Tiga Makam Setan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
BAB 1
Malam
hari di satu pekuburan dekat Candi Pawan.
Bidadari
Angin Timur sesaat masih menatap wajah cantik gadis bermata biru di hadapannya.
Setelah itu tanpa bicara dan menunggu lebih lama dia segera berlalu, membuat
rasa tidak enak dalam hati orang yang ditinggalkan.
Ratu
Duyung menghela nafas dalam. “Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya
benarbenar polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…”
Ratu
Duyung menghela nafas dalam. “Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya
benarbenar polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan…”
Sambil
berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke lubang yang terkuak akibat
dijebol kaki Bidadari Angin Timur.
Bola mata
biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk lobang itu
dilihatnya bergerak-gerak, seolah ada sesuatu yang hidup di bawah permukaannya.
Ratu Duyung mengerenyit, bungkukkan badan sedikit. Memperhatikan lebih tajam,
tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam makam. Ratu
Duyung terpekik keras. Nyawanya serasa terbang dan tubuhnya laksana didorong
sampai tiga langkah ke belakang.
Tangan
yang mencuat dari dalam kubur itu adalah sebuah tangan kiri. Keluar makin
panjang, bergerak naik ke atas. Lalu muncul menyeruak sebuah bahu. Bahu ini
bergerak pula ke atas, tangan yang menjulur mengapai-gapai. Tanah kuburan
mumbul naik ke atas, terbelah menguak. Bersaman dengan itu satu sosok entah
masih bernama manusia entah setan melesat keluar dibarengi suara jeritan
dahsyat!
Ratu
Duyung terpekik, tersurut hampir jatuh duduk di tanah. Dua bola matanya
terpentang lebar. Walau diketahui dia adalah seorang gadis sakti berkepandaian
tinggi, namun menyaksikan apa yang ada di hadapannya, tengkuknya terasa dingin.
Sekujur tubuhnya dijalari rasa takut luar biasa. Tangan kanannya serta merta
bergerak ke pinggang, memegang gagang cermin sakti. Bersikap waspada terhadap
makhluk aneh mengerikan di atas lubang kuburan.
Di
hadapan Ratu Duyung saat itu tegak satu makhluk berujud nenek luar biasa
menyeramkan. Dia mengenakan sehelai jubah hijau yang tak pantas lagi disebut
pakaian karena tersingkap robek di sana-sini. Selain itu tubuhnya mulai dari
rambut sampai ke kaki tertutup tanah kuburan. Kulit muka, dada dan perutnya
yang tidak tertutup tanah memutih mengelupas. Hidungnya hanya merupakan satu
gerumpungan besar. Lalu mata kanannya hanya berbentuk satu rongga lebar,
sebagian tersumpal tanah kuburan.
Makhluk
ini tidak memiliki tangan kanan alias buntung. Tetapi di keningnya menempel
satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tanan kanannya sendiri!
Ratu
Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa sebenarnya yang ada di depannya saat
itu. Jika manusia, mengapa keadannya seperti itu. Kalau setan apa perlunya
mendekam di dalam makam lalu unjukkan diri!
Makhluk
yang dua kakinya masih berada sebatas betis di dalam tanah kuburan itu gerakkan
tangan kiri untuk membuang tumpukan tanah yang menutupi mata kirinya. Mata yang
cuma satu itu lalu bergerak liar jelalatan. Sepertinya dia masih belum melihat
atau belum menyadari kalau ada Ratu Duyung tegak dalam gelap, beberapa langkah
di hadapannya.
Tiba-tiba
makhluk ini menyembur. Membuat Ratu Duyung kembali tersentak kaget dan tekap
mulutnya menahan pekik. Rupanya ada tanah yang menyumpal dalam mulut mahkluk di
atas kuburan.
“Malam
hari … Gelap… Aku berada di mana…?” mahkluk nenek menyeramkan keluarkan suara.
Ratu
Duyung merasa nafasnya seolah terhenti. “Astaga, setan ini ternyata bisa
bicara… Dia mengucapkan sesuatu. Tidak tahu berada di mana. Aneh…” kata Ratu
Duyung tercekat dalam hati.
Tangan
kiri mahkluk seram bergerak sekali lagi memebersihkan tanah yang menutupi
wajahnya. Semakin tersingkap muka itu, semakin menggidikkan kelihatan gerumpung
hidung dan bolongan mata kananya. Lalu dari mulutnya kembali terdengar suara.
“Kekasihku… di mana kau…?”
Ratu
Duyung melengak dalam kejutnya.
“Kekasihku?”
Ratu Duyung berucap dalam hati, ada rasa heran di bawah tindihan rasa takutnya.
“Dia mencari kekasihnya?! Setan apa ini? Tangan kanan di atas kening. Aku… Di
kubur ini tadi Bidadari Angin Timur kulihat melakukan sesuatu. Apa dia punya
ilmu memelihara setan hendak mencelakai diriku? Aku…”
Tiba-tiba
untuk pertama kalinya mata kiri mahkluk mengerikan itu membentur sosok Ratu Duyung.
Mata itu memancarkan kilatan menggidikkan.
“Kau
siapa?!” satu bentakan menyembur dari mulut si nenek muka setan.
“Kau yang
siapa?!” Entah bagaimana dalam takutnya Ratu Duyung malah bisa balas
menghardik.
“Eh?!”
Mahkluk yang dihardik sesaat terdiam. Tapi matanya makin berkilat menyoroti
Ratu Duyung. Perlahan-lahan dia keluarkan dua kakinya yang masih menancap di
dalam tanah kuburan. Ratu Duyung mengawasi gerakan orang tanpa berkedip. Bukan
mustahil makhluk ini tiba-tiba melompatinya, mencekiknya atau menggigit leher
dan menghisap darahnya!
Berdiri
di tepi kuburan si makhluk seram diam tak bergerak, kembali pandangi Ratu
Duyung.
“Matamu
sama biru, wajahmu sama cantik. Tapi kau bukan Peri Angsa Putih…”
“Siapa Peri
Angsa Putih?!” Ratu Duyung beranikan diri bertanya.
“Kau
tidak tahu siapa Peri Angsa Putih… ini adalah aneh. Berarti saat ini aku…” Si
nenek muka setan palingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Matanya yang cuma
satu berputar angker lalu menatap ke arah Ratu Duyung.
“Kau
sendiri tidak mau memberitahu siapa dirimu. Jangan kira aku tak bisa memaksa.
Tapi saat ini aku ingin tahu satu hal! Lekas katakan diamana aku berada?!”
“Kau
lihat sendiri, kau berada di kawasan pekuburan. Kau barusan keluar dari dalam
makam itu!” Ratu Duyung menjawab.
“Walau
mataku cuma satu tapi aku tidak buta!” bentak makhluk di pinggir kubur. “Aku
tahu aku berada di pekuburan. Malam hari… Tapi… Katamu aku barusan keluar dari
dalam kubur? Hah?! Apa yang terjadi?! Apa aku sudah mati? Kalau sudah mati
mengapa bisa hidup lagi?!” Mata kiri si nenek menatap garang.
“Kau
jangan menipuku!” membentak si nenek setan.
“Memangnya
aku menipu apa?!” sahut Ratu Duyung seraya perlahan-lahan bangkit berdiri. Lalu
dia berucap. “Kau yang menipuku dengan ujud anehmu! Kau ini manusia atau setan
kuburan atau roh yang tidak diterima alam gaib?!”
Si nenek
keluarkan suara menggembor. Dia hendak mendamprat, tapi mendadak ingat
seseorang.
“Kekasihku…
Dimana kau…” Si nenek kembali memandang berkeliling dengan matanya yang cuma
satu. “Tak ada siapa-siapa di tempat ini selain dirimu… Kalau aku masih berada
di…”
“Kekasihku?”
membatin Ratu Duyung. “Setan bangkai tua ini punya kekasih? Aku harus cepat
mengetahui siapa dirinya”.
“Makhluk
aneh, tangan di atas kening! Terangkan siapa kau adanya? Setan atau roh yang
kesasar atau memang masih bisa kusebut menusia?!”
“Perduli
setan semua pertanyaanmu. Aku juga tak kenal dirimu. Aku tidak pernah melihatmu
sebelumnya. Aku tadi bertanya. Kau tidak menjawab. Jika kau tidak mau memberitahu
berarti kau minta celaka!” Si nenek maju satu langkah.
“Makhluk
salah kaprah! Jika kau setan atau roh sesat harap kembali ke alammu. Tapi jika
kau memang manusia adanya jangan berani mengancam diriku. Segera tinggalkan
tempat ini!”
“Kau
tidak mau mengancam tapi bicara mengancam! Hik… hik… hik! Walau kau cantik tapi
lama-lama aku muak juga melihatmu. Coba kau layani dulu sentilan jariku ini!”
Begitu ucapannya berakhir si nenek sentilkan jari telunjuk tangan kirinya.
“Wuttt!”
Selarik
sinar hitam menderu ke arah Ratu Duyung.
Untungnya
sejak tadi sang Ratu telah berlaku waspada. Begitu sinar hitam berkelebat
disertai deru keras, tangan kananya yang telah menggenggam gagang cermin bulat
bergerak. Cermin sakti itu sengaja tidak dikeluarkannya dari balik pakaian,
hanya diputar menghadap ke arah datangnya serangan sinar hitam.
“Wussss!”
Serangkum
cahaya putih berkiblat. Pekuburan itu sesaat menjadi terang benderang. Lalu
menggelegar satu letusan keras begitu cahaya putih yang keluar dari cermin
sakti beradu dengan sinar hitam sentilan si nenek setan.
Ratu
Duyung terjajar surut sampai tiga langkah. Cermin bulatnya bergetar hebat.
Tangannya yang menggenggam gagang cermin terasa panas. Dadanya seperti ditindih
sesuatu. Cepat dia atur jalan darah dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan.
Di depan
sana makhluk berujud nenek menyeramkan terpental, keluarkan jeritan keras lalu
terhenyak jatuh di atas sebuah kubur, mematahkan papan nisannya yang sudah
rapuh. Sekali lagi si nenek menjerit lalu tubuhnya melompat. Di lain saat dia
sudah berdiri lagi hanya tujuh langkah dari hadapan Ratu Duyung. Jubah hijaunya
mengepulkan asap, hangus di beberapa bagian! Mata kiri si nenek laksana
dikobari api, memandang menggidikkan ke arah Ratu Duyung.
Ratu
Duyung sendiri saat itu sempat tertegun heran. “Luar biasa. Orang lain
bagaimanapun tingkat kesaktiannya pasti akan cidera dihantam cahaya putih
cermin saktiku. Makhluk ini hanya hangus pakaiannya. Tadi aku hanya mengerahkan
sepertiga tenaga dalam dan hawa sakti. Mungkin aku harus melipat gandakan
kekuatan….”
“Matamu
sama biru dengan mata Peri Angsa Putih… Cahaya putih ilmu kesaktianmu sama
hebatnya dengan pukulan sakti Peri Angsa Putih. Apa hubunganmu dengan Peri
itu?!”
“Aku
tidak kenal dengan makhluk yang kau sebutkan itu!” jawab Ratu Duyung. Penuh
waspada dia lipat gandakan tenaga dalam dan alirkan ke tangan kanan yang
memegang gagang cermin bulat sakti.
“Kalau
begitu siapa kau sebenarnya?!”
“Nenek
setan! Kau yang harus menerangkan siapa dirimu adanya!” bentak Ratu Duyung. Kau
pasti peliharaan atau kaki tangan Bidadari Angin Timur yang hendak mencelakai
diriku!”
“Bidadari
Angin Timur?” Mata kiri si nenek berputar. “Kau menyebut nama yang aku tidak
kenal….”
“Kalau
begitu lekas terangkan siapa dirimu! Atau aku akan merubah dirimu menjadi
jerangkong hitam hangus!” Ratu Duyung sudah salurkan hampir setengah tenaga
dalamnya ke tangan kanan yang memegang cermin.
“Mata
biru, keberanianmu menantangku luar biasa! Aku sudah puluhan kali menghadapi
kematian! Jangan kira aku takut menghadapi dirimu! Sayang, saat ini aku lebih
mementingkan mencari kekasihku. Kalau tidak, akupun sanggup membuat wajahmu
yang cantik menjadi tengkorak tak berguna, tubuhmu yang bagus menjadi tulang
belulang memutih! Kekasihmu akan meratap sampai sejuta sehari! Hik… hik… hik!”
“Aku
tidak punya kekasih!” Entah bagaimana ucapan itu tiba-tiba saja meluncur dari
mulut Ratu Duyung.
“Kau
tidak punya kekasih? Sungguh aneh? Di dunia mana aku sebenarnya saat ini
berada? Makhluk apa kau sebenarnya? Aku tua bangka dan buruk menyeramkan saja
masih punya kekasih! Tapi kau yang cantik jelita, muda remaja dengan tubuh
bagus menggairahkan mengaku tidak punya kekasih! Hik… hik… hik! Sungguh aneh!”
“Tutup
mulutmu!” bentak Ratu Duyung yang menjadi jengkel pada diri sendiri karena
ketelepasan bicara tadi. Dia melangkah mendekati.
Melihat
gerakan orang, si nenek cepat bangkit berdiri.
“Mata
biru, aku akan mencari kekasihku. Jika tidak bertemu aku akan mencarimu
kembali! Jika kau tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, akan kucabut
putus lidahmu! Hik… hik… hik!” Lalu tanpa acuh lagi si nenek putar tubuhnya.
Ketika sosoknya membelakangi Ratu Duyung siap hendak menghantam. Tapi dia tidak
mau berlaku pengecut. Menyerang orang dari belakang.
“Aku
harus menghalangi jangan sampai dia pergi! Aku harus tahu siapa dia adanya!”
Saat berucap dalam hati itulah tak sengaja sepasang mata Ratu Duyung yang tajam
melihat satu benda aneh di balik daun telinga kanan si nenek. Di belakang daun
telinga itu ada satu benda merah, menyerupai daging tumbuh sebesar ujung jari
kelingking. Namun Ratu Duyung tidak bisa berpikir lebih lama. Si nenek sudah
siap berkelebat pergi.
“Tunggu!
Jangan kau berani meninggalkan tempat ini sebelum memberi keterangan!” bentak
Ratu Duyung. Lalu dia berkelebat ke hadapan si nenek. Menghadang jalan.
“Mata
biru! Kau minta kematian di usia muda!”
Ratu
Duyung mendengus. Si nenek menyeringai. Tanpa perdulikan si gadis dia teruskan
gerakannya melangkah.
Melihat
si nenek begerak hendak meninggalkan tempat itu Ratu Duyung cepat gerakkan
tangannya yang memegang gagang cermin sakti.
Untuk
kedua kalinya kawasan pekuburan itu terang benderan oleh cahaya putih.
“Wussss!”
“Braaaakkkk…
byaaarrr!”
Makam di
mana si nenek tadi berada hancur berantakan. Tanah kuburan dan isinya termasuk
tulang belulang penghuni yang sudah terkubur belasan tahun berhamburan mental
ke udara! Tapi si nenek sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Yang
terlihat kini hanya kubur menganga, merupakan satu lobang besar akibat hantaman
cahaya puttih yang menyembur dari cermin sakti sang Ratu.
Tak jauh
dari tempat itu. Di atas sebuah pohon, berdiri di salah satu cabang,
tersembunyi di balik kegelapan, sosok nenek berhidung gerumpung, memandang
dengan matanya yang cuma satu ke arah Ratu Duyung.
“Kesaktian
gadis itu sungguh luar biasa. Terlambat saja tadi aku menyingkir, pasti dia
benar-benar membuat diriku menjadi jerangkong hangus!”
*******************
BAB 2
Di dalam
goa di lamping jurang karang, makhluk tinggi besar berkepala singa merah
melangkah mundar mandir. Sesekali dia berpaling, memandang geram ke arah sosok
yang terkapar di lantai goa.
“Pangeran
jahanam! Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang tidak ada padanya. Tapi Kitab
Wasiat Iblis pasti disembuyikan di satu tempat. Dua hari dua malam di pingsan.
Kalau dia siuman dan masih tidak mau memberitahu dimana beradanya kitab itu,
kurasa percuma membuang waktu. Enam ratus hari aku menunggu, aku tidak mau
menghadapi kesia-siaan. Lebih baik kuputuskan menamatkan riwayatnya saja. Kalau
tidak dihabisi sekarang-sekarang mungkin menjadi racun malapetaka di kemudian
hari…”
Di pintu
goa makhluk kepala singa bernama Jolo Pengging dan dalam rimba persilatan Tanah
Jawa belakangan ini dikenal dengan julukan Singo Abang memandang ke seantero
pinggiran jurang. Dari tenpatnya berada dia bisa melihat kawasan atas jurang
dengan jelas. Sebaliknya seseorang yang berada di pinggiran jurang sebelah atas
sana sulit untuk melihatnya karena selain goa iu berada dalam satu cekungan
dinding karang, juga tersembunyi di balik semak belukar lebat.
Singo
Abang ingat kejadian tiga hari sebelumnya. “Rimba persilatan Tanah Jawa semakin
kacau. Banyak bermunculan tokoh-tokoh baru… Sepasang Momok Dempet Berkaki Kuda…
Kemunculan mereka pasti ada sangkut pautnya dengan kitab-kitab sakti itu. Kalua
aku sampai keduluan…” Singo Abang mengeram jika ingat bagaimana tiga hari lalu
dia dibuat babak belur oleh Momok Dempet waktu terjadi perkelahian di pinggir
jurang sana. (Baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa”). “Tiga
hari lalu aku juga melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tepi jurang. Memandang
ke bawah sini seperti menyelidik. Apakah telah terjadi satu bentrokan antara
murid Sinto Gendeng itu dengan Momok Dempet? Kalau Wiro Sableng masih sempat
mendekam di pinggir jurang, berarti dia berhasil mempecundangi dua manusia
galah jahanam itu. Dua tahun pendekar itu melenyapkan diri. Apa yang
dilakukannya? Menambah ilmu kesaktian? Aku benar-benar harus bertindak cepat.
Kalau tidak aku hanya akan menghisap jempol butut seumur-umur. Karena Pendekar
212 pasti juga mencari Kitab Wasiat Malaikat itu….”
Singo
Abang kembali memperhatikan sosok yang tergelimpang di lantai goa. Hatinya
lagi-lagi merutuk. “Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai dia
siuman!”
Singo
Abang meludah lalu arahkan lagi pandangannya ke arah atas jurang. Saat itu di
belakangnya, tanpa diketahui, salah satu mata orang yang tergeletak di lantai
goa perlahan-lahan terbuka, menatap ke arah punggung Singo Abang lalu seringai
setan mengejek menyeruak di mukanya yang pencong. Dalam hati dia berkata.
“Singo Abang, kau menunggu kesempatan. Aku Pangeran Matahari yang selalu kau
panggil dengan sebutan Pangeran Miring juga mengintai kesempatan. Siapa lengah
akan mengalami kekalahan. Itu Kelak akan menjadi bagianmu karena pikiran dan
hatimu dilanda kekalutan sedang aku tidak! Aku Pangeran Matahari! Siapa bisa
mengalahkan aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik,
Segala Congkak!” Ketika Singo Abang membalikkan badannya, orang ini cepat
pejamkan matanya kembali. Namun seringai masih membayang di wajahnya. Justru
hal ini sempat terlihat oleh Singo Abang.
“Pangeran
Miring, murid keparat!” bentak Singo Abang gusar. “Aku tahu kau menipuku! Aku
tahu kau sebenarnya sudah siuman! Mari kita buktikan!” Rambut merah yang
menutupi wajah dan kepala sampai ke tengkuk mengembang berjingkrak.
Kaki
kanan makhluk tinggi besar itu bergerak ke arah punggung orang yang tergeletak
di hadapannya.
“Bukkk!”
Sosok
Pangeran Miring terpental dan brukkk! Menghantam dinding karang. Sosok ini
menggeliat beberapa kali lalu terdengar keluhan. Singo Abang jambak rambut
gondrong sang Pangeran lalu hempaskan tubuhnya ke dinding hingga terhenyak
duduk dengan wajah mengerenyit menahan sakit.
“Kau
boleh meneruskan kepura-puraanmu kalau ingin segera mampus!”
“Guru….”
Ucapan
Pangeran Miring terputus karena kaki kanan Singo Abang tiba-tiba sekali sudah
menempel dan menekan batang lehernya.
“Umurmu
hanya tinggal satu gerakan saja! Jika kau tetap tidak mau membuka mulut,
memberitahu dimana kau sembunyikan dua benda yang kutanyakan, sekali injakan
saja tulang lehermu akan patah! Nyawamu amblas!”
“Gu… guru…
Apa yang ingin kau tanyakan…?”
“Jangan
berpura-pura tidak tahu!”
“Guru,
kalau kau menanyakan tentang Kitab Wasiat Malaikat, aku bersumpah aku tidak
memilikinya. Juga tidak tahu dimana beradanya…”
“Bagaimana
dengan Kitab Wasiat Iblis? Aku tahu! Semua orang di rimba persilatan tahu kitab
itu ada padamu!”
“Kalau
kau memang keliwat memaksa, aku… Aku bersedia mengalah…”
“Apa
maksudmu dengan ucapan itu?!” tanya Singo Abang dengan mata mendelik.
“Aku… aku
sadar kalau aku punya hutang budi dan nyawa padamu. Kalau tidak kau yang
menolong diriku, dua tahun lalu aku sudah menjadi bangkai di dasar jurang ini
akibat hantaman musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng…” (Baca serial Wiro
Sableng berjudul “Kiamat Di Pangandaran”).
“Jika kau
memang merasa berhutang budi dan nyawa, apa lagi aku sudah memberi ilmu
kesaktian padamu. Lalau apa balasamu terhadapku?!”
“Maafkan
aku guru, aku akan memeberitahu padamu mengenai Kitab Wasiat Iblis itu…”
Kerenyit
di kening Singo Abang lenyap. Rambut di kepalanya yang merah berjingkrak
perlahan-lahan bergerak turun. Namun sepasang matanya tetap berkilat mencorong
menatap sang murid. Mulutnya beucap. “Aku gembira mendengar kata-katamu. Tetapi
jangan kau berani menipu!”
“Kalau
murid terbukti menipu, nyawaku jadi imbalannya,” kata Pengeran Miring pula.
Perlahan-lahan
Singo Abang tarik kaki kanannya yang dipakai menginjak leher orang. Sang
Pangeran menarik nafas lega.
“Tunggu
apa lagi! Lekas katakan dimana kitab yang kau sebutkan itu! Aku sudah memeriksa
dirimu dan goa itu. Kitab itu tidak aku temukan…”
“Kitab
Wasiat Iblis memang tidak ada di goa ini, guru. Aku menyembunyikannya di satu
tempat…”
“Dimana?!”
tanya Singo Abang menyentak tidak sabaran.
“Sebelum
pecah pertempuran hebat para tokoh di Pangandaran dua tahun silam, kitab itu
aku sembunyikan di pinggir jurang karang. Di satu lorong sempit. Di bawah
sebuah batu besar. Kubungkus dengan daun kayu besi hingga tahan terhadap air
dan panas…”
“Kalau
begitu, sekarang juga kita keluar dari goa. Naik ke atas jurang! Kau harus
segera tunjukkan dan ambil kitab itu…”
“Aku
menurut perintah guru. Tapi keadaanku lemah sekali. Mana mungkin aku bisa naik
ke atas jurang sana…”
Singo
Abang dekati Pangeran Miring. Lalu letakkan tangannya kiri kanan di atas bahu
pemuda itu sambil alirkan hawa sakti. Sesaat kemudian dia membuat beberapa
totokan di bagian tubuh Pangeran Miring untuk memperlancar aliran darah.
“Bagaimana
perasaanmu sekarang?” tanya Singo Abang.
“Rasa
berat dan pening di kepala hilang. Tubuhku terasa enteng. Ada satu kekuatan
baru dalam diriku…” jawab Pangeran Miring. Tapi dalam hati dia berkata.
“Makhluk tolol! Rasakan! Kau kena tipuanku! Kini aku memiliki kekuatan berlipat
ganda!”
“Kalau
begitu kau sudah siap. Ikuti aku! Kita segera naik ke atas jurang!”
Singo
Abang keluar dari dalam goa. Pangeran Miring mengikuti. Dengan ilmu kepandaian
tinggi yang mereka miliki tidak sulit bagi keduanya untuk naik ke atas jurang
yang sangat terjal itu. Sampai di atas sana, di pinggiran jurang Pangeran
Miring memandang berkeliling. Di kejauhan terdengar suara deburan ombak
sementara angin dari arah laut bertiup cukup kencang.
Singo
Abang kembali tidak sabaran. “Dimana Pangeran? Di bagian mana tepi jurang kitab
itu kau senbunyikan?!”
Pangeran
Miring menunjuk ke arah barat jurang. Di situ tumbuh satu pohon besar. Tak jauh
dari pohon ada sederetan batu-batu karang menonjol runcing. Pangeran Miring
menunjuk ke arah batu-batu karang itu. Tanpa tunggu lebih lama Singo Abang
mendahului lari ke tempat yang ditunjuk. Begitu Pangeran Miring sampi dia
segera berkata.
“Aku
tidak melihat lorong. Tidak melihat batu besar yang kau katakan!”
“Dari
tempatmu berdiri tentu saja tidak kelihatan,” jawab Pangeran Miring. “Letaknya
di sebelah bawah sana. Ikuti aku….”
Pangeran
Miring lalu melangkah ke kanan, menyusuri tepi jurang. Di satu tempat dia
hentikan langkah dan memberi isyarat pada gurunya seraya menunjuk ke depan.
Singo Abang mendekat dan memandang ke arah yang ditunjuk. Dia memang melihat
satu lorong sempit antara dua batu karang berbentuk tonggak besar. Lorong itu
merupakan satu celah sempit sepemasukan tubuh orang berukuran sedang. Sosok
sebesar Singo Abang sulit untuk memasuki celah. Di ujung celah terlihat jelas
sebuah batu berwarna kelabu kehitaman.
“Guru,
harap kau menunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam celah…”
“Kau
tunjukkan saja tempat pastinya kitab itu kau tanam. Aku akan mengambilnya…”
“Guru,
celah itu sempit. Tubuhmu terlalu besar untuk bisa melewatinya…”
“Kalau
begitu biar aku hantam dengan pukulan sakti agar celah mmebesar…”
“Jangan
lakukan hal itu…” kata Pangeran Miring.
“Mengapa?
Kau tak suka aku yang mengambil kitab itu? Kau…’
“Bukan
begitu Guru! Kau lihat sendiri. Bagian tanah di sekitar sini agak kering, tidak
mempunyai kedudukan keras. Jika dihantam dengan pukulan, celah batu bisa saja
terbuka tapi dudukan tanah akan bergeser. Aku kawatir terjadi longsor. Kita
berdua bisa celaka…”
Singo
Abang pencongkan mulutnya. “Baik, kau saja yang pergi mengambil. Begitu kitab
berada di tanganmu lekas kau serahkan padaku!”
“Jangan
kawatir guru. Aku akan memberikan kitab yang kau minta itu sebagai balas budi
dan hutang nyawaku padamu!” kata Pangeran Miring pula. Dia membuat gerakan
seperti hendak memasuki celah batu karang. Tapi sesaat dia hentikan langkah dan
berpaling berputar.
“Ada apa?”
tanya Singo Abang merasa heran.
“Guru,
sebelum aku memasuki celah, apa boleh aku memperlihatkan padamu jurus pukulan
sakti yang pernah kau ajarkan padaku. Yakni Dua Singa Berebut Matahari.”
“Gila!
Dalam keadaan seperti ini kau hendak melakukan hal itu? Apa maksudmu?!” Singo
Abang menjadi curiga.
Pangeran
Miring dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang membuat Singo Abang menjadi
tidak enak dan juga curiga. Saat itu dia berada sangat dekat dengan tepi jurang
sementara muridnya berdiri di bagian ketinggian beberapa langkah di hadapannya.
“Hentikan
tawamu!” teriak Singo Abang marah.
Pangeran
Miring hentikan tawanya. Lalu mulutnya berucap. “Singo Abang, kau mengajarkan
jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari padaku! Sekarang pukulan itu akan aku
kembalikan padamu!”
“Kurang
ajar! Kau hendak berbuat apa?!” Untuk pertama kalinya Singo Abang menyadari
kedudukannya yang berbahaya di tepi jurang. Kalau dia diserang, walau sanggup
menangkis tapi dua kakinya tak boleh bergeser terlalu jauh ke belakang.
Dua lutut
Pangeran Miring menekuk. Tubuhnya mengkerut ke bawah. Tiba-tiba didahului satu
bentakan garang tubuhnya yang merunduk melesat ke depan. Dua tangannya yang
membentuk kepalan berubah menjadi lebih besar, membeset ke arah dada dan perut
Singo Abang! Yang dilancarkan Pangeran Matahari ternyata bukan jurus pukulan
Dua Singa Berebut Matahari!
Walau
ternyata serangan itu hanya tipuan belaka namun Singo Abang mengetahui
kehebatannya. Dia cepat bergerak.
“Jahanam!
Kau menipuku! Kau berani menyerangku!” teriak makhluk kepala singa itu marah
sekali sampai rambut merahnya berjingkrak kaku. Sambil maju satu langkah untuk
menghindari dua kakinya bergeser ke tepi jurang bertanah rapuh dia pukulkan dua
tangannya menangkis. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
“Wuuttt…
wuuut!”
Tangkisan
Singo Abang hanya mengenai tempat kosong.
Pangeran
Miring tertawa bergelak. Saat itu tubuhnya tiba-tiba menukik ke bawah. Dua
tangannya kembali menghantam. Kali ini Singo Abang tak bisa lagi menangkis atau
menghindar karena saat itu tubuhnya masih dalam keadaan terdorong ke depan
akbiat tadi menangkis di udara kosong!
“Bukkk!
Bukkk!”
Suara
dahsyat seperti auman singa menggelegar dari mulut Singo Abang bersama semburan
darah. Tubuhnya yang tinggi besar bergoncang keras. Dia kerahkan seluruh daya
agar tidak terdorong ke belakang. Tapi tanah rapuh yang dipijaknya bergetar
keras lalu longsor. Tak ampun lagi sosok Singo Abang terjungkal ke belakang
lalu jatuh masuk ke dalam jurang batu karang! Jeritan maut makhluk berkepala
singa ini tenggelam tertindih suara tawa bekakakan Pangeran Miring alias
Pangeran Matahari!
Mendadak
tawa sang Pangeran lenyap seperti direnggut setan. Dari mulutnya keluar seruan
kaget tertahan. Dari dalam jurang dimana barusan Singo Abang terpental jatuh,
melesat tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, hitam, dan merah.
“Pukulan
Gerhana Matahari!” teriak Pangeran Miring kaget luar biasa. Lalu dia cepat
melompat ke belakang. Di depannya pinggiran jurang karang yang terkena hantaman
tiga sinar hancur berantakan lalu bergemuruh longsor ke bawah. “Gila! Kalau
memang Singo Abang yang melancarkan pukulan itu, bagaimana dia bisa
mendapatkannya!” membatin Pangeran Miring dengan wajah berubah. “Berarti selama
di dalam goa, diam-diam dia telah mempelajari. Dia mencuri ilmu itu dariku!
Tapi bagaimana mungkin?! Edan! Bisa saja dia menenung diriku. Sekarang biar dia
tahu rasa! Saat ini tubuhnya pasti sudah remuk hancur di dasar jurang!”
*******************
BAB 3
Suara
kecimpung air diseling gelak tawa segar membuat Pangeran Matahari hentikan
larinya. Dia memandang ke arah datangnya suara itu.
“Suara
tawa perempuan…” kata sang Pangeran dalam hati. “Ratusan hari aku tidak pernah
mendengar suara tawa perempuan. Ratusan hari aku tidak pernah melihat wajah dan
sosok perempuan, apalagi menyentuhnya…” Sekujur tubuh Pangeran Matahari
tiba-tiba menjadi kencang. Darahnya mengalir lebih cepat dan hawa panas
merayapi badannya mulai dari ubunubun sampai ke kaki. Di mulutnya menyungging
seringai penuh arti. Tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat ke arah
datangnya suara kecimpung air dan gelak tawa tadi.
Di balik
satu pohon besar, di belakang rerumpunan semak belukar lebat, Pangeran Matahari
mendekam tak bergerak, matanya membesar tak berkeseip. Di depan sana, di leguk
tanah yang agak menurun, tiga orang gadis tengah bersenda gurau di dalam sebuah
telaga kecil berair jernih dan sejuk. Ketiganya berwajah lumayan cantik. Mereka
hanya mengenakan kain yang dikemben demikian rupa. Pangeran Matahari menelan
ludah melihat punggung, bahu bagian atas serta dada yang putih tersingkap. Tiga
gadis itu tinggal di satu desa tak jauh dari situ. Mereka memang sering datang
pagi hari ke telaga untuk mencuci. Selesai mencuci mereka mandi membersihkan
diri sambil bersenda gurau.
Karena
mengira di tempat itu hanya mereka bertiga saja, para gadis di dalam telaga
bergurau sampai-sampai melewati batas. Salah seorang dari mereka dengan jahil
menarik lepas kemben kawannya hingga tubuh gadis ini tersingkap polos sampai ke
pusar. Dua kawannya tertawa bergelak sementara si gadis yang dijahili kelabakan
menggapai kain panjangnya. Melihat hal ini Pangeran Matahari tidak tahan lagi.
Sekali melompat saja dia sudah berada di tepi telaga, tegak di atas sebuah batu
besar.
“Sahabatku,
tiga gadis cantik! Apa aku boleh ikut mandi dan bersenda gurau dengan kalian?”
Tiga
gadis di dalam telaga tentu saja tersentak kaget. Yang tadi lepas kain
panjangnya terpekik keras, untung dia sudah berhasil menangkap ujung kainnya
dan cepat-cepat menutupi auratnya yang tersingkap. Tiga gadis itu serentak
saling mendekat, memandang ke arah orang di atas batu penuh rasa kejut dan juga
takut.
“Rumini,”
bisik gadis di ujung kanan. “Kau kenal siapa orang di atas batu itu?”
Rumini,
gadis di atas batu gelengkan kepala. Kawan di sebelahnya berkata. “Baru sekali
ini aku melihatnya. Agaknya dia tidak tinggal di sekitar desa kita…”
“Kalian
tidak menjawab! Berarti aku boleh ikut mandi bersama! Ha… ha… ha…!”
Tanpa
menunggu lebih lama Pangeran Matahari langsung ceburkan diri masuk ke dalam
telaga.
Tiga
gadis menjerit, cepar-cepat jauhkan diri. Salah seorang dari mereka yang
bernama Sumirah berteriak.
“Pemuda
lancang! Siapa kau! Lekas pergi dari sini!”
“Betul!
Kalau kami beritahu pada Kepala Desa. Kau pasti akan dihajar habis-habisan!”
ikut berteriak gadis ketiga bernama Ramilah.
Pengeran
Matahari mendongak lalu tertawa.
“Aku
biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari! Kalian bertiga harus merasa
beruntung karena aku yang Pangeran sudi mandi di telaga bersama kalian!”
“Pangeran?
Kau seorang Pangeran! Huh!” mendengus Rumini.
“Pangeran
tak tahu diuntung!’ menyemprot Sumirah. “Berkaca dulu ke air telaga! Lihat
tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!”
“Berani
mengaku Pangeran!” menyambungi Ramilah, “Pangeran mana ada yang buruk
sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu
pasti miring mengaku seorang Pangeran!”
Di dalam
air, Pangeran Matahari melengak kaget. Tampangnya mengelam. Seumur hidup baru
kali ini dia menerima hinaan seperti itu. Dia mengusap wajahnya. Rahangnya
menggembung.
“Gadis
kurang ajar! Kau berani menghina diriku! Kau korbanku yang pertama!” teriak
Pangeran Matahari. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ramilah,
langsung merangkul gadis ini penuh amarah tapi juga penuh nafsu.
“Pemuda
kurang ajar! Lepaskan! Lepaskan!” teriak Ramilah. Dua kakinya melejanglejang
dan tangannya dipukulkan ke punggung sang Pangeran ketika Pangeran Matahari
memanggul tubuhnya. Dua temannya coba menolong. Sambil menyeringai Pangeran
Matahari berkata. “Kalian tunggu di sini. Pada saatnya satu-satu kalian akan
mendapat giliran!”
Tangan
kiri Pangeran Matahari bergerak cepat dua kali berturut-turut. Saat itu juga
Rumini dan Sumirah tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Yang
bisa dilakukan dua gadis ini hanya mengikuti dengan pandangan mata ngeri, apa
yang kemudian dilakukan Pangeran Matahari dan apa yag selanjutnya terjadi atas
diri kawan mereka.
Sambil
tertawa bergelak Pangeran Matahari memanggul tubuh Ramilah ke tepi telaga. Di
satu tempat yang rata gadis itu dilemparkannya ke tanah. Sambil menahan sakit
Ramilah berusaha bangkit melarikan diri tapi sosok sang Pangeran lebih cepat
datang menindihnya. Di dalam telaga Sumirah dan Rumini pejamkan mata tak kuasa
menyaksikan kekejian yang dilakukan Pangeran Matahari terhadap kawan mereka.
Lebih gneri lagi membayangkan bahwa kekejian itu pasti segera pula akan terjadi
atas diri mereka.
Puas
melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Ramilah, Pangeran Matahari masuk kembali
ke dalam telaga. Dia mendekati Rumini. Melepaskan totokan yang membuat kaku
serta gagu si gadis. Begitu totokan terlepas Rumini langsung menjerit dan
meronta-ronta coba lepaskan diri.
“Jangan!
Jangan kau lakukan itu padaku! Lepaskan! Bunuh! Lebih baik aku kau bunuh saja!”
Pangeran
Matahari cuma menyeringai. Sambil tepuk-tepuk tubuh gadis di atas panggulannya
dia berkata. “Kau ingin mati? Kau ingin aku bunuh? Jangan kawatir! Pangeran
Matahari akan memenuhi permintaanmu. Aku akan membunuhmu dalam cara yang paling
nikmat! Ha… ha… ha… ha!”
Di tepi
telaga, tak jauh dari sosok Ramilah yang tergeletak pingsan, Pangeran Matahari
lemparkan tubuh Rumini ke tanah hingga terjengkang terlentang. Belum sempat
gadis ini berusaha melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, Pangeran bejat
itu telah menindih tubuhnya. Rumini menjerit panjang. Menjerit dan menjerit.
Satu saat jeritannya terhenti. Lalu terdengar satu pekik keras. Setelah itu
terdengar suara tangis si gadis menyayat hati.
“Gadis
tolol! Kau harus berterima kasih aku tidak membunuhmu!” kata Pangeran Matahari.
Sambil menyeringai dia putar tubuhnya, memandang ke arah telaga. Korban ke tiga
segera menyusul.
Sumirah
menatap dengan mendelik dan wajah pucat pasi ketika Pangeran Matahari melangkah
di dalam telaga mendekatinya. Dia ingin menjerit tapi mulutnya terkancing kaku.
Begitu Pangeran Matahari melepas totokan di tubuhnya gadis ini langsung
meratap.
“Tidak…
jangan… jangan lakukan…”
“Kau
paling cantik di antara kawan-kawanmu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu…”
“Demi
Tuhan jangan…. Aku… aku anak Surobendana. Ayahku orang berada. Kalau kau mau
melepaskan diriku, aku berjanji akan memintakan apa saja untukmu. Tanah, sawah,
ladang, sapi…”
Pangeran
Matahari tertawa dan usap kepala Sumirah. “Karena kau gadis baik dan ayahmu
orang berada, aku Pangeran Matahari akan memperlakukanmu dengan baik pula!”
Lalu sebelum mencapai pinggiran telaga, pemuda terkutuk itu turunkan tubuh
Sumirah di atas batu rata. Di tempat ini secara keji dia mengulangi apa yang
telah dilakukannya terhadap dua gadis sebelumnya yakni Rumini dan Ramilah.
Tanpa
diketahui Pangeran Matahari, seseorang yang sejak tadi mendekam di atas cabang
satu pohon besar berdaun lebat tak jauh dari tepi telaga, menyeringai
geleng-gelengkan kepala.
“Luar
biasa kejam dan kejinya! Apa manusia itu benar seorang pangeran? Pangeran
Matahari… Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kalau tidak keliru dia
dikabarkan telah menemui ajal dua tahun silam di Pangandaran. Apa mungkin
rohnya bisa gentayangan atau orang lain yang mengaku-aku sebagai Pangeran
Matahari? Jika dia memang manusia hidup benaran kurasa aku perlu bersahabat
dengannya. Mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk keuntungan diriku. Hemmm…”
Orang di
atas pohon memandang lagi ke arah batu di tengah telaga. Dia tersentak kaget.
Ternyata Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu.
“Luar
biasa cepat gerakannya. Aku harus mengikuti kemana perginya!”
Orang di
atas pohon tidak segera melompat turun ke bawah tetapi dia melesat ke beberapa
pohon lain di sekitar situ, baru turun ke tanah untuk mengejar Pangeran
Matahari.
*******************
BAB 4
Hari
masih sangat pagi. Kegelapan masih membungkus di mana-mana. Abdi Dalem Keraton
bernama Samadikun tergopoh-gopoh menuju bagian belakang Keraton. Pada setiap
orang yang dipapasinya dia bertanya.
“Dimana
Sagito? Cari lekas pemuda itu!”
Salah
seorang yang ditanyai balik bertanya. “Ki Samadikun, ada apa, pagi-pagi begini
sudah kalang kabut?”
“Perkara
besar! Celaka kita semua! Mana Sagito? Bantu aku mecari pemuda itu! Lekas!”
Sagito
adalah salah seorang juru timba sumur yang terletak di bagian belakang Keraton.
Suasana
ribut-ribut itu membuat berdatangan beberapa pengawal yang tengah bertugas.
Mereka juga ikit bertanya-tanya pada Samadikun.
“Air di
tempat Sri Baginda bersiram…” jawab Samadikun. Terputus sesaat baru dia
menyambung. “Air di tempat Sri Baginda bersiram bau pesing!”
“Bau
pesing?” banyak mulut berucap berbarengan.
“Bau
kencing! Sri Baginda marah besar karena sudah sempat menyiram tubuhnya pagi ini
dengan air itu! Celaka kita semua!”
Para pengawal
segera menebar. Tak lama kemudian pemuda bernama Sagito, hanya mengenakan
celana hitam komprang, sambil mengucak-ngucak mata digiring ke hadapan sang
Abdi Dalem.
“Sagito!”
Samadikun menegur dengan bentakan.
“Dalem…”
jawab Sagito sambil rapatkan dua tangan ke bawah dan membungkuk.
“Air
mandi Sri Baginda. Kau yang selalu menimba dan menyalurkan ke tempat bersiram
Sri Baginda lewat talang besar. Dari sumur mana kau timba air itu?”
Sagito
merasa heran atas pertanyaan tidak terduga itu. Dia sesaat jadi ternganga, tak
segera menjawab dan kembali mengucak mata.
“Sagito!
Jangan membuat aku tidak sabar dan menampar mulutmu! Lekas jawab! Dari sumur
mana kau timba air untuk Sri Baginda bersiram?”
“Tentu
saja dari sumur biasa, Ki Samadikun! Sumur besar yang di sebelah sana…” Lalu
dengan jari jempol tangan kanannya sambil membungkuk Sagito menunjuk ke arah
sumur besar di bagian belakang Keraton.
“Apa kau
tidak tahu kalau air sumur itu bau pesing bau kencing?!” bentak Samadikun.
Terkejut
Sagito. Muka tololnya berubah. Kembali dia tercengang melongo. “Sa… saya tidak
memperhatikan. Tapi mustahil air sumur itu bau pesing. Selama ini saya selalu
menimba, mengambil air bersiram Sri Baginda dari sumur itu…”
“Jangan
bicara selama ini! Kau satu-satunya orang kepercayaan untuk mengurus air
bersiram Raja. Jika terjadi apa-apa kau harus bertanggung jawab!”
Makin
kecut Sagito mendengar kata-kata Abdi Dalem itu. Saking takutnya mukanya tambah
pucat dan tak mampu berkata apa-apa karena memang tidak masuk akalnya bagaimana
air mandi sang Raja bisa bau pesing.
“Ki
Sama…” Sagito akhirnya membuka mulut. “Mungkin sumber bau itu bukan dari air
sumur. Mungkin datang dari sumber lain…”
“Kau bisa
berkata begitu untuk membela diri. Mari kita sama-sama meyelidik ke sumur!”
Abdi Dalem Samadikun memegang tangan si pemuda di bawah bahu sebelah kanan lalu
setengah menyeret membawa Sagito ke arah sumur. Beberapa Abdi Dalem dan para
pengawal mengikuti. Saat itu hari masih gelap. Walau sumur besar itu tidak
seberapa dalam karena sumber airnya memang bagus dan dangkal, namun kegelapan
menutupi pemandangan hingga orang tidak dapat melihat dengan jelas bagian dalam
sumur.
Sesaat
setelah semua orang berdiri di seputar pinggiran sumur, mereka saling pandang
satu sama lain. Dari dalam sumur memang tercium bau yang tidak enak. Bau pesing
alias bau kencing. Abdi Dalem Samadikun pencongkan hidungnya, kerenyitkan
kening.
“Aku
mencium bau sesuatu! Untuk memastikan aku minta semua mengendus. Lalu katakan
bau apa yang kalian cium!”
Lucu
juga. Semua orang yang ada di seputar pinggiran sumur sama-sama mengangkat
hidung masing-masing, ada yang sambil termonyong-monyong lalu mengendus.
“Bau apa
yang kalian cium?” tanya Samadikun.
“Memang
ada bau pesing di dalam sumur ini, Ki!” kata seorang pengawal. Beberapa lainnya
mengangguk.
“Sagito?”
Sang Abdi Dalem menegur sambil memandang pada pemuda tukang timba.
“Mung…
mungkin bau kencing Ki…”
“Mungkin
bagaimana?! Semua orang mencium ada bau kencing di dalam sumur ini! Kau masih
bisa mengatakan mungkin! Waktu kau menimba air untuk bersiram Sri Baginda dini
hari tadi, apa kau tidak mencium bau itu?”
“Maafkan
saya Ki. Saya tidak tahu karena saya sedang kejangkitan selesma. Hidung saya
mampet ketutupan ingus. Saya tidak bisa membaui apa-apa…”
“Sialan
kau!” Samadikun jadi memaki. “Kau dan para pengawal di sini lekas selidiki
kenapa sumur ini berbau pesing. Mungkin ada yang sengaja mengencingi. Mungkin
ada yang sengaja mengumpulkan air kencing lalu membuangnya ke sumur ini…”
“Ki
Samadikun,” salah seorang pengawal menyahuti. “Kalau ada yang sengaja,
rasarasanya aku tidak percaya. Siapa orangnya yang berani mati mengencingi
sumur sumber air Raja?”
“Kau bisa
bicara begitu! Buktinya sumur ini memang bau kencing!”
“Baiknya
kita tunggu sampai pagi. Kalau hari sudah terang baru kita memeriksa…” seorang
perajurit mengusulkan.
“Terlambat!
Saat itu mungkin Sri Baginda tidak bisa menahan amarah lagi. Kita semua bisa
celaka. Aku…”
Ucapan
Abdi Dalem Samadikun terputus. Dari dalam sumur terdengar suara kecimpung air
lalu suara seperti orang mengeluh.
“Kalian
mendengar sesuatu?” tanya Samadikun sambil memandang berkeliling lalu
memperhatikan ke dalam sumur. Tapi gelap. Dia tidak dapat melihat apa-apa.
“Seperti
suara orang…” ujar Sagito yang tertutup hidungnya, tapi tajam telinganya. Lalu
pemuda ini berteriak. “Hai! Siapa di dalam sumur?!”
“A… aku…”
Ada suara
jawaban. Membuat semua orang yang ada di pinggiran sumur menjadi terkejut. Ada
yang kecut hatinya dan bergeak mundur, termasuk sang Abdi Dalem Samadikun.
“Aku
siapa?!” Sagito berteriak kembali.
“Tol…”
“Apa?!
Namamu Tol?!” lagi-lagi Sagito yang berteriak.
“Bu…”
“Oo,
namau Bu? Siapa kau?!”
“Bukan,
aku tol… tolong. Aku di dalam sini. Sejak malam tadi. Kakiku tak sanggup lagi
menopang. Tol… tolong…”
“Jangan-jangan
hantu…” bisik Ki Samadikun.
“Hai! Kau
hantu atau setan atau apa?!”
“Aku man…
manusia seperti kalian. Aku kecebur dalam sumur ini malam tadi…”
“Gila
kurang ajar! Bagaimana kau bisa kecebur ke dalam sumur! Berarti kau masuk
kawasan Keraton tanpa izin… “ mendamprat Samadikun.
“Nanti
saja aku terangkan. Tolong dulu. Aku tak sanggup lagi bertahan. Aku bisa
tenggelam dalam sumur ini. Tolong… lemparkan tali, galah atau apa saja. Tarik
aku ke atas. Lekas, tenagaku sudah hampir habis…”
Semua
orang jadi saling pandang, sama-sama heran. Sama-sama tidak percaya.
“Tol…
tolong…”
Kembali
terdengar suara minta tolong dari dalam sumur.
“Cari
tambang! Kita akan lihat makhluk dalam sumur itu manusia atau setan!” seorang
pengawal berkata.
Sagito
memandang berkeliling. Mencari timba besar yang biasa dipakainya untuk
mengambil air. Dia melihat timba itu di sudut kiri lengkap dengan tali
besarnya. Dengan cepat dia ambil gulungan-gulungan tali lalu ujungnya
dilemparkan ke dalam sumur.
“Makhluk
di dalam sumur!” teriak seorang pengawal. “Tali sudah dilemparkan. Kalau kau
memang manusia pegang ujung tali erat-erat. Kami akan segera menarikmu ke
atas!”
Tak ada
jawaban.
“Apa
kataku! Pasti setan! Dia tidak menyahut! Mungkin sudah gaib!” kata Samadikun.
Tiba-tiba
dari dalam sumur ada suara. “Ujung tali sudah kupegang. Lekas tarik…”
Enam
orang di pinggir sumur segera menarik tali besar.
“Gila!
Makhluk apa ini? Beratnya tidak kira-kira!” kata Samadikun setengah berbisik.
Perlahan-lahan
makhluk di dalam sumur tertarik ke atas. Dalam gelap, dari mulut sumur muncul
dua tangan kurus kering dilibat tali timba. Lalu kelihatan satu kepala berambut
putih kuyup. Kepala itu sampai di atas bibir sumur. Tampak satu wajah seorang
tua berkuping lebar. Daun telinga sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik
menghadap ke belakang. Dua matanya terpejam. Bau pesing yang hebat memenuhi
tempat itu.
Sambil
menahan nafas orang-orang di pinggiran sumur mencekal bagian atas lengan orang
tua aneh itu lalu mereka tarik dan baringkan menelentang di lantai batu di
samping sumur. Orang tua ini mengenakan pakaian compang-camping. Perutnya yang
tersingkap kelihatan buncit gembung. Mungkin terlalu banyak minum air sumur.
Bau pesing yang santar ternyata menghampar dari tubuhnya.
“Tak bisa
kupercaya!” kata Samadikun. Kaki kanannya diletakkan ke perut yang gembung.
“Penyusup berani mati! Siapa kau?!”
Dua mata
yang terpejam dari orang yang barusan ditarik keluar dari dalam sumur terbuka.
Walau cuma sebentar tapi semua orang masih sempat melihat mata itu ternyata
jereng. Mulut orang ini terbuka sedikit.
“Aku… aku
Setan Nogmpol…”
Menyangka
orang mempermainkannya Abdi Dalem Samadikun jadi marah. “Tua bangka kurang ajar
bau pesing! Kau berani menyusup ke dalam Keraton. Sudah kami tolong masih bisa
bicara mempermainkan!” Saking marahnya Abdi Dalem ini lalu tekan kuat-kuat kaki
kanannya yang menginjak perut orang.
“Bruttt!”
“Croottt!”
“Croottt!”
Akibat
injakan yang keras itu dari sebelah bawah belakang orang tua itu menghambur
angin keras alias kentut yang baunya tidak kepalang tanggung. Lalu dari
mulutnya sebelah atas menyembur air sumur yang mengendap dalam perutnya. Dan
ini yang paling celaka. Dari bagian bawah perutnya menyemprot air kencing bau.
Begitu derasnya hingga muncrat mengenai Abdi Dalem Samadikun, Sagito dan
beberapa orang pengawal.
“Tua
bangka kurang ajar! Rasakan ini!” Samadikun tendang pantat orang. Dua pengawal
ikut menendang hingga orang tua yang tergeletak di pinggir sumur mental
terguling-guling.
*******************
BAB 5
Di satu
bangunan kayu yang sudah hampir roboh di sebelah timur puncak Gunung
Merapi,
Pangeran Matahari duduk di lantai beranda. Tangan kiri menopang kening. Dua
matanya terpejam. Di pangkuannya ada satu buntalan berisi pakaian yang barusan
diambilnya dari dalam bangunan. Dia pernah tinggal di tempat itu selama belasan
tahun. Di situ dia menerima gemblengan dari gurunya yang dalam rimba persilatan
Tanah Jawa dikenal dengan nama angker Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
Namun kini sang guru hanya tinggal kenangan. Seperti dituturkan dalam Episode
berjudul “Kiamat Di Pangandaran” Si Muka Bangkai menemui ajal di tangan Bujang
Gila Tapak Sakti.
Pangeran
Matahari menghela nafas panjang. Lalu mulutnya berucap perlahan. “Guru, aku
bersumpah mencari Bujang Gila Tapak Sakti, menunpahkan darahnya membalas
darahmu yang tertimpah, menghabisi nyawanya sebagai imbalan nyawamu yang
dicabutnya. Setelah itu aku akan mencari Pendekar 212! Aku akan mencari
sekalipun sampai ke lautan neraka! Dia pasti mengira aku sudah lama jadi
bangkai di dasar jurang karang Pangandaran. Dia akan melihat kenyataan
mengejutkan. Bahwa aku belum mati! Bahwa aku muncul untuk mencabut nyawanya!
Aku tidak akan membuat kematian begitu cepat dan enak baginya! Aku Pangeran
Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak akan
membuatnya sengsara lebih dulu…”
Pangeran
Matahari turunkan tangannya yang menopang kening. Dua matannya yang sejak tadi
dipejamkan terbuka, kelihatan merah dan memancarkan sinar menggidikkan.
Terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan Pengeran Matahari
langsung mengepal membentuk tinju. Sekujur tubuh bergetar. Keringat memercik di
kening.
Dengan
tangan kanannya Pangeran Matahari usap wajahnya. Saat itulah seperti terngiang
kembali di telinganya ucapan Sumirah, satu dari tiga gadis yang digagahinya di
telaga.
“Pangeran
tak tahu diuntung! Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu! Pakaianmu
compang-camping dan bau!”
Lalu
mengiang pula kata-kata menyakitkan yang dilontarkan gadis bernama Ramilah.
Yaitu gadis yang diperkosanya pertama kali.
“Berani
mengaku Pangeran! Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong, hidung
bengkok, mata mendem! Hik… hik… hik! Otakmu pasti miring mengaku seorang
Pangeran!”
Pangeran
Matahari merasakan sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin. Diusapnya mukanya
kembali. “Wajahku… mukaku… Apakah… apakah… Ucapan dua gadis itu agaknya bukan
cuma sekedar ejekan. Mereka melihat kenyataan. Apa yang terjadi dengan mukaku.
Dua tahun di dalam goa karang aku tak pernah menyadari keadaan wajahku… Di
lereng sebelah selatan seingatku ada satu telaga kecil. Airnya sangat bening,
tidak beriak tidak bergelombang sekalipun angin bertiup. Dulu aku sering ke
sana bersunyi diri, bersamadi meningkatkan kemampuan tenaga dalam dan kekuatan
hawa sakti yang kudapat dari guru. Aku harus ke sana. Aku harus melihat keadaan
wajahku sendiri. Ucapan dua gadis itu bukan cuma sekedar mengejek. Mereka agaknya
melihat kenyataan…”
Pangeran
Matahari ambil buntalan di pangkuannya. Lalu secepat bisa dilakukan dia berlari
menuju lereng selatan Gunung Merapi. Degup jantungnya menggemuruh ketika dia
sampai di telaga kecil. Keadaan telaga dan tempat sekitarnya seperti tidak
berubah walau sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Hanya taburan
dedaunan pohon-pohon tampak menebal menutupi tanah.
Pangeran
Matahari jatuhkan buntalan ke tanah. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati
telaga kecil berair bening seperti kaca. Detak jantungnya berdegup keras pada
setiap langkah yang dibuatnya. Satu langkah di tepi telaga dia hentikan gerakan
kaki. Perlahan-lahan dia turunkan tubuh ke bawah, berlutut di tanah. Dia bisa
melihat kepala dan sebagian tubuhya membayang di air telaga.
Dengan
menahan degup jantung yang semakin kencang Pangeran Matahari ulurkan kepalanya,
diturunkan demikian rupa hingga hanya berjarak dua jengkal dari atas permukaan
air telaga.
Sepasang
mata sang Pangeran terpentang lebar. Di sana, di permukaan air telaga, dia bisa
melihat wjahnya sendiri. Degup jantungnya seperti meledak di dalam dada. Dari
mulutnya keluar raungan panjang mengerikan. Seperti dihantam sesuatu dari
bawah, sosok Pangeran Matahari mencelat ke atas. Begitu dua kaki menginjak
tanah, seperti orang kemasukan setan pangeran ini mengamuk. Tangan dan kaki
menghantam kian kemari. Pohon-pohon patah bertumbangan. Semak belukar rambas
terbang berhancuran. Terakhir sekali Pangeran Matahari pukulkan tangannya ke
arah telaga. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu menggidikkan.
“Wussss!”
“Byaaarrr!”
Air
telaga muncrat ke atas. Tanah, pasir dan bebatuan ikut membumbung ke udara.
Asap panas mengepul menutupi pandangan mata. Ketika keadaan terang kembali
kelihatanlah satu hal luar biasa. Telaga kecil dengan airnya yang bening bersih
seperti kaca kini hanya tinggal satu lobang kering menganga. Pangeran Matahari
sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Dia lari menuruni gunung seperti
dikejar setan. Sepanjang pelarian terbayang kembali wajahnya seperti yang tadi
dilihatnya di permukaan air telaga. Hidungnya miring ke kiri. Pipi dan rahang
kiri melesak membuat mukanya tampak pencong. Mata kiri terbenam dan di kening
kiri ada luka bekas cacat. Dia ingat sekali semua caat itu adalah akibat
hantaman Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terjadi perkelahian di Pangandaran
dua tahuan yang silam.
“Jahanam
Wiro Sableng!” teriak Pangeran Matahari. “Pembalasanku sejuta lebih kejam dari
apa yang telah kau lakukan terhadapku! Kau tak akan bakal lolos dari tanganku!
Kalaupun kau sudah mampus di tanganku, rohmu akan kubuat tidak tenteram di alam
baka!” Habis berteriak seperti itu sang pangeran hantamkan tangan kanan melepas
pukulan sakti bernama Telapak Matahari.
“Wusss!”
Lereng
gunung di sebelah sana bergoncang hebat. Hawa panas yang keluar dari pukulan
itu menimbulkan nyala api besar. Kebakaran serta merta melanda lereng Gunung
Merapi!
Di satu
tempat, menjelang mencapai kaki gunung sebelah selatan Pangeran Matahari
hentikan lari. Dia tegak bersandar di satu batang pohon besar, memandang ke
arah lereng gunung di atasnya, memperhatikan kebakaran yang melanda lereng
akibat pukulan Telapak Matahari yang tadi dihantamkannya dalam amarah yang
tidak terkendali. Sang Pangeran menghela nafas dalam. Untuk pertama kali dia
merasakan tubuhnya letih sekali. Dia campakkan buntalan ke tanah lalu
perlahan-lahan jatuhkan diri, duduk di tanah pejamkan mata. Beberapa kali dia
usap mukanya dan berulang kali dia mengeluh dalam hati.
“Wajahku…
Wajahku…”
Dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba Pangeran Matahari merasa ada sambaran angin di
udara di depannya. Dia buka mata lebar-lebar, alirkan tenaga dalam ke tangan
kanan. Berlaku waspada. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan
“Sial…!”
Pangeran Matahari memaki sendiri. “Jalan pikiranku sedang mengalami gangguan
berat. Aku harus melakukan sesuatu. Jahanam Wiro Sableng!” Pangeran Matahari
kepalkan tinju. Dia menjangkau buntalannya dan bergerak bangkit. Tapi mendadak
gerakannya tertahan. Di udara sunyi terdengar satu suara.
“Pangeran
Matahari, manusia gagah berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu,
Segala Licik, Segala Congkak! Apa yang meembuatmu dibungkus seribu gundah
seribu bingung?!”
Pangeran
Matahari dalam kejutnya cepat berdiri. Memandang berkeliling. “Ada suara orang!
Suara Laki-laki! Tapi orangnya sendiri tidak kelihatan!” Sang Pangeran
memperhatikan pohon besar di atasnya. Tidak kelihatan siapa-siapa. “Aneh, suara
itu begitu dekat. Tapi orangnya tidak tampak. Mungkin dedemit belantara Gunung
Merapi?”
Pangeran
Matahari kembali memperhatikan setiap sudut belantara sekelilingnya. Tetap saja
dia tidak melihat siapa-siapa. Maka diapun berseru. “Makhluk yang barusan
bicara! Siapa kau?! Mengapa bicara tidak unjukkan diri?!”
“Aku
tidak mungkin unjukkan diri Pangeran. Ketahuilah, apa yang aku ucapkan jauh
lebih penting dari ujudku…”
“Kalau
begitu katakan siapa kau adanya?! Hantu, setan, dedemit?!”
Terdengar
suara tertawa parau. “Aku makhluk dari alam akhirat. Makhluk dari alam baka.
Aku tidak akan mengatakan siapa diriku. Tapi kau bisa mengira-ngira…”
“Kurang
ajar!” maki Pangeran Matahari karena merasa dipermainkan. Otaknya diputar.
Namun dia tidak bisa menduga.
“Aku
datang untuk menolongmu Pangeran…” kembali terdengar suara tanpa ujud.
“Menolongku?”
ujar Pangeran Matahari. “Siapa kau adanya?”
“Sudah
kukatakan aku tidak bisa memberitahu. Tapi dulu, di puncak Merapi ini kita
pernah dekat. Sedekat daging dengan tulang yang ada di tubuhmu!”
“Kau…
Jangan-jangan kau…” Tiba-tiba Pangeran Matahari jatuhkan diri, berlutut di
tanah. “Guru, apakah yang datang ini kau, roh mendiang guru yang aku kenal
dengan julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat?”
Di udara
mengema suara tertawa parau. “Sudah kukatakan aku tidak akan menerangkan siapa
diriku. Tapi kau boleh menyebutku seperti apa yang kau barusan duga…”
“Guru!”
Merasa yang bicara tanpa ujud itu adalah mendiang arwah gurunya Si Muka
Bangkai, Pangeran Matahari tundukkan kepala sambil rangkapkan dua tangan di
depan dada.
“Pangeran
Matahari, aku akan memberikan dua buah barang padamu. Pergunakan barang itu
sesuai kebutuhanmu. Setelah kau menerima pemberianku, berjalanlah dua puluh
tombak ke arah kanan. Kau akan menemukan seekor kuda tertambat di bawah satu
pohon Waru. Dengan menunggang kuda itu pergilah ke satu lembah, letaknya dekat
sekali di timur kaki Gunung Merapi. Di dasar lembah kau akan menemukan
serumpunan semak belukar. Di sela-sela semak belukar itu tumbuh pohon sirih
hutan. Jika semak belukar kau sibakkan, kau akan melihat sebuah goa. Masuklah
ke dalam goa. Di situ kau akan menemukan sorga. Sorga itu bernama Kinasih.
Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”
“Sorga…?
Sorga bernama Kinasih? Apa maksudmu Guru?”
“Jawaban
akan kau temui sendiri di dalam goa itu!” jawab suara tadi. Lalu bersamaan
dengan itu melayang dua buah bungkusan dan jatuh tepat di depan kaki Pangeran
Matahari. Satu besar, satunya lagi bungkusan kecil. Sang Pangeran tidak
bergerak. Tidak segera menyentuh bungkusan itu. Bukan mustahil semua itu hanya
jebakan belaka. Dia memandang berkeliling. “Rasanya dia telah lenyap dari
tempat ini,” membatin sang Pangeran. Lalu perlahan-lahan dia membungkuk
mengambil bungkusan besar. Ketika dibukanya dia terkejut karena di dalam bungkusan
itu dia menemukan sehelai pakaian. “Ini bukan pakaian sembarangan. Hanya
orang-orang Keraton yang mengenakan pakaian seperti ini. Apa gerangan maksud
guru memberikan pakaian bagus ini padaku?” Pangeran Matahari perhatikan
pakaiannya sendiri yang lusuh kotor dan compang-camping. Sebelumnya waktu
berada di pondok kediaman mendiang gurunya Pangeran Matahari telah mengambil
beberapa potong pakaian, namun dia memang belum sempat bersalin. Masih
diselimuti perasaan heran Pangeran Matahari mengambil bungkusan kedua yang
lebih kecil. Begitu bungkusan dibuka, sesaat sepasang mata sang Pangeran
terpentang lebar melihat benda apa yang ditemuinya di dalam bungkusan itu.
Kening mengerenyit. Wajah diusap berulang kali. Lalu satu seringai muncul di
mulutnya yang pencong.
“Guru!
Aku Pangeran Matahari sangat berterima kasih atas semua pemberianmu ini! Aku
akan turuti perintahmu. Aku akan segera pergi ke goa di lembah itu!” Habis
berkata begitu Pangeran Matahari buka pakaiannya yang lusuh. Tak berapa lama
setelah Pangeran Matahari meninggalkan tempat itu, di atas sebuah pohon besar
berdaun lebat, seseorang yang sejak tadi mendekam di salah satu cabang pohon
tersenyum. Dalam hati dia berkata. “Terbukti ilmu Memecah Udara Memindah Suara
yang kumiliki memang ampuh luar biasa. Pendekar kawakan itu tidak mampu
mengetahui sumber suara, apa lagi mencari dimana aku sembunyi! Pangeran
Matahari, hari ini aku sudah menanam budi padamu. Kelak di kemudian hari aku
akan menagih balasan padamu!”
Seperti
hembusan angin, dengan satu gerakan cepat orang di atas cabang pohon berkelebat
lenyap.
*******************
BAB 6
Empat
hari sebelum peristiwa aneh yang dialami Pangeran Matahari di kaki Gunung
Merapi……
Pagi itu
seorang penunggang kuda berhenti di hadapan rumah Raden Mas Sura Kalimarta.
Dari pakaiannya yang bagus dan mewah jelas dia adalah seorang petinggi dari
Keraton.
Menurut
kisah perjalanan hidupnya Sura Kalimarta sejak masih kecil sudah memiliki
beberapa kepandaian. Selain pandai dalam hal ukir mengukir, dia juga pandai
membuat berbagai macam boneka serta topeng baik dari kayu maupun dari kulit.
Keahliannya ini telah menarik perhatian para Petinggi Keraton dan akhirnya
sampai kepada Sri Baginda. Karenanya sejak dia berusia dua puluh Sura Kalimarta
diangkat menjadi juru ukir Keraton. Setelah mengabdi lebih dari empat puluh
tahun, ketika dia berusia enam puluh lima, Sri Baginda menganugerahkan gelar
Raden Mas kepada Sura Kalimarta.
Walau
semua orang menghormatinya serta dari keahliannya Sura Kalimarta mendapatkan
penghasilan lebih dari cukup, rumahnya besar, sawah dan ternaknya banyak, namun
semua itu tidak banyak memberikan kebahagiaan padanya. Ketika dia berusia empat
puluh tahun, istri yang dicintainya meninggal dunia padahal sampai saat ini
mereka masih belum dianugerahi seorang anakpun. Selama dua puluh tahun Sura
Kalimarta hidup menyendiri, menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan
sesuai keahliannya.
Kehidupan
sunyi sang ahli ukir dan ahli membuat boneka serta topeng ini rupanya sudah
sejak lama dimaklumi oleh Sri Baginda. Pada suatu hari Sri Baginda memanggil
Sura Kalimarta ke Kaeraton. Seperti biasa Sura Kalimarta mengira Sri Baginda
akan memberi pekerjaan baru padanya atau mungkin ada puteri Keraton yang ingin
dibuatkan boneka atau hiasan berupa topeng. Alangkah terkejutnya Sura Kalimarta
ketika Sri Baginda memintanya untuk mengambil seseorang sebagai pendamping
yakni seorang perempuan baik-baik yang kedua orang tuanya pernah lama menjadi
Abdi Dalem.
Di usia
setua itu Sura Kalimarta boleh dikatakan tidak pernah lagi memikirkan hidup
berumah tangga. Apalagi diketahuinya bahwa calon istri yang hendak dijodohkan
Sri Baginda kepadanya belum pernah menikah dan berusia dua puluh delapan tahun,
kurang setengah dari usianya.
Sura
Kalimarta dengan halus menolak maksud baik Sri Baginda. Sebaliknya Sri Baginda
dengan halus pula membujuknya. Akhirnya Sura Kalimarta tak bisa menolak lagi.
Ketika untuk pertama kali ahli ukir ini bertemu dengan calon istrinya, ternyata
sang calon yang bernama Kinasih itu berwajah ayu dan telah sejak lama menaruh
hormat dan kagum pada semua hasil karya Sura Kalimarta. Dengan upacara yang
sangat sederhana dan hanya dihadiri para kerabat terdekat serta utusan Sri
Baginda akhirnya dilangsungkan pernikahan. Setelah beberapa tahun berumah
tangga mereka belum juga dikaruniai anak. Kinasih sangat mengharapkan mendapat
seorang putera. Lebih dari itu dia ingin puteranya itu kelak memiliki keahlian
seperti Sura Kalimarta. Kinasih tak putus-putusnya meratap menangisi nasib.
Baginya seumur hidup hanya sekali kawin. Tetapi sang suami ternyata tidak mampu
memberinya turunan, lebih dari itu tidak berkesanggupan melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang suami. Semua derita kepedihan ini hanya bisa
dipendam sendiri oleh Kinasih. Namun siapa mengira seperti api dalam sekam suatu
ketika akan meledak dalam kejadian yang tidak terduga…..
**********************
Lelaki
berpakaian bagus yang berhenti di depan rumah besar Raden Mas Sura Kalimarta
turun
dari kudanya. Di pintu depan dia mengetuk. Tak ada sahutan. Setelah berulang
kali mengetuk tak ada yang menjawab akhirnya orang ini membuka pintu. Ternyata
tidak dkunci. Dia langsung masuk ke dalam dan menemukan Sura Kalimarta di
bagian belakang rumah besar, sibuk menyelesaikan ukiran patung besar Dewi Sri
yang memegang seikat padi di tangan kanan dan
dihinggapi
seekor burung merpati di tangan kiri.
“Raden
Mas Sura Kalimarta, maafkan saya. Saya sudah mengetuk pintu berulang kali. Tapi
tak ada jawaban. Jadi saya berlaku lancang langsung masuk ke dalam…”
Orang tua
si ahli ukir menghentikan pekerjaannya, mengangkat kepala dan memandang pada
tamunya. Sesaat orang tua ini terdiam memandang wajah sang tamu. Dia belum
pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi melihat pada pakaian yang dikenakan
sang tamu yang menyatakan dia adalah seorang petinggi Keraton maka sambil
tersenyum dan meletakkan pahatnya di lantai, Sura Kalimarta berkata.
“Saya
yang harus minta maaf. Seorang penting kerabat Keraton datang, saya tidak
mendengar ketukan pintunya. Keraton begitu besar. Begitu banyak para petinggi
dan para pejabat yang ada di situ. Maafkan saya kalau saya tidak mengenal Raden
sebelumnya. Jika saya boleh bertanya Raden ini siapakah namanya?”
“Saya
memang salah seorang petinggi Keraton. Tapi harap Raden Mas tidak memanggil
saya dengan sebutan Raden. Panggil saja nama saya. Bagus Srubud.”
Sura
Kalimarta tersenyum. “Kalau begitu Saudara Bagus Srubud juga tak usah memanggil
saya dengan Raden Mas segala. Cukup Ki Sura saja. Ruang tamu ada di sebelah
depan. Sebaiknya kita bicara di sana…”
“Tidak
usah merepotkan. Kita bisa bicara di sini. Saat ini apakah Ki Sura sendirian di
rumah?” bertanya sang tamu.
“Betul
sekali. Istri saya sedang ada keperluan menemui seorang kerabat di desa
tetangga sejak kemarin. Rencananya baru sore ini akan kembali…” jawab Sura
Kalimarta. “Kalau Saudara Bagus suka kita bicara di sini tak jadi apa. Saya
ingin bertanya, gerangan maksud apakah kedatangan Saudara Bagus Srubud ke
tempat saya ini?”
“Maafkan
kalau saya mengganggu pekerjaan Ki Sura. Maksud saya ke sini adalah untuk
meminta dibuatkan sesuatu…”
“Apakah
ini pesanan dari Keraton atau untuk Saudara Bagus sendiri?”
“Anggap
saja dua-duanya,” jawab petinggi Keraton bernama Bagus Srubud itu.
Sura
Kalimarta tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Orang tua ini maklum apa
maksud ucapan tamunya itu. Dua-duanya. Berarti apapun yang akan dipesan sang
tamu adalah sesuatu yang sangat penting. Maka diapun bertanya.
“Sesuatu
yang Saudara Bagus minta saya buatkan itu, benda apa kiranya? Ukiran atau
mungkin boneka?”
“Saya
minta Ki Sura membuatkan sebuah topeng. Terbuat dari getah kayu latek…”
“Maksud
Saudara Bagus getah pohon karet?”
Bagus
Srubud mengangguk.
“Topeng
dari getah pohon karet. Saya pernah mendengar hal itu. Konon topeng getah karet
sangat tipis, halus. Nyaris sangat sempurna hingga si pemakai bisa memiliki
satu wajah yang orang lain tidak tahu kalau dia sebenarnya memaki topeng. Namun
pekerjaan ini merupakan satu hal yang belum pernah saya buat sebelumnya. Saya
telah membuat puluhan, mungkin ratusan topeng dari kayu, kertas, daun lontar,
daun kayu besi, kulit pohon. Tapi dari getah pohon karet…” Si orang tua
geleng-gelengkan kepala dan usap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut liar
memutih.
“Tidak
akan sulit bagi Ki Sura. Tinggal membuat topeng seukuran dan sebentuk kepala
saya, menjadikannya sebagai bahan cetakan, lalu menuangkan getah karet di
atasnya…”
Sura
Kalimarta tercengang mendengar ucapan tamunya itu. Dalam hati dia membatin.
“Petinggi Keraton ini bukan sembarangan. Agaknya dia tahu banyak seluk beluk
pembuatan topeng dari getah pohon karet.” Si orang tua anggukkan kepalanya.
“Ini satu pengalaman baru yang menarik bagi saya. Saya akan coba membuatnya…”
“Saya
butuh paling sedikit tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam
ukuran yang sama…”
“Tiga
buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran sama,” mengulang Sura
Kalimarta seraya menatap wajah tamunya. “Saya akan lakukan. Tapi saya mohon
maaf kalau tidak dapat memenuhi permintaan Saudara Bagus Srubud dengan cepat.
Paling tidak saya butuh waktu tiga puluh hari untuk mengerjakannya.”
“Saya
ingin Ki Sura menyelesaikannya dalam waktu tiga hari!” kata Bagus Srubud. Nada
suaranya lebih memerintah dari pada meminta.
Terkejutlah
Sura Kalimarta mendengar ucapan tamunya itu.
“Tidak
mungkin, Saudara Bagus. Tiga hari untuk tiga topeng karet tipis yang saya belum
pernah membuatnya!”
“Ki Sura
pasti mampu jika Ki Sura mau…”
“Saya
mau, tapi…” Sura Kalimarta geleng-gelengkan kepalanya. “Selama ini saya memang
tidak pernah menampik atau mencari dalih pesanan yang datang dari Keraton. Tapi
saya mohon maaf. Membuat topeng karet ini benar-benar satu pekerjaan baru bagi
saya.”
“Ki Sura,
saya hanya mengulang satu kali saja,” kata Bagus Srubud. “Tiga buah topeng
berlainan bentuk dalam ukuran sama. Dalam waktu tiga hari! Jelas?!”
Si orang
tua gelengkan kepalanya. “Tidak mungkin Saudara Bagus. Harap Saudara mengerti…”
“Maafkan
saya Ki Sura. Saya memang tidak mau mengerti. Ini pesanan dari Keraton. Harap
diperhatikan dan dipenuhi.”
“Saya
tetap meminta waktu. Mungkin saya bisa mengurangi tujuh hari. Jadi pesanan itu
saya selesaikan dalam waktu sekitar tiga minggu.”
Bagus
Srubud menggeleng. “Saya bilang tiga hari Ki Sura. Tidak lebih dan tidak
kurang!”
“Saudara
Bagus, kau lihat sendiri. Waktu datang tadi saya tengah menyelesaikan ukiran
patung Dewi Sri. Itu adalah pesanan dari Keraton juga. Untuk penghias ruang
tamu baru. Saya tidak mungkin menundanya. Jadi…”
“Saya
tidak perduli dengan patung Dewi Sri itu!” potong Bagus Srubud.
“Saudara
Bagus, saya mohon kau mau mengerti….”
Petinggi
dari Keraton itu menyeringai. “Bukan saya yang harus mengerti Ki Sura. Tetapi
engkau…”
“Maksud
Saudara Bagus…?”
“Istri Ki
Sura, Kinasih, ada di tangan saya. Dia berada dalam keadaan aman dan selamat
sampai Ki Sura menyelesaikan pesanan sesuai dengan kemauan saya, bukan kehendak
Ki Sura!”
Terkejutlah
si orang tua. Wajahnya berubah, sesaat merah lalu berganti pucat. “Kau petinggi
Keraton teganya berbuat sejahat itu…”
“Saya
akan kembali ke sini bersama istri Ki Sura pada pagi hari ke empat dihitung
mulai hari ini. Jika Ki Sura berani melaporkan kejadian ini pada siapapun. Ki
Sura tidak akan melihat Kinasih lagi untuk selama-lamanya! Bagi orang setua Ki
Sura, tidak mudah mendapatkan istri semuda dan seayu Kinasih. Perempuan itu
satu yang sangat berharga dalam kehidupan Ki Sura bukan? Kini semua terserah Ki
Sura sendiri…”
Habis
berkata begitu Bagus Srubud putar tubuhnya dan tinggalkan si orang tua.
Menggigil
tubuh Sura Kalimarta. Lututnya goyah. Orang tua ini jatuh terduduk di lantai.
Dia ingin berteriak. Namuh tubuhnya terasa lemas. Yang keluar bukan teriakan,
tapi justru kucuran air mata.
“Gusti Allah,
bagaimana mungkin ada pejabat tinggi Keraton sekeji Bagus Srubud itu. Kalau aku
mengadu pada Sri Baginda pasti dia akan dipancung. Tapi nasib istriku Kinasih
mungkin tidak akan tertolong. Kinasih, dimana kau berada saat ini…?”
*******************
BAB 7
Siang
hari ke empat setelah kedatangan Bagus Srubud. Hari itu adalah hari perjanjian
Sura Kalimarta harus menyerahkan tiga buah topeng pesanan petinggi Keraton
tersebut. Ternyata siang itu telah terjadi satu kegemparan di tempat kediamaan
sang ahli ukir.
Seorang
utusan dari Keraton yang datang ke situ untuk menanyakan pesanan patung Dewi
Sri dikejutkan dengan ditemukannya sang ahli ukir telah jadi mayat. Orang tua
itu tergeletak mati di ruang tamu secara mengenaskan. Kepalanya pecah. Di dekat
mayatnya ada sebuah pentungan kayu berlumuran darah. Agaknya Sura Kalimarta
dibantai dengan pentungan itu. Di tangan kanan Sura Kalimarta masih tergenggam
sebuah pahat. Mungkin sekali dia masih mengerjakan ukiran patung Dewi Sri
ketika maut merenggut nyawanya.
Di rumah
besar itu tidak ada orang lain kecuali istri Sura Kalimarta. Tapi perempuan itu
tidak ditemukan di sana. Sulit diketahui apa yang sebenarnya terjadi.
Berbagai
duga perkiraan segera menebar dari mulut ke mulut. Mulai dari yang masuk akal
sampai yang bukan-bukan. Mulai dari yang baik sampai yang berbau fitnah.
Ada yang
menduga bahwa seorang perampok menjarah rumah juru ukir itu. Dipergoki oleh
pemilik rumah. Perampok membunuh Sura Kalimarta dengan mementung kepalanya.
Tapi anehnya mengapa semua barang berharga milik orang tua itu atauapun
istrinya ditemui masih ada dalam sebuah lemari?
Dugaan
lain si orang tua dibunuh oleh lelaki yang mungkin adalah kekaih gelap istrinya
yang jauh lebih muda itu. Keduanya dipergoki oleh Sura Kalimarta tengah berbuat
mesum. Untuk menghilangkan jejak Sura Kalimarta dibunuh oleh kekasih istrinya
lalu kedua orang itu melarikan diri.
Ada pula
yang memperkirakan bahwa Sura Kalimarta dibunuh oleh istrinya sendiri. Setelah
itu Kinasih melarikan diri. Mungkin menemui seorang lelaki yang sudah lama
berhubungan secara gelap dengannya. Dua dugaan terakhir dibumbuhi dengan
keadaan Kinasih yang masih muda sementara suaminya sudah lebih dari enam puluh
tahun. Kebahagiaan apa yang mampu diberikan oleh Sura Kalimarta lelaki setengah
uzur itu pada seorang istri yang masih muda? Dan sampai berapa lama Kinasih
sanggup bertahan diri menjalani hidup tanpa sentuhan hangat seorang suami yang
sangat diharap dan ingin dirasakan dalam usianya yang baru mencapai tiga puluh
dua tahun itu?
Dua
dugaan itu dimentahkan dengan kenyataan ditemukannya perhiasan milik Kinasih di
dalam sebuah lemari. Jika perempuan itu memang terlibat dalam pembunuhan
suaminya masakan dia akan melarikan diri begitu saja tanapa membawa serta harta
kekayaan berupa perhiasan atau uang dan sebagainya.
Dugaan
lain menyebutkan bahwa seorang musuh lama Sura Kalimarta muncul untuk membalas
dendam lalu menculik Kinasih.
Kematian
mengenaskan sang ahli ukir disampaikan kepada Raja. Sri Baginda segera
mengirimkan beberapa bawahannya untuk menyelidik. Keadaan mayat Sura Kalimarta
diperiksa, begitu juga setiap sudut rumah kediamannya bahkan sampai seputar
halaman guna mencari jajagan, apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pembunuh
oarng tua itu. Di samping itu beberapa orang juga dikirim untuk menyelidik dan
mencari Kinasih, istri Sura Kalimarta yang dikabarkan raib itu.
Para
petugas yang memeriksa mayat Sura Kalimarta mendapatkan satu temuan yang sangat
penting. Ketika mayatnya yang tergeletak menelungkup di lantai diperiksa, orang
tua itu masih memegang sebuah pahat. Di lantai batu ada guratan-guratan aneh
yang berakhir di ujung pahat. Setelah diperhatikan dan diteliti dengan seksama,
para penyelidik dari Keraton akhirnya berhasil mengetahui apa sebenarnya yang
tergurat di lantai itu. Ternyata guratan itu adalah tulisan huruf Jawa Kuna
yang ditulis demikian buruk dan sulit dibaca. Tulisan itu terdiri dari dua buah
kata. Yang pertama berbunyi Bagus, yang berikutnya berbunyi Srubud.
“Bagus
Srubud…” kata salah seorang dari empat petugas Keraton yang menyelidik. “Ini
nama seseorang…”
“Mungkin
orang ini yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta!” ujar petugas ke dua.
Orang
ketiga ikut berucap. “Benar… Mungkin sebelum menemui ajal. Raden Mas Sura masih
punya daya dan kesempatan untuk menorehkan pahatnya di lantai batu, menulis
nama orang yang membunuhnya!”
“Bagus
Srubud! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apa kalian ada yang mengenal orang
itu?”
Tiga
kepala sama digelengkan.
**********************
Pangeran
Matahari memacu kuda tunggangannya lurus ke arah timur. Sesekali salah satu
tangannya dipergunakan untuk mengusap wajahnya. Tak selang berapa lama dia
sampai di satu bukit kecil yang ternyata adalah bibir sebuah lembah. Memandang
ke bawah dia melihat sebuah lembah cukup luas. Setelah memperhatikan keadaan
sekitarnya beberapa lama, Pangeran Matahari tinggalkan lembah, turun ke bawah.
Di dasar
lembah dia menemukan banyak sekali rerumpunan semak belukar. Namun hanya ada
satu semak belukar yang di tengah-tengahnya ditumbuhi pohon sirih hutan.
“Menurut
guru…” membatin sang Pangeran, “Di balik semak belukar yang ada pohon sirih
hutan ini ada sebuah goa. Lalu di dalam ada sorga… Hemmm… Aku masih harus
membuktikan apap sebenarnya arti kata-kata orang tua yang sudah jadi arwah
gentayangan itu!”
Pangeran
Matahari melompat turun dari kudanya. Dia mendekati semak belukar di
hadapannya. Ketika semak belukar didorongnya ke kiri pandangannya membentur
dinding batu berlumut yang di sebelah tengahnya ada sebuah lobang setinggi bahu
manusia. Sang Pangeran tidak segera masuk ke dalam goa. Dia menunggu sesaat
sambil memasang telinga dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Bila dirasakannya
aman, baru dia melangkahkan kaki. Dengan merunduk dia masuk ke dalam goa.
Di
sebelah dalam goa, bagian atasnya ternyata cukup tinggi hingga Pangeran
Matahari bisa melangkah tanpa merunduk lagi. Memasuki goa sejarak sepuluh
tombak keadaan berubah menggelap karena cahaya dari luar terhalang oleh satu
kelokan.
Tiba-tiba
dari arah depan ada suara mendesah disusul oleh suara perempuan menegur.
“Bagus.
Bagus Srubud, kaukah itu?”
Pangeran
Matahari hentikan langkahnya. Dia ingat ucapan gurunya. “Sorga itu bernama
Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud.”
Pangeran
Matahari berpikir sesaat lalu mendehem. “Kinasih…?”
“Suaramu
agak berubah Bagus. Kau sakit…?”
“Hemm…
Tenggorokanku agak tidak enak,” jawab Pangeran Matahari.
“Kau
hanya tegak diam di situ. Mengapa tidak mendekat kemari?”
Dalam
gelap Pangeran Matahari buka matanya lebih lebar, memandang ke depan. Sesaat
setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, walau tidak begitu jelas, tapi apa
yang dilihatnya di sebelah sana membuat jantungnya berdegup keras dan darahnya
memanas. Di lantai goa, sejarak enam atau tujuh langkah di depannya, terbaring
satu sosok putih mulus, nyaris tidak terlindung pakaian. Seonggok pakaian
terletak di samping sosok tubuh ini.
“Agaknya
inilah sorga yang dimaksudkan guru,” kata Pangeran Matahari dalam hati sambil
menyeringai.
“Bagus,
jangan diam saja. Lekas kemari. Lepaskan totokan di tubuhku! Kau selalu menotok
aku setiap kau meninggalkan goa. Padahal aku sudah berjanji tidak akan
melarikan diri…”
Pangeran
Matahari maju melangkah. Lalu berlutut di samping sosok tubuh itu. Ternyata
perempuan bernama Kinasih itu berparas ayu dan memiliki tubuh elok
menggairahkan. Mata Sang pangeran menyelusuri wajah dan tubuh itu sesaat,
mencari tahu di bagian mana Kinasih telah ditotok. Setelah diketahuinya segera
dia menotok urat besar di leher sebelah kiri. Tubuh Kinasih langsung bergerak
bangun dan memeluknya. Tapi tiba-tiba perempuan itu lepaskan pelukannya dan
menatap dalam gelap.
“Jangan-jangan
dia tahu aku bukan Bagus Srubud,” pikir Pangeran Matahari. “Kurang ajar, siapa
sebenarnya Bagus Srubud itu! Dan si jelita berubuh polos ini siapa pula dia
sebenarnya?!”
“Bagus,
kuharap kau menepati janjimu. Hari ini kau akan membebaskan aku. Aku akan
melupakan masa laluku dan menjadi pendamping setiamu untuk selama-lamanya…”
Pangeran
Matahari merasa lega dan tersenyum. Gelapnya goa membuat perempuan itu tidak
mengenali kalau sebenarnya dia bukan Bagus Srubud. Dia mulai bisa menduga
sedikit apaapa yang telah terjadi sebelumnya antara lelaki bernama Bagus
Srubud dengan perempuan ini.
“Kita
bermalam dulu satu sampai dua hari di tempat ini. Setelah itu baru pergi…”
Mengira
Bagus Srubud masih ingin berada lebih lama dengannya di dalam goa itu Kinasih
merasa senang juga. Sambil memeluk si pemuda dia berkata.
“Kau
barusan dari Kotaraja. Apakah keadaan masih belum aman? Orang-orang masih
mencariku…?”
“Betul,”
jawab Pangeran Matahari. “Itu sebabnya kita perlu sembunyi lebih lama di goa
ini…” Kini Pangeran Matahari menduga jangan-jangan perempuan ini adalah anak
atau istri seorang penting di Kotaraja yang main gila dan melarikan diri dengan
seorang lelaki bernama Bagus Srubud yang kini perannya tengah dijalankan oleh
dirinya sendiri.
Ketika
perempuan itu mengambil pakaiannya yang terongok di lantai, Pangeran Matahari
menahan tangannya. Lalu merangkulnya. Sebenarnya Kinasih merasakan satu
kelainan dalam sikap dan gerak gerik lelaki itu. Tetapi perasaan itu
dilupakannya karena mengira setelah berpisah agak lama Bagus Srubud kini
menjadi lebih bergairah. Kinasih tidak bisa menipu dirinya, dia sendiri saat
itu juga telah diamuk rangsangan.
*******************
BAB 8
Pagi itu
Pangeran Matahari telah rapi berpakaian. Seperti pertama kali di masuk ke dalam
goa, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian kebesaran petinggi Keraton.
“Bagus,
apakah hari ini hari yang kau janjikan itu? Kita sama-sama pergi meninggalkan
goa?”
Pangeran
Matahari mengangguk. “Kenakan pakaianmu. Aku menunggu di luar.”
Saking
gembiranya Kinasih memeluk Panegran Matahari tanpa dia tahu apa sebenarnya yang
akan terjadi sebentar lagi. Sementara Pangeran Matahari yang dikenalnya sebagai
lelaki bernama Bagus Srubud itu melangkah ke luar goa, Kinasih cepat mengenakan
pakaian. Ketika kemudia dia keluar dari goa dilihatnya Pangeran Matahari telah
duduk di atas seekor kuda. Di depan rerumpunan semak belukar perempuan muda ini
tertegun sesaat.
“Ah, di
dalam goa aku tidak bisa melihat parasnya dengan jelas. Ternyata dia seorang
pemuda berwajah gagah. Tubuhnya kuat. Aku benar-benar bahagia bisa
mendapatkannya,. Demi rasa sukaku padanya, apapun yang terjadi akan kuhadapi…
Tapi aku tidak pernah menduga kalau dia adalah seorang pejabat Keraton.”
“Kau
memperhatikan diriku agak aneh. Ada apakah?” bertanya Pangeran Matahari.
Kinasih
melangkah mendekati lelaki itu, letakkan kepalanya di pinggul Pangeran
Matahari. Sambil mengusap-usap paha Pangeran Matahari dia berkata. “Aku sangat
bahagia hari ini. Satu hal aku tidak menduga. Kau ternyata adalah seorang
petinggi Kertaon…”
Pangeran
Matahari memandang pada pakaian bagus yang dikenakannya lalu tersenyum.
“Mengingat
apa yang kau lakukan, apakah kau tidak takut akan kehilangan jabatanmu Bagus
Srubud?”
“Aku
tidak pernah merasa takut menghadapi apa dan siapapun…”
Kinasih
angkat kepalanya. “Aku senang mendengar ucapanmu itu. Kita pergi sekarang? Kau
akan membawaku kemana Bagus?”
“Aku akan
pergi sendirian. Aku tak akan membawamu kemana-mana Kinasih…”
Ucapan
Pangeran Matahari itu mengejutkan Kinasih. Wajahnya yang cantik mengerenyit.
“Kau tentunya
bergurau Bagus…”
“Di dalam
goa, ketika memeluk dan menciummu, aku memang suka bergurau. Tapi kali ini
tidak.”
“Bagus,
apa maksudmu?!” tanya Kinasih.
“Maksudku,
aku akan pergi kemana aku suka dan kau juga boleh pergi kemana kau suka.”
“Astaga!
Aku benar-benar tidak mengerti…”
“Kau bisa
berusaha mengerti setelah aku pergi. Terima kasih untuk kesenangan yang kau
berikan padaku selama dua hari ini. Selamat tinggal Kinasih….”
“Kau
tidak menepati janji! Kau…”
“Aku
tidak pernah berjanji. Kalaupun aku pernah berjanji, aku memang bukan seorang
yang suka menepati janji!”
“Bagus
Srubud, aneh sekali! Kau tiba-tiba berubah. Atau kau memang sudah berencana
menipuku!”
Pangeran
Matahari tertawa bergelak. “Aku memang manusia segala akal dan paling licik di
dunia ini. Soal tipu menipu bagiku adalah soal kecil!”
“Ya
Tuhan! Teganya kau berkata begitu. Teganya kau menipu diriku! Kau culik aku,
kau sekap aku di dalam goa. Aku kau jadikan…”
“Apapun
yang telah terjadi aku tidak perduli!”
Pangeran
Matahari menepuk pinggul kudanya. Binatang itu melompat ke depan hampir
menyeret Kinasih kalau perempuan ini tidak cepat melepaskan pegangannya di kaki
sang Pangeran.
“Bagus!
Tunggu! Bagaimana kalau aku mengandung?!” berteriak Kinasih sambil coba
mengejar.
Di atas
punggung kudanya Pangeran Matahari hanya menoleh sebentar lalu dengan seringai
di wajahnya dia berkata. ”Kalau kau hamil, kurasa itu bukan perbuatanku. Ada
orang lain yang melakukan sebelum aku…”
Kinasih
terpekik mendengar kata-kata itu. Wajahnya seputih kain kafan. Suaranya
bergetar ketika berkata. “Selama ini aku tidak pernah berbuat seperti yang kita
lakukan dengan orang lain. Juga tidak dengan suamiku sendiri. Aku…”
Pangeran
Matahari tersenyum. Begitu senyumnya lenyap mulutnya berucap. “Aku hanya
meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya kau berterima kasih
padaku karena aku telah memberikan kesenangan tambahan selama dua hari padamu.
Ha… ha… ha!”
“Kau…
katamu kau meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli? Ucapan gila apa ini?!”
Kau mau pergi begitu saja sementara aku bakal menghadapi masalah besar.
Bagaimana kalau aku mengandung Bagus? Bagaimana…?!”
“Kau
membuat aku jengkel Kinasih. Sudahlah! Jika kau nanti benar-benar mengandung
dan melahirkan seorang bayi, kau bisa memelihara anak itu. Jika kau tidak sudi
memeliharanya, berikan pada orang lain. Jika kau juga tak mau melakukan hal
itu, bunuh saja bayimu! Ha… ha… ha Aku tidak perduli kau mau berbuat apa.
Karena bayi itu bukan anakku! Bukan darah dagingku!”
Kembali
Kinasih terpekik. Sekujur tubuhnya menggigil lunglai. Hampir dia jatuh ke tanah
tiba-tiba seperti ada satu kekuatan masuk ke dalam dirinya, perempuahn muda ini
lari mengejar ke atas lembah, ke arah perginya Pangeran Matahari. Dia berlari
sambil tiada hentinya memanggil-manggil nama Bagus Srubud. Dia baru berhenti
berlari ke bagian atas lembah ketika dadanya sesak dan tubuhnya terasa lemas.
Kinasih melihat dunia ini seperti berputar. Dua tangannya memegangi dada yang
mendadak terasa sakit seperti ditindih batu besar. Perlahanlahan tubuhnya
terhuyung ke belakang. Sesaat lagi dia akan terbanting jatuh dan terguling ke
dasar lembah, satu tangan kokoh merangkul pingganggnya yang ramping. Lalu dia
merasa seperti dilarikan oleh seseorang. Di satu tempat orang ini berhenti dan
menurunkannya.
“Bagus…
Bagus Srubud?”
Kinasih
berucap menyebut nama itu. Tapi ketika dia mendongak, dia tidak melihat wajah
Bagus Srubud, melainkan seorang pemuda bertampang gagah, berambut gondrong dan
memandang padanya sambil tersenyum polos.
“Aku
bukan orang yang barusan namanya kau sebut. Aku kebetulan lewat dan melihatmu
hampir terguling ke dasar lembah…”
Kinasih
seperti belum sadar dan percaya apa yang dialaminya. Dia memandang berkeliling.
“Bagus Srubud…” ucapnya perlahan. Lalu pandangannya ditujukan pada sosok pemuda
gondrong di depannya. Setelah itu dia jatuhkan diri, tutupi muka dengan dua
tangan dan mulai terisak menangis.
“Walah!
Apa ucapanku tadi ada yang salah? Sampai membuat perempuan muda ini menangis?”
Si gondrong bicara sendiri sambil garuk-garuk kepala. Dia menunggu. Tapi tangis
Kinasih semakin keras. Membuat si gondrong jadi bingung, melangkah
mundar-mandir sambil tiada henti menggaruk kepala.
“Dari
pada mencari urusan lebih baik aku tinggalkan saja perempuan ini,” kata si
gondrong pula dalam hati. Namun memandang wajah yang menangis dan kini tidak
lagi ditutupi tangan, hatinya merasa hiba.
“Ah,
kasihan juga kalau aku tinggal. Lagi pula wajahnya cantik ayu. Biar kutunggu
saja. Kalau sudah capai dia pasti berhenti menangis. Belum pernah kulihat ada
perempuan mampu menangis sampai satu hari satu malam!” Si gondrong lalu
mendekati sebuah pohon dan duduk bersandar di situ sambil senyum-senyum
memperhatikan Kinasih menangis.
Seperti
ucapan si gondrong, akhirnya Kinasih berhenti juga menangis. Dengan matanya
yang bengkak merah perempuan ini memandang pada pemuda yang duduk di bawah
pohon itu.
“Kau
siapa? Mana Bagus Srubud…?”
“Aku
tidak kenal Bagus Srubud. Juga tidak tahu dia berada di mana. Kau mau
menerangkan siapa adanya orang bernama Bagus Srubud itu?”
“Aku…”
Kinasih tutup wajahnya dengan dua tangan. “Aku tertipu. Dia… dia menculikku.
Membawaku ke goa di lembah di sana. Tutur katanya penuh rayuan. Aku tak bisa
bertahan…”
“Waktu
aku sampai di lembah ini, aku melihat seorang penunggang kuda lari ke arah sana
sementara kau mendaki lembah mengejar. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Tapi
ketika melihat kau hampir jatuh terguling, aku memutuskan menolongmu, tidak
mengejar orang berkuda itu…”
“Dia…
penunggang kuda itu Bagus Srubud. Manusia penipu. Jahanam terkutuk. Dia hanya
ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap diriku…”
“Ceritakan
apa yang terjadi dengan dirimu…”
“Aku
tidak mungkin menceritakan pada orang lain. Aku malu, benar-benar malu. Aib
yang kubuat terlalu besar. Tidak, tidak mungkin kuceritakan padamu. Apalagi aku
tidak kenal siapa kau sebenarnya…”
“Kau tak
usah malu padaku. Namaku Wiro Sableng. Ceritakan apa yang terjadi. Mungkin aku
bisa menolong…”
“Wiro
Sableng? Namamu Wiro Sableng…? Kau tahu, sableng itu artinya kurang waras, berotak
miring. Kau tidak berotak miring ‘kan?”
Si
gondrong Wiro tertawa. “Mungkin cuma sedikit kurang waras, sedikit agak
miring.”
“Aku
tidak mau bicara pada orang gila!”
Murid
Sinto Gendeng menyengir. “Kalau kau tinggal sekitar sini, sebaiknya kau segera
saja pulang ke rumah…”
Kinasih
menggeleng. “Setelah apa yang terjadi, aku tidak mungkin kembali ke rumah. Aku…
aku tinggal di Kotaraja…”
“Kebetulan
aku akan ke Kotaraja untuk satu urusan. Aku bisa menemanimu…”
Kinasih
menggeleng.
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Aku tahu, kau pasti punya pikiran begini. Orang seperti
Bagus Srubud saja yang tadinya kau sukai tidak dapat dipercaya. Apalagi orang
sableng seperti diriku.” Wiro bankit berdiri. “Kau berada di tempat aman.
Kotaraja tak jauh dari sini. Kau bisa ke sana tanpa pertolongan siapa-siapa…”
“Tunggu!”
panggil Kinasih ketika dilihatnya Wiro hendak melangkah pergi. Wiro hentikan
langkah, Kinasih menatap sejurus pemuda di hadapannya itu. “Sebenarnya wajahnya
tampan, tapi lagaknya konyol tak karuan. Kalau otaknya benar-benar kurang waras
aku bisa tambah celaka.” Kinasih berpikir lalu untuk menghilangkan kebimbangan
dia bertanya. “Apakah ku bisa kupercaya dan mau menolongku?”
“Perempuan
cantik sepertimu seharusnya jangan mudah percaya pada siapa saja. Apa lagi yang
namanya laki-laki seperti aku ini! Tapi soal menolong bagaimana aku bisa kalau
apa yang terjadi saja ceritanya aku tidak tahu!” jawab Wiro.
“Baik,
baik… aku akan ceritakan…”
“Dari
permulaan, jangan ada yang kau lupakan.”
Kinasih
mengangguk. “Namaku Kinasih. Suamiku adalah…”
“Eh, kau
ini sudah bersuami rupanya. Kukira masih gadis perawan!” Wiro memotong sambil
senyum dan garuk kepala.
Kata-kata
Wiro membuat wajah Kinasih jadi merah. “Jangan bergurau. Jangan memotong
ceritaku atau lebih baik aku bungkam saja…”
“Mulutku
memang suka ketelepasan. Tapi aku tadi bicara polos. Kau begini muda, cantik.
Siapa mengira…”
“Suamiku
adalah Raden Mas Sura Kalimarta, seorang juru ukir Keraton. Usianya sudah
lanjut, lebih dari enam puluhan. Kami kawin atas kehendak Sri Baginda. Aku
memang sejak lama mengagumi kepandaian Sura Kalimarta dan tidak menyangka satu
hari akan menjadi istrinya. Sebenarnya kalau Sri Baginda tidak keliwat memaksa,
mungkin aku tidak akan menjadi istri orang yang pantas menjadi ayah bahkan
kakekku. Selama beberapa tahun kawin kami tidak mempunyai anak…”
“Suamimu
mandul…”
Kinasih
pelototkan matanya yang merah bengkak habis menangis.
Wiro
garuk-garuk kepala. ”Maaf, mulutku usil lagi…”
“Aku
tidak tahu suamiku mandul atau tidak. Yang jelas selama kawin sekian tahun dia
tidak pernah menggauliku sebagaimana layaknya seorang suami…”
“O… ooo…”
Wiro tersenyum ketika dilihatnya Kinasih kembali membesarkan mata.
“Mungkin
suamiku sudah terlalu uzur. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dan
memperhatikan pekerjaanya. Walau aku menghormati dan mengagumi Raden Mas Sura
Kalimarta namun sebagai seorang istri hidupku penuh tekanan batin. Aku berusaha
bertahan menebalkan iman, terutama terhadap godaan dari lelaki yang berusaha
mendekatiku dan mengajakku berselingkuh. Aku tidak tahu sampai kapan bisa
berbuat begitu. Beberapa hari lalu aku menyambangi seorang sahabat yang baru
saja melangsungkan perkawinan di sebuah desa tak jauh dari Kotaraja. Waktu
pestanya aku tidak berkesempatan datang. Dalam perjalanan pulang turun hujan
lebat. Kabarnya terjadi banjir di sebuah kali yang akan dilalui rombongan.
Perjalanan kami jadi terhalang. Menjelang malam baru bisa dilanjutkan.”
“Di satu
tempat sepi dan gelap tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda menyerang
rombongan. Kami mengira dia adalah seorang perampok tunggal berani mati.
Kukatakan demikian karena dalam rombongan terdapat beberapa orang berkepandaian
tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Ki Suryo Tambaksari. Seorang pejabat
tinggi di Kotaraja yang bulan depan bakal diangkat menjadi Adipati Klaten.
Ternyata perampok tunggal itu punya kepandaian luar biasa. Semua lelaki dalam
rombongan berjumlah tujuh orang tewas di tangannya. Perampok itu juga membunuh
Ni Alursutri, sahabatku dalam perjalanan. Mayat mereka kemudian dibuang ke dalam
jurang. Aneh, mengapa dia susah-susah melakukan hal itu…”
“Karena
dia ingin menghilangkan jejak,” menyahuti Wiro.
“Mungkin
begitu,” kata Kinasih. “Anehnya lagi si perampok tidak menjarah harta atau uang
kami. Ternyata dia mengincar diriku. Dalam malam begitu gelap aku tidak sempat
melihat atau mengenali tampang si perampok, selagi aku berusaha melarikan diri,
tiba-tiba ada satu tusukan di punggungku. Aku langsung tidak sadarkan diri…”
“Hemmm…”
Wiro garuk-garuk kepala. “Itu bukan totokan biasa…” kata murid Sinto Gendeng
ini.
“Ketika
siuman, kudapati diriku berada dalam sebuah goa bersama perampok itu. Lagilagi
aku tidak bisa melihat jelas orang itu karena goa dimana aku disekap gelap.
Namun dari bentuk tubuhnya aku bisa menduga dia masih muda dan samar-samar
bayangan wajahnya tampak tampan dalam gelap.”
”Pemuda
itu mengaku bernama Bagus Srubud. Menurutnya dia menculikku untuk memaksa
suamiku. Aku bertanya memaksa apa, tapi dia tidak menjawab. Saat-saat pertama
aku sangat membenci dirinya. Tapi sikapnya yang sopan dan tutur bicaranya yang
halus membuat lama-lama aku merasa tertarik. Lalu timbul rasa suka. Entah
bagaimana aku tak tahu bagaimana menerangkannya, hari-hari berikutnya kami
sudah berada dalam hubungan sangat mesra. Aku tidak kuasa menolak semua apa yang
dilakukannya. Semua yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari suamiku…”
Sampai di situ Kinasih terdiam sejenak, wajahnya yang merah ditutupinya lagi
dengan ke dua tangannya. Setelah menahan isak dan diam lagi beberapa lamanya
baru dia melanjutkan. “Aku tahu aku telah berbuat salah dan dosa besar. Tapi
hatiku terhibur karena Bagus Srubud berjanji tidak akan meninggalkan diriku,
akan membawa aku kemana dia pergi. Menurutku ucapannya itu berarti dia akan
mengambil aku sebagai istri. Aku sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi
ke Kotaraja. Bukan saja karena aku tidak ingin kehilangan pemuda itu, tapi juga
karena aku merasa tak layak lagi untuk kembali pada suamiku.”
“Dua hari
lalu Bagus kembali ke goa. Aku tidak tahu dia pergi kemana,. Sekali ini sikap
dan sentuhannya terhadapku luar biasa. Aku mengira mungkin itu karena dia rindu
padaku. Namun ada semacam perasaan aneh yang tak biasa kupecahkan. Lalu pagi
tadi terjadi hal yang tidak kuduga sama sekali. Pertama, dari pakaiannya baru
kuketahui Bagus Srubud ternyata adalah seorang pejabat tinggi Keraton. Kemudian
ini yang membuatku ingin mati saja. Bagus Srubud meninggalkan diriku. Aku
tengah mengejarnya ketika kau muncul menolongku…”
Sampai di
sini Kinasih tak dapat lagi menahan dirinya. Perempuan ini kembali menangis.
“Aku tak tahu mau melakukan apa. Atau mau pergi kemana. Bagus Srubud jahanam!
Terkutuk dia selama-lamanya…”
“Aku
tidak yakin orang bernama Bagus Srubud itu petinggi Keraton. Kalau dia memang
orang Istana kau tidak akan dibiarkannya hidup. Setelah melakukan perbuatan
keji itu dia pasti ingin menghilangkan jejak. Tapi untuk menguji, tidak ada
salahnya kau melaporkan kejadian ini pada petinggi lainnya di Kotaraja.”
“Itu sama
saja degan membuka aibku sendiri,” kata Kinasih dan lalu geleng-gelengkan
kepalanya.
“Yang aku
takutkan kalau aku menandung. Anakku lahir tanpa ayah. Memalukan sekali. Aibku
terlalu besar. Jahanam Bagus Srubud itu malah tega berucap, jika aku tidak mau
memelihara bayiku, berikan pada orang lain atau membunuhnya!”
“Coba kau
ingat-ingat. Bagaimana ciri-ciri orang bernama Bagus Srubud itu. Tidak pernah
aku menemui manusia sekeji itu…” Wiro lalu berpikir, menduga-duga.
“Dia
masih muda. Wajahnya tampan. Rambut hitam lebat…”
“Tidak
ada tanda-tanda tertentu…?” tanya Wiro.
Kinasih
menggeleng. Wiro berpikir lagi. Dia coba mengingat-ingat kejadian malam itu.
Ketika pertama kali dia terpesat dan terkapar di bukit karang Teluk Penanjung.
Ada orang mendatanginya lalu membalikkan tubuhnya. Malam gelap, dia melihat
agak samar-smar. Orang itu bermuka cacat. Raut wajahnya menyerupai Pangeran
Matahari. Wajah Bagus Srubud tampan, tak ada cacatnya. Berarti keliru kalau dia
menduga bahwa Bagus Srubud adalah Pangeran Matahari. Dua tahun lalu dia
menghantam musuh besarnya itu hingga terjungkal dan amblas jatuh ke dalam
jurang batu karang. Apakah Pangeran Matahari menemui ajalnya di dasar jurang?
Pendekar Kipas Pelangi yang ditemuinya di Teluk Penanjung mengatakan bahwa
Pangeran Matahari telah lama menemui ajal. (Baca Episode sebelumnya berjudul “Kembali
Ke Tanah Jawa.”). Namun murid Sinto Gendeng kini mulai meragukan hal itu.
“Jangan-jangan bangsat itu masih hidup. Apa mungkin si muka cacat itu rohnya
yang gentayangan?”
“Kau
seperti melamun. Apa yang kau pikirkan?”
Pertanyaan
Kinasih membuat Wiro sadar. Sambil menggaruk kepala dia bertanya. “Apa kau
sudah menceritakan semua yang terjadi? Tidak ada yang terlupa? Sesuatu yang kau
lupakan tapi bisa menjadi petunjuk?”
Kinasih
memandang ke arah kejauhan. Kemudian menggelengkan kepala. “Kurasa semua sudah
keceritakan. Kalaupun ada rasanya bukan merupakan petunjuk, malah membuat
kepalaku jadi sakit, hatiku panas dan bertambah dendam terhadap Bagus Srubud…”
“Coba kau
ceritakan…” kata Wiro.
“Sebelum
pergi Bagus Srubud jahanam itu berkata, kalau aku sampai hamil maka itu bukan
perbuatannya. Tapi perbuatan orang lain yang melakukannya sebelum dia. Apa
tidak gila?!”
“Memang
gila tapi juga aneh. Mengapa dia berkata seperti itu…” menyahuti Wiro.
“Ada yang
lebih aneh!” kata Kinasih. “Dia berucap kalau dia hanya meneruskan permainan
Bagus Srubud yang asli. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia
memberikan tambahan kesenangan padaku selama dua hari…”
Sepasang
mata Pendekar 212 menyipit. Keningnya mengerenyit. Memang aneh. Apa maksudnya
dia berkata begitu. Apa mungkin…” Wiro tidak teruskan ucapannya. Telinganya
menangkap suara sesuatu. Seperti derap kaki kuda.
“Apa yang
harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi?”
“Kau
harus pulang ke rumahmu di Kotaraja…”
“Tidak
mungkin! Aku tidak akan melakukan hal itu…”
Wiro
mengangkat tangannya memberi tanda. “Jangan bicara, aku mendengar suara aneh.
Mendatangi
ke arah sini…”
Belum
lama Pendekar 212 berucap tiba-tiba di arah kanan kelihatan debu mengepul disertai
suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian dua sosok tinggi aneh muncul di tempat
itu. Kinasih terpekik. Kaget dan takut.
“Kinasih,
lari! Lekas tinggalkan tempat ini!” kata Wiro.
Tapi
saking takutnya Kinasih malah tidak bisa lari. Sekujur tubuhnya bergeletar
menggigil. Lututnya goyah. Seumur hidup belum pernah dia melihat makhluk aneh
mengerikan seperti ini.
“Monyet
gondrong! Dulu kau boleh lolos dari kematian karena ada yang menolong! Hari ini
jangan harap kau bisa selamat!” Satu suara berucap lantang.
Menyusul
suara kedua.
“Tapi
jika kau mau menjawab beberapa pertanyaan, nyawamu mungkin masih bisa diampuni.
Kami hanya akan membuat cacat dirimu seumur-umur. Bukan begitu saudaraku?!”
“Ha… ha…
ha! Ucapanmu betul sekali! Biar aku mulai saja dengan pertanyaan pertama!
Pendekar 212! Dimana beradanya Kitab Wasiat Malaikat?!”
“Sekarang
aku yang gantian bertanya! Pendekar 212! Apakah saat ini kau membawa Kitab
Wasiat Dewa?!”
Rahang
murid Sinto Gendeng menggembung. “Dua makhluk jahanam ini! Mereka mencari
kitab-kitab sakti itu rupanya. Aku sudah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan
kesaktian mereka di bukit karang Teluk Penanjung. Aku haru berlaku hati-hati…”
Selagi
Wiro berkata dalam hati seperti itu, salah satu dari sosok tinggi di hadapannya
berbisik pada sosok di sebelahnya. “Ada perempuan cantik bersama monyet
gondrong itu. Kalau sudah dapat keterangan segera saja kita habisi dia. Lalu
perempuan itu kita bawa kabur ke pondok di kali Pabelan.”
“Aku
setuju sekali,” jawab sosok satunya. “Memang sejak orang-orang Keraton
Surakarta mencari-cari kita, kita tidak punya waktu banyak bersenang-senang.
Sekarang ada rejeki besar di depan mata, cantik dan mulus! Siapa mau menolak?!
Ha… ha… ha!”
*******************
BAB 9
Bukit
Ampel memang terletak di pedataran yang tidak terlalu tinggi. Namun kawasan ini
serigkali diselimuti kabut, terutama mulai menjelang malam. Malam itu, baru
saja bulan purnama muncul dari balik awan tebal, kabut telah berarak turun ke
puncak bukit.
Di salah
satu lereng Bukit Ampel, susana sunyi sepi. Cahaya rembulan yang tidak menembus
kabut membuat tempat itu berada dalam keadaan gelap temaram. Di kejauhan
sesekali terdengar suara raungan anjing.
Di
gelapnya malam, di bawah hembusan angin yang terasa mencucuk dingin satu sosok
samar-samar berjalan di balik kabut. Sekeluarnya dari kabut seharusnya sosok
ini akan kelihatan lebih jelas. Tapi ternyata tetap saja bentuknya samar. Lalu
bila diperhatikan gerakan sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah!
Sosok
aneh ini berupa seorang gadis cantik berwajah pucat. Pakaiannya di sebelah atas
berupa sehelai kebaya putih dalam. Di bagian bawah dia mengenakan celana
panjang juga berwarna putih. Di puncak bukit sosok aneh ini tegak sebentar,
memandang berkeliling lalu mendongak ke langit.
“Malam
mulai larut. Apakah salah aku menyirap kabar bahwa para gadis gila itu memang
telah memilih bukit Ampel ini sebagai tempat pertemuan? Aku akan menunggu. Tapi
jika menjelang fajar mereka tidak muncul, tak mungkin begitu berada lebih lama
di tempat ini…”
Di
kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing. Di langit bulan terlindungg
awan. Puncak Bukit Ampel semakin gelap. Apa lagi kabut semakin banyak yang
turun.
Tiba-tiba
dari sebelah barat puncak bukit berkelebat satu bayangan ungu. Lenyap sebentar
ditelan kabut lalu muncul lagi lebih jelas. Ternyata orang ini adalah seorang
gadis berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang juga berwarna ungu
melingkar di lehernya, salah satu ujungnya menjulai di ats dada. Jika
diperhatikan ujung selendang yang menjulai, akan kelihatan di situ tertera tiga
buah angka yang tak asing lagi : 212. Konon angka itu Pendekar 212 Wiro Sableng
sendiri yang mengguratnya sebagai kenang-kenangan.
“Hemmm…
Satu sudah muncul…” Sosok samar berpakaian putih berkata sambil sepasang
matanya tak berkesip memandang gadis berpakaian ungu itu. Rupanya dia bisa
melihat gadis itu sebaliknya si baju ungu tidak melihat dirinya padahal jarak
mereka di puncak Bukit Ampel itu hanya terpisah kurang dari lima langkah.
Gadis
berpakaian serba ungu ini dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Anggini.
Dia pernah mendapat julukan Dewi Kerudung Biru namun dia lebih suka
memperkenalkan diri dengan nama aslinya (Baca serial Wiro Sableng berjudul
“Keris Tumbal Wilayuda.”)
Seperti
diketahui Anggini adalah murid Dewa Tuak. Sejak pertemuan Anggini yang pertama
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng yang memang sengaja diatur oleh dedengkot
persilatan Tanah Jawa itu, sebenarnya Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini
dengan Wiro. Anggini sendiri, terlepas dari niat gurunya itu secara diam-diam
memang mengasihi Wiro. Beberapa kali dia berusaha mendekati sang Pendekar.
Namun tanggapan dari murid Sinto Gendeng walaupun baik dan ramah serta mereka
sempat berkawan dekat, sama sekali tidak menjurus pada apa yang diharapkan
Anggini.
Setelah
bertahan cukup lama akhirnya Anggini menyadari bahwa tidak ada harapan baginya
untuk hidup bersama dengan Wiro. Walau hatinya sedih dan sangat berat namun
dengan penuh ketabahan Anggini berusaha menjauhkan diri dari Wiro. Terakhir
sekali mereka bertemu di Gajahmungkur sewaktu terjadi perang hebat antara para
tokoh golongan putih dengan Datuk Lembah Akhirat dan anak buahnya. (Baca serial
Wiro Sableng berjudul “Gerhana Di Gajahmungkur.”)
Anggini
kemudian pergi bersama seorang pemuda bernama Panji yang diam-diam mengasihi
gadis ini. Mereka berangkat menuju Pulau Andalas untuk memenuhi permintaan
tokoh nomor satu di sana yakni Nyanyuk Amber yang ingin mewariskan ilmu silat
dan kaktiannya pada sepasang muda-mudi itu. Walau berada jauh di seberang
lautan namun Anggini tidak pernah lupa meyirap kabar apa yang terjadi di Tanah
Jawa. Dia kemudian mengetahui bahwa sejak dua tahun terakhir Pendekar 212 Wiro
Sableng telah lenyap tanpa diketahui kemana perginya. Hasrat Anggini untuk
menyelidik apa yang terjadi dengan orang yang dikasihinya itu tak dapat
dibendung. Yang paling ditakutinya—walau sadar dia tidak berjodoh dengan
Wiro—ialah kalau Wiro tahu-tahu telah melangsungkan perkawinan dengan seseorang
tanpa dia mengetahui.
Suatu
hari, belum lagi sang surya muncul di ufuk timur, setelah membuat dua pucuk
surat, satu untuk Nyanyuk Amber dan satunya lagi untuk Panji, Anggini
meninggalkan Pulau Andalas, menyeberang ke Tanah Jawa.
Letih
berdiri menunggu, Anggini melangkah mundar-mandir di puncak bukit. Walau
hidungnya membaui sesuatu, seperti bau bunga namun Anggini tidak menyadari
kalau dia telah berulang kali melewati dekat sekali sosok gadis muka pucat
berpakaian serba putih yang juga ada di tempat itu. Sebaliknya setiap Anggini lewat
di depannya, gadis berpakaian putih memandang dengan mata membesar. Dalam hati
dia berkata. “Aku tahu dia gadis baik. Dia gadis pertama yang mengasihi pemuda
itu dengan hati bersih. Aku memang cemburu padanya. Tapi aku tidak mau
berseteru dengan dirinya. Karena ku tahu, keduanya tak berjodoh satu sama
lain…” Habis membatin seperti itu gadis berpakaian serba putih, cantik tapi
berparas pucat ini pergi duduk di atas sebuah batu. Matanya terus saja
mengawasi gerak gerik Anggini.
Puncak
Bukit Ampel semakin sunyi, angin malam semakin dingin dan kabut semakin
menebar. Anggini tiba-tiba palingkan kepala ke arah kiri. Ada suara berkelebat
dari arah situ. Sebelumnya gadis berpakaian putih telah lebih dulu menoleh ke
arah yang sama. Dari hal ini jelas diketahui bahwa bagaimanapun tingginya ilmu
kepandaian murid Dewa Tuak, namun pendengaran gadis samar berpakaian putih jauh
lebih tajam.
Sesaat
kemudian muncullah seorang gadis berpakaian ringkas biru berbunga-bunga kuning.
Walau wajahnya tidak dipoles dengan dandanan namun kecantikannya tetap terlihat
mempesona. Pipi dan bibirnya merah segar. Sepasang alisnya sangat tebal dan
hitam. Rambutnya yang panjang tergerai lepas, bergerak meliuk tertiup angin. Di
punggungnya ada sebuah kantong berisi tujuh buah payung berwarna merah, biru,
kuning, putih, hitam dan ungu.
“Dewi
Payung Tujuh!” berucap dalam hati gadis berpakaian putih samar. “Setahuku gadis
dari Pulau Andalas ini pertama kali datang ke Tanah Jawa untuk menjalankan
tugas neneknya yaitu membunuh Wiro dan mencari sebuah kitab sakti. Kitab tidak
ditemui, Wiro gagal dibunuhnya malah dia jatuh cinta pada sang Pendekar. Namun
dia hanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya lalu dialihkan pada seorang pemuda
bernama Panji. Ternyata pemuda itu pergi bersama Anggini ke Pulau Andalas.
Apakah kini dia telah menjadi seorang gadis patah hati karena kabarnya telah
memencilkan diri di satu tempat di pantai selatan? Tapi melihat kepada raut
wajahnya yang tetap segar dan ceria, agaknya dia tidak benar-benar terpukul
akibat dua kali kehilangan cinta. Lalu apa maksudnya tiba-tiba muncul di tempat
ini. Agaknya dia juga telah menerima undangan datang ke sini. Aku kasihan
padanya. Tapi harus berhati-hati karena dia kini memiliki sebilah pedang luar
biasa saktinya. Yaitu Pedang Naga Suci 212. Kabarnya dia adalah cucu seorang
tokoh hebat dari Andalas berjuluk Tua Gila yang juga merupakan guru Pendekar
212. Dia
juga pernah menyelamatkan nyawa Wiro sewaktu terluka parah akibat pukulan sakti
Tiga Bayangan Setan. Aku tak mau kesalahan tangan terhadap gadis satu ini.”
(Baca serail Wiro Sableng berjudul “Wasiat Dewa”, “Pedang Naga Suci 212”, dan
“Gerhana Di Gajahmungkur”).
Anggini
yang telah mengenal Dewi Payung Tujuh yang aslinya bernama Puti Andini segera
datang menyambut.
“Aku
senang melihat kau bisa datang…” Anggini membuka pembicaraan.
“Aku
lebih gembira melihat kau sudah lebih dulu di sini. Kau datang jauh-jauh dari
tanah seberang.” Kata Puti Andini sambil dalam hatinya mengagumi besarnya rasa
cinta Anggini terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini memandang
berkeliling. “Ah, baru kita berdua yang datang. Agaknya kita harus bersabar
menunggu para sahabat yang lain.”
“Siapa
lagi menurutmu yang akan memenuhi undangan datang ke Bukit Ampel ini?” Puti
Andini bertanya.
“Kurasa
kita hanya tinggal menunggu dua orang saja. Sahabat Bidadari Angin Timur dan
Ratu Duyung,” jawab Anggini. Gadis ini memandang berkeliling lalu berkata. “Aku
sejak tadi membaui sesuatu di tempat ini. Apakah kau juga bisa mencium…”
“Ya, aku
memang mencium sesuatu,” sahut Puti Andini. “Seperti bau bunga… Tapi di udara
berkabut seperti ini apa saja bisa menimbulkan bau aneh.”
Gadis
muka pucat berpakaian putih yang tidak terlihat baik oleh Anggini maupun Puti
Andini tersenyum kecil mendengar percakapan dua gadis itu.
“Seperti
ada angin bertiup dari arah sana…” Puti Andini berkata seraya menunjuk ke arah
kegelapan di sebelah sana.
“Aku
mencium bau harum semerbak. Agaknya salah satu dari orang yang kita tunggu
segera muncul di sini. Dan aku sudah bisa menduga siapa orangnya.”
Baru saja
Anggini selesai berucap tiba-tiba dari balik kabut tebal berkelebat satu
bayangan biru disertai menebarnya bau sangat harum. Lalu muncullah gadis cantik
jelita tinggi semampai berambut pirang sepinggang.
“Sahabat
Bidadari Angin Timur!” Anggini dan Puti Andini menyebut nama gadis yang datang
hampir berbarengan.
“Kalian
sudah lebih dulu sampai rupanya,” kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum.
Sepasang lesung pipit muncul di pipinya. “Aku gembira kita bisa bertemu dan
berkumpul lagi.” Dengan kedua gadis itu Bidadari Angin Timur memang merasa agak
dekat. Salah satu sebabnya karena dia tahu bahwa mereka bukan merupakan saingan
yang berat dalam mencintai dan mendapatkan cinta dari Pendekar 212 Wiro
Sableng.
“Kita
tinggal menunggu satu kawan,” kata Anggini. “Aku tahu. Kita tak akan menunggu
lama. Sebentar lagi dia pasti akan hadir di sini,” jawab Bidadari Angin Timur
seraya memandang berkeliling. Lalu dia menyambung ucapannya tadi. “Tapi jika
yang kita tunggu tidak segera datang, untuk tidak membuang waktu lebih baik
kita
tinggalkan bukit ini. Kita bicarakan persoalan yang dihadapi di satu tempat
lain…”
Puti
Andini dan Anggini saling pandang heran. Anggini lantas berucap.
“Mengapa
begitu, Bidadari Angin Timur? Mengapa kita harus berpindah tempat? Padahal
kesepakatan sebelumnya di bukit ini kita akan bicara tuntas…”
Bidadari
Angin Timur tersenyum. ”Nanti aku jelaskan pada kalian. Kalau orang yang kita
tunggu memang tidak muncul.”
Sampai
saat itu gadis cantik bermuka pucat yang duduk di batu masih tetap di
tempatnya. Sepasang matanya tidak lepas-lepas memperhatikan gadis berambut
pirang yang baru datang. Dia tahu dibanding dengan Anggini dan Puti Andini,
Bidadari Angin Timur merupakan gadis cantik paling banyak mendapat tempat di
hati Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Walau
Wiro banyak membagi perhatian padanya, tapi apakah gadis satu ini benar-benar
mencintai pemuda itu masih belum ada kejelasan. Setahuku dia belum pernah
menyatakan rasa cintanya terhadap Wiro. Aku harus banyak memperhatikan gadis
satu ini. Dia yang paling berhasrat untuk mendapatkan Wiro walau kadang-kadang
di luaran bersikap seperti tidak acuh. Barusan dia mengajak dua gadis lainnya
untuk pergi ke tempat lain. Aku tahu alasannya. Dia ingin menghindari pertemuan
dengan gadis yang segera akan muncul. Karena gadis itu merupakan saingannya
paling berat. Apa lagi beberapa waktu lalu mereka sempat berperang mulut di
satu pekuburan. Dia ingin mencuri waktu untuk mendapatkan kesempatan. Si pirang
ini selain cantik dan memiliki kepandaian tinggi, dia juga mempunyai otak
cerdik…”
Selagi
Bidadari Angin Timur, Anggini dan Puti Andini bercakap-cakap, di lereng bukit
sebelah timur seorang yang berlari cepat sesaat hentikan larinya. Orang ini
mengenakan pakaian panjang ketat berwarna putih, ditaburi manik-manik berwarna
merah. Walau malam gelap tapi pakaian yang seolah mencetak bentuk tubuhnya yang
bagus itu kelihatan berkilau-kilau. Di atas kepalanya ada satu mahkota kecil
terbuat dari kerang berwarna merah. Anting, kalung dan gelang dari kerang juga
menjadi perhiasannya. Sepasang mata yang berwarna biru menambah kecantikan dan
keanggunannya. Orang yang menghentikan lari dengan tiba-tiba ini adalah Ratu
Duyung. Dari balik pakaiannya sang Ratu keluarkan sebuah cermin bulat.
Memandang ke dalam cermin sakti itu dia bisa melihat puncak Bukit Ampel.
Mula-mula
hanya kegelapan yang terlihat. Ratu Duyung gerakkan cermin saktinya beberapa
kali. Sesaat puncak bukit masih tampak menghitam. Kemudian mulai terlihat
bayanganbayangan samar. Sang Ratu kerahkan tenaga dalam. Bayangan di cermin
tampak menjelas.
“Ada tiga
orang di puncak bukit sana…” Ratu Duyung berucap perlahan. “Wajah mereka masih
agak samar, Tapi dari potongan tubuh aku bisa menduga siapa saja mereka. Kalau
pertemuan nanti berlangsung jujur, aku akan jelaskan pada mereka semua apa yang
kuketahui. Tapi kalau ada yang ingin menang sendiri, apalagi mengungkit-ungkit
peristiwa lama, biar dia kubikin susah…” Ratu Duyung hendak masukkan cermin sakti
kembali ke balik pakaian tapi tibatiba dia melihat sesuatu di sudut kaca
sebelah atas.
“Astaga…
Mataku hampir terlewat memperhatikan bayangan di bagian atas kaca. Aneh… Tiga
gadis itu terlihat jelas. Kalau memang ada empat orang di puncak Bukit Ampel
mengapa yang satu ini tidak muncul secara lebih jelas dalam cermin?” Ratu
Duyung kembali kerahkan tenaga dalam. Satu cahaya putih berkilau di bagian atas
cermin itu. Sang Ratu merasakan getaran halus di jari-jari tangan dan sepanjang
lengan kanannya. “Aneh, jangan-jangan dia… Perempuan setan itu! Dendamku masih
belum hapus terhadapnya. Dia dulu mencelakai diriku di Puri Pelebur Kutuk! Tapi
untuk pastinya biar kuuji dengan ilmu Menyirap Detak Jantung.”
Habis
berkata begitu Ratu Duyung simpan cermin saktinya. Dua tangnnya dirangkapkan di
depan dada. Telapak tangan kanan dikembangkan, ditempelkan di dada kiri atas,
tepat di jurusan atas jantung. Mulutnya dikatup rapat sementara matanya yang
berwarna biru setengah dipejamkan.
Sesaat
kemudian kelihatan wajah Ratu Duiyung berubah. “Benar dia…” katanya dalam hati.
“Aku hanya mendengar tiga detak jantung. Detak jantung orang yang ke empat sama
sekali tidak ada! Manusia hidup tidak mungkin tanpa jantungnya berdetak.
Mengapa dia bisa muncul di Bukit Ampel. Siapa yang mengundangnya?! Aku harus
berhati-hati…”
*******************
BAB 10
Bidadari
Angin Timur merasakan sambaran angin halus. Serta merta gadis ini melirik ke
samping kanan dan berkata. “Orang yang kita tunggu sudah datang!”
Dari
balik kabut tebal di arah sebelah kanan menyeruak muncul sosok Ratu Duyung
dengan segala keanggunannya. Dia tersenyum sambil menganggukkan kepala pada
tiga gadis yang sudah datang lebih dulu.
“Maafkan,
aku datang terlambat. Kalian tentu sudah lama menunggu. Aku gembira bisa
bertemu dengan kalian,” kata Ratu Duyung. Walau tiga gadis lainnya memiliki
kecantikan bukan sembarangan, namun sang ratu memiliki kelebihan yakni cara
bicara dan sikap yang anggun. Apalagi tidak seperti yang lain-lainnya, dia
mengenakan pakaian mewah, bagus dan ketat mencetak bentuk tubuhnya yang molek
serta wajah dirias apik mempesona. Ditambah dengan mahkota kecil di atas
kepalanya maka penampilan sang Ratu satu tingkat melebihi tiga gadis lainnya.
Baru saja
sang Ratu berucap begitu tiba-tiba tubuhnya kelihatan terhuyung ke depan
seperti ada sesuatu yang membenturnya.
“Ratu
Duyung, ada apa? Kau kurang sehat…?” bertanya Anggini sambil maju dan memegang
lengan Ratu Duyung yang saat itu telah bisa mengimbangi diri.
“Aku
hanya sedikit letih. Tak apa-apa. Kita bisa segera langsung membicarakan
persoalan yang tengah kita hadapi,” menjawab Ratu Duyung dengan tenang walau
wajahnya yang jelita jelas kelihatan berubah. Dalam hati sang Ratu merutuk.
“Makhluk salah kaprah! Sekali lagi kau berlaku lancang akan kugempur kau habis-habisan!”
Apa yang
sebenarnya telah terjadi?
Begitu
Ratu Duyung muncul di puncak Bukit Ampel sosok samar berpakaian putih serta
merta berdiri dari batu yang sejak tadi didudukinya. Wajahnya yang pucat sesaat
kelihatan memerah sedang sepasang matanya memandang tak berkesip.
“Hemmm…
Akhirnya muncul juga Ratu lacur ini. Sikapnya agung, tetapi dia yang paling
bernafsu ingin memiliki Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia tidak segan-segan
menempuh cara keji sekalipun. Kalau tidak kuhalangi, peristiwa di Puri Pelebur
Kutuk dulu itu pasti akan membuat Wiro sengsara seumur hidup dan menjadi budak
nafsunya…”
Tanpa
bersuara sosok samar itu mendekati Ratu Duyung dari belakang lalu dengan tangan
kanannya mendorong bahu kiri sang Ratu hingga gadis jelita bermata biru ini terhuyung-huyung
ke depan.
“Kita
sudah lengkap semua. Sebaiknya kita mulai pembicaraan.” Berkata Bidadari Angin
Timur.
“Aku
setuju. Makin cepat selesai berarti makin baik kita memutuskan apa yang akan
dilakukan. Kita…“ Belum habis Ratu Duyung berucap kembali tubuhnya terhuyung.
Tiga gadis berseru kaget. Puti Andini dan Anggini cepat memegang bahu sang Ratu
kiri kanan.
“Ratu
kurasa kau dalam keadaan kurang sehat. Sudah dua kali kami lihat kau mau jatuh.
Di sana ada batu. Sebaiknya kau duduk saja di batu itu…” Anggini segera hendak
membimbing Ratu Duyung ke sebuah batu besar beberapa langkah di depan sana.
“Aku tak
kurang suatu apa. Namun agaknya ada satu makhluk kurang ajar bermaksud tidak
baik terhadapku, mungkin terhadap kita semua yang ada di sini. Kurang ajar tapi
pengecut karena tidak berani menampakkan diri!”
“Ratu,
apa maksudmu?” tanya Bidadari Angin Timur sementara Anggini dan Puti Andini
memandang heran pada Ratu Duyung.
“Kalian
bertiga lebih dulu datang ke puncak bukit ini. Apa tidak mencium bau aneh…?”
Ratu Duyung balik bertanya.
Bidadari
Angin Timur saling pandang dengan dua gadis lainnya lalu berkata. “Memang sejak
tadi kami mencium bau aneh. Tapi kami tidak begitu perduli…”
“Bau itu
adalah bau bunga kenanga. Bunga kematian alias bunga mayat! Kemanapun dia
pergi, bau itu akan selalu mengikutinya. Itulah bau sosok roh gentayangan
makhluk yang pernah lahir di dunia dengan nama Suci. Sering dipanggil dengan
nama Bunga. Dia sudah lama menemui kematian secara tidak wajar. Rohnya
penasaran ingin kembali ke dunia ini. Tapi tidak bisa! Dia yang tadi
mendorongku sampai dua kali!”
Puti
Andini yang tidak pernah mengenal siapa adanya Suci atau Bunga tidak
menunjukkan sikap apa-apa. Lain halnya dengan Anggini dan Bidadari Angin Timur.
Dua gadis ini sama-sama tersurut satu langkah. Bidadari Angin Timur bertanya
untuk meyakinkan.
“Ratu
Duyung, yang kau maksudkan dengan makhluk roh itu, apakah dia yang pernah
dijuluki Dewi Bunga Mayat?!”
“Memang
dia!” jawab Ratu Duyung. “Dia ada di sini. Memata-matai pertemuan kita.
Memalukan sekali, tidak diundang berani muncul di tempat ini!” Ratu Duyung
keluarkan suara mendengus dari hidunnya.
Baru saja
Ratu Duyung berucap dan mendengus, tiba-tiba terasa ada getaran aneh di puncak
Bukit Ampel. Kabut yang sejak tadi menutupi sebagian bukit itu bergerak
menebar. Lalu dibarengi dengan santarnya bau harum menggidikkan satu bayangan
putih berkelebat. Di lain kejap satu sosok dara jelita bermuka pucat berpakaian
serba putih kelihatan berdiri hanya lima langkah di hadapan Ratu Duyung
.Sepasang matanya memandang dingin tak berkedip pada mata biru sang Ratu. Sosok
yang muncul ini memang adalah Suci alias Bunga yang pernah dikenal dengan
julukan Dewi Bunga Mayat! (Mengenai makhluk roh berparas jelita ini harap baca
serial Wiro Sableng berjudul “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Satu
senyum sinis yang ditunjukkan pada Ratu Duyung menyeruak di wajah pucat Suci.
“Ratu bermata biru, kau menyembunyikan perasaan hati culas di balik kejelitaan
wajahmu!”
Bidadari
Angin Timur serta merta sudah bisa menduga kalau di tempat itu akan segera
terjadi perang mulut bahkan mungkin adu kekuatan antara Ratu Duyung dengan
Suci. Dia hendak menengahi tapi selintas pikiran muncul dalam benak gadis
berambut pirang ini. Terus terang dia sendiri tidak begitu suka dengan Ratu
Duyung walau sebelumnya mereka pernah berbaik-baik. Apalagi mengingat kejadian
di pekuburan beberapa waktu lalu. (Baca Episode pertama berjudul “Kembali Ke
Tanah Jawa”). Setelah memutar otaknya Bidadari Angin Timur memutuskan untuk
diam saja. Mungkin dengan berlaku diam akan lebih menguntungkan bagi dirinya.
Mendengar
kata-kata Suci itu Ratu Duyung lontarkan seringai tak kalah sinisnya. Dia
langsung menyahuti. “Terkadang manusia itu dinilai dari kata dan ucapannya.
Sudah muncul tidak diundang, beraninya menuduh orang berhati culas!”
Suci
tertawa panjang. “Alam bebas langit terkembang. Apakah ada aturan yang
melarang, siapa saja datang ke Bukit Ampel ini?”
“Tidak
ada larangan! Sekalipun untuk makhluk salah kaprah seperti dirimu. Tapi jika
kehadiran membawa maksud tidak baik, sembunyi-sembunyi lalu hendak mencelakai
orang lain, hai! Apakah ada salahnya jika aku dan semua yang ada di sini harus
bersikap waspada…?”
Kembali
Suci tertawa panjang. “Kau pandai bicara, sengaja melibatkan tiga gadis lainnya
itu. Jangan sembunyi di balik ilalang kecantikan wajah dan kepandaian bicara.
Semua orang tahu siapa adanya Ratu Duyung! Sungguh hebat! Kau bergabung dengan
gadis-gadis jujur untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Aku kawatir jangan-jangan kau sengaja mengelabui mereka untuk mencari
keuntungan sendiri. Karena siapa yang lupa bahwa kau pernah mencelakai pendekar
itu ketika kau culik dia dan kau sekap di Puri Pelebur Kutuk beberapa waktu
lalu?!”
Paras
Ratu Duyung menjadi merah. “Kejadian itu sudah lama berlalu. Bahkan Pendekar
212 Wiro Sableng sudah melupakannya. Mengapa kau yang tidak ada sangkut paut
dengan urusan orang kini mengungkit-ungkit perkara itu? Untuk membakar hati
tiga gadis ini? Aku tidak menculik, apalagi menyekap Pendekar 212. Dia datang
dengan kemauan sendiri, dengan niat suci hendak menolongku. Kau saja yang
tiba-tiba muncul kalang kabut membawa hati jahat seribu duga! Kau mecelakai
beberapa anak buahku, merusak tempat kediamanku. Dan bukankah kau kemudian
menculik Wiro! Hai, kalau aku boleh bertanya kau bawa kemana pendekar itu? Ke
alam rohmu yang serba gelap pengap itu?! Apa yang kau lakukan di sana
terhadapnya?” Habis berkata begitu Ratu Duyung lalu tertawa panjang.
Kali ini
muka pucat Suci yang kelihatan berubah merah. Sepasang matanya yang selama ini
selalu memandang sedingin es kelihatan seperti dikobari api.
“Ratu
Duyung, kau pandai bersilat lidah, memutar balik kenyataan, mencari kambing htam
agar dapat menutupi kebejatan diri dan melemparkannya pada orang lain! Wiro
memang berhati tulus hendak menolongmu. Tapi kebaikannya kau balas dengan
mencelakai dirinya…”
“Siapa
bilang aku mencelakai dirinya! Siapa bilang aku mencari kambing hitam. Aku tadi
bertanya, apa yang kau lakukan terhadap Wiro di alam rohmu? Bercinta
bermesraan? Adakah pantas roh gentayangan bercinta mesra dengan insan penghuni
bumi? Hanya makhluk salah kaprah lahir batin dan mencari keuntungan sendiri
seperti dirimu yang mampu melakukan perbuatan tidak terpuji itu!”
Melihat
perang mulut itu semakin panas, Anggini melangkah maju hendak memisah. Tapi
lengannya cepat dipegang oleh Bidadari Angin Timur. “Urusan mereka berdua
jangan kita campuri….” bisik Bidadari Angin Timur.
“Jika tidak
dicegah urusan kita bisa jadi kacau balau…” menjawab Anggini.
“Biarkan
saja. Jika sudah capai mereka akan berhenti sendiri…”
“Mereka
tidak akan capai kecuali kalau salah satu dari mereka menemui kematian! Itu
yang aku takutkan!” jawab Anggini namun Bidadari Angin Timur masih terus
memegangi lengannya hingga Anggini tidak bisa bergerak melangkah.
“Ratu
Duyung, kau memang makhluk tidak tahu berterima kasih. Tapi aku tidak heran
melihat kelainan dalam perbuatan dan pikiranmu. Bukankah kau makhluk pewaris
kutuk laknat yang sebenarnya akan tetap terpendam di dalam kutuk kalau tidak
ditolong Wiro?!”
“Kau
cemburu aku mendapat pertolongan dari pemuda gagah dan sakti itu? Aku tidak
heran kalau Penekar 212 disukai banyak gadis. Tapi kalau roh gentayangan
sepertimu ikut-ikutan menyukainya sungguh mengerikan! Apa kau kira kau bisa
mendapatkan dirinya dan hidup bersamanya? Belum pernah aku dengar ada roh yang
berjodoh lalu kawin dengan manusia! Jadi kau harus tahu diri. Jangan berharap
terlalu banyak dengan bermanis diri ke sana kemari sambil menebar ucapan busuk
dan melakukan perbuatan tidak terpuji dimana-mana! Lebih bak kau kembali saja
ke alammu, jangan pernah lagi memperlihatkan diri di alam manusia!”
Suci
memekik keras. “Ratu bejat! Rohmu jauh lebih busuk dari semua roh yang ada di
muka bumi ini! Biar aku buktikan dengan mengirimmu ke alam sana!”
Habis
berkata begitu Suci alias Dewi Bunga Mayat hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Dari tanah serta merta membersit satu cahaya merah.
Cahaya
ini merambat ke atas memasuki tubuh Suci, terus ke kepala. Begitu cahaya merah
memasuki kedua matanya, saat itu juga cahaya itu melesat keluar dan dengan
segala kedahsyatan dan keangkerannya berkiblat ke arah Ratu Duyung! Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Roh Mendera Bumi. Selama ini tidak ada satu manusiapun
bisa selamat dari serangan. Jangankan manusia, batu besar sekalipun bisa hangus
hancur berkeping-keping!
Pada saat
Suci hentakkan kakinya ke tanah dan ada sinar merah melesat ke atas, tiga gadis
bertindak cepat. Pertama sekali tentu saja Ratu Duyung. Secepat kilat gadis ini
keluarkan cermin saktinya. Sambil melompat ke samping cermin bulat ini diputar
demikian rupa sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Selarik sinar putih
menghambur menyilaukan di malam gelap, menghantam ke arah Suci.
Suci
sendiri saat itu terhuyung ke samping setelah tubuhnya didorong oleh Puti
Andini dan Anggini. Ke dua gadis ini berusaha mencegah Suci melancarkan
serangan sambil berteriak agar Ratu Duyung jangan balas menyerang.
Dua
gelegar dahsyat menggema di puncak Bukit Ampel. Satu lamping batu hancur.
Setiap keping hancuran bertebaran di udara, berubah menjadi bara merah
mengepulkan asap. Sungguh mengerikan akibat hantaman ilmu Roh Mendera Bumi yang
dilancarkan Suci. Di tempat lain serumpun semak belukar dan satu pohon besar
tumbang lalu tenggelam dalam kobaran api akibat sapuan sinar putih yang keluar
dari cermin sakti Ratu Duyung.
Ratu
Duyung tegak tergontai-gontai. Mukanya yang cantik seperti tdak berdarah. Dari
sela bibirnya ada cairan merah meleleh jatuh ke dagu.
Walau
selamat dari serangan maut Suci namun bentrokan tenaga dalam membuat sang Ratu
terluka di sebelah dalam.
Di tempat
lain sosok Suci bergulingan di tanah, lalu jatuh tumpang tindih dengan tubuh
Anggini dan Puti Andini yang tadi berusaha mencegahnya melepaskan pukulan
sekaligus menyelamatkannya dari serangan Ratu Duyung.
“Kalian
mencegahku menyerang Ratu keparat itu! Kalian melindunginya! Kalian berserikat
jahat dengannya!” Suci berucap setelah mendorong Anggini dan Puti Andini yang
ada di sampingnya.
“Sahabat,
jangan salah menduga!” kata Anggini. “Kami tidak ingin terjadi pertumpahan
darah di antara kita. Maksud kedatangan kami ke bukit ini adalah untuk
menjajagi apa yang terjadi dengan diri Pendekar 212 Wiro Sableng. Walau
sebelumnya kami tidak menghubungimu, tapi kau telah bersedia datang ke sini.
Kami sangat berterima kasih. Berarti apa yang ada di dalam pikiran dan hatimu
sama dengan yang ada dalam diri kami. Sahabat Suci, harap kau bersabar diri.
Kau sebenarnya bisa membantu banyak menacari Pendekar 212…”
“Siapa
sudi membantu Ratu jahanam itu!” bentak Suci.
“Jangan
cuma memandang pada dirinya. Harap kau memperhatikan kepentingan kita bersama.
Apakah kau tidak ingin melihat kita menemukan Wiro dalam keadaan selamat…?”
Mendengar
kata-kata Anggini itu, agak surut amarah Suci. Matanya mendelik memandang ke
arah Bidadari Angin Timur. Dalam hati dia berkata.
“Si pirang
itu. Dia hanya berdiri tegak, tidak melakukan apa-apa. Dia ingin aku celaka di
tangan Ratu Duyung! Aku tahu apa yang ada di otaknya yang cerdik. Kalau salah
satu dari kami mengalami celaka, dia akan lebih punya peluang mendapatkan
Pendekar 212. Huh, dia mengira begitu!”
“Suci,
kurasa kau bisa menerima ucapan sahabat Anggini….” berkata Puti Andini.
Suci
anggukkan kepala. “Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Aku merasa lebih
baik meninggalkan tempat ini…” Di wajah Suci muncul bayangan kesedihan. Dalam
hatinya ada satu suara berkata. “Wiro, semua ini aku lakukan karena cinta
kasihku padamu. Itu sebabnya aku sulit untuk mencari dan menemukan dirimu. Itu
sebabnya aku berusaha memasuki alammu. Tapi rasanya alammu tidak begitu
bersahabat dengan diriku. Aku menyadari bahwa tidak akan ada insan yang mau
berbagi rasa dengan diriku. Mereka akan mengejek diriku jika mengetahui
bagaimana aku sangat mencintaimu. Wiro, kalau saja alam kita tidak berbeda,
matipun sudah sejak dulu kulakukan demi untuk mendapatkan dirimu. Wiro, masih
terngiang di telingaku ucapanmu waktu mengatakan ketulusan cintamu padaku…”
(Baca “Misteri Dewi Bunga Mayat”).
Anggini
dan Puti Andini jadi saling pandang terheran-heran ketika bagaimana di sudut
mata Suci menggelincir air mata bening. Dua gadis ini serta merta ikut
diselimuti kesedihan.
“Kami
tidak memintamu pergi,” kata Anggini pula. “Tapi jika kau memutuskan demikian
rasanya
itu memang lebih baik.”
“Kalian
berdua telah berlaku baik padaku. Aku tidak akan melupakan hal itu. Anggini,
Puti…. Kalau saja kalian tahu bagaimana rasanya hidup di alamku yang penuh
kegelapan, dimana aku hanya melihat Pendekar 212 Wiro Sableng sabagai
satu-satunya pelita penerang jalan, kalian akan memaklumi mengapa aku ingin
selalu keluar dari kegelapan itu. Aku tahu, aku tidak akan mungkin mendapatkan
pemuda itu. Namun cinta kasih sejati bukan berarti selalu memiliki…”
“Kami
mengerti Suci, kami mengerti…” kata Puti Andini seraya menyeka air mata yang
berguling di pipi Suci. Dia tidak menyadari kalau saat itu air mata juga
menetes jatuh ke pipinya.
“Anggini,
sebelum aku pergi maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Aku akan
melakukan apa saja yang dapat kulakukan untukmu Suci,” jawab Angini, murid Dewa
Tuak.
Dari
balik pakaiannya Suci mengeluarkan sebuah benda berwarna kuning. Ternyata benda
itu adalah sekuntum bunga kenanga. Tempat itu segera ditebari bau harumnya
bunga.
“Anggini,
jika kau bertemu dengan Pendekar 212, berikan bunga kenanga ini padanya…”
“Akan
kulakukan. Pesan atau apa yang harus aku katakan padanya?” tanya Anggini sambil
pandangi bunga itu sesaat lalu mengambilnya.
“Kau tak
usah mengatakan apa-apa. Juga tak ada pesan dariku. Wiro sudah tahu artinya
bunga itu…”
“Baik,
akan kusampaikan bunga ini pada Pendekar 212.”
“Terima
kasih Anggini. Selamat tinggal sahabat-sahabatku…”
“Kami
selalu mengharapkan bisa bertemu lagi denganmu Suci,” kata Anggini sambil
memegang tangan Suci erat-erat sementara matanya sendiri sudah berkaca-kaca
sejak tadi.
Bau harum
bunga kenanga merebak di pucak bukit. Suci tersenyum pada dua gadis di
depannya, wajah yang tersenyum itu kemudian berubah lagi seperti menjadi asap.
Anggini perhatikan tangannya yang tadi memegang lengan Suci. Kini dia hanya
memegang udara kosong. Suci telah lenyap.
Anggini
dan Puti Andini menghela nafas dalam lalu berpaling ke arah Ratu Duyung yang
masih tegak berdiri. Matanya yang biru kelihatan terbuka lebar. Sementara itu
Bidadari Angin Timur masih tetap berada di tempatnya semula. Dia baru beranjak
ketika dilihatnya Puti Andini dan Anggini melangkah mendekati Ratu Duyung.
“Ratu,
ada darah di sela bibirmu. Kau terluka di dalam…” kata Anggini lalu
mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menyeka darah yang ada di sudut bibir sang
Ratu.
“Terima
kasih. Aku memang terluka di dalam tapi tidak apa-apa…” kata Ratu Duyung.
Dari
kantong perbekalannya Puti Andini keluarkan satu kantong kain. Dari dalam
kantong ini dia mengambil sebutir obat berwarna kuning lalu menyerahkannya pada
Rstu Duyung. “Minumlah, sebelum fajar datang mudah-mudahan luka dalammu sudah
sembuh.”
“Ah, kau
baik sekali. Terima kasih.” Ratu Duyung mengambil obat kuning yang diserahkan
lalu tanpa ragu memasukkan obat itu ke dalam mulut dan menelannya. Dia menarik
nafas panjang beberapa kali. “Aku merasa lebih baik sekarang. Bagaimana kalau
kita mulai membicarakan persoalan yang kita hadapi?”
*******************
BAB 11
Setalah
lebih dulu menatap wajah tiga gadis itu satu persatu baru Bidadari Angin Timur
mulai bicara.
“Para
sahabat, kita semua tahu apa maksud tujuan pertemuan ini. Kita juga sama menyadari
bahwa dasar pertemuan ini adalah membuang jauh-jauh kepentingan pribadi. Kita
mempunyai tujuan sama yakni mencari tahu dimana beradanya Pendekar 212 Wiro
Sableng. Apa yang terjadi dengan dirinya. Selama ini mungkin di antara kita
telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk mneyelidik. Namun hasilnya nihil.
Mungkin jika kita bergabung, membagi jalan pikiran serta mengungkapkan apa yang
kita keahui, akan lebih mudah melakukan penyelidikan…”
“Sahabat
Bidadari Angin Timur, maafkan kalau aku lancang mulut berani memotong
ucapanmu,” berkata Angini.
“Apa yang
hendak kau sampaikan Anggini?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Terus
terang, aku yang berada jauh di Pulau Andalas, juga Puti Andini yang
memencilkan diri di pantai selatan, walau diselimuti rasa kekawatiran, namun
tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan penyelidikan…”
“Aku dan
Ratu Duyung rasanya dapat mengerti hal itu. Kami yang ada di Pulau Jawa saja
belum bisa mengetahui apa-apa. Apa lagi kalian yang jauh. Namun ada satu
temuanku yang perlu aku beritahukan pada kalian. Menurut kabar yang aku dengar
dari beberapa tokoh persilatan ternyata diketahui bukan cuma Wiro saja yang
lenyap secara aneh. Ada dua orang tidak diketahui rimbanya dalam jangka waktu
bersamaan dengan lenyapnya Pendekar 212. Mereka adalah seorang tokoh silat aneh
berjuluk Setan Ngompol. Kita semua pernah bertemu dengannya. Orang kedua
seorang bocah dikenal dengan nama Naga Kuning. Anak ini juga pernah bertemu
dengan kita. Aku berusaha menyelidik lebih jauh. Hasilnya tidak banyak.
Diketahui ke tiga orang itu lenyap dalam waktu bersamaan. Diketahui pula
ketiganya terlihat bersama-sama sebelum raib entah kemana…” Setelah diam sesaat
Bidadari Angin Timur melanjutkan. “Dalam perjalanan ke sini, aku menyirap satu
kejadian di Kotaraja. Juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta ditemukan
tewas di rumahnya dengan kepala pecah. Istrinya lenyap. Tapi kukira kejadian
ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang tengah kita selidiki. Karenanya
sekarang biar aku langsung saja pada satu kabar yang baru kudengar sejak
beberapa hari ini. Kabar itu mengatakan bahwa Pendekar 212 telah menemui
kematian sekitar satu tahun lalu…”
Anggini
tersentak pucat mendengar keterangan Bidadari Angin Timur itu. Puti Andini
keluarkan seruan tertahan sedang Ratu Duyung terdiam dengan mata birunya
membelalak besar.
“Kita
harus menyelidiki kebenaran kabar itu,” kata Bidadari Angin Timur melanjutkan.
“Di balik berita kematian Pendekar 212, menyusul kabar agak aneh. Yang pertama
mengatakan Pendekar 212 dimakamkan di pekuburan Banyubiru, tah jauh dari Telaga
Rawapening. Kabar kedua menyebut Wiro dikebumikan di satu pekuburan dekat Candi
Kopeng…”
“Ini
memang aneh,” Ratu Duyung membuka mulut. “Karena kabar yang aku dengar justru
Pendekar iu telah dimakamkan di Gunung Gede, tak jauh dari tempat kediaman
gurunya Sinto Gendeng.”
“Berarti
ada tiga makam yang harus kita selidiki,” kata Anggini pula. “Kita bisa
menyelusuri kebenaran kabar itu satu persatu. Candi Kopeng dekat dari sini.
Telaga Banyubiru tak berapa jauh di sebelah utara. Untuk menyelidik ke Gunung
Gede memang jauh dan butuh waktu…” kata Anggini.
“Kalau
begitu kita bisa mulai menyelidik ke pekuburan di Kopeng. Jika kita berangkat
sekarang, paling lambat setelah matahari tenggelam kita sudah sampai di sana.”
Kata Ratu Duyung lalu memandang pada tiga gadis lainnya menunggu pendapat
mereka.
“Aku
setuju. Kita berangkat ke Kopeng sekarang.” Bidadari Angin Timur menanggapi
ucapan Ratu Duyung. Anggini dan Puti Andini menurut saja.
Ketika
tiga gadis hendak bergerak pergi Ratu Duyung berkata. “Tunggu! Ada satu hal
yang ingin kuceritakan dan kutanyakan pada sahabat Bidadari Angin Timur.”
Tiga
gadis menahan langkah sama membalik. Bidadari Angin Timur menatap sesaat lalu
bertanya.
“Ratu
Duyung, apa yang hendak kau ceritakan? Aku siap menjawab pertanyaanmu…”
“Bidadari
Angin Timur, aku bicara mengenai pertemuan kita beberapa waktu lalu di
pekuburan dekat Candi Pawan. Sebelum aku menemuimu, kau telah menjebol sebuah
makam. Kau ingat?”
“Aku
ingat,” jawab Bidadari Angin Timur. “Memangnya kenapa?”
“Tak lama
setelah kau pergi, dari dalam makam itu melesat keluar sosok mengerikan seorang
nenek. Kulit muka dan dadanya terkelupas. Hidungnya gerumpung. Matanya cuma
satu. Itu belum seberapa. Yang membuat aku benar-benar setengah mati ketakutan,
nenek ini buntung tangan kanannya. Dan tangan yang buntung itu menempel
melintang di atas keningnya!”
“Ada
manusia keluar dari dalam makam. Itu saja sudah sulit dipercaya!” kata Bidadari
Angin Timur. “Lalu di keningnya menempel tangan kanannya sendiri! Itu tambah
lebih sulit dipercaya!”
“Tapi aku
menyaksikan sendiri! Aku berteriak memanggilmu. Tapi kau sudah lenyap. Aku
mengira semua itu adalah permainan akal licikmu hendak menakuti diriku…”
“Ratu
Duyung, keterlaluan kalau kau menuduh seperti itu!” Bidadari Angin Timur tidak
senang.
“Aku
tidak menuduhmu. Aku hanya menghubungkan kejadian itu dengan ucapan sebelumnya
di atas makam. Ingat, waktu itu kau kudengar berteriak begini.
“Orang di
atas makam! Tak ada gunanya kau terus bersembunyi. Lekas keluar! Atau kau ingin
kukubur hiduphidup!”
“Ucapan
itu hanya pancingan belaka. Karena aku tahu saat itu kau sembunyi tak jauh dari
pekuburan dan tengah mengintai gerak-gerikku!” menjelaskan Bidadari Angin
Timur.
Ratu
Duyung tak berkata apa-apa. Tapi dalam hati dia meragukan kebenaran ucapan
gadis berambut pirang itu.
**********************
Matahari
belum lama tenggelam. Tapi awan mendung tebal yang menutupi langit membuat
keadaan segera menjadi gelap. Ketika hujan turun rintik-rintik seolah coba
membasahi tanah gersang pekuburan Kopeng yang telah sekian lama tidak pernah
disentuh air, empat bayangan berkelebat. Yang mendatangi pekuburan itu bukan
lain adalah Bidadari Angin Timur dan tiga gadis lainnya.
“Gelap,
gerimis, tak ada satu orangpun di sini. Bagaimana kita mencari kuburan Wiro?”
berkata Puti Andini.
Ratu
Duyung memperhatikan keadaan pekuburan itu sesaat lalu berkata. “Menurut
penglihatanku, jumlah makam di pekuburan ini tidak lebih dari tiga puluh. Kita
bisa memeriksanya satu persatu. Kalau menyebar, kita bisa mengerjakan lebih
cepat!”
“Usul
yang baik!” menjawab Bidadari Angin Timur. “Aku akan memeriksa di jurusan ini.
Ratu Duyung, kau di sebelah sana, Anggini kau yang di deretan situ dan Puti
Andini kau di barisan sebelah kiri depan… Kita harus bekerja cepat sebelum
hujan turun lebih lebat!”
Empat
gadis cantik itu menebar lalu mulai memeriksa setiap makam yang ada di
pekuburan itu. Rata-rata makam di situ merupakan makam tua. Beberapa di
antaranya sudah hampir sama rata dengan tanah sekitarnya, tidak memiliki batu
atau papan nisan lagi. Yang masih ada papan dan batu nisannya sudah tidak
kentara tulisannya.
Tiba-tiba
kilat menyambar. Menyusul suara gelegar geluduk. Di ujung kuburan sebelah kanan
terdengar pekik Anggini. Tiga gadis lainnya segera berpaling. Semula mereka
menduga jeritan Anggini tadi karena terkejut oleh sambaran kilat dan gelegar
geluduk. Tapi rupanya tidak. Karena saat itu tampak Anggini tegak di depan
sebuah makam. Tangan kanan menutupi mulut sementara tangan kiri menunjuk ke
arah makam di depannya. Ratu Duyung, Bidadari Angin Timur dan Puti Andini
segera melompat ke tempat Anggini. Mereka dapati gadis itu berdiri dalam
keadaan tubuh menggigil. Mereka memandang ke arah yang ditunjuk Anggini.
Ternyata yang ditunjuk adalah sebuah nisan terbuat dari papan yang sudah lapuk
dan menancap miring di kepala makam. Pada papan itu ada sederatan tulisan dalam
huruf-huruf Jawa Kuno.
Kilat
menyambar. Empat gadis menekap telinga masing-masing meredam hantaman suara
geledek. Pada saat tempat itu menadi terang, semua mata para gadis memandang
lekat-lekat ke arah papan nisan, coba membaca nama yang tertera agak samar di
papan lapuk.
“Ya
Tuhan!” pekik Ratu Duyung begitu dia berhasil membaca nama di papan lapuk.
Bidadari
Angin Timur keluarkan seruan tertahan, jatuh berlutut di depan makam.
Puti
Andini menekap mulutnya dengan ke dua tangan. Lututnya goyah. Gadis ini
terduduk di tanah di samping Bidadari Angin Timur.
Wajah
empat gadis di depan makam sama pucat. Tengkuk mereka sama terasa dingin.
Mereka tidak perdulikan lagi hujan gerimis membasahi diri mereka. Di situ, di
papan lapuk yang miring, walau samar tapi masih bisa dibaca. Tertulis dalam
huruf Jawa Kuno, nama yang tak asing lagi bagi mereka. Wiro Sableng!
Setelah
ke empatnya bisa mengusai diri, satu persatu mereka mulai berpikir jernih.
Pertama sekali terdengar Bidadari Angin Timur berucap.
“Aku
melihat keanehan. Makam ini papan nisannya sudah sangat lapuk pertanda siapapun
yang dimakamkan di sini paling sedikit lebih dari satu tahun. Tapi mengapa
tanahnya masih munjung dan berwarna merah?!”
“Kalau
makam ini ditumpangi jenazah baru, seharusnya papan nisannya diganti. Yang kita
lihat papan nisan tua bertuliskan Wiro Sableng!” Ikut bicara Ratu Duyung.
“Agaknya
kita perlu menggali dan melihat isi makam…” ujar Anggini.
“Bagaimana
kita melakukan? Kita tidak membawa peralatan!” berkata Puti Andini. Ke empat
gadis itu kemudian sama terdiam dan saling pandang.
“Ada
orang datang!” tiba-tiba Bidadari Angin Timur memberi tahu.
Di bawah
hujan, dalam kegelapan, dari arah timur seorang bercaping melangkah memasuki
pekuburan, langsung ke arah empat gadis itu berada. Ternyata dia seorang lelaki
separuh baya, berbadan tegap dan berkulit hitam liat.
“Kau
siapa?!” bertanya Bidadari Angin Timur.
Yang
ditanya balik bertanya. “Aku yang seharusnya bertanya. Empat orang gadis. Malam
hari. Hujan gerimis seperti ini. Ada keperluan apa berada di pekuburan?!”
Empat
gadis yang sedang bingung itu jadi jengkel. Tapi masih bisa menahan diri.
“Kami
perlu bantuan untuk menggali makam ini,” kata Ratu Duyung.
Kagetlah
orang bercaping. Dia langsuns buka capingnya dan memandang pada Ratu Duyung
lalu pada tiga gadis lainnya.
“Ini
aneh…” kata orang itu.
“Apa yang
aneh?!” bentak Anggini.
“Tiga
hari lalu ada orang datang ke sini. Dia minta aku menggali makam ini. Setelah
kugali dia masuk ke dalam kubur. Hanya sebentar lalu keluar lagi. Dia memberiku
sejumlah uang. Menyuruh timbun makam kembali. Sebelum pergi dia berpesan agar
aku tidak menceritakan kejadian itu pada siapapun. Tapi pada empat gadis
secantik kalian, aku tak dapat menyimpan rahasia…”
Orang itu
tertawa lebar dan kedip-kedipkan matanya.
“Setan
alas ini mulai tak tahu juntrungan…” bisik Anggini pada Ratu Duyung. “Sebelum
kutampar lekas katakan padanya bahwa kita juga mau minta bantuannya untuk
menggali makam.”
Ratu
Duyung mengangguk. “Kami juga akan memberikan uang padamu. Asal kau mau
menggali makam ini.”
“Aha!
Rejekiku besar! Untuk kalian apapun akan aku lakukan! Tapi aku perlu pulang
dulu mengambil peralatan dan minta bantuan seorang teman. Aku tak mungkin
menggali makam ini sendirian.”
“Kau tahu
siapa yang dikuburkan di makam ini?”
“Namanya
tertera di papan butut itu. Siapa orangnya aku tidak tahu…”
“Kau
boleh pulang mengambil peralatan dan mencari bantuan temanmu. Lekas kembali…”
kata Puti Andini.
Empat
gadis itu kemudian menunggu di bawah sebatang pohon besar. “Bagaimana kalau
orang tadi tidak kembali lagi?” tanya Anggini.
“Dia
pasti kembali. Matanya liar melihat kita! Otaknya pasti kotor!” jawab Bidadari
Angin Timur.
Tak lama
kemudian lelaki tadi muncul kembali bersama dengan temannya. Tanpa banyak
menunggu keduanya segera menggali makam. Empat gadis berdiri memperlihatkan di
seputar makam. Cukup lama menanti, akhirnya terdengar suara pacul menyentuh
satu benda keras di dasar makam.
“Aku
sudah sampai di dasar makam. Aku menemukan tengkorak dan tuilang-tulang
manusia!” Terdengar suara si penggali kuburan.
“Lemparkan
ke atas!” teriak Ratu Duyung.
Sesaat
kemudian dari dalam makam melesat keluar berbagai bentuk tulang-tulang putih
berbalut tanah. Mulai dari tulang tangan dan kaki, sampai iga.
“Lemparkan
semua! Jangan ada yang ketinggalan!’ teriak Bidadari Angin Timur.
“Ini yang
terakhir!”
Dari
dalam makam melesat tengkorak kepala manusia. Menggelinding sebentar lalu
berhenti tak jauh dari kaki Anggini.
“Lihat!”
teriak Anggini sambil menunjuk pada tengkorak kepala manusia itu. Pada kening
tengkorak. Dia tersurut kaget. Tiga gadis lainnya keluarkan seruan tertahan. Di
kening tengkorak ternyata ada tiga deretan angka. 212! Ratu Duyung
memperhatikan.
“Tiga
angka pada kening tengkorak ini masih baru. Digurat dengan semacam cat untuk
membatik…” memberitahu Ratu Duyung.
“Gila!
Aku yakin ini bukan tengkorak kepala Pendekar 212! Setan dari mana punya
perbuatan edan seperti ini!” kata Bidadari Angin Timur.
Ratu
Duyung mengankat tangan kirinya memberi tanda agar tidak ada yang bicara.
“Ada
apa?” Anggini malah bertanya berbisik. Suaranya tercekat.
“Ada
sebuah benda menyumpal di dalam mata kiri tengkorak!” jawab Ratu Duyung. Dia
mengambil satu patahan kayu. Dengan kayu ini dibersihkannya tanah yang
menyumpal sebagian rongga mata kiri itu. Ternyata benda itu adalah segulung
kertas. Dengan agak gemetar Ratu Duyung membuka gulungan kertas itu. Di situ
tertera sebaris tulisan berbunyi :
“ SELAMAT DATANG DI MAKAM SETAN
PERTAMA. KALIAN DITUNGGU DI MAKAM SETAN KEDUA. ”
“Jahanam
kurang ajar! Jika kutemukan manusia yang melakukan ini, akan kupatahkan batang
lehernya!” kata Anggini menggeram marah.
Ratu
Duyung bangkit berdiri. Sesaat dia menatap pada Bidadari Angin Timur. Ditatap
seperti itu gadis berambut pirang ini menjadi gusar.
“Tatapanmu
terasa aneh. Membuat aku jadi tidak enak. Apa yang ada di benakmu Ratu Duyung?
Agaknya kau menghubungkan diriku dengan kejadian ini dan makhluk nenek-nenek
yang keluar dari makam yang tangan kanannya menempel di kening itu?”
“Aku tidak
mengatakan sepatah katapun. Mengapa kau punya pikiran seperti itu?!” tukas Ratu
Duyung.
“Hujan
tambah lebat. Payungku mungkin bisa membantu. Kita harus segera pergi dari
sini!” kata Puti Andini yang sengaja ingin menghindari kelanjutan tidak enak.
Gadis ini lalu keluarkan empat buah payung dari kantong di punggungnya. Tiga
diserahkan pada tiga gadis, satu dipakainya sendiri. Lalu dia memberikan
sejumlah uang pada dua penggali makam.
Beberapa
langkah setelah meninggalkan makam, tiba-tiba Ratu Duyung hentikan jalannya.
“Ada satu
hal penting yang terlupa!’ kata sang Ratu.
“Apa?”
tanya Bidadari Angin Timur yang diam-diam mulai kesal melihat sikap Ratu
Duyung.
“Kita
tidak menanyakan siapa adanya orang yang menyuruh gali makam tiga hari yang
lalu itu…”
“Astaga!
Kau betul!” ujar Anggini setengah tersentak.
Saat itu
Bidadari Angin Timur telah lebih dulu berbalik dan berlari cepat ke arah makam.
Yang lain-lainnya segera mengikuti. Sampai di depan makam yang barusan digali,
ke empat gadis itu terbelalak, tak bisa bersuara tak sanggup bergerak. Dua
penggali kuburan menggeletak tak bernyawa lagi di samping tanah makam yang
belum sempat mereka timbun. Sebuah senjata berbentuk tombak pendek menancap di
leher.
“Kita
belum jauh meninggalkan makam. Bagaimana mereka bisa menemui ajal begitu
cepat?” ujar Anggini.
“Siapapun
adanya si pembunuh, dia pasti memiliki kepandaian luar biasa tinggi…” berkata
Ratu Duyung.
“Yang
jadi pertanyaan, mengapa dua orang ini harus menjadi korban pembunuhan begini
keji? Apa salah mereka?” ujar Bidadari Angin Timur sambil memandang pada tiga
gadis lainnya. Tak ada yang bisa memberi jawaban.
Kilat
menyambar. Geluduk menggelegar. Tanah pekuburan bergetar. Empat gadis yang
belum habis kagetnya melihat kematian dua penggali kubur keluarkan pekikan
keras lalu serempak mereka tinggalkan tempat itu sementara hujan lebat
mengguyur turun dan desau angin terdengar mengerikan.
*******************
BAB 12
Dua
makhluk kurus kering yang memiliki tubuh satu setengah kali tinggi manusia
biasa
itu
langkahkan kaki-kaki mereka yang berbentuk kaki kuda lengkap dengan ladamnya
lalu berhenti sejarak empat langkah dari hadapan Pendekar 212. Wiro perhatikan
dua tangan mereka yang dempet satu sama lain. Dia tahu, dua tangan dempet itu
jauh lebih berbahaya dari tangantangan mereka yang lain.
“Saudaraku
Tunggul Gono,” berkata makhluk di sebelah kiri. “Monyet gondrong itu tidak mau
menjawab pertanyaan kita!”
“Rupanya
dia sengaja mempercepat kematiannya! Ha… ha…ha!” menyahuti manusia galah di
sebelah kanan, bernama Tunggul Gono.
Murid
Sinto Gendeng tidak mau berlaku konyol sembrono. Sebelumnya di telah pernah
menghadapi dua makhluk ini. Mereka berkepandaian tinggi. Walau keduanya sempat
dibikin babak belur kemudian melarikan diri, namun waktu itu Wiro dibantu oleh
seorang pendekar muda berjuluk Pendekar Kipas Pelangi. Kini dia sendirian.
Menghadapi dua musuh aneh itu dia harus berlaku hai-hati.
“Momok
Dempet, kalau Kitab Wasiat Malaikat dan Kitab Wasiat Dewa yang kalian cari,
kedua kitab itu tak ada padaku.”
Dua
makhluk dempet yang dikenal dengan nama Momok Dempet Berkaki Kuda tertawa
bekakakan.
“Kami
sudah menduga kau akan berkata seperti itu!” kata Tunggul Gini. “Berarti kini
kami tidak perlu repot mengurus nyawamu!” Tunggul Gini berikan tanda dengan
jentikkan jarijari tangan kirinya. “Kita hantam saja dia langsung dengan
pukulan Sepasang Palu Kematian. Habis perkara!”
Dua
manusia jangkung serempak keluarkan bentakan garang. Bersamaan dengan itu
tangan mereka yang dempet dipukulkan ke depan.
“Wusss!”
Serangkum
angin memancarkan sinar hitam legam menderu dahsyat ke arah Pendekar
212.
Kinasih menjerit. Bukan saja karena ketakutan tapi juga kawatir akan
keselamatan Wiro. Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah melihat kehebatan
pukulan lawan yang bernama Sepasang Palu Kematian itu. Sambil membentak keras
Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling ke kiri dengan cepat. Begitu sinar hitam
lewat di atas kepalanya dia hantamkan tangan kanan ke atas melepas pukulan
Tangan Dewa Menghantam Matahari dengan mengerahkan tenaga dalam hampir dua
pertiga yang dimilikinya.
Sinar
hitam pukulan Momok Dempet bertaburan di udara, keluarkan suara dahsyat laksana
mau meruntuhkan langit. Taburan-taburan yang berlesatan ke berbagai penjuru ini
menghancur dan menghanguskan apa saja yang dibenturnya. Asap mengepul di
seputar tempat itu. Gaung menggidikkan menggema sampai ke dasar lembah!
Walau
sempat tercekat Wiro tak mau menunggu. Dengan tangan kirinya dia melepas
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, mengerahkan lebih dari separoh
tenaga dalam. Dua serangan yang dilancarkan Wiro tadi adalah pukulan-pukulan
sakti yang langka dan dipelajari dari Kitab Wasiat Dewa yang didapatnya dari
Datuk Rao Basaluang Ameh.
Momok
Dempet keluarkan teriakan seperti kuda meringkik. Keduanya cari selamat dengan
sama-sama melesat ke udara sampai setinggi dua tombak.
“Palu Dan
Ladam Membongkar Bumi!” kata Tunggul Gono membisiki saudaranya.Tunggul Gini
mengangguk.
Sambil
melayang turun dua makhluk dempet ini keluarkan teriakan seperti kuda
meringkik. Secara aneh tubuh mereka kelihatan berputar seperti gasing. Dua
tangan mengibas laksana baling-baling. Mengeluarkan suara keras dan deru angin
amat dahsyat. Jangankan tubuh manusia, pohon atau batu sekalipun akan papas
dihantam tangan itu!
Putaran
tubuh serta tangan yang dibuat Momok Dempet mengandalkan kecepatan luar biasa.
Pendekar
212 terkejut sekali ketika tiba-tiba sosok dua makhluk itu tahu-tahu telah
berada di depannya.
“Breett!”
Baju
putih Pendekar 212 robek di bagian bahu kiri. Kalau tadi murid Sinto Gendeng
ini tidak cepat menghindar, pasti bahunya sudah amblas putus dimakan serangan
lawan! Rasa lega karena selamat di hati Pendekar 212 hanya sesaat. Karena tidak
terduga, cepat sekali dua tangan lawan yang berputar berubah menjadi kemplangan
kilat, menghantam ke arah pelipis Wiro kiri kanan! Sungguh dahsyat pukulan dan
jurus serangan bernama Palu Dan Ladam Membongkar Bumi yang dilancarkan Momok
Dempet itu! Selain cepat, gerakannya juga tidak terduga.
Wiro
tidak berkesempatan untuk mengindarkan diri. Yang bisa dilakukannya adalah
menangkis dua pukulan maut lawan dengan tangan kiri kanan. Untuk menangkis ini
Wiro keluarkan seluruh tenaga dalam dan keluarkan jurus yang selama ini hampir
tidak pernah dipergunakannya yakni jurus Kipas Sakti Terbuka.
Dua
tangan Pendekar 212 menghantam ke atas, melesat ke kiri kanan seperti gerakan
kipas terbuka, menangkis dua tangan yang siap menghancurkan kepalanya.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Dua
tangan Wiro beradu keras dengan tangan kiri kanan Momok Dempet. Tidak terduga
Tunggul Gono yang berada di sebelah kanan tendangkan kaki kanannya ke arah dada
Wiro. Pendekar 212 lipat lututnya untuk melidungi diri. Namun saat itu akibat
bentrokan lengan tadi Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah. Tendangan
Tunggul Gono menyerempet paha kirinya sebelah atas lalu melabrak perutnya!
Murid
Sinto Gendeng menjerit keras. Perutnya serasa pecah. Dari mulutnya menyembur
ludah bercampur darah. Tulang punggungnya seperti hancur. Sementara dua tulang
lengannya terasa seolah patah.
Bentrokan
tangan membuat dua makhluk dempet terpental jauh. Keduanya menjerit kesakitan.
Terjengkang di tanah, untuk beberapa lamanya tak mampu bergerak. Tangan merasa
sakit bukan main. Rasa sakit menjalar sampai ke dada, menyesakkan nafas.
“Jahanam!
Monyet itu memiliki tenaga dalam luiar biasa!” rutuk Tunggul Gono. “Kalau tidak
cepat kita habisi, bisa celaka!” Lalu dia mendahului berdiri. Sepasang matanya
laksana dikobari api. Mukanya kelam membesi.
Bagitu
berdiri Momok Dempet melihat Wiro terkapar di tanah tidak berdaya. Kesempatan
ini tidak disa-siakan mereka. Keduanya segera menyerbu.
Murid
Sino Gendeng tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia cepat berguling
menjauhi lawan sambil tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera untuk menghalangi gerakan lawan. Namun karena cidera tangannya cukup
parah, apalagi dia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaga dalam akibat perutnya
yang tadi kena tendangan kaki kuda lawan, pukulan tangan kosong yang dilepaskan
Wiro tidak sedahsyat sebagaimana biasanya. Walau dihantam angin deras pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro, setelah terhuyung sesaat,
secara luar biasa Momok Dempet Berkaki Kuda menerobos hantaman angin dan
melangkah cepat mendekati Wiro.
“Celaka,
kalau keadaan tangan dan tenaga dalamku begini rupa, aku tak mungkin
mengeluarkan pukulan Sinar Matahari…” Wiro mengeluh dalam hati sementara dua
lawan bertangan dempet itu semakin dekat.
“Tak ada
jalan lain, aku harus mengeluarkan Kapak Naga Geni 212!” Wiro gerakkan tangan
kanannya ke pinggang. Tapi alangkah terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika
tangan yang cidera itu tidak mampu diulurkan untuk menjangkau gagang kapak
sakti!
“Benar-benar
celaka!” keluh Wiro.
Momok
Dempet Berkaki Kuda hanya tinggal tujuh langkah di hadapan Wiro. Dan sang Pendekar
dalam keadaan tak berdaya!
Dalam
keadaan tegang luar biasa seperti itu mendadak Wiro ingat pada ilmu Membelah
Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari Luhrembulan. (Baca serial Wiro Sableng
di Negeri Latanhasilam Episode berjudul “Istana Kebahagiaan”)
Melihat
Wiro tegak tak berdaya sementara dua makhluk dempet mendatangi siap untuk
menghabisinya, Kinasih berteriak.
“Wiro!
Lari! Selamatkan dirimu!” Kinasih sendiri saat itu siap memutar tubuh dan lari
meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba dia menyaksikan sesuatu yang sulit
dipercaya.
Pada saat
Momok Dempet Berkaki Kuda tinggal empat langkah dari hadapannya tiba-tiba
Pendekar 212 hantamkan tumit kanannya ke tanah. Rrrrttttt! Tanah terkuak
membelah. Momok Dempet terbelalak besar, berteriak kaget ketika melihat belahan
tanah bergerak cepat sekali ke arah mereka.
Tunggul
Gono, Momok di sebelah kanan melompat. Tunggul Gini ikut melompat namun
gerakannya agak terlambat. Kaki kanannya sudah berada di atas, tapi kaki kiri
masih menginjak tanah. Dia berusaha mengangkat kaki itu. Terlambat! Tanah yang
menganga menyedot kakinya. Tak ampun lagi Tunggul Gini tertarik ke bawah dan
menjerit ketakutan setengah mati.
“Jahanam!
Ilmu apa ini! Kurang ajar!” seru Tunggul Gono. Ketika menyaksikan kaki kiri
saudaranya semakin dalam masuk ke belahan tanah, Tunggul Gono cepat pergunakan
kaki kanannya untuk menendang.
Kembali
terdengar raungan Tunggul Gini. Lututnya hancur. Kakinya putus. Tunggul Gono
cepat menarik tubuh saudaranya. Tunggul Gini selamat walau kakinya sebatas lutut
ke bawah putus kemudian lenyap disedot tanah yang terbelah! Secara aneh tanah
terbelah itu kembali menutup dengan sendirinya!
Susah
payah Tunggul Gono panggul saudaranya di bahu kiri lalu secepat dia bisa
berlari, Tunggul Gono kabur dari tempat itu.
Pendekar
212 jatuhkan diri berlutut di tanah. “Luhrembulan, kalau kau tidak memberikan
ilmu itu padaku, niscaya tadi aku sudah dihabisi makhluk dempet celaka…” Wiro
hendak menggaruk kepala tapi mengerenyit sakit. Tangan kirinya terasa linu. Dia
segera atur jalan darah dan pernafasan. Perlahan-lahan dia kerahkan hawa sakti
yang ada di perut. Namun belum cukup sempurna di sebelah belakang ada suara
orang berlari mendekatinya, Wiro cepat berpaling. Yang datang ternyata Kinasih.
Terhuyung-huyung,
dengan berpegangan ke pinggang Kinasih, Pendekar 212 berusaha berdiri. Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di kejauhan.
“Momok
Dempet…” pikir Wiro. “Jangan-jangan makhluk jahanam berkaki kuda itu kembali ke
sini. Jika mereka berani kembali berarti ada orang lain berkepandaian tinggi
ikut bersama keduanya. “Wiro memandang bekeliling. Dia melihat serumpunan semak
belukar lebat di sebelah kiri di belakang sederetan pohon-pohon besar. Wiro
memberi isyarat pada Kinasih. Kedua orang ini melangkah cepat lalu menyelinap
ke balik semak belukar.
Karena
tidak tahu siapa yang datang dan bahaya apa yang bakal dihadapi, Wiro segera
berjaga-jaga dengan coba mengerahkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.
Ternyata
dia masih belum mampu mengerahkan tenaga dalam akibat perutnya yang masih
cidera bekas terkena tendangan Momok Dempet. Dengan dada berdebar dan mata tak
berkesip memandang ke depan, Wiro menunggu. Suara derap ladam-ladam kuda itu
semakin dekat.
TAMAT
No comments:
Post a Comment