Janda
Pulau Cingkuk
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
KESERAKAHAN
manusia terhadap tahta, apalagi tahta yang dikuasai secara merebut dan tidak
sah, pada akhirnya bilamana kehendak Yang Maha Kuasa berlaku maka semua
kekuasaan dan keserakahan itu akan menjadi bencana. Itulah yang terjadi dengan
Nyi Harum Sarti yang menobatkan diri sebagai Ratu Laut Utara, merampas tahta
Kerajaan Laut Utara dari tangan Ayu Lestari, yang menerima warisan syah dari
Ratu Sepuh Ratu Pertama Kerajaan Laut Utara.
Nyi Harum
Sarti akhirnya menemui kematiannya di tangan Ratu Duyung yang membekal Pedang
Naga Suci 212 pemberian Sinto Gendeng. Karena kecintaannya pada Pendekar 212
Wiro Sableng, di saat-saat nyawa akan lepas meninggalkan jazad kasarnya Nyi
Harum Sarti masih sempat mengeluarkan ucapan yang sungguh mengharukan namun
ditutup dengan kata-kata yang membuat murid Sinto Gendeng menjadi terkesiap dan
dingin sekujur tubuhnya.
Dalam
keadaan tubuh bersimbah darah Ratu Laut Utara melangkah terhuyung-huyung,
berusaha mendekati Wiro. Dua langkah dari hadapan sang pendekar dia tak mampu
lagi berjalan, jatuh berlutut tapi kepala masih menatap lurus ke arah Wiro dan
mulut masih mampu keluarkan ucapan.
“Wiro.
Kasih sayangku padamu bukannya loyang. Kasih sayangku padamu akan aku bawa
sampai ke liang lahat. Aku sangat berbahagia karena kau turut menyaksikan
kepergianku. Walau di dunia kita tidak bisa bersatu, aku akan menantimu di
akhirat…”
Ratu Laut
Utara ulurkan tangan kanan, berusaha menyentuh wajah Pendekar 212. Namun tangan
itu terkulai jatuh ke tanah. Tubuh kaku tak bergerak tapi mulut masih sanggup
mengeluarkan kata-kata walau kali ini suara yang keluar jauh lebih perlahan,
tak ada yang mendengar kecuali Wiro.
“Kekasihku,
ini bukan akhir dari satu perjalanan. Ini bukan akhir dari segala-galanya. Kita
akan bertemu lagi. Karena aku akan menitis masuk ke dalam diri Ken Permata…”
Pendekar
212 serta merta merasa sekujur tubuh mendadak menjadi dingin. Apa barusan dia
tidak salah mendengar. Apa dalam keadaan sekarat perempuan itu sadar akan apa
yang diucapkannya? Ken Permata adalah puteri Nyi Retno Mantili, istri mendiang
Patih Kerajaan Wira Bumi, yang selama ini dicarinya dan sekarang tidak tahu
berada di mana. (Kisah terbunuhnya Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti oleh
Ratu Duyung dapat dibaca dalam episode sebelumnya berjudul “Cinta Tiga Ratu”
sedang kematian Patih Wira Bumi dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul
“Bayi Satu Suro”. Patih kerajaan itu menemui ajal ditangan Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan golok besar milik Wira Bumi sendiri).
Perlahan-lahan
tubuh Ratu Laut Utara terhuyung ke depan lalu tersungkur di tanah. Mahkota emas
bertabur batu permata tanggal dari kepala, terjatuh ke tanah. Ratu Sepuh
menatap sayu ke depan. Dengan ujung tongkat emasnya dia mengait mahkota yang
jatuh lalu menyerahkan pada Ayu Lestari.
“Akhir
dari nafsu berkuasa dan keserakahan…” ucap Ratu Pertama Kerajaan Laut Utara ini
dalam hati.
Sementara
semua orang terdiam dalam pikiran dan hati masingmasing tiba-tiba satu
bayangan biru berkelebat Satu tendangan melesat cepat dan deras. Tubuh tak
bernyawa Ratu Laut Utara mencelat mental lalu terkapar di tanah. Mulut dan
sebagian mukanya tampak hancur mengerikan.
Semua
orang tersentak dan berseru kaget. Memandang berkeliling mereka melihat Bidadari
Angin Timur yang sejak tadi berdiri di samping Ratu Sepuh tak ada lagi di
tempat itu. Wiro ingin sekali mengejar ke arah lenyapnya gadis berambut pirang
itu. Namun dalam keadaan seperti itu dia merasa tidak enak melakukan hal itu.
“Dia
menendang kepala mayat, apakah karena ada dendam dan sangkut pautnya dengan
ucapan Ratu Laut Utara yang mengatakan dirinya janda.” Membatin murid Sinto
Gendeng.
Sebelum
tewas di tangan Ratu Duyung seperti telah diceritakan sebelumnya dalam episode
“Cinta Tiga Ratu”, Ratu Laut Utara dengan suara lantang setengah berteriak saat
itu berkata sehingga semua orang mendengar.
“Wiro,
aku tahu kau tidak mencintai gadis bernama Ratu Duyung yang setengah manusia
dan setengah ikan itu! Aku juga tahu kau tidak mencintai gadis berambut pirang
bernama Bidadari Angin Timur yang janda muda dari Kepala Pengawal Kesultanan
Cirebon Tubagus Kesumaputra itu!”
Murid
Sinto Gendeng menggaruk kepala.
“Uuhhh…”
Bujang
Gila Tapak Sakti yang sejak tadi berdiam diri tak dapat menahan sakit,
keluarkan suara mengeluh sambil pegangi bagian bawah perutnya yang bengkak
melembung akibat sengatan tubuh kalajengking beracun yang dilepas Ning
Kameswari atas perintah Datuk Api Batu Neraka salah seorang pembantu
kepercayaan Ratu Laut Utara. Dikisahkan dalam episode “Cinta Tiga Ratu”, Datuk
Api Batu Neraka menemui ajal dibunuh Jin Durna Rawana sedang Ning Kameswari
tewas ditendang Ratu Laut Utara.
“Gendut,
kau tenanglah barang sebentar…” kata Ratu Sepuh pula.
“Bagaimana
bisa tenang Nek. Kau tidak merasakan. Anuku melembung bengkak. Sakitnya seperti
ditusuki ratusan jarum api! Delapan puluh tahun hidup di dunia baru kali ini
sengsara begini rupa. Kalau tidak percaya apa kau mau lihat sendiri?!”
Habis
berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti hendak rorotkan celana komprang
hitamnya. Ratu Duyung cepat-cepat melengos. Ayu Lestari melongo kaget dan
memandang ke jurusan lain. Nyi Roro Manggut mesem-mesem palingkan kepala tapi
setengah-setengah masih melirik juga.
Ratu
Sepuh angkat tongkat emas di tangan kanan.
“Kalau
kau berani kurang ajar, aku gedor barangmu. Kau akan sengsara seumur-umur!”
Bujang
Gila Tapak Sakti bergumam dan cemberut kesal mendengar perabotannya akan
digedor! Sambil menahan sakit dia mundur dua langkah menjauhi ujung tongkat si
nenek yang siap disodokkan ke bagian bawah perutnya.
“Sebelum
pergi aku mau bicara dulu dengan nenek satu itu.” Kata Ratu Sepuh lalu
melangkah mendekati perempuan yang berambut putihnya dikonde di atas kepala,
mengenakan kebaya dan kain putih. Inilah Nenek Cempaka, pembantu utama Ratu Sepuh
ketika dia masih menjadi Ratu Laut Utara yang pertama sebelum menyerahkan tahta
kepada Ayu Lestari. Sebelumnya ketika Nyi Harum Sarti sang Ratu Laut Utara
palsu merampas tahta memerintahkan nenek sakti ini untuk membunuh Ratu Sepuh,
dengan tongkat saktinya yang terbuat dari Ratu Sepuh membuat Nenek Cempaka
menjadi patung, kaku tak bergerak. Namun karena masih berada dalam sirapan ilmu
hitam Ratu Laut Utara dan tadi sebelumnya dia sudah bergerak hendak menyerang
Ratu Sepuh, maka begitu bebas Nenek Cempaka kembali lanjutkan serangannya.
Ratu
Sepuh sekali lagi angkat tongkat sakti. Kini ujung tongkat emas diarahkan tepat
ke dada Nenek Cempaka sambil mulutnya berucap.
“Sudah!
Sudah! Buyar! Buyar! Ilmu Hitam masuk ke dalam tanah! Segala kebaikan masuk ke
dalam darah!”
Cahaya
kuning berkiblat di ujung tongkat emas. Saat itu juga Nenek Cempaka mengeluh
seperti kesakitan. Muka berubah pucat Tenung sirapan ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat
Hati yang selama ini menguasai dirinya musnah. Begitu sadar nenek itu jatuhkan
diri di tanah sambil pegangi dua kaki Ratu Sepuh dia menangis tersedu-sedu.
“Kanjeng
Sri Ratu, saya Cempaka mohon maaf dan ampunanmu Sri Ratu. Apapun yang telah
terjadi saya siap menerima hukuman.”
“Menghukummu
semudah aku membaliktelapak tangan. Katakan dulu apa yang telah terjadi?” Ucap
Ratu Sepuh.
“Nyi
Harum Sarti, dia menenung saya dengan Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati. Saya
berusaha membebaskan diri namun dia memiliki kekuatan ilmu hitam dia atas
kemampuan saya…”
“Kalau
begitu kejadiannya, kau tidak salah. Manusia yang bersalah telah menerima
hukumannya. Bangunlah!”
Ratu
Sepuh dan Ayu Lestari menolong Nenek Cempaka bangkit berdiri. Ketiga orang itu
berpeluk-pelukan beberapa lama lalu Ratu Sepuh beranjak mendekati Purnama.
“Cucuku
manis, tadi kau hendak menyerangku dengan ilmu yang luar biasa hebat. Aku baru
hari ini melihatmu. Rasa-rasanya kau bukan orang dari negeri ini. Sekarang
ceritakan padaku. Nasib apa yang menimpa dirimu hingga kesasar ke sini dan
menjadi kaki tangan Ratu Laut Utara palsu.”
Seperti
terhadap Nenek Cempaka, Ratu Sepuh sapukan tongkat emas ke arah kepala Purnama.
Saat itu juga Purnama mampu menggerakkan tubuhnya kembali. Begitu bebas gadis
dari alam 1200 silam ini segera melanjutkan serangannya yang tadi tertahan
yakni hendak melancarkan pukulan Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh.
Kembali
Ratu Sepuh angkat tongkat sakti, ujungnya diarahkan ke dada kiri Purnama, mulut
berucap.
“Sudah!
Sudah! Buyar! Buyar! Ilmu hitam masuk ke dalam tanah! Segala kebaikan masuk ke
dalam darah!”
Purnama
terhuyung-huyung, coba tertahan dan mengimbangi diri namun akhirnya jatuh
terduduk di tanah. Mulutnya keluarkan suara mengerang. Dadanya terasa sakit
Wajah yang cantik tampak pucat Sepasang mata menatap ke arah Ratu Sepuh lalu
memandang pada orang-orang yang mengelilinginya.
Tanpa
dibantu siapa-siapa gadis dari Negeri Latanahsilam ini berdiri dan melangkah ke
hadapan Ratu Sepuh. Setelah membungkuk dalam-dalam Purnama berkata.
“Ratu
Sepuh, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua budi kebaikanmu hingga
saat ini saya bisa bergerak dan bicara kembali. Nama saya Purnama. Saya memang
datang dari negeri asing seribu dua ratus silam…”
“Ah,
hebat sekali!” kata Ratu Sepuh dengan sepasang mata bening memperhatikan
Purnama dari ujung rambut sampai ke kaki. “Seribu dua ratus tahun silam lalu.
Dan kau masih merupakan seorang gadis cantik jelita. Sungguh luar biasa…”
“Nek, kau
keliwat memuji.” Purnama memandang ke arah Wiro, Ratu Duyung dan Nyi Roro
Manggut. Lalu kembali menatap Ratu Sepuh. “Nek, para sahabat semua, saya akan
mengatakan sesuatu. Yaitu apa yang akan terjadi dengan diri saya. Apa yang saya
sampaikan bukan merupakan pembelaan diri. Jika kalian semua menganggap saya
bersalah, saya siap menerima hukuman. Dibunuh sekalipun akan saya terima…”
Ratu
Sepuh anggukan kepala. Nyi Roro Manggut manggutmanggut beberapa kali. Wiro dan
Ratu Duyung diam saja sementara Nenek Cempaka dan Ayu Lestari saling melirik.
“Soal
hukuman soal kedua. Yang penting kami ingin tahu mengapa kau berserikat dengan
Ratu Laut Utara palsu. Tega mengkhianati para sahabat. Bahkan aku dengar ada
seorang nenek sahabat kalian yang menemui ajal di kawasan laut utara…”
“Saya
mohon maaf atas semua yang terjadi. Seperti Nenek Cempaka, saya terkena sirap
tenung Penyejuk Jiwa Pemikat Hati yang diterapkan oleh Nyi Kuncup Jiwa…”
“Hemm…”
Ratu Sepuh bergumam. “Berarti aku akan memberikan pengampunan atas dirimu sama
dengan yang aku berikan pada Nenek Cempaka. Tapi antara kau dan aku tidak ada
ikatan apa-apa. Hingga aku tidak bisa memberi keputusan seperti halnya dengan
Nenek Cempaka. Semua putusan akan diambil oleh teman-temanmu yang ada di sini.”
Ratu Sepuh memandang pada Wiro, Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut.
“Ratu
Sepuh, aku memberi maaf padamu.” Pendekar 212 yang pertama kali memberikan
jawaban.
“Terima
kasih Wiro. Kau mau mengerti dan memaafkan diriku,” kata Purnama pada Pendekar
212.
“Nyi Roro
Manggut tiba-tiba keluarkan ucapan.
“Ratu
Sepuh, mohon maaf. Juga pada semua yang ada disini. Barusan aku mendapat
perintah jarak jauh dari Nyai Roro Kidul. Aku dan Ratu Duyung diminta menghadap
untuk segera menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang telah kami
dapatkan dan sebelumnya dirampas oleh Ratu Laut Utara palsu.”
Si Nenek
membungkuk memberi hormat pada Ratu Sepuh, Nenek cempaka dan Ayu Lestari. Pada
Wiro dia layangkan ejekan dengan pencongkan mulut Lalu tanpa menunggu lebih
lama Nyi Roro Manggut tarik tangan Ratu Duyung. Dalam waktu sekejapan saja ke
dua orang itu sudah berkelebat jauh ke arah pantai.
*********************
2
PURNAMA
tampak gelisah. Dia menatap Wiro sebentar lalu berpaling pada Ayu Lestari,
Nenek Cempaka dan Ratu Sepuh.
“Ratu
Sepuh, saya sangat menyesalkan terjadinya keadaan seperti ini. Jika semua
memang sudi memaafkan saya maka saya mohon izin pergi dari sini. Sekali lagi
saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala budi baik Ratu Sepuh, Nenek
Cempaka dan sahabat saya yang baru Ratu Laut Utara Ayu Lestari.”
Ayu
Lestari dan Nenek Cempaka tersenyum mendengar ucapan Cempaka. Namun Ratu Sepuh
buru-buru berkata.
“Tunggu,
jangan pergi dulu. Purnama, walau aku dan Ayu Lestari serta Nenek Cempaka belum
berunding, tapi rasanya kami bertiga bisa sepakat untuk menawarkan sesuatu
kepadamu.”
“Menawarkan
sesuatu? Menawarkan apa Ratu Sepuh?” tanya Purnama.
“Setelah
Ratu Laut Utara Nyi Harum Sarti menemui ajal maka kekuasaan di kerajaan Laut
Utara kembali kepada pemiliknya yang syah yaitu Ayu Lestari. Aku sebenarnya
tidak ingin lagi ikut campur urusan dunia. Apalagi yang menyangkut tahta
Kerajaaan. Nenek Cempaka sudah lama uzur dan aku yakin dia juga sama dengan
aku, tak mau lagi mengurusi segala sesuatu yang bersangkutan dengan Kerajaan
Laut Utara. Namun itu bukan berarti kami akan berlepas tangan bilamana terjadi
sesuatu dengan Kerajaan yang aku bangun ini. Aku merasa, di masa depan keadaan
akan lebih banyak tantangan. Sebagai penguasa laut utara aku percaya Ayu
Lestari akan sanggup menghadapi semua tantangan itu. Namun betapapun dia
membutuhkan seorang pembantu sekaligus sahabat yang bisa dipercaya. Kami bertiga,
aku, Ayu Lestari, dan Nenek Cempaka telah menemukan calon yang sangat cocok.
Yaitu dirimu. Kami harap kau jangan sampai menampik.”
“Untuk
beberapa lamanya Purnama tegak tertegun memandang pada ke tiga orang di
hadapannya itu sementara di samping lain Bujang Gila Tapak Sakti goyang-goyang
kepala sambil menghembushembus dan tekap bagian bawah perutnya menahan sakit.
Tubuhnya yang berwarna biru mandi keringat. Kopiah kupluk basah kuyup. Kipas
kertasnya hilang entah kemana. Serba salah akhirnya si gendut itu duduk di
bawah patung dengan dua kaki berkembang. Dada yang gembrot turun naik, mulut
meniup-niup seperti ikan. Tangan mengipas-ngipas bagian bawah perut. Dia sama
sekali tidak perdulikan apa yang dibicarakan orang.
Pendekar
212 juga terheran-heran mendengar ucapan Ratu Sepuh. Apakah Purnama akan
bersedia menerima permintaan nenek sakti yang merupakan Ratu Laut Utara pertama
itu? Selama ini dia kian kemari tidak berumah tidak bertempat tinggal tetap.
Bukankah memang lebih baik kalau dia mau bermukim di Kerajaan Laut Utara?”
Apa yang
terpikir oleh Wiro saat itu sebenarnya juga terlintas dalam benak dan hati
Purnama.
“Cucuku
cantik, kau hanya tertegun. Apakah tidak akan memberikan jawaban?” Nenek
Cempaka kini yang berkata. Rupanya dia juga sangat berkenan dengan gadis dari
Latanahsilam ini.
“Saya…saya
sudah menanam budi pada semua orang yang ada di sini. Saya belum sempat
membalas sudah diberikan lagi budi yang sangat besar. Saya harus memikirkan
baik-baik supaya tidak ada yang dikecewakan. Ratu Sepuh, Nenek Cempaka dan Ayu
Lestari, apakah saya boleh diberi waktu untuk menjawab?”
“Mengapa
kau tidak bisa menjawab sekarang saja, Purnama?” tanya Ayu Lestari.
“Ratu
muda sahabatku, saya masih punya satu urusan yang harus saya selesaikan.
Maafkan saya Ratu Sepuh. Maafkan saya Nenek Cempaka. Saya harus mencari dan
menemui seseorang…Mungkin dua orang.”
Ratu
Sepuh yang arif berkata. “Aku mengerti, aku sudah maklum. Baiklah, kami bertiga
tidak akan memaksa. Secepatnya kau ada kesempatan temui Ayu Lestari.”
“Kalau
begitu apakah saya boleh minta diri sekarang?” tanya Purnama.
“Pergilah.
Berlakulah hati-hati. Bukan mustahil masih ada anak buah Nyi Harum Sarti yang
tidak kita ketahui masih berkeliaran di sekitar sini.”
Purnama
mengangguk, membungkuk hormat pada ketiga orang di hadapannya lalu tinggalkan
tempat itu.
Ratu
Sepuh menghela napas dalam. Lalu berkata setengah berbisik pada Ayu Lestari
yang juga didengar oleh Nenek Cempaka. “Kalau saja dia mau bergabung dengan
kita atau paling tidak menunda kepergiannya barang satu hari…Aku punya firasat
dia akan menemui halangan besar di perjalanan. Nenek Cempaka, sebentar lagi
harap kau ikuti gadis berbaju biru itu.” Habis berkata begitu Ratu Sepuh
berpaling pada Wiro. “Pendekar Dua Satu Dua, apakah kau juga hendak cepat-cepat
meninggalkan tempat ini?”
Wiro
tersenyum dan garuk kepala. “Tidak Ratu Sepuh. Saya tidak akan pergi. Saya
masih menunggu sampai Ratu Sepuh menolong sahabat saya si gendut yang sejak
tadi kesakitan setengah mati itu.”
“Ahh… aku
sampai terlupa dengan sobatmu itu. Mana coba aku lihat apa penyakitnya.” Sambil
senyum-senyum Ratu Sepuh dekati Bujang Gila Tapak Sakti yang duduk dengan kaki
berkembang di bawah patung. “Anak muda yang konon sudah berusia delapan puluh
tahun. Kau memberi tahu tubuhmu sebelah bawah bengkak besar dan sakit bukan
main lalu sekujur kulit tubuhmu menjadi biru gara-gara diantuk tujuh ekor
kalajengking biru yang dilepas oleh Ning Kameswari anak buah Ratu Laut Utara
palsu.”
“Aku
sudah menceritakan. Apa kau mau aku bercerita lagi? Aduh Nenek Ratu, aku sudah
tidak bisa menahan sakit. Rasanya kepalaku atas bawah mau meledak pecah!”
Ning
Kameswari gadis cantik. Jangan-jangan kau bukan diantuk kalajengking tapi
diantuk gadis itu. Hik…hik…hik! Betul?” Rupanya Ratu Sepuh pandai juga
bergurau.
“Ratu
Sepuh jangan bercanda. Kau bisa dan mau menolongku apa tidak? Kalau tidak biar
aku gebuk kepalaku saat ini. Mati rasanya akan lebih baik dari pada kesakitan
begini!”
“Jangan
marah, apa lagi sampai nekad bunuh diri. Kalau aku tidak bermaksud menolongmu
pasti waktu dipantai aku tidak akan menelanmu hidup-hidup. Nah, sekarang buka
kakimu lebih lebar. Biar ujung tongkatku tidak meleset menyodok bagian bawah
perutmu!”
“Apa
Nek?!” ucap Bujang Gila Tapak Sakti sambil cepat-cepat tekap bagian bawah
perutnya. “Kau mau menyodok perabotanku yang lagi bengkak dan sakit setengah
mati dengan tongkatmu?! Wong edan! Kepalaku saja kau gebuk sampai pecah Nek!
Biar beres urusannya! Aku…”
Selagi
Bujang Gila Tapak Sakti bicara Ratu Sepuh sodokkan kuat-kuat ujung tongkat
emasnya ke bagian bawah perut si gendut ini.
“Dukkk!”
“Dess…dess…dess!”
Bujang
Gila Tapak Sakti menjerit setinggi langit. Tubuhnya terpental ke udara. Dari
bawah perutnya terdengar tiga kali letupan disertai mengepulnya asap biru.
Sebelum jatuh bergedebuk ke tanah si gendut ini menggapai dan berpegangan pada
tubuh patung Wiro yang sedang membungkuk meneduhi tubuh patung Ratu Laut Utara.
Dua kakinya dikibas-kibas. Patung batu bergoyang-goyang menahan berat tubuh si
gendut yang ratusan kati.
Ratu
Sepuh ketok pantat Bujang Gila Tapak Sakti dengan ujung tongkat. Membuat pemuda
ini terlepas pegangannya dari tubuh patung lalu jatuh bergedebuk menungging di
tanah. Dari hidung, telinga dan mulut mengepul asap biru. Sementara dari pantat
butt… butt…butt meletup-letup suara kentut yang juga memancarkan asap biru!
Dalam keadaan menungging Bujang Gila Tapak Sakti mengerang tiada henti.Tiba-tiba
suara erangannya berhenti. Matanya yang belok berputar-putar. Rasa sakit di
bagian bawah perut mendadak lenyap.Tubuhnya kini malah terasa sejuk membuat
matanya nyaman meram melek. “Nek, Ratu
Sepuh,
kau apakan anuku…?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil duduk di tanah. Lalu
dia usap-usap bagian bawah perutnya. Belum puas dua tangan dimasukkan ke balik
celana. Meraba kian kemari. Malah kemudian mengucak-ucak. “Eh…” Si Gendut
menatap ke arah Ratu Sepuh. “Weehhh, kempes Nek. Kau…”
Si nenek
Cuma senyum-senyum. Dia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian beludrunya dan
melemparkan benda itu pada Bujang Gila Tapak Sakti seraya berseru.
“Ambil!”
Bujang
Gila Tapak Sakti cepat menangkap benda yang dilemparkan.Ternyata satu kantong
terbuat dari kulit binatang.
“Di dalam
kantong itu ada obat bubuk. Anumu memang sudah kempes dan sembuh. Tapi sekujur
kulit tubuhmu masih tetap biru. Bubuk di dalam kantong itu adalah obat
penyembuhnya. Cara pengobatan satu-satunya adalah seseorang harus menaburkan
bubuk itu di atas anumu lalu mengusapnya tujuh kali sesuai jumlah kelabang yang
menyengat. Sambil mengusap dia harus meniup-niup anumu. Juga tujuh kali…”
“Kau
bercanda Nek?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Aku
menolongmu, bukan bercanda. Bujang Gila, apakah kau sudah beristri? Maksudku
jika sudah maka istrimu bisa melakukan hal itu. Lebih cepat lebih bagus.”
Bujang
Gila Tapak Sakti menggeleng. Dia tetap berpikiran si nenek tangah mengenainya.
“Aku
tidak punya istri Nek.”
“Kalau
begitu kekasihmu saja…” kata Ratu Sepuh juga.
“Kekasihku
juga aku tidak gablek Nek.”
“Kalau
kau tidak punya istri tidak punya kekasih berarti kau harus mencari seorang
perempuan untuk menolongmu.” Kata Ratu Sepuh pula. “Begitu?” Bujang Gila Tapak
Sakti tertegun sesaat. Lalu kepalanya dipalingkan pada Ayu Lestari. Mata belok
mendelik, mulut menyeringai. Saat itu juga pewaris syah Kerajaan Laut Utara
melompat jauh lalu secepat kilat lari ke arah pantai.
Ratu
Sepuh melakukan hal sama. Sekali dia ketukkan ujung tongkat emas ke tanah maka
tubuhnya berubah menjadi buaya putih besar, melesat tinggi ke udara lalu
laksana terbang melesat ke arah pantai sambil umbar tawa cekikikan.
Bujang
Gila Tapak Sakti tampak bingung. “Celaka, bagaimana ini. Perempuan mana…”
Tiba-tiba pandangannya membentur Nenek Cempaka. “Ah, tidak rotan akarpun jadi!
Nenek ini kan perempuan juga. Walau sudah tua tapi masih cantik…”
Si nenek
yang sudah bisa meraba apa yang ada di benak Bujang Gila tapak Sakti serta
merta melangkah mundur sambil mulutnya berucap.”O0…00…Tidak aku. Jangan aku.” Lalu
tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat hendak pergi dari situ.
Namun si
gendut lebih cepat. Dia berhasil mencekal tangan kiri si nenek lalu menariknya.
Sesaat kemudian Nenek Cempaka sudah berada dalam gendongannya. Perempuan tua
itu berteriak-teriak.
“Lepaskan!
Lepaskan! Aku tidak mau! Aku tidak mau melakukan itu!”
“Nek, kau
harus menolongku.” Kata Bujang Gila Tapak Sakti sambil membawa si nenek ke arah
serumpunan semak belukar lebat.
“Tidak!
Aku tidak mau!” kembali nenek Cempaka berteriak.
“Ingat
Nek, ini pesan Ratu Sepuh!”
“Aku
tahu! Tapi dia tidak bilang harus aku yang melakukan!”
“Jangan
takut Nek. Perabotanku tidak burik. Juga tidak ada tanduknya.Tapi bagus mulus.
Masih kencang Nek! Kata orang aku masih perjaka. Padahal aku tidak tahu apa artinya
perjaka. Ha…ha…ha!”
“Gendut
kurang ajar! Kau ini bicara apa?! Lepaskan diriku!”
Bujang
Gila Tapak Sakti sampai di balik semak belukar. Jeritan nenek makin keras.
“Tolong
Nek. Aku buka celanaku yah?”
“Gendut
kurang ajar! Najis!”
“Nek,
obatnya sudah aku taburkan. Tinggal kau usap dan kau tiup-tiup…”
“Tidaakkk!”
“Wiro
yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan tertawa gelak-gelak.
“Nenek
Cempaka!” teriak Wiro. “Kata Ratu Sepuh usap tujuh kali! Tiup tujuh kali!
Jangan kurang jangan lebih! Ha…ha…ha!”
Tiba-tiba
tawanya lenyap ketika pandangannya mengarah pada dua patung yang sedang bersatu
badan. Patung dirinya dengan Nyi Harum Sarti.
“Patung
jahanam! Biar yang satu ini aku bereskan lebih dulu!”
Lalu
murid Sinto Gendeng ini terapkan ajian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan
kanan menghantam, kiblatan cahaya putih perak panas dan menyilaukan menderu.
“Buk…!”
Hanya
sekali hantam saja dua patung mesum di atas bukit kecil Pulau Menjangan Kecil
hancur berkeping-keping, sama rata dengan tanah!
Di balik
semak belukar tidak terdengar lagi jeritan Nenek Cempaka. Juga tak ada suara
Bujang Gila Tapak Sakti. Wiro merasa khawatir.
“Jangan-jangan
si gendut itu sudah mati konyol diremas perabotannya!” pikir murid Sinto
Gendeng. Maka dia berteriak.
“Bujang
Gila! Apakah urusanmu sudah selesai?”
Dari
semak belukar tiba-tiba terdengar jawaban.
“Sedikit
lagi! Jangan pergi dulu! Tunggu aku! Wah…wah. Sobatku Wiro! Usapannya melebihi
nikmatnya usapan anak gadis! Ha…ha…ha…!Terima kasih Nek. Sekarang tiup Nek.
Ingat Ratu Sepuh yang bilang begitu.Harus ditiup.Tujuh kali! Nah…nah! Aduh
enak, asyik Nek. Sejuk sekali! Ha…ha…ha!”
*********************
3
RATU
DUYUNG dan Nyi Roro Manggut sampai di pantai selatan Pulau Menjangan Kecil. Dia
merasa heran melihat si nenek mengambil jalan yang tidak langsung menuju pantai
tapi seperti sengaja melewati bebukitan kecil yang penuh ditumbuhi pepohonan
serta semak belukar. Sampai di pantai Nyi Roro Manggut menyelinap ke balik
gundukan batu di belakang serumpun pohon bakau. Melihat sikap Nyi Roro Manggut,
Ratu Duyung akhirnya membuka mulut bertanya pada si nenek.
“Nyi
Roro, apakah kau sungguhan menerima pesan jarak jauh dari Junjungan kita Nyi
Roro Kidul? Bahwa kau dan aku agar segera menghadap untuk menyerahkan Batu
Mustika Angin Laut Kencana Biru?”
Nenek
bertubuh cebol bermata juling gelung rambut putihnya di atas kepala. Sambil
tertawa cengengesan dan usap hidungnya yang pesek rata dia menjawab.
“Kau
tahu, ini cuma akal-akalanku saja…”
“Mengapa
kau berbuat begitu? Takut Bujang Gila Tapak Sakti akan memilihmu untuk
mengobati dirinya seperti yang dikatakan Ratu Sepuh?”
“Hik…hik!”
Nyi Roro Manggut tertawa. “Si gendut itu pasti tidak akan memilih diriku. Masih
ada dirimu dan Ayu Lestari.Tapi terus terang itu memang salah satu alasanku
mengapa aku mengajakmu cepat-cepat pergi. Si nenek memandang ke langit. Di arah
timur tampak kelompok awan hitam menggumpal tebal, berarak mendekati kawasan
laut di dekat pulau Menjangan Kecil.
“Kita
tidak bisa meninggalkan Wiro begitu saja Nek. Aku dan dia mati-matian berusaha
mendapatkan kembali Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang kini sudah kau
simpan dalam tubuhmu.”
“Kau tak
usah khawatir pendekar itu. Cepat atau lambat dia akan bergabung dengan kita.
Atau kau cemburu dengan Ayu Lestari?”
“Kau ini
ada-ada saja Nek. Coba katakan, apa alasan lain kau cepat-cepat mau pergi.”
“Kau
ingat apa yang diucapkan dengan suara keras oleh Nyi Harum Sarti tentang dirimu
dan Bidadari Angin Timur?” tanya Nyi Roro Manggut.
“Ah, itu
rupanya. Terus terang aku memang merasa heran dan tidak enak. Mengapa Nyi Harum
Sarti sampai bermulut ember, keluarkan ucapan seperti itu.”
“Dia
ingin mempermalukan kalian di hadapan orang banyak.
Sekaligus
sengaja memancing di air keruh.”
“Aku
memang tidak suka dengan ucapannya yang mengatakan diriku adalah setengah
manusia setengah ikan. Tapi aku pikir ujud keadaan diriku memang dulu seperti
itu. Jadi walau jengkel aku memilih diam saja.”
“Kau bisa
berbuat begitu. Tapi bagaimana dengan Bidadari Angin Timur? Kau mendengar
sendiri apa yang diteriakkan Nyi Harum Sarti pada Bidadari Angin Timur sebelum
kau membunuh Ratu celaka itu dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Gadis
berambut pirang itu dikatakan janda muda Kepala pengawal Kesultanan Cirebon
Tubagus Kesumaputra! Tidak heran kalau Bidadari Angin Timur kemudian menendang
hancur mulut dan kepalanya walau Nyi Harum Sarti sudah jadi mayat! Tidak
kusangka Bidadari Angin Timur bisa seganas itu. Tapi aku bisa memaklumi. Aku
bicara terus terang saja. Si rambut pirang itu cinta setengah mati pada Wiro.
Dibilang janda di hadapan Wiro apa tidak sama saja dengan kiamat bagi gadis
berambut pirang itu? Apa lagi dia pasti juga sudah menyirap kabar tentang
kedatanganmu bersama Wiro menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kini semakin banyak
penghalang baginya untuk mendapatkan pendekar itu. Kalaupun dia tidak kawin
dengan Tubagus Kesumaputra tapi paling tidak dia sudah mau diajak ke Cirebon.
Apa itu bukan berarti pengkhianatan kalau dia memang benar-benar mengasihi
Wiro? Kalau tidak ada api mana mungkin muncul asap!”
Lama Ratu
Duyung terdiam mendengar ucapan Nyi Roro manggut. Akhirnya dengan suara
perlahan Ratu Duyung berucap.
“Memang
aneh dan sangat kurang ajar sikap serta ucapan Nyi Harum Sarti. Tapi bagaimana
dia bisa mengeluarkan ucapan seperti itu. Dari mana dia tahu? Apakah benar
sahabat kita Bidadari Angin Timur janda dari Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon
bernama Tubagus Kesumaputra itu? Setahuku Tubagus Kesumaputra sebenarnya adalah
pemuda bernama Jatilandak, putera Purnama. Purnama sendiri di negerinya dikenal
dengan nama Luhmintari. Kalau Bidadari Angin Timur janda dari Kepala Pengawai,
berarti mereka pernah kawin. Lalu kapan kawinnya?”
“Hal
siapa sebenarnya Tubagus Kesumaputra itu bagiku tidak jadi persoalan. Yang
membuat cerita jadi panjang dan sangat membuat marah Bidadari Angin Timur ialah
dari siapa Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu mengetahui kalau
Bidadari Angin Timur adalah seorang janda!”
Ratu
Duyung menatap wajah si nenek beberapa saat lalu meluncur ucapannya. “Aku ingat
sekarang Nek. Ketika Nyi Harum Sarti meneriakkan kata-kata yang sangat
memalukan itu, wajah Bidadari Angin Timur marah membesi. Rahang menggembung.
Dua tangan terkepal. Dia seperti mau menguyah Nyi Harum Sarti sampai lumat dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Namun sekilas aku melihat juga bagaimana dia
melirik tajam penuh kebencian pada Purnama. Kalau ucapan Nyi Harum Sarti benar,
aku yakin Bidadari Angin Timur punya prasangka atau tuduhan bahwa Purnamalah
yang telah menebar fitnah…”
“Bagaimana
kalau itu bukan fitnah, tapi sebenarnya terjadi?” tanya Ratu Duyung yang
agaknya terpengaruh dengan ucapan si nenek: Kalau tidak ada api mana mungkin
muncul asap. (Mengenai kisah “jandanya” Bidadari Angin Timur harap baca episode
sebelumnya berjudul “Badai laut Utara”) Lalu gadis cantik bermata biru itu
menambahkan. “Kalau dipikir-pikir sebenarnya Purnama juga adalah seorang janda
dari perkawinannya yang terputus dengan ayah puteranya yang bernama Jatilandak
itu. Wiro tahu benar riwayat gadis itu.”
Kepala si
nenek manggut-manggut berulang kali. “Bidadari Angin Timur memang pernah lama
tidak muncul sejak beberapa waktu belakangan ini. Kemana menghilangnya? Pergi
ke Cirebon. Kawin di sana Lalu bagaimana ceritanya kemudian menjadi janda?
Aneh!”
“Aku
sendiri pernah tahu Nek,” kata Ratu Duyung pula. “Jatilandak pernah
menyelamatkan Bidadari Angin Timur ketika hendak diperkosa oleh satu mahluk
dari negeri asalnya. Mahluk itu berjuluk Hantu Muka Dua. Memang agaknya rasa
saling menanam budi cukup alasan kalau mereka mau menikah. Tapi mengapa kita
para sahabat sampai tidak mengetahui peristiwa perkawinan itu?” (riwayat hampir
diperkosa Bidadari Angin Timur oleh Hantu Muka Dua baca serial Wiro Sableng
berjudul “Rumah Tanpa Dosa”).
Nyi Roro
Manggut kembali angguk-anggukan kepala. Sepasang matanya yang juling menatap ke
arah pantai dimana berjejer beberapa perahu kayu dan jukung yang keadaannya
sudah setengah lapuk karena lama ditinggalkan dan tidak dipergunakan lagi oleh
pemiliknya. Dia kembali memandang ke langit. Lalu berkata.
“Langit
tampak hitam. Agaknya sebentar lagi hujan lebat akan turun disertai angin
kencang. Mungkin badai.”
Baru saja
si nenek berkata begitu di langit sebelah barat kilat menyambar di susul
gelegar guntur.
Ratu
Duyung tidak perdulikan keadaan cuaca yang berubah cepat.
“Nyi
Roro, aku ingin tahu mengapa tadi kita tidak langsung menuju ke pantai. Kau
sengaja melewati jalan berputar yang lebih jauh. Mengapa kau berbuat begitu?”
“Aku
tidak ingin kehadiran kita di sini diketahui orang atau dilihat orang-orang
itu…”
“Orang-orang
siapa maksudmu Nyi Roro Manggut?” tanya ratu Duyung pula.
“Bidadari
Angin Timur dan Purnama.”
“Bidadari
Angin Timur sudah lebih dulu pergi dari kita. Tak mungkin masih berada di pulau
ini.”
Nyi Roro
Manggut menggeleng.
“Dia
masih berada sekitar pulau ini. Dia tengah menunggu seseorang. Aku punya
firasat sesuatu akan terjadi di sekitar tempat ini. Pasang matamu baik-baik dan
pentang telingamu tajam-tajam. Sayang cermin saktimu sudah hancur. Tapi coba
kau kerahkan Ilmu Menembus Pandang…”
Baru saja
si nenek keluarkan ucapan tiba-tiba dari balik sebuah pulau kecil muncul satu
perahu. Penumpangnya mengenakan pakaian biru tipis, rambut pirang panjang
melambai lepas tertiup angin. Sekalikali dia mencelupkan tangan ke dalam air.
Perahu melesat deras di permukaan laut. Di satu tempat sejarak belasan tombak
dari pantai perahu dihentikan, terombang ambing dipermainkan ombak kecil.
Perlahan-lahan penumpang di atas perahu bangkit, tegak sambil rangkapkan dua
tangan di atas dada. Mata menatap tajam ke arah pantai.
“Bidadari
Angin Timur…” bisik Ratu Duyung.
“Benar,”
sahut Nyi Roro Manggut. “Dia tengah menanti kedatangan seseorang. Orang itu aku
yakin sebentar lagi akan berada di tempat ini. Aku harap Bidadari Angin Timur
tidak mengetahui kehadiran kita di balik batu karang ini.”
“Purnama!”
tiba-tiba gadis berambut pirang berpakaian biru tipis yang berdiri di atas
perahu di tengah laut berteriak lantang. “Aku tahu kau berada di tepi pantai.
Jangan bersembunyi! Aku sudah cukup lama menunggu kemunculanmu! Cepat unjukkan
diri! Ada yang perlu kau jawab sebelum aku menghabisi dirimu!”
“Dugaanku
tidak keliru!” kata Nyi Roro Manggut. “Tapi aku tidak menduga Bidadari
AnginTimur punya dendam begitu hebat hingga dia ingin membunuh Purnama!”
“Kau
bilang apa yang terjadi sama dengan kiamat bagi gadis itu. Dan Purnama sangat
tersangkut dengan kejadian tersebut.” Ucap Ratu Duyung pula. Dia berpaling ke
kanan. “Aku mendengar desiran angin. Aku melihat sesuatu berkelebat di balik
deretan pohon kelapa sebelah sana…” bisik Ratu Duyung.
Saat itu
juga terlihat seorang perempuan berpakaian biru pekat, rambut digulung di atas
kepala, berlari laksana terbang ke arah pantai. Ternyata dia adalah Purnama
alias Luhmintari ibu dari Jatilandak alias Tubagus Kesumaputra.
Purnama
angkat tangan kirinya ke arah Bidadari Angin Timur yang berada dia atas perahu.
“Bidadari
Angin Timur! Aku tahu kau akan menungguku. Aku tidak sembunyi. Justru aku
memang ingin menemuimu agar bisa diajak bicara! Antara kita mungkin telah
terjadi kesalah fahaman!”
“Bukan
mungkin! Bukan juga kesalah fahaman! Seseorang telah menghina mempermalukan
diriku akibat fitnah yang berasal dari mulutmu!”
“Aku akan
menerangkan padamu duduk perkaranya! Kita bersahabat sejak lama Aku tidak akan
bermulut keji seperti yang kau duga. Sesuatu telah terjadi pada diriku!”
“Perempuan
liar dari negeri najis!” teriak Bidadari Angin Timur. “Jika kau memang ingin
bicara sebelum kematianmu, tunjukkan kehebatanmu! Datang temui aku di sini!
Kita bicara di tengah laut ini!”
Ditantang
begitu rupa Purnama tidak tinggal diam. Dia melirik ke arah deretan perahu di
tepi pasir. Secepat kilat dia melompat mendekati salah satu perahu lalu
mendorong ke dalam laut. Begitu berada di dalam air dia terus berenang sambil
mendorong perahu. Dua gerakan kakinya yang sebat membuat perahu terdorong pesat
di atas permukaan air.
Ketika
tinggal beberapa tombak lagi dari perahu yang ditumpangi Bidadari Angin Timur
baru Purnama melompat ke atas perahu. Aneh, kepala, tubuh, dan pakaian tidak
ada yang basah. Gadis ini telah melindungi tubuh dan pakaian dengan ilmu yang
mengeluarkan cahaya biru bergemeriap.
Begitu
berdiri di atas perahu yang kini berdampingan dan hanya terpisah dengan perahu
Bidadari Angin Timur sejarak dua jengkal, Purnama segera keluarkan ucapan.
“Sahabatku
Bidadari Angin Timur, kalau kita bicara aku harap kita bicara dengan kepala
dingin walau hati panas…”
“Hentikan
bicara manismu!” Bentak Bidadari Angin Timur. “Antara kita tidak ada lagi
jalinan persahabatan. Karena kau telah membuka aib diriku yang nyata-nyata
adalah fitnah dan menyampaikannya pada Ratu Laut Utara keparat bernama Nyi
Harum Sarti itu!”
“Aku
tidak mengingkari. Aku memang bicara tentang keadaan dirimu setelah gagalnya
pernikahanmu dengan Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon bernama Tubagus
Kesumaputra itu! Nyi Harum Sarti berusaha mengorek banyak keterangan dariku.
Dan aku bicara dalam keadaan pikiran tidak waras akibat ilmu Penyejuk Jiwa
Pemikat Hati yang disirapkan seorang nenek anak buah Nyi Harum Sarti atas
diriku…”
“Aku
tidak peduli ilmu setan apapun yang ditenungkan pada dirimu. Kau tidak bisa
membantah kenyataan bahwa sumber fitnah yang sangat keji memalukan itu berasal
dari mulutmu!”
“Aku
mengakui hal itu. Namun harap kau bisa mengerti…”
“Tutup
mulutmu! Jangan terlalu banyak bicara! Aku hanya ingin tahu satu hal lagi! Dari
mana kau mengetahui peristiwa gagalnya pernikahanku dengan Kepala Pasukan
Kesultanan Cirebon yang sebenarnya adalah anak kandungmu sendiri!”
“Berita
baik berita buruk berjalan secepat angin bertiup,” jawab Purnama tanpa mau
berterus terang siapa orang yang menjadi sumber cerita peristiwa itu. Seperti
diketahui Purnama mendapat penjelasan langsung dari puteranya sendiri yaitu
Jatilandak alias Tubagus Kesumaputra. “Kuharap kau mau bersikap penuh
pengertian. Walau aku menyadari buruknya diriku ini aku sebenarnya adalah bekas
mertuamu juga…”
Mendengar
kata-kata Purnama itu wajah Bidadari Angin Timur berubah merah. Rahang
menggembung. Dada seperti mau meledak. Sepasang mata berkilat-kilat. Dari
mulutnya menyembur tawa melengking panjang yang diakhiri dengan suara
mendengus.
“Perempuan
jahanam! Kau bukan saja terpesat dari negeri hantu! Tapi juga membuat keonaran
di tanah Jawa! Aku tidak pernah nikah dengan anakmu! Aku tidak pernah merasa
jadi janda seperti yang kau fitnahkan!”
“Bidadari
Angin Timur, aku bersedia bersujud minta maaf padamu. Bukankah lebih baik kita
lupakan saja persoalan ini? Semua terjadi bukan karena kemauan kita. Ini
gara-gara kejahatan Ratu Laut Utara palsu bersama kaki tangannya!”
“Hebat
dan pandai sekali kau mencari kambing hitam!” Tukas Bidadari Angin Timur.
“Memang bukan terjadi karena kemauankulTapi kemauan busukmu!” Teriak Bidadari
Angin Timur. Kepala disentakkan.
“Wutt!”
Rambut
pirang laksana tabasan golok menyambar ke arah leher Purnama. Jangankan leher
manusia, patung batupun akan dibabat putus oleh tebasan rambut pirang yang
berubah menjadi kaku keras laksana lempengan besi!
Selagi
Purnama menjauhkan diri untuk menghindari serangan Bidadari Angin Timur kembali
lancarkan serangan susulan berupa pukulan tangan mengandung hawa sakti dan
tenaga dalam tinggi!
Bagi dua
orang yang memiliki kepandaian yang sudah mencapai puncaknya, bertarung di
daratan adalah satu hal yang biasa. Tapi berkelahi di atas perahu kayu yang
mengambang di atas laut sungguh merupakan kejadian yang sangat langka. Walau
memiliki kesaktian serta tenaga dalam tinggi, tapi jika tidak berbekal ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa, kedua petarung bisa sama-sama celaka!
“Dukkk!”
Tangan
kanan Bidadari Angin Timur yang melancarkan pukulan ke arah dada beradu dengan
lengan kanan Purnama yang dipergunakan untuk menangkis sekaligus dipakai
mendorong sebagai serangan balasan.
Dua gadis
cantik sama-sama terpekik. Tangan bergetar hebat dan membekas merah biru. Tubuh
mereka serentak terhuyung ke belakang akibat keras beradunya dua tangan. Dalam
keadaan seperti itu dengan gerakan kilat mengandalkan ilmu meringankan tubuh
tinggi. Keduanya melompat ke udara. Sambil melayang turun untuk menjejakkan
kaki di atas lantai perahu mereka kembali menabur serangan.
Purnama
melepas pukulan Menahan Raga Menyerap Tenaga. Dengan ilmu ini dia mampu membuat
lawan menjadi lemas tak berdaya. Jelas gadis dari Latanahsilam ini tidak
berniat untuk mencelakakan lawan.
Sebaliknya
Bidadari Angin Timur yang sudah nekad hendak menghabisi Purnama menghantamkan
dua tangan ke arah lawan. Dua larik sinar biru berkiblat Ilmu kesaktian ini
tidak bernama, Nyi Kuncup Jingga pernah mengatakan bahwa sambaran dua cahaya
biru itu adalah Pedang Biru Liang Akhirat. (Baca “Cinta Tiga Ratu”)
Laksana
sepasang pedang, dua cahaya biru dengan ganas menyambar ke arah kepala dan dada
Purnama. Bila dua cahaya biru mengenai sasaran maka kepala dan dada Purnama
akan terbelah!
Di saat
bersamaan kilat kembali menyambung di langit dan guntur menggelegar dahsyat.
Selagi dua gadis yang bertarung belum sempat menjejakkan kaki dan serangan
masing-masing belum saling bentrokan tiba-tiba angin deras turun bergemuruh,
bertiup dahsyat membuat air laut membuntal membentuk gelombang luar biasa
besar!
Dalam
keadaan seperti itu dua buah perahu kayu tiba-tiba melesat dari arah pantai.
Orang yang berperahu di sisi kanan berteriak.
“Bidadari
Angin Timur! Purnama! Jangan tolol bertarung melawan sahabat sendiri! Semua
bisa diselesaikan dengan saling bicara!”
Tapi
gelombang luar biasa besar keburu menghantam. Empat perahu mencelat ke udara,
hancur berkeping-keping. Nyi Roro Manggut cepat melesat menyambar tangan
Bidadari Angin Timur sementara Ratu Duyung berusaha menggapai pinggang Purnama.
Namun keduanya luput! Ketika gelombang kedua menyapu dan hujan serta angin
menderu ganas sementara udara menjadi gelap, ke empat orang itu tidak kelihatan
lagi!
*********************
4
KETIKA
Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung siuman, mereka dapatkan diri terbujur di atas
pasir pantai Menjangan Kecil.
“Astaga,
apa yang terjadi dengan diriku!” ucap si nenek seraya bangkit duduk. Dia
memandang dan meraba dada sendiri, merasa lega karena mengetahui Batu Mustika
Angin Laut Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul masih berada dalam tubuhnya. Di
sebelahnya duduk Ratu Duyung sambil mengibas-ngibas rambut yang basah, sepasang
mata menatap ke arah laut yang kini berada dalam keadaan tenang. Di atas pasir
keping kayu hancuran perahu bertebaran dipermainkan ujung ombak sementara
langit cerah tak berawan. Sang surya condong jauh ke barat, memancarkan cahaya
kekuningan pertanda saat itu hari telah sore.
“Ada
badai waktu kita hendak mencegah Bidadari Angin Timur dan Purnama saling
berbunuhan.” Ratu Duyung keluarkan ucapan. “Nyi Roro, menurutmu apakah badai
itu merupakan badai setan jejadian seperti yang kita alami sebelumnya?”
“Jin
pencipta badai yaitu Durna Rawana sudah menemui ajal. Yang tadi adalah badai
sungguhan.” Jawab Nyi Roro Manggut. “Kita berdua tergeletak tak sadarkan diri
cukup lama di tempat ini.”
Ratu
Duyung bangkit berdiri, menarap ke arah laut lepas. Selain pulau-pulau kecil
dia tidak melihat apa-apa lagi.
“Nek,
hatiku sangat kawatir. Apa yang terjadi dengan Purnama dan Bidadari AnginTimur.
Jangan-jangan selagi kita tergeletak pingsan di sini kedua orang itu telah
saling berbunuhan. Sama-sama menemui ajal!”
“Kalau
mereka memang sama-sama sudah menemui ajal. Ada dua kemungkinan. Pertama tubuh
mereka hancur berkeping-keping. Berarti kita tidak akan menemui jazad utuh
mereka. Kemungkinan kedua jenazah mereka masih dalam keadaan utuh tapi
tenggelam ke dasar laut. Paling cepat butuh waktu satu hari satu malam jenazah
keduanya baru muncul mengambang di permukaan laut. Apakah kita akan menunggu?
Kita masih banyak urusan penting yang harus segera dilaksanakan.”
“Kita
tidak bisa menunggu selama itu, Nek. Selain itu aku merasa sangat perlu menemui
Wiro terlebih dulu.”
Nyi Roro
Manggut tidak menjawab melainkan menatap diam dengan matanya yang jereng ke
arah laut
“Apa yang
ada dalam pikiranmu Nek?” tanya ratu Duyung.
“Aku coba
mengingat-ingat…” jawab si nenek pula. “Sewaktu gelombang besar menghantam
kita, yaitu sebelum kita mampu mencegah terjadinya saling serang pukulan sakti
antara Purnama dan Bidadari Angin Timur, aku sekelebatan melihat satu benda
putih panjang muncul dari dalam laut, melesat di dalam gulungan gelombang,
menyambar ke arah kita…”
“Aku
tidak melihat benda itu Nyi Roro,” kata Ratu Duyung pula.
“Bisa
saja kau tidak melihat Namun aku berpikir, bila cuma gelombang besar yang
menghantam kita, tidak mungkin kita sampai terkapar pingsan sekian lama di tepi
pantai ini. Aku yakin benda putih panjang itulah yang melepas kekuatan dahsyat
membuat kita terpental hingga tidak sadarkan diri.”
“Kalau
begitu ucapanmu, bisa saja dua sahabat kita itu telah mengalami celaka oleh
benda itu. Tapi benda putih aneh itu mahluk apa gerangan?”
“Aku
punya dugaan. Tapi kawatir kalau kesalahan…” ucap si nenek perlahan.
“Katakan
saja padaku Nek. Masa kau tidak percaya aku akan menjaga rahasia?”
“Nanti
saja. Ini bukan perkara percaya atau tidak percaya.” Jawab Nyi Roro manggut.
Sambil
meraba pinggang pakaian di bagian dimana dia menyimpan gulungan Pedang Naga
Suci 212 Ratu Duyung berkata.
“Kalau
begitu sebelum matahari tenggelam sebaiknya kita kembali dulu ke bukit menemui
Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu dengan mengandalkan Batu Mustika Sakti
bersama-sama kembali ke daratan Jawa…”
Mendadak
ucapan ratu Duyung terputus. Gadis itu terpekik.
“Ada
apa?!” tanya Nyi Roro Manggut tersentak kaget.
“Pedang
Naga Suci!” sahut Ratu Duyung dengan wajah berubah pucat. “Pedang sakti
bergulung itu lenyap! Sebelumnya aku simpan di balik pinggang sini!”
“Celaka!
Pasti ada yang mencuri ketika kita dalam keadaan pingsan!” Si nenek lalu
membantu memeriksa dan mencari senjata sakti itu namun tidak berhasil
ditemukan.
Ratu
Duyung terduduk lemas di atas pasir. Mengusap wajah berulang kali. “Apa yang
akan kita lakukan sekarang? Kemana harus mencari pedang sakti itu? Senjata itu
titipan orang, bukan milikku! Ah mengapa musibah buruk selalu datang tidak
berkeputusan. Sebelumnya batu mustika sakti. Kini pedang sakti…”
“Kita
sedang apes,” ujar Nyi Roro Manggut pula. “Pedang itu bukan cuma sekedar
titipan, tapi lebih penting dari itu adalah tanda ikatan jodohmu dengan murid
Sinto Gendeng.”
Ratu
Duyung diam saja. Wajahnya yang tadi pucat kini bersemu merah mendengar
kata-kata si nenek. Ucapan Nyi Roro Manggut membuat hatinya jadi tambah gelisah
tambah kawatir.
“Bagaimana
kalau kita menyelidik dulu ke bukit kecil di dalam pulau? Siapa tahu Wiro masih
ada di sana.” Ratu Duyung akhirnya berkata.
Kedua
orang itu segera kembali ke atas bukit tempat dimana mereka sebelumnya bertemu
dengan Ratu Laut Utara Nyi Harum Sarti dan Ratu Sepuh. Namun mereka tidak
menemui siapapun di situ. Bahkan patung Wiro dan Nyi Harum Sarti juga telah
musnah berubah menjadi kepingan bertabur sama rata di atas tanah. Sesaat
setelah matahari tenggelam dan malam segera turun Nyi Roro Manggut berkata.
“Kita
sudah mencari hampir di seluruh pulau kecil ini. Kau telah mengerahkan ilmu
Menembus Pandang. Tapi sia-sia saja semua usaha. Tidak seorangpun ada di pulau
ini. Lebih baik kita kembali ke pantai selatan.”
“Nyi
Roro, kau berangkatlah duluan ke Kerajaan Laut Selatan. Temui Nyi Roro Kidul
dan sampaikan permohonan maafku. Aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku harus
mencari dan menemukan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua terlebih dulu.”
Nyi Roro
Manggut terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu lalu bertanya.”Kau mau mencari
kemana pedang sakti itu?”
“Aku juga
tidak tahu Nyi Roro. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa memberi petunjuk.”
“Dengar
ratu Duyung.” Ucap si nenek sambil pegang bahu gadis bermata biru. “Dugaanku ada
dua kemungkinan. Pedang itu memang dicuri orang ketika kau tergeletak pingsan
di atas pasir. Atau bisa juga terlempar jatuh ke dalam laut sewaktu kita
dihantam gelombang besar dan kibasan benda putih panjang.”
“Aku akan
berusaha menyelidik. Apapun yang terjadi Pedang Naga Suci Dua Satu Dua harus
didapatkan kembali.”
“Aku bisa
mengerti tindakanmu. Aku akan memberi tahu Nyai Roro Kidul apa yang terjadi.
Aku pergi Sekarang. Hati-hatilah…”
Ratu
Duyung mengangguk.
“Kau juga
hati-hati Nek,” kata si gadis.
Nyi Roro
Manggut letakkan tangan kanannya di atas dada dimana tersimpan Batu Mustika
Angin Laut Kencana Biru. Sekati dia menghentakkan kaki kanan ke atas pasir
pantai, tubuhnya melesat ke udara lalu melayang laksana terbang ke arah
selatan.
APA yang
terjadi dengan Purnama dan Bidadari Angin Timur? Pada saat badai muncul dan
gelombang besar menghantam, baik Purnama maupun Bidadari Angin Timur telah
sama-sama sempat melepas pukulan sakti. Purnama melancarkan pukulan Menahan
Raga Menyerap Tenaga yang tidakakan mencelakai lawan, hanya sekedar membuatnya
tidak berdaya. Sebaliknya Bidadari AnginTimur yang membekal amarah serta dendam
kesumat besar menghantam dengan serangan mematikan yaitu pukulan ilmu Pedang
Biru Liang Akhirat.
Walau
saat badai menghantam dan membuat kedua gadis itu sama-sama terlempar namun
serangan mereka lepas masih sempat menghajar ke arah lawan. Akibatnya memang
sangat berbahaya. Yaitu Bidadari Angin Timur akan lemas tak berdaya seluruh
tubuh sementara Purnama bisa jadi menemui ajal paling tidak ada bagian tubuhnya
yang terbabat putus atau terkoyak lebar!
Pada saat
itulah benda putih panjang muncul dari dalam air laut, berkelebat ke atas di
antara dua gadis yang barusan sama-sama melepas pukulan sakti. Kibasan dahsyat
benda putih itu sanggup membuat Bidadari Angin Timur dan Purnama terpental
lebih jauh. Meskipun demikian dua gadis tetap mengalami cidera.
Bidadari
Angin Timur menjerit keras ketika dia merasa tubuh sebelah kanannya mulai dari
ujung jari tangan sampai ke bahu dan terus ke kaki menjadi lemas tak bisa
digerakkan lagi. Ketika gelombang besar menghantam dirinya tak ampun gadis ini
amblas masuk ke dalam laut. Walau dia memiliki ilmu bisa bertahan lama di dalam
air yang didapat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas namun dalam keadaan separuh tubuh
cidera berat seperti itu dia tak mungkin menggantungkan nyawanya pada ilmu
tersebut Ketika megap-megap muncul di permukaan air, dia berusaha dan masih
sempat menggapai dengan tangan kiri sekeping papan pecahan perahu. Dia tidak
menyadari kalau ada benda melekat di atas kepingan papan yang kini menjadi
gantungan hidupnya itu. Lalu gelombang kembali menghantam tubuhnya hingga
terpental dan diseret jauh ke arah barat.
Akan
halnya Purnama, gadis dari alam gaib 1200 tahun silam ini dalam keadaan
terpental masih sanggup selamatkan diri dari salah satu cahaya biru yang
menyambar ke arahnya. Namun sambaran cahaya biru kedua tak mampu dielakkan.
Laksana pedang membabat cahaya biru masih sempat menyambar pinggulnya sebelah
kiri. Darah mengucur dari luka besar di pinggul. Air laut sekitar situ tampak
kemerahan. Dia sulit menggerakkan diri, apa lagi berusaha berenang mencapai
pantai. Sebelum pingsan gadis ini berusaha sedapatnya melafatkan ajian bernama
Empat Penjuru Air Alam Gaib. Dengan ilmu ini, jika dia mampu membacakan
manteranya sampai selesai maka tubuhnya akan mengambang di atas air. Berarti
kehidupannya kini tinggal tergantung kemana arus air laut membawa menghanyutkan
tubuhnya.
*********************
5
MALAM
Jum’at Kliwon di tanah Jawa. Malam Jum’at yang sama di Pulau Andalas. Langit
cerah tak berawan, dihias bulan sabit. Saat itu lewat tengah malam. Di tepi
Danau Maninjau, di atas sebuah batu datar dialas selembar kulit kambing putih,
Datuk Rao Basaluang Ameh baru saja selesai melakukan sembahyang tahajud dan
siap berzikir ketika tiba-tiba di kejauhan terdengar alunan suara serunai
memecah kesunyian malam.
Sang
Datuk angkat kepala. Wajah berubah, hati tercekat, dada berdebar. Perlahan
mulutnya berucap.
“Puluhan
tahun aku tidak pernah mendengar suara bebunyian itu. Apakah dia yang meniup?
Apakah dia yang datang? Ah, mungkinkah dia masih hidup? Adakah kerinduan yang
tersemat di hatiku juga ada di hatinya hingga dia datang ke sini?”
Datuk Rao
Basaluang Ameh duduk tak bergerak. Mengambil sikap menunggu sambil sepasang
matanya yang biru menatap ke arah jauh di kegelapan dari mana datangnya suara
tiupan serunai yang mendayu berhiba-hiba, menimbulkan perasaan haru di lubuk
hati Datuk Rao Basaluang Ameh. Orang tua yang konon adalah setengah roh manusia
dan telah menemui kematian seratus tahun silam ini pegang saluang yaitu
seruling khas Minang yang terbuat dari emas dan terselip di pinggang.
Perlahan-lahan dia tarik saluang ini lalu ujungnya ditempelkan ke bibir. Sesaat
kemudian suara tiupan saluang menggema di udara malam, menimpali dan saling
bersahutan dengan suara serunai. Seolah-olah dua mahluk gaib yang tengah memadu
kasih. Di tengah Danau Maninjau, permukaan air tampak bergetar, membentuk
gelombang-gelombang halus yang beriringan berarak ke tepian danau.
Untuk beberapa
lama dua suara dua bebunyian itu saling bersambut indah di keheningan malam.
Begitu menyentuh hati sehingga tanpa sadar butir-butir air mata meluncur jatuh
di pipi Datuk Rao Basaluang Ameh. Tangannya yang memegang saluang bergetar dan
tiupannya sesekali tertahan-tahan. Jauh di kegelapan ada suara tersendat
seperti orang menahan isak dan bersamaan dengan itu suara tiupan serunai
terdengar turun naik tak menentu.
Perlahan-lahan
Datuk Rao Basaluang Ameh turunkan tangan. Saluang emas diletakkan di atas pangkuan.
Mata terus menatap ke arah kegelapan. Mulut berucap gemetar.
“Laras
Parantili. Jika memang kau yang datang perlihatkanlah dirimu. Jangan membuat
diriku sesak seperti dikurung dalam keranda besi yang hendak ditenggelamkan ke
dasar Danau Maninjau.”
Suara
tiupan serunai di kegelapan berubah perlahan lalu lenyap sama sekali, tak lama
kemudian kelihatan seseorang melangkah keluar dari balik deretan pohon-pohon
Kayu Manis berusia ratusan tahun. Orang itu berjalan ke arah batu besar di tepi
danau dimana Datuk Rao Basaluang Ameh duduk lalu berhenti. Sang Datuk masih
belum bisa melihat jelas. Hatinya berkata. “Datanglah lebih dekat agar aku bisa
melihat dirimu…”
Seperti
terdengar suara hati sang Datuk, orang dalam gelap lanjutkan langkah,
mendatangi. Hanya sejarak dua belas langkah dari tempatnya duduk, Datuk Rao
Basaluang Ameh kini tak ragu lagi. Dia benar-benar mengenali siapa orang yang
datang ini. Bukan saja dari raut wajahnya tapi juga dari pakaian yang
dikenakan.
“Allah
Maha Besar! Aku memanjatkan beribu syukur! Laras Parantili! Benar kau yang
datang rupanya!”
Datuk Rao
Basaluang Ameh segera berdiri. Saluang Ameh diselipkan di pinggang.Tongkat kayu
putih miliknya yang tadi tergeletak di atas tikar kulit kambing diambil lalu
cepat turun dari atas batu.
Dua belas
langkah di hadapannya berdiri seorang perempuan tua bertubuh tinggi semampai
berambut putih perak, disanggul rapi dihias sesusun sunting rendah terbuat dari
suasa. Wajahnya bujur telur berhidung mancung. Walau banyak kerut dan sepasang
mata agak sembab tanda habis menangis, wajah itu bersih dan masih membayangkan
kecantikan dimasa muda. Sehelai selendang biru bergelung di leher, menjulai ke
dada. Perempuan tua itu mengenakan kebaya panjang dalam menyerupai jubah
berwarna kuning gelap, penuh dengan taburan sulaman bunga yang terbuat dari
sulaman benang perak. Di bawah kebaya panjang kuning dia mengenakan sehelai
celana panjang berwarna hitam. Di tangan kanan, sambil diletakkan di atas dada
dia memegang sebuah serunai, yaitu bebunyian menyerupai suling tapi agak
menggembung dan berkeluk di bagian tengah.
Untuk
beberapa lama dua orang itu hanya saling bertatapan. Kemudian Datuk Rao
melangkah mendekati namun dua langkah di hadapan perempuan tua itu dia
berhenti. Jika menurutkan perasaan hati, saat itu juga sang Datuk ingin sekali
memeluk erat perempuan tua berwajah cantik itu.
“Laras
Parantili, ini kebesaran Tuhan yang paling indah. Aku tidak menyangka kau akan
datang. Ah… Berapa tahun kita tidak pernah berjumpa? Sepuluh… dua puluh… empat
puluh tahun…”
“Setengah
abad Datuk. Setengah abad kita tak pernah saling bertemu…” menjawab perempuan
tua bernama Laras Parantili.
“Setengah
abad. Benar sekali. Aku benar-benar berbahagia.
Kalau
bukan langkah Tuhan yang membimbingmu kemari tentu kita
tidak
berjumpa malam ini.”
“Disitulah
rahasia Kebesaran Allah,” kata Laras Parantili.
“Sejuta
puji sejuta syukur!” ucap Datuk Rao Basaluang Ameh. “Laras, mari kita bicara di
atas rumah gadang gonjong lima. Aku tidak tahu kau datang dari mana.Tapi yang
pasti datang dari tempat yang jauh. Kau pasti lelah. Kau perlu secangkir
minuman panas untuk menghangatkan diri. Selain itu kau tentu butuh istirahat…”
Laras
Parantili tersenyum. Dia menatap ke arah kejauhan dimana terlihat sebuah rumah
panggung besar beratap ijuk dengan gonjong berbentuk tanduk kerbau sebanyak
lima buah.
“Terima
kasih, Datuk. Kau tetap baik dan lembut seperti yang sudah-sudah. Kalau kau
tidak keberatan, biar kita bicara di sini saja. Aku tidak ingin mengganggu
ketenangan tidur para penghuni gadang.”
Mendengar
ucapan orang, Datuk Rao Basaluang Ameh maklum kalau si nenek datang membawa
suatu maksud dan maksud itu ingin disampaikan secara cepat. Berarti dia tidak
akan lama melihat perempuan yang selama fni selalu dirindukannya itu.
“Laras
Parantili, aku tidak akan memaksa kau agar mau naik ke rumah gadang. Namun
kalau boleh aku bertanya sudilah mengatakan gerangan maksud kedatanganmu.
Apakah ini menyangkut hubungan kita masa lalu?”
“Datuk…
pembicaraan kita mungkin akan sampai di sana. Namun berterus terang aku
katakan, kedatanganku membawa satu kabar serta tujuan besar.”
Sekilas
harapan membayang di wajah Datuk Basaluang Ameh.
“Aku
gembira mendengar hal itu. Katakanlah. Jika memang perlu kita rundingkan maka
akan segera kita bicarakan saat ini juga.”
“Datuk,
ketahuilah bahwa kedatanganku membawa satu amanat dari alam gaib, menyangkut
mahluk titisan…”
Datuk Rao
Basaluang Ameh tatap wajah Laras Parantili. Wajahnya membayangkan tanda tanya.
“Kau
pasti belum mengerti. Biar aku lanjutkan ucapan,” kata si nenek pula sambil
membetulkan gelungan selendang biru di lehernya. “Aku tahu di dalam rumah
gadang tempat kediamanmu saat ini ada seorang anak perempuan berusia menjelang
dua tahun. Bernama Ken Permata.”
Datuk Rao
Basaluang Ameh sembunyikan keterkejutannya dengan tersenyum. “Lima puluh tahun
tidak bertemu, lima puluh tahun tidak pernah datang, bagaimana begitu muncul
Laras Parantili mengetahui kalau dirumahku ada seorang anak perempuan berusia
hampir dua tahun bernama Ken Permata.” Sebelum sempat orang tua ini mengatakan
sesuatu, si nenek bermuka bulat sudah lebih dulu lanjutkan ucapan.
“Anak
perempuan itu adalah puteri dari seorang Tumenggung di tanah Jawa bernama Wira
Bumi yang kemudian menjadi Patih Kerajaan. Nasib buruk sang Patih, dia tewas di
tangan tokoh persilatan golongan putih. Istrinya, ibu dari Ken Permata bernama
Nyi Retno Mantili, saat ini masih hidup tapi dalam keadaan tersiksa sengsara
karena telah kehilangan ingatan warasnya. Konon perempuan itu masih berada di
tanah Jawa.”
“Dia tahu
banyak tentang Ken Permata dan kedua orang tuanya,” ucap Datuk Rao dalam hati.
Lalu pada si nenek dia berkata. “Laras, tadi kau menyebut-nyebut soal titisan…”
“Ceritaku
akan sampai ke sana Datuk.” Jawab si nenek pula dengan suara tenang penuh
kesabaran sementara sebaliknya Datuk Rao ingin cepat-cepat mengetahui apa
sebenarnya maksud semua ucapan dan kedatangan si nenek.
“Datuk,
nasib anak perempuan bernama Ken Permata itu mungkin akan sama buruk dengan apa
yang terjadi dengan ibunya jika tidak ada seseorang yang mau turun tangan dan
menolong menghindarkan kejadian itu…”
Datuk Rao
yang tidak sabaran langsung memutus ucapan dengan bertanya. “Lalu apakah
kedatanganmu adalah sebagai orang yang hendak menolong anak perempuan itu?”
“Aku tak
kuasa menolong, aku hanya orang yang ketitlpan amanat agar anak perempuan itu
dapat menerima titisan yang bakal datang atas dirinya. Bagaimana perjalanan
hidupnya nanti Yang Maha Kuasalah yang akan menentukan…”
“Laras
parantili, terus terang aku masih belum jelas akan semua apa yang kau katakan
ini. Roh siapa yang akan menitis ke dalam diri Ken Permata? Kapan hal itu akan
terjadi?”
“Roh yang
akan menitis berasal dari diri seorang perempuan usia empat puluh tahun bernama
Nyi Harum Sarti. Seorang perempuan yang pernah menduduki tahta Kerajaan Laut
Utara sebagai Ratu namun tewas tiga hari yang lalu.”
“Kapan
penitisan akan terjadi?” tanya Datuk Rao yang kini menjadi tampak tegang.
“Malam
ini. Dan aku dibebankan amanat agar petitisan itu terjadi dengan sebaik-baiknya
tanpa halangan.”
“Laras,
kau mengatakan roh yang akan menitis ke dalam diri Ken Permata adalah roh
seorang ratu dari Kerajaan Laut Utara yang tewas tiga hari lalu.”
“Betul
sekail Datuk.” Jawab Laras Parantili.
“Kalau
kau mengatakan dia tewas maka aku mempunyai dugaan Ratu itu menemui kematiannya
secara tidak wajar. Dibunuh Orang?”tanya Datuk Rao.
“Soal
kematiannya, dibunuh atau bukan, siapa yang membunuh rasanya tidaklah penting
Datuk. Jika penitisan terjadi maka Ken Permata setelah usianya mencapai tahun
ke tiga kelak akan memiliki dasar-dasar ilmu kepandaian tingkat tinggi seperti
hawa sakti, tenaga dalam, tenaga luar dan sebagainya.”
“Kalau
yang masuk ke dalam diri anak itu adalah ilmu hitam, apakah ada manfaatnya?”
tanya Datuk Rao Basaluang Ameh.
“Ilmu
putih ilmu hitam tergantung bagaimana seseorang mempergunakannya. Sekalipun
menguasai ilmu putih tapi jika digunakan untuk kejahatan maka akan berarti
orang itu telah merubah ilmu putih menjadi ilmu hitam.”
Datuk Rao
Basaluang merenung beberapa ketika. Dalam hati orang tua ini membatin.
“Tadinya
aku mengira dia datang untuk berbaik-baik membicarakan hubungan di masa lalu.
Ternyata membekal sesuatu maksud yang tidak aku duga. Kalau dia memang
ketitipan amanat, dirinya memang tidak bisa disalahkan. Tapi bagaimana hal ini
bisa terjadi?”
“Laras,
sebelum aku mengizinkan terjadinya penitisan itu, aku minta waktu untuk lebih
dulu menyelidiki siapa Nyi Harum Sarti itu sebenarnya…”
“Datuk,
mungkin kita tidak punya banyak waktu lagi. Seperti kataku tadi, penitisan tadi
akan terjadi malam ini.” Jawab si nenek cantik bernama Laras Parantili sambil
menatap ke langit lepas di atas danau.
“Laras,
ketahuilah, kesembuhan penyakit jiwa ibu Ken Permata yang bernama Nyi Retno
Mantili itu adalah jika dia berhasil menemukan puterinya. Jika sebelum
pertemuan si anak sudah ketitisan roh orang lain, aku kawatir seandainya
terjadi pertemuan mungkin sekali kesembuhan tidak akan terjadi. Nyi Retno Mantili
akan sengsara seumur-umur. Saat ini cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng tengah berusaha mencari Nyi Retno Mantili dan membawanya ke Danau
Maninjau ini. Untuk dipertemukan dengan puterinya.”
“Datuk,
aku mengerti kekawatiran Datuk, jawab Laras Parantili pula. “Namun apakah Datuk
juga memikirkan. Kalau penitisan tidak terlaksana maka akan dua orang yang
menderita sengsara yaitu Ken Permata dan Nyi Retno Mantili.”
“Aku
tidak sependapat denganmu Laras. Sekarang bukankah lebih baik kita membicarakan
soal lain saja…”
Laras
Parantili tersenyum. Senyum yang membuat Datuk Rao Basaluang Ameh merasa
berbunga-bunga hatinya.
“Kalau
itu maumu, baiklah Datuk,” kata si nenek pula. Lalu dari balik pakaian
kuningnya dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kain beludru merah yang
telah kusam dan koyak di beberapa sudut pertanda kotak ini sudah agak usang
dimakan umur.
Melihat
kotak yang dipegang Laras Parantili bercahayalah wajah Datuk Rao.
“Kotak
beludru merah. Dia masih menyimpannya. Berarti dia datang benar-benar karena
masih mengingat hubungan kasih sayang di masa muda. Sekali ini dia tidak akan
aku biarkan pergi kemanamana lagi.” Kata Datuk Rao dalam hati. “Laras, aku
merasa bahagia kau masih mendambakan diriku…”
Namun
semua rasa senang bahagia orang tua sakti ini serta merta sirna ketika Laras
Parantili berkata.
“Datuk,
puluhan tahun aku membawa kotak ini kemana aku pergi. Kujaga baik-baik, seolah
aku membawa nyawaku sendiri. Di dalamnya masih tersimpan dua cincin kuning
terbuat dari batu Giok. Para tetua kita dulu mengharapkan suatu ketika dua
cincin itu akan saling kita jadikan kalung di leher masing-masing sebagai
pertanda ikatan perjodohan. Namun setelah setengah abad berlalu apa yang pernah
diharapkan tidak pernah terjadi. Aku di timur kau di barat. Aku di selatan kau
di utara. Aku membawanya kali ini dengan penuh perasaan sedih. Karena aku akan
menyerahkan kotak berisi dua cincin Batu Giok ini padamu. Lebih baik kau yang
menyimpannya. Aku harap kau menjadi maklum, penyerahan dua cincin ini sebagai pertanda
bahwa kita memang tidak saling berjodoh.”
Datuk Rao
Basaluang Ameh seperti dihenyakkan ke bumi. Langit seolah runtuh menimpa
kepalanya.
“Laras,
tunggu dulu. Jangan kau berkata begitu. Malam ini adalah malam berkat Tuhan
Yang Maha Besar. Kau datang membawa sepasang cincin. Bukankah ini berarti bahwa
kita memang saling berjodoh walau harus menunggu sampai setengah abad?”
Datuk Rao
tidak berani menerima kotak beludru merah.
“Datuk,
aku senang mendengar kata-katamu. Kalau saja katakata itu kau ucapkan lima
puluh tahun yang lalu. Sebaiknya kau buka dulu kotak itu. Lihat dan periksa,
apakah benar dua cincin Giok kuning masih ada di dalamnya dan apakah dalam
keadaan baik, tidak retak tidak gumpil?”
“Aku
yakin kau telah menjaga kotak ini baik-baik. Aku percaya dua buah cincin Giok
kuning tidak kurang suatu apa.”
Datuk Rao
lalu mengambil kotak beludru merah dari tangan Laras Palantili dan membuka
penutupnya. Begitu tutup kotak dibuka menyemburlah asap kuning pekat berbau
busuk. Asap langsung memasuki jalan pernafasan sang Datuk. Orang sakti ini
cepat totok dua urat besar dipangkal lehernya namun terlambat. Asap beracun
telah melewati tenggorokan dan mengancing dua paru-parunya. Sebelum jatuh
pingsan Datuk Rao Basaluang Ameh keluarkan suara menggembor lalu roboh ke tepi
Danau Maninjau. Mulut lelehkan cairan kuning!
*********************
6
TERANG
dan hangatnya cahaya mentari pagi menyadarkan Datuk rao Basaluang Ameh dari
pingsannya. Telinganya menangkap suara kicau burung. Orang tua ini batuk-batuk
beberapa kali, muntah-kan cairan kuning. Terhuyung-huyung dia mencoba bangun.
Dua kaki sulit digerakkan. Akhirnya dia mampu duduk bersila. Pejamkan mata,
tarik dan hembuskan nafas panjang berulang kali. Hawa sakti dialirkan, tenaga
dalam dikerahkan. Ada denyutan rasa sakit di dada. Agaknya masih ada racun asap
kuning yang mengendap dalam tubuhnya. Orang tua itu duduk bersila luruskan
dada. Dua telapak tangan ditekankan ke tanah. Sesaat kemudian perlahan-lahan
tubuhnya melayang naik ke udara. Pada ketinggian lima belas jengkal dari tanah
tubuh ini berbalik lalu menukik turun, kaki ke atas kepala ke bawah.
Begitu
kepala menyentuh tanah Datuk Rao Basaluang menotok urat besar di dada kiri
kanan, pangkal leher serta kedua pelipisnya. Saat itu juga ada hawa aneh
menyedot dari dalam tanah. Inilah cara orang sakti ini menguras racun yang
mendekam dalam tubuhnya. Selain mengandalkan kemampuan sendiri juga meminjam
kekuatan bumi. Cairan kuning meleleh keluar dari mata, hidung, telinga dan
mulut. Setelah itu tubuhnya melayang naik kembali, membalik di udara turun
dengan kaki lebih dulu.
Orang tua
sakti ini telah terlepas dari bahaya besar yakni lumpuh seumur hidup akibat
racun jahat kuning!
“Laras
Parantili. Tidak kusangka setega ini hati dan perbuatanmu terhadapku…” ucap
sang Datuk dalam hati. Dia berdiri dengan lutut masih terasa goyah, memandang
berkeliling. Perempuan itu tak ada lagi. Lalu dia melihat kotak beludru merah
tergeletak di tanah. Cepat dihampiri dan diperiksa. Kotak ternyata dalam
keadaan kosong. Tak ada dua cincin Giok kuning.
“Laras,
kau memang tidak membunuhku.Tapi apa yang kau telah lakukan sama saja membuat
aku mati dalam hidupku. Ini lebih menyakitkan dari kematian sesungguhnya.”
Tiba-tiba
orang tua itu ingat.
“Ken
Permata. Anak itu…!”
Secepat
kilat Datuk Rao menghambur ke arah rumah gadang. Di langkan depan rumah dia
menemukan harimau sakti putih besar Datuk Rao Bamato Hijau terbaring mendengkur
di lantai.
“Tidak
biasanya Datuk tidur di tempat ini. Sesuatu telah terjadi dengan dirinya…”
Datuk Rao cepat memegang kepala binatang itu, mengusap beberapa kali lalu
meniup keningnya. Tiba-tiba harimau putih menggoreng keras dan melompat bangun.
Sepasang matanya yang hijau menatap ke arah Datuk Rao. Sesaat kemudian harimau
putih ini rundukkan kepala sambil menggoreng halus, mencium kaki Datuk Rao.
“Datuk,
aku tahu, aku tahu sesuatu telah terjadi. Ada seseorang menyirapmu, membuat
dirimu tertidur tak berdaya. Dan kau mengaku salah…”
Datuk Rao
kembali mengusap kepala harimau putih lalu dia melangkah ke arah sebuah kamar
di tengah rumah gadang. Di dalam kamar dia menemukan Mande Saleha, perempuan
yang merawat dan menjaga Ken Permata terbaring tertelungkup di lantai papan
dekat pintu. Tangan kanannya terjulur seperti hendak menggapai sesuatu. Ken
Permata sendiri, anak perempuan yang biasa tidur dalam pelukannya tidak ada di
dalam kamar itu.Tempat tidur beralas kasur tinggi dua jengkal kosong.
Datuk Rao
tepuk punggung Mande Saleha sampai perempuan berusia hampir setengah abad ini
terbangun. Begitu matanya nyalang, mulutnya langsung berteriak.
“Datuk!
Saya mohon ampunmu…”
“Tenang
Saleha. Katakan apa yang terjadi.” Kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula. “Dimana
Ken Permata?”
“Malam
tadi Datuk…” jawab Mande Saleha setengah menahan tangis. Lalu perempuan ini
menerangkan. “Malam tadi Ken Permata sudah tidur. Saya masih mengawang-awang,
belum bisa memicingkan mata. Tiba-tiba entah mengapa bulu kuduk saya terasa
meremang. Saya merasakan ada seorang lain dalam kamar. Saya bangun. Memandang
berkeliling. Pandangan saya bertumbuk dengan sosok seorang perempuan berambut
putih. Dia tegak tak bergerak di sudut sana. Tubuhnya tinggi. Mengenakan baju
panjang kuning berbunga perak. Dia memakai sunting pendek. Ada selendang biru
menggelung di lehernya. Meski takut saya masih mampu bertanya menanyakan siapa
dirinya. Dia tidak menjawab. Tangan kanannya diangkat, dua jari dituding lurus.
Lalu saya melihat ada larikan sinar kuning keluar dari sela jarinya. Saat itu
juga saya menggelinding jatuh dari kasur. Meski saya masih sadar namun saya
tidak bisa bersuara. Sebagian dari tubuh saya, yang sebelah kiri terasa berat.
Lalu perempuan tua membuka jendela lebar-lebar. Saat itu saya melihat satu
cahaya putih menyilaukan datang dari luar, masuk ke dalam kamar melalui
jendela. Cahaya ini menyelubungi tubuh Ken Permata. Beberapa kali saya lihat
tubuh anak Itu terangkat ke atas. Lalu cahaya putih lenyap seolah habis diserap
masuk oleh Ken Permata. Sebelum jatuh pingsan saya berusaha mencegah tapi tak
berhasil.” Selesai memberikan penjelasan Mande Saleha menangis sejadi-jadinya.
“Ini kali yang kedua kejadian seperti ini…” katanya di antara tangisnya. (Baca
“Bayi Satu Suro” dimana Ken Permata diculik oleh Wira Bumi dan Nyai Tumbal
Jiwo).
“Saleha,
hentikan tangismu. Kalau musibah sudah ditakdirkan datang, tidak ada yang bisa
mencegah. Aku akan mencari anak itu…”
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara anak menangis.
“Datuk…Itu
suara Ken Permata…”Ucap Mande Saleha.
Tidak
ditunggu lebih lama Datuk Rao Basaluang Ameh melompat keluar rumah lewat
jendela yang terbuka. Berkelebat ke arah terdengar suara tangisan anak kecil.
Harimau putih besar mengikuti.Tangisan itu ternyata hanya datang dari dalam goa
batu pualam yang menjadi tempat kediaman sekaligus pertapaan Datuk Rao. Ken
Permata ditemukan duduk tersandar di dinding goa, menangis menjerit-jerit.
Ketika melihat Datuk Rao Basaluang Ameh, anak ini hentikan tangis. Dua matanya
yang bening menatap memperhatikan si orang tua.
Datuk Rao
melihat pancaran aneh keluar dari mata anak perempuan itu. Juga caranya
memandang terasa tidak seperti biasanya.
“Cucuku,
kau bermain jauh sekali. Mande Saleha sampar menangis mencarimu. Mari kita
pulang ke rumah gadang.” Datuk Rao dukung Ken Permata, melangkah cepat kembali
ke rumah bergonjong sambil membelai punggung si anak.
“Tubuh
anak ini ringan sekali. Tidak seperti biasanya…” kata Datuk Rao dalam hati
ketika melangkah sambil menggendong Ken Permata.
Sampai di
dalam rumah Ken Permata diberikan pada Mande Saleha yang menyambut si
anakdengan menangis keras tapi kali ini merupakan tangis bahagia. Sementara
Mande Saleha mendukungnya Datuk Rao Basaluang Ameh memeriksa keadaan Ken
Permata. Mulamula diperiksa bagian punggung dan kepala sebelah belakang. Lalu
diteliti wajahnya serta tangan dan kaki. Tidak ditemui kelainan. Datuk Rao
menyuruh Mande Saleha membaringkan Ken Permata di atas kasur. Dada diperiksa.
Tetap tidak ada hal yang mencurigakan.Tapi ketika sang datuk menyingkapkan
pakaian di bagian perut Ken Permata disitulah dia melihat tanda biru pada pusar
si anak.
Datuk Rao
Basaluang Ameh picingkan kedua mata. Menarik nafas panjang berulang kali.
Hatinya membatin.
“Titisan
telah terjadi. Melewati pusar anak ini. Pusar adalah lambang pintu yang
senantiasa tertutup. Kalau ada yang mampu membuka maka itu akan terjadi sekali
seumur hidup. Berarti aku, atau siapapun tidak bisa mengeluarkan roh dari
mahluk yang telah menitis masuk ke dalam tubuh anak ini. Ya Tuhan, ya Robbi.
Yang buruk selalu datang dari kami manusia jelata. Yang baik selalu datang dari
diriMu. Berilah semua kebaikan pada diri anak ini. Lindungilah dia dalam segala
usia, pada segala tempat dan pada setiap kurun waktu.”
*********************
7
BEBERAPA
minggu setelah peristiwa di Pulau Menjangan Kecil. Pada masa itu dunia
perdagangan antara pulau Jawa dan Pulau Andalas mengalami kemajuan pesat. Tidak
mengherankan kalau Selat Sunda setiap hari siang maupun malam dilayari oleh
perahu-perahu dagang besar membawa berbagai macam barang dagangan dan bahan
mentah termasuk rempah-rempah. Beberapa negeri asing ikut meramaikan
perdagangan dengan mengirim perahu-perahu layar besar. Kota-kota pelabuhan di
pesisir utara pulau Jawa dan pesisir selatan pulau Andalas berkembang menjadi
pelabuhan besar dan penting. Kehidupan rakyat yang dulunya hanya bertani maupun
jadi nelayan kini banyak yang membuka usaha, ikut berdagang. Tingkat kehidupan
penduduk menjadi jauh lebih baik dari pada yang sudahsudah.
Namun
keadaan itu berubah ketika jalur lintas pelayaran Selat Sunda diganggu oleh
kaum perompak atau bajak laut. Dengan perahuperahu layar kecil berkecepatan
tinggi mereka menghadang kapalkapal dagang, mengeroyok dan menjarahnya di
tengah lautan. Konon para perompak memiliki senjata api berupa bedil yang
mereka rampas dari orang-orang Portugis. Beberapa waktu sebelumnya memang
terjadi kejahatan di tengah laut. Namun tidak sesering dan sehebat belakangan
ini. Kabarnya para perompak yang mencari mangsa di kawasan Selat Sunda itu
dilakukan oleh komplotan besar. Dan yang membuat seluruh kawasan menjadi geger
konon mereka memiliki pimpinan baru seorang perempuan yang dikenal dengan
panggilan Janda pulau Cingkuk. Sejak perempuan yang kabarnya memiliki ilmu
silat serta kesaktian tinggi dan disebut Janda pulau Cingkuk itu menjadi
pimpinan kaum perompak walau kejahatan mereka tambah merajalela namun jarang
sekali ada korban yang terbunuh. Paling banyak hanya terluka, itupun tidak
parah.
Akibat
dari terjadinya penjarahan di tengah laut yang tidak berkeputusan ini arus
pelayaran kapal dagang di Selat Sunda hari demi hari jadi jauh berkurang.
Perdagangan merosot jatuh. Yang paling dirugikan bukan saja para pedagang dan
pemilik kapal layar tapi juga penduduk di sepanjang pesisir utara pulau Jawa
sebelah barat dan pesisir selatan pulau Andalas yang selama ini mencari
tambahan mata pencaharian dari ramainya perdagangan antar pulau dan antar
negeri itu.
Sepak
terjang para perompak yang dipimpin oleh janda Pulau Cingkuk itu akhirnya
sampai ke pusat Kesultanan Banten. Banten yang punya hubungan dagang berupa
jual beli lada dengan para petani dan pedagang di pulau Andalas sebelah selatan
menderita kerugian paling besar karena belasan kapal-kapal dagang Kerajaan yang
membawa lada dirompak di tengah laut.
Sultan
memanggil para pembantunya. Dicari jalan bagaimana cara untuk dapat menumpas
para perompak. Diputuskan, sebelum tindakan diambil perlu dilakukan
penyelidikan rahasia tentang kekuatan lawan. Siapa saja pimpinan mereka selain
Janda Pulau Cingkuk serta dimana pusat persembunyian mereka. Sekitar dua belas
orang berkepandaian tinggi disebar sebagai mata-mata, menyamar melakukan tugas
itu.
Dari dua
belas orang yang berangkat hanya delapan yang kembali. Yang empat orang tidak
diketahui kemana raibnya atau apa yang terjadi dengan diri mereka;
Berdasarkan
penuturan delapan orang yang kembali menghadap Sultan Banten didapat keterangan
bahwa para perompak bermarkas di sebuah pulau kecil yang oleh para nelayan
disebut Pulau Cingkuk. Jumlah mereka sekitar dua belas orang. Kecuali Janda Pulau
Cingkuk tidak terdapat seorang perempuan pun di pulau itu. Ada dugaan bahwa
para perompak yang tentunya mempunyai anak istri itu mempunyai pemukiman
rahasia di pulau lain dekat Pulau Cingkuk dimana keluarga mereka tinggal.
Sebelum para perompak bermukim di sana, tentunya pulau itu hanya dihuni ratusan
kera berbulu coklat. Para nelayan yang jarang berhenti di pulau itu menyebut
kera-kera itu dengan nama cingkuk karena sepanjang hari binatang-binatang itu
selalu mengeluarkan suara riuh kuk…kuk…kuk. Sejak itu pulau tersebut dikenal
dengan nama Pulau Cingkuk.
Letak
Pulau Cingkuk agak tersembunyi di antara gugusan pulaupulau kecil di Selat
Sunda, tepatnya di selatan Pulau Rakata Kecil dan di utara Pulau Rakata Besar.
Menurut para mata-mata bilamana Kesultanan Banten mengirim pasukan besar untuk
menumpas kaum perompak kemungkinan mereka akan terjebak. Karena waktu mereka
lewat akan sangat mudah menjadi bulan-bulanan serangan. Apa lagi kalau para
perompak memang benar memiliki senjata yang bisa berdentam dan mampu membunuh
dari jarak jauh yaitu yang disebut bedil atau senapan. Korban yang jatuh
diantara kedua belah pihak akan-berjumlah besar.
Mengenai
pemimpin yang bernama Janda Pulau Cingkuk diketahui dia seorang perempuan
bertubuh tinggi semampai, berpakaian serba merah. Kepala sampai ke rambut
ditutup selendang merah, wajah dilindungi cadar merah. Sebegitu jauh tidak ada
seorangpun anak buahnya yang tahu siapa nama perempuan Ku sebenarnya. Juga
tidak pernah ada yang melihat wajahnya. Namun dari gerak gerik, bentuk tubuh
serta suaranya agaknya dia masih sangat muda dan kemungkinan sekali memiliki
wajah cantik.
Diberitahukan
pula bahwa perempuan itu selain punya ilmu silat dan kesaktian serta gerakan
cepat laksana kilat hingga dianggap bisa menghilang, dia juga memiliki sebilah
pedang sakti berwarna hijau yang disebut Pedang Lumut Batu. Menurut cerita
ketika pertama kali menundukkan Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda yang menjadi
pimpinan kaum perompak, Janda Pulau Cingkuk pergunakan pedang sakti dan
berhasil mengalahkan pimpinan bajak laut itu bersama hampir dua ratus anak
buahnya. Dalam pertempuran hebat tidak ada lawan yang terbunuh sementara Hang
Damar Hantu Laut Selat Sunda hanya tergores luka lengan kirinya. Menyadari
kehebatan perempuan itu yang kalau mau bisa membunuhnya, Hang Damar Hantu Laut
Selat Sunda yang telah berusia enam puluh lima tahun menyatakan menyerah dan
tunduk tanpa ada rasa dendam sama sekali. Dia merasa memang sudah saatnya
kedudukan sebagai kepala bajak laut digantikan oleh orang lain yang lebih muda
dan berkepandaian tinggi. Hanya saja Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tidak
pernah menyangka kalau penggantinya adalah seorang perempuan penuh misteri.
Sejak
Janda Pulau Cingkuk memegang tampuk pimpinan gerombolan bajak laut terjadi
banyak perubahan pada diri para perompak. Mereka yang tadinya bertampang sangar
memelihara kumis lebat dan cambang bawuk lebat serta berambut gondrong, kini
rata-rata berwajah klimis. Cara bicara dan sikap mereka yang selama ini kasar
kini tampak sopan dan lembut. Selain itu mereka sekarang lebih suka mengenakan
pakaian putih-putih dari pada pakaian serba hitam. Ikat kepala kain merah
diganti dengan daster atau belangkon bahkan banyak yang memakai peci hitam.
Terbetik
pula berita bahwa sebagian besar hasil rampokan di tengah laut ternyata
disumbangkan kepada ratusan penduduk miskin di berbagai tempat dalam bentuk
uang serta makanan. Yang paling banyak menerima sumbangan tersebut adalah
penduduk di bagian selatan Pulau Andalas dan bagian Pulau Jawa terutama rakyat
Banten.
“Janda
Pulau Cingkuk,” kata Sultan pula menyebut nama pimpinan bajak laut yang malang
melintang di Selat Sunda itu. “Perempuan yang penuh rahasia. Dia menjadi kepala
gerombolan bajak laut. Namun dibaiik kejahatannya dia berbuat kebaikan. Ini
seperti cerita seribu satu malam. Dia banyak membantu rakyat miskin termasuk
rakyat Banten. Kita tidak bisa mengambil tindakan sembarangan atas dirinya.
Tapi bagaimanapun kejahatan harus dihentikan…”
Sultan
mengusap dagu, merenung sejenak lalu bertanya pada delapan orang yang duduk di
hadapannya. “Ada diantara kalian yang mengetahui siapa dan berasal dari mana
perempuan bernama Janda Pulau Cingkuk itu adanya? Dia tidak mungkin muncul
secara tiba-tiba.”
Tidak ada
yang menjawab karena memang tidak ada yang tahu.
“Ada yang
pernah melihat wajahnya?” tanya Sultan lagi.
Delapan
orang yang ditanya gelengkan kepala.
Sultan
Banten tersenyum seolah saat itu yang dibicarakan bukanlah satu masalah besar,
satu komplotan rampok beranggota ratusan orang, yang telah menjarah puluhan
kapal pedagang milik Kesultanan Banten dan membuat Kerajaan kehilangan hasil
perdagangan lada dengan daerah di kawasan selatan Pulau Andalas.
“Baiklah,
pertemuan aku nyatakan selesai.” Kata Sultan Banten pula. “Kalian semua boleh
pergi dan beristirahat disertai ucapan terima kasihku. Ramanda Maulana Yusuf,
harap Ramanda tetap di sini dulu. Ada yang akan saya bicarakan.”
Setelah
delapan orang itu pergi, sultan Banten berpaling pada Maulana Yusuf, seorang
tua arif bijaksana berusia tujuh puluh tahun yang selama ini menjadi penasehat
Sultan. Dalam banyak hal Suitan memperlakukan orang tua ini sebagai ayahnya
sendiri.
“Ramanda,
mendengar semua keterangan orang kita tadi, saya tidak akan menempuh jalan
kekerasan. Saya merasa ada sesuatu dibalik semua kejahatan yang terjadi.
Terutama sejak perempuan bernama Janda Pulau Cingkuk itu menjadi pimpinan kaum
perompak.”
“Sri
Paduka Sultan telah mengambil sikap sangat bijaksana. Saya sangat mengharap
agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah atau jatuh korban,” ucap Maulana
Yusuf. “Mungkin kita bisa mengundang Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda untuk
datang kesini dan bicara mewakili pimpinannya. Saya cukup kenal dirinya sebelum
dia jadi kepala perompak.”
“Itu
rencana bagus. Tapi kalau Ramanda setuju saya ada rencana lain,” kata sultan
Banten pula.
“Kalau
saya diberi tahu dan jika saya diberi kepercayaan saya bersedia menjalankan
rencana itu.”
“Saya
belum akan memberi tahu sebelum menerima petunjuk serta keredohan Allah Yang
Maha Kuasa. Malam ini saya akan melakukan tirakat. Sholat tahajud, berzikir dan
berdoa. Mudahmudahan Tuhan memberi petunjuk. Menjelang pagi tunggu saya di
halaman mesjid kecil.”
MALAM itu
kawasan Istana Kesultanan Banten diselimuti kesunyian. Di luar tembok Istana
hanya ada beberapa perajurit yang meronda sementara di dalam istana tidak ada
satu orang pengawalpun kelihatan bertugas. Ini satu pertanda betapa tingginya
tingkat keamanan di Kotaraja dan sekitarnya, sekaligus merupakan petunjuk bahwa
Kesultanan Banten berada dalam keadaan damai tenteram dan Sang Raja yang tahu
bagaimana rakyat mencintai dirinya tidak merasa kawatirakan keselamatannya.
Di dalam
kawasan tembok Istana terdapat sebuah mesjid kecil.
Disitulah
setiap saat Sultan Banten melakukan sholat lima waktu, berdoa dan berzikir
serta melaksanakan sembahyang sunat lainnya. Acap kali pula Sultan mengajak
permaisuri dan putera puterinya sembahyang bersama berjamaah. Di mesjid itu
pula Sultan Banten sering mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, terutama
pada saat-saat Sultan membutuhkan petunjuk atas setiap rencana yang akan
dilakukannya.
Sementara
Sultan Banten masih berada dalam mesjid, di halaman dibawah kerindangan satu
pohon besar, di atas sehelai tikar putih, Maulana Yusuf dengan sabar menunggu
Sultan menyelesaikan permohonannya pada Yang Maha Kuasa untuk dberikan petunjuk
dalam menghadapi komplotan perampok pimpinan Janda Pulau Cingkuk.
Bertepatan
dengan kokok ayam jantan pertama pertanda hari telah pagi dan fajar tak lama
lagi segera akan menyingsing, Maulana Yusuf melihat Sultan keluar dari mesjid
kecil. Orang tua ini segera berdiri, menggulung tikar lalu melangkah menemui
Sultan.
“Ah,
Ramanda tentu sudah sangat lama menunggu saya,” Sultan Banten menyapa lebih
dulu.
“Apakah
Sri Paduka Sultan sudah mendapatkan petunjuk dari Allah Yang Maha Pengasih?”
Maulana Yusuf langsung ajukan pertanyaan.
Sultan
pegang bahu orang tua itu lalu berkata.
“Tolong
Ramanda panggilkan pangeran Aji Triyasa.”
“Pangeran
Aji Triyasa?” Maulana Yusuf mengulang nama itu.
Sultan
mengangguk.
“Pergilah,
saya menunggu di sini. Kalau dia datang kita bicara di dalam mesjid.”
Walau
merasa heran karena tidak bisa menduga apa hubungan sang pangeran Aji Triyasa
dengan persoalan yang tengah dihadapi namun si orang tua melakukan apa yang
dikatakan Sultan.
Aji
Triyasa adalah putera adik lelaki Sultan, berarti dia adalah keponakan Sultan.
Usianya baru dua puluh dua tahun. Selain bertubuh tegap perkasa dan berwajah
tampan dia memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi karena konon selama dua
belas tahun digembleng oleh seorang kiai sakti di puncak Gunung Karang dalam
berbagai ilmu termasuk ilmu keagamaan. Sejak kecil Aji Triyasa lebih dekat
dengan Suitan dari pada ayah kandungnya. Kepada Sultan pemuda itu sangat hormat
dan patuh. Gagah tampan, memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi, mendalami
ilmu agama serta budi pekerti baik membuat Sultan memiliki rasa sayang yang
berlebihan atas diri keponakannya itu.
Kegagahan
Pangeran yang dekat dengan rakyat ini konon telah tersiar ke berbagai penjuru
hingga menjadi kerinduan banyak gadis yang ingin melihat diri dan menatap
langsung wajahnya. Yang merasa cantik apa lagi puteri bangsawan atau pejabat
Kesultanan tentu saja berharap bisa menambat hati sang pangeran dan membawanya
ke pelaminan. Sebegitu jauh Pangeran AjiTriyasa belum diketahui telah memiliki
seorang gadis yang menjadi pilihan buah hatinya.
*********************
8
ENAM
orang perompak yang masing-masing berlindung di balik kelebatan pohon bakau di
dua pulau kecil mengapit arus laut jalan masuk menuju Pulau Cingkuk menatap
dengan mata besar tak berkesip ke arah sebuah perahu yang tengah meluncur
perlahan di atas permukaan air laut.
Sang
penumpang duduk di sebelah belakang perahu, di atas bangku yang menyatu dengan
badan perahu. Orang itu ternyata adalah pemuda berambut panjang sekuping,
mengenakan blangkon biru. Kepala merunduk, dada serta bahu terlihat bidang dan
kokoh. Saat itu pemuda yang mengenakan baju lengan panjang dan celana
putih-putih sederhana itu tengah asyik membaca kitab keagamaan bertuliskan
huruf Arab gundul berjudul “Kasih Allah Sepanjang Zaman, Kasih Ibu Sepanjang
Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.” Gaya sikap pemuda itu seperti seseorang
yang tengah pesiar berjalan-jalan. Pemandangan laut di kawasan itu memang indah
dengan beberapa pulau kedi bertebaran dimana-mana. Sesekali sekawanan burung
terbang melayang rendah di atas permukaan air laut lalu naik membumbung ke
udara.
Apakah si
pemuda tidak menyadari kalau saat itu dia berada di kawasan sarang kediaman
Janda Pulau Cingkuk, pimpinan bajak laut Selat Sunda yang ditakuti?
Demikian
asyiknya pemuda ini membaca kitab hingga dia tidak sadar kalau perahu akan
melewati dua pulau kecil apitan menuju Pulau Cingkuk. Dia juga unjukkan sikap
tenang ketika ada suara suitan bersahutan lalu menyusul suara bentakan
menggeledek.
“Orang di
atas perahu! Hentikan perahu! Berputar balik! Tinggalkan kawasan ini!”
Si pemuda
angkat kepala, menatap ke pulau sebelah kanan dari mana tadi datangnya suara
membentak. Dia mendengar bentakan namun tidak melihat siapa-siapa. Maka enak
saja dia meneruskan menikmati bacaannya.
“Kami
sudah memperingatkan! Kau berpura tuli! Terima nasibmu!” Kembali terdengar
orang membentak. Kali ini diikuti gelegar suara letusan!
Perahu
kecil yang ditumpangi pemuda berblangkon biru bergoncang. Namun dengan sentuhan
ringan tangan kiri si pemuda pada pinggiran kiri, perahu itu kembali mengapung
tenang.
“Suara
apa itu? Baru sekali ini aku mendengar.”
Ucap si
pemuda dalam hati. Dia memandang ke pulau kecil di kiri kanan. Kali ini matanya
segera melihat orang-orang yang berlindung di balik semak belukar dan pohon
bakau. Pemuda itu memandang ke lantai perahu ketika merasa dua kakinya yang
mengenakan kasut kulit sapi basah dan dingin. Ternyata air laut sudah memenuhi
lantai perahu, menggenang sampai ke mata kaki. Pemuda itu membungkuk memperhatikan.
Dia melihat ada sebuah lobang sebesar lingkaran jari telunjuk dan ibu jari
tangan pada dinding perahu sebelah depan sekitar setengah jengkal di atas
lantai perahu. Dari lobang itulah air laut mengucur masuk.
“Bunyi
letusan dan lobang di perahu. Apakah ada hubungannya?” Pemuda itu berpikir.
Lalu dengan tangan kiri dia mematahkan ujung kayu yang ada di bagian depan atas
perahu yang di pahat begitu rupa seperti kepala kerbau. Sekali tangan kirinya
meremas maka kayu yang keras itu menjadi bongkahan lunak, mudah dibentuk seolah
berubah menjadi lilin. Oleh si pemuda bongkahan kayu disumbatkan ke dalam
lobang hingga air laut berhenti mengucur masuk.
“Aman
sekarang,” kata si pemuda. Dia kembali duduk di bagian belakang perahu. Kitab
dibuka lalu kembali membaca. Belum lama membaca mendadak empat buah perahu
masing-masing ditumpangi tiga orang lelaki berpakaian serba putih telah
menghadang.
Salah
satu dari dua belas orang itu menahan bagian depan perahu si pemuda dengan kaki
kiri sementara yang lain-lain tegak menghunus golok, enam orang menarik gendewa
siap menghamburkan panah dan seorang lagi tegak sambil mengarahkan moncong
sebuah besi panjang bergagang kayu yang bukan lain adalah sepucuk bedil.
Pemuda di
atas perahu perhatikan kedua belas orang itu. Tidak seorangpun diantara mereka
memiliki wajah angker. Juga tidak ada yang memelihara cambang bawuk dan rambut
panjang. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian putih gunting Cina serta
kopiah hitam.
“Eh,
apakah mereka ini bajak laut perompak anak buah Janda Pulau Cingkuk? Aneh!
Tidak satupun dari mereka berwajah seram.” Si pemuda berkata dalam hati. Saat
itu kitab yang tadi dibaca sudah dilipat dan dikempit di ketiak kanan.
Lelaki
yang memegang bedil di atas perahu terdepan arahkan mulut senjatanya ke dada si
pemuda.
“Kami
sudah memerintahkan agar kau meninggalkan kawasan ini! Mengapa berpura tuli!”
“Ki
sanak, mohon dimaafkan. Saya datang ke sini tidak membawa maksud buruk. Tadi
mungkin saya terlalu asyik membaca.”
Beberapa
orang memperhatikan bagian bawah perahu yang telah disumbat sambil
berpikir-pikir dengan apa dan bagaimana pemuda itu mampu menyumbat perahu yang
bolong.
Lelaki
memegang bedil memberi tanda pada kawan-kawannya. Perahu bergerak lebih
mendekati perahu si pemuda hingga kini ujung bedil bisa ditempelkan ke dada
kiri si pemuda, tepat di arah jantung.
“Anak
muda, aku dan kawan-kawan tidak perduli apa maksud kedatanganmu ke sini. Kau
sudah mendengar apa perintah kami. Ini kawasan terlarang bagi siapa saja. Putar
perahumu, tinggalkan tempat ini. Atau aku akan membuat satu lobang besar di
dadamu!” jari telunjuk orang yang memegang pemicu bedil bergerak-gerak turun
naik, siap melepaskan tembakan.
“Ki sanak
harap mau bersabar dulu. Saya akan terangkan maksud kedatanganku ke sini!” Kata
si pemuda dengan suara perlahan dan sikap tenang.
“Kami
tidak perlu keteranganmu!” Lelaki di perahu sebelah kanan membentak. “Jagran!
Lekas kau tembak saja! Tunggu apa lagi?! Atau aku akan suruh teman-teman
menembus tubuhnya dengan enam anak panah sekaligus. Pemuda ini bicara manis
tapi aku tahu dia sangat berbahaya!” Jagran adalah orang yang memegang bedil.
Agaknya dia yang jadi pimpinan diantara rombongan orang-orang itu.
Tidak
peduli apa yang diucapkan orang si pemuda mengambil kitab yang ada dikempitan
tangan kanan, membuka lalu mengambil secarik lipatan kertas yang ada di salah
satu bagian kitab.
“Saya
datang membawa surat untuk disampaikan pada seorang paman bernama Barat
Sanjaya. Beliau tinggal di Pulau Cingkuk. Paling tidak beliau ada di kawasan
ini.”
Jagran
berpaling ke arah kawan-kawannya yang sebelas orang. Semua menggelengkan
kepala.
Tidak ada
yang bernama Barat Sanjaya di Pulau Cingkuk! Jangan mengarang cerita! Lekas
putar perahumu atau kutembak sekarang juga.”
“Ki
sanak, saya yakin kau pasti mampu membunuh saya. Apa lagi dengan senjata
berbentuk aneh yang mampu mengeluarkan suara keras berdentam itu.” Sambil
berkata si pemuda usap-usap besi bedil dengan tangan kiri. “Saya tidak percaya
tidak ada yang bernama Barat Sanjaya di Pulau Cingkuk. Kata mereka yang pernah
melihat, orangnya tinggi besar, dulu memelihara rambut sepinggang, dijalin dan
digulung di atas kepala. Memelihara cambang bawuk meranggas serta berkumis
lebat melintang. Memiliki sepasang mata besar dan merah. Kesukaannya selalu
bertelanjang dada. Dada penuh otot dan berbulu. Di bagian kiri dada ada jarahan
gambar tengkorak dengan tulang bersilang.” Si pemuda diam sebentar,
memperhatikan wajah dua belas orang disekitamya. Dia dapat melihat perubahan
pada wajah orang-orang itu. Malah secara sembunyi-sembunyi ada yang saling
berbisik. “Nah, apakah orang dengan ciri-ciri seperti yang saya katakan itu
benar-benar tidak ada di Pulau Cingkuk?”
Dua belas
orang termasuk Jagran tidak menjawab, tidak bersuara.
“Jika
semua ki sanak di sini tidak ada yang kenal dengan Barat Sanjaya baiklah, saya
akan memberi tahu. Orang itu juga dikenal dengan nama Hang Damar Hantu Laut
Selat Sunda.”
Semua
kepala tertegak. Semua mata membesar.
“Anak
muda, kau ini siapa sebenarnya?!” tanya Jagran masih dengan suara keras
membentak.
“Saya
hanya seorang santri yang bodoh dari kesultanan Banten. Jika kalian tidak
mengizinkan saya menemui paman Barat Sanjaya atau Hang Damar Hantu Laut Selat
Sunda tidak jadi apa. Tapi tolong sampaikan surat ini pada beliau. Jika beliau
nanti mencari saya, katakan bahwa saya sudah pergi sesuai dengan perintah ki
sanak di sini.”
Sehabis
berkata begitu pemuda berpakaian putih berblangkon biru ulurkan lipatan kertas
pada Jagran seraya berkata “Jangan lupa mengatakan pada paman Barat Sanjaya
atau Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda. Surat ini datang dari Panembahan
Maulana Yusuf, orang tua di Kesultanan Banten yang sudah dianggap sebagai kakak
sendiri oleh paman Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.”
Mendengar
ucapan si pemuda semua orang terutama Jagran yang memegang bedil jadi terkejut
dan berubah wajahnya. Ada bayangan rasa takut.
“Anak
muda, aku akan ambil surat ini dan serahkan pada pimpinan kami. Tapi kau jangan
kemana-mana. Tunggu di sini. Aku akan memberi tahu kedatanganmu pada Hang Damar
Hantu Laut Selat Sunda. Kami tidak tahu kalau nama sebenarnya Hang Damar adalah
Barat Sanjaya.
Jagran
dan dua temannya satu perahu segera tinggalkan tempat sementara sembilan orang
di atas tiga perahu tetap berada di tempat itu, di atas perahu masing-masing.
Sikap mereka tidak lagi garang dan penuh curiga. Golok sudah diselipkan di
pinggang. Busur digantung di bahu dan anak panah dimasukkan ke dalam sarangnya.
Tak
selang berapa lama Jagran dan tiga kawannya muncul. Dia atas perahu kini,
disebelah depan berdiri seorang lelaki tinggi besar bertelanjang dada penuh
bulu, hanya mengenakan celana putih dan sabuk kulit hitam besar. Dua tangan
dirangkap di depan dada. Sepuluh jari tangan berwarna hitam sampai ke ujung
kuku. Pada dada kiri ada jarahan berupa tengkorak bersilang dua tulang.
Sepasang mata menatap lurus ke depan. Rambut panjang dijalin dan disusun di
atas kepala. Kumis tebal melintang, dagu tertutup janggut tipis rapi, tidak
memelihara berewok atau cambang bawuk. Melihat raut wajah usianya sudah cukup
lanjut, sekitar enam puluh lima tahun.
Kurang
satu tombak dari perahu orang ini tiba-tiba melesat. Di lain saat dia telah
berdiri di bagian depan perahu yang ditumpangi pemuda berblangkon biru. Walau
tubuhnya besar namun ketika kakinya menginjak lantai perahu, perahu kayu kecil itu
sama sekali tidak bergoyang, air laut tidak bergelombang!
Sungguh
dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat!
Begitu
berhadapan dengan orang tinggi besar ini pemuda berblangkon biru segera
menunduk dan memberi salam.
“Paman
Hang Damar yang juga saya kenal dengan nama Barat Sanjaya, salam sejahtera
untukmu. Assalam’mualaikum…”
Si tinggi
besar bertelanjang dada penuh bulu sesaat terdiam. Sudah lama sekali dia
tidakdisalaml orang seperti itu. Kalau sebelumnya ada rasa tidak senang pada
pemuda itu kini perasaan itu jadi mengendur. Setelah menyahuti salam Aji
Triyasa, Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda bertanya.
“Anak
muda, apakah kau yang membawa surat ini?” Suara si tinggi besar ini keras dan
serak tapi tidak menunjukkan keberangasan.
“Benar
sekali Paman,” jawab si pemuda.
Dipanggil
paman untuk kedua kalinya Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tersenyum
“Saya
mohon maaf kalau kedatangan saya telah mengganggu ketenangan dan ketentraman
paman.”
“Kau
sendiri apa hubunganmu dengan Panembahan Maulana Yusuf?”
“Saya
hanya seorang santri.” Jawab si pemuda pula.
“Santri?”
Dua alis Hang Damar naik ke atas.”Anak buahku memberi tahu kau mampu menambal
lobang besar di dinding perahu dengan menghancurkan kayu perahu, apakah ilmu
kepandaian seperti itu diajarkan pada para santri di Banten?”
“Mohon
maaf paman. Saat itu memang saya takut sekali. Tetapi Allah menolong saya. Saya
tidak sadar telah melakukan apa karena setengah mati takut tenggelam.”
Hang
Damar Hantu Laut Selat Sunda tatap sepasang mata si anak muda, tersenyum lalu
membuka lipatan surat yang dibawanya, membacanya sekali lagi dan berkata.
“Dalam
surat ini, kakakku Panembahan Maulana Yusuf memang tidak mengatakan siapa
dirimu. Dia hanya bilang agar aku bisa mempertemukanmu dengan pimpinan kami.
Janda Pulau Cingkuk. Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?”
“Paman,
maaf kalau saya menolak menjawab. Tapi saya akan mengatakan siapa saya hanya
kepada pimpinan paman.”
Hang
Damar perhatikan si pemuda mulai dari blangkon sampai ke ujung kaki yang
tersembunyi di balik genangan air laut di lantai perahu. Dalam hati bekas
pimpinan perompak ini membatin.
“Sikapnya
memang sikap seorang santri. Sopan bersahaja. Sepasang tangannya halus seperti
tangan perempuan. Wajah bersih seperti paras seorang gadis. Namun dibalik semua
ini aku merasa ada satu kekuatan dahsyat dalam tubuhnya. Aku pernah satu kali
melihat wajah Sultan Banten yang gagah dan cakap. Jangan-jangan…”
“Paman,
apakah saya diperkenankan menemui pimpinan?” Bertanya si pemuda.
Hang
Damar menyeringai, lalu tertawa. Makin lama tawanya makin keras hingga perahu
bergoncang keras, air laut mendadak membuntal. Hampir tidak kelihatan telapak
tangan kirinya menekan ke bawah ke arah air laut. Tiba-tiba dari bawah air laut
bergulung gelombang besar. Saat itu juga perahu dimana kedua orang itu berada
melesat terpental ke udara!
Jagran
dan anak buahnya berseru kaget menyaksikan apa yang terjadi kemudian. Perahu
yang mental ke udara terbelah dua lalu jatuh kembali ke dalam laut. Pada salah
satu belahan perahu tegak berdiri Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda. Sementara
pemuda berblangkon biru tidak kelihatan, tapi tampak ada tangan kiri yang
mencuat ke atas permukaan laut memegang kitab.Tak lama kemudian muncul kepala
si pemuda, megap-megap berusaha berenang mencapai belahan perahu kedua.
“Tolong!
Tolong! Saya tidak dapat berenang…”
Hang
Damar berteriak memberi perintah pada anak buahnya agar segera menolong si
pemuda. Maka empat orang terjun ke laut dan menaikkan pemuda yang telah
kehilangan blangkonnya itu ke atas perahu. Sekujur tubuh dan pakaian basah
kuyup. Hanya kitab bertuliskan huruf Arab gundul “Kasih Allah Sepanjang Zaman,
Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.” Yang masih berada
dalam keadaan kering.
Hang
Damar tersenyum. Dalam hati dia membatin. “Aku tadi menjajalnya. Dia
memperlihatkan diri seperti tidak punya ilmu kepandaian. Atau mungkin dia
cerdik bersandiwara. Aku menaruh curiga anak muda itu memiliki ilmu lebih
tinggi dari yang aku punya. Mungkin dia berbahaya, mungkin juga tidak. Kalau
bukan Panembahan Maulana Yusuf yang mengirim sudah kuremukkan tubuhnya. Sebelum
dia menghadap pimpinan, aku harus memberi salinan pakaian padanya. Lalu sewaktu
dia menghadap pimpinan aku harus mengawasinya.”
*********************
9
KETIKA
mendarat di Pulau Cingkuk pemuda yang mengaku santri dari Kesultanan Banten itu
melihat hampir seluruh tepian pantai berada dalam keadaan terbuka dan gersang.
Tak ada semak belukar tak ada deretan pohon kelapa. Di tempat-tempat tertentu
dia melihat gundukan-gundukan batu dan di belakang setiap gundukan terdapat
lobang setinggi bahu manusia. Di situ tempat terdapat satu bangunan tinggi
terbuat dari bambu. Agaknya semua keadaan ini telah dipersiapkan jika
sewaktu-waktu ada serangan.
Sampai
saat itu dua belas orang yang tadi naik. perahu masih terus melakukan
pengawalan atas diri si pemuda. Sang “paman” Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda
membawanya ke sebuah goa. Di sini dia diberi pakaian bersih warna biru
pengganti pakaian yang basah. Di dalam goa ini si pemuda melihat banyak sekali
senjata. Mulai dari pisau dan golok serta pedang, sampai pada busur panah biasa
dan panah api. Lalu ada pula senjata yang bisa meletus yang disebut bedil itu.
Jumlahnya sekitar dua puluh pucuk.
Setelah
berganti pakaian Hang Damar minta si pemuda mengikuti mendaki sebuah bukit
kecil. Dua belas orang anggota perompak tidak lagi mengawal. Mereka menyebar ke
berbagai arah.
Ketika
mencapai puncak bukit matahari telah menggelincir ke barat pertanda siang mulai
memasuki petang. Memperhatikan ke depan si pemuda hampir tak percaya dengan
penglihatannya. Bagian bukit yang membentang di hadapannya merupakan satu
pedataran rumput. Sejarak tiga puluh langkah dari tempatnya berdiri menghampar
satu kebun bunga ditumbuhi berbagai macam bunga yang saat itu sedang berkembang
mekar. Lalu banyak pohon buahbuahan yang tumbuh berselang seling dan ditata
rapi. Dikelilingi oleh taman bunga itu terdapat sebuah mesjid kecil lengkap
dengan menara perak yang diatasnya terpancang bulan sabit yang juga terbuat
dari perak berkilat.
“Kalau
ini adalah sarangnya bajak laut Pulau Cingkuk maka sungguh diluar dugaan. Ada
taman…ada pohon bebuahan, ada mesjid…” Si pemuda berkata dalam hati.
Hang
Damar pegang bahu anak muda yang tegak terkagumkagum.
“Santri
muda,” katanya. Saat ini sholat zuhur sudah datang. Pergilah sembahyang di
mesjid kecil itu. Selesai sholat pergilah ke pohon cemara laut yang tumbuh lima
berderet di sebelah timur sana. Jika pimpinan bersedia menemuimu dia akan
mendatangimu di tempat itu. Jika tidak maka kau harus segera meninggalkan pulau
ini.”
“Paman,
terima kasih. Sejak kedatangan saya kau telah banyak menolong. Juga terima
kasih saya diperkenankan boleh bersembahyang di mesjid yang bagus itu.”
“Mesjid
adalah rumah Tuhan. Siapa saja boleh melakukan ibadat di sana.” Habis berkata
begitu Hang Damar yang bertelanjang dada segera memutar tubuh. Dua kali kakinya
melangkah maka dia telah berada jauh di arah bukit sebelah selatan.
Si pemuda
geleng-geleng kepala.
“Kalau
semua penjahat seperti dia rasanya dunia ini akan amanaman saja…” Seperti yang
dipesankan Hang Damar, selesai menunaikan sholat zuhur santri muda dari
Kesultanan Banten itu segera menuju bukit sebelah timur dimana tumbuh berderet
lima pohon cemara laut. Di tempat itu udara terasa sejuk karena angin bertiup
sepoi-sepoi basah. Sementara menunggu si pemuda melangkah mundar mandir di
samping lima pohon cemara. Setiap dia melangkah di samping pohon cemara sebelah
tengah kakinya terasa menginjak tanah yang bagian bawahnya kosong.
“Ada
rongga, mungkin juga lobang besar di bawah tanah ini,” pikir si pemuda. Dia
memperhatikan berkeliling. Di samping kanan deretan lima pohon cemara tumbuh
subur pohon kembang berbentuk terompet berwarna kuning. Selain bentuknya yang
indah kembang itu menebar bau harum semerbak. Tiba-tiba pandangan matanya
melihat ada satu batu hitam menonjol di bagian bawah pohon bunga terompet.
“Aneh, batu itu kelihatan bersih. Sepertinya sering disentuh…”
Karena
ingin tahu si pemuda melangkah mendekati. Saat itulah bahunya dipegang orang.
Ketika dia tersentak kaget dan berbalik, yang memegang ternyata adalah sang
paman, Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.
“Ah,
paman kiranya. Apakah…”
“Kau
beruntung. Pimpinan bersedia menemuimu. Sebentar lagi dia datang.” Kata Hang Damar.
Baru saja
ucapan dikeluarkan tiba-tiba dari balik pohon cemara paling ujung kiri
kelihatan satu bayangan seseorang berpakaian merah. Sesaat kemudian di hadapan
si pemuda telah berdiri sosok elok tinggi semampai seorang perempuan yang tubuh
dan pakaiannya menebar bau wangi. Perempuan ini mengenakan pakaian ringkas
warna merah. Kepala dan wajah ditutup sehelai kain merah. Yang kelihatan hanya
sepasang mata bening tajam bercahaya. Di balik punggung menonjol gagang sebilah
pedang berbentuk kepala binatang yang tak jelas apa adanya karena tertutup
sejenis lapisan tebal bergerunjul berwarna hijau pekat.
Setelah
menatap beberapa ketika, si pemuda keluarkan ucapan.
“Paman,
apakah saya berhadapan dengan pimpinan…?” Hang Damar mengangguk.
Si pemuda
cepat-cepat memutar diri menghadap lurus-lurus, kitab dikempit di ketiak kanan
lalu rundukkan tubuh dan rapatkan dua tangan di depan kepala.
“Saya
sangat berterima kasih pimpinan mau menemui saya. Harap sudi menerima salam
hormat saya.”
Sepasang
mata perempuan berpakaian dan bercadar merah memperhatikan si pemuda tak
berkesip. Untuk beberapa lama dia tegak diam tertegun tak bergerak. Dada
berdebar. Hati terucap. “Kalau saja kulitnya tidak lebih putih, tubuhnya tidak
lebih langsing dan rambutnya tidak lebih pendek… Bagaimana mungkin wajahnya
bisa mirip dengan…Ah! Apakah pandangan mataku yang menipu? Pikiranku yang
berkhayal atau hatiku yang mengada-ada?”
Si pemuda
sadar kalau dirinya diperhatikan berusaha balas memandang. Namun dia hanya bisa
melihat sepasang mata bagus yang bercahaya, tidak mampu menembus cadar merah
untuk melihat wajah yang terlindung. Hatinya berkata. “Jadi inilah perempuannya
yang menyebut diri Janda Pulau Cingkuk. Pimpinan bajak laut yang selama ini
malang melintang di kawasan Salat Sunda. Sungguh sulit aku pencaya.
“Pimpinan,
inilah pamuda yang mengaku santri dari Kesultanan Banten. Dia datang membawa
surat dari Panembahan Maulana Yusuf. Minta dipertemukan oangan piiiipman.
“Jadi kau
seorang santri? Betul?”
“Betul
sekail, pimpinan. Saya mohon maaf kalau…”
“Apakah
kau punya nama?” tanya perempuan bercadar merah.
“Nama
saya Aji Triyasa.” Jawab si pemuda.
“Apa?!”
Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda keluarkan ucapan kaget
“Ada apa
ayahanda Hang Damar?” si cadar merah bertanya
Kini sang
santri muda yang jadi kaget. “Dia menyebut si dada berbulu ayahanda Jadi Hang
Damar adalah ayah Janda Pulau Cingkuk? Turut yang aku dengar bukan begitu
ceritanya. Lantas mengapa dia menyebut ayahanda.”
“Aji
Triyasa! Tunggu dulu!” kata Hang Damar pula. “Aji Triyasa…Aji Triyasa…” Lelaki
bertubuh besar berusia enam puluh lima tahun itu mengusap wajahnya sambil
menyebut nama si pemuda berulang kali. Otaknya berusaha mengingat-ingat.
Tiba-tiba dia berseru.”Kau…Kau bukan seorang santri! Aku ingat sekarang!
Wajahmu! Namamu! Kau adalah salah seorang keponakan Sultan Banten! Kau seorang
Pangeran Kesultanan Banten!”
Mendengar
ucapan Hang Damar, sang pimpinan alias Janda Pulau Cingkuk secepat kilat
melompat. Sekali bergerak tangan kirinya telah menjambak rambut panjang
sekuping si pemuda yang bernama Aji Triyasa. Tangan kanan yang dipentang lurus
pancarkan cahaya biru redup, siap dihantamkan ke kening si pemuda. Tangan itu
bisa berubah jadi palu godam, juga bisa merupakan mata pedang luar biasa tajam.
Sekali menggeprak kepala Aji Triyasa bisa remuk atau terbelah!
“Siapa
kau adanya! Aku tidak peduli kau keponakan Sultan atau keponakan setan! Katakan
apa maksud kedatangan menemui diriku!” Janda Pulau Cingkuk bicara dengan suara
keras namun sepasang matanya tidak lepas dari menatap si pemuda bernama Aji
Triyasa. Dan setiap dia memandang dadanya terasa berdebar.
Hang
Damar tidak tinggal diam.
“Pimpinan,
serahkan pemuda ini pada saya! Kemungkinan besar dia tengah melakukan tugas
mata-mata!” Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda dengan satu gerakan cepat
menelikung tangan kanan Aji Triyasa hingga kitab yang dikempitnya terlepas
jatuh ke tanah. Dalam keadaan tangan ditelikung ke punggung dan bisa patah
malahan tanggal jika dia berani melawan, si pemuda hanya mampu meringis kesakitan.
“Kalau
saya telah melakukan kesalahan, betapa pun kecilnya saya ikhlas menerima
hukuman. Tapi saya yakin saya tidak melakukan apa-apa. Jangankan melakukan,
berpikir jahatpun tidak ada dalam benak dan hati saya. Panembahan Maulana Yusuf
bukankah sudah menerangkan dalam suratnya maksud kedatangan saya adalah untuk
menemui pimpinan.”
“Aji
Triyasa! Katakan apa maksudmu menemui pimpinan kami!” bentak Hang Damar.
“Saya
akan mengatakan. Tapi langsung pada pimpinan. Saya tidak ingin ada orang lain
berada di tempat ini. Saya tidak ingin ada orang lain ikut mendengar apa yang
akan saya sampaikan.”
Mendengar
ucapan si pemuda, Janda Pulau Cingkuk dengan cepat menggerakkan tangan. Saat
itu juga sekujur tubuh, tangan serta kaki Aji Triyasa menjadi kaku tak bisa
digerakkan. Kini dia hanya mampu bicara saja.
“Ayahanda,
tak usah kawatir. Silahkan meninggalkan tempat ini. Kalau nanti dia bicara
kurang ajar akan saya robek mulutnya!”
“Hati-hati
pimpinan,” kata Hang Damar pula. Walau dirinya disebut ayahanda namun terhadap
Janda Pulau Cingkuk dia tetap memanggil pimpinan. Dengan melangkah mundur dia
menjauhi ke dua orang itu.
Setelah
Hang Damar berada sejauh hampir dua puluh tombak Janda Pulau Cingkuk keluarkan
ucapan.
“Sekarang
hanya kita berdua di tempat ini! Katakan rahasia apa yang kau bawa. ke
hadapanku. Awas kalau kau berani bicara kurang ajar!”
“Maafkan
saya pimpinan. Pertama saya tidak tahu harus memanggilmu apa…”
“Orang-orang
memanggilku Janda Pulau Cingkuk. Apa sulitnya bagimu memanggilku dengan nama
itu?”
“Terus
terang rasanya saya tidak suka menyebutmu dengan nama itu. Tapi jika kau yang
menyuruh…Ah, bagaimana ini. Biar saya memanggilmu sahabat saja…”
“Sudah,
jangan banyak mulut! Jangan bicara bertele-tele! Katakan maksudmu menemui
diriku.” Bentak Janda Pulau Cingkuk.
“Sahabat,
sebelum mengatakan saya mohon beribu maaf. Saya datang menemuimu untuk meminang
dirimu sebagai istri…”
“Manusia
kurang ajar! Beraninya kau…!”
Janda
Pulau Cingkuk angkat tangan kanannya.
“Plaakkk!”
Satu
tamparan keras mendarat di muka Aji Triyasa.
Saking
kerasnya tamparan tubuh Aji Triyasa yang berada dalam keadaan kaku akibat
totokan sampai melintir. Untung tidak terbanting roboh. Darah meleleh dari luka
di sudut kiri bibir. Melihat apa yang terjadi Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda
segera mendatangi.
“Pimpinan,
ada apa?!” Matanya membeliak merah menyorot. Sepuluh jari tangan yang berwarna
hitam dipentang.
“Ayahanda,
silahkan kembali ke tempatmu. Saya belum habis bicara dengan orang satu ini.”
“Kau
yakin tidak akan apa-apa kutinggal sen-dirian?Mtanya Hang Damar.
“Dia
masih dalam keadaan tertotok. Ayahanda tidak perlu kawatir.” Janda Pulau
Cingkuk mengangguk.
Setelah
Hang Damar kembali ke tempatnya semula Janda Pulau Cingkuk cabut pedang yang
tersembul di balik punggung. Senjata ini bentuknya aneh. Penuh dengan
gerunjulan tebal berwarna hijau mulai dari ujung lancip sampai ke gagang.
Pedang yang memancarkan cahaya hijau redup ini diletakkan di atas bahu kiri Aji
Triyasa. Setiap kejap mata pedang menempel di leher siap menggorok jebol leher
pemuda dari Banten itu!
Si pemuda
tersenyum. Membuat Janda Pulau Cingkuk jadi geram dan membentak.
“Manusia
konyol! Mengapa kau tersenyum?!”
“Saya
sudah dalam keadaan tertotok. Sahabat masih mau mengancam dengan golok
terhunus. Apa perlunya? Apalagi saya datang membawa maksud baik, tidak ada
kejahatan yang saya sembunyikan.”
Dibalik
cadar merah wajah Janda Pulau Cingkuk berubah merah.
“Aji
Triyasa, sekalipun kau keponakan Sultan Banten, apa kau kira aku tidak berani
menghabisimu?!”
“Sahabat,
saya tahu kau seorang berhati mulia. Tidak mungkin akan menggorok batang leher
saya.”
“Siapa
bilang?” Jawab Janda Pulau Cingkuk sambil menekan mata pedang ke leher si
pemuda.
“Saya
yang bilang. Karena ada banyak hal yang sahabat ingin tahu dari saya!” Jawab
Aji Triyasa pula.
“Nyawa
ikan di sekitar pulau ini lebih berharga dari nyawamu!”
“Begitu?
Ya sudah, silahkan sahabat membunuh saya sekarang juga! Kalau saya sudah mati
silahkan dipanggang, diberi bumbu. Pasti tubuh saya lebih sedap rasanya dari
ikan sekitar pulau ini.”
“Kurang
ajar!”
Rahang
Janda Pulau Cingkuk menggembung. Matanya membeliak namun tangan kanannya yang
memegang gagang pedang hijau tidak bergerak.
“Berpenampilan
halus, bicara halus dan sikap sopan! Tapi mengapa sikapnya hampir sama konyol
dengan manusia satu itu!” Janda Pulau Cingkuk menggeram dalam hati.
*********************
10
SAHABAT,
mengapa kau ragu mem bunuhku? Aji Triyasa bertanya. “Diam! Jangan banyak
mulut!” bentak Janda Pulau Cingkuk.
“Kalau
begitu perintahmu mulai saat ini saya tidak akan bicara. Saya akan diam seribu
bahasa. Anggap saja kau bicara dengan patung!”
“Benar-benar
kurang ajar! Katakan apa maksudmu mau meminang diriku jadi istrimu? Kau sengaja
hendak menghinaku?!” Aji Triyasa diam saja. “Hai! Ayo bicara! Mengapa
bungkam?!” Si pemuda tetap membisu. Janda Pulau Cingkuk ketukkan gagang pedang
hijau ke kening si pemuda hingga benjut dan kucurkan darah. Aji Triyasa
mengerenyit kesakitan tapi tetap tidak keluarkan suara. Diam-diam perempuan di
hadapannya jadi merasa kasihan.
“Aku
bertanya mengapa kau tidak menjawab?!”
“Tadi kau
memerintahkan agar saya tutup mulut. Apa sekarang sudah boleh bicara?” Aji
Triyasa akhirnya bicara juga.
“Manusia
konyol! Kau mau bicara apa?!”
“Sahabat,
jika kau mau menerima pinanganku maka kau telah berbuat satu kebajikan besar.”
“Enak
saja kau bicara! Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”
“Saya mau
sendiri. Selain itu memang ada dorongan dari Kesultanan Banten dalam rangka
mencari jalan yang terbaik untuk menghentikan perompakan di Selat Sunda.”
“Aku
tidak mengerti maksudmu!” kata Janda Pulau Cingkuk pula.
“Kalau
begitu saya akan menjelaskan. Sahabat, sebelum kau menjadi pimpinan para bajak
Selat Sunda, banyak kerugian baik harta maupun nyawa manusia yang telah jadi
korban. Setelah kau jadi pimpinan memang korban nyawa tidak ada lagi, tapi
penjarahan tetap meraja lela di perairan Selat Sunda. Semua ini mendatangkan
kerugian sangat besar bagi Kesultanan Banten serta penderitaan bagi rakyat.
Hubungan dagang dengan beberapa negeri asing menjadi, terhenti, dan rusak. Kami
memang mendengar kabar ada sebagian barang jarahan dijadikan uang dan
dibagi-bagi untuk membantu rakyat miskin? Tapi apakah itu ada manfaat dan
pahalanya? Menolong orang dengan barang haram? Sultan ingin semua kejahatan itu
dihentikan. Saya sendiri melihat tempatmu bukan di sini atau di tengah lautan.
Kami semua yakin kau berasal dari orang baik-baik. Karena itu kami bersepakat
meminangmu, menjadikan kau sebagai istri saya. Jangan lihat kedudukan saya
sebagai Pangeran keponakan Sultan, itu tidak ada arti apa-apa. Saya sama dengan
manusia lainnya, sama dengan dirimu. Yang penting kau bisa merubah jalan hidup,
menjadi seorang perempuan dan istri baik-baik. Sultan akan memberi pengampunan
pada seluruh anak buahmu. Mereka dipersilahkan datang ke Banten dan tinggal di
sana Mereka juga boleh memilih tempat kediaman baru yang mereka inginkan. Semua
barang jarahan yang ada di tangan mereka silahkan dibagi-bagi sebagai modal
hidup baru. Yang penting Selat Sunda menjadi aman, tidak ada lagi pembajakan,
tidak ada lagi perompakan. Jika kau mau melakukan itu, bukankah itu satu
kebajikan yang sangat besar?”
“Aku
seperti bermimpi!” kata Janda Pulau Cingkuk lalu tertawa panjang.
“Sahabat,
kau tidak bermimpi. Yang kau hadapi adalah kenyataan!” Kata Aji Triyasa pula.
Janda
Pulau Cingkuk geleng-gelengkan kepala.
“Luar
biasa! Mula-mula kau muncul mengaku sebagai seorang santri. Lalu kenyataannya
kau adalah keponakan Sultan Banten. Sekarang kau memperlihatkan dirimu
seolah-olah seorang sunan yang tengah menebar ajaran agama.”
“Sahabat,
jangan kau salah mengira. Untuk menebar kebaikan seseorang tidak perlu menjadi
Sunan lebih dahulu.”
“Kau
pandai bicara! Aku tidak suka pada manusia yang pandai bicara!”
“Sahabat,
kau boleh saja tidak suka pada saya. Tapi saya akan tetap ingin meminangmu
untuk dijadikan istri.”
“Orang tololpun
bisa tahu kalau kau hanya menjalankan siasat busuk!”
“Tidak
sahabat, aku tidak berdusta. Kau akan tetap menjadi penguasa kawasan Laut
Selatan bersama sekian ratus anak buahmu bagiku tak jadi apa. Tapi apakah itu
ada artinya bagimu? Apakah itu tujuan hidupmu? Sementara jalan baik penuh
kebajikan dan ketentraman terbentang luas di hadapanmu. Dengar, siapapun kau
adanya, aku benar-benar menginginkan kau menjadi istriku.”
“Seorang
pemuda yang masih jaka mau kawin dengan seorang janda? Hik…hik!”
“Apa salahnya?”
jawab Aji Triyasa.
“Kita
tidak pernah berkenalan sebelumnya. Kau tidak pernah melihat wajahku!”
“Itu
betul.Tapi aku yakin, bahkan hakkulyakin kau sahabat adalah seorang yang cantik
jelita dan berhati mulia.”
“Bagaimana
kalau nanti kau lihat wajahku yang buruk?”
“Saya
tetap akan meminangmu.”
“Konyol
sekali” Ucap janda Pulau Cingkuk.
Aji
Triyasa tertawa.
“Apakah
kau akan memperlihatkan wajahmu pada saya?”
Pemuda
itu bertanya.
“Kau akan
menyesal!” kata Janda Pulau Cingkuk pula.
“Insya
Allah tidak,” jawab si pemuda.
“Kalau
begitu buka matamu lebar-lebar!” Janda Pulau Cingkuk berucap lalu dia
singkapkan kain merah yang menutupi seluruh wajahnya. Maka kelihatanlah satu
wajah yang dipenuhi koreng bernanah, luar biasa mengerikan dan menjijikan.
“Tukak
nanah!” kata Aji Triyasa menyebut penyakit di wajah Janda Pulau Cingkuk dengan
wajah mengerenyit terkesima.
Janda
Pulau Cingkuk tutup kembali wajahnya dengan cadar merah.
“Kau
sudah lihat wajahku! Apakah kau masih tetap hendak meminangku?”
Lama Aji
Triyasa terdiam dan masih memandangi wajah yang sudah tertutup kain merah itu.
Perlahan-lahan si pemuda anggukkan kepala dan keluarkan ucapan.
“Saya
tetap ingin sahabat menjadi istri saya.”
Janda
Pulau Cingkuk terperangah dan tersurut satu langkah!
“Kau
seorang pangeran, seorang keponakan Raja. Tapi otakmu agaknya tidak waras.
Kasihan sekali…”
“Terimakasih
sahabat berkata begitu. Saya ingin mendengar jawaban dari sahabat atas pinangan
saya. Jika sahabat…”
“Pemuda
sinting! Dengar dulu ucapanku!” hardik Janda Pulau Cingkuk. “Aku telah membuat
aturan. Siapa saja yang melihat wajahku maka dia tidak akan pernah meninggalkan
pulau ini untuk selama-lamanya.”
“Tadi
saya telah minta di bunuh. Saya ikhlas menemui kematian di tangan sahabat…”
Janda
Pulau Cingkuk sarungkan pedang hijau lalu angkat tangan kiri memberi tanda pada
Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.
“Ada apa
pimpinan?” tanya Hang Damar begitu sampai di hadapan Janda Pulau Cingkuk.
“Ayahanda,
lemparkan manusia satu ini ke Pulau Kerikil. Jangan diberi minum, jangan diberi
makan! Jangan dilepas totokannya! Kita tunggu sampai dia berteriak minta ampun
atas kekurang ajarannya!”
Hang
Damar membungkuk tanda siap menjalankan perintah. Dia lalu bersuit tiga kali.
Enam orang anggota bajak segera berdatangan ke tempat itu. Hang Damar lantas
berikan perintah yang sama seperti diucapkan Janda Pulau Cingkuk. Aji Triyasa
digotong beramai-ramai ke arah pantai tanpa pemuda itu keluarkan sepotong
ucapanpun. Dia hanya sempat menatap dengan pandangan mata sayu ke arah Janda
Pulau Cingkuk. Perempuan itu tidak berani balas menatap melainkan memandang
berkeliling. Pandangan kemudian membentur kitab milik Aji Triyasa yang jatuh
dan tergeletak di tanah.
Janda
Pulau Cingkuk lalu membungkuk mengambil kitab itu, memperhatikan sebentar. Dia
sangat tertarik namun tidak mampu membaca kitab yang bertuliskan huruf Arab
gundul itu.
“Ayahanda,
saya tahu ayahanda mengerti bahasa dan tulisan Arab. Apakah ayahanda bisa
membaca kitab ini?
Hang
Damar Hantu Laut Selat Sunda segera mengambil kitab yang diberikan Janda Pulau
Cingkuk. Setelah dia membalik-balik dia mengangguk.
“Saya
bisa membacanya pimpinan.” “Kitab apa itu?”
“Pimpinan,
saya tidak tahu apa isi kitab ini. Namun di bagian depan tertulis Kasih Allah
Sepanjang Zaman, Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.”
Setelah
mendengar nama kitab itu, Janda Pulau Cingkuk terdiam beberapa lama. Lubuk
hatinya bersuara pilu. Apakah selama ini aku mengingat dan dekat kepada Allah.
Aku tidak tahu siapa ibuku bahkan kedua orang tuaku. Kemudian perempuan itu
berkata.
“Ayahanda,
maukah ayahanda tolong menyalinkan isi kitab ini ke daiam bahasa Jawa Kuno?”
“Untuk
pimpinan saya akan melakukan apa saja,” jawab bekas penguasa kawasan laut Selat
Sunda.
MALAM
hari di atas pembaringan. Janda Pulau Cingkuk dapatkan dirinya sulit
memincingkan mata. Dia selalu teringat kejadian siang tadi. Masih terbayang
olehnya bagaimana tatapan sepasang mata pemuda bernama Aji Triyasa itu ke
arahnya ketika dia digotong untuk di bawa ke Pulau Kerikil.
“Aku tahu
semua yang dikatakan pemuda itu adalah benar.Tapi niatnya untuk menjadikan
diriku sebagai istri… Dia sebenarnya menginginkan diriku atau menginginkan
lenyapnya perompakan di Selat Sunda? Mungkin kedua-duanya. Dia… apakah dia
mencintai diriku? Mustahil. Aku belum pernah bertemu sebelumnya. Tadi siang dia
telah melihat wajahku. Dan dia masih saja menginginkan diriku jadi istrinya.
Apakah dia… Apakah dibalik ini semua ada satu tipu daya? Aku mengetuk keningnya
dengan gagang pedang hingga benjutdan berdarah! Ah… Dan kini dia berada di
Pulau Kerikil. Seorang diri dalam keadaan tertotok tak berdaya. Dia seorang
Pangeran. Dia pasti kedinginan, haus dan juga lapar. Apakah aku telah berlaku
kejam?”
Djbuncah
oleh berbagai macam pikiran dan duga-duga dalam hati menjelang pagi baru Janda
Pulau Cingkukdapat memejamkan mata dan tertidur. Itupun dia tidak bisa pulas
lama karena sebelum fajar menyingsing dia sudah terbangun. Begitu bangun
ingatannya kembali pada pemuda bernama Aji Triyasa.
Akhirnya
dengan diam-diam tanpa diketahui seorangpun termasuk Hang Damar Hantu Laut
Selat Sunda melalui jalan rahasia Janda Pulau Cingkuk menyeberang ke Pulau
Kerikil yang terletak tak seberapa jauh dari Pulau Cingkuk.
Pulau
Kerikil merupakan pulau paling kecil di kawasan kepulauan Rakata. Disebut Pulau
Kerikil karena di pulau itu hanya ada timbunan batu kerikil setebal lutut.Tak
ada tetumbuhan, tak ada air bahkan binatangpun tak ada yang hidup di situ.
Konon
timbunan
batu kerikil itu terjadi dan berasal dari Pulau Rakata besar yang meletus dan
memuntahkan bebatuan termasuk batu kerikil ke kawasan sekitar.
Ketika
Janda Pulau Cingkuk sampai di pulau itu dan berkeliling sampai tiga kali namun
dia tidak menemukan orang yang dicari.
“Aneh,
apakah dia tidak sampai ke sini. Atau berhasil melarikan diri?” Perempuan itu
dudukkan diri di atas tumpukan batu kerikil.
Janda
Pulau Cingkuk sengaja menunggu sampai sang surya terbit. Begitu matahari
menyembul dan keadaan di pulau menjadi terang, sekali lagi dia mengelilingi
pulau itu namun tetap saja dia tidak menemukan Aji Triyasa.
“Kalau
dia ternyata seorang mata-mata, aku harus bersiap-siap. Pasukan Kesultanan
Banten bisa saja menyerbu secara tidak terduga…”
Ketika
perahu Janda Pulau Cingkuk perlahan-lahan meninggalkan Pulau Kerikil, salah satu
lapisan tebal tumpukan kerikil tampak bergerak-gerak. Sesaat kemudian menyeruak
muncul satu kepala, memandang tersenyum ke arah perahu yang makin menjauh.
“Janda
Pulau Cingkuk, ternyata kau tidak bisa melupakan diriku. Aku tidak tahu siapa
kau sebenarnya. Aku hanya menuruti petunjuk Panembahan Maulana Yusuf yang
mendapat penjelasan dari Sultan Banten bahwa kau adalah seorang perempuan muda
cantik jelita. Masih muda dan cantik. Bagaimana jalan ceritanya kau menyebut
diri sebagai seorang janda?”
*********************
11
KITA
kembali ke pulau Menjangan Kecil. Setelah dengan terpaksa menolong menyembuhkan
”barang antik” Bujang Gila Tapak Sakti untuk beberapa lama Nenek Cempaka
terduduk ditanah, mata terpejam, wajah pucat dan dada berdebar. Seumur hidup
nenek tidak pernah menyangkali akan mendapat pengalaman luar biasa seperti ini.
Bujang Gila Tapak Sakti rapikan celana gombrangnya. Usap-usap bagian bawah
perut. Untuk beberapa lama dia pandangi si nenek dengan perasaan iba. Dia tahu
tadi waktu mengusap dan meniup ‘barang antiknya!’ si nenek kelihatan
biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya dia telah menguras tenaga dalam dan hawa
sakti. Itu sebabnya si nenek tampak kuyu lunglai seperti tubuh yang tidak
bertulang.
Sambil
mesem-mesem murid Sinto Gendeng dekati Bujang Gila Tapak Sakti lalu berbisik.
“Dut, kau
harus berterima kasih pada nenek itu. Kalau dia tidak menolong seumur-umur
barangmu akan melendung bengkak dan berwarna biru. Sakit dari pagi sampai
malam, dari malam sampai pagi!” Si gendut mengangguk.
“Aku akan
melakukan sesuatu. Mudah-mudahan cukup imbal sebagai pembatas budi baiknya.”
Bujang Gila Tapak Sakti lalu dekati si nenek yang masih duduk tak bergerak dan
pejamkan mata. Dua telapak tangan digosokan satu sama lain. Dari sela-sela
telapak tangan mengepul asap kelabu disusul menebarnya hawa dingin.
Perlahan-lahan
Bujang Gila Tapak Sakti berlutut dihadapan Nenek Cempaka. Beberapa lama
mulutnya komat kamit merapal satu aji kesaktian. Kemudian dua telapak tangan
diusapkan ke wajah si nenek, terus ke kepala dan rambut sambil mulut berucap.
“Nek, aku
Bujang Gila Tapak Sakti berterima kasih padamu karena kau telah menyembuhkan
anuku yang bengkak dan biru. Semoga Tuhan selalu memberkahimu…”
Dua
tangan Bujang Gila Tapak Sakti memang memiliki kesaktian luar biasa. Bukan saja
mampu menyembuhkan cacat bekas luka, atau membentuk dan membuat sesuatu dari
batu dan kayu, tapi juga seperti apa yang dilakukannya terhadap nenek Cempaka,
orang kepercayaan Ratu Sepuh Penguasa Laut Utara. Hanya saja ilmu yang satu ini
sangat jarang dikeluarkannya.
Begitu
diusap mukanya maka wajah si nenek yang tadinya loyo dan keriput kini menjadi
kencang bagus tidak beda seperti perempuan yang masih berumur tiga puluh tahun.
Selesai kepala dan rambut diusap maka rambut yang tadinya putih tergulung kini
menjadi hitam tergerai. Nenek Cempaka telah berubah menjadi seorang perempuan
muda yang cantik jelita!
Murid
Sinto Gendeng terperangah dan geleng-geleng kepala dan melihat apa yang terjadi
sementara Nenek Cempaka masih terduduk picingkan mata.
“Ayo kita
cepat pergi,” bisik Bujang Gila pada Wiro. “Kalau dia keburu sadar siapa
dirinya sekarang habis kau digusalnya. Sewaktu masih nenek saja hebat bukan
main. Apa lagi sudah muda seperti ini. Hik…hik!”
Sambil
menahan tawa kedua orang itu segera tinggalkan perempuan tua yang kini berubah
muda itu. Di tengah jalan sementara berlari Wiro ingat sesuatu. Dia pegang
lengan Bujang Gila Tapak Sakti dan bertanya.
“Sobatku
gendut, apakah kau tidak kelupaan sesuatu?”
“Kelupaan
apa?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kau
mengusap wajah dan rambut hingga nenek itu kini jadi perempuan muda cantik
jelita. Tapi kau tidak mengusap dadanya.”
“Maksudmu?”
Tanya
Bujang Gila kurang tanggap. “Maksudku wajahnya wajah perempuan muda tapi
dadanya masih peot rata…”
Bujang
Gila Tapak Sakti hentikan lari. Berpikir-pikir lalu tertawa lebar.
“Kau
betul Wiro. Ah, kasihan nenek itu. Aku harus kembali…”
“Kurasa
tidak perlu. Kapan-kapan kalau kau ketemu dia lagi kau bisa melakukan hal itu.
Merubah dadanya yang rata peot menjadi padat menonjol…”
“Tapi aku
bisa melakukan dari sini,” kata Bujang Gila Tapak Sakti pula. “Cuma harus
memakai perantara. Yaitu dengan cara mengusap dadamu tapi membayangkan si
nenek. Mari, aku pinjam dadamu sebentar…”
Lalu
Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan dua telapak tangan satu sama lain. Seperti
tadi asap putih mengepul dan udara terasa dingin. Dua telapak tangan
ditempelkan ke dada Wiro, diusap-usap sambil mulut merapal berkomat-kamit.
Pikiran membayangkan dada dan wajah si nenek.Tapi celakanya si gendut melakukan
hal yang keliru. Dia membayangkan dada dan wajah Wiro.
“Wuttt!”
“Breett!”
Dada baju
hitam Pendekar 212 robek kiri kanan.
Dua buah
benda putih mencuat dari balik robekan. Murid Sinto Gendeng berseru kaget,
mulutnya menganga mata membeliak.
“Gendut!
Kau melakukan apa? Mengapa dadaku jadi begini?!”
Bujang
GilaTapak sakti tak kalah kejutnya. Matanya yang belok membeliak.
“Astaga!
Aku melakukan kesalahan!” Ucap Bujang Gila Tapak Sakti lalu tertawa
gelak-gelak.
“Jangan
tertawa! kembalikan dadaku ke asalnya!” Teriak Wiro yang saat itu dadanya telah
berubah menjadi seperti dada perempuan, besar dan kencang!
“Tunggu…sabar!
Akan aku perbaiki. Akan aku betulkan!”
Bujang
Gila Tapak Sakti kembali gosok-gosok dua telapak tangan. Begitu asap mengepul
dua tangan diletakkan di atas dada Wiro dan diusap-usap. Kali ini karena
dadanya berbentuk dada perempuan Wiro jadi kegelian dan mengeliat-geliat.
“Kalau
kau tidak bisa diam nanti keliru lagi!” Kata Bujang GilaTapak Sakti pula.
Wiro
terpaksa berusaha diam menahan geli.
“Nah
sudah! Beres! Dadamu sudah kembali ke bentuk asal. Begitu saja repot!” Wiro
menunduk sambil pegang dadanya. Dia merasa keanehan lain kini. Cepat-cepat baju
hitam dibuka lalu berteriak keras.
“Bujang
Gila sialan! Jangan membuat aku marah! Lihat!”
Si gendut
terperangah, sampai tersurut mundur satu langkah. Dada sang pendekar dilihatnya
telah berubah menjadi dada seorang nenek-nenek, peot rata dengan dua puting
hitam besar ayun-ayunan!
Bujang
Gila tak dapat menahan tawa bergelaknya. Dia akan terus tertawa kalau tidak
dijambak dan dkepalkan tinju oleh Wiro.
“Guraumu
sudah keterlaluan!” kata Wiro yang ketakutan kalau bentuk dadanya tidak bisa
kembali seperti semula. “Kau tahu, aku punya ilmu yang disebut Menahan Darah
Memindah jazad. Kau mau kantong menyan dan burung hantumu aku pindahkan ke
jidat?!”
“Sobatku
gondrong! Jangan segila itu! Semua ini terjadi secara tidak sengaja Tenang,
tenang. Akan aku kembalikan. Pasti…Lihat saja.”
Lalu
untuk ke tiga kalinya Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan dua telapak tangan. Asap
putih mengepul lagi. Hawa dingin kembali menebar. Sedikit agak tegang si gendut
usapkan dua tangannya ke dada sang pendekar. Sesaat kemudian dua payudara peot
datar lenyap. Keadaan dada Wiro kembali ke bentuk semula.
SEBELUM
Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti mencapai pantai tiba-tiba turun badai. Dalam
cuaca buruk dan gelap kedua orang itu memaksa jalan terus. Akibatnya arah yang
mereka tuju yakni bagian selatan pulau jadi bergeser mendekati bagian timur.
Ketika akhirnya mereka sampai di pantai yang salah badai baru berhenti.
“Tidak
ada perahu, tidak ada nelayan. Sebentar lagi malam datang. Kita terpaksa
menunggu sampai pagi. Tidak ada gubuk, berarti kita akan tidur di pantai ini
dalam udara dingin ditambah guyuran embun.”
Berkata
Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menggaruk kepala.
“Soal
udara buruk perlu apa ditakutkan. Kau merasa dingin, aku malah mulai merasa
kepanasan. Kipas kertasku hilang entah kemana.”
Bujang
Gila Tapak Sakti yang memang lekas merasa kepanasan dan keringatan sementara
orang lain kedinginan, buka kopiah hitamnya lalu dikipas-kipas ke wajahnya yang
keringatan.
“Sobatku
gondrong, perihal perahu tidak usah dikawatirkan. Kau boleh ngorok dimana kau
suka. Kalau kau bangun aku sudah membuat dua perahu untuk kita layari malam ini
juga. Cuma kita mau menuju kemana?”
“Aku
masih ada satu urusan besar yang belum rampung,” jawab Wiro.
“Soal
perkawinanmu dengan Ratu Duyung yang aku dengar kini bernama Intan itu?”
Wiro
tertawa lalu gelengkan kepala.
“Aku
harus mencari Nyi Retno Mantili dan mempertemukan perempuan itu dengan anaknya
yang bernama Ken Permata. Menurut ceritamu kau pernah bertemu Nyi Retno. Lalu
diserang oleh seorang kakek bernama Demang Cambuk Item yang ternyata datang
bersama Serikat Tiga Momok yang mau memakan hati, jantung serta ginjal Nyi
Retno Mantili…”
“Aku sial
sekali waktu itu,” menyahuti Bujang Gila Tapak Sakti sambil usap mukanya yang
keringatan. “tereka berhasil membawa lari Nyi Retno. Ketika aku
bertemu
Purnama, gadis dari negeri seribu dua ratus tahun silam itu memberi tahu kalau
Nyi Retno ditolong oleh Manusia Paku Sandaka. Katanya perempuan itu dibawa ke
tempat kediaman gurunya untuk dinikahi.”
“Hah!
Apa? Manusia Paku Sandaka Arto Gampito hendak menikahi Nyi Retno?!”
“Itu yang
diceritakan Purnama. Purnama mendapat tahu hal itu dari puteranya bernama
Jatilandak. Kabarnya Jatilandak telah menjadi Kepala Pasukan di Kesultanan
Cirebon. Kau cemburu atau patah hati kalau Nyi Retno Mantili kawin dengan
Manusia Paku?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil senyum-senyum. “Ini adalah aneh!”
“Aneh
bagaimana?” tanya Wiro.
“Nyi
Retno pernah bilang padaku kalau ayah Kemuning, boneka kayu itu adalah dirimu!
Apa tidak aneh kalau manusia punya anak boneka kayu? Memangnya kau apakan
perempuan itu?”
Wiro
tertawa gelak-gelak lalu menggaruk kepala.
“Sebetulnya,”
kata Bujang Gila tapak Sakti pula. “Kalau Kakek Segala Tahu tidak menyuruh aku
ke laut utara bergabung denganmu, mungkin aku sudah pergi menyelidik dan
mencari Nyi Retno Mantili.”
“Kita
sudah tahu siapa yang membawa Nyi Retno dan kemana dibawanya. Yang aku tidak
mengerti apakah Manusia Paku sengaja menculik dan memaksa Nyi Retno kawin
dengannya? Kalau mereka suka sama suka perduli amat.Tapi bukankah lebih baik
kalau Nyi Retno lebih dulu bertemu dengan anaknya agar sakit ingatannya bisa disembuhkan?”
Aku juga
kasihan sama Nyi Retno. Kalau sampai dinikahi oleh manusia yang sekujurtubuhnya
itu penuh paku. Ihhh! Apa perempuan bertubuh kecil itu tidak akan jebol atas
bawah?!” kata Bujang GilaTapak Sakti pula. (Kisah diculiknya Nyi Retno Mantili
dari tangan Bujang Gila Tapak Sakti oleh komplotan yang menamakan diri Serikat
Momok Tiga Racun dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul “Perjodohan
Berdarah”. Baca juga episode berjudul “Badai Laut Utara”)
“Sobatku
gendut, sebelum ditolong oleh Ratu Sepuh, kau sempat bersama-sama Bidadari
Angin Timur. Selama perjalanan dia bicara apa saja?”
“Buuaaannnyyaaaakk!”
jawab Bujang Gila Tapak sakti dengan mulut dimonyongkan lalu tertawa
cengengesan.
“Tentang
diriku?”
Si gendut
menggeleng. “Setiap aku bicara mengenai dirimu, gadis itu kelihatannya tidak
mau mendengar. Aku menduga agaknya dia sangat marah atau benci padamu. Mungkin
karena tahu kau sudah dijodohkan dengan Ratu Duyung?”
“Perjodohan
itu belum terlaksana,” jawab Wiro. “Aku tahu mengapa dia marah dan benci
padaku. Ada penyebab lain.”
“Aku
tidak tahu urusan orang lain.Tapi kalau kau mau menceritakan, aku juga mau
mendengarkan.”
“Asal kau
berjanji tidak bermulut ember, menceritakan pada orang lain.” Kata Wiro pula.
“Aku
berjanji!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti
sambil
mengangkat tangan kanan ke atas lalu tangan itu ditepukkan ke pantatnya yang
gembrot besar hingga mengeluarkan suara keras!
“Waktu
itu aku dan Ratu Duyung tengah mengejar Nyi Wulas Pikan yang menyaru menjadi
Ratu Duyung. Dia telah memperdayai diriku hingga aku menyerahkan Batu Mustika
Angin Laut Kencana Biru padanya karena mengira dia Ratu Duyung benaran. Di satu
tempat Ratu Duyung memberi tahu ada seseorang yang mengikuti. Orang itu menebar
bau tubuh dan pakaian yang wangi. Aku yakin dia adalah Bidadari Angin Timur.
Lantas saja muncul hasratku hendak menggodanya. Ratu Duyung aku ciumi
habis-habisan…”
“Ah, hal
itu pasti menyakiti hati Bidadari Angin Timur. Perbuatanmu konyol sekali!”
Wiro
menggaruk kepala.
“Hal itu
sudah terjadi. Tidak ada gunanya disesalkan. Yang jelas setelah kejadian itu
Bidadari AnginTimur menghilang. Aku dan Ratu Duyung bisa lebih memusatkan
perhatian pada pengejaran atas diri Nyi Wulan Pikan. Sekarang dimana beradanya
gadis itu. Dia kabur setelah menendang hancur muka Nyi Harum Sarti. Gara-gara
dirinya dikatakan janda Tubagus Kesumaputera alias Jatilandak.”
“Aku rasa
kini dia akan membuat perhitungan dengan Purnama. Bidadari Angin Timur telah
ditelanjangi di hadapan banyak orang. Dari mana Ratu Laut Utara palsu itu tahu
soal diri Bidadari Angin Timur kalau bukan dari Purnama?”
“Berarti
apakah dia sudah dinikahi Tubagus Kesumaputera? Kalau memang benar lalu kenapa
sesingkat itu menjadi janda? Apa yang terjadi? Mereka cerai hidup atau sang
suami menemui kematian?”
“Aku
tidak bisa menduga. Aku tidak tahu ceritanya kalau memang sudah kawin atau
nikah kapan kawin atau nikahnya. Sayangnya Purnama juga pergi begitu saja. Kau
harus menyelidiki hal itu. Karena kalau kau tidak suka dinikahi dengan Ratu
Duyung dan lebih suka dengan Bidadari Angin Timur, berarti kau kawin dengan
janda kembang bukan dengan anak perawan! Berarti kau dapat bekas orang!”
Wajah
Pendekar 212 jadi mengelam merah mendengar katakata terakhir Bujang Gila itu.
“Maafkan
kalau aku menyinggung perasaanmu. Tapi urusan kawin bukan urusan main-main.
Rumah tangga bisa jadi sorga tapi bisa juga jadi neraka…”
“Aku
tahu, itu sebabnya kau yang mengaku sudah berusia delapan puluh tahun belum
kawin-kawin sampai sekarang.”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gemuk gembrot
bergoyang-goyang.
Wiro
kembali menggaruk kepala. Lalu berkata.
“Aku tahu
tempat kediaman guru Manusia Paku. Kita harus segera kesana. Mudah-mudahan
tidak terlambat. Katamu kau akan membuat dua perahu. Makin cepat kau lakukan
makin baik.”
Bujang
GilaTapak sakti memandang berkeliling. Dia menunjuk ke arah sebatang pohon
kelapa paling tinggi dan paling besar sejarak tiga tombak dari tempat mereka
berdiri.
“Aku
minta bantuanmu. Toiong kau tumbangkan pohon kelapa itu.”
Wiro
tidak menunggu lebih lama. Tanpa beranjak dari tempatnya berdiri dia menghantam
bagian bawah pohon kelapa besar dengan pukulan Segulung Ombak Menerpa karang.
Jangankan pohon kelapa, batu karang saja bisa dihantam hancur oleh pukulan
sakti warisan Sinto Gnedeng itu.
“Braakk!”
Bagian
paling bawah pohon kelapa besar hancur berkepingkeping. Bagian atas pohon
tumbang bergemuruh.
Bujang
GilaTapak Sakti menyeringai. Dua telapak tangan digosok-gosok. Dengan ilmu
kesaktiannya dia memang bisa merubah dan membuat batang kelapa besar itu
menjadi dua perahu. Ketika si gendut ini mulai hendak bekerja tiba-tiba ada
suara perempuan berseru. Datangnya dari arah laut.
“Kalau
hanya memerlukan perahu mengapa harus merusak alam? Dua sahabat muda. Aku bisa
memberikan perahu ini pada kalian!”
Bujang
GilaTapak Sakti dan Pendekar 212 Wiro Sableng serentak berpaling ke arah kiri.
Kedua orang ini sama-sama kaget.
*********************
12
ASTAGA!
Dia! ucap Bujang Gila Tapak Sakti. Wajah si gendut ini berubah. “Sobatku
gendut. Dia pura-pura menawarkan perahu. Sebenarnya dia mencarimu. Pasti dia
tidak melupakan apa yang tadi siang dilakukannya. Belum satu hari sudah kangen
mau mengusap dan meniup perabotanmu lagi! Ha… ha…!”
“Eh, apa
dia sudah tahu kalau wajahnya sekarang sudah berubah jadi muda?” ucap Bujang
GilaTapak Sakti. “Bagaimana ini, kita mau bilang apa? Menolak saja tawarannya?”
Si gendut tampak bingung juga ada rasa takut gara-gara ucapan Wiro tadi. Tapi
Wiro malah membalikkan ucapan.
“Tolol
kalau kau menolak. Pertama kau tidak perlu susah payah membuat dua perahu.
Kedua… Ehem… ini yang penting. Kau bakalan dapat kesenangan. Bukankah kau
sendiri yang bilang usapannya lebih hebat dari usapan anak gadis? Ha…ha…ha!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
Di tepi
pantai, di bagian laut yang dangkal sepinggang tampak sebuah jukung besar. Di
atasnya duduk senyum-senyum perempuan muda berwajah cantik yang bukan lain
adalah nenek Cempaka yang wajahnya telah dirubah oleh Bujang GilaTapak Sakti
sehingga kini menjadi muda jelita.
Perempuan
di atas perahu lambaikan tangan.
“Hai!
Kenapa kalian kelihatan seperti bingung? Apa mengira aku mau berbuat jahat?
Salah seorang dari kalian telah berbuat kebajikan besar padaku walau kini aku
jadi rikuh berkeadaan seperti ini.”
“Nenek
Cempaka!” Wiro menyahuti. Lalu menggaruk kepala.”Ah, seharusnya aku tidak
memanggilmu Nenek lagi. Aku akan panggil Nyi Cempaka saja ya? Boleh?!”
Perempuan
di atas perahu tertawa panjang dan anggukkan kepala.
Wiro
pegang lengan Bujang Gila Tapak Sakti.
“Ayo,
orang mau menolong jangan ditolak. Naik saja dulu ke atas perahu. Nanti kalian
berdua apa mau main usap-usapan terserah saja. Aku pura-pura tidak melihat.”
Wiro lalu
tarik tangan si gendut. Keduanya lari ke pantai lalu melesat masuk ke dalam
perahu. Wiro sampai duluan. Dia sengaja memilih bagian perahu di ujung kiri,
berseberangan dengan Nyi Cempaka. Bujang Gila Tapak Sakti yang sampai kemudian
terpaksa memilih bagian tengah perahu jukung.
Seperti
ketika Wiro injakkan kaki di atas jukung, sewaktu hal yang sama dilakukan oleh
Bujang Gila Tapak Sakti jukung besar itu tidak bergoyang sama sekali. Begitu
berada di dalam perahu si gendut melirik ke dada perempuan di depannya dan
merasa gembira karena melihat kini dada pakaian tidak lagi rata tapi tampak
membusung. Berarti ilmu yang diterapkannya lewat tubuh Wiro berhasil
dilaksanakan.
“Sahabat
muda,” kata Nyi Cempaka pada Bujang GilaTapak Sakti.
“Walau
aku rikuh menjadi muda begini, aku sangat berterima kasih, atas apa yang telah
kau lakukan terhadap diriku.”
“Aku juga
berterima kasih padamu Nyi Cempaka. Kalau bukan kau yang menyembuhkan pasti…
hemmm…”Bujang Gila Tapak Sakti tidak teruskan ucapan. Hanya senyum-senyum dan
menggeliat ketika dari belakang Wiro menusuk-nusuk pinggangnya.
“Tapi
apakah perubahan ini hanya untuk sementara saja? Jangan-jangan sehari dua hari
luntur seperti kain murahan.”
“Nyi
Cempaka, kau tak usah kawatir. Ilmu yang aku dapat atas kuasa Tuhan bukan ilmu
sulap atau ilmu sihir. Keadaan wajah dan tubuhmu akan seperti ini seumur-umur…”
“Gusti
Allah Maha Besar! Aku sungguh-sungguh bersyukur atas berkah rakhmat ini.” Kata
Nyi Cempaka pula penuh gembira. Nenek tua mana yang tidak akan bahagia kalau
dirinya bisa dibuat muda? “Sahabatku, apakah ilmu itu bisa kau terapkan pada
semua orang?”
“Tidak
Nyi Cempaka. Hal itu hanya bisa terjadi jika dikehendaki dan diredhohi Gusti
Allah,” jawab Bujang GilaTapak Sakti.
“Kalau
bisa untuk semua wah, setiap hari ada ratusan neneknenek ngantri mencari si
gendut ini!” kata Wiro pula.
Nyi
Cempaka tertawa.
“Sebagai
tanda terima kasih, aku mau memberikan sesuatu padamu,” kata Nyi Cempaka pula
sambil membuka kancing atas pakaiannya. Sepasang mata Bujang GilaTapak Sakti
jadi berkilat ketika sempat melihat sebagian dada putih perempuan itu. Dari
balik dada pakaian Nyi Cempaka mengeluarkan satu benda yang ternyata adalah
sebuah kipas lipat terbuat dari susunan campuran kayu cendana dan kayu besi.
Ketika kipas itu dikembangkan oleh Bujang Gila Tapak Sakti bentuknya indah
sekali, kuning kayu cendana harum diseling warna hitam kayu besi.
“Terima
kasih Nyi, kau baik sekali. Kebetulan kipas kertas bututku rusak dan tercecer
entah kemana. Kipas yang kau berikan ini bisa aku pergunakan seumur hidup
karena terbuat dari kayu yang kuat.”
“Harap
kau mau menjaga baik-baik. Karena kipas itu bukan kipas sembarangan. Bisa kau
jadikan senjata, lebih ampuh dari kipas kertasmu yang hilang. Kau bisa
menciptakan topan dengan kipas itu. Kau juga bisa melancarkan serangan serangan
berupa cahaya kuning hitam dengan kipas itu. Lalu tersembunyi di antara lipatan
kayu cendana dan kayu besi ada puluhan jarum beracun yang hanya boleh kau
pergunakan sebagai senjata dalam keadaan terdesak. Jarum itu bisa melesat kalau
kau menekan bagian bawah gagang kipas.”
“Terima
kasih Nyi Cempaka, terima kasih banyak,” ucap Bujang Gila Tapak Sakti. Kipas
dilipat dan dibuka beberapa kali. Lalu dengan hati-hati dia coba mengerahkan
sedikit tenaga dalam maka kipas itu pancarkan cahaya kuning muda dan hitam pekat.”Luar
biasa! Aku akan menjaganya baik-baik. Kipas ini boleh aku namakan Kipas Nyi
Cempaka?”
Nyi
Cempaka tertawa.
“Silahkan,
kalau kau menyukai namaku itu.”
“Gendut,
kau mau memberikan apa pada Nyi Cempaka sebagai tanda terima kasih?” Wiro yang
dudukdi belakang Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan ucapan. Dengan ilmu
memindahkan suara Wiro mengiangkan menyambung ucapan ke telinga Bujang
GilaTapak Sakti. “Dut, berikan saja salah satu buahmu buat mainan perempuan
itu. Aku bisa melakukan dengan Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad.”
Bujang
Gila Tapak Sakti pukulkan tangan kanannya ke belakang. Pukulan menghantam
tempurung lutut Wiro sebelah kanan hingga murid Sinto Gendeng ini kelojotan
kesakitan.
“Ah,
aku…aku tidak punya apa-apa. Bagaimana ini?” Si gendut tampak bingung dan seka
mukanya yang keringatan.
Nyi
Cempaka tersenyum. “Aku tidak mengharapkan pamrih apaapa. Apa yang telah kau
lakukan terhadap diriku rasanya aku menerima seisi dunia ini.”
Sementara
ke tiga orang itu bercakap-cakap jukung bergerak perlahan ke tengah laut dan
hari telah malam.
“Nyi
Cempaka, sebenarnya kau hendak pergi kemana? Kami tidak mau kalau karena
menolong kami urusanmu jadi terganggu.”
“Sebentar
lagi aku akan meninggalkan kalian berdua. Perahu ini menjadi milik kalian,”
jawab Nyi Cempaka. Dia memandang sekeliling lalu memperhatikan laut di
sekitarnya. Tiba-tiba di dalam laut kelihatan kilauan cahaya putih
kebiruan.”Aku sudah melihat tanda,” kata Nyi Cempaka pula. “Saat aku akan
meninggalkan kalian berdua…”
“Di
tengah laut begini? Nyi Cempaka kau mau kemana? Tanya Bujang Gila Tapak Sakti
heran. Selain itu entah mengapa kepergian perempuan itu tiba-tiba membuatnya
jadi sedih.
“Laut
adalah kehidupanku. Sejak dulu laut adalah tempat tinggalku…” Menjelaskan Nyi
Cempaka sambil menatap wajah keringatan Bujang Gila Tapak Sakti.
Si gendut
putar-putar kopiah hitam kupluk di atas kepalanya.
“Lalu,
apakah kita… Maksudku kami berdua bisa bertemu lagi denganmu?”
Selama
air laut masih hijau, selama langit masih biru kita pasti akan bertemu iagi,”
jawab Nyi Cempaka.
Bujang
Gila Tapak Sakti berpaling pada Wiro. Pendekar 212 maklum apa yang dirasakan si
gendut saat itu. Sobatnya ini tiba-tiba merasa sayang pada nenek yang
dirobahnya sendiri menjadi seorang perempuan muda cantik jelita.
“Kalau
kau mau ikut Nyi Cempaka melihat-lihat kehidupan di alam laut, aku yakin Nyi
Cempaka tidak keberatan membawamu serta. Bukan begitu Nyi Cempaka?” Wiro
berkata sambil memandang ke arah Nyi Cempaka dan kedipkan mata kiri.
Nyi
Cempaka tersenyum mendengar ucapan Wiro.
Bujang
Gila Tapak Sakti kembali putar-putar kopiah di atas kepala. Wiro letakkan tumit
kaki kirinya di pinggang Bujang Gila Tapak Sakti. Begitu tumit didorong tak
ampun lagi si gendut ini terpental jatuh ke dalam laut. Nyi Cempaka tertawa
tergelak-gelak lalu melompat ke arah jatuhnya Bujang Gila Tapak Sakti. Kedua
orang itu lenyap dari pemandangan.
Tinggal
sendirian di atas jukung Pendekar 212 Wiro Sableng tarik nafas dalam-dalam lalu
geleng-gelengkan kepala.
“Bujang
Gila, akalmu panjang juga! Mula-mula kau ketakutan melihat perempuan itu
muncul. Kini malah kepicut mau ikutan! Bukan dia yang mau mengusap tapi kau
yang kepingin di usap! Ha…ha…ha!”
Tiba-tiba
gelak tawa murid Sinto Gendeng lenyap. Kagetnya bukan alang kepalang ketika
satu tangan tiba-tiba mencuat dari dalam laut mengusap bagian bawah perutnya.
Sewaktu diperhatikan ternyata itu adalah tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang
sengaja memunculkan diri untuk menggoda lalu masuk kembali ke dalam laut.
“Sialan!
Aku kira Nyi Cempaka yang mengusap!” gerutu Pendekar 212 lalu kembali tertawa
gelak-gelak
Namun
lagi-lagi tawanya tertahan ketika di samping kanan muncul bayangan perempuan
diserta terdengar ucapan berbisik di telinga “Kalau kau suka kau boleh berikan
salah satu buahmu buat mainanku! Hik…hik…hik!”
Kaget
sang pendekar bukan alang kepalang. Berpaling ke samping dilihatnya wajah Nyi
Cempaka tertawa dan kedipkan mata padanya. Lalu sosok perempuan ini lenyap
masuk ke dalam laut.
“Aku
tidak mengira. Apa yang aku ucapkan dalam hati dia bisa mendengar.” Kata Murid
Sinto Gendeng sambil menggaruk kepala.
TAMAT
No comments:
Post a Comment