Asmara Darah Tua Gila
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
SATU
Angin
barat bertiup kencang. Perahu layar itu meluncur laju di permukaan laut. Di
atas perahu Tua Gila duduk termangu di haluan. Di kepalanya bertengger sebuah
caping lebar terbuat dari bambu yang melindunginya dari terik matahari. Orang
tua ini senyum-senyum sendiri bila dia ingat pengalamannya di pulau kediaman
Rajo Tuo Datuk Paduko intan.
“Dunia
memang penuh keanehan. Mana aku pernah menyangka bakalan bertemu dengan
menantuku sendiri. Hik… hik… hik! Untung dia tidak tahu aku si tua bangka buruk
ini mertuanya. Ha… ha… ha!”
Kekeh Tua
Gila mendadak terhenti ketika tiba-tiba dirasakannya perahu layar itu bergerak
di bagian depan. Gerakan itu demikian perlahannya hingga jika bukan orang
berkepandaian tinggi seperti Tua Gila tidak akan merasa atau mengetahui. Tua
Gila memandang berkeliling. “Tak ada ombak besar tak ada tiupan angin kencang.
Mengapa barusan ada gerakan aneh di buritan depan perahu?”
Tiba-tiba
telinga si kakek yang tajam mendengar riak air laut di arah depan. Ketika dia
memandang ke arah buritan Tua Gila kaget setengah mati. Dia melihat dua tangan
berkuku panjang berwarna hitam muncul memegang pinggiran perahu. Lalu,
“Wuuttt!” Dari dalam air laut melesat ke atas sesosok tubuh berjubah hitam
berambut riap-riapan. Air mengucur dari pakaian, tubuh dan rambutnya yang basah
kuyup.
“Setan
laut berani muncul siang hari bolong begini! Benar-benar gila!” kata Tua Gila
dan cepat berdiri dari duduknya.
“Hik…
hik! Orang yang mau mampus matanya memang suka lamur!” Orang basah kuyup di
depan perahu itu tertawa lalu bicara dengan mata besar melotot.
“Hebat!
Setan laut bisa bicara!” kata Tua Gila lalu tertawa mengekeh.
“Hik…
hik! Kau rupanya tidak mengenali siapa diriku! Lupa?! Hik… hik!”
Orang di
depan Tua Gila tiba-tiba gerakkan bahu dan goyangkan kepalanya.
“Wuuutt!”
Rambut
putih yang basah kuyup itu melesat ke depan dan, “Breeet!” Layar perahu robek
besar terkena sambaran ujung rambut.
Berubahlah
paras Tua Gila.
“Makhluk
jahanam! Kalau kau mau menumpang perahuku mengapa merusak?!” Bentak Tua Gila.
Orang di
hadapan Tua Gila tertawa gelak-gelak. Lalu sambil dongakkan kepala dia berkata.
“Siapa bilang aku mau menumpang perahumu! Apa kau belum sadar kalau perahu ini
akan meluncur menuju neraka?! Hik… hik… hik!”
“Bedebah
setan alas! Kau sengaja datang mencari mati!”
“Aku
tanya sekali lagi, apa kau benar-benar tidak mengenaliku? Padahal belum lama
kita saling bertemu!” Orang berjubah hitam itu letakkan kedua tangan di
pinggang.
“Eh….”
Kening Tua Gila berkerut. Dia buka caping bambunya agar bisa melihat lebih
jelas. “Astaga! Bukankah kau Dukun Sakti Langit Takambang, wakil Rajo Tuo Datuk
Paduko Intan di Kerajaan pulau Sipatoka?!”
“Bagus!
Berarti matamu hanya sedikit lamur, belum buta beneran! Hik… Hik!”
“Manusia
satu ini tadi kulihat keluar dari dalam laut. Berarti sebelumnya dia telah
mendekam di bawah perahu! Ilmu pernafasannya di dalam air patut aku kagumi!
Tapi dari caranya muncul agaknya dia sengaja mengikutiku dengan maksud tidak
baik!” Habis membatin begitu Tua Gila lalu membentak. “Dukun geblek! Kalau kau
mau menumpang mengapa pakai bersembunyi segala! Kau pasti melarikan diri
setelah ketahuan kau yang punya pekerjaan meracuni Rajo Tuo Datuk Paduko intan
dan permaisurinya!”
“Rajo Tuo
dan permaisuri serta semua orang di pulau itu biar kita lupakan saja!
Bertahun-tahun aku mendekam di pulau itu menunggumu. Sekarang saatnya kita
membicarakan urusan kita!”
“Eh, aku
merasa tidak punya urusan dengan dukun laknat sepertimu! Kalau kuseret kau
kembali ke pulau itu pasti kau akan digantung kaki ke atas kepala ke bawah!”
Orang di
hadapan Tua Gila kembali mendongak dan tertawa panjang. “Kau melihat aku
sebagai dukun, mengenal aku sebagai dukun. Apa kau juga masih mengenali wajah
asliku ini Sukat Tandika?!”
Tua Gila
terkejut. “Bagaimana dukun keparat ini tahu namaku?!” pikir Tua Gila.
Tiba-tiba
Dukun Sakti Lang it Takambang menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya.
“Breeettt!
Sreettt!” Selapis topeng tipis yang membungkus wajah orang itu langsung
tanggal.
Sepasang
mata Tua Gila yang lebar jadi mendelik bertambah besar. “Aku tidak percaya…!”
kata Tua Gila dengan suara bergetar. Kalau saja dia tidak berada di ujung
haluan perahu niscaya kakinya sudah melangkah surut. “Apakah betul kau yang
berdiri di hadapanku ini Sika Sure Jelantik?!”
“Hik…
Hik! Ternyata kau masih mengenali diriku! Lebih dari itu kau juga masih ingat
nama lengkapku! Hik… hik… hik!”
Tua Gila
ternganga sesaat. Tekanan batin yang hebat membuat dia merasa seolah dihimpit
gunung. Untuk beberapa lamanya dia hanya tegak tak bergerak dan memandang tak
berkesip pada orang yang berdiri di depannya. Orang ini ternyata adalah seorang
nenek berwajah bulat, memiliki tahi lalat kecil di atas dagu kirinya. Namun
sesaat kemudian pe-nyakit lamanya muncul. Dia mulai tertawa. Mula-mula perlahan
lalu semakin keras hingga perahu kayu itu bergetar keras. Air laut di sekitar
perahu tampak bergelombang. –
“Tertawa
sepuasmu Tua Gila! Kalau nasibmu baik mungkin nanti kau masih bisa tertawa di
akhirat!”
Mendengar
ucapan orang, Tua Gila hentikan tawanya. Lalu seolah menyesali diri sendiri dia
mengeluh dalam hati. “Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu, tahu-tahu
muncul. Tak dapat tidak dia datang membawa dendam lama! Celaka! Luka-luka bekas
gebukan musuh di tubuh dan kepalaku masih belum sembuh! Sekarang datang lagi
penyakit baru!”
Tua Gila
usap wajahnya beberapa kali lalu berkata. “Sika, aku maklum perbuatanku di masa
silam telah membuatmu sengsara….”
Belum
habis ucapan Tua Gila si nenek bermuka bulat memotong dengan suara keras.
“Bagus! Kau bisa mengatakan begitu! Sayang saat ini sudah terlambat kau
berbual-bual di hadapanku! Aku mencium amisnya bau darahmu Sukat Tandika!”
“Setelah
puluhan tahun berlalu apakah kau tidak bisa melupakan hal itu? Sekarang kita
sudah jadi kakek nenek. Masih perlukan darah ditumpahkan?”
Nenek-berjubah
hitam di atas perahu di hadapan Tua Gila tertawa panjang. “Puluhan tahun boleh
saja berlalu! Tapi sengsara dan luka hati ini tak mungkin dilupakan! Dendam
kesumatku sudah karatan Sukat Tandika! Kau merampas kehormatanku, mempermainkan
diriku! Memberiku malu sepanjang hidupku!”
“Sika,
apapun yang terjadi di masa lalu semua kita lakukan atas dasar suka sama suka.
Kita sama-sama merasakan hangatnya cinta! Harap kau ingat itu!”
Sika Sure
jelantik sudah meludah ke lantai perahu. “Suka sama suka karena kau berjanji
akan menikahiku! Ternyata kau menipu! Setelah puas dengan diriku kau kabur
melarikan diri! Bermain gila dengan gadis lain! Cinta hangatmu adalah api yang
membakar dan tak bisa dipupus kecuali dengan darahmu sendiri! Jangan kau kira
aku tidak tahu siapa saja yang sudah kau cabuli lalu kau tinggal! Jangan kau
kira aku tidak tahu siapa saja yang menginginkan kematianmu! Aku beruntung
bahwa aku punya kesempatan membunuh lebih dulu dari yang lain!”
Sukat
Tandika yang berjuluk Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Pendekar
Gila Pencabut Jiwa menarik nafas dalam. Dalam hati dia membatin. “Aku sengaja
mencari selamat dari Sabai Nan Rancak dan musuh-musuhku yang lain. Belum lagi
menjejakkan kaki di tanah Jawa, di tengah laut sudah ada orang lain
menginginkan nyawaku!”
Tua Gila
menghela nafas berulang kali. Sambil menatap wajah si nenek dia berkata.
“Sika,
apakah kau bisa menunda urusan ini sampai aku menyelesaikan urusanku di tanah
Jawa?”
Sika Sure
Jelantik menyeringai buruk. “Apa kau kira aku tidak tahu apa urusanmu di Jawa?
Apa kau kira aku tidak tahu kau saat ini tengah melarikan diri dari kejaran
Sabai Nan Rancak serta orang-orang lain yang menginginkan kematianmu? Belasan
tahun aku malang melintang mencarimu. Setelah kutemukan jangan harap kau bisa
lolos dari tanganku Sukat! Soal tunda menunda urusan harap kau bicarakan saja
dengan malaikat maut!”
Tua Gila
terdiam. Lalu sesungging senyum muncul di wajahnya yang cekung seperti
tengkorak. Kegilaannya kembali muncul. Perlahan-lahan terdengar suara tawanya
mengekeh. Makin lama makin keras hingga membuat Sika Sure Jelantik marah dan
membentak.
“Jahanam
gila! Sudan mau mampus masih saja memperlihatkan kesintingan!”
“Sika,
jika kematianku memang tidak dapat ditunda, beri aku kesempatan untuk
menyanyi….”
Si nenek
kerenyitkan kening hingga wajahnya diselimuti kerut-kerut buruk. Dia segera
hendak menghardik namun Tua Gila sudah membuka mulut melantunkan nyanyian.
Menanam
ulah di masa muda
Memetik
dendam di usia tua
Menanam
angin di masa jaya
Menuai
badai di usia tak berdaya
“Tua
bangka gila! Hentikan nyanyianmu atau…!” Sika Sure jelantik membentak sambil
tangan kanannya diangkat. Lima kuku jarinya yang panjang hitam memancarkan
sinar redup angker.
Tapi si
kakek tidak perduli. Tanpa acuhkan ancaman orang dia teruskan nyanyiannya.
Bercinta
di usia muda
Seharusnya
bahagia di usia tua
Bermain
asmara di masa remaja
Seharusnya
menjalin suka di usia tua
Cinta
khianat Asmara laknat
Darah
mencuat Nyawa pun minggat
Kepada
siapa mau minta tolong
Kekasih
sendiri ingin menggolong
Kepada
siapa hendak bertobat
Yang
Kuasa sudah melaknat
Dendam
cinta di utara
Dendam
asmara di selatan
Membersit
darah di barat
Meregang
nyawa di timur
“Cukup!
Nyanyianmu hanya mempercepat kematianmu!” teriak Sika Sure Jelantik. Lalu nenek
ini menghantamkan tangan kanannya ke arah Tua Gila yang hanya terpisah tiga
tombak di haluan perahu!
*********************
DUA
Lima
larik sinar hitam mencuat dari lima kuku tangan Sika Sure Jelantik. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Jalur Hitam Bam. Dendam. Sejak tiga puluh tahun yang
lalu si nenek telah menguasai ilmu kesaktian itu. Pada waktu itu dia
mewarisinya dari seorang sakti di Gunung Siguntang. Mulanya ilmu kesaktian itu
dinamakan Kilat Kuku Akhirat dan kehebatannya telah menggoncang ujung selatan
daratan Andalas serta ujung barat tanah Jawa. Selama tiga puluh tahun
berikutnya Sika Sure jelantik memperdalam kesaktiannya, ilmu Kilat Kuku Akhirat
dibuatnya demikian rupa hingga jauh lebih hebat dari aslinya yang kemudian
diberinya nama Jalur Hitam Bara Dendam. Selama sekian puluh tahun Jalur Hitam
Bara Dendam tidak pernah dikeluarkannya. Disimpan karena hanya akan
diperuntukkan pada seseorang yaitu kekasih dimasa muda yang kini menjadi musuh
besarnya. Orang itu tidak lain adalah Sukat Tandika alias Tua Gila alias
Pendekar Gila Patah Hati yang juga dikenal dengan julukan iblis Gila Pencabut
Jiwa.
Tua Gila
keluarkan seruan tertahan. Dia memang pernah mendengar kalau si nenek memiliki
ilmu kesaktian yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Namun tidak diduganya bahwa
ilmu tersebut demikian hebatnya. Orang tua ini segera sambar caping bam-bunya
lalu dilemparkan ke depan. Dia tahu caping bambu itu tidak akan dapat menahan
serangan ganas si nenek walau dialiri dengan tenaga dalamnya yang sangat
tinggi. Namun paling tidak benda itu untuk sesaat akan dapat menahan laju
cahaya hitam yang menyambar laksana kilat!
“Wussss!”
Caping
bambu berlubang di lima tempat lalu hancur berkeping-keping dan bertaburan di
udara sebelum jatuh ke laut.
“jahanam!
Ke mana dia?! Hancur mampus tenggelam ke dalam laut?!” ujar Sika Sure jelantik
ketika melihat sosok Tua Gila tidak ada lagi di haluan perahu.
Sekonyong-konyong
di belakangnya si nenek mendengar suara orang melantunkan nyanyian. Dia cepat
balikkan tubuh.
Kalau
dendam membakar hati
Kalau
dendam membakar pikiran
Kasih
indah dimasa muda seolah api
Membakar
asmara menjadi ajang kematian.
Kalau
hati berselimut dendam
Kalau
darah dibakar amarah
Lautan
cinta menjadi padang maut
Padang
asmara menjadi neraka kematian
Tidakkah
ada lagi kasih sayang di hati manusia
Tidakkah
ada lagi seberkas kenangan indahnya
Asmara di
hati insan
Apakah
hidup kini hanya, dibatasi garis bara api
Yang
benar dan yang salah
Yang
sengsara dan yang sesat
Kalau
kematian memang sudah di depan mata
Kalau
malaikat maut memang sudah unjukkan diri
Lalu
manusia bertindak sebagai wakil pencabut nyawa
Alangkah
sedihnya nasib dunia
Alangkah
sengsaranya nasib umat
Tangis
dan air mata bukan lagi penyejuk hati
Ratap minta
pengampunan bukan lagi pelebur amarah
Datanglah
maut Datanglah kematian
Dekap
tubuh tua penuh dosa ini erat-erat dalam pelukanmu yang paling ganas
Kematian
datangnya hanya sekejap Sengsara tetap berbekas sampai kiamat
Sika Sure
jelantik tercekat mendengar nyanyian itu. Tangan kanannya yang sudah diangkat
tinggi-tinggi siap melancarkan pukulan maut Jalur Hitam Bara Dendam bergetar
keras. Hatinya berdegup kencang. Tenggorokannya turun naik menahan gelora di
dada. Betapapun buasnya perempuan tua ini namun dia terkesiap juga melihat ada
butiran-butiran air mata menggelinding di pipi Tua Gila yang kini tegak tak
bergerak di buritan perahu, hanya terpisah kurang dari dua tombak. Namun kesiap
yang menyelimuti si nenek hanya seketika.
“Air mata
buaya! Bangsat penipu!” hati si nenek berteriak. Begitu amarah dan dendam
kesumat kembali membakar dirinya maka didahului oleh bentakan garang Sika Sure
Jelantik hantamkan tangan kanannya. Lima larik sinar hitam angker menderu
laksana kilat.
Si nenek
berseru kaget dan tegang sendiri ketika di depan sana dilihatnya Tua Gila sama
sekali tidak bergerak coba menangkis atau selamatkan diri dari pukulan mautnya.
Kakek itu tegak laksana patung. Hanya wajahnya yang cekung tampak tersenyum.
Mungkin senyum bahagia siap menyambut datangnya maut. Mungkin juga senyum penuh
kesedihan derita hidup dan penyesalan.
“Sukat!”
Entah sadar entah tidak pada saat di-sadarinya bahwa orang di hadapannya itu
tak akan luput dari, kematian Sika Sure Jelantik berteriak memberi ingat. Tapi
terlambat.
“Wussss!!”
Lima
sinar hitam menderu menggidikkan. Dua larik menyambar ke muka Tua Gila, dua
membeset ke arah dadanya dan satu lagi melesat mencari sasaran di perut si
kakek!
Sesaat
lagi tubuh Tua Gila akan hancur berkeping-keping tiba-tiba dari dalam laut membersit
satu sinar biru. Demikian menyilaukannya sinar aneh itu hingga si nenek
terpaksa pergunakan tangan kiri untuk melindungi kedua matanya. Dia sama sekali
tak sempat melihat bagaimana satu tangan laksana kilat menyambar kaki kanan Tua
Gila. Lalu dilain kejap tubuh si kakek tertarik amblas ke dalam laut. Lima
larik pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam melesat menyambar. Empat menghantam
udara kosong. Yang kelima sempat menyambar pinggang Tua Gila.
Ketika
Sika Sure Jelantik turunkan tangannya, baru dia melihat apa yang terjadi. Dia
berteriak keras. Walau terlambat dia masih berusaha melompat. Tangan kirinya
menyambar ke dada Tua Gila sebelum tubuh kakek ini lenyap masuk ke dalam laut.
“Breettt!”
Pakaian
Tua Gila robek besar di bagian dada. Sika Sure Jelantik merasakan sesuatu dalam
genggaman tangannya. Di saat yang sama dia juga melihat sebuah benda terlempar
ke udara lalu jatuh ke dalam laut.
“Apa yang
terjadi? Apa dia menemui ajal oleh pukulan saktiku? Mati dan tenggelam masuk ke
dalam laut?!” Sika Sure Jelantik bertanya-tanya sambil memandang berkeliling.
“Kalau dia mati, tubuhnya pasti hancur lebur. Taps tidak semua bagian tubuhnya
akan amblas ke dalam laut. Pasti ada yang mengapung. Aku tidak melihat
potongan-potongan tubuhnya. Aku tidak melihat darah…. Apa yang terjadi? Apa
yang terjadi?! Sukat! Sukat Tandika!”
Suara
teriakan si nenek lenyap ditelan luasnya laut dan tiupan angin di udara kosong.
Tenggorokan perempuan tua ini nampak turun naik. Mungkinkah penyesalan mendadak
muncul di dalam hati perempuan tua yang pernah menjalin asmara dengan Tua Gila
ini? Sekonyong-konyong Sika Sure Jelantik menghambur masuk ke dalam laut.
Sebagai seorang tokoh silat nenek ini memiliki satu kepandaian yang tidak
dimiliki tokoh lain. Dia mampu berada di dalam air untuk waktu lama. Namun
sampai akhirnya dadanya menjadi sesak, setelah sekian lama berada di bawah
permukaan laut untuk menyelidik apa yang terjadi dengan Tua Gila dia tidak
menemukan sosok si kakek, juga tidak potongan tubuhnya kalau memang sudah cerai
berai tadi dihantam pukulan saktinya. Hanya di salah satu tempat dia sempat
melihat alur panjang berwarna merah. Darah!
Dengan
penuh rasa putus asa dan tanda tanya besar dalam hatinya Sika Sure Jelantik
naik ke permukaan laut, berenang menuju perahu layar yang terapung-apung tanpa
penumpang.
Di atas
perahu lama sekali, si nenek duduk termenung dengan rambut pakaian dan tubuh
basah kuyup.
“Aneh,
tubuhnya lenyap begitu saja. Tapi ada segelintir darah. Mungkinkah dia ditelan
ikan besar yang tiba-tiba muncul?” Sika Sure Jelantik memandang! laut di
sekitarnya seolah berusaha melihat menembus sampai ke dasarnya. Berulangkali
perempuan tua ini menarik nafas panjang. Dia lalu ingat pada benda yang masih
tergenggam di tangan kiri-nya. Ketika diperiksanya kagetlah perempuan tua ini.
Dia pernah melihat benda itu sebelumnya jadi sudah mengenali apa adanya.
“Kotak
perak penyimpan Kalung Permata Kejora! Permata handal penghancur segala
kekuatan putih dan hitam!”
Dengan
tangan gemetar si nenek segera membuka kotak perak itu. Matanya mendelik ketika
melihat kotak itu tidak berisi apa-apa.
“Kosong!”
ujar si nenek. Dia berpikir keras. “Mungkin belum terlambat!” katanya dalam
hati. Lalu untuk kedua kalinya dia terjun ke dalam laut. Kali ini lama sekali
dari pertama tadi. Karena sambil berusaha mencari kalung mustika itu dia juga
mencoba menjajagi kalau-kalau bisa menemukan sosok tubuh Tua Gila. Setelah
nafasnya terasa sesak dan dia tidak berhasil menemukan apa-apa si nenek
akhirnya kembali berenang ke permukaan laut dan naik ke atas perahu.
“Apapun
keanehan yang terjadi, aku yakin ada sesuatu yang telah mengambil tubuh Sukat.
Mungkin benar ikan besar, mungkin juga makhluk yang tak dapat kubayangkan apa
adanya! Tapi kalung itu? Aku tak mungkin menyelam sampai ke dasar laut. Tekanan
air bisa memecahkan kepalaku! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kembali ke
Gunung Siguntang atau menyeberang ke tanah Jawa…? Kalau dia tidak mati mungkin
sekali kakek jahanam itu akan muncul di sana. Bukankah di sana banyak bekas
gendaknya tempat dia bisa minta tolong?”
Sika Sure
Jelantik tegak di atas perahu, memandang berkeliling. Di sebelah depan yang
tampak hanya lautan membentang luas. Di sebelah belakang samar-samar tampak
pulau di mana sebelumnya dia menetap menyamar menjadi Dukun Sakti Lang it
Takambang. Tujuannya sesuai firasatnya yang tajam bukan lain adalah untuk
menunggu kemunculan Tua Gila. Ternyata firasatnya yang disembunyikannya selama
bertahun-tahun itu tidak meleset. Sukat Tandika alias Tua Gila muncul di pulau!
Namun setelah saling berhadapan dia gagal melakukan balas dendam. Si nenek
kepalkan tangan kanannya.
“Bangsat
tua itu lenyap secara aneh. Tak dapat kupastikan apa masih hidup atau sudah
mati. Lalu bagaimana pula aku harus mencari Pangeran Mata-hari yang telah
membunuh adikku Ramada Suro Jelantik? Aku menyirap kabar Pangeran itu sudah
amblas tamat riwayatnya di tangan murid Tua Gila si orang Jawa bernama Wiro
Sableng. Apa benar…? Kalau murid tua bangka itu sanggup membunuh Pangeran
Matahari berarti dia memiliki kepandaian tidak dibawah si Tua Gila. Kalau dia
ikut campur membela gurunya hemmm…. Urusan bisa jadi kapiran!” (Mengenai Ramada
Suro Jelantik harap baca serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)
*********************
TIGA
Kita
kembali dulu ke tempat kediaman Ratu Duyung pada saat Pendekar 212 Wiro Sableng
berada di sana. Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Tua Gila Dari
Andalas) dengan maksud menolong Ratu Duyung lepas dari kutukan yang telah
menyengsarakan diri dan anak buahnya selama bertahun- tahun maka dari
Pangandaran Pendekar 212 Wiro Sableng ikut bersama Ratu bermata biru itu ke
tempat kediamannya di kawasan laut selatan.
