Rahasia
Patung Menangis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
Sinopsis :
Hantu
jatilandak ingat pada cairan hangat yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika
dia memperhatikan wajah patung itu kaget hantu jatilandak bukan kepalang.
Ternyata cairan hangat itu keluar dari dua mata patung. Seolah tetesantetesan
air mata. "patung menangis…." desis hantu jatilandak. Baru saja hantu
jatilandak selesai membatin tibatiba dalam gelapnya malam terdengar dua suara
tawa bergelak. "manusia buruk rupa! Tidak bisa bercinta dengan manusia,
melampiaskan nafsu berpeluk-pelukan dengan patung batu! Ha… ha… ha!"
********************
1
DI DALAM
kamar yang diterangi dua obor itu, di atas tempat tidur kayu tergeletak
menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat
serta kerenyit menahan sakit. Dari mulutnya terus menerus keluar suara erangan,
ditingkah desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut
besar luar biasa, tertutup sehelai kain rajutan terbuat dari rumput kering.
Ketika pandangannya membentur sosok nenek dukun beranak yang hendak menolong melahirkannya,
dua mata perempuan itu membeliak besar. Dari mulutnya keluar gerengan seperti
suara gerengan babi hutan.
"Tua
bangka buruk! Siapa kau?!"
Lahambalang,
suami perempuan yang hendak melahirkan itu cepat mendekat dan berkata.
"Wahai istriku Luhmintari, nenek Luhumuntu ini, dia dukun beranak yang
akan menolongmu melahirkan…."
"Menolong
aku melahirkan." Sepasang mata perempuan di atas ranjang kayu semakin
membesar dan wajahnya bertambah beringas. "Siapa yang akan melahirkan?!
Aku tidak akan melahirkan!"
"Tenanglah
Luhmintari. Orang akan menolongmu…."
"Aku
tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh pertolongan’ Tidak akan ada apapun yang
keluar dari perutku. Tidak akan ada bayi yang keluar dari rahimku! Kau dengar
wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis
membentak seperti itu Luhmintari tertawa panjang. Luhumuntu, si nenek dukun
beranak jadi merinding.
Dia
dekati lahambalang lalu berbisik. "Suara istrimu kudengar lain Tawanya
kudengar aneh…."
Baru saja
si nenek berkata begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar suara
gerangan keras. Bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar pula suara lolongan
anjing hutan. Si dukun beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi
tubuh Luhmintari. Begitu perut yang hamil besar itu tersingkap, si nenek
langsung tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan lalu mundur
dua langkah!
Lazimnya
perut perempuan hamil, biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat
oleh Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang didalamnya seperti ada
puluhan duri. Permukaan perut Luhmintari tampak penuh tonjolan-tonjolan runcing
dan tiada hentinya berdenyut bergerak-gerak mengerikan!
Seumur
hidup baru kali ini dukun beranak itu melihat perut yang keadaannya seperti
itu.
"Demi
Dewa dan Peri!" ujar Lahambalang dengan suara tergetar "Apa yang
terjadi dengan istriku! Mengapa perutnya seperti ini?!"
Dukun
beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya.
"Lahambalang,
istrimu segera akan kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."
"Nenek
Luhumuntu, kalau boleh aku ingin menungguinya sampai dia melahirkan…" kata
Lahambalang pula.
"Keluar!"
teriak Luhumuntu.
Mau tak
mau Lahambalang keluar juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu.
Ketika dia melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan
tampang beringas.
"Nenek
celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"
"Luhmintari,
aku akan menolongmu melahirkan. Aku akan melepaskan tali yang diikatkan suamimu
pada dua kakimu. Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"
"Kau
yang berkata dan akan berbuat yang bukanbukan!" sentak Luhmintari.
"Aku tidak hamil! Aku tidak akan melahirkan! Tidak ada bayi dalam perutku!
Tidak ada bayi yang akan keluar dari rahimmu! Hik… hik… hik!"
Luhmintari
keluarkan suara seperti tertawa tapi juga setengah menangis.
"Tenang
Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan
seorang bayi hasil hubunganmu sebagai suami istri dengan Lahambalang…."
Si nenek
lalu dekati tempat tidur. Dengan hati-hati dia lepaskan ikatan tali pada dua
kaki Luhmintari. Begitu dua kakinya bebas, kaki yang kanan tidak terduga
bergerak menendang.
"Bukkkk!"
Si nenek
Luhumuntu terpekik dan terpental ke dinding.
Di luar
Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu! Ada apa"?!"
Luhumuntu
usap-usap perutnya yang barusan kena tendangan. "Tidak ada apa-apa
Lahambalang! Kau tak usah khawatir!" Lalu si nenek memandang pada
Luhmintari dan berkata. "Sebagai dukun aku berkewajiban menolongmu
melahirkan. Apapun yang akan keluar dari rahimmu aku tidak perduli!" Lalu
dengan cepat si nenek kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya dia
kemudian menekan perut perempuan itu. Luhmintari meraung keras. Dari dalam
perutnya kembali terdengar suara menggereng. Di kejauhan lagilagi terdengar
suara lolongan anjing hutan.
"Jangan
sentuh perutku! Nenek celaka! Pergi kau!"
Si nenek
dukun beranak tidak perdulikan hardikan Luhmintari. Dua tangannya terus menekan
perut perempuan itu. Semakin kuat. Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar
suara robek besar. Bersamaan dengan itu ada suara tangisan kecil. Seperti suara
tangisan bayi, tapi anehnya disertai suara gerengan halus!
Luhumuntu
terpekik ketika ada suatu benda melesat menyambar perutnya. Nenek ini mundur
terhuyunghuyung. Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di bagian
perut ada tiga guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar
terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok Luhmintari tidak
bergerak sedikitpun. Tubuhnya yang tadi hangat dan penuh keringat
perlahan-lahan menjadi dingin.
"Braaakkk!"
Pintu
kamar terpentang hancur. Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si
nenek dukun beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil meringis pegangi
perutnya yang luka bergelimang darah. Lahambalang melangkah ke arah tempat
tidur. Namun gerakannya serta merta tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke
lantai. Matanya membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak tak bergerak. Mata
mendelik mulut menganga. Perutnya robek besar mengerikan. Dan darah masih
mengucur mengerikan!
"Luhmintari!"
teriak Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia
kembali berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku?! Aku
mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"
Sambil
sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek dukun beranak menjawab.
"Istrimu tewas wahai Lahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya!
Bayinya… bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar. Tapi melalui
perut istrimu yang tiba-tiba pecah! Robek besar!"
"Kau…!
Apa katamu?!" Dua mata Lahambalang membeliak besar. "Aku tidak
percaya! Kau… kau pasti memakai cara gila! Kau pasti menoreh perut istriku
dengan pisau!"
"Aku
tidak pernah membawa pisau wahai Lahambalang. Aku tidak pernah menolong orang
dengan memakai pisau!" jawab si nenek. Tubuhnya melosoh kelantai. Dua
tangannya masih terus menekapi perutnya yang luka.
"Mana
bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.
Si nenek
Luhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar.
"Itu…. Benda yang di sudut sana…. Itulah bayimu. Kuharap kau bisa
menabahkan diri menghadapi kenyataan wahai Lahambalang…."
Lahambalang
berpaling ke arah yang ditunjuk si nenek. Karena tidak tersentuh cahaya api
obor, sudut kamar yang ditunjuk berada dalam keadaan gelap. Namun Lahambalang
masih bisa melihat seonggok benda bergelimang darah tergeletak di sana. Dan dia
mendengar suara tangisan bayi. Walau suara itu kedengarannya agak aneh.
"Anakku…"
desis Lahambalang. Dia melangkah membungkuk. Satu langkah dari hadapan benda di
sudut kamar tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulutnya.
"Tidaaakkkk!"
"Lahambalang,
kataku kau harus tabah menghadapi kenyataan…." berucap si nenek dukun
beranak.
"Tidaakkk!"
teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"
"Lahambalang,
betapapun kau tidak mau mengakui itu bukan anakmu bukan bayimu! Tapi itulah
kenyataan yang keluar dari perut istrimu!" kata Luhumuntu pula.
Lahambalang
tekapkan dua tangannya ke muka lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut
yang kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena disertai suara
menggereng halus. Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar
itu memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur permukaan tubuhnya,
mulai dari kepala sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna
kecoklatan!
"Lahambalang,
itu anakmu. Itu bayimu! Jangan biarkan dia kedinginan di sudut kamar itu…"
Luhumuntu si dukun beranak berucap.
Sekujur
tubuh Lahambalang bergetar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tetapi tidak jelas
kedengaran apa yang dikatakannya.
"Lahambalang,
ambil anakmu. Dukung bayi itu…."
Lahambalang
pejamkan dua matanya. Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan tangis.
Dua tangannya terkepal kencang.
"Apa
yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku Luhmintari! Nasibmu… nasibku…
nasib anak kita! Apa semua ini karena kau melanggar larangan? Karena sebenarnya
sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin denganku manusia biasa? Kalau ini
memang satu kutukan, sungguh kejam dan jahat!"
Tiba-tiba
Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan.
Dadanya bergemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal semakin kencang hingga
mengeluarkan suara berkeretakan. Satu teriakan dahsyat kemudian keluar dari
mulutnya.
"Wahai
para Peri di atas langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku
yang kalian bunuh! Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat?!
Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam! Jahat Peri keparat
terkutuk! Aku akan mencari seribu jalan melakukan pembalasan! Kalian tunggu
pembalasanku!"
Habis
berteriak begitu Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi aneh yang
tergeletak di sudut kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil
lari tidak henti-hentinya dia berteriak.
"Ini
bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dongan makhluk celaka
ini! Peri jahat! Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"
Dalam
gelap dan dinginnya malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa
bayi aneh yang tiada hentinya menangis. Lelaki itu baru hentikan larinya ketika
dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya
menghadang satu jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah
timur langit mulai terang tanda sang surya siap memunculkan diri.
"Ini
bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri diatas langit tunggu
pembalasanku!"
Dengan
tubuh bergefetar dan basah oleh keringat Lahambalang angkat bayi bergelimang
darah dan penuh duri aneh itu. Sang bayi menangis keras. Di kejauhan seolah
datang dari tengah laut terdengar lolongan seperti lolongan anjing hutan.
Didahului teriakan keras dan panjang Lahambalang yang seolah sudah kerasukan
setan itu lemparkan bayi di tangan kanannya. Bayi malang itu melesat jauh ke
udara, lenyap dari pemandangan seolah menembus langit. Lahambalang pandangi
tangannya yang berlumuran darah lalu menatap ke langit. Sekali lagi ia
menjerit, meraung dahsyat! (Untuk jelasnya mengenai peristiwa lahirnya bayi
aneh ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Hantu Jatilandak").
LAHAMBALANG
lari laksana dikejar setan. Walau sekujur tubuhnya telah mandi keringat dan
tenaganya hampir terkuras namun dia lari terus. Dalam dukungannya terbujur
sosok Luhmintari yang telah jadi mayat, mulai kaku dan dingin. Walau telah
berkurang namun masih ada darah yang mengucur dari luka besar di perut
perempuan malang ini.
Di satu
kawasan bebukitan berbatu-batu, Lahambalang mulai terhuyung. Nafasnya menyengat
panas di tenggorokan dan dadanya menggemuruh sesak. Dalam keadaan seperti itu
dia masih juga terus berlari. Puncak bukit! Dia berusaha mencapai puncak bukit
batu itu! Tapi ketika satu tonjolan batu menyandung kaki kirinya, tak ampun
lagi Lahambalang terguling jatuh. Dengan sosok istrinya masih dalam dukungan,
lelaki ini menggelinding belasan tombak ke bawah bukit lalu terhampar di
samping sebuah batu besar. Lahambalang mengerang pendek lalu bangkit dan duduk.
Mayat istrinya diletakkan di pangkuan. Dia memandang berkeliling.
"Luhmintari
istriku! Di mana aku jatuh di situlah tempat perpisahan kita. Mungkin ini satu
petunjuk. Agaknya di sini aku harus menyemayamkan dirimu! Wahai Luhmintari,
tubuh kasar kita boleh berpisah. Tapi rasanya mungkin tak akan lama kau
menunggu. Aku akan menyusulmu. Tunggu aku di alam roh wahai istriku!"
Dengan
hati-hati Lahambalang dudukkan mayat istrinya di tanah, bersandar ke batu besar
di belakangnya. Air mata mengucur membasahi dua pipinya yang cekung dan penuh
berewok meranggas. Berkali-kali dia mengusap rambut Luhmintari. Berkali-kali
pula dia menciumi wajah perempuan itu. Kalau tadi sekujur tubuhnya letih seolah
tidak bertulang lagi, namun saat itu tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan,
Lahambalang melompat ke atas batu. Dengan dua tangan terkepal dan diacungkan ke
langit dia berteriak.
"Para
Peri di atas langit! Untuk semua apa yang telah kalian lakukan atas diriku,
atas diri istriku dan atas diri anakku! Aku bersumpah akan melakukan
pembalasan! Aku bersumpah kutuk jahat akan jatuh atas Negeri Atas Langit dan
semua Peri yang ada di sana!"
Begitu
Lahambalang selesai berteriak mendadak di atas langit terdengar suara
menggelegar disertai berkiblatnya satu cahaya putih yang menyambar ke bawah.
Satu hawa yang sangat dingin menyapu ke arah batu di mana Lahambalang berdiri.
Lelaki ini terpental dari atas batu lalu jatuh berguling-guling ke kaki bukit.
Untuk beberapa lamanya hawa dingin masih menyungkup sekitar batu besar, di
dekat mana sosok mayat Luhmintari berada. Demikian dingin dan anehnya hawa yang
turun dari atas langit itu, semua benda cair yang ada di tempat itu menjadi
beku. Semua benda keras menjadi tegang kaku berubah bentuk menjadi kelabu
kehitaman.
Selagi
hawa dingin luar biasa membuncah begitu rupa tiba-tiba ada satu benda biru
meluncur dari langit sebelah selatan. Benda ini berputar-putar beberapa kali di
atas bukit batu sebelum melayang turun mendekati batu besar di mana sebelumnya
Lahambalang tegak meneriakkan sumpah dan kutuknya.
"Wahai…"
benda biru itu mengeluarkan suara. Ternyata dia adalah sosok Peri Bunda yang
mengenakan pakaian sutera biru panjang menjela dan menebar bau harum semerbak.
Mahkota kecil ditaburi batu-batu permata di atas kepalanya memantulkan sinar
berkilauan. Wajah jelita sang Peri kelihatan berubah ketika dia menatap ke arah
batu besar dan memperhatikan sosok perempuan yang ada di belakang batu.
"Wahai…. Jangan-jangan para Peri telah keliru dan terlambat menurunkan
Hawa Dingin Pembendung Bala itu. Lahambalang lenyap. Yang ada hanya jenazah
istrinya. Dan…."
Belum
habis Peri Bunda mengucapkan suara hatinya itu tiba-tiba dari langit sebelah
timur, di bawah terik silaunya sinar matahari, menukik sebuah benda berwarna
putih disertai suara menguik panjang dan suara kepakan yang menimbulkan
sambaran angin keras. Peri Bunda segera palingkan kepalanya. Benda putih yang
melayang turun itu adalah seekor angsa putih raksasa. Di atas punggung binatang
ini duduk seorang dara berpakaian putih. Keharuman tubuh dan pakaiannya telah
menebar ke Seantero tempat walau dia masih puluhan tombak di atas sana. Dialah
Peri tercantik di Negeri Atas Langit yang memiliki sepasang mata biru.
"Peri
Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan,
untung aku lekas menemuimu!" berkata Peri Angsa Putih dari atas punggung
Laeputih angsa tunggangannya.
"Wahai
Peri Angsa Putih, kulihat kau seperti terburuburu. Wajahmu agak pucat. Gerangan
apakah hingga kau mendadak muncul menyusul aku ke sini selagi aku melakukan
tugas menangani satu masalah besar. Apakah kau menaruh syak wasangka
kalau-kalau aku turun ke negeri ini untuk menemui pemuda…."
"Wahai
Peri Bunda!" Peri Angsa Putih cepat memotong ucapan Peri Bunda.
"Ketahuilah, Peri Sesepuh yang memerintahkan aku untuk mencarimu lalu
memintamu segera kembali ke Negeri Atas Langit!"
"Hemm…
Begitu? Gerangan apa sebab musababnya maka Peri Sesepuh berlaku begitu padahal
dia juga yang memberi perintah agar aku turun ke sini?"
"Telah
terjadi sesuatu di Negeri Atas Langit!" jawab Peri Angsa Putih.
"Telah
terjadi sesuatu? Apa maksudmu Peri Angsa Putih?"
"Negeri
dilanda musibah besar. Satu penyakit kulit menyerang semua penghuni Negeri Atas
Langit! Lihat kulitku…" Peri Angsa Putih ulurkan dua tangannya. Ketika
Peri Bunda memperhatikan terkejutlah dia. Dua lengan Peri Angsa Putih penuh
dengan bercak-bercak putih berair. "Gelembung Air…" desis Peri Bunda
dengan muka pucat. Dia menatap paras Peri Angsa Putih sesaat.
"Ada
apa, Peri Bunda?" tanya Peri Angsa Putih tidak enak.
"Wajahmu….
Gelembung Air itu juga ada pada wajahmu!"
Peri
Angsa Putih terpekik mendengar ucapan Peri Bunda dan segera usapkan dua
tangannya ke wajahnya yang cantik. Dia merasakan, pada wajahnya yang sebelumnya
mulus itu kini ada gelembung-gelembung kecil berair.
Peri
Bunda tak sengaja perhatikan pula lengannya yang tersembul dari balik pakaian
birunya lalu terpekik ketika melihat gelembung-gelembung kecil itu juga ada
pada tangannya!
Selama
dua tahun para Peri di Negeri Atas Langit dengan berbagai cara dan bantuan
beberapa orang pandai akhirnya mampu melenyapkan penyakit kulit menular yang
menyerang. Semua Peri berhasil disembuhkan tanpa meninggalkan cacat di tubuh
serta wajah masing-masing. Namun hawa dingin aneh yang menyungkup kawasan bukit
batu tak dapat dilenyapkan dan menyebabkan tempat itu menjadi satu kawasan
mengandung rahasia yang hanya bisa diawasi oleh Peri dari kejauhan.
********************
2
PULUHAN
tahun berlalu setelah peristiwa Lahambalang melempar bayinya dan terjadinya
kegegeran di Negeri Atas Langit….
DI
tikungan sungai yang penuh dengan semak belukar, hampir tersamar mendekam
seorang berpakaian serba hitam. Wajahnya dilumuri lumpur dan diberi jelaga
hitam. Dari keseluruhan mukanya hanya bagian sekitar sepasang bola matanya saja
yang masih kelihatan putih. Orang ini tidak putus-putusnya memandang ke arah
rimba belantara di depannya.
"Seharian
lebih aku berada di sini. Kakek itu masih belum kelihatan. Kalau aku menyelidik
ke dalam hutan mungkin aku akan menemuinya. Tapi berarti gadis yang
kuperkirakan akan lewat di tempat ini tidak dapat kutemui. Dua orang itu
sama-sama pentingnya. Aku harus mengambil keputusan…."
Di dalam
hutan suara kicau burung tiba-tiba berhenti dan lenyap. Orang di balik semak
belukar memasang telinga dan kembali menatap tajam ke arah depan. Dia berusaha
tenang namun tak dapat menahan debar dadanya ketika di depan sana dia melihat
satu bayangan putih berkelebat laksana angin, bergerak sejajar dengan tepian
sungai.
Tanpa
menunggu lebih lama orang di balik semak belukar ini segera melesat keluar. Di
lain saat dia telah berada dekat sebuah pohon besar, siap memotong lari orang
berjubah putih. Melihat ada orang tak dikenal, berpakaian dan bermuka hitam
menghadang jalannya, si jubah putih segera hentikan larinya. Kedua orang itu
saling memperhatikan dengan perasaan sama-sama heran. Si jubah putih merasa
heran melihat si penghadang yang mukanya dilumuri tanah liat lalu diberi jelaga
hitam. Sebaliknya si muka hitam terkesiap karena tidak menyangka orang yang
dicarinya selama ini begitu angker penampilannya. Orang berjubah putih di
hadapannya itu ternyata adalah seorang kakek yang otaknya terletak diluar kepala,
terbungkus oleh sejenis selubung bening hingga dia dapat melihat otak itu
bergerak berdenyut menggidikkan!
Untuk
beberapa saat lamanya ke dua orang ini tegak tak bergerak dan saling tatap. Di
antara mereka agaknya sama-sama sungkan untuk mulai menegur. Namun si kakek
berjubah putih, setelah berdehem beberapa kali akhirnya membuka mulut juga.
"Wahai
kerabat tak dikenal. Pakaianmu serba hitam pertanda kau seperti dalam satu
perkabungan. Wajahmu sengaja dilumuri tanah liat. Lalu diberi jelaga hitam. Pertanda
kau tidak ingin dirimu dikenali siapa adanya. Lalu walau jelas-jelas
kehadiranmu sengaja menghadangku tapi kau tidak menegur membuka suara. Pertanda
ada satu keraguan mengganjal dalam hatimu! Wahai, apakah betul semua
ucapanku…?"
Sepasang
mata orang bermuka hitam sesaat membesar lalu redup kembali. "Orang tua
berotak di luar kepala ini agaknya tajam dalam pandangan dan pandai dalam
mengajuk rasa…" Si muka hitam membatin.
"Orang
muka hitam, aku hanya bertanya satu kali. Jika kau tak mau menjawab, aku harap
kau jangan menghalangi jalanku lebih lama!"
"Orang
tua, aku tidak bermaksud jahat…."
"Wahai!
Tidak ada yang menuduhmu begitu. Katakan saja apa keinginanmu!"
"Agar
kau tidak kesalahan, pertama sekali aku ingin menanyakan apakah engkau kakek
sakti yang di Negeri Latanahsilam ini disebut sebagai Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab?"
Si kakek
yang otaknya terletak di luar kepala mengangguk membenarkan. Lalu berkata,
"Aku sudah mengiyakan dengan anggukan kepala. Sekarang aku balas bertanya.
Apakah kau orangnya yang sejak beberapa lama belakangan ini menebar kebaikan
dan budi pertolongan dimana-mana? Hingga kau dikenal dengan lulukan Si Penolong
Budiman? Yang dianggap bahkan dipuja sebagai penolong yang hebat dan luar
biasa?"
Si muka
hitam terkejut, karena tidak menyangka kakek berjubah putih itu telah
mengetahui siapa dirinya.
"Wahai,
orang-orang memang menggelariku begitu. Padahal aku merasa sangat tidak pantas
mendapat julukan itu. Menolong adalah sifat yang terlahir ada dalam setiap diri
manusia. Hanya saja masing-masing orang mempunyai cara serta saat
sendiri-sendiri untuk mau melakukan pertolongan atau tidak. Lagi pula aku
bukanlah seorang hebat dan luar biasa. Sesuatu yang hebat dan luar biasa itu
tidak akan bertahan lama. Yang bisa bertahan adalah sesuatu yang serba
sederhana dan terbungkus dalam timbang rasa bijaksana…."
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tatap wajah hitam di depannya. Lalu kakek ini
sibakkan rambut putih panjang yang menjulai menutupi wajahnya. Seringai tipis
muncul di wajahnya.
"Muka
hitam, kau pandai bertutur bicara sepandai kau menutupi wajahmu dengan tanah
liat dan jelaga hitam. Tapi apakah kau tahu, seorang yang tidak jujur hidupnya
hanya mencari celaka?"
"Wahai,
kejujuran bukan segala-galanya. Terkadang seseorang memang harus menjadi seekor
burung merpati untuk menunjukkan ketulusan hatinya. Tetapi ada kalanya
seseorang harus berubah menjadi secerdik ular untuk menyelamatkan dirinya dari
orang lain. Jadi jika kau berniat untuk menanyakan siapa diriku, tak banyak
yang bisa kuberikan sebagai jawaban. Sejak lama aku mencarimu. Hanya saja baru
pada kesempatan ini aku bisa menemuimu. Mohon maaf jika kau tidak berkenan
dengan caraku. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab,
yang tahu sejuta masalah dan punya sejuta jawaban, ada hal yang ingin
kutanyakan padamu…."
"Wahai,
aku bukan orang yang tahu segala-galanya. Seseorang yang menganggap dirinya
tahu segala-gala sama saja dengan mencari bencana. Karena pengetahuannya itu
akan menjadi bayang-bayang yang selalu mengejarnya sepanjang hidup…."
"Wahai,
aku tidak sependapat dengan ucapanmu," kata Si Penolong Budiman.
"Menurutku, baik buruknya Ilmu pengetahuan tergantung bagaimana seseorang
mempergunakannya."
Si kakek
tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Ucapanucapanku hanya untuk menguji.
Ternyata dia memang
seorang
yang jujur polos dan punya sifat berterus terang untuk mengatakan sesuatu yang
tidak selalu benar."
"Wahai
kerabat muka hitam. Baiklah, aku menunggu apa gerangan yang hendak kau tanyakan
padaku."
"Aku
tengah mencari seorang bernama Lajundai alias Labahala yang konon kini dianggap
sebagai Raja Diraja Segaia Hantu di Negeri Latanahsilam ini dan dijuluki Hantu
Muka Dua. Sebelum melakukan pencarian Ingin kutanyakan padamu. Di luaran aku
menyirap kabar bahwa Hantu Muka Dua adalah muridmu. Apakah hal itu benar wahai
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
Si kakek
terdiam, usap mukanya lalu gelak mengekeh.
"Dunia
luar dunia penuh sejuta keanehan. Salah satu di antaranya adalah berita yang
kau dengar itu…" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab gelengkan kepala.
"Hantu
Muka Dua bukan muridku, aku bukan guru Hantu Muka Dua. Tidak pernah aku
mengajarkan secuil ilmupun padanya. Bagaimana hal itu tersebar diluaran setelah
kuselidiki ternyata adalah ulah perbuatan Hantu Muka Dua sendiri. Dia sengaja
menebar kabar dengan maksud tujuan tertentu.
"Wahai,
terima kasih kau telah mau memberi keterangan. Jika kelak aku bertemu dengan
Hantu Muka Dua, aku tak akan bersikap ragu dan tak ada ganjalan bagiku untuk
menghadapinya…."
"Orang
muka hitam, dari penampilan dan tutur bicaramu aku melihat ada satu ganjalan
hidup yang penuh teka-teki dalam dirimu. Jika kau tidak bisa memecahkannya kau
mungkin akan mengakhiri hayat dalam keadaan kecewa penasaran…."
"Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab, penglihatanmu, sungguh tajam, perasaanmu sangat
dalam. Aku berterima kasih. Apakah kau mungkin memberikan satu petunjuk yang
harus kulakukan?"
Kakek
yang otaknya berada di luar batok kepala itu merenung sejenak. Lalu dia
berkata. "Sebelum matahari tenggelam pergilah ke arah selatan. Jangan
berhenti sekalipun kau harus menempuh perjalanan sekian hari sekian malam. Kau
baru berhenti jika sampai di satu kawasan bukit batu dimana udara terasa sangat
dingin walau sang surya bersinar terik pada siang hari…."
"Jika
aku sampai di tempat itu, apa yang harus kulakukan wahai Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab?"
Si kakek
tersenyum. "Tadi kukatakan, aku bukan manusia yang tahu segalanya. Lakukan
saja apa yang kukatakan. Sampai di sana mungkin kau akan mendapat petunjuk dari
para Dewa…..”
“Kalau
begitu, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih,” kata Si Penolong Budiman
seraya tundukkan kepala dan menjura. Ketika dia angkat kepalanya kembali, kakek
jubah putih itu tidak ada lagi dihadapannya.
********************
3
GAGAK
hitam itu mengeluarkan suara menguik panjang, terbang berputar-putar di atas
hutan jati lalu hinggap di cabang rendah sebuah pohon. Makhluk yang sekujur
tubuhnya berwarna kuning serta ditumbuhi duriduri coklat dan hanya mengenakan
cawat itu hentikan larinya, memandang ke atas pohon. Orang ini adalah Hantu
Jatilandak, manusia yang lahir dalam kutukan para Peri karena ibunya Luhmintari
yang merupakan seorang Peri melanggar pantangan, kawin dengan Lahambalang
seorang manusia biasa.
"Gagak
hitam itu…. Wahai, ada yang kurasa aneh," kata Hantu Jatilandak dalam
hati. "Sejak pagi tadi ke mana aku pergi di situ dia muncul. Seperti
sengaja mengikuti perjalananku. Apa mungkin kakek Tringgiling Liang Batu yang
mengirimnya. Tidak boleh jadi. Kakek tak pernah memelihara burung. Wahai, pertanda
apa ini sebenarnya?" Pemuda itu memandang berkeliling, menduga-duga dimana
dia berada saat itu. "Mungkin aku harus kembali ke pulau. Menemui kakek di
hutan Lahitamkelam…."
Gagak
hitam di atas pohon kembali keluarkan suara menguik. Lalu binatang ini kepakkan
sayapnya, terbang ke pohon lain dan hinggap di salah satu cabang. Dia memandang
ke arah Hantu Jatilandak seperti sengaja menunggu. Gerak-gerik burung ini
lama-lama membuat Hantu Jatilandak jadi kesal. Dia segera mematahkan satu
ranting kecil lalu dilemparkannya ke arah gagak hitam. Patahan ranting menancap
di cabang pohon. kalau gagak hitam tidak lekas bergerak terbang, ranting itu
akan menancap tepat di tenggorokannya. Binatang itu terbang dan hinggap di
pohon lain. Ternyata dia tidak terbang jauh dan hinggap diam, memandang ke arah
Hantu Jatilandak. Dalam kesalnya Hantu Jatilandak sudah punya niat untuk
membunuh burung itu dengan duri-duri coklat yang ada di tubuhnya. Namun
selintas pikiran muncul dalam benaknya.
"Kalau
kuperhatikan, gagak itu selalu terbang ke satu arah. Ke selatan. Setiap kuusik
dia melarikan diri, tapi tidak terbang jauh. Hinggap di pohon, memandang aneh
padaku…. Kalau saja dia bisa bicara…."
Gagak di
atas pohon menguik keras. Lalu melesat ke pohon lain. "Terbang lagi….
Tetap ke arah selatan…"
kata
Hantu Jatilandak sambil memperhatikan. "Jika aku menuju ke pulau berarti
arah yang kutempuh adalah arah berlawanan. Ke utara. Akan kucoba lari ke arah
utara. Apa yang terjadi…."
Habis
berkata begitu Hantu Jatilandak balikkan tubuhnya, pura-pura lari ke jurusan
utara. Burung gagak hitam menguik lagi lalu melesat terbang melintas didepan
Hantu Jatilandak, demikian terus berulang kali. Ketika akhirnya pemuda bertubuh
kuning dengan duri-duri mengerikan itu hentikan larinya, burung gagak tadi
melesat ke pohon di sebelah kanan dan hinggap disalah satu cabangnya. Hantu
Jatilandak memperhatikan. Ternyata seperti sebelumnya, gagak hitam itu
lagi-lagi berada di arah selatan. Kini ada perasaan di hati Hantu Jatilandak
bahwa gagak hitam itu bukan burung biasa.
"Ketika
aku lari ke utara, burung itu seperti berusaha menghalangi. Kini akan kucoba
lari ke selatan…." Sekali lompat saja Hantu Jatilandak lalu melesat dua
tombak, terus lari secepat yang bisa dilakukannya menuju selatan. Di atas sana,
gagak hitam tadi ternyata juga terbang ke arah selatan. Malah seperti sengaja
berada di sebelah depan, seolah menuntun lari Hantu Jatilandak.
Hantu
Jatilandak tidak, tahu berapa lama dan berapa jauh dia lari mengikuti gagak
hitam itu. Dia baru sadar ketika dua kakinya mendadak terasa berat dan di barat
sang surya hampir menggelincir masuk ke titik tenggelamnya. Memandang ke depan
Hantu Jatilandak melihat gagak hitam melayang turun lalu hinggap di atas sebuah
batu besar di tempat ketinggian. Hantu Jatilandak memperhatikan berkeliling.
Dia dapatkan dirinya berada di satu bukit penuh bebatuan. Ketika dia memandang
lagi ke arah ketinggian di depan sana, gagak hitam itu tak kelihatan lagi di
atas batu besar! Sementara udara mulai berangsur gelap. Batu- batu besar di sekelilingnya
kelihatan seperti berubah aneh dalam kehitaman malam yang segera turun.
"Burung
gagak itu lenyap. Benar-benar aneh…" kata Hantu Jatilandak dalam hati.
Saat itulah dia baru menyadari bahwa tempat dimana dia berada diselimuti hawa
dingin luar biasa. Tubuhnya yang tanpa pakaian dan penuh keringatan mulai
menggigil. Tak ada pepohonan atau semak belukar untuk berlindung dari hawa
dingin. Hantu Jatilandak melangkah mendekati sebuah batu besar. Dalam gelap dia
melihat ada sedikit cegukan pada batu itu. Mungkin dia bisa berlindung di
cegukan tersebut. Hantu Jatilandak hampiri batu besar itu lalu sandarkan
punggungnya.
"Apa
yang harus kulakukan di tempat ini? Burung ‘gagak hitam itu lenyap entah
kemana. Petunjuk apa yang sebenarnya hendak diberikan binatang itu. Apa aku
harus terus berada di sini, menunggu sampai pagi?"
Hantu
Jatilandak rangkapkan dua tangan di depan dada menahan dingin yang amat sangat.
Sambil berpikir-pikir Hantu Jatilandak ulurkan kepalanya sedikit, memandang
berkeliling. Dia dapati ternyata di samping kiri ada sebuah batu yang dalam
gelap bentuk dan besarnya menyerupai sosok manusia. Hantu Jatilandak ulurkan
tangannya mengusap bagian batu yang menghadap kearahnya. Dia tersentak kaget
tapi juga gembira karena ketika tangannya menyentuh batu ada hawa hangat
menjalar masuk ke dalam tubuhnya hingga dia tidak kedinginan dan menggigil
seperti tadi.
Dari
hanya memegang bagian belakang batu itu Hantu Jatilandak alihkan pegangannya ke
depan. Jarijarinya mengusap-usap kian kemari. Baru dia menyadari kalau
jari-jarinya bukan seperti menyentu batu yang keras dan kasar, tetapi seolah
mengusap sosok tubuh manusia benaran, halus dan lembut! Pemuda bersosok aneh
itu terus mengusap bagian depan batu. Usapannya naik ke atas. Mendadak dia jadi
tersentak ketika jarijarinya terasa basah oleh cairan hangat. Hantu Jatilandak
bergerak keluar dari dalam cegukan batu besar. Ketika dia memperhatikan batu
yang tadi diusap-usapnya itu terkejutlah dia karena batu itu berbentuk satu
sosok patung perempuan berambut terurai.
"Wahai
siapa yang membuat patung begini bagus. Halus… benar-benar menyerupai manusia
hidup. Aneh! Bagaimana patung ini bisa berada di tempat ini? Mungkin ada
seorang pemahat yang tengah mengerjakan pembuatan patung ini pada siang hari.
Kalau malam dia pergi untuk istirahat. Tak bisa jadi. Patung ini benarbenar
sudah rampung. Bagus dan sangat halus buatannya…." Hantu Jatilandak ingat
pada cairan hangat yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika dia memperhatikan
wajah patung itu kaget Hantu Jatilandak bukan kepalang. Ternyata cairan hangat
itu keluar dari dua mata patung. Seolah tetesan-tetesan air mata.
"Patung
menangis…." desis Hantu Jatilandak.
"Bagaimana
mungkin…. Apa arti semua keanehan ini. Bermula dari burung gagak hitam itu.
Lalu sekarang patung ini…." Hantu Jatilandak pegang wajah patung itu
dengan dua tangannya. "Benar-benar cantik…" katanya.
Lalu
anehnya tetesan air mata semakin banyak keluar dari sepasang mata patung.
"Aku harus menunggu sampai pagi! Kalau patung ini memang sedang dikerjakan
seseorang, besok pasti aku akan bertemu dengan pemahatnya. Kalau tidak, mungkin
aku akan menemukan keanehan lain atau satu petunjuk…."
Baru saja
Hantu Jatilandak selesai berucap tiba-tiba entah dari mana datangnya, seolah
dari kejauhan bergema satu suara halus. Suara perempuan.
"Wahai
anak manusia, kau mengadakan perjalanan siang malam sejauh ini. Di matamu yang
kuning terpancar satu ganjalan hati yang selama ini membayangimu kemana kau
pergi. Hal apakah yang menjadi onak dan duri dalam hati sanubarimu?"
"Siapa
yang barusan bicara?!" kata Hantu Jatilandak setengah berseru. Dia
memandang berkeliling menembus kegelapan. Lalu pandangannya tertuju kembali
pada patung perempuan cantik di hadapannya. Diperhatikannya mulut patung. Tak
ada perubahan, apa lagi bergerak. Tengkuk Hantu Jatilandak terasa merinding.
"Wahai
anak malang. Kau tak bersedia menjawab.
Tak jadi
apa…."
"Tunggu
dulu!" kata Hantu Jatilandak. "Dengan siapa aku bicara? Siapa yang
bicara dengan diriku! Bagaimana aku bisa bicara dengan seseorang yang tak bisa
kulihat!"
"Anak
malang, kau bicara dengan hatinuranimu sendiri. Selama kau tidak mau berterus
terang dengan dirimu sendiri maka ganjalan hidup akan tetap mendekam dalam
dirimu…."
"Wahai,
baik… aku bicara. Aku anak manusia yang tidak tahu siapa ayah dan siapa ibuku!
Bertahun-tahun aku coba memecahkan teka-teki, mencari tahu siapa mereka adanya
dan dimana mereka berada. Tapi sia-sia belaka…."
"Anak
malang, kau harus segera meninggalkan tempat ini…" kata suara di kejauhan.
Hantu Jatilandak perhatikan mulut patung. Ternyata memang tidak bergerak.
"Tidak,
aku akan menunggu sampai pagi. Aku ingin melihat kecantikan dan kemulusan
patung ini di bawah sapuan sinar matahari…"
"Wahai
anak malang…"
"Kau
terus-terusan menyebutku anak malang. Apakah kau mengetahui seluk beluk rahasia
diriku?" Hantu Jatilandak bertanya.
"Tak
akan kujawab pertanyaanmu wahai anak malang. Karena jawabnya ada dalam dirimu
sendiri. Satu hal aku minta padamu, jangan bellama-lama berada di tempat ini.
Sesuatu tidak terduga bisa saja terjadi. Sekarang juga tinggalkan tempat ini.
Pergilah ke Negeri Latanahtembikar. Temui Kepala Negeri yang bernama Latrubus.
Orang ini dulunya bernama Lahambalang. Dialah ayahmu. Jika dia tidak mengakui
dirimu sebagai puteranya karena ragu tidak percaya, temuilah seorang nenek
dukun beranak bernama Luhumuntu di Negeri Latanahsilam. Dialah satu-satunya
saksi yang mengetahui siapa dirimu. Bawa perempuan tua ke hadapan Kepala Negeri
Latanahtembikar agar lenyap segala ke-raguan.,,."
Hantu
Jatilandak serasa tidak percaya mendengar ucapan orang yang tak kelihatan itu.
Dia memandang berkeliling lalu mendongak ke langit. "Wahai, sungguh ini
satu berita yang mengejutkan. Hatiku gembira luar biasa. Namun…."
"Jangan
membuat keraguan dalam dirimu sendiri wahai anak malang. Pergilah segera.
Semoga Dewa memberkatimu…."
Hantu
Jatilandak menyeringai mendengar ucapan terakhir itu. Dia memandang ke arah
kegelapan.
"Wajahmu
menandakan ada yang tidak berkenan di hatimu. Kau mengalihkan muka ke jurusan
lain pertanda ada kekecewaan dalam dirimu. Wahai, jelaskan padaku sebelum kau
pergi. Gerangan apa yang kau rasakan saat ini?"’
"Kesengsaraan
hidup yang aku alami saat ini justru karena kutuk Para Dewa dan Para Peri.
Apakah mungkin aku mengharapkan berkah dari para Dewa?"
"Aku
tidak akan menjawab pertanyaanmu karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri.
Sekarang pergilah wahai anak malang…, Waktumu hampir habis…."
"Aku
ingin menolong seorang sahabat. Dia juga tidak mengetahui siapa dan dimana ayah
bundanya. Namanya Luhcinta. Apakah kau bisa menolong memberi petunjuk?"
"Menolong
orang lain adalah sangat baik, apa lagi dilakukan dengan hati bersih. Tetapi
jika hal itu berada di luar jangkauan kita mengapa harus mempersulit diri sementara
diri sendiri diselubungi berbagai kesulitan? Berkah para Dewa juga akan turun
pada diri sahabatmu itu. Dia kelak akan mengetahui siapa ibu dan ayahnya. Wahai
jangan berada lebih lama di tempat ini. Pergilah….Aku melihat tanda-tanda
kurang baik…."
Hantu
Jatilandak pandangi patung batu di hadapannya.
Suara itu
memang datang dari kejauhan dan mulut patung sejak tadi diperhatikannya
sedikitpun tidak bergerak. Tapi ada rasa percaya dalam diri pemuda ini bahwa
yang barusan bicara padanya adalah patung perempuan itu. "Aku akan
menguji…" kata Hantu Jatilandak dalam hati. Lalu dengan hati-hati dia
tempelkan pipinya yang berduri ke pipi patung perempuan itu seraya berbisik.
"Patung
batu, kau bukan saja cantik tetapi juga baik. Aku tidak menganggapmu patung.
Bagiku kau adalah manusia hidup. Jika saja aku memang pernah punya ibu, aku
ingin ibuku secantik dan sebaik dirimu. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal.
Jika ada kesempatan aku pasti akan menemuimu lagi di tempat ini…."
Sekonyong-konyong
ada detak aneh di bagian dada patung. Lalu dari dua mata patung itu mengalir
deras tetesan air mata. Sepasang mata Hantu Jatilandak membesar "Berarti…
wahai! Berarti dia mendengar, paling tidak patung ini mengerti apa yang aku
ucapkan. Aku yakin dia juga tadi yang bicara secara aneh padaku…."
Baru saja
Hantu Jatilandak selesai membatin tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar dua
suara tawa bergelak. Satu suara tawa lelaki, satunya lagi suara tawa perempuan.
"Manusia
buruk rupa! Tidak bisa bercinta dengan manusia, melampiaskan nafsu
berpeluk-pelukan dengan patung batu! Ha… ha… ha!"
********************
4
KITA
tinggalkan sementara Hantu Jatilandak dan patung menangis di bukit berbatu-batu
itu. Kita ikuti dulu perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dua temannya
yaitu si bocah konyol Naga Kuning dan kakek bau pesing Si Setan Ngompol.
Pemilik perahu bertubuh gemuk buntak itu lambaikan tangannya pada tiga orang
yang berada di tepi sungai.
"Aku
tahu kalian hendak ke Tanahsilam. Perjalanan cukup jauh dari sini. Jika ada
perahu mengapa mau berlelahlelah berjalan kaki? Dengan perahu kalian bisa
sampai lebih cepat!"
"Bagaimana
kerbau buntak itu tahu kita hendak ke Latanahsilam," tanya Wiro pada dua
temannya, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.
Di atas
perahu si gemuk kembali berseru. "Aku pernah melihat kalian bertiga di
Negeri Latanahsilam. Bukankah kalian orang-orang gagah yang kabarnya datang
dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang? Wahai, jika kalian mau naik
perahuku biar tidak dibayarpun aku mau! Aku merasa bangga bisa membawa orang-orang
hebat seperti kalian…."
"Kalau
tidak bayar memang lumayan juga!" kata Naga Kuning.
"Dengan
naik perahu bisa mengurangi kencingku.
Berarti
menghemat air yang ada dalam tubuhku!" kata Si Setan Ngompol sambil
senyum-senyum. Lalu bersama Naga Kuning dia mendahului naik ke atas perahu.
Wiro masih tegak di tepi sungai. Memperhatikan pemilik perahu itu sejenak.
"Hai!
Kau memilih jalan kaki atau bagaimana?!" seru Naga Kuning.
Akhirnya
Pendekar 212 menyusul masuk ke dalam perahu. Sepanjang perjalanan pemilik
perahu yang mengaku bernama Labuntalan itu tidak henti-hentinya berceloteh.
Menurutnya orang senegeri Latanahsilam mulai mengenal Wiro dan kawan-kawannya
sejak tubuh mereka masih merupakan sosok-sosok katai.
"Orang
di Latanahsilam mulai mengenal kalian bertiga setelah terjadi Bakucarok,
perkelahian hidup mati antara Lahopeng dengan Lakasipodi tanah lapang,"
kata Labuntalan pula. (Baca Serial Wiro Sableng berjudul"Bola-Bola
Iblis").
Sambil
bercerita pemilik perahu itu terus saja mendayung. Diam-diam Wiro
memperhatikan. Sekali dayungnya dikayuh perahu melesat sampai beberapa tombak
ke depan. Padahal saat itu mereka melawan arus. Murid Eyang Sinto Gendeng
mempunyai kesan bahwa Labuntalan mengayuh perahunya bukan cuma mengandalkan
tenaga kasar dan tenaga luar. "Agaknya si gendut satu ini memiliki tenaga
dalam tidak rendah. Aku menaruh curiga jangan-jangan dia bukan tukang penyewa
perahu biasa. Setahuku orang di Negeri Latanahsilam pelit-pelit. Adalah aneh
kalau dia mau-mauan mengantar sejauh ini ke Latanahsilam tidak usah dibayar.
Aku harus mengetahui siapa dia sebenarnya. Aku akan menguji…."
Diam-diam
Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam lalu dialirkan ke sebelah bawah tubuhnya.
Perahu yang sedang meluncur laju itu perlahan-lahan bergerak turun ke bawah
seolah beban yang dibawanya bertambah berat ratusan kati. Sewaktu air sungai
hampir mencapai pinggiran perahu baru Naga Kuning dan Si Setan Ngompol
menyadari dan sama terkejut. Namun Wiro cepat memberi tanda. Dia terus
memperhatikan si gemuk yang mendayung perahu. Walau perahu itu menjadi sangat
berat dan daya luncurnya tertahan namun Labuntalan terus saja mendayung seolah
tidak terjadi apa-apa. Kini kecurigaan Pendekar 212 jadi bertambah besar. Saat
itu di depan mereka tampak meluncur perlahan sebuah perahu, didayung oleh
seorang perempuan. Karena orang ini membelakangi maka wajahnya tidak kelihatan.
"Labuntalan,
harap kau suka menepikan perahu," kata Wiro.
"Wahai,
ada apa? Kita masih jauh dari tujuan!" ujar pemilik perahu seraya mengayuh
lebih kuat hingga perahunya meluncur mendekati perahu di sebelah depan.
"Kami
ada keperluan sebentar. Kakek temanku ini kepingin kencing! Kecuali kalau kau
membolehkan dia beser di atas perahumu!" kata Naga Kuning pula.
Pada saat
perahu yang ditumpangi Wiro berjajar dengan perahu di depannya, perempuan yang
mendayung palingkan kepala. Ternyata dia adalah seorang perempuan tua berdandan
mencorong. Selagi Wiro dan Naga Kuning rasa-rasa pernah melihat nenek itu, Si
Setan Ngompol sudah lebih dulu berseru seraya lambaikan tangan.
"Luhlampiri!"
Si nenek
di atas perahu balas melambaikan tangan disertai lontaran senyum yang membuat
Si Setan Ngompol jadi belingsatan lupa diri. Langsung saja dia berdiri di atas
perahu hingga perahu yang masih berat oleh tenaga dalam Wiro itu bergoyang kian
kemari. Air sungai masuk ke dalam perahu. Si kakek seolah tidak acuh, terus
saja lambai-lambaikan tangannya kegirangan. Sebenarnya jika Setan Ngompol
mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sekalipun dia
berjingkrak-jingkrak, perahu itu tidak akan bergoyang sedikitpun.
"Kek,
kau mabok atau kesurupan melihat nenek mencorong itu!" berkata Naga
Kuning.
"Kurasa
mabok belum, kesurupan juga tidak. Tapi kegatalan!" menjawab Pendekar 212.
Si Setan
Ngompol tidak perdulikan ejekan dua sahabatnya itu. Sambil terus melambaikan
tangan dan senyum-senyum dia berkata. "Luhlampiri, nenek cantik bertubuh
montok! Kucari-cari belum sempat bertemu. Tahu-tahu kini kau muncul sendiri
seolah diantar malaikat! Bukan main…. Kau tambah cantik saja. Kulitmu tambah
putih, seperti berkilau!" Si kakek leletkan lidahnya sambil geleng-geleng
kepala. Matanya yang jereng berputar-putar.
"Wahai
kakek gagah dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Apa kau tega
membiarkan aku kedinginan seorang diri dalam perahu ini?"
"Wahai!
Mana tahan aku mendengar ucapanmu sahabatku cantik!" Si Setan Ngompol
kedipkan matanya lalu berpaling pada Wiro dan Naga Kuning. "Rejeki besar
ini tidak boleh dilewatkan. Kawan-kawan aku terpaksa meninggalkan kalian. Aku
mau pindah perahu! Berdempet-dempet dengan kalian di perahu ini gerah rasanya!
Dari pada semaput lebih baik aku pindah ke perahu nenek cantik itu!"
"Kakek
sialan…" memaki Naga Kuning.
Si Setan
Ngompol siap hendak melompat. Tapi celananya digaet jari-jari Naga Kuning
hingga merosot ke bawah. Kalau tidak lekas kakek ini pegangi celananya,
auratnya akan tersingkap jelas depan belakang. Di seberang sana si nenek
tertawa cekikikan melihat kejadian itu.
"Anak
kurang ajar! Kau mau kutendang?!" sentak Si Setan Ngompol sambil menahan
kencingnya.
"Kek,
apa kau lupa ucapan Lakasipo?!" Wiro cepat menegur.
"Weh!
Ucapannya yang mana?!" tanya si kakek.
"Lakasipo
pernah menerangkan. Nenek itu pernah kawin dengan… entah sepuluh entah selusin
laki-laki. Semua suaminya menemui ajal! Kau mau ikut-ikutan mati?!"
"Anak
tolol! Memangnya aku mau kawin sama nenek itu?!" ujar Setan Ngompol seraya
pegangi bagian bawah perutnya.
"Kawin
betulan memang belum tentu. Tapi kalau ketelanjuran kawin-kawinan berarti kau
memang sengaja mencari penyakit…."
"Kalian
berdua masih muda-muda tahu apa. Penyakit itu ada dua macam tahu! Pertama
penyakit yang benar-benar sakit. Ke dua penyakit sakit-sakit enak. Nah aku mau
mendapatkan penyakit yang sakit-sakit enak itu! Aku tahu kalian berdua ngiri!
Jangan khawatir dua sobatku. Nenek itu tak mungkin hamil! Ha… ha… ha!"
Setan
Ngompol tertawa bergelak. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia melompat. Tubuhnya
melayang di udara, masuk ke dalam perahu yang ditumpangi si nenek.
"Tua
bangka edan! Namanya saja Luhlampiri. Masih saudara dengan Nenek Lampir tukang
cekik. Kalau sudah dicekik lehernya atas bawah baru kakek geblek itu tahu
rasa!" Naga Kuning memaki panjang pendek.
Begitu
masuk di dalam perahu, Si Setan Ngompol segera mengambil pendayung dari tangan
Luhlampiri. Keduanya bicara sambil tertawa-tawa seolah sudah akrab dan kenal
lama.
Tiba-tiba
perahu itu berbalik berputar arah.
"Eh,
mau kemana mereka?!" ujar Wiro keheranan.
"Mereka
agaknya tak mau searah dengan kita…" ucap Naga Kuning.
Ketika
berpapasan Si Setan Ngompol tempelkan dua jari tangan kanannya di bibir lalu
dilayangkan ke depan. "Silahkan meneruskan perjalanan. Tunggu aku di
Latanahsilam. Aku mau mencari penyakit enak-enak! Ha… ha… ha!"
"Benar-benar
kakek geblek!" sungut Wiro.
"Biarkan
saja! Kalau belum kena batunya dia belum kapok! Biar kita meneruskan perjalanan
ke Latanahsilam…" Wiro berpaling ke haluan. "Astaga! Si gendut itu
lenyap!"
Naga
Kuning kaget besar. Dia memutar kepala. Pemilik perahu bernama Labuntalan yang
tadi duduk di sebelah belakang mereka tak ada lagi di atas perahu. Pendayung
juga ikut lenyap. Sementara itu perahu perlahan-lahan miring ke samping. Air
masuk dari lamping sebelah kanan.
"Dinding
perahu berlobang besar!" ujar Pendekar 212 sambil meraba dengan kaki
kanannya.
"Pasti
ini pekerjaan si gendut celaka itu!"
"Aku
memang sudah curiga sebelumnya! Tak bisa kuduga siapa dia sebenarnya! Naga
Kuning, kita harus segera tinggalkan perahu ini sebelum karam. Sungai ini cukup
dalam!"
Wiro dan
Naga Kuning kerahkan ilmu meringankan tubuh. Pada saat perahu itu amblas karam
ke dalam sungai ke duanya telah melesat di udara, melompat ke tebing sungai.
"Naga
Kuning, dengar. Kalau si gendut pemilik perahu itu musuh dalam selimut, aku
khawatir jangan-jangan nenek berdandan mencorong itu sama belangnya! Berarti
sahabat kita Si Setan Ngompol berada dalam bahaya!"
"Bahaya
apa?!" sungut Naga Kuning. "Saat ini janganjangan dia sudah
mendapatkan penyakit enak-enak itu!
Aku tahu
betul kelakuan si kakek itu! Pasti sudah dilakukannya-di atas perahu!"
"Aku
tidak perduli apa yang dilakukannya! Yang aku khawatirkan nyawanya saat ini
tengah terancam! Kita harus mengejarnya!"
"Kita
tak punya perahu!"
"Kita
mengejar dengan berlari sepanjang tepian sungai!" kata Wiro lalu tidak
perdulikan Naga Kuning dia segera lari ke arah lenyapnya Si Setan Ngompol dan
Luhlampiri. Naga Kuning banting-banting kaki kesal. Sebelumnya dia sudah punya
rencana begitu sampai di Latanahsilam dia akan segera mencari gadis cantik
bernama Luhkimkim yang selalu dikenangnya itu.
********************
5
DI ATAS
perahu pembicaraan antara Si Setan Ngompol dan si nenek bernama Luhlampiri
berlangsung meriah. Sesekali diseling gelak tawa. Sikap nenek yang genit
membuat Setan Ngompol jadi berani. Tangannya merangkul kian kemari. Hidungnya
menciumi wajah si nenek yang berdandan mencorong hingga muka Setan Ngompol
berselomotan bedak dan gincu. Ketika Setan Ngompol hendak menyelinapkan
tangannya ke balik kain si nenek, Luhlampiri tertawa cekikikan dan menggeser
duduknya menjauhi si kakek tapi ke dua kakinya sengaja diangkat demikian rupa
hingga tersingkap mulai dari lutut ke atas. Walau sudah tua ternyata sepasang
paha si nenek masih kencang dan putih mulus. Melihat sikap si nenek yang jelas-jelas
mengundang hampir saja Setan Ngompol hendak melompati nenek itu.
"Di
hutan di tepi sungai sana, ada satu pondokan. Aku sudah lama tidak ke sana.
Tempatnya bersih. Agaknya sekali ini bersamamu aku ingin sekali menginap paling
tidak tujuh hari tujuh malam! Bagaimana pendapatmu wahai kakek gagah?"
Luhlampiri kedipkan matanya dan lontarkan senyum genit.
Sepasang
mata jereng Setan Ngompol membuka lebar dan berputar-putar. Nafasnya belum
apa-apa sudah memburu dan darahnya menjadi panas. "Jangankan tujuh hari
tujuh malam! Tujuh ratus hari tujuh ratus malampun aku mau mendekam di pondok
itu bersamamu!"
"Hik…
hik… hik!" Luhlampiri tertawa cekikikan. "Sejak pertama kali aku
melihatmu di Tanahsilam dulu, aku sudah menduga kaulah lelaki idaman menjadi
kawan hidupku untuk selama-lamanya! Ternyata dugaanku tidak meleset!"
"Dan
kau adalah nenek cantik montok. Kau akan kujadikan panutan hati, ganjalan
kekasih hidupku siang dan malam…."
"Hik…
hik…. Kau kakek nakal! Masakan aku akan kau jadikan ganjalan? Memangnya mau diganjal
bagaimana?!" tanya Luhlampiri lalu digigitnya telinga kiri Si Setan
Ngompol yang lebar hingga kakek ini menjerit kesakitan dan balas menggigit dada
si nenek. Ke duanya lalu tertawa ha-ha-hi-hi.
"Kakek
gagah kekasihku, lekas dayung dan bawa perahu ke tepi sana…."
Setan
Ngompol segera mendayung perahu menuju tepi sungai. Di satu tempat begitu
perahu berhenti sepasang kakek nenek ini segera naik ke darat. Tak jauh
berjalan memasuki rimba belantara sampailah mereka ke sebuah pondok kayu. Dari
keadaan kayu serta bersihnya pondok agaknya bangunan itu belum lama didirikan.
"Aku
malu mengatakan," kata Luhlampiri sambil mendorong pintu pondok.
"Sebenarnya pondok ini sudah lama kusiapkan, sengaja untuk kita berdua.
Begitu lama aku menunggu kau, baru hari ini bertemu dan membawamu ke sini. Aku
benar-benar tersiksa dalam kerinduan…."
"Aku
tidak tahu begitu besar perhatianmu terhadapku, Luhlampiri…" kata Setan
Ngompol seraya peluk nenek itu penuh gairah.
Tanpa
menutup pintu si nenek langsung saja melangkah ke satu ranjang kayu di sudut
kanan pondok. Dia tegak di samping ranjang, berbalik dan memandang pada Setan
Ngompol.
"Tidakkah
kau ingin membuka pakaianmu wahai kakek gagah kekasihku?"
"Aku…."
ditantang begitu rupa Setan Ngompol jadi kikuk dan terkencing. "Aku justru
ingin kau membuka pakaian lebih dulu…."
"Kau
orang tua nakal! Maunya untung dan senang sendiri!" kata Luhlampiri.
"Tapi tak apa. Kau kekasihku dan aku suka padamu. Demimu apapun akan
kulakukan!"
Lalu
dengan cepat si nenek buka bajunya yang terbuat dari kulit kayu kering dan
lembut itu. Si Setan Ngompol jadi panas dingin. Matanya dipentang tak berkesip.
Sebentar lagi dia akan menyaksikan satu tubuh putih montok yang selama ini
diimpi-impikannya. Tapi apa yang terjadi kemudian justru tidak seperti yang diduga
Si kakek!
Begitu
pakaian si nenek terbuka, ternyata di bawah pakaian itu dia masih mengenakan
pakaian lain berwarna warni. Tak ada kulit putih dan dada montok yang terlihat.
Malah satu pemandangan lain membuat Setan Ngompol kaget tercekat. Setelah
membuka baju luarnya kelihatanlah kini, ternyata si nenek memiliki dua tangan
palsu yang terbuat dari besi yang sudah karatan mulai dari bahu sampai ke
ujung-ujung jari!
"Wahai
kekasihku, kulihat mukamu berubah! Ada apakah?!" Luhlampiri bertanya
sambil tersenyum. "Ingin sekali aku merangkul tubuhmu dengan dua tanganku
ini!" Si nenek angkat ke dua tangannya. Jari-jarinya runcing tajam seperti
mata pisau. Setan Ngompol cepat mundur dan terkencing! Dia memperhatikan
sepasang kaki si nenek. Baru disadarinya kalau kaki itu pendek sebelah!
Berdebar dada Setan Ngompol.
"Aneh!
Waktu di atas perahu kau terus menerus memelukku. Tanganmu menggerayang kian
kemari. Sekarang kau seperti ketakutan. Wajahmu pucat. Malah kau mundur
menjauhiku! Wahai kekasihku kakek gagah. Hik… hik… hik! Mengapa kau berubah
kaku…?!"
"Luhlampiri….
Aku tidak menyangka…. Apa yang terjadi dengan ke dua tanganmu?!" tanya
Setan Ngompol.
"Kau
tidak menyangka…? Wahai! Coba kau perhatikan ini! Kau pasti lebih tidak
menyangka!"
Tangan
besi sebelah kiri si nenek bergerak ke mukanya.
"Breeettt!"
Satu
topeng tipis terbuat dari daun kering robek dan tanggal dari wajah si nenek.
Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Satu wajah perempuan tua berkumis halus
dan ada anting-anting besar mencantel di kedua telinganya. Kejut Setan Ngompol
bukan alang kepalang. Mata jerengnya mendelik besar. Lututnya goyah dan mukanya
sepucat kain kafan! Kencingnya mancur membasahi lantai pondok.
"Nenek
Pembedol Usus" mulut Si Setan Ngompol bergetar mengucap nama orang yang
tegak di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa cekikikan.
Tenggorokannya seolah menenggak batu panas!
"Kau
memang kekasihku tercinta! Buktinya kau masih ingat siapa diriku! Hik… hik…
hik!"
Si nenek
yang tadinya menyaru sebagai Luhlampiri ternyata adalah anak buah Hantu Muka Dua
yang dikenal dengan julukan Nenek Pembedol Usus.
"Saat
ini, apakah kau masih ingin melihat tubuhku wahai makhluk berasal dari negeri
seribu dua ratus tahun mendatang?"
Setan
Ngompol tak menjawab. Dia hanya tegak dengan mata jereng melotot. Kencingnya mengucur
tak berkeputusan.
"Hik…
hik! Untuk orang yang akan segera mampus biar aku memberikan satu hadiah besar.
Semoga kau bisa menemui ajal sambil ketawa! Hik… hik… hik!" Si nenek lalu
robek dada pakaiannya. Dadanya yang besar tapi peot memberojol keluar bergundal-gundil!
"Buka matamu lebar-lebar! Puaskan hatimu melihat tubuhku! Hik… hik…
hik!"
Si nenek
lalu berhenti tertawa. Mukanya berubah garang.
"Setan
Ngompol! Aku akan membuat bukan cuma air kencing yang mengucur dari tubuhmu!
Tapi juga darahmu! Ingat peristiwa di sumur melintang beberapa waktu lalu?
Waktu terjadi pertempuran kau mengencingi dua tanganku hingga tidak bisa
kembali ke asalnya! Hik…hik! Dua tanganku boleh musnah! Tapi kemampuanku
membedol usus manusia tidak pernah lenyap walau kini aku hanya memiliki
sepasang tangan palsu! Hik… hik! Apa kau sudah puas melihat dadaku?!"
(mengenai peristiwa perkelahian Setan Ngompol dengan Nenek Pembedol Usus
silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul"Hantu Muka Dua").
Kalau
tadi Si Setan Ngompol memang kecut karena kaget, kini keberaniannya muncul,
walau otak kotor masih melekat di kepalanya. "Perempuan tua, siapapun kau
adanya! Peristiwa lama mengapa harus diingat! Semua terjadi karena kau
mengambil langkah keliru hingga sempat diperalat orang lain…."
"Tua
bangka keparat! Siapa yang memperalat diriku?!" sentak Nenek Pembedol
Usus.
"Jangan
mencari dalih! Bukankah kau diperalat oleh Hantu Muka Dua? Kalau saat ini kau
mau insaf bukankah sebaiknya kita melanjutkan kemesraan sejak di perahu tadi?
Aku tidak menampik kalau kau suka…."
Nenek
Pembedol Usus meludah ke tanah. Tua bangka berotak kotor! Baik, aku setuju kita
melanjutkan kemesraan. Sekarang biar kau rasakan bagaimana sedapnya kalau
auratmu kuusap dengan tangan besi ini!"
Didahului
suara tawa mengikik Nenek Pembedol Usus melompat ke depan. "Wuttt!"
Tangan besinya menyambar ke bawah perut si kakek. Setan Ngompol berseru kaget.
"Breeett!"
Celana Si
Setan Ngompol yakni celana baru hasil rampasan dari Hantu Muka Dua (baca serial
Wiro Sableng berjudul "Rahasia Kincir Hantu") robek besar di bagian
bawah pusarnya. Walau air kencingnya muncrat kemana-mana namun si kakek masih
sempat melompat selamatkan diri.
"Nenek
tolol! Jelek-jelek begini tidak semua perempuan aku suka! Kuberi kesempatan
untuk bermesra kau malah minta disuguhkan racun! Kalau kuhancurkan dua
payudaramu yang peot itu apa kau kira bisa diganti dengan payudara palsu
seperti sepasang tanganmu itu?! Ha… ha… ha!"
Mendengar
ejekan Setan Ngompol meledaklah amarah si nenek. Didahului teriakan keras dia
melompat kirimkan serangan. Si kakek sambut gebrakan lawan dengan jurus Setan
Ngompol Mengencingi Langit. Satu gelombang angin menebar hawa lembab dan bau
pesing menghantam si nenek. Membuat tubuh Nenek Pembedol Usus terdorong dan
tangan kanannya yang dipakai menyerang terbanting ke kanan. Namun hebatnya
dengan membuat gerakan seperti bersalto, si nenek kembali lancarkan serangan.
Kini tangan kirinya yang menyambar. Lalu sambil miringkan tubuh kaki kanannya
membeset ke samping.
Dengan
mudah Setan Ngompol elakkan serangan tangan besi yang menyambar hendak menjebol
perutnya. Namun dia tidak mampu meloloskan diri dari tendangan kaki si nenek.
"Buukkk!"
Setan
Ngompol terpental begitu kaki lawan mendarat di pinggul kirinya. Dalam keadaan
termiring-miring dan menahan sakit lawan kembali menggempur. Dua tangan besi si
nenek menyambar ganas. Sepuluh jarinya yang menyerupai pisau berkarat
berkelebat dan selalu mengarah ke perut Setan Ngompol. Untuk beberapa jurus si
nenek berhasil mendesak Setan Ngompol hingga lawannya ini terkencing-kencing
habis-habisan. Dalam keadaan celana basah kuyup Setan ngompol berusaha keluar
dari desakan lawan. Dia mainkan jurusjurus ilmu silat langka yang dimilikinya
dan selama ini jarang dikeluarkan. Setiap serangan mengandalkan tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuh hiqgga sosoknya berkelebat seolah tidak menginjak tanah.
Selain itu setiap pukulan yang dilancarkannya selalu menebar hawa lembab pengap
dan bau pesing.
Sebelum
dirinya terdesak, Nenek Pembedol Usus segera maklum, satu-satunya cara menghadapi
lawan ialah dia harus bergerak cepat dan mengatur pernafasan demikian rupa
hingga tidak menghirup hawa pengap dan bau pesing itu. Dengan menjerit garang
si nenek melesat ke udara. Terjadilah perkelahian hebat antara dua tua renta
itu, yang boleh dikatakan jarang kejadian dan jarang disaksikan orang. Mereka
berkelahi serang menyerang, gempur menggempur dengan tubuh berkelebat di udara,
hanya sesekali menjejak tanah untuk kemudian melancarkan serangan lagi.
Beberapa
kali sudah lengan atau kaki mereka saling beradu. Setiap lengannya bentrokan
dengan lengan besi si nenek, Setan Ngompol merasa seolah tulang tangannya
hancur luluh. Mau tak mau dia terpaksa menghindarkan bentrokan seperti itu.
Sebaliknya setiap dua kaki mereka saling beradu, si neneklah yang menderita
kesakitan. Akibatnya setiap dia menjejak tanah gerakannya selalu goyah. Satu
kali tendangan Si Setan Ngompol mendarat di tanah. Untuk sesaat lamanya dia tak
bisa bergerak. Tulang pinggulnya sebelah kiri ternyata remuk.
Dari
mulutnya keluar suara mengerang.
"Setan
Ngompol…. Aku… sebenarnya hanya menguji hatimu. Aku ingin tahu sampai di mana
rasa suka yang kau ucapkan. Ternyata kau tega menjatuhkan tangan keras…"
Sepasang mata si nenek tampak berkacakaca.
