadis.
"Katakan
siapa namamu. Lalu ceritakan apa kepentinganmu."
"Kiai,"
di negeri asal saya, saya dipanggil dengan nama Luhrembulan. Saya datang dari
negeri jauh. Saya sebenarnya adalah…"
"Aku
sudah tahu, tak perlu diceritakan," potong Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Ketika dia mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti pada kedua
matanya, orang tua ini melihat ujud asli si gadis yang ternyata adalah seorang
nenek kurus hitam. Wajah menyerupai burung gagak. Mulut dan hidung jadi satu
seperti paruh burung. Sepasang mata kecil tanpa alis.
"Syukurlah
kalau Kiai sudah tahu. Saya seorang bernasib malang. Terdampar dari alam seribu
dua ratus silam ke tanah Jawa ini…"
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mengangguk. "Sekarang ceritakan saja maksud
kedatanganmu."
"Saya
mohon diberi keleluasaan untuk menunggu kedatangan seseorang di tempat
ini." Jawab gadis mengaku bernama Luhrembulan."
"Siapa
orangnya?" bertanya sang Kiai.
"Saya
menyirap kabar orang itu akan datang kesini sebelum bulan purnama besok
malam."
"Ya,
katakan siapa orangnya," mengulang Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Dia
seorang lelaki muda. Namanya Wiro Sableng. Di tanah Jawa dia dijuluki Pendekar
Dua Satu Dua.
Bukankah
dia punya hubungan sangat dekat dengan Kiai? Bukankah benar kabar yang saya
sirap bahwa dia akan datang sebelum bulan purnama besok malam?"
"Semua
yang kau katakan benar adanya." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Yang
aku Ingin tahu ada kepentingan apa kau mencari Wiro Sableng."
"Dia
adalah suami saya." Jawab Luhrembulan yang berasal dari Latanahsilam,
negeri seribu dua ratus tahun silam.
Ujung
alis putih Kiai Gada Tapa Pamungkas langsung menjungkat ka atas. Sepasang mata
memandang tak berkesip pada gadis cantik di hadapannya.
"Kuharap
aku tidak salah mendengar. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adalah
suamimu?"
"Benar
Kiai. Kami nikah beberapa waktu lalu."
"Nikah…
?" Kiai Gede Tapa Pamungkas terdiam sejenak. "Aku memang banyak
mendengar cerita macam-macam mengenai pemuda itu.Tapi kalau soal kawin baru
kali ini…" Sang Kiai berucap lalu gelenggelengkan kepala.
"Tidak
heran kalau Kiai tidak pernah mendengar perihal perkawinan Itu. Karena kami
nikah di Latanahsiam. Negeri seribu dua ratus tahun silam…"
Kata
Luhrembulan pula.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas menatap lekat-lekat ke wajah gadis di hadapannya. Seolah Ingin
menyelami apakah Luhrembulan berucap benar atau dusta belaka.
Tiba-tiba
dari arah selatan telaga terdengar suara perempuan menyanyi.
*********************
4
Kemuning
anakku
Adakah
kau mendengar
Perempuan
yang katanya
datang
dari negeri Jauh
Mengaku
bersuamikan ayahmu
Kemuning
anakku
Apa kau
merasa bahagia
Punya dua
Ibu
Satu
kandung
Satu Ibu
tiri
Kemuning
anakku
Dunia
memang aneh
Tapi
tidak ada keanehan begini luar biasa
Selain
pempuan yang mengaku telah nikah
Dengan
ayahmu tercinta
Padahal
ujudnyapun
Tidak
karuan rupa
Luhrembulan
palingkan kapala ke arah selatan telaga sementara Ki Gede Tapa Pamungkas
diam-diam perhatlkan wajah Si gadis yang tampak berubah begitu mendengar suara
nyanyian.
"Kiai,
waktu saya datang ke sini saya juga mendengar perempuan bernyanyi. Suaranya
sama dengan suara yang barusan terdengar. Dalam nyanyian perempuan itu selalu
menyebut nama Kemuning. Apakah Kiai mengetahui siapa perempuan itu adanya?’
Sebelum
menjawab Kiai Gede Tapa Pamungkas bicara sendiri dalam hati. "Gadis Ini
pandai menyembunyikan amarah ketika dirinya dihina sebagai mahluk yang ujudnya
tak karuan. Dia bicara menanyakan hal lain."
"Dia
muridku," akhirnya Kiai Gede Tapa Pamungkas menjelaskan pada Luhrembulan.
"Apakah
saya boleh tahu siapa nama murid Kiai Itu?"
"Namanya
Nyi Retno Mantili."
Paras
Luhrembulan untuk kesekian kalinya tampak berubah.
"Apakah
kau mengenal muridku itu?" bertanya sang Kiai.
Luhrembulan
menggeleng.
"Saya
tidak kenal, tapi saya tahu siapa dia dan bagaimana riwayatnya. Hanya saja saya
tidak tahu kalau dia berada di sini bersama Kiai…"
"Dia
datang beberapa waktu lalu bersama puterinya bernama Kemuning "
"Boneka
kayu itu?"
"Kau
sudah tahu," kata Kiai Gede Tapa Pamungkas sambil tersenyum.
"Kiai…"
Luhrembulan berkata tetapi kemudian diam.
"Kau
hendak menanyakan sesuatu? Bicara saja terus terang."
"Betul
Kiai, apakah benar Pendekar Dua Satu Dua telah kawin dengan Nyi Retno
Mantili?"
"Jika
kau sudah tahu keadaan perempuan malang itu, apakah aku masih harus
menerangkan?" balik bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tidak mau
menceritakan keadaan sebenarnya dari Nyi Retno Mantili.
Luhrembulan
terdiam. Dalam diam hatinya berucap.
"Perempuan
bernama Nyi Retno Itu mengatakan diriku mahluk tidak karuan ujud. Dirinya
sendiri tidak waras. Mengaku pula bersuamikan Wiro. Dimana dia nikah? Siapa
yang menikahkan? Punya anak diberi nama Kemuning tapi berupa boneka kayu."
"Luhrembulan,
apakah kau masih ada pertanyaan?" bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Memang
ada Kiai. Pertama apakah keberadaan Nyi Retno Mantili di tempat kediaman Kiai
juga untuk menunggu kedatangan suami saya Wiro?"
Tiba-tiba
melengking suara tawa panjang yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas kerahkan
tenaga dalam untuk melindungi telinga sementara Luhrembulan tutup dua telinga
dengan telapak tangan. Air telaga tiga warna tampak bergelombang. Belum habis
gema tawa tahu-tahu di samping Kiai Gede Tapa Pamungkas telah berdiri seorang
perempuan cantik bertubuh kecil, mengenakan pakaian biru gelap. Dia membedong
sebuah boneka kayu di atas dadanya.
"Luhrembulan,
Inilah Nyi Retno Mantili muridku," berkata Kiai Gede Tapa Pamungkas
memperkenalkan Nyi Retno Mantili.
"Saya
telah menduga," Jawab Luhrembulan sambil coba melayangkan senyum.
Nyi Retno
Mantili usap kepala boneka lalu berkata.
"Kemuning,
lihat dia tersenyum padamu. Apakah kau tidak mau membalas senyumnya? Eh,
mengapa kau cemberut Ah, kau tak suka padanya! Aku mengerti. Tapi ah, jangan
menangis. Kemuning anak cantik, anak pintar dan cerdik. Kemuning tidak boleh
menangis."
Nyi Retno
keluarkan boneka kayu dari bedongan kain lalu diayun ditimang-timang sambil
tiada hentinya membujuk.
"Nyi
Retno, tenangkan anakmu. Ajak dia bermainmain ke tempat lain." berkata
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Orang tua ini sudah maklum kalau dua perempuan itu
berlama-lama saling berhadapan maka sesuatu yang tak diingini bisa saja
terjadi.
Nyi Retno
Mantili gelengkan kepala.
"Kiai,
saya tidak akan pergi sebelum perempuan lancang ini angkat kaki dari puncak
Gunung Gede"
Dikatakan
lancang Luhrembulan jadi marah.
"Aku
tidak merasa berbuat lancang. Sebaliknya mulutmu yang lebih dulu jahil menghina
diriku sebagai mahluk tidak karuan ujud! Apakah begitu sikap seorang murid dari
Kiai besar rimba persilatan?"
Dengan
ucapannya Itu Luhrembulan sekaligus menempelak Nyi Retno Mantili dan menyindir
Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Nyi
Retno, pergilah bawa anakmu ke tempat lain…"
"Saya
tidak akan pergi!" Jawab Nyi Retno Mantili tegas.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berpaling pada Luhrembulan.
"Kalau
begitu sebaiknya kau saja yang meninggalkan tempat Ini."
Luhrembulan
tatap wajah jernih Kiai GedeTapa Pamungkas lalu sunggingkan senyum dan
menjawab.
"Kiai,
saya seorang tamu yang datang dari jauh. Apakah begitu peradatan dirimu,
tega-teganya menyuruh tamu pergi? Lagi pula saya datang ke sini adalah untuk
mencari suami. Hanya satu kebetulan saja dia punya hubungan dekat denganmu.
Kalau tidak menyirap kabar dia akan muncul di sini, perlu apa saya datang ke
tempat ini! Seharusnya kiai membantu diriku mempertemukan dengan Wiro itu yang
oleh orang-orang semacam Kiai disebut silaturrahmi. Bukan malah
mengusirku."
Wajah
Kiai Gede Tapa Pamungkas tampak berubah. Namun suaranya tetap tenang.
"Luhrembulan,
jangan kau salah sangka. Aku tidak mengusirmu. Jika kau ingin menunggu
kedatangan Wiro, silahkan saja. Tapi cari tempat lain yang lebih baik. Jangan
di sini…"
"Begitu?"
ucap Luhrembulan yang di negeri Latanahsilam dikenal dengan Julukan Hantu
Santet Laknat. "Baik, saya akan menghindar dari sini.Tapi bukan berarti
saya akan pergi dari puncak Gunung Gede. Tidak ada satu manusiapun, baik yang
punya otak maupun yang tidak waras yang boleh menghina diri saya dan menghalangi
saya menemui suami saya sendiri"
Habis
berkata begitu Luhrembulan guratkan ujung ibu jari kaki kanannya ke tanah.
"Reeetttt!"
Terjadilah
satu hal yang hebat Asap mengepul! Tanah seputar telaga terbelah selebar dua
langkah. Dari dasar belahan keluar hawa dahsyat yang mampu menyedot benda apa
saja yang berada di sekitarnya.
Nyi Retno
Mantili terpekik. Tubuhnya hampir tersedot masuk ke dalam belahan tanah kalau
tidak lekas ditarik oleh Kiai Gada Tapa Pamungkas.
"Luhrembulan!"
teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Ternyata
kau datang membekal niat tidak baik!" Sang Kiai rupanya mulai marah.
"Kiai"
balas Luhrembulan berteriak tak kalah keras.
"Kau
berlaku tidak adil! itu bukan perilaku seorang Kiai!"
"Kemuning,"tiba-tiba
Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan. "Ada orang kesasar berani menghina
Eyang Sepuhmu! Mari kita bungkam mulutnya!"
Nyi Retno
Mantili angkat ke atas boneka kayu di tangan kanan. Diarahkan pada Luhrembulan.
Lima jari tangan memencet pinggang boneka.
Wusss.’Wusss!!"
*********************
5
DUA LARIK
cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka, menyambar ke
arah Luhrembulan, gadis cantik dari Latanahsilam. Inilah ilmu kesaktian bernama
Sepasang Cahaya Batu Kumala yang didapat Nyi Retno Mantili dari Kiai Gede
Pamungkas. Selama Ini hampir tidak ada lawan yang bisa selamat. Jika kena leher
akan putus laksana
dipancung.
Kalau mendarat ditubuh maka tubuh akan terbelah seperti ditabas golok raksasa!
Mendapat
serangan maut begitu rupa Luhrembulan hanya sunggingkan senyum. Malah mulutnya
umbar ucapan mengejek.
"Perempuan
tidak tahu diri! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan Ilmu kesaktianmu!"
"Wuss…wusss”
Dua
cahaya putih berkilau melesat di atas tanah yang terbelah.
"Blaaar…
blaar!"
Dua
cahaya putih memancar terang lalu tersedot masuk ke dalam belahan tanah! Asap
mengepul menutup pemandangan. Nyi Retno Mantili memekik marah.
Luhrembulan
tertawa mengejek.
"Ilmu
baik dipakai untuk kejahatan mana mempan! Ilmu kesaktian hebat diberikan pada
perempuan berotak miringi Apa tidak akan menimbulkan malapetaka dalam rimba
persilatan?! Hik… hik… hik!"
Ketika
asap sirna, kelihatan Nyi Retno Mantili tersandar ke tubuh Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
Wajahnya
pucat. Tangan kanan tergontai lemas memegang boneka kayu sementara sang Kiai
sendiri tampak berkomat kamit melafalkan sesuatu. Ucapan Luhrembulan
benar-benar merupakan tamparan hebat bagi dirinya. Di seberang sana Luhrembulan
sendiri tegak sambil berkacak pinggang. Masih belum puas gadis dari negeri 1200
tahun silam ini kembali menyemprot
"Otak
tidak waras! Mulut penuh menghina! Orang lain dianggap sampah! Rasakan sendiri
akibatnya! Kiai! Sebaiknya kau jangan cuma memberi pelajaran Ilmu kesaktian
pada perempuan sinting itu! Beri juga Ilmu budi bahasa agar tidak sombong dan
bicara kurang ajari"
"Luhrembulan,
ucapanmu sudah sangat keterlaluan" tegur Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan
menindih amarah. "Ilmu kesaktian apapun yang kau miliki tidak membuat aku
merobah keputusan! Cepat tinggalkan tempat ini! Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng
tidak pernah beristrikan perempuan sepertimu!"
Luhrembulan
tertawa panjang.
"Kiai!
Kau akan mendengar dan melihat kenyataan! Jangan sembunyi dibalik ketakutan
pada dirimu sendiri!"
"Apa
maksudmu?!" bentak Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Namun
Luhrembulan sudah lenyap dari tempat itu sementara tanah seputar telaga masih
tetap menganga terbelah!
Kiai
GedeTapa Pamungkas tarik nafas panjang dan dalam. Matanya memperhatikan tanah
yang terbelah di hadapannya.
"Ilmu
luar biasa. Kalau aku tidak salah murid Sinto Gandeng juga memiliki Ilmu
kesaktian membelah tanah seperti Ini. Dari mana dia mendapatkan? Dari gadis
bernama Luhrembulan itu? Berarti mungkinkah mereka memang sudah nikah? Tidak
sembarang orang akan mau begitu saja memberikan ilmu kesaktian langka seperti
ini." Sang Kiai terdiam sejurus lalu mengusap punggung Nyi Retno Mantili
dan berkata.
"Nyi
Retno menjauhlah sampai ke tepi telaga. Aku harus melakukan sesuatu untuk
memulihkan keadaan di tempat ini."
Baru saja
Kiai Gede Tapa Pamungkas berucap tibatiba dua bayangan berkelebat. Salah
seorang diantaranya berseru.
"Kiai!
Biar saya yang melakukan hal itu!"
DI
hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas sesaat kemudian telah berdiri Ratu Duyung dan
Purnama.
Walau
gembira melihat kemunculan Ratu Duyung yang memang dipesan untuk datang, namun Kiai
Gede Tapa Pamungkas agak merasa risih dengan Ikut hadirnya Purnama di tempat
itu.
Dalam
hati sang Kiai berkata."Yang ditunggu tidak datang. Yang datang orang
lain. Untung dia sudah pergi. Yang dipesan memang datang tapi mengapa muncul
bersama seseorang yang tidak aku kehendaki? Wiro sendiri, dimana dia? Apakah
dia akan datang sebelum bulan purnama muncul esok malam?"
Ratu
Duyung dan Purnama memberi salam lalu membungkuk hormat. Dua gadis yang datang
ini kemudian sama-sama berpaling ke arah perempuan bertubuh kecil berparas
cantik yang tengah mengeluselus sebuah boneka kayu. Ratu Duyung dan Purnama
saling pandang. Tanpa mengeluarkan ucapan keduanya sama-sama maklum kalau
perampuan di samping sang Kiai adalah Nyi Retno Mantili yang selama ini menjadi
berbagai bahan berita dan punya hubungan dekat dengan Pendekar 212.
Dalam
hati Purnama dan Ratu Duyung mempunyai perasaan dan suara batin yang
sama.Terakhlr sekali bertemu, Wiro menunjukkan kesan segan-seganan datang
menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede. Alasannya dia harus
mencari Nyi Retno Mantili untuk menyelamatkan perempuan ini dari bahaya maut
yang mengancam. Juga menolong bayinya yang hendak dibunuh orang. Ternyata Nyi
Retno Mantili ada di sini. Dalam keadaan aman, ceria menggendong sebuah boneka
kayu. Lalu apa sebenarnya alasan Wiro tidak mau datang menemui sang Kiai?