Di sebuah
tempat yang disebut Puri Pelebur Kutuk ketika Wiro dan Ratu Duyung saling
berpelukan mendadak menyeruak bau kembang kenanga yang amat santar. Bersamaan
dengan itu Ratu Duyung yang memandang ke arah pintu melihat kemunculan seorang
perempuan muda cantik berwajah pucat mengenakan kebaya panjang dan kain
berwarna putih. Wiro sendiri sama sekali tidak melihat dan tidak mengetahui
siapa adanya orang itu. Jelas yang datang ini adalah satu makhluk dari alam
gaib yang memperlihatkan diri sebagai seorang gadis cantik yang sama sekali
tidak dikenal oleh Ratu Duyung sebaliknya tidak terlihat oleh mata Pendekar
212.
Selagi
Ratu Duyung memberitahu apa yang dilihatnya lalu berteriak memperingatkan Wiro
karena gadis bermuka pucat itu mendekatinya, dalam kamar berkiblat sinar biru
pukulan yang dilepaskan Ratu Duyung ke arah pintu di mana sosok gadis aneh itu
berada. Sebaliknya dari arah pintu Wiro sempat melihat melesatnya sebuah benda
kuning kehijauan. Lalu. satu letusan dahsyat memporak-porandakan ruangan.
Di atas
tempat tidur Ratu Duyung tersandar ke dinding. Mukanya sepucat kain kafan dan
dari sela bibirnya ada darah kental mengucur pertanda telah terjadi satu
bentrokan tenaga dalam sangat hebat. Seperti diketahui Ratu Duyung memiliki
kesaktian tinggi. Jika dirinya menderita luka dalam begitu parah berarti
lawannya memiliki tingkat kesaktian yang sulit dijajagi.
Dalam
gelegar dahsyat yang memporak-porandakan Puri Pelebur Kutuk Pendekar 212
sendiri terpental lalu terbanting ke lantai dan jatuh pingsan ketika hancuran
benda kuning kehijauan merambas masuk ke jalan pernafasannya.
Ratu
Duyung berusaha menyelamatkan Wiro yang hendak dilarikan oleh makhluk aneh
berwujud gadis cantik bermuka pucat itu. Namun dia tidak berdaya dan hanya bisa
berteriak-teriak. Enam orang anak buahnya menghambur masuk ke dalam ruangan dan
terpekik melihat keadaan pimpinan mereka.
“Kejar!”
teriak Ratu Duyung, Maksudnya agar anak buahnya mengejar gadis berkebaya
panjang putih yang telah melarikan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun tiga orang
anak buah sang Ratu yang kemudian melakukan pengejaran salah menduga. Mereka
mengira Pendekar 212-lah yang telah mencelakai pimpinan mereka.
“Sebelumnya
aku melihat dua pengawal mengantarkan pemuda itu ke Puri Pelebur Kutuk! Dia lenyap!
Berarti dia yang telah mencelakai Ratu!” kata salah seorang anak buah Ratu
Duyung yang melakukan pengejaran.
“Kurasa
lebih jahat dari itu! Dia bermaksud keji! Hendak membunuh pimpinan kita!” kata
gadis kedua. “Tapi ke mana lenyapnya pemuda keji itu?!”
Gadis
ketiga berucap. “Pergunakan ilmu menyirap detak jantung. Dia pasti belum jauh.
Kita musti dapat mengejarnya!”
“Aku
ingin sekali membunuhnya dan membantingkan mayatnya di depan Ratu!”
Gadis
pertama berpikiran lebih panjang. “Ratu tidak sempat memberi petunjuk. Apa kita
harus membunuh pemuda itu atau bagaimana. Menurutku kita menangkapnya dulu
hidup-hidup lalu membawanya ke hadapan Ratu. Biar Ratu yang memutuskan mau
diapakan pemuda keparat itu. Heran, dasar manusia! Setahuku dia telah banyak
menerima kebajikan dari pimpinan kita? Mengapa dia tega-teganya berlaku jahat
dan keji terhadap Ratu?!”
“Kalau
sudah tahu pemuda itu licik mengapa kita harus membiarkan dan membawanya
hidup-hidup ke hadapan Ratu? Di tengah jalan dia bisa memuslihati kita atau merayu
kita dengan ketampanannya. Kita bisa celaka semua!”
“Sudahlah,
mengapa kita menghabiskan waktu dengan berdebat. Lekas kerahkan aji Kesaktian
Menyirap Detak jantung.”
Tiga
gadis anak buah Ratu Duyung tegak tak bergerak lalu dongakkan kepala. Yang
pertama mendongak ke arah timur, yang kedua ke arah utara dan satunya lagi ke
jurusan barat.
Setelah
beberapa jurus berlalu gadis yang mendongak ke arah utara dan timur hentikan
perbuatannya memusatkan pikiran. Kepalanya yang mendongak diturunkan. Keduanya
saling pandang sesaat.
“Aku
tidak merasakan getaran apa-apa…” kata yang satu.
Kawannya
menyahuti. “Aku juga….”
Lalu
mereka berpaling pada kawan yang menghadap ke barat. Saat itu gadis ketiga anak
buah Ratu Duyung ini tampak tegak dengan mata terpejam sedang sekujur tubuh
bergetar. Perlahan-lahan dia turunkan kepalanya lalu membuka mata dan menatap
tajam tak berkesip jauh ke arah barat. Dengan dua jari tangan kanannya dia menekan
pergelangan tangan kiri tepat pada dua urat besar. Dua jari tangan tampak
tersentak-sentak.
“Aku
berhasil menyirap detak jantung Pendekar 212. Dia berada di jurusan barat. Kita
mengejar ke sana…!” kata si gadis. Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba tubuhnya
jatuh terjengkang. Mukanya pucat seolah kehilangan darah.
“Nandiri!”
dua teman terpekik menyebut namanya. Lalu mereka cepat menolong kawan yang
roboh itu. Salah seorang ajukan pertanyaan. “Apa yang terjadi Nandiri? Apa yang
kau rasakan?!”
“Detak
jantung dan darah dalam nadiku keras sekali. Jelas pemuda itu berada di arah
barat. Aku dapat menyirap detak jantung orang itu. Ada sesuatu yang aneh. Dia
mampu berada jauh dari tempat ini. Jarak kita dan dia terpisah hampir tiga hari
perjalanan. Padahal pada waktu kita menerobos masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk
dia belum lama berlalu. Selagi aku menyirap tiba-tiba ada satu kekuatan dahsyat
tak kelihatan menghantam diriku….” Nandiri terdiam sebentar. Dia merasakan
mulutnya hangat dan asin. Ketika dia meludah ke tanah yang diludahkannya
ternyata darah.
“Kau
terluka di dalam Nandiri!”
Si gadis
mengangguk membenarkan.
“Kalau
begitu biar aku dan Manumi yang melakukan pengejaran. Kau lekas kembali dan
minta obat pada Ratu….”
“Sebetulnya
aku tetap ingin melakukan pengejaran…” kata Nandiri.
“Jangan
bodoh! Kau terluka di dalam. Kita tak tahu apa obatnya. Lekas kembali ke Ratu!”
Dengan
rasa terpaksa gadis bernama Nandiri itu akhirnya mengikuti nasihat
teman-temannya. Setelah tinggal berdua Manumi berkata pada kawannya. “Kiani,
kita harus bertindak cepat. Biar aku menjajagi arah tepat di mana pemuda itu
berada.”
“Sesuai
keterangan Nandiri kita sudah tahu ke arah mana larinya pemuda jahat itu. Kita
langsung saja menuju ke sana. Aku khawatir kau akan mengalami nasib sama seperti
Nandiri. Ada kekuatan tak terlihat menghantam dirinya….”
Mendengar
itu Manumi anggukkan kepala. Dua gadis cantik anak buah Ratu Duyung segera
berkelebat ke arah barat. Kembali ke tempat kediaman Satu Duyung.
Empat
orang gadis cantik, membawa Ratu Duyung keluar dari Puri Pelebur Kutuk yang
telah porak poranda itu. Tubuh Ratu Duyung ditutup dengan kain beludru alas
tempat tidur. Lalu sang Ratu diamankan ke sebuah bangunan dimana terletak satu
ruang ketiduran yang bagus. Dengan cepat beberapa gadis yang memiliki
kepandaian pengobatan melakukan pemeriksaan.
“Aneh,
tak pernah aku melihat luka dalam seperti ini!” kata salah seorang gadis
memeriksa. Teman-temannya membenarkan. “Jelas Ratu terkena satu pukulan jahat.
Tapi di bagian mana?”
“Agaknya
kita terpaksa harus menanggalkan kain penutup aurat Ratu dan memeriksa setiap
sudut tubuhnya.”
“Itu
menyalahi adat, aturan dan pantangan. Kau tahu apa hukumannya jika kelak Ratu
mengetahui kita telah memeriksa tubuhnya dalam keadaan tanpa pakaian….”
Sesaat
semua anak buah Ratu Duyung yang ada di tempat itu jadi terdiam. Namun salah
seorang dari mereka kemudian berkata. “Yang kita lakukan adalah menyelamatkan
nyawa Ratu. Kalaupun kelak Ratu mengetahui kurasa dia bisa memaklumi….”
Setelah
terjadi perundingan singkat akhirnya para gadis membuka gulungan kain beludru
yang menutupi tubuh pimpinan mereka. Sosok yang bagus mulus dan berada dalam
keadaan tanpa pakaian itu mereka periksa dengan teliti.
“Aneh,
kita sama sekali tidak melihat bekas pukulan sedikit pun. Tak ada cidera di
bagian luar tubuh Ratu…” kata gadis yang tegak di kepala tempat tidur. Semua
anak buah Ratu Duyung yang ada di situ terdiam saling pandang.
“Ratu
terkena pukulan sakti yang menembus jaringan tubuh tanpa merusak bagian luar.
Kita tidak dapat menduga apa yang terjadi di sebelah dalam. Bahkan kita tidak
tahu bagian mana yang terluka,” menyahuti gadis lainnya.
“Kalau
begitu kita harus mengusahakan agar Ratu siuman dulu. Lalu menanyakan bagian
mana yang dirasakannya sakit. Setelah itu baru kita melanjutkan dengan
pengobatan.”
Enam
orang gadis yang berada di sekitar tempat tidur lalu acungkan jari telunjuk
masing-masing. Satu jari ditekankan ke atas kening Ratu Duyung. Jari kedua
ditusukkan di permukaan leher. Dua jari ditekankan ke bagian dada, satu lagi
tepat di atas pusar dan yang terakhir pada telapak kaki kiri. Salah seorang
dari enam gadis memberi tanda. Lalu tampak jari-jari tangan mereka bergetar
halus. Bersamaan dengan itu satu cahaya biru terang menyilaukan keluar dari
enam jari telunjuk, masuk ke dalam tubuh Ratu Duyung hingga tubuh yang
telanjang itu kini tampak terbungkus oleh sinar terang benderang berwarna biru.
Enam
gadis perlihatkan perubahan pada wajah masing-masing ketika mereka merasa ada
satu kekuatan aneh keluar dari tubuh Ratu Duyung. Dan itu bukan kekuatan atau
hawa sakti yang dimiliki sang Ratu! Mereka coba bertahan. Tiba-tiba tubuh
mereka terpental. Masing-masing keluarkan seruan kaget dan kesakitan. Dengan
muka pucat dan mata mendelik mereka menyaksikan luka aneh pada ujung jari. Dari
luka itu mengucur darah segar.
“Cepat
totok urat besar di lekuk siku!” salah seorang gadis berteriak memberi ingat.
Lalu menotok urat besar di pertengahan lengannya. Lima kawannya segera
melakukan hal yang sama. Kucuran darah segera terhenti. Dari warna darah yang
keluar mereka maklum kalau tidak ada racun masuk ke dalam tubuh mereka. Ini
membuat keenam gadis tersebut merasa agak lega.
Sementara
itu di atas tempat tidur sekujur tubuh Ratu Duyung masih tampak diselimuti
sinar biru. Perlahan-lahan sinar terang itu meredup dan akhirnya sirna sama
sekali. Bersamaan dengan lenyapnya sinar biru sepasang mata Ratu Duyung yang
terpejam tampak bergerak-gerak. Lalu perlahan-lahan mata itu mulai membuka.
Sesaat sang Ratu menatap ke langit-langit ruangan. Otaknya segera bekerja dan
menyadari bahwa dirinya tidak lagi berada di Puri Pelebur Kutuk tetapi di ruang
ketidurannya sendiri. Lalu dia teringat pada pemuda itu.
“Wiro…”
katanya menyebut nama setengah berbisik. “Apakah kau ada di sini…?”
Pandangan
mata sang Ratu mendadak membentur sosok tubuhnya sendiri yang terbaring tanpa
mengenakan apa-apa. Sang Ratu keluarkan seruan tertahan melihat keadaan
dirinya. Serta merta dia menyambar kain beludru dan menutupi tubuhnya. Lalu
dengan cepat dia bergerak duduk.
Melihat
hal ini enam orang anak buahnya segera jatuhkan diri. Masing-masing dilanda
rasa takut karena telah melanggar pantangan besar yaitu melihat tubuh Ratu
dalam keadaan tidak tertutup selembar benang pun. Ratu Duyung menatap paras
anak buahnya satu persatu dengan sepasang matanya yang biru. Ketika- dia hendak
membuka mulut menegur tiba-tiba di kejauhan terdengar suara belasan orang
berlarian sambil berseru tiada hentinya.
“Ratu…
Ratu… Ratu…!”
*********************
EMPAT
Di dalam
goa yang terletak di bukit Jatianom di tenggara Gunung Merapi Pendekar 212 Wire
Sableng duduk bersila dengan mata terpejam. Sejak beberapa hari ini dia
berusaha mengheningkan cipta, mengatur jalan nafas serta peredaran darah. Walau
dia mampu melakukan hal itu namun tenaga dalam yang diharapkannya bisa muncul
kembali tidak kunjung menjadi kenyataan.
“Agaknya
kutukan seratus hari kehilangan kesaktian itu bukan main-main,” membatin Wiro.
Pikirannya yang tadi bening kini kembali dihantui oleh berbagai pertanyaan.
Pertama
sekali dia teringat pada Ratu Duyung, orang yang kini sangat dibencinya. “Kalau
bukan karena dia, aku tidak akan kehilangan tenaga dalam dan kesaktian. Walau
cuma seratus hari tapi dalam waktu sekian lama sesuatu bisa terjadi mencelakai
diriku. Atau mungkin memang sudah ditakdirkan aku punya jalan nasib seperti
ini…?”
Lalu Wiro
ingat pula pada gurunya sendiri yakni Sinto Gendeng serta orang tua sakti
berjuluk Kakek Segala Tahu. “Mereka mendorongku untuk melakukan hal itu. Tidur
dengan Ratu Duyung! Padahal celaka yang aku hadang!” Wiro mengumpat panjang
pendek dalam hati. Tadinya ada terpikir di hati Pendekar 212 untuk pergi ke
Gunung Gede menemui gurunya sesuai dengan anjuran Bunga. Namun setelah
dipertimbangkannya lebih jauh dia memilih untuk tetap mendekam saja di goa di
bukit Jatianom itu.
Wiro
memandang ke dinding goa sebelah kiri. Di situ dia membuat guratan-guratan
pendek untuk menghitung hari. Ada tujuh guratan berarti sudah tujuh hari dia
berada di tempat itu sejak Bunga meninggalkannya.
“Bunga…”
desis Wiro. “Kau mencemburui Ratu Duyung. Satu bukti kau mencintai diriku. Aku
berdusta kalau kukatakan aku tidak mencintaimu. Namun selain kita berada dalam
dua dunia yang berbeda, dasar cinta dalam diriku agaknya tidak memungkinkan
kita untuk bersatu. Aku… ah!” Wiro menghela nafas berulangkali. Ingatannya
melayang pada Bidadari Angin Timur. “Aku begitu mencintai-nya sepenuh hati. Aku
tidak dapat-menerka bagaimana hatinya sendiri terhadapku. Terakhir sekali waktu
berpisah di Pangandaran dia memakai dalih mengurus jenazah saudara kembarnya
untuk menghindar bersamaku. Padahal dulu aku sudah membawa dan mempertemukannya
dengan Eyang Sinto Gendeng. Tega sekali dirinya. Namanya pun tak mau diberi
tahu padaku. Kalau aku hanya bertepuk sebelah tangan apakah aku harus meneruskan
cinta gila ini? Aku bisa mampus sendiri!” Wiro lalu garuk-garuk kepala
berulangkali.
Dari
balik baju putih pemberian Bunga, Pendekar 212 keluarkan Kitab Putih Wasiat
Dewa. Walau dia telah berulangkali membaca isi kitab itu dan boleh dibilang
hafal setiap kalimat di dalamnya namun saat itu Pendekar 212 kembali menekuni
apa yang tersurat dan tersirat. di dalamnya.
Bilamana
datang kebenaran
maka
meraunglah para iblis pembawa kejahatan
Kejahatan
mungkin bisa berjaya
Tapi pada
saat kebenaran dan keadilan muncul
tak ada
satu kekuatan lain mampu membendungnya
Wiro
berhenti membaca. Dia merenung. “Apakah saat ini ada kebenaran dan keadilan
untuk diriku…?” Lalu baru meneruskan membaca.
Kejahatan
membakar dan merusak laksana api
Tetapi
api itu sendiri sebenarnya
adalah
kekuatan dahsyat
Yang
diarahkan para Dewa untuk membakar mereka
Bilamana
api memusnahkan mereka maka penyesalan tiada berguna
“Gila!
Ini cocok dengan keadaan diriku! Api telah memusnahkan diriku. Penyesalan tiada
berguna! Aku harus merasa sengsara selama sembilan puluh tiga hari lagi!”
Wiro
sampai ke halaman ketiga. Dia membaca dengan tekun. Walau kadang-kadang dia
tampak cengar-cengir, merutuk dan mengomel namun membaca Kitab Putih Wasiat
Dewa itu dapat menentramkan hatinya.
Delapan
Sabda Dewa adalah delapan jalur keselamatan.
Tanah
Sabda Dewa Pertama.
Manusia
berasal dan dijadikan dari tanah
Kepada
tanahlah manusia akan kembali
Karenanya
manusia tidak boleh congkak dan takabur
dan harus
ingat bahwa dirinya berasal dari gumpalan debu yang hina
Yang
kuasa kemudian memberikan kehormatan,
menjadikannya
makhluk pilihan karena memiliki pikiran
yang
membedakannya dengan binatang
Tanah
bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa
diberikan
kepada manusia untuk tempatnya berlindung diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki
Karenanya
tidaklah layak kalau manusia me-rusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji
serta berbuat kejahatan di atasnya
Tanah dan
bumi diberikan Yang Kuasa untuk kebahagiaan ummat manusia.
Karenanya
manusia wajib berterima kasih dengan jalan memeliharanya.
Tanah
tempat kaki berpijak. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung
Ketika
tanah dijadikan ajang pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa
Mengapa
manusia tidak berpikir dan berterima kasih?
Lama Wiro
termenung. Kalimat terakhir yang barusan dibacanya berkesan mendalam di lubuk
hatinya. “Mengapa manusia tidak berpikir dan berterima kasih…?” Wiro
garuk-garuk kepala. Dia menatap jauh ke luar goa. Ke arah tetumbuhan menghijau
serta sungai kecil yang mengalir di bawah sana. “Mungkinkah aku yang tidak
berpikir dan tidak berterima kasih dalam hidup ini? Hingga mengalami celaka
seperti sekarang ini?! Di dalam kitab ini tertulis para Dewa pun gelisah dalam
duka dan kecewa. Hemmm…. Dewa saja bisa gelisah, duka dan kecewa. Apalagi aku
si sableng ini! Hik… hik… hik!” Wiro tertawa sendiri dan kembali garuk-garuk
kepala.
Kemudian
Wiro meneruskan membaca Sabda Dewa Kedua, terus Sabda Dewa Ketiga.
Api Sabda
Dewa ketiga
Ketika
kecil menjadi kawan
Sewaktu
besar menjadi lawan
Mengapa
manusia tidak mau berpikir dalam mencari manfaat dari pada kualat?
Api
membakar seganas iblis
Di dalam
tubuh manusia ada api yang mampu merubah manusia menjadi iblis
Barang
siapa tidak mampu melawan api, bumi dan tanah akan meratap, air akan menangis,
manusia akan menjadi api untung neraka
Para Dewa
terhempas dalam perkabungan
Wiro
meneruskan bacaannya.
Bulan
Sabda Dewa Kelima
Sumber
kesejukan dunia ini muncul di kala malam
Tiada
keindahan melebihi malam dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang
lembut
Mengapa
manusia tidak bisa selembut sinar rembulan?
Padahal
manusia memiliki pikiran, bulan tidak
Padahal
manusia memiliki hati, rembulan tidak
Bukankah
kelembutan sinar rembulan mencerminkan perasaan kasih?
Kasih
dari orang tua terhadap anaknya
Kasih
seorang pemuda pada gadis curahan hatinya
Kasih
sesama insan
Bahkan
binatang pun mempunyai rasa kasih
Lalu
mengapa manusia terkadang melupakan-nya?
Mengapa
kasih dapat berubah menjadi kebencian yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari
siapa para Dewa akan mendapatkan jawaban?
Sampai di
situ kembali Wiro merenung. Terbayang lagi di pelupuk matanya wajah Ratu
Duyung, Bunga, Bidadari Angin Timur lalu muncul paras jelita Puti Andini alias
Dewi Payung Tujuh.
“Ada
rembulan di hatiku, ada rembulan di hati mereka. Tapi rembulanku dan rembulan
mereka tidak sama. Apa yang aku dambakan tak pernah terkabul.” Lalu kembali
kekonyolan muncul dalam dirinya. Sambil menggaruk kepala dia berkata. “Kalau
Dewa tak kunjung mendapatkan jawaban, bagaimana aku si sontoloyo ini! Ha… ha…
ha!”
Tersentuh
oleh kalimat-kalimat dalam Sabda Dewa Ke-lima itu Pendekar 212 lalu ambil Kapak
Naga Geni 212. Beberapa lamanya dipandanginya senjata mustika sakti yang kini
tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan apa-apa lagi bagi dirinya. Senjata
warisan Eyang Sinto Gendeng ini lalu diusap-usapnya di bagian mata dan
gagangnya yang terbuat dari gading putih. Matanya memperhatikan enam buah
lobang di gagang kapak serta ujung gagang yang berbentuk kepala naga. Selama
ini jarang sekali dia memperhatikan senjata itu dengan seksama karena selalu
disimpan dan disembunyikan di balik pakaian. Baru di-keluarkan kalau menghadapi
bahaya. Kini memandangi senjata itu seolah baru menyadari, Wiro ingat bahwa
gagang Kapak Naga Geni 212 bisa berubah menjadi sebuah seruling yang jika
ditiup dengan mempergunakan tenaga dalam dapat merusak telinga dan mengacaukan
jalan darah musuh!
Perlahan-lahan
Wiro angkat senjata itu yang kini terasa begitu berat. Mulut kepala naga
didekatkannya ke bibirnya. Dia mulai meniup. Walau tidak lagi memiliki tenaga
dalam namun tiupan yang dilakukan Wiro cukup menggetarkan, penuh gelora
perasaan. Nyanyian yang mencuat dari seruling gagang kapak sakti itu melantun lembut
berhiba-hiba. Wiro tidak tahu entah berapa lama dia meniup. Lebih dari itu juga
tidak mengetahui kalau tak jauh dari goa seorang gadis berpakaian biru yang
duduk , di atas sebuah batu, mendekam bersembunyi di balik serumpun semak
belukar termenung sendu mendengar suara tiupan serulingnya. Sepasang matanya
yang bagus tampak berkaca-kaca. Beberapa kali hatinya berontak mendorong agar
segera keluar dari persembunyiannya dan menemui Pendekar 212 Wiro Sableng.
Namun setiap dirinya terbujuk seolah ada kekuatan yang melarangnya untuk tidak
melakukan hal itu.
Seolah
ada bisikan di telinganya. “Menemui pemuda itu akan mendatangkan seribu
kebahagiaan dalam dirimu. Namun dibalik kebahagiaan itu mungkin akan muncul
berbagai malapetaka yang akan menimbulkan duka derita bagi masa depanmu….”
Bisikan
tadi membuat gadis berbaju biru itu tidak beranjak dari batu yang didudukinya.
Namun mendadak terdengar suara bisikan lain.
“Jangan
mendustai diri sendiri. Kau sadar se-penuh hati bahwa kau mencintai pemuda itu.
Selama ini kau berlari dalam lingkaran menipu diri sendiri. . Apakah tujuan dan
akhir perjalanan hidup seorang gadis kalau bukan dicintai dan mencintai? Kau
tahu dia mencintaimu. Kau mencintai dirinya. Apalagi yang kau tunggu? Apa kau
baru akan menyatakan cintamu setelah kau menjadi seorang nenek atau setelah
terlambat karena orang yang kau cintai itu jatuh ke tangan gadis lain? Jangan
bersikap buta. Bukan hanya kau seorang yang mencintainya. Kau tahu bahkan kenal
sederetan gadis-gadis cantik yang mencintainya setulus hati….”
Bisikan
terakhir ini sangat mempengaruhi gadis berbaju biru yang bukan lain adalah
Bidadari Angin Timur. Sejak berpisah di Pangandaran dulu perasaan cinta
kasihnya terhadap Pendekar 212 sulit ditekan dan disembunyikannya. itulah
sebabnya setelah mengurus jenazah saudara kembarnya yang menemui ajal di tangan
Pangeran Matahari, Bidadari k Angin Timur berusaha mencari pemuda itu, Kini
setelah melalui perjalanan panjang akhirnya dia berhasil mengetahui kalau
Pendekar 212 Wiro Sableng berada di sebuah goa di bukit Jatianom. Walau ada
perasaan heran mengapa sampai Wiro tersesat ke bukit itu dan apa yang tengah
dilakukannya namun perasaan ingin bertemu membuat Bidadari Angin Timur
melupakan segala-galanya. Kini setelah dia berada begitu dekat dengan pemuda
tersebut kembali kebimbangan melanda dirinya.
Dengan
ujung pakaian birunya Bidadari Angin Timur mengusut pinggiran matanya yang
basah. Ditebarkannya hatinya lalu bangkit berdiri. Namun gerakannya hendak
meneruskan langkah tertahan ketika ada dua bayangan berkelebat. Dua gadis
cantik mengenakan pakaian ketat dengan belahan dada sangat lebar muncul tak
jauh dari tempatnya berada.
Dalam
kejutnya Bidadari Angin Timur segera mengenali siapa adanya dua gadis itu.
“Anak-anak buah Ratu Duyung. Ada apa mereka datang ke sini? Jangan-jangan untuk
menjemput Wiro. Ah….” Dada Bidadari Angin Timur berdebar keras. Mukanya menjadi
merah oleh rasa cemburu yang amat sangat. “Mungkin hubungan Wiro dengan Ratu
Duyung sudah sangat jauh daripada yang aku bayangkan. Belum lama berselang
kuketahui dia berada di tempat kediaman gadis bermata biru itu. Mungkin dia
telah menjadi milik sang Ratu. Mungkin aku sudah terlambat seperti yang
dikatakan suara bisikan tadi….”
Tak mampu
berpikir lebih jauh akhirnya Bidadari Angin Timur menuruni bukit ke arah
selatan, matanya basah berurai tangis.
*********************
LIMA
Belum
hilang kejut Ratu Duyung dan para gadis yang ada dalam ruangan ketiduran itu
belasan anak buah Ratu Duyung telah menghambur masuk ke tempat itu. “Kalian
berani masuk ke tempat ini tanpa izinku?!” bentak Ratu Duyung.
“Ratu!
Kami…”
“Diam!”
hardik sang Ratu dengan mata membeliak. Kemudian dia melihat ada kelainan pada
pakaian dan keadaan diri semua anak buahnya yang barusan masuk ke tempat itu.
Dia melihat gadis-gadis ini mengenakan pakaian dalam keadaan setengah basah.
Rambut mereka juga kuyup dan air dari tubuh mereka jatuh menetes membasahi
lantai. Namun di balik semua itu sang Ratu melihat satu keanehan yang selama
ini mustahil terjadi. Mendadak jantungnya berdebar keras dan tengkuknya terasa
dingin.
“Ratu
dalam keadaan tidak sehat! Kalian semua harap segera meninggalkan ruangan ini!”
Salah seorang dari enam gadis yang ada di sisi tempat tidur membentak.
Ratu
Duyung angkat tangan kanannya. Dengan suara bergetar dia berkata. “Salah
seorang dari kalian yang baru masuk lekas menerangkan apa yang terjadi!”
Seorang
gadis yang rambutnya basah riap-riapan di depan dada maju dua langkah dan
menjura. Sebelum sempat bicara dia sudah sesenggukan duluan. Teman-temannya
yang lain juga tampak berusaha menahan isak. Enam gadis di samping tempat tidur
menjadi heran. Ratu Duyung sendiri seperti tidak dapat menahan gemuruh di
dadanya.
“Lekas
jelaskan! Jangan pikiranmu mempengaruhi hatimu!” ujar Ratu Duyung dengan suara
masih keras padahal dia sendiri saat itu sebenarnya sudah tidak dapat menahan
hati.
“Ratu,
kami mengalami kejadian aneh. Seperti biasa pagi ini kami semua pergi ke telaga
untuk mandi dan mencuci. Begitu kami menyentuh air sepasang kaki kami tidak
berubah menjadi ekor ikan. Kami…” Ucapan si gadis tersendat. Ada air mata
meluncur di kedua pipinya.
“Teruskan
keteranganmu!” bentak Ratu Duyung,
“Kami…
kami tidak percaya melihat hal itu. Ramai-ramai kami lalu masuk ke dalam
telaga. Terus kebagian yang paling dalam. Sampai tubuh kami tenggelam sebatas
leher, sosok kaki kami tetap tidak berubah menjadi ekor ikan….” Sampai di situ
si gadis tak dapat lagi menahan tangisnya. Kawan-kawannya yang lain juga mulai
tersedu sedan.
“Ratu….
Apakah kami telah bebas dari kutukan selama bertahun-tahun itu?” Salah seorang
dari para gadis yang berpakaian basah bertanya.
Ratu
Duyung tidak bisa segera menjawab. Pikirannya melayang pada saat-saat ketika
dia berada berdua-duaan dengan Wiro Sableng di atas tempat tidur di Puri
Pelebur Kutuk. Saat itu walau mereka berdua tidak lagi mengenakan pakaian dan
tak ada selembar benang pun yang membatasi tubuh mereka, namun Wiro sama sekali
belum melakukan apa-apa. Pemuda itu belum sampai pada keadaan untuk membuatnya
lepas bebas dari kutukan. Namun saat ini mengapa belasan anak buahnya muncul
memberitahu bahwa tubuh mereka sama sekali tidak mengalami perubahan kendati
tersentuh air? Apakah mereka telah bebas dari kutukan termasuk dirinya dan enam
gadis yang sebelumnya ada bersamanya?
Untuk
beberapa lamanya keadaan dalam ruangan besar itu menjadi sunyi. Hanya
sedu-sedan tertahan yang terdengar di sana sini. Enam gadis di dekat Ratu
Duyung memandang pada pimpinan mereka seolah hendak bertanya apa yang akan
dilakukan.
Ratu
Duyung tutupkan kain beludru biru di tubuhnya lalu dia turun dari atas tempat
tidur.
“Ratu,
harap jangan turun dulu. Kau masih dalam keadaan terluka…” seorang gadis
mengingatkan.
“Aku
sudah sembuh. Bukankah kalian telah menolongku mengusir kekuatan aneh yang coba
.mendekam dalam diriku? Kalian berhasil walau terpaksa harus mengalami luka di
jari masing-masing…. Anak-anak, aku dan enam temanmu belum membuktikan sendiri.
Namun aku percaya. Kebesaran pertolongan Tuhan telah datang menolong kita. Aku
yakin saat ini kini semua telah bebas dari kutukan yang selama ini jatuh atas
diri kita….”
Ruangan
itu jadi ramai oleh berbagai suara. Ada gadis yang bersorak gembira, ada yang
mengangkat-angkat tangan tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada juga
yang kembali sesenggukan.
“Anak-anak
saat ini kita pantas bersyukur. Kalian semua ikut aku menghadap ke timur. Kita
sama-sama bersujud menyatakan syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa!”
Lalu Ratu
Duyung memutar tubuh menghadap ke timur dan bersujud. Apa yang dilakukannya
diikuti oleh semua anak buahnya. Sambil bersujud banyak di antara mereka yang
tak dapat lagi menahan tangis.
Ratu
Duyung berdiri. Dia memandang pada enam gadis di hadapannya. “Aku tahu, seperti
aku kalian tentu sudah tidak sabar untuk membuktikan apakah kita benar-benar
telah bebas. Ambilkan pakaian pesalin untukku. Lalu kita semua menuju telaga….”
Semua
gadis yang ada di situ serta merta memberi jalan pada sang Ratu dan enam
temannya. Mereka beramai-ramai menuju ke telaga yang terletak di satu jalan
menurun menuju pedataran rendah berbentuk lembah kecil dikelilingi bebatuan.
Ratu
Duyung sesaat tegak di pinggiran telaga. Enam anak buahnya berjajar di
belakangnya. Seperti tidak sabaran sang Ratu kemudian melompat menerjunkan diri
ke dalam telaga, langsung menyelam di bagian paling dalam. Enam anak buahnya
mengikuti. Tak lama kemudian kepala Ratu Duyung muncul di permukaan air. Senyum
suka cita kelihatan di wajahnya yang jelita. Sepasang matanya bersinar indah.
Dia mengangkat kedua kakinya ke permukaan air. Ternyata sepasang kakinya yang
bagus tidak berubah menjadi ekor ikan. Para gadis di sekelilingnya bersorak
sorai. Ratu Duyung angkat tangan kanannya lalu berteriak keras.
“Terima
kasih Tuhan! Kau telah menolong kami! Saat ini kami semua bebas dari kutukan.
Terima kasih… terima kasih Tuhan!”
Ucapan
sang Ratu serta merta diikuti oleh belasan anak buahnya. Suara para gadis itu
menggemuruh di seantero telaga. Di tepian telaga Ratu Duyung kemudian
mengumpulkan anak buahnya.
“Kita
telah berterima kasih pada Tuhan, namun kita juga harus berterima kasih pada
seseorang. Tuhan menjadi Yang Maha Besar dan Ma ha Kuasa menolong kita. Tapi orang
itu adalah seolah kunci wasiat yang diberikan Tuhan untuk membuka pintu
menolong kita keluar dari kutukan….”
Walau
banyak yang sudah dapat menduga namun salah seorang dari anak buah Ratu Duyung
ajukan pertanyaan.
“Kalau
kami boleh tahu Ratu, siapakah adanya orang itu?”
“Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Pemuda gondrong yang tempo hari pernah
kita jatuhi hukuman bersama si Dewa Ketawa. Yang hari ini kembali berkunjung ke
sini dan ikut bersamaku masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk.”
“Kalau memang
dia orangnya kita pantas mencarinya untuk mengucapkan terima kasih. Dimanakah
dia sekarang Ratu…?”
“Dia
tidak ada di sini lagi. Justru hal inilah yang membuatku gelisah. Ketika kami
berdua berada di Purl Pelebur Kutuk tiba-tiba ada makhluk berwujud perempuan
mengenakan pakaian serba putih, cantik tapi bermuka pucat muncul dan melarikan
pemuda tuan penolong kita itu….”
“Jika ada
orang berniat jahat padanya, karena dia memiliki ilmu silat tinggi dan
kesaktian pasti dia mampu menghajar prang itu!” kata salah seorang gadis dalam
ruangan.
Ratu
Duyung terdiam. Di wajahnya jelas tampak bayangan rasa gelisah.
“Ratu,
apakah kau menghadapi kesulitan? Katakan pada kami agar kami bisa membantu
memecahkan masalahnya,” ujar gadis yang tegak tepat di samping kanan Ratu
Duyung.
Sang Ratu
menggigit-gigit bibirnya. “Sebenarnya hal ini tidak perlu aku beritahukan pada
kalian. Namun pengorbannya begitu besar. Aku tak ingin menutupi kebesaran jiwa
dan hatinya. Biarlah aku berterus terang,…” Setelah memandang berkeliling maka
berkatalah sang Ratu bermata biru itu. “Seolah sudah ditakdirkan, kutukan yang
menimpa diri kita selama bertahun-tahun hanya mampu dimusnahkan jika ada
seorang pemuda yang aku cintai dan juga mengasihi diriku, melakukan hubungan
badan denganku bukan berdasarkan nafsu. Pemuda itu ternyata adalah seorang
Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan saja karena dia seorang tampan atau sakti,
tetapi karena dia seorang bujangan. Maksudku masih perjaka….” Paras sang ratu
sesaat tampak merah. Lalu dia melanjutkan. “Kali pertama dia datang ke sini aku
tak berhasil meyakinkan dirinya untuk menolong diriku dan diri kalian. Kemudian
entah apa yang merubah hatinya, pada pertemuan di Pangandaran di mana Pang era
n Matahari berhasil dibunuhnya dia bersedia ikut ke sini. Kami masuk ke dalam
Puri Pelebur Dosa. Pada saat dia melakukan pertolongan tiba-tiba ada makhluk
berwujud perempuan muda cantik tapi berwajah pucat, berpakaian kebaya panjang
dan kain putih masuk ke dalam Puri. Anehnya Pendekar 212 tidak dapat melihatnya
sedang aku bisa melihat jelas. Aku maklum kalau orang ini bukan manusia
sembarangan, sebangsa makhluk halus yang bisa memperlihatkan diri dalam
wujudnya yang asli. Ketika aku sadar dia hendak melarikan Pendekar ,212 aku
segera menyerangnya dengan pukulan sakti. Perempuan berkebaya putih balas
menyerang dengan sebuah benda berwarna kuning kehijauan dan menebar bau bunga kenanga.
Aku berhasil menghantam hancur senjatanya yang ternyata sekuntum kembang
kenanga itu. Namun ternyata dia memiliki kepandaian dan kesaktian jauh melebihi
diriku. Kembang kenanga hancur, aku sendiri terbanting ke atas tempat tidur.
Menderita luka dalam yang cukup parah. Sebaliknya Pendekar 212 Wire- Sableng
kulihat roboh pingsan. Dalam keadaan tak berdaya aku hanya bisa berteriak
sewaktu perempuan itu melarikan Wiro. Aku sendiri kemudian tak sadarkan diri.
Baru siuman setelah kalian menolongku. Aku berterima kasih pada kalian…. Dan
aku begitu bahagia serta bersyukur pada Tuna n bahwa ternyata kita semua kini
telah terbebas dari kutukan yang selama ini membuat kita hidup setengah manusia
setengah ikan. Namun kebebasan itu dibayar mahal oleh Pendekar 212. Selama
seratus hari dia akan kehilangan semua ilmu kepandaian yang dimilikinya.
Termasuk ilmu silat, kesaktian dan tenaga dalam, itulah yang aku gelisahkan…
Aku tidak dapat memastikan apakah perempuan muda yang menculik Pendekar 212
bermaksud jahat atau baik.”
Untuk
beberapa lamanya ruangan itu menjadi sunyi. Lalu terdengar suara beberapa orang
berbisik-bisik. Ratu Duyung memandang berkeliling. Sesaat kemudian dia berkata.
“Ada di antara kalian yang ingin mengatakan sesuatu? Jangan kasak kusuk
berbisik-bisik. Aku tidak melihat Manumi dan Kiani. Di mana mereka?”
Beberapa
orang gadis memandang pada Nandiri. Anak buah Ratu Duyung yang satu ini
melangkah ke hadapan sang Ratu lalu menjura. “Ratu, pasti kau tidak berkenan
dengan keterangan ini. Manumi dan Kiani tengah melakukan pengejaran terhadap
Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Melakukan
pengejaran?” ujar Ratu Duyung dengan sepasang mata biru membesar. Dadanya
berdebar. Dia yakin telah terjadi satu kekeliruan. “Mengejar dengan maksud
apa?!”
“Ratu,
setelah mendengar keterangan Ratu tadi jelas di antara kami termasuk saya telah
melakukan kesalahan. Waktu saya dan lima teman mendengar jeritan Ratu menyusul
runtuhnya sebagian bangunan Puri Pelebur Kutuk, kami langsung menerobos masuk.
Kami temui Ratu dalam keadaan luka parah, setengah pingsan dan berteriak kejar!
Sebelumnya kami mengetahui bahwa Ratu masuk ke dalam Puri bersama pemuda itu.
Kami dan kawan-kawan mengira tidak dapat tidak pemuda itulah yang telah berlaku
jahat mencelakai Ratu….”
“Ya
Tuhan!” Ratu Duyung tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Teruskan
keteranganmu Nandiri!”
“Kami
segera membagi tugas. Beberapa orang tetap tinggal untuk menolong Ratu. Kami
mengejar dengan mengandalkan ilmu menyirap detak jantung. Saya berhasil
mengetahui kalau pemuda itu lari ke jurusan barat. Namun karena mengalami luka
dalam akibat hantaman balik hawa aneh, saya terpaksa kembali. Manumi dan Kiani
melanjutkan pengejaran…. Saya benar-benar khawatir Ratu. Karena mengira pemuda
itu telah berbuat jahat, jangan-jangan mereka berniat membunuhnya!”
Ruangan
itu sunyi senyap seperti di pekuburan.
Ratu
Duyung tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan. Hatinya dilanda kecemasan
luar biasa. “Wiro… pemuda itu kini tidak memiliki secuil ilmu pun! Manumi dan
Kiani dengan mudah bisa membunuhnya! Ya Tuhan! Aku harus bertindak cepat!”
Dari
bawah bantal Ratu Duyung mengeluarkan cermin sakti berbentuk bulat. Dia menatap
tak berkesip ke dalam cermin itu sambil membayangkan paras Pendekar 212 Wiro
Sableng. Mula-mula dia melihat laut biru. Lalu deretan pulau-pulau. Ada sinar
terang di sebelah kanan cermin kemudian gelap dan perlahan-lahan muncul satu
daratan. Lalu samar-samar tampak puncak sebuah gunung. Menyusul bayangan
seperti sungai lalu muncul kilatan-kilatan aneh. Bersamaan dengan itu satu hawa
dingin me-rambas masuk ke dalam tubuh sang Ratu lewat jari-jari tangannya yang
memegang cermin.
Pada
puncak rasa dingin yang membuat dia tidak tahan Ratu Duyung terpekik. Cermin
bulat dilemparkannya ke atas tempat tidur. Dia cepat kerahkan tenaga dalam,
mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya.
Sebenarnya
Ratu Duyung memiliki kesaktian yang disebut “Menembus Pandang”. Seperti telah
dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Sang Ratu” ilmu
kepandaian itu telah diberikannya kepada Pendekar 212 Wiro Sableng dengan
akibat dia sendiri kehilangan kemampuan untuk mempergunakan ilmu itu selama 777
hari. Karenanya dia terpaksa memakai cermin bulat sakti untuk menjajagi di mana
kira-kira beradanya Pendekar 212. Ternyata ada satu kekuatan aneh yang tidak
sanggup ditembus Ratu Duyung yang melindungi diri Pendekar 212.
“Ratu!
Kau tak apa-apa?!” seru Nandiri sementara semua anak buah Ratu Duyung juga
tampak dicekam rasa khawatir.
“Ada hawa
aneh…” kata Ratu Duyung perlahan. “Ada satu kekuatan yang melindungi Pendekar
212, membuat cermin sakti ini tidak mampu mengadakan sambung rasa dengan pemuda
itu. Aku yakin perempuan bermuka pucat itu yang jadi penangkalnya…. Namun ilmu
aneh seperti itu hanya bertahan beberapa hari. Setelah itu tak ada satu kekuatan
pun yang akan melindungi Pangeran 212! Aku harus pergi sekarang juga!”
Nandiri
maju selangkah.
“Ratu,
kalau kau mau memberi izin, biarkan saya dan beberapa teman mengejar Kiani dan
Manumi serta mencari Pendekar 212. Saya sudah tahu kira-kira di arah mana pemuda
itu berada. Dengan melakukan hal ini saya berharap bisa menebus kesalahan.”
Ratu
Duyung menggeleng.
“Kalian
tetap di sini sampai aku kembali. Se-belum pergi ada satu keputusan besar yang
harus aku beritahukan pada kalian semua. Sekembalinya dari perjalanan aku akan
tetap tinggal di tempat ini. Kalian boleh memilih, ingin tetap tinggal di sini
bersamaku atau dengan segala kebebasan yang ada kembali ke dunia darimana dulu
kita semua berasal. Urusan dengan sesepuh kita yang telah menjatuhi hukuman
kutukan biar aku sendiri yang menyelesaikan….”
Semua
yang ada di tempat itu berdiam diri. Tak ada yang berani memberikan jawaban.
Anak buah Ratu Duyung tundukkan kepala dengan wajah sedih.
“Ratu,”
kata Nandiri lagi-lagi mewakili teman-temannya. “Kami mohon petunjuk. Apa yang
akan kami lakukan terhadap orang tua yang saat ini berada di Ruang
Penyembuhan?”
“Jaga dia
baik-baik. Jangan berbuat sesuatu apa sampai dia siuman sendiri. Dia boleh
menetap di sini sampai kesembuhannya. Jika dia minta pergi antarkan dia sampai
ke Pintu Gerbang Perbatasan.”
“Perintah
Ratu akan kami laksanakan. Sementara Ratu pergi, kami akan menunggu di sini.
Ke-putusan apapun yang akan diambil oleh kami nanti saja kita bicarakan. Kami
berdoa untuk keselamatan Ratu.:..”
Ratu
Duyung memegang bahu anak buahnya itu. Lalu diambilnya cermin bulat dari atas
tempat tidur. Dia memberi isyarat pada beberapa orang gadis. Lalu mereka
melangkah menuju ke sebuah ruangan di mana Ratu Duyung berganti pakaian.
*********************
ENAM
Sosok tua
basah kuyup itu tergantung kaki ke atas kepala ke bawah. Tali penggantungnya
berbentuk aneh. Bukan merupakan tali biasa tetapi menyerupai selarik sinar
berwarna biru. Air menetes dari sekujur tubuh, pakaian dan rambut orang tua
itu. Juga tampak air keluar dari lobang telinga, hidung dan yang paling banyak
dari mulutnya.
Ketika
dia siuman dan dapatkan dirinya dalam keadaan seperti itu – si orang tua
terheran-heran namun juga memaki sambil matanya memandang jelalatan
berkeliling.
“Setan
alas! Siapa yang menggantung aku begini rupa…?!”
Suara
makiannya terhenti dan lidahnya seperti mau ditelannya sendiri ketika dia
melihat apa yang ada di sekitarnya.
Si kakek
pejamkan matanya.
“Aku
harus mengingat.,.. Apa yang telah terjadi dengan diriku sebelumnya. Apa saat
ini aku sudah mati dan berada di neraka atau di sorga? Hik… hik! Otak tumpul
tua bangka ini tak mau segera diajak bekerja!”
Si prang
tua gerakkan tangan kanannya yang terkulai ke bawah. Dengan tangannya ini
dipukul-pukulnya batok kepalanya.
“Duk… duk…
duk!”
Air
mengucur makin banyak dari telinga, hidung dan mulutnya. “Otak tua! Ayo lekas
mengingat! Apa yang terjadi sebelumnya? Hemmmm…. Bagus! Oia mulai bekerja…. Aku
mulai bisa mengingat. Aku meninggalkan pulau itu. Naik perahu. Di tengah laut
tahu-tahu muncul dukun keparat itu. Ah… ternyata dia adalah Sika Sure jelantik!
