Kembali
Ke Tanah Jawa
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
BAB I
Malam
gelap gulita. Tak nampak rembulan tak kelihatan kelipan bintang. Udara dingin
menusuk tulang sampai ke sumsum. Hembusan angin laksana menyayat kulit. Suasana
sunyi di kawasan bukit-bukit karang sesekali dipecah oleh suara deburan ombak
yang datang dari arah Teluk Penanjung – Pangandaran, menghantam kaki bukit
karang. Di arah timur, dua bukit karang menjulang tinggi menghitam. Di antara
dua batu karang ini terbentang satu jurang dalam gelap gulita. Sesekali
terdengar suara aneh seperti ngiang tiupan seruling. Itulah suara angin yang
terpesat berputar masuk ke dalam jurang, tenggelam lalu menebar di dasarnya tak
mampu bergerak naik kembali.
Di salah
satu sisi barat jurang pada kedalaman hanya sekitar dua puluh kaki terdapat
bagian dinding jurang mencekung ke dalam membentuk goa seluas hampir 20 kaki
persegi. Dari atas jurang goa besar ini tidak kelihatan karena tertutup tubir
batu dan semak belukar rimbun. Di pertengahan goa, tenggelam dalam kegelapan
ada sebentuk batu berlumut setinggi menusia yang duduk bersila.
Beberapa
benda hidup bergerak menjalar di permukaan batu. Yang pertama adalah sepasang
ular besar berwarna coklat kehitaman. Walau tempat itu gelap gulita tapi dua
sosok binatang ini memancarkan kilap yang menggidikkan. Benda hidup lainnya
yang menjalar di atas batu adalah empat ekor kalajengking berkaki biru. Lalu masih
ada tiga ekor lipan berwarna merah yang disebut lipan bara.
Dari
bentuk dan warna binatang-binatang itu jelas sekali mereka semua adalah
binatang-binatang berbisa sangat berbahaya. Jangankan manusia, seekor kerbaupun
jika sampai dipatuk atau disengat akan menemui ajal dalam waktu singkat!
Tak
berapa jauh di sebelah kiri belakang batu besar di tengah pedataran, satu sosok
kelihatan mendekam duduk. Dari mulutnya yang berkomat-kamit tiada henti keluar
suara halus berkepanjangan seperti orang tengah membaca. Dua lututnya dilipat
di atas dada, dua tangan memegang sebuah benda yang ternyata adalah
lembaran-lembaran daun kering dibentuk demikian rupa hingga menyerupai sebuah
kitab. Salah satu jari kelingkingnya yakni yang sebelah kiri buntung. Sikapnya
saat itu benar-benar lagak seorang yang tengah membaca. Dia memegang kitab
sambil sepasang mata dan kepala bergerak dari kiri ke kanan, kembali ke kiri
lalu balik lagi ke kanan.
Pada
bagian depan kitab yang merupakan sampul depan tertera tulisan “Kitab Wasiat
Iblis”. Tapi di sebelah belakang ada lagi tulisan lain berbunyi “Kitab Wasiat
Malaikat”. Dan yang anehnya, halaman halaman dalam kitab dua judul itu sama
sekali tidak ada tulisannya, kosong melompong. Lalu apa yang dibaca orang ini
demikian asyiknya sampai-sampai mata dan kepalanya bergerak ke kiri dan ke
kanan sementara mulutnya mengeluarkan suara menyerupai orang sedang membaca?!
Sesekali
sambil membaca orang ini melirik ke arah batu besar yang dijalari ular, lipan
dan kalajengking.
Mulutnya
sesaat berhenti berkomat-kamit. Dia menyeringai lalu teruskan bacaannya. Begitu
terus menerus.
Orang ini
sebenarnya masih muda. Tapi cacat di wajahnya serta badan dan rambut yang tidak
terpelihara membuat dia kelihatan tua. Hidungnya yang mancung agak miring ke
kiri pertanda tulang hidungnya pernah patah. Lalu pipi dan rahang sebelah kiri
melesak ke dalam hingga wajahnya kelihatan pencong. Mungkin tulang pipi serta
rahang itu juga pernah cidera.
Kemudian
mata kiri tidak wajar keadaannya, agak terbenam ke dalam rongga, memberi kesan
bahwa orang ini dulunya pernah menderita hantaman yang hebat. Masih ada satu
cacat lagi di bagian kepala orang ini. Yaitu satu luka besar yang telah
mongering dan meninggalkan bekas di keningnya sebelah kiri.
Di atas
batu, ular coklat hitam menjalar ke bagian atas diikuti oleh pasangannya dan
binatang-binatang berbisa lainnya. Di pertengahan batu dua ular membuat gerakan
melilit lalu mematuk bagian atas batu.
Tiga ekor
lipan dan empat kalajengking mencengkeramkan kaki masing-masing lalu menyengat.
Saat itu
juga terjadi satu keanehan. Bagian atas batu di tengah pedataran mendadak
mengembang seolah binatang atau tetumbuhan laut yang tiba-tiba bergerak mekar
membentengi diri dari bahaya.
Ketika
sekali lagi dua ular besar mematuk, dan lipan serta kalajengking menyengat,
dari dalam batu berlumut keluar suara mengaum. Lalu batu itu bergerak. Dari
sisi kiri dan kanan mencuat duia benda menyerupai tangan. Astaga! Benda di
tengah pedataran yang disangka batu hitam berlumut ternyata adalah makhluk
hidup yang sulit diduga apa adanya sebenarnya.
Sekali
ada suara mengaum. Lalu menyusul bentakan keras. “Binatang keparat! Kalian
mematuk dan menyengat! Apa kalian kira enak daging tua renta ini?! Kalian merusak
ketenteramanku! Lagi-lagi kalian mengacaukan samadiku! Selama ini aku biarkan
kalian hidup bersama di jurang ini! Tapi dasar makhluk tidak berbudi! Saat ini
putus sudah kesabaranku! Hari ini aku akan menghabisi kalian!” yang membentak
ternyata adalah makhluk yang disangka batu tadi.
Begitu
bentakan lenyap, sosok si makhluk melompat ke atas. Dalam keadaan tegak berdiri
ujudnya terlihat lebih nyata. Sosoknya ternyata tinggi besar. Kepalanya
tertutup rambut lebat berwarna coklat kemerahan mengembang berjingkrak. Lapisan
lumut yang menutupi mukanya laksana leleh dan kini tampak kepala dengan raut
muka yang mengerikan. Muka makhluk ini ternyata menyerupai seekor singa
berwarna merah!
Dua ekor
ular masih menggelung. Lipan dan kalajengking masih menyengat. Tiba-tiba sosok
berkepala singa ini memancarkan cahaya merah. Semua binatang yang ada di
tubuhnya menggeliat dan kepulkan asap menebar bau daging terbakar!
Makhluk
kepala singa mengaum lalu hentakkan tumit kaki kirinya ke pedataran batu!
“Wuttt…
wuutttt… wuuuuttt!”
Semua
binatang berbisa yang masih menempel di tubuhnya tapi sudah mati terpanggang
hangus melesat mental ke satu arah. Yakni ke arah orang berpakaian hitam yang
duduk membaca di belakang sana.
Orang ini
langsung berhenti membaca kitab kosong. Matanya memperhatikan dua ekor ular,
tiga lipan dan empat kalajengking yang bergeletakan di depannya. Dia melirik
sebentar pada sosok tinggi besar berkepala singa yang tegak di sebelah sana,
lalu menyeringai.
Tenggorokannya
naik turun, lidahnya dijulurkan menjilat air liur.
“Singo
Abang!” orang berpakaian hitam berucap. “Enam ratus hari lebih aku berada di
tempat ini bersamamu! Baru hari ini kau berbaik hati menyuguhkan makanan lezat
untukku!”
Orang ini
masukkan kitab daun ke balik pakaiannya. Lalu beringsut ke depan.
Di
sebelah sana sosok tinggi besar keluarkan suara mengaum. Lalu lontarkan ucapan
keras. “Pangeran Miring! Tidak usah banyak mulut! Makan saja pembagianmu!”
“Ha… ha…
ha! Akan aku santap dan habiskan semua!” Si baju hitam mengambil tubuh ular
yang matang terbakar dan masih mengepulkan asap. Seperti orang kelaparan baru
bertemu makanan, ular besar dilahapnya. Dalam waktu sebentar saja ular panggang
itu amblas itu masuk ke dalam perutnya.
“Ha… ha!
Tidak sangka enak juga makanan pembagian Singo Abang ini!” Si baju hitam
tepuk-tepuk perutnya. “Ah, masih kosong! Aku masih lapar!” Lalu orang ini
sambar sosok ular ke dua. Seperti tadi dalam waktu sebentar saja ular besar itu
habis dimakannya. Tertawa-tawa dia melirik pada tiga lipan dan empat
kalajengking. Lalu sambil usap-usap perutnya dia bertanya pada diri sendiri.
“Apakah aku masih lapar?”
“Pangeran
Miring! Kalau kau mau makan, makan saja. Jangan banyak bicara! Selesai makan
kembali ke tempatmu duduk semula! Ingat, kau hanya boleh berada sejauh sepuluh
langkah dari dinding batu itu ! Jangan berani melanggar!”
Mendengar
kata-kata makhluk berkepala singa yang dipanggilnya dengan nama Singo Abang
itu, orang berpakaian hitam unjukkan muka merengut. Dia mencibir lalu meludah.
“Aku tidak lupa pada larangan kentut busuk itu! Lebih dari enam ratus hari aku
tidak boleh berjalan melewati sepuluh langkah! Aku mulai bosan! Aku ingin jalan
jauh. Aku ingin lari! Aku ingin menghirup udara di luar jurang ini! Di atas
sana pasti indah pemandangannya. Bukit-bukit batu… jurang… laut di teluk. Aku
tahu. Dulu aku pernah melihat…”
Singo
Abang mengaum.
“Kalau
kau berani melakukan apa yang barusan kau ucapkan, siap-siap saja menerima
gebukan dariku!
Mukamu
akan kubuat tambah pencong! Matamu akan kubuat melesak kedua-duanya. Dan otakmu
tambah kubuat miring! Biar kau benar-benar jadi Pangeran Miring seumur-umur!”
“Miring!
Miring! Kau selalu menyebut aku Pangeran Miring! Padahal otakmu sendiri tidak
waras!”
“Wuttt!”
Sekali
lompat saja manusia kepala singa itu sudah berada di hadapan orang yang selalu
dipanggilnya dengan Pangeran Miring. Tangannya bergerak menjambak rambut orang
lalu ditarik ke atas hingga muka mereka saling bertatapan dan terpisah hanya
setengah jengkal.
“Aku
bicara apa adanya! Otakmu memang miring sejak kepalamu terbentur batu waktu
jatuh di jurang ini! Kalau aku tidak menolong, hidupmu pasti lebih celaka dan
lebih sengsara dari sekarang ini! Kau bukan cuma miring tapi benar-benar gila!
Sinting!”
“Singo
Abang! Kau selalu membangkit-bangkit semua budi pertolonganmu! Aku merasa lebih
baik dulu mati saja dari pada menerima pertolonganmu! Apa aku pernah meminta?!”
“Jangan
bicara yang bisa membuat aku marah! Pangeran Miring! Apa kau lupa aku ini bukan
cuma penolongmu, tapi juga gurumu?!”
Pangeran
Miring mendongak lalu tertawa gelak-gelak. “Kau yang bilang begitu! Tapi aku
tidak pernah mengakuimu sebagai guru! Guruku hanya satu. Dia Si Muka Bangkai
alias Si Muka Mayat. Orangnya sudah mati! Selama ini apa yang kau ajarkan
padaku! Malah aku merasa kau diam-diam menyelidiki diriku, mempelajari semua
ilmu yang aku miliki! Bukan begitu! Ha… ha… ha…!”
“Murid
geblek!” Singo Abang mengaum. Tangannya yang menjambak bergerak. Tubuh Pangeran
Miring dilemparkannya ke dinding batu. Saking kerasnya sampai batu itu ada yang
retak dan gompal. Tapi sebaliknya Pangeran Miring tidak merasa sakit malah
menyeringai.
Hanya dua
matanya memandang berkilat-kilat tanda ada kemarahan dalam dirinya.
“Kau
tidak berani mambunuhku! Tidak berani! Mengapa? Aku tahu! Aku tahu! Kau
menginginkan sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu dariku! Kau mencari sesuatu
lewat diriku!
Jika aku
mati kau tidak akan menemukan apa yang kau cari! Bukan begitu? Ha… ha… ha…!”
“Dasar
manusia miring! Kalau aku bunuh benaran baru tahu rasa!”
“Singo
Abang! Aku tidak takut kau bunuh di tempat celaka ini!” Pangeran Miring
keluarkan kitab daun kering dari balik pakaian hitamnya.
Singo
Abang keluarkan tawa mengekeh yang aneh serta menggidikkan. “Kasihan kau
Pangeran Miring! Kitab itu kau sendiri yang membuat. Dari daun-daun kering! Kau
tulisi di sebelah depan Kitab Wasiat Iblis! Di sebelah belakang kau tulis
Wasiat Malaikat! Di dalamnya kosong melompong! Lalu kau membaca seolah ada isi
ilmu kesaktian dan ilmu silat! Otak miringmu mengada-ada! Itu yang aku ketahui!
Pangeran Miring! Berhentilah bermimpi! Ha… ha… ha…!”
“Singo
Abang! Makhluk penghuni jurang celaka! Namaku bukan Pangeran Miring!
Walau aku
banyak lupa tentang masa laluku akibat benturan keras pada kepalaku waktu jatuh
di jurang jahanam ini, tapi satu hal aku masih ingat siapa namaku. Aku adalah
Pangeran Matahari.
Pendekar
Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak!”
Singo
Abang mengaum lalu tertawa gelak-gelak. Suara tawanya membahana menggetarkan
jurang batu karang.
“Masa
lalumu telah lewat, sirna dan amblas! Pangeran Matahari tak ada lagi! Yang ada
kini hanyalah sisa sisa berupa rongsokan yang aku panggil dengan nama Pangeran
Miring!”
“Mungkin
aku kalah mengadu mulut denganmu1 tapi layani aku mengadu kekuatan!”
teriak
Pangeran Miring marah sekali lalu melompat sambil kirimkan satu jotosan keras
dan cepat ke arah rusuk kanan Singo Abang.
Makhluk
berkepala singa mengaum. Ketika mulutnya terbuka kelihatan deretan gigi besar
dan taring mencuat runcing. Rambut-rambut panjang tebal coklat kemerahan yang
menutupi kepala, leher dan tengkuknya mengembang berjingkrak pertanda diapun
marah besar. Dia tidak melakukan gerakan mengelak malah langsung angkat tangan
kanannya, menggebrak dengan satu tangkisan yang juga merupakan serangan
dahsyat.
“Bukkk!”
Dua
lengan beradu keras.
********************
BAB 2
Pangeran
Miring mengeluh tinggi dan terpental menghantam dinding batu lalu melosoh jatuh
terduduk di pedataran dengan kepala termiring-miring dan wajah pucat. Tubuhnya
bergeletar. Lengan kanannya merah membengkak. Sesaat kemudian dia berdiri
kembali. Walau agak terbungkuk-bungkuk karena masih menahan sakit tapi dia
masih sanggup menyeringai dan berucap.
“Kau
tidak bisa mengalahkanku Singo Abang! Kau tidak bisa membunuhku!”
Makhluk
berkepala singa sendiri saat itu tegak tertegun sambil pegangi lengannya yang
sakit bukan main. Dia meraba-raba karena kawatir tulang lengan itu telah patah.
Akibat pukulan tadi dadanya mendenyut sakit dan jalan darah jadi tidak karuan.
Muka singanya yang coklat kemerahan tampak kelam membesi. Dia membatin. “Selama
dua tahun aku coba mengikis kekuatannya ternyata tidak ada yang hilang dalam
dirinya. Malah tenaga dalamnya seperti bertambah hebat. Kalau aku tadi tidak
mengerahkan dua pertiga tenaga dalamku pasti aku sudah dibuatnya celaka! Dia
bisa meraba hatiku!
Jahanam
betul! Kalau aku tidak mengharapkan benda itu sudah sejak dulu dia kubunuh!
Otaknya tak karuan. Berapa lama aku musti menunggu sampai pikirannya kembali
jernih dan dia bisa mengatakan dimana benda itu berada…"
"Singo
Abang! Kau makhluk jahat! Aku tidak akan menyantap sisa-sisa lipan dan
kalajengking itu! Silahkan kau habiskan sendiri!” Pangeran Miring Ialu
melangkah surut hingga punggungnya membentur dinding batu. Lalu perlahan-lahan
dia dudukkan diri di tepi pedataran batu.
Kitab
daun dikembangkan. Mulunya komat-kamit, mata bergerak ke kiri dan ke kanan
bersamaan dengan gerakan kepala. Mulut mengeluarkan suara seperti orang membaca
padahal sebenarnya dia entah meracau apa.
Tiba-tiba
di udara melesat satu benda memancarkan cahaya keputih-putihan. Singo Abang
mendongak, keluarkan auman halus. Bola matanya yang berwarna kelabu tampak
membesar.
Pada saat
benda yang melesat di udara tadi lenyap di selatan jurang batu, sosok makhluk
kepala singa itu serta merta berkelebat ke atas. Dalam gelap dia membuat
beberapa kali lompatan. Luar biasa!
Pinggiran
jurang itu merupakan dinding yang hampir tegak lurus dan hanya ada beberapa
gundukan kecil menonjol keluar. Namun dengan cepat dia mampu bergerak ke atas.
Di satu
gugusan batu Singo Abang hentikan gerakannya dan memandang ke bawah. Muka
singanya menunjukkan rasa kaget. Di bawah sana dia tidak melihat lagi sosok
Pangeran Miring.
"Jahanam
itu, kemana lenyapnya?” Singo Abang bertanya dalam hati. "Mungkin kabur
melarikan diri? Tapi bagaimana aku bisa tidak mengetahui. Tak mungkin dia
bergerak mendahului gerakanku!" Agak lama juga Singo Abang berpikir-pikir.
Akhirnya dia kembali melompat, meneruskan rnenuju bagian atas jurang.
Di bagian
selatan jurang batu, dalam kegelapan dan dinginnya udara malam yang mulai
merayap memasuki pagi, sesosok tubuh tergeletak menelungkup di tanah. Kulit
muka, tangan dan kakinya kelihatan memar kemerahan. Di sekitar hidung, liang
telinga dan sudut bibir ada bekas darah mengering. Pakaian putih yang melekat
di tubuhnya cabik-cabik dan ada yang hangus di beberapa tempat, Orang ini
berambut panjang sebahu. Rambut ini menjulai menutupi sebagian wajahnya.
Ketika
makhluk bertubuh manusia berkepala singa Singo Abang sampai di tempat itu, dia
terkejut besar karena dapatkan Pangeran Miring telah lebih dulu berada di
tempat itu dan tengah memeriksa sosok tubuh yang tergeletak di tanah.
"O
ladalah! Apa ini benda yang tadi aku lihat melayang bercahaya? Walah! Ternyata
manusia juga adanya! Tapi heh?!" Pangeran Miring pergunakan ujung kaki
untuk menggulingkan tubuh yang tengkurap itu. Tidak bisa.
"Gila!
Apa tubuh manusia satu ini lebih berat dari gajah" Sang pangeran lalu
membungkuk. Dia sibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah orang.
"Eh! Aku… aku seperti mengenali manusia ini!" Kepala Pangeran Miring
termiring-miring, bibirnya digigitnya berulang kali dan matanya sebentar membesar
mengerenyit mengecil. Lalu dengan tangan kanan ditepuk-tepuknya punggung orang.
"Hai!
Kau ini pingsan, atau tidur! Atau memang sudah mampus?!"
Tak ada
jawaban. Sosok yang tergeletak tengkurap sama sekali tidak bergerak.
Pangeran
Miring kembali sibakkan rambut gondrong itu dan memandang dengan mata tak
berkesip.
"Mungkin
dia… rasa-rasariya memang dial Kalau benar… ha… ha…ha! Akan kubunuh! Akan
kubikin mati, saat ini juga! Tapi mengapa? Mengapa aku harus membunuhnya? Ah
Otakku tak bisa bekerja … ! Harus kubalikkan tubuhnya. Kalau sudah tertelentang
aku akan bisa melihat seluruh wajahnya!"
Pangeran
Miring Ialu ulurkan dua tangannya untuk membalikkan tubuh yang tertelungkup.
Dalam gelap walau tubuhnya tidak bergerak dan mulut tidak mengeluarkan suara
namun orang yang kini tertelentang di tanah perlahan-lahan membuka sedikit
sepasang matanya.
Samar-samar
dia melihat satu wajah. Dadanya bergetar, matanya terpejam kembali.
Pangeran
Miring membungkuk. Mendekatkan kepalanya ke wajah orang yang tergeletak di
tanah.
“Memang
dia…. Benar, memang dia! aku boleh gila! Otakku boleh miring! Tapi yang satu
ini tak bisa lepas dari alam pikiranku! Tapi…. aku perlu satu kepastian lagi!
Rajah itu… Rajah tiga angka!"
Pangeran
Miring alihkan pandangannya ke dada pakaian orang di bawahnya. Tangan kirinya
bergerak hendak menyibakkan bagian dada pakaian putih orang itu.
Saat
itulah Singo Abang muncul berkelebat dan mendorong bahu Pangeran Miring hingga
dia terguling ke samping!
"Makhluk
jahat! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Pangeran Miring marah sekali karena
maksudnya hendak menyelidik dada orang tidak kesampaian.
"Kau
sudah melanggar pantangan Pangeran! Ingat! Kau tidak boleh bergerak lebih
sepuluh langkah darl dinding jurang! Kini kau berada di sini! Sudah berapa
ratus langkah yang kau
langgar?!"
"Persetan
dengan.aturanmu! Aku mau membunuh orang ini kalau memang dia adanya!"
"Tidak!
Kau tidak boleh membunuh orang itu siapapun dia adanya! Kau harus kembali ke
jurang.
Sekarang!”
“Tidak!"
"Kau
minta kugebuk!"
"Akan
kupecahkan kepalamu!” jawab Pangeran Miring.
Singo
Abang mengaum. Rambut di kepala dan lehernya mengembang. Di mata Pangeran
Miring scsok makhluk ini kelihatan menjadi dua kali lebih besar. Dua tangannya
yang sebelumnya berbentuk tangan manusia tiba-tiba berubah menjadi tangan singa
yang mencuatkan kuku-kuku hitam panjang! Belum pernah Pangeran Miring melihat
Singo Abang seperti ini.
Selagi
dia memandang tercekat seperti itu Singo Abang telah berkelebat. Satu jotosan
keras melabrak dada Pangeran Miring membuat orang ini terpental dan menjerit
keras. Belum sempat kaki atau bagian tubuhnya menyentuh tanah satu jotosan lagi
melanda ulu hatinya. Tak ampun lagi sosok Pangeran Miring laksana dilemparkan
ke udara lalu jatuh di tanah. Walau dia mampu jatuh dengan berlutut dan satu tangan
menopang diri agar tidak rubuh namun dada dan perutnya seperti pecah. Dari
mulutnya mengucur darah.
"Aku
sudah lama menahan diri melakukan ini!Tapi kau sengaia meminta! Kau memberi
jalan aku menjajal jurus pukulan Dua Singa Berebut Mataharil Ha… ha … ! Ternyata
kau tidak sanggup mengelak ataupun menangkis! Jangan bilang aku tidak bisa
membunuhmu! Saat ini mudah sekali bagiku membeset tubuhmu mulai dari kepala
sampai ke kaki!"
Pangeran
Miring hanya mendengar suara Singo Abang. Dia tidak melihat sosoknya apa lagi
gerakannya dan tahu-tahu satu hantaman lagi mendarat di kepalanya. Tak ampun
Pangeran Miring tersungkur terguling-guling dan sosoknya tergeletak pingsan
hanya satu langkah dari pinggiran jurang.
Singo
Abang mengaum. Tubuhnya yang tadi berubah besar perlahan-lahan mengecil ke
bentuk semula. Dia menatap sosok Pangeran Miring sesaat lalu berpaling dan
melangkah mendekati tubuh yang tengkurap di sebelah sana. Ketika dia memeriksa
orang ini, termasuk memeriksa bagian dada yang terlindung di balik pakaian
putih, makhluk kepala singa ini sampai berjingkat dan mundur dua langkah. Mulut
singanya mengerenyit dan dua bola matanya yang kelabu membesar.
"Pendekar
212!” Singo Abang berucap dengan suara bergetar. "Sekian lama dia tidak
pernah muncul, tak pernah diketahui berada di mana.Kini mengapa bisa berada di
tempat ini? Rajah tiga angka itul Tak pelak lagi! Memang dia. Tapi ……Singo
Abang memeriksa pinggang pakaian orang yang tergeletak di tanah. Jari-jarinya
menyentuh sesuatu yang membuat tangannya serasa dingin dan cepat-cepat ditarik.
Ketika pakaian di bagian pinggang disingkapkannya, kelihatanlah menyembul
kepala senjata berbentuk kapak bermata dua."Kapak Maut Naga Geni 212!
Manusia ini memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Sulit dipercaya Apa yang membuatnya
sampai terlempar ke sini?
Siapa
yang melempar? Manusia atau setan?! Tubuh penuh lecet. Pakaian hangus…. Tapi
jangan-jangan dia sudah mati!"
Singo
Abang tekapkan telapak tangannya ke lengan kiri orang. "Ada denyutan…. Dia
masih hidup!"
Lama
Singo Abang tercekat diam sambil pegangi dagu. "Aku tak ada permusuhan
dengan manusia ini Apakah aku harus membunuhnya?!" Singo Abang memandang
sebentar ke arah Pangeran Miring yang tergeletak di dekat jurang sana. “Mereka
yang saling bermusuhan.
Tidak….
Mungkin lebih baik aku tidak membunuhnya. Jika dia kubiarkan hidup, siapa tahu
bisa membuka jalan untuk mendapatkan benda yang aku cari. Sekarang, apa yang
harus aku lakukan…. Kapak mustika itu. Senjata itu harus aku ambil! Rasanya,
itu lebih berguna dari pada membunuhmya!"
Makhluk
setengah manusia setengah singa ini ulurkan tangan hendak mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 dari balik pinggang pakaian tapi gerakannya tertahan ketika
tiba-tiba dia
mendengar
suara aneh mendatangi. Sepasang telinga singanya yang.menyembul di balik
rambut-rambut coklat merah bergerak.
"Suara
aneh. Seperti derap kaki kuda tapi aku yakin bukan kuda yang berlari. Tadi
kedengaran masih jauh. Kini sudah berada di belakangku!” Rambut di kepala dan
tengkuk Singo Abang mengembang mekar pertanda dia mencium datangnya bahaya!
Singo
Abang palingkan kepala. Dia benar-benar tercekat ketika melihat siapa yang
berlari mendatangi ke arahnya.
“Momok
Dempet Berkaki Kuda!” desis makhluk berkepala singa ini. “Agaknya aku tidak
berkesempatan mengambil kapak sakti itu. Kalau aku paksakan pasti makhluk
dempet jahanam ini akan menyerangku!
Mencari
urusan di saat Pangeran Miring masih tergeletak pingsan di sebelah sana sangat
tidak menguntungkan1 Lagi pula selama ini aku tidak dapat menjajagi sampai dimana
kehebatan sepasang momok ini!”
Sebelum
menjauhkan diri dari sosok yan tergeletak di tanah, Singo Abang tepukkan tangan
kirinya ke dada orang itu, mengalirkan setengah tenaga dalam yang dimilikinya.
Sosok yang ditepuk tersentak ke atas lalu menggeliat. Singo Abang sendiri
cepat-cepat berdiri. Tepat pada saat dua sosok aneh mendatangi dan berhenti
lima langkah di hadapannya.
********************
BAB 3
Yang
tegak di depan Singo Abang saat itu adalah dua orang lelaki bertubuh kurus
kering, memiliki tinggi hampir satu setengah kali tingginya sendiri. Mereka
tegak seperti sengaja bersisian tapi jika diperhatikan ternyata tangan
mereka-yang satu sebelah kanan dan satunya lagi sebelah kiri-saling berdempetan
satu sama lain! Berarti kemanapun mereka pergi dan dimanapun mereka berada akan
selalu bersisian seperti itu. Jika yang satu menggerakkan tangan kiri, berarti
yang satunya lagi harus ikut menggerakkan tangan kanan!
Masih ada
keanehan lain pada sepasang manusia dempet ini. Yakni ke empat kaki mereka.
Kaki-kaki itu tidak berbentuk kaki manusia tapi berupa kaki kuda lengkap dengan
ladam besinya!
Jika
mereka berjalan atau berlari kaki-kaki itu akan mengeluarkan suara seperti kuda
berlari tapi akan terdengar aneh karena mereka berlari bersisian, bukan seperti
kuda sungguhan yaitu dua kaki di depan dan dua kaki di belakang.
Sejak dua
tahun belakangan ini sepasang makhluk dempet ini muncul di rimba persilatan
tanah Jawa dengan menebar nama memperkenalkan diri sebagai Momok Dempet Berkaki
Kuda. Orang yang di sebelah kanan bernama Tunggul Gono sedang yang di sebelah
kiri bernama Tunggul Gini. Mereka diketahui jelas bukan dari golongan putih.
Tetapi di kalangan para tokoh golongan hitam mereka kurang mendapat tempat.
Karena sering ikut campur urusan orang bahkan tidak segan-segan menjatuhkan
tangan jahat. Kabar terakhir dua tokoh silat di Jawa Timur telah menjadi korban
mereka. Yang pertama adalah tokoh golongan hitam sedang satunya masih kerabat
keraton Surakarta. Tidak heran kalau kini keduanya menjadi buronan yang selalu
dikejar oleh para pimpinan pasukan dan pendekar Keraton.
“Malam
tidak berbulan tidak berbintang. Udara dingin pula. Kerabat bernama Jolo
Pengging keluar dari sarang di dalam jurang! Tentu ada kepentingan luar biasa!”
Si tinggi kurus Si
sebelah
kanan yang berambut awut-awutan dan bermata besar membuka mulut.
“Saudaraku
Tunggol Gono, kau betul. Hal ini membuat aku ingin bertanya. Gerangan apa yang
tengah ia lakukan di tempat ini!” Menyahuti si tinggi di sebelah kiri yang juga
berambut awut-awutan tapi bermata sipit. “Di sebelah sana aku lihat ada sosok
berpakaian hitam menggeletak tak bergerak. Lalu di dekatmu juga ada satu sosok
lagi. Berpakaian putih, juga menggeletak tak bergerak! Siapa mereka?
Kami
bertanya apakah kami akan mendapat jawaban?!”
Singo
Abang menyeringai lalu mengaum.
“Kawasan
Teluk Penanjung dan bukit-bukit karangnya adalah kawasan kekuasaanku!
Kemana
aku pergi, dimana aku berada dan kapan aku mau adalah suka-suka diriku!
Mengenai pertanyaan kalian tadi tak ada sulitnya menjawab. Di sana tergeletak
seorang muda berpakaian putih. Siapa dirinya aku tidak tahu. Kalian silahkan
memeriksa dan menyelidiki sendiri. Sosok yang tergeletak di dekat jurang sana
adalah muridku!”
Momok
Dempet Berkaki Kuda saling berpandangan lalu tertawa bergelak. Tunggul Gono di
sebelah kanan berkata. “Kerabat kita Singo Abang rupanya berhati jujur. Mau
menjawab pertanyaan kita apa adanya Tapi nada bicaranya agak sombong. Lagi pula
aku rasa ada sesuatu yang disembunyikannya pada kita…”
“Kurasa
demikian. Bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan, baru hari ini
aku tahu kalau Singo Abang punya murid! Ha… ha…ha!”
Singo
Abang tidak perdulikan ucapan orang. Dia melangkah ke arah sosok Pangeran
Miring tergeletak. Tapi kemudian dia ingat akan sosok yang satu lagi. “Kalau
aku tinggalkan Pendekar 212 bersama orang-orang ini, kapak sakti itu pasti akan
mereka rampas. Dari pada mereka yang mendapatakan lebih baik aku ambil saja!”
Singo
Abang dengan cepat memutar langkahnya lalu berkelebat ke arah sosok berpakaian
putih.
Tangannya
diulurkan untuk mengambil kapak sakti. Namun sebelum sempat menyentuh senjata
itu tibatiba Momok Dempet Berkaki Kuda gerakkan tangan mereka yang dempet.
Selarik sinar hitam menderu dari sela tangan yang bertempelan. Membuat Singo
Abang mengaum keras dan terpaksa melompat mundur.
“Wusssss!
Braaaakkkk!”
Dinding
batu terbongkar dihantam larikan sinar hitam. Sebuah lobang besar menguak
mengerikan.
“Kapak
itu agaknya tidak berjodoh denganku! Perlu apa aku mempertaruhkan nyawa untuk
mendapatkannya!” kata Singo Abang lalu dengan cepat dia berkelebat ke arah
sosok Pangeran Miring. Sebelum tinggalkan tempat itu sambil memanggul muridnya
dia berpaling pada dua makhluk dempet.
“Momok
Dempet! Harap kalian terima balasan penghormatan dariku!” Lalu Singo Abang
hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang sinar merah yan menghampar hawa panas
berkiblat.
Tunggul
Gono dan Tunggul Gini berseru kaget. Tidak menyangka orang berani membalas
serangannya.
Keduanya
melompat setinggi satu tombak. Sinar merah lewat di bawah kaki mereka terus
menghantam gundukan batu karang di ujung pedataran hingga hancur
berkeping-keping dan mengepulkan asap panas!
“Singo
Abang! Kau minta mati!” Teriak Tunggul Gini marah. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya yang berdempet dengan tangan kiri Tungul Gono dipukulkan ke arah Singo
Abang.
Untuk
kedua kalinya larikan sinar hitam melabrak ke arah makhluk kepala singa. Kali
ini lebih dahsyat karena dua makhluk dempet ini mengerahkan hampir seluruh hawa
sakti yang mereka miliki. Tapi saat itu Singo Abang sudah melompat terjun ke
dalam jurang. Serangan maut Momok Dempet hanya menghantam dinding batu karang
di salah satu sudut jurang. Untuk kesekian kalinya jurang itu digelegari oleh
suara hancurnya bebatuan.
“Jahanam
Singo Abang! Berani dia menantang kita! Aku ingin mengejarnya walau sampai ke
dasar jurang!” Tunggul Gini berkata.
“Jangan
perturutkan amarah!” menjawab Tunggul Gono. “Hari masih gelap. Kita tidak tahu
seluk beluk jurang! Salah-salah bisa celaka kena dijebak musuh! Bangsat kepala
singa itu tidak seumur-umur mendekam di dalam jurang. Kita minta bantuan
beberapa kawan mengawasi keadaan sekitar jurang ini.
Satu saat
pasti dia akan keluar. Kita cari kesempatan lain untuk menghajarnya!”
“Menurutmu
apakah dia memang menyembunyikan dua kitab yang kita cari?”
“Tak
dapat kupastikan. Tapi jika keterangannya benar bahwa orang berpakaian hitam
tadi adalah muridnya, bukan mustahil salah satu kitab itu ada padanya.” Jawab
Tunggul Gono.
“Paling
tidak dia mengetahui dimana beradanya.”
Tunggul
Gini menatap ke arah jurang kelam. “Pangeran Matahari diketahui menemui ajal di
jurang itu dua tahun silam. Bukan mustahil Singo Abang menemukan Kitab Wasiat
Iblis pada mayat Pangeran Matahari. Tentang Kitab Wasiat Malaikat masih kabur
bagi kita dimana beradanya…” (Momok Dempet Berkaki Kuda rupanya tidak
mengetahui apa yang terjadi dengan Kitab Wasiat Iblis yang memang pernah
dimiliki oleh Pangeran Matahari. Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya yakni Episode terakhir dari 8 Episode berjudul “Kiamat Di
Pangandaran”, kitab Wasiat Iblis telah ditelan oleh Datuk Rao Bamato Hijao
harimau sakti pelindung Wiro sewaktu terjadi pertempuran hidup mati antara Pendekar
212 dengan Pangeran Matahari).
“Sekarang
apa yang kita lakukan?” Bertanya Tunggul Gini.
Tunggul
Gono menunjuk ke arah sosok berpakaian putih di seberang sana. “Kita periksa
siapa adanya orang itu. Tadi kulihat Singo Abang seperti hendak mengambil sesuatu
dari orang itu…”
“Bukan
itu saja,” sahut Tunggul Gini. “Aku sempat melihat dia memukul dada orang,
mengalirkan hawa sakti.’
“Dia coba
menyelamatkan orang. Berarti yang tergeletak itu seorang yang amat penting.
Mari kita selidiki siapa dia!” kata Tunggul Gono pula. Kedua orang itu segera
melangkah mendekati sosok berpakaian putih yang kini tergeletak menelentang.
Sementara kegelapan malam mulai bias oleh kedatangan pagi.
“Seorang
pemuda berambut gondrong. Wajah dan tubuh penuh lecet. Pakaian putih hangus…”
kata Tunggul Gini begitu sampai di hadapan sosok yang tergeletak di tanah.
Tunggul Gono angkat tangannya, memberi isyarat agar Tunggul Gini hentikan
ucapan.
Lalu dia
membungkuk. Karena tangan mereka dempet, gerakan ini membuat Tunggul Gini ikut
membungkuk. “Lihat! Dada orang ini! Ada rajah tiga angka!”
Tunggul
Gini delikkan mata lalu ternganga. “Gila! Pemuda ini Pendekar 212 Wiro
Sableng!” katanya kemudian setengah berseru.
“Sejak
dua tahun lalu dia dikabarkan lenyap! Bahkan ada yang menduga sudah mati!
Mengapa
sekarang bisa muncul di sini?! Jangan-jangan ini hantunya!” kata Tunggul Gono
pula.
Tunggul
Gini tidak perdulikan ucapan orang. Dia sibakkan pakaian putih orang yang
tergeletak di tanah di bagian pinggang. “Lihat! Kapak Naga Geni 212!”
“Tidak
diduga tidak dinyana! Benar Pendekar 212 rupanya! Rejeki kita besar sekali di
malam buta ini!
Mungkin
kitab sakti itu juga ada padanya!” seru Tunggul Gono. Tunggul Gini menyeringai
lebar. Tangan kanannya bergerak dengan cepat hendak mencabut Kapak Naga Geni
212 dari pinggang orang. Tapi tidak terduga tiba-tiba kaki kanan orang yang
tergeletak di tanah melesat ke depan.
“Bukkk!”
Tunggul
Gini menjerit. Satu tendangan keras mendarat di dadadnya. Tubuhnya bersama-sama
Tunggul Gono terpental lalu jatuh terjengkang di tanah.
“Jahanam
berani mati!” teriak Tunggul Gono lalu menolong Tunggul Gini bangun. Begitu
keduanya berdiri pemuda berambut gondrong dan berpakaian putih hangus telah
tegak di depan mereka, memandang tajam tapi sambil salah satu tangannya
memijit-mijit kening sendiri.
********************
BAB 4
“Aku
tidak percaya pemuda itu Pendekar 212 Wiro Sableng!” kata Momok Dempet Tunggul
Gono. “Tegaknya menghuyung seperti mau roboh! Terus-terusan memijit kening
seperti orang sinting sakit kepala! Sikapanya macam orang bego! Lagi pula apa
kau lupa kabar yang mengatakan bahwa murid Sinto Gendeng itu menghilang entah
kemana sejak dua tahun lalu?”
“Aku
barusan merasakan tendangannya! Jika dia bukan pemuda berkepandaian tinggi tak
mungkin bisa menendang diriku!” jawab Tunggul Gini bersungut sambil urut-urut
dadanya yang masih terasa sakit.
Di depan
sana pemuda berpakaian putih hangus dan berambut gondrong yang memang Pendekar
212, murid Eyang Sinto Gendeng adanya masih berdiri dan terus memijit kening.
Sambil
matanya menatap ke depan, melirik ke samping dia bertanya-tanya dalam hati.
“Heran,
apa yang terjadi dengan diriku. Sekujur badan terasa ngilu. Pemandangan
berkunang. Kepala mendenyut sakit tak karuan. Dimana aku saat ini! Gelap semua.
Apa saat ini malam hari? Mana bocah brengsek Naga Kuning? Aku tidak mencium bau
pesing. Berarti kakek Si Setan Ngompol itu juga tidak ada di sini. Lalu dua
mahkluk bertangan dempet itu, siapa mereka? Manusia atau setan jangkungan?!”
Dalam
keadaan seperti itu Wiro tidak dapat menjawab semua pertanyaannya sendiri. Dia
melihat satu gundukan batu di samping kiri. Pemuda ini melangkah mendekati batu
lalu duduk di atasnya. Tangan kiri masih memijit kening. Tangan kanan menggaruk
kepala.
Seperti
dikisahkan dalam Episode sebelumnya (Istana Kebahagiaan) sewaktu Batu Pembalik
Waktu patah dua bersama dengan meledaknya Istana Kebahagiaan, Wiro dan
kawan-kawan bahkan semua orang yang ada dalam Ruang Seribu Kehormatan tersedot
oleh satu lingkaran cahaya tujuh pelangi yang berputar laksana sebuah tong
raksasa. Ketika lingkaran cahaya itu melesat menembus angkasa, semua orang yang
ada dalam Istana Kebahagiaan termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng ikut terseret
dan lenyap seolah ditelan langit.
“Latanahsilam…
Latanahsilam, apakah aku masih berada di Negeri Latanahsilam? Hantu Muka Dua…
Luhrembulan, Luhcinta… Orang-orang itu, dimana semua mereka?” Pikiran dan hati
Pendekar 212 kembali dipenuhi setumpuk pertanyaan.
“Tunggul
Gini, kau lihat pemuda itu. Dia bicara sendirian. Jangan-jangan kita cuma
berhadapan dengan seorang gila!”
“Kau
tolol amat!” maki Tunggul Gini. “Orang gila mana bisa berkelahi. Dia
menendangku dengan pengerahan tenaga dalam! Kau buta tidak melihat senjata
berbentuk kapak yang
terselip
di pinggangnya?!”
Tunggul
Gono masih sangsi. Dia lantas berteriak. “Kampret! Apa kau orangnya bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar 212?!”
“Kepalaku
lagi sakit! Bangsat berujud setinggi galah itu mamaki seenaknya…” Wiro berkaa
dalam hati. “Eh, apa memang aku sudah benaran berubah ujud? Jangan-jangan aku
benaran sudah jadi kampret!” Wiro usap tubuhnya sendiri. Pegang kepalanya.
Gosok-gosok telinga kiri kanan. Mengusap mulut. Lalu perhatikan dua kaki dan
sepasang tangannya. “Sialan betul. Ternyata aku masih berbentuk manusia,
dibilang kampret! Tapi…” Wiro meraba-raba ke balik pakaian. Dua tangannya
menyelinap ke bawah ketiak lalu ditarik dan jari-jarinya ditempelkan ke hidung.
“Ih… bau asem! Jangan-jangan aku betulan sudah jadi kampret!”
Pendekar
212 lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat
tingkah laku Wiro itu Tunggul Gini jadi jengkel. “Benar-benar kurang ajar! Dia
tidak memperdulikan kita. Sepertinya kita tidak ada di tempat ini! Dia juga
tidak menjawab pertanyaan kita!
Aku ingin
membunuhnya!”
“Jangan
dibunuh. Kita perlu menguras banyak keterangan dari mulutnya! Kalau sudah dapat
baru dihabisi!” kata Tunggul Gono. Lalu dia mendahului menerjang. Tunggul Gini
seta merta ikut melompat.
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget ketika dalam gelap dia
melihat empat kaki aneh berbentuk kuda lengkap dengan ladam besi berkilat,
menghantam ke arah dirinya. Dua menderu ke arah kepala, dua lagi mencari
sasaran di perut dan dada! Inilah jurus serangan Momok
Dempet
yang disebut Empat Ladam Kematian.
Masih
dalam keadaan terhuyung dan kepala mendenyut sakit, Wiro menyadari datangnya
bahaya maut ini. Tubuhnya dijatuhkan ke belakang. Sambil menggulingkan punggung
ke pedataran batu tangannya dibabatkan ke atas untuk menangkis serangan yang
mengarah kepala.
Bersamaan
dengan tiu dua kakinya ikut menendang untuk membabat dua serangan ke arah
perut.
“Ganti
jurus!” salah satu dari Momok Dempet berteriak.
Dua sosok
jangkung setinggi galah berputar bergulung, mengambang di udara lalu di lain
kejap menggebrak ke arah Pendekar 212 yang saat itu baru saja berguling di
pedataran batu dan siap bangkit berdiri.
Momok
Dempet Berkaki Kuda memang memiliki ilmu silat aneh. Setengah jalan, jika
merasa serangan mereka tidak akan menemui sasaran atau bakal menghadapi
tangkisan hebat, maka kejapan itu juga mereka mampu merubah jurus dan serangan
yang dilancarkan. Pertama menggebrak mereka menghantam dengan jurus yang
disebut Empat Ladam Kematian. Begitu Wiro bergerak menangkis dan balas
menendang keduanya langsung batalkan serangan dan ganti dengan serangan baru
dalam jurus bernama Empat Ladam Menghembus Roh.
“Wuss!”
Empat
angin menderu dahsyat. Empat kaki berbentuk kuda terbungkus ladam keras menderu
mengeluarkan angin dingin menggidikkan.
“Edan!”
maki Pendekar 212. Salah satu tendangan lawan lewat dekat sekali di bawah
dagunya. Yang dua bisa dielakkan, yang ketiga menyerempet dada pakaiannya
hingga baju putih yang telah hangus itu robek besar!
Wiro
jatuhkan diri sama rata dengan pedataran batu. Saat itu dia merasakan pedataran
bergetar seperti digoyang gempa. Di belakangnya ada suara benda keras menancap
di batu. Lalu ada debu dan batu kerikil beterbangan. Ketika Wiro berpaling
memperhatikan kaget murid Sinto Gendeng ini bukan kepalang. Empa kaki kuda
Momok Dempe tenggelam amblas ke dalam dinding batu karang!
Tengkuk
Wiro menjadi dingin. Dapat dibayangkan bagaimana kalau empat kaki itu tadi
sempat menancap di kepala atau tubuhnya! Tidak menunggu lebih lama dia segera
melompat berdiri. Saat itu Momok Dempet telah mencabut empat kaki mereka yang
menancap di batu karang. Keduanya melesat di udara, berputar seperti
baling-baling. Begitu berada di atas Wiro tangan masing-masing menghantam ke
bawah. Dari mulut mereka keluar teriakan menyebut jurus pukulan yang
dilancarkan.
“Sepasang
Palu Kematian!”
Belum
lagi serangan dua pukulan itu sampai, anginnya saja sudah membuat Wiro goyang!
“Gila!”
maki Pendekar 212. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam lalu sambil rundukkan
tubuh dia balas menghantam dengan salah satu jurus ilmu silat yang didapatnya
dari Kitab Putih Wasiat Dewa pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Tangan
Dewa Menghantam Matahari!” teriak sepasang Momok Dempet hampir berbarengan lalu
cepat cepat menyingkir. Dua pukulan laksana palu godam yang dihantamkan Momok
Dempet lewat di kiri kanan Pendekar 212. Kalau mereka tidak cepat menyingkir
dan menarik tangan masing-masing, niscaya salah satu dari mereka akan
berantakan dimakan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari.
“Astaga!
Bagaimana dua makhluk galah sialan ini tahu jurus serangan yang lancarkan!
Kenalpun baru hari ini. Di malam gelap pula!” Wiro tersentak kaget dan berkata
dalam hati.
Momok
Dempet saling berbisik. “Tunggul Gono, betul rupanya kabar yang kita sirap.
Pemuda itu memang menguasai ilmu langka inti Delapan Sabda Dewa! Kita harus
berhati-hati.
Waktu pukulannya
lewat di sisiku, tulang-tulang serasa mau remuk!”
“Kalau
tidak mau celaka kita harus serang dia dengan pukulan sakti Ladam Setan. Lalu
susul dengan Palu Dan Ladam Membongkar Bumi!” kata Tunggul Gono dengan rahang
menggembung.
“Hantam!”
teriak Momok Dempet. Keduanya membuat gerakan melompat. Setengah jalan, sesaat
tubuh mengapung di udara, keduanya pukulkan tangan kiri dan kanan yang saling
berdempetan. Dari celah dua telapak tangan menghambur sinar hitam. Saat itu
kegelapan masih menyungkup namun gelapnya sinar pukulan sakti kedua orang ini
lebih pekat hingga kelihatan nyata menggidikkan. Inilah pukulan berbahaya Ladam
Setan yang sejak dua tahun belakangan ini telah banyak merenggut nyawa para
tokoh silat golongan putih maupun golongan hitam.
Wiro terkejut
bukan main. Apalagi tidak menyangka lawan bisa selamatkan diri dari pukulan
Tangan Dewa Menghantam Matahari. Sambil membentak Wiro melesat satu tombak ke
udara untuk selamatkan diri dari sambaran maut sinar hitam. Di samping bukit
sebelah kiri menggelegar suara menggemuruh.
Dinding
karang terbongkar, mengepulkan asap, merah membara lalu menghitam berubah jadi
arang keras meninggalkan satu lobang besar mengerikan.
“Palu Dan
Ladam Membongkar Bumi!”
Wiro
mendengar Momok Dempet berteriak berbarengan. Lalu tubuh keduanya lenyap. Di
lain kejap kelihatan satu benda tinggi hitam, berputar dahsyat. Di sebelah atas
merentang palang seperti baling baling siap membabat apa saja yang ada di
depannya. Secara tak terduga putaran itu berubah menjadi kemplangan laksana
palu godam. Lalu terdengar pula suara hentakan-hentakan yang menggetarkan bukit
batu.
“Kraakk!
Byaaarrr!”
Satu
tonjolan batu karang runcing putus dibabat palang berputar. Di sebelah bawah
tanah dan batu terbongkar membentuk lobang-lobang. Melihat hal ini Wiro yang
semula hendak menangkis dan balas menghantam jadi berpikir dua kali. Dia
siapkan pukulan Bentang Topan Melanda Samudera di tangan kiri sementara tanagn
kanan membuat gerakan jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar yang kemudian
akan segera disusul dengan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Namun
baru dia hendak bergerak menderu angin yang sangat keras membuat Pendekar 212
terdorong dan tersurut terhuyung-huyung. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap
saja tak bisa bertahan dan terpaksa kembali mundur hingga akhirnya pungunggnya
membentur dinding batu.
“Celaka!”
keluh Wiro. Dia segera menyingkir ke kiri sambil melepas pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera. Sosok lawan yang satu setengah kali lebih tinggi menimbulkan
kesulitan baginya. Dia terpaksa memukul ke arah dada. Lalu dengan cepat
membungkuk sambil susupkan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Momok
Dempet Berkaki Kuda tertawa mengejek. “Nama besar Pendekar 212 ternyata kosong
belaka!”
“Braakkk!”
Wiro
mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental. Tulang tangannya sebelah kiri seperti
hancur. Untuk sesaat dia tidak bisa menggerakkan tangan itu. Dalam keadaan
seperti itu dari atas tangan dempet sepasang Momok datang mengemplang ke arah
batok kepalanya. Inilah pukulan maut Palu Dan Ladam Membongkar Bumi! Wiro
terlambat bergerak, tidak sempat menangkis!
“Mati
aku!”
Murid
Sinto Gendeng masih berusaha kirimkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang dengan tangan kanan.
“Bukkk!
Desss!”
Wiro
menyangka dia berhasil memukul salah satu bagian tubuh lawan. Ternyata
jotosannya diredam oleh telapak tangan kiri Tunggul Gini. Lalu dipelintir dan
didorong hingga Wiro terjajar ke belakang.
“Tanggal
tulangku!” keluh Wiro. Dalam keadaan terjajar begitu rupa tak mungkin lagi
baginya untuk selamatkan kepalanya yang dikejar pukulan Palu Membongkar Bumi.
Sesaat lagi batok kepala murid Sinto Gendeng itu akan dibuat hancur berantakan
tiba-tiba melesat satu bayangan biru. Momok Dempet Berkaki Kuda berteriak kaget
dan marah. Tubuh mereka terdorong ke samping. Pukulan Palu Membongkar Bumi
walau masih terus mendera ke bawah namun menyerempet dinding batu hingga
menimbulkan guratan panjang dan dalam serta menebar debu karang!
“Jahanam!
Setan dari mana berani campur tangan urusan Momok Dempet!” Tunggul Gini
berteriak marah. Tangan kirinya langsung menghantam dengan pukulan sakti Ladam
Setan.
Walau
hanya dia sendiri yang melepas pukulan ini tapi kehebatannya tetap saja
mengandung kematian!
********************
BAB 5
Angin
pukulan maut Palu Membongkar Bumi yang lewat satu jengkal di sampingnya membuat
Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung dan jatuh terduduk. Ketika dia mencoba
bangkit dan memandang ke depan dilihatnya seorang lelaki berpakaian ringkas
warna biru tegak menghadapi Momok Dempet Berkaki Kuda. Rambutnya tersisir rapi
dan berkilat pertanda dia memakai sejenis minyak pengkilap rambut. Karena
membelakangi Wiro tidak bisa melihat wajah si penolong ini. Sambil terus
memperhatikan
Wiro berdiri lalu bersandar ke dinding batu di belakangnya.
Momok
Dempet memandang garang. Keduanya maju satu langkah lalu hentakkan kaki ke
tanah hingga tanah berhamburan dan batu berpecahan.
“Bangsat
baju biru! Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Pendekar 212 hingga mau mauan
menyelamatkan batok kepalanya dari kehancuran?!” Tunggul Gono membentak.
Sepasang
alis orang berpakaian biru mencuat naik ke atas. Keningnya sesaat mengerenyit.
Tanda
terkejut mendengar bentakan Tunggul Gono tadi. Dia tidak menduga sama sekali
kalau yang barusan ditolongnya adalah Pendekar 212.
“Selama
ini dia dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Mengapa tahu-tahu ada di
sini. Apa yang terjadi dengan dirinya?” Orang ini tak bisa berpikir lebih
panjang karena Tunggul Gono kembali menghardik.
“Kalau
kau ak mau menjawab kupecahkan batok kepalamu saat ini juga! Katakan hubunganmu
dengan Pendekar 212! Katakan juga siapa kau punya nama!”
“Manusia
lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan
hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama
mengeramatkan gelar atau julukan!”
Sementara
Wiro terheran-heran mendengar jawaban orang berpakaian biru, sepasang Momok
Dempet malah tertawa gelak-gelak.
“Satu
lagi kita menemui orang gila malam ini!” kata Tunggul Gono.
"Betul!
Orang gila yang barusan datang ini rupanya pendekar sejati. Itu sebabnya dia
tidak mau perkenalkan nama apalagi mengatakan julukan! Ha… ha… ha!”
“Dia
tidak mau merepotkan kita!” menyahuti Tunggul Gini. “Karena dia tidak mau
memberi tahu nama, berarti kalu dia mati kita tidak perlu susah-susah membuat
papan nisan namanya segala! Ha… ha…ha…!”
Orang
berpakaian biru yang tegak membelakangi Wiro rangkapkan dua tangan di depan
dada lalu berkata. “Momok Dempet. Perkara bunuh membunuh bagi kalian adalah
perkara mudah. Semudah membalikkan telapak tangan. Bertahun-tahun malang
melintang hanya membuat keonaran, menumpah darah mencabut nyawa. Tubuh kalian
sudah bau tanah! Apakah akan menebar kejahatan sampai ke liang kubur?!”
Diam-diam
Wiro mendengarkan dengan seksama semua percakapan orang. Dia semakin menyadari
kalau saat itu dia memang tidak lagi berada di Negeri Latanahsilam. "Di
Latanahsilam seingatku tidak ada makhluk bernama Momok Dempet. Melihatnya pun
baru sekali ini… Tapi kalau kulihat sepasang kaki mereka menyerupai kaki kuda…
Keanehan seperti itu hanya ada di Negeri Latanahsilam!”
Wiro
garuk kepalanya. “Dimana aku berada saat ini sebenarnya?”
“Ha… ha!
Manusia satu ini ternyata bukan cuma pendekar sejati ! Tapi dia juga pandai
membaca syair di luar kepala!” kata Tunggul Gini menanggapi ucapan si baju biru
tadi. Lalu bersama Tunggul Gono dia tertawa terpingkal-pingkal.
“Malam
begitu dingin. Tapi mengapa hawa terasa panas?” Orang berpakaian biru berucap
aneh.
Tangannya
meraba ke balik dada lalu srettt! Sebuah kipas lipat tujuh warna terkembang di
tangan kirinya. Dia mulai berkipas-kipas sambil dongakkan kepala ke langit
kelam.
“Pendekar
Kipas Pelangi!” seru sepasang Momok Dempet berbarengan dan sama-sama tersurut
satu langkah. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat perubahan pada air muka
sepasang momok. Mata keduanya memandang mendelik ke arah kipas di tangan si
baju biru.
“Pendekar
Kipas Pelangi,” Wiro mengulang dalam hati. “Belum pernah kudngar nama itu
sebelumnya”.
“Bertangan
kidal. Memegang kipas di tangan kiri, pakaian biru, wajah cakap berkumis! Itu
ciri-ciri yang pernah aku dengar. Dia memang Pendekar Kipas Pelangi…“ Bisik
Tunggul Gini dengan suara bergetar.
Tunggul
Gono diam saja hanya dua matanya masih terus menatap ke depan tak berkesip.
“Manusia
lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan
hanya legenda kebiasaan. Kependekaran sejati tidak menyanjung nama
mengeramatkan gelar atau julukan!” Orang berpakaian serba biru berambut rapi
berminyak mengulang ucapan yang tadi dikeluarkannya.
“Pendekar
Kipas Pelangi, kami berdua menghormat nama besarmu. Selama ini tidak ada
pertikaian antara kita. Tapi mengapa hari ini kau muncul dan mencampuri urusan
kami?!”
Bertanya
Tunggul Gono. Nada suaranya tidak segalak dan seberangas sebelumnya.
“Tadi aku
berucap, mungkin kalian tidak menyimak. Biar kuulang sekali lagi. Perkara bunuh
membunuh bagi kalian adalah perkara mudah. Padahal nyawa manusia bukan di
tangan manusia lainnya. Mengapa kalian begitu berani menentang kodrat dan kuasa
Tuhan Seru Sekalian Alam?!”
Sesaat
Momok Dempet Berkaki Kuda jadi terdiam mendengar kata-kata orang berkipas yang
disebut dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi.
“Kami
tidak bicara tentang Tuhan. Kami bertanya mengapa kau mencampuri urusan kami!”
bentak Tunggul Gono. Keberanian rupanya muncul secara tiba-tiba dalam diri
orang ini.
“Rupanya
kau masih kurang menyimak. Biar aku memberi penjelasan. Nyawa manusia bukan milik
manusia lainnya. Jika ada nyawa seseorang terancam adalah keawajiban seorang
lain untuk menolong…”
“Kalau
sebelumnya Momok Dempet memang merasa agak leleh nyalinya menghadapi si baju
biru, namun lama-lama keduanya menjadi jengkel juga.
“Dengar
Pendekar Kipas Pelangi. Kalau kami katakan kami menghormatimu, bukan berarti
kami takut atau bisa dilecehkan begitu saja. Jangan berkata pongah di balik
nama Tuhan serta dalih budi baik menolong sesama manusia! Takdir manusia hidup
mempunyai berbagai macam urusan.
Tapi
banyak di antara manusia menjadi sombong, hendak menunjukkan kehebatan dengan
dalih menolong sesama. Salah satu di antaranya adalah kau!”
Orang
berjuluk Pendekar Kipas Pelangi tersenyum dan angguk-anggukkan kepala mendengar
ucapan Tunggul Gono. Semenatara pasangannya yang bernama Tunggul Gini
batuk-batuk beberapa kali lalu berucap.
“Maafkan
saudaraku ini. Dia memang penaik darah dan mulutnya terkadang tidak terbendung.
Pendekar Kipas Pelanbgi, sebenarnya kami tidak bermaksud membunuh pemuda itu.
Tapi dia
menyerang lebih dulu. Selain itu kami tengah mencari satu benda pusaka sakti.
Jika kau mau bersikap lunak, siapa tahu kau kelak akan kebagian rejeki besar
pula seandainya kami berhasil menemukan benda keramat itu.”
“Mencari
rejeki besar dengan membunuh sesama bukan namanya mencari rejeki. Tapi mencari
dosa dan permusuhan. Tinggalkan tempat ini. Pergilah mencari rejeki di tempat
lain!”
Ucapan
Pendekar Kipas Pelangi ini membuat sepasang Momok Dempat menjadi geram.
“Kami
mencari rejeki dimana kami suka!” menyahuti Tunggul Gono. “Kalau disini tidak
ada rejeki, atau ada orang lain yang coba mengais di lahan yang sama, apa boleh
buat! Tapi sebelum pergi kami ingin mendapat beberapa pelajaran darimu. Kami
ingin mengukir satu kenangan sampai dimana sebenarnya kehebatan Pendekar Kipas
Pelangi.”
“Sahabat!
Serahkan dua makhluk galah itu padaku!“ Wiro yang sejak tadi diam jadi tak
tahan hati dan mulai membuka mulut berseru. “Nyawaku yang diinginkannya! Jangan
kau menyusahkan diri sendiri!”
Orang
berpakaian biru tidak menoleh. Dia hanya angkat tangan kanannya memberi isyarat
bahwa urusan itu akan dihadapinya sendiri. “Menantang adalah sikap pongah
menyombong kekuatan. Tidak melayani tantangan adalah sikap bersih dan jujur.
Tapi dilecehkan dengan tantangan adalah pantangan para pendekar. Momok Dempet
Berkaki Kuda, aku tidak akan memberi petunjuk apa-apa pada kalian karenaaku
memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang patut diajarkan. Justru aku yang
akan meminta budi pelajaran dari kalian berdua. Mudah-mudahan ada manfaatanya
bagi diriku…”
Mendengar
ucapan orang berpakaian biru, sepasang Momok Dempet jadi melengak, saling
pandang lalu saling berbisik. Tiba-tiba keduanya keluarkan suara aneh.
Meringkik seperti kuda sambil kaki masing-masing dihentak-hentakkan ke tanah berbatu.
“Langit
terlalu tinggi, samudera terlalu dalam. Satu-satunya tempat lari adalah liang
kematian!”
Yang
keluarkan seruan itu adalah Momok Dempet di sebelah kiri yakni Tunggul Gini.
Lalu bersama Tunggul Gono secara berbarengan dia hantamkan tangan kiri dan
kanan. Di saat yang sama tangan mereka yang dempet juga memukul ke depan. Empat
larik sinar hitam Pukulan Ladam Setan menghantam mengurung Pendekar Kipas
Pelangi. Dua menderu di kiri kanan, dua lagi melabrak di sebelah atas dan
bawah. Orang berbaju biru itu terjepit empat serangan maut.
Seperti
ucapan sepasang momok, tempat larinya hanyalah liang kematian! Tapi sungguh
mengagumkan, sikapnya tenang saja mengahdapi bahaya!
“Sahabata
awas!” teriak Wiro lalu melompat ke depan sambil lepaskan Pukulan Sinar Matahari.
Sinar putih panas berkiblat. Tempat itu serta merta menjadi terang benderang.
“Terima
kasih kau mau membantu!” kata Pendekar Kipas Pelangi. Masih dengan sikap
tenang. “Biar aku tambahkan bumbu penyedap pada pukulan saktimu!”
Habis
berkata begitu srett! Pendekar Kipas Pelangi tutupkan kipas lipatnya. Srettt!
Ketika kipas itu dengan cepat kembali dikembangkan maka terlihatlah satu
pemandangan luar biasa!
Tujuh
sinar pelangi menderu membentuk sinar puitih setengah lingkaran tegak lurus,
mendukung sinar puith pukulan Sinar Matahari yang berada di sebelah atas.
Pendekar Kipas Pelangi putar lengan kirinya yang memegang kipas. Tujuh sinar
pelangi ikut berputar rebah membentuk benteng bersusun lalu bersama Pukulan
Sinar Matahari melabrak dahsyat empat cahaya hitam Pukulan Ladam Setan!
“Blaarrr!
Blaaarrr! Blaarrr! Blaarr!”
********************
BAB 6
Bukit
karang bergoncang hebat ketika empat suara letusan seperti kilat menyambar
berdentam empat kali berturut-turut. Di Teluk Penanjung suara deburan ombak
seolah tenggelam lenyap. Gelombang seperti tertahan tak bergerak.
Pendekar
212 Wiro Sableng tegak terhuyung. Mukanya kelihatan pucat. Debu menutupi rambut
dan sekujur pakaiannya. Di sebelah depan Pendekar Kipas Pelangi mengalami
goncangan hebat. Sepasang lututnya goyah. Bagaimanapun dia bertahan,
perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut. Dada berdenyut keras, aliran darah tak
menentu. Seperti Wiro, wajahnya kelihatan pucat seolah tak berdarah. Dia putar
tangan kirinya yang memegang kipas.
“Sreetttt!”
Kipas
lipat tertutup kembali. Dengan cepat dia atur jalan darah, pernafasan serta
alirkan hawa sakti ke beberapa bagian tubuh. Ketika dia memandang ke arah
tempat dari mana tadi sepasang Momok Dempet melancarkan serangan, makhluk aneh
itu atak ada lagi di tempatnya.
Di tanah
kelihatan cabikan-cabikan pakaian hitam serta muntahan darah segar! Bentrokan
pukulan sakti mengandung tenaga dalam tadi rupanya telah membuat sepasang Momok
Dempet mengalami luka dalam hebat lalu melarikan diri.
Perlahan-lahan
Pendekar Kipas Pelangi memutar tubuhnya, membuatnya kini untuk pertama kali
berhadap-hadapan saling tatap dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ternyata
pendekar ini berwajah lumayan cakap. Sepasang kumis kecil rapi meelintang di
bawah hidungnya.
Wiro
membungkuk memberi penghormatan seraya berkata. “Sahabat, aku mengucapkan
terima kasih atas budi pertolonganmu. Entah kapan aku bisa membalas hutang
besar ini!”
Pendekar
Kipas Pelangi tertawa lebar. Dia masukkan kipasnya ke balik pakaian.
“Sahabat,
kalau tadi kau tidak ikut menghantam dengan pukulan yang memancarkan cahaya
menyilaukan itu, belum tentu aku bisa menghadapi pukulan dua momok itu. Mungkin
aku sendiri saat ini sudah terluka parah!”
“Kau
pandai merendah,” kata Wiro
“Saling
menolong antara sesama sahabat dalam rimba persilatan, bukankah itu satu
kebajikan yang selalu diajarkan oleh para guru?” berkata Pendekar Kipas
Pelangi.
“Betul
sekali, betul sekali…”
“Sahabat,
selama ini aku hanya mendengar cerita. Pukulan sakti bercahaya menyilaukan serta
menebar hawa panas tadi, apakah itu Pukulan Sinar Matahari yang tersohor di
delapan penjuru angin?”
Wiro
hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.
“Apakah
saat ini aku benar berhadapan dengan tokoh rimba persilatan bernama Wiro
Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?”
Masih
tersenyum murid Eyang Sinto Gendeng menyahuti. “Turut ucapanmu tadi, manusia
lahir diberi nama. Setelah besar terkadang mendapat julukan. Nama dan julukan
hanya legenda kebiasaan.
Kependekaran
sejati tidak menyanjung nama mengeramatkan gelar atau julukan….”
Pendekar
Kipas Pelangi tertawa lepas mendengar ucapan Wiro itu. “Tepat sekali! Kau
mengingat setiap baris kata-kataku tanpa salah! Sungguh luar biasa! Sungguh aku
beruntung bisa bersahabat denganmu!”
“Sepasang
makhluk aneh Momok Dempet tadi, siapa mereka?” bertanya murid Sinto Gendeng.
“Mereka
belum lama muncul di rimba persilatan. Konon bersal dari sebuah pulau di laut
selatan. Sepak terjang mereka tidak disenangi berbagai pihak. Malah para tokoh
silat keraton dan pasukan kerajaan mencari mereka karena beberapa pembunuhan
yang mereka lakukan terhadap orang-orang istana.”
Wiro
ingat kejadian beberapa saat sebelumnya. Salah seorang dari Momok Dempet itu
hendak mengambil kapak sakti yang terselip di pinggangnya. Apakah kemunculan
mereka di tempat ini memang sengaja hendak merampas kapak itu atau ada maksud
lain? Maka diapun bertanya pada Pendekar Kipas Pelangi.
“Sahabat,
apakah kau bisa menduga apa tujuan sepasang momok itu datang ke tempat ini?”
“Namanya
saja momok. Mereka bisa muncul secara tak terduga dimana saja. Turut apa yang
aku dengar mereka tengah kasak kusuk mencari sesuatu. Tadipun sudah mereka
ucapkan. Malah menawarkan mau membagi rejeki besar itu bersamaku. Yang tengah
mereka cari adalah sebuah kitab…”
“Sebuah
kitab?” mengulang Wiro. “Kitab apa?”
Pendekar
Kipas Pelangi mengangkat bahu. “Sebuah kitab sakti. Aku lupa namanya.
Konon
kitab ini sudah jadi pembicaraan di rimba persilatan dan dicari banyak tokoh
rimba hijau…” “Aku tidak membawa kitab. Tadi salah seorang dari mereka hendak
mengambil senjataku…” Wiro berpikir sejenak. Lalu berkata. “Keadaan mereka
aneh. Dua tangan saling dempet, empat kaki seperti kaki kuda, lengkap dengan
ladam besi…”
“Menurut
ceritanya, mereka dilahirkan kembar dan dalam keadaan cacat demikian rupa.
Tangan dempet, kaki tidak punya tapak tidak berjari. Keanhean ini telah menarik
perhatian seorang tokoh jahat yang pernah hidup di selat Madura. Tokoh ini
memang suka mengumpulkan orang-orang aneh, lalu melakukan percobaan-percobaan
sambil menciptakan ilmu silat dengan jurus-jurus aneh pula. Masih kanak-kanak
kedua orang itu dibawanya ke tempat kediamannya, diberi pelajaran silat aneh.
Agar bisa berjalan empat kaki mereka dibungkus dengan besi menyerupai ladam
kuda. Ternyata bukan cuma untuk memungkinkan bisa berjalan saja, tapi juga
merupakan senjata luar biasa. Jangankan tubuh manusia, batupun bisa mereka
bobol!”
Wiro
memandang berkeliling lalu bertanya. “Tempat ini. Terus terang aku masih
bingung saat ini berada di mana. Daerah ini apa namanya? Aku mendengar suara
tiupan angin seperti bunyi seruling. Di kejauhan lapat-lapat ada suara seperti
deburan ombak…”
Mendengar
pertanyaan Wiro itu, Pendekar Kipas Pelangi jadi terheran-heran. Dalam hati dia
membatin.
“Dia
berada di sini. Tapi tidak tahu tempat apa dan daerah apa. Lalu bagaimana bisa
datang ke sini?
Aneh… Apa
yang terjadi dengan dirinya sebenarnya? Sebentar-sebentar dia menggaruk kepala.
Apa dia tengah berpikir atau memang kebiasaannya begitu. Orang-orang mengatakan
dia bertingkah laku aneh.
Tapi
mengapa kulihat saat ini dia seperti ada yang tidak beres? Apa perlu aku
memberitahu dimana dia berada?”
“Sahabat
Wiro, saat ini kau berada di satu bukit karang. Dekat sebuah teluk di kawasan
Pangandaran.
Teluknya
bernama Teluk Penanjung. Bertahun-tahuan kau malang melintang di tanah Jawa
ini. Mustahil kau tidak tahu saat ini berada di mana. Aku tidak yakin kau
tersesat atau kesasar berada di kawasan ini…”
“Teluk
Penanjung… Pangandaran… jadi saat ini aku berada di tanah Jawa? Benarkah?!”
Wiro
memandang dengan mata dibesarkan pada Pendekar Kipas Pelangi sambil garuk-garuk
kepala.
Yang
dipandang bertambah heran.
“Kau ini
aneh, masakan kau tidak tahu kalau saat ini berada di tanah Jawa? Memangnya ada
Teluk Penanjung dan Pangandaran di tempat lain?”
“Tanah
Jawa! Tuhan Maha Besar! Benar aku saat ini sudah kembali ke tanah Jawa?
Berada di
tanah Jawa?! Lalu dimana teman-temanku yang lain? Setan Ngompol, Naga Kuning…
Ah!
Bagaimana semua ini bisa terjadi?” Sedikit demi sedikit ingatan Wiro kembali pulih.
“Negeri Latanahsilam… Terakhir sekali aku berada di Istana Kebahagiaan! Lalu
ada ledakan. Aku sempat menghantam kening Hantu Muka Dua. Lalu… Aku terseret
oleh satu gelombang tujuh warna, membumbung ke angkasa menembus langit….” Wiro
menatap lekat-lekat ke arah Pendekar Kipas Pelangi.
“Wiro,
apa yang ada dalam benakmu? Apa yang kau pikirkan? Barusan kau bicara seorang
diri…”
“Tunggu….”
Wiro berkata. “Aku coba mengingat. Aku…. Mungkin sekali aku pernah berada di
tempat ini sebelumnya. Aku…” Sepasang mata Pendekar 212 membesar. Tengkuknya
seperti dijalari binatang merayap. Dia ingat. “Dulu di kawasan ini pernah
terjadi bentrokan hebat antara para tokoh silat golongan hitam melawan golongan
putih. Eyang Sinto Gendeng guruku…
Bujang
Gila Tapak Sakti sahabatku… Dewa Ketawa… Dewa Tuak… Ratu Duyung, Bidadari Angin
Timur… Semua mereka itu…”
“Dua nama
terakhir yang kau sebutkan itu.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula. “Mereka
sekian banyak dari gadis-gadis cantik yang mencarimu…”
“Aku
dicari gadis-gadis cantik?” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiba-tiba
senyumnya lenyap.
“Pangeran
Matahari!” desisnya. Tubuhnya mendadak bergeletar. Dia memandang berkeliling.
Bola matanya membesar.
“Manusia
itu sudah lama mati.” Kata Pendekar Kipas Pelangi pula.
Wiro
gelengkan kepala. “Aku melihat satu wajah…. Wajah Pangeran Matahari. Wajah
orang yang tadi membalikkan tubuhku sewaktu tergeletak menelungkup…”
Kini
Pendekar Kipas Pelangi yang gelengkan kepala. Dipegangnya bahu Wiro lalu
berkata. “Sahabat, agaknya ada satu guncangan besar membuat kau banyak lupa
tentang masa lalumu.
Kau tadi
menyebut satu tempat bernama Negeri Latanahsilam. Kau juga menyebut nama-nama
aneh.
Apakah…
pasti sebelumnya kau telah mengalami satu kejadian…”
“Mungkin
tadi aku hanya menerawang. Atau setengah bermimpi…” kata Pendekar 212.
“Wiro,
selama ini kau dikabarkan lenyap tak diketahui rimbanya. Dua tahun lebih kau
menghilang. banyak orang berusha mencari tapi mereka menemui jalan buntu.
Sahabatku, apakah kau sengaja memencilkan diri menuntut ilmu baru di satu
tempat? Atau bersamadi menambah kehebatan tenaga dalam?”
“Aku…
Jadi, benar selama dua tahun aku berada di Negeri Latanahsilam.” Wiro garuk
kepalanya. Dalam hati dia berkata. “Tidak mungkin aku ceritakan padanya. Selain
baru kenal mungkin dia juga tidak akan bisa mempercayai. Salah-salah aku bisa
dianggapnya gila. Benar-benar sableng!” (Mengenai riwayat Pendekar 212 di
Negeri Latanahsilam harap baca serial Wiro Sableng terdiri dari 18 Episode,
dimulai dari “Bola-Bola Iblis”) Wiro berpikir lagi. “Kalau kini aku benar
berada di tanah Jawa, apakah beberapa ilmu yang aku dapat di Negeri
Latanahsilam masih kumiliki? Tadi sewaktu menghadapi dua momok sialan itu
mengapa tidak aku jajal dengan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang diberikan
Luhrembulan?
Ah… gadis
itu. Aku…”
“Pendekar
212! Kau melamun atau tengah memikirkan sesuatu?!”
Teguran
Pendekar Kipas Pelangi membuat Wiro tersadar. Dia menatap ke depan dan melihat
pemuda berkumis di hadapannya itu memandang terheran-heran padanya. Wiro segera
mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Pendekar Kipas Pelangi, aku tidak
tahu banyak mengenai dirimu. Mengapa kau juga bisa berada di tempat ini?”
Yang
ditanya tak segera menjawab. Setelah perhatikan wajah Pendekar 212 sejurus
lamanya baru dia membuka mulut.
“Aku tengah
mencari seseorang…”
“Pasti
seorang gadis cantik!” kata Wiro pula.
Pemuda
berkumis rapi itu gelengkan kepala. “Aku mencari kakak kandungku. Kami berpisah
ketika aku berusia empat tahun dan dia enam tahun. Lebih dari lima belas tahun
kami tidak pernah bertemu. Begitu turun gunung sekitar tiga tahun lalu, aku
berusaha mencarinya., tapi tak kunjung kutemui. Kakakku itu bernama Adisaka.
Apakah kau pernah mendengar nama itu?
Syukur-syukur
kau kenal orangnya…”
“Adisaka…
Tak pernah aku mendengar nama itu. Bagaimana kisahnya kalian bisa berpisah.
Apakah orang tua kalian…”
“Desa
kami musnah dilanda bencana alam. Gunung meletus. Kami tercerai berai. Semua
penduduk menemui ajal. Termasuk orang tua kami…”
“Apa kau
yakin kakakmu itu masih hidup?” tanya Wiro.
“Aku
yakin sekali. Aku sering kedatangan firasat bahwa dia masih hidup. Itu yang
menimbulkan semangat untuk mencarinya…”
“Mengapa
tidak memulai penyelidikan dari desa kelahirannya?” tanya Wiro.
“Bukannya
tidak pernah. Ketika aku kembali ke sana, desa itu sudah berubah menjadi hutan
jati. Tak ada seorangpun tinggal di sana.”
“Kau
tentunya mempunyai riwayat hidup luar biasa. Aku senang kalau kau mau
menceritakannya.”
Pendekar
Kipas Pelangi terdiam sesaat. Kemudian dia berkata.
“Tidak
ada salahnya aku menuturkan riwayat diriku. Siapa tahu kau memberi jalan, bisa
membantu urusan yang kuhadapi. Mari kita mencari tempat duduk yang baik…”
Wiro
mengangguk. Dua orang ini pergi duduk di atas gundukan batu. Pendekar Kipas
Pelangi lalu mulai menceritakan kisahnya.
********************
BAB 7
Sebelum
mengetahui kisah hidup yang akan diriwayatkan Pendekar Kipas Pelangi kepada
Pendekar 212 Wiro Sableng, kita kembali dulu pada satu kejadian beberapa waktu
sebelumnya, yakni sebelum Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol terpesat ke
Negeri Latanahsilam.
KESUNYIAN
di tepi rimba belantara kawasan selatan dipecahkan oleh suara derap kaki kuda
tak berkeputusan. Baik kuda maupun penunggangnya masih belum nampak. Tak lama
berselang, dari tikungan jalan berdebu baru kelihatan muncul dua kuda hitam,
berlari kencang menuju ke barat. Di atas punggung kuda sebelah kiri duduk
seorang kakek berpakaian serba hitam. Walau usianya sudah mencapai delapan
puluh tahun tapi kumisnya yang melintang di bawah hidung masih hitam berkilat,
juga rambutnya yang menjulai keluar dari balik destar hitam yang bertengger di
atas kepala. Sepasang mata si kakek memandang tajam ke depan. Di balik
ketenangan wajah tua ini, di lubuk hatinya si kakek dibebani oleh satu
ganjalan. Itu sebabnya dia menoleh ke samping dan berkata.
“Kita
sudah mencarinya di Nusakambangan. Manusia keparat itu tidak ada di sana.
Padahal
petunjuk terakhir membuktikan dia memang ada di situ, membantai satu keluarga
besar yang hendak menuntut balas atas kematian seorang gadis yang diculik dan
diperkosanya.”
Orang
yang diajak bicara yakni penunggang kuda hitam sebelah kanan adalah seorang
nenek berwajah aneh. Di sebelah kiri wajahnya yang keriputan berwarna hitam
legam sedang sebelah kanan putih seperti bulai. Begitu juga alis dan bulu
matanya. Alis dan bulu mata kiri hitam mencorong, sebaliknya bagian kanan putih
memirang.
Di atas
kepalanya nenek ini memiliki rambut disisir rapi, dibelah tengah lalu dijalin
menjulai panjang ke punggung. Seperti wajahnya rambut si nenek sebelah kiri
berwarna hitam sedang sebelah kanan putih pirang. Lalu anggota badannya yakni
tangan dan kaki juga hitam di sebelah kiri dan putih di sebelah kanan.
Yang luar
biasanya sampai-samapai dua bola matanya juga berwarna berlainan. Bola mata
sebelah kiri hitam angker sedang sebelah kanan putih mengidikkan!
Pada
ujung jalin, biasanya terikat sehelai pita atau benda lain sebagai penghias.
Tapi yang ada di ujung jalin nenek muka hitam putih ini bukannya pita,
melainkan seekor kalajengking hidup. Aslinya binatang ini berwarna hitam legam.
Si nenek sengaja mengecat sebagian tubuh kalajengking ini dengan cat warna
putih hingga sosoknya menyerupai dirinya.
Nenek ini
mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan warna wajah serta rambutnya. Di
sebeleh kiri pakaian ini hitam sementara sebelah kanan berwarna putih.
“Riku
Pulungan,” kata si nenek yang sebenarnya bernama Nini Wetan. Namun orangorang
rimba persilatan lebih suka menyebutnya dengan nama Nini Setan. Dia adalah
kakak si kakek berkumis hitam. “Kalau otakmu masih terang, sekitar empat tahun
lalu aku memberi ingat.
Jangan
kau memberikan Kipas Pemusnah Raga pada mujridmu si Warangas itu!”
“Siapa
bilang aku memberikan!” memotong si kakek bernama Riku Pulungan. “Waktu aku
menyerahkan kipas padanya, jelas-jelas kukatakan kipas itu aku pinjamkan. Bukan
aku berikan. Tiga tahun setelah dia kulepas dari pertapaan dia harus
mengembalikan senjata itu.
Karena
dalam waktu tiga tahun itu aku sudah bisa mengira dia pasti telah mendapat nama
besar dalam rimba persilatan. Jadi sudah cukup sekian lama saja dia memegang
senjata itu.”
Nini
Setan menyeringai. “Nyatanya ucapanku asin, tidak meleset! Warangas
mempergunakan kipas sakti itu untuk berbuat seribu satu macam kejahatan! Kau
tahu dan sudah dengar dosa apa yang telah dilakukan muridmu itu! Merusak
kehormatan anak gadis dan istri orang! Salah satu korbannya adalah istri Kebo
Panaran, Adipati Gombong. Kebo Panaran sendiri kemudian dihabisinya secara
biadab. Lalu dia juga membunuh salah seorang dari guru-gurunya yakni kakek
sakti di puncak gunung Slamet bernama Wulur Pamenang. Itu terjadi setelah dia
ketahuan menghamili adik seperguruannya bernama Wulandari. Salah seorang
gurunya yang lain, bernama Jagat Kawung kabarnya juga tengah mengejar muridmu
itu. Hemmm… Kalau saja kau mendengar nasihatku dulu, semua malapetaka angkara
murka ini tidak akan terjadi… Berkat perbuatan tololmu Warangas memang telah
mendapat nama besar. Tapi nama besar penuh kekejian! Kurasa tidak ada makhluk
lain yang dosanya seabrek-abrek seperti muridmu itu!
Jangan kau
menyesal Pulungan! Hik… hik… hik!”
Riku
Pulungan menghela nafas panjang. “Kata orang penyesalan selalu terjadi
belakangan. Aku mungkin keliru memberi pinjam kipas sakti itu. Tapi aku tidak
merasa menyesal. Karena aku tetap akan meminta pertanggung jawaban murid celaka
itu! Aku akan mencarinya sampai ke liang neraka sekalipun!”
“Sekarang
kau mau mengajak aku mencarinya kemana?” Tanya Nini Setan. “Liang neraka tidak
ada di dunia ini.
Adanya di
akhirat! Hik… hik!” Nini Setan mengejek lalu tertawacekikikan.
Wajah
putih si kakek sesaat jadi merah mendengar ejekan saudaranya itu.
“Jangan
kau membuat hatiku tambah panas. Turut yang aku dengar dari beberapa orang yang
pernah tahu Warangas,pemuda itu memencilkan diri di satu tempat di kawasan
Teluk Segara Anakan. Dari sini Segara Anakan tidak berapa jauh. Kita menuju ke
sana sekarang juga.”
“Turut
yang aku ketahui, muridmu itu bukan memencilkan diri, tapi melarikan diri.
Karena
banyak orang berkepandaian tinggi mengejarnya!” kata Nini Setan pula.
“Itu
lebih baik. Berarti aku tidak akan terlalu repot untuk menangani manusia bejat
itu!
Nyawanya
aku tidak akan peduli. Kalau dia mati di tanganku ya syukur-syukur. Kalaupun
dia dicincang dihabisi sekian banyak musuhnya rasanya itu sudah jadi bagiannya.
Yang pentin aku harus dapatkan Kipas Pemusnah Raga itu kembali. Aku harus
mempertanggung jawabkannya pada Eyang Guruku!”
PENUNGGANG
kuda coklat yang sejak tadi memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukan,
mendadak sontak menarik lalu menahan tali kekang tunggangannya hingga kepala
binatang ini terdongak ke atas. Busah menyembur dari hidung dan mulutnya. Dua
kaki depan naik ke atas sementara sepasang kaki belakang menyerosot
meninggalkan guratan panjang dan dalam di tanah.
Siapakah
adanya penunggang kuda ini? Namanya Suramanik. Dulu dia adalah Kepala Pengawal
Kadipaten Gombong. Suramanik terpkasa melepaskan jabatannya karena dipecundangi
oleh seorang pemuda bernama Handaka. Handaka ini bukan lain adalah Warangas
murid Riku Pulungan si pemilik Kipas Pemusnah Raga. Dia juga pernah berguru
pada seorang kakek sakti di puncak gunung slamet yakni Eyang Wulur Pamenang
yang kemudian dibunuhnya. Lalu dia muncul di banyak tempat dengan nama-nama
samaran seperti Prana, Dipasingara dan sebagainya.
Sejak dia
dikalahkan dalam satu pertandingan adu jotos dan kehilangan jabatannya sebaai
Kepala Pengawal Kadipaten Gombong, sejak itu pula Suramanik memendam dendam
terhadap Handaka yang saat itu memakai nama Dipasingara. Dendam kesumat itu
semakin menggunung ketika dia menyirap kabar bahwa atasannya, Adipati Gombong
Kebo Panaran tewas dibunuh Dipasingara. Setelah suaminya menemui ajal dan
Dipasingara meninggalkannya begitu saja, Galuh Resmi lalu nekad bunuh diri di
hadapan mayat suaminya.
Selesai
menimba ilmu baru untuk bekal menghadapi Dipasingara maka Suramanik lalu
menemui pencarian terhadap si pemuda. Dia mendapat kabar konon sejak dirinya
dikejar sekian banyak orang yang sakit hati padanya, Dipasingara memencilkan
diri di suatu tempat di kawasan Teluk Segara Anakan si pantai selatan. Saat itu
Suramanik dalam perjalanan menuju kawasan tersebut.
Apa yang
terjadi? Mengapa Suramanik tiba-tiba menghentikan kudanya? Tadi, sayupsayup di
antara deru angin dan derap suara kaki kuda, dia mendengar suara orang
menangis.
“Suara
tangis perempuan. Memilukan sekali,” kata Suramanik dalam hati lalu melompat
turun dari kudanya. Tegak di tanah dia memasang telinga kembali, untuk
mengetahui dari mana arah datangnya suara tangisan tadi. Begitu dia bisa
memastikan arah sumber suara dengan cepat dia melangkah .
Tak
selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat dilihatnya seorang
perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya mengenaskan sekali. Pakaiannya
bukan saja lusuh dan kotor tapi juga banyak robekan. Rambutnya yang panjang
tergerai awut-awutan.
“Aku tak
dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka. Perutnya…
Astaga!
Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil. Paling tidak sekitar enam
bulan…”
Suara
tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah tiba-tiba melesat
ke atas dalam satu gerakan melompat yang cepat.
“Srettt!”
Sebilah
pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan perempuan hamil.
Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini dapat melihat wajah
perempuan itu.
Ternyata
dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun kecantikannya tidak
dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil ini membelalak, memandang
berputar.
Air
mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai lalu satu
jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan dibabatkan
beberapa kali. Semak belukat rambas bertebaran.
“Mampus!
Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!”
“Kasihan
sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras,” kata Suramanik dalam hati. “Dari
gerakan tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan ini memiliki kepandaian
silat tidak rendah. Siapa dia adanya? Siapa pula orang bernama Handaka yang
seperti hendak dicincangnya. Apakah aku harus mendatanginya.
Tapi
gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah aku bisa dibabat sambaran pedangnya!”
Selagi
Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba perempuan hamil
tadi kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur lari, cepat sekali., ke
jurusan satu pedataran diapit bukitbukit tandus dia arah selatan yakni arah
Teluk Segara Anakan. Suramanik terkejut menyaksikan.
“Dugaanku
tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ilmu
larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya beberapa kali berkelebat dia
sudah berada di ujung sana!” Suramanik menunggu sesaat lalu naik ke atas
punggung kudanya mulai menguntit mengikuti perempuan hamil tadi.
Siapakah
adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu? Dia bukan lain adalah
Wulandari, murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah terbujuk rayuan
Handaka alias Warangas alias Dipasingara hingga gadis ini mau menyerahklan
kehormatannya. Padahal sebenarnya dia telah ,mempunyai seorang kekasih, seorang
pemuda bernama Sanjaya yang merupakan murid tertua Eyang Wulur Pamenang.
Selagi
mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng berlari kencang
mendatangi dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.
“Kalau
bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat ini.
Lari mereka seperti angin…”
“Berhenti!”
Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak. Sesaat kemudian ke
tiganya sudah berkelebat, memotong jalan di depan kuda Suramanaik.
********************
BAB 8
Maklum
kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan sembarangan, Suramanik
serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda berhenti dia segera
memperhatikan tiga orang di hadapannya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian
putih berambut gondrong.
Lalu
seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga seorang pemuda
berwajah gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Di atas punggung
kudanya Suramanik duduk tak bergerak.
Dia
menunggu sambil memperhatikan penuh waspada.
“Bukan
dia…” berkata pemuda berambut gondrong.
“Memang
bukan murid celaka itu,” menyahuti si orang tua.
“Ki sasak
bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap menghindar dari
hadapan kuda.
Aku ada
keperluan lain.” Suramanik akhirnya angkat bicara menegur.
“Harap
maafkan,” yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara pemuda gondrong
tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan dada. “Kami kira kau
adalah orang yang tengah kami cari. Bapak, apakah Teluk Segara Anakan masih
jauh dari sini?”
“Tak
seberapa jauh lagi. Di ujung sana,” jawab Suramanik. Dia perhatikan pemuda
berambut gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan. “Kalian bertiga ini siapa
adanya? Siapa pula orang yang tengah kalian cari?”
Kakek
muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan ke sela bibir
lalu meraba-raba pakaiannya. “Ah, sial sekali. Batu apiku entah kemana! Mulutku
bakalan asam seharian ini!” Si kakek cabut rokok kawungnya lalu bicara
perkenalkan diri.
“Si tua
buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku ini bernama
Sanjaya. Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng…”
“Astaga!
Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama besar! Harap maafkan
aku yang tidak melihat tingginya gunung!” Suramanik cepat-cepat melompat turun
dari kudanya lalu membungkuk memberi penghormatan.
Jagat
Kawung menyeringai. “Kau sendiri siapakah adanya?” Tanya orang tua ini
kemudian.
“Ah, ah…”
Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak memberitahu bahwa
dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong dia merasa sungkan. Tapi
akhirnya dia bicara juga. “Namaku Suramanik. Aku berasal dari gombong.”
“Gombong…
Gombong… Gombong…” Jagat Kawung mengulang-ulang. “Apa kau pernah mendengar
peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?”
Suramanik
merasakan dadanya berdebar. “Peristiwa apa maksudmu orang tua?”
“Istri
Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang jadi
Kepala Pengawal.
Adipati
tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya tiu. Sang istri kemudian
msnikam dada bunuh diri.” Suramanik menatap wajah ke tiga orang itu
berganti-ganti. Sebenarnya dia sudah mengetahui peristiwa itu. Justru saat itu
dia tengah mencari si pembunuh Adipati Gombong itu.
Dia
berpaling pada Sanjaya dan berkata. “Orang muda, tadi kau mengatakan tengah
mencari seseorang.
Dari
pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara Anakan. Siapakah orang
yang kalian cari?
Terus
terang aku sendiri juga tengah mencari seseorang.”
“Orang
yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam berbagai sosok. Tapi
orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama Dipasingara alias Handaka
alias Prana…”
Berubahlah
wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu. Sebenarnya dia ingin bertanya
mengapa ke tiga orang tersebut mencari Dipasingara. Suaranya bergetar ketika
dia berkata.
“Kita
mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada baiknya aku
memberi keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal Kadipaten Gombong!
Suatu ketika muncul seorang pemuda mengaku bernama Dipasingara. Dia inginkan
jabatanku dengan cara menantang berkelahi. Jika aku dikalahkannya maka aku
harus menyerahkan jabatanku padanya. Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan
oleh sikap perbuatan dan ucapan pemuda itu. Aku tak mungkin mengelakkan
tantangannya. Kami melakukan adu kekuatan. Pemuda itu ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Aku kalah.
Jabatanku
hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian aku mendengar berita
menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui. Adipati Kebo Panaran tewas di
tangan Dipasingara.
Istrinya
menemui ajal bunuh diri.”
Suramanik
diam sebentar lalu berkata. “Saudara bertiga, aku terpaksa meninggalkan
kalian.”
Si
gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama kalinya
membuka mulut.
“Sobat
berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?”
Kalau
orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan meradang
tersinggung. Tapi karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong yang
menyandang julukan
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 ini maka dia menjawab apa adanya.
“Ketika
kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang perempuan muda aneh
mengenaskan.” “Aneh bagaimana?” Sanjaya yang bertanya.
“Otaknya
tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana…” Suramanik
menunjuk ke arah timur.
“Pasti
Wulandari!” kata Sanjaya setengah berteriak. “Aku punya firasat buruk sejak
tadi pagi. ”Muka pemuda ini tambah pucat. Dia memandang pada Wiro dan si kakek.
Lalu tanpa tunggu lebih lama dia menghambur lari ke arah timur yang ditunjuk
Suramanik. Wiro dan Jagat Kawung segera mengejar.
Suramanik
melompat naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti
orangorang itu.
Tak
selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar
bergulung-gulung memecah di pantai.
“Ini
Teluk Segara Anakan!” menerangkan Suramanik. “Ada sebuah goa di sekitar sini.
Belakangan
ini kabarnya Dipasingara sering berada di tempat itu…”
“Kita
cari goa itu sekarang juga!” kata Sanjaya.
Ketika
orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi isyarat.
“Tunggu…
Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-jeritan
perempuan…”
Semua
orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua Jagat Kawung
berubah. “Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara tertawanya si
keparat murid murtad Warangas! Datangnya dari balik gundukan karang besar
sebelah sana…”
“Mari
kita menyelidik!” kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak sabaran lalu
mendahului berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro dan Jagat Kawung
menyusul. Suramanik mengikuti.
Semakin
dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara tawa. Suara jeritan
perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan keras.
“Handaka
manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!”
Begitu
sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan disambut oleh satu
pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang awut-awutan dalam
keadaan mengandung besar, dengan sebilah pedang di tangan menyerang habis-habisan
seorang pemuda.
Dari
gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Namun bila
diperhatikan kentara sekali walau bagaimanapun hebatnya gebrakan ilmu pedang
perempuan hamil, tingkat kepandaiannya masih di bawah lawannya. Kenyataannya si
pemuda menghadapi gempuran mautnya sambil terus tertawa bergelak. Kedua orang
itu bertempur di depan sebuah goa. Di mulut goa seorang gadis berkulit hitam
manis berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan setengah mati. Gadis ini adalah
anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di goa itu hendak digagahi
oleh si pemuda.
Namun
sebelum niat mesumnya kesampaian, perempuan muda bersenjata pedang keburu
memergoki.
“Jahanam!
Betul murid sesat itu rupanya!” merutuk Jagat Kawung dengan mata mendelik begitu
dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur melawan perempuan muda
bersenjata pedang.
“Warangas!
Ajalmu sudah di depan mata!”
Sementara
ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun dengan mata membeliak
mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan perempuan muda itu.
“Wulandari…”
suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan pandangan ke arah si
pemuda, darahnya langsung mendidih. Dia tidak kenal dan sebelumnya tidak pernah
melihat pemuda lawan bekas kekasihnya itu. Tapi dia yakin pemuda itu adalah
Handaka alias Prana alias Dipasingara. Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya segera
hunus pedangnya dan menyerbu ke kalangan pertempuran.
“Durjana
keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!”
Warangas
tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat hanya satu jengkal
di samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua langkah, bersikap waspada
sambil memasang kuda-kuda.
Pandangan
matanya tidak berkesip. Hatinya mengira-ngira.
“Pemuda
muka pucat! Siapa kau!” bentak Warangas.
Belum
sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari. Gadis ini
seperti melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya membentur Sanjaya. Dia
lari ke balik gundukan batu karang rendah.
Di sini
dia menangis dan berteriak-teriak tak karuan.
Belum
sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang barusan
menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat. Tangan kanannya
bergerak ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke seluruh tubuh Warangas
alias Dipasingara.
“Jahanam
Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan di Kadipaten
Gombong!” teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan diri.
“Penyesalanmu
akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang ada yang mau mengubur!”
jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan goloknya, dari arah lain
Sanjaya telah menyerbu pula.
“Kalian
boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad aku yang punya!
Aku akan patahkan batang lehernya!” Kakek bernama Jagat Kawung menyerbu dengan
tangan kosong, melepas Pukulan Baja Merah. Selarik sinar merah berkiblat
menggidikkan.
Diserang
tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat Warangas membuang
diri ke samping lalu melompat setinggi satu tombak. Selagi mengapung di udara
dia keluarkan senjata saktinya yaitu Kipas Pemusnah Raga.
“Srettt!”
Sinar
hitam bertabur ke arah tiga penyerang.
“Lekas
menyingkir!” teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya segera
dipukulkan ke depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa Topan Manggusur
Gunung. Pukulan sakti ini adalah warisan dari Tua Gila, tokoh sakti di Pulau
Andalas.
“Bummm!”
Satu
ledakan menggoncang teluk.
“Dess…
desss!”
********************
BAB 9
Warangas
merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti dipelintir.
Kipas
hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat Warangas dorongkan tangan
kirinya lalu melompat ke samping. Baru satu kakinya menginjak tanah tiba-tiba
Sanjaya, Suramanik dan Jagat Kawung telah datang menyerbu kembali.
“Mengeroyok
tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar aku yang
mempesiangi!” teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya ketika pedang
Sanjaya berkelebat dingin di samping telinga kirinya.
“Tidak
perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala peradatan! Mari kita
sama-sama berebut pahala mencincangnya!” teriak Sanjaya lalu kirimkan satu
tusukan dan dua kali babatan.
Warangas
kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar hitam yang memiliki daya kekuatan luar
biasa membuat Sanjaya terdorong. Pemuda ini berlaku nekad. Sambil pukulkan
tangan kiri kembali dia mengejar dengan serangan pedang.
“Sahabat,
jangan berlaku bodoh!” berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat tarik
tangan kiri Sanjaya.
“Wussss!”
Sinar
hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk! Menghantam satu gundukan
batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan berpelantingan di udara,.
“Breettt!”
Pakaian
Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum habis kejutnya dari
samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat Kawung mengarah leher. Kakek ini
agaknya memang ingin mematahkan batang leher murid bejat itu. Warangas berlaku
sigap.
Sambil
miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.
Jagat
Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh. Tendangan lawan hanya
menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan dengan itu si kakek susupkan satu
jotosan ke perut Warangas.
“Bukkk!”
Warangas
keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana jebol. Dadanya sesak.
Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi hebatnya dia masih bisa berdiri
walau dengan dua lutut sedikit tertekuk. Rahangnya menggembung.
“Awas.
Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Pendekar 212 Wiro Sableng ketika
melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur mengempis. Murid Sinto
Gendeng ini segera pula alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Cepat sekali
tangan itu berubah menjadi putih seperti perak menyala!
“Bangsat
pengeroyok! Mampuslah semua!”
Warangas
marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia melompat ke atas sebuah
batu.
Tangan
kanannya berputar setengah lingkaran bergerak ke atas seperti mencungkil.
Saat itu
juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu menyapu ke arah
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di mulut
goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang ini terguling roboh
dalam keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas Pemusnah Raga menghantam dirinya.
Suramanik,
Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran selamatkan diri.
Suramanik
menjerit. Sosoknya berlutut di tanah. Pakaiannya sebelah kiri kelihatan hangus.
Kulit dan sebagian dagingnya merah seperti terpanggang. Dengan kertakkan rahang
dia mecoba bangkit berdiri.
Namun
saat itu tanah dirasakannya bergetar hebat. Lalu ada sinar putih berkiblat
menyilaukan disertai bertaburnya hawa sangat panas. Di depan sana Warangas
keluarkan teriakan keras.
“Pukulan
Sinar Matahari!” Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi diri.
Ketika
taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur cahaya putih
panas, satu letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk. Percikan bunga api
bertebar dimana-mana.
Kuda
coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri jatuhkan diri ke
tanah mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan cahaya putih. Secara
cerdik dia sengaja menggulingkan diri ke arah musuh yang dikenalnya dengan nama
Dipasingara.
Jagat
Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro sendiri
terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh duduk di tanah.
Dadanya mendenyut sakit dan pelipisnya seperti ditusuk-tusuk.
Warangas
sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya keluar jeritan setinggi
langit ketika melihat bagaimana kipas saktinya robek bertaburan di udara.
“Kipasku…
kipasku…” Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah hangus kehitaman.
Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang masih ada dalam
genggamannya dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti mana mungkin dia
menghadapi empat musuh berkepandaian begitu tinggi. Tak ada jalan lain. Dia
harus melarikan diri mencari selamat.
Tidak
menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu karang. Dia sama
sekali tidak menduga kalau di balik batu karang ini justru ada yang
menunggunya.
Satu
sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari atas
ke bawah.
“Wulandari!”
Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan seruan tertahan. Dia
berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi terlambat.
Mendadak
sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit seperti mengoyak seluruh
tubuhnya.
Seakan-akan
tanah yang dipijaknya roboh amblas, tubuh Warangas terbanting jatuh. Dua
kakinya buntung sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan Wulandari.
Darah membanjir! Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya bertambah
dahsyat ketika Suramanik yang bergulingan mendatanginya membabatkan golok
besarnya. Lalu dari jurusan lain pedang Sanjaya bertubi-tubi melanda tubuhnya.
“Orang
muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!” Sosok Jagat Kawung melesat ke
arah Warangas.
Dijambaknya
rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika dia hendak memuntir tanggal kepala
Warangas tiba-tiba satu sinar putih menderu. Cairan merah kental hangat
membasahi pakaian dan muka putih kakek keriput itu. Jagat Kawung melompat
mundur.
Sosok
Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas pasir. Lalu sewaktu
dia memperhatikan benda yang masih dijambaknya, kakek ini tersentak kaget.
Benda itu adalah kepala Warangas yang sudah putus!
“Ih!” si
kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke tanah.
Wulandari
menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang berdarah masih di tangan gadis
ini lari ke arah laut. Wiro coba menghalangi. Tapi sambaran pedang ganas
Wulandari membuatnya terpaksa mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat
meneruskan larinya ke arah laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga
sudah maklum apa yang akan hendak dilakukan bekas kekasihnya itu.
Dengan
cepat dirangkulnya tubuh Wulandari.
“Lepaskan!
Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!” teriak Wulandari.
“Sadar
Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh diri
adalah kesesatan tak terampuni!”
“Aku
memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan! Aku sudah
ditunggu Eyang Guru! Hik… hik… hik!” Wulandari meronta coba melepaskan
rangkulan Sanjaya tapi tak berhasil. Mendadak dia ingat kalau saat itu masih
memegang pedang. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke dadanya.
“Wulan!
Jangan!” teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi terlambat. Pedang
menancap masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini berteriak lalu tertawa
panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap.
Sepasang
matanya mendelik. Tapi ajalnya belum sampai. “Wulan… kenapa kau lakukan ini.
Aku… aku masih mencintaimu. Kenapa kau tega meninggalkan diriku, Wulan?”
Suara
Sanjaya tersendat serak.
Di saat
kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah jernih. Air mata
mengucur di kedua pipinya yang pucat. “Semuanya sudah kasip kakak. Diriku
terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni dosaku Sanjaya. Aku telah
mengkhianati janji cinta kita.
Sebenarnya
akupun tetap mencintaimu… Selamat tinggal kakak…”
“Wulan!
Adikku!”
Kepala
Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan kedua tangannya.
Berurai
air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.
Suramanik
tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali. Pendekar 212 Wiro
Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk kepala. (Kisah segitiga
antara Wulandari, Sanjaya dan Handaka alias Dipasingara bisa pembaca ikuti
secara utuh dalam serial Wiro Sableng berjudul “Hidung Belang Berkipas Sakti”)
SEPERTI
diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku Pulungan dan Nini
Setan tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara Anakan dalam mencari pemuda
bernama Warangas.
Di satu
tempat si kakek hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si nenek
bermuka belang agar berhenti di sebelahnya.
“Aku mendengar
suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi…” kata Riku Pulungan.
Nini
Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. “Suara itu datang dari balik
gugusan karang.
Kita
menyelidik ke sana!”
Dua orang
tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih cepat sampai ke balik
gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan berputar tapi lansung
menerjang mendaki bukit rendah. Tepat pada saat mereka mencapai puncak salah
satu gugus bukit karang tiba-tiba satu dentuman dahsyat menggelegar di seantero
teluk. Bukit karang bergetar keras.
Sepasang
kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing sebelum kuda-kuda
mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke atas batu. Memandang ke
bawah, kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan seruan tertahan. Wajahnya
pucat, matanya mendelik dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
“Nini,
kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu…”
Si nenek
bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam. Lalu
berucap.
“Kipas
itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari segala-galanya. Kita
akan menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan bekas murid bejatmu …..
Orang-orang itu pasti akan membantainya!”
Ucapan si
nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat kemudian.
Di bawah
sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas alias Dipasingara tengah
menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas saktinya hancur dihantam pukulan
Sinar Matahari dia berusaha melarikan diri. Tapi di balik bukit karang dihadang
oleh Wulandari lalu diserbu oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat Kawung
hingga akhirnya menemui ajal secara mengerikan.
Sosoknya
tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.
“Aku
mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi…” Riku Pulungan berucap perlahan.
Kakek ini
mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.
“Kau mau
kemana?!” bertanya Nini Setan. “Mau membuat perhitungan dengan orangorang yang
telah membunuh muridmu?! Jangan bertindak bodoh!” Riku Pulungan hentikan
langkahnya. Dia memandang pada si nenek saudaranya lalu gelengkan kepala. “Aku
yakin orang-orang itu menghabisi Warangas karena mereka mempunyai dendam
kesumat amat besar. Malah aku bersyukur mereka telah meringankan bebanku… Aku
terlalu kecewa pada manusia satu itu.”
“Lalu
mengapa kau mau turun ke pantai sana?” tanya Nini Setan kembali.
“Kipas
Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa kayu dan
gagangnya….”
Jawab
Riku Pulungan.
“Kau
gila? Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?”
“Aku akan
membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku kembalikan padanya. Kalau
dia bersedia aku akan minta Eyang Guru menggabung-gabunkannya kembali.
Menjadikannya
untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti mandraguna. Kelak senjata
baru itu akan kuberikan kepada muridku yang sekarang…”
“Hemm…
Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya penuh
pada muridmu yang sekarang ini?”
“Aku
percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang dengan malam.
Mungkin ini satu satunya kebajikan terakhir yang bisa aku buat sebelum
menghadap Gusti Allah.”
“Terserah
kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke balik karang sana
dulu. Dari tadi aku menahan kencing! Hik… hik… hik…!”
Ketika
Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga tiba-tiba
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak di hadapannya.
Sesaat ke dua orang ini saling beradu pandang.
“Kek, kau
tengah melakukan apa?” si pemuda menegur.
Sepasang
mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat rajah tiga
angka tertera di dada penuh otot.
“Jika
mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah menduga,
bukankah saat ini aku berhadapan dengan tokoh muda berkepandaian tinggi bergelar
Pendekar 212, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?”
Si pemuda
yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali orang tapi orang
mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dia berkata. “Orang
jelek ini memang murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Kau sendiri siapakah
adanya Kek? Sedang apa di tempat ini?
Kulihat
kau memunguti cabikan-cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana kemana
menghilangnya?”
Wiro
melirik ke puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang
di atas sana.
“Saudaraku
itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa menahan kencing…” Si
kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah Raga yang dipegangnya. Lalu
berkata. “Seperti kau lihat sendiri, aku tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas
ini… “
“Untuk
apa?” Tanya Wiro heran.
“Aku tak
bisa mengatakannya padamu, anak muda…”
“Kau juga
tidak mau mengatakan siapa namamu?”
“Aku Riku
Pulungan,” jawab si kakek.
Wiro
tertawa bergelak.
“Eh,
kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya si kakek heran.
“Cocok
dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala sisa
kipas rongsokan kau kumpulkan. Ha… ha… ha… “
Wajah
putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan tertawa.
Wiro
lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.
“Anak
muda, tunggu dulu…” si kakek berseru.
“Ada
apa?” tanya Wiro pula.
“Kalau
umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan
rongsokan kipas ini…”
Wiro
pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya. Sambil
melangkah pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. “Sial, dia bilang kalau
umurku panjang.
Memangnya
aku ini mau mati besok apa? Beberapa tahun di muka, aku akan bertemu lagi
dengan kipas rongsokan itu. Edan…” Wiro garuk kepalanya. Ketika dia berpaling
ke belakang, kakek aneh bernama Riku Pulungan itu tak ada lagi di tempatnya
semula!
DUA HARI
dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun orang yang ditunggu
tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam ketiga, selagi matanya setengah
terpejam karena tidak sanggup menahan kantuk, orang tua ini tiba-tiba merasa
ada sambaran angin disusul berkelebatnya satu bayangan.
Satu
sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku
Pulungan.
Orang ini
sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut itu begitu
panjang hingga hampir menjela tanah.
“Eyang
Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu menyangkut Kipas
Pemusnah Raga…” Riku Pulungan sendiri adalah seorang kakek berusia hampir
delapan puluh tahun.
Jika dia
memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia paling
tidak di atas seratus tahun.
“Tiga
tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku Riku
Pulungan, ikuti aku.”
Orang tua
berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya enteng sekali
seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia menyalakan sebuah
lampu minyak lalu duduk di atas sebuah bantalan tipis. Riku Pulungan sendiri
duduk membungkuk hormat di hadapannya.
“Apakah
kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?” bertanya sang Eyang Guru.
“Saya
sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam keadaan
seperti ini.”
Lalu dari
balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan robekan-robekan kipas, patahan kayu
kipas serta bagian gagang kipas yang hangus. Benda itu semuanya diletakkan di
lantai di hadapan Eyang Guru.
“Jika ada
satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku ingin
tahu siapa gerangan yang melakukannya?”
“Menjelang
ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang ingin menuntut balas.
Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng….”
“Murid
Sinto Gendeng dari Gunung Gede?” Tanya Eyang Guru.
“Benar
sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah menghantam
murid saya dengan pukulan Sinar Matahari…”
Orang tua
berjubah hijau terdiam sesaat. “Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan muridmu
yang bernama Warangas itu?”
“Dia
menemui ajal di tangan orang-orang itu,” jawab Riku Pulungan.
“Dia
telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,” kata
sang Eyang Guru.
Lalu dia
menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini membuat Riku Pulungan merasa
seperti ditindih batu besar. “Aku senang bertemu denganmu. Sisa-sisa kipas bisa
kau tinggalkan di sini. Sebelum kita berpisah, apakah ada sesuatu yang hendak
kau tanyakan atau hendak kau sampaikan?”
“Ada
Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau permintaan saya ini
Eyang anggap satu kelancangan atau tak mau belajar dari pengalaman. Saya mohon
dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini Eyang bisa membuatkan satu senjata baru
dalam bentuk yang sama, yakni sebuah kipas…”
Orang tua
berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama
lain. “Riku Puliungan, permintaanmu akan kuperhatikan. Tapi ada satu nasihatku
padamu.
Jika
kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan kaji
dulu dalam-dalam.
Kau harus
tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin peristiwa murid sesat seperti si
Warangas itu terulang kembali. Hal semacam itu membuat rohku kelak tidak akan
tenteram di alam barzah…”
“Nasihat
Eyang akan saya ingat baik-baik…” kata Riku Pulungan pula.
“Aku
dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain…”
“Benar
sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga tahun.
Harapan saya sangat besar padanya…”
“Jika
dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu senjata baru dan
kuserahkan padamu,
apakah
kelak senjata itu akan kau berikan pada muridmu bernama Adimesa itu?”
“Saya
tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi Eyang nasihatkan,
saya harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung dan membuat kesalahan
sampai dua kali.”
Eyang
Guru anggukkan kepalanya. “Kau boleh pergi. Datanglah kemari satu tahun lagi.
Siapa
tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku bisa menciptakan satu senjata
yang bermanfaat bagi dunia persilatan di tanah Jawa ini…”
“Saya
mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk meninggalkan
tempat ini.” Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa lalu berdiri. Setelah
membungkuk dalamdalam dia segera tinggalkan tempat itu. Hatinya terasa lega.
Satu tahun tidak terlalu lama.
Sementara
menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang bernama Adimesa
itu.
********************
BAB 10
Kita
kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dan
ditolong oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan Pendekar Kipas
Pelangi. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di atas sebuah gundukan batu.
Pendekar Kipas Pelangi memulai penuturan riwayat dirinya.
CUACA
pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih kebiruan. Angin
segar bertiup sepoi sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar riak arus
kali kecil, salah satu anak sungai Bengawan Solo yang mengalir dan menyuburi
desa Kaliurang.
Di satu
jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak lelaki duduk dia
atas dua ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan enam tahun. Tubuh mereka
walau kecil tapi tegap dan pipi mereka kelihatan merah segar pertanda keduanya
memiliki badan yang sehat.
Sambil
menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak tawa
ceria.
“Kakak
Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari batang padi
untukku. Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang padi?”
“Adikku,”
jawab anak satunya. “Membuat puput bisa kita lakukan kemudian. Kita harus
melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini perlu dimandikan. Kau lihat
sendiri, badan mereka sangat kotor,
tubuh
mereka mulai bau…”
“Tapi
kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak mampir
saja dulu di sawah.
Jadi
tidak pulang balik…”
Anak
bernama Adisaka tersenyum. “Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku senang punya
adik cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi pkiran nakal. Perintah
orang tua tidak boleh diabaikan dengan alasan apapun. Jadi kita tetap harus
memandikan kerbau-kerbau ini sesuai perintah ayah. Nah, sekarang kau mau
memilih mana. Ikut jalan pikiranmu atau taat perintah orang tua…”
Si adik
tertawa lebar. “Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang punya
kakak sebaikmu.”
Adisaka
ikut tertawa lebar. “Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah tinggi. Makin
cepat kita memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa ke sawah mencari
batang padi untuk puput…”
“Baik
Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita sama-sama
menyanyikan lagu Kami Anak Desa. Kau mau?” Adisaka mengangguk. Lalu dua anak
kakak adik itu mulai menyanyi di atas punggung kerbau masing-masing.
Kaliurang
desa tercinta
Terletak
di kaki Gunung Merapi
Di sana
kami dilahirkan
Alamnya
indah penduduknya ramah
Kami anak
desa
Bangun
pagi sudah biasa
Hawa
dingin tidak terasa
Kerja di
sawah membuat sehat
Kerja di
ladang membuat kuat
Kami anak
desa
Rajin
membantu orang tua
Menolong
Ibu di rumah
Membantu
Ayah di sawah
Kami anak
desa
Tidak
lupa sembahyang mengaji
Rendah
hati dan tinggi budi
Selalu
unjukkan jiwa satria.
Dua kakak
adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya mencapai satu pertigaan
jalan. Di hadapan mereka kini terbentang daerah persawahan. Untuk menuju kali
kecil tempat mereka biasa memandikan jerbau, keduanya harus membelok ke kiri.
Belum selang berapa alam Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan
tiba-tiba ada suara menggemuruh keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau
hentikan lari melenguh keras ketakutan. Adimesa pegangi leher kerbaunya
kuat-kuat. Dengan muka pucat dia memandang pada kakaknya. “Kak, kau dengar
suara aneh di dalam tanah itu?”
“Aku
dengar…”
”Apa yang
terjadi?”
Adisaka
memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah timur.
“Agaknya
mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan sinarnya
yang terik…”
Tanah
kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari yang
tadi.
“Kak, aku
ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang dirantai
mengamuk mau melepaskan diri…” kata Adimesa.
“Aku
mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda meringkik, gaduh suara
ayam, kambing dan ternak lainnya…” Adisaka juga mulai ketakutan.
“Kita
pulang saja Kak,” kata adiknya.
“Ya, mari
kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa…”
Baru saja
Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan sinar terang
disertai suara menggemuruh seperti ada satu ledakan berangkai di dalam perut
bumi. Dua kakak beradik ini samasama memalingkan kepala ke utara dimana
menjulang Gunung Merapi.
“Kakak!
Lihat!” Adimesa berteriak. “Ada api menyembur dari puncak gunung!”
“Gunung
itu meletus! Gunung Merapi meletus!” teriak Adisaka.
Saat itu
udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi pemandangan. Udara mulai
panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur cahaya merah menggidikkan lalu ada
cairan membara mengucur ke luar dan cepat sekali menebar ke berbagai penjuru,
menuju lereng dan seterusnya ke kaki gunung.
“Kak,
kerbau-kerbau kita lari!” bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua kerbau yang
tadi hendak dimandikan berlari ketakutan meninggalkan tempat itu. “Aku akan
mengejar!”
“Jangan!”
mencegah si kakak. “Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan memintas
kembali ke Kaliurang!”
Dua kakak
beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan. Keduanya mengalami
kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga suara gemuruh dahsyat yang
menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh terhenyak berulang kali.
“Kak, aku
takut!” Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.
Adisaka
cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat aman. Namun saat
itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang adalah semburan-semburan
sinar dan bendabenda aneh dari mulut gunung. Adisaka berlaku cerdik. Dia
membawa adiknya lari menjauhi cahaya terang itu. Akan tetapi dua anak ini tak
sempat lari jauh karena semburan benda-benda panas membara yang jatuh di rimba
belantara menyebabkan kebakaran hebat luar biasa.
“Api
dimana-mana…” ujar Adisaka. “Kita lari ke sungai. Harus ke sungai…”
Kembali
Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.
Namun dua
buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah belakang muncul
suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang keluar dari mulut gunung
Merapi. Dua anak kecil itu terkurung tak mungkin lari, tak mungkin
menyelamatkan diri. Mereka tinggal menunggu mana yang lebih cepat. Dilahap api
kebakaran atau digulung lumpur menyala!
“Kak…!
Aku takut! Aku kepanasan…!” ratap Adimesa. “Kita … kita mau lari kemana?”
Saat itu
mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa panas memanggang.
Walau
takut setengah mati tapi anak ini masih bisa berucap. “Adimesa, jangan takut!
Pasti ada yang menolong kita! Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil Tuhan!”
Lalu dua
anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak. “Ayah!
Ibu!
Tuhan! Tolong kami!”
Suara
teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak pohon-pohon yang
terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh gemuruh ledakan gunung yang
menggoncang bumi. Dua tubuh kecil ini tak sanggup bertahan. Adimesa jatuh lebih
dulu. Satu patahan batang pohon yang dikobari nyala api entah dari mana
datangnya tiba-tiba melayang turun ke arah sosok si kecil Adimesa yang
tergeletak di tanah. Melihat hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di atas tubuh
adiknya untuk melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam
menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam benaknya
adalah ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan mengalami bahaya
yang bakal merenggut jiwanya.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. Dari kobaran api
di samping kiri melesat seekor kuda besar berwarna putih. Bersamaan dengan itu
serangkum angin dahsyat menderu membelah udara. Batang kayu besar menyala yang
hendak menimpa tubuh Adisaka dan Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih,
penunggangya seorang nenek berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan
dengan satu gerakan cepat luar biasa menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia
menggebrak tali kekang kudanya maka bersama tunggangannya itu dia menghambur
lenyap dari tempat itu.
Hanya
sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari jurusan yang
hampir bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya ternyata seorang kakek
berjubah putih. Kobaran api dan tebaran debu menghalangi pemandangannya.
“Jangan-jangan
aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan anak itu lebih
dulu…”
Penunggang
kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan tubuhnya seolah terpanggang oleh
kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari kaki kudanya hampir menginjak
sosok kecil Adimesa yang tergeletak menelungkup di tanah. Binatang ini
meringkik keras dan hentak-hentakkan kaki depannya sebelah kanan. Si kakek
cepat meneliti ke bawah. Dalam keadaan begitu rupa untuk pertama kali dia
melihat tubuh Adimesa. Tanpa tunggu lebih lama kakek ini segera membungkuk
menyambar tubuh itu lalu secepat kilat menghilang dari tempat tersebut.
********************
BAB 11
DUA PULUH
tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek berkuda hitam, di satu
tikungan sungai yang arus airnya menderu keras, seorang pemuda berpakaian biru
melompat dari satu potongan bambu ke potongan bambu lainnya yang bertebaran di
atas permukaan air. Ada tujuh potongan bambu dan satu sama lain saling diikat
dengan seutas tali. Di tangan kiri dia memegang setangkai daun kering berbentuk
kipas. Sambil melompat daun kering di tangannya dipukulkan kian kemari.
Ternyata angin yang keluar dari kipas daun ini sanggup membuat luruh daun-daun
pepohonan rendah di tepi sungai!
Dari apa
yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua jenis ilmu silat.
Pertama ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang ilmu meringankan tubuhnya
tanggung-tanggung saja pasti tidak akan mampu melompat di atas bambu-bambu yang
berada di permukaan air sungai berarus deras dan selalu begerak kian kemari.
Lalu ilmu kedua yang tengah dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu
mempergunakan senjata aneh dari daun kering berbentuk kipas tadi dijadikan
sebagai senjata pengganti.
Hampir
seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya dia tidak akan
berhenti kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu bahwa Ki Riku Pulungan
memanggilnya. Si pemuda hentikan latihannya. Sambil melayang dia menyambar
salah satu potongan bambu lalu menyeretnya naik ke daratan. Setelah menggulung
tujuh potong bambu itu dengan tali pengikat dan meletakkannya di bawah sebatang
pohon besar si pemuda merapikan pakaian dan rambutnya lalu cepat-cepat melangkah
ke sebuah pondok terletak di satu tanah ketinggian.
Di dalam
pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang tua ini memberi
isyarat agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak seperti biasanya, kali ini si
pemuda merasa ada debaran aneh di dadanya. Agaknya ada sesuatu hal penting yang
hendak dikatakan orang tua itu padanya.
“Adimesa
muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan tahun. Sambil
menduga-duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan dirimu boleh meninggalkan
pondok ini.
Muridku,
ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di sini. Besok pagi-pagi
sekali, selesai kau melakukakn sembahyang Subuh, kau boleh meninggalkan tempat
ini. Kemana kau akan pergi, apa yang akan kau lakukan terserah padamu. Namun
selalu ingat, setiap langkah yang kau jalani, setiap perbuatan yang kau
lakukan, bahkan setiap ucapan yang kau keluarkan hendaklah selalu mengingat
kepada Dia Yang Maha Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena hanya dengan
selalu mengingat Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala perbuatan
yang tidak baik dan terlindung dari marabahaya…”
“Semua
ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik…” jawab pemuda bernama Adimesa itu.
Dalam
hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun menunggu akhirnya dia
diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di balik kegembiraan itu ada rasa
sedih. Belasan tahun dia bersama Ki Riku Pulungan, menerima segala budi
kebaikan, bukan cuma ilmu kesaktian dan ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan.
Hingga dia tahu jalan lurus yang harus ditempuhnya demi keselamatan dunia
akhirat.
“Sebagai
bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata padamu. Senjata ini
tidak aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun kau
harus mengembalikannya padaku di pondok ini. Apakah kelak senjata ini akan
kuserahkan padamu lagi atau tidak, belum dapat kuputuskan sekarang…”
Kembali
Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang akan diberikan
gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu silat
dengan memakai senjata. Yang paling sering dilatihnya adalah ilmu silat aneh
mempergunakan daun kering berbentuk kipas sebagai senjata.
Dari
balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang ketika
dikembangkan dan diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah sebuah kipas
lipat memiliki tujuh buah jalur lipatan dan masing-masing jalur berlainan
warna.
“Mungkin
selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu melatih diri
mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku sudah merencanakan
bahwa kelak
senjatamu
adalah benda sederhana ini. Sederhana bentuknya tapi kehebatannya tidak di
bawah keris, pedang ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas Pelangi, dibuat oleh
guruku Kiai Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas juga, bernama Kipas
Pemusnah Raga. Ini adalah satu senjata dahsyat yang bisa membunuh orang semudah
kau membalikkan telapak tangan. Karena itu harap kau jaga baikbaik dan hanya
dipergunakan untuk menghancurkan angkara murka, atau dalam keadaan terdesak menghadapi
musuh yang tak bisa dibuat sadar dengan kata-kata dan nasihat. Ambillah kipas
itu Adimesa…”
Si pemuda
susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk sampai tiga kali baru
dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi astaga! Bagaimanapun
dicobanya mengambil, kipas itu tak sanggup diangkatnya dari atas tikar di
hadapannya.
Dalam
kejutnya si pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini tenang saja.
Adimesa kembali coba mengambil kipas itu. Tetap tidak terangkat. Dia kerahkan
seluruh tenaga luar. Masih tidak bisa.
Kini
dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya jangankan
kipas sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih bisa diangkat.
Alangkah
terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat memercik di keningnya dan
dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia tidak mampu mengangkat kipas itu.
Ketika
dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai! Adimesa cepat duduk bersila.
Pakaiannya yang tadi memang sudah basah oleh keringat sewaktu berlatih di sungai
kini menjadi tambah basah. “Guru, maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang
terjadi. Saya tidak bisa mengangkat kipas itu.”
Ki Riku
Pulungan tersenyum. “Muridku, agaknya ada satu hal yang mengganjal di lubuk
hatimu. Hingga kipas itu merasa kurang tenteram untuk kau sentuh…”
“Saya…
saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa…” jawab Adimesa.
“Coba kau
ingat-ingat. Pasti ada sesuatu…” kata sang giuru pula masih tersenyum.
“Tenangkan
dulu hatimu baru mulai berpikir.”
Si pemuda
mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati, mengatur nafas dan jalan
darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia akhirnya berkata.
“Maafkan
saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya sewaktu tadi guru
mengatakan bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama tiga tahun. Bukan diberikan
untuk selama-selamanya…”
Senyum
menyeruak lagi di mulut sang guru. “Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau
kecewa?” tanya orang tua itu.
“Mungkin…
Mungkin dua-duanya…” kata Adimesa mengakui.
“Itu penyebab
kau tidak bisa mengangkat kipas,” ujar Ki Riku Pulungan. “Kipas itu walau benda
mati tapi tetap saja mempunyai perasaan. Jika kau merasa sedih atau kecewa maka
kipas ini akan merasa tidak
tenteram
berada di tanganmu. Itu sebabnya dia tidak mau diangkat, tidak mau ikut
bersamamu. Kecuali jika kau menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru
itu. Kau sekali-kali tidak boleh berkecil hati karena kipas itu hanya
kupinjamkan. Padahal itu cuma satu ujian bagimu. Dapat tidak kau memiliki
senjata ini untuk selama-lamanya tergantung pada dirimu sendiri. Bagaimana kau
menjaganya, bagaimana kau mempergunakannya…”
“Guru,
kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya.” Adimesa susun sepuluh jari di
atas kepala lalu membungkuk dan berucap. “Kipas Pelangi, maafkan diriku. Aku
mengaku bersalah karena memiliki hati yang tidak lurus terhadapmu. Aku berjanji
akan menjagamu baik-baik, mempergunakanmu secara baikbaik dan dengan ikhlas
akan mengembalikanmu pada guruku Ki Riku Pulungan di masa tiga tahun
mendatang.”
“Sekarang
coba kau ambil kipas itu,” kata Ki Riku Pulungan pula.
Walau
agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa ulurkan
tangannya.
Begitu
jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk menjalar memasuki
tubuhnya. Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih ringan dari
kipas daun yang selama ini dibuatnya untuk latihan!
Adimesa
mencium kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya di atas pangkuan.
Ki Riku
Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu Adimesa seraya berkata. “Aku harapkan
di masa tiga tahun mendatang, Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan dirimu…”
“Terima
kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya banyak membuat
kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati guru. Hanya sebelum
pergi saya ingin menanyakan lagi, ingin meminta kejelasan mengenai diri saya…”
Ki Riku
Pulungan usap jangut pendeknya. “Seperti yang pernah kuceritakan padamu, aku
tidak dapat mencari tahu siapa adanya kedua orang tuamu. Aku hanya bisa menduga
kau berasal dari sebuah desa di kaki selatan Gunung Merapi. Mungkin sekali desa
Kaliurang. Aku pernah menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa itu telah
lenyap, berubah menjadi hutan jati.
Mungkin
kau perlu menyelidik sendiri…”
Adimesa
terdiam sejenak. “Guru, seperti pernah saya katakan pada guru, saya ingat
sekali kalau saya punya seorang kakak laki-laki bernama Adisaka. Waktu bencana
gunung Merapi meletus itu saya ada bersamanya. Saat itu kami dalam perjalanan
ke sungai hendak memandikan kerbau…”
“Muridku,
waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa pasti
ingatanmu tidak keliru?”
“Saya
merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu Merapi
meletus. Kami berdua terkurung api…”
Ki Riku
Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada peristiwa sekitar
delapan belas tahun silam. “Terus terang dalam rimba persilatan tersiar kabar
tentang diri kalian dua bersaudara.
Dikabarkan,
salah satu dari kalian memiliki susunan tubuh luar biasa sempurna, yang tidak
dimiliki kebanyakan anak-anak lainnya. Karena itu diam-diam banyak orang pandai
yang mengincar salah satu dari kalian, ingin mengambil menjadikan murid. Hanya
saja saat itu kabarnya agak sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara
kalian berdua benar-benar
memiliki
susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri tanpa diketahui lain orang sudah
mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki kesempurnaan itu.”
“Di
antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang menginginkan dirimu
adalah aku sendiri dan seorang nenek sakti yang kurang baik perangainya dikenal
dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Selama
beberapa waktu aku mengintai semua perilaku kalian berdua, kebiasaan kalian.
Dimana kalian bermain dan apa saja yang kalian lakukan. Agaknya hal ini bukan
cuma aku yang melakukan tapi juga dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai
pada satu hari memutuskan untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga
memilih hari yang sama. Kami tahu hari itu kau dan saudaramu akan memandikan
kerbau di kali. Tapi tidak terduga terjadi bencana. Gunung Merapi meletus. Aku
dan si nenek berebut cepat berusaha mencarimu Ketika berada di dalam rimba
belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur menyala, kau kutemukan
tertelungkup di tanah dalam keadaan pingsan…”
“Hanya saya
sendiri?”
“Hanya
kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana…”
“Aneh,”
kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya bersama
kakak Adisaka.
Dia
berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk selamatkan diri!
Mungkin
kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu…”
“Tidak
dapat kupastikan…”
“Mungkin
saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya siapa tahu saya
bisa mendapat keterangan tentang kakak saya…”
“Manusia
itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal dunia
sekitar lima tahun lalu…”
“Mungkin
akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung badan
saya akan mencarinya sampai kemanapun.”
Ki Riku
Pulungan mengangguk. “Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau lakukan, muridku.
Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar lagi saatnya untuk
menunaikan sholat Lohor.”
Adimesa
mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk memberi hormat
pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian belakang pondok.
SETELAH
mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu, Wiro coba
mengingat-ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di Negeri
Latanahsilam, berarti satu tahun sebelum itulah dia bertemu dengan orang tua
bernama Riku Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum sendiri ketika dia ingat
bagaimana dia mengatakan pada kakek itu sebagai seorang pemulung karena sewaktu
ditemui dia tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas. Dia kembali tersenyum begitu
ingat bahwa Kipas Pemusnah Raga itu pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar
Matahari sewaktu terjadi perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias
Dipasingara alias Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.
Melihat
Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.
Dalam
hati dia membatin. “Pendekar ini benar-benar aneh. Aku bercerita panjang lebar.
Dia hanya tersenyum-senyum…” Akhirnya pemuda ini berdiri dari batu yang
didudukinya. “Sahabat Pendekar 212, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi
tiba, aku harus berada di satu tempat… Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar
ihwal kakakku Adisaka agar memberi tahu aku…”
“Akan aku
lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?” tanya Wiro.
“Kau
benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan kalau tidak
membuat janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu tempat. Kau boleh
memilih tempat dan waktunya…’
“Kau saja
yang menentukan…” ujar Wiro.
“Baiklah,”
Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau kita bertemu di
tempat ini lagi lima purnama dari sekarang?”
“Setuju!”
kata Wiro.
“Aku
pergi sekarang. Selamat tinggal…”
“Tunggu
dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan
kawasan ini adalah kawasan Pangandaran…”
“Kau tak
usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau tanyakan?”
Wiro
menggaruk kepala. “Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih sekali
lagi atas pertolonganmu menyelamatkan diriku…”
“Lupakan
hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban bagimu…”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku Pulungan sewaktu mereka
bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun yang silam. Kelak jika dia
berumur panjang dia akan melihat kembali Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur
berantakan itu dalam bentuk lain.
Ternyata
ucapan itu memang terbukti. Murid si kakek yang bernama Adimesa muncul membawa
Kipas Pelangi.
Tak lama
setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai terang-terang tanah. “Aku
akan menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku berada di teluk Penanjung, pasti
aku bisa menemukan jurang itu. Aku harus yakin, sosoknya samar-samar kulihat
itu benar-benar Pangeran Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke dalam
jurang. Apa mungkin dia masih hidup? Atau rohnya yang tadi kulihat?”
********************
BAB 12
Sejak
pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di pinggiran jurang
batu karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya menghadapi kesunyian, tak ada
yang bergerak, tak ada satu makhluk hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar dari
batu karang di jurang itu telah diselimuti lumut.
“Tak ada
maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari kuhantam jatuh ke
dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun dia tidak mati sampai di
dasar jurang, tidak masuk akal kalau dia bisa merayap naik selamatkan diri.
Makhluk yang kulihat tadi, mungkin rohnya. Atau mungkin hanya bayangan alam
pikiranku saja…” Wiro memandang kelangit. Sang surya mendekati titik
tertingginya.
Saat itu
baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri.
Tanpa
setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak belukar serta
terhalang oleh gundukan batu karang yang menonjol, sejak petama dia berada di
sana, sejak saat itu pula sepasang mata berbola mata pipih aneh
memperhatikannya hampir tidak berkesip. Inilah sepasang mata makhluk berkepala
singa yang dikenal dengan nama Singo Abang. Sesekali dia berpaling ke dalam goa
memperhatikan sosok berpakaian hitam yang masih tergeletak pingsan di lantai
batu.
“Pangeran
Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan memaksa dia memberi
keterangan.
Aku sudah
cukup lama menunggu…” Makhluk berkepala singa memandang ke arah tepi jurang di
atas sana.
“Kalau
saja Momok Dempet celaka itu tidak muncul aku pasti sudah dapatkan Kapak Naga
Geni 212 miliknya. Apa yang dilakukan Pendekar 212, hampir setengah harian
duduk di tepi jurang. Menyelidik?”
Di
belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.
Dilihatnya
tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah
memperhatikan sejenak dia lalu membentak.
“Pangeran
Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!”
Sosok
Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya rambut
awut-awutan Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu tubuh Pangeran
Miring terangkat langsung didorongnya ke dinding goa. “Kau dalam keadaan
terluka parah di sebelah dalam. Kalau aku tidak mengobati umurmu paling lama
hanya tinggal tiga hari…” Dua mata Pangeran Miring terbuka sedikit, lalu
mengatup kembali. “Kau bunuh aku sekarangpun aku tidak takut!”
“Pangeran
jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati! Apa kau masih belum
mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Wasiat Malaikat?
Salah satu dari kitab sakti itu pasti ada padamu. Dimana kau sembunyikan?!”
Pangeran
Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian. “Kau inginkan dua
kitab itu?
Ambillah!”
dari balik pakaian hitamnya. Pangeran Miring keluarkan setumpuk
lembaran-lembaran daun kering disusun demikian rupa seperti sebuah kitab. Di
sebelah depan kitab itu tertera tulisan “Kitab Wasiat Iblis”. Di sebelah
belakang ada tulisan berbunyi “Kitab Wasiat Malaikat”. Di sebelah dalam kitab
daun itu tak ada sepotong tulisanpun.
“Jahanam
kurang ajar!” Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab daun itu
dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari daun-daun itu hancur
bertaburan sebagian lagi menancap di dinding karang yang keras!
Pangeran
Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu Singo Abang membenturkan
kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas Pangeran Miring melosoh ke lantai
goa, kembali pingsan tak sadarkan diri.
Singo
Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro Sableng
tak kelihatan lagi di tempatnya semula.
Malam itu
pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang biasanya sering berdebur
keras dan memecah di pantai kini hanya muncul sekali-sekali. Di langit bulan
setengah lingkaran memancarkan cahayanya yang sejuk sementara bintang-bintang
bertaburan berkelap-kelip menambah indahnya pemandangan.
Di sebuah
tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat bayangan berkelebat.
Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat dipercaya karena mereka ternyata
adalah empat orang gadis cantik berpakaian hitam sangat ketat hingga
lekuk-lekuk tubuh mereka kelihatan dengan nyata. Dalam waku singkat mereka
sudah sampai di ujung tanjung. Seperti memang sengaja menunggu di tempat itu,
tampak berdiri seorang perempuan tinggi semampai, mengenakan pakaian berlapis manik-manik
hingga berkilauan di bawah sapuan cahaya rembulan setengah lingkaran. Angin
laut meniup belahan tinggi di kedua sisi pakaian hingga tersibak sampai ke
pinggul, menyembulkan aurat yang putih mulus.
Perempuan
bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke tengah laut lepas,
membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.
Walaupun
tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi penghormatan.
Salah seorang di antara mereka berkata.
“Ratu,
kami datang membawa kabar.”
“Kalian
berhasil menemui orang itu?” bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia masih
saja tegak membelakangi memandang ke laut.
“Kami
melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan…”
“Seorang
diri?”
“Betul.
Dia hanya sendirian.”
“Apa yang
dilakukannya di sana?”
“Tak jauh
dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi kesana, memeriksa
kuburan satu persatu. Ketika kami pergi dia masih berada di sana. Dua orang
teman kami masih ada di sekitar situ, berjaga-jaga mengawasi orang itu.”
Perempuan
bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk memberi
penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar biasa
cantiknya. Bola matanya
berwarna
biru. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna merah.
Di tangan kanan dia memegang gagang sebuah cermin bulat yang didekapkan ke
dada. Setelah pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke
wajahnya. Bukan untuk memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di kejauhan.
“Aku
melihat Candi Pawan…” gadis bermahkota yang dipanggil dengan sebutan Ratu
berkata perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di depannya. “Aku melihat
dua kawan kalian mendekam di balik satu pohon besar. Aku tidak melihat gadis
itu… Tunggu dulu. Ada sesuatu bergerak dekat kuburan paling ujung. Bidadari
Angin Timur. Hemm…. Memang dia… Gadis itu masih berada di pekuburan. Kalian
boleh kembali. Bawa cermin sakti ini. Aku akan segera menuju Candi Pawan…”
“Ratu,
kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu…”
“Tidak
usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana.” Gadis bermata biru serahkan
cermin bulat pada salah seorang gadis.
“Ratu,
cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan…”
“Tidak
usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi sekarang.”
“Ratu,
kami tidak berani melawan perintahmu,” gadis di samping kiri berkata. “Tapi
kami benar-benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di luaran tanpa cermin
itu.”
Gadis
yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.
“Mungkin
kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian boleh
tinggalkan tempat ini.”
Empat
gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu berlari cepat ke
ujung tanjung.
Satu
persatu mereka mencebur masuk ke dalam laut!
Siapakah
adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang barusan masuk lenyap
ke dalam laut? Dalam rimba persilatan tanah Jawa gadis bermata biru itu dikenal
sebagai Ratu Duyung. Seorang gadis sakti mandraguna yang bisa hidup di dua alam
yakni laut dan daratan. Empat gadis tadi adalah anak buah atau pengawalnya.
(Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat
Iblis” terdiri dari 8 Episode).
Setelah
empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak segera tinggalkan
tempat itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung semua hasil penyelidikan
yang dilakukan anak buahnya.
Lalu
dalam hati dia membatin.
“Bidadari
Angin Timur… Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di beberapa
tempat. Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar 212
Wiro Sableng lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di kawasan
selatan. Agaknya dia mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga jangan-jangan
dirinya ada sangkut paut dengan lenyapnya Wiro. Kini bukan mustahil
kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang didatangi orang. Kuburan
yang diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa gadis itu berada di sana,
malam-malam begini dia sengaja mendahului rencana pertemuan yang sudah ditetapkan…”
Ratu
Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di sebelah samping kiri.
Lalu sekali berkelabat sosoknya pun lenyap dari tempat itu.
Candi
Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan. Dalam waktu tidak
berapa lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan candi itu. Di balik dinding
candi sebelah timur dia keluarkan suara seperti kicau burung. Dua orang gadis
yang mendekam di balik pohon besar saling berbisik. “Ratu telah datang…”
Sekali
lagi terdengar suara kicau burung. “Ratu memberi tanda. Kita boleh pergi dari
sini…” Dua gadis di balik pohon tanpa suara dan tersamar oleh kegelapan malam
segera tinggalkan tempat sejak tadi mereka bersembunyi.
Dari
balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan. Seorang gadis
berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan kuburan-kuburan tua
yang hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun memiliki nisan. Gadis ini
memiliki rambut berwarna pirang yang melambai-lambai ditiup angin malam. Tubuh,
pakaian dan rambutnya menebar bau harum mewangi. Sambil berjalan pikirannya
diputar dan hatinya membatin.
“Tidak
ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal, tidak
mungkin dimakamkan di tempat ini.”
Selagi
berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis menangkap suara
kicau burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan pepohonan yang ada di
sekitar reruntuhan Candi Pawan.
“Aneh…
Ada suara burung di malam hari.” Membatin gadis di tengah kuburan. “Aku menaruh
firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm… Aku yakin dia bukan bangsa
penjahat… Biar kupancing dia keluar dari tempat persembunyiannya!”
Dengan
tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua. Di hadapan sebuah
kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Braakkk!”
Tanah
kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.
“Braaaakkkk!”
Kuburan
tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis
berbaju biru ini membentak.
“Orang di
dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau ingin
kukubur hidup-hidup!”
Si gadis
menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.
“Kau
memang minta mati!” Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan kanannya
diangkat ke atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu pukulan dahsyat.
Tetap saja tak ada yang muncul. “Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak
termakan pancinganku!”
Baru saja
si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan terdengar suara tawa
berderai.
Lalu
muncul sesosok tubuh berpakaian bermanik-manik,melangkah tenang mendatangi
gadis berambut pirang.
Gadis
cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya ketika melihat siapa
yang muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia menegur, orang itu telah
menyapa lebih dulu.
“Sahabatku
Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah kuburan, di kawasan
terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau perbuat?”
Bidadari
Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung pipit di
pipinya kiri kanan.
“Ratu
Duyung!” seru Bidadari Angin Timur. “Aku juga punya pertanyaan yang sama.
Gerangan
apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu, mendatangi kuburan.
Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut. Apakah tidak ada tempat yang
lebih indah dari pekuburan ini hingga kau sampai tersesat kemari?”
Walau
maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum. “Kita mempunyai
kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara? Bukankah hari pertemuan
untuk membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya tinggal beberapa hari di muka.
Tapi agaknya kau telah bertindak mendahului kesepakatan…”
“Jangan
kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai menyalahi aturan.
Termasuk dirimu…” kata Bidaari Angin Timur pula.
“Tidak
ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan orang yang sama.
Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan rahasia lenyapnya pendekar
itu?”
“Usulanmu
baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi aturan…”
“Sahabatku
Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa untungnya
mengungkit-ungkit masa lalu?”
“Sahabatku
Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu. Baiklah, aku tidak mau
bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan dirimu dan kita bertemu lagi
beberapa hari di muka dengan para sahabat lainnya, sesuai perjanjian.”
Tidak
menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.
Ratu
Duyung menghela nafas dalam. “Kukira hatinya benar-benar polos terhadapku.
Agaknya
dia masih menyimpan ganjalan…” Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung
melirik ke arah kuburan yang jebol akibat injakan kaki Bidadari Angin Timur
tadi. Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini
membentuk lobang itu dilihatnya bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya
sedikit. Memperhatikan tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari
dalam kuburan. Ratu Duyung terpekik keras. Nyawanya seperti terbang dan
tubuhnya laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke belakang!
T A M A T
No comments:
Post a Comment