"Takut
dijodohkan dengan diriku?" Membatin Ratu Duyung.
"Jangan-jangan
dia yang menyuruh Purnama untuk mengikuti diriku ke sini. Ingin
mematai-mataiku. Aku memang sudah lama tahu kalau sahabatku satu ini sangat
mencintai Wiro. Tapi pemuda itu apakah dia membalas cintanya? Sulit aku menduga
sejauh mana mereka telah menjalin cinta. Sedalam apa mereka berbagi kasih.
Kalau saja aku bisa menarik diri, menjauh darinya, mungkin itu bisa membuat dia
hidup lebih tenang dan lebih bahagia. Aku maklum saat ini Wiro memiliki banyak
ganjalan hati. Ada Bidadari Angin Timur. Ada Anggini. Lalu ada Bunga. Aku tak
tahu siapa lagi. Jangan-jangan Nyi Retno Mantili juga bercinta dengannya. Apakah
aku bisa pasrah dan menerima keadaan apa adanya?"
Melihat
Ratu Duyung terdiam lama seperti ada yang direnung dipikirkan, Purnama
berbisik.
"Sahabatku,
ada apa? Apakah kau merasa kurang sehat. Atau ada sesuatu yang menggangu
pikiranmu?"
Ratu
Duyung tersenyum. Belum sempat dia menjawab Kiai GedeTapa Pamungkas sudah
berkata.
"Ratu
Duyung, aku gembira kau datang tepat sebelum waktu yang dijanjikan. Aku mengira
kau datang bersama Wiro. Nyatanya dengan seorang kawan yang aku belum
kenal."
Mendengar
ucapan Kiai Gede Tapa Pamungkas Purnama cepat-cepat membungkuk.
"Kiai,
maafkan kalau saya tidak buru-buru memperkenalkan diri. Saya sudah lama
bersahabat dengan Ratu Duyung. Nama saya Purnama. Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng yang memberikan nama itu pada saya."
Ratu
Duyung palingkan kepala, pura-pura memandang ke arah telaga. Dalam hati dia
berkata.
"Apa
perlunya gadis dari alam gaib ini menceritakan bahwa nama itu diberikan oleh
Wiro? Untuk memberi tahu pada Kiai bahwa dia memiliki hubungan sangat dekat
dongan Wiro? Aku melihat Kiai kurang berkenan dengan kehadirannya. Mungkin aku
telah berlaku keliru. Sebaiknya aku menolak ketika dia mengatakan ingin ikut
bersamaku."
"Dia
berasal dari negeri aneh. Sama dengan perempuan yang tadi mengaku sebagai suami
Wiro!"
Tiba-tiba
saja Nyi Retno Mantili membuka suara. Suasana mendadak berubah senyap dan kaku.
Purnama
dan Ratu Duyung menatap ke arah Nyi Retno Mantili. Ratu Duyung bertanya.
"Kiai,
apakah ada orang lain yang datang sebelum kami sampai ke sini?"
"Benar,"
jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Seorang
gadis yang katanya datang dari jauh. Dia mengaku bernama Luhrembulan…"
Purnama
keluarkan suara tercekat, wajah langsung berubah. Dua mata menatap sang Kiai
dengan pandangan seperti tidak percaya.
Purnama
pegang lengan Ratu Duyung, bicara setengah berbisik.
"Ratu,
ingat peristiwa di Gedung Kadipaten Losari sewaktu kau menyelamatkan diriku
dari serangan maut Raja Racun Bumi Langit?"
Ratu
Duyung mengangguk.
"Luhrembulan,
gadis yang dikatakan Kiai itulah yang muncul di sana dan hampir mencelakai
diriku. Dia bekerja sama dengan Raja Racun Bumi Langit…" (Baca serial Wiro
Sableng berjudul "Sang Pembunuh").
"Aku
ingat," Jawab Ratu Duyung. "Kali ini mungkin kita keduiuan. Lihat
tanah yang terbelah, ini pasti pekerjaan gadis itu."
"Pasti.
Hanya dia dan Wiro yang memiliki ilmu itu…"
kata
Purnama sambil memperhatikan tanah terbelah yang mengelilingi telaga lalu
berpaling pada Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Kiai,
waktu tadi saya melihat tanah terbelah Ini, saya hanya berani menduga. Tapi
setelah Kiai memberi tahu ternyata dugaan saya tidak keliru."
"Kiai,
ada keperluan apa Luhrembulan datang ke sini?" bertanya Ratu Duyung.
"Tidak,
tidak ada keperluan apa-apa. Gadis itu hanya tersesat “Kebetulan saja dia lewat
di sini." Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Baik Ratu
Duyung maupun Purnama merasa sang Kiai telah bicara tidak sejujurnya. Apa
alasan Kiai Gede Tapa Pamungkas berbuat seperti itu?
"Kiai!
Kenapa Kiai memberikan jawaban dusta?"
Tiba-tiba
Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan yang membuat semua orang jadi tercengang.
Purnama
dan Ratu Duyung berpaling menatap Nyi Retno Mantili lalu memandang ke arah Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Wajah orang tua itu Jelas tampak berubah.
Perlahan-lahan
dia coba tarsenyum.
"Ini
hanya urusan kecil. Yang tidak perlu dibesarbesarkan…." Kata sang Kiai
pula.
"Kiai,
kalau sekail lagi Kiai bicara dusta, saya dan Kemuning akan tinggalkan tempat
Ini!"
Lagi-lagi
ucapan, kali ini berupa ancaman dari Nyi Retno Mantili membuat suasana di
tempat itu menjadi tambah tidak enak.
*********************
6
KIAI Gede
Tapa Pamungkas usap janggut putihnya berulang kali. Sambil mengembang senyum di
bibir, orang tua ini berkata.
"Nyi
Retno, tetap di tempatmu. Jangan pergi kemanamana.
Aku tidak
bermaksud bicara dusta. Aku tidak mau bicara sebelum apa yang aku katakan Jelas
adanya. Bagaimana aku bisa percaya ucapan Luhrembulan, seseorang yang aku tidak
tahu asal usul dirinya dan baru sekali aku temui!"
Sang Kiai
lalu berpaling pada Purnama.
"Kau
dan gadis bernama Luhrembulan itu berasal dari alam yang sama. Apa kau tahu
asal usui dirinya? Dia mengaku datang ke sini untuk mencari dan menunggu Wiro
yang dikatakannya sebagai suaminya. Dia mengatakan telah menikah dengan Wiro di
negeri Latanah silam."
Purnama
tidak segera rnenjawab. Dia memandang pada Ratu Duyung seolah minta
pertimbangan.
Ratu
Duyung berkata. "Ceritakan saja..„"
Sebelumnya
Ratu Duyung memang telah pernah mendengar dari Purnama riwayat perkawinan Wiro
dengan Luhrembulan. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Insan Tanpa
Wajah").
"Baiklah
Kiai, akan saya ceritakan apa yang saya ketahui!" kata Purnama pula.
"Di negeri Latanahsilam Luhrembulan dikenal dengan nama Hantu Santet
Laknat Penampilannya berupa seorang nenek berkulit hitam, muka seperti burung
gagak. Hidung dan mulut Jadi satu seperti paruh burung. Sebenarnya dia adalah
seorang gadis berparas cantik. Keadaannya seperti Itu disebabkan Jatuhnya kutuk
atas nenek moyangnya yang merupakan kutuk turunan. Saya tidak tahu kutuk apa.
Hanya itu asai usul Luhrembulan yang saya ketahui."
"Perempuan
itu mengaku-aku Wiro sebagai suaminya. Kau pasti tahu apa yang terjadi. Kalau
tidak dia tidak akan mengejar Wiro sampai ke tanah Jawa ini dan malah berani
datang ke tempat Kiai di sini. Enak saja dia mengaku ayah anakku sebagai
suaminya!" Yang bicara adalah Nyi Retno Mantili.
"Saya
tahu, tapi urusan perkawinannya dengan Wiro bukan urusan saya. Jadi saya
rasa…" Menyahuti Purnama yang langsung dipotong oleh Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
"Kalau
hanya sekedar menceritakan aku rasa tidak ada salahnya. Agar persoalan bisa
dijernihkan. Kami perlu tahu apakah benar Wiro menikah dengan Luhrembulan di
negeri Latanahsilam?"
Setelah
diam sejenak akhirnya Purnama bercerita juga.
"Ketika
Wiro tersesat di Latanahsilam dia bertemu dengan Hantu Santet Laknat. Nenek ini
jatuh cinta pada Wiro dan merubah diri menjadi seorang gadis cantik jelita. Ada
kabar yang mengatakan jika dia menikahi Wiro, seorang lelaki dari alam lain
maka kutuk atas dirinya akan lenyap…"
"Jadi
pernikahan itu memang benar-benar terjadi? " tanya Kiai GedeTapa Pamungkas
sementara Nyi Retno Mantili kelihatan mulai sesenggukan sambil menciumi boneka
kayu.
"Benar
Kiai," Jawab Purnama.
Nyi Retno
Mantili terpekik. Ratu Duyung menatap sambil hatinya berkata. "Setahuku
pikirannya tidak waras. Tapi mengapa otaknya jadi sangat jemih Jika bicara soal
pernikahan Wiro?’
"Purnama,
teruskan ceritamu," kata Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Pernikahan
Itu memang terjadi Kiai, tapi tidak syah. Saat itu Wiro diberi minuman yang
membuat dia lupa pikiran. Dia dibawa ke sebuah bukit bernama Bukit Batu Kawin.
Di sana telah menunggu seorang juru kawin bernama Lamahlia Wiro dinikahkan
dengan Luhrembulan dalam keadaan tidak sadar. Saat itu muncul badai di puncak
bukit. Acara perkawinan kacau. Semua orang yang ada di situ mental berpencaran…"
"Kalau
begitu perkawinan atau pernikahan Wiro dengan gadis bernama Luhrembulan itu
bisa dikatakan tidak pernah ada karena tidak syah" kata Kiai GedeTapa
Pamungkas pula.
"Kalau
tidak pernah ada, kalau tidak syah kenapa Luhrembulan sampai mencari ayah
Kemuning sampai ke sinl?! Jangan-jangan perempuan itu sudah bunting!" Nyi
Retno Mantili berucap dengan suara lantang lalu menggerung keras. Ketika dia
hendak berkekelobat meninggalkan tempat itu, begitu sampai di depan tanah yang
terbelah sosoknya nyaris tersedot. Untung Kiai Gede Tapa Pamungkas cepat
menarik lengannya dan di seberang sana Ratu Duyung dorongkan dua tangan untuk
menahan gerakan Nyi Retno.
"Kiai,
lepaskan!" teriak Nyi Retno. "Saya dan Kemuning tidak takut mati
disedot tanah celaka ini!"
"Tenang
Nyi Retno, jangan turutkan hati yang panas. Tadi Purnama sudah menjelaskan
bahwa pernikahan Wiro dengan Luhrembulan di Latanahsilam tidak syah."
"Saya
tidak percaya pada perempuan satu ini! Saya tahu dia juga mencintai Wiro. Itu
sebabnya dia ikutan datang ke sini. Padahal yang diminta datang hanya gadis
bermata biru ini!"
Purnama
walau diam saja mendengar ucapan Nyi Retno Mantili namun wajahnya tampak
berubah dan dia melihat Ratu Duyung melirik ke arahnya. Dalam hati dia
membatin.
"Perempuan
tidak waras Itu cemburu padaku. Lirikan sahabatku Ratu Duyung Juga menunjukkan
rasa cemburu. Apakah aku masih harus berlama-lama di tempat ini?"
Kiai Gede
Tapa Pamungkas peluk Nyi Retno Mantili, membelai rambut perempuan Ini dan
berusaha membujuk. Dia berbisik. "Mudah-mudahan Wiro datang sebelum esok
malam. Dari dia kita bisa mendengar langsung mengenai pernikahan itu hingga kau
tidak lagi ada ganjalan."
"Ganjalan
akan tetap ada. Bukankah Kiai memanggil gadis bermata biru itu karena hendak
membicarakan soal perjodohannya dengan Wiro?"
Kiai
GedeTapa Pamungkas coba tersenyum.
"Nyi
Retno, soal Jodoh seseorang ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa…"
"Saya
tahu hal itu Kiai. Tapi manusia bisa saja jadi Mak Comblangnya, termasuk
Kiai!"
Marah
padam wajah Kiai GedeTapa Pamungkas.
Terus
menerus ditempelak dengan kata-kata bagaimanapun Juga membuat hati si orang tua
menjadi tidak enak.
Purnama
memperhatikan tanah yang terbelah melingkari telaga. Untuk menghindari
ketegangan yang saat itu terjadi dia berkata mengalihkan pembicaraan.
"Kiai,
kalau Kiai mengizinkan saya bisa merapatkan kembali tanah yang terbelah ini.
Hingga keadaannya seperti semula."
Kiai
GedeTapa Pamungkas tatap paras Purnama sejurus lalu anggukkan kepala.
"Lakukanlah,
kau dan Luhrembulan datang dari alam yang sama.Pastl kau tahu cara penangkal
mengembalikan keadaan. Bumi Tuhan begini indah. Mengapa dirusak oleh tangan
manusia secara semenamena?"
Purnama
membungkuk meraup segenggam tanah. Tenaga dalam dan hawa sakti dialirkan ke
tangan kanan yang menggenggam sementara bibir bergetar tanda dia tengah
melafalkan sesuatu di dalam hati. Untuk beberapa lama sekujur tubuhnya
diselubungi cahaya dan percikan-percikan menyerupai bunga api berwarna biru.
Setelah cahaya dan perclkan biru lenyap dan kini hanya terlihat pada tangan
kanan yang menggenggam tanah Purnama berjalan mendekati belahan tanah terdekat.
Satu langkah dari tanah yang terbelah, ketika tubuhnya mulai terasa tersedot
Purnama lemparkan tanah yang digenggamnya ke dalam belahan tanah.
Tanah
merah yang dilempar untuk beberapa lamanya mengambang berputar-putar
diselubungi cahaya biru lalu wusss! Tanah tersedot masuk ke dalam belahan.
Saat itu
juga di perut bumi terdengar suara seperti lahar mendidih. Di langit muncul
kilatan-kilatan aneh. Air telaga bergejolak dan bermuncratan di tujuh tempat.
Di kejauhan terdengar suara perempuan mengeluarkan kutuk serapah.
"Rrrttttt!"
Asap
mengepul bercampur tanah dan debu.Tanah yang terbelah melingkari telaga merapat
kembali disertai suara letupan-letupan keras. Setelah itu tanah dan debu luruh
ke bawah. Air telaga mengalun tenang. Keadaan di tempat itu diselimuti
kesunyian.
"Purnama!"
Ratu
Duyung memekik menyebut nama Purnama ketika dilihatnya gadis dari alam gaib ini
terhuyunghuyung sementara darah mengucur di sudut bibirnya.
Apa yang
terjadi?
Kiai
GedeTapa Pamungkas cepat merangkul tubuh Purnama lalu menotok ubun-ubun gadis
alam gaib ini.
"Ketika
dia menutup tanah yang terbelah, ada yang membarengi dengan serangan membokong."
Berucap Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Yang
berbuat jahat dugaan saya gadis bernama Luhrembulan itu," kata Ratu Duyung
lalu memeluk Purnama, membaringkannya di tepi telaga. Ketika Kiai Gede Tapa
Pamungkas dan Ratu Duyung sibuk menolong Purnama, kesempatan ini dipergunakan
Nyi Retno Mantili untuk berkelebat meninggalkan tempat Itu.
*********************
7
MENJELANG
tengah harl mendung tebal menutupi kawasan kaki Gunung Gede. Didahului suara
gelegar guntur serta kilat yang sabung menyabung tak selang berapa lama hujan
turun dengan lebatnya. Keadaan tidak beda seperti menjelang malam. Dimana-mana
kegelapan menyungkup dan hawa dingin menebar.
Di bawah
hujan lebat seseorang berlari cepat laksana bayang-bayang menembus hujan lebat
diarah timur kaki gunung. Orang ini kemudian melesat masuk ke dalam sebuah
pondok bambu yang ditemuinya di tepi sungai kecil. Walaupun tidak berdinding
namun karena dikelilingi pepohonan dan cuaca buruk pula, keadaan di dalam
pondok agak gelap.
Orang
yang barusan masuk ka dalam pondok ternyata adalah seorang gadis mengenakan
pakaian ringkas hijau, berwajah cantik, rambut digulung di atas kepala Setelah
mengibas-ngibaskan pakaiannya yang basah, gadis Ini buka gulungan rambut.
Kepala digoyang berulang kali. Air hujan yang membasahi rambut menyiprat
kemana-mana Tiba-tiba ada suara memaki.
"Perempuan
setan! Enak saja kau menyipratkan air hujan. Apa matamu buta tidak melihat
orang lain di dalam gubuk?!"
Gadis
berbaju hijau tersentak kaget. Dia hentikan menggoyang kepala. Dia tahu orang
yang barusan memaki berada di belakangnya.Tapi dia tidak segera berpaling malah
lebih dulu tertawa cekikikan.
"Hik…
hik! Untung kau cuma terkena cipratan air Tidak terkena tendanganku! Keadaan
gelap, maklum saja kalau aku tidak melihat!”
Lalu
perlahan-lahan sambil mengusap kebawah rambutnya yang basah panjang hitam gadis
berbaju biru balikkan badan. Di salah satu sudut pondok dia melihat duduk
mendekam di atas tumpukan jerami kering seorang gadis berpakaian serba putih.
"Manusia
tidak tahu peradatan! Bukannya minta maaf malah tertawa cekikikan macam orang
sinting!"
Gadis
yang duduk di atas jerami kembali memaki.
"Hik…
hik! Kalau cuma minta maaf apa susahnya? Tapi apa pariu? Hik… hik! Namaku Nyi
Wulas Pikan! Kau siapa?"
"Persetan
siapa namamu! Persetan mau tahu namaku! Kau tidak layak berteduh di tempat ini
bersamaku! Lekas menyingkir dan sini!" Damprat gadis berpakaian putih.
"Hik
… hihi Sombong sekali! Apa salahnya kebetulan bertemu kita bisa jadi
bersahabat" Kata Nyi Wulas Pikan yang bukan lain jejadian dari Nyai Tumbal
Jiwo mahluk alam roh yang memaksa Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kekasihnya
menggantikan Wira Bumi yang telah tewas.
"Siapa
sudi bersahabat dengan perempuan jelek den tidak tahu adat sepertimu” Caci
gadis berpakaian serba putih.
"Kalau
tidak mau bersahabat ya sudah! Gubuk Ini masih cukup luaa untuk kita berdua.
Kalau kau tak suka aku ada di sini. pergi saja berteduh di bawah pohon dekat
comberan sana!"
"Jangan
membuatku marah! Kau punya Ilmu kepandaian apa berani menghina diriku?"
Gadis berpakaian putih yang tadi duduk, di atas jerami yang bukan lain adalah
Luhrembulan bangkit berdiri. Kaki dikembang dua tangan dikepal.
Nyi Wulas
Pikan tertawa gelak-gelak. Matanya memperhatikan gadis di hadapannya mulai dari
rambut sampai ke kaki.
"Masih
bau kencur sudah berani menantang diriku! Masih muda mau mencari mati! Apa
tidak kasihan kalau nanti kekasihmu nangis gerung-gerungan!"
"Sombong
sekali!" kata Luhrembulan sambil berkacak pinggang.
"Di
puncak Gunung Gede sana ada seorang kakek bernama Kiai Gede Tapa Pamungkasl
Konon kesaktiannya sulit dicari tandingan! Tapi menghadapi diriku dia tidak
berdaya! Dan kau cacing tanah yang baru bisa ngulet mau menantangku!Tolol
sekali!"
Dikatakan
cacing tanah Nyi Wulas Pikan tidak marah malah tertawa cekikikan.
"Kalau
kau memang mau cari urusan menantang diriku, biar kita selesaikan nanti.
Sekarang aku tanya kau kenal dengan kakek sakti di puncak Gunung Gede? Apa
hubunganmu dengan kakek itu! Apa keperluanmu berada di kawasan ini?"
"Sampai
lidahmu terjulur, mulutmu kering dan matamu mencolot bertanya aku tidak akan
menjawab!" Kata Luhrembulan dengan wajah beringas.
"Begitu?
Hik…hik … hik! Boleh juga kau!Tapi baik, aku tanya satu lagi. Setelah itu kita
boleh bertarung sampai mati! Kakek di puncak gunung itu tengah menunggu
kedatangan seorang pemuda bemama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Dua Satu Dua.
Apa kau berada di kawasan ini ada sangkut pautnya dengan pendekar gagah
berambut gondrong itu?"
Sepasang
mata Luhrembulan membesar. "Orang ini tengah menyelidik diriku. Aku harus
berlaku hati-hati." Maka gadis dari Latanahsiiam ini balik bertanya.
"Kau juga berada di kawasan ini. Kau menyebut-nyebut Pendekar Dua Satu Dua
Wiro Sableng! Apa hubunganmu dengan pendekar itu?"
"Dia
kekasihku." Jawab Nyi Wulas Pikan terus terang penuh perasaan bangga.
"Kau puas dengan jawabanku?"
Luhrembulan
pencongkan mulut lalu tertawa.
"Cuma
seorang kekasih. Baru kekasih! Hik..hik! Aku malah adalah istrinya!"
Sepasang mata Nyi Wulas Pikan mendelik.
"Jangan
berani mengada-ada" bentak mahluk alam roh ini. "Wiro belum pernah
nikah, belum pernah kawin. Baik kawin dengan surat maupun dengan urat. Hik…hik!
Dia masih perjaka!"
"Setan
perempuan! Tahu-tahuan kau suamiku masih perjaka! Apa kau pernah berselingkuh
dengan dia?!" bentak Luhrembulan penuh cemburu.
"Kami
memang sudah punya rencana untuk saling berbagi kebahagiaan! Makan sepiring
tidur seranjang! Hik … hik … hik" Nyi Wulas Pikan lalu mencibir mencemooh
Luhrembulan, membuat gadis dari Latanahsiiam ini terbakar oleh amarah.
"Setan
perempuan saatnya kau harus kubunuh dari pada nanti kau bergendak dengan
suamiku!" Luhrembulan begitu bicara langsung menyerang dengan melancarkan
dua pukulan keras. Namun ini hanyalah jurus tipuan belaka. Karena begitu Nyi
Wulas Pikan gerakkan tangan menangkis, dari sepasang mata Luhrembulan menyembur
dua larik sinar hitam pekat. Larikan pertama menyambar ke arah dada, larikan
kedua melesat ke arah kepala! Inilah Ilmu kesaktian dari Latanahsiiam yang
disebut "Dua Hantu Menembus Raga Menyedot Jiwa!"
"Wuutt…wuuttt”
Nyi Wulas
Pikan menjerit keras. Sambil melompat mundur dua tangan dikibas ke atas dan
kebawah seperti kipas terbuka. Dua larik sinar merah menderu disertai suara
bergemuruh seperti batu raksasa menggelinding. Pukulan Angin Roh Pengantar
Kematian!
"Buumm!
Buummm!"
Dua
dentuman dahsyat menggelegar di bawah hujan lebat begitu dua larik sinar hitam
sakti yang keluar dari mata Luhrembulan bentrokan dengan dua cahaya merah
pukulan Nyi Wulas Pikan Sinar hitam dan merah sama-sama buyar berantakan dengan
mengeluarkan bunga api yang mencuat ke udara setinggi lima tombak.
Untuk
sesaat Seantero tempat menjadi terang benderang. Pondok bambu hancur
berantakan.
Luhrembulan
terbanting ke tanah, terguling sampai sepuluh langkah. Pakaian putihnya selain
kotor oleh becekan tanah Juga tampak berubah kemerahmerahan.
Sementara
itu Nyi Wulas Pikan terkapar di tanah basah, tersandar ke batang pohon besar
sejarak tiga tombak dari pondok bambu yang hancur. Wajahnya kelihatan pucat Di
balik penampilan sebagai gadis cantik sesekali muncul bayangan wajah aslinya.
Wajah seorang nenek keriput berkulit merah, mata merah, alis merah. Lidah merah
setengah terjulur. Mahluk alam roh ini cepat melafal mantera hingga wajahnya
dengan cepat kembali menjadi wajah gadis cantik, tidak berubah-rubah.
Selagi
dua gadis cantik Itu terkapar tak berdaya di tempat masing-masing tiba-tiba
dibawah hujan lebat berkelebat seorang perempuan berpakaian biru.
Sambil
lari mulutnya keluarkan ucapan.
"Kemuning,
lihat ada dua gadis cantik terkapar tak berdaya. Yang satu aku tidak kenal.
Tapi yang satunya aku lebih dari kenali Dia yang datang ke tempat Kiai tadi
pagi. Dia gadis bernama Luhrembulan, mengaku sebagai istri ayahmu! hik… hik!
Gadis gila! Apa yang terjadi dengan dirinya!"
Yang
muncul sudah dapat diterka. Bukan lain Nyi Retno Mantili bersama boneka
kayunya.
Melihat
kedatangan Nyi Retno Mantili, kejut Nyi Wulas Pikan bukan kepalang. Gadis
jejadian dari alam roh yang aslinya adalah Nyai Tumbal Jiwo Ini kerahkan tenaga
dalam, alirkan hawa sakti lalu berusaha berdiri dengan cepat "Dicari tidak
bertemu. Sekarang muncul sendiri. Dia tidak mengenali diriku. Apa aku masih
harus membunuh perempuan satu ini!?!" Pikir Nyi Wulas Pikan. "Aku
tidak yakin dia sudah kawin dengan Wiro sebagaimana aku tidak yakin perempuan
pakaian putih itu bilang Wiro adalah suaminya! Sebaiknya memang aku habisi saja
dia sekarang Juga!"
Saat itu
Luhrembulan juga sudah berdiri. Sakit hatinya terhadap Nyi Retno masih belum
pupus. Kini perempuan berotak tidak waras Itu muncul di hadapannya.
"Nyi
Retno, apa anakmu boneka kayu butut itu sudah bertemu ayahnya?!" tegur
Luhrembulan mengejek.
"Kemuning!
Ada perempuan sinting berani menghina dirimul Coba kau beri pelajaran ilmu
kematian padanya!" Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili angkat boneka
kayu, arahkan pada Luhrembulan.
Melihat
kedua orang itu siap bertarung. Nyi Wulas Pikan berubah pikiran. Dari niat
hendak membunuh Nyi Retno Mantili dia memutuskan lebih baik tinggalkan tempat
itu, naik ke puncak Gunung Merapi untuk mencari Pendekar 212 yang diketahuinya
berencana datang menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Biar
keduanya berkelahi! Biar keduanya mampus di tempat ini!" Pikir Nyai Tumbal
Jiwo alias Nyi Wulas Pikan. Lalu tidak menunggu lebih lama dia berkelebat
lenyap dibawah lebatnya curahan hujan.
Dihina
sebagai perempuan sinting, dilecehkan hendak diberi pelajaran ilmu kernatlan,
Luhrembulan mendidih amarahnya.
"Perempuan
sedeng yang punya anak boneka butut dari kayu! Sebelum kau memberi pelajaran
padaku, mari aku ajarkan padamu bagaimana caranya bersopan santun! Betina gila,
kau perlu dirajam seumur hidup antara langit dan bumi!"
Luhrembulan
tutup ucapannya dengan menjentikkan sepuluh jari tangan jari tangan kanan!
Wutt..wuuuuttt!"
Puluhan
larik api biru melesat ke udara bersilangsilang, membentuk jaring luar biasa
mengerikan. Jaring ini dengan kecepatan kilat kemudian menyambar ke arah Nyi
Retno Mantili. Nyi Retno Mantiil sendiri sambil tertawa cekikikan pencet
pinggang boneka kayu yang telah diangkat dan diarahkan pada Luhrembulan.
Sesaat
lagi Ilmu kesaktian dua perempuan cantik itu siap saling membantai diri
masing-rnasing tiba-tiba tiga orang berkelebat. Dua perempuan, satu lelaki.
Yang
letak! berteriak keras. Suaranya menggegelar menindih deru suara hujan.
"Luhrembulan!
Nyi Retno Mantili!Tahan serangan! Kalian tidak bermusuhan! Mengapa hendak
saling membunuh!"
*********************
8
GELEGAR
suara teriakan orang yang memberi ingat sama sekali tidak diperdulikan baik
oleh Luhrembulan maupun oleh Nyi Retno Mantili!
"Celaka!"
Lelaki yang tadi berteriak kini berseru kawatir. "Nenek berdua, cepat
halangi Nyi Retno. Aku akan menghadang gadis yang satunya! Hati-hati! Jangan
sampai ada yang terluka"
Satu
gelombang angin sedahsyat topan prahara melabrak ke arah Luhrembulen, membuat
gadis ini hampir terjengkang tapi masih mampu meneruskan melancarkan serangan
yang disebut Api Iblis Penjaring Roh. Sekali Nyi Retno sampai terjerat,
kalaupun dia bisa lolos dari dalam jaring api maka tubuhnya akan
terkutung-kutung!
Melihat
Luhrembulan nekad meneruskan serangan, lelaki yang barusan melepas pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi secepat kilat menubruk gadis dari Latanahsilam
Itu. Selagi keduanya bergulingan Luhrembulan hendak menusuk dada lelaki itu
dengan dua jari yang diluruskan. Serangan yang dilancarkan mengarah dada kiri,
bernama Lintah Penyedot Jantung. Jika mengenal sasaran korban akan menemui ajal
dalam kejapan mata karena jantungnya akan pecah dan berhenti berdetak! Tetapi
begitu Luhrembulan melihat wajah orang yang memeluknya, langsung dia berteriak
dan balas merangkul kuat-kuat "Wiro!"
Ternyata
orang yang menubruk Luhrembulan dan berusaha mencegah gadis dari Latanahsilam
ini menyerang Nyi Retno Mantili adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
DI lain
bagian, tepat ketika Nyi Retno Mantili menekan pinggang boneka kayu dan dua
larik cahaya putih mematikan menyembur ke arah Luhrembulan tiba-tiba dua orang
nenek menyerbu. Nenek pertama memukul bagian bawah lengan kanan Nyi Retno
hingga lengan Itu terpental ke atas. Nenek kedua dengan cepat merangkul
pinggang Nyi Retno lalu tubuh kecil perempuan cantik ini ditariknya ke bawah.
Nyi Retno dan dua nenek Jatuh bergedebukan di tanah!
"Tua
bangka kurang ajari Siapa kalian!"
"Nyi
Retno tenang…" nenek yang memukul lengan berkata. Nenek Ini berambut
kelabu, mengenakan jubah kuning. Sepasang mata merah dan di telinganya
mengenakan anting dari tulang manusia. Dia bukan lain adalah kembaran ketiga
mahluk Jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu.
Nenek
kedua yaitu Nyi Roro Manggut menyambung!.
"Kita
sesama sahabat. Kau tak perlu kawatir!" Nenek ini bertubuh cebol berjubah
hijau. Rambut putih awutawutan sampai ke lutut. Sepasang mata juling dan hidung
pesek sama rata dengan pipi.
**************************
BAGAIMANA
Wiro dan dua nenek itu bisa sampai di kaki Gunung Gede? Seperti dituturkan
dalam episode sebelumnya (Bayi Satu Suro) Nyi Roro Manggut dan kembaran ke tiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu meninggalkan Wiro sendirian di puiau Watu Gilang untuk
menyaksikan keramaian perayaan malam Satu Suro di pantai Parangtritis dan
Parangkusumo.
Setelah
dua nenek pergi Wiro sempat bertemu dengan gadis cantik jejadian Nyai Tumbal
Jiwo yang berniat menggodanya. Ketika hendak dihantam dengan pukulan Sinar
Matahari mahluk jejadian itu melenyapkan diri.
Wiro
memandang ka langit, memperhatikan rembulan yang hampir bulat tersembul dibalik
awan. Murid Sinto Gandeng itu ingat kalau besok malam bulan purnama penuh atau
purnama empat belas hari dia sudah harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas di
puncak Gunung Gede.
Wiro
menggaruk kepala. Bingung sendiri. Kalau dia pergi menemui sang Kiai dan benar
orang tua itu hendak membicarakan perjodohannya dengan Ratu Duyung, maka dia
akan menemui suasana yang membuat dirinya jadi tidak enak. Sebaliknya kalau dia
tidak menemui Kiai itu, apa lagi sudah dipesan sampai dua kali oleh Eyang Sinto
Gendeng maka kelak keadaannya nanti lebih tidak enak lagi.
"Nyi
Roro Manggut masih membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Batu sakti Itu
bisa kupergunakan untuk pergi ke Gunung Gede secepat kiiat. Aku harus mencari
dua nenek itu. Mudahmudahan mereka mau ikut bersamaku…"
Wiro
menyeberang dari pulau Watu Gilang ke pantai Parangtritls. Setelah
berputar-putar dan berkeliling cukup lama akhirnya menjelang pagi dia menemui
Nyi Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu di pantai
Parangkusumo tengah nongkrong di depan panggung para pemain gamelan.
