Episode
Ki Ageng Tunggul Keparat
Ki
Ageng Tunggul Keparat
WIRO
SABLENG
PENDEKAR
KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Karya
Bastian Tito
******************
1
LAKSANA
terbang kuda coklat berlari kencang di bawah panas teriknya matahari. Dalam
waktu yang singkat bersama penunggangnya dia sudah sampai di kaki bukit untuk
selanjutnya lari terus memasuki lembah subur yang terhampar di kaki bukit. Si
penunggang kuda mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubunubun
kepalanya. Parasnya kontan berubah.
"Celaka!"
keluhnya dalam hati. "Celaka! Aku hanya punya waktu dua belas jam lagi!
Kalau apa yang kucari tak dapat kutemui mampuslah aku!" Dia memandang lagi
ke matahari di atasnya lalu menyentakkan tali kekang agar kuda tunggangannya
lari lebih cepat.
Orang itu
berpakaian biru gelap. Kulitnya yang hitam liat menjadi lebih hitam karena
warna pakaiannya itu. Dibawah blangkon yang menutupi kepalanya, wajahnya tidak
sedap untuk dipandang kalau tak mau dikatakan mengerikan.
Pada
pipinya sebelah kiri mulai dari ujung bibir sampai ke tepi mata terdapat parut
bekas luka yang lebar. Cacat ini membuat daging pipinya tertarik sedemikian
rupa sehingga matanya terbujur keluar, kelopak sebelah bawah membeliak merah
dan selalu berair sedang mulutnya tertarik pecong.
Di satu
pedataran tinggi yang ditumbuhi pohon-pohon kapas, dihentikannya kudanya dan
memandang berkeliling.
Pada
wajahnya yang buruk itu kelihatan bayangan harapan sewaktu sepasang matanya
melihat puncak atap-atap rumah penduduk di sebelah tenggara pedataran.
"Aku
harus ke desa itu," kata lelaki itu pada dirinya sendiri. "Mungkin di
situ bakal kutemukan apa yang kucari.
Kalau
tidak…" kata hatinya itu tidak diteruskan. Dipukulnya pinggul kuda
tunggangannya dan binatang itu melompat ke muka, lari kembali menuju ke
tenggara.
Sewaktu
angin dari timur bertiup keras, sewaktu daundaun pepohonan mengeluarkan suara
berdesir kencang, maka penunggang kuda itu telah memasuki sebuah jalan teduh di
mulut desa. Diperlambatnya lari kudanya. Kedua matanya menyapu ke setiap
penjuru. Jalan yang ditempuhnya sunyi sepi. Pintu-pintu rumah penduduk tampak
tertutup. Melewati suatu pengkolan dilihatnya beberapa orang anak kecil tengah
bermain-main. Nafasnya terasa sesak seketika. Lalu dekat sebuah kandang kuda,
seorang tua berjanggut putih duduk merokok memperhatikannya.
Tanpa
memperdulikan orang tua itu laki-laki ini terus berlalu.
Kemudian
dipapasinya beberapa penduduk desa yang agaknya baru kembali dari sawah atau
ladang mereka.
Meski
orang-orang itu mengangguk hormat kepadanya tapi lelaki penunggang kuda itu
tahu bahwa dalam sikap hormat itu dilihatnya bayangan rasa ngeri di wajah
mereka sewaktu melihat parasnya. Dalam hati masing-masing mungkin mengutuk
habis-habisan.
Harapan
yang sebelumnya ada di hati lelaki ini menjadi semakin kecil dan hampir padam
bertukar dengan kemangkelan dan kekecewaan sewaktu dia mencapai ujung jalan dan
hanya tinggal beberapa buah rumah saja yang harus dilewatinya.
"Apakah
harus kutanyai orang-orang di sini?" tanya lelaki itu dalam hati.
Tiba-tiba sepasang matanya menyipit.
Dia
memutar kepala berkeliling dan mendengar baik-baik.
"Hah,
inilah yang kucari! Pasti…! Pasti itu suara tangisan bayi."
Segera
diputarnya kuda coklatnya dan menuju ke rumah yang terletak di antara
pohon-pohon pisang yaitu dari arah mana tadi didengarnya suara tangisan bayi.
Pintu dan
jendela rumah itu tertutup. Dia turun dari kudanya dan mengitari rumah satu
kali lalu melangkah ke pintu depan. Dia memandang dulu kian kemari baru
mengetuk pintu. Suara tangisan bayi di dalam rumah terdengar semakin keras dan
laki-laki itu mengetuk lagi lebih kencang.
Terdengar
langkah-langkah mendatangi pintu. Suara tangis bayi juga terdengar mendekati
pintu itu. Sesaat sesudah itu pintu terbuka. Seorang perempuan muda memunculkan
diri sambil membadung seorang bayi yang baru berusia kurang dari dua minggu dan
masih merah.
Begitu
melihat tampang lelaki yang mengerikan di ambang pintu, perempuan itu menyurut.
Jelas kelihatan pada wajahnya rasa takut amat sangat.
Lelaki
tak dikenal memandang si bayi dalam dukungan beberapa lama. Diteguknya liurnya
lalu berkata, "Aku mencari suamimu…"
"Dia
belum kembali dari sawah," jawab perempuan yang mendukung anak.
Lelaki
bermuka setan kembali memandang bayi merah dalam dukungan.
"Ini
anakmu…?"
Perempuan
itu mengangguk dan memandang ke jurusan lain karena takut melihat wajah
tamunya.
"Kemarin
aku telah bicara dengan suamimu," kata orang bermuka cacat, "Dia
bersedia menjual anak ini."
"A…
apa?!" kaget perempuan yang mendukung anak bukan kepalang.
Sang tamu
tampak acuh tak acuh. Dan dalam sabuknya dikeluarkannya sebuah kantong kecil
yang mengeluarkan suara berdering tanda berisi uang.
"Ini
ambillah," katanya. "Dan serahkan anakmu padaku."
Perempuan
yang mendukung bayi surut beberapa langkah. Digelengkannya kepalanya dan
berkata, "Tidak!
Suamiku
tak pernah mengatakan bahwa dia hendak menjual anak ini. Sekalipun dia mungkin
bermaksud demikian, saya tidak akan menjual anak ini dengan harga berapapun.
Ini anak kami yang pertama…"
Air muka
sang tamu tampak berobah mengelam. Tenggorokannya turun naik dan sepasang bola
matanya berputar-putar liar.
"Kalau
kau tak mau tak jadi apa," katanya. Lalu kantong uang dimasukkannya
kembali ke dalam sabuknya. "Aku akan datang kembali kalau suamimu sudah
pulang," katanya.
Perempuan
mendukung anak tidak menyahuti malah buru-buru hendak menutupkan pintu rumah.
Tapi baru saja jari-jari tangannya menempel di pinggiran pintu tiba-tiba tamu
bermuka cacat itu mengulurkan kedua tangannya, menyentak kain pembadung bayi
hingga terlepas sedang sang ibu jatuh tersungkur di ambang pintu. Secepat dia
bangun secepat itu pula perempuan ini berteriak, "Anakku!
Tolong…!
Anakku dilarikan orang! Culik…!"
Beberapa
pintu rumah tetangga kelihatan terbuka.
Empat
orang lelaki dan seorang perempuan datang berlarian untuk melihat apa yang
terjadi. Namun si penculik bayi telah melompat ke atas kuda coklatnya dan
meninggalkan tempat itu dengan cepat sebelum orangorang tersebut sempat
melakukan sesuatu.
*********************
HARI
Kamis malam Jum’at Kliwon… Hujan gerimis turun menambah dingin dan seramnya
suasana malam. Kuda coklat yang ditunggangi lelaki bermuka cacat tampak mendaki
di lereng bukit berbatu-batu, terus menuju ke puncaknya. Sesosok binatang serta
penunggangnya yang hitam pekat dalam kegelapan malam tak ubahnya seperti setan
yang tengah gentayangan!
Puncak
bukit batu itu tinggi sekali dan jalan menuju ke situ sukar bukan main.
Beberapa kali kuda coklat tersebut terserandung. Lidahnya menjulur ke luar
bersama busahan ludah. Meskipun udara malam dingin namun tubuhnya berselimutkan
keringat yang telah bercampur baur dengan air hujan. Untuk kesekian kalinya
binatang ini tersandung dan akhirnya tegak mematung tak mau melangkah lagi.
Setengah
mengomel lelaki bermuka cacat turun dari kudanya. Di dalam dukungan tangan
kirinya saat itu ada bungkusan kain yang isinya bukan lain adalah bayi yang
tadi siang diculiknya.
"Kudaku,
tunggu di sini sampai aku kembali," kata orang tersebut pada kuda tunggangannya.
Lalu sambil mendukung bayi dia melanjutkan perjalanan ke puncak bukit dengan
melompat dari satu batu ke batu yang lain.
Gerakan
lelaki ini gesit luar biasa tanda dia memiliki ilmu meringankan dan mengimbangi
tubuh yang sempurna.
Dalam
tempo yang tidak begitu lama akhirnya dia sampai di puncak bukit batu yang
paling tinggi.
Setelah
memandang berkeliling dia mendongak ke langit. Sesaat itu kilat menyambar.
Keadaan terang seketika untuk kemudian kembali kegelapan menyelimut.
Bayi
dalam bungkusan kain terdengar menangis. Si muka cacat menyeringai. Dibukanya
kain pembungkus.
Udara
malam yang dingin dan siraman hujan rintik-rintik membuat si bayi menangis
tambah keras.
Dari
balik pinggangnya laki-laki ini mengeluarkan sebilah pisau yang besarnya hampir
menyerupai sebilah
golok.
Sekali lagi dia mendongak ke langit. Kali ini seraya mengacungkan pisau besar
di tangan kanan tinggi-tinggi ke udara dan sambil berseru lantang,
"Guru!
Demi
sumpah yang harus dipatuhi
Bersaksi
pada langit di atas kepala
Bersaksi
pada batu di bawah kaki
Saat ini
murid siap untuk mandi!"
Habis
berseru demikian manusia bermuka cacat yang seperti kemasukan setan ini
menggerakkan tangan kanannya. Dan, cras! Sungguh mengerikan. Suara tangisan
bayi lenyap seketika. Darah mengucur dari luka besar pada lehernya yang kini
hanya tinggal kutungan, sedang kepalanya menggelinding jatuh entah ke mana.
Lelaki
itu menyirami kepalanya dengan darah yang mancur dari leher bayi. Gerahamnya
terdengar bergemeletakan. Matanya berputar-putar liar. Sekujur tubuhnya
bergetar.
Pada saat
darah berhenti memancur maka kembali manusia bermuka iblis ini berteriak,
"Guru!
Sumpah
sudah dilaksanakan
Murid
mohon diri
Dan akan
datang lagi malam Jum’at Kliwon
Bulan
depan!"
Tanpa
perikemanusiaan sama sekali, dilemparkannya tubuh bayi di tangan kirinya. Dalam
keadaan tubuh basah kuyup oleh keringat, air hujan, dan darah, dia melompat
dari atas batu, terus berlari turun ke tempat di mana dia sebelumnya
meninggalkan kudanya.
******************
2
DI BEKAS
reruntuhan kuil tua yang terletak di puncak Bukit Mangatas, empat orang
laki-laki yang rata-rata bertubuh kekar dan bertampang buas berdiri dengan
tidak sabar. Sebentar-sebentar mereka melayangkan pandangan ke jalan kecil yang
berliku-liku di lereng bukit.
Sementara
itu di ufuk barat matahari penerang jagat hampir tenggelam masuk ke
peraduannya.
"Kalau
sampai maghrib si Gundara itu tidak juga muncul, kita tinggalkan saja tempat
ini!" kata salah seorang dari mereka. Namanya Rah Gludak.
Lelaki
yang tegak sambil rangkapkan tangan tanpa menoleh pada Rah Gludak berkata,
"Aku yang jadi pemimpin di sini Gludak. Tindakan apapun yang dilakukan
adalah atas keputusanku!"
"Jika
begitu kau mau jadi patung terus-terusan di sini Parereg," tukas Rah
Gludak.
"Jadi
setan sekalipun aku tidak perduli!"
Lelaki
bernama Bayana ikut bicara, "Memang rencana kita ini bukan rencana
sembarangan. Untuk itu sudah patut kita melakukannya dengan hati penuh
sabar…"
"Diam
semua!" sentak Lor Parereg. "Aku mendengar derap kaki kuda di
kejauhan!"
Di antara
keempat orang itu memang Lor Parereglah yang memiliki ilmu paling tinggi.
Karena itu dia lebih dulu mendengar suara derap kaki-kaki kuda di bawah bukit.
Kemudian
berturut-turut yang mendengar suara derap kuda itu adalah Kunto Handoko, Rah
Gludak dan Tunggul Bayana.
Semuanya berdiam
diri. Masing-masing menunggu penuh tegang. Selama mereka malang melintang
menjadi empat rampok yang ditakuti di selatan Hutan Roban, belum pernah mereka
mempunyai rencana besar seperti yang akan mereka lakukan saat itu.
Derap
kaki-kaki kuda semakin keras tanda binatang dan penunggangnya tambah dekat. Di
bawah pantulan sinar kuning emas matahari yang hendak tenggelam, dari mulut
jalan tak lama kemudian muncullah seeker kuda hitam ditunggangi oleh seorang
laki-laki bertubuh kurus tinggi berpipi cekung. Begitu sampai di hadapan ke
empat laki-laki di depan kuil, penunggang kuda ini melompat turun dan menjura.
"Lekas
terangkan apa yang sudah kau ketahui!" kata Lor Parereg seraya menurunkan
tangan kirinya yang sejak tadi memuntir-muntir kumisnya yang tebal melintang.
Gundara,
orang yang barusan datang menyeka peluhnya. Setelah memandang berkeliling pada
keempat orang di depannya baru dia membuka mulut, "Karena sesuatu halangan
rombongan itu tak jadi berangkat besok…"
"Hah?!"
sepasang mata Lor Parereg melotot besar.
"Keberangkatan
mereka dibatalkan?" bertanya Tunggul Bayana.
Gundara
menggeleng. "Rombongan itu akan meninggalkan kotaraja pagi-pagi lusa.
Terdiri dari dua buah kereta.
Satu
kereta membawa uang dan peti-peti perhiasan, kereta lainnya membawa Ning
Larasati, anak Sri Baginda dari selir yang ke enam."
Lor
Parereg memandang pada ketiga kambratnya.
"Bunga
jelita itu, sobatku…," katanya dengan menyeringai penuh arti.
"Besar
betul rejeki kita sekali ini," kata Rah Gludak seraya membasahi bibirnya
dengan ujung lidah.
"Menurutku
sebaiknya kalian jangan ganggu gadis itu," berkata Gundara.
"Heh,
apa urusanmu?" tanya Lor Parereg.
"Perampokan
uang dan harta benda bagi Sri Baginda bukan apa-apa. Tapi kehilangan Ning
Larasati benar-benar bisa membuat Sri Baginda murka. Kalian tahu, Larasati
adalah puteri yang paling disayangi Sri Baginda. Jika terjadi apa-apa dengan
dirinya bukan mustahil Baginda akan mengerahkan seluruh balatentara Demak. Dan
kalian bisa berabe."
Lor
Parereg tertawa bergelak.
"Tak
ada satu orangpun yang bakal tahu siapa yang menghadang rombongan itu. Tak ada
satu orangpun yang bisa mengetahui siapa yang merampok barang-barang itu serta
siapa yang menculik Larasati. Kecuali jika ada di antara kita yang
berkhianat!"
"Tak
akan ada yang berkhianat Parereg," kata Tunggul Bayana. "Rejeki yang
sudah ditakdirkan buat kita walau bagaimanapun harus kita ambil. Ning Larasati
harus jadi milik kita!"
"Betul
sekali Bayana," kata Lor Parereg. Lalu laki-laki itu berpaling pada
Gundara dan berkata, "Apapun yang kami lakukan adalah urusan kami! Kau
mesti tahu bahwa kau cuma seorang yang kami mintakan keterangan. Kau mengerti
Gundara?"
"Mengerti
Parereg. Nasehat itu kusampaikan untuk kebaikan kalian. Mau diperhatikan atau
tidak terserah."
"Berapa
prajurit yang bakal mengawal rombongan itu?" tanya Parereg pula.
"Duapuluh.
Mereka dipimpin oleh Raden Mas Panawa…"
"Aku
belum pernah dengar nama itu," kata Lor Parereg.
Dia
berpaling pada kawan-kawannya dan bertanya, "Kalian tahu siapa dia?"
Yang
menjawab adalah Kunto Handoko. "Umurnya sekitar tigapuluhan. Tadinya orang
desa biasa. Karena berbuat jasa diberi gelar Raden Mas dan diangkat jadi
perwira kerajaan. Ilmunya tinggi. Sendiri-sendiri mungkin sukar menghadapinya.
Tapi berempat dia tak perlu dipandang sebelah mata!"
Lor
Parereg mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya
satu kantong berisi uang.
Benda itu
dilemparkannya dan segera disambut oleh Gundara.
"Tugasmu
selesai, Gundara. Cepat tinggalkan tempat ini. Kalau sampai rencana
penghadangan ini bocor, aku cuma tahu satu orang untuk digorok batang lehernya.
Kau!"
"Saya
tak bakal membuka rahasia Parereg!" kata Gundara pula. Dia menjura,
memutar tubuh dan melompat ke punggung kuda. Sekali dia menyentakkan tali
kekang maka binatang itupun bergerak ke muka.
Namun
untuk selanjutnya kuda hitam itu hanya lari sendirian karena dengan amat
tiba-tiba sebuah pisau melayang dan menancap tepat di punggung Gundara.
Lelaki
ini terdorong ke depan. Tubuhnya hilang keseimbangan. Dan jatuh dari punggung
kuda. Susah payah dia coba bangkit. Memandang ke arah Lor Parereg dengan
pandangan penuh amarah. Dari mulutnya keluar suara yang tak jelas. Setelah
merintih panjang Gundara akhirnya rubuh ke tanah dan tak bergerak lagi.
Lor
Parereg tertawa mengekeh. "Aku tak percaya pada kunyuk ini," katanya
sambil pelintir kumis. "Sebelum kasip sebaiknya dihabiskan
riwayatnya!"
"Tindakanmu
tepat sekali Parereg," ujar Tunggul Bayana.
"Kita
kembali ke goa," kata Parereg pada kawankawannya.
Keempatnya
kemudian meninggalkan tempat tersebut. Sementara matahari telah tenggelam dan
siang berganti dengan malam.
Hari
Kamis Paing adalah hari di mana menurut keterangan Gundara yang telah dibunuh
itu, rombongan yang bakal dihadang akan meninggalkan Kotaraja. Kirakira dua jam
perjalanan di luar kotaraja sebelah timur, di satu daerah yang berbukit-bukit,
di balik kelebatan semak belukar yang tumbuh sepanjang jalan kecil berdebu,
sejak pagi tadi empat orang berpakaian serba hitam sudah berada di sana. Mereka
bukan lain Lor Parereg dan kawankawannya.
"Kurasa
terlalu jauh kita melakukan penghadangan di sini, Parereg," kata Tunggul
Bayana memecah kesunyian.
Lor
Parereg mendehem beberapa kali. "Bukan saatnya membicarakan hal itu,"
sahutnya tak acuh.
"Aku
khawatir kalau-kalau rombongan itu membelok mengambil jalan lain."
"Menghadang
lebih dekat ke kotaraja berarti menambah besarnya bahaya. Apa kau mau tanggung
jawab jika salah seorang dari mereka nanti sempat menjemput balabantuan? Apa
kau mau tanggung jawab jika tokoh-tokoh silat istana turun tangan? Kita
menghadang di sini. Itu sesuai dengan rencanaku. Tak perlu diributkan lagi!"
Sunyi
beberapa lamanya. Sementara itu matahari pagi mulai naik dan terasa bertambah
panas sinarnya. Lor Parereg mengeluarkan tembakau serta daun kawung dan mulai
menggulung sebatang rokok. Setelah beberapa kali dihisapnya rokok itu dia
membuka mulut, "Bila penghadangan ini berhasil, ingat baik-baik rencana
kita selan jutnya. Kau Rah Gludak lari ke timur. Ini untuk mengelabuhi
orang-orang kerajaan. Satu hari kemudian kau harus datang, selambat-lambatnya
tengah hari di kuil tua Bukit Mangatas. Kau Kunto Handoko dan Tunggul Bayana
larikan seluruh barang rampokan ke jurusan barat. Ambil jalan memutar lalu
segera menuju Bukit Mangatas dan tanam semua harta rampokan itu di lobang yang
telah kita gali. Tunggu di sana sampai aku datang."
"Kau
sendiri ke mana?"
Lor
Parereg menyeringai. "Ingat Ning Larasati?" tanyanya. "Aku akan
bersenang-senang dulu dengan dia di satu tempat. Dan kalian tak usah tahu di
mana!"
Beberapa
waktu berlalu tanpa ada satu orangpun yang bicara. Tiba-tiba Lor Parereg
mengangkat tangan memberi isyarat. "Aku mendengar sesuatu," katanya.
"Mungkin rombongan itu!" Lalu dengan satu gerakan enteng dia melompat
ke cabang sebatang pohon. Dari tempat ketinggian ini dia memandang jauh ke
depan. Wajahnya nampak tegang ketika dia melompat turun kembali.
"Mereka
datang!" katanya. "Lekas menyebar seperti yang sudah diatur!"
Kunto
Handoko, Rah Gludak, dan Bayana segera menyebar bersembunyi.
Mereka
menunggu kira-kira sepeminuman teh. Tak lama kemudian dari arah depan muncullah
rombongan itu.
Pada
kepala rombongan kelihatan seorang lelaki muda keren menunggang kuda. Di
pinggangnya tergantung sebilah pedang. Di sebelah belakang terdapat dua puluh
prajurit yang juga menunggang kuda, bergerak maju mengapit dua buah kereta.
Dilihat dari bentuk kendaraan, kereta sebelah depan jelas kereta barang sedang
yang di belakang merupakan kereta penumpang yang bagus.
Penunggang
kuda di sebelah depan tampak heran ketika melihat ada seorang lelaki berpakaian
hitam, berkumis melintang tegak menghadang di tengah jalan. Dia memberi isyarat
pada rombongan untuk berhenti lalu maju mendekati orang di tengah jalan dan
dengan sikap sopan tapi juga waspada.
"Bapak,
rombonganku hendak lewat. Harap kau suka menepi memberi jalan."
Lor
Parereg tertawa. "Anak muda, bukankah kau perwira kerajaan yang bernama
Panawa?"
"Bapak
tidak keliru. Memang saya Panawa. Sekarang silahkan Bapak menepi…"
"Aku
kenal kau tapi apakah kau kenal aku, perwira?"
Raden Mas
Panawa sudah mengetahui jelas orang tak dikenal di hadapannya mempunyai maksud
tidak baik. Tapi melakukan hal itu seorang diri terlalu berani. Pasti dia
mengandalkan sesuatu. Maka perwira muda yang cerdik ini memandang berkeliling.
Dia segera mengetahui ada tiga orang lainnya bersembunyi di balik semak
belukar.
"Bapak,
jika kau sudah tahu kami adalah rombongan kerajaan harap jangan mengganggu
lebih lama…"
"Eh,
siapa mengganggu siapa?" tanya Lor Parereg sambil puntir kumis.
"Kehadiranku di sini justru dengan maksud baik. Yaitu serahkan dua kereta
itu padaku dan kalian boleh kembali ke kotaraja dengan aman…"
"Bapak,
kau jangan berani main-main dengan pasukan kerajaan." Raden Mas Panawa
memperingatkan. Dia masih berusaha menyabarkan diri.
Akan
tetapi seorang anak buah di samping kanannya maju seraya berkata, "Raden,
biar saya beri pelajaran pada orang ini!"
"Nah,
kau dengar sendiri," kata Panawa. "Jangan sampai kami menurunkan
tangan kasar!"
"Jadi
kau tidak mau menyerahkan dua kereta itu?" tanya Lor Parereg sambil
bertolak pinggang.
Panawa
berpaling pada anak buahnya. Kesabarannya telah hilang. "Singkirkan
manusia itu," perintahnya.
Sret!
Pembantu
yang diberi perintah cabut pedang dan memajukan kudanya mendekati Lor Parereg.
Pedang berdesing diayunkan ke arah kepalanya. Dengan satu gerakan gesit kepala
rampok ini merunduk lalu dari samping memukul lengan lawan.
Krak!
Terdengar
patahnya tulang lengan pengawal itu.
Tubuhnya
yang hilang keseimbangan langsung jatuh dan sebelum mencium tanah disambut oleh
Lor Parereg dengan tendangan kaki kanan.
Melihat
gerakan Lor Parereg yang sebat itu maklumlah Raden Mas Panawa bahwa
rombongannya berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Tanpa tunggu lebih
lama dia melompat turun dari punggung kuda. Begitu menjejak tanah dia langsung
menyerbu Parereg dengan tangan kosong.
******************
3
LOR
PAREREG yang sengaja hendak mengetahui kehebatan perwira muda ini segera
menyongsong serangan lawan, menyambut dengan balas memukul. Akibatnya dua
lengan saling bentrok.
Kepala
rampok Hutan Roban ini berubah parasnya ketika dapatkan dirinya terjajar ke
belakang akibat saling bentrokan lengan itu. Nyatalah bahwa lawannya yang masih
muda itu memiliki keampuhan tenaga dalam melebihi yang dimilikinya. Maka dia
bersuit memberi isyarat. Tiga anak buahnya melompat keluar dari tempat persembunyian
masing-masing dan langsung mengurung Raden Mas Panawa.
"Bagus!
Kalian sudah keluar semua! Aku masih berikan kesempatan terakhir pada kalian
agar meninggalkan tempat ini!"
Lor
Parereg tertawa keras. "Perwira muda! Aku Lor Parereg dan kawan-kawan baru
akan pergi setelah mendapatkan apa yang kami ingini. Sebaliknya justru aku
menawarkan agar kau dan para pengawal berlalu saja dari sini…"
"Rampok-rampok
bodoh! Bersiaplah untuk menerima hukuman!" bentak Panawa. Karena tiga
pengeroyok dilihatnya sudah memegang senjata maka dia segera pula cabut pedang
panjangnya. Pertempuran empat lawan satu segera berkecamuk. Meskipun Panawa
memiliki ilmu silat tinggi namun karena yang mengeroyok adalah rampokrampok
kawakan maka tiga jurus saja dia sudah terkurung rapat dan terdesak.
Dalam
satu bentrokan senjata, pedang di tangan perwira muda itu terpukul lepas.
Melihat pimpinan mereka berada dalam keadaan bahaya maka sepuluh pengawal
segera maju membantu. Pertempuran menjadi makin seru.
Panawa
kini pergunakan sebilah keris. Senjata ini merupakan senjata pemberian gurunya
dan dengan senjata ini di tangan dia mengamuk. Satu kali dia berhasil melukai
bahu kanan Kunto Handoko.
Walaupun
pengawal-pengawal itu berjumlah banyak.
Namun
mereka bukanlah tandingan rampok-rampok Hutan Roban yang bertempur penuh
kebuasan karena mengharapkan barang rampokan yang tidak sedikit jumlahnya.
Satu demi
satu mereka roboh bahkan Panawa sendiri tubuhnya telah penuh dengan luka-luka
dan agaknya tak bakal dapat bertahan lama.
"Selesaikan
dia!" kata Lor Parereg. Dia melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Sudah saatnya dia turun tangan melakukan sesuatu sesuai dengan rencana–nya.
Dia
bergerak cepat ke arah kereta sebelah belakang.
Raden Mas
Panawa yang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kepala rampok itu
cepat berteriak, "Lindungi puteri!"
Sepuluh
pengawal yang sejak tadi tidak ikut bertempur mendengar perintah itu menjadi
bingung. Semula mereka hendak membantu Panawa dan pengawal-pengawal lain yang
jelas kelihatan dalam keadaan kepepet. Namun kini mereka malah diperintahkan
mengamankan Ning Larasati.
Lalu
siapa pula yang akan menjaga kereta pertama yang membawa uang dan harta benda
berharga itu?
Akhirnya
lima pengawal bergerak ke arah kereta yang ditumpangi Ning Larasati dan
pengasuhnya sedang lima lagi memasuki kalangan pertempuran untuk menyelamatkan
kawan-kawan dan pimpinan mereka. Namun usaha mereka ini sia-sia saja.
Lima
prajurit yang menjaga kereta sebelah belakang bukan apa-apa bagi Lor Parereg.
Satu demi satu mereka dihantam roboh. Lalu dia mendobrak pintu kereta dan
sepasang matanya melotot melihat wajah cantik yang ketakutan di dalam kereta
itu. Pengasuhnya yang memeluk dan berusaha melindunginya berkata, "Jangan
ganggu dia! Dia puteri Sultan!"
Lor
Parereg menyeringai. Hidungnya kembang kempis membayangkan apa yang bakal
dinikmatinya. "Aku tidak akan menyakitimu Larasati. Asalkan kau mau keluar
baikbaik dan ikut aku…"
"Tidak…
pergi! Aku tidak mau ikut kau…!" jerit Ning Larasati beringsut ke sudut
kereta.
"Gadis
manis kau tak seharusnya menolak begitu…" ujar Lor Parereg. Lalu sekali
sentak saja dia berhasil menarik Ning Larasati keluar dari kereta. Pengasuhnya
yang berusaha mencegah ditendang hingga roboh tak sadarkan diri.
Ning
Larasati menjerit dan meronta-ronta dari panggulan Lor Parereg. Namun tak
berhasil melepaskan diri.
Di bagian
lain Panawa yang berusaha berjuang matimatian akhirnya tak sanggup lagi
bertahan. Dia roboh dengan tubuh mandi darah penuh bacokan. Dua pengawal yang
masih hidup putus nyali mereka dan ambil langkah seribu.
Sesuai
dengan yang telah diatur, Rah Gludak kemudian memacu kudanya ke arah timur.
Kunto Handoko dan Tunggul Bayana melarikan kereta berisi uang dan harta ke arah
barat.
"Beres!"
kata Lor Parereg puas. Ning Larasati dinaikkannya ke atas kuda lalu kepala
rampok ini memacu binatang ini memasuki rimba belantara dan lenyap dari
pemandangan.
*********************
TEPAT
tengah hari Kunto Handoko dan Tunggul Bayana sampai di kuil tua yang terletak
di Bukit Mangatas. Tunggul Bayana turun dari kereta yang dikemudikannya itu dan
membuka pintu. Ada empat buah peti besi di dalam kendaraan ini. Setelah
diperiksa ternyata dua peti berisi uang emas dan dua lainnya penuh perhiasan
berbagai bentuk.
"Kita
akan kaya raya Bayana!" kata Kunto Handoko tertawa gembira.
Tunggul
Bayana memutar kepala. Wajahnya tidak menunjukkan kegembiraan.
"Ada
apa dengan kau?" tanya Kunto Handoko agak heran. "Apa tidak senang
mendapat barang rampokan sebanyak ini? Tujuh turunan kurasa kita bisa
ongkangongkang kaki!" Tunggul Bayana tersenyum kecil.
"Yang
aku khawatirkan adalah luka di bahumu yang membengkak, Kunto," kata
Tunggul Bayana.
Kunto
Handoko baru ingat luka bekas tusukan keris Panawa pada bahunya.
"Luka
biasa, tak perlu dikhawatirkan," kata Kunto Handoko pula.
"Aku
yakin keris itu mengandung racun. Kalau tidak kenapa lukamu cepat sekali
membengkak dan berwarna biru begini?"
Kunto
Handoko memperhatikan luka di bahunya. "Ah tak apa-apa," katanya
kemudian.
"Sebaiknya
kau telan obatku ini. Mujarab sekali untuk menolak segala macam racun.
Sementara itu aku akan ke belakang kuil memeriksa lobang tempat penimbunan
petipeti itu."
Kunto
Handoko mengambil sebutir obat berwarna hitam yang diberikan Tunggul Bayana,
lalu tanpa ragu-ragu menelannya. Ketika Tunggul Bayana lenyap di balik
reruntuhan tembok kuil sebelah belakang, cepat-cepat Kunto Handoko mendekati
empat peti besi dalam kereta.
Salah
satu peti dibukanya lalu dimasukkannya tangannya mengeruk uang emas yang
terdapat dalam peti itu.
Sewaktu
uang tersebut hendak dimasukkannya ke dalam sebuah kantong di balik pakaiannya,
tiba-tiba dirasakannya dadanya amat sakit. Begitu sakitnya hingga uang yang ada
dalam genggamannya terlepas dan kepalanya terasa berat sedang pemandangannya
berkunang-kunang. Kedua tangannya kini memegangi dada yang terasa sesak.
Tibatiba dia membuka mulut hendak batuk tapi yang keluar adalah semburan darah!
"Jahanam!"
maki Kunto Handoko. "Tunggul Bayana pasti telah memberikan racun
padaku!" Dihunusnya pedangnya lalu melangkah ke bagian belakang kuil namun
setengah jalan lututnya goyah. Sebelum terguling pingsan ke tanah Kunto Handoko
masih sempat menotok urat besar di pangkal lehernya. Tunggul Bayana muncul.
Menyaksikan
Kunto Handoko menggeletak tak bergerak dia tertawa gelak-gelak.
"Dasar
manusia tolol!" katanya. "Sekarang semua uang dan harta itu menjadi
milikku! Semuanya! Aku akan jadi kaya raya! Ha… ha… ha!" Laksana orang
gila Tunggul Bayana membuka peti-peti itu satu demi satu dan mengaduk-aduk
isinya. Hatinya gembira setinggi langit. Dia puas sekali karena rencana yang
diam–diam diaturnya sejak lama kini menjadi kenyataan.
Kuda
tunggangannya diikatkan di belakang kereta.
Sebelum
meninggalkan tempat itu sekali lagi dia memandang pada sosok tubuh Kunto
Handoko "Sobatku yang tolol, sayang kau tak sempat menikmati hasil
rampokan ini. Selamat tinggal, selamat jalan ke akherat!" Dia tertawa
panjang-panjang lalu menyentakkan tali kekang.
Tunggul
Bayana tidak mengetahui sama sekali kalau saat itu Kunto Handoko cuma
menggeletak pingsan, bukan mati.
******************
4
LOR
PAREREG menunggang kudanya memasuki rimba belantara. Meskipun pohon-pohon di
situ tumbuh rapat tapi karena sudah tahu betul seluk beluk daerah tersebut, dia
dapat memacu kudanya dalam kecepatan tinggi.
Kira-kira
dua kali peminuman teh berlalu. Lor Parereg sudah berada di pertengahan Hutan
Roban. Di satu tempat dia menyeruak memasuki semak belukar lebat. Di belakang
semak belukar itu ternyata terdapat sebuah goa besar dan tinggi. Lor Parereg
melompat dari kudanya dan memanggul tubuh Ning Larasati memasuki goa. Bagian
dalam goa itu tak beda dengan sebuah ruangan dalam satu bangunan yang bagus. Di
sebelah depan terdapat seperangkat kursi dan meja terbuat dari rotan. Ruangan
itu dipisah dua oleh sebuah tirai bambu yang tipis.
Lor
Parereg menyibakkan tirai bambu. Ruangan yang dimasukinya bagus sekali dan di
situ terdapat tiga buah pembaringan rotan. Pemimpin rampok ini melangkah ke
pembaringan di ujung kanan yaitu yang paling besar dan bagus. Ning Larasati
yang berada dalam keadaan pingsan dibujurkannya di atas pembaringan itu. Dari
dalam sebuah lemari Lor Parereg mengeluarkan sebuah kendi berisi tuak.
Sambil
meneguk minuman itu dia duduk di tepi pembaringan memperhatikan wajah Ning
Larasati.
"Cantik
sekali… cantik sekali," kata Lor Parereg dalam hati berulang kali. Hawa
hangat dari minuman yang diteguknya memanasi jalan darahnya. Butir-butir
keringat memercik di keningnya. Hidungnya kembang kempis. Nafsu mesum mulai
membakar tubuhnya. Lor Parereg beringsut. Dielusnya betis putih mulus gadis
itu. Betapa lembutnya. Setelah puas memijit-mijit betis Larasati tangannya
menjalar ke atas lebih ingin tahu, makin ke atas, membuat Lor Parereg menggeram
panas dingin.
Tiba-tiba
Ning Larasati siuman dari pingsannya dan menggeliat. Begitu sadar akan dirinya
puteri Sultan Demak ini menjerit dan melompat dari atas pembaringan rotan.
Dia
memekik tiada henti, meronta dan menerjang.
Melakukan
apa saja terhadap Lor Parereg yang coba mendekapnya. Namun kepala rampok itu
terlalu kuat bagi gadis sehalus Larasati. Pakaiannya robek-robek dan tubuh Lor
Parereg menghimpitnya dari atas. Karena tak tahu apa lagi yang dapat
dilakukannya untuk melepaskan diri, akhirnya Larasati hanya bisa menangis.
Seumur hidup tak pernah terpikir olehnya bakal mengalami nasib yang mengerikan
begini rupa. Dia menangis sambil memejamkan matanya. Lalu dirasakannya
tangan-tangan Lor Parereg melepas pakaiannya secara paksa. Nafas lelaki itu
yang berbau minuman keras menghembushembus di wajahnya. Kemudian terasa
bulu-bulu dada Lor Parereg menggamangi dadanya yang kini tiada tertutup lagi.
Kemudian… kemudian… Suara raungan laksana harimau lapar meledak keluar dari
mulut Lor Parereg. Ning Larasati terkejut. Dibukanya kedua matanya. Apa yang
telah terjadi?
Dilihatnya
Lor Parereg dalam keadaan setengah telanjang terhampar di sudut ruangan. Di
hadapannya berdiri seorang perempuan amat tua berambut panjang terurai
awut-awutan dan berwarna putih. Perempuan tua ini mengenakan sehelai jubah
panjang menyentuh lantai berwarna putih polos. Kaki dan tangannya yang
tersembul dari balik pakaian itu juga berwarna putih seputih parasnya yang
keriputan.
"Nenek
tua berwajah putih ini apakah dia manusia atau setan?" pikir Larasati.
Untuk sesaat dia lupa akan keadaan dirinya. Begitu sadar cepat-cepat
disambarnya pakaiannya.
"Bangsat
tua! Siapa kau?!" teriak Lor Parereg seraya melompat.
Perempuan
tua itu tertawa tawar. Barisan gigi-giginya ternyata masih utuh dan berwarna
putih bersih.
"Siapa
aku…?" ujarnya. "Itulah yang aku sendiri tidak tahu!"
"Bedebah
gila! Kalau tidak lekas angkat kaki dari sini kupatahkan batang lehermu!"
"Kau
mau patahkan batang leherku? Lucu… lucu," kata si nenek sambil tertawa
geli. "Rupanya tendanganku tadi masih belum cukup?"
"Tua
bangka keparat! Sampai ke liang kubur kau akan menyesali diri!" bentak Lor
Parereg. Lalu dia melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak cepat hendak
menangkap leher perempuan tua itu.
Plak!
Lor
Parereg terhuyung ke belakang. Tamparan nenek muka putih itu keras sekali
membuat pemandangannya berkunang-kunang. Amarahnya makin memuncak. Untuk kedua
kalinya dia menerjang ke muka namun sekali inipun tamparan lawan menghantam
parasnya lebih dulu. Membuat Lor Parereg untuk kedua kalinya berdiri nanar
kesakitan!
"Anjing
tua! Mampuslah!"
Lor
Parereg lepaskan satu pukulan tangan kosong. Angin deras menggebu. Itu adalah
satu pukulan tangan kosong yang hebat. Tapi si perempuan tua muka putih hanya
ganda melambaikan lengan jubahnya maka serangan Lor Parereg menjadi musnah.
Tubuhnya lalu berkelebat lenyap dan kemudian plak… plak… plak… tamparan keras
bertubi-tubi mendarat di muka Lor Parereg. Kepala rampok ini terpelanting ke
lantai. Mukanya sembab biru, bibirnya pecah, salah satu giginya tanggal.
Dalam
merintih menahan sakit Lor Parereg menyambar pedangnya dari atas tempat tidur
lalu untuk kesekian kalinya menyerbu lagi.
"Bajingan
edan! Kau pantas dihajar setengah hidup setengah mampus!" nenek tua itu
berseru. Jengkel sekali dia kelihatannya, Selagi senjata lawan berkelebat ganas
siap membuat celaka tubuhnya, dengan satu gerakan aneh luar biasa perempuan
muka putih itu malah menyusup ke depan dan tahu-tahu tubuh Lor Parereg terbetot
sedang pedangnya sudah berpindah tangan!
Keringat
dingin mengucur di tengkuk Lor Parereg. Kini dia sadar kalau sedang berhadapan
dengan manusia berilmu tinggi luar biasa. Namun dia rasa-rasa masih kurang
percaya. Dia masih belum yakin lawannya benarbenar dapat bertindak begitu
cepat. Ilmu silat apakah yang telah dipergunakan oleh nenek tua bermuka putih
itu?
Meskipun
hatinya kecut namun kemarahannya melebihi segala-galanya. Dengan dua tangan
terpentang dan rahang-rahang bertonjolan Lor Parereg maju mendekati si nenek.
"Makan
ini!" bentak Lor Parereg seraya memukulkan kedua tangannya dengan
serentak. Empat rangkum angin yang berlainan warna menderu. Goa itu laksana mau
runtuh. Empat larik angin pukulan itu dengan hebatnya melabrak tubuh si muka
putih dari empat jurusan yang sukar untuk dikelit!
"Manusia
bajingan! Pukulan Angin Empat Racun inikah yang hendak kau andalkan? Belajarlah
dulu sampai becus baru nanti dipergunakan lagi!" Habis berkata begitu
perempuan tua itu mendorongkan kedua telapak tangannya ke muka. Serangan Lor
Parereg kontan tertahan dan kemudian membalik sebat ke arah pemiliknya sendiri!
Lor
Parereg berseru kaget. Jika saja dia tidak lekas menjatuhkan diri dan berguling
menjauh niscaya dirinya dilanda maut!
Melihat
kenyataan ini kepala rampok Hutan Roban itu kini benar-benar sadar dan putus
nyalinya. Sekalipun dia punya lima kepala sepuluh tangan tak bakal dia bisa
mengalahkan perempuan tua yang muncul secara aneh itu.
Tanpa
tunggu lebih lama dia segera putar tubuh dan lari pontang-panting keluar goa.
Di mulut goa masih sempat didengarnya suara perempuan tua itu berkata,
"Kalau saja pantangan membunuhku sudah habis waktunya, niscaya sudah
tadi-tadi kupecahkan batok kepalamu!"
Lalu
orang tua ini berpaling pada Ning Larasati dan menarik nafas dalam. Saat itu
Larasati berdiri di sudut ruangan dengan wajah pucat pasi.
"Kau
tak usah takut. Mari ikut denganku," kata si nenek.
Larasati
tak bergerak di tempatnya. Dia sadar telah ditolong oleh si nenek tapi dia
sendiri tidak tahu siapa orang tua ini. Apakah benar-benar bakal menolongnya
atau lebih jahat dari Lor Parereg.
Si orang
tua mendatangi dan tersenyum. "Ayo kita keluar dari tempat ini."
"Nenek…
terima kasih kau telah menolongku. Tapi kau siapa sebenarnya?" tanya
Larasati.
Perempuan
tua itu tertawa, "Siapa aku itulah yang aku sendiri tidak tahu. Namun
mimpiku semalam kini betulbetul menjadi kenyataan. Kau berjodoh denganku,
anak." Lalu tanpa banyak bicara lagi perempuan tua itu memegang pinggang
Larasati. Sekali lompat saja dia sudah berada di mulut goa!
*********************
KERETA
itu bergerak cepat sekali menyusuri kali kecil berair kuning lalu membelok
memasuki jalan yang berbatubatu.
Di jalan
seburuk itu tak mungkin kereta bergerak secepat sebelumnya. Namun Tunggul
Bayana mencambuki terus punggung kedua kuda penarik kereta hingga binatang ini
lari seperti kesetanan. Kereta meluncur miring, kadang-kadang terhempas dan
mental ke atas.
Ketika
matahari mulai condong ke barat baru Tunggul Bayana memperlambat lari dua ekor
kuda itu. Dia kemudian memasuki sebuah lembah yang tak pernah didatangi manusia
dan menghentikan kereta di bawah sebuah pohon besar.
Setelah
memandang dulu berkeliling baru dia melompat turun dari atas kereta.
Disibakkannya serumpunan semak belukar. Di balik semak-semak itu terdapat
sebuah lobang besar. Lobang ini memang telah disiapkannya sejak tiga hari lalu.
Dia kembali ke kereta lalu satu demi satu dengan susah payah keempat peti itu
diseretnya dan dimasukkannya ke dalam lobang. Dari salah satu peti diambilnya
sejumlah uang emas dan dimasukkannya dalam kantong.
Lobang
itu kemudian ditimbunnya dengan tanah. Di atas timbunan ditutupnya dengan
potongan semak belukar sehingga tak kentara sama sekali kalau di tempat itu ada
bekas galian. Setelah meneliti dan memastikan segala sesuatunya, Tunggul Bayana
membawa kereta ke sebuah danau. Kendaraan ini ditenggelamkannya sedang dua ekor
kuda dilepaskannya. Lalu dengan menunggangi kudanya sendiri dia meninggalkan
lembah liar itu menuju ke utara yaitu ke jurusan Kotaraja.
*********************
SEWAKTU
senja memasuki malam, dua orang prajurit kerajaan tampak memacu kuda
masing-masing memasuki Kotaraja. Salah seorang di antaranya membawa sesosok
tubuh perempuan di depan pangkuannya. Mereka langsung menuju istana dan sama
sekali tidak melayani pertanyaan-pertanyaan para pengawal.
Di
hadapan pintu gerbang besar sebelah dalam yang menuju ke tempat persemayaman
Sultan Trenggono, salah seorang dari prajurit itu berkata, "Beri tahu pada
Sultan bahwa kami ingin menghadap."
"Malam-malam
begini, ada apa…?"
"Sesuatu
telah terjadi dengan rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Kuharap kau jangan
banyak tanya dulu. Aku harus memberikan laporan!"
Mendengar
itu prajurit-prajurit yang mengawal pintu gerbang tersebut segera masuk ke
dalam. Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dan menerangkan bahwa Sultan
telah siap menunggu di ruangan dalam. Dengan masih membawa sosok tubuh
perempuan, kedua prajurit tadi bertindak masuk.
Air muka
Sultan Trenggono tampak berobah melihat masuknya dua prajurit itu. Sementara
kedua prajurit menjura, mata Sultan memandang lekat-lekat pada perempuan yang
ada di bahu kiri salah seorang dari prajurit yang datang menghadap.
"Kalau
aku tidak salah itu adalah pengasuh Larasati.
Apa yang
terjadi? Dan mana puteriku?" tanya Sultan Trenggono.
"Kami
dalam perjalanan pulang dari Leces. Perempuan ini kami temui di tengan jalan di
antara mayat-mayat prajurit kerajaan. Sebuah kereta istana juga kami temui di
situ dalam keadaan kosong."
Sultan
Trenggono berdiri dari kursinya. Untuk beberapa lamanya dia hanya bisa tegak
mematung dengan mulut menganga dan kedua mata terbuka lebar.
"Pasti
rombongan puteriku telah dihadang orang-orang jahat. Semua prajurit pengawal
mati katamu?"
"Betul
Sultan. Bahkan mayat Raden Mas Panawa kami dapati di antara korban yang tewas.
Kami belum sempat mengurus mayat-mayat itu karena ingin cepat-cepat
melapor."
"Celaka…,"
desis Sultan Trenggono. Dia maju beberapa langkah. Ditelitinya sosok tubuh
perempuan yang dipanggul. "Masih hidup?"
Prajurit
yang ditanya mengangguk. "Bawa dia ke salah satu kamar di belakang.
Panggil tabib dan usahakan agar dia siuman secepat mungkin agar bisa
ditanyai."
Sebelum
menjalankan perintah dua prajurit itu menjura lebih dulu. Pengasuh yang pingsan
dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Tabib dipanggil dan segera datang. Begitu
perempuan itu siuman Sultan Trenggono segera diberitahu dan segera datang.
"Kau
ikut bersama rombongan Larasati bukan?" "Betul Sultan…"
"Kau
ditemui dalam keadaan pingsan. Katakan apa yang terjadi."
Pengasuh
Ning Larasati itu menyeka peluh di keningnya lebih dulu baru menjawab dengan
muka yang masih pucat.
"Waktu
itu kami baru saja meninggalkan desa Kalicamat. Tiba-tiba hamba dengar
ringkikan-ringkikan kuda dan suara bentakan. Ternyata rombongan kami telah
dihadang orang jahat. Mereka berjumlah empat orang, berpakaian serba hitam.
Raden Mas Panawa turun dari kuda, bertempur dengan salah satu orang jahat itu.
Lalu perkelahian terjadi. Walau mereka berjumlah cuma empat tapi ternyata
mereka memiliki kepandaian tinggi. Perwira muda itu dan seluruh pengawal
menemui ajal. Gusti Ayu dipaksa keluar dari kereta dan dilarikan. Hamba…, hamba
tak kuasa melindunginya karena hamba ditendang dan tak ingat apa-apa lagi…"
Sultan
berpaling pada prajurit-prajurit yang telah menemukan pengasuh itu. "Apa
kalian sudah meneliti tempat kejadian itu dan tidak menemukan puteriku?"
"Sudah
Sultan dan Gusti Ayu tidak ada di situ."
Sultan
merasakan dadanya sesak. "Panggil Brajaseta kemari!" perintahnya.
******************
5
RAJASETA
adalah Perwira Tinggi di Demak yang memegang jabatan sebagai Kepala Pasukan
Kerajaan. Orangnya tinggi kekar. Dia amat disegani dan dihormati karena ilmu
silat dan kesaktiannya yang tinggi.
Begitu
Brajaseta memasuki kamar Sultan Trenggono segera menerangkan apa yang telah
terjadi dan memberi perintah agar saat itu juga Brajaseta bersama beberapa
perwira kerajaan dan seratus prajurit melakukan penyelidikan dan pengejaran.
"Selambat-lambatnya
besok pagi aku harus sudah mendapat kabar tentang puteriku itu!" Lalu
dengan hati masygul Sultan meninggalkan tempat tersebut. Baginya kehilangan
empat peti uang dan perhiasan bukan menjadi apa dibandingkan dengan keselamatan
puteri yang sangat disayanginya itu meski cuma puteri dari seorang selir.
Sultan
Trenggono baru saja masuk ke dalam kamarnya sewaktu tiba-tiba pintu diketuk dan
Brajaseta muncul di ambang pintu.
"Ada
apa Brajaseta? Bukankah kau seharusnya sudah berangkat?"
Perwira Tinggi
itu menjura. "Harap dimaafkan Sultan.
Ketika
saya menemui tokoh-tokoh silat istana untuk berunding, seorang pengawal
mengatakan ada seorang lelaki ingin menghadap Sultan. Ketika ditanya maksud
kedatangannya dia tidak mau menerangkan. Katanya dia hanya mau bicara dengan
Sultan dan katanya ada sangkutpautnya dengan malapetaka yang barusan
dilaporkan."
"Bawa
orang itu kemari!" kata Sultan seraya mendudukkan diri di kursi.
Sultan
tak menunggu lama. Pintu ruangan terbuka dan Brajaseta bersama dua prajurit masuk
membawa seorang laki-laki berpakaian kumal, bermuka lusuh. Di hadapan Sultan
orang ini menjura dalam-dalam.
"Terangkan
siapa kau dan jelaskan maksud kedatanganmu," kata Sultan setelah lebih
dulu meneliti orang itu beberapa saat lamanya.
"Nama
hamba Wiku Tembereng. Hamba seorang petani miskin dari desa Kalicamat. Pagi
tadi hamba dalam perjalanan ke hutan untuk mencari kayu jati. Tiba-tiba di
balik semak belukar hamba lihat empat orang laki-laki berpakaian serba hitam.
Mereka membicarakan sesuatu.
Karena
sikap mereka mencurigakan maka diam-diam hamba mencuri dengar apa yang
dibicarakan. Rupanya mereka adalah perampok-perampok Hutan Roban yang hendak
melakukan penghadangan. Nama-nama mereka adalah Parereg, Rah Gludak dan Kunto
Handoko. Orang keempat tak tahu jelas siapa namanya. Keempatnya menyebut nama
Gusti Ayu Ning Larasati…"
"Tunggu
dulu!" potong Sultan Trenggono. "Bagaimana kau bisa tahu nama ketiga
orang itu?"
Si petani
menelan ludahnya dan menjawab, "Mereka bicara saling memanggil nama…"
"Teruskan
keteranganmu!"
"Yang
bernama Parereg rupanya yang menjadi pimpinan di antara mereka. Hamba dengar
dia mengatur rencana penghadangan dan pelarian. Begitu penghadangan berhasil,
salah seorang kawannya disuruhnya lari ke timur. Dua orang membawa lari barang
rampokan ke sebuan kuil di Bukit Mangatas dan menanamnya dalam lobang. Parereg
sendiri hamba dengar mengatakan bahwa dia akan menculik Gusti Ayu dan
menyembunyikannya di satu tempat lalu akan melakukan pemerasan terhadap
Sultan…"
"Bedebah!"
maki Sultan sambil kepalkan tinju.
"Apa
kau tahu ke mana Gusti Ayu dibawa?" tanya Brajaseta pada si petani.
"Hamba
tidak tahu, perwira," jawab si petani, "Namun menurut Parereg besok
mereka akan bertemu di Bukit Mangatas itu dan kemungkinan Parereg akan membawa
Gusti Ayu ke situ."
Sunyi
seketika.
"Coba
kau terangkan ciri-ciri orang bernama Parereg itu," kata Brajaseta.
Wiku
Tembereng menerangkan ciri-ciri Lor Parereg.
"Kemudian
apa yang terjadi?" tanya sang perwira.
"Sebelum
hamba ketahuan berada di situ, hamba cepat-cepat pergi dan pulang ke rumah.
Hamba ceritakan kejadian itu pada istri hamba dan dia mengusulkan agar hamba
cepat-cepat memberi tahu istana. Hamba seorang petani miskin, tak punya kuda.
Hamba jalan kaki untuk datang kemari. Itu sebabnya malam-malam begini baru
sampai."
Sultan
berpikir sejenak. Lalu berpaling pada Brajaseta.
"Bagaimana
pendapatmu Dimas Brajaseta?"
"Ada
baiknya jika saya melakukan penyelidikan dulu ke Bukit Mangatas."
"Bolehkah
hamba mengemukakan pendapat?" tiba-tiba si petani menyeletuk.
Semua mata
ditujukan pada Wiku Tembereng.
"Bicaralah,"
kata Sultan pula.
"Rampok-rampok
Hutan Roban rata-rata licik dan amat cerdik dalam melakukan segala tindakan.
Hamba khawatir penyelidikan pendahuluan yang akan diadakan diketahui oleh
mereka. Mungkin Sultan bisa mendapatkan semua harta yang ditanam di kuil itu
kembali. Tapi Parereg tentu bakal diberi laporan sehingga dia tak jadi datang
ke situ. Ini berarti Gusti Ayu tak bakal bisa diselamatkan. Menurut pendapat
hamba yang tolol ini sebaiknya dilakukan penyergapan pada tengah hari besok.
Yaitu pada saat keempat penjahat itu melakukan pertemuan di Bukit Mangatas di
mana Parereg akan datang membawa Gusti Ayu…"
Apa yang
dikatakan petani ini memang ada benarnya.
Untuk
beberapa lamanya semua orang berdiam diri. Akhirnya Sultan Trenggono memecah
kesunyian.
"Apa
yang kau katakan itu pantas untuk dipikirkan." Lalu Sultan berpaling pada
salah seorang pembantu.
"Berikan
lima keping uang perak dan seekor kuda padanya untuk pulang ke rumah."
"Sultan,"
si petani berkata seraya menjura, "apa yang hamba lakukan ini sama sekali
tidak mengharap pamrih balas jasa. Itu adalah kewajiban."
Sultan
tersenyum. Dia memberi isyarat. Si petani dibawa keluar ruangan.
"Sultan,"
kata Brajaseta begitu si petani pergi, "Hamba merasakan ada hal-hal yang
tidak wajar pada diri petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng itu."
"Hem,
apa maksudmu Brajaseta?"
"Sikap
hormat dan bicaranya seperti dibuat-buat…"
Sultan
tersenyum "Lebih tepat kalau dikatakan petani itu agak gugup berhadapan
dengan kita. Tapi itu bukan alasan untuk curiga. Seorang rakyat biasa yang tak
pernah masuk istana dan berhadapan dengan rajanya, biasanya gugup macam
begitu."
"Hal
lain yang mencurigakan hamba…," kata Kepala Pasukan Demak itu, "ialah
jalan pikirannya yang cerdik.
Seorang
petani biasa tak mungkin bisa mengemukakan pendapat secerdik dia…"
Sultan
melambaikan tangannya. "Lenyapkan segala kecurigaanmu. Tidak selamanya
rakyat jelata atau orang dari kalangan rendah itu berotak tolol. Banyak dari
mereka yang pandai dan cerdik."
"Satu
lagi Sultan," kata Brajaseta masih belum mau mengalah. "Wiku
Tembereng menerangkan bahwa dia telah berjalan kaki dari desanya kemari. Tadi
saya perhatikan.
Boleh
dikata hampir tak ada debu yang melekat di kedua kakinya. Mana mungkin…"
"Sudahlah.
Yang penting sekarang siapkan orangmu dan besok siang tepat tengah hari sudah
harus ada di Bukit Mangatas." Habis berkata begitu Sultan Trenggono
berdiri. Brajaseta tak bisa berbuat apa-apa lagi padahal tadi dia sudah punya
rencana untuk memanggil petani itu kembali. Dalam hatinya dia tetap menaruh
syak wasangka.
Sementara
itu si petani yang mengaku bernama Wiku Tembereng memacu kuda hadiahnya keluar
dari Kotaraja.
Sepanjang
jalan lima keping uang perak yang dimasukkannya ke dalam saku pakaian
berdering-dering. Sepanjang jalan itu pula di mulut Wiku Tembereng tersungging
senyum.
"Kukira
cuma si Kunto Handoko saja manusia tolol di dunia ini! Kiranya Sultan dan
Kepala Pasukan Demak itupun bisa kutipu! Ha… ha! Dan si Parereg itu pasti akan
terjebak kalau dia betul-betul datang ke Bukit Mangatas besok!"
Sekali
lagi Wiku Tembereng tertawa terbahak-bahak.
Memang
cukup lucu karena namanya sebenarnya bukanlah Wiku Tembereng melainkan Tunggul
Bayana.
******************
6
KETIKA
pada tengah hari itu Rah Gludak sampai di Bukit Mangatas, terkejutlah dia.
Kunto Handoko ditemuinya menggeletak tak bergerak di tanah. Rah Gludak melompat
dari punggung kuda dan langsung menghampiri sosok tubuh kawannya. Hatinya lega
sedikit ketika mengetahui bahwa Kunto Handoko masih bernafas meskipun satu-satu
seperti orang siap sekarat "Apa yang terjadi dengan dirinya," pikir
Rah Gludak. Dia memandang berkeliling. "Di mana pula si Tunggul Bayana.
Seharusnya
dia ada di sini saat ini."
Selintas
pikiran muncul di benak Rah Gludak. Dia cepat berdiri dan setengah berlari
menuju ke bagian belakang kuil. Sepasang matanya jadi melotot. Lobang yang
tempo hari digalinya bersama teman-temannya kosong melompong, tak beda dengan
keadaan sebelumnya.
"Apa
yang terjadi! Mungkinkah Tunggul Bayana berkhianat?!"
Rah
Gludak cepat berpaling ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dari arah
belakang. Semula disangkanya Tunggul Bayana. Yang muncul ternyata Lor Parereg.
"Apa
yang terjadi dengan Kunto Handoko?" tanya Lor Parereg.
Rah
Gludak melihat bibir Lor Parereg pecah. Dia menjawab, "Ada yang tak beres
di sini Parereg. Tunggul Bayana tidak kelihatan mata hidungnya! Harta-harta
rampokan juga tidak ada. Lobang yang kita gali tempo hari ternyata kosong
melompong!"
Berobahlah
paras Lor Parereg. Sekali lompat saja dia sudah berada di tepi lobang.
"Keparat!"
kata Lor Parereg sambil mengepalkan tinju.
"Pasti
si Tunggul Bayana itu berkhianat!" Dia kelihatan marah sekali. Pelipisnya
bergerak-gerak. Lalu dia pergi ke bagian depan kuil dan memeriksa tubuh Kunto
Handoko.
"Dia
telah diracuni!" kata Lor Parereg setelah meneliti keadaan Kunto Handoko.
Bibirnya jelas kelihatan membiru.
Kemudian
dilihatnya bekas totokan pada pangkal leher anak buahnya itu. "Untung dia
masih bisa menotok jalan darahnya. Kalau tidak pasti dia sudah mati saat
ini!"
Dari
balik pakaiannya Lor Parereg mengeluarkan satu lipatan kertas berisi sejenis
bubuk berwarna putih. Bubuk ini dimasukkannya ke dalam mulut Kunto Handoko.
Setelah
menunggu beberapa lama dilepaskannya totokan pada pangkal leher laki-laki itu.
Tak selang berapa lama Kunto Handoko membuka kedua matanya perlahan-lahan.
Lor
Parereg yang sudah tak sabaran menepuk-nepuk muka anak buahnya itu.
"Hai!
Ayo bangun! Bangun! Sadar, jangan mimpi!"
Lor Parereg
menyandarkan kepala Kunto Handoko pada reruntuhan tembok kuil. Sepasang mata
Kunto Handoko memandang berkeliling. Dia berusaha mengumpulkan ingatannya
kembali.
"Ceritakan
apa yang terjadi," kata Lor Parereg.
Yang
ditanya masih berdiam diri macam orang bingung.
"Ayo
ceritakan! Kau kutemui menggeletak pingsan. Apa yang terjadi? Siapa yang punya
pekerjaan? Ayo!" Kembali Lor Parareg menepuk-nepuk pipi Kunto Handoko.
Rasa
sakit pada mukanya memulihkan ingatan Kunto Handoko. Tapi yang dilakukan
laki-laki ini bukannya menjawab pertanyaan Lor Parereg melainkan duduk bersila
mengatur jalan nafas dan darahnya. Lor Parereg menggerutu habis-habisan. Tapi
dia memaklumi apa yang dilakukan Kunto Handoko itu adalah satu keharusan yaitu
untuk menghindarkan luka dalam akibat keracunan.
Selesai
mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya Kunto Handoko muntah-muntah.
Dadanya yang tadi sesak perlahan-lahan terasa lega. Kepalanya yang berat kini
menjadi enteng.
"Sekarang
cepat terangkan apa yang terjadi!" kata Lor Parereg tak sabar lagi.
Kunto
Handoko lalu menerangkan bahwa dia dan Tunggul Bayana sampai di tempat itu
sekitar tengah hari kemarin. Diceritakannya bagaimana Tunggul Bayana
mengkhawatirkan luka di bahunya lalu memberikan sebutir obat. Tak lama sesudah
obat itu ditelannya kepalanya terasa berat. Dadanya sakit, lalu dia
muntah-muntah dan tak ingat apa-apa lagi.
"Tunggul
Bayana keparat haram jadah!" Suara Lor Parereg menggeram bergetar.
"Berani dia mengkhianati kita! Kita harus cari dia dan cincang sampai
lumat!"
"Dia
pantas digantung kaki ke atas kepala ke bawah.
Lalu
dihukum picis!" kata Rah Gludak yang sejak tadi diam saja.
Ketiga
orang itu melangkah menuju ke kuda masingmasing.
Namun
langkah mereka serta- merta terhenti.
Sepasang
kaki mereka laksana dipantek ke tanah. Mata mereka membeliak dan memandang
berkeliling.
Sesaat
itu dari balik semak belukar muncul puluhan prajurit bersenjata lengkap,
mengurung puncak bukit itu dalam dua lapor berbentuk lingkaran. Seorang lelaki
berpakaian perwira dan bertubuh tinggi kekar diiringi oleh dua orang pemuda
yang juga mengenakan seragam perwira kerajaan melangkah kehadapan Lor Parereg
dan dua kawannya.
"Kalian
bertiga sudah terkurung!" kata perwira yang paling depan dan bukan lain
adalah Brajaseta. "Tidak ada guna melawan. Menyerah lebih baik!"
"Apa-apaan
ini?!" tanya Lor Parereg membentak.
"Kau
dan dua kawanmu kami tangkap Parereg! Dan jangan banyak mulut!" kata
Brajaseta pula.
"Ditangkap?"
Sepasang mata Lor Parereg melotot dan berputar liar "Bah! Kami tidak ada
urusan dengan kalian kecoak-kecoak kerajaan!"
Brajaseta
menyeringai mendengar dirinya dan anak buahnya disebut kecoak kerajaan. Dengan
kedua tangan diletakkan di pinggang Brajaseta kembali membuka mulut, "Kau
dan kawan-kawanmu telah menghadang rombongan Gusti Ayu Ning Larasati. Merampok
barang-barang kerajaan dan menculik puteri Sultan!"
Lor
Parereg orangnya memang pandai dan licik. Dia memandang pada Kunto Handoko dan
Rah Gludak. Ketiga orang itu lalu tertawa gelak-gelak. Dua perwira muda yang
turut bersama Brajaseta kelihatan sudah tidak sabar untuk buru-buru turun
tangan. Namun tanpa mendapat isyarat atau perintah mereka tidak berani
bertindak mendahului.
Sambil
balas berkacak pinggang Lor Parereg berkata, "Perwira, kau lihatkah
matahari bersinar terik di atas batok kepalamu? Ini satu pertanda bahwa saat
ini tengah hari bolong! Dan adalah aneh kalau kau bicara melantur macam orang
mimpi mengigau! Jangan menuduh yang bukan-bukan! Jangan mimpi di siang
bolong!"
Dengan
tenang malah sambil tertawa Brajaseta menjawab, "Mungkin kau yang mimpi
Lor Parereg!"
"Hem,
tunggu dulu! Dari mana kau tahu namaku Lor Parereg?!"
"Tanya
jawab ini bisa kita lanjutkan nanti di Kotaraja!"
jawab
Brajaseta. Dia memandang berkeliling. "Setahuku kalian berjumlah empat
orang. Mana kunyuk yang satu lagi?!"
Lor
Parereg geleng-gelengkan kepala.
"Sebaiknya
jangan teruskan mimpi anehmu itu. Sekali aku bilang tak ada urusan dengan
kalian, tetap tak ada urusan. Sekarang minggir! Beri jalan!"
"Hem
kau mau ke mana Parereg? Jika hendak pergi ke Kotaraja kami akan mengantarkan
kau dan kawan-kawanmu ke sana!" kata Brajaseta pula. Lalu dia goyangkan
kepala pada dua perwira muda di sampingnya. Ketiganya maju bersamaan.
"Gila!
Kalian hendak turun tangan terhadap orang yang tidak punya salah
apa-apa?!" teriak Lor Parereg.
"Kejahatan
kalian telah jelas. Segala apa yang kalian bicarakan sudah kami dengar. Jika
kau dan teman-temanmu tidak mau menyerahkan diri dengan damai, kekerasan
mungkin lebih baik!"
"Cara
kekerasan dan mengeroyok! Pengecut! Kau mengandalkan puluhan prajurit!"
kata Lor Parereg.
"Jangan
khawatir. Prajurit-prajurit itu hanya menjadi penonton. Kecuali kalau kau coba
melarikan diri!"
"Perwira
tolol! Kau mencari mati!" bentak Lor Parereg lalu hunus kerisnya. Kunto
Handoko dan Rah Gludak mencabut pedang. Brajaseta serta dua perwira muda segera
pula mengeluarkan senjata masing-masing yakni sebatang pedang berukuran pendek.
Sesaat kemudian pertempuran satu lawan satu berkecamuk hebat.
Dalam
memainkan keris Lor Parereg tidak kalah hebat jika dibandingkan dengan cara dia
memainkan pedang.
Tubuhnya
berkelebat gesit sekali. Kerisnya seolah-olah lenyap dan senjata itu
menderu-deru sebat menusuk dan membabat kian kemari secara tidak terduga dan
ganas.
Selama
malang melintang menjadi kepala rampok Hutan Roban betapapun tangguh lawan yang
dihadapinya, paling lama si lawan hanya sanggup bertahan sampai duapuluh jurus.
Tapi kali ini setelah berkelahi sepuluh jurus saja Lor Parereg segara menyadari
bahwa lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Dalam
waktu dekat dia pasti akan roboh di tangan lawan! Meskipun demikian Lor Parereg
tidak mau menyerah mentahmentah.
Segala
tipu daya dan jurus-jurus ilmu silat simpanannya dikeluarkan. Permainan
kerisnya sekali-kali diseling dengan pukulan tangan kosong yang hebat. Bahkan
dia berulang kali melepaskan pukulan sakti Angin Empat Racun. Tapi kesemuanya
itu sia-sia belaka.
Kalau
dengan bersenjata Lor Parereg tidak sanggup mempertahankan diri lama-lama maka
tanpa senjata dua jurus kemudian dia tidak dapat berbuat apa-apa ketika hulu
pedang pendek di tangan Brajaseta membalik dan menghantam ganas keningnya. Lor
Parereg menggeletak pingsan. Dua orang prajurit atas perintah Brajaseta dengan
cepat meringkusnya, mengikat tangan serta kakinya.
Sementara
itu perkelahian antara Kunto Handoko dan Rah Gludak melawan dua perwira muda
kerajaan tak kalah serunya. Sampai duapuluh jurus suasana kelihatan seim bang.
Namun setelah dua perwira itu merobah permainan silat mereka maka dua anak buah
Lor Parereg itu jadi dibikin sibuk. Di samping itu tertangkapnya Lor Parereg
sedikit banyak mempengaruhi nyali mereka. Sehingga meskipun bertahan
mati-matian akhirnya keduanya kena dirobohkan juga. Mula-mula Kunto Handoko
terdengar menjerit. Bahu kirinya luka parah disambar pedang lawan.
Lalu satu
tendangan pada dadanya membuat tubuhnya mencelat dan roboh tak sadarkan diri.
Rah
Gludak mengalami nasib sama. Masih untung dia tidak mendapat luka-luka.
Tubuhnya kena ditotok pada bagian bawah ketiak. Dia tergelimpang di tanah dalam
keadaan kaku.
Brajaseta
dan orang-orangnya memeriksa seluruh puncak Bukit Mangatas. Tak satupun yang
dapat mereka temui untuk dijadikan bahan pelacakan empat peti harta dan Ning
Larasati. Bersama ketiga tawanan itu akhirnya mereka kembali ke Kotaraja. Tapi
Brajaseta tak lupa untuk menempatkan beberapa prajurit di situ guna mengawasi
daerah tersebut.
******************
7
SETELAH
dihadapkan pada Sultan Trenggono ketiga tawanan dimasukkan ke sebuah ruangan di
bawah tanah. Di situ terdapat berbagai macam alat-alat aneh untuk menyiksa
manusia. Masih dalam keadaan terikat Lor Parereg dan kawan-kawannya dibaringkan
di lantai kotor yang ada bekas-bekas darahnya. Dekat kaki dan kepala mereka
terdapat sebuah roda besar dari kayu yang dicanteli rantai besar. Setiap roda
kayu ditangani oleh seorang juru penyiksa.
"Parereg,"
menegur Brajaseta. "Kau tidak terlalu tolol untuk mengetahui di mana kau
berada bukan?"
Sesaat
Lor Parereg memandang berkeliling. Lalu dia berpaling pada Brajaseta dan dua
perwira muda yang berdiri disamping Kepala Pasukan Demak itu. Tiba-tiba dia
menyeringai aneh.
"Manusia-manusia
tak berdaya dijebloskan ke dalam ruang penyiksaan. Apakah ini tindakan manusia
yang mengaku beradab?"
Brajaseta
keluarkan suara mendengus. "Terhadap manusia-manusia macammu dan
kawan-kawanmu tak perlu diributkan soal peradaban. Peradaban tak ada kamusnya
untuk manusia-manusia biadab macam kalian!
Duapuluh
prajurit Demak kalian bunuh. Bahkan juga seorany perwira Kerajaan. Apakah itu
beradab?"
"Mereka
sudah ditakdirkan mati! Aku muak bicara tentang manusia-manusia yang sudah
mati!"
"Sebentar
lagi kaupun akan mati Parereg. Juga dua kawanmu ini!"
"Oh
begitu?"
"Ya!"
"Berarti
Sultan Trenggono akan kehilangan empat peti uang serta barang-barang berharga.
Akan kehilangan puteri yang paling dikasihinya untuk selama-lamanya!" ujar
Lor Parereg lalu tertawa gelak-gelak,
"Bagus!"
ujar Brajaseta. "Kau rupanya bukan seekor tikus yang takut mati. Tapi
ingat kematian itu bukan apaapa.
Hanya
beberapa detik saja. Tapi saat-saat menjelang kematian itu yang justru amat
mengerikan. Lebih menyiksa dan lebih kejam dari kematian itu sendiri!"
Lor
Parereg tertawa dingin. "Hari ini kau boleh gembira dengan kematianku.
Hari ini kau boleh berpesta pora dengan kematian kami bertiga. Tapi jangan lupa
sobat, pesta kematianmu-pun kelak bakal tiba. Lebih meriah dari kematian
kami!"
Brajaseta
mengangkat tangan memberi isyarat. Prajuritprajurit yang berada di samping
roda-roda besar mengikat kedua tangan dan kaki tiga rampok Hutan Roban itu.
Lalu roda-roda itu mulai diputar hingga tubuh Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah
Gludak terangkat ke atas. Setiap kali roda itu diputar, kaki dan tangan meraka
tambah meregang hingga akhirnya ketiganya terpental di atas lantai!
"Kita
mulai lagi bicara, Parereg!" kata Brajaseta.
"Sekarang
kau tentu lebih sedap untuk berbincangbincang.
Nah di
mana kau sembunyikan Gusti Ayu Ning Larasati?"
Lor
Parereg menyeringai. Antara dendam dan kesakitan. "Tanyakan pada roh
manusia-manusia yang pernah kau siksa sampai mati di ruangan ini!"
katanya.
"Di
mana kau simpan barang-barang rampokan?"
"Tanyakan
pada setan nereka!"
"Di
mana kawanmu yang seorang lagi?" tanya Brajaseta lagi.
"Tanya
pada dedemit Hutan Roban," sahut Lor Parereg.
Rahang
Brajaseta menggembung. Dia memberi tanda pada juru putar yang ada di dekat
Kunto Handoko. Dua prajurit ini segera memutar roda-roda kayu itu. Makin
kencang, makin kencang hingga tubuh Kunto Handoko tambah meregang. Keringat
memercik di muka dan seluruh tubuh perampok ini. Dia mengernyit tanda menahan
sakit yang amat sangat. Dan roda-roda penyiksa itu masih terus diputar. Kunto
Handoko merasa sepasang kaki dan tangannya seperti mau tanggal berserabutan.
Sakitnya bukan kepalang. Dia menjerit mengerikan. Untuk beberapa lamanya suara
jeritannya masih menggema di ruangan penyiksaan itu!
"Kau
dengar jeritan itu Parereg!" kata Brajaseta seraya menyeringai.
Lor
Parereg tak menjawab. Matanya memandang ke langit-langit ruangan.
Brajaseta
memberi isyarat. Kini pada dua prajurit yang menjaga roda-roda kayu penyiksa
Rah Gludak. Salah seorang dari mereka mendekati Rah Gludak lalu merobek
bajunya. Kawannya mengeluarkan segulung cambuk.
Benda ini
diputar-putarnya di udara hingga mengeluarkan suara menderu-deru. Tiba-tiba
cambuk itu melesat ke bawah dan menghantam dada Rah Gludak yang terbuka.
Rah
Gludak memekik kesakitan. Lalu mulutnya terkancing menahan rasa sakit. Di saat
itu kembali cambuk melanda tubuhnya. Lagi dan lagi hingga Rah Gludak berteriak
tiada henti macam orang gila. Dadanya penuh dengan guratan-guratan luka yang
dalam. Darah membasah.
Dari
dalam sakunya salah seorang prajurit mengeluarkan sebuah jeruk nipis. Dia
menggigit buah ini lalu memerasnya di atas dada Rah Gludak yang berlumuran
darah. Rah Gludak melolong setinggi langit sewaktu air perasan jeruk itu
membasahi luka-luka di dadanya!
"Kau
dengar lolongan itu Parereg?" tanya Brajaseta dekat-dekat ke telinga Lor
Parereg. Yang ditanya masih tetap memandang ke langit-langit ruangan.
"Kau
mendengar. Pasti mendengar. Tapi kau pura-pura mempertuli telingamu. Pura-pura
tak mendengar. Kau tak mungkin lari dari kengerian itu. Karena kau juga bakal
mengalaminya. Bakal merasakannya! Kecuali kalau kau mau buka mulut!"
"Buka
mulut soal apa?!" tanya Lor Parereg. Meski dia sudah tahu keterangan apa
yang diinginkan Brajaseta tapi dia pura-pura bertanya mengulur waktu.
"Tentang
Gusti Ayu Larasati. Tentang barang-barang kerajaan yang kau rampok. Juga
tentang kawanmu yang seorang lagi!" jawab Brajaseta.
"Dua
pertanyaanmu yang pertama tak bisa kujawab!" kata Lor Parereg.
"Aneh!"
sahut Brajaseta sambil rangkapkan lengan di muka dada.
"Aku
tidak tahu di mana Gusti Ayu Larasati. Juga barang-barang itu!"
Brajaseta
manggut-manggut. "Lalu pertanyaan yang ketiga?"
"Aku
juga tidak tahu di mana dia berada sekarang.
Namanya
Tunggul Bayana. Dia pengkhianat busuk! Kelak akan kucincang tubuhnya sampai
lumat!"
"Aku
tak percaya padamu Parereg. Lekas katakan di mana Gusti Ayu dan empat peti itu
berada!"
"Sekalipun
kau korek biji mataku, aku tak bakal dapat memberi keterangan karena aku
betul-betul tidak tahu!"
"Pengasuh
Gusti Ayu mengatakan kaulah yang telah menculik Gusti Ayu!"
"Perempuan
itu tentu sudah miring otaknya akibat tendanganku!" kata Lor Parereg.
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Bagaimana kau tahu bahwa aku dan
kawankawan ada di Bukit Mangatas?"
"Dedemit
Hutan Roban yang mengatakan padaku!" jawab Kepala Pasukan Demak.
Lor
Parereg tertawa. "Rupanya kau juga bisa bergurau sobat! Apakah kau juga
bersedia melepaskan ikatan rantai besi pada tangan dan kakiku?"
"Itu
soal gampang saja. Asal kau mau memberi keterangan!" sahut Brajaseta.
"Aku
benar-benar tidak tahu!"
"Kalau
begitu biar alat penyiksa itu yang akan menanyakannya padamu!" Brajaseta
mulai jengkel. Dia melambaikan tangannya pada dua prajurit. Keduanya segera
memutar roda-roda kayu. Kaki dan tangan Lor Parereg terpentang makin tegang. Lor
Parereg merasa ajalnya segera akan sampai. Bagaimanapun dia tak mau mati.
"Tunggu
dulu!" teriak Lor Parereg.
"Ah,
kau mau bicara Parereg?!" tanya Brajaseta.
"Ya."
"Bicaralah!
Itu lebih bagus daripada tangan dan kakimu tanggal satu demi satu!"
"Dekatkan
telingamu Brajaseta. Apa yang hendak kukatakan ini rahasia sekali!"
Brajaseta
mendekatkan telinganya ke muka Lor Parereg. Saat itu pula Lor Parereg
berteriak, "Kau keparat gila!"
"Bangsat
kurang ajar!" teriak Brajaseta. Kedua tangannya kiri kanan meninju muka
Lor Parereg hingga babak belur. Kedua matanya menggembung bengkak.
Bibirnya
pecah dan hidung melelehkan darah kental.
"Kepala
Pasukan Demak ternyata saorang manusia pengecut! Hanya berani pada orang yang
tidak berdaya!"
Brajaseta
jadi panas.
"Lepaskan
ikatannya."
Dua
prajurit segera melakukan perintah itu. Ikatan rantai besi pada kaki dan
tangannya dicopot. Dia berdiri dengan sempoyongan, bersandar ke salah satu roda
kayu.
Sepasang
matanya menyorotkan dendam kesumat.
"Lor
Parereg! Akan kubuktikan bahwa aku bukan pengecut! Mulailah!" kata
Brajaseta.
Lor
Parereg maju selangkah. Tiba-tiba dia menerjang ganas. Kedua tangannya
dipukulkan serentak. Delapan larik asap menggebu ke arah Kepala Pasukan Demak
itu.
Brajaseta
melompat ke atas. Pukulan Angin Empat Racun yang dilepaskan Lor Parereg
menghantam sebuah rak yang berisi seperangkat alat-alat penyiksa. Benda-benda
itu hancur berantakan berikut raknya.
"Keluarkan
semua kesaktianmu Parereg!" kata Brajaseta yang tetap tenang sambil
memasang kuda-kuda.
Keduanya
berputar-putar mengintai kelemahan dan kelengahan lawan.
Tiba-tiba
Lor Parereg menyambar sepotong besi dan dengan benda itu dia menyerang
Brajaseta dalam jurusjurus ilmu pedang yang ganas.
Untuk
beberapa jurus lamanya Brajaseta harus berlaku hati-hati karena Lor Parereg
kelihatan sangat kalap.
Potongan
besi di tangannya yang cukup berat itu menderuderu lenyap menjadi sinar hitam
dan mengurung Brajaseta.
"Ciaat!"
Kepala
Pasukan Demak itu membentak nyaring.
Tubuhnya
berkelebat lenyap. Lor Parereg merasakan sambaran angin di punggungnya. Dengan
cepat dia memutar batangan besi ke belakang lalu membalik sambil melancarkan
satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
Sekali
lagi Brajaseta membentak dan sekali lagi pula tubuhnya berkelebat lenyap.
Kembali Lor Parereg merasakan ada sambaran angin serangan di belakangnya.
Seperti tadi kembali dia membalik seraya hantamkan potongan besi. Tapi kali ini
dia hanya sempat membuat gerakan setengah memutar karena saat itu satu pukulan
keras menghantam lengannya. Lor Parereg mengeluh kesakitan.
Tulang
lengannya seperti patah. Potongan besi terlepas dan jatuh ke lantai ruangan.
Lor
Parereg masih belum melihat di mana saat itu lawannya berada. Tahu-tahu satu
jotosan keras melanda mukanya. Kepalanya serasa meledak. Sesaat dia tertegak
nanar lalu roboh pingsan dengan muka matang biru babak belur.
"Ikat
dia kembali!" perintah Brajaseta. Bersama dua perwira muda itu dia lalu
meninggalkan ruang penyiksaan.
******************
8
HARI ITU
adalah hari yang kedua Lor Parereg dan kawan-kawannya disekap di ruang
penyiksaan.
Ketiganya
masih dipentang di atas roda kayu.
Mereka
sama sekali tidak diberi makan, hanya diberi minum sedikit. Keadaan ketiganya
seperti setengah sekarat.
Kunto
Handoko membuka kedua matanya yang bengkak. Dengan lemah dia berpaling pada Lor
Parereg.
Dilihatnya
kedua mata Lor Parereg tertutup. Tubuhnya tak bergerak. Sudah matikah dia,
pikir Handoko.
"Kau
tidur atau pingsan atau mati Parereg?" tanya Kunto Handoko.
"Sialan!
Kau kira di sorgakah kita saat ini hingga aku bisa tidur?!" terdengar
suara Lor Parereg. Suaranya masih keras tapi kedua matanya yang gembung tetap
tertutup.
"Ajal
kita tak lama lagi tamat di tempat terkutuk ini!"
bicara
lagi Kunto Handoko sementara Rah Gludak diamdiam ikut mendengarkan pembicaraan
itu.
"Kita
tak bakal dibunuh. Aku yakin!" kata Lor Parereg.
"Yakin?"
ujar Handoko. "Bagaimana kau bisa yakin?"
"Selama
mereka belum tahu di mana puteri Sultan berada, selama itu pula mereka akan
membiarkan kita hidup."
"Tapi
aku tak tahan siksaan-siksaan yang mereka lakukan. Cepat atau lambat kita bakal
mati!" Kali ini Rah Gludak ikut bicara.
Sunyi
sejenak.
Kemudian
terdengar Kunto Handoko bertanya, "Sebenarnya di mana kau sembunyikan
puteri Sultan Trenggono?"
Lor
Parereg berpaling dan memandang pada kawannya.
Dia
hendak mengatakan sesuatu tapi saat itu didengarnya pintu ruangan terbuka.
Brajaseta masuk diiringi dua orang pengawal. Setelah diberi isyarat dua
pengawal itu meninggalkan ruangan. Pintu ditutup kembali. Brajaseta melangkah
mengelilingi ketiga tawanan itu, akhirnya dia berhenti di samping sosok tubuh
Lor Parereg.
"Setelah
dua hari di sini tentunya sekarang kalian merasa kerasan bukan?" tegur
Brajaseta mengejek.
"Memang
betul. Seperti di rumah sendiri!" sahut Lor Parereg balas mengejek.
"Syukur.
Syukur. Sayang kami tidak bisa memberikan makanan yang enak-enak untuk kalian.
Minumanmu cuma air comberan!"
"Keparat!"
Rutuk Lor Parereg.
"Paling
lambat sampai tengah malam nanti kalian bertiga sudah harus mati!" kata.
Brajaseta.
"Hem…
Rupanya Sultanmu lebih suka kehilangan puterinya," tukas Lor Parereg.
"Semua
sudah dipertimbangkan. Tak ada jalan lain.
Kalian
harus mati tapi…"
"Tapi
apa…?"
"Harus
disiksa lebih dulu!" Brajaseta bertepuk dua kali.
Pintu
terbuka. Dua prajurit masuk menggotong sebuah anglo tanah berisi api yang
berkobar-kobar. Di dalam anglo itu terdapat sebuah besi panjang yang gagangnya
diberi lapisan karat. Besi ini ujungnya berbentuk bulat. "Dirangket,
dicambuk dan dipukuli memang bukan apa-apa bagi kalian. Tapi pernahkah kalian
melihat kerbau atau sapi yang dicap tubuhnya dengan besi panas?" tanya
Brajaseta.
Lor
Parereg mendengus. Rah Gludak dan Kunto Handoko menjadi pucat wajah
masing-masing.
"Parereg!"
kata Handoko dengan suara bergetar. "Tak ada gunanya. Sebaiknya terangkan
saja di mana puteri Sultan kau sembunyikan!"
"Bangsat!
Tutup mulutmu!" sentak Lor Parereg. Dia marah sekali. "Kunyuk-kunyuk
Kerajaan ini tetap akan membunuh kita sekalipun kita memberi keterangan!"
Kunto
Handoko menggerutu dalam hati. Kalau saja dia tahu di mana puteri itu berada
pasti sudah dikatakannya.
"Aku
heran mengapa kau jadi orang begini tolol Parereg!" kata Brajaseta seraya
melangkah ke anglo besar dan mengeluarkan besi merah panas itu. Lalu dia
melangkah mendekati Rah Gludak. Tentu saja orang ini ketakutan setengah mati!
"Parereg!"
teriak Rah Gludak. "Lekas kau katakan!
Bicaralah!
Bicaralah Parereg! Jangan tolol!"
Tapi Lor
Parereg tenang-tenang saja. Seperti tidak mendengar teriakan temannya itu.
Brajaseta
menempelkan besi merah yang dipegangnya ke pinggul Rah Gludak. Terdengar suara
mendesis seperti bara kena air. Detik itu pula meledak jeritan Rah Gludak.
Bau
sangitnya daging yang terpanggang memenuhi ruangan itu. Brajaseta sekali lagi
menempelkan besi panas itu ke tubuh Rah Gludak. Sekali lagi pula Rah Gludak
berteriak setinggi langit.
"Kau
lihat Parereg? Kau dengar?!" ujar Brajaseta.
"Kenapa
masih berlaku tolol?!"
"Demi
setan aku tidak tahu di mana puteri Sultan berada!" Lor Parereg akhirnya
memberi tahu.
"Kalau
begitu berteriaklah memanggil setan!" kata Brajaseta pula. Ujung besi
panas itu lalu ditempelkannya di kening Lor Parereg.
Cess!
Kulit dan
daging kening itu terpanggang merah. Tulang keningnya kelihatan jelas. Jeritan
Lor Parereg menggelegar.
Tubuhnya
yang terpentang bergoncang-goncang padahal keempat anggota badannya sudah
terentang tegang.
Beberapa
lamanya ruang penyiksaan itu digelegari oleh jeritan-jeritan Lor Parereg, Rah
Gludak dan Kunto Handoko.
Daging
tubuh dan muka mereka kelihatan berlobanglobang hangus. Teriakan mereka baru
berhenti setelah ketiganya jatuh pingsan.
Brajaseta
melemparkan besi panas ke dalam Anglo. Dia berdiri bertolak pinggang.
Pelipisnya bergerak-gerak.
"Keparat-keparat
tolol semua!" maki Kepala Pasukan Demak ini. Lalu ditinggalkannya ruangan
itu.
Malam
harinya Brajaseta masuk kembali ke ruangan itu seorang diri. Pintu dikuncinya
dari dalam. Ketiga tawanan terpentang tak bergerak di atas roda-roda kayu,
entah tidur entah masih pingsan. Brajaseta mendekati Lor Parereg.
Matanya
menyipit melihat keadaan tubuh serta muka kepala rampok Hutan Roban itu. Penuh
luka-luka, bekasbekas hangus serta darah yang membeku.
Brajaseta
menjambak rambut Lor Parereg. "Bangun!" sentaknya.
Lor
Parereg tidak bergerak. Kedua matanya yang gembung terus menutup. Kepala
Pasukan Demak itu berteriak lebih keras. Terdengar erangan panjang keluar dari
sela bibir Lor Parereg. Perlahan-lahan kedua matanya membuka walau hanya
sedikit. Mata itu berkaca-kaca oleh cairan kuning sedang di kedua sudut mata mengental
bekuan darah.
"Manusia
iblis!" desis Lor Parereg. "Siksaan apa lagi yang bakal kau
lakukan?!"
"Dengar
Parereg, aku mau bicara!"
"Bicara
nanti dengan rohku!"
Brajaseta
mendekatkan mukanya ke wajah tawanan itu.
"Dengar,
semua harta yang kau rampok itu kau boleh ambil. Aku tidak perduli. Tapi
beritahu di mana Larasati berada…"
"Heh…
untuk pertama kali kudengar kau menyebut nama puteri itu tanpa gelaran Gusti
Ayu."
"Itu
bukan urusanmu," kata Brajaseta. "Aku punya kepentingan sendiri. Jika
kau beri keterangan aku bersumpah untuk melepaskanmu."
Ini satu
hal yang aneh bagi Lor Parereg.
"Apa
kepentinganmu itu?" dia bertanya.
"Akan
kukatakan setelah kau memberi keterangan!"
"Heh,
begitu?"
"Ya!"
Lor
Parereg menyeringai. "Goroklah batang lehermu!
Dan kau
akan tahu di mana puteri itu berada!"
"Rupanya
kau tak menginginkan kehidupan lagi? Sudah bosan hidup? Kau tak ingin
membalaskan sakit hatimu pada Tunggul Bayana yang telah mengkhianatimu?!"
"Yang
aku inginkan saat ini," sahut Lor Parereg pula, "ialah memuntir lehermu
dan menghisap darahmu!
Bangsat
terkutuk!"
Brajaseta
melepaskan jambakannya. Dia melangkah mondar mandir.
"Kau
tolol Parereg. Atau mungkin kau tak percaya padaku?!"
"Aku
lebih percaya pada setan dari kau!"
Brajaseta
berpikir sejenak. "Dengar, kalau kukatakan padamu apa kepentinganku tadi
apakah kau mau memberi keterangan?"
Lor
Parereg tidak menjawab. Kedua matanya kembali dipejamkan.
"Dengar
Parereg, ini satu rahasia. Tapi aku akan terangkan padamu. Aku percaya kau akan
memberi tahu di mana Larasati berada." Sesaat Kepala Pasukan Demak itu
memperhatikan wajah Lor Parereg, baru meneruskan katakatanya, "Aku sejak
lama mencintai puteri Sultan itu.
Secara
diam-diam. Aku bahkan telah mengajukan lamaran pada Sultan. Entah mengapa
lamaranku ditolak. Nah aku sudah jelaskan kepentinganku. Sekarang lekas kau
beritahu di mana Larasati berada. Hidupku akan tersiksa kalau sampai dia
celaka, apalagi kalau sampai mati!"
Dalam
hatinya Lor Parereg tertawa mendengar katakata Brajaseta itu. Diam-diam otaknya
berputar mencari akal.
"Kau
akan kulepaskan Parereg. Aku bersumpah!"
"Hanya
aku sendiri?" tanya kepala rampok itu.
"Kau
dan kedua kawanmu!" jawab Brajaseta.
"Aku
tidak percaya."
"Sekali
ini kau harus percaya!"
Lor
Parereg berpikir sebentar lalu berkata, "Aku juga bersumpah bahwa aku
benar-benar tidak tahu di mana puteri Sultan itu berada. Tapi aku bisa
menghubungkan kau dengan seseorang yang mengetahui tentang puteri itu."
"Katakan
siapa orang itu dan di mana tempatnya," ujar Brajaseta cepat.
"Aku
akan katakan dengan satu syarat. Yaitu keluarkan dulu aku bersama kedua temanku
dan bawa ke satu tempat yang kuingini."
"Itu
satu hal yang tak mungkin. Kau bisa menipuku!" kata Brajaseta.
Lor
Parereg terdiam. Dia berpikir lalu, "Aku akan menulis sepucuk surat.
Seseorang yang kau percaya bisa disuruh membawa surat itu kepadanya."
Brajaseta
mempertimbangkan usul Lor Parereg itu.
Kemudian
dia membuka pintu. Dua orang prajurit disuruhnya melepaskan rantai yang
mengikat tangan serta kaki Lor Parereg. Karena tubuhnya lemah sekali dan tak
sanggup berdiri Lor Parereg digotong ke sudut ruangan, didudukkan di atas
sebuah kursi besar. Sehelai kertas dan sebuah pena bulu ayam lengkap dengan
tintanya diberikan padanya. Dengan susah payah Lor Parereg menulis.
Tulisannya
buruk sekali, apalagi saat itu dia memang tidak dapat menulis secara wajar.
Setelah
surat selesai Brajaseta memeriksanya. "Tak sebaris katapun dalam suratmu
itu kumengerti!" kata Kepala Pasukan Demak itu.
Lor
Parereg tersenyum. "Terus terang aku tidak yakin kau akan memenuhi
sumpahmu, Brajaseta. Surat itu sengaja kubuat dalam tulisan rahasia. Jika kau
tidak menipuku segala sesuatunya akan berjalan beres…"
Brajaseta
menjadi gusar. Tapi dia berlagak tenang. "Ke mana surat ini harus diantar?"
tanyanya.
"Ke
selatan. Ke Bukit Tuntang," jawab Lor Parereg. "Di puncak bukit itu
diam seorang kakek bermata satu.
Berikan
surat itu padanya dan dia pasti akan membalas dan memberi tahu di mana puteri
Sultan berada."
"Siapa
adanya kakek itu?" tanya Brajaseta. "Itu kau tak perlu tahu. Namanya
tidak penting. Yang penting bagimu bukankah untuk mengetahui di mana kekasihmu
itu berada?" sahut Lor Parereg.
Brajaseta
melipat surat itu. Dia berpaling pada dua prajurit tadi dan memerintahkan untuk
merejang Lor Parereg kembali di antara dua roda penyiksa.
"Kenapa
kau melakukan ini?!" tanya Lor Parereg ketika mendapatkan dirinya diseret
kembali ke tempat penyiksaan. "Bukankah kau harus membebaskan aku dan
kawankawan?!"
Brajaseta
tersenyum. "Kau baru bebas bila Larasati sudah ditemui dan dalam keadaan
selamat."
"Bukan
begitu perjanjian kita tadi!" Brajaseta hanya ganda tertawa dan tinggalkan
tempat itu.
"Keparat
penipu! Kau akan rasakan pembalasanku!" teriak Lor Parereg.
******************
9
DARI
PINTU gerbang selatan Kotaraja kelihatan seorang perwira muda menunggangi
seekor kuda berbulu kelabu. Perwira ini bernama Aria Galing dan merupakan salah
seorang bawahan paling dipercaya oleh Kepala Pasukan Demak Brajaseta. Kepadanya
telah diserahkan sepucuk surat yang dibuat oleh Lor Parereg untuk diantarkan
pada kakek bermata satu yang menurut keterangan Lor Parereg tinggal di puncak
Bukit Tuntang.
Aria
Galing sengaja diperintahkan berangkat pada sore hari agar bisa sampai esok
sorenya di tempat yang dituju.
Perjalanan
Aria Galing tidak mendapat kesukaran. Dia hanya membutuhkan waktu untuk tidur
dan istirahat di sebuah desa. Sebagai seorang perwira, kepala desa menyambut
kedatangannya dengan pelayanan yang baik.
Pagi
harinya Aria Galing meneruskan perjalanan. Lewat rembang petang dari kejauhan
mulai terlihat Bukit Tuntang, sebuah bukit besar yang tidak ubahnya seperti
gunung. Dari kaki bukit menuju ke puncak perjalanan agak sukar. Namun demikian
sebelum matahari tenggelam Aria Galing sudah sampai di puncak bukit yang
menjadi tujuannya.
Di satu
pedataran sempit dan tinggi Aria Galing menghentikan kudanya. Dia memandang
berkeliling.
Hatinya
lega karena begitu memandang ke jurusan timur terlihat sebuah pondok. Pondok
ini terletak di tengah sebuah danau yang luas. Tak ada satu jembatan atau
titianpun yang kelihatan. Aria Galing segera menuju ke danau.
Di bawah
siraman sinar kuning emas sang surya yang hendak tenggelam, pondok dan danau
serta sekelilingnya diselimuti kesunyian. Perwira ini turun dari kudanya dan
melangkah ke tepi danau. Tak sebuah perahupun atau rakit kelihatan di sekitar
situ. Sesaat dia tegak berpikir, bagaimana dia bisa sampai ke pondok di tengah
danau itu.
Apakah
dia harus berenang? Dilihatnya danau itu airnya tidak seberapa dalam karena dia
dapat melihat jelas dasar danau.
Selagi
dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba dia dikejutkan oleh belasan potongan bambu
yang melesat ke udara dan jatuh bertebaran, mengapung di atas air danau. Belum
habis kejutnya, satu bayangan hitam yang amat tinggi, laksana seekor burung
terbang dari tepi danau sebelah tenggara dan mempergunakan potongan-potongan
bambu yang mengapung sebagai peniti kaki hingga akhirnya sampai di daratan
sempit di tengah danau dan lenyap masuk ke dalam pondok.
"Pasti
orang itulah kakek yang harus kutemui," pikir Aria Galing. Diam-diam dia
merasa kagum melihat bagai–mana si bayangan hitam mempergunakan
potongan-potongan bambu yang mengapung di air sebagai jembatan penyeberang.
Meskipun dia tidak sempat melihat jelas sosok tubuhnya namun Aria Galing
menyaksikan bagaimana tidak satupun potongan bambu itu terbenam ke dalam air
sewaktu orang itu menginjaknya! Dia membatin apakah dia mampu berbuat yang
sama, karena hanya potongan-potongan bambu itulah satu-satunya jembatan
penyeberang baginya.
Setelah
menguatkan hati Aria Galing melompat ke tengah danau. Potongan bambu pertama
yang dipijaknya tenggelam ke dalam air danau, namun tubuhnya masih tertahan dan
masih sanggup meneruskan lompatan ke bambu yang kedua, demikian seterusnya.
Sampai di depan pondok kakinya basah kuyup. Dia melangkah menuju pintu yang
tertutup lalu mengetuk. Sampai berulang kali dilaku kannya, tak ada yang
menjawab.
"Mustahil
orang itu tidak mendengar. Atau mungkin dia tuli?" pikir Aria Galing. Dia
mengetuk lebih keras. Tetap tak ada sahutan. "Biar kucoba masuk
saja!" kata perwira itu dalam hati mengambil keputusan. Tangannya sudah
siap untuk mendorong daun pintu. Semangatnya serasa terbang sewaktu tahu-tahu
di belakangnya terdengar satu bentakan keras dan garang.
"Perwira
bedebah! Ada urusan apa kowe nyasar kemari?!"
Aria
Galing membalik. Hatinya bergetar. Sosok tubuh manusia yang berdiri di
hadapannya jika memang manusia memiliki tinggi luar biasa. Tinggi dan juga
kurus sekali.
Seumur
hidupnya baru sekali itu Aria Galing melihat manusia bertubuh demikian tinggi
dan demikian kurusnya.
Dia
terpaksa mendongak untuk melihat wajah orang itu.
Dan
kembali hatinya berdebar. Orang itu bermuka panjang cekung. Kulit mukanya hitam
sekali dan berminyak. Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga
kosong. Sebaliknya mata kanannya besar sekali dan membeliak merah. Manusia ini
sama sekali tidak memiliki alis. Rambutnya pendek kasar, kaku dan tegak macam
bulu landak!
"Aku
utusan Kepala Pasukan Demak," Aria Galing perkenalkan diri sementara si
tinggi hitam menelitinya dari atas sampai ke bawah dengan matanya yang cuma
satu.
"Aku
datang membawa surat."
Perwira
itu lalu mengeluarkan surat Lor Parereg yang diterimanya dari Brajaseta dan
menyerahkannya pada si tinggi itu.
Kakek
tinggi hitam mengambil surat itu dengan kasar.
Lalu
membacanya dengan matanya yang satu. Dalam membaca mata itu kelihatan seperti
berputar-putar.
Selesai
membaca dia memandang tepat-tepat pada Aria Galing.
"Kepala
Pasukan Demak dan orang yang menulis surat itu meminta balasan," berkata
Aria Galing.
"Baik…
baik, aku akan berikan balasannya Padamu," jawab si tinggi hitam. Tidak
terduga tahu-tahu laksana kilat tangannya bergerak menyambar leher Aria Galing
dan, krak! Patahlah tulang leher perwira kerajaan itu. Dia roboh dan mati detik
itu juga!
Sebagai
seorang perwira Aria Galing memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Namun
apa yang dilakukan si tinggi hitam selain amat cepat juga tidak disangkasangka
sama sekali hingga akhirnya perwira itu menemui ajalnya hanya dalam satu
kejapan mata saja!
Seperti
tak ada kejadian apa-apa si tinggi hitam untuk kedua kalinya membaca surat yang
diterimanya.
Paduka
guru, Supit Ireng
Akibat
pengkhianatan keparat Tunggul Bayana,
aku, Rah
Gludak dan Kunto Handoko
telah
dijebloskan dan disiksa setengah mati
dalam
ruang penyiksaan istana Demak.
Kalau
Paduka guru tidak segera turun tangan,
kami
bertiga akan segera
menjadi
umpan cacing-cacing tanah, alias mampus!
Muridmu,
Lor Parereg
"Wong
edan! Wong edan!" Si tinggi hitam bernama Supit Ireng itu berkata berulang
kali. Dia membungkuk, mencengkeram kedua kaki Aria Galing. Tubuh tak bernyawa
itu diputarnya di atas kepala beberapa kali.
"Kowe
pergilah!" bentaknya. Lalu mayat Aria Galing dilemparkannya jauh-jauh dan
jatuh di tepi danau sebelah selatan.
Supit
Ireng kemudian berkelebat ke tengah danau.
Melompat
dari satu potongan bambu ke potongan lainnya hingga akhirnya sampai di tepi
danau di mana kuda milik Aria Galing tertambat. Supit Ireng melompat ke
punggung binatang ini dan memacunya ke jurusan timur yaitu menuju Kotaraja.
*********************
KEHENINGAN
dinihari yang dingin itu dihantui oleh derap kaki-kaki kuda dan kerontang roda
kereta. Kendaraan ini menderu cepat di atas jalanan tanah. Pengemudi nya
bertubuh tinggi bermuka hitam. Pakaiannya yang hitam menambah angker tampangnya
yang memang sudah mengerikan. Dia duduk di bagian depan kereta laksana setan.
Di satu lereng jalan dia dapat melihat kelap-kelip lampu-lampu Kotaraja. Kereta
dipercepatnya. Dia harus sampai di Kotaraja secepatnya dan pergi sebelum fajar
menyingsing.
Sepeminuman
teh akan mencapai pintu gerbang selatan Kotaraja, orang ini memutar keretanya
memasuki hutan kapas hingga akhirnya sampai di tembok Kotaraja sebelah timur.
Kereta ditinggalkannya dalam hutan kapas yang gelap, kemudian dengan cepat dia
mendekati tembok. Sekali lompat saja dia sudah berada di atas tembok yang
tinggi itu. Setelah meneliti keadaan di bawah sana dan dirasakannya aman, orang
ini melompat ke wuwungan bangunan istana. Gelapnya hari, pakaian hitam yang
dikenakannya serta gerakannya yang cepat membuat dirinya tiada beda dengan
hembusan angin dinihari yang tidak kelihatan.
Siapakah
manusia ini? Dia bukan lain adalah Supit Ireng. Di lain saat dia sudah sampai
di wuwungan istana sebelah timur. Sekali lagi dia meneliti suasana lalu
bergerak ke jurusan barat dan akhirnya melompat turun memasuki halaman istana.
Begitu kedua kakinya menginjak rumput taman, seorang pengawal yang kebetulan
berada di situ membentak curiga, "Siapa itu?!"
Supit
Ireng memaki. Dia cepat merunduk dan sembunyi di balik sebuah pot bunga besar.
Pengawal tadi dengan tangan kanan siap di hulu pedang cepat mengejar. Di depan
pot bunga dia berhenti.
"Heran,
manusia atau setan? Kalau manusia kenapa bisa lenyap secepat itu?"
membatin si pengawal. Dia berpikir dan memutuskan untuk memberitahu kepala
pengawal. Namun sebelum dia melangkah, lima jari membuat lidahnya terjulur
keluar dan tak dapat bernafas!
Sekujur
tubuh pengawal ini gemetar, tengkuknya dingin ketika dia berhasil melihat
tampang makhluk yang mencekiknya. Dia hendak berteriak tapi tak bisa. Dicobanya
mencabut pedangnya namun tenaganya seperti lenyap.
"Kalau
kowe tidak mau mampus, lekas tunjukkan di mana letak ruang penyiksaan
tawanan!" Supit Ireng mengancam.
Pengawal
itu menggelepar-geleparkan kedua tangannya lalu menunjuk ke kiri. Dari mulutnya
hanya keluar suara uh… uh… uuuh.
"Jalan,
bawa aku ke sana!" kata Supit Ireng. Cekikannya dilepaskan tapi terlebih
dulu urat di pangkal leher pengawal itu ditotoknya hingga si pengawal tidak bisa
bersuara lagi. Mereka memasuki sebuah pintu, melewati beberapa gang dan
ruangan. Agar tidak berpapasan dengan pengawal-pengawal lainnya kerap kali
Supit Ireng harus menarik pengawal itu ke tempat gelap atau yang kelindungan.
Mereka sampai pada mulut sebuah gang di mana dua orang pengawal kelihatan
berjaga-jaga.
"Kau
jalan duluan," desis Supit Ireng. "Lewati kedua pengawal itu!"
Supit
Ireng kemudian merapatkan diri ke balik tembok.
Pengawal
yang diperintahkan melangkah ke mulut gang.
Dua
pengawal yang tegak berjaga-jaga mula-mula tidak menunjukkan kecurigaan. Namun
sesudah pengawal satu itu lebih mendekat, mereka melihat adanya kelainan pada
tindak-tanduk teman mereka ini. Serta merta mereka melintangkan tombak dan
menyuruhnya berhenti.
Pada saat
itulah Supit Ireng keluar dari balik dinding dan dengan cepat mengirimkan
totokan jarak jauh yang lihai! Kedua pengawal di mulut lorong hanya bisa
mengeluarkan seruan pelan, lalu keduanya tegak laksana patung, tak bisa
bersuara tak bisa bergerak!
Di ujung
gang terdapat sebuah ruangan. Di sini terletak sebuah meja panjang dan empat
buah kursi. Ruangan ini merupakan ruang pengawalan yang ketat karena di ujung
ruangan inilah terletak tangga yang menuju ke bagian bawah istana di mana
terdapat ruangan tahanan dan ruang penyiksaan. Saat itu di sana kelihatan empat
orang berjaga-jaga. Tiga pengawal tingkat rendah dan seorang berpakaian
perwira.
Dari
kejauhan Supit Ireng meneliti keadaan. Dia tak mau bertindak ceroboh. Bukan
mustahil ruangan itu dilengkapi alat-alat rahasia. Tiba-tiba Supit Ireng
menangkap pinggang pengawal yang tadi dipaksanya menjadi penunjuk jalan. Sesaat
kemudian pengawal itu dilemparkannya ke arah empat orang yang berada di ruangan
penjagaan. Jatuhnya tepat di atas meja!
Sudah
barang tentu orang-orang yang ada di situ kaget bukan main. Selagi mereka
terkejut inilah Supit Ireng bertindak cepat. Tubuhnya berkelebat. Pengawal di sebelah
kanan terjengkang dan melingkar di lantai tanpa bisa berkutik karena tulang
dada dan tulang-tulang iganya melesak ke dalam akibat tendangan kaki kanan
Supit Ireng.
"Kurang
ajar! Setan alas dari mana yang berani masuk mengacau?!" bentak perwira
yang ada di tempat itu. Sekali dia bergerak pedangnya sudah berada di tangan
dan di lain kejap senjata itu menderu memapas ke pinggang Supit Ireng.
Dua
pengawal yang ada di situ begitu hilang kagetnya kini tampak ngeri memandang
wajah manusia hitam yang datang menyerbu itu. Karenanya tanpa tunggu lebih lama
mereka segera mengikuti jejak atasannya dan mencabut pedang masing-masing, lalu
menyerang.
******************
10
SUPIT
IRENG bergerak gesit. Tangan kanannya berkelebat dan prak! Kepala pengawal yang
kedua pecah. Nyawanya lepas sebelum tubuhnya mencium lantai. Hal ini membuat
kemarahan membara di hati perwira muda sedang pengawal yang satu lagi
sebenarnya sudah lumer nyalinya. Karenanya gerakan pedangnya tidak tetap. Dalam
satu gebrakan cepat Supit Ireng lepaskan pukulan tangan kosong yang keras dan
tepat menghantam dada si pengawal. Orang ini terhuyung-huyung sambil pegangi
dada. Nafasnya sesak, dia coba menghirup udara dalam-dalam tapi dari mulutnya
melompat muntahan darah. Dia terkapar di lantai, berkelojotan beberapa ketika lalu
diam tak bergerak lagi.
Satu-satunya
yang tinggal, yakni perwira tadi boleh dikatakan kini sudah dingin tengkuknya.
Dia bertahan matimatian dengan pedang di tangan. Namun bagaimanapun Supit Ireng
bukanlah tandingannya. Setelah mengelakkan satu sambaran pedang, si tinggi
hitam ini menubruk ke depan. Sang perwira coba menusukkan pedangnya, tapi lawan
lebih cepat menyodok ulu hatinya dengan satu jotosan. Selagi dia melintir
kesakitan Supit Ireng kepruk kepalanya.
Di saat
yang sama kaki perwira itu terpeleset. Tubuhnya terjungkal dan disambut oleh
tendangan kaki kiri Supit Ireng. Perwira ini mencelat, terguling di lantai.
Sebelum ajalnya sampai dia masih sempat menjangkau sebuah tombol rahasia di
dinding dan menekan tombol ini kuatkuat.
Hal ini
tidak diperhatikan lagi oleh Supit Ireng karena saat itu dia melangkah ke pintu
dan dengan satu tendangan keras pintu ruangan penyiksaan itu berhasil
dibobolnya hingga ambruk!
Dalam
hidupnya Supit Ireng telah banyak menyaksikan kematian manusia dalam cara yang
mengerikan dan mengenaskan. Namun seumur hidupnya belum pernah dia melihat
manusia direjang pada roda-roda kayu, diikat dengan rantai besi dalam keadaan
tubuh bergelimang luka dan darah. Amarahnya meluap ketika menyaksikan muridnya
Lor Parereg terpentang dalam keadaan sangat mengerikan itu. Sekujur tubuh
muridnya itu penuh lukaluka bekas cambukan. Lalu luka-luka hangus bekas
sentuhan besi panas, ditambah gelimangan darah yang sebagian telah membeku. Rah
Gludak serta Kunto Handoko tidak lebih baik keadaan mereka.
"Benar-benar
biadab! Keparat! Pembalasanku segera akan tiba!" kata Supit Ireng dengan
rahang menggembung dan geraham bergemeletakan.
Dari atas
rak diambilnya sebuah kapak besar. Dengan senjata ini disertai kerahan tenaga
dalam tentunya, diputuskannya rantai-rantai besi yang mengikat kaki tangan Lor
Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Ketiga
orang itu terbanting ke lantai. Dengan kapak masih di tangan, seperti
menggendong boneka saja, Supit Ireng menumpuk tubuh Lor Parereg dan dua
kawannya di bahu kiri lalu cepat-cepat menuju pintu. Namun pada saat yang sama
di mulut gang telah menyerbu masuk sepuluh pengawal kelas satu!
"Lekas
menyerah dan kembalikan tahanan!" teriak salah seorang pengawal.
Supit
Ireng mendengus. Bola matanya yang cuma satu berputar. Kapak di tangan kanannya
digenggamnya eraterat.
"Baik,
aku akan menyerah!" katanya menyeringai. "Tapi makan dulu ini!"
Kapak itu
menderu. Tiga orang pengawal di sebelah depan menjerit dan roboh mandi darah.
Tujuh kawannya meski terkesima tapi cuma seketika, lalu serentak menyerbu.
Supit Ireng kembali putar kapak di tangan kanannya. Pekik kematian kembali
menggema di tempat itu.
Dua
pengawal yang masih hidup tak berani melakukan pengejaran ketika Supit Ireng
meninggalkan gang di tingkat bawah itu. Di tangga yang menuju tingkat atas
sepuluh pengawal tingkat satu kembali menghadang. Kali ini mereka malah dibantu
oleh dua perwira tinggi.
"Keparat!
Kalian bikin repot aku saja!" rutuk Supit Ireng.
Dia sama
sekali tidak takut melihat lawan yang berjumlah banyak itu. Malah dia yang
mendahului menye–rang.
Kapak di
tangannya berkelebat ganas kian kemari, menyebar maut. Kakinya kiri dan kanan
bergantian mengirimkan tendangan. Korban demi korban berjatuhan termasuk satu
dari dua perwira tinggi. Pada satu kesempatan Supit Ireng menerobos
meninggalkan lawan-lawannya yang masih hidup dan sesaat kemudian telah berada
di taman istana, siap untuk melompati tembok halaman.
Akan
tetapi pada saat itu seluruh penjuru sudah dikurung. Puluhan prajurit muncul
dari mana-mana ditambah pengawal-pengawal kelas satu dan perwira perwira tinggi
Kerajaan.
Memandang
ke jurusan kanan Supit Ireng melihat seseorang berpakaian kebesaran mendatangi
dengan cepat, diiringi dua orang tua berselempang kain putih.
Ketiganya
melangkah enteng dan dalam waktu singkat sudah berdiri lima langkah dari
hadapan Supit Ireng. Guru Lor Parereg ini segera mengenali ketiganya. Sesaat
hatinya tercekat tetapi dia sama sekali tidak takut.
Yang
termuda dari ketiga orang itu, yang berpakaian kebesaran adalah Brajaseta,
Kepala Pasukan Demak.
Orang tua
di samping kanan dikenalnya dengan julukan Si Cakar Malaikat. Lalu yang di
sebelah kiri terkenal dengan gelaran Si Kipas Besi. Kedua orang ini adalah
tokoh-tokoh silat istana yang tinggi ilmu silatnya.
Adapun
tombol rahasia yang ditekan oleh perwira di ruangan penjagaan sebelumnya,
berhubungan langsung dengan sebuah genta tanda bahaya di dalam kamar tidur
Brajaseta. Ketika genta itu berbunyi Brajaseta segera melompat dari tempat
tidur, mengenakan pakaian dan sengaja menghubungi Si Cakar Malaikat dan Si
Kipas Besi.
Ketiganya
maklum sesuatu telah terjadi di ruangan penyiksaan bawah tanah. Brajaseta
memerintahkan menutup semua jalan keluar. Sewaktu Supit Ireng muncul di taman
istana maka dia sudah terkurung rapat!
"Supit
Ireng!" tegur Si Kipas Besi. Rupanya tokoh silat istana ini juga mengenali
siapa adanya manusia tinggi hitam bermata satu di hadapannya itu. "Kau
sudah terkurung. Tunggu apa lagi? Lekas berlutut dan serahkan diri!"
Supit
Ireng tertawa hambar. "Bagus sekali omonganmu Kipas Besi. Berapa kowe
dibayar untuk jadi cecunguk istana?!"
Panaslah
Si Kipas Besi. "Manusia tidak tahu diri! Nyawa sudah di depan mata masih
bicara ngaco! Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!"
"Jangan
kira aku takut pada kalian!" dengus Supit Ireng.
"Majulah,
satu-satu atau berbarengan sekaligus biar cepat aku membereskan kalian!"
Brajaseta
yang sudah tidak dapat menahan amarah, apalagi setelah menyadari kalau dia
telah ditipu Lor Parereg, segera berteriak, "Supit Ireng! Serahkan nyawa
anjingmu!" Lalu Kepala Pasukan Demak ini cabut pedangnya dan langsung
menyerang.
Trang!
Pedang
dan kapak saling bentrokan. Bunga api memercik. Kagetlah Brajaseta. Tangan
kanannya tergetar keras. Tidak disangkanya tenaga dalam lawan begitu tinggi.
Perubahan
air muka Brajaseta terlihat jelas oleh dua tokoh silat istana. Keduanya tidak
menunggu lebih lama.
Dengan
sepuluh jari tangan yang berkuku panjang dipentang ke depan Si Cakar Malaikat
terjun ke kalangan pertempuran. Di lain pihak Si Kipas Besi telah keluarkan
pula senjatanya yakni sebuah kipas terbuat dari besi yang jika dikembang
lebarnya hampir setengah tetampah (nyiru)! Sekali dia menggerakkan kipas ini
maka menderulah angin kencang laksana hembusan topan.
Ketika
dia masuk ke dalam pertempuran, Supit Ireng maklum bahwa keadaannya amat
berbahaya. Apalagi saat itu dia tidak bisa bergerak leluasa akibat beban tiga
manusia yang masih berada di atas panggulannya di bahu kiri. Otak licinnya
segera mencari akal.
"Tunggu!
Aku mau bicara!" teriak Supit Ireng tiba-tiba.
Ketiga
lawannya hentikan serangan tapi masih dalam sikap mengurung dan waspada.
"Kau
mau bicara apa?!" bentak Brajaseta.
"Dengar…,"
kata Supit Ireng sambil matanya yang satu itu berputar-putar. Tiba-tiba secepat
kilat tangan kanannya diayunkan!
Brajaseta
kaget dan gerakkan pedangnya untuk menangkis. Demikian juga Si Kipas Besi serta
Si Cakar Malaikat. Tapi terlambat!
Terdengar
pekik Si Cakar Malaikat sewaktu kapak besar itu menancap di pangkal lehernya.
Darah muncrat.
Sepasang
matanya memandang mendelik ke arah Supit Ireng. Kedua tangannya menggapai ke
udara. Tubuhnya lalu roboh dan terkapar di taman istana tanpa nyawa lagi!
"Setan
alas! Mampuslah!" teriak Brajaseta dan kirim kan satu bacokan kilat.
Tapi
Kepala Pasukan Demak ini masih kalah cepat dengan Supit Ireng yang licik itu.
Sebelum
bacokan pedang sampai Supit Ireng melemparkan sebuah benda bulat ke hadapan
Brajaseta dan Si Kipas Besi. Detik itu juga terdengar suara letusan dan sesaat
kemudian tempat itu sampai sejauh empat tombak telah tertutup oleh asap hitam
yang memerihkan mata. Selagi semua orang berkedap-kedip dan gosokgosok matanya
maka kesempatan ini dipergunakan Supit Ireng untuk meloloskan diri, melompat ke
tembok istana dan lenyap dalam udara pagi yang masih gelap itu.
"Siapkan
kuda! Buka pintu gerbang!" teriak Brajaseta ketika menyadari kalau lawan
telah melarikan diri.
Meskipun
dua ekor kuda penarik kereta itu telah berlari dalam kecepatan tinggi namun
Supit Ireng masih terus mencambukinya agar mereka berlari lebih cepat.
Kira-kira
dua kali peminuman teh dia meninggalkan tapal batas Kotaraja lapat-lapat
telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda banyak sekali dari arah
belakang. Supit Ireng berpaling. Di kejauhan dilihatnya serombongan orang-orang
Kerajaan melakukan pengejaran. Dia kertakkan rahang. Di depan sekali tampak
Brajaseta dan Si Kipas Besi. Supit Ireng cambuk lagi kuda-kuda penarik kereta
bertubi-tubi.
Jalan
yang buruk, penuh lobang serta bebatuan yang bertonjolan membuat kereta itu
tidak bisa berlari kencang.
Sementara
itu para pengejar semakin lama semakin dekat juga dan hari mulai terang tanah.
Dari arah belakang Si Kipas Besi mulai lepaskan serangan-serangan kipas yang
menghembuskan angin kencang hingga kuda-kuda penarik kereta terganggu larinya.
Brajaseta sendiri juga tidak tinggal diam. Puluhan jarum beracun dilepaskannya
ke arah Supit Ireng.
Sambil
memacu kereta Supit Ireng terpaksa berulang kali memukulkan tangannya ke
belakang untuk menangkis serangan angin puyuh Si Kipas Besi dan hujan jarum
maut Brajaseta!
Di satu
tebing tinggi Brajaseta dan rombongan berhasil mengejar kereta itu.
"Supit
Ireng! Kalau tak mau mampus percuma hentikan kereta lekas!" memperingatkan
Si Kipas Besi.
"Tak
usah diberi peringatan lagi paman!" ujar Brajaseta dan lemparkan lagi
selusin jarum maut.
Kuda
penarik kereta meringkik lalu rubuh. Binatangbinatang ini bersama kereta
terguling beberapa kali.
Sekejap
saja tempat itu sudah dikurung belasan perwira tinggi dan puluhan prajurit.
Brajaseta dan Si Kipas Besi melompat cepat dari kuda masing-masing dan
mendekati kereta. Mereka terkejut ketika di situ mereka tidak menemukan Supit
Ireng ataupun tawanan yang tiga orang itu. Kereta yang berantakan itu kosong!
"Kurang
ajar! Kita kena ditipu!" rutuk Brajaseta sambil bantingkan kaki ke tanah
sampai tanah itu melesak dalam!
"Apa
yang kita lakukan sekarang?" bertanya salah seorang perwira.
"Dia
pasti tidak lari jauh! Jelajahi seluruh daerah berbukit-bukit ini! Tangkap dia
hidup atau mati! Juga ketiga tawanan itu!" sahut Brajaseta.
Hampir
seratus prajurit, belasan perwira tinggi bersama-sama Si Kipas Besi serta
Brajaseta menjelajahi seluruh daerah itu. Namun sampai tengah hari Supit Ireng
dan tiga tawanan tak berhasil ditemukan. Mereka laksana lenyap ditelan bumi!
"Kita
cari di Bukit Tuntang!" kata Brajaseta setelah berunding dengan Si Kipas
Besi.
Maka
rombongan segera menuju ke Bukit Tuntang yaitu tempat kediaman Supit Ireng.
Tapi tempat itu sunyi senyap.
Tak ada
Supit Ireng dan tawanan itu di sana. Yang mereka temui hanyalah mayat Aria
Galing yang membusuk. Dengan penuh geram Brajaseta menyuruh anak buahnya
membakar habis tempat kediaman Supit Ireng.
******************
11
SAAT ITU
memasuki rembang petang. Di lereng sebuah bukit, dua orang penunggang kuda
kelihatan memacu kuda masing-masing menuju sebuah jalan kecil di kaki bukit.
Sesaat kemudian keduanya sudah menempuh jalan itu terus menuju ke utara.
Ternyata mereka adalah sepasang muda-mudi. Yang pemuda bertampang cakap gagah
sedang si pemudi berparas jelita dengan kedua pipinya kemerah-merahan disengat
oleh matahari petang.
Di satu
persimpangan keduanya berhenti.
"Guru
menyuruh kita menunggu di sini," kata si pemuda lalu turun dari kudanya
dan melangkah ke tempat yang rindang. Sementara kuda mereka merumput mengisi
perut, kedua muda-mudi ini duduk bercakap-cakap.
"Jaka,
aku tidak mengerti. Mengapa guru membawa kita ke puncak Gunung Karang. Bukankah
di tempat kediamannya sekarang cukup bagus untuk melatih dan mendidik
kita?"
Si pemuda
tersenyum. "Satu hal harus kau ketahui.
Setiap
orang sakti mempunyai sifat-sifat aneh. Kalau guru mengajak kita ke Gunung
Karang pasti dia tahu bahwa di tempat itu jauh lebih bagus baginya untuk
menggembleng kita."
"Kalau
aku sudah pandai silat nanti," kata si pemudi, "akan kucari bangsat
bernama Lor Parereg itu dan kucincang sampai lumat!"
"Pembalasan
memang sudah wajar," sahut si pemuda yang bernama Jakawulung. "Namun
aku sangsi apakah kau akan betah tinggal di puncak Gunung Karang."
"Kalau
tidak betah mengapa aku bersedia ikut?"
"Jangan
lupa Larasati. Kau adalah puteri Sultan Trenggono yang tinggal di istana dan
terbiasa dengan alam kehidupan serba mewah. Di mana segala yang kau ingini
telah tersedia. Di puncak Gunung Karang kau tidak bakal menemukan itu, bahkan
kesulitan yang kau hadapi. Di samping itu sewaktu-waktu kau tentu rindu pada
orang tuamu atau…"
"Atau
apa Jaka?"
"Atau
kekasihmu…"
Si pemudi
yang ternyata adalah Gusti Ayu Ning Larasati tersenyum. "Setiap manusia
tentu merasa kangen pada orang tuanya jika berpisah jauh. Tapi aku bisa
menguasai kerinduan itu, Jaka. Dan soal kekasih… aku tidak punya."
"Kalaupun
tak punya tentu kau pernah mengagumi atau memuja atau menaksir seorang pemuda
dalam hidupmu…" kata Jakawulung pula.
Larasati
menggeleng.
"Atau
sebaliknya ada pemuda yang memujamu?"
"Itu
urusan dia. Aku bukan dewi yang pantas dipujapuji!"
"Tapi
bagi seorang pemuda yang jatuh cinta, kekasih pujaannya lebih cantik dari dewi
manapun."
"Itu
namanya sinting!"
"Lho,
orang jatuh cinta itu memang seperti sinting. Apa kau tidak tahu?" kata
Jakawulung lalu kedua muda-mudi itu tertawa gelak gelak.
"Guru
tetap tak mengizinkan kau menemui kedua orang tuamu lebih dulu sebelum dia
menggemblengmu?" tanya Jaka.
Ning
Larasati menggeleng. "Guru yakin, jika aku minta izin dulu, orang tuaku
pasti tidak membiarkan. Sekalipun guru telah menyelamatkan nyawa dan
kehormatanku dari tangan Lor Parereg. Di samping itu…"
Larasati
tidak meneruskan kata-katanya karena saat itu dilihatnya Jaka memberi isyarat
dengan menempelkan jari telunjuk di atas bibir.
"Aku
mendengar suara kaki-kaki kuda. Banyak sekali…"
menerangkan
Jaka. Perlahan-lahan dia berdiri dan memandang berkeliling. Larasati mengikuti
gerakannya.
"Lihat!"
kata Jaka tiba-tiba seraya menunjuk ke depan.
Larasati
menoleh ke arah yang ditunjuk. Berubahlah paras gadis ini. Puluhan prajurit
bersenjata lengkap dilihatnya muncul dari ujung jalan sebelah kiri, lalu juga
dari arah kanan. Menyusul dari dalam rimba belantara.
"Pasti
mereka telah tahu bahwa kau berada di sini," kata Jaka.
"Jika
mereka memang pasukan Kerajaan kau tak usah khawatir. Aku akan suruh mereka
pergi," sahut Larasati.
Namun
hati Jakawulung tetap tidak enak. Dia melang kah ke tempat kudanya merumput dan
memberi isyarat pada Larasati agar mereka segera meninggalkan tempat itu. Namun
justru saat itu terdengar suara memerintah, "Jangan bergerak! Tetap di
tempat kalian!"
Jakawulung
dan Larasati berpaling.
Seorang
berpakaian kebesaran tentara dan bertubuh tinggi kekar melompat dari punggung
kudanya. Gerakannya enteng sekali. Jakawulung maklum kalau orang ini memiliki
ilmu tinggi. Ning Larasati segera mengenali Kepala Pasukan Demak ini dan
membisikkannya pada Jaka.
"Gusti
Ayu Larasati," kata Brajaseta sambil menjura, "syukur kami akhirnya
menemui Gusti Ayu di sini. Sultan dan seisi istana sangat cemas atas lenyapnya
Gusti Ayu!"
Ning
Larasati tidak menjawab apa-apa. Dia tahu kalau lagak sikap menghormat yang
ditunjukkan Kepala Pasukan Demak itu lebih banyak bersifat pura-pura belaka dan
gadis ini tahu bahwa Brajaseta menyukainya dan pernah melamar pada Sultan
tetapi ditolak.
Melihat
tanggapan si gadis ayem-ayem saja, Brajaseta lalu berpaling pada Jakawulung dan
bertanya, "Siapa pemuda ini?!"
"Dia
sahabatku, Paman Brajaseta!" jawab Larasati.
Sebenarnya
Brajaseta tidak suka dipanggil dengan sebutan paman. Dia lebih suka Larasati
memanggilnya dengan se butan mas atau kangmas. Namun melihat perbedaan umur
mereka sebetulnya panggilan itu sudah cukup pantas.
"Sahabatmu
Gusti Ayu? Ini adalah aneh!" kata Kepala Pasukan Demak itu. Dan rasa
cemburu memanasi dadanya. "Gusti Ayu lenyap diculik gerombolan rampok Lor
Parereg. Tahu-tahu kini ditemui di sini bersama seorang sahabat! Gusti Ayu,
kami tak ingin mendapat dampratan dari Sultan. Harap Gusti Ayu menjelaskan
dengan jujur."
"Apa
yang saya katakan adalah jujur, Paman. Apa paman tidak percaya?"
Brajaseta
menggelengkan kepalanya. "Tentu, tentu paman percaya padamu Gusti Ayu.
Tapi terhadap pemuda ini paman menaruh curiga." Brajaseta berpaling pada
beberapa perwira dan lalu memerintahkan, "Tangkap pemuda ini!"
Lima
perwira kerajaan segera melangkah maju.
"Hai!"
seru Larasati. "Jangan kalian bertindak sambarangan!"
Langkah
lima perwira tertahan.
Brajaseta
maju dan berkata, "Gusti Ayu, apakah benar pemuda ini sahabatmu atau
bukan, bisa kita urus kemudian. Yang jelas saat ini dia harus diamankan dulu
dan dibawa ke Kotaraja!" Lalu sekali lagi Brajaseta memerintahkan
orang-orangnya untuk menangkap Jakawulung.
"Tunggu!"
seru Larasati kembali. "Saya bicara atas nama ayah, Sultan Demak! Jika
kalian berani menangkapnya akan berhadapan dengan Sultan!"
"Perbolehkan
aku bicara!" Jakawulung buka mulut.
"Manusia
hina dina," memotong Brajaseta, "Kau tidak layak bicara!"
"Layak
atau tidak itu bukan persoalan!" tukas Jakawulung. Sebagai manusia tentu
saja dia merasa amat di rendahkan. "Aku tidak punya kesalahan apapun.
Mengapa ditangkap?!"
"Kau
telah menculik puteri Sultan, merayu dan
membujuknya
hingga Gusti Ayu membelamu dan berani
menantang
kami orang-orang Kerajaan!"
"Tidak!
Dia sama sekali tidak menculik saya!" Yang menjawab Ning Larasati sendiri.
Brajaseta
berpaling pada gadis itu dan berkata, "Gusti Ayu, paman lihat kau selalu
membelanya. Agaknya ada sesuatu di antara kalian?"
"Paman
Brajaseta! Mulutmu keliwat lancang. Bawa orang-orangmu pergi dari sini!"
"Memang
kami akan membawamu kembali ke Kotaraja Gusti Ayu!"
"Siapa
sudi ikut dengan kalian!"
"Sudi
atau tidak kami hanya menjalankan tugas dari Sultan Demak!" jawab
Brajaseta. Lalu dia memberi isyarat pada lima perwira tadi. Kelima perwira ini
bergerak cepat.
Jakawulung
mundur beberapa langkah seraya berkata memberi ingat, "Jika kalian berani
menyentuh tubuhku, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan kasar!"
"Kurang
ajar! Berani dia menantang perwira Kerajaan.
Lekas
ringkus dia!" teriak Brajaseta marah.
Lima
perwira bergerak kembali. Tapi yang paling depan kemudian terhuyung dan
terduduk di tanah kesakitan.
Tinju
kanan Jakawulung mendarat tak terduga di ulu hatinya. Melihat ini empat
kawannya jadi gusar dan menyerbu. Kiranya Jakawulung meskipun masih muda
bukanlah seorang yang tidak mempunyai isi. Empat perwira itu dibuat kewalahan
kalang kabut tak berhasil meringkusnya, malah satu demi satu mereka kena
dihajar! Tidak siasia tokoh silat Malaikat Tak Bernama menggemblengnya selama
lima tahun!
Setelah
lima jurus berlalu perwira-perwira itu masih belum mampu menangkap si pemuda,
Brajaseta membentak marah, "Pergunakan senjata!" Empat pedang dicabut
secara serentak.
"Pengecut!
Curang!" teriak Ning Larasati.
Jakawulung
mengeluh karena saat itu dia tidak memiliki senjata untuk dapat melayani
keroyokan empat pedang lawan yang ganas. Dia berusaha bertahan sambil
sekalisekali kirimkan serangan balasan. Namun keadaannya cukup sulit kini. Selagi
dia dipepet demikian rupa tiba-tiba dari belakang sepasang tangan yang kokoh
merangkulnya.
Brajaseta!
"Lekas
selesaikan dia!" teriak Brajaseta pada empat perwira di depannya. Sesaat
perwira-perwira itu tertegun karena bagaimanapun mereka merasa sungkan membunuh
lawan yang tidak berdaya dan disaksikan sekian puluh mata. Namun mereka juga
harus menjalankan perintah Kepala Pasukan Demak itu. Maka keempatnya lalu
tusukkan pedang masing-masing ke tubuh Jakawulung.
Ning
Larasati menjerit!
******************
12
PADA SAAT
empat pedang hendak menembus tubuh Jakawulung pada detik itu pula terlihat
berkelebat satu bayangan putih, disusul terdengarnya jeritan empat perwira
kerajaan. Mereka terhuyung-huyung sambil
pegangi
bahu masing-masing. Ternyata bahu mereka telah ditancapi oleh sebuah panah
putih yang panjangnya tak lebih dari sejengkal!
"Itu
pembalasan bagi siapa yang berani menurunkan tangan jahat terhadap
murid-muridku! Siapa lagi yang hendak melakukan hal itu?!" Terdengar suara
menghardik.
Brajaseta
merasakan ada yang mendorong tubuhnya dan rangkulannya terhadap tubuh
Jakawulung lepas. Dia terjajar beberapa langkah. Memandang ke depan dilihatnya
seorang nenek bermuka putih dan berpakaian serba putih tegak di samping kanan
Jakawulung. Rambut nenek inipun keseluruhannya berwarna putih. Bahkan kedua
tangan serta kakinya yang tersembul dari balik jubah putih juga berwarna putih.
Si Kipas
Besi yang saat itu masih duduk tenang-tenang di punggung kudanya begitu melihat
si nenek muka putih jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak, "Malaikat
Tak Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri urusan orang lain?!"
"Mmmm…"
si nenek bergumam dan melirik ke arah Si Kipas Besi. "Sejak jadi kaki
tangan istana mulutmu sudah tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar
lebih lebar?!"
Muka si
Kipas Besi jadi mengelam merah. Dia hendak membentak tapi Brajaseta sudah
mendahului, "Orang tua, apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu. Sebaiknya…"
"Tak
ada sangkut pautnya?!" potong si nenek lalu tertawa tinggi dan panjang.
"Kedua orang muda-mudi ini murid-muridku. Bagaimana mulutmu bisa lancang
mengatakan tak ada sangkut paut?!"
"Heh!"
Brajaseta melengak heran. Tadipun dia sudah mendengar manusia muka putih itu
menyebut Jakawulung dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau
jangan bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah mengambil guru manusia
macam kau…!"
"Begitu…?"
si nenek muka putih tenang-tenang saja.
"Lalu
pernah atau tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perdulikan lagi Brajaseta,
Malaikat Tak Bernama berpaling pada
muda-mudi
itu dan berkata, "Murid-muridku, mari kita tinggalkan tempat ini."
"Mana
bisa begitu?!" hardik Brajaseta. Dia menghadang di tengah jalan.
"Atas nama kerajaan, kau kami tangkap…!"
"Dengan
tuduhan apa?" tanya Malaikat Tak Bernama.
"Menculik
Gusti Ayu Ning Larasati!" jawab Brajaseta.
Si
Malaikat Tak Bernama tertawa gelak-gelak. Gigigiginya tampak masih lengkap dan
putih.
"Dia
tidak menculikku. Dia justru yang menyelamatkan aku dari tangan Lor
Parereg!" tiba-tiba Larasati berkata.
"Hmmm,
paman khawatir jalan pikiranmu sudah disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau
pasti telah diobatinya!" kata Brajaseta.
"Brajaseta!
Mulutmu terlalu lancang! Aku bukan guru cabul!"
"Aku
sama sekali tidak mengatakan kau guru cabul!
Terserah
kalau kau membuka kedokmu sendiri!" tukas Brajaseta.
Muka
putih Malaikat Tak Bernama berobah merah.
"Kalau
saja aku tidak berpantang membunuh sudah kupecahkan kepalamu, Brajaseta!"
kata si nenek.
"Tangkap
mereka! Bunuh kalau melawan! Selamatkan Gusti Ayu!" perintah Brajaseta.
Puluhan
prajurit, delapan perwira berkepandaian tinggi dan menyusul Brajaseta sendiri
serta Si Kipas Besi segera menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya
Jakawulung.
Melihat
pengeroyokan ini Jakawulung segera mengambil pedang salah seorang perwira yang
tadi dipanah gurunya lalu mengamuk dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama sendiri
didahului oleh lengkingan tinggi berkelebat lenyap dan di sebelah kiri kanan
susul menyusul terdengar jeritan prajurit-prajurit yang mengeroyok.
Dalam
pertempuran itu meskipun Malaikat Tak Bernama dan Jakawulung menunjukkan
kehebatan luar biasa namun jumlah lawan terlalu banyak. Di samping itu mereka
harus melindungi Larasati hingga perhatian mereka jadi terbagi. Belum lagi
serangan jarak jauh yang dilepaskan oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dalam
hebatnya kecamuk pertempuran, Brajaseta dan Si Kipas Besi merangsak masuk
mendekati Malaikat Tak Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini
terpaksa bergerak melindungi Larasati ketika Brajaseta hendak merenggut
tangannya. Justru saat itu Si Kipas Besi menyerbu dari kiri, menghantamkan
senjatanya. Hanya ada dua pilihan bagi si nenek, melepaskan Larasati atau
mengelakkan serangan kipas besi.
Si nenek
ini ternyata tidak mau memilih. Dia ingin menyelamatkan diri dan sekaligus
menyelamatkan Larasati. Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan tangan
kiri dipergunakan untuk menangkis serangan kipas.
Si Kipas
Besi berlaku cerdik. Dengan mengerahkan tenaga dalam ke senjatanya dia hantam
pergelangan tangan lawan. Si nenek muka putih mengeluh tinggi.
Tulang
lengannya patah. Sedang Si Kipas Besi menyurut kaget. Senjatanya ambrol rusak!
"Jaka!
Lekas pergi dari sini! Bawa Larasati!" seru Malaikat Tak Bernama.
"Tidak
guru! Saya lebih rela mati bersamamu di sini!"
jawab
Jakawulung. Dan pedangnya berkelebat ganas. Seorang prajurit roboh.
"Jangan
jadi orang tolol Jaka!" teriak si nenek. "Yang penting selamatkan
Larasati!"
"Akupun
rela berkubur di sini guru!" teriak Larasati.
Si nenek
jadi terharu. Gadis itu baru saja diambilnya jadi murid, bahkan dilatihpun
belum. Namun kesetiaannya terhadapnya benar-benar mengagumkan. Kecamuk perasaan
ini justru membuat si nenek menjadi lengah. Pedang Brajaseta berhasil melukai
dadanya.
"Jakawulung!
Tunggu apa lagi! Lari dan selamatkan Larasati!" teriak si nenek. Suaranya
keras dan bernada marah.
Jakawulung
jadi bingung. Dalam pada itu dilihatnya gurunya tersungkur ke depan. Dia
memegang tangan Larasati erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta
ikut membantu. Lima pedang perwira datang menderu. Tak ada jalan lain.
Jakawulung harus menangkis. Tiga pedang
sekaligus
menghantam pedangnya hingga terlepas mental.
Masih
untung dia masih dapat menyelamatkan diri dari sambaran dua pedang lainnya.
Tapi itupun tak ada gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang
dengan ganas!
Namun
sebelum ajal berpantang mati, sebuah benda hitam entah dari mana datangnya
melesat laksana meteor dan menghantam tangan kanan Brajaseta. Kepala Pasukan
Demak ini mengeluh kesakitan dan terpaksa lepaskan pedang. Di saat yang sama
satu angin sedahsyat topan prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa
perwira, termasuk Brajaseta tersapu sampai satu tombak. Ketika tiupan angin itu
sirna, di tengah kalangan pertempuran tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap,
mengenakan pakaian putih yang bagian dadanya tidak dikancingkan.
Sikapnya
gagah tapi gayanya lucu seperti orang tolol. Dia memandang berkeliling sambil
tersenyum.
Tak satu
orangpun di situ yang kenal siapa adanya pemuda yang telah menyelamatkan
Jakawulung ini, kecuali si Malaikat Tak Bernama yang saat itu terduduk di tanah
dengan tubuh penuh luka-luka. Si pemuda tak menunggu lebih lama, selagi semua
orang terkesiap, dia segera dukung tubuh si nenek.
Si nenek
usap-usap rambut gondrong si pemuda seraya berkata, "Pendekar 212! Syukur,
di saat aku mau mati begini rupa masih sempat bertemu denganmu…"
Si pemuda
tertawa dan menjawab, "Orang tua, siapa bilang kau bakal mati? Ajal di
tangan Tuhan."
"Wiro
Sableng! Memang benar ajal di tangan Tuhan.
Tapi kau
lebih dari tahu kalau saat ini aku segera akan mati."
"Sudahlah
nenek muka putih. Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!" Si pemuda yang
bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 berpaling pada Jakawulung dan Larasati yang berdiri bengong setelah diri
mereka diselamatkan secara tidak terduga.
Dari
seberang Brajaseta dan Kipas Besi segera mendatangi.
"Pemuda
asing! Kau juga mencari penyakit! Turunkan tubuh tua bangka itu dan pergi dari
sini! Jangan sampai aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!"
bentak Brajaseta.
Wiro Sableng
ganda tertawa. Dia berkata, "Brajaseta, sebagai alat kerajaan kau memang
pantas dipuji karena telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu
kelewat batas! Bawa pasukanmu meninggalkan tempat ini!"
Mendengar
kata-kata pemuda yang tidak dikenalnya itu tentu saja Brajaseta marah. Di saat
itu sepasang mata Si Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemuda
dan menjadi terkejut. 212. Dia sadar berhadapan dengan siapa dan cepat-cepat
hendak memberitahu pada Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah
melangkah maju seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro Sableng. Pendekar
ini melompat ke belakang hingga serangan Brajaseta hanya mengenai tempat
kosong.
Malaikat
Tak Bernama tertawa bergelak ketika melihat Brajaseta hampir tersungkur karena
kehilangan keseimbangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak memburu
lawannya dengan serangan kedua. Namun saat itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu
pukulan dahsyat.
Dan
terjadilah hal yang luar biasa.
Bumi
laksana digoncang gempa. Pasir dan batu di tengah jalan menggebu beterbangan.
Ranting pepohonan berputusan bahkan ada dua pohon yang tumbang. Belasan
prajurit terguling-guling. Belasan perwira tinggi tergelimpang. Si Kipas Besi
dan Brajaseta terkejut dan lekas berlindung di balik sebatang pohon besar.
Mereka menyangka tiba-tiba ada serangan topan dan tak berani bergerak atau
melakukan apapun.
Wiro yang
memanggul Malaikat Tak Bernama dan Jakawulung serta Larasati yang berada di
bagian yang tidak diselubungi angin besar itu memberi isyarat pada kedua
muda-mudi agar segera mengikutinya. Mereka memasuki rimba belantara. Dari sini
Wiro lepaskan satu pukulan Sinar Matahari ke arah orang-orang kerajaan itu
hingga mereka merasa seperti dunia ini mau kiamat! Dan tak satu orang pun yang
berani melakukan pengejaran!
Setelah
berada jauh dalam hutan, Malaikat Tak Bernama terdengar berkata, "Kau
hebat sekali Wiro," memuji nenek muka putih ini. "Aku berterima kasih
kau telah menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi nyawaku rasanya tidak
tertolong lagi…"
"Sudahlah
nenek, kau tak boleh banyak bicara dulu.
Aku akan
obati luka-lukamu," menyahuti Wiro.
"Turunkan
aku, aku ingin berbaring…"
Wiro
terpaksa membaringkan orang tua ini di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Larasati…
mana Larasati…?" si nenek bertanya.
"Saya
di sini guru," jawab si gadis dan datang mendekat.
"Aku
akan pergi muridku…"
"Tidak,
guru akan sembuh. Bukankah guru telah berjanji untuk menggembleng saya di
puncak Gunung Karang?"
Malaikat
Tak Bernama tersenyum pahit. Diulurkannya tangannya untuk membelai rambut si
gadis. Namun setengah jalan tangan itu terkulai.
Larasati
terpekik. Jakawulung merasakan dadanya sesak dan menahan air mata yang hendak
membersit keluar. Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi.
Setelah
membiarkan kedua muda-mudi itu dilamun oleh suasana duka cita beberapa lamanya,
Wiro lalu membuka mulut "Di mana jenazah guru kalian ini akan dikubur.
Lalu apa yang akan kita lakukan?"
Larasati
berdiam diri karena dia memang tak tahu harus mengubur jenazah gurunya di mana.
Jakawulung termenung, berpikir-pikir.
"Sebaiknya
kita pergi ke Danau Merak Biru…" kata Jakawulung kemudian.
"Kenapa
ke situ?" tanya Larasati.
"Di
sana diam seorang Empu. Namanya Pamenang. Dia masih ada hubungan darah dengan
guru. Kita akan kuburkan jenazah guru di sana."
******************
13
AIR DANAU
yang amat biru dan tenang itu merupakan satu pemandangan indah. Di langit sang
surya memancarkan sinar lembut kuning. Empat sosok tubuh berdiri mengelilingi
kuburan merah di salah satu tepian danau. Setiap wajah menunjukkan rasa duka
cita yang mendalam.
"Maut
adalah kuasanya Tuhan," kata orang tua berbadan bungkuk yang tegak di
samping Wiro Sableng.
"Semua
kita akan mengalami kematian. Semoga adikku mendapat tempat yang sebaik-baiknya
di alam baka…"
Perlahan-lahan
orang tua itu memutar tubuh dan melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro,
Jakawulung dan Larasati mengikuti dari belakang.
Di dalam
pondok…
Setelah
suasana sunyi cukup lama mencengkam maka berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya
merupakan selempangan kain putih itu. Dialah Empu Pamenang, penghuni pondok
sunyi di Danau Merak Biru, saudara sepupu si Malaikat Tak Bernama.
"Jakawulung,
Larasati. Karena kau sudah datang kemari maka tanggung jawab atas diri kalian
terletak di tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk menggembleng kalian.
Kalau saja aku tidak mempunyai larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit
hati kematian saudaraku itu. Karena itu kelak kalian harus belajar
sungguh-sungguh agar di kemudian hari bisa melakukan pembalasan yang setimpal
terhadap orangorang yang telah berlaku sewenang-wenang itu."
Empu
Pamenang memalingkan kepalanya pada Wiro Sableng, "Pendekar muda, jika
tidak karena kau tentu…"
"Ah,
aku tak berani menerima ucapanmu itu Empu,"
Wiro memotong
cepat. "Semua kita hanya melakukan kewajiban masing-masing."
"Betul,
memang kewajiban." Kata Empu Pamenang pula. Lalu orang tua ini kelihatan
seperti merenung, "Ingat pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara
panas…"
Baik Wiro
maupun Larasati serta Jakawulung tidak mengerti maksud kata-kata orang tua itu.
Mereka saling bertanya-tanya dalam hati dan Wiro merasakan adanya kelainan pada
air muka Empu Pamenang.
"Kewajiban
telah memburuku sejak sepuluh tahun yang silam. Namun kewajiban itu tidak pernah
bisa kulaksanakan karena adanya pantangan membunuh!"
"Gurupun
mempunyai pantangan begitu," berkata Jakawulung. "Apakah
sebabnya?"
Empu
Pamenang tersenyum rawan.
"Tak
bisa kuterangkan sebabnya, Jaka…"
"Kalau
saya boleh bertanya," kata Wiro pula, "Kewajiban apakah yang telah
memburu Empu sejak sepuluh tahun itu?"
Empu
Pamenang menghela nafas dalam. Lewat pintu pondok yang terbuka dia memandang ke
danau berair biru.
Kini air
danau itu mulai bergelombang-gelombang kecil karena tiupan angin di rembang
petang.
"Limabelas
tahun yang lalu aku mempunyai tiga orang murid yang amat kukasihi. Setelah lima
tahun kugembleng di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa malapetaka itu.
Tanpa pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh.
Tubuh
mereka dipotong-potong dan kepala mereka disate dengan sebuah tombak lalu
tombak itu ditancapkan di atas pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa
melakukan pembalasan…"
"Empu
tidak tahu siapa pembunuhnya?" bertanya Jakawulung.
"Bukan,
bukan karena aku tidak tahu. Tapi karena aku mempunyai larangan membunuh."
"Boleh
saya tahu siapa manusia yang jahat luar biasa itu, Empu?" Kali ini Wiro
Sableng yang bertanya.
"Sebelum
aku menjawab, maukah kau melakukan satu permintaanku Wiro? Tentu saja kau
berhak menolak…"
"Katakanlah,
Empu."
"Wakili
diriku membalas sakit hati dendam kesumat yang telah kupendam selama sepuluh
tahun itu."
Wiro
termenung. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya dia menjawab,
"Kepercayaan yang Empu berikan akan saya laksanakan sedapat mungkin."
"Terima
kasih," jawab sang Empu. "Manusia itu bernama Supit Jagal. Dia
tinggal di sebuah goa batu di Teluk Burung, di pantai utara. Kabarnya dia
mempunyai seorang adik yang tak kalah jahatnya, bernama Supit Ireng."
"Baiklah
Empu, sesuai dengan permintaanmu saya akan coba melaksanakan pembalasan."
Bagi
murid Eyang Sinto Gendeng ini meski dia tidak punya sangkut paut dengan Supit
Jagal namun setiap manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya diberi
ganjaran. Dibasmi dari permukaan bumi. Dengan tugas itu di pundaknya keesokan
paginya Pendekar 212 Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru.
*********************
DI
keheningan malam itu hanya siliran angin yang terdengar. Bahkan burung-burung
hantu-pun yang biasa memperdengarkan suaranya yang seram malam ini membisu.
Menjelang dinihari kesunyian yang dicengkam oleh dinginnya udara mendadak
sontak dirobek oleh suara lolongan anjing. Lolongan itu terdengar berulang
kali, panjang dan menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu melihat setan-setan
gentayangan. Namun yang jelas tak lama setelah suara lolongan binatang itu
berhenti, dari arah timur desa Pasirginting terdengar derap kaki kuda.
Tak lama
kemudian dalam kegelapan kelihatanlah tiga penunggang kuda memasuki desa.
Ketiganya berpakaian serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat
mengerikan. Jika ada orang yang kebetulan melihat mereka pastilah menduga
ketiga penunggang kuda itu adalah setan-setan yang sedang keluyuran.
"Pasti
ini rumahnya!" kata penunggang kuda paling depan seraya menahan tali
kekang kudanya. Dua kawannya behenti di sampingnya. Rambut mereka rata-rata
gondrong dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang liar menambah
keseraman wajah yang penuh cacat itu!
Saat itu
ketiganya berhenti di depan sebuah rumah paling besar di seluruh desa
Pasirginting. Lelaki yang tadi bicara berpaling pada kawan-kawannya dan
berkata, "Rah Gludak, kau berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto,
naik ke atas atap. Awasi seluruh pekarangan. Kalau ada yang datang hantam saja
dengan senjata rahasia. Yang penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat
itu melarikan diri!"
"Tak
usah khawatir Parereg," jawab Kunto Handoko.
"Dia
tak kan bisa lolos!"
Lor
Parereg berkata lagi, "Aku akan masuk dari pintu depan, bila kalian dengar
aku sudah bicara dengan keparat itu kalian baru bertindak masuk.
Mengerti?"
Kunto
Handoko dan Rah Gludak mengangguk. Dengan gerakan laksana seekor burung dia
melompat ke atap rumah tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Sedang Rah Gludak
bergerak ke pintu belakang dan Lor Parereg langsung mendekati pintu depan. Pada
saat itu di samping rumah muncullah dua orang berbadan tinggi kekar yang
langsung melompat ke hadapan Lor Parereg. Ternyata keduanya adalah penjaga
rumah.
"Pencuri
tengik berani mencari mati! Berani mencuri di rumah kepala desa!" teriak
salah seorang dari penjaga rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat ketika
melihat wajah manusia yang mereka sangka pencuri itu.
Benar
manusia atau setankah orang ini?! Kalau manusia mengapa wajahnya lebih seram
daripada setan?
"Dengar
sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku bukan pencuri. Aku
justru datang untuk membawakan hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!"
Lor
Parereg mengulurkan kedua tangannya dan, prak!
Kedua
orang itu kontak menggeletak di tanah dengan kepala masing-masing rengkah
akibat diadu satu sama lain oleh Lor Parereg.
Dengan
sikap tenang, seperti barusan tidak terjadi apaapa Lor Parereg mendekati pintu.
Mudah sekali, entah bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya tanpa
menimbulkan suara sedikitpun!
Ruangan
depan rumah besar itu dilengkapi perabotan yang mewah, tiga perangkat
sekaligus. Lor Parereg masuk lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan
hingga akhirnya sampai pada sederetan pintu yang tertutup. Di hadapan sebuah
pintu yang paling besar dan penuh ukiran, yang dari bagian celah bawahnya
menyeruak sinar terang, Lor Parereg berhenti. Sesaat dia merapatkan telinganya
ke daun pintu. Di ruangan belakang pintu didengarnya suara orang bercakap-cakap
perlahan, diseling suara tertawa kecil perempuan lalu suara tempat tidur
bergoyang-goyang.
Parereg
memasang telinga lebih lama. Setelah yakin bahwa suara lelaki di balik pintu
adalah suara orang yang dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu itu
dan di lain kejap Lor Parereg sudah berada di dalam kamar yang amat bagus,
beralaskan permadani tebal berbungabunga.
Dua sosok
tubuh lelaki dan perempuan yang bertelanjang bulat yang tadi bergulung-gulung
di atas tempat tidur terlompat kaget!
Lor
Parereg tertawa gelak-gelak. Dengan tangan kirinya disibakkannya kelambu.
Perempuan di atas tempat tidur menjerit begitu melihat tampangnya yang
mengerikan sedang yang lelaki membeliak ketakutan.
"Ayo
teruskan permainan kalian! Anggap saja aku tak ada di kamar ini!" kata
Parereg sambil masih tertawa.
"Kau…
kau siapa?" tanya lelaki di atas tempat tidur.
Saking
takut dan terkejutnya saat itu dia maupun yang perempuan sama-sama lupa akan
keadaan tubuh masingmasing yang tiada tertutup selembar benangpun!
Pada saat
itu dari atas langit-langit kamar yang tiba-tiba bobol melompat sesosok
bayangan hitam sedang dari pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga.
Semuanya berpakaian serba hitam dan memiliki wajah seperti setan, penuh cacat
bekas luka! Untuk kedua kalinya perempuan di atas tempat tidur memekik ngeri
sedang yang lelaki sudah sepucat kain kafan wajahnya!
"Pemandangan
yang hebat bukan, kawan-kawan?" kata Lor Parereg pada Kunto Handoko dan
Rah Gludak. Sesaat mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di atas
tempat tidur.
"Ka…
kalian ini si… siapa?"
"Ha…
ha… Tak disalahkan kalau kau tidak mengenali kami lagi. Tampang kami telah
berobah menjadi setan.
Mengerikan!
Dan kau tahu manusia keparat, kaulah yang menjadi penyebab mengapa kami jadi
begini!"
"A…
aku…?"
"Ya,
kau!"
"Kau
sekarang hidup senang Tunggul Bayana!" membuka mulut Kunto Handoko.
"Uang dan harta berlimpah.
Istri
cantik dan peliharaan banyak! Alangkah hebatnya!"
"Namaku
bukan Tunggul Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul!
Kepala
Desa Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur.
Lor
Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak saling pandang. Lalu ketiganya tertawa
gelak-gelak.
"Kau
boleh berganti nama seribu kali sehari. Tapi kau tetap adalah Tunggul Bayana!
Manusia pengkhianat terkutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak.
"Nama
yang pantas bagimu adalah Ki Ageng Tunggul Keparat!" kata Lor Parereg. Dan
kembali ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.
Orang
yang menjadi kepala desa Pasirginting dan mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu
merasakan tengkuknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat
ketakutan. Dadanya bergetar keras. Benarkah muka-muka yang cacat ini milik tiga
orang yang pernah dikenalnya? Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan
manusia-manusia yang dulu pernah menjadi kawannya?
Muka Lor
Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko?!
"Kalau
kalian mencari seorang bernama Tunggul Bayana, kalian telah salah alamat!"
kata kepala desa itu yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana.
Lor
Parereg maju selangkah. "Manusia keparat! Mukaku dan muka kawan-kawan
memang cacat. Tetapi mata kami belum buta! Otak kami belum pikun!" Lalu
Lor Parereg menjambak rambut Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul.
"Lepaskan! Atau kupanggil pengawal!" teriak yang dijambak.
"Kau
ingin memanggil pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia berpaling pada Kunto
Handoko. "Kawan, coba kau bawa kedua pengawal itu!"
Kunto
Handoko keluar dari kamar. Sesaat kemudian dia masuk lagi membawa dua orang
pengawal yang sudah jadi mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah
Tunggul Bayana. Istri di sebelahnya menjerit dan pingsan sewaktu Kunto Handoko
meletakkan dua sosok mayat itu di atas tempat tidur.
"Nah,
itu pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong pada mereka," kata Lor
Parereg dengan seringai setan.
Sedang
jambakannya semakin diperkeras, "Tunggul Bayana, kami tidak punya waktu lama.
Katakan di mana kau simpan uang emas dan harta itu?!"
"Aku
tidak mengerti apa yang kau bicarakan ini. Aku tidak kenal kau dan juga dua
kawanmu ini!" kata Ki Ageng Tunggul.
"Ohh,
begitu?" ujar Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak kenal kami.
Pura-pura tidak tahu apa yang aku bicarakan!
Nah kau
makan dulu jariku ini!"
Habis
berkata begitu Lor Parereg menusukkan jari telunjuk tangan kirinya ke paha
kanan Ki Ageng Tunggul hingga paha itu berlobang dan mengucurkan darah. Ki
Ageng Tunggul merintih kesakitan sambil tekap pahanya.
"Lobang-lobang
seperti itu akan kubuat di seluruh tubuh dan mukamu, Bayana! Hingga wajahmu
jauh lebih menyeramkan dari wajah kami!"
Tiba-tiba
Ki Ageng Tunggul Bayana meraung dan mencengkeram ke arah selangkangan Lor
Parereg.
"Benar-benar
manusia keparat!" maki Lor Parereg.
Disentakkannya
kepala Ki Ageng Tunggul Bayana hingga tubuh kepala desa ini terjelapak di
lantai. Ketika Bayana hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor Parereg
menginjak leher orang itu hingga Tunggul Bayana merasakan sakit yang bukan
kepalang. Nafasnya seperti tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya menjulur.
"Tobat!
Ampun! Ampuni selembar nyawaku ini Parereg!"
"Ah…
akhirnya kau mengenaliku juga!" kata Lor Parereg.
"Minta
tobat dan minta ampun. Jangan khawatir sobat.
Kami akan
ampuni kau. Tapi katakan dulu di mana kau sembunyikan uang emas dan harta
itu!"
"Akan
kukatakan Parereg. Akan kukatakan. Tapi berikan waktu tiga hari padaku!"
"Waktu
tiga hari buat apa?!" tanya Lor Parereg.
"Untuk
menipu dan mengkhianati kita lagi tentunya!" kata Kunto Handoko.
"Aku
bersumpah kawan-kawan! Demi persahabatan kita di masa lampau, aku tidak akan
mengkhianati kalian untuk kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu yang
aku minta…"
"Baik,
akan kuberikan waktu tiga hari," kata Lor Parereg.
"Jangan
tolol Parereg!" seru Rah Gludak.
Lor
Parereg mengedipkan matanya. "Dia tak bakal lari, kawan. Sekalipun dia
lari sampai ke perut bumi kita akan mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di
samping itu kita bisa melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri dan
perempuan-perempuan peliharannya. Bukan begitu Tunggul Bayana?"
"Terserah
apapun yang akan kau lakukan. Asal kau mau mengampuni aku dan memberikan waktu
tiga hari…"
Lor
Parereg tertawa. Perlahan-lahan kakinya diangkat dari batang leher Ki Ageng
Tunggul.
******************
14
TELUK
Burung diselimuti kabut tebal. Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Dalam
udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru bergerak di antara
puing-puing batu. Mukanya pucat, matanya merah dan sekujur tubuhnya terasa
letih. Sesekali kaki-kaki kuda tunggangannya terpeleset di batu licin. Namun
dengan segala kekuatannya dan harapan untuk hidup orang ini terus membawa
kudanya ke jurusan timur hingga akhirnya dia sampai di sebuah lamping bukit
batu yang merupakan sebuah tembok panjang, membelintang dari timur ke selatan.
Di salah satu bagian lamping batu tersebut, orang ini menghentikan kudanya dan
memandang berkeliling.
Hujan
rintik-rintik telah berhenti. Tetapi kabut masih kelihatan di mana-mana
menutupi pemandangan. Dia menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut
mulai lenyap. Dia memandang berkeliling sekali lagi. Apa yang dicarinya
kelihatan di kejauhan. Tepat di pertengahan lamping batu sebelah bawah
kelihatan sebuah lobang besar. Dengan hati-hati orang ini membawa kudanya
menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak sepanjang tepi pasir menuju ke
lobang batu yang tadi dilihatnya dari atas.
Cuaca
sementara itu telah berangsur cerah. Tepat di depan goa orang tadi hentikan
kudanya dan melompat turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia melangkah
menuju mulut goa. Lima langkah dia akan sampai ke mulut goa sekonyong-konyong
dari dalam menggelegar bentakan. "Siapa yang berani datang ke tempatku
tanpa diundang?!"
Sesaat
orang itu terkesima. Setelah habis kagetnya maka diapun menjawab. "Aku Ki
Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti
bernama Supit Jagal."
"Katakan
apa keperluanmu!" orang dalam goa berkata.
Ki Ageng
Tunggul alias Tunggul Bayana menjawab, "Aku datang untuk mohon diambil
jadi murid!"
"Bah?!
Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat tampangmu. Masuk cepat!"
Ki Ageng
Tunggul masuk. Ternyata goa batu itu di bagian dalam tidak seberapa besar.
Udara di sini terasa dingin karena ada tiupan angin dari laut. Di tengah ruangan
duduk seorang kakek berpakaian putih kotor penuh tambalan. Rambutnya keriting
macam bulu domba. Pada pipinya sebelah kanan terdapat cacat bekas luka yang
amat besar. Daun telinganya sebelah kanan sumplung sedang sepasang matanya
sipit sekali hampir seperti terpejam.
"Duduk!"
orang tua ini memerintah.
Ki Ageng
Tunggul duduk. Kantong kulit diletakkan di sampingnya.
Setelah
meneliti tamu di hadapannya kakek bernama Supit Jagal ini berkata, "Sudah
tua bangka sepertimu ini minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting! Paling
tidak edan!"
"Soalnya
terpaksa," jawab Ki Ageng Tunggul.
"Sebelumnya
aku telah memiliki dasar ilmu silat sejurus dua jurus."
"Kau
terpaksa minta jadi murid? Coba kau terangkan manusia sedeng!"
"Tiga
orang jahat mengancam hendak membunuhku. Mereka berilmu tinggi."
"Untuk
menghadapi mereka kau lalu minta ilmu padaku! Begitu!"
"Betul!"
"Kenapa
tiga manusia itu hendak membunuhmu?!"
"Dulu
mereka adalah kawan-kawanku. Kemudian kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu
menceritakan peristwa di masa lampau itu. "Entah bagaimana mereka bisa
lolos dari penjara istana. Kini mereka jauh lebih tinggi ilmu silat serta
kesaktiannya dari dulu-dulu." Lelaki ini diam sebentar lalu menyambung.
"Atas kesediaanmu mengambilku jadi murid, aku akan memberi imbalan yang
cukup." Ki Ageng Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di hadapan
Supit Jagal. Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah uang emas di dalamnya.
Sepasang mata Supit Jagal semakin menyipit.
"Aku
tak mungkin mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba Supit Jagal berkata yang
membuat paras Ki Ageng Tunggul jadi berubah.
"Kenapa?
Apakah pemberianku masih kurang?!"
"Bukan.
Tapi karena aku yakin kau tak bakal sanggup menjalankan syarat yang akan
kutetapkan."
"Syarat
apapun akan kupatuhi!" jawab Ki Ageng Tunggul.
"Kepala
desa, begini saja. Kau atur agar ketiga musuhmu itu datang kemari. Urusan
selanjutnya biar aku yang membereskan!"
"Begitupun
aku setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang penting mereka dapat
dibunuh!"
"Tapi
syarat yang telah kutetapkan harus kau jalankan."
"Akan
kulaksanakan orang tua. Katakanlah."
"Kau
harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakannya!"
"Demi
Tuhan aku akan melaksanakan!"
"Bukan
demi Tuhan tolol! Tapi Demi Supit Jagal!"
"Ya…
ya. Demi Supit Jagal aku bersumpah!" kata Ki Ageng Tunggul alias Tunggul
Bayana yang sekarang sudah jadi kepala desa itu.
"Bagus.
Sekarang kau telan dulu benda ini!" Supit Jagal melemparkan sebuah benda
hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul.
"Benda
apa ini?" tanya Ki Ageng Tunggul.
"Telan
saja! Jangan banyak tanya!"
Tunggul
Bayana menelannya. Supit Jagal tertawa panjang. "Yang kau telan itu adalah
racun penghancur usus!"
Pucatlah
paras Ki Ageng Tunggul.
"Racun
ini akan bekerja setelah dua hari. Jika kau melaksanakan syarat yang kutetapkan
kau boleh kembali ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan memberi obat
penawar racun itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu dan ingkar, kau akan mampus
dengan usus berantakan!" Supit Jagal kembali tertawa.
Tunggul
Bayana merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Sekarang
mengenai syarat itu," kata Supit Jagal pula.
"Tepat
tengah malam besok yaitu Kamis malam Jum’at Kliwon kau harus menggorok leher
seorang bayi dan memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus kau
lakukan di bukit batu ini kira-kira seratus langkah di belakang lamping batu!
Kedua
mata Tunggul Bayana membeliak laksana hendak copot dari rongganya ketika
mendengar kata-kata Supit Jagal itu. Bulu romanya berdiri.
Supit
Jagal menyeringai. "Kalau tidak kau laksanakan, jangan harap umurmu akan
lebih panjang dari dua hari!"
"Syarat
itu, apakah bisa diganti dengan syarat lain?
Tobat!
Aku tak dapat melaksanakannya!"
"Kalau
begitu angkat kaki saja dari sini!"
Ki Ageng
Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh sangat
mengerikan. Tak sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun yang
mengindap dalam perutnya akan merenggut nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi
pilihan kecuali melakukan apa yang disyaratkan Supit Jagal!
Demikianlah,
seperti telah dituturkan di permulaan cerita, Ki Ageng Tunggul telah berhasil
menculik seorang bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu, menebas
lehernya lalu memandikan kepala dan tubuhnya dengan darah sang bayi!
******************
15
KEEMPAT
penunggang kuda itu berhenti di ujung lamping bukit batu Teluk Burung. Angin
laut bertiup keras. Di antara deru angin yang keras itu, orang yang berada
paling depan bertanya, "Mana goanya?!"
"Di
bawah sana Parereg. Kita harus turun lewat lereng di ujung sana."
"Aku
mendapat firasat si Tunggul Keparat ini menipu kita," kata Rah Gludak.
"Kalau
nanti terbukti begitu, tak akan susah memisah tubuhnya dengan kepala,"
sahut Lor Parereg.
Ki Ageng
Tunggul menunggangi kudanya di sebelah depan. Di ujung lereng batu dia menurun
diikuti Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko. Keempatnya kini menyusuri
pasir pantai.
"Inilah
goanya." Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di goa tujuan.
"Peti-peti itu kutumpuk di dalam." Habis berkata begitu dia hendak
turun dari kudanya. Tapi Lor Parereg mencegah.
"Tetap
di tempatmu, Tunggul!" Dia melangkah mendekati Ki Ageng Tunggul lalu
menotok punggungnya, membuat Ki Ageng Tunggul kini laksana patung tak bisa
bergerak di atas punggung kudanya.
"Kalian
berdua masuk dan periksa goa. Aku menunggu di sini!" kata Lor Parereg.
Sret!
Kunto
Handoko cabut pedangnya, meletakkan bagian yang tajam dari senjata ini di leher
Ki Ageng Tunggul dan berpaling pada Lor Parereg.
"Parereg!
Kita sudah tahu tempat peti-peti itu disembunyikan. Bagaimana kalau detik ini
kupisahkan saja nyawanya dari badan?!"
"Nyawa
anjingnya soal mudah Kunto! Yang penting kau bersama Gludak harua memeriksa
dulu apa betul peti-peti itu ada di dalam goa!"
"Percayalah!
Aku tidak menipu kalian!" kata Ki Ageng Tunggul dengan tengkuk dingin.
Kalau Kunto Handoko menabas batang lehernya detik itu juga habislah ceritanya.
"Silahkan
kalian bertiga masuk dan memeriksa!" Diamdiam hatinya tidak enak karena
sampai saat itu Supit Jagal belum juga muncul.
"Kita
akan lihat Tunggul Keparat, kita akan lihat!" kata Lor Parereg. Dia
memberi isyarat pada dua kawannya.
Kunto
Handoko dan Rah Gludak melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah
mendekati goa. Tibatiba baru saja mereka sampai di mulut goa, dari dalam
menderu selarik angin yang amat deras dan panas!
Keduanya
berseru kaget dan secepat kilat melompat ke samping selamatkan diri. Sambaran
angin menyapu lewat dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg. Binatang
ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus! Setelah
melejang-lejang seketika akhirnya mati tak berkutik lagi! Lor Parereg
membeliak. Mukanya pucat!
Hampir
saja dia jadi korban ditambus angin panas. Dia hendak bergerak melompati Ki
Ageng Tunggul, namun saat itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka
iblis dan berpakaian penuh tambalan muncul dan memandang beringas dengan
matanya yang sipit ke arah Lor Parereg dan kawan-kawan.
"Kepala
desa, apakah ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama di
dunia ini?!" tanya Supit Jagal.
"Betul!"
sahut Ki Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku akan memberi sekantong uang
emas lagi untukmu!" Supit Jagal menyeringai.
"Hemm…
tampang-tampang mereka memang serupa iblis penjaga neraka. Jadi memang pantas
kalau dikirim ke neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah
ke hadapan Lor Parereg dan kawan-kawannya.
"Parereg!
Apa kataku! Bangsat keparat ini telah menipu kita!" seru Kunto Handoko
marah dan secepat kilat mengirimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang
masih duduk di atas punggung kuda tanpa mampu bergerak.
Namun
sebelum jotosan itu sampai, selarik angin menderu dari samping. Terpaksa Kunto
Handoko melompat mundur!
"Tua
bangka sialan! Kau rupanya sudah bosan hidup!"
bentak
Lor Parereg. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. Sementara dari belakang
Kunto Handoko dengan bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah Gludak
juga tidak tinggal diam. Pedangnya berkelebat ke batok kepala Supit Jagal.
Diserang hebat begitu rupa Supit Jagal ganda tertawa. Didahului dengan satu
bentakan keras dia mengangkat kedua tangannya ke atas Lor Parereg. Rah Gludak dan
Kunto Handoko melihat sinar hitam bergulung-gulung dan menyambar laksana petir
ke arah mereka. Serta merta ketiga orang ini berserabutan selamatkan diri.
Namun mereka tak punya kesempatan lagi. Serangan sinar hitam begitu luar biasa
cepatnya.
Ketiganya
menjerit keras karena sadar bahwa mereka tak akan lolos dari kematian!
Namun di
saat yang kritis itu tiba-tiba menggeledek satu bentakan, "Supit Jagal!
Apa kau sudah gila hendak membunuh murid-muridku?!"
Satu
angin aneh menyambar dan tahu-tahu buyarlah sambaran sinar hitam yang tadi
dilepaskan Supit Jagal!
Supit
Jagal terkejut bukan main. Suara itu sangat dikenalnya. Dia berpaling. Satu
bayangan hitam berkelebat turun dari tebing batu.
"Supit
Ireng! Apa-apaan kau?" seru Supit Jagal.
"Kowe
yang apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang ini adalah muridku.
Dan kowe hendak membunuh mereka!"
"Bah!"
Supit Jagal delikkan mata. "Muridmu… Jadi?!" Dia berpaling pada Ki
Ageng Tunggul yang saat itu sudah pucat pasi mukanya.
"Kalau
begitu bangsat ini hendak mengadu domba kita!
Keparat
kurang ajar!" Sekali melompat saja Supit Jagal sudah jambak rambut Ki
Ageng Tunggul dan menyeretnya dari punggung kuda.
"Demi
Tuhan, ampuni selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng Tunggul. "Semua harta
dan uang emas itu akan kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!"
"Lepaskan
totokannya Supit Jagal," kata Supit Ireng.
Supit
Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul.
Lor
Parereg melangkah mendekati laki-laki ini bersamasama Supit Ireng.
"Dengar
Tunggul Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu akan kami ampuni jika kau
benar-benar mau menerangkan di mana peti-peti itu berada."
"Terima
kasih… terima kasih…"
"Lekas
terangkan!" hardik Parereg.
"Peti-peti
itu… peti-peti itu kutanam di belakang rumahku di desa Pasirginting,"
menerangkan Ki Ageng Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta.
"Kau
tidak bohong?!"
"Demi
Tuhan aku tidak bohong!"
"Bagus!
Nyawamu diampuni. Kau bebas sekarang untuk pergi. Pergi ke neraka!" Lalu
dengan kaki kanannya Lor Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang
ini mencelat dan terguling di tanah.
Belum
lagi dia sempat bangun tendangan Kunto Handoko mendarat di kepalanya. Kembali
Ki Ageng Tunggul terlempar. Hidungnya yang kena tendang mengucurkan darah. Dia
mengeluh panjang. Rah Gludak menambah satu tendangan lagi di dadanya membuat
tulang-tulang iganya patah.
"Demi
Tuhan ampuni jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul.
Dia
merangkak ke arah Supit Jagal. "Tolong… tolong aku," pintanya.
Supit
Jagal tegak bertolak pinggang. Dia tertawa mengekeh. "Ini hadiah
dariku!" Lalu tendangannya menghajar lambung Ki Ageng Tunggul.
Begitulah
Ki Ageng Tunggul ditendang kian kemari hingga babak belur. Mukanya berlumuran
darah. Tulangtulangnya berpatahan. Dia meraung tiada henti. Kemudian raungannya
hanya tinggal erangan dan akhirnya dia terkapar tak berkutik lagi. Mati!
Supit
Jagal menarik nafas panjang. Dia memandang pada saudaranya. "Supit Ireng!
Kalau kau tidak cepat muncul niscaya ketiga muridmu sudah konyol di
tanganku!"
Supit
Ireng hanya bisa tertawa pendek. Tapi tawanya ini mendadak lenyap berganti
seruan. "Lihat!"
Semua
orang berpaling. Saat itu sepanjang lereng batu, ujung timur dan ujung barat
telah dikurung oleh lebih dari seratus prajurit berkuda bersenjata lengkap.
"Mau
apa kunyuk-kunyuk kerajaan itu!" kata Supit Jagal sementara Lor Parereg
dan kawan-kawannya juga memandang gelisah.
Baru saja
Supit Jagal mengeluarkan ucapan itu dari lamping batu sebelah kiri terdengar
seruan, "Lima orang yang berada di tepi pantai menyerahlah!"
"Itu
suara si keparat Brajaseta!" kata Lor Parereg.
"Brajaseta!
Kalau kau datang untuk mengantar nyawa silahkan turun kemari!" teriak
Supit Ireng. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala karena ingat manusia
itulah yang telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ saja. Habis
membentak Supit Ireng lalu hantamkan tangannya ke arah lereng batu. Satu larik
sinar hitam menggebu. Terdengar suara menggelegar. Lamping batu hancur
berantakan. Tiga prajurit jatuh bersama kuda-kuda tunggangan mereka sedang
Brajaseta sempat selamatkan diri dengan melompat ke bawah seraya berteriak
memberi komando untuk menyerbu.
Dari
lamping batu sebelah kiri melesat satu sosok tubuh seraya mengebutkan sebuah
benda berbentuk setengah lingkaran. Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi.
Deru
angin yang keluar dari kipas saktinya itu membuat pasir pantai beterbangan dan
untuk beberapa ketika menutup pemandangan.
Sewaktu
udara terang kembali maka kelihatanlah bahwa seratus lebih prajurit itu telah
bergerak mempersempit kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer
limabelas perwira tinggi. Di sebelah depan sekali tegak Brajaseta dan Si Kipas
Besi.
Dikurung
seketat itu Supit Jagal dan Supit Ireng tidak merasa khawatir. Malah Supit
Jagal masih bisa tertawatawa.
"Kalian
sudah terkurung! Tak mungkin bisa lari.
Menyerahlah!"
memperingatkan Brajaseta.
"Lari?
Menyerah?!" ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Brajaseta!"
Supit Ireng angkat bicara. "Apa yang telah kau perbuat terhadap
murid-muridku hari ini kutagih berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi,
jangan harap ampunan dariku!" Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi
pertempuran di halaman istana. Habis berkata begitu dia langsung menyerbu.
Kakak serta ketiga muridnya tidak tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak
dapat lagi dihindarkan.
Dalam
jumlah memang pihak Brajaseta lebih banyak.
Namun
Supit Jagal serta Supit Ireng bukan manusiamanusia yang mudah dirobohkan dengan
mengandalkan pengeroyokan. Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto
Handoko telah pula mendapat tambahan ilmu dari guru mereka!
Sekelompok
demi sekelompok prajurit-prajurit Demak menemui ajal dihantam pukulan-pukulan
sakti yang dilepaskan Supit Jagal serta adiknya. Satu demi satu perwira tinggi
meregang nyawa. Brajaseta menjadi tergetar hatinya.
Tidak
diduganya dua manusia golongan hitam itu demikian tinggi ilmunya. Kepala
Pasukan Demak ini malah makin tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil
merampas kipas sakti di tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya sendiri Si
Kipas Besi digebuk kepalanya hingga hancur!
Brajaseta
sadar bahwa keadaannya juga tak bakal bertahan lama ketika bahu kirinya luka
disambar ujung pedang Lor Parereg.
"Celaka!"
keluh Kepala Pasukan Demak ini. Dia memandang berkeliling. Kecil harapan untuk
menyelamatkan diri. Dengan kertakkan rahang dia putar pedangnya laksana
titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran angin serangan datang dari
arah kiri. Cepat dia lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi betapa terkejutnya
ketika sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan kanannya dibetot
lepas! Di sampingnya tertawa bergelak Supit Ireng!
"Kini
hutang berikut bunganya harus kau bayar Brajaseta!" kata Supit Ireng
seraya bolang-balingkan pedang milik Kepala Pasukan Demak itu.
"Guru,
biar aku yang membereskan bangsat itu!" terdengar seruan Lor Parereg.
"Tentu.
Jangan khawatir. Kau dan dua kawanmu bakal dapat bagian paling banyak. Beri aku
kesempatan hanya untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya miripmirip
aku!" Supit Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata kiri Brajaseta!
Pada saat
itulah tiba-tiba terjadi hal yang luar biasa.
Seolah-olah
datang dari laut terdengar suara menderu aneh. Teluk Burung laksana dilanda
topan. Pasir pantai menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap.
Ombak yang
senantiasa bergulung dan memecah di pasir saat itu seperti terbendung oleh deru
dahsyat tadi. Prajuritprajurit bergelimpangan. Beberapa perwira tinggi
terhuyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah!
Semua
orang terkejut bukan main. Apakah dunia akan kiamat? Dalam gelapnya udara itu
tiba-tiba kelihatan sinar putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit Ireng
yang tadi hendak mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi tertahan dan di lain
kejap terdengar suara berkerontang.
Pedang di
tangan manusia tinggi bermuka hitam ini terlepas mental dan patah tiga!
Seorang
pemuda berambut gondrong mengenakan baju tak berkancing berdiri di
tengah-tengah kalangan pertempuran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan
bertolak pinggang sedang tangan kiri memegang sebilah kapak besar bermata dua
yang bertuliskan 212.
Supit
Ireng, Supit Jagal dan Lor Parereg serta dua kawannya tidak mengenal siapa
adanya pemuda ini.
Sebaliknya
Brajaseta jadi terkesiap ketika mengenali pemuda itu bukan lain orang yang
menyebabkan lolosnya Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati.
Terus
terang terhadap pemuda ini Brajaseta menaruh dendam kesumat. Tetapi hari itu
justru dia muncul dan menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya?
"Yang
mana di antara kalian bernama Supit Jagal?!"
Pendekar
212 Wiro Sableng bertanya sambil menatap Supit Ireng dan Supit Jagal
berganti-ganti.
"Budak
sontoloyo! Ada apakah kau mencari majikanmu ini?!" menyahuti Supit Jagal.
Sesaat
Wiro menatap orang itu. Jadi inilah manusianya yang bernama Supit Jagal,
katanya dalam hati. Dia lalu tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal,
ketahuilah. Aku datang mewakili Empu Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga
orang muridnya telah kau bunuh secara biadab!"
"Begitu…?"
Kini Supit Jagal yang tertawa meledak.
"Pemuda
tolol. Hadiah apa yang diberikan kakek keropos itu hingga kau mau mewakilinya?
Apakah dia tidak punya nyali untuk datang sendiri?!"
"Ah,
orang tua itu terlalu sibuk. Karenanya dia mengutus manusia kroco macamku ini
untuk membereskanmu!"
"Keparat
busuk! Kau duduklah tenang-tenang di batu sana. Biar kuselesaikan dulu urusan
dengan kecoakkecoak kerajaan ini!"
Sementara
itu selagi semua perhatian tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal kesempatan
ini dipergunakan oleh Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari belakang dan
menusuk punggungnya dengan pedang hingga tembus ke dada. Kepala Pasukan Demak
ini roboh tak bernyawa lagi!
Meskipun
sebenarnya tidak senang terhadap Brajaseta, tapi melihat Kepala Pasukan Demak
ini di bunuh secara pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar kapaknya
ke arah batok kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang hebat
menerpanya dari kiri kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah
menyerangnya secara bersamaan!
******************
16
PENDEKAR
212 bersuit nyaring. Kapaknya berputar membabat ke arah kedua lawan tangguh
itu. Di lain saat pengeroyoknya jadi berjumlah lima orang karena Lor Parereg,
Kunto Handoko dan Rah Gludak telah turun pula ke kalangan pertempuran.
Sementara
itu sisa-sisa prajurit dan perwira kerajaan yang masih hidup sudah tak punya
hasrat lagi untuk meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu ialah
lekas-lekas menyingkir dan menyelamatkan jenazah Brajaseta serta Si Kipas Besi.
Di saat
yang sama di atas lereng batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan
pertempuran di tepi pantai Teluk Burung itu.
"Empu,
saya rasa sudah saatnya kita turun tangan membantu Wiro."
Empu
Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Jakawulung itu.
"Tak usah khawatir Jaka. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Jika Kapak
Naga Geni 212 berada di tangannya lawan macam apapun yang ada di hadapannya
pasti dimusnahkannya!"
"Tapi
satu lawan lima benar-benar perkelahian yang tidak adil! Dan lima manusia itu
adalah orang-orang jahat," kata Ning Larasati.
Ketiga
orang itu berada di situ karena ingin menyaksikan pertempuran yang hebat itu.
Empu Pamenang ingin melihat sendiri kematian musuh besarnya si Supit Jagal.
Sedang
Jakawulung dan Larasati berhasrat membantu Wiro. Karena itulah tak lama setelah
Wiro pergi ketiganya segera menyusul.
"Kau
betul Larasati, kau betul. Itu perkelahian yang tidak adil. Tapi bagi Wiro
sendiri itu bukan soal. Dan aku, jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti
sudah turun tangan sejak tadi," kata Empu Pamenang pula.
"Aku
tetap akan membantunya Empu!" kata Jakawulung. Dia hendak melompat dari
lereng batu. Tapi Empu Pamenang memegang bahunya.
"Lihat
Jaka… lihat apa yang terjadi di bawah sana!" kata Empu Pamenang seraya
menunjuk ke bawah, ke arah pantai.
Jaka
melihat ke bawah. Pada saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh
bermuncratan darah kena hanta man Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng!
Dua korban pertama ini adalah Rah Gludak dan Kunto Handoko!
Dua jurus
kemudian menyusul korban ke tiga yaitu si tinggi hitam Supit Ireng. Lehernya
hampir putus disambar mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung melihat
kematian adiknya. Tangannya kiri kanan tiada henti melepaskan pukulan-pukulan
sakti. Namun jurus demi jurus dia mulai terdesak.
Lor
Parereg menggempur dengan nyali setengah meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena
di makan senjata lawan hingga buntung. Manusia ini melolong kesakitan dan lari
meninggalkan kalangan pertempuran dengan terhuyung-huyung. Wiro tidak
perdulikan lawan yang lari.
Musuh
besar yang harus dibunuhnya adalah Supit Jagal, sebagaimana tugas yang telah
diterimanya dari Empu Pamenang.
Ketika
melihat Lor Parereg melarikan diri, Ning Larasati yang memang mendendam
setengah mati, tiba-tiba mencabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata
ini di tangan dia mengejar Lor Parereg.
"Manusia
dajal! Kau mau kabur ke mana?!" sentak Larasati.
Lor
Parereg hentikan larinya. Nafasnya megap-megap.
Pemandangannya
berkunang-kunang. "Kau… kau…," hanya itu yang bisa diucapkannya
ketika dia melihat dan mengenal Larasati.
"Ya,
aku. Aku Larasati datang untuk membalas sakit hati!" Lalu puteri Sultan
itu tusukkan pedangnya ke perut Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk
mengelak ataupun menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus senjata itu.
Larasati sendiri menjerit ngeri ketika menyaksikan apa yang dilakukannya.
Seumur hidup baru kali itu dia membunuh manusia. Dia terus-menerus menjerit
sampai Empu Pamenang dan Jakawulung datang untuk menenteramkannya.
Dalam
keadaan sangat terdesak tiba-tiba Supit Jagal berkata, "Orang muda! Antara
kita tidak ada silang sengketa. Mengapa kau inginkan jiwaku?!"
"Aku
hanya menjalankan tugas Supit Jagal. Lagi pula kupikir manusia jahat macammu
ini tak layak… Akh…!"
Wiro tak
teruskan ucapannya karena saat itu dilihatnya lawan melepaskan satu pukulan
sakti yang mengeluarkan hawa panas luar biasa! Sambil melompat ke samping dia
sapukan Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung buyar. Tetapi ketika
memandang ke depan dilihatnya Supit Jagal melarikan diri ke arah lereng bukit
batu. Sewaktu Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan pukulan tangan
kosong dua kali berturut-turut!
"Sialan!
Bangsat ini benar-benar licik!" maki Wiro. Dia kerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Sambil berseru nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara dan Supit
Jagal menjadi kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda itu sudah tegak di atas
lereng batu menghadangnya!
Supit
Jagal membelok ke kiri sambil lepaskan lagi pukulan sakti. Wiro kembali
melompat. Sekali ini dia langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu
tendangan. Nekad Supit Jagal coba menangkap kaki kanan Wiro. Tapi tenaga
tendangan itu tidak mampu ditahannya.
Akibatnya
tubuhnya mencelat ke bawah bukit batu, tangan kirinya patah di bagian
pergelangan.
Malang
bagi Supit Jagal. Jatuhnya tepat di depan Empu Pamenang. Orang tua ini langsung
hadiahkan satu tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang punggungnya
remuk dan dia meraung kesakitan.
"Sayang
aku mempunyai Pantangan membunuh!" kata Empu Pamenang menyesali diri.
Sambil
terhuyung-huyung Supit Jagal mencoba bangkit.
Saat itu
Wiro Sableng sudah tegak di hadapannya. Supit Jagal menggembor keras. Tangan
kanannya menghantam ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya hanya
mengenai tempat kosong. Dia merasakan rambutnya dijambak, lalu tubuhnya
terangkat dan berputar-putar di udara. Pekiknya terdengar tiada henti.
Kepalanya serasa tanggal.
Tiba-tiba
Wiro lepaskan cengkeramannya. Tubuh Supit Jagal melayang dan byur dia masuk ke
dalam air laut.
Sesaat
tampak kedua tangannya menggapai-gapai ke atas, lalu lenyap bersamaan dengan
lenyapnya tubuhnya di telan gelombang!
Empu
Pamenang memejamkan kedua matanya. Dari mulutnya terdengar suara lirih.
"Murid-muridku, manusia jahat yang telah membunuh kalian telah menemui kematiannya.
Kuharap kini kalian bisa tenteram di alam baka." Kakek ini kemudian
melangkah mendekati Wiro Sableng.
"Orang
muda, terimalah ucapan terima kasihku… Kau benar-benar hebat!"
"Empu
Pamenang, kau keliwat memuji. Tugasku sudah selesai. Aku mohon diri…" Wiro
membungkuk hormat lalu sekali berkelebat diapun lenyap. Empu Pamenang menarik
nafas panjang. Ning Larasati mendekati seorang perwira tinggi dan berkata,
"Kembalilah ke Kotaraja. Katakan pada ayahanda bahwa aku telah diambil
murid oleh Empu Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau tak usah
khawatir tentang diriku. Jika sudah selesai menuntut ilmu pasti aku akan
kembali."
Perwira
itu mengangguk lalu menjura dan berlalu. Empu Pamenang, Jakawulung dan Ning
Larasati kembali ke Danau Merak Biru.
Dengan
matinya Lor Parereg dan manusia-manusia jahat lainnya itu maka tak satu
orangpun yang mengetahui mengenai peti-peti berisi uang dan perhiasan yang
ditanam Ki Ageng Tunggul di belakang rumahnya di Pasirginting.
Peti-peti
itu akan terus terpendam sampai kiamat, kecuali kalau ada orang lain yang
menemukannya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment