WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
SATU
DUA
penunggang kuda hentikan kuda masing-masing ketika tiba-tiba hujan turun
menerpa bumi. Walau tidak lebat namun hawa tanah basah yang naik ke udara
menyekat liang hidung membuat dua orang tadi mendengus beberapa kali.
“Tanda
celaka apa pula ini! Hujan turun padahal matahari bersinar terik di atas batok
kepala!” Berkata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia mengenakan pakaian hitam
berupa jubah panjang. Wajah dan kepalanya kelihatan aneh. Matanya sebelah kanan
besar membeliak tapi yang kiri kecil seolah terpejam. Kepalanya sulah namun
hanya sebelah kiri saja sedangkan sebelah kanan ditumbuhi rambut lebat. Pada
keningnya terdapat tiga buah guratan tegak. Guratan di sebelah tengah lebih
tinggi dari dua di kiri kanan. Kumis melintang dan berewok sangar liar menutupi
hampir separuh wajahnya.
Jubah
hitam, keadaan wajah dan kepala, tanda di kening serta sepasang mata yang aneh
merupakan tanda pengenal yang tidak dapat disangsikan lagi oleh orang-orang
rimba persilatan untuk adanya manusia satu ini. Dia adalah tokoh silat golongan
hitam dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan. Orang ini muncul membawa
kegegeran dalam dunia persilatan sejak satu tahun lalu. Kabarnya dia membabat
banyak tokoh-tokoh silat di kawasan timur. Lalu menghantam ke barat. Bahkan
pesisir utara ikut disapunya. Selama malang melintang tak satu lawanpun sanggup
merobohkannya. Tiga Bayang Setan tak mempan senjata tajam dan kebal terhadap
pukulan sakti. Karenanya tidak salah kalau dia kini menjadi momok nomor satu
dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh silat golongan putih berusaha membuat
perhitungan dengannya. Namun Tiga Bayangan Setan bukan saja berhasil lolos bahkan
dengan kejam dia menghabisi tokoh-tokoh silat yang berani menantangnya.
Penunggang
kuda kedua mengenakan pakaian kain tebal robek-robek, dekil dan bau. Dia duduk
di atas punggung kuda sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Lengannya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sebatas pergelangan tangan sampai ujung
jari, sepasang tangan orang ini tidak menyerupai tangan manusia melainkan
berbentuk kaki atau cakar elang raksasa berwarna merah dengan kuku-kuku runcing
mencuat hitam pekat mengerikan. Konon bentuk tangannya inilah yang membuat dia
dijuluki Elang Setan. Bicara soal tampang orang ini memiliki daging muka hancur
rusak seperti dicacah. Kelopak matanya sebelah bawah menggembung bengkak
berwarna sangat merah dan selalu basah. Di antara sepasang mata yang angker
tapi juga menjijikkan itu melintang hidung tinggi bengkok seperti paruh burung
elang. Tak salah kalau dirinya dijuluki Elang Setan.
Dengan
tangannya yang berbentuk cakar itu dia mampu mematahkan tombak, pedang atau
golok lawan. Dengan cakar setannya dia mampu membobol perut, membongkar isi
perut atau membetot lepas jantung lawan. Kabarnya kuku-kuku hitam di ujung
cakar mengandung racun sangat jahat. Jangankan terkena cengkeram, tergurat saja
sudah dapat membuat seseorang sekarat keracunan!
Seperti
Tiga Bayangan Setan, Elang Setan yang muncul hampir bersamaan setahun lalu
telah pula membuat heboh dunhia persilatan dengan melakukan
pembunuhanpembunuhan atas diri tokoh-tokoh silat ternama. Dia sengaja mencari
tokoh silat tersohor untuk ditantang lalu dikalahkan dan dibunuh! Selama ini
tak ada satu lawanpun yang sanggup menghadapinya.
Antara
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan konon telah saling sumpah mengangkat
saudara satu dengan lainnya. Sumpah itu disertai upacara melukai lengan
masing-masing, lalu menempelkan luka setelah itu yang satu menghisap darah yang
lainnya! Jika dua Setan bergabung jadi satu dapat dibayangkan bahaya apa yang
kini tengah mengancam seantero dunia persilatan. Hujan telah berhenti. Elang
Setan usap-usap rambutnya yang basah dengan cakar setannya. Dia memandang
berkeliling.
“Kau
benar saudaraku! Hujan turun matahari mencorong! Membawa alamat yang tidak
baik! Tapi apakah itu perlu ditakutkan?!”
Tiga
Bayangan Setan tertawa lalu meludah ke tanah. “Kau tahu, kira-kira di daerah
mana kita saat ini?!”
Elang
Setan memandang berkeliling dengan sepasang matanya yang berkelopak gembung
merah. “Sulit aku menebak. Tak kelihatan gunung tak nampak bukit. Namun
ancar-ancarnya kalau aku tak salah kita mungkin berada jauh di barat Gunung
Wilis.”
“Kalau
dugaanmu benar berarti paling cepat saat matahari terbenam kita baru sampai di
Kartosuro,” ujar Tiga Bayangan Setan pula.
“Kita
teruskan perjalanan sekarang juga. Makin cepat sampai makin baik. Dadaku selalu
sesak kalau mengemban tugas seperti ini,” berkata Elang Setan lalu kembali dia
mengusap rambutnya dengan jari-jari berbentuk cakar.
Tiga
Bayangan Setan anggukkan kepala. “Perintah orang tua itu tidak boleh diabaikan!
Terus terang aku berfikir-fikir apa urusan sebenarnya dia menyuruh kita menemui
dirinya di Kartosuro…”
“Ini
urusan pelik tapi rada-rada gila!” ujar Elang Setan. “Kita harus berjalan dua
hari dua malam hanya untuk memenuhi permintaan Jarot Ampel!”
“Aku juga
tidak senang. Tapi jangan melupakan budi orang. Paling tidak Jarot Ampel pernah
menyelamatkan kita dari kematian waktu kita belum punya ilmu sehebat sekarang.”
Elang
Setan menyeringai. “Kau tahu manusia-manusia macam apa kita sekarang adanya
Tiga Bayangan. Aneh terdengar di telingaku kalau kini kau bisa-bisaan bicara
segala macam budi orang!”
Tiga
Bayangan Setan menyeringai. “Si tua Jarot Ampel itu bukan manusia sembarangan.
Aku punya firasat dia menyimpan satu rahasia terhadap kita. Siapa tahu dia
menyuruh kita datang ada sangkut pautnya dengan rahasia itu. Aku mau tanya, apa
menurutmu dia sudah memberikan seluruh kepandaiannya pada kita?”
Elang
Setan tertawa. “Mana ada guru yang mewariskan seluruh kepandaiannya pada sang
murid. Paling tidak dia akan menyimpan satu ilmu andalan. Atau sebuah senjata
mustika atau benda sakti apa saja…
“Kita berangkat
sekarang Elang Setan! Aku ingin tahu apa maunya orang tua itu!” Tiga Bayangan
Setan berkata lalu sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.SEPERTI yang
dikatakan Tiga Bayangan Setan menjlang matahari tenggelam mereka akhirnya
sampai di Kartosuro. Cuaca mulai meremangi gelap dan udara terasa dingin.
“Tempat
kediaman orang tua itu di kaki bukit tak jauh dari sini. Bagaimana kalau kita
mampir dulu di warung kopi untuk istirahat,” Elang Setan berkata begitu mereka
sampai di persimpangan jalan di pinggiran Kartosuro.
“Aku
paling suka bersenang-senang. Apalagi untuk urusan perut dan urusan bawah
perut…!” kata Tiga Bayang Setan lalu tertawa mengekeh. “Tapi sekali ini aku
kira kita menemui Jarot Ampel lebih dulu baru cari tempat untuk
bersenang-senang. Bukan sebaliknya!”
“Kalau
kau tidak suka aku tidak memaksa. Kau berangkat saja duluan. Aku nanti
menyusul. Tenggorokanku seperti timah meleleh. Sekujur badanku letih. Aku perlu
istirahat dan meneguk secangkir kopi!”
Lalu
tanpa banyak cerita lagi Elang Setan gebrak kudanya meninggalkan persimpangan.
Tiga Bayangan Setan gelengkan kepala. Dia memutar kudanya ke arah timur.
Hanya
beberapa saat saja kedua orang itu berpisah, di kejauhan di depannya Tiga
Bayangan Setan melihat serombongan penunggang kuda mendatangi dengan cepat.
Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Berpakaian seragam, beberapa di
antaranya membawa obor.
“Pasukan
Kerajaan…” kata Tiga Bayangan Setan dalam hati. “Siapa takutkan mereka. Tapi
mengingat urusan penting dengan guru ada baiknya aku menghindar jangan sampai
terlihat.” Lelaki itu cepat menyelinapkan kudanya ke tepi jalan, menghilang di
balik semak belukar dan pepohonan, terlindung dalam udara yang mulai kelam.
Rombongan orang berkuda lewat dengan suara gemuruh dan kepulan debu. Di
belakang rombongan ternyata ada seorang berjubah kuning, bermuka pucat dengan
rongga mata dan pipi sangat cekung. Tiga Bayangan Setan yang tadinya segera
hendak melanjutkan perjalanan mendadak hentikan kudanya. Dia mendongak sambil
berfikir-fikir.
“Orang
tua berjubah kuning itu…. Aku rasa-rasa mengenal dirinya.” Tiga Bayangan Setan
berfikir keras. “Ah! Aku ingat. Dia pasti cecunguk yang bekerja jadi penjilat
di Keraton. Namanya Tubagus Kasatama, berasal dari barat. Bergelar Dewa
Berjubah Kuning Bertongkat Besi…. Gelar gila!” Tiga Bayangan Setan tertawa
sendiri.
“Hemm…. ada
apa malam-malam begini dia mau-mauan ikut rombongan pasukan Kerajaan. Tadi di
sebelah depan aku lihat ada seorang Perwira Tinggi. Pasti ada urusan penting.
Elang Setan sudah lama mencari cecunguk tua itu untuk ditantang dan dihabisi.
Kalau dia tidak mampir di Kartosuro tadi pasti dia sudah cari perkara menantang
tua bangka itu. Tubagus Kasatama, nasibmu memang bagus seperti namamu.
Seharusnya kau bakal meregang nyawa malam ini di tempat ini!”
Tiga
Bayangan Setan keluar dari balik pepohonan siap meneruskan perjalanan. Namun
setelah memacu kudanya beberapa ketika mendadak muncul satu pikiran di
kepalanya.
“Rombongan
itu menuju ke Kartosuro. Elang Setan ada disana. Jangan-jangan….”
Orang
berjubah hitam ini lantas saja putar kudanya, memacu binatang itu menuju
Kartosuro.
******************
DUA
WARUNG
kopi itu sebenarnya tidak pantas disebut warung. Selain bangunannya besar
pelayannya juga banyak. Saat itu pengunjung sedang ramai. Namun, begitu sosok
Elang Setan muncul di ambang pintu langsung semua tamu yang ada di situ menjadi
bubar. Mereka tak perlu tahu siapa adanya orang ini. Cukup dengan melihat
tampangnya yang hancur seperti bekas dicacah dihias dengan dua mata yang
kelopaknya membeliak merah serta sepasang tangannya yang berbentuk cakar
runcing mengerikan, tanpa pikir panjang semua tetamu serta merta berdiri lalu
dengan ketakutan meninggalkan warung kopi lewat pintu belakang bahkan ada yang
langsung melompati jendela. Mereka pantas takut setengah mati karena malam itu
justru adalah malam Jum’at Kliwon di mana banyak yang masih percaya pada malam
seperti itu segala hantu dan setan gentayangan seenaknya, terkadang
memperlihatkan diri!
Elang
Setan sesaat masih tegak di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan
perhatikan orang-orang yang kabur. Lalu dia melangkah masuk, menghempaskan
tubuhnya di atas sebuah kursi kayu.
Para
pelayan di warung kopi itu tak ada satupun berani mendatangi Elang Setan.
Mereka berkumpul ketakutan disatu sudut bersama pemilik warung. Orang-orang ini
jadi mengkerut ketika dari tenggorokan Elang Setan keluar suara menggeru.
“Aku
hanya bicara satu kali! Apa tidak ada manusia melayani di tempat ini?!”
Habis
berkata begitu Elang Setan hantamkan tangan kirinya ke atas meja kayu.
“Braaakkk!”
Empat
kaki meja amblas ke lantai tapi tetap utuh! Papan meja sendiri hancur
berkeping-keping. Dari sini dapat dilihat bagaimana Elang Setan mampu
mengerahkan tenaga dalam tapi mengatur demikian rupa hingga tidak semua bagian
meja berantakan. Melihat apa yang terjadi, sebelum tamu seram itu menghancurkan
benda-benda lain yang ada dalam warung, seorang lelaki kerempeng bermuka bopeng
cepat mendatangi.
“Orang
jelek! Siapa kau?! Pelayan?!”
“Harap
maafkan. Saya pemilik warung. Sa… saya siap melayani….”
Elang
Setan menyeringai. “Nasibmu rupanya bagus. Muka buruk bopeng tapi rejeki besar.
Bisa punya warung sebesar ini. Lekas kau siapkan meja baru! Hidangkan satu
cangkir besar kopi manis! Bawa tekonya ke sini sekalian!”
Pemilik
warung memberi isyarat pada para pelayan. Dua orang pelayan segera membersihkan
kepingan-kepingan papan meja yng hancur, mencabut empat kaki meja yang masih
menancap di lantai lalu meletakkan sebuah meja baru di hadapan Elang Setan.
Pada saat itulah dari arah pintu ada orang berkata.
“Sediakan
dua cangkir tambahan! Kami sangat berkenan menemani tamu agung ini minum
bersama!”
Kepala
Elang Setan tersentak. Dia cepat berpaling ke arah pintu. Dua orang dilihatnya
melangkah masuk, berjalan ke arah meja di mana dia duduk. Yang satu seorang
kakek bermuka pucat dan berpipi sangat cekung, mengenakan jubah kuning. Orang
kedua seorang Perwira Tinggi pasukan Kerajaan. Ikut masuk ke dalam warung
bersama mereka enam orang prajurit yang segera mengambil sikap mengurung. Di
luar warung masih ada beberapa prajurit lagi, berjaga-jaga dekat pintu depan,
jendela-jendela dan pintu belakang. Elang Setan segera mencium gelagat tidak
enak. Namun dia memperlihatkan sikap tenang. Sepasang matanya yang berkelopak
merah gembung menyoroti dua orang yang melangkah ke arah mejanya. Lalu enak
saja kedua orang ini duduk di hadapannya. Elang Setan segera kenali kakek
berjubah kuning tapi tidak mampu mengetahui siapa adanya Perwira Tinggi di
samping si kakek.
“Orang-orang
hebat dari Kotaraja!” ujar Elang Setan setengah berseru. Mulutnya
menyunggingkan seringai buruk. “Aku tidak mengundang kalian minum-minum ataupun
bersenang-senang. Kalau mau minum silahkan saja, tapi bayar sendiri!”
Kakek
berjubah kuning yaitu Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning Bertongkat
Besi tertawa lebar.
“Jangan
takut,” katanya. “Kami cukup banyak membawa uang. Katakan saja kau mau minum
apa mau makan apa. Kami membayar semuanya!”
“Ah,
kalian orang-orang kaya rupanya. Kalian muncul membawa keberuntungan bagiku.
Katakan apa mau kalian?” bertanya Elang Setan.
Perwira
Tinggi Kerajaan menjawab. “Kita minum saja dulu. Nanti masih banyak waktu untuk
bicara…” ucapan ini membuat Elang Setan jadi naik darah karena merasa
diremehkan. Dia hendak mendamprat dengan kata-kata kotor. Namun saat itu
pemilik warung muncul membawa sebuah teko besar serta tiga buah cangkir. Tiga
cangkir diletakkan masing-masing di hadapan tiga tamu. Lalu kopi hangat dalam
teko dituangkannya satu-persatu ke dalam tiga cangkir.
“Selera
minumku tiba-tiba saja lenyap!” kata Elang Setan. “Silahkan kalian minum
berdua!”
Perwira
Tinggi yang duduk tepat di hadapan Elang Setan tersenyum. “Kami tidak memaksa
kalau kau tak mau minum. Cuma sayang, mungkin ini kali terakhir menikmati kopi
seenak ini. Mengapa disia-siakan?”
Sepasang
mata gembung merah Elang Setan mendelik. Dari tenggorokannya keluar sura
menggembor.
“Perwira
tinggi! Apa maksudmu dengan ucapan tadi?!” membentak Elang Setan.
“Ketahuilah
kami datang membawa tugas untuk menangkapmu hidup-hidup ataupun mati! Sayang
temanmu yang bergelar Tiga Bayangan Setan itu tidak bersamamu. Kalau dia ada,
rejeki kami tentu lebih besar!” yang bicara adalah si kakek bermuka cekung
Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Kuning. Elang Setan tertawa lebar. Cairan
yang membasahi kelopak matanya menetes dan bergulir di kedua pipinya membuat
Perwira Tinggi dan kakek berjubah kuning merasa jijik.
“Kopi
sudah terhidang! Mengapa tidak diteguk? Apa mau menunggu sampai dingin atau
takut aku telah menyuruh orang memasukkan racun ?!”
“Mana
enak minum kopi hangat kalau tidak ditemani lawan bicara,” menjawab Perwira
Tinggi.
Elang
Setan kembali tertawa. “Kalau kalian memaksa aku rasa-rasa sungkan menolak.
Baiklah, aku minum duluan…”
Tubagus
Kasatama dan si Perwira Tinggi melihat Elang Setan ulurkan tangan kanannya yang
berbentuk cakar. Mereka menyangka orang ini akan memegang cangkir kopi dan
meneguk isinya. Ternyata Elang Setan cuma celupkan jari telunjuknya yang
berkuku panjang ke dalam cangkir. Kopi hangat dalam cangkir kelihatan beriak
lalu terdengan suara mendesis.
Baik
Tubagus Kasatama maupun si Perwira Tinggi sama-sama menyembunyikan kekagetan
mereka ketika melihat bagaimana kopi dalam cangkir laksana disedot
perlahanlahan habis hingga akhirnya cangkir tanah itu kosong!
“Enaknya
kopi di warung ini…” kata Elang Setan sambil menggeliat. “Biar kuisi lagi
cangkirku.”
Tubagus
Kasatama dan si Perwira Tinggi mengira Elang Setan akan menuangkan kopi di teko
ke dalam cangkir. Tapi yang dilakukan Elang Setan kalau tadi dia mencelupkan
jari telunjuk kanannya maka kini dia memasukkan ujung tangan kirinya ke dalam
cangkir. Terdengar suara mendesis disusul suara benda cair mengucur. Ketika
Tubagus Kasatama dan sang Perwira melihat ke dalam cangkir ternyata sedikit
demi sedikit cangkir itu terisi kopi hangat yang mengepulkan asap berbau harum!
Baik Tubagus Kasatama maupun Perwira Tinggi dari Kartosuro itu sama-sama
memaklumi hanya orang memiliki kepandaian tinggi sekali yang mampu melakukan
seperti apa yang diperbuat Elang Setan. Maka keduanya serta merta mempertinggi
kewaspadaan.
“Aku
telah meneguk kopiku. Jika kalian tidak mau minum sebaiknya angkat kaki saja
dari warung ini. Tunggu aku di luar sana jika kalian memang punya urusan…”
Perwira Tinggi dan Tubagus Kasatama saling pandang.
“Orang
sudah menawarkan. Rasanya tidak sopan kalau tidak memenuhi…” kata Tubagus
Kasatama pula. Sang Perwira tersenyum dan anggukkan kepala. Kedua orang ini
lantas memandang lekat-lekat pada cangkir kopi di hadapan mereka. Tidak
menunggu lama. Tiba-tiba dua cangkir itu naik ke atas, perlahan-lahan melayang
ke muka si kakek berjubah kuning dan Perwira di sebelahnya. Luar biasa! Jelas
dua orang ini memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan Elang Setan. Ketika
cangkir hanya tinggal seujung jari dari mulut mereka, kedua orang ini segera
membuka mulut siap untuk meneguk kopi dalam cangkir. Namun tanpa setahu mereka
di bawah kolong Elang Setan kepalkan jarijari kedua tangannya yang berbentuk
cakar. Terjadilah hal yang tidak diduga oleh dua orang dihadapannya. Gerakan
cangkir yang mendekati mulut serta merta terhenti.
Tubagus
Kasatama dan sang Perwira Tinggi segera maklum kalau orang pergunakan kekuatan
untuk membendung tenaga dalam mereka yang dikerahkan untuk mengangkat cangkir.
Keduanya lipat gandakan tenaga dalam masing-masing. Cangkir kelihatan seperti
hendak bergerak lagi tapi kembali tertahan begitu di bawah meja Elang Setan
kepalkan dua tangannya lebih kencang. Terjadi adu kekuatan tenaga dalam yang
hebat. Walau digempur dua lawan ternyata Elang Setan sanggup bertahan bahkan
menghantam.
Bahu
Tubagus Kasatama dan Perwira Tinggi itu kelihatan bergetar, mula-mula perlahan
lalu berubah tambah keras. Meski sadar kalau mereka tidak sanggup bertahan
namun untuk menyerah begitu saja tentu saja keduanya merasa malu. Lebih baik
terluka di dalam daripada menyerah!
Di bawah
meja tiba-tiba Elang Setan buka kepalan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu
tubuh Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi terhempas ke belakang. Sebelum itu
dua cangkir yang menggantung di udara pecah berantakan. Pecahan cangkir dan
kopi muncrat membasahi pakaian mereka. Sebagai orang persilatan cabang atas
meskipun sudah kena dihantam lawan, sebelum jatuh jungkir balik dari atas kursi
Tubagus Kasatama dan si Perwira Tinggi cepat melesat ke atas. Sambil selamatkan
diri dua orang ini saling berikan isyarat. Karenanya begitu melayang turun
mereka langsung menyerang Elang Setan!
Kakek
berjubah kuning menghantam dengan mengebutkan lengan jubah sebelah kanan. Sang
Perwira melepaskan tendangan ke dada Elang Setan. Dua serangan ini datangnya
laksanan kilat. Tapi yang diserang tenang saja. Sesaat lagi angin pukulan
dahsyat dan tendangan akan mengenai sasaran baru dia membuat gerakan. Dua cakar
elang membabat ke depan. Cahaya hitam dan merah bertabur di udara.
“Awas!
Cakar beracun!” teriak Tubagus Kasatama memberi ingat.
“Wutttt!
Wutttt”
“Breettt!”
******************
TIGA
PERWIRA
Tinggi kerajaan itu merasa seolah nyawanya terbang ketika cakar kiri Elang
Setan merobek ujung celananya sebelah kanan. Keringat dingin memercik di
keningnya. Untung hanya pakaiannya yang disambar robek. Kalau sampai daging
atau kulit kakinya kena dicakar pasti cidera berat akan menimpa dirinya karena
dia tahu betul kuku-kuku hitam cakar setan itu mengandung racun teramat jahat!
Elang
Setan tertawa mengekeh. Enak saja dia kemudian dudukkan diri di kursi.
Mengambil teko di atas meja lalu gluk-gluk-gluk! Dengan lahap dia meneguk kopi
hangat langsung dari teko hingga mulutnya berlepotan. Ketika Tubagus Kasatama
dan si Perwira Tinggi tegak di seberang meja dengan paras berubah, Elang Setan
menyeringai. Dia seka mulutnya dengan cakar tangan kiri. Dia putar kepalanya
pada Perwira Tinggi di sebelah kiri. Di antara dua lawan yang dihadapinya dia
bisa menduga bahwa yang satu ini memiliki ilmu lebih rendah dari pada kakek
berjubah kuning. Maka diapun menggertak membuat patah semangat lawan. “Apa kau
pernah melihat merahnya jantungmu sendiri?”
Sang
Perwira mendengus. “Mulutmu terlalu besar! Aku mau lihat apa kau masih bisa
bicara kalau nanti tubuhmu kusuruh kuliti lalu digarang dengan panas?”
Elang
Setan tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap lalu tiba-tiba sekali dua
tangannya melesat ke depan.
“Awas
serangan!” teriak Tubagus Kasatama. Dia tahu betul, sekali Elang Setan
melancarkan serangan cakar setannya jarang lawan bisa selamat. Sambil berteriak
kakek ini gerakkan tangan kanannya ke punggung jubah.
Saat itu
tangan kiri Elang Setan menyambar melewati meja ke arah leher Perwira Tinggi
sementara tangan kanannya melesat lurus ke arah dada tepat di bagian jantung!
Jelas dia memang hendak berusaha menjebol dada dan membetot jantung lawannya!
Satu deru keras terdengar disertai membesetnya sinar hitam legam. Elang Setan
tersirap kaget ketika dirasakannya ada benda keras menindih dua lengannya. Dia
cepat menarik serangan tapi benda keras itu lebih cepat datangnya dan
“braaakk!”