Membawa dendam asmara berdarah, ingin membunuhku dengan ilmu kilat kuku
akhirat! Ilmu kesaktian tua bangka itu ternyata memang hebat. Aku tak mampu
menghadapi pukulan saktinya. Aku terlempar dari atas perahu layar. Mungkin…
mungkin aku merasakan ada sesuatu menarik kakiku. Lalu air laut menyerbu semua
lobang di tubuhku. Lobang telinga, mata, hidung, mulut… lobang dubur. Ah yang
satu ini tidak! Lalu aku tak ingat apa-apa lagi. Sekarang begitu sadar berada
di mana aku ini? Kalau di neraka mengapa aku melihat begini banyak gadis
berwajah cantik seolah bidadari mengelilingiku! Kalau aku di sorga mengapa
orang menggantungku kaki ke atas kepala ke bawah? Aku harus meloloskan diri!”
Si orang
tua perhatikan tali yang mengikat kedua pergelangan kakinya. “Tali aneh…”
desisnya. “Tak lebih dari pada sebentuk sinar berwarna biru. Aku mau lihat
sampai di mana kehebatannya!” Segera orang tua ini kerahkan tenaga dalamnya.
Tangannya kiri kanan diputar demikian rupa hingga tubuhnya melayang naik ke
atas dan, “Wuuttt!”
“Gila!”
seru orang tua itu. “Jelas tanganku tadi memapas tali itu. Tapi seperti aku
menggebuk udara kosong!” Sepasang mata si orang tua yang lebar jadi bertambah
besar. Kembali dia melayangkan tubuhnya ke atas dan memukul dengan pinggiran
telapak tangan. Sampai berulangkali dilakukannya tetap saja dia seolah memukul
udara kosong. Tali bersinar biru itu tak dapat ditebas putus.
“Hemmmm…
ada orang jahil hendak bercanda denganku. Dikiranya aku tolol! Tali tak bisa
kuputus tapi langit-langit ruangan ini masakan tak mampu kujebol! Sekali
kuhantam runtuh, tubuhku pasti terjatuh lepas!” Orang tua ini tertawa mengekeh.
Kembali dia salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, Sesaat lagi dia hendak
menghantam ke atas tiba-tiba terdengar suara suitan keras. Disusul oleh suara
angin mendesir.
Secara
aneh tali yang mengikat pergelangan kaki si orang tua bergerak melenting.
“Sret… sret… sret!” ikatan tali biru lepas. Lalu lenyap dari pandangan.
Bersamaan dengan itu tubuh si orang tua jatuh deras ke bawah. Orang lain yang
tidak mempunyai kepandaian pasti akan langsung amblas ke lantai ruangan. Tapi
orang tua ini dengan cekatan membuat gerakan aneh dan tahu-tahu dia sudah
berdiri di atas sepasang kakinya, memandang jelalatan pada belasan gadis cantik
berpakaian ketat, terbelah tinggi dari kaki sampai ke pinggang dan terbuka
lebar di bagian dada.
“Ha… ha…
ha! Kini kaki ke bawah kepala ke atas aku lebih jelas bisa melihat kalian!
Tidak seperti tadi kaki ke atas kepala ke bawah! Ha… ha… hai. Gadis-gadis
cantik siapakah kalian? Apa aku tua bangka buruk ini telah berada di sorga?
Hemmm….” Si orang tua dongakkan kepalanya dan menghirup dalam-dalam. “Udara di
sini harum semerbak. Kalau bukan sorga akhirat pasti aku berada di sorga dunia!
Ha… ha… ha!”
“Orang
tua! Jangan tertawa saja! Lihat keadaan pakaianmu! Celanamu merosot hampir
lepas ke bawah. Tanaman rumputmu yang gersang hampir berserabutan….” Ada gadis
cantik usil di deretan belakang berkata dengan suara keras.
“Husss!”
seorang gadis cepat membentak memotong ucapan temannya itu.
Ruangan
itu riuh oleh hiruk pikuk suara tertawa para gadis. Si orang tua bermuka
teramat cekung nyaris menyerupai tengkorak delikkan matanya dan memandang ke
bawah. Mula-mula dilihatnya baju putihnya yang robek besar di bagian dada dan
pinggang. Lalu tampang buruk orang tua ini berubah merah padam ketika
dilihatnya keadaan celananya yang memang telah merosot sampai ke bawah pinggul.
Cepat-cepat dia menarik celana putihnya yang basah itu tinggi-tinggi dan
mengikatnya kuat-kuat!
Setelah
usap wajahnya beberapa kali orang tua ini kembali memandang ke arah gadis-gadis
cantik di depannya. Lalu dipukulnya keningnya sendiri dan berkata. “Tololnya
tua bangka ini! Aku ingat siapa kalian adanya. Dua orang di antara kalian
pernah muncul di Teluk Penanjung Pangandaran. Kalian yang cantik-cantik ini
pasti anak buah Ratu Duyung!”
“Orang
tua! Tidak salah dugaanmu. Kami memang anak buah Ratu Duyung. Wakil penguasa
laut selatan.” Salah seorang gadis yaitu Nandiri menjawab.
“Antara
aku dan Ratumu tidak ada silang sengketa, bahkan belum lama berselang kami
bertemu di Pangandaran, sempat berbincang-bincang sebelum dan sesudah tewasnya
Pangeran Matahari.
Kenapa
tadi aku digantung kaki ke atas kepala ke bawah? Pasti dia yang memberi
perintah!”
“Orang
tua, harap kau jangan salah sangka. Ratu kami sama sekali tidak berniat jahat
terhadapmu. Ma lah dia melakukan hal paling tepat untuk menolongmu! Dengan cara
menggantung kaki ke atas kepala ke bawah, air laut yang telah membusuk dan
masuk ke dalam perut, telinga dan hidungmu dapat dikeluarkan….”
“Hemmm,
begitu…?” Si orang tua remas-remas rambut putihnya yang basah sehingga air yang
masih menempel mengucur jatuh ke lantai. “Hebat juga cara Ratumu menolong. Aku
pantas berterima kasih padanya. Juga pada kalian.”
Si orang
tua yang masih dalam keadaan basah kuyup itu berpaling pada Nandiri lalu
tertawa mengekeh. “Kalian mengenakan baju bagus-bagus, tubuh menebar bau harum.
Aku basah kuyup kedinginan dan bau air laut! Ha… ha… ha! Ayo lekas ceritakan
bagaimana aku bisa sampai di tempat ini?”
“Ratu
kami yang menolongmu orang tua. Dia menemukanmu di tengah laut pada saat
terlempar dari atas perahu.”
“Di mana
Ratu kalian sekarang? Aku ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih.”
“Ratu
tidak ada di sini. Dia punya satu urusan penting. Dia pergi tanpa
memberitahukan siapa namamu atau siapa kau adanya. Dia berpesan agar kami
melayanimu dan mengizinkan kau berada di sini sampai sembuh.” Berkata Nandiri.
“Eh,
memangnya aku sakit apa?” tanya si orang tua sambil memandang berkeliling.
“Ratu
kami menemukanmu hampir mati dihantam orang di tengah laut. Kau tak dapat
melihat luka dan benjut di mukamu tapi kau bisa menyaksikan luka di dada dan
pinggangmu. Dari hidung, mulut dan telingamu mengucur air laut campur darah.
Kau terluka di dalam Kek!”
Orang tua
berpakaian putih kuyup itu raba dadanya lalu menyeringai. “Kau mungkin benar.
Tapi rasanya sakitku tidak parah benar. Aku berterima kasih kalian turut
menolong. Tapi aku tak bisa tinggal lama-lama di sini….”
“Kami
hanya mengikuti perintah Ratu….”
“Bisa
berbahaya!”
“Bahaya?
Maksudmu Kek?”
“Kalian
semua cantik-cantik. Mataku belum lamur. Walau sudah tua bangka begini
menyaksikan kalian lama-lama aku jadi salah tingkah. Kalau aku jatuh cinta pada
salah satu dari kalian bagaimana? Kalau cintaku diterima? Kalau tidak? Ha… ha…
ha…!”
Ruangan
itu menjadi riuh oleh gelak tawa anak buah Ratu Duyung. Nandiri beranikan diri
berkata. “Kek, dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bersenda gurau. Ini
kuanggap aneh….”
“Aku
memang orang aneh!”
“Sebenarnya
kau ini siapa Kek? Mengapa sampai hampir menemui ajal diserang orang di tengah
lautan?”
“Panggil
saja aku Tua Gila. Soal mengapa aku diserang orang di tengah laut aku juga
tidak mengerti. Jadi tak bisa aku ceritakan padamu. Biar nanti kalau aku
bertemu dengan si pembunuh itu akan aku tanyakan padanya! Dan kalau panjang
umur jawabannya akan aku sampaikan pada kalian! Ha… ha… ha!”
Nandiri
geleng-gelengkan kepala. Teman-temannya senyum-senyum.
“Kalian
tahu ke mana perginya Ratu kalian? tadi ada yang mengatakan Ratu punya urusan
penting. Sebenarnya kurasa mungkin dia tidak suka melihat aku si tua buruk ini!
Hik… hik! Apakah aku bisa mendapat jawaban?”
Nandiri
membuka mulut. “Melihat sikap Ratu, nyata dia sangat menghormatimu. Soal kemana
dia pergi dan apa urusannya kami tidak dapat memberi tahu…”
Tua Gila
terdiam. “Kalau begitu aku terpaksa minta diri sekarang. Aku punya urusan
penting. Mencari dan menemui seorang pemuda bernama Wiro Sableng.”
“Pendekar
212?” ujar Nandiri.
“Itu
gelarnya!”
Nandiri
memandang pada teman-temannya lalu bertanya pada Tua Gila. “Kek, apa hubunganmu
dengan pemuda itu?”
“Eh, di
antara kalian rupanya ada yang naksir. Kalian mau meminta aku menjadi utusan
untuk saling menjodohkan? Aku tidak keberatan!”
Kembali
tempat itu riuh oleh suara belasan anak buah Ratu Duyung.
“Kek, kau
belum menjawab pertanyaan kami,” ujar Nandiri pula.
“Hemmm….
Pemuda itu adalah muridku!” jawab Tua Gila.
“Kalau
begitu….”
“Kalau
begitu apa?”
“Ratu
kami justru pergi mencarinya. Muridmu itu berada dalam bahaya besar….”
Sepasang
mata Tua Gila membeliak besar.
Nandiri
lalu menceritakan apa yang diketahuinya. Mendengar keterangan gadis itu wajah
cekung Tua Gila jadi berubah.
“Aku
harus pergi sekarang juga! Ratumu. mengatakan di mana dia akan mencari Pendekar
212?”
Nandiri
dan kawan-kawannya gelengkan kepala.
Tua Gila
putar tubuhnya, memandang berkeliling. Dia jadi bingung sendiri. Ruangan itu
tak ada pintunya. Tertutup oleh tirai-tirai biru.
“Tunjukkan
aku jalan ke luar!” katanya. Lalu menyeruak di antara gadis-gadis cantik itu.
“Tua Gila
kami akan antarkan kau ke Pintu Gerbang Perbatasan. Tapi sebaiknya kau berganti
pakaian dulu,” kata Nandiri.
“Aku
harus bertindak cepat. Serahkan saja pakaiannya. Biar aku pakai di tengah
jalan!” jawab Tua Gila. Lalu enak saja dia mulai membuka baju putihnya yang
basah dan penuh robek. Sebelum orang tua ini berlaku lebih gila para gadis
segera lari berhamburan. Seseorang kemudian melemparkan seperangkat baju dan
celana hitam ke arah orang tua itu.
“Hik…
hik…!” Tua Gila tertawa. “Apa kalian mengira aku ini benar-benar gila lalu
mau-mauan membuka celana?! Dulu dimasa mudaku mungkin aku bisa berbuat gila
seperti itu. Tapi sekarang sudah peot begini rupa, kambing pun tak suka
melihatku! Ha… ha… ha!”
Tua Gila
menyambut pakaian yang dilemparkan kepadanya. Sambil melangkah dia cepat
mengenakan baju hitam. Lalu tanpa membuka celana putihnya yang basah kuyup dia
langsung saja memakai celana hitam. Pada saat berpakaian itulah dia ingat
sesuatu. Dia meraba-raba kian ke mari. “Astaga!”
“Ada apa
orang tua?” tanya salah seorang gadis pengawal.
Kawannya
menimpali. “Ada barangmu yang hilang? Tadi kulihat semuanya menempel lengkap di
tubuhmu!”
Nandiri
dan yang lain-lainnya tak dapat menahan tawa mendengar ucapan gadis pengawal
itu.
“Anak-anak
keparat! Jangan bergurau! Ini bukan urusan main-main! Benda itu hilang!”
“Benda
apa, Kek?” bertanya Nandiri.
“Sebuah
kotak terbuat dari perak, dibungkus kantong kain! Siapa yang berani mencuri?!”
Tua Gila memandang pada keenam gadis itu dengan sorot melotot hingga mereka
menjadi kecut.
“Kami
tidak pernah melihat benda itu. Kalaupun ada kami tidak akan mencurinya.
Mungkin jatuh di tempat lain….”
“Atau
mungkin Ratu kalian yang telah mengambilnya!” bentak Tua Gila marah. Yang
dicarinya adalah kotak perak berisi Kalung Permata Kejora titipan Rajo Tuo
penguasa Kerajaan pulau Sipatoka.
“Ratu
kami tidak akan sekeji itu! jangankan cuma sebuah kotak perak. Kotak emas pun
tidak akan diambilnya!”
Tua Gila
komat kamit. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng.
“Sudahlah!
Lekas antarkan aku ke Pintu Gerbang Perbatasan!” kata orang tua itu kemudian.
Enam
orang gadis dibawah pimpinan Nandiri lalu membawa Tua Gila melewati beberapa
lorong bangunan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah bukit. Di bawah bukit
terbentang sebuah pedataran dan di ujung sana tampak sebuah bangunan aneh
berbentuk gapura terbuat dari tumpukan batu-batu hitam.
*********************
TUJUH
Makin
dekat ke Pintu Gerbang Perbatasan makin terasa mencekam bagi enam orang anak
buah Ratu Duyung. Mereka tahu, di seberang pintu gerbang itu terdapat dunia di
mana mereka dulu pernah tinggal. Betapapun senangnya hidup di alam yang
sekarang namun tetap saja mereka merindukan dunia mereka yang lama.
Tua Gila
melangkah cepat meninggalkan keenam orang pengiringnya. Di satu tempat dia
hentikan langkah. Sambil memandang ke depan dia berkata:
“Jadi ini
yang disebut Pintu Gerbang Perbatasan?” Tua Gila perhatikan tumpukan batu-batu
hitam yang disusun secara aneh membentuk satu bangunan gapura yang tampak
angker. Angin bertiup kencang. Setiap mengikis permukaan gapura batu terdengar
suara berdesir aneh hampir menyerupai tiupan seruling.
Enam
gadis mengangguk mengiyakan pertanyaan Tua Gila tadi.
“Di
belakang gapura aku melihat tempat kosong diselimuti awan putih bertebaran
rendah. Apa yang ada di seberang sana?” tanya si kakek kembali.
“Kami
tidak tahu apa yang ada di seberang sana Kek,” jawab Nandiri. “Kami tidak
pernah melihat, apa lagi berada di belakang gapura. Tapi kami yakin itu adalah
dunia luar. Duniamu….”
“Kalian
manusia-manusia aneh. Cantik-cantik tapi memilih tinggal di alam seperti ini…”
“Kalau
Tuhan menghendaki dan Ratu memberi izin, tak lama lagi kami akan berada di alam
sana Kek. Di duniamu walau mungkin tetap agak berbeda….”
Tua Gila
menarik napas dalam lalu tertawa mengekeh.
“Aku
berterima kasih pada kalian. Kalian gadis-gadis baik semua. Tapi terus terang
aku masih penasaran mengenai kotak perak itu!”
Lalu
sambil meneruskan tawanya Tua Gila melangkah ke arah tangga batu di bawah Pintu
Gerbang Perbatasan.
“Selamat
jalan Kek!”
Tua Gila
masih sempat mendengar enam gadis mengucapkan selamat jalan padanya. Sepasang
kakinya melangkah menaiki undak-undak batu pintu gerbang. Sesaat kemudian dia
telah berada di belakang pintu batu itu dan kini mulai melangkah menuruni anak
tangga. Satu… dua… tiga…. Pada langkah ketiga Tua Gila keluarkan seruan
tertahan. Memandang ke bawah dia dapatkan dirinya tidak melangkah di atas batu
tapi seolah melayang di antara tebaran awan putih. Perlahan-lahan awan putih
bersibak menjauh. Tua Gila sekali lagi memandang ke bawah.
“Astaga!”
Si kakek terkejut begitu melihat kini dia melangkah di atas pasir basah. Ketika
dia memandang ke depan dia lebih terkejut. Di depannya terbentang laut luas.
Pulau-pulau bertebaran di mana-mana. Ombak berdebur dan memecah di atas pasir.
“Aneh,
bagaimana tahu-tahu aku berada di tepi pantai seperti ini? Apa aku masih di
daratan Andalas atau sudah di tanah Jawa? Setahuku tempat kediaman Ratu Duyung
adalah di pantai selatan tanah Jawa. Bagaimana mungkin aku yang tadinya berada
di daratan Andalas kini bisa berada sejauh itu? Tapi Ratu Duyung memang punya
kekuasaan dan kesaktian yang tak bisa dijajagi. Aku harus mencari tahu berada
di mana saat ini?” Tua Gila memandang berkeliling. Laut lepas membiru. Tak
kelihatan apa-apa selain pulau-pulau di kejauhan. Dia berpaling ke belakang. Astaga!
Pintu Gerbang Perbatasan tak ada lagi di tempatnya. Enam gadis anak buah Ratu
Duyung pun lenyap dari pemandangan. Perlahan-lahan Tua Gila memandang ke arah
laut kembali. Saat itulah di kejauhan dilihatnya sebuah perahu layar meluncur
di permukaan laut.
Tua Gila
angkat tangannya tinggi-tinggi lalu dilambai-lambaikan berulangkali. Dia
tertawa mengekeh ketika dilihatnya perahu itu membelok lalu meluncur ke arah
pantai di mana dia berada.
Orang di
atas perahu ternyata adalah seorang nelayan tua bercaping, mengenakan pakaian
lusuh penuh tambalan. Di lantai perahu bergeletakan ikan-ikan besar segar.
Sebagian masih hidup menggelepar-gelepar. Sebuah jala terhampar di haluan.
“Orang
tua berpakaian hitam, kau melambaikan tangan memanggilku. Agaknya kau tersesat.
Pulau ini jarang di datangi orang. Kami para nelayan tak pernah singgah di
sini. Adalah aneh kalau saat ini aku melihat kau berada di sini. Apa yang kau
kerjakan di pulau ini?”
Mendengar
logat bicara dan nada suara orang di dalam perahu Tua Gila segera maklum bahwa
dia berada di salah satu pantai pulau Jawa.
“Nelayan
tua, pertanyaanmu banyak amat! Aku mau menumpang ke satu tempat Tapi lebih dulu
aku ingin tahu aku berada di mana saat ini?!”
“Betul-betul
aneh! Kau berada di situ dan kau tidak tahu berada di mana!”
Tua Gila
tertawa mengekeh. “Maklum saja. Orang tua seperti kita sudah pada pikun. Jadi
kau juga tidak tahu kita berada di mana saat ini?”
“Pulau
ini tidak bernama! Terletak di pantai selatan pulau Jawa….”
“Ah….”
Tua Gila menarik napas lega.
“Kau sendiri
perlu apa sebenarnya?!” Nelayan tua di atas perahu bertanya.
“Aku
ingin menumpang ke daratan sana. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Gede….”
“Gunung
Gede jauh di sebelah barat! Paling tidak kau membutuhkan waktu belasan hari
untuk sampai ke sana….”
“Boleh
aku menumpang?”
“Naiklah.
Aku akan membawamu ke daratan. Tapi tidak ke Gunung Gede!”
Tua Gila
tertawa bergelak lalu melompat naik ke atas perahu. “Hemmmm Rejekimu cukup
besar hari ini. Banyak ikan hasil tangkapanmu kulihat dalam perahu.”
“Lumayan….”
“Seusia
tua begini kau masih melaut. Mengapa tidak menyuruh anakmu saja?”
“Aku
tidak punya anak…. Tidak punya istri! Aku hidup sendiri selama dunia
terkembang.” Kata si nelayan pula.
“Hemmm….
Mengapa kau memilih hidup bujangan terus?”
“Perempuan
hanya akan menimbulkan derita sengsara bagi laki-laki!”
“Ah, kau
tentu punya riwayat hidup yang hebat dimasa mudamu,” kata Tua Gila.
“Betul,
tapi aku tidak akan menceritakannya padamu.”
Tua Gila
tertawa lebar, ingat dirinya sendiri dia lalu berkata. “Aku juga punya sejuta
pengalaman bagus dimasa muda dengan perempuan-perempuan cantik. Tapi semua kini
tinggal kenangan. Ma lah menimbulkan bencana di hari tua….”
“Bencana
bagaimana?” tanya nelayan tua pula. Sepertimu aku pun kini hidup sendirian.”
“Jadi kau
tak pernah kawin?”
“Pernah
dan sempat punya anak. Namun kini ibu anakku mencari diriku….”
“ingin
agar kau rujuk kembali atau bagaimana?” tanya si nelayan.
“ingin
membunuhku!” jawab Tua Gila dengan muka masam.
“Nan, apa
kataku! Perempuan hanya menimbulkan bencana bagi kaum laki-laki. Untung aku
tidak kawin!”
Setelah
diam sesaat nelayan itu bertanya. “Ada keperluan apa kau ke Gunung Gede?”
“Menyambangi
seorang sahabat.,,.”
“Lelaki
atau perempuan? Ah, aku kira aku tak perlu bertanya. Pasti yang akan kau temui
itu seorang perempuan….”
“Bagaimana
kau bisa tahu?” tanya Tua Gila.
“Aku cuma
menduga. Tapi dugaanku tidak meleset bukan?”
Tua Gila
tertawa lebar. Lalu dengan polos dia bercerita. “Yang akan kukunjungi itu
memang perempuan. Salah seorang kekasihku dimasa muda….”
“Ah, kau
pasti hendak bersenang-senang dengan dirinya? Tap] menurutku mengapa kau tidak
mencari yang lebih muda untuk bersuka-suka?”
“Nelayan
tua gila!” maki Tua Gila. “Aku ke sana untuk urusan penting. Perempuan tua itu
punya seorang murid yang berada dalam keadaan bahaya besar. Lumpuh segala
kesaktian yang dimilikinya….”
“Ah,
kasihan sekali murid sahabatmu itu. Apakah kau tidak tahu di mana dia berada
dan berusaha menolongnya?”
“inilah
sulitnya. Aku hanya mendapat keterangan bahwa pemuda itu berada di satu tempat
di barat. Tapi dunia seluas ini bagaimana mungkin mencarinya. Itu sebabnya aku
merasa lebih baik menemui gurunya dulu sambil menyirap kabar mengenai pemuda
muridnya itu….”
“Nah, apa
kataku. Kalau kau tidak pernah kenal dengan perempuan tua itu. Kalau kau tidak
pernah jadi kekasihnya, jelas saat ini kau tidak usah susah-susah melakukan
perjalanan jauh menemuinya. Jadi benar kataku! Perempuan hanya mendatangkan
bencana pada laki-laki. Ha… ha… ha!”
Tua Gila
ikut tertawa mengekeh. Tapi kemudian berucap. “Tidak semua perempuan
menimbulkan bencana. Terkadang tergantung pada kita orang laki-laki. Kalau
mereka merasa dikecewakan atau direndahkan, mereka bisa berubah jadi seekor
harimau ganas!”
“Sobatku
tua, agaknya kau tengah mengalami masalah besar. Gara-gara ulahmu di usia muda.
Untung aku tidak kawin. Amit-amit…!”
“Nasib
manusia ada guratannya masing-masing,” kata Tua Gila pula.
“Aku
tidak percaya hal itu. Manusia bukan diatur oleh nasib. Kelakuan manusialah
yang menentukan nasibnya!” jawab si nelayan tua.
Tua Gila
menjadi kesal karena tersinggung mendengar ucapan itu. Kalau saja dia tidak
menumpang di perahu orang, nelayan tua itu sudah dihajarnya. Saking kesalnya
dia berkata. “Perutku lapar! Aku minta ikanmu!” Lalu diambilnya seekor ikan dan
dilahapnya mentah-mentah!
Menjelang
petang perahu memasuki sebuah teluk sempit. Begitu sampai di pantai Tua Gila
mengucapkan terima kasih dan melompat ke daratan.
“Sobatku
tua, apakah kita bisa bertemu lagi?” tanya si nelayan.
“Aku
tidak tahu. Kalaupun bisa aku akan menghindari pertemuan denganmu!”
“Eh,
memangnya kenapa?”
“Aku
tidak suka dengan cara bicaramu. Kau seperti seorang juru dakwah saja! Membenci
perempuan padahal kau keluar dari perut perempuan!” Habis berkata begitu Tua
Gila lantas berkelebat pergi.
Nelayan
tua di atas perahu tertawa panjang. Dalam hati dia berkata. Tua Gila, kalau
saja Kalung Permata Kejora itu ada d: tanganmu sudah sejak di tengah laut
kuhabisi nyawamu! Aku masih bisa bersabar. Aku sudah tahu ke mana kau pergi!
Hemmm… mungkin aku akan membunuh bekas kekasihmu yang di Gunung Gede itu. Hik…
hik! Sinto Gendeng kau ikut mengerecoki hidup masa mudaku! Tidak salah kalau
kalian kubunuh berdua sekaligus!.” Perlahan-lahan nelayan itu buka caping
lebar-nya. Lalu dia menarik sehelai topeng tipis yang menutupi wajah dan
rambutnya. Sesaat kemudian kelihatanlah wajahnya yang asli. Ternyata dia bukan
lain adalah si nenek bernama Sika Sure Jelantik! Dengan cepat perempuan tua ini
melompat turun dari atas perahu lalu berkelebat ke arah perginya Tua Gila.
*********************
DELAPAN
Dari
balik dedaunan keladi hutan yang lebar, sepasang mata memperhatikan gadis
berpakaian biru yang duduk termenung, bersandar ke batang pohon di belakangnya.
Walaupun saat itu udara mending dan keadaan sekitar tempat itu agak gelap namun
orang yang memperhatikan dapat melihat butiran-butiran air mata jatuh menetes
membasahi pipi si gadis yang halus.
“Gadis
aneh berwajah cantik,” kata orang yang mengintai dalam hati. “Melihat kepada
wajah serta kulitnya yang putih mulus sulit diduga apakah dia seorang dari
dunia persilatan. Tapi kalau bukan orang persilatan mengapa berada, di tempat
sunyi begini. Jangan-jangan dibalik kecantikan wajah dan kebagusan tubuh itu
tersembunyi sesuatu yang hebat. Hemmm…. Dia menangis. Pertanda ada satu tekanan
batin tengah melanda dirinya. Diusia se-muda dia aku berani bertaruh yang jadi
bahan pikirannya saat ini pastilah sesuatu menyangkut cinta! Laki-laki!
Lagi-lagi laki-laki yang menjadi biang malapetaka! Aku tertarik ingin
mengetahui nasib apa tengah dihadapinya. Hanya sayang aku ada urusan lain yang
lebih penting…”
Orang di
balik pohon keladi hutan hendak bergerak pergi namun langkahnya tertahan ketika
tiba-tiba gadis di bawah pohon, tanpa mengalihkan pandangannya terdengar
berucap.
“Orang
yang mengintai mengapa tidak datang saja menemuiku? Mungkin kita bisa bertukar
pikiran berbagi pengalaman.”
“Hemmm….
Kalau dia bukan seorang gadis memiliki kepandaian tinggi, mustahil bisa
mengetahui aku di sini. Agaknya sudah sejak tadi dia tahu. Mungkin ada baiknya
aku membuang waktu barang sebentar berbincang-bincang dengan dirinya.” Orang
itu segera keluar dari balik pohon keladi besar, melangkah ke hadapan gadis
berpakaian biru.
Gadis di
bawah pohon menatap orang berjubah hitam berambut putih digulung di atas kepala
yang tegak di depannya beberapa lama tanpa berkata apa-apa.
“Anak
gadis berwajah cantik, siapakah namamu?” Si jubah hitam mendahului bertanya.
“Logat
bicaranya menandakan dia orang seberang,” kata gadis baju biru dalam hati yang
bukan lain adalah Bidadari Angin Timur.
“Nenek
berwajah bulat, di waktu muda tentu kau seorang dara cantik jelita….”
Nenek
berjubah hitam mau tak mau jadi melengak mendengar ucapan si gadis. Sambil
mengusap-usap pipinya yang keriput dia berkata. “Kecantikan itu hanya tinggal
kenangan yang memilukan. Lagi pula dibanding dengan raut wajahmu, kecantikanku
dimasa muda tidak ada arti apa-apa….”
Bidadari
Angin Timur tersenyum. “Gerangan apa yang membawamu jauh-jauh dari seberang
datang ke sini?”
Kembali
si nenek terkesiap mendengar ucapan orang. “Gadis ini jelas seorang berotak
cerdas, cerdik dan memiliki kepandaian tinggi!” katanya dalam hati. “Anakku,
bagaimana kau tahu bahwa aku datang dari seberang?”
“Logat
bicaramu, Nek,” jawab Bidadari Angin Timur.
“Ah….” si
nenek menarik nafas dalam. “Dugaanmu tidak meleset. Aku memang datang dari
pulau Andalas….”
“Jauh
berjalan pasti ada urusan besar!”
Perempuan
tua itu tertawa lebar. “Kau pandai menduga. Tapi biarlah dugaanmu itu tinggal
dugaan. Aku tidak akan menceritakan apa-apa padamu….”
“Kalau
begitu aku pun tidak akan menceritakan apa-apa padamu!” sahut Bidadari Angin
Timur pula.
Si nenek
menatap sejurus lalu tertawa mengekeh.
“Seumur
hidup baru kali ini aku bertemu dengan gadis cantik yang enak diajak bicara.
Aku suka padamu! Kau bukan saja cantik tapi juga cerdik. Kecerdikan
menyelamatkan seseorang dari banyak hal. Namun sayang sekali, saat ini aku
tidak melihat kau berlaku cerdik. Karena seorang cerdik tidak akan mengeluarkan
air mata. Seorang cerdik tidak akan berada di tempat terpencil begini, jauh di
kaki gunung…”
“Kau
pandai memuji. Aku berterima kasih. Tapi kau juga pandai menjatuhkan. Aku juga
berterima kasih. Soal aku menangis itu adalah urusanku sendiri. Air mata adalah
senjata perempuan paling akhir…”
Si nenek
tertawa panjang. “Dulu aku juga pernah punya pikiran sepertimu. Ternyata itu
salah! Air mata justru adalah awal kelemahan kaum kita. Yang dapat dan sering
disalahgunakan oleh lawan jenis kita!
Jawablah
terus terang. Bukankah masalah cinta yang membuatmu barusan berurai air mata?”
Paras
Bidadari Angin Timur berubah merah.
Si nenek
tersenyum. “Rona wajahmu berubah. Berarti apa yang aku katakan betul!” Setelah
tertawa panjang si nenek lalu berkata. “Namaku Sika Sure -jelantik. Selama
hidup aku telah banyak makan asam garam, madu dan racun dunia. Yang paling
dahsyat adalah racun cinta. Bisa membutakan mata menulikan telinga dan membuat
beku pikiran, merubah hati seolah menjadi batu! Pada puncaknya, cinta itu bisa
berubah menjadi dendam kesumat kebencian yang hanya bisa terobat oleh
kematian….”
Bidadari
Angin Timur pandang wajah tua bulat itu beberapa lamanya sambil hatinya
berkata. “Jangan-jangan perempuan tua ini tengah menuturkan riwayat sedih
dirinya sendiri. Lebih baik coba kupancing.”
“Nenek
Sika, aku masih hijau. Sebaliknya kau sudah memiliki segudang pengalaman hidup.
Dugaanmu betul. Aku memang ada ganjalan cinta dengan seseorang. Maukah kau
menceritakan sedikit saja dari riwayat c in tamu agar bisa kujadikan pegangan
di hari kemudian?”
Sika Sure
Jelantik terdiam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Jauh-jauh aku datang dari pulau
Andalas adalah untuk mengejar seorang tua renta yang ingin kubunuh dengan kedua
tanganku sendiri!” Lalu si nenek tuturkan secara singkat riwayat percintaannya.
“Kisahmu
sungguh menyedihkan, Nek. Dalam penuturanmu kau sama sekali tidak menyebutkan
siapa pemuda yang pernah jadi kekasihmu lalu meninggalkan dirimu begitu saja.”
“Soal
namanya tidak akan kuberitahu padamu,” jawab Sika Sure Jelantik. “Sekarang
apakah kau mau menuturkan riwayatmu sendiri?”
Bidadari
Angin Timur merenung beberapa lamanya.
“Jika kau
tak mau memberitahu tak jadi apa,” ujar si nenek. “Tapi ingat ucapanmu pertama
kali menegurku? Kau ingin bertukar pikiran berbagi pengalaman.”
Si gadis
tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul indah mempesona di pipinya kiri kanan.
“Sulit bagiku dari mana memulai. Sejak pertama aku bertemu dengan dia, tidak
ada perasaan apa-apa. Ma lah aku marah besar karena dia telah melakukan
seseorang secara sewenang-wenang. Namun lambat laun setelah beberapa kali
bertemu hatiku terasa begitu sejuk jika berada di dekatnya. Aku pernah ikut
bersamanya menemui gurunya. Saat itu walau dia tidak mengatakan apa-apa namun
aku maklum bahwa dia memperkenalkan diriku pada gurunya untuk satu maksud
tertentu. Dia pernah mengatakan cintanya padaku. Sebaliknya aku tidak pernah
menyampaikan isi hatiku. Baik secara terus terang maupun secara tersirat.
Mungkin itu yang membuatnya bingung kalau tidak dapat dikatakan kecewa.
Kadang-kadang aku merasa aneh terhadap diriku sendiri. Aku mencintainya namun
me-ngapa terlalu pongah untuk berterus terang mengatakannya….”
Sika Sure
Jelantik yang sejak tadi tegak berdiri kini duduk di bawah pohon berdampingan
dengan Bidadari Angin Timur. “Apakah ada saru ganjalan yang membuatmu tidak mau
berterus terang menyampaikan cinta kasihmu padanya?”
Perlahan-lahan
si gadis mengangguk.
“Apa?”
tanya si nenek pula.
“Aku
mengetahui…. Ada banyak gadis mencintainya….”
Mendengar
ucapan Bidadari Angin Timur, si nenek palingkan kepalanya, menatap si gadis
beberapa lamanya. Lalu dia menarik nafas panjang dan berkata. “Itu yang terjadi
dengan diriku dimasa muda. Kekasihku berlaku gila. Dia melayani semua
gadis-gadis yang menyukainya. Menidurinya bahkan lebih gila dari itu dia sempat
punya anak! Bagaimana dengan pemuda yang kau cintai itu? Apa dia juga seperti
itu?!”
“Mungkin….
Aku tidak tahu pasti. Tapi ada satu kejadian yang membuat hatiku perih. Dia
kuketahui pernah pergi ke tempat salah seorang gadis yang mencintainya. Tinggal
di sana…. Aku seperti mau gila membayangkan kemungkinan apa saja yang bisa
mereka lakukan berdua-dua….”
“Apa
gadis itu mencintainya?”
“Aku
yakin gadis itu mencintainya. Kasarnya dia yang mengejar pemuda itu!”
“Lalu
apakah si pemuda sendiri mencintai gadis itu?”
Bidadari
Angin Timur tak menyahut.
“Hemmm….
Kau tak bisa segera menjawab. Berarti kau tidak pasti pemuda yang kau kasihi
itu menyukai si gadis. Kalau dia mau berdua-duaan berarti dia hanya mengumbar
nafsu. Sifatnya sama dengan kekasihku dimasa muda. Manusia seperti itu sangat
berbahaya anakku. Dia bisa menjadi racun selama kau hidup di dunia….”
“Aku
tidak tahu Nek….” kata Bidadari Angin Timur perlahan.
“Hidup
tanpa kepastian sama dengan kau mulai menanam pohon racun dalam tubuhmu. Selagi
pohon itu tumbuh dari luar datang siraman racun lain yang menyuburkannya. Aku
menaruh firasat kau akan mengalami nasib malang jika kau meneruskan hubunganmu
dengan dia.” Seperti terhadap anak atau cucunya sendiri Sika Sure Jelantik lalu
membelai kepala Bidadari Angin Timur. “Sekarang katakan padaku mengapa kau
sampai tersesat ke sini? Apakah sang kekasih jalang itu berada di sekitar
sini?”
Bidadari
Angin Timur tak menjawab. Namun si nenek sudah maklum kalau kehadiran Bidadari
Angin Timur pasti ada sangkut pautnya dengan pemuda yang diam-diam dicintainya.
“Anakku….
Bolehkah aku memberi satu nasihat padamu?” ^
Bidadari
Angin Timur menatap wajah si nenek lalu mengangguk.
“Jika kau
benar-benar mencintainya kau harus menemuinya dan mengatakan terus terang. Jika
kau yakin dia pun mencintaimu, kuasai dirinya sebelum dia dikuasai orang lain.
Bagi seorang perempuan lebih baik kawin dengan lelaki yang mencintainya
daripada lelaki yang dicintainya. Jika ada keraguan dalam hatimu tinggalkan
dirinya selama-lamanya….”
“Nek, aku
yakin dia mencintai diriku. Walau dia belum tahu aku mencintainya namun ada
satu kejadian yang menimbulkan keraguan di hatiku….”
“Hemmm….
Rupanya ada hal yang belum kau ceritakan padaku!” kata si nenek. “Aku ingin
mendengarkannya.” Sika Sure jelantik rangkapkan sepasang tangan di depan dada.
“Beberapa
saat yang lalu aku melihat ada dua orang utusan sang kekasih datang menjemput
pemuda itu. Apa lagi kalau bukan diminta datang ke tempat kediamannya…?”
“Ah!
Pemuda itu mungkin benar berhati culas. Tapi kau perlu menyelidik….”
“Aku….
Kalau ku selidiki rasanya aku seperti mau membunuh diri sendiri….”
“itulah
cinta anakku! Cinta laksana pisau teramat tajam menyayat ke leher. Perih tetapi
nikmat. Hik… hik… hik….”
Bidadari
Angin Timur pergunakan ujung baju birunya untuk mengusap matanya yang basah.
“Sebenarnya
aku ingin bicara lebih banyak dan mengenalmu lebih lama. Namun ada urusan
penting yang tidak bisa aku tunda. Siapa tahu kita bisa bertemu lagi di lain
kesempatan. Sebelum pergi apakah kau bisa menjawab dua pertanyaanku? Pertama di
mana arah menuju Kutogede?”
Bidadari
Angin Timur menunjuk ke arah tenggara lalu bertanya. “Kalau kau memang hendak
menuju ke sana, kita bisa sama-sama. Aku pun ingin pergi ke Kutogede.”
“Hemmm….
Itu satu usul yang baik. Tapi kali ini aku tengah menghadapi satu urusan besar.
Aku lebih suka pergi sendirian..-..”
“Aku
sudah menganggapmu sebagai ibu atau nenek sendiri. Tapi kau menyembunyikan
sesuatu padaku….”
Sika Sure
Jelantik tertawa lebar. “Satu pertanyaan anakku. Aku menyirap kabar bahwa
Pangeran Matahari tewas belum lama berselang. Apakah hal itu benar? Jika benar
siapa gerangan yang telah membunuhnya?”
Hampir
terlepas dari mulut Bidadari Angin Timur kalau dia ikut menyaksikan sendiri
kematian Pangeran Matahari di Pangandaran dulu.
“Pangeran
durjana itu memang benar telah menemui ajal, Nek. Dunia persilatan boleh
dikatakan kini bebas dari malapetaka besar yang hendak ditimbulkannya. Mengenai
pembunuhnya, sesuai yang aku dengar adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng….” Habis berucap begitu dalam hatinya si gadis berkata. “Nek, kau
tidak tahu pemuda inilah yang aku cintai dan tadi aku ceritakan padamu….”
“Kalau
begitu benar apa yang aku dengar. Pendekar 212 Wiro Sableng…. Hemmmm…. Dia
memutus hubungan dendamku dengan Pangeran Matahari….”
“Nek, apa
maksudmu dengan ucapan itu? Kau punya silang sengketa dengan Pendekar 212?”
tanya Bidadari Angin Timur agak cemas.
Si nenek
menatap lurus. Diam-diam dia merasakan nada pertanyaan yang mengandung rasa
cemas. Sika Sure Jelantik gelengkan kepala. “Aku pernah mendengar nama besarnya
namun tak pernah bertemu dengan orangnya. Aku punya dendam kesumat besar dengan
Pangeran Matahari. Tapi sebelum dendam terbalas aku sudah keduluan oleh
Pendekar 212.”
“Bukankah
itu lebih baik bagimu hingga kau tidak perlu susah payah turun tangan sendiri?”
ujar Bidadari Angin Timur pula.
Si nenek
tertawa kecut. “Aku sudah bersumpah ingin mematahkan batang leher Pangeran
Matahari dengan tanganku sendiri. Dia telah membunuh kakakku Ramada Suro
Jelantik. Tapi takdir menentukan lain….”
“Apakah
kau menaruh rasa sakit hati terhadap Pendekar 212?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Untuk
urusan balas dendam itu aku hanya merasa kecewa setinggi langit sedalam lautan.
Namun ada satu urusan lain yang mungkin…. Ah sudahlah! Aku harus cepat-cepat
pergi! Kuharap kita bisa bertemu lagi. Jaga dirimu baik-baik!”
Terima
kasih, Nek. Aku doakan segala urusanmu bisa kau hadapi dan selesaikan dengan
baik.”
Sika Sure
Jelantik membelai kepala Bidadari Angin Timur. Meskipun ada sentuhan rasa kasih
sayang namun si gadis merasa merinding juga mengingat jari-jari tangan si nenek
yang berkuku panjang dan hitam angker. Sekali berkelebat Sika Sure Jelantik pun
lenyap dari samping si gadis. Berada sendirian Bidadari Angin Timur
mengingat-ingat kembali semua pembicaraannya dengan si nenek tadi. “Aneh,
mengapa hatiku mendadak merasa tidak enak? Urusan apa sebenarnya yang tengah
dihadapi oleh nenek dari tanah seberang tadi?”
*********************
SEMBILAN
Dua gadis
cantik anak buah Ratu Duyung hentikan lari masing-masing. Mereka sama memandang
ke langit.
“Mendung…”
kata gadis di sebelah kanan yaitu Kiani. “Sebentar lagi agaknya akan turun
hujan. Orang yang kita cari masih belum bertemu. Bagaimana kalau kita
pergunakan lagi ilmu menyirap detak jantung?”
“Jangan
cari celaka Kiani! Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Nandiri.
Sebelum hujan turun lebih baik kita mencari tempat berlindung. Kalau sampai
tubuh kita tersiram air hujan kau tahu sendiri apa yang bakal terjadi!”
Karena
meninggalkan tempat kediaman mereka di pantai selatan sebelum Ratu Duyung
siuman, dua gadis ini tidak mengetahui apa yang terjadi. Yaitu sebenarnya
mereka telah terbebas dari kutukan yang menyebabkan setengah tubuh mereka
sebelah bawah berubah menjadi ekor ikan kalau tersentuh air. Selagi keduanya
mencari-cari tempat yang baik untuk berteduh mendadak mereka mendengar suara
sesuatu di kejauhan.
“Kau
mendengar suara itu Kiani?”
Kiani
mengangguk, “tak dapat kupastikan suara apa. Terlalu jauh di sebelah sana.
Mungkin suara seruling….”
Manumi
memandang ke arah kejauhan. “Suara seruling itu datangnya dari bukit di sebelah
sana. Bagaimana kalau kita pergi ke sana. Mencari tahu siapa yang meniupnya.
Lagu yang dilantunkannya tidak pernah kudengar sebelumnya. Tapi begitu menyayat
hati. Berhiba-hiba. Agaknya perasaan si peniup ikut larut dalam tiupan
serulingnya.”
Mula-mula
Kiani hendak menolak ajakan temannya itu. Namun memandang ke arah bukit
tiba-tiba saja dia ingat sesuatu. “Manumi, bukankah bukit itu terletak di arah
barat?”
Manumi memandang
ke arah bukit. “Kau benar. Aku tahu apa maksudmu! Ayo lekas kita naik ke sana
dan menyelidik!”
Dua gadis
cantik itu serta merta berlari kencang menuju bukit dari arah mana terdengar
suara tiupan seruling. Di satu lereng mereka berhenti. Kiani menunjuk ke arah
lamping bukit yang terjal di atas mana terlihat mulut sebuah goa.
“Suara
seruling itu datang dari arah sana. Yang meniup, pasti ada dalam goa!” bisik
Kiani.
“Aku akan
naik ke atas. Di sebelah sana sepertinya ada jalan setapak. Kau tunggu di sini…”
kata Manumi.
“Tidak,
aku ikut bersamamu!” sahut Kiani lalu segera menempel di belakang si teman. Dua
gadis ini dengan hati-hati tetapi cepat sekali bergerak mengikuti jalan kecil
mendaki menuju goa. Pada saat inilah datang Bidadari Angin Timur yang sejak
lama bersembunyi di satu tempat dan tengah berada dalam kebimbangan apakah akan
menemui Wiro atau tidak. Dia begitu terkejut ketika melihat dua gadis cantik
tiba-tiba muncul dan melangkah cepat menuju goa. Dari pakaian yang mereka
kenakan Bidadari Angin Timur segera mengenali dua gadis itu adalah anak-anak
buah Ratu Duyung.
“Sebelumnya
aku ketahui Pendekar 212 mengunjungi Ratu Duyung di tempat kediamannya. Kini
dua anak buah Ratu Duyung muncul. Tak dapat tidak pasti untuk menjemput Wiro.
Ah…!” Memikir sampai di situ merahlah paras Bidadari Angin Timur.
Pemandangannya seolah kelam dan pikirannya jadi kacau balau. Dia langsung
menjatuhkan anggapan salah. “Hatiku tak bisa menerima seorang kekasih
berperilaku seculas itu. Mengatakan cinta padaku. Tapi bermain cinta dengan
gadis lain. Jangan-jangan dua gadis yang barusan datang ini adalah juga
kekasih-kekasih gelapnya! Daripada tersiksa mata, telinga dan perasaan lebih
baik aku pergi saja dari sini! Wiro lupakan cintamu padaku!” Habis membatin
seperti itu Bidadari Angin Timur lalu putar tubuh dan berkelebat pergi. Matanya
berkaca-kaca. Butiran-butiran air mata jatuh ke pipinya.
Kiani dan
Manumi sampai di tepi kiri mulut goa.
“Orang
itu tidak menghentikan tiupannya, berarti dia belum tahu kedatangan kita…” kata
Kiani. “Aku akan melompat masuk ke dalam goa. Kau berjaga-jaga di luar sini!”
Sebelum
temannya sempat membantah Kiani segera melompat masuk ke dalam goa. Sesaat
kemudian terdengar teriakan gadis itu. “Manumi lekas masuk! Kita telah
menemukan pembunuh Ratu!”
Mendengar
teriakan temannya itu Manumi segera menghambur masuk ke dalam goa sambil
tangannya diangkat ke atas dan ujung jari diluruskan. Dari jari gadis ini
mencuat sinar biru yang merupakan satu ilmu kesaktian hebat dan rata-rata
dimiliki oleh semua anak buah Ratu Duyung. Kiani yang masuk duluan juga telah
menyiapkan ilmu kesaktian itu malah sekaligus di telunjuk tangan kanan dan
kiri!
