Gondoruwo Patah Hati
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Tubuh si
nenek bergetar keras, basah oleh keringat. Racau dari mulutnya semakin keras
pertanda apapun yang tengah dilakukan perempuan tua ini akan segera mencapai
puncaknya. Dalam keadaan seperti itu mendadak di udara pagi terdengar suara
berdesing. Satu benda hitam melesat seperti jatuh dari langit, melayang turun
dan blukk! Jatuh tepat di pangkuan si nenek. Suara racau si nenek lenyap,
berganti dengan jeritan keras. Tubuhnya terhenyak jatuh ke batu besar, lalu
terguling ke bawah dan terjengkang di tanah. Di pangkuannya saat itu, seolah
lengket, melingkar sosok seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun,
berpakaian hitam, berambut jabrik. "bocah jahanam! Kau yang jadi gara-gara!
Kubunuh kau!".
*********************
1
PERAPIAN
telah lama padam. Dinginnya udara menjelang pagi itu terasa semakin mencucuk.
Di samping perapian tergolek bergelung sosok seorang pemuda berpakaian biru.
Tampaknya dia tertidur pulas, tak perduli embun mulai membasahi pakaian dan
tubuhnya. Kenyenyakan tidur si pemuda tidak berlangsung lama. Beberapa saat
berselang kelopak matanya yang terpejam kelihatan bergerak-gerak. Telinga kiri
yang lebih dekat ke tanah mendengar satu suara di kejauhan, membuat dia
terjaga. Sepasang mata itu membuka makin lebar. Si pemuda bangkit, duduk,
memasang telinga.
"Derap
kaki kuda. Dipacu sangat kencang ke arah sini. Firasatku mengatakan bakal
terjadi satu kejadian buruk. Sebaiknya aku berlaku waspada,
berjaga-jaga…." Pemuda berambut licin, berkumis kecil rapi ini memandang
berkeliling. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Sesaat dia memandang ke arah
datangnya suara derap kaki kuda. Lalu dengan satu gerakan luar biasa cepatnya,
laksana hembusan angin tubuhnya melesat ke atas cabang satu pohon besar.
Mendekam dalam gelap di balik kerimbunan ranting dan dedaunan, menunggu.
Si pemuda
tidak menunggu lama. Suara kaki kuda yang tadi dipacu kencang datang mendekat
tapi berubah perlahan. Lalu dari dalam kegelapan muncul kepala seekor kuda
hitam. Menyusul kelihatan penunggangnya. Ternyata di atas punggung binatang itu
bukan cuma satu orang, melainkan ada dua penunggang.
Orang
pertama adalah kakek mengenakan jubah kelabu penuh renda kuning. Di pinggangnya
melilit seutas tali kuning, dihias rumbai-rumbai pada kedua ujungnya. Kakek
yang mulutnya selalu komat kamit ini memutar kudanya beberapa kali mengelilingi
perapian. Sepasang mata berputar, memperhatikan tajam keadaan sekitarnya.
"Apinya
memang padam. Tapi aku masih merasa ada hawa panas. Berarti di tempat ini
sebelumnya ada orang. Lalu menghilang kemana?" Si kakek memandang
berkeliling. Semula dia hendak berhenti sekedar istirahat di tempat itu. Namun
niatnya dibatalkan. Rasa tidak enak menyamaki hatinya.
Di depan
sosok si kakek, di atas punggung kuda kelihatan orang kedua. Orang ini tidak duduk
seperti keadaannya kakek itu tetapi menggeletak menelungkup. Dan dia adalah
seorang perempuan. Sesekali tangan kiri si kakek kelihatan mengusap tubuh
perempuan itu sambil berkomat-kamit dan menyeringai.
Di atas
pohon besar, pemuda berpakaian biru memperhatikan sambil membatin. "Aku
tidak melihat wajahnya, tapi dari keadaan tubuhnya perempuan itu masih muda.
Menelungkup di atas kuda, mungkin pingsan atau ditotok. Melihat cara si kakek
mengelus tubuh perempuan itu agaknya ada yang tidak beres. Jangan-jangan…."
Setelah memperhatikan sekelilingnya sekali lagi, kakek berjubah kelabu
memutuskan meninggalkan tempat itu. Tali kekang disentakkan. Kuda tunggangan
menghambur ke depan, menembus kegelapan malam.
Di atas
pohon pemuda berpakaian biru usap-usap dagu sambil berpikir. "Belakangan
ini aku banyak menyirap kabar menggemparkan. Terutama beberapa kejadian di
Kotaraja. Orang tua tadi, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi melihat
kepada ciri-cirinya besar kemungkinan dialah tokoh silat Keraton, momok cabang
atas yang dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Wajahnya
kulihat biasa-biasa saja, mengapa sampai punya gelar aneh seperti itu? Dia
memboyong seorang perempuan muda. Mungkin perempuan culikan Aku sudah mendengar
lama, ada beberapa tokoh silat Istana punya sifat keji. Suka berbuat mesum. Ada
baiknya aku mengikuti kakek itu. Siapa tahu dia pernah bertemu atau melihat
saudara yang tengah aku cari."
Memikir
sampai di situ pemuda di atas pohon lalu berkelebat ke cabang sebelah bawah,
melayang turun ke tanah. Sesaat kemudian laksana terbang dia lari ke arah
lenyapnya kakek penunggang kuda hitam. Kl BALANGNIPA alias Hantu Muka Licin
Bukit Tidar mempunyai sebuah pondok di Prambangan. Pondok ini terletak tak jauh
dari tikungan Kali Oyo, di satu kawasan ditumbuhi pohon-pohon besar rapat serta
tertutup oleh semak belukar lebat. Ke pondok inilah si kakek membawa perempuan
boyongannya yang bukan lain adalah Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura
Kalimarta juru ukir Keraton yang mati dibunuh oleh seorang pemuda mengaku
bernama Bagus Srubud. Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Tiga Makam
Setan) Kinasih sendiri akhirnya jatuh hati pada pemuda itu dan selama beberapa
hari bersenang-senang di dalam sebuah goa.
Pondok di
tikungan Kali Oyo itu walau lama tidak dikunjungi dan tidak terpelihara namun
keadaannya cukup bersih. Hantu Muka Licin Bukit Tidar baringkan tubuh Kinasih
di atas sebuah ranjang kayu beralaskan tikar jerami. Sambil pandangi sosok
Kinasih, si kakek duduk di tepi ranjang, komat kami menyeringai.
"Wajah
ayu, tubuh bagus. Rejeki besar. Sayang masih pingsan. Membuat aku tidak sabar.
Aku harus melakukan sesuatu agar dia siuman…." Hantu Muka Licin usap tubuh
Kinasih mulai dari kening sampai ke kaki. Usapannya berhenti di kaki kiri
Kinasih. Tiba-tiba jari-jari tangannya memencet urat besar di atas tumit kiri
Kinasih. Begitu dipencet jalan darahnya, Kinasih menggeliat dan keluarkan suara
keluhan panjang. Matanya terbuka. Dia masih belum melihat sosok si kakek.
Pandangannya lurus ke atas ke arah atap pondok.
"Di
mana aku…" bisik Kinasih. Kepalanya diputar ke kanan. Satu pekikan keluar
dari mulutnya begitu melihat Hantu Muka Licin. Dia rasa-rasa pernah melihat
orang tua ini sebelumnya, tapi karena ingatannya belum pulih benar dia tidak
tahu kapan atau dimana. Kinasih bergerak bangkit, beringsut ke sudut ranjang.
"Orang
tua, siapa kau? Aku berada di mana?"
Hantu
Muka Licin menjawab pertanyaan Kinasih dengan tawa mengekeh. "Aku suamimu
sendiri, apa tidak mengenali? Saat ini kita berada di pondok milikku. Pondok
buruk memang, tapi kita berdua bisa menjadikan tempat ini satu sorga dunia! Ha…
ha…ha…!"
Kagetlah
Kinasih mendengar ucapan itu. Wajahnya serta merta menjadi pucat. "Orang
tua, beraninya kau mengaku suamiku. Kalau otakmu tidak miring pasti…."
Gelak
Hantu Muka Licin kembali meledak. "Kau tidak mengakui aku sebagai suamimu?
Ha… ha…! Apakah aku lebih buruk dari mendiang suamimu si Sura Kalimarta? Dia
hanya seorang juru ukir Keraton. Aku tokoh silat pejabat Istana! Dia tidak
memiliki kejantanan sebagai suami! Aku lebih jantan dari seekor kuda liar! Ha…
ha… ha! Kinasih…. Kau tidak mau menganggap aku sebagai suami tidak jadi apa.
Anggap saja aku kekasihmu! Ha… ha… ha!"
"Orang
tua gila!" Kinasih melompat turun dari ranjang kayu, berusaha lari ke arah
pintu. Tapi pinggangnya dengan cepat dirangkul Hantu Muka Licin. Tubuhnya
kemudian dilemparkan kembali ke atas ranjang.
"Dengar,
aku menyelamatkan kau dari tangan Momok Dempet Tunggul Gono. Kau pantas
berterima kasih dengan cara melayani aku sebagai suami, sebagai kekasih!"
Ucapan
Hantu Muka Licin memulihkan ingatan Kinasih.
Malam
tadi, dia bersama Wiro berada di depan makam suaminya di satu pekuburan di
pinggiran Kotaraja. Lalu muncul kakek berjubah kelabu ini bersama seorang
bertubuh tinggi seram dikenal dengan nama Tunggul Gono dan membawa sejumlah
pasukan. Mereka menuduh, Wirolah yang telah membunuh suaminya. Dia bingung
antara percaya dan tidak. Lalu terjadi pertempuran.
Wiro
menghancurkan tangan kiri Tunggul Gono. Wiro sendiri kemudian roboh di tangan
kakek berjubah kelabu ini. Lalu si kakek menyambar tubuhnya, menaikkannya ke
atas kuda. Di atas kuda Kinasih berusaha membebaskan diri tapi sia-sia belaka.
Malah karena kehabisan tenaga perempuan ini akhirnya jatuh pingsan.
Kinasih
serta merta sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Kakek satu ini punya maksud jahat
terkutuk atas dirinya. Kata-kata si kakek bahwa dia telah menyelamatkan dirinya
dari tangan Tunggul Gono hanya omong kosong belaka karena sebenarnya dia
sendiri sudah punya maksud keji.
"Orang
tua, jika kau benar-benar tokoh silat pejabat Istana, kau harus menolongku.
Membawa aku kembali ke Kotaraja…."
"Itu
soal mudah, bisa aku lakukan kemudian. Jangankan ke Kotaraja, ke bulan pun kau
akan kuantarkan. Ha… ha… ha!"
Tiba-tiba
Hantu Muka Licin melompat naik ke atas ranjang. Kinasih terpekik. Kaki kanannya
didorongkan ke dada Hantu Muka Licin. Dua tangan si kakek dapat memegang kaki
itu di bagian paha. Ketika dua tangannya direnggutkan ke bawah, kain panjang
yang dikenakan Kinasih robek besar, melorot turun.
Kinasih
kembali menjerit. Cepat tutup auratnya yang tersingkap. Sebaliknya Hantu Muka
Licin berkomatkamit, mengekeh panjang. Dua tangannya kembali bergerak. Kinasih
jatuh tertelentang di atas ranjang kayu.
Kinasih
berusaha melawan. Tapi Hantu Muka Licin kuat sekali. Apalagi saat itu setan
nafsu turut membantu memberi kekuatan padanya. Sebentar saja Kinasih sudah
terkapar di atas ranjang dalam keadaan tidak berdaya.
Hantu
Muka Licin tertawa panjang. Dengan cepat dia tanggalkan jubah kelabunya.
Di atas
atap pondok, pemuda baju biru berkumis kecil yang sejak tadi mendekam mengintip
apa yang terjadi, tanpa tunggu lebih lama segera saja hendak menjebol atap dan
melesat turun ke dalam pondok. Namun tidak terduga mendahului gerakannya
tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Tua
bangka keparat! Kalau mencari’ kesenangan jangan serakah sendiri saja!"
Bersamaan
dengan itu dinding pondok sebelah kanan jebol. Sesosok tubuh melesat masuk. Di
lain kejap ranjang kayu di atas mana Hantu Muka Licin siap-siap hendak menindih
tubuh Kinasih mencelat ke atas, hancur berantakan. Kinasih menjerit keras.
Hantu Muka Licin keluarkan kutuk serapah. Sementara Kinasih jatuh terkapar di
lantai, si kakek membuat gerakan jungkir balik. Sambil melesat ke sudut pondok
dia lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah sosok yang barusan masuk ke
dalam pondok dengan cara menjebol dinding! Tapi serangannya luput karena yang
dihantam ternyata mampu berkelit gesit. Lalu di dalam pondok terdengar suara
tawa mengekeh disertai menebarnya bau yang tidak sedap.
Di atas atap,
pemuda baju biru memperhatikan terheranheran. "Makhluk aneh, mata lebar
kuping terbalik! Dia ini mau menolong atau ikut minta bagian?!"
*********************
2
JAHANAM
kurang ajar!" membentak Hantu Muka Licin begitu mengenali siapa adanya orang
di dalam pondok. "Bukankah kau cecunguk mengaku berjuluk Setan Ngompol,
yang mengencingi sumur sumber air mandi Sri Baginda?! Dijebloskan dalam
penjara! Mengapa bisa lolos?!"
Orang
yang muncul di dalam pondok memang Si Setan Ngompol yang belum lama berselang
diselamatkan oleh Wiro dan gadis cantik dari alam roh bernama Suci alias Bunga.
"Bagus
kau masih mengenali siapa diriku. Sekarang ayo kau lepaskan perempuan itu!
Jangan sampai aku sewot mengencingi mukamu!"
"Benar-benar
kurang ajar berani mati! Baru jadi setan kecil sudah berani mencari perkara
dengan aku hantu besar!"
"Ha…
ha! Apamu yang besar? Anumu? Kejahatanmu? Atau nafsu terkutukmu?!"
"Tua
bangka tak tahu diri! Tampang dan badan tidak karuan! Kau muncul mau minta
bagian rupanya! Baik, ini bagian untukmu!" Selesai membentak Hantu Muka
Licin cepat loloskan tali kuning yang melilit di pinggang. Begitu tali diputar,
menggaung bunyi dahsyat disertai berkiblatnya cahaya kuning berbentuk
lingkaran, memapas laksana senjata tajam ke arah Setan Ngompol. Kinasih
menjerit, jatuhkan diri ke lantai. Setan Ngompol tercekat dan langsung kucurkan
air kencing.
"Braakk!"
Empat
dinding pondok hancur. Pondok itu sendiri seperti diangkat angin puting
beliung, melesat ke udara lalu hancur berantakan!
Tubuh
Kinasih ikut terlempar ke udara lalu melayang jatuh dengan kepala lebih dulu.
Perempuan ini menjerit keras. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menumbuk tanah tiba-tiba
satu bayangan biru berkelebat menyambar tubuhnya. Di lain saat Kinasih
merasakan dirinya seperti dibawa terbang lalu di satu tempat yang aman
perlahan-lahan diturunkan ke tanah di belakang pohon besar. Semula perempuan
muda ini hendak menjerit lagi, tetapi ketika melihat siapa yang menolongnya
hatinya menjadi lega malah diam-diam merasa senang.
"Kau…
kau siapa…?" Kinasih bertanya pada pemuda gagah berpakaian biru, berambut
licin dan memelihara kumis hitam rapi yang barusan menyelamatkannya.
"Namaku
Adimesa. Kau tak usah takut. Tetap berada di balik pohon ini…."
"Kau
mau kemana?" tanya Kinasih sambil memegang lengan si pemuda.
"Kakek
mata jereng berkuping terbalik yang menolongmu tadi. Ilmunya memang tinggi tapi
dia bakal menemui kesulitan menghadapi lawannya. Aku harus menolongnya."
"Buat
apa ditolong. Dia bisa saja sama bejatnya dengan jahanam berjubah kelabu
itu…."
"Akan
kita lihat nanti. Kau tunggu di sini," jawab Adimesa.
Hancurnya
pondok membuat perkelahian antara Hantu Muka Licin dan Setan Ngompol kini
berlangsung di tempat terbuka sementara langit di ufuk timur mulai kelihatan
terang pertanda fajar sebentar lagi akan menyingsing.
Saat itu
Hantu Muka Licin tengah melakukan serangan gencar. Cahaya kuning yang memancar
dan tali ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalan mengurung Setan
Ngompol. Yang diserang berkelebat gesit, sambil balas menghantam dengan
pukulan-pukulan sakti sementara kencingnya terus memancar tak berkeputusan,
muncrat kemana-mana bahkan ada yang menyiprat ke wajah Hantu Muka Licin,
membuat orang ini menjadi marah besar dan lancarkan serangan habis-habisan.
Walau
terdesak hebat namun Setan Ngompol tidak mau kalah. Dia bertahan mati-matian.
Seranganserangan balasannya datang tidak terduga dan cepat sekali. Bahkan
beberapa kali dia berhasil menyusup menembus lingkaran cahaya kuning lalu
menghantamkan jotosan ke dada dan perut lawan!
Hantu
Muka Licin kertakkan rahang. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera.
Tiba-tiba dia membentak garang. Lingkaran sinar kuning yang mengurung Setan
Ngompol menebar hawa dingin. Bersamaan dengan itu Setan Ngompol merasakan
dirinya tergulung, tersedot masuk ke dalam putaran cahaya kuning yang dengan
cepat menciut segera aneh!
Setan
Ngompol berseru keras. Dia berusaha loloskan diri dari sedotan cahaya kuning
dengan cara melesat ke atas. Dari atas lalu lancarkan dua serangan maut. Yang
pertama berupa tendangan dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi Pusara.
Serangan
ke dua berupa pukulan tangan kosong dalam jurus Setan Ngompol Mengencingi Bumi.
Angin dahsyat disertai semburan air kencing menebar bau pesing menderu ke arah
Hantu Muka Licin.
"
Keparat!" rutuk Hantu Muka Licin. Kakek ini lipat gandakan tenaga dalamnya
ketika melihat bagaimana lawan sanggup menembus lingkaran cahaya kuning. Tangan
kanan digerakkan secara aneh sedang mulut berteriak "Sedot!"
Saat itu
juga Setan Ngompol keluarkan seruan tertahan. Air kencingnya mengucur deras.
Dia rasakan tendangannya hampir menyentuh batok kepala la wan.Tapi entah
mengapa tiba-tiba seperti ada tembok gaib menahan kakinya. Lalu cepat sekali
tubuhnya seperti ditarik masuk ke dalam lingkaran, terseret ke bawah. Jika dia
tadi mampu keluar dari sedotan sinar kuning kali ini seolah tak punya daya
sosoknya menggapai-gapai kian kemari. Kalau dia sampai masuk ke dalam inti atau
pusaran lingkaran cahaya kuning, sekujur sosok kakek bermata jereng ini akan
remuk seperti dijepit batu besar!
"
Kau mau menghancurkan tubuhku! Aku tidak takut mati!" teriak Setan
Ngompol.
Pemuda
berpakaian biru yang menyaksikan kejadian itu geleng-geleng kepala. "
Kakek edan, apa betul dia tidak takut mati?!"
Masih
dalam keadaan melayang, tersedot ke bawah tiba-tiba Setan Ngompol selorotkan
celana bututnya di sebelah depan. Lalu serrrrrrr!
Hantu
Muka Licin berteriak marah melihat apa yang dilakukan lawan. Terlebih karena
pipi dan bahu kirinya sempat terkena guyuran air kencing Setan Ngompol. Setan
Ngompol tertawa tergelak, berusaha melayang turun sambil jauhkan diri dari
lawan.
Memaki
panjang pendek Hantu Muka Licin usap wajahnya dengan tangan kiri. Saat itu juga
wajah itu berubah licin. Hidung, mata dan mulut lenyap entah kemana! Suara tawa
Setan Ngompol mendadak sirap! Si kakek mata jereng terkesiap kaget melihat
perubahan pada wajah lawannya. Kesempatan seperti inilah yang ditunggu Hantu
Muka Licin Bukit Tidar. Dengan cepat dia kibaskan tali kuning di tangan kanan.
Saat itu juga enam puluh jarum putih menderu berkilauan dalam gelapnya udara,
menghambur ke arah enam puluh titik darah di muka dan tubuh Setan Ngompol.
Selama
ini tidak satu musuhpun sanggup menyelamatkan diri dari jarum maut bernama
Jarum Perontok Syaraf itu. Dalam waktu satu hari satu malam nyawanya tidak akan
ketolongan akibat racun jahat yang ada di jarum. Kalaupun korban bisa bertahan
hidup, atau mampu mencabut jarum-jarum itu, maka bekas tusukan pada kulit dan
daging akan membusuk. Dia akan menjadi cacat mengerikan dan menjijikkan seumur
hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mengalami hal ini. Untung saja dia masih
sempat diselamatkan oleh Bunga, gadis dari alam roh yang juga dikenal dengan
nama Suci. Bunga bukan saja mencabut puluhan jarum yang menancap di tubuh
pemuda yang dikasihinya itu, tapi sekaligus memusnahkan racun yang mendekam di
permukaan kulit dan daging tubuh Wiro hingga dia terhindar dari kebusukan.
Setan
Ngompol sadar kesalahan yang dibuatnya. Dalam keadaan seperti itu dia tidak
bisa berbuat suatu apapun. Mata terbelalak, mulut keluarkan seruan putus asa.
Dia masih coba mengangkat tangan untuk melepaskan pukulan tangan kosong
berkekuatan tenaga dalam penuh. Namun terlambat. Kecuali ada keajaiban, kakek
satu ini tidak akan tertolong.
Hanya
sesaat singkat puluhan jarum akan menancap di muka dan tubuh Setan Ngompol,
tiba-tiba berkelebat satu bayangan biru disertai suara srett… srett! Tujuh
warna aneh memancar di udara yang masih gelap. Membentuk tameng setengah
lingkaran.
"Sett…
s’ettt!"
Puluhan
jarum terbendung di udara, menancap di satu permukaan yang masih belum jelas
apa adanya.
Hantu
Muka Licin berseru kaget ketika dapatkan dirinya terdorong keras hingga
terjajar dua langkah ke belakang. Dadanya mendenyut sakit dan jalan darahnya
jadi tidak karuan. Dia coba bertahan, lututnya goyah. Kalau tidak cepat dia
mengimbangi diri niscaya jatuh terhenyak di tanah. Setelah mengerahkan segala
kekuatan dan kemampuan, masih untung dia hanya jatuh berlutut.
Malu dan
marah berkecamuk di dalam diri si kakek. Wajahnya yang tadi licin serta merta
kembali ke asalnya.
Dua
matanya membeliak besar ketika melihat bagaimana rumbai-rumbai pada dua ujung
tali yang jadi senjata andalannya saat itu telah gugus berputusan. Ketika dia
menggerakkan tali, kakek ini keluarkan seruan tertahan. Seperti terbakar dan
berubah jadi debu, tali kuning itu rontok jatuh ke tanah. Dengan mata menyorot
si kakek memandang ke depan. Hatinya menyumpah habis-habisan.
Di
hadapannya, hanya dua langkah di depan kakek berjuluk Setan Ngompol, tegak
seorang pemuda berpakaian biru. Rambutnya disisir rapi ke belakang, licin
berkilat karena memakai sejenis minyak. Di atas bibirnya menghias kumis kecil
rapi. Pembawaannya sangat tenang. Di tangan kirinya pemuda berwajah gagah ini
memegang sebuah benda yang ternyata adalah sehelai kipas tujuh lipatan.
Masing-masing lipatan berwarna berbeda, sesuai dengan warna pelangi. Melihat
kipas di tangan si pemuda berubahlah wajah Hantu Muka Licin.
*********************
3
PENDEKAR
Kipas Pelangi," ucap Hantu Muka Licin dengan suara perlahan tercekat.
