Hantu
Jatilandak
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
Di atas
runtuhan batu karang saat itu berdiri satu sosok tinggi kurus berwujud manusia
yang hanya mengenakan sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu. Sekujur tubuhnya,
mulai dari ubun- ubun sampai ke kaki menyerupai warna pohon jati. Namun ditumbuhi
bulu-bulu tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu landak. Sepasang matanya
diteduhi dua alis hitam tebal dibawah hidungnya yang selalu kembang kempis
menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan lebar, juga ditumbuhi
duri-duri seperti bulu landak.sesekali dia meludah ke tanah. Ludahnya berwarna
kuning pekat! "makhluk berbulu landak! Wahai! Tidak dapat tidak kau
pastilah makhluk yang tujuh puluh tahun silam kuberi nama hantu
jatilandak!" makhluk di atas batu tidak bergerak dan tidak berkesip. Hanya
dari tenggorokannya terdengar suara menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah
ke tanah. "hantu muka dua! Aku sudah tahu siapa dirimu dari kakekku
tringgiling liang batu! Aku tidak suka kehadiranmu di pulau ini! Lekas kembali
ke perahumu! Tinggalkan pulau! Atau sekujur tubuhmu akan kutaburi dengan duri
beracun!"
********************
1
LAUT
tenang. Tiupan angin pada layar membuat perahu kecil itu meluncur laju di
permukaan air laut.
Lelaki
bertubuh kekar berambut gondrong yang mukanya ditumbuhi janggut, kumis dan
cambang bawuk lebat duduk di bagian haluan. Dua kakinya terbungkus batu
berbentuk bola yang beratnya puluhan kati. Namun anehnya perahu kecil itu tidak
terjungkat ke belakang oleh beratnya dua bola batu itu. Lelaki ini duduk tak
bergerak, memandang tak berkesip ke depan.
Dia
adalah Lakasipo, bekas Kepala Negeri Latanahsilam bergelar Bola-Bola Iblis
namun lebih dikenal dengan berjuluk Hantu Kaki Batu.
Di bagian
depan perahu sosok manusia aneh yang tingginya hanya sebatas lutut Lakasipo
duduk saling berpegangan. Di wajah masing-masing jelas terlihat rasa gamang dan
khawatir yang amat sangat. Dengan keadaan tubuh mereka sebesar itu, meluncur
cepat di atas perahu dan memandang berkeliling hanya hamparan laut yang
kelihatan tentu saja ketiganya menjadi ngeri. Malah kakek yang di ujung kanan
sejak tadi terduduk dengan mulut terkancing mata mendelik dan tengkuk dingin
sementara dari bawah perutnya mengucur air kencing tak berkeputusan.
Tiga
manusia cebol yang ada di bagian depan perahu itu bukan lain adalah si kakek
julukan Setan Ngompol, bocah bernama Naga Kuning dan Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng.
"Sebenarnya
aku tidak suka dengan perjalanan ini!" berkata Naga Kuning.
"Aku
juga!" kata Setan Ngompol.
"Tapi
kau yang memaksa aku agar ikut kek! Padahal aku sudah ada rencana menemui
Luhkimkim, gadis di Latanahsilam itu!"
"Kita
sudah ada di atas perahu dan dalam perjalanan.
Mengapa
baru sekarang kalian berkata tidak suka!" menjawab Wiro. "Tapi masih
ada kesempatan untuk kembali! Apa kalian berdua bisa berenang?"
"Eh,
apa maksudmu Pendekar 212?" tanya Setan Ngompol.
"Mencebur
ke dalam laut dan berenang kembali ke daratan Latanahsilam!"
"Kau
bicara tidak pakai pikiran!" kata Setan Ngompol dengan muka cemberut.
Naga
Kuning berkomat-kamit lalu berpaling ke bagian belakang perahu. "Lakasipo!
Kau yang pertama sekali merencanakan perjalanan ini!"
Lakasipo
yang sejak tadi memandang ke depan, alihkan pandangannya pada tiga manusia
cebol di bagian depan perahu. "Betul sekali wahai saudaraku Naga Kuning!
Tapi jangan lupa. Semua ini atas petunjuk berdasarkan cerita Peri Angsa Putih.
Kita semua menyetujui sama-sama berangkat! Lalu sekarang apa lagi?!"
"Menurutmu,
apakah kita benar-benar bisa mencari dan menemui makhluk bernama Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab Ku?" tanya Wiro.
"Betul,"
ucap Setan Ngompol. "Laut seluas ini, kita harus mencari satu pulau yang
kita tidak tahu dimana letaknya, tak tahu apa namanya. Hanya ada petunjuk
samar!"
"Turut
cerita Hantu Muka Dua adalah makhluk Jahat luar biasa. Kalau dia seperti itu,
gurunya tentu lebih jahat lagi. Dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini adalah
guru Hantu Muka Dua! Kita semua pasti celaka!"
"Coba
kalian timbang-timbang," kata Setan Ngompol menyambung ucapan Naga Kuning
tadi. "Peri Angsa Putih tahu cerita itu dari kakeknya si Hantu Tangan
Empat. Menurutku Hantu Tangan Empat tidak begitu suka pada kita bertiga.
Jangan-jangan dia sengaja mengarang cerita untuk mencelakai kita semua!"
Wiro
garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan temantemannya itu mungkin betul adanya.
Dia berpaling memandang ke arah Lakasipo. Lalu kembali terdengar si Setan
Ngompol berkata. "Lakasipo, selagi belum terlambat ada baiknya kau memutar
haluan. Kita kembali ke Latanahsilam!"
"Kalian
semua seolah takut melihat bayangan sendiri.
Bukankah
perjalanan ini kita lakukan demi untuk mencari jalan agar kalian bertiga bisa
kembali ke negeri kailan? Bukankah hanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu
satu-satunya tempat bertanya? Hantu Tangan Empat sudah kita coba. Dia tak bisa
menolong. Kita sudah berusaha mencari Batu Sakti Pembalik Waktu.
Tidak
berhasil. Ini adalah petunjuk terakhir yang harus kita tempuh. Kalau kalian
memaksa mau kembali apa sulitnya bagiku memutar haluan!" Lakasipo celupkan
tangan kanannya ke dalam air laut, siap untuk merubah haluan.
"Tunggu!"
ujar Pendekar 212 Wiro Sableng. "Peri Angsa Putih tidak akan menipu kita.
Hantu Tangan Empat walau kita tidak tahu pasti hatinya tapi kurasa juga tidak
punya maksud mencelakai kita. Yang jadi pertanyaan sekarang, seandainya kita
berhasil menemui guru Hantu Muka Oua, apakah dia benar-benar mau menolong kita?
Jangan perjalanan gila ini hanya menghasilkan satu kesia-siaan!"
"Turut
riwayat yang pernah kudengar puluhan tahun silam," kata Lakasipo pula,
"Sebenarnya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu adalah seorang sakti
berhati polos! Otaknya dipenuhi berbagai ilmu pengetahuan.
Hantu
Muka Dua kemudian mempergunakan kesempatan. Secara licik dia mencari tahu
apa-apa yang harus dilakukannya agar bisa menjadi Raja di Raja Segala Hantu di
Latanahsilam. Begitu dia mendapatkan apa yang dimaunya, sang guru lalu
dibuatnya menjadi tidak berdaya. Dibawa dan dikucilkan di se buah pulau yang
menurut Peri Angsa Putih adalah pulau pertama sehari perjalanan ke arah
tenggara.
Kalaupun
kita tidak berhasil, menurut hematku berbuat sesuatu adalah lebih baik dari
pada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Kecuali jika kalian memang tidak
benar-benar ingin kembali ke negeri kalian. Kau misalnya Naga Kuning. Mungkin
kau memilih tetap tinggal di Latanahsilam karena sudah terpikat dengan
Luhkimkim. Dan kau kakek Setan Ngompol juga sama karena sudah kecantol pada
nenek yang dandanannya menor acak-acakan bernama Luhlampiri itu. Bagaimana
dengan kau Wiro?!"
Ditanya
begitu Pendekar 212 jadi menyeringai sambil garuk-garuk kepala.
"Mungkin
dia terpikat pada Peri Sesepuh yang bertubuh besar gembrot membal dan suka
ngongkong itu!" Yang menjawab Naga Kuning lalu bocah ini tertawa
cekikikan. "Hik… hik… hik!" Setan Ngompol ikut-ikutan geli sambil
pegangi bawah perutnya.
"Aku
menuruti jalan pikiranmu Lakasipo," Murid Sinto Gendeng berkata, membuat
Naga Kuning dan Setan Ngompol jagi cemberut. "Buruk dan baik nasib kita di
kemudian hari belum dapat dipastikan. Berharap tanpa berusaha adalah bodoh!
Kita teruskan perjalanan!"
"Naga
Kuning dan Setan Ngompol! Kalian sama mendengar keputusan saudara kita Wiro
Sableng, Mulai sekarang jangan ada diantara kita yang terus-terusan merasa
bimbang mengadakan perjalanan ini!"
Baru saja
Lakasipo berkata begitu tiba-tiba langit di atas laut tampak berubah mendung.
Dari selatan angin kencang bertiup mengeluarkan suara mengerikan.
Ombak
besar mulai bergulung-gulung di kejauhan.
Perahu
kecil yang ditumpangi keempat orang itu terbanting kian kamari. Wiro dan Naga
Kuning dicekam rasa takut. Setan Ngompol mulai terkencing-kencing lagi.
"Topan
badai menyerang laut!" seru Lakasipo.
Kalian
bertiga lekas ke sini!"
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat lari mendatangi Lakasipo. Oleh Lakasipo
ketiga orang ini segera diselipkannya di balik sabuk kulit yang melilit di
pinggangnya. Lalu dengan cepat dia menurunkan layar perahu untuk menghindari
terpaan angin. Dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung dia
mengayuh. Perahu meluncur pesat. Namun hantaman angin dan ombak raksasa membuat
perahu itu mencelat lima tombak ke udara. Ketika jatuh ke permukaan laut,
kembali ombak besar menghantam. Perahu hancur berkeping-keping. Sosok Lakasipo
yang diberati dua bola batu langsung tenggelam ke dalam amukan air taut.
Dia
kerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan gaya berat pada dua kakinya. Secara
luar biasa Lakasipo berhasil membuat dua kakinya yang terbungkus bolabola batu
mengambang di atas permukaan laut yang dilanda badai itu. Namun setiap kali dia
coba menaikkan tubuhnya ke atas, hantaman ombak atau terpaan angin selalu
membuat dia kembali tenggelam. Berulang kali dicoba tetap saja sia-sia. Dalam
keadaan habis tenaga Lakasipo akhirnya jatuh pingsan dan roboh tenggelam ke
dalam air.
********************
Ketika
Lakasipo sadar didapati dirinya terkapar tertelentang di atas pasir pantai. Dia
mencoba bangkit namun tak berhasil. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan
tulang-tulangnya seolah bertanggalan dari persendian.
Memandang
ke atas dilihatnya langit biru disaputi cahaya kekuningan. Dia tak dapat
menduga apakah saat itu pagi atau menjelang sore. Tiba-tiba Lakasipo ingat pada
tiga saudara angkatnya. Dia meraba ke pinggang. Hatinya lega begitu menyentuh
tiga sosok tubuh cebol. Setelah mengumpulkan seluruh tenaga akhirnya Lakasipo
berhasil bangkit dan duduk di atas pasir. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
memang masih terikat dibalik sabuk kulitnya. Namun ketiga orang ini terkulai
tak bergerak.
"Jangan-jangan
mereka mati semual" pikir Lakasipo.
Dengan
cepat dia tanggalkan ikat pinggangnya. Begitu ikatan lepas tiga sosok tubuh itu
jatuh bergulingan ke atas pangkuannya. Masih tetap tidak ada satupun yang
bergerak. Pucatlah wajah Lakasipo.
********************
2
“CELAKA!"
membatin Lakasipo. Satu persatu dimbilnya ketiga sosok cebol itu. Diperiksa dan
didekatkannya ke telinganya. Dia masih bisa mendengar detak-degup jantung
walaupun perlahan.
"Wahai…."
Lakasipo pegang Setan Ngompol dan Naga Kuning di tangan kiri. Tangan kanan
mencekal sosok Wiro Sableng. Ketiga orang itu dipegangnya kaki ke atas kepala
ke bawah. Perlahan-lahan air laut mengucur keluar dari mulut mereka. Masih
belum puas Lakasipo tempelkan perut ketiga orang itu ke dadanya.
Begitu
dia menekan, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sama keluarkan suara seperti
orang muntah.
Air
kambali mengucur keluar. Lalu ketiganya terdengar batuk-batuk. Penuh perasaan
lega Lakasipo baringkan ketiga orang itu di atas pasir.
Wiro yang
pertama sekali sadar, membuka mata lalu bangkit dan duduk. Dia merasa ngeri
melihat ombak yang bergulung lalu memecah di pasir pantai.
Mengingat-ingat
apa yang terjadi dia lalu berpaling pada Lakasipo dan bertanya, sementara Naga
Kuning dan Setan Ngompol telah mulai siuman dan memandang kian kemari dengan
muka pucat. Ketika mendengar deburan ombak di pasir pantai keduanya jadi
ketakutan dan berdiri terhuyung-huyung.
"Lakasipo!
Kita berada di mana?!" bertanya murid Sinto Gendeng.
Lakasipo
memandang berkeliling. Ketika dia mem buka mulut hendak menjawab, yang keluar dari
mulutnya bukan suara tapi semburan air laut! Celakanya muntahan air itu jatuh
mengguyur ketiga orang yang ada di depannya. Setan Ngompol memaki panjang
pendek. Naga Kuning menyumpah-nyumpah. Wiro sendiri menggerutu habis-habisan
dan cepat sekamukanya yang terguyur muntahan.
"Untung
cuma air, tidak bercampur dengan yang lain-lain! Sialan betul!" Wiro
mengomel.
"Saudara-saudaraku,
maafkan aku! Aku tak sengaja…."
"Kalau
bicara jangan menghadap kami! Kulihat perutmu buncit tanda masih banyak air di
dalamnya!" teriak Naga Kuning.
Lakasipo
batuk-batuk. Benar saja. Dari mulutnya kembali menyembur air. Untung dia
mendengar peringatan Naga Kuning tadi. Waktu muntahnya menyembur dia palingkan
mukanya ke samping hingga air yang dimuntahkannya tidak menyirami ketiga orang
Ku.
Wiro
memandang ke arah barat. Dia melihat sosok mentari tengah menggelincir menuju
titik tenggelamnya.
"Lakasipo,
kulihat sebentar lagi matahari segera tenggelam. Malam akan tiba. Lekas kau
mencari tahu di mana kita berada saat ini…."
Lakasipo memandang
berkeliling. "Tak bisa aku menduga wahai Wiro. Melihat pada bentuk pantai
yang membelok di ujung kiri dan kanan agaknya kita berada di satu pulau…."
"Pulau
tempat kediaman guru Hantu Muka Dua?" tanya Naga Kuning.
"Lagi-lagi
aku tak bisa menduga wahai sahabatku…."
"Kalau
begitu kita harus segera bergerak mencari tahu. Paling tidak sebelum malam tiba
kita ada tempat untuk berlindung!" kata Wiro pula lalu berdiri dan
mendahului melangkah dan meninggalkan tempat itu.
Lakasipo
cepat mengangkat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. Sambil melangkah dia
berkata.
"Di
sebelah sana ada deretan panjang pohonpohon besar. Kita akan menyelidik ke
sana…."
Begitu
sampai di deretan pohon-pohon yang tadi dilihatnya di kejauhan, Lakasipo
hentikan langkah, memandang dengan muka mengernyit.
"Pohon-pohon
aneh! Tumbuhnya rapat sekali! Dan dipenuhi duri mulai dari ranting sampai ke
batang!" Berseru Wiro yang ada dalam dukungan Lakasipo.
Lakasipo
maju mendekat. "Kau betul Wiro. Seumur hidup baru sekali ini aku melihat
pohon-pohon seperti Ini. Bentuknya seperti pohon jati. Tapi mengapa ditumbuhi
duri-duri panjang. Tumbuhnya juga rapat. Jika tidak hati-hati sulit bagi
seseorang bisa lolos di antara dua pohon…."
"Di
belakang deretan pohon-pohon itu hanya ada kegelapan menghitam," berkata
Setan Ngompol. "Saat Ini masih siang. Kalau malam tiba pasti sangat gelap
Di sebelah sana. Tangan di depan mata mungkin tak bisa kelihatan…."
Lakasipo
tampak diam seolah tengah berpikir.
"Lakasipo,
mengapa kau diam saja?!" bertanya Naga Kuning.
"Wahai!
Aku tengah menghubungkan ucapanucapan kalian dengan satu riwayat yang pernah
kudengar…"
jawab
Lakasipo. "Pohon-pohon jati berduri seperti duri bulu landak. Rimba
belantara hitam gelap.
Kelam….
Ini semua mengingatkan aku pada dua hal.
pertama
Jatilandak. Kedua hutan Lahitamkelam."
"Jatilandak
itu, nama orang atau apa?" bertanya Wiro.
"Nama
Hantu. Hantu Jatilandak. Salah satu dedengkot Hantu. Tapi kabarnya dia berada
di bawah kekuasaan dan taklukan Hantu Muka Dua!" Menerangkan Lakasipo.
"Jangan-jangan
pulau ini adalah pulau kediamannya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya
Hantu Muka Dua! Berarti kita sudah berada di pulau tujuan!" kata Naga
Kuning setengah berseru.
"Ssst….
Jangan bicara terlalu keras," kata Lakasipo.
"Kita
belum bisa memastikan berada di pulau apa. Tapi dugaanku ini bukan pulau
kediaman guru Hantu Muka Dua. Aku lebih yakin ini adalah pulau sarangnya Hantu
Jatilandak…."
"Lakasipo,"
kata Wiro sambil pukulkan tangannya ke dada lelaki yang dikenal dengan julukan
Hantu Kaki Batu itu. "Di sebelah sana kulihat ada dua pohon yang tumbuh
lebih renggang. Mungkin ada jalan atau mungkin kita bisa menemukan petunjuk di
tempat itu."
Lakasipo
memandang ke arah yang ditunjuk Wiro.
Memang
benar. Tidak seperti di tempat lain dimana semua pohon jati berduri tumbuh
sangat rapat, di sebelah sana ada dua pohon, diikuti pohon-pohon lain di
deretan sebelah belakang, tumbuh lebih jarang satu sama lain. Segera saja
Lakasipo melangkah cepat menuju tempat itu.
"Duukk…
duukkk… duuukkkk!"
Langkah-langkah
kaki batu Lakasipo menghunjam di pasir pantai. Mengeluarkan suara keras dan
menggetarkan seantero tempat.
"Wahai!
Kita memang bisa lewat di sini! Kelihatannya ini jalan setapak yang sengaja
dibuat orang." Berkata Lakasipo begitu sampai di antara dua pohon jati
besar yang tumbuh renggang. Demikian juga deretan pohonpohon di sebelah
belakang, "Berarti pulau ini ada penghuninya!" kata Wiro pula.
"Betul,
yaitu Hantu Jatilandak…" jawab Lakasipo.
"Apakah
makhluk bernama Hantu Jatilandak ini Jahat atau baik?" tanya Naga Kuning.
"Tak
dapat kupastikan. Yang jelas dia adalah setengah manusia setengah binatang.
Manusia seperti kita bisa saja dijadikan mangsa, dikunyah dan ditelan
bulat-bulat. Kita harus berhati-hati!"
Si kakek
Setan Ngompol langsung terkencing mendengar kata-kata Lakasipo itu.
Lakasipo
melangkah melewati dua pohon jati berduri di sebelah depan. Walau pohon-pohon
itu tumbuh renggang namun dia harus berhati-hati. Dia berusaha agar tubuhnya
jangan sampai tergurat oleh ujung-ujung duri yang tumbuh berserabutan di
sekujur batang pohon. Apa lagi kalau duri-duri itu mengandung racun jahat yang
bisa mencelakai dirinya bahkan mungkin bisa membunuh!
Hati-hati
Lakasipo terus bergerak. Dia melewati deretan pohon jati kedua, ketiga dan
keempat. Pada deretan kelima di mana keadaan mulai agak suram Lokasipo hentikan
langkahnya. Matanya memandang tak berkesip ke depan. Dia melihat satu keanehan.
Keanehan
mana juga dilihat oleh tiga sosok cebol yang ada dalam dukungannya.
Pohon-pohon
jati di kiri kanan pada deretan kelima dan seterusnya tidak lagi berbentuk
pohon jati berduri tapi lebih menyerupai patung kayu bertampang seram setinggi
satu setengah kali tinggi Lakasipo. Patungpatung ini berdiri berjajar demikian
rupa, membentuk barisan seolah memagari jalan kecil yang ada di sebelah tengah.
"Aneh,"
bisik Wiro pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. "Bagaimana ada patung di
tempat seperti ini. Siapa yang membuat dan menyusunnya begitu rupa. Aku yakin jumlahnya
puluhan, mungkin ratusan!"
"Aku
ada firasat kita mulai menghadapi bahaya besar Wiro," balas berbisik Setan
Ngompol dengan suara bergetar dan menekan bagian bawah perutnya kencang-kencang
agar tidak ngompol.
"Lakasipo,
apa yang hendak kau lakukan? Tetap di sini, atau kembali ke pantai. Atau kau
akan terus melangkah melewati patung-patung itu!" Bertanya Murid Sinto
Gendeng. Diam-diam dia .kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan, menghimpun
kesaktian ilmu pukulan Sinar Matahari. Dibanding dengan keadaannya dulu yang
sosoknya hanya sebesar jari, kini berubah menjadi sebesar betis, dia merasa
lebih leluasa mengerahkan kesaktiannya. Paling tidak jika diserang atau
dilepaskannya akan lebih hebat dari pada waktu dia hanya sebesar jari.
"Menurutku
jalan antara deretan patung ini menuju ke satu tempat. Aku memilih bergerak
maju melewatinya.
Bagaimana
pendapatmu?" Bertanya Lakasipo.
"Aku
setuju kita jalan terus. Tapi hati-hati. Coba kau perhatikan. Patung-patung
kayu jati itu bukan patung biasa. Setiap persendiannya dibuat demikian rupa
seperti persendian manusia hidup. Berarti patungpatung kayu itu bisa berputar
atau bergerak pada bagian leher, tangan, pinggang dan kaki!"
"Astaga!
Wahai! Kau memang betul Wiro. Jika kau tidak memberi tahu hal itu tidak sempat
menjadi perhatianku.
Jadi
memang aku, kita semua harus berhatihati.
Awas,
kalian semua pasang mata pasang telinga.
Aku mulai
bergerak melangkah!"
"Dukk…
duukkk!"
Gerakan
langkah kaki Lakasipo menggetarkan tanah. Patung-patung kayu tampak bergoyang.
Lakasipo
maju dua langkah. Dia melewati patung kayu deretan pertama di kiri kanan.
Ketika dia hampir sampai pada deretan patung kayu kedua tiba-tiba terdengar
suara berkereketan. Tangan-tangan patung pada deretan kedua itu bergerak ke
atas lalu dengan cepat turun ke bawah mengemplang ke arah batok kepala
Lakasipo!
Lakasipo
berseru kaget, cepat dia membungkuk rundukkan kepala. Baru saja dia berhasil
selamatkan diri tiba-tiba terdengar teriakan Wiro.
"Lakasipo!
Awas di belakangmu!"
Lakasipo
cepat berpaling. Astaga! Ternyata dua patung pada deretan pertama yang barusan
dilewatinya tengah melancarkan tendangan. Satu mengarah pinggang, satu
menerabas ke arah kaki!
Lakasipo
cepat menghindar selamatkan diri. Dia berhasil berkelit dari tendangan yang
menghantam ke arah pinggang. Namun kasip menghindari tendangan yang menghajar
kakinya.
"Bukkk!"
Tendangan
kaki kayu mendarat di kaki kanan lakasipo. Walau kaki itu diselubungi batu yang
beratnya puluhan kati tapi tetap saja kaki itu terpental dan tak ampun lagi
Lakasipo jatuh terbanting di tanah. Di saat yang sama tiga patung lainnya
sama-sama mengangkat kaki lalu serentak dihunjamkan ke perut, dada dan kepala
Lakasipo.
"Celaka!"
seru Wiro. Dia berteriak. "Lakasipo! Lekas kau buat gerakan berputar.
Pergunakan kaki kirimu untuk menghantam!"
Walau
saat itu kaki kanannya sakit bukan main namun Lakasipo turuti apa yang
dikatakan Wiro. Dengan mengerahkan tenaga dalam, dalam keadaan masih terduduk
di tanah Lakasipo membuat gerakan berputar dan menghantam dengan kaki kirinya.
"Wuuuuttttt!"
"Praakkk…
praakkk… praaakkk!"
Tiga kaki
patung kayu yang barusan siap membunuhnya hancur berantakan. Tiga patung
terpental dan jatuh berantakan di sela-sela pohon-pohon jati berduri!
Perlahan-lahan
sambil memandang berkeliling, penuh waspada Lakasipo bangkit berdiri.
"Wiro,
bagaimana…? Kita terus memasuki deretan patung-patung kayu ini atau kembali ke
pantai?’ bertanya Lakasipo.
"Kita
kembali saja ke pantai!" menjawab Setan Ngompol.
"Sudah
kepalang tanggung! Kita terus saja!" jawab Wiro.
‘Ya, aku
setuju. Kita jalan terus! Lakasipo, kalau cuma patung kayu kau pasti sanggup
menghancurkan jika mereka kembali menyerang!" kata Naga Kuning pula.
Lakasipo
tetapkan hati. Dia kembali melangkah.
"Duuukkkk…
duukkkk!"
Sebelum
melanjutkan apa yang terjadi dengan Lakasipo, Wiro dan Naga Kuning serta si
Setan Ngompol di pulau itu, kita kembali dulu pada satu peristiwa besar di masa
beberapa puluh tahun silam dan terjadi di Negeri Latanahsilam. Negeri 1200
tahun silam….
********************
3
PERI
BUNDA menatap rawan dengan sepasang matanya yang bening tapi suram ke arah
timur. Lalu dia berpaling pada Peri Sesepuh yang bertubuh gemuk luar biasa dan
duduk di kursi batu pualam merah dengan mata terpejam. "Peri Sesepuh, aku
tahu kau tidak tidur. Wahai apa yang ada di dalam benakmu?" Menegur Peri
Bunda.
Yang
ditanya tidak segera menjawab. Tak selang berapa lama baru terdengar suara Peri
Sesepuh. Perlahan dan halus.
"Apa
yang ada di benakku sama dengan apa yang ada di benakmu wahai Peri Bunda.
Mengapa kau masih bertanya? Bukankah sejak malam tadi kita berada di puncak
bukit sepi dan dingin ini, meninjau dan menduga-duga apa yang kiranya telah dan
akan terjadi…."
Perl
Bunda mengusap wajahnya yang cantik. Beberapa kali dia menghela nafas dalam
lalu berkata.
"Malam
tadi rembulan muncul dengan warna merah sepertl darah. Di barat angin bertiup
mengeluarkan suara aneh halus seolah suara seruling yang ditiup mengantar
kepergian roh ke alam atas langit. Di selatan sayup-sayup terdengar deru
gelombang di tengah laut tapi seolah tidak pernah memecah mencapai pantai
berpasirr. Di utara Gunung Latinggimeru mengeluarkan suara menggemuruh halus.
Mungkin ada dinding gunung yeng retak dan lahar panas mengalir ke luar.
Mungkin
gunung itu siap untuk meletus. Lalu di sebelah timur… sampai saat ini tak ada
cahaya kuning benderang.
Apakah
sang surya tidak akan muncul hari ini…?"
Perlahan-lahan
Peri Sesepuh membuka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Di tempat
terbuka dan dingin seperti di puncak bukit itu wajahnya yang gembrot masih saja
dibasahi oleh keringat. Dia menatap ke ufuk timur. Arah yang dibelakangi Peri
Bunda.
"Sang
surya tidak pernah mengingkari janji wahai Peri Bunda. Di ufuk timur dia akan
selalu terbit setiap pagi. Putar tubuhmu. Lihatlah ke timur. Fajar telah
menyingsing. Sang surya telah terbit. Tapi demi segala Peri dan Dewa, demi
semua Roh yang ada di antara langit dan bumi. Lihatlah wahai Peri Bunda!
Mengapa sinar sang surya terhalang oleh tabir aneh kehitaman…?!"
Peri
Bunda putar tubuh palingkan kepala. Begitu matanya memandang ke jurusan timur
sana, berubahlah parasnya. "Kau benar wahai Peri Sesepuh. Sang surya tak
pernah ingkar janji. Dia muncul pagi ini seperti jutaan pagi sebelumnya. Tetapi
ada tabir hitam seolah menutupi cahayanya yang putih benderang. Pertanda apakah
ini wahai Peri Sesepuh? Apakah benar dugaan kita berdua. Bayi pencemar segala
tuah yang ditunggu telah lahir malam menjelang pagi tadi?"
"Perasaan
dan dugaanku mengatakan begitu…."
"Kalau
itu benar telah terjadi, berarti kita harus siap menghadapi segala nista dan
petaka."
Peri
Sesepuh anggukkan kepala. "Wahai Peri Bunda, aku terpaksa harus segera
kembali. Para Peri yang lain harus diberitahu agar mereka juga siap. Kau tetap
di sini. Tunggu kedatangan Peri Angsa Putih membawa berita."
"Peri
Sesepuh, tunggu! Jangan pergi dulu. Nista dan petaka apakah yang akan menimpa
Negeri Atas Langit sehubungan dengan kejadian lahirnya bayi pencemar segala
tuah itu?"
"Banyak
wahai Peri Bunda. Namun tidak semua bisa ku beritahu padamu. Hanya beberapa
saja.
Misalnya,
angin tak akan berhembus lagi selama setahun penuh. Kalaupun masih berhembus
angin itu akan disertai hawa pengap dan bau yang tidak sedap. Air akan berhenti
mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah. Berarti ada kawasan yang
bakal menderita kekeringan sepanjang tahun. Lalu bunga-bunga akan menjadi layu.
Pucuk tak akan menjadi buah. Buah yang ada akan jatuh ke tanah dalam keadaan
busuk…."
Peri
Bunda jadi terdiam mendengar keterangan Peri Sesepuh itu.
"Aku
pergi sekarang.wahai Peri Bunda. Susul aku jika kau sudah bertemu dan menerima
kabar dari Peri Angsa Putih."
Peri
Sesepuh gulungkan kain sutera merah tipis diseputar dadanya yang tersingkap.
Lalu perlahanlahan tubuhnya bersama kursi batu pualam, melayang ke alas, makin
tinggi, makin jauh dan akhirnya lenyap riah pemandangan.
"Heran…"
kata Peri Bunda perlahan. "Telah beberapa kali hal seperti ini terjadi.
Mengapa masih ada saja Peri yang melanggar larangan?"
Perl
Bunda tatapkan matanya ke arah timur kembali.
Di
lurusan itu keadaan semakin terang namun tabir hitam masih menutupi
pemandangan. Tiba-tiba melesat sebuah benda aneh yang tidak jelas
perwujudannya.
Bersamaan
dengan itu menggelegar suara keras menggaung panjang dan lama.
"Seperti
suara tangisan bayi. Tapi juga menyerupai lolongan srigala…." Peri Bunda
usap tengkuknya yang jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang
melayang di udara. Demikian cepatnya benda ini melesat hingga sebelum sang Peri
sempat berkedip benda itu telah lenyap dari pandangan matanya. "Benda apa
itu wahai gerangan. Aku mencium bau amisnya darah.
Jangan-jangan…."
Belum
sempat Peri Bunda menyelesaikan ucapan hatinya tiba-tiba di atasnya melayang
satu benda putih disertai suara menguik keras. Benda ini dengan cepat bergerak
turun dan ternyata adalah seekor angsa raksasa berwarna putih. Dari atas
punggung binatang ini melompat turun seorang gadis cantik mengenakan pakaian
terbuat dari sejenis kain sutera halus berwarna putih. Tubuh dan pakaiannya
menebar bau harum semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan pakaian biru
Peri Bunda.
"Wahai
Peri Angsa Putih, kau muncul tepat pada saatnya. Apakah kau datang membawa
berita yang ditunggu-tunggu?"
Peri
Angsa Putih, peri cantik bermata biru anggukkan kepala. "Wahai Peri Bunda.
Di mana gerangan Peri Sesepuh?’
"Peri
Sesepuh telah lebih dulu kembali. Kau akan memberi keterangan padaku di sini
atau kita samasama menemui Peri Sesepuh?’
"Aku….
Waktuku singkat. Biar kuceritakan saja padamu apa yang terjadi. Nanti kau saja
yang menyampaikan pada Peri Sesepuh…."
"Kalau
begitu lekas terangkan padaku apa yang telah terjadi. Benarkah semua dugaan dan
kira-kira sesuai dengan kenyataan yang ada?"
"Memang
benar adanya wahai Peri Bunda. Duga dan sangka tidak jauh meleset dari
kenyataan. Pertanda alam kita dan segala tuah akan tercemar sepanjang tahun.
Mungkin akan ditambah lagi dengan menebarnya sejenis penyakit menular."
Berubahlah
paras Peri Bunda mendengar katakata terakhir Peri Angsa Putih itu.
"Penyakit
menular katamu wahai Peri Angsa Putih?’
Yang
ditanya mengangguk.
"Wahai!
Peri Sesepuh tidak menyebutkan ihwal penyakit itu. Bagaimana kau bisa
tahu?"
"Kakekku
yang memberitahu," jawab Peri Angsa Putih.
"Maksudmu
Hantu Tangan Empat?" tanya Peri tunda.
Kembali
Peri Angsa Putih mengangguk.
"Celakai
Apa jadinya kita semua. Apa jadinya negeri kita."
"Kita
harus siap menghadapi apapun yang terjadi wahai Peri Bunda. Bukankah hal
semacam ini sudah beberapa kali terjadi? Bahkan mungkin….?" Peri Angsa
Pulih tidak teruskan ucapannya.
Perl
Bunda yang juga disebut sebagai Simpul Agung Segala Peri atau Peri Junjungan
Dari Segala Junjungan menatap lekat-lekat ke wajah Peri Angsa Putih.
Pandangan
matanya seolah menyelidik jauh ke balik mata dan jalan pikiran Peri cantik itu.
"Kau
tidak meneruskan ucapanmu tadi wahai Peri Angsa Putih. Apa maksudmu dengan
kata-kata Bahkan mungkin….”
Sesaat
Perl Angsa Putih jadi agak terkesiap. Namun dia segera tersenyum untuk menutupi
keterkejutannya atas pertanyaan yang tidak terduga itu.
"Sudahlah,
waktuku tidak banyak. Lagi pula Peri Sesepuh tentu sangat menantikan
kedatanganmu.
Sebaiknya
aku segera saja menuturkan apa yang telah terjadi…." Tapi Peri Bunda
gelengkan kepala.
"Penuturanmu
memang penting. Tapi bagiku penjelasanmu atas kata-katamu tadi tak kalah
pentingnya.
Wahai,
harap kau sudi memberi jawaban atas pertanyaanku tadi, Peri Angsa Putih."
Setelah berucap diam-diam dalam hatinya Peri Bunda membatin. "Apa maksud
ucapan kerabatku ini. Jangan-jangan dia mengetahui apa yang ada dalam hatiku.”
Sebaliknya
Peri Angsa Putih diam-diam juga menjadi gelisah dan berkata dalam hati.
"Peri Bunda pasti telah tahu apa yang akan terjadi di masa puluhan tahun
mendatang. Jangan-jangan dia mencurigai diriku…."
"Peri
Angsa Putih, kau belum menjawab. Kau belum memberi penjelasan."
"Dari
pada dia mendesak, lebih baik aku mendesak duluan!" kata Peri Angsa Putih
dalam hati. Maka diapun berkata. "Hatimu dan hatiku, pikiranmu dan
pikiranku, penglihatanmu ke masa depan dan penglihatanku rasanya tidak banyak
berbeda wahai Peri Bunda. Namun jika aku salah mohon maafmu. Apa kau sependapat
denganku bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perubahan?
Batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin tipis laksana
kabut pagi yang mudah pupus ditelan sinar mentari?"
"Peri
Angsa Putih! Wahai! Bagaimana kau berani berkata begitu?!" ucap Peri Bunda
setengah berseru.
Dalam
hati dia berkata. ‘Dugaanku tidak meleset. Dia bisa membaca jauh ke lubuk
hatiku! Daripada menjadi urusan lebih baik aku mengalah sementara."
"Wahai
Peri Angsa Putih, katamu waktumu singkat.
Baiklah.
Aku tidak akan mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Segera saja kau
ceritakan apa yang tolah terjadi…."
********************
4
GEROBAK
yang ditarik kuda berbulu putih belang hitam itu berhenti di depan bangunan
besar terbuat dari kayu besi. Saat itu di penghujung malam menjelang pagi.
Perempuan tua yang duduk di samping pemuda sais gerobak melompat turun.
Gerakannya gesit dan enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan besar. Di
depan pintu bangunan dia hentikan langkah, memandang pada lelaki yang keluar
menyambutnya.
Perempuan
tua itu ludahkan gumpalan sirih dan tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya.
"Apa
aku datang terlambat wahai Lahambalang?"
"Nenek
Luhumuntu. Keadaannya gawat sekali. Aku khawatir…."
Perempuan
tua itu tidak menunggu sampai lelaki bernama Lahambalang menyelesaikan
ucapannya. Dengan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung menuju ke sebuah
kamar dari dalam mana terdengar suara erangan berkepanjangan.
Di ambang
pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah. "Lahambalang! Kegilaan apa
yang aku lihat ini!
Siapa
yang mengikat tangan dan kakinya!"
"Tidak
ada jalan lain Nek! Dia selalu berontak.
Memukul
dan menendang. Melihat aku sepertinya dia hendak membunuhku!"
"Gila
dan aneh! Perempuan yang hendak melahirkan bisa bersikap seperti itu!"
Luhumuntu masuk ke dalam kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah
dari ranjang kayu kembali gerakannya tertahan.
Di atas
tempat tidur kayu itu tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang
cantik tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan sakit.
Dari
mulutnya yang terbuka keluar erangan ditingkahi desau nafas yang membersit dari
hidung. Perempuan ini memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput
kering. Ketika pandangannya membentur sosok si nenek, dua matanya membeliak
besar dan dari mulutnya keluar suara menggereng seperti suara babi hutan.
"Tua
bangka buruk! Siapa kau?!"
Lahambalang
cepat mendekat dan berkata. "Wahai istriku Luhmintari, nenek ini
Luhumuntu, dukun beranak di Latanahsilam yang akan menolongmu melahirkan
"Menolong aku melahirkan?!" Sepasang mata perempuan di atas ranjang
kayu semakin membesar dan Wajahnya tambah beringas. "Siapa yang akan
melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"
"Tenanglah
Luhmintari. Orang akan menolongmu…."
"Aku
tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh pertolongan! Tidak akan ada apapun yang
keluar dari perutku! Tidak akan ada bayi keluar dari rahimku! Kau dengar wahai
Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis
membentak seperti itu Luhmintari tertawa panjang.
Si nenek
dukun beranak jadi merinding. Dia dekati Lahambalang dan berbisik. "Suara
istrimu kudengar lain.
Tawanya
kudengar aneh…."
Baru saja
Luhumuntu berkata begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar suara
gerengan dan bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar suara lolongan anjing
hutan. Dukun beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi tubuh
Luhmintari. Begitu perut yang hamil besar Ku tersingkap, si nenek langsung
tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan lalu mundur dua
langkah.
Lazimnya
perut perempuan hamil, biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat
oleh Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang di dalamnya seperti ada
puluhan duri. Permukaan perut Luhmintari kelihatan penuh tonjolan-tonjolan
runcing dan tiada hentinya bergerak-gerak mengerikan.
"Demi
Dewa dan Peri.’" ujar Lahambalang dengan suara bergetar. "Apa yang
terjadi dengan istriku!"
Dukun
beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya.
"Lahambalang,
istrimu akan segera kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."
"Nenek
Luhumuntu, kalau boleh aku ingin menungguinya sampai dia melahirkan…" kata
Lahambalang pula.
"Keluar!"
teriak Luhumuntu.
Mau tak
mau Lahambalang keluar juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu.
Ketika dia melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan
tampang beringas.
"Nenek
celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"
"Luhmintari,
aku akan menolongmu melahirkan! Aku akan melepaskan ikatan pada dua kakimu!
Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"
"Kau
yang berkata dan akan berbuat yang bukan bukan!" sentak Luhmintari.
"Aku tidak hamil! Aku tidak akan melahirkan! Tak ada bayi dalam perutku!
Tak ada bayi yang akan keluar dari rahimku! Hik… hik… hik!"
"Tenang
Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan
seorang bayi hasil hubungan sebagai suami istri dengan Lahambalang…."
Si nenek
mendekati kaki tempat tidur. Dengan hati-hati dia lepaskan ikatan pada dua kaki
Luhmintari. Begitu dua kaki lepas, kaki yang kanan bergerak menendang.
"Bukkk!"
Si nenek
Luhumuntu terpekik dan terpental ke dinding.
Di luar
Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu!
Ada
apa?!"
Luhumuntu
usap-usap perutnya yang tadi kena tendang. "Tidak apa-apa Lahambalang! Kau
tak usah khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari dan berkata.
"Sebagai dukun aku berkewajiban menolongmu melahirkan. Apapun yang akan
keluar dari rahimmu aku tidak perduli!" Lalu dengan cepat si nenek
kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya dia menekan perut
perempuan itu.
Luhmintari
meraung keras. Dari dalam perutnya keluar suara menggereng. Di kejauhan kembali
terdengar suara lolongan anjing hutan.
"Jangan
sentuh perutku! Pergi!"
Si nenek
dukun beranak tidak perdulikan teriakan Luhmintari. Dua tangannya menekan
semakin kuat.
Luhmintari
menjerit keras. Lalu terdengar suara robek besar. Bersamaan dengan itu ada
suara tangisan kecil.
Seperti
suara tangisan bayi tapi disertai gerengan!
Luhumuntu
terpekik ketika ada suatu benda melesat dan menyambar perutnya. Nenek ini
mundur terhuyung-huyung. Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di
bagian perut ada tiga guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari
sudut kamar terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok
Luhmintari tidak bergerak sedikitpun.
Tubuhnya
yang penuh keringat perlahan-lahan menjadi dingin.
"Braaakkk!"
Pintu
kamar terpentang hancur. Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si
nenek dukun beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya yang
luka bergelimang darah. Dia melangkah ke arah ranjang. Namun gerakannya serta
merta tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke lantai.
Matanya
membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak tidak bergerak. Mata mendelik mulut
menganga.
Perutnya
robek besar dan darah masih mengucur mengerikan!
"Luhmintari!"
teriak Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia
kembali berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku! Aku
mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"
Sambil
sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek menjawab. "Istrimu tewas
wahai Lahambalang!
Tewas
ketika melahirkan bayinya! Bayinya ternyata bukan bayi biasa! Bayi itu tidak
keluar secara wajar tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek
besar!"
"Aku
tidak percaya! Kau… kau pasti memakai cara gila! Kau pasti merobek perut
istriku dengan pisau!"
"Aku
tidak pernah membawa pisau wahai Laham belang," Jawab si nenek. Tubuhnya
melosoh ke lantai.
Dua
tangannya masih mendekapi perutnya yang luka.
"Mana
bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.
SI nenek
Luhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar.
"Itu….bennda
yang di sudut sana. Itulah bayimu.
Kuharap
kau bisa menabahkan diri menghadapi kenyataan ini wahai Lahambalang…."
Lahambalang
berpaling ke arah yang ditunjuk.
Karena
tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar yang ditunjuk si nenek agak gelap.
Namun Lahambalang masih bisa melihat satu benda bergelimang darah tergeletak di
sana.
"Anakku…"
desis Lahambalang. Dia mendatangi dan membungkuk. Tiba-tiba jeritan keras
menggeledek dari mulutnya. "Tidaaaakkkk!"
"Lahambalang,
kataku kau harus tabah menghadapi kenyataan…" berucap si nenek dukun
beranak.
"Tidaaaakkkk!"
teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"
"Lahambalang,
betapapun kau tidak mengakui itu bukan anak bukan bayimu! Tapi itulah yang
keluar dari perut Istrimu!"
Lahambalang
tutupkan dua tangannya ke mukanya lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di
sudut yang kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena disertai suara
menggereng halus. Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar
itu memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur tubuhnya mulai dari
kepala sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!
"Lahambalang,
Itu anakmu. Itu bayimu! Jangan biarkan dia kedinginan di sudut kamar…."
Terdengar nenek Luhumuntu berucap.
Sekujur
tubuh Lahambalang bergeletar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas
kedengaran apa yang dikatakannya.
"Lahambalang,
ambil anakmu. Dukung bayi itu…."
Lahambalang
pejamkan dua matanya. Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan tangis.
"Apa
yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku Luhmintari. Nasibmu… nasibku…
nasib anak kita. Apa semua ini karena kau melanggar larangan? Karena sebenarnya
sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin denganku manusia biasa? Kalau ini
memang satu kutukan, sungguh kejam dan jahat!"
Tiba-tiba
Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan.
Dadanya bergemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal. Satu teriakan dahsyat
keluar dari mulutnya.
"Wahai
para Peri di atas langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku
yang kalian bunuh!
Mengapa
bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat!
Mengapa
tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam!
Jahat!
Peri terkutuk keparat! Aku akan mencari seribu jalan melakukan
pembalasan!"
Habis
berteriak begitu Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi aneh yang
tergeletak di sudut kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil
lari tidak henti-hentinya dia berteriak.
"Ini
bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dengan makhluk celaka
ini! Peri jahat Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"
Dalam
gelap dan dinginnya malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa
bayi aneh yang tiada hentinya menangis. Lelaki ini baru hentikan lari nya
ketika dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya
menghadang satu jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah
timur langit mulai terang tanda sang surya siap memunculkan diri.
"Ini
bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri di asas langit tunggu
pembalasanku!" Dengan tubuh bergeletar lahambalang angkat bayi bergelimang
darah dan penuh duri aneh itu. Sang bayi menangis keras.
Di
kejauhan seolah datang dari tengah laut terdengar suara lolongan srigala. Di
dahului teriakan keras dan panjang Lahambalang lemparkan bayi di tangan
kanannya Bayl malang itu melesat jauh ke udara, lenyap dari pemandangan seolah
menembus langit.
Lahambalang
pandangi tangannya berlumuran darah lalu menatap ke langit. Sekali lagi lelaki
ini menjerit dahsyat!
********************
5
LAMA Peri
Bunda termenung mendengar penuturan Peri Angsa Putih itu. Berkali-kali pula dia
menghela nafas dalam. Akhirnya sang Peri berkata. "Wahai Peri Angsa Putih,
aku akan segera menemui Peri Sesepuh. Sebelum pergi bisakah aku mempercayai dua
buah tugas padamu?"
"Aku
siap melakukan apa yang menjadi perintahmu wahai Peri Bunda," jawab Peri
Angsa Putih walau sebenarnya dia merasa kurang senang.
"Mulai
saat ini kau harus memata-matai, apa yang dilakukan Lahambalang. Kemudian harap
kau menyelidiki dimana jatuhnya bayi aneh itu. Kau harus mendapatkan dan
mengambilnya baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Bayi itu harus cepat dibawa
ke alam atas langit dan diserahkan pada Peri Sesepuh."
Peri
Angsa Putih mengangguk. Dia membungkuk memberi hormat lalu melompat ke atas
Laeputih, angsa raksasa yang jadi tunggangannya. Namun sebelum dia bergerak
pergi dilihatnya Peri Bunda mengangkat tangan kanan, menatap padanya dengan
mulut terbuka tanpa suara.
"Wahai
Peri Bunda, masih adakah sesuatu yang hendak kau katakan?" tanya Peri
Angsa Putih.
Peri
Bunda masih belum membuka mulut seolah ada kebimbangan di hatinya untuk
berucap. Setelah menarik nafas lebih dulu baru dia berkata.
"Kau
mungkin tidak suka membicarakan walau barang sebentar. Namun jika tidak ada
kejelasan rasanya aku seperti diikuti bayang-bayang sendiri…."
"Apakah
yang merisaukan hatimu, Wahai Peri Bunda?"
Mulutnya
bertanya namun dalam hati Peri Angsa Putih mulai menduga-duga.
"Tadi
aku sempat membicarakan: Hatiku dan hati mu, pikiranku dan pikiranmu,
penglihatanku dan penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak berbeda.
Lalu kau bilang bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak
perubahan. Batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin
tipis. Laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan cahaya mentari. Kejadian
bangsa Peri kawin dengan manusia biasa telah berulang kali terjadi walau mereka
harus menerima hukuman dan kutuk. Kau katakan: Malah mungkin…. Tapi tidak kau
teruskan ucapanmu.
Wahai
Peri Angsa Putih, kita sama melihat kenyataan dan aku tidak mau berlaku
munafik. Kehidupan kita bangsa Peri dalam segala kelebihannya namun masih
memiliki serba kekurangan. Jika aku mau menyebut salah satu diantaranya adalah
kita tidak memiliki dan hampir jarang merasakan bahagia jalinan kasih sayang.
Kasih
sayang antara kita dengan kaum lelaki…."
"Wahai
Peri Bunda, aku khawatir ada yang mendengar pembicaraan kita ini…." Peri
Angsa Putih cepat memotong.
Peri
Bunda gelengkan kepala. "Kenyataan tidak bisa dirubah. Akan tetap ada
sampai akhir zaman. Peri Angsa Putih, apakah yang aku lihat sama dengan apa
yang kau lihat. Apakah firasatku sama dengan firasatmu..,.
Apakah
kau mau berterus terang?"
Peri
Angsa Putih terdiam sejenak. Perlahan-lahan air mukanya bersemu merah.
"Wahai!
Kulihat rona wajahmu menjadi merah.
Berarti
dugaanku tidak salah. Jika kau tidak mau mengungkap, aku tidak akan malu-malu
mengatakannya wahai Peri Angsa Putih."
"Kalau
begitu sebaiknya biar kau saja yang berterus terang wahai Peri Bunda,"
jawab Peri Angsa Putih pula.
Peri
Bunda menarik nafas dalam dua kali lalu berucap. "Firasat dan
penglihatanku melihat. Di masa puluhan tahun mendatang. Entah kapan tepatnya
tetapi pasti akan muncul di alam kita lelaki-lelaki gagah kepada siapa kita
akan jatuh cinta. Namun bagaimana berbagi rasa dan cinta kalau orang yang kita
kasihi itu adalah orang yang sama? Lalu kita akan mengenal hidup berurai air
mata. Kita akan mengenal yang disebut rasa cemburu. Rasa rindu dan tidak
mungkin terjadi apa yang disebut api dalam sekam. Kalau tiba saatnya meledak
alam atas langit tempat kediaman kita akan menjadi geger…."
Dua Peri
Ku untuk beberapa lamanya tak satupun yang bicara. Suara silir tiupan angin
terdengar jelas saking sunyinya tempat Ku.
"Peri
Bunda, masa puluhan tahun itu cukup lama bagi kita untuk mempersiapkan diri.
Mudah-mudahan kita semua akan lebih dewasa menghadapi perubahan.
Memang
kita bukan manusia biasa. Namun rasa dan hati kita tak bisa dipendam. Kita
tidak mungkin menipu diri sendiri. Bahagia, cinta dan kasih sayang adalah
dambaan semua makhluk hidup, termasuk kita bangsa Peri."
Peri
Bunda anggukkan kepala. "Kau benar Wahai Peri Angsa Putih. Benar sekali!
Aku akan segera kembali.
Harap kau
melaksanakan tugas yang kuberikan tadi."
Perl
Angsa Putih menjura hormat. Lalu dia mengusap leher angsa putih tunggangannya.
Binatang raksasa Ini mengepakkan sayap dan melesat ke arah timur.
********************
6
BAYI
laki-laki aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi semacam duri berwarna coklat dan
masih berselubung darah itu melesat di udara lalu lenyap ditelan kegelapan
malam di sebelah barat. Namun tak selang berapa lama, setelah mencapai titik
tertingginya bayi ini melayang ke bawah.
Di saat
yang hampir bersamaan, di sebuah pulau di kawasan laut sebelah barat. Fajar
yang menyingsing di ufuk timur masih belum mampu menerangi pulau itu. Masih
terbungkus kegelapan, di satu bukit yang tertutup rapat oleh pohon-pohon jati
berbentuk aneh, dalam sebuah lobang batu tampak melingkar sebuah benda yang tak
dapat dipastikan apa adanya. Benda ini bergulung aneh, tertutup oleh sejenis
sisik tebal berwarna hitam pekat. Benda ini bukan benda mati karena ada
denyutan tiada henti dan setiap berdenyut sisik yang menutupinya tegak
berjingkrak!
