Episode Dendam Di Puncak Singgalang
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
SATU
DUA
gunung tinggi menjulang menyapu awan, terlihat jelas dari kejauhan di bawah
langit yang biru bersih.
Kehadiran
gunung Singgalang dan Merapi di daratan tengah pulau Andalas seperti yang
selalu diperumpamakan oleh penduduk memang benar yaitu seolah dua raksasa
penjaga negeri.
Saat itu
menjelang tengah hari. Dari arah danau Maninjau di jurusan kaki gunung
Singgalang tampak seorang penunggang kuda memacu tunggangannya menuju ke timur.
Orang ini
berusia sekitar setengah abad, berkumis tipis rapi, mengenakan destar tinggi
berwarna hitam yang pinggirannya dirajut dengan benang emas. Pakaiannya terbuat
dari kain bludru warna hijau yang juga ada renda benang emasnya. Di
pinggangnya, di balik ikat pinggang besar terselip sebilah keris. Baik gagang
maupun sarung senjata ini terbuat dari emas sedang badannya terbuat dari
sejenis besi putih yang dilapisi emas. Setiap sinar matahari jatuh pada gagang
dan sarung senjata itu, kelihatan cahaya kuning memantul menyilaukan.
Pada
waktu yang hampir bersamaan dari arah kaki gunung Merapi meluncur cepat sebuah
kereta terbuka ditarik dua ekor kuda besar. Di sebelah kanan duduk sais kereta,
seorang lelaki, bertampang seram.
Wajahnya
tertutup oleh kumis dan cambang bawuk lebat. Rambutnya yang gondrong di ikat
menjulai ke belakang. Matanya yang sebelah kiri picak sedang telinganya sebelah
kanan sumplung. Di lehernya yang mengenakan pakaian serba hitam ini melingkar
sebuah kalung terbuat dari akar bahar. Pada kedua lengannya juga kelihatan
melingkar dua gelang hitam dari akar bahar.
“Kenapa
Datuk tidak membawa senjata?” bertanya sais kereta pada orang yang duduk di
sampingnya.
Orang ini
mengenakan pakaian bagus berwarna merah penuh dengan sulaman-sulaman benang
emas.
Destarnya
juga merah. Wajahnya klimis pucat dan agak cekung di bagian pipi. Dagunya
nyaris berbentuk empat persegi sedang bibirnya tipis dan selalu terkancing
rapat. Sekali lihat saja wajah orang yang dipanggil dengan sebutan Datuk ini
membayangkan sifat angkuh dingin kalau tidak mau dikatakan kejam. Orang ini
mempunyai kebiasaan aneh. Yaitu sebentar-sebentar menyentak-nyentakan lehernya
ke kiri atau ke kanan seperti ayam tertelan karet.
“Mengapa
kita tidak membawa senjata katamu, Daud?” orang berpakaian merah membuka
mulutnya yang sejak tadi tertutup. Lalu terdengar dia mendengus. Menyusul
kemudian suara tawanya bergelak.
Sais
kereta sesaat jadi terdiam. Lalu dia ikut-ikutan tertawa.
“Setan!
Kenapa kau tertawa?!” sang Datuk membentak.
Sais
kereta bernama Daud itu cepat tutup mulutnya. “Maafkan saya Datuk,” katanya.
“Saya cuma ikut-ikutan saja. Bukankah Datuk sering berkata agar saya lebih
banyak mengikuti sifat dan kebiasaan Datuk?”
“Aku
tidak suka kau tertawa lebar-lebar di hadapanku! Mulutmu bau! Tahu?”
“Maafkan
saya Datuk,” kata Daud sekali lagi. Lalu dengan suara perlahan dia menyambung.
“Saya masih ingin tahu mengapa Datuk tidak membawa senjata.”
“Kau
takut?”
“Tentu
saja tidak Datuk,” jawab Daud.
“Mulutmu
berkata tidak tapi suaramu bergetar. Percuma kau dijuluki orang Daud si Hantu
Mata Picak! Momok nomor satu di seluruh nagari!”
“Maafkan
saya. Kalau begitu saya tidak akan bertanya lagi!” Lelaki bermuka angker yang
mata kirinya buta picak itu mencambuk kuda-kuda penarik kereta keras-keras
seolah melampiaskan rasa kesalnya pada kedua binatang itu. Dicambuk
bertubi-tubi demikian rupa, kedua kuda berlari kencang seperti kesetanan.
“Bangsat
kau Daud!” bentak lelaki bermuka cekung. Kalau bicara sang Datuk biasa memaki
dan menyebut orang dengan kata-kata kasar seperti setan atau bangsat.
“Apa lagi
salah saya Datuk?”
“Kau
melarikan kereta seperti dikejar iblis! Kau hendak membuat aku celaka huh?!”
Daud
menahan tali kekang dua ekor kuda.
Binatang-binatang
itu mengangkat kepalanya ke atas dan serta merta memperlambat larinya.
“Nah
sekencang begini saja sudah cukup. Kenapa harus terburu-buru….?”
“Bukankah
kita hendak menemui….”
Sang
Datuk cepat memotong kata-kata Daud. “Kita tidak menemui siapapun. Tapi justru
dia yang mendatangi kita untuk mengantar nyawa anjingnya!” Untuk pertama
kalinya orang ini berpaling pada sais kereta. “Aku melihat bayangan rasa takut
di wajahmu yang buruk. Kalau betul begitu hentikan kereta. Biar aku melanjutkan
perjalanan seorang diri. Dan kau boleh kembali ke Silungkang! Jalan kaki!”
“Saya
bersumpah saya tidak takut Datuk. Tapi apa yang hendak kita lakukan ini bukan
pekerjaan main-main. Datuk Bandaro Sati sudah dikenal di tujuh penjuru angin
nagari sebagai Pandekar kelas wahid!”
“Dia
boleh punya nama besar. Tapi usianya pendek. Lagi pula ilmu kepandaian apa yang
dimilikinya?
Apa
setinggi gunung Merapi sedalam danau Maninjau? Kau khawatir aku akan kalah
olehnya? Kalau seandainya aku terdesak, lalu apakah kau akan berpangku tangan
saja? Duduk di atas kereta sambil mencungkil hidungmu?!”
“Tentu
saja saya tidak akan tinggal diam Datuk. Saya pasti akan membantu Datuk. Kalau
tidak apa perlunya kita pergi bersama-sama,” jawab Daud si Hantu Mata Picak.
“Cuma saya ada sedikit rasa waswas Datuk. Bukankah Datuk Bandaro Sati memiliki
Tuanku Ameh Nan Sabatang,… ?”
Orang di
sebelah Daud si Hantu Mata Picak menyeringai. Setelah mengusap dagunya yang
licin dan menyentakkan lehernya dua kali ke kiri dia berkata.
“Tuanku
Ameh Nan Sabatang memang merupakan sebilah keris langka. Mengandung kesaktian
dan tuah luar biasa. Kata orang kalau sudah keluar dari sarungnya harus ada
nyawa yang melayang! Itu kata orang!
Sampai
dimana kehebatan keris itu perlu kita saksikan sendiri Daud!”
“Seorang
pandekar sesat di Bukit Siguntang yang kabarnya kebal segala macam senjata, dua
bulan lalu menemui ajalnya di ujung keris itu ketika coba menantang Datuk
Bandaro Sati. Kejadiannya di pesisir Pariaman.”
“Aku
memang mendengar cerita itu. Lalu apakah aku manusia yang bergelar Datuk Gampo
Alam harus menjadi ciut nyalinya menghadapi seorang calon bangkai bergerak
Datuk Bandaro Sati itu?!” Habis bicara begitu orang ini meludah ke tanah.
“Setan!”
“Saya
yakin bagaimanapun juga Datuk lebih hebat dari Bandaro Sati…”
“Yakin
bukan hanya sekedar yakin, Daud. Tapi yakin yang hakkul yakin!” kata Datuk
Gampo Alam pula. Lehernya disentakkannya ke kanan.
Kereta
itu meluncur terus menempuh kawasan sunyi berbukit-bukit. Setelah melewati
sebuah desa kecil, dari jalan yang kini menurun, di kejauhan kelihatan sebuah
lembah yang keindahan merupakan seolah satu keajaiban dipandang mata.
“Ngarai
Sianok sudah kelihatan di bawah sana Datuk,” memberi tahu Daud alias Hantu Mata
Picak.
Datuk
Gampo Alam yang sejak tadi terkantuk-kantuk membuka kedua matanya lebar-lebar.
Sepasang mata orang ini kelihatan nyalang besar dan ada kilatan menggidikkan.
“Kita
sampai lebih cepat Daud. Berarti apa yang akan kita lakukan akan lebih cepat
pula selesainya.”
“Kalau
Datuk Bandaro Sati benar-benar datang memenuhi janjinya,” sahut Daud.
“Setan!
Sialan kau Daud!” bentak Datuk Gampo Alam tiba-tiba.
“Astaga!
Apa lagi salah saya kali ini?” tanya Daud. Nada suaranya menyatakan rasa takut
namun ketakutan itu tidak terbayang di tampangnya yang angker.
“Pada
saat-saat tegang kau selalu mengeluarkan ucapan yang membuat aku tidak enak! Keparat
itu pasti datang Daud! Pasti! Jangan kau berani berucap yang membuat aku jadi
ikut was-was!”
Hantu
Mata Picak tidak menyahut. Dalam hatinya timbul rasa jengkel terhadap Datuk
Gampo Alam.
“Manusia
satu ini begitu bernafsu agar cepat bisa melaksanakan niatnya. Tapi segala
kemungkinan tidak diperhitungnkannya!”
Ngarai
Sianok terbentang dengan segala keindahannya. Di langit sebelah timur sekawanan
burung terbang di langit biru.
Mata
kanan Hantu Mata Picak memandang jauh ke depan. Lalu dia berdiri di atas kereta.
“Datuk, saya melihat ada penunggang kuda datang dari arah barat!” katanya lalu
kembali duduk.
Datuk
Gampo Alam menyeringai. “Calon bangkai itu datang memenuhi janjinya! Coba
perhatikan.
Apa
memang betul dia yang datang?!”
Hantu
Mata Picak kembali berdiri lalu duduk lagi dan berpaling pada Datuk Gampo Alam.
“Kudanya kuda coklat. Destarnya hitam dan pakaiannya hijau. Siapa lagi kalau
bukan Datuk Bandaro Sati!”
“Hentikan
kereta!” perintah Datuk Gampo Alam. “Aku berbaik hati memberi kesempatan
padanya untuk meregang nyawa di tempat yang indah ini.”
Hantu
Mata Picak hentikan kereta.
Sementara
itu dari arah barat penunggang kuda coklat berpakaian hijau datang semakin
dekat. Tak lama kemudian orang inipun sampai di hadapan kereta. Dia membawa
kudanya ke samping hingga bersisi-sisian dengan bagian depan dimana Datuk Gampo
Alam duduk.
“Datuk
Gampo Alam, kau datang tepat pada waktunya. Malah lebih dulu dari aku!” Orang
di atas kuda coklat menyapa.
Datuk
Gampo Alam menyeringai. “Aku Datuk Gampo Alam selalu tepat waktu. Apalagi untuk
urusan penting seperti ini!”
“Urusan
penting katamu. Apakah tidak bisa kita bicarakan di rumah gadang? Mengapa harus
memilih tempat ini seperti orang menagih hutang piutang saja?!”
Mendengar
kata-kata Datuk Bandaro Sati itu, Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Disentakkannya lehernya beberapa kali lalu dia berkata. “Coba kau lihat
berkeliling. Bukankah tempat ini sangat indah pemandangannya? Jadi tak ada
buruknya kita bicara di sini!”
Datuk
Bandaro Sati memandang berkeliling lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku
setuju dengan ucapanmu. Ngarai Sianok memang indah. Lalu urusan penting apakah
yang kau maksudkan itu, Datuk Gampo Alam?”
“Ah!
Setan ini berpura-pura tidak tahu rupanya!” Maki Datuk Gampo Alam dalam hati.
Lalu dia menjawab. “Ini menyangkut urusan rumah gadang warisan nenek moyang
kita. Jangan kau berpura-pura Datuk Bandaro Sati!”
Wajah
Datuk di atas kuda coklat itu sesaat tampak berubah. “Kalau itu masalahnya aku
tak akan mau membicarakan. Bukankah hal ini sudah aku tegaskan berulang kali
padamu? Soal rumah gadang tidak ada tawar-menawar!”
Datuk
Gampo Alam menyeringai lalu menyetakkan lehernya. “Kau selalu bersikap seperti
ini Datuk.
Keras
kepala dan tolol!”
“Terserah
padamu! Terserah kau mau mengatakan apa diriku! Banyak urusan penting lain
menungguku di Batusangkar! Aku harus pergi sekarang!”
“Tunggu!”
seru Datuk Gampo Alam lalu berdiri di atas kereta. Kedua tangannya berkacak
pinggang sedang sepasang matanya memandang berapi-api pada orang yang duduk di
atas kuda di hadapannya.
“Apapun
alasanmu aku tidak mau tahu. Urusan rumah gadang harus selesai saat ini juga,
di tempat ini juga!”
“Kau
sudah gila Datuk Gampo Alam!” bentak Datuk Bandaro Sati.
“Kau
membuat aku marah Datuk Bandaro Sati!” bafas membentak Datuk Gampo Alam.
“Kau
rupanya sengaja mencari lantai terjungkat!”
“Setan
kau!” teriak Datuk Gampo Alam.
“Eh,
iblis apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau berani berucap sekasar itu
pada kakak kandungmu sendiri? Aku ingatkan padamu! Sekali lagi kau bicara kotor
dihadapanku kupatahkan batang lehermu!”
*****************
DUA
DI ATAS
kereta Datuk Gampo Alam yang masih tegak bertolak pinggang tertawa bergelak.
“Soal patah mematahkan batang leher bisa nanti kita lakukan!” katanya. “Aku
hanya ingin memberi kesempatan padamu sekali lagi. Apakah kau tetap tidak mau
menjual rumah gadang berikut isinya pada Tumenggung Rajo Langit?!”
“Satu
kali kubilang tidak, sampai matipun tetap tidak!” jawab Datuk Bandaro Sati
tegas dan dengan mimik wajah menjadi garang.
Datuk
Gampo Alam menyeringai. Lehernya disentakkan dua kali berturut-turut. Dari
balik pakaian merahnya dikeluarkannya segulung kertas. Perlahan-lahan gulungan
kertas itu dibukanya lalu disodorkannya pada kakaknya.
“Aku
telah menandatangani persetujuan penjualan rumah gadang itu. Kau juga harus
menyetujui dan menandatanganinya.
Tak usah
sekarang. Kuberi waktu dua hari. Antarkan sendiri kerumahku! Atau kau kirimkan
saja orang suruhanmu!”
Datuk
Bandaro Sati jadi mengkelap. Kertas yang disodorkan adiknya diambilnya dengan
sebat lalu tanpa membaca apa yang tertulis di atas kertas itu langsung saja
dirobek-robeknya.
“Rumah
gadang adalah rumah pusaka nenek moyang turun-temurun. Tidak boleh dijual
sekalipun dunia ini akan terbalik!” kata Datuk Bandaro Sati dengan rahang
menggembung dan pelipis bergerak-gerak.
“Setan
jahanam!” teriak Datuk Gampo Alam marah bukan main. Setelah menyentakkan
lehernya, didahului oleh suara menggembor seperti harimau lapar tubuh Datuk ini
melesat ke depan. Kaki kanannya berkelebat menendang ke arah dada kakaknya.
Datuk
Bandaro Sati balas berteriak marah. Dengan satu gerakan cepat luar biasa dia
melompat turun dari punggung kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
dipukulkan ke atas.
Wuuuttt!
Gagal
menyerang dada kakaknya, Datuk Gampo Alam menyambar tangan kanan yang berusaha
memukul ke arah selangkangannya. Tapi luput karena Datuk Bandaro Sati cepat
merunduk sambil tarik pulang serangannya.
“Datuk
Bandaro Sati pandekar tujuh nagari! Kau memilih mati dari pada mendapatkan
rejeki. Otakmu yang konon cerdik bijaksana ternyata kosong melompong! Kau
kemari hanya mencari mati!”
“Hemm,
rupanya niat jahat itu sudah ada dalam hati dan darahmu sejak lama! Aku tahu
kau yang memfitnah anakku. Kini kau hendak bersutan di mata beraja di hati
terhadapku huh! Dengar, bukan aku yang akan mati tapi kau yang akan berkubur di
Ngarai Sianok ini! Itupun kalau masih ada orang yang mau menguburmu. Kalau
tidak bangkaimu akan jadi santapan anjing-anjing ngarai!”
“Datuk
setan! Bicaramu sombong sekali. Boleh kau berkata begitu kalau kau punya dua
nyawa!” kata Datuk Gampo Alam dengan pandangan mata berkilat-kilat. “Nama
besarmu bagiku hanya kentut busuk belaka! Atau kau mengandalkan keberanianmu
pada keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersepi di pinggangmu itu? Ha… ha…
ha…! Keris itu sendiri yang akan kupakai menghabisi dirimu!”
“Datuk
keparat manusia jahat!” bentak Datuk Bandaro Sati. “Hari ini putus hubungan
darah antara kita! Aku tidak akan berdosa membunuh manusia sepertimu!”
“Bagus!
Kalau begitu kau makanlah bekas tanganku ini!” kata Datuk Gampo Alam. Dia
menyergap dengan satu lompatan garang. Tinju kirinya menghunjam ke dada sedang
dua jari tangan kirinya laksana dua potong besi menusuk ke arah sepasang mata
Datuk Bandaro Sati.
“Ilmu
silat picisan tidak laku di hadapanku Datuk!” ejek Datuk Bandaro Sati.
Tangannya kiri kanan bergerak laksana silangan gunting.
Bukkk!
Dukkk!
Tubuh
Datuk Bandaro Sati tergontai-gontai sesaat ketika lengan kirinya beradu dengan
lengan kanan Datuk Gampo Alam. Di saat yang sama, sambil memiringkan kepalanya
untuk menghindari tusukan dua jari lawan pada kedua matanya sang Datuk susupkan
tinju kanannya ke dada Datuk Gampo Alam. Orang ini cepat mengelak namun jotosan
kakaknya masih sempat mampir di bahu kirinya hingga Datuk Gampo Alam
terpelanting dan pasti jatuh kalau tubuhnya tidak tertahan gerobak.
“Setan
alas setan keparat!” rutuk Datuk Gampo Alam menahan sakit dan marah. Kepala dan
lehernya digoyang-goyangkan beberapa kali. Mukanya yang pucat tampak semakin
tidak berdarah. Tapi dia cepat tegak memasang kuda-kuda.
Di atas
kereta, Daud alias Hantu Mata Picak berseru. “Datuk Gampo Alam, biar saya yang
menghajar manusia keparat itu!” Habis berseru begitu dengan satu gerakan enteng
dia melompat turun dan tahu-tahu sudah berada di samping kiri Datuk Bandaro
Sati.
“Aku
masih sanggup mempersiangi setan alas ini Daud! Tetap di tempatmu!” bentak
Datuk Gampo Alam. Lalu dia menerjang. Kini terjadi perkelahian seru antara
kakak dan adik sedarah sekandung itu.
Masing-masing
bukan saja mengeluarkan kekuatan luar tetapi juga mengandalkan tenaga dalam
mengandung hawa sakti yang mengeluarkan siuran angin dan sesekali sinar
menggidikkan.
Meskipun
Datuk Gampo Alam memiliki kegesitan luar biasa namun karena dirinya diselimuti
nafsu membunuh yang tidak terkendalikan maka beberapa kali serangan mautnya
luput. Sebaliknya dua kali serangan Datuk Bandaro Sati berhasil menemui
sasarannya. Yang pertama berupa satu jotosan yang mendarat dengan telak di ulu
hati lawannya hingga Datuk Gampo Alam terlipat ke depan dan mengeluarkan suara
seperti orang mau muntah. Serangan kedua berupa hantaman telapak tangan pada
pangkal lengan yang mendarat keras di dagunya.
Inilah
ilmu Pukulan Sterlak yang sanggup membuat hidung tanggal atau daging muka
terkelupas.
Pukulan
Sterlak yang menghantam dagunya terasa seperti menanggalkan kepalanya dari
leher. Datuk Gampo Alam terpelanting keras lalu terjengkang di tanah.
Pemandangannya sesaat berkunang-kunang.
“Datuk
Gampo Alam, pulanglah! Saat ini dengan ikhlas aku bersedia mengampuni segala
kesalahan dan perbuatanmu!” kata Datuk Bandaro Sati yang jadi tidak tega dan
hiba melihat keadaan adiknya menjepelok di tanah seperti itu.
Perlahan-lahan
Datuk Gampo Alam berdiri. Mulutnya dibuka dan dikatupkannya beberapa kali.
Rahangnya seperti tanggal akibat Pukulan Sterlak tadi.
“Terima
kasih, kau berbaik hati menyuruh aku pulang. Ketahuilah aku akan pulang setelah
kau jadi bangkai di tempat ini! Setan!” Datuk Gempo Alam menutup kata-katanya
dengan makian. Kedua kakinya dikembang. Kedua lutut menekuk. Sepasang tangannya
diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan menekuk seperti hendak meremas. Dari
tenggorokannya keluar suara mencicit halus.
Datuk
Bandaro Sati terkejut, Ilmu Silat Tupai Pesisir. Dari mana dan kapan dia
mempelajarinya?
Begitu
Datuk Bandaro Sati membatin dalam hati. Baru saja dia bersiap-siap menghadapi
serangan lawan tubuh Datuk Gampo Alam melompat ke depan. Selanjutnya tubuhnya
tampak bergerak sebat kian kemari, melenting-lenting seperti bola. Tangan dan
kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga. Inilah ilmu
silat “tupai pesisir” yang kabarnya diciptakan seorang sakti puluhan tahun
silam kemudian lenyap tanpa bekas. Kalau kini ilmu itu muncul dan dapat
dikenali oleh Datuk Bandaro Sati, tidak heran dia merasa terkejut.
Untuk
mengimbangi serangan lawan yang datang bertubi-tubi, Datuk Bandaro Sati
terpaksa membuat gerakan-gerakan cepat. Dengan pengalamannya yang segudang dia
bertahan dan sesekali memotong serangan lawan lalu melancarkan serangan
balasan. Setelah menghadapi lawannya lebih dari sepuluh jurus ternyata ilmu
silat tupai pesisir itu tak bisa ditembus. Tekanan-tekanan dahsyat mulai
dialami Datuk Bandaro Sati. Orang ini mulai kacau pertahanannya ketika destar
hitam dikepalanya berhasil disambar tangan lawan. Kalau tidak cepat dia
membungkuk pasti rambutnya kena dijambak Datuk Gampo Alam.
“Agaknya
aku terpaksa mengeluarkan pukulan sakti andalanku. Tuhan, ampuni diriku kalau
pukulan ini akan membunuh adikku sendiri!” Datuk Bandaro Sati angkat tangan
kanannya lurus-lurus ke atas. Jari telunjuk menunjuk ke atas lagit.
“Telunjuk
penembus raga!” teriak Datuk Gampo Alam ketika dia mengenali ilmu pukulan sakti
yang hendak dikeluarkan kakaknya. Parasnya menjadi tambah pucat. Dia memberi
isyarat dengan gerakan tangan pada Hantu Mata Picak yang saat itu berada tepat
di belakang Datuk Bandaro Sati.
Melihat
isyarat ini Hantu Mata Picak segera melompat. Lengan kirinya yang kokoh
memiting leher Datuk Bandaro Sati dengan keras sedang tangan kanannya mencekal
pergelangan tangan sang Datuk.
“Pengecut
kurang ajar! Menyerang dari belakang!” teriak Datuk Bandaro Sati marah. Siku
tangan kirinya dihantamkan ke belakang sekuat yang biasa dilakukannya.
Kraaakkk!
Terdengar
suara tulang iga patah.
Si Hantu
Mata Picak menjerit keras. Walau sakit setengah mati tapi orang bertubuh tinggi
besar dan bertampang angker ini tidak melepaskan cekalannya dari leher Datuk
Bandaro Sati malah seperti dibantu setan kekuatannya jadi berlipat ganda hingga
Datuk Bandaro Sati sulit bernafas sementara tangan kanannya yang hendak melepas
pukulan telunjuk penembus raga tak dapat dibebaskannya. Dengan tersengal-sengal
Datuk Bandaro Sati mengerahkan seluruh kekuatannya. Justru pada saat itu dari
depan datang Datuk Gampo Alam menyergap. Dengan gerakan kilat dia menyambar
keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang tersisip di pinggang Datuk Bandaro Sati.
Begitu
senjata itu berada di tangannya segera dicabut lalu seperti kesetanan keris
bertuah itu dihunjamkannya keperut dan dada Datuk Bandaro Sati berulang-ulang.
Setiap keris itu menusuk tubuh Datuk
Bandaro
Sati kelihatan asap mengepul. Darah membasahi pakaian hijaunya.
Datuk
Bandaro Sati meraung keras. Dengan sisa kekuatan yang ada dia kerahkan tenaga
dalam.
Tangan
kanannya bergetar keras. Satu sinar biru melesat menjulang ke langit. Hantu
Mata Picak berteriak dan lepaskan cekalannya pada lengan kanan sang Datuk.
Tangannya terasa panas. Ketika dilihatnya ternyata tangan itu menjadi hitam
laksana hangus. Sakitnya bukan kepalang.
Di
sebelah depan Datuk Gampo Alam masih terus menghujani tubuh kakak kandungnya
dengan tusukan-tusukan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Terakhir sekati keris
itu ditusukkannya dan dibiarkannya menancap dipertengahan dada Datuk Bandaro
Sati.
Hantu
Mata Picak lepaskan pitingannya di leher Datuk Bandaro Sati. Tak ampun lagi
Datuk ini segera jatuh tertelentang di tepi Ngarai Sianok.
“Biar saya
tendang bangsat ini ke dalam ngarai!” kata Hantu Mata Picak, sambil meringis
menahan sakit pada tulang iganya.
“Tak usah
Daud! Biarkan saja! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum ada orang datang dan
melihat kita disini!” kata Datuk Gampo Alam sambil membuang sarung keris emas
ke tanah.
Mendengar
hal itu Daud alias Hantu Mata Picak segera naik ke atas kereta. Datuk Gampo
Alam melompat pula ke atas kereta dan sesaat kemudian kereta itu berputar lalu
meluncur kencang ke arah kaki gunung Merapi tanpa satupun dari kedua
penumpangnya mengetahui kalau saat itu, di balik sebuah batu besar di antara
kerapatan semak belukar sepasang mata menyaksikan apa yang telah terjadi di
tempat itu dengan tubuh menggigil. Karena tak sanggup menahan takut, orang ini
segera hendak melarikan diri namun satu keajaiban yang hampir tak dapat
dipercayanya membuat kedua kakinya seolah dipaku ke tanah. Mulutnya terkancing,
wajahnya pucat. Hanya kedua matanya saja membeliak menyaksikan apa yang
terjadi.
Dari
dasar Ngarai Sianok tiba-tiba melesat satu bayangan putih ke arah tubuh Datuk
Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Sulit dipastikan apakah sosok tubuh ini
sosok manusia atau setan. Sosok itu lebih merupakan satu bayangan orang
berjubah tembus pandang. Sosok ini sesaat tegak di samping tubuh Datuk Bandaro
Sati lalu membungkuk. Tangannya bergerak mencabut keris yang menancap di dada
Datuk Bandaro Sati. Kemudian bayangan ini memungut sarung keris yang tercampak
di tanah. Sesaat setelah itu bayangan ini melesat ke udara. Seolah terbang ke
arah matahari. Silaunya cahaya matahari membuat orang di balik batu tak dapat
lagi melihat bagaimana lenyapnya bayangan aneh itu. Rasa takut yang tak dapat
ditahannya lagi menyebabkan orang ini segera menghambur lari meninggalkan
tempat itu.
*****************
TIGA
HANYA
beberapa saat setelah orang yang tadi lari lenyap di kejauhan, seorang
penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala putih-putih tampak mendatangi
dari arah barat. Rambutnya gondrong menjela bahu melambai-lambai ditiup angin.
Sambil memacu kuda tunggangannya orang ini yang ternyata masih muda dan
bertubuh kekar memperhatikan pemandangan yang sangat indah di sekitarnya.
“Luar
biasa, belum pernah aku melihat lembah seindah ini,” kata pemuda ini dalam
hati. Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba kuda tunggangannya meringkik
keras, menaikkan kedua kaki depannya tinggi-tinggi dan tak mau lagi berlari.
“Heh… ada
apa sobatku? Ada sesuatu yang mengganggumu?” Pemuda itu mengusap-usap leher
kudanya sambil kedua matanya memandang berkeliling. Di kejauhan, di tepi Ngarai
Sianok sebelah timur di lihatnya ada seekor kuda melangkah mondar-mandir.
Tiba-tiba binatang di kejauhan itu meringkik keras seolah membalas ringkikan
kuda yang ditunggangi si pemuda.
“Hemmm…
Kau menemukan seorang sahabat. Baik, larilah ke arah sahabatmu disebelah sana!”
Seperti
mengerti kuda tunggangan si pemuda berlari cepat ke arah kuda coklat di tepi
ngarai.
“Ada kuda
tak ada penunggang adalah mustahil!” kata pemuda gondrong begitu sampai di
samping kuda coklat. Kepala binatang itu dibelainya beberapa kali. Gerakan
tangannya terhenti ketika kedua matanya melihat sesosok tubuh bergelimang darah
tergeletak di tanah. Pemuda ini serta merta melompat turun dan mendekati sosok
tubuh itu. Dengan sangat hati-hati tubuh itu dibalikannya. Wajah si pemuda mengerenyit
melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh orang berpakaian hijau itu. Kedua
mata orang ini terpejam. Si pemuda memegang lengannya. Masih terasa hangat.
“Tubuhnya
masih hangat. Berarti kejadiannya belum lama….” Pemuda itu lalu membungkuk,
meletakkan telinganya di dada orang “Ada detakan jantung. Perlahan sekali.
Semoga Tuhan mengizinkan aku menolongnya….” Lalu si pemuda menempelkan kedua
telapak tangannya di atas dada orang yang sekarat itu. Perlahan-lahan dia
mengalirkan tenaga dalam yang mengandung hawa sakti dingin. Orang yang ditolong
tidak memberikan reaksi apa-apa. Kedua matanya masih terpejam sedang tubuhnya
tidak bergerak sedikitpun.
Pemuda
itu mencoba sekali lagi. Kali ini dia mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam
yang dimilikinya.
Tenggorokan
orang yang sekarat tampak bergerak turun naik. Lalu perlahan-lahan kedua
matanya yang sejak tadi tertutup membuka. Tiba-tiba seperti mendapat satu
kekuatan, dalam keadaan seperti itu orang ini berusaha bangkit namun hal itu
tak mampu dilakukannya. Punggungnya terbanting ke tanah. Kedua matanya kembali
terpejam namun sebelumnya dia sempat melihat wajah orang yang menolongnya itu.
“Andana….
Tuhan Maha Besar. Syukur kau datang nak. Sebelum ajal datang menjemput… bawa
aku ke puncak Singgalang. Aku… aku ingin mati di sana. Di hadapan kakakku….
Uning Ramalah….”
“Andana,
siapa yang dimaksudkannya dengan Andana? Diriku? Kasihan, Pandangan matanya
pasti sudah kabur. Umurnya tak akan lama.” Pemuda berambut gondrong itu
berdiri, memandang ke arah kejauhan dimana tampak berdiri gunung Singgalang.
“Andana…
Jangan kau tinggalkan aku di sini. Jangan biarkan aku menemui ajal di tempat
ini. Bawa aku ke puncak Singgalang. Andana anakku….” Suara orang yang tubuhnya
penuh tusukan dan gelimang darah itu terputus. Si pemuda cepat memeriksa. Lalu
gelengkan kepala. “Nyawanya putus sudah. Kini aku menyandang kewajiban yang tak
bisa kutolak.” Sesaat si pemuda menatap wajah orang yang malang itu lalu
menghela nafas panjang dan garuk-garuk kepala.
SEPERTI
biasanya keadaan di setiap gunung, jalan mencapai puncaknya tidak mudah untuk
dicapai.
Demikian
juga dengan gunung Singgalang. Demikian yang dialami oleh pemuda berambut
gondrong itu.
Hanya
saja dia merasa beruntung karena kuda coklat yang membawa mayat lelaki
berpakaian hijau seolah sudah mengetahui seluk beluk gunung itu. Binatang ini
berjalan di sebelah depan, bergerak dengan cepat menuju puncak gunung. Si
pemuda hanya tinggal mengikuti dari belakang.
Ketika
sang surya tenggelam puncak gunung Singgalang masih jauh di atas sana. Waktu
malam turun keadaan jadi gelap gulita, tangan di depan mata pun tidak
kelihatan. Pemuda berambut gondrong memutuskan untuk menghentikan perjalanan.
Dia mencari tempat yang haik lalu bermalam di situ dalam dinginnya udara yang
bukan olah-olah.
Tengah
malam dalam keadaan susah memicingkan mata pemuda ini tiba-tiba melihat ada
sesosok bayangan berkelebat dalam gelap. Dia cepat berdiri dan bertanya. “Siapa
di sana?!”
Tak ada
jawaban. Tak ada gerakan. Dan bayangan yang tadi terlihat mendadak sontak lenyap
ditelan kegelapan. Pemuda itu menggosok-gosok kedua matanya. “Aneh, tangan di
depan mata tidak kelihatan tapi mengapa bayangan tadi biasa terlihat?
Jangan-jangan aku bermimpi! Tapi tidurpun aku belum masakan bisa mimpi?!”
Diam-diam pemuda itu merasa merinding. Dengan perasaan tidak enak dia kembali
ke tempatnya semula.
Kicau
burung dan sinar matahari pagi yang menembus lewat kerimbunan daun-daun
pepohonan membuat pemuda yang baru bisa lelap menjelang dini hari itu
terbangun. Begitu bangun yang dilakukannya pertama kali adalah memandang
berkeliling, Astaga. Terkejutlah pemuda ini. Sosok mayat orang berpakaian hijau
yang sebelumnya berada di atas kuda coklat kini tak kelihatan lagi. Pemuda itu
memeriksa kian kemari.
Tetap
saja dia tak berhasil menemukan mayat itu.
“Jangan-jangan
dilarikan binatang buas.” Berpikir si pemuda. “Tapi tak mungkin aku tidak
mengetahuinya. Lagi puia tak ada tanda-tanda bekas seretan di tanah. Tak ada
semak belukar yang rambas.”
Pemuda
ini berpikir keras. Tetap saja dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadi
dengan mayat itu. Pemuda ini akhirnya duduk di akar pohon. Tiba-tiba dia ingat
kejadian malam tadi. Ada satu bayangan yang muncul secara mendadak dan lenyap
secara aneh. “Jangan-jangan tempat ini banyak dedemitnya!” Katanya dalam hati.
Memikir sampai di situ dia segera berdiri. Tapi sesaat dia termangu. Apakah
akan meneruskan perjalan menuju puncak Singgalang atau berbalik menuju kaki
gunung. Setelah menimbang-nimbang dalam hati beberapa lama akhirnya pemuda ini
mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanan menuju puncak gunung.
“Aku
ketitipan kewajiban untuk membawa mayat itu kepuncak gunung dan menyerahkannya
pada seorang bernama Uning Ramalah. Jika ada seseorang tinggal di puncak gunung
pastilah dia bukan orang sembarangan. Ada baiknya aku menemui orang itu. Siapa
tahu dia bisa memberi petunjuk tentang lenyapnya
mayat
itu. Juga siapa tahu dia kenal dengan Tua Gila yang tengah kucari-cari dan
belum bertemu sampai saat ini.”
Maka
dengan menunggangi kuda coklat pemuda gondrong itu melanjutkan perjalanan
menuju puncak gunung Singgalang. Kudanya sendiri mengikuti dari belakang.
*****************
EMPAT
PEMUDA
berambut gondrong itu hentikan kudanya di bawah sebatang pohon besar di puncak
Singgalang. Di hadapannya ada sebuah gubuk kayu beratap rumbia. Di halaman
gubuk terhampar halaman luas yang sebagiannya tertutup oleh batu-batu merah. Di
tengah halaman inilah, di bawah siraman sinar matahari pagi, di atas sehelai
tikar kulit berbentuk bulat duduk seorang berjubah putih. Kepalanya yang tertutup
selendang kain sutera putih menunduk hingga si pemuda tidak dapat melihat
wajahnya. Rambutnya yang tersembul keluar tampak putih semua.
Di
hadapan orang berselendang, di atas sehelai tikar jerami tebal terbujur tubuh
manusia yang ditutupi dengan kain putih mulai dari kepala sampai ke kaki hingga
pemuda itu tidak dapat mengetahui siapa adanya manusia yang berada di bawah
kain itu. Namun hatinya menaruh syak wasangka bahwa itu adalah mayat orang
berbaju hijau yang ditolongnya yang lenyap secara aneh tadi malam.
Bau
kemenyan memenuhi tempat itu yang keluar dari sebuah perasapan tanah dan
terletak di samping kiri orang berjubah putih.
Perlahan-lahan
pemuda di atas kuda turun ke tanah. Dia tidak segera melangkah mendekati
halaman berbatu merah namun tetap berdiri di situ karena tidak berani menganggu
orang berselendang yang diduganya mungkin tengah melakukan semedi.
Setelah
menunggu cukup lama akhirnya perlahan-lahan kelihatan orang berjubah dan
berselendang putih mengangkat kepalanya. Si pemuda melihat satu wajah perempuan
tua berkulit putih keriputan.
Pandangan
mata yang dingin dan seperti menembus dari perempuan tua itu membuat pemuda
berambut gondrong tercekat. Dia hendak menegur namun entah mengapa mulutnya
seolah terkancing.
“Wajah
pemuda ini mirip-mirip wajah murid saudaraku.” Perempuan tua itu membatin. Lalu
dia menegur.
“Siapa
kau? Apa keperluanmu berada di tempat ini?” Tiba-tiba perempuan itu bertanya.
Suaranya perlahan dan penuh kelembutan tetapi mengandung wibawa yang sangat
tinggi.
“Maafkan
saya. Saya tidak bermaksud menganggu….”
“Jawab
saja pertanyaanku!” memotong perempuan tua itu.
Sorotan
mata dan ucapan orang membuat si gondrong menjawab seperti yang tidak
dimintakan.
“Saya…
saya kehilangan sesuatu,” katanya.
“Uang,
harta benda….?” tanya perempuan yang duduk bersimpuh di atas tikar kulit.
“Bukan,
bukan uang atau harta benda. Saya kehilangan sesosok mayat. Saya rasa….”
“Itu
sebabnya kau datang kemari karena menyangka mayat itu ada di sini?”
“Tidak
sepenuhnya seperti itu. Saya punya kewajiban untuk mengantarkan jenazah itu ke
puncak Singgalang. Untuk diserahkan pada seorang….”
“Siapa
yang meminta kau melakukan itu?!”
“Mayat
itu….” jawab si gondrong.
Kedua
mata perempuan yang duduk di atas tikar kulit tampak mengeluarkan kilatan aneh,
membuat si gondrong jadi kembali tercekat!”
“Mayat
mana bisa bicara. Apalagi memberikan perintah!”
Si
gondrong garuk-garuk kepalanya. “Maksud saya, orang itu meminta saya
menolongnya sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Malam tadi dia lenyap
begitu saja. Tanggung jawab saya untuk menemukannya dan menyerahkannya pada
orang yang disebutnya.”
Kedua
mata perempuan itu bergerak aneh. Tiba-tiba saja pandangan matanya dapat menembus
pakaian yang dikenakan pemuda di hadapannya. Dia bisa melihat semua benda yang
terlindung di balik pakaian itu. Dia mampu melihat sebuah kapak bermata dua di
pinggang kiri. Lalu sebuah batu hitam di pinggang kanan dan sekuntum bunga
kering pada saku baju sebelah kiri. “Dia bersenjatakan kapak. Jadi bukan dia
yang membunuh saudaraku.” Kata perempuan tua berwajah putih itu.
“Jadi
sebelum mati orang itu meminta kau mengantarkan dirinya pada seseorang di
puncak gunung ini?”
“Betul
sekali.”
“Orang
itu menyebutkan nama?”
“Benar.
Dia menyebut nama Uning Ramalah….”
“Aku
Uning Ramalah!” kata perempuan berselendang putih dengan sepasang mata tak
berkesip.
Si
gondrong cepat membungkuk. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Uning Ramalah
adalah seorang perempuan.”
“Kau
bukan orang sini?!” perempuan tua itu bertanya penuh selidik.
“Saya
datang dari tanah Jawa,” jawab si gondrong.
“Siapa
namamu?”
“Saya
Wiro. Wiro Sableng….”
“Apa
tujuanmu datang kemari?”
“Saya
dalam perjalanan mencari seorang tua bernama Tua Gila….”
“Apa
hubunganmu dengan orang itu?”
“Dia… dia
sudah menganggap diri saya seperti anak sendiri. Saya pernah mendapatkan
pelajaran silat sejurus dua jurus dari dia….”
“Kalau
kau mencari orang bernama Tua Gila itu, lalu bagaimana kemudian kau bilang
punya kewajiban untuk mengantarkan sesosok mayat ke puncak Singgalang?”
“Saya
menemukan orang itu di tepi Ngarai Sianok. Dalam keadaan sekarat dia meminta
saya mengantarkannya ke sini. Hanya saja malam tadi mayat itu lenyap. Saya
tidak dapat memastikan apakah dicuri setan atau dilarikan binatang buas.”
Perempuan
tua bernama Uning Ramatah itu memandang ke arah sosok tubuh yang terbujur di
bawah kain putih. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Coba kau singkapkan kain putih
itu. Apa dia orang yang kau maksudkan?”
Wiro
melangkah mendekati sosok yang tertutup kain putih. Dia berjongkok lalu
perlahan-lahan menyingkapkan kain putih di bagian kepala. Wiro mengenali wajah
itu lalu memandang pada Uning Ramalah seraya berkata. “Memang dia orangnya.”
“Dia
adalah Datuk Bandaro Sati. Adik kandungku. Dia mati dibunuh orang. Kau tahu
siapa pembunuhnya?”
Wiro
menggeleng. “Ketika saya menemukannya dia hanya sendirian dalam keadaan
sekarat. Tapi di tanah saya melihat jejak-jejak kaki kuda banyak sekali dan
bekas gilasan roda kereta.”
“Setahuku
adikku memiliki sebilah keris sakti bertuah. Senjata itu tidak ada padanya. Kau
melihat keris itu? Terbuat dari emas….”
Wiro
menggeleng.
Mata
perempuan tua itu mengeluarkan kilatan aneh. Kembali dia mampu melihat menembus
ke balik pakaian Wiro. Dia tidak melihat benda yang dimaksudkannya. “Pemuda ini
tidak berdusta. Dia tidak
mengambil
dan menyembunyikan keris itu.”
“Malam
tadi, aku sengaja menjemput jenazah adikku. Aku tak ingin dia lama-lama
tersiksa….”
“Ah. jadi
dia rupanya yang membawa lari mayat orang ini,” kata Wiro dalam hati.
“Jenazah
itu harus dikubur. Saya bersedia menolong menggalikan kuburnya,” kata Wiro
kemudian.
“Tidak
sekarang anak muda. Paling cepat dua hari lagi. Ada seseorang yang harus melihatnya
sebelum dimakamkan.”
“Tapi
kalau menunggu sampai dua hari, jenazah ini bisa busuk.”
“Aku
sudah mengawetkannya dengan sejenis bubuk.”
Wiro
hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ucapan orang. “Saya rasa, kewajiban saya
sudah saya jalankan walau tidak dengan baik. Saya mohon diri meninggalkan
tempat ini.”
“Aku
belum sepenuhnya yakin kalau kau tidak ada sangkut pautnya dengan kematian
adikku. Karena itu kau tidak boleh meninggalkan tempat ini sampai orang yang
kutunggu datang.”
Pendekar
212 Wiro Sableng tentu saja jadi terkejut mendengar kata-kata itu. Tentu saja
dia merasa keberatan. Namun pandangan mata perempuan di hadapannya membuat
hatinya tergetar. Maka murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede inipun
berkata. “Menunggu dua hari rasanya tidak mungkin bagi saya.
Apalagi
kalau orang itu ternyata datang seminggu atau dua minggu kemudian….”
“Aku
lebih tahu dirimu anak muda…!”
“Saya
menyesalkan mengapa kau seperti mencurigai diriku!” kata Wiro. “Semula saya
hanya punya maksud menolong semata. Mengapa kini seolah hendak dijadikan
kambing hitam?”
Perempuan
tua bernama Uning Ramalah itu tidak menyahut apa-apa. Wajahnyapun tampak tidak
berubah. Perlahan-lahan kepalanya ditundukkan kembali. Melihat hal ini Wiro
Sableng segera putar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Namun dia
hanya mampu bergerak satu langkah.
*****************
LIMA
PENDEKAR
212 Wiro Sableng merasakan kedua kakinya seperti dipantek ke tanah.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luarnya dia tak mampu menggerakkan kakinya.
Wiro menoleh ke belakang.
Dilihatnya
perempuan bernama Uning Ramalah itu masih tetap duduk di tempatnya dengan
mendudukkan kepala.
“Apa
sebenarnya maunya orang ini? Aku tidak mengharapkan dia berterima kasih. Tapi
kalau begini balas budinya kurasa keterlaluan!” Wiro lalu salurkan tenaga dalam
pada kedua kakinya. Lututnya sampai bergetar karena dia sengaja mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalam yang ada. Tanah gunung yang dipijaknya ikut
bergetar lalu tampak tanah di sekitar situ retak merengkah. Bahkan tiba-tiba
ada kepulan asap keluar dari celah tanah yang retak itu.
Wiro
kembali berpaling. Dilihatnya Uning Ramalah masih bersimpuh di atas tikar kulit
itu. Kepalanya masih tertunduk namun kini kelihatan ada getaran-getaran yang
menjalari tubuhnya. Ini satu pertanda adanya kekuatan yang mencoba menerobos
memasuki tubuhnya untuk menantang kekuatan tenaga dalamnya.
Menyadari
apa yang terjadi perempuan tua itu perlahan-lahan gerakkan tangan kanannya ke
samping.
Jari
telunjuk dan jari tengah diluruskan. Lalu kedua jari itu ditusukannya ke dalam
tanah hingga amblas sampai ke pangkalnya. Bersamaan dengan itu Wiro merasakan
seolah ada benda panas menusuk kedua telapak kakinya dengan keras hingga dia
berteriak akibat kejut dan kesakitan.
“Orang
tua! Aku tidak mengira kau berhati culas!” kata Wiro dengan suara keras mulai
kasar.
Uning
Ramalah yang ditegur tetap saja diam membisu.
Wiro
sendiri meski kedua kakinya terpaku ke tanah namun dia masih bisa menggerakkan
auratnya yang lain. Murid Sinto Gendeng ini keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212-nya.
Sinar menyilaukan menghampar di tempat itu. Uning Ramalah tetap saja tidak
bergerak. Perlahan-lahan Wiro membungkuk.
Dengan
salah satu mata kapak dia menggurat tanah di sekitar kakinya dalam bentuk
lingkaran. Senjata mustika itu kemudian disimpannya kembali.
Di
tempatnya bersimpuh Uning Ramalah cabut kedua jarinya yang menancap di tanah.
Lalu kedua jari itu dihujamkannya kembali ke bagian tanah yang lain. Di
tempatnya terpaku Pendekar 212 tidak merasakan apa-apa.
Guratan
Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata mampu melindunginya, tidak bisa ditembus lagi
oleh ilmu kesaktian Uning Ramalah. Perlahan-lahan perempuan berwajah putih itu
cabut kedua jarinya dari dalam tanah. Dia terkejut ketika melihat dua jarinya
itu berwarna kemerahan dan mengepulkan asap. Dalam hatinya perempuan ini
membatin. “Ilmunya ternyata tinggi sekali, pasti dia mampu membantu anak
adikku. Itu sebabnya aku ingin dia berada di sini sampai anak itu datang.
Sayangnya dia salah sangka.”
Di atas
tikar kulit di halaman berbatu-batu merah itu kembali Uning Ramalah duduk
menundukkan kepala seperti orang tengah merenung. Tiba-tiba dia mendengar
pemuda di seberang sana berseru.
“Orang
tua, saya mohon sekali lagi agar kau melepaskkan kedua kakiku!”
Uning
Ramalah diam saja.
Wiro
menggerendeng dalam hati.
“Kau tak
mau menjawab baik! Kau tak mau membebaskan kedua kakiku bagus! Jangan salahkan
kalau aku terpaksa berlaku kurang ajar! Lihat saja apa yang akan kulakukan!”
“Eh, apa
yang hendak dilakukan pemuda Jawa ini?” Tanya Uning Ramalah dalam hati.
Kepalanya diangkat sedikit. Kedua matanya memperhatikan apa yang hendak
diperbuat pemuda bernama Wiro Sableng itu. Mendadak sontak kedua mata perempuan
tua itu jadi mendelik. Wajahnya yang putih berubah merah laksana saga.
Di
tempatnya terpantek ke tanah, Pendekar 212 membuka tali pengikat pinggang
celananya. Lalu enak saja celana itu dimerosotkannya ke bawah hingga jatuh
tergulung di tanah di kedua kakinya. Kini dia berdiri membelakangi Uning
Ramalah dengan tubuh sebatas pinggang ke bawah melompong bugil.
Sambil
menyeringai Pendekar 212 berkata. “Rasakan olehmu sekarang!” Lalu tidak
tanggung-tanggung dia membalikkan badannya. Berarti auratnya sebelah bawah yang
telanjang itu akan menghadap Uning Ramalah.
Tetapi
ketika dia berpaling, ternyata dilihatnya perempuan tua itu tak ada lagi
ditempatnya semula.
Wiro
memandang ke arah pintu gubuk. Dia masih sempat melihat Uning Ramalah
membantingkan pintu gubuk dengan keras.
“Sialan
dia malah pergi. Tapi apa tadi dia sempat melihat bokongku?” Wiro bertanya
dalam hati. Wiro mengomel dalam hati. Kalau mengikuti amarahnya mau saja dia
saat itu menghantam gubuk itu dengan pukulan “sinar matahari”.
Di dalam
gubuk Uning Ramalah tertegun beberapa saat. Dia coba menenteramkan degup
jantung dan aliran darahnya. Bagaimanapun tadi dia cepat-cepat memalingkan
kepala dan berdiri pergi namun kedua matanya masih sempat melihat apa yang
dilakukan pemuda bernama Wiro Sableng itu.
Untuk
lebih menenangkan hatinya Uning Ramalah mengambil mukenah lalu membentang
selembar tikar di lantai gubuk yang terbuat dari papan dan sangat bersih itu.
Dengan
kekhusukan penuh perempuan ini lalu melakukan sembahyang hajat. Selesai
sembahyang dia tetap duduk di tikar itu, memejamkan kedua matanya, mengambil
sikap seperti orang tengah mengheningkan cipta rasa. Sesaat kemudian,
perlahan-lahan dalam pelupuk matanya muncul bayangan dari suatu tempat yang
terletak jauh di sebelah utara pulau Andalas. Dia melihat sebuah bangunan
kecil. Lalu sebuah air terjun. Lalu muncul satu wajah lelaki tua bersorban
hitam yang memiliki sepasang alis berwarna merah.
Dari
mulut Uning Ramalah kemudian terdengar suara perlahan. “Sahabatku Datuk Alis
Merah masuklah ke dalam alamku. Aku perlu bertemu denganmu….”
*****************
ENAM
SANG
SURYA belum lama menyembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Angin pagi
berhembus kencang. Namun desaunya dan suara daun-daun pepohonan yang
bergemerisik terkena sapuannya tidak terdengar karena lenyap ditelan oleh suara
air terjun yang mencurah pada ketinggian dua puluh kaki. Air terjun ini
terletak di dasar sebuah lembah batu cadas, tak berapa jauh dari aliran anak
sungai Asahan.
Di atas
batu cadas hitam, di bawah curahan air terjun tampak sesosok tubuh tinggi kekar
bergerak bergerak gesit-gesit kian kemari. Sepasang tangan dan kedua kakinya
melesat membuat pukulan dan tendangan yang sesaat mampu menyibak curahan air
terjun. Dari gerakan yang dibuat pemuda ini jelas dia tengah melakukan gerak
jurus-jurus ilmu silat.
Tak jauh
dari situ, di lamping sebuah bukit batu, tanpa diketahui oleh pemuda tadi,
berdiri seorang tua berjubah putih mengenakan sorban berwarna hitam. Kedua alis
matanya berwarna sangat merah laksana darah.
Janggutnya
yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin pagi. Di tangan kanannya orang
bersorban hitam ini memegang sebatang tongkat kayu yang ujungnya dilapisi besi
tajam hampir menyerupai sebuah lembing.
Sesekali
tampak kening orang tua ini berkerut. Di lain saat ada sesungging senyum muncul
di bibirnya. Tak jarang pula dia menggangguk-anggukkan kepala sambil mengusap
janggut putihnya. Di bawah air terjun pemuda yang berlatih silat kelihatan
membuat gerakan memukul dan menendang. Gerakannya demikian cepat hingga
tubuhnya seolah-olah satu bayangan yang berkelebat di bawah curahan air terjun.
Tiba-tiba
gerakan itu berubah lambat seperti gerakan orang menari. Di pertengahan batu
cadas hitam yang dipijaknya pemuda itu hentikan gerakan lalu kedua kakinya
membentuk kuda-kuda yang kokoh. Rahangnya mengembung, mulutnya terkatup rapat.
Perlahan-lahan perutnya yang berotot tampak mengempis. Sebaliknya dadanya
membusung. Otot-ototnya bertonjolan. Bersamaan dengan itu pemuda ini angkat
kedua tangannya ke atas. Masing-masing telapak tangan dikembangkan. Tubuhnya
bergetar tanda dia mengerahkan tenaga dalam yang hebat. Hawa panas membungkus
seluruh permukaan kulitnya, membuat keluarnya asap tipis ketika tubuhnya
tersentuh air terjun.
Ketika
dua telapak tangan yang diangkat melewati bahu tiba-tiba terjadilah satu hal
yang sulit dipercaya. Air terjun yang jatuh ke bawah dengan deras itu mendadak
terhenti curahnya laksana ditahan oleh satu tembok batu yang tidak kelihatan.
Keanehan ini bukan sampai di situ saja. Ketika si pemuda membuat gerakan
mendorong ke atas, curahan air terjun kelihatan ikut naik, terdorong ke atas
sampai sejauh satu tombak lebih.
Di
lamping bukit orang tua bersorban hitam sesaat tampak tercekat menyaksikan
kejadian itu. Hatinya berkata. “Selama dunia terkembang baru ada dua orang yang
sanggup menahan dan mendorong curahan air terjun seperti itu. Guruku dan aku.
Kini dia menjadi orang ke tiga yang sanggup melakukannya!”
Di bawah
curahan air terjun, si pemuda keluarkan teriakan keras lalu perlahan-lahan
turunkan kedua tangannya. Air terjun kembali mencurah ke bawah. Diam-diam si
pemuda merasa puas. Sebelumnya dia telah mencoba beberapa kali melakukan hal
itu. Baru sekarang dia sanggup membuat gerakan sempurna hingga mampu menahan
bahkan mendorong curahan air terjun ke atas.
Penuh
rasa bangga dan percaya diri si pemuda kembali melanjutkan gerakan-gerakan
silatnya di bawah curahan air terjun. Pada saat itulah mendadak tampak melayang
sebuah lembing. Benda ini melesat ke arah belakang kepala si pemuda. Sekali
lembing itu menancap di batok kepalanya sebelah belakang jangan harap dia bisa
lolos dari maut.
Si pemuda
memang sama sekali tidak melihat datangnya lembing maut tersebut. Namun
sepasang telinganya yang tajam tidak bisa ditipu walau curahan air terjun
begitu keras. Hanya dua jengkal ujung lembing akan menembus batok kepalanya,
pemuda ini tiba-tiba sekali merunduk sambil membuat gerakan berputar. Bersamaan
dengan itu dari mulutnya keluar bentakan keras. Tangan kanannya menghantam ke
atas.
Kraakk!
Lembing
yang lewat di atas kepalanya mental setelah terlebih dulu patah dua dihantam
pukulannya.
Baru saja
dia lolos dari bokongan tadi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu
tendangan menderu ke arah perutnya.
Si pemuda
berteriak keras. Dia cepat menyingkir ke samping sambil menepis kaki yang
menendang.
Namun
saat itu pula satu gebukan menghantam ke arah kepalanya. Mau tak mau terpaksa
pemuda ini batalkan niat memukul kaki lawan lalu dengan cepat jatuhkan diri ke
bawah. Begitu serangan lawan gelap itu lewat dia cepat menghantam ke atas
dengan tangan kanan. Inilah jurus yang dinamakan “membantai matahari”.
Selain
gerakan memukul dilakukan secara kilat, pukulan itu juga disertai aliran tenaga
dalam. Tapi ternyata tidak mudah untuk menghajar si penyerang yang rupanya juga
memiliki gerakan cepat laksana berkelebatnya setan. Malah satu jotosan balasan
tiba-tiba menderu lagi ke arah kepala si pemuda. Meski agak terperangah namun
pemuda ini masih sempat mengelak. Jotosan lawan menghantam dinding batu di
belakangnya. Dinding ini retak besar bahkan bagian yang kena hantaman langsung
kelihatan hancur berlobang.
Belum
sempat pemuda ini menarik nafas lega mendadak datang lagi satu serangan. Lima
jari tangan kanan yang ditekuk ke dalam mencari sasaran di batang lehernya. Si
pemuda berteriak keras. Kedua lututnya menekuk tajam. Kedua tangan laksana
kilat menyambar lengan yang melancarkan pukulan. Si penyerang berseru kaget
ketika lengannya kena dicekal. Selagi dia berusaha melepaskan cekalan itu, si
pemuda telah lebih dulu menarik lengan itu kuat-kuat ke bawah hingga lawan ikut
terseret dengan keras. Pada saat tubuh lawan terjerembab si pemuda susupkan
kaki kanannya ke perut orang lalu dibarengi bentakan keras tubuh lawan
dilemparkan ke dinding batu cadas di belakangnya.
Saat
itulah terdengar suara tawa bergelak. Tubuh yang dilempar mental tadi sesaat
mengapung di udara lalu membalik turun dengan cepat. Sambil melayang ke bawah
orang ini gerakkan tangan kanannya.
Dari
tangan yang dimiringkan itu tiba-tiba berkiblat sinar merah laksana sambaran
lidah api disertai suara deru yang menggidikkan.
“Pukulan
Inti Api!” teriak si pemuda begitu dia mengenali pukulan sakti itu. Si
penyerang masih tampak samar-samar dalam gerakannya yang laksana kilat, namun
kini si pemuda sudah dapat menduga siapa adanya orang itu. Dengan cepat dia
menjatuhkan diri, bergulingan di atas batu cadas terus menceburkan diri ke
dalam air. Ujung lidah api menyambar batu cadas sejarak lima langkah di depan
pemuda itu. Batu itu hancur berantakan. Si pemuda merasakan kuduknya sedingin
es. Kalau terlambat sedikit saja tadi dia menyelamatkan
diri,
pasti nyawanya tidak tertolong.
Dengan
cepat si pemuda keluar dari dalam air. Begitu sampai di hadapan si penyerang
dia langsung jatuhkan diri, berlutut seraya berseru. “Guru!”
Si
penyerang tanpa ampun tadi ternyata adalah orang tua bersorban hitam berjubah
putih yang punya sepasang alis mata berwarna semerah darah. Orang tua ini
pegang rambut gondrong muridnya yang basah kuyup lalu berkata. “Kepandaianmu
telah maju pesat muridku. Aku gembira. Berarti kalau aku mati sudah ada
seseorang yang mewarisi seluruh kepandaianku. Sekarang kembalilah ke pondok.
Tukar pakaianmu. Tunggu aku di sana. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu
Andana.”
Sang
murid yang bernama Andana itu anggukkan kepala. Ketika dia baru bergerak satu
langkah tiba-tiba terdengar seruan sang guru. “Andana, tunggu! Aku melihat satu
keanehan di tempat ini!”
Andana
cepat berpaling. “Apa maksud Datuk Alis Merah?”
“Lihat ke
depan sana,” jawab orang tua yang dipanggil dengan nama Datuk Alis Merah seraya
menunjuk ke arah ketinggian dimana terletak sebuah batu cadas besar rata
sejarak dua puluh langkah di depan mereka. “Puluhan tahun aku hidup di tempat
ini. Tak pernah kejadian ada kabut di sini!”
Andana
memandang ke jurusan yang ditunjuk gurunya. Memang benar. Di depan sana dia
melihat kabut menutupi bagian lembah seluas seratus kaki persegi, tetapi di
atas batu cadas besar dan rata itu.
“Agaknya
itu bukan kabut biasa Datuk. Coba perhatikan,” kata Andana pula.
“Demi
Tuhan kau benar muridku! Itu memang bukan kabut biasa!” kata Datuk Alis Merah
dengan air muka berubah. Baru saja orang tua ini berkata begitu tiba-tiba
terdengar suara mengaum yang dahsyat. Batu yang mereka injak terasa bergerak.
Air yang tergenang di antara bebatuan tampak bergelombang. Memandang ke depan
tanpa berkesip guru dan murid melihat samar-samar munculnya satu sosok seekor
harimau besar di balik ketebalan kabut. Binatang ini memandang lurus-lurus ke
arah Datuk Alis Merah dan Andana. Ekornya bergerak-gerak. Binatang ini mengaum
sekali lagi, membuat lembah batu itu kembali bergetar.
“Hemmmm.
Tunggangannya telah muncul. Tapi tamunya sendiri belum kelihatan.” Terdengar
Datuk Alis Merah berkata perlahan seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Datuk,
siapa gerangan tamu yang Datuk maksudkan?” bertanya Ananda.
“Yang aku
tahu hanya ada satu orang yang memiliki tunggangan seekor harimau. Ayahmu,
Datuk Bandaro Sati.”
Paras
Andana berubah. “Ayah saya Datuk …? Tak biasanya, bahkan tak pernah beliau
muncul seperti ini. Kecuali kalau beliau….” Andana tidak meneruskan ucapannya.
Hatinya berdetak tidak enak.
“Aku
tidak tahu keajaiban apa yang tengah terjadi di hadapan kita saat ini Andana.
Kita harus bersiap-siap. Agaknya ada satu hal luar biasa telah atau akan
terjadi di luar kemampuan kita untuk mencegahnya….”
Samar-samar
di dalam kabut tiba-tiba tampak menyeruak sosok tubuh lelaki berwajah gagah
dihiasi kumis tipis, berusia sekitar setengah abad. Dia mengenakan destar hitam
dan pakaian hijau. Pakaiannya ini tampak penuh dengan lobang-lobang bekas
tusukan dan darah membasahi hampir sekujur pakaian itu. Di pinggangnya tersisip
sebilah keris terbuat dari emas.
Datuk
Alis Merah ternganga melihat kemunculan sosok tubuh yang laksana bayang-bayang
itu.
Bibirnya
bergetar ketika dia berkata. “Sahabatku Datuk Bandoro Sati. Kau muncul seperti
ini…. Apakah yang telah terjadi?”
Andana
sendiri yang tegak di samping Datuk Alis Merah sudah sejak tadi terkesiap
dengan mata melotot. Sosok samar-samar di dalam kabut itu dikenalinya memang
sosok ayahnya. Tapi mengapa dia bisa muncul seperti ini dan dengan pakaian
berlumuran darah begitu rupa? Dipenuhi oleh rasa tidak percaya dia menjatuhkan
diri berlutut. Lidahnya kelu ketika dia memanggil. “Ayah….”
Lelaki di
dalam kabut yang merupakan penjelmaan Datuk Bandoro Sati menyapu wajah kedua
orang di depan air terjun itu dengan pandangan matanya yang aneh. Lalu
terdengar suaranya berucap seolah datang dari dasar lobang yang jauh namun
jelas dan bergema.
“Sahabatku
Datuk Alis Merah, anakku Andana. Hanya kuasa Tuhan yang membuat hal ini bisa
terjadi.
Aku
datang hanya sebentar. Untuk menyampaikan pesan. Andana, kembalilah segera ke
Pagaralam tanah kelahiranmu di Pagaruyung. Selamatkan rumah gadang milik kita
yang hendak dirampas oleh manusia culas berotak kotor serakah. Selamatkan semua
harta pusaka yang ada di situ. Harta pusaka itu adalah warisan leluhur kita
sejak zaman Yang Dipertuan Sri Baginda Adityawarman. Selamatkan tanah
kelahiranmu dari manusia tamak serakah yang hendak menguasai negeri,
menghancurkan budaya kita…. Namun sebelum kau pergi ke Pagaralam, naiklah dulu
ke puncak Singgalang. Temui adikku Uning Ramalah. Aku juga akan menunggumu di
sana.”
Habis
berkata begitu bayangan orang di balik kabut menggerakkan tangannya ke
pinggang. Lalu tampak dia membungkuk meletakkan sesuatu di atas batu cadas.
Benda itu memancarkan sinar kuning berkilauan terkena sinar matahari pagi.
“Aku
pergi sekarang. Selamat tinggal anakku. Selamat tinggal sahabatku Datuk Alis
Merah. Tuhan Maha Besar. Kalian akan mendapatkan perlindungan dari-Nya.”
“Ayah!”
seru Andana seraya berdiri dan hendak mengejar. Namun auman harimau di atas
batu sana membuat dia terperangah dan seolah terpaku di tempatnya.
Perlahan-lahan
sosok binatang buas ini, disusul sosok Datuk Bandoro Sati menjadi pudar dan
samar.
Akhirnya
keduanya lenyap sama sekali. Tapi lama kemudian kabut yang tadi muncul secara
aneh juga ikut sirna.
“Datuk,
apakah kita tidak bermimpi?” bertanya Andana pada Datuk Alis Merah.
“Kita
tidak bermimpi muridku. Yang datang tadi benar-benar bayangan ayahmu. Hanya
saja ada keanehan yang tidak bisa kupecahkan. Dia datang dengan pakaian
berlumuran darah. Sekujur tubuhnya penuh lobang-lobang bekas tusukan.”
“Lalu
apakah saya harus mengikuti apa yang tadi dikatakan beliau?” tanya Andana.
“Kembali ke Pa-garalam di Pagaruyung?”
“Mari
kita kembali ke pondok. Kita bicara di sana. Tapi kita periksa dulu apa yang
tadi diletakkan Ayahmu di atas batu sana.”
Datuk
Alis Merah berkelebat ke atas batu cadas. Andana mengikuti. Guru dan murid itu
sampai di atas batu cadas hitam di tempat ketinggian. Di sini mereka menemukan
sebilah keris berhulu dan bersarung emas.
“Tuhan
Maha Besar!” seru Datuk Alis Merah. “Andana, ambillah keris itu. Itu adalah
senjata sakti
bertuah,
bernama Tuanku Ameh Nan Sabatang. Keris itu adalah salah satu senjata dari
sekian banyak pusaka warisan nenek moyangmu. Ayahmu sengaja meninggalkannya
untukmu….”
“Aneh
guru. Kalau Ayah memang hendak memberikannya pada saya mengapa harus dengan
cara ini?
Mengapa
tidak menunggu sampai saya berada di Pagaruyung?”
Datuk
Alis Merah tidak menjawab. Di balik semua keanehan ini, si orang tua yang arif
telah punya firasat bahwa sesuatu telah terjadi dengan diri Datuk Bandaro Sati.
Namun takut kesalahan dia tak mau mengatakan apa-apa pada muridnya selain
berucap. “Ambil keris itu Andana. Pelihara baik-baik….”
Sesaat
Andana tampak meragu. Dia memandang pada Datuk Alis Merah. Orang tua ini
anggukkan kepala. Akhirnya Andana membungkuk mengambil keris emas itu dengan
tangan gemetar. Begitu dia menyentuh senjata bertuah ini ada hawa aneh keluar
dari keris, mengalir masuk ke dalam lengannya terus ke sekujur tubuhnya. Saat
itu juga dia merasa satu kelainan terjadi pada dirinya. Tubuhnya terasa jadi
lebih ringan. Andana mengulurkan keris itu pada gurunya. Datuk Alis Merah
menyambuti. Sesaat ditimbang-timbangnya keris itu sambil memperhatikan dengan
seksama. “Keris bagus ukiran indah,” kata sang Datuk. Lalu dia menggerakkan
tangan hendak mencabutnya. Ketika ditarik hulu dan badan keris ternyata tidak
bisa dipisahkan dari sarungnya. Datuk Alis Merah kerahkan tenaganya dan mencoba
sekali lagi. Tetap saja keris itu tidak bisa tercabut dari sarungnya. Penasaran
orang tua ini kerahkan tenaga dalam lalu kembali berusaha mencabut senjata itu
dari sarungnya. Sampai sekujur tubuhnya gemetaran dan keringat memericik di wajahnya
Datuk Alis Merah masih tidak dapat mencabut keris sakti bertuah itu.
“Aneh,”
kata Datuk Alis Merah sambil mengembalikan keris Tuanku Ameh Nan Sabatang pada
Andana. “Muridku, coba kau yang mencabutnya.”
Andana
mengambil senjata itu kembali. Tangan kiri memegang sarung dan tangan kanan
memegang hulu. Mulutnya mengucapkan Bismillahir rohma nir-rohim. Dua tangan
bergerak ke arah yang berlawanan.
Sret!
Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tercabut dari sarungnya. Sinar kuning
menyilaukan memancar dari badan senjata yang juga terbuat dari lapisan emas
berukir huruf-huruf Arab.
“Tuhan
Maha Besar. Senjata itu memang berjodoh denganmu Andana. Rupanya hanya
orang-orang yang bertali darah dengan nenek moyangmu yang bisa mencabut senjata
sakti ini dari sarungnya.”
Andana
memperhatikan senjata itu dengan penuh kagum lalu dengan hati-hati
dimasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
*****************
TUJUH
DI PINTU
pondok Datuk Alis Merah memegang bahu muridnya. “Kau pergi bersama doaku,
Andana.
Jaga
dirimu baik-baik. Ingat segala pelajaran yang telah kau terima dariku walau
hanya kau dapat seumur jagung. Ilmu kepandaian bukan untuk menyusahkan orang
lain. Apalagi kalau sampai digunakan untuk mencelakai dan bunuh membunuh.”
“Terima
kasih atas petuah itu Datuk. Sebenarnya kalau tidak menimbang pesan Ayah, saya
tidak akan meninggalkan Datuk. Datuk memang sahabat Ayah saya. Tapi bagi saya
Datuk sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri.” Andana membungkuk lalu
menyalami tangan orang tua itu dan menciumnya.
“Ingat
baik-baik Andana. Perjalanan ke kampung halamanmu di Pagaruyung mungkin bukan
satu perjalanan pulang kampung yang menyenangkan. Pasti banyak orang yang suka
padamu, tetapi banyak pula yang dengki dan jahat. Masih banyak orang yang akan
terus melancarkan fitnah keji padamu. Apalagi kau telah dicap sebagai pelarian.
Buronan dari penjara Batusangkar. Karenanya hati-hatilah dalam setiap tindak
dan langkahmu. Walau kau asli orang Minang namun tetap harus kau ingat pada
kata-kata bertubah. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Dengan
tangan kirinya orang tua itu mengusap kepala Andana lalu berkata. “Jika kau
sampai di puncak Singgalang sampaikan salamku pada adik ayahmu Uning Ramalah.
Katakan bahwa aku ada baik-baik saja. Aku berharap dia begitu juga.”
“Salam
dan kata-kata guru akan saya sampaikan.”
Datuk
Alis Merah mengangguk. “Sebelum kau pergi temui dulu adikmu. Hibur hatinya. Dia
tampak gelisah sejak dia tahu kau akan meninggalkan tanah Asahan ini.”
“Saya
memang akan menemuinya guru,” kata Andana pula.
Tak
berapa jauh dari pondok ada sebuah jalan menurun di antara semak belukar dan
pepohonan.
Andana
melangkah mengikuti jalan ini yang pada akhirnya membawanya pada sebuah telaga
kecil. Begitu jernihnya air telaga hingga dasar telaga yang dangkal dan penuh
dengan batu-batu dapat terlihat dengan jelas.
Di
sebelah kiri telaga ada sebuah pancuran. Di bagian kanan terdapat saluran yang
mengalirkan air telaga ke pedataran rendah.
Sejarak
enam langkah dari telaga itu terdapat sebuah batu rata. Di atas batu inilah
duduk membelakangi sosok seorang dara berbaju kurung. Sehelai selendang putih
tergulung di atas kepalanya.
Di atas
batu di samping sang dara terletak satu bungkusan kecil. Tangannya memegang
beberapa batu kecil. Satu demi satu batu itu dilemparkannya ke dalam telaga.
Ketika dia hendak melemparkan batu terakhir, dari belakang seseorang tiba-tiba
memegang lengannya. Gadis ini tergagu dan cepat berpaling. Dia melihat satu
wajah gagah yang tersenyum padanya.
“Kau
terkejut Halidah?”
“Abang
rupanya. Saya kira siapa….” kata gadis itu sambil balas tersenyum. Namun di
balik senyum itu tersembunyi rasa pedih. Kedua matanya dengan sayu menatap
wajah Andana, memperhatikan kain mereka yang dikenakan pemuda itu.
“Gagah
sekali Abang berpakaian seperti ini. Rupanya jadi juga Abang pergi meninggalkan
Asahan,
kembali
ke Pagaruyung?”
“Kalau
diturut kata hati mana mau Abang pergi dari sini. Datuk sudah Abang anggap
sebagai Ayah sendiri. Kau saya sayangi sebagai Adik sendiri. Namun saya
terpaksa pergi Halidah….”
Gadis di
atas batu itu menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya mempermainkan batu
kecil yang dipegangnya. Angin bertiup lembut. Dalam hatinya gadis ini berkata.
“Dia menyayangiku sebagai adik sendiri.
Ya Tuhan.
Apakah dia tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaanku terhadapnya?”
“Kenapa
kau diam saja Halidah? Tak senang rupanya melihat Abang pergi?”
“Gadis
mana yang tidak sedih ditinggal pemuda yang dicintainya?” Kata-kata itu hanya
menggema dalam hati Halidah.
“Abang
tahu perasaanmu terhadap Abang. Tapi Abang sangat menghormati Ayahmu. Dia guru
Abang. Dia menolong Abang di kala susah. Banyak budi yang sudah Abang terima
dari beliau. Abang tidak mau dianggap sebagai seorang yang menggunting dalam
lipatan….”
“Kalau
Abang tahu perasaan saya mengapa Abang…” Halidah tidak meneruskan ucapannya
itu. Dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya. “Akan lamakah Abang di
Pagaruyung? Apakah akan kembali ke sini?”
“Abang
tidak tahu berapa lama Abang di sana. Sebelum Abang harus menjenguk adik
perempuan Abang di Singgalang. Perihal kembali ke sini tentu saja dengan izin
Tuhan Abang akan kembali lagi kemari.”
“Saya
dengar gadis-gadis di tanah Minang cantik-cantik. Berkulit halus, bagus tutur
katanya, elok budi perangainya….”
Andana
tertawa lebar mendengar kata-kata si gadis. Dipegangnya bahu Halidah lalu
berkata. “Di negeri Asahan ini tak kalah banyak gadis yang cantik-cantik, elok
budi perangainya. Salah seorang yang Abang kenal adalah Adik sendiri…”
“Ah,
Abang terlalu memuji,” paras Halidah kelihatan kemerahan. “Jadi benar Abang
nanti akan kembali lagi kesini?”
“Abang
berjanji. Selama gunung masih biru, selama air sungai masih mengalir ke laut
Abang pasti akan kembali.”
“Senang
saya mendengar kata-kata bersajak itu. Ingatlah selalu, ada seorang gadis buruk
di negeri Asahan ini yang mengharapkan Abang cepat kembali.”
“Abang
akan selalu ingat padamu Halidah. Selama Abang pergi jaga dirimu baik-baik….”
Andana membungkuk lalu mencium kening Halidah.
“Doa saya
akan ikut kemana Abang pergi…” bisik Halidah seraya mengusap pipi pemuda itu
dengan penuh cinta kasih. Lalu diambilnya bungkusan kecil di atas batu. “Ini
saya bungkuskan nasi dan sedikit lauk untuk bekal Abang di jalan.”
Andana
menerima pemberian itu dengan hati terharu biru. “Saya tidak tahu harus
mengatakan apa lagi Halidah. Kau baik sekali….”
Si gadis
melepas selendang putih yang menutupi kepalanya lalu diserahkannya pada Andana.
“Hanya ini yang bisa saya berikan sebagai pengganti diri saya.”
Andana
bimbang sesaat. Akhirnya diambilnya juga selendang putih itu. Dari dalam
sakunya dikeluarkannya sehelai sapu tangan lalu diserahkannya pada Halidah
seraya berkata. “Jika kau rindu pada Abang, letakkan sapu tangan ini di dadamu.
Kalau malam kau tidur, letakkan di bawah bantalmu. Abang pergi sekarang. Jaga
dirimu baik-baik….”
Halidah
memegang wajah pemuda itu dengan kedua tangannya. Lalu dia berjingkat untuk
dapat mengecup Andana. Sepasang matanya berkaca-kaca. Andana merangkul gadis
itu erat-erat ke tubuhnya seolah tidak akan dilepaskannya lagi.
*****************
DELAPAN
DUA HARI
dua malam diazab berdiri seperti itu membuat bagaimanapun sabarnya seseorang
lama-lama akan meledak kemarahannya. Demikian juga dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Walaupun setiap malam ketika dia tak dapat lagi menahan kantuk Uning
Ramalah selalu meletakkan bungkusan makanan secara diam-diam di dekatnya namun
kejengkelannya tidak dapat dikendalikan lagi. Anehnya selama dua hari ini
perempuan tua itu tidak pernah keluar dari dalam gubuknya.
Pagi hari
ke tiga ketika sang surya mulai naik, Wiro sudah siap untuk mengambil
keputusan.
Bagaimana
kalau aku pura-pura mengancam hendak menghantam hancur jenazah Datuk Bandaro
Sati kakaknya itu. Mungkin dia mau membebaskan diriku. Tapi mayat itu tidak
berdosa. Lebih baik aku hantam saja gubuknya hingga hancur berantakan. Gila
seumur hidup baru kali ini aku disiksa orang begini rupa.
Tidak
tanggung-tanggung murid Sinto Gendeng ini siapkan pukulan “Sinar matahari” pada
kedua tangannya kiri kanan. Cahaya putih berkilauan seolah memapas sinar
matahari pagi memancar dari kedua tangan sang pendekar. Tepat pada saat dia
menggerakkan kedua tangan untuk menghantam ke arah gubuk, tiba-tiba terdengar
derap kaki kuda. Seorang pemuda berpakaian merah bercelana hitam dan ada sapu
tangan merah terikat di keningnya muncul menunggang kuda. Dia sama sekali tidak
memperdulikan Wiro ataupun sesuatu yang terbujur tertutup kain putih di halaman
gubuk. Kudanya dipacu ke arah gubuk seraya berseru.
“Uning
Ramalah, saya datang!”
Pintu
gubuk terbuka. Perempuan tua berselendang kain putih itu keluar menyongsong si
pemuda.
Pemuda
ini cepat turun dari kudanya lalu menyalami dan mencium tangan perempuan itu.
“Tuhan
Maha Besar. Syukur kau datang anakku. Terlambat sedikit saja mungkin keadaan
sudah berubah!” Diam-diam rupanya Uning Ramalah sudah mengetahui maksud
Pendekar 212 yang hendak
menghancur
leburkan gubuknya.
“Uning,
sepanjang perjalanan dari Asahan saya merasa tidak enak. Ada firasat buruk yang
saya tidak tahu artinya. Menurut Datuk Alis Merah, dua kali dia bermimpi
bertemu dengan Uning. Apakah Uning ada baik-baik saja?”
“Andana,
aku memang baik-baik saja anakku. Tapi….”
Perempuan
tua ini segera saja berubah air mukanya. Wajah keriputan itu mendadak menjadi
kuyu sedih. Dan kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Uning,
ada apakah?” tanya Andana. Pemuda ini memandang ke halaman. Dilihatnya seorang
pemuda berdiri di ujung sana. Agaknya dia tidak bisa beranjak sama sekali dari
tempatnya berdiri. Memandang pada wajah pemuda berambut gondrong itu Andana
seolah melihat bayangannya di dalam kaca. “Pemuda tak dikenal itu. Mengapa
wajahnya mirip wajahku. Apa yang dilakukannya di tempat ini?” Lalu mata Andana
berpindah pada sosok yang terbujur di halaman berbatu merah.
“Uning,
saya melihat pemandangan aneh. Siapa pemuda itu. Lalu apa pula yang terbujur di
halaman sana?”
“Itu
jenazah ayahmu Andana. Ayahmu mati dibunuh orang….” Kalau ada petir menyambar
di depan hidungnya saat itu tidak demikian terkejutnya Andana mendengar
kata-kata Uning Ramalah.
“Ayah
mati dibunuh orang?” suara Andana menyentak. Matanya memandang membeliak pada
sosok tubuh yang terbujur dan tertutup kain putih itu. Dari mulut pemuda ini
kemudian keluar suara teriakan dahsyat.
Lalu dia
melompat ke halaman berbatu merah. Sekali tarik saja disingkapkannya kain putih
penutup jenazah Datuk Bandaro Sati.
“Ayah!”
teriak Andana lalu menubruk dan memeluki jenazah ayahnya. Di tempatnya berdiri
di depan gubuk Uning Ramalah tegak tertunduk dengan mata berkaca-kaca.
“Ya
Tuhan! Jadi ini arti firasat itu! Ini arti hatiku yang tidak enak itu! Ayahhh!”
Seperti anak kecil Andana menggerung menangisi jenazah ayahnya. Sampai satu
tangan memegang bahunya dan terdengar suara Uning Ramalah.
“Siapa
yang melakukan ini Uning? Siapa yang membunuh Ayah?!” tanya Andana pada Uning
Ramalah.
Perempuan
tua itu hanya menjawab dengan gelengan kepala dan air mata yang jatuh meleleh
ke pipinya.
“Pasti
dia!” teriak Andana seraya menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang
memperhatikan dirinya. “Jahanam! Kuhabisi kau sekarang juga!”
Pemuda
murid Datuk Alis Merah itu melompat ke arah Wiro. Beberapa langkah dari hadapan
Pendekar 212 Andana angkat tangan kanannya. Tangan ini dimiringkan sedikit lalu
dihantamkannya ke arah Wiro.
Satu
lidah api yang dahsyat menderu ke arah Pendekar 212. Inilah pukulan “inti api”
yang dipelajari selama dua tahun dari Datuk Alis Merah. Kehebatannya luar
biasa. Jangankan manusia, batu karang pun akan hangus dan hancur berantakan
kena hantamannya.
Murid
Eyang Sinto Gendeng yang sejak tadi memang sudah mengkal malah sudah siap-siap
untuk melepas pukulan “sinar matahari” melihat pemuda di hadapannya
menyerangnya dengan pukulan maut begitu rupa, tanpa banyak pikir lagi serta
merta hantamkan tangan kanannya menyambuti pukulan lawan.
Lidah api
yang merah legam dan panas saling beradu dengan sinar putih perak menyilaukan.
Bummm!
Satu
ledakan keras seperti hendak meruntuhkan puncak gunung Singgalang dan merobek
langit.
Tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng terguncang hebat tapi kedua kakinya tetap saja
terpaku ke tanah. Mukanya tampak pucat dan di sela bibirnya ada sebersit darah
keluar.
Di pihak
lain Andana terpental satu tombak lalu terbanting keras ke halaman berbatu
merah. Dia merasakan dadanya seperti remuk dan kepalanya seperti tanggal. Kedua
matanya untuk beberapa saat lamanya seperti buta. Darah mengucur dari mulutnya.
Menyangka pemuda itu telah menemui ajalnya Uning Ramalah menjerit keras lalu
memburu dan menubruk tubuh Andana.
“Saya
masih hidup Uning….” kata Andana perlahan.
“Siapa
pemuda yang punya tampang sama dengan saya itu? Ilmunya tinggi sekali….”
Ternyata dalam keadaan seperti itu Andana masih bisa bicara polos dan jujur.
“Saya mengira dia pembunuh ayah. Mungkin saya kurang menyelidik dan ketelepasan
tangan!”
“Dia
bukan pembunuh Ayahmu Andana. Justru dia yang membawa jenazah ayahmu ke mari.
Hanya saja aku belum sepenuhnya yakin bahwa dia tidak terlibat dalam kematian
Ayahmu. Dia mengaku bernama Wiro Sableng. Berasal dari tanah Jawa….”’
“Jauh-jauh
datang kemari apa keperluannya? Agaknya dia patut dicurigai.”
“Katanya
dia mencari seorang bernama Tua Gila….”
“Tua
Gila….? Bukankah itu kakek sakti mandraguna yang masih sahabat para sesepuh
kita?” Ujar Andana pula.
“Dia
berkata begitu tapi bagaimana bisa mempercayainya?” jawab Uning Ramalah. “Waktu
jenazah ayahmu sampai di sini, keris sakti bertuah Tuanku Ameh Nan Sabatang
tidak ada pada Ayahmu. Aku coba menyelidik dengan ilmu “tembus pandang”.
Ternyata dia memang tidak menyembunyikan keris itu….”
“Tuanku
Ameh Nan Sabatang ada pada saya Uning,” menerangkan Andana. Lalu diceritakannya
kejadian aneh di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
Uning
Ramalah jadi terperangah. “Kalau bukan kau yang mengatakan mana mungkin aku
bisa percaya ada kejadian seaneh itu.” Lalu dia memandang Wiro. “Walaupun kini
kecurigaanku pada pemuda itu semakin berkurang namun tetap saja aku belum bisa
mempercayainya sepenuhnya. Itu sebabnya aku menjeratnya dengan ilmu “paku bumi”
hingga dia tidak bisa lari kemana-mana sebelum kau datang.
“Sebaiknya
kita bebaskan saja dia Uning. Saya punya dugaan dia tidak bersalah. Dia bukan
orang jahat….”
“Kau
meminta aku melepaskan ilmu paku bumi itu Andana?” tanya Uning Ramalah.
“Kalau
Uning tidak keberatan….”
“Baiklah.
Kalau nanti dia ternyata memang manusia jahat, aku tidak akan memberinya
ampun!”
Perlahan-lahan
perempuan tua itu berdiri. Kedua matanya memandang tepat-tepat ke arah Wiro.
Kaki kanannya diajukan satu langkah.
“Apa lagi
yang hendak dilakukan perempuan tua ini?” Pikir Wiro seraya balas memperhatikan
Uning Ramalah.
“Mau
mengajak aku menari?” Memikir sampai di situ Wiro jadi senyum-senyum sendiri.
Tentu saja sikapnya ini menimbulkan rasa heran dan tanda tanya pada Uning
Ramalah dan Andana. Lalu tanpa perdulikan lagi sikap Wiro Uning Ramalah membuat
guratan tanda x di atas tanah dengan ujung ibu jari kaki kanannya.
Begitu
tanda silang itu diinjaknya maka Wiro serta merta merasakan kekuatan yang
selama ini memaku kedua kakinya ke tanah menjadi punah. Dia sanggup
menggerakkan kakinya kiri dan kanan.
“Orang
tua, terima kasih kau bersedia membebaskan diriku!” kata Wiro. Dari dalam
sakunya dikeluarkannya sebuah benda berbentuk bulat sebesar kuku ibu jari.
Benda ini dipotesnya hingga patah dua.
Sepotong
segera ditelannya, sisanya dilemparkannya ke arah Andana.
“Apa
ini?!” tanya murid Datuk Alis Merah dengan curiga walaupun dia menyambuti juga
benda yang dilemparkan Wiro itu.
“Obat
untuk luka dalam. Bentrokan tadi telah membuat kita sama-sama cidera. Terserah
kau mau menelannya atau tidak. Yang jelas aku tidak punya kepentingan apa-apa
lagi di sini….”
“Tunggu!
Jangan pergi dulu!” kata Andana seraya bangkit berdiri. Obat yang dalam
tangannya dimasukkannya ke dalam mulut. Dikunyahnya lalu ditelannya. Dia
merasakan ada hawa hangat menjalar di dadanya sampai ke perut.
“Mungkin
ada sedikit salah paham di antara kita. Kurasa itu wajar saja karena kita tidak
saling mengenal. Uning Ramalah mengatakan kau yang membawa jenazah ayahku ke
sini….”’
“Aku
menemukannya di tepi Ngarai Sianok.”
“Kau
tidak melihat orang lain di tempat itu? Atau mungkin juga kau tahu siapa
pembunuhnya?”
Pendekar
212 gelengkan kepala.
“Ada satu
pertanyaan lagi….”
Wiro
memotong ucapan Andana. “Dari pada bicara panjang lebar lebih baik kau
menyiapkan kubur untuk Ayahmu. Mengapa dia dibiarkan tersiksa seperti itu?”
Andana
memandang pada sosok tubuh Datuk Bandaro Sati.
“Kau
betul. Aku akan menggali kuburnya, memandikannya lalu menyembahyanginya.
Setelah itu memakamkannya.”
“Aku akan
membantu!” jawab Wiro.
Uning
Ramalah memperhatikan kedua pemuda itu yang kemudian saling berjabatan tangan.
“Wajah mereka begitu sama satu dengan lainnya. Mudah-mudahan mereka bisa
menjadi dua orang sahabat.”
Ketika
sang surya menggelincir ke barat di puncak gunung Singgalang kini tampak satu pemandangan
baru. Sebuah makam terlihat di depan halaman berbatu merah. Inilah kuburan
Datuk Bandaro Sati, Ayah kandung Andana. Untuk beberapa saat lamanya tiga orang
itu yakni Uning Ramalah, Andana dan Wiro Sableng tegak di depan makam tanpa ada
satupun yang berkata-kata.
Akhirnya
Uning Ramalah memecah kesunyian dengan mengajukan pertanyaan pada Andana.
“Anakku,
apakah yang akan kau lakukan sesudah ini?” Sesaat Andana masih menatapi tanah
merah makam Ayahnya. Dalam hati dia berkata. “Apakah hal itu masih perlu
dipertanyakan? Ayahku mati dibunuh orang. Jelas aku harus mencari siapa
pembunuhnya dan membuat perhitungan!”
Andana
berpaling pada adik Ayahnya itu. “Saya mohon petunjuk Uning,” katanya.
Perempuan tua berwajah putih itu betulkan letak selendangnya lalu berkata.
“Ketahuilah anakku, kebencian melahirkan kebencian. Dendam menurunkan dendam.
Lalu nyawa manusia tidak ada harganya lagi.
Membunuh
bukan lagi dianggap sebagai satu dosa besar yang neraka tantangannya.
Kalau
sudah begitu rasanya tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini….”
Andana
terdiam mendengar kata-kata Uning Ramalah itu. Dia melirik pada sahabat barunya
Wiro Sableng. Sang sahabat dilihatnya justru sedang menggaruk-garuk kepala,
memandang padanya dengan menyeringai. “Apa yang ditertawakan anak ini!” Kata
Ananda dalam hati setengah jengkel.
“Uning,
apakah Uning bermaksud bahwa saya tidak boleh membalas dendam kematian Ayah?”
Tiba-tiba
Andana ajukan pertanyaan pada perempuan tua di sebelahnya.
“Aku
tidak mengatakan demikian anakku. Kalau kita sudah melangkah, apapun yang
terjadi langkah itu harus diteruskan tanpa ragu, dengan semangat dan jiwa
besar. Kita namanya manusia yang hidup di dunia tidak pernah terlepas dari pada
pengaruh hati. Kalau saja aku tidak mempunyai pantangan membunuh, saat ini aku
sudah turun gunung mencari pembunuh Datuk Bandaro Sati!”
“Kewajiban
itu ada di pundak saya Uning,” kata Andana tegas.
Perempuan
tua itu mengangguk. “Tapi kau harus berhati-hati Andana. Aku punya firasat
kematian Ayahmu ada sangkut pautnya dengan kejadian-kejadian di masa lalu.
Antaranya yang menyebabkan sampai terpaksa melarikan diri dari penjara di
Batusangkar.”
“Saya
sudah tahu siapa orang yang memfitnah saya itu. Namanya Udin Burik. Hanya
tinggal mencari siapa dalangnya saja…”
“Hati-hati
dengan Tumenggung Rajo Langit. Dia mati-matian untuk dapat memenjarakanmu
kembali.
Bahkan
membunuhmu kalau bisa!”
“Saya
sudah perhitungkan semua itu Uning. Saya hanya minta doa Uning agar saya
selamat dalam menjalankan tugas berat ini. Mencari pembunuh Ayah dan sesuai
dengan pesannya menyelamatkan rumah gadang kita.”
“Doaku
akan selalu bersamaanmu, nak!” kata Uning Ramalah pula.
Andana
maju selangkah ke hadapan makam Ayahnya.
Suaranya
tersendat ketika berkata. “Ayah, saya anakmu Andana bersumpah dihadapan makammu
bahwa saya akan mencari pembunuh Ayah. Dunia ini terlalu sesak untuk manusia
keji itu dan saya. Dendam ini tak akan lunas sebelum saya dapat membunuhnya
dengan tangan saya sendiri! Tuhan mendengar sumpah saya ini dan gunung
Singgalang menjadi saksi!”
Pendekar
212 yang tegak termangu di samping Andana teringat pula pada kejadian belasan
tahun lalu.
Ketika
Ayahnya menemui kematian di tangan musuh-musuhnya. “Kau masih beruntung Andana.
Kau pernah melihat Ayahmu, pernah dibesarkan olehnya. Aku bernasib lebih
malang. Ayahku dibunuh orang ketika aku masih bayi…”
Andana
memegang bahu Pendekar 212 dan berkata. “Nasib kita tidak jauh berbeda Wiro.
Karena itu kita pantas menjadi dua sahabat….”
Wiro
menganggukkan kepalanya. Matanya memandang sesaat pada kedua kakinya. Lalu
melirik pada Uning Ramalah. Perempuan tua ini tahu apa yang ada di benak
Pendekar 212. Maka diapun berkata. “Kalau tidak kupaku kakimu ke tanah, kau tak
akan pernah bertemu dengan sahabat barumu ini.”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Uning, mungkin suatu saat saya perlu mempelajari ilmu
memaku kaki orang itu….”
“Aku
khawatir anak muda. Yang kau paku ke tanah bukan cuma orang-orang jahat tetapi
juga gadis-gadis cantik!”
Tanpa
sadar bahwa mereka masih menghadapi saat-saat berkabung, ketiga orang itu sama-sama
tertawa bergelak.
*****************
SEMBILAN
TELAGA
dan pancuran berair jernih itu terletak di tanah rendah berbentuk lembah kecil.
Pohon-pohon
besar yang mengelilinginya membuat udara di situ terasa sejuk jauh dari
sengatan sinar matahari musim panas. Selain tempat mandi telaga itu
dipergunakan juga sebagai tempat mencuci pakaian sekaligus tempat bertemu dan
bersenda gurau di kalangan gadis-gadis remaja di Pagaralam.
Pagi itu
seperti biasanya di telaga kelihatan beberapa orang anak gadis mencuci pakaian
sambil bercakap-cakap. Sesekali terdengar gelak tawa mereka. Yang jahil
menyemburkan air kepada kawannya hingga terjadi berbalas sembur. Selain itu,
umumnya kalau para gadis sudah berkumpul seperti itu yang masuk dalam bahan
pembicaraan mereka antara lain pastilah membicarakan ihwal pemuda.
“Hai,
sudahkah kalian mendengar berita yang dibawakan angin dari jauh?” berkata salah
seorang di antara para gadis itu.
“Berita
apa?” kawan di sebelahnya bertanya.
“Kabarnya
pemuda gagah bernama Andana itu akan kembali ke Pagaralam.”
“Dari
mana kau dengar kabar burung itu Saleha?”
“Dari
mana saya dapat berita tak usah jadi persoalan. Saya tahu itu bukan kabar
burung.” Jawab anak perempuan bernama Saleha.
“Pemuda
itu hebat dan gagah. Ingat cerita waktu dia menjebol penjara di Batusangkar
lalu menghajar dua pengawal penjara bahkan menggebuk Kepala Penjara kaki tangan
Tumenggung Rajo Langit?!”
“Dia
seorang pemuda pemberani, seorang pandeka!” kata gadis yang lain. “Buktinya dia
tidak takut kembali ke Pagaralam. Padahal kalau Tumenggung Rajo Langit di
Pagaruyung sampai tahu pasti dia akan ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman lebih
berat!”
“Waktu
Andana pergi tiga tahun lalu, dia masih bujangan. Apakah kini dia masih juga
bujangan?” ujar seorang gadis bernama Sariatun.
“Jangan-jangan,
kalau dia kembali membawa anak dan istri, semua gadis di Pagaralam sampai di
Pagaruyung akan menggigit jari!” menyahuti gadis lain hingga suasana di telaga
itu menjadi ramai.
“Saya
berharap dia masih bujangan. Hingga salah seorang di antara kita kelak bisa beruntung
menjadi jodohnya!”
Semua
gadis itu kembali tertawa riuh.
“Kawan!
Hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang marah!” kata Saleha setengah berseru.
Dia lalu menggoyangkan kepalanya ke arah seorang gadis yang duduk di sebuah
batu datar. Kelihatannya dia sibuk mencuci padahal sebenarnya apa yang
dibicarakan kawan-kawannya tidak luput dari perhatian dan pendengarannya, gadis
yang satu ini berkulit putih bersih. Kecantikan alami yang dimilikinya jauh
melebihi kecantikan kawan-kawannya. Melihat Saleha menggoyangkan kepala pada
gadis itu, seorang anak perempuan lalu bertanya pada gadis tersebut.
“Sahabatku
Bunga, apakah kau tidak senang mendengar Andana kembali ke kampung kita ini?”
Gadis
cantik yang bernama Bunga mengangkat kepalanya.
“Saya
tidak tahu. Saya rasa tentu banyak yang senang, tapi pasti ada juga yang tidak
senang.”
“Kau di
pihak yang mana?” tanya Saleha pula. Ketika Bunga tak bisa menjawab dan
wajahnya tampak kemerahan kawan-kawannya kembali tertawa.
BUNGA
ingat, terakhir sekali dia bertemu dengan Andana sebelum pemuda itu dijebloskan
masuk penjara. Waktu itu siang hari sehabis ba’dal Zuhur. Dia baru saja pulang
dari telaga mengambil air bersih untuk minum. Di persimpangan jalan dia bertemu
dengan Andana yang baru saja pulang sembahyang di surau.
Mereka
bertegur sapa bertukar senyuman. Tiada kata terucapkan dan tahu-tahu mereka
sudah seiring sejalan.
Bunga
merasakan dadanya berdebar oleh rasa suka cita berjalan berduaan seperti itu.
Lalu tiba-tiba saja langit menjadi gelap. Awan hitam menutupi bumi dan hujan
turun dengan derasnya. Andana cepat mencarikan daun pisang yang lebar,
memayungi Bunga dengan daun itu tanpa memperhatikan dirinya sendiri basah tidak
terlindung.
“Kakak
memayungi saya tapi pakaian Kakak sendiri basah kuyup,” kata Bunga saat itu.
“Tidak
mengapa. Adik yang lebih penting. Jangan sampai kebasahan. Kata orang hujan
kadang-kadang membawa penyakit. Saya tidak ingin Adik menjadi sakit….”
Suara
pemuda itu terdengar begitu merdu di telinga Bunga. Lalu dilihatnya Andana
tersenyum dan bahunya dipegang lembut, menariknya ke bawah daun pisang agar
tidak kejatuhan air hujan. Debaran jantung Bunga semakin keras. Hangatnya
tangan pemuda itu ketika memegang bahunya seolah tak pernah pupus, tak pernah dilupakannya.
Seorang
pemuda tiba-tiba melintas cepat di hadapan mereka. Dia memperhatikan sepasang
muda mudi itu sesaat lalu bergegas pergi.
Andana
mengantarkan Bunga sampai ke depan tangga rumahnya. Keesokan harinya tersebar
kabar di Pagaralam bahwa Andana dan Bunga diam-diam rupanya telah menjalin
hubungan asmara. Mereka berkasih-kasihan. Ada orang yang melihat mereka
berpayung daun pisang berdua-duaan di bawah hujan lebat.
Dan
seperti biasanya yang namanya gunjingan itu dari satu mulut ke lain mulut selalu
bertambah dengan hal-hal yang tidak benar. Bunga dan Andana berpayung bersama
sambil berdekapan, berpelukan dan berciuman.
“Bunga!
Hai Bunga!”
“Bunga!”
Suara
yang memanggil-manggil itu menyadarkan Bunga dari lamunannya. Dia memandang
berkeliling dan coba tersenyum. Dilihatnya semua kawan-kawannya berdiri di tepi
telaga. Masing-masing memegang bakul berisi cucian, siap untuk meninggalkan
telaga. Mereka masih menunggu kalau-kalau Bunga hendak pulang bersama-sama.
“Kami
sudah selesai mencuci dan mandi!” berseru Saleha. “Matahari sudah tinggi. Kami
tak bisa menunggumu!”
“Tak apa.
Pergilah lebih dahulu. Sebentar lagi cucian saya selesai,” jawab Bunga.
“Jadi
kami pulang saja duluan?”
“Ya,
pulang sajalah!”
“Tidak
takut awak sendirian?” tanya salah seorang teman Bunga.
“Mengapa
musti takut? Tak ada hantu di telaga ini!” jawab Bunga pula.
“Kalau
Andana yang jadi hantunya kamipun tidak takut!” teriak Saleha yang membuat
kembali kawan-kawannya bersorak riuh.
Bunga
meneruskan mencuci. Tiba-tiba dalam kesepian itu dia mendengar suara langkah
kaki-kaki kuda mendatangi. Bunga mengangkat kepalanya ke arah jalan menurun.
Wajah gadis ini menjadi pucat.
“Dia
lagi…,” katanya dengan lidah kelu karena takut. Diambilnya kebayanya dari dalam
bakul lalu cepat-cepat dikenakannya.
Seorang
lelaki tua berpakaian bagus menghentikan kudanya tak jauh dari tepi telaga.
Rambutnya yang putih tersembul dari destar kuning emas di kepalanya. Kumis di
atas bibirnya juga sudah berwarna putih. Dia berpaling pada seorang lelaki
berkuda di belakangnya yang agaknya jadi pengawalnya.
“Tinggalkan
aku di sini. Kalau tidak kupanggil jangan berani datang!”
Orang
yang diperintah mengangguk lalu cepat-cepat berlalu. Sambil tersenyum-senyum
lelaki berpakaian bagus tadi turun dari kudanya.
Bunga
bergegas mencapai tepian telaga tapi langkahnya segera terhadang oleh lelaki
tadi.
“Bunga…
Bunga… Dunia terasa sepi jika tidak melihatmu sehari saja. Apakah kau ada
baik-baik saja Bunga?” Orang lelaki itu menegur dengan sikap ramah dan tak
pupus senyum di bibirnya. Namun justru sikapnya ini membuat Bunga muak di
samping takut.
“Hai,
mengapa begitu terburu-buru Bunga? Apakah tidak ada waktu bagi kita untuk
bercengkrama barang sebentar?”
“Maafkan
saya. Saya harus segera pulang. Hari sudah siang. Matahari sudah tinggi.” Sehabis
berkata begitu Bunga cepat-cepat melangkah pergi.
Lelaki
tadi mendongak ke langit. “Masih pagi begini dikatakan sudah siang. Tak usah
terburu-buru Bunga. Urusan rumah tangga di rumah tak ada habisnya. Lagi pula
saya merasa kasihan kalau dirimu yang cantik, tubuhmu yang bagus terlalu banyak
bekerja….”
“Maafkan
saya Tumenggung. Saya harus segera pulang.”
“Jangan
begitu Bunga. Kau tahu betapa aku menyukai dirimu. Bukan sekedar suka. Tapi
cinta!”
Ingin
sekali Bunga meludahi muka lelaki gaek yang dianggapnya tidak tahu diri itu.
Gadis ini memutar langkahnya. Tapi orang yang dipanggilkan dengan sebutan
tumenggung itu kembali menghadangnya.
“Dengar
Bunga, gadis cantik sepertimu.tidak layak tinggal di kampung sunyi dan kotor
ini. Kau lebih pantas tinggal di Pangaruyung atau di Batusangkar. Aku ada rumah
di dua kota itu yang bisa kau tempati. Jika kau takut tinggal sendirian, Robiah
boleh kau ajak serta….”
“Maafkan
saya Tumenggung. Beri saya jalan….”
“Ah,
kalau kau memang hendak pulang, kau boleh naik kudaku. Akan kuantar kau sampai
ke rumah.
Tapi jika
kau suka ikut aku barang sebentar akan kuberikan hadiah kain cita yang bagus.
Kau tentu mau bukan?” Sambil berkata begitu Tumenggung itu ulurkan tangannya hendak
memegang lengan si gadis. Bunga cepat menghindar. Sang Tumenggung jadi kalap.
Dengan nekad dilompatinya gadis itu lalu dipeluknya kuat-kuat. Bunga menjerit
keras berusaha melepaskan diri sambil memukuli dada Tumenggung itu sekuat yang
bisa dilakukannya. Tubuh tua itu rupanya kesakitan juga kena dihantam pukulan.
Selagi sang Tumenggung terjajar ke belakang Bunga pergunakan kesempatan untuk
melarikan diri. Tapi lelaki itu masih sempat menggapai pinggang kebayanya.
Ketika dia hendak merangkul Bunga sekali lagi gadis ini mendorong tubuh sang
Tumenggung kuat-kuat. Tubuh tua itu terjajar. Kakinya terpeleset di batu licin.
Tak ampun lagi tubuhnya jatuh masuk ke dalam telaga. Bunga segera berlari
meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan ketika di depannya melintas
seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut menjela bahu.
“Andana…”.
kata Bunga begitu dia mengenali wajah pemuda itu.
Orang
yang ditegur berpaling padanya. “Adik memanggil saya?” Bunga merasa terkejut
sekali.
“Hanya
berpisah tiga tahun dia sudah lupa pada diriku?”
“Kau… kau
tidak mengenali saya lagi Andana?”
“Ah, adik
salah sangka. Saya bukan Andana. Saya kebetulan cuma sahabatnya. Nama saya
Wiro…”
Bunga
jadi terperangah. Wajah sama, potongan badan sama. Tapi suara dan logat bicara
pemuda ini menunjukkan bahwa dia memang bukan Andana pemuda Pagaralam yang
meninggalkan kampung tiga tahun lalu.
“Tapi…
saya mendengar kabar Andana sudah kembali ke sini. Maafkan kalau saya
mengira….”
Pendekar
212 Wiro Sableng tertawa lebar. “Kata orang wajah kami memang mirip. Tidak
salah kalau adik sampai keliru.”
“Kalau
kakak sahabatnya, apa kakak tahu dimana Andana sekarang berada?”
“Kami
berpisah di satu tempat. Katanya dia ada satu keperluan. Tak lama lagi tentu
dia akan muncul di sini,” menjelaskan Wiro.
Tiba-tiba
Wiro melihat ada seorang lelaki tua berpakaian basah kuyup melangkah cepat ke
arah mereka.
“Bunga!
Perbuatanmu sudah keterlaluan. Kalau kau tidak suka aku, masih ada seribu cara
untuk mendapatkanmu! Tapi mendorong aku hingga masuk ke dalam telaga adalah
perbuatan kurang ajar yang tidak bisa kumaafkan!”
Bunga
berpaling. Wajahnya ketakutan. Dia cepat hendak tinggalkan tempat itu.
“Kemana
kau hendak lari hah? Perawan tak tahu diuntung!” Tumenggung yang basah kuyup
itu cepat mencekal lengan Bunga. Tapi belum kesampaian Wiro Sableng sudah
menahan dadanya seraya menegur.
“Apa-apaan
ini Bapak tua?!”
“Kerbau
sialan! Jangan campuri urusanku!” bentak Tumenggung itu seraya hendak memukul
Wiro.
Tiba-tiba
dilihatnya paras pemuda itu. “Kurang ajar! Kau rupanya Andana!”
“Aku
bukan Andana!” jawab Wiro.
“Bangsat!
Hendak kau sembunyikan ke mana mukamu manusia buronan?! Pelarian buronan
penjara Batusangkar! Nyalimu sungguh besar berani muncul lagi di tempat ini!
Lekas serahkan dirimu untuk kutangkap!”
“Eh, kau
rupanya habis kecebur orang tua? Mungkin otakmu tiba-tiba menjadi gendeng
akibat kecebur itu!”
“Pemuda
keparat! Dulu aku yang menjebloskanmu ke dalam penjara! Kini akan kuulangi
lagi! Aku bersumpah sekali ini kau tak bakal keluar lagi! Kau akan meringkuk
sampai mampus dalam penjara itu!”
Selagi
kedua orang itu berperang mulut kesempatan dipergunakan oleh Bunga untuk
melarikan diri.
Lelaki di
hadapan Wiro tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya ke arah leher. Wiro tidak
menduga kalau gerakan orang tua ini bisa secepat itu. Lehernya seperti dijapit.
Percuma berontak untuk melepaskan diri.
Karena
Pendekar 212 hantamkan kedua tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada orang yang
mencekiknya itu.
Sang
Tumenggung berteriak setinggi langit. Cekikannya di leher Wiro terlepas.
Tubuhnya terjengkang di tanah, menggeliat-geliat beberapa kali sebelum dia
muntah darah dan jatuh pingsan.
Sementara
itu Bunga yang tengah melarikan diri dengan nafas sesak sampai di tangga
rumahnya.
Bakul
berisi kain cucian dibuangnya begitu saja. Lalu diterjangnya pintu rumah dan
menghambur masuk ke dalam seraya berteriak memanggil-manggil.
Seorang
perempuan berambut putih berlari dari dapur. “Astagfirullah! Bungat Ada apa
nak?! Apa yang terjadi?!”
Bunga tak
bisa menjawab. Dadanya turun naik. Perempuan tua itu segera mengambil segelas
air putih.
Setelah
meneguk air si gadis agak tenang sedikit. “Saya diganggu orang Mak. Dia lagi…
Dia lagi!”
“Kau
diganggu orang. Dia lagi?! Maksudmu Tumenggung Rajo Langit?!” tanya Mamak
Rabiah, ibu asuh si gadis.
Bunga
anggukkan kepalanya berulang kali.
“Manusia
jahanam. Tua bangka tak tahu diri itu! Tak habis-habisnya dia mengganggumu! Ya
Tuhan, kapan kau akan memberi hukuman pada tua bangka itu?!” Mamak Rabiah
seperti hendak menangis. Sambil membelai kepala anaknya dia berkata. “Kalau
begitu mulai hari ini kau tak usah pergi mencuci ke telaga. Biar Mamak yang
kesana.”
“Mamak
sudah tua. Tubuh Mamak tak tahan dengan air dan udara dingin. Bunga tidak mau
melihat Mamak jatuh sakit.”
Kedua
mata Mamak Rabiah tampak berkaca-kaca.
“Mak,
tadi saya bertemu dengan seorang anak muda. Wajahnya mirip sekali dengan
Andana. Ternyata dia bukan Andana….”
“Dimana
dia sekarang?”
“Saya tak
tahu lagi Mak. Waktu saya tinggalkan dia tengah bertengkar dengan Tumenggung
Rajo Langit. Lalu sayup-sayup saya dengar jeritan Tumenggung itu….” Sampai di
situ Bunga menghentikan kata-katanya. Gadis ini memegang kepalanya. “Sakit kepala
saya datang lagi Mak. Izinkan saya masuk ke dalam. Saya ingin tidur….”
“Masuklah
nak, masuklah…” kata Mamak Rabiah pula. Ketika gadis itu masuk ke dalam
kamarnya Mamak Rabiah terduduk di sebuah kursi. Sambil menutupi wajahnya dengan
sehelai selendang, dalam hati perempuan tua ini berkata. “Ya Tuhan, beri saya
petunjuk apa yang harus saya lakukan. Saya kasihan pada anak itu. Sembilan
belas tahun saya mengasuhnya seperti anak sendiri. Saya tidak tega, tak sampai
hati saya melihat penderitaannya. Hati dan jiwa ini tak sanggup lagi menahan
rahasia ini. Tapi kau tahu Tuhan, saya harus telah berjanji dengan ibunya. Ya
Tuhan, tolong saya. Tolong kami orang-orang yang malang ini.”
*****************
SEPULUH
PACUAN
kuda di Batusangkar kali ini jauh lebih ramai dari yang sudah-sudah. Hal ini
antara lain disebabkan ada beberapa ekor kuda datang dari jauh untuk ikut
berpacu. Di barisan penonton sebelah depan tampak duduk orang-orang penting
dari Pagaruyung, Batusangkar, Kota Gadang dan kota-kota besar lainnya.
Di
barisan depan itu juga duduk para tokoh masyarakat setempat yang terdiri dari
pada para Datuk serta Penghulu. Seperti biasanya di tempat-tempat seperti itu
mereka yang suka berjudi tidak mau ketinggalan.
Mereka
datang bukan sekedar menonton saja tetapi juga bertaruh, terkadang dalam jumlah
yang besar.
Pekik
sorak penonton terdengar gegap gempita menyambut kemenangan kuda bernama Panah
Agam yang keluar sebagai juara pertama dalam perlombaan kedua.
“Panah
Agam menang! Panah Agam menang!” teriak orang banyak. Yang menang bertaruh
melompat-lompat sambil mengacung-acungkan tangannya.
Pada saat
itu seorang lelaki berpakaian kuning, berdestar hitam melangkah mendekati
seorang penonton yang duduk di barisan depan. Penonton ini berusia sekitar
setengah abad, berpakaian bagus termasuk saluak atau destar yang ada di
kepalanya dan kain songket yang terselempang di pinggangnya.
Sebentar-sebentar
dia tampak menyentak-nyentakkan lehernya ke kiri atau ke kakan. Mukanya yang
cekung serta dagunya yang persegi senantiasa membentuk air muka yang kaku
dingin. Orang ini bukan lain adalah Datuk Gampo Alam, tokoh terkemuka yang
disegani orang se-Pagaruyung. Konon dia mempunyai hubungan dekat dengan para
pejabat tinggi dan orang-orang penting di Batusangkar serta Pagaruyung.
Orang
lelaki berpakaian kuning tadi menyerahkan sebuah kantong kain pada Datuk Gampo
Alam seraya berkata. “Tak salah Datuk memegang Panah Agam. Lihat kini bagaimana
dia mendatangkan rejeki kemenangan pada Datuk.” Sang Datuk tidak menjawab.
Kantong kain berisi uang itu amblas dimasukkannya ke balik kain songket yang
melilit pinggangnya.
Dia
berpaling pada pesuruhnya lelaki berpakaian kuning tadi ketika dilihatnya orang
ini masih berdiri di sampingnya.
“Palindih!
Ada apa kau masih tegak di sini?! Jangan harapkan upah bagian dariku, setan!”
“Maafkan
saya Datuk, mana berani saya mengharapkan upah,” jawab orang bernama Palindih.
Mukanya
cekung dan tubuhnya tinggi kurus. Dia memelihara kumis jarang meranggas.
“Kalau
kau tidak mengharapkan sesuatu lalu mengapa tidak segera lindang dari
hadapanku?!” bentak Datuk Gampo Alam. (lindang = minggat)
Palindih
membungkuk sedikit. Mukanya didekatkan ke telinga Datuk Gampo Alam. Dia hendak
mengatakan sesuatu tetapi sang Datuk sudah menyemprot.
“Setan!
Kalau bicara jangan dekat-dekat ke mukaku! Mulutmu bau jariang tahu!” (jariang
= jengkol).
Terpaksa
Palindih menjauhkan mukanya. Setengah berbisik dia berkata. “Kabar angin yang
Datuk dengar itu sudah saya selidiki. Ternyata benar.”
“Kabar
angin yang mana? Kentut juga angin! Bicara langsung pada pokoknya! Jangan
membuat aku marah di tempat ini!” bentak Datuk Gampo Alam. Lalu kembali
lehernya disentakkan dua kali berturut-turut.
“Dua hari
lalu, Andana anak Datuk Bandaro Sati terlihat di sebuah kedai di pesisir.”
Sepasang
mata Datuk Gampo Alam tampak membesar. Bibirnya membentuk senyum tapi
keseluruhan wajahnya tidak menunjukkan rasa senang walaupun kemudian dia
berkata. “Aku gembira! Kemenakanku itu akhirnya ingat pulang juga. Katakan
siapa yang melihat anak itu?”
“Sati,
pedagang keliling itu. Dia ada di belakang sana. Kalau Datuk mau bicara sendiri
akan saya suruh dia kemari.”
Datuk
Gampo Alam berdiri. “Biar aku sendiri yang akan menemuinya,” kata Datuk Gampo
Alam lalu dia melangkah mengikuti Palindih.
Orang
bernama Sati rupanya memang sudah menunggu di belakang barisan penonton pacuan
kuda itu.
Dia
mengenakan baju putih model gunting Cina dan mengenakan kopiah hitam. Dia
berdiri sambil mengunyah jagung rebus.
“Kau yang
bernama Sati?!” tanya Datuk Gampo Alam.
Yang
ditanya angguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah jagung rebus dalam
mulutnya.
“Betul
kau melihat anak Datuk Bandaro Sati di pesisir?” tanya Datuk Gampo Alam lagi.
Kembali
Sati menganggukkan kepalanya. Melihat kelakukan orang ini marahlah Datuk Gampo
Alam.
Dirampasnya
jagung yang ada di tangan Sati lalu di bantingkannya ke tanah.
“Setan!
Sopan kalau bicara padaku! Jangan sambil makan!” bentak Datuk Gampo Alam marah
sekali lalu menyentakkan lehernya ke kiri. “Jawab pertanyaanku tadi!”
Yang
ditanya menyeringai lalu ulurkan tangannya. “Kalau Datuk mau keterangan, saya
minta upah satu ringgit perak!”’
“Kurang
ajar!! Berani kau memeras aku! Benar-benar setan kau!”’ hardik Datuk Gampo
Alam.
“Saya
orang dagang Datuk. Segala urusan saya ukur dengan uang. Satu ringgit perak tak
ada artinya bagi Datuk. Apalagi barusan Datuk menang bertaruh. Tapi keterangan
yang saya berikan nilainya jauh lebih tinggi dari satu ringgit perak itu!”
“Mandeang!
Sialan kau Sati! Setan!” maki Datuk Gampo Alam. Lehernya disentakkan. Dia
tampak marah sekali. Tapi tiba-tiba tampak senyum tersungging di mulutnya. Dari
dalam sakunya dikeluarkannya uang yang diminta Sati tadi lalu langsung
dimasukkannya ke kantong baju putih Sati. “Sekarang lekas berikan keterangan!”
(Mandeang = moyangmu)
“Andana
anak Datuk Bandaro Sati saya lihat dua hari lalu di sebuah kedai di pesisir.
Dari arah yang ditempuhnya jelas dia akan datang ke Pagaralam. Gerak geriknya
tidak seperti dulu lagi. Agaknya dia kini membekal ilmu yang lebih tinggi dari
dulu.”
“Dia
datang seorang diri?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Berdua.
Kawannya memiliki perawakan dan wajah yang sama. Jangan-jangan pemuda satu itu
kembarannya!”
“Setan!
Andana adalah anak tunggal! Ceritamu bohong!”
“Keterangan
saya sudah cukup. Saya harus pergi sekarang!” kata Sati pula.
“Keteranganmu
tidak senilai uang yang kuberikan. Kembalikan uang itu atau akan kukeluarkan
larangan bahwa kau tidak boleh berdagang di Pagaruyung!”
Wajah
Sati jadi berubah. Jengkel dan juga takut. “Kalau Datuk tidak ikhlas dengan
uang satu ringgit ini ambillah kembali!” Ringgit perak yang ada di saku bajunya
itu dikeluarkannya lalu dibantingkannya ke tanah. Uang itu jatuh dua langkah di
depan kaki sang Datuk. Marahnya Datuk Gampo Alam bukan kepalang.
Belum
pernah dia dihina orang seperti itu. Jangankan menghina, menatap wajahnya saja
tak ada orang yang berani.
“Setan!
Kau akan menyesal seumur hidup!” kata Datuk Gampo Alam sambil mengepalkan
tinjunya.
Dia
berpaling pada Palindih. “Temui anak buahku. Suruh mereka menghajar Sati sampai
setengah mati! Biar dia tahu rasa! Setan!”
Palindih
cepat berlalu. Empat orang anak buah Datuk Gampo Alam ditemuinya di sebuah
kedai minuman.
Di sebuah
tikungan Sati yang merasa dirinya diikuti berpaling ke belakang. Ada empat
orang berseragam hitam mendekatinya dengan cepat. Dia tahu siapa keempat orang
itu. Anak buah merangkap tukang pukul Datuk Gampo Alam. Tanpa pikir panjang
lagi Sati segera melarikan diri. Tapi percuma saja.
Empat
orang berpakaian hitam itu lebih kencang larinya hingga dalam waktu dekat Sati
segera terkejar. Lalu terjadilah penganiayaan itu. Sati terjelapak di tanah
dalam keadaan tidak sadarkan diri, mukanya babak belur.
Beberapa
giginya tanggal. Mata kirinya bengkak lebam. Bibirnya pecah dan dua tulang
iganya patah kena tendangan.
*****************
SEBELAS
SUASANA
di pekuburan itu diselimuti kesunyian. Hal ini mendatangkan rasa tenteram di
hati Bunga yang saat itu tengah duduk bersimpuh di hadapan sebuah makam. Kedua
matanya untuk beberapa lama tidak berkesip memandangi makam itu sampai akhirnya
kedua matanya tampak berkaca-kaca. Diambilnya selendang yang tergelung di atas
kepala lalu ditutupkannya ke wajahnya yang cantik. Di antara isak
sesenggukannya terdengar ucapan gadis ini terputus-putus.
“Bunda.
Bunga datang Bunda… Saat-saat seperti ini… Bunga ingin dekat dan satu dengan
Bunda.
Bunda…
adakah Bunda mendengar ratap hati anakmu ini? Adakah Bunda tahu derita sengsara
Ananda, anak yang tidak pernah melihat wajah Bunda, anak yang tidak pernah…
menunjukkan bakti pada Bunda. Anak yang tidak tahu siapa dan dimana Ayahnya.
Kalau masih hidup dimana dia gerangan, kalau sudah mati dimana kuburnya….”
Sampai di
situ tangis si gadis mengeras. Bahunya bergetar. Selendang yang didekapkan ke
wajahnya terlepas jatuh ke pangkuannya. Direbahkan tubuhnya ke atas makam.
Salah satu pipinya diletakkan di atas tanah kubur.
“Bunda…
siapa tempat Bunga bertanya. Siapa tempat Bunga mencari tahu dimana dan siapa
Ayah.
Gunung
diam membisu. Lembah sepi tak mau bercerita. Sungai berdiam diri. Angin tak mau
memberi tahu.
Kincir
air mendesau tanpa petunjuk. Kicau burungpun hanya mendatangkan keraguan.
Bunda… mengapa malang benar nasib anakmu ini…”
Bunga
menyeka air mata yang berderai membasahi pipinya dengan jari-jari tangannya
yang halus.
“Bunda…
kata orang Bunda berpulang ketika melahirkan Bunga. Bunda oh Bunda… Mengapa
tidak Bunda bawa serta Bunga saat itu… Kalau saja Bunga bisa ikut bersamamu,
tak akan ada derita ini. Tak akan ada air mata. Bunda… adakah Bunda mendengar
ratap hati anakmu ini Bunda…?” Suara tangis si gadis meninggi.
Tiba-tiba
ada suara langkah kaki-kaki kuda mendatangi.
Tersirap
darah Bunga. Suara isak dan rapat tangis gadis malang ini serta meria lenyap.
Dia berpaling ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Wajahnya yang tadi merah
karena menangis kini tampak pucat.
“Bunga,”
satu suara memanggil namanya. “Aneh, kau terkejut melihat saya. Mukamu pucat.
Apa saya telah menjadi mahluk yang menakutkanmu Bunga?”
Kedua
mata Bunga membesar. Rasa takut pada wajahnya lenyap, perlahan-lahan berganti
dengan senyuman secerah mentari pagi.
“Astaga,
maafkan saya Kak. Saya kira Kakak ini….”
“Kau kira
saya ini siapa Bunga?” tanya Andana lalu melompat turun dari kudanya.
Ketika
Bunga tak menjawab, Andana berkata. “Saya tahu, pasti yang kau maksudkan adalah
Tumenggung mata keranjang itu. Jadi dia masih mengganggumu terus rupanya.
Disusunnya fitnah untuk dapat memenjarakanku. Sekaligus mencari peluang bisa
mendekatimu…”
“Sudahlah
Kak. Tak perlu kita bicarakan orang itu. Saya senang melihat Kakak kembali…”
“Saya
juga gembira melihatmu lagi Bunga,” kata Andana. Diluruskannya papan nisan
kuburan yang agak miring lalu berkata. “Kalau Kakak tidak salah, Ibumu
meninggal sama lamanya dengan usiamu. Saya lihat kau habis menangis. Apakah
masih harus ditangisi juga makam tua ini Bunga?”
Bunga
merunduk. “Yang saya tangisi bukan mendiang Ibu. Tapi saya menangis nasib buruk
diri ini.
Saya
lahir ke dunia tanpa mengenal Ibu. Tidak mengetahui siapa Ayah saya….”
“Hidup
tak boleh dijalani dengan penyesalan Bunga. Nasib diri Kakak jauh lebih
menyedihkan. Ibu tak ada, Ayahpun baru saja berpulang…”
“Kak,
maksud Kakak Ayah Kakak meninggal dunia?”
“Beliau
tewas dibunuh orang!” Lalu Andana menceritakan apa yang telah terjadi dengan
Ayahnya.
Andana
mengakhiri penuturannya dengan menarik nafas dalam. “Nasib peruntungan kita
boleh dikatakan tidak berbeda…”
“Kakak,
kemarin saja bertemu dengan seorang pemuda. Wajahnya mirip benar dengan Kakak.
Dia mengakui bernama Wiro. Katanya dia sahabat Kakak. Betulkah?”
Andana
mengangguk. “Saya tidak tahu dimana dia sekarang…”
“Dia yang
menolong saya dari kekurang ajaran Tumenggung Rajo Langit…”
Andana
tampak terkejut. “Ada sesuatu yang terjadi rupanya Bunga?”
Bunga
lalu menceritakan kejadian kemarin pagi sehabis dia pulang mencuci di telaga.
“Tua bangka
hidung belang! Jadi manusia gaek tak tahu diri itu masih saja mengganggumu.
Saya akan membuat perhitungan dengannya. Dendam saya terhadap fitnah yang
diaturnya hingga saya masuk penjara masih berakar di dada ini. Dia akan
menerima bagian dari saya…”
“Orang
berpangkat seperti dia sebaiknya jangan dilawan Kak. Nanti Kakak ditangkapnya
lagi…”
Setelah
terdiam sesaat Andana akhirnya berkata. “Saya mau menjenguk makam Ibu sebentar.
Kalau kau mau menunggu nanti kita pulang sama-sama…”
Bunga
tampak bimbang. “Kalau kita jalan berduaan lagi seperti dulu, saya khawatir
kita akan jadi pergunjingan orang sekampung. Biar saya pulang saja lebih dulu.”
Andana
mengangkat bahu. “Saya mencintai kampung ini. Tapi mulut orang-orang di sini,
pergunjingan mereka terkadang melewati batas. Kalau kau ingin pulang lebih dulu
terserah. Kakak tidak bisa memaksa…”
Andana
memegang tangan Bunga, membantu gadis itu bangkit berdiri.
Pada saat
itulah tiba-tiba datang enam orang penunggang kuda. Orang ke tujuh yang rupanya
menjadi pimpinan mereka berada di sebelah depan. Dia bukan lain adalah
Tumenggung Rajo Langit, lelaki gaek yang tergila-gila dan ingin memperistrikan
Bunga.
“Ha… ha!
Anak Datuk Bandaro Sati bercinta-cinta dengan seorang gadis baik-baik di
pekuburanl!
Sungguh
satu hal yang tidak pantas dan memalukan! Apa kau anggap sudah tak ada lagi
adat istiadat di negeri ini?!”
Andana
meskipun kaget masih bisa berlaku tenang. Sebaliknya Bunga tampak ketakutan
sekali. “Apa yang hendak dilakukannya Kak? Pasti dia hendak menangkap Kakak…”
“Bunga!
Menjauh dari pembunuh itu!” berkata Tumenggung Rajo Langit sementara enam orang
anak buahnya yang rata-rata bertampang kasar beringas memperhatikan Bunga
seperti hendak menelanjangi gadis ini dengan mata mereka. Ketika Bunga tidak
beranjak malah sengaja merapatkan tubuhnya kepada Andana, Tumenggung Rajo
Langit jadi mendidih amarahnya. “Manusia buronan! Kau kutangkap saat ini juga!
Kau ingin menyerahkan diri secara baik-baik atau hendak melawan. Aku sarankan
agar kau melawan saja hingga aku punya alasan untuk menambas batang lehermu!”
“Hebat
sekali!” tiba-tiba ada satu suara keras menimpali ucapan Tumenggung Rajo Langit
tadi.
Rajo
Langit berpaling. Begitu juga enam anak buahnya. Tak ketinggalan Andana dan
Bunga.
Langsung
saja Rajo Langit dan orang-orangnya jadi terperangah. Di sebelah sana di atas
sebuah tumbangan batang pohon yang sudah mengering dan tercampak di tanah tegak
seorang pemuda. Kecuali pakaian dan ikat kepalanya yang serba putih, wajah,
warna kulit dan potongan tubuhnya mirip sekali dengan Andana.
“Eh,
kenapa jadi dua?” Kata Tumenggung Rajo Langit terheran-heran dalam hati. “Benar
rupanya yang dikatakan Sati pedagang keliling itu. Tapi aku tahu betul anak
Datuk Bandaro Sati itu tidak punya adik tidak punya kakak, saudara kembar.
Apapun namanya! Tidak bisa tidak dia pasti pemuda yang kemarin pagi memukulku
tak jauh dari telaga!”
“Kakak…”
bisik Bunga. “Ini pemuda yang menolong saya itu…”
“Siapa
kau berani mencampuri urusan orang?!” sentak Tumenggung Rajo Langit. “Aku
sahabat anak muda yang hendak kau tabas batang lehernya itu. Kalau aku boleh
meminta, tolong tabas sekalian leherku. Ingin aku merasakan bagaimana rasanya
kepala terpisah dengan badan. Ha… ha… ha…!”
“Kakak,”
bisik Bunga. “Dalam keadaan seperti ini bagaimana orang itu masih bisa bergurau
seenaknya…”
Andana
menahan senyumnya. “Tenang saja Bunga. Sifat pemuda Jawa ini memang begitu. Itu
yang membuat saya suka bersahabat dengannya….”
Seorang
anak buah Tumenggung Rajo Langit menyentakkan tali kekang kudanya, melompat ke
hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di atas batang kayu kering.
“Bangsat!
Apa tak tahu kau berhadapan dengan Tumenggung Rajo Langit?! Kau orang asing
rupanya nah?!” bentak anak buah sang Tumenggung dengan suara keras dan tampang
ganas.
“Ah… ah!
Aku berhadapan dengan seorang Tumenggung dan enam ekor pengawalnya rupanya!”
“Keparat
busuk!” anak buah Tumenggung yang ada di hadapan Wiro mencabut goloknya. “Biar
kubelah batok kepalamu! Ingin kulihat apa isi otakmu!”
Wiro
tertawa gelak-gelak. “Kawan….” katanya pada orang di depannya itu. Lalu enak
saja dia mengarang. “Kau tahu, di kampungku Tumenggung itu artinya biji
kemaluan yang peot! Ha… ha… ha…!”
Wuuuttt!
Anak buah
Tumenggung Rajo Langit melompat dari kudanya seraya membacokkan golok besarnya
ke batok kepala Pendekar 212. Gerakannya boleh juga dan jika goloknya mencapai
sasaran pasti apa yang dikatakannya yaitu membelah kepala pemuda itu benar-
benar bisa terjadi.
Semua
orang yang ada di tempat itu, kecuali Andana dan Tumenggung Rajo Langit tidak
melihat jelas apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuh si penyerang berputar di udara,
di lain kejap tubuh itu terbanting keras tertelungkup di tanah. Tangannya masih
memegang golok tapi tubuhnya tak berkutik lagi. Ketika dagunya menghantam tanah
dengan keras, orang ini langsung pingsan dengan mata mendelik. Hebatnya ketika
menangkap lengan dan membanting orang itu ke tanah Pendekar 212 sedikit pun
tidak beranjak dari atas batang pohon kering yang diinjaknya.
“Kurang
ajar! Anak-anak! Lekas tangkap bangsat itu!” teriak Tumenggung Rajo Langit
memerintah.
Lima anak
buahnya serta meria melompat turun dari kuda masing-masing. “Jangan ragu-ragu
mencincang tubuhnya!” teriak sang Tumenggung lagi. Mendengar ucapan itu lima
orang melompat dari punggung kuda masing-masing, begitu menjejakkan kaki di
tanah langsung menghunus senjata. Dua mencekal parang berkeluk, tiga membekal
golok berkilat.
Melihat
hal ini Andana cepat bergerak. Tapi, sambil turun dari atas batang kayu
tempatnya berdiri, Pendekar 212 mengangkat tangan seraya berkata. “Sahabat,
kalau aku perlu bantuanmu nanti aku bilang! Lagi pula kau harus melindungi
gadis itu. Aku lihat ada kucing dapur berhidung belang tapi bisa naik kuda dan
berpakaian bagus di sini!” Mau tak mau Andana terpaksa tak beranjak dari
tempatnya. “Sahabat aneh! Dalam keadaan seperti ini dia masih juga sempat
melawak!” Kata Andana dalam hati.
Saat itu
lima anak buah Tumenggung Rajo Langit sudah menyerbu ke arah Wiro. Dengan
tenang murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini menyorongkan kaki kanannya ke
bawah lekukan batang pohon kering. Begitu lima lawan melompat ke arahnya,
dengan cepat Pendekar 212 angkat kakinya. Batang pohon kering yang besar itu
melesat ke depan. Lima anak buah Tumenggung Rajo Langit berseru kaget. Hanya
dua yang mampu menyelamatkan diri. Tiga kawan mereka menggeletak roboh begitu
batang kayu menghantam kepala mereka dengan keras.
Amarah
Tumenggung Rajo Langit bukan alang kepalang. Apalagi kemarin diapun sudah lebih
dulu kena dihajar oleh Wiro. Namun otaknya masih bisa bekerja menyadari bahwa
dengan ilmunya yang begitu tinggi, pemuda berambut gondrong itu bukan lawan
mudah untuk dihadapi. Apalagi saat itu Andana belum ikut turun tangan. Memikir
sampai di situ Tumenggung Rajo Langit tarik tali kekang kudanya. Matanya
memandang garang ke arah Andana. “Aku memberi kesempatan tiga hari padamu. Jika
kau tidak datang ke Pagaruyung untuk menyerahkan diri, aku akan membawa pasukan
dari Batusangkar untuk menangkapmu!”
“Tua
bangka buruk!” balas Andana. “Jika kau berani lagi muncul di Pagaralam ini,
apalagi berani mengganggu gadis ini, aku bersumpah untuk membunuhmu!”
“Ah!”
Tumenggung Rajo langit menggoyang-goyangkan tangan kanannya. “Soal gadis itu
jangan kau jadikan satu dengan urusan dirimu yang pelarian penjara! Kau dengar
baik-baik ucapanku ini anak muda pembunuh! Bunga tak akan pernah kau miliki….
Aku sudah ditakdirkan untuk mendapatkannya, menjadikannya sebagai istriku! Ha…
ha… ha…!”
“Siapa
sudi jadi istrimu! Tua bangka tak tahu diuntung!” teriak Bunga.
Sang
Tumenggung terus mengumbar tawa dan kembali dia goyang-goyangkan tangan
kanannya.
“Kau
belum tahu siapa Tumenggung Rajo Langit. Aku memang sudah gaek. Tapi sekali kau
tidur denganku, seumur hidup kau akan menjadi hamba sahaya minta kulayani siang
malam!”
“Manusia
mesum bermulut kotori” teriak Andana. Sekali lompat saja dia berhasil menarik
pinggang pakaian Tumenggung itu lalu membetotnya kuat-kuat. Kuda sang
Tumenggung meringkik keras. Tumenggung itu sendiri jatuh berdebam ke tanah.
Begitu dia mencoba bangkit Andana siap melayangkan jotosan keras ke mukanya.
Tapi tiba-tiba sekali lelaki tua itu menyorokan sebilah pisau berkeluk ke perut
si pemuda. Bunga berteriak. Andana masih sempat melihat serangan itu. Kaki
kirinya bergerak. Sekali tendang saja pisau berbentuk aneh itu mencelat mental
dan menancap di batang pohon Kemboja.
Tumenggung
Rajo Langit berteriak kesakitan sambil pegangi lengan kanannya yang serasa
hancur kena tendangan. Lelaki tua ini cepat berdiri ketika dilihatnya Andana
mendatangi, siap menghajarnya kembali.
Tanpa
pikir panjang lagi dia segera ambil langkah seribu. Dua orang anak buahnya
segera pula menghambur lari, meninggalkan empat kawan mereka yang pingsan
berkaparan.
Wiro
melangkah ke arah pohon Kemboja. Batang pohon yang ditancapi pisau berkeluk
milik Tumenggung Rajo Langit tadi tampak menghitam. Warna hitam ini dalam waktu
singkat menjalar ke seluruh cabang dan ranting. Daun-daun pohon yang tadinya
hijau juga tampak menghitam. Lalu bunga-bunga Kemboja yang kuning putih itu
kelihatan layu berubah warna menjadi kelabu.
“Racun
jahat luar biasa! Tak pernah aku melihat racun senjata sedahsyat ini!” kata
Pendekar 212 lalu dicabutnya pisau berkeluk dari batang pohon dan
diperlihatkannya pada Andana yang saat itu melangkah bersama Bunga ke arahnya.
Andana
memperhatikan senjata itu sejenak lalu berkata. “Aku menaruh syak sasangka.
Jangan-jangan Tumenggung keparat itu yang telah membunuh Ayahku!”
“Bisa
jadi. Cuma saja kita harus mendapatkan bukti-bukti. Hati-hati terhadapnya
sahabat.
Ancamannya
akan mendatangkan pasukan dari Batusangkar tadi kurasa tidak main-main…
Kudengar di sana ada senjata panjang yang bisa meletus. Aku tak tahu namanya…”
“Senapan…”
kata Andana.
“Bedil!”
ucap Bunga.
Pendekar
212 tersenyum. “Kalian berdua seperti pinang dibelah dua. Yang seorang kuntum
Bunga indah dan harum di seluruh negeri. Yang satunya Harimau Singgalang…”
“Harimau
Singgalang…? Kak, dari mana kau dapat julukan itu?” tanya Bunga seraya
berpaling pada Andana.
“Aku
sendiri tidak tahu. Itu pasti bisa-bisanya saja mengarang!” jawab Andana.
Sewaktu
dua remaja itu memandang ke samping, Pendekar 212 tak ada lagi di tempat itu.
Dia sudah berada jauh di depan sana. Melangkah cepat sambil sekali-sekali
menoleh ke belakang dan melambai-lambaikan tangannya.
*****************
DUA BELAS
HARI
memasuki senja kita Andana sampai di depan rumah kayu yang terletak di kawasan
kebun yang tak begitu terpelihara. Dari celah-celah dinding papan menyeruak
cahaya lampu minyak tanda penghuninya ada di dalam. Kesunyian yang hanya
dibisingi suara jengkerik membuat Andana merasa kurang enak. Setiap gerakan
yang dilakukannya penuh kewaspadaan. Di satu tempat pemuda ini turun dari
kudanya. Dia melangkah cepat namun hati-hati menuju bagian depan rumah kayu.
Tak lama kemudian dia mulai mengetuk.
Pada
ketukan ke empat terdengar suara orang bertanya dari dalam. Suara perempuan.
“Siapa di luar?”
“Seorang
sahabat ingin bertemu dengan Udin Burik,” jawab Andana.
Diam
sesaat. Lalu terdengar suara perempuan tadi bertanya. “Tamu baik-baik tentu
mempunyai nama.
Harap
memberitahu.”
“Nama
saya, Andana. Katakan pada Udin Burik agar keluar menemui saya.”
Tak ada
jawaban dari dalam. Malah tiba-tiba lampu minyak di dalam rumah dipadamkan
orang. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki di lantai papan.
Telinga tajam Andana tahu betul ada dua orang yang melangkah di dalam rumah.
Yang pertama bergerak ke arah belakang sedang yang kedua menuju pintu depan.
Benar saja, tak lama kemudian pintu depan terbuka. Seorang perempuan gemuk yang
mukanya berbedak tebal, alis dan gincu bercelemotan muncul di ambang pintu.
“Ya…?”
“Saya
sahabat Udin Burik. Saya ingin bertemu dengannya. Dia tentu ada di dalam.”
“Saya
istrinya. Suami saya sedang ke Batusangkar. Mungkin Besok baru pulang.”
Andana
tahu kalau si gemuk yang mengaku istri Udin Burik ini berdusta padanya. Dusta
bahwa lelaki itu tidak ada di rumah dan mungkin juga dusta dia adalah istrinya.
“Maaf,
saya tidak percaya pada Uni. Boleh saya masuk memeriksa?” (Uni = sebutan untuk
perempuan yang lebih tua).
“Saya
seorang perempuan. Seorang diri di rumah ini. Hari malam pula. Tamu tak saya
kenal ingin masuk. Tahu diri dan tahu adatlah sedikit…” kata perempuan gemuk
itu. Tapi anehnya dia berkata begitu sambil tersenyum dan mengedipkan mata
kirinya.
“Maafkan
saya. Kalau begitu biar besok siang saja saya kembali ke sini…”
“Tunggu,”
kata si gemuk setengah berbisik. “Hari sudah malam. Uda ini tentu datang dari
jauh. Kalau suka masuklah sebentar. Biar saya buatkan kopi manis…” Habis berkata
begitu perempuan itu memandang ke kiri dan ke kanan. “Tak ada orang. Jadi tak
ada yang melihat kita. Asal Uda tidak lama-lama bereslah….”
katanya
sambil tersenyum dan lagi-lagi mengedipkan matanya. (Uda = panggilan terhadap
lelaki yang lebih tua).
“Terima
kasih. Saya masih ada keperluan lain,” jawab Andana lalu memutar tubuh dengan
cepat.
Perempuan
gemuk di ambang pintu nampak kecewa. Ditutupkannya pintu dengan kesal.
Di dalam
gelap Andana bergerak cepat menuju bagian belakang rumah. Disini dia mengendap
di balik serumpun belukar.
Dia tidak
menunggu lama. Dari balik sebuah sumur keluar satu sosok tubuh, melangkah cepat
menuju pintu belakang rumah. Orang ini bukan lain adalah Udin Burik. Lelaki
bermuka bopeng yang beberapa tahun lalu memberi kesaksian di hadapan Tumenggung
Rajo Langit bahwa dia melihat Andana membunuh Sarkam, seorang pemuda sekampung
di Pagaralam setelah terjadi satu perkelahian. Tentu saja Udin Burik tergagau
kaget ketika Andana tiba-tiba muncul menghadang di depannya. Wajahnya yang bopeng
berubah sepucat kertas. “An… Andana…”
Andana
cepat mencekal leher pakaian Udin Burik. “Perempuan gemuk di dalam rumah
mengatakan kau pergi ke Batusangkar. Baru besok pulang. Rupanya kau kembali
lebih cepat!” Andana mendorong Udin Burik hingga tersandar ke dinding belakang
rumah.
“A… apa
maumu Andana?”
“Ingat
tiga tahun lalu waktu kau muncul di hadapan pengadilan nagari di Pagaruyung. Di
hadapan Tumenggung Rajo Langit kau memberi kesaksian bahwa kau menyaksikan aku
membunuh Sarkam, pemuda yang menurutmu sudah sejak lama punya silang sengketa
dengan diriku!”
“Dengar….
aku…. aku…”
“Siapa
yang menyuruhmu memberikan kesaksian palsu? Siapa yang membayarmu?! Tumenggung
Rajo Langit sendiri?!”
“Aku… aku
memang melihatmu membunuh….”
Plaakk!
Andana
tampar muka Udin Burik sekeras-kerasnya hingga sudut bibir orang ini pecah dan
mengucurkan darah. “Jangan kira aku tidak tega meremukkan kepalamu, bopeng!
Bicara yang benar!” sentak Andana seraya menjambak rambut Udin Burik dengan
tangan kirinya kuat-kuat. Tangan kanannya dikepalkan lalu dihantamkan ke
dinding kayu di samping kepala Udin Burik.
Braaakk!
Dinding
yang.terbuat dari kayu keras itu hancur berantakan. Di dalam rumah terdengar
pekik perempuan gemuk sedang Udin Burik sendiri menggigil sekujur tubuhnya.
Kedua matanya terbuka lebar tanda dia dilanda rasa takut yang amat sangat.
Andana
meletakkan tinju kanannya di depan hidung lelaki bermuka bopeng itu. “Mau
bicara atau kuhancurkan kepalamu saat ini juga!” Mengancam Andana.
Udin
Burik putus nyalinya. “Jangan….Jangan pukul ambo. Saya akan bicara. Saya
disuruh orang. Saya dipaksa. Kalau tidak mau saya….” (ambo = saya)
“Katakan
siapa orangnya!” bentak Andana.
“Di…
dia…”
Andana
mendengar daun bergemerisik di belakangnya, menyusul ada suara berdesing.
Secepat kilat pemuda ini merunduk sambil membuang diri ke kiri. Saat itu terdengar
Udin Burik mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Ketika Andana memandang
ke depan dilihatnya sebilah pisau menancap dalam di leher Udin Burik. Gagang
senjata ini berukir tengkorak manusia. Kedua mata Udin Burik terbeliak besar.
Dia mengerang pendek lalu tubuhnya melosoh jatuh. Terduduk sebentar akhirnya
terguling roboh tanpa nyawa lagi.
Ketika
mendengar suara semak belukar bergemerisik di belakangnya, serta merta Andana
berbalik dan lepaskan pukulan “inti api”. Sinar merah menderu menebar hawa
panas. Lidah api menggebubu. Semak belukar di depan sana hancur berantakan
berubah bentuk menjadi puntungan-puntungan kayu yang terbakar.
Lapat-lapat
terdengar suara orang mengeluh kesakitan. Andana cepat mengejar. Tapi
terlambat. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda dipacu meninggalkan
tempat itu.
“Hemmm…
siapapun orang yang kabur itu, pukulanku pasti sempat menciderai dirinya.” Kata
Andana dalam hati. Pemuda ini membalik cepat ketika dari arah rumah didengarnya
suara jeritan perempuan. Pemuda ini bergegas ke tempat Udin Burik tadi
terkapar. Di situ dilihatnya perempuan gemuk itu duduk terhantar dekat sosok
mayat Udin Burik. Begitu melihat Andana langsung saja dia berteriak.
“Pembunuh!
Pembunuh!”
“Bukan
saya yang membunuh Uni,” kata Andana. Dengan cepat dicabutnya pisau yang
menancap di leher Udin Burik.
Darah
menyembur. Perempuan gemuk itu kembali menjerit keras lalu roboh pingsan.
Andana sendiri cepat-cepat kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya.
*****************
TIGA BELAS
DATUK
Gampo Alam duduk di anjungan rumah gadang menikmati kopi dan juadah ditemani
oleh dua dari empat orang istrinya. Ketika dia hendak meneguk kopinya kembali,
telinganya mendengar suara di kejauhan. Sang Datuk memang memiliki ilmu
kepandaian tinggi hingga tidak seperti orang biasa dia sanggup mendengar suara
yang datang dari tempat jauh.
“Pasti
dia. Tamu yang ditunggu sudah datang!” kata Datuk Gampo Alam dengan senyum
dikulum sambil mengusap-usap dagunya. “Kemenakanmu, putra Datuk Bandaro Sati
sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di rumah gadang ini!” Sang Datuk
geleng-gelengkan kepalanya. Dia berpaling pada kedua istrinya.
“Kalian
berdua masuklah. Suruh si Atun menyiapkan minuman dan juadah tambahan untuk
keponakanku Andana.”
Zubaidah,
istri tertua Datuk Gampo Alam dan Rukiah istri keempat yang paling muda
sama-sama berdiri. Di ruang dalam dua istri yang saling akur di antara empat
istri Datuk Gampo Alam bicara perlahan-lahan.
“Saya
banyak mendengar cerita tentang kemenakan Datuk yang.bernama Andana itu.” kata
Rukiah sang istri paling muda.
“Tapi
saya belum pernah melihat orangnya. Kata orang dia masih muda, gagah dan kekar
potongan tubuhnya. Biar saya mengintai sejenak.”
“Kalau
sampai Datuk tahu perbuatanmu, mati kau dilecutnya!” kata Zubaidah pula.
Datuk
Gampo Alam bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke ruangan tengah dan tegak di
belakang jendela. Seekor kuda besar memasuki halaman rumah gadang dan berhenti
di bawah tangga. Penunggangnya seorang pemuda berikat kepala kain merah,
berbaju merah dan celana hitam.
“Tuhan
Maha Besar. Sampai juga akhirnya anak ini dengan selamat ke sini!” kata sang
Datuk, lalu bergegas menuruni tangga rumah gadang. Di depan tangga paman dan
kemenakan ini saling berpandangan sejenak lalu sama-sama berangkulan erat.
“Kedatanganmu
memang sangat Mamak harapkan. Banyak hal yang perlu kita bicarakan. Paman lihat
kau sudah jauh lebih dewasa…. Tambah gagah! Pasti banyak gadis yang akan jatuh
hati padamu!” Datuk Gampo Alam tertawa bergelak. “Kemana saja kau menghilang
selama ini, Andana?”
“Nasib
membuat saya terdampar di negeri Asahan,” jawab Andana.
“Negeri
Asahan! Ah, itu negeri indah bertanah subur. Tunggu! Kalau kau tidak salah di
situ ada seorang saleh berkepandaian tinggi bernama Datuk Alis Merah.”
“Betul
Paman. Saya beruntung diambil jadi muridnya,” jawab Andana polos.
Sepasang
mata Datuk Gampo Alam membesar. Kalau benar dia telah berguru dengan orang
sakti itu “Pasti dia sudah menguasai ilmu pukulan Inti api yang hebat itu,”
membatin Datuk Gampo Alam. Lalu dia menepuk-nepuk bahu Andana dan mengajak
kemenakannya ini naik ke atas rumah gadang.
Di atas
rumah gadang mamak dan kemenakan ini duduk berhadap-hadapan. Datuk Gampo Alam
berteriak memanggil pembantu. “Atun! Tamu sudah datang! Mana minuman?!”
Kening
Datuk Gampo Alam berkerut ketika yang keluar membawa baki berisi kopi dan
juadah bukannya Atun perawan tua pembantu di rumah gadang, melainkan Rukiah,
istrinya paling muda dan paling cantik.
“Mana si
Atun?” sentak Datuk Gampo Alam.
Rukiah
meletakkan baki di lantai. Sekilas dia mengerling pada Andana baru menjawab
pertanyaan suaminya. “Atun sedang ke air Datuk….”
Datuk
Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Seharusnya Zubaidah yang membawakan
kopi dan juadah ini. Mengapa harus kau? Mana perempuan itu?!” Nada suara sang
Datuk jelas menunjukkan rasa cemburu.
“Saya
atau kak Zubaidah sama saja Datuk. Saya hanya tak mau membuat tamu kita ini
menunggu terlalu lama. Nanti Datuk marah pula pada saya.”
“Ah… kau
memang pandai bicara!” kata Datuk Gampo Alam. “Lekas masuk ke dalam!”
Sang Datuk
mempersilahkan kemenakannya mencicipi hidangan. Setelah Andana meneguk kopinya
sang Datuk berkata. “Tadi itu Rukiah. Istriku paling muda. Jadi ibumu juga….”
Dalam
hati Andana berkata. “Bagaimana aku akan memanggil Ibu padanya, Usianya saja
pasti beberapa tahun lebih muda dariku!”
“Mamak
mendengar kalau kau sudah berada di Pagaralam ini kemarin. Lalu dimana saja kau
menginap malam tadi, Andana?” bertanya Datuk Gampo Alam.
“Mamak
betul. Saya memang datang kemarin. Maafkan kalau saya tidak segera menemui
Paman.
Saya
bermalam di surau….”
“Di
surau?” ujar Datuk Gampo Alam, lalu dia tertawa panjang. “Andana, rumah gadang
ini adalah rumah warisan nenek moyang kita, warisan Ayahmu, jadi rumahmu juga.
Selayaknya kau menginap di rumah ini. Bukankah di sini kau dilahirkan dan
dibesarkan….? Aku hanya menjadi penghuni sementara atas persetujuan Ayahmu
karena sejak Ibumu meninggal dia lebih suka mengelana ke berbagai negeri.”
Andana
tak menjawab. Pemuda ini menundukkan kepala.
“Ada apa
Andana?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Ayah
sudah tak ada lagi Paman….”
Dua bola
mata Datuk Gampo Alam membesar. Dia tampak sangat terkejut mendengar kata-kata
kemenakannya itu. Manusia satu ini sungguh pintar berpura-pura. “Apa katamu
Andana?”
“Ayah
saya Datuk Bandaro Sati mati dibunuh orang secara gelap. Dalam keadaan sekarat
tubuhnya ditemukan seseorang di tepi Ngarai Sianok.” Andana lalu menceritakan
apa yang telah terjadi dengan diri Ayahnya.
“Pembunuh
jahanam! Setan!” Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Siapa yang
nekad membunuh kakakku begitu keji?! Setahuku ayahmu tak pernah punya musuh!”
“Saya
curiga pada Tumenggung Rajo Langit….-
“Hati-hati
kalau bicara Andana. Apa alasanmu curiga pada Tumenggung itu….?”
“Saya
tahu, dia yang mengatur rencana memfitnah saya hingga dijebloskan dalam
penjara. Saya tak tahu apa yang ditujunya…”
“Kalau
kau bisa mendapatkan bukti-bukti perbuatan busuknya, aku akan membantumu
membuat perhitungan dengan Tumenggung itu. Tapi ingat kita harus hati-hati.
Tumenggung Rajo Langit bukan orang berilmu, tapi dia punya kekuasaan dan
sanggup menghimpun kekuatan besar untuk mencelakaimu. Sekali lagi kau sampai
tertangkap olehnya tak bakal ampun Andana. Ingat itu baik-baik…”
“Terima
kasih Mamak,” kata Andana pula.
Datuk
Gampo Alam mengangguk. “Ayahmu seperti orang yang sudah punya firasat, Kali
terakhir dia bertemu dengan Paman, dia menyerahkan sebuah Surat Wasiat…”
“Surat
Wasiat?” ulang Andana. “Surat Wasiat apa Paman?”
“Sudah,
nanti saja kita bicarakan hal itu. Kau tahu, aku sudah menyuruh orang di
belakang untuk memotong lima ekor ayam sekaligus. Kita makan besar siang ini.
Selain itu kamar tidurmu juga sudah disiapkan. Lantainya diberi permadani dari
Turki. Tempat tidurnya besar. Bantal dan gulingnya empuk.
Tilamnya
ditaburi bunga melati hingga kamar tidur itu selalu harum siang dan malam. Ayo,
aku ingin perlihatkan kamar tidur itu padamu….”
Sebenarnya
Andana segan mengikuti Pamannya itu. Tapi sang Paman seperti memaksa. Akhirnya
pemuda ini berdiri juga dan melangkah mengikuti Datuk Gampo Alam menuju sebuah
kamar di ujung kiri yang pintunya tertutup. Perlahan-lahan Datuk Gampo Alam
mendorong daun pintu. Kamar di balik pintu itu tampak agak gelap karena tak
satu jendelapun yang terbuka. Datuk Gampo Alam melangkah masuk sambil memberi
isyarat pada Andana agar mengikutinya.
Andana
memandang sekeliling kamar. Semua serba bersih. Ini dulu memang kamar tidurnya.
Namun sekarang keadaannya jauh berbeda. Di lantai ada permadani tebal.
“Ini
kamarmu. Kau harus tidur di sini malam ini,” kata Datuk Gampo Alam.
“Saya
sudah dewasa Paman. Tidak pantas lagi tidur di rumah gadang. Biar saja saya
tidur di surau.”
Datuk
Gampo Alam tertawa lebar. “Adat kita orang Minang memang harus dijunjung. Tapi
kalau hanya untuk semalam dua apa salahnya? Itu tandanya kau cinta pada rumah
gadang tempat kau dilahirkan dan dibesarkan.” Andana tak menjawab.
“Agak
gelap kamar ini. Andana, tolong kau bukakan jendela-jendela di samping kanan
itu. Agar udara segar bisa masuk dan cahaya matahari dapat menerangi….”
Andana
melangkah ke deretan jendela di samping kanan kamar. Ada tiga buah jendela
besar di situ. Dua langkah lagi akan sampai di jendela Andana merasakan ada
getaran aneh pada lantai di bawah permadani yang dipijaknya. Meskipun hatinya
mendadak tidak enak namun pemuda ini meneruskan langkahnya juga. Dia membuka
jendela sebelah tengah. Begitu daun jendela terbuka tiba-tiba ada suara seperti
benda ditarik.
Menyusul
suara berdesing dari arah belakang.
“Andana!
Awas pisau terbang!” teriak Datuk Gampo Alam.
Tanpa
diberi ingatpun Andana sudah mengetahui adanya bahaya mengancam. Secepat kilat
dia melompati jendela dan terjun ke halaman bawah pada ketinggian hampir dua
tombak.
Sebilah
pisau yang panjangnya sekitar dua jengkal menancap di kayu sanding jendela.
Untuk beberapa saat lamanya dari bawah sana Andana memperhatikan gagang pisau
yang bergetar. Wajah pemuda ini tampak berubah tegang. Otaknya bekerja. Pisau
terbang itu melesat sesaat setelah dia menginjak bagian lantai dekat jendela kamar.
“Ada
orang memasang peralatan rahasia hendak membunuhku.” Kata Andana dalam hati.
“Tapi siapa? Pamanku sendiri?”
Datuk
Gampo Alam bergegas menuruni tangga. “Kau tak apa-apa Andana?”
“Saya tak
kurang suatu apa Paman. Ada orang hendak membunuh saya secara pengecut… Saya
yakin jika saya memeriksa lantai di bawah sana, saya akan menemukan peralatan
itu.”
Wajah
Datuk Gampo Alam tampak mengelam. “Ada musuh gelap di rumah gadang ini!
Kemenakanku sendiri hendak dibunuh bulat-bulat di hadapanku! Setan! Datuk Gampo
Alam menyentakkan lehernya sampai empat kali. Lalu dia melangkah cepat ke
kolong rumah gadang. Tepat di lantai kamar dia memeriksa. “Kurang ajar! Memang
ada peralatan jahanam disusupkan orang di sini!” teriak sang Datuk marah. Lalu
tangannya merenggutkan beberapa potong kayu dan tali serta kawat. Kemarilah!
Kau lihat sendiri benda-benda keparat
ini!”
teriak Datuk Gampo Alam. Tapi sang kemenakan sudah melompat ke atas kudanya.
Datuk Gampo Alam cepat mengejar.
“Andana
aku bersumpah akan mencari siapa yang memasang peralatan rahasia ini! Aku akan
bersihkan seluruh rumah gadang ini! Dengar Andana, kalau malam ini kau tak mau
menginap di sini, tapi hari rabu tiga hari lagi kau harus bermalam di sini.
Esok paginya hari kamis aku sudah merencanakan untuk melakukan pesta besar
menyambut kedatanganmu….”
“Apa
perlu hal itu diadakan Mamak?” tanya Andana.
“Perlu!
Perlu sekali. Pertama karena aku bahagia kau kembali ke Pagaralam ini. Kedua
aku ingin menunjukkan pada Tumenggung di Pagaruyung bahwa kau adalah
kemenakanku. Tidak satu orangpun yang layak mengganggumu, termasuk dia!”
Andana
tak berkata apa-apa. Disentakkannya tali kekang kudanya hendak meninggalkan
tempat itu.
“Tunggu
dulu Andana,” kata Datuk Gampo Alam sambil memegang tali kekang kuda. “Ada satu
hal yang hendak aku tanyakan. Setahuku Ayahmu memiliki sebilah keris sakti
bertuah. Tuanku Ameh Nan Sabatang. Sewaktu mayatnya dibawa pemuda yang sekarang
menjadi sahabatmu itu, apakah senjata itu ada pada sosok Ayahmu?”
Andana
menggeleng. “Keris itu lenyap.”
“Pasti
pemuda Jawa itu yang mengambilnya!”
“Tidak,
saya dan Uning Ramalah telah menyelidiki.
Keris itu
tak ada pada sahabat saya Wiro…” kata Andana pula tanpa menceritakan bahwa
senjata tersebut sekarang berada padanya, muncul secara aneh di tempat gurunya
di Asahan.
“Kakakku
Uning Ramalah, apakah dia ada memesankan sesuatu padamu?” tanya Datuk Gampo
Alam lagi. “Misalnya mengenai urusan rumah gadang ini?”
“Tidak
ada pesan apa-apa. Seingat saya dia sudah tidak mau mencampuri urusan dunia
lagi. Termasuk rumah gadang ini walau sebagai anak perempuan dia mempunyai hak
yang terbesar….”
Datuk
Gampo Alam usap-usap dagunya. Dia tidak berusaha menahan lagi ketika Andana
bergerak meninggalkan tempat itu. Sesaat setelah Andana pergi Datuk Gampo Alam
menyentakkan lehernya. Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tinjunya
dikepalkan.
“Jahanam!
Mengapa bisa gagal! Setan betul! Tapi tunggu saja. Masih ada seribu cara untuk
menyingkirkan anak itu!”
*****************
EMPAT BELAS
PINTU
depan terdengar diketuk orang. Mamak Rabiah dan Bunga sesaat saling
berpandangan.
“Siapa?”
bertanya Mamak Rabiah. “Ambo Etek Rabiah,” terdengar jawaban orang laki-laki.
(Etek = panggilan untuk perempuan yang jauh lebih tua).
“Ambo
siapa?” “Ambo Palindih!
Bunga
memandang pada Mak Rabiah. “Pembantu Datuk Gampo Alam,” kata Mak Rabiah. “Perlu
apa dia datang kemari?” Perempuan ini melangkah ke pintu dan membukanya. Di
ambang pintu orang bernama Palindih membuka destar hitamnya lalu membungkuk
memberi hormat.
“Sudah
lama kau tidak kelihatan Palindih. Sudah jadi orang besar awak sekarang ya?
Masuklah….”
Palindih
masuk ke dalam seraya melirik pada Bunga. “Mujur sekali saya hari ini. Kalian
berdua ada di rumah….”
“Ceritakan
maksud kujunganmu ini Palindih,” kata Mamak Rabiah.
“Kalau
pembantu Datuk Gampo Alam datang pasti ado barito gadang yang membawa
keberuntungan!” Palindih tertawa mengekeh.
“Keberuntungan
bagimu belum tentu keberuntungan bagi kami,” kata Mamak Rabiah pula. “Lagi
siapa orangnya di Pagaralam ini yang tidak tahu kalau Datuk itu sangat
kikirnya!”
“Ah,
jangan begitu. Datuk memang kikir pada orang-orang yang malas. Tidak pada
orang-orang seperti kita ini.” Palindih melirik pada Bunga. Setelah membasahi
bibirnya dia melanjutkan kata-katanya.
“Begini
Etek Rabiah. Etek dan Bunga tentu sudah mendengar kabar bahwa Andana, kemenakan
kontan Datuk Gampo Alam telah pulang dari rantau. Kegembiraan Datuk bukan
alang-kepalang. Dia berniat menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut
kepulangan si anak hilang itu. Saya dipercayai untuk mengatur dan menyusun
acara. Lima kambing dan seekor sapi rebah. Belum terhitung ayam dan itik….
Beberapa
juru masak terkenal sengaja didatangkan dari Batusangkar.”
“Wah,
tentu besar sekali pukulanmu sekali ini Palindih,” kata Mamak Rabiah sementara
Bunga tetap berdiam diri.
“Urusan
macam begini memang Palindih ahlinya,” kata Palindih sambil tertawa lebar.
“Kita tak boleh mengecewakan Datuk. Di samping itu saya rasa sudah lama
Pagaralam tidak disemarak oleh keramaian.
Karenanya
sengaja saya merencanakan pertunjukan yang bagus-bagus. Tari piring di atas
kaca. Debus. Lalu yang paling meriah tentunya Tari Gelombang tari persembahan.
Nah, untuk Tari Gelombang itu siapa lagi pembawa sirihnya yang dapat dan pantas
ditampilkan kalau bukan anak Mamak yang cantik jelita ini…”
“Mengapa
musti saya?” tanya Bunga untuk pertama kalinya bersuara.
Palindih
tertawa. “Katakanlah, apa ada gadis lain yang lebih cantik dari anak Mamak ini
di Pagaralam? Pagaruyung bahkan Batusangkar sekalipun putus tembus oleh
kecantikannya!”
“Palindih,
apakah Datuk Gampo Alam sendiri yang menyuruh kau memilih Bunga?”
“Ketahuilah
Etek Rabiah. Sudah sejak lama Datuk tidak banyak tahu tentang keadaan negeri
ini. Apa lagi sejak dia menikahi Rukiah, istri ke empatnya yang patut jadi anak
bahkan cucunya. Tapi kecantikan Rukiah tidak dapat dibandingkan dengan
kecantikan Adik saya ini. Bukan Mak, bukan Datuk yang memilih Bunga, tapi saya
Palindih yang cerdik ini yang tahu dan pandai memilih!”
Mamak
Rabiah dan Bunga untuk beberapa saat lamanya saling pandang tak berkata
apa-apa.
“Hai!
Palindih tak punya waktu lama. Orang penting seperti saya ini banyak urusannya!
Bagaimana jawaban Mamak Rabiah?”
“Lagakmu
Palindih, hebat sekali. Kau tanyakan sendirilah pada anak ini.”
Palindih
berpaling pada Bunga. Gadis itu justru menunduk. Namun sesaat kemudian
terdengar dia berkata. “Terserah pada Mamak Rabiah. Baik kata Mamak baik pula
bagi saya.”
Mamak
Rabiah menatap paras Bunga sesaat. Dia melihat bayangan keinginan pada wajah
gadis itu untuk memenuhi permintaan Datuk Gampo Alam. Namun sekilas perempuan
ini juga melihat adanya rasa kekhawatiran. Mamak Rabiah merenung sejenak.
Kemudian dia berpaling pada Palindih. “Baiklah. Kami menerima permintaan itu.”
Palindih
berseru gembira dan melompat-lompat.
“Palindih!
Jangan melompat-lompat. Lantai rumahku sudah lapuk. Bisa roboh rumah ini
nanti!”
“Saya
gembira Etek. Benar-benar gembira….”
“Tapi ada
satu hal yang harus kau ketahui Palindih…”
“Eh, apa
itu Etek? Soal hadiah? Jangan khawatir!”
“Bukan.
Bukan soal itu. Kami tidak mengharap hadiah apa lagi meminta bayaran. Kami
hanya ingin kau tahu bahwa kami menerima permintaan itu bukan memandang muka
Datuk Gampo Alam, apalagi mukamu yang buruk ini!”
Palindih
mengusap-usap mukanya yang memang beruntusan lalu tertawa perlahan. “Lalu apa
alasan Etek dan bunga menerimanya? Saya jadi binggung..”
“Semata-mata
karena memandang pemuda bernasib malang bernama Andana itu. Yang menurut
seorang sahabatnya mempunyai julukan Harimau Singgalang.”
“Harimau
Singgalang? Baru sekali ini saya dengar hal itu. Tapi sudahlah… Yang penting
saya sudah tahu anak Mamak mau jadi pembawa sirih dalam Tari Gelombang nanti.
Saya minta diri sekarang…” Dengan sikap lucu Palindih membungkuk di hadapan
kedua perempuan itu. Lalu dia melangkah mundur. Sampai di pintu langsung
melompat. Tapi kakinya terpeleset. Akibatnya dia jatuh terduduk dan terbanting
punggung di tanah yang agak becek. Bunga dan Mamak Rabiah tertawa gelak-gelak.
Setengah merintih Palindih mencoba bangkit dan melangkah pergi
terbungkuk-bungkuk sambil memegangi celananya.
*****************
LIMA BELAS
KESUNYIAN
malam dirobek oleh suara derap kaki dua ekor kuda yang berlari cepat beriringan
menuju ke timur. Dua pemuda yang menunggangi binatang itu tak bisa memacu lebih
cepat karena jalan yang ditempuh hanya merupakan jalan setapak. Kiri kanan jalan
ditumbuhi semak belukar lebat dan gelapnyamalam bukan kepalang.
Tiba-tiba
jauh di ujung jalan terdengar suara tiupan saluang yang sesekali ditimpali
suara nyanyian.
Andana
memperlambat lari kudanya. Dia berpaling ke belakang pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Tak lama kemudian dalam gelapnya malam Andana dan Wiro menyaksikan
satu pemandangan aneh. (saluang = sejenis suling berukuran besar)
Di tengah
jalan setapak yang hendak mereka lewati tampak seorang kakek duduk menjelepok
di tanah, asyik meniup saluang. Orang tua mi mengenakan destar dan pakaian
serba putih.
“Orang
aneh,” kata Andana berbisik pada Wiro. Yang diajak bicara anggukkan kepala
sambil memandang tak berkesip pada orang tua yang duduk di tengah jalan itu.
Dia tak dapat jelas melihat wajah si orang tua. Selain gelap orang tua ini
selalu menundukkan kepala.
Orang tua
hentikan tiupan saluangnya lalu terdengar dia menyanyi.
Orang
Kurai pergi berlayar
Mengarung
ombak ke tanah Jawa
Jangan
percaya manusia ular
Mulut
manis mengandung bisa
Kalau tua
menanam Melur
Gali
tanah tancap akarnya
Orang
pandai kalau tidur
Mata
nyalang telinga terbuka
“Nyanyiannya
enak juga,” kata Wiro. “Coba kau tanyakan mengapa malam-malam begini dia
nongkrong di sini, bernyanyi dan meniup suling. Sepertinya dia sengaja
menghadang jalan kita. Bertanyalah dengan sopan. Dia bisa saja seorang musuh,
bisa pula seorang sahabat.”
Andana
turun dari kudanya lalu bertanya. “Orang tua di tengah jalan. Maafkan kami
berdua. Kami hendak lewat, mohon diberi jalan. Suara nyanyianmu bagus. Kami
ingin mendengar lebih lama. Tapi kami ada urusan di tempat lain. Kalau boleh
bertanya mengapa kau justru menyanyi di tengah jalan dan malam-malam seperti
ini?”
Orang
yang ditegur menyahut tidak, angkat kepalapun tidak. Malah dia enak saja meniup
saluangnya lalu kembali menyanyi.
Keris
emas keris pusaka bertuah
Senjata
ampuh sakti mandraguna
Kalau mau
selamat hidup di dunia
Pasang
mata pasang telinga
Pintu
hati harap dibuka
Andana
jadi terkesiap mendengar bunyi pantun dalam nyanyian orang tua itu yang
menyebut-nyebut keris emas keris pusaka bertuah. Bagaimanakah tidak karena saat
itu dia membekal keris Tuanku Amen Nan Sabatang. Senjata warisan Ayahnya yang
didapatnya secara gaib di Asahan tempo hari.
“Apakah
orang tua ini tahu perihal keris emas yang kubawa?” Tanya Andana dalam hati.
Lalu untuk kedua kalinya pemuda ini meminta jalan.
Orang tua
itu turunkan tangannya yang memegang saluang. Mulutnya terdengar berucap.
“Telinga tua ini sudah tuli hingga tak mendengar orang meminta jalan.” Dengan
ujung saluangnya dia lalu membuat guratan di tanah, menggaris tanah dari tepi
kiri sampai ke tepi kanan. “Dua anak muda. Kalian minta jalan.
Silahkan
lewat…” Lalu orang tua itu menggeser duduknya ke tepi jalan.
“Terima
kasih…” kata Andana. Dituntunnya kudanya lalu dia melangkah. Tetapi begitu kaki
kanannya hendak melewati guratan di tanah tiba-tiba terdengar letusan keras.
Dari garis di tanah meletup keluar sambaran api dan kapulan asap. Andana
terkejut lalu cepat-cepat menarik kakinya sementara kuda yang dituntunnya
mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan meringkik keras. Kuda yang
ditunggangi Wiro juga ikut meringkik. Pemuda, ini cepat melompat turun menjaga
segala kemungkinan.
Orang tua
yang duduk di tengah jalan tertawa mengekeh.
Andana
yang menjadi jengkel berpaling pada Wiro seolah ingin minta pendapat apa yang
harus dilakukannya. Murid Eyang Sinto Gendeng maju mendekat lalu berucap.
“Orang tua, kami kagum dengan kepandaianmu menggurat tanah yang bisa
mengeluarkan letusan, api dan asap. Tapi kami lebih kagum lagi dan sangat
berterima kasih kalau kau mau memberi jalan agar aku dan kawanku ini bisa
lewat. Kami tidak bermaksud mengganggumu, apalagi berlaku kurang ajar…”
“Walalah…!
Kalian minta jalan. Sudah kupersilahkan. Soal letusan, api dan asap tak ada
sangkut pautnya dengan diriku! Mau lewat, lewat saja…!”
Wiro jadi
kesal juga mendengar kata-kata orang tua itu. Dipegangnya tali kekang kudanya
lalu dia menggerakkan kaki kanan melangkahi guratan di tanah. Kaki kanannya
lewat. Aman. Tak ada letusan, tak ada semburan api dan asap. Wiro berpaling
pada Andana. “Aman,” katanya sambil senyum-senyum.
Tapi
ketika kaki kirinya menyusul melangkah tiba-tiba terdengar suara letusan keras.
Api dan asap kembali menyembur. Pendekar 212 terlempar ke atas. Selangkangannya
terasa panas. Ketika dia memperhatikan pendekar ini berseru kaget. Selangkangan
celananya robek dan hangus besar hingga auratnya tersingkap lebar. Cepat-cepat
Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menutupi diri. Dari mulutnya tak
tertahankan lagi caci maki.
“Andana,
orang tua tak dikenal ini punya maksud yang tak baik pada kita…” Tapi ucapannya
itu terhenti karena dilihatnya Andana setengah mati menahan tawa. Wiro jadi
menggerendeng panjang pendek.
“Orang
tua! tindakanmu sungguh keterlaluan. Bagaimana aku akan melanjutkan perjalanan
dalam keadaan seperti ini?”
Sebagai
jawaban orang tua itu tiup saluangnya keras-keras hingga Wiro dan Andana
terpaksa menutup telinga masing-masing dengan kedua tangan karena suara saluang
itu seolah hendak merobek gendang-gendang telinga mereka. Setelah tertawa
panjang orang tua itu kembali bernyanyi.
Lancar
jalan karena ditempuh
Lancar
kaji karena diulang
Bagaimana
tahu tingginya ilmu
Kalau
tidak turun ke gelanggang
“Ah,
orang tua ini hendak menguji kita rupanya,” kata Andana pada Wiro.
“Kurasa
begitu,” jawab Pendekar 212.
“Kalau
begitu kau mintalah sedikit pelajaran padanya!”
“Mengapa
aku! Kau saja!” jawab Wiro.
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. Lalu dia berpaling pada orang tua itu dan berkata.
“Ilmuku cuma tinggi sejengkal dalam secupak. Mana saya berani menyombongkan
diri di hadapanmu. Tapi karena saya dan kawan ini perlu cepat-cepat ke
Pagaralam, maka saya tak berani berlaku tidak sopan selain meminta petunjuk
darimu!”
“Ah,
ternyata orang Jawa pandai juga berbasa-basi seperti orang Minang!” tiba-tiba
orang tua berdestar putih itu menyahuti.
“Sialan!
Jadi dia tahu kalau aku datang dari Jawa,” maki Wiro.
Wiro
tidak menunggu lebih lama. Dia kerahkan tenaga dalam lalu meniup ke tanah.
Guratan di tanah serta merta lenyap. Pada saat itu tiba-tiga saluang yang tadi
dipegang si orang tua melayang ke atas, mengemplang ke arah kepala Wiro.
Pendekar ini terpaksa selamatkan kepala dengan jalan menghindar karena kalau
dia pergunakan kedua tangannya berarti dia tak dapat lagi melindungi auratnya.
Lama-lama Wiro mengalami kesulitan juga karena serangan saluang itu semakin
cepat dan bertubi-tubi. Akhirnya terpaksa dia pergunakan kedua tangan untuk
menangkis dan balas memukul. Aneh. Setiap dia berhasil menangkis atau memukul
saluang yang menyerangnya itu, dia bukan merasa membentur sebuah benda keras,
melainkan seperti mengelus sebuah benda yang terbuat dari kapas lembut. Padahal
dia sudah memperhitungkan sekali hantam saja saluang yang terbuat dari bambu
itu pasti akan hancur berantakan.
Penasaran
tak dapat memukul hancur saluang itu Wiro akhirnya pergunakan kedua tangannya
menangkap benda itu. Begitu kedua tangannya memegang saluang tiba-tiba secara
aneh suling yang terbuat dari bambu itu berubah menjadi sepotong besi panas
membara. Hampir Wiro berteriak kesakitan. Namun otaknya cepat bekerja. Ilmu
seperti itu hanyalah ilmu tipuan belaka jika seseorang bisa mempercayainya.
Dia
kerahkan tenaga dalam lalu berteriak. “Asal bambu kembali kepada bambu!”
Terdengar
letusan kecil. Saluang bambu yang tadi tampak membara kembali berubah ke
bentuknya semula. Begitu saluang kembali ke bentuk aslinya, Pendekar 212 segera
meniupnya sambil mengerahkan tenaga dalam penuh.
Dua ekor
kuda meringkik keras. Andana melompat jauh sambil menekap kedua telinganya.
Orang tua yang duduk menjelepok di tanah berseru tegang, sambil menutupkan
kedua tangannya ke telinga kiri kanan dia coba kerahkan tenaga dalam. Wiro
meniup sekali lagi. Tubuh orang tua itu melesat ke atas, jungkir balik di
udara. Ketika turun tahu-tahu dia melayang dan hinggap di atas serumpun semak
belukar sambil tertawa mengekeh. Di tangannya ada sebatang saluang. Ketika Wiro
memperhatikan kedua tangannya astaga. Dia tidak memegang apa-apa lagi.
“Gila!
Bagaimana dan kapan dia merampas suling bambu itu dari tanganku. Aku sama
sekali tidak merasa apa-apa!” Kata Wiro terheran-heran dalam hati.
“Orang
tua. Ilmumu tinggi. Aku merasa malu untuk melanjutkan main-main ini…”
“Aku juga
tak punya kepandaian apa-apa,” kata Andana. “Sekarang kau mau berbaik hati
membiarkan kami pergi…”
“Orang
tua, kami tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat yang kabarnya dihuni oleh
peri-peri cantik. Jika sapu tangan ini disapukan ke bagian tubuh mereka, mereka
akan tunduk dan mau menjadi istri kita.
Di
samping itu segala ilmu kepandaian mereka yang aneh-aneh akan diberikan pada
kita…”
Si orang
tua tertawa mengekeh. “Tak dapat kudengar ada tempat yang seperti kau katakan
itu…”
“Kalau
kau tak percaya silahkan ikut kami berdua. Saat ini biar kutunjukkan saja sapu
tangan itu padamu…” Lalu dari saku celananya yang robek Wiro mengeluarkan
sehelai sapu tangan. Dia melangkah mendekati orang tua di atas semak belukar
itu dan memperlihatkan sapu tangan yang dipegangnya.
“Uh!
Hanya sehelai sapu tangan butut! Apa hebatnya?” ujar si orang tua.
“Butut ya
memang butut. Tapi coba lihat dulu ini…” kata Wiro puia sambil mengangsurkan
sapu tangan itu lebih dekat. Tiba-tiba dua jari tangannya meluncur cepat ke
arah dada si orang tua. Saat itu juga orang tua itu tak dapat lagi bergerak.
Sekujur tubuhnya telah kaku ditotok Pendekar 212. Sadar kalau dirinya sudah
kena ditipu orang kini hanya carut makinya saja yang terdengar memenuhi malam
buta.
Wiro
Sableng tertawa bergelak.
“Orang
tua, aku terpaksa melakukan hal ini!” katanya. Lalu orang tua itu diturunkannya
ke tanah.
“Kurang
ajar! Apa yang kau lakukan ini?!” teriak si orang tua ketika Wiro dengan paksa
melepaskan celana putih yang dipakainya.
“Tenang
saja,” sahut Wiro seenaknya. “Aku mana mungkin bisa kemana-mana dengan celana
robek melompong begini. Aku pinjam dulu celanamu!”
Kini
orang tua itu terbujur di tanah dalam keadaan setengah bugil. Wiro cepat
mengenakan celana putih milik orang tua itu. “Ah, pinggangnya pas tapi kakinya
agak kependekan. Tak apa dari pada telanjang!”
kata
Wiro. Dia melambaikan tangan pada si orang tua. “Selamat tinggal sobatku. Kalau
ketemu lagi pasti celanamu akan kukembalikan!”
Wiro melompat
ke atas kudanya. Andana melakukan hal yang sama. Kedua pemuda ini lalu
menghambur meninggalkan tempat itu.
“Pendekar
212! Kau rasakan nanti pembalasanku!” teriak si orang tua.
Di atas
kuda Wiro jadi tersentak kaget.
“Dia
menyebut aku Pendekar 212. Tidak satu orangpun di pulau Andalas ini tahu siapa
diriku, apalagi gelarku. Aneh! Jangan-jangan dia seorang yang kukenal.” Memikir
sampai kesitu Wiro putar kudanya.
“Hai! Kau
mau kemana Wiro?” tanya Andana.
“Kau
tunggu sebentar di sini. Saya segera kembali!” sahut Wiro lalu membedal kudanya
ke tempat tadi dia meninggalkan orang tua itu di pinggir jalan dalam keadaan
setengah telanjang. Tetapi sampai di tempat itu, si orang tua tak ada lagi di
situ!
“Orang
tua aneh. Siapa dia sebenarnya?” Tanya Wiro dalam hati sambil garuk-garuk
kepala.
*****************
ENAM BELAS
MALAM itu
sulit bagi Andana untuk memicingkan mata. Wiro sahabatnya itu tak mau bermalam
di rumah gadang. Kalau dia ada di situ paling tidak waktunya bisa dihabiskan dengan
bercakap-cakap bertukar pengalaman. Ingatannya sesaat kembali pada pertemuannya
dengan orang tua aneh yang ditelanjangi Wiro.
Dia tak
dapat menyalahkan sahabatnya itu. Karena tak mungkin bagi Wiro melanjutkan
perjalanan dalam keadaan setengah telanjang. Dia tak dapat membayangkan keadaan
si orang tua sendiri yang ditinggalkan kemudian lenyap dalam keadaan
bertelanjang seperti itu. Kemudian ingatan pemuda ini sampai pada Halidah,
gadis anak gurunya, Datuk Alis Merah di Asahan. Bayangan wajah Halidah pupus
dengan kemunculan bayangan wajah Bunga. Dia seperti coba membanding-bandingkan
Halidah dengan Bunga. Sukar baginya untuk mencari kelebihan masing-masing.
Seolah-olah dua gadis itu seperti sepasang rembulan yang sama indahnya atau
sepasang berlian yang sama bercahaya.
Dari
bawah bantal Andana mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama adalah keris
Tuanku Ameh Nan Sabatang yang terbuat dari emas. Dielus-elusnya senjata itu.
Hal ini membuat hatinya tenteram.
Terbayang
kembali olehnya kejadian di dekat air terjun di Asahan itu. Ketika Ayahnya
secara aneh muncul memperlihatkan diri padahal jelas sang Ayah telah tewas
beberapa saat sebelumnya.
Benda
kedua adalah sebilah pisau tanpa sarung yang gagangnya ada ukiran tengkorak
manusia. Sesaat ditimang-timangnya pisau itu. Senjata inilah yang telah
menghabisi nyawa Udin Burik. Satu-satunya orang yang sampai saat itu mengetahui
siapa orang yang telah memfitnahnya hingga dia dijebloskan dalam penjara.
Pisau dan
keris kemudian dimasukkannya kembali ke bawah bantal. Andana mengeluarkan
sehelai selendang putih, selendang pemberian Halidah ketika dia hendak
meninggalkan Asahan. Diletakkannya selendang itu di dada. Diciumnya beberapa
kali. Dia menelentang dan coba memejamkan mata. Entah timbul firasat apa Andana
kemudian mengambil keris Tuanku Ameh Nan Sabatang dari bawah bantal lalu
menyisipkannya di balik pinggang celana di atas perutnya. Sebelum tertidur
pemuda ini masih sempat memikirkan apa sebabnya Pamannya Datuk Gampo Alam
sengaja mengadakan pesta besar besok sebagai penyambutan kembalinya dirinya.
Dia merasa hal itu tak perlu diada-adakan. Perlahan-lahan pemuda ini akhirnya
tertidur juga.
Di luar
rumah gadang udara malam terasa dingin. Suasana sunyi senyap sesekali diusik
oleh suara hembusan angin serta gemerisik daun-daun pepohonan. Rumah gadang
tampak berdiri kokoh dalam kegelapan malam. Satu-satunya cahaya terang adalah
cahaya yang datang dari lampu minyak yang terletak di bagian pertengahan rumah.
Sekali
lagi angin bertiup agak keras. Pada saat itu dari arah selatan berkelebat cepat
dua sosok orang berpakaian hitam. Salah seorang dari mereka membawa kurungan
kawat. Dengan cepat-cepat mereka mendekati rumah gadang. Lalu dengan
gerakan-gerakan luar biasa mereka naik ke sebuah pohon besar yang salah satu
cabangnya menjuntai di atas gonjong terendah atap rumah gadang. Tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun kedua orang itu berjalan di atas cabang pohon
tadi lalu turun ke gonjong rumah gadang. Di salah satu bagian atap orang di
sebelah depan berhenti sesaat, berpaling pada kawannya lalu menunjuk pada atap
yang dipijaknya. Kawannya yang membawa kurungan kawat mengangguk. Kurungan
kawat itu ternyata berisi seekor ular hijau dari jenis yang sangat berbisa
dengan panjang hampir tujuh kaki. Ekor binatang ini diikat dengan seutas tali
sepanjang sepuluh kaki. Dengan hati-hati kurungan diletakkan di atas atap rumah
gadang yang terbuat dari ijuk. Lalu orang di sebelah depan mengeluarkan sebilah
pisau yang sangat tajam. Dengan cekatan dan tanpa suara dia mulai merobek ijuk
atap, membuat sebuah lobang.
“Cukup.
Coba kau Intai dulu…” kata orang yang membawa kurungan ular. Kawannya
menyibakkan ijuk atap yang sudah terpotong dan membentuk sebuah lobang sebesar
lingkaran paha. Dia mengintai ke bawah. Dari lobang itu dia dapat melihat
tempat tidur serta sosok tubuh Andana yang tengah terbaring miring dalam
keadaan pulas.
“Tepat
benar di atas tempat tidurnya,” bisik lelaki yang membuat lobang di atap.
“Coba
kulihat” kata kawannya yang membawa ular. Dia mengintip dan tampak puas. “Kita
bisa segera mulai.” Lalu dia menggeser kurungan kawat ke atas lobang. Dia
memberi isyarat agar temannya memegang ujung tali pengikat ekor ular berbisa
itu. Lalu dengan hati-hati dia menggeser alas kurungan kawat. Dengan sepotong
lidi ular di dalam kurungan ditusuk-tusuknya. Binatang ini membuka mulut dan
mendesis marah.
Karena
ditusuk terus menerus ular ini jadi bergerak, berusaha mencari jalan keluar.
Satu-satunya jalan keluar ialah lewat alas kurungan yang telah terbuka terus ke
dalam lobang di atap rumah. Setelah meliuk-liukkan badannya beberapa kali
binatang ini akhirnya meloloskan diri ke dalam lubang, meluncur turun ke bawah.
Namun
gerakannya tak bisa semaunya karena ikatan tali yang kukuh pada ekornya
mengendalikan dirinya.
Sedikit
demi sedikit orang di atas atap mengulur tali yang dipegangnya hingga ular
hijau itu meluncur turun semakin jauh ke bawah. Binatang ini membuka mulutnya
lebar-lebar begitu mencium bau tubuh manusia di bawahnya. Taring dan deretan
gigi-giginya kelihatan mengerikan. Lidah dan mulutnya yang penuh bisa
bergerak-gerak siap mematuk.
Ketika
binatang itu hendak mematuk leher Andana dari ketinggian dua jengkal, kedua
mata pemuda ini terbuka. Sesaat dia mengira bermimpi melihat kepala ular dekat
sekali di depannya. Ketika dia mendengar suara mendesis secepat kilat Andana
menggulingkan diri ke samping. Patukan ular datang. Tapi hanya mengenai bantal.
Ular berbisa ini meliukkan badannya. Kepalanya mengejar ke arah Andana. Saat
itu pula satu sinar kuning berkelebat dalam kamar.
Craaasss!
Kepala
ular berbisa itu terpisah dari badannya. Kepala yang putus tercampak di atas
tempat tidur sedang tubuhnya yang menggelantung bergelung-gelung kian kemari,
meneteskan darah dengan deras.
Andana
berlutut pucat di atas permadani. Dalam hatinya dia mengucap. “Terima kasih
Tuhan. Untuk kesekian kalinya Kau masih melindungi Hamba-Mu ini.”
Dua orang
di atas atap tahu kalau rencana keji mereka hendak membunuh Andana dengan ular
berbisa itu gagal, yang satu segera melepaskan ujung tali yang dipegangnya.
Akibatnya tubuh ular itu jatuh berdebam di atas tempat tidur. Bersama kawannya
dia segera berkelebat pergi. Suara langkah-langkah kaki mereka kali ini sempat
terdengar oleh Andana. Dia segera bangkit berdiri dan lari ke jendela. Dari
sini dia akan melompat ke bawah lalu menunggu orang-orang itu di bawah. Namun
saat itu pintu kamar terdengar diketuk orang keras-keras. Lalu terdengar suara
Datuk Gampo Alam.
“Andana!
Lekas buka pintu! Ada apa di dalam sana! Aku mendengar suara ribut-ribut!”
Andana
cepat menyarungkan keris Tuanku Amen Nan Sabatang lalu menyembunyikannya di
bawah bantal. Begitu pintu dibuka Datuk Gampo Alam menghambur masuk membawa
sebuah lampu minyak.
Ternyata
dia tidak sendirian. Dia diikuti oleh dua orang istrinya, salah satu
diantaranya adalah Rukiah. Di belakang mereka menyusul tiga orang lelaki
pembantu merangkap pengawal di rumah gadang itu.
Cahaya
lampu yang dibawa Datuk Gampo Alam cukup terang menyinari seluruh kamar. Ketika
melihat apa yang menggeletak di atas tempat tidur serta darah yang berpercikan
di mana-mana, Datuk Gampo Alam berseru kaget. Kedua istrinya menjerit keras.
Semua orang kecuali Andana mundur ke pintu.
Datuk
Gampo Alam berpaling. Matanya membeliak dan lehernya disentakkan. “Kalian!”
bentaknya pada kedua istrinya. “Mengapa ikut-ikutan masuk ke sini?”
“Kami…
kami takut Datuk…” jawab Rukiah.
“Setan!
Keluar dari kamar ini! Cepat!”
Kedua
orang perempuan itu segera meninggalkan kamar. Kini Datuk Gampo Alam memelototi
ke tiga pembantunya. “Kalian setan semua! Apa saja kerja kalian di sini hingga
kamar kemenakanku kemasukan ular!”
“Bukan
kemasukan ular Mamak,” kata Andana. “Tapi ada orang yang sengaja memasukkan
ular lewat atap sana. Sengaja hendak membunuh saya!”
Datuk
Gampo Alam mendongak ke atas ke arah yang ditunjuk Andana.
“Setan
kurang ajar! Berani-beraninya! Siapa pula yang punya pekerjaan ini! Akan
kupatahkan batang lehernya!” lalu pada ke tiga pembantunya Datuk Gampo Alam
membentak marah, menyuruh mereka keluar semua.
Andana
menarik nafas dalam. Kamar itu terasa sesak. Dibukanya daun jendela. Di luar
serba gelap.
Pohon-pohon
tampak seperti hantu berbaris. Diam-diam Andana ingat pada nyanyian orang tua
aneh yang ditemuinya di tengah jalan.
Orang
pandai kalau tidur, Mata nyalang telinga terbuka
Andana
mengusap wajahnya yang keringatan dua kali. “Rupanya orang tua itu sudah tahu
apa yang akan terjadi terhadap diriku. Dia berusaha memberi tahu. Tetapi
mengapa tidak terus terang. Manusia aneh!”
Ketika
dua orang di atas atap meniti cabang pohon lalu turun ke tanah dan melarikan
diri dalam gelap, salah satu diantara mereka menoleh ke belakang.
“Celaka
Somat, ada orang mengejar kita!”
Kawan
yang di sebelah depan menoleh. “Kita harus memencar Rojali! Siapkan pisau
beracunmu!
Kalau
kita sampai tertangkap kau sudah tahu apa yang harus kita lakukan!”
Laki-laki
bernama Somat menghambur ke kiri lenyap di balik semak belukar dan gelapnya
malam.
Yang
bernama Rojali melompat ke kanan. Namun orang yang mengejarnya ternyata lebih
cepat. Sebelum dia lari lebih jauh tahu-tahu lehernya sudah dicekal orang dan
tubuhnya diangkat tinggi-tinggi. Sambil meronta-ronta Rojali tendangkan kakinya
ke arah orang yang mebembengnya seperti seekor kucing. Namun dia tak mampu
menendang orang itu. Dia mencabut pisau beracun yang ada di pinggangnya. Dengan
kalap dia membabatkan pisau itu ke belakang. Tetap saja dia tak berhasil
mengenai orang itu. Malah tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat lebih tinggi lalu
dilemparkan ke arah sebatang pohon besar. Kepala Rojali menghantam batang pohon
lebih dulu. Tubuhnya jatuh bergedebukan ke tanah. Orang yang melemparkannya
cepat mendatangi dan memeriksa.
Orang ini
garuk-garuk kepala. “Sialan! Terlalu keras aku melemparkannya. Kepalanya
rengkah!”
Wiro
memandang berkeliling. Di tanah dalam gelap dilihatnya menggeletak pisau yang
tadi dipergunakan orang itu untuk menyerangnya. Dipungutnya senjata ini. Dari
warna pisau jelas senjata itu dilapisi racun jahat. Pendekar 212 Wiro Sableng
memperhatikan gagang pisau itu. Ada ukiran tengkoraknya.
“Pisau
ini sama bentuknya dengan pisau yang diperlihatkan Andana. Berarti pelakunya
berasal dari komplotan yang sama. Dan setiap komplotan orang-orang jahat pasti
ada dalangnya!”
Tiba-tiba
satu banyangan berkelebat. Orang ini langsung menghantam ke arah Pendekar 212.
Terlambat
saja Wiro mengelak pasti lehernya patah dihajar pukulan tepi telapak tangan.
Serangan yang lolos itu menghantam sebatang pohon yang batangnya sebesar paha.
Tak ampun lagi pohon ini patah dan tumbang.
“Penyerang
gelap keparat!” Maki Wiro orang ini kembali menyerbunya dari samping dengan
cepat Wiro menangkis. Dua lengan beradu keras. Keduanya sama-sama terpental dan
jatuh duduk di tanah. Wiro melompat lebih dulu. Kaki kanannya melesat
mengirimkan tendangan. Hampir tendangannya akan menemui sasaran, orang yang
terduduk di tanah tiba-tiba berteriak.
“Tahan!
Wiro ini aku Andana!”
Pendekar
212 berseru kaget. “Walah! Apa-apaan ini.”
Dengan
cepat dia melompat tinggi ke atas hingga tendangannya lewat di atas kepala
orang.
“Kukira
kau siapa membokongku secara gelap!” kata Wiro. “Untung pisau beracun ini tak
sampai melukai dirimu!”
“Kau
sendiri kukira orang yang hendak membunuhku dengan ular itu…” kata Andana.
Pemuda ini lalu menuturkan apa yang barusan dialaminya di rumah gadang. “Aku
tak senang hati kalau tak dapat menyingkap tabir perbuatan keji ini. Itu
sebabnya setelah Datuk Gampo Alam masuk ke kamarnya aku turun ke bawah dan
menyelidiki. Kebetulan kulihat kau. Kukira kau salah seorang dari
manusia-manusia keparat itu…”
“Aku
sendiri kebetulan lewat karena merasa tak enak seolah ada firasat sesuatu akan
terjadi di rumah gadang. Ketika aku sampai di ujung halaman kulihat ada dua
orang turun dari atas pohon lalu lari ke arah timur. Aku segera mengejar
mereka. Di tengah jalan mereka menyebar. Aku mengikuti yang kabur ke kanan.
Aku
berhasil menangkapnya tapi tindakanku terlalu keras. Orang itu pecah kepalanya
ketika kubantingkan ke pohon!”
“Coba
kulihat pisau itu,” kata Andana seraya mengulurkan tangannya meminta pisau yang
dipegang Wiro. Ketika melihat gagang yang ada ukiran tengkoraknya Andana
berkata. “Pisau ini sama dengan pisau yang membunuh Udin Burik. Berarti
komplotan yang sama juga yang hendak membunuhku!”
“Kelihatannya
memang begitu, Andana. Kau harus lebih berhati-hati…”
“Itu
sebabnya aku mengajakmu bermalam bersama di rumah gadang. Paling tidak kita
bisa saling berjaga-jaga…”
“Aku mau
saja. Tapi Mamakmu itu rasa rasanya tidak senang padaku…”
“Jangankan
padamu. Padakupun dia tidak suka. Ada sesuatu yang membuat dia bersikap manis…”
“Ah,
jangan kau terlalu curiga padanya, kalau dia tidak senang padamu masakan dia
mau membuat selamatan besar menyambut kepulanganmu…”
“Justru
ini yang jadi kecurigaanku Wiro.”
“Sudahlah.
Malam ini kukira kau harus tidur nyenyak. Besok kau akan jadi bintang
perhelatan besar.
Kalau aku
jadi kau aku akan minta pada Pamanmu itu sekaligus saja membuat pesta
pernikahanku dengan Bunga!”
“Kau bisa
saja. Kau tak mau menemaniku ke rumah gadang?”
“Terima
kasih. Besok saja aku hadir di pestamu. Pasti banyak gadis-gadis cantik yang
hadir. Pasti aku akan puas mencuci mata.”
Ketika
Wiro hendak berlalu Andana bertanya. “Eh, kau menginap di mana sahabat?”
“Di
surau,” jawab Wiro. “Aku hanya mengikuti adat orang di sini. Kalau sudah dewasa
dan belum kawin harus tidur di surau…”
Andana
tertawa. Ditepuknya bahu sahabatnya itu lalu keduanya berpisah. Ketika Andana
kembali ke kamarnya di rumah gadang, pemuda ini terkejut. Didapatinya keris Tuanku
Ameh Nan Sabatang serta pisau yang gagangnya berukiran tengkorak lenyap dari
bawah bantal. Berarti ada orang yang masuk dan mengambil kedua benda itu selagi
dia turun ke bawah tadi.
“Kurasa
aku sudah mengambil keputusan yang salah menginap di rumah gadang ini!” Kata
Andana dalam hati. Tiba-tiba dia mendengar suara orang berlari menaiki tangga
rumah. Andana cepat keluar. Yang muncul ternyata adalah Datuk Gampo Alam. Orang
ini kelihatan turun naik dadanya.
“Ada apa
Mamak? Dari mana Mamak barusan?” bertanya Andana.
Aku masuk
ke kamar dengan perasaan was-was. Lalu aku keluar. Saat itu aku melihat
seseorang menyelinap keluar dari kamarmu. Aku tak bisa melihat wajahnya karena
ditutup dengan kain hitam. Aku membentak dan mengejarnya. Ternyata orang ini
memiliki ilmu lari yang hebat. Aku tak sanggup mengejarnya. Aku kembali dengan
sia-sia. Kujenguk ke kamar ternyata kaupun tidak ada. Ada barang-barangmu yang
hilang?”
“Tidak
ada. Saya memang tidak punya barang yang berharga,” jawab Andana berdusta.
“Kalau
begitu tidurlah kembali. Periksa semua jendela apakah sudah terkunci. Besok
pagi kau akan jadi raja kecil dalam pesta besar itu.”
Andana
mengangguk lalu masuk ke dalam kamarnya. Tapi bagaimana mungkin dia bisa tidur
di kamar yang tilamnya penuh darah serta bangkai ular berbisa itu? Pemuda ini
akhirnya keluar dari kamar dan tidur di ruang tengah rumah gadang. Hampir
matanya terpicing tiba-tiba dia merasa lantai papan rumah gadang bergerak-gerak
dan telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Andana bersiap-siap.
Begitu orang itu sampai dihadapannya Andana melompat bangkit siap untuk
menggebuk. Tetapi ketika menyadari siapa yang tegak di depannya pemuda ini
cepat menarik pulang pukulannya.
“Ibu….
saya kira siapa…” kata Andana seraya menurunkan tangannya!
“Walau
saya istri Mamakmu, jangan panggil saya Ibu…” kata perempuan di hadapan Andana.
“Kau tak apa-apa?”
“Tidak
Ibu… tidak. Saya baik-baik saja.”
“Banyak
keanehan di rumah gadang ini. Manusianya, suasananya! Terus terang saja saya
sudah tidak betah tinggal di sini.”
“Ibu…”
“Panggil
saya Rukiah…”
“Malam
sudah larut. Kalau Datuk melihat kau berada di sini dia bisa salah sangka.
Sebaiknya kau masuk ke dalam kamar kembali.”
Rukiah,
istri paling muda Datuk Gampo Alam yang baru berusia 19 tahun itu menggeleng.
“Saya sengaja keluar untuk memberi tahu bahwa kau tak pantas tidur di ruangan
ini. Pakailah kamar saya.”
“Terima
kasih. Saya tidak bisa melakukan hal itu. Saya lebih suka tidur di sini…”
Rukiah
memegang lengan pemuda itu. Jari-jari tanggannya yang halus terasa hangat.
Sesaat Andana merasakan tubuhnya bergetar. Mendadak muncul bayangan Halidah di
depannya. Lalu bayangan Bunga.
“Kau
sungguh tak mau masuk ke kamar saya?” tanya Rukiah.
“Terima
kasih. Biar saya tidur di sini saja…”
“Baik
kalau begitu. Besok pagi-pagi sekali akan saya suruh orang membersihkan
kamarmu…”
Andana
hanya bisa mengangguk. Perempuan muda itu tersenyum dan masih berharap Andana
akan mau menerima ajakannya masuk ke dalam kamar. Namun dari sinar mata si
pemuda Rukiah maklum kalau Andana tak mudah untuk ditundukkan. Perlahan-lahan
Rukiah memutar tubuhnya lalu masuk kembali ke dalam kamarnya.
Andana
menghela nafas dalam. Lalu dibaringkannya kembali tubuhnya di tempat semula.
Lama sekali baru dia bisa memicingkan mata. Andana tak tahu berapa lama dia
tertidur. Pemuda ini terbangun ketika di kejauhan terdengar suara kokok ayam
bersahut-sahutan. Lalu dari arah selatan terdengar suara orang azan tanda saat
sembahyang Subuh sudah datang. Andana segera bangun lalu turun ke bawah. Agak
bergegas dia melangkah menuju surau. Bukan saja untuk melakukan sholat Subuh di
sana tetapi juga ingin menemui sahabatnya Wiro guna menceritakan apa yang telah
terjadi.
Selesai
sembahyang Subuh kedua pemuda itu duduk di tangga surau. Kesempatan ini
dipergunakan Andana untuk menceritakan hilangnya keris Tuanku Amen Nan Sabatang
serta pisau berhulu kepala tengkorak itu.
“Nasib
buruk masih saja mengikutimu sahabatku,” kata Wiro. “Saya pasti membantumu
untuk mencari dan mendapatkan keris bertuah itu kembali. Mengenai pisau dengan
gagang yang ada ukiran kepala tengkoraknya itu kau tak usah khawatir. Kita
masih ada satu lagi.” Lalu Wiro mengeluarkan pisau milik orang yang hendak
membunuh sahabatnya itu dengan ular berbisa.
“Sebentar
lagi pagi akan tiba. Perhelatan besar akan berjalan dengan segala
kemeriahannya.” Wiro lalu berdiri di hadapan Andana. “Menurutmu apakah pantas
aku hadir dengan baju kusut dekil serta celana kekecilan dan cekak kedua
kakinya ini? Kau bayangkan bagaimana nanti gadis-gadis cantik akan memandangku
dengan perasaan geli. Bisa-bisa mereka mengira aku ini pemuda asing yang kurang
waras!”
Andana
tertawa lebar “Jangan takut sahabatku. Aku akan menyuruh orang mengantarkan
seperangkat pakaian bagus lengkap dengan saluaknya untukmu.”
“Terima
kasih. Terima kasih sahabatku…” kata Wiro dengan perasaan gembira.
TAMAT
No comments:
Post a Comment