Hantu Tangan Empat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
1
DI BALIK
curahan air terjun Air Lajatuh tampak dua sosok mendekam tak bergerak. Mereka
telah berada di tempat itu sebelum sang surya muncul menerangi bumi Latanahsilam.
Dari sikap keduanya dapat diduga kalau mereka tengah menunggu sesuatu. Di
langit awan pagi berarak biru. Dari arah timur serombongan burung melayang ke
jurusan barat. Sosok di sebelah kanan mengusap wajahnya. Orang ini bertubuh
besar kekar. Di pertengahan keningnya menempel sebuah benda menyerupai kaca
sebesar kuku ibu jari kaki.
“Lagandrung,
sejak dini hari kita berada di sini. Saat ini matahari sudah mulai tinggi.
Orang yang kita tunggu belum juga muncul. Apa kau yakin dia akan datang ke
sini?”
“Wahai
adikku Lagandring! Jangan kau ragukan apa yang kuketahui dan kukerjakan. Sejak
puluhan tahun, setiap pertengahan bulan ganjil Hantu Tangan Empat selalu datang
ke tempat ini untuk membersihkan diri, berlangir bersiram air bunga. Sabarkan
hatimu, kita tunggu saja. Dia pasti datang.” menjawab orang di samping kiri
Lagandring. Muka dan sosok tubuhnya sangat menyerupai Lagandrung karena mereka
berdua memang adalah saudara kembar. Satu-satunya tanda yang membedakan sang
kakak dari adiknya ialah kalau di kening Lagandring menempel kaca berwarna
merah maka di kening Lagandrung melekat kaca berwarna putih.
“Yang
membuat aku tidak sabar adalah hadiah yang menunggu kita di Istana Kebahagiaan.
Si Luhsariam itu! Wahai! Wajahnya memang tidak seberapa cantik. Tapi belum
pernah aku melihat gadis memiliki tubuh padat dan kencang seperti dia. Sewaktu
penguasa Istana Kebahagiaan menyuruhku mengintai gadis itu ketika dia sedang
mandi, rasanya mau kuterkam dia saat itu juga!”
Lagandrung
tertawa mengekeh mendengar kata-kata adiknya itu. “Kalau urusan kita selesai
dan kita membawa kepala orang itu ke hadapan penguasa Istana Kebahagiaan,
jangankan satu Luhsariam, sepuluh gadis seperti dia bakal bisa kau dapatkan!
Belakangan ini sang penguasa banyak gembiranya dan murah hati. Sebelum kita
pergi aku sempat melihat sekitar selusin perempuan cantik, kebanyakan masih
gadis-gadis diturunkan dari sebuah kereta besar di pintu gerbang Istana…”
Lagandring
menyeringai dan basahi bibirnya dengan ujung lidah. “Nasib kita memang sedang
baik. Diangkat penguasa Istana Kebahagiaan menjadi orang-orang kepercayaannya.
Aku…”
Ucapan
Lagandring terputus ketika dia melihat kakaknya membuat isyarat dengan gerakan
tangan kanan. “Aku mendengar suara sesuatu…”
Lagandring
pasang telinganya. Matanya menatap menembus curahan air terjun. “Aku belum
melihat apaapa. Tapi telingaku memang menangkap sesuatu. Suara orang
bersiul-siul. Agaknya orang itu bersiul sambil bergerak menuju ke arah air
terjun ini. Wahai! Apakah orang yang kita tunggu punya kebiasaan bersiul-siul
seperti itu?”
Lagandrung
pasang telinganya baik-baik lalu gelengkan kepala. “Siulan itu bukan siulan
biasa…”
“Membawakan
nyanyian tidak karuan nada iramanya,” kata Lagandring.
“Bukan
itu yang aku maksudkan. Siulan itu mengandung tenaga dalam tinggi. Apa kau
tidak merasakan gendang-gendang telingamu bergetar dan semilir angin seperti
berubah arah?”
“Kau
benar kakakku. Telingaku mulai terasa bergetar. Malah ada rasa sakit…” kata
Lagandring pula lalu kembali dia memandang ke depan menembus curahan air terjun
Air Lajatuh.
“Siapapun
orangnya, dia bukan orang yang kita tunggu!” berucap Lagandrung.
“Lihat!
Ada orang berkelebat di atas batu sana!”
Lagandring
berseru sambil menunjuk ke arah deretan batubatu yang mengelilingi telaga besar
di depan air terjun. Sang kakak juga sudah melihat sosok orang yang melayang
dan tegak di atas batu. Orang itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dia
memandang berkeliling sembari bersiul-siul. Rambutnya yang gondrong
melambai-lambai tertiup angin.
“Apa
kataku!” ujar Lagandrung. “Yang datang memang bukan orang yang kita tunggu.
Orang itu bukan Hantu Tangan Empat!”
“Mungkin
dia sengaja muncul dengan merubah wajah?” ujar Lagandring.
“Aku tahu
wajah asli Hantu Tangan Empat. Menurut penguasa Istana Kebahagiaan, Hantu
Tangan Empat memang bisa merubah wajah, tapi jelas bukan wajah seperti orang
yang berdiri di atas batu itu. Orang itu bertubuh kekar. Masih muda dan
berambut gondrong. Kau lihat sikapnya yang aneh. Sambil bersiul dia
cengar-cengir dan sesekali menggaruk kepala…”
“Cuma seorang
pemuda tolol. Mengapa ambil peduli!” kata Lagandring.
“Kehadiran
pemuda itu bisa merusak urusan kita! Adikku Lagandring lekas kau usir pemuda
itu dari tempat ini!”
Walau
agak malas-malasan tapi Lagandring lakukan juga perintah kakaknya itu. Sekali
lompat saja dia menembus air terjun. Demikian cepat gerakannya hingga dia tidak
sampai basah kuyup oleh jatuhan air. Sesaat kemudian dia sudah berada empat
langkah di hadapan pemuda berambut gondrong. Belum sempat membentak, pemuda di
hadapan Lagandring malah menegur lebih dulu.
“Astaga!
Kukira tidak ada orang di sekitar sini. Sahabat yang jidatnya ada kaca warna
merah, apakah kau penghuni di kawasan air terjun ini?”
“Pertama!”
Lagandring membentak yang membuat pemuda berambut gondrong pencongkan mulut
keheranan.
Dalam
hati Wiro memaki. “Sialan! Apa pertama yang dimaksudkan makhluk berkaca di
jidatnya ini!”
“Pertama!
Kita tidak bersahabat…!”
“Oh,
begitu?! Tidak bersahabat boleh-boleh saja. Aku tidak rugi, kau juga mungkin
tidak untung!”
“Kedua!”
“Kedua!
Huh…! Apa yang kedua?!” si gondrong kembali pencongkan mulutnya dan garuk-garuk
kepala.
“Kedua!
Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Walah!
Aku baru saja sampai di sini! Sudah disuruh pergi! Apa-apaan ini! Memangnya
tempat ini termasuk telaga dan air terjun itu milikmu?”
“Aku
menghitung sampai tiga! Jika pada hitungan ke tiga kau tidak angkat kaki
berarti kau minta mati!” hardik Lagandring.
Pemuda
berambut gondrong tertawa gelak-gelak. “Kau jago berhitung rupanya! Coba ini
berapa!” Si gondrong lalu acungkan satu jari tangan kanannya.
“Satu!”
teriak Lagandring. Tentu saja dia berteriak bukan menyahuti pertanyaan si
pemuda tapi sebagai memberi tanda bahwa dia sudah mulai dengan hitungan
pertama.
“Pintar!”
memuji pemuda di hadapan Lagandring sambil senyum-senyum. “Sekarang ini
berapa!” Lalu pemuda itu acungkan dua jari tangan kanan.
“Dua!”
berseru Lagandring. Mukanya mulai kaku mengetam. Kaca merah di keningnya
memancarkan sinar aneh.
“Hebat!”
seru pemuda gondrong. “Nah, kalau ini berapa?!” Dia kini acungkan tiga jari
tangan kanan.
“Tiga!”
teriak Lagandring.
Kembali
si gondrong tertawa gelak-gelak sambil tepuktepuk tangan. Tapi tawanya langsung
lenyap ketika dengan didahului suara menggembor marah tiba-tiba Lagandring
menerjangnya dengan satu serangan dahsyat. Tangan kanan memukul ke dada, kaki
kanan ikut menyusul menendang ke bawah perut. Belum lagi dua serangan itu
melesat setengah jalan, anginnya saja sudah menghantam laksana dorongan dua
batu besar!
Melihat
datangnya dua serangan ganas itu tanpa ayal si pemuda cepat melompat ke udara.
Lagandring sampai di atas batu tepat di bawah lawan yang diserang. Begitu dua
serangannya gagal, dia segera menghantam ke atas. Wussss!
Angin
sedahsyat topan prahara melabrak. Pemuda gondrong berseru keras. Dia
berjumpalitan di udara. Lalu turun dan berusaha jejakkan dua kaki di atas batu
di tepian telaga. Dia tidak menduga batu yang satu itu demikian licinnya karena
terselimut lumut. Walau dia berusaha imbangi diri namun tak urung tubuhnya
limbung dan mencebur masuk ke dalam air telaga. Untungnya telaga itu hanya
sedalam dada. Dengan cepat si pemuda bergerak menuju tepian. Lagandring tidak
memberi kesempatan. Kepalanya digoyangkan. Selarik sinar merah menyembur keluar
dari kaca merah yang melekat di keningnya.
Melihat
datangnya sambaran sinar merah yang pasti sangat berbahaya pemuda rambut
gondrong hantamkan kaki kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring, jatuh
tiga tombak dari tempatnya semula. Walau dia bisa menyelamatkan diri, namun
saat itu terjadilah satu hal yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam
si pemuda, mendarat di permukaan telaga. Air telaga serta merta berubah menjadi
merah dan bergejolak mengeluarkan suara seperti mendidih. Si pemuda berteriak
kaget ketika merasakan air telaga yang tadinya sejuk kini berubah panas luar
biasa. Sebelum sekujur tubuhnya matang direbus, pemuda ini segera melompat ke
bagian tepi telaga yang terdekat.
Lagandring
tidak tinggal diam. Dia bertindak cepat. Baru saja si gondrong menjejakkan kaki
di tepi telaga dengan sekujur tubuh mengepulkan asap panas, Lagandring telah
berada di hadapannya. Lelaki ini goyangkan kepalanya. Dan, wussss! Kembali
sinar merah melesat ganas dari kaca merah yang menempel di keningnya!
“Kurang
ajar! Jahanam satu ini benar-benar tidak memberi kesempatan padaku!” memaki si
gondrong. Dua lututnya ditekuk. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan.
Lagandring tidak sempat memperhatikan bagaimana tangan lawannya kini sebatas
siku ke bawah berubah menjadi putih berkilauan laksana perak sampai ke
ujungujung kuku! Lagandring baru sadar dan berteriak keras ketika melihat satu
cahaya putih disertai hawa panas luar biasa berkiblat menghantam ke arahnya!
Satu
letusan dahsyat menggema di tepi telaga air terjun Air Lajatuh. Tepian telaga
sepanjang sepuluh tombak runtuh. Air telaga muncrat tinggi ke atas. Lagandring
terpental empat tombak, jatuh terhenyak di dekat sebuah batu besar lalu
muntahkan darah segar. Sebagian pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu hangus
mengepulkan asap. Tubuhnya di sisi kanan termasuk tangan kanan bergetar dan
berubah kemerah-merahan seperti terpanggang. Di bagian lain pemuda berambut
gondrong terguling-guling di tanah. Walau dia berhasil bangun namun nampak
lututnya agak goyah dan mukanya pucat tak berdarah. Sepasang matanya memandang
mendelik pada Lagandring.
“Untung
tubuhku sudah berubah besar begini. Kalau masih cebol seperti dulu, bentrokan
pukulan sakti tadi pasti akan membuatku konyol!” Si pemuda membatin. Dari
kata-kata yang diucapkan dalam hati ini serta melihat kepada ciri-cirinya sudah
bisa diduga si pemuda bukan lain adalah pendekar kita, murid Eyang Sinto
Gendeng Wiro Sableng yang jalan hidupnya telah membawa dirinya terpesat ke
Negeri Latanahsilam, satu negeri 1200 tahun silam.
Tiba-tiba
Lagandring berdiri. Matanya menyala laksana api. Tangan kanannya bergerak
mencabut kaca merah yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit seperti
membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam genggamannya mengepulkan asap. Di
saat yang sama tubuhnya berubah menjadi besar dan tinggi.
“Astaga!
Dia berubah menjadi dua kali lebih besar!”
Pendekar
212 tercekat. Kalau tadi dia masih mengerahkan setengah saja dari tenaga
dalamnya, kini dia alirkan seluruh hawa sakti yang ada dalam tubuhnya ke tangan
kanan. “Akan kuhantam selangkangannya! Masakan tidak amblas!” kata Wiro dalam
hati. Tangan kanannya segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada saat
dia siap menghantam tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat sesosok tubuh.
Menyusul suara orang berseru.
“Lagandring!
Tinggalkan pemuda itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!”
**********************
2
LAGANDRING
menyeringai buruk. “Kau masih untung anak muda! Kalau tidak ada urusan lain
yang lebih penting pasti sudah kupanggang kau dengan Sinar Darah Merah!”
Wiro
Sableng menyeringai lalu menjawab. “Sebenarnya kau yang lebih beruntung!
Tadinya aku sudah siap merubah perabotan di bawah perutmu menjadi lontong basi
dan telor rebus busuk!”
“Pemuda
jahanam! Kali ini kau kulepas hidup-hidup! Tapi jika sekali lagi kau berani
unjukkan diri dan bertingkah di hadapanku, wahai…, kupanggang habis tubuhmu
mulai dari kepala sampai kaki!”
Lagandring
batuk-batuk lalu meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah tanda bentrokan pukulan
sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah menyebabkan
dirinya terluka di dalam. Kaca merah yang tadi ditanggalkannya kini dipasangnya
kembali ke keningnya. Saat itu juga tubuhnya kembali menjadi sebesar dan
setinggi semula.
Diam-diam
Wiro Sableng menarik nafas lega juga walau sebenarnya dia tidak merasa takut
untuk meneruskan pertarungan. “Ilmunya aneh. Dia bisa merubah diri menjadi dua
kali lebih besar. Seperti raksasa! Melihat gelagatnya dia bukan bangsa makhluk
baik-baik. Dia bicara segala macam urusan penting. Lalu siapa tadi yang berseru
padanya dan melesat dari balik air terjun sana?”
Wiro
ikuti kepergian Lagandring dengan pandangan mata. Ternyata orang itu berkelebat
ke arah timur air terjun. Air terjun itu mengingatkan Wiro pada tempat kediaman
Hantu Tangan Empat yang dulu pernah dikunjunginya bersama Peri Angsa Putih. Di
situ telah menunggu seseorang yang bentuk sosok serta wajahnya sangat mirip
dengan Lagandring. Kedua orang itu tampak bicara cepat lalu menyelinap ke balik
sebuah batu besar di belakang batang kayu yang tumbuh miring di tepi telaga.
“Agaknya
akan terjadi sesuatu di tempat ini. Sementara aku menunggu teman-teman, tak ada
salahnya mencari tahu apa yang hendak dikerjakan dua orang itu. Mereka seperti
kembar!” Lalu Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Tanpa suara
dia melesat naik ke atas pohon berdaun rindang.
Tak lama
menunggu, dari balik pepohonan di sebelah kiri air terjun Wiro melihat sosok
seorang kakek berambut putih panjang riap-riapan. Kumis serta janggutnya juga
putih panjang. Jidat, hidung dan pipi sama rata. Di bahu kirinya tergantung
sebuah kantung jerami. Walau cukup jauh namun Wiro segera bisa mengenali kakek
itu bukan lain adalah Hantu Tangan Empat.
“Dicari-cari
susah bertemu. Kini kakek itu tahu-tahu muncul dekat air terjun. Apa yang
hendak dilakukannya di tempat ini…”
Memandang
ke kiri Wiro melihat sepasang manusia kembar yang jidatnya dipasangi kaca putih
dan merah berkelebat dari balik pohon ke pohon lainnya, mendekati arah di mana
Hantu Tangan Empat berdiri tengah menikmati pemandangan indah sekitar telaga
dan air terjun. Wiro berpikir-pikir. “Jangan-jangan urusan penting yang tadi
dikatakan orang itu ada sangkut pautnya dengan Hantu Tangan Empat…” Wiro terus
memperhatikan.
Di
tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat mengambil sesuatu dari dalam kantung
jerami. Ternyata yang dikeluarkannya dari dalam kantung itu adalah segenggam
bunga berbagai rupa dan warna. Bunga-bunga itu kemudian ditebarnya di permukaan
air sambil melangkah sekeliling tepi telaga. Di satu tempat mendadak langkah si
kakek tertahan. Sepasang matanya menatap ke bagian atas telaga. Segenggam bunga
terakhir yang barusan dilempar ditebarkannya ke dalam telaga tidak luruh jatuh
ke atas air, tetapi tergantung di udara, sepuluh jengkal dari permukaan air
telaga!
“Wahai…
Bagaimana mungkin bunga-bunga itu melayang di udara, jatuh tidak bergerak pun
tidak,” si kakek membatin. Dia memandang berkeliling. Lalu tampak dia tersenyum
dan usap-usap janggut putihnya. “Ada orang yang sengaja hendak unjukkan
kehebatan tenaga dalam. Sengaja menahan jatuhnya bunga ke atas air. Satu
peragaan yang hebat. Apakah di balik kehebatan ini tersembunyi maksud baik atau
maksud buruk…?”
Di atas
pohon Wiro juga telah melihat apa yang terjadi. Dia melirik ke kiri di mana dua
orang kembar tadi terus berkelebat mendekati Hantu Tangan Empat. Tidak seperti
tadi kali ini sambil bergerak mereka angkat tangan kiri ke samping, sama datar
dengan tingginya bunga-bunga yang tergantung di permukaan telaga. Tak selang
berapa lama ke duanya melintas di bawah pohon di atas mana Wiro berada. Di sini
mereka mendekam sesaat. Tegak tak bergerak sambil dua tangan direntang ke
samping sama tinggi dengan bunga-bunga yang menggantung di atas air telaga.
Di
tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat kelihatan terus saja mengusap-usap
janggutnya dengan tangan kanan. Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat lalu
ditempelkan menyilang di atas dada. Bunga-bunga di atas telaga yang tadinya
diam menggantung di udara perlahanlahan bergerak turun ke bawah. Dari sini
sudah bisa dinilai bagaimana tingkat tenaga dalam Lagandrung yang digabung
dengan Lagandring masih kalah dengan yang dimiliki si kakek berjuluk Hantu
Tangan Empat itu.
“Lagandring!
Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak adu kekuatan.
Kita berdua dia sendiri masakan kalah!”
Mendengar
ucapan kakaknya itu Lagandring segera salurkan seluruh tenaga dalamnya ke
tangan kiri kanan. Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya pengerahan
tenaga dalam dua saudara kembar itu, sepasang kaki mereka sampai amblas
setengah jengkal dan tanah yang mereka pijak kelihatan kepulkan asap!
Di atas
batu di tepi telaga kakek berjuluk Hantu Tangan Empat melihat bunga di atas air
telaga bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan dia merasakan pula dua kakinya
mulai bergetar. Getaran itu turun ke batu yang dipijaknya! Hantu Tangan Empat
adalah seorang tokoh disegani yang memiliki kesaktian tinggi serta tenaga dalam
yang sudah mencapai puncaknya. Namun diserang gabungan dua kekuatan lawan
begitu rupa tak urung dia mengalami kesulitan.
Hantu
Tangan Empat memandang ke arah bunga-bunga di atas permukaan telaga. “Sebentar
lagi bunga-bunga itu akan hancur jadi bubuk. Kalau aku tidak sanggup bertahan,
kekuatan tenaga dalam yang menyerang bisa mencelakai diriku…” Si kakek lalu
kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Namun dia tak bisa bertahan
lama. Apa yang barusan diduganya menjadi kenyataan sesaat kemudian.
Deessss!
Dessss! Dessss! Terdengar suara berkepanjangan menyusul suara byaar… byaarr…
byaaar! Belasan bunga yang menggantung di atas telaga hancur menjadi bubuk. Di
atas batu, Hantu Tangan Empat merasakan tekanan sangat hebat melanda dadanya.
Wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
Sementara
itu di atas pohon Wiro yang menyaksikan apa yang terjadi mulai merasa khawatir.
“Aku tidak suka pada dua cecunguk kembar ini. Apalagi dia hendak mencelakai
Hantu Tangan Empat, orang yang pernah menolongku. Kakek Peri Angsa Putih…”
Habis berkata begitu Wiro lalu turunkan ke bawah celana putihnya. Lalu, serrrr…
Enak saja dia kencingi dua orang yang ada di bawah pohon. Lagandrung dan
Lagandring yang tengah memusatkan kekuatan tenaga dalam dan hampir dapat
menghantam Hantu Tangan Empat sama-sama berseru kaget ketika dari atas ada
kucuran air menyirami kepala dan sebagian tubuh mereka.
“Hujan
aneh! Mengapa hanya terjadi di sini!” seru Lagandring.
“Ini
bukan hujan!” teriak Lagandrung. “Air hujan tidak hangat begini!” Lagandrung
lalu dekatkan lengan kirinya yang basah ke hidung. “Sial kurang ajar! Air bau!
Ini air kencing!”
Lagandring
tiru perbuatan abangnya dan mengendus air yang membasahi bahunya. “Memang air
kencing! Jahanam! Siapa yang berani melakukan pekerjaan gila ini!”
Dua kakak
adik itu mendongak ke atas pohon. Mereka tidak melihat siapa-siapa karena
sebelumnya Wiro Sableng telah melompat ke pohon di sebelahnya lalu menyelinap
turun dan lari ke arah tepi telaga di mana Hantu Tangan Empat tegak berdiri.
“Anak
muda! Siapa kau?!” Hantu Tangan Empat menegur penuh curiga.
“Kek,
masakan kau lupa pada saya? Saya Wiro Sableng, sahabat cucumu Peri Angsa Putih.
Orang yang kau tolong tempo hari…”
Si kakek
kerenyitkan kening. “Wahai! Aku ingat sekarang! Kau muncul pada saat yang
salah, anak muda dari jagat seribu dua ratus tahun mendatang. Tapi,
janganjangan kau yang barusan memamerkan kekuatan mengajak aku bertanding
kehebatan tenaga dalam!” Si kakek pelototi Wiro dari kepala sampai ke kaki
dengan perasaan curiga.
“Kek,
masakan saya berani berlaku kurang ajar padamu. Lagi pula dibanding dengan
dirimu, saya ini punya kepandaian apa?!” ujar Wiro.
“Heeee…”
Hantu Tangan Empat masih saja memperhatikan Wiro dengan seksama dan curiga.
“Kek,
orang yang patut kau curigai adalah sepasang manusia kembar yang jidatnya
ditempel kaca. Satu kaca merah satu kaca putih. Mereka sudah sejak lama ada di
sini menunggu kehadiranmu. Jika dugaan saya tidak salah pasti sebentar lagi
mereka akan muncul di sini…”
Baru saja
Wiro berkata begitu tiba-tiba dua sosok berkelebat dan tegak di hadapan Hantu
Tangan Empat.
“Anak
muda, jika dua orang ini yang kau maksudkan rasanya aku tidak perlu khawatir.
Mereka adalah dua sahabat lama yang puluhan tahun tidak pernah berjumpa!”
kata
Hantu Tangan Empat pula begitu mengenali siapa yang datang. “Wahai sahabatku
Lagandrung dan Lagandring sungguh hatiku senang melihat kau muncul di sini.
Kabar gembira apakah yang bisa kita perbincangkan setelah sekian lama tidak
bertemu? Tetapi, apakah kalian berdua bisa menunggu sampai aku selesai mandi di
telaga?” Sementara dia berkata begitu di dalam hati Hantu Tangan Empat
diam-diam kembali merasa curiga terhadap Wiro. Bagaimana pemuda itu tadi mengatakan
bahwa dua orang inilah yang telah mengajaknya bertanding kekuatan tenaga dalam
hingga bunga-bunga di atas telaga hancur menjadi bubuk. “Jangan-jangan pemuda
ini memutar balik kenyataan. Jangan-jangan dia merasa sakit hati karena dulu
aku tidak menolongnya sepenuh hati bahkan tidak mampu membuat dirinya dan dua
temannya menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam.” Selagi Hantu
Tangan Empat membatin seperti itu, Lagandring dan Lagandrung saling pandang
lalu sama-sama menyeringai.
“Wahai
Hantu Tangan Empat,” Lagandrung angkat bicara. “Kedatangan kami tidak membawa
berita menyenangkan. Kami muncul tidak pula dengan niat gembira
berbincang-bincang…”
“Wahai!
Kalian masih seperti dulu saja. Serba kesusu, selalu sibuk hingga tidak bisa
berbagi waktu dengan para teman.”
Lagandrung
gelengkan kepala. “Ketahuilah wahai Hantu Tangan Empat, kami datang membawa
berita sedih. Jangan terkejut. Kami diperintahkan untuk mengambil kepalamu!”
Wiro
tersentak kaget. Sebaliknya Hantu Tangan Empat tidak tampak terkejut. Malah dia
tertawa bergelak.
“Lagandrung!
Sejak kapan kau pandai melawak!”
“Kami
tidak melawak!” membentak Lagandring. Sang adik memang punya sifat lekas naik
darah. Tawa Hantu Tangan Empat langsung terputus. Wajahnya kini berubah. Tapi
hatinya masih tidak percaya.
Maka dia
bertanya. “Kalau kalian tidak sedang membanyol, lalu siapakah yang
memerintahkan kalian mengambil kepalaku?!”
“Hantu
Muka Dua!” jawab dua lelaki kembar itu berbarengan.
**********************
3
PENDEKAR
212 menyumpah dalam hati begitu mendengar nama yang disebutkan dua lelaki
kembar itu. Hantu Tangan Empat sendiri selain kaget juga cepat menilai keadaan.
Tadi dia hampir sempat dirobohkan oleh dua orang itu dalam adu kekuatan tenaga
dalam. Walau dia jauh dari rasa takut tapi naga-naganya jika terjadi
pertarungan antara dia dengan Lagandrung dan Lagandring, tidak akan mudah
baginya menghadapi dua orang itu.
“Lagandrung
dan Lagandring, aku merasa kurang percaya kalau kalian berdua diberi perintah
oleh Hantu Muka Dua untuk membunuhku! Mungkin kalian tidak tahu, tapi sampai
saat ini aku sendiri berada di bawah kekuasaan orang yang merasa dirinya
sebagai Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini…”
“Hantu
Muka Dua punya alasan minta nyawa dan kepalamu, wahai Hantu Tangan Empat…”
“Dia
mengatakan pada kalian alasannya itu?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Hantu
Muka Dua marah besar. Kau menghilang setelah gagal melakukan perintahnya!”
jawab Lagandrung pula.
“Perintahnya
yang mana?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Jangan
berpura-pura tidak tahu!” sentak Lagandring.
Lagandrung
menyambung. “Kau diperintahkan ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang.
Untuk membunuh tiga orang dan mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu. Kau gagal
malah menghilang tidak berani menghadap Hantu Muka Dua. Lalu ada yang memberi
tahu pada penguasa Istana Kebahagiaan itu bahwa kau justru telah membantu tiga
orang yang seharusnya dibunuh itu…”
“Betul!
Membuat mereka jadi lebih besar dari sosok aslinya!” kata Lagandring.
“Kalau
kini Hantu Muka Dua minta kami mengambil kepalamu, apa kau berani melawan?
Seharusnya hal ini sudah dilakukannya begitu kau kembali menginjakkan kaki di
Negeri Latanahsilam ini.”
“Wahai
apa kalian berdua tahu, aku terpaksa tunduk pada Hantu Muka Dua karena dia
menguasai istriku Luhbarini. Sekarang terbukti jahatnya! Setelah menculik dan
menguasai Luhbarini dia masih mau memerintah kalian untuk membunuhku!”
“Kalau
begitu, selain kau pasrahkan istrimu, kau juga pasrahkan diri sendiri untuk
kami bunuh!” kata Lagandrung pula sambil menyeringai.
“Wahai!
Kalau sebagai sahabat kalian tega melakukannya, kalian tunggu apa lagi? Cepat
saja turun tangan. Apa aku pasrah atau bagaimana lihat saja nanti! Namun
sebelum kalian bertindak izinkan aku mandi di telaga ini untuk terakhir kali!”
Habis berkata begitu Hantu Tangan Empat mengeruk kantung jerami yang tergantung
di bahunya, mengeluarkan segenggam bunga. Bunga aneka warna ini kemudian
ditebarkannya di permukaan air telaga sambil mulai melangkah seolah Lagandrung
dan Lagandring tidak ada di tempat itu.
Melihat
diri mereka dipandang enteng marahlah dua lelaki kembar itu. Keduanya segera
menyerbu.
“Tahan!”
tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru dan melompat ke tengah kalangan.
“Pemuda
keparat! Berani-beraninya kau masih ada di tempat ini!” hardik Lagandring.
“Jangan-jangan
dia yang tadi mengencingi kita dari atas pohon!” ujar Lagandrung dengan muka
beringas penuh berang.
“Kalian
pernah bersahabat, mengapa sekarang mau saja disuruh Hantu Muka Dua membunuh
kakek ini, sahabat sendiri?!”
“Itulah
kehidupan, wahai anak muda. Hari ini teman, besok lawan. Hari ini saudara besok
jadi seteru…”
“Oh,
begitu…?” ujar Wiro sambil angguk-angguk dan garuk-garuk kepala. “Kurasa
kehidupan macam itu hanya bisa terjadi karena ada manusia-manusia culas munafik
atau karena tergoda sesuatu. Melihat tampang-tampang kalian, jangankan teman,
kalau Hantu Muka Dua menyuruh bunuh istri atau ibu kalian sendiri, pasti kalian
lakukan! Iya, kan?!”
“Jahanam!
Lagandring lekas kau bunuh bangsat satu ini!” teriak Lagandrung pada adiknya.
Lalu tanpa menunggu lebih lama Lagandrung melompat menyerang Hantu Tangan
Empat. Lagandring sendiri sudah lebih dulu menyergap Wiro.
“Aku
sudah memberi ingat! Kalau kau berani lagi unjuk diri dan bertingkah di depanku
akan kupanggang sekujur tubuhmu! Mulai dari kepala sampai kaki! Kau keras
kepala. Aku mau tahu sampai di mana kerasnya kepalamu, pemuda tolol!”
Lagandring
goyangkan kepalanya. Dari kaca merah yang menempel di keningnya berserabutan
keluar sinar merah angker. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sinar Darah
Merah.
Seperti
tadi murid Sinto Gendeng hendak hadapi serangan lawan dengan pukulan Sinar
Matahari. Namun di saat terakhir dia putuskan menghantam dengan pukulan Tangan
Dewa Menghantam Matahari. Ini adalah jurus atau ilmu pukulan sakti inti pertama
yang berasal dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang berisi Delapan Sabda Dewa dan
disebut Enam Inti Kekuatan Dewa (Baca serial Wiro Sableng “Wasiat Iblis” s/d
“Kiamat Di Pangandaran” terdiri dari 8 episode).
Lagandring
tersentak dan berseru kaget ketika melihat bagaimana satu gelombang angin
dahsyat membuat sinar merah yang keluar dari kaca sakti di keningnya mencelat
ke atas. Dia kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnya tubuhnya ikut terangkat
ke atas. Sambil membentak garang Lagandring kembali goyangkan kepalanya. Sinar
merah dari dalam kaca di kening menyapu keluarkan suara seperti seratus ular
mendesis.
Wiro tak
tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya, dua telapak tangan didorong ke atas.
Laksana disambar halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan
mengeluarkan beberapa kali suara letusan yang menggetarkan seantero telaga. Air
terjun seolah berhenti mengalir untuk sepersekian kejapan mata!
Di tepi
telaga Lagandring terkapar dengan mata mendelik, mulut ternganga dan tubuh
seperti lumpuh. Darah mengucur dari sela bibir dan hidungnya. Sebelumnya
sewaktu bertarung melawan Wiro, orang ini sempat menderita luka di dalam.
Bentrokan yang terjadi barusan membuka lukanya bertambah parah. Kalau saja
bukan Lagandring mungkin saat itu sudah megap-megap meregang nyawa!
Beberapa
belas langkah di sebelah kanan telaga, Pendekar 212 Wiro Sableng terduduk di
tanah dengan tubuh tergontai-gontai. Di pelupuk matanya dia seolah masih
melihat sinar merah darah pukulan sakti yang dilepaskan lawan. Walau dia
memejamkan mata sekalipun untuk beberapa saat lamanya sinar merah itu masih
menyelubungi pemandangannya. Dadanya berdegup keras tanda jantung dan jalan
darahnya berada dalam keadaan tidak wajar. Murid Sinto Gendeng cepat duduk
bersila, atur jalan darah dan pernafasannya. Perlahan-lahan dia kerahkan tenaga
dalam ke bagian tubuh yang dirasakannya cidera. Selagi keadaannya belum pulih
betul, di depan sana dilihatnya Lagandring dengan terhuyunghuyung bangkit
berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah di keningnya.
“Dia
hendak merubah dirinya menjadi raksasa kembali!” Wiro sadar apa yang akan
segera terjadi.
Terhuyung-huyung
dia bangkit pula berdiri. Sebelum kaca merah di tangan lawan mengepulkan asap,
Wiro segera melabrak Lagandring dengan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung! Ini
adalah jurus silat yang dipelajarinya dari seorang tokoh beken di Pulau Andalas
dikenal dengan panggilan Tua Gila (Siapa adanya Tua Gila harap baca serial Wiro
Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas”).
Lagandring
berseru kaget ketika laksana kilat, tangan kanan lawan menyambar ke arah batok
kepalanya. Kalau tidak cepat dia rundukkan badan pasti kepalanya kena dihajar
Wiro. Mukanya pucat dan tengkuknya menjadi dingin.
Ternyata
jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung yang dikeluarkan Wiro hanya tipuan belaka.
Karena yang diincar murid Sinto Gendeng ini adalah kaca merah di tangan kanan
lawan. Dia menyadari kesaktian benda aneh itulah yang menjadi andalan
Lagandring dan sanggup merubah dirinya menjadi raksasa dengan bobot dua kali
lebih besar aslinya. Karenanya begitu tangan kanan lancarkan serangan ganas,
Wiro pergunakan tangan kiri untuk merampas kaca merah di tangan lawan.
Tapi
Lagandring rupanya cepat membaca maksud sang pendekar. Begitu tangan kiri Wiro
berkelebat dia ayunkan kaki kanan kirimkan tendangan menyilang. Karena tidak
mau tangannya cidera dihantam kaki lawan, murid Sinto Gendeng angkat tangan
kirinya sebatas dada lalu dengan tangan itu dia menghantam sisi kanan tubuh
Lagandring. Untungnya Lagandring telah bersurut mundur satu langkah, kalau
tidak, hantaman Wiro akan mendarat telak di barisan tulang-tulang iganya
sebelah kanan! Walau selamat dari cidera berat tak urung pukulan Wiro membuat
Lagandring terpental tiga langkah dan sesak nafasnya.
Sambil
menahan sakit Lagandring usap-usap kaca merah dengan jari-jari tangan kanan.
Wiro tak mau membuang waktu. Sebelumnya dia telah melihat Lagandring melakukan
hal itu dan tubuhnya kemudian berubah menjadi besar serta tinggi. Sebelum kaca
merah mengeluarkan kepulan asap dia kembali menghantam. Kali ini Wiro lepaskan
pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.
Kembali
Lagandring keluarkan teriakan kaget. Tubuhnya terangkat ke udara sampai dua
jengkal. Cepat dia kerahkan tenaga dalam. Sambil lepaskan pukulan dengan tangan
kiri dia teruskan mengusap kaca merah di tangan kanan.
“Celaka!
Aku tak berhasil mencegah!” ujar Wiro sewaktu melihat bagaimana sosok lawannya
berubah menjadi besar dan tambah tinggi hampir menyandak cabang pohon di
atasnya! Wiro merasa dirinya seolah kembali ketika dirinya setinggi lutut.
Sambil menyeringai Lagandring maju mendekati Wiro. Setiap langkah yang
dibuatnya mengeluarkan suara keras dan menggetarkan tanah walau tidak sehebat
langkah kaki batu Lakasipo (Baca “Bola Bola Iblis”).
Wutttt!
Tiba-tiba
kaki kanan Lagandring menderu. Belum lagi tendangannya sampai, angin sudah
menyambar laksana topan prahara. Semak belukar hancur rambas beterbangan,
pohon-pohon di kiri kanan berderak patah.
“Mati
aku!” jerit Wiro ketika tubuhnya ikut tersapu.
Begitu
jatuh di antara semak belukar dia segera menyelinap. Tapi Lagandring bergerak
cepat sekali. Belum sempat Wiro bangkit berdiri, kaki Lagandring sudah berada
di depannya dan kembali menendang. Wiro jatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Dia masih bisa selamatkan diri walau angin tendangan membuat tubuhnya melesak
tertelungkup satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Wiro sempat keluarkan dirinya
dari dalam lobang, kaki kanan Lagandring telah menghunjam ke punggungnya.
Selain itu dari kaca merah yang ada di tangan kanan lawan menyambar keluar
pukulan Sinar Darah Merah. Sekali ini nyawa murid Sinto Gendeng tidak tertolong
lagi. Kalaupun ada keajaiban menyelamatkan dirinya dan membuatnya masih bisa
bernafas maka dia akan hidup dengan tubuh bungkuk cacat karena patah tulang
punggung. Selain itu sinar merah yang keluar dari kaca sakti Lagandring akan
memanggang sebagian tubuhnya.
Dalam
kesulitan seperti itu apalagi keadaannya tertelungkup membelakangi lawan, Wiro
ambil keputusan untuk lepaskan pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar
dengan tangan kiri sedang tangan kanan dengan tenaga dalam penuh dia hendak
melepas Pukulan Sinar Matahari. Di saat yang benar-benar menegangkan itu
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. Menyusul suara orang berucap.
Dari suaranya jelas dia adalah seorang kakek-kakek.
“Anak
tolol! Percuma kau punya ilmu Belut Menyusup Tanah! Mengapa tidak pergunakan
ilmu itu untuk selamatkan diri?!”
**********************
4
PENDEKAR
212 Wiro Sableng terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Dia memang punya
ilmu atau jurus yang barusan disebut orang yaitu warisan Eyang Sinto Gendeng
sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Selama ini hampir tidak pernah
dikeluarkan karena memang mungkin belum menemukan keadaan yang cocok. Kini dia
tidak mau berpikir lebih lama. Dua kakinya serta merta lurus lalu bergelung.
Tangannya di sebelah atas lurus lalu menekuk. Begitu dia membuat gerakan dengan
pengerahan tenaga dalam di bagian perut maka secara aneh sosoknya laksana
seekor belut licin melesat di atas tanah, menembus semak belukar.
Braaakkk!
Bummmm!
Kaki
kanan Lagandring menghantam tanah hingga menguak lubang sedalam dua jengkal.
Pukulan Sinar Darah Merah melabrak akar pohon besar hingga berserabutan dan
terpanggang hangus. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap entah ke mana!
“Jahanam!
Ke mana perginya pemuda keparat itu!” Maki Lagandring. Dengan geram dia
memandang berkeliling. Dia bukan saja mencari ke mana lenyapnya Wiro tapi
sekaligus menyelidik siapa yang barusan bicara memberi bisikan pada si pemuda
hingga lawannya itu bisa lolos!
Tapi
Lagandring tidak melihat siapa-siapa. Selagi dia tertegak geram seperti itu
tiba-tiba dari atas pohon melayang sesosok tubuh. Lagandring cepat balikkan
diri begitu dia merasa ada sambaran angin. Namun terlambat. Dua tangan yang
meskipun kecil dibanding dengan tangannya menggelung lehernya. Sebuah tumit
menekan urat besar di lehernya hingga tubuhnya seperti setengah kaku. Nafasnya
megap-megap dan lidah terjulur sementara tulang lehernya seperti mau berderak
patah.
“Jahanam!
Kukunyah tubuhmu!” teriak Lagandring.
Dicekalnya
sosok yang mencekik tubuhnya lalu, bukkk!
Dibantingnya
ke tanah. Namun akibat gerakannya itu, kaca merah yang ada dalam genggamannya
terlepas jatuh ke tanah, menggelinding ke dekat orang yang barusan dibantingnya.
Orang ini ternyata adalah Wiro Sableng. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah murid
Sinto Gendeng berjumpalitan lalu siap menyelinap ke balik pohon selamatkan
diri. Ketika hendak melompat dia sempat melihat kaca merah milik Lagandring
menggelinding di tanah dan menyusup masuk ke dalam semak belukar. Wiro cepat
sambar benda itu, lalu sembunyikan di balik pakaiannya.
Karena
tidak lagi memegang kaca merah sakti, sosok Lagandring perlahan-lahan mengecil
seperti semula Mukanya pucat tubuhnya miring seperti layangan singit. Dia
memandang kian kemari mencari-cari kaca merahnya. Melihat lawan tidak lagi
sebesar tadi tanpa tunggu lebih lama Wiro berkelebat keluar dari balik pohon
langsung menyerang.
Diterjang
secara tiba-tiba Lagandring berseru kaget. Dia balas menyerang hingga
terjadilah perkelahian hebat. Setelah sepuluh jurus berlalu terlihatlah bahwa
ilmu silat tangan kosong Lagandring berada jauh di bawah Wiro. Apalagi
jurus-jurus yang dimainkan Wiro serba asing baginya. Maka tak urung Lagandring
menjadi bulanbulanan. Untungnya Wiro tidak punya niat jahat. Serangannya lebih
banyak mempermainkan lawan seperti menggelitik, menjewer, menendang bokong dan
paling akhir, di puncak kejahilannya, Wiro tarik lepas celana Lagandring yang
terbuat dari kulit kayu hingga orang ini kalang kabut.
“Lagandring!
Lekas tinggalkan tempat ini!” Tiba-tiba terdengar seruan Lagandrung. Dalam
keadaan seperti itu tentu saja Lagandring tidak pikir panjang. Tanpa banyak
bicara dia menghambur lari mengikuti kakaknya walau untuk itu dia masih ketiban
nasib sial karena pantatnya sempat ditendang Wiro!
Apa yang
terjadi dengan Lagandrung?
Setelah
memerintahkan adiknya menyerang Wiro, Lagandrung langsung menyerbu Hantu Tangan
Empat yang acuh tak acuh terus saja menebar kembang di atas permukaan air
telaga. Pukulan-pukulan Lagandrung datang laksana air bah. Hantu Tangan Empat
pergunakan bunga dalam genggamannya untuk menangkis serangan lawan. Walau cuma
bunga lembut namun karena sudah diisi tenaga dalam, bunga-bunga itu berubah
laksana menjadi batu dan melesat menyambar bersiuran ke arah Lagandrung.
Orang
lain mungkin akan sulit menghindari serangan belasan bunga itu. Tapi Lagandrung
dengan mudah bisa mengelak. Ketika dia kembali hendak menyerbu, di hadapannya
Hantu Tangan Empat angkat tangan seraya berkata.
“Kita
pernah bersahabat! Jangan kau termakan perintah jahat Hantu Muka Dua! Habisi
semua kegilaan ini sampai di sini!” Hantu Tangan Empat memandang ke langit.
“Wahai! Matahari sudah tinggi. Aku perlu cepatcepat mandi!”
Lagandrung
meludah dan menjawab dengan seringai mengejek. “Kau boleh mandi kalau air
telaga sudah kucampur dengan darahmu!”
Habis
berkata begitu Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari kaca putih yang menempel di
keningnya menderu sinar putih sangat panas.
Hantu
Tangan Empat lemparkan kantung jerami yang ada di bahunya. Benda ini hancur
lebur berantakan. Sinar putih panas terus menyambar ke arah curahan air terjun.
Terdengar berkepanjangan suara seperti besi panas dicelup ke dalam besi sewaktu
sinar putih menembus curahan air terjun. Lalu dinding batu di belakang air
terjun kelihatan terkuak, sesaat kemudian hancur berantakan!
“Hantu
Tangan Empat! Kau lari ke mana?! Jangan harap bisa lolos dari tanganku!”
Lagandrung berteriak ketika dia tidak lagi melihat si kakek.
“Aku
berada di sini, Lagandrung! Himbauan seorang teman tidak kau dengar. Apalagi
harus kulakukan? Aku terpaksa mengajarkan adab bersopan santun padamu wahai
Lagandrung!”
Lagandrung
kertakkan rahang. Dia balikkan tubuh. Hantu Tangan Empat dilihatnya duduk
bersila di atas sebuah batu besar di tepi telaga, menatap menyeringai ke
arahnya. Ketika dia memperhatikan ternyata si kakek sebenarnya tidak duduk
bersila di atas batu itu karena sosoknya menggantung di udara satu jengkal di
atas batu!
Dari apa
yang disaksikannya itu sebenarnya Lagandrung menyadari bahwa ilmu dan tenaga
dalam Hantu Tangan Empat berada jauh di atasnya. Namun karena sudah kepalang
tanggung, untuk mundur begitu saja tentu dia merasa malu.
“Hantu
Tangan Empat, bicaramu sombong amat. Hendak mengajarkan tata cara bersopan
santun padaku! Padahal sebelum kita dilahirkan adab sopan santun itu sudah ada
di Negeri Latanahsilam ini! Karenanya biar aku saja yang memberi pelajaran
padamu. Kau tak lebih dari seorang kacung yang tidak becus melakukan perintah
tuan besarnya! Jadi pantas kepalamu kucopot dari tubuhmu!”
Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh. “Ingin aku melihat bagaimana caramu mencopot
leherku!” katanya.
Lalu dia
ulurkan kepalanya. Lehernya mendadak berubah panjang. Selagi Lagandrung
keheranan tahu-tahu muka Hantu Tangan Empat sudah berada hanya satu jengkal di
depan wajahnya!
“Jahanam!
Kau kira aku takut dengan segala ilmu setan yang kau pamerkan! Putus lehermu!”
Lagandrung
goyangkan kepalanya. Dari cermin putih yang ada di keningnya tiba-tiba melesat
sinar putih menyilaukan. Anehnya sinar ini berbentuk demikian rupa menyerupai
sosok sebilah pedang. Cepat sekali pedang jejadian itu menabas leher Hantu
Tangan Empat yang telah berubah menjadi panjang! Inilah ilmu pukulan Sinar
Darah Putih!
“Ilmu
sihir picisan! Siapa takut!” kata Hantu Tangan Empat lalu tertawa mengekeh.
Sesaat
lagi pedang cahaya itu akan menabas leher si kakek tiba-tiba dua tangan
berkelebat. Satu mencekal hulu pedang, satu menangkap bagian badan. Dua tangan
itu tampak mengepulkan asap. Hantu Tangan Empat mengerenyit menahan panas luar
biasa sinar putih yang dicekalnya. Ketika tangan itu memuntir, sinar putih
meliuk. Kepala Lagandrung ikut meliuk. Lagandrung menjerit kesakitan. Sambil
melompat mundur dia terpaksa tarik kembali serangan sinar putih. Ketika dia
memandang ke depan nyali Lagandrung nyaris leleh.
Di
hadapannya sosok Hantu Tangan Empat yang tadinya berupa seorang kakek berwajah
rata kini telah berubah menjadi satu makhluk menyeramkan. Rambutnya berubah
warna menjadi merah dan lurus naik ke atas. Dari kulit kepalanya mengepul asap
merah. Sepasang matanya yang besar memberojol merah, bergoyang-goyang seperti mau
jatuh. Menggidikkan. Bibirnya berwarna biru aneh. Hidung panjang membengkok
sedang gigi mencuat panjang keluar dari mulut. Tangannya yang tadi dua kini
kelihatan ada empat dan bergerak kian kemari tak bisa diam. Dua dari empat
tangan inilah tadi yang berhasil menahan serangan pedang Sinar Darah Putih yang
dilancarkan Lagandrung. Selama ini Lagandrung hanya mendengar tentang sosok
Hantu Tangan Empat namun baru sekali ini dia melihat dengan mata kepala
sendiri. Tak urung tengkuknya menjadi dingin! Untuk meneruskan niatnya nyalinya
sudah putus. Dia maklum, kalau tidak mampu menghadapi Hantu Tangan Empat
bagaimana mungkin dia bisa membawa kepala makhluk itu kepada Hantu Muka Dua.
Selain itu ketika dia melirik ke kalangan pertarungan antara adiknya dengan Pendekar
212 hatinya bertambah kecut karena sang adik tengah berada dalam keadaan
terdesak hebat hingga menjadi bulan-bulanan dipermainkan lawan bahkan
diselomoti celananya hingga kelihatan bugil! Melihat gelagat yang tidak baik
ini Lagandrung lalu berteriak agar si adik mengikutinya melarikan diri.
Hantu
Tangan Empat tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat dua saudara kembar itu lari
lintang pukang. Lagandrung di sebelah depan. Adiknya di sebelah belakang sambil
pegangi pantat celananya yang robek dibetot Wiro! Murid Eyang Sinto Gendeng
sendiri memperhatikan kedua orang itu sambil tertawa-tawa, satu tangan menunjuk
pantat Lagandring yang tersingkap tak karuan, satu tangan lagi menggaruk-garuk
kepala! Begitu Lagandrung dan Lagandring lenyap, Pendekar 212 segera mendatangi
Hantu Tangan Empat yang saat itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu
seorang kakek bermuka rata.
“Kek, kau
tak apa-apa…?” tanya Wiro.
Hantu
Tangan Empat usap matanya yang basah oleh air mata karena tertawa
terpingkal-pingkal tadi. “Kau sendiri bagaimana?”
“Hampir
celaka! Untung ada seseorang menolong…” jawab Wiro.
“He…”
Hantu Tangan Empat hanya manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa adanya
orang yang menolong Wiro tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada
Wiro. “Anak muda, kau jangan ke manamana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!”
Laju enak saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya setelah
ditunggu sekian lama sosok Hantu Tangan Empat tak kunjung muncul. Mau tak mau
Pendekar 212 jadi agak gelisah.
“Kek!
Hantu Tangan Empat!” Wiro memanggil. Tak ada jawaban. Air telaga kelihatan
tenang.
“Jangan-jangan
dia jatuh pingsan di dalam air…” pikir Wiro. Dia segera hendak terjun ke dalam
telaga tapi, byuuurrr! Hantu Tangan Empat muncul sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Tua
bangka brengsek…” maki Wiro dalam hati. Dia memutar tubuhnya.
“Hai! Kau
mau ke mana?!” Terdengar Hantu Tangan Empat berteriak.
“Tidak ke
mana-mana. Hanya mencari orang yang barusan menolongku!” jawab Wiro. Lalu dia
berkelebat ke arah sebuah pohon besar dari arah mana tadi dia mendengar suara
kakek-kakek yang memberi petunjuk agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup
Tanah. Wiro bolak-balik mengitari pohon besar sampai lima kali. Dia bahkan
memanjat naik ke atas pohon itu. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa.
“Ah,
sayang sekali. Menyesal aku tidak bertindak cepat. Orang yang menolongku itu
mungkin sudah pergi tanpa aku sempat menemui dan mengucapkan terima kasih!”
Wiro
melihat ke arah air terjun. Di dalam telaga Hantu Tangan Empat masih asyik
berkecimpung mandi. Sambil garuk-garuk kepala Wiro akhirnya dudukkan diri di
bawah pohon besar. Belum lama duduk mendadak dia mendengar suara gemerisik
semak belukar. Lalu ada suara orang menyanyi.
“Na… na…
na… Ni… ni… ni. Na… na… na… Ni… ni… ni.”
“Eh,
orang gila dari mana kesasar dan menyanyi di tempat ini?!” pikir pendekar kita
sambil bangkit berdiri dan celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi. Tapi
dia tidak melihat siapa-siapa. “Aneh, suaranya begitu dekat tapi orangnya tidak
kelihatan.” Wiro melangkah ke kiri, berputar ke kanan, membelok lagi ke kiri.
Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa.
“Na… na…
na… Ni… ni… ni. Na… na… na. Ni… ni… ni.”
**********************
5
WIRO
memandang berkeliling. Hatinya mulai waswas.
“Jangan-jangan
tempat ini ada hantu pelayangannya…” katanya dalam hati. Mendadak sudut matanya
menangkap sesuatu. Dia berpaling ke kiri. Astaga! “Benar-benar aneh! Tadi aku
mundar-mandir berulang kali di tempat itu. Tak ada siapa-siapa. Kini ada orang
itu!” Wiro cepat melangkah ke balik satu pohon kayu. Dari sini dia
memperhatikan.
Sepuluh
langkah di hadapannya ada seorang kakekkakek memegang payung dari daun-daun
kering. Sambil bernyanyi na-na-na ni-ni-ni dia melangkah setengah menari-nari
mengelilingi sepokok pohon keladi hutan. Di punggungnya si kakek membekal sebuah
kantong panjang. Murid Sinto Gendeng tekap mulutnya menahan ketawa. Banyak hal
yang membuat Wiro ingin tertawa terpingkal. Kakek itu bermuka jelek selangit
tembus. Pipinya keriput kempot. Hidungnya pesek dan matanya belok. Lalu
bibirnya mencuat karena deretan gigi-giginya yang tonggos.
“Berarti
seumur hidup dia tidak pernah bisa mengatupkan mulutnya!” kata Wiro, geli dalam
hati. Lalu sambil bernyanyi si kakek goyang-goyangkan pinggulnya. Sesekali
tubuhnya sebelah bawah didorong dilejanglejangkannya ke depan. Dan kini yang
paling gila! Kakek ini mengenakan celana dari kulit kayu yang bagian
belakangnya sengaja dirorotkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap
tersingkap jelas!
“Tidak
meleset dugaanku! Kalau tidak sinting pasti gila alias kurang waras!” kata Wiro
dalam hati. Lalu sambil batuk-batuk Wiro keluar dari balik pohon.
Mendengar
ada suara orang batuk, si kakek aneh tampak terkejut. Suara nyanyiannya lenyap.
Langkah dan tariannya langsung berhenti. Lalu dengan gaya malu-malu lucu dia
cepat-cepat angkat ke atas celananya yang tersingkap. Tapi ketika dia melihat
Wiro, kakek ini tertawa lebar dan berkata. “Wahai! Kukira perempuan. Ternyata
laki-laki juga. Sama tanduknya dengan tandukku! Samasama di depan! Buat apa
malu-malu! Hik… hik!” Lalu enak saja celananya yang tadi sudah dibetulkan kini
didodorkannya kembali, malah lebih bawah dari sebelumnya. Wiro tertawa geli. Di
sebelah sana si kakek kembali menyanyi-nyanyi, menari memutari pohon keladi
hutan. Payung di tangan kirinya diputar-putar demikian rupa hingga mengeluarkan
suara berdesing keras. Setiap ujung payung yang berputar itu mengenai daun atau
rerantingan maka daun dan ranting-ranting itu putus, melayang tinggi ke atas.
“Memutus
ranting dengan daun kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang berkepandaian
luar biasa mampu melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini pasti bukan
makhluk sembarangan!” Baru saja Wiro membatin seperti itu tiba-tiba si kakek
sudah ada di depannya. Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar.
“He,
Buyung! Kau tentu menduga aku ini sinting! Iya, kan?!”
“Walah,
jangan-jangan dia bisa mendengar suara hatiku!” kata Wiro. Lalu dia balas
menyengir. “Tidak, Kek. Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang mendengar
nyanyianmu!” kata Wiro pula.
“He,
begitu? Terima kasih! Yang betul saja Buyung!”
“Betul,
nyanyianmu sangat sedap didengar,” kata Wiro.
Si kakek
menyengir. “Terima kasih!” katanya lagi. Lalu, “Sekarang tolong kau pegangkan
tangkai payung ini!”
Karena
payung langsung disodorkan kepadanya terpaksa Wiro pegang payung daun itu. Dari
dalam kantong panjangnya si kakek keluarkan sebuah tambur terbuat dari batang
pohon yang dilubangi lalu ditutup dengan kulit kering binatang. Dia juga
mengeluarkan sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi benda bulat. Sebelum berkata
dia lebih dulu menyengir. “Kalau nyanyianku memang sedap didengar, berarti kau
harus ikut menari bersamaku! Aku menyanyi sambil memukul tambur. Kau memayungi
aku dan ikut melangkah menari memutari pohon keladi itu. Setuju…?!”
“Anu
Kek…”
“He, anu
artinya memang setuju. Terima kasih Buyung!”
“Maksudku…”
“Aku
lupa!” Si kakek aneh tidak pedulikan ucapan Wiro.
“Sebelum
ikut menari aku perlu memberi tahu lebih dulu. Benda bulat yang ada di ujung
pemukul tambur ini! Kau tahu benda apa ini sebenarnya?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Sulit aku menduga, Kek.”
Si kakek
menyengir. “Coba kau cium! Mungkin kau bisa menerka!” Lalu enak saja ujung
pemukul tambur disodorkannya ke bawah lobang hidung Wiro. Bau sangit yang tidak
enak menyambar pernafasannya hingga murid Sinto Gendeng ini bersin sampai tiga
kali. Si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Lalu tangan kanannya dikembangkan,
diletakkan di pinggir mulut.
“Benda
bulat ini adalah potongan biji sapi yang dikeringkan! Hik… hik… hik!” Waktu
berucap si kakek seperti berbisik. Tapi ketika menyebutkan kata ‘biji’ suaranya
sengaja dikeraskan, hampir berteriak. Lalu dia tertawa cekikikan.
“Untung
biji sapi. Bukan biji manusia! Ha… ha… ha!” Si kakek menyambung ucapannya tadi
lalu tertawa gelakgelak.
“Sudah…
sudah! Dari tadi kita tertawa saja! Ayo mulai menari! Payungi aku!”
Si kakek
tonggos melangkah lucu. Sesekali berjingkatjingkat. Sambil tiada henti memukul
tambur. Dari mulutnya terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni. Pinggul
dan pantatnya diogel-ogel, mulutnya senyum-senyum tonggos. Matanya sesekali
dikedip-kedip genit. Lalu lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir. Wiro
yang memegang payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti si kakek mengelilingi
pohon keladi hutan. Sambil melangkah berputar-putar diam-diam Wiro menghitung.
“Gila!
Sudah dua ratus kali aku berputar mengikutinya mengelilingi pohon keladi!” kata
Wiro dalam hati. Kakinya mulai pegal. Tangannya yang memegang payung terasa
capai. Tapi di depannya si kakek terus saja menari. Semakin cepat dia menabuh
tambur kecilnya semakin cepat pula langkah dan tarinya. Tubuhnya meliuk-liuk.
Memandang ke depan Wiro melihat sosok kakek aneh itu seolah berputar siam
mengelilingi pohon keladi seperti sebuah gasing! Akhirnya Wiro memilih tegak
saja berdiam diri.
“Hai!
Baru segitu saja kau sudah capai keletihan! Tapi kalau menari dengan gadis
cantik semalam suntuk pasti kau lakoni! Begitu, kan?! Hik… hik… hik! Terima
kasih kau sudah memayungiku!”
Kakek itu
jatuhkan dirinya di tanah. Tambur dan pemukulnya dimasukkannya ke dalam kantong
panjang. Lalu dia ulurkan tangan mengambil payungnya. Payung ini tidak
diletakkannya di tanah atau dilipatnya tetapi diletakkannya di atas kepala.
Lalu acuh tak acuh seperti tidak ada apa-apa di kepalanya dia berpaling pada
Wiro. Matanya jelalatan memandangi pemuda itu dari kepala sampai ke kaki.
Hidungnya yang pesek kembang kempis.
“Wahai!
Baru aku sadar! Kau orang asing. Bukan orang sini! Kau pasti datang dari jauh!”
Si kakek tiba-tiba berkata.
“Bagaimana
kau bisa tahu Kek?” tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Dari
baumu!” jawab si kakek tonggos.
“Walah!
Memangnya bauku bagaimana?!” tanya pendekar kita.
“Orang-orang
asing di Negeri Latanahsilam ini baunya bau rayap. Tapi kau kucium bau amis!
Hik… hik… hik!”
“Ah,
jangan-jangan hidungmu yang pesek salah cium Kek!” kata Wiro agak sewot.
Kakek tonggos
tertawa bergelak. “Terima kasih, atas pujianmu terhadap hidungku yang mancung!”
kata si kakek sambil usap-usap hidungnya yang memang pesek. “Aku memperhatikan,
sejak tadi sudah berapa kali kau menggaruk kepala. Yang aku ingin tahu, sudah
berapa minggu kau tidak pernah mandi anak muda?”
Murid
Sinto Gendeng jadi cemberut. “Saya mandi setiap hari. Setiap ketemu kali atau
telaga…”
“Kurasa
kau dusta anak muda! Kurasa kau mandi hanya setiap hujan turun! Hik… hik… hik!
Tapi jangan marah anak muda. Aku senang. Terima kasih kau mau bersenda gurau
denganku! Sekarang aku mau tanya…”
“Tidak,
saya duluan yang tanya padamu Kek!”
“Wahai!
Pasti kau menanya mengapa aku pakai celana didodorkan di bagian pantatnya!”
“Tidak,
bukan itu pertanyaanku…”
“Terima
kasih kau tidak menanyakan pantatku! Hik…hik… hik. Apa yang mau kau tanyakan
anak muda?” Si kakek tertawa gelak-gelak. Payung di atas kepalanya mumbul turun
naik.
“Sebelum
kau muncul di sini, mungkin waktu kau tengah menuju ke sini, apakah kau
berpapasan atau melihat seorang lain?” Wiro bertanya begitu karena dia ingin
menyelidiki siapa sebenarnya yang menolongnya waktu berkelahi melawan
Lagandring tadi. Yaitu yang memberi tahu agar dia mengeluarkan ilmu Belut
Menyusup Tanah yang selama bertahun-tahun tak pernah dipergunakannya.
“Memang,
aku ada melihat orang lain selain dirimu!”
Kakek
tonggos menjawab sambil pentang wajah bersungguh-sungguh.
“Siapa?
Di mana?” tanya Wiro.
“Dia! Di
sana!” jawab si kakek seraya goyangkan kepala ke arah Hantu Tangan Empat yang
asyik mandi air kembang di dalam telaga di bawah air terjun. Wiro memaki dalam
hati. “Bukan dia yang kumaksudkan. Tapi orang lain…”
“Heee…
Ya… ya. Memang ada. Ada dua orang. Tapi sudah pada kabur. Itu, dua kembar yang
tadi berkelahi denganmu dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu! Lagandring
dan Lagandrung!”
Wiro
garuk-garuk kepala menahan jengkel.
Si kakek
tertawa lebar lalu berkata. “Terima kasih kau hanya menggaruk kepala yang di
atas, tidak kepala yang di bawah! Hik… hik… hik! Awas bisa berterbangan segala
kutu dan tuma yang ada di tubuhmu! Hik… hik… hik!”
Wiro yang
biasanya suka menggoda orang kini merasa mati kutu. Walau jengkel mendengar
ucapan si kakek namun sambil tertawa dia berkata. “Kakek tukang banyol, kalau
kau hanya melihat kakek yang sedang mandi itu, lalu melihat Lagandrung dan
Lagandring berarti tidak ada orang lain. Berarti kaulah tadi yang telah
menolongku…”
“Aku
datang membawa payung dan tambur. Aku datang menyanyi dan menari. Bagaimana
mungkin aku menolongmu. Lagi pula pertolongan apa yang kuberikan padamu wahai
anak muda? Tapi aku tak lupa mengucapkan terima kasih kau telah menganggap aku
melakukan sesuatu yang baik. Menolong orang lain bukankah itu sesuatu yang
baik?”
Wiro
mengangguk. “Kau yang memberi bisikan agar saya mengeluarkan ilmu Belut
Menyusup Tanah. Hingga saya selamat dari serangan maut yang dilancarkan
Lagandring…”
“Ilmu
Belut Menyusup Tanah. Aneh nama ilmu itu. Baru sekali ini aku mendengar.
Memangnya kau punya ilmu itu?” Si kakek bertanya dengan unjukkan tampang tolol.
Wiro
garuk-garuk kepala lagi. Untuk sesaat lamanya dia pandangi orang tua di
hadapannya itu. Lalu sambil nyengir dia berkata. “Kau tak mau mengaku tak jadi
apa. Tapi saya yakin kau yang tadi menolong saya. Suaramu sama dengan suara
orang yang memberikan bisikan itu.”
“Terima
kasih kau berkata begitu. Tapi wahai anak muda. Belutku saja aku tidak bisa
mengurus, bagaimana aku mengurusi belutmu!” Sambil berkata begitu si kakek
monyongkan mulutnya yang tonggos ke arah bawah perut Wiro lalu tertawa
gelak-gelak.
“Menolong
orang tanpa ingin diketahui orang yang ditolong, itu artinya tulus tanpa
pamrih. Tapi membuat bingung orang bisa mengurangi pahala!”
Tiba-tiba
terdengar orang berucap. Anehnya suaranya terdengar bergema di empat penjuru!
Kakek tonggos dongakkan muka ke langit, mulutnya bergerak-gerak seperti mau
ditutup tapi tak pernah bisa karena deretan gigi-giginya yang menjorok tonggos.
“Sekali
bicara mengumandang empat kali di empat penjuru! Siapa lagi yang punya ilmu
seperti itu kalau bukan sobatku Hantu Tangan Empat! Wahai! Apakah kau sudah
selesai mandi wahai kerabatku?! Terima kasih atas pujimu. Terima kasih juga
atas cemoohmu!”
Wiro
palingkan kepala. Di dekat air terjun Hantu Tangan Empat baru saja keluar dari
dalam telaga. Jarak antara kakek itu dengan tempatnya berada terpisah belasan
tombak. Tapi suara ucapannya terdengar seolah-olah dia berada di situ, dan di
empat tempat sekaligus! Inilah ilmu kepandaian yang hanya dimiliki Hantu Tangan
Empat, disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Lima tingkat lebih tinggi
dari ilmu memindahkan suara yang selama ini dikenal oleh Wiro. Hal ini
mengingatkan murid Sinto Gendeng pada peristiwa ketika pertama kali dia dan
kawan-kawan bertemu dengan Hantu Tangan Empat di tanah Jawa (Baca riwayat
pertemuan Wiro dengan Hantu Tangan Empat dalam serial Wiro Sableng berjudul
“Bola-Bola Iblis”).
**********************
6
SESAAT
kemudian Hantu Tangan Empat sudah berada di hadapan ke dua orang itu. Wajahnya
yang rata kelihatan segar. Dia menatap ke arah kakek mulut tonggos. Si kakek
yang dipandang tertawa lebar lalu menjura memberi hormat. Tapi caranya memberi
hormat membuat orang bisa jengkel. Kepalanya memang ditundukkan, tangan dibuai
di depan dada tapi pantatnya sekaligus disonggengkan. Padahal saat itu
celananya masih didodorkan ke bawah!
“Pelawak
Sinting, wahai! Puluhan tahun kau menghilang. Hari ini kau muncul apa gerangan
maksud niat dan tujuanmu?!” Hantu Tangan Empat menegur sambil rangkapkan tangan
di atas dada. Seringainya pencong dan kaku.
Sesaat si
kakek tonggos yang dipanggil dengan nama Pelawak Sinting tersenyum lebar dan
pantatnya masih saja disonggengkan. Perlahan-lahan dia luruskan badannya lalu
berkata sambil tangannya diangkat ke atas, dilambaikan ke langit. Ketika dia
bicara menjawab ucapan Hantu Tangan Empat maka suaranya seperti orang membaca
puisi.
“Wahai
Hantu Tangan Empat, terima kasih atas tegur sapamu yang menawan hati. Lihat ke
atas. Pandanglah langit. Tiada berawan tiada mendung. Di sebelah sana
serombongan burung terbang melintas udara. Angin bertiup lembut menyejuk
jangat. Layangkan mata ke kiri. Air terjun jatuh menderu, bagus bentuk dan
sedap suaranya sampai di telinga. Lihat dalam telaga, bungabunga aneka warna
sesajian bekas mandimu mengambang elok menebar bau harum. Pagi seindah ini
jarang terjadi. Salahkah diriku jika aku muncul untuk melihat dan merasakan
keindahan alam ini? Kalau nanti mataku sudah mulai lamur, apa gunanya lagi.
Bukankah begitu cara kita menikmati berkah yang melimpah wahai sahabatku Hantu
Tangan Empat?”
Wiro
garuk-garuk kepala menunggu apa jawaban Hantu Tangan Empat. Dalam hati dia
berkata. “Jadi kakek geblek satu ini bernama Pelawak Sinting. Cocok dengan
kelakuannya yang serba konyol… Tapi ucapannya tadi sungguh bagus!”
Hantu
Tangan Empat sesaat masih tegak berdiam diri. Setelah melirik Wiro, selang
berapa lama kemudian baru dia berkata. “Tak ada yang menyalahkan kehadiranmu
wahai sahabatku Pelawak Sinting. Namun terbetik berita bahwa kau kabarnya telah
bergabung dengan Hantu Muka Dua, membangun satu tempat bernama Istana
Kebahagiaan, lalu ikut menjadi salah satu pembantu tangan kanannya… Mungkin kau
bisa memberi keterangan?”
Si
Pelawak Sinting mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh. “Terima kasih namaku
tersebar dalam berita begitu rupa! Terima kasih kau memberi tahu padaku!
Sebenarnya siapa aku ini maka dikabarkan bergabung dengan Hantu Muka Dua
membangun Istana Kebahagiaan! Gubuk reot saja aku tak mampu membangun, buktinya
aku tidak punya rumah. Apalagi membangun Istana Kebahagiaan! Amboi! memangnya
aku ini tukang bangunan apa? Ha… ha! Lagi pula aku tidak suka jadi pembantu.
Diriku sendiri tak bisa kubantu, bagaimana bisa membantu orang lain. Ha… ha…
ha! Kalaupun aku jadi pembantu, Hantu Muka Dua mau memberi aku upah berapa? Ha…
ha… ha! Aku ini cuma seorang kakek sinting.
Mana
mungkin Hantu Muka Dua mau dekat-dekat dengan diriku? Sahabatku Hantu Tangan Empat,
hidup di alam ini paling enak seorang diri! Tidak ada yang mengikat. Ke mana
mau pergi tidak ada yang melarang! Dada lapang pikiran lepas. Ha… ha… ha! Kau
sendiri apakah selama ini baik-baik saja wahai sahabatku?” Ketika bicara si
kakek yang bernama Pelawak Sinting itu gerak-gerakkan tangan, bahu dan
pinggulnya secara lucu. Yang ditanya tersenyum. Si Pelawak Sinting kembali
berucap.
“Wahai,
wajahmu yang datar tersenyum. Tapi aku tahu di hatimu ada ganjalan! Malah
sebetulnya akulah yang layak bertanya, siapa tahu aku bisa menolong…”
“Apapun
yang terjadi dengan diriku, adalah tanggung
jawabku
sendiri,” kata Hantu Tangan Empat pula.
“Belakangan
ini semua orang di Negeri Latanahsilam hidup seolah nafsi-nafsian. Memikir dan
mengurus diri sendiri, tidak mau peduli pada diri dan keadaan orang lain…”
“Wahai,
jangan begitu Hantu Tangan Empat. Karena kita bersahabat jadi wajib saling
tolong jika salah satu mempunyai kesulitan…”
“Kau
tidak akan bisa menolong. Jangankan kau, Dewa dan para Peri-pun sepertinya
tidak mempedulikan diriku…”
“Wahai!
Hantu Tangan Empat, jangan bersikap hidup seperti itu. Aku tahu hal ihwalmu
dengan Hantu Muka Dua. Jika kau…”
Hantu
Tangan Empat gelengkan kepalanya. Dia melirik pada Wiro lalu berkata. “Pelawak
Sinting, aku tidak suka membicarakan hal ihwal yang satu itu!” Wajah datar
Hantu Tangan Empat tampak keras membesi.
“Kalau
begitu halnya, wahai apa gunanya aku berlamalama di tempat ini. Aku ingin
menolong tapi yang punya diri malah menolak. Jadi aku ini jelas bukan termasuk
orang yang nafsi-nafsian seperti katamu tadi. Aku mau pergi dulu. Tapi wahai
Hantu Tangan Empat, ada sesuatu aku mau bilang padamu…” kata Pelawak Sinting.
“Apa?”
tanya Hantu Tangan Empat pula.
“Habis
mandi wajah dan tubuhmu kelihatan segar. Tapi apa gunanya kesegaran itu kalau
habis mandi kau tidak berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau apek!
Ha… ha… ha!”
Wajah
Hantu Tangan Empat tampak merah. Pelawak Sinting lambaikan tangannya lalu
sambil putar tubuh dan melangkah dia mulai menyanyi. “Na… na… na…Ni… ni… ni…”
Melihat
orang hendak pergi Wiro cepat menyusul dan menghadang di depan si kakek.
“Kek,
sebelum kau pergi, kau harus mengakui dulu. Benar kau yang tadi menolong saya?
Lalu bagaimana kau bisa tahu saya memiliki Ilmu Belut Menyusup Tanah itu?”
“Anak
muda, lagi-lagi urusan belut yang kau bicarakan! Sudah kubilang belut di bawah
perutku ini susah aku urusi, apalagi belutmu!” Entah jengkel atau marah payung
di atas kepala si kakek kelihatan turun naik beberapa kali.
“Jangan
terlalu bawel. Jangan salahkan aku kalau nanti aku pencet belutmu!”
Wiro
garuk-garuk kepala. Si Pelawak Sinting hendak melangkah. Pendekar 212 kembali
menghadang.
“Tapi
Kek, saya merasa berhutang budi dan nyawa. Selain itu mungkinkah ada hubungan
antara kau dengan…”
“Hutang
budi dan nyawa itu tidak ada di alam ini wahai anak muda. Yang ada hanya hutang
uang atau harta! Hutang budi dan hutang nyawa hanya basa basi orang geblek agar
dianggap beradab! Ha… ha… ha!” Si kakek lalu melangkah hendak lanjutkan
perjalanan sambil mulutnya kembali bernyanyi “Na… na… na… Ni… ni… ni.” Tapi
Wiro cepat mencegat hingga Pelawak Sinting terpaksa hentikan langkahnya.
Matanya yang belok memandang lebar-lebar namun dia tidak marah malah tersenyum.
“Wahai anak muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau
meninggal lusa. Mari kuperlihatkan sesuatu padamu…”
Wuttt!
Payung
daun yang sejak tadi bertengger di atas kepalanya melesat ke atas, lalu
melayang melewati kepala Wiro. Selagi Wiro mengangkat kepala, mengikuti payung
yang melesat dengan pandangan matanya tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin
lewat di bawah selangkangannya. Begitu dia memandang ke bawah dia hanya melihat
satu bayangan melesat cepat sekali lalu lenyap. Di depan sana waktu dia
memperhatikan kembali ternyata payung daun milik Pelawak Sinting tak ada lagi.
Si kakek sendiri juga seolah gaib entah ke mana!
“Kakek
konyol itu…” kata Wiro setengah termangu. “Dia menyelinap di celah sempit
antara dua kakiku! Satu hal yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau dia
mempunyai dan mempergunakan Ilmu Belut Menyusup Tanah. Sungguh aneh!”
Tiba-tiba
terdengar suara nyanyian.
“Na… na…
na. Ni… ni… ni…”
Wiro
berkelebat ke arah sederetan pohon-pohon besar dari arah mana terdengarnya
suara nyanyian itu. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.
“Kakek
bernama Pelawak Sinting!” teriak Wiro. “Kalau saya ketemu kau lagi akan saya
dodorkan celanamu sampai ke lutut!”
“Terima
kasih kau mau berbuat begitu!” terdengar jawaban si kakek di kejauhan. “Jangan
marah wahai anak muda! Kalau aku sudah melakukan hal itu lebih dulu pada
dirimu!”
Wiro
terkejut. Dia memandang ke bawah. Astaga! Ternyata celananya di bagian belakang
telah merosot sampai mendekati lutut!
“Kapan
dia melakukannya?! Bagaimana caranya?! Gila!” Wiro mencak-mencak sendiri dan
cepat-cepat tarik celananya ke atas. “Pasti dilakukannya waktu tadi dia
menyelinap di celah dua kakiku! Huh! Benar-benar sinting dan konyol!” Wiro
memandang ke arah suara si kakek. Ingin sekali dia mengejar.
Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh lalu berkata.
“Tak
perlu kau kejar kakek itu. Apakah kau tidak mengerti arti ucapannya tadi yang
mengatakan kelak dia bakal menemuimu lagi?”
Pendekar
kita garuk kepala. “Ucapannya yang mana Kek?” tanya Wiro.
“Wahai!
Tadi dia bilang, Wahai anak muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati
besok dan aku mau meninggal lusa…”
Wiro
menarik nafas dalam. “Terima kasih atas petunjukmu. Mudah-mudahan saya bisa
bertemu lagi dengan kakek itu. Walau otaknya mungkin kurang beres tapi
kelihatannya dia baik dan hatinya polos. Bagaimana kau tadi bisa mengatakan
bahwa dia adalah kaki tangan pembantu Hantu Muka Dua?”
“Anak
muda, aku tahu kau punya permusuhan besar dengan Hantu Muka Dua. Tapi hal
menyangkut urusan Si Pelawak Sinting itu tak perlu kita bicarakan. Aku ingin
tanya. Apa betul kau pemuda yang dulu dibawa oleh cucuku Peri Angsa Putih untuk
dibuat besar tubuhnya?”
“Memang
betul Kek…”
“Tapi
saat itu aku hanya mampu merubah tubuhmu dan dua kawanmu sampai setinggi lutut.
Bagaimana kau sekarang bisa jadi sebesar ini?”
Wiro
tersenyum. “Sebenarnya saat itu kau juga mampu merobah kami jadi sebesar
seperti saya sekarang ini Kek.
Hanya
saja kalau tidak salah kau… Kau terganggu garagara melihat Peri Sesepuh yang
gembrot itu duduk ngongkong. Pahanya yang putih gembul tersingkap ke mana-mana.
Mungkin juga kau sempat melihat…”
“Jangan
bicara kurang ajar anak muda!” bentak Hantu Tangan Empat dengan muka merah
padam sedang Wiro berusaha agar tawanya tidak menyembur (Mengenai riwayat
bagaimana Hantu Tangan Empat berusaha menolong membesarkan Wiro baca serial
Wiro Sableng berjudul “Peri Angsa Putih”).
“Wiro,
bagaimana sekarang tubuhmu bisa jadi sebesar ini. Siapa yang menolongmu? Apakah
kau telah bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”
“Belum
Kek. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab susah dicarinya. Yang menolong saya adalah
seorang sakti yang disebut dengan nama Hantu Raja Obat. Orangnya gemuk. Di
kepalanya ada sorban dan belanga tanah…”
“Aku tahu
dan kenal makhluk satu itu. Dia anginanginan. Beruntung besar kau mendapat
pertolongan dari dia. Biasanya dia suka membunuh siapa saja yang tidak
disukainya. Lalu isi perut orang itu dibedolnya dan dimasukkan ke dalam belanga
di atas kepalanya…”
“Hueekkk!”
Wiro tercekik dan seperti mau muntah mendengar ucapan Hantu Tangan Empat itu
hingga si kakek mengerenyit heran. Sebelum ditanya Wiro sudah menerangkan. “Anu
Kek… Saya… Justru saya bisa jadi besar begini setelah minum air godokan yang
ada dalam belanga itu… Huek!”
Hantu
Tangan Empat tertawa mengekeh.
“Untuk
mendapatkan sesuatu seseorang memang harus berkorban. Itulah hidup. Kau masih
untung cuma disuruh minum air godokan, bukannya digodok masuk ke dalam
belanganya oleh Hantu Raja Obat. Bagaimana dengan dua temanmu yang lain. Di
mana mereka sekarang?”
“Mereka
kurang beruntung…” Lalu Wiro menceritakan apa yang dialami Naga Kuning dan Si
Setan Ngompol (sebagaimana yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul
“Rahasia Bayi Tergantung”).
“Sekarang
dua sahabat saya itu masih dalam saat-saat penantian sampai mereka berdua
diperbolehkan meneguk obat dalam cangkir tanah itu…”
“Rahasia
hidup memang pelik. Tapi jika kita bisa menyelami dengan hati bersih dan kepala
sehat pasti lebih banyak manfaat yang bisa kita dapati…”
Wiro
hanya manggut-manggut mengiyakan. Lalu dia ingat akan ucapan Si Pelawak Sinting
tadi. “Kek, bagaimanapun kau pernah menolong saya dan kawankawan. Sebagai tanda
terima kasih…”
“Aku
tidak pernah memberikan pertolongan disertai pamrih. Lagi pula aku menolongmu
mengingat cucuku sendiri, Peri Angsa Putih yang meminta. Sebenarnya aku telah
menghadang satu bahaya sangat besar dengan melakukan hal itu…”
“Itu
sebabnya, maksud saya Kek, kalau ada sesuatu yang bisa saya lakukan untukmu…”
“Tak ada
yang bisa kau lakukan wahai anak muda. Juga tidak ada yang aku minta padamu…
Kecuali, ada satu pertanyaanku…”
“Silakan
saja kau bertanya. Siapa tahu aku memang bisa menjawab.” kata Wiro pula.
“Di mana
beradanya batu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu itu…”
Wiro
pandangi wajah datar Hantu Tangan Empat beberapa lamanya. Dalam hati dia
berkata, “Kakek ini agaknya masih menginginkan batu itu. Berarti dia masih
berada di bawah perintah Hantu Muka Dua…”
“Maafkan
saya Kek. Saya tak dapat memberikan jawaban. Terakhir sekali batu itu berada di
tangan kakek sahabat saya bernama Si Setan Ngompol. Batu kemudian hilang
lenyap. Tidak diketahui di mana beradanya…”
“Apakah
batu sakti itu hilang ketika kalian masih berada di negeri seribu dua ratus
tahun mendatang atau di Negeri Latanahsilam ini…” tanya Hantu Tangan Empat.
“Batu itu
hilang di sini Kek. Belum lama setelah kami berada di negeri ini…”
Hantu
Tangan Empat termenung. Wiro tak dapat menduga apa yang ada dalam benak orang
ini. Maka diapun berkata. “Kek, harap kau tidak marah. Dari ucapan Si Pelawak
Sinting tadi kau agaknya mempunyai satu masalah besar yang kau tak sudi saya
mendengarnya. Lalu kalau setelah kau menolong saya masalahmu menjadi tambah
besar, rasanya pantas-pantas saja kalau saya kini ingin membalas budi…”
Hantu
Tangan Empat tertawa tawar. “Di negerimu memang ada ujar-ujar Ada ubi ada
talas. Ada budi ada balas. Tapi Negeri Latanahsilam lain. Di sini memang ada
ubi tapi tak ada talas. Yang ada hanya tuba. Berarti seseorang yang berbuat
budi, bisa saja mendapatkan tuba sebagai balasannya!”
“Tapi
Kek, saya dan juga kawan-kawan tidak akan berlaku sejahat itu. Malah…” Wiro
hentikan kata-katanya. Dia bertanya-tanya dalam hati apa ada perlunya
meneruskan bicara dengan kakek satu ini? Melihat Wiro memutus ucapannya, Hantu
Tangan Empat malah bertanya. “Wahai! Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu?”
“Kek,
saya tidak mengungkit cerita lama. Tapi jika kita bisa bicara dengan hati
bersih dan kepala sehat seperti katamu tadi, segala ganjalan yang ada pasti
bisa dihadapi…”
“Anak
muda, usiamu baru seumur tempurung…”
“Di
negeriku orang biasa menyebut seumur jagung!” memotong Wiro sambil menyeringai.
“Di sana
jagung berarti tiga sampai empat tahun. Di sini tempurung berarti tujuh belas
sampai dua puluh lima tahun. Bukankah usiamu sekitar usia tempurung itu wahai
anak muda?”
Murid
Sinto Gendeng jadi terdiam sesaat. “Kakek Hantu Tangan Empat, kalau kau tak mau
dibantu, rasanya tidak ada yang ingin memaksa. Namun jika saya ingat sewaktu
muncul di tanah Jawa kau punya niat hendak membunuh saya dan dua kawan saya,
lalu sesampainya di sini kau ternyata malah berbuat baik menolong kami, rasanya
ada sesuatu yang tak bisa saya mengerti…”
“Hari ini
berbuat jahat, besok berbuat baik. Atau sebaliknya. Hari ini melakukan
kebaikan, lusa melakukan kejahatan. Bukankah memang begitu hidupnya manusia?”
ujar Hantu Tangan Empat.
“Benar
Kek, tapi rasanya tidak begitu dengan keadaan dirimu. Kau melakukan niat buruk
dan perbuatan baik karena ada sesuatu yang memaksamu berbuat begitu…”
“Anak
muda, kau tahu apa soal hidup. Apa lagi soal hidupku. Yang penting aku tidak
jadi membunuhmu, malah menolongmu. Kau harus bersyukur…”
“Saya dan
kawan-kawan memang bersyukur dan berterima kasih padamu… Kek, apakah semua ini
garagara Hantu Muka Dua?”
“Jangan
hubungkan diriku dengan makhluk satu itu!” hardik Hantu Tangan Empat tapi
sambil membuang muka, memandang ke jurusan lain.
“Kek, kau
membuat aku tambah tidak mengerti. Dulu jelas-jelas sekali kau bilang kau
diperintah Hantu Muka Dua untuk membunuh kami bertiga dan mencari batu sakti
tujuh warna itu. Sikap dan ucapanmu membuat saya tidak tahu apa sebenarnya
hubunganmu dengan Hantu Muka Dua…”
Karena
Hantu Tangan Empat tak memberikan jawaban maka Wiro melanjutkan ucapannya tadi.
“Kek, ketahuilah jika ada kesempatan menemui Hantu Muka Dua saya akan membuat
perhitungan dengan makhluk satu itu! Kalau tidak dia akan mendahului membunuh
saya dan kawankawan.
Di negeri
saya ada seorang tokoh silat bernama Pangeran Matahari. Dia manusia sejuta
jahat yang dijulukiPendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala
Licik, Segala Congkak. Tapi ternyata Hantu Muka Dua jauh lebih jahat dari
Pangeran Matahari. Sesuai dengan julukannya Hantu Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu.
Dia bukan
saja menyuruhmu membunuh saya dan kawankawan, tapi juga pernah menugaskan
seorang penghuni pulau bernama Tringgiling Liang Batu dan anak angkatnya
bernama Hantu Jatilandak untuk mempesiangi kami bertiga. Begitu nyawa kami
dihabisi, darah kami akan dipakai untuk merendam sebilah senjata. Untung kami
bisa selamat. Lalu terakhir kali dia menugaskan Lagandrung dan Lagandring untuk
membunuhmu, sekaligus menghabisi saya…”
“Jangan
kau berani menyentuh Hantu Muka Dua wahai anak muda bernama Wiro…”
“Aneh,
mengapa kau berkata begitu Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro keheranan.
“Makhluk
itu menguasai…”
Di tanah
tiba-tiba ada satu bayang-bayang besar bergerak berputar-putar. Hantu Tangan
Empat mendongak ke atas Wiro ikut-ikutan memandang ke langit. Tinggi di udara
tampak sebuah benda putih melayang berputarputar. Makin lama makin rendah.
“Angsa
raksasa. Siapa lagi penunggangnya kalau bukan Peri Angsa Putih. Kelihatannya
dia hendak menuju ke sini…” kata Wiro dalam hati begitu dia mengenali angsa
putih bernama Laeputih yang jadi tunggangan Peri Angsa Putih itu.
“Kakek
Hantu Tangan Empat, kebetulan sekali cucumu Peri Angsa Putih muncul di sini…”
Wiro berucap sambil berpaling ke samping. Tapi kakek muka datar yang hati dan
jalan pikirannya susah diraba itu ternyata tidak ada lagi di sebelahnya.
**********************
7
PERI
BUNDA sejak tadi diam-diam memperhatikan tingkah laku Peri Angsa Putih. Sambil
tersenyum akhirnya dia menegur. “Wahai Peri Angsa Putih, Peri tercantik dari
segala Peri. Lain sekali kulihat tingkah lakumu hari ini…”
“Wahai
Peri Bunda, lain bagaimana maksudmu?” tanya Peri Angsa Putih sementara matanya
terus saja menatap ke dalam cermin di dinding batu, memperhatikan wajahnya
sambil sesekali mengusap pipi kiri dan kanan.
“Sejak
pagi kau bangun, kau telah pergi ke telaga. Mandi sambil menyongsong terbitnya
sang surya. Dalam telaga kau bernyanyi ceria sambil menggosok tubuhmu dengan
bunga Sri Melati. Bunga langka yang hanya dipergunakan para gadis yang hendak
melangsungkan perkawinan…”
Peri
Angsa Putih tertawa panjang. “Lucu kedengarannya ucapanmu wahai Peri Bunda. Apa
kau menduga aku ini hendak pergi kawin? Hik… hik… hik. Kawin dengan siapa,
wahai Peri Bunda?”
“Aku
tidak mengatakan kau akan kawin wahai Peri Angsa Putih. Kelainan sikapmu hari
ini sungguh membuat aku heran. Sehabis mandi kau berganti pakaian. Kau
mengenakan pakaian panjang sutera putih kesenanganmu. Tapi sekali ini kau
tambah dengan sehelai selendang sutera biru sebiru bola matamu. Lalu kau
berdiri di cermin berlama-lama, berhias bersenyum-senyum…”
“Wahai!
Tidak kusangka kau memperhatikan aku sampai begitu teliti wahai Peri Bunda. Tak
ada yang lain pada diriku. Kalau aku mandi di telaga berlama-lama, berlangir
bunga Sri Melati, lalu berpakaian dengan hiasan selendang sutera biru, lalu
berhias di depan cermin mematut diri, itu karena hari ini aku ingin turun ke
Negeri Latanahsilam…”
“Wahai!
Justru itulah yang menjadi tanda tanya besar bagiku, Peri Angsa Putih. Biasanya
setiap pergi ke Negeri Latanahsilam, kau berdandan apa adanya. Aku khawatir ada
seseorang yang menunggumu di Latanahsilam. Dewa muda dan gagah yang manakah dia
wahai Peri Angsa Putih?”
Peri
Angsa Putih tertawa kembali. “Kau ini ada-ada saja wahai Peri Bunda. Jika ada
Peri yang ditunggu Dewa maka kaulah Perinya…” Peri Angsa Putih melangkah
mendekati Peri Bunda. Sambil memegang lengan Peri Bunda, Peri Angsa Putih
berkata. “Bukankah dulu kita pernah berbincang betapa jenuhnya hidup di alam
kita ini. Betapa kita merindukan sesuatu yang lain. Betapa kita ingin berada
dalam satu alam bebas tanpa ikatan, tanpa aturan yang terasa menekan kepala
menjepit kaki…”
“Wahai
Peri Angsa Putih, teruskan bicaramu. Tapi lebih perlahan. Jangan sampai ada
Peri lain yang mendengar. Terutama Peri Sesepuh. Bisa celaka kita berdua…”
Peri
Angsa Putih memandang berkeliling. Bila dirasakannya aman maka diapun berkata.
“Aku berani bicara karena bukankah dulu kita telah pernah berbincang tentang
makin menipisnya batas antara kita para Peri dengan manusia di bawah langit?”
“Ya, aku
ingat hal itu. Tapi apa hubungannya dengan sikapmu yang aneh hari ini? Apakah
secara diam-diam kau telah membina hubungan tertentu dengan seseorang di bawah
sana?”
Peri
Angsa Putih mengulum senyum yang membuat Peri Bunda menjadi berdebar. “Wahai
kerabatku Peri Angsa Putih. Jangan kau berani berbuat menyalahi aturan. Kau
pasti tahu betul apa yang terjadi dengan Luhmintari, peri yang melanggar
larangan dan melakukan perkawinan dengan Lahambalang hingga melahirkan seorang
anak dijuluki Hantu Jatilandak. Apa kau ingin menerima nasib seperti Luhmintari
itu wahai kerabatku?” (Mengenai Hantu Jatilandak baca serial Wiro Sableng
sebelum ini berjudul “Hantu Jatilandak”).
“Luhmintari…”
ujar Peri Angsa Putih dengan suara perlahan dan bergetar. “Kerabat kita yang
malang itu menemui ajal dengan perut pecah ketika melahirkan bayinya si
Jatilandak. Dan kini dia mendekam menjadi patung batu akibat kutukan para Dewa
serta Peri. Tidak, wahai Peri Bunda, aku tidak ingin mengalami nasib seperti
Luhmintari…”
“Lalu
siapakah yang hendak kau jelang di negeri Latanahsilam?” tanya Peri Bunda pula.
“Terus
terang, aku terbuai dan tergoda oleh mimpi…” kata Peri Angsa Putih.
“Wahai!”
kata Peri Bunda setengah berseru. “Maukah kau menceritakan apa mimpimu itu
wahai Peri Angsa Putih?”
Peri
Angsa Putih kembali pegang dua lengan Peri Bunda. Dengan tersenyum dia berkata.
“Mimpi adalah kembangnya tidur yang terkadang tidak pernah menjadi kenyataan.
Terus terang, sebenarnya, ngggg… Aku pergi ke Negeri Latanahsilam untuk
menemui…”
“Kalau
kau bukan menemui seorang pemuda, wahai apakah kau berhajat hendak bersua
dengan seorang duda?” Peri Bunda memotong.
“Duda?
Siapa maksudmu Peri Bunda?” tanya Peri Angsa Putih. Wajahnya merona kemerahan.
“Maaf
kalau aku salah menduga. Tapi bukankah kau sejak lama jatuh hati terhadap
Lakasipo, lelaki gagah kematian istri dan memiliki ilmu sangat tinggi itu?”
Peri Bunda perhatikan wajah kerabatnya itu. “Wahai! Parasmu kulihat menjadi
merah. Pertanda dugaanku tidak meleset!”
Peri
Angsa Putih berusaha tersenyum. Peri Bunda lantas peluk sosok kerabatnya itu
seraya berkata perlahan. “Wahai Peri Angsa Putih. Walau sosok kita adalah sosok
Peri, tapi memang tak bisa dipungkiri hati nurani dan jiwa rasa kita tak banyak
bedanya dengan manusia para penghuni Negeri Latanahsilam. Namun berhati-hatilah
dalam bertindak. Jangan hati dan perasaanmu menipu jalan sehat akal pikiranmu.
Pikirkan pula tantangan serta akibat yang akan terjadi jika sampai kau jatuh
cinta pada orang yang tidak satu darah dengan turunan kita. Renungkan contoh
akibat yang telah terjadi. Akupun kadang-kadang sulit keluar dari perasaan
seperti ini walau sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Tapi sampai kapan…?”
Peri Angsa
Putih sangat terharu mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Dipeluknya erat-erat
kerabatnya itu seraya berkata. “Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala
Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Terima kasih atas semua ucapan dan
nasihatmu. Tapi ketahuilah, aku turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk
menemui Lakasipo. Aku berhasrat mencari kakekku, Hantu Tangan Empat. Seperti
kau ketahui sampai saat ini dia masih berada dalam kesulitan. Dan setiap
kutanya dia tidak pernah menjelaskan apa kesulitannya itu. Hanya dari sikap dan
tindakannya yang aneh-aneh aku menduga dia seolah berada di bawah satu tekanan
yang sulit dilepaskan.”
“Oh…
Begitu? Jadi kau sebenarnya berniat mencari kakekmu sendiri. Kalau demikian
pergilah selagi hari masih pagi.” kata Peri Bunda pula walau diam-diam hatinya
berdetak bahwa Peri Angsa Putih yang cantik dan bermata biru itu berdusta
padanya.
“Aku
pergi wahai Peri Bunda.”
“Selamat
jalan Peri Angsa Putih. Jangan terlalu lama di Latanahsilam. Aku khawatir Peri
Sesepuh memerlukan sesuatu dan mencarimu…”
“Aku
tidak akan berlama-lama. Sebelum senja menjelang aku pasti sudah kembali ke
sini.” Peri Angsa Putih putar tubuhnya dan tinggalkan Peri Bunda.
Sesaat
setelah Peri Angsa Putih berlalu, Peri Bunda tegak merenung. Tapi tidak lama.
Seolah tidak sadar Peri Bunda bicara sendirian. “Dari sikap dan caranya
berdandan, sekali ini aku tidak yakin kalau dia turun ke Latanahsilam untuk
menemui kakeknya Hantu Tangan Empat. Lalu jika kuhubung-hubungkan ucapannya
menyangkut hubungan antara manusia dengan para Peri, aku menaruh curiga.
Jangan-jangan dia menemui seseorang. Dia tidak mengaku menemui Lakasipo.
Padahal sewaktu Luhjelita muncul dan merayu Lakasipo dia kecewa setengah mati.
Lalu siapa sebenarnya yang hendak ditemui gadis itu? Aku harus menyelidik…”
Tanpa
menunggu lebih lama Peri Bunda segera pula tinggalkan tempat itu tanpa
mengetahui bahwa di balik sehelai tirai tebal dalam ruangan tersebut sejak tadi
Peri Sesepuh yang gemuk putih bermuka gembrot dan selalu keringatan
memperhatikan kelakuannya dan mendengar apa yang diucapkan.
*************************
Laeputih,
si angsa raksasa putih tunggangan Peri cantik bermata biru melayang berputar
dua kali di udara. Sambil melayang dan perlahan-lahan merendah Peri Angsa Putih
perhatikan sosok tegap di tepi telaga.
“Dewa Agung!”
kata sang Peri. “Mimpiku benar adanya.
Wahai!
Orang itu adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Ke mana
lenyapnya kakekku Hantu Tangan Empat tidak aku pikirkan. Yang aneh bagaimana
tahu-tahu sosoknya telah berubah sebesar sosok orang-orang di Negeri
Latanahsilam. Apakah dia telah menemui Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan
berhasil mendapat pertolongan? Wahai, banyak cerita yang akan kutanyakan
padanya… Laeputih angsa tungganganku, terbanglah lebih rendah. Turun di tepi
air terjun sebelah timur.”
Angsa
putih raksasa tunggangan Peri Angsa Putih keluarkan suara menguik panjang tanda
mengerti ucapan sang Peri lalu perlahan-lahan binatang ini melayang turun ke
arah timur Air Lajatuh. Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu
dekat air terjun tiba-tiba sepasang mata biru Peri Angsa Putih membesar.
Wajahnya berubah.
“Laeputih,
jangan turun ke tanah. Melayang ke balik batu sebelah sana. Aku melihat
seseorang berusaha mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu…”
Di tepi telaga
Pendekar 212 Wiro Sableng tampak heran ketika tiba-tiba angsa putih raksasa
lenyap dari pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat
di udara. Di lain kejap makhluk ini telah mendarat tujuh langkah di hadapannya.
Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang
memiliki dua sayap lebar hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas
punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang
rambutnya digulung di atas kepala.
Pakaiannya
terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan
kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap
tajam ke arah Wiro. Lalu lontarkan senyum yang sangat memikat. Barisan
gigi-giginya putih, rata berkilat. Sesaat dia rapikan gulungan rambutnya.
Senyumnya masih belum pupus ketika tiba-tiba dia melompat dari punggung
kurakura raksasa dan sesaat kemudian telah berdiri di hadapan Wiro dengan gaya
yang benar-benar mempesona.
“Luhjelita…”
desis Peri Angsa Putih dengan suara bergetar, “Aku keduluan…” Hawa cemburu
serta merta menjalari diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik kelihatan
menjadi merah. “Bagaimana dia tahu-tahu bisa muncul di sini. Dulu ketika aku
berusaha mendekati Lakasipo, dia juga yang mendahului. Malah memikat lelaki itu
hingga bisa dibawa ke tempat kediamannya di Goa Pualam Lamerah. Sekarang dia
lagi yang menghambat jalanku. Apakah dia? Kalau tahu kejadiannya akan seperti
ini…”
Peri
Angsa Putih gigit bibirnya. Matanya tak berkesip memperhatikan gadis cantik
penunggang kura-kura terbang bernama Luhjelita itu. Dalam kecemburuan, hatinya
juga merasa sangat risau. “Aku khawatir dia sengaja menemui pemuda itu untuk
melakukan sesuatu. Bukankah dia tengah mencari satu ilmu? Bukan mustahil pemuda
itu berada dalam bahaya. Wahai, apa yang harus aku lakukan?” Peri Angsa Putih
kepal-kepalkan sepuluh jari tangannya.
“Pemuda
gagah berambut panjang berwajah tampan! Kau pasti lupa padaku! Tapi aku tidak
lupa padamu!”
Luhjelita
berkata sambil terus mengulum senyum dan melangkah melenggak-lenggok mendekati
Wiro. Ketika dia berhenti, jarak mereka hanya terpisah kurang dari dua langkah.
Di balik
lamping batu Peri Angsa Putih kelihatan asam parasnya. Dalam hati dia berkata.
“Huh! Gadis bernama Luhjelita! Siapa yang tidak tahu sifatmu! Semua lelaki
hendak kaujadikan korban kegenitanmu! Bermain senyum di bibir, menyembunyikan
keculasan di lubuk hati!”
Di
hadapan gadis cantik berpakaian jingga itu murid Sinto Gendeng garuk-garuk
kepalanya. Coba mengingatingat. Di tempat perlindungannya Peri Angsa Putih
diamdiam berkata setengah berdoa. “Kau harus ingat! Kau harus tahu siapa adanya
gadis itu! Wahai! Jangan sampai kau tertipu!”
Wiro
berhenti menggaruk-garuk kepala. Kini jari-jari tangan kanannya dipakai untuk
memijit-mijit keningnya. Lalu mulutnya tersenyum lebar. “Aku ingat siapa adanya
kau, gadis cantik bertubuh elok…”
“Wahai
jangan keliwat memuji. Wajahku tidak cantik dan tubuhku buruk!” kata gadis di
hadapan Wiro tapi sambil tersenyum dan lemparkan kerlingan mata. Dia maju
sedikit dan berjingkat hingga dia bisa dekatkan wajahnya ke muka Wiro. “Kalau
kau benar ingat siapa diriku, coba kau katakan.”
“Kau bernama
Luhjelita. Kita bertemu pertama kali di tepi telaga Lasituhitam. Waktu itu aku
bersama dua temanku dan seorang saudara angkat bernama Lakasipo. Kami terpaksa
berpisah dengan Lakasipo karena dia harus menolong seorang gadis bernama
Luhtinti dan juga karena kau memintanya untuk datang ke sebuah goa. Kalau tidak
salah goa itu bernama Goa Pualam Lamerah!”
“Wahai!
Ingatanmu ternyata sangat cerah! Secerah fajar menyingsing di pagi hari!”
memuji Luhjelita. Namun diamdiam dia merasa khawatir apakah pemuda gagah
berambut gondrong itu tahu apa yang kemudian terjadi di dalam goa?
Murid
Sinto Gendeng memang tidak suka dengan pujian itu. Dia mendengar dari Lakasipo
gara-gara mendatangi Luhjelita di goa tersebut Lakasipo hampir menemui ajal di
tangan Hantu Muka Dua. Luhtinti sendiri mendapat celaka (Baca serial Wiro
Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul “Peri Angsa Putih”).
“Luhjelita,
apa kemunculanmu ini hendak bertanyakan hal ihwal menyangkut Lakasipo?” Wiro
ajukan pertanyaan.
“Wahai,
memang banyak yang hendak kubicarakan dengan lelaki gagah berkaki batu itu.
Tapi aku tak tahu dia entah berada di mana…”
“Aku
menduga Lakasipo adalah kekasihmu. Kalau benar masakan tidak tahu sang kekasih
berada di mana?”
Paras
Luhjelita menjadi bersemu merah.
“Kena
batunya kau wahai Luhjelita!” kata Peri Angsa Putih yang masih terus mengintai
di balik lamping batu.
Walau dia
merasa jengah dengan ucapan Wiro tadi namun Luhjelita keluarkan suara tawa
merdu. “Orang sehebat dan segagah Lakasipo, masakan sudi menjatuhkan hati
terhadapaku gadis jelek begini rupa? Dia hanya pantas untuk pasangan para Peri
di atas langit sana!” Habis berucap begitu kembali Luhjelita tertawa panjang
dan merdu.
Di balik
lamping batu, kini Peri Angsa Putih yang menjadi tidak enak. “Jangan-jangan
gadis liar itu tahu kalau aku bersembunyi di tempat ini. Apa yang harus
kulakukan? Pergi saja dari tempat ini?” Sang Peri sesaat merasa bingung dan
juga jengkel. Kalau belum bertemu dan bertegur sapa dengan Wiro rasanya belum
puas hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tetap saja mendekam di balik
batu ini.
“Itu
tidak mungkin, Luhjelita. Peri tidak mungkin kawin dengan manusia biasa. Aku
tahu benar hal itu… Kalau itu sampai terjadi akibatnya sungguh luar biasa…”
“Wahai
sahabat muda berambut panjang! Belum berbilang tahun kau berada di Negeri
Latanahsilam ini, banyak hal yang sudah kau ketahui. Namun jangan kau menduga
bahwa makhluk bernama Peri itu selalu berada dalam kehidupan yang serba suci.
Banyak di antara mereka yang tersesat dan melanggar pantangan. Salah satu di
antaranya adalah peri yang kawin dengan seorang manusia biasa bernama
Lahambalang hingga melahirkan seorang anak kutukan. Berbentuk manusia tapi
tubuhnya penuh dengan duri seperti landak! Dan kurasa saat ini atau di masa
mendatang semakin banyak para Peri yang menjadi liar dan memilih jalan sesat
karena tidak bisa bertahan terhadap tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil kau
sendiri bisa-bisa sudah menjadi incaran mereka. Hatihatilah kau wahai Wiro…”
Baru saja
Luhjelita selesai berucap tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai
bentakan menggeledek.
“Gadis
bernama Luhjelita! Jahat sekali mulutmu! Bisa apa yang ada di hatimu hingga
berani menghina kami bangsa Peri dari atas langit?!”
Wiro
terkejut dan cepat melompat mundur karena mendadak ada angin yang menyapu
hebat. Luhjelita sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kaget. Pertanda dia
memang sudah tahu kehadiran orang yang barusan berkelebat dari balik lamping
batu sana. Itu sebabnya malah dia sengaja mengeluarkan ucapan melecehkan tadi.
**********************
8
WALAU
tidak kaget tapi Luhjelita tetap berlaku waspada. Begitu angin dahsyat menerpa,
gadis ini segera melompat mundur. Sosoknya melayang setengah jengkal di udara.
Begitu turun injakkan kaki di tanah dia keluarkan suara tawa.
“Wahai!
Tidak disangka! Ada Peri yang sengaja menyelinap sembunyikan diri untuk mencuri
dengar pembicaraan orang! Itu satu bukti bahwa bangsa Peri memang tidak berhati
polos dan berjiwa berani!”
Peri
Angsa Putih tegak rangkapkan dua tangan di depan dada. Walau mukanya merah dan
hati serta telinganya panas mendengar ucapan Luhjelita bahkan sebelumnya
sengaja menghantam dengan dorongan angin mengandung tenaga dalam tinggi, namun
saat itu dia masih mampu menekan hawa amarah yang menguasai dirinya. Dengan
suara tenang sambil permainkan ujung selendang biru yang melingkar di lehernya
dia berkata.
“Kepolosan
hati dan keberanian juga tidak menjadi milik satu golongan. Tapi tergantung
pada diri orang masingmasing. Belakangan ini banyak sekali orang yang pandai
bermanis mulut padahal menyimpan hati culas menyembunyikan maksud jahat.
Luhjelita siapa dirimu banyak orang yang sudah tahu. Kalau boleh aku bertanya,
siapa lagi yang telah menjadi korban bujuk rayumu setelah terakhir kau
mendapatkan sesuatu dari Lakasipo lalu meninggalkan lelaki itu begitu saja?”
Berubahlah
paras Luhjelita mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Gadis berpakaian
warna jingga ini melirik sekilas pada Wiro yang berdiri memandang saling
berganti pada dua gadis cantik itu sambil garuk-garuk kepala.
“Wajahmu
berubah pucat! Wahai! Satu pertanda bahwa ucapanku tadi tepat menghunjam di
lubuk hatimu!” Peri Angsa Putih sambung ucapannya.
“Peri
Angsa Putih, sungguh kau tidak bermalu. Kau tergila-gila pada Lakasipo! Namun
lelaki itu tidak mempedulikanmu. Buktinya dia meninggalkanmu begitu saja dan
ikut aku ke Goa Pualam Lamerah! Apakah di atas langit sana tidak ada pemuda
yang cocok menjadi pasanganmu hingga kau mengejar-ngejar Lakasipo. Kali ini kau
turun ke Latanahsilam pasti tengah mengintai mangsa baru!” Lalu Luhjelita
berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabatku pemuda gagah,
berhati-hatilah. Bukan mustahil kau yang ada dalam incarannya!”
“Bermanis
mulut, berminyak kata. Menyebar fitnah menyembunyikan keculasan. Itulah salah
satu sifat buruk di Negeri Latanahsilam. Semula kusangka hanya kaum lelakinya
saja yang berbuat seperti itu. Ternyata kau perempuan dan para gadis sudah ikut
ketularan. Sungguh malang dirimu wahai Luhjelita! Kau yang dikenal dengan gadis
puluhan kekasih, apakah perlu aku sebutkan satu persatu siapa saja mereka itu?
Apakah masih belum puas hingga kini memutar balik kenyataan. Padahal sebenarnya
kau tengah berusaha agar pemuda asing itu jatuh di tanganmu? Aku tidak ada
hubungan apa-apa dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu. Jika kau merasa mampu
merayu dan ingin memilikinya silakan saja. Akan kulihat apakah dia mau ikut
bersamamu!”
Ditantang
seperti itu panaslah hati Luhjelita. Dalam hati timbul tekadnya, apapun yang
terjadi Wiro harus bisa diajaknya pergi.
“Peri
dari atas langit! Jangan keliwat takabur karena merasa diri paling sakti dan
paling cantik! Aku akan buktikan padamu sebentar lagi bahwa pemuda ini akan
sudi ikut bersamaku. Tapi sebelum itu kulakukan, aku ingin memberi pelajaran
bersopan santun padamu!”
Habis
berkata begitu Luhjelita dorongkan tangan kanannya ke arah Peri Angsa Putih.
Selarik sinar berwarna jingga menggebubu. Peri Angsa Putih berseru kaget dan
cepat menghindar sembari kibaskan lengan pakaiannya yang berupa gulungan sutera
putih.
Dessss!
Sinar
jingga serangan Luhjelita laksana menghantam bantalan kapas lalu buyar. Tahu
bahwa dalam kekuatan hawa sakti dia tak bakal dapat mengungguli sang Peri,
Luhjelita menyergap ke depan, lancarkan serangan tangan kosong. Cepat dan
beruntun tak berkeputusan. Mendapat serangan sangat gencar begitu rupa Peri
Angsa Putih tetap berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng. Namun
karena kalah cepat dengan serangan berantai yang dilancarkan lawan, jurus demi
jurus sang Peri akhirnya tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini Pendekar
212 Wiro Sableng segera berteriak.
“Hentikan
perkelahian!”
Tapi tak
satupun dari dua gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau murid Sinto
Gendeng terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban nasib
sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada saat Peri Angsa Putih
lancarkan satu pukulan kilat ke arah Luhjelita. Namun karena sosok Wiro
melintang di depan maka hantaman Peri Angsa Putih mendarat telak di dada kanan
sang Pendekar.
Bukkkk!
Wiro terjajar
ke belakang sampai tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan tubuhnya
hampir roboh kalau dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang ke
tanah. Peri Angsa Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang terjadi. Saat
itu justru tamparan tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan.
Plaaakkk!
Tamparan
keras mendarat di pipi kiri Peri Angsa Putih. Peri bermata biru ini terpekik
kesakitan. Darah mengucur di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit akibat
pukulan yang kesalahan menghantam dadanya, namun melihat darah yang mengucur di
sudut pipi Peri Angsa Putih, Wiro jadi memelas. Selain itu dia merasa ikut
bersalah. Peri Angsa Putih berlaku lengah karena tadi telah kesalahan tangan
memukul dirinya. Dengan cepat dia robek lengan kiri baju putihnya lalu menyeka
darah di pipi sang Peri. Belum sempat darah itu disapunya tiba-tiba Luhjelita
menarik tangan kiri Wiro seraya berkata.
“Wiro!
Tak ada gunanya berbaik hati pada Peri bermata biru itu. Apa kau tidak tahu
kalau Hantu Tangan Empat kakeknya adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! Kematianmu
dan kawan-kawan sudah masuk dalam rencana mereka!”
“Aku
sudah tahu siapa Hantu Tangan Empat, siapa pula Hantu Muka Dua!” jawab Wiro
seraya berusaha menarik tangannya yang dibetot.
Namun
entah apa yang dilakukan Luhjelita saat itu mendadak Wiro merasakan tubuhnya
sebelah kiri menjadi lemas. Di lain saat dia sudah ditarik naik ke atas
punggung kura-kura raksasa. Binatang ini segera mengepakkan dua sayapnya.
Melihat
apa yang terjadi Peri Angsa Putih cepat berteriak. “Wiro! Jangan dengar
kata-katanya! Jangan ikut bersama dia! Dia justru adalah kekasih Hantu Muka
Dua!”
Di atas
kura-kura raksasa bernama Laecoklat itu Pendekar 212 jadi bingung. Dia berusaha
hendak melompat turun. Namun gerakan kura-kura raksasa sebat sekali. Begitu
mengepakkan sayap binatang ini sudah berada hampir dua puluh tombak di udara.
Murid Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa-apa selain mendekam duduk di atas
punggung kura-kura sambil pinggangnya dipegangi oleh Luhjelita.
“Hendak
kau bawa ke mana aku?” tanya Wiro.
“Tenangkan
hatimu. Tak usah takut! Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku hanya ingin
membicarakan beberapa hal. Untuk itu kau akan kubawa ke tempat kediamanku di
Goa Pualam Lamerah.”
Mendengar
disebutnya nama goa itu, otak sang Pendekar bekerja cepat. Menurut cerita
Lakasipo ketika dia dibawa Luhjelita ke goa itu, justru di tempat itulah dia
hampir terbunuh di tangan Hantu Muka Dua.
“Luhjelita,
jika kau memang hanya punya maksud membicarakan sesuatu, mengapa harus ke Goa
Pualam Lamerah? Turun saja di lereng bukit sana!” Wiro menunjuk ke arah lereng
sebuah bukit sambil diam-diam kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh sebelah
kiri yang tadi mendadak terasa lemas.
“Aku
ingin memperlihatkan padamu betapa indahnya tempat kediamanku. Lagi pula jika
sewaktu-waktu kau butuh tempat berteduh, apa salahnya kau menetap di sana…”
“Aku
berterima kasih pada tawaranmu. Tapi aku lebih suka kita turun di lereng bukit
itu. Kita bicara di sana!”
“He…
Kalau aku tidak mau memenuhi permintaanmu, apa yang hendak kau lakukan wahai
pemuda gagah?”
bertanya
Luhjelita sambil tangan kanannya menggelung pinggang Wiro lebih erat dan
hembusan nafasnya menghangati tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng itu.
“Kalau
kau tidak mau mendengar permintaanku, berarti kau memilih mati berdua!”
“Wahai!
Apa maksudmu Wiro?” tanya Luhjelita seraya kerenyitkan kening.
“Akan
kuhancurkan kepala kura-kura coklat ini!”
“Kau tak
akan tega melakukan hal itu,” kata Luhjelita pula menganggap enteng.
“Kau
benar-benar ingin menyaksikan sendiri?!” kata Wiro seraya kepalkan tinju
kanannya dan kerahkan ilmu pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Ini adalah
ilmu kesaktian yang didapat Wiro dari Tua Gila di Pulau Andalas. Jangankan
kepala kura-kura raksasa itu, batu karangpun bisa hancur jika kena dihantam.
Luhjelita
tertawa merdu. Sambil mengusap punggung Wiro dia berkata.
“Mati
berdua dengan seorang pemuda gagah! Wahai betapa indahnya!” ujar Luhjelita.
“Tapi siapa yang inginkan mati? Hik… hik… hik…! Baiklah Wiro. Kuturuti maumu.
Kita turun di lereng bukit yang kau tunjuk tadi!” Luhjelita mengetuk punggung
kura-kura raksasa. Binatang ini berputar lalu melayang ke arah lereng bukit di
sebelah barat.
*************************
DI TEPI
telaga Peri Angsa Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura raksasa
melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu
menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa
menyembur dari dua matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Wiro, tak
ada gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala,
tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau
dia masih memegang robekan lengan baju si pemuda yang tadi diberikan untuk
menyeka darah dari luka di sudut bibir akibat tamparan Luhjelita.
“Aku
memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan seperti itu
dia masih ingat pada cidera yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Wahai!
Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut
bibirku. Wahai… Kalau saja aku bisa membaca isi hatinya…” Peri Angsa Putih
tekapkan robekan baju Wiro itu ke wajahnya. Sepasang matanya berkacakaca.
“Aku
khawatir akan keselamatannya. Aku harus bisa mengejar kura-kura terbang itu dan
membuat perhitungan dengan Luhjelita…”
Peri
Angsa Putih cepat memutar tubuhnya untuk segera menemui Laeputih si angsa raksasa.
Tapi begitu dia membalik, begitu dia terkejut. Karena tepat di hadapannya tegak
berdiri Peri Bunda. Menatap ke arahnya dengan pandangan sayu seraya berkata.
“Kau
benar, kau turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo…”
“Peri
Bunda, tentunya kau sudah sejak tadi berada di sini. Mungkin juga berkesempatan
melihat apa yang terjadi. Wahai, saat ini tak dapat aku bicara berpanjang
lebar. Aku harus pergi. Aku harus melakukan sesuatu…”
Lalu Peri
Angsa Putih melangkah melewati Peri Bunda, melompat naik ke atas angsa raksasa.
Sesaat setelah Laeputih lenyap di batas pemandangan, Peri Bunda masih tegak di
tempatnya. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan menatap ke arah air
terjun. Air terjun yang menggemuruh jatuh seolah terasa seperti gemuruh hatinya.
“Tidak
bisa kusalahkan kalau gadis itu bersikap aneh akhir-akhir ini. Rupanya telah
terjadi sesuatu dengan pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu.
Ternyata dia memang gagah, jauh lebih gagah dari semua pemuda yang ada di
negeri ini. Bahkan Lakasipo bukan apa-apa dibanding dengan dirinya. Apakah Peri
Angsa Putih telah jatuh hati pada pemuda itu? Apakah akan terjadi lagi
pelanggaran yang bisa membawa akibat besar? Kegegeran lahirnya Hantu Jatilandak
masih belum pupus. Kutuk masih belum berakhir. Sekarang agaknya akan terjadi
lagi satu masalah yang jauh lebih hebat. Kalau semua akan berakhir seperti itu
lalu bagaimana dengan diriku sendiri…? Luhjelita bukan gadis sembarangan.
Ilmunya tinggi. Mampukah Peri Angsa Putih menghadapinya dan menyelamatkan
pemuda itu? Wahai, mungkin dia membutuhkan bantuanku…”
Peri
Bunda melangkah ke tepi telaga lalu menatap wajahnya dalam ke permukaan air
yang mengalun lembut.
“Usiaku
memang tidak semuda Peri Angsa Putih. Tapi kecantikan wajahku tidak kalah walau
dia memiliki sepasang mata biru. Kedudukanku yang lebih tinggi darinya mungkin
bisa membendung hasrat yang tersembunyi di hati sanubarinya…”
“Peri
Bunda, apa maksud ucapanmu barusan?”
Tiba-tiba
ada suara menegur. Peri Bunda tersentak kaget dan cepat berpaling. Lalu
buru-buru dengan wajah mendadak pucat dia menjura dan letakkan dua tangan yang
dirapatkan di atas kepala.
“Peri
Sesepuh…” kata Peri Bunda pula. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak
berani menatap wajah Peri gemuk yang mengenakan pakaian merah itu. Dalam hati
dia bertanya-tanya, bagaimana pimpinan tertinggi dari segala Peri yang ada di
atas langit ini tahu-tahu bisa berada di tempat itu. “Jangan-jangan dia telah
mengetahui dan mendengar pembicaraanku dengan Peri Angsa Putih…”
“Peri Bunda,
saat ini aku terpaksa menegurmu dengan keras. Masalah yang ditimbulkan
Luhmintari dan Lahambalang hingga melahirkan Jatilandak masih belum
terselesaikan. Apakah kau hendak menambah masalah baru wahai Peri Bunda?”
Peri
Bunda hanya bisa tundukkan kepala, tak bisa menjawab.
“Jangan
berdiam diri saja Peri Bunda. Aku ingin mendengar penjelasanmu!”
“Maafkan
saya Peri Sesepuh. Sebenarnya saya turun ke Negeri Latanahsilam ini hendak
mengikuti Peri Angsa Putih. Sejak beberapa hari ini saya lihat sikap dan bicaranya
aneh…”
“He… Lalu
sikap dan bicaramu sendiri bagaimana?”
tanya
Peri Sesepuh pula yang kembali membuat Peri Bunda menjadi tak bisa menjawab.
“Peri Bunda, aku minta kau segera kembali ke Negeri Atas Langit…”
“Tapi
bagaimana dengan Peri Angsa Putih? Saya khawatir dia berada dalam keadaan
bahaya…”
“Diri
Peri Angsa Putih tak perlu kau khawatirkan. Biar aku yang mengurusi. Hanya
harap katakan padaku ke mana kira-kira perginya orang-orang itu. Termasuk Peri
Angsa Putih…”
“Kemungkinan
besar mereka menuju ke Goa Pualam Lamerah,” menjelaskan Peri Bunda.
“Kalau
begitu biar aku yang mengejar ke sana. Kau kembali sekarang juga!”
“Baik
wahai Peri Sesepuh…” Peri Bunda memberi hormat lalu tinggalkan tempat itu.
Peri
Sesepuh usap wajahnya yang selalu keringatan.
Lalu sambil
gelengkan kepala dia berkata sendiri. “Pemuda asing bernama Wiro Sableng, tidak
ditolong salah, ditolong juga salah. Apa yang harus kulakukan terhadapmu?”
**********************
9
DI LERENG
bukit yang sejuk dan sunyi, Pendekar 212 Wiro Sableng tegak berdiri sementara
Luhjelita enak saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan. Matanya tak
lepas-lepasnya menatap wajah si pemuda sedang senyum terus bermain di bibirnya
yang merah. Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.
“Kita
sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan?”
bertanya Wiro.
Luhjelita
balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke
dagu. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat sosok tubuh bagian atas si
gadis, putih dan kencang. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. “Aku banyak
mendengar sifat aneh gadis ini dari Lakasipo. Aku harus berhati-hati…”
“Wahai
Wiro,” Luhjelita berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata
dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan
segala urusan?”
Wiro
tersenyum. “Kau membawaku karena katamu ada yang hendak kau bicarakan. Jika kau
tidak mau segera bicara biar aku yang bicara duluan.”
“He…
Bicaralah, aku ingin mendengarkan,” kata Luhjelita pula sambil melontarkan
senyum dan kedipkan matanya.
“Apa
betul kau kekasih Hantu Muka Dua?”
Sepasang
alis mata Luhjelita menjungkat ke atas. Dua matanya dibesarkan. Lalu suara
tawanya yang panjang dan merdu mengumandang di lereng bukit itu. “Kau rupanya
keliwat mempercayai kata-kata Peri Angsa Putih…”
“Lakasipo
pernah menceritakan padaku tentang
kejadian
di Goa Pualam Lamerah, tempat kediamanmu…”
“Wahai!
Coba jelaskan apa yang diceritakannya…”
“Di goa
itu kau melakukan sesuatu terhadapnya…”
“Sesuatu
apa?”
“Lakasipo
sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas kau meninggalkannya begitu saja di goa itu
dan tahu-tahu muncul Hantu Muka Dua. Apa tujuanmu? Kau mengundang Lakasipo ke
goamu. Di saat yang bersamaan Hantu Muka Dua muncul di situ! Kalau tak ada
hubungan apa-apa bagaimana Hantu Muka Dua bisa datang ke Goa Pualam Lamerah?
Lalu pada Lakasipo, Hantu Muka Dua sendiri mengatakan bahwa kau adalah
kekasihnya!”
Luhjelita
keluarkan suara berdecik berulang kali dari mulutnya. Kepalanya
digeleng-gelengkan dan matanya dibesarkan memandang ke langit. “Hantu Muka Dua
makhluk gila basa! Aku hanya memberi senyum dan bicara ramah. Dia telah
menganggap aku kekasihnya! Wahai! Sungguh gila! Aku memang bukan manusia apa-apa.
Kecantikanku tidak ada artinya dibanding Peri Angsa Putih yang kau kagumi itu!
Tetapi aku tidak terlalu tolol untuk mau jadi kekasih Hantu Muka Dua…”
“Kau
mengharapkan sesuatu dari makhluk itu. Sebagai imbalannya…:”
“Kujual
diriku padanya?! Begitu bukan terusan ucapanmu? Hik… hik… hik! Aku belum buta,
aku belum pikun dan tidak picik. Jika di usia semuda ini aku harus jatuh cinta,
masakan aku jatuh cinta pada Hantu Muka Dua, sementara masih banyak pemuda
gagah di Negeri Latanahsilam ini? Aku tidak malu-malu mengatakan bahwa aku
kagum terhadapmu. Tapi aku juga maklum dan tahu diri siapa diriku!”
“Luhjelita,
dengar dulu. Aku…”
“Sudahlah
Wiro, tadinya memang ada beberapa hal yang hendak aku tanyakan padamu. Tetapi
sebaiknya kubatalkan saja. Aku mendengar suara aliran air di kejauhan. Aku
ingin mandi. Pertemuan kita cukup sampai di sini saja…”
“Tunggu
dulu!” seru Wiro.
Tapi
Luhjelita seperti merajuk dan melompat ke balik pohon. Sebelum itu dia memberi
tanda pada Laecoklat agar kura-kura raksasa itu terbang mengikutinya dari
udara.
Ternyata
Luhjelita memiliki ilmu lari bukan sembarangan. Walau Wiro kerahkan kepandaian
tetap saja dia tertinggal belasan tombak di belakang. Di kejauhan kelihatan
sebuah telaga kecil di tempat ketinggian. Dari sebuah celah bebatuan air telaga
mengalir ke tempat rendah membentuk sungai kecil. Luhjelita lari menuju telaga
di tempat ketinggian itu. Wiro yang hendak mengejar mendadak hentikan larinya
ketika dilihatnya di tepi telaga Luhjelita menanggalkan pakaian lalu mencebur
masuk ke dalam air.
Mau tak
mau sang pendekar terpaksa hentikan pengejarannya. Malah dia melangkah berbalik
surut dan akhirnya duduk di balik serumpun semak belukar, mencelupkan ke dua
kakinya ke dalam sungai kecil yang airnya berasal dari telaga, tak berani
memandang ke jurusan telaga.
Setelah
menimbang-nimbang sesaat akhirnya Wiro memutuskan untuk tinggalkan tempat itu.
“Daripada cari perkara dengan gadis itu, lebih baik aku pergi saja. Aku harus
segera menemui Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. Bagaimana keadaan mereka. Apa
mereka telah mendapat tanda untuk meneguk obat yang bisa membesarkan tubuh
mereka?” Baru saja Wiro mengangkat kakinya dari dalam sungai kecil tiba-tiba
pandangannya membentur sekuntum bunga mawar berwarna kuning dihias dua helai
daun hijau, meluncur di permukaan air sungai menuju ke arahnya.
“Bunga
mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti ini…”
kata Wiro. Lalu dia membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan orang
begitu bunga dipegang murid Eyang Sinto Gendeng ini langsung dekatkan ke
hidungnya lalu mengendus bunga itu. “Heiii… harum sekali,” kata Wiro pula.
“Bunga sebagus ini dari mana datangnya?” Pendekar 212 memandang ke arah telaga.
“Eh…!” Kening Wiro mengerenyit. Dikedipkedipkannya matanya. Lalu diusapnya.
“Aneh, apa yang teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. Lebih aneh
lagi, dadaku sesak. Kepalaku seperti pusing!”
Wiro
pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan matanya
namun dia tak bisa melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar
kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!”
Wiro
mulai huyung. “Menurut Eyang Sinto Gendeng aku kebal segala macam racun. Tapi
racun bunga itu pasti jahat sekali…”
Dalam
keadaan seperti itu, sebelum tubuhnya roboh Wiro segera susupkan tangannya ke
balik pakaian. Dengan cepat dia memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212 lalu
mengatur jalan nafas dan kerahkan tenaga dalam menolak racun jahat yang
memasuki jalan pernafasan dan peredaran darahnya. Tubuhnya terasa hangat
sesaat. Hawa sakti yang ada dalam senjata mustika itu berusaha mendorong keluar
racun jahat yang tersedot Wiro. Namun racun dalam bunga jauh lebih hebat.
Setelah megapmegap berusaha menarik nafas dalam Wiro akhirnya roboh tertelentang
di tepi sungai kecil. Walau dia tidak pingsan dan ingatannya tidak hilang sama
sekali, namun pemandangannya sangat kabur dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
Dalam
keadaan tidak berdaya seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan guram tegak di
hadapannya. Bayangan ini diam sesaat lalu membungkuk dan berlutut di
sampingnya. Wiro merasa ada seseorang meraba tubuhnya. Tengkuknya merinding
namun dia tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Lalu rabaan itu turun ke bawah.
Terasa ada tangan-tangan yang dengan cepat membuka ikatan celana yang
dikenakannya.
“Heeee…
Ada senjata aneh. Berbentuk kapak bermata dua. Ini apa lagi… Sebuah batu hitam…
Aku tidak butuh dua benda ini…”
Wiro
sempat mendengar suara orang berucap. Tapi tidak pasti apa itu suara lelaki
atau suara perempuan. Datangnya seolah dari jauh sekali.
“Gila…
Apa yang dilakukan makhluk berbentuk bayangan ini!” Wiro masih bisa membatin.
Lalu lapat-lapat seolah berada di kejauhan Wiro mendengar suara seseorang
keluarkan pekik kejut perlahan dan tertahan. Kemudian celananya ditarik orang
ke bawah. Pada saat itulah mendadak kesunyian di tepi sungai kecil di lereng
bukit itu dirobek oleh suara tambur.
Orang
yang tengah menggerayangi Pendekar 212 tersentak kaget. Dia berusaha bertindak
cepat namun si pemukul tambur sudah muncul di balik pohon sana. Di atas
kepalanya dia menjunjung sebuah payung terbuat dari daun kering. Dari mulutnya
meluncur suara nyanyian.
“Na… na…
na… Ni… ni… ni! Ada apa di sana, ada apa di sini! Meraba ke balik celana. Pasti
tersentuh si pundipundi! Na… na… na! Ni… ni… ni!”
“Celaka!
Aku tak punya kesempatan! Bagaimana tua bangka sinting itu bisa muncul di
sini!”
Baru saja
orang itu berkata begitu tiba-tiba sebuah benda yang bukan lain adalah payung
daun kering menyambar ke arahnya. Tahu gelagat tidak baik, orang yang tengah
menggerayangi Wiro tak berani menghantam payung aneh itu. Dengan cepat dia
jatuhkan diri ke tanah, bergulingan lalu lenyap di balik semak belukar di
bagian bawah sungai kecil. Sesaat kemudian sebuah benda tibatiba memukul bagian
tengah perut Pendekar 212 Wiro Sableng. Tepat di bagian pusar! Benda itu bukan
lain adalah ujung tangkai payung daun kering yang tadi menyambar di udara
seolah hendak menyerang sosok yang berada di dekat Pendekar 212.
**********************
10
PENDEKAR
212 Wiro Sableng pulih keadaannya seperti semula. Terheran-heran dia duduk
menjelepok di tanah di tepi sungai kecil itu. “Apa yang terjadi dengan diriku?”
Dia bertanya dalam hati.
Memandang
ke kiri dilihatnya Kapak Maut Naga Geni 212 serta pasangan batu hitam
tergeletak di tanah. Cepat dua senjata mustika ini disimpannya ke balik
bajunya. Saat itulah dia menyadari bahwa ikatan tali celana putihnya terbuka
dan celana itu sendiri merosot sampai ke pangkal paha. “Gila! Apa yang telah
aku lakukan? Bagaimana mungkin celana ini bisa lepas begini rupa? Aku ingat
betul… walau tadi seperti mau pingsan, lemas dan tidak bisa melihat, tapi aku
tidak membuka celana ini!” Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Matanya
membentur mawar kuning yang tercampak di tebing sungai. Otaknya berpikir lagi.
Pada saat itulah telinganya menangkap suara gendang dibarengi suara orang
menyanyi na-na-na ni-ni-ni!
“Kakek Si
Pelawak Sinting!” ujar Wiro setengah berseru. Sesaat kemudian seorang kakek
bermuka kempot, memiliki dua mata belok dan hidung pesek serta mulut monyong
tonggos telah berdiri di hadapan Wiro sambil memukul sebuah tambur dan
bernyanyi-nyanyi. Di atas ubun-ubun kepalanya menclok sebuah payung terbuat dari
daun-daun kering.
“Pelawak
Sinting! Pasti kau yang melakukan! Pasti kau yang punya pekerjaan!” Wiro
membentak.
Kakek
pesek itu monyongkan mulutnya, simpan gendang dan penabuhnya di dalam kantong
panjang, rangkapkan tangan di depan dada lalu bertanya. “Apa katamu?! Aku
melakukan apa? Memangnya aku mengerjakan apa?!”
“Kau
melepas ikatan tali celanaku lalu merorotkan celanaku sampai ke paha!” kata
Wiro pula. “Siapa lagi kalau bukan kau yang melakukan! Sebelumnya kau telah
mengerjai aku seperti itu!”
Payung di
atas kepala si kakek mumbul sampai beberapa jengkal. Lalu dia tertawa
gelak-gelak.
Wiro jadi
tambah jengkel dia melompat berdiri. “Kek!
Jangan
kau tertawa! Mengaku saja! Saya…” Wiro mendadak jadi kelabakan karena baru
sadar saat itu dia berdiri dengan tubuh bugil sebelah bawah karena lupa
mengikat kembali tali celana putihnya. Si Pelawak Sinting tertawa
terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut murid Sinto Gendeng.
Wiro cepat-cepat menarik celananya ke atas dan mengikatnya kuat-kuat, merapikan
letak kapak dan batu hitam.
“Anak
muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa perlu aku membukai celanamu! Celana
perempuan saja tak ingin aku bukai! Ha… ha… ha…!”
“Di
tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain itu kau punya kesukaan
jelek, tukang merorotkan celana orang!”
“Waw…
waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu kejelekan? Aku sendiri pakai
celana melorot seperti itu! Lihat saja!” Lalu si kakek putar tubuhnya
memperlihatkan pantatnya yang memang tersingkap karena celananya sengaja
dilorotkan di bagian belakang! “Anak muda, sebenarnya tadi aku tidak mau
mengganggu kau lagi asyik bersama kekasihmu. Bercumbu rayu boleh-boleh saja.
Tapi kalau sampai main gerayang-gerayangan ke dalam celana, walau ini tempat
sunyi, kurasa sudah melewati batas! Pasti tadi kau keenakan ya diraba-raba
seperti itu? Ha… ha…ha!”
“Kek,
jangan kau berkata yang bukan-bukan! Apa maksud ucapanmu. Siapa yang bercumbu
rayu! Siapa yang meraba-raba! Siapa yang punya kekasih?!”
Si
Pelawak Sinting tertawa panjang lalu menjawab.
“Terima
kasih kau tidak mau mengaku. Tapi aku melihat dengan mata kepala sendiri…”
“Gila!”
ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Saya sendirian di tempat ini! Tapi coba
katakan apa yang kau lihat Kek?!”
“Terima
kasih kau memintaku memberi penjelasan!”
jawab Si
Pelawak Sinting. Lalu dia bercerita. “Waktu aku sampai di tempat ini kulihat
kau berbaring menelentang, matamu terbuka meram melek tanda kau sedang
keenakan. Kan begitu tandanya orang keenakan? Betul tidak? Hik… hik… hik!”
“Teruskan
saja ceritamu Kek…” kata Wiro menahan jengkel.
“Di
sampingmu duduk seorang gadis. Dia tengah meraba-raba ke balik celanamu…”
“Gila!
Kau mengarang cerita atau bagaimana?!”
“Terima
kasih kau menganggap begitu! Tapi aku tidak mengarang cerita. Aku melihat
dengan dua mataku ini!”
Lalu si
kakek buka lebar-lebar matanya yang belok dan monyongkan mulutnya yang tonggos.
“Seorang
gadis merabai diriku…!” Wiro menatap tajam wajah tua di depannya. “Apa warna
pakaian gadis itu?! Jingga?!”
“Tidak
ada warna apa-apa…”
“Tidak
ada warna bagaimana! Orang berpakaian walau terbuat dari apa pasti ada warna.
Hitam, putih, biru atau merah atau jingga…”
“Gadis
itu tidak mengenakan pakaian. Dia jongkok di sampingmu dalam keadaan bugil!
Jadi apa salah kalau kukatakan aku tidak tahu warna pakaiannya? Ha… ha…ha… ha!”
“Edan!
Benar-benar edan…!” kata Wiro sambil menggaruk kepalanya habis-habisan.
“Sekarang
setelah ketahuan kau pura-pura marah. Tadi waktu diraba-raba kau diam saja
keenakan…”
“Kek,
jangan kau menduga yang bukan-bukan. Sesuatu yang aneh telah terjadi dengan
diriku…”
“Kau
betul anak muda. Sekarang sebaiknya kau periksa bagian bawah perutmu. Apa
perabotanmu masih lengkap? Jangan-jangan sudah dicopot dan dilarikan gadis
bugil itu…”
“Enak
saja kau bicara…”
“Eh,
jangan berkata seperti itu. Tadi kau bilang sesuatu yang aneh telah terjadi
dengan dirimu. Lekas kau periksa di balik celanamu! Kalau kau sampai hidup
tanpa perabotan seumur-umur…”
Murid Sinto
Gendeng jadi bimbang. Tapi dia merasa malu untuk memeriksa bagian bawah
tubuhnya itu.
“Wahai!
Bukankah di negeri kelahiranmu ada orang yang punya ilmu aneh dan jahat. Yaitu
bisa mencopot dan memasang kembali perabotan orang. Tunggu… kalau tidak salah
orangnya berjuluk Datuk Lembah Akhirat…”
Air muka
Pendekar 212 jadi pucat. “Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” tanyanya dengan
suara gemetar (Mengenai Datuk Lembah Akhirat harap baca serial “Tua Gila Dari
Andalas”, terdiri dari 11 Episode).
“Aku cuma
dengar-dengar saja. Tapi benar, kan? Nah, sekarang apakah kau masih belum mau
memeriksa keadaan dirimu?”
Dada sang
pendekar jadi berdebar. Tanpa tunggu lebih lama dan tanpa merasa malu lagi
segera Wiro longgarkan ikatan tali celananya lalu memperhatikan ke bawah. Masih
belum puas dia susupkan tangan kirinya.
“Untung
Kek…” kata Wiro dengan wajah lega.
“Untung
bagaimana maksudmu?”
“Masih
ada Kek. Masih lengkap…” jawab Wiro.
“Kantong
menyannya masih ada?”
Wiro
mengangguk.
“Lontong
tak berdaunnya masih ada?”
Wiro
mengangguk lagi.
“Ijuknya
juga masih ada?”
“Brengsek
kau Kek!”
“Eh, aku
tanya ijuknya masih ada atau tidak?!”
“Adaaaa!!!”
jawab Wiro keras-keras.
Si
Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro memandang ke puncak bukit, ke arah
telaga. Sepi, tak ada siapa-siapa. Gadis cantik bernama Luhjelita itu tak
kelihatan lagi di sana. Lalu dia memungut bunga mawar kuning yang tergeletak di
tanah dan mengacungkannya pada si kakek.
“Kek,
seumur hidup baru sekali ini aku melihat bunga mawar berwarna kuning. Ketika
tadi aku mengendus keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi kabur…”
“Lekas
kau buang bunga celaka itu! Mawar kuning itu bunga beracun yang bisa membunuh.
Jangankan manusia, gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui ajal jika
menciumnya. Kau beruntung tidak sampai mati. Berarti kau menyimpan satu ilmu
kesaktian yang bukan sembarangan…”
“Aku
tidak punya ilmu apa-apa. Tapi aku ingin bilang terima kasih padamu. Kalau kau
tidak muncul mendadak di tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah
terjadi atas diriku…”
“Terima
kasih kau menganggap aku menolongmu. Padahal tidak…” jawab Si Pelawak Sinting
sambil menyeringai.
“Kek, kau
mungkin tahu asal-usul bunga mawar kuning itu? Dari mana asalnya… Siapa
pemiliknya…”
“Wahai,
siapa pemiliknya aku tidak tahu anak muda. Tapi dari mana berasalnya memang aku
tahu…”
“Dari
mana?” tanya Wiro.
“Mawar
kuning berbisa itu hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh. Di alam kehidupan
para Peri…”
Wiro
terkejut. Dadanya bergetar dan mukanya berubah.
“Kalau
begitu ini adalah pekerjaan Peri Angsa Putih!”
“Terima
kasih kau pandai menuduh. Tapi jangan sekalikali berprasangka buruk tanpa
bukti!” mengingatkan Si Pelawak Sinting.
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Saya berkata begitu karena Peri Angsa Putihlah
satu-satunya Peri yang saya temui sebelumnya… Saya harus menyelidiki hal ini!
Saya harus mencari Peri Angsa Putih dan menanyainya!” Wiro kepalkan tangan
kanannya penuh perasaan geram.
“Sudahlah,
aku tidak mau ikut campur urusanmu. Aku mau pergi. Apa kau mau ikut?”
“Kau mau
menyuruh saya memayungimu lagi, kau bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke
mana kau pergi?”
Si
Pelawak Sinting tertawa bergelak. “Terima kasih kau menyatakan ketidaksenanganmu.
Tapi sekali ini aku mengajakmu untuk berbuat pahala!”
“Apa
maksudmu Kek? Jangan-jangan kau hendak mengerjai saya lagi,…”
“Sekali
ini tidak. Maksudku belum. Aku mau menolong sahabatku si Hantu Tangan Empat
dari tekanan Hantu Muka Dua. Jika orang-orang seperti Hantu Tangan Empat tidak
ditolong, Hantu Muka Dua semakin merajalela. Hantu Muka Dua telah menculik
Luhbarini, istri Hantu Tangan Empat. Perempuan itu disekapnya di satu liang
batu tak jauh dari istana yang tengah dibangunnya yakni Istana Kebahagiaan.
Dengan menguasai Luhbarini, Hantu Muka Dua bisa memaksa Hantu Tangan Empat
melakukan apa saja. Termasuk memerintahnya untuk membunuhmu!”
“Tapi…
Saya lihat Hantu Tangan Empat seperti pasrah saja. Tidak berusaha membebaskan
istrinya.”
“Dia tidak
berdaya. Tidak mampu melakukan apa-apa sekalipun ilmunya tinggi…”
“Kalau
saya tidak salah Hantu Tangan Empat masih kakek Peri Angsa Putih. Mengapa para
peri tidak turun tangan membantu?”
“Hantu
Muka Dua ilmunya sangat tinggi, terkadang sangat aneh. Selain itu dia punya
belasan kaki tangan yang juga berkepandaian tinggi. Di antara mereka banyak
yang terpaksa atau terjebak masuk perangkap Hantu Muka Dua. Seperti yang
terjadi dengan Hantu Tangan Empat. Kalau nekad mungkin dia bisa menyerbu ke
tempat kediaman Hantu Muka Dua. Tapi kalau kelak istrinya sendiri menjadi
korban apa gunanya? Sekarang aku punya maksud hendak menolong membebaskan istri
Hantu Tangan Empat. Kau mau ikut bersamaku?”
“Tentu
mau Kek. Aku perlu membayar hutang budi Hantu Tangan Empat yang pernah saya
terima…” jawab murid Eyang Sinto Gendeng pula.
“Terima
kasih kau punya pikiran begitu. Ayo ikuti aku!”
Si kakek
keluarkan tambur dan penabuhnya. Ketika dia siap menyanyi tiba-tiba dia
melompat mundur sambil tarik tangan Wiro, menyelinap ke balik serumpunan semak
belukar.
“Ada apa
Kek?” tanya Wiro.
“Sssstt…
jangan keras-keras bicara. Lihat ke depan sana…” Si Pelawak Sinting monyongkan
mulut tonggosnya ke arah lereng menurun di bawah sana. Wiro cepat
memperhatikan. Dia melihat kobaran api aneh bergerak cepat ke arah timur.
“Celaka!
Kita kedahuluan!” ujar Si Pelawak Sinting.
“Lekas
ikuti aku!” Sekali bergerak kakek itu sudah berada tiga tombak di sebelah
depan.
**********************
11
SESAAT
Wiro merasa bimbang. Tapi ketika dia ingat hutang budi pada Hantu Tangan Empat
segera saja dia berkelebat menyusul Si Pelawak Sinting. Wiro tak perlu bertanya
apa yang terjadi atau siapa yang tengah mereka ikuti. Di sebelah depan sana dia
melihat satu sosok aneh, berlari cepat ke arah timur di mana terdapat kawasan
berbatu-batu berwarna kelabu. Sosok itu tidak beda adanya dengan sosok tubuh
manusia. Tapi anehnya sekujur badan mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari
api! Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebirubiruan pertanda panas
dan daya bakarnya lebih hebat dari api biasa!
Sambil
lari orang ini memanggul sesosok tubuh. Ketika Wiro memperhatikan, astaga!
Kagetlah sang pendekar. Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata adalah si
kakek Hantu Tangan Empat! Luar biasanya, walau dipanggul di atas bahu yang
dikobari api namun sosok Hantu Tangan Empat tidak ikut terbakar!
“Kek,
siapa adanya manusia berapi itu?!” tanya Wiro pada Si Pelawak Sinting.
“Hantu
Api Biru! Itu nama panggilannya! Wahai! Dia adalah salah satu dari tokoh hebat
di Latanahsilam yang telah kena dibujuk Hantu Muka Dua, dijadikan kaki tangan
pembantunya!”
“Celaka
kalau begitu! Bagaimana Hantu Tangan Empat bisa jatuh ke tangannya? Kita harus
segera membebaskan kakek itu!”
“Jangan
gegabah anak muda! Hantu Api Biru tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Kita ikuti
saja dulu makhluk itu. Kurasa dia pasti akan membawa Hantu Tangan Empat ke
sarangnya Hantu Muka Dua. Kalau aku tidak salah menduga di balik kawasan batu
kelabu itu terletak liang batu di mana istri Hantu Tangan Empat disekap. Lalu
di seberangnya tengah dibangun apa yang dinamakan Istana Kebahagiaan!”
“Saya
menurut saja. Makin cepat kita menolong Hantu Tangan Empat dan istrinya makin
baik!” ujar Pendekar 212.
Makhluk
yang tubuhnya dikobari api biru sampai ke kawasan yang dipenuhi batu-batu besar
dan tinggi berwarna kelabu. Dia memandang berkeliling seperti mencari-cari
sesuatu. Ketika matanya membentur sebuah batu yang di sebelah atasnya ditumbuhi
cendawan hitam, makhluk ini segera berkelebat ke batu itu lalu pergunakan
tumitnya untuk menendang batu tiga kali berturut-turut. Wiro bersama Si Pelawak
Sinting yang mendekam di balik sebuah batu memperhatikan bagaimana dua buah
batu kelabu di depan batu yang ditumbuhi cendawan hitam tiba-tiba bergeser ke
samping disertai suara berdesing halus. Di antara dua batu besar yang membuka
itu kini kelihatan sebuah liang yang merupakan tangga turun setinggi tiga
tombak. Hantu Api Biru segera melompat ke dalam liang batu. Dua buah batu besar
kembali keluarkan suara berdesing lalu merapat. Liang batu lenyap dari
pemandangan. Si Pelawak Sinting melirik pada Wiro. Dia menunggu sesaat lalu
tarik lengan pemuda itu dan melompat ke arah batu pembuka liang. Seperti yang
dilakukan Hantu Api Biru, Si Pelawak Sinting hunjamkan tumitnya tiga kali
berturut-turut. Dua batu besar serta merta terkuak ke samping.
“Cepat!”
ujar Si Pelawak Sinting lalu menerobos masuk ke dalam liang batu.
Wiro
mengikuti dengan perasaan tegang. Ketika liang menutup kembali ternyata ruang
di bawahnya tidak menjadi gelap. Si Pelawak Sinting sampai di bagian terbawah
tangga batu. Kakek ini lalu menyusup ke sebuah lorong. Di depan sana kelihatan
cahaya terang dari nyala api di tubuh Hantu Api Biru. Di sebelah ujung, lorong
bercabang dua. Si Pelawak Sinting membelok ke kiri. Saat itu timbul tanda tanya
di benak murid Sinto Gendeng. Mengapa si kakek langsung saja memilih lorong
yang sebelah kiri. Namun dia tidak punya waktu untuk berpikir panjang.
Tak
selang berapa lama sosok Hantu Api Biru kelihatan di depan sana. Tegak di
sebuah lobang batu yang sangat besar. Menurut perhitungan Wiro lobang itu
berukuran tinggi sekitar lima tombak sedang panjang dan lebarnya kira-kira
delapan kali delapan tombak. Dari tempatnya berdiri yang berada di ketinggian,
Pendekar 212 melihat beberapa sosok tubuh bergeletakan di lantai lobang batu
itu. Lalu ada satu sosok tubuh seolah dicetak, terpendam ke dalam salah satu
dinding. Lapat-lapat terdengar suara seperti orang merintih.
“Ruangan
apa itu Kek,” tanya Pendekar 212 dengan tengkuk agak dingin.
Belum
sempat dia mendapatkan jawaban di bawah sana Hantu Api Biru kelihatan turunkan
sosok Hantu Tangan Empat lalu tiba-tiba sekali Hantu Tangan Empat
dilemparkannya ke dalam lobang besar itu.
Bukkkkk!
Sosok
Hantu Tangan Empat bergedebuk di lantai batu. Tidak keluarkan suara tidak juga
bergerak.
“Jahanam!
Kita harus segera menghajar makhluk api itu Kek!” Wiro mulai tidak sabaran.
“Ini pasti ruang penyekapan! Mungkin istri Hantu Tangan Empat juga ada di
sini!”
Si Pelawak
Sinting melintangkan jari telunjuknya di atas mulutnya yang monyong lalu
berkata. “Ikuti aku…”
Sambil
memegang tangan kiri Wiro dia bergerak cepat ke bawah. Begitu kakinya menginjak
tepi lobang batu, si kakek berseru, “Hantu Api Biru! Aku datang!”
Sosok
yang dikobari nyala api putar tubuhnya. Lalu tertawa mengekeh. “Aku sudah
menjalankan tugasku! Bagaimana dengan kau wahai kerabatku?!”
“Jika kau
mampu mengapa aku tidak! Lihat siapa di sampingku!” Si Pelawak Sinting
menjawab.
Hantu Api
Biru memandang pada Wiro yang tegak mulai merasa heran bahkan curiga. Bicara
kedua orang itu membuat dia tersentak tidak enak. Hantu Api Biru tertawa
mengekeh. Si Pelawak Sinting menimpali. Tiba-tiba, sama sekali tidak terduga
oleh murid Eyang Sinto Gendeng, Si Pelawak Sinting dorong tubuhnya. Demikian
hebatnya kekuatan dorongan itu membuat Wiro tidak mampu mempertahankan diri dan
tak ampun lagi tubuhnya melayang jatuh, masuk ke dalam lobang batu besar! Dalam
jatuhnya masih untung Pendekar 212 tidak panik dan kehilangan akal. Dengan
cepat dia kerahkan ilmu meringankan tubuh lalu berjungkir balik dua kali hingga
begitu jatuh dia tetap berdiri di atas dua kakinya. Di atas sana, di tepi
lobang batu, Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.
“Jahanam!
Aku tertipu! Kakek sinting itu ternyata kaki tangan Hantu Muka Dua! Mengapa aku
jadi sebodoh ini?!”
Wiro
memaki habis-habisan. Dia kerahkan hawa sakti ke kaki, siap mengenjot ke atas
untuk melesat keluar dari dalam lobang batu. Lobang setinggi lima tombak itu
tidak terlalu tinggi untuk bisa dilompatinya. Tapi ketika sosoknya baru
mencapai ketinggian tiga tombak tiba-tiba ada hawa aneh datang dari atas,
menekan tubuhnya demikian rupa hingga dia terbanting ke bawah. Wiro semakin
marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sampai tiga kali dicobanya tetap
saja dia terbanting jatuh kembali! Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting
tertawa gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.
“Pelawak
Sinting! Kakek sialan penipu! Kalau kau tidak segera keluarkan aku dari tempat
ini akan kuhabisi kau saat ini juga!” Wiro mengancam lalu kerahkan hawa sakti
ke tangan kanan. Tangan itu mulai dari siku ke bawah serta merta berubah
menjadi putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.
“Anak
muda, percuma saja. Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menembus Tabir Roh
yang mengapung di atas permukaan lobang ini. Lagi pula makhluk yang kau panggil
dengan nama Pelawak Sinting itu bukan Pelawak Sinting karena akulah Si Pelawak
Sinting sebenarnya!”
Tentu
saja murid Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar suara itu. Dia berpaling ke
dinding sebelah kiri. Astaga! Yang barusan bicara adalah sosok yang mendekam
amblas di dalam dinding batu itu! Dan yang paling membuat Wiro melengak besar
adalah ketika menyaksikan bagaimana raut muka, bentuk sosok tubuh orang ini
sangat sama dan menyerupai Si Pelawak Sinting!
“Bagaimana
mungkin!” pikir Wiro.
Di atas
sana tiba-tiba terdengar Si Pelawak Sinting berseru. “Pendekar 212 Wiro
Sableng, kau dan semua yang ada dalam lobang celaka itu akan menemui kematian
secara perlahan-lahan. Mungkin satu tahun, mungkin tiga atau lima tahun. Kalian
akan lepas dari kematian jika bersedia tunduk patuh menjadi anak buah pembantu
Hantu Muka Dua! Untuk itu orang-orang kami akan datang menanyaimu sekali dalam
tujuh hari!”
“Manusia
tonggos keparat! Kau rasakan dulu ini!” teriak Wiro marah. Tanpa pikir panjang
dia langsung lepaskan pukulan Sinar Matahari! Sinar putih panas menyilaukan
berkiblat ke atas.
Bummmm!
Bummmm!
Dua
letusan keras menggelegar. Lobang batu bergetar hebat. Pukulan Sinar Matahari
musnah tanpa bekas pada ketinggian empat tombak! Wiro jatuh terbanting di lantai!
Si
Pelawak Sinting tertawa mengekeh. Dia balikkan tubuhnya dan songgengkan
pantatnya ke arah Wiro. Ketika bersama Hantu Api Biru dia hendak tinggalkan
tempat itu, orang yang melesak di dalam dinding batu berteriak.
“Labodong!
Kau makhluk jahanam! Kembalikan payung, tambur dan penabuh milikku! Kalau aku
benarbenar menemui ajal di tempat ini rohku akan datang mencarimu dan
mencekikmu sampai mampus!”
Si
Pelawak Sinting tertawa mengekeh. “Aku memang tidak lagi memerlukan
barang-barang busuk ini! Ambil saja kembali!” Dari atas sana Si Pelawak Sinting
lalu lemparkan ke dalam lobang payung daun, tambur serta penabuhnya. Lalu
sambil tertawa-tawa bersama Hantu Api Biru dia tinggalkan tempat itu.
“Sialan!
Benar-benar sialan!” maki Wiro tidak habishabisnya menyesali diri dalam
kemarahan yang hampir tidak terbendung.
“Tidak
ada kesialan dalam hidup ini wahai anak muda. Yang ada ialah bahwa segala
sesuatu yang terjadi atas diri kita sudah diatur oleh para Dewa penguasa alam…”
Wiro
hendak memaki tapi ketika sadar yang berucap itu adalah sosok yang melesak ke
dinding batu dia segera palingkan kepala.
“Kek,
siapa kau adanya?! Bagaimana wajah dan bentuk tubuhmu sangat sama dengan
manusia di atas sana yang tadi menyonggengkan pantatnya?” Wiro ajukan
pertanyaan.
“Terima
kasih! Pertanyaanmu segera akan kujawab. Tapi harap kau lebih dulu turun tangan
menolong Hantu Tangan Empat…” Orang yang melesak di dalam dinding batu
menjawab.
Mendengar
ucapan itu Wiro segera mendekati sosok Hantu Tangan Empat yang tergeletak di
lantai ruangan.
“Aneh,
dia dilemparkan dari ketinggian sana. Tapi tak ada bekas cidera sedikitpun…”
Wiro membatin begitu dia memeriksa keadaan Hantu Tangan Empat. Segera saja dia
kerahkan tenaga dalam. Sambil tempelkan dua tangannya ke dada dan pusar si
kakek perlahan-lahan Wiro alirkan tenaga dalam.
Sesaat
kemudian kakek itu mulai siuman dan buka sepasang matanya. Selagi
pemandangannya masih mengabur kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar
suara erangan. Dia kenali betul suara itu. Hantu Tangan Empat cepat bangkit dan
duduk. Lalu memandang seputar ruangan. Dia kembali memandang ke arah Wiro.
Ingatannya masih belum jernih.
“Anak
muda, aku rasa-rasa pernah melihat wajahmu. Di mana aku berada saat ini?”
“Wahai
kerabatku Hantu Tangan Empat,” sosok yang melesak di dinding berkata. “Istrimu
Luhbarini ada di sudut kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kau pasti bisa
menolongnya.”
Mendengar
ucapan itu Hantu Tangan Empat segera berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan
nafasnya serasa berhenti. Satu sosok tubuh perempuan dilihatnya terhantar di
lantai ruangan, kurus mengenaskan, tak bergerak tapi keluarkan suara erangan.
“Istriku
Luhbarini! Wahai!” Hantu Tangan Empat berseru setengah menggerung. Lalu dia
lari dan jatuhkan diri, memeluk sosok tubuh istrinya kemudian merangkulnya.
Suara erangan terputus. Dua mata yang selama ini terkatup, membuka sedikit.
Lalu terdengar suara berucap halus dan lirih. “Hantu Tangan Empat, suamiku!
Kaukah yang memeluk diriku saat ini…”
“Luhbarini.
Ini memang aku suamimu. Hantu Tangan Empat…”
“Ah… Kau
kutunggu begitu lama. Mengapa baru datang sekarang?”
Sepasang
mata Hantu Tangan Empat berkaca-kaca.
“Maafkan
diriku wahai Luhbarini. Keadaan membuatku tidak berdaya. Tapi saat ini aku
tidak peduli lagi. Kita harus keluar dari tempat ini sekalipun putus nyawa di
badan, mati jazad berkalang tanah.”
Hantu
Tangan Empat peluk tubuh istrinya erat-erat. Kedua orang ini saling rangkul dan
sama-sama terisak. Wiro hanya bisa memperhatikan dengan perasaan haru. Dia
memandang berkeliling. Dalam liang batu itu beberapa sosok manusia dilihatnya
bergeletakan di sana sini. Mereka pasti musuh-musuh Hantu Muka Dua yang menjadi
korban disekap di tempat ini, pikir Wiro. Dia bermaksud mendekati orang-orang
itu kalau-kalau bisa menolong. Namun orang tua yang terpendam di dinding batu
tiba-tiba keluarkan ucapan.
“Anak
muda, terima kasih. Tapi tak ada gunanya menolong mereka. Mereka semua telah
jadi mayat…”
Wiro
terkesima dan hentikan langkah. “Kakek di dinding, kau belum menerangkan siapa
dirimu. Bagaimana kau sampai disekap di sini dan bagaimana aku bisa menolongmu.
Lalu bagaimana kita bisa selamatkan diri keluar dari tempat ini…”
“Aku
adalah Labudung, adik kembar dari Labodong, manusia yang padamu mengaku sebagai
Si Pelawak Sinting. Sebenarnya akulah Si Pelawak Sinting. Kakakku jatuh dalam
bujuk rayu Hantu Muka Dua dan berusaha mengajakku bergabung di Istana
Kebahagiaan yang kini tengah dibangun. Aku menolak. Seperti terhadapmu dia
menipuku lalu menjebloskan aku ke dalam tempat ini. Anak muda, aku sudah lama
menunggumu. Firasat mengatakan bahwa kau yang bisa membawa kami keluar dari
tempat ini…”
“Bagaimana
caranya?” tanya Wiro bingung sambil garuk kepala. Dia berpaling ke arah Hantu
Tangan Empat. “Kek, kau mungkin tahu?” Wiro ajukan pertanyaan.
Hantu
Tangan Empat gelengkan kepala. Wiro melangkah mendekati dinding di mana
Labudung terpendam.
Si kakek
tersenyum lalu berkata. “Aku tahu maksudmu. Kau tak mungkin mengeluarkan aku
dari dalam pendaman batu ini. Kau dan Hantu Tangan Empat serta istrinya segera
saja berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Kau datang dari tanah
seribu dua ratus tahun mendatang yang lebih maju. Kau pasti bisa mendapatkan
petunjuk. Satu hal harus kau ketahui, Labodong berdusta bahwa kita bisa
bertahan hidup sampai satu tahun atau lebih. Juga dia dusta bahwa kita akan
bebas dan dijadikan pembantu kepercayaan Hantu Muka Dua jika mau tunduk dan
patuh pada Hantu Muka Dua. Aku mendapat firasat Hantu Muka Dua akan
menghancurkan liang batu ini dan kita akan dikubur hidup-hidup di tempat ini!”
“Gusti
Allah! Tolong kami!” kata Wiro dengan suara keras. Dia memandang berkeliling.
Dua tangannya bergetar tanda dia kembali mengerahkan tenaga dalam menyiapkan
pukulan. Maksudnya hendak menghantam salah satu sudut ruangan batu itu yang mungkin
bisa dihancurkan agar dapat jalan keluar.
“Anak
muda, bagaimanapun hebatnya tenaga dalammu, apapun senjata yang kau miliki,
jangan harap bisa menjebolkan dinding liang batu itu…” kata Labudung alias Si
Pelawak Sinting yang sebenarnya.
Kesal dan
geram Wiro garuk-garuk kepala dan melangkah mundar-mandir.
“Anak
muda…” tiba-tiba Hantu Tangan Empat berkata.
Saat itu
dia tengah memapah istrinya dan berusaha melangkah ke arah Wiro. “Setahuku kau
mempunyai ilmu mengerahkan hawa sakti yang bisa melihat ke arah kejauhan. Lekas
kau pergunakan kepandaianmu itu untuk melihat siapa tahu ada jalan keluar. Aku
yakin, pasti ada jalan rahasia jalan keluar dari tempat celaka ini…”
Wiro
gigit-gigit bibirnya. Dia berpaling pada Labudung. Orang tua ini tertawa lebar
dan anggukkan kepala lalu berucap. “Kalau saja aku bisa menggerakkan tanganku
untuk menabuh tambur itu, pasti aku bisa membantumu mencari jalan sambil
menyanyi. Sayang diriku kena dipendam manusia celaka Hantu Muka Dua itu…”
Sejak
tadi Wiro tidak begitu memperhatikan. Tapi ketika dia melihat sekali lagi ke
arah kakek yang terpendam itu dia jadi tertawa geli dan garuk-garuk kepala.
Ternyata kakek satu ini juga mengenakan celana yang didodorkan sampai ke bawah
pusar. Perlahan-lahan Wiro rangkapkan dua tangannya di depan dada. Aliran darah
dan tenaga dalam diatur sedemikian rupa hingga bergerak ke arah kepala. Wiro
kemudian kedipkan kedua matanya, menatap ke depan. Kegelapan. Dia hanya melihat
kegelapan di depan sana. Dia coba alihkan pandangan mata ke dinding kiri. Tetap
saja dia tak bisa melihat apa-apa. Berputar ke dinding sebelah kanan Wiro jadi
berdebar. Tak ada petunjuk, hanya kegelapan yang dilihatnya. Perlahan-lahan dia
putar lagi tubuhnya. Kini menghadapi dinding batu yang tadi dipunggunginya.
Dadanya kembali berdebar. Samarsamar dia melihat sesuatu.
“Aneh,
dua benda apa itu…?” Murid Sinto Gendeng membatin. Dia lipat gandakan tenaga
dalamnya. Kini di belakang dua benda aneh itu dia melihat tegak dua sosok
menyerupai sosok manusia.
“Aku
mendengar suara sesuatu!” Labudung berucap. Daun telinganya bergerak-gerak.
“Aku
juga,” kata Hantu Tangan Empat.
Wiro
sendiri belum mendengar suara apapun. Pertanda dalam ilmu mendengar ini dua
kakek aneh itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi darinya.
“Suara
apa Kek?” tanya Wiro pada Hantu Tangan Empat.
“Seperti
suara tanah digangsir orang…” jawab Hantu Tangan Empat sambil usap janggut
putihnya.
Wiro buka
matanya lebar-lebar. Kerahkan seluruh hawa sakti yang dimilikinya hingga
tubuhnya bergetar dan kucurkan keringat. Dia kedipkan lagi matanya dua kali
berturut-turut. Sesaat kemudian apa yang tadi dilihatnya kini tampak lebih
jelas. Dari mulutnya keluar seruan.
“Tuhan
Maha Besar! Pertolongan Gusti Allah sudah datang!” Wiro berseru gembira dan
memandang pada Si Pelawak Sinting dan Hantu Tangan Empat.
“Tuhan…
Siapa Tuhan yang kau maksudkan itu anak muda? Siapa pula Gusti Allah yang kau
sebutkan itu?” Si Pelawak Sinting bertanya.
“Masakan
kau…” Wiro cepat sadar. Orang-orang di Negeri Latanahsilam termasuk Si Pelawak
Sinting ini mana tahu Tuhan atau Allah. Dia berusaha memberi penjelasan.
“Tuhan
adalah Dia yang menjadikan langit dan bumi ini. Termasuk kita semua! Tak ada
kekuasaan yang lebih tinggi dari yang dimilikiNya. Tak ada ilmu kepandaian yang
dimiliki siapapun melebihi yang dimilikiNya! Dia Maha Pengasih, Maha Penolong
dan Maha Pelindung…”
“Apakah
dia sama dengan Dewa wahai anak muda?”
“Sulit
bagi saya menjelaskannya Kek. Yang jelas saat ini pertolonganNya segera menjadi
kenyataan!”
Baik
Hantu Tangan Empat maupun Si Pelawak Sinting sama-sama memandang seputar
ruangan batu.
“Aku
hanya mendengar, tidak melihat apa-apa. Apakah yang kau sebut Tuhan atau Allah
itu hanya bersuara, tidak berbentuk, tidak memperlihatkan diri?”
Wiro
tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Kalau tanpa memperlihatkan diri Gusti
Allah sanggup menolong kita, apa perlunya Dia memperlihatkan diri!”
“Ah,
kalau begitu ingin sekali aku mengenal Tuhan atau Allahmu itu…” ujar Si Pelawak
Sinting sambil hendak manggut-manggut tapi mengerenyit sakit karena kepalanya
sebelah belakang melekat ke batu!
Sesaat
kemudian suara seperti gerinda menderu memenuhi liang penyekapan itu. Lantai
dan dinding bergetar hebat. Telinga seperti ditusuk. Tiba-tiba salah satu
dinding ruangan jebol besar. Batu-batu berpelantingan. Debu beterbangan. Begitu
debu surut ke bawah, muncullah dua sosok makhluk yang membuat Hantu Tangan
Empat tersurut sampai dua langkah sementara Si Pelawak Sinting buka matanya
yang belok lebar-lebar. Belum lagi habis kaget mereka, ke dalam liang menyusul
melesat dua sosok tubuh, satu bersisik, satunya ditumbuhi duri-duri panjang
mengerikan!
**********************
12
DUA SOSOK
makhluk yang menerobos masuk pertama sekali adalah sepasang landak raksasa yang
dikenal Wiro sebagai Laeruncing dan Laelancip. Lalu di belakang mereka menyusul
makhluk bersisik yang bukan lain adalah Hantu Jatilandak. Makhluk ke tiga
berbentuk dahsyat. Sekujur kepala, muka dan tubuhnya tertutup sisik hitam
sekeras baja. Matanya angker sekali karena hanya berbentuk dua buah tonjolan
putih seperti combong kelapa. Dia bukan lain adalah makhluk aneh berkepandaian
tinggi yang dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu. Dialah tadi yang
bersama-sama dua landak raksasa menggasir tanah, menjebol dinding batu dan
menerobos masuk ke dalam liang penyekapan itu! (Untuk lebih mengetahui siapa
adanya mereka harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Hantu Jatilandak”).
“Tuhan
Maha Besar!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng setengah berjingkrak. “Kalian semua
benar-benar hebat! Kami semua berterima kasih atas pertolongan kalian!”
Wiro
mengusap-usap Laelancip si landak betina dan Laeruncing si landak jantan lalu
memeluk Hantu Jatilandak yang telah menganggapnya sebagai saudara dan tak lupa
menjura hormat kepada Tringgiling Liang Batu.
“Aku
banyak mendengar, tapi baru kali ini melihat sendiri kalian semua wahai
makhluk-makhluk gagah! Aku dan istri mengucapkan terima kasih atas usaha kalian
menolong kami!” berkata Hantu Tangan Empat.
“Kita
harus bergerak cepat!” Tringgiling Liang Batu berkata. “Sebelum menerobos masuk
ke sini dari arah barat, kami melihat ada beberapa kelompok orang melakukan
sesuatu. Kelihatannya mereka hendak meroboh atau menimbun tempat ini!”
“Apa
kataku!” Si Pelawak Sinting berkata. “Hantu Muka Dua jahanam itu benar-benar
makhluk Segala Keji! Lekas kalian tinggalkan tempat ini!”
“Kau
bagaimana wahai sobatku?” tanya Hantu Tangan Empat.
“Jangan
pedulikan diriku! Kalau kalian bisa selamat semua aku sudah senang. Lekas
pergi…!”
“Kami
tidak akan pergi jika tidak bersamamu!” Selarik sinar putih berkiblat disertai
suara menggaung seperti seribu tawon mengamuk.
Traang!
Tangan
kanan Wiro bergetar hebat. Kapak Maut Naga Geni 212 memercikkan bunga api
terang benderang. Murid Eyang Sinto Gendeng melompat mundur dan membelalak.
Senjata mustika yang sangat diandalkannya itu tidak mampu menghancurkan dinding
batu di mana Si Pelawak Sinting melesak terpendam. Wiro melirik pada sepasang
landak. Dalam hatinya dia membatin. “Dua landak raksasa itu mampu menjebol
dinding ini dengan taring-taringnya. Mengapa kapak ini…”
Laeruncing
dan Laelancip seolah tahu apa yang ada di pikiran sang pendekar kedip-kedipkan
mata mereka lalu keluarkan suara menggereng perlahan. Di dinding sana Si
Pelawak Sinting mengekeh.
“Kek, kau
ini aneh. Semua orang merasa bingung dan sedih tak bisa menolong mengeluarkan
kau dari pendaman batu. Tapi kau sendiri malah tertawa begitu!”
“Na… na…
na…! Ni… ni… ni! Aku bukan saja tertawa tapi masih bisa menyanyi. Terima kasih!
Kenapa kalian susahsusah pakai bingung dan sedih segala? Sudah lekas pergi.
Tinggalkan tempat ini cepat. Tak usah pedulikan diriku lagi. Siapa tahu wahai
anak muda, Tuhan atau Allahmu itu masih ingat diriku dan menolong! Hik… hik…
hik…!”
Wiro
garuk-garuk kepala mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting itu. Hantu Jatilandak
berpaling pada Tringgiling Liang Batu yang sudah menganggapnya sebagai cucu
sendiri. Maklum arti pandangannya sang cucu ini Tringgiling Liang Batu lalu
melompat ke dinding tempat Si Pelawak Sinting terpendam. Sepuluh jari-jari
tangannya yang memiliki sisik dan kuku hitam setajam baja langsung ditancapkan
ke dinding batu sepanjang sosok si kakek terpendam.
“Hai!
Hendak kau apakan diriku! Hendak kau gelitik…?!” seru Si Pelawak Sinting lalu
tertawa cekikikan seperti orang kegelian.
Laksana
pahat sakti jari-jari tangan Tringgiling Liang Batu menancap dan kepulkan
cahaya hitam di dinding batu dan sekaligus membongkarnya. Pecahan batu dan debu
beterbangan. Satu lobang besar terbentuk sekeliling sosok si kakek. Sesaat
kemudian sambil pegang celananya yang kedodoran Si Pelawak Sinting melompat
dari dinding. Begitu injakkan kaki di lantai dia segera menyambar payung daun,
tambur dan penabuh miliknya. Kemudian sambil menabuh tambur itu dia tegak
membungkuk, tanpa pedulikan celananya yang kembali merosot kedodoran, memberi
hormat satu persatu pada semua orang yang ada di situ termasuk Laeruncing dan
Laelancip sepasang landak raksasa sambil berulang kali mengucapkan terima
kasih.
“Anak
muda,” kata Si Pelawak Sinting pada Wiro.
“Tuhan
Gusti Allahmu benar-benar hebat! Bagaimana caranya aku berterima kasih
padaNya?!”
“Dia Maha
Tahu, Maha Mendengar apa isi hatimu. Tak usah mengatakanpun Gusti Allah sudah
tahu kalau kau menyukuri pertolonganNya…”
“Ah,
begitu…? Aneh juga ya? Hik… hik… hik!”
“Para
kerabat! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” Tringgiling Liang Batu
berkata.
“Laelancip
dan Laeruncing, kau di sebelah depan…” kata Hantu Jatilandak pada dua ekor
landak raksasa yang selama sekian tahun memeliharanya di sebuah pulau. Dua
landak raksasa itu segera balikkan tubuh dan melesat masuk ke dalam lobang
besar di dinding. Hantu Jatilandak menyusul, lalu Hantu Tangan Empat yang saat
itu telah memanggul istrinya. Di sebelah belakang Pendekar 212 dan Si Pelawak
Sinting lalu di belakang sekali Tringgiling Liang Batu.
Setelah
melewati terowongan cukup panjang yang sebelumnya dibuat oleh rombongan
Tringgiling Liang Batu, orang-orang itu sampai di satu tempat terbuka di
sebelah timur kawasan berbatu-batu. Pada saat itu mendadakterdengar suara
gemuruh hebat di belakang mereka. Ketika berpaling terkejutlah orang-orang itu.
Kawasan liang batu di mana mereka berada sebelumnya tampak ambruk longsor.
Batu-batu besar bergelindingan dahsyat menimbun tempat itu. Di udara debu dan
pasir beterbangan sampai beberapa tombak.
“Pasti
pekerjaan orang-orang Hantu Muka Dua!” kata Si Pelawak Sinting.
Tringgiling
Liang Batu melompat ke depan lalu berkata.
“Ambil
jalan ke kiri! Ikuti aku!”
Orang-orang
itu segera melakukan apa yang dikatakan Tringgiling Liang Batu. Namun begitu
debu dan pasir turun luruh dan pemandangan menjadi jelas kembali, mereka dapati
berada dalam keadaan terkurung. Beberapa orang dengan sikap garang berdiri di
atas batu-batu besar. Yang pertama adalah Si Pelawak Sinting palsu alias
Labodong. Lalu di sebelahnya, di atas sebuah batu datar tegak Hantu Api Biru.
Tak jauh di sebelah kiri di atas dua buah batu berdiri sepasang saudara kembar
Lagandrung dan Lagandring yang sebelumnya pernah berkelahi adu kekuatan melawan
Hantu Tangan Empat dan Pendekar 212 Wiro Sableng! Melihat Lagandring Wiro
segera ingat kaca merah bulat milik orang itu yang sampai saat itu masih berada
dalam saku pakaiannya.
“Asyik
sekali!” tiba-tiba Si Pelawak Sinting berseru.
“Terima
kasih kalian berempat memberi kesempatan lolos pada kami dari timbunan batu
itu. Juga terima kasih kalian mau susah-susah mengadakan penyambutan atas
kedatangan kami! Hanya sayang mana majikan besar kalian penguasa Istana
Kebahagiaan yang katanya adalah Raja Diraja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam?! Apa masih enak ngorok atau belum cebok dan belum mandi?! Ha… ha…
ha!”
“Tua
bangka tolol! Nyawa hanya tinggal sekejapan mata malah bicara ngelantur!” Yang
membalas ucapan Si Pelawak Sinting adalah makhluk aneh yang sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api warna biru.
“Wahai
para sobatku, hari ini mari kita berbagi pahala!” kata Si Pelawak Sinting.
“Manusia-manusia kaki tangan Hantu Muka Dua pantas dibasmi. Aku biarlah
menghadapi kakakku sendiri Si Pelawak Sinting palsu bernama Labodong itu.
Kecuali jika dia mau menyadari dosadosanya, pergi dari sini bertobat
seumur-umur! Kalian mau cari pasangan lawan silakan pilih sendiri. Hik… hik…
hik!”
Hantu
Tangan Empat maju selangkah lalu berkata
“Sebelumnya
si kembar Lagandrung senang bermain-main dengan aku! Bagusnya permainan di tepi
telaga dulu kita lanjutkan kembali! Ha… ha… ha…!” Saat itu juga Hantu Tangan
Empat robah sosok tubuhnya. Rambutnya menjadi merah tegak berjingkrak. Dari
kulit kepalanya mengepul asap merah. Empat tangan mencuat dari tubuhnya,
bergerak-gerak kian kemari mengeluarkan desau angin dingin menggidikkan. Di
atas batu besar Lagandring diam-diam merasa kecut kalau-kalau Pendekar 212 Wiro
Sableng akan buka mulut memilih dirinya sebagai lawan. Ternyata Wiro punya
jalan pikiran lain.
“Pelawak
Sinting sobatku,” katanya pada Labudung.
“Sebenarnya
aku ingin sekali memberi pelajaran pada kakakmu si Labodong itu. Tapi karena
kau sudah memilihnya jadi lawan, biar aku menghadapi manusia puntung neraka itu
yang kabarnya punya nama hebat Hantu Api Biru!”
“Terima
kasih kau mau mengerti!” kata Si Pelawak Sinting yang asli lalu tertawa
gelak-gelak.
Mendadak
Wiro mendengar suara mengiang di telinganya sebelah kiri. “Anak muda, kalau kau
memilih Hantu Api Biru sebagai lawanmu, hanya ada satu dari sekian ilmumu yang
sanggup menghadapinya. Keluarkan Ilmu Angin Es!”
Murid
Sinto Gendeng terperangah dan menoleh ke samping ke arah Hantu Tangan Empat
karena dia tahu kakek inilah yang barusan bicara padanya. “Heran, bagaimana dia
tahu aku memiliki ilmu itu?” Namun diamdiam Wiro merasa berterima kasih. Jika
dipikir memang kekuatan paling ampuh dalam menghadapi ilmu api adalah ilmu
angin es yang selama ini hampir tak pernah dikeluarkannya seperti juga Ilmu
Belut Menyusup Tanah.
“Kalian
semua sudah memilih lawan, biar aku yang jelek ini menghadapi si kembar muda
itu!” kata Hantu Jatilandak. Si kembar muda yang dimaksudkannya adalah
Lagandring.
“Nasibku
jelek! Agaknya aku hanya akan jadi penonton!” kata Tringgiling Liang Batu.
Menganggap
enteng Hantu Jatilandak, Lagandring menyeringai buruk lalu berkata. “Sebelum
kami mencabut nyawa kalian satu persatu aku harap pemuda asing bernama Wiro
lebih dulu mengembalikan kaca merah milikku yang dicurinya di tepi telaga tempo
hari!”
Mendengar
ucapan itu Wiro segera keluarkan kaca merah yang ada dalam saku pakaiannya.
“Orang jelek! Kau inginkan kacamu silakan ambil sendiri! Kalau kau mampu
membunuhku kau tentu sanggup mengambilnya!” Wiro acungkan kaca itu ke atas. Tak
sengaja sambil mengacung dia usap-usap kaca merah itu. Wiro tidak menyadari apa
akibat usapan yang dilakukannya ini. Tiba-tiba tubuhnya berubah besar dan
menjadi lebih tinggi. Terus… terus sampai sosoknya mencapai dua kali lebih
besar dan lebih tinggi dari semula! Wiro berseru kaget. Semua orang yang berada
di pihaknya juga terheran-heran kecuali Si Pelawak Sinting yang tertawa-tawa
cekikikan. Hantu Api Biru yang menjadi lawannya diam-diam merasa kecut juga.
Karena itu dia memutuskan untuk menyerbu lebih dulu. Sambil melompat ke depan
dia hantamkan dua tangannya kiri kanan.
Wusss!
Wussss!
Dua larik
kobaran api warna biru menggebubu menyambar dahsyat ke arah Pendekar 212. Tubuh
Wiro yang besar merupakan sasaran empuk bagi serangan lawan. Murid Eyang Sinto
Gendeng berseru keras lalu mencelat ke atas sampai dua tombak. Di bawahnya
sebuah batu besar yang kena hantaman dua larik kobaran api langsung terbelah
empat dan tenggelam dalam kobaran api biru! Mau tak mau Wiro jadi tercekat juga
menyaksikan hal itu.
Dengan
keluarkan jurus Tangan Dewa Menghantam Tanah yakni jurus ke enam dari ilmu
silat langka yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dia lindungi dirinya
ketika berjungkir balik turun ke tanah. Besar tubuhnya yang dua kali wajar
membuat setiap gerakan yang dilakukan Wiro mengeluarkan deru angin keras. Hantu
Api Biru cepat mengelak cari selamat. Di saat yang sama Wiro sudah tegak di
belakangnya.
Hantu Api
Biru menggertak marah walau sebenarnya hatinya mendadak kecut melihat lobang
besar yang menganga di tanah akibat pukulan yang dilepaskan Wiro tadi. Cepat
dia balikkan badan. Memandang ke depan dia melihat musuh tegak sambil angkat
dua tangan tinggitinggi ke atas. Sepasang telapak membuka lebar,
diarahkan
ke depan sambil digoyang-goyangkan. Tampang Hantu Api Biru menjadi gelisah. Di
atas batu dia kerahkan tenaga dalam ke kaki untuk membentengi kuda-kuda yang
dibuatnya. Tiba-tiba dia merasakan ada hawa dingin menerpa ke arahnya.
“Jahanam!
Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing ini!” maki Hantu Api Biru dalam hati
sementara sekujur tubuhnya terasa dingin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya.
Lalu seperti tadi memukul dengan dua tangan sekaligus. Dua larik api biru
laksana amukan gelombang menerpa ke depan. Kalau dalam serangan pertama
sebelumnya Pendekar 212 selamatkan diri dengan melompat ke udara, kali ini dia
tetap tegak di tempatnya, tak bergerak. Rahangnya menggembung. Hanya tinggal
satu tombak dua gelombang api biru siap menghantamnya tiba-tiba Wiro pukulkan
dua tangannya ke depan.
Suara
angin seperti tiupan seribu seruling membuncah udara. Bersamaan dengan itu dua
gelombang hawa yang bukan olah-olah dinginnya menyambar. Semua orang yang ada
di tempat itu menggigil kedinginan. Hantu Api Biru kerahkan seluruh kekuatan.
Dua gelombang apinya bergetar hebat. Dua kakinya goyah. Tiba-tiba dia keluarkan
bentakan garang. Kaki kanannya dihantamkan ke batu hingga mengepulkan asap.
Bersamaan dengan itu dia dorongkan dua tangannya hingga dua gelombang api biru
melesat lebih deras.
Pendekar
212 merasa sekujur tubuhnya bergetar keras dan panas. Dia terjajar lima
langkah. Dia berusaha bertahan namun dua gelombang api biru terus merangsak.
Wussss!
Wussss!
Wiro
berteriak keras, sakit dan kaget. Pakaian putih yang dikenakannya berubah
hitam. Hangus! Untung tubuhnya sendiri tidak cidera hanya mengalami rasa panas
yang amat sangat.
“Anak
muda, jangan menganggap enteng musuh! Kalau kau hanya mengerahkan setengah
kekuatan tenaga dalammu, kau tak akan mampu menghadapi Hantu Api Biru. Sebelum
kau dipanggangnya hidup-hidup lekas lipat gandakan tenaga dalammu!”
Wiro
mendengar suara mengiang di telinga kirinya. Lagilagi Hantu Tangan Empat
memberi kisikan menolong sang pendekar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera
kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai-sampai dua kakinya melesak sepertiga jengkal
ke dalam batu yang dipijaknya.
Hantu Api
Biru melengak kaget ketika melihat serangannya tadi hanya mampu menghanguskan
pakaian lawan. Dia lebih kaget lagi sewaktu menyaksikan dua gelombang api
birunya perlahan-lahan terdorong berbalik ke arahnya. Makin lama makin menciut.
Dia berusaha bertahan. Mendadak ada hawa aneh yang sangat dingin menjalar ke
dalam tubuhnya lewat sepasang lengan.
“Jahanam!
Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing keparat ini?!” rutuk Hantu Api Biru dalam
hati. Dia berusaha bertahan. Tubuhnya bergoncang keras. Hawa dingin luar biasa
membungkus dirinya mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Semakin dia
bertahan semakin parah keadaannya. Asap putih tampak mengepul dari batok
kepala, lobang hidung dan mulut. Jantungnya mendenyut sakit seolah berhenti
berdetak. Dari mulut, hidung, telinga dan pinggiran matanya keluar lelehan
darah. Wiro dorongkan dua tangannya ke arah lawan. Tak ampun lagi musnahlah dua
gelombang api biru. Bersamaan dengan itu tubuh Hantu Api Biru mencelat mental,
jatuh tersandar di sebuah batu besar. Sekujur tubuhnya tak berkutik lagi
diselimuti lapisan aneh berwarna putih keras dan mengepulkan hawa dingin
membeku. Sepasang matanya mendelik tak berkesip.
Kraak…
kraaakkk… kraaakkk!
Lapisan
putih beku dan dingin berupa kepingankepingan es yang membungkus tubuh Hantu
Api Biru pecah-pecah lalu berjatuhan ke tanah. Sosok Hantu Api Biru tetap tak
bergerak. Mata terus membelalak tak berkesip tapi dia tidak bisa melihat
apa-apa lagi karena saat itu nyawanya telah putus meninggalkan jazadnya!
Wiro yang
sempat jatuh terduduk di tanah akibat bentrokan adu kekuatan tadi dengan muka
pucat perlahanlahan bangkit berdiri sambil mengatur jalan nafas dan peredaran
darahnya.
Kini kita
saksikan apa yang terjadi antara Hantu Jatilandak dan Lagandring. Seperti Hantu
Api Biru, Lagandring melancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam
tinggi. Sebaliknya Hantu Jatilandak begitu menggebrak menyongsong serangan
lawan langsung saja lepaskan selusin duri-duri landaknya ke arah lawan. Sama
sekali tidak menduga kalau duri-duri itu bisa lepas dari tubuh lawan dan
merupakan senjata dahsyat, Lagandring kaget besar dan berseru keras. Dia cepat
berkelebat selamatkan diri. Namun hanya sembilan saja duri beracun itu yang
bisa dielakkannya. Dalam keadaan berbahaya itu dari samping Lagandrung segera
membantu adiknya. Dari kaca bulat putih yang melekat di keningnya dia semburkan
sinar maut yang disebut Sinar Darah Putih. Sinar ini laksana kilat menyambar ke
arah kepala Hantu Jatilandak.
“Curang
pengecut! Aku lawanmu!” Hantu Tangan Empat membentak marah. Sekali berkelebat
tinju kanannya tahutahu sudah ada di atas kepala lawan.
Lagandrung
membentak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke atas menangkis hantaman lawan.
Tapi tangan ke dua Hantu Tangan Empat bergerak lebih cepat mencekal lengan
kanannya. Terpaksa Lagandrung pergunakan tangan kiri untuk menyodok perut
lawannya.
Bukkk!
Praaakk!
Jotosan
Lagandrung memang menyusup telak di perut Hantu Tangan Empat hingga tubuh si
kakek terangkat satu jengkal ke atas. Walau kena hantaman begitu rupa namun
Hantu Tangan Empat sama sekali tidak mengalami cidera. Sebaliknya Lagandrung
harus membayar mahal karena kemplangan tangan pertama Hantu Tangan Empat tidak
sanggup dikelit ataupun ditangkisnya. Begitu tinju Hantu Tangan Empat mendarat
di batok kepalanya tak ampun lagi Lagandrung meraung keras lalu menggelepar di
tanah. Orang tertua dari dua saudara kembar ini menemui ajal dengan kepala
rengkah mata mencelet!
Suara
raungan Lagandrung bukan saja membuat sang adik merinding ngeri, sekaligus
tambah kewalahan menghadapi tiga duri landak serangan Hantu Jatilandak yang
masih terus mengejarnya. Sambil jatuhkan diri Lagandring lepaskan pukulan
tangan kosong mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Namun hanya satu dari tiga
duri landak beracun yang sanggup dibuat mental. Dua lainnya menancap di dada
kiri dan bahu kanan. Lagandring menjerit keras. Mukanya pucat. Dia berusaha
mencabut dua duri itu. Walau berhasil namun racun duri landak telah menjalar ke
dalam darahnya. Dia merasakan nafasnya sesak. Lehernya terjulur seolah ada yang
mencekik. Sesaat kemudian tubuhnya limbung lalu terkapar di tanah. Kakinya
melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanya lepas
sudah!
Sementara
itu perkelahian antara dua kakak beradik kembar lainnya yakni Labudung alias Si
Pelawak Sinting asli dengan Labodong atau Si Pelawak Sinting palsu berlangsung
seru. Sebagai adik, Labudung memang setingkat lebih rendah kepandaiannya. Namun
dia mempunyai kepandaian mengejek dan mempermainkan si kakak hingga Labodong
menjadi sakit hati dan termakan kejengkelannya sendiri. Akibatnya
serangan-serangan Labodong banyak yang ngawur!
Dari cara
dua saudara kembar ini berkelahi baik Wiro maupun yang lain-lainnya mengetahui
bahwa walau dua kakak adik itu mengerahkan tenaga dalam yang hebat namun mereka
sama sekali seperti sengaja tidak mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat
tinggi langka dan mematikan yang mereka miliki. Dalam waktu singkat tiga puluh
jurus berlalu cepat dan kelihatan Labodong mulai terdesak. Demi mencari selamat
Labodong akhirnya mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti sementara sang adik
andalkan payung daun, tambur dan penabuhnya. Sambil menari-nari seperti orang
sinting payung di atas kepala Labudung bergerak mumbul kian kemari. Setiap
putaran yang dibuat payung ini pinggiran payung yang laksana gerinda besar siap
membabat kepala, leher atau tubuh lawan. Sementara suara tambur yang ditabuh
dengan mengerahkan tenaga dalam membuat tempat itu seperti didera guruh tiada
henti. Di satu gebrakan yang tampaknya seperti main-main Labudung secara tak
terduga berhasil susupkan sikut kanannya ke rusuk kakaknya.
Kraaaakkk!
Dua
tulang iga Labodong patah. Orang ini terjajar ke belakang sambil pegangi
rusuknya. Mukanya merah mengelam dan keningnya mengerenyit menahan sakit.
Ketika Labudung kembali hendak menggebrak dengan serangan, sang kakak angkat
tangan seraya berseru.
“Tahan!”
Sambil berteriak Labodong melompat mundur tiga langkah. “Cukup Labudung!
Hentikan perkelahian gila ini! Kau mau membunuh kakak sendiri! Wahai!”
“Kau yang
minta mampus sendiri! Sekarang apa perlunya menyesali diri!” bentak Labudung.
“Dengar…”
kata Labodong pula. “Aku berjanji meninggalkan Hantu Muka Dua. Aku bertobat…”
“Manusia
tolol! Coba tadi-tadi kau bilang begitu, tak perlu aku menjatuhkan tangan
keras!” kata Labudung.
“Aku
minta maaf… Padamu… pada semuanya!”
Labodong
menjura berulang kali lalu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
“Ingat
Labodong!” berkata Labudung. “Jangan kau berani lagi mengaku-aku memalsu diri
sebagai Si Pelawak Sinting! Jika aku tahu kau mengulangi perbuatan itu, aku
akan kocok kepalamu sampai kau benar-benar sinting!”
“Wahai…
aku! Aku…” Labodong putar tubuhnya lalu melangkah pergi.
“Tunggu
dulu!” tiba-tiba Wiro yang saat itu masih berada dalam keadaan tubuh tinggi dan
besar seperti raksasa berseru.
“Anak
muda, apa yang kau inginkan dariku?” tanya Labodong.
“Pelawak
Sinting palsu, bagaimana aku harus
membalas
semua budi baikmu selama ini sampai akhirnya kau menjebloskan aku ke liang batu
itu!”
“Ah…
wahai! Aku tak mengerti maksudmu! Jangan menyebut segala macam budi. Aku…”
“Kalau
begitu kau boleh pergi dengan aman. Tapi aku minta sesuatu darimu!” Habis
berkata begitu Wiro ulurkan tangan kirinya mencekal pinggang Labodong. Lalu
tangan kanannya bergerak menanggalkan celana yang dikenakan si kakek hingga
orang ini berada dalam keadaan bugil di sebelah bawah.
“Nah,
sekarang kau boleh pergi, Kek. Selamat jalan!”
kata Wiro
lalu tertawa gelak-gelak. Semua orang yang ada di tempat itu termasuk Labudung
ikut-ikutan tertawa.
“Wahai!
Bagaimana ini!” Labodong alias Si Pelawak Sinting palsu jadi kalang kabut,
berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangan. Akhirnya dia menyambar serumpun
pohon berdaun lebat. Dengan daun-daun itu ditutupnya tubuhnya sebelah depan
lalu lari terbirit-birit tinggalkan tempat itu diikuti gelak tawa semua orang
yang ada di situ.
Wiro
tiba-tiba hentikan tawanya. Dia memandang pada dirinya sendiri lalu berpaling
pada Hantu Tangan Empat.
“Celaka
Kek! Tubuhku masih sebesar raksasa begini! Bagaimana aku mengembalikannya ke
bentuk semula?”
Hantu
Tangan Empat yang saat itu telah merubah diri kembali menjadi kakek bermuka
datar tertawa lebar.
“Bukankah
lebih enak jadi orang besar seperti keadaanmu sekarang ini, wahai anak muda? Ke
manamana kau pasti menjadi perhatian orang… Akan banyak para gadis tergila-gila
padamu. Akan banyak orang perempuan ingin mengetahui keadaan auratmu. Nah, apa
tidak senang hidup seperti itu? Hik… hik… hik…!”
“Kakek
Pelawak Sinting, jangan kau menggodaku! Walah! Bisa repot Kek! Tolong Kek!”
“Anak
muda, dulu kau kalang kabut minta tolong agar tubuhmu dibesarkan. Kini kau
mendapat berkah dua kali lebih besar! Apa tidak enak?” ujar Hantu Tangan Empat
pula sambil menyeringai.
“Jangan
kalian mempermainkan diriku. Jika tahu caranya harap segera saja mengatakan!”
kata Wiro pula.
“Wahai,
yang tahu bagaimana caranya mengembalikan dirimu seperti semula hanya
Lagandrung dan Lagandring! Kau lihat sendiri, dua orang itu sudah menemui
ajal!” Yang bicara adalah Si Pelawak Sinting. Kakek ini lalu tertawa mengekeh.
Membuat Wiro jadi tambah bingung.
“Salah
satu dari kalian pasti tahu. Tapi kalian sengaja membuat aku bingung kalang
kabut!”
“Aku mau
pergi…” Si Pelawak Sinting enak saja bicara.
“Aku
juga!” kata Hantu Tangan Empat sambil menggandeng istrinya.
“Kami
juga!” kata Tringgiling Liang Batu.
“Sebelum
diriku berubah seperti semula jangan ada yang berani pergi dari sini!” kata
Wiro setengah mengancam.
Tapi Si
Pelawak Sinting malah tambah keras ketawanya. Dia lalu melangkah mendekati
murid Sinto Gendeng itu lalu berkata. “Punya otak untuk diolah. Punya akal
untuk diasah. Punya pikiran untuk mengingat! Wahai anak muda, sebelumnya
bukankah kau sudah pernah melihat Lagandrung dan Lagandring? Sebelumnya
bukankah kau sudah menyaksikan di mana mereka meletakkan kaca aneh itu?” Habis
berkata begitu si kakek lalu melangkah pergi.
Wiro
garuk-garuk kepala. Diperhatikannya kaca merah yang sejak tadi dipegangnya.
“Memang
aku yang tolol!” kata Wiro sambil pukul jidatnya sendiri. Dia melirik sebentar
pada mayat Lagandrung. Lalu dengan cepat kaca merah itu ditempelkannya ke
pertengahan keningnya. Wiro mendengar seperti ada suara berdesing di telinganya
kiri kanan. Secara ajaib tubuhnya yang tadi besar kini berubah, kembali ke
ukuran semula. Wiro geleng-gelengkan kepala. Menarik nafas lega lalu
garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum sendiri.
TAMAT
No comments:
Post a Comment