Fitnah Berdarah Di Tanah Agam
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
1
UNTUK
beberapa lama nenek berjuluk Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai masih memegangi
kain putih yang muncul secara tidak terduga dalam keadaan tergulung pada
sebatang potongan bambu dan menancap di tanah, sementara beberapa tokoh silat
yaitu Ki Bonang Talang Ijo, Perwira Muda Teng Sien, Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik dan Tuanku Laras Muko Balang yang ada di situ memperhatikan. Di atas
kain putih terdapat tulisan yang memberi tahu bahwa orang yang membunuh Duo
Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit adalah Wiro, yang disebut sebagai pemuda Jawa
berambut panjang, berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setelah
ditanggalkan dari batang bambu si nenek akhirnya serahkan kain putih pada Ki
Bonang Talang Ijo, tokoh silat dari tanah Jawa yang bertindak selaku pimpinan
pencarian kupu-kupu batu giok yang lenyap secara gaib dari tempat asalnya di
Kotaraja Kerajaan Tiongkok.
“Ki
Bonang, baca tulisan ini. Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu.”
Kakek
bermuka hijau ambil kain putih yang diserahkan dan segera membaca apa yang
tertulis di atas kain itu. Selesai membaca dia berpaling pada Si Kamba Mancuang
Tangan Manjulai lalu bertanya, “Kau berkata ingin tahu bagaimana pendapatku.
Apa maksudmu Kamba Mancuang?”
“Aku
tidak yakin pemuda Jawa bernama Wiro itu yang membunuh Si Kalam Langit.”
Menjawab si nenek.
“Eh,
bagaimana kau bisa berkata begitu?” kembali Ki Bonang ajukan pertanyaan sambil
usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
“Ketika
Si Kalam Langit menemui ajal, pemuda Jawa itu sedang bertarung melawanku.
Bagaimana mungkin dia berada di dua tempat yang berlainan pada waktu
bersamaan?”
“Kita
akan menyelidiki hal itu. Tapi saat ini kita harus mengambil keputusan untuk
lebih dulu mengetahui di mana beradanya kupu-kupu hidup benaran itu.”
“Ki
Bonang, kau berasal dari tanah Jawa. Apakah kau tidak mengenal pemuda berambut
panjang berjuluk Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng itu?” Bertanya si nenek
Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
“Aku
belum pernah bertemu muka. Namun pendekar yang masih muda itu telah
menggegerkan rimba persilatan tanah Jawa. Dia memiliki beberapa orang guru yang
merupakan tokoh silat berkepandaian tinggi. Kalau tidak salah aku mengingat,
konon dari sekian banyak gurunya ada satu atau dua orang yang berasal dari
negeri ini. Aku tidak tahu siapa mereka adanya. Pemuda itu dikenal mulai dari
ujung barat sampai ujung timur tanah Jawa, mulai dari pantai utara sampai ke
pantai selatan. Ilmu silat serta kesaktiannya sulit dicari tandingan. Hanya
saja konon dia memiliki perangai tidak terpuji. Itu sebabnya dia dijuluki
pendekar sableng, yang berarti pendekar gila. Tapi siapapun dia adanya, yang
jadi pertanyaan bagiku ada kepentingan apa dia berada di tanah Minang ini?”
“Ki
Bonang,” Tuanku Laras Muko Balang berkata sambil mendekati Ki Bonang Talang
Ijo. “Aku hanya mendugaduga tapi mudah-mudahan dugaanku benar adanya…”
“Tuanku
Laras, apa gerangan dugaanmu?” tanya Ki Bonang pula.
“Ketika
kita mengepung dan menyerbu pondok kediaman Sutan Panduko Alam di Bukit
Malintang, kupukupu itu berhasil melarikan diri karena diterbangkan oleh
sorban sakti milik Sutan Panduko Alam. Agaknya Sutan Panduko Alam sudah
menyadari apa yang bakal terjadi. Itu sebabnya dia berencana melakukan sesuatu.
Sorban melayang ke arah timur. Berarti masih dalam batasan Luhak Nan Tigo. Kami
di sini tahu kalau Sutan Panduko Alam bersahabat dengan para datuk pimpinan
Luhak Nan Tigo. Salah seorang dari mereka merupakan ketua dari para datuk yaitu
Datuk Marajo Sati. Datuk ini tinggal di sebuah goa di Ngarai Sianok. Ngarai
Sianok adalah tempat paling dekat dibandingkan dengan tempat kediaman para
datuk lainnya. Aku berani mengatakan dengan sorban yang membawa kupu-kupu giok
itu terbang ke tempat kediaman Datuk Marajo Sati. Malam tadi aku coba mengukur
kebenaran dugaanku dengan Pedang Al Kausar. Pedang sakti memberi petunjuk yang
membenarkan dugaanku…” Sambil bicara orang berwajah belang ini mengusap-usap
badan pedang perak besar miliknya yang merupakan sebilah senjata sakti dan
konon berasal dari tanah Arab.
“Kalau
begitu ada baiknya kita mendatangi Datuk Marajo Sati sekarang juga di Ngarai
Sianok. Kita bicara baik-baik. Kalau dia tidak mau berkata jujur dan ternyata
memang menyembunyikan kupu-kupu batu giok itu, kita tidak perlu berbasa-basi
lagi. Kita punya kewajiban untuk mendapatkan kupu-kupu batu giok itu. Kita
sudah menerima sebagian dari hadiah yang dijanjikan. Tuanku Laras, aku minta
agar kau yang memimpin jalan ke sana dan bicara pertama kali begitu bertemu
dengan Datuk itu.”
“Terima
kasih atas kepercayaan Ki Bonang. Menemui sang Datuk memang harus kita lakukan.
Tapi kita harus bertindak hati-hati. Datuk itu bukan orang sembarangan. Para
datuk lainnya pasti akan turun tangan jika terjadi apaapa dengan Datuk Marajo
Sati,” kata Tuanku Laras Muko Balang menjawab ucapan Ki Bonang Talang Ijo.
“selain itu Pedang Al Kausar juga memberi petunjuk lain yang tidak boleh kita
abaikan…”
Kening Ki
Bonang Talang Ijo berkerenyit.
“Petunjuk
apa Tuanku Laras?” tanya Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Seperti
tarak yang dilakukan sahabatku Si Kamba Mancuang, malam tadi Pedang Al Kausar
secara gaib membuat guratan di tanah. Guratan itu menggambarkan kepala seorang
pemuda berambut panjang.”
“Itu
gambaran pemuda dari Jawa bernama Wiro tadi…” ucap Ki Bonang.
“Benar
sekali. Pedang memberi tanda kalau pemuda itu akan menjadi batu penghalang dari
semua apa yang akan kita lakukan…” kata Tuanku Laras Muko Balang pula sambil
menggantungkan pedang besar ke pinggang.
Ki Bonang
Talang Ijo pejamkan mata, coba merenung. Begitu mata dibuka kakek bermuka hijau
ini mulai melangkah mundar-mandir. “Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Dia
berada di tanah Minang. Apakah ini satu kebetulan atau memang dia juga punya
niat yang sama dengan kita. Ingin mengambil kupu-kupu batu giok. Tapi bagaimana
dia tahu akan keberadaan kupu-kupu itu? Pasti ada seseorang yang memberi
petunjuk…”
“Mungkin
saja dia menginginkan ujud asli yang ada di dalam batu. Yaitu gadis cantik
bernama Chia Swie Kim…” Yang berkata adalah Tuanku Laras Muko Balang. Si
janggut putih tipis ini berpaling pada Perwira Muda Teng Sien. Sang perwira
yang cuma mengerti sedikit bahasa anak negeri hanya menduga-duga apa yang
dikatakan orang lalu angguk-anggukkan kepala.
Ki Bonang
mengusap dagu beberapa kali. “Tuanku Laras, apa yang kau katakan itu bisa jadi
betul. Karena apa yang aku dengar, pemuda bernama Wiro itu seorang mata
keranjang, mempunyai kekasih di mana-mana.”
Mendengar
ucapan Ki Bonang, si nenek Mancuang Tangan Manjulai tampak berubah wajahnya
tapi kemudian dia palingkan kepala sambil diam-diam tersenyum.
“Kalau
kita bisa saling bermufakat, memang ada baiknya mencari pemuda bernama Wiro itu
lebih dulu. Kita harus memberi peringatan agar dia jangan mencampuri urusan
kita. Selesai dengan pemuda itu, kita baru kembali menyelidiki keberadaan
kupu-kupu batu giok. Yang akan kita selidiki orangnya sudah kita ketahui,
begitu juga tempat kediamannya. Yaitu Datuk Marajo Sati. Para sahabat,
bagaimana pendapat kalian?”
Tuanku
Laras Muko Balang, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik
segera menyatakan persetujuan mereka. Si Kamba Pesek Tangan Manjulai tidak
hersuara karena masih tersandar dalam keadaan cidera di batang pohon dengan
mata terpejam.
“Bagaimana
dengan kau sahabatku nenek Kamba Mancuang? Kau tidak berkata apa-apa.” Kata Ki
Bonang Talang Ijo pada si nenek Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
“Aku
mohon maafmu Ki Bonang. Juga pada para sahabat yang ada di sini. Kita tidak
mungkin membawa saudaraku yang sakit. Aku tidak mungkin pula meninggalkannya di
sini seorang diri. Aku harus membawanya ke satu tempat dan merawatnya terlebih
dulu hingga sembuh.”
Seperti
diceritakan dalam “Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok” nenek Si Kamba Pesek yang
adalah saudara kembar Si Kamba Mancuang menderita cidera patah tulang iga kiri
kanan akibat hantaman siku Sutan Panduko Alam yang disergapnya dari belakang.
Ki Bonang
Talang Ijo tampak kecewa mendengar ucapan si nenek. Terus terang dia berkata.
Ucapannya agak ketus. “Aku berharap kau tidak akan berbuat seperti Duo Hantu
Gunung Sago Si Batu Bakilek yang pergi begitu saja dengan alasan hendak mencari
pembunuh saudaranya.”
Si nenek
diam saja. Ki Bonang mendekati dan berkata setengah berbisik. “Apa yang kau
katakan tadi adalah cuma satu alasan saja. Aku tahu kau punya alasan lain
mengapa tidak bergabung dengan kami mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu.
Kau takut berhadapan dengannya karena sudah pernah dipecundangi, ditotok tak
berdaya…”
Si nenek
menyeringai, memperlihatkan barisan gigi atas bawah yang berlapis perak.
“Ki
Bonang, kau mungkin tidak punya dusanak (saudara), hingga tidak tahu dan tidak
bisa mengetahui bagaimana rasanya ikut sakit dan ikut khawatir kalau seorang
saudara dalam keadaan cidera seperti yang aku alami. Atau mungkin memang begitu
adat kebiasaan orang di negerimu? Tidak perduli pada saudara yang sedang
menderita!”
Untuk
kedua kalinya Ki Bonang Talang Ijo ditempelak orang. Yang pertama dilakukan
oleh Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek beberapa waktu lalu. Sambil
tersenyum kakek berbelangkon hijau itu serahkan kembali secarik kain putih pada
si nenek. Dia pegang bahu Si Kamba Mancuang lalu bicara dengan suara merendah,
“Sahabat, aku tidak bermaksud bicara buruk padamu. Aku bisa mengerti
perasaanmu. Jika kau memang ingin lebih dulu merawat saudara kembarmu itu
silahkan saja. Tapi aku mohon, jika dia sudah mulai sembuh harap kau lekas
bergabung kembali. Kita membutuhkan orang-orang berkepandaian tinggi sepertimu.
Satu hal harus kau ketahui. Orang Jawa sama baiknya seperti orang di negeri
ini.”
Tak lama
setelah Ki Bonang Talang Ijo, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, Teng Sien dan
seorang anak buah serta Tuanku Laras Muko Balang meninggalkan tempat itu,
perlahan-lahan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai buka kedua matanya, menatap ke
arah saudaranya.
“Kamba Mancuang,
aku tahu kau menolak mencari pemuda Jawa itu bukan karena ingin merawatku…”
“Heh!
Saudaraku, bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau juga menyangka aku takut
berhadapan lagi dengan pemuda itu?”
Si Kamba
Pesek menggeleng. “Bukan, bukan karena alasan itu. Ada alasan lain. Aku tengah
menduga-duga. Tadi malam aku lihat kau bertarak membaca mantera memanggil guru
kita Inyiek Susu Tigo. Kau juga kudengar seperti hendak merapal mantera yang
hanya boleh diucapkan satu kali seumur hidup. Mantera Pelangi ke Bumi. Kau mau
berbuat apa? Apakah kau hendak memohon untuk kembali ke ujud asli atau… Kau
kira semudah itukah…”
“Aku
membatalkan mantera itu. Kau jangan terlalu bercuriga,” kata Si Kamba Mancuang
cepat-cepat menukas ucapan saudara kembarnya.
“Saudaraku,
apa yang kau inginkan dari guru kita. Mengapa kau berusaha ingin bertemu dengan
beliau?” Si Kamba Pesek masih mendesak dengan pertanyaan.
“Saudaraku,
kau masih sakit. Sebaiknya jangan banyak bicara dulu. Lebih baik kau banyak
istirahat…”
Si Kamba
Pesek tersenyum. “Kau tidak menceritakan pada Ki Bonang dan yang lain-lainnya…”
“Menceritakan
apa?” potong Si Kamba Mancuang.
“Kejadian
yang kau ceritakan padaku waktu kau berkelahi menghadapi pemuda dari Jawa itu.”
“Apa yang
tidak aku ceritakan?” tanya Si Kamba Mancuang. Wajah tuanya yang putih cantik
berubah merah.
“Ketika
pemuda itu memeluk dan menciumi dirimu! Hik… hik… hik!” Si Kamba Pesek tertawa
cekikikan. Si Kamba Mancuang berubah merah wajahnya.
“Pemuda
itu bukan hanya kurang ajar tapi juga gilo-gilo alang (sinting). Bukan begitu
kata Ki Bonang tadi? Jadi perlu apa diceritakan perbuatan gilanya?”
“Tapi kau
senang dipeluk dan dicium pemuda itu, kan?”
“Jangan
bicara kurang ajar! Nanti aku tampar mulutmu!” Bentak Si Kamba Mancuang.
Si Kamba
Pesek kembali tertawa cekikikan. “Aku membayangkan, betapa bahagia nikmatnya
kalau diriku yang dipeluk dan dicium pemuda itu. Hemmm…”
“Kalau
begitu mengapa kau tidak pergi saja mencarinya. Kalau bertemu berikan dirimu
padanya. Katakan kau minta dipeluk, dicium, dan entah apa maumu lagi. Mungkin
kau juga minta ditelanjangi!” Si Kamba Mancuang tampaknya jengkel sekali hingga
sampai mengeluarkan kata-kata keras begitu rupa. Si Kamba Pesek tertawa
panjang. “Aku tahu kau cemburu. Hik… hik… hik.” Tiba-tiba Si Kamba Pesek hentikan
tawa. Air mukanya tampak bersungguh-sungguh. “Kamba Mancuang, kau
harus
segera melakukan sesuatu…”
“Apa
maksudmu?” tanya Si Kamba Mancuang.
“Kau
harus cepat menemui pemuda itu sebelum orang-orang itu menemuinya.”
“Kenapa
begitu?”
“Aih,
tololnya saudaraku satu ini. Apa kau ingin Ki Bonang dan yang lain-lainnya
membantai pemuda dari Jawa itu?! Apakah kau tidak berniat menolongnya jika dia
memang tidak bersalah?!”
Wajah Si
Kamba Mancuang berubah.
“Sudahlah,
aku tidak memikirkan hal itu…”
“Jangan
berdusta padaku. Pergi cepat. Kau tak usah mengawatirkan sakitku. Aku akan
pergi ke tempat kediaman guru. Syukur kalau beliau mau menemui dan mengobatiku.
Tapi rasanya aku sudah sembuh. Lihat!” Si Kamba Pesek lalu berpegangan ke
batang pohon. Sambil mengerenyit menahan sakit dan terbungkuk-bungkuk nenek ini
perlahan-lahan bangkit berdiri. Ketika dia berpaling, saudara kembarnya Si
Kamba Mancuang tidak ada lagi di tempat itu!
Si Kamba
Pesek tersenyum. “Saudaraku, aku belum melihat pemuda itu. Tapi jika kau tidak
marah sungguhan sewaktu dipeluk dan diciumnya berarti pasti dia seorang pemuda
yang gagah. Kalau Allah menghendaki, mungkin ini satu jalan yang diberikanNya
untuk kita bisa kembali seperti dulu lagi…” Sambil melangkah tertatih-tatih
sepasang mata nenek ini tampak berlinang-linang.
Mendadak
si nenek hentikan langkah. Di hadapannya tiba-tiba saja berdiri seorang pemuda
berpakaian putih berkopiah hitam yang kekecilan. Di sebelah belakang kopiah,
rambut panjang menjulai sebahu. Kedua orang ini sama-sama tertegun, sama-sama
terperangah. Si pemuda menyeringai, menggaruk rambut di atas kuduk lalu
berkata. “Eh, nek! Hidungmu kenapa jadi pesek?!”
**********************
2
SI KAMBA
Pesek pegang hidung sendiri lalu tertawa cekikikan. “Dari lahir hidungku memang
sudah pesek! Kau hanya sekedar bertanya atau mau menghinaku?!”
“Nah…
nah, suaramu juga agak berbeda. Kau ini pandai merubah diri atau bagaimana.
Matamu basah, seperti habis menangis. Lalu sebentar-sebentar kau mengerenyit.
Agaknya ada sesuatu yang sakit di tubuhmu! Totokanku tidak mungkin akan
mencideraimu.”
“Hemmm…”
si nenek keluarkan suara bergumam. Dalam hati dia berkata. “Pemuda ini
pandangan matanya sungguh tajam. Dia bisa menduga apa yang terjadi dengan
diriku. Tapi dia belum tahu kalau aku ini kembaran Si Mancuang…”
Si Kamba
Pesek usap kedua matanya. Waktu tangan kirinya diangkat kembali nenek ini
mengerenyit karena gerakan itu memang membuat sakit tulang-tulang iganya yang
cidera patah. “Anak muda, sekarang aku tahu siapa kau. Rambut panjang, bicara
seperti orang kepedasan. Kau pasti anak manusia dari Jawa yang bernama Wiro
itu! Yang telah membuat saudaraku Si Mancuang itu jadi salah tingkah. Eh, dia
mencarimu. Apa kau tidak bertemu dengannya?!”
Pemuda
yang ditanya yang memang Wiro adanya tidak segera menjawab. Dia seperti
berpikir-pikir. “Jadi kau punya saudara kembar. Nenek berhidung mancung itu.
Kau bilang dia mencariku…”
“Benar,
nenek satu itu namanya Si Kamba Mancuang karena hidungnya mancung. Aku Si Kamba
Pesek karena hidungku pesek. Kau lihat sendiri.” Si nenek usap-usap hidungnya.
“Hik… hik… Saudara kembarku mencarimu. Mau memberi tahu kalau kau dalam
bahaya…”
“Aku
dalam bahaya nek? Bahaya apa…?” tanya Wiro terheran-heran. “Malam beberapa hari
lalu memang ada penyerang gelap. Berusaha mencelakaiku dengan senjata rahasia…”
“Ada
beberapa tokoh silat di bawah pimpinan Ki Bonang Talang Ijo yang juga berasal
dari tanah Jawa tengah mencarimu. Orang-orang itu curiga kemunculanmu di tanah
Minang ini membawa maksud tidak baik. Mereka juga sudah tahu kalau kau membunuh
salah seorang teman mereka bernama Si Kalam Langit. Kau mau diusir dari sini.
Kalau membangkang akan dikerjai…”
“Dikerjai
bagaimana maksudmu nek?”
“Digebuki,
digantung atau bisa juga dibantai dicincang!” Jawab Si Kamba Pesek Tangan Manjulai.
“Aku
tidak percaya orang-orang di negeri ini akan berbuat seperti itu. Aku tidak
punya salah apa-apa. Tidak juga punya rencana jahat. Tanah Minang adalah bumi
Allah yang siapa saja boleh datang ke sini…”
“Justru
bumi Allah harus dijaga dari orang-orang yang mungkin punya niat buruk dan
hendak berbuat jahat seperti dirimu!” Tiba-tiba ada satu suara menyahuti ucapan
Wiro. Disusul suara orang membentak dalam bahasa Cina. Beberapa orang
berkelebat. Mereka ternyata adalah Ki Bonang Talang Ijo, Tuanku Laras Muko
Balang, Teng Sien dan seorang anak buahnya lalu Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik.
Sementara
Wiro tercengang-cengang, si nenek Kamba Pesek Tangan Manjulai unjukkan wajah
tidak enak kalau tidak mau dikatakan khawatir. Dia kembali mengerenyit sambil
usap-usap rusuk kirinya.
Ki Bonang
Talang Ijo melangkah dan berhenti di hadapan Si Kamba Pesek Tangan Manjulai.
“Sahabatku,
kami lihat kau dan pemuda Jawa ini bicara sambil tertawa-tawa. Agaknya kalian
seperti sudah saling mengenal dan bersahabat. Kami juga mendengar kau memberi
keterangan bahwa kami mencari dirinya karena dia telah membunuh sahabat kami
yang juga sahabatmu yaitu Duo Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit. Tidak disangka
tidak dinyana. Rupanya kau ternyata musuh dalam selimut. Kakakmu Si Kamba Mancuang
pasti tidak beda dengan dirimu. Itu sebabnya dia menolak ketika diajak mencari
pemuda ini…”
“Ado
musang babulu domba di antara kita rupanya!” Ucap Tuanku Laras Muko Belang.
“Ki
Bonang, Tuanku Laras, buruk duga kalian terlalu jauh. Sudah menjurus kepada
fitnah…” Berkata Si Kamba Pesek.
“Tua
bangka pengkhianat! Tutup mulutmu!” Bentak Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Lelaki muda ini tampak marah sekali. Seperti Ki Bonang Talang Ijo dan Tuanku
Laras Muko Balang dia juga yakin kalau si nenek dan saudara kembarnya telah
mengkhianati mereka, menjadi musuh dalam selimut. “Sekarang ketahuan, rupanya
kau dan saudara kembarmu menjadi kaki tangan pemuda ini. Keterangan apalagi
yang telah kau berikan padanya?!” Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang
mengenakan pakaian destar merah lalu berbisik pada Ki Bonang. “Aku khawatir
nenek ini dan saudara kembarnya telah memberi tahu keberadaan kupu-kupu batu
giok itu.”
“Ucapanmu
bisa jadi sangat benar Pandeka. Aku tengah berpikir-pikir mungkin kita terpaksa
menghabisi mereka saat ini juga.” Balas berbisik Ki Bonang Talang Ijo.
Dituduh
pengkhianat dan musuh dalam selimut, amarah Si Kamba Pesek naik ke kepala. Dia
segera membuka mulut mau mendamprat tapi Wiro memberi isyarat dengan gerakan
tangan. Lalu berpaling pada Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Angku
Mudo (panggilan kehormatan yang kira-kira sama dengan Tuan Muda) yang aku
hormati, jangan bicara seperti itu pada perempuan tua ini. Dia pantas jadi
nenekmu!”
Mendengar
ucapan Wiro, apalagi dipanggil sebutan Angku Mudo yang dirasakannya sebagai
mengejek, Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik jadi panas. Sepasang mata membeliak.
Lima jari tangan bergerak mengeluarkan suara berkereketan. Tokoh dari Sumanik
ini konon memiliki ilmu silat bernama Sitaralak. Ilmu silat ini luar biasa
ganasnya. Jurus serangan dimulai dengan gerakan lemah lembut seperti penari.
Namun bisa berubah menjadi gerakan kilat. Bilamana ilmu silat ini disertai pula
dengan tenaga dalam maka lawan yang jadi sasaran bisa jebol tubuhnya,
terbongkar kepalanya!
Sambil
menudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke muka Pendekar 212, Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik menghardik.
“Tak
perlu berbasa basi memanggil aku Angku Mudo. Saat ini juga aku perintahkan agar
kau undang hapus dari tanah Minang! Kembali ke negerimu di Jawa sana!
Kehadiranmu di sini hanya menimbulkan keonaran!”
“Keonaran
apa yang telah aku buat di negeri ini Angku Tuo?”
Kini Wiro
sengaja mengganti panggilan dari Angku Mudo menjadi Angku Tuo yang membuat
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik menjadi tambah naik darah.
Sebelum
dia kembali menghardik Ki Bonang Talang Ijo mendahului bicara. “Kami mengetahui
kau telah membunuh salah seorang sahabat kami bernama Duo Hantu Gunung Sago Si
Kalam Langit. Dosa itu tidak ada ampunannya!”
Wiro
ingat akan ucapan si nenek berhidung pesek tadi. Yang memberi tahu kalau
dirinya dalam bahaya, tengah dicari orang. Apalagi si nenek barusan menyebut
nama orang tua berbelangkon hijau sebagai Ki Bonang.
“Segala
macam hantu mana aku kenal. Apalagi membunuhnya! Enak saja kalian menuduhku…”
Wiro berpaling pada si nenek yang tegak di sampingnya. Lalu berkata. “Nek,
siang bolong begini ada banyak orang bicara aneh seperti orang tasapo
(kemasukan/ kesambat makhluk halus). Mari kita tinggalkan tempat ini sebelum
kita berdua ikutan tasapo!”
“Pemuda
kurang ajar! Beraninya kau menghina kami mengatakan kami orang-orang
kemasukan!”
Yang
menghardik kali ini adalah Tuanku Laras Muko Balang. “Ki Bonang, pemuda gila
seperti ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama!”
Srett!
Tuanku
Laras Muko Balang dengan segera menghunus Pedang Al Kausar. Ki Bonang Talang
Ijo cepat mencegah.
“Bersabar
sebentar, biar aku bicara dulu dengan orang ini.” Lalu Ki Bonang bertanya.
“Anak muda, kita sama-sama berasal dari tanah Jawa. Aku datang ke tanah Minang
ini membawa tugas yang harus dilaksanakan. Apakah kau mau mengatakan mengapa
kau berada di negeri ini? Kami mendapat petunjuk bahwa kau akan menghalangi
tugas kami. Bahkan kau telah membunuh salah seorang dari kami.”
Wiro
tersenyum, angkat kopiah hitamnya, menggaruk kepala. Lalu berkata, “Dua orang
Jawa bertemu jauh di negeri orang. Seharusnya percakapan akan berjalan enak dan
lancar. Apalagi kalau ada getuk lindri dan wedang jahe! Ha… ha… ha! Tapi celaka
nasib diriku, dituduh menghalangi tugas orang, malah dituduh membunuh pula!
Oala! Orang tua, maafkan diriku. Boleh aku mengetahui siapa sampeyan ini adanya
dan tugas apa yang tengah kau jalankan yang menurutmu hendak aku halangi? Lalu
kapan aku membunuh sahabatmu itu?”
Si orang
tua menyeringai. Ternyata pemuda yang diketahui sableng ini pandai bicara
bahkan dalam bicara sekaligus melemparkan ejekan.
“Namaku
Ki Bonang Talang Ijo. Aku berasal dari Kuto Gede. Di tanah Jawa aku dikenal
dengan julukan Hantu Muka Hijau.” Habis keluarkan ucapan Ki Bonang Talang Ijo
lalu usap wajahnya satu kali. Saat itu juga muka orang tua ini berubah menjadi
hijau pekat sampai ke mata. Dengan berbuat begini dia ingin menggertak murid
Sinto Gendeng kalau dia bukan orang sembarangan. “Soal tugasku kau tak layak
bertanya…”
“Begitu?”
Ujar Wiro pula sambil garuk kepala dan senyum-senyum. Gertakan si kakek baginya
sama saja dengan anak-anak yang bermain setan-setanan. “Terima kasih kau telah
memperkenalkan nama dan julukan. Namaku Wiro, aku berasal dari emperan Gunung
Merapi. Di tanah Jawa, aku dijuluki orang Hantu Muka Jelek!” Habis berkata
begitu Wiro lalu kerahkan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad. Ilmu aneh ini
didapatnya dari Hantu Selaksa Angin Luhkentut (Baca serial petualangan Pendekar
212 di Negeri Latanahsilam). Begitu wajah diusap dan tangan yang mengusap
diturunkan, semua orang yang melihat jadi tersentak kaget, tersurut ngeri satu
langkah. Si nenek pesek malah keluarkan suara. “Ihh…”
Apa yang
terjadi dengan wajah Pendekar 212.
**********************
3
SAAT itu
sepasang mata Wiro telah pindah ke pelipis kiri kanan, hidung menempel di
kening, mulut turun ke dagu! Walaupun ada lucunya tapi wajah sang pendekar kini
benar-benar seram menggidikkan. Apalagi Wiro sengaja pelototkan mata lalu
dikedap-kedip!
“Inilah
tampang asliku hingga aku dijuluki Hantu Muka Jelek.” Ucap Wiro lalu sambil
tertawa gelak-gelak dia pegang tangan si nenek, dan berkata. “Nek, ayo kita
pergi. Tidak ada guna melayani orang-orang itu.”
Saking
ngerinya si nenek tidak mau dipegang tangannya malah menjauh lalu lari
meninggalkan tempat itu.
“Nenek
pesek! Jangan pergi dulu! Tunggu aku!” teriak Wiro lalu cepat-cepat mengejar si
nenek sambil mengusap muka hingga wajahnya kembali seperti semula. Namun saat
itu Ki Bonang Talang Ijo dan kawan-kawannya telah menghadang.
“Tukang
sihir gila! Kau mau pergi ke mana?!” teriak Tuanku Laras Muko Balang sambil
menghadang dengan acungkan ujung pedang Al Kausar ke arah leher Wiro.
Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik tegak di samping kiri, dua kaki merenggang, dua tangan
mengambang sepinggang. Di sebelah kanan Ki Bonang Talang Ijo berdiri dengan
sikap angkuh sambil rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Perwira Muda
Teng Sien dan anak buahnya yang tinggal seorang saat itu juga telah samasama
menghunus golok besar.
Melihat
Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung demikian rupa, nenek Si Kamba Pesek yang
tadi hendak cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena ngeri melihat tampang
Wiro, kini berbalik kembali. Dia berteriak, “Kalian semua dengar! Walaupun
orang itu mungkin punya kesalahan tapi adalah tindakan pengecut kalau kalian
mengeroyoknya bersama-sama!”
Tuanku
Laras Muko Balang yang sejak tadi sudah marah terhadap Wiro dan si nenek
langsung berteriak. Apalagi saat itu dilihatnya sepasang tangan si nenek telah
berubah menjadi lebih panjang pertanda dia siap mengeluarkan ilmu andalannya.
“Kamba
Pesek! Kalau kau berniat menolong manusia satu ini, masuklah ke dalam kalangan!
Biar kami menghabisi kalian berdua sekaligus! Dasar tua bangka gatal! Jangan
kira kami tidak tahu riwayatmu!”
“Sahabat
semua orang tua-tua, cerdik pandai. Harap kalian mau berpikir. Nenek ini bukan
pengkhianat, bukan musuh dalam selimut! Aku berada di tanah Minang bukan untuk
berbuat keonaran. Tidak ada niat menghalangi apapun tugas kalian. Aku juga
tidak tahu menahu apa tugas kalian! Lalu aku juga tidak membunuh sahabat kalian
yang siapapun namanya!”
Ki Bonang
turunkan dua tangan yang sejak tadi dirangkap di atas dada. Lalu keluarkan
ucapan, “Sahabat semua, tidak ada gunanya kita bicara berpanjang-panjang dengan
pemuda ini. Jangan sekali-kali percaya pada mulutnya! Habisi dia sekarang juga!
Jika nenek itu membantunya bunuh sekalian!”
Mendengar
ucapan itu, didahului oleh Ki Bonang Talang Ijo, semua orang yang ada di situ
segera menerjang ke arah Wiro dan Si Kamba Pesek.
“Kalian
kambing tolol semua!” teriak Si Kamba Pesek.
“Nek, aku
tahu kau dalam keadaan cidera. Menjauhlah. Biar kuhadapi kambing-kambing ini
seorang diri!” Berkata Wiro.
“Kurang
ajar! Kita dianggap kambing!” Teriak Ki Bonang Talang Ijo.
“Sombongnya!”
Teriak Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Takabur
sekali! Aku mau lihat kepandaiannya!” Berseru Tuanku Laras Muko Balang.
Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik lancarkan serangan dalam jurus silat Sitaralak bernama
Harimau Campa Manggapai Rembulan. Dua tangan menyambar ke arah kepala Wiro.
Kalau serangan ini mengenai sasaran, bukan saja muka lawan akan terbongkar tapi
batang leher juga bisa tanggal!
Perwira
Muda Teng Sien dan anak buahnya menyerbu dengan golok besar. Tuanku Laras Muko
Balang bolangbalingkan Pedang Al Kausar sementara Ki Bonang Talang Ijo
lepaskan belangkon hijau. Belangkon ini dikibas-kibas. Kibasan diarahkan pada
Wiro dan Si Kamba. Dari semua serangan yang dilancarkan yang paling berbahaya
adalah kibasan belangkon Ki Bonang Talang Ijo. Selain serangan ini bisa
dilakukan dari jarak jauh, angin yang keluar dari kibasan belangkon bisa
melumpuhkan lawan!
Si Kamba
Pesek yang tahu kehebatan belangkon itu segera ulurkan tangan kiri, mencoba
merampas belangkon sementara tangan kanan yang juga telah diulur panjang
menelikung ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik, siap menjirat leher orang
ini. Tapi yang diserang tidak bodoh. Secepat kilat tangannya diayun ke arah
sambungan siku si nenek hingga Si Kamba Pesek terpaksa cepat-cepat tarik pulang
serangannya. Di saat yang sama sambaran angin deras dari belangkon Ki Bonang
Talang Ijo datang menyambar. Wiro cepat tarik tangan Si Kamba Pesek hingga
nenek ini selamat dari hantaman angin sakti yang melumpuhkan!
Walau
dalam gebrakan pertama Wiro dan Si Kamba Pesek mampu menghadapi serangan lawan,
namun jurus berikutnya serangan datang laksana air bah!
“Nek,
lekas melompat sepuluh langkah ke belakang!” Tiba-tiba Wiro berteriak.
“Eh,
kenapa? Ada apa?!” si nenek bertanya tidak mengerti.
“Nek!
Cepat!”
Meski
bingung Si Kamba Pesek akhirnya lakukan apa yang dikatakan Wiro. Begitu si
nenek melesat ke belakang murid Sinto Gendeng segera hentakkan kaki kanannya ke
tanah.
Saat itu
juga reettttt!
Tanah di
hadapan Wiro terbelah selebar tiga langkah. Dan dari dalam tanah yang terbelah
menderu suara angin seperti puting beliung menyedot dahsyat. Semua orang
berteriak kaget dan cepat melompat jauh selamatkan diri. Perajurit kerajaan
anak-anak buah Teng Sien terlambat bergerak. Tubuhnya amblas tersedot masuk ke
dalam dasar tanah yang terbelah. Destar merah di kepala Pandeka Bumi Langit
Dari Sumanik melayang masuk tersedot ke dalam belahan tanah.
Tuanku
Laras Muko Balang juga agak terlambat bergerak. Masih untung selamat. Meskipun
demikian celana galembong dan celana dalamnya sempat tersedot hingga pinggang
ke bawah aurat lelaki ini tidak terlindungi lagi alias telanjang melompong!
“Lekas
Nek. Ayo kita pergi!” Wiro pegang lengan Si Kamba Pesek. Kali ini si nenek
tidak menolak lagi sewaktu ditarik. Ketika Wiro dan Si Kamba Pesek berkelebat
pergi tidak ada yang berani mengejar. Jangankan mengejar, mendekati tanah yang
terbelah saja orang-orang itu sudah merasa ngeri.
Tuanku
Laras Muko Balang kalang kabut menutupi auratnya sementara yang lain-lain sibuk
mencari selamat dari sedotan tanah yang terbelah. Akhirnya Tuanku Laras buka
bajunya sendiri lalu dipakai untuk menutupi aurat bagian bawah.
Jauh di
tepi tanah yang terbelah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berdiri tertegun,
mata nyalang mendelik dada turun naik. Tangan berkali-kali mengusap kepala.
Untung hanya destarnya yang tersedot masuk ke dalam belahan tanah. Tidak sampai
kepalanya yang tanggal dan ikut melayang!
“Ilmu
Tanah Tabalah Hukum Manimpo!” ucap sang Pandeka dengan suara bergetar. “Di
tanah Minang hanya Datuk Marajo Sati yang memiliki ilmu kesaktian ini! Apa
hubungan pemuda Jawa itu dengan Datuk Marajo Sati hingga mereka bisa memiliki
ilmu yang sama?”
“Jangan-jangan
pemuda itu orang kepercayaan Datuk Marajo Sati. Bisa juga muridnya…” Berkata
Tuanku Laras Muko Balang sambil tangan kiri memegangi auratnya sebelah bawah
yang hanya terlindung baju dan tangan kanan masih mencekal Pedang Al Kausar.
“Kalau
begitu kita harus cepat-cepat menemui dan menyelidiki sang Datuk!” kata Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik. Sementara Perwira Muda Teng Sien melangkah
mundar-mandir sambil berteriak-teriak tiada henti.
Ki Bonang
Talang Ijo tidak mengeluarkan sepotong ucapan pun. Namun wajahnya masih nampak
agak pucat dan dalam hati orang tua ini menyadari. “Kalau dia punya niat jahat,
paling tidak selain prajurit Cina, pemuda itu bisa menyedot amblas dua orang
lagi di antara kami. Tugas makin berat. Aku harus bisa mendapatkan bantuan dari
para tokoh silat baru… Datuk Marajo Sati, firasatku semakin kuat. Kau
menyembunyikan suatu rahasia besar. Sorban Sutan Panduko Alam terbang ke tempat
kediamanmu. Membawa kupu-kupu hidup penjelmaan kupu-kupu batu giok…”
Sementara
itu, setelah cukup jauh dari tempat tanah terbelah, Pendekar 212 Wiro Sableng
hentikan larinya lalu tertawa gelak-gelak. Tentu saja Si Kamba Pesek terheranheran
melihat hal ini.
“Apa yang
kau tertawakan?! Jangan-jangan kau yang sudah tasapo kemasukan roh halus?!”
Tapi si nenek sendiri kemudian ikut tertawa cekikikan.
“Orang
tua yang bersenjata pedang perak itu!” jawab Wiro.
“Tuanku
Laras Mudo Balang. Memangnya kenapa dia?”
“Bulu di
wajahnya belang putih dan hitam. Waktu tadi celananya tanggal dan auratnya
tersingkap aku kira bulu di bawah perutnya juga belang putih dan hitam!
Ternyata di bagian tubuh itu dia tidak punya bulu alias botak! Ha… ha… ha!
Apakah kau juga sempat melihat Nek?!”
“Najis!
Dasar! Pantas Ki Bonang menyebutmu pemuda gila!” Kata si nenek pula lalu
mengerenyit sakit karena tulang-tulang iganya kembali terasa sakit.
“Nek, aku
sering-sering melihat kau mengerenyit kesakitan. Aku tahu kau mengalami cidera.
Tapi apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?”
Si Kamba
Pesek lalu menceritakan kejadian sewaktu dia berkelahi dan kena dihantam lawan
tulang iganya kiri kanan hingga patah.
“Aku
punya ilmu yang bisa menyembuhkan dan menyambung kembali tulang-tulang igamu
yang patah. Namanya ilmu Kopo. Aku dapat dari seorang nenek sakti di tanah
Jepun. Tapi caranya aku harus meremas dulu semua tulang igamu yang patah lalu
baru diobat disambung kembali. Apakah kau bisa menahan sakitnya nek?”
“Asal kau
tidak menipuku, aku mau saja menahan bagaimanapun sakitnya.” Jawab si nenek
yang rupanya mulai percaya pada sang pendekar. “Tapi ada satu hal yang ingin
aku tanya lebih dulu.”
“Hal apa
Nek?”
“Ilmu
membelah tanah yang membuat semua penyerang tadi selamatkan diri berserabutan.
Dari mana kau dapatkan?”
“Seorang
sahabat dari negeri antah berantah memberikannya padaku.”
“Ah,
nasib peruntunganmu selalu baik rupanya. Di mana-mana ada orang yang memberikan
ilmu kesaktian baru padamu. Lalu mengingat ilmu kalian sama, apakah kau satu
perguruan dengan Datuk Marajo Sati?” tanya si nenek lagi.
Wiro
tertawa.
“Aku tahu
Datuk itu juga punya ilmu yang sama dengan yang aku miliki. Malah satu kali dia
pernah hendak membunuhku dengan ilmu itu…”
Si nenek
terkejut. “Bagaimana kejadiannya?”
“Waktu
itu aku tersesat masuk ke dalam sebuah goa di lamping Ngarai Sianok. Tidak
tahunya goa itu kediaman sang Datuk. Aku dianggap sengaja menyusup. Mengenai
ilmu kami yang sama, aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan.”
Si Kamba
Pesek terdiam sesaat, merenung berpikirpikir. “Jika Datuk Marajo Sati marah
besar dan hendak membunuh pemuda ini hanya karena dia tersesat, berarti ada
sesuatu yang coba dilindungi Datuk itu. Lalu pemuda ini, jika ilmunya sama
dengan Datuk Marajo Sati, bisa saja mereka berdua berada di pihak yang sama.
Aku harus berhati-hati.” Kemudian si nenek berkata. “Sebenarnya aku dan
kawan-kawan punya rencana akan menyelidiki Datuk Marajo Sati tentang satu
perkara. Jika ternyata kau adalah kaki tangan Datuk itu…”
Wiro
tertawa.
“Sudah
Nek, sekarang kau berbaringlah. Aku akan mulai mengobati tulang-tulang igamu…”
Si nenek
baringkan diri di tanah. Menelungkup.