Nyi Roro
Manggut tidak keberatan memenuhi permintaan Wiro dan nenek satunya juga mau
ikutan. Dangan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut kencana Biru
pinjaman dari Nyi Roro Kidul maka Wiro dan dua nenek berangkat ke Gunung Gede.
Menjelang tengah hari ketika berada di kaki Gunung Gede Nyi Roro Manggut
memberi tahu kalau dia barusan menerapkan Ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak
Jantung.
"Ada
dua orang di kaki gunung sebelah timur. Dua-duanya perempuan.Yang satu mahluk
dari alam gaib." Berkata Nyi Roro Manggut.
"Bisa
Jadi Purnama," ucap Wiro tapi hanya dalam hati.
"Aku
punya firasat sesuatu akan terjadi di bawah sana." Kata kembaran ketiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu.
"Kalau
begitu tidak ada salahnya kita menyelidik ke kaki gunung sebelah timur,"
ujar Wiro pula.
Ketika
Wiro dan dua nenek sampai di tepi sungai kecil, di bawah hujan yang masih
mengguyur lebat dia melihat dua perempuan muda dan cantik tengah
berhadap-hadapan siap untuk bertarung dekat sebuah gubuk yang hancur
berentakan. Kagetnya Wiro bukan alang kepalang begitu dia mengenali bahwa
perempuan cantik berpakaian putih yang menghadap ke arahnya adalah Luhrembulan,
gadis dari negeri 1200 tahun silam. Sementara yang jadi lawan dan
membelakanginya adalah perampuan muda bertubuh kecil memegang boneka kayu. Nyi
Retno Mantili!
Pada saat
dua perempuan ini saling menyerang dengan mengerahkan Ilmu kesaktian, pada saat
itu pula Wiro berteriak. Karena teriakannya tidak diperduiikan orang maka dia
langsung menyergap Luhrembulan sementara dua nenek menghalangi Nyi Retno
Mantili.
"Dua
nenek Jelek! Siapa kalian! Mengapa menghalangikul Aku tidak mengenal
kalian!"
Menghardik
Nyi Retno Mantili. Dia coba menendang dan memukul, tapi aneh kaki dan tangannya
terasa berat. "Kurang ajar! Apa yang kalian lakukan padaku?!" teriak
Nyi Retno Mantili pada dua nenek yang hanya mesem-mesem saja.
Sementara
itu di depan sana waiau dua cahaya putih yang keluar dari sepasang mata boneka
kayu tidak sampai menghantam tubuh Luhrembulan, tapi sewaktu Wiro bergulingan
dan berada di atas tubuh si gadis, salah satu dari dua cahaya putih yang
melesat keluar dari mata boneka kayu menyambar di atas pantat celananya. Meski
Jarak antara celana dan sinar cukup Jauh yaitu sekitar satu Jengkal namun
breett! Saking hebatnya kekuatan cahaya putih tersebut pantat celana Wiro robek
besar hingga auratnya sebelah bawah tersingkap lebar.
Selain
merasa kepanasan Wiro Jadi tersentak kaget karena ketika meraba bagian bawah
tubuhnya itu dia dapatkan pantatnya tidak tertutup lagi.
"Sialan!"
Wiro memaki dan ketegapan sendiri. Dia cepat berdiri namun tak bisa karena
tubuhnya masih dipagut kuat-kuat oleh Luhrembulan, malah sambil memeluk gadis
itu juga menciuminya dan berulang kali menyebut namanya penuh mesra.
Menyaksikan
apa yang dilakukan Luhrembulan terhadap Wiro, dua mata Nyi Retno Mantili
terbeliak besar seperti hendak melompat keluar dari rongganya.
Sekujur
tubuh bergetar. Keadaannya yang tadi tidak bisa bergerak, kini mendadak seperti
dapat kekuatan berlipat ganda. Sekali menendang dua nenek yang masih memeganginya
terpental.
"Kemuning….
lihat! Perempuan gila itu memeluk dan menciumi ayahmu!" Nyi Retno berucap
setengah berteriak.Tangan kiri menunjuk-nunjuk, tangan kanan memegang boneka.
Perempuan ini kemudian keluarkan suara menggerung panjang. "Akan kuhajar dia!
Dia musti mati! Tapi…."Nyi Retno terdiam sejenak "Bagaimana
kalau….jangan-jangan ayahmu memang suaminya. Kemuning, kita…. sebaiknya kita
tinggalkan tempat ini. Hatiku kecewa, benar-benar sedih. Apakah kau begitu juga
anakku?"
Sambil
menangis keras, tanpa dapat dicegah oleh dua nenek Nyi Retno Mantili menghambur
lari.
"Wiro!
Nyi Retno kabur!" teriak Nyi Roro Manggut. Wiro terkejut. Dia berusaha
melepaskan diri dari pelukan Luhrembulan. Tapi rangkulan gadis Ini semakin
kencang. Dua kakinya malah ikut disilangkan di pinggang Wiro.
"Kau
mau kemana Wiro? Jangan pergi! Aku benar-benar rindu padamu! Tidakkah kau mau
memelukku? Membalas ciumanku? Apa kau mau? Bukankah kita sudah jadi suami
Istri?" Wiro tidak perdulikan ucapan Luhrembulan.
"Nek!
Kejar! Lekas kejar Nyi Retno!" teriak Wiro.
Tapi Nyi
Roro Manggut dan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar TIlu justru tertawa
haha-hihi asyik memperhatikan celana Wiro yang robek hingga auratnya sebelah
bawah belakang terlihat jelas.
"Hik…
hik! Kantong menyannya berkilat!" kata Nyi Roro Manggut
"Tapi
dari sini aku melihat malah hitam seperti salak! Hik … hik… hik!"
menyahuti nenek kembar jejadian.
"Kalau
sampai tersentuh gadis itu. Ihhh….aku juga mau memegang! Pasti kenyal-kenyal!
Hik…hik… hik!"
kata Nyi
Roro Manggut. Dua nenek kemudian sama-sama tertawa berkekehan.
Lalu
kembaran ketiga Eyang Sepuh KembarTilu berkata.
"Sebaiknya
kita berdua pergi saja! Kita bisa mati cemburu melihat pemuda itu dipeluk dan
diciumi Luhrembulan! Apa kau tidak cemburu heh? Aku tahu kau suka pada
Wiro!"
Nyi Roro
Manggut senyum-senyum. Kepala mengangguk-angguk.
Lalu dia
membalas ucapan orang. "Aku juga tahu kalau kau naksir pada si gondrong
itu!"
Dua nenek
kembali tertawa cekikikan.
"Sudah,
tak perlu berdebat. Ayo kita pergi sekarang juga! Kita berpura-pura mengejar
Nyi Retno Mantili." Kata nenek jejadian kembaran ke tiga sambil
menariktangan Nyi Roro Manggut Nenek satu ini ikut saja tapi kemudian dia ingat
sesuatu.
"Tunggu,
Batu Mustika milik Nyi Roro Kidul ada pada Wiro. Aku harus mengambilnya lebih
dulu!"
"Ah,
jangan mencari kesempatan. Aku tahu kau bukan mau mengambil batu mustika tapi
mau melihat batu kembar antik milik pemuda itu yang gelantungan bergerak lucu
kian kemari! Hik… hik… hik!"
*********************
9
DENGAN
susah payah akhirnya Wiro bisa melepaskan diri dari pelukan dan duman
Luhrembulan. Dia langsung duduk menjelepok ditanah untuk menutupi celana yang
robek di bagian belakang sebelah bawah.
"Wiro,
sekian lama aku mencarimu. Ketika aku menyirap kabar kau akan datang ke puncak
Gunung Gede, aku mendahului datang ke sana. Tapi aku bertemu dengan
perempuan-perempuan yang menyakitkan hatiku!"
"Luhrembulan,
siapa yang kau maksudkan dengan perempuan-perempuan yang menyakitkan
hati?" tanya Wiro.
"Yang
pertama, si ceking yang kemana-mana membawa boneka kayu itu. Katanya ayah dari
boneka itu adalah kau. Berarti kau adalah suami perempuan ceking itu yang
menurut Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah muridnya, bernama Nyi Retno Mantili!
Perempuan tidak tahu diri! Tidak tahu diuntung! Sudah sinting punya anak kayu,
mengejek diriku pula!"
"Perempuan
malang itu memang tidak waras. Setiap ucapannya tidak perlu kau ambil
hati!"
Luhrembulan
tersenyum ialu mencibir.
"Aku
tahu otaknya memang miring sejak dia kehilangan bayi. Bukan begitu ceritanya?
Tapi aneh. Orang sinting mengapa bisa bermulut ketus. Mengapa bisa merasa
cemburu?! Jangan-jangan sintingnya dibuat-buat! Tapi apa urusannya dengan
diriku? Perempuan sinting itu malah menyerang aku dengan dua sinar yang keluar
dari sepasang mata boneka kayu. Tapi ilmu kesaktiannya itu tidak bisa melewati
tanah terbelah yang telah aku gurat dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah.
Kalau tidak ditolong Kiai Gede perempuan itu pasti sudah amblas masuk ke dalam
belahan tanah."
"Katamu
Nyi Retno mengejekmu. Memangnya dia mengejekmu apa? Apakah karena soal mengejek
itu kau lantas sampai mengeluarkan Ilmu kesaktian yang dahsyat itu?" tanya
Wiro.
"Dia
marah ketika aku memberi tahu kalau kau adalah suamiku! Bahwa kita sudah kawin
di Latanahsilam."
"Tapi
perkawinan itu tidak syah…" tukas Wiro.
"Syah
atau tidak yang Jelas perkawinan Itu telah terjadi! Ada yang menikahkan kita
yaitu nenek Lamahila dan ada seorang saksi bernama Laduliu. Apa kau lupa hal
itu Wiro? Atau berpura-pura lupa?"
"Aku
Ingat betul peristiwa di Bukit Batu Kawin Itu.
Ada orang
yang memberikan minuman aneh padaku hingga aku tidak sadar diri. Sudahlah, aku
tidak ingin membicarakan hal Itu," kata Wiro pula sambil garuk-garuk
kepala Dia hendak berdiri tapi begitu ingat celananya yang robek tidak jadi dan
buru-buru duduk menjelepok di tanah kembali.j berdiri?" tanya Luhrembulan.
"Anu…
tidak ada apa-apa Aku hanya masih ingin duduk."
"Di
tanah yang becek oleh air hujan Ini?" ujar Luhrembulan.
"Aneh!
Sementara aku bicara berdiri, kau duduk di tanah. Sudah aku duduk saja di
depanmu." Lalu Luhrembulan duduk bersimpuh di depan Wiro.
"Wiro,
apa selama ini kau tak pernah ingat diriku? Tidak pernah kangen, tidak pernah
rindu?"
"Selama
di Latanahsilam kau banyak berbuat baik padaku. Kau mengobati diriku ketika
cidera berat Kau memberikan ilmu kesaktian hebat luar biasa padaku. Aku tidak
bisa membalas semua hutang budi itu.Tentu saja aku mengingat semua kebaikanmu
itu."
"Hanya
mengingat kebaikannya, orangnya tidak?
Kau tidak
ingat diriku, Wiro?" ujar Luhrembulan dengan suara dan wajah menunjukkan
rasa sedih.
Wiro
tersenyum tapi tidak menjawab.
"Wiro,
aku tidak pernah merasa bahwa kau berhutang budi padaku. Aku tidak pernah
membangkit minta kau membalas semua itu. Aku hanya ingin satu hal. Yaitu bahwa
kau menyadari kalau kita sudah kawin, sudah nikah…" Wiro masih diam.
"Aku
minta dinikahkan denganmu oleh Nenek Lamahila bukan karena apa-apa. Pertama aku
memang mencintaimu dengan setulus hati. Kedua aku ingin keluar dari azab
sengsara yang terjadi sejak mulai dari nenek moyangku. Wiro, ketika masih di
Latanahsiiam aku pernah meratap. Aku masih ingat apa yang aku ratapkan saat
itu. Wahai mahluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau hidup dalam kutuk yang jatuh
menimpa dirimu bukan karena maumu dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan tahun
kau tenggelam dalam kesesalan. Menyantet dan membunuh orang-orang tidak
berdosa. Kini ketika sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika
kau mengambil keputusan bahwa kau bisa meninggalkan Jalan sesat dan memilih
hidup baik, ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu. Wahai mahluk tua
berwajah buruk. Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara
begini rupa seumur bumi terbentang, selagi langit terkembang …"(Baca
serial Wiro Sableng di negeri Latanahsiam berjudul "Rahasia Perkawinan
Wiro").
Luhrembulan
tutup wajahnya dengan dua tangan lalu menangis sesenggukan.
"Aku
tahu, tidak ada seorangpun yang mau mengerti. Apa lagi mau menolong. Aku akan
tetap hidup dalam kutukan. Dalam ujud seorang nenek buruk bernama Hantu Santet
Laknat"
"Luhrembulan,
kau tidak lagi berada di alammu. Kau saat Ini sudah berada di alam lain. Kau
berada di tanah Jawa. Kurasa semua kutukan turun temurun itu telah lenyap. Kau
benar-benar telah menjadi seorang gadis cantik seperti keadaanmu saat ini."Wiro
coba menghibur.
Luhrembulan
tersenyum. Dia beringsut mendekati Wiro. Untuk beberapa saat wajahnya
diletakkan di dada bidang pemuda itu. Lalu dia mundur menjauh kembali.
"Wiro,
kau berkata begitu, aku berterima kasih.Tapi coba kau lihat sebentar ke arahku.
Kau akan melihat kenyataan…"
Luhrembulan
duduk tak bergerak, menatap kearah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto
Gendeng balas memperhatikan. Dadanya berdebar ketika dia melihat, walaupun
sedikit samar, sosok Luhrembulan yang tadi berupa gadis cantik berpakaian putih
kini berubah menjadi nenek kurus keriput bermuka buruk seperti burung gagak,
mata kecil tak beralis. Pakaian dari jerami kering. Sosok Inilah yang pernah
dilihatnya sewaktu berada di Latanahsilam dulu ketika tersesat bersama Setan
Ngompol dan Naga Kuning (baca serial Wiro Sableng di tanah silam mulai dari
episode "Bola Bola Iblis" sampai "Istana Kebahagiaan").
"Luhrembulan,
sebaiknya kau jangan mengingatingat lagi keadaan dirimu…"
"Bagaimana
aku bisa melupakan hal itu, Wiro? Nasib buruk dan azab diriku mengalir dalam
darah, bersatu dengan nafasku."
"Luhrembulan,
tadi kau menyebut perempuanperempuan yang menyakitkan hati. Kau sudah
menceritakan tentang Nyi Retno. Lalu siapa perempuan lainnya?"Wiro alihkan
pembicaraan.
"Tadi
di tempat Ini ada gubuk.Tapi sudah hancur berantakan. Ketika aku berteduh
datang seorang gadis berpakaian hijau. Dia mengaku bernama Nyi Wulas
Pikan…"
"Nyi
Wulas Pikan?" Mengulang Wiro dengan suara bernada kaget. Lalu dalam hati
dia membatin. "Gila, jadi mahluk alam roh satu itu sudah sampai pula di
tempat Ini rupanya!"
"Kau
mengenalnya?"
"Aku
melihatnya pertama kali malam tadi di pantai pulau Watu Gilang,"
menerangkan Wiro.
"Katanya
dia adalah kekasihmu…" ujar Luhrembulan pula.
Wiro
menggaruk kepala.
"Gadis
itu adalah jejadian dari Nyai Tumbal Jiwo.
Muridnya
kubunuh. Celakanya sang murid yang bernama Wira Bumi itu adalah Patih Kerajaan
dan merupakan kekasih si nenek. Dia memaksa aku jadi kekasihnya pengganti Wira
Bumi."
"Aku
melihat paksaan Itu sekaligus merupakan ancaman. Nyai Tumbal Jiwo bisa
membuatmu menjadi buronan Kerajaan seumur-umur."
"Kurasa
begitu," Jawab Wiro sambil menggaruk kepala.
"Apakah
kau akan menerima atau memang sudah menjadi kekasihnya?" tanya
Luhrembulan.
Wiro
tertawa
"Di
balik niat mesumnya itu aku yakin dia punya maksud hendak membunuhku. Rasanya
tidak ada jalan lain. Aku harus membunuhnya lebih dulu. Hanya saja apakah aku
bisa melakukan hal itu karena dia mahluk dari alam roh. Dia bisa bersalin rupa
seratus kali dalam satu hari!"
"Kalau
begitu biar aku yang mewakili dirimu membunuh nenek Itu!" kata Luhrembulan
pula. Saat Ini dia tengah dalam perjalanan menuju puncak Gunung Gede. Menunggu
kedatanganmu."
"Aku
tidak akan ke sana. Paling tidak untuk kali Ini," jawab Pendekar 212.
Untuk
beberapa lama kedua orang itu tidak ada yang bicara. Kemudian Wiro bertanya.
"Selain
Nyi Retno dan Nyi Wulas Pikan, apa masih ada perempuan lain yang menyakiti
hatimu?’
"Sebenarnya
bukan perempuan. Dia seorang lelaki. Tapi bermulut seperti perempuan. Dia
mengusirku dari puncak Gunung Gede!"
"Aku
tak mengerti. Siapa lelaki itu?" tanya Wiro pula.
"Kiai
Gede Tapa Pamungkas! Kakek yang katanya tokoh bijaksana rimba persilatan. Tapi
mulutnya seperti ember. Perilakunya terhadapku sungguh tidak adil. Dia lebih
membela perempuan ceking yang punya anak boneka kayu itu. Yang diakuinya
sebagai muridnya. Dia mengusirku secara halus. Aku terpaksa meninggalkan telaga
tempat kediaman Kiai itu! Wiro, aku tak habis pikir mengapa Kiaimu Itu memberi
ilmu kesaktian pada seorang perempuan sinting. Orang waras saja terkadang bisa
menyalah gunakan Ilmu kepandaian, apa lagi yang tidak waras seperti Nyi Retno
Mantili Itu."
Kurasa
Kiai hanya memberikan ilmu pada Nyi Retno untuk melindungi dirinya. Sejak dia
meninggalkan Gedung Ketemenggungan di Kotaraja, nyawanya terancam. Dia terpisah
dengan bayinya…"
Luhrembulan
tertawa mendengar kata-kata Wiro itu.
"Kenapa
kau tertawa? Apa yang lucu?" tanya Pendekar 212.
"Dia
hendak membunuhku dengan dengan ilmu kesaktian yang mengeluarkan dua larik
cahaya putih dari mata boneka kayu. Pertama kali dilakukannya di tepi telaga.
Di depan Kiaimu. Yang kedua kali di tempat Ini. Kau menyaksikan sendiri. Apakah
yang kau maksudkan Ilmu untuk melindungi diri?" Wiro mulai resah dan
gerah.
"Luhrembulan,
sebenarnya aku ingin bicara lebih banyak denganmu. Tapi ada yang harus aku
lakukan. Aku mungkin berubah pikiran. Mungkin aku akan menemui Kiai Gede Tapa
Pamungkas di tempat kediamannya."
"Aku
ikut bersamamu," kata Luhrembulan pula.
Mendengar
kata-kata Luhrembulan Ku Wiro cepat memutar otak.
"Sebelum
menemui Kiai, aku ingin mengejar dua nenek temanku tadi. Mereka tengah berusaha
mencari Nyi Retno…"
"Hemmm….begitu?
Setahuku rencana pertemuanmu dengan Kiai ember Itu baru besok malam…."
"Luhrembulan,
tidak baik mencerca Kiai GedeTapa Pamungkas seperti itu…!"Wiro
mengingatkan.
Luhrembulan
hanya tersenyum.
"Kau
Ingin pergi mencari dua nenek yang mengejar Nyi Retno. Aku ada di sini.
Jangankan memperhatikan diriku, perasaanpun rupanya kau sudah tidak punya lagi.
Aku Ingin kita hidup bahagia berdua.Tapi kalau kau inginkan perempuan lain, dan
aku tidak kuasa melihatnya, aku akan habisi perempuan itu. Aku sudah bersumpah
Wiro. Dengar baik-baik sumpahku!Tidak ada seorang perempuan lainpun yang bisa
memiliki dirimu, kecuali diriku yang telah menjadi Istrimu! Perempuan mana saja
yang melakukan hal itu akan kubunuh"
"Kau
tidak boleh bersikap seperti itu, Luhrembulan. Kau harus sadar. Kita sebenarnya
tidak pernah nikah."
"Jadi
begitu sikapmu terhadapku, Wiro? Kau seorang pendekar yang ingin lari dari
kenyataan. Ingin menghindar dari tanggung jawab!"
"Memangnya
aku punya tanggung jawab apa atas dirimu?" Wiro mulai kesal.
"Aku
pernah mendengar pantun bagus berasal dari negerimu ini. Kura-kura dalam
perahu. Pura-pura tidak tahu! Sudah gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya
pula!"
Dalam
kesalnya Wiro berdiri, lupa akan celananya yang robek besar di belakang sebelah
bawah.
"Luhrembulan,
maafkan aku. Aku harus pergi…."
"Pergilah,
rohku akan mengikuti kemana kau pergi. Rohku akan membunuh perempuan siapa saja
yang berani mendekatimu!"
Tiba-tiba
menggema satu suara perempuan.
"Mahluk
alam roh tidak tahu malu. Kau sudah tersesat di alam mimpimu! Aku akan
mendekati Wiro. Aku mau lihat apakah kau mampu membunuhku!"
Luhrembulan
tersentak kaget. Wiro memandang berkeliling.
"Jahanam
laknat! Siapa kau! Unjukkan dirimu! Biar kubunuh saat ini juga!" teriak
Luhrembulan. Mata mendelik, memandang seputar tempat.
Teriakan
Luhrembulan disambut dengan tawa melengking panjang.
Saat itu
hujan mulai mereda. Namun keadaan masih gelap. Di arah tepi sunga? kecil
kelihatan cahaya biru serta keriap kerlip seperti kembang api. Sesaat kemudian
tampak sosok perempuan cantik berambut hitam digeral lepas mendatangi dengan
cepat lalu berhenti di samping Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bukan
hanya sekedar berdiri, tapi sambil merangkulkan tangan kiri ke pinggang
sementara kepala disandarkan mesra ke bahu sang pendekar! Mulut melontarkan
senyum mengejek.
"Kau
Ingin membunuhku? Silahkan!"
*********************
10
MAHLUK
keparat! Aku sudah mengira! teriak Luhrembulan lalu dengan cepat melompat
bangkit dari duduknya di tanah becek.
"Kau
juga keparat!" Jawab perempuan cantik berambut panjang lepas dan
mengenakan pakaian biru gelap. Kepala ditegakkan tapi tangan kiri masih
merangkul pinggang Wiro membuat Luhrembulan seperti terbakar. "Aku tahu
riwayat pernikahanmu! Jangan coba menipu dan menjebak Pendekar Dua Satu Dua
Wiro Sableng! Pernikahan itu tidak pernah ada! Kalaupun ada tidak syah!"
Wajah
Luhrembulan berubah merah. Rahang menggembung.
"Perempuan
celaka! Apa kau kira aku tidak tahu riwayat dirimu?! Di Latanahsilam kau
bernama Luhmintari. Di tanah Jawa ini kau menukar nama dengan Purnama!"
"Wiro
yang memberikan nama itu padaku. Apa kau keberatan?" ucap si cantik
berbaju biru yang ternyata adalah Purnama. Seperti diceritakan sebelumnya
Purnama bersama Ratu Duyung telah bertemu dengan Kiai GedeTapa Pamungkas di
puncak gunung. Gadis ini mengetahui kalau sang Kiai merasa tidak enak melihat
kehadirannya. Hal ini membuat dugaan Purnama semakin kuat bahwa Kiai Gede Tapa
Pamungkas memang Ingin membicarakan perjodohan Ratu Duyung dengan Wiro. Selain
menimbulkan rasa perih di hatinya, juga agar tidak menjadi sandungan yang tidak
enak karena kehadirannya di situ. Purnama mengatakan Ingin melihat-lihat
keindahan di sekitar puncak gunung. Padahal saat itu awan mendung mulai
bertumpuk di langit. Keindahan apa yang mau dilihat?
Purnama
menuruni puncak Gunung Gede. Nalurinya mengatakan sesuatu akan terjadi di bawah
sana. Apa lagi ketika dia mengerahkan ilmu Nafas Sepanjang Badan. Purnama dapat
merasakan bahwa ada seorang dari alam gaib di kaki gunung sana.
"Mungkin
Nyai Tumbal Jiwo. Tapi mungkin juga Luhrembulan…" kata Purnama dalam hati.
Ketika dia sampai di kaki gunung dalam keadaan hujan lebat, yang ditemuinya
memang Luhrembulan, tengah duduk di tanah becek, berhadap-hadapan dengan Wiro.
Setelah
mendengar cukup lama percakapan kedua orang itu Purnama keluar dari tempat
persembunyiannya sambil keluarkan tawa panjang.
Luhrembulan
menatap tajam ke arah Purnama.
"Aku
tidak perduli siapa namamu sekarang! Atau siapa yang memberikan nama itu
padamu! Aku cuma tahu namamu adalah Luhmintari! Riwayatmu di Latanahsilam sungguh
memalukan, menjijikkan! Bukankah kau kena kutuk hingga melahirkan seorang bayi
berbentuk landak?! Hik… hik! Di sini lagakmu seperti seorang Ratu saja!"
"Riwayatmu
jauh lebih buruk dan menjijikkan dariku!" jawab Purnama. "Kutuk telah
menjadi azab nenek moyangmu. Apakah kau pernah berkaca dan melihat keadaan ujud
dirimu yang sebenarnya? Banyak orang yang kasihan padamu! Tapi kelakuan
perbuatanmu membuat semua orang menjadi sangat membencimu1 Kau sendiri sejak
tersesat ke tanah Jawa ini bukankah selalu membuntuti diriku dan ingin
membunuhku? Terakhir sekali kau bekerja sama dengan Raja Racun Langit Bumi di
Gedung Kadipaten Losari untuk melaksanakan niat kejimu!" (Baca serial Wiro
Sanleng berjudul "Sang Pembunuh")
"Wahai!
Jika ada orang ingin membunuhmu berarti dirimu sebenarnya jelas bukan mahluk
baik-baik!
Sayangnya
kau adalah mahluk tidak tahu diri hingga tidak menyadari hal itu!" Jawab
ucapan Luhrembulan tak kalah pedas menyakitkan.
"Kalian
berdua," Wiro yang sejak tadi diam saja coba menengahi. "Bukankah
kalian datang dari negeri leluhur yang sama? Mengapa sampai di tanah Jawa ini
kalian bersilang sengketa? Akan lebih baik kaiau kalian berdua akur-akur saja
dan saling bersahabat Banyak kebajikan yang bisa kalian perbuat di negeri
ini." Luhrembulan tertawa melengking.
"Aku?!
Aku mau akur-akuran dan bersahabat dengan laknat alam roh tidak tahu diri
ini!"
Luhrembulan
meludah lalu menggeleng berulang kali.
Perlahan-lahan
Purnama lepaskan rangkulannya di pinggang Pendekar 212.
"Selama
langit terbentang bumi terkembang, kau adalah mahluk alam roh paling memuakkan
di mataku!
Sebaiknya
kau mencari jaian pulang kembali ke alam gaib. Atau aku harus memberi petunjuk
hingga kau tidak lagi menimbulkan bencana di tanah Jawa ini?"
"Sombongnya!’
maki Luhrembulan. "Sebelum kau memberi petunjuk, terima dulu yang satu
ini!" Didahului pekik penuh amarah Luhrembulan menerjang ke depan.
Begitu
menginjak tanah kaki kanan langsung diguratkan.
"Rrrrttttt!"
Tanah
terbelah!
Dari
dasar belahan menderu daya sedot kencang luar biasa. Ilmu Membelah Bumi
Menyedot Arwah yang luar biasa ganas’ Dalam waktu bersamaan dari sepasang mata
menyambar dua larik sinar hitam. Ini adalah ilmu Dua Hantu Menembus Raga
Menyedot Jiwa!
"Edan,
gadis ini benar-benar kalap. Dia benar-benar hendak menghabisi Purnama!"
ucap Wiro dalam hati.
Bahkan
dirinya Juga bisa ikut tersedot ke dalam tanah yang mendadak sontak terbelah
itu! Di dahului suara teriakan keras tanpa perdulikan keadaan celananya yang
robek Wiro cepat melompat ke kiri sementara Purnama melesat ke kanan. Untuk
selamat dari serangan dua larik sinar hitam Purnama segera lindungi diri dengan
cahaya biru begemeriap lalu serentak dengan itu dia balas menghantam dengan
lepaskan serangan sakti bernama Menggusur Gunung Menjungkir Langit Dua cahaya
biru begemeriap melesat lalu bergabung menjadi satu membentuk bola raksasa.
"Buummm!"
"Breettt"
Letusan
dahsyat menggelegar. Seantero tempat bergoncang laksana dilanda gempa
besar.Tanah yang terbelah merapat kembali. Wiro, Purnama dan Luhrembulan
sama-sama terlempar Jauh. Kalau Wiro kemudian terduduk di tanah dengan kuping
pengang dan dada mendenyut sakit, maka Luhrembulan dan Purnama tergelimpang di
tanah becek, sama-sama mengerang dan kucurkan darah kental di sela bibir.
Wiro tak
berani bergerak. Memandang ke bawah matanya Jadi mendelik ketika melihat
celananya kini robek bukan cuma di bagian belakang tapi akibat terpental tadi
robekan menjalar lebar sampai ke bagian depan!
"Celaka!
Bagaimana aku menyembunyikan anuku….?!" Wiro Jadi bingung. Namun begitu
mendapat akal dia segera buka baju putihnya lalu digelungkan ke bagian celana
yang robek. Ternyata baju ini hanya bisa dipakai untuk menutupi salah satu
bagian saja. Sobelah depan atau sebelah belakang!
"Gila!
Masakan aku harus memilih bagian mana yang mau ditutup!" Wiro masih
sempat-sempatnya menggaruk kepala. Tiba-tiba baju yang sudah di Ikatkan di
pinggang dibuka kembali iaiu dimasukkan ke dalam celana sebelah depan, di ulur
ke belakang.
Dengan
cara begitu dia berhasil menutupi aurat depan belakang.
"He..
he!" Wiro nyengir. Namun cengiran ini serta merta lenyap ketika di
depannya Luhrembulan dan Purnama dengan mulut bercelemong darah telah bertarung
hebat. Keduanya melancarkan serangan dalam jurus-jurus pukulan serta tendangan
mematikan.
"Tahan!
Hentikan!" teriak Wiro.
Dua gadis
alam roh tidak perdullkan. Keduanya samasama berhasil mendaratkan pukulan telak
ke dada lawan. Akibatnya mereka sama-sama semburkan darah segar.
"Mahluk
alam roh keparat! Kau memang harus aku habiskan sekarang juga!" kertak Purnama
dengan wajah pucat. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan satu kantong kain
hitam.
Luhrembulan
dan juga Wiro tampak heran.
"Apa
isi kantong itu? Apa yang hendak diperbuat Purnama?" Wiro menduga-duga
sementara Luhrembulan mencium satu bahaya besar mengancam dirinya.
Jari-jari
tangan Purnama yang memegang kantong hitam bergerak. Sesaat kemudian dari dalam
kantong kain menyembul dua buah benda bulat berwarna kuning kehitaman.
"Dulu
kau hendak membunuhku dengan benda Ini! Sekarang rasakan sendiri neraka kematian
saat dua benda ini menembus tubuhmu!" Didahului teriakan keras, Purnama
lemparkan dua buah benda yang ada di dalam kantong ke arah Luhrembulan.
Luhrembulan
berteriak kaget ketika mengenali dua benda itu.
"Buah
damar!" teriak gadis alam roh Ini. Muka pucat tubuh langsung menggigil.
Dia cepat melompat mundur sambil dorongkan dua tangan ke depan melepas angin
serangan sehebat badai. Namun dua buah damar masih bisa menembus angin sakti
tersebut hingga Luhrembulan kembali berteriak.
Seperti
diketahui buah damar adalah buah pantangan bagi semua mahluk alam gaib yang
berasal dari Negeri Latanahsilam. Siapa saja yang bersentuhan langsung dengan
buah damar akan menemui ajal kematian secara mengenaskan. Rohnya akan kembali
ke alam gaib tanpa bisa keluar lagi untuk selamalamanya!
Sesaat
lagi dua buah damar akan menghantam tembus kepala dan dada Luhrembulan, gadis
Ini tiba-tiba gerakkan tangan kanan ke pinggang. Di lain kejap satu sinar putih
berkiblat menyilaukan menebar udara dingin angker!
"Trang
…trang!"
Dua buah
damar hancur berkeping-keping. Sinar putih kemudian menyambar ke arah Purnama.
Wiro tersentak kaget. Dia cepat mengenali senjata yang ada di tangan
Luhrembulan yang tadi dipakai untuk menangkis menghancurkan dua buah damar
maut, kemudian menyerang ke arah Purnama. Membuat gadis ini berseru kaget dan
cepat selamatkan diri dengan melompat sampai satu tombak ke udara.
Kakinya
terasa dingin dan tengkuk merinding ketika sinar putih menyambar ganas hanya
setengah jengkal di bawah ke dua kakinya!
"Tidak
mungkin! Gila! Bagaimana senjata itu bisa berada di tangannya!" ucap Wiro
dalam hati. Lalu murid Sinto Gendeng melompat ke depan sambil berteriak.