Di dalam
goa di hadapan kedua gadis itu duduk bersila Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua
tangan memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Enam jari tangannya berg era k-g era
k di permukaan lubang-lubang di gagang kapak yang terbuat dari gading putih
kekuningan. Bibirnya menempel ke ujung gagang senjata yang berbentuk kepala
ular naga itu. -Sepasang matanya terpejam dan rambutnya yang gondrong
melambai-lambai oleh tiupan angin ken-cang yang datang dari mulut goa.
Meskipun
tadi teriakan Kiani keras sekali namun seolah tidak mendengar dan tidak terusik
murid Eyang Sinto Gendeng itu terus saja meniup seruling mustikanya. Malah dari
pinggiran matanya tampak ada kucuran air mata.
“Bangsat
cengeng! Jangan berpura tidak tahu kedatangan kami!” bentak Kiani.
“Manumi!
Kita bunuh manusia jahat tak berbudi ini sekarang juga! Kau rampas dulu
senjatanya!”
Mendengar
ucapan temannya itu Manumi segera betot Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan
Wiro. Sekali membetot senjata mustika itu lepas dari pegangan si pemuda. Suara
merdu tiupan seruling serta merta lenyap. Sepasang mata Pendekar 212 bergerak
membuka. Tadi sebenarnya dia telah tahu kalau ada orang yang masuk ke dalam
goa. Namun saat itu dia lebih suka tenggelam dalam sejuta rasa dukanya. Hingga
kalaupun ada seekor ular besar menelan kepala dan tubuhnya bulat-bulat dia akan
diam seribu bahasa, akan terus meniup serulingnya, tidak perduli! Tetapi ketika
senjata warisan Eyang Sinto Gendeng itu tertarik lepas dari tangannya dan dia
tidak mampu mempertahankan maka dia segera membuka kedua matanya.
“Kalian
berdua bukankah anak buah Ratu Duyung? Mengapa masuk sambil berteriak-teriak?
Mengapa merampas senjataku? Mengapa hendak membunuhku?”
Dua gadis
keluarkan suara mendengus.
“Kau,
telah membunuh Ratu kami!” teriak Kiani.
“Aku? Aku
membunuh Ratu kalian? Kenapa?”
“Kurang
ajar! Jangan berpura-pura! Kami melihat kau masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk!
Kau kemudian keluar dari puri sementara Ratu Duyung kami dapatkan berada dalam
keadaan luka parah! Mungkin sekarang telah menemui ajal! Puri runtuh. Kau
melenyapkan diri! Kabur!”
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk kepalanya dan memandang berganti-ganti pada dua gadis
cantik di hadapannya.
“Aku
tidak mengerti!” kata Wiro pula.
“Biar kau
mengerti biar kepalamu belah saat ini juga dengan senjatamu sendiri!” hardik
Kiani sambil angkat Kapak Maut Naga Geni 212 tinggi-tinggi, siap untuk
dibacokkan ke kepala Wiro. Sementara itu Manumi juga angkat tangan kanannya ke
atas. Sinar biru ujung jari telunjuk Manumi mencuat terang menyilaukan dan
menggidikkan.
“Tunggu!
Kalau kalian mau membunuhku aku tidak perduli!” teriak Wiro. “Aku memang sudah
sejak lama ingin mati! Tapi jelaskan dulu apa yang terjadi!
Aku tidak
mencelakai apalagi membunuh Ratu kalian. Kami sama-sama datang dari Pangandaran
karena Ratu dan aku punya satu urusan.”
“Kami
tahu semua kehadiranmu bersama Ratu yang kedua kali. Yang kami tidak tahu
mengapa kau berbudi jahat dan membunuh Ratu kami!”
“Dengar,
aku tidak membunuh Ratu kalian. Aku malah berniat baik untuk menolongnya….”
“Lalu
kalau kau merasa tidak bersalah, mengapa melarikan diri sampai ke sini?!”
bentak Kiani.
“Aku
tidak melarikan diri! Ada seseorang yang membawaku ke sini….”
Kiani dan
Manumi kembali mendengus. Manumi memberi isyarat pada kawannya. Melihat isyarat
ini Kiani segera bersiap untuk membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke batok
kepala Wiro.
“Tunggu!
Aku bersumpah tidak mencelakai Ratu kalian! Aku….”
“Jangan
dengarkan dia Kiani. Hantam kepalanya dengan kapak itu! Aku akan menusuk
jantungnya biar ambrol!”
“Kalau
kalian sampai membunuhku, Ratu kalian dan juga kalian sendiri tidak akan
terbebas dari kutukan! Silahkan bunuh aku! Ayo cepat!” Wiro sama sekali tidak
mengetahui bahwa kehadirannya di Puri Pelebur Kutuk telah menyelamatkan dan
membebaskan Ratu Duyung serta seluruh anak buahnya dari kutukan. Hal ini juga
belum diketahui oleh Kiani dan Manumi.
Kiani
sesaat jadi bimbang mendengar kata-kata Wiro tadi. Tapi Manumi cepat
mendamprat.
“Kiani!
Jangan dengarkan ucapan pemuda keji ini! Lekas kau belah kepalanya dengan
kapak! Aku akan menghancurkan jantungnya!”
“Kalau
kalian memang hendak membunuhku, aku pasrah!” kata Pendekar 212 yang memang
sudah putus asa sejak dia mengetahui telah kehilangan segala kesaktian dan ilmu
yang dimilikinya.
Tangan
kanan Kiani bergerak. Kapak Naga Gent 212 menderu. Karena Kiani memiliki tenaga
dalam walaupun tidak tinggi, begitu senjata mustika itu dibacokkannya maka
sinar putih menyilaukan dan panas berkiblat. Suara menderu laksana ratusan
tawon mengamuk membuncah goa batu itu. Mata kapak mustika siap membelah batok
kepala murid Sinto Gendeng. Di saat yang sama Manumi tusukkan jari telunjuk
tangan kanannya ke arah dada Pendekar 212. Selarik sinar biru menggidikkan
melesat siap menjebol dada dan jantung Wiro!
Di saat
Wiro tidak berdaya, bahkan beringsut pun tidak mampu dan benar-benar siap
menerima kematian tiba-tiba satu bentakan nyaring menggelegar di dalam goa
disertai menyambarnya satu sinar hitam menggidikkan. Bersamaan dengan itu
seantero goa batu dilanda busuknya bau mayat.
“Nyawa
pemuda itu tidak akan kubagi sekalipun dengan malaikat maut!”
Kiani dan
Manumi terpekik. Secepat kilat keduanya jatuhkan diri ke lantai goa. Terbanting
tumpang tindih dengan sosok Pendekar 212. Tiga orang yang bergelimpangan di
lantai goa itu merasakan nafas mereka mendadak menjadi sesak. Leher laksana
dicekik oleh tangan besar kokoh yang tak terlihat.
“Kalian
bilang hendak membunuhku! Mengapa sekarang sengaja tempelkan tubuh menindihku!”
terdengar teriakan Pendekar 212. Mukanya tertindih oleh bagian bawah tubuh
Kiani sedang sosok Manumi membelintang tepat di atas badannya sebelah bawah!
“Pemuda
edan! Dalam keadaan begini masih coba bergurau!” damprat Kiani. Lalu. “Bukk!”
Lutut kanannya dihunjamkan ke perut Wiro. Namun dia terbatuk-batuk dan
tersandar ke dinding goa. Hawa aneh busuk yang memenuhi tempat itu membuat
nafasnya seolah putus. Megap-megap dia cepat menarik tangan Manumi lalu
beringsut menuju mulut goa sambil menarik tubuh kawannya.
*********************
SEPULUH
Sementara
tiga orang itu berkaparan di lantai, di depan mulut goa tegak seorang lelaki
tua bertubuh tinggi besar berkulit hitam laksana jelaga. Di kepalanya melilit
sebuah destar tinggi warna merah. Orang ini memiliki janggut dan kumis lebat
meranggas, mengenakan pakaian hitam serba gombrong.
Gerakan
Kiani dan Manumi yang merangkak di lantai terhenti di mulut goa, terhalang oleh
si tinggi besar.
“Orang
hutan! Siapa kau?! Mengapa menyerang kami?!” hardik Manumi sambil berusaha
berdiri. Di sebelahnya Kiani juga telah berdiri duluan walau terhuyung-huyung.
Tangan kanannya masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Si tinggi
besar tertawa bergelak. Gigi-giginya kelihatan besar dan ada beberapa yang
tampak berkilat karena dilapisi perak.
“Kalau
orang lain yang memaki sudah kubunuh saat ini juga! Untung kalian gadis muda
berwajah cantik! Tuan besarmu ini masih mau memberi sedikit pengampunan! Pergi
sana! Tunggu aku di luar!”
Kaki si
tinggi besar bergerak dua kali.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Tubuh
Kiani dan Manumi mencelat keluar goa. Terbanting di tanah.
Hampir
pingsan menahan sakit dua gadis anak buah Ratu Duyung bangkit berdiri. Kiani
menyerbu dengan kapak di tangan. Manumi tetap di tempatnya berdiri tapi dari
tangan kanannya menyambar sinar biru ke arah orang tua tinggi besar di depan
goa.
Semula
orang yang diserang menganggap remeh serbuan dua gadis cantik itu. Tapi ketika
melihat cahaya putih serta deru angin dahsyat yang keluar dari kapak dia cepat
melompat ke samping goa. Manumi gerakkan jari telunjuknya. Sinar biru bergeser
ke samping mengikuti gerakan orang tua berkulit hitam. Orang ini berseru kaget.
Dia kembali membuat lompatan ke samping. Kali ini disertai tangannya memukul ke
depan. Cahaya hitam bertabur. Bau busuk menghampar. Dinding luar goa di
belakang si tinggi besar hancur berantakan dihantam sinar biru yang keluar dari
jari Manumi. Membuat tergetar tetapi juga beringas orang tua berkumis dan
bercambang bawuk lebat itu. Sambil keluarkan suara menggertak dia hantamkan
tangan kanannya ke arah Manumi. Cahaya hitam busuk untuk kesekian kalinya menggebu.
Kali ini Manumi tidak mampu menyingkir. Gadis ini menjerit sambil pegangi
lehernya yang laksana dicekik oleh tangan yang tidak kelihatan. Tubuhnya roboh
ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu tak berkutik lagi. Dari sela bibirnya
kelihatan darah mengucur berwarna merah pekat.
“Tua
bangka jahanam! Kau bunuh kawanku! Sekarang mampuslah!” Terdengar teriakan
Kiani lalu gadis ini melompat sambil menghantamkan Kapak Naga Geni 212 yang
tergenggam di tangan kanan. Dari ujung jari tangan kirinya sinar biru melesat
ke arah kiri hingga lawan yang diserang tak mungkin bergerak ke kiri atau pun
ke kanan. Untuk menghindar dengan melompat ke belakang juga tidak bisa karena
terhalang oleh dinding batu sekitar mulut goal!
“Gadis
iblis! Aku mengadu nyawa denganmu!” teriak orang tua tinggi besar berdestar
merah. Kedua tangannya diangkat ke atas. Mulutnya mengeluarkan teriakan.
“Pukulan Hawa Neraka!”
Dua
buntal asap hitam melesat dari telapak tangannya kiri kanan. Bukit itu laksana
tenggelam dalam bau busuk luar biasa. Dua langkah di hadapan si tinggi besar
Kiani rasakan tubuhnya laksana kaku. Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari
genggamannya. Tangan kirinya terkulai ke samping. Lehernya laksana dijirat.
Dadanya sesak. Nafasnya sengal. Dari hidung dan mulutnya keluar darah
kehitaman. Sesaat kemudian setelah terhuyung beberapa kali gadis ini jatuh
terkapar di tanah.
Orang tua
tinggi besar tampak komat kamit beberapa kali. Sepasang matanya yang semula
membeliak kini mengecil kembali. Tapi kembali mendelik ketika dia dapatkan baju
gombrong nya di bagian bahu kiri hangus. Ketika dirabanya baju itu langsung
gugur menjadi debu.
“Senjata
dahsyat…” kata orang tua ini sambil memandang ke arah Kapak Maut Naga Geni 212
yang tergeletak di tanah. “Mungkin dengan senjata ini dulu adik-adikku menemui
ajal. Sekarang akan kubalaskan kematian mereka!” Dengan cepat orang ini
mengambil Kapak Maut Naga Geni 212. Di dalam goa terdengar suara orang batuk
berulangkali. Sesaat kemudian, di antara kepulan asap hitam busuk yang mulai
menipis dari dalam goa tampak merangkak keluar sesosok tubuh berpakaian putih.
Orang ini
bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Satu
telapak kaki ditekankan ke kening Wiro membuat murid Sinto Gendeng ini tak
mampu bergerak lebih jauh.
“Jahanam
kurang ajar! Turunkan kakimu!” teriak Wiro. Dia angkat tangan kanannya memukul
tulang kering orang. Yang dipukul tertawa bergelak lalu dorongkan kaki kanannya
membuat Wiro tergelepak jatuh. “Setan alas! Siapa kau?!”
“Buka
matamu lebar-lebar! Lihat siapa yang berdiri di hadapanmu anak muda!”
Dengan
susah payah dan sambil batuk-batuk Wiro bangkit berdiri dan bersandar ke
dinding goa.
“Aku
tidak kenal padamu! Mengapa bermaksud jahat padaku! Mengapa kau membunuh dua
gadis itu? Kembalikan kapak padaku!”
“Bicaramu
terlalu banyak Pendekar 212. Coba kau ingat baik-baik! Beberapa tahun lalu kau
dan gurumu si Tua Gila pernah membunuh Datuk Sipatoka di Tambun tulang. Kalian
juga punya peranan dalam lenyapnya adikku Datuk Raja Di Langit! Hari ini aku
Datuk Angek Garang datang menuntut balas Tapi sebelum kau kubunuh mari kita
bicara sedikit!”
Orang tua
tinggi besar yang mengaku Datuk Angek Garang selipkan Kapak Maut Naga Geni 212
di pinggang pakaian hitamnya yang gombrong.
“Aku
ingin kau memberi keterangan apa yang terjadi dengan adikku Datuk Raja Di
Langit. Dia lenyap di pulau kediaman Tua Gila! Jika kau mau memberi keterangan,
kematianmu akan kupercepat hingga kau tidak perlu tersiksa menderita….”
Wiro
menyeringai. Dia meludah ke tanah. Ludahnya tampak bercampur darah tanda dia
telah mengalami luka dalam akibat asap busuk pukulan Hawa Neraka yang
dilepaskan Datuk Angek Garang di dalam goa. Darah bercampur ludah itu kelihatan
merah segar yang berarti walaupun terluka di dalam namun belum ada racun yang
sempat mendekam merusak tubuhnya.
“Soal
Datuk Raja Di Langit kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingat lagi! Nanti bisa
saja kau tanyakan pada setan pulau atau jin laut! Huk… huk… huk!” Wiro
terbatuk-batuk lalu meludah berulangkali.
Datuk
Angek Garang menyeringai. “Kau tidak mau memberi tahu tak jadi apa. Akibatnya
akan kau rasakan sebentar lagi! Sekarang satu lagi pertanyaanku. Jika kau mau
menjawab kuhapus semua dosamu dan kau akan kubebaskan!”
Wiro
tertawa. “Seumur hidup tak ada manusia yang percaya pada segala manusia setan
sepertimu! Kau ingin membunuhku aku tak takut! Kalau aku mati, di akhirat aku
akan menemui dua adikmu itu. Akan kusampaikan pesan bahwa tak lama lagi kau
akan bergabung dengan mereka! Ha… ha… ha…! Huk… huk… huk!”
Tangan
kanan Datuk Angek Garang bergerak ke atas. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya
menggembung pertanda amarahnya sudah sampai di puncak teratas.
Pendekar
212 seperti tak perduli, seolah tidak acuh akan maut yang merenggut nyawanya
saat itu juga. Sambil menyeringai dia teruskan ucapannya. .
“Jangan
harap aku akan menyampaikan pesan untuk bidadari di sorga! Tampangmu jelek!
Badanmu bau! jangankan bidadari, kambing pun jijik padamu! Ha… ha… ha! Huk…
huk… huk!”
Tangan
kanan Datuk Angek Garang bergetar tanda dia tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya. Ketika tangan kanannya dipukulkan ke arah Wiro, cahaya
hitam seolah keluar dari seluruh tubuhnya. Laksana kilat menyambar ke arah
murid Sinto Gendeng. Gilanya menghadapi pukulan maut itu Wiro sama sekali tidak
berusaha selamatkan diri! Bahkan kedua matanya tidak berkesip barang sedikit
pun! Dia benar-benar siap menerima kematian!.
Diantara
bau busuk pukulan sakti yang dilepaskan Datuk Angek Garang tiba-tiba menyeruak
bau wangi aneh kembang kenanga. Lalu, “Bumm!”
Satu
ledakan dahsyat menggelegar di lereng bukit Jatianom itu ketika sebuah sinar
kuning laksana petir menyambar turun dari langit menghantam cahaya hitam
pukulan Hawa Neraka yang dilepaskan Datuk Angek Garang untuk membunuh Wiro.
Tubuh
Pendekar 212 tampak mencelat sampai dua tombak lalu jatuh menyangsrang di
antara semak belukar. Datuk Angek Garang sendiri tegak tergontai-gontai.
Matanya mendelik dan dari mulutnya mengucur darah membasahi janggutnya yang
lebat meranggas.
“jahanam
dari mana yang berani menghalangi urusanku!” kertak Datuk Angek Garang sambil
meringis pegangi dadanya menahan sakit. Dia memandang berkeliling. Hatinya
kecut ketika melihat ke belakang sebagian lereng seperti dilanda longsor.
Mulut goa
tak tampak lagi, tertimbun runtuhan tanah.
Pandangan
orang tua bertubuh tinggi besar ini membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang
terkapar menyangsrang dalam keadaan tak sadarkan diri di antara semak-semak.
“Kalau
tidak kuhabisi sekarang, di kemudian hari bisa menimbulkan bencana!” Datuk
Angek Garang lalu cabut Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang diselipkannya
di pinggang. Sekali lompat saja dia sampai di hadapan semak belukar itu. Dua
mata kapak berpijar menyilaukan begitu sang Datuk kerahkan tenaga dalam.
“Wuuttt!”
Senjata
mustika itu menderu dengan segala kedahsyatannya. Datuk Angek Garang sengaja
mengarahkan mata kapak ke batang leher Wiro. Dapat dibayangkan apa yang bakal
terjadi. Leher itu akan tertebas putus. Kepala Pendekar 212 akan menggelinding
jatuh ke dalam lembah di bawah sana!
Namun lagi-lagi
terjadi hal aneh yang membuat Datuk Angek Garang menjadi kecut setengah mati.
Selagi tangannya mengayun kapak tiba-tiba senjata itu terlepas dari
genggamannya seolah ada satu kekuatan menariknya dengan keras. Bersamaan dengan
itu tubuh orang tua ini terlempar akibat satu tendangan yang tak kelihatan yang
mendarat telak di dadanya. Datuk Angek Garang berteriak keras lalu muntahkan
darah. Tubuhnya terjengkang di tanah. Meski hantaman yang melanda dadanya
begitu dahsyat namun dia masih sanggup bertahan untuk tjdak pingsan. Beberapa
lama dia terjengkang di tanah dengan mata mendelik dan sepasang kaki
melejang-lejang. Mukanya yang hitam tampak kaku tak berdarah.
“Makhluk
jahanam! Setan atau manusia! Mengapa tidak berani unjukkan diri! Menyerang
secara pengecut!” teriak Datuk Angek Garang. Lalu dia bergerak bangun,
memandang berkeliling, mencari-cari. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
Tiba-tiba orang ini melangkah tersurut. Kapak Maut Naga Geni 212 dilihatnya
melayang di udara. Cahaya terang panas dan menyilaukan membersit dari senjata
itu. Seolah dipegang oleh seseorang yang tidak terlihat oleh mata, senjata
mustika itu bergerak ke arah sang Datuk. Bersamaan dengan itu bau wangi aneh
kembang kenanga tercium semakin santar! Kali ini putuslah nyali Datuk Angek
Garang. Tanpa menunggu lebih lama dia segera memutar tubuh pontang panting
melarikan diri menuruni lereng bukit.
Begitu
Datuk Angek Garang lenyap di kejauhan, samar-samar di bawah pohon besar
menyeruak satu bayangan yang makin lama makin nyata dan menjelma menjadi sosok
seorang gadis berpakaian kebaya panjang serta kain putih. Rambutnya yang
panjang hitam digerai ke arah sosok Wiro yang berada diatas semak belukar dalam
keadaan pingsan. Sambil memegang Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya, gadis melangkah
mendekati Wiro. Dua kali dia mengusap wajah pemuda itu maka perlahan-lahan Wiro
sadar dari pingsannya.
“Bunga…”
desis Pendekar 212 begitu matanya terbuka dan yang dilihatnya pertama kali
adalah Bunga alias Suci alias Dewi Bunga Mayat tegak di hadapannya. Wiro hendak
bergerak tapi tubuhnya anjlok ke bawah dan dia jadi terkejut ketika menyadari
dirinya tersangkut di semak belukar.
“Apa yang
terjadi?” ujar Wiro begitu Bunga mengeluarkan dirinya dari dalam semak belukar.
“Nanti
saja kita bicara. Aku punya firasat tidak baik. Aku akan membawamu dari tempat
ini. Rasanya di sini tidak aman lagi bagimu…,”
Wiro
tegak terhuyung-huyung. Dia memandang berkeliling. “Orang tinggi besar berbaju
gombrong itu…” ujar Wiro.
“Dia
melarikan diri,” jawab Bunga, gadis dari alam gaib itu. Lalu diserahkannya
Kapak Naga Geni 212. Wiro menerima senjata mustika itu dan memegangnya
keberatan akibat tidak lagi memiliki kesaktian dan tenaga dalam. Dengan cepat
kapak disimpannya di balik pakaian.
“Wiro
kita harus pergi dari sini. Aku akan memanggulmu agar kita bisa bergerak lebih
cepat. Aku mencium bahaya mengelilingimu. Ini adalah kali terakhir aku bisa
muncul dan menolongmu. Setelah ini aku membutuhkan waktu seratus tujuh puluh
hari untuk dapat lagi keluar dari alamku….”
“Bunga, aku
tidak tahu harus bagaimana mengucapkan terima kasih. Aku yakin pasti kau baru
saja menyelamatkan nyawaku. Aku akan mengikuti ke mana saja kau bawa. Tapi tak
perlu digendong seperti anak kecil. Aku bisa berjalan sendiri.”
“Begitu?”
ujar Bunga. “Coba kau melangkah ke arah pohon besar sana:…”
“Kau kira
aku anak kecil yang baru pandai berjalan? Lihat!” Wiro lalu melangkah
besar-besar ke arah pohon yang berjarak sekitar sembilan langkah dari tempatnya
berdiri.
Satu
langkah, dua langkah. Pada langkah ketiga dia mulai terhuyung. Memasuki langkah
keempat dia batuk dan keluarkan darah dari mulut. Setelah itu dia jatuh
terduduk. Parasnya pucat.
“Walau
tidak berbahaya tapi ada racun yang masuk ke dalam tubuhmu. Orang yang kabur
itu telah menghantammu dengan ilmu pukulan mengandung hawa busuk. Sebaiknya kau
telan ini agar peredaran darahmu lancar dan bersih….”
Dari
balik pakaian putihnya Bunga keluarkan sehelai daun lalu menyerahkannya pada
Wiro. “Ini daun pohon kenanga. Kunyah dan telan. Mudah-mudahan kau tertolong.
Lekas kau kunyah sampai lumat….”
Wiro
memegang daun yang diserahkan Bunga itu sesaat. Bibirnya digigit-gigit.
Akhirnya daun itu dimasukkannya juga ke dalam mulutnya. Selagi dia mengunyah
daun Bunga berkata.
“Agar
peredaran darahmu bisa bekerja dengan baik dan kau tidak banyak cincong di
jalan aku terpaksa menotok dirimu!”
“Eh
Bunga,… Jangan!” seru Wiro. Tapi si gadis bergerak lebih cepat. “Hekkk!”
Satu
totokan yang disarangkannya di pangkal leher Wiro membuat murid Sinto Gendeng
itu tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kedua matanya ikut tertutup,
Tanpa
menunggu lebih lama Bunga langsung saja memanggul Wiro di bahu kirinya lalu
berkelebat ke arah lembah. Namun baru saja bergerak, bau sangat harum tiba-tiba
tercium di tempat itu. Langkah Bunga tertahan. Kedua kakinya laksana dipantek
ke tanah.
“Kau…!”
desis Bunga dengan sekujur tubuh bergetar. Wajahnya yang pucat serta merta
menjadi merah. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke depan, ke arah
seseorang yang dari caranya tegak di jalan jelas sengaja menghadang.
*********************
SEBELAS
Orang
yang tegak di jalan seta pa k empat langkah di hadapan Bunga yang sedang
memanggul sosok Wiro adalah seorang gadis luar biasa cantiknya. Dia mengenakan
pakaian ringkas baju biru muda di sebelah atas dan celana biru kehitaman di
sebelah bawah. Rambutnya yang hitam disanggul di atas kepala dan di sebelah
depan kepalanya terdapat sebuah mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna
biru. Dari tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak. Untuk beberapa
lamanya Bunga menatap tak berkesip ke dalam sepasang mata berwarna biru gadis
di hadapannya itu. Sebagai seorang yang berasal dari alam gaib di mana segala
kekuatan aneh berada, pandangan Bunga menusuk ke dalam mata orang di
hadapannya. Namun dia sendiri merasa getaran-getaran aneh pertanda yang
dipandang juga memiliki satu kekuatan luar biasa, yang tidak dimiliki oleh
orang biasa.
“Ratu
Duyung…” desis Bunga dengan suara dan air muka dingin.
“Syukur
kau telah mengenali hingga aku tak perlu menerangkan siapa diriku….” Orang di
depan Bunga menyahuti tak kalah dinginnya bahkan ketus. Orang ini memang adalah
Ratu Duyung.
“Ada
keperluan apa kau tegak menghadang jalanku? Kalau maksud jahat katakan jahat!
Kalau maksud baik katakan baik!”
Ratu
Duyung tersenyum. “Alamku dan alammu banyak persamaannya. Namun dalam alamku
kami tidak mengenal segala sesuatu yang berbentuk jahat!”
“Beg
itu?” ujar Bunga lalu dongakkan kepala dan keluarkan suara tertawa perlahan.
“Kalau bukan karena perbuatan jahat, pemuda yang berada di atas panggulanku ini
tidak akan mengalami nasib seperti ini! Kesengsaraan yang dialaminya lebih
pahit dan lebih mengerikan dari kematian!”
“Gadis
alam hitam, jangan kau berani bermulut lancang menuduhku. Kejahatan apa yang
telah aku lakukan terhadapnya?!”
“Dari
pertanyaanmu yang penuh kepura-puraan itu, aku kini mengerti bahwa alam kita
memang benar punya perbedaan. Di alammu mencelakai orang bukan satu kejahatan!”
Bunga tertawa panjang. Tiba-tiba seperti direnggut setan tawanya lenyap dan air
mukanya segarang harimau lapar. “Kau telah memperdayai Pendekar 212 semata-mata
untuk membebaskan dirimu dan anak buahmu dari kutukan! Apakah itu bukan
perbuatan jahat? Kau rampas kehormatannya yang mengakibatkan kini dirinya
seolah-olah mati dalam hidup!”
Paras
Ratu Duyung tampak merah seperti terpanggang sinar matahari. “Karena hidupmu di
alam aneh, kau tidak tahu apa artinya meminta tolong, apa artinya berbagi rasa
dalam penderitaan, apa artinya menghormati sesama manusia nyata, bukan manusia
gaib sepertimu!”
“Sungguh
hebat ucapanmu! Pertolongan apa yang kau maksudkan Ratu Duyung? Memeras
kehormatannya dan menjadikannya budak nafsumu lalu menjadikannya budak
kebodohan? Perasaan apa yang begitu kau muliakan hingga kau tega mencelakainya?
Kehormatan apa yang kau berikan padanya hingga dia menjadi sengsara seperti
sekarang ini?”
“Aku
memang melakukan satu kealpaan. Tidak mengatakan apa akibat dari pertolongan
yang diberikannya. Tapi lain daripada itu tidak ada pikiran apalagi perbuatan
jahat. Dia menolongku penuh kesadaran. Atas sepengetahuan beberapa orang tokoh
termasuk gurunya sendiri. Apakah kau lebih berkuasa dari para tokoh dan
gurunya? Bukankah segala tuduhan dan ucapan lantangmu hanya dipengaruhi oleh
rasa cemburu terhadapku? Aku mendapatkan perhatian lebih dari dia sebaliknya
kau tidak! Seharusnya kau tahu diri. Paling tidak sedikit menyadari. Mania
mungkin manusia alam nyata bisa membagi kasih dengan manusia alam gaib
sepertimu?!”
Paras
pucat Bunga alias Suci tampak menjadi merah mendengar ucapan Ratu Duyung.
Dengan cepat gadis ini menyahuti kata-kata sang Ratu itu.
“Dalam
alamku yang kau anggap rendah pertolongan adalah pertolongan. Tidak ada
embel-embel lain atau akibat yang bisa mencelakai orang!”
“Siapa
yang mencelakai dirinya? Justru aku datang mencarinya untuk memberikan
keterangan dan meminta maaf….”
“Pendekar
212 tidak memerlukan dirimu, tidak memerlukan keteranganmu, juga tidak
memerlukan maafmu!”
“Yang
kudengar adalah ucapanmu, bukan ucapan Pendekar 212!” tukas Ratu Duyung.
Untuk
beberapa lamanya kedua orang gadis jelita itu saling berperang pandang. Lalu
Ratu Duyung membuka pembicaraan lagi.
“Aku
melihat dua orang anak buahku menemui ajal di lereng bukit di atas sana….
Apakah kau yang telah membunuh mereka?!”
“Tuduhan
keji! Bukankah kau orang sakti yang bisa menembus dunia hitam dan melihat ke
dalam kejauhan?! Jangan kau sekali lagi berani lancang menuduh yang
bukan-bukan! Lekas menyingkir berikan jalan!”
“Aku
perlu bicara dengan Pendekar 212. Biar ada kejelasan dan menghindarkan salah
sangka di antara kami. Harap kau lepaskan totokannya, turunkan dia dari panggulanmu!”
“Permintaanmu
tidak bisa kupenuhi!” jawab Bungs tandas.
“Kalau
begitu kuanggap kau sengaja hendak menimbulkan jurang perpecahan antara aku
dengan Pendekar 212. Itu memang ciri-ciri khas manusia alam gaib dan hitam
sepertimu!”
“Terserah
kau mau berkata dan menuduh apa! Yang jelas kau tak bakal mendapatkan pemuda
ini. Baik tubuh maupun hatinya!”
Ratu
Duyung tertawa panjang. “Jelas kecemburuan menguasai dirimu! Kau lupa bahwa
pemuda itu telah merelakan tubuhnya untukku? Pendekar 212 telah berbagi kasih
dengan aku?!”
“Lekas
menyingkir atau kau akan menyesal seumur hidupmu! Kau pernah menderita dalam
alam kutukan! Jangan sampai aku membuat kau menderita dalam bentuk lain!”
“Serahkan
Pendekar 212 padaku!” hardik Ratu Duyung. Sepasang matanya yang biru
mengeluarkan kilatan aneh.
“Sekali
aku bilang tidak, sampai kiamat pun tidak!”
“Kau
mencari kiamat sendiri!” Ratu Duyung tegak renggangkan kaki. Tangan kirinya
diletakkan di atas dada. Tangan kanan perlahan-lahan diangkat ke atas.
Bunga tak
tinggal diam. Pandangan matanya menyorot garang.
“Kau
masih keras kepala? Atau kau mencari penyesalan karena aku akan segera
menjatuhkan tangan keras terhadapmu!”
Ratu
Duyung mengancam.
“Silahkan
coba! Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan manusia yang pernah dimakan
kutukan!” sahut Bunga menerima tantangan dan ancaman orang.
Baru saja
Bunga berucap begitu dari ujung jari telunjuk tangan kanan Ratu Duyung melesat
serangkum sinar biru. Sinar ini melesat demikian cepatnya hingga sebelum bisa
mengelak sekujur tubuh Bunga termasuk Wiro yang ada dalam panggulannya telah
terikat kuat. Makin lama ikatan itu terasa semakin mengencang.
Ratu
Duyung dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
Bunga
menyeringai. Kepalanya digoyangkan. Rambutnya yang hitam panjang melesat ke
udara membuat gerakan berbentuk lingkaran.
“Wuuttt!”
Angin
keras laksana puting beliung keluar dari putaran rambut membuat pakaian Ratu
Duyung berkibar-kibar. Rambutnya yang tergulung di atas kepala terlepas dan
tergerai riap-riapan. Mahkota biru yang ada di kepalanya terpental ke atas
namun secara aneh perlahan-lahan turun kembali dan menempel di tempat semula.
Sepasang kaki Ratu Du-yung bergetar keras. Ada satu kekuatan laksana topan mencoba
membongkar kuda-kuda sepasang kakinya yang seolah pohon besar ditancapkan ke
tanah. Sepasang mata Ratu Duyung memancarkan kilatan aneh. .
Dari
mulut Bunga keluar pekik keras menusuk menyakitkan telinga dan menggetarkan
dada Ratu Duyung. Lalu terdengar suara “Dess… dess!” Be-berapa kali
berturut-turut, ikatan tali biru aneh yang melibat sekujur tubuh Bunga dan Wiro
putus be-rantakan.
Ratu
Duyung terkesiap tak percaya melihat apa yang terjadi. Di depannya Bunga
tertawa panjang lalu berseru.
“Ratu
Duyung! Terima hadiah kecil dariku sekedar untuk kenang-kenangan!”
Baru saja
ucapan gadis alam gaib itu berakhir satu sinar kuning menderu ke arah Ratu
Duyung disertai menghamparnya bau santar kembang kenanga. Di udara tampak
berkelebat sebuah benda kuning menyerupai bintang.
Ratu
Duyung ingat betul pukulan inilah yang dulu menghantamnya sewaktu berada di
Puri Pelebur Kutuk bersama Pendekar 212. Didahului teriakan keras sang Ratu
melesat dua tombak ke atas dan sambil melayang di udara dia dorongkan dua
tangannya ke arah Bunga. Dua gelombang cahaya biru sebesar batangan bambu
menderu menyapu ke arah Bunga. Gadis dari alam gaib itu ganda tertawa.
Tiba-tiba dia turunkan sosok Pendekar 212 dari bahunya. Tubuh murid Sinto
Gendeng ini kemudian digendongnya di depan tubuhnya.
“Kau
hendak membunuh kami berdua, silahkan!” seru Bunga seraya angsurkan tubuh Wiro
ke depan, membuat Ratu buyung terkesiap dan terpaksa batalkan serangan
ganasnya.
“Pengecut!”
maki Ratu Duyung. “Turunkan pemuda itu! Hadapi diriku secara langsung!” Sambil
berteriak Ratu Duyung cepat melompat ke samping menghindarkan serangan cahaya
dan benda kuning yang menghantam ke arahnya.
Bunga
tertawa panjang.
“Sekarang
terbukti bahwa manusia alam gaib sepertimu memang berhati culas dan jahat!
Buktinya kau tega mempergunakan orang sebagai tameng. Jika kau menyukai dirinya
mengapa mempergunakan dia sebagai tameng?! Pengecut keji!”
Mendengar
caci maki Ratu Duyung, Bunga menjadi marah. Tangan kirinya digerakkan ke
samping. Secara aneh tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terangkat dan melayang ke
kiri lalu tegak tersandar ke sebatang pohon. Masih dalam keadaan tertotok, tak
bisa bicara tak bisa bergerak. Bahkan sepasang matanya pun masih tampak
tertutup hingga Wiro sama sekali tidak mengetahui apa yang tengah terjadi!
“Kita saling
berhadapan sekarang! Apa maumu akan kulayani!” kata Bunga.
“Bagus!
Aku akan membuatmu mati sampai sepuluh kali!” ujar Ratu Duyung. Untuk kedua
kalinya sang Ratu lepaskan dua pukulan sinar sakti berwarna biru.
“Wusss!
Wusss!”
Bunga
angkat tangan kirinya. Dari tangan ini keluar sinar kuning berputar laksana
tameng memagari dirinya. Bersamaan dengan itu Bunga gerakkan tangan kanan ke
pinggang mengeluarkan sekuntum kembang kenanga. Kembang ini lalu dilemparkannya
ke arah lawan.
Begitu
dua jalur sinar biru pukulan sakti yang dilepaskan Ratu Duyung hanya tinggal
beberapa jengkal lagi dari sasarannya tiba-tiba putaran sinar kuning yang
keluar dari tangan kiri Bunga berubah membesar dan membentuk kerucut. Dua sinar
biru pukulan sakti yang dilepaskan Ratu Duyung amblas tersedot ke dalam putaran
sinar kuning laksana benda tersedot putaran air yang ganas. Dua dentuman
menggelegar di tempat itu.
Ratu
Duyung terjajar lima langkah ke belakang. Mukanya yang cantik tampak memucat.
Untuk sesaat tubuhnya bergetar tak karuan. Peredaran darahnya kacau. Tenaga
dalamnya menyentak-nyentak. Mulutnya terasa asin tanda ada darah akibat luka
dalam.
Dilain
pihak Bunga tegak terhuyung-huyung. Wajahnya yang pucat semakin putih. Kebaya
putihnya robek hangus di bagian dada dan pinggang hingga auratnya tersingkap
lebar. Ketika dia meneliti, gadis aiam ini jadi melengak. Tiga kuntum kembang
kenanga yang tersimpan di pinggang pakaiannya telah berubah menjadi hitam
hangus!
“Gadis
iblis! Kalau tidak kubunuh dirimu belum puas hatiku!” teriak Bunga dengan
sepasang mata bernyala-nyala. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah. Dari
tanah mencuat cahaya merah yang menjalar memasuki tubuhnya terus ke kepala lalu
melesat keluar dari kedua matanya!
ilmu
iblis apa yang dimiliki gadis alam gaib ini!” pikir Ratu Duyung. “Aku terluka
dalam. Tak mungkin mengerahkan tenaga dalam secara penuh! Aku tak bisa balas
menghantam dengan kilatan cahaya biru-ku! Benar-benar berbahaya!”
Secepat
kilat Ratu Duyung mengambil cermin bulat sakti dari balik pakaian birunya.
Begitu benda ini digoyangkannya maka berkiblatlah kilauan cahaya putih disertai
suara laksana dentuman, petir menggelegar berulang kali.
Bukit
Jatianom seperti diamuk gempa. Tanah bergetar dan longsor besar terjadi di
beberapa tempat. Pohon-pohon bertumbangan. Semak belukar rambas dan bertaburan
di udara. Batu dan pasir menggebubu menutupi pemandangan membuat udara yang
memang sudah gelap karena mendung tebal menjadi tambah kelam.
Ratu
Duyung terkapar di tanah. Sekujur tubuhnya tertutup oleh tanah. Dengan cepat
dia melompat tegak walau tubuhnya terasa limbung.
Bunga
masih tampak berdiri tapi keadaannya tak karuan rupa. Rambut acak-acakan.
Pakaian dan celana putihnya hangus. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di tanah tak
jauh dari tempatnya berdiri. “Seumur hidup belum pernah aku mengalami yang
seperti ini,” membathin gadis dari alam gaib ini. Entah hidup di alam mana yang
dimaksudkannya dalam ucapan batinnya tadi.
Bagaimana
dengan Pendekar 212 sendiri?
Ketika
segala kedahsyatan itu melanda bukit Jatianom tubuh murid Sinto Gendeng laksana
dilemparkan ke udara. Selagi tubuh itu melayang jatuh tiba-tiba satu bayangan
hitam berkelebat laksana hantu gentayangan.
Baik Ratu
Duyung maupun Bunga sama-sama berteriak ketika melihat bagaimana bayangan hitam
itu melesat ke udara menyambar tubuh Pendekar 212 lalu berkelebat lenyap. Ratu
Duyung dan Bunga cepat bertindak hendak mengejar. Tapi bayangan hitam telah
lenyap.
“Wiro!”
teriak Ratu Duyung memanggil.
“Celaka!”
keluh Bunga.
“Gadis
iblis! Kalau bukan karenamu hal ini tidak akan terjadi!” Ratu Duyung memaki.
“Ratu
jahanam! Jangan kau membalikkan tuduhan! Kau yang jadi biang racun gara-gara
semua ini!” bentak Bunga.
Selagi
kedua gadis cantik perang mulut saling memaki tiba-tiba dari jurusan lain
muncul satu bayangan biru. Sebelum Ratu Duyung dan Bunga sempat melihat jelas
siapa adanya bayangan itu, sesosok tersebut telah lenyap dan Kapak Maut Naga
Geni 212 milik Wiro yang tadi tergeletak di tanah kini lenyap tak tampak lagi!
Bunga
hantamkan tangan kanannya. Ratu Duyung kiblatkan cermin saktinya. Tapi bayangan
biru itu luar biasa sekali cepat gerakannya. Sebelum dua serangan ganas sempat
menyentuhnya, sosoknya telah lenyap dalam kegelapan.
Ratu
Duyung tertegun. Dalam hati dia berkata. “Hanya ada satu orang yang memiliki
kecepatan seperti kilat begitu. Kalau memang dia…. Ah, bagaimana jadinya urusan
ini? Persoalanku dengan Pendekar 212 belum dapat dijernihkan. Sekarang muncul
lagi gadis itu. Nasib diriku semakin tidak karuan….”
Ratu
Duyung berpaling ke arah di mana sebelumnya Bunga tegak berdiri. Namun saat itu
didapatinya gadis dari alam gaib itu tak ada lagi di tempat itu. Ratu Duyung
semakin bingung. Dia memandang berkeliling.
“Wiro…?!
Wiro…?!” panggilnya dengan suara bergetar. “Kemana aku harus mencari? Siapa
yang telah menculik dirinya? Oh Tuhan apakah belum berakhir derita sengsara
ini” Tak terasa sepasang matanya yang biru tampak berkaca-kaca. Udara tambah
gelap. Di langit tampak kilat menyambar beberapa kali. Lalu bertiup angin
kencang. Bersamaan dengan itu hujan mulai turun rintik-rintik Ratu Duyung
menarik nafas dalam berulang kali. Akhirnya dengan berbagai perasaan kacau
balau dia tinggalkan lereng bukit Jatianom yang porak poranda itu.
*********************
DUA BELAS
Setelah
memastikan pemuda itu berada dalam keadaan tertotok bukannya pingsan apa lagi
mati, Sika Sure Jelantik segera memeriksa. Samar-samar dia melihat ada tanda
kemerahan di urat besar pangkal leher Wiro. Dengan segera dia lipat jari
telunjuknya lalu ujung lipatan jari ditekankannya ke bagian leher pemuda itu.
Sejurus
tubuh Wiro masih belum bergerak. Matanya juga masih tertutup. Lalu terdengar
dia batuk-batuk beberapa kali. Ketika akhirnya matanya dibuka murid Sinto
Gendeng melengak laju bersurut mundur. Matanya membesar menatap wajah perempuan
tua di hadapannya. Terus ke sepuluh jari-jari tangan yang berwarna hitam dan
panjang-panjang.
“Nek,
siapa kau? Apa yang terjadi dengan diriku? Berada di mana aku saat ini?” Wiro
langsung ajukan rentetan pertanyaan. Terhuyung-huyung dia coba bangkit dan
duduk. Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada dalam sebuah dangau di
tengah pesawahan kering.
Si nenek
menatap sesaat pada pemuda di hadapannya itu lalu berpaling memandang ke arah
kejauhan. Dalam hati si nenek berkata. “Gila! Sikap dan cara bicara anak ini
hampir sama dengan jahanam itu di masa muda!”
“Nek….”
“Nek,
Nek… Nek! Kau mengapa cerewet amat! Apa yang hendak kau katakan?!”
“Tadi aku
sudah bertanya. Tapi kau tak menjawab. Malah marah…. Sebelumnya aku berada di
satu bukit bernama Jatianom. Mengapa tahu-tahu berada di sini?!”
“Memang
aku yang menculikmu dan membawamu ke tempat ini!”
“Kau….
Kau menculikku? Mengapa? Apa kesalahanku, apa untungnya menculik orang jelek
dan sengsara seperti aku?!”
“Jelek
atau sengsara bukan urusanku! Kalau kau memang sudah dilahirkan jelek dan
nasibmu sengsara itu namanya takdir! Aku tidak perduli dan tidak mau tahu!”
“Lalu apa
alasanmu menculik diriku? Jangan-jangan kau bangsanya nenek genit yang masih
doyan daun muda….”
“Plaaaakk!”
Satu
tamparan mendarat di pipi kiri Pendekar 212. Membuat pemuda ini menjadi pening
dan kesakitan.
Wiro
angkat tangan kanannya dan balas menampar.
“Plaaakkk!”
Si nenek
melengak kaget setengah mati. Rasa terkejutnya lebih hebat dari pada rasa
sakit.
“Anak
muda kurang ajar! Kau ingin mati cepat rupanya!” si nenek mengancam dengan mata
melotot.
“Uh… huk…
huk… huk!” Wiro batuk-batuk. “Sejak beberapa hari lalu sudah beberapa orang
inginkan kematianku. Hari ini tambah lagi satu orang! Tapi Nek, aku tidak
bodoh! Kau pasti punya alasan tertentu menculik dan membawa aku ke tempat sepi
ini. Sebelum kau mendapatkan apa yang kau mau kau tak bakal membunuhku! Uh…
huk… huk… huk! Umurku rupanya masih bisa diperpanjang. Padahal aku sudah ingin
buru-buru mati!”
“Kematian
akan segera menjadi bagianmu anak gila. Kau ternyata cerdik seperti bangsat tua
yang satu itu!”
“Eh,
bangsat tua yang mana maksudmu Nek?”
“Dengar!”
si nenek jambak rambut Wiro. Lalu dia berkata. “Aku tahu kau adalah Pendekar
212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng dan juga murid seorang kakek dajal
bergelar Tua Gila!”
“Wan ilmu
pengetahuanmu luas juga rupanya Nek. Kau tahu banyak tentang diriku. Apa kau
tahu berapa pusar-pusar rambut di kepalaku? Juga tahu berapa aku punya pusar di
perut! Lalu berapa aku punya pusar di bawah perut? Ha… ha… ha…! Huk… huk… huk!”
Si nenek
berjubah hitam keluarkan suara menggembor saking marahnya. Tangannya diangkat
kembali hendak menampar tapi kemudian perlahan-lahan diturunkan.
“Kenapa
tak jadi menampar?” tanya Wiro sambil mencibir.
“Anak
jahanam! Guru dan murid sama saja!” Si nenek bantingkan kepala Wiro ke samping.
Lalu dengan kakinya ditendangnya perut pemuda itu hingga Wiro menjerit
kesakitan. Tubuhnya terpental dua tombak. Perutnya serasa pecah, pemandangannya
berkunang-kunang. Untuk beberapa lama dia hanya bisa mengerang menahan sakit.
Dalam pada itu si nenek sudah melompat ke hadapannya dan kembali menjambak
rambutnya.
“Aku
ingin tahu di mana gurumu berjuluk Tua Gila itu berada?!” Sambil bertanya si
nenek sentakkan jambakannya.
Walau
sakit tapi murid Sinto Gendeng malah senyum-senyum. Membuat si nenek jengkel
setengah mati.
“Ada
hubungan apa kau dengan Tua Gila? Kau pasti bukan orang sini! Mengadakan
perjalanan jauh. Sampai-sampai menculik diriku! Hanya untuk tahu di mana
beradanya Tua Gila! Hik… hik! Aku punya firasat di masa muda kau dengan dia….”