“Menelentang
Nek. Kalau kau menelungkup bagaimana aku bisa mengobati tulang igamu!” Kata
Wiro pula.
Si nenek
balikkan tubuh menelentang.
“Aku
dengar kau seorang pemuda mata keranjang. Awas kalau kau berani menipu dan
berlaku jahil padaku…”
Wiro
tertawa. “Mengapa kau sampai punya pikiran seperti itu Nek?”
“Kakakku
Si Kamba Mancuang memberi tahu. Kau memeluk dan menciuminya…”
“Lantas,
apa kau juga mau aku cium Nek?”
“Anak
gilo!”
Wiro
tertawa gelak-gelak. Tangan kanannya bergerak ke deretan tulang iga sisi kiri
dan kanan si nenek. Dia siap mengobati cidera Si Kamba Pesek dengan ilmu Koppo
yakni ilmu mematah dan menyambung tulang. Ilmu ini didapat Wiro dari seorang
nenek sakti di negeri Jepun bernama nenek Neko (baca serial Wiro Sableng di
negeri Sakura).
Kraakk…
kraakk… kraakkk!
Jeritan
keras setinggi langit menggelegar dari mulut Si Kamba Pesek begitu barisan
tulang iganya yang patah di rusuk kiri kanan mulai diobati. Saking sakitnya si
nenek menggeliat-geliat. Pinggang tersentak ke atas. Dua kaki naik
melejang-lejang hingga pakaiannya berupa jubah panjang merosot sampai ke
pangkal pinggul. Melirik ke arah aurat yang tersingkap itu murid Sinto Gendeng
jadi terkesiap.
“Astaga,
bagaimana mungkin nenek ini memiliki sepasang kaki dan paha yang mulus bagus
seperti anak perawan!”
Selagi
Wiro terheran-heran tiba-tiba satu bayangan berkelebat.
“Pemuda
jahanam kurang ajar! Kau apakan saudaraku! Kau hendak memperkosanya! Ternyata
kau benar-benar manusia gila mata keranjang!”
Sesaat
kemudian, bukkk…! Satu tendangan keras melanda bahu kanan Wiro hingga sang
pendekar terpental sampai satu tombak. Tulang bahunya serasa remuk. Sakitnya
bukan alang kepalang!
Sambil
menahan sakit, terhuyung-huyung Wiro mencoba bangun. Di hadapannya berdiri
kembaran Si Kamba Pesek yaitu Si Kamba Mancuang. Nenek ini setelah menendang
Wiro langsung melompat ke arah Si Kamba Pesek dan jatuhkan diri di samping
saudaranya itu.
“Kamba
Pesek, kau tidak apa-apa? Kau belum sempat diper…”
“Tua
bangka tolol! Kau terlalu cemburu! Otakmu dipenuhi pikiran kotor yang
bukan-bukan!” Si Kamba Pesek menyemprot marah.
Si Kamba
Mancuang terperangah. “Kau sudah gila! Aku mau menolong kau malah marah padaku!
Rupanya kau suka diperkosa pemuda jahanam itu!”
“Siapa
yang mau berbuat mesum! Dia justru tengah mengobati tulang rusukku yang cidera
akibat pukulan Sutan Panduko Alam tempo hari…”
“Tapi aku
lihat dia meremas-remas dadamu. Pakaianmu tersingkap sampai lancirik-mu
(pantat) kelihatan…”
“Sudah!
Tutup mulutmu!” bentak Si Kamba Pesek. Dia berpaling ke arah Wiro. “Anak muda,
harap maafkan saudaraku. Dia…”
“Tidak
apa-apa Nek. Aku sudah sempat mengobatimu. Tak lama lagi kau pasti sembuh.
Kurasa aku lebih baik pergi dulu. Ceritakan pada saudaramu apa yang sebenarnya
terjadi…”
“Hai
tunggu! Jangan pergi dulu!” Berseru Si Kamba Pesek. Namun saat itu Pendekar 212
Wiro Sableng telah berkelebat pergi. Nenek satu ini banting-banting kaki.
Tibatiba dia terdiam. Dua tangan dielus-eluskan ke rusuk kiri kanan. “Luar
biasa! Aku tidak merasa sakit lagi! Betul apa yang dikatakan anak muda itu. Aku
sudah sembuh! Lihat! Pemuda itu menyembuhkanku! Bagaimana mungkin kau
menuduhnya berbuat mesum!”
Si Kamba
Mancuang peluk saudaranya seraya berkata. “Aku mohon maafmu. Ternyata aku telah
salah menduga. Aku juga telah kesalahan melepas tendangan…”
“Kau
selalu begitu! Bertindak dulu baru berpikir! Lihat! Dia sudah pergi! Ke mana
harus mencarinya! Berterima kasihpun aku belum sempat!”
“Kita
berdua akan mencari pemuda itu sampai dapat,” kata Si Kamba Mancuang pula.
“Tidak!
Aku tidak mau pergi bersamamu!” Jawab Si Kamba Pesek. Lalu nenek ini mundur
menjauhi saudaranya. Di lain kejap dia balikkan badan dan berkelebat lenyap ke
arah perginya Wiro.
Untuk
beberapa lama Si Kamba Mancuang masih tegak tertegun termangu-mangu seorang
diri. Bingung ada kecewa juga ada. Akhirnya nenek satu ini pun tinggalkan
tempat itu, pergi ke arah berkelebatnya Si Kamba Pesek.
**********************
4
MALAM
itu, dalam keadaan bahu masih sakit Pendekar 212 tengah dalam perjalanan menuju
Danau Maninjau untuk menemui Datuk Rao Basaluang Ameh. Dia ingin mendapat
kejelasan tentang pesan amanat sang guru mengenai perkara besar yang akan
terjadi di Ranah Minang. Namun di tengah perjalanan pikirannya berubah. Dia
merasa khawatir kalau nanti Datuk mempunyai anggapan dirinya tidak sanggup
melakukan tugas, tidak mampu menyelidiki dan memecahkan sendiri teka-teki
malapetaka yang akan terjadi.
“Malapetaka
bukan akan terjadi, aku rasa malapetaka sudah terjadi…” pikir Wiro sambil
menggaruk kuduk. “Selama aku di sini, sudah beberapa orang menemui ajal. Malah
aku dituduh jadi pembunuh salah seorang dari mereka… Aku sudah masuk dan
terlibat dalam perkara besar itu. Masakan aku harus menyusahkan Datuk meminta
penjelasan lagi. Aku harus mampu menyelidiki sendiri…” Wiro angkat kopiah
hitamnya hendak menggaruk kepala. Tapi tidak jadi.
Saat itu
entah dari mana datangnya tiba-tiba, blukk!
Sesosok
tubuh melayang jatuh, terbujur tak bergerak di tanah beberapa langkah di
hadapannya. Walau malam hari namun karena langit bersih dan banyak bintang
serta merta Wiro mengenali orang yang terkapar di hadapannya itu bukan lain
adalah Si Kamba Pesek Tangan Manjulai. Keadaan nenek ini sangat mengenaskan.
Tangan kiri patah. Tangan kanan buntung dan masih mengucurkan darah tanda dia
belum lama dibunuh. Di dada dan leher ada luka terkuak. Darah yang mengucur
dari batok kepala menutupi sebagian wajahnya. Mulut robek sampai ke telinga
kiri. Sebelum tewas agaknya nenek ini telah diserang dengan senjata tajam serta
pukulan ilmu silat sangat ganas.
“Nek!”
teriak Wiro. Dia segera hendak menubruk sosok yang sudah tidak bernafas itu.
Tapi gerakannya tertahan ketika beberapa bayangan berkelebat disertai suara
orang berucap lantang.
“Selama
dunia terkembang, tidak ada seorang pengkhianatpun boleh dibiarkan hidup!”
Murid
Sinto Gendeng mengenali. Itu adalah suara Tuanku Laras Muko Balang! Dalam
keadaan setengah berjongkok, Wiro angkat kepala, menatap ke depan. Tuanku Laras
Muko Balang berdiri dengan sikap pongah, memegang pedang telanjang. Ujung
pedang nampak bernoda merahnya darah! Saat itu dia telah mengenakan sehelai
celana galembong baru lengkap dengan baju hitam. Di sebelah kanan tegak Ki
Bonang Talang Ijo. Seperti biasa kakek satu ini unjukkan sikap tenang dingin
dan dua tangan disilangkan di atas dada.
Orang ke
tiga yaitu Teng Sien berdiri berkomat-kamit. Golok besar bergetar di tangan
kanan pertanda niatnya untuk menghabisi Wiro tidak dapat dikendalikan lagi.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik di ujung kiri, tidak mengenakan destar karena
sebelumnya destar orang ini telah amblas masuk tersedot tanah terbelah. Di
tempat itu Wiro menyaksikan ada dua orang lain yang tidak dikenalnya.
Yang
pertama seorang nenek bungkuk mencekal benda bergayut seperti jaring ikan.
Kulit muka tipis hitam legam, mengingatkan Wiro pada gurunya Eyang Sinto
Gendeng. Dalam berdiri sepasang mata cekung nenek ini tidak berkesip
memperhatikan ke dua kaki Wiro. Sementara tangan kanan yang memegang jaring
dalam kuda-kuda siap bergerak.
“Nenek
ini rupanya diandalkan untuk mengawasi kedua kakiku. Mereka khawatir aku akan
kembali mengeluarkan ilmu Membelah Tanah Menyedot Arwah,” pikir Pendekar 212
Wiro Sableng.
Orang
kedua yang juga tidak dikenal Wiro adalah seorang kakek berpakaian serba hitam
termasuk destar di kepala dan kain sarung melintang di bahu. Kakek ini memegang
sebatang tongkat berkeluk terbuat dari perunggu.
“Tua
bangka ini memegang tongkat secara aneh,” membatin Wiro sambil mengawasi. “Dia
tidak memegang tongkat pada bagian gagang yang berkeluk, tapi pada ujung yang
lurus. Berarti tongkat ini adalah senjata penggebuk yang ampuh! Aku harus
berhati-hati.”
Ketika
kakek ini menggeser dua kakinya, Wiro memperhatikan dan diam-diam jadi
terkesiap. Dua kaki kakek ini terbalik. Bagian yang ada jari-jarinya berada di
sebelah belakang sedang tumit di sebelah depan!
Ketika
kembali memandang ke arah mayat Si Kamba Pesek, amarah Pendekar 212 mendidih.
Mulut berteriak lantang hingga semua orang yang ada di situ merasakan denyutan
di dada masing-masing.
“Kalian
membunuh nenek ini! Pasti secara mengeroyok! Pengecut busuk! Apa salahnya?! Dia
bukan pengkhianat! Dia tidak pernah memberi keterangan apapun padaku! Kalian
akan membayar mahal kematiannya!”
Tuanku
Laras Muko Balang mendengus.
“Semakin
kentara kau memang berkomplot dengan nenek itu!” Kata Tuanku Laras kemudian.
Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik tawa mengejek.
Ki Bonang
Talang Ijo membuka mulut. “Pemuda sombong takabur! Jika kau memang orang hebat,
perlihatkan kembali pada kami ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpo!”
Begitu Ki
Bonang Talang Ijo keluarkan ucapan, si nenek bungkuk berkulit hitam putar
pergelangan tangannya yang memegang benda bergayut, menggeser dua kaki memasang
kuda-kuda siap menyerang. Kini tambah jelas bagi Wiro kalau orang memang sudah
menyiapkan serangan penangkal untuk mencelakai dirinya yaitu di bagian ke dua
kaki.
Sambil
menyeringai Wiro bergerak berpindah tempat hingga dia dan Ki Bonang serta si
nenek muka hitam berada di satu garis lurus. Si nenek terhalang oleh sosok si
kakek.
“Majulah
dua langkah, aku akan perlihatkan ilmu yang barusan kau katakan!” Ucap Wiro
pada Ki Bonang.
“Kurang
ajar!” maki Ki Bonang Talang Ijo. “Dia sengaja membuat kedudukan yang
menyebabkan nenek itu tidak mungkin bergerak menyerangnya karena terlindung
diriku.”
Tiba-tiba
Ki Bonang Talang Ijo bersuit keras. Saat itu juga tubuhnya melesat ke udara
hingga kini Wiro berhadaphadapan langsung dengan si nenek muka hitam. Tanpa
banyak menunggu lagi nenek ini gerakkan tangan kanan. Benda yang sejak tadi
dipegangnya melesat ke depan, menebar membentuk jaring berpijar, mengarah kaki
kiri kanan Pendekar 212!
Wiro
merasa ada hawa dingin aneh dari pijaran jaring membuat dua kakinya mendadak
menjadi lemas. Dengan cepat dia kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam ke tubuh
bagian bawah lalu melompat setinggi satu tombak. Di saat yang sama si nenek
sentakkan jaring di tangan kanan. Cahaya putih berpijar. Wiro berteriak kaget
ketika dua kakinya terangkat ke udara, membuat tubuhnya jungkir balik tak
karuan!
Dari
samping, Ki Bonang Talang Ijo cepat tanggalkan belangkon. Sekali belangkon
dikebut, menyambar cahaya kehijauan menyerang Pendekar 212 yang masih jungkir
balik di udara. Dalam keadaan seperti itu cahaya hijau menghantam tubuhnya.
Terhuyung limbung, sambil berusaha mengimbangi diri Wiro membuat gerakan
berputar. Gerakan dua kakinya agak kaku karena masih dipengaruhi serangan
jaring berpijar si nenek. Namun dua tangan dalam keadaan bebas. Tidak tunggu
lebih lama Wiro lancarkan serangan balasan. Tangan kiri kanan melepas pukulan
Dewa Topan Menggusur Gunung.
“Lekas
menyingkir!” teriak Ki Bonang begitu dua pukulan menebar angin dahsyat disertai
suara bergemuruh. Teng Sien berlaku nekad. Sementara semua orang menjauh bahkan
ada yang terpelanting, dia melompat kirimkan babatan golok ke arah dua kaki
Wiro yang berada di atasnya. Rupanya dia menduga serangan si nenek dan kebutan
belangkon Ki Bonang tadi masih mempengaruhi Wiro.
Kraakk!
Perwira
Muda itu menjerit begitu kaki kiri Pendekar 212 bergerak menghantam sambungan
sikunya. Golok besar terlepas mental. Sambungan siku patah. Teng Sien sendiri
terpental dan jatuh duduk di tanah mengerang tak berkeputusan.
“Serang!”
Ki Bonang Talang Ijo tiba-tiba berteriak.
Maka
serangan dahsyat laksana topan prahara menggempur Wiro dari berbagai jurusan.
Jaring berpijar kembali menyapu ke arah dua kaki Wiro. Pedang Al Kausar di
tangan Tuanku Laras Muko Balang membabat laksana badai, menebar cahaya putih
dalam kegelapan malam. Setelah dirinya dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan
orang banyak, dendam orang tua bermuka belang ini terhadap Wiro bukan alang
kepalang.
Di bagian
lain Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik laksana menari di udara susupkan satu
pukulan ke arah dada Wiro sementara kakek yang memegang tongkat membuat
serangan dalam gerakan aneh. Dia lari ke arah Wiro. Ketika berpapasan dia tidak
membuat gerakan apaapa. Tapi begitu tubuhnya melewati Wiro tiba-tiba wutt!
Tanpa berpaling tongkat di tangan kanannya menghantam ke belakang!
Bukkk!
Gagang
berlekuk tongkat tembaga menghantam punggung kanan Wiro. Selagi Wiro terlempar
ke depan, dari arah berlawanan datang serangan ilmu silat Sitaralak yang
dilancarkan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik dalam jurus Tigo Alu Mangupak
Lasuang (Tiga Alu Menghancurkan Lesung). Sesuai dengan namanya, kekuatan
pukulan itu sama dengan kekuatan tiga alu besar yang secara sekaligus
dihantamkan ke dada lawan! Sesaat lagi pukulan lawan yang bisa membuat dadanya
jebol datang menghantam, Wiro kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti yang
bersumber pada Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya! Satu cahaya
putih berpijar melindungi dada sang pendekar.
Bukkk!
Pukulan
Tigo Alu Manguak Lasuang mendarat telak di dada Wiro. Tubuh murid Sinto Gendeng
bergoncang hebat. Walau dia selamat dari maut akibat lindungan hawa sakti Kapak
Geni 212 namun tak urung mulutnya semburkan darah segar!
Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik sendiri menjerit keras dan terjajar ke belakang,
hampir terjengkang kalau tidak ditolong oleh Tuanku Laras Muko Balang. Tangan
kanan Pandeka Bumi Langit tampak terkelupas seperti melepuh mulai dari lima
ujung jari sampai ke pergelangan!
“Pengeroyok
pengecut! Kalian akan menerima pembalasanku!” Ucap Wiro dengan suara bergetar.
Tangan kanan dipentang ke atas.
Saat itu
juga tangan itu berubah menjadi putih menyilaukan seperti perak mulai dari siku
sampai ke ujung jari.
“Pukulan
Sinar Matahari!” Teriak Ki Bonang Talang Ijo.
Walau
belum pernah melihat sendiri namun dia telah sering mendengar dan yakin saat
itu Wiro akan melancarkan serangan dengan pukulan yang telah menggegerkan
seluruh daratan tanah Jawa itu. Maka kakek ini segera keluarkan suitan keras.
Saat itu juga Tuanku Laras Muko Balang melompat ke depan sambil tangan kiri
menjambak rambut seorang pemuda sementara tangan kanan yang memegang pedang
dimelintangkan di atas tenggorokan orang!
“Pendekar
Dua Satu Dua!” kata Ki Bonang Talang Ijo. “Jika kau tidak mau menyerah
sahabatmu itu akan kami sembelih!”
“Benar-benar
pengecut jahanam!” rutuk Wiro.
Pemuda
yang dicekal itu bukan lain adalah Malin Kapuyuak, pemuda tukang intip yang
beberapa waktu lalu berhasil lolos dari tangan maut Duo Hantu Gunung Sago Si
Kalam Langit.
Sesaat
Wiro berpikir sementara pedang di tangan Tuanku Laras mulai menyayat kulit
leher Malin Kapuyuak hingga tergores luka. Malin Kapuyuak meringis kesakitan.
Mukanya sepucat kain kafan.
“Jangan
bunuh aku! Apa salahku! Ampun, jangan bunuh aku…”
Perlahan-lahan
Wiro turunkan tangan kanannya. “Lepaskan pemuda itu! Katakan apa mau kalian!”
Wiro mengalah. Dia tidak ingin melihat Malin Kapuyuak menemui ajal secara
mengenaskan. Walau mengalah namun otaknya diputar mencari akal bagaimana bisa
menyelamatkan si pemuda tukang intip perawan mandi itu dan sekaligus memberi
pelajaran pada Ki Bonang dan kambrat-kambratnya.
Namun
saat itu tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
“Wiro!
Pemuda itu bukan sahabatmu! Biarkan saja dia mati disembelih! Jangan mau mengalah!
Biar dia hidup atau mati tidak ada untungnya bagimu!”
**********************
5
SEMUA
orang terkejut, termasuk Tuanku Laras Muko Balang. Tidak sadar jambakannya di
rambut Malin Kapuyuak mengendur. Tekanan mata pedang di leher si pemuda turun
merenggang. Kesempatan ini tidak disiasiakan oleh Malin Kapuyuak. Tumit
kanannya dihunjamkan ke jari-jari kaki kanan Tuanku Laras yang tersembul di
ujung kasut kulit. Selagi si muka belang ini merintih kesakitan dan memaki,
Malin Kapuyuak cepat loloskan diri, menghambur ke arah perempuan yang tadi
berseru.
Perempuan
ini tertawa gelak-gelak seolah dia tidak perduli keadaan di tempat itu dan
ketegangan apa yang tengah terjadi!
Pendekar
212 yang dalam keadaan menahan sakit akibat gebukan tongkat di punggung serta hantaman
tangan di dada, dalam keadaan setengah megap-megap mau tak mau jadi terkesiap
terheran-heran. Dalam hati dia berkata. “Denok Tuba Biru! Bagaimana mungkin?!
Setan mana yang membawamu ke negeri ini?”
Perempuan
yang muncul di tempat itu dan masih tertawa-tawa adalah seorang perempuan muda
luar biasa gemuk. Ketika tertawa dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut
bergoyang-goyang. Wajahnya yang tembam berwarna biru bergaris-garis kuning.
Rambut lurus tegak seperti lidi. Anting-anting bulat besar terbuat dari perak
mencantel di telinga kiri kanan. Mengenakan pakaian aneh sebentuk celana monyet
hitam tak berlengan. Bulu ketiaknya yang lebat panjang menyembul berserabutan.
Paha yang besar gempal bergoyang-goyang. Di bahu kanan ada jarahan sekuntum bunga
mawar biru.
Di
hadapan perempuan gemuk ini Malin Kapuyuak jatuhkan diri. Tangan diangkat di
atas kepala. Dalam sikap menyembah pemuda ini berkata.
“Inyiek
Batino! Ratu Sekalian Harimau Betina di Tujuh Gunung Bertuah! Terima kasih kau
telah datang menyelamatkan diriku!”
Sementara
Wiro tercengang-cengang dan hampir tak dapat menahan ketawa, Tuanku Laras Muko
Balang dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik sama-sama berubah wajah
masing-masing. Keduanya melangkah saling mendekat.
“Aku
belum pernah melihat rupa. Tapi kalau dia benar Inyiek Batino Ratu Harimau
Betina Tujuh Gunung Bertuah, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini.”
Berbisik Tuanku Laras Muko Balang.
“Aku
mengikut saja apa katamu. Heran, bagaimana pemuda keparat itu bisa kenal dengan
Inyiek Batino?” Jawab Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Kedua orang ini memberi
isyarat pada kawan-kawan mereka. Kakek bertongkat ketika diajak pergi gelengkan
kepala.
“Sebelum
aku gebuk kepala perempuan itu dengan tongkat perunggu ini, aku tidak akan
pergi. Urusan kita di tempat ini belum selesai. Bukankah kita mau memeras
keterangan dari pemuda Jawa berambut panjang itu?!”
“Datuk
Pancido, aku juga tidak ingin melepaskan pemuda itu begitu saja. Namun sekali
ini kita lebih baik mengalah. Benda yang kita cari belum bertemu. Lebih baik
mendapatkan benda itu lebih dahulu daripada mencari celaka…” Yang berbicara
adalah Ki Bonang Talang Ijo.
“Aku
tidak yakin perempuan gapuak itu Inyiek Batino.” Kakek yang dipanggil dengan
nama Datuk Pancido masih penasaran. “Logat bicaranya bukan logat orang sini.
Lagipula turut kata orang yang pernah melihat, Inyiek Batino mulutnya ditumbuhi
misai putih seperti harimau sungguhan. Tapi yang ini ketiaknya yang bermisai…”
Untuk
beberapa lama si kakek masih tak beranjak dari tempatnya. Tapi ketika satu
persatu orang-orang itu meninggalkan tempat tersebut akhirnya dia mengikuti
juga. Sebelum pergi dia masih sempat lontarkan kerlingan ke arah si gemuk.
Perempuan bermuka biru bergaris kuning seperti harimau ini tersenyum dan
kedipkan mata!
“Inyiek
Setan!” rutuk Datuk Pancido. Dia merasa getaran aneh di permukaan kulit
tubuhnya yang membuat kakek ini jadi merinding lalu cepat-cepat pergi menyusul
teman-temannya.
Di tengah
jalan tiba-tiba Perwira Muda Teng Sien memberi tanda lalu berhenti berlari.
Semua orang ikut hentikan lari. Perwira ini mendekati Ki Bonang lalu mengatakan
sesuatu. Ki Bonang tampak menganggukangguk.
“Ada apa
Ki Bonang? Apa yang dikatakan Perwira Cina itu?” tanya Pandeka Bumi Langit Dari
Sumanik. Selesai bicara dia kembali meniup-niup tangan kanannya yang melepuh.
“Perwira
Muda sahabat kita ini memberi tahu kalau setelah menewaskan nenek itu kita lupa
menggeledah tubuhnya. Tiga batangan emas yang telah diterimanya pasti ada di
balik pakaian.”
“Kalau
begitu kita kembali ke tempat tadi!” kata kakek bersenjata tongkat perunggu
bernama Datuk Pancido. Dari pekerjaannya membantu orang-orang itu dia dan si
nenek muka hitam memang belum mendapatkan imbalan. Kalau tiga batang emas itu
ditemukan dia berharap akan menjadi bagian mereka berdua.
Tuanku
Laras gelengkan kepala. “Terlalu berbahaya. Orang-orang itu pasti masih ada di
sana. Lupakan saja tiga batang emas itu. Aku ada satu rencana lain…”
“Rencana
apa Tuanku Laras?” tanya Ki Bonang.
“Inyiek
Susu Tigo. Kita harus cepat-cepat menemui guru Si Kamba Pesek dan Si Kamba
Mancuang itu. Kita beritahu bahwa Si Kamba Pesek muridnya telah dibunuh pemuda
Jawa bernama Wiro itu. Kita tidak perlu bersusah payah lagi. Inyiek Susu Tigo
pasti akan mencari dan membunuh pemuda itu!”
“Rencana
bagus Tuanku Laras! Akalmu sungguh luar biasa!” memuji Ki Bonang Talang Ijo.
“Bukan
itu saja,” kata Tuanku Laras pula dengan cuping hidung mengembang. “Akan kita
beritahu Inyiek Susu Tigo. Kalau sebelum dibunuh pemuda Jawa itu telah lebih
dulu memperkosa si nenek! Kita harus bisa membakar hati dan pikiran Datuk Susu
Tigo hingga dia tidak memikirkan hal lain selain membunuh pemuda itu!”
“Hebat!”
Kembali Ki Bonang memuji.
Sementara
orang bicara, Perwira Muda Teng Sien walau berdiam diri tapi unjukkan wajah
kesal. Tiba-tiba berteriak keras lalu melompat pergi.
“Perwira!
Tunggu! Kau mau ke mana?!” berseru Ki Bonang Talang Ijo.
“Dia
pasti kembali ke tempat mayat Si Kamba Pesek! Mencari tiga batang emas itu!”
kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lalu kembali meniup-niup tangannya yang
melepuh.
“Kita
kejar dia!” kata Tuanku Laras pula.
“Biarkan
saja! Dia mencari penyakit sendiri! Mau menyelamatkan tiga batang emas. Tapi
nyawanya sendiri nanti bisa-bisa tidak mampu diselamatkannya!”
“Kalau
dia mati, kita tidak akan mendapat bagian batangan emas yang kedua dan urusan
bisa kacau bubar begitu saja!” kata Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
“Tidak
usah khawatir. Aku tahu di mana dia menyimpan sisa peti-peti emas itu!” Kata Ki
Bonang pula.
Tuanku
Laras Muko Balang melirik tapi tidak keluarkan ucapan. Ada sesuatu bermain di
dalam benaknya setelah mendengar ucapan Ki Bonang tadi.
Teng Sien
memang pergi ke tempat kejadian sebelumnya. Namun bukan saja dia tidak
menemukan mayat Si Kamba Pesek, di situ juga tidak ada lagi Pendekar 212, Malin
Kapuyuak dan Denok Tuba Biru. Perwira Muda ini lalu cepat-cepat kembali menemui
rombongan Ki Bonang Talang Ijo.
*************************
BEGITU
semua orang pergi, perempuan gemuk dan Malin Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
Wiro
tidak dapat menahan hati lagi. “Denok Tuba Biru! Kau dan Malin Kapuyuak seperti
sudah lama saling mengenal! Kalian ini melakukan apa barusan! Siapa itu Inyiek
Batino? Mereka tampak seperti ketakutan mendengar nama itu! Dan kau Denok,
katakan! Bagaimana kau bisa berada di tanah Minang ini?! Setan mana yang membawamu
ke sini?!”
“Pertanyaanmu
banyak amat. Biar Malin Kapuyuak yang lebih dulu menjawab,” kata perempuan
gemuk bermuka biru bergaris kuning masih sambil tertawa-tawa.
“Uda
sahabatku,” kata Malin Kapuyuak pula. “Sewaktu aku lolos dari tangan maut Duo
Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek, ada orang lain berusaha hendak membunuhku.
Tapi tahu-tahu muncul uni gapuak (kakak perempuan gemuk) ini! Dia juga
mengejarku. Orang pertama yang mengejarku melenyapkan diri entah ke mana…”
“Aku
mengejar dia karena ingin mencari tahu di mana keberadaanmu,” berkata Denok
Tuba Biru.
“Lalu kau
sendiri bagaimana bisa berada di negeri ini?” tanya Wiro yang sejak semula
tidak habis pikir.
“Setelah
kita menolong Nyi Retno Mantili dan puterinya Ken Permata serta Manusia Paku
Sandaka, pada saat harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau menerbangkanmu ke
Danau Maninjau, diam-diam aku bergelayutan di bawah perutnya. Aku menerapkan
ilmu Bayang-Bayang Angin hingga kau tidak bisa melihatku…” (baca serial Wiro
Sableng sebelumnya berjudul “Bayi Titisan”).
“Tapi kau
tidak bisa menipu Datuk Rao Bamato Hijau. Harimau sakti itu pasti tahu kau
bergantungan di bawah tubuhnya…”
“Pasti
tahu, tapi diam saja…” jawab Denok Tuba Biru sambil senyum-senyum.
“Tidak
mungkin harimau sakti itu diam saja. Ceritakan hal yang sebenarnya.”
“Selama
di perjalanan aku terus-terusan mengusap anunya Datuk Rao Bamato Hijau. Rupanya
dia merasa keenakan. Itu sebabnya dia diam saja!”
“Sinting!”
Teriak Wiro seraya membuka kopiah hitamnya lalu dibanting ke tanah. Kepala
digaruk habishabisan. Malin Kapuyuak menekap hidung menahan tawa sementara
Denok Tuba Biru enak saja melepas cekikikan.
**********************
6
WIRO
melangkah mundar-mandir. Sekali-sekali dia berhenti oleh rasa sakit di punggung
dan di dada. Kalau saja Kapak Naga Geni 212 tidak ada di dalam tubuhnya yang
menamengi dirinya dari serangan dua lawan yaitu Datuk Pancido dan Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik, mungkin keadaannya bisa sangat parah.
“Denok
Tuba Biru, kalau Datuk Rao Basaluang Ameh tahu apa yang kau lakukan pada
harimau putih…” Wiro mengingatkan.
“Wiro,
sebaiknya kau lebih memperhatikan dirimu. Aku yakin kau telah terluka di dalam
tapi kau tidak perduli. Aku membawa obat. Mungkin bisa menolong. Telanlah!”
Dari dalam sebuah kantong kecil perempuan gemuk itu mengeluarkan sebuah benda
bulat seujung kuku berwarna hitam lalu diserahkannya pada Wiro. Ketika Wiro
hendak menelan Malin Kapuyuak berseru.
“Tunggu
dulu! Uni Gapuak, kau tidak salah memberi obat pada pandeka sahabatku?”
“Apa
maksudmu?!” bentak Denok Tuba Biru.
“Obat
yang kau berikan bukan obat penyubur penambah lebat bulu ketiak?!”
“Setan
alas kurang ajar!” Teriak Denok Tuba Biru marah lalu, plaakk! Tangannya
menjitak kepala si pemuda hingga Malin Kapuyuak kesakitan, menjauh sambil
usap-usap kepala. Wiro cepat-cepat telan obat yang diberikan. Dada dan
punggungnya yang sakit terasa hangat.
“Aku
memang khawatir kalau sampai ketahuan Datuk Rao Basaluang Ameh,” kata Denok
Tuba Biru kemudian. “Karenanya ketika harimau putih berlari di sepanjang tepi
danau, sebelum sampai di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh, di satu
tempat aku menjatuhkan diri. Setelah itu aku berusaha mencarimu. Aku pernah
melihat suatu saat kau dan pemuda ini berduaan. Ketika aku kehilangan jejakmu,
aku mencari pemuda ini dan menemuinya sewaktu hendak dibunuh Hantu Gunung Sago
Si Batu Bakilek…”
Sementara
Wiro mendengarkan cerita Denok Tuba Biru, Malin Kapuyuak memperhatikan mayat Si
Kamba Pesek. Pada pinggang pakaiannya yang agak tersingkap dia melihat ada tiga
benda berkilat kuning menyembul. Ketika dia membungkuk dan memperhatikan lebih
dekat dia segera mengenali. Tiga benda yang tersembul itu adalah tiga ujung
batangan emas! Segera saja dia menarik batangan emas itu satu persatu.
“Malin
Kapuyuak! Apa yang kau lakukan?!” tiba-tiba Wiro bertanya. Membuat si pemuda
tergagau dan rentangkan dua tangan.
“Lihat!
Kalian pasti tidak percaya! Aku menemukan tiga batang emas di balik pinggang
jenazah nenek itu!”
Wiro
mengambil sebatang emas, memperhatikannya beberapa lama lalu menyerahkan pada
Denok Tuba Biru. Setelah memeriksa sebentar perempuan gemuk ini memberi tahu.
“Ini emas
betulan! Bukan barang palsu!”
“Rejekiku
besar nian! Sekarang aku punya modal untuk kawin! Ha… ha… ha!” Malin Kapuyuak
melompat-lompat sambil mencium dua batangan emas.
“Malin,
serahkan semua emas itu pada sahabat kita Uni Gapuak ini. Sebelum ketahuan asal
muasal dan siapa pemiliknya, tidak satu pun di antara kita boleh mengambilnya!”
“Uda
Pandekar, jangan begitu. Pemiliknya jelas nenek ini dan dia sudah mati. Kau
tahu aku ini orang miskin…”
“Aku juga
orang miskin!” kata Pendekar 212 lalu ambil dua batangan emas yang ada di
tangan Malin Kapuyuak kemudian diserahkan pada Denok Tuba Biru.
“Simpan
baik-baik. Jangan sampai hilang!” kata Wiro pada Denok Tuba Biru.
Malin
Kapuyuak mengomel panjang pendek namun kemudian berhenti sendiri.
Malam itu
juga Wiro ditemani Denok Tuba Biru dan dipandu Malin Kapuyuak membawa jenazah
Si Kamba Pesek ke sebuah dusun terdekat. Mereka menemui kepala dusun untuk
diminta mengurus dan mengubur jenazah si nenek. Mula-mula kepala dusun ini
marah-marah. Bukan saja karena dibangunkan dalam tidur lelapnya tapi juga
karena diberi pekerjaan yang tidak disangka-sangka.
“Malam
buta kalian membangunkan aku dari tidur! Datang membawa mayat yang tidak aku
kenal! Minta aku mengurusnya sampai penguburan! Rancak bana! Enak pada kalian
susah padaku! Kelihatannya dia mati tidak wajar. Bagaimana kalau nanti kematian
perempuan tua ini menjadi urusan panjang? Aku yang cilako tigo baleh (celaka
tiga belas)! Kalian sudah menghilang entah ke mana!”
“Pak gaek
(bapak tua),” Malin Kapuyuak berkata. “Jangan khawatir. Kalau terjadi apa-apa
cari aku. Namaku Malin Kapuyuak. Semua orang kenal diriku! Kau boleh bertanya
di Koto Gadang, Koto Tuo atau Koto Tinggi. Semua orang pasti tahu diriku. Aku
kemenakan Datuk Marajo Sati…” Malin Kapuyuak membual.
Kepala
dusun gelengkan kepala. “Kemenakan Raja di Pagaruyung sekalipun kau, aku tidak
akan melakukan apa yang kalian minta!”
Dia
melangkah mundur, siap masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Wiro
tidak kehabisan akal. Diambilnya salah satu dari tiga batangan emas yang ada
pada Denok Tuba Biru lalu dipatahkan sedikit salah satu ujungnya. Potongan
kecil emas ini kemudian ditunjukkannya pada kepala dusun.
“Bapak
tua, ini sedikit bantuan untuk biaya pengurusan jenazah nenek kami sampai di
penguburan. Kuharap kau ikhlas menerimanya.” Kata Wiro pula.
Sepasang
mata kepala dusun terbeliak berkilat. Tidak percaya.
“Ini emas
sungguhan?!” tanyanya pada Wiro lalu memandang Malin Kapuyuak dan Denok Tuba
Biru. Ketiga orang itu sama-sama menganggukkan kepala.
Masih
tidak percaya kepala dusun masukkan gumpilan emas ke dalam mulut, dihisap dan
digigit-gigit lalu diludahkan kembali.
“Ini
memang emas sungguhan. He… he… Nanti, kalau ada lagi jenazah yang hendak kalian
minta aku mengurusi, serahkan padaku. Jangan diberikan pada orang lain? Jangan
satu jenazah. Sepuluh jenazah pun akan aku urus!”
Kepala
dusun ini lalu masuk ke dalam rumah, membangunkan istrinya. Di luar rumah,
Wiro, Malin Kapuyuak dan Denok Tuba Biru mendengar kepala dusun berkata pada
istrinya.
“Baidah,
kita kaya! Kita akan jadi urang kayo (orang kaya)! Lihat ini! Lihat apa yang
ada di tanganku! Ammeehhh (emas)!”
Apakah
pembaca masih ingat siapa adanya perempuan gemuk Denok Tuba Biru dan oleh Malin
Kapuyuak dipanggil Uni Gapuak itu? Seperti diceritakan dalam serial “Si Cantik
Gila Dari Gunung Gede”, dia adalah orang ketiga dari Serikat Momok Tiga Racun
yang terdiri dari tiga orang. Dua orang lainnya adalah Tukak Racun Kuning dan
Alis Bisa Merah. Sesuai dengan perintah guru mereka yang sudah mati, ketiganya
harus mencari seorang perempuan muda berkepandaian tinggi berpikiran tidak
waras untuk dijarah jantung, ginjal dan hatinya. Sasaran mereka adalah Nyi
Retno Mantili. Namun usaha jahat itu menemui kegagalan. Tukak Racun Kuning
menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti dan Alis Bisa Merah tewas di
tangan Manusia Paku Sandaka. Satu-satunya yang masih hidup adalah Denok Tuba
Biru yang nyawanya diampuni oleh Manusia Paku Sandaka dan disuruh pergi. Kelak
kemudian hari Denok Tuba Biru menjadi bersahabat dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng dan menolong Manusia Paku Sandaka (baca “Perjodohan Berdarah” dan “Bayi
Titisan”).
************************
*
SAMBIL
berjalan dalam gelap dan dinginnya udara malam, Wiro beberapa kali
terbatuk-batuk, bertanya pada Malin Kapuyuak. “Selama beberapa hari ini, sudah
berapa lagi anak gadis orang yang kau intai waktu mandi?”
“Uda
pandeka, jangan membuka rahasiaku di depan sahabat baru Uni Gapuak ini…” jawab
Malin Kapuyuak sambil tertawa.
“Uni
Gapuak ini juga masih gadis. Jangan-jangan kau sudah…”
Wiro
tidak meneruskan ucapannya karena keburu dipotong oleh Denok Tuba Biru.
“Kalau
dia berani mengintip aku mandi, aku peram kepalanya tiga hari di ketiak kiri,
tiga hari di ketiak kanan! Baru dia tahu rasa…”
Malin
Kapuyuak tertawa gelak-gelak.
Wiro
lantas bertanya.
“Sewaktu
kau menyembah sahabat kita ini di depan Ki Bonang dan kawan-kawannya, kau
menyebutnya Inyiek Batino, Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung
Bertuah. Orang-orang itu aku lihat seperti ketakutan. Siapa Inyiek Batino itu?”
“Aku
hanya melihat satu kali. Itu secara tidak sengaja dan cepat sekali. Inyiek
Batino perempuan gemuk bermuka harimau. Mukanya biru bergaris-garis coklat dan
kuning. Dia dikenal sebagai perempuan sangat sakti. Semua Datuk dan tokoh silat
di negeri ini menaruh segan kalau tidak mau dikatakan takut padanya. Konon
Inyiek Batino mempunyai ratusan anak buah yang diam di tujuh gunung, itu
sebabnya dia dijuluki Ratu Sekalian Harimau Betina Tujuh Gunung Bertuah.”
“Akalmu
panjang juga Malin. Tapi bagaimana kalau kemudian orang-orang itu tahu Uni
Gapuak ini bukan Inyiek Batino sungguhan? Atau bagaimana kalau Inyiek Batino
asli mengetahui ada orang yang menjual namanya?” Bertanya Wiro.
“Inyiek
Batino bukan perempuan sembarangan. Selain sakti berilmu, kata orang pikirannya
selalu jernih seperti embun di puncak Merapi, hatinya seputih kapas kapas di
lereng Singgalang…” Jawab Malin Kapuyuak.
“Mudah-mudahan
dia akan tetap seperti itu kalau bertemu pemuda kurang ajar sepertimu!” Kata
Denok Tuba Biru.
“Nenek bermuka
hitam dan kakek yang berkaki aneh bersenjata tongkat perunggu itu. Siapa
mereka?” tanya Wiro pada Malin Kapuyuak.
“Si nenek
biasa dipanggil dengan nama Niniek Panjalo. Kehebatannya pada senjata berbentuk
jaring yang bisa berpijar…”
“Aku
sudah merasakan kehebatannya,” kata Wiro mengakui. “Lalu kakek yang bertongkat
perunggu itu? Dia menyerang secara aneh. Membuat aku tidak bisa menghindar.”
“Namanya
aku tidak tahu tapi dijuluki orang Datuk Pancido. Ilmu silatnya memang aneh.
Dia datang dari depan tapi selalu memukul bagian tubuh lawan di arah belakang.
Itu sebabnya dia di sebut Datuk Pancido. Artinya Datuk yang menyerang bagian
belakang lawan…”
“Ilmu
licik. Lain kali kalau berhadapan lagi dengan dia aku harus berlaku hati-hati.”
Kata Wiro pula.
“Sekarang
kita mau ke mana?” Tanya Malin Kapuyuak.
“Aku
harus mencari saudara kembar Si Kamba Pesek. Ada beberapa hal penting yang akan
aku tanyakan padanya. Selain itu dia juga harus diberitahu kematian
saudaranya.” Menjawab Wiro.
Malin
Kapuyuak tersenyum lalu berbisik agar tidak terdengar Denok Tuba Biru.
“Aku
tahu, setelah memeluk dan menciumnya, kau tidak bisa melupakan nenek satu itu.
Ha… ha… betul kan?”
Wiro
hanya bisa ikutan tertawa.
“Malin,
kau tahu di mana aku bisa menemukan nenek itu?” Wiro bertanya.
Malin
Kapuyuak tertawa. Sambil menepuk dada dia berkata.
“Soal
intai mengintai, cari mencari serahkan pada Malin Kapuyuak. Aku tahu di mana
tempat bermukimnya guru Si Kamba Mancuang. Besar kemungkinan mereka itu berada
di sana.”
“Kalau
begitu antarkan kami ke tempat itu. Cari jalan memintas. Makin cepat kita
sampai makin baik.” Kata Wiro pula.
“Serahkan
semua padaku. Tapi kalau sampai bertemu Datuk Susu Tigo, kalian harus
berhati-hati. Dia tidak suka dan selalu curiga pada orang asing…”
“Siapa
itu Datuk Susu Tigo?” tanya Wiro.
“Guru Si
Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang. Orang sakti itu sesuai namanya punya tiga
bua susu. Konon jika ada orang yang sanggup menghisap ke tiga susunya maka
separuh dari ilmu kesaktiannya akan diberikannya pada orang itu.” Malin
Kapuyuak berpaling pada Denok Tuba Biru. “Uni Gapuak, kau mau mencoba menghisap
tiga susu Datuk itu?”
“Sialan!
Kau saja duluan!” jawab Denok Tuba Biru dengan wajah jengkel bersungut-sungut.
Tangan diulurkan siap hendak menjitak lagi kepala Malin Kapuyuak.
**********************
7
SUARA
menguik keras dan panjang disertai kepak sayap dan disusul suara benda jatuh
membuat Datuk Marajo Sati yang berada di dalam goa hentikan zikirnya lalu
berlari ke mulut goa. Sesaat kemudian terdengar teriakan mengucap datuk
pimpinan Luhak Nan Tigo ini.
“Astaghfirullah!
Rajo Di Langit! Apa yang terjadi dengan dirimu!”
Di mulut
goa saat itu tergeletak seekor burung elang putih besar. Matanya yang merah
berkedap-kedip, dua kali menggeliat. Sayap kiri burung besar ini tampak patah
dan ada warna hitam di sekitar patahan sayap sebelah atas serta bawah.
“Rajo,
siapa yang mencelakaimu. Luka di tulang sayapmu mengandung racun. Kau bisa
menemui ajal sebelum tengah hari…” Datuk Marajo Sati usap-usap tengkuk elang
putih peliharaannya ini yang diberi nama Alang Putih Rajo Di Langit. “Rajo,
dengar ucapanku. Aku akan melakukan sesuatu. Ini akan sangat sakit. Tapi tidak
ada cara lain untuk menyelamatkan nyawamu…”
Elang
putih besar kedipkan sepasang mata dua kali. Lalu mendesah perlahan. Tangan
sang Datuk berhenti mengusap. Tiba-tiba, kraakkk! Datuk Marajo Sati patahkan
sebagian atas sayap kiri Alang Putih Rajo Di Langit. Burung besar ini menguik
keras kesakitan. Sayap sebelah kanan menggelepar menghantam dinding mulut goa
hingga dinding batu pecah rontok berhamburan.
“Rajo,
kau akan mengalami kesulitan terbang. Tapi tidak akan lama. Aku akan memberimu
obat hingga sayapmu bisa tumbuh lebih cepat. Begitu kau sembuh, kita harus
mengetahui dan mencari siapa manusia keji yang mencelakaimu. Aku akan memberi
pembalasan padanya. Akan aku tanggalkan tangan kirinya!”
Saat itu
karena mendengar suara mengucap keras sang Datuk dan juga pekik elang putih,
dari dalam goa keluar seorang gadis cantik berwajah putih kemerah-merahan,
berambut hitam panjang dijalin dan digulung di atas kepala.
“Datuk,
apa yang terjadi dengan elang putih itu?” Si gadis bertanya. Wajah dan nada
suaranya menunjukkan rasa cemas. Inilah Chia Swie Kim yang sebenarnya adalah
puteri seorang Pangeran Tiongkok. Gadis ini melarikan diri dari negerinya
sewaktu hendak dibunuh oleh sang ayah karena dituduh berzinah. Yang Maha Kuasa
menyelamatkannya dengan memasukkan tubuhnya secara gaib ke dalam kupu-kupu batu
giok bernama Kupu-kupu Giok Mata Dewa. Kupu-kupu batu yang berwarna biru bercampur
hijau ini ternyata bukan benda sembarangan. Merupakan Pusaka Utama Kerajaan
yang harus berada di tangan kaisar sebagai tanda sahnya sang kaisar menduduki
tahta Kerajaan Tiongkok. Sewaktu Chia Swie Kim menyelamatkan diri lari dari
Tiongkok, Pangeran memerintahkan seorang Perwira Muda bernama Teng Sien untuk
melakukan pengejaran berlangsung sampai ke tanah Jawa, terus ke Pulau Andalas.
Dalam melaksanakan tugasnya Perwira Teng Sien meminta bantuan seorang tokoh
silat asal Jawa bernama Ki Bonang Talang Ijo. Sesampainya di Andalas jumlah
pengejar yang diminta bantuan oleh Teng Sien semakin bertambah. Mereka antara
lain adalah Dua Hantu Gunung Sago Si Kalam Langit dan Si Batu Bakilek. Si Kalam
Langit tewas dibunuh oleh penyerang gelap. Lalu ada sepasang nenek kembar
berjuluk Si Kamba Pesek dan Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai, Pandeka Bumi
Langit Dari Sumanik, Datuk Mangkuto Karih Babegah dan Tuanku Laras Muko Balang.
Konon rombongan para pengejar diberi hadiah dua peti batangan emas. Satu peti
telah diberikan lebih dulu.
Dalam
pelariannya, Chia Swie Kim tersesat ke pantai barat Pulau Andalas dan ditolong
oleh seorang sakti bernama Sutan Panduko Alam. Sutan Panduko Alam meski bisa
menyelamatkan sang kupu-kupu dan menghabisi Datuk Mangkuto Karih Babegah namun
dia sendiri akhirnya tewas dikeroyok Ki Bonang Talang Ijo dan kawankawan. Chia
Swie Kim masih dalam ujud kupu-kupu kemudian diterbangkan sorban milik Sutan
Panduko Alam dan mendapat perlindungan dari Datuk Marajo Sati. Untuk jelasnya
riwayat tersebut dapat pembaca ikuti dalam serial sebelumnya berjudul
“Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok”.
Ketika
Chia Swie Kim yang oleh Datuk Marajo Sati diganti namanya menjadi Puti Bungo
Sekuntum keluar dari dalam goa dan tahu-tahu telah berada di sampingnya di
mulut goa, kejut sang Datuk bukan alang kepalang.
“Puti,
lekas masuk ke dalam! Bukankah aku sudah mengingatkanmu berulang kali jangan
berada di sekitar mulut goa?”
Sadar
akan kesalahannya, Puti Bungo Sekuntum cepat berkata. “Maafkan saya Datuk…”
Lalu dengan segera gadis ini masuk ke dalam goa kembali, di tempat mana dia
telah berada selama beberapa hari sejak pertama datang diterbangkan sorban
Sutan Panduko Alam.
Walau
Puti Bungo Sekuntum hanya sesaat berada di mulut goa namun saat itu seseorang
lelaki bermuka cacat yang berada jauh di dasar ngarai, dekat tepian Batang Anai
masih sempat melihat kehadiran sosoknya. Rahang menggembung, geraham
bergemeletakan. Sepuluh jari tangan digerakkan hingga mengeluarkan suara
berkeretekan.
“Chia
Swie Kim. Waktu aku masuk ke dalam goa, aku memang tidak melihat dirimu. Tapi
aku sudah menduga dan curiga. Saat itu kau ada di sana, entah dalam ujud apa.
Jika aku tidak mungkin mendapatkan dirimu, jangan salahkan kalau aku akan
membuat kegegeran besar di negeri ini. Satu persatu akan aku habisi semua orang
pandai di negeri ini hingga kau tidak lagi mempunyai tempat untuk berlindung!
Korbanku termasuk Datuk yang tinggal bersamamu di dalam goa itu!”
Lelaki
muda berwajah cacat balikkan badan, keluar dari balik semak belukar di tepi
sungai. Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba di hadapannya telah
menghadang seorang lelaki tinggi besar, mengenakan pakaian dan celana galembong
hitam, berkepala botak berkilat dan memelihara kumis, janggut serta berewok
lebat. Tangan kanan orang ini dibalut dengan kain yang digantungkan ke leher.
Tidak
seperti si muka cacat, orang ini tidak sempat melihat kehadiran Puti Bungo
Sekuntum di mulut goa.
“Manusia
bermuka cacat! Apa yang kau lakukan di tempat ini. Kau mengintai ke arah goa!
Kau membekal niat jahat!” Orang tinggi besar yang bukan lain adalah Duo Hantu
Gunung Sago Si Batu Bakilek membentak. Dia sengaja datang ke Ngarai Sianok
untuk menyelidiki kebenaran cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai yang
memberi kesan bahwa Datuk Marajo Sati ada sangkut paut dengan kematian
saudaranya Si Kalam Langit. Selain itu dengan adanya tulisan di kain putih, dia
juga akan mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang dituduh sebagai pembunuh
saudaranya. Salah satu dari kedua orang itu, entah sang Datuk entah pemuda dari
Jawa itu pastilah yang telah membunuh Si Kalam Langit, begitu jalan pikiran Si
Batu Bakilek.
Orang
yang dibentak Si Batu Bakilek tampak terkejut dan gugup, tak bisa menjawab.
Tapi tangan kanan dengan cepat bergerak ke pinggang. Dalam genggamannya saat
itu ada tiga buah benda hitam berbentuk bintang sudut empat. Melihat benda itu
Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek terkejut dan delikkan mata. Dia ingat
cerita Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai tentang kematian saudaranya Si Kamba
Langit. Menurut si nenek saudaranya itu tewas dibunuh dengan senjata rahasia
oleh seorang penyerang gelap. Namun kemudian ada tulisan rahasia di atas
sehelai kain putih yang menyatakan si pembunuh adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Karena tidak pernah mengenal Wiro, Si Batu Bakilek mengira, si muka
cacat inilah Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah membunuh saudaranya.
“Pemuda
jahanam! Kau telah membunuh saudaraku! Kau harus tebus nyawanya dengan nyawa
anjingmu!”
Tidak
tunggu lebih lama Si Batu Bakilek langsung hantamkan tendangan kaki kiri. Yang
diserang dengan cepat menghindar sambil berusaha menangkap kaki lawan. Namun
tendangan si Batu Bakilek dalam jurus bernama Nago Gadang Kalua Sarang (Naga
Besar Keluar Sarang) berkelebat lebih cepat, menyusup laksana kilat menghajar
dada si muka cacat. Tendangan yang begitu keras membuat orang yang ditendang
mencelat dua tombak, tergelimpang di tanah semburkan darah dari mulut. Sambil
bergerak bangkit, di antara erangan mulutnya dia keluarkan ucapan bergumam yang
tidak jelas.
Melihat
orang masih bisa bangun, malah melangkah ke arahnya Duo Hantu Gunung Sago Si
Batu Bakilek dengan geram dan berteriak keras segera mendatangi. Kembali dia
siap melancarkan tendangan. Tendangan kali ini disertai dengan rapal ajian
Dongkak Batu Beracun (Tendangan Batu Beracun). Jangankan tubuh manusia, badan
seekor kerbau besarpun akan hancur remuk kalau sampai kena tendangan ini. Namun
di saat yang sama, si muka cacat masih bisa membuat gerakan kilat. Ketika
tangan hanya tinggal sejarak panjangnya lengan, tangan kanan si muka cacat
bergerak. Tiga senjata rahasia berbentuk bintang sudut empat berkiblat di udara
mengeluarkan suara nyaring seperti tiupan seruling. Si Batu Bakilek yang tidak
menyangka akan mendapat serangan lebih cepat dari yang hendak dilancarkannya
sementara dua telinganya bergetar sakit oleh suara menguing keras, hanya mampu
mengelakkan dua buah bintang terbang. Senjata rahasia yang ketiga menancap
telak di antara dua matanya!
Manusia
tinggi besar ini menggerung keras lalu ambruk ke tanah dengan mata membeliak!
Walau muka sampai kepala botaknya serta merta menjadi kehitaman tapi dia tidak
langsung menemui ajal! Tiba-tiba tubuh Si Batu Bakilek yang dalam keadaan
sekarat ini melesat ke udara. Dua kaki terkembang, menyambar ke arah leher
lelaki bermuka cacat. Lalu laksana kilat seperti dua japitan raksasa, dua kaki
menelikung dan menjepit leher lawan dalam jurus disebut Manyemba Tonggak Narako
(Menyambar Tiang Neraka). Ini merupakan jurus serangan ilmu silat yang sulit
dilakukan. Konon Duo Hantu Gunung Sago telah menghabiskan waktu tiga tahun
untuk mempelajari hanya satu jurus ilmu silat ini dari seorang tokoh silat yang
bermukim di Pulau Nias. Sekali lawan terkena jepitan dua kaki jangan harap bisa
selamatkan diri dari kematian.
Kraakkk!
Leher si
muka cacat berderak patah! Dua tubuh tergelimpang jatuh di tanah dan sama-sama
tewas saat itu juga.
************************
*
SEHARI
kemudian, yaitu pada malam hari, bau busuk dua mayat yang tergeletak di tepi
Batang Anai tercium masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk Marajo
Sati. Ketika dia muncul di mulut goa, dia melihat banyak nyala suluh di dasar
ngarai. Sang Datuk turun ke ngarai. Dia menemui lebih dari sepuluh orang
penduduk setempat tengah mengelilingi dua sosok mayat. Mayat pertama dikenali
Datuk Marajo Sati sebagai Duo Hantu Gunung Sago Si Batu Bakilek. Mayat kedua
agak aneh. Ketika Datuk Marajo Sati mengambil suluh dan mendekatkan ke wajah
orang dia segera mengetahui wajah cacat itu hanya merupakan sebuah topeng
tipis. Perlahanlahan sang Datuk tanggalkan topeng wajah cacat yang menutupi
muka orang. Begitu topeng terbuka kelihatan wajah seorang pemuda berkulit kuning
bermata sipit.
“Orang
Cino…” beberapa penduduk keluarkan ucapan hampir berbarengan. Jantung Datuk
Marajo Sati berdetak. Dengan cepat orang tua ini berkata pada semua orang yang
ada di sana. Karena saat itu sudah malam hari dan tidak membawa peralatan, maka
mereka diminta datang lagi besok pagi untuk mengurus dua mayat.
Setelah
orang-orang itu pergi Datuk Marajo Sati segera menemui Puti Bungo Sekuntum di
dalam goa.
“Puti,
aku ingin kau merubah diri menjadi kupu-kupu. Kita turun ke ngarai sekarang
juga. Ada dua mayat di dasar ngarai. Yang seorang aku kenali. Satunya aku minta
kau memeriksa, mungkin kau mengenali siapa orangnya, di ngarai kau jangan
mengeluarkan suara sedikitpun. Jika sudah kau perhatikan baik-baik mayat yang
satu itu segera kembali ke goa, aku akan menyusul.”
Mendengar
ucapan Datuk Marajo Sati, Puti Bungo Sekuntum alias Chia Swie Kim segera
merubah diri menjadi kupu-kupu besar. Begitu sang Datuk melompat keluar goa,
kupu-kupu ini segera terbang mengikuti. Di dasar ngarai Datuk Marajo Sati yang
sampai lebih dulu berdiri di depan mayat yang sebelumnya mengenakan topeng. Dia
memberi isyarat pada kupu-kupu besar. Binatang ini melayang berputar tiga kali
di atas mayat lalu melesat ke atas ngarai, masuk kembali ke dalam goa.
Ketika
Datuk Marajo Sati sampai di dalam goa, Puti Bungo Sekuntum sudah menunggu dalam
ujud gadis cantik. Wajah gadis ini tampak pucat. Sewaktu ditegur oleh Datuk,
untuk beberapa lamanya dia hanya bisa berdiam diri walau bibir tampak bergetar
bergerak-gerak.
“Anak
gadis, aku tahu ada sesuatu yang membuat perasaanmu tertekan. Mungkin juga ada
rasa takut. Kau tak usah khawatir. Tenangkan dirimu. Kalau sudah jawab
pertanyaanku. Apakah kau mengenali mayat pemuda Cina di dasar ngarai itu?”
Perlahan-lahan
Puti Bungo Sekuntum anggukkan kepala.
“Siapa
dia…?”
“Namanya
Loe Singkang. Dia bukan orang Cina tapi berasal dari Tibet. Dia murid sebuah
perguruan besar di daratan Tiongkok. Dia orang yang memfitnah saya berbuat
zinah hingga ayah membunuh kekasih saya Kui Hoa Seng, juga berniat menghabisi
saya. Rupanya dia mengikuti saya sampai ke sini…”
“Kau tahu
mengapa pemuda dari Tibet itu berbuat begitu keji memfitnahmu sampai kekasihmu
dibunuh bahkan ayahmu yang Pangeran itu juga berniat menghabisi dirimu?”
“Loe
Singkang mencintai saya. Tapi cintanya saya tolak karena saya telah lebih dulu
mengasihi koko (kakak) Hoa Seng. Dia lalu mengarang cerita menebar fitnah. Ayah
saya malu dan marah besar.”
Datuk
Marajo Sati tarik nafas dalam, mengusap wajah lalu berkata. “Masuklah ke dalam
ruanganmu. Jangan sekali-kali berani keluar kecuali aku memanggilmu.”
“Baik
Datuk…”
Setelah
si gadis masuk ke dalam ruangan di balik dinding goa, Datuk Marajo Sati
merenung. “Agaknya tempat ini tidak aman lagi bagi Puti Bungo Sekuntum. Aku
harus mencari tempat lain untuk menyembunyikan dan melindunginya. Apakah aku
harus berunding dengan para datuk? Aku khawatir mereka akan berburuk sangka
atau ada yang berlaku culas…”
************************
*
KETIKA
Datuk Marajo Sati turun ke dasar ngarai bersama kupu-kupu besar perujudan Puti
Bungo Sekuntum, di dalam Batang Anai, terlindung di balik gelapnya satu
gundukan batu hitam, seseorang memperhatikan gerak-gerik dua insan itu tanpa
berkesip. Setelah keduanya pergi, orang di balik batu menyeringai.
Perlahan-lahan dia keluar dari dalam sungai, berdiri di tepian.
“Datuk
Marajo Sati, kau telah memberikan duka sengsara padaku seumur-umur. Datuk rakus
perambah (pemakan) daun muda, dalam waktu kurang dari tujuh hari kau akan
menerima pembalasanku! Kalau kau tidak mati di tangan orang, maka kau akan mati
bunuh diri karena malu!”
**********************
8
ETEK
(panggilan untuk perempuan yang lebih tua dari si pemanggil) Salmah, penjual
serabi yang sekali dua hari selalu datang membawa dagangannya ke rumah istri
Datuk Marajo Sati di Koto Gadang pagi itu tidak muncul. Yang datang seorang
perempuan lain bertubuh ramping. Perempuan ini meletakkan dagangannya di tangga
atas rumah, menunggu penghuni rumah keluar. Tak lama kemudian muncul seorang
perempuan muda berparas elok berkulit putih. Rambut hitam sepinggang. Inilah
Gadih Puti Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang konon baru menginjak usia dua
puluh tahun.
Penjual
serabi memberi tahu kalau Etek Salmah sedang sakit dan hari itu dia membantu
menjajakan serabi. Dia mengaku bernama Jawiah, masih saudara sepupu dengan Etek
Salmah. Ini hanyalah satu kedustaan.
Setelah
membeli serabi kesukaannya Puti Seruni menanyakan apa sakit Etek Salmah.
“Saudara
saya agak demam. Mungkin masuk angin karena kehujanan dua hari lalu.”
“Kasihan
Etek Salmah. Sampaikan salam saya. Saya doakan agar Etek cepat sembuh.”
“Terima
kasih. Salam akan saya sampaikan.”
Pedagang
serabi mengemas dagangannya tapi entah mengapa dia masih duduk bersimpuh di
tangga rumah sebelah atas.
“Apakah
kurang uang bayaran saya?” tanya Puti Seruni.
“Tidak…
Sudah cukup, sudah cukup,” jawab Jawiah. Dia diam sebentar lalu berkata.
“Sebenarnya ada yang hendak saya sampaikan. Tapi saya takut nanti akan menjadi
masalah…”
Alis
lengkung hitam dan bagus Puti Seruni bergerak naik. Matanya yang bulat hitam
bercahaya berkedip satu kali.
“Apa yang
hendak Etek sampaikan?” tanya istri Datuk Marajo Sati.
“Apakah
Datuk ada di dalam?” balik bertanya Jawiah.
Puti
Seruni menggeleng.
“Saya
mendengar kabar yang tidak baik tentang Datuk. Konon di luaran sudah banyak
orang yang tahu…”
“Kabar
tidak baik apa Etek? Dari mana Etek mendengar. Apakah suami saya sedang sakit?”
“Saya
mohon maaf kalau saya berlaku lancang…”
“Katakan
saja Etek. Bukankah kabar baik atau kabar buruk harus disampaikan?”
“Tersiar
kabar, konon Datuk Marajo Sati tidak tinggal sendirian di dalam goa di Ngarai
Sianok…”
“Saya
tahu hal itu. Dia ditemani Alang Putih Rajo Di Langit. Burung elang
peliharaannya.”
“Maksud
saya… maksud saya bukan burung elang itu. Tapi ada seorang perempuan yang
kabarnya beraut wajah cantik, bertubuh rancak dan berusia lebih muda dari adik
Puti Seruni…”
Kalau ada
petir menyambar di depan wajahnya, rasanya tidak sedemikian hebat kejut Puti
Seruni. Matanya tidak berkedip memandang lekat-lekat ke wajah Etek Jawiah,
mulut ternganga dan dada mulai berdebar.
“Tidak
boleh jadi. Bagaimana mungkin. Datuk orang siak (alim), orang beragama…” kata
Gadih Putih Seruni tapi wajahnya telah berubah putih dan tenggorokan bergerak
turun naik.
“Maafkan
saya,” kata perempuan pedagang serabi. “Saya tahu siapa Datuk suami adik.
Jangan-jangan dia sudah kena diguna-guna. Kabar lain konon yang tinggal bersama
Datuk di dalam goa sebagai puteri jin. Karena konon dia bisa menghilang… Saya
berharap semua itu tidak betul. Tapi jika saya tidak menyampaikan pada adik
Puti Seruni saya merasa salah…”
“Apakah
Etek Salmah juga mengetahui hal ini?” tanya Puti Seruni.
“Saya
rasa dia sudah lebih dulu tahu dari saya. Tapi tidak bertega hati menyampaikan
pada adik Puti Seruni…”
“Kalau
begitu, jika dia sudah sembuh minta dia segera datang menemui saya…”
“Akan
saya beritahu. Tapi kalau saya tidak salah bukankah adik Puti Seruni masih
kemenakan Datuk Panglimo Kayo, Ketua Luhak Tanah Datar di Batusangkar?”
“Dari
mana Etek tahu hal itu?”
“Apakah
itu menjadi rahasia? Bukankah hampir semua orang tahu…”
“Kalau
benar lalu kenapa?”
“Lebih
baik adik menghubungi Datuk Panglimo Kayo lebih dulu. Menanyakan apakah benar
kejadian itu. Itu hanya nasihat saya supaya adik jangan terombang-ambing dalam
kebimbangan. Atau akan lebih baik kalau adik mendatangi langsung Datuk Marajo
Sati di Ngarai Sianok…”
“Beliau
tidak pernah memperbolehkan saya datang ke sana,” jawab gadih Puti Seruni.
“Oohhh,
kalau begitu rupanya memang ada yang dirahasiakan. Masakan istri sendiri tidak
boleh mengunjungi suami…”
Gadih
Putih Seruni terdiam. Wajahnya yang cantik tampak semakin menunjukkan
perubahan.
“Sudah
berapa lama kejadian ini Etek?” tanya istri Datuk Marajo Sati itu kemudian.
“Saya
mendengar cerita itu di pasar sehari yang lalu. Tapi sudah berapa lama kejadian
sebenarnya tidak saya ketahui…”
Wajah
putih Gadih Puti Seruni yang tadi pucat kini mengelam. Sepasang mata tampak
menjadi merah seolah menahan tangis. Tiba-tiba saja dia membalikkan diri dan
masuk ke dalam. Meninggalkan begitu saja serabi yang baru dibelinya. Jawiah
perempuan penjual serabi segera menuruni tangga rumah lalu cepat-cepat pergi.
Di
pinggiran timur Koto Gadang perempuan ini membelok memasuki jalan sunyi
menurun. Di tepi sebuah jurang yang banyak ditumbuhi pohon bambu dia berhenti.
Memandang kian kemari. Seperti mencari seseorang. Tak selang berapa lama, dari
balik rumpunan pohon bambu keluar seorang lelaki. Dari perawakannya tampak
kalau dia masih muda. Wajahnya tidak begitu jelas kelihatan karena tertutup
topi lebar terbuat dari daun pandan.
“Bagaimana?”
tanya orang itu.
“Sudah
saya lakukan.” Jawab Jawiah.
“Bagus.
Ini bayaran untukmu. Sekarang pergilah dari Koto Gadang. Pulang ke kampungmu…”
Jawiah
mengambil kantong kain berisi uang yang diserahkan orang.
“Bagaimana
dengan Etek Salmah?”
“Kau tak
usah memikirkan. Aku yang mengurus. Dia harus menghilang sampai Datuk keparat
itu menerima hukumannya.” Lelaki itu mengambil ketiding berisi serabi yang
diletakkan Jawiah di tanah lalu dilemparkan ke dalam jurang.
Sementara
ketiding dan serabi berhamburan masuk ke dalam jurang, di mata pemuda bertopi
pandan seolah terbayang kembali peristiwa setahun yang silam, di tepi Batang
Sianok di Ngarai Sianok…
*************************
SETELAH
melakukan sholat Magrib di tepi sungai, pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu
berzikir khidmat, suara zikirnya menyebut asma Allah menggema lembut di
seantero ngarai, tiada berkeputusan sampai menjelang memasuki ba’da Isya. Suara
zikir itu mengumandang masuk sampai ke dalam goa tempat kediaman Datuk Marajo
Sati. Sang Datuk terdiam sejenak. Niatnya hendak melakukan sembahyang sunah
dibatalkan.
“Insan
sakti mana yang suara zikirnya sampai menggema masuk ke dalam goa…” pikir Datuk
Marajo Sati. Dia melangkah ke mulut goa, memandang ke dalam ngarai sampai
akhirnya sepasang mata membentur sosok pemuda yang duduk bersila. Sebenarnya
pemuda ini tidak memiliki ilmu kesaktian apa-apa kecuali ilmu silat biasa untuk
melindungi diri. Namun kekhusukannya telah menimbulkan kekuatan besar sehingga
suaranya terdengar menggema ke berbagai penjuru ngarai. Setelah memperhatikan
beberapa lama akhirnya Datuk Marajo Sati melompat dari mulut goa, melayang
turun ke dalam ngarai dan berdiri di tepi sungai, beberapa langkah di hadapan
si anak muda.
Sebelum
Datuk Marajo Sati menegur, tahu kalau ada orang berdiri di hadapannya pemuda
itu buka mata yang terpejam. Melihat siapa yang berada di depannya pemuda ini
susun sepuluh jari dan letakkan di atas kepala.
“Assalamu’alaikum
wahai Datuk Marajo Sati. Terima kasih Datuk telah mau meluangkan waktu menemui
saya.”
“Anak
muda, apakah aku mengenal dirimu?” tanya Datuk Marajo Sati pula.
“Datuk
mungkin tidak mengenal saya, tapi saya sangat mengenal Datuk. Maafkan kalau
kehadiran saya di sini telah mengganggu ketenangan Datuk. Saya memang sangat
berniat menemui Datuk.”
“Apakah
keperluanmu anak muda? Tapi terangkan dulu siapa dirimu?”
“Nama
saya Pakih Jauhari. Saya berasal dari Biaro. Saya ingin bicara menyangkut soal
Gadih Puti Seruni yang tinggal di Koto Gadang.”
Untuk
beberapa lamanya Datuk Marajo Sati menatap wajah pemuda itu dengan pandangan
tidak berkesip.
“Ada apa
dengan anak gadis itu? Apakah kau saudaranya? Apa yang hendak kau bicarakan?”
“Sebelumnya
saya terlebih dulu mohon beribu maaf pada Datuk. Saya dan Gadih Putih Seruni
sudah saling mengenal dua puluh tahun lebih. Hanya saja hubungan kami belum
diketahui kedua orang tua gadis itu. Kami sudah merencanakan untuk mengekalkan
hubungan kami dalam bentuk perkawinan. Sampai ketika seminggu lalu kami
mendengar kabar bahwa Datuk hendak melamar Gadih Puti Seruni…”
Kembali
Datuk Marajo Sati menatap lekat-lekat ke wajah Pakih Jauhari lalu lelaki
berusia enam puluh tahun lebih ini geleng-gelengkan kepala.
“Aku
melamar gadis itu atas persetujuan kedua orang tuanya dan atas permintaan
Mamaknya Datuk Panglimo Kayo di Batusangkar…”
“Saya
tahu semua itu Datuk…”
“Lalu apa
tujuanmu ingin bicara denganku? Kau sengaja menarik perhatianku dengan zikirmu
yang hebat! Apa yang hendak kau sampaikan? Karena kau telah dua tahun bercinta
gelap dengan Gadih Puti Seruni kau berniat hendak menghalangi perkawinan kami?”
“Saya
tidak berniat seburuk itu Datuk. Saya hanya ingin Datuk mengalah, memberi jalan
kepada saya yang muda ini… Maafkan saya Datuk. Biarkan saya mempersunting Gadih
Puti Seruni…”
“Luar
biasa! Ini satu hal yang tidak aku sangka-sangka! Anak muda, jika kau
menginginkan gadis itu, mengapa kau tidak menemui kedua orang tuanya, meminta
kepada Mamaknya…”
“Saya
sudah menemui kedua orang tua gadis itu. Mereka tidak bisa memberikan jawaban.
Saya juga telah menemui Datuk Panglimo Kayo. Tapi saya diusirnya…”
“Kalau
sudah begitu kejadiannya, apa urusannya dengan diriku?!” Suara bicara Datuk
Marajo Sati mulai keras.
“Saya
hanya minta keikhlasan Datuk untuk mengurungkan niat menikahi Gadih Puti
Seruni. Biarlah dia menjadi istri saya. Kami sudah lama saling mencinta…”
“Cinta
gelap dilarang adat diharamkan agama…”
“Saya
mohon Datuk. Jika Datuk mengikhlaskan, saya akan berdoa setiap malam demi
kesehatan dan kebahagiaan Datuk…”
Datuk
Marajo Sati tersenyum kaku. “Orang hendak mengambil calon istriku, bagaimana
aku bisa bahagia…”
“Datuk,
apakah Datuk tidak bisa memberikan kesempatan pada kami yang muda-muda ini?”
“Persetan
dengan usia kalian. Mau tua atau mau muda. Orang tua dan Mamak gadis itu tidak
menyukai dirimu. Seharusnya kau tahu diri dan melupakan gadis itu untuk
selama-lamanya.”
“Mana
mungkin saya melupakan Gadih Puti Seruni. Saya…”
“Anak
muda. Saat ini tidak pada tempatnya lagi aku bicara denganmu. Tinggalkan ngarai
ini. Masih banyak gadis di tanah Minang. Mengapa kau tidak mau mencari yang
lain…?!”
“Kalau
saya boleh mengatakan hal yang sama, mengapa Datuk tidak mencari perempuan lain
yang usianya lebih cocok dengan usia Datuk?”
Mendengar
ucapan Pakih Jauhari itu menggelegaklah amarah Datuk Marajo Sati.
“Kau mau
mengajari diriku, Datuk Pucuk Para Datuk Luhak Nan Tigo. Ha… ha… ha… ha! Anak
muda, pergi dari sini sebelum aku menjatuhkan tangan kasar…”
“Datuk,
saya dan Gadih Puti Seruni sudah mengambil keputusan. Jika permohonan kami
tidak kesampaian, kami berdua akan melarikan diri dan melangsungkan pernikahan
di tanah Jawa…”
“Kurang
ajar! Beraninya kalian membuat rencana busuk seperti itu!” Teriak Datuk Marajo
Sati.
Sekali
bergerak dia sudah melompat mengirimkan satu tendangan ke arah Pakih Jauhari
yang masih duduk bersila di tepi sungai. Melihat orang menyerang pemuda ini
cepatcepat jatuhkan diri, berguling di tebing sungai. Begitu hebatnya kekuatan
dan daya dorong serangan sang Datuk, ketika serangan itu mengenai tempat kosong
tak ampun lagi tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungai. Walau dinginnya air
sungai malam itu bukan alang kepalang, namun darah di dalam tubuh Datuk Marajo
Sati seperti mendidih. Dengan cepat dia keluar dari dalam sungai dan kembali
menyerang Pakih Jauhari. Sekali ini serangannya benar-benar tidak tertahankan
lagi. Si pemuda menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan. Hingga akhirnya
satu pukulan telak menghajar dadanya. Pakih Jauhari semburkan darah. Tubuh terlempar
masuk ke dalam sungai. Selain tidak bisa berenang pemuda itu juga dalam keadaan
setengah pingsan. Tubuhnya segera dihanyutkan arus Batang Sianok ke hilir.
Sadar apa
yang terjadi Datuk Marajo Sati mengucap berulang kali.
“Astaghfirullah,
apa yang telah aku lakukan…” Datuk ini lari sepanjang tepi sungai berusaha
mencari tubuh Pakih Jauhari. Namun usaha itu sia-sia saja.
Sebelum
ajal berpantang mati. Menjelang pagi, Pakih Jauhari yang dihanyutkan air sungai
dan masih dalam keadaan pingsan terselip di antara dua batu besar. Seorang
penebang kayu yang kebetulan lewat di tepi sungai melihat sosoknya, segera
terjun memberi pertolongan. Satu bulan setelah peristiwa itu, selagi Pakih
Jauhari masih terbaring sakit di rumahnya di Biaro akibat luka dalam yang parah
di bagian dada, di Koto Gadang orang baralek gadang merayakan pesta pernikahan
Datuk Marajo Sati dengan Gadih Puti Seruni. Sakit hati mengetahui peristiwa itu
terasa lebih menyengsarakan bagi Pakih Jauhari daripada sakit badan yang
dideranya…
************************
*
KEMBALI
ke Koto Gadang. Di dalam kamar, Gadih Puti Seruni lama terduduk di tepi ranjang
sambil menekap wajah dengan dua tangan. Dia coba menghitung-hitung. Sudah lebih
dari dua puluh hari Datuk Marajo Sati tidak mengunjunginya di rumah di Koto
Gadang itu. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah ini ada
sangkut pautnya dengan cerita yang tadi disampaikan Etek Jawiah?
“Tidak
termakan di akalku, tidak masuk dalam pikiranku Datuk akan berlaku seperti itu.
Perempuan tadi, yang mengaku sepupu Etek Salmah, aku tidak mengenalnya
sebelumnya. Tapi kalau bukan dia yang datang, cerita ini bisa-bisa tidak pernah
kuketahui…”
Karena
tidak sanggup memendam sendiri apa yang diketahuinya itu, Gadih Puti Seruni
memanggil ibunya lalu menceritakan kabar yang dibawa perempuan penjual serabi.
“Anakku,
ini bukan urusan kecil. Bukan pula urusan yang bisa dibawa lalu begitu saja.
Ada baiknya kita mengikuti nasihat perempuan penjual serabi itu. Kita harus
menemui Mamakmu Datuk Panglima Kayo di Batusangkar. Bukankah dulu dia yang
membujuk-bujuk bahkan setengah memaksa agar kau mau kawin dengan Datuk tua itu?
Ayahmu setengah mati menentang sampai akhirnya dia mati benaran karena sakit
hati. Kalau cerita penjual serabi itu benar, mamak (paman)-mu itu harus
bertanggung jawab! Kalau kita berangkat sekarang juga, sebelum Ashar rasanya
kita sudah sampai di sana. Ibu akan menyuruh Si Sampono menyiapkan kereta dan
kuda. Kita butuh seorang pengawal. Ibu akan minta bantuan guru silat Mangkuto
Ameh. Bagaimana pendapatmu?”
“Saya
menurut bagaimana yang baik di ibu saja,” jawab Gadih Puti Seruni. Lalu sang
anak bertanya. “Ibu, apakah benar Datuk telah berbuat culas terhadap saya?”
Sang ibu
tidak menjawab melainkan cepat-cepat keluar dari kamar sambil menyumpah. “Tua
bangka tidak tahu diuntung! Apa kurangnya anakku! Umurnya tiga kali umur
Seruni. Sudah bau tanah! Masih juga dia mau berbuat serong. Dulu banyak anak
muda orang terpandang yang mau dengan Puti Seruni! Dia yang beruntung! Sekarang
diperlakukannya anakku seperti ini! Datuk kalera (kata makian yang kasar)!”
**********************
9
BERSAMAAN
dengan tenggelamnya sang surya di ufuk barat, telaga serta bangunan yang
terbuat dari kayu besi di tengah telaga perlahan-lahan tenggelam dalam
kegelapan. Walau pintu besar dan dua jendela tertutup rapat namun dari nyala
pelita yang merambat keluar celah-celah papan menyatakan penghuninya ada di
dalam rumah. Tiupan angin membuat daun pepohonan yang tumbuh mengelilingi
telaga bersiuran. Di dalam telaga terdengar suara riak air. Tapi ini bukan suara
riak biasa yang disebabkan tiupan angin melainkan ada sesuatu yang mendekam dan
berkecipuk di dalam telaga itu.
Ketika ke
tiga orang yang datang dari arah timur mendekati telaga, salah seorang dari
mereka yaitu perempuan bertubuh gemuk tersentak kaget dan bersurut mundur.
“Malin
Kapuyuak!” kata perempuan gemuk yang bukan lain Denok Tuba Biru sambil mencekal
kuduk Malin Kapuyuak sementara di samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng
memandang ke dalam telaga mata mendelik mulut menganga.
“Kau
tidak mengatakan Inyiek (panggilan untuk orang yang sangat tua) Susu Tigo
tinggal di telaga yang dipenuhi puluhan buaya besar!” Kata Wiro sambil menyikut
rusuk Malin Kapuyuak.
“Terakhir
aku ke sini, hanya ada empat sampai lima ekor buaya. Rupanya binatang itu sudah
beranak pinak…”
“Mungkin
diberi minum susunya sendiri oleh Inyiek Susu Tigo hingga jadi subur…” ujar
Denok Tuba Biru pula.
“Sstt…
Jangan bicara seperti itu. Inyiek punya ilmu mendengar jauh.” Kata Malin
Kapuyuak pula.
“Kalian
berdua tunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam rumah seorang diri.”
“Aku
tidak mau ditinggal di tempat ini!” Kata Malin Kapuyuak yang mulai merasa
ketakutan.
Baru saja
Wiro berucap seperti itu tiba-tiba puluhan buaya yang ada di dalam telaga
menggeleparkan ekor lalu melesat ke udara. Begitu masuk kembali ke dalam air
telaga semuanya mengelilingi telaga kecil itu dalam keadaan mendongak setengah
berdiri.
“Sepertinya
binatang-binatang itu menghalangi kita masuk ke dalam rumah di tengah telaga,”
kata Denok Tuba Biru.
Tiba-tiba
pintu besar dan dua jendela bangunan terpentang lebar. Dari dalam rumah,
melalui pintu dan jendela yang kini terbuka, melesat sebat dan enteng enam
orang. Untuk langsung melesat mencapai tepian telaga atau daratan jaraknya
terlalu jauh. Itu sebabnya ke enam orang itu dengan gerakan gesit menjejakkan
kaki di ujung mulut buaya yang mengitari telaga, menjadikannya batu loncatan
sebelum melayang turun ke daratan. Buaya-buaya yang kena diinjak mulut atau
kepalanya mengeluarkan suara marah. Kawan-kawannya ikut mengibaskan ekor.
“Hebat!”
Memuji Malin Kapuyuak terkagum-kagum. Baik Wiro maupun Denok Tuba Biru segera
mengenali ke enam orang itu adalah Ki Bonang Talang Ijo, Teng Sien, Pandeka
Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido dan si nenek
bersenjata jala berpijar Niniek Panjalo.
“Kita
keduluan,” ucap Wiro. “Pasti mereka menemui Inyiek Tigo untuk menyampaikan
sesuatu. Pasti mereka memutar balik kenyataan…”
“Lalu,
apakah kita batalkan saja menemui orang itu?” tanya Denok Tuba Biru.
“Aku
menduga-duga apakah nenek bernama Si Kamba Mancuang ada di dalam rumah bersama
gurunya?” berkata Wiro.
“Bagaimana
kalau kita menunggu sampai hari siang saja…” Mengusulkan Malin Kapuyuak.
“Terlalu
lama…” Jawab Wiro.
“Wiro,
aku pikir lebih baik aku menunggu saja di sini. Kau dan Malin Kapuyuak yang
masuk ke rumah menemui Inyiek Susu Tigo…”
Baru saja
Denok Tuba Biru keluarkan ucapan tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara
orang berseru. Suaranya keras lantang membuat semua buaya yang mengelilingi telaga
dongakkan kepala.
“Barani
datang ka talago (telaga). Datang batigo (bertiga) masuak (masuk) batigo. Jika
berani membatalkan niat, kematian hadangannya!”
Lalu
terdengar suara riuh. Puluhan buaya yang sejak tadi mengelilingi telaga melesat
ke udara. Sesaat kemudian binatang-binatang itu telah berjejer di belakang ke
tiga orang itu. Laksana jajaran pagar melebihi tinggi manusia yang sulit
ditembus. Perlahan-lahan binatang itu bergerak ke depan menggiring ke tiga
orang itu ke tepi telaga. Mulut terbuka lebar memperlihatkan lidah dan barisan
gigi besar tajam. Tenggorokan mengeluarkan suara menggembor.
“Mati
waden (aku)…” kata Malin Kapuyuak dengan suara gemetar sambil memegang bagian
bawah perutnya yang mendadak terdesak ingin kencing.
“Apa
boleh buat…” Kata Denok Tuba Biru. Dia memberi tanda pada Wiro. Kedua orang ini
mencekal tangan kiri kanan Malin Kapuyuak lalu laksana terbang membawa si
pemuda melesat masuk ke dalam rumah di tengah telaga melalui pintu depan yang
terpentang lebar.
Di dalam
rumah ada suara berucap bergumam. “Hemmm, sanggup melompat langsung, tidak
mencari bahan jejakan. Bagus… aku suka membunuh orang-orang sakti seperti
mereka ini. Menghabisi mereka menambah kesaktian yang ada dalam tubuhku!”
Di satu
ruangan terbuka dalam rumah kayu yang diterangi sebuah pelita besar hingga
keadaannya cukup terang, berdiri di lantai kayu, di alas gulungan kain
berbentuk sorban hitam. Dua kaki di sebelah atas hampir menyentuh atap rumah
pertanda orang ini selain gemuk juga memiliki tubuh tinggi sekali. Rambut
hitam, serta janggut lebat panjang menjulai di atas lantai. Kedua daun telinga
dicanteli anting-anting terbuat dari suasa. Orang ini mengenakan celana hitam
berkilat tanpa baju hingga perut yang gendut dan dada yang gembrot dalam
keadaan terbuka. Walau dadanya dipenuhi bulu lebat namun nyata sekali kelihatan
kalau orang ini memiliki tiga buah puting susu sebesar ujung ibu jari, berwarna
hitam. Susu ke tiga berada di pertengahan dada, di antara dua susu di kiri
kanan. Dua tangan yang terbentang di lantai, ke sepuluh jari dihias cincin
berbatu aneka warna.
“Jadi ini
manusia bernama Inyiek Susu Tigo. Oala… Apa hari-hari dia berkeadaan seperti
ini. Apa dia juga berdiri seperti ini ketika Ki Bonang Talang Ijo dan rombongan
mendatanginya?” Murid Sinto Gendeng berpikir-pikir sambil usap-usap kuduknya
dan memandang berkeliling. Di tempat itu ternyata hanya ada si gendut bersusu
tiga itu seorang diri. Nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai ternyata tidak
ada di situ.
Sepasang
mata belok besar orang di tengah ruangan berputar tiga kali. Memperhatikan Wiro
beberapa lama lalu menatap ke arah Denok Tuba Biru. Dua mata yang besar tampak
tambah membeliak memperhatikan perempuan gemuk ini. Kepala kemudian
didongakkan, hidung menghendus-hendus. Lalu mulut menyeringai pencong disusul
hamburan suara tertawa yang membuat rumah kayu di atas telaga itu bergetar
berderak-derak.
Walau
dalam keadaan takut setengah mati tapi Malin Kapuyuak masih bisa berbisik pada
Denok Tuba Biru.
“Uni
Gapuak, lihat dia memperhatikanmu. Aku rasa dia tertarik padamu. Dia
menghendus-hendus, bau tubuhmu sedap rupanya. Aku rasa dia senang pada bulu
ketiakmu…”
“Setan
Kapuyuak! Bukan saatnya bicara yang bukanbukan! Aku punya firasat sebentar
lagi kita bertiga akan dibantainya!”
“Tamu-tamu
tidak sopan! Pemilik rumah berdiri kepala ke bawah kaki ke atas! Mengapa kalian
bersikap kurang ajar! Berdiri kaki ke bawah kepala ke atas!”
Tangan
kanan si gemuk tinggi ini tiba-tiba bergerak menggebrak lantai. Braakk!
Lantai
papan kayu besi bergetar membal. Terjadi hal yang aneh. Saat itu juga tubuh
Wiro, Si Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak melesat ke udara lalu dengan cepat
turun ke lantai, kepala ke bawah kaki ke atas! Sewaktu melayang di udara baik
Wiro maupun Denok Tuba Biru berusaha mengimbangi diri dan lepas dari kekuatan
aneh yang menjungkirbalikkan mereka. Namun tanpa daya keduanya, apalagi Malin
Kapuyuak melayang jatuh ke lantai, kepala sampai lebih dulu. Anehnya waktu
melayang ke bawah tadi, kopiah hitam yang dipakai Wiro sama sekali tidak
tanggal, tetap melekat di kepala. Dan ketika batok kepala mereka jatuh menempel
di lantai, walau berbunyi braak… braakkk… braakk tapi ketiganya tidak merasa
sakit! Kini seperti orang gemuk tinggi di tengah ruangan ke tiga orang itu
berdiri lurus dengan kepala menjejak lantai sementara kaki lurus ke atas! Wiro
dan Denok Tuba Biru segera alirkan tenaga dalam dan hawa sakti namun walau dua
tangan dan kaki bisa digerakkan, tetap saja keduanya tidak mampu berusaha
membalikkan tubuh agar bisa berdiri di atas kedua kaki.
“Sekarang
baru aku merasa enak bicara!” Si tinggi gemuk bersusu tiga membuka mulut.
Matanya menatap tak berkedip ke arah Wiro. “Kau pasti manusia Jawa bernama Wiro
bergelar Pendekar Dua Satu Dua…”
“Dia tahu
siapa diriku. Pasti Ki Bonang keparat dan kawan-kawannya yang memberitahu
ciri-ciriku!” kata Wiro dalam hati. Lalu dia menjawab.
“Benar
sekali Inyiek. Mohon maafmu kalau kami datang tidak meminta izinmu lebih dulu
dan kalau kau sampai merasa terganggu…” Wiro cepat menyahuti.
“Ha… ha…
ha. Kau hendak berbasa-basi. Kau tidak bisa menipuku pemuda rambut padusi
(perempuan)! Aku Datuk Susu Tigo kedatangan manusia yang memperkosa muridku Si
Kamba Pesek. Habis memperkosa lalu membunuhnya! Dan aku tidak terganggu katamu!
Jahanam gilo!”
“Inyiek,
kau pasti mendapat keterangan yang salah dari orang-orang yang datang sebelum
kami. Mereka membawa fitnah. Aku bersumpah tidak membunuh muridmu!”
“Siapa
percaya ucapan manusia tak karuan rupa macammu! Aku juga tahu kalau kau telah
membunuh seorang tokoh silat di tanah Minang ini. Duo Hantu Gunung Sago Si
Kalam Langit! Malam ini kau boleh tidur di dalam talago! Besok pagi begitu
matahari terbit buaya-buaya peliharaanku akan menjadikan dirimu mangsanya yang
lezat. Seumur hidup baru kali ini mereka menyantap tubuh manusia Jawa. Pasti
manis… Bukankah orang Jawa suka gula? Ha… ha… ha!”
“Sebenarnya
aku dan dua sahabat ini datang untuk mencari murid Inyiek yang bernama Si Kamba
Mancuang…”
“Hah!
Apa?! Rupanya belum puas kau memperkosa dan membunuh Si Kamba Pesek! Sekarang
mau mengincar saudara kembarnya Si Kamba Mancuang! Benar-benar kurang ajar!”
“Inyiek,
aku bukan orang gila. Mana mungkin aku memperkosa dan membunuh seorang
nenek-nenek!” Kata Wiro pula.
Inyiek
Susu Tigo tertawa mengakak lalu membentak!
“Siapa
bilang muridku nenek tua bangka! Aku melihat ada dua titik biru di dalam rongga
matamu! Yang menyatakan kau punya ilmu memandang yang bisa menembus penghalang!
Kau pasti sudah melihat ujud asli dua muridku!”
“Aku
tidak mungkin selancang dan sekurang ajar itu!” Jawab Wiro. “Aku mencari Si
Kamba Mancuang karena perlu beberapa keterangan dari dia… Izinkan aku memberi
penjelasan…”
“Sampaikan
penjelasanmu pada buaya-buaya di dalam telaga!” Jawab Inyiek Susu Tigo. Lalu si
gemuk tinggi ini
pukulkan
telapak tangan kirinya ke lantai kayu.
Braakkk!
Saat itu
juga tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng mencelat keluar rumah kayu lewat pintu
depan. Sesaat kemudian Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak mendengar suara tubuh
Wiro yang tercebur masuk ke dalam telaga. Malin Kapuyuak merasa tengkuknya
merinding dingin sementara Denok Tuba Biru terkesiap membayangkan apa yang
bakal terjadi dengan Wiro walau itu baru akan berlangsung besok ketika fajar
menyingsing!
**********************
10
INYIEK
Susu Tigo tertawa gelak-gelak. Rumah kayu itu kembali bergetar berderak-derak.
Begitu hentikan tawa sepasang mata manusia ini melotot ke arah Denok Tuba Biru.
“Celaka!” ucap Denok Tuba Biru. “Sekarang aku yang diincarnya!”
“Perempuan
gemuk berbulu ketiak lebat! Ha… ha… ha! Aku tengah memikirkan cara yang baik
untuk membantaimu. Apakah aku juga akan memasukkanmu ke dalam telaga atau
menyusul temanmu tadi atau…”
“Datuk…
Apa salahku hingga kau tega berbuat kejam hendak membunuh kami…” Sambil bicara
diam-diam Denok Tuba Biru kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Kalau sampai
Inyiek Susu Tigo menggebrak lantai dan membuatnya terlempar ke dalam telaga
seperti yang dilakukan terhadap Wiro, maka apa boleh buat! Dia akan mendahului
melepas pukulan Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dengan pukulan
yang merupakan ilmu totokan jarak jauh maka dia bisa membuat si tinggi gemuk
itu tidak bisa bergerak selama tiga hari tiga malam. Tapi agaknya Inyiek Susu
Tigo tahu apa yang hendak dilakukan Denok Tuba Biru. Setelah mengumbar tawa dia
berkata.
“Kau
mencari celaka sendiri! Ilmu yang hendak kau lepas menyerangku hanya bisa kau
lakukan jika kakimu berada di bawah kepala di atas. Kalau kau nekad menyerang
dalam keadaan tubuh terbalik maka dirimu sendiri yang akan kaku tak bergerak
tidak bersuara selama tiga hari tiga malam. Buaya-buaya peliharaanku tidak
begitu suka menyantap korban yang tidak bisa berteriak ketakutan dan menjerit
kesakitan. Ha… ha… ha…”
Kejut
Denok Tuba Biru bukan alang kepalang mendengar ucapan Datuk Susu Tigo. Namun
dengan cerdik perempuan gemuk ini menjawab.
“Aku
memang akan mati karena salah mempergunakan ilmu! Tapi kau sendiri akan
sengsara seumur hidup. Hawa sakti beracun akan membuat biji kemaluanmu berubah
besar! Lebih besar dari buah kelapa! Seumur hidup kau tidak akan bisa berjalan!
Jangankan berjalan, duduk beringsutpun kau tidak mampu! Kau tidak akan bisa
pergi ke mana-mana! Kau akan mendekam sepanjang hari di dalam pondok celaka
ini! Dan kantong biji kemaluanmu setiap saat akan berbunyi krookkk… krookkk…
krookkk! Ha… ha… ha! Kau berani menerima tantanganku Datuk?”
Apa yang
diucapkan perempuan gemuk ini bukan main-main. Selagi bersama tiga saudara
seperguruannya mereka dikenal dengan sebutan Serikat Momok Tiga Racun. Mereka
memang memiliki segala ilmu yang mengandung racun (Baca “Si Cantik Gila Dari
Gunung Gede”). Tapi walaupun begitu diam-diam dia merasa khawatir kalau Inyiek
Susu Tigo benar-benar menerima tantangannya.
“Uni
Gapuak! Mengapa mencari celaka! Kau tidak tahu kesaktian Datuk Susu Tigo…” ucap
Malin Kapuyuak. “Dengar ikuti nasihatku ini. Ikuti cepat…”
Lalu
Malin Kapuyuak menyaru-nyarukan suaranya agar tidak terdengar dan diketahui
Inyiek Susu Tigo. Dia berucap dengan suara meracau seperti orang diserang demam
panas, kadang-kadang terdengar seperti orang menyanyi tapi ucapannya tidak
jelas.
“Hisap
tiga susunya… hisap tiga susunya. Aku akan memancing menipunya…”
“Inyiek!”
tiba-tiba Malin Kapuyuak berseru. “Apa yang dikatakan perempuan gapuak ini
bukan dusta! Kau bisa celaka! Lekas balikkan tubuhnya. Itu satu-satunya cara
kau bisa menghadapinya dan menyelamatkan diri!”
“Aku bisa
membunuhnya saat ini juga semudah dan secepat membalikkan telapak tangan!”
Jawab Inyiek Susu Tigo.
“Inyiek,
kau boleh saja membunuh pemuda Jawa itu. Tapi yang satu ini jangan berani
mempermainkan atau membunuhnya! Dia adalah saudara sekandung Inyiek Batino.
Ratu Sekalian Harimau Betina Di Tujuh Gunung Bertuah! Selama ini dia bermukim
di tanah Jawa!”
“Setan
alas! Jangan mempermainkan diriku!”
“Saya
tidak mempermainkan. Saya tidak berdusta! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan
dirinya, sebelum tengah malam telaga ini sudah dikurung ratusan harimau dari
tujuh Gunung Bertuah! Puluhan buayamu tidak akan berdaya. Ratusan harimau
betina akan mencabik-cabik tubuhmu!”
Inyiek
Susu Tigo terdiam. Matanya menatap tak berkesip.
“Pemuda
muka tikus!” bentak Inyiek Susu Tigo pada Malin Kapuyuak. “Inyiek Batino tidak
pernah punya saudara! Kau mau memperdayaiku?!” Begitu ucapannya berakhir sang
Inyiek turunkan tangan kanan dan, braak! Dengan telapak tangan dia menggebrak
lantai kayu. Saat itu juga bukan saja Denok Tuba Biru dan Malin Kapuyuak yang
melesat jungkir balik lalu melayang turun jatuh ke lantai dengan kaki ke bawah kepala
ke atas, tapi Inyiek Susu Tigo sendiri juga mengalami hal yang sama! Rupanya
dia khawatir juga kalau sampai dua biji kemaluannya berubah menjadi sebesar
buah kelapa! Dia bersiap melancarkan serangan.
Malin
Kapuyuak kembali meracau seperti orang diserang demam.
“Sekarang
Uni… sekarang! Hisap tiga susunya. Cepat! Separuh ilmu kesaktiannya akan kau
kuasai! Kau akan aman! Kau tidak akan diapa-apakannya! Inyiek akan menjadikanmu
sebagai murid! Cepat lakukan!”
Mendengar
ucapan Malin Kapuyuak, Denok Tuba Biru yang kini telah berdiri wajar kaki di
bawah kepala di atas dan merasa seluruh kekuatannya telah kembali, tidak tunggu
lebih lama segera melompat ke hadapan Inyiek Susu Tigo. Dua tangan merangkul
leher erat-erat. Dua kaki menelikung pinggang. Sambil bergelayutan begitu rupa
dengan kecepatan luar biasa mulutnya bergerak ke dada sang Datuk.
“Perempuan
gila! Apa yang kau lakukan?” Teriak Datuk Susu Tigo.
Cup… cup…
cup!
Mulut
Denok Tuba Biru menyambar dan menghisap tiga putting susu di dada Inyiek Susu
Tigo. Setiap hisapan sampai mengeluarkan suara keras.
“Hai!”
Inyiek Susu Tigo berteriak. Tapi bukan teriakan marah. Tubuhnya yang gemuk
besar menggeliat kegelian, perlahan-lahan huyung ke depan. Dua lutut terlipat
lalu jatuh berlutut di lantai sementara Denok Tuba Biru yang juga gemuk
terhimpit di bawah perutnya.
“Tuhan
Maha Besar!” Tiba-tiba Inyiek Susu Tigo keluarkan ucapan lantang. Kepala
mendongak, dua tangan disilang di atas dada berbulu. “Belasan tahun menunggu
akhirnya aku menemui seorang calon istri! Kaulku didengar dan dikabulkan Tuhan!
Terima kasih Tuhan… terima kasih!” Lalu seolah tidak menyadari kalau sosok
Denok Tuba Biru berada di bawahnya dia membuat gerakan bersujud. Sebelum hal
itu sempat dilakukan, sebelum tubuhnya terhimpit habis Denok Tuba Biru tendang
perut gendut sang Inyiek. Perut itu hanya berguncang sedikit. Tendangan Denok
Tuba Biru seperti membal namun walau begitu dia punya kesempatan untuk
meloloskan diri dari himpitan Inyiek Susu Tigo.
“Hai. Kau
tidak boleh pergi ke mana-mana. Sesuai kaulku, siapa perempuan yang bisa
menghisap tiga susuku maka dialah calon istriku. Terima kasih… terima kasih…”
Denok
Tuba Biru tentu saja terkejut mendengar ucapan Inyiek Susu Tigo.
“Apa?!”
teriak perempuan gemuk itu. Dia terpekik lalu berpaling pada Malin Kapuyuak.
“Jahanam penipu! Kau bilang jika aku menghisap tiga susunya separuh ilmu
kesaktiannya akan menjadi milikku! Aku tidak akan diapaapakan! Aku akan
dijadikan murid! Sekarang kau dengar sendiri! Dia punya kaulan! Siapa perempuan
yang bisa menghisap tiga susunya akan dijadikan istri! Celaka keparat!”
Sekali
melompat Denok Tuba Biru sudah mencengkeram dada pakaian Malin Kapuyuak dengan
tangan kiri sementara tangan kanan layangkan satu jotosan keras.
“Jangan!
Aku tidak menipu! Begitu yang aku dengar! Mungkin… mungkin…”
Bukk!
Malin
Kapuyuak menjerit kesakitan. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang
pecah.
“Istriku!
Jangan kau aniaya pemuda itu! Bagaimanapun juga dia yang membawamu ke sini!
Kita harus berterima kasih padanya!” Berseru Inyiek Susu Tigo. Lalu tangan
kanan digebrakkan ke lantai pondok. Saat itu juga tubuh Malin Kapuyuak terlepas
dari cengkeraman Denok Tuba Biru lalu melayang keluar pondok lewat jendela.
Tubuh pemuda itu melesat di atas telaga, melewati deretan puluhan buaya lalu,
ngekk! Jatuh tergelimpang di atas cabang sebatang pohon.
“Onde
Mak! Tapanca langek den! (Aduh biyung! Muncrat isi perutku!)” teriak Malin
Kapuyuak. Mata mendelik, bola mata berputar dua kali lalu pemuda ini jatuh
pingsan dengan tubuh masih menyangsrang melintang di atas cabang pohon.
Di dalam
pondok Denok Tuba Biru lari ke salah satu jendela. Cepat dihalangi Inyiek Susu
Tigo.
“Istriku!
Jangan pergi. Kita akan baralek gadang (pesta besar). Kau jadi anak daro
(pengantin perempuan), aku jadi marapulai (pengantin lelaki)! Ha… ha… ha!”
Dukk!
Tawa
bergelak Inyiek Susu Tigo langsung lenyap ketika tendangan kaki kanan Denok
Tuba Biru menghajar dadanya. Tubuhnya yang gemuk besar dan tinggi
terhuyung-huyung. Tapi dia sama sekali seperti tidak merasa sakit malah
berkata.
“Dongkaknya
sarupo kudo! Di ateh tampek lalok tantu hebat sakali parmainannyo (Tendangannya
seperti kuda. Di atas tempat tidur tentu hebat sekali permainannya). Beruntung
aku punya istri seperti dia. Ha… ha… ha!” Iinyiek Susu Tigo baru hentikan tawa
ketika disadarinya Denok Tuba Biru tidak ada lagi di tempat itu!
“Hah!
Istriku! Jangan lari. Jangan kura-kura dalam perahu, pura-pura malu melihat
suamimu! Ha… ha! Jangan jinak-jinak merpati.” Sang Inyiek berteriak lalu
melesat keluar pondok melalui pintu.
“Inyiek!
Tunggu! Jangan pergi dulu! Denai (saya) perlu bicara denganmu!” Satu suara
perempuan mengumandang dari arah timur telaga yang gelap.
“Persetan!
Calon istriku melarikan diri! Aku mau mengejar dulu! Kalau sampai hilang tidak
akan aku dapat yang seperti itu lagi!” Kata Inyiek Susu Tigo lalu berkelebat ke
arah barat.
**********************
11
DATUK,”
kata Puti Bungo Sekuntum alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok alias Chia Swie
Kim. “Tadi malam saya mendengar suara-suara tidak biasanya di luar sana.
Seperti ada suara orang menancapkan sesuatu di tanah. Lalu ada suara kereta…
mungkin juga pedati. Sepertinya tepat di atas goa ini…”
“Aku
sudah tahu. Sejak beberapa hari ini hatiku memang tidak tenteram. Aku akan
segera menyelidiki ke atas. Aku berharap tidak ada apa-apa. Kau tidak membuka
pintu rahasia dan menyelidiki sendiri ke luar sana…?”
“Tidak
Datuk, mana berani saya melakukan hal itu,” jawab Puti Bungo Sekuntum.
“Kau
tunggu di sini. Kalau aku kembali, pagi ini juga kita segera berangkat ke
tempat yang aku katakan. Aku bisa menitipkan kau di rumah seorang sahabat.”
“Datuk,
bagaimana kalau saya ikut keluar bersama Datuk. Saya akan merubah diri menjadi
ramo-ramo hidup…”
“Terlalu
besar bahayanya. Kalau ada orang yang mengenali dan melihat dirimu…”
“Kalau
begitu saya akan merubah diri menjadi kupukupu batu giok saja. Saya akan masuk
ke dalam saku jubah Datuk sebelah kanan. Izinkan saya Datuk. Saya merasa tidak
tenang berada sendirian di dalam goa ini walau Datuk telah menutup jalan
melalui mulut goa di dinding ngarai.”
Setelah
berpikir sebentar Datuk Marajo Sati tetap tidak meluluskan permintaan gadis
cantik jelita itu.
“Ingat,
jangan ke mana-mana. Tetap di goa ini apapun yang bakal terjadi di luar sana.”
“Baik
Datuk.”
Datuk
Marajo Sati menepuk sorbannya tiga kali. Dinding batu di hadapannya secara aneh
bergeser membuka, membentuk pintu keluar.
*************************
DI NGARAI
Sianok tepat di atas goa tempat kediaman Datuk Marajo Sati terdapat kawasan
tanah datar dikelilingi batu-batu hitam setinggi lutut. Pemandangan di tempat
ini indah sekali. Di kejauhan menjulang Gunung Merapi. Puncaknya masih
diselimuti awan pagi.
Tidak
seperti biasanya, saat itu di pedataran terlihat satu pemandangan yang
mengherankan. Tiga buah bendera besar berbentuk segi tiga yang diikat pada
tiang bambu setinggi dua kali tubuh manusia, menancap di tanah.
Bendera
pertama bergambar Kucing. Ini adalah bendera lambang Luhak Tanah Datar. Bendera
ketiga bergambar Harimau, perlambang Luhak Agam. Bendera ketiga bergambar
Anjing merupakan bendera lambang Luhak Lima Puluh Kota.
“Ada apa
ini? Bendera Luhak Nan Tigo menancap di atas tanah ngarai…”
Rasa
heran Datuk Marajo Sati tidak hanya sampai di situ. Di salah satu pinggiran
tanah datar terdapat sebuah pohon besar. Pada batang pohon menempel sehelai
kertas. Dan di atas kertas ini ada tulisan berbunyi: “Di pohon ini Datuk Marajo
Sati akan diikat dan dirajam sampai mati karena perbuatan zinah!”
“Kurang
ajar!” Rahang Datuk Marajo Sati menggembung. Geraham bergemeletakan. “Gila!
Siapa yang punya pekerjaan?” Ketika dia memandang ke kiri pohon dia melihat
sebuah gerobak besar tak berkuda penuh dengan batu sebesar-besar kepalan. Di
atas gerobak itu juga ada segulung tambang besar.
Saking
tidak dapat menahan amarah Datuk Marajo Sati dekati gerobak berisi batu dan
siap menendangnya! Namun sebelum tendangan menyentuh gerobak tiba-tiba tiga
bayangan berkelebat disertai seruan.
“Datuk
Pucuk Luhak Nan Tigo! Kendalikan amarahmu! Perbanyak sabar! Kami bertiga datang
untuk bertanya!”
Beberapa
bayangan berkelebat. Sesaat kemudian tiga orang berpakaian dan berdestar sangat
gagah telah berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati. Ketiganya sama bertubuh
tinggi besar, memelihara kumis tebal melintang. Masingmasing mengenakan baju
dan celana galembong hitam, kain sarung buatan Silungkang melintang di bahu dan
destar berbenang emas bertengger di kepala. Sebilah keris terselip di pinggang
sebelah depan.
“Tiga
Datuk Luhak Nan Tigo! Aku yang akan bertanya pada kalian!” membentak Datuk
Marajo Sati dengan suara lantang dan wajah membara.
Tiga
orang yang dibentak memegang dada lalu membungkuk memberi penghormatan. Salah
seorang di antara mereka berkata.
“Datuk
Marajo Sati, kau pimpinan kami, kau dusanak kami. Kau Datuk Pucuk Luhak Nan
Tigo! Silahkan mengajukan pertanyaan.”
“Kalian
menancapkan tiga bendera lambang Luhak! Apa maksud kalian? Ada tulisan gila di
batang pohon sana. Siapa yang membuat?! Dan ada satu gerobak berisi batu
perajam lengkap dengan tali pengikat. Apa maksud kalian melakukan ini?”
Tiga
orang yang barusan datang saling pandang. Ketiga orang ini adalah para Datuk
Pimpinan Luhak Nan Tigo. Yang pertama Datuk Panglimo Kayo, Datuk dari Luhak
Tanah Datar. Seperti diketahui dia adalah paman dari Gadih Puti Seruni. Wajah
gagah Datuk ini tampak mengelam pertanda dia tengah berusaha mengendalikan
amarah yang setiap saat bisa meledak.
Datuk
kedua bermata besar merah, bertampang garang. Memiliki wajah berkulit kuning.
Inilah Datuk Kuning Nan Sabatang, pimpinan di Luhak Agam.
Orang ke
tiga yang menjadi Datuk di Luhak Limopuluh Kota bergelar Datuk Bandaro Putih.
Wajahnya jernih putih. Janggut tipis di dagu juga berwarna putih.
Datuk
Bandaro Putih memberi isyarat pada Datuk Panglimo Kayo. Paman Gadih Puti Seruni
ini lalu maju satu langkah mendekati Datuk Marajo Sati.
“Datuk
Marajo Sati, pimpinan pucuk para Datuk di Luhak Nan Tigo. Justru begitu datang
ke sini kami bertiga terheran-heran melihat apa yang terjadi. Kami tidak tahu
bagaimana bendera pelambang Luhak Nan Tigo bisa menancap di sini. Lalu ada
tulisan di batang pohon. Gerobak berisi batu dan tali…”
“Datuk
Panglimo Kayo dan Datuk berdua. Semua benda itu tidak bisa berjalan sendiri,
juga mustahil dibawa hantu ke tempat ini…”
“Betul
sekali Datuk Marajo Sati. Mana ada hantu yang pandai menulis.” Menjawab Datuk
Kuning Nan Sabatang yang berwajah kuning garang.
“Kalian
jangan berkura-kura dalam perahu. Berpurapura tidak tahu!”
“Datuk
Marajo Sati, Datuk menuduh kami melakukan semua ini? Menancapkan bendera,
mendatangkan gerobak berisi batu, merekat tulisan di batang pohon? Sungguh naif
sekali…” Ucap Datuk Bandaro Putih dari Luhak Limopuluh Kota.
“Betul
sekali, justru kami datang hendak bertanyakan sesuatu pada Datuk,” bicara
kembali Datuk Panglimo Kayo. “Tempat di sini indah sekali, cuaca terang pula.
Tapi bagaimana kalau kita bicara di dalam goa kediaman Datuk? Setelah kita
bicara nanti kita sama-sama mengusut siapa yang melakukan semua hal ini…”
Datuk
Marajo Sati gelengkan kepala.
“Aku
lebih suka kita bicara di sini…”
“Mengapa
begitu Datuk? Biasanya Datuk selalu membawa kami ke dalam goa Datuk yang bagus
dan sejuk itu…”
“Sekali
ini tidak. Aku menaruh banyak kecurigaan dengan kedatangan kalian…”
Tiga
Datuk Luhak Nan Tigo terdiam. Lalu kembali Datuk Panglimo Kayo angkat bicara.
“Datuk
Marajo Sati, terlebih dulu kami mohon beribu maaf kalau kedatangan kami kurang
senang di hati Datuk. Kedua kami juga mohon dimaafkan dan diampuni dari segala
syak wasangka. Di Luhak kami sejak beberapa hari ini telah tersiar kabar yang
tidak sedap mengenai diri Datuk. Kabar yang kami yakin hanyalah fitnah belaka. Karena
itu kami bertiga datang menemui Datuk di Ngarai Sianok ini untuk menanyakan
langsung. Jika salah kami bertanya mohon dimaafkan, jika salah kami berucap
mohon diampuni…”
“Kabar
tidak sedap tentang diriku. Yang kalian harapkan hanyalah fitnah. Katakan Datuk
Panglimo Kayo. Kabar dan fitnah apa yang kau maksudkan itu?!”
“Sekali
lagi maaf Datuk. Telah tersiar kabar bahwa Datuk menyimpan seorang gadis muda
di dalam goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok…”
“Kurang
ajar!” teriak Datuk Marajo Sati dengan suara menggelegar. “Siapa yang menjadi
racun penebar fitnah itu?!”
“Datuk,
siapa yang membuat dan menebar fitnah memang tidak ada yang tahu. Tapi sehari
yang lalu kemenakan saya Gadih Puti Seruni dan ibunya datang ke Batusangkar.
Memberi tahu hal yang sama. Ada seorang perempuan penjual serabi yang
mengatakan hal itu. Kami mohon maaf dan ampun Datuk. Kami minta Datuk
menjelaskan.”
“Ini
benar-benar gila! Jahanam keparat! Kalian menuduhku melakukan zinah…”
“Kami
tidak mengatakan Datuk berbuat zinah. Kami hanya bertanya apa benar ada gadis
muda dan elok di dalam goa Datuk? Saya bertanya karena juga mengingat saya
adalah mertua Datuk, Mamak dari Gadih Puti Seruni. Dan saya jauh lebih tua dari
Datuk! Adalah pantas kalau Datuk bicara bersopan sopan pada saya. Datuk tahu, kemenakan
saya Puti Seruni sekarang ini berada di rumah saya dalam keadaan sakit. Nasi
tidak tertelan, air tidak lewat di rangkungan. Kalau terjadi apa-apa dengan
dirinya tentu akan kami pulangkan kepada Datuk juga. Menurut ibunya Datuk sudah
lebih dari dua puluh hari tidak pernah mengunjungi istri Datuk di Koto Gadang.
Apakah Datuk terlalu sibuk di dalam goa hingga tidak punya waktu untuk melihat
istri sendiri…”
“Datuk
Marajo Sati memang sibuk dengan istri mudanya! Gadis Cino peranakan jin yang
bisa menghilang!” Tiba-tiba ada suara perempuan berteriak. Lalu dari berbagai
jurusan bermunculan banyak sekali orang. Jumlah mereka lebih dari dua ratus.
Lelaki dan perempuan.
Seorang
lelaki melompat ke atas gerobak berisi batu lalu berteriak.
“Pengadilan
rakyat nagari sudah disiapkan! Datuk Marajo Sati pantas dihukum rajam sampai
mati! Kami penduduk empat dusun di sekitar Ngarai Sianok siap melakukan!”
“Betul!
Lakukan sekarang!” Orang banyak berteriak menyambut.
“Tiga
Datuk Luhak Nan Tigo! Kami minta Datuk bertiga meringkus Datuk Marajo Sati!
Mengikatnya ke pohon ini!” Lelaki di atas gerobak berteriak lalu melemparkan
tali ke arah tiga orang Datuk. Sementara puluhan orang merangsak maju mendekati
Datuk Marajo Sati.
Kejut
Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang. Tiga Datuk juga sama kagetnya.
“Datuk
Panglimo Kayo. Kita harus mencegah orang-orang itu. Jangan sampai mereka
melaksanakan hukum rimba!” Berkata Datuk Bandaro Putih.
Di
tempatnya berdiri wajah Datuk Marajo Sati tampak mengelam. Sekujur tubuh
bergetar. Darah mendidih. Sepasang mata laksana mau melompat dari rongganya
memperhatikan lelaki di atas gerobak. Walau lelaki ini mengenakan topi rumbia
bertepi lebar yang menutupi sebagian wajahnya tapi Datuk Marajo Sati bisa
mengenali siapa dia adanya. Begitu juga Datuk Panglimo Kayo.
“Pakih
Jauhari! Anak jahanam! Masih hidup kau rupanya! Kau yang jadi biang keladi
semua fitnah terhadap diriku! Kau yang mengatur semua ini!” Datuk Marajo Sati
memandang berkeliling. “Penduduk Ngarai Sianok! Berapa pemuda jahanam ini
membayar kalian untuk mau memfitnah diriku?!”
Seorang
kakek mengangkat tangannya yang memegang batu. Lalu berteriak.
“Kami
tidak memfitnah! Kami tidak dibayar! Kami semua tahu Datuk memang menyimpan
seorang gadis Cina di dalam goa! Datuk telah merusak adat menginjak agama! Jika
Datuk merasa benar perbolehkan kami masuk ke dalam goa dan memeriksa! Kami
penduduk di sini merasa malu dan sangat terhina punya pimpinan seperti Datuk!
Kami tidak perlu Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk Luhak Nan Tigo. Cukup kami
memiliki tiga Datuk ini saja!”
Orang
banyak berteriak riuh. Mereka semakin mendekati Datuk Marajo Sati. Tiga Datuk
mulai tampak bingung. Kalau semua orang menyerbu mereka tidak bisa berbuat
apa-apa.
Datuk
Panglimo Kayo cepat maju menyongsong orang banyak.
“Kalian
semua dengar! Biarkan kami yang mengurus semua tuduhan kalian…”
“Tidak
bisa!” Jawab si kakek tadi. “Tiga Datuk kami minta meringkus Datuk Marajo Sati.
Kami akan mengikatnya ke batang pohon. Lalu kami akan merajam melempar dengan
batu hingga akhirnya Datuk mesum itu menemui ajal! Ini adalah pengadilan
rakyat. Kami yang akan melaksanakan…”
“Pakih
Jauhari! Pemuda jahanam! Kau menebar fitnah menggalang orang banyak! Kau yang
akan aku bunuh lebih dulu!” Datuk Marajo Sati tidak dapat menahan amarahnya
lagi. Tapi ketika dia melompat ke atas gerobak orang banyak mulai melemparinya
dengan batu. Sang Datuk segera tanggalkan sorban di atas kepala. Dengan
mengibaskan sorban itu ke udara puluhan batu yang dilempar ke arahnya mencelat
bermentalan walau masih ada beberapa yang mengenai dirinya bahkan melukai
kening hingga mengucurkan darah.
“Datuk!
Jangan!” teriak Datuk Kuning Nan Sabatang ketika melihat Datuk Marajo Sati
melompat ke atas gerobak berisi batu siap hendak menggebuk kepala Pakih
Jauhari.
Kakek
yang tadi berteriak-teriak melompat ke atas gerobak. Dua orang lain mengikuti.
Mereka menerjang Datuk Marajo Sati. Salah seorang di antara mereka berusaha
mendorong Datuk itu dari atas gerobak. Satunya lagi menggigit pinggang sang
Datuk. Dari bawah beberapa orang menarik jubah. Datuk Marajo Sati yang sudah
habis sabar langsung saja menebar pukulan dan tendangan.
Tiga
orang menjerit. Tiga korban pertama rubuh ke tanah. Dua dengan kepala pecah,
satu lagi pinggang patah. Pakih Jauhari masih sempat selamatkan kepalanya dari
gebukan Datuk Marajo Sati. Selagi keadaan kacau balau centang perenang dan
semakin banyak korban berjatuhan tiba-tiba terdengar suara jeritan perempuan.
“Datuk!
Tolong! Mereka menangkap saya!”
Semua
orang terkejut dan berpaling ke kiri. Mereka menyaksikan seorang gadis Cina
berwajah sangat cantik, berambut hitam panjang dan mengenakan pakaian biru
dicekal beberapa orang. Orang-orang ini bukan lain adalah Ki Bonang Talang Ijo
dan Perwira Muda Teng Sien bersama para pengikutnya yaitu Pandeka Bumi Langit
Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko Balang, Datuk Pancido dan Niniek Panjalo.
Kegemparan
serta merta terjadi di tempat itu.
“Semua
menyaksikan sendiri! Ini bukan fitnah! Itu pasti gadis Cina simpanan Datuk
Marajo Sati!” Seseorang berteriak.
“Gila!
Ini memang bukan main-main! Langit boleh runtuh, bumi boleh tabalah. Tapi ini
adalah kenyataan!”
Kata
Datuk Panglimo Kayo dengan suara bergetar penuh geram.
Di atas
gerobak berisi batu. Pakih Jauhari, pemuda yang pernah menjadi kekasih Gadih
Puti Seruni berteriak lantang.
“Datuk
Marajo Sati! Kau sekarang menjadi ayam putih terbang siang. Bersuluh matahari!
Bergelanggang mata orang banyak! Nyata! Jelas sudah kebejatanmu! Kau tidak bisa
menyembunyikan gadis Cina simpananmu itu! Ha… ha… ha! Terkutuklah engkau dunia
akhirat!”
Sekujur
tubuh Datuk Marajo Sati panas bergetar, seperti siap hendak meledak. Dia cepat
berteriak pada Chia Swie Kim.
“Puti
Bungo Sekuntum! Lekas rubah dirimu! Kibaskan dua tanganmu!”
“Tidak
bisa Datuk… Mereka melumpuhkan kedua tangan saya. Tolong Datuk…!”
“Kurang
ajar! Aku bunuh kalian semua!” Teriak Datuk Marajo Sati. Tubuhnya melesat di
udara. Sorban di tangan kiri diputar. Kaki menendang. Beberapa orang terpental
berpekikan.
Tiba-tiba
Ki Bonang Talang Ijo melemparkan sesuatu ke udara. Letusan keras menggelegar
disertai menebarnya asap hitam menutupi pemandangan di pedataran sampai ke
pertengahan dinding ngarai. Tanah bergetar membuat semua orang
berhuyung-huyung.
Ketika
asap hitam sirna, gadis Cina tadi bersama orang-orang yang membawanya telah
lenyap. Datuk Marajo Sati juga tidak kelihatan lagi. Begitu pula Pakih Jauhari
ikut menghilang. Di tanah bergeletakan banyak mayat. Jerit pekik terdengar di
mana-mana.
Tiga
Datuk menemui orang-orang itu dan meminta mereka meninggalkan ngarai dengan
membawa serta mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.
Setelah
semua orang pergi Datuk Bandaro Putih berkata. “Ke mana lenyapnya Datuk Marajo
Sati. Ke mana pula menghilangnya pemuda bernama Pakih Jauhari itu…”
“Datuk
Marajo Sati menghilang dengan membawa dendam besar.” Jawab Datuk Panglimo Kayo.
“Kita harus berlaku waspada. Aku punya firasat dia akan melakukan pembalasan.
Akan banyak lagi darah tertumpah di tanah Agam ini… Mengenai pemuda bernama
Pakih Jauhari itu, aku sendiri yang akan mencari dan menekuk batang lehernya.
Dia yang menjadi biang racun semua kejadian ini! Dendamnya karena tidak
mendapatkan kemenakanku Gadih Puti Seruni dibalasnya dengan fitnah luar biasa
hebat!”
“Tapi
Datuk Panglimo,” menyahuti Datuk Kuning Nan Sabatang dari Luhak Agam. “Kalau
kita katakan ini fitnah, buktinya ada orang yang menemukan gadis Cina cantik
itu di dalam goa kediaman Datuk Marajo Sati…”
“Aku akan
menyelidiki. Kita bertiga harus menyelidiki bersama-sama. Caranya ialah dengan
lebih dulu menemukan Datuk Marajo Sati.” Kata Datuk Panglimo Kayo pula.
“Gadis
Cina itu juga perlu kita cari untuk bersaksi. Aku mengenali beberapa di antara
orang-orang yang membawanya. Datuk Bumi Langit Dari Sumanik, Tuanku Laras Muko
Balang…” Berkata Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Kalau
begitu kita berpisah untuk sementara. Bagaimana kalau lepas Ashar nanti kita
bertemu di rumah gadang kediaman Datuk Panglimo Kayo?”
Datuk
Panglimo Kayo menyetujui. Datuk Bandara Putih mengangkat tangannya lalu
berseru. “Inyiek Bertiga, datanglah.”
Di udara
terdengar siuran menderu. Sesaat kemudian muncul tiga ekor harimau besar. Tiga
Datuk segera melompat ke punggung harimau yang berdiri di hadapan
masing-masing. Sesaat kemudian pedataran di atas Ngarai Sianok itu menjadi
sunyi sepi, hanya menyisakan anyirnya bau darah yang tergenang di mana-mana.
TAMAT
No comments:
Post a Comment