"Luhrembulan!
Tahan serangan!"
Luhrembulan
tidak perduli. Dia yakin dengan senjata sakti yang kini berada di tangannya itu
dia mampu menghabisi Purnama paling tidak dalam satu jurus di muka. Hal ini
tidak disadari Purnama tapi diketahui oleh Wiro.
Senjata
di tangan Luhrembulan kembali berkiblat. "Crasss!"
Wiro
berteriak kaget sewaktu ujung rambutnya di atas kening putus dibabat senjata di
tangan Luhrembulan.
"Luhrembulan!
Jika kau tidak berhenti menyerang aku terpaksa mengeluarkan Kapak Naga Geni Dua
Satu Dua!"terlakWiro mengancam.
Luhrembulan
tidak perdulikan ancaman Wiro. Malah sambil umbar tawa senjata di tangan diputar
demikian rupa hingga membeset di depan hidung sang pendekar.
"Hai!
Kau kemasukan setan apa?! Kau mau membunuhku?!" teriak Pendekar 212 sambil
melompat mundur dan pegang hidungnya yang terasa dingin akibat sambaran senjata
di tangan Luhrembulan.
Ketika
dilihatnya Luhrembulan tetap nekad meneruskan serangan ke arah Purnama, Wiro
tidak bisa menunggu lebih lama. Dia berteriak keras sambil tangan kanan di
angkat ke atas.
"Kapak
Naga Geni Dua Satu Dua!"
Saat itu
juga terlihat cahaya putih memancar di dada Wiro disertai munculnya jarahan
angka 212 di pertengahan dada. Lalu terdengar suara bergaung keras laksana
ribuan tawon mengamuk. Bersamaan dengan itu cahaya putih di dada melesat ke
luar dan di lain kejap dalam genggaman tangan kanan Wiro telah berada senjata
sakti mandraguna Kapak Naga Geni 212 yang selama ini telah menggegerkan rimba
persilatan tanah Jawa. Kapak sakti ini jarang dipergunakan murid Sinto Gendeng,
kecuali dalam menghadapi musuh yang benar-benar luar biasa perkasa atau dalam
keadaan jiwanya terancam.
Begitu
kapak sakti terpegang di tangan, angka 212 yang berkilauan di dada kiri lenyap
dengan sendirinya Seperti diceritakan sebelumnya dalam serial Wiro Sableng
berjudul "Lentera Iblis!" Kapak Naga Geni 212 bersama Batu Hitam
Sakti demi keamanan dan keselamatan sang pendekar oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas
dimasukkan secara gaib ke dalam tubuh Wiro. Kini dengan berseru menyebut nama
senjata itu maka kapak sakti keluar dari dalam tubuh, muncul di udara terbuka
dan langsung berada dalam genggaman Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro
sadar dan tidak punya cara lain menghadapi Luhrembulan. Jika dia tidak
mengeluarkan Kapak Naga Geni 212, dalam nekadnya Luhrembulan bukan saja akan
membunuh Purnama, tapi juga bisa menghabisi dirinya!
"Aku
tak ingin melukai gadis ini. Tapi aku Juga tidak mau celaka!" ucap Wiro
dalam hati.
*********************
11
KEREDUPAN
di tempat Itu serta merta sirma olah cahaya yang memancar dari dua mata kapak.
Udara yang tadi dingin kini menjadi hangat akibat pancaran hawa panas yang keluar
dari senjata sakti warisan Eyang Slnto Gendeng yang asal-muasalnya dimiliki
oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas, kemudian diberikan pada Sinto Gendeng yang
menjadi murid sang Kiai bersama Sukat Tandika alias Tua Gila. (Baca serial Wiro
Sableng berjudul "Pedang Naga Suci 212").
Wiro
memperhatikan dengan terperangah dan penuh rasa tidak percaya melihat senjata
yang tergenggam di tangan Luhrembulan.
"Pedang
Naga Suci Dua Satu Dua…" ucap sang pendekar dalam hati.
"Luhrembulan,
serahkan pedang itu padaku! Bagaimana kau bisa mendapatkan senjata sakti
ttu?"
"Wiro.
Bukan saatnya bertanya jawab! Biar aku membunuh perempuan sesat itu lebih
dulu" Jawab Luhrembulan. Lalu tanpa perdulikan sang pendekar Luhrembulan
kembali menyerbu ke arah Purnama.
Wiro
maklum, bagaimanapun tingginya ilmu kesaktian Purnama namun menghadapi Pedang
Naga Suci 212 sulit baginya untuk bisa menyelamatkan jiwa. Murid Sinto Gendeng
saat itu juga memutuskan harus merampas pedang sakti dari tangan Luhrembulan.
Ini bukan hal mudah untuk dilakukan! Karena Pedang Naga Suci 212 dan Kapak Naga
Geni 212 boleh
dikatakan
memiliki kesaktian yang setara! Bedanya kalau Pedang Naga Suci 212 mengandalkan
kesaktian berdasarkan hawa dingin maka Kapak Naga Geni 212 mengandalkan hawa
panas.
Namun
sebelum Wiro sempat bergerak, berlangsung satu kejadian tidak terduga. Dengan
kecepatan laksana kilat Purnama melompat ke arah Wiro. Sang pendekar tersentak
kaget dan berseru keras. Namun terlambat.
Kapak
Naga Geni 212 yang berada dalam genggamannya lenyap! Berpindah tangan dan kini
telah berada dalam genggaman Pumama. Begitu senjata sakti itu berada di tangan
kanannya Purnama langsung menyerbu ke arah Luhrembulan. Gadis alam gaib
Latanahsilam Ini kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimilikinya
hingga Kapak Naga Geni 212 memancarkan cahaya terang benderang.
Ketika
senjata sakti Itu dihantamkan ke arah Luhrembulan suara dahsyat seperti ribuan
tawon mengamuk mengumandang menusuk telinga disertai pancaran cahaya putih
menyilaukan mata.
Melihat
Purnama menyerbu dengan kapak sakti, Luhrembulan cepat putar Pedang Naga Suci
212 lalu dengan sebat dibabatkan ke arah lawan. Ternyata serangan Purnama hanya
tipuan belaka. Karena begitu dia melihat gerakan tangan Luhrembulan yang
memegang pedang, Purnama cepat rundukkan kepala.
Pedang
Naga Suci 212 lewat di atas kepala Purnama, sempat membabat putus sejumput
rambutnya yang hitam dan membuat gadis ini terpekik Dalam keadaan sekujur tubuh
terasa dingin akibat serangan pedang, Purnama masih mampu lancarkan serangan
kedua berupa babatan kapak membalik ke atas.
"Purnama!
Jangan!"teriak Wiro. Dia menendang ke arah Purnama, berusaha mendorong
gadis Ini namun terlambat.
"Craasss!"
Kapak
Naga Geni 212 menyapu lebih dulu di atas dada Luhrembulan! Gadis alam gaib ini
terpekik keras.
Tubuh terhuyung
ke belakang.Tangan kiri menekap dada yang luka besar. Darah aneh berwarna hijau
mengucur deras. Sepasang mata yang bagus mendelik.
Pedang
Naga Suci 212 terlepas jatuh dari tangan kanan.
Begitu
menyentuh tanah pedang sakti ini secara aneh langsung bergulung menyerupai
gulungan ikat pinggang.
Purnama
tegak diam tertegun sambil menekap mulut dengan tangan kiri. Dia seperti tidak
percaya akan apa yang telah dilakukannya Kapak Naga Geni 212 untuk beberapa
lamanya masih tergenggam di tangan kanan.
Noda darah
hijau pada mata kapak pertahan-tahan sirna secara gaib.
Sesaat
lagi sosok Luhrembulan akan jatuh terbanting ke tanah. Pendekar 212 Wiro
Sableng cepat memeluknya "Wiro suamiku…" suara Luhrembulan pelan dan
bergetar. "Aku merasa dingin sekali."
Wiro tak
menjawab, malah merasa heran. Setiap orang yang terkena bacokan Kapak Naga Geni
212 akan merasakan sekujur tubuhnya panas luar biasa lalu sosoknya akan berubah
gosong hitam atau menjadi bubuk putih, tergantung daya tolak kesaktian yang ada
dalam tubuhnya. Anehnya Luhrembulan justru merasa sekujur tubuhnya dingin luar
biasa hingga dia menggigil dan gerahamnya bergemeietukkan.
"Wiro,
hangatkan tubuhku. Peluk tubuhku wahai suamiku. Jangan biarkan aku pergi.
Jangan lepaskan…" Suara Luhrembulan hanya tinggal bisikan halus.
"Luhrembulan,
kau tak akan pergi kemana-mana … ucap Wiro sambil memeluk dan menurunkan tubuh
Luhrembulan ke tanah.
"Cium
aku Wiro. Sebelum aku menutup mata berikan kehangatan mesra padaku untuk
pertama dan terakhir kali…"
"Luhrembulan,
kau…" Wiro bimbang sesaat. Wajah pucat putih itu tampak memelas. Wiro
tetapkan hati dan perlahan-lahan turunkan kepalanya. Luhrembulan tersenyum
menengadah menyambut datangnya bibir sang pendekar di atas bibirnya.
Purnama
yang menyaksikan kejadian itu terpekik dalam hati.
"Dia
menciumnya …Wiro mencium Luhrembulan! Ohhh…" Gadis Ini lepaskan Kapak Naga
Geni 212, balikkan tubuh lalu menghambur lari tinggalkan tempat itu.
Begitu
sepasang bibir mereka saling bertempelan, sosok Luhrembulan berubah menjadi
sosok seorang nenek berpakaian jerami kering, dengan wajah menyerupai burung
gagak hitam.
Wiro
tersentak kaget tarik kepalanya. Sebelumnya dia pernah melihat sosok dan wajah
ini di Latanahsilam negeri 1200 tahun lampau.
"Hantu
Santet Laknat.." ucap Wiro, mata membesar kuduk terasa dingin.
Sesaat
kemudian tubuh nenek Itu mengepulkan asap Lalu perlahan-lahan leleh berubah
menjadi cairan putih. Begitu asap lenyap, cairan putih juga sirna tak berbekas
di tanah becek.
Selagi
perhatian Wiro terpusat atas apa yang terjadi atas diri Luhrembulan, dia tidak
menyadari kalau saat itu, setelah melihat bagaimana Wiro memeluk dan mencium
Luhrembulan, Purnama merasa dunia seperti terbalik. Hatinya menjerit! Kapak
Naga Geni 212 terlepas jatuh dari tangannya. Sebelum menyentuh tanah senjata
Ini secara gaib melesat dan masuk kembali ke dalam tubuh Wiro. Purnama sendiri
telah berkelebat lenyap.
Hanya
sesaat setelah Purnama meninggalkan tempat itu diluar pengetahuan Wiro satu
bayangan hijau melesat tanpa suara. Sesaat dia menatap ke arah sosok
Luhrembulan yang mencair leleh.
"Mahluk
alam roh keparat! Jadi kau yang mencuri pedang sakti itu ketika baru kudapat
Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" Orang berpakaian hijau menyumpahi
dalam hati. Dengan cepat orang ini kemudian mengambil gulungan Pedang Naga Suci
212 yang tergeletak di tanah lalu berkelebat pergi. Namun di satu tempat orang
yang melarikan pedang ini berteriak kaget ketika tangannya yang memegang
senjata itu seperti memagang bara panas. Telapak tangan dan jari-jarinya
melepuh!
"Senjata
keparat jahanam! Setan apa yang ada dalam dirimu?! dua kali dengan Ini kau
membuat tanganku melepuh!" maki orang itu lalu bantingkan gulungan Pedang
Naga Suci 212 ke tanah. Senjata sakti menggelinding lalu masuk ke dalam sungai
kecil, lenyap dari pemandangan.
Nyi Wulas
Pikan, gadis cantik berpakaian ringkas hijau yang tadi hendak mencuri Pedang
Naga Suci 212 dan bukan lain adalah samaran Nyai Tumbal Jiwo meniup-niup dan
mengusap telapak tangan kanannya yang melepuh. Mulutnya tiada henti memaki
panjang pendek.
**************************
BAGAIMANA
Pedang Naga Suci 212 bisa berada di tangan Luhrembulan dan apa sangkut pautnya
dengan Nyai Tumbal Jiwo alias Nyi Wulas Pikan?
Pagi hari
yang mendung, hujan lebat belum lagi turun, di kaki Gunung Gede Nyi Wulas Pikan
ingat sesuatu.
"Aku
pernah menyirap kabar kalau Kiai di puncak gunung itu memiliki satu senjata
berupa pedang sakti luar biasa. Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Apakah aku mampu
mengambil senjata Itu dengan ilmu kesaktianku?" Sambil berpikir-pikir Nyi
Wulas Pikan mencari tempat yang baik untuk menerapkan ilmu mengambil benda dari
jarak jauh.
Setelah
menemukan tempat yang cocok, dia duduk bersila. Ujudnya sebagai gadis cantik
berubah ke bentuk asli yaitu nenek rambut merah bermuka setan.
Ujud
nenek angker Nyai Tumbal Jrwo! Mata dipejam dan mulut perot mulai merapal. SI
nenek tidak mengetahui kalau saat itu di belakang pohon, di balik rimbunan
semak belukar mendekam sosok seorang berpakaian putih, memperhatikan apa yang
tengah dilakukannya.
Dalam
keadaan mata yang terpejam Nyai Tumbal Jiwo melihat puncak Gunung Gede. Lalu
tampak sebuah telaga. Sepasang mata si nenek bergetar, pelipis bergerak-gerak.
Pandangan gaib ditembuskan melewati permukaan telaga. Menukik sampai ke dasar
dimana terdapat tiga bangunan terbuat dari batu pualam. Dari dalam bangunan di
sebelah kanan keluar satu cahaya putih yang berasal dari sebuah benda bergulung
tipis dan berada di dalam keranda kaca.
"Senjata
sakti Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Aku melihatmu! Kutemui dirimul Kita
berjodoh? Ikutlah bersamaku!" ucap Nyai Tumbal Jiwo berulang kali. Lalu
dia berhenti berucap dan menahan nafas.
Saat itu
juga keranda kaca di dalam tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas di dasar
telaga berderak pecah. Benda putih bergulung yang memang adalah pedang Sakti
Naga Suci 212 melesat keluar keranda, melayang ke arah pintu bangunan batu
pualam. Hanya dua kali kejapan mata senjata sakti itu menembus keluar dari
dalam telaga, melayang di udara ke arah kaki gunung mengeluarkan suara
berdesing.
Tak
selang berapa lama di langit awan mendung mulai menggumpal. Kilat beberapa kali
menyambar.
Nyai
Tumbal Jiwo merapal lebih cepat dan lebih keras.
Dari
batok kepalanya keluar kepulan asap merah pertanda dia tengah mengerahkan
seluruh kesaktian yang ada untuk menarik Pedang Naga Suci 212 yang telah
berhasil dikeluarkannya dari dasar telaga.
Ternyata
senjata sakti itu memberi perlawanan. Si nenek lipat gandakan kekuatan yang
dimiliki. Tubuhnya bergetar hebat. Dia mendengar suara berdesing. Lalu di udara
tampak satu benda putih melesat, berputar tujuh kali turun naik di atas pohon
tak jauh dimana Nyai Tumbal Jiwo duduk bersila. Benda ini sepertinya berusaha
bertahan dari kekuatan yang ingin menariknya ke bawah. Namun setelah tujuh kali
putaran akhirnya benda melayang ke bawah dan jatuh di pangkuan Nyai Tumbal
Jiwo.
"Pedang
Naga Suci Dua Satu Dua!" ucap Nyai Tumbal Jiwo seakan tidak percaya kalau
dia benar-benar berhasil mendapatkan senjata sakti mandraguna itu. Dua mata
yang sejak tadi terpejam dibuka. Dia melihat gulungan benda tipis putih dan
bercahaya terang dipangkuannya. Mulut si nenek menyeringai gembira. Dengan
cepat dia ulurkan tangan kanan untuk mengambil senjata sakti itu.
"Luar
biasa, senjata aneh…" SI nenek membolak balik gulungan pedang tipis.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Gulungan pedang terasa panas seperti barai
Tangannya sampai mengepulkan asap dan melepuhi Sambil memaki si nenek
bantingkan senjata itu ke tanah. Mendadak guntur menggelegar membuat Nyai
Tumbal Jiwo kaget dan melompat bangkit sambil banting-banting kaki. Saat Itulah
tiba-tiba Luhrembulan, yaitu sosok yang sejak tadi sembunyi di balik semak
belukar, dengan gerakan kilat melompat keluar, menyambar gulungan Pedang Naga
Suci 212 yang tergeletak di tanah lalu berkelebat menghilang tanpa Nyai Tumbal
Jiwo sempat melihat.
Seperti
diceritakan sebelumnya Nyai Tumbal Jiwo dalam keadaan kembali berubah menjadi
Nyi Wulas Pikan berteduh di sebuah gubuk. Sebelumnya di tempat itu telah lebih
dulu berteduh Luhrembulan.
Gadis
dari alam 1200tahun silam ini segera mengenali si nenek, serta merta berlaku
waspada. Sebaliknya si nenek tidak mengenali Luhrembulan apa lagi mengetahui
kalau gadis berpakaian putih itu yang telah mencuri Pedang Naga Suci 212.
Antara mereka kemudian terjadi perkelahian. Sewaktu Nyi Retno Mantili muncul
Nyi Wulas Pikan walau semula ingin membunuh perempuan tidak waras ini namun
akhirnya memilih lebih baik meninggalkan tempat itu dan cepat-cepat naik ke
puncak Gunung Gede guna menantikan kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
*********************
12
TAK LAMA
setelah hujan lebat berhenti dan arus di sungai kecil surut, dekat satu
tikungan sungai pada bagian yang dangkal berbaring menelentang seorang pemuda
bertubuh luar biasa gemuk, bermuka putih tembam. Leher dan dagu jadi satu.
Perut menyembul buncit besar. Pemuda ini mengenakan baju terbalik dengan
kancing di sebelah punggung.
Di
kepalanya yang berambut panjang sebahu bertengger sebuah kopiah hitam kupluk
kebesaran menutupi alis.
Saat itu
walau sebagian tubuhnya berada dalam air dan udara dingin pula karena habis
hujan namun anehnya si pemuda merasa kepanasan bahkan sampai keringatan. Tangan
kiri yang memegang sebuah kipas kertas tidak henti-henti dikibaskan ke bagian
dada dan wajah. Sepasang mata ter pejampejam ayam. Dua kaki dikambang
lebar-lebar. Pemuda gemuk ini agaknya benar-benar menikmati keberadaannya di
dalam sungai dangkal berair jernih dan sejuk itu.
Tiba-tiba
ada sebuah benda putih berkilau dihanyutkan air sungai meluncur mengapung
diantara dua kaki pemuda gendut yang terkembang. Begitu menyentuh bagian bawah
perut, ada rasa dingin menjalar masuk ke dalam tubuh si gendut ini. Mata masih
terpejam dan mulut tersenyum-senyum si gendut keluarkan suara "Heh…."
Setiap kali benda itu dipermainkan aliran air sungai dan menyentuh bagian bawah
perutnya si pemuda selalu mengeluarkan ucapan heh. Rupanya dia merasa senang.
Mata kini meram melek dan lidah terjulur-julur di atas bibir. Selain merasa
sejuk pemuda ini juga merasa geli-geli enak bagian bawah perutnya seperti
diusap disentuh tangan-tangan halus.
"Dewi
Sungai… Oooh, kau kah itu yang yang mengusap anuku. Aahhh, enak … asyik. Ooo
nikmatnya. Pelan-pelan Dewi… Jangan sampai anuku lecet…." Si gendut bicara
sendiri sambil senyumsenyum.
Dalam
rasa senangnya lama-lama si gendut ini ingin tahu juga benda apa sebenarnya
yang sejak tadi menyentuh-nyentuh memberi nikmat pada dirinya itu.
"Jangan-jangan
ikan betina yang mulutnya besar," pikir si gendut lalu ulurkan tangan kiri
menjangkau benda di bawah selangkangannya itu. Namun tidak tersentuh karena
terhalang oleh perut yang buncit.
"Sreett!"
Si gendut
lipat kipas kertas di tangan kiri lalu menopang tubuh dengan tangan kanan,
berusaha bangkit. Begitu duduk dia melihat sebuah benda aneh, tipis bergulung
seperti sebuah ikat pinggang.
"Hah,
ini rupanya mahluk yang sejak tadi menyenggol-nyenggol kantong menyanku!
Kusangka Dewi Sungai, kukira ikan, tak tahunya benda apa ini?"
Ucap
pemuda gendut lalu dengan tangan kanan mengambil benda yang terapung itu.
Begitu bersentuhan tangan kanannya terasa dingin. Rasa sejuk menjalar ke
seluruh tubuh. Ketika digenggam rasa dingin berkurang dan perlahan-lahan
berubah menjadi hangat. Dari hangat berubah lagi menjadi panas!
Sekujur
tubuh si gendut langsung kucurkan keringat "Aneh, mengapa jadi panas?
Senda bergulung, apa kau marah padaku? Apa kau tidak mau dipegang tapi maunya
dikempit di antara dua pahaku? Ha … ha!" Pemuda gemuk tertawa sendiri lalu
benda dioles-oleskan ke bagian bawah perutnya. Dia tertawa haha-hihi ketika
kembali rasa sejuk terasa menyentuh dan masuk ke dalam tubuhnya.
"Aneh.
aneh!" si gendut berucap berulang kali.
Benda
putih bergulung kemudian ditimang-timang. Di lempar ke atas ditangkap lagi,
dilempar kembali. Pada kali yang ketujuh tiba-tiba terdengar suara berdesir di
susul dengan memancarnya hawa dingin.
Lalu
srett! Benda bergulung membuka Cahaya putih berkiblat dan wuuttt!
"Breett!"
Si gendut
terpekik. Matanya yang belok melotot tambah besar. Wajahnya yang pucat putih
menjadi tambah putih seperti kain kafan! Kopiah hitam kupluk yang ada di atas
kepalanya mencelat mental, jatuh ke dalam sungai. Sebelum dihanyutkan air
pemuda ini cepat-cepat mengambilnya. Ketika diperhatikan ternyata bagian
pinggir atas kopiah hitam itu telah robek besar.
"Kopiahku
satu-satunya kenapa dirusak?! Tapi untung cuma kopiah yang bolong. Kalau sampai
jidatku yang robek!" Si gendut letakkan kopiah di atas kepala lalu
berbalik mencari benda putih berkilat yang tadi menyerangnya Dia buru-buru
jatuhkan diri ketika benda yang dicarinya itu melayang di udara dan membeset ke
arah hidungnya. Hawa dingin menebar.
"Kurang
ajar! Mahluk setan apa yang menyerangku?"
Si gemuk
cepat berdiri, memandang kedepan dan memperhatikan lebih jelas dia melihat
benda putih itu ternyata sebilah pedang putih tipis bergagang gading berbentuk
kepala naga. Pada badan pedang kiri kanan ada guratan angka 212.
"Dua
Satu Dua! Astaga..-!" SI gendut berseru. Dia segera ingat pada sobat yang
sudah lama tidak bertemu. "Wiro anak geblek. Pasti kau yang punya urusan!
Kau yang menyuruh pedang Itu menyerangku! Anak Sableng! Lama tidak bertemu
mengapa mau membuat aku celaka?! Dimana kau? Jangan sembunyi. Nanti aku…"
Ucapan
belum selesai pedang putih yang mengapung di udara bergerak naik ke atas lalu
wutt!
Meluncur
menusuk ke arah pertengahan dada gembrot berlemak si gendut.
"Kau
benar-benar mau membunuhku?! Aku tidak Yakin! Ayo sllahkan saja tusuk!"
kata pemuda gendut sambil pegang koplah kupluk sementara tangan kiri bergerak
mengangkat kipas kertas ke atas. Tadinya dia menyangka bahwa luncur tusukan
pedang akan berhenti di tengah jalan atau membelok ke samping.
Tapi
ketika senjata itu terus meluncur ke arahnya si gendut jadi terperangah dan
tidak mau mati konyol!
Sambil
jatuhkan tubuh yang gembrot besar ke dalam air sungai, tangan kiri
mengembangkan kipas untuk menangkis serangan pedang. Kalau dia mempergunakan
kipas kertas untuk menghadapi pedang sakti berarti kipas kertas itu merupakan
benda bukan sambarangan! Dan memang benar.
Begitu
selarik angin dingin menyapu keluar dari kipas kertas, gerak luncur pedang
putih tertahan. Si pemuda sentakkan kipas ke kiri. Pedang yang mengapung di
udara ikut bergerak ke kiri.
"Kita
tidak pernah bermusuhan. Mengapa menyerangku! Bukankah bersahabat lebih baik
dari pada berseteru?!" Si gendut berucap sambil perlahan-lahan tangan
kirinya yang memegang kipas diturunkan kebawah dan diputar-putar. Pedang putih
ikut bergerak turun, berputar beberapa kali lalu srett!
Pedang
menggulung kembali dan jatuh di dalam sungai yang dangkal. Walau agak
takut-takut si pemuda ulurkan tangan kanan mengambil gulungan pedang.
"Wiro!
Mengapa masih sembunyi?! Ayo keluar! Kita bisa ngobrol sore ini sampai pagi!
Kalau mau disambung lagi dari pagi sampai sore!" Si gendut lalu
tergelak-gelak hingga perut dan dadanya yang gembrot berguncang-guncang. Satu
bayangan berkelebat keluar dari balik pohon besar di tepi sungai kecil. Si
gendut mengira yang muncul adalah sobat lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi
dia jadi terperangah dan berbalik terkagum-kagum ketika melihat yang berdiri di
tepi sungai adalah seorang gadis memiliki rambut panjang sepinggang. Pakaian
hijaunya basah kuyup hingga tubuhnya yang sintal seolah tercetak di bawah
pakaian itu.
"Kau
mampu menjinakkan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua! Bagaimana kau melakukannya?
Mantera apa yang kau baca?!" bertanya gadis berpakaian hijau sambil
melirik ke arah kipas kertas di tangan kiri si gendut
"Ha…
he…" pemuda gemuk tertawa. Mata dikedapkedipkan.
"Aku
tidak membaca mantera apa-apa. Kipas jelek Ini yang menolongku."
"Hebat!
Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!"
"He..he.
Kipasku Cuma kipas kertas jelek," Jawab si gendut merendah. "Eh!
bagaimana kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua…
?"
"Aku
hanya menduga.Tidakkah kau melihat ada guratan angka Dua Satu Dua pada dua sisi
pedang?"
"Ya
… ya. He… he. Kau pasti gadis dari rimba persilatan. Tidak sembarang orang bisa
tahu ini pedang apa Ha..he… Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di sini?"
"Sewaktu
hujan aku tengah berperahu di sungai ini. Lalu hujan turun, arus berubah besar.
Perahuku terbalik. Selagi berenang ke tepi aku melihat benda putih bergulung
dihanyutkan air. Aku mengikuti sepanjang tepian kali. Ketika melihat benda itu
mengarah ke tempatmu berbaring di sungai dangkal aku berhenti mengikuti,
sembunyi di balik pohon sana. Waktu benda bergulung terbuka berubah jadi
sebilah pedang dan menyerangmu, aku sempat melihat guratan angka Dua Satu Dua di
sisi pedang. Tadi aku mendengar kau menyebut nama seseorang. Wiro. Apakah kau
kenal pada pendekar itu?"
"Dia
sobat lamaku. Tadinya dia yang aku kira bergurau dengan senjata Ini. Heran,
mengapa pedang sakti ini bisa tersesat begini rupa? Apa yang telah terjadi?"
kata si gendut pula. Matanya yang betok terus saja memperhatikan wajah dan
sosok elok si gadis.
"Eh,
kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Namaku
Nyi Wulas Pikan."
*********************
13
NAMA
BAGUS. Puji si gendut. "Kau sendiri siapa?"
Balik
bertanya si gadis. "Adalah aneh sementara orang kedinginan kau malah
merendam diri di sungai."
Mengakubernama
Nyi Wulas Pikan berarti dia bukan lain adalah penjelmaan Nyai Tumbal Jiwo.
"Namaku
Santiko. Tapi orang-orang menyebutku Bujang Gila Tapak Sakti. Aku memang punya
kelainan. Aku tidak tahan hawa panas. Selain itu kata orang usiaku sekitar dua
puluhan. Pada hai aku sebenarnya sudah berumur lebih dari delapan puluh"
Nyi Wulas
Pikan perhatikan dua tangan pemuda yang tampak putih sampai ke kuku,
"Kalau ucapanmu bisa dipercaya maka kau adalah orang paling aneh yang
pernah kutemui. Dijuluki seperti itu kau pasti orang hebati" kata Nyi
Wulas Pikan."Apakah kau benar-benar masih bujang seperti namamu?"
Si gendut
Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Duduk di tanah di hadapan si
gadis.
Tangan
kiri memegang kipas, tangan kanan menggenggam gulungan Pedang Naga Suci 212
yang mulai terasa panas. Sambil menyeringai dia bertanya.
"Apa
maksudmu dengan pertanyaan itu Nyi Wulas?"
"Maksudku
apakah kau masih perjaka? HIk..hik…"
Si gendut
Bujang Gila Tapak Sakti ikutan tertawa.
"Aku
tidak ingat apa aku ini masih perjaka.Yang jelas aku belum pernah nikah!"
"Nikah
belum kawin sudah! Iya kan? Hik…hik…hik!"
"Kalau
nikah denganmu aku mau!" kata Bujang Gila Tapak Sakti pula yang sejak tadi
sudah tertawan dan bergairah melihat kecantikan serta kebagusan tubuh Nyi Wulas
Pikan.
"Ihh…
Kau sungguhan? Jangan main-main soal nikah."
"Kalau
begitu kawin saja!" sahut si gendut.
"Dengar."
Nyi Wulas Pikan melangkah mendekati Bujang Gila Tapak Sakti. "Kalau kau
sungguhan mau kawin denganku, aku juga mau."
"Eh
apa?I" Bujang Gila Tapak Sakti jadi kaget. Walau tertarik pada si cantik
ini tapi tadi dia bicara hanya sekadar bergurau.
Nyi Wulas
Pikan duduk di samping Bujang Gila Tapak Sakti lalu usap-usap dada gembrot si
pemuda. Usapan turun ke perut yang buncit hingga Bujang Gila Tapak Sakti
senyum-senyum meram melek. Sambil turunkan lagi usapannya ke bagian pusar, Nyi
Wulas Pikan berkata.
"Aku
mau kawin denganmu.Tapi ada syaratnya.”
"Ah,
pasti kau minta mas kawin seratus sapi seratus kambing seratus…."
"Aku
tidak, minta mas kawin apa-apa." Potong Nyi Wulas Pikan.
"Lalu?
Sungguh? Ah. mungkin kau minta mas kawin emas atau perhiasan satu karung!"
"Gila!
itu juga tidak." jawab Nyi Wulas Pikan sambil tersenyum dan lagi-lagi
kedipkan mata menggoda.
"Aku
hanya ingin kau mengajarkan padaku bagaimana caranya agar aku bisa memegang
pedang sakti itu tanpa tanganku menjadi panas dan melepuh."
"Apa
kau pemah memegang pedang sakti ini sebelumnya?" tanya si pemuda sambil
melirik kearah tangan kanan si gadis dan melihat ada luka melepuh pada tangan
itu.
"Waktu
berenang di sungai. Aku berusaha mengambil pedang yang masih dalam keadaan
tergulung. Tapi tanganku kepanasan bahkan sampai melepuh." Berdusta Nyi
Wulas Pikan.
"Terus
terang aku tidak tahu bagaimana cara mengajar orang lain agar bisa memegang
pedang ini."
"Tapi
kau mampu memegangnya tanpa tanganmu cidera Aku pernah mendengar riwayat
senjata ini yang konon keluar dari perut naga di dasar laut."
"Ceritakan
padaku…" kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Nyi Wulas
Pikan menggeleng.
"Aku
tidak mau menceritakan. Takut kesalahan." Kilah si gadis.
"Sebenarnya
aku juga kepanasan memegang senjata ini. Tapi tidak sampai melepuh. Mungkin
karena aku memiliki kekuatan hawa dingin dalam diriku, itu yang membuat aku
bisa memegang senjata ini.Tapi lamalama kalau panas terus-terusan rasanya aku
bisa jadi tidak tahan…"
"Kalau
begitu berikan kesaktian hawa dingin yang ada dalam tubuhmu padaku." Kata
Nyi Wulas Pikan pula.
"Memberikan
hawa dingin dalam tubuhku padamu?" mengulang si gendut.
Nyi Wulas
Pikan mengangguk. Mulut mengulum senyum dan mata dikedipkan.
"’Bagaimana
caranya?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti yang kena rayuan dan tambah
bergairah melihat sikap si gadis.
Mengenai
siapa adanya pemuda gendut berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti ada baiknya
dituturkan sedikit riwayatnya. Dalam serial Wiro Sableng berjudul "Bujang
Gila Tapak Sakti "diceritakan, ketika berusia 10 tahun Santiko mencuri
perangkat Gamelan berupa dua buah bonang (kentongan besi) milik Keraton. Dua
buah bonang ini kemudian diserahkan Santiko pada seorang janda muda cantik
jelita bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang memang telah membujuk Santiko
untuk mencuri benda pusaka itu. Ketika Dewa Ketawa, tokoh aneh rimba persilatan
tanah Jawa yang merupakan paman Santiko mengetahui hal ini maka si bocah
dihukum berat. Dibawa ke puncak Gunung Mahameru lalu dipendam dalam sebuah
lobang yang disebut lobang inti es selama 7 tahun. Menurut Dewa Ketawa satu
tahun di dalam lobang sama dengan sepuluh tahun hidup di dunia luar.
Tujuh
tahun kemudian setelah bebas dari hukuman, Santiko berubah menjadi seorang
pemuda yang memiliki ilmu kesaktian tidak ada duanya Semua Ilmu kepandaian dan
kesaktiannya itu berdasar dan mengandalkan pada hawa dingin yang didapatnya
selama dipendam di puncak Mahameru. Karena bertahun-tahun berada di dalam
lobang luar biasa dingin, Santiko kini menjadi tidak tahan akan hawa panas.
Kemana pergi selalu membawa kipas kertas.
Selain
dipakai untuk mengipasi diri, benda ini juga bisa dipergunakan sebagai satu
senjata hebat. Sejak turun gunung Santiko dijuluki Bu|ang Gila Tapak Sakti dan
selalu mengaku kalau usianya sudah delapan puluh tahun.
Dalam
pengembaraannya pendekar gemuk ini bertemu dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
yaitu ketika murid Sinto Gendang ini membantu mendapatkan dua buah bonang
kembali. Dari keterangan Nyi Bulan Seruni Pitaloka diketahui bahwa di dalam dua
buah bonang itu terdapat lapisan dua helai kain sutera tipis yang hanya bisa
dilepas dengan dua senjata sakti mandra guna. Senjata pertama Keris Nogo
Sosro.TapI senjata milik dan pusaka Keraton Ini tidak diketahui dimana
beradanya. Yang kedua adalah Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro.
Setelah
berhasil dilepas dari bonang, dua carik kain sutera Ku ternyata berisi tulisan
kuno mengenai rahasia ilmu sakti mandraguna. Pada kain sutera pertama tertera
tulisan mengenal limu kesaktian langka sementara pada kain sutera kedua
terdapat tulisan mengenai ilmu pengobatan.
Wiro
menyerahkan dua helai kain sutera pada Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang memang
adalah milik mendiang suaminya. Dua buah bonang kemudian diberikan pada Dewa
Ketawa. Antara kakek ini dengan sang keponakan keduanya saling berbaikan kembali.
Sebagai
balas budi atas bantuan Wiro, Nyi Bulan Seruni Pitaloka dengan Ilmu kesaktian
bernama Berjalan DI Dalam Tanah kemudian mengajak sang pendekar jalan-jalan
masuk ke dalam perut bumi.
Kembali
pada pembicaraan antara Nyi Wulas Pikan dengan Bujang Tnpak Sakti.
"Ada
satu cara paling ampuh dan cepat untuk memasukkan ilmu kesaktian hawa dinginmu
ke tubuhku." Kata Nyi Wulas Pikan pula.
"Katakan
bagaimana caranya." Ucap Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Wulas
Pikun dekatkan mulutnya ke telinga kiri Bujang GIlaTapak Sakti. Dia lebih dulu
menjilat daun telinga si pemuda hingga si gendut ini menggelinyang kegelian dan
tambah berkobar nafsunya. Lalu Nyi Wulas Pikan membisikkan ucapannya ke telinga
Bujang Gita Tapak Sakti.
"Heh,
kau ini bicara apa?! Kau sungguhan?!" SI pemuda pura-pura terkejut ketika
mendengar bisikan Nyi Wulas Pikan, padahal dadanya berdebar gembira.
Tubuhnya
langsung panas. Keringat memercik.
"Aku
tidak main-main."
"Kita…
kita mau melakukannya di mana?" tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambing
pegang bagian bawah celana seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas
Pikan memandang berkeliling.
"Di
bawah pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah."
Lalu
gadis ini berdiri dan melangkah ke bawah pohon besar. Di sini dia lambaikan
tangan memanggil si pemuda, mulut tersenyum, mata dikedip menggoda. Karena
Bujang Gila Tapak Sakti masih tidak beranjak dari tempatnya, Nyi Wulas Pikan
gerakkan jari-jari tangan ke dada Satu persatu dia tanggalkan kancing kain pada
baju hijau yang dikenakannya.
"He…?!"
Bujang Gila Tapak Sakti terperangah.
"Kau
sungguhan rupanya Nyi Wulas?" Mata mendelik besar tak berkedip. Ketika di
depan sana Nyi Wulas Pikan dilihatnya tidak lagi mengenakan apa-apa di bagian
atas tubuhnya bahkan siap hendak menurunkan celana panjangnya pemuda ini
perlahan- lahan bangkit berdiri sambil kipas-kipaskan kipas kertas. Tubuhnya
panas kelangsangan. Bukan saja karena hawa dan pedang sakti dan udara di
sekitarnya, tapi juga karena akibat kobaran nafsu.
Hanya
beberapa langkah saja Bujang Gila Tapak Sakti akan sampai di hadapan Nyi Wulas
Pikan yang tegak berdiri di depan pohon besar tiba-tiba terdengar suara
berdesing.
Pedang
Naga Suci 212 yang ada di tangan kanan pemuda gendut itu memancarkan sinar
terang. Bujang Gila Tapak Sakti berseru kaget ketika hawa sangat panas
menghantam tangan kanannya Pedang sakti berkelebat lepas, gulungan terbuka lalu
berkiblat di udara
"Breett!"
Bujang
Gila Tapak Sakti melompat mundur.
Lengan
kiri baju terbalik yang dikenakannya robek besar Kulit tergores Hawa dingin
luar bisa menyelubungi dinnya. Menyangka pedang sakti akan berbalik menyerang
kembali cepat dia buka lipatan kipas kertas.
Ternyata
Pedang Naga Suci 212 melesat ke arah Nyi Wulas Pikan alias jejadian Nyai Tumbal
Jiwo!
Melihat
dirinya diserang gadis cantik jejadian yang dalam keadaan polos tubuh sebelah
atas tentu saja tidak tinggal diam. Dia cari selamat dengan melompat ke kiri
sambil lima jari tangan kanan dijentikkan.
Lima
larik sinar merah menderu, menghantam Pedang Naga Suci 212 di lima tempat.
"Tring…tring…
tring… tring…tring."
Terdengar
suara berdentringan disertai percikan bunga api. Pedang sakti tampak bergetar,
sesaat naik turun di udara namun di lain kejap kembali melesat ke arah Nyi
Wulas Pikan. Gadis jejadian ini berteriak keras, secepat kilat jatuhkan diri ke
tanah.
"Crass!"
Pedang
Naga Suci 212 menancap sampai sejengkal di depan gagang pada batang pohon besar
di belakang Nyi Wulas Pikan. Gadis ini sambar bajunya yang tergeletak di tanah,
siap untuk menghambur lari.
Namun di
batang pohon Pedang Naga Suci 212 melesat surut lalu kembali menderu ke arah
Nyi Wulas Pikan. Kali ini yang diserang tidak mampu selamatkan diri lagi. Kalau
sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke alam gaib untuk
selamalamanya, tak mungkin lagi akan gentayangan dimuka bumi, Nyi Wulas Pikan
menjerit keras.
Sekejap
lagi pedang sakti akan menancap di dadanya yang putih polos tiba-tiba
mengumandang satu suara.
"Pedang
sakti Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali padaku!"
*********************
14
LUNCURAN
Pedang Naga Suci 212 mendadak tersendat, lalu berhenti. Setelah sesaat
mengapung di udara pedang sakti Ini menggulung diri lalu melayang ke arah kakek
berambut panjang putih yang wajahnya tertutup janggut serta kumis putih
menjulai. Dengan cepat kakek ini menangkap gulungan pedang sakti lalu
memasukkan ke balik pakaian. Matanya kemudian ditujukan ke arah Nyi Wulas Pikan
yang baru saja mengambil baju hijaunya.
"Gadis
jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!"
Nyi Wulas
Pikan menyahuti dengan mencibirkan lidah, tertawa cekikikan lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Jangan
pergi!" bentak orang tua berselempang kain putih seraya mengejar dan
tusukkan dua jari tangan kanan mengirim totokan jarak jauh. Namun dengan
mengeluarkan ilmu DibalikAsap Roh Mencari Pahala yang merupakan semburan asap
hitam penghalang pemandangan Nyi Wulas Pikan berhasil lenyap dari tempat itu.
Totokan jarak jauh si orang tua hanya mengenal udara kosong mengeluarkan suara
menggelegar. Di kejauhan terdengar tawa cekikikan Nyi Wulas Pikan disertai
ucapan.
"Orang
tua! Aku tahu kau cuma berpura-pura marah! Aku melihat kau menikmati
pemandangan dadaku yang bagus! Hik… hik… hik!"
Wajah si
orang tua berubah merah. Mulutnya berkomat-kamit mengucap. Kini kemarahannya
ditumpahkan pada si gendut Bujang Gila Tapak Sakti.
Tahu
kalau orang marah padanya pemuda Ini pegang kopiah kupluknya yang robek besar
lalu berkata.
"Kek,
kalau aku tidak salah menduga, bukankah kau Kiai GedeTapa Pamungkas yang diam
dipuncak Gunung Gede sana?"
Si kakek
tidak menjawab. Untuk beberapa lama dia hanya menatap mendelik pada si gendut
"Kau sudah tahu diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apakah pantas
bagi seorang pendekar rimba persilatan apa lagi yang konon keponakan Dewa
Ketawa, berbuat mesum di tempat ini?!"
"Kiai.
aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya. Aku
tidak menyuruh!" jawab si gendut sambil menyengir.
"Bujang
Gila Tapak Sakti! Jangan bermain kata-kata denganku!"
"Kiai,
kau salah menduga Gadis tadi bermaksud menggodaku.
Usiaku
sudah delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenarnya gadis tadi ingin
mendapatkan pedang bergulung itu…"
Sang Kiai
merasa heran mendengar pemuda gendut di depannya mengaku berusia delapan puluh
tahun.
"Sudahlah,
sulit aku percaya pada ucapanmu." Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
"Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa kau berkomplot dengan gadis tadi
mencuri Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar
telaga?"
"Aku
tidak mengerti. Kau seperti mau menuduh.
Ceritanya
aku menemui pedang itu waktu aku lagi berbaring di sungai dangkal. Gadis tadi ingin
menguasai pedang tapi tidak bisa karena kalau memegang gulungan pedang
tangannya jadi melepuh."
Kiai Gede
Tapa Pamungkas perhatikan tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Tangan itu tampak
agak kemerahan tapi tidak terluka atau melepuh. Berarti pemuda ini memilik
kesaktian tinggi untuk mampu memegang Pedang Naga Suci 212.
"Kiai,
tadi kau bilang cuma Ingin tahu satu hal. Apa kau tidak Ingin tahu siapa nama
gadis itu?"
"Apa
maksudmu? Jangan berani kurang ajar bicara denganku!"
"Kiai,
jangan salah paham. Aku tidak bermaksud begitu. Aku…"
"Tutup
mulutmu! Kalau kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa
kau bisa tersesat ke tempat ini?"
Bujang
Gila Tapak Sakti jadi kesal karena terus menerus dicurigai.
"Kiai,
tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal kau
mengambil sikap mencurigai diriku. Apakah ada aturan dalam rimba persilatan
bahwa seseorang itu tidak boleh pergi kemana dia suka?"
"Memang
tidak ada aturan. Tapi lain dengan dirimu!"
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak. Saking kesalnya maka si gendut ini lantas
lontarkan kata-kata mengejek.
"Aku
memang lain dibanding dirimu. Kau kurus nyaris kerempeng. Aku gendut gembrot!
Kau berambut putih. Rambutku masih hitam. Kau punya kumis dan janggut putih.
Mukaku tembam tapi klimis. Kau mengenakan pakaian selempang kain putih. Aku
mengenakan baju terbalik dan celana komprang. Aku masih tegap, kau sudah reot
Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti sudah seperti terong peot Mungkin
juga rada-rada burik. Ha… ha… ha."
Amarah
Kiai Gede Tapa Pamungkas bukan alang kepalang.
"Kau
layak diberi pelajaran!" bentak orang tua itu dengan wajah merah mengetam.
Lalu sekali tangan kanannya digerakkan, tangan itu berubah panjang dan.
"Plaak!
Plaak!"
Dua
tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan hingga bibirnya
pecah dan mengucurkan darah. Sambil menahan sakit, setelah menyeka noda darah
di pinggiran mulut dan dagu si gendut ini masih bisa keluarkan ucapan yang
membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas merasa menyesal.
"Kiai,
kalau aku memang bersalah dan kurang ajar apakah begini cara seorang Kiai
memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau
berikan padaku. Aku mengucapkan terlmakasih atas kebaikanmu mau memberi
pelajaran."
Terhuyung-huyung
Bujang Gila Tapak Sakti memutar tubuh lalu tertatih-tatih tinggalkan tempat
itu. Kiai Gede Tapa Pamungkas hela nafas panjang dan dalam. Dia hendak beranjak
pergi dari tempat itu, segera kembali ke puncak Gunung Gede. Namun mendadak dia
merasakan udara di sekitarnya berubah dingin.
Semakin
dia berusaha bertahan semakin dingin tubuhnya. Lalu tanah yang dipijaknya
seolah berubah menjadi es! Dua kaki berubah kaku tak mampu digerakkan. Orang
tua ini menggigil, geraham bergemeletukan. Bagaimanapun dia berusaha
mengalirkan tenaga dalam mengandung hawa panas tetap saja dia tidak mampu
melawan rasa dingin. Periahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar
cairan darah.
"Aku
telah bersalah. Menyengsarakan orang yang mungkin tidak berdosa. Sekarang
pemuda itu melakukan pembalasan…" Membatin Kiai GedeTapa Pamungkas.
"Ya
Tuhan aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda bernama Bujang Gila Tapak Sakti,
aku minta maaf padamu atas kekeliruanku."
Baru saja
sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin serta
merta lenyap. Dua kakinya yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti
mengucur dari hidung dan telinga, bankan lenyap tanpa bekas. Dalam tubuhnya
kini mengalir hawa luar biasa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hatinya
menjadi lega.
Sang Kiai
geleng-gelengkan kepala.
"Pemuda
itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku.” Ucap Kiai Gada Tapa Pamungkas.
“Bujang
Gila Tapak Sakti, aku berterima kasih padamu. Hari ini kau telah memberi
pelajaran yang tidak akan aku lupakan seumur hidup.”
**************************
BUJANG
GILA Tapak Sakti kembali ke tepi sungai dimana sebelumnya dia berbaring di
bagian yang dangkal. Lama pemuda gendut ini duduk termenung sambil
mengusap-usap pipinya yang terasa sakit. Dengan air sungai yang sejuk dan
jernih dia membersihkan noda darah yang masih tertinggal di pinggiran mulut dan
dagu. Selagi termangu-mangu demikian rupa tiba-tiba si gendut ini mendongar
suara seseorang.
"Ssstt….
sstt. Gendut.Terong peot rada-rada burik! Hik…hik…hik! Lagi apa kau di pinggir
sungai situ?!"
Bujang
GilaTapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka. Memandang
berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa.
"Ah.
mungkin suara hatiku sendiri yang tadi aku dengar." Ucap si gendut dalam
hati. Namun dia merasa kesal juga. "Aku bukan terong peot! Punyaku masih
segar mengkilat. Juga tidak rada-rada burik! Punyaku licin mulus!"
"Sialan! Siapa yang barusan ngomong?! Jangan-jangan gadis bernama Nyi
Wulas Pikan tadi."
Karena
tatap tidak melihat seorangpun Bujang Gua Tapak Sakti kembali meneruskan
membasuh muka.
"Ssst
Terong peot! hik… hik! Kau tidak dengar ya ditegur orang!"
Bujang
Gila Tapak Sakti diam sebentar lalu pura-pura meneruskan membasuh muka. Dia
sudah mengetahui dari arah mana suara orang Itu. Suara perempuan.
"Perempuan
sialan! Tunggu saja. Sebentar lagi akan aku labrak kau!"
"Ssst…
ssttt! Hai terong peot!"
Kembali
terdengar suara itu.
Tubuh
gemuk ratusan kati Bujang GllaTapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke udara.
Berkelebat ke balik pohon besar di tepi kanan sungai kecil. Kipas di tangan
kiri dikembangkan. Begitu si gendut ini sampai di balik pohon, dari tempat itu
terdengar suara perempuan terpekik disusul tawa cekikikan.
"Anak
kecil! Siapa kau?!" bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
"Hik…
hik!"
TAMAT
No comments:
Post a Comment