“Plaaakkk!”
Tak dapat
menahan hatinya lagi si nenek lantas saja tampar Wiro untuk kedua kalinya! Kali
ini demikian kerasnya sampai mulut Wiro pecah dan mengucurkan darah.
“Aduh
sakitnya….” ujar Wiro. Dia sampai keluar air mata.
“Kalau
kau masih berani mempermainkan jangan kira aku tidak tega mengorek kau punya
mata!” kata si nenek dengan rahang menggembung. “Lekas katakan di mana Tua Gila
berada!”
“Aku… aku
tidak tahu Nek. Terakhir sekali aku bertemu dengan dia di Pangandaran. Aku
pergi ke selatan dia pergi ke utara….”
“Jangan
dusta! Masakan di mana guru sendiri berada kau tidak tahu!”
“Memangnya
aku murid apa yang mengikuti guru kemana-mana dan harus tahu di mana dia
berada!”
“Aku
tidak percaya padamu! Kau sama gila dan kurang ajarnya dengan si Tua Gila itu!”
“Hemmm….
Kalau kau memaksa baiklah. Aku akan katakan di mana guruku itu berada. Tak jauh
dari sini!”
Se pa
sang mata si nenek membuka lebar. Dia menyeringai. “Katakan di mana…!”
“Tak jauh
dari sini. Di sebelah tenggara ada sebuah kali kecil. Guruku si Tua Gila itu
ada di sana. Lagi berak! Ha… ha… ha…!”
“Jahanam
setan alas!” Kini bukan tamparan lagi yang diterima Pendekar 212 melainkan satu
jotosan menghajar pipinya, membuat pemuda tak berdaya ini jatuh terguling di
tanah dengan pipi memar! Belum puas si nenek lalu melompat dan injakkan kaki
kanannya ke leher Wiro. “Aku Sika Sure Jelantik tidak punya ganjalan apa-apa
membunuhmu! Tidak dapat gurunya, muridnya lebih dulu tak jadi apa!”
Si nenek
yang ternyata adalah Sika Sure Jelantik kekasih Tua Gila di masa muda lalu
perkeras injakannya hingga mulut Pendekar 212 terbuka dan lidahnya tampak
terjulur. Tiba-tiba nenek berteriak keras. “Jahanam kurang ajar!”
Apa yang
terjadi?
Ketika
lehernya dipijak semakin keras, Wiro susupkan tangannya ke dalam jubah hitam si
nenek lalu dengan cepat menggelitik bagian bawah perut Sika Sure Jelantik.
Tentu saja perempuan tua ini menggelinjang kaget dan geli.
“Kupecahkan
kepalamu!” teriaknya lalu berkelebat dan hantamkan tangan kanannya ke batok
kepala Pendekar 212. Seperti yang sudah-sudah murid Sinto Gendeng ini hanya
berdiam diri saja seolah pasrah menerima kematian.
Sesaat
lagi pukulan Sika Sure Jelantik benar-benar akan memecahkan batok kepala murid
Eyang Sinto Gendeng itu tiba-tiba terdengar satu seruan. Bersamaan dengan itu
bau sangat wangi menyeruak di tempat itu.
“Nenek
Sika! Jangan kau bunuh! Dia pemuda yang aku ceritakan padamu! Aku mohon
pengampunan baginya!”
Sika Sure
Jelantik terkejut. Satu bayangan biru berkelebat dan tegak di hadapannya. Di
tangan kanannya orang yang barusan muncul itu memegang Kapak Maut Naga Geni
212.
“Anakku,
kau rupanya!” ujar Sika Sure Jelantik sambil menatap tajam pada orang yang
berdiri di depannya lalu berpaling pada Wiro. Si nenek tarik nafas dalam lalu
perlahan-lahan tarik kaki kanannya yang menginjak leher Wiro. Pendekar 212
cepat bangkit berdiri dan batuk-batuk berulang kali. Dia memandang ke depan dan
lambaikan tangannya.
“Bidadari
Angin Timur….” seru Wiro. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawa manusia
buruk ini dari nenek yang kesasar tak tahu juntrungan ingin membunuhku!”
Si nenek
kembali meledak marahnya. Tapi gadis berpakaian biru yang memang Bidadari Angin
Timur adanya cepat menghalangi dan berdiri di hadapan si nenek.
“Aku
mohon Nek….” kata Bidadari Angin Timur setengah memelas, membuat gelegak marah
si nenek menjadi kendur.
“Jadi ini
dia pemuda yang menurutmu mencintaimu setengah mati?!”
Bidadari
Angin timur tidak menyahut. Dia hanya tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya
yang kemerahan.
Sika Sure
Jelantik tertawa mengekeh lalu geleng-gelengkan kepala. “Tidak kusangka kalau
murid musuh besarku ini adalah pemuda yang menjadi kekasihmu! Anakku, kita
sudah bicara panjang lebar. Aku sudah memberi nasihat banyak padamu. Kalau
begini potongan orangnya a la mat kau bakalan susah! Aku kenal gurunya!
Menipuku di masa muda. Murid tentu tak bakal jauh dari sang guru! Terserah
padamu! Kalau aku jadi gadis secantikmu pemuda jelek dan bau ini tidak akan
laku! Hik… hik… hik!”
Wiro
ikut-ikutan ketawa.
“Anak
jahanam! Kenapa kau ketawa?!” sentak Sika Sure Jelantik penuh gusar.
“Guruku
si Tua Gila jauh lebih buruk dan lebih bau dariku. Tapi mengapa kau dulu bisa
naksir padanya?! Hik… hik… hik!”
“Wiro,
harap kau bicara lebih sopan pada nenek Sika!” kata Bidadari Angin Timur.
“Baiklah,
memandang dirimu aku akan bicara bersopan-sopan padanya. Tapi aku melihat
keanehan. Kau memanggilnya nenek, tapi dia memanggilmu anak. Sebenarnya orang
ini nenekmu atau ibumu?!”
“Wiro
jangan bergurau terus-terusan!” bentak Bidadari Angin Timur.
Pendekar
212 angkat bahu lalu garuk-garuk kepala. “Aku memang kurang ajar. Mungkin sudah
dari sananya!” kata Wiro seperti menyesali diri. Dia berpaling pada si nenek
dan tersenyum.
“Masih
bisa tersenyum! Huh! Aku muak melihat senyummu!” damprat Sika Sure Jelantik.
“Aku
mohon maafmu Nek. Aku tidak maksud bersikap kurang ajar padamu. Jika kau
sahabat gadis ini berarti sahabatku juga!”
“Sialan!
Siapa sudi jadi sahabatmu!” tukas Sika Sure Jelantik. Lalu dia berpaling pada
si gadis. “Jadi namamu Bidadari Angin Timur. Nama bagus. Kau dengar baik-baik
anakku. Kalau aku tidak suka padamu, sudah kubuat buyar otak monyet gondrong
ini! Tapi memberi ampun muridnya bukan berarti memberi ampun gurunya! Tua Gila
akan terus kucari sampai dapat! Sebelum dia mati di tanganku tak akan tenteram
hidupku dan matiku! Dan kau! Jika kau berani membantu gurumu aku tak akan
memberi ampunan lagi padamu!” Sika Sure Jelantik pelototkan matanya pada Wiro.
Lalu berpaling pada Bidadari Angin Timur. “Aku pergi sekarang!”
“Baik
Nek. Aku harap dapat bertemu lagi denganmu. Terima kasih atas kebaikanmu!” kata
Bidadari Angin Timur pula.
Wiro
Sableng melangkah ke hadapan si nenek lalu menjura dalam-dalam seraya berkata
“Nek, aku monyet gondrong jelek ini juga mengucapkan terima kasih seri pertama
atas pengampunanmu dan kebaikanmu!”
“Eh, apa
maksudmu terima kasih seri pertama…?!” sentak si nenek.
“Maksudku….
Kalau… siapa tahu kemudian hari aku bersikap alpa dan membuat kesalahan lagi
padamu, jauh-jauh aku minta dimaafkan dan sekalian menyampaikan terima kasih
seri kedua!”
“Pemuda
geblek!” teriak Sika Sure Jelantik lalu tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian
di kejauhan terdengar suara tawanya gelak-gelak.
Wiro
berpaling pada Bidadari Angin Timur. Sesaat pandangan mata mereka saling
beradu. Tanpa ucapan sepatah katapun pandangan mata itu telah merupakan seribu
kata yang tak tercetuskan.
“Aku
menemukan senjata mustika ini di bukit Jatianom. Bagaimana senjata begini
berharga dan tak ada tandingan di dunia persilatan kau terlantarkan begitu
saja?” Si gadis menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Wiro.
“Panjang
ceritanya. Aku bersyukur kau menemukan kapak ini. Aku sangat berterima kasih….”
Wiro ulurkan tangannya menerima kapak. Namun dia bukan hanya memegang gagang
senjata itu. Jari-jari tangannya ikut menyentuh jari-jari tangan Bidadari Angin
Timur. Matanya memandang berbinar-binar ke dalam mata si gadis. Tidak tahan
dipandangi seperti itu Bidadari Angin Timur tundukkan kepalanya.
“Sejak
perpisahan di Pangandaran dulu, aku begitu merindukanmu. Aku….”
Wiro tak
dapat meneruskan kata-katanya. Kapak Naga Geni 212 disisipkan ke pinggangnya.
Dia memandang ke arah kejauhan. Mulutnya terkancing ketika dia menyadari bahwa
selama ini sebenarnya dia hanya bertepuk sebelah tangan.
“Bidadari,
maafkan kalau ucapanku barusan tidak pada tempatnya. Aku kurang sehat. Aku
harus pergi dan memencilkan diri untuk beristirahat. Sekali lagi aku berterima
kasih kau telah menolongku. Banyak budi yang telah kau tanam padaku. Rasanya
belum satupun yang bisa aku balas.”
“Wiro aku
tahu kau dalam keadaan sakit. Lahir dan batin. Kalau kau suka aku bersedia….”
“Wiro!”
Tiba-tiba ada seseorang berseru menyebut nama Pendekar 212. Di lain kejap
seorang gadis cantik berpakaian biru bermata biru muncul di tempat itu.
“Ratu
Duyung!” balas berseru Wiro ketika melihat siapa yang datang. “Kebetulan kau
datang! Ada urusan kusut yang ingin aku selesaikan denganmu!”
Ratu
Duyung hendak melangkah mendekati si pemuda namun langkahnya tertahan ketika
disadarinya tak jauh dari situ tegak seorang gadis cantik berambut pirang.
Pandangan dua gadis ini saling beradu. Ratu Duyung ingat akan pertemuannya
dengan Bunga yang berakhir dengan keonaran besar. “Jangan-jangan gadis cantik
yang satu ini….”
Memikir
seperti itu Ratu Duyung cepat berkata.
“Ah,
harap maafkan. Aku sampai tidak melihat kalau ada orang lain bersamamu! Aku
tidak ingin mengganggu. Lain kali aku menemuimu lagi….”
“Ratu,
tunggu!” panggil Wiro seraya melangkah hendak mengejar. Namun Ratu Duyung sudah
berkelebat pergi. Perlahan-lahan Wiro putar kepalanya dan tersenyum pada
Bidadari Angin Timur.
“Orang
datang menjemputmu, mengapa tak kau cegah kepergiannya? Mengapa tidak kau kejar
dirinya?”
. Wiro
hanya bisa berdiam diri beberapa lamanya. Dia memandang ke jurusan lain seolah
tak sanggup lagi menatap paras cantik di depannya itu. “Aku memang ada hal
penting yang perlu dijernihkan dengan Ratu Duyung. Tapi betapapun pentingnya
bagiku kau jauh lebih penting….”
Tak ada
suara jawaban. Tak ada gerakan. Wiro berpaling. Astaga! Dia jadi tersentak.
Bidadari Angin Timur tak ada lagi di tempatnya tadi berdiri!
*********************
TIGA BELAS
Hari
tujuh bulan ke tujuh. Waktu itu hampir menjelang tengah malam. Lang it di atas
candi Mendut tampak bersih ditebari bintang gumintang. Bulan sabit ikut
menghias angkasa dan bersinar dengan lembut.
Sesosok
tubuh tampak duduk setengah mendekam dekat sebatang pohon di bukit Tegalrejo,
terletak tak jauh dari bangunan candi.
“Jahanam
Datuk Angek Garang! Ini adalah hari ke delapan dia terlambat muncul! Apa yang
terjadi dengan dirinya?!. Orang di dekat pohon terdengar keluarkan suara
makian. Dari suaranya ternyata dia “adalah seorang perempuan tua, berwajah
putih. Mengenakan jubah hitam dan memiliki rambut putih dilepas sepunggung.
Selagi
mengomel-ngomel sendirian seperti itu tiba-tiba dia disentakkan oleh suara
benda berkerontang. Makin lama suara kerontangan itu terdengar semakin keras
tanda tambah dekat.
“Orang
gila darimana malam-malam buta begini membuat suara berisik?!” maki perempuan
tua berwajah putih yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak dari Gunung
Singgalang pulau Andalas. Sesuai perjanjian dengan Datuk Angek Garang, mereka
bersepakat untuk bertemu di bukit Tegalrejo itu pada hari tujuh bulan ke tujuh.
Namun setelah delapan hari berlalu dari saat yang ditentukan, sang Datuk belum
juga muncul. Kini selagi dia menunggu dengan hati kesal, muncul hal yang
membuatnya tambah jengkel. Suara berisik tadi!
Tak
selang berapa lama dari arah selatan kelihatan satu sosok tubuh melangkah
terbungkuk-bungkuk. Orang ini mengenakan caping lebar. Pakaian penuh tambalan.
Di tangan kanannya dia memegang sebuah kaleng rombeng yang tak henti-hentinya
digoyang-goyang hingga mengeluarkan suara keras berisik. Di tangan kirinya
orang ini memegang sebuah tongkat kayu butut. Benda ini dipergunakannya untuk
menuntun jalannya di malam buta itu.
“Pengemis
sialan! Malam-malam buta membuat berisik saja! Ah…. Setan betul! Dia menuju ke
arahku ini!” Me maki Sabai Nan Rancak. Baru saja suara makiannya sirap
tahu-tahu orang yang dianggapnya pengemis itu telah berada beberapa langkah di
lereng bukit di bawahnya.
“Aneh…”
ujar si nenek dalam hati. “Barusan saja aku bicara memakinya bagaimana
tahu-tahu dia sudah berada di bawah sana dan duduk se-enaknya?!”
Pengemis
yang duduk terpisah sekitar enam langkah di bawah si nenek kerontangkan lagi
kaleng rombeng nya hingga telinga Sabai Nan Rancak hampir budek kepengangan.
”Gembel
sinting! Hentikan pekerjaanmu menggoyang-goyang kaleng jahanam itu! Atau
kurampas dan kuhancurkan?!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Astaga…!
Ada seorang sahabat rupanya di tempat sesunyi ini. Eh, kira-kira di mana aku
berada saat ini ya?!” Pengemis di bawah sana keluarkan ucapan.
“Sialan!
Aku bukan sahabatmu! Aku setan yang akan mencekikmu jika kau tidak berhenti
mengguncang kaleng rombeng itu!”
“Walah!
Aku pernah dengar setan yang pandai mencekik. Tapi baru sekali ini aku menemui
setan pandai bicara! Sayang mataku buta! Kalau tidak ingin sekali aku melihat
wajahnya! Apalagi setan perempuan sepertimu!” Habis berkata begitu orang
bercaping tertawa gelak-gelak.
Sabai Nan
Rancak hilang kesabarannya. Dia melompat ke lereng bukit di bawahnya dan
mengetuk caping di kepala orang dua kali.
“Pengemis
sinting, kalau kuberi kau sesuatu apakah kau mau pergi dari sini dan tidak
mengganggu ketentramanku?!”
“Ah,
untuk ucapanmu itu aku jadi ingin mengatakan beberapa hal….”
“Kau
boleh bicara! Setelah itu lekas pergi dari sini! Jangan membuatku benar-benar
marah!”
Orang yang
duduk menjelepok di tanah itu membuka capingnya dan meletakkan benda itu di
pangkuan. Si nenek memperhatikan. Ternyata orang yang dianggap sebagai pengemis
ini adalah seorang kakek berambut putih, memiliki sepasang mata putih alias
buta.
“Pertama,
dari logat bicaramu jelas kau bukan orang sini. Kalau orang dari seberang
mengadakan perjalanan jauh pasti ada urusan besar yang tengah dihadang….”
“Hemmm….
Apa yang kau katakan memang betul. Tapi jangan berani bertanya apa urusanku!”
“Aku
bukan kakek usil yang ingin tahu urusan orang. Justru orang banyak yang mencari
tahu 122 urusan orang lain dan menanyakannya padaku. Aku sampai pada hal kedua.
Aku bukan pengemis, bukan gembel juga bukan tukang minta-minta!”
“Bagus,
jadi aku tak perlu memberimu sedekah apa-apa!” kata Sabai Nan Rancak.
“Aku
memang tidak meminta,” sahut si kakek lalu tertawa mengekeh dan kembali
goyangkan kaleng nya keras-keras hingga si nenek memaki panjang pendek. “Hal
ketiga aku menduga. Biasanya dugaanku tidak meleset. Jika kau berada sendirian
di tempat ini jelas kau tengah menunggu seseorang. Karena kau di sini bukan
untuk bertapa atau bersepi-sepi tanpa maksud tertentu….”
“Dugaanmu
kali ini juga betul!” kata Sabai Nan Rancak. “Aku memang tengah menunggu
seseorang. Karena itulah sekarang juga aku harap kau segera angkat kaki dari
sini!”
“Jangan
khawatir, aku tidak akan lama berada di sini. Namun aku merasa kasihan terhadap
dirimu!”
“Kasihan?
Memangnya aku minta dikasihani apa?!”
“Oo…
tidak. Tentu tidak. Aku tidak mengatakan kau minta dikasihani. Hik… hik… hik!
Tapi jika aku memandang ke langit, aku melihat bintang-bintang bertaburan dan
ada bulan sabit di sebelah sana. Semua itu memberi petunjuk bahwa orang yang
kau tunggu tidak akan pernah datang!”
Sabai Nan
Rancak mencibir. “Matamu saja buta! Bagaimana bisa melihat bintang dan bulan
sabit di langit? Huh!”
Si kakek
tertawa perlahan lalu menjawab. “Orang melek memang melihat dengan mata. Orang
buta melihat dengan hati! Apa yang aku katakan akan menjadi kenyataan. Kalaupun
teman yang kau tunggu itu muncul juga maka dia datang tanpa nafas lagi di
tubuhnya!”
Sabai Nan
Rancak terdiam mendengar ucapan si kakek. “Pembual besar, siapa kau sebenarnya?
Orang dari dunia persilatan? Punya nama dan bergelar apa?!”
“Seumur-umur
aku hanya seorang anak manusia biasa yang hidup malang melintang di kolong
langit sampai jadi tua bangka begini rupa. Sana bat ku hanya caping bambu ini,
buntalan butut, tongkat kayu butut dan kaleng rombeng ini?!”
“Lalu apa
saja yang kau kerjakan seumur-umur? Mengemis tidak, hanya membual dan hilir
mudik ke mana-mana tanpa tujuan?”
“Justru
itulah nikmatnya hidup. Nikmatnya hidup para pejabat di Kerajaan termasuk Sri
Baginda sendiri lain dengan nikmatnya hidup yang dirasakan rakyat jelata, tua
renta dan buta sepertiku. Nikmatnya hidup orang kaya lain dengan nikmatnya
hidup tua bangka gelandangan sepertiku ini. Aku memang tidak punya pekerjaan
apa-apa kecuali meramal!”
“Hemm,
jadi kau ini juru ramai rupanya. Atau tukang tenung?” ujar Sabai Nan Rancak.
“Berbuat
tenung adalah pekerjaan orang sesat. Meramal adalah perbuatan orang setengah
sesat tapi kerap kali dipercaya! Ha… ha… ha…! Apa dirimu mau kuramal?!”
Sabai Nan
Rancak terdiam. Entah mengapa hatinya jadi kecut dan gelisah. Maka dia berkata.
Tidak, tidak usah. Bagaimana kalau aku mengajukan beberapa pertanyaan saja….”
“Silahkan.
Aku yang dipanggil orang dengan sebutan Kakek Segala Tahu akan menjawab
pertanyaanmu sebisa mungkin!” Si kakek lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Ketika
aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa ini aku menyirap kabar tentang
sebuah Kitab Malaikat yang kabarnya merupakan satu kitab maha sakti. Mampu
mengalahkan segala macam kitab yang pernah ada di dunia. Misalnya Kitab Wasiat
iblis, Kitab Putih Wasiat Dewa, Kitab Seribu Pengobatan dan sebagainya. Apa kau
pernah men-dengar riwayat Kitab Malaikat. itu yang kabarnya dimiliki oleh
seorang tokoh silat yang berdiam di satu tempat disebut Lembah Akhirat!”
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya dua kali. Dia mendongak ke langit.
Sesaat kemudian baru dia membuka mulut memberikan jawaban.
“Kitab
Wasiat iblis aku tahu memang ada. Begitu juga Kitab Putih Wasiat Dewa dan Kitab
Seribu Pengobatan. Namun walau sudah tersiar kabar tentang adanya Kitab
Malaikat yang dianggap raja diraja segala kitab sakti, terus terang aku
menganggap berita itu isapan jempol belaka!”
“Lalu
apakah tempat yang disebut Lembah Akhirat itu juga tidak ada?”
“Lembah
Akhirat ada tapi kitabnya belum tentu ada!” jawab Kakek Segala Tahu. “Tapi aku
tahu kehadiranmu di tanah Jawa ini bukan karena urusan kitab tersebut. Benar?”
“Aku tak
mau menjawab!”
Si kakek
tertawa. “Kalau seorang perempuan ditanya tak mau menjawab, biasanya apa yang
di-tanyakan itu jawabnya benar! Hik… hik… hik!”
“Kakek
Sega la Tahu, aku merasa senang bertemu denganmu. Tapi cukup sampai di sini.
Harap kau suka meninggalkan tempat ini. Aku tak ingin kau masih berada di sini
jika orang yang aku tunggu muncul.”
“Ah… ah…
ah! Orang tidak menginginkan aku di tempat ini walau ini bukan rumah bukan
tanah ladangnya. Tapi apa susah nya melangkah pergi?! Ha… ha… ha!” Kakek Segala
Tahu bangkit dari duduknya. Ditepuk-tepuknya pantat celananya yang penuh
tambalan lalu dikenakannya caping lebarnya. Dia memandang ke langit. Kaleng
rombengnya di-goyang keras-keras lalu sambil melangkah dia berkata.
“Bulan
sabit tertutup awan hitam. Orang yang kau tunggu sebentar lagi akan datang.
Tapi seperti ramalanku tadi dia datang tidak membawa nafas lagi di tubuhnya!”
Kakek
Segala Tahu kembali kerontangkan kalengnya. Ketika Sabai Nan Rancak memandang
ke depan dilihatnya prang tua itu sudah berada jauh di kaki bukit, melangkah ke
arah bangunan candi Mendut.
“Jangan-jangan
orang tua itu salah seorang tokoh persilatan di tanah Jawa ini,” katanya dalam
hati, Lalu telinganya menangkap suara bergemeratakan. Ketika dia memandang ke
kaki bukit di sebelah timur tampak sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa
kusir bergerak menuju kaki bukit. Di salah satu sisi depan gerobak ada sebuah
obor yang apinya bergoyang-goyang ditiup angin. Mendadak saja ada rasa tidak
enak di hati sabai nan rancak.
Cepat-cepat
nenek berwajah putih ini menuruni bukit, berlari menghampiri gerobak. Tangannya
diangkat memegang leher kuda penarik gerobak. Binatang ini hentikan jalannya.
Ketika si nenek memandang ke dalam gerobak yang diterangi obor, berubahlah
parasnya. “Datuk Angek Garang…” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik dan
mata mendelik.
TAMAT
No comments:
Post a Comment