Ketika
bayi Lahambalang melayang jatuh ke atas pulau, sosok aneh di liang batu itu
tiba-tiba bersuit keras dan panjang lalu melesat ke atas. Dan astaga!
Ternyata
dia adalah satu sosok makhluk hidup yang punya kepala, tangan dan kaki seperti
manusia. Namun masih sulit dipastikan apakah makhluk itu benar-benar manusia.
Sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki tertutup sisik tajam yang
senantiasa bergerak-gerak, rebah lalu berdiri lalu rebah lagi terus menerus.
Wajahnya tidak ketahuan mana mulut mana hidung. Matanya hanya merupakan dua
buah tonjolan bulat yang lancip di sebelah tengah, seperti combong putih buah
kelapa!
Makhluk
bersisik hitam ini mendongak ke langit ketika melihat sosok bayi yang jatuh ke
bawah. Lalu dari mulutnya yang tidak ketahuan entah berada di sebelah mana
kembali melengking satu jeritan keras seolah merobek langit malam, menembus
suara deru angin dan deburan ombak di pantai pulau.
Belum
lenyap lengking jeritan itu tiba-tiba terdengar suara bergemuruh mendatangi.
Bukit jati di atas pulau itu bergetar aneh. Di lain saat muncullah sepasang
makhluk aneh mengerikan. Berupa dua ekor landak raksasa yang berjalan cepat
dengan empat kakinya. Namun begitu sampai di hadapan makhluk bersisik, dua ekor
landak ini pergunakan dua kaki bolakangnya seperti kaki manusia dan dua kaki
depan sebagai tangan. Lalu dua binatang ini membungkuk seolah memberi hormat
pada makhluk bersisik.
Makhluk
bersisik di tepi liang batu angkat tangan kanannya. Sambil menjerit keras dia
menunjuk ke langit. Ke arah sosok bayi Lahambalang yang tengah melayang jatuh
ke atas pulau.
Dua ekor
landak yang ternyata satu jantan satu betina palingkan kepala ke arah yang
ditunjuk lalu sama-sama keluarkan jeritan keras.
"Laeruncing
dan Laelancip! Apa yang aku lihat puluhan tahun silam dan pernah kukatakan pada
kalian kini menjadi kenyataan! Selamatkan bayi itu!"
Satu
suara menyerupai suara manusia menggema di tempat itu. Siapakah yang bicara?
Ternyata makhluk bersisik di tepi liang batu!
Mendengar
ucapan itu dua ekor landak raksasa, Laeruncing yang jantan dan Laelancip yang
betina keluarkan pekik keras. Lalu sekali mereka cakarkan dua kaki ke tanah,
saat itu juga tubuh mereka laksana sambaran kilat melesat ke udara! Lalu terjadilah
satu hal yang luar biasa. Dua landak raksasa itu melesat demikian rupa
menyongsong ke arah melayang jatuhnya bayi Lahambalang. Di satu titik di udara,
ketiganya bertemu.
"Seettt…
settt!"
Dua
landak raksasa melesat dan bergerak demikian rupa, tahu-tahu telah mengapit dan
menjepit sosok bayi di tengah-tengah. Di udara dua ekor landak ini membuat
gerakan berputar tujuh kali lalu melesat turun ke arah pulau. Dalam waktu
singkat dua ekor landak itu telah mendarat di tanah dekat liang batu, di hadapan
makhluk yang tubuhnya tertutup sisik. Bayi Lahambalang yang beberapa saat
sempat diam kini mulai menangis.
"Wahai
Laeruncing dan Laelancip! Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik!"
Dua ekor
landak raksasa keluarkan suara gerengan halus. Makhluk bersisik kembali
berkata.
"Apa
yang aku lihat puluhan tahun silam kini menjadi kenyataan. Wahai Laeruncing dan
Laelancip!
Bayi
laki-laki yang bentuk tubuhnya penuh ditumbuhi tanduk-tanduk kecil seperti
tubuh kalian itu sesungguhnya itulah bayi yang kalian tunggu-tunggu selama tiga
ratus tahun! Bayi itu adalah anak kalian berdua!"
Dua ekor
landak kembali menggereng. Mereka bergerak mendekati si bayi lalu ulurkan
kepala dan mulai menjilati sosok bayi itu. Anehnya begitu dijilati sang bayi
segera saja berhenti menangis!
"Laeruncing
dan Laelancip! Kalian sudah mendapatkan anak yang kalian dambakan selama
ratusan tahun Sekarang menjadi kewajiban kalian untuk memelihara dan
membesarkannya. Ajarkan semua ilmu kepandaian yang kalian punya. Kecuali satu
ilmu yang kalian tidak miliki. Yaitu bagaimana caranya bicara. Aku yang akan
mengajarkan ilmu berbicara itu pada anak kalian! Dan kepadanya wahai Laeruncing
dan Laelanclp aku akan memberikan nama. Sesuai dengan keadaan pulau ini yang
penuh ditumbuhi pohon-pohon jati berduri seperi bulu landak, sesuai pula dengan
keadaan dan bentuk kalian aku akan menamakan anak Hantu Jatilandak!"
Laeruncing
dan Laelancip ulurkan dua tangan ke depan dan angguk-anggukkan kepala tanda
mengerti.
"Kailan
berdua boleh pergi. Jaga anak itu baik-baik.
Jika ada
apa-apa yang kalian tidak mengerti, temui aku di Liang Batu Hitam ini! Aku
Tringgiling Liang Batu adalah kakek dari bayi itu!"
Dua ekor
landak menggereng halus, kembali anggukanggukkan kepala. Laeruncing, landak
yang jantan pergunakan mulutnya untuk mengangkat bayi yang diberi nama
Lajatilandak itu ke atas punggung betinanya yaitu Laelancip. Baru saja dua
landak raksasa ini hendak bertindak pergi tiba-tiba di langit ada benda pulih
menyambar turun disertai teriakan memerintah.
“Semua
makhluk di atas pulau! Jangan ada yang berani bergerak! Aku datang membawa
perintah!"
"Wuuuttt…
wuttt!" Ada dua sayap raksasa mengepak deras membuat pohon-pohon jati
berduri bergoyang goyang. Sesaat kemudian seekor angsa putih telah mendarat di
atas sebuah batu besar, tak jauh dari makhluk bersisik berdiri dan hanya
beberapa tombak dari dua ekor landak raksasa. Bau sangat harum memenuhi tempat
itu.
Laeruncing
dan Laelancip keluarkan suara menggereng.
Bayi di
atas landak betina tiba-tiba keluarkan tangisan. Makhluk bersisik putar
kepalanya. Dua mata combongnya bergerak-gerak. Dari balik sisik di mukanya
keluar ucapannya.
"Berabad-abad
telah berlalu. Tak pernah selama ini seorang Peripun muncul datang ke pulau dan
singgah di hutan Lahitamkelam. Gerangan angin apakah wahai Peri cantik yang aku
lupa namanya datang ke tempat ini? Perintah apa yang kau bawa bersama
kemunculanmu?"
Gadis
cantik berpakaian sutera putih di atas punggung angsa raksasa menatap makhluk
bersisik itu beberapa saat lamanya. Lalu dia melirik pada dua ekor landak
raksasa. Dalam hati dia berkata. "Aku tidak melihat bayi yang kucari. Tapi
di atas salah seekor landak raksasa Ku ada satu makhluk kecil yang tubuhnya
ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak. Dan sosok kecil ini menangis antara
suara bayi dan suara binatang.
Mungkin
itu bayinya Lahambalang dan Luhmintari?"
Peri
Angsa Putih kembali memandang ke arah makhluk bersisik lebat, kaku dan keras.
"Aku
Peri Angsa Putih dari Negeri Atas Langit.
Kedatanganku
membawa tugas. Tugas yang menjadi perintah bagi kalian yang ada di sini. Patuh
akan perintah wahai! Itulah segala rahasia hidup tanpa bencana.
Aku
datang untuk mengambil sosok kecil yang ada di atas punggung landak raksasa
itu!"
Mendengar
kata-kata Peri Angsa Putih, sepasang mata makhluk bersisik yang bernama
Tringgiling Liang Batu seperti hendak melompat. Sisik di sekujur tubuhnya
berjingkrak kaku. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor.
Di tempat
lain, dua ekor landak raksasa menggarang keras. Yang jantan langsung tegak
berdiri membelakangi betinanya. Sepasang matanya yang hitam kecoklatan
membersitkan sinar menggidikkan. Dua tangannya dipentang ke depan. Kakinya
bergerak melangkah mendekati angsa putih.
********************
7
LAERUNCING!
Tegur Tringgiling Liang Batu."Tetap di tempatmu!" Lalu makhluk ini
berpaling pada Peri Angsa Putih. "Peri Angsa Putih, bagiku adalah aneh
seorang Peri dari Negeri Atas Langit menginginkan satu bayi yang tidak ada
sangkut paut dengan dirinya! Siapa gerangan yang memberimu tugas tak masuk akal
itu wahai Peri Angsa Putih?!"
"Justru
karena bayi berduri itu ada sangkut pautnya dengan kami para Peri dari Negeri
Atas Langit maka kami ingin mengambilnya!"
"Wahai!
Mungkin kau bisa memberi keterangan lebih rinci hingga aku tidak menduga
keliru!"
"Baik,
jika itu maumu. Bayi yang tubuhnya berduri itu dilahirkan dari rahim seorang
Peri yang tersesat kawin dengan manusia bernama Lahambalang! Ibunya meninggal
ketika melahirkan. Sang ayah telah menjadi gila. Berarti tidak ada yang memelihara
bayi itu. Kami para Peri mengambil alih tanggung jawab merawat anak
tersebut!"
Tringgiling
Liang Batu angguk-anggukkan kepala.
"Sungguh
baik budi para Peri Negeri Atas Angin. Tapi apa kau lupa, atau tidak tahu, atau
mungkin pura-pura tidak tahu. Semua kejadian menyangkut Peri sesat dan suaminya
yang bernama Lahambalang itu, sampai lahirnya bayi yang malang itu! Adalah
pekerjaan jahat para Peri Negeri Atas Langit! Termasuk kau! Kalian telah
menjatuhkan hukum dan kutuk keji! Sekarang apa perlunya kalian ingin mengambil
orok itu!"
Berubahlah
paras Peri Angsa Putih mendengar kata kata Tringgiling Liang Batu itu. Setelah
dadanya yang tergoncang tenang kembali, maka berkatalah Peri cantik ini.
"Setiap
kesalahan ada hukumannya. Setiap masalah ada jalan keluarnya! Kami punya aturan
sendiri yang harus ditaati dan dipatuhi. Siapa saja yang melanggar akan terkena
hukuman. Di dalam tubuh bayi itu mengalir darah Peri. Kami tidak akan
membiarkannya hidup di dunia ini…."
"Peri
Angsa Putih, kau dan teman-temanmu di atas sana bukan saja telah berbuat
terlalu jauh, tapi kini malah bertindak teramat jauh. Bayi itu adalah cucuku.
Orok itu
adalah anak dari Laeruncing dan Laelancip, dua landak raksasa yang ada di
hadapanmu. Kalau kau berani menyentuhnya sekalipun sisikku akan terkelupas dan
rohku akan terpendam di dasar laut menjadi ganjalan pulau ini, aku tidak akan
menyerahkannya kepada siapapun!"
"Kalau
begitu terpaksa aku mempergunakan kekerasan. Aku tidak suka. Tapi wahai! Apa
boleh buat!"
Habis
berkata begitu Peri Angsa Putih melesat ke arah Laelancip si landak betina.
Tangan kanannya menyambar ke punggung landak. Namun di saat itu pula laeruncing
si landak jantan melompat ke depan dan hantamkan tangannya yang berduri ke arah
lengan Perl Angsa Putih.
Melihat
datangnya serangan berbahaya ini Peri Angsa Putih cepat tarik tangan kanannya.
Tapi terlambati "Breett!"
Lengan
bajunya yang terbuat dari sutera putih robek besar disambar duri-duri lancip
tangan Laeruncing.
Marahlah
Peri Angsa Putih. Sambil menghantamkan kaki kirinya ke kepala Laeruncing,
tangan kanannya lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sinar putih berkelebat.
Tahu
kalau serangan tangan kosong itu lebih berbahaya dari pada tendangan kaki,
Laeruncing cepat bergerak hindari serangan sambaran sinar putih.
"Bukkk!"
Tendangan
Peri Angsa Putih mendarat telak di bahu kanan Laeruncing. Landak raksasa
menggereng keras sementara tubuhnya terpental sampai dua tombak tapi tidak
mengalami cidera. Sebaliknya Peri Angsa Putih keluarkan keluhan tertahan dan
cepat melangkah mundur. Ketika dia meneliti kaki kirinya ternyata ada dua duri
landak menancap. Satu pada kaki pakaiannya, satu lagi dekat tumitnya. Sang Peri
cepat cabut dua duri yang panjangnya hampir dua jengkal itu. Baru saja dia
mencabut tiba-tiba di belakangnya Laelancip, si landak betina menyerangnya
dengan ganas. Belum lagi serangan itu sampai, di dahului gerengan keras
Laeruncing telah menyerbu pula. Kalau yang jantan menyerang dengan tubuh
berduri seperti manusia maka Laelancip si betina menyerang melompat-lompat, lebih
banyak mempergunakan mulutnya yang bertaring dari pada dua kaki depannya. Bayi
yang ada di punggungnya menangis makin keras.
Walau
berilmu tinggi ternyata tidak mudah bagi Peri Angsa Putih menghadapi dua lawan
itu. Namun begitu kesabarannya hilang dan berpikir buat apa membuang-buang
waktu, maka dia segera saja keluarkan ilmu kesaktian yang berpusat pada
sepasang matanya.
Dua mata
sang Peri yang berwarna biru tiba-tiba melesatkan dua larik sinar biru. Satu
menghantam ke arah laeruncing, satunya lagi ke arah Laelancip.
Melihat
serangan yang sangat berbahaya itu Tringgiling Uang Batu berseru keras.
Tubuhnya melesat ke udara. Sambil melesat tubuh itu bergulung melingkar lalu
menggelinding ke arah Peri Angsa Putih. Seluruh Sisik yang ada di kepala dan
tubuhnya berdiri tegak seolah ratusan pisau yang siap membantai.
Sadar
ganasnya serangan Tringgiling Liang Batu, Peri Angsa Putih terpaksa melompat
sebelum serangan dua larik sinar birunya sempat menghantam lawan.
tak urung
sisik-sisik di punggung Tringgiling Liang Batu masih sempat merobek ujung
pakaiannya. Ketika dia menjejakkan kaki di tanah kembali dilihatnya makhluk
bersisik itu telah tegak sambil mendukung bayi berduri di tangan kirinya!
"Kau
inginkan orok ini wahai Peri Angsa Putih!
Silakan
ambil dari tanganku kalau kau mampu! Tapi jika kau berpikir tidak mampu
melakukannya sebaiknya lekas tinggalkan pulau ini!"
Merasa
ditantang dan dianggap enteng Peri Angsa Pulih kerahkan seluruh kekuatan yang
dimilikinya. Dari dua matanya kembali melesat cahaya. Kali ini sangat biru dan
menyilaukan.
"Rrrtttttt!"
"Rrrrttttr!”
Dua larik
cahaya biru itu mendarat bertubi-tubi, menghantam kepala dan tubuh Tringgiling
Liang Batu.
Asap
hitam yang berasal dari tubuhnya serta asap biru dari dua larik sinar sakti
yang keluar dari mata Peri Angsa Putih mengepul keluarkan letupan-letupan
Keras.
Tringgiling
Liang Batu mendongak lalu tertawa panjang. "Satu hari satu malam kau boleh
menyerangku dengan seluruh ilmu yang kau punya! Sampai matamu melompat copot
kau tidak akan mampu membunuhku wahai Peri Angsa Putih. Jadi jangan harap kau
bisa dapatkan orok cucuku ini!’
"Sisik
Baja Dewa!" kata Peri Angsa Putih dalam hati menyebut ilmu yang dimiliki
Tringgiling Liang Batu.
"Ini
satu lagi kelemahan para Dewi di Negeri Atas Langit!
Kalau
bukan para Peri yang membujuk, tidak nanti para Dewa akan memberikan ilmu
kesaktian itu pada makhluk satu ini. Sekarang lihat akibatnya! Sisik yang
melindungi kepala dan sekujur tubuhnya benar-benar atos laksana baja! Aku tidak
mampu menghadapinya!"
Peri
Angsa Putih terus kerahkan seluruh kesaktiannya hingga dua sinar yang keluar
dari matanya membesar dan tambah menyilaukan. Namun di depan sana Tringgiling
Liang Batu tetap saja tegak tak bergeming sambil mendukung sang cucu bernama
Lajatilandak!
Tiba-tiba
makhluk bersisik itu angkat tangan kanannya lalu diputar secara aneh. Dua larik
sinar serangan yang keluar dari sepasang mata sang Peri ikut berputar menuruti
gerakan tangannya. Ketika si makhluk pukulkan tangan ke arah Laeputih, angsa
raksasa tunggangan Peri Angsa Putih ini menguik keras dan tahu-tahu sekujur
tubuhnya telah terikat oleh gulungan sinar biru! Membuat angsa raksasa ini tak
mampu lagi menggerakkan tubuhnya barang sedikitpun. Hanya kepalanya yang
berleher panjang masih bisa digerakgerakkan sambil keluarkan suara seperti
merintih lirih.
"Peri
Angsa Putih, jika kau masih keras kepala menjalankan tugas dan perintah gila
itu! Seumur-umur kau tidak akan dapat meninggalkan pulau ini! Terserah padamu!’
lalu Tringgiling Liang Batu membuat gerakan dengan lima jari tangan kanannya.
Lima jari itu membengkok ke dalam seperti meremas. Laeputih menguik keras.
Sinar biru yang mengikat tubuhnya seolah-olah merangsak mengencang.
Peri
Angsa Putih maklum, dengan segala kenekatannya Tringgiling Liang Batu mampu
membunuh angsa tunggangannya. Sang Peri segera angkat tangan kirinya “Dalam
kepicikan dan juga kesombonganmu kau telah merasa menang makhluk bersisik! Aku
akan tinggalkan pulau ini dengan berhampa tangan. Tapi wahai satu hari kelak
pembalasan kami para Peri Negeri Atas Langit akan jatuh atas dirimu! Saat itu
kau tak akan mampu menghindari kematian! Rohmu akan tergantung antara langit
dan bumi! Kau akan menderita selama sang surya dan rembulan muncul di jagat
raya inil"
Trenggiling
Liang Batu gerakkan tangan kanannya.
gulungan
sinar biru yang mengikat sekujur tubuh angsa putih terlepas lalu melesat masuk
kembali ke dalam sepasang mata Peri Angsa Putih.
"Kau
boleh pergi dengan aman wahai Peri Angsa Pulih! Jangan mengeluarkan suara
barang sepatahpun”.
Peri
Anqsa Putih mendengus lalu melompat naik ke atas punggung Laeputih. Sesaat
kemudian angsa raksasa itu telah terbang dan melesat tinggi ke udara, di atas
punggungnya Peri Angsa Putih duduk sambil kepalkan dua tinjunya. Dia merasa
sangat malu, terhina dan juga marah. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di
bawahnya, kelihatan sebuah biduk meluncur sangat cepat menuju pantai barat
pulau.
Sambil
bertanya-tanya dalam hati siapa adanya penumpang biduk itu, Peri Angsa Putih
turunkan sedikit angsa tunggangannya lalu terbang berputar-putar di atas biduk.
Namun dia tidak bisa melihat wajah penumpang tunggal di atas perahu itu karena
orang itu mengenakan caping bambu sangat lebar. Hanya ada satu hal yang masih
bisa disaksikan oleh sang Peri.
Orang di
atas perahu sama sekali tidak mempergunakan dayung ataupun layar untuk
meluncurkan perahunya.
Dia
mempergunakan kaki kiri atau kaki kanan.
Setiap
kaki kiri atau kaki kanan dihentakkan ke lantai perahu maka secara luar biasa
perahu itu meluncur deras membelah air laut. Hingga tidak selang beberapa lama
perahu itu telah sampai di pantai barat pulau.
"Meluncurkan
perahu di tengah laut dengan hentakan kaki! Wahai! Baru sekali ini aku melihat
ilmu demikian hebat! Ingin aku mengetahui siapa adanya orang yang berkepandaian
tinggi itu. Sayang aku harus segera menemui Peri Bunda dan Peri Sesepuh…."
********************
8
DI ATAS
pulau, di dalam rimba Lahitamkelam, makhluk bersisik seatos baja Tringgiling
Liang Batu, baru saja meletakkan bayi berduri di atas punggung Laelancip si
landak betina. Tiba-tiba dia berdiri tegak lalu arahkan mukanya ke sebelah
barat.
"Wahai!
Ada lagi tamu tak diundang tengah menuju ke sini. Laeruncing dan Laelancip,
lekas kalian bawa cucuku meninggalkan tempat ini!"
Baru saja
makhluk bersisik itu selesai bicara, belum sempat dua ekor landak raksasa
bergerak pergi tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai mengumandangnya
teriakan keras. Dari ucapannya jelas dia sempat mendengar kata-kata Tringgiling
Liang Batu tadi.
Padahal
Tringgiling bicara tidak terlalu keras. Satu pertanda bahwa orang yang datang,
siapapun dia adanya pastilah memiliki kepandaian tinggi.
"Diundang
atau tidak, aku sudah menentukan bahwa hari ini aku harus menjejakkan kaki di
tempat ini! Dan itu sudah kurencanakan sejak tiga puluh tahun silaml"
"Wuuuuttt!"
Suara
lenyap dan tahu-tahu delapan langkah di sebelah kanan Tringgiling Liang Batu
telah berdiri seorang yang mengenakan pakaian terbuat dari kulit kayu berwarna
kecoklat-coklatan. Kepala dan wajahnya tidak kelihatan karena tertutup oleh
sebuah caping bambu sangat lebar.
**************************
Tringgiling
Liang Batu menatap tajam dengan mata combongnya. Laeruncing dan Laelancip
memandang tak berkedip.
"Aku
tidak kenal dengan sosok manusia satu ini.
Entah
kalau dia membuka capingnya dan aku bisa melihat wajahnya. Apa maksud
kedatangannya juga sama dengan Peri tadi? Hendak mengambil orok itu…?"
Demikian
Tringgiling Liang Batu membatin. Lalu dia menegur.
"Orang
bercaping, aku mengucapkan selamat datang di pulau ini. Selamat datang di rimba
Lahitamkelam.
Harap kau
sudi membuka capingmu hingga aku bisa mengenali siapa adanya dirimu. Setelah
itu baru kita bicara perihal kedatanganmu. Apakah membawa maksud jahat atau
baik!"
"Makhluk
bersisik bernama Tringgiling Liang Batu!
Kau
bertanya aku menjawab. Kedatanganku membawa kedua hal yang kau sebutkan tadi.
Maksud jahat dan maksud baik!"
Tringgiling
Liang Batu diam-diam merasa terkejut.
"Hee!
Dia tahu namaku! Dari ucapannya jelas sebenarnya dia datang membawa maksud
tidak baik walau dia berkata ada maksud jahat ada maksud baik!"
"Tamu
bercaping, wahai! Aku hanya akan meneruskan pembicaraan jika kau membuka caping
unjukkan wajah!"
"Wahai!
Apa sulitnya membuka caping!" jawab sang tamu. Lalu sekali dia
menggoyangkan kepala caping lebar yang sejak tadi bertengger di kepalanya
melesat ke udara dan diam mengapung satu tombak di atas kepala itu!
Tringgiling
Liang Batu terkesiap melihat kehebatan tenaga dalam yang dimiliki orang. Namun
sekaligus dia mencium adanya bahaya besar yang segera bakal muncul. Terlebih
lagi ketika dilihatnya sepasang landak raksasa keluarkan suara menggeram dan
bersikap siap untuk melompati orang di hadapannya.
Akan
tetapi yang paling membuat makhluk bersisik Itu terkejut besar ialah ketika
melihat orang di depannya memiliki kepala bermuka dua. Satu di depan satu di
belakang! Dua wajah itu merupakan wajah lelaki berusia sekitar 40 tahun. Wajah
sebelah depan putih bersih.
Sebaliknya
yang sebelah belakang hitam pekat dan keling berkilat! Keanehan lain dari
makhluk ini Ialah bola matanya tidak bulat tetapi berbentuk segi tiga berwarna
hijau!
"Pasti
ini makhluknya yang selama ini dikenal dengan nama Hantu Muka Dua!" kata
Tringgiling Liang Batu dalam hati. Perasaannya semakin tidak enak.
"Pasti
dia datang membawa maksud jahat. Bukankah dia yang dijuluki Hantu Segala Keji,
Segala Tipu, Segala Nafsu!"
"Tringgiling
Liang Batu," tiba-tiba Hantu Muka Dua berucap. Yang bicara adalah mulutnya
sebelah depan.
"Aku
Hantu Muka Dua datang membawa kabar buruk bagimu dan tiga makhluk hidup yang
ada di sebelah sana." .
"Buruk
baik adalah bagian setiap manusia karena Ku sudah merupakan ketentuan hidup.
Tapi wahai!
Kabar
buruk apa yang kau maksudkan Hantu Muka Dua!"
"Pertama,
aku memaklumkan diri bahwa cepat atau lambat aku akan menjadi Raja Di Raja
Segala Hantu di Negeri Latanahsilam, termasuk pulau dan seluruh kawasan sekitar
sini! Kau dan semua yang hidup di pulau ini harus tunduk dan berada di bawah
kekuasaanku"
"Hantu
Muka Dua…."
"Diam!
Ucapanku belum selesai!" Menghardik mulut Hantu Muka Dua sebelah depan
sementara mulut sebelah belakang tertawa gelak-gelak. Walau menjadi marah namun
Tringgiling Liang Batu mengalah dan berdiam diri. Hantu Muka Dua lanjutkan
ucapannya.
"Hal
kedua! Orok yang ada di punggung landak betina itu akan kuberi nama Hantu
Jatilandak! Dia berada di bawah kekuasaanku dan tunduk pada segala perintahku!
Pada masa
tujuh puluh tahun mendatang aku akan kembali ke pulau ini. Saat itu dia bukan
saja sudah dewasa tapi juga memiliki satu rahasia besar yang harus dikatakannya
padaku! Kau sudah mendengar kata-kataku! Sekarang kau boleh bicara!"
"Hantu
Muka Dua, kalau kau ingin menjadi Raja Di Raja Segala Hantu Ku adalah urusanmu!
Tapi perlu kau ketahui. Aku Tringgiling Liang Batu adalah satusatunya penguasa
di pulau ini! Tidak ada siapapun baik di bumi, di lautan maupun di atas langK
yang boleh menguasai dan memerintah diriku! Sebelum kau muncul di sini, telah
terlebih dulu datang Peri Angsa Putih dari Negeri Atas LangK! Dia ingin
mengatur dan menguasai diriku! Dia ingin mengambil bayi yang sudah kuanggap
sebagai cucuku sendiri! Peri Angsa Putih pergi dengan tangan hampa setelah aku
memberi pelajaran pahit dan keras padanya! Apakah kau berharap aku akan memberikan
pelajaran yang sama padamu?!"
Dua mulut
Hantu Muka Dua tertawa bergelak mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu Ku.
"Kau boleh mengatur seribu Peri seribu Dewa. Tapi jangan berani bicara
sombong terhadap Hantu Muka Dua!"
"Kau
boleh menganggap diri lebih hebat dari pada Pari dan Dewa wahai Hantu Muka Dua!
Tapi karena kau membawa maksud jahat datang kemari, aku sarankan agar kau
cepat-cepat angkat kaki dari pulauku. Terhadap Peri Angsa Putih aku masih
berbaik hati. Tapi terhadap makhluk sepertimu mungkin sikapku bisa sebaliknya!
Lekas menyingkir dari hadapanku!"
Hantu
Muka Dua menjadi marah sekali. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor.
Bersamaan dengan itu mukanya depan belakang berubah menjadi muka-muka raksasa
mengerikan berwarna merah.
Empat
matanya memandang menyorot pada Tringgiling Liang Batu.
Walau
gentar melihat perubahan dua muka makhluk di hadapannya namun Tringgiling Liang
Batu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Dua ekor landak raksasa juga telah mulai bergerak mendekati Hantu
Muka Dua.
"Tringgiling
Liang Batu! Kau dan dua binatang peliharaanmu tentu punya ilmu yang diandalkan!
Tapi Adalah terlalu bodoh jika berani menentang Hantu Muka Dua Aku tahu
kelemahan kalian!"
Makhluk
bersisik menggereng keras. Seluruh sisik yang ada di muka dan tubuhnya bergerak
bangkit, mencuat laksana pisau-pisau baja! Lalu dari sela-sela sisik Itu
melesat serpihan-serpihan berbentuk paku hitam, menyambar ke arah Hantu Muka
Dua! Puluhan banyaknya! Di saat yang sama dua ekor landak tidak tinggal diam.
Keduanya melompat menyerbu Hantu Muka Dua. Yang betina masih mendukung orok
aneh di punggungnya. Duri-duri panjang di tubuhnya mencekal demikian rupa
hingga bayi itu tidak jatuh.
"Paku
Iblis Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua menyebut nama paku-paku maut yang
menyambar ke arahnya. "Siapa takut!" Lalu Hantu Muka Dua melesat dua
tombak ke udara. Ketika melewati caping bambunya, dia segera menyambar benda
itu dengan tangan kiri. Lalu sekali dia memukulkan caping lebar itu ke bawah,
puluhan paku-paku hitamyang melewati bawah kakinya melesat masuk, amblas ke
dalam tanah!
Sambil
melayang turun Hantu Muka Dua tertawa bergelak. Memang sungguh hebat. Bukan
saja dia berhasil selamatkan diri dari serangan Paku Iblis Liang Batu dan
sekaligus membuat amblas senjata aneh itu ke tanah, tetapi dia juga bisa
menghindar dari serangan dua ekor landak yang menyerbu dari belakang. Hal ini
bisa dilakukannya karena dia mempunyai muka di sebelah belakang dan dapat
mengawasi setiap apa yang terjadi di belakangnya. Melihat serangannya gagal,
dua ekor landak menggereng keras. Ternyata mereka berotak cerdik. Karena punya
dua muka depan belakang memang sulit untuk menyerang Hantu Muka Dua dari dua
arah itu. Maka Laeruncing dan Laelancip kini menyerbu dari samping kiri dan
kanan!
Hantu
Muka Dua yang masih tertawa-tawa mengejek Tringgiling Liang Batu menjadi kaget
ketika tibatiba dua ekor landak itu melesat ke arahnya dari dua jurusan. Sambil
membentak marah makhluk bermuka dua itu mundur satu langkah lalu pukulkan
tangannya kiri kanan ke samping!
Laeruncing
si landak jantan menggerung keras ketika tubuhnya kena di gebuk, terpental dan
tergulingguling di tanah. Binatang ini cepat berdiri tapi roboh kembali karena
tulang pinggulnya sebelah kiri remuk terkena pukulan Hantu Muka Dua.
Sebaliknya
Hantu Muka Dua sendiri tertegak sambil mengerenyit kesakitan. Ketika dia
memperhatikan ternyata di tangan kirinya telah menancap dua lembar bulu tebal
landak jantan itu. Hantu Muka Dua menggeram marah. Dua duri landak dicabutnya,
dibantingkan ke tanah hingga melesak amblas. Lalu didahului ledakan menggelegar
dia menerjang ke arah Laeruncing yang berada dalam keadaan sempoyongan. Tangan
kanannya bergerak menghantam.
"Wuutttt!"
Dari
samping melesat sosok Laelancip si landak betina. Puluhan duri yang ada di
tubuhnya mencuat lagak dan keras laksana paku-paku baja. Hantu Muka Dua
menggembor keras dan terpaksa tarik pulang terangannya. Ketika dia hendak
mengejar landak betina itu, Tringgiling Liang Batu telah menghadang gerakannya.
"Kau
benar-benar minta mampus!" teriak mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.
Taringnya mencuat.
Dua
matanya mendelik besar. Lalu dari ke dua mata itu melesat dua larik sinar hijau
berbentuk segi tiga yang ujung terdepan menyerupai ujung tombak runcing.
Inilah
ilmu kesaktian yang disebut "Hantu Hijau Penjungkir Roh". Benda apa
saja yang terkena hantaman dua larik sinar hijau itu akan menjadi leleh lunak
seperti lumpur. Dulunya ilmu kesaktian ini adalah milik seorang tokoh berjuluk
Hantu Lumpur Hijau. Dengan segala tipu dan kelicikannya Hantu Muka Dua berhasil
merampas ilmu kesaktian itu.
Tringgiling
Liang Batu terkejut besar, tidak menyangka kalau Hantu Muka Dua memiliki ilmu
kesaktian itu.
"Benar
Hantu Hijau Penjungkir Roh!" ujar makhluk bersisik dengan suara bergetar.
"Dia pasti mencuri ilmu kesaktian itu dari Hantu Lumpur Hijau!"
Tringgiling
Liang Batu cepat kerahkan hawa sakti ke sekujur tubuhnya mulai dari kepala
sampai ke kaki.
Sisik-sisik
hitamnya serta merta bergerak menutup.
Begitu
dua larik sinar hijau menghantam tubuhnya, makhluk bersisik ini keluarkan suara
menggembor keras. Tubuhnya terhuyung-huyung laksana disambar topan. Namun dua
kakinya seperti terpancang ke tanah, tetap tak bergeser dari tempatnya! Asap
hijau dan hitam mengepul dari sekujur tubuh Tringgiling Liang Batu.
Kaget
Hantu Muka Dua bukan kepalang. Dia sampai mundur dua langkah ketika menyaksikan
bagaimana ilmu kesaktian yang sangat diandalkan dan selama ini tidak satu
lawanpun sanggup menghadapinya, ternyata tidak mampu merobohkan apalagi melumat
makhluk bersisik itu menjadi lumpur!
"Hantu
Muka Dua!" Tringgiling Liang Batu menegur sambil bertolak pinggang.
"Apa kau masih belum mau angkat kaki dari tempat ini?! Apa kau mau pergi
setelah dua ekor landak peliharaanku mengupas kulit dan daging sekujur
tubuhmu?!"
Wajah
Hantu Muka Dua sebelah depan pentang wajah beringas sementara muka sebelah
belakang nampak berkomat-kamit mengeluarkan suara menggereng panjang.
"Tringgiling
Liang Batu! Jangan bicara pongah dan sudah merasa menang! Kalau kau dan dua
binatang keparat peliharaanmu itu tidak mau tunduk dan takluk padaku. Lihat!
Apa yang ada di dalam kantong ini!
Kalian
bisa kubikin sengsara seumur-umur!"
Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua keluarkan satu kantong kain yang ada
bercak-bercak kuningnya, Kantong kain itu digoyang-goyangnya sambil bergelak,
Tringgiling Liang Batu menggereng tercekat ketika dia membaui sesuatu yang
sangat ditakutinya. Dia cepat melangkah mundur.Dua ekor landak raksasa
Ikut-ikutan menggeram dan bersurut menjauhi Hantu Muka Dua.
Sambil
terus mengumbar tawa Hantu Muka Dua buka sedikit kantong kain yang dipegangnya.
Begitu dia kembali menggoyang maka bertaburlah bubukbubuk kuning!
"Bubuk
belerang pelumpuh raga!" teriak Tringgiling Liang Batu. Dua matanya yang
putih berbentuk combong kelapa itu mencuat seperti mau melompat dari rongganya.
Kalau saja wajahnya tidak diselimuti sisik tebal dan berwajah seperti manusia
biasa, pasti saat itu akan terlihat bagaimana air mukanya seputih kain kafan
saking takutnya!
"Kau
dan dua ekor landak peliharaanmu memilih lumpuh sengsara seumur-umur atau
menyatakan patuh pada perintahku dan takluk serta tunduk di bawah kekuasaanku
wahai Tringgiling Liang Batu!"
"Aku…."
Makhluk bersisik hitam itu tak bisa bicara.
Dalam
hati dia berkata. "Bagaimana bangsat itu tahu kelemahanku! Pasti ada yang
berkhianat memberi tahu! Percuma melawan. Aku rela mati di tangannya tapi
Laeruncing dan Laelancip, terutama yang kukhawatirkan cucuku si Lajatilandak
itu belum tentu bisa kuselamatkan! Tak ada jalan lain. Jahanam betul!
Wahail
Aku terpaksa mengalah!"
"Tringgiling
Liang Batu! Kau masih belum menjawab!
Apa yang
ada di benakmu?!"
"Hantu
Muka Dua, aku tidak suka hal ini! Saat ini aku terpaksa mengalah. Aku tunduk
dan patuh padamu "
Tawa Hantu
Muka Dua meledak. Dua matanya depan dan belakang sampai keluarkan air mata.
"Bagus!
Ternyata kau tidak setolol yang aku duga!
Ha… ha…
ha! Tapi sebelum mempercayaimu aku harus melakukan sesuatu terlebih dulu! Aku
tidak ingin kau menipuku! Ha… ha… ha…."
Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua lalu tebarkan bubuk kuning bubuk belerang ke
dalam liang batu yang selama puluhan tahun menjadi sarang kediaman dan tempat
ketiduran Tringgiling Liang Batu. Walau tubuhnya jadi menggigil saking marah
namun makhluk bersisik Ku tidak mampu berbuat apa-apa.
Hantu
Muka Dua berpaling pada Tringgiling Liang Batu. "Selama tujuh puluh tahun
mendatang kepergianku, selama Ku pula kau tidak akan bisa diam di sarangmu,
tidak bisa tidur. Kelak jika tujuh puluh tahun kemudian aku datang, kita bisa
membuat perhitungan baru!"
"Hantu
Muka Dua! Kau benar-benar Hantu Segala Keji! Segala Tipu! Segala Nafsu! Apa
maksud tujuanmu dibalik semua kekejian yang kau lakukan terhadapku?!"
"Wahai
makhluk bersisik. Jawab pertanyaanmu akan kau dapat tujuh puluh tahun
mendatang!" jawab Hantu Muka Dua. Setelah lebih dulu melirik pada bayi di
atas punggung Laelancip, Hantu Muka Dua putar tubuhnya. Sekali berkelebat
diapun lenyap dari tempat itu.
********************
9
TUJUH
puluh tahun kemudian, di kawasan Negeri Latanahsilam…. Dua ekor makhluk yang
sekujur tubuhnya ditumbuhi duri-duri panjang runcing berwarna coklat merayap di
sela-sela bebatuan. Begitu orang yang mendarat di pulau mencapai pinggiran
Rimba Lahitamkelam, dua landak raksasa itu keluarkan gerengan keras dan melesat
lancarkan serangan.
Lelaki
bercaping yang bukan lain Hantu Muka Dua adanya sesaat hentikan langkah, tegak
terkesiap.
Wajahnya
yang semula berupa dua wajah lelaki berusia 40 tahun serta merta berubah
menjadi dua wajah raksasa menakutkan. Lalu begitu melihat dua ekor landak
menyerang dirinya serta merta dia menyambar caping lebar di kepala dan
lemparkan benda ini ke arah landak raksasa yang menerjang dari arah kanan.
Terhadap
landak satunya, Hantu Muka Dua kirimkan satu jotosan. Yang di arah adalah
bagian bawah perut yang tidak ditumbuhi duri-duri tebal.
"Braaakkk!"
Caping
bambu yang melesat di udara itu hancur berantakan begitu menghantam sosok
Laelancip si landak betina. Laelancip sendiri terlempar, tergulingguling di
atas pasir lalu terbanting di dinding batu karang berlumut. Beberapa helai
durinya kelihatan patah bertanggalan. Dari sela mulutnya keluar suara mengerang
kesakitan dan juga pertanda marah.
Landak
jantan Laeruncing, meski sempat menancapkan tiga durinya dan melukai lengan
kanan Hantu Muka Dua, namun hantaman lawan yang tak sempat dihindarkan membuat
dia terpental jauh, terguling di pasir dan muntahkan darah kehitaman!
Hantu
Muka Dua menggereng beringas. Tiba-tiba mulut sebelah belakang berseru.
"Kurang ajar! Duri landak itu ternyata kini mengandung racun!"
Mulut
sebelah depan ikut berseru kaget. Hantu Muka Dua cepat cabut bulu-bulu landak
yang menancap di lengannya. Lengan itu tampak membengkak kebiruan pertanda
memang ada racun yang kini memasuki aliran darah! Tanpa membuang waktu Hantu
Muka Dua cepat pijat urat besar di lengan kirinya. Darah menyembur merah
kehitaman. Lalu dengan cepat dia keluarkan sebuah benda hampir menyerupai daun
dari balik pinggangnya. Benda ini di kunyahnya lalu hancurannya disemburkan ke
cidera luka di lengan kiri.
"Tringgiling
Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua.
"Wahai!
Jadi begini caramu menyambut kedatanganku setelah kau masih kubiarkan hidup
selama tujuh puluh tahun! Jangan menyesal kalau hari ini aku datang dan
mengirim rohmu minggat ke langit terkembang!"
Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua segera berkelebat ke arah deretan pohon-pohon
jati yang tumbuh rapat di sebelah barat pulau. Namun belum sempat dia bergerak,
tiba-tiba dari kerapatan pepohonan menggelinding satu benda berwarna coklat
kekuningkuningan.
Sulit
untuk menduga benda apa adanya.
Hantu
Muka Dua tidak sempat berpikir lebih panjang. Yang dilakukannya adalah segera
melompat menghindar dari hantaman gelundungan benda aneh, Tak berhasil menabrak
sosok Hantu Muka Dua, benda yang bergulung menyambar batu karang di tepi pasir.
"Braaakk! Byaaarrr!" Separuh dari batu karang besar dan tajam itu
hancur berantakan, membuat Hantu Muka Dua kerenyitkan kening dan membayangkan
bagaimana kalau tadi tubuhnya sempat terkena sambaran.
Di
sebelah sana makhluk yang menggelinding Ku berputar, membelok lalu kembali
melesat ke arah Hantu Muka Dua. Yang diserang segera bersiap untuk menghantam
dengan ilmu "Hantu Hijau Penjungkir Langit".
Sepasang
matanya di sebelah depan kiblatkan sinar hijau menggidikkan. Tapi ternyata
makhluk yang menggelundung tidak melancarkan serangan. Dua langkah dari hadapan
Hantu Muka Dua makhluk ini melesat ke udara lalu turun kembali, jejakkan kaki
di atas reruntuhan batu karang!
Memandang
ke depan tersiraplah Hantu Muka Dua.
Sesaat
dua mukanya berubah menjadi dua wajah pucat pasi. Lalu kembali ke bentuk semula
yakni wajah raksasa berkulit merah.
"Makhluk
aneh, berbentuk manusia tapi berkulit seperti binatang! Jangan-jangan
dialah…." Hantu Muka Dua usap-usap dagu sebelah depan yang ditumbuhi
brewok meranggas.
Di atas
runtuhan batu karang saat itu berdiri satu sosok tinggi kurus berwujud manusia
yang hanya mengenakan sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu.
sekujur
tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki, menyerupai warna pohon jati.
Namun ditumbuhi bulubulu tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu
landak. Sepasang matanya diteduhi oleh dua alis hitam tebal. Di bawah hidungnya
yang selalu kembang kempis menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan
lebar, juga ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak.
Sesekali
dia meludah ke tanah. Ludahnya berwarna kuning pekat!
"Makhluk
berbulu landak! Wahai! Tidak dapat tidak kau pastilah makhluk yang tujuh puluh
tahun silam kuberi nama Hantu Jatilandak!"
Makhluk
di atas batu karang tidak bergerak dan tidak berkesip. Hanya dari
tenggorokannya terdengar suara menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah ke
tanah.
"Hantu
Jatilandak!" Hantu Muka Dua tiba-tiba menghardik. "Kakekmu si
Tringgiling Liang Batu tunduk dan patuh padaku! Berada di bawah kekuasaanku!
Berarti
kau juga adalah taklukanku yang jauh lebih rendah daripada kakekmu! Lekas
jatuhkan diri dan haturkan sembah padaku! Aku adalah Raja Di Raja Segala Hantu
di kawasan Negeri Latanahsilam!"
Sosok di
atas batu karang tetap tidak bergerak, tidak mengedip apalagi menjawab dan
jatuhkan diri sesuai perintah. Malah kembali makhluk itu meludah ke tanah.
Merasa ditantang dan dihina marahlah Hantu Muka Dua.
"Saat
ini aku belum punya niat membunuhmu!
Tapi jika
tiba waktunya kau akan kubikin mampus dengan sejuta kesengsaraan!"
"Hantu
Muka Dua!" Mendadak makhluk berduri di atas batu karang berucap.
"Wahai!
Ternyata kau tidak bisu! Bisa bicara seperti manusia! Ha… ha! Kuharap kau juga
tidak tuli!"
"Hantu
Muka Dua! Aku sudah tahu siapa dirimu dari kakekku Tringgiling Liang Batu! Aku
tidak suka kehadiranmu di pulau ini! Lekas kembali ke perahumu!
Tinggalkan
pulau! Atau sekujur tubuhmu akan kutaburi dengan duri beracun!" Sementara
itu dua ekor landak raksasa yang dalam keadaan cidera telah berkumpul satu sama
lain dengan cepat mendekam di samping batu karang dekat makhluk berduri tegak
berdiri.
Hantu
Muka Dua tertawa bergelak mendengar ucapan makhluk di hadapannya itu. "Aku
ingin tahu!
Ilmu
kesaktian apa saja yang telah diajarkan kakekmu dan dua orang tuamu dua ekor
landak raksasa itu!
Perlihatkan
padaku! Aku ingin menjajalnya satu persatu!"
Mendengar
ucapan Hantu Muka Dua, makhluk berduri keluarkan suara menggereng lalu kembali
meludah.
Tiba-tiba
dia goyangkan kepala.
"Wuuut…
wuutttt… wuuuttt!"
Terjadilah
satu hal luar biasa.
Puluhan
duri coklat yang sebelumnya menancap di mukanya, laksana paku-paku panjang
terbuat dari besi melesat ke arah Hantu Muka Dua. Kaget Hantu Muka Dua bukan
olah-olah! Secepat kilat dia hantamkan dua tangannya ke depan lalu melompat ke
kiri cari selamat. Puluhan duri landak yang tadinya siap menyambar dan menancap
di tubuh Hantu Muka Dua mental ke udara. Namun secara aneh duri-duri ini
berbalik ke arah pemiliknya dan kembali menancap di tempatnya semula yaitu
kepala dan wajahnya!
Apa yang
barusan disaksikan Hantu Muka Dua membuat makhluk bermuka dua ini diam-diam
menjadi terkesiap namun jauh dari rasa jerih.
"Wahai!
Tujuh puluh tahun ternyata telah cukup waktu bagimu untuk menguasai ilmu gila
itu! Ha… ha…ha! Hantu Jatilandak aku punya satu ilmu yang disebut
"Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi!.
Sebelum
kuarahkan padamu biar kuperlihatkan dulu kehebatan ilmu itu!" Sambil
tertawa mengekeh Hantu Muka Dua putar tubuhnya. Dia menghadap pada sebatang
pohon jati berduri yang terletak sekitar sepuluh langkah di depan sana.
Perlahan-lahan Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya. Mulutnya sebelah depan
menyeringai berkomat-kamit. Pergelangan tangannya diputar setengah lingkaran ke
kanan hingga telapaknya menghadap ke arah pohon. Didahului oleh suara seperti
angin punting beliung dari telapak tangan Hantu Muka Dua tiba-tiba melesat
selarik sinar merah. Sinar ini dengan kecepatan kilat bertabur di pohon jati
berduri yang tingginya tiga tombak itu, dari pucuk tertinggi sampai ke bagian
batang di bawah tanah yakni akar pohon.
Ketika
sinar merah lenyap terlihatlah bagaimana pohon yang tadi tegak besar kokoh ini
telah berubah menjadi hanya sebesar lengan karena kulit dan bagian dalamnya
telah terkelupas mulai dari atas sampai ke akar! Dapat dibayangkan jika hal itu
terjadi pada sosok tubuh manusia!
Hantu
Muka Dua meniup ke arah pohon. Pohon jati yang malang itu langsung berderak
patah dan roboh! Hantu Muka Dua tertawa bergelak dan palingkan kepalanya ke
arah makhluk berduri di atas batu karang.
"Hantu
Jatilandak! Aku harap kau sanggup menerima pukulan "Mengelupas puncak
langit mengeruk kerak bumi" yang kini akan aku arahkan padamu! Tapi jika
kau mau jatuhkan diri, menyembah tanda takluk aku akan batalkan pukulan itu!
Wahai! Apa jawabmu!"
Seperti
tadi makhluk di atas batu tidak bergeming tidak berkesip. Malah kembali dia
meludah ke tanah dua kali berturut-turut!
"Jahanam!"
teriak Hantu Muka Dua marah sekali.
"Ingin
sekali aku membunuhmu saat ini! Tapi cukup aku mengelupas tubuhnya sebelah
kanan saja!"
Hantu
Muka Dua angkat tangan kanannya ke atas.
Mulutnya
komat-kamit. Ketika dia hendak memutar pergelangan tangannya membuat gerakan
setengah lingkaran, tiba-tiba dari dalam Rimba Lahitamkelam terdengar seruan
lantang.
"Cucuku
Hantu Jatilandak! Lekas kau kemari!
Jangan
berani menantang makhluk berjuluk Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu
itu!"
Mendengar
seruan tersebut, makhluk berduri landak di atas batu karang melesat satu tombak
ke udara.
Ketika
turun tubuhnya telah bergulung dan di lain kejap menggelundung lenyap di antara
kerapatan pohonpohon jati berduri Rimba Lahitamkelam! Di belakangnya menyusul
Laeruncing dan Laelancip, sepasang landak raksasa itu.
********************
10
HANTU
MUKA DUA palingkan kepalanya ke arah rimba belantara pohon jati berduri aneh.
"Wahai, itu adalah suaranya si Tringgiling Liang Batu! Untung dia
cepat-cepat memanggil cucunya. Kalau tidak si Hantu Jatilandak itu akan
terkelupas seluruh sosoknya sebelah kanan!" Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua berkelebat ke arah kerapatan pepohonan.
Di dalam
Rimba Lahitamkelam, di atas sebuah gundukan batu besar diapit oleh pohon-pohon
jati berduri, tidak jauh dari sebuah liang batu yang digenangi air serta serbuk
aneh berwarna kuning. Sosok bersisik itu duduk bersila, tak bergerak. Dia
adalah Tringgiling Liang Batu yang selama tujuh puluh tahun belakangan ini
hidup tersiksa akibat bubuk belerang yang ditabur Hantu Muka Dua di liang batu
sarang kediamannya. Sepasang matanya yang putih berbentuk combong kelapa kini
tampak berwarna kelabu. Di depannya, di bagian batu yang lebih rendah bersila
makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat.
Dia
adalah sang cucu yang semula diberi nama Lajatilandak, oleh Hantu Muka Dua dirubah
menjadi Hantu Jatilandak. Di samping Hantu Jatilandak duduk mendekam sepasang
landak raksasa.
"Wahai
Kakekku Tringgiling Liang Batu," Hantu Jatilandak membuka mulut.
"Barusan aku menemui makhluk yang punya dua muka di pantai pulau. Barusan
pula kami berlaga mengadu kesaktian. Apakah dia makhluk bernama Hantu Muka Dua
yang selama ini kau ceritakan padaku?"
"Cucuku
Hantu Jatilandak, benar. Memang makhluk itu adalah Hantu Muka Dua yang
kutunggu-tunggu sejak tujuh puluh tahun silam. Dia datang menepati janjinya.
Entah berita dan kejadian buruk apa yang akan disampaikannya pada kita!"
"Aku
tidak suka padanya wahai Kakek!" kata Hantu Jatilandak pula.
"Aku
juga tidak! Tidak ada makhluk di permukaan bumi dan di atas langit yang suka
padanya! Tapi kita harus menerima kenyataan. Kita tidak bisa melawannya!
Ilmunya
tinggi sekali. Lain dari itu dia memiliki bubuk belerang. Benda yang merupakan
pangkal kelemahan dan bisa membunuh kita semua! Selama tujuh puluh tahun aku
berusaha mencari jalan menyingkirkan bubuk itu dari tempat ini, tapi setiap
mendekati taburan bubuk, sisik di tubuhku terkelupas jatuh. Badanku seolah
ditusuk puluhan pisau dan ada hawa aneh yang membuat darahku seolah mengalir
menyungsang!"
"Menurut
Kakek antara kau dan Hantu Muka Dua tidak ada permusuhan! Mengapa dia berlaku
jahat seperti itu! Ada apa sebenarnya dibalik semua kekejian yang dilakukannya
Ku Kek?!"
"Aku
tidak tahu wahai cucuku! Namun begitu dia muncul di sini, semua akan segera
terjawab!" kata Tringgiling Liang Batu pula.
Baru saja
kata-kata itu diucapkan si kakek, tiba-tiba mengumandang tawa bergelak. Disusul
seruan. Dan berkelebatnya satu bayangan. Hantu Jatilandak seolah mencium bahaya
segera gulung tubuhnya lalu melesat ke atas pohon jati terdekat. Di pohon ini
dia buka gulungan tubuhnya dan berjuntai di salah satu cabang, kaki ke atas
kepala ke bawah seperti seekor kelelawar.
"Tringgiling
Liang Batu! Kau benar! Rahasia selama tujuh puluh tahun hari ini akan segera
tersingkap!"
Belum
habis gema teriakan lantang itu sosok Hantu Muka Dua dengan segala
keangkerannya – karena saat itu dia masih menampakkan diri dengan dua muka
seperti raksasa – tahu-tahu telah berdiri tiga langkah di hadapan Tringgiling
Liang Batu. Sesaat dia melirik pada Hantu Jatilandak yang bergelantungan di
cabang pohon jati duri. Lalu menoleh pada Laeruncing dan Laelancip, serta tak
lupa memandang sekilas ke arah liang batu yang tujuh puluh tahun silam
ditaburinya dengan bubuk belerang. Sekian puluh tahun berlalu, bubuk belerang
berwarna kuning itu masih menempel di liang batu penuh air itu seolah telah
membatu menjadi satu.
Di atas
cabang pohon tempatnya berjuntai Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Laeruncing
dan Laelancip keluarkan suara menggereng. Tringgiling Liang Batu memberi tanda
dengan gerakan tangan agar ketiga makhluk itu menahan diri. Lalu dia berpaling
pada Hantu Muka Dua dan berkata.
"Tujuh
puluh tahun aku menunggu dalam sengsara.
Kau
muncul, apakah kau akan memperpanjang kesengsaraan ini?!"
Hantu
Muka Dua jawab dengan umbaran tawa.
Lalu dia
usap wajahnya yang serta merta berubah menjadi wajah lelaki separuh baya.
"Wahai
Tringgiling Liang Batu! Bagaimanapun kejinya derita sengsara, tapi masih jauh
lebih baik dari yang namanya kematian! Aku telah berbaik hati tidak membunuhmu
tujuh puluh tahun silam. Mengapa kau dan semua yang ada di sini tidak bersyukur
diri dan mengucapkan terima kasih? Ha… ha… ha!"
Setelah
tawa Hantu Muka Dua sirap, Tringgiling Liang Batu segera berucap. "Dulu
sebelum kau pergi aku sempat bertanya wahai Hantu Muka Dua. Apa sebenarnya yang
membuatmu melakukan kekejian ini terhadap kami yang tidak punya dosa dan
kesalahan apa-apa padamu? Waktu itu kau berkata jawabannya akan kau berikan
tujuh puluh tahun mendatang jika kau kembali lagi ke tempat ini. Sekarang kau
sudah muncul dan berada di sini. Harap kau mau memberi tahu latar belakang
perbuatan jahatmu ini!"
Hantu
Muka Dua menyeringai. "Tujuh puluh tahun lalu aku mendapat petunjuk dari
alam roh! Petunjuk itu mengatakan bahwa lewat sebuah mimpi aku akan mampu
menciptakan sebuah senjata sakti mandra guna. Dengan senjata ini aku bisa
mempercepat menjadikan diriku Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan
Latanahsilam. Dengan senjata ini tidak ada satu orang pun bakal sanggup
melawanku! Wahai! Hari ini petunjuk dalam mimpi itu akan kudapatkan! Karena orang
yang bermimpi itu berada di sini!"
Sisik
hitam di wajah Tringgiling Liang Batu mencuat kaku. "Karena perbuatanmu
menabur bubuk belerang di liang kediamanku, sejak tujuh puluh tahun silam aku
tak pernah dan tak bisa tidur. Bagaimana bisa mengharapkan aku akan bisa
bermimpi…!"
"Kau
memang tidak! Dua ekor landak raksasa itu juga tidak!" sahut Hantu Muka
Dua. Lalu dia memandang ke atas pohon. "Hantu Jatilandak! Aku ingin bicara
denganmu! Kalau bicara jangan bersikap gila dan kurang ajar! Turun dari pohon dan
duduk bersila di hadapanku!"
Hantu
Jatilandak menjawab dengan meludah ke tanah. Membuat Hantu Muka Dua menjadi
marah dan dua mukanya langsung berubah menjadi muka-muka raksasa.
“Tringgiling
Liang Batu! Kesabaranku habis sudah. Cucu kurang ajarmu ini terpaksa kuberi
pelajaran!"
Hantu
Muka Dua angkat tangan kanannya. Pergelangan diputar dan mulutnya komat kamit.
Kemarahan membuat dia hendak menghantam Hantu Jatilandak dengan pukulan
"Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi". Yang di arah adalah
dua kaki Hantu Jatilandak mulai dari lutut ke bawah. Maklum pukulan apa yang
hendak dilepaskan Hantu Muka Dua Tringgiling Liang Batu cepat berteriak.
"Wahai
cucuku Hantu Jatilandak! Lekas turun dari atas pohon..Duduk di hadapan Hantu
Muka Dua dan perhatikan setiap apa yang dikatakannya!"
Meski dia
tidak suka namun mendengar ucapan sang kakek Hantu Jatilandak gulung tubuhnya
ke atas lalu melompat ke bawah. Sesaat kemudian dia telah duduk bersila di
hadapan Hantu Muka Dua. Sepasang matanya yang berwarna kuning memandang
menyorot pada makhluk bermuka dua di depannya.
Hantu
Muka Dua menyeringai. "Nyalimu boleh juga Hantu Jatilandak! Jika saja kau
tidak kurang ajar mungkin kelak kau bisa kupergunakan sebagai salah satu orang
kepercayaanku!" Hantu Muka Dua ulurkan tangan kirinya dan tepuk-tepuk bahu
Hantu Jatilandak seolah memuji mengagumi. Tapi sebenarnya dia tengah menjajal
kekuatan tenaga dalam makhluk berduri ini.
Hantu
Jatilandak merasa bahunya seolah kejatuhan batu besar. Kalau dia tidak kerahkan
tenaga dan kepandaiannya
pasti
saat itu dia sudah roboh terhenyak di atas batu. Sebaliknya Hantu Muka Dua
diam-diam merasa terkejut menyaksikan bagaimana tepukan tangannya yang sama
dengan jatuhan batu seberat seratus kati hanya membuat tubuh Hantu Jatilandak
bergoyang-goyang saja, tidak sampai roboh! Dalam hati Hantu Muka Dua berkata.
"Selama puluhan tahun pasti Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak
sakti Ku telah menggembleng makhluk ini. Tergantung perkembangan keadaan. Jika
dia kelak membahayakan diriku, makin cepat kubunuh makin baik." Begitulah
kekejian Hantu Muka Dua. Meski dia butuh bantuan orang namun niatnya untuk
berbuat jahat bisa saja dilaksanakannya tanpa menimbang budi!
"Hantu
Jatilandak, aku tahu dua malam lalu kau telah kedatangan satu mimpi. Wahai!
Coba kau ingat baik-baik. Katakan padaku apa yang kau lihat dalam mimpi. Jangan
ada bagian yang terlupa dan tidak akan kau ceritakan padaku. Mulailah!"
Hantu
Jatilandak menatap orang bermuka dua di depannya sesaat. Lalu dia melirik pada
kakeknya.
Tringgiling
Liang Batu anggukkan kepala lalu berkata.
"Cucuku,
jika benar kau bermimpi dua malam lalu segera ceritakan pada Hantu Muka Dua apa
mimpimu Ku…."
"Wahai
Kakek, aku memang bermimpi. Tapi mimpi itu kurasa tidak ada sangkut pautnya
dengan diri makhluk bermuka dua ini!"
Meledaklah
amarah Hantu Muka Dua mendengar kata-kata Hantu Jatilandak Ku. Tangan kanannya
bergerak menjotos gundukan batu yang diduduki Tringgiling Uang Batu.
"Byaaarrr." Batu besar Ku hancur berantakan. Sang kakek cepat melesat
ke atas, gulung diri di udara. Waktu jatuh ke tanah dia menggelinding lalu
duduk di atas sebuah batu lain tak jauh dari tempatnya duduk semula. Sisik di
kepala dan mukanya tampak berjingkrak.
"Hantu
Jatilandak!" bentak Hantu Muka Dua sangat gusar. "Aku meminta kau
menceritakan apa mimpimu!
Bukan
mengatakan apa yang kau rasakan! Jahanam keparat! Apa kau ingin aku membuat kau
celaka seumur-umur saat ini juga?!" Dari balik pakaiannya Hantu Muka Dua
keluarkan kantong kain berbercak kuning. Tringgiling Liang Batu keluarkan
seruan tertahan. Dua ekor landak menggereng sedang Hantu Jatilandak beringsut
mundur. "Sekali bubuk belerang ini aku taburkan di atas kepala dan
tubuhmu, seumur dunia kau akan lumpuh tiada daya!"
"Wahai
cucuku, lekas ceritakan saja mimpimu padanya!" kata Tringgiling Liang Batu
penuh khawatir.
Hantu
Jatilandak akhirnya anggukkan kepala. Tanpa menatap pada Hantu Muka Dua dia
mulai menutur.
"Dua
malam lalu, aku gelisah melihat sudah sekian lama kau tidak bisa tidur Kek. Aku
coba memicingkan mata. Tapi sulit. Baru menjelang dinihari aku akhirnya bisa
memicingkan mata. Tidurku singkat sekali. Tapi justru dalam tidur pendek itu
aku bermimpi. Aku melihat tiga sosok aneh muncul di pantai pulau. Tiga manusia
katai yang tubuhnya hanya setinggi lutut seolah-olah tersembul keluar dari
gulungan ombak…."
"Tiga
orang katai yang kau lihat dalam mimpi itu,"
memotong
Hantu Muka Dua. "Apakah mereka lelaki atau perempuan?"
"Ketiganya
laki-laki. Satu seorang kakek, satunya lagi seorang pemuda berambut gondrong.
Yang ketiga kalau aku tidak salah mengingat seorang anak lelaki…."
"Hemmm….
Teruskan ceritamu Hantu Jatilandak!"
"Pada
saat tiga orang katai itu berada di pantai tiba-tiba melayang satu sosok tubuh
aneh dari atas langit. Wajahnya tak jelas kelihatan tapi sosoknya mengenakan
pakaian panjang berwarna putih. Orang yang muncul dari langit ini berkata: Tiga
makhluk cebol alam luar dunia seribu dua ratus tahun mendatang!
Darah
kalian bertiga adalah darah sakti. Jika dipergunakan untuk merendam sebilah
keris yang jumlah luknya kurang dari lima selama tiga bulan purnama, maka keris
itu akan menjadi senjata sakti bertuah.
Jangankan
manusia, bangsa Peri dan Dewa sekalipun tak bakal sanggup menghadapinya. Siapa
yang memiliki keris itu jadilah dia seorang penguasa di bumi dan di langit!
Mendengar ucapan orang berpakaian putih panjang itu, tiga manusia cebol
menjerit ketakutan.
Saat
itulah aku terbangun dari tidur. Memandang ke timur kulihat fajar telah
menyingsing…."
"Mimpi
hebat! Mimpi bagus! Wahai Hantu Jatilandak, itukah semua mimpi yang kau alami?
Tak ada sesuatu yang kau lupakan?!" bertanya mulut Hantu Muka Dua sebelah
belakang.
Hantu
Jatilandak gelengkan kepala. "Aku sudah menuturkan semua yang aku ingat
dalam mimpi…."
Dari
balik pakaian kulit kayunya Hantu Muka Dua keluarkan sebuah benda. Ketika
diperlihatkannya pada Hantu Jatilandak, benda itu ternyata adalah sebilah keris
berluk tiga yang belum memiliki gagang.
"Hantu
Jatilandak, keris yang disebut orang dari atas langit dalam mimpimu itu, inilah
dia perwujudannya!"
Hantu
Jatilandak memperhatikan tak berkedip.
Juga
Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak raksasa sama-sama menatap benda yang
ada di tangan Hantu Muka Dua.
"Sekarang
dengar baik-baik wahai Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batui Seperti
yang kau lihat dalam mimpimu! Keris ini akan menjadi senjata sakti bertuah jika
direndam selama tiga purnama dalam darah tiga manusia katai itu! Dengar Hantu
Jatilandak! Tiga manusia katai yang ada dalam mimpimu itu akan benar-benar
muncul di tempat ini! Aku pernah melihatnya di daratan sana! Mereka berasal
dari negeri yang seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri kita!
Aku punya
firasat dalam waktu beberapa hari ini mereka akan datang ke pulau ini! Mungkin
ada seseorang yang mengantar mereka. Orang ini tidak lain bekas Kepala Negeri
Latanahsilam yang kini dikenal dengan julukan Hantu Kaki Batu. Begitu mereka
muncul kalian berdua harus menangkap dan menjagal leher mereka! Lalu tuangkan
darah mereka ke dalam satu tempat! Aku akan membantu membuat jebakan agar
mereka tidak berdaya. Pada purnama pertama yang akan muncul tujuh hari dari
sekarang aku akan datang ke sini untuk merendam keris ini! Jika Hantu Kaki Batu
berbuat ulah menghalangi pekerjaan kalian, jangan ragu-ragu membunuh juga orang
itu! Kalian dengar apa perintahku?!
Tringgiling
Liang Batu?!"
Makhluk
bersisik anggukkan kepala.
"Hantu
Jatilandak?!"
"Aku
mendengar perintahmu!" menyahuti Hantu Jatilandak.
Hantu
Muka Dua melompat ke satu gundukan batu yang agak rata dan lebar permukaannya.
Tiba-tiba dia hunjamkan tumit kanannya ke batu itu. Seantero tempat bergetar
keras. Batu yang dihantam tumit Hantu Muka Dua melesak membentuk lobang ceguk
sedalam dua jengkal.
"Dengar
kalian semual Di dala mbatu ini ada lobang cukup dalam. Kucurkan darah tiga
manusia katai itu ke dalam lobang ini! Tunggu sampai aku datang! Aku pergi
sekarang! Awas! Aku tidak ingin kalian gagal melakukan perintah!"
Hantu
Muka Dua balikkan tubuh hendak melangkah pergi.
"Tunggu
dulu!" Tiba-tiba Tringgiling Liang Batu berseru.
"Apa
maumu wahai makhluk bersisik?" tanya Hantu Muka Dua.
"Kau
berjanji akan membebaskan tempat ini dari bubuk belerang yang bisa meracuni
kami! Kuharap kau segera membersihkan bubuk yang kau tebar dalam liang batu
itu…."
Hantu
Muka Dua palingkan kepala ke arah liang batu berair yang tujuh puluh tahun lalu
pernah ditebarinya dengan bubuk belerang. Bubuk kuning ini seolah telah bersatu
dengan liang batu dan mempunyai kekuatan sanggup melumpuhkan bahkan membunuh
Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta dua landak raksasa.
"Aku
ingat! Wahai! Tujuh puluh tahun silam memang aku pernah menebar bubuk belerang
di tempat ini!"
berkata
Hantu Muka Dua. Lalu dia keluarkan kantong kain berisi bubuk belerang yang
selalu dibawanya ke mana-mana. Penutup kantong dibukanya. Dia melangkah ke tepi
liang.
Tringgiling
Liang Batu yang jadi curiga segera membentak. "Apa yang hendak kau
lakukan?!"
"Betul,
apa yang hendak kau lakukan wahai Hantu Muka Dua?’ Yang bertanya adalah mulut
Hantu Muka Dua sebelah belakang yang berwajah hitam keling berkilat.
Mulut
Hantu Muka Dua sebelah depan tertawa mengekeh lalu menjawab. "Siapa yang
percaya pada kalian semua! Bukan mustahil kalian tidak melakukan apa yang aku
perintahkan! Aku perlu jaminan! Bubuk yang kutebar dulu mungkin kurang banyak!
Biar kutambahi! Ha… ha… ha…!"
Lalu
Hantu Muka Dua tebarkan bubuk belerang dalam kantong kain ke dalam liang batu
bahkan kini sampai ke pinggir-pinggir lobang. Tringgiling Liang Batu, Hantu
Jatilandak, Laeruncing dan Laelancip terpaksa mundur menjauh.
"Tunggu
kedatanganku pada malam bulan purnama mendatang! Jika kalian gagal membunuh
tiga manusia cebol itu! Jangan paksa aku menambah isi liang batu itu dengan air
laut lalu kucampur dengan bubuk belerang. Lalu kalian akan kucelupkan ke dalam
liang! Biar mampus semua!"
"Hantu
Muka Dua! Sungguh busuk dan keji perbuatanmu!" teriak Tringgiling Liang
Batu.
"Kau
penipu jahat!" teriak Hantu Jatilandak sementara dua landak raksasa
keluarkan suara menggereng keras.
"Wahai!
Aku tidak menyalahkan kalian memakiku seperti itu!" jawab Hantu Muka Dua.
"Bukankah aku yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Hantu Segala
Nafsu?! Ha… ha… ha!"
********************
11
KITA
kembali pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol
yang terpesat ke pulau dan masuk ke dalam Rimba Lahitamkelam. Seperti
diceritakan, begitu memasuki rimba belantara mereka menemukan deretan
patungpatung kayu aneh di sisi kiri dan kanan sebuah jalan setapak. Begitu
mereka berusaha melewati deretan patung sebelah depan, tiba-tiba patung pada
deretan pertama dan kedua bergerak melakukan serangan mematikan. Untung Wiro
memperingatkan hingga Lakasipo bergerak cepat. Dengan salah satu kaki batunya
lelaki berjuluk Hantu Kaki Batu ini berhasil menghancurkan tiga patung kayu.
Walau
mengalami hal berbahaya itu namun Lakasipo dan tiga saudara angkatnya itu
memutuskan untuk meneruskan perjalanan, memasuki rimba belantara melalui jalan
setapak yang di kiri kanannya dipenuhi deretan patung-patung aneh.
Patung-patung ini adalah hasil ciptaan Hantu Muka Dua yang sengaja dibuat untuk
menjebak ke empat orang itu.
"Dukkk…
dukkkk!"
Kaki-kaki
batu Lakasipo bergerak melangkah, menimbulkan getaran keras di tanah rimba.
Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berada dalam dukungan tangan kirinya.
Melewati deretan patung ketiga, tidak terjadi apa-apa.
"Awas,"
bisik Wiro. "Barisan patung ketiga bisa aman-aman saja. Jangan percaya
pada deretan keempat dan kelima!"
Lakasipo
pentang mata lebar-lebar dan pasang telinga tajam-tajam. Dia siap melewati
barisan patung keempat. Hampir melewati tiba-tiba patung di barisan kelima
jatuh seperti roboh, malang melintang satu sama lain di tanah di hadapan
Lakasipo.
"Jangan
tertipu! Lihat!" Naga Kuning tiba-tiba berteriak.
Patung di
barisan keempat mendadak memukul ke arah kepala dan ulu hati Lakasipo. Ketika
Lakasipo menghindar dengan mundur satu langkah, patung di barisan ketiga
bergerak. Dua patung ini tidak memukul atau menendang tapi putarkan kepala.
Tahu-tahu dari celah yang membuka di dasar leher menyembur ke luar asap hijau!
"Awas!
Mungkin asap beracun!" teriak Setan Ngompol.
‘Tutup
jalan pernafasan!" teriak Lakasipo. Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di
tanah. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Patung kayu di sebelah kanan hancur
berantakan. Lakasipo pergunakan kesempatan untuk menerobos masuk sekaligus
menghindarkan asap hijau yang membuat pernafasannya jadi sesak.
Dengan
melangkah cepat Lakasipo berhasil melewati deretan patung-patung kayu kelima
sampai kesepuluh tanpa terjadi apa-apa. Tapi tiba-tiba dari atas melayang turun
dua buah patung kayu. Satu membawa tameng kayu satunya membawa tongkat berbentuk
tombak. "Nafasku sesak!" teriak Wiro. Dia coba mengatur jalan
pernafasan dan aliran darah.
"Aku
juga!" kata Naga Kuning.
"Aku
tak tahan kencing!" teriak Setan Ngompol.
Lakasipo
tidak perhatikan teriakan tiga saudara angkatnya itu karena saat itu dari depan
patung yang memegang tombak kayu menyergap dengan satu tusukan! Yang di arah
adalah kepala.
"Wuuuuttt!"
Lakasipo
melompat mundur. Begitu serangan lewat dia cepat kirimkan jotosan ke arah
patung kayu yang memegang tombak. Namun patung satunya, yang membawa tameng
besar, seolah hidup maju menyong song dan melintangkan tameng menangkis pukulan
Lakasipo.
"Braaakkk!"
Tameng
kayu hancur berantakan tapi Lakasipo sendiri jatuh punggung di tanah. Wiro dan
kawankawannya ikut berpelantingan. Saat itulah belasan patung kayu yang ada di
deretan sebelah dalam dengan langkah-langkah kaku bergerak mendekati Lakasipo,
siap menginjak-injaknya.
Dalam
keadaan seperti itu Lakasipo cepat menolong tiga kawannya namun Wiro berseru.
"Biarkan kami bertiga! Hadapi patung-patung itu. Aku dan kawankawan akan
berusaha menyelinap. Patung-patung sialan itu pasti digerakkan dengan semacam
alat rahasia!
Kami
bertiga berusaha mencarinya!"
"Jangan
kemana-mana! Terlalu berbahaya!" teriak Lakasipo;
"Bukkk…
bukkk!"
Dua
patung kayu berhasil menendang paha dan pinggul Lakasipo. Sakit dan marah
Lakasipo menggeram lalu melompat bangkit. Dua kakinya menghantam kian kemari.
Beberapa patung kayu hancur.
Namun
dari dalam rimba belantara muncul lagi selusin patung sementara asap hijau kini
kelihatan di beberapa tempat. Lakasipo tidak takut pada patung-patung kayu itu
walau jumlah mereka bertambah banyak. Namun asap hijau yang menyesakkan membuat
dia khawatir atas diri Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.
"Lakasipo!"
tiba-tiba terdengar teriakan Wiro. "Kami menemukan alat rahasia pusat
kendali patung-patung kayu itu! Lekas ke sini! Kami tak sanggup
menghancurkannya!"
Lakasipo
cepat melompat ke arah datangnya suara teriakan Wiro. Namun empat patung kayu
menghadangnya.
"Jahanam!"
rutuk Lakasipo. Dia melompat ke atas.
Sambil
bergelantungan pada cabang pohon jati berduri tanpa perdulikan tangannya
tertusuk luka Lakasipo ayunkan tubuh. Dua kakinya yang terbungkus batu menderu.
Empat patung mental hancur berantakan.
"Wiro!
Kau dimana?!" teriak Lakasipo.
"Di
sini!"
Lakasipo
melompat turun, bergerak cepat di antara pohon-pohon jati. Pakaiannya yang
terbuat dari kulit kayu robek-robek terkait duri. Tubuhnya sendiri ikut
tergores luka di bahu, dada dan pinggul. Tapi Lakasipo tidak perduli. Dia terus
bergerak, menyeruak di antara pohon-pohon jati berduri. Sesekali bila celah
antara dua pohon terlalu sempit dan tak bisa dilewati tubuhnya yang kekar
besar, Lakasipo pergunakan kaki batunya untuk menghantam roboh pohon Ku.
"Lakasipo! Jangan mengamuk macam orang kesetanan! Pohon tumbang bisa
menimpa kami!"
Terdengar
teriakan Setan Ngompol. Tentu saja disertai pancaran air kencing karena tegang
ketakutan.
Di satu
tempat di balik semak belukar di antara pohon-pohon jati berduri akhirnya
Lakasipo temui ke tiga orang itu.
"Wahai!
Mana alat rahasia itu?"
Wiro dan
dua kawannya menunjuk ke atas pepohonan. Hampir sulit terlihat pandangan mata,
di atas beberapa pohon jati berduri kelihatan benangbenang halus malang
melintang dari satu pohon ke pohon lainnya. Lalu benang-benang ini menjulur ke
bawah, menempel di batang-batang pohon.
"Aku
tidak menemukan kemana lenyapnya ujungujung benang aneh ini!" kata
Lakasipo sambil besarkan mata memeriksa.
Murid
Sinto Gendeng yang pernah tahu seluk beluk segala macam senjata rahasia
memperhatikan berkeliling lalu berkata. "Jika yang digerakkan adalah
patung-patung kayu, berarti benang-benang itu berhubungan dengan sosok patung
itu!"
"Akan
kita selidiki. Tapi benang-benang celaka itu harus kumusnahkan lebih
dulu!" kata Lakasipo pula.
Lalu
tidak kepalang tanggung manusia bergelar Hantu Kaki Batu ini lepaskan empat
kali berturut-turut pukulan sakti bernama "Lima Kutuk Dari Langit’. Setiap
dia menghantam lima larik sinar hitam menderu keluar dari lima ujung jari
tangannya.
Jangankan
benang-benang halus, pohon-pohon jati raksasa pun hancur berantakan. Yang masih
berdiri telah berubah hitam dan menciut! Di saat yang sama terdengar suara
menggemuruh di bagian dalam rimba belantara. Dua lusin patung kayu yang
disiapkan Hantu Muka Dua untuk menjebak keempat orang itu roboh tumpang tindih
karena tidak lagi terkendali oleh alat rahasia berupa benang-benang aneh yang
telah berputusan.
"Benar-benar
edan!" maki Setan Ngompol seraya tetap bagian bawah perutnya tapi tetap
saja sudah terlanjur kencing duluan.
"Kita
tetap harus berhati-hati. Bukan mustahil ada jebakan lain yang lebih
berbahaya!" kata murid Sirnto Gendeng.
"Menurut
kalian siapa yang coba mencelakai kita?’
tanya
Naga Kuning. "Hantu Jatilandak atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,
gurunya si Hantu Muka Dua itu?’
"Besar
kemungkinan Hantu Jatilandak. Karena aku yakin ini adalah pulau
kediamannya." Menjawab Lakasipo.
"Kita
tidak ada permusuhan dengan dia. Malah bertemu pun belum! Mengapa sejahat itu
tindakannya?!" ujar Wiro Sableng.
"Sebentar
lagi sore akan segera berubah malam.
Baiknya
kita segera tinggalkan tempat ini. Kembali ke pantai. Besok pagi-pagi kita
teruskan menyelidik keadaan pulau ini." Yang bicara adalah si Setan
Ngompol.
Lakasipo
berpaling pada Wiro dan Naga Kuning.
Akhirnya
semua setuju untuk kembali ke pantai.
Lakasipo
segera memasukkan tiga saudara angkatnya itu ke balik sabuk lalu melangkah ke
jurusan dari arah mana dia sebelumnya datang. Tak selang berapa lama, setelah
berjalan cukup jauh dan rasa-rasa sudah akan sampai ke pantai tiba-tiba
Lakasipo hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling.
"Aneh,"
kata Lakasipo. "Sepertinya kita berada di tempat ini-ini juga. Wahai!
Padahal aku sudah berjalan jauh,,.."
"Aku
mendengar suara debur ombak. Pasti kita berada dekat pantai," ujar Wiro.
"Lakasipo, coba kau berjalan ke arah sana. Arah datangnya suara ombak
itu!"
Lakasipo
lakukan apa yang dikatakan Wiro. Namun setelah beberapa lama berlalu kembali
dia hentikan langkah. "Wahai saudara-saudaraku, kita ternyata tidak
kemana-mana. Ini tempat yang tadi-tadi juga. Kita berputar-putartak karuan.
Suara ombak jelas terdengar di sebelah sana tapi begitu berjalan ke arah situ,
kita malah menjauh. Lalu tahu-tahu ada di sini lagi!"
Wiro
garuk-garuk kepala. "Kita coba sekali lagi," katanya. ‘Tempuh jalan
setapak yang sebelumnya dipagari patung-patung kayu itu."
"Hemmm…."
Lakasipo bergumam ragu. Tapi akhirnya kembali dia menuruti apa yang dikatakan
murid Sinto Gendeng itu. Dia melewati jalan setapak yang penuh dengan rubuhan
patung-patung kayu.
"Ah!
Sekali ini kita menempuh jalan yang betul.
Kita
masuk ke dalam hutan, bukan ke arah datangnya suara debur ombak!" Berucap
Naga Kuning.
Tetapi
tak selang berapa lama Lakasipo keluarkan seruan. "Gila! Lihat! Kita
kembali ke tempat tadi lagi!"
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol memandang berkeliling terheran-heran.
"Jangan-jangan
ini hutan siluman!" kata Naga Kuning.
"Kau
jangan bicara menakuti membuat aku jadi terkencing!" kata Setan Ngompol
seraya tekap auratnya sebelah bawah.
"Ada
yang tidak beres di tempat ini. Tak ada jalan lain. Sampai malam tiba dan pagi
datang kita terpaksa tetap berada di sini…" kata Lakasipo lalu duduk di
atas runtuhan patung kayu.
"Aku
justru merasa was-was kalau kita terus berada di sini. Jika ini semua adalah
jebakan, berarti mungkin ini yang dimaui oleh si penjebak. Berarti di tempat
ini masih ada bahaya mengintai…. Jangan-jangan si penjebak sengaja menunggu
sampai malam tiba…."
"Lalu
apa yang harus kita lakukan?" ujar Lakasipo.
"Diam
di sini berbahaya. Berjalan tak ada gunanya…."
Untuk
beberapa lamanya tak ada yang bicara.
Setan
Ngompol tiba-tiba ulurkan tangan kirinya yang sejak tadi ditekapkan ke bawah
perut, memegang lengan Wiro. "Kakek sial! Jangan sentuh lenganku!
Tanganmu
basah oleh air kencing!"
"Hik…
gik!" Si kakek menyeringai menahan tawa.
"Setahuku
kau punya ilmu Menembus Pandang yang kau dapat dari Ratu Duyung. Coba kau
kerahkan kesaktian untuk menyelidiki seantero tempat ini. Mungkin kau bisa
dapatkan satu petunjuk kemana kita harus bergerak…."
"Beberapa
waktu lalu aku sudah pernah melakukan.
Tapi
tidak berhasil," jawab Wiro bersungut-sungut seraya geserkan lengannya
yang basah barusan dipegang si kakek. Disebutnya nama Ratu Duyung oleh Setan
Ngompol membuat Wiro jadi terkenang pada gadis cantik sakti yang merupakan
salah satu penguasa di kawasan laut selatan itu. (Baca serial Wiro Sableng
berjudul Wasiat Iblis terdiri dari 8 Episode dan Tua Gila Dari Andalas terdiri
dari 11 Episode) Perlahan meluncur ucapannya. "Kalau saja Ratu Duyung ada
di sini, mungkin dia bisa menolong kita…. Ah!" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Tak
bisakah kau memanggilnya. Maksudku mengadakan sambung rasa hingga dia bisa
memberi petunjuk?" tanya Naga Kuning sementara Lakasipo diam tidak
mengerti apa yang dibicarakan sobatsobatnya itu.
"Kita
berada di alam yang berbeda. Terpisah seribu dua ratus tahun. Mana
mungkin…."
"Tapi
Wiro," kata Naga Kuning pula. "Waktu tempo hari kau mencoba ilmu
Menembus Pandang dan gagal, saat itu keadaan tubuh kita masih sebesar jari.
Mana mungkin menghimpun tenaga dalam dan alirkan hawa sakti. Kalaupun bisa tak
ada arti dan kekuatan apa-apa.
Tapi
sekarang keadaan tubuh kita sudah lebih besar.
Walau
belum sebesar Lakasipo, kalau kau coba mengerahkan kesaktian apa
salahnya…."
"Naga
Kuning betul. Saudaraku Wiro, jika kau memang punya ilmu, wahai mengapa tidak
mencobanya!" kata Lakasipo pula.
Pendekar
212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Akan
kucoba!" katanya akhirnya. Lalu dia bayangkan wajah Ratu Duyung,
perlahan-lahan alirkan tenaga dalam ke arah dua matanya. Dalam keadaan biasa
sebenarnya Wiro tidak perlu mengerahkan tenaga dalam.
Wiro
memandang tak berkesip dan lurus ke depan.
"Aku
tidak melihat apa-apa…" kata Wiro.
Naga
Kuning dan Setan Ngompol tampak kecewa.
"Kerahkan
lagi tenaga dalammu Wiro. Coba
memandang
ke jurusan lain. Kita harus beranjak dari tempat ini sebelum malam tiba!"
kata Setan Ngompol cemas.
"Aku
akan membantu jika kekuatan tenaga dalammu tidak bisa kau keluarkan," kata
Lakasipo pula.
"Tunggu!"
seru Wiro tiba-tiba. "Aku seperti melihat pedataran di kejauhan. Pedataran
itu bergerak. Berarti bukan pedataran tapi laut…." Wiro menggeser
pandangannya ke kiri. Samar-samar dia hanya melihat deretan pepohonan dan
kegelapan. Dia memutar lagi kepalanya. Tampangnya berubah. "Eh, sepertinya
ada bukit-bukit batu di arah timur sana. Ada benda-benda bergerak di kejauhan.
Seperti sosok manusia…."
"Berarti
kita harus menuju lurus ke timur!" kata Lakasipo. "Wiro, harap kau
kerahkan terus ilmu kesaktianmu. Beri tahu kalau langkahku melenceng!"
"Duuukkk…
duuukkkk… duukkk!"
"Terus
saja Lakasipo! Beberapa puluh tombak lagi kita akan sampai ke bebukitan batu
itu. Aku melihat ada dua orang di tempat itu. Tapi… aku juga melihat ada dua
benda besar aneh melata di tanah…."
Lakasipo
melangkah ke timur. Setelah berjalan sejauh empat puluh tombak tiba-tiba
"kraaakkk!" Ada bunyi seperti kayu patah di bawah injakan kaki
Lakasipo.
Lalu
tanah yang dipijaknya amblas. Sesaat kemudian sosok Lakasipo terjerumus masuk
ke dalam sebuah lobang sedalam satu setengah kali tinggi tubuhnya!
"Celaka!
Kita terjebak!" teriak Lakasipo. Dia memandang ke bawah. Ternyata dasar
lobang berupa lumpur aneh. Bagaimana pun dia kerahkan tenaga untuk melompat ke
atas agar bisa keluar dari lobang, ke dua kakinya selalu amblas! Sementara itu
dari empat sudut lobang mengucur keluar air berwarna hitam dan panas. Kulitnya
seperti disengat!
"Saudara-saudaraku!"
kata Lakasipo. "Aku tak bisa keluar dari dalam lobang ini! Biar kalian
kuselamatkan lebih dulu!"
"Lakasipo!
Kita bersaudara! Kalau mati biar kita mati bersama dalam lobang ini!"
teriak Pendekar 212.
Sementara
Naga Kuning pucat pasi wajahnya dan mulutnya terkancing. Setan Ngompol tak
perlu diceritakan. Sejak Lakasipo jeblos ke dalam lobang besernya tak
tertahankan lagi!
"Wiro!
Kalian semua jangan bodoh! Kalau ada yang hidup di antara kita usahakan mencari
pertolongan!" Lalu dengan cepat Lakasipo lepaskan sosok Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol dari balik sabuknya. Ketiga orang ini kemudian dilemparkan ke
atas lobang. "Menjauh dari lobang! Lekas pergi dari tempat ini!"
"Kau
sendiri bagaimana?!" balas berteriak Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jangan
perdulikan diriku! Kalian cepat pergi!"
jawab
Lakasipo. Sementara itu air hitam panas yang menyembur keluar dari empat sudut
lobang telah naik setinggi betis! Tapi tidak satupun dari ke tiga orang Ku
beranjak dari tepi lobang.
"Hai!
Lekas pergi!" teriak Lakasipo.
Naga
Kuning dan Setan Ngompol saling pandang.
"Kita
harus cari akal menolong Lakasipo!" kata Naga Kuning.
Setan
Ngompol memandang berkeliling. "Kalau saja kita bisa menemukan akar
gantung…."
Wiro
memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Otaknya buncah. Tiba-tiba
matanya menyipit.
Keningnya
mengerenyit dan dadanya berdebar. "Aku melihat ada sosok tubuh aneh
menggelinding dari kawasan bebatuan. Menuju ke sini!"
"Pasti
siluman penguasa rimba belantara ini!" kata Setan Ngompol dengan suara
bergetar lalu semburkan kencing!
********************
12
AIR hitam
di dalam lobang semakin tinggi. Kini mulai mendekati lutut Lakasipo dan
panasnya bukan main.
Lakasipo
coba angkat kaki kanannya untuk menghantam dinding lobang. Namun kaki sebelah
kiri amblas ke dalam dasar lobang hingga tubuhnya hampir terbanting jatuh.
"Wiro!"
Lakasipo berteriak. "Air hitam celaka ini panas sekali. Aku tidak tahan!
Rasanya seperti direbus!"
"Lakasipo!
Bertahanlah! Kami mencari akal menolongmu!" teriak Naga Kuning. Tapi
sebenarnya dia sendiri tidak tahu akal apa yang bisa diperbuat sementara si
Setan Ngompol tergeletak di tanah terkencing-kencing habis-habisan. Wiro
terduduk di tanah. Tangannya kiri kanan menggaruk pulang balik.
"Tak
ada tali, tak ada akar gantung. Kalaupun ada tak mungkin aku dan kawan-kawan
menarik sosok Lakasipo keluar dari lobang. Kalau air hitam panas itu naik
mencapai bagian bawah perutnya celaka besar! Bisabisa barangnya berubah jadi
dua telor rebus!"
"Hik…
hik… hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro itu.
Sebaliknya Setan Ngompol membentak marah ialu terkencing.
"Dalam
keadaan begini rupa kalian masih bisa bergurau! Kalian yang bakal celaka!"
Duduk di
tanah Wiro masih tampak bingung dan garuk-garuk kepala. "Gusti
Allah!" Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini berseru memanggil Tuhan.
"Bagaimana ini! Tuhanku! Apa akan kau biarkan Lakasipo menemui ajal dalam
lobang itu?! Kami mohon pertolonganMu wahai Tuhan Yang Maha Kuasa!"
Dari
dalam lobang Lakasipo yang sempat mendengar ucapan Wiro lantas bertanya.
"Kau menyebut nama seseorang! Gusti Allah. Lalu Tuhan! Kau minta tolong
padaNya! Memangnya Gusti Allah itu siapa? Temanmu? Gurumu? Atau ayahmu?!"
Kalau bukan
dalam keadaan seperti itu mungkin Naga Kuning dan Setan Ngompol sudah memaki.
"Lakasipo
makhluk geblek!" murid Sinto Gendeng yang memaki. Tapi cuma dalam hati.
Dengan suara keras bergetar dia kemudian berkata.
"Gusti
Allah sama dengan Tuhan! Dia adalah yang menciptakan langit dan bumi!
Menciptakan manusia termasuk aku dan dirimu! Dia Maha Kuasa, Maha Pengasih,
Maha Penolong! Dia adalah Satu. Dia adalah Tunggal. Dia yang menciptakan siang
dan malam. Menciptakan susah dan senang. Itu sebabnya guruku Eyang Sinto
Gendeng memberi jarahan angka 212 di tubuhku. Agar aku selalu ingat pada Tuhan
Maha Kuasa dan percaya bahwa Dia yang menjadikan segalagalanya!"
"Saudaraku
Wiro, wahai! Sulit bagiku mencerna semua ucapanmu. Setahuku yang menciptakan
diriku adalah ayah dan ibuku. Tapi sudahlah! Jika kau terus menceloteh kapan
kau akan menolongku?!" teriak Lakasipo dari dalam lobang. Air hitam panas
mulai melewati lututnya. "Kalau Gusti Allah dan Tuhanmu itu Maha Kuasa
Maha Penolong, mengapa kau tidak lekaslekas minta Dia menolongku?!"
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Gusti Allah pasti mendengari Tuhanku pasti
melihat! Dia pasti akan menolongmu, Lakasipo! Bertahanlah! Tabahkan hatimu?’
teriak
Wiro. Dia tekapkan dua tangannya ke mukanya.
Terus
terang dia tidak tahu dan belum menemukan cara bagaimana harus menolong
Lakasipo. Dalam hati tidak putus-putusnya dia menyebut nama Tuhan dan memohon
pertolongan. Tiba-tiba Wiro melompat bangkit sambil berteriak keras.
"Astaga!
Ada apa dengan dirimu Wiro?!" tanya Naga Kuning.
"Jangan-jangan
dia sudah kemasukan roh jahat penghuni rimba belantara ini!" kata si Setan
Ngompol.
‘Tuhan!
Beri saya kekuatan!" teriak Wiro. Lalu tangannya bergerak ke pinggang. Di
lain kejap sebuah benda berkilauan berada dalam genggamannya.
"Kapak
Maut Naga Geni 212!" seru Naga Kuning dan Setan Ngompol berbarengan.
"Bagaimana
dia bisa menolong Lakasipo dengan kapak itu?!" ujar Setan Ngompol.
"Keadaan tubuhnya hanya sebesar betis. Tenaga dalamnya tak mungkin
diharapkan!"
"Kalau
mengandalkan kekuatan dirinya sendiri aku juga tidak yakin dia mampu berbuat
sesuatu Kek!"
menyahuti
Naga Kuning. "Tapi kalau Yang Maha Kuasa turun tangan menolong! Semua
pasti bisa menjadi kenyataan!"
Wiro
memandang berkeliling. Tiba-tiba dia lari ke arah satu pohon jati di sebelah
kiri, dua tombak dari tepi lobang maut. ‘Terlalu dekat…." Wiro berucap.
Dia bergerak ke pohon jati lainnya. Memandang mengukurukur.
"Masih
terlalu pendek. Ujungnya cuma bisa melintang di atas lobang. Tak bisa digapai
Lakasipo…."
Wiro
berpaling ke kiri. Dia menghampiri pohon jati ketiga sambil menghitung langkah
lalu memandang ke lobang. "Ini pasti bisa tepat…" kata Wiro dalam
hati.
Lalu
tanpa tunggu lebih lama dia kerahkan tenaga dalam. Dua mata Kapak Maut Naga
Geni 212 walau ukurannya masih kecil dibanding dengan segala sesuatu yang ada
di alam Negeri Latanahsilam namun tidak terduga aliran tenaga dalam murid Sinto
Gendeng itu ternyata sanggup membuat pancaran sinar menyilaukan. Kalau biasanya
Wiro selalu memegang senjata sakti itu dengan satu tangan maka kini dia memegang
dengan dua tangan sekaligus.
Wiro
ayunkan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara menggaung
seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi tempat itu. Naga Kuning berseru
gembira. Setan Ngompol bangkit tertegun.
"Craaakkk!"
Bagian
batang pohon jati berduri somplak besar pada bagian tiga jengkal di atas tanah
dihantam mata kapak sakti. Semangat Pendekar 212 jadi tambah berkobar. Dia
menghantam lagi, lagi dan lagi! Tiada henti seolah orang kemasukan setan!
Sebelas kali membacok, pohon itu tampak bergetar. Wiro kembali membacok. Kali
ini dari jurusan yang berlawanan dari bacokan semula. Terdengar suara
berkereketan.
"Kraaaaaakkkk!"
Pohon
jati besar berduri itu tumbang, jatuh melintang tepat di atas lobang dengan
ujung menghunjam ke bawah, menusuk ke dinding lobang. Lakasipo berteriak keras.
Kalau tidak cepat dia merunduk dan jatuhkan diri ke samping niscaya kepalanya
kena hantaman pucuk pohon jati!
Naga
Kuning dan Setan Ngompol bersorak gembira.
Dia kini
maklum apa sebenarnya yang telah dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di dafam
lobang Lakasipo ulurkan tangannya ke atas.
Dia
berhasil menjangkau batang pohon yang masuk ke dalam lobang!
"Wiro!
Kau yang punya usaha! Tapi ini pasti wahai Tuhan Gusti Aliahmu yang
menolong!" teriak Lakasipo.
"Tuhanmu
hebat! Bisakah aku bertemu denganNya untuk mengucapkan terima kasih?!"
"Lakasipo!
Jangan bicara ngawur! Lekas keluar dari lobang itu!" teriak Naga Kuning.
Lakasipo
seolah sadar segera ayunkan tubuh melesat ke atas. Namun sebelum dia mendarat
di tepi lobang tiba-tiba dari arah timur muncul suara menggemuruh.
Sebuah
benda kuning kecoklatan menggelinding di sela-sela pohon jati. Sebelum Wiro dan
dua kawannya tahu benda apa itu adanya tiba-tiba tubuh mereka masuk dalam
cekalan sebuah tangan aneh, kuning coklat dan ditumbuhi duri-duri panjang!
Di lain
kejap ketiga orang itu dibawa melesat menggelinding ke arah timur rimba
belantara Lahitamkelam!
Setan
Ngompol menjerit terkencing-kencing. Naga Kuning walau takut setengah mati tapi
masih bisa memaki panjang pendek. Wiro sendiri yang telah mencium adanya bahaya
besar dan saat itu masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212, tanpa perdulikan
arah atau apa yang dihantamnya segera saja bacokkan senjata mustikanya.
"Wuuuttt!"
"Craassss!"
Ada suara
benda putus disusul jeritan aneh, setengah jeritan manusia setengah gerengan
binatang.
Dia
membabat sekali lagi. Namun kali ini cekalan di tubuhnya seperti menghancur
luluhkan tulang belulangnya. Wiro terkulai mengerang kesakitan. Kapak Maut Naga
Geni 212 hampir saja terlepas dari pegangannya.
Tiba-tiba
gerak menggelinding berhenti. Wiro dan kawan-kawannya yang masih berada dalam
cekalan mengeluh tinggi, terhuyung nanar. Penglihatan mereka bukan saja samar
tapi juga nanar.
"Wiro….
Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri kita?!" Naga Kuning buka suara.
"Di
mana kita berada…. Mana Lakasipo?!" tanya Setan Ngompol.
Sekonyong-konyong
cekalan di tubuh ketiga orang itu terlepas. Tapi mereka bukan dilepas baikbaik
melainkan dilemparkan ke tanah di antara gundukan-gundukan batu.
"Mati
aku!" jerit Naga Kuning yang terbanting tertelentang. Lalu mengerang tapi
juga memaki di selasela erangannya.
"Pecah
kantong menyanku!" jerit Setan Ngompol terus beser. Waktu jatuh dia
tertelungkup dan bagian bawah perutnya tepat menghantam jendolan batu!
Wiro
sendiri merasa pinggulnya sebelah kanan seolah remuk. Terhuyung-huyung dia
bangkit berdiri.
Tapi
belum sempat tegak, pemuda ini jatuh terduduk dengan muka pucat dan mata
mendelik. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat makhluk sedahsyat ini. Entah
setan alas atau jin dedemit yang tegak di depannya.
Sosok
makhluk ini kurus jangkung. Hanya mengenakan sehelai cawat kulit kayu. Badannya
berwarna kuning termasuk sepasang matanya. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala,
muka, tubuh sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri panjang tajam seperti bulu
landak! Saat itu Naga Kuning dan Setan Ngompol telah pula melihat kehadiran
makhluk ini. Keduanya langsung melompat bergabung dengan Wiro, gemetar
ketakutan setengah mati!
"Kawan-kawan…"
bisik Wiro. "Jangan-jangan ini makhluk yang oleh Lakasipo disebut Hantu
Jatilandak.
Penguasa
rimba Lahitamkelam. Kaki tangan Hantu Muka Dua!"
"Celaka!
Mati kita semua! Pasti kita akan dikunyahnya mentah-mentah!" kata Setan
Ngompol sambil terkencing-kencing.
"Tiga
manusia cebol setinggi lutut!" Tiba-tiba makhluk yang tubuhnya ditumbuhi
duri dan bukan lain adalah Hantu Jatilandak berucap. Suaranya membuat seantero
tempat bergetar dan sosok Wiro serta kawankawannya jadi bergoyang-goyang.
"Apakah kalian yang datang dan berasal dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang?!"
"Eh,
bagaimana dia bisa tahu asal usul kita!" bisik Naga Kuning.
"Hati-hati menjawab. Kalau salah jawab kita bertiga bisa langsung
dikeletusnya seperti cabe rawit!"
Wiro
menjura sehormat mungkin. "Makhluk gagah bertubuh dahsyat, kami bertiga
memang berasal dari negeri seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri ini.
Namun
kami bertiga merasa sangat rendah berhadapan denganmu. Aku bernama Wiro, kakek
ini biasa dipanggil dengan julukan si Setan Ngompol. Dan anak satu ini bernama
Naga Kuning. Apakah benar saat ini kami berhadapan dengan makhluk hebat bernama
Hantu Jatilandak?"
Dua puluh
duri di kepala Hantu Jatilandak berjingkrak tegang. Kumis dan sepasang alisnya
mencuat.
"Siapa
yang memberi tahu siapa diriku?!" Hantu Jatilandak bertanya garang lalu
meludah ke tanah.
"Claaapp!"
Ludahnya
yang berwarna kuning mendarat tepat di puncak hidung si Setan Ngompol! Si kakek
memaki panjang pendek. "Hantu sialan! Mengapa mukaku yang kau ludahi! Mana
kuning! Mana bau! Huh!" Seperti mau muntah kakek ini cepat seka ludah di
hidungnya itu. Sambil menahan geli melihat apa yang terjadi Wiro menjawab
pertanyaan Hantu Jatilandak tadi.
"Kami
hanya menduga. Lagi pula makhluk sehebatmu siapa yang tidak pernah
mendengar?" jawab Wiro pula.
Hantu
Jatilandak mendengus lalu kembali meludah.
"Aku
mendengar orang-orang negeri kalian pandai bicara bermanis-manis. Padahal dalam
hati punya maksud busuk! Mengapa kalian datang ke pulau ini?
Siapa
makhluk yang amblas ke dalam lobang jebakan?!"
"Kami
datang mencari seseorang untuk minta pertolongan. Pertolongan agar kami bisa
kembali ke negeri kami. Mengenai orang-orang yang masuk ke dalam lobang
jebakan, dia adalah saudara angkat kami.
Namanya
Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu…."
Seringai
mencuat di mulut Hantu Jatilandak. Lalu mengumandang gelak tawanya membahana,
menggetarkan seantero kawasan berbatu-batu. "Ternyata semua cocok dengan
takdir! Ha… ha… ha!"
"Takdir,
takdir apa maksudmu Hantu Jatilandak?" tanya Wiro.
"Takdir
bahwa saat ini juga kalian akan meregang nyawa. Kepala kalian akan kupotes satu
demi satu!
Darah
kalian akan kuperas dan kumasukkan ke dalam lobang batu di atas sana! Itulah
takdir atas diri kalian!"
Wiro dan
kawan-kawannya langsung menggigil.
"Kami
tidak berbuat kejahatan di atas pulau ini! Kami tidak punya permusuhan
denganmu. Mengapa kau inginkan jiwa kami. Malah hendak melakukan kekejian gila
terhadap mayat-mayat kami! Memotes kepala kami! Lalu memasukkan darah kami ke
dalam lobang batu! Mengapa sekejam itu? Untuk apa?!" Suara murid Sinto
Gendeng keras tapi gemetar.
"Sudah
kubilang! Kematian kalian adalah takdir! Darah kalian juga takdir!"
Sambil
tekap bagian bawah perutnya yang sudah basah kuyup si Setan Ngompol memandang
berkeliling.
"Kita
harus segera cari kesempatan melarikan diri. Sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Dalam gelap kita punya kesempatan. Wiro, pergunakan ilmu Menembus
Pandang yang kau miliki…."
Baru saja
si kakek berkata begitu tiba-tiba terdengar suara bergerubukan seolah ada
makhluk berat melangkah di tanah. Menoleh ke kiri Setan Ngompol hampir
terpekik. Di sampingnya tahu-tahu telah mendekam seekor landak raksasa.
Mulutnya terbuka lebar.
Taring-taringnya
mencuat siap untuk menerkam. Langsung kakek ini melosoh ke tanah, basah kuyup
lagi di bawah perutnya!
"Landak
raksasa…" desis Naga Kuning dengan tenggorokan seolah tercekik.
"Wiro, lihat… ada satu lagi di sebelah sana! Kita tak mungkin melarikan
diri!"
Wiro
melirik ke kiri. Apa yang dikatakan Naga Kuning benar adanya. Seekor landak
raksasa lagi mendekam hanya tiga langkah di sampingnya.
Binatang
yang satu ini pergunakan dua kaki belakangnya untuk tegak berdiri sedang dua
kaki atasnya terpentang ke depan laksana sepasang tangan yang siap
mencabikcabik Wiro dan kawan-kawannya!
"Jangan
berharap kalian bisa melarikan diri!" kata Hantu Jatilandak lalu meludah
ke tanah. Bersamaan dengan itu dia turun dari gundukan batu, bergerak mendekati
ketiga orang itu Wiro ingat, waktu tadi tubuhnya digulung dan digelinding dia
sempat pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghantam putus duri di tubuh
Hantu Jatilandak. Kini dalam keadaan terdesak seperti itu mau tak mau dia
berjibaku mengeluarkan semua ilmu dan kesaktian
yang
dimilikinya. Maka sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada
dia segera berbisik pada Naga Kuning.
"Kita
harus melawan mati-matian. Aku akan menghantam dengan kapak sakti serta pukulan
Sinar Matahari. Kau keluarkan sosok naga yang gambarnya ada di dadamu! Katakan
pada Setan Ngompol agar dia menghantam dengan pukulan Setan Ngompol Mengencingi
Bumi!"
Naga
Kuning mengangguk lalu teruskan bisikan Wiro pada si kakek. Ketiga orang itu
segera kerahkan tenaga dalam. Namun Hantu Jatilandak tidak terduga bertindak
lebih cepat. Sekali tangannya menyapu maka ke tiga orang itu kembali amblas
masuk dalam genggaman tangan kirinya, tak bisa berkutik bahkan bernafas pun
sulit!
"Pemuda
cebol berambut gondrong! Wahai rupanya kau yang jadi otak dari kelompokmu! Kau
juga yang tadi melukai dan membabat putus duri-duri di tanganku!
Kepalamu
akan kupotes lebih dulu!" kata Hantu Jatilandak. Lalu ibu jari dan jari
telunjuk tangan kanannya menghunjam ke batok kepala Pendekar 212.
Sekali
dua jari itu dipuntir, maka tanggallah leher murid Sinto Gendeng!
Di saat
sangat genting itu tiba-tiba melesat satu bayangan disertai bentakan keras. Dua
buah benda bulat menderu di udara.
"Braaaakkk!"
Pohon
jati besar berduri di samping kanan patah ialu tumbang bergemuruh.
"Byaaarrr!"
Gundukan
batu dua langkah di belakang Hantu Jatilandak hancur berantakan membuat Hantu
Jatilandak berseru kaget, melesat ke atas. Di udara dia putar tubuhnya lalu
hantamkan tangan kanan. Tapi kembali dia berteriak terkejut ketika ada satu
benda bulat menyambar membabat ke arah tangannya!
********************
13
SEPASANG
mata Hantu Jatilandak menyorotkan sinar kuning angker. Sekujur duri coklat di
kepala dan tubuhnya berjingkrak tanda dia berada dalam keadaan marah besar. Di
hadapannya tegak seorang berambut gondrong awut-awutan. Wajah angker dilebati
kumis, berewok dan janggut. Dua kakinya terbungkus batu besar berbentuk bulat.
Kaki-kaki inilah tadi yang secara ganas mematahkan pohon, menghancurkan batu
besar dan melabrak ke arah Hantu Jatilandak.
"Makhluk
kesasar berkaki batu! Siapa kau! Berani mati menyerangku! Injakkan kaki di
pulau dan memasuki rimba belantara Lahitamkelam!" Hantu Jatilandak
membentak.
"Kau
tidak tahu siapa diriku! Wahai sebaliknya aku tahu banyak tentang dirimu!
Kudengar kau adalah makhluk aneh tapi berhati polos. Mengapa kini aku melihat
kenyataan sebaliknya?! Tiga makhluk kecil yang ada dalam genggamanmu itu adalah
saudarasaudaraku!
Jika kau
tidak segera melepaskan mereka, saat ini juga akan kuhancur luluhkan
tubuhmu!"
"Manusia
kaki batu! Jangan bicara sombong! Jika dugaanku betul maka kau adalah
manusianya bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu! Yang ditakdirkan ikut
mampus bersama tiga makhluk katai ini! Ha… ha… ha…!" Hantu Jatilandak
tertawa bergelak lalu meludah ke tanah. Tiba-tiba Hantu Jatilandak goyangkan
dadanya. Dua puluh duri landak yang menancap di dadanya,laksana paku panjang
melesat menyerang dua puluh sasaran di kepala dan tubuh Lakasipo.
"Lakasipo!
Awas! Duri-duri itu beracun!" teriak Pendekar 212 memperingatkan.
Mendapatkan
dirinya diserang orang serta mendengar peringatan murid Sinto Gendeng, Lakasipo
segera jatuhkan diri sama rata ke tanah. Bersamaan dengan itu dia gerakkan kaki
batunya sebelah kanan dalam gerakan seputar lingkaran. Inilah jurus yang
disebut "Kaki Roh Pengantar Maut’!
"Traakkk…
traakkk… traaakk…!" Belasan duri landak mental patah dan hancur.
Enam buah
melesat di udara kosong. Namun dua duri masih sempat menancap di bahu kiri
Lakasipo. Serta merta Lakasipo merasakan tubuhnya panas. Cepat dua duri landak
itu dicabutnya. Darah menyembur. Lukanya tampak menggembung!
Enam duri
landak yang tidak mengenai sasaran secara aneh berbalik dan menancap kembali di
dada Hantu Jatilandak. Makhluk ini menggeram marah karena sebagian dadanya kini
menjadi gundul akibat hancurnya duri-duri yang terkena hantaman kaki batu
Lakasipo.
"Celaka!
Duri-duri jahanam itu benar-benar beracun!
Apa yang
harus kulakukan!" keluh Lakasipo sambil menggigit bibir menahan sakit.
Wiro yang
maklum bahaya besar mengancam Lakasipo segera berteriak. "Lakasipo! Lekas
luruskan dua jari tangan kananmu! Totok urat besar di permukaan ketiak kiri!
Cepat!"
Lakasipo
segera lakukan apa yangdikatakan murid Sinto Gendeng. Sementara itu dengan
susah payah Wiro serta dua kawannya berusaha keluar dari jepitan tangan Hantu
Jatilandak. Begitu ada kesempatan dia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212
ke pergelangan tangan kiri Hantu Jatilandak.
"Craaasss!"
Hantu
Jatilandak seperti disengat kalajengking.
Sekujur
lengannya terasa panas. Darah mengucur dari luka di lengan sementara tiga duri
landaknya ikut terbabat putus. Naga Kuning tak tinggal diam. Tangan kanannya
dicengkeramkan ke telapak tangan Hantu Jatilandak. Lalu dia alirkan tenaga
dalam dan lepaskan ilmu kesaktian yang memancarkan lima larik sinar biru.
Hantu
Jatilandak terpekik kesakitan. Di saat yang sama Naga Kuning kerahkan ilmu
pelicin tubuh yang disebut ilmu "Ikan Paus Putih". Tubuhnya serta
merta menjadi licin. Laksana seekor belut bocah ini meliuk ke bawah dan lolos
dari genggaman Hantu Jatilandak. Jatuh ke tanah. Celakanya waktu jatuh dia
kecemplung masuk ke dalam liang batu berisi air bercampur bubuk bele rang!
Untung
saja dia mampu berenang hingga dengan cepat berhasil menggapai pinggiran liang
batu. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah kuyup dan
berwarna kuning!
Meski
sakit kena bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 serta dihantam pukulan sakti Naga
Kuning namun Hantu Jatilandak masih sanggup mencengkeram dan tidak mau lepaskan
sosok Wiro dan Setan Ngompol.
Rahangnya
menggembung. Gerahamnya bergemeletakan.
Tangan
kanannya siap meremas untuk menghancur luluhkan dua orang itu.
Pada saat
itulah Lakasipo hantamkan dua tangannya sekaligus!
Sepuluh
larik sinar hitam menggebubu! Hantu Jatilandak tersentak kaget. Tapi karena
terlalu takabur menganggap enteng serangan lawan dia tetap berdiri pentang dada
malah siap melesatkan lusinan duri landak dari muka dan perutnya! Dia tidak
sadar kalau serangan yang dilepaskan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu saat itu
adalah "Lima Kutuk Dari Langit’ yang akan membuat tubuhnya menjadi gosong
dan mengkerut ciut!
Sesaat
lagi sepuluh larik sinar hitam itu akan menghantam sosok Hantu Jatilandak, satu
bayangan hitam berkelebat laksana kilat mendorong tubuh Hantu Jatilandak hingga
terjungkal roboh dan terguling sampai tiga tombak. Sosok Wiro dan Setan Ngompol
yang sejak tadi berada dalam genggamannya terlepas. Lalu seperti yang dialami
Naga Kuning, kedua orang ini menggelinding tercebur masuk ke dalam liang batu
berisi air campur bubuk belerang. Ke duanya berubah menjadi sosok-sosok basah
kuyup berwarna kuning!
"Sialan!
Liang apa ini!" memaki Setan Ngompol.
"Airnya
asin kuning! Berbau belerang!" teriak Naga Kuning. "Lihat! Muka,
tubuh dan pakaian kita jadi kuning semua!"
"Naga
Kuning! Lekas kita keluar dari tempat sebelum kakek satu ini mencampur air di
sini dengan kencingnya!" teriak Wiro. Setan Ngompol memaki
bersungut-sungut. Dia mengikuti dua orang itu memanjat ke atas liang, naik ke
darat.
Hantu
Jatilandak lolos dari hantaman pukulan "Lima Kutuk Dari Langit1. Sepuluh
larik sinar maut itu kini menghantam sosok yang barusan menolong menyelamatkan
Hantu Jatilandak.
"Wuuutttt…
wuuutttt! Dessss… desssss! Desssss!"
Sosok
yang kena hantam terjungkal roboh tetapi sesaat kemudian bergerak bangkit
kembali, memandang ke arah Lakasipo dengan dua mata putih aneh menyorot!
Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sendiri tak kalah kaget dan
melototnya.
Makhluk
yang tegak di depan mereka dan tak mempan dihantam pukulan "Lima Kutuk
Dari Langit" itu tertutup sisik hitam keras laksana baja sekujur kepala,
wajah dan tubuhnya sampai ke kaki. Di mukanya tak kelihatan hidung ataupun
mulut. Yang ada hanya dua buah mata berbentuk combong kelapa berwarna putih
keabuabuan.
"Naga
Kuning, Setan Ngompol…" berkata Wiro.
"Jangan-jangan
makhluk bersisik ini adalah si Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, guru Hantu Muka
Dua yang kita cari…." Naga Kuning dan Setan Ngompol tak berani menjawab.
Kaget dan kecut mereka masih belum surut.
Kalau
orang bersisik ini bersikap menunggu tak mau mendahului bergerak ataupun
bersuara, maka lain halnya dengan Hantu Jatilandak. Penuh dendam dan amarah dia
berteriak.
"Laeruncing!
Laelancip! Bunuh makhluk berkaki batu itu!"
Mendengar
perintah Hantu Jatilandak dua ekor landak raksasa yang sejak tadi berada di
tempat itu keluarkan suara menggembor. Kaki belakang menghunjam ke tanah, kaki
depan diluruskan ke depan pertanda dua binatang ini siap menerkam Lakasipo.
Namun
makhluk bersisik angkat tangan kiri memberi tanda agar dua landak raksasa tidak
melakukan serangan.
"Kek!"
teriak Hantu Jatilandak. "Orang hendak membunuh aku! Kau melarang! Wahai!
Apa yang ada di benakmu!"
Makhluk
bersisik tidak perdulikan teriakan Hantu Jatilandak. Kembali dia angkat
tangannya, menatap ke arah Lakasipo lalu berkata.
"Di
kawasan Negeri Latanahsilam ini hanya ada satu orang memiliki ilmu kesaktian
bernama Lima Kutuk Dari Langitl Bukankah kau orangnya yang bernama Lakasipo
berjuluk Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu?!"
Lakasipo
terdiam sejenak. Matanya menatap penuh rasa tak percaya pada makhluk yang tegak
di hadapannya. Sesaat kemudian dia berkata. "Di delapan penjuru angin
negeri Latanahsilam, hanya ada satu tokoh yang sanggup menahan kekuatan ilmu
Lima Kutuk Dari Langit. Bukankah saat ini aku berhadapan dengan orang pandai
yang disebut dengan nama Tringgiling Liang Batu?!"
Makhluk
bersisik mengangguk lalu menjura. Lakasipo segera berucap.
"Dunia
kita telah banyak berubah rupanya. Puluhan tahun kau memencilkan diri di pulau
ini. Ketika bertemu ternyata kau menjadi penguasa pulau, memiliki makhluk aneh
berduri ini serta dua ekor landak raksasa yang siap membunuhku dan kawan-kawan
tanpa salah tanpa dosa! Apa yang terjadi dengan dirimu wahai Tringgiling Liang
Batu!"
"Takdir
buruk telah terjadi atas diri kami! Kutuk keji dari Peri Negeri Atas Langit
telah menimpa cucuku hingga keadaannya seperti yang kau lihat saat ini…"
jawab Tringgiling Liang Batu.
"Takdir
memang tak bisa ditolak. Mengenai kutuk Peri Negeri Atas Langit tak ada kuasaku
untuk mencampuri!
Tetapi
yang menjadi tanda tanya besar, kami telah mengalami hal-hal aneh sejak menjejakkan
kaki di pulau ini. Bahkan kami hampir menemui kematian di tangan makhluk aneh
yang kau sebut sebagai cucumu itu!"
"Kalian
bukan hampir mati! Tapi benar-benar segera akan mati!" teriak Hantu
Jatilandak. Lalu kembali dia berseru pada dua ekor landak raksasa untuk segera
membunuh Lakasipo dan tiga manusia katai di tepi liang batu. Lakasipo cepat
menyambar ketiga saudara angkatnya itu. Ketika melihat sosok Wiro, Naga Kuning
dan Setan Ngompol yang basah kuyup serta penuh dengan belerang kuning, makhluk
bersisik, Hantu Jatilandak dan dua ekor landak raksasa keluarkan gerengan
tertahan dan beranjak menjauh.
"Aneh,
kini mereka seperti ketakutan melihat kita.
Mereka
bergerak menjauh! Ada apa? Apa yang menyebabkan?" bisik Wiro. Baik
Lakasipo maupun Naga Kuning dan Setan Ngompol walau memang jelas melihat
keanehan itu tapi tentu saja tidak bisa menjawab.
Wiro usap
wajahnya yang basah. Tak sengaja dia kepretkan tangannya yang basah oleh air
bercampur belerang. Kembali Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta
dua landak raksasa bersurut menjauh.
"Mereka
takut pada cipratan air di tubuhku…" kata Wiro.
"Kalau
cuma air mengapa musti takut! Pasti ada hal lain yang membuat mereka kecut dan
menjauh…" ujar Setan Ngompol pula.
"Lakasipo,
coba kau melangkah. Dekati mereka…" kata Wiro.
Lakasipo
menurut. Dia maju dua langkah mendekati Hantu Jatilandak. Makhluk berduri ini
serta merta mundur tiga langkah. Tringgiling Liang Batu cepat mengangkat
tangannya seraya berseru. "Tahan! Hantu Kaki Batu, hentikan gerakanmu!
Jangan melangkah lebih dekat!”
"Sejak
semula kami tidak punya niat jahat! Mengapa kalian semua seperti melihat setan
kepala dua belas?!"
"Makhluk-makhluk
katai yang katamu saudara angkatmu itu…" kata Tringgiling Liang Batu.
"Tubuh mereka basah oleh air bercampur belerang. Kami… tubuh kami tidak
boleh bersentuhan dengan belerang.
Kami bisa
celaka. Mengalami kelumpuhan seumur hidup bahkan bisa menemui ajal…."
“Kakek!"
Hantu Jatilandak berkata dengan suara keras. "Kau menceritakan kelemahan
sendiri pada musuh! Manusia berkaki batu ini pasti akan mudah membunuh kita
semua!"
"Eh,
kau dengar makhluk berduri itu memanggil makhluk bersisik kakeknya," bisik
Wiro pada dua kawannya. "Yang aku ingin tahu bagaimana tampang ibu bapak
makhluk itu. Apa berduri juga. Kalau betul berduri lalu bagaimana lahirnya? Apa
tidak nyangkut di pojokan bawah dekat hik… hik… hik!"
"Wiro!"
sentak Setan Ngompol. "Kita berada dalam bahaya. Mengapa kau masih bisa
bicara tidak karuan!
Jangan-jangan
kau yang bakal matiduluan. Orang mau mati biasanya memang suka ngomong
aneh-aneh!"
"Kalau
mereka mau membunuh kita, kurasa kau yang duluan mereka pesiangi Kek!"
sahut murid Sinto Gendeng. "Habis kau paling jelek dan bau pesing! Hik…
hii…
hik!" Wiro tertawa cekikikan. Naga Kuning pencet hidung sendiri agar tidak
tersembur tawanya.
Sepasang
mata combong Tringgiling Liang Batu menatap ke arah Lakasipo seolah sadar
kekeliruannya.
Namun
melihat tak ada perubahan di wajah manusia berkaki batu ini, dan juga setelah
melirik pada Wiro dan dua kawannya, dalam hati Tringgiling Liang Batu berkata.
"Sampai saat ini aku belum menganggap makhluk berkaki batu ini sebagai
musuh. Hanya saja aku masih belum tahu apa maksud kedatangannya bersama tiga
makhluk katai itu ke sini." Setelah menatap Lakasipo sejurus, makhluk
bersisik lantas berkata.
"Tadi
kudengar tiga manusia cebol saudaramu itu menyebut nama Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab.
Makhluk
itu adalah guru Hantu Muka Dua! Apa hubungan kalian dengan Hantu Muka Dua dan
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"
"Hantu
Muka Dua adalah musuh besarku wahai Tringgiling Liang Batu. Dia punya rencana
jahat terhadapku dan sejak lama ingin membunuhku! Kami mencari Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab adalah untuk meminta tolong. Agar tiga saudara angkatku ini
bisa dibesarkan tubuhnya seperti sosok kita. Atau kalau tidak agar mereka bisa
dikembalikan ke negeri mereka alam seribu dua ratus tahun dari sekarang.
Menurut petunjuk, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bisa memberi tahu di mana
beradanya sebuah batu sakti pembalik waktu. Hanya dengan batu itu mereka bisa
kembali ke negeri mereka…."
"Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak ada di pulau ini! Kalian kesasar ke tempat yang
salah!"
"Kalau
begitu kami minta petunjukmu!" kata Wiro setengah berteriak agar suaranya
bisa didengar.
Sebelum
Tringgiling Liang Batu menjawab Hantu Jatilandak mendahului berkata.
"Kek,
sesuai perintah Hantu Muka Dua, kita harus menguras darah tiga manusia katai
ini dan memasukkannya ke dalam lobang di atas batu sana. Kalau kita gagal
memenuhi perintah, celaka kita semua! Hantu Muka Dua pasti akan memendam kita
dalam liang batu berisi air bercampur belerang itu!"
Terkejutlah
Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol mendengar kata-kata Hantu
Jatilandak itu. Si kakek terus saja basah celananya.
"Makhluk
berduri, mengapa Hantu Muka Dua inginkan darah kami bertiga?" tanya
Pendekar 212.
Hantu
Jatilandak tak segera menjawab melainkan memandang dulu pada Tringgiling Liang
Batu. Si kakek anggukkan kepala lalu berkata. "Ceritakan pada mereka
semua. Agar tidak ada rahasia dan curiga tersembunyi antara kita wahai cucuku
Jatilandak."
Mendengar
kata-kata si kakek maka Hantu Jatilandak lalu menuturkan.
"Di
bawah ancaman belerang jahanam itu, kami semua tidak berdaya. Tidak mungkin
menolak perintah kecuali kami mau mati percuma! Hantu Muka Dua memiliki sebilah
keris berluk tiga yang belum diberi gagang…. Menurutnya jika senjata itu
dicelup dalam darah kalian bertiga selama tiga bulan purnama maka keris itu
akan menjadi satu senjata bertuah sakti mandraguna.
Tak satu
kekuatan pun sanggup melawannya.
Bahkan
para Peri dan para Dewa akan tunduk padanya!
Dia akan
menjadi Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam!"
"Jahanam
keji! Wahai! Rencana jahatnya itu harus dibikin gagal!" kata Lakasipo
pula. "Ada di antara kalian yang punya akal rencana?!"
Tak satu
pun yang bisa segera menjawab. Setan Ngompol termonyong-monyong. Naga Kuning
gembungkan rahang. Hantu Jatilandak keretakkan jari-jari tangannya tanda geram.
Sepasang landak raksasa mendekam keluarkan suara menggeram sementara
Tringgiling Liang Batu mendongak ke langit yang mulai gelap. Wiro garuk-garuk
kepala lalu bertanya. "Apa di pulau ini ada kelinci atau ayam hutan?"
"Anak
geblek! Apa hubungannya maksud jahat Hantu Muka Dua dengan ayam hutan dan
kelinci?!
Kau mau
mengundangnya makan ayam dan kelinci panggang?!" berujar si Setan Ngompol.
"Tenang
Kek! Otakmu memang tidak begitu encer lagi! Kalau dibarengi sikap mengomel
pasti tambah butek!" kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dia bertanya pada
makhluk bersisik. "Tringgiling Liang Jamban…."
"Bangsat!
Mulutmu keliwat menghina kurang ajar!
Kakekku
bernama Tringgiling Liang Batu! Bukan Tringgiling Liang Jamban!" Hantu
Jatilandak menghardik lalu meludah ke tanah, membuat Lakasipo, Naga Kuning dan
Setan Ngompol membuang muka menahan geli. Si Tringgiling Liang Batu sendiri
yang mukanya tertutup sisik tebal tak kelihatan wajahnya apakah marah atau
bagaimana. Tapi dari tenggorokannya keluar suara menggereng.
Wiro
garuk-garuk kepala. "Maafkan aku!" katanya pada Hantu Jatilandak.
Lalu dia ajukan pertanyaan pada makhluk bersisik. "Menurutmu Hantu Muka
Dua akan datang tepat bulan purnama mendatang. Kira-kira kapan bulan purnama
muncul di pulau ini?!"
"Jika
aku tak salah hitung masih tiga hari dimuka," jawab Tringgiling Liang
Batu.
"Berarti
kita masih punya waktu banyak untuk melakukan penyambutan!" kata murid
Sinto Gendeng pula.
"Penyambutan
bagaimana maksudmu?! Kita tak mungkin melawannya! Apalagi kalau dia sampai
menebarkan bubuk belerang!" berucap Hantu Jatilandak.
"Sobatku
Hantu Jatilandak! Kau tenang saja. Biar kami yang mengatur," jawab Wiro.
Lalu dia berpaling pada Lakasipo. "Harap kau segera mencukur kumis,
janggut dan berewokmu!”
"Buat
apa?!" tanya Lakasipo. "Aku tidak mau!"
"Kalau
kau tidak mau melakukan sendiri, biar dua ekor landak itu yang akan mengunyah
habis janggut kumis serta cambang bawukmu!"
"Wahai!
Sialan kau Wiro!" rutuk Lakasipo. "Kalau kau mau gila, gila sendiri
saja. Jangan mengajak orang!"
Wiro
menyengir. Tanpa perdulikan gerutuan Lakasipo dia berkata pada dua sobatnya.
"Sobatku
Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kita bertiga bersihkan liang batu itu dari bubuk
belerang.
Lalu
mandi membersihkan diri ke laut! Apa kalian tidak sadar kalau tampang kaitan
kuning semua seperti disedu dengan kunyit?! Ha… ha… ha!"
********************
14
SUASANA
di timur pulau terasa tidak seperti biasanya. Deburan ombak dikejauhan seolah
tertahan oleh gaung suara angin yang terdengar aneh. Kegelapan malam menutupi
kawasan bebukitan yang dikelilingi pohon-pohon jati rapat berduri. Saputan awan
hitam di langit perlahan-lahan bergeser tertiup angin, membuat rembulan empat
belas hari menyeruak muncul. Suasana perlahan-lahan menjadi terang.
Beberapa
saat berlalu tanpa terjadi suatu apa. Di bagian yang berbukit batu, Tringgiling
Liang Batu tegak rangkapkan tangan di depan dada. Sisik di muka dan tubuhnya
tampak mencuat pertanda dia berada dalam keadaan tegang. Tiga langkah di
sampingnya mendekam Laeruncing dan Laelancip. Lalu agak jauh dari tempat itu,
dalam kegelapan di antara gundukan batu dan pohon-pohon jati tergeletak tiga
sosok tubuh kecil.
Di bagian
yang lain, di balik bayangan sebuah batu besar duduk bersila satu sosok seorang
perempuan. Dia duduk menghadap ke arah liang batu. Tangan di atas paha, mata
terpejam seolah tengah bersemadi.
Dari
sela-sela pohon jati berduri tiba-tiba menyeruak muncul satu sosok tinggi yang
hanya mengenakan cawat dan tubuhnya dipenuhi duri-duri panjang lancip berwarna
coklat. Dia bukan lain adalah Hantu Jatilandak. Orang ini melangkah tanpa suara
mendekati makhluk bersisik. "Kek, menurutmu apakah Hantu Muka Dua
benar-benar datang malam bulan purnama ini?
Jangan-jangan
dia menipu kita!"
"Dia
punya kepentingan. Dia pasti datang. Kita tunggu saja dan kuharap kau tetap
berwaspada wahai cucuku…."
Baru saja
Tringgiling Liang Batu berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan hitam
dan tahu-tahu laksana seekor elang malam dia hinggap di gundukan batu tinggi,
tepat di depan lobang batu yang digenangi cairan merah.
Orang ini
bukan lain adalah si makhluk bermuka dua yakni Hantu Muka Dua. Sepasang matanya
sebelah depan memandang tajam ke dalam lobang yang digenangi cairan merah.
"Hemmm….
Memang kulihat ada darah di dalam lobang!" Wajah Hantu Muka Dua depan
belakang yang berupa lelaki separuh baya menyeringai. Dia melirik tajam pada
Tringgiling Liang Batu lalu sesaat perhatikan Hantu Jatilandak.
"Kalian
berdua harap mendekat!" Hantu Muka Dua memerintah.
Makhluk
bersisik dan makhluk berbulu duri landak segera mendekati Hantu Muka Dua.
"Wahai
Hantu Muka Dua, aku dan cucuku sudah melakukan apa yang kau perintahkan. Lobang
yang kau buat di dalam batu itu telah kupenuhi dengan darah tiga manusia cebol
bernama Wiro Sableng, Naga Kuning dan Setan Ngompol!"
Hantu
Muka Dua kembali menyeringai. Dari dua bola matanya yang berwarna hijau dan
berbentuk segi tiga membersit sinar aneh. "Ada darah di dalam lobang batu!
Pertanda niat besar akan menjadi kenyataan.
Keris tak
bergagang akan menjadi senjata bertuah!
Tak ada
tandingan di delapan penjuru angin. Negeri Latanahsilam akan berada dalam
genggam kekuasaanku!
Wahai!
Hantu Muka Dua akan menjadi Raja Di Raja Negeri Latanahsilam! Ada darah ada
nyawa yang terbang! Ada yang mati berarti ada mayat! Wahai Tringgiling Liang
Batu! Wahai Hantu Jatilandak! Aku ingin melihat dimana mayat tiga manusia cebol
yang telah kalian pesiangi dan kucurkan darahnya ke dalam lobang batu
itu!"
Hantu
Jatilandak melirik sekilas pada kakeknya lalu menunjuk ke arah deretan pohon di
kegelapan.
"Mayat
mereka aku tumpuk di sebelah sana. Silahkan kau memeriksa sendiri wahai Hantu
Muka Dua!"
Hantu
Muka Dua tatap sesaat tampang Hantu Jatilandak. Lalu dia melesat ke arah yang
ditunjuk. Di tanah, di antara semak belukar dan pepohonan memang dia melihat
tiga sosok katai tergeletak tak bergerak.
Pada
bagian lehernya terdapat garis hitam seperti darah mengering.
"Aku
sendiri menggorok leher mereka dengan duri-duri di tanganku!" kata Hantu
Jatilandak.
"Bagus!
Tidak sia-sia aku memberi perintah pada kalian kakek dan cucu!" Hantu Muka
Dua memandang berkeliling. Tangannya siap mengeluarkan keris liuk tiga untuk
dimasukkan ke dalam lobang berisi darah.
Namun
tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Kalian berhasil membunuh tiga manusia katai
dari alam seribu dua ratus tahun mendatang itu! Lalu bagaimana dengan orang
bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu?!
Aku tidak
melihat dirinya sejak tadi!"
"Maafkan
kami wahai Hantu Muka Dua. Hantu Kaki Batu berhasil melarikan diri ketika kami
sergap. Dia menghancurkan patung-patung kayu serta pohon-pohon jati. Dia
melarikan diri dalam keadaan terluka parah.
Sekali
lagi kami mohon maafmu." Menjawab Tringgiling Liang Batu.
"Hemmm,
begitu?" ujar Hantu Muka Dua. Sepasang pandangan matanya sebelah depan
membentur liang batu yang sebelumnya menjadi sarang makhluk bersisik itu.
‘Mataku belum lamur, apa lagi buta! Tapi aku sama sekali tidak melihat bubuk
kuning belerang di dalam liang ini! Apa yang terjadi?!"
"Dua
hari lalu turun hujan lebat. Mungkin bubuk belerang itu ikut hanyut terbawa
aliran air hujan…" yang menjawab sang kakek makhluk bersisik.
"Aneh!
Tujuh puluh tahun silam aku pernah menebar bubuk belerang. Tak pernah
dihanyutkan hujan. Atau mungkin selama tujuh puluh tahun hujan tidak pernah
turun di pulau ini?! Ha… ha… ha! Lalu hanya dua hari lalu ada hujan turun
katamu! Dan bubuk belerang sirna tiada berbekas seperti tiupan angin!
Wahai!
Sungguh aneh!"
Tringgiling
Liang Batu dan Hantu Jatilandak saling melempar pandang. Mereka mulai gelisah
karena khawatir jangan-jangan Hantu Muka Dua sudah mencium ada yang tidak
beres.
"Wahai
Hantu Muka Dua, cucuku tidak berkata dusta!" berkata Tringgiling Liang
Batu. "Kalaupun bubuk belerang itu lenyap, kurasa tidak ada sangkut
pautnya lagi dengan diri kami. Bukankah kami telah menjalankan perintahmu? Kau
tinggal memasukkan keris bertuah milikmu ke dalam genangan darah di dalam
lobang batu. Kami akan menjaganya sampai tiga kali purnama. Setelah itu kami
berharap kau tidak akan mengganggu kami lagi!"
Hantu
Muka Dua manggut-manggut. "Jadi selama ini rupanya kalian merasa
terganggu! Wahai! Mulai saat ini akan kupertimbangkan apakah aku masih merasa
perlu mengganggu kalian atau tidak!" Lalu Hantu Muka Dua cemplungkan keris
berluk tiga tanpa gagang yang sejak tadi dipegangnya ke dalam lobang batu
berisi genangan darah.
"Ha…
ha… ha! Makhluk bersisik dan makhluk berduri! Keris bertuah sudah kumasukkan ke
dalam cairan darah. Tapi wahai! Ketahuilah! Percuma aku memiliki dua muka, dua
otak dan empat mata kalau tidak bisa berpikir dan melihat jauh ke muka! Walau
kalian sudah melaksanakan tugas dan keris luk tiga sudah kumasukkan ke dalam
genangan darah tapi sampai tiga purnama yang akan datang aku tidak akan
melepaskan kalian begitu saja!"
"Apa
maksudmu Hantu Muka Dua? Apa kau akan mengingkari janji seperti dulu
lagi?!" tanya Hantu Jatilandak.
"Bagi
Hantu Muka Dua tidak berlaku apa yang dinamakan janji. Yang berlaku adalah
tipu, keji dan nafsu! Dan kalian berada di bawah kekuasaanku! Harus tunduk
padaku! Aku mau lihat apa kalian berani menantang jika aku sebarkan lagi bubuk
belerang di tempat ini!"
"Hantu
Muka Dua! Memang tidak percuma kau dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu!
Aku tidak
suka pada makhluk sepertimu! Selagi rembulan masih bersinar, selagi jalan
menuju ke pantai masih terang, mengapa kau tidak lekas angkat kaki dari pulau
ini?!" Terkejutlah Hantu Muka Dua mendengar ucapan itu.
Karena
orang yang bicara adalah sosok yang duduk di samping batu besar. Di hadapannya,
mulai dari pangkuan sampai tanah selebar satu kali dua tombak tertutup oleh
daun-daun dan rerumputan kering.
Suaranya
walau agak parau tapi menyerupai suara perempuan. Hantu Muka Dua melirik pada
Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak. Dua orang ini tampak tenang-tenang
saja. Hantu Muka Dua segera maklum ada yang tidak beres. Dua mukanya depan
belakang langsung berubah menjadi muka-muka raksasa berkulit merah! Dia
membentak.
"Wahai!
Ada seorang perempuan gendeng rupanya di tempat ini! Tringgiling Liang Batu!
Siapa perempuan yang duduk di samping batu besar itu!"
"Dia
adalah istriku wahai Hantu Muka Dua! Terlahir tak bernama tapi dijuluki Hantu
Monyong Penggali Liang kubur…."
Hantu
Muka Dua kerenyitkan kening lalu tertawa gelak-gelak mendengar nama perempuan
yang duduk bersila itu hingga perempuan itu perlahan-lahan buka dua matanya
yang sejak tadi terpejam.
"Nama
hebat! Aneh dan lucu! Orangnya kukira juga rada-rada sedeng! Ha… ha… ha! Wahai
Tringgiling, apa istrimu memang punya pekerjaan sebagai tukang gali kubur? Ha…
ha… ha! "Baru kali ini aku tahu kalau kau punya istri! Hebatnya lagi dia
punya nyali menyuruhku pergi dari pulau ini!" kata Hantu Muka Dua seraya
melangkah ke dekat batu besar guna melihat lebih dekat perempuan bernama Hantu
Monyong Penggali Liang Kubur itu. Ternyata perempuan ini bertubuh besar,
dadanya dan bahunya lebar. Kulitnya agak kehitaman. Di telinganya kiri kanan
mencantel dua buah giwang terbuat dari tulang. Wajahnya tertutup bedak kasar
setebal dempul. Alisnya tebal tak karuan sedang mulutnya selalu menjorok ke
depan alias monyong dengan bibir dipoles sejenis cairan kental berwarna merah.
"Hantu
Muka Dua," tiba-tiba perempuan bernama Hantu Monyong Penggali Liang Kubur
berucap. "Pekerjaanku memang tukang gali liang kuburi Terus terang, wahai
akupun sudah menyiapkan satu liang kubur untukmu! Jika kau berkenan cepat-cepat
ingin masuk ke dalamnya. Hik… hik… hik! Silahkan…!"
Habis
berkata begitu Hantu Monyong Penggali Liang Kubur lalu singkapkan rumput dan
daun kering di depannya. Maka kelihatanlah satu lobang besar seukuran kubur
manusia!
Empat
mata Hantu Muka Dua depan belakang mendelik besar, merah laksana saga!
"Perempuan
bedebah keparat! Kau kira siapa dirimu!
Suami dan
Hantu Jatilandak saja tunduk padaku!
Apa kau
lebih hebat dari mereka?! Kau yang akan kupendam lebih dulu dalam liang
itu!"
"Aku
memang lebih hebat dari dua orang yang kau sebutkan itu Hantu Muka Dua! Kau
boleh membunuh mereka semudah membalik telapak tangan!
Tapi apa
kau punya nyali membunuhku seorang perempuan?! Hik… hik… hik!"
Tersentaklah
Hantu Muka Dua mendengar ucapan Hantu Monyong Penggali Liang Kubur itu. Dia
baru ingat kalau dirinya punya satu pantangan besar yakni tidak boleh membunuh
perempuan! Hantu Muka Dua menggeram marah. Dia segera merapal aji pukulan
"Hantu Hijau Penjungkir Roh" lalu menghantam ke arah Hantu Jatilandak
karena dia tahu pukulan sakti itu tidak sanggup menciderai apa lagi membunuh
Tringgiling Liang Batu. Maka dia memilih membunuh Hantu Jatilandak lebih dulu.
Namun Hantu Jatilandak yang telah siap waspada sejak tadi-tadi, begitu melihat
Hantu Muka Dua gerakkan tangan secepat kilat melompat ke balik batu besar.
"Braaakkk…
byaaarrr!"
Gundukan
batu besar hancur lebur dan berubah menjadi hijau lembek seperti lumpur! Walau
tengkuknya menjadi dingin namun Hantu Jatilandak tidak tinggal diam. Dari atas
dia dorongkan dua tangannya ke bawah.
Puluhan
duri runcing di sekujur kedua tangannya melesat menyambar ke arah Hantu Muka
Dua! Yang diserang menggerung keras lalu pukulkan tangan kanannya ke atas.
Sambil memukul pergelangan tangan diputar demikian rupa hingga telapak
menghadap ke atas ke arah Hantu Jatilandak. Deru angin laksana punting beliung
menerpa keluar dari telapak tangan Hantu Muka Dua disertai berkiblatnya sinar
merah.
"Pukulan
Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi!" teriak Tringgiling Liang
Batu. "Jatilandak lekas menghindar!" Lalu makhluk bersisik ini
gerakkan tubuhnya. Sisik-sisik yang ada di tubuhnya mencuat ke atas. Bersamaan
dengan itu puluhan paku hitam melesat ke arah Hantu Muka Dua!
Mendapat
serangan puluhan duri dan paku bernama "Paku Iblis Liang Batu" Hantu
Muka Dua terpaksa batalkan serangannya. Telapak tangan kirinya dikembangkan
lalu dipukulkan ke tanah. Satu gelombang angin mengeluarkan cahaya hitam
berputar laksana gasing, membuat tubuh Hantu Muka Dua melesat setinggi tiga
tombak ke udara tapi terbungkus dalam gulungan cahaya hitam itu! Inilah ilmu
kesaktian yang disebut "Neraka Berputar Roh Menjerit!" Suara putaran
cahaya terdengar menggidikkan laksana jeritan puluhan makhluk yang tidak
kelihatan.
"Tring…
tringgg… tringgg!" Paku-paku hitam serangan Tringgiling Liang Batu
bermentalan. Beberapa di antaranya menghantam sosok Laeruncing dan Laelancip
sepasang landak raksasa. Binatang ini menguik keras, kelojotan beberapa kali
lalu bergulingan keras jauhkan diri dalam keadaan terluka cukup parah.
"Traakkk…
traakkk… traakkk!"
Belasan
duri sepanjang dua jengkal yang melesat dari tubuh Hantu Jatilandak
berpolantingan hancur dihantam putaran "Neraka Berputar Roh Menjerit"
dan dengan sendirinya tidak bisa kembali menancap ke tubuh Hantu Jatilandak.
"Wuuutttt!"
Putaran
sinar hitam lenyap. Sosok Hantu Muka Dua tegak sambil tangan kiri berkacak
pinggang. Mulut mengumbar tawa mengekeh sedang di tangan kanan dia mengangkat
tinggi-tinggi sebuah kantong kain berwarna kuning yang isinya sudah dapat
ditebak yakni bubuk belerang kuning!
"Hantu
Monyong Penggali Liang Kubur! Pantangan membunuh perempuan memang membuat aku
tidak bisa membunuhmu! Tapi apa artinya hidupmu kalau dengan bubuk ini aku akan
membuat suamimu Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak menjadi cacat lumpuh
seumur hidup. Sekarat dan menemui ajal secara perlahan-lahan!"
Melihat
apa yang ada di tangan kanan Hantu Muka Dua, Tringgiling Liang Batu dan Hantu
Jatilandak segera melompat, menyelinap ke belakang Hantu Monyong Penggali Liang
Kubur.
"Hantu
Muka Dua, apa kau bisa melewati mayatku sebelum mencelakai suami dan cucuku?!
Hik… hik… hik!" ujar Hantu Monyong Penggali Liang Kubur. "Lagi pula
aku khawatir matamu sudah buta, penciumanmu sudah rusak dan otakmu tidak waras
lagi! Apa betul di dalam kantong kain berbercak kuning itu isinya adalah bubuk
belerang kuning?! Hik… hik… hik…! Coba kau periksa dulu isi kantongmu!"
Selagi
Hantu Muka Dua terheran tidak mengerti atas apa yang diucapkan perempuan yang
duduk bersila di depan lobang itu tiba-tiba tiga sosok kecil berkelebat dari
balik semak belukar gelap di celah pepohonan.
Satu
cahaya putih menyilaukan disertai suara menggaung menghantam kaki kiri Hantu
Muka Dua membuat orang ini terlonjak dan berteriak kesakitan.
Kantong
kain di tangan kanannya terlepas jatuh. Hampir tak kelihatan, dalam gelapnya
malam sesosok tubuh kecil melompat ke udara menyambar kantong kain berisi bubuk
belerang itu lalu menggantikannya dengan sebuah kantong kain yang juga berwarna
kuning tapi isinya lembek-lembek basah dan menebar bau!
Sementara
itu darah mengucur dari luka di pergelangan kakinya. Hawa panas menjalar sampai
ke mata kaki.
Hantu
Muka Dua tidak tahu apa yang barusan menyerangnya. Memandang ke bawah dia
melihat ada satu sosok kecil menyelinap ke balik semak belukar.
Selain
itu tadi dia juga masih sempat melihat satu bayangan kecil menyambar dan
tahu-tahu kantong kainnya yang jatuh lenyap entah kemana. Ketika Hantu Muka Dua
hendak memandang sosok kecil yang menyelinap di balik semak belukar tiba-tiba
dari samping kiri menyemburangin deras yang menebar bau pesing!
"Tiga
makhluk katai jahanam! Pasti mereka!" teriak Hantu Muka Dua marah.
"Tringgiling Liang Batu! Kau dan cucumu berani mati menipuku!"
Seperti tidak perduli lagi akan pantangannya membunuh perempuan Hantu Muka Dua
angkat tangan kiri, siap hendak menghantam dengan pukulan "Mengelupas
Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi." Yang ditujunya adalah Hantu Jatilandak
dan Tringgiling Liang Batu yang saat itu mendekam berlindung di balik sosok
Hantu Monyong Penggali Liang Kubur. Jika Hantu Muka Dua hendak membunuh kedua
orang itu mau tak mau dia juga akan menewaskan si Hantu Monyong! Dan ternyata
saat itu Wiro, Naga Kuning serta si Setan Ngompol telah menyelinap pula cari
selamat di balik sosok perempuan itu.
"Hantu
Muka Dua! Rupanya kau telah memilih mati bersamaku! Hik… hik… hik! Apa kelak
rohmu merasa betah tergantung antara langit dan bumi? Hik… hik… hik! Apa kau
melupakan begitu saja rencana besarmu hendak menjadi raja di raja segala Hantu
di Negeri Latanahsilam ini? Hik… hik… hik! Apa kau akan melupakan begitu saja
segala kesenangan dunia?
Meninggalkan
gadis-gadis cantik peliharaanmu.
Membiarkan
Luhjelita kekasihmu jatuh ke tangan lelaki lain?Kalau aku laki-laki wahai!
Pasti Luhjelita akan kujadikan gendakku seumur hidup! Hik… hik… hikk!"
Empat
mata Hantu Muka Dua yang merah seperti saga laksana mau melompat keluar dari
rongganya.
Bibirnya
yang tebal membuka menggeletar mencuatkan taring-taringnya.
"Kalian
jahanam semua! Tringgiling Liang Batu!
Hantu
Jatilandak! Ingat baik-baik! Negeri Latanahsilam memang luas. Tapi bisa juga
sesempit genggaman tanganku! Tidak akan sulit bagiku untuk mencari dan membunuh
kalian! Dan kalian tiga makhluk katai keparat! Jangan harap kalian bisa kembali
ke negeri kalian! Daging dan tulang kalian akan kucincang untuk santapan guruku
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"
Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua berteriak dahsyat sambil menggebuk dada lalu
putar tubuhnya.
Tapi
mendadak dia ingat pada kantong kain di tangan kanannya. Ketika dia perhatikan
dia segera sadar kantong itu bukan kantong yang berisi bubuk belerang miliknya
semula. Tapi sebuah kantong berisi cairan yang dari baunya jelas isinya adalah
kotoran manusia!
"Jahanam
sial dangkalan! Wahai! Siapa yang punya pekerjaan!" teriak Hantu Muka Dua
menggeledek.
Kantong
kain dibantingkannya ke tanah.
Hantu
Monyong, Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, Wiro serta Naga Kuning dan
Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh.
"Jahanam!
Aku bersumpah akan menguliti kalian semua! Dan kau Hantu Monyong! Kelak kau
akan menjadi penghuni Ruang Obor Tunggal di Istanaku yang baru! Kau akan
kusiksa, seumur hidup kau akan menderita! Mati tidak hiduppun tidak!"
Hantu Muka Dua lantas putar tubuhnya.
"Wahai!
Mengapa pergi terburu-buru Hantu Muka Dua!" Hantu Monyong Penggali Liang
Kubur berkata.
"Apa
kau tidak mengambil dulu keris luk tiga milikmu yang tadi kau cemplungkan dalam
lobang batu berisi darah?!"
"Mungkin
dia takut! Bukankah darah dalam lobang itu adalah darah ayam hutan betina
semua?!" kata Wiro pula.
"Jahanam
keparat! Kalian semua tunggulah pembalasanku!" ucap Hantu Muka Dua dengan
rahang menggembung.
Saat itu
sepasang kodok hijau besar melompatlompat dariarah kegelapan. Dari atas
tumpjkan rumput kering dua binatang yang tengah bermesraan ini tibatiba
melompat ke pangkuan Lakasipo. Karuan saja lelaki ini jadi tersentak kaget dan
gemetaran menahan geli.
"Wahai!
Sialan!" maki Lakasipo.
"Ada
apa?" tanya Pendekar 212.
"Ada
sepasang kodok besar masuk ke dalam selangkanganku! Aku tak kuasa menahan
geli!"
"Biar
kuambil. Kulempar keluar!" kata Naga Kuning.
"Jangan!
Kalau lagi bermesraan kodok-kodok itu sangat buas! Gigitannya beracun
sekali!" kata Lakasipo dan tubuhnya tergoncang-goncang menahan geli.
"Celaka!
Dia kawin di bawah perutku! Aku benarbenar tidak tahan! Aduh… anuku!"
Akhirnya karena tak tahan lagi Lakasipo berterik keras lalu melompat tegak.
Keadaannya
ini membuat Hantu Muka Dua melihat jelas sosok bagian bawah Lakasipo, termasuk
dua buah batu besar yang membungkus sepasang kakinya!
"Bangsat
penipu! Wahai! Hantu Banci! Jadi kau Hantu Kaki Batu Lakasipo adanya!"
teriak Hantu Muka Dua. Sekali berkelebat kaki kanannya menghantam dada Lakasipo
hingga orang ini jatuh terjengkang tertelentang.
Sebelum
Lakasipo sempat bergerak bangkit, Hantu Muka Dua sudah injak tubuh lelaki itu
dengan dua kakinya.
Tangan
kanannya diangkat ke atas siap melepas pukulan maut "Mengelupas Puncak
Langit Mengeruk Kerak Bumi"
sedang
tangan kiri didorongkan untuk hantamkan pukulan "Hantu Hijau Penjungkir
Roh"!
Dalam
keadaan dan kejadian yang sangat cepat itu baik Tringgiling Liang Batu, Hantu
Jatilandak, serta Wiro dan kawan-kawannya tak mampu memberi pertolongan.
Hantu
Muka Dua menyeringai. "Selamat jalan ke alam roh wahai Lakasipo!"
katanya. Dua tangannya bergerak.
Tapi
tiba-tiba gerakannya tertahan. Mata Hantu Muka Dua menatap membeliak ke arah
lengan atas sebelah dalam tangan kanan dekat ketiak Lakasipo.
"Wahai!
Apa tidak salah apa yang aku lihat ini?!"
ujar
Hantu Muka Dua dalam hati. Bibirnya bergetar, dadanya seolah mau meledak akibat
debaran keras yang tiba-tiba muncul. "Tanda bunga dalam lingkaran…"
desis
Hantu Muka Dua. Muka raksasanya yang sebelumnya merah mendadak sontak berubah
menjadi dua wajah kakek yang pucat pasi. "Tidak mungkin!
Tidak
mungkin!" kata Hantu Muka Dua setengah berteriak. Lalu tanpa menunggu
lebih lama makhluk ini putar tubuh, melesat ke arah kegelapan dan lenyap
ditelan kelamnya malam!
"Apa
yang terjadi…?!" bertanya Tringgiling Liang Batu.
Lakasipo
bangkit berdiri sambil pegang perutnya yang sakit bekas injakan Hantu Muka Dua.
"Jelas dia hendak membunuhku. Tapi tidak jadi…."
"Dia
berkali-kali menyebut kata-kata tidak mungkin.
Apa
gerangan yang tidak mungkin?" kata Naga Kuning pula.
"Mungkin
tadinya dia naksir padamu Lakasipo.
Tapi
setelah tahu kau ternyata laki-laki dia jadi kecewa besar. Itu sebabnya dia
berucap tidak mungkin berulang kali!" kata pendekar 212 Wiro Sableng pula.
Sosok
Hantu Monyong Penggali Liang Kubur alias Lakasipo tiba-tiba keluarkan suara
tawa bergelak.
"Wahai!
Nama yang kau berikan padaku wahai Pendekar 212 membuat aku terpaksa
terus-terusan memonyongkan mulut! Lalu getah pohon yang kau poleskan sebagai
bedak di mukaku ini! Wahai, mau regang seperti besi rasanya kulit wajahku! Dan
sepasang kodok celaka yang kawin di selangkanganku itu!"
Semua
orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak.
Naga
Kuning menyikut Wiro dan Setan Ngompol. "Lihat si Hantu Jatilandak itu!
Tidak sangka pohon hidup itu bisa juga tertawa!"
"Yang
aku ingin tahu apa anunya juga ditumbuhi duri landak! Hik… hik… hik!" kata
Wiro pula. "Seram sekali. Kurasa dedemitpun ngeri kawin dengannya!
Ha… ha…
ha!" Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tertawa gelak-gelak.
"Wahai!
Apa yang kalian ketawakan?’ tanya Lakasipo.
"Anu….
Ngggg…. Sepasang kodok yang tadi kawin di selangkanganmu itu. Kalau si kodok
betina bunting dan punya anak, anaknya tampangnya pasti miripmu!
Ha… ha…
ha…!" Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa berkepanjangan. Hanya
Lakasipo seorang yang tampak cemberut termonyong-monyong.
"Sudah!
Jangan monyong lagi!" teriak Wiro. "Peranmu sebagai perempuan monyong
sudah selesai! Ha… ha… ha… ha!"
"Sialan!
Satu hari akan kubalas perlakuanmu ini Wiro!" kata Lakasipo seraya
mengikis sisa-sisa getah pohon yang masih tebal menutupi mukanya.
Tiba-tiba
murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. "Hai!
Bagaimana
dengan keris sakti tanpa gagang yang tadi dicemplungkan Hantu Muka Dua ke dalam
cairan darah di lobang batu?!"
"Betul?!
Senjata sakti itu ditinggalkannya begitu saja!" ujar Naga Kuning.
"Biaraku
ambil! Lumayan!" kata si Setan Ngompol pula.
Tringgiling
Liang Batu si makhluk bersisik gelengkan kepala. "Hantu Muka Dua makhluk
Segala Tipu, Segala Keji, Segala Nafsu! Dia tahu gelagat. Aku tidak yakin dia
benar-benar memasukkan keris asli sakti bertuah itu ke dalam lobang darah.
Kalau tidak percaya silahkan periksa sendiri!"
Setan
Ngompol yang ingin sekali dapatkan keris sakti itu segera melompat lebih dulu.
Dia membungkuk di tepi lobang batu yang dipenuhi dengan darah ayam hutan betina
lalu tangannya dimasukkan ke dalam.
"Aku
dapat!" seru si kakek sesaat kemudian seraya tarik keluar tangannya dari
lobang. Dia kini memang kelihatan memegang sebilah keris luk tiga tanpa gagang.
"Benar-benar
senjata sakti. Enteng sekali dipegangnya…."
"Wahai!
Karena benda itu bukan asli dan tidak terbuat dari besi. Tapi cuma tiruannya
yang terbuat dari kayu!" kata Tringgiling Liang Batu.
Penuh
rasa tidak percaya si Setan Ngompol remas keris yang dipegangnya.
"Kraaaakkk!" Benda itu remuk dalam genggamannya. "Sialan! Aku
tertipu!" maki sikakek, langsung jatuh terduduk dan pancarkan air kencing!
TAMAT
No comments:
Post a Comment