"Aku
pasrah…. Aku ingin kau membunuhku saat ini juga. Tapi sebelum aku menemui ajal,
ingin kutunjukkan padamu. Sebenarnya aku sejak lama diam-diam
mencintaimu…."
Tentu
saja Si Setan Ngompol jadi melongo mendengar ucapan si nenek. "Kau… kau
mencintaiku sejak lama?"
"Dengan
sepenuh hati wahai kekasihku. Penuhi permintaanku. Bunuhlah diriku. Aku akan
merasa tenteram di alam roh jika tanganmu sendiri yang merenggut
nyawaku…."
"Aku….
Tak mungkin aku membunuhmu!" kata Setan Ngompol pula seraya melangkah
mendekat.
"Bunuh
aku dan peluk diriku sebelum ajalku melayang…."
"Kalau
kau memang mencintai diriku, bagaimana mungkin aku membunuhmu! Mari kulihat
cidera di pinggulmu. Aku menyesal menjatuhkan tangan keras. Aku akan
mengobatimu…."
"Kau
berjanji akan mengobatiku wahai kakek gagah kekasihku?"
"Aku
bersumpah!"
"Kalau
begitu malam nanti, maukah kau jadikan malam pengantin bagi kita berdua?"
Sambil berkata begitu si nenek kedap-kedipkan matanya dan layangkan senyum
manja. Tangan kirinya bergerak membuka dada pakaiannya yang robek.
Setan
Ngompol mengangguk berulang kali. "Aku akan mendukungmu ke dalam
pondok…" Sesaat matanya terkesima memandangi dada si nenek.
Si nenek
tertawa lepas. "Aku bangga dan bahagia punya kekasih sepertimu.
Mendekatlah. Peluk aku sebelum kau dukung," pintanya. Matanya kembali
tampak berkaca-kaca.
Penuh
haru Setan Ngompol membungkuk, ulurkan dua tangannya untuk merangkul si nenek.
"Peluk
diriku kekasihku. Pejamkan matamu. Ingin sekali aku mencium wajahmu…."
kata si nenek lirih.
"Jangan
wajahku. Aku ingin kau mencium bibirku!" kata Si Setan Ngompol masih bisa
menawar dalam keadaan seperti itu.
Lalu
kakek geblek ini pejamkan matanya sambil monyongkan bibirnya. Perlahan-lahan
dia turunkan kepalanya. Dekatkan bibirnya ke bibir si nenek yang juga ikut-ikutan
runcingkan mulutnya. Sesaat lagi bibir-bibir dua tua bangka itu akan saling
berkecupan, tiba-tiba tangan kanan si nenek yang terbuat dari besi berkarat
melesat ke atas! Tepat ke pertengah perut Si Setan Ngompol!
********************
6
SEKEJAPAN
lagi perut Setan Ngompol akan jebol dan ususnya dibedol si nenek, tiba-tiba
satu sinar putih berkiblat disertai hamparan hawa panas. Dua pekikan keras
tenggelam dalam deru dahsyat seperti ribuan tawon mengamuk. Sosok Si Setan
Ngompol terpental dan tergulingguling. Bahu bajunya hangus mengepulkan asap.
Tertatihtatih kakek ini bangkit terduduk di tanah. Mukanya yang keriput tampak
pucat pasi sedang di sebelah bawah kencingnya mancur habis-habisan! Dia
memandang kian kemari. Celangak-celinguk. Rasa kejutnya kini berganti
keheranan. Lucunya sampai saat itu bibirnya yang tadi diruncingkan karena
hendak mencium Nenek Pembedol Usus sampai saat itu masih saja dalam keadaan
monyong.
"Kekasihku….
Di mana kau…?" Si kakek bersuara.
Tangan
kanannya diletakkan di atas mulut lalu bibirnya diusap-usap berulang kali.
"Tua
bangka geblek! Jangan mimpi di siang bolong! Jangan mengigau selagi matamu
mendelik!"
Setan
Ngompol palingkan kepalanya. Dia merasa heran ketika melihat sosok Naga Kuning
berada di hadapannya. "Eh, kau…! Apa maksud ucapanmu barusan?!"
Wirodekati
kakek itu lalu usap-usap jidatnya. "Ingat Kek, sadar! Kau tidak kesambat
tidak kesurupan. Juga tidak mimpi! Orang yang kau sebut kekasih itu sudah jadi
bangkai gosong! Sedikit saja kami terlambat, perutmu hampir dijebolnya. Ususmu
hampir dibusainya!"
Melihat
si kakek masih bengong Naga Kuning jadi jengkel. Sosok tanpa nyawa Nenek
Pembedol Usus diseretnya lalu diletakkannya di depan Setan Ngompol. Seperti si
kakek, sewaktu cahaya putih berkiblat Nenek Pembedol Usus juga terpental.
Tubuhnya mencelat ke udara lalu jatuh terbanting ke tanah tak berkutik lagi.
Sekujur sosoknya gosong hitam mengepulkan asap. Dua tangannya yang terbuat dari
besi tampak merah menyala!
"Pukulan
Sinar Matahari…. Dia menemui ajal akibat hantaman pukulan Sinar Matahari…"
desis si kakek begitu memperhatikan tubuh gosong yang terkapar di tanah di
hadapannya.
"Kalau
sobatku ini salah memilih sudut pukulan, kaupun akan mengalami nasib seperti
itu…" kata Naga Kuning pula.
"Serrrr!"
Si kakek langsung terkencing. Kesadarannya pulih. "Jadi kalian berdua
telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih…" Setan Ngompol usap
mukanya berulang kali. Sekali lagi dipandanginya sosok hangus Nenek Pembedol
Usus. "Nenek ini ternyata memalsu diri. Menyamar menjadi Luhlampiri.
Maksudnya hendak membalaskan dendam. Sungguh jahat! Aku bersyukur. Luhlampiri
yang asli masih hidup…" Perlahanlahan si kakek bangkit berdiri lalu
melangkah menuju tepian sungai.
"Kek!
Kau mau kemana?!" berseru Naga Kuning.
"Ke
sungai mencari perahu! Aku mau ke Negeri Latanahsilam. Sudah kukatakan
Luhlampiri yang asli masih hidup. Aku ke sana menemuinya!"
"Tua
bangka geblek! Benar-benar ngebet edan!" Naga Kuning hendak mengejar.
"Biarkan
saja! Otaknya sedang kacau! Dinasihatipun tak ada gunanya!"
Di tepi
sungai dia segera menemukan perahu yang sebelumnya ditumpanginya bersama Nenek
Pembedol Usus. Tanpa banyak cerita dia melompat masuk ke dalam perahu. Pada
saat dia membungkuk menjangkau pendayung, dua tangan kukuh tiba-tiba mencuat
dari dalam air. Dengan cepat dua tangan ini mencekal salah satu kaki Setan
Ngompol lalu menariknya ke dalam air.
Wiro
berpaling pada Naga Kuning. "Aku mendengar suara seperti orang mencebur ke
dalam air. Kakek itu pergi mencari perahu atau mencebur mandi!"
Naga
Kuning tak menjawab. Wiro berpikir-pikir sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba
dia ingat sesuatu. Serta merta Wiro melompat dan lari menuju tepi sungai. Naga
Kuning mengikuti dari belakang. Di tepi sungai Wiro dan Naga Kuning hanya
menemukan perahu dalam keadaan mengapung terbalik. Si Setan Ngompol tak
kelihatan mata hidungnya. Tiba-tiba Naga Kuning berseru seraya menunjuk ke
tengah sungai.
"Wiro!
Lihat!"
Air
sungai di sebelah tengah tampak merah.
"Darah!"
ujar Wiro. "Jangan-jangan kakek itu bunuh diri atau dibunuh orang!’?
"Bunuh
diri? Apa alasannya? Dibunuh orang, oleh siapa?!" kata Naga Kuning pula.
"Aku
akan menyelidik!" Wiro segera hendak melompat terjun ke dalam sungai yang
lebar dan dalam itu. Tapi Naga Kuning cepat menghalangi. "Urusan di dalam
air serahkan padaku! Sudah lama aku tidak menyelam!"
Seperti
diketahui Naga Kuning sebenarnya adalah seorang kakek sakti yang berusia
sekitar 120 tahun. Dia merupakan orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas,
seorang penguasa dan penjaga salah satu kawasan samudera sebelah selatan yang
oleh sementara orang dianggap sebagai makhluk setengah manusia setengah roh.
Jika Naga Kuning sanggup mengarungi dan menyelami laut luas, maka sungai
baginya bukan berarti apa-apa. Sekali melompat maka sosoknya lenyap di bawah
permukaan air sungai. (Mengenai asal usul Naga Kuning harap baca serial Wiro
Sableng berjudul"Tua Gila Dari Andalas" terdiri dari 11 Episode).
Di dalam
sungai, walau air sungai kuning dan agak keruh namun dengan kesaktian yang
dimilikinya Naga Kuning bisa melihat cukup jelas. Dua orang dilihatnya tengah
bergumul, saling mencekik dan saling menendang. Naga Kuning segera mengenali.
Ke dua orang itu bukan lain adalah Si Setan Ngompol dan Labuntalan, si gendut
pemilik perahu yang sebelumnya lenyap secara aneh.
Dalam
ilmu kesaktian sebenarnya Setan Ngompol jauh berada di atas Labuntalan. Tetapi
berkelahi di dalam air tak biasa dilakukan si kakek. Begitu dia diseret lawan
masuk ke dasar sungai, kakek ini segera megap-megap. Dengan mudah Labuntalan
yang memang memiliki kepandaian berkelahi di dalam air menjadikan si kakek
bulan-bulanan jotosan dan tendangannya. Darah mengucur dari hidung dan mulut Si
Setan Ngompol. Darah inilah yang kemudian muncul di permukaan sungai dan
terlihat oleh Wiro serta Naga Kuning. Dalam keadaan tak berdaya kakek ini
dicekik oleh Labuntalan lalu dibenamkannya ke dasar sungai. Pada saat genting
itulah Naga Kuning melesat laksana seekor ikan pesut.
Labuntalan
tersentak kaget ketika tiba-tiba rambutnya ada yang mencengkeram. Lalu kepalanya
disentakkan ke belakang. Lehernya seperti mau tanggal. Selagi dia masih
diselimuti rasa kaget dan kesakitan mendadak ada sesuatu menyusup di
selangkangannya. Satu remasan keras pada anggota rahasia di bawah pusarnya
membuat orang ini membuka mulut berteriak keras. Tapi karena dia berada di
dalam air, bukan saja suara teriakannya tidak terdengar, malah air sungai yang
masuk ke dalam mulutnya. Labuntalan megap-megap menahan sakit dan sulit
bernafas. Dari bawah perutnya kelihatan darah bercampur air mengapung naik ke
permukaan sungai. Naga Kuning lepaskan jambakannya di rambut Labuntalan. Selagi
si gendut itu menggapai-gapai sia-sia meregang nyawa di dalam air Naga Kuning
cepat menolong Si Setan Ngompol dan menariknya ke permukaan air sungai. Namun
sebelum sempat di bawa ke tepian tiba-tiba terjadilah satu hal yang tak
terduga.
Sebuah
perahu muncul di balik tikungan meluncur cepat laksana kilat di atas permukaan
sungai. Dari atas perahu melesat sebuah benda yang ternyata adalah segulung
jala aneh berwarna biru. Jala ini dalam kecepatan luar biasa melibat sekujur
tubuh Si Setan Ngom-pol yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah
pingsan. Kurang dari sekejapan mata perahu itu telah berada belasan tombak di
depan sana dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Sosok Si Setan Ngompol yang
tergulung dalam jala biru ikut melesat lenyap.
Demikian
cepatnya semua itu terjadi hingga Wiro yang ada di tepi sungai dan Naga Kuning
yang masih di dalam air tidak sempat berbuat apa-apa.
"Wiro!
Astaga! Apa yang terjadi?!" berseru Naga Kuning seraya berenang cepat dan
melompat ke daratan.
"Ada
orang berperahu menebar jala! Menculik Setan Ngompol!" jawab Wiro.
"Aku tak sempat mengenali siapa orangnya. Gerak perahu dan caranya menebar
jala cepat luar biasa!"
"Setan
Ngompol dalam bahaya! Kita harus mengejar!" teriak Naga Kuning.
Ke dua
orang itu segera melakukan pengejaran dengan berlari di sepanjang tepi sungai.
Cukup lama berlari, jangankan menyusul. Melihat perahu dan orang yang menculik
si kakek itupun mereka masih belum berhasil.
"Percuma,
keparat penculik itu sudah lenyap entah kemana!" kata Wiro lalu hentikan
larinya.
Naga
Kuning dalam keadaan basah kuyup gelenggelengkan kepala. "Setan Ngompol….
Ini semua dia sendiri yang punya gara-gara! Kalau dia tidak mengikuti nenek jahanam
si Luhlampiri palsu itu, urusan tidak sampai jadi kapiran begini rupa!"
Bocah itu bantingbanting kakinya. Tiba-tiba dia hentikan menghentakkan kaki dan
tegak tak bergerak. Naga Kuning berpaling pada Wiro. "Telingamu mendengar
sesuatu…?"
"Ya,
ada suara orang menyanyi. Seperti suara anakanak," jawab Wiro.
"Datangnya dari sana!" Wiro menunjuk ke arah kejauhan. Tidak menunggu
lebih lama bersama Naga Kuning dia segera lari ke jurusan datangnya suara orang
bernyanyi itu.
Di satu
tempat Naga Kuning hentikan larinya. Sambil pegangi lengan Wiro bocah ini
berkata. "Dengar baikbaik.
Perhatikan
syair dalam nyanyian itu. Tidakkah aneh kedengarannya…?!"
Ke dua
sahabat itu lalu pasang telinga baik-baik.
Kalau
ingin bertemu sahabatmu terakhir kali
Datanglah
ke Perjamuan Pengantar Arwah
Tempatnya
sebelah timur lereng Labukit Tanpa Mentari
Saatnya
malam hari esok lusa
Wiro dan
Naga Kuning saling pandang.
"Bait-bait
syair nyanyian itu selalu di ulang-ulang, seperti sengaja ditujukan pada
kita!" kata Wiro. "Kita harus segera menemukan anak yang sedang
menyanyi itu!"
Wiro dan
Naga Kuning kembali lari ke jurusan suara anak menyanyi. Baru bergerak beberapa
langkah suara nyanyian tiba-tiba lenyap dan berganti dengan suara anak menangis
serta ratap ketakutan.
"Tolong…!
Aku takuti Aku gamang! Turunkan diriku! Tolong! Aku takut jatuh…!"
Di cabang
sebatang pohon tinggi Wiro dan Naga Kuning kemudian menemukan seorang anak
berusia sekitar delapan tahun dalam keadaan terikat. Disampingnya terikat
sebuah keranjang berisi mempelam. Wiro dan Naga Kuning segera naik ke atas
pohon, melepas ikatannya lalu membawa turun ke tanah sekalian dengan keranjang
berisi mangga itu.
"Anak,
katakan apa yang terjadi denganmu! Bagaimana kau bisa berada di atas pohon
dalam keadaan terikat?!" bertanya Wiro.
"Orang
jahat itu yang melakukannya!" jawab si anak sambil memandang ke arah
sungai penuh takut.
"Orang
jahat siapa? Kau mengenalinya?" tanya Naga Kuning.
Si anak
menggeleng. "Tidak pernah kulihat orang itu sebelumnya. Rambutnya panjang sepinggang.
Tubuhnya bau! Matanya merah. Mukanya bopeng. Giginya besar-besar. Mungkin dia
bukan orang tapi roh jahat! Aku takut…!"
"Kau
tak usah takut. Ada kami di sini menolongmu. Coba ceritakan pelan-pelan apa
yang terjadi…."
Si anak
lalu bercerita. "Aku dan kawan-kawan kesasar dalam hutan di tepi sungai.
Kami tadinya mencari kelinci hutan. Aku terpisah dengan kawan-kawan. Lalu
wahai! Muncul si muka bopeng itu. Dia memberiku sekeranjang mempelam. Padaku
dia mengajarkan satu nyanyian. Lalu aku dinaikkannya ke atas pohon. Diikat. Di
atas pohon aku harus melantunkan nyanyian yang diajarkannya itu. Kalau tidak
mau mempelam akan diambil dan aku akan dijejali ulat bulu…."
"Orang
muka bopeng itu tak ada di sini. Kau tahu kemana perginya?" tanya Wiro
sambil usap kepala si anak. Yang ditanya menggeleng.
"Kau
tahu dimana letak Labukit Tanpa Mentari yang kau sebut dalam nyanyian?"
tanya Wiro lagi. Si anak kembali menggeleng.
"Kau
masih ingat ke jurusan mana orang muka bopeng itu perginya?" tanya Wiro
selanjutnya.
Si anak
menunjuk ke arah timur sejajar hilir sungai.
"Anak
pandai. Kami akan antarkan kau ke tempat aman!" kata Naga Kuning. Dia
berpaling pada Wiro. "Kita harus mencari Lakasipo. Dia yang paling tahu
semua kawasan di Negeri ini."
Wiro
mengangguk. "Mencari si Kaki Batu itu mungkin sama sulitnya dengan mencari
Bukit Tanpa Mentari.
Terakhir
sekali dia memberi tahu akan mencari Hantu Santet Laknat yang telah
mencelakainya…."
Naga
Kuning angkat anak lelaki disampingnya lalu dia lemparkan ke arah Wiro. Si anak
terpekik kaget dan ketakutan. Tapi begitu Wiro mendukungnya di atas bahu dan
membawanmya lari ke arah timur si anak tertawatawa kegirangan. Naga Kuning
menyambar keranjang berisi mempelam lalu segera lari mengikuti Wiro.
********************
7
KITA
kembali pada Hantu Jatilandak di bukit batu berhawa dingin. Begitu mendengar
bentakan dan gelak tawa di belakangnya, pemuda yang muka dan sekujur tubuhnya
ditumbuhi duri-duri coklat ini jauhkan kepalanya dari wajah patung dan lepaskan
rangkulannya. Dia cepat berpaling. Dalam gelapnya malam dia melihat dua orang
tak dikenal tegak berkacak pinggang di atas dua batu besar terpisah kurang dari
sepuluh langkah di hadapannya.
Yang
pertama adalah seorang nenek berambut awut-awutan berwarna kelabu campur putih.
Dia mengenakan pakaian panjang warna hijau tua yang bagian atasnya berbentuk
kemben. Ketika menyeringai kelihatan tak satu gigi pun tumbuh di gusinya. Nenek
ini berhidung pesek hampir serata pipinya yang keriput. Dia tegak dengan kaki
terkembang. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang tanpa sarung terbuat dari
batu pualam warna merah.
Di batu
besar sebelah kiri tegak orang ke dua. Seperti si nenek dia juga memiliki
rambut awut-awutan putih kelabu, tidak punya gigi barang satu pun alias ompong
reong. Matanya yang kanan kecil sipit sebaliknya mata sebelah kiri melotot
besar. Kakek ini berpakaian jubah kuning gelap. Dia juga membekal sebilah
pedang batu merah tak bersarung.
Hantu
Jatilandak awasi ke dua orang itu tanpa bergerak dan tak bersuara. Dia
mengambil sikap diam menunggu sambil berlaku waspada. Setiap saat dia bisa
melesatkan duri-duri coklat di muka atau di tubuhnya yang mengandung racun ke
arah ke dua orang itu.
"Tak
bersuara tak bergerak! Malu rupanya tertangkap tangan bercumbu dengan patung!
Hik… hik… hik!" si nenek buka suara lalu tertawa cekikikan.
Di batu
sebelah kiri si kakek memandang berkeliling.
"Landak
bermuka manusia ini cuma sendirian. Mana teman-temannya?!"
"Dia
masih diam seperti gagu! Kita harus segera mendampratnya dengan pertanyaan,
baru dengan tangan dan kaki!" kata si nenek pula.
Si kakek
anggukkan kepala lalu membentak.
"Hantu
Jatilandak! Mana sobat jahanammu orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang
bernama Wiro Sableng itu!"
Hantu
Jatilandak tetap bungkam tidak bersuara, tidak berikan jawaban. Sebaliknya dia
bersitkan ludah. Ludah yang berwarna kuning ini jatuh di atas sebuah batu,
mengepulkan asap kuning!
Meski
merasa terhina namun sepasang kakek nenek sama-sama tertawa bergelak.
"Mungkin lidahmu perlu kucabut! Setelah itu wahai! Mau kulihat apakah kau
masih bisa meludah! Hik… hik… hik!" Si nenek tertawa cekikikan.
"Agaknya
perlu diberi tahu siapa kita adanya! Agar landak bermuka manusia kuning ini
tahu diri! Tidak jual lagak dan meludah segala!" Kakek di atas batu besar
sebelah kiri gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Tubuhnya melesat ke depan.
Selarik cahaya merah berkiblat.
"Traanngg!"
"Braaakkk!"
Sebuah
batu besar yang terletak tiga langkah di hadapan Hantu Jatilandak terbelah dua.
Sebelum dua belahan jatuh ke tanah si kakek sudah melesat dan tegak kembali di
atas batu tempatnya semula!
Orang
lain mungkin akan tersentak kaget dan kecut nyalinya melihat kemampuan si kakek
dan kehebatan pedang merahnya. Tapi Hantu Jatilandak yang sudah kesal melihat
tingkah laku dua kakek nenek itu tidak pandang sebelah mata. Malah kembali dia
semburkan ludahnya. Meledaklah kemarahan sepasang kakek nenek itu. Si kakek
acungkan pedang merahnya ke udara seraya berteriak.
"Muridku
Lagandrung dan Lagandring! Kami guru kalian! Lajahilio dan Luhjahilio! Kami
telah menemukan salah seorang pembunuh kalian! Kalian bisa sedikit bertenang
diri di alam roh! Sebentar lagi bangsat pembunuh akan segera kami habisi!"
Hantu Jatilandak
kerenyitkan kening begitu mendengar teriakan kakek di atas batu. Ingatannya
melayang pada kejadian beberapa waktu lalu. Sewaktu dia dan kakeknya
Tringgiling Liang Batu, Wiro dan Pelawak Sinting serta Hantu Tangan Empat
bertempur melawan kaki tangan Hantu Muka Dua. Dua orang diantaranya adalah
Lagandrung dan Lagandring. Dia berhasil membunuh Lagandring sementara Wiro
menghabisi Lagandrung. (Baca Episode berjudul "Hantu Tangan Empat")
Ternyata
sepasang kakek nenek ini adalah guru Lagandrung dan Lagandring. Apa lagi maksud
kemunculan mereka kalau bukan menuntut balas melampiaskan dendam kematian
murid-murid mereka.
"Dua
kaki tangan Hantu Muka Dua yang sudah binasa itu tinggi sekali tingkat
kepandaiannya. Berarti kakek nenek ini jauh lebih tinggi. Aku tidak
takut!" membatin Hantu Jatilandak lalu kembali dia meludah.
"Lajahilio!
Tanganku sudah gatal mau mencincang manusia landak ini!" berkata si nenek.
"Tapi ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu!" Lalu Luhjahilio
melompat ke batu di samping kiri dan membisikkan sesuatu pada kakek bernama
Lajahilio yang sebenarnya adalah kekasihnya. Sejak muda belia mereka malang
melintang sehilir semudik. Hidup bersama tanpa kawin hingga mendapat julukan
Sepasang Hantu Bercinta. Lajahilio menyeringai mendengar bisikan si nenek. Dia
memberi isyarat. Lalu dua kakek nenek ini samasama hunus pedang batu pualam
merahnya.
Hantu
Jatilandak yang sejak tadi sudah berwaspada begitu melihat dua lawan bergerak
serta merta gerakkan dadanya. Dua lusin duri coklat beracun melesat dari
tubuhnya. Enam menyambar ke arah Lajahilio, enam lagi ke jurusan Luhjahilio.
Dua orang yang diserang putar goloknya. Demikian sebatnya hingga yang kelihatan
hanyalah gulungan sinar merah berbentuk lingkaran.
"Craasss!
Craaas! Craaas!"
Selusin
duri landak bertaburan ke udara. Luruh ke tanah dalam keadaan terbelah hancur.
Hantu Jatilandak menggeram marah. Dia goyangkan kepalanya. Sepasang kakek nenek
mengira lawan hendak menyerang lagi dengan duri-duri beracun yang ada di
mukanya. Ternyata Hantu Jatilandak menggempur dengan dua larik sinar kuning
yang keluar dari sepasang matanya!
"Luhjahilio!
Awas serangan sinar beracun!" teriak Lajahilio.
Dua kakek
nenek ini segera berkelebat selamatkan diri sambil kiblatkan pedang batu merah.
"Blep!
Blep!"
Dua kakek
nenek itu mencelat mental. Jungkir balik mereka masih bisa mendarat di tanah
dengan dua kaki menjejak lebih dulu.
Tangan
Lajahilio dan Luhjahilio bergetar keras. Pedang merah di tangan mereka berubah
oleh bungkusan sinar kuning. Dada masing-masing mendenyut sakit dan jalan nafas
seolah tersumbar. Dengan tubuh keringatan dua kakek nenek kerahkan tenaga
dalam. Perlahanlahan selubung kuning yang membungkus senjata mereka sirna. Dua
pedang itu kembali ke warna semula yakni merah.
"Luhjahilio,
menurut penglihatanku manusia landak itu baru mengerahkan setengah tenaga
dalamnya waktu melancarkan serangan sinar kuning tadi. Keadaan kita berbahaya.
Saatnya melakukan apa yang tadi kau bisikkan. Aku akan menggempurnya
habis-habisan!"
Hantu
Jatilandak menggeram panjang sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang sinar
kuning ilmu kesaktiannya yang bernama Mega Kuning Liang Batu, yang selama ini
tidak pernah dikeluarkannya ternyata masih bisa ditangkis dengan pedang sakti
di tangan lawan. Maka dia segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun saat
itu Lajahilio telah melompat ke arahnya. Pedang merah di tangan kanan kakek ini
pancarkan sinar terang pertanda dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Hantu
Jatilandak hendak sambut serangan si kakek dengan sinar Mega Kuning Liang Batu,
tapi perhatiannya terbagi pada Luhjahilio yang berkelebat ke kiri sambil
membabatkan pedang merahnya. Hantu Jatilandak meraung keras ketika melihat apa
yang dilakukan si nenek. Ternyata Luhjahilio babatkan pedang merahnya untuk
memapas leher patung perempuan cantik di samping batu besar.
"Craaaasss!"
Aneh,
begitu leher patung kena dibabat terdengar suara seperti pedang memapas putus
leher sungguhan. Kepala patung jatuh menggelinding ke tanah. Dan lebih aneh
lagi! Dari kutungan leher baik yang di badan maupun yang di kepala keluar
cairan merah seperti darah!
Luhjahilio
berseru Kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Hantu Jatilandak meraung
marah. Dia tidak lagi memperhatikan sambaran pedang Lajahilio. Masih untung
senjata si kakek hanya membabat putus sembilan bulu landak yang ada di
punggungnya. Walaupun rasa sakit menggeletari sekujur tubuhnya bagian belakang
namun Hantu Jatilandak tidak peduli.
Didahului
dengan menghantamkan selusin duri landaknya ke arah Luhjahilio, Hantu
Jatilandak susul menyerang dengan sinar Mega Kuning Liang Batu. Luhjahilio
terpekik ketika dua duri landak menyusup di kembennya dan menusuk permukaan
kulitnya. Nenek ini berkelebat ke balik batu besar. Untung dia berlaku cepat.
Walau batu besar itu hancur berantakan dihantam sinar Mega Kuning Liang Batu
dan mengepulkan asap kuning beracun namun si nenek masih sempat selamatkan diri
dengan membuat dua lompatan cepat.
Seperti
tidak sadar kalau saat itu dia tengah menghadapi bahaya besar dari dua musuh
berkepandaian sangat tinggi, Hantu Jatilandak jatuhkan diri memungut kutungan
kepala patung perempuan cantik.
"Patungku….
Patungku…. Kasihan lehermu…."
Hantu
Jatilandak sesenggukan dan dekapkan kepala patung ke dadanya lalu berusaha
bangkit. Pada saat itulah Lajahilio dan Luhjahilio menyergap. Dua pedang merah
diarahkan satu ke leher Hantu Jatilandak, satunya tepat di arah jantung. Namun
Hantu Jatilandak seperti tidak peduli. Baginya patung batu itu lebih berharga
dari nyawanya sendiri!
"Kalian
mau membunuhku aku tidak peduli. Tapi wahai! Jangan ciderai patung ini…."
Dua kakek
nenek tertawa mengekeh. Hantu Jatilandak tetap tidak peduli. Dia terus berusaha
berdiri.
"Izinkan
aku meletakkan kepala patung ini di tempatnya semula…." Hantu Jatilandak
meminta setengah meratap.
Dari dua
matanya yang kuning kelihatan tetesan air mata. Gelak tawa Lajahilio dan
Luhjahilio semakin keras.
"Makhluk
gila ini benar-benar sudah jatuh cinta dengan patung itu!" kata
Luhjahilio. Dia memberi isyarat pada si kakek kekasihnya. Lajahilio anggukkan
kepala. Dua pedang merah lalu berkelebat ganas. Pedang di tangan si nenek
membacok ke kepala patung yang ada dalam dekapan Hantu Jatilandak. Sementara si
kakek membabat ke pangkal leher Hantu Jatilandak! Dalam keadaan seperti itu
Hantu Jatilandak sama sekali tidak lagi pedulikan keselamatan jiwanya. Dia
masih berusaha menyelamatkan kepala patung dengan merangkul dan mendekapnya
erat-erat ke dadanya.
Sesaat
lagi kepala patung akan terbelah hancur dihantam bacokan pedang batu pualam
merah di tangan Luhjahilio dan leher Hantu Jatilandak akan terbabat putus oleh
pedang Lajahilio, sekonyong-konyong dua sinar aneh menyambar merobek kepekatan
malam!
********************
8
SAMBARAN
sinar pertama berwarna hitam berbentuk kipas terkembang. Di dalam sinar hitam
yang menebar ini berkilauan ratusan serpihan-serpihan bunga-bunga api. Nenek
bernama Luhjahilio berseru kaget ketika melihat sinar yang melesat ke arah
Lajahilio. Dia berteriak memberi peringatan.
"Pukulan
Menebar Budi! Lajahilio! Awas!"
Sambil
berteriak si nenek berbalik dan lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
hawa sakti dengan tangan kirinya. Gerakannya menghantam ini mau tak mau membuat
urung bacokan pedangnya ke kepala patung. Pukulan hawa sakti si nenek memang
mampu mendorong sinar hitam yang menyerang Lajahilio dan menyelamatkan
kekasihnya. Tapi begitu dua kekuatan sakti tersebut saling bentrokan, satu
letusan keras menggelegar. Bunga-bunga api berlesatan seperti senjata rahasia,
menderu ke arah si nenek.
Luhjahilio
menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai setinggi dua tombak. Pedang batu
pualam merahnya terlepas mental entah kemana. Darah membersit dari mulutnya.
Puluhan percikan bunga api laksana ujungujung jarum menancap di tubuhnya! Pada
saat yang sama, selagi tubuhnya melayang turun, sinar ke dua yang menderu dalam
kegelapan malam datang menghantam, mendarat di punggungnya dengan telak.
Tak ampun
lagi tubuh si nenek terlempar ke arah batu besar. Luar biasa dan mengerikan
sosok si nenek melesak datar masuk ke dalam batu sampai setengahnya!
Lajahilio
sendiri yang tadi hampir membabat putus leher Hantu Jatilandak sangat terkejut
dan berteriak keras saksikan apa yang terjadi. Babatan pedangnya ke leher Hantu
Jatilandak serta merta terhenti dan senjata itu kini dilemparkannya ke arah
kegelapan di mana dia melihat sosok serba hitam yang tadi melepaskan pukulan
dahsyat hingga si nenek kekasihnya amblas kedalam batu besar!
Dalam
rimba persilatan di Negeri Latanahsilam saat itu hanya ada satu ilmu pukulan
yang mampu membuat orang amblas masuk ke dalam tembok atau batu atau pohon
yakni yang disebut Pukulan Kasih Mendorong Bumi. Pukulan ini dimiliki oleh
gadis masih sangat belia dan berwajah jelita bernama Luhcinta. Lajahilio
pukulkan tangannya berulang kali ke batu besar di mana Luhjahilio terpentang
amblas hingga remuk. Lalu dengan mengerahkan tenaga luar dan tenaga dalam dia
tarik sosok kekasihnya dari dalam batu.
"Kreeekkk!"
Tubuh
yang tertarik dari dalam batu itu keluarkan suara berkrekekan. Si kakek
merinding bergidik. Dia memang berhasil menarik mengeluarkan sosok Luhjahilio
dari dalam batu tapi keadaannya mengerikan karena sebagian daging di sebelah
wajah, dada dan perut si nenek ternyata tertinggal lengket di dalam batu.
Wajah
perempuan tua yang berada dalam keadaan lumpuh akibat pukulan sakti Kasih
Mendorong Bumi yang menghantamnya kini kelihatan tak lagi berdaging, tanpa
hidung, kening, alis serta bibir dan dagu!
Lajahilio
menggerung keras menyaksikan keadaan kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di
kepalanya seolah mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat dia menyambar dan
mendukung sosok sang kekasih. Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot
penuh geram ke arah dua orang di kegelapan namun tak berani melakukan apa-apa.
Dalam hati kakek ini membatin. "Dua orang dalam gelap itu pasti dara
bernama Luhcinta dan Si Penolong Budiman. Dua pendekar berkepandaian yang sukar
dijajagi. Hantu Muka Dua saja belum tentu mampu menghadapi salah satu dari
mereka. Aku tak mau cari penyakit walau kelak Hantu Muka Dua akan menjatuhkan
hukuman berat padaku!"
Tanpa
banyak bicara, dengan "darah mendidih si kakek akhirnya putar tubuh. Sebelum
berkelebat pergi dan menghilang di kegelapan malam dia masih sempat keluarkan
suara.
"Kalian
berdua! Aku tidak akan melupakan wajah kalian! Suatu saat kami berdua akan
melakukan pembalasan!"
Orang
dalam gelap mendengus. Satunya lagi berkata.
"Sebelum
pergi silahkan ambil dua senjata milik kalian! Kami tidak perlu senjata-senjata
laknat ini!"
Terdengar
suara berkeretekan lalu dua buah benda melayang jatuh di hadapan Lajahilio.
Ternyata adalah dua pedang milik kakek nenek berjuluk Sepasang Hantu Bercinta
itu. Ketika si kakek memperhatikan dua pedang batu pualam merah yang
dilemparkan orang, dia menggeram keras. Dua senjata itu tak karuan rupa lagi.
Gagangnya hancur, bagian tajamnya bergompalan dan badannya ada yang patah tak
karuan.
"Jahanam!
Dia menghancurkan pedang dengan Ilmu Keppeng. Ilmu mematah tulang! Memang dia
rupanya! Bangsat yang membikin geger Negeri Latanahsilam sejak beberapa waktu
belakangan ini!
Awas,
nantikan pembalasanku!" Saking marahnya Lajahilio tendang dua pedang yang
sudah hancur itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Akan halnya
Hantu Jatilandak, seperti tadi dia masih tidak perdulikan apa yang terjadi di
sekitarnya. Kepala patung yang putus sesaat masih didekapnya. Darah aneh yang
keluar dari kutungan leher patung belepotan di tubuhnya yang penuh duri. Dengan
hati-hati dan terbungkuk-bungkuk dia membawa kutungan kepala patung itu lalu
letakkan ke badan patung yang masih terduduk utuh di samping batu besar yang
telah hancur.
"Patungku….
Kasihan kepalamu…" kata Hantu Jatilandak. Dibelainya rambut patung dan
diusapnya wajahnya berulang kali. Lalu dengan hati-hati kepala patung
diletakkannya di atas bekas kutungannya hingga bersambung kembali. Begitu leher
patung yang putus bersatu kembali, terdengar suara halus dalam gelap.
"Wahai
Hantu Jatilandak, sungguh besar arti perbuatanmu menyatukan kembali patung yang
buntung itu. Kelak para Dewa akan memberkatimu…."
Hantu
Jatilandak tegak tertegun. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Suara
tanpa ujud, sesuai ucapanmu sebelumnya, aku harus pergi ke Negeri
Latanahtembikar. Kalau urusanku selesai aku akan segera kesini. Aku akan
mengambil patung ini, membawanya kesatu tempat dan merawatnya baik-baik…."
Angin
malam bertiup dingin. Hantu Jatilandak mendengar suara orang menarik nafas
dalam dan panjang.Beberapa jenak lamanya ditatapnya wajah dan sosok patung itu.
"Walau cuma batu mati tanpa nyawa tapi aku yakin patung inilah yang
mengeluarkan semua ucapan yang sampai ke telingaku. Mungkin ada roh masuk ke
dalam patung batu ini…."
Dengan
perasaan berat Hantu Jatilandak memutar tubuh hendak beranjak pergi dari tempat
itu. Namun gerakannya tertahan. Di depannya dalam kegelapan malam dua orang
tegak berdiri memandang memperhatikannya. Seperti diketahui ketika tadi dia
diserang oleh sepasang kakek nenek bernama Lajahilio dan Luhjahilio pemuda yang
tubuhnya penuh duri ini seperti tidak perduli. Tapi sebenarnya dia mengetahui
apa yang terjadi. Maka begitu melihat dua orang itu, Hantu Jatilandak segera
membungkuk memberi penghormatan.
"Wahai,
kalian berdua telah menyelamatkan jiwaku. Aku sangat berterima kasih…."
Hantu Jatilandak menatap ke sebelah kanan di mana berdiri seorang dara
berpakaian biru. Dalam gelapnya malam wajahnya yang cantik tampak sangat
anggun. Hantu Jatilandak kembali menjura. "Wahai sahabatku Luhcinta,
ternyata dalam nasib yang sama malang kau masih bisa menurunkan tangan kasih,
menolong menyelamatkan diriku. Aku berterima kasih padamu. Aku masih ingat
waktu kau menuturkan nasib untung dan perasaanmu tempo hari. Apakah kau sudah
berhasil menyingkapkan semua tekateki hidup dirimu? Apakah kau sudah menemui
orangorang yang dulu pernah kau tanyakan itu?"
Sebenarnya
gadis berbaju biru dalam gelap yang memang Luhcinta adanya hendak menjawab.
Namun dia sengaja berdiam diri karena di sampingnya, hanya terpisah sekitar
tujuh langkah tegak sosok serba hitam orang yang selama ini mengikutinya secara
diam-diam.
Walau
orang ini tadi juga turun tangan membantu menyelamatkan Hantu Jatilandak namun
Luhcinta tetap menaruh curiga terhadapnya. Karenanya dia diam saja dan sengaja
tidak mau bicara di hadapan orang itu. Karena pertanyaannya tidak mendapat
jawaban Hantu Jatilandak lalu berpaling pada sosok yang satu lagi.
"Mungkin kita pernah berjumpa. Maafkan aku kalau salah menduga. Bukankah
kau yang disebut orang Si Penolong Budiman? Wahai, sungguh beruntung diriku.
Malam ini aku kejatuhan berkat menerima pertolongan darimu. Aku berterima kasih
padamu wahai sahabat…."
Begitu
Hantu Jatilandak menyebut nama orang di hadapannya itu, terkejutlah gadis
berpakaian biru yang ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat
palingkan kepala, menatap tajam pada sosok yang tegak sekitar sepuluh langkah
di sisi kanannya.
"Benar
dia rupanya. Makhluk muka hitam yang terusterusan mengikuti. Beberapa waktu
lalu aku berhasil menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini dia
tahu-tahu bisa berada di bukit dingin ini? Sebaiknya aku segera pergi
saja…."
Orang
bermuka hitam yang maklum akan gerak hati Luhcinta segera maju mendekat sampai
tiga langkah lalu berucap. "Wahai gadis, pertemuan ini mungkin tidak
menyenangkan bagimu. Sedang bagiku adalah satu harapan yang sangat
besar…."
"Harapan
apa?" tanya Luhcinta heran. Gadis ini jadi berdebar. Dia membatin.
"Setiap harapan yang baik selalu disertai rasa kasih. Apakah orang
ini…."
"Gadis
bernama Luhcinta, kau tentu masih ingat pertemuan kita terakhir di bukit tempat
Peri Angsa Putih disekap dalam sumur melintang…!" (Harap baca Episode
berjudul "Hantu Muka Dua")
"Aku
ingat. Malah lebih dari itu. Bukankah kau yang selama ini selalu menguntit
diriku secara diam-diam? Jika kau memang membawa satu harapan, apakah begitu
caranya memperkenalkan diri? Harapan yang baik selalu berlandaskan kasih. Aku
tidak melihat hal itu tercermin dalam wajahmu wahai kerabat. Mungkin karena kau
menempuh hidup dengan cara menyembunyikan wajah? Sang Pencipta memberikan wajah
kepada setiap orang, entah wajah itu bagus entah buruk. Itu pelambang keadilan
dalam kasih sayang. Kau justru menyembunyikan rasa kasih itu…."
Lama
orang bermuka hitam tercenung mendengar ucapan Luhcinta. Dalam hati dia
berkata. "Wahai gadis bernama Luhcinta. Jika kau tahu nasib perjalanan
hidupku. Justru rasa kasih sayang sudah habis ditelan derita. Tapi jauh di
lubuk hati ini masih ada setetes kasih sayang yang aku jaga baik-baik agar
tidak hilang. Hanya saja kasih sayang itu tidak bisa kuberikan sebelum aku
mampu menyingkap teka-teki hidup ini. Bertahun-tahun aku mengelana mencari dan mencari.
Sampai saat ini semua itu berakhir pada kesia-siaan…."
"Wahai
gadis bernama Luhcinta, cinta kasih yang murni tidak tercermin dari bagus dan
buruknya wajah seseorang. Menyembunyikan sesuatu bukan selalu berarti melupakan
kasih anugerah Sang Pencipta. Kasih memang harus berada di mana-mana. Dan
tempatnya yang terkudus adalah dalam lubuk hati manusia. Tetapi garis nasib
seseorang terkadang tidak memungkinkan dia mewujudkan kasih sayangnya seperti
yang dikehendaki oleh orang lain. Itulah sebabnya aku berkata, pertemuan
denganmu adalah membawa satu harapan besar. Harapan akan tinggal harapan jika
kasih yang ada dalam harapan itu tidak mampu mewujudkan diri. Bukan karena mau
yang empunya diri, tapi karena keadaan. Sekarang terserah padamu, apakah kau mau
memberikan jalan. Pada pertemuan yang lalu aku tidak melihat kesempatan dalam
keadaan. Malam ini mungkin saatnya. Namun sekali lagi harapanku hanya tinggal
harapan. Semua sangat tergantung pada dirimu…."
Sesaat
Luhcinta tampak termangu mendengar ucapan orang bermuka hitam. Lalu gadis ini
berucap.
"Wahai,
rasanya segala sesuatunya tidak semua tergantung pada diriku. Bolehkah aku
mengetahui harapan apa yang ada dalam hatimu?"
"Aku
akan mulai dengan pertanyaan pertama. Di luaran tersirap kabar bahwa selama ini
kau mengelana dan selalu bertanya tentang beberapa orang di balik beberapa
nama…."
"Hemmm….
Kalau kau sudah tahu aku tidak akan membantah. Tadi pun sahabatku bernama Hantu
Jatilandak ini telah mengungkapkannya…" kata Luhcinta sambil berpaling
pada Hantu Jatilandak.
Orang
bermuka hitam yaitu Si Penolong Budiman berkata. "Sebelumnya aku telah
menemui orang pandai bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Dia yang memberi
petunjuk agar aku datang ke tempat ini. Ternyata tidak terduga aku menemuimu di
tempat ini…."
Hantu
Jatilandak berdehem beberapa kali lalu .berkata.
"Antara
kalian berdua ada pembicaraan yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan
diriku atau tidak pantas kudengar. Lebih baik aku segera pergi saja dari
sini…."
"Wahai
Hantu Jatilandak, kuharap kau tetap berada di sini," kata Luhcinta pula.
Dia sengaja meminta karena seandainya orang bermuka hitam itu ternyata adalah
manusia culas yang punya maksud jahat terhadapnya, jika Hantu Jatilandak masih
ada di tempat itu niscaya dia akan menolong.
"Tidak
ada salahnya kau tetap berada di sini wahai kerabatku Hantu Jatilandak. Siapa
tahu kau bisa membantu disaat kami berdua tidak bisa memecahkan masalah…"
berkata Si Penolong Budiman.
Mendengar
ucapan orang itu maka Hantu Jatilandak akhirnya bersedia tetap berada di tempat
itu. Sebelum dia duduk di atas pecahan batu besar pemuda ini berkata.
"Sahabatku
Penolong Budiman, kau beruntung bisa bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. Aku sudah bertahun-tahun mencarinya. Aku perlu menemuinya untuk mencari
tahu riwayat gelap yang menyelubungi diriku."
"Aku
berhasil menemuinya hanya secara kebetulan, di satu rimba belantara di pinggir
sungai…" jawab Si Penolong Budiman. "Aku turut bersedih mengetahui
riwayatmu wahai Hantu Jatilandak. Jika aku bisa membantu pasti akan kulakukan
sesuatu untukmu…."
Hantu
Jatilandak ucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu. Si Penolong Budiman
berpaling pada Luhcinta lalu lanjutkan pembicaraannya.
"Dari
kabar yang kusirap, kau pernah bertanyakan tentang seorang bernama Lajundai.
Apakah benar?"
Sepasang
mata Luhcinta membesar dan menatap lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu dia
anggukkan kepala. "Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana beradanya?"
bertanya Luhcinta. "Atau mungkin kau ada sangkut paut dengan
dirinya?!"
"Wahai….
Orang itu berada di Istana Kebahagiaan!" jawab Si Penolong Budiman.
********************
9
KAGETLAH
Luhcinta mendengar jawaban itu. "Wahai! Jika ucapanmu itu benar adanya,
dapatkah kau memberikan bukti dan kesaksian?"
"Seseorang
bisa saja memberikan bukti dan kesaksian. Tetapi bukti dan kesaksian yang
terbaik adalah jika orang yang menginginkannya sendiri yang melakukan
penyelidikan. Aku hanya cukup memberitahu. Lajundai itu sebelumnya bernama
Labahala. Dan dia bukan lain adalah makhluk yang bernama Hantu Muka Dua!"
Luhcinta
hampir terlonjak mendengar ucapan Si Penolong Budiman itu. Sekujur tubuhnya
bergetar. Dalam hati yang panas membara dia berkata. "Wahai! Jadi jahanam
itu bukan saja pernah hendak berbuat keji terhadap ibuku, tapi juga terhadap
diriku. Kalau hidup manusia lebih dikuasai nafsu dari pada kasih, inilah
jadinya! Cukup sudah kejahatan yang dibuat Hantu Muka Dua di Negeri
Latanahsilam ini. Kalau kasih memang tidak bisa menyadarkannya, aku memohon
pada Para Dewa dan Para Peri agar diberi kemampuan untuk membasmi manusia
itu…."
"Wahai
gadis bernama Luhcinta, kau sekarang sudah mengetahui siapa adanya Lajundai.
Kalau aku boleh tahu, gerangan apa yang ada di balik pertanyaanmu terhadap
orang itu?"
Luhcinta
tidak mau menerangkan hal yang sebenarnya.
Gadis ini
hanya menjawab: "Kau tentu sudah tahu manusia bagaimana adanya Hantu Muka
Dua. JiKa manusia jahat seperti dia tidak segera dibasmi apa jadinya Negeri
ini. Secara semena-mena dia telah memaklumkan diri sebagai Raja Diraja Segala
Hantu. Menjadikan dirinya sebagai makhluk Segala Keji. Segala Tipu dan Segala
Nafsu…."
"Aku
setuju dengan pendapatmu wahai kerabat bernama Luhcinta. Aku masih ada beberapa
pertanyaan jika kau sudi menjawab…."
"Aku
akan menjawab kalau memang bisa kujawab," kata Luhcinta pula.
"Dalam
kabar yang kusirap kau juga menanyakan seorang bernama Hantu Penjunjung
Roh."
"Tentang
nenek sakti itu, aku sudah mendapat jawaban, bahkan aku sudah menemuinya,"
kata Luhcinta Lalu gadis ini bertanya. "Wahai, apa maksud tujuan di balik
semua pertanyaan ini?"
Si
Penolong Budiman tidak menjawab malah ajukan lagi satu pertanyaan.
"Setelah kau mendapat Jawab dan bertemu sendiri dengan Hantu Penjunjung
Roh apakah kau sudah mengetahui siapa nenek itu ada apa hubunganmu
dengannya?"
"Wahai,
aku tidak akan menjawab pertanyaan Aku mulai curiga. Kutanyakan apa maksud
semua tanyaanmu tapi kau tidak menjawab…"
"Kau
tidak menjawab, aku tidak memaksa Ku dengar kau juga menanyakan tentang seorang
perempuan bernama Luhpiranti, mengapa ? Apa hubunganmu dengan perempuan itu ?”
tambah Si Penolong Budiman ajukan pertanyaan.
Luhcinta
tersenyum tapi gelengkan kepala “ Saat ini aku tak bisa menjawab pertanyaanmu
itu…”
“Juga
tentang lelaki bernama Latampi yang juga menjadi salah satu pertanyaanmu”
“Hm
mungkin aku mau menjawab pertanyaanmu jika kau mau mengatakan siapa dirimu lalu
memperlihatkan wajah aslimu”.
Si Muka
Hitam tersenyum. “Rupanya dasar kasih sayang yang menjadi panutanmu memiliki
keterbatasan yang membuat kita sama-sama tidak mau berlaku terbuka, padahal
kasih sayang itu memerlukan keterbukaan hati serta kepercayaan semua pihak..”
“Kalau
begitu perlihatkan padaku mukamu yang asli. Jangan sembunyikan dibalik tanah
liat dan jelaga hitam.. “
“Aku akan
penuhi permintaanmu wahai gadis bernama Luhcinta. Asalkan kau berjanji
memberitahu apa hubunganmu dengan Luhpiranti dan Latampi…”
”Aku
berjanji”
“Aku
percaya pada janjimu!”. Kata Si Penolong Budiman pula, lalu dia pergunakan
jari-jari tangannya untuk melepaskan tanah liat yang di cat hitam yang selama
ini melekat menutupi wajahnya. Orang ini melangkah mendekati Luhcinta hingga
gadis itu dengan jelas dia melihat wajahnya.
"Apakah
kau mengenali siapa diriku wahai Luhcinta?"
Luhcinta
perhatikan wajah orang itu. Entah mengapa dada gadis ini langsung berdebar.
"Wahai, ternyata dia lelaki separuh baya berwajah tampan sekali."
Perasaannya
semakin aneh ketika sepasang mata mereka saling beradu pandang. Luhcinta
tundukkan kepala.
"Aku…
wahai. Aku tidak mengenali siapa dirimu," kata si gadis akhirnya dengan
suara bergetar.
Si
Penolong Budiman palingkan wajahnya pada Hantu Jatilandak lalu berkata.
"Mungkin kau mengenali siapa aku wahai kerabatku Hantu Jatilandak?"
"Tidak,
aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku tidak kenal wajahmu…."
Orang itu
lalu memandang pada Luhcinta. "Aku sudah perlihatkan wajah asliku.
Sekarang aku menagih janji. Harap kau mau memberitahu apa hubunganmu dengan
Latampi dan Luhpiranti…."
"Ke
dua orang itu adalah…."
Belum
sempat Luhcinta menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di langit kelihatan belasan
nyala api laksana barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu
berbentuk lingkaran dan gerakannya turun sangat cepat. Udara yang sudah sangat
dingin di tempat itu mendadak bertambah luar biasa dinginnya. Semua orang yang
ada di tempat itu jadi menggigil dan kaku seperti beku sekujur tubuh mereka.
Luhcinta, Hantu Jatilandak dan Si Penolong Budiman kerahkan tenaga dalam dan
cepat atur jalan darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga orang ini
tetap saja tak mampu bergerak dan membuka suara.
Pada saat
barisan obor berbentuk lingkaran mencapai ketinggian sepuluh tombak dari atas
bukit batu, ketiga orang itu baru mampu melihat bahwa yang membawa nyala api itu
adalah lima belas sosok perempuan muda berpakaian tipis berwarna abu-abu.
"Peri
dari atas langit…." Ke tiga orang itu sama membatin.
Tiba-tiba
lima belas nyala api melebar dan menyatu lalu bergerak ke arah patung batu
seperti lingkaran tabir. Tidak satu pun dari ke tiga orang yang ada di tempat
itu mengetahui apa yang terjadi. Sesaat kemudian dalam gelapnya malam lingkaran
tabir api dengan cepat tampak bergerak naik ke atas. Begitu tabir api berpisah
dan kembali membentuk lima belas nyala api berada jauh di atas sana, udara
dingin lenyap. Tubuh Hantu Jatilandak, Luhcinta dan Si Penolong Budiman
terlepas dari kebekuan. Darah mereka kembali mengalir wajar. Hantu Jatilandak
yang pertama sekali berteriak keluarkan suara penuh tegang.
"Patungku!
Patung itu lenyap!" Hantu Jatilandak melompat ke dekat batu besar pecah di
mana patung perempuan cantik yang bisa mengeluarkan air mata sebelumnya berada.
Dia meraba-raba kian kemari seperti orang buta berusaha memegang sesuatu.
Ketika menyadari bahwa patung itu memang tak ada lagi di situ, Hantu Jatilandak
menggerung keras lalu jatuhkan diri.
"Patungku…."
"Para
Peri dari atas langit mengambil patung itu!"
seru
Luhcinta. Gadis ini lalu cepat dekati Hantu Jatilandak. Sambil memegang bahu
Hantu Jatilandak dia berkata.
"Wahai
kerabatku, patung itu tentu sangat besar artinya bagimu…."
"Patung
itu sama dengan nyawaku…" kata Hantu Jatilandak. "Mengapa para Peri
mengambilnya! Mereka mencuri patungku!"
"Aku
yakin, para Peri tidak mencuri patung itu wahai Hantu Jatilandak…" membujuk
Luhcinta. "Jika mereka melakukan sesuatu pasti ada sebabnya. Pasti ada
hikmah kasih sayang dibalik kejadian ini…."
Hantu
Jatilandak tiba-tiba menggerung lagi lalu melompat tegak. "Aku tidak
percaya! Para Peri itu selalu menjatuhkan tangan jahat terhadapku! Karena
perbuatan mereka ayahku lenyap tak tentu rimbanya! Ibuku tak diketahui di mana
beradanya. Kini satu-satunya benda yang sangat kusayangi mereka ambil!
Terkutuk! Jahat!"
Saking
marahnya Hantu Jatilandak hantamkan tangan kanannya ke pecahan batu besar yang
ada di dekatnya. Batu itu hancur berkeping-keping dan setiap kepingan yang
tadinya berwarna kelabu berubah menjadi kekuning-kuningan serta mengepulkan
asap!
"Bersabar
dan tabahlah wahai kerabatku Hantu Jatilandak," kata Si Penolong Budiman.
"Kesabaran
dan ketabahan adalah dua dari sekian banyak kekuatan kasih di atas muka bumi
ini…." Luhcinta menambahkan.
Hantu
Jatilandak mendengus dan berpaling pada si gadis. "Kita manusia di muka
bumi selalu bicara tentang kasih sayang. Tapi para Peri di atas langit sana
mengumbar malapetaka! Apa dosa kesalahanku sampai aku diperlakukan seperti
ini?! Mengapa derita tidak pernah putus menimpa diriku?!"
Penuh
haru Luhcinta gelengkan kepalanya. Hatinya sangat pilu melihat keadaan Hantu
Jatilandak hingga dia tak mampu berkata lagi sementara Si Penolong Budiman
tegak termangu.
Tiba-tiba
dalam gelapnya malam terdengar suara menguik. Lalu ada suara menggelepar dan
sambaran angin. Seekor burung gagak hitam entah dari mana munculnya tahu-tahu
sudah hinggap di ujung lancip sebuah batu.
"Gagak
itu…" desis Hantu Jatilandak. "Makhluk pemberi petunjuk…. Dia muncul
lagi…."
Gagak di
atas batu menguik lagi. Angguk-anggukkan kepalanya ke arah Hantu Jatilandak
lalu kepakkan sayapnya. Sesaat binatang ini berputar-putar rendah lalu terbang
ke arah timur. Ingat peristiwa sebelumnya di mana si gagak memberi petunjuk
hingga dia sampai ke tempat itu, Hantu Jatilandak segera lari mengikuti burung
itu. Luhcinta sesaat masih diam. Lalu gadis ini pun berkelebat pula ke arah
lenyapnya Hantu Jatilandak.
"Gadis
bernama Luhcinta! Tunggu dulu! Kau belum memenuhi janjimu!" berseru Si
Penolong Budiman. Namun Luhcinta telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Si
Penolong Budiman bermaksud hendak mengejar pula. Namun dia sadar keadaan
mukanya. "Aku harus menutupi wajahku lebih dulu. Baru mencari gadis itu.
Wajahnya sama benar. Aku yakin dia…." Orang ini menarik nafas dalam lalu
tinggalkan kawasan bukit batu itu penuh kecewa.
********************
10
LUHCINTA
hampir kehabisan tenaga karena sepanjang malam dia berlari terus menerus
mengikuti Hantu Jatilandak. Di sebelah depan Hantu Jatilandak juga merasakan
sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan. Nafasnya megap-megap. Dia lari
mengikuti gagak hitam yang terbang rendah di depannya.
Pada saat
langit di sebelah timur tampak terang, gagak hitam melesat ke arah selatan,
memasuki satu kawasan bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna kembang yang
sedang mekar. Baik Hantu Jatilandak maupun Luhcinta tidak sempat memperhatikan
keindahan disekelilingnya. Mereka lari terus. Waktu menyeberangi satu anak
sungai kecil dan dangkal serta berair sejuk jernih, Hantu Jatilandak pergunakan
kesempatan untuk meneguk minum sepuas hatinya lalu lari lagi mengikuti gagak
hitam yang berputar-putar seolah sengaja menunggu. Hal yang sama juga dilakukan
Luhcinta. Gadis ini cuci mukanya lalu teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya
Hantu Jatilandak melanjutkan larinya, dia pun ikut mengejar.
Di salah
satu puncak bebukitan yang penuh bungabunga itu, gagak hitam melayang turun dan
hinggap di atas sebuah batu runcing berlumut. Di sini binatang ini menguik
beberapa kali. Hantu Jatilandak memandang berkeliling.
"Kau
mendapat sesuatu petunjuk…?" tanya Luhcinta begitu sampai di sebelah Hantu
Jatilandak.
"Burung
itu berhenti di sini. Berarti ada sesuatu ditempat ini. Tapi aku belum melihat
apa-apa. Semua tempat ditumbuhi bunga-bunga…."
Luhcinta
ikut memperhatikan keadaan di tempat itu sementara matahari sudah muncul penuh
dan kini keadaan jadi terang benderang.
"Di
belakang batu tempat burung itu hinggap…" kata Luhcinta. "Aku melihat
bunga-bunga tumbuh agak terkuak. Mungkin ada seseorang sebelumnya melewati
tempat itu…."
"Coba
kita menyelidik," kata Hantu Jatilandak pula.
Ke dua
orang itu bergerak ke balik batu berlumut.
Gagak hitam
menguik keras beberapa kali.
"Lihat!"
Luhcinta berseru, menunjuk ke arah depan.
"Di
balik rimbunan bunga-bunga setinggi kepala itu….Ada lobang besar…."
Hantu
Jatilandak cepat menyelidik. Apa yang dikatakan Luhcinta ternyata benar. Di
balik serumpun bunga-bunga yang batangnya hampir setinggi kepala manusia,
ketika disibakkan kelihatan sebuah lobang besar.
"Mulut
sebuah goa…" kata Hantu Jatilandak.
Luhcinta
mengangguk. "Aku mencium ada bau harum keluar dari dalam sana…."
"Kau
tunggu di sini. Aku akan menyelidik masuk ke dalam," kata Hantu
Jatilandak.
"Kita
masuk sama-sama," kata Luhcinta pula.
Maka ke
dua orang itu pun masuk ke dalam. Semula mereka menyangka keadaan dalam goa itu
gelap gulita. Ternyata ada cahaya terang di sebelah depan. Berjalan sejauh hampir
lima puluh langkah, Hantu Jatilandak keluarkan seruan tertahan dan hentikan
langkahnya.
"Ada
apa…?" tanya Luhcinta.
Hantu
Jatilandak memberi isyarat. "Bicara perlahan. Lihat ke depan sana…"
Hantu Jatilandak miringkan tubuh sengaja merapat ke dinding kanan goa agar
Luhcinta dapat melihat jelas ke ujung goa.
Sewaktu
si gadis memandang ke depan, dia cepat tekap mulut menahan seruan yang hampir
keluar dari tenggorokannya. Di depan sana, di ujung goa tampak tegak patung
perempuan cantik yang sebelumnya ada di bukit dingin. Tak jauh dari patung ada
sebuah obor yang nyala apinya mulai mengecil. Keadaan di dalam goa sejuk sekali
dan ada bau harum memenuhi udara.
"Aku
seperti pernah mencium bau harum ini sebelumnya…" bisik Luhcinta.
"Aku
juga…" jawab Hantu Jatilandak. "Aku tidak mengerti, bagaimana patung
perempuan cantik itu berada di sini…."
"Betul.
Malam tadi kita lihat sendiri belasan Peri turun dari langit memboyong
mencurinya…" kata Luhcinta pula. "Peri-peri itu membawa patung ini ke
dalam goa ini?"
"Aku
tak bisa menduga. Hati-hatilah Luhcinta. Aku mau mendekat ke ujung sana. Aku
punya firasat ada orang lain dalam goa ini. Dia bersembunyi di balik sosok
patung…."
"Kau
juga hati-hati…" kata Luhcinta yang merasa senasib dengan pemuda malang
itu.
Baru saja
Hantu Jatilandak bergerak dua langkah tiba-tiba dari balik patung di ujung goa
ada suara membentak.
"Siapa
di sana?!"
"Suara
perempuan…" bisik Luhcinta. "Aku seperti mengenali tapi tak bisa
memastikan karena suara itu disertai gema pantulan dinding goa…."
"Jika
tidak menjawab jangan salahkan kalau aku menjatuhkan tangan jahat!" Suara
dari balik patung kembali menggema.
"Aku
Hantu Jatilandak!" memberi tahu Hantu Jatilandak.
"Aku
Luhcinta!"
"Hantu
Jatilandak, berikan satu bukti bahwa kau memang Hantu Jatilandak adanya!"
Si pemuda
jadi bingung. Luhcinta berbisik. "Kirimkan satu duri landakmu ke balik
patung…."
Hantu
Jatilandak gerakkan pipi kanannya. Sebuah duri coklat yang ada di pipi itu melesat
ke depan, menancap di dinding goa sebelah sana.
Sunyi
sejenak. Sesaat kemudian dari balik patung perempuan menangis muncul sesosok
tubuh berpakaian serba putih dan menebar bau wangi.
"Peri
Angsa Putih!" Hantu Jatilandak dan Luhcinta berseru hampir berbarengan.
Terkejut dan tidak menyangka sama sekali akan menemui sang Peri di tempat itu.
Sesaat ke dua orang yang baru masuk ini tegak terpana menatapi wajah Peri Angsa
Putih. Aneh, ke dua orang ini melihat ada bekas menangis pada sepasang mata
biru sang Peri.
"Kalian
datang hanya berdua?" tanya Peri Angsa Putih karena diam-diam dia
mengharap Pendekar 212 Wiro Sableng juga muncul bersama mereka. Sang Peri
menjadi kecewa karena memang hanya Hantu Jatilandak dan Luhcinta yang masuk ke
dalam goa. Apalagi sejak beberapa waktu lagi dia merasa cemburu atas hubungan
Wiro dengan Luhcinta.
Dari
hanya terkejut Hantu Jatilandak berubah menjadi marah. Kehidupannya yang penuh
derita selama ini adalah gara-gara kutukan para Peri. Patung yang sangat
disayanginya lenyap dilarikan orang. Ternyata Peri Angsa Putih yang
melakukannya!
"Peri
Angsa Putih, jadi kau rupanya yang punya pekerjaan! Sungguh aku tidak
menyangka! Dari dulu tindakanmu selalu mendatangkan kesengsaraan padaku!"
Hantu Jatilandak membentak.
"Wahai,
apa maksud ucapanmu Hantu Jatilandak?" tanya Peri Angsa Putih. Suaranya
terdengar agak serak.
"Jangan
berusaha mencari dalih. Kau seperti ayam putih terbang siang yang tertangkap
tangan dan tak mungkin berdusta lagi!"
Peri
Angsa Putih memandang pada Luhcinta.
"Kerabatku
bernama Luhcinta, mungkin kau bisa menerangkan maksud semua ucapan Hantu
Jatilandak…."
Luhcinta
menjadi kikuk. Gadis ini berkata. "Hantu Jatilandak, harap kau bicara
terus terang pada Peri itu. Tak perlu memakai kata-kata berkias. Agar persoalan
yang kau hadapi bisa jelas dan tak ada salah menduga satu dengan yang
lain."
"Peri
Angsa Putih, kau tahu di mana patung perempuan cantik ini sebelumnya
berada?" bertanya Hantu Jatilandak.
"Aku
tahu. Di bukit batu dingin," jawab Peri Angsa Putih polos.
"Lalu
bagaimana patung ini tahu-tahu berada dalam goa ini bersamamu? Apakah patung
batu ini punya kaki, bisa berjalan sendiri atau ada yang membawanya ke
sini?"
Berubahlah
paras Peri Angsa Putih mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Sesaat dia
memandang ke arah Luhcinta, menunggu kalau-kalau gadis itu akan mengucapkan
sesuatu menyambung kata-kata Hantu Jatilandak. Ketika si gadis tidak berkata
apa-apa maka Peri Angsa Putih lalu membuka mulut. "Hidup memang penuh
keanehan. Apa yang dilihat dengan mata nyata belum tentu sesuai dengan apa yang
diduga. Apa yang dijelaskan dengan kata-kata belum tentu didengar dipercaya.
Wahai Hantu Jatilandak, ketahuilah, malam tadi serombongan Peri, entah siapa
yang memerintah, turun ke Negeri Latanahsilam untuk mengambil patung ini dari
bukit batu dingin. Mereka bermaksud membawa patung ini ke Negeri Atas Langit
karena rasa khawatir yang berkelebihan. Mereka takut patung ini bisa
menimbulkan sesuatu yang tidak diingini…."
"Patung
batu, hanya sebuah benda mati menjadi bahan kekhawatiran ketakutan! Sungguh
bodoh sekali para Peri di Negeri Atas Langit itu!" kata Hantu Jatilandak
pula. "Aku menduga, salah satu dari para Peri yang mengambil patung ini
adalah kau sendiri!"
"Patung
itu bukan patung biasa wahai Hantu Jatilandak. Kau mengetahui sendiri. Mana ada
patung biasa pandai berkata-kata. Mana ada patung batu bisa mengeluarkan air
mata. Mana mungkin patung biasa mengucurkan darah ketika lehernya ditebas. Noda
darah itu masih ada pada tubuhmu…."
Hantu
Jatilandak pandangi dada dan ke dua tangannya. Memang darah yang mengucur
secara aneh dari kutungan leher patung perempuan itu masih melekat di tubuh
Hantu Jatilandak.
"Aneh,
mengapa kau tahu semua kejadian itu?" tanya Hantu Jatilandak.
"Tidak
aneh, karena sejak patung itu berada di bukit batu dingin aku berada tidak jauh
dari sana…."
"Apa
kepentinganmu wahai Peri Angsa Putih?"
"Sejak
lama antara kami bangsa Peri terdapat perselisihan dalam cara berpikir dan
bertindak. Tak mungkin dan tak boleh hal ini kujelaskan padamu. Aku salah
seorang yang menentang cara berpikir serta tindakan para Peri yang kuanggap
kuno dan tidak mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di atas bumi. Namun
agaknya aku hanya berjalan sendiri. Para Peri lainnya tidak setuju bahkan
marah. Itulah sebabnya setiap hal yang bertentangan dengan para Peri lainnya
aku selalu melakukan secara diam-diam…."
"Aku
sungguh gembira mendengar kata-katamu wahai Peri Angsa Putih. Tapi menurut
kakekku Tringgiling Liang Batu, justru kaulah Peri yang hendak menculik diriku
ketika aku dilahirkan dan dilemparkan oleh ayahku sampai jatuh ke pulau
kediaman kakekku itu…. Sekarang kau bicara lain. Mungkin aku perlu mendengar
ucapan Peri lain untuk mengetahui siapa dan bagaimana dirimu sebenarnya…."
Walau
hatinya merasa tersinggung atas ucapan Hantu Jatilnndak itu namun Peri Angsa
Putih berusaha tersenyum dan menjawab. "Jika kau memang berniat, siapa
yang melarangmu untuk bertemu dan bicara dengan para Peri? Wahai, aku berada di
sini. Di dalam goa di mana patung perempuan cantik yang kau sayangi juga berada
di sini. Ayam putih terbang siang katamu. Aku tertangkap tangan. Tertangkap
basah! Tertangkap tangan dan basah bagaimana? Seperti kukatakan tadi dan kau
ketahui sendiri. Para Peri sengaja hendak memboyong patung ini ke Negeri Atas
Langit. Aku satu-satunya yang tidak menyukai hal itu. Tapi tak mungkin aku
menentang Peri sebanyak itu. Satu-satunya jalan adalah bertindak secara
diam-diam. Malam tadi dengan menyamar aku mencuri patung ini dan membawanya ke
dalam goa ini…."
"Mengapa
kau melakukan hal itu wahai Peri Angsa Putih? Menjadi pahlawan untuk sebuah
patung benda mati?"
"Terus
terang aku tidak suka dengan tindakan para Peri. Mereka telah melangkah terlalu
jauh dalam mengurus hal-hal yang tak patut mereka lakukan. Kemudian satu hal
yang amat penting, seperti aku katakan tadi patung ini bukan patung biasa.
Apakah kau tidak merasa bahwa dalam aliran darahmu, dalam detak jantungmu
seperti ada pertalian batin antaramu dengan patung ini…."
"Aku
tidak mengerti…."
"Kau
menyukai patung ini. Kau menyayangi mengasihinya. Wahai, itulah yang
kumaksudkan pertalian batin, sambung rasa. Kau bahkan tidak peduli akan
keselamatan tubuh serta jiwamu sendiri demi menyelamatkan patung ini. Itulah
rasa kasih sayang sejati. Mengenai kasih sayang pengetahuanku hanya secupak
dangkal. Mungkin kerabat Luhcinta bisa menjelaskan…."
Luhcinta
diam saja tapi dia tahu kalau Peri Angsa Putih menyindirnya. "Apa pula
maksud Peri satu ini menyindirku…" membatin Luhcinta.
"Aku
akan membawa patung ini dari sini!" Hantu Jatilandak tiba-tiba berkata.
"Kau
memang berhak atas patung ini…" kata Peri Angsa Putih pula. "Tapi
jika aku menyarankan, sampai keadaan benar-benar aman biar saja patung ini
tetap di sini. Para Peri di Negeri Atas Langit tidak tahu kalau patung ini
kusembunyikan di sini…."
"Apa
yang dikatakan Peri Angsa Putih mungkin benar. Sebaiknya kau mengikuti nasihatnya,"
Luhcinta ikut bicara.
"Kalau
begitu aku menurut saja. Namun ada satu hal yang perlu kutanyakan padamu wahai
Peri Angsa Putih. Menurutmu patung ini bukan patung biasa. Aku juga tahu dan
menyadari. Lalu, apakah kau mungkin tahu asal usul patung ini? Tak mungkin
tahu-tahu bisa berada di bukit batu dingin. Untuk menemuinya aku mendapat
petunjuk aneh dari seekor gagak hitam. Burung itu juga yang memberi petunjuk
letak goa ini padaku…. Kalau patung ini memang dipahat orang, siapakah
pemahatnya? Mengapa setelah selesai patung ditinggalkan begitu saja di bukit
sunyi?"
"Wahai…."
Peri Angsa Putih menatap sejurus wajah Hantu Jatilandak. "Jika kuceritakan
satu kebenaran padamu, apakah kau akan cukup tabah mendengarnya?"
"Penderitaan
dan kesengsaraan telah menempa diriku menjadi orang paling tabah di muka bumi
ini, wahai Peri Angsa Putih."
Luhcinta
lalu menyambung. "Kebenaran adalah salah satu kekuatan paling luar biasa
dari kasih sayang. Aku yakin Hantu Jatilandak akan tabah mendengar ceritamu
wahai Peri Angsa Putih."
"Kalau
begitu baiklah. Patung itu adalah tubuh kasar ibu kandung yang melahirkanmu.
Ayahmu yang bernama Lahambalang membawa jenazah ibumu ke bukit batu dingin dan
meninggalkannya di sana. Para Peri khawatir satu musibah besar akan menimpa
mereka jika jazad ibumu dibiarkan dalam keadaan seperti itu. Maka mereka
menurunkan hawa dingin luar biasa hingga sosok ibumu membeku menjadi patung
batu. Sosoknya memang berbentuk patung batu. Tapi ketahuilah sesungguhnya dia
masih dalam keadaan hidup karena dia mendengar dan punya perasaan…. Walau
mungkin secara akal sehat kalian tidak bisa menerima kenyataan ini…."
Sekujur
tubuh Hantu Jatilandak bergetar. "Tidak!"
katanya
dengan suara serak. "Aku bisa menerima kenyataan ini. Suara batinku
sebelumnya memang sudah menduga begitu." Hantu Jatilandak memandang ke
arah patung. Air mata meluncur ke pipinya yang penuh dengan duri-duri panjang
berwarna coklat. "Ibu…." Suara Hantu Jatilandak tercekat. Pemuda
malang ini lalu jatuhkan diri di lantai goa. Bersimpuh dan mencium kaki patung.
Luhcinta
usap ke dua matanya. Peri Angsa Putih tundukkan kepala menahan derai air mata.
Hantu
Jatilandak baru bergerak ketika bahunya terasa kejatuhan tetesan air hangat.
Ketika dia memandang ke atas dilihatnya air mata keluar, jatuh menetes dari
sepasang mata patung. "Ibu…!" Hantu Jatilandak meratap panjang dan
peluk serta ciumi patung batu itu. Tiba-tiba Peri Angsa Putih melangkah ke
pintu goa.
"Ada
orang datang…" bisiknya. "Kalian tetap di tempat. Aku akan
menyelidik…." Lalu dengan cepat dia menuju ke mulut goa. Dari balik
rerumpunan bunga dia mengintip. Terkejutlah Peri Angsa Putih. Enam orang Peri
berpakaian merah muda dilihatnya melangkah menuju rerumpunan bunga-bunga.
"Wahai,
bagaimana mereka bisa mengetahui tempat ini. Pasti ada yang jahat membocorkan
rahasia. Apa yang harus kulakukan?"
Di depan
sana enam orang Peri semakin dekat. Peri paling depan malah telah menyibakkan
kelompok bungabunga sebelah depan.
Peri
Angsa Putih pejamkan mata. Telapak tangannya dikembangkan. Dalam hati dia membaca
mantera. Lalu dengan suara sangat perlahan dia mengucap.
"Kebenaran
datangnya dari Junjungan Segala Junjungan! Tak ada satu kekuatan pun bisa
meruntuhkannya! Tapi bila saat ini kebenaran akan roboh juga, biarlah aku mati
terhimpit di cadas paling bawah. Wahai para Dewa, wahai para Peri dan semua roh
baik yang tergantung antara langit dan bumi. Tolong diriku. Tolong orangorang
di dalam goa ini!" Habis mengucap begitu Peri Angsa Putih tiup telapak
tangan kanannya. Lalu tangan itu dilambaikannya pulang balik ke mulut goa. Saat
itu juga muncullah larikan-larikan benang halus seperti terbuat dari kapas
Benang-benang itu bersusun demikian rupa menutupi mulut goa yang besar,
membentuk sarang laba-laba Peri Angsa Putih kembali meniup. Seekor laba-laba
besar kemudian muncul mendekam di atas jaring.
Ketika
enam orang Peri menyibakkan bunga-bunga di mulut goa, Peri Angsa Putih telah
melompat masuk ke dalam goa. Dia masih sempat mendengar salah seorang dari
mereka berkata. "Tidak mungkin patung sebesar itu disembunyikan di dalam
goa tanpa memutus dan merusak jaring laba-laba ini. Aku rasa sudah sejak lama
goa ini tidak pernah dimasuki manusia atau binatang! Wahai kerabatku, mari kita
menyelidik ke tempat lain!"
Peri
Angsa Putih merasa lega ketika mengetahui ke enam Peri di luar sana telah pergi
meninggalkan tempat itu. Ketika dia berbalik dilihatnya Hantu Jatilandak dan
Luhcinta telah berdiri di hadapannya. Hantu Jatilandak tundukkan tubuhnya
dalam-dalam dan berkata. "Wahai, Peri Angsa Putih Peri penolongku. Maafkan
kalau sebelumnya ada salah menduga dalam diriku terhadapmu. Aku tidak tahu
harus berucap bagaimana untuk menyatakan rasa terima kasihku padamu…."
Dalam
harunya Peri Angsa Putih masih bisa tersenyum. Dia ulurkan tangan hendak
mengusap rambut Hantu Jatilandak. Tapi menarik tangannya kembali begitu sadar
kalau di kepala si pemuda tidak ada rambut, melainkan duri-duri landak yang
panjang dan runcing!
********************
11
KUDA
HITAM berkaki enam itu melesat ke dalam senja memasuki malam. Lakasipo yang
berada di sebelah depan menunjuk ke arah timur. Sebuah bukit terjal kelihatan
menghitam di kejauhan.
"Itu
bukit tujuan kita," kata Lakasipo lalu memperlambat lari kudanya.
"Yang di arah barat itulah yang disebut Labukit Tanpa Mentari. Pada pagi
hari sampai siang bukit itu tidak pernah kena matahari. Waktu matahari beralih
ke barat sinarnya juga tidak bisa menyentuh bukit karena ada bukit lain yang
lebih tinggi menghalangi."
"Aku
heran," kata Naga Kuning yang duduk di paling depan Laekakienam.
"Kalau ada orang mau membunuh kakek tukang ngompol itu, mengapa
susah-susah mengundang dan mengadakan Perjamuan Pengantar Arwah segala!"
"Nenek
berjuluk Hantu Pembedol Usus yang menyamar jadi Luhlampiri itu jelas-jelas
adalah kaki tangan Hantu Muka Dua," menyahuti Wiro. "Aku yakin
penculikan Si Setan Ngompol ini satu jebakan yang didalangi oleh Hantu Muka
Dua!"
"Aku
juga menduga begitu," kata Lakasipo yang duduk di sebelah belakang.
"Hantu keparat itu tidak akan berhenti menyiasati kita sebelum kita semua
menemui ajal!"
Udara
mulai terasa dingin. Apalagi Laekakienam si kuda raksasa berlari laksana angin.
Tak selang berapa lama mereka sampai di balik bukit besar yang menghalangi
bukit kecil di sampingnya. Antara ke dua bukit itu terdapat satu lembah kecil
tertutup rimba belantara.
Inilah
bagian dari daerah yang disebut Labukit Tanpa Mentari.
Suasana
gelap dan sunyi mencekam. Saking sepinya suara tiupan angin terdengar jelas.
Naga Kuning memandang berkeliling lalu hendak melompat turun. Wiro cepat
mencekal leher baju anak ini.
"Jangan
bertindak gegabah! Pakai turun segala! Aku merasa bahaya berada di sekitar
kita!"
"Tapi
aku tidak melihat apa pun kecuali hitam gelap. Telingaku tidak mendengar suara
apa pun! Lakasipo, apa benar ini kawasan yang disebut Labukit Tanpa Mentari?
Jangan-jangan kita tersesat ke tempat yang keliru!"
"Kita
tidak keliru. Aku sudah pernah datang ketempat ini sebelumnya…."
"Jika
ada undangan yang disebut makan-makan, apa pun namanya pasti bau makanan sudah
sampai ke hidungku. Mungkin juga ada penyambutan yang meriah.
Bukankah
kita tamu-tamu agung yang perlu dihormati?" Naga Kuning kembali berucap.
"Kita
adalah tamu-tamu yang hendak dipesiangi oleh kaki tangan Hantu Muka Dua!"
kata Wiro.
Lakasipo
hentikan kudanya di satu tempat. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah
kantong kecil terbuat dari jerami kering. Lalu dia mengeluarkan tiga butir
benda berwarna coklat dan diberikan satu persatu pada Wiro dan Naga Kuning.
"Apa
ini? Tahi kambing atau tahi tuyul?!" tanya Naga Kuning sementara Wiro
memperhatikan benda yang ada di telapak tangannya itu.
"Obat
penangkal racun! Lekas telan! Jika kita diundang makan oleh musuh, sudah pasti
makanan atau minuman yang dihidangkan akan mengandung racun mematikan! Jadi
kita harus berjaga-jaga…."
"Tapi
hidangan dan minuman masih belum kelihatan!" kata Naga Kuning pula.
"Sudah,
lekas saja kalian telan!"
Naga
Kuning dan Wiro saling pandang sejenak. Tanpa banyak cerita ke dua orang itu
lalu masukkan butiran coklat itu ke dalam mulut. Begitu obat masuk ke dalam
mulut Wiro keluarkan suara tercekik dan mau muntahkan obat itu yang ternyata
pahit sekali. Hal yang sama juga terjadi dengan Naga Kuning. Anak ini langsung
mual perutnya dan mau muntah. Tapi Lakasipo cepat tepuk tengkuk ke dua orang
ini hingga obat yang ada dalam perut mereka meluncur ke dalam tenggorokan,
masuk ke dalam perut.
"Obat
dajal! Pahitnya bukan main!" kata Naga Kuning.
Pendekar
212 hanya bisa menyengir lalu meludah beberapa kali. Kesunyian di kawasan
antara dua bukit itu dipecah oleh suara bebunyian yang mendadak terdengar dari
arah lembah. Wiro memandang ke jurusan rimba belantara gelap di bawahnya.
"Tetabuhan
apa itu…?" ujar Naga Kuning.
"Tuan
rumah yang mengundang agaknya telah mengetahui kedatangan kita…" kata
Lakasipo pula.
"Suara
tetabuhan itu seolah dekat sekali. Tapi aku tidak melihat apa-apa…." Wiro
bersuara.
Naga
Kuning menepuk paha Pendekar 212 lalu berkata. "Coba kau pergunakan ilmu
kesaktian Menembus Pandang yang kau dapat dari Ratu Duyung…."
"Kau
benar. Akan kucoba," sahut Wiro. Sesaat sang pendekar jadi ingat dan rindu
pada Ratu Duyung.
Kemudian
dia arahkan pandangannya ke rimba belantara gelap, kerahkan tenaga dalam ke
mata lalu kedipkan kedua matanya dua kali.
"Apa
yang kau lihat?" tanya Naga Kuning tidak sabaran.
"Tunggu…"
jawab Wiro. "Pandanganku masih kabur…." Lalu dia lipat gandakan hawa
sakti ke kepala.
Sesaat
kemudian sang pendekar keluarkan suara berdecak. "Luar biasa…" ujar
murid Sinto Gendeng. Dua matanya tidak berkesip. Naga Kuning dan Lakasipo tidak
sabaran. "Aku melihat lebih dua belas gadis, cantikcantik semua. Mereka
duduk mengelilingi meja yang diterangi puluhan kayu-kayu aneh menyala. Mereka
mengenakan pakaian kuning muda. Tapi, astaga!"
"Tapi
apa?!" Lajcasipo bertanya.
"Astaga
apa?!" Naga Kuning menyambung.
"Pakaian
mereka di sebelah punggung tersingkap lebar. Di sebelah depan sangat rendah.
Lalu pada bagian pinggul terbelah tinggi…." Wiro basahi bibirnya dengan
ujung lidah. "Dari sini saja sudah terlihat kemulusan dan keputihan tubuh
mereka…."
"Jebakan
salah-salah bisa membuat kita lupa," kata Lakasipo. "Apa lagi yang
kau lihat. Hantu Muka Dua ada di sana?"
Wiro
menggeleng. "Manusia Segala Tipu, Segala Keji dan Segala Nafsu itu mana
berani unjukkan muka terang-terangan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung
kaki tangannya. Aku juga tidak melihat kawan kita Si Setan Ngompol. Di atas
meja banyak hidangan dan minuman. Namun belum ada satu pun yang menyentuh.
Ada dua
buah kursi kosong di kiri kanan meja. Rupanya sesuai undangan, untukku dan
untuk Naga Kuning…. Tunggu dulu. Ada dua orang menggotong sebuah kursi besar.
Homm…. Kukira itu kursi untukmu Lakasipo. Aneh, bagaimana mereka bisa
mengetahui kehadiranmu?"
"Hantu
Muka Dua punya banyak pembantu dan mata-mata. Kalian sudah siap?" tanya
Lakasipo. Wiro dan Naga Kuning anggukkan kepala. Lakasipo tepuk pinggul kuda
hitam berkaki enam. Binatang raksasa ini segera melompat lari menuruni lembah
kecil. Tak selang berapa lama dalam kegelapan di depan sana kelihatan cahaya
terang. Lalu sesaat kemudian mereka sampai di ujung satu pedataran terbuka.
Lakasipo hentikan Laekakienam di balik sebatang pohon besar. Suara tetabuhan
masih terus terdengar. Malah tambah keras.
Baru saja
kedua raksasa itu berhenti tiba-tiba empat belas orang gadis berpakaian kuning
bergerak bangkit dari kursi masing-masing, memutar tubuh mereka ke arah pohon
besar dan secara bersamaan berucap. "Para tetamu yang diundang telah
datang! Selamat datang di Perjamuan Pengantar Arwah. Mengapa tidak terus
menghampiri meja perjamuan dan duduk di antara kami?"
Setelah
berkata begitu ke empat belas gadis itu sama-sama bungkukkan tubuh memberi
penghormatan. Karena pakaian mereka di sebelah dada terbuka lebar maka waktu
membungkuk bagian dada gadis-gadis cantik ini seolah melompat keluar, putih
menantang! Lakasipo, Naga Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik besar
melihat pemandangan itu.
Naga
Kuning berucap. "Kita di sini saja. Jangan buru-buru ke sana. Biar mereka
membungkuk sampai berulang kali. Sampai kita puas melihat! Hik… hik!"
"Bocah
gendeng! Orang mengincar nyawa kita! Kau masih bicara ngawur!" maki
Pendekar 212. "Kalau tidak untuk menyelamatkan kawan kita kakek tukang
ngompol itu, jangan harap aku mau-mauan ke sini!"
"Lagakmu!
Tadi kau sudah keluar iler melihat punggung dan dada serta paha putih!"
menyahuti Naga Kuning.
Jengkel
Wiro sentil kuping kiri Naga Kuning hingga bocah ini meringis kesakitan dan mau
membalas.
"Jangan
bertengkar!" kata Lakasipo menengahi.
Lalu dia
memberi isyarat. "Kita turun. Ingat semua yang sudah diatur. Kalau selamat
kita harus selamat semua. Kalau ada yang celaka, yang lain harus menyabung
nyawa untuk menolong." Lalu Lakasipo melompat turun.
Karena
dia telah mengerahkan tenaga dalam maka sewaktu kakinya menyentuh tanah sama
sekali tidak terdengar suara atau pun getaran.
"Aku
tidak percaya kalau belasan gadis cantik itu tega-teganya membunuh kita!"
kata Naga Kuning masih bercanda lalu melompat turun dari kuda mengikuti
Lakasipo. Wiro turun paling belakang.
Beberapa
langkah sebelum mereka mencapai meja besar, enam gadis berpakaian kuning muda
segera menyambut lalu mengantarkan mereka ke kursi masingmasing. Naga Kuning
duduk sendirian di sisi kanan meja. Bocah ini duduk cengar-cengir dan tiada
hentinya memandang penuh kagum pada dua gadis cantik di kiri kanannya.
Di sisi
kiri Wiro dan Lakasipo duduk terpisah dua kursi. Suara tetabuhan perlahan-lahan
sirna. Gadis yang duduk di ujung meja sebelah kanan bangkit berdiri. Suara
tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis di ujung meja membungkuk ke arah Naga
Kuning di sisi kanan dan Wiro serta Lakasipo di sisi kiri meja. Naga Kuning
serasa berhenti nafasnya melihat dada putih besar yang seperti hendak membusai
keluar itu.
"Gila!
Tanganku jadi gatal mau meraba…" kata si bocah dalam hati.
"Atas
nama tuan rumah yang mengundang, kami mengucapkan selamat datang pada tiga
orang gagah yang telah sudi hadir di tempat ini. Sebagai penghormatan pertama
kami persilahkan para tamu agung membasahi tenggorokan, meneguk anggur murni
yang ada dalam piala kayu…."
Gadis
cantik yang duduk di samping kiri Naga Kuning lalu ambil cangkir kayu berbentuk
piala berisi minuman dan menyerahkannya pada anak itu sambil tersenyum kedipkan
mata. Naga Kuning seperti melayang di sorga balas tersenyum serta kedipkan dua
matanya berulang kali lalu ambil piala kayu. Gadis yang duduk di samping kanan
Naga Kuning membantu anak ini mendekatkan piala kayu ke bibirnya.
"Gluk…
gluk…." Naga Kuning teguk minuman dalam piala kayu dua kali. Rasa hangat
menjalar sampai ke perutnya. Mukanya berubah merah. Bocah ini tersenyum.
Kedipkan
matanya. Dengan dua tangannya dipegangnya lengan gadis cantik di sebelahnya
lalu dekatkan piala kayu ke mulut dan teguk kembali anggur di dalamnya. Sesaat
kemudian anak ini batuk-batuk lalu tersandar ke kursi. Dua matanya
berputar-putar dan mulutnya pencong ke kiri. Air liurnya mulai meleleh.
Di sisi
meja yang lain Wiro dan Lakasipo juga mengalami hal yang sama. Dua orang ini
tampak seperti melayang-layang seperti meneguk minuman yang disuguhkan. Ke
duanya senyum-senyum lalu terduduk dengan mata mendelik tapi sayu hampir
seperti orang juling.
"Dari
tadi minum melulu!" kata Naga Kuning ketika si cantik di sebelahnya
kembali mendekatkan piala kayu ke mulutnya. "Apa aku boleh menyantap
makanan di atas meja?"
Dua gadis
di sebelahnya tersenyum manis. "Tamu yang mulia, harap sudi menunggu.
Hidangan di atas meja belum boleh disentuh sebelum hidangan utama disiapkan dan
disajikan."
"Lalu
mana hidangan utamanya?!" tanya si bocah sambil julurkan lidahnya.
"Harap
bersabar wahai tamu agung! Sebentar lagi makanan utama akan segera dihadirkan.
Sambil menunggu harap habiskan minuman dalam piala…."
Ke tiga
orang itu seperti setengah dicekoki, diberi minuman dalam piala kayu. Tak
selang berapa lama keadaan mereka kelihatan semakin parah.
Pendekar
212 Wiro Sableng duduk terkulai. Tangan kanannya ada di atas kepala seperti mau
menggaruk. Tapi dia seolah tidak punya daya untuk menggerakkan jari-jarinya!
Matanya semakin juling. Mukanya tambah kuyu. Mulutnya komat-kamit
termonyong-monyong seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi yang keluar justru
adalah suara hembusan angin turun naik seperti orang bengek!
Lakasipo
sebentar-sebentar menyedot hidungnya seperti orang ingusan. Matanya berputar
jelalatan. Dari mulutnya tiada henti keluar sendawa. Sesekali diseling suara
seperti mau muntah.
Naga
Kuning lain pula keadaannya. Dia tidak lagi duduk di alas kursi tapi pindah ke
lengan kursi. Matanya kuyu jereng. Dari mulutnya keluar ludah dibarengi suara
cegukan. Setiap cegukan berhenti, dari bagian bawah tubuhnya mengepos keluar
suara angin alias kentut!
"Aneh…"
bisik seorang gadis berpakaian kuning pada kawan di sebelahnya. Tiga orang itu
memperlihatkan gejala aneh. Padahal tegukan ke dua tadi sudah bisa membuat
mereka menemui ajal…."
"Wahai,
setahuku mereka berilmu tinggi. Mungkin saja bisa bertahan beberapa waktu. Tapi
lihat saja sebentar lagi. Selama ini tidak ada satu orang pun bisa lolos dari
kematian setelah meneguk Racun Pelibas Usus. Mereka akan menemui ajal dengan
usus hancur lebih dulu. Lalu menjerit-jerit seperti orang kemasukan roh jahat.
Setelah itu tegang kaku tak bernyawa!"
Naga
Kuning dan Wiro Sableng delikkan mata. Tapi ketika para gadis memandang
padanya, ke dua orang ini langsung kuyu kembali.
Tiba-tiba
terdengar suara seperti dua piring kaleng diadu satu dengan lainnya. Lalu
muncul sebuah gerobak terbuat dari besi. Seorang lelaki tinggi besar berkulit
hitam yang mukanya bopeng, berambut panjang sepinggang dan bermata merah
mendorong kereta itu. Setiap dia menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya
besar-besar. Pada lantai gerobak ada setumpuk kayu bakar menyala. Lalu pada
palang besi yang melintang di atas gerobak, hampir tak dapat dipercaya dan
sungguh mengerikan terikat sesosok tubuh manusia dilumuri minyak dan hanya
mengenakan sehelai cawat kecil. Orang itu ternyata mau dijadikan kambing
guling!
Jarak
antara sosok orang itu dengan api kayu memang cukup jauh tapi hawanya tetap
saja panas bukan kepalang. Sosok tubuh yang malang itu kelihatan merah hampir
melepuh. Tidak bergerak dan juga tidak bersuara. Mungkin sekali sudah tidak
bernyawa lagi! Dan orangnya bukan lain adalah si kakek berjuluk Si Setan Ngompol!
Baik
Wiro, maupun Naga Kuning dan Hantu Kaki Batu alias Lakasipo sama sekali tidak
memperlihatkan gelagat apa-apa. Ke tiga orang ini tetap saja dalam keadaan
seperti tadi.
"Makanan
utama sudah datang!" Gadis di ujung meja berseru memberi tahu setelah
bertepuk tangan tiga kali.
Orang
bermuka garang yang mendorong gerobak besi hentikan gerobak itu di sisi kanan.
Lalu dia ambil sebuah sapu pendek terbuat dari jerami yang tergantung dalam
sebuah kaleng berisi minyak di salah satu tiang gerobak besi. Minyak ini
dipoleskannya ke muka dan sekujur tubuh Si Setan Ngompol. Ketika ujung sapu
menyentuh bagian bawah perut si kakek, perut orang tua ini berkedut-kedut lalu
ces… ces… ces. Ada tetesan air jatuh ke atas kayu bakar. Si kakek terkencing!
Pertanda dia masih hidup walau mungkin sudah sekarat!
Orang
bermuka bopeng dekati gadis di ujung meja. Dia membisikkan sesuatu lalu kembali
melangkah ke gerobak besi. Si gadis bertepuk tiga kali.
"Hidangan
utama Perjamuan Pengantar Arwah yakni seekor kambing muda yang masih belum
tumbuh tanduk siap disajikan! Wahai para tamu agung! Juru masak ingin bertanya.
Para tamu agung mau mengecap kambing guling ini dalam keadaan mentah, setengah
matang atau matang!"
Si gadis
memandang pada Wiro, Naga Kuning dan Lakasipo yang duduk terkulai di kursi
masing-masing.
"Wahai!
Tak ada jawaban! Berarti para tamu minta makanan utama dihidangkan secara
matang!" Gadis itu memberi tanda pada juru masak dengan lambaian tangan.
Si muka
bopeng menyeringai. Dengan tangan kirinya dia putar palang besi di atas
perapian. Sosok Si Setan Ngompol berputar-putar di atas gerobak. Lalu si muka
bopeng cabut dua buah benda yang tersisip di pinggangnya yakni sebilah golok
penjagal besar, berbentuk empat persegi panjang, putih berkilat dan sebatang
besi lancip. Golok digosok- gosokkdnnya berulang kali ke batangan besi hingga
mengeluarkan suara gesekan mengerikan. Di atas gerobak sosok Si Setan Ngompol
kembali kucurkan air kencing.
Tiba-tiba
tangan kiri juru masak bermuka bopeng itu tusukkan besi lancip ke perut Si
Setan Ngompol. Tangan kanan yang memegang golok persegi panjang dibacokkan ke
pangkal paha si kakek!
Serrrr!
Air kencing Si Setan Ngompol mancur deras!
********************
12
HANYA
tinggal sejengkal ujung besi lancip akan menembus perut dan sekejapan lagi
bagian tajam golok penjanggal akan memutus amblas pangkal paha Si Setan
Ngompol, tiba-tiba tiga sosok melesat ke udara.
"Braaakkk!"
Sosok
pertama mendarat di meja perjamuan. Membuat meja itu hancur berantakan. Semua
apa yang ada di atas meja itu mencelat bermentalan. Delapan kaki meja melesak
amblas ke dalam tanah!
Itulah
sosok Hantu Kaki Batu alias Lakasipo. Dia menghancurkan meja perjamuan dengan
gebrakan Kaki Roh Pengantar Maut. Para gadis di sekeliling meja berpekikan lalu
saling berhamburan. Namun hanya empat orang saja yang bisa kabur. Karena begitu
mereka hendak melarikan diri sosok ke dua yang melesat ke udara yakni Naga
Kuning cepat mendorong sosok gadis terdepan. Enam orang langsung jatuh saling
tindih. Dua orang coba bangkit berdiri hendak kabur lagi tapi pakaiannya
dibetot si bocah. Dari pada robek dan jadi bugil dua gadis ini memilih diam.
Empat gadis lagi, termasuk yang tadi menjadi juru bicara perjamuan tertegun
diam tak bisa bergerak. Tubuh mereka kaku tegang dimakan totokan Naga Kuning!
Anak ini kemudian melompat ke arah gerobak besi. Dengan cepat dia lepaskan
ikatan di tangan dan kaki Si Setan Ngompol lalu seret kakek ini ke tempat aman.
"Anak
setan…. Aku hampir meregang nyawa! Mungkin jiwaku tidak ketolongan lagi!
Mengapa kalian bersikap alon-alon asal kelakon menolongku?!"
"Aku
tak bisa menjawab saat ini Kek! Yang penting kami bisa menolongmu walau
keadaanmu seperti kambing guling benaran! Lalu yang juga tak kalah pentingnya,
kapan lagi bisa berdekatan dan berpegang-pegang tangan dengan gadis-gadis
cantik itu! Hik… hik… hik!"
"Bocah
edan! Aku hampir matang dipanggang orang, kau masih saja bisa enak-enakan cari
kesempatan!"
Setan
Ngompol memaki habis-habisan. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan panas.
Di atas
meja, begitu membuat meja hancur berantakan Lakasipo langsung melompat ke arah
juru masak muka bopeng. Kaki kanannya menderu ke kepala tukang jagal itu. Tapi
dengan cepat si muka bopeng jatuhkan diri, berguling di tanah. Tubuhnya secara
aneh berubah hijau pekat. Tangan kanannya memukul. Selarik sinar hijau pekat
berkiblat. Bau amis menebar!
"Pukulan
Kelabang Racun Hantu!" teriak Lakasipo mengenali pukulan itu. "Jadi
kau adalah Hantu Kelabang Dari Bukit Racun!" Lakasipo cepat menyingkir
selamatkan diri.
Si muka
bopeng bergelak. Saat itu dia sudah tegak berdiri dan berkata dengan suara
keras. "Sayang kau mengenali diriku di saat ajal sudah di depan
mata!" Orang ini kembali hantamkan tangan kanannya. Lakasipo gembungkan
rahang. Tangan kanannya menggempur. Lima larik sinar hitam menderu dahsyat.
"Lima
Kutuk Dari Langit!" Kini si muka bopeng yang berjuluk Hantu Kelabang Dari
Bukit Racun itu yang berteriak kaget begitu mengenali pukulan yang dilepaskan
Lakasipo. Dia cepat melompat ke kiri. Namun saat itu sosok Pendekar 212
berkelebat. Selarik sinar putih mengeluarkan suara seperti ribuan tawon
mengamuk dan menghampar sinar panas berkiblat di tempat itu. Hantu Kelabang
Dari Bukit Racun pergunakan besi runcing dan golok penjagal untuk menangkis.
"Traangg!"
"Traaang!"
Si muka
bopeng berteriak kesakitan. Dua tangannya melepuh kepulkan asap. Besi runcing
dan golok empat persegi terbabat buntung lalu hancur berkeping-keping, hangus
mengepulkan asap! Putuslah nyali Hantu Kelabang Dari Bukit Racun ini. Walau dia
masih menyimpan satu ilmu kesaktian namun dia memilih lebih baik selamatkan
diri. Tanpa banyak cerita dia segera putar tubuh untuk larikan diri. Tapi di
depannya tiba-tiba menghadang Naga Kuning. Melihat cuma seorang bocah yang
menghadangnya si muka bopeng langsung melabrak sambil pukulkan tangan kanannya.
Larikan
sinar hijau melesat di atas kepala Naga Kuning. Bocah ini seperti kambing
bandot mengamuk menyeruduk ke depan. Kelabang Hantu terhenyak ke tanah. Naga
Kuning cepat berkelebat hendak menetaknya.
Tapi si
bocah jadi berseru kaget ketika melihat bagaimana sosok orang itu mulai dari
kepala sampai ke kaki berubah menyerupai seekor kelabang. Kelabang raksasa
jejadian ini berjingkrak ke udara. Buntutnya melesat menghantam kepala Naga
Kuning sedang kepalanya dengan dua tangan sebelah depan menyambar ke leher
Lakasipo!
Lakasipo
memang bisa mengelak selamatkan diri. Tapi Naga Kuning yang tidak menduga
kejadian itu terlambat membuat gerakan selamatkan diri. Ekor beracun kelabang
raksasa itu sampai di batok kepalanya!
Pada saat
itulah sebuah benda putih menerobos laksana kilat, memayungi batok kepala Naga
Kuning. Lalu ketika benda putih ini bergerak berputar terdengar suara craaasss!
Ekor
kelabang jejadian putus amblas. Cairan hijau menyembur dibarengi suara raungan
aneh. Naga Kuning jatuhkan diri walau pakaian hitamnya sempat terkena semburan
cairan hijau. Ketika dia memandang ke depan dilihatnya sosok Hantu Kelabang
Dari Bukit Racun telah berubah kembali menjadi sosok lelaki muka bopeng garang.
Namun satu kakinya tak ada lagi, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 yang
tadi dipergunakan Wiro untuk melindungi kepala Naga Kuning, sekaligus membabat
putus ekor kelabang jejadian yang dalam bentuk aslinya adalah kaki kiri Hantu
Kelabang Dari Bukit Racun!
Terhuyung-huyung
Hantu Kelabang bangkit berdiri. Kakinya yang buntung diangkat tersentak-sentak.
Belum sempat dia berdiri dengan benar satu jotosan mendarat di mukanya!
"Kraaakkk!"
Jotosan
dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng
membuat hancur hidung Hantu Kelabang. Pipinya melesak ke dalam tengkorak
kepalanya! Raungan yang keluar dari mulutnya yang ikut hancur terdengar aneh
mengerikan!
Tangan
Wiro sekali lagi berkelebat. Sosok Hantu Kelabang mendadak sontak menjadi kaku
tegang tak bisa bergerak begitu totokan ampuh dengan telak disarangkan Wiro ke
pangkal leher si tukang jagal itu.
"Kambing
guling muka bopeng pasti lebih enak dari pada kambing tua tukang ngompol!"
kata Wiro. Lalu tubuh kaku Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun digotongnya,
dibawa ke arah gerobak besi.
"Jahanam!
Kau mau bikin apa?!" teriak si muka bopeng walau dalam keadaan kaku tapi
masih bisa bicara karena Wiro memang sengaja tidak menotok jalan suaranya.
"Ha…
ha…! Tidak kira kambing ini bisa bicara! Lihat saja apa yang akan kubikin
padamu! Ada budi ada talas.
Ada keji
ada libas! Ha… ha… ha!" Sambil tertawa-tawa murid Sinto Gendeng ikat
pergelangan tangan dan dua kaki orang itu ke palang besi yang melintang di atas
kayu api pada gerobak besi. Wiro lalu putar palang besi itu hingga sosok si
muka bopeng ikut berputar. Lalu ke atas tubuh yang berputar ini dia guyurkan
minyak dari dalam kaleng yang tergantung pada tiang gerobak.
Hantu
Kelabang Hijau Dari Bukit Racun berteriak seolah lidah dalam mulutnya yang
hancur mau copot!
Semua
gadis berpakaian kuning yang tidak sempat melarikan diri palingkan muka, tidak
berani menyaksikan apa yang terjadi. Apalagi begitu mereka mulai mencium bau
daging yang mulai meleleh terpanggang.
"Tobat!
Ampun! Lepaskan aku!" teriak Hantu Kelabang.
Lakasipo
datang mendekat. "Siapa biang keladi yang menyuruh kalian melakukan
kebiadaban terhadap kakek temanku?! Lekas jawab!" Lakasipo membentak
sambil jambak rambut Hantu Kelabang yang mulai berbau sangit dijilat api.
"Ampun!
Aku akan bilang! Hantu Muka Dua! Dia yang memerintahkan kami!" jawab Hantu
Kelabang Hijau berteriak. "Aduh, tolong! Lepaskan aku! Panas sekali!
Tubuhku terbakar!"
Lakasipo
menyeringai. "Bagus, aku akan panggil Hantu Muka Dua untuk menolongmu!
Sebelum dia datang biar aku menolong membuat tubuhmu jadi sejuk dingin…."
Lakasipo ambil kaleng minyak dari tangan Wiro lalu guyurkan sampai habis. Sosok
Hantu Kelabang Hijau kepulkan asap menebar bau menggidikkan. Di bawahnya kayu
api pemanggang berkobar lebih besar. Naga Kuning melompat ke hadapan
gadis-gadis itu.
"Waktu
kakek itu kalian perlakukan dengan keji, semua kalian tersenyum tertawa!
Sekarang mengapa kalian palingkan muka memperlihatkan rasa ngeri! Satu-satu
kalian akan kami panggang seperti si muka bopeng itu!
Kau
duluan!" Si bocah menuding ke arah gadis yang tadi bertindak sebagai juru
bicara. Gadis ini langsung pucat wajahnya. Dia segera jatuhkan diri.
Kawan-kawannya mengikuti.
"Tamu
agung! Jangan salahkan kami! Kami hanya orang suruhan!"
"Peduli
amat! Mengapa mau disuruh!" kata Naga Kuning seraya dongakkan kepala dan
rangkapkan tangan di depan dada sementara dua kaki tegak direnggangkan.
Sikapnya
seperti seorang pendekar jempolan. Wiro dan Lakasipo cuma menyeringai melihat
kelakuan anak itu.
"Kalau
kami tidak mau, kami akan dimasukkan ke dalam ruangan penyiksaan oleh Hantu
Muka Dua!"
"Betul!
Sudah banyak teman kami dijebloskan ke dalam Ruang Obor Tunggal di Istana
Kebahagiaan!"
"Dosa
kalian sama besarnya dengan dosa Hantu Muka Dua, jadi kami para tamu agung
tidak mungkin memberi ampun!"
Si gadis
jatuhkan diri hampir bersimpuh. "Aku dan kawan-kawan akan lakukan apa saja
asal tidak dipanggang di atas kereta besi itu!" Si gadis memohon.
"Hemmm…
begitu?" Naga Kuning turunkan kepalanya.
Memandang
sambil tersenyum dan kedipkan mata pada si gadis. Lalu dia bertanya. "Coba
katakan apa saja yang bisa kau lakukan untukku dan kawan-kawan…."
"Apa
saja! Apa saja yang kalian minta!"
"Misalnya?!"
tanya Naga Kuning.
Si gadis
di sebelah depan berpaling dulu pada teman-teman di belakangnya. Ketika para
gadis itu anggukkan kepala baru dia menjawab. "Ada sebuah bangunan rahasia
di sebelah timur rimba belantara. Di dalamnya ada dua belas kamar. Kami bisa
membawa kalian ke sana sebelum sampai pertengahan malam. Kalian boleh berada di
sana sampai sang surya terbit…."
"Tawaran
menggiurkan," kata Naga Kuning sambil senyum dan kedip-kedipkan matanya.
"Kalau sampai di sana, lalu apa yang mau kalian lakukan?" Si bocah
bertanya.
"Terserah
para tamu agung. Kami hanya mengikut!"
"Wah,
asyik juga! Tapi biar kutanya dulu temantemanku!" kata Naga Kuning.
Saat itu
Lakasipo dan Wiro Sableng sudah melangkah mendekati Naga Kuning. Mereka
memandang pada gadis-gadis cantik yang duduk bersimpuh di tanah itu.
"Kalian
gadis baik-baik yang bisa kembali ke jalan baik. Jika kalian berjanji mau
meninggalkan Istana Kebahagiaan, kami akan melepaskan kalian!"
Gadis-gadis
itu langsung jatuhkan diri dan berbarengan berucap. "Kami berjanji!"
"Hai!
Janji itu tidak berlaku untukku!" Naga Kuning berteriak.
"Buang
pikiran kotor yang ada dalam benakmu Naga Kuning!" kata Wiro.
"Hai!
Siapa yang punya pikiran kotor?!" teriak si bocah.
"Aku
dan Lakasipo tidak tuli. Kami dengar semua pembicaraanmu. Kami lihat sendiri
sikap genitmu! Bocah edan tak tahu diri! Jangan mencari kesempatan dalam
kesempitan!" sentak Pendekar 212.
"Kalian
salah sangka! Aku tidak mencari kesempatan dalam kesempitan! Terbalik! Justru
aku mencari yang sempit jika ada kesempatan! Hik… hik… hik!" Naga Kuning
tertawa cekikikan lalu melesat ke atas pohon dan duduk di salah satu cabangnya
ketika Wiro hendak melabraknya.
"Kalian
semua boleh pergi! Jauhkan diri kalian dari Istana Kebahagiaan!" kata Wiro
kemudian.
Semua
gadis itu tak ada yang bergerak. Mereka dongakkan kepala menatap ke arah Wiro
dengan perasaan tidak percaya.
"Sungguhkah?
Kami boleh pergi begitu saja…?"
Wiro
anggukkan kepala
Si gadis
bangkit berdiri. Kawan-kawannya mengikuti. Wiro kemudian melepaskan totokan
pada beberapa gadis yang tadi dilakukan Naga Kuning.
Gadis
cantik di sebelah depan berkata. "Namaku Luhcempaka. Budi kalian tidak
akan kami lupakan. Jika ada kesempatan dikemudian hari tentu kami akan
membalasnya…."
"Tidak
usah memikirkan hal itu. Kalian boleh pergi dengan aman," kata
Pendekar212. Matanya terasa silau melihat sosok-sosok cantik yang pakaiannya
tersingkap di sana-sini itu.
Gadis-gadis
itu membungkuk. Melihat ini Naga Kuning langsung melompat turun dari cabang
pohon. Matanya tidak berkedip memperhatikan belahan dada gadis cantik. Sewaktu
hendak bergerak pergi si gadis di sebelah depan memberi isyarat pada
teman-temannya. Lalu dari balik pakaian kuningnya dia mengeluarkan satu tabung
bambu. Tabung itu diserahkannya pada Wiro.
"Apa
ini?" tanya Pendekar 212.
"Di
dalam tabung itu ada cairan obat. Bisa kau pergunakan untuk mengoles tubuh
kakek yang tadi digarang itu. Dalam waktu tiga hari luka bakarnya pasti akan
sembuh!"
"Terima
kasih…" kata Wiro sambil tersenyum.
"Hanya
itu yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan kalian. Hanya itu dan
ini…." Lalu si gadis melompat ke depan. Bersama kawan-kawannya secara
tidak terduga dia berkelebat, satu persatu menciumi Wiro, Lakasipo dan Naga
Kuning.
Naga
Kuning usap-usap pipinya sambil menatap ke arah kegelapan tempat lenyapnya
gadis-gadis cantik berpakaian kuning muda itu. "Lumayan," katanya.
"Dari pada tidak mendapat apa-apa sama sekali! Hik… hik… hik!"
"Kalian
beruntung, aku tetap saja ketiban nasib jelek! Lekas bawa kemari obat dalam
tabung itu ke sini!" Dari arah kiri terdengar ucapan si kakek Setan
Ngompol.
Wiro
memandang pada Naga Kuning lalu serahkan tabung bambu ke tangan si bocah.
"Serahkan padanya…" kata Wiro pula.
Naga
Kuning ambil tabung bambu itu lalu melangkah mendekati Si Setan Ngompol.
"Ah,
kau si bocah setan! Hari ini harap kau mau sedikit berbakti pada kakekmu
ini," kata Setan Ngompol begitu melihat Naga Kuning berada di depannya me
megang tabung bambu berisi obat. "Tolong usapkan obat itu dengan tanganmu
ke tubuhku. Selangkanganku sebelah belakang lebih dulu!"
"Sialan!
Siapa sudi!" kata Naga Kuning setengah berteriak dan bantingkan kaki
kanannya ke tanah.
Si Setan
Ngompol tertawa cekikikan! Lakasipo dan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut tertawa
gelak-gelak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment