Sang
Pemikat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
1
MALAM
hari menjelang hujan turun lebat. Rumah yang terletak tak jauh dari Kali Progo
itu tampak sunyi diselimuti kegelapan. Di dalam rumah semua orang tertidur
lelap, keletihan dan kedinginan. Hanya Purnama seorang yang tidak bisa
memicingkan mata. Banyak hal memenuhi dan membuncah jalan pikirannya. Pertama
sakitnya Pendekar 212 Wiro Sableng. Meski kini peredaran darah Wiro sudah
berhasil disembuhkan, namun penyakit yang kelak bakal menyengsarakan dirinya
masih mendekam dalam tubuhnya. Apakah benar pemuda itu akan kehilangan
kejantanannya seumur hidup?
Gadis
dari negeri 1200 tahun silam ini secara diam-diam berusaha menjajagi Kitab
Seribu Pengobatan yang dihafalnya di luar kepala. Namun entah karena pikiran
yang sedang kacau atau memang tidak ada cara penyembuhan penyakit seperti yang
dialami Wiro dalam kitab itu, maka dia tidak mendapat petunjuk apa-apa.
Selain
itu jalan pikiran Purnama juga dipenuhi dengan galau tanda tanya besar mengenai
hubungannya dengan Wiro. Dia sangat mencintai pemuda itu. Apakah dia akan
berhasil mendapatkan Wiro sementara diketahuinya Bidadari Angin Timur, Bunga
serta Ratu Duyung juga mencintai sang pendekar. Bahkan tiga gadis itu mengenal
dan mencintai Wiro jauh lebih dulu dan lebih lama dari dirinya. Disamping
ketiga gadis cantik itu, Purnama juga tahu kalau masih banyak gadis lain yang
telah jatuh hati terhadap Wiro. Hanya saja dia tidak tahu siapa-siapa saja
mereka itu.
“Aku dan
Bunga, dua gadis dari alam lain. Apakah salah satu dari kami akan bisa memiliki
Wiro?” Suara hati gadis dari Latanahsilam itu bertanya. “Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur, mungkin mereka lebih beruntung…”
Saat itu
Purnama duduk di lantai papan dekat pintu ruangan dimana Wiro terbaring di atas
ranjang bambu, bersandar ke dinding. Gondoruwo Patah Hati tidur melunjur di
sisi pintu sebelah kanan. Ratu Duyung di samping kiri si nenek, lalu Naga
Kuning tidur di lantai. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol berbaring di ruangan
terbuka di bagian depan rumah panggung, tak jauh dari tangga. Dua kakek ini
tidur mengeluarkan suara ngorok seperti balapan.
Tiba-tiba
sudut mata Purnama melihat gerakan. Dia palingkan kepala ke arah ranjang bambu
dimana Pendekar 212 terbaring. Saat itu tampak Wiro perlahan-lahan bangun dari
tidurnya, duduk di tepi ranjang. Lewat cahaya temaram yang masuk melalui
jendela terbuka Wiro memperhatikan satu demi satu orang-orang yang berada dalam
ruangan. Semula Purnama hendak berdiri dan menghampiri Wiro. Namun dia
membatalkan niat malah cepat-cepat pejamkan mata berpura-pura tidur.
Wiro
berdiri dari duduknya di tepi ranjang bambu. Dengan langkah tanpa suara dia
bergerak ke pintu, keluar dari ruangan. Di bagian depan rumah panggung dia
berhenti sebentar memperhatikan dua kakek yang tidur mengorok. Purnama berdiri.
Wiro dilihatnya menuruni tangga rumah panggung. Di halaman rumah yang becek
oleh air hujan yang baru saja berhenti murid Sinto Gendeng ini diam sejenak,
memandang berkeliling lalu berpaling ke arah rumah. Purnama cepat merunduk,
mendekam di tempat yang gelap. Ketika dia bergerak bangun Wiro tak tampak lagi
di halaman. Tidak menunggu lebih lama Purnama segera melompat ke halaman. Di
arah kiri halaman rumah dia melihat bayangan Wiro yang hanya mengenakan celana
panjang berkelebat di balik pepohonan. Purnama mengejar. Dia masih sempat
melihat sosok pendekar itu sebelum akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
“Heran,
dia mampu berlari cepat, berkelebat dan menghilang. Apakah tenaga dalam dan
ilmu kesaktiannya sudah pulih kembali?” Pikir Purnama. Walau tidak lagi dapat
melihat Wiro namun gadis dari Latanahsilam ini tidak khawatir. Dia tahu di arah
mana tadi Wiro menghilang berarti dia tahu harus mengejar ke jurusan mana.
Dengan
ilmu yang dimilikinya dia mampu bergerak cepat, melayang di udara. Untuk itu
dia harus merubah ujud, kembali ke alam gaib kehidupannya. Purnama goyangkan
dua bahu. Selarik sinar biru begemerlap keluar dari tubuh dan saat itu sosok
kasarnya lenyap, berubah menjadi samar. Sekali berkelebat dia telah melesat
belasan langkah ke arah lenyapnya Pendekar 212.
Namun
gerakan gadis berpakaian biru ini tertahan ketika di langit sebelah timur
berkelebat satu bayangan putih disertai sambaran cahaya kuning. Sesaat
kemudian, mengapung di udara di hadapan Purnama muncul sosok samar lelaki kurus
tinggi berpakaian selempang kain putih. Dua kaki kehitaman tak berkasut. Orang
ini memegang sebatang tongkat memancarkan cahaya kuning ditaburi permata
berkilat aneka warna. Perlahan-lahan sosok samar ini bergerak turun ke tanah.
Penuh waspada Purnama bergerak pula ke bawah.
Begitu
dua kakinya menginjak tanah, wujud makhluk samar yang memegang tongkat menjadi
lebih kentara, berubah membentuk sosok seorang tua berambut dan berjenggot
panjang putih. Yang membuat Purnama tercekat besar adalah ketika melihat
bagaimana makhluk ini sama sekali tidak mempunyai wajah. Mukanya polos tak ada
mata, tak punya hidung ataupun mulut. Purnama cepat terapkan ilmu pernafasan
yang disebut Nafas Sepanjang Badan. Dengan ilmu ini dia bisa mencium dan
mengetahui siapa adanya makhluk yang ada dihadapannya itu. Kelopak mata Purnama
bergerak-gerak, pelipis mendenyut. Hatinya membatin.
“Ternyata
dia bukan makhluk alam roh. Dia seorang tua bangka manusia biasa yang memiliki
kekuatan alam dahsyat. Datang dari satu tempat jauh. Benar apa yang dikatakan
Bunga. Tongkat emas yang dipegannya memiliki kekuatan dahsyat. Aku harus
berhati-hati…”
Gadis
dari Latanahsilam ini cepat rubah ujudnya hingga terlihat jelas lalu membentak.
“Makhluk tanpa wajah! Kau rupanya! Akhirnya kau berani tunjukkan diri. Tapi
mengapa masih berlaku pengecut menyembunyikan wajah?”
“Aku akan
perlihatkan wajah kalau kau memilih satu dari dua ketentuan!” makhluk tanpa
wajah menjawab. Suaranya besar parau.
“Makhluk
durjana! Kau pasti yang telah mencelakai Wiro dan punya niat jahat mencelakai
diriku serta sahabat-sahabatku! Katakan siapa dirimu, mengapa berbuat jahat
terhadap kami?”
“Jangan
banyak bertanya. Harap kau segera memilih salah satu dari dua ketentuan. Ikut
bersamaku dan tunduk pada apa yang aku katakan atau kau akan menemui kematian
abadi, kembali ke alam asalmu untuk selama-lamanya!”
“Ucapan
gila!” bentak Purnama. Sesaat dia merasa bimbang. Jika dia melayani terus
manusia tanpa wajah ini maka dia akan kehilangan jejak Pendekar 212. Jika dia
tidak melayani dan menghajar makhluk satu ini, pasti akan mendatangkan
kesulitan terus menerus di kemudian hari. Dia coba menggertak. “Aku tengah
mengejar seseorang. Menyingkirlah atau kubuat jadi batu dirimu saat ini juga!”
“Siapa
takut ancamanmu! Dengar, orang yang kau kejar itu adalah bagianku. Aku yang
akan mengurus hidup matinya. Sekarang, apakah kau sudah menentukan pilihan?!”
“Makhluk
kurang ajar! Aku akan lempar kau ke tempat asalmu! Aku tahu kau
adalah
manusia biasa yang bersembunyi dibalik kekuatan gaib!” teriak Purnama marah.
Lalu sambil menerjang ke depan gadis ini lambaikan dua telapak tangan. Dua
rangkuman cahaya biru menebar laksana jala menyelubungi sosok makhluk tanpa
wajah. Bilamana cahaya biru itu sempat menyentuh tubuhnya maka makhluk tanpa
wajah ini akan membatu kaku sekujur aurat tak peduli bagaimanapun hebat
kesaktiannya.
“Manusia
tolol! Kau tak punya daya apa-apa di hadapanku!” ucap makhluk tanpa wajah.
Tongkat emas di tangan kanan disapukan ke depan.
“Wuttt!”
Selarik
cahaya kuning menyilaukan berkelebat. Purnama merasa dua kakinya yang menginjak
tanah bergetar hebat. Dia kerahkan tenaga dalam. Tapi hantaman cahaya kuning
sungguh luar biasa. Dirinya laksana dilabrak topan prahara. Sebelum tubuhnya
mencelat mental dan hancur berkeping-keping, didahului teriakan keras gadis ini
tempelkan telapak tangan satu sama lain, dua tangan diangkat di atas kepala
lalu sttt! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menyusup Bumi Menghancur Bala.
Ilmu kesaktian ini selain dipergunakan untuk menyelamatkan diri dan berlindung
dari serangan lawan, sekaligus juga untuk melakukan serangan balasan. Karena begitu
masuk ke tanah sampai bahu tubuh akan melesat kembali ke atas, meyedot hawa
kekuatan bumi hingga kekuatannya berlipat ganda untuk kemudian melancarkan
serangan.
Makhluk
tanpa wajah berseru kaget namun kemudian mendengus sambil tancapkan ujung
tongkatnya ke tanah, dua jengkal dari tubuh Purnama yang amblas. Begitu tongkat
menancap lalu diputar ke kiri, dua kali berturut-turut. Terdengar suara
berderak. Tanah bergetar. Inilah gerakan mengunci membuat tubuh Purnama yang
tenggelam sebatas bahu tidak bisa bergerak, tidak sanggup melesat keluar,
apalagi melakukan serangan.
Sambil
berkacak pinggang dan keluarkan tawa bergelak, makhluk tanpa wajah berkata,
“Aku menawarkan anugrah, kau minta celaka mencari mati. Sebelum tengah hari
nanti kau sudah berubah menjadi bangkai! Ha … ha… ha…!”
Makhluk
tanpa wajah cabut tongkat emasnya dari tanah lalu berkelebat lenyap. Di atas
sana waktu tubuhnya melayang di udara, makhluk ini terkecut ketika dapatkan
salah satu bagian ujung tongkat emasnya telah gompal besar. Sementara itu dalam
keadaan tubuh terpendam sebatas bahu Purnama menjerit keras. Dari mata,
telinga, hidung serta mulutnya membersit lelehan darah.
“Manusia
jahanam! Kau merusak tongkatku! Lebih baik kuhabisi kau sekarang juga!” makhluk
tanpa wajah memaki marah. Dia segera melayang turun ke tanah kembali. Bagian
tongkat yang berbentuk bulat diacungkan ke bawah, siap dikemplangkan ke batok
kepala Purnama yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan. Namun
makhluk ini serta merta hentikan gerakkan ketika mendadak di bawah sana
terdengar suara ribut-ribut lalu dari balik kegelapan muncul dua orang kakek.
“Kurang
ajar!” Bagian tengah muka makhluk tanpa wajah bergerak-gerak.
Walau
tidak memiliki hidung namun dia mampu mencium sesuatu. Dia mencium bau pesing santar
sekali.
“Kakek
jahanan tukang kencing itu! Keparat! Dia bisa mencelakai diriku!”
Rutuk
makhluk tanpa wajah. Gerakan tubuh yang melayang ke tanah ditahan lalu
cepat-cepat melesat ke atas kembali.
* * ********************
MENDEKATI
pagi Gondoruwo Patah Hati tersentak dari tidurnya lalu nenek ini membangunkan
Naga Kuning.
“Hatiku
merasa tidak enak,” ucap si nenek. Bersama Naga Kuning dia masuk ke dalam
ruangan dimana Wiro berada. Mereka dapatkan Pendekar 212 tak ada lagi di atas
ranjang bambu. Seisi rumah menjadi heboh. Ratu Duung memandang berkeliling.
“Tidak
semua kita berada di tempat ini. Mana Purnama?” Ucapan gadis bermata biru itu
membuat sadar semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat itu.
Gondoruwo
Patah Hati langsung berprasangka buruk bahwa Purnama melarikan Wiro. Sementara
Naga Kuning yang mulutnya memang jahil mengatakan mungkin Wiro dibawa pergi
oleh Purnama untuk diuji kejantanannya. Walau marah pada si bocah namun
Gondoruwo Patah Hati diam-diam cemburu pada Purnama. Memang tidak mustahil apa
yang dikatakan Naga Kuning bisa menjadi kenyataan. Ratu duyung memeriksa lewat
cermin sakti. Samar-samar ia melihat bayangan Wiro di arah barat. Tidak
kelihatan bayangan Purnama.
“Mungkin
dia dalam perjalanan menuju Gunung Gede. Kita harus mencegahnya menjadi pertapa.
Sebenarnya aku juga harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede Tapa
Pamungkas untuk menemuinya …”
Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol yang masih enak-enakan ngorok dibangunkan. Ratu
Duyung mengatur rencana pengejaran.
“Kita
berbagi dua…” kata gadis bermata biru itu. “Aku dan Nenek Gondoruwo Patah Hati
serta Naga Kuning mengejar Wiro. Kakek Ki Tambakpati dan Setan Ngompol mencari
Purnama.”
Habis
berkata begitu tanpa banyak menunggu lagi Ratu Duyung melesat keluar rumah
panggung diikuti Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning.
Setan
Ngompol memandang ke arah Ki Tambakpati. Sambil memegang bagian bawah celananya
kakek ini berkata, “Aku lagi enak-enakan bermimpi. Rasanya aku digosok-gosok
Luhrembulan. Tiba-tiba gadis dari negeri Latanahsilam itu menjerit karena
kantong menyanku mendadak berubah menjadi dua buah damar. Buah pantangan…”
“Sudah
jangan ngacok! Kita harus mencari dimana beradanya Purnama. Kalau dia memang
bersama Wiro tidak jadi persoalan. Tapi kalau sesuatu yang buruk menimpa
dirinya …”
“Terus
terang aku juga mengkhawatirkan diri Liris Biru. Dia mengejar pemuda jahat
bernama Cakra itu ke Kuto Gede. Kalau sampai dia diapa-apakan…”
“Kita dua
tua bangka yang ketiban urusan! Tapi apapun yang terjadi kita harus melakukan
sesuatu! Ayo kita cari Purnama dulu. Nanti baru kau mengurus Liris Biru.
Eh….tunggu
dulu!” Ki Tambakpati berhenti di depan tangga. “Kau ini merisaukan gadis
bernama Liris Biru itu apa karena pernah jatuh hati pada gurunya Hantu Malam
Bergigi Perak yang sudah almarhum itu atau tidak tahu diri kini naksir sama si
gadis?!”
Mendengar
pertanyaan sahabatnya itu Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil pancarkan air
kencing, “Mengapa hal itu dipersoalkan. Sudah anggap saja aku naksir sama
keduanya. Ha…ha…ha…!”
Ki
Tambakpati tarik lengan Setan Ngompol. Kedua kakek ini segera tinggalkan rumah
panggung. Karena jalan yang dilalui becek bahkan ada yang tergenang air dan
keadaan masih gelap keduanya berlari tidak terlalu cepat. Selain itu karena
mereka juga tidak tahu harus mencari kemana, keduanya lari begitu saja ke
jurusan timur. Justru mengejar asal-asalan inilah yang membawa mereka sampai ke
tempat dimana Purnama terpendam di tanah sebatas bahu ke bawah. Di satu tempat
Setan Ngompol berhenti. Tangan kiri menekap bagian bawah celana, tangan kanan
putar-putar daun telinga sebelah kanan yang lebar dan terbalik.
“Aku
mendengar suara sesuatu…” bisik Setan Ngompol dengan mata yang belok tambah
dibesarkan.
“Apa….?”
Tanya Ki Tambakpati.
“Suara
seperti orang menangis. Eh bukan. Bukan suara orang menangis. Tapi suara orang
mengerang…”
“Lelaki
atau perempuan?” tanya Ki Tambakpati lagi.
“Tak
begitu jelas. Tapi agaknya perempuan,” jawab setan Ngompol.
“Jangan-jangan
suara demit. Aku tidak mendengar apa-apa…” kata Ki Tambakpati pula. Memang
dalam soal ilmu mendengar Setan Ngompol yang punya daun kuping lebar mablang
ini memiliki kelebihan.
“Sial!
Kau selalu membuat aku takut! Selalu menyebut-nyebut demit!” Setan Ngompol
memaki panjang pendek sambil pegangi bawah perutnya. “Ayo kau jalan duluan!
Suara mengerang itu datang dari arah sana!” setan Ngompol menunjuk ke arah
tempat terbuka di depan sederetan pohon besar.
Berjalan
beberapa langkah tiba-tiba Ki Tambakpati berhenti. Mata melotot tubuh
gemetaran.
“Astaga!”
si kakek mengucap.” Apa kataku!”
“Apa, ada
apa?” tanya Setan Ngompol.
Ki
Tambakpati menunjuk ke depan.
“Demit
perempuan mau keluar dari tanah!”
“Serrr!”
Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing.
*******************
2
DI TANAH
becek Ki Tambakpati dan Setan Ngompol melihat satu kepala perempuan tersembul.
Rambut hitam panjang awut-awutan. Dua mata setengah tertutup. Pada hidung dan
mulut juga tampak ada lelehan darah. Bagaimana perempuan ini bisa berkeadaan
seperti ini? Apa yang terjadi hingga tubuhnya sebelah bawah amblas terpendam ke
dalam tanah? Apa benar dia demit atau seseorang korban kejahatan yang dipendam
demikian rupa hingga akhirnya akan menemui ajal mengenaskan?
Selagi
dua kakek dilanda keterkejutan dan juga ada rasa ngeri tiba-tiba perempuan yang
terpendam di dalam tanah kembali keluarkan suara mengerang. Walau
pemandangannya agak buram karena kedua mata digenangi darah sementara hari
masih gelap perempuan itu samar-samar masih mampu melihat kehadiran dua orang
yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
“Tolong…..tolong….”
Ki
Tambakpati tersurut.
Setan
Ngompol tekap bagian bawah celananya kuat-kuat, kepala diulur mata
memperhatikan. Dia membungkuk sedikit. Dengan tangan kanan gemetaran dia
menyibakkan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah. Begitu rambut
tersingkap si kakek berseru kaget.
“Astaga!
Ini Purnama!”
Ki
Tambakpati mendekat, menggosok mata dan berbisik pada Setan Ngompol.
“Apa
katamu? Kau yakin mahluk terpendam ini Purnama? Bukan demit yang menyaru?!”
“Tolong…
Aku memang Purnama. Aku tidak bisa melihat jelas kalian. Tapi aku bisa
mengenali dari suara. Kakek Setan Ngompol dan Ki Tambakpati…”
“Gusti
Allah! Dia memang Purnama! Aku mengenali suaranya! Ki Tambak, kita harus cepat
menolongnya!” kata setan Ngompol.
“Apa yang
harus kita lakukan? Menggali tanah disekitarnya atau langsung menarik
rambutnya…?” Ki Tambakpati tampak bingung. Dia melangkah memutari kepala
Purnama.
“Kakek
berdua. Lakukan apa yang aku katakan. Totok ubun-ubunku. Tubuhku akan melesat
keluar dari dalam tanah…”
“Akan aku
lakukan! Akan aku lakukan!” ucap Setan Ngompol pula. Dia melangkah lebih dekat.
Tangan kiri mendekap bagian bawah perut. Jari telunjuk dan tengah tangan kanan
dipentang lurus, ditiup kuat-kuat lalu ditotokkan ke atas batok kepala Purnama,
tepat di ubun-ubun.
“Desss!”
Letupan
cukup keras disertai membersitnya cahaya kuning dari kepala yang ditotok
membuat dua kakek tersentak kaget dan melangkah mundur. Setan Ngompol tidak
dapat menahan semburan air kencing. Belum habis kejut keduanya, tiba-tiba tanah
yang mereka pijak bergetar. Dari perut bumi ada suara menderu. Lalu Wuuutt!
Bersamaan
dengan lenyapnya cahaya kuning di atas kepala, sosok Purnama melesat keluar
dari dalam tanah. Dari mulutnya keluar pekikan panjang. Di udara gadis ini
membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu melayang turun. Walau dia mampu
tegak di atas dua kaki namun kentara tubuhnya agak huyung dan darah masih
mengalir dari sela bibir.
“Purnama,
kau terluka dalam!” seru Setan Ngompol. Lalu kakek ini totok urat besar di
pangkal leher serta punggung si gadis. Purnama langsung semburkan darah segar.
Gadis ini kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti ke dada serta kepala.
Setelah menyeka mulut, mengusap mata, hidung dan telinga Purnama mengucapkan
terima kasih pada dua kakek.
“Ceritakan
apa yang terjadi dengan dirimu. Kau pergi begitu saja. Wiro juga lenyap. Lalu
kami menemukanmu terpendam di dalam tanah. Hanya kepala yang masih nongol.
Untung kami lewat sini,” Kata Ki Tambakpati.
“Sekali
lagi aku berterima kasih pada kakek berdua,” kata Purnama. Lalu gadis dari
negeri Latanahsilam itu menuturkan mulai dari ketika dia mengikuti Pendekar 212
meninggalkan rumah panggung.
“Dinihari
tadi, semua orang di dalam rumah panggung masih tidur pulas. Aku sendiri tak
bisa tidur. Ketika melihat Wiro bangun dan meninggalkan rumah, diamdiam aku
mengikuti. Dari larinya yang cepat serta gerakannya yang enteng aku menduga
Wiro telah pulih kekuatannya. Aku berhasil mengejar namun sebelum berhasil
mendekat, satu makhluk berpakaian serba putih menyerangku. Dia ternyata adalah
makhluk tanpa wajah yang sebelumnya telah mengganggu kita berulangulang…..”
“Makhluk
kurang ajar itu lagi!” uacap Setan Ngompol.
“Apa yang
dilakukan padamu?” bertanya Ki Tambakpati.
“Dia
minta aku ikut bersamanya atau aku akan dihabisi. Kami bertarung. Ilmunya
tinggi sekali. Selain itu dia memiliki sebatang tongkat emas sakti. Dengan
tongkat itu dia menghantamku lalu mengunci ilmu kesaktian yang kukeluarkan
hingga aku terpendam di dalam tanah”
Purnama
lalu mengembangkan tangan kanannya yang sejak tadi digenggam. Didalam tangan
itu tampak kepingan benda bercahaya kuning.
“Benda
apa itu? Kelihatannya seperti emas….” ujar Setan Ngompol.
“Ketika
makhluk gaib itu menghujamkan tongkat ke tanah, sebelum dia mengunci diriku, di
dalam tanah aku masih sempat menggerakkan tangan berusaha merampas tongkat.
Namun aku hanya mampu membuat tongkat emas itu gompal…”
“Coba
kulihat….” Kata Setan Ngompol seraya mengambil kepingan tombak.
Begitu
keping gompalan tombak berada di tangan Setan Ngompol, dua hal terjadi.
Pertama, Setan Ngompol merasa sekujur tubuhnya panas bergetar. Gompalan tongkat
emas milik makhluk tanpa wajah itu pancarkan sinar kuning terang. Hawa panas
yang menyerang si kakek datang dari kepingan tongkat itu. Karena tidak tahan
oleh panas yang membuat tangan kanannya seolah mau melepuh, Setan Ngompol
pindahkan kepingan emas ke tangan kirinya yang basah oleh air kencing.
“Desss!”
Kepingan
emas bersinar terang berubah redup. Cahaya yang membungkus lenyap seketika.
Bersamaan dengan itu hawa panas yang menyerang diri Setan Ngompol lenyap.
“Gila!
Kepingannya saja hebat begini rupa apalagi tongkat aslinya! Waktu kupegang di
tangan kanan kepingan emas ini menebar hawa panas,” ucap si kakek.
Lalu
buru-buru dia serahkan kepingan emas pada Purnama. Ketika si gadis memegang
kepingan emas itu, benda ini kembali berkilau namun tidak ada serangan hawa
panas seperti yang dialami Setan Ngompol.
“Kek, aku
tidak merasa apa-apa. Tidak ada serangan hawa panas.” Berkata Purnama.
“Aneh…”
ucap Ki Tambakpati yang sejak tadi memperhatikan.
“Mengapa
kepingan emas ini hanya menyerang diriku?” Setan Ngompol berkata sambil
berfikir. “Waktu kupegang di tangan kanan tidak apa-apa. Tapi ketika aku pindah
ke tangan kiri. Eh, apa benda ini tidak boleh dipegang oleh tangan kiri? Purnama
coba kau pegang benda itu di tangan kiri.”
Purnama
pindahkan kepingan emas tangan kiri. Tidak terjadi apa-apa. “Tidak apa-apa
Kek.” Katanya. Coba kau ambil, pegang lagi dengan tangan kanan.”
“Serrr!”
Setan Ngompol langsung pancarkan air kencing. “Tidak, jangan!” katanya.
Purnama
perhatikan kepingan emas yang dipegangnya. Benda itu diremas-remas beberapa
kali. Dia merasa ada getaran halus. Selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Hatinya
membatin. “Makhluk tanpa wajah. Gompalan tongkatmu bisa menjadi sumber petunjuk
kehadiran dirimu…” Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini simpan kepingan emas
itu di dalam celana kuningnya.
Hal kedua
yang terjadi ketika Setan Ngompol memegang kepingan tongkat emas di tangan kiri
berlangsung di satu tempat jauh. Makhluk tanpa wajah yang memegang tongkat emas
tersentak kaget sewaktu bagian tongkat yang gompal mengeluarkan asap kuning dan
tongkat bergetar hebat. “Kurang ajar… Ada benda pantangan. Pasti kakek botak
bermata belok berkuping lebar itu…” Makhluk ini cepat usap batang tongkat
dengan tangan kirinya sambil mengeluarkan hawa sakti. Tiga cahaya begemerlap.
Merah, hijau dan biru. Saat itu juga getaran pada tongkat lenyap, asap kuning
ikut sirna. “Makhluk berbahaya! Aku harus menyingkirkan manusia satu ini…”
Kembali
pada Setan Ngompol, Ki Tambakpati dan Purnama. Si gadis bertanya.”Kalian muncul
berdua, mana para sahabat lainnya?”
“Ketika
kau dan Wiro lenyap, kami langsung mencari. Aku dan Ki Tambakpati kebagian
tugas mencarimu. Yang lain-lain mengejar Wiro. Menurut Ratu Duyung, berdasarkan
penglihatannya melalui cermin sakti Wiro kemungkinan tengah menuju ke Gunung
Gede menemui gurunya…..”
“Agaknya
dia tidak bicara ngawur. Dia benar-benar mau jadi pertapa. Kakek berdua, kalian
ikut aku.”
“Kemana?”
tanya Setan Ngompol.
“Mengejar
Wiro ke Gunung Gede.”
Setan
Ngompol dan Ki Tambakpati saling pandang lalu sama-sama menggeleng.
“Kalian
tidak mau? Kenapa? Tidak mau menolong sahabat sendiri?” ujar Purnama.
“Dalam
keadaan seperti ini, tak mungkin aku melakukan perjalanan sejauh sampai ke
Gunung Gede,” kata Ki Tambakpati. “Aku harus kembali ke gubukku di tikungan
Kali Progo. Gubuk itu harus kubangun lagi. Aku harus menyiapkan segala
peralatan untuk pengobatan yang telah dihancurkan orang-orang kerajaan…”
“Dan kau
Kek, apa alasanmu tidak mau ikut bersamaku?” tanya Purnama pada Setan Ngompol.
“Seorang
gadis bernama Liris Biru tengah terancam keselamatannya. Aku harus menolong.
Gurunya menemui ajal di tangan Sinto Gendeng secara sia-sia. Lalu kakaknya
dibunuh setelah lebih dahulu diperkosa oleh pemuda tak dikenal yang ciricirinya
sama dengan pemuda bernama Cakra. Aku tidak mau hal yang sama terjadi dengan
gadis satu ini. Mengenai wiro, bagaimanapun dia sudah selamat. Kalau dia memang
memutuskan mau jadi pertapa kita tak bisa mencegah….”
“Tapi dia
masih menderita satu penyakit. Dia kehilangan kejantanannya…” kata Purnama
pula.
“Kami
tidak bisa berbuat apa-apa. Kau yang telah mendalami Seribu Ilmu Pengobatan
mungkin bisa melakukan sesuatu”. Berkata Ki Tambakpati.
“Aku
sudah menyelami isi kitab sakti itu selagi di rumah panggung. Aku tidak
menemukan cara penyembuhan penyakit yang dialami Wiro. Tapi aku tidak putus
asa. Setiap ada kesempatan aku selalu meneliti isi kitab itu.”
Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol terdiam.
“Kakek
berdua, aku tidak bisa menunggu. Kita berpisah di sini.” Habis berkata begitu
Purnama lalu tinggalkan kedua kakek itu.
Ki
Tambakpati tarik nafas panjang.” Aku kasihan pada Wiro.Tapi mau dibilang apa?
Ilmu kepandaian pengobatan yang aku miliki tidak bisa menolong…”
“Menurutku
Purnama punya alasan lain untuk mengejar Wiro. Dia tidak ingin pemuda itu jatuh
ke tangan Ratu Duyung.”
“Purnama gadis
baik,” ucap Ki Tambakpati. “Cintanya pada murid Sinto Gendeng itu mendalam
sekali. Hanya sayang dia bukan manusia alam kita. Apakah mungkin dia dan
Wiro…?” Si Kakek tidak melanjutkan uacapannya.
“Ki
Tambak, agaknya kita juga terpaksa berpisah di sini. Kau kembali ke Kali Progo,
aku ke Kuto Gede…” Dari balik jubah hijaunya Ki Tambakpati keluarkan seruling
perak. “Sebelumnya Wiro menitipkan suling ini padaku. Bagaimana kalau kau saja
yang menyimpannya.” Setan Ngompol berpikir sejenak lalu mengambil suling perak
itu dari tangan Ki Tambakpati. Enak saja suling lalu dimasukkan di balik
celananya yang basah air kencing. Sebelum berpisah dua sahabat itu saling
berpelukan lalu yang satu berkelebat ke timur, satunya lari ke arah barat.
* * ********************
WALAU tak
lama lagi matahari akan segera terbit kawasan bebukitan dan rimba belantara
dimana Purnama berada masih diselimuti kegelapan dan hawa dingin. Disatu tempat
gadis dari alam 1200 tahun silam ini hentikan langkah. Dia terapkan aji
kesaktian bernama Nafas Sepanjang Badan. Kepala didongakkan ke atas, mata
dipejamkan, pernafasan diatur lalu perlahanlahan dia menghirup udara. Dengan
ilmu kesaktian ini dia mampu mengetahui keberadaan seseorang. Purnama
pergunakan ilmu ini untuk mencari tahu dimana Pendekar 212.
Beberapa
saat kemudian gadis cantik yang pakaiannya kotor berlepotan tanah ini buka
sepasang mata, turunkan kepala.
“Aku tak
bisa membaui sosok Wiro. Aku hanya mampu melihat satu titik putih pertanda Wiro
sudah sangat jauh dari sini. Dia bergerak ke arah barat. Pasti menuju Gunung
Gede. Dengan ilmu Segara Angin butuh waktu setengah hari mengejarnya. Aku juga
melihat satu titik lain berwarna hitam. Datang dari arah timur. Bergerak
mendekat ke arahku. Aneh, aku tidak bisa mengetahui apakah titik ini manusia
atau makhluk gaib…?” setelah berpikir sejenak akhirnya Purnama memutuskan untuk
melanjutkan mengejar ke arah titik putih. “Kalau titik hitam itu memang benar
bergerak ke arahku, dia pasti akan bisa mengejar. Kelihatannya dia punya
kekuatan luar biasa. Aku harus berlaku waspada. Mungkin ini lagi-lagi makhluk
tanpa wajah yang hendak mencelakai diriku…”
Ketika
matahari terbit Purnama sampai di satu anak sungai Bogowonto. Karena airnya
tenang dan jernih hingga dia dapat melihat dasar kali yang dangkal, gadis ini
langsung saja ceburkan diri membersihkan kepala, tubuh sekaligus pakainnya yang
kotor. Mungkin dia masih akan berlama-lama berendam di dalam kali kalau saja
saat itu telinganya tiba-tiba tidak mendengar suara deru aneh mencurigakan di
kejauhan. Dalam keadaan rambut kuyup riap-riapan, tubuh dan pakaian biru basah,
Purnama melompat ke tepi kali. Rasa curiga membuat dia segera terapkan ilmu
Nafas Sepanjang Badan. Purnama terkejut ketika melihat titik hitam muncul
sangat besar di puncak matanya yang terpejam. Lalu suara menderu tahu-tahu
sudah ada dibelakangnya. Gadis ini cepat berpaling dan buka sepasang mata.
Pekikan ngeri serta merta keluar dari mulut Purnama ketika dia melihat satu
sosok entah manusia entah ular besar meluncur di tanah. Bekas luncuran tubuhnya
menggurat tanah sedalam satu jengkal.
Tepat
tiga langkah di hadapan Purnama sosok di tanah berhenti meluncur. Bagian
depannya yang berupa kepala manusia perlahan-lahan naik ke atas. Sesaat
kemudian muncul dua tangan bertopang ke tanah. Di lain kejap makhluk ini telah
duduk bersila dihadapan Purnama. Makhluk ini bertubuh besar, mengenakan jubah
dan sorban hitam tebal. Mukanya yang putih tertutup kumis, janggut dan cambang
bawuk lebat hitam berkilat. Yang mengerikan adalah mata kanannya yang hanya
merupakan rongga hitam besar dan dalam. Setelah mampu menguasai diri menekan
rasa ngeri, Purnama membentak.
“Makhluk
asing! Siapa kau adanya?! Kau menguntitku sejak malam menjelang pagi! Jika kau
membekal niat jahat kuhancurkan dirimu sekarang juga!”
Makhluk
yang duduk bersila di tanah kembangkan dua tangan lalu membungkuk tundukkan
kepala. Begitu kepala diluruskan dia membuka mulut.
“Sahabat
muda, jangan berprasangka buruk. Namaku Deewana Khan. Aku dari negeri yang
sangat jauh membawa tugas dari seorang pimpinan. Hanya sayang tugas tidak bisa
kulaksanakan sebagaimana mestinya. Malah aku sebelumnya telah menemui ajal di
tangan seoarng mahkluk pengkhianat.”
“Kalau
kau memang sudah mati mengapa sekarang mucul lagi?!” tanya Purnama tanpa sadar
kalau dirinya sendiri sebenarnya adalah makhluk yang juga telah pernah mati.
“Dewa
masih melimpahkan anugrahnya pada diriku” jawab Deewana Khan.
“Rohku
diberi kekuatan agar mampu menemuimu. Aku bisa mengejarmu melalui jejak langkah
yang kau buat di tanah. Itu sebabnya aku tidak berlari seperti biasa, tetapi
meluncur agar aku bisa mencium jejak kakimu. Selain itu kepingan emas yang ada
di dalam kantong pakaianmu menjadi petunjuk arah dimana kau berada.”
Kejut
Purnama bukan alang kepalang. Dia segera meraba kantong celana birunya
disebelah kanan. Kepingan emas dari gompalan tongkat insan tanpa wajah ada
dalam kantong itu.
“Kau luar
biasa! Mampu membuat gompal tongkat emas mahkluk tanpa wajah …”
“Bagaimana
kau bisa tahu kejadian itu?” tanya Purnama.
“Dewa
memberi kemampuan luar biasa padaku. Dengar, aku tak bisa bicara terlalu lama.
Ada yang akan kuserahkan padamu.”
Purnama
memperhatikan makhluk dihadapannya mengeluarkan sebuah benda yang ternyata
adalah dua buah kitab. Sebuah kitab berbentuk utuh sedang yang satunya dalam
bentuk rusak seperti habis terbakar.
“Kitab
yang terbakar ini …” kata Deewana Khan pula. “Adalah Kitab Jagad Pusaka Dewa
asli. Kitab yang masih utuh adalah salinan Kitab Jagad Pusaka Dewa. Namun isi
dan tulisan kitab utuh ini tidak bisa dilihat atau dibaca oleh mata biasa.
Seseorang harus mengamalkan samadi selama seratus hari seratus malam untuk
dapat membaca isinya. Kitab yang terbakar ada beberapa bagian halamannya yang
masih utuh. Serahkan dua kitab ini pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng…”
“Kau
kenal pendekar itu?” tanya Purnama.
“Dewa
yang memberi petunjuk karena pemuda kepada siapa seharusnya kitab ini diberikan
telah tersesat jatuh ke tangan insan-insan jahat yang akhir-akhir ini telah
menimbulkan malapetaka bejat di negeri ini. Insan-insan jahat ini hanya bisa
dibasmi berdasarkan petunjuk rahasia yang ada di dalam kitab terbakar. Agaknya
Dewa mengetahui Pendekar Dua Satu Dua yang mampu membuka petunjuk rahasia dalam
kitab. Dengar, waktu sudah habis. Aku harus pergi sekarang juga …”
“Tunggu!”
seru Purnama. “Malapetaka bejat yang tadi kau katakan, apakah kau bisa
menerangkan lebih jelas …?”
“Hal itu
berhubungan dengan pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi belakangan ini.
Sahabat muda, aku tak bisa berada lebih lama disini….”
Deewana
Khan letakkan dua buah kitab di tanah dan membungkuk memberi hormat. Lalu dua
kaki dijulurkan ke belakang. Begitu dua tangannya menyentuh tanah maka tubuh
makhluk itu meluncur bersurut ke arah dari mana dia tadi datang. Hanya dalam
kejapan mata sosoknya hilang dari pemandangan.
Semula
Purnama berdiri dengan kebimbangan. Mata memperhatikan dua buah kitab di tanah.
Apakah dia akan mengambilnya? Dia tidak kenal makhluk tadi. Dua buah kitab itu
bisa saja tipu jadi-jadian yang dapat mencelakai dirinya. Setelah berpikir dan
mengingat-ingat semua ucapan makhluk seram tadi akhirnya si gadis beranikan
diri membungkuk mengambil dua buah kitab. Sementara memegang dua buah kitab
ingatannya kembali pada Wiro. Purnama terapkan ilmu kesaktiannya. Dia masih
bisa melihat putih hitam walau kini semakin kecil pertanda pendekar 212 telah
bertambah jauh.
*******************
3
KITA
ikuti dulu apa yang terjadi dengan nenek jejadian kembar ke tiga Eyang Sepuh
Kembar Tilu. Seperti dituturkan dalam kisah sebelumnya nenek ini berusaha
menolong Wiro yang telah diracuni oleh seorang pemuda tak dikenal yang kemudian
diketahui bernama Cakra. Ketika si nenek menekan bagian tubuh Wiro di bawah
pusar dimana dia memperkirakan menjadi jalan masuknya racun jahat tiba-tiba
terdengar tiga letupan keras. Dari bawah pusar Pendekar 212 keluar hawa aneh,
menyambar masuk ke bagian bawah perut si nenek yang mengenakan jubah kuning itu
hingga dia terpental dan terkapar pingsan di tanah becek. Si nenek tidak
menyadari kalau hawa aneh itu akan mendatangkan kelainan pada dirinya. Sehingga
dia menjadi mahluk penuh gairah, memiliki hasrat berkobar-kobar terutama jika
melihat lelaki muda dan berwajah tampan.
Tak
selang berapa lama terjadi satu keanehan. Dari tubuh si nenek jejadian keluar
sosok seorang gadis berwajah cantik berkulit putih. Rambut yang hitam panjang
dan digerai lepas menambah kecantikannya. Tubuh yang tinggi semampai mengenakan
kebaya pendek dan celana ringkas warna kuning, berpotongan ketat demikian rupa
hingga tampak seperti mencetak kelok liku tubuhnya yang sintal. Kebaya kuning
terbuka rendah di bagian dada menyembulkan pangkal dada yang kencang dan putih.
Sesaat
gadis ini menatap ke arah sosok si nenek lalu membalikkan tubuh dan melangkah
pergi. Walau saat itu hujan lebat namun anehnya kepala, tubuh serta pakaiannya
tidak basah sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya gadis ini di kejauhan sirna
pula sosok nenek jejadian yang tergeletak di tanah.
**********************
MENJELANG
petang langit tampak cerah. Dari arah jalan yang menuju ke Wates seorang lelaki
muda berpakaian dan berikat kepala kain merah menggebrak tunggangannya demikian
rupa hingga binatang itu lari laksana dikejar setan. Di dalam sebuah kantong
kain yang tergantung di depan dadanya menyembul kepala celengan tanah berbentuk
ayam jantan, berwarna merah.
Di
sebelah belakang, terpaut sekitar lima belas tombak mengejar lima penunggang
kuda berseragam hijau. Dua diantaranya mengangkat tangan kanan
mengacung-acungkan golok sambil berteriak.
“Berhenti!”
“Pencuri
keparat! Kau mau kabur kemana?!”
Agak jauh
di belakang lima penunggang kuda ini menyusul sebuah kereta kecil, ditarik dua
ekor kuda coklat. Di atas kereta duduk seorang lelaki berusia empat puluh
tahun, berkumis hitam lebat, berpakaian bagus. Di Wates orang ini dikenal
sebagai Raden Mas Suryo Kenanga, seorang pedagang kaya raya. Di atas kereta
Suryo Kenanga tiada hentinya berteriak-teriak.
“Maling!
Pencuri! Tangkap Bunuh!” Lalu pada sais kereta dia memerintah.
“Pacu
lebih cepat! Lebih cepat!”
Penunggang
kuda yang membawa kantong kain di depan dadanya membelok memasuki sebuah jalan
lurus sempit. Jika dia bisa mencapai ujung jalan dimana terdapat sebuah sungai
dangkal berbatu-batu lalu menyelinap masuk ke dalam hutan jati di seberang
sungai, maka dia pasti akan dapat meninggalkan semua pengejarnya.
Hal itu
bisa dilakukannya karena dia tahu betul seluk-beluk hutan belantara itu. Tak
lama kemudian begitu sampai di ujung jalan sempit, lelaki berpakaian merah yang
dikejar-kejar ini hentikan kuda, melompat turun lalu menghambur memasuki sungai
dangkal tapi cukup lebar. Dengan gerakan cepat dia melompat dari satu batu ke
batu lain yang banyak terdapat dalam sungai. Sampai di seberang sungai dia merasa
lega. Menoleh kebelakang dia melihat para pengejarnya baru sampai di ujung
jalan sempit.
“Kalian
tak bisa mengejarku! Kalian tak bisa menangkapku!” ucap lelaki ini lalu
balikkan badan siap lari memasuki hutan jati. Namun mendadak tubuhnya membentur
sosok seseorang hingga dia terpental terhuyung-huyung. Kalau tidak cepat
mengimbangi diri pasti akan jatuh terguling ke tebing sungai.
Memandang
ke depan dia melihat seorang gadis berpakaian kuning tegak bertolak pinggang
sambil tersenyum. Rambut hitam digulung di atas kepala. Yang membuat dada
lelaki ini jadi sesak bukan saja karena melihat kenyataan bahwa gadis ini
berwajah cantik, namun ketika memperhatikan bagaimana kebaya kuning yang
dikenakan si gadis berpotongan demikian rendah dan lebar hingga lebih dari
sebagian dadanya yang putih membusung terlihat jelas.
“Orang-orang
diseberang sungai mengejarmu. Dari teriakan mereka agaknya kau telah mencuri
sesuatu dari mereka.”
Lelaki
muda berpakaian merah terkejut.
“Kau
betul! Aku memang mencuri sesuatu!” Katanya jujur. “Tapi apa sangkut pautnya
dengan dirimu?”
“Memang
tidak ada sangkut pautnya,” jawab si cantik berpakaian kuning. Lalu sambil
tersenyum dia gerakkan tangan kiri melepas gulungan rambut hitam di atas
kepala. Rambut panjang hitam berkilat kini tergerai lepas sepinggang, membuat
wajahnya tampak bertambah cantik mempesona. Selagi lelaki muda tadi menikmati
kagum kecantikan sang dara tiba-tiba si baju kuning goyangkan kepala.
“Wuttt!”
Rambut
hitam panjang melesat ke depan, menebar bau harum menutupi wajah dan
pemandangan lelaki berpakaian merah. Ketika rambut itu melewati mukanya dan
lelaki ini memandang ke depan, dia keluarkan seruan tertahan karena melihat
kantong kain berisi celengan tanah sebelumnya tergantung di depan dadanya kini
tahu-tahu telah berada di tangan si gadis.
“Kembalikan!”
teriak lelaki berpakaian merah.
“Apa?”
Gadis berpakaian kuning berbuat seolah tidak mendengar ucapan orang.
Dia
bungkukan tubuhnya sedikit sambil tangan kiri diletakkan di belakang telinga.
Gerakan membungkuk ini membuat mata lelaki dihadapannya mendelik besar karena
dia melihat bagaimana dada si gadis membuyut besar. Tubuhnya terasa panas
dingin, tenggorokannya bergerak-gerak, ludah ditelan berulang kali.
“Kau
lebih mementingkan celengan tanah ini dari pada selembar nyawamu?”
berucap
si gadis. Dia memandang ke arah sungai. “Sebentar lagi para pengejar akan
sampai di sini. Mereka akan mencincangmu sampai lumat! Kau maling cukup tampan!
Itu yang
membuatku melepaskanmu. Larilah selagi ada kesempatan!” Habis berkata begitu
tangan si gadis bergerak ke bawah. Dengan cepat tangan itu mengusap bagian
bawah perut lelaki berpakaian merah.
“Hah!”
Menerima perlakuan seperti itu walau dia merasa nikmat kejut lelaki muda
berpakaian merah bukan alang kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia bertemu
gadis cantik seberani itu.
“Hai, kau
ini siapa sebenarnya? Mengapa kau berani mengusap auratku?” tanya lelaki itu.
“Hemm…”
si gadis bergumam sambil tersenyum. “Apa kau tidak suka? Sudah jangan banyak
bertanya. Pergi sana!”
“Hai!
Jika kau memang ingin menolongku, mengapa kita tidak kabur saja sama-sama? Kita
masuk ke dalam hutan jati. Aku punya tempat persembunyian di sana. Sebuah goa.”
“Jangan
tolol! Pergilah!” Bentak gadis berpakaian kuning.
“Kau
tidak mau mengambalikan barang itu padaku?”
Si gadis
menggeleng. “Celengan ini bukan milikmu.”
Berpaling
ke belakang lelaki itu melihat para pengejarnya tengah bersiap-siap menuruni
sungai, termasuk pedagang kaya Suryo Kenanga. Lelaki muda dihadapan si gadis
cepat berkata. “Namaku Samirjan. Orang-orang menyebutku Pencuri Selusin Tangan.
Jika kau tidak mau kuajak bersama cari aku di Kalibawang. Tanyakan pada siapa
saja. Mereka pasti akan mengantarkanmu padaku.” Habis berkata begitu, lelaki
ini yang rupanya terangsang oleh usapan tadi enak saja ulurkan tangan kanan
hendak meraba dada si gadis.
“Plaakk!”
Satu
tamparan melanda pipi lelaki berpakaian merah. Jelas terdengar suara tamparan
keras sekali. Tetapi anehnya lelaki berpakaian merah itu tidak merasa sakit
sama sekali. Terheran-heran dia melangkah mundur. Terus memandangi si gadis
yang tersenyum padanya. Dia berpikir kalau gadis itu berani menyentuh auratnya
mengapa tidak boleh balas meraba.
“Ingat,
namaku Samirjan. Julukanku Pencuri Selusin Tangan. Cari aku di Kalibawang!”
kata lelaki itu lalu membalikkan diri dan lari memasuki rimba belantara.
Tak
selang berapa lama lima pengejar berseragam hijau termasuk sang juragan sampai
di seberang sungai di mana si cantik masih berdiri sambil memegangi kantong
kain berisi celengan tanah. Keenam lelaki ini untuk beberapa ketika tegak
tertegun terpesona memandangi dara cantik jelita dengan sebagian tubuh sebelah
atas menyembul menggairahkan.
Namun
begitu melihat kantong kain berisi celengan tanah yang dipegang si gadis, Raden
Mas Suryo Kenanga segera mendekati sambil berkata. “Benda itu milikkku.
Serahkan padaku!”
Si gadis
keluarkan celengan tanah dari dalam kantong kain. Diperhatikan, lalu ditimang-timang,
dilemparkan ke udara beberapa kali.
“Jangan!
Nanti jatuh pecah! Lekas serahkan padaku!” teriak Suryo Kenanga.
“Celengan
kosong saja aku juga tidak butuh!” si gadis lalu lemparkan celengan tanah
ayam-ayaman itu pada pedagang kaya raya dari Wates itu.
Suryo
Kenanga cepat-cepat menangkapnya lalu mendekapkan celengan tanah itu ke dada.
Dia tampak sangat lega.
“Den Ayu,
aku tidak kenal siapa dirimu. Aku sangat berterima kasih kau telah merampas
celengan ini dari tangan pencuri itu.”
Si gadis
hanya keluarkan suara bergumam sambil pandangi lelaki berkumis tebal bertampang
gagah itu.
“Namaku
Suryo Kenanga, aku tinggal di Wates. Sebagai tanda terima kasih, aku ingin
memberikan hadiah pada Den Ayu. Namun hadiah itu harus kuambil di rumah. Apakah
Den Ayu bersedia ikut ke Wates?” Sambil bicara sepasang mata Suryo Kenanga
tidak hentinya mengerling ke dada si gadis.
“Aku
menolong tanpa pamrih. Tapi kebetulan aku memang bermaksud ke Wates….”
“Kalau
begitu silahkan Den Ayu ikut dengan kami.” Kata Raden Mas Suryo Kenanga pula.
*******************
DI DALAM
kereta yang meluncur ke Wates sambil melirik ke dada gadis yang duduk di
sebelahnya, Raden Mas Suryo Kenanga bertanya.
“Kalau
aku boleh bertanya, siapa nama Den Ayu? Apakah Den Ayu seorang gadis dari rimba
persilatan?”
Gadis di
samping pedagang kaya itu tersenyum. “Aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah
keberatan?” Sambil bertanya si gadis letakkan tangan kirinya di paha pedagang
itu. Karuan saja dada Raden Mas Suryo Kenanga jadi berdebar keras dan darahnya
mengalir panas.
“Den Ayu
mau bertanya apa?” tanya Surya Kenanga.
“Celengan
tanah kosong itu. Apakah sangat berarti hingga ada orang yang mencurinya?”
Raden Mas
Suryo Kenanga tidak segera menjawab. Dia memperhatikan tangan kiri si gadis
yang mulai mengusap-usap pahanya. Tidak tahan dia pegang tangan si gadis
kencang-kencang.
Dengan
suara berbisik dan bergetar dia berkata.
“Aku
hanya memberi tahu pada Den Ayu. Celengan ini memang kosong. Kosong dalam arti
kata tidak ada uangnya. Tapi aku menyembunyikan sesuatu dalam celengan ini.”
“Apa?”
tanya si gadis.
“Sebuah
jimat,” jawab Raden Mas Suryo Kenanga.
“Jimat?
Untuk ilmu kebal atau ilmu kuat …. Hik…hik…hik.”
“Bukan,
bukan untuk ilmu kebal atau ilmu kuat. Jimat itu untuk usaha dagang. Dengan
jimat itu semua usahaku berjalan lancar. Buktinya sekarang aku menjadi seorang
kaya raya. Terpandang dan setiap pejabat di Kadipaten dan Kerajaan punya
hubungan baik denganku.”
“Luar
biasa …” Kata si gadis pula sambil tersenyum dan kedip-kedipkan matanya. “Den
Ayu, aku bukan lelaki nakal. Aku sudah punya istri dan tiga orang anak.
Kehadiran Den Ayu membuatku merasa beruntung. Mungkin lebih memberi
keberuntungan dari jimat yang ada dalam celengan ini.”
“Begitu…?”
Si gadis dengan manja letakkan kepalanya di bahu Suryo Kenanga. Lelaki ini cium
rambut harum si gadis.
“Den Ayu,
sebelum memasuki Wates, aku memiliki sebuah rumah ditempat terpencil. Tidak ada
yang tahu kecuali para pengawal. Aku lihat hari sudah rembang petang. Bagaimana
kalau kita mampir dan bermalam disana.”
“Ini
bukan suatu gurauan?” tanya si gadis pula.
“Tidak,
ini bukan gurauan. Aku bersungguh-sungguh. Aku harus mengatakan bagaimana.
Aku…aku sangat tertarik pada dirimu. Den Ayu, aku suka padamu…”
“Ah,
sekarang kau sudah berubah menjadi lelaki nakal!” kata si gadis sambil tertawa
cekikikan dan menjewer telinga kiri Raden Mas Suryo Kenanga. “Aku suka pada
lelaki yang berterus terang. Selain itu, aku suka kumis tebalmu…”
Suryo
Kenanga bahagia luar biasa. Celengan tanah diletakkannya dilantai kereta lalu
dua tangannya memeluk gadis disampingnya dengan penuh nafsu. Si gadis ternyata
membalas dengan rangkulan hangat.
**********************
MASIH
cukup jauh dari kota Wates, pada saat sang surya mulai memancarkan sinar
kekuningan pertanda tak lama lagi akan memasuki ufuk tenggelamnya di sebelah
barat, tiba-tiba terdengar teriakan aneh dari dalam kereta.
“Itu
suara Raden Mas Surya Kenanga. Teriak Ki Sawung kepala pengawal. Kusir kereta
segera menghentikan kuda. Para pengawal berhamburan. Pintu kereta sebelah kanan
dibuka sementara pintu sebelah kiri berada dalam keadaan terpentang lebar.
Raden Mas Suryo Kenanga duduk dengan dua kaki melunjur ke lantai kereta.
Keadaannya setengah bugil karena celana hitamnya melorot sampai ke lutut. Mata
terpejam sedang mulut menunjukkan mimik setengah tersenyum. Gadis cantik
berpakaian kuning tak ada lagi. Di bangku dan lantai kereta bertebaran pecahan
celengan tanah.
“Raden,
Raden Mas Suryo!” memanggil Ki Sawung. Dua mata pedagang kaya itu terbuka.
“Ada
apa?” justru dia yang bertanya. “Mana gadis kekasihku itu…?
“Raden
Mas, gadis itu tak ada lagi. Lenyap entah dimana. Apa yang terjadi?” tanya Ki
Sawung.
“Raden
Mas, celengan ayam-ayaman juga lenyap”
“Apa?!”
kali ini baru Raden Mas Suryo Kenanga tersentak kaget. Cepat dia tarik
celananya ke atas. Saat itulah dia melihat pecahan celengan tanah bertebaran di
bangku dan lantai kereta. Setengah meratap dia berkata. “Ah, pasti gadis itu
telah mencuri jimatku. Ampun, aku akan jadi miskin. Aku akan jadi kere…”
*******************
4
DI MALAM
yang sunyi dan dingin itu kepulasan tidur Pangeran Aryo Dipasena dibuai oleh
mimpi yang indah. Dalam mimpi Pangeran berusia 21 tahun ini berada di puncak
bukit, asyik memandang bulan purnama bulat penuh besar sekali, seolah-olah
berada di atas kepalanya. Selagi dia terpesona akan keindahan sang rembulan
tiba-tiba didahului satu tiupan angin lembut dari bulan yang bulat itu keluar
sosok seorang perempuan muda mengenakan pakaian merah sangat tipis hingga
setiap bagian dari auratnya terbayang jelas. Namun karena membelakangi cahaya rembulan
wajahnya tidak terlihat. Perempuan yang keluar dari rembulan melambai-lambaikan
tangan ke arah Pangeran Aryo Dipasena. Lapat-lapat terdengar suaranya berucap.
“Pangeran
kekasihku, tidakkah kau ingin bermain denganku?”
Pangeran
Aryo berdiri. Ketika perempuan itu memalingkan kepalanya ke kiri dan cahaya
rembulan menerangi mukanya, Pangeran Aryo sempat melihat wajah perempuan itu.
Darahnya berdesir, jantungnya seolah berhenti berdegup. Luar biasa!
Belum
pernah dia melihat seorang gadis berwajah secantik itu! Apalagi tadi dia
dipanggil dengan sebutan kekasih. Membuat hati sang pangeran jadi bergetar.
Jangan-jangan yang keluar dari dalam rembulan itu adalah seorang bidadari.
“Pangeran,
ulurkan tanganmu. Aku akan membawamu masuk ke dalam rembulan. Kita akan
bermain-main di sana….”
“Gadis
cantik, kau siapa…?” Pangeran Aryo Dipasena bertanya.
“Aku
seorang yang bernasib beruntung. Ditakdirkan menjadi kekasihmu. Mari, ulurkan
tanganmu…”
Dalam
keterpesonaannya Pangeran Aryo ulurkan tangan kanan. Begitu tangannya bersentuhan
dengan tangan si gadis dia merasa kehangatan luar biasa. Lalu tubuhnya
terangkat ke udara, dibawa melayang ke arah rembulan. Mula-mula perlahan, makin
lama makin cepat, makin kencang. Pangeran Aryo merasa kuduknya jadi dingin
dalam kegamangan. Tiba-tiba, ketika dia memandang ke atas rembulan besar sudah
berada dekat sekali di depan kepalanya. Pangeran Aryo berteriak ngeri.
Gadis
yang menariknya tertawa panjang lalu melepas pegangan. Pangeran Aryo tutupi
kepala dengan dua tangan. Dia kembali menjerit karena sebentar lagi kepalanya
akan membentur bulan besar. Saat itulah dia tersentak bangun, terduduk di atas
ranjang dengan wajah pucat dan tubuh basah oleh keringat. Setelah degup
jantungnya mengendur dan aliran darah kembali teratur, Pangeran Aryo tertawa
sendiri.
“Mimpi
aneh,” katanya dalam hati. “Belum pernah aku melihat bulan sedekat dan sebesar
itu. Belum pernah aku melihat gadis secantik yang kulihat dalam mimpi. Kalau
saja gadis itu benar-benar ada di alam nyata dan aku bisa menemuinya…”
Pemuda
ini geleng-gelengkan kepala lalu turun dari ranjang, meneguk air putih dalam
kendi yang terletak di sebuah meja kecil di sudut kamar. Pada saat itulah dia
mendengar suar kecipuk air. Perlahan-lahan agar jangan menimbulkan suara kendi
diletakkan di atas meja. Dia berdiri lurus-lurus, telinga dipasang tajam-tajam.
Kembali terdengar suara kecipuk air. Bahkan kini dia mendengar ada suara
nyanyian halus perlahan.
“Ada
orang mandi di kolam. Malam-malam begini. Siapa…?”
Aryo
Dipasena bertanya-tanya dalam hati. Setengah berjingkat dia melangkah ke arah
jendela yang tertutup. Jika jendela dibuka maka akan terlihat satu halaman luas
berupa lereng berumput. Di sebelah tengah tedapat tangga batu lima puluh
undakan. Di ujung bawah tangga terdapat sebuah kolam mandi yang sekelilingnya
dihias dengan tanaman bunga mawar. Saat itu semua bunga mawar tengah berkembang
hingga baunya harum semerbak menebar kemana-mana.
Meskipun
merupakan seorang putera dari istri ke empat namun Pangeran Aryo sangat
disayangi Sri Baginda Raja. Banyak perilaku dan budi pekertinya yang membuat
Sri Baginda merasa sangat sayang dan menaruh perhatian pada puteranya yang
seorang ini. Salah satu di antara perilaku pangeran Aryo adalah dia tidak mau
tinggal dalam kawasan keraton. Karenanya pada Sri Baginda dia minta dibuatkan
sebuah rumah kecil tapi berhalaman luas. Rumah ini ditata demikian rupa, dibuat
di atas tanah agak ketinggian, dikelilingi halaman berumput dan tanaman bunga
serta sebuah kolam mandi. Sifat lain Pangeran Aryo adalah tidak mau dikawal
kemanapun dia pergi. Juga dia tidak mau ada prajurit yang menjaga tempat
kediamannya walau Sri Baginda berulang kali mengatakan merasa khawatir akan
keselamatan puteranya itu.
“Ayahanda
Sri Baginda Raja. Kalau kita baik pada semua orang, semua orang akan baik
kepada kita. Saya merasa aman di rumah saya yang kecil itu.” Begitu Pangeran
Aryo Dipasena berkata pada Sri Baginda saat terakhir kali sang ayah mendesak
agar tempat kediamannya dijaga oleh prajurit Kerajaan. Tetap khawatir akan
keselamatan putera yang disayanginya itu Sri Baginda Raja akhirnya menyuruh
orang membuat tembok setinggi dua tombak mengelilingi tempat kediaman Pangeran
Aryo. Untuk hal ini sang putera tidak berani mencegah meskipun sebenarnya dia
tidak menyukai.
Selain
itu yang membuat Sri Baginda Raja senang pada Pangeran Aryo adalah karena dia
merupakan satu-satunya putera yang mau mendalami ilmu bela diri. Berbagai ilmu
silat dan kesaktian telah dipelajarinya dari beberapa orang tokoh terkenal yang
didatangkan dari berbagai penjuru rimba persilatan. Walau usianya belum
mencapai dua puluhan namun Pangeran Aryo telah tumbuh menjadi seorang pendekar,
tanpa banyak orang tahu mengenai kehebatannya karena dalam kesehariharian dia
selalu menunjukkan sifat polos, hormat kepada setiap orang yang lebih tua dan
bersahabat pada orang sebaya serta menyayangi mereka yang kecil. Karena
sifatnya yang tinggi budi rendah hati itu Pangeran Aryo banyak mempunyai teman,
terutama pemuda seusianya. Dalam berteman dia tidak memilih. Karena itu banyak
pemuda dari kalangan kebanyakan yang menjadi sahabatnya. Sahabatnya yang putera
para pejabat Keraton boleh dikatakan bisa dihitung dengan jari. Pada
saudara-saudaranya satu ayah walau menaruh hormat dan sayang, namun Pangeran
Aryo selalu menjaga jarak.
Perlahan-lahan
Pangeran Aryo mendorong daun jendela hingga dia bisa melihat ke bawah sana
dimana terletak kolam mandi. Bola mata sang Pangeran membesar sewaktu dia
melihat ada seorang perempuan duduk berjuntai di tepi kolam membelakangi rumah
kecil dimana dia berada. Agaknya perempuan ini memasukkan kedua kakinya ke
dalam air, digoyang-goyang menurut suara nyanyian perlahan yang keluar dari
mulutnya. Goyangan dua kaki inilah yang menimbulkan air kolam mengeluarkan
suara berkecipukan. Yang membuat Pangeran Aryo terpana dan tak berkesip adalah
karena perempuan yang duduk di tepi kolam tidak mengenakan secarik kainpun
untuk menutupi auratnya! Bahunya yang bidang bagus, punggung yang licin putih,
pinggul besar mulus terlihat sampai ke bagian paling bawah. Dari bentuk dan
lekuk tubuh yang kencang bagus Pangeran Aryo bisa menduga kalau perempuan itu
masih muda, mungkin seorang gadis remaja. Tak jauh dari tempatnya duduk di tepi
kolam, ada seperangkat pakaian kuning terlipat rapi. Pangeran Aryo merasa
seolah jantungnya berhenti berdetak dan darahnya berhenti mengalir.
“Mungkinkah
ini perujudan perempuan cantik yang aku lihat di dalam mimpi…?” Membatin
Pangeran Aryo.
Perempuan
di tepi kolam memetik setangkai bunga mawar merah lalu mencelupkannya ke dalam
air kolam. Bunga mawar yang basah itu kemudian diusapkannya ke wajah, leher
dada serta perutnya. Sang Pangeran menggosok mata berulang kali.
“Aku
tidak salah melihat. Kali ini aku tidak bermimpi. Ini adalah kenyataan…”
ucapnya berulang kali. Hasrat untuk menemui perempuan di tepi kolam
menggebugebu.
Apa lagi
dia hanya melihat tubuh sebelah belakang. Kalau saja dia bisa melihat tubuh
bagian depan. Pangeran Aryo bukan seorang pemuda nakal. Namun apa yang
disaksikannya saat itu telah menggoncang hatinya. Menggoyah sikap dan rasa
hormatnya pada kaum perempuan yang tertanam dalam dirinya selama ini. Sang
Pangeran memandang ke pintu. Namun akhirnya memutuskan untuk keluar lewat
jendela saja dari mana dia bisa terus mengawasi perempuan yang mandi. Dia takut
selagi melangkah ke pintu perempuan di pinggir kolam tahu-tahu pergi. Tanpa
suara Pangeran Aryo keluar dari kamar melompati jendela. Saat itu di langit
memang ada bulan sabit dan taburan bintang gumintang. Namun awan kelabu menebar
menutupi hingga keadaan tidak begitu terang.
Dengan
mengendap-endap Pangeran Aryo menuruni tanah lereng berumput. Dia sengaja tidak
menuju kolam melalui tangga batu, takut akan ketahuan sebelum dia berhasil
mendekati perempuan di tepi kolam. Tidak tahu kalau ada orang mendekati dari
belakang, perempuan di tepi kolam terus saja mempermainkan kedua kakinya di
dalam air dan mengusap-usapkan bunga mawar basah ke dadanya yang bagus putih.
Ketika untuk kesekian kalinya dia hendak merunduk merendam air, tiba-tiba dia
mendengar suara langkah perlahan. Cepat dia palingkan kepala.
Dua orang
sama-sama tercekat terkejut. Perempuan di tepi kolam tidak sadar akan keadaan
dirinya, bangkit setengah melompat, berdiri bingung di hadapan Pangeran Aryo.
Ternyata dia adalah seorang gadis berwajah cantik. Sang Pangeran merasa seperti
melihat satu benda menyilaukan. Seumur hidup baru kali itu dia melihat dan
berhadap-hadapan begitu dekat dengan seorang gadis dalam keadaan tanpa sehelai
benangpun menutupi tubuhnya. Sementara si gadis seolah tidak sadar akan keadaan
dirinya berdiri tertegun, dua tangan ditekapkan ke dada sedang di bagian bawah
tersingkap polos begitu saja.
“Maafkan
saya….” Kata Pangeran Aryo Dipasena sambil melangkah mundur.
“Kau
mengintip diriku….” Suara si gadis halus dan merdu. Dalam ucapannya tidak ada
nada marah karena dirinya dipergoki seperti itu.
“Kau
mandi di kolamku.” Ucap Pangeran Aryo pula.
“Aku
memang telah berbuat lancang.” Si gadis berkata sambil matanya melirik ke
lipatan pakaian kuning miliknya yang tergeletak lebih dekat ke arah Pangeran
Aryo. “Aku harus pergi….” Gadis itu melangkah mendekati pakaiannya. Kalau saja
putera Raja ini seorang nakal tentu dia akan segera mengambil pakaian itu agar
si gadis tetap dalam keadaan telanjang.
Tapi
Pangeran Aryo mundur beberapa langkah. Lalu membalikkan diri seraya berkata.
“Cepat kenakan pakaianmu. Kalau sudah jangan pergi. Aku ingin mengenal dirimu.”
“Dalam
seribu mungkin hanya ada satu pemuda sebaik dirimu.” Si Gadis berucap.
Pangeran
Aryo tidak pedulikan pujian itu. Dia bertanya. “Siapa namamu?”
Tak ada
jawaban.
“Aku
tidak marah kau mandi di kolamku tanpa izin. Aku hanya ingin bersahabat. Aku
boleh tahu namamu?”
Tetap tak
ada jawaban.
Penasaran
Pangeran Aryo balikkan tubuh. Astaga! Ternyata gadis tadi tak ada lagi di tepi
kolam. Pakaian kuning yang sebelumnya ada di situ juga ikut lenyap. Yang
tertinggal hanya bekas jatuhan air di tubuh si gadis yang membasahi bebatuan di
tepi kolam. Pangeran Aryo memandang berkeliling. Sunyi. Pemuda ini melompat ke
atas tembok setinggi dua tombak yang membatasi tempat kediamannya. Di luar batas
tembok keadaan malah lebih sunyi dan lebih gelap. Pangeran Aryo kecewa besar.
Dia kembali ke tepi kolam. Jongkok sambil mengusap bebatuan yang basah.
“Aneh,
dia datang dan mandi di kolamku. Lalu pergi begitu saja. Adakah dia manusia
atau….?”
Malam itu
sampai pagi Pangeran Aryo tidak tidur melainkan duduk di depan pintu rumah. Dia
berharap gadis cantik tadi akan muncul lagi. Namun sampai matahari terbit,
malam berganti siang apa yang diharapkannya itu tidak terjadi. Menjelang siang
ketika beberapa temannya datang Pangeran Aryo tidak bisa menahan rahasia. Apa
yang terjadi malam tadi diceritakannya pada teman-temannya.
“Hati-hati,”
mengingatkan seorang teman. “Bisa saja gadis itu demit yang hendak memancingmu.
Sekali kau tergoda maka dia akan membawamu ke alamnya. Kau tak bisa lagi
kembali ke dunia ini.”
Teman
yang lain berkata. “Anggap saja gadis itu manusia biasa seperti kitakita ini.
Kalau kau memang penasaran, ingin melihatnya lagi, berjaga-jaga saja setiap
malam. Aku yakin dia akan kembali ke tempat ini. Aku dan teman-teman bersedia
menemani…”
“Aku
memang penasaran,” jawab Pangeran Aryo. “Tapi sudahlah. Anggap saja kejadian
itu sebagai mimpi.”
Namun
lewat tengah malam, setelah semua temannya pergi, Pangeran Aryo memutuskan
untuk berjaga-jaga. Siapa tahu gadis malam kemarin itu akan muncul lagi. Dari
balik jendela yang direnggangkan sedikit dia mengintip ke arah halaman luas di
bawah sana. Swaktu matanya mulai redup menahan kantuk, tiba-tiba dia melihat
satu bayangan berkelebat dan berdiri di atas tembok sebelah timur. Pangeran
Aryo tidak dapat melihat jelas apakah orang itu berpakaian kuning karena
sosoknya terselubung oleh bayangan gelap pohon besar di belakang tembok. Dengan
dada berdebar Pangeran Aryo membuka jendela, melesat keluar rumah, berkelebat
ke arah tembok sebelah timur. Ketika dia naik ke atas tembok, sosok di dalam
bayangan gelap pohon besar tidak ada lagi.
“Aku
salah, terlalu terburu-buru. Seharusnya kutunggu sampai dia masuk ke halaman
dan mandi di kolam.” Sang Pangeran menyesali diri sendiri lalu melompat turun
dari tembok. Ketika kakinya menjejak tanah halaman berumput, kejut dan juga
gembira Pangeran Aryo bukan alang kepalang. Di tepi kolam berdiri seorang gadis
berpakaian kebaya dan celana panjang ringkas warna kuning.
“Dia….”
Ucap Pangeran Aryo agak kaget tapi gembira sekali. Dengan cepat dia mendatangi
gadis ini. “Hai, tadi kau yang berdiri di atas tembok sebelah sana? Di bawah
bayangan pohon besar?”
Gadis
cantik di hadapan Pangeran Aryo buka gulungan rambutnya hingga kini rambut yang
hitam tergerai lepas membuat wajahnya tambah jelita. Gadis ini gelengkan
kepala.
“Berarti
ada orang lain yang datang ke tempat itu,” pikir sang Pangeran. Walau heran
Pangeran Aryo berkata.
“Aku
gembira kau mau datang. Apakah kau ingin mandi lagi di kolam?”
“Dan kau
akan mengintip?” ujar si gadis sambil tertawa. “Apakah malam kemarin kau tidak
puas melihat diriku?”
Wajah
Pangeran Aryo menjadi merah.
“Aku
tidak bermaksud nakal. Semuanya serba mendadak, serba tidak terduga….”
“Sesuatu
yang tidak terduga bukankah meninggalkan kesan indah dan mendalam?” ucap si
gadis.
“Ah…kau
betul,” jawab Pangeran Aryo polos mengakui. “Setelah kau pergi, aku selalu
ingat dirimu.“ Malam kemarin dia melihat gadis cantik itu dalam keadaan polos
dadanya seperti mau meledak. Kini mengenakan kebaya kuning dengan potongan dada
rendah hingga pangkal payudaranya terlihat menyembul putih dan kencang,
Pangeran Aryo jadi tak karuan rasa. Memang ada kalanya melihat aurat perempuan
yang setengah tersingkap dapat menimbulkan daya tarik yang lebih bergelora.
“Malam
kemarin kau pergi begitu saja. Aku bertanya, kau tak sempat memberi tahu
nama….”
“Apakah
kau mau memberi nama padaku?” tanya si gadis sambil duduk di atas sebuah batu
rata di samping sebuah arca singa. Karena dia berdiri dan keadaannya lebih
tinggi, Pangeran Aryo kini dapat melihat lebih jelas bagian dada si gadis.
“Aku
tidak berani memberi nama. Aku takut kesalahan….”
“Nama apa
saja. Aku akan menerima…,” jawab si gadis sambil tersenyum dan permainkan
bibirnya yang merah menantang. Lalu dia memetik sekuntum bunga mawar,
menciumnya sambil mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Sungguh indah dan
anggun sekali sikapnya ini di mata Pangeran Aryo.
“Hem…Bagaimana
kalau kau kuberi nama Dewi….,” ucap Pangeran Aryo.
“Hanya
Dewi?”
Pangeran
Aryo menatap ke wajah yang penuh daya tarik serta dada yang busung kencang dan
putih menantang.
“Dewi…Mungkin
Dewi Pikatan atau hemmm…Dewi Pemikat?”
Si gadis
dongakkan kepala, memperlihatkan lehernya yang putih jenjang lalu tertawa
panjang. “Dua nama yang kau berikan itu sama-sama bagus. Aku memilih yang
terakhir. Terima kasih…Eh, apakah aku ini seorang gadis pemikat?”
“Aku
yakin banyak pemuda yang terpikat jika melihat dirimu.”
Si gadis
tersenyum. “Kau sendiri bukankah Pangeran Aryo Dipasena?”
“Aku
senang kau sudah tahu siapa diriku. Tapi seperti terhadap semua temantemanku,
aku bukan seorang Pangeran. Aku adalah seorang sahabat…”
“Ah,
ternyata kau seorang berbudi tinggi berhati rendah. Pangeran, apakah kau senang
aku datang kembali?”
“Sstt,
panggil aku Aryo atau Dipasena. Jangan panggil Pangeran. Nanti semua
tikus-tikus yang ada di tempat ini kabur berlarian…”
Si gadis
yang diberi nama Dewi Pemikat tertawa lebar.
“Aku akan
memanggilmu Dipasena. Boleh…?”
Aryo
Dipasena mengangguk. Lalu berkata. “Tentu, tentu saja aku senang kau datang
lagi. Tadinya aku sudah putus harapan…” berkata Aryo Dipasena.
“Tapi ada
seorang tamu tak diundang yang tidak senang melihat kedatanganku ke sini. Dia
datang membekal maksud jahat.”
“Siapa?
Apa maksudmu?” tanya Aryo Dipasena.
“Kau tak
usah berpaling. Tapi langsung menghantam ke arah tembok di sebelah timur dekat
pohon besar. Keluarkan ilmu pukulan Tiga Jalur Kematian.”
Pangeran
Aryo terkejut. Bagaimana gadis yang sebelumnya tak dikenalnya ini tahu kalau
dia memiliki pukulan sakti tersebut. Selain itu arah yang dikatakannya adalah
bagian tembok dekat pohon besar dimana tadi dia melihat ada satu sosok
mendekam.
“Aku tak
bisa melakukan hal itu. Pukulan Tiga Jalur Kematian bisa membunuh orang. Aku
tidak pernah membunuh orang dan tidak ingin.”
“Orang
bermaksud jahat padamu. Apakah kau masih menaruh budi kebaikan?”
tanya si
gadis. “Aku kecewa.” Si gadis unjukkan wajah sedih. Dia membuat gerakan seperti
hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu,
jangan pergi. Aku akan ikuti apa yang kau katakan.” Dalam bingungnya Aryo
Dipasena akhirnya balikkan tubuh sambil sekaligus lepaskan pukulan tangan kanan
ke arah yang dikatakan si gadis.
*******************
5
TIGA
LARIK sinar hitam melesat tanpa suara ke arah tembok sebelah timur, tepat di
jurusan pohon besar. Walau dalam gelap namun tiga larik sinar ini tampak
berkilat. Inilah pukulan sakti bernama Tiga Jalur Kematian yang dipelajari Aryo
Dipasena dari seorang sakti yang diam di ujung tanah Jawa sebelah timur. Jika
pukulan sakti ini dilepas maka tiga jalur sinar hitam akan mencari sasaran
sendiri. Biasanya yang di arah secara sekaligus adalah bagian kepala, dada dan
kaki lawan. Selama ini kecuali dalam melatih diri Sang Pangeran tidak pernah
melepaskan pukulan tersebut untuk menyerang orang. Sesaat lagi pukulan sakti
akan mengenai sasaran sosok orang di atas tembok sebelah timur, tiba-tiba dari
arah itu berkiblat tiga sinar. Meah, biru dan hijau!
Letusan
dahsyat menggelegar tiga kali berturut-turut. Tembok di bagian timur hancur
berkeping-keping. Tiga cabang pohon besar terbakar hangus. Seluruh daun
pepohonan hangus lalu luruh rontok hingga pohon besar itu kini hanya tinggal
cabang dan ranting. Sebelum gelegar tiga letusan satu bayangan hitam berkelebat
dari atas tembok disertai terdengarnya suara orang memaki. Di tempatnya berdiri
tubuh Pangeran Aryo Dipasena bergoncang keras, lutut goyah. Dia berusaha
bertahan tapi tak kuasa. Sebelum jatuh di tepi kolam gadis berpakaian kuning
cepat merangkul tubuhnya, mendudukkannya di lantai batu, bersandar ke arca
singa. Wajahnya tampak pucat. NAmun dia segera bias menguasai diri dan berkata.
“Dewi,
kau betul. Ada orang di atas tembok sana tadi. Dia melepas serangan balasan
ketika pukulanku hampir mengenai dirinya. Dia memiliki tenaga luar biasa..”
“Kau juga
hebat Dipa. Orang lain saat ini mungkin sudah menderita luka dalam yang amat
parah….”
“Luar
biasa…” kata sang pangeran sambil mengusap wajahnya yang keringatan. “Selama
ini aku tidak pernah mempergunakan ilmu kesaktian. Ternyata apa yang kumiliki
belum berarti apa-apa.”
“Pisau
itu tajam karena diasah. Ilmu kepandaian baru ketahuan hebatnya kalau dipakai,”
kata gadis yang diberi nama Dewi Pemikat.
“Kau tahu
siapa orang yang katamu datang dengan membekal niat jahat terhadapku?” Bertanya
Pangeran Aryo.
“Sejak
beberapa hari belakangan ini ada seseorang mengikuti gerak-gerikku. Walau dia
berlaku diam-diam dan sangat licin tapi aku tak bisa ditipu. Malam kemarin
ketika aku datang di sini, aku rasa dia juga ada di tempat ini mengintai. Tadi
ketika aku dalam perjalanan ke sini, dia mendahului mendatangi tempat ini. Dia
sembunyi di atas tembok sebelah timur yang sangat gelap. Kalau tidak membekal
niat jahat mengapa sembunyi?”
“Aneh,
seumur hidup aku tidak punya seorang musuhpun. Bagiku satu musuh sudah terlalu
banyak. Seribu sahabat masih kurang. Aku ingin sekali mengetahui siapa adanya
orang itu.”
“Serahkan
hal itu padaku. Aku akan menyelidiki….”
“Saudari…Dewi,
kau ini siapakah sebenarnya?” bertanya Aryo Dipasena.
Tiba-tiba
di luar tembok pembatas halaman kediaman Pangeran Aryo terdengar terdengar
suara riuh derap kaki kuda mendatangi.
“Ada yang
datang. Agaknya serombongan pasukan.” Kata Dewi Pemikat.
“Para
pengawal Kerajaan. Atas perintah ayahku mereka memang pada waktuwaktu tertentu
melakukan perondaan di sekitar sini. Dewi, kau pergilah masuk ke dalam rumah.
Aku tak ingin mereka melihatmu.”
“Aku lebih
suka menyelinap ke atas pohon sana,” jawab si gadis sambil menunjuk ke arah
sebatang pohon besar yang tumbuh di bagian belakang rumah kecil. Sekali
berkelebat gadis ini melesat ke undakan tangga batu paling atas. Lalu tubuh
bagus dan harum itu melayang ke atas pohon besar, lenyap ditelan kegelapan
serta kerindangan dedaunan. Pangeran Aryo sendiri cepat-cepat masuk ke dalam
rumah berpura-pura tidur.
Tak lama
kemudian terdengar ketukan di pintu. Aryo Dipasena tidak segera bangun. Dia
menunggu sampai orang mengetuk tiga kali baru turun dari tempat tidur.
“Siapa?!”
Aryo Dipasena bertanya sebelum membuka pintu.
“Gusti
Pangeran Aryo, mohon maaf. Kami pengawal dari Kotaraja.”
Pintu
terbuka. Lima orang berseragam prajurit Kerajaan segera membungkuk memberi
hormat.
“Paman
Kepala Pengawal Rorot Keminting. Ada apa datang malam-malam begini?!” bertanya
Pangeran Aryo.
Prajurit
bernama Rorot Keminting sekali lagi membungkuk. “Mohon maafmu Gusti Pangeran.
Kami tengah meronda di pinggiran kota. Tiba-tiba kami mendengar suara letusan
keras. Kami segera menyelidik. Letusan itu ternyata berasal dari sekitar tempat
kediaman Gusti Pangeran. Kami barusan menemui tembok di arah timur hancur dan
sebuah pohon besar hangus.”
“Ah,
lelap sekali tidurku hingga tidak mendengar apa-apa. Paman Kepala Pengawal,
antarkan aku ke tembok yang runtuh itu.”
Rorot
Keminting berjalan di depan sekali. Di belakang menyusul Pangeran Aryo dan
empat pengawal lainnya. Sampai di tembok yang runtuh, setelah memperhatikan
dengan seksama Pangeran Aryo geleng-geleng kepala.
“Apa yang
terjadi di tempat ini. Tembok runtuh. Pohon besar hangus, hanya tinggal cabang
dan ranting. Ini pasti perbuatan seorang penjahat berilmu tinggi. Tapi apa
tujuannya menghancurkan tembok menghanguskan pohon?” Pangeran Aryo usap-usap dagunya.
“Paman Kepala Pengawal, pimpin anak buahmu. Lakukan penyelidikan. Kejadian ini
tidak bisa didiamkan. Kerajaan tidak dalam keadaan aman. Jangan membuat rakyat
susah gelisah.”
“Siap
Gusti Pangeran. Kami akan melakukan penyelidikan. Tapi maaf, menurut hemat saya
kalau memang ada orang jahat datang ke sini pasti Gusti Pangeran yang dituju.
Saya akan kembali ke Kotaraja untuk meminta beberapa orang pandai melakukan
penyelidikan. Empat anak buah saya biar tetap di sini untuk berjaga-jaga.”
“Kau akan
melakukan penyelidikan, itu bagus. Kau meminta bantuan orang pandai di Kotaraja
itu juga bagus. Tapi Paman Kepala Pengawal, kau tidak perlu menyuruh empat anak
buahmu berjaga-jaga di tempat ini.”
“Gusti
Pangeran yakin tidak akan terjadi apa-apa?” Kepala Pengawal yang punya tanggung
jawab tinggi bertanya karena tetap merasa khawatir.
“Aku
yakin saat ini semua aman-aman saja. Pergilah….”
Pangeran
Aryo menepuk bahu Rorot Keminting lalu masuk ke dalam. Lima pengawal tinggalkan
tempat itu. Setelah keluar dari kawasan kediaman sang pangeran, Rorot Keminting
berkata pada anak buahnya.
“Aku
melihat kejanggalan pada diri Pangeran Aryo. Katanya dia tertidur pulas.
Pakaiannya
tidak lusuh. Tidak ada tanda-tanda dia habis tidur. Semua orang tahu dia punya
kepandaian tinggi. Masakan letusan keras sampai tiga kali di dekat rumahnya dia
tidak mendengar? Selain itu tubuhnya menebar bau harum. Setahuku pangeran tidak
suka memakai wangi-wangian. Aku sangsi kalau dia benar-benar tidak tahu
kejadian runtuhnya tembok dan hangusnya pohon besar. Aku harus melapor pada Sri
Baginda Raja. Tapi…” Kepala Pengawal itu hentikan kudanya. Dia berpaling pada
ke empat anak buahnya. “Kalian terus saja ke Kotaraja. Tunggu aku di pintu
gerbang sebelah timur…”
“Lah
sampeyan sendiri mau kemana?” tanya salah seorang pengawal.
“Aku akan
kembali ke rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena. Aku akan berjaga-jaga di sana
barang beberapa lama. Aku khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan dirinya…”
Menerangkan Rorot Keminting.
Bau harum
yang tercium Rorot Keminting di tubuh Pangeran Aryo adalah harumnya bau tubuh
dan pakaian gadis berbaju kuning yang menempel di tubuh dan pakaian si pemuda.
Sesudah derap suara kaki kuda lima pengawal hilang di kejauhan, Pangeran Aryo
melangkah ke bawah pohon besar di belakang rumah.
“Dewi,
turunlah….” Panggilnya, tak berani keras-keras. Tak ada jawaban.
“Dewi
sahabatku… Para pengawal sudah pergi. Turunlah.” Tetap tak ada jawaban.
Menyangka
si gadis bergurau mempermainkannya Pangeran Aryo melesat ke atas pohon besar.
Namun di atas pohon dia tidak menemui gadis berpakaian kuning itu. Dengan
perasaan kecewa sang pangeran turun kembali. Dia memandang ke arah halaman
berumput, memperhatikan sekitar kolam mandi. Sang Dewi Pemikat tetap tidak
kelihatan.
“Dia
sudah pergi. Mudah-mudahan besok malam dia mau kembali lagi.”
Pemuda
berusia dua puluh tahun ini masuk ke dalam rumah. Setelah meneguk air putih
dari dalam sebuah gentong keramik kecil dia masuk ke dalam kamar. Di ambang
pintu langkahnya tertahan ketika melihat sesosok tubuh terbaring di atas tempat
tidur.
“Ah…”
Pangeran Aryo melepas nafas lega. “Dewi Pemikat, kukira kau telah pergi…”
Orang di
atas tempat tidur tertawa merdu.
“Kalau
pergi masakan tidak memberi tahu,” katanya cepat-cepat turun dari atas tempat
tidur. “Maaf, aku telah berlaku lancang berbaring di atas tempat tidurmu.”
“Kalau
kau letih silahkan berbaring.” Kata Pangeran Aryo pula.
“Atau
mungkin malam ini kau hendak mandi lagi di kolam?”
Dewi
Pemikat tertawa. “Dan kau lantas akan mengintipku!” katanya. “Aku harus pergi…”
“Tunggu,”
Pangeran Aryo melangkah ke pintu. “Aku ingin tahu siapa sebenarnya dirimu. Kau
bisa datang ke sini setiap saat. Tapi jika aku perlu dirimu dimana harus
kucari? Apakah kau tinggal di sekitar sini?”
“Gusti
Pangeran Aryo…”
“Jangan
panggil aku dengan sebutan itu.”
“Aryo
Dipasena. Aku seorang pengembara. Aku tidak bertempat tinggal tidak berumah…”
“Jika kau
mau kau boleh tinggal di sini. Aku bisa mencari tempat kediaman lain.”
“Lalu
orang sekerjaan akan geger!” kata Dewi Pemikat. Lalu dia menatap tak berkesip
dengan matanya yang bening. Hatinya berucap. “Pemuda satu ini, dia begitu baik.
Polos dan bersikap apa adanya. Apakah aku akan meneruskan hasrat yang menyala
dalam diriku menggodanya. Atau apakah aku harus mematikan kobaran api yang
membakar darah ini dan mencelakai diri sendiri?” Saat itu gadis berbaju kuning
ini merasa sekujur tubuhnya panas seperti diserang demam. Ingin dia melepas
seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. “Pemuda ini terrlalu baik untuk
kugoda. Aku harus menjauhinya untuk sementara. Apakah aku sanggup bertahan
diri?”
“Dewi,
kau tak menjawab. Berarti kau mau tinggal di sini.” Kata Pangeran Aryo.
Dewi
Pemikat tersenyum, melangkah mengahampiri pemuda itu. “Aryo Dipasena,” katanya
sambil menggelungkan kedua tangannya ke leher sang pangeran.
“Apapun
yang kau katakan aku sangat ingin melakukan. Namun saat ini aku harus pergi.
Jika kau mau bersabar aku akan kemari lagi di malam-malam mendatang.”
Lalu
dengan gerakan tak terduga gadis cantik itu dekap wajah Pangeran Aryo dengan
kedua tangan, kemudian mengecupkan bibirnya ke bibir pemuda itu. Sang pangeran
tergagau. Seumur hidup belum pernah dia mengalami hal seperti ini. Belum pernah
dia mencium seorang gadis. Kini justru seorang gadis yang menciumnya. Dan bukan
hanya ciuman biasa, tapi kecupan bibir yang hangat menggetarkan disertai
susupan lidah basah yang mengusap lidahnya. Saking terperangahnya, Pangeran
Aryo tidak mengetahui kalau si gadis tak ada lagi di dalam kamar itu. Begitu
sadar dia mengejar keluar rumah. “Dewi…?!”
Gadis
cantik itu sudah lama pergi.
**********************
DARI
balik reruntuhan tembok halaman sepasang mata Rorot Keminting memperhatikan
terus menerus rumah kecil di atas tanah lereng berumput itu. Cukup lama dia
mendekam di tempat itu ketika tiba-tiba dia terkejut melihat seorang gadis
berpakaian kuning keluar dari pintu depan rumah.
“Ah….selam
ini Pangeran Aryo tidak pernah diketahui memilki seorang kekasih. Sekarang
ternyata dia menyimpan seorang gadis di rumahnya. Siapa gadis tadi. Dari
gerakannya yang enteng dan cepat agaknya dia bukan gadis sembarangan. Lalu
apakah ada hubungan gadis itu dengan tembok yang hancur ini dan pohon yang
hangus?”
Kepala
Pengawal itu menunggu beberapa lama. Setelah dirasakannya aman maka diapun
cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
*******************
6
KALIBAWANG
sebuah desa kecil terletak di aliran Kali Pabelan. Penduduk desa hidup dari
bercocok tanam. Hampir setiap orang di desa itu memiliki sawah atau ladang.
Banyak pula yang beternak. Kesuburan tanah desa dan sekitarnya membuat penduduk
selalu memanen hasil tanaman berlimpah ruah. Boleh dikatakan semua orang di
desa itu hidup lebih dari berkecukupan.
Di desa
Kalibawang dimana rakyat hidup rukun, aman tenteram, justru di situ pula
tinggal seorang pemuda bernama Samirjan yang dikenal dengan julukan Pencuri
Selusin Tangan. Sesuai dengan julukannya Samirjan memang seorang pencuri. Namun
dia bukan pencuri sembarangan. Dia tidak pernah mencuri apapun milik penduduk
sedesa. Dia tidak pernah mengambil barang atau harta milik rakyat jelata. Kalau
dia mendapat jarahan dari hasil mencuri di luar desa maka dua pertiga hasil
curian itu diberikannya pada penduduk di beberapa desa tetangga yang hidup
dalam kemiskinan. Mereka yang jadi korban curian Samirjan umumnya adalah
orangorang kaya pelit, pedagang-pedagang yang menjual barang dengan harga
menipu, para penghisap riba, atau pejabat-pejabat rakus kuasa dan rakus harta
yang kerjanya hanya memeras rakyat. Selain itu Samirjan juga menerima pesanan
untuk mencuri. Yaitu jika ada seseorang meminta untuk dicurikan satu barang
maka dia melakukan dengan mendapat upah. Namun Samirjan lebih dulu menyelidik
barang apa yang disuruh curi dan bagaimana asal-usul barang tersebut. Biasanya
Samirjan hanya mau mencurikan barang yang dimiliki orang secara tidak sah.
Karena sifat mencuri Samirjan yang seperti itu, walau tahu kalau si pemuda
adalah seorang pencuri, Kepala Desa dan penduduk deasa Kalibawang bersikap baik
terhadapnya. Samirjan bebas tinggal di desa, berbaur dengan penduduk lainnya.
Bahkan ada beberapa gadis desa yang tertarik pada sang pencuri, menganggapnya
sebagai seorang pemuda hebat. Selain itu Samirjan memang berpenampilan sebagai
seorang pencuri berwajah ganteng.
Namun
yang namanya pencuri, bagaimanapun baik budi bahasa serta sifatnya tetap saja
namanya pencuri. Beberapa pejabat di Kotaraja pernah kehilangan barang berharga
dan menuduh Samirjan yang mencuri. Beberapa kali desa Kalibawang didatangi
pasukan Kerajaan dan Samirjan ditangkap namun kemudian dibebaskan karena tidak
ada bukti-bukti. Belum lama berselang Samirjan ditangkap atas perintah seorang
Tumenggung yang kehilangan sebuah guci mas antik dari Tiongkok. Kemudian
ternyata guci mas itu adalah hasil rampasan dari seorang pedagang yang tidak
sanggup membayar hutang karena dibebani bunga berlipat ganda oleh sang Tumenggung.
Samirjan bebas lagi setelah dipenjarakan hampir tiga puluh hari. Malam hari itu
desa Kalibawang diselimuti udara lebih dingin dari biasanya karena sore tadi
hujan turun cukup lebat. Di dalam rumah kecil yang terletak di pinggiran desa
Kalibawang Samirjan tidur sendirian, bergelung dalam kain sarung.
Tiba-tiba
dia terjaga oleh suara ketukan di pintu. Pemuda berjuluk Pencuri Selusin Tangan
segera bangun tapi tidak langsung membuka pintu. Bagaimanapun juga
keberadaannya sebagai seorang pencuri selalu membuat dia harus berlaku waspada.
Tapi kalau orang bermaksud jahat mengapa pakai mengetuk pintu segala? Ketukan
terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan diulang berkali-kali.
“Siapa?!”
Tanya Samirjan sambil perlahan-lahan melangkah ke pintu dengan tangan kosong.
Walau suka mencuri namun Samirjan tidak pernah memiliki senjata. Dia hanya
mengandalkan kecepatan dan akal.
“Celengan
ayam-ayaman.” Terdengar suara jawaban di balik pintu. Suara perempuan.
“Celengan
ayam-ayaman…?” Samirjan jadi heran. “Suara perempuan….” Dia berpikir-pikir.
Dalam berpikir-pikir pemuda ini mencium bau harum. Samirjan ingat bau wangi
ini. Pintu rumah serta merta dibuka lebar-lebar. Di ambang pintu berdiri
tersenyum seorang gadis berpakaian kuning, berambut hitam tergerai lepas. Samirjan
terperangah namun kemudian tertawa lebar saking gembiranya.
“Kau… Kau
mau datang. Aku benar-benar tidak menyangka.”
“Apakah
kau tidak mempersilahkan aku masuk?” Gadis berpakaian kuning bertanya sambil
layangkan lagi senyuman yang membuat Pencuri Selusin Tangan jadi sejuta rasa.
“Ah…
masuklah. Rumahku gubuk jelek!” Kata Samirjan. Gadis berpakaian kuning yang
bukan lain adalah Dewi Pemikat melangkah masuk. Samirjan menoleh ke kiri dan ke
kanan, memperhatikan keadaan di luar rumah lalu cepat-cepat menutup pintu.
“Kau
datang sendirian?” tanya Samirjan.
“Dengan
monyet. Tapi monyetnya aku lepas di hutan.” Samirjan tertawa gelak-gelak.
“Selama
jadi pencuri aku jarang tertawa. Baru sekarang bisa tertawa seperti ini.
Tunggu, aku mau menyalakan lampu minyak dulu.”
“Sudah
kunyalakan,” ucap Dewi Pemikat. Tangannya bergerak ke arah dinding dimana
tergantung sebatang bambu bersumbu. Selarik sinar merah meluncur keluar dari
ujung jari Dewi Pemikat. Sesaat kemudian lampu minyak yang terbuat dari bambu
bersumbu kain itu menyala. Kini keadaan dalam rumah menjadi terang. Samirjan
melotot, kagum luar biasa.
“Kau
benar-benar hebat.” Memuji Samirjan. “Kalau kita bisa bekerjasama, barang
apapun bisa kita dapatkan.”
Dewi
Pemikat mencibir. Sambil memandang seputar rumah yang hanya merupakan satu
ruangan terbuka Dewi Pemikat berkata.
“Jadi
inilah rumah pencuri kondang berjuluk Pencuri Selusin Tangan. Hemm… tidak ada
apa-apanya. Seharusnya kau dijuluki Pencuri Tangan Kere. Hik…hik…hik.”
Samirjan
ikut tertawa. Dia masih menatap ke arah lampu minyak.
“Waktu di
tepi kali itu, aku sudah menduga kau pasti seorang gadis berkepandaian tinggi….
Ah, tak ada bangku di rumah ini. Aku merasa tidak enak kalau kau terus-terusan
berdiri.”
“Lalu apa
kau mau memangku diriku?” tanya si gadis. “Sudah biar aku duduk di sini saja.”
Dewi Pemikat lalu duduk di tepi tempat tidur kayu. Sepasang mata Samirjan tidak
bisa menghindar dari dada si gadis yang tersembul dan di bawah nyala lampu
minyak tampak luar biasa indah. Jantung berdebar kencang dan darahnya mengalir
lebih cepat.
“Tadi kau
menyebut celengan ayam-ayaman. Kau membawa celengan itu?” bertanya Samirjan.
Dewi
Pemikat menggeleng. “Celengannya sudah hancur.”
“Ah…”
Samirjan menghela nafas dalam dan tampak kecewa.
“Kau
mencuri celengan itu dari Raden Mas Suryo Kenanga….”
“Betul.
Pekerjaanku memang mencuri. Cuma…..”
“Apa
untungnya mencuri celengan kosong?” Dewi Pemikat potong ucapan Samirjan.
“Celengan
itu memang tidak ada uangnya. Tapi ada satu benda sangat berharga disembunyikan
di dalamnya…”
“Bagaimana
kau bisa tahu ada benda sangat berharga dalam celengan. Benda apa?”
“Sebenarnya
aku mencuri celengan itu atas permintaan seseorang.”
“Siapa?”
Samirjan
tidak menjawab.
“Aku
punya perjanjian. Dengan orang itu dan dengan diriku sendiri. Aku tidak boleh
memberi tahu pada orang lain siapa adanya orang yang mengupahku.”
“Begitu?
Termasuk aku tidak boleh tahu?” Nada suara si gadis meninggi.
“Samirjan
jadi bimbang namun akhirnya berkata. “Boleh…. Aku akan ceritakan padamu. Asal
kau berjanji tidak akan menceritakan pada orang lain.”
“Baik,
tapi tidak termasuk menceritakan pada setan kan?”
“Ah, kau
suka bercanda. Aku merasa terhibur. Malang melintang hidup jadi maling lebih
banyak susahnya dari pada sukanya.”
“Percaya,
namanya saja maling alias pencuri.” Kata Dewi Pemikat pula. “Eh, kau mau
bercerita duduk di sebelahku?” tanya Dewi Pemikat.
“Aku…”
Samirjan diam sebentar. “Kalau aku duduk di sampingmu nanti mulutku tidak bisa
cerita. Malah tanganku yang nanti merayap kemana-mana…”
“Waktu
pertama kali bertemu kau begitu berangasan. Enak saja kau menyentuh dadaku.
Ingat?! Sekarang sudah jadi pemuda alim rupanya.” Kata Dewi Pemikat pula.
Samirjan tertawa.
“Kalau
kau mau tahu, orang yang menyuruh aku mencuri celengan itu adalah Raden Mas
Mangun Wiryo. Adik kandung Raden Mas Suryo Kenanga sendiri ….”
“Hemm
begitu? Ini cerita bagus. Lalu?”
“Raden
Mas Mangun Wiryo berkata terus terang padaku bahwa dalam celengan itu kakaknya
menyembunyikan sebuah benda sangat berharga. Sebuah jimat. Yang katanya bernama
Jimat Selaksa Rejeki. Menurut Raden Mas Mangun jimat ini sangat manjur untuk
dipakai berdagang. Aku rasa dia tidak bohong. Buktinya sang kakak kini jadi
orang kaya raya di Wates.”
“Bagus,
kau tidak berdusta tentang jimat itu…”
“Apakah….
Bagaimana aku harus memanggilmu. Den Ayu…”
“Namaku
Dewi.”
“Dewi,
jadi kau sudah tahu kalau dalam celengan itu ada jimat?”
Dewi
Pemikat memasukkan tangan kanan ke balik dada pakaiannya yang terbuka lebar,
membuat Samirjan menahan nafas, lalu mengeluarkan sebuah benda tipis berbentuk
empat persegi panjang kecil, terbuat dari kain hitam.
“Ini
barangnya?” berkata gadis cantik itu.
“Ah….”
Samirjan terbelalak. “Aku belum pernah melihat sebelumnya. Tapi aku yakin yang
di tanganmu itu memang jimat yang diatakan Raden Mas Mangun Wiryo.” Samirjan ulurkan
tangan hendak menyentuh benda itu tapi kecele karena Dewi Pemikat menarik
tangannya.
“Lanjutkan
dulu ceritamu.”
Samirjan
memperhatikan jimat yang dipegang Dewi Pemikat, melirik ke arah dada si gadis,
menelan ludah baru membuka mulut.
“Menurut
Raden Mas Mangun Wiryo jimat itu adalah miliknya. Lima tahun yang lalu jimat
dipinjamkan pada kakaknya Raden Mas Suryo Kenanga dengan perjanjian setelah
tiga tahun harus dikembalikan padanya. Tapi setelah hampir lima tahun di
tangannya Raden Mas Suryo Kenanga tidak mau mengembalikan walau diminta
berulang kali. Malah menurut Raden Mas Mangun Wiryo kakaknya itu mengancam akan
membunuhnya kalau terus-terusan memaksa meminta kembali jimat itu. Raden Mas
Mangun tidak mau melakukan kekerasan. Dia menyuruh orang mencariku. Dia minta
pertolonganku untuk mendapatkan jimat itu kembali.”
“Kau
ternyata pencuri terkenal rupanya…”
“Aku
sudah menerima setengah dari upah yang dijanjikan Raden Mas Mangun Wiryo. Tapi
aku tidak berhasil mendapatkan jimat yang dimintanya.” Samirjan alias Pencuri
Selusin Tangan memandang pada jimat yang ada di tangan Dewi Pemikat.
“Kau akan
memberikan jimat itu padaku?”
“Akan
kuberikan padamu. Tapi tidak untuk diserahkan pada Raden Mas Mangun Wiryo.”
“Lalu mau
aku apakan jimat itu?” tanya Samirjan pula.
“Kau
pakai sendiri.”
“Heh?!
Maksudmu?”
“Kalau
jimat itu memang ampuh untuk dipakai dagang mengapa tidak kau pakai sendiri?
Apakah kau akan seumur-umur jadi pencuri? Kalau kau sudah kaya nanti boleh jimat
itu kau kembalikan pada Raden Mas Mangun Wiryo. Jika kau jadi orang kaya, kau
akan lebih banyak bisa menolong orang miskin daripada tetap jadi seorang
pencuri.”
“Ah, aku
tidak berani melakukan itu. Aku tidak mau mengkhianati Raden Mas Mangun. Apa
lagi aku sudah menerima upah dari dia.”
“Hemm…
Baru kali ini aku tahu ada pencuri jujur sepertimu. Dengar, kau tidak
mengkhianati siapapun. Kau hanya meminjam jimat itu untuk beberapa lama.” Kata
Dewi Pemikat pula sambil tersenyum. Lalu Jimat Selaksa Rejeki diberikan pada
Samirjan. Pemuda ini ragu-ragu menerima. Dewi Pemikat melangkah mendekati
Samirjan. Tangan kirinya menarik ke depan celana panjang yang dikenakan
Samirjan lalu tangan kanan yang memegang jimat enak saja memasukkan jimat
tersebut ke dalam celana si pemuda!
Samirjan
kelagapan.
“Dewi,
aku…”
“Kalau
kau memang tidak mau biar kuambil lagi,” kata si gadis. Lalu kembali dia
menarik celana Samirjan dan tangan kanannya siap dimasukkan ke balik celana.
Kalau dua hari lalu Samirjan merasa keenakan waktu dielus bagian bawah perutnya
kini pemuda itu cepat-cepat bersurut mundur. Selain ketakutan entah mengapa
kini dia merasa menaruh sungkan pada gadis cantik itu.
“Baik…baik.
Aku terima jimat ini. Aku ikuti apa katamu.”
“Bilang
saja kau takut aku obok-obok perabotanmu! Hik…hik…hik!”
Dewi
Pemikat tertawa namun tawanya serta merta terhenti ketika di luar rumah
tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Samirjan,
keluar dari gubukmu. Bawa serta gendakmu! Atau kalian berdua memilih mampus
bersama di dalam gubuk!”
“Kurang
ajar, enak saja ada orang mengatakan aku sebagai gendakmu!” ucap Dewi Pemikat.
Samirjan
melangkah ke dinding lalu mengintip keluar lewat sebuah celah.
“Ada tiga
orang di luar sana. Aku mengenali salah satu dari mereka…”
“Siapa?”
tanya Dewi Pemikat.
“Dewi
lekas keluar! Orang-orang itu melemparkan obor ke atap gubuk!” Samirjan memberi
tahu.
Kalau
Samirjan keluar lewawt pintu depan maka Dewi Pemikat melesat ke udara menembus
atap gubuk yang terbuat dari bambu berlapis ijuk.
**********************
DALAM
gelapnya malam, tiga buah obor menyala melesat ke atas gubuk kediaman Samirjan.
Bersamaan dengan itu atap gubuk jebol dan sesosok tubuh berpakaian kuning
berkelebat di kegelapan malam.
“Manusia-manusia
goblok! Kalau mau membunuh orang mengapa berbanyak mulut! Biar kusumpal mulut
tolol kalian!”
Tiga obor
yang melayang di udara sebelum jatuh di atas atap, dua ditangkap dan satu lagi
ditendang oleh si baju kuning yang bukan lain adalah Dewi Pemikat.
Lalu
wuut! Wuuttt! Wuutt!
Tiga obor
melesat ke arah tiga orang berpakaian hitam-hitam yang berdiri di bawah pohon
besar. Ketiganya berteriak kaget lalu berhamburan selamatkan diri. Namun hanya
dua orang yang mampu lolos. Salah seorang dari mereka meraung keras begitu obor
yang masih menyala menghajar mata kirinya. Tubuh terpental sejauh satu tombak
dan bergulingan di tanah. Dua orang temannya yang selamat berlindung di balik
pohon besar. Salah seorang dari mereka berkata.
“Celaka,
aku tidak mengira gadis berpakaian kuning itu memiliki kepandaian tinggi! Aku
jadi ngeri. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Kau lihat apa yang terjadi
dengan Karto.” Karto adalah teman mereka yang tadi kena dihantam matanya dengan
obor hingga hancur dan hangus.
Teman di
sebelahnya menjawab. “Kalau yang berkepandaian tinggi itu secantik bidadari apa
yang harus ditakuti?!”
“Aku
mencium bau harum….”
Dua orang
di balik pohon terbelalak ketika melihat seseorang berpakaian serba kuning
tahu-tahu telah berdiri di hadapan mereka. Namun begitu mengetahui orang itu
gadis berpakaian kuning berwajah cantik yang barusan mereka bicarakan, keduanya
segera saja cengar-cengir. Yang di sebelah kanan yang memelihara kumis dan
janggut lebat kasar dan berkulit hitam bertanya.
“Gadis
cantik, kau siapa? Mengapa tengah malam begini rupa ada di tempat ini. Apa
hubunganmu dengan Samirjan pencuri keparat itu?!”
“Aku
orang yang tadi kau teriaki gendaknya Samirjan!” jawab si baju kuning yang
tentu saja Dewi Pemikat adanya.
Dua orang
di bawah pohon tertawa gelak-gelak.
“Sungguh
menyedihkan!” ucap si kumis lebat. “Gadis secantikmu mengapa mau-mauan jadi
gendak pencuri busuk seperti Samirjan? Kalau aku sudah mengemplang batok kepala
pencuri keparat itu, baiknya kau ikut aku! Aku bisa memberi hadiah padamu! Kita
bisa bersenang-senang!”
Dewi
Pemikat berpaling pada Samirjan yang saat itu sudah berdiri di sebelahnya.
“Samirjan,
siapa dua kadal jelek bau comberan ini?!”
“Yang
ini!” kata Samirjan sambil menunjuk pada si kumis lebat.
“Namanya
Soma Keling. Dia kaki tangan Tumenggung Brojo Kumbara. Bersama dua temannya
pasti mereka diperintah untuk membunuhku. Ini gara-gara aku membuka kedok jahat
Tumenggung itu yang merampas guci emas milik orang lain!”
“Pencuri
jahanam! Tidak malu berlindung di balik perempuan!” bentak Soma Keling si kumis
dan janggut tebal.
Dimaki
begitu rupa, walau hanya memiliki kepandaian silat sejurus dua jurus Samirjan
jadi panas. Langsung dia melompat menerjang Soma Keling. Namun srett!
Teman
Soma Keling hunus golok besar, bacokkan senjata ini ke kepala Samirjan.
Sementara Soma Keling sendiri melompat coba merangkul Dewi Pemikat. Sebenarnya
jika kedua orang itu menyadari bagaimana salah seorang kawan mereka telah
dihajar hingga matanya hancur dan hangus, seharusnya mereka lebih baik memilih
kabur. Karena bagaimanapun juga Dewi Pemikat bukanlah tandingan mereka.
“Hai! Aku
pinjam tanganmu!” Dewi Pemikat berseru lalu tarik tangan kanan Soma Keling yang
hendak merangkulnya dan secepat kilat dipalangkan melintang menangkis golok temannya
yang menderu deras ke arah Samirjan.
“Crass!”
Raungan
Soma Keling luar biasa menggidikkan ketika tangan kanannya putus dibabat golok
teman sendiri. Darah mancur mengerikan. Si teman menggigil ketakutan, buang
golok yang dipegangnya lalu menghambur lari. Samirjan seperti mau muntah. Soma
Keling menjerit-jerit seperti orang gila lalu lari ke arah kegelapan. Namun dia
tak mampu kabur jauh. Di satu tempat tubuhnya jatuh tergelimpang. Orang suruhan
Tumenggung Brojo Kumbara ini akhirnya meregang nyawa karena kehabisan darah.
Dewi Pemikat hampiri Samirjan.
“Pencuri
kere. Setelah kejadian ini kau masih ingin tinggal di sini? Masih mau jadi
pencuri? Kau sudah punya bekal hidup. Mengapa masih berpikir tolol?”
Samirjan
alias Pencuri Selusin Tangan yang saat itu masih dalam keadaan terkesiap
menyaksikan apa yang barusan terjadi, tersentak sadar.
“Jimat
itu. Hah!” Samirjan masukkan tangan kanannya ke balik celana. Lama dia
membuncah bagian bawah perutnya mencari jimat yang tadi dimasukkan Dewi Pemikat
ke dalam celananya tapi tidak ditemukan. Dia memperhatikan halaman sekitarnya.
Mungkin jatuh di tanah. Dewi Pemikat tertawa cekikikan.
“Manusia
tolol,” katanya. “Aku tidak pernah memasukkan jimat itu ke dalam celanamu!
Lihat ini….”
Dewi
Pemikat kembangkan telapak tangan kirinya.
“Ah….”
Samirjan gelengkan kepala ketika melihat jimat kain hitam ada di atas tangan si
gadis.
“Ini
ambillah. Lakukan apa yang aku katakan….”
Samirjan
mengambil jimat yang diberikan.
“Terima
kasih Dewi. Aku akan menuruti nasihatmu. Kurasa aku akan pergi ke utara. Aku
punya seorang sahabat di Samarang.”
“Itu
bagus. Kalau sampeyan sudah kaya, jangan lupa sama aku.”
“Kau… kau
tidak ingin ikut bersamaku ke Samarang?” tanya Samirjan. Wajahnya penuh harap.
“Aku ikut
sampai di dalam gubukmu saja…” kata Dewi Pemikat lalu menarik tangan pemuda
itu, membawanya masuk ke dalam gubuk. Tak selang berapa lama terdengar suara
Samirjan.
“Dewi,
kau mau melakukan apa…? Wow!”
“Jangan
berteriak macam orang tolol! Apa kau mau orang satu desa bangun mengintip apa
yang kita lakukan?! Hik…hik…hik.”
“Aduh
Dewi!”
“Sssttt.
Ada apa?!”
“Jimatku
kejepit!”
“Hik…hik…hik!”
*******************
7
SETAN
Ngompol yang mengkhawatirkan keselamatan Liris Biru memasuki Kuto Gede sore
sebelum magrib. Seperti diketahui murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak itu
nekad mencari pemuda bernama Cakra pembunuh Liris Merah, kakaknya. Menurut
jalan pikiran Setan Ngompol, kalau sang kakak yang berkepandaian lebih tinggi
mampu dibunuh setelah lebih dulu diperkosa oleh Cakra, maka jika Liris Biru
mencari si pemuda sama saja dengan mengantarkan kehormatan serta nyawanya.
Memasuki
Kuto Gede dari arah tenggara Setan Ngompol terheran-heran karena malam belum
tiba tapi keadaan desa pengrajin perak yang biasa ramai, saat itu tampak
diselimuti kesunyian. Tidak terlihat orang lalu lalang di jalan. Semua pintu
dan jendela rumah penduduk tertutup rapat. Kawasan paling ramaipun dimana
biasanya banyak pedagang, warung minuman dan rumah makan kelihatan sepi. Hujan
rintik-rintik. Setan Ngompol berjalan terbungkuk-bungkuk di jalan sepi.
“Aneh,
aku sudah beberapa kali ke tempat ini. Ada apa? Mengapa sepi sunyi begini
rupa?”
Setan
Ngompol berjalan terus. Sementara hari mulai gelap. Selewatnya kelokan jalan di
kejauhan tampak cahaya terang. Setan Ngompol segera menuju ke sini. Ternyata
cahaya bersumber dari beberapa lampu minyak besar yang ada dalam sebuah rumah
makan. Sebelum masuk Setan Ngompol memperhatikan para tamu yang ada dalam rumah
makan. Semua berjumlah sekitar dua puluh orang. Tampaknya para tamu yang hadir
di tempat itu bukan untuk makan atau minum. Karena sama sekali tidak ada
hidangan atau minuman di atas meja. Rata-rata menunjukkan tampang tegang. Dan
Setan Ngompol melihat orang-orang itu membawa berbagai macam senjata. Mulai
dari golok, pentungan kayu, tombak serta celurit.
Ketika
Setan Ngompol berdiri di halaman rumah makan, semua orang memandang padanya
dengan penuh curiga. Malah ada yang berdiri dan mendekat sampai di tangga
bangunan, memperhatikannya dengan mata mendelik mulai dari kepala sampai ke
kaki. Ketika si kakek meneruskan langkah hendak masuk ke dalam rumah makan, di
tangga depan seorang lelaki berkulit hitam menghadangnya. Orang ini adalah Ki
Bening Surah, pemilik rumah makan. Di pinggangnya tergantung sebilah golok
besar. Dia pelototi si kakek sementara hidungnya mengendus-endus. Dia mencium
bau pesing santar sekali.
“Pengemis
tua bau pesing, aku Ki Bening Surah pemilik rumah makan ini. Rumah makan tutup.
Apa keperluanmu datang ke sini?”
“Mau beli
makanan. Perutku lapar,” jawab Setan Ngompol.
“Aku
sudah bilang rumah makan tutup!” Bentak pemilik rumah makan.
“Ooo
begitu? Tapi perutku lapar sekali. Tolonglah, apa saja. Nasi tidak berlaukpun
aku terima.”
“Apa kau
punya uang?” tanya Ki Bening Surah pula dengan suara dan air muka mengejek.
Sementara beberapa orang di dalam sana bangkit dari duduknya dan berdiri di
samping pemilik rumah makan. Setan Ngompol menggeleng.
Ki Bening
Surah dan hampir semua orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak mencemooh
Setan Ngompol.
“Kalau
tak punya uang pergilah! Bau tubuh dan pakaianmu membuat semua orang di sini
mau muntah!”
“Tunggu….”
Setan Ngompolmerogoh kantong celananya yang kuyup air kencing. Dari dalam
kantong itu dikeluarkannya sepotong perak murni seujung ibu jari tangan. “Aku
tak punya uang. Tapi punya ini. Apa bisa untuk membeli makanan dan lauknya?”
“Sepasang
mata Ki Bening Surah mendelik berkilat. Begitu juga mata orangorang yang
berdiri di dekatnya, pada membesar. Alah seorang dari mereka menyikut lengan
pemilik rumah makan memberi tanda. Ki Bening Surah tertawa lebar. Dia berubah
menjadi ramah.
“Pengemis
tua, kau tak usah khawatir. Dengan benda itu kau bisa mendapat sebungkus nasi
ditambah sepotong tempe bongkrek!”
“Begitu?”
ujar Setan Ngompol.
“Serahkan
perak itu dan kau tunggu di sini. Aku akan membungkuskan makanan untukmu.
Jangan berani masuk ke dalam rumah makan.”
Setan
Ngompol menyeringai. Dia cibirkan bibir dan ulurkan kepingan kecil perak.
Ketika pemilik kedai hendak mengambil, Setan Ngompol tarik tangannya. Pemilik
rumah makan mendelik marah.
“Kau
mempermainkan aku atau bagaimana?!”
“Sebelum
perak ini aku berikan pada sampeyan, aku mau tanya dulu. Mengapa Kuto Gede jadi
sepi begini? Hanya rumah makanmu satu-satunya yang masih buka. Semua rumah pada
tutup. Semua orang di sini aku melihat membaw senjata. Kau juga membekal
sebilah golok.”
“Ada
kejadian edan di kota ini! Beberapa hari berturut-turut empat gadis diperkosa
lalu dibunuh. Dua diantaranya kembang desa cantik jelita.”
“Di
kening mereka menempel bunga tanjung?”
“Pengemis
tua, bagaimana kau tahu hal itu?” tanya pemilik rumah makan.
“Ayo
lekas serahkan perak itu. Sebentar lagi kami semua akan melakukan perondaan!”
“Empat
gadis yang diperkosa dan dibunuh itu, apa mereka penduduk Kuto Gede?”
“Betul….”
Ki Bening Surah tidak sabaran ulurkan tangan kanan hendak mengambil paksa
kepingan perak dari tangan si kakek.
Diam-diam
Setan Ngompol merasa lega karena berarti Liris Merah walau tidak diketahui
berada dimana masih dalam keadaan selamat. Kakek ini kemudian tertawa mengekeh.
“Kau mau menipuku! Dengan kepingan perak ini aku bisa membeli rumah makanmu dan
seluruh isinya! Aku tidak bermaksud membeli nasi atau tempe bongkrek. Siapa
bilang aku lapar! Aku hanya butuh keteranganmu tadi.…Terima kasih.” Setan
Ngompol masukkan kepingan perak ke dalam kantong celananya yang basah lalu
tinggalkan rumah makan.
“Gembel
sinting!” Pemilik rumah makan semburkan caci maki kotor.
Kebetulan
di tangga dekatnya berdiri ada sebuah mangkuk terbuat dari tanah. Tidak pikir
panjang lagi mangkuk tanah itu dilempar ke arah kepala bagian belakang Setan
Ngompol. Masih tertawa-tawa si kakek yang mendengar suara benda melesat di
belakang kepalanya lambaikan tangan kirinya ke belakang. Gayung yang dilempar
berbalik melesat dan mendarat telak di jidat Ki Bening Surah hingga benjut dan
mengucurkan darah! Ki Bening Surah berteriak kesakitan, memaki tak karuan.
“Kakek
itu bukan seperti pengemis. Jangan-jangan dia manusia jahatnya yang memperkosa
dan membunuh empat gadis!” Seseorang berteriak.
Seorang
lainnya menyahuti.
“Aku
yakin dia keparat jahanamnya. Kalau tidak bagaimana dia bisa tahu soal bunga
tanjung?!”
Rumah
makan itu jadi ramai. Ki Bening Surah cabut goloknya.
“Kita
harus mengejar tua bangka jahanam itu! Sebelum ada lagi gadis diperkosa dan
dibunuh! Tangkap hidup-hidup! Kalau melawan cincang sampai lumat!”
Dua puluh
orang bergemuruh meninggalkan rumah makan, mengejar Setan Ngompol. Setelah
cukup jauh berlari Ki Bening Surah berhenti.
“Tadi aku
masih melihat sosoknya! Bagaimana mungkin bisa menghilang seperti ditelan
bumi?”
“Pukul
kentongan! Kita harus menyebar!”
“Kita
perlu bantuan!”
Maka tak
lama kemudian di seluruh Kuto Gede terdengar suara kentongan dipukul
bertalu-talu. Bukan saja penduduk, serombongan pasukan Kerajaan yang sengaja di
tempatkan di pusat desa sejak dua hari lalu ikut pula melakukan pengejaran dan
pencarian. Tapi si kakek pengemis tidak berhasil ditemukan.
**********************
DI ATAS
sebuah pohon besar gelap dan banyak nyamuknya Setan Ngompol memaki dan
terkencing-kencing setiap ada nyamuk menggigitnya.
“Nyamuk-nyamuk
sialan! Kalian rupanya berkawan dengan penduduk Kuto Gede. Mau menyuruhku turun
agar ditangkap dan digebuki! Silahkan kau hisap darahku! Kalian akan mampus
sendiri oleh racun air kencingku!”
Setan
Ngompol lalu masukkan dua tangannya ke dalam celana. Tangan yang basah pleh air
kencing ini diusapkan ke muka, lengan serta kaki. Ajaib! Puluhan mungkin
ratusan nyamuk yang tadi berserabutan menghisap darah si kakek kini menjauh.
Yang nekad menyedot darah orang tua ini langsung jatuh menemui ajal.
“Hik…hik!”
Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. Disusul ucapan. “Hebat juga! Mengapa
tidak kau minum saja air kencingmu agar bisa kebal seumur-umur terhadap
nyamuk!”
“Eh,
siapa yang bicara?!” Setan Ngompol celingukan, memperhatikan setiap sudut pohon
yang gelap dimana dia berada. Tidak kelihatan siapapun. Hidungnya mencium bau
harum. Kuduk si kakek jadi merinding. Sambil tekap bagian bawah celananya dia
berkata. “Kuntilanak atau demit perempuan. Kalau kau suka minum kencingku
silahkan unjukkan diri!”
“Hik…
hik… hik…” Suara tawa panjang terdengar keras dan jelas. Si kakek pancarkan air
kencing. Kemudian dari sebuah pohon di samping pohon dimana dia berada melesat
turun satu bayangan kuning. Walau gerakan orang itu cepat sekali namun si kakek
masih sempat melihat kecantikan wajah dan ke-elokan potongan tubuhnya. Semula
dia mengira Liris Biru. Tapi Liris Biru berpakaian biru sedang yang keluar dari
pohon mengenakan pakaian kuning. Secepat kilat Setan Ngompol melompat turun.
Namun begitu menginjakkan kaki di tanah jalanan gadis cantik berpakaian kuning
telah lenyap, hanya meninggalkan bau harum yang masih menebar di tempat itu.
Setan
Ngompol dongakkan kepala sambil menghirup-hirup udara. “Mungkin tadi itu
Bidadari Angin Timur yang menyaru? Bau harum yang aku cium hampir sama dengan
bau tubuh dan pakaiannya…”
Selagi si
kakek tegak setengah bingung begitu rupa tiba-tiba dari kiri kanan jalan
berlompatan sekitar dua belas orang mencekal berbagai macam senjata. Salah
seorang diantaranya adalah Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Di ujung jalan
empat penunggang kuda mendatangi. Prajurit-prajurit Kerajaan.
“Bunuh!
Cincang sampai lumat!” teriak Ki Bening Surah.
“Bangsat
tua ini pasti pemerkosa dan pembunuh dua gadis!”
Dua belas
macam senjata berkelebat ke arah Setan Ngompol. Sambil tekap bagian bawah
perutnya dengan tangan kiri si kakek melesat ke udara. Sewaktu melesat kaki
kanannya bekerja. Yang diarahnya adalah Ki Bening Surah. Kalau pimpinannya
dihajar dulu, biasanya anak buahnya akan menjadi kecut.
“Bukkk!”
Ki Bening
Surah menjerit keras. Tubuhnya terpental. Dada seperti melesak membuat dia
megap-megap susah bernafas. Mata mendelik. Pemilik rumah makan ini nyaris
terbanting di tanah kalau tidak ditolong oleh dua orang. Setan Ngompol memang
sengaja tidak menjatuhkan tangan jahat terhadap orang ini. Walau suara
tendangannya keras namun tidak menciderai atau menimbulkan luka dalam. Hanya
saja dugaan si kakek meleset. Walau Ki Bening Surah sudah dihajar begitu rupa
ternyata sebelas orang lainnya terus merangsek menggempurnya dengan senjata
maut. Penduduk Kuto Gede yang menganggap sebagai pemerkosa dan pembunuh memang
ingin sekali mencincang diri kakek ini sampai lumat!
“Aku
bukan pemerkosa! Aku bukan pembunuh! Kalian mau menghentikan serangan atau
tidak?!” Setan Ngompol masih mau memberi ingat sambil berkelebat kian kemari
hindari serangan. Dia tahu orang-orang yang menyerangnya itu adalah penduduk
desa biasa yang boleh dikatakan tidak memiliki kemampuan silat dan tengah
melakukan tugas pengamanan.
“Bunuh
tua bangka keparat itu! Jangan dikasih hati!” Ki Bening Surah masih bisa
berteriak.
Maka
sebelas senjata kembali berkiblat. Setan Ngompol yang sudah bersiapsiap
masukkan dua tangan ke dalam celana, berkelebat ke samping kiri.
“Plaakk!
Plaaakk! Plaakk!” Tiga penyerang melintir kesakitan. Tamparan dengantangan
basah air kencing yang dilancarkan Setan Ngompol tepat mengenai mulut dan
hidung tiga penyerang hingga mengucurkan darah. Si kakek melompat ke sebelah
kanan. Babatan sebilah celurit dan tusukan sebatang tombak dapat dielakkan.
Dua
penyerang kemudian terkapar di tanah, roboh lagi-lagi kena tempeleng si kakek.
Melihat kejadian ini beberapa orang lainnya yang belum sempat kena hajaran
Setan Nompol cepat-cepat selamatkan diri dengan melompat mundur menjauhi si
kakek. Ketika Setan Ngompol mendekati Ki Bening Surah yang tergeletak di tanah,
dua orang yang tadi menolongnya buru-buru menghindar, takut kena tempeleng yang
dibumbui air kencing!
“Ki
Bening Surah, kau orang baik. Makanya sini aku berikan hadiah istimewa
untukmu!” Setan Ngompol keluarkan tangan kirinya yang sejak tadi dimasukkan
dalam celana lalu dipeperkan ke muka, hidung dan mulut pemilik rumah makan itu.
“Ada lagi
yang mau mencicipi air kencingku?!” tanya Setan Ngompol sambil tangan kanan
berkacak pinggang.
“Setan
Ngompol! Kalau boleh aku minta! Aku suka! Hik..hik..hik!”
Satu
suara perempuan menyahuti. Yang bicara ternyata ada di atas wuwungan sebuah
bangunan. Ketika Setan Ngompol berpaling dia segera mengenali. Orang di atas
atap rumah bukan lain adalah gadis berpakaian kuning yang tadi
mempermainkannya.
“Gadis
nakal! Kali ini kau tidak bisa kabur lagi!” Setan Ngompol segera melesat ke
atas atap rumah. Selain itu dia sengaja menghindar dari empat prajurit Kerajaan
yang sudah sampai di tempat itu. Gadis di atas atap sambil tertawa cekikikan
melesat turun. Membuat si kakek jadi dongkol dan terpaksa melayang turun lagi
ke tanah melanjutkan pengejaran.
Ditolong
oleh beberapa orang Ki Bening Surah bangkit berdiri. Mulutnya berucap.
“Perempuan di atas atap menyebut nama kakek itu. Setan Ngompol. Kalau aku tahu
tadi-tadi kakek itu adalah Setan Ngompol aku akan benar-benar menghormatinya.
Malah mungkin bisa diminta pertolongan untuk mencari pemerkosa dan pembunuh dua
gadis itu.”
“Ki
Bening, kau kenal kakek aneh bau pesing itu? Kulihat salah satu daun kupingnya
terbalik!” bertanya seorang yang berdiri di samping Ki Bening Surah.
“Dia
salah seorang tokoh rimba persilatan berkepandaian tinggi. Ah, aku telah keliru
berbuat…” Ki Bening Surah merasa menyesal. “Kita mulai meronda saja. Sebagian
dari kalian sebaiknya membantu prajurit Kerajaan berjaga-jaga di sekitar rumah
kediaman randa Tumenggung Kalijati….”
Empat
prajurit Kerajaan sampai di tempat itu. Mereka menanyakan apa yang terjadi. Ki
Bening Surah tidak memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia berkata.
“Seorang
tokoh rimba persilatan tadi muncul di sini. Dia akan turun tangan mencari
pemerkosa dan pembunuh para gadis.”
“Ki
Bening, kau kelihatannya habis dihajar orang. Jika tokoh silat itu memang punya
niat menolong, mengapa dia mencideraimu….” Prajurit yang berkata perhatikan
tanda telapak kaki di dada pakaian pemilik rumah makan.
“Siapa
nama tokoh silat itu?” Prajurit yang lain bertanya.
“Setan
Ngompol.” Jawab Ki Bening Surah.
“Apa?
Setan Ngompol?!” Salah seorang prajurit berseru kaget. “Kakek sakti itu adalah
sahabat Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Jika si kakek ada di sini, berarti
pendekar sinting itu juga ada di Kuto Gede! Berarti pendekar buronan itulah
yang telah melakukan pemerkosaan dan pembunuhan atas diri empat orang gadis!”
“Aku juga
punya pikiran demikian!” ujar prajurit yang memelihara janggut lebat. “Ingat
peristiwa buruk yang menimpa Raden Ayu Ambarsari di Kotaraja beberapa waktu
lalu?! Kita harus memberi tahu atasan. Kita harus minta tambahan pasukan. Kalau
bisa tokoh silat Keraton harus membantu turun tangan! Keadaan benar-benar
berbahaya!”
Empat
prajurit berkuda segera tinggalkan tempat itu. Ki Bening Surah tarik Nafas
panjang sambil mengusap dada. Mulutnya berucap perlahan. “Aku tidak bisa
percaya. Kalau pendekar terkenal bernama Wiro Sableng itu adalah pelaku semua
kejahatan di Kuto Gede ini. Tapi…kenyataan bisa berkata lain….”
*******************
8
KUTO GEDE
bukan saja terkenal dengan berbagai hasil kerajinan tangan yang terbuat dari
perak, namun juga dikenal sebagai gudangnya gadis ayu berparas jelita. Tiga
diantaranya yang paling terkenal adalah Sutri, Nawangsih dan Banjaratih. Konon
kecantikan tiga gadis ini telah tersebar ke berbagai penjuru negeri termasuk ke
Kotaraja. Banyak pemuda yang sengaja datang ke Kuto Gede untuk melihat sendiri
kecantikan tiga gadis itu. Kalau bisa tentunya sekalian berkenalan dan akhirnya
mendapatkannya sebagai calon istri. Para pemuda ini mulai dari kalangan rakyat
biasa sampai pada kerabat Keraton. Konon banyak pula dari golongan tua tapi
merasa punya kebolehan secara diam-diam mengirimkan utusan untuk menyampaikan
pinangan. Mereka boleh kecewa karena tidak satupun pinangan diterima. Di antara
tiga gadis memang sulit dikatakan mana yang paling cantik. Namun ada sedikit
kelebihan Banjaratih dari dua gadis lainnya. Selain cantik gadis satu ini
adalah puteri seorang Tumenggung yang sudah meninggal setahun silam. Sementara
Sutri, anak seorang pengrajin perak dan Nawangsih anak seorang petani.
Kegemparan
melanda Kuto Gede ketika pagi dua hari lalu Sutri ditemukan telah menjadi
mayat. Padahal beberapa waktu sebelumnya dua orang gadis juga telah lebih dulu
menjadi korban kebejatan. Tubuh Sutri tergeletak dalam keadaan bugil di tepi
anak Kali Opak. Bibir biru dan di kening menempel sekuntum bunga tanjung. Dari
keadaan aurat si gadis jelas menunjukkan tanda-tanda kalau Sutri telah dirusak
dulu kehormatannya sebelum dibunuh. Sama dengan yang terjadi dengan dua gadis
terdahulu.
Peristiwa
perkosaan dan pembunuhan gadis cantik ini serta merta tersebar luas dan
dihubung-hubungkan orang dengan cerita tentang perkosaan dan pembunuhan yang
menimpa belasan gadis sebelumnya di berbagai tempat. Satu diantaranya adalah
Raden Ayu Ambarsari, cucu Pangeran Tua Sena Wirapala. Dalam peristiwa yang
menimpa gadis Keraton ini malah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kena getahnya,
dituduh sebagai pelaku pemerkosa dan pembunuh.
Belum
sirap kegegeran kematian Sutri, satu hari kemudian giliran Nawangsih menyusul
menjadi korban. Gadis puteri petani yang tinggal di selatan Kuto Gede ini
ditemui orang tuanya sendiri di dalam kamar tidur dalam keadaan tak bernafas
lagi. Nawangsih tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun
menutupi tubuhnya yang halus mulus. Sekuntum bunga tanjung menempel di
keningnya. Kuto Gede yang sehari-harinya selalu berada dalam keadaan ramai
sampai malam, setelah empat peristiwa pembunuhan ini serta merta menjadi sepi.
Para penduduk terutama yang mempunyai anak gadis, biar cantik atau jelek
sama-sama mengunci pintu rumah sebelum malam tiba.
Ni
Suwita, ibu Banjaratih, janda Tumenggung Ageng Sundoro, yang turunan Bali itu
dengan sendirinya merasa sangat khawatir. Tidak mustahil puterinya Banjaratih
akan menjadi korban perkosaan dan pembunuhan berikutnya. Kekhawatiran itu
disampaikan pada pejabat desa disertai permohonan perlindungan. Maka malam itu
juga dibentuk beberapa kelompok peronda kota, satu diantaranya adalah kelompok yang
dipimpin Ki Bening Surah, pemilik rumah makan. Lalu ada kelompok lain dipimpin
Ki Bayu Sleman, kepala desa Kuto Gede. Selain itu dua puluh orang prajurit
didatangkan dari Kotaraja. Empat orang dari mereka mengawal rumah kediaman
Banjaratih, sisanya ada yang berkeliling kota, sebagian lagi berjagajaga di
tempat-tempat tertentu.
Seorang
guru silat terkenal di Kuto Gede bernama Ki Walang Bakar ikut berjaga-jaga di
rumah si gadis. Guru silat ini berwajah hitam sebelah akibat terbakar sewaktu
masih kecil. Lalu masih ada belasan pemuda yang menaruh hati terhadap si gadis
bergabung pula melakukan pengawalan secara sukarela. Larut malam hujan
rintik-rintik kembali turun dan tiupan angin terasa dingin. Semua orang yang
berjaga-jaga di rumah kediaman Banjaratih menghilangkan rasa kantuk dengan
mengobrol sambil meneguk kopi hangat yang disuguhkan pembantu rumah. Dalam
kesunyian serta udara malam yang semakin dingin tiba-tiba langit di arah timur
tampak terang. Asap hitam mengepul tinggi ke udara. Di kejauhan terdengar suara
kentongan bertalu-talu.
“Api!
Kebakaran!” teriak seorang prajurit yang berjaga di rumah Banjaratih dan
pertama kali melihat nyala terang di langit. Semua orang yang ada di tempat itu
tersentak, berlari ke halaman depan, memandang ke langit sebelah timur. Inilah
satu kesalahan besar yang tidak mereka sadari!
“Tidak
pernah kejadian kebakaran di daerah ini selama belasan tahun!” kata Kepala Desa
Ki Bayu Sleman.
“Saat ini
bukan musim kemarau. Malam hari pula. Bagaimana mungkin…” ucap guru silat Ki
Walang Bakar.
“Ki
Walang, kau tetap di sini berjaga-jaga. Aku bersama beberapa orang akan
menyelidik ke sana. Tampaknya dari arah Kampung Baturejo.”
“Ki Bayu
Sleman bersama dua orang prajurit, ditemani enam orang lainnya dengan
menunggang kuda segera menghambur ke arah timur, menuju tempat terjadinya
kebakaran.
**********************
SELAGI
perhatian semua orang tertuju pada kebakaran yang terjadi di sebelah timur Kuto
Gede, dari balik sebatang pohon besar di halaman belakang rumah kediaman
Banjaratih seorang yang baru saja mendekam di sana menyeringai. Lalu tidak
menunggu lebih lama dia segera berkelebat. Gerakannya enteng dan cepat sekali.
Sebentar saja dia sudah berada di bagian belakang rumah besar. Tanpa kesulitan
dia berhasil membuka sebuah jendela lalu menerobos masuk ke dalam rumah besar.
Suasana
di dalam rumah serba gelap. Tak ada penerangan yang menyala. Walau gelap namun
orang yang masuk mampu bergerak cepat. Mungkin dia sudah tahu seluk beluk rumah
besar milik mendiang Tumenggung Ageng Sundoro itu atau bisa saja orang ini
memang memilki ilmu kepandaian yang membuat dia mampu melihat dan bergerak di
dalam gelap. Di hadapan sebuah pintu kayu orang itu berhenti. Dia memasang
telinga sebentar lalu mendorong daun pintu. Daun pintu bergerak membuka.
Selarik cahaya temaram lampu minyak kecil memancar dari dalam. Orang di ambang
pintu merasa ada kejanggalan. Dia merasa adalah aneh, kalau kamar itu pintunya
tidak dikunci dari dalam. Di luar rumah hampr dua lusin orang berjaga-jaga.
Mengapa orang yang dijaga malah tidak berlaku hati-hati?
Lewat
celah pintu yang terbuka orang itu melihat sesosok tubuh yang terbaring tidur
menghadap ke dinding, tertutup selimut. Pintu didorong lebih lebar lalu dengan
cepat dia menyelinap masuk ke dalam kamar. Tanpa suara pintu ditutup, dikunci
dengan mendorong gerendel.
Orang
yang masuk ke dalam kamar ternyata adalah pemuda berwajah cakap, berkumis serta
janggut dan berewok tipis rapi, mengenakan pakaian hitam bersulam bunga perak
dan emas. Sehelai kain merah terikat di keningnya. Cakra Mentari!
Inilah
pemuda yang terjebak dalam kesesatan, penebar malapetaka yang berada dibawah
kekuasaan mahluk tanpa wajah dan memiliki ilmu kesaktian bersumber dari kitab
bahala bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Dia diperintahkan untuk memperkosa
dan membunuh 41 orang gadis dan mencelakai sebanyak mungkin para pendekar rimba
persilatan. (baca serial sebelumnya berjudul “Insan Tanpa Wajah”)
Cakra
Mentari perhatikan tubuh gadis yang tergolek di atas tempat tidur, menghadap ke
dinding membelakanginya. Selimut menutup sampai ke punggung. Rambut hitam panjang
terjulai di punggung. Perlahan-lahan pemuda itu duduk di tepi tempat tidur.
Beberapa kali dibelainya rambut hitam orang yang tidur. Lalu dari salah satu
kantong baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain berisi patung
memancarkan cahaya redup kemerahan. Patung itu berbentuk sepasang leleaki dan
perempuan tengah melakukan hubungan badan. Patung Kamasutra! Patung yang selama
ini telah menjadi sumber malapetaka mulai dari ujung timur sampai ke
pertengahan tanah Jawa.
“Banjaratih,
bangunlah….” Ucap Cakra Mentari sambil mengangkat rambut hitam gadis yang tidur
lalu mencium kuduk putih yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Gadis di atas tempat
tidur menggeliat lalu tidur kembali. Wajahnya masih menghadap ke dinding.
“Banjaratih
kekasihku, bangunlah. Aku datang membawa kebahagiaan untukmu.” Cakra Mentari
tarik selimut yang menutupi tubuh si gadis. Ketika dia berusaha membalikkan
tubuh yang tidur miring menghadap dinding itu, pada saat itulah tiba-tiba tubuh
itu bergerak cepat, melesat bangkit. Kaki kanan menderu.
“Bukkk!”
Cakra
Mentari berseru kaget dan kesakitan ketika tendangan kaki kanan mendarat di
dadanya sebelah kanan. Tubuhnya terpental ke dinding kamar. Papan dinding
berpecahan. Patung Kamasutra yang ada di tangan kiri sempat terlepas. Dia cepat
melompat menjakau patung. Tangan kanan dipergunakan untuk menangkis jotosan
berantai yang dilancarkan gadis di atas tempat tidur. Cakra Mentari memiliki
ketahanan tubuh luar biasa. Kalau orang lain yang terkena tendangan tadi pasti
sudah remuk berpatahan tulang dadanya. Pemuda ini hanya merasa sakit sebentar
lalu lenyap. Cakra Mentari kerahkan tenaga dalam. Settt! Selarik cahaya merah
muncul sepanjang lengan kanannya. Begitu lawan menyerang dan memukul lengan, si
gadis langsung terpekik dan terjajar ke diniding.
“Kau
bukan Banjaratih….” Cakra Mentari keluarkan ucapan. Mata mendelik tak berkesip
memperhatikan gadis berpakaian biru yang masih berdiri di atas tempat tidur.
Walau marah suara pemuda ini tetap lembut. Si gadis balas memandang dengan
beliakan mata tak kalah besar sambil memegang lengan kanannya yang serasa mau
putus akibat bentrokan pukulan tadi.
“Manusia
jahanam! Laknat terkutuk! Aku memang bukan Banjaratih yang hendak kau jadikan
korban kebejatanmu! Aku adalah Liris Biru! Kau telah memperkosa dan membunuh
kakakku! Kau juga memperkosa dan membunuh banyak gadis di kawasan ini! Kau
harus mampus saat ini juga!”
“Ah, aku
ingat sekarang…” ucap Cakra Mentari.
“Jangan
banyak mulut!” bentak Liris Biru.
Dengan
gerakan cepat si gadis silangkan dua tangan di depan dada. Sepuluh kuku jarinya
mencuat panjang, berubah menjadi hitam. Dari ujung sepuluh kuku jari mengucur
cairan hitam berbau busuk serta mengepulkan asap panas. Inilah ilmu kesaktian
sangat jahat bernama Limbah Neraka Menghujat Bumi. Lawan yang terkena serangan
ini akan terkelupas membusuk sekujur tubuhnya.
“Tunggu!
Tahan dulu seranganmu!” ucap Cakra Mentari, tetap dengan suara lembut. “Aku
bersumpah tidak membunuh saudaramu. Kau salah menduga. Aku hanya memperlihatkan
patung ini padanya. Kau juga boleh melihat jika kau suka…”
Cakra
mentari lalu angsurkan Patung Kamasutra ke muka Liris Biru. Suara lembut.
Kata-kata meyakinkan yang mengangkat sumpah serta benda di tangan kiri si
pemuda membuat Liris Biru sesaat menahan gerakan, melirik ke arah Patung
Kamasutra yang dipegang Cakra Mentari. Saat itu dari dalam patung keluar
bayangan sosok lelaki dan satu perempuan yang makin lama makin besar dan tambah
kentara. Keduanya menggeliat-geliat seperti tengah melakukan tarian aneh.
Sambil menari mereka membuka pakaian masing-masing. Astaga! Liris Biru melihat
sosok perempuan yang keluar dari patung adalah dirinya sendiri sedang sosok
lelaki adalah pemuda berpakaian hitam.
“Liris
Biru, tidakkah indah sekali apa yang kau lihat?”
Liris
Biru terkesiap. Darahnya menggelora. Bagaimanapun juga rangsangan mulai
menguasai dirinya.
“Dengar,
kau adalah kekasihku dan aku Cakra Mentari adalah kekasihmu. Liris Biru,
tanggalkan pakaianmu. Mari kita mencari kenikmatan…”
Liris
Biru palingkan kepala, menatap ke arah Cakra Mentari.
“Cakra…”
ucap Liris Biru perlahan.
“Ah,
merdunya suaramu menyebut namaku. Tanggalkan pakaianmu. Turunlah dari atas
tempat tidur…”
Dua kaki
Liris Biru melangkah maju. Dua tangan membuat gerakan membuka kancing-kancing
baju biru.
*******************
9
SAAT ITU
tiba-tiba wajah kakaknya terbayang muncul di depan mata Liris Biru. Bibir
membiru, sekuntum bunga tanjung di kening. Tubuh tanpa pakaian. Tibatiba
didahului teriakan dahsyat murid mendiang Hantu Malam Brgigi Perak ini melompat
ke arah Cakra Mentari. Dua tangan melesat. Satu menjotos, satu merobek. Cairan
hitam dan kepulan asap berbau busuk keluar menderu dari ujung sepuluh jari
kuku.
“Gadis
cantik mengapa berlaku tolol?”
Sambil
bergerak mundur Cakra mentari cepat rundukkan kepala. Jotosan Liris Biru lewat
setengah jengkal di kepala kanannya sementara gerakan mencakar hanya merobek
angin. Gagal dengan serangan pertama, Liris Biru lancarkan serangan kedua. Kali
ini dia kerahkan seluruh tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikinya.
Sementara di luar rumah terdengar suara orang berdatangan. Ada yang berteriak.
“Ada
keributan di dalam rumah!”
Kurung
rumah rapat-rapat! Beberapa orang lekas ikut aku masuk ke dalam!” Itu suara
teriakan guru silat Ki Walang Bakar.
“Gadis
cantik, jangan terlalu nekad. Kalau kau tidak mau menanggalkan pakaian tak jadi
apa. Tapi lekas ikut aku. Kau bisa meneruskan bersenang-senang di tempat lain.”
“Dajal
terkutuk! Kau bersenang-senanglah di neraka!” Teriak liris Biru. Lalu gadis ini
teruskan serangannya dengan segala kedahsyatan. Air busuk bermuncratan
mengotori pakaian si pemuda.
Cakra
Mentari hilang kesabaran. Bagaimanapun juga serangan si gadis tidak bisa
dianggap enteng. Selain itu di luar sana terdengar banyak orang lari mendatangi
rumah. Sambil turunkan tangan kiri yang memegang Patung Kamasutra pemuda ini
dorongkan tangan kanan.
“Wusss!!!”
Tiga
larik sinar merah, hijau dan biru menyambar berbarengan.
Pukulan
Tiga Cahaya Alam Gaib!
Liris
Biru menjerit keras. Walau dia berusaha menghindar selamatkan diri tubuhnya
sebalah kiri masih sempat tersambar hingga mengepulkan asap, mencelat mental
menjebol dinding kamar dan akhirnya terlempar ke halaman samping. Tidak
menunggu lebih lama Cakra Mentari segera melesat keluar rumah lewat dinding
yang jebol. Sementara sebagian dinding rumah yang terbuat dari kayu tampak
terbakar. Api merembet ke atap.
“Api! Ada
api membakar rumah!” Seseorang berteriak.
“Cari
air! Lekas padamkan!” seorang lain balas berteriak.
“Dajal
terkutuk! Kau mau lari kemana!” teriak Liris Biru. Dalam keadaan sebelah tubuh
nyaris leleh dan termiring-miring gadis ini berusaha mengejar sambil lepaskan
satu pukulan tangan kosong namun dia keburu roboh. Orang yang dikejar lenyap
dalam kegelapan malam. Saat itu pula belasan orang telah berdiri
mengelilinginya.
Ki Walang
Bakar membungkuk di samping Liris Biru. Walau wajah dan tubuh sebelah kanan
utuh namun guru silat ini tidak mampu menahan rasa ngerinya melihat keadaan
tubuh sebelah kiri si gadis yang nyaris leleh. Dia bahkan dapat melihat tulang
bahu, lengan dan sebagian tulang iganya!
“Kau
siapa? Apa yang terjadi?” Bertanya Ki Walang Bakar. Dia letakkan tangan kanan
di atas kening Liris Biru sambil mengerahkan hawa sakti untuk memberi kekuatan.
Seorang
prajurit yang masuk memeriksa ke dalam rumah keluar lagi sambil berteriak. “Den
Ayu Banjaratih dan ibunya tidak ada di dalam rumah!”
Semua
orang menjadi kaget. Ki Walang Bakar segera memerintahkan beberapa orang
memeriksa lagi seluruh rumah besar lalu kembali bertanya pada Liris Biru.
“Apakah
kau bisa bicara?”
Liris
Biru tak menjawab. Matanya nyalang tak berkesip.
“Lukanya
sangat parah, biar aku menolongnya dulu!” Terdengar seseorang berucap lalu
seorang kakek berkepala setengah botak, bercelana basah oleh air kencing
menggendong Liris Biru, membawa dan membaringkan gadis itu di serambi depan
rumah besar. Semua orang mengikuti termasuk Ki Walang bakar. Seorang prajurit
bertanya dengan suara keras.
“Siapa
kakek bau pesing itu?! Dia bisa berbuat apa?!”
Ki Walang
Bakar berpikir keras, berusaha mengingat-ingat.
Ki Bening
Surah, pemilik rumah makan yang barusan sampai ke tempat itu menjawab. “Dia
bukan kakek sembarangan. Namanya Setan Ngompol. Salah seorang tokoh rimba
persilatan…”
Setan
Ngompol bersimpuh sambil menahan kencing di samping Liris Biru. Dia pegang
lengan kanan gadis ini sembari mengalirkan tenaga dalam sementara tangan kanan
ditekapkan ke ubun-ubun. Si kakek tidak kuasa menahan air mata. Dengan suara
tersendat dia berkata.
“Aku
sudah mengingatkan. Jangan pergi sendirian….”
“Kek.…
Aku tidak menyesalkan kematian ini….” Jawab Liris Biru. Suaranya cukup keras
dan lancar sehingga orang banyak bisa mendengar. Namun wajahnya yang cantik
mulai pucat. “Yang aku sesalkan … aku tidak dapat membalas sakit hati kematian
kakak. Aku tidak berhasil membunuh manusia terkutuk tukang perkosa dan pembunuh
itu…”
“Aku
menyesal datang terlambat. Kau… kau menemui pemuda bernama Cakra itu? Dia yang
melakukan ini padamu?”
Liris
Biru kedipkan mata.
“Dia yang
melakukan Kek. Aku berhasil menjebaknya. Diam-diam, tidak ada yang tahu kalau
aku mengungsikan Banjaratih dan ibunya ke kamar pelayan. Lalu aku sengaja tidur
di kamar Banjaratih. Aku menunggu. Aku tahu manusia dajal itu pasti datang.
Karena sebelumnya dia sudah membunuh beberapa gadis di Kuto gede ini. Dia
benar-benar muncul. Namun aku tidak berdaya menghadapinya. Dia memiliki pukulan
sakti memancarkan tiga cahaya. Kau harus berhati-hati jika suatu ketika
berhadapan dengan dia. Beri tahu kawan-kawan.”
Semua
orang yang ada di tempat itu sama-sama terkejut mendengar apa yang diucapkan
Liris Biru. Terutama Ki Walang Bakar si guru silat dan Ki Bening Surah pemilik
rumah makan. Mereka tidak menyangka kalau seorang gadis rimba persilatan telah
menyusup ke dalam rumah almarhum Tumenggung Ageng Sundoro. Lebih dari itu kini
semua orang tahu kalau pelaku pemerkosa dan pembunuhan para gadis di Kuto Gede
bukanlah Pendekar 212 Wiro Sableng yang selama ini mereka tuduhkan. Bersama dua
orang prajurit Ki Walang Bakar memeriksa ke kamar pelayan di bagian belakang
rumah besar. Mereka memang menemukan Banjaratih bersama ibu dan seorang pelayan
perempuan di dalam kamar itu. Ketiga perempuan ini tampak pucat pasi dilanda
ketakutan.
Liris
Biru kembali keluarkan ucapan. Kali ini suaranya mulai terdengar pelan.
“Kek,
beri tahu sahabat Wiro kalau kau menyaksikan dan mengantar kematianku…”
“Serrr!”
Kencing Setan Ngompol langsung muncrat.
“Liris,
kau tidak akan mati. Lukamu memang hebat. Tapi kau akan sembuh. Aku akan
membawamu ke tempat Ki Tambakpati. Atau mencari Purnama….” Kata Setan Ngompol
pula.
Liris
Biru tersenyum. Dia memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan agar Setan
Ngompol mendekat.
“Kek, ada
sesuatu yang harus aku katakan padamu. Dekatkan telingamu ke mulutku. Aku tak
ingin orang lain mendengar…”
Si kakek
ulurkan kepala. Kuping kiri didekatkan ke mulut Liris Biru.
“Kek…. Di
Dalam gua Cadas Biru, guruku menyembunyikan lima puluh kati candu. Milik
pedagang Cina yang pernah dijarah oleh orang-orang Keraton Kaliningrat. Harap
kau mau mengamankan dan menyimpan rahasia ini baik-baik. Kau boleh ambil candu
itu asal untuk kebaikan. Atau kalau kau tak bisa menangani kau musnahkan saja
agar tidak jadi perkara….”
“Aku akan
lakukan apa yang kau katakan,” jawab Setan Ngompol.
“Kek,
jika kau bertemu Pendekar Dua Satu Dua, sampaikan salamku. Katakan padanya
bahwa dia adalah pemuda pertama yang aku cintai dalam hidupku…”
“Kau
gadis baik. Wiro pasti juga mencintaimu…” Setan Ngompol coba menghibur. “Apa
yang jadi pesanmu akan aku sampaikan padanya.”
“Kek…Aku
ada satu permintaan…” Suara Liris Biru makin perlahan.
“Katakan,
ucapkan…”
“Aku
ingin dikubur di Cadas biru. Dekat makam guru dan kakakku…”
“Jangan
berkata begitu. Tuhan akan memberimu umur panjang.”
Liris
Biru tersenyum. Bersamaan dengan merebaknya senyum itu sepasang matanya yang bagus
menutup dan nyawapun lepas meninggalkan tubuh. Setan Ngompol pegangi wajah
Liris Biru dengan dua tangan, menangis terisak-isak. Dia memang syang pada
gadis itu. Sayang seperti seorang kakek pada cucunya. Dia merasa menyesal tidak
mampu menyelamatkan Liris Biru. Setan Ngompol gendong Liris Biru dengan kedua
tangannya.
“Kek, kau
mau membawa gadis itu kemana? Perbolehkan kami membantu.” Berkata guru silat Ki
Walang Bakar.
“Terima
kasih. Kalian sudah mendengar apa yang tadi dikatakannya. Dia ingin dikubur dekat
makam guru dan saudaranya. Aku akan membawanya ke sana. Para sahabat semua
kalian harus berhati-hati. Tetap waspada. Manusia jahat tukang pemerkosa dan
pembunuh itu bernama Cakra. Dia mengenakan pakaian serba hitam dihias sulaman
bunga tanjung. Keningnya diikat kain merah. Dia memelihara kumis, janggut dan
berewok tipis. Dia masih berkeliaran di luar sana. Dia pasti akan kembali ke
sini. Aku tidak bisa membantu kalian. Aku tidak memandang rendah kekuatan
kalian. Tapi akan lebih aman jika kalian minta bantuan para tokoh silat istana
di Kotaraja.
Pemuda
dajal bernama Cakra itu memiliki kesaktian tinggi. Karenanya dalam menghadpi
manusia itu selain mempergunakan ilmu kepandaian, kalian juga harus
mempergunakan akal seperti yang dilakukan gadis ini.”
“Terima
kasih Kek, kau telah mau memberi nasihat sangat berharga. Kami bisa menyediakan
kereta dan kusir serta pengawalan untuk membawamu dan jenasah gadis itu ke
Cadas Biru…” kata Kepala Desa Ki Bayu Sleman yang baru saja datang bersama
rombongannya.
Setan Ngompol
menatap Kepala Desa itu lalu bertanya. “Apakah kau dan orang-orangmu telah
melihat kebakaran di Baturejo?”
“Yang
terbakar ternyata hanya gudang padi kosong.” Menjelaskan Ki Bayu Sleman.
“Aku
yakin itu pekerjaannya Cakra. Selagi perhatian semua orang tertuju pada
kebakaran, dia menyusup masuk ke dalam rumah.” Setan Ngompol lantas lanjutkan
kata-katnya. “Cadas Biru tidak terlalu jauh dari sini. Selain itu aku lebih
suka menggendong cucuku ini. Aku ingin tetap berada di dekatnya sebelum tanah
makam memisahkan kami untuk selama-lamanya…”
“Kalau
begitu kami akan mengirimkan orang ke Cadas Biru untuk bantu menggali makamnya.
Permintaan yang satu ini jangan kau tolak Kek,” kata Ki Walang Bakar.
“Aku
sangat berterima kasih menerima bantuan itu. Aku berangkat duluan…”
Jawab
Setan Ngompol. Lalu kakek ini menuruni tangga rumah besar, berkelebat di
halaman dan lenyap dari pemandangan.
Sesaat
setelah Setan Ngompol pergi bersama jenasah Liris Biru dalam gendongannya, Ki
Walang Bakar segera memerintahkan orang menyiapkan beberapa ekor kuda. Delapan
orang malam itu juga berangkat menuju Cadas Biru dipimpin oleh si guru silat.
Tak lupa membawa peralatan penggali kubur. Sementara Ki Bayu Sleman pergi ke Kotaraja
untuk menemui Kepala Pasukan Kerajaan guna meminta bantuan pengamanan. Ki
Bening Surah dipercaya untuk mengatur persembunyian baru bagi Banjaratih dan
ibunya.
*******************
10
CAKRA
MENTARI merasa tubuhnya panas. Beberapa kali dia hentikan lari untuk menyelidik
apakah dirinya telah keracunan oleh cairan busuk dari kuku Liris Biru yang
menempel di pakaian hitamnya.
“Tidak
ada apa-apa dengan diriku. Tapi mengapa aku merasa panas? Mungkin terlalu
jengkel karena tidak berhasil mendapatkan puteri Tumenggung itu gara-gara gadis
bernama Liris Biru? Aku tidak boleh berlaku bodoh! Aku pasti mendapatkan
Banjaratih. Sialan cairan itu busuk sekali! Dan menempel di pakaianku! Aku
harus mencuci pakaian ini.”
Pemuda
itu terus lari ke arah timur. Dia tahu di satu tempat ada sebuah telaga kecil.
Begitu sampai di telaga langsung saja dia menceburkan diri. Setelah
membersihkan tubuh dan pakaiannya dia naik ke darat. Duduk di sebuah batu,
berangin-angin di kegelapan malam memandang ke arah telaga tanpa merasa dingin.
“Aneh,
aku tidak bisa melupakan gadis bernama Banjaratih itu. Padahal kecantikannya
tidak terlalu melebihi Sutri dan Nawangsih. Tapi harus aku akui Banjaratih
memiliki tubuh mulus, betisnya putih….”
Seolah
ada orang yang mendengar ucapan hati Cakra Mentari tiba-tiba terdengar suara
perempuan.
“Apakah
begitu sulit melupakan gadis bernama Banjaratih itu?”
Cakra
Mentari terkejut dan serta merta berdiri. Suara itu terdengar dekat sekali tapi
memandang berkeliling dia tidak melihat siapa-siapa. Dia memeriksa di balik
satu pohon besar, menyibak semak belukar. Tidak ada orang.
“Mungkin
benar aku terlalu memikirkan gadis itu. Hingga suara hatiku sendiri terdengar
seperti suara orang….” Pikir Cakra Mentari.
“Apa
diriku cukup pantas menjadi pengganti dirinya?” Kembali suara perempuan tadi
terdengar lagi. Cakra Mentari memperhatikan lagi berkeliling, memeriksa di
sekitarnya. Pemuda ini kembali ke tempatnya semula di tepi telaga lalu tertawa
gelak-gelak.
“Tawamu
menunjukkan kejantanan yang menggairahkan. Tetapi apakah ada sesuatu yang lucu
di malam ini? Atau mungkin diri ini memang tidak bisa menyamai Banjaratih
hingga kau mentertawaiku?”
“Perempuan
yang bicara. Siapa Kau? Mengapa tidak berani unjukkan diri? Aku tahu kau jelas
bukan hantu telaga atau demit hutan belantara…”
“Ah,
suaramu selembut pelukan angin malam. Sehangat cahaya sang surya tatkala
menyembul di pagi hari. Gadis mana yang tidak akan bahagia jatuh ke dalam
pangkuanmu?”
Cakra
Mentari berpaling ke kiri karena suara itu datangnya dari kiri. Namun dia tidak
melihat orang yang bicara.
“Dari
ceria suaramu, aku tahu kau adalah seorang gadis cantik. Dari desah nafasmu aku
tahu kecantikanmu melebihi Banjaratih gadis di Kuto gede itu. Kau memiliki
kegairahan alami yang tidak dimiliki gadis lain.”
“Kau
ternyata pandai memuji, membuat sejuk perasaan hati seorang dara. Membuat darah
bergelora. Kalau ternyata aku cuma seorang gadis buruk, apakah kau akan
mengejek dan menghina diriku?”
“Aku
seorang yang sangat menghormati kaum perempuan…”
“Karena
itu kau memperkosa lalu membunuh mereka?”
Cakra
Mentari terkesiap mendengar kata-kata itu. Hatinya merasa tidak enak. Perempuan
yang bicara agaknya tahu banyak tentang dirinya.
“Kau diam
saja. Apakah tiba-tiba menjadi marah padaku? Mungkin kau tidak senang pada
seorang gadis yang terlalu banyak bicara?”
“Aku
bukan lelaki pemarah. Apa lagi aku tidak mengenal dirimu. Kalau saja kau mau
memperlihatkan diri aku akan merasa sangat bahagia.” Sambil berkata Cakra
Mentari memperhatikan ke atas pohon besar di samping kanannya.
“Hai, aku
tidak bersembunyi di atas pohon. Sejak tadi aku berada di dekatmu. Kau saja
yang tidak melihat karena hatimu terlalu risau.”
Cakra
Mentari terkejut. Berpaling ke kiri dia melihat seorang gadis duduk di atas
batu dimana dia tadi duduk! Gadis ini mengenakan kebaya dan celana kuning
ketat. Rambut putih tergerai. Wajah luar biasa cantik. Sepasang mata si pemuda
seolah tertancap ke arah dada yang tersingkap lebar putih kencang dan menantang
karena potongan pakaian yang terlalu rendah. Dewi Pemikat!
“Apakah kau
mengenali diriku?” bertanya si gadis.
“Tunggu…Aku
ingat. Bukankah kau gadis yang beberapa malam lalu berada di rumah kediaman
Pangeran Aryo Dipasena?”
“Kau
mengikutiku sekitar dua hari. Kau berhasil mendekatiku di rumah Pangeran itu.
Namun agaknya ada perseteruan antara kau dengan Pangeran. Kalau tidak mengapa
Pangeran itu tiba-tiba melepaskan satu pukulan sakti ke arahmu?”
“Aku
tidak mengerti. Aku tidak punya perseteruan apa-apa dengan Pangeran itu. Aku
muncul di tempat kediamannya karena mengikutimu….”
“Begitu?
Berarti Pangeran Aryo Dipasena cemburu padamu….”
“Pangeran
itu lebih beruntung dariku. Bukankah dia berkesempatan melihat tubuhmu dalam
keadaan tanpa pakaian di tepi kolam?”
“Ah,
sekarang kau yang cemburu,” kata Dewi Pemikat. “Jadi kau juga ingin melihat aku
tanpa berpakaian. Satu saat aku akan melakukannya terhadapmu. Terserah kapan
kau maunya.”
“Mengapa
tidak sekarang?” jawab Cakra Mentari pula.
“Aku
mengerti. Kau baru saja mandi dan masih kedinginan. Kau membutuhkan kehangatan.
Selain itu tadi maksudmu tidak kesampaian terhadap Banjaratih. Bukankah kau
ingin mencari pelepasan yang membahagiakan…?”
Cakra
Mentari terdiam. Dia tidak pernah bertemu gadis yang bicara seberani yang satu
ini. Sejak beberapa lama ini dia memang mengikuti dan mengejaar gadis ini. Dan
baru sekarang bisa berdekatan begitu rupa dengannya. Ternyata si gadis banyak
tahu tentang gerak-geriknya. Dia mulai berpikir untuk berlaku hati-hati.
“Sahabat
cantik, boleh aku tahu namamu?” Cakra bertanya.
“Kalau
aku tidak bernama apakah kau mau memberikan sebuah nama?”
“Aku
tidak percaya kalau gadis secantikmu tidak punya nama. Namamu pasti bagus….”
Gadis
yang duduk di atas batu tersenyum lebar. “Namaku Dewi….” katanya.
“Nah, apa
kataku. Dugaanku tak meleset. Namamu memang bagus.” Cakra Mentari melangkah
mendekati si gadis, lalu duduk di sebuah batu rendah di sampingnya.
“Kau
sendiri, siapa namamu?” tanya Dewi Pemikat pula.
“Cakra.
Namaku Cakra Mentari….” Lalu sebelum si gadis sempat mengatakan sesuatu pemuda
ini menyambung ucapannya. “Aku akan memperlihatkan sesuatu padamu. Ini sebuah
benda langka. Tidak banyak orang beruntung melihatnya. Bagiku kau seorang
sangat istimewa. Karena itu aku akan memperlihatkannya padamu….”
Cakra
menggerakkan tangan kanan ke celana hitam. Maksudnya hendak mengeluarkan
kantong kain berisi Patung Kamasutra yang ada di saku kanan celana.
“Hai, kau
hendak memperlihatkan apamu?” tanya si gadis.
“Aku
tidak bermaksud kurang ajar….”
“Kurang
ajar mungkin tidak. Tapi nakal. Kau hendak meloloskan ikatan celanamu. Kau
hendak memperlihatkan auratmu?”
Walau
tertawa wajah Cakra Mentari menjadi merah.
“Sudahlah,
kau tak usah menunjukkan apa-apa padaku. Bagaimana kalau aku yang menunjukkan
sesuatu padamu?” Ucap Dewi Pemikat.
“Maksudmu?”
tanya Cakra Mentari.
“Maksudku
begini. Kau tetap duduk di atas batu ini. Aku pergi ke balik pohon sana…”
“Apa yang
akan kau lakukan dibalik pohon itu?” tanya Cakra Mentari.
“Kau
tunggu saja. Kau akan melihat sesuatu yang langka…” Sambil tersenyum Dewi
Pemikat bangkit berdiri. Lalu melangkah berjingkat-jingkat ke balik pohon
besar.
Tidak
lama menunggu tiba-tiba dari balik pohon melayang sebuah benda dan jatuh tepat
di hadapan Cakra Mentari. Ketika pemuda ini memperhatikan benda itu ternyata
adalah kebaya kuning milik si gadis. Dada Cakra Mentari berdebar. Aliran
darahnya menjadi cepat dan panas.
“Hai! Kau
boleh mengambil dan menciumi bajuku itu!” Terdengar suara si gadis dari balik
pohon disusul tawa menggairahkan. Cakra Mentari mengambil kebaya kuning itu dan
seolah terkena rayuan dia benar-benar menciumi baju itu. Tak selang berapa lama
dari balik pohon besar kembali melayang sebuah benda kuning dan jatuh tepat di
depan kaki Cakra Mentari. Kali ini yang dilihat si pemuda adalah celana panjang
kuning yang tadi dikenakan si gadis cantik. Tanpa disuruh Cakra Mentari
cepat-cepat mengambil celana itu lalu menciumi sepuas hati. Sekujur tubuhnya
terasa kejang dan panas. Dia berdiri dari duduknya.
“Hai!
Tunggu! Jangan kesini dulu! Semuanya belum aku buka dan lemparkan padamu…”
Suara Dewi Pemikat terdengar dari balik pohon.
Begitu
ucapan berakhir sebuah benda putih melayang dan jatuh di atas batu di samping
Cakra Mentari. Sepasang mata pemuda ini mendelik besar karena benda putih itu
adalah sehelai kain penutup dada perempuan. Dari bentuk kain penutup itu jelas
bahwa pemakainya memiliki sepasang payudara yang besar. Cakra Mentari menelan
ludah berulang-ulang. Dia memandang ke arah pohon. Saat itu sebuah benda lagi
melayang. Berwrna merah. Juga jatuh di dekat kakinya. Ketika diperhatikan
bergemuruhlah sekujur tubuh Cakra Mentari. Benda merah itu adalah pakaian dalam
sebelah bawah si gadis! Cakra Mentari mengambil kain penutup dada dan celana
merah lalu menciuminya sejadi-jadinya. Nafasnya memburu, hidung kembang kempis.
Tidak pernah dia diamuk nafsu begini rupa. Padahal telah sekian banyak gadis
yang ditelanjangi dan diperkosanya!
“Hai!
Sekarang kau boleh datang ke sini! Tapi dengan satu syarat! Kau harus
menanggalkan seluruh pakaianmu!” Suara Dewi Pemikat menggema dari balik pohon.
“Apapun
yang kau katakan akan aku lakukan Dewi!” Kata Cakra Mentari.
Pemuda
ini campakkan pakaian lauar dan dalam milik Dewi Pemikat yang dipegangnya lalu
dengan cepat membuka baju dan celana hitamnya, juga celana dalamnya. Dalam
keadaan bugil sekali lompat saja dia sudah berada di dekat pohon besar. Ketika
dia menyelinap ke balik pohon pemuda ini melengak kaget. Gadis bernama Dewi
tidak ada di tempat itu! Di kejauhan terdengar suara tawa cekikikan. Cakra
Mentari merasa tengkuknya dingin. Dia ingat pada pakaian hitamnya dan
Patung
Kamasutra. Cepat-cepat pemuda ini kembali ke tepi telaga. Dia merasa lega
pakaiannya masih lengakap ada di sana, juga Patung Kamasutra masih ada di dalam
saku celana. Namun celana dalamnya tidak ada!
“Gadis
itu mencuri celana dalamku!” Sesaat pemuda ini jadi gelisah. Ketika dia
memperhatikan lagi keadaan di tepi telaga ternyata baju dan celana kuning serta
pakaian dalam Dewi Pemikat juga tak ada lagi di tempat itu. Cakra Mentari
bersandar ke batang pohon.
“Aku
tidak mengerti. Gadis tadi apakah dia benar manusia atau makhluk jejadian?
Gerakannya luar biasa cepat. Hingga dia bisa menipuku, muncul dan menghilang
seperti kilat. Kalau saja dia berniat jahat mengambil Patung Kamasutra pasti
bisa dilakukannya. Dia tidak melakukan itu. Atau dia tidak tahu mukjizat nafsu
yang ada dalam patung? Atau sebenarnya dia memang tak punya niat jahat. Lalu
mengapa dia berbuat seperti itu? Mengapa dia mencuri celana dalamku? Apa
hubungannya dengan Pangeran Aryo Dipasena?”
Tiba-tiba
di atas pohon terdengar suara tawa cekikikan. Cakra Mentari mendongak, siap
hendak melompat ke atas namun membatalkan niatnya karena tibatiba dari atas
melayang jatuh sebuah benda. Ketika ditangkapnya benda itu ternyata adalah
celana dalam miliknya sendiri.
“Edan!
Gadis itu benar-benar mempermainkan diriku…. Dewi, kemanapun kau pergi aku akan
mengejarmu.”
Tiba-tiba
satu suara halus mengiang di telinga kanan Cakra Mentari.
“Tugasmu
jauh dari rampung. Jangan terpikat oleh pandangan mata. Jangan tergoda oleh
gairah tapi penuh perdaya….”
Cakra
Mentari mengusap telinga kanannya berulang kali. “Aku mengenali suara itu. Aku
pernah mendengar sebelumnya. Tapi apa peduliku….” Si pemuda lantas berkelebat
ke arah dimana diperkirakan perginya Dewi Pemikat.
TAMAT
No comments:
Post a Comment