"Kalau
tidak salah, bukankah saat ini aku berhadapan dengan seorang tokoh besar rimba
persilatan, bernama Ki Balangnipa, berjuluk Hantu Muka Licin Bukit Tidar."
Hantu
Muka Licin keluarkan suara bergumam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
"Kalau memang sudah tahu siapa diriku, mengapa berani mencampuri urusan orang?!"
Berucap Hantu Muka Licin.
Pendekar
Kipas Pelangi tersenyum lalu membuka mulut menjawab ucapan orang.
"Ki
Balangnipa, ketahuilah di dunia ini pada dasarnya tidak ada satu orangpun suka
mencampuri urusan orang lain. Tapi kalau yang namanya urusan menyangkut
kejahatan keji seperti perbuatan mesum yang hendak kau lakukan terhadap
perempuan muda itu, rasanya tidak ada satu orang pun di rimba persilatan yang
mau berpangku tangan begitu saja."
"Sombong
sekali bicaramu. Membuat aku muak! Jangan mengira dengan kepandaianmu kau telah
merasa jadi tokoh paling hebat dalam rimba persilatan."
Si pemuda
hanya tersenyum tenang mendengar katakata itu. Dia dekatkan kipas di tangan
kiri ke wajahnya. Dia pandangi sesaat enam puluh jarum putih yang menancap di
permukaan kipas itu. Lalu mulutnya meniup. Enam puluh jarum serta merta luruh
berjatuhan, amblas masuk ke dalam tanah. Sesaat tengkuk Hantu Muka Licin terasa
dingin menyaksikan kejadian itu. Tapi dia menjaga agar tidak terjadi perubahan
pada wajahnya. Setan Ngompol yang ikut menyaksikan tahu betul. Kalau pemuda
baju biru itu mau, puluhan jarum yang menancap dikipas bisa dihantamkannya
kembali pada si pemilik.
"Pendekar
Kipas Pelangi!" si kakek tiba-tiba membentak. "Kau boleh merasa punya
ilmu tinggi! Tapi jangan menyombongkan kepandaian di depanku! Jauh sebelum kau
dilahirkan ibumu ke dunia, aku sudah malang melintang di rimba
persilatan!"
Tiba-tiba
terdengar orang tertawa bergelak. Yang tertawa adalah kakek mata jereng Setan
Ngompol. "Bicara ngelantur boleh saja. Tapi mengapa membawa Ibu orang!
Menyebut-nyebut soal lahir segala! Mengapa tidak menyebut dukun beranaknya
sekalian?! Atau mungkin kau punya kepandaian seperti dukun beranak. Buktinya
tadi kau hendak menanggalkan pakaian perempuan cantik itu! Apakah dia mau
beranak? Aneh, hamil tidak, bunting juga tidak! Bagaimana bisa beranak? Ha… ha…
ha… ha!"
"Tua
bangka sinting!" maki Hantu Muka Licin pada Setan Ngompol. "Kalau
urusanku dengan pemuda ini selesai, aku akan carikan tempat paling baik untukmu
di neraka!"
"Walah!"
Setan Ngompol berseru dan melompat berdiri sambil kucurkan kencing. "Aku
baru tahu kalau kau ini mandor neraka rupanya! Ha… ha… ha!"
Tak dapat
menahan amarahnya Hantu Muka Licin melompat ke arah Setan Ngompol sambil
melepas satu pukulan tangan kosong. Namun dari samping ada deru angin menahan
gerakannya. Ternyata dengan menggerakkan kipas saktinya, tanpa membukanya,
Adimesa berhasil mementahkan serangan Iblis Muka Licin.
"Pemuda
setan!" kutuk Hantu Muka Licin. "Kau sudah bertindak terlalu jauh!
Namamu sejak dua tahun belakangan ini memang telah menggegerkan rimba
persilatan tanah Jawa. Sayangnya hal itu telah membuat dirimu menjadi sombong!
Padahal sifat sombong, memandang rendah orang lain hanya satu jengkal dari
liang kubur!"
Pendekar
Kipas Pelangi cuma tersenyum mendengar ucapan itu. Sikapnya tenang, sama sekali
tidak tampak rasa amarah. Masih tersenyum dia berkata. "Aku tidak
menyangka, juga tidak tahu bagaimana caranya kau menghitung jarak antara
kesombongan dengan liang kubur. Lagipula, siapa yang bersifat sombong
merendahkan?!"
"Sahabatku
muda, tuan penolong, aku tahu cara kakek muka pantat itu menghitung jarak
antara kesombongan dengan liang kubur!" Si Setan Ngompol membuka mulut.
Pendekar
Kipas Pelangi palingkan kepala ke arah Setan Ngompol. Sepasang alisnya naik ke
atas. Lalu tersenyum dan anggukkan kepala. "Orang tua, mohon aku
diberitahu rahasia bagaimana dia mengukur jarak antara kesombongan dengan liang
kubur."
"Mudah
saja," jawab kakek mata jereng. "Dia pasti mengukur dengan
mempergunakan tali kuningnya. Tapi sekarang talinya sudah jadi bubuk, berarti
dia tidak bisa menghitung lagi! Kalau dia mau, paling-paling dia bisa mengukur
mempergunakan anunya. Tapi melihat potongan badannya aku kira-kira anunya cuma
pendek, tidak sampai setengah jengkal!" Habis berkata si Setan Ngompol
tertawa mengekeh lalu terkencing-kencing.
Tampang
Hantu Muka Licin kelihatan merah mengelam. Sekujur tubuhnya bergetar.
"Benar,
aku kira kau benar Kek," menyahut Pendekar Kipas Pelangi menimpali canda
ejek Setan Ngompol. "Sekarang mohon kau memberitahu, mengapa tadi kau
menyebut kakek itu dengan sebutan kakek muka pantat."
"Gampang
saja jawabnya!" sahut Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Dia bisa merubah
wajahnya jadi licin, tak ada mata, tak punya hidung, tak punya mulut. Pantat
juga tidak punya mata, tidak punya mulut, tidak punya hidung! Jadi pantat dan
mukanya sama kan? Ha… ha… ha!"
Meledaklah
amarah Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
Sekali
bergerak saja dia sudah melompat ke hadapan Setan Ngompol. Gerakannya luar biasa
cepat.
Setan
Ngompol tak tinggal diam, cepat angkat dua tangannya, satu siap menangkis
satunya menggempur. Tapi saat itu Pendekar. Kipas Pelangi telah mendahului. Dia
berkelebat memotong gerakan Hantu Muka Licin sekaligus membuat Setan Ngompol
menahan gerakan dua tangannya.
Hantu
Muka Licin jadi mengkelap. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Tangan
kanan bergerak mengebut lengan jubah. Dari ujung lengan jubah itu menyambar
asap berwarna kelabu, menebar bau aneh. Dari bau itu Pendekar Kipas Pelangi
maklum kalau asap itu mengandung racun sangat berbahaya. Cepat dia tutup jalan
nafas dan bersamaan dengan itu tangan kirinya yang memegang kipas digerakkan.
"Srett!"
Kipas
mengembang. Tujuh warna pelangi menyambar. Asap kelabu beracun berbalik
menghantam ke arah wajah Hantu Muka Licin . Kakek ini berteriak kaget, berusaha
menghindar tapi sebagian asap beracun telah memasuki saluran pernafasannya.
Raungan dahsyat melesat dari mulut Hantu Muka Licin. Mukanya mendadak berubah
biru. Sosoknya lunglai, rubuh ke tanah.
"Celaka!
Nyawaku bisa-bisa amblas!" keluh Hantu Muka Licin dengan tengkuk dingin
muka keringatan. Susah payah dia memasukkan tangan kanan ke balik jubah, mengeluarkan
sebuah tabung kecil terbuat dari bambu. Penutup tabung dibukanya. Benda
berbentuk butir-butiran hitam yang ada di dalam tabung dituang ke dalam mulut,
ditelan dengan cepat. Sesaat dia terkapar di tanah, tak bergerak. Mata
membeliak menatap langit yang mulai terang. Tiba-tiba kakek ini bangkit
berdiri. Tubuh tertekuk. Mulut terbuka lebar-lebar, matanya mendelik. Lalu dari
mulutnya menyembur muntah keluar cairan biru kehitaman. Itulah racun asap yang
tadi sempat dihisapnya. Dia masih untung bertindak cepat menelan obat penangkal
hingga lolos dari kematian!
Berdiri
terhuyung-huyung Hantu Muka Licin menunjuk tepat-tepat ke arah Pendekar Kipas
Pelangi.
"Manusia
jahanam! Kau tunggu pembalasanku!" Masih terhuyung-huyung Hantu Muka Licin
putar tubuhnya lalu seperti orang mabok dia lari meninggalkan tempat itu.
Begitu
Hantu Muka Licin lenyap. Setan Ngompol segera mendekati Pendekar Kipas Pelangi
sementara Kinasih dengan agak ragu-ragu melangkah keluar dari balik pohon
besar.
"Pendekar
gagah, aku tua bangka bau pesing yang biasa dipanggil orang dengan sebutan
Setan Ngompol menghaturkan banyak terimakasih padamu. Jika tadi kau tidak
menolong, saat ini pasti diriku sudah jadi bangkai tak berguna, ditancapi
puluhan jarum celaka!"
Pendekar
Kipas Pelangi tersenyum. Sebelumnya dia tidak pernah mendengar nama kakek ini.
Tapi diamdiam maklum kalau manusia aneh satu ini bukan orang sembarangan.
Sesaat
mata Pendekar Kipas Pelangi seperti mengawasi si kakek, lalu melirik ke arah
Kinasih yang melangkah mendatangi, kembali lagi memandangi Setan Ngompol.
"Kek,
tadi waktu kau menjebol dinding dan menghambur masuk ke dalam pondok, aku
mendengar kau berucap seperti minta bagian ingin mendapatkan perempuan
itu."
"Anak
muda, pandangan matamu seolah mencurigai diriku," kata Setan Ngompol.
"Aku tidak menyalahkan dirimu. Apa yang aku ucapkan itu hanya senda gurau
saja. Aku memang suka bergurau, mulutku bisa bicara jahil seenaknya. Tapi kita
sama-sama lelaki…."
"Maksudmu
Kek?"
"Maksudku
lelaki itu tua atau muda sama saja. Sama-sama suka melihat wajah cantik dan
tubuh mulus! Apakah kemudian di dalam hatinya muncul maksud keji dan mesum, itu
persoalan lain…."
"Kau
sendiri apa termasuk yang persoalan lain itu?" tanya Pendekar Kipas
Pelangi sambil tersenyum.
Setan
Ngompol tertawa gelak-gelak. Lalu goleng-goleng kepala. "Pendekar gagah,
aku sekali lagi mengucapkan terima kasih. Aku tidak bakal melupakan budi
pertolonganmu. Aku mohon pamit…."
"Tunggu
dulu Kek," kata Pendekar Kipas Pelangi pula. "Ada beberapa pertanyaan
ingin kusampaikan padamu." Saat itu Kinasih sudah berada di dekat ke dua
orang itu. Dia memilih tegak di samping si pemuda dan memperhatikan Setan
Ngompol tak habis heran. Dalam hati dia membatin.
"Aneh,
bagaimana ada manusia seperti ini. Mata jereng, muka jelek, kuping terbalik,
pakaian lusuh compang camping, bau pesing kencing melulu!"
"Apa
yang hendak kau tanyakan, anak muda?"
"Pertama,
bagaimana kau bisa terpesat ke tempat ini?"
Setan
Ngompol tertawa lebar. "Jika aku bertanyakan hal yang sama padamu, mungkin
jawaban kita tidak berbeda. Aku berada di satu tempat tak jauh dari sini ketika
kakek mesum itu lewat memacu kuda membawa perempuan. Tadinya aku mengikuti
hanya karena ingin tahu saja. Ternyata keingintahuanku harus kubayar mahal.
Bahkan jiwaku hampir amblas!"
Setan
Ngompol tidak mau menceritakan perihal bahwa dia sebenarnya belum lama terpesat
dari Negeri Latanahsilam dan sejak berpisah dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
dia tengah mencari bocah aneh bernama Naga Kuning. Siapa saja yang diceritakan
tentang riwayat Negeri Latanahsilam pasti tidak akan mempercayai. Bisa-bisa
dia dianggap sinting. "Pertanyaanku ke dua," kata Pendekar Kipas
Pelangi pula. "Apakah kau pernah mendengar seorang pemuda bernama
Adisakal"
"Adisaka….
Adisaka…." Setan Ngompol garuk-garuk kepalanya. Hampir terlanjur
mengatakan bahwa selama Ini dia berada di satu tempat disebut Negeri
latanahsilam. Untung dia cepat menyadari lalu menggelengkan kepala. "Tidak
pernah aku mendengar orang dengan nama itu. Bagaimana ciri-ciri orang yang kau
cari Itu?"
Adimesa menarik
nafas dalam. "Itulah sulitnya, aku tidak tahu ciri-cirinya…."
"Aneh,
kau mencari orang. Tapi tidak tahu ciri-cirinya."
"Sebenarnya,
dia kakakku. Tapi kami berpisah belasan tahun lalu. Sejak kami masih kecil.
Bertahun-tahun aku berusaha mencarinya. Sampai sekarang tidak berhasil…."
"Ah,
kau agaknya punya kisah hidup yang hebat. Dengar anak muda, kau telah
menolongku. Aku berjanji akan balas menolongmu, mencari keterangan tentang
kakakmu itu."
"Terima
kasih Kek."
"Sebelum
pergi bolehkah aku mengetahui siapa namamu sebenarnya?" tanya Setan
Ngompol.
"Namaku
Adimesa."
Ketika
hendak melangkah pergi Setan Ngompol melirik pada Kinasih lalu berkata.
"Ternyata aku tidak punya maksud menjahilimu ‘kan? Ha… ha… ha!"
Kinasih
cuma diam tersenyum.
Sesaat
setelah si kakek pergi dan malam perlahan-lahan memasuki pagi, Kinasih berkata.
"Seperti kakek aneh tadi itu, aku juga ingin menyampaikan rasa terima
kasih. Kau…."
"Tak
usah ucapkan itu," kata Adimesa. "Lebih baik kau ceritakan siapa
dirimu, mengapa sampai dibawa lari ke pondok itu oleh Hantu Muka Licin."
Dengan
singkat Kinasih menuturkan malapetaka yang dialaminya. Mulai dari saat dia
diculik oleh lelaki bernama Bagus Srubud sampai kemudian ditolong oleh Pendekar
212 Wiro Sableng.
Adimesa
terkejut mendengar Kinasih menyebut nama itu. "Jadi kau ditolong oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng? Dimana-pendekar itu sekarang?"
"Dia
ditangkap oleh orang-orang berkepandaian tinggi dari Keraton," jawab
Kinasih. Lalu perempuan ini bertanya. "Kau pernah tahu orang bernama Bagus
Srubud yang tadi aku ceritakan? Mungkin tahu dimana aku harus mencarinya?"
Adimesa
menggeleng. "Orang seperti itu terlalu berbahaya kalau kau cari. Lupakan
dia. Walau orangnya nyata tapi nama itu kurasa tak pernah ada. Kejahatan yang
dilakukannya atas dirimu pasti akan mendapat hukuman dari Yang Maha Kuasa.
Sekarang yang penting kau harus segera kembali ke Kotaraja."
Di tempat
itu mereka menemukan kuda hitam bekas tunggangan Hantu Muka Licin yang
ditinggal begitu saja. Sebenarnya Kinasih ingin sekali diantar pulang ke
Kotaraja oleh Pendekar Kipas Pelangi. Tetapi sang pemuda tidak menawarkan.
Kinasih sendiri merasa sungkan untuk meminta. Padahal diam-diam sebenarnya
hatinya tertarik pada pemuda bertubuh tegap berwajah gagah ini. Dia merasa
menyesal telah menceritakan riwayat dirinya. Kini Adimesa tentu menganggapnya
sebagai seorang perempuan rendah.
"Kalau
saja tadi aku tidak terlanjur bicara berterus terang padanya, mungkin dia akan
suka mengantar aku ke Kotaraja," kata Kinasih dalam hati.
Sebelum berpisah
Adimesa bertanya pada Kinasih. "Menurutmu apakah tuduhan orang-orang
Keraton bahwa Pendekar 212 yang membunuh suamimu, bisa dipercaya?"
"Sulit
aku menjawab. Sampai saat ini aku masih bingung menyangkut hal yang satu
itu…."
Adimesa
menepuk pinggul kuda tunggangan Kinasih. Binatang itu segera melangkah pergi
membawa penunggangnya menuju Kotaraja. Namun naasnya perempuan muda ini tidak
pernah sampai di Kotaraja dalam keadaan hidup.
Siang di
hari yang sama Kotaraja kembali dilanda kegemparan. Kinasih pertama kali
ditemukan para pengawal di pintu gerbang timur, tertelungkup melintang di atas
punggung kuda. Dua mata membeliak, wajah menunjukkan bayangan rasa takut amat
sangat. Di keningnya ada guratan angka 212. Jari-jari tangan kanannya
tergenggam kencang. Tubuhnya masih hangat, pertanda belum lama menemui ajal.
*********************
4
HUJAN
lebat turun sejak malam menjelang pagi. Pedataran rendah di hilir Kali Lanang
mulai digenangi air. Kalau hujan tak segera berhenti, hamparan sawah subur yang
padinya siap dituai akan dilanda banjir, para petani akan menderita kerugian
datar. Rupanya alam tidak mau menyengsarakan ummat, apalagi yang namanya rakyat
kecil. Sebelum fajar menyingsing hujan mulai berhenti. Banjir yang ditakutkan
tidak terjadi.
Di satu
tempat ketinggian di hulu Kali Lanang, hawa dingin dan kabut tipis menutupi
pemandangan. Samarsamar di bawah bayangan gelap pohon beringin besar hanya
tiga tombak dari pinggiran kali, satu sosok berjubah hitam duduk tak bergerak
di atas sebuah batu besar Sosok ini ternyata adalah seorang perempuan tua renta
bermuka seram seperti setan.
Saat itu
sebenarnya udara dingin bukan kepalang. Jangankan seorang nenek, orang mudapun
pasti akan menggigil kedinginan. Tetapi disinilah letak keanehan. Walau udara
mencucuk dingin luar biasa, tanah kali sekitar pohon beringin besar
mengeluarkan hawa panas. Hawa panas yang bersentuhan dengan udara dingin
menimbulkan uap hangat. Uap hangat ini bukan saja menyelimuti udara di
pinggiran kali itu, tetapi juga membungkus batu besar, terus menyelimuti tubuh
si nenek yang duduk di atasnya, hingga sosok orang tua berwajah seram itu
kelihatan seperti mengepulkan asap putih, mulai dari kepala sampai ke kaki
sementara sepasang matanya terpejam rapat.
Bersamaan
dengan terangnya langit di sebelah timur tanda fajar telah menyingsing, dari
mulut si nenek keluar suara meracau aneh. Mula-mula perlahan saja, kemudian
berubah keras. Sekujur tubuhnya bergetar. Uap putih mengepul semakin banyak.
Secara aneh sosok si nenek yang tadi duduk di atas batu perlahan-lahan bergerak
ke atas lalu berhenti mengapung satu jengkal di atas batu. Jelas sudah si nenek
tengah mengerahkan kesaktian dalam semedinya. Jika dia tidak memiliki tenaga
dalam luar biasa, tidak mungkin tubuhnya mengapung seperti itu.
Di atas
kepala, rambutnya yang kelabu awut-awutan naik tegak lurus ke atas, seolah
berubah menjadi ijuk kaku. Sesaat kemudian jubah hitam yang membungkus tubuh
nenek ini bergerak membuka, seolah ada tangan gaib yang menanggalkan. Pundak
kiri kanan si nenek tersingkap. Aneh, pundak itu kelihatan putih dan bagus.
Jubah merosot lagi ke bawah, menyembulkan dada. Untuk seorang nenek berusia
hampir delapan puluh tahun seperti dia, dada itu seharusnya hanya tinggal
daging tipis pembalut tulang. Tapi luar biasanya, nenek satu ini masih memiliki
dada bagus dan putih. Jubah hitam merosot lagi, menyingkapkan perut, tertahan
sebentar di pangkuannya lalu jatuh ke atas batu. Sosok tubuh si nenek kini
hanya terlindung kepulan uap putih. Suara gumam racau yang keluar dari mulutnya
terdengar semakin keras. Sementara dua mata masih tetap terpejam.
Menyusul
terjadi satu keanehan lagi. Dua tangan si nenek tampak bergetar hebat. Getaran
itu menjalar sampai ke ujung-ujung jarinya yang berkuku putih panjang. Lalu di
sebelah pundak kiri kanan ada cahaya aneh berwarna merah. Cahaya ini bergerak
ke bawah sepanjang dua lengan, memasuki dua telapak tangan terus ke arah
sepuluh jari. Perlahan-lahan sepuluh kuku berwarna putih berubah menjadi merah.
Makin merah, makin merah seolah sepuluh kuku itu telah menjadi bara menyala.
Tubuh si
nenek bergetar keras, basah oleh keringat. Racau dari mulutnya semakin keras
pertanda apapun yang tengah dilakukan perempuan tua ini akan segera mancapai
puncaknya.
Dalam
keadaan seperti itu mendadak di udara pagi terdangar suara berdesing. Satu
benda hitam melesat seperti jatuh dari langit, melayang turun dan blukkk! Jatuh
tepat di pangkuan si nenek.
Suara
racau si nenek lenyap, berganti dengan jeritan keras. Tubuhnya terhenyak jatuh
ke batu besar, lalu terguling ke bawah dan terjengkang di tanah. Si nenek
menjerit lagi ketika dia mengangkat dua tangan, dia melihat warna merah bara
api di sepuluh kukunya telah lenyap! Di pangkuannya saat itu, seolah lengket,
melingkar sosok seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun, berpakaian
hitam berambut jabrik. Anak ini sendiri keluarkan seruan tertahan, kaget karena
tidak menyangka akan jatuh begitu rupa di atas pangkuan seseorang. Padahal
sebelumnya, dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan dia sudah pasrah bahwa
tubuhnya akan hancur remuk jatuh menghantam tanah atau batu.
Si nenek
memekik panjang. "Habis! Hancur! Gagal sudah!" Sepasang matanya
mendelik besar memandangi anak lelaki di depannya. "Bocah jahanam! Kau
yang jadi gara-gara! Kubunuh kau!"
Tangan si
nenek menjambak rambut jabrik si bocah lalu anak itu dibantingkannya ke tanah.
Si bocah menjerit kesakitan.
"Remuk…
walah…. Remuk tubuhku…" si bocah mengeluh, menggeliat di tanah lalu
berusaha bangkit.
"Bocah
setan! Bukan cuma tubuhmu! Nyawamu juga akan kubikin remuk!" Si nenek
membentak, marah luar biasa. Sekali dia melompat kaki kanannya menghantam ke
arah kepala si bocah.
"Nek,
tunggu!" si bocah berteriak sambil tutupkan dua tangannya di atas kepala
tapi matanya memperhatikan nakal. "Kalau memang mau membunuhku, jangan
telanjang begitu rupa. Nanti setan akhirat jadi bingung mau mengirimku ke mana.
Ke sorga atau ke neraka!"
Si nenek
hendak menghardik marah tapi sadar kalau saat itu dia memang tidak mengenakan
apapun.
"Hah?!"
Si nenek
batalkan tendangannya. Dua tangan sibuk repot berusaha menutupi aurat yang
telanjang. Dia ingat pada jubah hitamnya. Pakaian itu tergeletak di atas batu.
Disambarnya lalu cepat dikenakan. Ketika dia selesai berpakaian dilihatnya
bocah berpakaian hitam tadi tidak ada lagi di tempatnya semula.
"Kurang
ajar! Lari kemana bocah setan itu! Sampai dimana, sampai kapanpun akan kucari!
Akan kupecahkan batok kepalanya!"
Saking
marahnya si nenek gerakkan kaki kanan.
"Braakkk!"
Batu
hitam di pinggir kali yang tadi jadi tempat duduknya hancur berkeping-keping.
Di atas pohon beringin anak berusia dua belas tahun yang mendekam di balik
kerimbunan dedaunan delikkan mata, mulut ternganga.
"Makhluk
aneh. Tampang berbentuk nenek muka setan. Tapi mengapa memiliki tubuh begitu
bagus dan mulus? Tapi gila! Batu saja hancur oleh tendangannya. Apalagi
kepalaku! Siapa gerangan adanya nenek ini? Sebelum celaka di tangannya lebih
baik aku cepat-cepat menyingkir dari sini."
Baru saja
anak itu berucap dalam hati, seolah tahu kalau orang yang dicarinya sembunyi di
atas pohon, si Nenek tiba-tiba dongakkan kepala lalu pukulkan tangan kanannya.
Dari tangan dan ujung jubah hitam menderu lalu gelombang angin luar biasa
derasnya. Saat itu juga seluruh daun pohon di balik mana anak berpakaian hitam
sembunyi rontok luruh ke tanah. Si anak jadi terlihat jelas, tegak sempoyongan
di salah satu cabang, muka pucat pasi. Tubuhnya terasa kaku. Sambaran angin
yang tadi dihantamkan nenek muka setan di bawah sana mempengaruhi jalan
darahnya.
Sadar
kalau orang sudah melihatnya serta sulit bergerak cepat untuk melarikan diri,
anak ini nekad melompat ke bawah. Dua kali jungkir balik tak karuan akhirnya
dia mampu juga menjejak tanah, tegak terbungkuk-bungkuk di depan si nenek
sambil pegangi kepala, takut akan kena gebuk atau ditendang lagi.
"Nek,
kalau kau memang mau membunuhku, aku tidak punya daya untuk selamatkan diri.
Tapi aku mau tahu dulu apa dosa kesalahanku hingga kau mau menghabisi
nyawaku."
"Bocah
setan! Dosa kesalahanmu setinggi langit sedalam laut!" bentak si nenek.
"Walah,
begitu amat Nek? Harap kau mau memberitahu yang salah apaku, yang dosa
apaku?"
"Jahanam!
Empat puluh hari empat puluh malam aku melakukan samadi! Tidak perduli hujan,
tidak perduli panas. Makan tidak minum juga tidak! Hampir rampung ilmu yang aku
dalami tahu-tahu kau merusak semuanya! Jahanam betul!"
Si nenek
menggembor keras lalu menyergap. Tangannya kembali menjambak rambut jabrik si
bocah. Ketika dia hendak membantingkan anak itu tak sengaja sepasang matanya
bentrokan dengan dua bola mata si bocah. Ada sekilas cahaya aneh di mata anak
itu membuat darah si nenek tersirap. Lalu dibalik wajah si bocah, dia seperti
melihat satu wajah lain yang menyebabkan dadanya berdebar keras.
"Kurang
ajar, ada apa dengan anak ini. Matanya menyorotkan ketakutan. Tapi dibalik
bayang ketakutan Itu aku melihat satu bayangan lain. Hatiku… mengapa hatiku
tiba-tiba bergetar?"
"Bocah
setan! Siapa kau adanya! Mengapa berani mengusik semediku, menjatuhkan diri ke
pangkuanku!
Siapa
yang menyuruhmu? Siapa yang mengirimmu ke Banyuanget ini?! Pasti kakek keparat
itu!"
"Maaf
Nek, jangan kau salah mengira. Tidak ada yang mengirimku ke sini! Aku tidak ada
niat mengusik semedimu, apa lagi sengaja menjatuhkan diri kepangkuanmu…."
"Jangan
dusta! Kau memang punya niat jahat dan niat cabul!" Si nenek perkencang
jambakannya lalu mengangkat tubuh si anak tinggi-tinggi, siap untuk
dibantingkan.
"Nek…
aku… aku tidak tahu apa maksudmu…." "Jangan dusta! Kau sengaja muncul
untuk mengusik semediku hingga aku gagal mendapatkan ilmu itu! Lalu kau juga
sengaja menunggu sampai seluruh pakaian di tubuhku tanggal. Baru dijatuhkan
diri di pangkuanku!"
"Nak,
semua terjadi serba tidak sengaja. Aku…."
Tangan si
nenek bergerak, siap membantingkan anak yang dljambaknya. Tapi si anak cepat
berseru. "Tahan, tunggu dulu Nek! Beri kesempatan untuk
menerangkan.."
"Nyawamu
hanya tinggal beberapa kejapan mata! Apa yang hendak kau katakan?!"
"Kalau
aku ceritakan bagaimana asal usulnya aku sampai melesat dari langit, melayang
jatuh ke pangkuanmu, pasti kau tidak percaya. Sumpah Nek, aku tidak sengaja
jatuh ke pangkuanmu! Juga sumpah aku tidak punya niat cabul terhadapmu!"
"Siapa
percaya mulut dan segala sumpahmu! Siapa namamu? Siapa menyuruhmu menggagalkan
semediku?!" bentak si nenek.
"Namaku
Naga Kuning, Nek. Tidak ada yang menyuruhku. Aku memang terlempar dari langit.
Nasib apes jatuh di pangkuanmu pada saat kau dalam keadaan bugil. Nek, dengar
Nek. Terus terang aku kagum padamu. Mukamu lebih jelek dari setan, tapi keadaan
tubuhmu tidak kalah bagusnya dengan tubuh janda kembang…."
"Jahanam
kurang ajar! Sekarang mampuslah!"
"Nek,
aku mohon…."
"Mohonlah
pada setan!"
Tangan si
nenek sudah siap membanting. Tiba-tiba terjadi keanehan. Rambut si bocah
mendadak berubah sangat licin seperti dilumuri minyak. Ketika si nenek hendak
memperkencang jambakannya, cekatannya malah lolos. Si bocah jatuhkan diri ke
tanah.
"Ternyata
kau punya ilmu kepandaian! Bagus! Coba rasakan dulu tendanganku ini!"
Kaki
kanan si nenek menderu tapi. Namun tendangannya luput. Anak yang jadi sasaran
membuat gerakan lebih cepat, membuang diri ke kiri lalu bergulingan di tanah ke
arah pohon beringin. Si nenek mengejar. Tapi anak itu menghilang seperti
ditelan bumi.
"Kemana
lenyapnya bocah kurang ajar itu?!" Si nenek memandang berkeliling,
memperhatikan ke atas pohon beringin. Tapi Naga Kuning kali ini benar-benar
lenyap. Si nenek usap wajah setannya, menarik nafas panjang berulang kali, lalu
melangkah ke pinggir kali dan duduk merenung.
"Bocah
kurang ajar bernama Naga Kuning itu. Mungkinkah dia…? Mustahil. Puluhan tahun
telah berlalu. Aku tidak pernah mendengar riwayatnya lagi. Aku tak pernah
mengharapkan dirinya lagi. Sakit hati, kekecewaan besar. Semua itu yang aku
dapat darinya sebagai balas kebaikan hatiku padanya. Kalaupun yang tadi itu
memang dia mengapa ujudnya seperti itu? Kalau dia masih hidup, usianya sudah di
atas seratus tahun. Tidak mungkin. Namun, sejak dua purnama belakangan ini
mengapa aku selalu terkenang pada dirinya?"
Si nenek
memandangi arus Kali Lanang yang deras akibat curahan hujan lebat malam
menjelang pagi tadi. Dia kembali mengingat-ingat. "Sewaktu rambutnya
kujambak, rambut itu tiba-tiba menjadi licin. Anak itu memiliki ilmu meloloskan
diri dengan menjadikan rambutnya licin. Memang di tanah Jawa ini banyak Ilmu
aneh yang membuat orang bisa jadi licin. Ilmu Belut Putih, Ilmu Pelicin Raga
dan sebagainya. Tapi sepanjang pengetahuanku hanya ada satu ilmu sejenis itu
yang hebat luar biasa. Ilmu itu disebut Ilmu Ikan Paus Putih. Dan dimiliki oleh
kakek sakti setengah manusia setengah roh yang adalah ayah angkatku sendiri.
Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah anak itu ada sangkut pautnya dengan Kiai?
Setahuku Kiai tidak pernah mengangkat murid. Tapi selama puluhan tahun aku
berpisah dengan ayah angkatku itu, mungkin saja terjadi hal-hal yang aku tidak
ketahui. Hai! Tololnya aku! Anak itu paling banyak berusia dua belas tahun.
Mana mungkin dia sudah ada puluhan tahun silam? Mana mungkin dia bisa menguasai
ilmu kesaktian tinggi dalam usia seperti dia?" Si nenek muka setan
menghela nafas panjang berulang kali. Dia hendak bergerak bangkit. Mendadak dia
mendengar suara orang berlari. Suara itu demikian halusnya seolah yang berlari
tidak menginjak tanah. Si nenek menoleh. Satu bayangan berkelebat di
belakangnya. Tahu-tahu seorang pemuda berpakaian biru, berkumis rapi berwajah
tampan muncul, tegak berdiri beberapa langkah di hadapannya.
"Nek,"
pemuda itu menyapa sambil membungkukkan badan memberi hormat. "Maafkan
kalau aku mengganggu ketenteramanmu, aku kebetulan lewat, melihatmu ada di
sini, ingin menanyakan sesuatu…."
"Anak
muda aku sedang tidak enak hati. Salah-salah lehermu bisa kupatahkan! Lekas minggat
dari hadapanku!"
Pemuda
berbaju biru yang bukan lain adalah Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi
pandangi si nenek dengan wajah tenang lalu tersenyum. "Tampaknya nenek
berwajah seram ini bukan manusia sembarangan. Tandatanda di sekitar sini
menunjukkan agaknya sebelumnya terjadi satu perkelahian di tempat ini. Ada
hancuran batu, ada pohon beringin yang gundul sebagian daunnya. Dari pada
mencari urusan tak karuan memang lebih baik aku menyingkir dari tempat
ini."
"Nek,
terima kasih kau telah memberi ingat. Silahkan meneruskan bersunyi diri. Sekali
lagi maaf kalau aku telah mengganggu" Pendekar Kipas Pelangi membungkuk
lalu tinggalkan tempat itu.
Si nenek
sesaat seperti tak acuh. Kemudian dia menoleh memperhatikan. "Anak muda
itu bersikap tenang, bersifat polos. Tapi dia datang dengan berlari. Cepat tapi
tanpa suara. Tahu-tahu muncul di hadapanku. Pasti dia membekal ilmu tidak
rendah. Ada baiknya kalau aku ketahui apa yang hendak ditanyakannya."
"Anak
muda! Tunggu!" si nenek berseru.
Pendekar
Kipas Pelangi hentikan langkah tapi hanya diam berdiri, tidak mau mendekati si
nenek. Sebaliknya si nenek kini yang bangkit berdiri dan menyampari pemuda itu.
"Apa
yang hendak kau tanyakan padaku?"
Si pemuda
memandang wajah setan si nenek, lalu tersenyum. "Terima kasih, kau mau
memberi kesempatan," katanya. "Tidak jauh dari sini, sebelumnya aku
melihat ada sebuah benda melayang di udara. Aku berusaha mengikuti. Benda itu
melesat ke arah sekitar sini lalu lenyap. Aku berusaha mencarinya tapi tidak
berhasil. Mungkin kau melihat sesuatu Nek?"
Si nenek
diam sebentar. Dalam hati dia membatin. "Jangan-jangan bocah kurang ajar
tadi yang dicari pemuda ini. Bukan mustahil dia sahabat anak bernama Naga
Kuning itu."
"Benda
yang melayang di udara itu, apakah manusia, batu, kayu, binatang atau
apa?!" si nenek ajukan pertanyaan.
Pendekar
Kipas Pelangi tersenyum. "Benda itu melesat cepat sekali. Seperti jatuh
dari langit. Aku sulit menduga. Namun besar kemungkinan benda itu adalah sosok
manusia…."
"Kau
pasti gila! Mana ada manusia bisa jatuh melayang dari langit lalu lenyap. Dan
kau muncul di sini bertanya padaku! Benar-benar edan!"
"Nek,
belakangan ini memang banyak hal gila dan edan terjadi dalam rimba persilatan.
Bahkan kegilaan dan keedanan itu merambat sampai ke Kotaraja. Kalau kita tidak
menyiasati dan berjaga-jaga, kita bisa ikutikutan gila dan edan."
"Kau
salah satu diantaranya yang sudah jadi gila dan edan!" tukas si nenek.
"Heh, apa seorang bocah bernama Naga Kuning ada sangkut pautnya dengan
dirimu? Mungkin dia orang yang tengah kau cari?"
"Naga
Kuning?" Pendekar Kipas Pelangi gelengkan kepala. "Tak pernah aku
mengenal bocah dengan nama itu."
"Kalau
begitu jangan berdiri lebih lama di depanku! Pergilah sebelum aku merasa
terusik…."
"Nenek
aneh," kata Pendekar Kipas Pelangi dalam hati. Namun dengan tersenyum dia
bungkukkan diri lalu melangkah pergi.
Tak lama
setelah Pendekar Kipas Pelangi pergi, si nenek ingat sesuatu. Dia mengejar ke
arah lenyapnya pemuda itu. Tapi yang dikejar tak kelihatan lagi.
"Tololnya
aku. Seharusnya aku tanya siapa adanya pemuda itu. Siapa namanya!" Si
nenek geleng-gelengkan kepala. Sekali berkelebat dia lenyap dari tempat itu.
Belum
jauh berlari Pendekar Kipas Pelangi juga ingat sesuatu. Dia segera memutar
larinya, kembali ke tepi kali. Namun di tempat itu orang yang dicarinya tak
kelihatan lagi. Si pemuda usap-usap dagunya. "Seharusnya tadi aku tanyakan
siapa adanya nenek itu. Mungkin dia tahu perihal Adisaka, kakakku. Tapi yah….
Sudahlah."
*********************
5
MATAHARI
hampir tenggelam ketika Naga Kuning sampai di tepi selatan Telaga Gajahmungkur.
Anak ini menatap dengan mata sayu. Dia teringat pada peristiwa beberapa waktu
lalu ketika kehancuran melanda segala sesuatu yang ada di dasar telaga.
Perlahan-lahan
Naga Kuning mendudukkan diri di tepian telaga. Mula-mula dia merasa ragu, tapi
apa boleh buat. Dia menginginkan keterangan yang sangat dibutuhkannya itu.
Satu-satunya yang bisa memberikan penjelasan adalah penguasa Telaga
Gajahmungkur yang merupakan makhluk alam gaib dikenal dengan nama Kiai Gede
Tapa Pamungkas. (Baca serial Wiro Sableng yang berjudul "Wasiat
Iblis" dst. terdiri dari 11 episode)
"Peristiwanya
sudah lama sekali. Aku tidak bisa memastikan, sejak isi telaga porak poranda,
apakah Kiai masih suka datang ke tempat ini?"
Naga
Kuning rangkapkan dua tangan di depan dada. Setelah memperhatikan sekitar
telaga, anak ini pejamkan ke dua matanya, pendengaran terhadap alam luar
ditutup. Sosoknya tidak bergerak. Dia telah berubah seolah patung. Menjelang
tengah malam hujan gerimis turun. Udara menebar bau aneh, seperti bau kemenyan
dibakar. Kepala Naga Kuning bergoyang, sekali ke kiri, sekali ke kanan. Bau
kemenyan menyirap masuk ke jalan pernafasan, mendekam di dada.
Sesaat
kemudian mulut anak itu tampak bergerak. Lalu terdengar suaranya berucap
perlahan. "Kiai Gede Tapa Pamungkas, saya mohon, datanglah menampakkan
diri. Ada satu masalah besar yang ingin saya tanyakan padamu. Saya tahu kau
berada jauh di telaga tiga warna puncak Gunung Gede. Tapi dengan ilmu
kesaktianmu, dengan redho Gusti Allah, tidak sulit bagimu untuk bisa muncul di
telaga Gajahmungkur ini. Jika engkau mendengar permintaan saya ini Kiai, saya
mohon kau mau mengabulkan…."
Sunyi,
sesekali terdengar gemerisik dedaunan tertiup angin. Sesekali terdengar riak
air telaga disapu hembusan angin.
"Kiai,
jika engkau mendengar harap kau mau mengabulkan permintaan saya…."
Kembali Naga Kuning berucap.
Masih
sunyi. Namun laksana sebilah pedang raksasa tiba-tiba dari atas langit yang
mulai gelap, menyabung kilat disertai gelegar yang menggoncang tanah. Sesaat
cahaya terang menyilaukan menghantam permukaan telaga, tembus sampai ke dasar.
Air telaga mencuat ke atas belasan tombak, berubah menjadi panas. Ketika air
telaga panas ini jatuh kembali ke permukaan telaga yang dingin, terdengar suara
mendesis panjang menggidikkan.
Di tepi
telaga Naga Kuning kelihatan terhuyung-huyung. Mulutnya komat kamit. Kalau dia
tidak mengerahkan segala kekuatan luar dan dalam, niscaya sejak tadi-tadi
tubuhnya sudah terbanting ke tanah.
Naga
Kuning merasakan ada angin aneh menyapu wajah dan permukaan kulit tubuhnya,
membuat anak ini merinding. Dengan hati berdebar dia buka dua matanya yang
sejak tadi dipejamkan. Mula-mula dia tidak melihat apa-apa. Kemudian ada
hamparan kabut putih di tengah telaga. Kabut ini perlahan-lahan bergerak ke
tepi telaga, di arah mana Naga Kuning duduk bersila. Semakin dekat ke tepi
telaga semakin jelas bahwa kabut itu membentuk sosok seorang tua, tegak
mengawang di atas permukaan air telaga.
Naga
Kuning membuka matanya lebih besar. Tak berkedip dia memandang pada makhluk di
atas telaga.
Makhluk
ini berupa seorang tua berselempang kain putih. Wajahnya tertutup oleh rambut
panjang, kumis dan janggut warna putih.
"Kiai
Gede Tapa Pamungkas, saya sangat bersyukur dan berterima kasih Kiai mau
datang," ucap Naga Kuning lalu masih dalam keadaan bersila dia membungkuk
dalamdalam.
"Anak
manusia bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang, yang aku
kenal dengan gelar julukan Kiai Paus Samudera Biru, yang sehari-hari dipanggil
dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik, alias Naga Kecil. Mungkin kau lupa
bahwa aku sebenarnya tidak pernah ingin bertemu lagi denganmu?"
"Kiai.
maafkan saya. Saya tidak lupa. Sejak rangkaian peristiwa tempo hari, sampai
Telaga Gajahmungkur dilanda musibah besar, saya tahu, tidak pantas lagi bagi
Kiai untuk menemui saya. Namun, sekali lagi dengan seribu maaf, saya mohon, ada
satu hal yang perlu saya tanyakan pada Kiai…."
"Naga
Kuning, aku sudah muak dengan segala urusan. Permintaanmu hanya mengusik
ketenanganku di alam roh…."Naga Kuning terdiam. Lalu dengan suara perlahan
sedih anak ini berkata. "Kalau Kiai memang tidak lagi mau mencampuri
urusan dunia, kalau memang saya telah mengusik ketenangan Kiai di alam roh, saya
mohon maaf. Apa yang hendak saya tanyakan pada Kiai biarlah tetap menjadi
ganjalan dalam diri saya seumur-umur…."
Sosok
orang tua berselempang kain putih itu kini ganti terdiam. Dua matanya yang
bening tapi tajam menatap wajah Naga Kuning beberapa ketika lalu muncul
sekelumit senyum, membuat Naga Kuning merasa lega.
"Naga
Kuning, sebelum kita meneruskan bicara, harap perlihatkan dulu dirimu yang
sebenarnya. Dunia masa kini penuh dengan berbagai ilmu aneh. Di dalam keanehan
itu banyak sekali manusia yang memanfaatkan ilmu untuk menipu. Kau yang duduk
bersila di hadapanku, bisa saja bukan Naga Kuning sebenarnya. Jadi harap kau
perlihatkan dulu padaku ujudmu yang sebenarnya…."
Naga
Kuning membungkuk dalam, lalu perlahan lahan bangkit berdiri. Dua telapak
tangan disatukan, diletakkan di atas dada, di arah jantung seperti lazimnya
orang melakukan sholat. Suasana sunyi menyelimuti kawasan telaga.
Perlahan-lahan sosok anak bernama Naga Kuning itu terlihat samar-samar seolah
terbungkus kabut. Begitu kabut lenyap yang tegak di tepi telaga itu kini bukan
lagi sosok seorang anak lelaki berpakaian hitam, melainkan sosok seorang tua
berambut, berjanggut dan berkumis kelabu. Sepasang alis matanya putih panjang
menjulai ke bawah. Pakaiannya sehelai kain hitam, melilit di bagian pinggang ke
bawah,menyelempang di atas perut dan dada.
"Kiai
Paus Samudera Biru," berucap Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Aku sudah
melihat ujudmu sebenarnya. Kini tidak ada kebimbangan dalam diriku siapa kau
adanya."
Orang tua
berselempang kain hitam membungkuk. Begitu tubuhnya diluruskan, ujudnya berubah
ke bentuk seorang bocah bernama Naga Kuning. Anak ini kemudian kembali duduk
bersila di tanah di tepi telaga.
"Naga
Kuning, sekarang sampaikan apa yang hendak kau tanyakan. Ingat, waktuku tidak
lama." Kiai Gede Tapa Pamungkas berkata.
"Maafkan
saya Kiai. Saya tidak ingin mengganggu Kiai berlama-lama. Karenanya bolehkah
saya menerangkan sesuatu lalu mengajukan satu dua pertanyaan?"
"Aku
menyirap rasa, lama sekali kau tidak berada di negeri ini. Begitu muncul kau
ingin bertemu denganku…."
"Kiai
betul. Saya dengan dua orang kawan secara tidak sengaja terpesat masuk ke dalam
negeri aneh Latanahsilam yang seribu dua ratus tahun berada sebelum tanah Jawa
ini. Hanya Kuasa Gusti Allah yang memungkinkan saya dan kawan-kawan kembali ke
tanah Jawa ini."
"Siapa
dua orang kawanmu itu?" tanya makhluk di atas telaga yang dipanggil dengan
sebutan Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Yang
pertama Pendekar 212 Wiro Sableng…."
"Murid
Sinto Weni alias Sinto Gendeng, murid si perempuan sinting itu! Aku tidak
bergembira mendengar pendekar itu menjadi sahabatmu. Naga Kuning. Gurunya
adalah muridku. Sejak Sinto Gendeng menguasai Kapak Maut Naga Geni 212 dan
menyembunyikan Pedang Naga Suci 212, berbagai kejadian yang membuat aku marah
telah dilakukannya. Untung Pedang Naga Suci sekarang sudah berada di tangan
pewaris yang berjodoh yakni Puti Andini." (Baca "Wasiat
Malaikat", Episode ke 9 dari rangkaian 11 Episode "Wasiat Iblis"
dst.)
Naga
Kuning diam saja. Tak berani menanggapi ucapan sang Kiai. Lalu terdengar Kiai
Gede Tapa Pamungkas bertanya. "Siapa temanmu yang kedua?"
"Kakek
sakti berjuluk Setan Ngompol…."
Kiai Gede
Tapak Pamungkas mendesah panjang mendengar jawaban Naga Kuning bocah yang
selama bertahun-tahun pernah menjadi orang kepercayaannya itu. "Setan
Ngompol! Kau mungkin lupa, tapi aku tidak akan pernah melupakan. Bukankah
manusia satu itu yang masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur, membawa dan menebar
air larangan hingga telaga dan isinya laksana dijungkir balikkan? Dan orang
seperti itulah yang menjadi temanmu! Sungguh aku menyesal muncul di hadapanmu
saat ini. Naga Kuning!"
"Saya
mohon beribu maaf. Kiai. Saya…."
"Sudah!
Sekarang ajukan saja pertanyaanmu."
Naga
Kuning membungkuk dalam-dalam lalu berkata. "Beberapa waktu lalu saya
bertemu dengan seorang perempuan tua yang saya tidak kenal siapa dia
adanya." Lalu Naga Kuning menuturkan riwayatnya jatuh ke pangkuan seorang
nenek yang duduk bersemedi dalam keadaan telanjang di tepi Kali Lanang.
"Walau saya tidak pernah melihat nenek ini sebelumnya namun dari suaranya
saya seperti mengenali siapa dirinya. Ketika ingatan itu muncul dan saya sadar,
saya kembali ke tempat pertemuan. Tapi nenek itu tak ada lagi di tepi kali.
Saya punya dugaan, dan saya berharap tidak keliru. Perempuan tua itu adalah
puteri angkat Kiai sendiri, yang bernama Ning Intan Lestari…."
"Ning
Intan Lestari…." Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut nama itu dengan suara
perlahan. Di wajahnya nampak kesedihan mendalam.
"Kau
menyebut Ning Intan Lestari sebagai anakku. Naga Kuning, agaknya sampai saat
ini rasa tanggung jawab atas kejadian di masa silam masih belum muncul dalam
dirimu."
"Kiai…."
Naga Kuning hendak mengatakan sesuatu. Kalau perlu mengembangkan kembali
riwayat di masa silam dimana dia lebih banyak kejatuhan dosa kesalahan.
"Sudah,
apa yang hendak kau tanyakan?"
"Pertama
apakah Ning Intan Lestari masih hidup. Saya memang berharap dia masih hidup.
Pertanyaan kedua, mungkin Kiai mengetahui bahwa perempuan tua yang suaranya
sama dengan suara Ning Intan Lestari itu memang Ning Intan Lestari,
adanya?"
"Bagaimana
ciri-ciri perempuan tua yang kau temui di tapi Kali Lanang itu?" bertanya
Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Mukanya
seram, lebih seram dari setan. Rambut kelabu. Berpakaian jubah hitam…."
"Menurutmu,
kira-kira berapa usianya?"
"Antara
delapan sampai sembilan puluh tahun. Namun saya melihat keanehan pada
tubuhnya…." Naga Kuning tidak meneruskan ucapannya.
"Keanehan
apa?"
"Saya
tidak berani menceritakan. Pertanyaan saya, mungkinkah nenek itu puteri angkat
Kiai yang bernama Ning Intan Lestari?’
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tidak menjawab, melainkan memandang lekat-lekat ke wajah bocah
yang duduk bersila di tepi telaga itu. Dia menunggu, mengharapkan jawaban.
"Naga
Kuning," sang Kiai akhirnya berkata. "Aku tak bisa menjawab
pertanyaanmu. Mungkin nenek itu memang puteri angkatku, mungkin juga tidak.
Untuk memastikan, hanya kau sendirilah yang harus melakukan penyelidikan. Jika
kemudian kau mengetahui bahwa nenek itu bukan Ning Intan Lestari, urusan cukup
cuma sampai disitu. Tapi jika dia memang Ning Intan Lestari, aku ingin tahu apa
tindakanmu selanjutnya?"
Naga
Kuning tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia terdiam beberapa
lamanya. Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Agaknya dia tidak mau memaksa dan
merasa tidak perlu menunggu jawaban si bocah.
"Naga
Kuning, usiamu sebenarnya sekitar seratus dua puluh tahun. Kematangan hati dan
pikiranmu apakah masih perlu dipertanyakan? Apapun persoalan yang terjadi
antara kau dengan puteri angkatku adalah menjadi tanggung jawab kalian berdua.
Berarti kalian berdua pula yang harus menyelesaikan…."
Naga
Kuning terdiam.
"Kau
mengerti maksud kata-kataku, Naga Kuning?"
Si bocah
mengangguk, lalu membungkuk dalamdalam seraya berkata. "Saya mengerti
Kiai. Maafkan kalau saya sudah membuat Kiai merasa terganggu. Saya merasa
bersyukur Kiai tidak marah terhadap saya…."
"Kemarahan
tidak pernah menyelesaikan masalah. Apapun masalahnya. Ingat hal itu baik-baik
Kiai Paus Samudera Biru…."
Wajah
Naga Kuning tampak kemerah-merahan mendengar Kiai Gede Tapa Pamungkas menyebut
gelarnya. Dia merasa seperti tidak layak menyandang gelar itu.
"Naga
Kuning, pernahkah kau mendengar seorang nenek berilmu tinggi dipanggil dengan
sebutan Gondoruwo Patah Hati"
Naga
Kuning menggeleng.
"Carilah
nenek itu. Kelak kau akan menemukan sesuatu," kata Kiai Gede Tapa
Pamungkas pula.
"Saya
akan mencari nenek itu. Terima kasih atas petunjuk Kiai. Kalau saya boleh
bertanya, apakah Gundoruwo Patah Hati itu…."
Tiba-tiba
dari langit menyambar kilat. Sekejapan kawasan telaga menjadi terang benderang.
Air telaga bergejolak muncrat. Lalu segala sesuatunya sirap sunyi kembali.
Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas tak kelihatan lagi, lenyap dari permukaan
telaga.
Lama Naga
Kuning termenung di tepi telaga itu. "Kalau nenek itu memang Ning Intan
Lestari adanya, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Mengapa wajahnya menjadi
buruk, seram mengerikan seperti itu. Lalu kemana aku harus mencari dia? Setelah
dua tahun terpesat ke Negeri Latanahsilam, tanah Jawa seolah asing bagiku.
Siapa pula sebenarnya nenek bernama Gondoruwo Patah Hati itu? Mengapa Kiai
menyuruhku mencarinya. " Naga Kuning menghela nafas dalam lalu bangkit
berdiri. Gerakannya berubah menjadi lompatan terkejut ketika dekat sekali di
belakangnya tiba-tiba terdengar suara tertawa keras, panjang menyeramkan.
Naga
Kuning cepat membalik. Anak ini keluarkan seruan tertahan ketika melihat sosok
yang berdiri di hadapannya. Orang ini berjubah hitam, berambut putih, tegak
membelakanginya. Tangan kanan buntung. Di daun telinga sebelah kanan belakang
ada tahi lalat
merah
sebesar ujung jari kelingking. "Orang ini, aku rasa-rasa pernah melihat
sebelumnya," kata Naga Kuning dalam hati.
*********************
6
TIBA-TIBA
si jubah hitam yang tegak membelakang itu keluarkan suara tertawa melengking
panjang. Lalu dibalikkannya tubuhnya hingga kini berhadap-hadapan dengan Naga
Kuning. Orang ini ternyata adalah nenek berjubah hijau tua. Rambut putih
panjang riap-riapan. Muka hancur. Mata kiri hanya tinggal rongga besar
menyeramkan sedang mata kanan terbujur keluar seperti mau melompat tanggai.
Luar biasanya di keningnya menempel potongan tangan kanan miliknya sendiri.
"Luhjahilio…."
Naga Kuning tergagau. Lututnya bergetar. (Mengenai nenek seram Luhjahilio yang
merupakan salah satu dari Sepasang Hantu Bercinta, silahkan baca riwayat Wiro
Sableng di Negeri Latanahsilam "Rahasia Patung Menangis",
"Rahasia Mawar Beracun" dsb.) "Bagaimana bangkai butut
Latanahsilam ini bisa berada di tempat ini? Apakah dia Ikut terlempar ke tanah
Jawa dari negeri seribu dua ratus tahun silam?"
Si nenek
berwajah lebih hebat dari setan ini mendongak ke langit lalu tertawa panjang.
"Gelapnya udara malam, lama tidak bertemu, ternyata kau masih mengenali
diriku. Hik… hik… hik! Anak keparat! Mana dua temanmu si Wiro dan si Setan
Ngompol? Selama di Negeri Latanahsilam kalian bertiga telah membuat aku dan
kekasihku banyak susah! Dulu aku tidak sempat membunuhmu! Mungkin kau memang
harus menemui ajal di negeri sendiri! Hik… hik… hik!"
Mula-mula
Naga Kuning memang agak kecut juga melihat kemunculan tidak terduga Luhjahilio.
Ternyata keseraman wajah nenek satu ini lebih hebat dari nenek yang ditemuinya
di tepi Kali Lanang. Tapi setelah menenangkan diri dan keberaniannya muncul,
anak ini segera menyahuti ucapan orang.
"Nenek
muka setan! Kau muncul cuma sendirian. Mana kekasihmu si Lajahilio?! Kau ini
datang di tanah Jawa ada yang mengundang, atau sekedar pesiar atau diam-diam
mengikuti si Setan Ngompol? Jangan-jangan kau sudah jatuh cinta pada kakek bau
pesing sahabatku itu!"
Luhjahilio
kembali tertawa. Bola mata kanannya yang tergantung di pipi bergerak-gerak
turun naik.
"Wahai!
Kau memang pandai bergurau! Aku mau lihat apakah kau masih bisa bergurau kalau
sudah jadi mayat!"
"Wahai!"
Naga Kuning meniru ucapan si nenek. "Ini bukan di Latanahsilam lagi,
bicara memakai wahai segala! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa kau cuma merusak
pemandangan. Lebih baik kembali pulang ke kampungmu sebelum kawanan anjing
pasar menggerogoti dirimu!"
Wajah
Luhjahilio tampak mengkerut. "Tidak heran!" katanya. "Di negeri
orang kau kurang ajar. Di negeri sendiri pasti lebih kurang ajar! Kau tidak mau
memberi tahu dimana dua sahabatmu itu berada?"
"Kalau
sadar kau berada di negeri orang pandai-pandai membawa diri! Baru muncul sudah
membawa niat jahat hendak membunuh!" Luhjahilio tertawa lagi. Tiba-tiba
melompat. Tangan kirinya menyambar
"Breettt!"
Naga
Kuning berseru kaget. Serangan yang dilancarkan Luhjahilio bukan saja tidak
terduga tapi juga sangat cepat. Untung dia masih punya kesempatan bergerak
surut dua langkah. Kalau tidak, bukan Cuma pakaian hitamnya yang robek disambar
jari-jari tangan berkuku panjang si nenek, daging dan tulang dadanya bisa
ikutan jebol. Naga Kuning merasa heran. Semasa di Negeri Latanahsilam
Luhjahilio bersama pasangannya, Luhjahilio, memang memiliki ilmu tinggi. Namun
bila dibanding dengan para tokoh lainnya, sepasang kakek nenek ini belum
termasuk di jajaran atas. Kini mengapa gerakannya begitu cepat luar biasa
hingga dia tidak mampu mengelak menyelamatkan diri? "Janganjangan makhluk
ini penjelmaan Gondoruwo Patah Hati yang dikatakan Kiai Gede Tapa
Pamungkas…" pikir Naga Kuning.
"Nenek
jelek! Jauh-jauh datang ke tanah Jawa cuma untuk mengantar nyawa!" teriak
Naga Kuning. Lalu anak Ini membalas serangan si nenek. Didahului jeritan keras
tubuh Naga Kuning melesat, melepas pukulan Naga Murka Merobek Langit.
Luhjahilio
hadapi serangan orang dengan tertawa memandang enteng. Dia sengaja menyongsong
datangnya serangan dengan balas memukulkan tangan kiri. Agaknya si nenek ingin
menjajal sampai dimana kehebatan kekuatan lawan.
Kaget
Luhjahilio bukan alang kepalang ketika bukkk! Lengan kirinya beradu keras
dengan lengan kanan Naga Kuning. Si nenek terlempar sampai empat langkah. Muka
setannya mengkerut kesakitan. Sebaliknya Naga Kuning sendiri terpental tiga
langkah, termonyong-monyong meniup lengan kanannya yang bengkak membiru.
Mengira
kekuatan tenaga dalamnya masih jauh lebih tinggi dari Naga Kuning, sambil
membentak garang Luhjahilio kembali menyerbu.
Menghadapi
serangan kedua ini. Naga Kuning melesat ke atas hampir setinggi satu tombak.
Lalu sambil melayang turun dia hantamkan kaki kanannya dalam jurus Naga Murka
Menjebol Bumi. Yang di arah adalah kepala lawan.
Si nenek
tertawa cekikikan. Kepalanya dijauhkan ke belakang. Ketika kaki Naga Kuning
lewat di depan keningnya, tidak disangka-sangka tangan kanannya yang menempel
di kening bisa bergerak mencekal pergelangan kaki Naga Kuning.
Sebenarnya
cekalan ini tidak ada bahayanya. Yang berbahaya adalah serangan susulan tangan
kiri yang sengaja dihantamkan ke selangkangan Naga Kuning.
"Nenek
cabul! Kau bukannya berkelahi! Tapi sengaja hendak memegang barangku!"
teriak Naga Kuning. Dia kerahkan tenaga dalam ke kaki kanan yang kena dicekal.
Luhjahilio berseru kaget ketika kaki yang dipegangnya terasa menjadi sangat
berat. Demikian beratnya hingga kepala dan tubuhnya tertekan hebat. Mau tak mau
dia terpaksa lepaskan cekalan pada kaki kanan si bocah. Begitu kakinya lepas,
dengan kaki yang sama Naga Kuning hantam pipi si nenek.
Luhjahilio
meraung kesakitan. Tubuhnya terlempar jauh. Kepalanya seperti pecah.
Pemandangan gelap. Untuk beberapa saat lamanya dia terkapar di tanah sambil
pegangi pipi kanan yang bengkak membiru dengan tangan kiri. Tampangnya semakin
seram tidak karuan.
Naga
Kuning tegak berkacak pingang di hadapan Luhjahilio. "Nenek jelek! Apa kau
masih betah tinggal di tanah Jawa ini? Atau mungkin bisa kubantu melemparkanmu
ke langit agar kembali ke negeri asalmu?!"
"Makhluk
jahanam! Aku belum kalah!" teriak Luhjahilio. Tubuhnya yang terkapar di
tanah tiba-tiba bergulingan, mengeluarkan suara bergemuruh seolaholah
gelondongan batang kayu raksasa menggelinding.
"Bagus,
kau datang sendiri mencari tendangan!" seru Naga Kuning. Anak ini menunggu
sampai sosok Luhjahilio hanya tinggal dua langkah dari hadapannya baru dia
mengangkat kaki kanan menendang.
Luhjahilio
keluarkan pekikan keras. Bersamaan dengan itu tubuhnya yang masih menggelinding
di tanah berputar. Dua kaki membabat laksana gunting. Naga Kuning menendang.
Dua kaki lawan membuka. Lalu menutup kembali dengan cepat.
Naga
Kuning berteriak kaget ketika dapatkan kaki kanannya tahu-tahu sudah berada
dalam jepitan dua kaki Luhjahilio. Dia berusaha menyentakkan kaki, tapi tak
berhasil lolos. Jepitan dua kaki si nenek terasa panas dan seperti hendak
menggergaji putus tulang keringnya.
Tidak
menunggu lebih lama Naga Kuning hantamkan dua tangan sambil keluarkan aji Ikan
Paus Putih untuk melicinkan kakinya yang dijepit lawan.
Luhjahilio
berteriak keras ketika melihat dua larik sinar hitam, dekat sekali menyambar ke
arahnya. Nenek dari Negeri Latanahsilam ini kebutkan lengan jubah sebelah kiri.
Satu gelombang angin luar biasa deras menangkis dua pukulan sakti Naga Murka
Menjebol Bumi yang dilepaskan Naga Kuning.
"Desss!"
"Desss!"
Naga
Kuning keluarkan keluhan pendek. Meski dia berhasil meloloskan diri, namun
tubuhnya terpental ke atas setinggi dua tombak, dadanya mendenyut sakit, aliran
darahnya kacau balau. Tubuhnya kemudian terbanting ke tanah. Untuk sesaat
lamanya anak ini terkapar tak bergerak. Tubuh luluh lantak, pemandangan gelap
berkunang!
Sebaliknya
Luhjahilio terhenyak amblas di tanah sedalam satu jengkal. Mulut kembang kempis
susah bernafas. Dua tulang iganya patah. Darah meleleh dari mulutnya. Namun
sungguh hebat nenek muka setan ini. Sesaat setelah menggapai-gapai dia berhasil
keluar dari dalam lobang. Mata kanan guntal-gantil melotot. Begitu melihat Naga
Kuning terkapar tak bergerak, niat hendak membunuh kembali berkobar dan memberi
kekuatan. Dua kali bergerak dia sudah melompat ke hadapan Naga Kuning. Kaki
kanannya menendang, yang di arah tepat ubun-ubun batok kepala si bocah. Sekali
ini Naga Kuning benar-benar akan menemui kematian dengan kepala pecah. Kecuali
kalau Naga Hantu Langit Ke Tujuh, ilmu kesaktian yang mendekam di dadanya
memunculkan diri menolongnya. Tetapi hal ini mungkin tidak akan terjadi karena
saat itu Naga Kuning sendiri berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan.
Bahkan dia tidak tahu bahaya maut yang datang mengancamnya.
Sesaat
lagi kepala Naga Kuning akan remuk dihantam tendangan Luhjahilio, tiba-tiba
satu bayangan putih berkelebat.
"Luhjahilio!
Jangan kau bunuh anak itu!"
"Setan
keparat! Siapa berani campur urusanku!" teriak Luhjahilio marah. Tanpa
perduli dia teruskan tendangannya.
Saat
itulah menerpa satu gelombang angin luar biasa kerasnya, membuat Luhjahilio
terhuyung-huyung beberapa langkah lalu jatuh terduduk di tanah. Si nenek
meraung keras, bukan karena kesakitan tapi karena marah besar.
"Makhluk
kurang ajar! Siapa kau?!" bentak si nenek lalu terhuyung-huyung bangkit
berdiri. Saat itu Naga Kuning mulai siuman dan berusaha tegak. Masih kurang
Jelas, dia melihat satu sosok tinggi besar samar-samar berdiri di hadapannya.
*********************
7
ORANG
tinggi besar yang berdiri di hadapan Naga Kuning mengenakan jubah putih menjela
tanah. Di atas kepalanya, bertengger sebuah songkok atau tudung tinggi dilapisi
kain hitam. Bukan saja kepalanya yang tertutup kain hitam tapi sebagian
wajahnya juga terlindung hingga sulit untuk dikenali.
"Makhluk
jahanam bersongkok hitam! Siapa kau?!" teriak Luhjahilio marah. Kali ini
sambil membentak dia melompat ke hadapan si tinggi besar. Tangan kanannya
bergerak cepat luar biasa menyambar tudung di kepala orang. Naga Kuning sudah
memastikan, tudung dan kain hitam yang menyembunyikan wajah orang berjubah
putih pasti akan kena dijambret. Kepala dan wajah orang itu segera tersingkap.
Namun
tenang saja, si tinggi besar undurkan kaki kanan satu langkah. Sambil merunduk
dan jauhkan kepalanya ke belakang dia kebutkan lengan kanan jubah putihnya.
Luhjahilio
bukan saja gagal menyingkap wajah orang, tapi dia sendiri terpental satu tombak
dan hampir terjengkang di tanah kalau tidak lekas mengimbangi diri. Saat itulah
si nenek kembali merasakan sakit dua tulang iganya yang patah akibat hantaman
Naga Kuning. Luhjahilio tegak terbungkuk sambil pegangi dada, memandang geram
dengan matanya yang cuma satu ke arah makhluk berjubah putih bertudung hitam.
"Luhjahilio…"
si jubah putih menegur, "Siapa aku tidak penting. Lekas menyingkir dari
sini. Serahkan bocah ini padaku!"
Rahang
Luhjahilio menggembung. Si nenek mana mau pergi dari situ. Namun dia sadar
kalau orang berjubah memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari dirinya. Maka
sekedar mengalah nenek ini melesat ke satu cabang pohon, mendekam di sana
memperhatikan apa yang bakal terjadi. Lebih dari itu dia ingin tahu ada urusan
apa antara si jubah putih dengan Naga Kuning. Lalu juga ingin tahu siapa adanya
si tinggi besar bersongkok hitam ini.
Seperti
si nenek Luhjahilio, Naga Kuning juga tidak mengetahui siapa adanya orang
berjubah di hadapannya saat itu. Tapi dia dapat mencium bahaya besar. Siapapun
adanya adanya orang ini, agaknya dia membekal dendam kesumat jauh lebih besar
terhadap dirinya dibanding dengan dendam kesumat yang bersarang dalam diri
Luhjahilio.
"Anak
setan!" si tinggi besar membentak. Suaranya membahana, menggetarkan tanah,
membuat Naga Kuning tersentak.
"Bapak
setan!" Naga Kuning tiba-tiba membalas, menyahuti bentakan orang.
Si tinggi
besar menggeram. Tangan kanannya digerakkan. Naga Kuning berseru kaget. Di atas
pohon Luhjahilio juga terkesiap. Tangan kanan yang bergerak itu mendadak
berubah besar dan panjang. Belum sempat bergerak tahu-tahu pinggang Naga Kuning
sudah dicekal lalu dicengkeram dengan keras. Si bocah keluarkan suara seperti
mau muntah. Lidahnya terjulur. Isi perutnya seolah mau terbongkar keluar.
"Anak setan! Kau dengar baik-baik! Isi perutmu akan kujebol keluar, lalu
kusumpalkan ke mulutmu biar kau makan sendiri! Kecuali kau mau menyelesaikan
satu perkara!"
"Per…
perkara apa…?" tanya Naga Kuning dengan muka pucat, lidah terjulur dan
perut seperti mau pecah. "A… aku tidak kenal siapa kau. Bagaimana mungkin
ada perkara di antara kita?!" Diam-diam Naga Kuning segera keluarkan
"Ilmu Ikan Paus Putih" untuk melicinkan tubuh agar bisa meloloskan
diri.
Si tinggi
besar bersongkok hitam kembali keluarkan suara menggeram. "Kau boleh
keluarkan semua ilmu kesaktian yang kau miliki! Ilmu pelicin tubuhmu tidak
mempan terhadap cekalanku! Kau boleh membuktikan!"
Si tinggi
besar cengkeramkan lima jari tangan kanannya yang besar-besar. Naga Kuning
mengeluh kesakitan. Cairan bening bercampur darah keluar dari mulutnya. Dia
telah mengeluarkan ilmu kesaktian pelicin tubuh, tapi aneh kali ini dia tidak
mampu melepaskan diri! Tidak pikir lebih panjang anak ini hantamkan tangan
kanannya, ke atas. Yang diarahnya adalah dagu si tinggi besar. Yang
dilancarkannya adalah pukulan "Naga Murka Merobek Langit."
Si tinggi
besar tertawa mengekeh. Sekali tangan kirinya bergerak, lengan kanan Naga
Kuning sudah berada dalam cekalannya. Anak ini mengeluh kesakitan. Cekalan
lawan seperti cengkeraman besi yang hendak menghancurkan tulang-tulangnya.
Tidak ada jalan lain, kalau orang memang hendak membunuhnya, harapannya hanya
tinggal pada kemunculan "Naga Hantu Langit Ke Tujuh," makhluk
jejadian berbentuk Naga Kuning yang menjadi pelindungnya dan berada dalam
tubuhnya. Tetapi sang makhluk tidak keluar karena saat itu orang berjubah putih
memang belum berniat untuk membunuhnya!
"Bapak
setan! Katakan, perkara apa yang ada di antara kita.’!" Naga Kuning ajukan
pertanyaan lalu berteriak. Dia sudah tidak sanggup menahan rasa sakit
cengkeraman lima jari raksasa yang menghunjam di perutnya.
Wajah
yang terlindung dibalik kain hitam menggembung merah. Sebelum menjawab
pertanyaan Naga Kuning, kembali dia cengkeramkan lima jari tangan kanannya ke
pinggang si anak hingga Naga Kuning menggeliat melintir dan menjerit kesakitan.
"Anak
setan! Kau pasang telingamu baik-baik! Aku akan katakan perkara apa yang ada di
antara kita!" Si tinggi besar berjubah putih berucap. "Beberapa waktu
lalu…."
Belum
sempat orang ini menyelesaikan ucapannya tiba-tiba terdengar kuda meringkik. Di
lain kejap satu bayangan hitam melesat di udara lalu bukkk! Satu hantaman keras
melanda punggung orang berjubah putih. Bayangan hitam ini sesaat mengapung di
udara lalu berkelebat, berbalik ke tempat dari arah mana tadi dia melesat. Kembali
terdengar suara kuda meringkik.
Sosok si
tinggi besar terlempar ke depan. Cekalannya pada pinggang Naga Kuning terlepas.
Begitu lolos si bocah segera mencari tempat aman sambil memasang mata. Dia
melengak kaget tapi juga gembira ketika melihat siapa yang barusan menolongnya.
Orang itu duduk tak bergerak di atas punggung seekor kuda putih. Dia bukan lain
nenek muka setan berambut kelabu berjubah hitam yang beberapa waktu lalu pernah
ditemuinya di tepi Kali Lanang dan ingin dicarinya. Naga Kuning coba tersenyum
dan lambaikan tangan pada si nenek. Tapi si nenek muka setan ini seolah tidak
perduli. Pandangannya di arahkan pada orang tinggi besar yang kepala dan
mukanya tertutup tudung berkain hitam.
"Makhluk
yang sembunyikan muka di balik tudung! Perkara apa yang membuat kau sampai
menyiksa anak itu?!" Si nenek muka setan bertanya.
Si tinggi
besar menggeram. "Ada hubungan apa kau dengan anak setan itu hingga turun
tangan menyelamatkannya?!"
Nenek
berjubah hitam mendengus. "Kau menyebut bocah itu anak setan. Kau boleh
memanggil aku dengan sebutan ibu setan! Hik… hik… hik!"
Orang
bertudung hitam tertawa bergelak. "Rupanya kau ibu dari anak setan itu!
Baik, jika perkara memang tidak bisa diselesaikan, tidak ada salahnya aku
menghabisi anak dan ibu setan sekaligus! Kau ibunya setan biar aku singkirkan
lebih dulu!"
Si nenek
balas gelak orang dengan tawa panjang. "Puluhan tahun malang melintang di
tanah Jawa. Baru hari ini bertemu tikus comberan tak dikenal berujud makhluk
berjubah putih bertudung hitam sepertimu! Harap kau suka memperkenalkan diri
siapa kau adanya sebelum nyawamu kukirim ke akhirat!"
"Nenek
muka setan! Kalau kau memang tahu seluk beluk akhirat, silahkan nanti tanya
sendiri pada penjaga akhirat siapa aku adanya! Sekarang biar tubuhmu kuremukkan
lebih dulu!"
Habis
berkata begitu si jubah putih gerakkan tangan kanannya. Seperti tadi tangan itu
mendadak sontak berubah besar dan panjang, melesat ke arah pinggang si nenek
yang masih berada di atas punggung kuda putih."Ilmu tipuan iblis tidak
laku di hadapanku!" seru si nenek muka setan. Lalu tangan kirinya
dikibaskan ke samping.
"Bukkk!"
"Breett"
Dua
tangan bentrokan keras di udara disertai suara robeknya pakaian.
Orang
berjubah putih terpental lima langkah. Tubuh terbungkuk, muka di balik tudung
hitam mengerenyit menahan sakit dan mata membelalak ketika melihat bagaimana
ujung lengan jubahnya sebelah kanan robek besar akibat sambaran kuku-kuku jari
nenek muka setan. Dua robekan kecil jubah putihnya masih menyangkut di
ujung-ujung kuku tangan kanan nenek muka setan.
Dari
balik robekan ujung lengan yang menyingkapkan tangannya dia melihat bagaimana
daging dan kulit lengannya menggembung bengkak berwarna hitam kebiruan.
Di atas
pohon Luhjahilio yang menyaksikan kejadian itu sempat terkesiap. Dia tidak
menyangka kalau nenek muka setan di bawah sana memiliki tenaga dalam begitu
tinggi. Kalau si tudung hitam saja bisa dibuatnya mental berarti dirinya tidak
ada arti apa-apa jika sampai berhadapan dengan nenek itu. Niatnya untuk
mengetahui perkara yang menyangkut si tudung hitam dan anak bernama Naga Kuning
serta keinginannya mengetahui siapa adanya orang tinggi besar bertudung hitam
itu terpaksa ditunda dulu. Yang penting lebih baik dia cari selamat. Karenanya
sebelum terjadi apaapa Luhjahilio segera saja melompat dari cabang pohon
tempatnya mendekam ke cabang pohon di sampingnya lalu lenyap dalam kegelapan
malam. Si nenek berjubah hitam walau sempat terjajar dua langkah namun masih
bisa keluarkan tawa mengekeh.
"Makhluk
bersongkok hitam! Sayang sekali, aku tidak berkesempatan menemui malaikat di
akhirat untuk menanyakan siapa dirimu adanya. Biar kau saja yang mewakili aku,
berangkat duluan ke akhirat!"
Habis
berkata begitu nenek muka setan yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas
punggung kuda putihnya jentikkan lima jari tangannya. Dari ujung-ujung kukunya
yang panjang runcing memancar lima larik sinar hitam menggidikkan.
"Setan
tua! Jangan sonbong! Siapa takutkan dirimu!" teriak orang bersongkok
hitam. Dia cepat gerakkan tangan kanan. Dari telapak tangan kanannya melesat
keluar satu cahaya, bergulung besar lalu memecah menjadi tujuh. Dua menyambar
ke arah kepala si nenek, lima menghantam ke jurusan badan.
"Hebat!"
teriak nenek muka setan. Seolah memuji tapi sebenarnya tidak karena saat itu
juga dia melompat ke atas, berdiri di punggung kuda dan putar pergelangan
tangan kanannya. Lima sinar hitam yang menyembur dari kuku-kuku jarinya
berputar demikian rupa, langsung menyambar tujuh larik sinar putih serangan
lawan.
"Bummm!
Bummm! Bummmm!"
Tiga
letusan keras menggelegar, menggoncang udara malam. Orang tinggi besar
keluarkan seruan keras, cepat-cepat melompat mundur sambil dua tangannya
dipergunakan untuk memadamkan api yang berkobar membakar jubah putihnya di tiga
bagian!
Nenek
muka setan walau mendelik tapi tidak tampakkan wajah kaget apalagi takut ketika
melihat bagaimana ujung lengan jubah sebelah kiri telah berubah menjadi bubuk
hitam alias hangus!
"Nenek
celaka ini! Aku tidak bisa menandinginya! Lebih baik mengurut dada bersabar
diri…" membatin orang tinggi besar. Dia lalu berpaling pada Naga Kuning.
"Anak Setan! Hari ini kau selamat karena ada ibu setan menolongmu! Tapi
kau tak akan kubiarkan lama! Aku akan muncul mencarimu kembali!"
Habis
berkata begitu orang ini serta merta berkelebat hendak tinggalkan tempat itu.
Namun nenek berkuda putih cepat menghadang. Naga Kuning tak tinggal diam. Anak
ini segera pula melompat ke hadapan si tinggi besar. Melihat gelagat tidak baik
orang ini cepat mengambil sebuah benda yang disembunyikan di balik songkok
hitamnya lalu dibantingkan ke tanah. Terdengar satu letusan keras menusuk
telinga disusul menggebubunya asap hitam pekat menutupi pemandangan.
"Setan
alas! Kau mau lari kemana!" terdengar bentakan nenek muka setan. Dia
menghantam dengan tangan kanan. Tapi terlambat.
Ketika
asap hitam surut dan lenyap dan udara terang kembali. Naga Kuning terkejut.
Bukan saja si tinggi besar berjubah putih tak ada lagi di tempat itu, tetapi si
nenek muka setan juga ikut lenyap bersama kuda putihnya!
"Nenek
muka setan itu, dia barusan menolongku.
Lantas
mengapa melenyapkan diri begitu saja? Dia seperti tidak mengharapkan ucapan
terima kasih. Tapi apa itu sebab sebenarnya dia menghilang? Mungkin dia tidak
ingin menemuiku." Naga Kuning merenung cukup lama. Namun tetap saja dia
tidak bisa memecahkan tekateki keanehan nenek yang telah menolongnya.
"Aku harus mencarinya. Untuk sementara aku terpaksa menunda mencari Wiro
dan Setan Ngompol."
*********************
8
BUKIT
kecil itu terletak tak jauh dari Karangmojo. Di bawah siraman sinar rembulan
empat belas hari puncak bukit yang ditumbuhi pohon teh tampak indah. Di sebuah
gubuk berbentuk dangau, dua orang asyik bercakapcakap.
"Wiro,
kalau tidak mendengar kau sendiri yang bercerita, rasanya sulit dipercaya
bagaimana kau dan temantemanmu terpesat ke negeri seribu dua ratus tahun
silam."
"Memang
begitu adanya. Nyata tapi sukar dipercaya. Itu sebabnya, ketika Setan Ngompol
ditangkap, dia tidak mungkin menceritakan bahwa dirinya terlempar dari langit,
jatuh masuk ke dalam sumur sumber air mandi raja. Siapa yang mau percaya? Masih
untung kuasa Tuhan bisa mengembalikan kami ke tanah Jawa ini. Kalau
tidak…." Wiro garuk-garuk kepala. "Aku sudah bertemu dengan Setan
Ngompol. Bagaimana kejadiannya dengan anak konyol bernama Naga Kuning belum
kuketahui. Aku perlu menyelidik, apakah dia ikut terlempar kembali ke tanah
Jawa. Kalau sampai tertinggal di Latanah silam, kasihan anak itu."
"Apakah
kau tidak berniat mencari beberapa orang yang telah lama berpisah
denganmu?" Bunga bertanya.
"Siapa?"
"Ada
empat orang. Cantik-cantik…."
Wiro
tertawa karena sudah dapat menduga kemana maksud pertanyaan Bunga. Apalagi
sebelumnya gadis alam roh itu telah menceritakan bagaimana Anggini, Ratu
Duyung, Puti Andini, dan Bidadari Angin Timur berusaha mencarinya,
sampai-sampai menemukan dua makam setan. Semua gara-gara ada berita bahwa
dirinya telah meninggal dunia setahun silam. Kemungkinan di kubur di salah satu
dari tiga tempat yakni Pekuburan Banyubiru, dekat Candi Kopeng dan terakhir
Puncak Gunung Gede. Empat gadis cantik telah menyelidik di dua tempat pertama,
yang mereka temukan ternyata adalah makammakam setan. Jenazah atau tulang
belulang Wiro tidak ditemukan. Tentu saja karena sampai saat itu dia masih
hidup, masih bernafas.
"Apa
yang kau pikirkan Wiro?" bertanya Bunga.
"Empat
gadis yang kau sebutkan tadi…" jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Mereka sahabat-sahabat baikku." kata Wiro polos. "Aku banyak
berhutang budi bahkan nyawa terhadap mereka. Seperti diriku, mereka adalah
manusia-manusia makhluk Tuhan yang tidak lepas dari berbagai perasaan.
Mendengar ceritamu, aku bertanyatanya siapa adanya orang yang mempermainkan
mereka dengan membuat makam-makam setan itu…."
Bunga
tersenyum. "Kau pandai mengalihkan pembicaraan."
Wiro
pegang lengan gadis itu. "Terus terang, aku khawatir akan keselamatan
mereka. Dua kali mereka dijebak dengan makam setan. Pada makam ke tiga
jangan-jangan muncul bahaya tidak terduga…."
"Kau
mungkin bisa menduga siapa biang racun yang melakukan semua itu?" tanya
Bunga.
"Aku
pasti akan menyelidik. Saat ini memang ada beberapa dugaan. Kau pernah
mendengar seorang pemuda bernama Bagus Srubud?"
Bunga
menggeleng. "Siapa dia?"
"Pemuda
keji yang memperdaya Kinasih, istri mendiang juru ukir Keraton. Mungkin nama
itu palsu belaka…." Wiro menggaruk kepala lalu melanjutkan. "Kau
tahu, di dunia ini mungkin aku satu-satunya manusia yang tidak disukai oleh
banyak orang. Aku banyak musuh."
"Kau
bicara seolah menyesali diri, Wiro. Padahal kenyataan yang kau hadapi adalah
tantangan rimba persilatan, yang harus dihadapi oleh setiap pendekar pembela
kebenaran."
Wiro
memandang ke langit, menatap ke arah rembulan bundar bercahaya terang sejuk.
"Kalau saja orang tuaku tidak menemui ajal di tangan Ranaweleng, aku tidak
akan pernah diambil murid oleh Eyang Sinto Gendeng, aku tidak akan menjadi
pendekar geblek macam ini…."
"Jangan
bicara seperti itu Wiro. Segala sesuatu dalam kehidupan kita, sejak kita
dilahirkan, malah sejak kita masih berbentuk janin, keadaan dan takdir diri
kita telah ditentukan oleh Gusti Allah. Mengumpat diri sendiri sama saja dengan
mengumpat semua kehendak Allah…."
"Aku
paling takut pada Tuhan," kata Wiro. "Tapi mengapa aku kebagian
segala macam hal yang sulit-sulit, penuh tantangan, darah dan nyawa…."
Bunga
usap kepala Pendekar 212 lalu berkata. "Mungkin Tuhan baru memberi sedikit
cobaan dan ujian padamu? Mengapa kau berucap seperti orang berputus asa?
Tantangan hidup seharusnya membuat seorang pendekar menjadi lebih tabah, lebih
kokoh lahir dan batin. Lebih kokoh dari batu karang ditepi pantai yang setiap
hari didera angin dan ombak! Bahkan ketika topan datang melanda dia tetap
berdiri tegar!"
Mendengar
kata-kata Bunga itu Wiro merangkul si gadis erat-erat dan mencium kening serta
pipinya berulang kali. "Terima kasih Bunga, terima kasih…."
Bunga
balas memeluk. Wajahnya dibenamkan ke dada sang pendekar, menyembunyikan
sepasang matanya yang berkaca-kaca. Wiro dapat merasakan kehangatan air mata si
gadis. "Wiro, aku tidak malu mengatakan, sebenarnya aku ingin selalu dekat
dengan dirimu. Namun keadaan diriku tidak memungkinkan hal itu."
"Aku
gembira mendengar ucapanmu itu Bunga. Walau kita tidak bisa saling berdekatan,
tapi kini aku tahu, diriku ternyata selalu ada dalam hati sanubarimu.
Sekali
lagi aku berterima kasih…." Wiro mencium rambut harum sang dara lalu
mengangkat wajahnya, mengecup ke dua matanya yang basah.
Pada saat
itulah tiba-tiba ada suara orang berkata.
"Rembulan
purnama di malam indah. Dua insan saling bermesra. Cuma sayang yang perempuan
hanyalah setan kesasar dari alam roh!"
"Bagaimana
kalau pemudanya kita rubah jadi roh pula agar keduanya bisa bermesraan lebih
asyik?!" Satu suara lain menimpali ucapan tadi.
Tempat
itu kemudian dipenuhi oleh tawa bergelak.
Pendekar
212 Wiro Sableng tersentak kaget. Lepaskan pelukannya di tubuh Bunga lalu
bangkit berdiri, tegak di lantai dangau. Bunga tak. Kalah kejutnya. Namun gadis
ini tampak tenang saja. Sepasang matanya yang tadi basah lembut kini memandang
tak berkesip, dingin beku seperti es!
Di
sekitar dangau, berdiri empat orang bertampang seram mengerikan. Orang pertama
mengenakan pakaian hitam. Di kepalanya bertengger sebuah blangkon yang juga
berwarna hitam. Mata kirinya ditutup dengan selapis kulit hitam bertali yang
diikat ke bagian belakang kepala. Sepintas lalu, orang ini kelihatan seperti
bajak laut. Dia bukan lain adalah Iblis Batu Hitam, yang dianggap sebagai
pimpinan tokoh silat istana. Namun sejak senjata andalannya berupa batu sakti
dihancurkan dan mata kirinya dibuat buta dengan tancapan bunga kenanga oleh
Bunga, Iblis Batu Hitam kehilangan pamor. Menyadari keadaan dirinya yang kehilangan
kesaktian, ditambah dendam kesumat pada Bunga dan Wiro, malam setelah dirinya
dipecundangi Iblis Batu Hitam menemui gurunya untuk meminta bantuan membalaskan
dendam kesumat sakit hati.
Orang
kedua, tegak disamping Iblis Batu Hitam adalah Momok Dempet Tunggul Gono.
Kepalanya dibalut menutupi telinga kiri yang cidera berat akibat tancapan bunga
kenaga yang dilemparkan Bunga.
"Heran,
dua manusia jahat ini, kalau tidak ada yang menolong bagaimana bisa sembuh
secepat ini," bisik Wiro pada Bunga.
Si gadis
tidak menyahuti, melainkan memandang pada dua orang yang tegak di belakang
Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam. Dia segera memaklumi. Tunggul Gono dan Iblis
Batu Hitam boleh saja dianggap enteng, tapi dua lainnya di sebelah belakang
tidak bisa dibuat main. Yang pertama dari dua orang ini, kakek berbadan tinggi
kerempeng, berkulit hitam laksana kayu gosong dimakan api. Di tangan kirinya
dia memegang sebatang tongkat terbuat dari tulang putih, dipenuhi lobang-lobang
kecil. Dua pipinya sangat cekung hingga sepasang matanya tampak sangat angker
seperti melesak ke dalam. Rambut, kumis serta janggutnya putih, punggungnya
agak bungkuk. Kakek ini jarang muncul dalam rimba persilatan, karenanya walau
ilmunya tinggi dirinya tidak begitu dikenal. Dia bernama Ki Sepuh Item. berjuluk
Si Tongkat Akhirat. Dan dia bukan lain guru Iblis Batu Hitam!
Orang
kedua, inilah sosok yang paling angker diantara empat orang yang muncul di
tempat itu. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam komprang. Tubuhnya yang
telanjang penuh ditumbuhi bulu, mulai dari tangan sampai ke dada, terus ke
pangkal leher. Kulit muka berwarna kebiru-biruan. Di sela bibirnya kiri kanan
menyembul taring hingga tampangnya tak beda dengan raksasa. Sepasang matanya
merah dihias empat buah alis merah, satu di bawah, satu di atas pada
masing-masing mata. Pada pinggang kirinya tergantung sebuah guci terbuat dari
perunggu berkilat. Dan yang hebatnya, kepalanya, mulai dari kening ke atas
berbentuk empat persegi, kelabu kehitaman dan sangat keras. Di atas kepala ini
terletak sebuah pendupa batu yang mengepulkan asap dan menebar bau kemenyan.
Ketika melihat guci perunggu itu, wajah Bunga si gadis alam roh yang memang
sudah pucat pasi kini tambah memutih. Dadanya berdebar. Dia mengenali siapa
adanya makhluk satu ini.
"Iblis
Kepala Batu Alis Empat…" membatin Bunga. "Aku tidak takutkan dirinya.
Tapi jika aku gagal berarti aku tidak dapat menyelamatkan orang yang aku
cintai. Jika itu sampai terjadi, paling tidak yang tiga orang itu harus dapat
aku habisi!"
"Wiro,"
bisik Bunga. "Kau serahkan yang tiga orang itu padaku. Orang keempat, yang
menjunjung pendupaan memiliki ilmu gaib yang sulit dijajagi kehebatannya. Jika
aku tidak bisa menghadapinya, aku akan memberi isyarat dengan mengangkat tangan
kanan. Begitu kau melihat isyarat itu, larilah. Selamatkan dirimu. Jangan
pikirkan hal-hal lain, termasuk diriku…."
"Tidak
Bunga, apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu seorang diri di tempat
ini!" jawab Wiro.
"Jangan
Wiro, kau harus dengar apa yang aku katakan. Terlalu berbahaya…. Ingat, aku
makhluk alam roh. Aku tidak mengenal kematian di alamku. Tapi bagimu
lain…."
"Memangnya
bangsat penjunjung dupa itu siapa?" murid Sinto Gendeng bertanya.
"Dia
punya beberapa julukan. Di antaranya Iblis Kepala Batu Alis Empat, Iblis Kepala
Batu Pemasung Roh. Dia punya kesaktian aneh, bisa menangkap makhluk halus dan
jin. Termasuk makhluk alam gaib seperti diriku…."
"Kalau
begitu biar kugempur dia sekarang juga!" kata Wiro.
"Jangan.
Dia dengan mudah bisa melumpuhkanmu," jawab Bunga. Lalu gadis alam roh ini
melompat dari atas dangau, turun ke tanah. Di langit, sekelompok awan hitam
bergerak menutupi rembulan hingga keadaan di puncak bukit menjadi gelap
temaram. Wiro tak tinggal diam. Dia segera pula berkelebat turun. Tangan kiri
bersiaga dengan Pukulan Sinar Matahari, tangan kanan siap mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212 sedang tumit kanan setiap saat bisa dihunjamkan ke tanah
mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari Hantu
Santet Laknat alias Luhrembulan di Negeri Latanahsilam. (Baca riwayat
petualangan Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18 Episode mulai
dari Bola Bola Iblis sampai Istana Kebahagiaan.)
*********************
9
SEPASANG
muda-mudi! Mengapa tidak terus bermesraan. Padahal kami ingin menyaksikan kelanjut-an
permainan asmara kalian! Ha… ha… ha!" Yang berseru dan kemudian tertawa
bergelak adalah Iblis Batu Hitam.
Di
sebelahnya Momok Dempet Tunggul Gono menyambungi. "Tampang kalian berdua
kulihat sangat pucat! Jangan kawatir! Kami datang tidak untuk membunuh kalian!
Nyawa kalian tidak ada artinya. Yang kami inginkan ialah bagian-bagian tubuh
kalian, pengganti bagian tubuh kami yang telah kalian rusak!"
Bunga
mendengus dan maju satu langkah. "Manusiamanusia tidak tahu diri!
Pelajaran yang aku berikan rupanya tidak bisa membuat kalian sadar! Minta
ditambah?!"
"Iblis
Batu Hitam!" Wiro berkata. "Kurasa kau tidak pantas lagi menyandang
gelar itu. "Bagaimana kalau kau ganti saja dengan gelar lain. Misal Iblis
Mata Picak?!" Wiro tertawa gelak-gelak lalu menoleh pada Tunggul Gono.
"Makhluk kaki kuda! Ujudmu kulihat tambah tidak karuan! Tangan kiri
buntung, disambung dengan besi.Kuping kananmu pasti sudah budek! Kuda benaran
masih ada gunanya dari pada makhluk tak karuan macammu ini! Ha… ha… ha!"
Iblis
Batu Hitam dan Tunggul Gono segera hendak menerjang Wiro karena tidak dapat
menahan geram. Tapi Ki Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat cepat memberi
isyarat lalu maju satu langkah ke hadapan Wiro. Dengan matanya yang cekung
melesak ke dalam dia perhatikan murid Sinto Gendeng mulai dari kepala sampai ke
kaki.
"Bangkai
gosong!" ucap Wiro seenaknya. "Kau rupanya jarang melihat manusia
hingga memandangiku seperti aneh. Atau matamu sudah terbalik, mengira aku ini
perempuan? Ha… ha… ha!"
Ki Sepuh
Item mendongak ke langit lalu ikutan tertawa. "Orang yang mau mampus
biasanya membaca segala macam doa, minta ampun atas segala dosa, bertobat
sebelum ajal. Tapi kau aneh. Malah meracau tidak karuan!"
"Kakek
gosong! Aku tidak tahu siapa kau adanya. Rupanya kau setan puntung neraka yang
kesasar muncul hendak menjemput diriku. Apakah kau datang membawa kuda
sembrani, atau aku harus membonceng di punggungmu? Kulihat tubuhmu sudah bungkuk
keropos, apa masih sanggup mendukung aku? Bagaimana kalau temanku gadis cantik
ini ikut-ikutan minta didukung?!"
Rahang Ki
Sepuh Item menggembung. Dari ubunubun kepalanya mengepul asap hitam pertanda
orang ini marah besar mendengar ejekan Wiro tadi.
"Pemuda
kurang ajar! Berani kau menghina guruku Si Tongkat Akhirat!" teriak Iblis
Batu Hitam marah sekali.
"Walah!
Kakek gosong berjuluk Si Tongkat Akhirat ini ternyata gurumu! Astaga, harap
maafkan diriku. Aku melihat dia memang membawa tongkat. Berarti kini aku tidak
meragukan kemampuannya bisa mendukungku! Kakek gosong, apakah kau sudah siap
menggendongku ke neraka?"
"Iblis
Batu Hitam! Tunggul Gono! Aku tidak mau menghabiskan waktu mengotori tangan!
Bunuh pemuda rambut gondrong ini!" teriak Ki Sepuh Item.
Mendengar
perintah itu Iblis Batu Hitam dan Momok Dempet Tunggul Gono segera melompat
menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng.
Seperti
diketahui Iblis Batu Hitam menjadi ketua para tokoh silat istana karena dia
memiliki batu hitam sakti yang menjadi senjata andalannya. Setelah batu itu
dihancurkan Bunga, oleh gurunya dia dibekali sebilah golok anelt. Golok ini
memiliki gagang di sebelah tengah, bagian yang tajam dan runcing ada dua yaitu
di kiri kanan gagang. Melihat kepada bentuk dan cara memainkannya golok ini
tidak beda dengan sebuah toya pendek. Sekali golok diputar maka bertaburlah
sinar hitam berbentuk lingkaran, menebar hawa dingin menggidikkan.
Momok
Dempet Tunggul Gono melompat sambil tusukkan tangan kirinya yang disambung
dengan selongsong besi dan memiliki ujung lancip berkeluk. Yang diarah adalah
leher lawan. Kehebatan selongsong besi ini, jika lawan mampu mengelak maka dia
akan menarik tangannya. Ujung besi yang berbentuk lancip berkeluk dengan
sendirinya akan mengait lawan dari belakang.
Murid
Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri, siap menyambut serangan dua lawan dengan
pukulan Sinar Matahari. Sementara tangan kanan bergerak untuk mencabut Kapak
Maut Naga Geni 212. Tapi Wiro jadi tersurut mundur dua langkah ketika tiba-tiba
dua sinar merah berkiblat, menyambar dari kiri ke kanan, menyapu ke arah dua
orang yang mengirimkan serangan.
Iblis
Batu Hitam berseru keras, melompat mundur dengan muka pucat sambil
kibas-kibaskan tangan kanan. Golok bermata dua terpaksa dilepaskannya,
dibanting demikian rupa dan menancap di tanah. Dua mata golok saat itu telah
berubah menjadi besi panas membara akibat hantaman sinar merah. Telapak
tangannya sendiri kelihatan merah melepuh!
Dibanding
dengan Tunggul Gono, Iblis Batu Hitam masih beruntung karena dia bisa membuang
goloknya yang berubah menjadi besi menyala. Tunggul Gono menjerit kalang kabut.
Selongsong besi yang menjadi sambungan tangan kirinya juga telah berubah
menjadi besi membara. Karena besi itu terkait kencang ke lengan sebelah atas
maka dia tidak bisa melepaskannya. Ki Sepuh Item cepat memukul besi panas itu
dengan tongkat tulangnya sehingga lepas dari sambungannya.
"Aku
telah memberi pelajaran! Apa kalian masih keras kepala? Lekas menyingkir dari
tempat ini! Bawa dua orang itu!" Yang berucap adalah Bunga.
"Gadis
makhluk alam roh!" yang berkata dengan suara lantang adalah Iblis Kepala
Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. "Mentang-mentang kau
bisa mempecundangi kedua orang itu, jangan bersikap sombong pongah. Ilmu
kesaktian Roh Mendera Bumi yang tadi kau perlihatkan tidak ada arti apa-apa
bagiku! Kau sudah terlalu lama gentayangan di alam yang bukan alammu! Tiba
saatnya aku memasungmu. Sampai kiamat kau tak bakal bisa kemana-mana
lagi!"
Habis
berkata begitu Iblis Kepala Batu Alis Empat kedipkan matanya tiga kali
berturut-turut. Pendupaan menyala di atas kepalanya yang berbentuk batu segi
empat mengobarkan api dan mengepulkan asap sebanyak tiga kali.
"Apa
yang hendak dilakukan bangsat kepala batu ini," pikir Wiro.
Bunga
memperhatikan setiap gerak dan perbuatan Iblis Kepala Batu Alis Empat dengan
dada berdebar. Ketika dilihatnya orang itu mengambil guci yang tergantung di
pinggangnya, gadis dari alam roh ini segera maklum apa yang hendak dilakukan
orang. Dengan cepat dia hentakkan kaki kanan ke tanah. Di tanah muncul cahaya
merah, menjalar naik memasuki tubuhnya, terus ke kepala. Begitu cahaya merah
sampai di mata, dari sepasang mata si gadis berkiblat dua larik sinar merah,
menggunting ke arah Iblis Kepala Batu Alis Empat. Inilah ilmu kesaktian yang disebut
Roh Mendera Bumi, yang tadi membuat musnah serangan Iblis Batu Hitam dan
Tunggul Gono.
Iblis
Kepala Batu dengan tenang angkat tangan kirinya sementara tangan kanan memegang
guci perunggu, perlahan-lahan diletakkan di atas pendupaan yang menyala.
Tangan
kiri dan sekujur tubuh Iblis Kepala Batu bergetar keras ketika dua larik sinar
merah sepanas bara api melabrak tubuhnya. Tapi ternyata dua sinar maut itu
tidak sampai menyentuh dirinya, tertahan satu jengkal. Untuk menahan serangan
gadis alam roh itu. Iblis Kepala Batu mengerahkan seluruh tenaga luar dalam,
menguras seluruh hawa sakti yang dimilikinya. Tubuhnya bergetar hebat, mandi
keringat. Sepasang matanya yang merah seperti dikobari api. Taring yang mencuat
dari sudut-sudut bibirnya kelihatan bertambah panjang. Tiba-tiba Iblis Kepala
Batu dorongkan tangan kirinya sambil meniup ke depan.
"Bummm!"
Satu
ledakan dahsyat menggema. Puncak bukit bergoyang. Pohon-pohon teh rambas.
Dangau di belakang sana roboh. Pendekar 212 Wiro Sableng terhuyung-huyung lalu
jatuh terduduk. Iblis Kepala Batu tak kuasa menahan getaran yang mendera
sekujur tubuhnya, perlahan-lahan jatuhkan diri, berlutut di tanah, mulut
komat-kamit.
Bunga
kelihatan masih mampu berdiri walau sekujur tubuhnya juga dilanda getaran
dahsyat. Wajahnya yang cantik tambah pucat. Mendadak gadis alam roh ini merasa
tubuhnya seperti leleh. Memandang ke depan, dari kiri kanan sosok Iblis Kepala
Batu muncul dua makhluk raksasa melayang, mengenakan cawat, berambut panjang
yang dijalin sampai ke punggung. Bunga bisa melihat dua makhluk ini, tetapi
Wiro tidak.
"Dua
jin dari alam roh," desis Bunga. "Celaka! Aku tidak mungkin
melawannya." Bunga berpaling ke arah Wiro. Ketika Wiro memandang padanya
gadis ini cepat angkat tangan kanan memberi tanda. "Wiro, lekas tinggalkan
tempat ini!" Bunga berteriak.
Wiro
tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia kumpulkan tenaga lalu melompat bangkit.
Kapak Maut Naga Geni 212 sudah tergenggam di tangan.
"Wiro,
lekas lari! Tinggalkan tempat ini! Cepat!" Kembali Bunga berteriak.
Tiba-tiba
Wiro mendengar suara menggemuruh. Suara teriakan si gadis lenyap ditelan
gemuruh itu. Lalu Wiro melihat Bunga meronta-ronta kian kemari seperti ada yang
memegangi dan menyeretnya. Sesaat kemudian sosok gadis ini naik ke udara dan
anehnya, tubuhnya berubah menjadi asap panjang, mengecil, melayang meliuk-liuk
masuk ke dalam mulut guci tembaga kuning di atas kepala Iblis Kepala Batu.
"Astaga!
Apa yang terjadi dengan gadis itu?" ujar murid Sinto Gendeng dengan mata
terbelalak.
"Bunga!"
Wiro berusaha mengejar sambil kiblatkan kapak saktinya. Cahaya putih
menyilaukan dan panas disertai gaung seperti ribuan tawon mengamuk memenuhi
udara.
Iblis
Kepala Batu angkat tangan kirinya. Kembali terdengar suara,menggemuruh. Wiro
merasakan ada dua sambaran angin di kiri kanannya seolah ada dua makhluk besar
tak kelihatan mendatangi. Lalu dua tangan tak kelihatan mendorongnya hingga dia
terbanting jatuh punggung di tanah. Kapak sakti terlepas jatuh dari tangannya.
Ketika dia berusaha bangkit sambil berusaha menghantam dengan dua pukulan
tangan kosong, satu kaki yang tidak kelihatan menginjak dadanya, membuat Wiro
tidak berdaya. Tak mampu menggerakkan tangan bahkan nafasnyapun seperti amblas!
Iblis
Kepala Batu Alis Empat tertawa mengekeh.
"Budak
gondrong!" katanya pada Wiro. "Kalau aku ingin membunuhmu gampang
saja. Semudah meniup debu di tangan. Tapi biar nyawamu kuserahkan pada
sahabatku Ki Sepuh Item. Ha… ha… ha! Selamat tinggal Pendekar 212. Apa yang
kucari sudah kudapat. Ha… ha… ha!"
Iblis
Kepala Batu buka mulutnya. Dari dalam mulut dia muntahkan satu benda berwarna
hitam. Benda ini kemudian disumpalkannya ke mulut guci tembaga. Dia memandang
sekali lagi ke arah Wiro lalu didahului suara tawa panjang sosoknya berkelebat
lenyap dari pemandangan.’
Saat itu
juga injakan berat di dada Pendekar 212 lenyap. Tanpa perdulikan kapak yang
masih tergeletak di tanah dengan cepat Wiro melompat, mengejar ke arah
berkelebatnya Iblis Kepala Batu Alis Empat.
"Iblis
jahanam!" Wiro berteriak. Dia lepaskan Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung
dengan tangan kiri sementara tangan kanan berbarengan didorong melancarkan
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang yakni pukulan ke dua dari enam
pukulan sakti yang dipelajarinya dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Pohonpohon teh
di puncak bukit hancur berantakan, mental bertaburan di udara. Sayangnya Iblis
Kepala Batu Alis Empat telah lenyap, hanya suara tawanya yang masih tertinggal
mengumandang.
"Celaka!
Bunga… gadis itu lenyap masuk ke dalam guci tembaga! Bagaimana aku harus
menolongnya!" Wiro kepalkan tangan, cemas sekali dan juga geram marah luar
biasa. Kemarahannya kini ditujukan pada Iblis Batu Hitam, Tunggul Gono dan Ki
Sepuh Item alias Si Tongkat Akhirat. Lebih-lebih ketika dilihatnya Ki Sepuh
Hitam si kakek kulit gosong tengah membungkuk hendak mengambil Kapak Maut Naga
Geni 212 yang tercampak di tanah. Didahului bentakan keras murid Sinto Gendeng
melompat ke arah Ki Sepuh Item.
Kaki
kanannya bergerak menderu laksana topan.
Sementara
itu, tidak diketahui oleh ke empat orang yang berada di bukit itu, di atas
punggung seekor kuda coklat yang hidungnya berwarna putih, di balik sebuah
pohon besar, satu-satunya pohon di puncak bukit teh itu, seorang pemuda
berpakaian kuning celana hitam menyaksikan semua yang terjadi tadi dengan mata
hampir tak pernah berkedip. Pemuda ini bukan lain adalah Damar Wulung yang
terakhir kali beberapa waktu lalu muncul di tempat kediaman Tumenggung Cokro
Pambudi, membawa dua buah peti berisi harta perhiasan dan uang. emas milik
Kerajaan serta sebilah keris yang semula diduga adalah Keris Kiai Naga Kopek
pusaka Keraton ternyata palsu. (Baca Episode sebelumnya berjudul "Roh
Dalam Keraton")
Dari
balik pohon besar, Damar Wulung telah menyaksikan apa yang terjadi di puncak
bukit teh itu. Sambil menyeringai dan usap-usap dagunya dia berkata dalam hati.
"Iblis
Kepala Batu Alis Empat memang hebat. Tapi kehebatannya mengandalkan ilmu gaib
dan kekuatan jin. Pendekar 212 Wiro Sableng, pendekar satu ini memang
berbahaya. Tapi juga gagah. Tidak salah kalau aku menduga Dewi memendam rasa
gairah terhadapnya. Ketika dia tidak merasa mendapat tanggapan, rasa suka
berubah menjadi dendam. Hemm… ini kali pertama aku melihatnya. Jadi ini
manusianya yang menurut Dewi harus aku tangkap hidup-hidup." Damar Wulung
tersenyum. "Pendekar 212 Wiro Sableng bisa menunggu. Dewi boleh bersabar.
Aku harus mengatur siasat, biar bisa berlama-lama menikmati kesenangan
dengannya. Semakin lama aku bisa bersiasat, semakin banyak kejadian besar di
rimba persilatan tanah Jawa ini. Aku bisa menjadi penonton yang baik, sambil
mencari keuntungan." Seringai menyungging lagi di mulut Damar Wulung.
Dengan tenang pemuda itu duduk di atas kudanya, memperhatikan dari balik pohon
apa yang selanjutnya akan terjadi antara Wiro dengan tiga orang yang masih ada
di puncak bukit teh setelah Iblis Kepala Batu Alis Empat meninggalkan tempat
itu.
*********************
10
DI DALAM
sebuah pondok kayu, tak berapa jauh dari Kali Lanang, malam itu nenek berwajah
setan tidak dapat memicingkan mata. Banyak persoalan membuncah benak dan hatinya.
Namun yang paling membuatnya gelisah dan tak habis-habis merenung adalah
pertemuan dengan anak berambut jabrik bernama Naga Kuning itu. Dua kali sudah
dia bertemu. Malah pada kali terakhir dia sempat menyelamatkan nyawa anak itu.
Dia sendiri merasa heran, begitu ingin dia melihat si bocah tetapi mengapa
setelah menolong dia melarikan diri?
"Hatiku
masih diselimuti kekecewaan di masa lalu. Lagi pula aku masih belum yakin.
Kalau-kalau dia bukan orangnya, tak jadi apa. Tapi kalau memang dia, bagaimana
aku…." Si nenek geleng-geleng kepala, menarik nafas dalam beberapa kali.
"Ah, mengapa aku terlalu berkhawatir. Dengan keadaanku seperti ini, dia
tak mungkin mengenali diriku. Tetapi…." Si nenek terdiam sejenak. Dadanya
terasa berdebar. "Waktu aku samadi di tepi Kali Lanang malam itu, dia
sempat melihat keadaan tubuhku. Jika dia berusaha menyelidik keanehan itu,
aku…."
Si nenek
duduk di ujung ranjang, perhatikan sepuluh jarinya yang diletakkan di atas
pangkuan. Lalu kembali gelengkan kepala. "Anak itu…. Kalau saja dia tidak
jatuh di pangkuanku ketika aku hendak merampungkan ilmu kesaktian i,tu, pasti
saat ini aku sudah menguasai Ilmu Kuku Api. Nasibku sial…."Si nenek
menghela nafas panjang. "Saat ini agaknya hari hampir pagi. Aku masih
belum bisa memejamkam mata. Ada apa dengan diriku."
Tiba-tiba
si nenek menahan nafas. Dua matanya memandang ke atas atap pondok yang terbuat
dari daun rumbia kering. Telinganya dipasang.
"Tak
mungkin aku salah dengar. Itu bukan suara angin. Ada orang di atas atap. Satu
orang….Tidak, mungkin dua." Ingat kejadian malam kemarin yaitu
perkelahiannya dengan orang bertudung hitam, mengira orang datang hendak
membalas dendam, si nenek berkelebat ke pintu. Sekali tendang saja pintu pondok
jebol. Di iain kejap nenek bermuka setan itu sudah berada di halaman depan
pondok. Memandang ke atas dia .melihat seseorang berdiri di atas atap. Dari
bentuk tubuh serta pakaian, apalagi orang itu tidak bertudung, si nenek segera
maklum, orang di atas atap bukansi tinggi besar berjubah putih yang disangkanya.
"Siapapun
manusia itu dia pasti bermaksud tidak baik! Malam-malam buta mendekam di atas
atap rumah orang!" membatin si nenek. Lalu dia segera hendak melompat ke
atas wuwungan sambil siapkan pukulan tangan kosong di tangan kanan, tapi
mendadak sudut matanya melihat bayangan sesuatu di sebelah kiri. Cepat dia
berpaling. Kejut amat sangat membuatnya tersurut ketika matanya membentur satu
sosok putih samar-samar di dalam kabut. Si nenek serta merta jatuhkan diri
berlutut, membungkuk dalam. Suaranya tercekat dalam ketika berucap.
"Ayah…."
Makhluk
dalam kabut bergerak mendekat. Lalu si nenek merasakan usapan halus di
kepalanya. Perlahan-lahan dia angkat wajahnya sedikit. Dekat sekali di depannya
berdiri seorang tua berselempang kain putih.
"Kalau
saja mata hati dan mata perasaanku tidak mendapat redho Gusti Allah, niscaya
aku tidak mengetahui bahwa yang ada di depanku saat ini adalah puteriku
sendiri. Ning Intan Lestari, berdirilah. Benar rupanya apa yang aku dengar.
Mengapa kau jadi seperti ini?"
Perlahan-lahan
si nenek muka setan yang dipanggil dengan nama Ning Intan Lestari bangkit
berdiri. Kepalanya masih ditundukkan, tak berani memandang pada orang tua di
depannya. Si orang tua pegang dagu si nenek lalu mengangkatnya hingga kini dia
dapat melihat dengan jelas wajah seram itu. Desah panjang keluar dari mulut
kakek berselempang kain putih.
"Anakku,
aku tahu penderitaanmu setinggi langit sedalam lautan. Tetapi sungguh aku tidak
menyangka kalau tidak melihat sendiri. Apa yang telah menyebabkan wajahmu cacat
begini rupa?"
"Ayah…."
Kembali
orang tua berselempang kain putih mendesah dalam. "Aku bisa mengerti,
simpan ucapanmu. Tak usah kau terangkan kalau itu hanya akan menambah beban
derita hatimu."
"Ayah,
maafkan kalau selama ini anakmu tidak pernah menyambangimu di puncak Gunung
Gede atau di Telaga Gajahmungkur. Pertemuan ini membuat anakmu ini merasa
sangat berdosa. Karena ayah yang datang mencari, bukannya saya yang mencari
ayah."
"Tak
ada rasa kecewa dalam hatiku. Aku datang menemuimu dengan satu harapan. Agar
kau bisa melupakan masa lalu. Lalu dalam sisa usiamu yang entah tinggal berapa
tahun lagi kau dapat menghabiskan dan menikmatinya sebagaimana layaknya manusia
yang pernah hidup di dunia ini. Sebagaimana layaknya seorang perempuan, seorang
gadis…."
"Ayah,
saya gembira bisa bertemu dengan Ayah. Tapi saya tidak tahu apa arti maksud
kedatangan Ayah" Si nenek tundukkan kepalanya, menyembunyikan sepasang
matanya yang mulai berkaca-kaca.
Kakek
berselempang kain putih pegang bahu si nenek lalu berkata. "Anakku, kau
tidak bisa hidup seperti ini terus menerus. Segala derita masa lalu harus
disingkirkan. Segala kehancuran hati dan jiwa masa silam harus dilenyapkan. Kau
lihat orang di atas atap pondok itu?"
Si nenek
melirik ke wuwungan pondok.
"Saya
lihat Ayah. Siapakah dia?" tanya si nenek.
"Kau
akan segera mengetahui, anakku." Si kakek lambaikan tangan kirinya.
Melihat isyarat ini, orang di atap pondok tampak bergerak. Sekali berkelebat
dia sudah berdiri di hadapan ke dua orang itu. Ternyata dia adalah seorang
kakek berwajah jernih, berusia sekitar delapan puluhan. Mengenakan pakaian
ringkas warna biru gelap, di usianya yang sudah sangat lanjut kakek ini tampak
gagah. Di masa mudanya pastilah dia merupakan seorang pemuda sangat cakap.
"Rana
Suwarte, aku sudah mengantarkanmu sampai ke hadapan orang yang selama ini kau
cari. Tugasku selesai. Semoga nasibmu beruntung dan kau bisa menemui
kebahagiaan."
"Kiai
Gede Tapa Pamungkas, saya sangat berterima kasih atas kebaikan Kiai…."
Kakek bernama Rana Suwarte berkata seraya membungkuk.
Orang tua
berselempang kain putih yang ternyata adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas, makhluk
setengah manusia setengah roh anggukkan kepala lalu berpaling pada si nenek.
"Anakku
Ning Intan Lestari, aku berharap malam ini segala derita sengsaramu selama ini
akan lenyap dan biarlah menjadi satu kenangan belaka. Kau harus menerima dan
bersedia menghadapi kenyataan yang datang padamu karena datangnya dari Yang
Maha Kuasa dan Maha Pengasih. Selamat tinggal anakku. Bungkus benakmu dengan
pikiran jernih. Urapi hatimu dengan kecintaan yang tulus. Aku harapkan kalian
berdua akan menemui kesepakatan demi kebahagiaan yang selama ini kalian
dambakan…."
"Kiai…."
Si nenek berucap.
Angin
malam berhembus kencang. Kabut mengapung naik. Sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas
lenyap dari pemandangan. Si nenek tersurut. Dia melirik sekilas pada kakek di
sampingnya, lalu tanpa berkata apa-apa dia segera hendak melangkah pergi.
"Intan,
tunggu!" kakek berwajah jernih bergerak mengejar..
Si nenek
bimbang sesaat. Kakinya sudah melangkah, namun diurungkan. Dia berhenti, dia
menunggu. Tidak berpaling pada si kakek, melainkan memandang ke jurusan lain.
Kakek bernama Rana Suwarte mendatangi, tegak dua langkah di hadapan si nenek.
Dia pandangi wajah buruk si nenek beberapa ketika. Rangkungannya turun naik
bertanda dia tengah menahan gejolak hati yang sulit diutarakan. Akhirnya
mulutnya berucap juga.
"Intan,
kalau tidak ditolong dan diantar sendiri oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas, mungkin
aku tidak akan pernah bisa mencarimu. Aku tidak tahu kalau selama ini orang
yang memakai julukan Gondoruwo Patah Hati itu sebenarnya adalah engkau."
Ning
Intan Lestari melirik, tapi tetap tak bergerak, juga tidak menjawab ucapan
orang.
"Intan,
ketahuilah berpuluh tahun aku mencarimu. Aku merasa bersyukur pada Gusti Allah,
saat ini akhirnya dengan pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas akhirnya aku bisa
menemuimu…."
"Puluhan
tahun adalah waktu yang sangat panjang. Mengapa kau bersusah payah
mencariku…?" tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan.
"Apakah
aku masih perlu menerangkan, padahal hatimu tentu sudah menduga mengapa aku
melakukan semua itu."
"Maafkan.
Tidak, aku tidak bisa menduga. Puluhan tahun terlalu lama untuk
mengingat-ingat. Aku sudah hampir pikun," jawab nenek muka setan.
Rana
Suwarte terdiam sesaat, hanya matanya yang tak berhenti menatapi wajah si
nenek. Dalam hati kakek ini berkata. "Dia berkata dusta. Mustahil tidak
tahu mengapa aku mencari dan ingin menemuinya. Tapi aku dapat memaklumi. Derita
masa silam yang begitu parah terlalu sulit untuk disembuhkan."
"Intan,
terus terang, aku tidak malu-malu mengatakan. Apalagi tadi Kiai sempat
menerangkan. Aku mencarimu karena perasaan hatiku terhadapmu sejak puluhan
tahun lalu tidak pernah berubah. Aku masih tetap mengharapkan…."
"Mengharapkan
apa?" si nenek memotong.
"Sejak
kita berpisah, kita telah dilanda gelombang kepedihan hati dan jiwa. Dalam
semua derita sengsara itu sampai saat ini kau masih tetap seorang gadis, aku
sendiri sampai saat ini masih tetap perjaka. Kita sama-sama memiliki ketabahan
hati. Mungkin itu satu pertanda bahwa dalam derita dan ketabahan hati itu kita
bisa bersatu.Mewujudkan cita-cita di masa muda…."
"Cita-cita
apa?" tanya si nenek.
Pertanyaan
itu membuat Rana Suwarte bersemu merah wajahnya. Tapi dengan sabar, malah
dengan mengulum senyum dia berucap.
"Intan,
tujuh puluh tahun lebih kau hidup dalam beban kepatahan hati. Apakah itu tidak
cukup? Apakah kau tidak mendambakan satu kehidupan yang lebih baik. Kau harus
mengubur gelar yang diberikan orang-orang padamu. Gelar Gondoruwo Patah Hati
itu tidak pantas bagi dirimu. Kau tahu Intan, aku mencintaimu sepenuh
hati…."
"Setelah
melihat wajahku yang seperti setan ini, apakah kau masih mencintaiku?"
"
Kasih sayangku padamu, cinta kasihku padamu, tidak pernah berubah. Dari dulu
sampai sekarang. Apapun yang terjadi dengan dirimu…."
Dalam
hatinya si nenek berkata. "Manusia gila! Bagaimana mungkin dia bisa
berkata begitu? Janganjangan
"Kau
berdusta! Mukaku cacat buruk begini rupa, lebih seram dari setan. Dan kau
mengatakan masih mencintai diriku. Siapa orangnya yang bisa percaya? Kau tidak
buta, kau bisa melihat dunia ini dengan segala isinya. Puluh perempuan cantik
bertebaran di mana-mana. Jika kau memang menginginkan kehidupan berumah tangga,
perempuan-perempuan itu lebih pantas bagimu daripada nenek cacat bermuka setan
seperti aku ini."
"Intan,
jika seandainya aku menginginkan perempuan lain, sudah sejak lama aku berumah
tangga. Jika aku tidak mengasihimu sepenuh hati, tidak mungkin aku meminta
pertolongan Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk mencarimu. Kini setelah bertemu, aku
mohon jangan kau tolak diri tua buruk ini. Hidup kita berdua mungkin tidak
berapa lama lagi. Mengapa sisa hidup itu harus kita jalani dengan
kesia-siaan?"
"Aku
tidak merasa sisa hidupku sebagai satu kesiasiaan…."
"Mulutmu
bisa berkata begitu. Tetapi hatimu mungkin berbeda. Intan, aku ingin membawamu
ke Telaga di puncak Gunung Gede, meminta restu Kiai Tapa Gede Pamungkas…."
"Gunung
Gede…." Si nenek mengucapkan kata-kata itu sambil tersenyum. Ini untuk
pertama kali si kakek melihat Intan Lestari tersenyum. Dia merasa ada sekelumit
harapan muncul, namun jadi terkesima ketika mendengar si nenek melanjutkan
ucapannya. "Di puncak Gunung Gede, bukankah di situ juga merupakan tempat
kediaman Sinto Weni yang lebih dikenal dengan nama Sinto Gendeng, orang yang
pernah menjalin cinta kasih denganmu di masa muda?"
Kakek
bermuka jernih berpakaian ringkas biru menarik nafas dalam. "Intan, kau
mungkin salah menyirap kabar. Antara aku dan Sinto Gendeng tidak ada jalinan
hubungan apa-apa. Dimasa muda dia memang pernah tinggal di tempat kediaman
guruku, untuk menjadi teman latihan ilmu silat. Kiai Gede Tapa Pamungkas juga
mengetahui hal ini. Kemudian Sinto Gendeng pergi bersama pemuda bernama Sukat
Tandika yang dikenal dengan julukan Tua Gila Dari Andalas. Entah bagaimana
kelanjutannya, yang jelas Sukat Tandikapun ditinggalkannya. Kabarnya dia
melarikan sebuah pedang pusaka…." (Baca serial Wiro Sableng Episode
"Tua Gila Dari Andalas" sampai "Gerhana Di Gajahmungkur"
terdiri dari 11 Episode)
"Kau
merasa dipermainkan bahkan mungkin ditipu oleh Sinto Gendeng, lalu berpaling
padaku?"
Rana
Suwarte gelengkan kepala. "Sinto Gendeng tidak mempermainkan diriku, juga tidak
menipu. Antara kami memang tidak ada hubungan apa-apa selain persahabatan
karena dikenalkan oleh guru masing-masing…."
Wajah
setan si nenek kembali tersenyum. "Aku perlu menjajagi apa ucapanmu itu
betul adanya. Tapi apa ada gunanya? Maafkan aku, aku ada keperluan lain. Aku
terpaksa meninggalkanmu."
"Intan,
aku mohon," si kakek cepat bergerak dan berdiri di hadapan orang yang
dikasihinya itu.
"Dengar,"
si nenek berkata seraya mundur satu langkah. "Aku hargai perasaanmu dan
aku berterima kasih. Tapi aku tidak menerima semua ucapan dan hasratmu. Antara
kita biar tetap menjadi dua sahabat. Tidak lebih dari itu…."
"Intan,
Kiai Gede Tapa Pamungkas akan sangat kecewa…."
"Kiai
adalah orang ketiga. Yang mengambil keputusan adalah kita berdua."
"Aku
sudah mengambil keputusan. Aku ingin kau menjadi istriku. Dengan sepenuh
hati."
"Terima
kasih kalau memang itu keputusanmu. Tapi aku belum bisa memberikan keputusan
yang sama…."
"Sekarang
belum, mungkin nanti. Aku akan menunggu. Sampai kapanpun," kata Rana
Suwarte pula.
"Mungkin
keputusan itu tidak akan pernah aku ambil. Maaf kalau aku mengatakan perasaanku
apa adanya.""Intan, aku harap kau sudi merenung, memikirkan…."
"Aku
sudah terlalu lama merenung dan berpikir hingga menjadi tua bangka tak berguna
seperti ini."
"Kau,
kau bukan tua bangka tak berguna Intan. Kau segala akhir dari harapanku…"
si kakek berusaha mendekat sambil ulurkan tangan hendak memegang lengan si
nenek, tapi perempuan tua itu cepat bersurut.
"Maafkan
aku. Harapanmu terlalu indah, aku tidak bisa menerimanya. Aku pergi
sekarang…."
Rana
Suwarte tampak benar-benar kecewa. Dua matanya dipejamkan dan mulutnya berucap.
"Intan, ini satu kenyataan dari harapanku yang tidak terduga. Teganya
hatimu. Seandainya kau menusukkan pisau panjang menghunjam jantungku tembus
sampai ke punggung mungkin tidak seperti ini sakitnya. Sebelum kau pergi, ada
satu pertanyaan yang aku ingin kau menjawabnya dengan segala kejujuran…."
"Kejujuran,
apakah di dunia ini masih ada apa yang dinamakan kejujuran?" bertanya si
nenek.
"Kejujuran
selalu ada dalam setiap lubuk hati sanubari manusia. Hanya saja kadang-kadang
manusia sengaja menyembunyikannya, apapun alasannya."
Ning
Intan Lestari tersenyum. "Baiklah, apa yang hendak kau tanyakan?"
"Kau
menolak maksud baikku, apakah karena kau belum lama ini mengetahui bahwa
seorang yang pernah kau cintai di masa muda telah muncul kembali?"
Tergetar
hati si nenek mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu. Tapi dengan
cepat dia ajukan pertanyaan.
"Siapa
maksudmu? Siapa orang yang aku cintai di masa muda itu?"
"Kau
tahu siapa orangnya. Mengapa harus pura-pura balik bertanya?"
Si nenek
mendongak ke langit kelam. Lalu tertawa panjang.
"Suara
tawamu aneh terdengar di telingaku. Intan. Ada getaran hati menggema dalam
gaung tawamu. Seolah, menyatakan bahwa memang begitulah sebenarnya alasanmu
menolak hasrat baikku."
"Maafkan
aku. Agaknya aku belum bisa menjadi orang jujur. Aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu. Selamat tinggal. Jangan coba mencariku lagi."
"Intan,
tunggu!"
Tapi si
nenek bernama Ning Intan Lestari telah berkelebat lenyap, meninggalkan Rana
Suwarte termangu seorang diri. Wajahnya yang jernih tampak mengelam.
"Dunia
penuh keanehan. Bagaimana bisa terjadi seseorang menolak kebaikan yang datang dari
hati yang putih bersih? Intan, aku tahu kau mencintai orang itu. Jika kau
menolakku, bukan berarti kau akan mendapatkan dirinya. Puluhan tahun aku
menunggu, sekarang mungkin sudah kepalang tanggung." Rana Suwarte kepalkan
dua tinjunya lalu diletakkan di atas kepala. Dua gelungan asap mengepul keluar
dari tangan yang dikepalkan. Si kakek ternyata tidak dapat mengendalikan tenaga
dalam akibat gejolak yang membakar dirinya.
*********************
11
KITA
kembali ke puncak bukit teh di Karangmojo. Walau hampir berhasil menyentuh
Kapak Maut Naga Geni 212 namun mendengar deru angin keras menerjangnya dari
samping dengan cepat Ki Sepuh Item menyingkir selamatkan diri sambil pukulkan
tongkat tulang putihnya. Dari lobang-lobang di badan tongkat menggema suara
seruling seperti ditiup berbarengan, menggetarkan gendang-gendang telinga.
Wiro
terkesiap. Bukan saja tendangannya hanya mengenai tempat kosong, tapi angin
yang keluar dari lobang-lobang tongkat tulang putih lawan terasa dingin
mencucuk, membuat kakinya yang masih terulur seperti ditusuk puluhan jarum dan
mendadak sontak terasa kaku. Cepat-cepat murid Sinto Gendeng tarik pulang
kakinya lalu jatuhkan diri di tanah. Sambil bergulingan Wiro sambar kapak
saktinya.
Ki Sepuh
Hitam alias Si Tongkat Akhirat melintangkan tongkat tulangnya di depan dada
lalu umbar tawa bergelak.
"Pendekar
212! Kekasihmu gadis makhluk alam roh sudah diringkus Iblis Kepala Batu Alis
Empat! Sekarang siapa yang hendak kau andalkan menjadi penyelamat
nyawamu?!"
Habis
berucap begitu kakek berkulit hitam ini sabetkan tongkat saktinya ke depan.
Wusss! Selarik angin mengeluarkan asap putih menyambar ke arah Wiro. Dari bau
aneh yang bertabur dalam tebaran asap Pendekar 212 segera maklum kalau asap
yang keluar dari dalam tongkat tulang itu mengandung racun jahat. Sambil
melompat mundur dan menutup penciumannya Wiro pukulkan tangan kirinya ke arah
lawan.
Satu
gelombang angin melabrak ke arah ki Sepuh Item.
"Cuma
pukulan Benteng Topan Melanda Samuderal Siapa takut!" seru si kakek.
Sambil melompat ke samping dia gerakkan tangannya yang memegang tongkat.
Murid
Sinto Gendeng bukan saja penasaran melihat lawan tahu nama pukulan yang
dilancarkannya, namun juga jengkel karena angin yang keluar dari sambaran
tongkat Ki Sepu Item membuat amblas pukulan saktinya sementara tangan kirinya
tergetar hebat. Sebenarnya Ki Sepuh Item sendiri merasakan dadanya mendenyut
sakit akibat bentrokan itu namun dia mampu menyembunyikan keterkejutannya. Dia
tidak menyangka pemuda lawannya memiliki tingkat tenaga dalam demikian tinggi.
Didahului
teriakan keras Wiro kembali menyerbu. Kali ini dia menghantam dengan Kapak Maut
Naga Geni212.
Satu
cahaya putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas menyambar dan dengung suara
tawon mengamuk memenuhi udara.
Sambil
lindungi matanya yang silau dengan tangan kiri, Ki Sepuh Item membuat gerakan
aneh. Tubuhnya yang bungkuk meliuk rendah, tongkat di tangan kanannya bergetar
keras hingga berubah menjadi enam buah. Luar biasanya, ke enam ujung tongkat
menyusup tembus ke arah tangan kanan lawan lalu memukul!
"Traang!"
Wiro
berseru kaget. Tangan kanannya bergetar hebat.
Selagi
dia berusaha bertahan hawa panas yang keluar dari kapak sakti membalik memukul
ke arah tangan dan sisi tubuhnya sebelah kanan. Pendekar 212 berseru keras.
Genggaman tangannya pada gagang kapak goyah. Ketika lawan menggerakkan tangan
kanannya kembali, tongkat berubah lagi menjadi enam buah dan menabur serangan
ke arah dada, leher serta kepala, mau tak mau murid Sinto Gendeng melompat
mundur sambil babatkan senjata. Mata kapak membabat ke arah pinggang lawan.
Saat itulah tongkat tulang mengayun dari bawah ke atas.
"Traang!"
Untuk ke
dua kalinya dua senjata, kapak dan tulang saling beradu di udara. Wiro berseru
kaget. Kapak sakti terlepas dari genggamannya, mental ke udara. Sebaliknya Ki
Sepuh Item tak kalah kejutnya ketika meneliti dia dapatkan ujung tongkat
tulangnya telah berkurang satu jengkal, putus dibabat Kapak Maut Naga Geni 212!
Selagi lawan terkesiap, Wiro cepat melompat ke udara, menyambar kapak sakti
yang melayang jatuh.
"Kehebatan
kapak itu ternyata bukan cuma nama kosong!" kata Ki Sepuh Item dalam hati.
"Dari pada mencari penyakit, aku harus cepat-cepat menyudahi pertempuran
ini!"
Kakek
berkulit gosong ini angkat tangan kirinya sebatas tinggi telinga kiri. Telapak
dibentang begitu rupa, diarahkan pada lawan. Bersamaan dengan itu tongkat
tulangnya diarahkan ke depan, menjaga jarak sehingga lawan tidak mudah
mendekatinya.’Ki Sepuh Item melirik pada muridnya Iblis Batu Hitam dan Momok
Dempet Tunggul Gono.
"Kalian
berdua, apakah tidak ingin berebut pahala membereskan manusia satu ini?
Membalas dendam dan mencari jasa pada Kerajaan?!"
Walau
memang mendendam berat pada Pendekar 212 Wiro Sableng namun sejak tadi dua
orang itu tidak mau ikut terjun ke dalam pertempuran. Bukan saja karena merasa
sungkan terhadap Ki Sepuh Item, tetapi juga karena diam-diam merasa jerih
terhadap Wiro. Tunggul Gono masih menderita sakit luar biasa akibat selongsong
besi tangan kirinya putus dan membakar ujung lengannya. Sementara Iblis Hitam
masih melepuh sakit tangan-kanannya. Semua akibat hantaman cahaya merah membara
yang dilepas Bunga dari sepasang matanya.
Didahului
satu bentakan garang, Ki Sepuh Item melesat ke depan. Tangan kanan yang
memegang tongkat bergerak. Tongkat tulang bergetar mengeluarkan angin deras dan
suara seperti beberapa seruling ditiup berbarengan. Tongkat yang berubah
menjadi banyak itu menerpa ganas, menebar mengurung Wiro dari enam penjuru.
Sambil
menyerang dengan tongkat tulang putih, tangan kiri Ki Sepuh Item tak berhenti
bergerak. Dari telapak tangannya yang dikembangkan, seperti ada kaca memantul
cahaya, menyambar menyilaukan dua mata Pendekar 212. Inilah ilmu kesaktian yang
disebut Kaca Hantu. Pada telapak tangan kirinya itu Ki Sepuh menanam sejenis
susuk. Jika dia mengerahkan tenaga dalam maka telapak tangannya bisa
memancarkan cahaya menyilaukan seperti pantulan sinar matahari jatuh ke atas
kaca.
"Sialan!
Ilmu setan apa yang ada di telapak tangan makhluk gosong pantat kuali
ini!" geram Wiro dalam hati.
Lima
jurus pertama murid Sinto Gendeng benarbenar dibuat kelabakan. Serangan
tongkat lawan laksana curahan air hujan. Gerakan kapaknya untuk melindungi diri
ataupun balas menyerang seperti ditekan hingga dia tidak bisa leluasa bergerak.
Dua kaki Wiro bergerak dalam jurus-jurus silat "Orang Gila" yang
didapatnya dari Tua Gila sedang gerakan kapak mengandalkan jurus-jurus silat
yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng.
Ilmu
tongkat yang dimiliki Ki Sepuh Item sebenarnya tidaklah terlalu hebat. Namun
jurus-jurusnya memiliki daya susup yang tidak terduga selain tongkat itu
sendiri memang luar biasa. Disamping itu cahaya menyilaukan yang keluar dari
telapak tangan Ki Sepuh membuat Wiro kadang-kadang mati langkah karena
kesilauan.
Setelah
bertahan sampai lima belas jurus, dalam satu gebrakan hebat kakek kulit gosong
ini berhasil susupkan satu tusukan ke arah lambung Wiro. Murid Sinto Gendeng
cepat berkelit tapi masih terlambat.
"Breettt!"
Masih
untung cuma baju putihnya yang kena disambar robek. Kalau sampai lambungnya
yang dimakan, isi perutnya pasti akan keluar berbusaian.
Ki Sepuh
Item tertawa bergelak. Saat itu Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam mulai
bergerak memasuki kalangan pertempuran. Iblis Batu Hitam mencekal golok mata
duanya yang telah berubah menjadi besi hitam. Sementara Tunggul Gono yang tidak
punya senjata hanya mengandalkan tangan kosong.
Seperti
diketahui walau tangannya kini cuma satu yaitu tangan kanan sedang tangan kiri
buntung dan cidera hebat, namun Tunggul Gono masih sanggup. melancarkan
serangan-serangan berupa pukulan sakti seperti Ladam Setan, Palu dan Ladam
Membongkar Bumi. Menghadapi Ki Sepuh Item sendirian Wiro sudah banyak mendapat
kesulitan.
Apalagi
kalau dikeroyok tiga. Selain itu dia agak sulit memusatkan perhatian karena
sedikit banyak pikirannya terbagi pada Bunga yang telah diculik dan dimasukkan
ke dalam guci tembaga oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat.
Ketika
ketiga orang itu sama-sama menggebrak, mulai menggempurnya, dari balik pinggang
Wiro keluarkan batu hitam pasangan kapak sakti. Melihat ini Ki Sepuh Item
segera berteriak memberi ingat pada Tunggul Gono dan Iblis Batu Hitam.
"Awas!
Dia hendak menyulut api membakar kita!"
Memang
betul. Baru saja teriakan kakek kulit gosong itu lenyap, Wiro telah menempelkan
batu hitam ke mata kapak lalu digeser kuat-kuat dengan pengerahan tenaga dalam.
"Wuss!"
Lidah api
menyambar. Tiga orang di depan sana berteriak, berlompatan berserabutan. Sekali
lagi lidah api menggebubu, lagi dan lagi. Tetapi yang diserang Wiro sebenarnya
bukan langsung ke tiga lawannya itu, melainkan pohon-pohon teh sekitar mereka.
Dalam waktu beberapa kejapan mata saja api mengurung dimana-mana.
Di balik
pohon besar. Damar Wulung yang masih duduk di atas kuda coklatnya menyaksikan
pertempuran dengan asyik kini terheran-heran.
"Apa
perlunya pemuda gondrong itu menyemburkan api sakti demikian rupa? Untuk
mengacaukan lawan?"
Selagi
ketiga orang dibuat kalang kabut terkurung api, tiba-tiba terdengar suara
reettttt! Menyusul teriakan Tunggul Gono.
"Awas!
Ilmu hantu membelah bumi!"
Iblis
Batu Hitam dan gurunya si kakek muka gosong tidak mengerti apa yang dimaksudkan
Tunggul Gono berteriak seperti itu. Mereka baru sadar dan samasama berteriak
kaget ketika melihat bagaimana tanah di depan mereka terkuak membelah, bergerak
mengejar ke arah kaki-kaki mereka!
Ki Sepuh
Item pukulkan tongkatnya ke tanah. Maksudnya menghentikan gerakan tanah yang
membelah dan memburu ke arahnya. Hantaman tombak membuat tanah terbongkar dan
malah mempercepat gerak tanah yang membelah. Hendak lari api telah mengurung.
Hendak melompat ke atas, pemandangan tertutup oleh asap tebal yang mengepul
dari pohonpohon teh yang terbakar.
"Jahanam
celaka!" maki Ki Sepuh Item. Tengkuknya dingin, mata mendelik ketika
menyaksikan bagaimana sosok Tunggul Gono dan muridnya Iblis Batu Hitam
terperosok masuk ke dalam tanah yang membelah.
Jeritan
mereka lenyap bersamaan dengan lenyap amblasnya sosok ke dua orang itu ke dalam
tanah!
Dalam
keadaan maut sudah di depan mata seperti itu, tiba-tiba terdengar suara derap
kaki kuda cepat sekali. Lalu satu tangan kuat kokoh menyambar pinggang Ki Sepuh
Item. Tubuhnya seperti melayang di udara, dibawa keluar dari kurungan api,
selamat dari jepitan tanah.
Di luar
kurungan api Pendekar 212 terkesiap kaget. Di bawah bayang-bayang kobaran api
dia melihat seekor kuda coklat berhidung putih ditunggangi seorang yang tiarap
di atas punggung binatang itu. Dia hanya sempat melihat sekilas pintas wajah si
penunggang. Setelah itu kuda dan penunggangnya lenyap di arah timur bukit.
Memandang ke depan, sosok Ki Sepuh Item tak kelihatan lagi.
"Setan
alas! Siapa penunggang kuda coklat yang menyelamatkan kakek gosong pantat kuali
itu?! Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya. Sial! Seharusnya tadi aku
hantam dengan pukulan Sinar Matahari!" Wiro memaki marah, garuk-garuk
kepala habis-habisan.
DI KAKI
bukit teh, saat itu keadaan masih gelap dan udara dingin. Di satu tempat yang
datar penunggang kuda coklat menjatuhkan sosok Ki Sepuh Item ke tanah kemudian
melompat turun dari punggung tunggangannya.
Ki Sepuh
Item sesaat bergulingan lalu melompat dan tegak berdiri. Dia langsung menghadap
ke arah penunggang kuda yang barusan melompat turun. Dia tidak menyangka kalau
yang telah menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda belia.
"Anak
muda, kau telah menolong diriku! Namun siapa dirimu aku belum tahu! Lalu
mengapa kau sampai berbaik hati menyelamatkanku?!" Ki Sepuh Item alias Si
Tongkat Akhirat menegur tapi sama sekali tidak membungkuk atau memberi
penghormatan sebagaimana lazimnya orang yang telah ditolong.
"Namaku
Damar Wulung! Setiap budi kebaikan pasti ada balas imbalannya. Bukankah
begitu?!" Pemuda berpakaian kuning celana hitam mengaku bernama Damar
Wulung menyahuti.
Kening Ki
Sepuh Item mengerenyit. Alis kiri kanan mencuat naik. "Kalau saat ini aku
bisa membalas budimu akan aku lakukan sekarang juga! Harap kau mau mengatakan
bagaimana aku harus membalas budi kebaikanmu agar diantara kita tidak ada
segala hutang piutang!"
Damar
Wulung tertawa.
"Bagiku
segala hutang piutang tidak perlu ditagih cepat-cepat. Makin lama makin baik
karena ada bunganya. Bukan begitu? Ha… ha… ha!"
"Anak
muda bernama Damar Wulung, apa maksudmu?" Ki Sepuh Item jadi merasa tidak
enak.
"Kelak
satu hari aku akan muncul untuk minta balas imbal budi baik menyelamatkan
nyawamu malam ini! Ingat itu baik-baik."
"Aku
akan ingat dan aku akan lakukan!" jawab si kakek penasaran, terlebih
ketika dilihatnya begitu saja pemuda itu melompat naik ke atas punggung kudanya
seolah tidak mengacuhkan dirinya.
"Kau
mau kemana?" bertanya Ki Sepuh Item.
"Apakah
perlu aku katakan padamu?!"
"Sialan!"
maki si kakek dalam hati. "Mentangmentang sudah menolongku, aku dianggap
rendah saja."
Masih
penasaran Ki Sepuh Item kembali bertanya. "Jika aku memerlukan dirimu,
kemana aku harus mencari?"
"Kau
tak perlu mencariku. Karena aku yang akan mencarimu!"
"Benar-benar
kurang ajar!" rutuk Ki Sepuh Item lagi-lagi dalam hati. Dengan mata tak
berkedip dia perhatikan pemuda itu memutar kudanya lalu menghambur pergi dari
tempat itu.
"Pemuda
aneh, kurang ajar! Siapa dia sebenarnya! Damar Wulung…. Damar Wulung. Apakah
aku pernah mendengar nama itu sebelumnya?" Ki Sepuh Item coba
mengingat-ingat. Tiba-tiba dipukulnya kening sendiri."Astaga, nama itu!
Damar Wulung! Bukankah itu pemuda yang menimbulkan kehebohan di Keraton? Dia
kabarnya yang menggulung kepala rampok hutan Roban Warok Mata Api! Yang
kemudian menipu Tumenggung Cokro Pambudi dengan Keris Kiai Naga Kopek palsu!
Dia belum tentu manusia baik-baik. Jelas! Tapi mengapa dia menolong
menyelamatkan diriku? Ada sesuatu yang disembunyikannya dibalik pertolongan
ini? Persetan! Mengapa aku terlalu memikirkan pemuda itu! Yang harus aku
pikirkan adalah mencari manusia bernama Wiro Sableng yang telah membunuh
muridku dan Tunggul Gono. Dia menipuku dengan serangan lidah api. Lalu membunuh
dengan ilmu jahanam aneh yang bisa membelah tanah! Muridku Iblis Batu Hitam,
aku akan membalaskan dendam kematianmu!" Ki Sepuh Item jadi merinding
sendiri bila dia ingat kematian yang dialami muridnya. Tanah terbelah. Iblis
Batu Hitam menjerit. Suara jeritan dan tubuhnya kemudian amblas lenyap di dalam
tanah yang kembali menyatu.
"Seumur
hidup belum pernah aku menyaksikan ilmu mengerikan seperti itu. Aku yakin Sinto
Gendeng sekalipun tidak memiliki ilmu celaka itu! dari mana pemuda jahanam itu
mendapatkan ilmu keparat yang bisa membelah tanah dan mengubur amblas
hidup-hidup muridku dan si Tunggul Gono. Wiro Sableng tunggu
*********************
12
WIRO
duduk di bawah pohon besar di puncak bukit teh. Matanya mengawasi sisa-sisa
kobaran api dan kepulan asap. Apa yang telah dilakukannya dalam menghadapi tiga
pengeroyok tadi membuat Wiro ingat pada Luhrembulan, gadis cantik di Negeri
Latanahsilam yang ujud sebenarnya adalah seorang nenek buruk berjuluk Hantu
Santet Laknat. (Baca petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam terdiri dari 18
Episode)
"Selama
di tanah Jawa, sudah dua kali aku mengeluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot
Arwah. Kalau dulu dia tidak memaksa memberikan ilmu itu padaku, dapat
dibayangkan apa yang terjadi dengan diriku. Mati sia-sia. Bagaimana keadaannya
sekarang? Masih di negeri seribu dua ratus tahun silam itu atau mungkin sudah
terpesat pula ke tanah Jawa seperti yang terjadi dengan Luhjahilio? Ingin
sekali rasanya aku bertemu dengan dia."
Dalam
keadaan termenung dan mengingat-ingat seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar
suara derap kaki kuda banyak sekali. Datangnya dari kaki bukit teh sebelah
selatan. Wiro berdiri, melangkah ke tempat ketinggian lalu memandang ke bawah.
Dia melihat obor barisan banyak sekali. Di bawah nyala api obor tampak para
penunggang kuda. Hampir semuanya mengenakan pakaian seragam pasukan Kerajaan.
Hanya beberapa orang saja di sebelah depan tidak berseragam.
"Aneh,
satu pasukan besar Kerajaan naik ke puncak bukit ini? Ada apa? Mungkin
gara-gara melihat pohon teh yang terbakar?"
Menjelang
mencapai puncak bukit, di satu lereng pasukan besar itu berpencar membentuk
lingkaran. Lalu perlahan-lahan dalam gerakan mengurung mendaki naik ke atas.
Karena
merasa kehadiran pasukan kerajaan itu tidak ada sangkut paut dengan dirinya,
murid Sinto Gendeng tidak beranjak dari tempatnya. Malah ada rasa ingin tahu
apa yang hendak diperbuat oleh orang-orang itu.
Rombongan
pasukan kerajaan semakin dekat, akhirnya sampai di puncak bukit. Wiro memandang
berkeliling. Dia baru menyadari, bahwa berdiri di bawah pohon besar itu dirinya
terkurung di tengah-tengah lingkaran pasukan yang ternyata hampir dua ratus
orang banyaknya!
Ketika
dia menyadari hal itu tiba-tiba seorang prajurit di ujung kiri berteriak.
"Perwira
Kepala! Orang yang kita cari ternyata memang ada di puncak bukit! Lihat ke
bawah pohon besar sana!"
Wiro
mulai merasa tidak enak. Dia memperhatikan ke arah prajurit yang barusan
berteriak. Dilihatnya seorang berseragam Perwira Kerajaan memandang ke arahnya.
Perwira ini lalu menggerakkan kudanya mende-kati kelompok penunggang kuda
lainnya. Dipating depan ada orang berpakaian kebesaran serba merah. Wiro segera
mengenali. Orang itu bukan lain adalah Raden Mas Selo Kaliangan, Patih
Kerajaan.
"Kalau
tak ada perkara besar, tidak nanti Patih Kerajaan langsung turun tangan,"
membatin Wiro.
Disekitar
sang patih ada beberapa penunggang kuda yang dari pakaian serta sikap dan gerak
gerik mereka mudah diketahui kalau mereka adalah para tokoh silat Istana.
Setelah
menerima laporan dari Perwira Kepala, Patih Selo Kaliangan memberi isyarat pada
orang-orang disekitarnya. Mereka berjumlah lima orang. Kelima orang ini lalu
mendahului menggebrak kuda masingmasing ke arah pohon besar tempat Wiro
berdiri, sang patih menyusul sementara Perwira Kepala tadi memberi tanda pada
ratusan prajurit untuk bergerak naik ke atas puncak bukit, mempersempit
lingkaran mengurung.
Para
tokoh silat utama yang mendampingi Pati Selo Kaliangan, yang pertama adalah
Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Mukanya masih tampak pucat karena belum sembuh
benar dari racun miliknya sendiri yang terhisap ke dalam tubuhnya akibat
hantaman Pendekar Pelangi ketika dia dipergoki hendak menggagahi Kinasih.
(Baca
Episode "Roh Dalam Keraton")
Sebelumnya
dia memiliki sebuah senjata yakni seutas tali kuning yang bisa mengeluarkan
jarum maut. Seperti diketahui senjata andalannya telah musnah di tangan
Pendekar Kipas Pelangi. Sebenarnya Patih Kerajaan tidak begitu suka membawa
tokoh silat satu ini, apalagi diketahui dia telah menculik Kinasih. Namun
karena tenaganya diperlukan maka mau tak mau dia diajak serta bersama rombongan
pasukan besar itu. Biasanya dia selalu mengenakan jubah kelabu. Tapi sekali ini
Hantu Muka Licin mengenakan sehelai baju biru dan celana komprang juga berwarna
biru.
Orang
kedua dalam rombongan besar itu adalah Tumenggung Cokro Pambudi. Tumenggung ini
memaksakan diri ikut bersama rombongan karena ingin menelusuri jejak Damar
Wulung yang lenyap begitu saja.
Tokoh
silat ke tiga seorang lelaki separuh baya berwajah merah seperti udang rebus.
Dulu dia adalah seorang pentolan bajak sungai yang sangat ganas. Beberapa tahun
lalu dia bertobat melakukan kejahatan dan mengabdi menjadi tokoh silat Istana.
Nama
sebenarnya tidak ada yang tahu, dia hanya dikenal dengan julukan Sanca Merah
Bengawan So/o. Bajak sungai ini memang mempunyai sejenis ilmu aneh.
Sekali
dia bisa menempelkan tangan atau kakinya ke tubuh lawan maka dengan cepat dia
bisa menggulung tubuh itu seperti seekor ular. Lawan yang kena digulung akan
menemui ajal dalam keadaan luluh hancur tulang belulangnya mulai dari batok
kepala sampai ujung kaki!
Di samping
Sanca Merah Bengawan Solo, di atas seekor kuda hitam bertotol kelabu, duduk
tokoh silat Istana ke empat. Dia adalah seorang lelaki berusia enam puluh
tahun, berwajah gagah dan berpakaian sangat rapi lengkap dengan blangkon. Orang
ini membekal sebilah keris.
Tidak
seperti kebiasaan dimana orang membawa keris di pinggang sebelah belakang,
lelaki ini membawa keris di pinggang sebelah depan. Dan tidak cuma satu, tapi
sekaligus dua di pinggang kiri kanan. Dia diketahui bernama Jalak Kumboro,
bergelar Pendekar Keris Kembar. Ilmu silatnya tinggi, otaknya terkenal cerdas.
Kabarnya dia berhasrat besar hendak menduduki jabatan Patih Kerajaan. Apalagi
konon dia masih keponakan seorang Pangeran yang sangat dihormati di kalangan
Keraton. Selama ini dia lebih banyak berada di Surokerto. Namun begitu
mendengar banyak huru-hara terjadi di Kotaraja maka dia menyempatkan diri untuk
lebih banyak berada di Keraton.
Tokoh
silat terakhir atau ke lima yang ikut bersama, rombongan pasukan besar yang
dipimpin langsung Patih Kerajaan adalah seorang kakek aneh. Kepalanya yang
botak dicat kuning. Di hidungnya menyantel sebuah anting-anting. Walau
pakaiannya tak kalah bagus dengan yang dikenakan Jalak Kumboro namun dia
menunggang kuda dengan bertelanjang kaki. Mungkin ada sebabnya dia tidak
mengenakan alas atau penutup kaki.
Karena
seperti yang terlihat sepuluh kuku jari kakinya panjang-panjang dan berwarna
hitam kebirubiruan.
Di
Kotaraja, kakek kepala plontos kuning ini dikenal dengan julukan Si Bisu
Penyabut Nyawa Tanpa Suara. Gelar ini memang cocok dengan keadaan dirinya
karena selain bisu atau tidak bisa bicara, jika membunuh dia melakukan tanpa
suara sama sekali. Kebanyakan dari musuh yang menjadi korbannya menemui ajal
akibat hunjaman kuku-kuku kakinya yang hitam angker.
Walau hatinya
semakin tidak enak namun murid Sinto Gendeng tetap berdiri tenang di bawah
pohon. Dia melihat Patih Kerajaan menyeruak diantara para tokoh silat Istana,
bergerak mendekati. Begitu sang patih berada di hadapannya, sebagaimana
lazimnya rakyat biasa Wiro segera membungkuk memberi hormat.
‘
"Pendekar 212 Wiro Sableng," berucap sang patih. "Aku
benar-benar merasa menyesal mengikuti anjuran mendiang Malaikat Alis Biru
membebaskanmu dari penjara. Ternyata kau adalah seorang pembunuh keji!"
Murid
Sinto Gendeng terkejut. "Patih Kerajaan, mohon saya diberitahu…."
Saat itu
Perwira Kepala sudah berada di hadapan Wiro. Dia memandang ke arah Patih
Kerajaan menunggu isyarat. Ketika sang patih anggukkan kepala Perwira ini cepat
berkata dengan suara lantang.
"Pendekar
212 Wiro Sableng! Atas nama Kerajaan kau kami tangkap dan saat ini juga dibawa
ke Kotaraja. Kau dituduh dengan bukti-bukti telah melakukan beberapa
pembunuhan!"
Wiro
pandangi wajah Perwira Kepala itu sesaat lalu berpaling pada Patih Selo
Kaliangan.
"Patih
Kerajaan, mohon diberitahu kesalahan saya. Siapa saja yang saya bunuh…."
Patih
Selo Kaliangan goyangkan kepalanya pada Perwira Kepala. Sang perwira kembali
membuka mulut.
"Kau
diketahui membunuh seorang prajurit petugas kepenjaraan bernama Lodan. Lalu kau
juga dituduh membunuh juru ukir Keraton Raden Mas Sura Kalimarta. Korban kejimu
berikutnya adalah istri sang juru ukir bernama Kinasih. Kau membunuhnya dengan
kejam, malah tega-teganya mengguratkan jarahan 212 di kening perempuan itu!
Lalu kau juga dituduh sebagai orang yang berada di belakang lenyapnya Keris
Kiai Naga Kopek, senjata pusaka Keraton."
Sesaat
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga mendengar semua tuduhan itu. Dia
pandangi Patih Kerajaan sambil garuk-garuk kepala.
"Pemuda
gondrong! Jangan menunjukkan sikap berpura-pura bego!" membentak si muka
merah Sanca Merah Bengawan Solo.
Wiro
pandangi tampang merah udang rebus di atas kuda itu sesaat, lalu memandang
berkeliling. Melihat ini Sanca Merah Bengawan Solo kembali membentak.
"Kau
tengah berusaha mengintai mencari peluang melarikan diri hah? Lakukanlah! Akan
kulibas tubuhmu sampai remuk mulai dari kepala sampai kaki!"
"Saya
merasa tidak bersalah, mengapa harus melarikan diri?!" jawab Pendekar 212.
"Saya
mengaku membunuh orang bernama Lodan. Itu untuk menyelamatkan diri. Dia hendak
mengguyurkan kelabang beracun ke tubuhku! Semua orang jika diperlakukan seperti
itu pasti berusaha membela menyelamatkan diri! Seorang hamba Kerajaan berbuat
kejam seperti itu sebelum membuktikan kesalahan orang, apa layak? Tidak disebut
gila, kejam atau keji?!"
"Apakah
kau juga dalam usaha menyelamatkan diri ketika membunuh Raden Mas Sura
Kalimarta serta istrinya Kinasih?!" bentak Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
"Hantu
bejat! Yang aku tahu adalah kabar bahwa kau menculik istri juru ukir itu! Kau
bawa kemana perempuan itu. Apa yang kau lakukan?! Sekarang kelihatannya kau
paling bersemangat menuduh diriku!
Kau
sengaja menyembunyikan kebejatan dirimu sambil berusaha memperlihatkan bahwa
kau ingin berjasa besar pada Kerajaan! Hanya manusia laknat yang bisa berbuat
seperti itu!"
"Pembunuh
jahanam! Berani kau bicara kurang ajar menghinaku!" teriak Hantu Muka
Licin Bukit Tidar yang masih sakit hati atas kejadian yang menimpanya belum
lama berselang, kini menjadi marah besar karena merasa ditelanjangi di depan
orang banyak. Dia sentakkan tali kekang kudanya. Begitu tunggangannya melompat
maju kaki kanannya ditendangkan ke dada Pendekar 212.
Mana ada
orang yang mau ditendang mentah-mentah seperti itu. Termasuk Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan orang lewat,
tangan kanannya secepat kilat berkelebat membuat gerakan menotok.
Yang
ditotok bukannya kaki atau tubuh Hantu Muka Licin, tapi urat besar di leher
kuda tunggangan orang. Totokan ini bukan totokan yang melumpuhkan binatang itu
tetapi membuat arus darahnya mengalir terbalik! Akibatnya kuda besar ini
meringkik keras kesakitan. Dua kakinya dihentakkan, dinaikkan tinggi-tinggi ke
atas lalu menghambur kabur. Tak dapat tidak Hantu Muka Licin pasti akan jungkir
baiik, terbanting berkelukuran di tanah.
Sambil
memaki Hantu Muka Licin lesatkan tubuhnya ke atas, berusaha menyambar cabang
pohon besar di atasnya. Dia memang berhasil memegang dan bergantung di cabang
pohon itu, tetapi satu kejadian sangat memalukan terjadi tak terduga. Pada saat
tubuhnya melayang ke atas untuk bergantung di pohon, sebuah benda kecil yang
adalah sebutir batu ikut melesat ke atas.
"Tess!"
Batu
kecil ini memutus tali celana komprang biru Hantu Muka Licin. Celakanya sang
hantu tidak mengenakan celana dalam. Ketika celana luarnya jatuh merosot ke
bawah, tak ampun lagi auratnya sebelah bawah tersingkap amburadul tak karuan!
"Walah!
Barang jelek saja dipertontonkan!" seru Pendekar 212 lalu tertawa
gelak-gelak.
Puncak
bukit teh menjadi gempar. Patih Kerajaan tidak tahu mau berkata atau berbuat
apa.
Si botak
kepala kuning bisu keluarkan suara ha-hu ha-hu berulang kali sambil menekap
mulut menahan tawa. Di atas pohon Hantu Muka Licin tampak kelabakan. Tadinya
dia hendak pergunakan salah satu tangan untuk menutupi aurat. Tapi percuma
saja. Lagi pula keadaan tubuhnya yang lemah membuat dia khawatir tak dapat
bertahan menggantung terlalu lama.
Sambil
memaki panjang pendek, tanpa celana, semua orang melihat bagaimana Hantu Muka
Licin menggapai di cabang pohon, memanjat ke atas lalu mendekam sembunyikan
diri di balik kerimbunan daun-daun, tak berani turun.
"Ada
tangan jahil kurang ajar melempar dengan batu! Memutus tali celana Hantu Muka
Licin!" Seseorang berteriak sambil menunjuk ke balik serumpun pohon teh
yang masih utuh tak kena terbakar.
Orang
yang berteriak ini adalah Jalak Kumboro alias Pendekar Keris Kembar. Rupanya
dia sempat melihat apa yang terjadi. Begitu berteriak tubuhnya melesat ke arah
rerumpunan pohon teh. Tapi dia kecewa besar karena orang yang tadi
dipastikannya sembunyi di tempat itu tak ada lagi di situ.
"Kabur!"
kata Jalak Kumboro cemas. "Kalau tidak berilmu tinggi tidak mungkin bisa
lenyap secepat itu! Tindakan jahil begitu rupa, apakah orang ini ada sangkut
pautnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng?" Sambil terus berpikir-pikir dia
melangkah cepat kembali ke kudanya.
Patih
Selo Kaliangan melompat turun dari kudanya. Rahangnya menggembung, memandang
membelalak pada Pendekar 212 yang masih tertawa gelak-gelak.
"Pendekar
212, sebenarnya kami orang-orang Keraton masih menaruh hormat terhadap gurumu
Eyang Sinto Gendeng. Apalagi kau dan gurumu pernah banyak membantu Kerajaan.
Tapi apa yang terjadi di tempat ini benar-benar sudah keterlaluan. Kau terpaksa
dijebloskan ke penjara. Hukuman sangat berat bakal jatuh atas dirimu!"
"Patih,
saya tahu kau hanya menjalankan perintah! Tapi menjalankan perintah tanpa
menjalankan pikiran sehat dan mempergunakan hati jernih sama saja melakukan
satu tindakan tolol!"
"Pasukan!
Tangkap pemuda ini!" teriak Patih Kerajaan. "Ikat tangan dan kakinya!
Perwira Kepala, totok tubuhnya, cepat!"
Perwira
Kepala yang berhidung pesek segera melompat dari kudanya lalu kirimkan satu
totokan ke urat besar di pangkal leher Wiro.
"Tunggu!
Jangan!" teriak murid Sinto Gendeng sambil dua tangannya diangkat dan
digoyang-goyangkan di depan dada Perwira Kepala. Hampir tak ada satu orangpun
yang melihat, sebelum totokan Perwira Kerajaan menyentuh urat besar di pangkal
lehernya, totokan yang disusupkan Wiro lebih dulu mendarat di pangkal bahu kiri
kanan sang perwira.
Saat itu
juga Perwira ini menjadi kaku kaki, kepala dan tubuhnya. Tapi dua tangannya
bergerak-gerak seperti orang setengah menari setengah bersilat.
"Kurang
ajar! Apa yang dilakukan si gondrong keparat itu!" teriak Sanca Merah
Bengawan Soto yang pertama kali menyadari apa yang terjadi. Kembali tempat Ku
dilanda kehebohan.
Selagi
semua orang terheran-heran. Pendekar 212 menyusup di bawah perut kuda Patih
Kerajaan. Dia menggayutkan tangan kirinya di leher binatang itu, lalu
berlindung di balik tubuh kuda. Sesaat kemudian kuda tinggi besar ini meringkik
keras. Dari hidungnya menyembur cairan, dua matanya membelalak. Di lain kejap
binatang ini melompat lalu menghambur lari luar biasa cepatnya.
Para
prajurit yang mengurung tak berani menghadang. Takut diterjang kuda tinggi
besar.
"Kejar!
Jangan biarkan lolos!" teriak Patih Kerajaan.
"Tangkap!
Jika melawan habisi saja!" menimpali Sanca Merah Bengawan Solo. Bersama
Pendekar Keris Kembar dia segera membedal kuda masing-masing, melakukan
pengejaran.
Perwira
Kepala bersama hampir dua puluh anak buahnya ikut pula melakukan pengejaran. Di
atas kudanya si bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara manggut-manggut sementara
Tumenggung Cokro Pambudi hanya bisa mengepal-ngepalkan tinju.
Tak
selang berapa lama orang-orang yang melakukan pengejaran itu kembali dengan
tangan kosong. Perwira Kepala yang muncul paling belakang memberitahu, Pendekar
212 Wiro Sableng tidak berhasil mereka kejar. Selain kudanya lari luar biasa
cepat, pemuda itu kemungkinan menyelinap ke satu jalan gelap yang tidak mereka
ketahui.
Patih
Selo Kaliangan membanting kaki. "Bagaimana aku menyampaikan kejadian
memalukan ini pada Sri Baginda?" katanya sambil geleng-gelengkan kepala.
Lalu menyambung ucapannya. "Heran," aku tahu betul. Kuda tungganganku
waktu sampai di puncak bukit ini kaki kanannya mengalami cidera cukup parah.
Tapi mengapa binatang itu bisa lari secepat itu, seperti dikejar setan!"
"Maafkan
saya Patih Kerajaan," kata seorang prajurit. "Saya sempat melihat,
waktu membedal kuda itu, pemuda gondrong bukannya menyentakkan tali kekang
kuda. Tapi memencet biji kuda jantan itu. Kuda manapun kalau dipencet begitu
rupa, dalam kesakitan luar biasa akan lari seperti dikejar setan. Ke neraka
sekalipun kuda itu mau saja menghambur…."
Patih
Kerajaan melototkan mata, membuat si prajurit yang barusan bicara ketakutan
lalu cepat-cepat memutar tubuh. Beberapa orang palingkan wajah, menyembunyikan
tawa.
Di atas
kudanya tokoh silat gagu Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara usap-usap kepala
kuning botaknya. Lalu tertawa ha-hu ha-hu! Tangan kirinya ditunjuktunjukkan ke
bagian belakang bawah kuda tunggangannya sementara tangan kanan diangkat
membuat gerakan memencet. Si gagu ini seolah hendak mengatakan. "Itu
akibat memiliki kuda jantan. Kalau menunggang kuda betina seperti milikku ini
pasti tidak ada bijinya yang bisa dipencet!"
"Ha-hu…
ha-hu!"
TAMAT
No comments:
Post a Comment