Rahasia Mawar Beracun
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
" Mawar
kuning…" desis peri angsa putih. " bunga ini hanya tumbuh di taman
larangan. Mengapa bisa berada di sini…? Apakah peri bunda tahu kalau dua kuntum
mawar kuning ini terselip di antara bunga-bunga lain dalam jambangan?"
tiba-tiba peri angsa putih ingat. Tangannya bergetar. "mawar inilah yang
tempo hari hampir membunuh wiro di telaga. Wahai para dewa! Jangan-jangan…
mungkinkah dia yang melemparkan bunga itu ke dalam anak sungai. Untuk meracun
pendekar 212 wiro sableng? Apakah peri bunda sejahat itu? Bagaimana aku harus
menyelidik…? "
*******************
1
DUA SOSOK
putih berkelebat. Begitu cepatnya gerakan mereka hingga kelihatan seperti
bayang-bayang setan, menembus kelebatan rimba belantara. Di satu tempat setelah
keluar dari kawasan hutan sosok di sebelah depan berhenti. Astaga! Ternyata dia
adalah manusia biasa juga adanya tapi luar biasanya dia adalah seorang dara
berwajah cantik. Pakaiannya putih tipis keabu-abuan. Rambutnya yang tergerai
lepas di punggung berwarna pirang membuatnya selain tambah cantik juga tampak
anggun.
Sosok ke
dua berhenti disamping dara cantik pertama. Ternyata dia juga seorang dara
jelita. Raut tubuh dan potongan badannya sangat menyerupai gadis satunya. Siapa
gerangan sepasang gadis berwajah sama yang barusan memasuki kawasan rimba
belantara sunyi dan berbahaya itu?
Di Negeri
Latanahsilam keduanya dikenal dengan julukan Sepasang Gadis Bahagia. Di balik
kecantikan mereka yang mempesona itu tersembunyi satu sifat yang membuat orang
lain bisa merinding jika mengetahui, terutama kaum perempuan. Sejak lama
diketahui sepasang gadis kembar ini memiliki kelainan. Begitu banyak para
pemuda yang tertarik pada mereka namun segera menjauhkan diri dengan perasaan
ngeri begitu mengetahui bahwa dua gadis itu hanya berselera pada kaum sejenisnya.
"Luhkemboja,
ada apa kau berhenti?" bertanya dara bernama Luhkenanga pada dara satunya
yang adalah kakaknya.
Sebelum
menjawab, dari balik pakaiannya Luhkemboja keluarkan sebuah tongkat terbuat
dari batu berwarna biru. Tongkat itu digosok-gosokkannya ke leher. Lalu
diturunkan ke dada. Si gadis menggeliat sendiri lalu tertawa panjang.
"Tingkahmu
membuat aku ingat pada gadis bernama Luhjelita itu," berkata Luhkenanga.
Sepasang matanya membesar berbinar-binar.
Luhkemboja
si kakak telan ludahnya sendiri. "Aku juga selalu ingat padanya. Belum
pernah kita menemui gadis secantik dia. Memiliki tubuh padat kencang. Waktu dia
mendesah memohon agar kita tidak menyentuh dadanya…. Wahai! Apa yang diucapkan
dan bagaimana dia menggerakkan tubuh malah membuat aku tambah bergairah.
Kapan-kapan aku ingin mencarinya kembali.”
"Gadis
satu itu memang luar biasa. Terus terang aku juga belum puas wahai kakakku
Luhkemboja. Tapi kita harus hati-hati. Kau tahu siapa adanya gadis itu. Dia
pasti membekal dendam terhadap kita."
"Mengapa
perlu merasa takut padanya. Jika dia berani muncul siapa tahu dia memang
sengaja mencari kita karena ketagihan…." kata Luhkemboja lalu tertawa.
(Untuk
mengetahui apa yang terjadi antara sepasang dara kembar ini dengan Luhjelita
harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu Langit Terjungkir").
"Tongkat
batu ini," kata Luhkemboja setelah puas tertawa.
"Sesuai
yang dipesankan kakek, kita harus segera menyerahkan padanya. Tetapi aku punya
rencana lain!"
"Heh,
apa yang ada di benakmu?" bertanya sang adik.
"Kalau
kakek menginginkan tongkat ini berarti benda ini adalah satu benda sangat
penting. Pasti mengandung satu kekuatan atau satu kesaktian. Buktinya kau lihat
sendiri. Tongkat ini mengeluarkan cahaya biru."
"Jangan-jangan
tongkat itu menyembunyikan satu rahasia yang si kakek tidak pernah atau tidak
mau menceritakannya pada kita."
"Boleh
jadi," kata Luhkemboja pula lalu memperhatikan tongkat batu yang
dipegangnya dengan seksama mulai dari ujung satu sampai ujung lainnya.
"Aku
tidak melihat sesuatu yang aneh pada tongkat ini. Kecuali sangat enteng…."
"Coba
kuperiksa," kata Luhkenanga pula lalu ganti memeriksa. Seperti kakaknya
gadis satu inipun tidak melihat keanehan atau kelainan pada tongkat batu itu.
Benda ini ditirnang-timangnya lalu diusap-usapnya beberapa kali. Ketika hendak
dipulangkannya pada kakaknya, selintas pikiran muncul dalam benaknya. Tongkat
ditariknya kembali. Lalu dengan ujung jari tengahnya tongkat itu
disentil-sentilnya mulai dari ujung kiri sampai ujung kanan.
"Apa
yang kau lakukan Luhkenanga?" tanya Luhkemboja.
"Coba
kau perhatikan. Dengar…." Sambil terus menyentil Luhkenanga dekatkan
tongkat batu biru itu ke telinga kiri kakaknya. "Kau mendengar
sesuatu?"
"Tentu
saja. Suara jarimu beradu dengan tongkat batu biru. Apa anehnya?"
Luhkenanga
gelengkan kepala. "Ada bunyi atau suara berlainan. Pada dua ujung kiri
kanan berlainan dengan bagian tengah…."
"Bagiku
sama saja Tidak ada bedanya," kata Luhkemboja. Tongkat itu diambilnya
kembali.
"Dengar
Luhkemboja. Aku punya satu rencana. Bagaimana kalau…."
Luhkemboja
tertawa ketika mendengar apa yang kemudian diucapkan adiknya. Dia membalikkan
badan lalu memberi isyarat untuk segera melanjutkan perjalanan. Belum jauh
meninggalkan ujung rimba belantara, di satu tempat mendaki dimana udara terasa
sejuk Luhkenanga tiba-tiba berkata. "Ada seorang perempuan berpakaian
serba putih seperti kita duduk di sebelah sana…."
Luhkemboja
hentikan larinya dan memandang ke arah yang ditunjuk sang adik. Memang benar.
Di kejauhan sana seorang perempuan muda berparas cantik jelita duduk bertopang
dagu di atas bukit berumput. Langsung saja dada sepasang gadis kembar ini jadi
berdebar dan rasa gairah menjalari tubuh mereka.
"Wajahnya
cantik sekali. Kulitnya bersih…." ucap Luhkemboja.
"Harum
bau tubuhnya tercium sampai ke sini. Aku rasa-rasa tahu siapa adanya orang itu.
Kelihatannya dia sengaja duduk bersunyi diri. Seperti memikirkan sesuatu,"
ujar Luhkenanga pula.
"Mari
kita dekati. Siapa tahu rejeki besar menjadi bagian kita," kata Luhkemboja
mengajak.
Dua gadis
kembar segera berkelebat Sebentar saja mereka sudah berada di hadapan perempuan
muda yang duduk di atas rumput itu. Orang ini turunkan tangannya lalu
mengangkat kepala memandang pada sepasang dara yang baru datang. Kagetlah
Luhkemboja dan Luhkenanga ketika mereka melihat dan menyadari siapa adanya
orang itu. Sebaliknya orang yang duduk di atas rumput tetap tenang saja walau
dia sudah mengenali dua gadis yang berdiri di hadapannya.
"Peri
Angsa Putih…." menyapa Luhkemboja sementara Luhkenanga pandangi peri cantik
itu sambil berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Dibanding
dengan kakaknya Luhkenanga memang dia tidak bisa menyembunyikan gelora hatinya
melihat kecantikan wajah dan kemulusan tubuh Peri Angsa Putih. Apa lagi tubuh
peri ini menebar bau harum mewangi yang menambah rangsangan dalam dirinya.
"Wahai,
sungguh pertemuan tidak disangka. Bukankah kalian berdua kerabat yang dijuluki
Sepasang Gadis Bahagia?" balas menegur Peri Angsa Putih.
Dua gadis
kembar jatuhkan diri, berlutut di hadapan sang Peri. Luhkemboja malah ulurkan
tangan memegang lalu mengangkat tangan Peri Angsa Putih, kemudian menciumnya
dengan sikap hormat walau sebenarnya perbuatannya itu lebih didorong oleh hawa
gairah. Luhkenanga tidak tinggal diam. Dia tirukan apa yang dilakukan kakaknya
dan mencium belakang telapak tangan malah sampai ujung lengan Peri Angsa Putih.
Sambil tersenyum Peri Angsa Putih tarik tangannya.
"Aku
sudah lama mendengar perihal kalian berdua. Hanya tidak tahu mana yang bernama
Luhkemboja dan mana yang bernama Luhkenanga."
Dua gadis
kembar lalu memperkenalkan diri masingmasing.
"Wahai
Peri Angsa Putih, gerangan apakah yang membuat kau berada di bukit sunyi
ini?" bertanya Luhkemboja.
"Sepertinya
tengah menunggu seseorang," menyambung Luhkenanga.
"Wahai,
jika kau benar menunggu seseorang biar aku coba menerka," kata Luhkemboja
sambil tersenyum dan mengusap-usap keningnya seolah tengah berpikirpikir.
"Kalau
salah dugaanku mohon maafmu wahai Peri cantik dari Negeri Atas Langit. Bukankah
kau tengah menunggu lelaki gagah bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu
itu?"
"Wahai!
Dugaan kakakku pasti betul. Sudah lama kami menyirap kabar kalau lelaki itu
tertarik padamu dan kau. Hemm…." Luhkenanga tidak teruskan katakatanya.
Bersama
kakaknya dia tertawa panjang.
Wajah
Peri Angsa Putih sesaat kelihatan menjadi merah. Namun sambi! mengulum senyum
Peri ini kemudian berkata. "Dugaan kalian memang betul. Aku berada di
bukit berumput ini tengah menunggu orang. Tapi bukan lelaki bernama Lakasipo
itu. Melainkan justru aku menunggu kedatangan kalian berdua."
"Kami?!"
ujar Luhkenanga dan Luhkemboja terpekik girang hampir bersamaan. Sepasang gadis
kembar ini saling melirik lalu duduk bersimpuh di atas rumput. Satu di kiri,
satu di kanan. Demikian dekatnya mereka mengapit hingga pinggul dan bahu mereka
bersentuhan hangat dengan pinggul serta bahu Peri Angsa Putih. Bahkan hembusan
nafas keduanya menyentuh permukaan wajah sang Peri.
"Sungguh
kami merasa bahagia mengetahui kau berada di sini sengaja menunggu kami,"
kata Luhkenanga seraya memegang iengan Peri Angsa Putih dan mengusap-usapnya.
"Tentu ada sesuatu yang bisa kami lakukan untukmu."
Sementara
itu Luhkemboja mulai pula meraba lengan Peri Angsa Putih satunya.
Peri
Angsa Putih yang sudah tahu kelainan sifat dua gadis kembar ini perlahan-lahan
lepaskan kedua tangannya dari genggaman Luhkemboja dan Luhkenanga.
Lalu
berkata. "Aku ingin mengetahui dan meyakini satu hal. Mudah-mudahan kalian
berdua bisa memberi penjelasan…."
"Wahai,
hal apakah itu Peri Angsa Putih?" tanya Luhkenanga seraya rapatkan
duduknya. Pahanya sampai menindih paha sang Peri.
"Beberapa
waktu yang lalu aku melihat kalian berdua keluar dari sebuah goa di kawasan
barat sana…."
Wajah dua
gadis kembar mendadak sontak jadi berubah. Adik kakak ini saling melirik. Dalam
hati mereka menduga-duga apakah sang Peri tahu apa yang telah terjadi, apa yang
telah mereka lakukan di goa itu?
"Wahai,
tidak disangka kau mengetahui kehadiran kami di goa itu…" kata Luhkemboja.
Dia tak berani berdusta karena khawatir sang Peri tahu banyak tentang mereka.
"Kami kebetulan saja lewat di kawasan itu…."
"Betul,
kami memang kebetulan lewat di sana," menyambungi Luhkenanga.
"Ketika
melihat sebuah goa kami mencoba masuk…" Luhkemboja meneruskan.
Luhkenanga
kembali menyambung. "Kami masuk sekedar untuk mencari tempat yang teduh
dan aman untuk beristirahat"
"Kalian
masuk dan jadi beristirahat dalam goa itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Luhkemboja
menggeleng. Luhkenanga memandang pada kakaknya lalu ikut menggeleng.
"Jadi
kalian tidak masuk…?" tanya Peri Angsa Putih.
"Kami
memang masuk…" jawab Luhkenanga dengan suara perlahan.
"Tapi
kami segera keluar lagi!" kata Luhkenanga.
"Kenapa?"
tanya Peri Angsa Putih.
"Ada
orang lain dalam goa itu!"
"Ada
satu pemandangan menusuk mata yang membuat kami tak sanggup berada di situ dan
cepatcepat keluar…."
Peri
Angsa Putih menatap dua gadis kembar berganti-ganti lalu bertanya. "Siapa
orang lain yang kalian lihat dalam goa itu? Kaitan mengenalnya? Lalu….Memangnya
apa yang dia lakukan di situ…."
"Ada
dua orang dalam goa itu wahai Peri Angsa Putih. Satu gadis, satu pemuda…"
kata Luhkemboja.
"Yang
gadis berada dalam keadaan bugil. Tengah berpelukan dengan seorang pemuda
berambut panjang. Kalau kami tidak salah dia adalah pemuda asing yang belum
lama berselang berada di Negeri Latanahsilam ini…."
"Kalau
tidak salah dia pemuda yang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212."
*******************
2
TENGGOROKAN
Peri Angsa Putih kelihatan turun naik. Suaranya agak tersendat ketika bertanya.
"Apa
kalian mengenali siapa adanya gadis di dalam goa yang bersama pemuda bernama
Wiro Sableng itu?"
"Luhjelita.
Gadis yang dikenal sebagai penunggang kura-kura terbang itu!"
"Kalian
tidak salah lihat?"
"Kami
berdua. Mana mungkin salah lihat!" jawab Luhkenanga.
"Kalau
begitu…." Peri Angsa Putih tidak meneruskan ucapannya.
"Kalau
begitu apa wahai Peri Angsa Putih?" tanya Luhkenanga sambil kembali
tangannya merayap ke lengan sang Peri.
"Tidak….
Tidak apa-apa. Keterangan kalian sangat berguna. Paling tidak aku kini
benar-benar yakin dan mengetahui apa yang terjadi dalam goa itu…." Lalu
dalam hati sang Peri berkata. "Aku juga menyaksikan sendiri. Tadinya aku
seperti ingin mengatakan tidak yakin pada penglihatanku sendiri. Tapi kini ada
dua orang yang menyaksikan hai yang sama. Berarti tidak perlu aku menyelidik
lebih jauh. Wahai mengapa kejam sekali rasanya dunia ini memperlakukan diriku.
Peri Bunda, kau benar. Aku harus menjauhkan diri dari pemuda bernama Wiro itu.
Aku harus kembali ke Negeri Atas Langit…" Peri Angsa Putih memandang pada
dua gadis kembar lalu bangkit berdiri. "Terima kasih atas semua keterangan
kalian. Aku harus pergi sekarang…."
"Wahai,"
ujar Luhkenanga seraya berdiri pula.
"Tak
jauh dari sini ada sebuah dangau. Dibangun orang di atas sebuah telaga jernih.
Udara di sana sejuk sekali. Pemandangannya indah nian. Bagaimana kalau kita
bertiga pergi ke sana. Beristirahat barang setengah hari sambil
berbincang-bincang. Siapa tahu ada keterangan lain yang ingin kau dapatkan dan
kebetulan kami ketahui…."
"Terima
kasih. Kalian berdua baik sekali. Tapi keterangan yang aku cari sudah kudapat.
Lain waktu undangan kalian tentu ada kupenuhi…."
"Sayang
sekali. Kalau kau mau pergi kamipun hendak pergi pula…" kata Luhkenanga.
Saat itu
sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan.
"Dua
gadis kembar! Jangan kalian berani pergi! Kembalikan dulu tongkat yang kau curi
dariku!"
Belum
habis kejut Luhkemboja dan Luhkenanga tahutahu seorang pemuda berambut gondrong
sambil menyeringai dan berkacak pinggang telah berdiri di hadapan mereka.
"Peri
Angsa Putih! Ini pemuda bernama Wiro Sableng yang barusan kita bicarakan!"
berkata Luhkenanga.
Sementara
Luhkemboja cepat menjauh karena khawatir Wiro akan merampas tongkat batu biru
yang dipegangnya.
Pemuda
berambut gondrong yang memang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya melirik ke kiri
dimana berdiri Peri Angsa Putih. Murid Sinto Gendeng hendak layangkan senyum
pada sang Peri namun batal ketika dilihatnya Peri Angsa Putih unjukkan wajah
kaku malah kemudian palingkan muka ke jurusan lain.
"Kalian
membicarakan aku mengenai apa?!" tanya Wiro.
Luhkemboja
dan Luhkenanga tidak segera menjawab tapi tertawa cekikikan.
"Gadis-gadis
aneh! Ada apa kalian tertawa. Luhkemboja! Lekas serahkan tongkat di tanganmu
itu padaku!"
"Kau
sungguhan mau tahu apa yang barusan kami bicarakan?!" Luhkemboja berkata
seraya senyumsenyum.
Wiro
mulai mencium ada yang tidak beres. Tapi dia segera menjawab. "Katakan
saja. Aku ingin tahu!"
"Kau
tidak malu Peri Angsa Putih ikut mendengar?" tanya Luhkenanga lalu tertawa
cekikikan.
"Kami
melihat kau dan gadis bernama Luhjelita berbugil-bugil di dalam goa!"
Berucap Luhkemboja.
"Gadis
kurang ajar! Jangan kau berani memfitnah!" teriak Pendekar 212 marah.
"Kalian
berzinah di dalam goa!" ujar Luhkenanga.
Amarah
murid Sinto Gendeng tidak terkendalikan lagi. Mukanya mengelam. Kupingnya
seperti dipanggang.
Sekali
lompat saja Wiro layangkan satu tamparan ke muka Luhkenanga. Seperti diketahui
dua kakak beradik kembar yang dikenal dengan julukan Sepasang Gadis Bahagia ini
bukanlah gadis-gadis sembarangan. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi
sekali hingga mampu bergerak cepat dan ringan. Selain itu mereka juga memiliki
jurus-jurus ilmu silat aneh. Sekali bergerak Luhkenanga berhasil selamatkan
diri dari tamparan Wiro yang bisa meremukkan tulang pipinya.
Penasaran
Wiro kembali mengejar Luhkenanga. Namun saat itu satu bayangan putih berkelebat
dari samping. Angin yang menyambar membuat Wiro terpaksa hentikan niatnya.
Ketika dia memandang ke depan pendekar kita jadi tertegun. Yang menghadang di
hadapannya adalah Peri Angsa Putih.
"Peri
Angsa Putih…. Apa maksudmu menghalangi gerakanku?!" tanya Wiro heran.
"Apa
maksudmu menyerang gadis itu?!" balik bertanya Peri Angsa Putih. Tapi dia
tidak memandang ke arah Wiro karena wajahnya seperti tadi lagi-lagi dipalingkan
ke jurusan lain.
"Dia….
Gadis itu kau dengar sendiri! Dia berkata jahat! Memfitnahku!"
Peri
Angsa Putih mendengus. Wajahnya tersenyum sinis. Membuat Wiro menjadi tambah
marah walau bercampur heran. "Peri Angsa Putih. Ada apa ini?! Kau bicara
tapi tidak mau melihat padaku! Kau sepertinya membela gadis-gadis tukang fitnah
ini!"
"Mereka
tidak memfitnah. Aku melihat sendiri kau dan Luhjelita di dalam goa itu. Jangan
mengira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan?!"
Wiro
hendak menggaruk kepala habis-habisan lalu dekati Peri Angsa Putih.
"Jangan
kau berani bergerak lebih dekat!" membentak Peri Angsa Putih.
Wiro
kaget bukan main. Dia ulurkan tangan hendak memegang lengan Peri Angsa Putih
tapi kembali sang Peri membentak. Air mukanya membayangkan ancaman.
"Pendekar
212! Jangan sentuh diriku! Aku bukan Luhjelita gadis yang bisa menjadi pemuas
nafsu bejatmu!"
Wiro
ternganga besar. Dua kakinya seperti dipantek ke tanah. "Peri Angsa Putih,
aku…."
"Aku
tak sudi kau menyebut namaku! Berlalulah dari hadapanku!"
"Mati
aku! Apa yang terjadi dengan Peri satu ini?!" membatin Wiro. Ketika dia
berpaling ke samping, dua gadis kembar tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi.
Wiro tak
mau mengejar karena khawatir Peri Angsa Putih akan kembali menghadang dan
bisa-bisa antara mereka terjadi bentrokan yang tak diinginkan. Dengan menahan
hawa amarahnya terhadap dua dara yang kabur itu Wiro bertanya. "Aku tidak
mengeri. Ada apa ini?! Wajahmu melihat aku seperti melihat hantu…."
"Aku
tidak melihat hantu! Tapi melihat makhluk sangat menjijikkan!" tukas Peri
Angsa Putih.
Wiro
garuk kepala. "Tampangku memang jelek!
Terserah
kau mau bilang apa! Tapi harap kau jelaskan dulu mengapa kau membela dua gadis
jahat tadi. Lalu mengapa kau marah-marah dan berkata tak karuan padaku. Aku
merasa tidak punya salah padamu. Dua gadis kembar itu mencuri tongkat batu
titipan orang. Mereka juga memfitnah diriku lalu enak saja melarikan diri. Aku
tidak…."
Saat itu
mendadak ada suara menderu dahsyat disertai suara ringkikan kuda. Sesaat
kemudian seekor kuda hitam besar berkaki enam muncul dan berhenti di tempat
itu. Di atasnya duduk Lakasipo dengan sikap gagah.
"Saudaraku
Wiro Sableng! Kerabatku Peri Angsa Putih! Aku merasa gembira bisa menemui
kalian berdua di tempat ini!" Lakasipo hendak tertawa lebar.
Tapi
tidak jadi ketika dia melihat raut wajah Peri Angsa Putih serta Wiro yang
tampak kebingungan. Pendekar 212 kedipkan mata. Maksudnya hendak memberi tahu
tapi Lakasipo yang tidak mengerti malah berucap.
"Wahai,
aku tidak ingin mengganggu. Rupanya kalian sedang asyik berdua-dua di tempat
ini. Wiro, biaraku pergi dulu. Nanti aku akan mencarimu kembali. Banyak hal
yang ingin kubicarakan denganmu!"
"Kuharap
kau jangan pergi dulu Lakasipo. Aku juga banyak pembicaraan denganmu!"
kata Wiro.
"Kerabat
Lakasipo, jika kau memang mau pergi bolehkah aku ikut menumpang bersamamu
sampai di kaki bukit sana?"
Ucapan
Peri Angsa Putih itu membuat Lakasipo terheran-heran dan memandang Wiro yang
saat itu hanya bisa tegak sambil garuk-garuk kepala. Mengira Peri Angsa Putih
menyindirnya Lakasipo cepat membungkuk dan berkata. "Maafkan, tidak
maksudku mengganggu kalian. Aku mohon diri dulu…."
"Lakasipo,
tunggu! Aku ikut bersamamu!" seru Peri Angsa Putih.
"Peri
Angsa Putih, bukankah kau…? Wahai mana tungganganmu angsa putih itu?" tanya
Lakasipo.
"Dia
tak ada di sini. Itu sebabnya aku minta ikut bersamamu…."
Lakasipo
memandang pada Wiro seolah mau bertanya. Tapi pendekar kita hanya tegak diam
dan kini tidak lagi menggaruk kepala, memandang pada Lakasipo dan Peri Angsa
Putih dengan raut muka membayangkan heran dan bingung.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba Peri Angsa Putih melompat ke atas punggung kuda
hitam kaki enam dan duduk di belakang Lakasipo.
"Peri
Angsa Putih, bagaimana ini. Mungkin aku perlu bertanya…."
"Pacu
kudamu Lakasipo. Dalam perjalanan kau boleh mengajukan seribu pertanyaan.
Semuanya akan kujawab! Apa lagi menyangkut saudara angkatmu yang kau anggap
baik dan suci itu!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih menggebrak
pinggul Laekakienam dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya enak saja
merangkul ke pinggang Lakasipo. Kuda hitam raksasa berkaki enam itu meringkik
keras lalu melompat ke depan.
"Peri
geblek!" Wiro memaki sendirian dalam hati.
"Apa
yang terjadi dengan dirinya! Katanya dia melihat sendiri aku dan Luhjelita di
dalam goa. Melihat apa?"
Wiro
garuk-garuk kepala. "Jangan-jangan…. Bayangan yang kulihat dalam goa
memang adalah bayangannya. Gila betul! Dia menyangka…. Aku tidak percaya! Dia
bukan makhluk sembarangan. Masakan bisa percaya saja pada ucapan dua gadis
kembar sialan itu. Tapi….Memangnya aku sedang apa di dalam goa ketika dia
melihat!" Wiro geleng-geleng kepala dan tendangtendang rumput liar di
depannya. "Caranya dia pergi dengan Lakasipo. Seperti sengaja hendak
membuat aku sakit hati. Dia pakai merangkul pinggang lelaki itu segala. Mungkin
agar aku sakit hati dan cemburu! Gila, perlu apa aku sakit hati dan cemburu!
Kupikirkanpun tidak! Sayang…. Kenapa dia jadi begitu. Padahal dia pernah
menyelamatkan nyawaku, aku juga begitu…."
Akhirnya
Wiro hanya bisa menghela nafas panjang sambil jambak-jambak rambut sendiri.
Saat itulah tibatiba ada satu suara berucap.
"Kalau
kasih sejati berubah menjadi kebencian memang hebat akibatnya. Wahai Pendekar
212, kau tengah menghadapi ujian berat! Ujian itu akan berubah menjadi
malapetaka jika kau memang berbuat apa yang dikatakan Peri tadi…."
"Siapa
yang bicara?!" seru murid Sinto Gendeng.
Dalam
kagetnya Wiro segera palingkan kepala.
*******************
3
DI
HADAPAN Wiro berdiri seorang gadis tinggi semampai berkulit putih. Pakaiannya
yang biru gelap membuat kecantikannya tambah menonjol. Rambutnya yang panjang
tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di keningnya yang putih licin melekat
sebuah bunga tanjung kuning.
"Luhcinta…"
ujar Wiro perlahan setengah berbisik.
Apa yang
barusan dialaminya membuat Wiro tidak kuasa tersenyum padahal kemunculan
Luhcinta murid Nenek Hantu Lembah Laekatakhijau ini sangat menggembirakan dan
mampu menghibur hatinya.
"Aku
bersyukur kau berada di sini…" kata Pendekar 212. Lalu dia ingat pada
ucapan Luhcinta tadi.
"Kata-katamu
tadi, apakah kau sudah lama berada di sini dan mendengar…."
"Aku
mendengar semua yang dikatakan dua gadis kembar itu. Aku juga mendengar apa
yang diucapkan Peri Angsa Putih…" kata Luhcinta sambil tersenyum.
Senyuman
yang benar-benar tulus dan membuat hati murid Sinto Gendeng merasa sejuk hingga
kemarahan dan kejengkelannya berangsur lenyap.
"Kau…
kau mempercayai apa yang mereka katakan?" Wiro bertanya.
"Kau
tidak boleh bertanya seperti itu. Tapi kau justru harus membuktikan bahwa kau
tidak melakukan apa yang dituduhkan mereka…."
"Mereka
bertiga menuduhku. Aku sendirian! Fitnah mereka dalam waktu singkat tentu akan
tersebar luas di Negeri Latahansilam ini. Sebelum aku bisa membuktikan diriku
tidak berbuat keji, namaku sudah tak karuan tercemar."
"Itulah
hidup. Ketulusan kasih tidak selalu muncul cerah dimana-mana. Sesekali redup
bahkan pupus oleh hal-hal yang tidak terduga. Apa lagi jika kau tidak bisa
membuktikan dirimu benar-benar bersih…."
"Aku
bersumpah…!" Wiro gelengkan kepalanya.
"Percuma
saja! Siapa yang mau percaya! Di tanah Jawa saja aku tidak pernah berbuat
serendah itu. Apa lagi di sini di negeri orang…."
"Soal
dirimu di tanah Jawa siapa yang tahu. Yang jadi masalah justru sepak terjangmu
di negeri ini…."
"Agaknya
kau seperti mempercayai apa yang diucapkan tiga orang itu…" kata Wiro
dengan nada kecewa.
"Wahai,
adakah aku mengatakan seperti itu Wiro? Fitnah adalah penodaan paling jahat
atas kasih sayang. Tapi bagaimana kasih sayang akan menunjukkan kebersihan jati
dirinya kalau kau tidak mampu membuktikan bahwa dirimu sungguh bersih?"
"Jadi
kau tidak mempercayai tuduhan ketiga orang itu?"
Luhcinta
tersenyum. "Masalahnya bukan percaya atau tidak. Tapi kemampuan dirimu
untuk menyatakan bahwa kau benar-benar bersih…."
"Aku
tidak ingin membela diri. Tapi dua gadis kembar itulah yang telah berbuat keji
terhadap Luhjelita. Kau mungkin belum tahu. Mereka dua gadis yang punya
kelainan jiwa. Hanya suka…."
"Aku
tak Ingin mendengar hal itu," kata Luhcinta memotong dengan suara halus.
"Seharusnya hal itu pantas kau ucapkan pada Peri Angsa Putih…."
"Percuma
saja. Dia tidak akan percaya. Dia tidak memberi kesempatan padaku untuk
menjelaskan…."
Pendekar
212 terdiam. Dia menarik nafas berulang kali lalu berkata. "Aku berterima
kasih padamu. Kau memberi petunjuk padaku bagaimana harus berbuat. Aku akan
melakukan sesuatu. Melakukan apa saja untuk membersihkan diriku…."
"Aku
gembira mendengar ucapanmu. Ingatlah selalu, hidup yang didasarkan pada kasih
sejati tidak ada pernah menempuh jalan keliru…."
"Tapi
aku tidak mencintai Luhjelita atau Peri Angsa Putih. Jika itu maksudmu.
Sekalipun demikian tidak mungkin aku akan berbuat keji terhadap salah satu dari
mereka…."
"Wahai,
aku tidak membicarakan cinta. Aku menyebut kasih. Karena kasih adalah lebih
kudus dan lebih agung dari pada cinta. Kasih sejati tidak dapat digantikan oleh
cinta, betapapun murninya…."
"Aku
tidak mengerti maksud ucapanmu," kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Suatu
ketika kau pasti akan mengerti."
"Luhcinta,
apakah kau pernah mengasihi seseorang?" tanya Pendekar 212 pula.
Luhcinta
tertawa perlahan sambil palingkan wajahnya yang bersemu merah ke jurusan lain.
Lalu gadis berhiasan bunga tanjung di keningnya ini berkata.
"Teka
teki hidupku masih menjadi beban berat dalam hatiku. Bagaimana mungkin aku
memikirkan hal yang kau tanyakan itu?"
"Kurasa
jika kau pernah mengasihi seseorang, beban hidupmu mungkin bisa berkurang. Tapi
entahlah…. Aku bukan orang yang ahli dalam soal kasih sayang," kata Wiro
pula lalu tertawa tapi kecut.
"Luhcinta,
apakah kau telah berhasil mengungkapkan rahasia kehidupan kedua orang
tuamu?" Wiro alihkan pembicaraan.
"Masih
jauh panggang dari api. Tapi siapa tahu, segala sesuatunya bisa berubah secara
tidak terduga. Kekuatan kasih bisa meruntuhkan tembok baja yang mengelilingi
kita. Mudah-mudahan semua teka teki hidup yang menyelubungi diriku bisa
terungkap secepatnya…."
"Jika
kau suka, aku bersedia membantu…."
"Terima
kasih. Bahtera hidup ini biar kukayuh sendiri. Kita berpisah dulu sampai di
sini…."
"Tunggu,
kau mau menuju ke mana?"
"Terus
terang aku sendiri tidak tahu harus meneruskan perjalanan ke mana…."
"Kasih
ada membimbing perjalananmu," kata Wiro.
Luhcinta
tertawa lepas. "Ternyata kau lebih cepat mengetahui arti kasih dari pada
yang kau duga sendiri…."
Wiro
tertawa dan memperhatikan gadis itu membalikkan badannya siap untuk berlalu.
Ketika Luhcinta berputar ke kiri Wiro melihat robek berlubang pada bagian bahu
kanan pakaian biru yang dikenakan si gadis. Saat itu Wiro tidak ingat apa-apa.
Tetapi begitu Luhcinta sudah jauh di ujung sana tiba-tiba dia ingat akan secarik
sobekan kain biru yang disimpannya di dalam saku pakaiannya. Wiro segera
keluarkan robekan itu. Robekan kain itu ditemuinya ketika dia keluar dari goa,
tersangkut di ujung ranting tak jauh dari goa di mana Luhjelita disekap.
"Cabikan
pakaian ini…. Jelas cabikan baju biru Luhcinta," kata Wiro dalam hati.
"Berarti dia juga berada dekat goa itu. Jangan-jangan sebenarnya dia juga
punya dugaan yang sama dengan Peri Angsa Putih. Celaka! Aku harus mencarinya.
Aku harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin hanya dia
satu-satunya gadis yang bisa menerima penjelasanku." Wiro mengejar ke kaki
bukit Tapi gadis cantik berpakaian biru itu tak kelihatan lagi.
Tertegun
sendirian Wiro ingat pada ucapan Hantu Raja Obat alias Hantu Seribu Obat dan
Luhrinjani yaitu bahwa di Negeri Latanahsilam ini ada seorang gadis yang
mencintainya dengan sepenuh hati. "Luhjelita jelas bukan, entah kalau dia
bersandiwara," pikir Pendekar 212. "Peri Angsa Putih juga pasti
bukan. Dulu selendangnya saja dimintanya kembali. Tadi sikapnya begitu ketus
dan garang. Selain itu Luhjelita atau Peri Angsa Putih masih kucurigai sebagai
pelaku yang hendak meracuni diriku dengan mawar kuning di telaga tempo hari.
Lalu bagaimana dengan Luhcinta?"
Wiro
berpikir-pikir. "Dulu Hantu Seribu Obat pernah mengatakan bahwa diantara
sekian banyak gadis di Negeri Latahansilam ini hanya Luhcinta seorang yang
mencintai diriku. Mungkin benar. Walau dia agak mencurigai aku telah berbuat
aib tapi tadi dia menunjukkan sikap lembut Mungkin gadis satu ini pandai menyembunyikan
perasaan hatinya? Kalau aku terlalu mempercayai ucapan Hantu Seribu Obat dan
Luhrinjani, aku khawatir terlalu berharap yang bukan-bukan…."
Dalam
bayangan Wiro saat itu mendadak muncul bayangan wajah Bidadari Angin Timur,
Ratu Duyung dan Bunga, tiga gadis yang pernah menempati hatinya. Wiro jadi
garuk-garuk kepala. Sambil berjalan otaknya bekerja terus. Dia ingat pada kakek
berjuluk Si Pelawak Sinting.
"Aku
harus mencari Si Pelawak Sinting yang palsu. Kakek itu satu-satunya orang yang
melihat kejadian di telaga tempo hari. Aku harus dapat mengorek keterangan dari
dirinya."
DI SATU
tempat sunyi, di balik semak belukar lebat di kaki sebuah bukit sebelah timur,
Luhcinta duduk termenung sendirian. Dia mengingat-ingat kembali pertemuan serta
semua ucapannya dengan Wiro tadi.
"Aku
memang tidak melihat sendiri apa yang terjadi di dalam goa. Aku hanya melihat
Luhjelita keluar dari dalam goa, disusul pemuda itu. Sepasang gadis kembar
mungkin saja mengarang cerita. Aku tahu sifat perangai mereka. Tapi Peri Angsa
Putih tidak mungkin memfitnah. Apa lagi kudengar dia berkata bahwa dia juga
melihat dengan mata kepala sendiri apa yang dilakukan Wiro dan Luhjelita…"
Luhcinta
menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya berulang kali. "Wahai…”
katanya dalam hati.
"Sudah
seburuk inikah sifat dan perbuatan makhluk hidup di atas muka bumi Negeri
Lahtanahsilam ini? Aku tak ingin mempercayai dia tega berbuat sekeji itu. Tapi
kenyataan mengatakan demikian, bagaimana mau membantahnya. Dia mengatakan tidak
mencintai Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Wahai…. Mungkin itu sengaja
diucapkannya untuk menghilangkan jejak, untuk menutupi keaiban dirinya. Agaknya
dia pandai bersandiwara. Tapi jika yang dikatakannya itu benar, lalu siapakah
gadis yang dicintainya di Negeri Latanahsilam ini?"
Lama
Luhcinta duduk termenung di balik semak belukar lebat itu. Lalu dia menarik
nafas dalam berulang kali dan berkata. "Mudah-mudahan dia bisa melakukan
sesuatu untuk membersihkan dirinya…. Sementara itu, bagaimana aku harus
mengambil sikap? Mungkin lebih baik aku mengurus persoalan diriku sendiri.
Tapi….Wiro…. Ah, bagaimana ini…. Apa yang harus aku lakukan?"
Luhcinta
memandang berkeliling. Dia ingat pada orang berpakaian hitam yang mukanya
ditempeli tanah liat kering yang selama ini selalu menguntit dirinya. Sejak
beberapa waktu belakangan ini orang aneh itu tak pernah lagi kelihatan
membayang-bayangi dirinya. Pertemuan terakhir dengan orang aneh berkepandaian
tinggi itu Luhcinta sempat memintanya untuk menanggalkan tanah liat hitam yang
selalu menutupi wajahnya. Luhcinta melihat satu wajah yang tidak dikenalnya.
Sebagai imbalan Luhcinta siap menerangkan apa hubungannya dengan Luhpiranti dan
Latampi. Namun sebelum sempat bicara terjadi satu hal yang hebat.
Serombongan
Peri turun dari atas langit hendak memboyong patung Luhmintari (ibu Hantu
Jatilandak).
Maksud
para Peri itu digagalkan oleh Peri Angsa Putih. Ketika patung berhasil
diselamatkan, orang berpakaian serba hitam yang dikenal dengan panggilan Si
Penolong Budiman tak ada lagi di tempat tersebut (Baca Episode berjudul
"Rahasia Patung Menangis").
*******************
4
UNTUK
menghilangkan kerisauan hatinya sambil berjalan Pendekar 212 bersiul-siul
membawakan lagu tak menentu. Di langit sang surya mulai condong ke barat Udara
yang tadinya panas berangsur-angsur terasa teduh. Selagi asyik berjalan sambil
bersiul-siul begitu tiba-tiba Wiro melihat seseorang di tengah jalan, duduk
menjelepok di tanah membelakanginya. Orang ini mengenakan pakaian berwarna
hijau tua. Kepalanya separuh botak separuh lagi ditumbuhi rambut panjang
berwarna putih, kusut masai riap-riapan.
"Dari
caranya duduk di tengah jalan, jelas dia seperti sengaja menghadang
jalanku," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. "Aku belum dapat
melihat wajahnya. Apa aku kenal padanya? Lelaki atau perempuan dia
adanya?"
Wiro
hentikan langkahnya tapi terus saja bersiul-siul. Tanpa berpaling tiba-tiba
orang yang duduk di tengah jalan hamburkan suara tertawa. Dari suaranya
ternyata dia adalah seorang perempuan.
"Umur
tinggal sejengkal buruk! Masih bisa gembira diri bersiul-siul!" Orang di
tengah jalan keluarkan ucapan. Suara siulan Pendekar 212 langsung berhenti.
"Bicara
tapi tak mau melihat! Menegur tapi membelakangi orang! Kalau kau masih muda
pasti kurang mendapat pelajaran sopan santun dari orang tuamu! Kalau kau sudah
tua bangka mungkin kau sudah pikun atau kurang waras?"
Baru saja
Wiro berkata begitu sosok yang duduk di tengah jalan mendadak sontak melesat ke
atas. Begitu turun ke tanah orang ini telah berdiri menghadang tepattepat ke
arah Wiro. Sebelumnya Pendekar 212 telah banyak melihat manusia berwajah seram.
Tapi yang satu ini sungguh dahsyat hingga Wiro tersurut sampai dua langkah!
Yang
tegak di hadapan Wiro saat itu adalah seorang nenek angker. Sebagian besar
wajahnya tidak berdaging lagi, terkelupas begitu rupa hingga tulang kening,
pipi, hidung, mulut dan dagu menyembul putih mengerikan. Mata kirinya hanya
merupakan satu rongga besar sementara bola matanya tersembul bergelantungan
keluar. Bagian depan pakaian hijau si nenek sengaja dibuka hingga dada dan
sebagian perutnya kelihatan jelas. Dada dan perut inipun tidak lagi berdaging
hingga tulang dada dan tulang-tulang iganya menyembul menyeramkan!
"Hik…
hik!" Si nenek tertawa pendek. "Anak muda berambut panjang! Matamu
melotot, keningmu mengerenyit tanda berpikir. Apakah kau ingat dan sudah
mengenali siapa diriku?!"
Wiro
garuk kepalanya lalu menjawab. "Gadis cantik saja jarang kuingat-ingat apa
lagi kau yang sudah nenek dan buruk pula!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Lalu dia
menyambung. "Pakaianmu boleh juga Nek! Cuma kurang kau buka sampai ke
bawah. Kalau lebih ke bawah pasti aku bisa melihat pemandangan yang lebih apik!
Ha.,, ha… ha!"
Si nenek
keluarkan suara menggembor. Dia hunjamkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah
berlobang besar. Pasir dan debu beterbangan ke udara.
"Buset!
Nenek ini punya ilmu juga rupanya. Aku harus hati-hati," membatin Wiro dan
bersikap waspada.
"Kekasihku
Lajahilio!" si nenek tiba-tiba berseru memanggil seseorang. "Lekas
unjukkan diri! Katakan pada pemuda keparat ini siapa aku adanya!"
Ada angin
bersiur. Lalu dari atas sebatang pohon besar melayang turun sosok seorang kakek
berambut putih awut-awutan. Mata kanan sipit, sebaliknya mata kiri besar
mendelik. Kakek ini mengenakan jubah kuning pekat Melihat si kakek Pendekar 212
segera ingat. Kakek ini adalah Lajahilio. Si nenek pastilah kekasihnya yang
bernama Luhjahilio. Di dalam rimba persilatan Negeri Latanahsilam mereka
dikenal dengan julukan Sepasang Hantu Bercinta walau mereka selama puluhan
tahun memang hidup bersama tanpa kawin.
Seperti
dituturkan dalam Episode berjudul "Rahasia Patung Menangis" sepasang
kakek nenek ini pernah muncul untuk membalaskan dendam kesumat kematian dua
murid mereka yakni Lagandring dan Lagandrung. Yang mereka serbu saat itu antara
lain Hantu Jatilandak yang membunuh Lagandring. Hantu Jatilandak hampir menemui
ajalnya kalau tidak ditolong oleh orang sakti berjuluk Si Penolong Budiman dan
Luhcinta yang muncul secara berbarengan. Malang bagi si nenek saat itu, dia
terkena hantaman pukulan sakti Pukulan Kasih Mendorong Bumi yang dilepaskan
Luhcinta. Tak ampun lagi sosok si nenek amblas terpendam seolah tercetak ke
dinding batu. Walau Luhjahilio tak sempat menemui ajal, tapi ketika Lajahilio
menolong mengeluarkan sosoknya dari dalam batu, sebagian daging muka dan
tubuhnya masih tertinggal di batu! Itu sebabnya kini dia menderita cacat yang
sangat mengerikan.
Lajahilio
tegak berkacak pinggang tapi agak terbungkuk. Sepasang matanya membeliak
pandangi Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Anak
muda yang umurnya tinggal sejengkal buruk! Kau berhadapan dengan Sepasang Hantu
Bercinta! Aku Lajahilio dan nenek itu kekasihku bernama Luhjahilio!"
"Hebat!"
memuji Wiro sambil acungkan jari tapi bukan jari jempol melainkan jari
kelingking tangan kirinya! "Julukan kalian sungguh luar biasa. Aku salah
menduga. Tadinya kukira bangsa hantu itu tak bisa bercinta. Ternyata kalian
bisa. Pasti kalian bercintanya di sekitar kuburan! Kalian bernama Lajahilio dan
Luhjahilio. Pasti kalian orang-orang dari abad jahiliah! Tapi ada satu hal aku
ingin tahu! Bagaimana kalian bisa menghitung kalau umurku cuma tinggal
sejengkal buruk?!"
Si kakek
menyeringai, si nenek mendengus. "Anak muda, nasibmu yang malang!"
kata Lajahilio. "Sebenarnya kekasihku bukan mencari dirimu, tetapi mencari
kekasihmu yang bernama Luhcinta itu! Dia yang menyebabkan kekasihku cacat
begini rupa! Luhcinta belum ditemui, kaupun tak ada salahnya dipesiangi lebih
dulu! Ha… ha… ha!"
"Tua
bangka pikun! Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Luhcinta. Dan dia bukan
kekasihku! Jika kalian punya silang sengketa dengan dirinya, mengapa
melampiaskan dendam padaku?!"
"Rupanya
takut mati juga kau! Hik… hik… hik! Lajahilio! Lekas kau panggil sahabat kita
si muka kuning itu! Kalian berdua harap awasi jangan sampai pemuda ini
melarikan diri!"
Mendengar
kata-kata si nenek kekasihnya Lajahilio lantas keluarkan satu suitan keras.
Saat itu juga dari balik pohon kayu besar terdengar suara
"Buuuttttt!"
Lalu
kelihatan melangkah keluar seorang nenek. Mulai dari rambut sampai ke ujung
kaki nenek ini berwarna kuning. Di lehernya bergelantungan berbagai macam
kalung. Semuanya berwarna kuning. Salah satu kalung itu adalah sendok emas
sakti yakni Sendok Pemasung Nasib yang dirampasnya dari Lakasipo sewaktu
Lakasipo hendak menyerahkan benda itu pada Hantu Langit Terjungkir. Di kepala
si nenek menancap tiga buah sunting yang bergoyang-goyang kian kemari setiap dia
bergerak. Dia juga mengenakan anting-anting bulat besar berwarna kuning.
Sambil
berjalan sesekali si nenek songgengkan pantatnya. Lalu
"buuuutttttt"…. Enak sajadia keluarkan kentut panjang dan keras.
Di
punggungnya nenek muka kuning itu memanggul sebuah keranjang besar. Keranjang
ini berisi belasan ekor ayam jantan. Sambil berjalan si nenek pegang seekor
ayam jantan di tangan kirinya. Lalu dengan tangan kanannya enak saja nenek ini
memuntir dan mencabut daging yang menonjol di ujung dubur ayam. Binatang ini
keluarkan suara kesakitan. Si nenek lemparkan binatang itu ke tanah. Ayam yang
kesakitan setengah mati ini seperti celeng menghambur sempoyongan. Seolah
menenggak penganan lezat, si nenek kemudian mengunyah dan menelan kibul ayam
dalam mulutnya mentah-mentah! Selagi mulutnya mengunyah, di sebelah bawah
kentutnya bertabur tiada henti!
Ketika
melihat si nenek bermuka dan berpakaian serba kuning ini kaget Wiro bukan alang
kepalang.
Ternyata
si nenek yang dikenal dengan nama Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut atau
Nenek Selaksa Angin ini adalah kambratnya Sepasang Hantu Bercinta!
Menghadapi
dua kakek nenek aneh itu bukan hal mudah, apalagi kalau mereka dibantu pula
oleh Luhkentut!
Sungguh
Wiro tidak menduga kalau Sepasang Hantu Bercinta punya hubungan tertentu dengan
si nenek muka kuning.
"Celaka!
Bagaimana urusan bisa kapiran begini!"
Wiro
mengeluh dalam hati. "Jangan-jangan nenek tukang kentut itu tahu kalau aku
menipunya! Tapi siapa tahu ada harapan. Kulihat dia masih asyik menenggak kibul
ayam jantan! Seolah tidak acuh akan kehadiranku!"
Tapi saat
itu si nenek justru putar kepala, memandang melotot pada Wiro dengan mulut
gembung karena tersumpal kibul ayam.
Ketika
melihat Pendekar 212 Wiro Sableng, Nenek Selaksa Kentut tak kalah kejutnya.
Mulutnya termonyong-monyong. Dia segera telan habis kibul ayam dalam mulutnya,
kentutnya dulu "buuuutttttt"… lalu berseru.
"Sepasang
Hantu Bercinta, ini urusan salah kaprah! Wahai! Aku tidak tahu kalau yang ingin
kalian pesiangi adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang ini!
Aku tak mungkin membantumu! Dia tak boleh kalian bunuh!"
"Buuuuttttttt..!"
Sepasang
kakek nenek bernama Luhjahilio dan Lajahilio sama-sama delikkan mata.
Luhjahilio berteriak marah.
"Luhkentut!
Jangan kau berani menipu mengingkari perjanjian! Ingat! Aku dan kekasihku sudah
mencarikan hampir tiga puluh ayam jantan untuk kau jadikan santapan kibulnya!"
"Tua
bangka muka setan! Siapa menipu! Siapa ingkari perjanjian! Aku cuma bilang
tidak mau membantumu. Dan kalian tidak boleh membunuh pemuda itu!"
"Buuuttt…"
Luhkentut kembali pancarkan kentutnya.
Lajahilio
maju dekati nenek muka kuning. Dia sengaja bicara lembut, berusaha membujuk.
"Mengapa
begitu wahai kerabatku Luhkentut? Mengapa kau mendadak berubah pikiran?"
"Buuuuttttt!"
Si nenek kentut dulu sebelum menjawab.
"Aku
punya urusan besar dengan pemuda itu! Aku tak ingin dia mampus sebelum urusanku
selesai!"
"Kurang
ajar! Kalau kau tak mau membantu harap lekas angkat kaki dari sini! Lain hari
urusan dustamu ini akan kita selesaikan!" Kembali Luhjahilio berteriak
marah.
"Aku
tidak akan pergi dari sini! Kalian berdua saja yang lekas menyingkir!" Nenek
muka kuning ulurkan tangannya ke belakang, mencekal seekor ayam jantan.
Seperti
tadi kibul ayam ini dipuntirnya sampai putus lalu dikunyah dan ditelannya. Ayam
yang terkuik-kuik kesakitan enak saja dilemparkannya ke muka Luhjahilio sambil
tertawa-tawa. Luhjahilio marah besar. Sekali hantam saja ayam jantan itu cerai
berai berkepingkeping.
Bulunya
beterbangan di udara. Kemarahan Luhjahilio tidak sampai di sana. Dia segera
menerjang ke arah nenek muka kuning dan lepaskan satu pukulan sakti mengandung
tenaga dalam hebat. Angin deras menyapu ke depan. Nenek muka kuning sesaat
terhuyung dan terkentut-kentut "Buutt… buuttt". Tapi dia tidak
tinggal diam dan cepat bertindak.
"Kurang
ajar! Berani kau menyerangku! Rasakan!" teriak Luhkentut Entah kapan nenek
ini bergerak tahu-tahu tangan kanannya telah mencengkeram tangan kanan
Luhjahilio yang hendak menghantam dadanya.
Lajahilio,
kakek kekasih, Luhjahilio tahu benar kehebatan si nenek muka kuning berjuluk
Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin itu. Kalau dia tidak segera turun
tangan pasti tangan kanan kekasihnya akan mengalami cidera berat. Tidak
menunggu lebih lama kakek ini segera menyerang dari samping.
Melihat
orang bertindak curang, walau dia kurang suka terhadap nenek muka kuning namun
Wiro tak mau berpangku tangan saja. Sebenarnya saat itu dia bisa saja cari
selamat menyelinap tinggalkan tempat itu. Namun yang dilakukannya adalah
berkelebat menghadang gerakan Lajahilio.
"Bukkkk!"
*******************
5
LENGAN
kanan Wiro saling bentrokan dengan lengan kanan Lajahilio. Pendekar 212
mengerenyit dan terhuyung dua langkah. Di depannya si kakek keluarkan jeritan
tertahan. Dia hampir terjengkang. Ketika diperhatikannya ternyata lengannya
telah bengkak merah, sakitnya bukan kepalang. Mukanya kelam merah menahan sakit
dan juga ada rasa tidak percaya. Selama ini kekuatan tangannya mampu
menghancurkan batu. Tapi kini si pemuda bukan saja sanggup menahan malah
membuat dia kesakitan setengah mati. Masih untung tulang lengannya tidak
cidera.
"Pemuda
asing jahanam! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu! Makan seranganku
ini!"
Lajahilio
dorongkan dua tangannya ke arah Pendekar 212. Dua rangkum angin menggebubu,
menyapu dahsyat Murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Wiro cepat
tekuk lututnya agar dia tidak jatuh duduk. Ketika Lajahilio susul serangannya
tadi dengan tendangan ke arah kepala, Wiro serta merta pukulkan tangan
kanannya. Serangkum angin laksana topan melabrak ke depan. Sosok Lajahilio
sesaat mengapung di udara lalu terangkat dan mental jungkir balik di udara.
Ketika jatuh di tanah punggungnya terbanting lebih dulu. Lajahilio mengeluh
tinggi. Di sebelah belakang sekujur tulangtulangnya serasa remuk. Sedang di
bagian depan yang barusan dihantam angin pukulan Benteng Topan Melanda Samudra
yang tadi dilepaskan Wiro dadanya serasa amblas.
"Buuuttttt…"
Kembali terdengar kentut panjang nenek muka kuning, disusul ucapannya.
"Luar
biasa! Anak muda rambut panjang! Ilmu apa yang kau pergunakan menghantam kakek
jelek itu! Hik… hiik… hik…?" Di samping kiri si nenek muka kuning tertawa
cekikikan. Untuk kesekian kalinya tangannya siap memuntir kibul seekor ayam
jantan.
Terhuyung-huyung,
dengan dada sesak dan darah mengucur di sela bibir, Lajahilio bangkit berdiri.
Memandang ke samping kiri dia keluarkan seruan tertahan. Tadi ketika melihat
kekasihnya saling mencengkeram dengan nenek muka kuning dia berusaha untuk
membantu karena tahu betul bahaya besar yang mengancam Luhjahilio. Tapi
gerakannya dihadang oleh Wiro. Kini ketika dia memperhatikan kagetnya bukan
alang kepalang melihat apa yang terjadi. Saat itu Luhjahilio dilihatnya tegak
sambil pegangi jidatnya. Di jidat itu kini menempel potongan tangan kanan
miliknya sendiri! Sebatas lengan sampai ke ujung jari. Dengan muka pucat si
nenek berusaha menanggalkan tangan yang menempel di keningnya itu tapi sia-sia
saja. Luhjahilio berteriak dan hentak-hentakkan kakinya kalang kabut!
"Ilmu
Menahan Darah Memindah Jazad!" desis Lajahilio dalam hati. "Jadi
benar rupanya nenek muka kuning ini memiliki ilmu dahsyat itu. Dia sanggup
memindah bagian-bagian tubuh manusia tanpa mengeluarkan darah tanpa membunuh!
Tapi akibatnya lebih mengenaskan dari kematian!"
"Luhjahilio!
Mari kita tinggalkan tempat ini!" Lajahilio berseru.
"Buuuutttt…!"
"Tidak
sebelum tanganku ini bisa ditanggalkan!" jawab Luhjahilio. Kembali dia
menarik-narik potongan tangannya. Tetap tidak berhasil. Nenek muka kuning
tertawa gelak-gelak.
"Luhjahilio,
bagusnya kau ikuti ucapan kekasihmu. Sebelum aku memindahkan bagian tubuhmu
yang lain ke jidat atau pipimu!" berkata Luhkentut lalu
"buuuttttt…!"
Luhjahilio
meradang marah. Tapi Lajahilio cepat menarik tangan kekasihnya dan setengah
menyeret membawa nenek itu kabur dari tempat tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng
merasa tengkuknya dingin ketika nenek muka kuning tiba-tiba berpaling ke
arahnya. Sepasang mata si nenek memandang lekat-lekat, mulutnya komat kamit
mengunyah kibul ayam. Dia menyeringai, lalu tertawa mengekeh hingga sebagian
kibul ayam yang ada di mulutnya tersembur keluar. Melihat si nenek tertawa Wiro
merasa lega sedikit. Namun dia tetap berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan.
Si nenek
songgengkan pantatnya lalu "buuuttt..!"
"Anak
muda bernama Wiro Sableng! Mana dua kawanmu yang dulu turut memperdayaiku di
gua yang ada patungnya?"
"Anu
Nek…. Mereka berada di Latanahsilam…"
"Pasti
mencari perempuan! Hik… hik… hik!" Si nenek tertawa lalu sambung tawanya
dengan kentut dua kali buuuttt.. buutttt! Puas tertawa dan terkentutkentut si
nenek perhatikan tangan kanan Wiro Sableng.
terbangan
ke udara. Si nenek muka kuning berseru keras. Tubuhnya tergontai-gontai
sementara dua kakinya laksana ditanam ke tanah. Dia kerahkan seluruh tenaganya
tapi tak urung lututnya mulai goyah. Pakaiannya berkibar-kibar. Keranjang ayam
di punggungnya berderak-derak. Belasan ayam yang ada dalam keranjang itu
berkotek-kotek ketakutan lalu semuanya amblas terpental dihantam sambaran angin
deras, beterbangan cerai berai di udara. Sesaat kemudian keranjang ayam ikut
terbang hancur berantakan. Tiga buah sunting di kepala si nenek bergoyang keras
lalu mencelat mental. Begitu juga sepasang anting ditelinganya, copot mental.
Masih untung rangkaian kalung yang tergantung di lehernya tak ikut diterbangkan
angin pukulan, tertahan di bawah dagu!
Bagaimanapun
Luhkentut bertahan namun tak urung dua kakinya yang terpendam di tanah
perlahanlahan terangkat ke atas. Di lain saat sosok tubuhnya tampak limbung
naik ke udara. Mengapung sejajar tanah dengan sepasang kaki menghadap ke arah
Wiro.
"Buuuttt…
buuuutttt.. buuttttt!" Si nenek kentut berulang kali.
Tiba-tiba
wut.. wuuutt… wuutttt! Pakaian kuning yang melekat di tubuh si nenek terlepas
tanggal dari tubuhnya, terbang ke udara lalu menyangkut jauh di atas sebatang
pohon!
"Kurang
ajar! Hai! Kau apakan diriku?!" Teriak Luhkentut sambil kalang kabut
menutupi tubuhnya yang kini bugil polos sementara kentutnya keluar
bertalu-talu.
Wiro
tersentak kaget Serta merta dia hentikan serangan Benteng Topan Melanda
Samudera. Walau si nenek ternyata mempunyai kehebatan untuk bertahan tapi dia
tidak menyangka akibatnya akan seperti itu. Ketika Luhkentut berhasil turunkan
dua kakinya ke tanah, Wiro tak berani berada lebih lama di tempat itu. Takut
dilabrak si nenek murid Sinto Gendeng segera tancap ambil langkah seribu.
Sambil kabur dia memaki dalam hati.
"Nenek
sinting! Salah sendiri mengapa tidak pakai celana dalam!"
*******************
6
PERI
Bunda pegang lengan Peri bermata biru yang duduk di hadapannya. Untuk beberapa
lamanya tak satupun diantara mereka yang membuka mulut bicara. Akhirnya Peri
Bunda memecah kesunyian di dalam kamar besar dan bagus itu.
"Aku
tahu hatimu masih terguncang hebat wahai kerabatku Peri Angsa Putih. Tidak
mudah memang menghadapi kejadian seperti ini karena menyangkut jauh sampai ke bagian
terdalam dari hati nuranimu. Tapi ketahuilah kerabatku, apa yang telah kau
lakukan adalah tindakan yang benar. Pemuda itu harus kau jauhi. Bahkan harus
kau tinggalkan sebelum malapetaka menimpa dirimu seperti yang terjadi dengan
diri Luhmintari, Peri yang jadi ibu Hantu Jatilandak ketika dia bersuamikan
Lahambalang. Aku akan melindungimu terhadap para Peri lainnya. Jika Peri
Sesepuh bertanya biar aku yang menghadap. Aku akan membantumu jika terjadi
apa-apa."
"Peri
Bunda kau sangat baitetoati. Tapi bagaimana kalau pemuda itu berdendam
terhadapku dan melakukan sesuatu yang tidak baik?" tanya Peri Angsa Putih
pula.
"Kau
tak usah kawatir wahai kerabatku. Aku sendiri yang akan turun tangan
menghadapinya jika dia berani berbuat begitu. Kalau perlu kita bisa perguna kan
para tokoh Hantu di Negeri Latanasilam untuk membantu. Jangan harap dia bisa
kembali ke tanah asalnya jika dia berani mencideraimu…" Peri Bunda diam
sejenak. Lalu dia bertanya. "Peri Angsa Putih, apakah kau pernah
mengatakan isi hatimu pada pemuda bernama Wiro Sableng itu? Apakah dia tahu kau
mencintainya?"
Sepasang
mata biru Peri Angsa Putih memandang lekat-lekat pada Peri Bunda, seolah
membesar dan berbinar. Di lubuk hatinya dia berkata. "Aku memang tidak
pernah berterus terang pada Wiro. Tidak mungkin seorang perempuan, apa lagi
seorang Peri mendahului membuka isi hatinya. Namun… mungkin ketidaktahuan ini
membuat dia bersikap seperti itu padaku. Tapi apa gunanya. Sekalipun kini dia
tahu tak ada artinya lagi. Aib yang telah dilakukannya terlalu besar. Aku tidak
mungkin menerima seorang kekasih seperti itu…." Peri Angsa Putih usap
pinggiran ke dua matanya lalu berkata. "Kau betul Peri Bunda. Aku memang
tak pernah mengatakan isi hatiku pada Wiro. Sekarang semuanya sudah kasip. Biar
tetap kupendam seumur hidupku…."
"Aku
bangga melihat ketabahanmu wahai Peri Angsa Putih. Kau tak usah kawatir pemuda
itu akan melakukan sesuatu. Jika perlu aku akan turun ke Negeri Latanahsilam
menemuinya…."
"Apa
yang akan kau lakukan Peri Bunda? Apa yang hendak kau katakan padanya?"
"Kau
tak usah kawatir, kau tak usah takut. Serahkan semua padaku. Pasti akan dapat
kuselesaikan demi untuk kebaikan dirimu dan kesucian kita sebagai kaum Peri
yang tidak bisa disamakan dengan bangsa manusia biasa…" Peri Bunda belai
pipi Peri Angsa Putih lalu bangkit berdiri. "Aku akan pergi ke Negeri
Latanahsilam sekarang juga. Kau tetap di sini. Jangan kemana-mana. Kau boleh
berada di kamarku ini sampai aku kembali…."
"Terima
kasih Peri Bunda. Aku memang merasa lebih tenteram berada di kamarmu ini,"
kata Peri Angsa Putih pula.
"Sebelum
aku pergi ada satu hal lagi yang perlu kukatakan padamu. Jika aku tidak
mengeluarkan hal ini rasanya akan menjadi ganjalan yang tidak enak."
"Katakanlah
Peri Bunda. Wahai gerangan apa yang hendak kau sampaikan?" ujar Peri Angsa
Putih pula.
"Menurut
ceritamu kau meninggalkan Wiro pergi bersama Lakasipo, menunggangi kuda hitam
berkaki enam berdua-dua."
"Betul
Peri Bunda," membenarkan Peri Angsa Putih sambil anggukkan kepala.
"Dengan
caramu itu kau bermaksud hendak sekedar membalaskan sakit hatimu pada Wiro.
Mungkin juga hendak mengatakan bahwa bukan dia seorang lelaki di atas dunia
ini. Tapi kau lupa satu hal. Entah kau sadari atau tidak kau seolah memberi
harapan pada Lakasipo…"
Peri
Angsa Putih terdiam. Peri Bunda melanjutkan kata-katanya. "Mungkin aku
salah menduga. Tapi setahuku, sebelum Wiro muncul di Negeri Latanahsilam kau
pernah memperlihatkan sikap dan rasa tertarik pada Lakasipo. Sikapmu berubah
begitu Wiro datang…."
Wajah
Peri Angsa Putih bersemu merah. Peri ini coba tertawa. "Peri Bunda, kau
meminta aku melupakan pemuda itu. Aku telah melakukannya…. Mengenai Lakasipo,
bukankah dia juga telah masuk dalam pikatan Luhjelita?"
"Itu
dulu. Bagaimana kini kalau dia tahu apa yang telah dilakukan Wiro dengan
Luhjelita? Dia pasti akan kecewa besar, mungkin marah sakit hati dan
mengarahkan pilihannya padamu. Apalagi sejak lama tersiar kabar bahwa Luhjelita
konon adalah kekasih Hantu Muka Dua…."
"Wahai,
terus terang aku tidak memikir sampai ke sana, Peri Bunda…."
Peri
Bunda cium kening kerabatnya itu lalu tinggalkan tempat tersebut Tak lama
setelah Peri Bunda pergi, walau berada dalam kamar yang luas dan bagus lamalama
Peri Angsa Putih merasa gelisah sendiri. Dia duduk di tepi pembaringan yang
empuk. Lalu melangkah mundar-mandir. Sesekali dia berdiri di belakang satu
jendela, memandang keluar ke arah sebuah taman yang dipenuhi berbagai bunga
yang tengah berkembang. Di tengah taman tiba-tiba seolah muncul bayangan sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng, melambaikan tangan kearahnya.
Peri
Angsa Putih sampai tersurut "Wahai…. Pertanda apa ini?. Mengapa
bayangannya mendadak muncul seperti itu. Apakah satu pertanda bahwa aku
sebenarnya tidak bisa melupakan dirinya? Bahwa semua apa yang aku katakan pada
Peri Bunda sebenarnya tidak keluar dari lubuk hatiku? Wahai…. Antara aku dan
dia mungkin tidak bisa pernah terjalin tali perkawinan. Tapi apa yang telah
dilakukannya memperjauh jarak antara aku dengan dia. Wiro, mengapa kau
melakukan perbuatan aib itu…?"
Peri
Angsa Putih jauhi jendela. Lalu kembali dia melangkah mundar mandir di dalam
kamar yang luas dan bagus itu. Di sudut kamartergantung serangkaian jambangan
bunga dari rotan bersusun enam. Yang sebelah bawah paling besar, sebelah
atasnya lebih kecil demikian seterusnya. Peri Angsa Putih telah beberapa kali
memperhatikan jambangan yang berisi bunga hidup itu. Namun entah mengapa kali
ini tergerak hatinya untuk mendekati jambangan tersebut dan melihat bunga-bunga
yang ada di situ lebih dekat. Semua bunga yang ada dalam jambangan selain bagus
dan memiliki warna indah juga menebar bau harum semerbak.
Peri
Angsa Putih hendak melangkah pergi ketika tiba-tiba pandangannya membentur
sesuatu pada jambangan paling besar di sebelah bawah. Sang Peri membungkuk agar
bisa melihat lebih jelas. Tidak percaya pada apa yang dilihatnya dia ulurkan
tangan mengambil benda itu. Yang diambil Peri Angsa Putih, terselip di antara
kembang-kembang bagus dan harum ternyata adalah dua buah bunga mawar kuning.
"Mawar
kuning…" desis Peri Angsa Putih. "Bunga ini hanya tumbuh di Taman
Larangan. Mengapa bisa berada di sini? Apakah Peri Bunda tahu kalau dua kuntum
mawar kuning ini terselip di antara bungabunga lainnya dalam jambangan?"
Tiba-tiba Peri Angsa Putih ingat. Tangannya bergetar. "Mawar kuning ini
mawar beracun! Mawar inilah yang tempo hari hampir membunuh Wiro di telaga.
Wahai para Dewa! Janganjangan…."
Takut
keracunan Peri Angsa Putih selipkan kembali dua kuntum mawar kuning itu di
antara bunga-bunga dijambangan rotan paling bawah. Namun selintas pikiran
muncul di benaknya. "Kalau benar apa yang kuduga, aku harus mempunyai
bukti. Dua bunga mawar kuning beracun itu harus kuambil dan kusembunyikan. Lalu
aku harus menyelidik. Atau mungkin aku akan tanyakan terus terang padanya?
Berarti aku harus menyusulnya saat ini juga! Tidak kusangka! Wahai, sungguh
tidak kusangka!"
Cepat-cepat
Peri Angsa Putih hendak mengambil dua kuntum bunga mawar yang barusan
diletakkannya. Namun gerakannya tertahan. Dia merasa ada seseorang tegak di
belakangnya, memperhatikannya. Pasti Peri Bunda, pikir Peri bermata biru itu.
Dia segera membalikkan badan. Dugaannya ternyata salah!
*******************
7
YANG
tegak di depan pintu kamar itu adalah seorang perempuan cantik berpakaian putih
sangat tipis hingga beberapa bagian auratnya terlihat jelas. Bagaimana orang
ini bisa masuk tanpa membuka pintu bagi Peri Angsa Putih tidak mengherankan.
Karena perempuan itu adalah roh dari seseorang yang sebenarnya telah mati,
namun bisa muncul dalam wujud seperti manusia biasa berkat pertolongan para
Peri dibantu para Dewa. Sebagai mahluk setengah gaib sosok ini secara aneh
sanggup masuk ke dalam sebuah ruangan melalui celah atau lobang kecil.
"Luhrinjani…."
Peri Angsa Putih menyebut nama perempuan itu dengan suara bergetar. Lalu tangan
kirinya diletakkan di atas bibir seolah tak berani lagi bersuara membuka mulut.
Perempuan
yang dipanggil dengan nama Luhrinjani tersenyum. "Wahai, kau masih ingat
namaku. Apakah kau juga masih ingat siapa diriku ini adanya Peri Angsa Putih?"
"Aku
ingat, kau adalah roh yang mampu mewujudkan diri karena pertolongan para Peri
dan para Dewa…." jawab Peri Angsa Putih.
"Jawabanmu
tidak salah, tapi bukan itu yang aku maksudkan wahai Peri Angsa Putih,"
kata Luhrinjani sambil layangkan senyum.
"Senyumnya
sinis…. Apa yang dimaksudkan mahluk ini?" membatin Peri Angsa Putih.
"Wahai, aku kurang paham maksudmu Luhrinjani."
"Begitu?
Dengar baik-baik wahai Peri bermata biru. Aku adalah Luhrinjani. Sampai saat
ini aku masih istri seorang lelaki bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu
yang dulunya adalah Kepala Negeri Latanahsilam. Jelas…?"
Peri
Angsa Putih anggukkan kepala namun tetap bertanya-tanya apa maksud Luhrinjani
dengan semua tanya dan ucapannya itu.
"Aku
tidak melupakan budi baik dan jasa para Peri termasuk dirimu yang telah mampu
membuat diriku bisa berkeadaan seperti ini. Tapi itu bukan berarti aku harus
begitu saja menerima perlakuan menyakitkan dari para Peri!"
"Wahai,
sepanjang aku tahu kami para Peri tidak pernah menyakiti hatimu. Mungkin kau…."
"Peri
Angsa Putih, ayam putih terbang siang kata orang. Apa yang kau telah lakukan
terlihat jelas karena aku tidak buta!"
"Wahai,
memangnya apa yang telah aku lakukan?" Peri Angsa Putih bertanya heran.
"Kau
lupa pada ucapanku tadi. Sampai saat ini Lakasipo masih suamiku dan aku masih
istrinya. Jangan ada perempuan lain yang berani bermain api cinta dengan
suamiku, termasuk kau!"
Waktu
menyebut "kau" itu Luhrinjani beliakkan sepasang matanya dan jari
telunjuk tangan kirinya ditudingkan tepat-tepat ke wajah Peri Angsa Putih,
membuat Peri ini terkejut dan tersurut satu langkah! Wajahnya yang jelita
berubah pucat.
"Luhrinjani,
bagaimana kau bisa menuduhku bermain cinta dengan suamimu? Memangnya aku
ini…."
"Kau
Peri pertama yang kuketahui berani berkata dusta!" Membentak Luhrinjani.
Kalau
tadi wajah Peri Angsa Putih putih pucat, maka kini paras itu berubah merah.
"Luhrinjani, apa maksudmu! Kedustaan apa yang telah aku lakukan?!"
Peri Angsa Putih bertanya dengan suara keras lantang.
Matanya
yang biru membersitkan sinar pertanda dia tengah dilanda kemarahan besar.
"Jangan berani bicara yang bukan-bukan! Tempat ini bukan duniamu! Jika kau
masih bermulut lancang lekas angkat kaki dari sini sebelum kuperintahkan barisan
para Peri untuk menyeretmu dan melemparkan rohmu ke bumi sana!"
Luhrinjani
kembali layangkan senyum sinis.
"Aku
tidak bicara yang bukan-bukan. Justru aku datang untuk bicara yang
benar-benar!" menyahuti Luhrinjani si mahluk gaib setengah roh setengah
manusia itu. "Aku tidak pula bermulut lancang! Dan terus terang aku merasa
senang jika ada Peri lain di tempat ini mendengar apa yang akan kusampaikan
padamu!"
"Rupanya
kemunculanmu sengaja hendak mempermainkan dan mempermalukan diriku!" kata
Peri Angsa Putih dengan suara bergetar.
"Peri
Angsa Putih, dengar baik-baik apa yang akan kukatakan. Aku tidak, suka kau
memikat suamiku! Aku tidak suka melihat kau bercinta dengan Lakasipo!"
"Mahluk
kurang ajar! Siapa memikat suamimu! Siapa bercinta dengan Lakasipo!"
Teriakan Peri Angsa Putih menggelegar di dalam kamar besar itu.
"Jangan
kira aku buta wahai Peri Angsa Putih. Aku punya kemampuan melihat apa yang kau
lakukan. Aku punya kemampuan mengawasi tindak tanduk suamiku!"
"Kalau
kau mempunyai kemampuan mengapa kau tidak bertindak ketika Lakasipo bercinta di
sebuah goa batu pualam dengan Luhjelita?! Jika kau punya kemampuan mengapa kau
tidak bertindak terhadap Luhsantini istri Hantu Bara Kaliatus yang sejak
beberapa lama ini selalu kemana-mana bersama Lakasipo?!"
Luhrinjani
tertawa panjang mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. "Kau hendak
mengalihkan pembicaraan. Saat ini bukan perihal gadis bernama Luhjelita itu
yang ingin aku bicarakan. Soal Luhsantini tidak usah kau korek-korek karena aku
sudah ada rencana tersendiri terhadapnya. Aku datang ke sini untuk membicarakan
dirimu! Hanya karena perselisihanmu dengan pemuda gagah bernama Wiro Sableng
itu lantas kau berbuat tak karuan! Wahai! Apa kau kira aku tidak tahu bagaimana
kau meninggalkan pemuda itu lalu memikat suamiku?! Menunggangi Laekakienam
bersama-sama sambil tanganmu merangkul ke pinggang Lakasipo? Kau sungguh cerdik
Peri Angsa Putih! Kau sakiti hati Wiro Sableng, sekaligus kau rayu
suamiku!"
"Luhrinjani!
Tuduhanmu busuk sekali! Aku tidak punya niat memikat suamimu! Juga tidak punya
keinginan bercinta dengannya!"
"Yang
kau ucapkan justru berlainan dengan apa yang aku rasa dan aku lihat
sendiri!" jawab Luhrinjani.
"Sebagai
Peri kau tentu tahu apa yang kau ucapkan benar-benar putih bersih! Terus terang
aku meragukan kebersihan diri dan hatimu Peri Angsa Putih! Sebagai Peri kau
lebih banyak berkeliaran di Negeri Latanahsilam. Kau lebih banyak terpikat pada
urusan dunia. Jangan kira aku tidak tahu kalau kau telah jatuh hati pada pemuda
bernama Wiro Sableng itu! Jangan kira aku tidak tahu karena Wiro tidak membalas
cintamu kau lantas berbalik hati berusaha mendekatkan diri pada suamiku! Aku
ingin tahu apa kau berani menyangkal ucapanku! Berarti kau menambah dalam
kedustaanmu sendiri!" Luhrinjani tertawa panjang.
Belum
puas sehabis tertawa kembali dia menyemprotkan kata-kata. "Peri Angsa
Putih, kau memang cantik. Banyak lelaki bisa tertarik padamu. Tapi selain
cantik kau ternyata picik! Apa kau kira begitu mudah mendapatkan seorang suami
berasal dari Negeri Latanahsilam? Atau kau memang sudah siap menerima kutuk
para Peri dan para Dewa. Seperti yang dialami Luhmintari dan Lahambalang yang
melahirkan bayi pembawa malapetaka si Hantu Jatilandak itu? Hik…hik… hik!
Rupanya memang bakal ada satu Peri lagi yang akan menerima kutuk laknat! Dan
kaulah mahluknya!"
Kembali
Luhrinjani keluarkan tawa panjang.
"Mahluk
roh busuk jahanam!" teriak Peri Angsa Putih. Amarahnya tak terkendalikan
lagi. Dari dua bola matanya menyambar sinar biru ke arah Luhrinjani.
Tapi
orang yang diserang telah lebih dulu berkelebat lenyap seolah sirna ditelan
dinding kamar. Yang tertinggal hanya suara tertawanya. Dua larik sinar biru
yang tidak mengenali sasarannya melabrak sebagian pintu dan dinding kamar
hingga hancur berantakan dan kepulkan asap biru.
Peri
Angsa Putih sadar lalu bingung sendiri melihat apa yang telah dilakukannya.
"Celaka…. Kamar Peri Bunda kubuat rusak. Sebentar lagi para Peri akan
datang ke tempat ini. Aku harus segera pergi sebelum mereka muncul!"
Peri
Angsa Putih segera berkelebat ke arah pintu yang jebol. Tapi dia ingat sesuatu.
Cepat dia mendekati jambangan rotan lalu mengambil dua kuntum mawar beracun.
Bunga-bunga ini digulungnya dibalik pakaian putihnya lalu dengan cepat dia
tinggalkan tempat itu. Ketika enam orang Peri berpakaian serba merah di bawah
pimpinan Peri Sesepuh yang luar biasa gemuknya itu sampai di kamar tersebut,
Peri Angsa Putih tak ada lagi disitu.
Peri
Sesepuh usap mukanya yang putih gembrot dan selalu keringatan. Dia memandang
berkeliling.
"Wahai,
gerangan apa yang terjadi di tempat ini? Mana Peri Bunda? Aku mencium bau
harum. Pertanda ada seseorang memasuki kamar ini sebelumnya…." Peri gemuk
berpakaian merah dan memiliki bulu ketiak panjang berserabutan itu memandang
pada anak buahnya. Lalu memberi perintah. "Lekas selidiki apa yang
terjadi! Cari Peri Bunda sampai dapat!"
*******************
8
KAKEK
berpenampilan dahsyat di puncak bukit batu yang menghadap ke laut itu hentikan
samadinya. Telinganya menangkap suara kaki-kaki berlari di kejauhan. Matanya
yang tadi terpejam dibuka sedikit.
"Ada
dua orang yang berlari. Mudah-mudahan mereka…" membatin si kakek. Orang
tua ini mengenakan sehelai jubah putih. Rambutnya panjang di sebelah belakang,
melambai-lambai ditiup angin laut Yang dahsyat dari manusia ini adalah
kepalanya. Dia memiliki otak yang terletak di luar kepala, antara kening dan
ubun-ubun. Otak ini diselubungi oleh sejenis benda atos berbentuk kening
sehingga otak yang bergerak berdenyut-denyut itu bisa dilihat dengan jelas!
"Kakek
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab! Kami datang!"
Kesunyian
yang hanya dibayangi suara halus tiupan angin laut di tempat itu dipecah oleh
dua seruan perempuan berseru berbarengan.
Kakek
yang tengah bersamadi gerakkan kepalanya. Begitu dia membuka sepasang matanya
lebih besar, dua gadis berparas cantik, sama-sama mengenakan pakaian putih dan
sama-sama berambut pirang tahu-tahu telah berlutut di hadapannya.
"Cucuku
Luhkemboja dan Luhkenanga. Lama aku menunggu akhirnya kalian datang juga.
Apakah kalian berhasil melaksanakan tugas. Mendapatkan benda yang aku
inginkan?"
Dua gadis
cantik yang bukan lain adalah Sepasang Gadis Bahagia tundukkan kepala lalu
sama-sama menjawab.
"Berkat
petunjukmu kami berhasil mendapatkannya."
Ternyata
dua gadis kembar ini adalah cucucucu dari tokoh paling terkemuka di Negeri
Latanahsilam yakni yang dikenal dengan julukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Tidak
menunggu lebih lama gadis bernama Luhkemboja segera keluarkan tongkat batu biru
dari balik pakaiannya lalu diserahkan pada si kakek.
Hantu
Sejuta Tanya menyambut benda itu dengan wajah berseri-seri dan mata
berkilat-kilat. Tongkat batu diusapnya berulangkali. "Tongkat Bahagia
Biru…" kata si kakek perlahan menyebut nama tongkat itu. "Akhirnya
kau kembali juga ke tanganku."
Luhkemboja
dan Luhkenaga saling melontar pandang. Kini mereka baru tahu kalau tongkat batu
biru itu bernama Tongkat Bahagia Biru. Keduanya menduga-duga apakah tongkat
tersebut ada hubungan atau sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan, pelambang
Kerajaan Hantu Muka Dua.
Sebelumnya
telah dituturkan bahwa tongkat sakti ini pernah berada di tangan tokoh berjuluk
si Tongkat Biru Pengukur Bumi yang mayatnya ditemukan oleh Luhjelita. Ketika
Luhjelita menemukan mayat Si Tongkat Biru Pengukur Bumi, tongkat tersebut ada
di dekat mayat, lalu di ambil oleh Luhjelita. Si gadis kemudian menyerahkan
tongkat tersebut kepada Pendekar 212. Lalu belum lama berselang Sepasang Gadis
Bahagia yang memang mendapat perintah dari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
berhasil mengambil tongkat itu dari tangan Wiro setelah lebih dulu melakukan
perbuatan keji terhadap Luhjelita.
"Luhkemboja
dan Luhkenanga, tidak sia-sia aku mempunyai cucu seperti kalian. Aku sangat
berterima kasih kalian sudah dapatkan tongkat ini…."
Waktu
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berkata Luhkenanga melirik pada kakaknya.
Luhkemboja memberi isyarat dengan kedipan mata. Maka Luhkenanga lantas berucap.
"Kek, mataku yang awam melihat tongkat batu itu biasa-biasa saja. Buruk
seperti tiada berguna. Tetapi agaknya bagimu sangat penting. Apakah ada sesuatu
rahasia atau satu kekuatan sakti yang terkandung dalam tongkat itu? Yang kami
tidak tahu?"
Hantu
Sejuta Tanya Jawab tersenyum. "Tongkat buruk ini bagi orang lain tak ada
artinya. Tapi bagiku sangat berharga dan penuh kenangan. Tongkat ini diberikan
oleh seorang sahabat bernama Lasedayu. Beberapa lama berada di tanganku tongkat
dicuri oleh seorang tak dikenal. Setelah menguasai tongkat ini dia kemudian
menjuluki dirinya sebagai si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Dengan tongkat ini dia
gentayangan di Negeri Latanahsilam, menebar angkara muka hingga dia menjadi
momok ditakuti. Kemudian kusirap kabar dia pernah menjadi kaki tangan Hantu
Muka Dua. Namun kemudian konon dia menemui ajal di bunuh seseorang. Aku sangat
berbahagia karena tongkat pemberian sahabatku ini sekarang telah berada di
tanganku kembali. Jasamu sangat besar. Aku tidak akan melupakan seumur
hidup…."
"Kau
kakek kami, kami cucumu. Pantas sekali kalau kami berbakti padamu!" kata
Luhkemboja.
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tersenyum.
Tongkat
Bahagia Biru diletakannya di atas pangkuan. Lalu tangannya kiri kanan mengusap
kepala dua gadis kembar itu.
"Luhkenanga
dan Luhkemboja. Sewaktu kalian kutugaskan mencari tongkat ini, aku juga telah
meminta kalian agar menyirap kabar tentang seorang pemuda asing bernama Wiro
Sableng. Apa kalian berhasil mengetahui dimana dia berada?"
"Kakek
Sejuta Tanya Sejuta Jawab," kata Luhkenanga.
"Jangan
kau terkejut kalau mengetahui justru tongkat itu kami rampas dari pemuda asing
bernama Wiro Sableng itu!"
Kakek
yang otaknya berada di luar kepala itu tampak terkejut. Dia usap-usap janggut
putihnya berulang kali. "Sungguh tidak kuduga…. Bagaimana tongkat ini bisa
berada di tangannya. Harap kau mau menceritakan lebih banyak dan lebih
jelas…."
Luhkemboja
lalu menuturkan riwayat pertemuannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lupa
dia juga menerangkan kemunculan Peri Angsa Putih.
"Wahai,
banyak keanehan rupanya terjadi di Negeri Latanahsilam. Menurut kabar yang aku
dengar sebenarnya Peri Angsa Putih sudah sejak lama menaruh hati pada pemuda
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Mengapa kini dia bersekutu
membantu kalian?"
"Bisa
saja terjadi kalau pemuda itu sebenarnya adalah seorang hidung belang!"
kata Luhkenanga.
"Apa
maksudmu cucuku Luhkenanga?" tanya Hantu Sejuta Tanya Jawab.
Luhkemboja
dan Luhkenanga lalu mengarang cerita bahwa mereka telah memergoki Pendekar 212
dan Luhjelita tengah melakukan perbuatan mesum di sebuah goa di kawasan
terpencil.
Berubahlah
wajah tua Hantu Sejuta Tanya Jawab. Otaknya tampak menggembung lebih besar dan
berdenyut keras. Berkali-kali kakek ini gelengkan kepalanya.
"Tak
bisa kupercaya! Wahai, sungguh tak bisa kupercaya…. Dua cucuku, kalian
menyaksikan sendiri kejadian itu?" tanya Hantu Sejuta Tanya jawab.
"Bukan
cuma kami Kek," jawab Luhkenanga. "Peri Angsa Putih juga ikut melihat
karena kebetulan dia berada di sana!"
Si kakek
hembuskan udara dari dalam mulutnya seolah menghembuskan hawa panas mengandung
bara api yang membakar perut dan dadanya.
"Wahai
para Dewa. Sungguh tak bisa kupercaya! Kacau sudah semua rencanaku. Bagaimana
aku akan meneruskan. Pertanda Negeri Latanahsilam tak bisa diselamatkan!
Malapetaka akan melanda negeri ini! Istana kebahagiaan akan menjadi pusat bahala.
Nyawa akan bertabur dimana-mana. Darah akan menganak sungai membasahi negeri!
Apa yang aku takutkan kelak akan terjadi! Wahai para Dewa apa yang harus aku
lakukan? Pemuda bernama Wiro Sableng! Wahai, mengapa yang aku lihat dulu
tentang dirimu tidak sama dengan kenyataan?!" Kembali kakek yang otaknya
berada di luar kepala itu menggeleng berulang kali.
Wajahnya
yang keriput tampak memucat penuh kecewa. Luhkemboja dan Luhkenanga saling
bertukar pandang mendengar ucapan Hantu Sejuta Tanya Jawab yang tidak mereka
mengerti itu.
"Kek,
kalau kami boleh bertanya apa maksud semua ucapanmu tadi?" bertanya
Luhkemboja.
Sang adik
menyambung. "Kau punya rencana. Tapi kacau katamu. Rencana apa Kek?
Malapetaka apa yang akan menimpa Negeri Latanashilam? Ada apa dengan Hantu Muka
Dua di Istana Kebahagiaan? Apa dia yang akan jadi biang racun rencana di negeri
ini?"
Luhkemboja
kembali membuka mulut. "Kek, tadi kau berucap sepertinya dulu pernah
menyirap diri Wiro Sableng dan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Lalu
kau melihat kenyataan lain…. Kek, agaknya kau punya satu rencana besar yang
tidak pernah kami ketahui. Kau merahasiakan sesuatu!"
"Cucu-cucuku,
maafkan diriku. Perasaan hati dan tubuhku mendadak tidak enak. Aku berterima
kasih kalian telah mendapatkan tongkat ini. Namun harap dimaafkan. Harap kalian
suka meninggalkan aku seorang diri. Aku ingin bersamadi kembali. Mungkin satu
hari suntuk. Mungkin berhari-hari sampai satu minggu. Tergantung petunjuk yang
aku dapat dari para Dewa…"
"Kek,
jika kami dapat membantu…." kata Luhkemboja pula.
Hantu
Sejuta Tanya Jawab gelengkan kepala. "Terima kasih, kurasa saat ini tak
ada seorangpun yang bisa menolongku. Karenanya aku perlu mendekatkan diri pada
Yang Kuasa…."
Luhkemboja
dan Luhkenanga saling pandang seketika. Lalu ke dua gadis kembar ini sama-sama
membungkuk memberi hormat Setelah itu keduanya segera tinggalkan tempat itu.
Tak lama
setelah dua gadis itu berlalu Hantu Sejuta Tanya Jawab ambil Tongkat Bahagia
Biru dari atas pangkuannya. Tongkat dipegangnya dengan ke dua tangannya. Dia
membaca satu mantera pendek. Dari telapak tangan kiri kanannya mengepul asap
biru pekat dan menebar bau harum. Si kakek gerakkan tangannya, membuat gerakan
berputar. Yang kiri didorong ke arah depan, yang kanan ditarik ke belakang.
Seharusnya tongkat batu itu akan berputar. Tetapi hal itu tidak terjadi. Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab baca kembali manteranya. Sampai tiga kali. Lalu dua
tangannya diputar kuat-kuat
"Kraaakkkk!"
Tongkat
batu biru patah dua! Sepasang mata si kakek membeliak besar perhatikan tongkat
yang patah. Masih kurang percaya dia dekatkan tongkat itu ke matanya, memeriksa
ujungujung yang patah.
"Palsu!"
teriak si kakek tiba-tiba. "Kurang ajar! Dua gadis celaka itu pasti telah
menipuku!"
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tancapkan dua patahan tongkat batu ke batu hitam di
atas mana dia duduk. Dua patahan tongkat amblas ke dalam batu sampai dua
pertiganya!
"Luhkemboja!
Luhkenanga! Kalian berada di mana?! Lekas kembali ke sini!" teriak si
kakek.
Jawaban
yang diterimanya hanyalah gema suaranya yang kemudian pupus ditelan hembusan
angin laut Tapi perlu apa aku mencari kebenaran? Hanya untuk membela pemuda
berhati keji itu? Bukankah lebih baik aku memencilkan diri bersunyi diri di
satu tempat? Biarlah terjadi apa yang akan terjadi! Kelak semuanya akan selesai
dengan sendirinya."
"Peri
Angsa Putih! Kami sahabatmu datang!"
Peri
Angsa Putih terkejut Ada orang berseru memanggilnya. Dia cepat berpaling dan
dapatkan Naga Kuning serta Si Setan Ngompol sudah berada di sampingnya.
"Hemm…
Kalian…." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut sang Peri. Dalam keadaan
seperti itu, apalagi Naga Kuning dan Si Setan Ngompol adalah sahabatsahabat
Wiro yang kini dibencinya, Peri Angsa Putih bersikap seperti tidak acuh. Dalam
hati dia berkata.
"Kalau
Wiro bersifat sekeji itu, dua sahabatnya ini walau satu masih bocah dan lainnya
sudah kakekkakek, keduanya pasti bangsa bajingan juga! Aku tidak lagi bisa
mempercayai orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu!
Ternyata mereka jahat busuk semua!"
"Peri
Angsa Putih, apakah kau baik-baik saja selama ini?" bertanya Si Setan
Ngompol.
Peri
Angsa Putih pandangi wajah kakek itu. Dia tidak mau menjawab. Sebenarnya dia
merasa heran dan ingin bertanya sewaktu melihat si kakek tidak lagi mempunyai
daun telinga sebelah kanan. Tapi karena sedang kalut ditambah mendadak saja
timbul rasa benci terhadap dua sahabat Wiro ini maka Peri Angsa Putih tidak
ajukan pertanyaan.
"Wahai,
kau diam saja!" berkata Naga Kuning.
"Melihat
wajahmu yang murung agaknya ada sesuatu yang menjadi ganjalan hatimu."
"Apapun
yang sedang kurasa dan kualami, semua bukan menjadi urusan kalian…."
Mendengar
kata-kata sang Peri Naga Kuning dan si kakek jadi sama-sama saling pandang. Si
bocah berbisik. "Tidak biasanya dia seperti ini. Mengapa berubah jadi
ketus dan tak acuh pada kita?"
Si Setan
Ngompol sesaat diam saja. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Naga
Kuning, memang kita tidak boleh mengganggu orang yang sedang kalut. Urusan
orang jangan dijadikan urusan kita." Lalu pada Peri Angsa Putih si kakek
berkata. "Peri, kami tidak berniat mengganggumu. Kami tidak berkeinginan
mencampuri apapun yang jadi urusanmu. Kami kebetulan lewat di sini dan
melihatmu sendirian. Karena kita bersahabat itu sebabnya kami mendatangi dan
bertegur sapa. Kami tadinya ingin menanyakan apakah kau mengetahui dimana
beradanya sahabat kami Pendekar 212 Wiro Sableng."
"Pemuda
itu, aku tak tahu dia berada di mana. Kalaupun tahu rasanya bukan menjadi
urusanku…."
Naga
Kuning dan Setan Ngompol kembali saling berpandangan. "Kenapa dia jadi
ketus judes begini…?" Bisik si bocah.
"Jangan-jangan
si sableng itu telah menyakitinya. Pasti terjadi sesuatu antara mereka!"
jawab Si Setan Ngompol.
"Kalaupun
itu betul, itu urusan dia dengan Wiro. Tidak selayaknya dia bersikap seperti
ini terhadap kita!" tukas Naga Kuning.
"Kalian
mencari Wiro?" Tiba-tiba Peri Angsa Putih bertanya. Di wajahnya kelihatan
seulas senyum. Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi lega. Tapi hanya sesaat.
Karena di lain kejap senyum itu lenyap dan sang Peri berucap. "Jika ingin
tahu dimana sahabat kalian itu berada, tanyakan pada kekasihnya,
Luhjelita!"
"Eh,
sejak kapan Luhjelita jadi kekasih sahabat kami?" tanya Naga Kuning.
Sementara Setan Ngompol bengong tak mengerti.
"Jangan
pura-pura tidak tahu. Kalian bertiga pasti sama saja! Muncul di Negeri
Latanashilam untuk mencari gadis-gadis menghibur diri secara keji! Kami di sini
bukan gadis-gadis barang mainan!"
"Astaga."
Si Setan Ngompol sampai tersentak mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu.
Kencingnya yang sejak tadi ditahan-tahannya langsung muncrat.
"Jangan-jangan
Wiro telah melakukan sesuatu pada Peri ini. Mungkin sudah dipeluk atau
diciumnya!"
"Mungkin
juga sudah digerayanginya!" sambung Si Setan Ngompol.
"Gila!
Dia enak-enakan dapat anak orang, kita berdua yang dapat dampratan! Kek, mari
kita tinggalkan tempat ini. Tapi biaraku mengatakan sesuatu dulu pada Peri ini
agar dia tahu rasa!" Habis berkata begitu si bocah memandang pada Peri
Angsa Putih dan berkata. "Peri cantik bermata biru! Apapun urusanmu dengan
Wiro bukan urusan kami! Apapun urusan Wiro dengan Luhjelita, juga urusanmu
dengan Luhjelita, bukan pula urusan kami! Tapi satu hal aku beritahu padamu!
Waktu di tanah Jawa ada lusinan gadis tergila-gila pada Wiro. Mereka semua
mengasihi sahabatku itu! Kecantikan mereka tidak kalah dengan kau! Jangan kau
merasa paling cantik karena punya sepasang mata biru. Di tanah Jawa juga ada
seorang gadis bernama Ratu Duyung, memiliki mata lebih biru dan lebih bening
dari kau! Memiliki kecantikan yang tidak kalah dengan kau! Lalu masih ada
segudang gadis cantik lainnya. Biar aku sebutkan nama mereka satu persatu.
Pandansuri! Anggini! Bidadari Angin Timur. Yang satu ini memiliki rambut bagus
pirang, tubuhnya tak kalah harum semerbak dengan dirimu! Banyak lagi
gadis-gadis lain yang tergila-gila pada Wiro. Tapi Wiro memperlakukan mereka
sebagai sahabat dengan hati tulus! Tidak pernah dia berhati culas memanfaatkan
kasih orang untuk dijadikan barang permainan seperti katamu tadi! Kalau dia
ingin berlaku serong mengapa dilakukannya di tanah brengsek ini? Di tanah Jawa
banyak gadis yang bersedia menyerahkan dirinya secara pasrah! Tapi dia tidak
mau melakukannya! Aku tidak tahu apakah kau masih perawan atau tidak! Tapi
sahabatku itu aku tahu betul! Sampai saat ini dia masih bujang!"
Peri
Angsa Putih terbelalak ternganga mendengar kata-kata Naga Kuning itu. Wajahnya
merah sampai ke telinga. Tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun.
"Kau
dengar baik-baik Peri Angsa Putih!" Naga Kuning menyambung ucapannya.
"Sebenarnya kami tidak ingin menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini!
Kalau bukan kami tersesat siapa sudi! Negeri kami di tanah Jawa jauh lebih
indah! Orangnya ramahramah. Kalian di sini apa! Pakaian saja tidak karuan!
Sebagian dari kalian bertubuh bau! Malah banyak yang tidak pernah mandi-mandi!
Kita pernah bersahabat! Tapi sikap dan ucapanmu barusan sangat merendah kan
diri kami dan sahabatku Wiro Sableng!"
Habis
berkata begitu Naga Kuning tarik tangan Si Setan Ngompol mengajaknya pergi dari
tempat itu.
*******************
9
Sambil
melangkah mengikuti si bocah dengan celana kuyup oleh kencingnya sendiri si
kakek berkata. "Anak geblek! Perlu apa kau memberi tahu nama gadis-gadis
yang tergila-gila pada Wiro itu. Peri Angsa Putih tidak kenal mereka
semua!"
"Kenal
atau tidak biar dia tahu rasa! Mungkin dia merasa cantik sendiri di atas langit
dan di kolong bumi ini! Kalau saja dia bisa datang ke tanah Jawa dia akan lihat
bahwa gadis-gadis di sana banyak yang lebih cantik dan lebih mulus kulitnya
dari dia…. Mentangmentang kita orang kesasar enak saja dia mau melecehkan kita!
Aku sebenarnya sudah gerah. Ingin buru-buru angkat kaki dari negeri celaka
ini…."
"Aku
juga," menyahuti Setan Ngompol. "Tapi sebelum daun telingaku sebelah
kanan kudapat kembali bagaimana mungkin aku bisa pergi. Selain itu aku juga
belum bertemu dengan Luhlampiri si nenek yang membuat hatiku empot-empotan
itu!"
"Jangan
jadi kakek tolol! Di tanah Jawa ada ratusan nenek lebih montok segar dibanding
si nenek peot itu. Namanya saja Luhlampiri! Pasti dia turunan nenek
lampir!"
"Jangan
kau menghina kekasihku itu!" Setan Ngompol marah.
Naga
Kuning tertawa lalu mencibir. "Tua bangka itu kenal kau saja belum,
bagaimana kau bisa bilang dia kekasihmu!"
"Kenal
memang belum tapi kami berdua sudah pernah saling berlirik mata dan berbalas
senyum!"
Naga
Kuning tertawa cekikikan. "Lama-lama di negeri aneh ini kau bisa berubah
jadi mahluk aneh. Sekarang saja tampangmu sudah tidak karuan! Mata lebar
jereng! Kuping cuma satu! Celana kuyup bau pesing! Kek, apa hari ini kau sudah
mandi?!"
"Anak
sialan! Jangan sampai kuremas kantong menyanmu!" teriak Setan Ngompol
marah. Tangan kanannya tiba-tiba menyelonong ke bawah perut Naga Kuning. Si
bocah cepat melompat selamatkan diri seraya berteriak.
"Kek!
Baru satu hari kau kenal pemuda banci bernama Si Binal Bercula itu, kini kau
sudah ketularan senang memegang bagian terlarang!"
"Bocah
setan! Kurobek mulutmu!" teriak Setan Ngompol marah. Dia mengejartapi Naga
Kuning sudah menghambur lari sambil tertawa cekikikan. (Mengenai tokoh banci
berjuluk Si Binal Bercula harap baca Episode berjudul "Hantu Muka
Dua")
*******************
HANYA
sesaat setelah Naga Kuning dan Setan Ngompol tinggalkan pedataran tinggi itu,
Peri Angsa Putih merasa sekujur tubuhnya lemas. Dia terduduk di tanah. Wajahnya
mengelam dan air mata tak kuasa dibendungnya. Dia mulai menangis sesengukan.
Ucapan Naga Kuning sangat memukul sanubarinya. Hatinya seperti disayat-sayat.
"Ucapan
anak itu mungkin betul. Tapi…." Peri Angsa Putih tutupkan dua tangannya ke
wajah dan menangis keras. Tiba-tiba hidungnya membaui sesuatu. Dia turunkan dua
tangan, memandang berkeliling. Ketika dia mendongak ke atas, di langit dilihatnya
ada satu bayangan biru berkelebat rendah menuju ke arah barat dimana saat itu
sang surya yang hendak tenggelam menyaput langit dengan cahayanya yang merah
keemasan.
"Peri
Bunda…." desis Peri Angsa Putih. "Dia turun lebih dulu dari aku.
Mengapa baru sampai di sekitar sini. Wahai, kulihat dia berputar-putar di
sebelah sana. Itu arah Gunung Latinggimeru. Agaknya ada sesuatu yang tengah
diperhatikannya di sekitar situ. Bukankah dia mengatakan padaku hendak mencari
dan menemui Wiro? Jangan-jangan dia sudah membayangi pemuda itu. Apa yang harus
aku lakukan…?"
Peri
Angsa Putih memandang ke arah barat. Saat itu dilihatnya sosok biru Peri Bunda
tengah menukik ke bawah, ke arah selatan gunung lalu lenyap dari pemandangan.
"Aku
harus mengintai ke sana…" kata Peri Angsa Putih lalu bangkit berdiri.
"Kawasan selatan itu adalah daerah berbatu-batu berbentuk aneh. Jarang
orang datang ke sana. Mungkin ada seseorang yang menunggunya di sana?"
Peri
Angsa Putih cepat melangkah ke tempat dia meninggalkan Laeputih, angsa putih
raksasa tunggangannya. Sesaat kemudian kelihatan Peri itu telah melayang di
udara menunggangi angsa putihnya. Dia sengaja menempuh arah berputar agar tidak
terlihat oleh Peri Bunda.
Di atas
punggung angsa tunggangannya Peri Angsa Putih keluarkan dua mawar kuning
beracun dari balik lipatan pakaiannya. "Peri Bunda…." desis nya.
"Jadi kau rupanya…. Sungguh aku tidak percaya…. Mengapa Peri Bunda?
Mengapa kau lakukan itu? Apa dosa pemuda itu terhadapmu?"
*******************
10
PENDEKAR
212 Wiro Sableng berdiri di atas kepingan batu besar berbentuk perahu
tertelungkup itu. Jauh di sebelah utara menjulang Gunung Latinggimeru.
"Kawasan
aneh…" membatin murid Sinto Gendeng.
"Batu-batu
yang ada di sini semuanya berbentuk ganjil. Mengapa Luhjelita meminta aku
datang ke bukit batu ini?" Agak jauh di sebelah sana ada tiga buah batu
berbentuk tiang. Ujungnya lancip runcing seolah hendak menusuk langit Sang
pendekar ingat. "Itu tiga batu yang dikatakan Luhjelita. Di situ dia akan
menemuiku."
(Mengenai
perjanjian bertemu antara Wiro dengan Luhjelita harap baca Episode sebelumnya
berjudul "Hantu Langit Terjungkir")
Memandang
ke arah barat Wiro melihat matahari sedang menggelincir ke titik tenggelamnya.
"Malam masih agak lama. Rembulan belum tentu cepat muncul. Apakah benar
dugaanku bahwa malam ini malam bulan purnama penuh seperti yang dikatakan
Luhjelita?" Saat itu Wiro mendadak ingat pada pertemuannya terakhir sekali
dengan Luhcinta beberapa waktu lalu. "Aku sempat berkata padanya bahwa aku
tidak mencintai Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Mungkin aku terlalu tolol!
Mengapa aku sampai berucap begitu? Bisa-bisa dia salah menduga dan salah
mengharap. Tapi kalau kubanding-banding sifat budi pekertinya, cara dia bicara,
semuanya sangat berbeda dengan sang Peri maupun Luhjelita. Aku punya kesan dia
mencurigaiku berbuat mesum dengan Luhjelita. Tapi sikapnya tetap tidak berubah,
bicaranya tetap lembut. Dia seperti tidak membenciku sama sekali. Mungkinkah
dia gadis yang dimaksudkan si Hantu Raja Obat dan Luhrinjani? Gila! Tak berani
aku menduga! Aku masih dijerat urusan gila! Dipermalukan sepasang gadis kembar
sialan itu! Semua orang di Negeri Latanahsilam pasti sudah tahu cerita gila
itu!"
Selagi
Wiro tegak di atas batu dan berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dia melihat
satu cahaya biru melesat di udara. Tak lama kemudian cahaya ini menukik ke
bawah. Hawa harum menebar di Seantero bukit batu. Seorang perempuan berkulit
putih bagus, berwajah cantik anggun tahu-tahu telah tegak di hadapan Pendekar 212.
Murid
Sinto Gendeng tentu saja terkejut ketika dia mengenali siapa yang berdiri di
depannya. Dalam hati dia membatin.
"Lain
yang dinanti lain yang datang. Lain yang dicari lain yang unjukkan diri!"
Namun
sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala murid Sinto Gendeng menyapa.
"Peri
Bunda…."
"Aku
gembira kau masih mengenaliku walau jarang kita bersua…." kata si baju
biru yang bagian bawahnya panjang menjela-jela yang memang Peri Bunda adanya.
"Siapa
yang bisa melupakan seorang Peri cantik sepertimu. Yang konon adalah Peri
Junjungan Dari Segala Junjungan. Simpul Agung Dari Segala Peri…."
Peri
Bunda tertawa senang. "Hatiku gembira mendengar kau menyebut semua itu
wahai pemuda bernama Wiro Sableng. Datang dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Lebih gembira
lagi karena aku bisa menemui lebih cepat dari yang aku duga…."
"Ini
memang pertemuan yang tidak terduga, Peri Bunda. Hanya sayang sebentar lagi
malam akan turun. Tempat ini pasti akan diselimuti kegelapan. Kecuali…."
"Kecuali
bulan purnama penuh muncul menerangi jagat," sambung Peri Bunda sambil
melayangkan senyum.
"Lagi
pula, terus terang saat pertemuan ini aku lebih suka jika udara malam yang
gelap mau membantu. Hingga kita disini tidak terlihat siapa-siapa…."
Saat itu
pantulan cahaya sang surya yang hendak tenggelam jatuh di wajah Peri Bunda
hingga parasnya kelihatan cantik sekali, membuat murid Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini jadi terpesona.
Dalam
hati Wiro bertanya-tanya apa maksud sang Puteri bahwa dia lebih suka udara
malam yang gelap hingga tidak ada yang melihat mereka berdua di kawasan bukit
batu aneh itu.
"Peri
Bunda, apakah kau memang sengaja mencari diriku?"
Sang Peri
anggukkan kepala. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Pembicaraan ini
cukup panjang. Mari kita memilih tempat duduk yang enak…."
Wiro jadi
merasa tidak enak. "Bagaimana kalau sebelum pembicaraan selesai tahu-tahu
Luhcinta muncul?"
"Hai,
parasmu sesaat terlihat gelisah. Apakah kehadiranmu di tempat ini tengah
menunggu seseorang?" bertanya Peri Bunda.
Wiro
garuk-garuk kepala. "Aku menunggu dua orang sahabatku. Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol. Kami berjanji bertemu di bukit batu ini," kata Wiro
berdusta. Lalu dia memandang berkeliling dan berkata.
"Batu
panjang tempat aku berdiri ini cukup baik untuk tempat kita duduk berbicara.
Kau duduk di sebelah sana, aku di ujung sini."
Sang Peri
mengangguk tanda setuju. Keduanya lalu duduk di atas batu panjang berbentuk
perahu tertelungkup itu. Peri Bunda menggeser duduknya, sengaja agak lebih
dekat dengan Wiro. Hal ini membuat sang pendekar kembali bertanya-tanya dalam
hati.
"Peri
Bunda, kau bisa mulai. Hal apakah yang hendak kau bicarakan?"
"Wahai,
bagaimana aku harus memulai. Ujung yang mana yang hendak aku sibakkan lebih
dulu,"
ujar Peri
Bunda dan kembali mengulum senyum. "Aku khawatir jika salah aku mengucap,
jika keliru aku mengambil langkah permulaan kau akan salah menduga terhadap
diriku…."
"Aku
percaya, maksudmu sengaja mencari diriku adalah maksud baik semata. Mengapa
ragu untuk memulai?" ujar Wiro pula. Dalam hati dia berkata.
"Jangan-jangan
Peri ini mencariku ada sangkut pautnya dengan urusan gila di goa itu. Bukan
mustahil Sepasang Gadis Bahagia telah menemuinya lalu mengadukan apa yang
terjadi. Edan betul!"
"Aku
gembira kau bisa berkesimpulan baik seperti itu. Biar aku menggeser dudukku
lebih dekat." Sang Peri lalu bergerak ke kiri hingga jaraknya dengan Wiro
hanya terpisah dua jengkal. Berada sedekat itu murid Sinto Gendeng seolah dapat
mencium keharuman bau tubuh Peri Bunda sampai ke lekuk-lekuknya yang
tersembunyi sekalipun! "Aneh, mengapa Peri satu ini berperangai lain
sekali?" tanya Wiro dalam hati.
"Aku
sengaja bicara berdekat-dekat begini, bukan maksud apa-apa," kata Peri
Bunda seolah tahu apa yang ada dalam benak atau hati sang Pendekar.
"Kegelapan malam bisa saja memiliki telinga yang dapat mendengar. Saputan
angin mungkin saja merupakan suara yang menebar jauh ke tempat takterduga.
Duduk berdekatan begini aku bisa bicara lebih perlahan, untuk menjaga segala
kemungkinan."
Wiro
tambah tidak mengerti. Mengapa pembicaraan itu seolah satu rahasia besar yang
jangankan orang lain tapi udara malampun tak boleh mendengarkanya? Dia menunggu
sampai sang Peri akhirnya melanjutkan bicaranya.
"Wahai,
sejak beberapa waktu lalu telah tersebar kabar bahwa kau telah melakukan satu
aib besar terhadap Luhjelita, di satu goa…. Kau tahu, perbuatan ini bukan saja
mencemari Negeri Latanahsilam, tetapi juga menjadikan satu pemandangan menusuk
mata bagi kami para Peri di Negeri Atas Langit."
"Dugaanku
tidak meleset!" kata Wiro dalam hati.
"Hal
sialan itu yang hendak dibicarakannya! Sepasang Gadis Bahagia, pasti kalian
sudah menyebar kabar. Awas kalian!"
"Kau
hendak mengatakan sesuatu Wiro? Kulihat bibir dan pelipismu
bergerak-gerak." Bertanya Peri Bunda. Wajahnya ditundukkan sedikit dan dia
memperhatikan Wiro dari bawah dengan kepala dimiringkan.
"Peri
Bunda, kalau saya boleh bertanya dari mana atau dari siapa kau mendapat
keterangan bahwa saya telah melakukan aib besar terhadap Luhjelita?" Wiro
menjawab dengan balas bertanya.
"Wahai….
Aku ingin menjaga semua yang terbaik. Karenanya tak perlu kujelaskan dari mana
sumber kabar yang aku terima. Kuharap kau tidak kecewa…" jawab Peri Bunda.
"Kalau
kau tak mau memberitahu tak jadi apa. Tapi saya sudah bisa mengira, siapa biang
racun penyebar fitnah itu," kata Wiro pula. "Sekarang ingin saya
mengetahui, apakah kau mempercayai hal itu?"
"Setiap
hal yang disertai kenyataan dan saksi hidup tidak dapat dikatakan sebagai
fitnah…."
Pendekar
212 Wiro Sableng menyeringai. "Kenyataan bisa dibuat diciptakan oleh orang
yang tidak senang terhadap seseorang. Apapun alasannya. Saksi hidup bisa saja
memberikan kesaksian salah atau kesaksian palsu apapun alasannya. Saat ini kita
berdua-dua di sini. Jika kemudian hari tersebar kabar bahwa kita telah berbuatu
sesuatu yang memalukan di tempat ini, bagaimana perasaan dan tanggapanmu Peri
Bunda…."
Saat itu
sang surya telah tenggelam. Udara mulai gelap. Namun Wiro dapat melihat
bagaimana wajah sang Peri bersemu merah mendengar kata-katanya barusan.
"Jadi
kau menyangkal telah melakukan perbuatan itu?"
"Saya
menyangkal karena di dalam goa memang saya tidak melakukan perbuatan seperti
dituduhkan itu. Saya tidak berbuat apa-apa, kecuali menolong gadis bernama
Luhjelita itu. Kalau kau suka mendengar akan saya ceritakan apa yang sebenarnya
terjadi…."
"Wahai….
Bagaimana kalau kukatakan bahwa Peri Angsa Putih ikut melihat apa yang kau
lakukan bersama Luhjelita."
"Bisa
saja dia memang melihat kami berdua. Tapi apa yang dilihatnya? Ketika saya
masuk ke dalam goa, gadis bernama Luhjelita itu memang sudah tidak dalam
keadaan berpakaian. Dia telah menjadi korban kebejatan…."
"Tunggu
dulu wahai pemuda bernama Wiro. Peri Angsa Putih tidak mungkin berdusta…"
memotong Peri Bunda.
"Saya
tidak mengatakan dia berdusta. Mungkin sekali dia hanya melihat ekor dari satu
kejadian. Dia tidak melihat permulaan, ketika saya masuk dan menemukan
Luhjelita. Ketika saya menolongnya…. Saya tidak mengerti, mengapa Peri Angsa
Putih mempunyai dugaan serta tuduhan seperti itu. Padahal dia mungkin hanya
melihat sebagian dari kejadian…."
"Anggaplah
Peri Angsa Putih melihat bagian terakhir dari apa yang terjadi. Tapi bagaimana
dengan dua gadis kembar berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu? Mereka melihat
bagian pertama dari apa yang terjadi!"
"Peri
Bunda, tadi kau menolak memberitahu siapa sumber yang menebar berita. Kini
akhirnya kau mengungkap sendiri. Peri Angsa Putih dan Sepasang Gadis Bahagia!
Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan Peri satu itu. Dulu dia sangat baik
terhadap saya. Banyak budi pertolongannya yang sangat besar dan tidak dapat
saya balas. Tapi mengenai Sepasang Gadis Bahagia, saya tahu kalau mereka adalah
gadis-gadis berkelakuan aneh tidak karuan…."
"Aku
tahu siapa mereka. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan bahwa mereka menebar
fitnah. Api, yang dilihat orang jahat dan orang baik dari satu kenyataan pasti
tidak akan berbeda dan tidak berubah!"
Pendekar
212 jadi panas hati mendengar ucapan sang Peri. Maka diapun berkata. "Peri
Bunda, hari sudah gelap. Saya tak ingin lagi meneruskan pembicaraan ini. Jangan
sampai saya mendapat fitnah untuk kedua kalinya di Negeri Latanah silam ini.
Negeri yang saya tahu tidak semua penghuninya merupakan mahluk-mahluk suci!
Saya juga tahu bahwa tidak semua Peri di atas langit sana agung dan kudus!
Banyak diantara mereka yang telah menempuh hidup keliru menurut ukuran para
Peri. Padahal mereka hanya sekedar ingin melepaskan diri dari kepalsuan hidup
dan menginginkan harkat mereka sebagai mahluk hidup. Saya kasihan melihat nasib
seorang sahabat saya bernama Hantu Jatilandak. Dia adalah korban kutukan salah
kaprah dari para Peri! Dia hidup dalam keadaan sebagai mahluk mengerikan!
Padahal apa dosanya! Ibunya menjadi patung mengenasksn! Apakah perlakuan hidup
seperti itu yang hendak dibanggakan dan dianggap paling sesuai oleh para Peri
di atas langit sana? Terus terang saja Peri Bunda. Maukah kau berterus terang
bahwa jauh di lubuk hatimu kau juga mendambakan satu kehidupan wajar yang
dijalin cinta kasih sesama mahluk bernyawa?"
Lama Peri
Bunda terpana mendengar ucapan murid Sinto Gendeng itu. Untuk beberapa saat
sepasang matanya sampai tidak berkedip-kedip memandangi si pemuda.
Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri. Tapi tiba-tiba Peri Bunda memegang lengan
’sang Pendekar dan berkata. "Jangan pergi dulu. Pembicaraan kita belum
selesai…."
Wiro
merasa adanya kehangatan dalam pegangan Peri Bunda. "Aku ingin melakukan
sesuatu untuk menolongmu," bisik sang Peri.
"Apa
yang hendak kau lakukan Peri Bunda?"
"Kau
tahu, dengan tersebarnya berita aib itu keadaan dirimu sebenarnya terancam
bahaya. Bukan mustahil ada pihak tertentu ingin mencelakai dirimu…."
"Saya
memang sudah dicelakai!" kata Wiro pula sambil menyeringai.
"Mungkin
juga ada yang berniat jahat hendak membunuhmu," ujar Peri Bunda.
"Itupun
sudah dilakukan orang. Secara kasar dan secara diam-diam. Terakhir sekali saya
pernah hendak dibunuh dengan mawar kuning beracun yang kabarnya hanya tumbuh di
Negeri Atas Langit. Dan saya juga sudah tahu siapa pelakunya…."
"Siapa?"
tanya Peri Bunda.
"Satu
diantara dua orang ini. Luhjelita atau Peri Angsa Putih!" jawab Wiro.
"Wiro…."
"Dan
saya punya saksi hidupnya!" kata Wiro lagi-lagi sambil menyeringai.
"Siapa?!"
Peri Bunda sangat ingin tahu.
"Seorang
kakek berjuluk Si Pelawak Sinting. Dia adalah Si Pelawak Sinting yang
palsu!"
"Kau
percaya pada kakek sinting itu?" tanya Peri Bunda pula.
"Lagaknya
memang sinting. Tapi saya tahu otak orang tua satu itu lebih cerdik dari ular
kepala dua!" jawab Wiro.
Peri
Bunda menghela nafas dalam. "Wiro," katanya perlahan. "Apapun
yang barusan aku dengar terucap dari mulutmu, saat ini ada satu hal yang ingin
kutanyakan. Aku ingin kejelasan. Apakah kau mencintai gadis bernama Luhjelita
itu?"
"Aku
tak ingin menjawab pertanyaan aneh itu!" kata Wiro. Padahal pada Luhcinta
sebelumnya dia pernah mengatakan bahwa dia tidak mencintai Luhjelita.
"Kau
tak mau menjawab tak jadi apa. Bagiku jawabnya bisa ya bisa tidak."
Berkata Peri Bunda sambil tersenyum dan sampai saat itu tangannya masih saja memegangi
lengan Pendekar 212. "Pertanyaanku selanjutnya. Jika seandainya kau benar
tidak mencintai Luhjelita, lalu apakah kau mencintai kerabatku si mata biru
Peri Angsa Putih?"
Di balik
sebuah batu besar, di udara malam yang gelap karena bulan purnama empat belas
hari masih belum muncul, seorang yang sejak tadi mendekam mendengar semua
pembicaraan itu letakkan dua tangannya di atas leher, menahan seruan tertahan
yang hampir tersembur. Dua matanya membeliak, mulutnya ternganga dan sepasang
telinganya berusaha dan ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulut
Pendekar 212. Orang ini bukan lain adalah si mata biru Peri Angsa Putih.
Peri
Bunda yang tadi mengajukan pertanyaan diam-diam sebenarnya juga ingin sekali
mendengar jawaban Pendekar 212.
Tanpa diketahui
orang ini, satu sosok lain di kegelapan malam menahan debaran yang menggoncang
dadanya. Dia juga ingin tahu apa yang akan keluar sebagai jawaban dari mulut
Wiro. Apakah masih sama seperti yang dulu pernah didengarnya? Dan orang ini
adalah gadis cantik bernama Luhcinta. Di samping kiri orang ini, dua orang yang
ikut bersamanya juga merasa tegang. Salah seorang diantara mereka bukan lain
Naga Kuning adanya, berbisik pada kawan di sebelahnya yaitu kakek Si Setan
Ngompol.
"Kalau
salah si sableng itu berucap, sahabat kita ini bisa seperti disambar
petir!"
Sang
kawan menjawab. "Aku tidak mengira kita akan kedahuluan Peri Bunda. Lebih
celaka lagi kalau Peri Angsa Putih juga sudah ada di sekitar sini!"
Yang
diajak bicara memandang berkeliling. Lalu berkata. "Orang yang menurut
sahabat kita ini katanya akan muncul di bukit batu ini juga belum kelihatan.
Kalau dia tidak datang urusan bisa tambah ruwet. Rahasia mawar beracun itu
mungkin tidak akan bisa terungkap."
"Aku
punya firasat gadis itu pasti datang. Luhjelita memang punya sifat aneh, pandai
merayu membuat lelaki mudah terpikat dan menganggap dirinya dicintai gadis itu.
Tapi untuk urusan seperti ini dia pasti muncul. Apa lagi namanya sudah babak
belur dibuat sebusuk comberan." kata Setan Ngompol.
"Kek,"
Kata Naga kuning pada Setan Ngompol.
"Menurutmu
apa benar Wiro main burung-burungan dengan Luhjelita?"
"Bocah
geblek! Apa maksudmu main burungburungan?!" tukas Si Setan Ngompol.
Naga
Kuning menutup mulut menahan tawa. "Kau jangan berpura-pura tidak tahu!
Kau lebih banyak pengalaman dariku! Hik…hik…hik!"
*******************
11
KITA
tinggalkan dulu ketegangan yang mulai menggantung di bukit berbatu-batu
sementara bulan purnama masih juga belum memunculkan diri. Langit diatas sana
masih masih gelap disaput awan. Angin bertiup sayup dan dingin.
Di saat
sore menjelang senja di hari yang sama, dua bayangan putih berkelebat ke arah
timur meninggalkan kawasan pantai. Sambil lari dua orang itu tidak hentinya
tertawa cekikikan. Dari tawa mereka jelas bahwa keduanya adalah perempuan.
Ketika akhirnya mereka hentikan lari di satu tempat kelihatan mereka adalah dua
gadis cantik berwajah sama. Ternyata mereka bukan lain Sepasang Gadis bahagia,
cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang belum lama berselang telah
menipu kakek itu.
"Aku
tak habis pikir!" berkata gadis di sebelah kanan yaitu Luhkenanga.
"Bagaimana mungkin mudah sekali kita membohongi orang tua itu! Padahal dia
pandai dan cerdik luar biasa! Hik… hik!"
"Kau
benar! Kurasa hari ini hari apesnya!" jawab Luhkemboja sang kakak.
Mungkin
juga! Tapi jangan-jangan orang tua itu sudah lamur matanya! Hingga tidak bisa
membedakan lagi tongkat yang asli dan tongkat yang palsu!"
"Malah,
jangan-jangan dia juga tidak kenal lagi pada tongkatnya yang ada di bawah
perut!"
Dua gadis
itu tertawa cekikikan. Lalu Luhkemboja bertanya."Menurutmu apa saat ini
dia sudah tahu kalau kita membohonginya?"
"Pertanyaanmu
itu membuat aku kecut!" berkata Luhkenanga."Ayo kita lari biar jauh
dulu. Nanti kita berhenti di bukit Tanah Bertengger. Di sana pasti aman. Kita
periksa lagi tongkat ini. Bukankah tadi kita sempat melihat bagaimana kakek
memuntir-muntir tongkat yang kita berikan? Tapi karena tongkat itu palsu,
akhirnya patah! Aku yakin ada yang tengah diselidikinya. Berarti tongkat asli
yang ada pada kita menyembunyikan sesuatu!"
Dua gadis
kembar itu lalu lari ke arah timur di mana terdapat sebuah kawasan
berbukit-bukit. Bukit di tempat itu bersusun-susun demikian rupa hingga diberi
nama Tanah Bertengger. Di satu tempat yang mereka rasakan aman, keduanya
hentikan lari. Di langit bulan purnama mulai menyembulkan diri.
Dari
balik pakaiannya Luhkemboja keluarkan Tongkat Bahagia Biru. Setelah
ditimang-timang lalu dia mulai memeriksa.
Aku yakin
tongkat ini menyembunyikan sesuatu. Kau ingat bagaimana kakek kita memeriksa
tongkat palsu waktu benda itu patah dua? Sayang kita keburu kabur karena takut.
Kalau tidak pasti kita bisa mendapatkan lebih banyak kejelasan."
Luhkemboja memuntir-muntir tongkat yang dipegangnya.
"Apa
yang hendak kau lakukan?" bertanya Luhkenanga.
"Meniru
gerakan kakek. Bukan mustahil tongkat ini sebenarnya terdiri dari dua bagian
yang bisa bertaut dan bisa dipisahkan…."
Luhkemboja
terus memuntir-muntir tongkat batu berwarna biru redup itu. Namun sampai
beberapa lama dia tidak terjadi apa-apa.
"Biar
aku yang lakukan!" kata Luhkenanga lalu mengambil tongkat batu dari tangan
kakaknya.
Namun
baru sesaat tongkat batu berada dalam pegangannya sekonyong-konyong ada
sambaran angin datang dari samping. Luhkenanga berseru kaget. Luhkemboja yang
sempat melihat ada bayangan orang berkelebat cepat bergerak melakukan sesuatu.
Namun satu kekuatan tenaga yang tidak kelihatan mendorong tubuhnya, membuat
gadis ini terjajar sampai lima langkah. Sebelum dia bisa mengimbangi diri dan
sebelum Luhkenanga sempat bertindak, bayangan tadi telah lenyap seolah ditelan
keremangan malam yang walau ada bulan purnama tapi sinarnya terhalang oleh
sekelompok awan gelap.
"Celaka!
Tongkat batu kena dirampas orang!" Berteriak Luhkenanga.
Tiba-tiba
satu bayangan hitam besar kelihatan di tanah. Lalu ada suara tawa berat
bergelak. Dua dara kembar cepat berbalik.
Empat
langkah di hadapan mereka tegak satu sosok tubuh tinggi besar memiliki sepasang
mata angker. Bola matanya tidak berbentuk bundar melainkan berupa segitiga
memancarkan warna hijau. Yang luar biasanya orang ini mempunyai kepala dengan dua
wajah. Wajah di sebelah depan berupa wajah seorang lelaki separuh baya berwarna
putih. Sedang di wajah sebelah belakang berwarna hitam keling.
"Hantu
Muka Dua!" seru Luhkemboja.
"Dia
yang mencuri tongkat biru kita!" teriak Luhkenanga.
Orang
bermuka dua yang memang adalah Hantu Muka Dua tertawa bergelak.
"Gadis-gadis cantik! Aku sudah lama mengincar kalian! Malam ini bakal
merupakan malam bahagia bagi kita bertiga!"
"Makhluk
muka dua! Apa maksudmu?!" sentak Luhkemboja.
"Kembalikan
tongkat itu pada kami!" teriak Luhkenanga.
Hantu
Muka Dua kembali tertawa. "Aku tidak mungkin mengembalikan tongkat batu
ini. Benda ini sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tapi jika kalian memang
menginginkan tongkat, aku akan memberikan tongkat lain!" Habis berkata
begitu Hantu Muka Dua menunjuk ke bawah lalu tertawa gelak-gelak.
“Mahluk
jahanam kurang ajar!" maki Luhkemboja.
"Walau
kau punya nama besar dan ilmu setinggi langit! Jangan kira kami takut padamu!
Malam ini akan jadi malam kematian bagimu! Riwayat Raja Di Raja Segala Hantu di
Negeri Latanahsilam akan berakhir! Istana Kebahagiaan akan menjadi milik kami
Sepasang Gadis Bahagia!"
"Hebat
sekali ucapan kalian! Tidak ada salahnya aku menjajagi dulu sampai dimana
kehebatan ilmu kalian. Setelah itu baru aku menjajagi sampai dimana kenikmatan
yang tubuh kalian bisa berikan padaku! Ha… ha… ha!"
Dua gadis
kembar berteriak marah. Tubuh mereka lenyap menjadi bayang-bayang dan
berkelebat seraya menghantam ke arah Hantu Muka Dua.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Dua gadis
kembar menjerit dan cepat melompat mundur seraya pegangi lengan mereka yang
menggembung merah dan sakit akibat bentrokan lengan dengan lawan. Hantu Muka
Dua sendiri tertawa mengekeh walau diam-diam dia merasa kagum karena kekuatan
dua pukulan sepasang gadis kembar membuat tulang lengannya menjadi nyeri.
"Aku harus cepat-cepat melumpuhkan mereka. Kalau tidak bisa-bisa aku kena
dicelakai!"
Sambil
tertawa Hantu Muka Dua maju mendekati dua lawan. "Dua gadis kembar! Aku
tahu selama ini kalian hanya suka pada makhluk sejenis. Hari ini aku akan
memberi pengalaman baru pada kalian. Bagaimana nikmatnya bersenang-senang
dengan seorang lelaki! H… ha… ha! Kalau kalian sudah merasakan, kalian pasti
akan mengekoriku kemana aku pergi!"
"Hantu
keparat!" maki Luhkemboja lalu dia berteriak menyebut jurus serangan yang
hendak dilancarkannya.
"Bahagia
Naik Ke Pelaminan!"
Luhkenanga
tidak tinggal diam. Didahuiui teriakan "Bahagia Menukik Menjebol Pusar
Bumi!" gadis ini melesat ke arah Hantu Muka Dua. Gerakan mereka hebat
sekali. Hampir tak kelihatan. Tahu-tahu kaki kanan Luhkemboja sudah menghujam
ke arah kepala sedang tinju kanan Luhkenanga menyodok ke perut Hantu Muka Dua.
"Hebat…
hebat! Kalian memang dua gadis hebat! Aku senang! Kalian berdua juga pasti
hebat di atas ranjang! Kalian memang pantas kujadikan penghuni kamar dari
Istana Kebahagiaan!"
"Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua gerakkan tangannya kiri kanan.
"Wuuuttt!"
"Wuuuttt!"
Dua larik
angin menderu.
Luhkemboja
terpekik sambil pegangi lehernya. Luhkenanga juga menjerit. Seperti kakaknya
gadis ini juga pegangi lehernya. Tubuh mereka menggeliat beberapa kali lalu
terhampar terguling di tanah. Sepasang kaki bagus kedua gadis ini
menyentaknyentak hingga pakaian mereka tersingkap sampai ke pinggul. Sesaat
kemudian sosok keduanya diam tak berkutik lagi. Tak bisa bergerak dan tak mampu
keluarkan suara. Itulah kehebatan ilmu Menjirat Urat yang dilancarkan Hantu
Muka Dua. Mampu membuat lawan tak berdaya, semacam ilmu melumpuhkan tanpa
menyentuh. Ilmu ini termasuk salah satu ilmu yang dirampasnya beberapa waktu
lalu dari Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
"Putih
mulus! Ha… ha… ha! Kalian benar-benar tidak mengecewakan aku!" kata Hantu
Muka Dua. Lalu dia bertepuk tiga kali. Dari kegelapan muncul enam orang lelaki
mengusung sebuah tandu.
"Naikkan
dua gadis ini ke atas tandu. Segera bawa ke Istana Kebahagiaan! Aku menunggu di
sana!"
Enam anak
buah Hantu Muka Dua menjura hormat.
Dengan
cepat mereka menaikkan sosok dua gadis kembar ke atas tandu lalu mengusung ke
arah berkelebatnya makhluk berjuluk Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala
Nafsu itu!
*******************
12
SEPASANG
daun telinga Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bergerak-gerak. Dia mendengar
suara kaki-kaki berlari, banyak sekali dan masih berada di kejauhan.
"Itu
bukan suara lari Luhkemboja dan Luhkenanga…"
membatin
si orang tua yang otaknya berada di luar batok kepala. "Mereka berjumlah
lebih dari empat orang. Aneh, mengapa mereka tidak segera menuju ke sini. Tapi
berlari berputar-putar di tebing laut sebelah timur. Aku akan menunggu. Jika
mereka muncul membawa niat jahat akan kuhabisi!"
Sejak
kejadian dua cucunya menipu dirinya dengan Tongkat Bahagia Biru orang tua ini
selalu diselubungi hawa amarah. Dia seperti mau marah melihat siapa saja. Tidak
heran kalau dia berucap dalam hati seperti itu. Suara kaki-kaki yang berlari
terdengar makin keras.
"Mereka
mulai mendekat," kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tak selang berapa
lama kakek ini melihat satu pemandangan aneh dihadapannya. Enam orang lelaki
bertubuh besar bertelanjang dada mengusung sebuah tandu yang ditutupi sehelai
tikar tipis terbuat dari jerami kering berwarna hitam.
Mereka
berlari berputar-putar mengelilingi Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah
duduk di satu pedataran tinggi menghadap ke laut Setelah memperhatikan sesaat
dan enam pengusung tandu seperti tidak mau hentikan larinya, hilanglah
kesabaran si kakek. Dia pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah. Bukit pasir
di tepi laut itu bergoncang seperti di landa gempa. Debu dan pasir membubung
sampai setinggi tiga tombak. Enam pengusung tandu terhuyung-huyung. Jika mereka
tidak segera jatuhkan diri berlutut niscaya ke enamnya akan jatuh berserabutan
di tanah.
"Enam
lelaki sinting kesasar! Pertunjukkan arakarakan gila apa yang tengah kalian
lakukan?!" membentak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Enam
orang bertubuh besar penuh otot itu segera turunkan tandu yang mereka usung
dari bahu masingmasing, diletakkan di tanah. Salah seorang dari mereka yang
bertindak sebagai wakil teman-temannya palingkan kepala ke arah si kakek lalu
membuka mulut.
"Kami
mendapat perintah, membawa tandu ini kepadamu!"
Anehnya
lima orang kawan lelaki yang barusan bicara secara bersamaan mengulang ucapan
kawannya tadi. "Kami mendapat perintah, membawa tandu ini kepadamu!"
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab kerenyitkan kening. Otaknya yang tembus pandang
berdenyut keras. Matanya pandangi enam orang yang berlutut di tanah di
hadapannya.
"Siapa
yang memberi perintah?!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ajukan
pertanyaan.
"Pendekar
212 Wiro Sableng!’ jawab lelaki tadi. Lima kawannya mengikuti.
"Pendekar
212 Wiro Sableng!"
"Hah!
Siapa?!"
"Pendekar
212 Wiro Sableng! Pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang!"
Seperti
tadi lima pengusung tandu lainnya mengulangi ucapan temannya. "Pendekar212
Wiro Sableng! Pemuda asing dari negeri seribu dua rarus tahun mendatang!"
"Kalian
jahanam semua!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak. "Apa
kalian kira aku tuli hingga bicara diulang-ulang seperti itu?!"
"kami
hanya menjalankan perintah dari Wiro Sableng!"
"kami
hanya menjalankan perintah dari Wiro Sableng!"
"Aku
tak ingin kalian bicara diulang-ulang! Jika kalian berani berlaku seperti itu
satu peratu akan kupatahkan leher kalian!"
Enam
orang lelaki tidak menjawab, hanya memandang pada si kakek. Si kakek sendiri
menatap ke arah usungan. Dari apa yang dilihatnya dia maklum ada sesuatu di
atas tandu dibawah hamparan tikar tipis hitam yang menutupinya.
"Apa
yang ada di bawah tikar di atas tandu itu?!" Hantu Sejuta Tanya bertanya.
"Silahkan
membuka tikar dan melihat sendiri!"
"Silahkan
membuka tikar dan melihat sendiri!"
Lima
lelaki bertelanjang dada seperti tadi mengikuti ucapan temannya.
Kesabaran
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sirna. Tubuhnya dimiringkan condong ke depan.
Entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu kraaakkk! Salah seorang dari enam
lelaki pengusung tandu terkapar di tanah dengan leher patah! Lima temannya
membeliak marah tapi tidak berani melakukan sesuatu.
"Siapa
yang mau jadi korban ke dua? Silahkan bicara diulang-ulang!" kata Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab pula. Lalu keluarkan suara menggereng dari
tenggorokkannya.
Lima
lelaki pengusung tandu tidak menjawab.
"Aku
perintahkan salah satu dari kalian segera menyibakkan tikar hitam!"
membentak si kakek.
Salah
seorang dari lima lelaki ulurkan tangan kanan.
"Bettttt!"
Tikar
hitam jerami kering tersingkap lalu dilemparkan ke udara, melayang jatuh ke
arah pantai. Dua mata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membeliak. Dari mulutnya
menggembor teriakan dahsyat. Sekali bergerak tubuhnya melesat ke udara setinggi
dua tombak. Ketika turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam tanah
sampai pergelangan kaki. Di atas tandu menggeletak dua sosok tubuh gadis yang
nyaris tidak tertutup apa-apa. Sepasang mata mereka mendelik. Sebatang tongkat
batu berwarna biru melintang di dada salah seorang gadis ini
"Cucuku!"
teriak si kakek. "Luhkemboja! Luhkenanga!"
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab mendekati tandu. Dia membungkuk memeriksa dan
dapatkan dua gadis di atas tandu masih bernafas dan berada dibawah satu
kekuatan aneh yang melumpuhkan. Keadaan mereka mengenaskan sekali. Dari
tanda-tanda yang ada di aurat mereka si orang tua maklum kalau dua cucunya ini
telah dirusak kehormatannya secara keji.
"Biadab!
Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?!" teriak Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Tangan kirinya menyambar. Laki-laki di samping kiri dijambak lalu
diangkat ke atas. Tangan kanannya menghantam.
"Praakkkk!"
Tulang
muka lelaki itu melesak hancur. Darah muncrat. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
bantingkan sosok yang sudah jadi mayat itu. Lalu dia menjambak lelaki
berikutnya. Takut setengah mati dan tak mau jadi korban keganasan si kakek
orang ini segera membuka mulut.
"Yang
melakukan adalah pendekar 212 Wiro Sableng!"
Tidak
seperti tadi, kini lelaki-lelaki lainnya tidak mengulangi ucapan kawannya itu.
Bergetar
sekujur tubuh Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Dia memperkosa dua cucuku!
Lalu menyuruh kalian membawa gadis-gadis ini ke sini?! Begitukah hah?!"
Empat
lelaki pengusung tandu anggukan kepala.
"Manusia
jahanam! Kenalpun aku tidak! Bertemu muka belum pernah! Mengapa dia berbuat
sekeji ini pada dua cucuku!"
Lelaki di
samping tandu sebelah kiri menjawab.
"Menurut
Wiro,dua cucumu telah mencuri tongkat batu berwarna biru. Wiro berusaha
mendapatkannya kembali dan menghadang dua gadis itu di satu tempat. Dia
mendapatkan tongkat sakti kembali tapi ternyata palsu. Wiro lalu menghajar dan
memperkosa dua gadis ini. Menurut Wiro dua gadis ini punya kelainan menebar aib
dan kekejian dimana-mana. Jadi pantas menerima hukuman berat dan diperlakukan
secara keji pula! Lalu kami disuruhnya mengantarkan sosok-sosok mereka
padamu!"
"Dimana
pemuda asing itu sekarang?!" tanya si kakek dengan sekujur tubuh
bergeletar.
"Kami
tidak tahu! Dia membunuh dua sahabat kami. Lalu sehabis memberi perintah yang
disertai ancaman dia kabur entah kemana."
"Kalian
lekas angkat kaki dari sini sebelum kubunuh semua!" Menghardik Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Empat
lelaki bertubuh besar serta merta berdiri lalu tinggalkan tempat itu dengan
cepat. Si kakek segera menyambar tongkat batu biru yang tergeletak di atas dada
Luhkenanga. Dia cepat memeriksa. Dengan dua tangannya tongkat dipatahkan. Lalu
dia kembali memeriksa.
"Tongkat
ini memang palsu! Tapi mengapa ini dijadikan alasan oleh pemuda asing itu untuk
berbuat keji pada dua cucuku! Aku tahu dua cucuku memang mengidap penyakit
tidak wajar. Yang tidak bisa disembuhkan seumur-umur. Tapi itupun tidak bisa
dijadikan alasan untuk mencelakai mereka. Kabar yang aku dengar tentang
kehebatan dan kebaikan pemuda itu ternyata jauh berbeda dengan kenyataan! Aku
akan mencarinya! Akan kulumat dengan dua tanganku! Berarti benar kabar yang
kusirap selama ini. Bahwa pemuda itu telah berbuat cabul dengan gadis bernama
Luhjelita! Kalau tidak diambil tindakan lama-lama bisa habis semua anak gadis
orang di negeri ini!"
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab kembali perhatikan sosok dua cucunya. Sepasang mata
tua ini tiba-tiba mengerenyit.
"Ada
keanehan…. Luhkemboja dan Luhkenanga seperti berada dalam kelumpuhan. Tak bisa
bergerak dan tak bisa bicara. Ilmu kekuatan apa yang menguasai mereka. Aku
seperti…." Orang tua itu mengingatngingat.
"Dua
cucuku.’Wahai! Dia berada dibawah pengaruh Ilmu Menjerat Urat! Ilmu ini hanya
Hantu Muka dua dan beberapa orang anak buahnya yang memiliki! Jangan-jangan
Pendekar 212 Wiro Sableng telah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku harus
mencari pemuda keparat itu. Mengorek lidahnya agar mau mengaku lalu melumat
sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!"
*******************
13
KEMBALI
ke bukit yang dipenuhi batu-batu berbentuk aneh di selatan Gunung Latinggimeru.
Bulan purnama empat belas hari, bulat penuh telah muncul sejak beberapa waktu
lalu. Keadaan di tempat itu kini tidak lagi diselimuti kegelapan.
Peri
Bunda gerak-gerakkan jari-jari tangannya yang halus di atas lengan Wiro.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi Wiro. Malu menjawab atau memang
tidak mau menjawab?! Apakah kau mencintai Peri Angsa Putih?"
Wiro coba
sunggingkan senyum lalu garuk-garuk kepalanya. Diusapnya tangan Peri Bunda lalu
perlahan-lahan dilepaskannya pegangan Peri itu dari lengannya.
"Saya
tidak tahu apa maksudmu dengan semua pertanyaan itu. Mungkin sekali kau tengah
mempelajari seluk beluk ilmu bercinta?" Wiro tertawa lebar.
Peri
Bunda juga tertawa tapi kembali mendesak.
"Wahai,
kau pandai mengalihkan pembicaraan. Tapi benar dugaanku kau tak mau menjawab
pertanyaanku."
Kembali
murid Sinto Gendeng ini dibuat garuk-garuk kepala.
"Aku
menunggu jawabanmu, Wiro," kata Peri Bunda.
"Peri
Bunda, kerabatmu Peri Angsa Putih itu bukan saja Peri berhati baik, tapi juga
memiliki wajah sangat cantik. Sepasang matanya yang biru membuat orang
memandangnya tak jemu. Tak ada orang yang bisa melupakannya jika sudah sekali
bertemu. Jangankan lelaki, kaum perempuan pasti akan mengaguminya…."
Peri
Bunda tersenyum. "Kata-katamu sungguh Sejuk didengar dan polos. Kau
seperti seorang penyair. Kalau Peri Angsa Putih ada di sini pasti dia akan
senang mendengarnya…."
"Mungkin
juga terharu!" kata Wiro sambil tersenyum-senyum dan garuk-garuk kepala.
Di hadapannya Wiro melihat Peri Bunda kerenyitkan kening, mungkin tidak paham
mengapa Wiro berkata begitu. Di tempat persembunyiannya Peri Angsa Putih
sendiri merasakan tubuhnya bergetar. Seolah ada hawa dingin menyelubunginya
mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sementara
itu Luhcinta yang berada bersama Naga Kuning dan si kakek Ngompol tegak
mematung walau di dalam dadanya bergoncang menahan rasa tegang. Sejak tadi dia
ingin beranjak pergi, takut tak kuasa mendengar pembicaraan Peri Bunda dan Wiro
yang semakin mempengaruhi hati dan perasaannya itu. Tapi dua kakinya seolah
diganduli batu besar hingga dia tak mampu bergerak. Gadis ini akhirnya setengah
terpaksa memilih tetap berdiri di tempat itu.
"Wahai,
tabahkan diriku jika seandainya jawaban yang diberikan Wiro seolah petir
menyambar di depan wajahku?" begitu Luhcinta Membatin.
Lain
halnya dengan Peri Angsa Putih sendiri. "Aku tidak mengerti, mengapa Peri
Bunda mendesak bahkan seperti memaksa ingin mengetahui apakah Wiro mencintai
aku atau tidak. Walau hati ini juga sangat mengharap mendapatkan jawaban,
tetapi bagaimana kalau jawaban nanti berlainan dari yang diharapkan?
Jangan-jangan Peri Bunda tahu aku sembunyi di sini. Lalu sengaja mengorek
keterangan dari pemuda itu. Bagiku kalaupun dia…." Peri Angsa Putih tidak
berani meneruskan kata hatinya itu.
"Wiro,
jawaban tak kunjung keluar dari mulutmu. Sangat susahkah bagimu untuk
mengatakan bahwa kau mencintai kerabatku Peri Angsa Putih. Ya atau tidak?"
Kembali Peri Bunda mendesak.
"Peri
Bunda," Wiro berucap. "Cinta kasih itu adalah sesuatu yang suci dan
sangat pribadi. Penuh rahasia. Dan ada kebahagiaan dalam kerahasiaan itu. Jika
seorang lelaki mencintai seorang gadis atau sebaliknya atau seorang gadis
mencintai seorang pemuda, apakah dia akan begitu saja mengatakan, menceritakan
kepada setiap orang, pada siapa saja yang menanyakannya karena rasa ingin tahu
yang sulit diduga alasannya? Peri Bunda, jika aku mencintai seseorang, aku
tidak akan mengatakan pada orang lain tapi akan mengatakan sendiri pada orang
yang aku cintai itu. Akan kubisikkan ketelinganya. Jadi yang tahu hanya kami berdua.
Buat apa orang lain yang tak ada urusannya perlu mengetahui isi hati kami
berdua?"
Suasana
di bukit batu itu untuk beberapa lamanya dicekam kesunyian. Ada ketidak enakan
seolah menggantung di udara, menyusup ke lubuk hati orang-orang yang ada di tempat
itu. Peri Bunda terdiam lalu menghela nafas berulang kali. Agaknya dia
kehabisan akal dan cara untuk mengorek keterangan dari mulut Pendekar 212. Di
tempat gelap Peri Angsa Putih tundukkan kepala. Hati kecilnya sangat ingin
mendengar satu jawaban lain. Satu pengakuan.
Namun
jawaban yang didengarnya justru tambah membungkus hati sanubarinya dalam
ketidakpastian yang mengiris-iris. Dalam hati Peri Angsa Putih berkata.
"Peri Bunda, kau tahu bagaimana perasaanku terhadap pemuda itu. Memang
salahku aku tak pernah berkata terus terang padanya. Tapi apakah wajar aku
mengatakan hal itu padanya? Bukankah aku terikat larangan dan pantangan Negeri
Atas Langit? Peri Bunda, jika aku hubungkan dua kuntum bunga mawar kuning yang
ada di kamarmu itu, apakah sebenarnya yang tengah kau lakukan?"
Di bagian
lain Naga Kuning berbisik pada si kakek Setan Ngompol. "Untung pandai juga
si sableng itu memberikan jawaban. Tidak ada yang tersinggung dan kecewa.
Rahasia hatinya tetap tersembunyi…."
"Soal
bicara kawan kita itu memang pandai. Dia bisa berubah jadi penyair, terkadang
seperti juru dakwah. Tapi jika kau perhatikan dalam setiap sikap dan ucapannya
selalu saja terselip sifat konyol dan sinting! Dasar sableng!"
Dalam
diamnya Peri Bunda akhirnya menyadari bahwa tak mungkin baginya mendapatkan
jawaban yang diinginkan dari Wiro. "Pemuda ini benar-benar cerdik. Membuat
aku bertambah kagum padanya. Mungkin memang lebih baik bagiku kalau dia tidak
menjawab. Siapa tahu dia memang tidak mencintai Luhjelita, Peri Angsa Putih
ataupun Luhcinta. Mudahmudahan ada setitik harapan…."
"Wiro,
kau tak mau menjawab berterus terang tak jadi apa. Tapi aku tetap
mengkhawatirkan keselamatanmu. Aku tak ingin kau mendapat celaka. Aku tak ingin
kau menemui malapetaka dan merasa berdosa kalau itu terjadi sementara aku tidak
berbuat sesuatu apa demi keselamatan dirimu…."
"Peri
Bunda, saya sangat berterima kasih kau memperhatikan keselamatan saya.
Mudah-mudahan saya bisa menjaga diri…."
"Dalam
hal keselamatan diri apa lagi menyangkut keselamatan jiwa jangan berpegang dan
mengandalkan apa yang disebut mudah-mudahan. Kematian tidak bisa dicegah dengan
yang namanya mudahmudahan. Kematian bisa ditimbulkan oleh orangorang yang tidak
kita duga. Kau telah mengalami sendiri. Bahkan tadi kau telah menyebutkannya.
Kau hampir menemui kematian akibat sekuntum mawar kuning beracun. Dan kau sudah
yakin pelakunya salah satu dari dua orang yakni Peri Angsa Putih atau
Luhjelita. Wahai, apakah kau hendak mensia-siakan jiwamu untuk kedua kalinya?
Kau harus menjauhkan dirimu dari ke dua orang itu Wiro. Jika sekali mereka
telah mencoba dan tidak berhasil, bukan mustahil mereka akan melakukannya
kembali. Jika itu sampai terjadi mungkin nyawamu sulit untuk
diselamatkan…."
Kalau
Luhcinta hanya kerenyitkan kening mendengar ucapan Peri Bunda itu, lain halnya
dengan Peri Angsa Putih. Dia sangat terkejut karena tidak menyangka Peri Bunda
akan berkata seperti itu. "Peri Bunda sepertinya ikut mempercayai bahwa
memang aku atau Luhjelita yang hendak membunuh Wiro dengan mawar beracun. Padahal
aku menemukan bukti nyata, bunga-bunga itu berada dalam kamarnya Untuk apa dia
menyimpan bunga mawar itu kalau bukan ada maksud jahat? Wahai Peri Bunda, sejak
aku menemukan dua kuntum mawar beracun dalam kamarmu aku sudah menaruh curiga.
Kau berada di belakang semua bencana itu! Kau yang jadi biang racunnya.
Sekarang kau hendak lempar batu sembunyi tangan. Peri Bunda, walau kau
junjunganku tapi untuk urusan satu ini aku melawanmu habis-habisan!"
Selesai berkata begitu Peri Angsa Putih segera bergerak keluar dari balik
persembunyiannya. Tapi langkahnya tertahan ketika telinganya kembali mendengar
Peri Bunda berucap.
"Wiro,
ada satu tempat yang aman bagimu. Jika kau suka aku akan mengantarkanmu ke
sana…."
"Tempat
aman apa maksudmu Peri Bunda?" tanya Wiro.
"Tempat
itu, terletak antara Negeri Atas Langit dan Negeri Latanahsilam. Di situ ada
sebuah puri bernama Puri Kebahagiaan. Aku akan membawamu ke sana. Sampai
keadaan aman kita bisa menetap di sana."
Pendekar
212 menatap lekat-lekat ke wajah sang Peri. Dia melihat satu wajah cantik
mempesona. Ketika Peri Bunda merangkum senyum dibibirnya yang merah, murid
Sinto Gendeng ini merasa ada getaran aneh dalam dadanya. Dia hendak menggaruk
kepala. Tak jadi, Wiro malah balas tersenyum!
"Ikut
aku Wiro,"’ bisik Peri Bunda sambil memegang jari-jari tangan Pendekar
212.
Luhcinta
merasakan degupan jantungnya mengeras.
"Peran
apa sebenarnya yang tengah dilakukan Peri Bunda," dia membatin. "Puri
Kebahagiaan…. Baru sekali ini aku mendengar nama itu. Jangan-jangan ada sangkut
pautnya dengan Istana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua?"
Ditempat
lain Peri Angsa Putih merasakan tubuhnya seperti terbakar. "Peri Bunda!
Sekarang aku tahu apa yang ada dihatimu! Kau Peri penghianat culas! Kau
memainkan pisau bermata dua! Wahai!"
"Puri
Kebahagiaan yang kau sebutkan itu Peri Bunda, tempat apakah itu?" Wiro
terdengar bertanya.
"Puri
Kebahagiaan!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. "Para Peri di Negeri
Atas Langit telah lama mendengar dan mencurigai keberadaan puri tersebut. Namun
sulit untuk mengetahui dimana beradanya. Karena setiap hendak diselidiki ada
satu hawa aneh mengambang di udara, membendung penglihatan! Kini aku mendengar
sendiri. Ternyata Peri Bunda berada di belakang keberadaaan Puri Kebahagiaan
itu!" Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan gejolak darah dan gejolak
hati. "Peri itu tadi mengucapkan sampai keadaan aman kita bisa menetap di
sana. Kita! Kita siapa maksudnya? Dia dan Wiro? Sungguh culas! Kalau aku ingat
semua pembicaraan sebelumnya. Dia melarang diriku berhubungan dengan pemuda
itu. Aku dimintanya agar menjauhkan diri dan melupakan Wiro. Kini dia malah
ingin berdua-dua bersama pemuda itu! Berarti selama ini dia telah menipu
diriku!"
Di
tempatnya bersembunyi bersama Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, Luhcinta tegak
tertegun. Dia tatap wajah Peri Bunda. Dengan ilmu kesaktian langka yang
dimilikinya gadis ini dalam pandangannya mampu mendekatkan wajah Peri itu
hingga dia dapat melihat jelas air muka dan tatapan Peri Bunda yang ditujukan
pada Wiro.
"Peri
Bunda…" membatin Luhcinta. "Dari tatapan wajahmu, dari pandangan
sepasang matamu, aku dapat meraba ke dalam relung hatimu paling dalam.
Kau
mencintai pemuda itu…. Apa kau lupa pantangan dan larangan di Negeri Atas
Langit? Kau seorang Peri sanjungan, junjungan dari segala Peri, hendak
berselingkuh melanggar larangan. Peri Bunda, aku sungguh tidak mengerti
bagaimana ini bisa terjadi. Tetapi aku sadar sedalam-dalamnya. Kasih yang
selama ini dimiliki kami manusia biasa ternyata juga masih menjadi bagian
kalian. Selama ini kalian berusaha menutupi.
Tetapi
keadaan membuat semakin ditutupi semakin kuat dorongan hati kalian untuk
menyingkap dan membuangnya. Kita sama-sama perempuan wahai Peri Bunda. Kasih
yang ada dalam hatimu dan ada yang dalam hati semua perempuan tiada beda.
Selama hayat dikandung badan kaum perempuan ditakdirkan untuk berbagi kasih
pada seorang lelaki. Kasih mempunyai kekuatan sangat kokoh. Sanggup
menghancurkan tembok bernama larangan sekalipun tembok itu terbuat dari baja.
Peri Bunda, mungkin kau tidak mengetahui. Kau bukan saja berperang rasa dengan
Peri Angsa Putih, tetapi juga dengan diriku…."
Kalau
Luhcinta masih mampu membendung gejolak yang menggoncang hati dan pikirannya,
lain halnya dengan Peri Angsa Putih yang merasa dikhianati oleh Peri Bunda.
Tidak
dapat menahan hatinya lagi Peri Angsa Putih segera melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Tapi lagi-lagi gerakannya tertahan karena saat itu di langit
sebelah timur kelihatan sebuah benda bulat besar bersayap, terbang
berputar-putar. Sesaat kemudian benda ini yang ternyata adalah seekor kura-kura
raksasa mendarat di bukit batu. Dua orang melompat turun.
Orang
sebelah depan adalah seorang gadis berpakaian ungu yang rambutnya digulung ke
atas. Dia bukan lain Luhjelita. Di belakangnya mengikuti seorang kakek berpipi
kempot. Mulutnya yang tonggos kelihatan cengengesan sedang matanya belok lebar.
Kakek
berhidung pesek ini mengenakan celana yang bagian belakangnya sengaja
didodorkan ke bawah demikian rupa hingga pantatnya yang hitam kasap budukan
kelihatan ogel-ogelan kemana-mana. Di tangan kanannya kakek ini memegang sebuah
rebana yang pinggirannya diberi kerincingan. Sambil menyanyi na… na… na… ni…
ni… ni kakek ini pukulpukulkan rebana itu ke pantatnya. Gerakan kakinya
berjalan seperti orang menari.
"
Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku Luhjelita datang sesuai perjanjian! Lihat siapa
ikut bersamaku!"
Habis
berseru begitu Luhjelita melangkah mendekati tiga buah batu berbentuk tiang
yang ujungnya lancip mencuat ke arah langit berhias bulan purnama penuh.
*******************
14
SEMUA
orang yang ada di bukit batu sama terkejut. Wiro segera bangkit berdiri. Peri
Bunda serta merta melompat bangun. "Wahai, jadi ini sebabnya kau datang ke
bukit batu aneh ini, Wiro. Rupanya kau telah membuat perjanjian dengan
Luhjelita…! Aku tidak cemburu. Tapi akan lebih baik kalau kita berdua segera
tinggalkan bukit ini, pergi ke Puri Bahagia! Tak ada yang bisa mengikuti kita
sampai di sana…."
"Tidak
mungkin saya ikut bersamamu Peri Bunda. Ada urusan yang harus diperjelas dengan
gadis itu."
"Membuat
urusan dengan Luhjelita tidak akan memperjelas masalah. Malah akan memperburuk
dan memperuncing suasana! Ikuti aku Wiro. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Peri Bunda ulurkan tangan menarik lengan Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng ini
segera mengelak.
Tiba-tiba
ada cahaya merah melewati bulan purnama. Lalu satu sosok gemuk luar biasa, berpakaian
serba merah, menjela panjang sampai ke tanah tahutahu kelihatan tegak di tiang
batu runcing sebelah tengah. Demikian gemuknya makhluk ini tinggi lehernya dan
dagu jadi satu. Selain gemuk gembrot tak karuan, dia juga memiliki wajah buruk.
Bulat selalu keringatan, dihias hidung pesek serta tahi lalat sebesar telur
burung dara di pipi kiri. Karena bagian samping kiri kanan pakaian sang Peri
ini dibelah tinggi, tiupan angin membuat pakaian itu tersingkap lebar
menyembulkan auratnya sampai ke pinggul.
"Aku
sebenarnya sudah jemu dengan suasana di tempat ini! Sekarang untung ada
hiburan! Ada pemandangan sedap menyegarkan! Waw! Montoknya pinggul peri gendut
itu. Putih lagi!" bisik Setan Ngompol sambil cengengesan dan matanya
melotot memandang ke arah Peri Sesepuh.
"Ini
belum seberapa," balas berbisik Naga Kuning.
"Ingat
waktu dia duduk mengongkong pada saat menolong kita dulu? Aku tidak dapat
memastikan apa kali ini dia pakai celana dalam atau tidak! Hik… hik…hik!"
(Baca Episode sebelumnya berjudul "Peri Angsa Putih")
"Aku
yakin, seperti dulu sekarang ini dia juga tidak pakai celana dalam. Jadi buka
matamu lebar-lebar. Jangan berkedip. Telat memandang hilang rejeki!"
kata
Setan Ngompol pula lalu tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.
Luhcinta
yang merasa terganggu oleh bisik-bisik serta tawa dua orang itu berpaling dan
bertanya. "Apa yang kalian tertawakan? Kalian mentertawaiku?"
"Bukan!
Tidak…. anu…. Peri gemuk itu. Biasanya dia tidak pakai celana dalam!"
jawab Naga Kuning seenaknya walau Setan Ngompol telah menginjak kakinya agar
dia tidak bicara teledor.
Walau
mukanya jadi berkerut mendengar katakata Naga Kuning itu namun Luhcinta kembali
bertanya.
"Kau
bisa berkata begitu, memangnya apa pernah melihat?"
"Hik…
hik…. Tanyakan saja pada kakek ini! Dia yang paling lama dan paling asyik
melihatnya!" jawab Naga Kuning. Luhcinta tersenyum dan geleng-geleng kan
kepala lalu berpaling ke arah deretan tiga batu berbentuk tiang.
"Peri
Sesepuh!"
Peri
Angsa Putih berseru kaget Siapa mengira kalau Peri yang menjadi pimpinan
tertinggi di Negeri Atas Langit itu akan muncul di tempat itu.
"Peri
Bunda, sedang apa kau di sini?!" Peri Sesepuh yang mukanya gembrot
keringatan menegur.
Matanya
memandang ke arah Peri Bunda. Sesaat kemudian dia alihkan pandangan, menyapu ke
Seantero bukit batu yang diterangi cahaya bulan purnama.
"Hemm….
Ternyata ada banyak orang di tempat ini. Beberapa diantaranya sengaja sembunyi
di balik bebatuan…." Peri Sesepuh yang sakti ini ternyata sudah mengetahui
bahwa selain Peri Bunda, Wiro Sableng, Luhjelita dan kakek aneh yang dikenalnya
dengan nama Si Pelawak Sinting, masih ada beberapa orang lain di bawah sana.
Peri
Bunda tekukkan lututnya memberi hormat lalu mendongak ke arah Peri Sesepuh yang
tegak di atas tiang batu runcing.
"Peri
Sesepuh, Peri Pimpinan di Negeri Atas Langit, mohon maafmu. Aku tidak sempat
memberi tahu sebelum turun ke bumi. Ada satu keperluan yang harus aku urus di
tempat ini."
"Aku
tidak ingin tahu apa urusanmu. Tapi aku melihat ada yang tidak beres bakal
terjadi di bukit batu ini. Karenanya lekas kau ikut aku kembali ke Negeri Atas
Langit. Sesuatu telah terjadi di sana. Kamar ketiduranmu dijebol orang!"
Terkejutlah
Peri Bunda mendengar kata-kata Peri Sesepuh itu. Hatinya sesaat bimbang sebelum
berkata.
"Terima
kasih wahai Peri Sesepuh. Kau telah sudi datang memberi tahu. Aku akan segera
kembali. Tapi aku mohon biarkan aku menyelesaikan urusan lebih dulu. Izinkan
aku membawa pemuda ini ke satu tempat. Dia harus diselamatkan dari ancaman
maut…."
"Wahai
Peri Bunda, tidak pernah kutahu kalau kau bersahabat dengan pemuda asing yang
datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Setahuku dia adalah
sahabatnya Peri Angsa Putih…."
"Peri
Sesepuh, izinkan kami pergi…."
Peri
Sesepuh tersenyum. "Jika kau memikirkan keselamatan pemuda itu, biar aku
yang membawanya. Katakan ke tempat mana aku harus pergi. Sementara kau boleh
menyelesaikan urusan di tempat ini!"
Peri
Bunda jadi bingung mendengar kata-kata Peri pimpinannya itu. "Peri
Sesepuh, aku mohon…. Aku tak ingin merepotkanmu. Biar aku yang membawa pemuda
ini…."
"Para
Peri dari atas langit!" tiba-tiba Luhjelita berseru. Dari tadi dia sudah
tidak sabaran melihat dan mendengar percakapan dua Peri itu. "Jika kalian
hendak berbincang-bincang menyelesaikan urusan, cari saja tempat lain.
Jauh-jauh hari tempat ini sudah kutetapkan sebagai tempat pertemuan dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Harap kalian suka pergi dari sini!"
Peri
Sesepuh yang merasa tersinggung mendengar kata-kata Luhjelita itu sunggingkan
senyum mengejek lalu menjawab. "Luhjelita, gadis perayu lelaki! Kau
rupanya! Apakah pertemuanmu dengan pemuda itu menyangkut urusan rayu merayu,
urusan cinta murah? Atau kau hendak melanjutkan perbuatan aib yang kau lakukan
bersamanya di dalam goa dulu?"
"Peri
lancang mulut! Tidak kukira mulutmu sekotor itu! Kau berserikat dalam tuduhan!
Aku ke bukit batu ini justru untuk membuktikan bahwa kalian bangsa Peri
bukanlah makhluk suci dan baik!"
"Wahai,
apa maksudmu gadis perayu?" tanya Peri Sesepuh.
"Aku
akan membuktikan bahwa salah seorang Perimu yakni yang bernama Peri Angsa Putih
adalah peri jahat yang bermaksud hendak membunuh pemuda asing itu dengan
sekuntum mawar beracun! Tapi kenyataan diputar balik. Tuduhan diacungkan ke
arahku! Sungguh keji dan busuk!"
Muka
bulat gemuk dan keringatan Peri Sesepuh kelihatan berkerut. "Kau menuduh
Peri Angsa Putih selagi dia tidak berada di sini untuk membela diri. Aku tidak
bisa menerima tuduhan seperti itu! Karenanya kuharap kau dan kawanmu kakek
sinting itulah yang segera angkat kaki dari bukit batu ini!"
"Peri
Sesepuh! Aku ada di sini!" Tiba-tiba ada suara berseru dari balik sebuah
batu besar. Di lain kejap muncullah Peri Angsa Putih. Wajahnya agak pucat dan
sepasang matanya seperti sembab.
"Wahai!
Sungguh tidak disangka kau rupanya telah ada di sini Peri Angsa Putih. Mengapa
sengaja bersembunyi sejak tadi?"
Wajah
Peri Angsa Putih menjadi bersemu merah.
"Maafkan
saya Peri Sesepuh. Saya tidak ingin merusak suasana pertemuan antara Peri Bunda
dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu," jawab Peri Angsa Putih pula. Kini
wajah Peri Bundalah yang berubah merah.
"Peri
Angsa Putih!" Peri Bunda menegur. "Ucapanmu seolah memberi kesan aku
punya hubungan rahasia dan tidak baik dengan pemuda ini!"
"Aku
tidak mengatakan begitu Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih. "Tapi
aku memang ingin menyampaikan sesuatu yang bukan saja memberi kesan, tapi
mungkin bisa membuktikan bahwa memang ada sesuatu yang hendak kau sembunyikan
di balik pertemuanmu dengan pemuda itu!"
Peri
Bunda maju dua langkah mendekati Peri Angsa Putih. Suaranya keras tapi bergetar
ketika dia bertanya. "Apa maksudmu dengan ucapanmu itu Peri Angsa
Putih?"
Peri
Angsa Putih meraba ke balik pakaian putihnya.
"Tunggu
dulu!" Peri Sesepuh berseru lalu berpaling pada Luhjelita. "Gadis
perayu, karena Peri Angsa Putih sudah ada di sini, aku memberi kesempatan
padamu untuk membuktikan bahwa memang dia yang telah berniat jahat hendak
membunuh pemuda asing itu dengan mawar kuning beracun!"
Luhjelita
yang jadi kesal karena terus-terusan dipanggil dengan sebutan "gadis
perayu" menjawab tak kalah ketus bahkan kurang ajar. "Peri gendut
hidung pesek! Aku datang kemari membawa seorang saksi kakek berjuluk Si Pelawak
Sinting ini! Dia bersedia memberi kesaksian bahwa bukan aku yang melepas bunga
mawar beracun di anak sungai. Bunga yang kemudian diambil oleh Wiro, diciumnya
lalu membuatnya jatuh pingsan hampir sekarat"
Peri
Sesepuh mendengus marah. Mukanya mengelam.
"Kakek
sinting yang otaknya miring bagaimana mungkin bisa dijadikan saksi? Bicaranya
saja pasti ngacok! Dari tadi kulihat kerjanya hanya menyanyi dan menari. Pakai
celanapun dia tidak karuan!"
Di bawah
batu berbentuk tonggak tinggi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting (yang palsu)
bernama asli Labodong tertawa mengekeh. Dia goyangkan rebananya hingga
mengeluarkan suara berkerincing keras.
Setelah
menyanyi na… na… na… ni… ni… ni diapun berkata.
"Peri
Sesepuh, waw… waw! Terima kasih kau telah memuji otakku yang miring, bicaraku
yang ngacok serta celanaku yang kedodoran! Terima kasih, berarti kau sejak tadi
diam-diam memperhatikan diriku! Ha…ha… ha! Wahai, sudah sejak lama tidak ada
perempuan yang memperhatikan aku. Apa lagi seorang Peri sepertimu.
Terima
kasih… terima kasih! Ha… ha… ha! Kau tahu wahai Peri Sesepuh, seorang saksi
berotak waras terkadang bisa jadi sinting karena tekanan. Aku yang kau bilang
sinting hari ini tengah berpikiran cerah! Aku ingat betul apa yang terjadi di
tepi sungai kecil dulu itu karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.
Sobatku bernama Luhjelita ini memang bukan dia yang meracun pemuda itu dengan
mawar kuning. Aku kebetulan berada di anak sungai saat itu. Jadi tahu betul
hanya ada dua orang di situ yakni Peri kerabatmu bernama Peri Angsa Putih itu
serta Luhjelita…. Ketika Luhjelita muncul di tepi anak sungai, pemuda itu sudah
lebih dulu keracunan, pingsan sekarat sehabis mencium bunga mawar beracun yang
konon hanya tumbuh di Negeri Atas Langit, negeri kalian kaum Peri…."
"Tidak
semudah itu menerima kesaksianmu Pelawak Sinting!" tukas Peri Sesepuh,
"Bisa saja Luhjelita telah lebih dulu meluncurkan bunga beracun itu ke
dalam aliran sungai kecil. Lalu ketika pemuda itu pingsan dia muncul pura-pura
hendak menolong…."
"Tidak,
Luhjelita tidak muncul untuk menolong,"
memotong
Si Pelawak Sinting. Lalu sambil melirik pada Luhjelita yang ada di sampingnya
dia berbisik.
"Apa
aku katakan pada Peri gendut itu kau kulihat dalam keadaan bugil, tengah
menggerayangi bagian bawah perut di balik celana Wiro Sableng?"
"Jangan
melantur! Kurobek mulutmu jika kau membuka rahasia yang satu itu! Yang jelas
kau tahu aku tidak meracuni Wiro dengan bunga mawar kuning!" kata
Luhjelita cepat
"Pelawak
sinting, jika tidak bermaksud menolong pemuda itu, lalu apa yang dilakukan
Luhjelita?" bertanya Peri Sesepuh.
"Aku
tidak tahu. Yang jelas ketika aku mendatangi dia lantas kabur. Aku kemudian
menolong pemuda yang keracunan itu. Aku mengetuk pusarnya dengan gagang gayung
hingga racun yang ada dalam tubuhnya larut ke bagian tubuh sebelah bawah, tidak
memasuki jantung…."
"Pelawak
Sinting berapa kau dibayar Luhjelita
untuk
memberi kesaksian palsu itu?" tanya Peri Sesepuh sambil sunggingkan senyum
mengejek di mukanya yang gembrot keringatan.
"Aku
tidak dibayar dan kesaksianku tidak palsu!"
jawab Si
Pelawak Sinting lalu goyang rebananya beberapa kali. Kakinya bergerak-gerak
menari dan dari mulutnya keluar suara nyanyi na… na… na… ni… ni…ni!
"Kalau
kau tidak dibayar pasti kau sudah larut dalam peluk rayunya!" Yang berkata
adalah Peri Bunda.
Luhjelita
delikkan mata dan mendamprat. "Peri baju biru! Mukamu cantik tapi mulutmu
kotor. Tubuh dan pakaianmu harum tapi hatimu busuk! Kalau kau tidak bisa
membela Peri Angsa Putih jangan bicara serendah itu! Apakah begitu tata cara
bicara kaum Peri di Negeri Atas Langit?"
"Aku
tak perlu dibela karena memang bukan aku yang membuang mawar kuning beracun ke
dalam aliran sungai!" Peri Angsa Putih tiba-tiba berkata seraya maju
beberapa langkah hingga dia kini berdiri tepat di hadapan Peri Bunda.
Dari
balik pakaiannya Peri Angsa Putih keluarkan dua kuntum mawar kuning yang telah
layu. "Peri Bunda, aku tidak tahu kau akan berdalih bagaimana. Tapi dua
kuntum mawar beracun ini aku temui dalam jambangan rotan di kamarmu!"
Di atas
tiang batu Peri Sesepuh terkejut Peri Bunda sendiri pucat wajahnya. Luhjelita
tak kalah kagetnya sedang Pendekar 212 melongo garuk-garuk kepala.
"Peri
Bunda, jadi kau rupanya!" ujar Peri Sesepuh sambil geleng-geleng kan
kepala.
Setan
Ngompol ikut-ikutan gelengkan kepalanya.
"Peri
secantik itu tidak sangka berhati begitu jahat!"
"Tapi
apa alasannya dia hendak membunuh sahabat kita Wiro?" tanya Naga Kuning.
"Sahabat-sahabatku,
kuharap kalian mau bersabar dan tidak berisik. Segala perbuatan yang tidak
berdasarkan kasih antara sesama makhluk akan segera tersingkap…" kata
Luhcinta. Ketiga orang itu sampai saat itu masih mendekam di tempat
persembunyian mereka.
"Peri
Bunda!" Dari atas tiang batu berujung lancip kembali Peri Sesepuh menegur.
"Kau telah melakukan satu perbuatan sangat keji! Apa alasanmu berbuat
begitu?!"
"Peri
Sesepuh…." Peri Bunda gigit bibirnya sendiri.
Wajahnya
masih pucat Dia pegangi dadanya dengan dua tangan lalu kepalanya digelengkan
berulang kali.
"Kau
tak mau menjawab. Tapi aku sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik
perbuatanmu itu! Kau sebenarnya mencintai pemuda asing itu. Kau tidak ingin
kehilangannya. Kau sudah bertekad menghadapi malapetaka apapun asal kau bisa
mendapatkan dia. Karena itu kau lebih dulu ingin mencelakai dan mengadu domba
Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Jika pemuda itu menaruh syak wasangka pada
mereka bukankah berarti kau mendapat jalan untuk merebut hatinya?!"
Mendengar
kata-kata Peri Sesepuh itu, Peri Angsa Putih mau tak mau membatin. "Itu
sebabnya Peri Bunda ingin membawa Wiro ke Puri Bahagia. Dia ingin berdua-dua
dengan pemuda yang dikasihinya itu. Sungguh tidak kuduga…."
Peri
Bunda mendongak memandang ke arah Peri Sesepuh. "Peri Sesepuh…"
desisnya. Lalu satu teriakan dahsyat keluar dari mulut Peri Bunda.
"Tidak…! Tidaaakkkk!"
"Apa
yang tidak Peri Bunda.." hardik Peri Sesepuh.
*******************
15
WAJAH
Peri Bunda yang tadinya pucat kini berubah merah seperti saga. Air mukanya tak
kalah bengis dengan paras Peri Sesepuh.
"Tidaaaakkkk!"
Peri Bunda kembali berteriak.
Teriakannya
menggelegar di seantero malam, menggetarkan Seantero bukit batu.
"Peri
Bunda! Jangan sampai membuat aku menjatuhkan tangan hukum dan kutuk saat ini
juga! Lekas berlutut dan akui perbuatanmu!" Peri Sesepuh keluarkan suara
keras lantang.
"Kau!"
Tiba-tiba
Peri Bunda tudingkan jari telunjuk tangan kanannya tepat-tepat ke arah Peri
Sesepuh. "Aku tidak berbuat! Bukan aku yang meracuni pemuda itu. Tapi kau!
Kau Peri Sesepuh! Kau! Dua bunga mawar kuning beracun itu aku temukan dalam
kamarmu! Sengaja aku ambil lalu aku simpan dalam kamarku! Ketika kejadian bunga
itu hanyut di aliran anak sungai, bukankah kau juga berada di sekitar situ?
Bahkan sempat bicara denganku? Waktu itu sebenarnya aku juga melihat dua kuntum
bunga mawar ada di balik lipatan pakaian merahmu!"
Semua
orang yang ada di tempat itu jadi terkejut besar. Luhcinta saking kagetnya
sampai-sampai melompat keluar dari persembunyiannya. Diikuti oleh Naga Kuning
dan Setan Ngompol.
Di atas
batu wajah Peri Sesepuh pucat pasi seperti melihat setan. Mulutnya bergetar.
"Peri
Bunda! Kau menuduhku? Kau sengaja hendak memutar balik kenyataan? Benar-benar
busuk budi pekertimu! Kau layak kuhabisi saat ini juga!"
Selesai
berkata begitu Peri Sesepuh kibaskan tangan kanannya ke bawah. Segulung cahaya
merah menggelegar, menyambar ke arah Peri Bunda.
"Tunggu!"
teriak Luhjelita.
"Tahan!"
Pendekar 212 ikut berteriak.
"Peri
Sesepuh! Jangan!" Peri Angsa Putih juga berteriak keras.
Namun
Peri Sesepuh tetap terus menghantam. Larikan sinar merah menggelombang
membuntal tambah cepat dan tambah dekat ke arah Peri Bunda.
Sementara
Peri Bunda sendiri tidak melakukan sesuatu seolah pasrah dirinya hendak
dibantai orang!
Terpaksa
tiga orang itu bertindak cepat. Wiro, Luhjelita dan Peri Angsa Putih sama-sama
gerakkan tangan kanan, menghantam ke atas.
Selarik
sinar Jingga menderu dahsyat keluar dari telapak tangan Luhjelita. Selain
menebar hawa panas pukulan ini sanggup membuat lawan menjadi lemas tak berdaya.
Dari
tangan kanan Peri Angsa Putih melesat satu sinar putih. Inilah pukulan sakti
yang disebut Membalik Langit Menggulung Bumi. Pukulan ini sanggup membuat
setiap serangan lawan berbalik menghantam pemiliknya sendiri!
Sinar ke
tiga yang mencuat laksana perak menyala menyilaukan mata dan menebar panas luar
biasa adalah pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212.
"Bummm!"
"Bummm!"
"Blaarrr!"
Tiga
dentuman dahsyat menggelegar di malam bulan purnama itu. Bukit batu laksana
dilanda geluduk dihantam gempa. Batu-batu besar bergelundung bergemuruh.
Beberapa orang keluarkan seruan tegang. Tiga batu hitam berbentuk tiang
berujung lancip, termasuk dimana Peri Sesepuh sejak tadi berdiri tegak,
keluarkan suara berderak. Lalu patah dan roboh berkeping-keping. Sosok Peri
Sesepuh sendiri kelihatan mencelat tinggi ke udara. Pakaian merahnya terbakar
hangus di beberapa tempat Walau kemudian dia mampu berjungkir balik dan
melayang turun injakkan kaki di tanah namun tubuhnya tampak menghuyung.
Rambutnya yang digulung berbusai riap-riapan. Wajahnya sepucat kain kafan.
Pakaian merahnya hangus dan robek hingga dada, perut dan pahanya tersingkap
bugil. Sang Peri sadar akan keadaan auratnya. Dia berusaha gerakkan tangan
untuk menutupi tubuh. Tapi sepasang tangannya seolah kaku, sulit digerakkan!
Dari
mulutnya perlahan-lahan keluar lelehan darah. Bentrokan kekuatan sakti dahsyat
tadi membuat pendekar 212 Wiro Sableng terjengkang dan sesak nafas untuk
beberapa saat Tangan kanannya kaku. Di bagian lain Peri Angsa Putih terpental
dan jatuh tak jauh dari Luhcinta. Luhcinta segera memberi pertolongan. Luhjelita
sendiri saat itu tampak merangkak, berusaha berdiri. Dia batuk-batuk beberapa
kali lalu semburkan darah kental. Peri Bunda yang berada di dekatnya segera
mendatangi.
Si
Pelawak Sinting tampak kelabakan, melangkah kian kemari mencari-cari rebananya
yang tadi mental akibat letusan-letusan dahsyat Celananya yang selalu kedodoran
saat itu bukan cuma kedodoran tapi sudah merosot sampai ke bawah paha. Dia
tidak sadar kalau auratnya tersembul ke mana-mana.
Naga
Kuning tersandar di sebuah batu, pucat pasi dan sulit bernafas. Tapi tawanya
kemudian tersembur ketika melihat keadaan Si Pelawak Sinting yang pakaiannya
tidak karuan disebelah bawah. Akan halnya Si Setan Ngompol, kakek satu ini
terbadai di tanah dalam keadaan menungging. Mulutnya komat kamit entah mengucap
apa. Di sebelah bawah air kencingnya mengucur tiada henti!
Sambil
pegangi dadanya yang berdenyut sakit Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah
mendekati Peri Sesepuh. Sang Peri memandang dengan mata besar dan wajah
membayangkan rasa takut
"Wiro,
aku mengaku salah…. Kalaupun kau bunuh aku saat ini aku menerima pasrah…"
kata sang Peri dengan suara sangat perlahan dan bergetar.
"Peri
Sesepuh, apa benar kau yang hendak membunuh saya dengan mawar beracun
itu?" bertanya Pendekar 212.
Peri
Sesepuh semburkan ratap tangis lalu anggukkan kepalanya berulang kali. Suara
tangisnya semakin menjadi-jadi ketika Wiro pegang bahunya dan bertanya dengan
suara lembut, sepertinya tanpa ada rasa marah, tanpa ada rasa dendam. Hal ini
membuat hati Peri Sesepuh serasa disayat-sayat.
"Memang…
memang aku yang melakukannya…"
ucap Peri
Sesepuh mengakui dan kembali menganggukkan kepala berulang kali sambil tekap
wajahnya dengan dua tangan. Murid Sinto Gendeng terdiam lalu garuk-garuk
kepalanya.
"Kenapa
Peri Sesepuh…. Kenapa kau melakukan itu? Apakah saya pernah membuat dosa
padamu? Apakah saya pernah menyakiti hatimu?"
"Tidak…
Kau tidak pernah berbuat salah apaapa…. Kau lelaki paling baik yang pernah aku
kenal…."
"Atau
mungkin karena kau juga ikut mengira aku telah berbuat aib dengan Luhjelita
seperti yang kini tersebar luas di seluruh negeri? Tapi bukankah kabar jahat
itu tersiar kemudian, setelah peristiwa mawar beracun itu?"
"Wiro,
aku tahu kau orang baik. Aku juga yakin kau tidak berbuat sekeji itu terhadap
siapapun, juga terhadap Luhjelita…."
"Lalu
Peri Sesepuh, kenapa kau hendak meracuni saya? Apa alasanmu? Kau belum
menjawab…."
Tangis
Peri Sesepuh semakin keras. Bahunya berguncang-guncang.
"Peri
Sesepuh, apakah kau mau menjelaskan alasanmu hendak meracuni saya?" Wiro
kembali bertanya.
Setelah
tangisnya reda perlahan-lahan Peri Sesepuh turunkan ke dua tangannya. Dia
menatap pada Wiro, lalu pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Dia juga
melayangkan pandangan pada Luhjelita dan Luhcinta. Dalam sesenggukan dia
berucap.
"Aku
Peri tertinggi di Negeri Atas Langit. Tapi nasibku sangat malang. Aku adalah
Peri dengan wajah dan tubuh paling buruk. Aku tak mungkin bersaing dengan Peri
lainnya, terutama Peri Bunda dan Peri Angsa Putih…."
"Kau
Peri pimpinan mereka, kau peri panutan. Mereka bisa disebut sebagai Peri-Peri
asuhmu. Lalu mengapa kau mengatakan tidak mungkin bersaing dengan mereka? Apa
maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Wiro.
"Mereka
memiliki paras wajah sangat cantik. Sedang aku… kau lihat sendiri. Mana mungkin
aku bersaing memperebutkan dirimu…."
"Memperebutkan
diriku?" ujar Wiro heran.
Peri
Sesepuh usap wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat lalu mengangguk.
"Walau kami saling merahasiakan, tetapi kami sama tahu bahwa kami bertiga
sama-sama sangat mencintaimu! Cuma sayang, dalam keterbatasan diriku aku
menempuh jalan salah. Aku ingin menyingkirkanmu. Aku berpikir, jika aku tidak
bisa mendapatkan dirimu maka dua peri itu juga tidak boleh mendapatkan
dirimu!" Peri Sesepuh kembali menutup wajahnya dengan dua tangan lalu
terisak-isak menahan tangis. Dia lalu memandang pada Peri Angsa Putih dan Peri
Bunda. Kemudian menatap kembali pada pemuda di hadapannya.
"Dosaku
besar nian. Bukan saja terhadapmu Wiro. Tapi juga pada dua kerabatku Peri Angsa
Putih dan Peri Bunda. Juga pada gadis bernama Luhjelita itu. Perbuatanku sempat
menyengsarakan dirinya hinga dia terkena tuduhan jahat. Wiro, juga kalian
semua. Aku siap menerima hukuman. Kalian bunuhpun saat ini aku ikhlas
menerima…."
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede pandangi wajah Peri Sesepuh beberapa
lamanya. Ada rasa hiba menyeruak di lubuk hatinya. Sambil memegang bahu sang
Peri dia membungkuk dan berbisik.
"Peri
Sesepuh, jangan katakan parasmu tidak cantik. Bagiku kecantikanmu tidak kalah
dengan Peri Bunda dan Peri Angsa Putih. Cuma memang kau agak nakal…."
Sepasang
mata Peri Sesepuh membesar. Lalu mulutnya menyeruakkan senyum. Tawanya keluar
tidak tertahankan lagi.
"Eh,
ada apa dengan Peri gendut itu!" kata Naga Kuning heran sambil menggamit
Setan Ngompol."
Barusan
dia menangis meratap habis-habisan. Sekarang malah tertawa…."
"Peri
Sesepuh," Wiro berucap. "Kau tak perlu bersedih. Tak perlu memikirkan
masalah ini berpanjangpanjang. Tidak ada dosa dan kesalahan yang harus kau
tanggung. Saya memaafkan semua perbuatanmu…."
"Wiro…."
ujar Peri Sesepuh, "apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru
berucap?"
"Saya
memaafkanmu," ulang Wiro.
Peri
Sesepuh berseru keras lalu jatuhkan diri hendak memeluk dua kaki Wiro. Sang
Pendekar cepat pegang bahu Peri Sesepuh. Susah payah dia mengangkat tubuh yang
beratnya ratusan kati itu, membantu sang Peri berdiri. Peri Sesepuh kucurkan
air mata dan lingkarkan tangannya ke punggung Wiro. Pendekar 212 tersenyum.
Tangan kiri menepuk-nepuk bahu Peri Sesepuh sedang tangan kanan menggaruk
kepala.
"Assssyyiiikkkk…"
kata Naga Kuning sambil tertawa lebar. "Ini memang kesempatan bagus untuk
memeluk si sableng itu. Lain saat bisa banyak yang cemburu!" Lalu bocah
konyol ini berpaling pada Setan Ngompol. "Kalau kau ingin dipeluk Peri
gembrot itu lekas dekati dia…."
"Bocah
setan!" maki si kakek.
"Kami
berdua juga memaafkanmu Peri Sesepuh!"
Peri
Sesepuh lepaskan pelukannya di punggung Wiro dan memandang ke arah Peri Angsa
Putih dan Peri Bunda yang barusan sama-sama berucap. Dengan berurai air mata
dia melangkah menghampiri dua kerabatnya itu. Ketiga peri itu lalu saling
rangkul bertangis-tangisan. Sambil mengusut air matanya Peri Sesepuh berkata.
"Kerabat-kerabatku,
untuk sementara aku tidak akan kembali ke Negeri Atas Langit. Pimpinan negeri
kuserahkan padamu wahai Peri Bunda…."
"Memangnya
kau mau pergi kemana Peri Sesepuh?" tanya Peri Bunda.
"Aku
tidak tahu. Mungkin aku perlu memencilkan diri bersunyi-sunyi di satu tempat.
Entah sampai berapa lama." Peri Sesepuh lalu ciumi satu persatu kening dua
kerabatnya itu. Sang Peri kemudian menghampiri Luhjelita dan cubit pipi gadis
cantik ini dan berkata. "Aku tahu, waktu di tepi telaga kau menggerayangi
pemuda itu bukan hendak mencelakainya.
Tapi kau
tengah berusaha mendapatkan satu ilmu dahsyat. Kau tak usah kawatir, tiga tahi
lalat yang ada di bawah pusar pemuda itu bisa kau dapatkan. Asal kau pandai dan
tahu caranya!" Sementara Luhjelita terbelalak kaget mendengar ucapan yang
tidak diduganya itu Peri Sesepuh tertawa cekikikan sambil melangkah menghampiri
Luhcinta. Dia pegang dua tangan si gadis dan berbisik sangat perlahan hingga
tak ada yang mendengar. "Kau yang paling beruntung diantara semua kami.
Jika kelak kau mendapatkannya jangan lupakan diri kami. Kami ikut menitipkan
kasih sayang kami untuknya dilubuk hatimu yang paling suci…."
"Aku…
aku mendapatkan siapa maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Luhcinta.
Sang Peri
tersenyum lalu membisikkan satu nama ke telinga Luhcinta yang membuat gadis ini
melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelum
pergi Peri Sesepuh layangkan senyum dan pandangannya pada Si Setan Ngompol, Si
Pelawak Sinting dan Naga Kuning. Lalu dia berpaling sekali lagi pada Wiro. Sang
Pendekar balas tersenyum. Lalu susun dua jari tangan kanannya di atas bibir
kemudian layangkan cium jauh pada Peri Sesepuh. Peri gemuk itu tekap mulutnya
menahan tawa tapi masih bisa membalas genit dengan kedipkan mata sebelum
berkelebat lenyap.
"Si
sableng itu!" kata Setan Ngompol. "Dia yang sebenarnya ganjen duluan!
Jangan disalahkan kalau Peri Gendut itu sampai kecantol habis-habisan
padanya!"
"Peri
Sesepuh, kalau saja kakek sobatku ini yang kau pilih pasti urusan bisa beres
dan kita bisa berhelat besar di negeri ini!" kata Naga Kuning pula sambil
tepuk-tepuk perut Si Setan Ngompol.
Sambil
terkencing-kencing karena perutnya ditepuk Setan Ngompol berkata. "Mana
mungkin aku dapatkan peri gendut itu. Saat ini aku punya saingan berat! Lihat
kakek berjuluk Pelawak Sinting itu! Dia sampai memperagakan diri menyembulkan
anunya agar terlihat kejantanannya o!eh Peri Sesepuh. Padahal menurutku dia
cuma punya sebuah terong rebus yang sudah penyok!" Saat itu Si Pelawak Sinting
memang masih sibuk melangkah mundar mandir mencari rebananya. Sejak saudaranya
Si Pelawak Sinting yang asli tidak memperbolehkannya membawa tambur kulit dan
payung daun, dia terpaksa mempergunakan rebana berkerincing.
Semua
orang yang ada di situ tertawa bergelak. Termasuk Peri Angsa Putih, Peri Bunda,
Luhjelita dan Luhcinta malah wajah keempat mereka ini tampak bersemu merah dan
palingkan muka ke jurusan lain, tak berani melihat ke arah Si Pelawak Sinting
yang masih terus berjalan kian kemari tanpa sadar kalau bagian bawah tubuhnya
terbuka melompong!
TAMAT
No comments:
Post a Comment