Dua
lengan Elang Setan terhempas ke atas meja, ditindih keras oleh sebatang tongkat
besi yang salah satu ujungnya berbentuk runcing dn satunya lagi berupa
lingkaran pipih dengan pinggir setajam pisau! Inilah tongkat besi bernama “Wesi
Ketaton” yang merupakan senjata mustika andalan kakek berjuluk Dewa Berjubah
Kuning Bertongkat Besi.
“Kurang
ajar!” maki Elang Setan. Dia kerahkan tenaga dan tarik kedua tangannya. Tapi
tidak seperti diduganya, dia ternyata tidak mampu melepaskan tindihan tongkat
besi pada kedua lengannya. Malah tekanan tongkat semakin keras. Selagi dia
berkutat membebaskan dua lengannya dari samping Perwira Tinggi Kerajaan
menyergap dengan dua pukulan keras, satu ke dada, satu ke kepala Elang Setan.
Elang
Setan meraung keras. Kalau saja dua lengannya tidak terjepit Wesi Ketaton
niscaya dua hantaman dahsyat tadi akan membuat tubuhnya mental. Pipi kirinya
tampak menggembung merah kena hajaran. Darah Elang Setan mendidih. Dengan lutut
kanannya dia hantam papan meja hingga hancur berantakan. Hancurnya papan meja
membuat lepas jepitan tongkat besi kakek berjubah kuning pada dua lengan. Sadar
kalau dua tangan lawan yang sangat berbahaya itu kini lepas bebas Tubagus
Kasatama segera lancarkan serangan. Tongkatnya lenyap berubah menjadi gulungan
dan sambaran sinar hitam.
Perwira
Tinggi Kerajaan tak tinggal diam. Dia segera pula lancarkan serangan berupa
pukulan-pukulan tangan kosong mengandung aji dan tenaga dalam tinggi. Elang
Setan terkurung rapat. Sulit baginya untuk meloloskan diri. Dari ganasnya
serangan dua orang itu jelas mereka tidak perduli apakah Elang Setan bisa
diringkus hidup-hidup atau dalam keadaan jadi mayat!
Meski
tenggelam dalam serangan-serangan mematikan Elang Setan bersikap tenang bahkan
untuk beberapa jurus di masih melayani gempuran dua lawan dengan masih duduk di
kursi kayu!
“Manusia
setan ini benar-benar luar biasa!” membatin Tubagus Kasatama. Dia membentak
keras lalu tongkat besinya diputar demikian rupa hingga warung itu seolah
dilanda badai.
“Dewa
Berjubah Kuning! Apa ini ilmu andalanmu yang terakhir?” seru Elang Setan
mengejek.
“Bukan
terakhir bagiku tapi terakhir bagi jalan nafasmu!” balas berteriak Dewa
Berjubah Kuning. Ujung bulat tongkat Wesi Ketaton membabat ke arah leher Elang
Setan didahului sambaran hawa dingin mengidikkan, “Putus lehermu!” teriak si
kakek.
“Hancur
tongkatmu!” balas Elang Setan. Tangan kanannya mencelat ke atas. Bukan saja
untuk melindungi lehernya tapi sekaligus menangkap bagian tongkat di bawah
lingkaran pipih. Begitu tertangkap pergelangan tangannya segera diputar. Sekali
putar tongkat besi itu pasti akan patah! Tapi Elang Setan kecele. Tongkat lawan
ternyata benarbenar senjata sakti mandraguna! Elang Setan tidak hilang akal.
Sadar senjata lawan tak bisa dipatahkan atau dihancurkannya maka dia tarik
kuat-kuat tongkat itu. Karena Tubagus Kasatama tak ingin senjatanya dirampas
orang dan berusaha mempertahankan, tak ampun tubuhnya ikut tertarik ke depan.
Pada saat itulah kaki kanan Elang Setan melesat ke depan.
“Bukkk!”
Tubagus
Kasatama merasa perutnya seperti pecah. Jeritan keras keluar dari mulutnya.
Tongkat terlepas dari tangan dan tubuhnya terpental dua tombak. Baru saja kedua
kakinya menginjak lantai warung dan masih dalam keadaan terhuyung-huyung lawan
datang menyergap. Elang Setan membuat gerakan aneh. Kedua tangannya
dikembangkan ke samping laksana sayap elang raksasa. Bersamaan dengan itu
tubuhnya berputar sebat.
“Craasss!”
Tangan
kanan Tubagus Kastma yang terkembang karena berusaha mengimbangi diri putus
laksana dibabat senjata tajam. Orang tua ini terpekik. Belum habis pekiknya
tangan kiri Elang Setan ganti menghantam.
“Craasss!”
Kali ini
cakar maut Elang Setan merobek pangkal leher dan dada si orang tua. Darah
membasahi jubah kuningnya. Meski tangan kanan putus dan leher serta dada luka
parah manusia berjuluk Dewa Berjubah Kuning ini masih tetap berdiri bahkan
berusaha melompati lawan sambil hantamkan tangan kirinya. Selarik sinar kuning
menggebubu menghantam Elang Setan, membuat kedua kakinya terangkat ke atas.
Elang Setan membentak keras. Dia cepat melompat sampai dua tombak. Begitu
menukik tangan kirinya menyambar.
“Craassss!”
Dada kiri
Dewa Berjubah Kuning jebol. Jeritan si orang tua setinggi langit mengerikan.
Meski sadar kalau dia tidak akan lolos dari kematin karena jantungnya sudah
kena cengkeram lawan namun dengan tangan kirinya dia masih berusaha balas
menghantam dan berhasil!
Dua sosok
tubuh terbanting dan terkapar di lantai warung. Yang pertama sosok Dewa
Berjubah Kuning yang tak berkutik lagi, menemui ajal secara mengerikan karena
jantungnya tak ada lagi dalam rongga dada kirinya! Tak jauh dari mayat si kakek
menggeletak Elang Setan. Tangan kanannya memegangi perutnya yang terkena
jotosan lawan sedang tangan kirinya pegangi benda merah berdenyut-denyut.
Itulah jantung Dewa Berjubah Kuning!
Pemilik
wrung kopi dan semua pelayan sama menggigil saking ngeri dan ketakutan setengah
mati melihat kejadian itu. Lain halnya dengan Perwira Tinggi Kerajaan. Begitu
melihat si orang tua menemui ajal dia cepat mengambil tongkat Wesi Ketaton.
Dengan senjata ini dia menyerbu Elang Setan yang saat itu tengah berusaha
bangkit membelakanginya. Bagian runcing tongkat ditusukkannya ke balok kepala
Elang Setan.
Bagaimanapun
tingginya ilmu Elang Setan namun dia masih belum sehebat kawannya Tiga Bayangan
Setan yang tak mempan pukulan sakti dan kebal senjata tajam. Tusukan tongkat
Wesi Ketaton pada batok kepalanya akan membunuhnya seketika. Karena saat itu
serangan datang dari belakang sekalipun. Elang Setan cepat mengetahui dan
sempat mengelak namun keadaannya sudah sangat terlambat.
Hanya
sekejapan mata lagi tongkat Wesi Ketaton akan amblas menusuk batok kepala Elang
Setan tiba-tiba dari pintu warung melesat sosok berjubah hitam. Mendahului
sosok ini terlihat ada tiga bayangan hitam. Bayangan-bayangan ini berupa
manusia bertelanjang dada penuh bulu berkepala berbentuk raksasa berambut
panjang riap-riapan serta taring mencuat, memiliki sepasang mata besar merah.
Tiga bayangan ini seolah keluar dari kepala orang berjubah hitam itu. Bayangan yang
di tengah melesat paling cepat ke arah Perwira Tinggi yang tengah menghunjamkan
tombak maut ke kepala Elang Setan. Makhluk berkepala raksasa ini angkat tangan
kanannya tinggi-tinggi lalu menghantam.
“Praaak!”
Perwira
Tinggi Kerajaan itu tak pernah tahu siapa atau apa yang membunuhnya. Tubuhnya
terhempas ke lantai warung dengan kepala pecah.
“Syukur
kau datang menolongku. Kalau tidak…” kata Elang Setan pada si jubah hitam yang
bukan lain adalah sobatnya si Tiga Bayangan Setan. Sesaat dia tegak sambil pegangi
perutnya yang masih terasa sakit.
“Kau
masih mau minum kopi?!” ejek Tiga Bayangan Setan.
Elang
Setan hanya bisa menyeringai.
“Hampir
saja kau minum kopi di akhirat!” ujar Tiga Bayangan Setan tandas. Dia memutar
tubuh. Sebelum melangkah ke pintu di berkata pada Elang Setan. “Ambil tongkat
besi hitam itu. Itu bukan senjata sembarangan. Pasti ada gunanya bagi kita!”
******************
EMPAT
HUJAN turun
lebat bukan alang kepalang seolah langit di atas sana terbelah. Satu bayangan
putih berkelebat dalam kegelapan malam. Dia tengah berusaha mencari tempat
berteduh. Dari mulutnya, terdengar suara bergemeletakkan akibat gigil
kedinginan. Tapi dari mulut itu juga berulang kali keluar makian kesal. “Hujan
sialan!”
Dalam
keadaan kuyup tubuh dan pakaian orang ini tiba-tiba melihat ada satu nyala api
di kejauhan. Menyangka itu adalah nyala lampu minyak rumah penduduk tanpa pikir
panjang dia segera berlari ke arah sana. Ternyata nyala api itu bukan lampu
minyak tanah melainkan nyala api sebuah obor yang bergoyang-goyang diterpa
angin keras. Obor ini terikat pada tiang bambu sebuah gubuk tanpa dinding yang
atapnya bocor disana sini. Di tengah gubuk berlantai tanah dan becek itu
melintang batangan pohon. Orang yang mencari tempat berteduh ini terperangah
ketika dilihatnya di atas batang kayu itu duduk terkantuk-kantuk seorang tua.
Sepasang matanya sebentar terbuka sebentar terpejam. Rambutnya yang awut-awutan
sebagian telah basah oleh air hujan yang menetes jauh dari atap bocor, begitu
juga jubah hitamnya. Meski kebocoran seperti itu tapi orang ini tidak berusaha
untuk bergeser atau berpindah duduk.
“Orang
tua aneh, tak bisa kutebak apa dia lelaki atau perempuan,” kata orang yang baru
datang. Dia sendiri terpaksa berpindah tempat beberapa kali agar terhindar dari
kebocoran air hujan. “Berjubah hitam, tangan dan kaki tidak kelihatan.
Bagaimana aku harus menegurnya. Biar aku mendehem saja….” Berfikir begitu orang
ini lalu mendehem beberapa kali. Yang didehemi tidak memberi reaksi apa-apa.
Kedua matanya masih terus membuka dan memejam sedang bahu dan kepalanya
terayun-ayun.
“Aku
yakin dia belum tidur. Tapi mengapa tidak mendengar aku mendehem. Mungkin tuli,
bisa juga gagu….” Orang ini lalu berputar beberapa kali mengelilingi orang tua
yang duduk di atas batang pohon. “Waktu matanya terbuka, dia pasti melihat aku.
Nyala api obor cukup terang. Tapi dia masih diam saja. Apa selain tuli dan gagu
dia juga buta?! Aku tidak percaya! Kalau kutegur paksa mungkin dia marah.
Manusia macam begini kelakuannya bisa aneh-aneh.” Orang ini memutar otaknya
lalu senyum-senyum sendiri. Dari mulutnya kini terdengar suara siulan halus.
Lalu mulutnya berucap.
“Uh…
dingin-dingin begini perut rasanya lapar sekali. Untung masih ada persediaan
ubi rebus. Masih hangat lagi…. Hemm…. Enaknya kumakan saja sekarang juga….”
Sambil berkata begitu orang ini mengeruk ke balik pakaiannya mengambil sesuatu.
“Nah ini di…. Ubi rebus. Hangat asyik…. Pengganjal perut yang lapar. Biar
kukupas dulu kulitnya. Hemm… pasti enak…. Aduh besarnya ubi ini. Rasa-rasanya
tak habis kalau aku makan sendiri…!” Sambil berkata begitu dia melirik ke
samping lalu menyengir ketika melihat orang tua di atas batang kayu memutar
kepalanya sedikit sedang kedua matanya dibuka. Bibirnya berkomat-kamit berulang
kali.
“Nah,
nah… Jadi sampean rupanya tidak tuli dan tidak buta. Buktinya sampean palingkan
kepala mencari ubiku! Ha… ha…. Ha! Apakah sampean juga gagu-bisu? Kurasa tidak
‘kan?!”
Dua mata
orang tua itu tampak membesar berkilat-kilat. Tampangnya yang penuh kerut
merengut tanda dia sadar kalau sudah kena ditipu orang. Ternyata dia memang
tidak gagu karena saat itu juga suara bentakannya menggeledek.
“Gubuk
ini milik nenek moyangku! Diwariskan pada bapak moyangku! Bapak moyangku
mewariskan pada diriku! Orang muda, jangan berani macam-macam! Lekas angkat
kaki dari sini!”
Sesaat
orang di hadapan si orang tua terperangah kaget. Bukan saja karena ucapan orang
tua itu tapi juga karena tidak mampu memastikan dari suara orang apakah dia
lakilaki atau perempuan. “Jelas dia punya kepandaian merubah suara!” berkata
dia dalam hati. Lalu dalam hati juga dia mengomel. “Perduli setan ini gubuk
warisan siapa!” Lalu pada orang tua itu dia berkata. “Ah, benar rupanya.
Ternyata kau tidak gagu. Kau marah tidak kubagi ubi rebus?! Lihat sendiri! Mana
ada ubi rebus! Aku hanya mendustaimu! Orang itu membuka ke dua tangannya
lebar-lebar sambil terus tertawa.
“Kurang
ajar betul dirimu! Pertama kau masuk ke gubukku tanpa permisi. Kedua kau
menipuku seolah punya ubi rebus hingga menganggu kantukku! Lekas bilang siapa
dirimu yang berani mencari mati?!”
“Walah,
masakan numpang berteduh dan tertipu ubi saja balasannya sampai mati segala?!”
“Aku
bertanya siapa dirimu anak setan kurang ajar?!”
Yang
ditanya kembali garuk-garuk kepala tapi menjawab juga. “Aku Wiro…”
“Hemm…
ternyata namamu jelek. Kelakuanmu lebih jelek lagi, sejelek tampangmu!” Orang
tua di atas batang kayu mendengus. “Aku muak melihatmu! Menyingkir dari
hadapanku!” Habis berkata begitu orang tua ini lalu kibaskan lengan jubah
sebelah kiri.
“Wutttt!”
“Hai!
Kenapa kau menghantamku?!” teriak pemuda di hadapan si orang tua yang bukan
lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Makan
ubimu!” teriak orang tua itu sambil putar pergelangan tangan kirinya.
“Astaga!”
Waktu
tadi lengan jubah mengebut satu gelombang angin mengeluarkan hawa dingin
menderu, membabat ke arah perut Pendekar 212. Dia cepat menyingkir. Namun
putaran tangan kiri yang dilakukan orang tua membuat gelombang angin berputar
aneh. Wiro merasa seolah ada tangan besar dan kuat yang tak kelihatan
menelikung pinggangnya. Dia menghantam ke bawah dengan tangan kanan. Namun yang
dipukulnya hanya udara kosong. Di saat yang bersamaan tahu-tahu tubuhnya
terangkat ke atas lalu “brak!” Tubuh Wiro terbanting jatuh punggung ke tanah
becek. Selgi Wiro terhenyak kesakitan orang tua di atas batang kayu tertawa
gelak-gelak.
“Sudah
kau makan ubi rebusmu? Enak ya? Ha… ha… ha…!”
Perlahan-lahan
Wiro bangkit berdiri. Pakaiannya basah dan kotor penuh tanah. Dia tak bisa
menerka apakah orang tua tak dikenal itu punya maksud jahat atau tidak. “Orang
aneh seperti yang satu ini tak perlu diladeni. Lebih baik aku menyingkir saja
dari sini. Lagi pula hujan mulai reda…” Wiro lalu keluar dari gubuk bocor itu.
Namun baru melangkah dua kali si orang tua tiba-tiba berseru.
“Hai! Kau
sudah memakai gubukku untuk berteduh! Mana bayarannya!”
“Tua
bangka brengsek!” maki murid Sinto Gendeng. Dia balikkan tubuh lalu menyahuti.
“Gubukmu bocor besar. Tak ada gunanya berteduh! Cukup aku membayar dengan
ucapan terima kasih saja!” Lalu tanpa perduli lagi Wiro lanjutkan langkahnya.
Pada saat itulah mendadak di belakangnya terdengan suara menderu. Ada sesuatu
melesat di udara, melayang ke arahnya! Cepat Wiro berpaling dan jadi sangat
terkejut ketika menyaksikan batangan kayu besar yang tadi diduduki si orang tua
melayang di udara setinggi kepala, siap menghantamnya.
Pendekar
212 rundukkan kepala sambil kerahkan pukulan sakti “kunyuk melempar buah” lalu
menghantam.
“Braakkk!”
Batang
kayu mental dan hancur berkeping-keping. Terdengar suara tawa mengekeh. Orang
tua berjubah hitam itu tegak beberapa langkah di hadapan Wiro, masih dibawah
atap gubuk. Sambil bertolak pinggang dia berkata. “Berteduh tidak minta
permisi. Pergi tidak mau membayar! Batangan kayu kursi dan tempat ketiduranku
malah kau hancurkan! Kelakuanmu sudah keterlaluan!”
“Orang
tua, jika aku salah harap maafkan!”
Mendengar
ucapan Wiro orang tua itu kembali tertawa.
“Gampang
betul mulutmu minta maaf! Pernahkah mulutmu itu makan manisan api?!”
“Manisan
api…? Eh, apa maksudmu?! Tanya Wiro. Selagi dia keheranan orang di hadapannya
menyambar obor yang terikat di tiang gubuk. Lalu “wusss… wusss… wusss!”
Dengan
obor itu dia menyerang Wiro. Gerakannya cepat sekali. Serangan pertama yang
hampir membakar mukanya berhasil dielakkan oleh Wiro, begitu juga serangan
kedua ke arah perut. Tapi serangan berikutnya tak bisa dikelit. Dada baju
putihnya terkena sambaran obor, langsung terbakar. Cepat Wiro tepuk-tepukkan
tangan matikan obor, membuat murid Sinto Gendeng tak bisa berdiam diri lagi.
Sambil mengelak dia balas menyerang. Dia berusaha membuat gerakan melebihi
kecepatan lawan. Mula-mula Wiro memang bisa mendesak namun beberpa jurus
kemudian lawan bukan saja mementahkan jurus-jurus silatnya malah serangan
obornya sempat membakar tubuh dan sesekali menyambar pipi kanannya hingga
pemuda ini mengerenyit menahan sakit!
Tidak
terasa dua puluh jurus berlalu cepat. Wiro semakin terdesak. Satu kali ketika
obor menusuk ke arah perutnya murid Sinto Gendeng melompat ke kiri. Dia sengaja
memukul dan menymbar tiang bambu penyanggah atap gubuk terdekat. Gubuk reot itu
miring hampir roboh. Wiro melesat ke luar gubuk dan menunggu sambil melintangkan
bambu di depan dada siap menghadapi lawan. Karena bambu yang dipegangnya lebih
panjang dari obor di tangan lawan, Wiro menyangka dia kini akan lebih mudah
menghadapi serangan. Tapi satu hal yang mengejutkan terjadi begitu dia coba
menusuk dengan bambu itu.
Lawan
menyambuti serangannya. Menangkis dengan obor. Bagian atas obor sesaat menempel
di ujung bambu. Bambu itu serta merta terbakar. Orang tua mundur selangkah.
Sambil menyeringai dia meniup ke depan.
“Wusss!”
Api yang
membakar ujung bambu, seperti bola tiba-tiba menggelinding sepanjang bambu dan
menyambar ke arah tangan dan muka Pendekar 212!
“Gila!”
teriak murid Sinto Gendeng sambil melompat mundur dan cepat lepaskan bambu yang
dipegangnya tapi masih terlambat. Gelundungan bola api menyambar ke arah mukanya.
Wiro menunduk.
“Wusss!”
Kain
putih pengikat kepalanya dan sebagian rambutnya di atas telinga kiri masih
sempat terbakar. Daun telinganya terasa panas sakit bukan main.
“Orang
tidak main-main. Dia punya maksud untuk mencelakaiku. Bukan mustahil kehadirannya
di tempat ini memang sengaja menghadangku!”
Berfikir
sampai di situ Wiro segera mendahului menyerang. Si orang tua sambut dengan
putaran obor.
“Lihat
serangan!” teriak murid Sinto Gendeng
Lawan
tertawa tergelak. “Serangan apa?! Aku tidak melihat serangan apa-apa. Yang
kulihat kau menari tak karuan seperti monyet terbakar buntut!”
Menerima
ejekan itu Pendekar 212 jadi penasaran sekali. Dia segera keluarkan jurus-jurus
ilmu silat terhebatnya. Serangan dibuka dengan jurus “orang gila mengebut
lalat” yang membuat obor di tangan lawan bergoyang keras tapi tak bisa dibuat
mental bahkan padampun tidak. Melihat ini murid Sinto Gendeng susul dengan
jurus serta pukulan sakti bernama “angin puyuh”. Sebelumnya jarang Wiro
mengeluarkan ilmu pukulan ini. Di malam yang gelap angin pukulannya
mengeluarkan suara menderu keras. Gubuk reyot berderak-derak. Dihadapannya si
orang tua kelihatan tertegun. Jubah hitamnya berkibar-kibar dan kedua kakinya
terangkat ke atas.
“Huh!
Ilmumu cukup bagus untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek si orang tua.
Dia
angkat tangan kirinya dengan telunjuk mengacung lurus ke atas. Seperti tersedot
angin pukulan sakti Pendekar 212 sedikit demi sedikit amblas masuk ke dalam
jari! Meski terkejut bukan kepalang namun sadar kalau dia tidak boleh memberi
kesempatan. Didahului dengan jurus “ular naga menggelung bukit” Wiro kembali
lancarkan serangan. Kaki kanannya melesat. Ini merupakan serangan tipuan karena
begitu orang bergerak menghindar tubuh Wiro melesat ke depan dengan dua tangan
terpentang, menyambar laksana kilat ke leher lawan! Ini satu serangan sangat
berbahaya. Tapi si orang tua sambut serangan itu dengan tawa bergelak lalu
secepat kilat dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melenting ke belakang tapi
kedua kakinya tidak bergeser dari kedudukan semula. Begitu dua tangan Wiro
menyambar dia tusukkan obor ke arah perut Wiro sedang tangan kiri menjotos ke
dada!
“Ah! Wiro
keluarkan seruan tertahan. Dia tak habis pikir. Serangannya tadi dengan gerakan
cepat luar biasa, tapi lawan mementahkannya begitu mudah. Sambil kertakkan
rahang murid Sinto Gendeng bergerak ke samping lalu tiba-tiba sekali dia
membalik lancarkan jurus serangan bernama “di balik gunung memukul halilintar”.
Dua lengannya berputar laksana baling-baling. Menghantam ke arah lawan. Salah
satu dari lengan itu tidak dapat tidak pasti akan mendarat di tubuh lawan. Tapi
apa lacur. Tiba-tiba sekali orang tua berjubah hitam melesat ke udara sambil
menotokkan obornya ke batok kepala Wiro! Wiro sadar bahaya maut yang
mengancamnya. Dengan gerakan kilat dia menghindar dengan keluarkan jurus
“kepala naga menyusup awan”. Begitu obor lewat hanya seujung kuku di samping
kepalanya Wiro jatuhkan diri ke tanah, berguling dua kali. Pada gulingan ketiga
dia berbalik dan hantamkan tangan kanannya. Sinar terang benderang berkelebat
menyilaukan disertai menebarnya hawa panas. Murid Sinto Gendeng ternyata telah
lepaskan pukulan sakti “sinar matahari”.
Di
seberang sana di depan gubuk orang tua berjubah hitam keluarkan seruan keras.
Tubuhnya berkelebat lenyap sebelum pukulan maut itu menghantam dirinya. Pukulan
sinar matahari melabrak gubuk terus menghantam semak belukar dan pepohonan di
sekitarnya. Serta merta gubuk dan semak belukar tenggelam dalam kobaran api
sedang pohon-pohon hangus. Dari sini bisa dilihat bagaimana kehebatan pukulan
sakti yang dilepaskan murid Sinto Gendeng. Semua benda yang dilanda pukulan itu
terbakar padahal dalam keadaan basah akibat kehujanan! Namun apa gunanya semua
kehebatan itu kalau dia tidak mampu menghajar lawan! Wiro kertakkan rahang.
“Sialan!
Kemana lenyapnya manusia itu?” ujar Wiro dalam hati.
Di
belakangnya mendadak ada suara tawa mengekeh. Wiro berbalik cepat. Orang tua
berjubah hitam itu ternyata kini tegak hanya dua langkah saja di hadapannya! Di
tangan kanannya masih tergenggam bambu obor yang setengahnya berada dalam
keadaan hancur.
“Pukulanku
hanya mampu menghancurkan ujung obor….” membatin Wiro.
“Anak
muda, apa kau masih punya ilmu kepandaian lain yang hendak kau perlihatkan
padaku?!”
Ejekan
itu membuat panas telinga Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama. Didahului
dengan bentakan keras murid Sinto Gendeng menggebrak ke depan, lancarkan
serangan berupa jotosan kiri kanan mengandung tenaga dalam penuh!
“Traakk!”
Potongan
bambu obor di tangan orang tua berjubah hitam hancur berantakan sewaktu
dipergunakan untuk menangkis. Tinju kanan Wiro terus melesat menghantam dadanya
dengan telak. Selagi tubuh lawan terhuyung-huyung Wiro susul menyodokkan tinju
kirinya ke lambung. Tubuh orang tua itu terlipat ke depan. Secepat kilat Wiro
kembali menggebuk dengan tangan kanan. Kali ini yang di arahnya adalah muka
lawan. Hantamannya mendarat tepat di kening orang tua itu hingga tubuhnya
terjengkang di tanah.!
“Gila!
Tiga pukulanku menghantamnya telak! Dia tidak cidera sedikitpun! Malah menyeringai!”
Selagi
Wiro terheran-heran, dengan satu gerakan aneh tubuh yang terjengkang di tanah
itu tiba-tiba melenting ke udara. Tahu-tahu sepasang kakinya telah menjapit
leher Wiro. Bau pesing! Itu yang tercium oleh Wiro. Dia berusaha menjotos tubuh
lawan sambil mencoba melepaskan lehernya dari japitan sepasang kaki. Namun
terlambat. Tubuh si orang tua berputar ke kanan. Akibatnya Wiro ikut terpuntir
keras dan terbanting ke tanah. “Uh…! Benar-benar edan. Copot kepalaku!” keluh
Pendekar 212. Untuk beberapa saat dia hanya bisa terkapar diam di tanah.
Kepalanya mendenyut sakit. Lehernya seperti putus dan pemandangannya
berkunang-kunang. Pada saat itulah lawan mendatangi, mencekal leher bajunya.
Tangan kiri menarik tubuhnya ke atas, tangan kanan memukul!
“Bukkk!”
Pendekar
212 merasa kepalanya seperti meledak. Setelah itu segala sesuatunya menghitam
gelap. Dia roboh meliuk di tanah becek. Di hadapannya orang tua berjubah hitam
menyeringai, lalu meludah ke tanah. Ludah itu bercampur darah. Ternyata
pukulan-pukulan yang dilepaskan Wiro tadi ada yang membuat cidera tubuhnya di
bagian dalam. Orang tua ini agaknya menyadari hal itu karena sambil melangkah
pergi dia berulang kali mengusap dadanya sambil salurkan tenaga dalam. Ketika
Wiro sadar dari pingsannya hari telah terang. Matahari pagi yang menerobos
lewat daun-daun pepohonan menyilaukan matanya. Jangankan bergerak, membuka
kedua matanya saja terasa sakit. Lehernya seolah patah. Menelan ludah saja
rasanya sakit bukan main. Dadanya juga mendenyut sakit, mungkin ada tulang iganya
yang cidera. Lalu daun telinga kirinya masih terasa panas akibat sambaran api
obor. Untuk beberapa lama Wiro hanya bisa terkapar tak bergerak di tanah yang
becek itu. Selang beberapa ketika setelah mencoba berulang kali akhirnya dia
mampu bangkit dan duduk menjelepok di tanah walau masih terhuyung-huyung.
Sehelai kertas yang tadinya terletak di dadanya jatuh ke pangkuan.
Perlahan-lahan
sepasang mata pemuda itu terbuka.
“Walah,
sudah siang rupanya. Uh… badanku serasa remuk!”
Pertama
sekali Wiro melihat semak belukar lebat dan pohon-pohon tumbuh rapat di
hadapannya. Dia menoleh ke kiri. Tampak bekas-bekas gubuk yang kini telah punah
dimakan api berasal dari pukulan sinar matahari yang dilepaskannya malam tadi.
“Orang
tua geblek berkepandaian tinggi itu, apa dia masih ada di tempat ini…?”
Wiro
bertanya-tanya sambil memandang berkeliling. “Aneh, kehadirannya malam tadi di
tempat ini seperti sengaja menungguku. Dia menghajarku setengah mati tapi tidak
membunuh! Sialnya aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan apa dia lelaki atau
perempuan saja aku tak bisa mengetahui! Apa yang harus kulakukan sekarang?
Lebih baik aku segera tinggalkan tempat celaka ini. Mencari mata air
membersihkan diri. Tenggorokanku serasa ditempeli besi panas. Haus sekali
rasanya….”
Wiro berusaha
bangkit. Pada saat itulah dia melihat lembaran kertas yang terletak di
pangkuannya.
“Eh, apa
pula ini? Hatinya bertanya-tanya. Dengan tangan kiri diambilnya kertas itu.
Ternyata di kertas yang lembab dan kotor itu ada serentetan tulisan. Walau
tulisan itu buruk sekali Wiro masih bisa membacanya. Permainan belum selesai.
Jika merasa penasaran silahkan datang ke puncak Merbabu.
“Pasti
tua bangka sialan itu yang membuat surat ini! Apa mau dia sebenarnya?! Lebih
baik tidak kuladeni orang gila itu….” Wiro terdiam sesaat. Berfikir-fikir. Lalu
di mulutnya tersungging seraut senyum. “Hemmm…. Mungkin ada baiknya aku
melayani tantangannya. Mungkin dia sendiri yang masih penasaran. Tapi kalau
betul mengapa dia tidak menghabisi diriku sekaligus malam tadi…?” Wiro
garuk-garuk kepala. “Ada satu keanehan. Ada sesuatu terselubung dibalik semua
kejadian ini…! Bisa baik tapi mungkin sekali bisa mencelakai diriku!”
******************
LIMA
BUKIT
kecil di sebelah timur Kartosuro itu masih terbungkus kegelapan dini hari. Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan hentikan kuda masing-masing.
“Sudah
tiga kali kita mengitari bukit ini! Jarot Ampel tidak kelihatan mata
hidungnya!” berkata Tiga Bayangan Setan.
Elang
Setan pencongkan mulut. Sambil letakkan tongkat besi milik Tubagus Kasatma yang
diambilnya dia balas berkata. “Memang aneh. Dia menyuruh kita datang. Tempat
kediamannya kosong. Dicari-cari tidak bertemu. Kurasa….” Elang Setan putuskan
ucapannya. Di sebelah tiba-tiba tampak sebuah benda terang melesat ke udara.
“Tiga Bayangan! Lihat!” Elang Setan menunjuk ke langit di sebelah barat.
“Ada yang
melempar benda terbakar ke udara! Jangan-jangan itu tanda isyarat dari guru!
Memberitahu di mana dia berada!”
“Kalau
begitu lekas kita menuju ke sana!” kata Elang Setan pula seraya menggebrak
kudanya. Tiga Bayangan Setan cepat mengikuti.
“Ada
nyala api di lereng bukit sebelah sana!” berseru Tiga Bayangan Setan. Elang
Setan berpaling ke arah yang ditunjuk. Memang betul ada nyala api disalah satu
lereng bukit. Nyala api itu kelihatan bergerak-gerak beberapa kali lalu padam.
“Kita
menuju ke sana!” ujar Elang Setan.
Dua orang
itu segera memacu kuda menaiki lereng bukit di mana tadi mereka melihat ada
nyala api. Naik ke atas sejauh mungkin seratus tombak disatu tempat dua orang
itu temukan tiga batangan kayu menancap di tanah. Pada ujung tiga kayu itu
masih terlihat nyala api yang telah meredup dan akhirnya padam.
“Ada
sesuatu di sebelah sana…” bisik Elang Setan lalu turun dari kuda diikuti oleh
Tiga Bayangan Setan. Keduanya melangkah mendekati sebuah benda yang muncul di
permukaan tanah miring lereng bukit.
“Sumur
batu….” desis Elang Setan begitu sampai di hadapan benda dalam kegelapan. Yang
ada di tempat itu memang sebuah sumur batu. Meskipun mulut sumur sangat lebar
namun ke dua orang itu tak dapat melihat apa yang ada dalam sumur karena sangat
gelap. Mereka juga tidak bisa menduga berapa kedalaman sumur itu.
“Aku
mendengar seperti ada desisan halus dari dalam sumur…” kata Elang Setan.
“Jangan-jangan
sumur ini sarang ular atau dihuni sejenis binatang buas!”
Tiga Bayangan
Setan pegang daun telinganya kiri kanan dan pasang pendengarannya. “Bukan ular,
tak ada binatang di dalam sana. Itu suara angin. Bisa terjadi karena dinding
sumur batu tidak rata…”
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang? Guru Jarot Ampel masih tidak kelihatan…!”
“Sebaiknya
kita tunggu sampai hari terang,” jawab Tiga Bayangan Setan.
Dari
dalam sumur gelap tiba-tiba ada suara aneh. Mula-mula jauh datangnya seolah
dari dasar sumur yang gelap, lalu semakin keras seperti naik ke atas.
“Tiga
Bayangan, kau dengar suara itu…? Jangan-jangan sumur ini dihuni setan hantu
belantara…!
“Kedengarannya
sepert suara orang membaca mantera!” bisik Tiga Bayanga Setan yang diam-diam
merasa tercekat tapi tetap tenang dan penuh waspada. Dia berbisik. “Siapkan
pukulan untuk menghantam jika bahaya tiba-tiba muncul…”
Suara
meracau seperti orang membaca mantera itu semakin keras, tambah keras lalu
tiba-tiba lenyap! Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling pandang. Selagi
mereka sama tercekat tiba-tiba ada suara mendesir. Dari dalam sumur muncul
sebuah benda. Ketika dua orang ini memperhatikan ternyata yang muncul adalah
satu kepala manusia berambut putih riapriapan. Lalu kelihatan satu wajah pucat
sangat tua, penuh keriputan. Sesaat kemudian menyusul kelihatan bagian dada,
perut dan pinggang. Di hadapan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan kini muncul
satu sosok kakek-kakek yang kemudian duduk berjuntai di bibir sumur batu
mengenakan jubah merah muda. Tubuhnya bungkuk dan bahunya naik pertanda orang
ini berusia tua sekali.
“Guru!”
seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan begitu mereka kenali siapa adanya
sosok yang barusan keluar dari dalam sumur itu. Keduanya segera jatuhkan diri
berlutut.
“Bagus!
Kalian datang dalam waktu tepat! Terlambat sedikit saja kalian tidak akan
menemuiku lagi!” kata orang tua di tepi sumur. Saat itu dari dalam sumur tampak
keluar kabut tipis hingga untuk beberapa lamanya orang tua itu antara kelihatan
dan tidak.
“Guru,
kami sudah datang! Mohon petunjuk gerangan apa maksudmu memanggil kami ke
tempat ini?” Elang Setan ajukan pertanyaan.
Orang tua
yang duduk di tepi sumur manggut-manggut. Perlahan-lahan dia angkat kedua
kakinya hingga kini di tepi sumur itu dia duduk bersila terbungkuk-bungkuk
seperti hendak rubuh jatuh masuk ke dalam sumur gelap.
“Waktu
kita memang tidak banyak. Aku bicara langsung-langsung saja. Seratus lima puluh
tahun lebih hidup di permukaan bumi. Lebih dari seratus dua puluh tahun malang
melintang menyandang gelar Iblis Tanpa Bayangan. Semakin tua usiaku semakin
kurasa hidup ini seolah tak ada ujungnya! Lebih dari tujuh puluh lima tahun aku
membawa beban yang tidak pernah diketahui oleh orang luar, termasuk kalian
berdua sebagai muridmuridku…”
Ketika si
orang tua bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan itu hentikan
ucapannya sesaat, Tiga Bayangan Setan beranikan diri membuka mulut.
“Guru,
kami tidak mau berlaku lancang. Tapi jika memang kau punya beban mengapa tidak
memberitahu kepada kami? Mungkin kami bisa membantu memperingan bebanmu?”
Jarot
Ampel gelengkan kepala. Wajahnya yang pucat keriput tampak redup.
Tenggorokannya turun naik. Lalu dia berkata. “Beban itu tidak dapat kuberikan
pada siapapun. Kalau kelak aku memberitahu maka saat itulah sampai ajalku!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan terkejut dan sama-sama saling pandang. Ketika
mereka berpaling pada orang tua itu, keduanya melihat si kakek membuka
pakaiannya di bagian dada hingga bagian depan tubuhnya yang bungkuk itu
tersingkap lebar. Pada dada orang tua ini kelihatan terikat sebuah benda yang
ketika diperhatikan ternyata adalah sebuah kitab tua. Demikian tuanya kitab ini
baik sampulnya yang berwarna hitam maupun bagian dalamnya tampak sudah gugus
lapuk dimakan usia.
“Guru….Kitab
apa yang terikat di dadamu?” tanya Tiga Bayangan Setan heran. Elang Setan tak
kalah herannya.
“Tujuh
puluh lima tahun lebih aku membawa kitab ini. Tak boleh ada orang yang tahu.
Tak boleh kulepas dari ikatannya, apalagi membaca dan mempelajari isinya!
Pernah satu kali aku mencoba melanggar pantangan, mencoba mengintip apa isi
kitab ini. Akibatnya aku diserang demam panas selama sepuluh minggu…!”
“Kalau
begitu pastilah kitab itu sebuah benda mustika sakti!” ujar Tiga Bayangan
Setan.
“Sakti
dia atas sakti! Bebanku berat sekali. Memiliki tapi tidak bisa mengambil
manfaat. Namun sekarang aku segera akan bebas dari semua beban….”
“Guru,
apa kau tidak tahu kitab apa itu adanya? Mengapa sampai kau dibebani harus
membawanya selama lebih dari separuh usiamu?” bertanya Elang Setan. Wajah Jarot
Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan kembali menjadi redup. Suaranya bergetar
ketika menyahuti pertanyaan muridnya.
“Menurut
orang yang memberikannya padaku kitab ini bernama Wasiat Iblis. Berisi
pelajaran ilmu kesaktian yang tidak ada duanya di dunia ini. Siapa memiliki dan
mengusasinya akan menjadi raja diraja dunia persilatan…!”
“Wasiat
Iblis!” seru Tiga Bayangan Setan. “Kami sudah pernah mendengarnya! Kalau
begitu…!”
Jarot
Ampel tersenyum, “Aku tahu apa yang ada dibenakmu Tiga Bayangan Setan. Kau dan
juga saudaramu itu tiba-tiba saja punya maksud ingin memiliki kitab ini.
Betul…?” Si orang tua gelengkan kepala. “Suratan mengatakan bahwa hanya ada
satu manusia yang boleh memiliki dan sekaligus mempelajari isinya. Manusia itu
akan datang sebelum seratus dari setelah kematianku…”
“Manusia
itu, siapa dia guru?” tanya Elang Setan.
“Aku
tidak tahu. Petunjuk hanya mengatakan bahwa orang itu seorang berkepandaian
sangat tinggi. Akan muncul seratus hari setelah aku mati…”
“Jadi
kitab itu akan menjadi milik orang lain. Lalu apa perlunya guru menyuruh kami
datang ke sini ?!” Pertanyaan Elang Setan bernada tidak enak.
“Jangan
kalian kecewa. Bagaimanapun juga kitab ini tidak berjodoh dengan salah satu
dari kalian. Suratan sudah menentukan demikian. Kalian kusuruh datang kemari
karena setelah aku mati kalian berdua harus menjaga sumur batu ini sampai saat
munculnya orang yang ditakdirkan berjodoh dengan Wasiat Iblis ini…”
“Bagaimana
kami tahu orangnya?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Kalian
tak sanggup mengalahkannya. Hanya itu saja petunjuk yang aku bisa berikan.”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan terdiam.
“Ada satu
hal lagi. Jika orang itu telah mendapatkan kitab Wasiat Iblis ini maka kalian
berdua ditakdirkan akan menjadi pembantunya!”
Paras
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan langsung berubah.
“Kalau
begitu apapun yang terjadi kami akan membunuhnya!” kata Elang Setan pula.
“Di alam
akhirat aku mendoakan agar kalian mampu melakukan hal itu,” jawab si orang tua
tersenyum tawar. Lalu dia menutup baju pakaiannya kembali. Kitab Wasiat Iblis
lenyap dari pemandangan dua anak muridnya.
“Murid-muridku,
aku sudah siap pergi selama-lamanya. Jaga sumur batu ini baikbaik!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan saling melirik lalu sama-sama menjawab.
“Tugas
dari guru akan kami laksanakan! Kami akan menjaga sumur batu sebaik-baiknya!”
“Bagus!
Kalau begitu selamat tinggal”
Habis
berkata begitu kakek bernama Jarot Ampel bergelar Iblis Tanpa Bayangan ini
hantam kepalanya dengan tangan kanannya sendiri.
“Praaakkk!”
“Ah!”
Tiga Bayangan Setan keluarkan seruan tertahan.
“Kita
terlambat!” teriak Elang Setan.
Sebenarnya
kedua orang ini sama-sama berniat hendak merampas kitab Wasiat Iblis itu namun
tidak kesampaian karena saat itu sang guru telah memukul rengkah kepalanya
sendiri. Tubuh Jarot Ampel melayang jatuh ke dalam sumur batu. Tiga Bayangan
Setan masih berusaha menggapai pakaiannya tapi luput.
“Bagaimana
sekarang…? Elang Setan bertanya.
“Aku
harus mendapatkan kitab itu. Bagaimanapun caranya!”
“Aku
juga!” sahut Elang Setan.
Dua orang
yang telah saling angkat saudara ini sesaat bentrok pandangan. Elang Setan
mengalah dengan berkata: “Bagusnya kita tunggu sampai hari terang. Kita belum
tahu keadaan sumur batu ini. Jangan bertindak gegabah hanya karena menurutkan
keinginan menjadi raja diraja dunia persilatan…”
Tiga
Bayangan Setan menyeringai, “Saudara tinggal saudara. Aku tidak mau dia
mendahuluiku masuk ke dalam sumur!” membatin Tiga Bayangan Setan. “Kalaupun aku
harus membunuhnya apa boleh buat!”
Menunggu
datangnya pagi terasa lama sekali bagi kedua orang itu. Ketika langit di
sebelah timur mulai membersitkan cahaya mentari pagi dan keadaan di tempat itu
mulai terang Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan cepat-cepat mendekati tepi
sumur dan memandang ke dalam. Astaga! Sumur batu itu demikian dalamnya hingga
mereka tidak dapat melihat dasar sumur. Lagipula di sebelah dalam masih
menggantung kabut tipis menutupi pemandangan. Mereka hanya mampu melihat bagian
sumur di atas lapisan kabut. Selain lebar ternyata makin ke dalam dinding sumur
batu semakin melebar dan ada ulirulir batu seputar dinding seperti tangga
melingkar.
Baik Tiga
Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama berfikir bahwa jika mereka masuk ke
dalam sumur batu mereka harus mampu mencapai ulir terdekat lalu melangkah
menuruni ulir itu hingga akhirnya mencapai dasar sumur di mana tentunya mayat
Jarot Ampel tergeletak bersama kitab Wasiat Iblis itu.
Tiga
Bayangan Setan bergerak lebih dulu. Tapi dari belakang Elang Setan cepat
menarik bahunya. Merasa dihalangi Tiga Bayangan Setan balikkan badan lalu
kirimkan satu jotosan yang tepat mendarat di dagu Elang Setan hingga kepala
orang ini tersentak keras. Selagi Elang Setan terjajar nanar Tiga Bayangan
Setan pergunakan kesempatan untuk mendekati sumur lalu melompat ke dalam. Tanpa
ragu dia melesat ke arah ulir batu terdekat. Namun selagi tubuhnya melayang
tiba-tiba dari dasar sumur terdengar suara deras seperti air bah. Bersamaan
dengan itu bertiup angin sangat kencang menebar hawa panas dan bau aneh!
Lapisan kabut berpencaran. Angin kencang menerobos ke atas. Tiga Bayangan Setan
merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia berusaha bertahan dengan mengerahkan
tenaga luar dalam lalu menghantam ke bawah. Tapi kekuatan pukulannya terdorong
ke atas, membalik memukul tubuhnya sendiri. Tiga Bayangan Setan berteriak
keras. Tubuhnya mencelat keluar sumur batu dan terkapar di tanah. Dia memang
sanggup bangkit kembali tapi dari mulutnya keluar darah tanda dia telah
mengalami luka dalam!
“Ada
kekuatan iblis di dalam sumur itu…” kata Tiga Bayangan Setan megapmegap dengan
muka pucat.
“Aku
tidak percaya!” kata Elang Setan yang merasa kini punya kesempatan untuk
mencoba. Apalagi saat itu suara deru dan sambaran angin telah mulai mereda.
Setelah perhatikan keadaan sebelah dalam sumur dan menganggap tak ada halangan
baginya untuk melompat ke dalam maka Elang Setan lantas ayunkan diri. Seringan
kapas tubuhnya melayang masuk ke dalam sumur batu.
“Aku
berhasil!” serunya girang ketika kakinya menjejak ulir batu terdekat yang
merupakan tangga menuju ke dasar sumur. Tapi belum habis gema seruannya
tiba-tiba dari dasar sumur kembali terdengar suara seperti deru air bah. Angin
kencang panas dan berbau aneh melesat ke atas, membuat tubuh Elang Setan
tersentak keras begitu tersambar. Dia berpegangan pada batu yang menonjol di
dinding sumur batu. Tapi bagaimanapun dia mengerahkan seluruh tenaga tetap saja
dia tak mampu bertahan. Tubuhnya terseret ke atas, terbanting ke dinding batu
lalu jatuh ke bawah. Dari bawah semburan angin kencang menghantam dirinya
kembali. Elang Setan tidak mau mengalah begitu saja. Kedua tangannya
dikembangkan ke samping lalu dia kerahkan tenaga untuk membuat gerakan seperti
baling-baling! Ternyata dia memang bisa bertahan dari hantaman angin keras.
Tubuhnya berputar-putar laksana titiran. Sambil berputar dia berusaha bergerak
turun dengan mengerahkan bobot badannya. Sedikit demi sedikit Elang Setan
melayang turun. Di mulut sumur Tiga Bayangan Setan menyaksikan kejadian itu
dengan hati cemas. Bukan cemas melihat apa yang mungkin terjadi dengan saudara
angkat itu tapi cemas kalau-kalau Elang Setan memang berhasil turun ke dasar
sumur batu dan mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu!
Rasa
cemas Tiga Bayangan Setan tidak lama. Saat itu dari dasar sumur kembali
terdengar suara deru dahsyat. Satu gelombang angin menghantam tubuh Elang Setan
hingga mencelat mental keluar sumur. Waktu lepas dari mulut sumur salah satu
kakinya tidak sengaja menghantam kepala Tiga Bayangan Setan hingga orang ini
terpental dan tergelimpang megap-megap. Sesaat dia merintih kesakitan lalu
menyumpah panjang pendek!
Elang
Setan sendiri saat itu kelihatan melayang jungkir balik di udara. Ketika
tubuhnya kemudian terhempas di tanah, dari mulut, telinga dan matanya kelihatan
keluar darah. Elang Setan mengeluh tinggi lalu pingsan tak sadarkan diri.
******************
ENAM
PUNCAK
Gunung Merapi diselimuti awan tebal. Di kejauhan berkali-kali terlihat kilat
menyambar dibarengi suara guntur menggelegar. Udara dingin bukan kepalang. Di
dalam sebuah goa batu, dua orang duduk berhadap-hadapan di antara api unggun.
Ada satu keanehan. Api unggun itu tidak dihidupi oleh potongan kayu bakar
melainkan oleh setumpuk batu hitam hingga api yang berkobar panasnya dua kali
lebih hebat dari api yang berasal dari kayu biasa.
Sepasang
tangan kurus yang hanya tinggal kulit pembalut tulang saling digosokkan satu
sama lain di atas api unggun. Dua tangan itu dipanasi demikian rupa, dekat
sekali dengan kobaran api dan tidak diangkat-angkat sampai lama sekali. Manusia
biasa tidak akan mampu melakukan hal itu. Yang punya tangan adalah seorang tua
bungkuk berpakaian rombeng. Walaupun terkena cahaya kobaran api namun jelas
kulit mukanya yang tipis kelihatan pucat sekali, angker dingin membayangkan
kelicikan dan maut! Sepasang matanya besar tapi memiliki rongga sangat cekung.
Kakek bermulut perot ini memiliki rambut putih sepanjang bahu. Dalam dunia
persilatan dia dikenal dengan julukan Si Muka Bangkai alias Setan Muka Pucat.
Di
hadapan orang tua berwajah setan itu duduk seorang pemuda berwajah membayangkan
kekerasan dan keangkuhan. Sehelai kain merah melilit keningnya. Rambutnya lebat
dan hitam. Keningnya tinggi menonjol. Dagunya kukuh. Dia mengenakan sehelai mantel
hitam yang menutupi hampir sekujur tubuhnya depan belakang. Dialah Pangeran
Matahari, musuh besar bebuyutan Pendekar Kapak Maut Naga 212. Selama
bertahun-tahun Pangeran Matahari berusaha membunuh menyingkirkan Wiro. Sebegitu
jauh maksud kejinya itu tidak pernah kesampaian. Hal ini bukan saja membuat
semakin bertumpuknya dendam kesumat dalam diri pemuda ini tapi juga membuat dia
selalu mencari akal bagaimana caranya agar dapat melenyapkan Wiro. (Mengenai
asal usul Pangeran Matahari dan siapa adanya orang tua berjuluk Si Muka Bangkai
alias Setan Muka Pucat harap baca serial Wiro Sableng berjudul Pangeran
Matahari Dari Puncak Merapi)
Setelah
berdiam diri beberapa lama akhirnya sang guru membuka mulut memecah kesunyian
dalam goa yang dipanasi api unggun itu. Sementara bicara kedua tangannya terus
saja digosok-gosokkan di atas kobaran api.
“Muridku,
tadi kau bertanya mengapa aku memintamu datang ke puncak Merapi ini. Ada satu
hal penting yang akan menentukan hidup masa depanmu! Empat puluh hari yang lalu
aku bermimpi…”
Belum
habis sang guru bicara Pangeran Matahari sudah menyela dengan nada tinggi.
“Guru, bertahun-tahun kita tidak bertemu. Hari ini kau mengatakan ada sesuatu
yang penting. Ternyata kau hendak bicara segala macam mimpi! Kurasa kita hanya
menghabiskan waktu percuma saja…!”
Si orang
tua berwajah setan menyeringai. Dalam hati dia membatin. “Aku suka anak ini.
Sejak dulu tidak berubah. Masih saja sombong dan bicara angkuh. Meremehkan
orang lain sekalipun aku gurunya sendiri!” Setelah mendehem beberapa kali orang
tu itu melanjutkan ucapannya. “Apa kau lupa dulu kalau bukan karena mimpi aku
tidak akan menemukanmu? Ingat ketika gunung ini meletus dan aku melihatmu
tergantung di atas pohon beringin sementara lahar panas menutupi bumi ?!”
“Aku
tidak pernah melupakan hari malapetaka itu. Juga ingat jasamu menyelamatkan
diriku. Tapi apakah itu perlu diulang-ulang?!” suara Pangeran Matahari tetap
tinggi. Orang lain mungkin akan jengkel atau marah melihat sikapnya ini. Tapi
sang guru sudah tahu sifat muridnya hanya tersenyum-senyum.
“Mimpi
tidak selamanya kembang tidur. Banyak mimpi merupakan petunjuk sangat
berguna….”
“Aku
mendengarkan guru. Coba katakan apa mimpimu kali ini?”
“Sebelum
kujelaskan aku ingin tahu dulu. Apakah kau masih berminat untuk menyingkirkan
Pendekar 212 Wiro Sableng musuh besarmu itu?”
Mendengar
pertanyaan itu sepasang mata Pangeran Matahari terbuka lebar. Dagunya
mengencang dan pelipisnya bergerak-gerak.
Si Muka
Bangkai tertawa lebar. “Kau tak perlu menjawab. Dari air mukamu aku tahu kau
memang ingin melenyapkan musuh besarmu itu! Nah sekarang aku tanya, apa kau
pernah mendengar tentang sebuah kitab kuno bernama Wasiat Iblis?”
Pangeran
Matahari angukkan kepala. “Aku pernah berusaha mencarinya. Tapi selalu menemui
jalan buntu hingga aku akhirnya merasa sangsi apakah buku yang berisi ilmu
dahsyat itu memang benar-benar ada….”
“Kitab
itu memang ada. Dan aku telah memimpikan kitab itu, muridku!”
“Hah…?”
Pangeran Matahari beringsut maju. Dari balik kobaran api unggun dia memandangi
wajah gurunya lekat-lekat. “Apa mimpimu itu, guru?”
“Mimpiku
memberi petunjuk di mana kitab itu berada!”
Pangeran
Matahari berdiri, memutari perapian lalu duduk di samping Si Muka Bangkai.
“Guru, harap kau lekas menceritakan mimpimu itu. Selengkap-lengkapnya. Jangan
ada yang ketinggalan.”
“Seorang
tua berjubah dan bersorban hitam muncul dalam mimpiku. Waktu itu aku merasa
berada di satu gurun pasir maha panas. Orang ini tiba-tiba saja muncul dan
berkata padaku. Sampaikan pesanku pada muridmu terlahir bernama Anom, putera
Raja Surokerto dari ibu R.A Siti Hinggil. Seumur hidupnya selama langit masih
dijunjung dan bumi masih dipijak manusia, dia tidak akan sanggup mengalahkan
pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng itu. Kecuali jika dia menguasai ilmu
yang tersimpan dalam Kitab Wasiat Iblis. Lalu dalam mimpi aku bertanya pada
orang bersorban hitam itu. Apakah dia bisa memberi petunjuk di mana kitab itu
bisa ditemukan? Di lantas menjawab. Pergilah ke lereng barat sebuah bukit di
timur Kartosuro. Di situ ada sebuah sumur tua terbuat dari batu. Di dalam sumur
tersembunyi Kitab Wasiat Iblis. Namun untuk dapat masuk ke dalamnya muridmu
harus mengalahkan dua orang penjaga sumur yang memiliki kepandaian sangat
tinggi… Aku bertanya siapa adanya dua penjaga sumur itu. Namun orang tua
bersorban hitam membalikkan tubuh dan pergi. Saat itu aku sendiri terbangun
dari tidur…”
Lama
Pangeran Matahari berdiam diri setelah mendengar penuturan gurunya.
“Apa yang
ada dalam benakmu, muridku?” tanya sang guru.
Si pemuda
angkat bahunya. “Bagaimana aku bisa memastikan bahwa mimpimu itu bisa menjadi
kenyataan?!”
“Kau tak
bisa memastikan kalau tidak membuktikan sendiri. Jika kau suka segera saja
berangkat menuju tempat yang kuceritakan tadi. Jika tidak suka perlu apa
dituruti. Hanya saja sayang kalau ada orang lain sempat mendahului. Berarti
musuh beratmu bertambah satu lagi.”
Pangeran
Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. “Jauh-jauh datang kemari percuma saja
kalau aku tidak coba menyelidik apa mimpimu itu benar atau tidak…”
Perlahan-lahan
Pangeran Matahari bangkit berdiri. “Guru, aku mohon diri sekarang.”
Si Muka
Bangkai anggukkan kepala. “Makin cepat kau melakukannya makin baik…. aku akan
merasa bangga jika kelak kau benar-benar merajai dunia persilatan.”
Pangeran
Matahari pencongkan mulutnya. “Apa menurutmu saat ini aku belum menguasai dunia
persilatan?”
Si Muka
Bangkai gelengkan kepala. “Musuh utamamu si Wiro Sableng itu. Harus kau
lenyapkan. Lalu harus pula kau tumpas tokoh-tokoh silat lainnya termasuk nenek
sakti bernama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212…. Dapatkan kitab Wasiat Iblis
itu! Dunia berada di tanganmu.
Pangeran
Matahari menjura tiga kali dengan sikap kaku karena sebenarnya dia tidak suka
melakukan hal ini sekalipun untuk menghormat gurunya. Lalu dia membalikkan
tubuh tinggalkan goa di puncak Gunung Merapi itu.
******************
TUJUH
TIDAK
sulit bagi Pangeran Matahari untuk mencari letak sumur batu yang terletak di
lereng barat bukit di luar Kartosuro. Bau busuk membimbingnya ke tempat itu.
“Bau
busuk hebat sekali. Aku yakin itu berasal dari bangkai manusia!” katanya. Di
satu tempat dia tinggalkan kuda tunggangannya lalu bergerak ke arah bau busuk.
Sebagai tokoh silat yang telah bertahun-tahun malang melintang dan menggegerkan
rimba persilatan Pangeran Matahari tentu saja punya pengalaman banyak. Dia
tidak terus mendaki lereng bukit ke arah datangnya bau busuk namun sengaja
bergerak berputar menjauh, lalu berbalik menuruni bukit. Kecerdikan ini memang
sangat beralasan. Karena selama ini dua orang yang menjaga sumur batu dimana
tersimpan Kitab Wasiat Iblis bersama mayat Iblis Tanpa Bayangan memang lebih
banyak memperhatikan bagian bawah bukit dari arah mana orang-orang mendatangi.
Dari
balik sebatang pohon besar Pangeran Matahari dapat menyaksikan keadaan di
bawahnya. Di salah satu lereng bukit tampak jelas dua orang berjaga-jaga di
dekat sebuah sumur batu. Sambil mengawal keduanya mengobrol dan menyantap
potongan daging bakar. Tak jauh di sekitar mereka bertebaran paling tidak empat
sosok mayat yang telah membusuk.
“Dua
penjaga sumur batu itu agaknya bukan manusia. Bagaimana mereka bisa makan
enak-enakan sementara mayat bergelimpangan di dekat mereka. Menebar bau busuk!
Aku saja yang ada disini mau terbongkar rasanya isi perutku!” membatin Pangeran
Matahari. Dia bertanya-tanya siapa kiranya empat orang yang menemui ajal di
bawah sana. Berat dugaannya mereka adalah orang-orang pandai yang berusaha
mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu.
Setelah
sekli lagi memperhatikan keadaan sekitar sumur batu Pangeran Matahari tujukan
perhatiannya pada salah seorang penjaga yang mengenakan jubah hitam.
“Berjubah
hitam, kepala sulah sebelah, salah satu mata kecil seperti buta.
Hemmm….”
Kening Pangeran Matahari mengerenyit, rahangnya menggembung dan terkancing
rapat. “Bangsat itu rupanya yang jadi salah satu pengawal sumur batu! Tiga
Bayangan Setan! Manusia keparat yang punya mimpi besar hendak menguasai dunia
persilatan. Bagaimana dia ada kaitannya dan jadi anjing penjaga sumur batu.
Mungkin juga gurunya Si Iblis Tanpa Bayangan ada di sini?” Pangeran Matahari
arahkan pandangannya pada orang kedua. “Bukan…. Yang satu itu bukan Si Iblis
Tanpa Bayangan. Di mana ada Tiga Bayangan Setan di situ ada Elang Setan! Pasti
Elang Setan, kambrat keparat si Tiga Bayangan Setan!” Pangeran Matahari
perhatikan benda panjang yang menggeletak di pangkuan Elang Setan. “Tombak atau
tongkat berbentuk aneh. Setahuku Elang Setan tidak punya senjata seperti itu.
Hemmm… pasti dia sikat milik orang lain yang jadi korbannya…” Sang Pangeran
memperhatikan keadaan sekitar sumur batu sekali lagi. Lalu dengan seringai
congkak dia tinggalkan tempat itu, melangkah menuruni lereng bukit. Di tepi
sumur batu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan sedang asyik menyantap daging
panggang kelinci hutan yang memang banyak terdapat di bukit itu. Dengan mulut
masih penuh makanan Elang Setan berkata.
“Lebih
tujuh puluh hari sudah kita mendekam di tempat ini. Menunggu sampai tiga puluh
hari lagi cukup lama! Bagaimana kalau orang yang dimaksud guru itu tidak
muncul?”
Apa yang
kau pikirkan itu sudah ada dalam benakku sejak lama. Aku mencari akal bagaimana
caranya bisa masuk ke dalam sumur ini lalu mengambil kitab sakti itu. Tapi
rasa-rasanya sulit. Berarti kita harus meminjam tangan orang lain.”
“Meminjam
tangan orang lain bagaimana?” tanya Elang Setan.
“Kalau
orang itu datang, kita pura-pura melawan. Kita biarkan dia masuk ke dalam
sumur. Begitu keluar dan Kitab Wasiat Iblis sudah ada di tangannya, kita serbu dan
kita rampas!”
Elang
Setan tertawa bergelak. Karena di mulutnya masih ada makanan maka dia jadi
batuk-batuk berulang kali.
“Hentikan
batukmu! Aku mendengar suara orang mendatangi!” bentak Tiga Bayangan Setan
tiba-tiba seraya palingkan kepala ke lereng bukit sebelah atas. Baru saja Tiga
Bayangan Setan berkata begitu tiba-tiba semak belukar lebat di atas mereka
terkuak. Sesosok tubuh tinggi bermantel hitam muncul, melangkah dan berhenti
kira-kira dua tombak dari sumur batu.
“Kau
kenal kunyuk berpakaian seperti kelelawar ini?” bisik Elang Setan.
“Untuk
membunuh seseorang apa perlu kenal atau tidaknya?!” sahut Tiga Bayangan Setan.
Elang
Setan muntahkan daging dalam mulutnya lalu tertawa gelak-gelak. “Kau betul
saudaraku! Tapi ada baiknya kau menanyakan sesuatu padanya sebelum kita
mengirimnya ke liang akhirat!”
Elang
Setan bangkit berdiri. Kedua tangannya yang kotor oleh minyak daging
diusap-usapkan pada baju tebalnya hingga pakaian dekil itu jadi tambah kotor.
Dia gerakgerakkan jari-jari tangannya yang berbentuk cakar elang hingga
mengeluarkan suara berkeretekan lalu membuka mulut.
Namun
sebelum ucapan keluar dari mulut Elang Setan, Pangeran Matahari angkat tangan
kanannya. Ada selarik angin menyambar membuat Elang Setan cepat-cepat miringkan
kepala.
“Kalian tidak
layak menanyaiku! Aku yang punya kuasa bertanya kepada pada kalian! Kalian
mendengar dan mengerti?!”
“Sombong
amat kunyuk satu ini!” tukas Elang Setan.
“Orang
yang bakal mati memang suka bersikap macam-macam!” menimpali Tiga Bayangan
Setan lalu keluarkan tawa bergelak.
Pangeran
Matahari dongakkan kepala. Dari mulutnya kemudian menyembur tawa keras yang
menggetarkan seantero lereng bukit dan menindih lenyap tawa Tiga Bayangan
Setan. Dua tokoh silat penjaga sumur batu itu diam-diam terkesiap. Orang di hadapan
mereka memiliki tingkat tenaga dalam sangat tinggi! Walau demikian dua orang
ini mana mengenal takut!
Tiga
Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan lalu berkata. “Hari ini kita bakal
dapat mangsa kelima! Rasanya sudah pada gatal tanganku menunggu belum ada
korban baru yang datang. Kini kita dapat satu rejeki lagi!”
“Pemuda
congkak! Mungkin kau mau lihat-lihat dulu empat mayat yang sudah membusuk itu
sebelum kau kami tetapkan sebagai korban kelima?!” Yang berkata adalah Elang
Setan.
“Tidak
perlu aku mengikuti omonganmu! Aku sudah tahu siapa-siapa mereka! Aku juga tahu
milik siapa tongkat besi yang kau pegang itu! Kau pasti juga telah membunuh
tokoh silat istana berjuluk Dewa Berjubah Kuning Bertongkat Besi!”
“Ah! Kau
sudah tahu rupanya! Masih semuda ini pengetahuanmu ternyata cukup luas! Mungkin
itu bisa menolong melapangkan jalanmu ke liang kubur! Ha… ha… ha!”
Elang
Setan tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Tangannya yang
memegang tongkat berkelebat.
“Wutttt!”
Ujung
tongkat yang berbentuk lingkaran pipih setajam mata pisau menderu. Cahaya hitam
berkiblat. “Craaasss!” Semak belukar yang hanya setengah jengkal dari pinggang
Pangeran Matahari dirambas rata! Yang diserang sama sekali tidak bergerak malah
sunggingkan senyum mengejek.
“Sedekat
ini aku berdiri kau tak sanggup membabat perutku! Matamu yang gembung itu buta
atau bagaimana?! Dasar manusia tidak tahu diri! Kalau cuma jadi anjing penjaga
sumur kenapa bermulut besar?!”
Mendengar
dirinya disebut anjing penjaga sumur meledaklah amarah Elang Setan. Tiga
Bayangan Setan ikut-ikutan marah besar. Rencana mereka semua yang pura-pura
hendak mengalah serta merta terlupa. Keduanya memutuskan untuk membunuh
Pangeran Matahari saat itu juga!
Elang
Setan tancapkan tongkat besi ke tanah. Dia lebih suka pergunakan cakarcakar
mautnya. Dia bergerak mendekati Pangeran Matahari dari sebelah kiri sementara
Tiga Bayangan Setan mendatangi dari kanan.
Pangeran
Matahari dongakkan kepala, keluarkan suara mendengus. Dengan tangan kanannya
dia sibakkan mantel hitam yang menutupi bagian depan pakaiannya.
“Pangeran
Matahari!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan ketika melihat gambar
Gunung Merapi berwarna biru dengan latar belakang sinar sang surya berupa
garis-garis lurus berwarna merah!
Suara
tawa mengekeh mengumandang dari mulut Pangeran Matahari yang saat itu
mendongakkan kepala seolah tidak menganggap bahaya serangan dua lawan yang
bakal menyerbunya. Baik Tiga Bayangan Setan maupun Elang Setan sama-sama tidak
menduga kalau pemuda di hadapan mereka adalah tokoh besar golongan hitam
berjuluk Pangeran Matahari.
“Saudaraku
Tiga Bayangan Setan! Rejeki kita besar sekali hari ini! Begitu kita
membunuhnya, nama besar kita semakin mencuat dalam dunia persilatan!”
“Anjing-anjing
penjaga sumur! Jangan mimpi! Aku menunggu seranganmu!” bentak Pangeran
Matahari. Kedua tangannya kini diletakkan di pinggang.
“Bagus!
Kau minta mati lebih cepat dari yang kami rencanakan!” teriak Elang Setan. Dia
melirik pada Tiga Bayangan Setan. Dua orang ini saling anggukkan kepala. Di
kejap itu pula keduanya berkelebat kirimkan serangan!
******************
DELAPAN
LIMA
larik sinar hitam menyambar ke arah muka Pangeran Matahari. Lima lagi membeset
ke arah perutnya. Itulah sambaran serangan maut cakar setan yang dilancarkan
Elang Setan. Dari jurusan lain Tiga Bayangan Setan lepaskan pukulan tangan
kosong yang sengaja di arahkan ke bagian bawah perut lawan. Jelas kedua orang
ini ingin membunuh Pangeran Matahari detik itu juga!
Meskipun
tercekat melihat ganasnya serangan dua lawan namun manusia yang dikenal senagai
pendekar jahat segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala
congkak ini hadapi serangan orang dengan mendengus. Tangan kanannya bergerak
mengibaskan mantel hitamnya ke bagian dada.
“Wuuuutttt!”
Suara
mantel berkelebat angker. Mengeluarkan cahaya hitam redup. Baik Tiga Bayangan
Setan maupun Elang Setan hanya mendengar suara tapi tidak merasakan adanya
sambaran angin keras! Namun dahsyatnya saat itu keduanya merasa seolah ada satu
kekuatan yang tidak kelihatan menahan gerak serangan yang mereka lancarkan.
Elang
Setan kertakkan rahang. Tiga Bayangan Setan menggembor keras. Kedua orang ini
lipat gandakan kekuatan tenaga dalam lalu merangsak ke depan. Tapi semakin
mereka mengerahkan kekuatan semakin dahsyat kekuatan tak terlihat yang
menghadang. Malah kini kekuatan itu mulai bergerak, menindih gerak serangan
mereka. Dua orang ini berusaha bertahan. Tak ada gunanya. Ketika Pangeran
Matahari kibaskan kembali mantel hitamnya ke belakang, dua penyerang berseru
keras dan terbanting ke tanah!
Pangeran
Matahari dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. Tanpa perduli pada dua orang
yang bergeletakan di tanah dia melangkah mendekati sumur batu.
“Kami
belum kalah!” teriak Elang Setan lalu tubuhnya melesat ke udara.
“Jangan
harap kau bisa dapatkan kitab sakti itu!” bentak Tiga Bayangan Setan.
Tubuhnya
yang terkapar di tanah juga melesat ke atas. Dari atas dua orang murid Iblis
Tanpa Bayangan ini menyerbu lagi. Keduanya sama-sama mengarah kepala Pangeran
Matahari. Sebelum cakar-cakar setan bergerak sepuluh sinar hitam dan merah
lebih dulu menggebu. Tiga Bayangan Setan hantamkan dua pukulan sekaligus untuk
mengepruk pecah kepala Pangeran Matahari. Pangeran Matahari hentikan
langkahnya. Kedua lututnya ditekuk. Dua tangannya tiba-tiba melesat ke atas.
Terdengar suara bergedebukan beberapa kali begitu enam pasang lengan saling
beradu!
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan kembali berkaparan di tanah. Sementara Elang
Setan masih menggeliat-geliat Tiga Bayangan Setan sudah melesat dan berdiri
hadapi Pangeran Matahari. Kalau Elang Setan kelihatan bengkak merah dua
lengannya maka Tiga Bayangan Setan tidak cidera sedikitpun. Hal ini tidak lepas
dari perhatian Pangeran Matahari. Dalam hati dia berucap. “Ternyata dia memang
tahan pukulan. Aku harus berlaku hati-hati terhdap yang satu ini!”
“Apa kau
sudah siap menghadapi saat kematianmu Pangeran Matahari?!” kertak Tiga Bayangan
Setan.
“Setan
jelek! Dari tadi hanya mulutmu saja yang besar! Aku siap menunggu kematin! Ayo
aku mau lihat kau hendak melakukan apa!” Pangeran Matahari renggangkan kedua
kakinya, tegak menunggu sambil bertolak pinggang. Di sebelah belakang sana
Elang Setan telah bangkit berdiri dan siap lancarkan serangan. Kumis dan
berewok Tiga Bayangan Setan seperti berjingkrak. Matanya sebelah kanan yang
besar merah bergerak-gerak. Kedua tangannya dipentang ke depan dengan jarijari
terkepal. Mulutnya komat-kamit. Tiba-tiba dua kepalannya diadu satu sama lain.
Bersamaan dengan itu dia berteriak.
“Bunuh!”
Tiga
guratan dalam di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan kilatan-kilatan
angker. Dari ubun-ubunnya melesat keluar tiga kepulan asap yang dalam waktu
sekejapan berubah menjadi tiga sosok raksasa bertelanjang dada penuh bulu.
Rambut panjang riapriapan dan sepasang mata laksana bara menyala! Inilah ilmu
tiga bayangan setan yang selama ini tidak satu tokoh silatpun sanggup
menghadapinya! Diam-diam Pangeran Matahari merasa terguncang juga. Dia segera
siapkan satu pukulan sakti untuk menghadapi serangan tiga makhluk jejadian itu.
“Bunuh!”
teriak Tiga Bayangan Setan sekali lagi.
Tiga
sosok raksasa melesat ke depan. Masing-masing mementangkan tangan kanan yang
sesaat kemudian sama-sama dihantamkan ke batok kepala Pangeran Matahari. Begitu
tiga makhluk raksasa menyerang Pangeran Matahari cepat angkat ke dua tangannya.
Telapak-telapak yang terkembang didorongkan perlahan saja. Terdengar suara
mendesis disertai menggebunya angin panas, menghantam tepat pada tiga makhluk
raksasa!
“Wusss!
Wussss!”
Tiga
Bayangan Setan berteriak keras. Bukan saja karena marah tapi juga karena
berusaha menahan sakit oleh hawa panas yang memancar dari dua larik angin panas
serangan Pangeran Matahari. Tubuhnya terhuyung-huyung tak bisa dirobohkan. Dua
makhluk raksasa di sebelah kiri dan kanan meletup hancur berkeping-keping
seolah terbuat dari batu. Tapi yang di sebelah tengah seolah tidak tersentuh
pukulan sakti “telapak merapi” yang tadi dilepaskan Pangeran Matahari terus
merangsak ke depan lalu laksana palu godam hantamkan tangan kanannya ke batok
kepala Pangeran Matahari! Pangeran Matahari silangkan dua lengan ke atas untuk
lindungi kepalanya. Ini merupkan gerakan menangkis yang sekaligus merupakan
serangan menggunting.
“Bukkk!”
Pangeran
Matahari terbanting ke tanah. Dua lengannya terasa seolah hancur. Dadanya
berdenyut sakit. Sebelum jatuh tadi dia masih sempat membuat gerakan
menggunting. Makhluk raksasa di atas kepala Tiga Bayangan Setan menggembor
marah. Tiga Bayangan Setan melompat ke hadapan lawan.
“Bunuh!”
teriak Tiga Bayangan Setan.
Makhluk
raksasa di atas kepalanya kembali pentangkan tangan.
“Kurang
ajar!” kertak Pangeran Matahari. “Agaknya makhluk keparat yang di tengah tak
bisa dimusnahkan. Tiga Bayangan Setan sendiri benar-benar tahan pukulan sakti!
Aku harus mencari akal! Aku harus menghantam sumber kekuatannya!”
Pangeran
Matahari melirik pada tombak Wesi Ketaton milik Dewa Berjubah Kuning yang mati
di tangan Elang Setan. Sebelum gebukan mahkluk raksasa datang Pangeran Matahari
cepat berguling menyambar tongkat besi itu. Begitu tongkat mustika berada di
tangannya dia segera membalik dan tusukkan bagian runcing senjata itu ke perut
Tiga Bayangan Setan.
“Breett!”
“Traanggg!”
Jubah
hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan robek di bagian perut. Ujung tombak
terus menusuk ke perut orang itu. Namun seolah perut yang ditusuk itu adalah
benda yang terbuat dari besi begitu ujung tombak menghantam terdengar suara
berdentrangan. Pangeran Matahari tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
Seumur hidup baru kali ini dia melihat ada manusia memliki kekebalan terhadap
senjata tajam begitu rupa! Pangeran Matahari campakkan tongkat Wesi Ketaton.
Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak.
“Edan!
Hampir tak dapat kupercaya!” kertak Pangeran Matahari. “Dia kebal pukulan
sakti, tak mempan senjata! Aku harus mendapatkan ilmunya!”
Sementara
itu dua makhluk raksasa yang tadi musnah kini secara aneh muncul kembali,
bergabung dengan kawannya di sebelah tengah ini sambil keluarkan lengkingan
keras kembali ayunkan tangan menggebuk ke arah kepala Pangeran Matahari! Sekali
ini Pangeran Matahari tak menangkis ataupun adu kekuatan. “Otak penggerak tiga
raksasa jejadian itu ada dalam diri Tiga Bayangan Setan! Aku harus melumpuhkan
sumbernya!”
Memikir
sampai di situ manusia segala akal segala cerdik dan segala licik ini angkat
tangan kanannya. Secara aneh tiba-tiba udara di tempat menjadi redup padahal di
atas matahari bersinar terang. Inilah pertanda bahwa Pangeran Matahari hendak
lepaskan satu pukulan sakti. Ketika tangannya dipukulkan terdengar suara
menggelegar disertai berkiblatnya sinar merah, kuning dan hitam!
“Pukulan
Gerhana Matahari” seru Tiga Bayangan Setan yang mengenali pukulan sakti itu.
“Siapa takut! Kalau kau punya sepuluh ilmu seperti itu keluarkan saja
sekaligus!”
Pangeran
Matahari merutuk dalam hati namun dia maklum kesaktian yang dimiliki lawan
membuat dia sanggup menghadapi pukulan maut yang sangat ditakuti di rimba
persilatan itu. Bagi Pangeran Matahari sendiri sebenarnya tak perlu gusar
mendengar ejekan lawan karena pukulan sakti yang dilepaskannya itu sengaja
untuk membagi perhatian Tiga Bayangan Setan. Ketika lawan berkelit sambil
berteriak “Bunuh!” Pangeran Matahari cepat jatuhkan diri, berguling di tanah.
Ketika berdiri lagi tahu-tahu dia sudah berada di belakang sosok Tiga Bayangan
Setan. Dua jari telunjuknya bekerja! Tiga Bayangan Setan meraung keras.
“Bangsat
licik! Curang pengecut! Lepaskan diriku!” Tiga Bayangan Setan hanya mampu
berteriak, menggerakkan kaki tapi sama sekali tak dapat menggerakkan tangan
ataupun kepalanya. Pangeran Matahari telah menotok urat besarnya di dua tempat
yakni pangkal leher punggung. Walaupun tiga raksasa jejadian masih kelihatan
bergerak-gerak ganas di atas kepalanya namun mereka sama sekali tidak melakukan
serangan karena otak pengendalinya yaitu Tiga Bayangan Setan kini tidak beda
seperti mayat hidup! Masih bernafas tapi tak bisa berfikir. Mampu menggerakkan
kaki tapi tidak bisa menyerang. Dua tangannya terkulai seperti lumpuh ke sisi.
Pangeran
Matahari tertawa mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah
benda kecil berwarna merah. Benda ini dengan paksa dimasukkannya ke dalam mulut
Tiga Bayangan Setan.
“Telan!”
hardik Pangeran Matahari memerintah. Ketika Tiga Bayangan Setan tak mau
melakukan malah hendak memuntahkan benda dalam mulutnya itu, Pangeran Matahari
pukul tengkuknya hingga Tiga Bayangan Setan tercekik dan terpaksa telan benda
yang ada dalam mulutnya.
“Umurmu
hanya bersisa seratus hari!” kata Pangeran Matahari pula lalu tertawa panjang.
“Kau telah menelan racun kematian! Jika kau berani macam-macam jangan harap aku
akan memberikan obat penawar!”
“Pangeran
keparat! Iblis jahanam! Apa yang kau lakukan pada saudaraku?!” teriak Elang
Setan. Tanpa tunggu lebih lama dia langsung menyerang. Kedua tangannya
dikembangkan ke samping. Tubuhnya berputar, dua lengan ikut berputar laksana
balingbaling. Cakar setan membabat ke arah leher Pangeran Matahari! Sinar hitam
merah menghntam lebih dulu!
Pangeran
Matahari bertindak cepat. Dia tahu walau tingkat kepandaian lawan masih dibawah
Tiga Bayangan Setan namun nama Elang Setan bukan nama kosong. Banyak tokoh
silat telah menemui ajal di tangan pembunuh haus darah ini. Sambil dorongkan
dua tangannya ke depan Pangeran Matahari menyusup ke bawah putaran dua lengan.
Begitu pinggang Elang Setan berhasil dicekalnya orang ini dibantingkannya ke
atas sumur batu.
“Trakkk!
Traakkk!”
Lengan
setan menghantam bibir sumur hingga hancur di dua tempat. Pangeran Matahari
pegang dua kaki Elang Setan lalu mendorong tubuh orang ini hingga kepala Elang
Setan tergantung-gantung di dalam sumur.
“Kalau
kau memang ingin cepat mati katakan saja! Kakimu akan kulepas!” kata Pangeran
Matahari.
“Keparat
jahanam! Jangan cemplungkan aku ke dalam sumur ini! Demi setan aku masih mau
hidup!” teriak Elang Setan.
Pangeran
Matahari tertawa. Dia tarik kaki Elang Setan hingga pinggang orang ini
membelintang di bibir sumur. Tiba-tiba dari dalam sumur terdengar suara
menderu.
“Angin
iblis! Awas! Cepat tarik tubuhku!” teriak Elang Setan ketakutan.
Pangeran
Matahari kernyitkan kening. Dia tidak tahu apa yang dimaksudkan Elang Setan
namun dia maklum kalau ada satu kekuatan aneh dan dahsyat dalam sumur batu itu.
Pangeran Matahari cepat tarik tubuh Elang Setan hingga orang ini jatuh
terbanting di tanah di kaki luar sumur batu. Ketika Elang Setan hendak mencoba
bangkit Pangeran Matahari cepat tekankan lututnya ke dada orang. “Seperti
temanmu aku juga tidak percaya padamu! Lekas telan obat ini!”
“Keparat!
Kau boleh bunuh aku! Aku tak akan menelan racun jahanam itu!” teriak Elang
Setan.
“Kalau
begitu kau memilih mati lebih cepat!” Pangeran Matahari kepalkan tinju kanannya
lalu dijotoskan ke muka Elang Setan.
“Kau
boleh membunuhku! Tapi serahkan dulu jantungmu padaku!” teriak Elang Setan. Dua
tangannya melesat ke dada kiri Pangeran Matahari. Sang Pangeran cepat berkelit.
“Breettt!”
Mantel
Pangeran Matahari robek. Dengan kedua tangannya ditangkapnya lengan Elang Setan
lalu dibantingkannya ke dinding sumur batu berulang kali.
“Lakukan
sepuasmu! Aku tidak merasa apa-apa…!” kata Elang Setan ganda tertawa.
“Jahanam!”
maki Pangeran Matahari. Dia lepaskan pegangan pada tangan kiri lalu pergunakan
tangan kanannya untuk menotok dada Elang Setan. Totokan sampai bersamaan dengan
melesatnya tangan kiri Elang Setan ke leher Pangeran Matahari. Walau kini
sekujur tubuhnya kaku dan gerakannya tertahan namun Elang Setan masih sempat
menggurat pangkal leher Pangeran Matahari!
“Kau tak
bakal lolos dari racun cakaranku!” kata Elang Setan.
“Baik,
kita lihat siapa yang bakal mati duluan!” kata Pangeran Matahari. Lalu racun
yang dipegangnya di masukkannya ke dalam mulut Elang Setan.
“Kau
memberiku racun seratus hari! Racun cakarku hanya memberimu hidup tujuh hari!
Ha… ha… ha…!” Elang Setan tertawa keras dan panjang.
“Keparat!”
Pangeran Matahari hantamkan tinju kanannya berulang kali ke muka Elang Setan
hingga muka yang seperti dicacah ini kini bergelimang darah yang keluar dari
hidung dan bibirnya yang pecah!
“Aku tahu
kau punya obat penawar. Lekas beritahu di mana kau menyimpannya. Kalau tidak
kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
“Ha… ha!
Ternyata kau juga takut mati! Pergilah ke neraka!”
“Setan
alas! Apa katamu?!”
“Aku
bilang pergi ke neraka!” teriak Elang Setan keras-keras.
Pangeran
Matahari menyeringai. “Kau akan menyesali kebodohanmu sampai di liang kubur!”
ujar sang Pangeran. Tangan kanannya bergerak mencengkeram kelingking tangan
kiri Elang Setan.
“Kraaakkk!”
Elang
Setan meraung keras ketika kelingking kirinya yang berbentuk cakar dan tak
mampu digerakkannya itu dipatahkan oleh Pangeran Matahari. Sang Pangeran
pindahkan tangannya ke jari telunjuk tangan kiri. Daya tahan Elang Setan jebol.
“Jangan…!
Aku akan katakan di mana obat penawar racun itu!” Elang Setan bicara dengan
nafas mengengah-engah karena marah dan juga menahan sakit.
“Katakan
di mana…?!”
“Kantong
kiri bagian dalam bajuku!” menerangkan Elang Setan.
Pangeran
Matahari membetot lepas baju tebal yang dikenakan Elang Setan. Di sebelah kiri
dalam memang ada sebuah kantong kecil. Di situ ditemuinya tabung kecil terbuat
dari batang padi yang telah dikeringkan. Di dalam tabung ini ada beberapa butir
obat berwarna hitam.
“Jangan
kau ambil semua! Cukup satu saja…. Sisanya masukkan lagi dalam saku bajuku!”
kata Elang Setan.
Pangeran
Matahari menyeringai. Dia keluarkan dua butir obat berwarna hitam itu. Tabung
batang padi diselipkan kembali ke dalam saku pakaian Elang Setan. Tiba-tiba
salah satu dari dua butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut Elang Setan,
membuat orang ini berteriak dan mendelik besar.
“Siapa
percaya padamu! Kau harus meyakinkan bahwa kau tidak berdusta! Telan obat itu!”
Muka
Elang Setan menjadi pucat.
“Ampun…!
Aku ketakutan setengah mati hingga salah memberikan keterangan!” teriaknya
seraya meludahkan butiran obat hitam keluar dari mulutnya.
“Salah
bagaimana maksudmu?!” tanya Pangeran Matahari sambil sunggingkan senyum dingin.
“Obat
penawar racun yang betul ada di saku sebelah kanan dalam….”
Pangeran
Matahari tertawa lebar. Dia jambak rambut Elang Setan lalu membenturkan kepala
orang ini ke dinding sumur. “Otakmu perlu diberi penyegaran agar jangan mudah
lupa!” Sekali lagi kepala orang itu dibenturkannya ke dinding sumur baru dia
mencari obat yang dikatakan ada di dalam kantong sebelah kanan baju tebal.
Disitu ditemukannya satu tabung padi yang sama berisi butiran obat berwarna
putih. Pangeran Matahari mengambil sebutir dan tanpa ragu menelannya.
“Kau
sudah selamat sekarang! Kenapa tidak segera membebaskan diriku dan Tiga
Bayangan Setan?” tanya Elang Setan.
Pangeran
Matahari mendengus. “Turut mauku aku ingin membunuh kalian berdua saat ini
juga! Tapi kupikir-pikir mungkin kalian ada gunanya!”
“Apa
maksudmu?” tanya Elang Setan sedikit ada harapan.
“Kalau
kalian bisa menjadi anjing-anjing penjaga sumur batu ini, pasti juga bisa
menjadi anjing-anjing pengawal ke mana aku pergi…”
“Jahanam!”
teriak Elang Setan.
Pangeran
Matahari tertawa gelak-gelak lalu dia berdiri dan melangkah mendekati sumur
batu.
******************
SEMBILAN
SATU
pemandangan aneh tapi lucu terlihat di puncak Gunung Merbabu siang hari itu.
Seekor keledai melangkah terseok-seok. Sebentar-sebentar binatang ini seperti
mau tersungkur. Di atas punggungnya yang mandi keringat duduk seorang perempun
berpakaian gombrong berlengan panjang dan sangat dalam hingga baik tangan
maupun kakinya tidak kelihatan. Sambil menunggang keledai sebentar-sebentar dia
berseru: “Duh biung doakan aku sampai di tujuan dengan selamat. Doakan aku agar
bertemu lelaki bapak jabang bayi ini.” Sambil berkata begitu dia mengusap-usap
perutnya yang buncit besar.
Nyatalah
bahwa perempuan penunggang keledai ini sedang hamil tua. Sesekali di antara
ucapannya itu dia tertawa cekikikan lalu diseling suara sesenggukan seperti
orang mau menangis.
Perempuan
yang hamil besar ini jauh dari cantik. Pupur tebal berwarna putih dan merah
menutui wajahnya. Alisnya dipertebal dengan sejenis bubuk hitam. Bibirnya merah
celemongan entah dipoles dengan apa. Rambutnya dikuncir sampai lima buah.
Setiap kuncir diberi berpita warna-warni. Dari gerak gerik, pakaian dan
dandanan serta ucapanucapan yang keluar dari mulutnya sudah dapat diterka bahwa
perempuan ini kurang waras otaknya.
Di satu
pedataran kecil di puncak Gunung Merbabu dia angkat tangan kiri lalu berseru.
“Hooooooo… hup! Keledaiku kita berhenti di sini! Ibundaku rupanya mendengar
doaku. Kita bisa selamat sampai di puncak ini! Aku akan turun punggungmu. Awas,
jangan bergerak dulu. Kalau aku sampai jatuh kupecahkan kepalamu! Kau tentu
letih. Kau boleh pergi istirahat. Cari makan cari minum sendiri. Aku mau
mencari bapak jabang bayiku! Aku yakin dia ada di sini. Kalau belum ada aku
tunggu sampai dia datang. Hik…hik… hik! Aduh biung… aku tak mau anakku lahir
tanpa bapak! Uuhhhh… uhhhh! Huek… huek…! Aduh biung aku mau muntah! Hamilnya
sudah besar kok muntahnya baru sekarang…!”
Turun
dari atas keledai perempuan hamil itu kembali usap-usap perutnya yang gendut
sambil memandang berkeliling.
“Sepi…
sunyi. Suara anginpun tidak kedengaran. Jangankan manusia, lalat atau kecoak
juga tidak kelihatan! Hik… hik… hik… di mana bapak jabang bayiku! Uhhh…uhhhhk!”
perempuan hamil itu kembali memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Tidak percaya
biung! Aku tidak percaya kalau di tempat ini tak ada penghuninya. Pasti
ada…Sana… di sana aku lihat ada bangunan… Mungkin bapak anakku ada disitu.
Kalau bertemu awas dia… Enak saja membuatku hamil lalu kabur! Akan kupuntir
kepalanya atas bawah… Eh…! Maksudku kepalanya… kepalanya yang mana ya? Hik…
hik… hik…!”
Sambil
pegangi perutnya perempuan hamil itu melangkah tertatih-tatih menuju sebuah
bangunan kayu terletak di ujung pedataran kecil itu. Belum sempat dia mendekati
bangunan tiba-tiba dari atas atap bangunan melayang turun satu bayangan hitam.
Perempuan hamil ini kaget bukan main. Dia berteriak. “Aduh biung! Setan atau
apa yang bisa melompat dari atap rumah! Rasanya copot jantungku saking kaget!
Bisa-bisa bayiku brojol sebelum saatnya! Makhluk yang bikin kaget, siapa kau?!”
Saat itu
di hadapan perempuan hamil berdiri seorang tua berjubah hitam.
Rambutnya
panjang awut-awutan. Sepasang matanya memandang liar memperhatikan perempuan
hamil mulai dari ujung rambut sampai ujung jubahnya yang menjela di tanah.
“Aduh
biung! Orang atau apa? Kalau orang kenapa jelek amat! Hik… hik… hik? Kalau
setan atau makhluk jejadian kenapa bau pesing?! Hik… hik… hik!
“Perempuan
bunting gila!” teriak orang tua berjubah hitam penuh marah hingga kedua matanya
tampak berkilat-kilat. Membuat perempuan hamil itu tergagau kaget dan tersurut
beberapa langkah. “Kalau mulutmu tidak berhenti bicara akan kubetot copot
lidahmu!”
“Lidahku
mau dicopot…? Aduh biung! Jangan…. Ampun! Ba… baik… Aku akan berhenti bicara.
Aku tak mau bicara!”
Orang tua
berjubah hitam menggerendeng panjang lalu membentak. “Perempuan bunting? Siapa
kau?! Datang dari mana?! Katakan apa keperluanmu! Jawab cepat sudah itu lekas
tinggalkan tempat ini! Aku tak mau anakmu brojol di sini!” Yang ditanya diam
saja.
“Kadal
bunting! Apa kau tuli atau bisu aku bertanya tidak menjawab?!” Si orang tua
menghardik sambil pelototkan mata.
Perempuan
hamil dongakkan kepala memandang ke atas lalu usap-usap perut gendutnya.
“Sialan
betul! Kau anggap apa aku ini! Kutendang perutmu baru kau mau bicara nanti!”
Orang berjubah itu melangkah mendekati perempuan hamil.
Yang
didatangi jadi ketakutan dan cepat mundur. “Pecah perutku! Mati bayiku! Jangan!
Jangan tendang!”
“Kenapa
aku bertanya kau tidak menjawab?!”
“Ha…
habis…. Tadi kau bilang kalau… kalau aku tidak berhenti bicara kau mau…mau
membelot copot lidahku! Ja… jadi aku tidak mau bicara!”
“Kadal
tolol! Benar-benar geblek!” si orang tua jengkel setengah mati sampaisampai dia
hentakkan kaki kanannya. Waktu kaki ini menghantam tanah, tanah tempat itu
bergetas keras.
“Eh… eh…
Tanah bergerak… Biung! Tolong biung! Mati bayiku ditubruk gempa!” Perempuan
hamil berteriak ketakutan, pegangi perutnya sementara tubuhnya tampak
terhuyung-huyung.
Kesal
orang berjubah tidak tertahankan lagi. Dia melompat lalu jambak rambut
berkuncir lima perempuan hamil itu.
“Ampun
biung! Sakit rambutku dijambak! Lepaskan…lepaskan! Nanti rusak pitaku!”
“Perduli
setan pita-pita sialan ini! Kalau perlu kutanggalkan rambutmu, kucopot
kepalamu!”
“Jangan…
Ampun! Aduh biung tolong! Apa salahku sampai ada orang mau mencopot kepalaku!
Tadi mau mencopot lidahku! Apaku lagi yang mau dicopot…!”
“Plaaakkkk!”
Orang tua
yang menjambak pergunakan tangan kirinya menampar perempuan hamil itu.
“Orang
tua tak punya welas asih! Tega-teganya kau menampar aku… Hik… hik…hik…”
Perempuan hamil menangis sambil usap darah yang mengucur dari sudut bibirnya
yang pecah akibat tamparan keras tadi.
“Aneh…”
membatin si orang tua. “Dia menangis tapi bukan menangis kesakitan karena
kutampar. Padahal bibirnya sampai luka…”
“Lepaskan
jambakanmu. Aku mau pergi saja dari sini! Lepaskan…!”
“Aku
tidak akan melepaskan kalau kau tidak memberitahu siapa dirimu, apa keperluanmu
datang kemari…!
Dari
dalam rumah kayu tiba-tiba keluar seorang lelaki tu bersorban dan berjubah
putih. Dia melangkah terbungkuk-bungkuk. Di punggungnya ada punuk besar. Sepasang
matanya jelalatan. Perempuan hamil tadi jadi tercekat ketika melihat sepasang
mata orang ini. Ternyata merah polos! Buta dan mengerikan! Sesaat sepasang mata
buta itu pandangi perempuan hamil di depannya seolah-olah dia bisa melihat.
Lalu mulut orang bersorban dan berjubah putih serta ada punuk di punggungnya
ini terbuka.
“Orang
merasa curiga melihat tindak tandukmu! Sebaiknya kau lekas bicara terangkan
diri serta maksudmu datang kemari! Kalau tidak aku akan bantu kawanku ini
menjambak rambutmu yang lain!”
“Hik…
hik…. Orang tua bersorban seharusnya bicara sopan! Tapi yang satu ini mulutnya
usil dan kotor! Untung matamu buta! Kalau melek pasti kelakuan dan mulutmu
lebih kurang ajar lagi!”
Orang
bersorban mendelik. Sesaat dia tertawa gelak-gelak. Dilain ketika tiba-tiba dia
membentak mengancam. “Mau kupencet perutmu sampai anakmu keluar?!”
Mendengar
ancaman ini perempuan hamil itu ketakutan setengah mati. Cepat-cepat dia
berkata. “Jangan… jangan dipencet! Ba… baik… aku bicara. Namaku Emut-Emut…”
“Apa?! Siapa
namamu? Coba kau ulangi!” kata lelaki tua berjubah hitam.
“Namaku
Emut-Emut…! Aku sudah berteriak, masakan kau tidak mendengar. Kau rada-rada
tuli ya…?!”
“Eh!
Kurang ajar sekali mulut kadal bunting ini!” kata orang tua berjubah putih yang
punggungnya berpunuk.
“Nama
jelek! Belum pernah aku mendengar nama seperti itu! Jangan-jangan kau mengejek
aku hah?!” Orang tua berjubah hitam dan berambut awut-awutan membentak.
“Namaku
memang itu. Aku tidak dusta! Soal jelek atau bagus kenapa kau mengurusi?!
Namamu sendiri siapa? Mungkin lebih jelek dari aku! Hik… hik… hik!”
“Ooooo!
Memang perempuan sialan!” Orang tua yang menjambak kembali hendak menampar.
Kali ini perempuan hamil itu pergunakan kedua tangannya untuk melindungi muka
dan kepalanya, membuat si orang tua batalkan niatnya menampar.
“Kau tak
mau bilang namamu, pasti memang namamu lebih jelek dariku! Hik…hik… hik!
Betulkan?!”
Si jubah
hitam keluarkan suara menggereng saking marahnya. “Bilang cepat apa keperluanmu
datang ke puncak Gunung Merbabu ini?! Atau kupuntir kepalamu saat ini juga!”
“A… aduh
biung! Bagaimana ini?! Tadi kau mau copot lidahku, mau copot kepalaku, sekarang
mau memuntir! Apa kau kira kepalaku buah kelapa? Hik… hik… hik!”
Orang
yang menjambak kepalkan tinjunya, pukulannya di arahkan pada perut.
“Tobat
biung! Jangan pukul! Aku akan bilang! Aku kemari mencari bapak bayiku!” kata
perempuan hamil mengaku bernama Emut-Emut.
“Mencari
bapak bayimu…?! Orang berjubah hitam tampak heran besar, begitu juga kawannya
si mata buta merah yang bersorban dan berpunuk.
“Perempuan
geblek! Kalau mau bicara dan berbuat gila jangan di tempat ini!” bentak orang
tua bersorban.
“Eh,
bagaimana kalian ini! Kalian bertanya memaksa! Aku sudah katakan maksudku
datang kemari. Sekarang kalian bilang aku perempuan geblek, bicara dan berbuat
gila! Siapa yang geblek! Siapa yang gila?! Hayooo!” Emut-Emut tampaknya marah
sekali. Dia menyentakkan kepalanya hingga cekalan orang tua berjubah hitam
terlepas. Ini membuat orang tua itu terkejut dan berbisik pada temannya. “Tadi
sikapnya bodoh-bodoh ketakutan. Tapi sekarang dia mampu melepaskan jambakan.
Agaknya perempuan bunting ini punya sesuatu tersembunyi!”
Mendengar
bisikan temannya si buta mata merah yang diam-diam juga meyakini kalau
Emut-Emut memiliki kepandaian berusaha membujuk dengan berkata: “Emut-Emut,
harap maafkan temanku. Dia tidak bermaksud menghinamu…”
“Sudah!
Aku tidak mau bicara lagi pada kalian. Aku mau duduk di atas batu sana. Aku
letih…”
“Tunggu
dulu Emut-Emut…”
“Aku
bilang tidak mau bicara lagi pada kalian. Kecuali kalau kalian mau memberitahu
nama kalian masing-masing!”
“Hemm…”
gumam si jubah hitam. “Kami tak bisa memberitahu!”
“Kalian
tidak jujur. Pasti ada urusan tidak baik di tempat ini. Coba beritahu siapa
kalian berdua adanya!”
“Siapa
kami berdua tidak perlu kau pertanyakan…!” kata lelaki bermata merah dan
berpunuk.
“Hemmm…begitu?
Baik! Kalau kalian tidak mau memberi nama biar aku yang memberikan!” kata
Emut-Emut pula sambil senyum-senyum. Dia menuding dengan ibu jarinya pada
lelaki buta mata merah dan bersorban. “Kau duluan. Aku beri nama Si Buta
Konyol…hemmm kurang tepat. Sudah kau kunamakan saja Si Onta Putih. Kau suka?
Hik… hik… hik!”
“Kurang
ajar!” orang berpunuk kelihatan merah padam wajahnya.
“Kenapa
marah? Setahuku hanya onta yang punya punuk. Kau mengenakan jubah putih dan
punya punuk. Jadi Onta Putih nama yang betul-betul cocok buatmu! Kecuali kalau
kau suka nama Si Buta Konyol! Hik… hik… hik!” Habis tertawa panjang Emut-Emut
berpaling dan tudingkan ibu jarinya pada di jubah hitam berambut awut-awutan.
“Ada nama
bagus untukmu. Kau mau tahu? Kau kuberi nama hemm… Si Rambut… Ah, itu nama
jelek. Kurang pantas. Sudah, kuberi saja kau nama Si Bau Pesing! Hik…
hik…hik…!”
“Setan
alas!” teriak si jubah hitam marah sekali.
“Eh,
jangan marah dulu! Itu nama yang sangat cocok buatmu! Kusebut kau begitu karena
jubahmu sebelah bawah memang bau pesing! Kalau tidak percaya silahkan cium
sendiri!” Emut-Emut membungkuk hendak memegang bagian jubah sebelah bawah tapi
dia berseru keras ketika orang tua itu tiba-tiba tendangkan kaki ke arah
perutnya.
“Kejam
sekali! Kau hendak membunuh bayi dalam kandunganku!” Meski terhuyung-huyung
namun Emut-Emut masih bisa mengelakkan tendangan tadi. Ketika Si Bau Pesing
hendak menyerang lagi kawannya Si Onta Putih memegang lengannya dan berbisik.
“Orang ini aneh. Dia mampu mengelakkan seranganmu. Baiknya biar kita korek dulu
keterangan dari dia…”
“Kurasa
lebih baik menghajarnya lebih dulu, nanti mulutnya nyerocos sendiri!” jawab Si
Bau Pesing.
“Sudah…!
Biar aku yang bicara!” tukas Onta Putih. Sambil mengangkat tangan kirinya dia
berkata. “Emut-Emut, kau bilang datang kemari mencari suamimu…”
“Siapa
bilang mencari suami?!” Emut-Emut cemberut.
“Bagaimana
kau ini! Tadi kau sendiri bilang…” suara Onta Putih menunjukkan rasa jengkel.
Emut-Emut
gelengkan kepalanya keras-keras sambil tangan kanannya digoyanggoyang.
“Aku
kemari mencari bapak jabang bayi yang ada dalam perutku. Bukan suami! Kalau
suami berarti aku pernah dinikah baru dibikin hamil! Tapi yang terjadi aku
dibuat gendut duluan tanpa dinikah!”
Si buta
Onta Putih dan Si Bau Pesing saling pandang lalu kedua orang tua ini sama
tertawa gelak-gelak. Sambil mengusap matanya yang basah akibat tertawa Onta
Putih berkata. “Baiklah, kau bilang datang kemari mencari bapak bayi dalam
perutmu itu. Mengapa mencari ke sini? Apa kau yakin dia tinggal di sini?”
“Dia
memang tidak tinggal di sini. Tapi aku tahu dia bakal berada disini. Kalaupun
belum datang aku akan menunggu sampai dia muncul. Atau sebaiknya aku
menggeledah rumah itu!” Emut-Emut hendak melangkah ke arah rumah kayu tapi
orang tua berjubah hitam yang diberi nama Si Bau Pesing cepat menghalangi
seraya berkata. “Kami tidak mengizinkan kau masuk ke dalam rumah itu!”
“Betul!”
menimpali Onta Putih. “Kau tahu siapa bapak jabang bayimu itu? Maksudku kau
tahu namanya?
“Tentu
saja aku tahu! Memangnya kau kira aku mau-mauan bikin anak sama setan yang
tidak punya nama?! Ceplos Emut-Emut seenaknya.
“Siapa?
Siapa nama bapak bayimu?” tanya Onta Putih pula.
“Orangnya
masih muda. Rambutnya gondrong segini…” Emut-Emut melintangkan tangan kirinya
di pangkal leher. “Tampangnya lumayan, tidak jeleklah…. Tubuhnya tegap. Dia
suka cengengesan….”
“Sudah!
Aku tidak mau dengar, tidak mau tahu semua itu! Katakan saja siapa namanya!”
bentak orang tua berjubah hitam kesal sekali.
“Namanya…
Hemmm… Namanya Wiro Sableng. Tapi dia tidak sableng sungguhan. Hik… hik… hik!
Katanya dia menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”
Baik Si
Bau Pesing maupun Si Onta Putih sama-sama mundur satu langkan saking kagetnya
mendengar nama dan gelar yang disebutkan Emut-Emut itu.
“Eh,
paras kalian berubah! Nah… nah! Jangan-jangan kalian kenal pemuda
itu….Jangan-jangan dia memang sembunyi dalam rumah sana…”
******************
SEPULUH
EMUT-Emut
bergegas melangkah menuju bangunan kayu tapi orang tua berjubah hitam cepat
menahan dadanya dengan telapak tangan kiri. Ketika perempuan hamil itu memaksa
maju, si orang tua mendorongnya dengan keras hingga di hampir terjengkang jatuh
terduduk di tanah.
“Bau
pesing! Kenapa kau mencegahku masuk ke dalam rumah! Pasti pemuda bapak anak ini
ada di situ! Kau berusaha melindunginya! Kau barusan malah mau mendorongku!
Kalau aku jatuh dan anakku brojol di sini apa kau mau tanggung jawab?!”
“Jangan
nyerocos dan bicara ngaco terus! Katakan lagi siapa nama pemuda yang katamu
menghamili dirimu itu?!”
“Aku
sudah menyebutnya tadi. Cukup keras. Apa kau tuli atau budek?!” ujar Emut-Emut.
“Jangan
sampai kutampar kau sekali lagi! Aku tidak main-main! Kau tadi menyebut Wiro
Sableng…”
“Nah kau
tahu, berarti kau sudah dengan! Mengapa bertanya lagi ?!”
“Orang
yang kau cari tidak ada disini!” kata Si Onta Putih.
“Matamu
buta, bagaimana kau bisa melihat!” sentak Emut-Emut. “Melihat dirimu sendiri
kau tak mampu, mana mungkin melihat orang lain!”
Kakek
buta bermata merah cuma ganda tertawa lalu menjawab. “Mata lahirku memang buta.
Tapi mata batinku lebih tajam dari matamu!”
Ucapan
ini membuat Emut-Emut jadi melengak. “Ucapannya itu mengingatkanku pada orang
itu. Tapi ah… Keadaannya jauh berbeda. Atau mungkin…?”
Di
hadapannya tiba-tiba orang tua berjubah berteriak.
“Dia
datang membawa fitnah! Fitnah besar dan keji!”
“Mulutmu
yang keji!” tukas Emut-Emut. “Aku tetap akan menyelidik ke dalam rumah!”
perempuan hamil ini kembali memaksa maju. Tapi lagi-lagi si orang tua
menahannya dengan mendorongkan telapak tangan ke dada. Sekali ini Emut-Emut
habis sabarnya. “Orang tua, aku tidak tahu apa kau laki-laki atau perempuan.
Tapi memegang dada orang adalah perbutan kurang ajar! Kalau kau lelaki berarti
kau tua bangka cabul! Kalau kau perempuan sama denganku berarti kau doyan
manusia satu jenis! Ih…. Jijik aku jadinya!”
Mata Si
Bau Pesing seperti menyala. Tangan kanannya diangkat. Tinjunya dikepal.
“Lekas
angkat kaki dari sini kalau tidak mau kupecahkan kepalamu!”
“Dasar
manusia bau pesing! Kau saja yang pergi duluan!”
Emut-Emut
tarik tangan kiri si orang tua kuat-kuat. Sambil jatuhkan diri ke belakang dia
hunjamkan kaki kanan ke perut Si Bau Pesing itu lalu menendang! Orang tua
berjubah hitam berteriak keras. Kawannya Si Onta Putih keluarkan seruan
tertahan. Orang yang diberi nama Si Bau Pesing itu bukan orang sembarangan.
Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau orang hamil besar seperti Emut-Emut
bisa menarik dan menendang tubuhnya demikian rupa hingga membuatnya mencelat
mental. Sambil menahan sakit si jubah hitam melayang turun dan berteriak.
“Tendangan dibalas tendangan!”
“Wuttt!”
Kaki
kanannya menderu ke arah kepala Emut-Emut. Angin deras ikut menyambar dari
bawah jubahnya. Emut-Emut keluarkan suara seperti mau muntah lalu berteriak.
“Gila!
Bau pesing!” Tangan kirinya dipergunakan untuk menutup hidung. Lalu sambil
berguling menghindari tendangan dia lepaskan pukulan jarak jauh tangan kanan!
Di udara
orang tua berjubah hitam kembali terkejut. “Edan! Perempuan bunting itu
memiliki pukulan hebat mengandung tenaga dalam tinggi! Eh, aku rasa-rasa tahu
pukulan apa yang dilepaskannya!” Namun Si Bau Pesing ini tidak bisa berfikir
panjang karena dia harus selamatkan diri dari hantaman serangan lawan. Dia
cepat melesat ke kiri, jungkir balik di udara lalu menghantam dengan kedua
tangan sekaligus!
“Bummmm!
Bummmm!”
Puncak
Gunung Merbabu bergetar. Tanah, pasir dan kerikil-kerikil kecil berlesatan ke
atas. Di tempat itu sekarang kelihatan dua buah lobang besar, bekas dua pukulan
yang tadi dilepaskan si jubah hitam. Menjejakkan kaki di tanah orang tua ini
memandang berkeliling. “Kurang ajar! Berani dia mempermainkan aku! Mana dia?!”
“Bau
Pesing! Aku ada di sini! Kalau kau turunan monyet dan pandai memanjat ayo naik
dan kejar aku ke atas!”
Orang tua
berjubah hitam mendongak ke atas. Emut-Emut ternyata duduk berjuntai di cabang
sebatang pohon tak seberapa tingginya sambil uncang-uncang kaki dan tertawa
cengengesan.
“Perempuan
bunting anjing kurap! Perlu apa aku capaikan diri mengejarmu ke atas sana.
Cukup dari sini aku bisa memanggang tubuhmu!” Orang tua berjubah hitam
berteriak geram lalu angkat tangan kanannya, siap lepaskan satu pukulan
dahsyat. Meski pukulan belum dilepaskan tapi hawa panas sudah menghampar di
tempat itu. Namun kawannya Si Onta Puith terbungkuk-bungkuk cepat mendatangi
dan berbisik.
“Tahan
dulu seranganmu! Ada yang aneh kurasakan dengan perempuan bunting itu!”
“Huh
apa?!”
“Dia
pasti manusia punya kepandaian. Kau saksikan sendiri di bisa melompat begitu
tinggi lalu menclok di cabang pohon. Setinggi-tingginya ilmu seseorang, masakan
dalam keadaan hamil besar begitu rupa dia tidak takut membuat gerakan-gerakan
yang membahayakan kandungannya!”
“Kukira
kau benar,” jawab si Bau Pesing. “Tadi waktu dia melancarkan tendangan, bagian
bawah pakaian gombrongnya merosot di bagian kaki. Betisnya tersingkap. Aku
lihat betisnya putih…”
“Ah
sialnya diriku yang buta! Tidak dapat melihat betis putih itu!” kata Si Onta
Putih sambil mulutnya komat-kamit.
“Sialan!
Otakmu bisa-bisanya kotor dalam keadaan seperti ini!” maki si jubah hitam. “Padahal
keteranganku belum selesai. Dengar, betisnya memang putih tapi ini yang gila!
Betis itu ditumbuhi bulu lebat!”
“Edan!
Mana ada kaki perempuan berbulu lebat! Kurasa kita sudah tertipu!”
“Biar
saja. Dia menipu kita! Bagaimana kalau kita berdua menelanjanginya agar terbuka
kedoknya?!”
“Aku
setuju! Hik… hik… hik! Ayo kita serbu dia ke atas sana!”
Si Onta
Putih dan Si Bau Pesing lepaskan dua pukulan ke arah cabang pohon di mana
Emut-Emut duduk berjuntai. Selagi perempuan hamil ini menghindar sambil balas
menghantam dua orang tua itu lalu melihat kehebatan Si Onta Putih. Bermata buta
tapi sanggup naik ke atas pohon. “Hanya ada satu manusia berkepandaian seperti
dia di dunia ini. Tapi mengapa tampang, pakaian dan warna matanya lain?”
Emut-Emut tak bisa berfikir lebih jauh karena dua orang tua itu begitu
menjejakkan kaki di cabang pohon langsung menyerang!
Seandainya
ada orang lain di tempat itu tentu akan terheran-heran melihat ada orang
berkelahi di atas pohon. Kalau ketiga orang ini tidak memiliki ilmu meringankan
tubuh sangat tinggi niscaya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi-tadi!
“Tua
bangka pengecut! Mengeroyok perempuan hamil!”
“Perempuan
hamil katamu hah?! Kami justru ingin tahu siapa dirimu sebenarnya!
Perlihatkan
pada temanku perut gendutmu! Ha… ha… ha…!” Si Onta Putih tertawa
tergelak-gelak. Tubuhnya meliuk ke depan. Tangan kirinya kirimkan jotosan ke
dada Emut-Emut sedang tangan kanannya mematah ranting pohon. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Si Bau Pesing. Di tangan kanannya saat itu tergenggam pula
sebatang ranting. Dengan benda ini dua orang tua menyerang Emut-Emut. Perempuan
hamil ini segera terdesak hebat. Dua orang itu ternyata lebih banyak pergunakan
ranting yang mereka jadikan senjata untuk berusaha merobek pakaian yang
dikenakan perempuan hamil itu dari pada menggebuk, memukul atau menusuk.
“Tak ada
jalan lain, aku harus turun agar bisa bergerak lebih leluasa!” memikir sampai
di situ Emut-Emut berteriak keras lalu melompat dari atas cabang. Selagi
tubuhnya melayang di udara, dua orang tua menyusul melompat ke bawah. Sambil
melayang turun ke tanah dua orang tua itu kembali menggempur dengan
ranting-ranting.
“Breett!
Breett!”
Pakaian
gombrong Emut-Emut robek di bagian pantat dan pinggang. “Kurang ajar!
Mereka
benar-benar hendak menelanjangiku! Biar Si Onta Putih ini aku hajar duluan.
Kelihatan dia agak lamban dari Si Bau Pesing!”
Emut-Emut
lalu melompat ke samping kiri, sengaja menjauhi Si Bau Pesing. Ketika Si Onta
Putih berada di tengah-tengah maka dia kirimkan serangan kilat. Orang tua ini
sempat dibuat kalang kabut tapi sampai lima jurus menggempur tidak satu
serangannyapun mengenai si mata buta berpunuk itu!
Sementara
itu orang tua berjubah hitam sesaat tampak tertegun mendelik. Samarsamar dia
mengenali jurus-jurus yang dikeluarkan Emut-Emut waktu menyerang kawannya.
“Tidak mungkin… tidak mungkin dia akan sekurang ajar itu! Tapi… Hah! Dari dulu
dia memang sudah kurang ajar! Jurus-jurus yang dikeluarkannya, mengapa
sembrawutan aneh seperti itu?!”
Si Onta
Putih menahan serangan lawan dengan kiblatkan ranting di tangan kanannya
bertubi-tubi. Begitu gerakan lawan tertahan dia masuk mendekat. Lengannya
digetarkan. Ujung ranting berubah menjadi banyak lalu terdengar suara brebetan
berulang kali. Dada pakaian gombrong Emut-Emut robek besar. Begitu juga bagian
perutnya. Tapi sambil menjerit perempuan ini masih sempat menutupi auratnya. Si
Onta Putih tertawa mengekeh lalu lambaikan tangannya pada Si Bau Pesing.
“Aku siap
menelanjanginya. Kau yang tidak buta apa tidak mau ambil bagian?!”
Mendengar
ucapan temannya itu si jubah hitam segera pula masuk ke dalam kalangan. Kembali
Emut-Emut yang masih mengandalkan tangan kosong itu dikeroyok gencar. Sebentar
saja dia sudah terdesak hebat. Lengan bajunya robek. Beberapa bagian tangannya
tergurat luka. Dalam bertahan mati-matian kedua matanya tidak lepas
memperhatikan jurus-jurus serangan yang dilancarkan orang tua berjubah hitam.
“Aku hampir pasti memang dia… Kalau betul matilah aku!” katanya dalam hati.
“Bukkk!”
“Breett!”
Emut-Emut
katupkan rahang rapat-rapat agar tidak keluarkan suara mengeluh kesakitan
sewaktu bahu kirinya kena ditoreh ranting di tangan kanan Si Onta Putih. Lalu
dari sebelah kanan Si Bau Pesing berhasil merobek lagi pakaiannya di sebelah
bawah perut!
“Setan
alas! Lihat serangan!” teriak Emut-Emut.
Tubuhnya
berkelebat ke arah Si Bau Pesing. Tapi selagi lawan yang satunya bertindak ayal,
dia balikkan tubuh, berkelebat menggempur si buta Onta Putih. Dua tangannya
diangkat ke atas dan membuat gerakan aneh. Sengaja menyongsong ujung ranting
lawan. Sesaat kemudian terdengar suara trak… trak… trak berulang kali.
“Ilmu
mematah tulang!” teriak Si Onta Putih. Lalu cepat-cepat campakkan ranting
kayunya yang tinggal pendek sebelum sepasang tangan Emut-Emut terus meluncur
mematahkan jari-jari tangannya bahkan kedua lengannya!
“Manusia
buta ini sungguh luar biasa! Dia mengetahui ilmu apa yang aku keluarkan!”
membatin Emut-Emut.
Orang tua
berjubah hitam mendadak hentikan serangan rantingnya. Dia bergeser mendekati
temannya dan berbisik. “Kau yang buta bagaimana bisa mengenali serangan yang
barusan dilancarkan perempuan bunting sinting itu?!”
Si Onta Putih
mengangguk sedikit. “Aku hanya menduga. Tapi yakin dugaanku tidak meleset.
Setahuku ilmu itu berasal dari Negeri Matahari Terbit! Tak ada tokoh silat di
sini yang menguasai atau pernah mempelajarinya. Di sana disebut koppo!”
Sepasang
bola mata si jubah hitam berkilat-kilat, berputar tiada henti. “Kurang ajar!
Jadi memang dia rupanya! Benar-benar kurang ajar!” Lalu pada teman di
sebelahnya dia berbisik lagi. “Keluarkan tongkat bututmu! Kau serang dia
habis-habisan. Aku mencari akal bagaimana bisa melumpuhkannya! Sebetulnya kalau
kau suka aku ingin sekali membuat dia sampai sekarat!”
Mendengar
ucapan Si Bau Pesing, kakek buta keluarkan sebuah tongkat kayu butut dari balik
punggung jubah putihnya. Dengan senjata buruk ini dia lancarkan serangan
berantai, merangsak tiada henti. Tongkat di tangannya berubah menjadi begitu
banyak hingga sulit diduga mana yang asli mana yang bayangan. Kalau tadi tidak
sulit bagi Emut-Emut untuk mematahkan ranting kayu yang dipergunakan sebagai
senjata oleh orang tua buta itu, kini bagaimanapun dia mencoba tongkat itu tak
berhasil dipatahkannya. Dia sempat menangkap beberapa kali namun sebelum
dipatahkan tongkat itu sudah lolos dari cengkeramannya. Selagi dia berusaha
membendung serangan lawan tongkat di tangan si buta mata merah itu justru
mengurungnya dan Emut-Emut sempat keluarkan seruan tertahan. Dalam
penglihatannya tongkat telah berubah menjadi batangan-batangan balok, membentuk
lingkaran dan mengurungnya. Bagaimanapun dia berusaha menerobos tetap saja dia
berada dalam kurungan itu.
“Celaka!
Apa yang harus aku lakukan?!” keluh Emut-Emut. Dia jadi keluarkan keringat
dingin. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari samping datang tusukan ranting
Si Bau Pesing menembus perutnya!
“Breettt!”
Ujung
tongkat dicongkelkan ke atas. Sekali lagi terdengar suara breeet! Lalu di udara
tiba-tiba saja kelihatan kapuk beterbangan.
“Celaka!”
keluh Emut-Emut sekali lagi. Dia berusaha menutupi pakaian di bagian perut yang
robek besar. Namun saat itu terasa ada sambaran angin di punggungnya. Emut-Emut
berpaling sambil hantamkan tangan kanannya namun terlambat. Satu totokan
mendarat telak di punggungnya, membuat dia kaku tegang tak bisa bergerak. “Aku
harus membebaskan diri. Kalau tidak benar-benar bisa celaka….” Emut-Emut
kempeskan perutnya lalu kerahkan aliran darah.
Orang tua
berjubah melompat ke hadapan Emut-Emut. Tangan kiri diletakkan di pinggang.
Dari mulutnya keluar tawa panjang mengekeh. “Ilmu totokanku bukan dari jenis
picisan yang bisa dipunahkan begitu saja! Kau boleh kerahkan tenaga dalam
sampai terkentut-kentut bahkan terberak-berak! Mustahil kau bisa membebaskan
diri!”
“Tua bangka
pengecut! Tak sanggup menghadapiku waktu mengeroyok sekarang kau main totok!”
damprat Emut-Emut.
“Perempuan
bunting! Sekarang kita lihat siapa kau sebenarnya!”
Si Bau
Pesing maju dua langkah. Ranting di tangan kanannya bergerak menggeletar lalu
berubah jadi bayangan. Terdengar suara brett… brett… brett berulang kali.
Pakaian gombrong yang melekat di tubuh. Emut-Emut robek besar di mana-mana
hingga akhirnya pakaian itu jatuh merosot ke tanah.
“Sudah
kau telanjangi tubuhnya!” bertanya Si Onta Putih.
“Belum,
ternyata dia mengenakan pakaian laki-laki di balik baju gombrongnya!”
jawab Si
Bau Pesing. “Kau tahu apa yang aku lihat sobatku! Di bagian perutnya dia
mengikatkan dua buah bantal besar. Kapuk beterbangan di udara! Itu rupanya
jabang bayinya! Ha… ha… ha…! Ada laki-laki gila yang berpura-pura bunting pakai
bantal berisi kapuk!”
“Mengaku
datang ke sini mencari bapak anaknya! Ha… ha… ha! menimpali Si Onta Putih.
“Lekas kau telanjangi di agar ketahuan siapa monyet jantan ini sebenarnya!”
“Kalau
kau berani menelanjangiku, aku bersumpah membunuh kalian berdua!” mengancam
Emut-Emut.
“Huh!
Ancaman tengik! Umurmu tidak lebih panjang dari umur kami berdua!”
sahut Si
Bau Pesing. Sepasang matanya memperlihatkan dengan tajam perempuan hamil yang
kini terlihat mengenakan pakaian ringkas. Lalu orang tua ini gerakkan tangan
kanannya yang memegang ranting.
“Brettt!”
Dada
pakaian orang di hadapannya robek besar. Dadanya tersingkap. Pada dada itu
kelihatan rajah tiga buah angka 212! Si Bau Pesing hampir terlonjak saking kagetnya.
Sekujur tubuhnya yang bungkuk bergetar.
“Anak
setan! Kau rupanya!” katanya setengah berteriak.
Si Onta
Putih bertanya. “Siapa? Siapa dia? Lekas katakan padaku!”
“Aku
belum pasti, mungkin memang dia tapi mungkin juga orang lain menyamar….” Si Bau
Pesing melompat ke hadapan Emut-Emut yang saat itu tertegak kaku tak bisa
bergerak. Tangan kirinya berkelebat ke arah leher sebelah bawah Emut-Emut.
“Sretttt!”
Sekali
tarik saja terlepaslah selembar topeng sangat tipis yang menutupi wajahnya. Si
Bau Pesing menjerit keras ketika melihat tampang asli Emut-Emut.
******************
SEBELAS
ONTA
Putih mendongak lalu berkata.
“Hai! Kau
menjerit! Tentu kau sudah mengetahui siapa dia! Lekas katakan padaku!”
“Anak
setan! Anak geblek gendeng sialan! Dia rupanya!”
“Hai! Kau
masih belum mengatakan siapa orangnya!”
“Siapa
lagi kalau bukan dia! Anak setan bernama Wiro Sableng itu! Sialan benar. Berani
dia menipuku!”
Emut-Emut
tertawa cengengesan. Kalau saja tangannya bisa bergerak pasti saat itu dia
sudah menggaruk kepalanya habis-habisan!
Si Onta
Putih begitu mendengar nama yang disebutkan Si Bau Pesing dongakkan kepala lalu
tertawa gelak-gelak. “Kita yang tua bangka ini memang sudah kena ditipu!”
“Guru,
Eyang…. Aku mau berlutut di depanmu minta ampun. Tapi tidak bisa! Aku minta
ampun atas semua perbuatanku ini….” Emut-Emut berucap. Suaranya tiba-tiba saja
jadi berubah.
“Eh!”
Orang tua berjubah hitam mundur selangkah. “Siapa yang kau panggil Eyang, siapa
yang kau panggil guru! Jangan bicara ngacok di hadapanku!”
Onta
Putih tersenyum-senyum. “Aku kenali suaranya sekarang. Rupanya tadi-tadi dia
pergunakan ilmu kepandaian merubah suara. Benar-benar anak setan!”
Emut-Emut
alias Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bergumam. Lalu berkata. “Guru,
sebetulnya aku sudah tahu siapa kau sejak mencegat aku di gubuk reyot waktu
malam hujan-hujan itu….”
Orang tua
berjubah hitam itu angkat tangannya yang memegang ranting, siap untuk
dipukulkan ke kepala Wiro. Saat itu Si Onta Putih tiba-tiba tertawa lalu
berkata. “Sinto, kalau dia sudah tahu siapa dirimu rasanya tak perlu lagi
menyamar berlama-lama. Bukankah kita sudah menguji tingkat kepandaiannya…?!”
Habis
berkata begitu orang tua berpunuk ini campakkan sorban di kepalanya lalu
membuka jubah putihnya. Begitu jubah ditanggalkan, di punggungnya kelihatan
sebuah caping besar diikatkan ke tubuhnya yang mengenakan pakaian rombeng
butut. Di ketiak kirinya ada sebuah buntalan kain. Caping besar itulah yang
tadi membentuk punuk di punggungnya! Tidak sampai disitu, orang ini lalu pergunakan
tangan kiri untuk menarik lepas sehelai topeng yang menutupi wajahnya.
“Kakek
Segala Tahu!” seru Wiro begitu dia mengenali siapa adanya orang tua itu.
Si kakek
tertawa bergelak. Dia luruskan tubuhnya berulang kali. Lalu dari dalam
buntalannya dia kelurkan sebuah kaleng rombeng. Setelah mendongakkan kepala dia
goyangkan kaleng itu berulang kali hingga menggemalah suara kerontang
menyakitkan telinga di puncak Gunung Merbabu itu!
“Aneh….
Tadi waktu berkelahi kaleng itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi! Berarti
dia menahan gerakan batu-batu dalam kaleng dengan tenaga dalamnya! Luar biasa
tua bangka satu ini!” membatin Pendekar 212.
“Kek,
masih ada yang ketinggalan….” Kata Wiro pada Kakek Segala tahu.
“Eh, apa
maksudmu anak geblek?!” bertanya Kakek Segala Tahu sementara si jubah hitam
tegak terlongong-longong.
“Sepasang
matamu seharusnya berwarna putih. Aku tak tahu kau memakai apa hingga kulihat
matamu berwarna merah semua!”
Kakek
Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Dia usap kedua matanya dengan tangan kiri.
Setelah mengusap dia perlihatkan telapak tangannya pada Wiro.
“Daun
angsana merah!” seru Wiro. Rupanya selama ini si kakek sengaja pergunakan dua
lembar daun angsana merah untuk menutupi sepasang matanya yang buta putih!
Kakek
Segala Tahu kembali tertawa panjang. Dia bolang balingkan tongkat bututnya lalu
berpaling pada si jubah hitam di sebelahnya. “Sinto, kau tunggu apa lagi?!”
Yang
ditegur diam saja. Ragu dia rupanya.
“Orang
sudah tahu siapa dirimu, perlu apa menyamar terus?!”
Mulut si
jubah hitam tampak komat-kamit. Terdengar dia menggerendeng panjang pendek.
“Anak setan sialan. Kau bakal menerima hukuman berat dariku…. Hik…hik…hik!”
Mula-mula
orang ini buka jubah hitamnya. Kini kelihatan pakaian aslinya, sebuah kebaya
panjang dalam yang sudah rombeng dan kotor serta bau apak. Dia mengenkan kain
panjang sebatas betis hingga terlihat sepasang kakinya yang kurus.
Perlahan-lahan dia tanggalkan topeng dan rambut palsu yang menutupi wajah serta
kepalanya. Terlihat wajahnya yang sebenarnya, cekung menyeramkan tinggal kulit
pembungkus tengkorak. Di atas kepalanya yang berambut sangat jarang menancap
lima buah tusuk konde terbuat dari perak. Dia berusaha meluruskan tubuhnya yang
bungkuk tapi tidak bisa karena nenek ini memang sudah bungkuk dimakan usia. Inilah
dia si nenek sakti dari puncak Gunung Gede, salah seorang dedengkot dunia
persilatan dikenal dengan nama Sinto Gendeng terlahir bernama Sinto Weni.
Kakek
Segala Tahu tusukkan tongkat bututnya di punggung Wiro. Serta merta totokan
yang menguasai tubuh sang pendekar punah.
“Lekas
berlutut minta ampun pada gurumu!” kata Kakek Segala Tahu lalu mendorong
punggung Pendekar 212.
Wiro
cepat jatuhkan diri di hadapan Sinto Gendeng. Dia membungkuk berulang kali lalu
berkata. “Eyang maafkan aku. Aku telah berlaku kurang ajar padamu. Berani
menipu dan melawanmu!”
“Bagus!
Aku terima maafmu! Tapi makan dulu gebukan ini!” Sinto Gendeng pukulkan ranting
kayu di tangan kanannya ke kepala Wiro.
“Traakkk!”
Ranting
kayu di tangan Sinto Gendeng patah hancur berantakan. Tangan si nenek tergetar
keras. Kakek Segala Tahu telah menangkis ranting itu dengan tongkat bututnya
“Sinto,” si kakek lalu menegur, “Jangan perturutkan hati kesalmu. Bukankah
semua ini sesuai dengan yang kita rencanakan? Kalau dia bisa menipu kita
bukankan itu menunjukkan otaknya lebih encer dari kita?!”
Sinto
Gendeng campakkan sisa patahan ranting yang dipegangnya. Dia memandang pada di
buta Kakek Segala Tahu lalu pada sang murid yang masih berlutut tundukkan
kepala. Sesaat kemudian nenek sakti ini tertawa terpingkal-pingkal. Begitu
panjang seolah tidak akan berhenti. Wiro yang berlutut tundukkan kepala
tiba-tiba melihat sesuatu mengalir di kedua kaki gurunya disertai bau yang
menusuk. Wiro serta merta melompat sebelum dia terkena percikan air itu.
“Ada
apa?!” bertanya Kakek Segala Tahu.
“Dia
kencing…” jawab Wiro.
Kakek
Segala Tahu tak dapat menahan gelaknya. Dia tertawa sampai keluar air mata.
Wiro mula-mula hanya garuk-garuk kepala tapi kemudian ikut juga tertawa
gelakgelak.
“Kalian
berdua sudah pada gila apa?! Mengapa tertawa begini rupa?!”
Tentu
saja sang murid tak bisa menjawab. Akhirnya si kakek hentikan tawanya dan
berkata. “Sinto, lain kali kalau mau buang air sebaiknya mencari tempat! Jangan
kencing sembarangan!”
Sinto
Gendeng yang seolah baru menyadari apa yang terjadi banting-banting kaki. Walau
malu tapi justru dia tunjukkan sikap marah. Inilah sifat aneh si nenek sakti
dari puncak Gunung Gede itu.
“Kita
masuk ke rumah sekarang. Kawan yang satu itu sudah lama menunggu,” mengajak
Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
“Tunggu
dulu,” sahut Sinto Gendeng. “Aku mau tanya bagaimana sebelumnya kau sudah
merasa bahwa aku yang menyamar ini adalah gurumu?!”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Eyang, kalau aku katakan kau pasti marah lagi padaku!”
“Kali ini
aku berjanji tidak marah asal kau tidak bicara ngaco!” jawab si nenek.
“Pertama
kulihat potongan tubuhmu. Sikapmu selalu bungkuk karena memang begitu keadaan
tubuhmu. Kedua kalau kau tertawa suara palsumu tersamar dengan suara asli yang
segera kukenali. Kemudian secara tak sadar kau memaki diriku dengan sebutan
anak setan. Siapa yang punya kebiasaan seperti itu kalau bukan kau? Lalu ada
satu hal yang paling meyakinkan….”
Wiro
diam, tak segera meneruskan ucapannya.
“Apa? Ayo
katakan! Kenapa kau berhenti ngomong?!” tukas Sinto Gendeng.
“Itu….
Hemmm…. Pakaianmu sebelah bawah mengumbar bau pesing…” jawab Wiro lalu tutup
mulutnya dengan tangan agar tidak terdengar suara tawanya. Di sampingnya Kakek
Segala Tahu justru sudah meledak duluan tawanya. Sinto Gendeng memaki panjang
pendek tapi tidak berbuat sesuatu. “Dengar anak setan, aku ada dua pertanyaan
padamu. Pertama, aku tidak mengajarkan ilmu menyarukan suara padamu. Membuat
aku tidak mengenali suaramu. Dari mana kau belajar ilmu itu….”
“Dari…
dari seorang pandai di Negeri Matahari Terbit…” jawab Wiro.
“Hemmmm….”
Sinto Gendeng komat-kamit. Lalu dia bertanya lagi. “Pertanyaan kedua. Dari mana
kau belajar ilmu mematahkan tulang yang disebut koppo itu?!”
“Juga
dari seseorang di Negeri Matahari Terbit itu guru…” jawab Wiro. (Mengenai ilmu
mematahkan tulang yang disebut koppo harap baca serial Wiro Sableng berjudul
“Sepasang Manusia Bonsai”)
“Bagus,
ilmumu sudah bertambah. Tapi masih jauh dari cukup untuk menghadapi tugas berat
yang bakal dibebankan ke pundakmu!” Wiro terkejut dan berpaling pada Kakek
Segala Tahu.
“Kek,
tugas berat katamu? Tugas berat apa?”
“Anak
setan,” yang menjawab si nenek sakti. “Ketahuilah, aku mencegatmu di gubuk itu
hanya sekedar untuk menguji kepandaianmu. Juga apa yang terjadi disini semua
ujian untukmu. Ilmu silatmu tidak kami sangsikan. Cuma kesaktianmu masih sangat
kami khawatirkan….”
“Aku
tidak mengerti…” kata Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.
“Supaya
kau mengerti mari ikuti aku masuk ke dalam rumah sana…” kata Sinto Gendeng lalu
melangkah duluan menuju rumah kayu di ujung pedataran. Wiro pegang lengan Kakek
Segala Tahu, sambil menuntun orang tua ini dia melangkah mengikuti si nenek.
“Eh,
walau mataku buta kau tak usah menuntunku segala. Aku bisa jalan sendiri…” kata
Kakek Segala Tahu.
“Aku
tahu,” jawab Wiro setengah berbisik. “Aku cuma mau mendekat, mau tanya apa
sebenarnya yang ada dibalik semua urusan aneh ini?”
“Aku cuma
bisa bilang, dunia persilatan terancam kiamat!” jawab si kakek lalu lepaskan
tangannya dari pegangan Wiro dan melangkah cepat menuju rumah kayu.
******************
DUA BELAS
DARI luar
rumah kayu itu kelihatan kecil saja. Tapi begitu masuk di dalam ternyata luas
sekali. Wiro terheran-heran melihat pemandangan dalam rumah kayu ini. Bagian
dalam hanya merupakan satu ruangan luas terbuka. Di atas lantai papan ada
setumpukan jerami kering setinggi pinggang. Sebelah atas tumpukan jerami ini
ditutup dengan lembaranlembaran kulit kambing kering yang disambung satu sama
lain hingga merupakan selembar tikar besar. Di atas tikar kulit kambing ini
terbujur satu sosok tubuh gemuk besar luar biasa hingga tumpukan jerami melesak
ke bawah.
“Si Raja
Penidur!” ujar Wiro sambil berpaling pada Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
“Hemm…. Jika dia ada di sini berarti memang ada satu urusan besar!”
Seperti
Kakek Segala Tahu dan Sinto Gendeng, Si Raja Penidur dikenal sebagai salah satu
dedengkot rimba persilatan di masa itu. Hanya saja dia jarang memunculkan diri
karena pekerjaannya sehari-hari bahkan sepanjang tahun cuma tidur melulu.
Sekali tidur jangan harap dia bisa bangun cepat. Suara dengkurnya menggetarkan
bangunan kayu itu.
(Mengenai
Si Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Siluman Teluk Gonggo”)
Kakek
Segala Tahu gelengkan kepala. “Hampir tiga puluh hari kami menungguinya di
sini! Sontoloyo biang ngorok itu masih saja tidur. Kapan bangunnya…? Padahal
urusan besar sudah menunggu. Gawat kalau begini…!”
“Kita
harus membangunkannya secara paksa!” kata Sinto Gendeng pula.
“Itu
katamu. Apa kau tidak tahu sifat keadaannya? Sekalipun petir menyambar di atas
jidatnya, sekalipun geledek menggelegar di samping telinganya dia tak bakalan
terbangun!” ujar Kakek Segala Tahu pula.
“Coba kau
kerontangkan kaleng rombengmu di salah satu telinganya!” kata Sinto Gendeng
pula.
“Aku
sudah mencoba! Kau tahu hasilnya!”
“Kerahkan
seluruh tenaga dalammu!”
“Baik…
baik. Aku akan coba lagi!”
Kakek
Segala Tahu mendekati tumpukan jerami. Dengan ujung tongkatnya dia meraba-raba
sampai akhirnya dia mengetahui di mana letak kepala Si Raja Penidur. Lalu dia
kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tenaga dalam ini disalurkan ke tangan kiri
yang memegang kaleng rombeng berisi batu. Begitu kaleng digoyangkan menggelegarlah
suara berkerontang keras sekali. Bangunan kayu bergetar dan liang telinga
seperti ditusuk besi panas! Baik Wiro maupun Sinto Gendeng cepat tekap telinga
masing-masing. Sampai si kakek merasa pegal menggoyang tangan terus-terusan, Si
Raja Penidur masih saja ngorok. Akhirnya Kakek Segala Tahu capai sendiri dan
berhenti menggoyang kaleng rombeng itu. Dia tanggalkan caping bambunya lalu
mengipas-ngipasi mukanya yang basah oleh keringat.
“Apa lagi
yang kita lakukan sekarang?!” Kakek Segala Tahu seperti putus asa.
“Bagaimana
kalau kita pencet saja bijinya?!” berkata Sinto Gendeng.
Wiro
tertawa geli mendengar ucapan gurunya itu sedang Kakek Segala Tahu menyeringai
sambil geleng-gelengkan kepala. “Kalau dia bangun, kalau dia mati bagaimana?”
ujarnya. Perlahan-lahan dia palingkan mukanya pada Wiro. Sinto Gendeng ikut
menoleh. Saat itu Wiro tegak tak bergerak. Kedua matanya dipejamkan dan
tangannya sibuk menggaruk-garuk kepala.
“Anak
setan ini tengah berfikir keras,” kata Sinto Gendeng dalam hati yang tahu betul
apa yang tengah dilakukan muridnya. Lalu dia ajukan pertanyaan. “Anak setan,
apa yang ada dalam benakmu?!”
Perlahan-lahan
Wiro buka kedua matanya. “Orang bangun dan orang tidur samasama bernafas…”
“Orang
gila juga tahu hal itu!” kata Sinto Gendeng.
“Kalau
jalan nafasnya terganggu, orang bangun bisa pingsan, orang tidur bisa melejang
menggeliat lalu terbangun!”
“Hemmm….
Kau mau menyuruh aku memencet hidung sontoloyo itu?!” tanya Kakek Segala Tahu.
“Bukan
itu yang aku maksudkan. Mungkin itu bisa menolong tapi ada yang lebih ampuh.
Mengganggu jalan nafasnya bukan Cuma menutup hidung, tapi membuat begitu rupa
hingga gangguan itu menjalar dalam tubuhnya, masuk ke dalam otaknya!”
“Kau
bicara seperti seorang dukun besar!” kata Sinto Gendeng ketus.
Wiro
angkat tangannya. “Aku cuma punya satu usul. Jika diterima kurasa pasti si
penidur ini bisa kita bangunkan!”
“Sudah,
katakan saja apa yang ada dalam otakmu Wiro!” kata Kakek Segala Tahu.
Wiro
Sableng berpaling pada Sinto Gendeng. “Guru, kau naiklah ke atas kasur jerami
itu. Berdiri tepat di atas kepala Si Raja Penidur lalu perlahan-lahan turun dan
jongkok. Kukira tidak akan makan waktu lama sebelum dia bisa kita bangunkan!”
Sepasang
mata Sinto Gendeng yang cekung seperti mau melompat keluar dari sarangnya.
“Anak setan kurang ajar! Kau kira apa aku ini? Menyuruh aku jongkok di atas
kepala si sontoloyo itu!”
“Tunggu…
tunggu Sinto!” Kakek Segala Tahu menengahi. “Kurasa ucapan muridmu benarnya.
Membangunkan orang dengan mengganggu jalan pernafasannya. Bau pesing tubuh dan
pakaianmu akan masuk ke dalam hidungnya, larut dalam jalan pernafasan lalu
mengalir dalam darah. Sampai ke jantung terus ke otak! Dia benar! Si Raja
Penidur pasti akan terbangun!”
“Kau juga
setan! Aku tidak mau melakukan!” kata Sinto Gendeng sambil banting kaki.
“Terserah
padamu! Jika kau suka kita menunggu berlama-lama di tempat ini. Satu bulan,
mungkin satu tahun lagi dia belum tentu bangun secara wajar!” kata Kakek Segala
Tahu. Sinto Gendeng banting-banting kaki. Mulutnya menggerendeng panjang pendek
dan matanya berkilat-kilat memandang pada muridnya.
“Anak
setan!” teriak si nenek. Tapi saat itu juga tubuhnya melesat ke atas kasur
jerami. Kedua kakinya menjejak di kiri kanan kepala Si Raja Penidur. Si nenek
masih memaki dan masih memandang melotot pada Wiro. Perlahan-lahan dia lalu
berjongkok. Wiro tutup mulut menahan tawa sementara Kakek Segala Tahu dongakkan
kepala dan goyangkan kaleng rombengnya tiga kali berturut-turut. Saat demi saat
berlalu.
“Sial!
Kakiku sudah letih!” terik Sinto Gendeng.
“Bertahan
Sinto! Bertahanlah!” ujar Kakek Segala Tahu.
Tiba-tiba
salah satu kaki Si Raja penidur kelihatan bergerak, menyusul salah satu
tangannya. Lalu kepalanya terangkat dari atas tikar kulit kambing. Hidungnya
mengerenyit dan mulutnya terbuka lebar. Tiba-tiba dari mulut itu membersit
suara berbangkis tiga kali. Sinto Gendeng cepat melompat turun.
“Setan
alas! Bau busuk apa ini?!” teriak Si Raja Penidur seraya bangkit duduk,
berbangkis lagi lalu gosok hidungnya berulang kali. Setelah menguap lebar-lebar
perlahanlahan dia buka kedua matanya, memandang berkeliling. Dia segera
mengenali ketiga orang yang berdiri di samping tumpukan tempat tidurnya.
“Heh….
Kalian bertiga. Manusia-manusia jelek…. Mengapa berada disini…?
“Kau
sendiri mengapa juga ada di sini?!” Kakek Segala Tahu menukas.
“Kau
betul! Mengapa aku ada di sini ya…?!” Si Raja Penidur mengucak kedua matanya.
Di menguap lagi lebar-lebar. “Aku tak tahu jawabannya. Ah, mengapa susah payah.
Lebih baik aku tidur lagi!” Lalu dia segera hendak rebahkan tubuhnya ke atas
tikar kulit kambing.
“Tunggu
dulu!” seru Kakek Segala Tahu dan dengan cepat menahan punggung Si Raja Penidur
dengan tongkat bututnya hingga raksasa gendut berbobot ratusan kati ini tak
jadi menelentang tidur. “Sesuai ucapanmu dulu, kami datang di sini untuk
mendengar jelas mimpimu tiga ratus hari lalu!”
“Mimpiku
tiga ratus hari lalu?” Si Raja Penidur mendongak. “Gila…. Mana aku bisa ingat!”
katanya. Dia hendak merebahkan tubuhnya kembali tapi tak bisa karena tertahan
oleh tongkat kayu Kakek Segala Tahu.
“Kalau
kau tak bisa mengingat biar aku yang mengingatkan!” kata Sinto Gendeng.
Tangan
kanannya lalu memencet ibu jari kaki kiri Si Raja Penidur. Si gendut meringis
dan berkata. “Kau ini masih suka bercanda Sinto! Jangan gelitik kakiku!”
teriaknya. Si Raja Penidur menganggap kakinya digelitik, padahal jangankan ibu
jari manusia, batupun bisa hancur oleh pencetan tadi!
“Tiga
ratus hri lalu saat kau terbangun dari tidur, kau bilang telah mimpi tentang
sebuah kitab. Ingat…?” Sinto Gendeng kembali pencet kaki si gendut. Si Raja Penidur
meyeringai. “Ya aku ingat…! Aku ingat sekarang!”
“Katamu
ada sebuah kitab yang jika jatuh ke tangan jahat akan membuat kiamat dunia
persilatan. Kau ingat…?”
“Ya… ya….
Aku ingat!” Si Raja Penidur menguap lebar-lebar.
“Tiga
ratus hari lalu kau tak sempat menjelaskan secara rinci. Kau keburu tidur!
Sekarang ini kesempatan kau mengatakannya!”
“Hemmm…
huah…” Si Raja Penidur menguap lagi.
“Kalian
menginginkan kitab itu?” tanya Si Raja Penidur.
“Menginginkan
atau tidak itu tak jadi masalah. Yang penting jika sudah tahu kami akan mencari
jalan bagaimana menyelamatkan dunia persilatan!” jawab Sinto Gendeng. Si gendut
geleng-gelengkan kepala. “Tidak satupun dari kalian berjodoh dengan kitab itu.
Seorang lain akan mendapatkannya lebih dulu dari kalian. Begitu yang tersirat
dalam mimpiku…”
“Sialan!”
teriak Sinto Gendeng sambil bantingkan kaki.
“Brengsek!”
maki Kakek Segala Tahu lalu pukulkan tangan kirinya ke jidatnya sendiri.
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala. “Dari tadi kalian ribut membicarakan sebuah kitab
yang katanya bisa membuat kiamat dunia persilatan. Sebetulnya kalian ini
membicarakan apa? Aku sendiri tidak diberi tahu kitab apa itu! Padahal
sebelumnya disebut-sebut aku punya beban berat di atas pundak….”
Si Raja
Penidur berpaling pada Sinto Gendeng. “Kau sudah dengar keluhan muridmu.
Mengapa tidak menceritakan?”
Sinto
Gendeng komat-kamitkan mulutnya yang perot lalu berkata. “Anak setan kau dengar
baik-baik. Ada sebuah kitab bernama Wasiat Iblis. Selama puluhan tahun kitb itu
lenyap tak diketahui entah kemana. Kemudian tiba-tiba diketahui kitab celaka
itu berada di tangan seorang tokoh silat bernama Jarot Ampel bergelar Iblis
Tanpa Bayangan. Manusia satu ini kabarnya berusia lebih dari seratus lima puluh
tahun. Sudah bosan hidup. Dia ingin mati cepat-cepat. Sebelum mati kitab itu
akan diserahkannya pada seseorang yang berjodoh. Nah kau bisa bayangkan kalau
kitab itu jatuh ke tangan orang lain dan kita tidak bisa mencegahnya….”
“Kalau
kita tahu kitab itu berada dimana dan bergerak cepat mungkin kita bisa mendapatkannya,”
kata Wiro.
Si Raja
Penidur menguap lalu gelengkan kepala. “Aku sudah bilang. Dalam mimpiku
tersirat apa yang bakal menjadi kenyataan. Kitab itu tidak bakal kalian
dapatkan….”
“Bisa
jadi begitu. Tapi kalau kita tidak berusaha bagaimana membuktikannya!” ujar
Wiro.
Si Raja
Penidur menyeringai. “Semangatmu tinggi dan nyalimu masih berkobarkobar anak
muda. Tanyakan pada Kakek Segala Tahu, dia bisa meramal dan melihat di mana
kitab itu berada. Aku sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur.…”
“Awas, cegah
dia tidur!” teriak Sinto Gendeng.
Kakek
Segala tahu putar tangannya yang memegang tongkat penahan punggung Raja Penidur
dan alirkan tenaga dalamnya. Tubuh raksasa Si Raja Penidur bergetar
tersentak-sentak.
“Gila!
Kau apakan badanku ini?!” teriak Si Raja Penidur.
“Kau
belum memberi semua keterangan. Dulu kau katakan kau juga melihat sebuah kitab
lain dalam mimpimu. Kau bilang siapa saja yang bisa mendapatkan kitab itu maka
akan sanggup menghadapi kehebatan kitab Wasiat Iblis….”
Si Raja
Penidur tertawa. “Soal kitab yang satu itu memang ada dalam mimpiku. Tapi tak
ada petunjuk lengkap….”
“Sudah!
Katakan saja apa yang kau ketahui!” kata Kakek Segala Tahu tak sabaran.
“Namanya
Kitab Putih Wasiat Dewa. Dimana beradanya tidak ada petunjuk. Yang tersirat
dalam mimpiku, aku melihat seorang kakek berambut dan berkumis serta berjanggut
dan berjubah putih yang tahu dimana beradanya kitab itu….”
“Gila! Di
dunia ini ada ratusan orang seperti itu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Betul…”
menyahuti Si Raja Penidur lalu menguap lebar-lebar. “Tapi orang tua yang
kulihat dalam mimpi bermuka biru sebelah dan selalu mengunyah daun sirih….”
Sinto
Gendeng berpaling pada Kakek Segala Tahu. “Kau bisa menyelidik siapa orang
itu?”
“Aku akan
berusaha. Tapi ada satu hal yang perlu kita tanyakan padanya….”
“Terlambat!”
seru Wiro. “Lihat! Matanya sudah terpejam! Dia sudah tidur!”
Sesaat
kemudian terdengar suara dengkur Si Raja Penidur. Tiga orang itu hanya bisa
saling pandang beberapa saat lamanya. “Kakek Segala tahu, tugas penting kini
berada di tanganmu. Pergunakan kesaktianmu. Kau harus bisa meramal dan memberi
petunjuk mengenai dua kitab itu. Di mana beradanya….”
Kakek
Segala Tahu anggukkan kepalanya. “Kita keluar saja dari sini. Dengkur si sontoloyo
ini mengganggu pemusatan pikiranku….”
Sampai di
pedataran di depan rumah kayu Kakek Segala Tahu duduk di atas sebuah batu.
Kedua matanya dipejamkan. Kepalanya didongakkan. Tongkat bututnya menunjuk ke
langit. Lalu dia goyang-goyangkan kaleng rombengnya sampai tujuh kali. Lama
sekali baru dia berhenti menggoyang kaleng dan buka mata butanya yang
dipejamkan.
“Kau
mendapat petunjuk…?” tanya Sinto Gendeng.
“Aku
melihat Kotaraja. Lalu awan berarak ke arah barat. Ada sebuah bukit kecil.
Itu
petunjuk mengenai Kitab Wasiat Iblis. Berarti kitab itu ada di sana tapi sulit
mengetahui di mana letaknya. Kurasa terlalu sia-sia kalau kita mengejar kitab
itu. Si Raja Penidur sudah mengatakan bahwa kitab itu tidak berjodoh pada salah
satu dari kita. Dikejar tetap saja akan jatuh ke tangan orang lain. Malah
begitu orang itu mendapatkan dan mempelajarinya, keselamatan siapa saja yang
mengejar tidak akan tertolong! Lebih baik memusatkan perhatian pada kitab kedua
yang dianggap sanggup menjadi penumpas ilmu yang terkandung dalam Kitab Wasiat
Iblis….”
“Apa
petunjuk yang kau dapat mengenai kitab kedua?” tanya Sinto Gendeng.
“Mimpi Si
Raja Penidur sangat cocok dengan petunjuk yang barusan kudapat. Walau
samar-samar aku dapat melihat bayangan orang tua berjubah putih bermuka biru
sebelah itu. Bagian biru mukanya ada di sebelah kanan. Mulutnya komat-kamit
makan sirih terus-terusan hingga bibirnya merah seperti darah. Dia adalah
Tunggul Anggoro yang dikenal dengan julukan Raja Obat Delapan Penjuru Angin.
Tempat kediamannya sebuah pulau terpencil di pantai selatan…. Jika kita bisa
menemuinya niscaya akan dapat petunjuk di mana Kitab Putih Wasiat Dewa itu
berada. Dengan menguasai ilmu kesaktian dalam kitab itu dunia persilatan bisa
diselamatkan dari Kitab Wasiat Iblis….”
Kakek
Segala Tahu goyangkan kaleng rombengnya lalu usap wajahnya yang keringatan.
Wiro
mendehem beberapa kali. “Bagiku jelas sekarang, mengapa kalian memancingku
datang ke tempat ini. Untuk menguji dan sekaligus meyerahkan tugas mencari
Kitab Putih Wasiat Dewa itu….”
Kakek
Segala Tahu menyeringai lalu mengangguk-angguk.
“Anak
setan! Syukur kau punya kesadaran!” ujar Sinto Gendeng. “Apa kau sudah siap
untuk melakukannya?”
“Kalau
memang tugas setiap saat aku siap melakukannya Eyang,” jawab murid Sinto
Gendeng walau dalam hati sang pendekar ini berkata “Mati aku sekali ini!”
Kakek
Segala Tahu ketuk-ketukkan tongkat bututnya ke tanah lalu berkata. “Ini bukan
tugas mudah! Nyawamu tantangannya. Apalagi kalau orang lain kedahuluan
mendapatkan Kitab Wasiat Iblis itu. Atau ada kebocoran mengenai rahasia Kitab
Putih Wasiat Dewa hingga kebobolan….”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Kakek Segala Tahu, Eyang Guru…. Kurasa setelah mendapat
petunjuk dan menerima tugas dari kalian lebih baik aku minta diri dari sini
sekarang juga.”
“Bagus, makin
cepat kau pergi makin baik!” kata Kakek Segala Tahu. “Ada satu nasihat lagi
dariku. Kalau kau mengalami kesulitan ada baiknya kau menghubungi tokohtokoh
silat yang punya hubungan baik denganmu. Seperti Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa. Tua Gila….” (Mengenai Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa
Sedih dan Dewa Ketawa harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Bujang Gila
Tapak Sakti” dan “Pelangi di Majapahit”)
“Pasti
akan aku lakukan Kek,” kata Wiro pula.
Pendekar
212 lalu menyalami dan mencium tangan gurunya serta tangan Kakek Segala Tahu.
Setelah membungkuk berulang kali diapun membalikkan tubuh.
“Anak
setan! Apa kau akan pergi seperti itu?!”
Teguran
Sinto Gendeng membuat Wiro hentikan langkah, berpaling dan memandang pada si
nenek dengan air muka tidak mengerti.
“Eyang….
Ada sesuatu yang aku lupakan?” tanya Wiro.
“Pegang
kepalamu! Rambutmu masih dikuncir dan diikat pita warna-warni. Kalau mau gila
cukup sebentar saja. Jangan terus-terusan!”
“Ah!”
Wiro pegang kepalanya. Dia lupa. Sampai saat itu rambut gondrongnya masih dalam
keadaan terkuncir dan diikat pita aneka warna. Cepat-cepat dia tanggalkan semua
ikatan pita. “Sudah Eyang…. Sekarang saya bisa pergi….”
“Anak
tolol! Mukamu masih babak belur bercelemong pupur merah putih. Sebelum turun
dari gunung ini cari mata air atau telaga. Cuci mukamu sampai bersih. Kalau
tidak anak-anak sekampung akan mengiringimu sambil berteriak orang gila… orang
gila!”
“Terima
kasih Eyang… terima kasih… Aku akan mencari air untuk membasuh muka jelek ini.”
Lalu cepat-cepat Wiro tinggalkan tempat itu. Setelah jauh dia memperlambat
larinya. Sambil garuk kepala dia berkata. “Untung aku tidak disuruh mencuci
muka dengan air kencingnya!”
******************
TIGA BELAS
PANGERAN
Matahari dekati sumur batu itu. Bau busuk tercium keluar dari dalam sumur.
“Pasti
juga ada mayat dalam sumur ini,” kata Pangeran Matahari dalam hati.
“Justru
di sini tersembunyi Kitab Wasiat Iblis itu….” Dia memandang berkeliling lalu
sambil pegangi tepi sumur batu dia ulurkan sebagian tubuhnya, memandang ke
dalam sumur. “Gelap dan busuk. Ada selapis kabut menutupi pemandangan. Aku tak
bisa melihat apa-apa….” Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari dalam sumur
terdengar suara menderu keras laksana ada air bah. Lalu satu gelombang angin
dahsyat mencuat ke atas.
“Gila!
Apa sumur tua ini ada hantu silumannya?!” teriak Pangeran Matahari berfikir
sejenak. Dengan hati-hati kembali dia mendekati pinggiran sumur dan seperti
tadi dia ulurkan sebgian tubuhnya. Dia tak menunggu lama. Dari dasar sumur
terdengar deru dahsyat disusul dengan mengebubunya angin sangat kencang. Untuk
kedua kalinya Pangeran Matahari hindarkan diri dengan melompat ke belakang.
Sesaat dia tegak tak bergerak. Pandangannya kemudian membentur sosok Elang
Setan dan Tiga Bayangan Setan yang tegak dalam keadaan kaku. Satu seringai
tersungging di mulutnya. Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan segera maklum apa
yang ada dalam benak orang itu. Keduanya serentak berteriak. “Jangan! Jangan
jadikan kami percobaan maut!”
Pangeran
Matahari melangkah ke arah Tiga Bayangan Setan. Menyangka dirinya yang hendak
dijadikan percobaan orang ini meratap keras. “Demi setan jangan! Jangan!”
tapi dia
segera hentikan teriakannya ketika Pangeran Matahari melewatinya. Lalu di
belakangnya terdengar suara pohon berderak patah. Tak lama kemudian Pangeran
Matahari kelihatan menyeret sebatang pohon yang barusan dipatahkannya. Batang
pohon itu dimelintangkannya di atas mulut sumur batu. Sesaat kemudian dari
dasar sumur menderu suara keras disusul hembusan angin dahsyat. Batang kayu
yang terletak di atas sumur mencelat mental, hancur berkeping-keping.
“Ganas
sekali!” desis Pangeran Matahari. Pelipisnya bergerak-gerak. “Kalau saja guruku
Si Muka Bangkai tidak mengatakan Kitab Wasiat Iblis itu ada di dalam sumur ini
sudah sejak tadi-tadi aku meninggalkan tempat celaka ini. Hemmm…. Aku harus
mencari akal…. Angin dahsyat mematikan itu tidak serta merta melesat keluar
bila ada benda di atas sumur. Paling tidak ada jarak waktu. Ada uliran seperti
tangga menurun menuju ke dasar sumur. Tapi terlalu lama kalau harus mengikuti
tangga terjal itu. Melayang akan lebih cepat. Hmm….” Pangeran Mathari berfikir
lagi. Dia ingat ada segulung tali yang ditinggalkannya di kantong perbekalan yang
tergantung di kudanya. Akhirnya dia tetap pada keputusan untuk masuk ke dalam
sumur dengan jalan melompat. Dia patahkan batang pohon untuk kedua kalinya
dengan hantaman tangan kanan. Sekali ini dia sengaja memilih batang pohon lebih
besar. Seperti tadi dengan hati-hati batang pohon itu diletakkan di atas sumur
lalu mundur sejuh beberapa langkah.
Sesaat
kemudian di dasar sumur terdengar sura macam air bah itu. Lalu angin dahsyat
melesat ke atas, menghantam batang pohon besar hingga hancur berkeping-keping. Pada
saat batang pohon mental, Pangeran Matahari kibaskan mantelnya lalu melompat
masuk ke dalam sumur. Kedua tangannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka dan
diarahkan ke bawah. Dari dua telapak tangan ini memancar sinar merah kuning
yang memiliki kekuatan mampu menahan daya jatuh tubuhnya. Sebenarnya yang
keluar dari kedua tangannya itu adalah pukulan sakti “telapak Merapi”. Selain
itu mantelnya yang terkembang ikut membantu menahan kecepatan jatuh atau daya
layang tubuhnya. Pangeran Matahari sudah melayang turun sedalam dua pertiga
kedalaman sumut gelap ketika dia mendadak menjadi tegang karena di bawah sana
tiba-tiba terdengar deru suara air bah. Secepat kilat Pangeran Matahari
melesatkan tubuhnya ke dinding sebelah kiri lalu menjejakkan kedua kakinya di
ulir batu. Kedua tangannya dihantamkan ke dinding sumur.
“Craasss!
Craaasss!”
Dinding
batu berlubang jebol. Sepasang tangan Pangeran Matahari amblas masuk ke dalam
lobang itu sampai sebatas siku. Ketika angin dahsyat mencut ke atas dia
lekatkan tubuhnya rapat-rapat ke dinding sumur. Di dalam lobang dua tangannya
mencengkeram kuat-kuat. Tenaga dalam dikerahkan penuh.
“Wusss!
Wutt! Wuttt!”
“Breeettt!”
Angin
dahsyat menghantam tubuhnya tapi dia bisa luput. Walau demikian tengkukya
terasa dingin ketika mantel di punggungnya robek besar lalu terlepas mental dan
melayang ke atas sumur. Dengan tubuh basah oleh keringat dingin Pangeran
Matahari menunggu. Sumur tua itu dicekam kesunyian dan kegelapan.
“Saatnya
aku harus turun. Mudah-mudahan angin celaka itu tidak akan menyerang lagi….”
membatin Pangeran Matahari. “Bau busuk semakin santar. Berarti aku tak seberapa
jauh lagi dari dasar sumur….” Memikir begitu disamping mantelnya tak ada lagi
maka Pangeran Matahari melanjutkan turun ke dasar sumur dengan berjalan diulir
sepanjang dinding sumur yang merupakan tangga. Dalam hati dia menghitung setiap
langkah yang dibuatnya. Pada hitungan ke tujuh puluh dua kaki kirinya mencapai
dasar sumur tapi tidak menginjak dasar batu melainkan menginjk sebuah benda
bulat panjang hingga dia hmpir terpeleset.
“Bau
busuk celaka! Gelap jahanam!” maki Pangeran Matahari.
Dia
mengeruk saku pakaiannya mengeluarkan dua buah batu hitam sebesar kepalan.
“Untung guru membekali dua batu api ini!” Dua buah batu hitam digosokkannya
kuat-kuat. Bunga api memercik. Pada gosokan keempat salah satu dari dua batu
api itu mengobarkn api. Tempat itu serta merta menjadi terang. Memandang
berkeliling Pangeran Matahari jadi bergidik. Di dasar sumur batu yang tidak
berair itu tergeletak sesosok mayat yang sudah membusuk dan digerogoti belatung
di bagian mata, telinga dan hidung. Sebagian kepalanya remuk, tertutup darah
yang sudah mengering. Rambutnya yang putih awut-awutan penuh dengan noda darah
yang sudah mengering. Sulit mengenali wajah mayat ini Pangeran Matahari punya
dugaan keras ini adalah mayat Jarot Ampel alias Iblis Tanpa Bayangan.
“Kitab
Wasiat Iblis itu…” desis Pangeran Matahari. “Menurut Si Muka Bangkai ada dalam
sumur ini. Aku tidak melihatnya….” Pangeran Matahari memandang berkeliling lalu
pandangannya kembali pada mayat Iblis Tanpa Bayangan. Dengan ujung kakinya
mayat itu dibalikkannya hingga terbujur miring. Kitab yang dicari tetap tidak
ditemukan. Dia memeriksa seluruh dinding sumur batu. Dia sengaja menyalakan
lagi batu api kedua hingga tempat itu bertambah terang.
“Setan,
di mana kitab iblis itu bisa kutemukam! Apakah guruku sengaja menipuku?!”
Pangeran Matahari melangkah seputar dasar sumur batu. Ketika dia sampai di
hadapan sosok mayat Iblis Tanpa Bayangan yang kini berada dalam keadaan miring,
sepasang matanya membesar. Karena miring, baju di bagian dadanya tersingkap.
Sebuah benda berwarna hitam tersembul dari balik baju mayat.
Pangeran
Matahari tekap hidungnya lalu membungkuk memperlihatkan lebih seksama.
Tangannya diulurkan untuk mengambil benda itu. Begitu jari-jarinya menyentuh
benda hitam dia merasa ada hawa aneh mengalir, membuat pandangannya lebih
terang dan tiba-tiba saja jalan pernafasannya sanggup meredam bau busuknya
mayat!
“Pasti
ini Kitab Wasiat Iblis itu! Buku sakti yang aku cari!” kata Pangeran Matahari
dalam hati seraya cepat-cepat menariknya dari balik baju mayat.
“Wasiat
Iblis”! Pangeran Matahari membaca tulisan yang tertera di sampul hitam kitab
dengan suara bergetar. Kitab diperiksanya dengan cepat. Isinya hanya tiga
lembar halaman. Tulisan di halamannya tidak mudah untuk dibaca. Apalagi di
tempat yang hanya diterangi nyala api dua batu api kecil. Cepat-cepat Pangeran
Matahari masukkan kitab itu ke balik bajunya. Dia memandang berkeliling.
“Kitab
sakti sudah didapat. Aku harus segera tinggalkan tempat ini. Khawatir suara air
bah dan angin jahanam itu tiba-tiba muncul!”
Cepat-cepat
Pangeran Matahari memanjat ulir sepanjang dinding sumur batu yang merupakan
tangga terjal menuju ke atas.
“Aneh,
kenapa langkahku menjadi enteng dan tubuhku terasa ringan sekali!” pikir
Pangeran Matahari. “Jangan-jangan buku sakti ini penyebabnya!”
Sebentar
saja dia berhasil mencapai ujung atas sumur. Sekali lompat dia sudah berada di
luar sumur. Begitu kedua kakinya menjejak tanah dia memandang berkeliling dan
jadi terkejut. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tak ada lagi di tempat
mereka tadi tertegak kaku akibat totokan. Sang Pangeran segera mencium bahaya.
“Pasti
ada orang ketiga. Dua setan itu tak mungkin membebaskan diri sendiri dari
totokanku!” Pangeran Matahari melangkah seputar sumur batu, memandang ke setiap
sudut di sekitarnya.
“Kau
mencari kami Pangeran Matahari?!” satu suara menegur dari belakang.
Pangeran
Matahari cepat balikkan tubuh. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berdiri
sekitar sepuluh langkah di hadapannya. Keduanya sunggingkn senyum lebar lalu
tertawa mengekeh, tidak keras tapi cukup membut Pangeran Matahari merasa tidak
enak. Apa lagi saat itu di antara kedua orang itu tegak berdiri seorang nenek
berpakaian kuning. Meskipun tua namun wajahnya dihias secara berlebihan dan
sikapnya nampak genit. Pada ikat pinggang besar warna hijau yang dikenakannya
tersisip sebuah senjata berbentuk tombak yang ujungnya bercagak dua.
“Iblis
Tua Ratu Pesolek!” kata Pangeran Matahari dalam hati begitu dia mengenali siapa
adanya si nenek berjubah kuning.
Tiga
Bayangan Setan usap-usap kedua tangannya lalu berkata. “Kau sudah masuk ke
dalam sumur batu dan keluar lagi. Berarti kau sudah menemukan Kitab Wasiat
Iblis itu!” Pangeran Matahari diam saja.
“Kalau
kau mau menyerahkan pada kami, kami menganggap selesai segala hutang piutang di
antara kita! Kau boleh pergi dengan aman dan nyawa masih di badan!”
Mendengar
itu Pangeran Matahari sunggingkan senyum lalu tertawa. Mula-mula perlahan saja
kemudian makin keras dan makin keras.
“Anjing-anjing
pengawalku rupanya punya nyali besar! Apa kalian lupa kalau tubuh kalian
mengalir racun jahat yang hanya memberi kehidupan seratus hari pada kalian?!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan balas tertawa gelak-gelak sementara Iblis Tua
Ratu Pesolek tenang-tenang saja. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah
kaca kecil. Sambil memandang ke dalam kaca dia merapikan susunan rambutnya yang
disanggul, mengusap pipinya dan menggerak-gerakkan bibirnya yang diberi cat
pewarna sangat merah.
“Soal
racun dan kematian kami berdua tidak begitu memikirkan. Sahabat kami yang
cantik ini berjanji akan memberikan obat penawar!”
“Hemmm
begitu…? Lalu apa yang kalian berikan padanya sebagai imbalan? Tubuh kalian…?!”
“Setan
alas!” maki Elang Setan.
“Jahanam!”
rutuk Tiga Bayangan Setan.
Sebaliknya
si nenek tua tidak menunjukkan tanda-tanda marah. Malah dia keluarkan suara
tertawa genit. Setelah menyimpan kaca kecilnya dia kedip-kedipkan sepasang
matanya lalu bergerak mendekati Pangeran Matahari dan berhenti lima langkah di
depan pemuda itu.
“Kau
masih muda. Tapi pengalamanmu mengenai hubungan perempuan dengan lelaki agaknya
jauh lebih luas dari aku yang sudah tua. Ya… ya… ya… Aku memang sudah tua. Tapi
keadaan badanku tidak kalah dengan apa yang dimiliki seorang gadis. Kau bisa
saksikan sendiri!”
Habis
berkata begitu si nenek singkapkan ke atas baju kuningnya. Sepasang mata
Pangeran Matahari melihat dua buah payudara putih besar dan kencang terpentang
di hadapannya.
“Gila!
Bagaimana ada nenek-nenek memiliki aurat seperti ini!” ujar Pangeran Matahari
dalam hati. Selagi dia terperangah melihat pemandangan luar biasa ini tiba-tiba
dari balik baju kuning si nenek melesat keluar selusin senjata rahasia berupa
paku hitam.
“Tua
bangka kurang ajar! Kau sengaja mencari mati!” hardik Pangeran Matahari. Tangan
kanannya diangkat, siap untuk lepaskan pukulan sakti “telapak matahari” namun
sebelum pukulan sempat dilepas tiba-tiba dari dada Pangeran Matahari melesat
keluar satu gelombng angin keras yang memancarkan sinar hitam pekat.
Selusin
paku bermentalan dan leleh. Di depan sana Iblis Tua Ratu Pesolek keluarkan
jeritan keras. Tubuhnya mencelat sampai sepuluh tombak. Begitu tergelimpang di
tanah tubuh itu hanya tinggal tulang belulang hangus menghitam! Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan langsung merinding pucat melihat apa yang terjadi.
Pangeran Matahari sendiri ikut ngeri juga merasa heran.
“Aneh,
apa yang terjadi dengan diriku! Aku belum sempat melepas pukulan sakti. Dari
dadaku tiba-tiba ada sinar hitam yang sanggup melelehkan senjata rahasia bahkan
membuat si nenek mati mengerikan begitu rupa…. Astaga! Jangan-jangan Kitab
Wasiat Iblis yang ada di balik bajuku!”
Selagi
dia terkesiap begitu rupa tiba-tiba Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan
mendatangi dan jatuhkan diri di depan Pangeran Matahari.
“Pangeran
kami telah membuat kesalahan besar. Perempuan tua itu telah menipu kami!” kata
Tiga Bayangan Setan.
“Benar,”
menyambung Elang Setan. “Kami berdua mohon ampun dan maafmu. Kami bersedia
melakukan apa saja yang kau katakan!”
Pangeran
Matahari tertawa lebar. “Manusia-manusia culas! Nyawa kalian kuampuni sampai
seratus hari dimuka. Sementara itu kalian berdua tetap menjadi anjinganjing
pengawalku! Menggonggonglah!”
“Pangeran…”
ujar Tiga Bayangan Setan.
“Kami…”
Elang Setan ikut bicara tapi segera disentak.
“Aku
bilang menggonggonglah! Menggonggonglah seperti anjing! Atau kalian akan
menyusul jadi tulang belulang hangus hitam seperti si Iblis Tua Ratu Pesolek?”
Tak ada
jalan lain. Kedua orang itu mulai menggonggong menirukan suara anjing. Pangeran
Matahari tertawa gelak-gelak. “Kurang keras! Menggonggong lebih keras!”
bentaknya.
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan terpaksa patuh dan menggonggong lebih keras
“Bagus! Menggonggonglah terus sampai lidah kalian copot!” kata Pangeran
Matahari. Lalu sambil tertawa mengekeh dia tinggalkan tempat itu. Disatu tempat
dia teringat pada Wiro Sableng. Langsung saja dia berteriak. “Pendekar 212! Di
mana kau? Sekarang jangan harap bisa lolos dari tanganku! Wasiat Iblis
merupakan wasiat kematian bagimu! Ha… ha… ha!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment