WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
Ketika
genangan air mata jatuh berderai di pipi bidadari angin timur. Jatilandak
ulurkan tangan kiri untuk mengusap. Dengan tangan kanannya bidadari angin timur
pegang jari-jari tangan pemuda itu. Lalu ditempelkan ke pipinya sementara air
mata menetes jatuh semakin deras. "kau mencintai pendekar dua satu
dua?" tanya jatilandak. Sepasang bola mata bidadari angin timur membesar
tapi mulut tak menjawab. Malah kedua matanya dipejamkan dan tangan jatilandak
semakin kencang dipegang di atas pipinya. Bibir terbuka bergetar tapi suaranya
hanya menggema di dalam hati. "kau sahabat baik… kau yang belum lama
mengenalku bisa tahu perasaanku. Tapi dia yang kuharapkan itu mengapa seolah
tak pernah perduli…?" pada saat itu tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Dua
penunggang kuda berhenti di seberang mata air. Sepasang mata bidadari angin
timur terbuka lebar. Wajahnya berubah pucat. Cepat-cepat gadis ini tarik dua
tangannya yang saling berpegangan dengan tangan jatilandak. Suaranya bergetar
ketika menyebut nama. "wiro…."
***********************
1
DIAPIT
dan dipegang dua Satria Pocong, nenek kurus itu melangkah menuju rumah tua
beratap ijuk hitam berbentuk tanduk kerbau. Rambut kelabu awut-awutan, tubuh
terbungkuk, wajah pucat keriput menunjukkan rasa takut. Sebuah lampion kain
putih menyala suram di bawah atap rumah, bergoyang ditiup angin malam. Cahaya
redup lampion ini tidak dapat menerangi seantero halaman rumah di mana menebar
gundukan-gundukan batu. Malah bayangan cahaya menimbulkan ujud-ujud besar aneh
menyeramkan di belakang bebatuan.
Mendekati
rumah, si nenek tiba-tiba menangkap suara sesuatu. Suara orang mengerang.
Perempuan. "Seperti orang sekarat. Di dalam rumah…" Ucap hati si
nenek. Langkahnya jadi tertahan. Namun dua manusia pocong yang menggiring
memaksanya jalan terus.
Saat itu
di depan rumah tua seorang manusia pocong bersosok tinggi besar berdiri tak
bergerak. Dua tangan dirangkap di depan dada. Sepasang mata dibalik lobang pada
kain putih penutup kepala memandang memperhatikan nenek berambut kelabu.
"Salam
hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!" Dua Satria
Pocong keluarkan ucapan berbarengan.
Tanpa
melepaskan pandangan matanya dari si nenek, manusia pocong tinggi besar yang
rupanya adalah Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian anggukkan
kepala sedikit lalu ucapkan pertanyaan.
"Aku
tidak mau kesalahan. Perempuan tua, siapa namamu?!"
Yang
ditanya tak segera menjawab. Bola mata berputar lalu memandang ke rumah tua,
dari arah mana telinganya sejak tadi mendengar suara erangan tak berkeputusan.
Rasa takut yang sudah menyelinap dalam diri membuat tubuhnya menjadi dingin dan
lutut terasa goyah.
Melihat
orang tidak menjawabi pertanyaan, si tinggi besar jadi marah dan membentak.
"Perempuan tua! Aku tahu kau tidak torek! Katakan siapa namamu!"
"Kalian…
Saya… mengapa saya diculik. Mengapa saya dibawa ke sini. Tempat apa ini? Kalian
makhluk apa sebenarnya? Saya ingin pulang. Saya sedang susah. Saya kehilangan
seseorang. Magiyo cucuku tidak pulang sejak satu hari lalu…"
Bukannya
menjawab, perempuan tua itu malah ajukan banyak pertanyaan. Lalu seperti merasa
tidak perlu menunggu orang menjawab pertanyaannya, nenek ini balikkan badan,
berusaha melepaskan diri dari pegangan dua Satria Pocong dan tinggalkan tempat
itu. Namun dua Satria Pocong cepat mencekal tangan si nenek kiri kanan.
"Perempuan
tua! Jangan berani berlaku kurang ajar terhadap Yang Mulia Ketua!" Salah
seorang Satria Pocong membentak. Dengan kasar tubuh perempuan tua ini diputar
hingga kembali menghadap ke arah Sang Ketua.
"Perempuan
tua, kau tak perlu takut." Manusia pocong tinggi besar keluarkan ucapan.
"Kami membawamu ke sini untuk satu keperluan. Jika urusan selesai dan kau
mematuhi apa perintah kami, kami akan bawa kau kembali ke desamu! Jawab saja
pertanyaanku. Siapa namamu?"
Si nenek
pandangi sosok bertutup kepala putih. Dia melihat sepasang mata berkilat tajam
menatap tak berkedip ke arahnya. Hati si nenek jadi tergetar, tambah takut.
"Saya…
saya Paimah."
"Kau
tinggal di Desa Sarangan?"
"Be…
betul."
"Di
Sarangan apa pekerjaanmu?"
"Saya,
saya tidak punya pekerjaan. Saya…" Ucapan si nenek terputus karena Sang
Ketua membentak keras hingga orang tua ini tersirap darah, tambah pucat dan
bergetar tubuhnya dilanda ketakutan. Sementara itu telinganya masih saja
menangkap suara erangan dari dalam rumah tua.
"Kami
tahu kau adalah seorang dukun beranak! Mengapa berani dusta mengatakan tidak
punya pekerjaan?"
"Maksud
saya…"
"Sudah!"
Sang Ketua menghardik hingga si nenek merasa tubuhnya seperti leleh. "Kau
dengar apa yang aku katakan! Pasang telingamu baik-baik! Di dalam rumah ini ada
seseorang perlu pertolonganmu! Ada seorang perempuan akan segera melahirkan!
Masuk ke dalam rumah dan tolong dia! Kau harus bekerja cepat! Bayi itu harus
segera lahir! Kau tidak boleh menunggu terlalu lama! Jangan sampai sang bayi
mati di dalam perut! Kalau kau mengalami kesulitan, bedol perut perempuan hamil
itu dengan ini!"
Entah di
mana tadi dia menyimpannya tahu-tahu Ketua Barisan Manusia Pocong telah
memegang sebilah pisau tipis bermata dua, berkilat terkena cahaya lampion
pertanda luar biasa tajamnya. Pisau ini disodorkan pada Paimah. Tapi dukun
beranak ini tidak berani mengambil. Malah tersurut mundur. Sang Ketua dengan
paksa menggenggamkan senjata itu ke dalam jari-jari tangan kanan si nenek.
"Di
dalam rumah tersedia semua keperluanmu untuk menolong perempuan yang
melahirkan. Di atas sebuah meja ada dua buah bokor perak. Begitu bayi lahir
gorok lehernya. Tampung darahnya dalam dua buah bokor itu!"
Kejut dan
takut Paimah sampai ke puncaknya begitu mendengar ucapan manusia pocong. Tubuh
perempuan tua ini menggigil. Dua Satria Pocong segera menggandeng dukun beranak
Paimah ke arah tangga rumah tua beratap ijuk. Di bawah atap, lampion
bergoyang-goyang ditiup angin. Suara halus desau tiupan angin digetari suara
erangan perempuan tak berkeputusan yang keluar dari dalam rumah. Di depan
tangga, dua manusia pocong lepaskan cekalan mereka. Tiba-tiba salah satu dari
dua belas pintu di bagian depan bangunan tua terbuka. Paimah si dukun beranak
terkejut pucat, mata mendelik memandang ke dalam rumah.
"Paimah!
Lekas masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu!" Teriak Sang Ketua Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
Paimah
memandang ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tambah bergetar menggigil. Lutut
semakin goyah. Perempuan tua ini gelengkan kepala lalu berkata dengan suara
keras tapi gemetar.
"Tidak,
aku tidak mau melakukan. Kalian boleh bunuh diriku! Tapi aku tidak akan sudi
melaksanakan perintah kalian! Aku tidak akan membedol perut siapapun! Aku tidak
akan menggorok bayi manapun!"
Paimah
hendak campakkan pisau di tangan kanannya, namun Satria Pocong di sampingnya
cepat mencekal lengannya dan membentak. "Tua bangka sialan! Jangan berlaku
tolol! Kami tidak mau mendapat hukuman karena ulahmu!"
"Tidak!
Kalian boleh bunuh aku! Apapun yang terjadi aku tidak akan mau melakukan
perintah keji kalian!"
Sang
Ketua yang berdiri di halaman rumah tua kelihatan mulai hilang kesabarannya. Di
dalam rumah suara erangan perempuan terdengar semakin keras. Perlahan-lahan
manusia pocong tinggi besar ini turunkan dua tangan yang sejak tadi
dirangkapkan di depan dada. Mulutnya bergerak. Saat itu juga satu suitan keras
melengking dari mulut itu.
Dari
samping rumah sebelah kanan tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Seorang
manusia pocong muncul sambil mencekal leher baju seorang anak lelaki berusia
sekitar enam tahun. Anak ini menangis keras karena kesakitan dan rasa takut
amat sangat.
Begitu
melihat dan mengenali si anak lelaki, Paimah si dukun beranak menjerit keras.
"Magiyo! Setan jahat terkutuk! Jadi kalian yang menculik cucuku! Lepaskan
dia! Apa dosa cucuku! Apa dosa kami!"
Sekali
berkelebat Ketua Barisan Manusia Pocong telah berada di depan Paimah. Pandangan
matanya menyorot dari balik kain putih penutup kepala. Mulutnya keluarkan
ancaman.
"Kalau
kau berlaku tolol tidak mau melakukan perintah, cucumu akan aku gorok. Kau
boleh pulang ke Sarangan membawa kepala anak itu!"
Paimah
meratap keras. Kepalanya digeleng-gelengkan. Kemudian gelengan berubah menjadi
anggukan. "Jangan bunuh cucuku! Jangan sakiti Magiyo…" ratapnya.
Di balik
kain penutup kepala, tampang Sang Ketua menyeringai. Dia bergumam lalu berkata.
"Jadi kau mau melakukan apa yang aku perintahkan?!"
Paimah
tersengguk tercekik. Air mata bercucuran. Lalu perempuan tua ini anggukkan
kepala berulang kali.
"Masuk
ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu! Cepat!" ucap Sang Ketua.
Paimah
melangkah dengan kaki goyah tubuh menggigil serta tangis sesenggukan. Sang
Ketua memberi isyarat pada manusia pocong yang mencekal Magiyo. Manusia satu
ini cepat berkelebat dan lenyap di samping rumah tua bersama bocah yang
dicekalnya. Sang Ketua kemudian kembali turun ke halaman.
Di depan
pintu rumah, sebelum masuk Paimah tertegun sejenak. "Gusti Allah, apa
dosaku sampai mengalami kejadian begini rupa. Tuhan, tolong Magiyo. Selamatkan
anak itu…"
"Paimah!
Tunggu apa lagi! Cepat masuk!" Bentak Sang Ketua kesal sekali.
Dukun
beranak itu akhirnya melangkah masuk. Begitu sosoknya lenyap ke dalam bangunan,
pintu yang tadi terbuka tiba-tiba menutup kembali!
Di dalam
dan di luar rumah beberapa saat kesunyian yang sangat mencekam menggantung di
udara. Angin bertiup dalam dinginnya udara malam. Lampion putih kembali
bergoyang-goyang. Tak selang berapa lama di dalam rumah tua tiba-tiba terdengar
satu pekik keras. Pekik perempuan yang kesakitan. Lalu menyusul pekik kedua.
Pekik tangis bayi. Dua manusia pocong merasa lega dan memandang pada pimpinan
mereka. Sang Ketua anggukkan kepala. Namun mendadak terdengar jeritan ketiga!
Tiga
manusia pocong saling pandang lalu sama-sama memperhatikan ke arah rumah, ke
arah deretan dua belas pintu yang tertutup. Sang Ketua mencium ada sesuatu yang
tidak beres.
"Kalian
berdua, dengar! Kalau dukun beranak itu telah selesai dengan pekerjaannya,
seharusnya salah satu pintu terbuka. Itu tidak terjadi. Ada yang tidak beres!
Jangan-jangan tua bangka itu berlaku nekad. Kurang ajar! Kalau sampai Bendera
Darah terlambat atau gagal diberi sesajian, semua kita bisa celaka!"
Baru saja
Sang Ketua membatin begitu, di dalam rumah tiba-tiba terdengar pekik tangis
bayi. Terus menerus, tiada henti.
"Jahanam!
Benar dugaanku! Ada yang tidak beres!"
Sang
Ketua berkelebat, melompat melewati tangga. Kaki kanannya menendang salah satu
pintu yang tertutup hingga ambrol dan terpentang lebar lalu menerobos masuk ke
dalam rumah. Dua Satria pocohg ikut berkelebat masuk. Di dalam rumah ketiganya
sama-sama tersentak kaget. Kaki masing-masing laksana dipantek ke lantai kayu.
Mata terpentang membelalak menyaksikan kengerian yang terpampang.
Di atas
sebuah ranjang kayu tergeletak sosok seorang perempuan muda, diam tak bergerak
entah pingsan entah sudah mati. Tubuhnya nyaris telanjang penuh lumuran darah.
Darah membasahi ranjang bahkan sampai ke lantai kayu. Di lantai di samping
kanan ranjang, terbujur sosok bayi merah dalam keadaan masih bergelimang darah.
Tali pusatnya yang belum putus menjela mengerikan. Lalu di sebelah bayi yang
terus menerus menangis ini, melingkar tubuh perempuan tua si dukun beranak Paimah.
Tangannya memegang pisau yang tadi diberikan Sang Ketua Barisan Manusia Pocong.
Pisau dan tangan berlumuran darah. Dua Satria Pocong mengerenyit ngeri ketika
memperhatikan leher dukun beranak itu. Ada sobekan luka besar menganga dan
masih mengucurkan darah!
"Sang
Ketua memerintahkan dia menggorok leher bayi. Nyatanya dia bunuh diri menggorok
leher sendiri…" Bisik salah seorang Satria Pocong pada temannya.
Sang
Ketua hanya terkesiap sesaat. Di lain kejap dia berteriak berikan perintah pada
dua anak buahnya.
"Kau!"
sentak Sang Ketua sambil tudingkan tangan pada Satria Pocong di sebelah kanan.
"Lekas hubungi Wakil Ketua! Singkirkan perempuan muda di atas ranjang!
Ingat, dia harus dilenyapkan tanpa bekas tanpa jejak! Dan kamu!" Sang
Ketua ganti menunjuk pada anak buah satunya. "Selesaikan pekerjaan dukun
keparat itu! Isi dua botol dengan darah bayi! Lakukan cepat! Aku menunggu di
pintu Ruang Bendera Darah!"
"Ketua,"
ucap Satria Pocong yang menerima perintah terakhir. Suaranya tercekat gemetar.
Wajahnya pucat di balik kain penutup kepala. "Apakah… apakah saya harus
menggorok leher bayi itu untuk mendapatkan darahnya?" Walau otaknya sudah
dicuci dengan racun pemusnah ingatan, namun karena seumur hidup tidak pernah
mengerjakan hal luar biasa mengerikan seperti itu, nyalinya menjadi leleh.
Tubuhnya serasa lumat ditelan kengerian. Hal ini terbaca oleh Sang Ketua. Dia
langsung membentak.
"Perduli
setan kau mau melakukan apa dan bagaimana! Yang penting dua buah bokor itu
harus diisi penuh dengan darah bayi! Kau mengerti?! Atau kau ingin saat ini
juga menemui kematian dalam ketololan!"
Satria
Pocong satu ini jadi ketakutan. Cepat-cepat dia menjura sambil berseru.
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia
Ketua seorang yang wajib dicintai!"
***********************
2
DALAM
Episode sebelumnya Rumah Tanpa Dosa diceritakan bagaimana pemuda dari
Latanahsilam, negeri 1.200 tahun lalu, yakni Jatilandak berhasil menyelamatkan
Bidadari Angin Timur ketika hendak digagahi oleh Hantu Muka Dua. Gadis berambut
pirang ini kemudian memberitahu kalau saat itu ada seorang dara bernama Wulan
Srindi telah dilarikan oleh seorang kepala rampok. Seperti yang hampir terjadi
dengan dirinya, gadis itu pasti tengah berada dalam bahaya besar. Terancam
kehormatan serta jiwanya. Sebelum Bidadari Angin Timur dan Jatilandak sempat
meninggalkan pondok di pinggiran lembah, mendadak ada seseorang melemparkan
sehelai Bendera Darah. Bendera berbentuk segi tiga ini lewat hanya satu jengkal
dari wajah Bidadari Angin Timur, lalu menancap di papan rumah. Ketika
Jatilandak mencabut bendera dari papan, bagian papan seputar mana bendera
menancap ikut terbongkar hingga membentuk lobang. Setelah memperhatikan
sebentar, dia lalu mencium ujung lancip gagang bendera. Memandang pada Bidadari
Angin Timur dia berkata. "Kayu gagang bendera ini tidak beracun. Namun
jika sampai menancap di wajahnya, akan membuat cacat dalam dan lebar. Lihat,
gagang ini dibuat demikian rupa membentuk gerigi yang bagian lancipnya mengarah
ke belakang. Kalau gagang menancap pada daging tubuh atau muka seseorang, lalu
dicabut, banyak bagian daging yang akan ikut terbongkar. Lihat saja papan yang
berlobang itu. Kau bisa menduga siapa adanya manusia yang begitu jahat dan keji
hendak mencelakaimu?"
Bidadari
Angin Timur perhatikan lobang di papan dengan perasaan ngeri lalu menjawab.
"Tak bisa kuduga. Bahkan aku tidak melihat orangnya. Gerakannya cepat
sekali."
"Aku
hanya sempat melihat bayangannya. Seseorang berpakaian seba putih,"
memberitahu Jatilandak. "Aku ragu apakah dia Hantu Muka Dua. Walau sekilas
dandanannya memang mirip-mirip si pelempar bendera."
"Aku
punya firasat orang itu bukan Hantu Muka Dua. Sebelumnya Hantu Muka Dua
jelas-jelas hendak menodaiku. Tapi si pelempar bendera tidak bersungguh-sungguh
hendak mencelakai diriku," ucap Bidadari Angin Timur yang membuat
Jatilandak kerenyitkan kening merasa heran. "Kalau dia memiliki gerakan
luar biasa cepat, muncul melempar lalu lenyap seperti hembusan angin, jika dia
mau, pasti bisa menancapkan bendera itu di kepala atau tubuhku. Ada satu maksud
tersembunyi di balik pelemparan bendera. Mungkin dia hendak memberikan satu
peringatan."
Jatilandak
berpikir sejenak lalu berkata. "Mungkin juga hendak memancingmu. Mengharap
kau melakukan pengejaran lalu membokongmu dalam satu jebakan. Tapi dia kemudian
kabur karena aku muncul di tempat ini."
"Bisa
jadi begitu," jawab Bidadari Angin Timur sambil menggigit bibir,
berpikir-pikir lalu mengerling memperhatikan pemuda berwajah kuning di
hadapannya. Ada sekelumit rasa kasihan muncul dalam diri gadis ini. Hati
kecilnya berkata. "Kalau saja kulitnya tidak kuning seperti ini, kurasa
dia cukup tampan."
"Bendera
aneh, sengaja dilumuri darah. Biar kusimpan." Jatilandak kibas-kibaskan
bendera berbentuk segi tiga sampai darah yang membasahi kain bendera menjadi
agak kering. Bendera kemudian dimasukkan ke balik pakaian coklat. Sambil
memandang wajah Bidadari Angin Timur pemuda berkulit kuning ini berkata.
"Ada cipratan darah bendera di pipi kananmu. Dekat bibir."
Bidadari
Angin Timur usap wajahnya di bagian yang dikatakan Jatilandak. Pemuda dari
Latanahsilam itu tersenyum karena noda darah tidak seluruhnya pupus. Malah ada
sebagian melebar ke atas bibir. Tadinya dia tidak mau memberitahu. Tapi ketika
ditanya oleh Bidadari Angin Timur mengapa dia tersenyum, Jatilandak menjawab.
"Darahnya
masih ada. Di atas bibir. Kalau kau izinkan aku membersihkan…"
Bidadari
Angin Timur diam saja. Dia coba menyeka kembali. Tapi salah tempat. Jatilandak
tersenyum lagi. "Masih ada," katanya. Pemuda ini lalu ulurkan tangan.
Sekali mengusap, noda darah di atas bibirpun lenyap.
Jatilandak
mengusap bibir sang dara biasa-biasa saja. Tanpa perasaan apa-apa. Semata-mata
hanya dengan niat menolong. Sebaliknya entah mengapa si gadis merasa sentuhan
tangan si pemuda menimbulkan getaran aneh dalam dirinya, sekalipun dia yakin
Jatilandak tidak punya maksud tidak baik dalam menolong tadi.
"Kita
harus pergi sekarang juga. Mengejar penjahat penculik gadis bernama Wulan
Srindi," kata Bidadari Angin Timur sambil memandang ke jurusan lain,
menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
"Aku
tahu arah lari penjahat itu. Waktu menuju ke sini aku melihat dia keluar dari
lembah, lari ke arah selatan. Mendukung seseorang."
"Datang
ke sini tadi, penjahat itu menunggang kuda. Jika dia kabur dengan lari biasa
berarti dia belum berapa jauh."
"Berarti
juga tujuan yang hendak dicapainya tidak jauh dari sini," kata Jatilandak
pula.
Bidadari
Angin Timur tanpa banyak menunggu lagi segera melompat ke atas punggung kuda
miliknya. Sedang Jatilandak memilih seekor kuda besar yaitu kepunyaan Warok
Jangkrik yang ditinggalkan kepala rampok itu. Kedua orang ini segera membedal
kuda masing-masing ke arah selatan.
***********************
DANGAU
kecil itu terletak di bawah satu pohon besar, di pinggir ladang kopi yang sudah
sejak lama ditelantarkan pemiliknya. Ke tempat inilah Warok Jangkrik membawa
gadis culikannya. Wulan Srindi dengan keadaan pakaian tidak karuan rupa nyaris
bugil dan dalam tubuh tertotok dibaringkan di lantai dalam keadaan tertotok,
tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kepala dirundukkan mencium pipi Wulan
Srindi. Bersamaan dengan itu tangan yang membelai wajah turun mengusap leher
yang jenjang lalu secara kurang ajar turun lagi ke dada. Sampai di sini Warok
Jangkrik tak sabaran lagi. Pakaian Wulan Srindi dirobeknya hingga keadaan gadis
malang ini tambah mengenaskan. Sebenarnya saat itu Warok Jangkrik ingin
melepaskan totokan yang melumpuhkan Wulan Srindi. Bagaimanapun juga dia lebih
suka menghadapi orang yang bisa bersuara dan bisa bergerak. Namun sewaktu di
lembah, dia telah melihat sendiri kehebatan ilmu silat si gadis ketika
dikeroyok oleh empat anak buahnya. Kepala rampok ini tak mau cari penyakit. Dua
tangannya bergerak. Dalam waktu singkat perawan anak murid Perguruan Silat Lawu
Putih itu nyaris tidak tertutup lagi auratnya. Warok Jangkrik kemudian
tanggalkan pakaiannya sendiri. Walau hati menjerit oleh rasa takut akan apa
yang bakal menimpa dirinya, namun dalam keadaan tak berdaya Wulan Srindi hanya
bisa pasrah. Dalam ketidakberdayaan itu tiada henti gadis ini mengucap
memanggil nama Tuhan, meminta pertolonganNya.
Sewaktu
Warok Jangkrik meniduri tubuhnya dan tak ada lagi kemungkinan bagi Wulan Srindi
untuk menyelamatkan diri dari perbuatan keji terkutuk itu tiba-tiba ada dua
bayangan berkelebat disusul ucapan-ucapan lantang.
"Manusia
kurang ajar! Kepalamu layak kuhancurkan!" Satu suara lelaki datang dari
arah kanan dangau.
"Tidak!
Jahanam itu harus mati di tanganku!" Suara perempuan meningkahi, datang
dari arah yang sama.
Warok
Jangkrik tersentak kaget, cepat berpaling. Dia melihat satu bayangan biru
berkelebat lalu satu tendangan menderu ke arah kepalanya!
Sambil
berseru keras Warok Jangkrik rundukkan kepala. Tangan kiri cepat menarik celana
ke atas. Tangan sebelah kanan sebenarnya punya kesempatan mengirimkan serangan
balasan berupa jotosan ke bawah perut si penyerang. Namun ketika melihat siapa
adanya lawan, kepala rampok ini memilih selamatkan diri dengan berguling lalu
jatuhkan tubuh ke bawah dangau. Tangan kanan dipergunakan untuk menyambar golok
yang tergeletak di lantai dangau.
Begitu
berdiri di tanah Warok Jangkrik segera cabut golok. Memandang ke depan dia
dapatkan diri berhadapan dengan gadis cantik berpakaian biru berambut pirang.
"Bidadari
Angin Timur," ucap Warok Jangkrik dengan suara tersendat bergetar. Dua
langkah di belakang si gadis berdiri seorang pemuda aneh berkepala botak.
Kepala botak itu, wajah dan kulit tangan serta kakinya kelihatan kuning.
Menghadapi Bidadari Angin Timur seorang saja kepala rampok ini sudah merasa jerih.
Apa lagi bersama si gadis ada seorang pemuda aneh berkulit kuning yang dari
gerak-gerik penampilannya jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi. Warok Jangkrik
cepat memutar otak.
"Tunggu!
Jangan salah sangka. Gadis itu belum aku apa-apakan. Kau bisa dapatkan dirinya
dalam keadaan selamat. Biar urusan kita selesaikan sampai di sini saja!"
Habis
berkata begitu Warok Jangkrik menghambur ke kiri, siap ambil langkah seribu.
Tapi yang dihadapinya adalah seorang gadis yang bukan saja berkepandaian tinggi
namun juga punya kemampuan bergerak laksana kilatan cahaya. Baru dua langkah
kepala rampok itu membuat lompatan kabur, sosok Bidadari Angin Timur berkelebat
dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
Sambil
sunggingkan senyum sinis dan angkat kepalanya sedikit, Bidadari Angin Timur
berkata.
"Warok
Jangkrik! Perampok bejat! Sebelumnya kau menipuku hingga diriku hampir jadi
santapan manusia jahanam bercadar putih. Sekarang kau hendak berbuat mesum
terhadap gadis ini? Dosa kejahatanmu selangit tembus. Kau pantas dikirim ke
neraka saat ini juga! Tapi hari ini aku bersedia memberi pengampunan jika
kau…"
"Sahabatku
Bidadari, perlu apa berbaik hati. Orang jahat semacam dia harus diberi hukuman
berat agar tidak ada orang lain jadi korban keganasannya di kemudian
hari!" Pemuda botak berkulit kuning yang bukan lain adalah Jatilandak dari
Negeri Latanahsilam memotong ucapan Bidadari Angin Timur.
"Aku
bersumpah! Aku bertobat!" seru Warok Jangkrik. "Biarkan aku
pergi…"
"Kau
boleh pergi, tapi ada satu syarat. Ada pertanyaan yang harus kau jawab!"
Berkata Bidadari Angin Timur.
"Jangankan
satu syarat, jangankan satu pertanyaan. Seribu syarat seribu petanyaanpun akan
aku patuhi dan akan aku jawab." kata Warok Jangkrik pula. Dia merasa
gembira ternyata orang mau memberi pengampunan atas dirinya.
"Bagus,"
kata Bidadari Angin Timur sambil angguk-anggukkan kepala dan kembali tersenyum
hingga lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan. "Sarungkan golokmu. Aku
tidak suka bicara dengan orang yang memegang senjata di tangan."
Warok
Jangkrik cepat-cepat sarungkan goloknya, tapi tidak diselipkan di pinggang
karena tadi belum sempat mengenakan sabuk besar dan celana masih setengah
kedodoran. Setelah disarungkan senjata itu dipegangnya di tangan kanan.
"Aku
ingin tahu, mengapa kau menjebak diriku hingga hampir celaka di tangan manusia
tinggi besar berjubah dan bertutup kepala kain putih itu."
"Dengar,
aku… aku tidak ada permusuhan denganmu. Orang berjubah itu membujuk diriku. Aku
diiming-iming sekantong emas." Menerangkan Warok Jangkrik. "Tapi
bangsat itu menipuku! Emas yang dijanjikan, yang diberikan ternyata hanya tujuh
batu kerikil!"
"Begitu!
Penipu tertipu…" ujar Bidadari Angin Timur lalu dongakkan kepala dan
tertawa panjang. Warok Jangkrik ikut tertawa cengengesan. Jatilandak hanya
berdiri mengawasi kedua orang itu sambil rangkapkan tangan di atas dada.
"Kau tahu siapa adanya orang yang kau sebut bangsat itu?" tanya
Bidadari Angin Timur walau sebenarnya dia sudah tahu karena sebelumnya telah
mendapat keterangan dari Jatilandak.
"Aku
tidak kenal siapa dia. Bertemunyapun secara kebetulan. Di satu rumah tua di
lembah. Waktu itu aku dalam perjalanan ke Magetan. Aku tidak perduli siapa dia.
Saat itu aku hanya tertarik pada emas yang dijanjikan. Kalau aku bisa
memancingmu ke rumah tua di lembah, sekantong emas akan diberikannya
padaku."
"Kau
tahu mengapa dia hendak mencelakai diriku?"
Warok
Jangkrik gelengkan kepala. "Aku tidak dusta. Aku tidak tahu mengapa dia
ingin mencelakai dirimu. Dia hanya meminta aku melarikan gadis bernama Wulan
Srindi itu dan memancingmu agar datang ke rumah tua di lembah."
Bidadari
Angin Timur melirik ke arah Jatilandak lalu berkata. "Warok Jangkrik, kau
sudah menjawab semua pertanyaanku. Kau boleh pergi. Namun…"
"Namun
apa?" tanya Warok Jangkrik dan mendadak saja mulai merasa jerih.
"Bagaimana
aku bisa memastikan bahwa kau akan berubah jadi orang baik?" Tanya
Bidadari Angin Timur sambil menatap tajam ke arah Warok Jangkrik.
"Percaya
padaku. Bukankah tadi aku sudah mengucapkan sumpah, sudah mengatakan
tobat!"
"Benar
sekali. Telingaku tadi memang mendengar semua ucapan, segala sumpahmu. Namun
hatiku berkata lain. Siapa percaya pada dirimu?" kata Bidadari Angin Timur
pula. "Kalau begitu…"
Belum
sempat Warok Jangkrik menyelesaikan ucapannya sosok gadis di hadapannya
mendadak lenyap. Dia hanya melihat bayangan biru berkelebat disusul suara
sreet! Golok besar di tangan kirinya dicabut orang! Warok Jangkrik berteriak
kaget. Dia cepat melompat mundur. Tapi terlambat. Lengan kanannya mendadak
terasa dingin. Memandang ke bawah dia dapatkan lengan kanan itu telah putus
oleh golok miliknya sendiri yang laksana kilat ditabaskan Bidadari Angin Timur.
Warok Jangkrik sudah puluhan kali melihat semburan darah dari tubuh orang-orang
yang jadi korbannya tanpa rasa merinding. Tapi kali ini dia menjerit setinggi
langit melihat darah sendiri yang menyembur dari kutungan lengan.
"Juangkrikk!
Tobaaattt!" Sosok kepala rampok itu terhuyung melintir. Dengan tangan kiri
dia berusaha menotok urat saluran darah di bahu kanan. Namun darah masih terus
mengucur.
"Lekas
minggat sebelum kubuntungkan tanganmu yang satu lagi!" Mengancam Bidadari
Angin Timur.
Dicekam
rasa sakit dan takut bukan kepalang Warok Jangkrik tidak menunggu lebih lama.
Secepat kilat dia kabur tinggalkan perkebunan kopi. Sementara berlari dari mulutnya
tiada henti keluar jeritan kesakitan.
Bidadari
Angin Timur sesaat pandangi golok berdarah di tangan kanannya lalu melirik ke
arah pemuda di sampingnya. Dia melihat bayangan ketegangan menyelimuti wajah
kuning Jatilandak dan berkali-kali pemuda ini menarik nafas panjang.
"Ada
apa? Kau tidak suka melihat aku menabas buntung tangan manusia jahat itu?
Sebelumnya kau sendiri keluarkan ucapan agar kita menjatuhkan hukuman berat
atas manusia laknat satu ini." Ketika Jatilandak tak menjawab ucapannya
Bidadari Angin Timur meneruskan perkataannya. "Seharusnya kepalanya yang
aku tabas. Bukan tangannya…"
"Lalu,
kenapa tidak kau tabas lehernya?" tanya Jatilandak.
Bidadari
Angin Timur tersenyum. "Pertanyaanmu aneh," katanya. Lalu golok yang
dipegang dicampakkan ke tanah hingga menghunjam amblas, hanya ujung gagangnya
yang masih menyembul.
Jatilandak
ikutan tersenyum walau tengkuknya agak terasa dingin. Gadis sehalus dan
secantik Bidadari Angin Timur ternyata bisa menghukum seseorang secara
mengerikan seperti itu.
"Itulah
hukum rimba persilatan. Memang manusia jahat itu seharusnya layak
dibunuh." Di balik senyum Jatilandak, Bidadari Angin Timur bisa membaca
apa yang mungkin tersirat dalam hati si pemuda. Maka diapun berkata.
"Hajaranku tadi masih terlalu ringan. Kalau manusia satu itu tidak berubah
kelakuan, kelak kalau bertemu aku akan benar-benar menabas batang
lehernya."
Jatilandak
mengangguk lalu goyangkan kepala ke arah dangau. "Gadis itu perlu segera
ditolong. Kau saja yang melakukan." Jatilandak merasa rikuh turun tangan
karena keadaan aurat Wulan Srindi yang nyaris telanjang.
Sekali
lompat saja Bidadari Angin Timur sudah berada di pinggir dangau. Dari balik
pakaiannya dia keluarkan seperangkat baju dan celana panjang yang kemudian
diletakkan di samping Wulan Srindi. Setelah memperhatikan keadaan tubuh gadis
itu, Bidadari Angin Timur segera melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi.
"Lekas
kenakan pakaian itu. Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan padamu."
Wulan
Srindi merasa ada hawa hangat mengalir dalam tubuhnya pertanda totokan yang
mengunci jalan suara dan membuat dirinya kaku telah musnah. Gadis ini gerakkan
tubuh, langsung dan cepat mengambil baju dan celana yang terletak di lantai
dangau.
"Terima
kasih kau telah menolongku," ucap Wulan Srindi lalu dengan cepat, tanpa
membuka pakaian penuh robek yang masih melekat di badannya, dia kenakan baju
dan celana pemberian Bidadari Angin Timur. Ternyata pakaian ini cocok dengan
ukuran tubuhnya. Selesai mengenakan pakaian, Wulan Srindi turun dari atas
dangau lalu jatuhkan diri di tanah, berlutut di hadapan Bidadari Angin Timur
dan membungkuk dalam. "Terima kasih. Kalau tidak kau yang menolong entah
apa jadinya dengan diriku."
"Tidak
perlu berlutut, aku bukan Dewa, bukan pula Gusti Allah."
"Bagaimanapun
juga aku berhutang budi, kehormatan bahkan nyawa. Saat ini aku hanya bisa
mengucapkan terima kasih. Kalau kelak di kemudian hari aku tidak bisa membalas
budi pertolonganmu, biarlah Yang Maha Kuasa membalasnya berlipat ganda."
Dalam mengeluarkan ucapan itu di dalam hati Wulan Srindi merasa seolah ada
sesuatu di balik perkataan Bidadari Angin Timur. "Kata-katanya baik dan
benar. Namun telinga dan hatiku merasa ada sedikit hawa ketus dalam nada
suaranya. Mungkin aku salah menduga." Wulan Srindi berucap dalam hati.
Lalu berkata. "Sahabat cantik, kalau aku boleh bertanya siapakah kau tuan
penolongku ini adanya?"
"Simpan
semua pertanyaanmu. Aku yang lebih dulu ingin bertanya padamu," jawab
Bidadari Angin Timur sambil matanya memperhatikan tajam gadis di hadapannya.
Wulan Srindi
sejurus tatap wajah cantik gadis di depannya. Kecantikannya semakin menonjol
oleh rambut yang berwarna pirang. Saat memandang wajah cantik jelita itu, di
dalam hati murid Perguruan Silat Lawu Putih ini kembali merasa ada sesuatu yang
tersembunyi di balik nada ucapan Bidadari Angin Timur. Mungkin kecurigaan,
mungkin juga satu ketidakpercayaan dan ingin menyelidik. Hal ini lebih kentara
jika memperhatikan sorot pandang sepasang mata si gadis. Perlahan-lahan Wulan
Srindi anggukkan kepala. "Jika sahabat hendak bertanya, saya siap
menjawab," kata Wulan Srindi pula.
"Pertama,
aku ingin tahu siapa dirimu adanya."
"Namaku
Wulan Srindi. Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Beberapa waktu
lalu…"
Bidadari
Angin Timur yang tak ingin penjelasan berpanjang-panjang potong ucapan Wulan
Srindi. "Sewaktu di kedai Ki Sedap Roso di simpang jalan Sarangan, kau
bertanya perihal seorang pemuda bernama Wiro Sableng pada pemilik kedai. Apa
hubunganmu dengan pemuda itu. Mengapa kau mencarinya?"
"Nah…
nah… nah," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Makin kentara nada suaranya
yang ketus. Bukan, bukan cuma ketus… Tapi berbau cemburu. Aku menaruh hormat
padanya. Tapi jika dia menunjukan sikap curiga bahkan seperti mau
menyudutkanku, sikap hormatku bisa berkurang. Malah bisa habis…"
"Wulan
Srindi, kau belum menjawab pertanyaanku. Agaknya kau tak mau memberi
keterangan?"
"Jelas,
jelas sekali dia menaruh curiga yang berbau cemburu." Kembali Wulan Srindi
membatin. Lalu gadis ini keluarkan jawaban. "Ada seseorang menugaskan aku
mencari pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
itu."
Sepasang
alis hitam Bidadari Angin Timur menjungkit ke atas. "Seseorang
menugaskanmu mencari Wiro? Siapa orang itu?" tanya Bidadari Angin Timur
pula penuh rasa ingin tahu.
"Seorang
kakek berjuluk Dewa Tuak."
"Dewa
Tuak?" Sepasang mata Bidadari Angin Timur menyipit, menatap tajam-tajam ke
mata Wulan Srindi. Dalam hati dia tidak bisa percaya begitu saja pada gadis
yang barusan ditolongnya ini. "Sudah cukup lama tokoh rimba persilatan itu
tidak pernah muncul. Tahu-tahu kau mendapat tugas darinya untuk mencari
Pendekar 212. Kenapa? Urusan apa? Di mana kau bertemu orang tua itu. Kapan?
Mengapa dia menugaskanmu mencari Pendekar 212? Tunggu! Katakan dulu apa
hubunganmu dengan Dewa Tuak."
"Aku
murid kakek itu," jawab Wulan Srindi dengan air muka bersungguh-sungguh.
"Apa?!"
"Sahabat
penolong, kau bertanya apa hubunganku dengan kakek itu. Aku barusan menjawab.
Aku murid Dewa Tuak." Jawab Wulan Srindi pula.
"Tidak
mungkin. Tidak bisa jadi. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid
perempuan. Bernama Anggini. Sebayaku… Kau jangan mengaku-aku."
"Mohon
maafmu. Mana berani aku mengaku-aku. Apa lagi bicara dusta padamu yang telah
menyelamatkan diriku. Menurutmu tadi sudah lama kakek itu tidak muncul dalam
rimba persilatan. Selama itu banyak hal bisa terjadi. Salah satu di antaranya
adalah hubungan diriku dengan dia. Memang aku belum lama menjadi
muridnya…"
Bidadari
Angin Timur terdiam, menggigit bibir lalu melirik pada Jatilandak.
Melihat
lirikan Bidadari Angin Timur, pemuda dari Latanahsilam ini membuka mulut.
"Aku rasa Wulan Srindi tidak berdusta. Bisa saja ada kemungkinan bahwa
Dewa Tuak telah mengambilnya jadi murid."
"Aku
tahu betul siapa Dewa Tuak. Tidak semudah itu dia mengangkat seorang murid baru.
Tapi… entahlah, mungkin begitu. Belum lama berselang aku bertemu Anggini. Dia
tidak pernah bicara kalau gurunya telah mengangkat seorang murid baru. Mungkin…
mungkin Anggini juga belum mengetahui hal itu."
Wulan
Srindi diam saja tapi dalam hati dia menunggu apa lagi yang hendak ditanyakan
gadis berambut pirang itu padanya.
"Kau
ditugaskan mencari Pendekar 212 oleh Dewa Tuak. Baiklah. Sekarang ceritakan
mengapa dia memberi tugas itu padamu? Memangnya kau punya hubungan apa dengan
pemuda itu?"
"Cemburu!
Aku benar-benar mencium hawa cemburu," ucap Wulan Srindi dalam hati.
"Biar aku menguji dirinya." Sambil mengelus jari-jari tangannya
sendiri dan tundukkan kepala seolah malu, padahal sebenarnya dia ingin
menyembunyikan senyum jahilnya, Wulan Srindi berkata. "Sebenarnya ini
adalah urusan pribadi. Tapi karena kau sahabat yang telah menolong dan kepada
siapa aku berhutang budi, kehormatan serta nyawa, maka aku ikhlas menceritakan
padamu. Dewa Tuak menugaskan aku mencari Pendekar 212 menyangkut perihal perjodohan
diriku dengan pemuda itu." Ucapan Wulan Srindi seolah serasa sambaran
petir sampainya di telinga Bidadari Angin Timur. Wajah cantiknya mendadak
sontak bersemu merah sampai ke telinga.
"Gila!"
Tiba-tiba meledak ucapan itu dari mulut Bidadari Angin Timur. Membuat Wulan
Srindi tersentak angkat kepala dan juga membuat Jatilandak menatap heran.
Bidadari Angin Timur sadar kalau dia telah kelepasan ucapan yang tidak wajar.
"Tidak mungkin… Tidak mungkin…" Suaranya perlahan bergetar. Sesaat
dia menatap Wulan Srindi kemudian pandangannya diarahkan ke kejauhan.
Perlahan-lahan entah mengapa muncul saja rasa benci dalam hatinya terhadap
Wulan Srindi. Kebencian yang disertai rasa penyesalan. "Seharusnya tidak
kutolong dia tadi. Menyesal aku menolongnya…" Suara itu menggema berulang
kali dalam hati kecil Bidadari Angin Timur.
"Kena
kau sekarang!" ucap Wulan Srindi dalam hati. "Kecemburuanmu kau
buktikan sendiri dengan ucapan, sikap dan air matamu."
Bidadari
Angin Timur berpaling pada Jatilandak. Tanpa berkata apa-apa dia tinggalkan
tempat itu. Berlari kencang ke arah utara.
"Bidadari
Angin Timur! Tunggu! Kau mau ke mana?!" Berseru Jatilandak. Menjawab tidak
berpalingpun tidak malah Bidadari Angin Timur percepat larinya sehingga
tubuhnya terlihat seperti kelebatan bayangan biru. Jatilandak usap kepalanya
yang kuning botak.
Dia
memandang pada Wulan Srindi, seperti hendak mengatakan sesuatu pada gadis ini.
Si gadis balas memandang dengan tersenyum, malah dengan nakal dia
kedip-kedipkan matanya pada pemuda yang sedang bingung ini. Tanpa keluarkan
ucapan apa-apa Jatilandak akhirnya berkelebat mengejar Bidadari Angin Timur.
Wulan
Srindi menarik nafas panjang. Sambil tersenyum hatinya menduga. "Pasti ada
sesuatu antara gadis penolongku itu dengan Pendekar 212. Dia kelihatan marah
dan cemburu. Apakah dia mencintai Wiro? Seumur hidup aku belum pernah melihat
pemuda itu. Seandainya tidak ada pesan dari Dewa Tuak, kini aku jadi sungguhan
ingin mencari dan menemui pendekar terkenal itu. Selain memiliki ilmu silat dan
kesaktian tinggi, pasti wajahnya sangat tampan."
Wulan
Srindi rapikan pakaian, memandang ke arah lenyapnya Jatilandak lalu berkata
perlahan. "Pemuda botak itu, agaknya dia menaruh hati pada si rambut
pirang. Hemmm…" Wulan Srindi gelengkan kepala dan kembali tersenyum.
***********************
3
UNTUK
beberapa saat lamanya Jatilandak hanya berdiri di balik rerumpunan pohon keladi
hutan memperhatikan Bidadari Angin Timur yang duduk di dekat sebuah mata air.
Dua kaki dilipat dan kepala dibenamkan di antara dua lutut.
"Heran,
apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Jatilandak dalam hati. "Dia
seperti tergoncang. Apakah aku pergi saja atau menemui dan coba bicara dengan
dia? Siapa tahu bisa menolong…" Sesaat pemuda dari Latanahsilam itu masih
merasa ragu. Antara hasrat hendak menolong sang dara dan keinginan untuk pergi
tak mau mencampuri urusan orang. Dalam berpikir menimbang-nimbang tak sengaja
daun keladi hutan yang dipegang dan disibakkannya terlepas, terkuak dan
mengeluarkan suara cukup jelas bagi seorang berkepandaian tinggi seperti
Bidadari Angin Timur.
"Kurang
ajar! Siapa berani mengintai diriku!" rutuk gadis berambut pirang itu.
"Pasti gadis tak tahu diuntung itu!" Tanpa mengangkat kepala dari
atas lutut Bidadari Angin Timur gerakkan tangan kanan lalu lepaskan satu pukulan
jarak jauh ke arah rerumpunan pohon keladi di balik mana Jatilandak berada.
Wuuusss!
Satu
gelombang angin luar biasa derasnya menderu. Rumpunan pohon keladi dan semak
belukar di sekitarnya terbongkar dari tanah, melayang ke udara dalam keadaan
hancur berantakan. Kalau Jatilandak tidak cepat menghindar pasti tubuhnya juga
akan ikut kena hantaman pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi itu.
Masih
belum mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur kembali gerakkan
tangan kanan. Dari balik pohon tempatnya berlindung Jatilandak cepat berseru.
"Sahabat!
Tahan pukulanmu! Ini aku! Jatilandak!"
Tangan
yang hendak menghantam perlahan-lahan turun ke bawah. Kepala masih menunduk.
Lalu terdengar suara isakan.
Jatilandak
terkesiap heran. "Benar-benar aneh. Tadi dia menyerangku hebat sekali.
Kini malah sesenggukan. Dia sahabatku. Aku harus tahu apa yang tengah terjadi
dengan dirinya." Pemuda dari, Latanahsilam ini segera mendekati Bidadari
Angin Timur dan tetap berlaku waspada, khawatir tiba-tiba diserang lagi. Dia
duduk di dekat mata air, di samping si gadis, lalu dengan suara lembut
bertanya, "Bidadari Angin Timur, aku tidak ingin mencampuri urusan
pribadimu. Kalau boleh tahu, mengapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini? Kalau
ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk menolongmu, katakanlah."
Sapaan
Jatilandak itu malah membuat isak sengguk Bidadari Angin Timur semakin keras.
Pemuda bermuka kuning itu jadi tambah bingung. Dia ulurkan tangan kiri,
mengelus punggung si gadis. Tiba-tiba Bidadari Angin Timur angkat kepalanya,
memandang ke arah Jatilandak. Wajahnya yang cantik basah oleh air mata.
"Pergi,
jangan sentuh," ucap Bidadari Angin Timur. Suaranya memang tidak keras,
tapi cukup membuat Jatilandak terkejut. "Aku tak ingin diganggu. Saat ini
aku ingin sendirian."
Jatilandak
tarik tangannya. "Maaf, aku bermaksud baik padamu. Aku tidak bisa menduga
apa yang terjadi dengan dirimu. Namun aku melihat, ada satu perubahan pada
dirimu setelah pertemuan dengan Wulan Srindi."
"Aku
tidak suka pada gadis itu!"
"Heh…?"
Jatilandak memandang heran. "Kau tidak suka, tapi kau lupa bahwa kau telah
menyelamatkan dirinya?"
"Aku
menyesal telah menolongnya."
"Sahabatku
Bidadari Angin Timur. Tidak baik berkata seperti itu. Kau tahu, kau telah
berbuat satu pahala sangat besar menolong gadis yang hampir celaka itu."
"Aku
tidak mengharapkan pahala ataupun pujian. Maafkan kalau tadi aku menyerangmu.
Aku mengira kau Wulan Srindi yang sengaja mengikutiku. Jatilandak, aku ingin
sendirian di tempat ini."
"Baiklah,
kalau kau minta aku pergi dari sini," kata pemuda muka kuning itu.
"Agar aku tidak was-was, aku ingin bertanya, apakah karena gadis bernama
Wulan Srindi itu diambil murid oleh Dewa Tuak dan kau merasa tidak layak, lalu
kau tidak menyukai dirinya?"
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab.
Jatilandak
tersenyum. Pertanyaannya tadi hanya sekedar hendak memancing untuk satu
pertanyaan berikutnya. Tapi karena yang ditanya tidak menjawab maka sebelum
bangkit berdiri pemuda ini berkata lagi. "Maafkan aku. Aku tidak pantas
mencampuri urusanmu. Selamat tinggal, sahabatku. Jaga dirimu baik-baik…"
Pemuda ini hendak membelai rambut pirang sang dara. Tapi membatalkan niatnya
dan akhirnya bergerak bangun.
"Tunggu,"
tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata. Dalam hati gadis ini membatin.
"Ah, mengapa aku tidak bisa menguasai diri. Apakah aku harus menjelaskan
semua padanya. Bisa-bisa dia menilai aku ini tambah tidak karuan…"
"Kau
hendak mengatakan sesuatu?" tanya Jatilandak.
"Soal
gadis itu diambil murid oleh orang pandai, itu adalah nasib dan rejeki
masing-masing orang. Kalau memang benar, gadis itu sangat beruntung."
"Selama
berada di tanah Jawa ini aku tidak kenal dan tidak pernah bertemu Dewa Tuak.
Kakek satu itu kepandaiannya pasti setinggi langit sedalam lautan."
Jatilandak diam sebentar, lalu sambil tersenyum dia bertanya. "Kalau soal
dirinya diangkat murid bagimu tidak menjadi ganjalan, lalu apa yang membuatmu
sedih?"
"Aku
hanya kesal dengan diriku sendiri," jawab Bidadari Angin Timur.
"Kesal
terhadap dirimu atau terhadap diriku yang jelek ujud ini?"
Bidadari
Angin Timur tersenyum dan pegang lengan Jatilandak. Tanpa melepaskan
pegangannya dia berkata, "Kau orang baik…"
"Kau
juga baik," jawab Jatilandak seraya tangan kanannya diletakkan pula di
atas tangan kiri Bidadari Angin Timur yang memegang lengannya.
"Bidadari
Angin Timur, gadis bernama Wulan Srindi itu tidak perlu kau ingat-ingat
lagi…"
"Aku
sudah melupakan perihal ucapannya bahwa dia adalah murid Dewa Tuak. Tapi yang
aku tidak suka, dia berdusta kalau Dewa Tuak telah menjodohkan dirinya dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng."
"Bagaimana
kau yakin dia berdusta?"
"Karena
sebelumnya Dewa Tuak ingin menjodohkan muridnya bernama Anggini dengan pendekar
itu. Namun tidak ada kata putus. Sinto Gendeng guru Pendekar 212 tidak pernah
setuju dengan ikatan perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, Wiro sendiri tampaknya
acuh saja."
"Jika
begitu ceritanya, tidak heran kalau Dewa Tuak akhirnya menjodohkan Wulan Srindi
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng." Kata Jatilandak pula.
Bidadari
Angin Timur tatap Jatilandak sesaat.
"Kau…
kau percaya hal itu memang terjadi?" tanya sang dara perlahan sekali.
"Segala
sesuatu bisa terjadi. Dewa Tuak pasti orang keras hati. Kalau muridnya yang
bernama Anggini tidak dapat jadi jodoh Pendekar 212, maka dia coba dengan
muridnya yang lain. Wulan Srindi itu. Baginya yang penting adalah mengikat
pendekar itu dengan orang yang ada sangkut paut dengan dirinya. Kakek sakti,
juga cerdik…"
Lama
Bidadari Angin Timur terdiam. Perlahan, sepasang matanya yang bagus kelihatan
mulai berkaca-kaca.
"Dugaanku
benar. Aku berhasil memancing sikapnya. Gadis ini mencintai Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kini dia takut akan kehilangan pemuda itu…" Jatilandak membatin
dalam hati. Ketika genangan air mata jatuh berderai di pipi Bidadari Angin
Timur, Jatilandak ulurkan tangan kiri untuk mengusap. Dengan tangan kanannya
Bidadari Angin Timur pegang jari-jari tangan pemuda itu lalu ditempelkan ke
pipinya sementara air mata menetes jatuh semakin deras.
"Kau
mencintai Pendekar 212?" Tiba-tiba meluncur pertanyaan itu dari mulut
Jatilandak.
Bidadari
Angin Timur tersentak. Sepasang bola matanya membesar tapi mulutnya tidak
menjawab. Malah kedua matanya dipejamkan dan tangan Jatilandak semakin kencang
dipegang di atas pipinya. Bibir terbuka bergetar tapi suaranya hanya menggema
di dalam hati. "Kau sahabat baik… Kau yang belum lama mengenalku bisa tahu
perasaanku. Tetapi dia yang kuharapkan itu mengapa seolah tak pernah
perduli…"
Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Bidadari Angin Timur dan Jatilandak
angkat kepala, berpaling. Dua penunggang kuda berhenti di seberang mata air.
Salah seorang dari keduanya, yang mengenakan pakaian serba putih melesat ke
udara. Membuat gerakan jungkir balik dan di lain kejap sudah tegak berdiri di
hadapan kedua orang itu. Penunggang satunya melompat biasa, turun dari kuda
lalu melangkah dan berdiri di samping penunggang kuda pertama.
Sepasang
mata Bidadari Angin Timur terbuka lebar. Wajahhya yang kemerahan berubah pucat.
Cepat-cepat gadis ini tarik dua tangannya yang saling berpegangan dengan tangan
Jatilandak. Lalu bangkit berdiri diikuti Jatilandak. Suaranya bergetar ketika
menyebut nama orang yang tegak di hadapannya.
"Wiro…"
***********************
4
PENDEKAR
212 Wiro Sableng sesaat tatap wajah Bidadari Angin Timur. Dia jelas melihat
tanda-tanda si gadis habis menangis. Senyum kecil terkulum di mulut murid Sinto
Gendeng. Senyum yang tampak aneh di mata Bidadari Angin Timur. Senyum yang
menimbulkan satu tusukan pedih di lubuk hatinya. Membuat gadis ini bertambah
canggung memandang sang pendekar. Wiro melirik pada Jatilandak. Pemuda ini
tampak tenang seperti tidak ada apa-apa. Wiro kembali tersenyum, menggaruk
kepala lalu berkata. Suaranya dibuat gembira begitu rupa, sengaja menindih
perasaan hatinya yang galau.
"Dua
sahabat! Tidak disangka akan bertemu kalian di tempat ini. Bidadari Angin Timur
apakah kau baik-baik saja? Jatilandak? Ah, tentunya kalian berdua ada dalam
keadaan baik-baik. Bidadari, seharusnya kau berada di Kotaraja. Apakah Setan
Ngompol ada menemanimu di Gedung Kepatihan? Aku menyuruh dia ke sana untuk
menemuimu, Sutri Kaliangan, Ratu Duyung dan Anggini."
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab. Dua matanya masih menatap membelalak tertegun ke arah
Wiro, wajahnya bertambah pucat. Kepalanya menggeleng perlahan. Wiro melirik
sekali lagi pada Jatilandak lalu kembali memandang ke arah Bidadari Angin Timur
yang balas menatapnya dengan mata tak berkesip.
"Ah,
aku tidak ingin mengganggu ketenteraman kalian berdua. Aku dan sahabat Loh
Gatra ada urusan penting yang harus dilakukan…" Habis berkata begitu
Pendekar 212 Wiro Sableng memberi isyarat pada Loh Gatra dan putar tubuhnya.
"Wiro…"
panggil Bidadari Angin Timur. Suaranya agak tersendat.
Saat itu
Wiro telah berkelebat dan melompat naik ke atas kuda. Bidadari Angin Timur
bangkit berdiri. Jatilandak juga ikutan bangun.
"Wiro,
ada sesuatu yang perlu aku jelaskan," kata Jatilandak pula.
Di atas
punggung kuda Pendekar 212 hanya sunggingkan senyum, lambaikan tangan lalu
menggebrak tunggangannya melesat tinggalkan tempat itu. Loh Gatra merasa tidak
ada gunanya dia berlama-lama di tempat itu segera pula bergerak pergi. Sebelum
berlalu dia masih sempat berkata pada Bidadari Angin Timur. "Ada urusan
gawat. Larasati, istriku, diculik komplotan manusia pocong yang berkeliaran di
sekitar Sarangan. Aku pergi duluan…"
"Loh
Gatra, tunggu!" panggil Bidadari Angin Timur yang sebelumnya memang telah
mengenal suami Nyi Larasati itu. (Baca serial Wiro Sableng Badik Sumpah Darah
terdiri dari 7 Episode). Tapi seperti Wiro, Loh Gatra juga telah naik ke atas
kudanya dan tinggalkan tempat itu.
"Ya
Tuhan, dia pasti telah menduga…" ucap Bidadari Angin Timur. Lututnya
terasa goyah. Perlahan-lahan dia jatuh berlutut, tundukkan kepala ke dalam dua
telapak tangan. Bahunya turun naik menahan isakan. Jatilandak segera dekati
gadis ini, pegang bahunya seraya berbisik.
"Bidadari,
kau dan aku sama-sama dalam keadaan khawatir. Wiro pasti mempunyai kesan keliru
terhadap kita. Kita harus segera mengejarnya…" Bidadari Angin Timur tetap
saja menekap wajahnya dengan dua telapak tangan. Kepalanya digelengkan. Lalu
terdengar ucapannya tersendat-sendat. "Aku tak ingin ke mana-mana. Biar di
sini saja. Rasanya aku ingin mati di tempat ini."
"Tidak
sahabatku. Kau tidak boleh berucap dan bersikap seperti itu. Kita harus mencari
Wiro dan bicara padanya. Kalau perlu aku akan mendukungmu mencari pemuda itu
sampai dapat." Lalu Jatilandak benar-benar mendukung sang dara. Bidadari
Angin Timur berusaha berontak lepaskan diri tapi akhirnya gadis ini hanya bisa
menangis dalam pelukan pemuda dari Latanahsilam itu.
***********************
TAK
sampai lima puluh tombak memacu tunggangannya, sebelum Loh Gatra menyusul,
Pendekar 212 memutar kuda, bergerak perlahan, menyelinap kembali menuju mata
air. Di balik serumpun pohon bambu hutan, murid Sinto Gendeng hentikan kudanya,
sibakkan ranting-ranting pepohonan, memandang ke depan. Saat itulah dia melihat
Jatilandak tengah mendukung Bidadari Angin Timur dan si gadis menangis dalam
pelukan pemuda berkulit kuning itu. Jantungnya serasa runtuh dan remuk.
"Apa
arti semua ini…?" ucap Wiro setengah berbisik dan tubuh mendadak terasa
dingin mematung di atas kuda.
***********************
WIRO
merasa seolah dia telah memacu kudanya seperti dikejar setan, tapi Loh Gatra
yang berada di sebelahnya melihat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini
menunggang kuda tertegun-tegun. Dua mata memandang ke depan, namun pandangan
itu kosong. Mata dan pikiran tidak berada dalam satu kesatuan.
"Sahabat
Wiro, kau baik-baik saja?"
"Memangnya
ada apa dengan diriku? Mengapa kau bertanya begitu?" balik bertanya Wiro.
"Berbahaya
memacu kuda kalau pikiran sedang kacau."
Wiro
tertawa bergelak. Menggaruk rambut dan berkata. "Kau tahu dari mana
pikiranku sedang kacau."
"Bukan
cuma pikiranmu. Tapi juga hatimu!"
"Pikiran
dan hatimu justru lebih kacau. Saat ini kau tengah kehilangan istri. Diculik
orang. Jadi apa perlunya kau memikirkan diriku?"
"Maafkan,
aku tidak bermaksud buruk. Kalau aku boleh bertanya, siapa pemuda berkepala
botak yang seluruh kulitnya berwarna kuning itu?"
"Dia
pemuda baik. Sahabatku dari negeri seribu dua ratus tahun silam."
"Negeri
seribu dua ratus tahun silam. Aneh kedengarannya."
"Kau
lihat sendiri. Orangnya juga aneh." ucap Wiro pula.
"Apa
hubungannya dengan Bidadari Angin Timur? Apakah mereka sudah saling mengenal
sejak lama?"
Murid
Sinto Gendeng terdiam. Dia tak mampu menjawab. Karena dua pertanyaan Loh Gatra
itu diam-diam juga menjadi pertanyaan di lubuk hatinya.
"Aku
tidak tahu," ucap Wiro perlahan. "Kalau kau bertemu dengan mereka
nanti, sebaiknya tanyakan sendiri."
"Wiro,
kau sahabatku. Terserah kau mau marah menuduh aku mencampuri urusanmu. Setahuku
bukankah gadis bernama Bidadari Angin Timur itu kekasihmu dan kau satu-satunya orang
yang dicintainya?"
"Loh
Gatra, kau ini bicara apa? Bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Antara aku
dan gadis itu hanya ada hubungan persahabatan. Dia sering menolongku, aku
pernah beberapa kali menolongnya. Itu hal biasa dilakukan antara orang-orang
rimba persilatan."
"Aku
tahu semua itu, Wiro. Namun, jika tidak ada hubungan yang lebih dari itu,
mengapa aku melihat wajah Bidadari Angin Timur begitu pucat, seperti takut.
Takut sekali karena tertangkap tangan oleh orang yang dicintainya ketika tengah
berkasih-kasihan dengan pemuda lain."
"Ucapan
edan!" bentak Wiro namun kemudian pendekar ini terdiam. Ada galau tidak
enak di dalam hatinya. Terbayang kembali apa yang dilihathya ketika dia
berbalik ke mata air dan dapatkan Bidadari Angin Timur menangis dalam dukungan
Jatilandak. Sambil terus menunggang kudanya tanpa berpaling pada Loh Gatra,
Pendekar 212 bertanya. Dia tidak sadar kalau pertanyaan itu menunjukkan
perasaan hatinya. "Menurutmu, apakah pemuda bernama Jatilandak itu tengah
bercinta dengan Bidadari Angin Timur?"
Loh Gatra
tersenyum. "Nah, sekarang agaknya ada kebimbangan dalam hatimu. Terus
terang aku tidak berani berucap menduga-duga."
Wiro
garuk kepala, mengigit bibir lalu berkata.
"Dari
wajah dan keadaan matanya aku lihat gadis itu habis menangis. Dia menangis
sebelum kita datang. Agaknya ada yang terjadi di antara mereka. Mungkinkah
keduanya telah melakukan sesuatu?"
"Sesuatu
apa maksudmu?"
"Sesuatu,
lebih dari hanya sekedar saling berpegangan tangan. Misalnya… mungkin saja
sebelumnya kedua orang itu telah bercinta yang melebihi batas. Melakukan
hubungan seperti sepasang suami istri?"
Loh Gatra
tersenyum dan gelengkan kepala.
"Wiro,
jika selama kau dan gadis itu berhubungan, kalian tidak pernah melakukan hal
yang kau duga itu, percayalah, Bidadari Angin Timur tidak akan pernah mau
melakukan perbuatan sesat itu dengan siapapun."
Murid
Sinto Gendeng tersenyum kecut.
"Kebenaran
ucapanmu hanya setan hutan di mata air itu yang tahu," kata Wiro sambil
menggaruk kepala. Lalu murid Sinto Gendeng ini menambahkan dengan suara
perlahan. "Kalaupun ada perasaan cinta di hatinya terhadapku, perasaan itu
bisa saja berubah. Di dunia ini bukan cuma aku satu-satunya pemuda. Apa lagi
Jatilandak memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi…"
"Bagaimana
dengan wajah dan kulit tubuhnya yang serba kuning?"
"Di
masa sekarang ini soal wajah bukan menjadi tuntutan pertama untuk disukai dan
dicintai. Lagi pula pemuda bernama Jatilandak itu, kalau saja kulitnya tidak
kuning, dia adalah seorang pemuda yang gagah…"
"Dari
semua ucapanmu, aku melihat ada rasa cemburu dalam hatimu. Kalau betul berarti
itu satu pertanda bahwa kau sebenarnya memang mengasihi Bidadari Ahgin
Timur."
Wiro
menggaruk kepala, tertawa panjang. Ketika dia hendak membuka mulut untuk
menjawab ucapan orang, Loh Gatra mendahului,
"Wiro,"
ujar Loh Gatra yang tetap ingin menghibur dan menguatkan hati sahabatnya itu
walau dia sendiri tengah dilanda malapetaka besar. "Jika kita melihat
sesuatu, duga dan pikir bisa macam-macam. Tapi ketahuilah, sesuatu yang
terlihat belum tentu menyatakan kebenaran dari apa yang kita duga. Selalu ada
kemungkinan bahwa ada sesuatu yang sangat berlainan di balik kenyataan yang
kita lihat. Sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan itu…"
"Aku
tidak mengerti maksud semua ucapanmu. Mungkin aku cuma pemuda tolol yang tidak
tahu basa basi ucapan." Kata Wiro pula sambil menggaruk kepala. Dia lantas
saja teringat pada pertemuannya dengan Suci, gadis alam gaib yang lebih suka
dipanggilnya dengan nama Bunga dan dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal
dengan julukan Dewi Bunga Mayat. Waktu itu Wiro baru saja menyelamatkan Bunga
yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat di dalam sebuah guci tembaga.
Terngiang
kembali ucapan gadis alam gaib itu kepadanya. "Di luar diriku, aku tahu
begitu banyak gadis mencintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu
terhadap mereka. tetapi jika kelak di kemudian hari kau ingin memilih salah
satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung.
Jaga dia baik-baik."
Saat itu
Wiro sempat bertanya, "Mengapa kau berkata begitu Bunga?"
Dan Bunga
menjawab. "Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau sendiri
yang mencari tahu, yang mencari jawabannya…" (Baca Episode Wiro Sableng
berjudul Kutukan Sang Badik)
Di atas
punggung kuda Wiro kembali menggigit bibir. Hatinya berkata. "Bunga,
pertanyaanmu sudah kujawab. Aku sudah menyaksikan sendiri jawaban itu. Bila
kita memilih teman hidup, unsur kesetiaan adalah yang paling utama dari
segala-galanya. Setia dalam susah dan dalam senang. Aku mengerti sekarang,
Bunga. Waktu itu kau ingin mengatakan bahwa Bidadari Angin Timur bukanlah
seorang gadis yang memiliki rasa dan sifat kesetiaan itu. Kau tak mau berterus
terang. Itu pertanda kau memiliki hati yang sangat tulus, putih dan bersih.
Terima kasih Bunga. Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu." Wiro
menghela nafas dalam dan panjang. Hati kecilnya berbisik lagi. "Kalau saja
ujudmu sempurna dan kau hidup di alamku, kalau saja kau bukan gadis alam roh,
mungkin keadaan akan berbeda. Tidak seperti ini…"
"Wiro,
kau bicara dengan siapa?" Loh Gatra yang berada di samping kanan Pendekar
212 bertanya terheran-heran.
Belum
sempat Loh Gahtra mendapat jawaban tiba-tiba satu bayangan putih laksana kilat
berkelebat turun dari langit muncul melayang di udara antara kuda tunggangannya
dan kuda tunggangan Wiro. Loh Gatra mencium bau harum aneh santar sekali. Bau
kembang kenanga! Bersamaan dengan itu dua ekor kuda keluarkan suara meringkik
keras. Wiro dan Loh Gatra cepat usap tengkuk kuda masing-masing. Lari kuda sama
diperlambat. Dua mata Loh Gatra mendelik besar memperhatikan sosok putih yang
melayang antara kudanya dan kuda Wiro. Tengkuknya mendadak dingin memperhatikan
sosok seorang gadis berkebaya putih, berambut hitam panjang lepas tergerai.
Berwajah cantik tetapi pucat.
"Setan
gentayangan di siang bolong!" teriak Loh Gatra, "Wiro! Pacu kudamu
lebih kencang sebelum kita dicekiknya!" Loh Gatra gebrak kudanya hingga
binatang itu melesat ke depan. Namun beberapa tombak di muka sana dia menoleh
ke belakang dan jadi terheran-heran menyaksikan Wiro turun dari kuda lalu
melangkah menghampiri gadis berkebaya panjang putih yang tegak di tepi jalan
dan tampaknya sengaja menunggu. Kemudian dilihatnya Wiro dan gadis itu saling
berangkulan. Tapi ada sesuatu yang aneh. Tubuh si gadis seolah tenggelam masuk
ke dalam badan Wiro.
"Tubuh
bayangan… Jin perempuan, demit, hantu atau apa. Aneh," ucap Loh Gatra
dalam hati. Mau tak mau dia hentikan kuda lalu berbalik ke arah kedua orang
itu. Tanpa turun dari tunggangannya Loh Gatra perhatikan gadis berkebaya
panjang putih mulai dari kepala sampai ke kaki sementara harumnya bau bunga
kenanga mencucuk hidung.
"Benar-behar
aneh. Kalau hantu bagaimana mungkin dua kakinya menjejak tanah?" pikir Loh
Gatra. Lalu telinganya mendengar gadis itu berkata. "Wiro, jarang kejadian
seperti ini. Di alam roh aku mendengar kau menyebut namaku. Satu kekuatan putih
mendorongku masuk ke dalam alammu. Padahal ini belum saatnya aku bisa
mendatangi dirimu. Ini satu pertanda dan aku punya firasat. Hal ini terjadi karena
kau bakal menghadapi satu bahaya besar. Aku harus memberi ingat agar kau
berlaku hati-hati."
"Bunga,
aku bersyukur hal ini bisa terjadi. Aku merasa bahagia bisa bertemu lagi
denganmu," kata Wiro sambil memegang tangan gadis berkebaya putih, gadis
alam gaib yang biasa dipanggil Wiro dengan nama Bunga.
"Wiro…"
Loh Gatra memanggil dari atas kudanya. Suara dan wajahnya jelas menunjukkan
rasa heran bercampur takut.
Wiro
menggaruk kepala, berpaling pada sahabatnya itu. Sambil tersenyum dia berkata.
"Gadis
ini bukan setan perempuan seperti dugaanmu tadi. Dia tidak akan mencekik
siapa-siapa. Dia adalah sahabatku. Namanya Bunga."
"Aku
tidak mengerti…" kata Loh Gatra pula.
Bunga
tersenyum. "Jangankan dirimu, dia sendiripun sampai sekarang tidak pernah
mengerti akan keadaan diriku yang seperti ini."
Loh Gatra
coba tersenyum dalam ketidakmengertiannya. Saat itu dia ingin cepat-cepat
meninggalkan tempat tersebut.
"Bunga,
aku berterima kasih. Kau datang untuk memberi peringatan padaku. Aku akan
berlaku hati-hati. Aku memang sedang menghadapi satu urusan besar. Aku tengah
dalam perjalanan menuju Sarangan bersama sahabatku ini."
Bunga
mengangguk. "Wiro, aku tidak bisa lama-lama muncul di hadapanmu. Sebelum
pergi aku akan berikan lagi padamu sekuntum bunga kenanga yang tak pernah layu.
Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang seperti satu yang pernah kuberikan
dahulu. Kalau ada sesuatu yang bisa kubantu, pegang bunga itu, cium dan sebut
namaku. Atas kehendak dan kuasa Gusti Allah mudah-mudahan aku bisa muncul
menemui dirimu. Selamat tinggal Wiro…"
"Bunga,
tunggu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan…"
Gadis
dari alam roh itu balikkan diri.
"Ada
apakah?"
"Ingat
ketika kita berdua-dua berada di satu tempat tak lama setelah kau bebas dari
sekapan guci tembaga?" tanya Wiro.
"Tentu
saja aku ingat. Itu adalah salah satu dari hari-hari indahku bersamamu. Apa
maksud pertanyaanmu?"
"Waktu
itu kau berkata. Jika kelak aku ingin memilih teman hidup, jatuhkanlah
pilihanku pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik…"
Bunga
mengangguk.
"Waktu
itu," Wiro melanjutkan. "Aku bertanya, mengapa kau berkata begitu.
Lalu kau menjawab, biar aku sendiri yang mencari tahu, yang mencari
jawabannya."
Bunga
tersenyum. "Apakah kau telah mendapatkan jawabannya, Wiro?"
Pendekar
212 gigit bibir sendiri. Menggaruk kepala lalu berkata. "Kurasa memang
sudah aku dapatkan. Bahkan aku lihat sendiri."
"Jangan
hanya menuruti perasaanmu saja Wiro. Tapi pergunakan akal pikiran serta
ketulusan hati. Siapa tahu kau nanti bakal mendapat jawaban yang lain."
Wiro
merasa, kalau tadi jari-jari tangan Bunga yang diremasnya terasa dingin
mendadak berubah hangat. Ketika rasa hangat ini menjalar masuk ke dalam
tubuhnya, pegangannya lepas dari jari jemari si gadis. Lalu ada satu belaian
lembut di pipi Pendekar 212.
"Selamat
tinggal, Wiro."
Sosok
gadis alam roh itu bergerak.
"Bunga…"
Wiro berseru memanggil. Namun sosok Bunga telah berubah menjadi cahaya putih
yang melesat ke udara dan akhirnya lenyap seolah menembus langit.
Wiro
masih mengusap-usap pipinya yang barusan dibelai Bunga ketika di sampingnya Loh
Gatra berkata.
"Sulit
aku mengerti kalau tadi itu bukan sebangsa setan atau hantu. Dia muncul secara
aneh, lenyap secara aneh pula. Terbang lenyap ke langit! Manusia biasa mana
bisa begitu? Wiro…"
"Dia
gadis dari alam roh."
"Gadis
dari alam roh! Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal dan berhubungan?
Dari pembicaraan kalian berdua tadi agaknya gadis itu tahu banyak seluk-beluk
hubunganmu dengan Bidadari Angin Timur."
Wiro
masukkan kembang kenanga yang diberikan Bunga ke balik pakaian putihnya.
"Mengenai
Bunga, panjang ceritanya. Tak bisa kujelaskan saat ini…"
Loh Gatra
masih punya rasa ingin tahu. "Sebelum dia pergi, gadis itu membelai
pipimu. Apa yang dilakukannya itu, cara dia bertutur dan menatapmu, agaknya dia
punya satu perasaan hati yang khusus terhadapmu kalau tidak mau dikatakan
cinta. Betul?"
Wiro
tertawa. Menatap ke langit lalu berkata.
"Sahabatku,
kalau memang ada cinta di dunia ini, bercinta dengan gadis sungguhan saja susah
setengah mati, apa lagi dengan gadis dari alam roh."
"Kita
bersahabat, mengapa kau tidak mau berterus terang padaku?" ucap Loh Gatra
pula.
"Sahabatku,
gadis itu telah pergi. Sekarang giliran kita melanjutkan perjalanan." Wiro
melompat naik ke punggung kuda. Loh Gatra geleng-geleng kepala lalu membedal
kuda mengejar Wiro.
Ketika
Wiro melewati sebuah pohon besar mendadak terbayang kembali Bidadari Angin
Timur yang duduk berdampingan dekat mata air sambil saling berpegangan tangan
dengan Jatilandak. Juga terbayang saat ketika Jatilandak mendukung gadis itu
dan Bidadari Angin Timur menangis dalam pelukan si pemuda. Tidak terasa ada
hawa panas mendorong tenaga dalam hebat ke tangan kanan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Tangan itu berubah menjadi seputih perak mulai dari siku sampai ke
ujung jari. Loh Gatra terkesiap kaget. Belum sempat dia mengatakan sesuatu
tiba-tiba di luar sadar Wiro hantamkan tangannya ke arah pohon.
Bummmm!
Kraaak!
Pohon
besar terbongkar tumbang, hancur dan berubah jadi kobaran api.
"Wiro!
Kau melepas pukulan Sinar Matahari! Kau hancurkan pohon tanpa alasan! Apa kau
sudah gila?!"
Pendekar
212 tertawa bergelak. "Gila mungkin belum. Yang pasti aku memang sableng!
Ha… ha… ha… ha!"
"Kalau
cuma sableng rasanya semua orang sudah tahu. Yang aku khawatirkan kalau-kalau
dirimu telah kesambat kemasukan roh gadis aneh tadi. Menghantam tak karuan,
tertawa tak karuan…" kata Loh Gatra perlahan, hingga tidak terdengar oleh
Wiro yang berada di sebelah depan.
***********************
5
RUANG
Bendera Darah adalah satu ruangan batu, terletak di bawah Ruang Kayu Hitam
dalam kawasan 113 Lorong Kematian. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja batu.
Di samping kiri meja ada sebuah kursi, juga terbuat dari batu. Di atas kursi
ini duduk Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Sosok tinggi besar
Sang Ketua tidak bergerak. Sepasang mata di balik dua lobang kecil pada kain
kerudung putih penutup kepala memandang liar ke arah dinding batu di
hadapannya. Pada dinding itu, hampir tak kentara ada sebuah pintu batu. Dari
sebelah dalam pintu ini hanya bisa dibuka dengan menekan satu tombol rahasia.
Tombol tersebut terletak pada ujung lengan kursi sebelah kanan yang diduduki
Yang Mulia Sang Ketua.
Dua
tombak di belakang meja dan kursi ada sebuah tangan batu merapat ke dinding.
Pada ujung puncak tangga yang memiliki 13 undakan, sebuah bendera besar
berbentuk segi tiga merah menancap ke dinding. Bendera ini menebar bau anyir
menusuk hidung. Inilah yang disebut Induk Bendera Darah. Empat pendupa pada
sudut-sudut kamar yang menebar bau harumnya kemenyan tidak dapat menindih tajamnya
bau anyir darah setengah kering yang melekat di bendera. Di atas Bendera Darah,
berderet menancap pada dinding batu terdapat dua lusin bendera kecil berbentuk
segi tiga berwarna putih. Tepat di bawah ujung lancip bendera yang menjulai ke
bawah ada tonggak batu yang kedudukannya agak miring ke depan, di atas mana
terletak satu tengkorak kepala manusia tertutup oleh lumut berwarna merah
kehitaman. Pada ubun-ubun tengkorak terdapat sebuah lobang. Di sebelah bawah
ada lagi satu tonggak batu setinggi pinggang. Di atas tonggak batu ini terletak
sebuah bokor perak dalam keadaan kosong.
Kepala
Yang Mulia Ketua bergerak sedikit ketika sepasang telinganya menangkap
langkah-langkah kaki di balik dinding ruangan batu. Diam-diam dalam hati dia
menghitung gerakan langkah kaki di balik dinding batu. Di lorong di luar sana
ada empat orang tengah berjalan menuju Ruang Bendera Darah. Cocok dengan
perhitungan. Yang datang adalah orang-orang yang telah ditunggunya. Langkah
kaki berhenti. Lalu ada suara ketukan pada pintu batu. Ketua Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian segera tekan tombol pada ujung kanan lengan kursi
yang didudukinya. Secara aneh bagian tengah dinding batu di hadapannya bergerak
turun ke bawah membentuk pintu terbuka. Api pendupaan di empat sudut Ruang
Bendera Darah tiba-tiba menyala terang. Asap kelabu mengepul ke atas sampai
menyentuh langit-langit ruangan. Di luar sana, di depan pintu, pada ujung
lorong batu berdiri empat sosok. Tiga di antara mereka mengenakan jubah putih
dan tutup kepala putih. Tiga manusia pocong ini adalah Wakil Ketua, dua Satria
Pocong yang bertindak sebagai pengawal dan masing-masing membawa sebuah bokor
perak berisi darah. Di antara dua Satria Pocong ini berdiri manusia pocong ke
empat. Bau wangi aneh menebar dari tubuhnya yang semampai. Ketika melangkah
masuk walau gerakannya enteng namun kelihatan jelas gerak sepasang kaki serta
dua tangannya mengayun kaku.
Seperti
tiga manusia pocong yang berbarengan masuk dengannya, manusia pocong satu ini
mengenakan jubah dalam dan kain penutup kepala. Namun pada penutup kepala, di
atas kening, ada sebuah mahkota kecil hijau bercahaya. Kalau tiga manusia
pocong lainnya, seperti juga Sang Ketua mengenakan jubah putih tebal, manusia
pocong satu ini memakai jubah putih yang begitu tipis. Hingga walau samar,
auratnya masih bisa terlihat cukup jelas. Lalu di bawah kain penutup kepala di
sebelah belakang menjulai panjang rambut hitam berkilat. Dari keadaan manusia
pocong satu ini jelas dia adalah seorang perempuan!
Di
belakang sana terdengar suara desiran halus. Pintu batu yang tadi membuka kini
bergerak naik menutup dinding. Untuk beberapa ketika Ruang Bendera Darah
diselimuti kesunyian. Ada hawa ketegangan menggantung di udara.
Yang
Mulia Ketua memberi isyarat dengan gerakan jari-jari tangan kanan. Melihat
isyarat ini empat manusia pocong segera bergerak melangkah.
Begitu
sampai di hadapan Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian,
ke empat orang itu sama menjura, laju mendongak dan secara berbarengan
keluarkan seruan.
"Salam
hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong bangkit dari kursi batu, angkat tangan kanan
ke depan lalu keluarkan ucapan. "Wakil Ketua, kau tahu apa yang harus
dilakukan. Laksanakan tugasmu!"
Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian melangkah mendekati Satria
Pocong di samping kanan. Satria Pocong ulurkan tangan, serahkan bokor perak
berisi darah yang dipegangnya. Setelah menerima bokor Wakil Ketua melangkah ke
arah tangga batu yang menempel di dinding belakang Ruang Bendera Darah.
Perlahan-lahan dia menaiki tiga belas undakan batu. Pada undakan terakhir di
sebelah atas dia hentikan langkah, berpaling ke bawah. Saat itu pula Satria
Pocong kedua segera tinggalkan tempat, melangkah ke arah tonggak batu setinggi
pinggang. Dengan hati-hati dia letakkan bokor berisi darah yang dibawanya di
atas tiang batu, tepat di sebelah bokor perak kosong. Selesai meletakkan bokor
berisi darah orang ini melangkah mundur, kembali ke tempat semula.
Tak ada
yang bergerak, tak ada yang bersuara. Ruang Bendera Darah kembali diselimuti
kesunyian dan ketegangan.
"Wakil
Ketua! Kau boleh mulai!" Tiba-tiba suara Yang Mulia Ketua menggema di ruangan
batu.
Mendengar
ucapan Sang Ketua, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ulurkan dua tangan yang
memegang bokor perak ke depan. Dengan hati-hati, perlahan-lahan dia curahkan
cairan darah di dalam bokor ke atas bendera besar segi tiga merah. Kucuran darah
jatuh membasahi Induk Bendera Darah, sebagian meresap pada kain bendera,
sebagian lagi meluncur ke bawah, jatuh tepat dan masuk ke dalam lobang pada
ubun-ubun tengkorak yang terletak di tiang batu miring. Begitu darah memasuki
tengkorak terjadi beberapa keanehan. Induk Bendera Darah berbentuk segi tiga
besar yang basah tiba-tiba bergerak hidup, seolah digerakkan oleh tangan yang
tidak kelihatan, bendera ini berkibas keras. Darah yang membasahi bendera
menyiprat ke dinding dan lantai ruangan batu. Menempel sesaat lalu secara aneh
lenyap tak berbekas. Di atas sana Induk Bendera Darah kembali kuncup tak
bergerak.
Keanehan
berikutnya, begitu cairan darah masuk ke dalam tengkorak lewat bolongan di
ubun-ubun, tiba-tiba sepasang mata tengkorak memancarkan cahaya merah laksana
ada api yang membersit dari sebelah dalam. Lalu empat api pendupaan di sudut
ruangan batu menyala terang. Asap kelabu mengepul ke atas. Di lantai ruangan
terasa ada getaran-getaran halus.
Darah
yang masuk ke dalam tengkorak melalui lobang di ubun-ubun mengucur keluar
melewati mulut tengkorak dan selanjutnya masuk tertampung dalam bokor perak
kosong yang terletak di atas tiang batu setinggi pinggang.
Di atas
tangga batu, begitu darah dalam bokor perak habis, Wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong perlahan-lahan tarik tangannya kembali. Dia tak berani bergerak sebelum
ada perintah dari Sang Ketua.
"Wakil
Ketua, tugasmu selesai. Kau boleh turun." Suara Yang Mulia Ketua menggema
di ruangan batu.
Wakil
Ketua putar tubuh, lalu melangkah menuruni tangga 13 undakan. Sampai di bawah
dia serahkan bokor yang telah kosong pada Satria Pocong yang semula membawanya.
Kesunyian kembali mencekam di ruangan batu. Sepasang mata Sang Ketua menatap ke
arah dua buah bokor di atas tonggak batu setinggi pinggang. Perlahan-lahan,
tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dia melangkah ke arah tiang batu. Di depan
tiang dia tegak diam sejenak, kepala tertunduk. Dari balik kain putih penutup
kepala terdengar suaranya mengucapkan sesuatu, bergumam tak jelas. Mungkin
tengah merapal mantera. Kemudian kelihatan Sang Ketua angkat ke dua tangannya,
lalu dimasukkah ke dalam bokor berisi darah yang berasal dari curahan lewat
Induk Bendera Darah.
Terdengar
suara riak cairan. Sang Ketua seperti tengah mencuci tangan dengan darah di
dalam bokor. Anehnya ketika tangan yang basah di keluarkan, sama sekali tidak
ada merah nodanya darah. Kedua tangan itu seperti dicelup dan dicuci di dalam
air biasa!
Wakil
Ketua keluarkan secarik kain merah dari balik jubah lalu diberikan pada Yang
Mulia Ketua. Selesai mengeringkan tangannya dengan kain merah Yang Mulia Ketua
kembalikan kain itu pada wakilnya lalu pergi duduk di kursi batu. Dari
tempatnya berdiri Wakil Ketua kemudian berseru.
"Satria
Pocong, letakkan bokor yang kau bawa di atas meja batu."
Satria Pocong
yang sejak tadi berdiri memegangi bokor perak segera laksanakan perintah. Bokor
berisi cairah darah diletakkan di atas meja batu lalu dengan cepat dia kembali
ke tempat semula.
Sang
Ketua perhatikan bokor itu sesaat lalu menatap ke arah manusia pocong perempuan
yang tegak beberapa langkah di hadapannya.
"Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, apakah kau telah siap untuk menerima berkah berupa
pembasahan dan pensucian kepalamu?" Dari tempatnya duduk Sang Kedua
keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan.
Pocong
perempuan yang dipanggil dengan sebutan Yang Mulia Sri Paduka Ratu tundukkan
kepala sedikit lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
"Bagus.
Sekarang majulah dua langkah, tanggalkan kain penutup kepalamu dan berlutut di
hadapanku!"
Sesuai
perintah Sang Ketua, pocong perempuan maju dua langkah. Gerakan kaki dan ayunan
tangan kelihatan kaku. Lalu dengan tangan kanannya dia membuka kain penutup
kepala bermahkota hijau. Begitu kain penutup kepala terbuka, kelihatanlah satu
wajah gadis cantik tapi sangat pucat seolah tak berdarah. Bagian putih dari
matanya begitu putih hingga tampak menggidikkan. Pandangan mata kosong dan
dingin. Di pipi kirinya ada guratan cacat bekas luka. Rambut panjang hitam
menjulai-sampai ke punggung. Perlahan-lahan gadis ini tundukkan diri ke lantai.
Kain putih penutup kepala diletakkan di samping kanan, lalu dia berlutut dengan
kepala diarahkan menghadap Ketua Barisan Manusia Pocong.
Sang
Ketua duduk tak bergerak. Sepasang mata dipejamkan. Di balik kain penutup
kepala mulut komat-kamit. Sesaat kemudian terdengar suaranya berucap lantang.
"Penghuni
Aksara Batu Bernyawa. Di luar sana, pada bentangan langit malam menghias bulan
sabit hari ke tiga. Inilah malam perjanjian. Sesuai pesan dan tugas yang
tersurat dan tersirat di dalam Aksara Batu Bernyawa, malam ini, aku, Ketua
Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, siap melaksanakan
apa yang tertera dalam syarat ke sembilan. Pengusapan darah bayi yang masih
segar ke ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu, siap dan segera aku
laksanakan."
Baru saja
ucapan Sang Ketua berakhir, di ruangan batu tiba-tiba ada suara silir seperti
tiupan angin. Bendera Darah bergerak-gerak. Hawa dingin untuk beberapa saat
menyungkup seantero ruangan. Semua orang merasa tegang, kecuali Sang Ketua.
Begitu suara tiupan angin sirna dan hawa dingin lenyap. Sang Ketua ulurkan dua
tangan, menyibak rambut gadis yang berlutut di depannya hingga membentuk garis
putih tepat pada ubun-ubun. Setelah menggulung lengan jubah sebelah kanan
sampai sebatas siku, dengan tangan kiri Yang Mulia Ketua mengambil bokor perak
berisi darah di atas meja. Tangan kanan lalu dimasukkan ke dalam bokor. Ketika
tangan itu dikeluarkan kelihatan merah basah oleh cairah darah yang mulai
mengental. Tangan yang berlumuran darah kemudian diusapkan ke ubun-ubun gadis
yang berlutut di lantai. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun, entah dari
mana datangnya selarik sinar merah berkiblat lalu membungkus sekujur tubuh si
gadis mulai dari kepala sampai ke kaki. Tubuh Sri Paduka Ratu bergetar hebat.
Sang Ketua sendiri tersentak dan sampai tersandar ke kursi batu saking
kagetnya.
Semua apa
yang dilakukan Sang Ketua tadi diperhatikan tak berkesip oleh Wakil Ketua dan
dua Satria Pocong. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun dua mata tengkorak di
atas tiang batu kembali memancarkan cahaya merah dan empat api pendupaan di
sudut ruangan menyala terang serta mengepulkan asap kelabu.
Bokor
perak diletakkan kembali ke atas meja batu. Sang Ketua bangkit berdiri,
melangkah ke tiang batu di atas mana terletak bokor berisi darah yang
dikucurkan dari Bendera Darah lalu masuk tengkorak yang berada di tiang miring,
selanjutnya ditampung dalam bokor pada tiang batu setinggi pinggang. Sang Ketua
celupkan tangan kanannya yang berlumuran darah ke dalam bokor ini. Begitu
tangan dikeluarkan noda darah telah lenyap. Wakil Ketua cepat memberikan kain
merah. Setelah mengeringkan tangan dengan kain itu Sang Ketua kembali duduk di
kursi batu. Lalu rambut tersibak gadis yang berlutut dirapikan dan ditautkannya
kembali.
"Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, upacara telah selesai. Silahkan berdiri. Harap segera
mengenakan penutup kepala."
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang
yang wajib dicintai." Setelah keluarkan ucapan itu si gadis ambil kain
penutup kepala bermahkota lalu bangkit berdiri.
Wakil
Ketua datang mendekat. "Yang Mulia Ketua, Bendera Darah tinggal beberapa
buah lagi. Saatnya kita menambah persediaan."
"Hal
itu memang sudah aku ketahui," jawab Yang Mulia Ketua. Lalu dia memutar
tubuh, memandang ke arah dinding ruangan sebelah belakang di mana menancap dua
lusin bendera kecil berbentuk segi tiga putih. Perlahan-lahan Sang Ketua angkat
tangan kanannya. Lima jari tangan membuka. Telapak tangan membentang. Jari
telunjuk diacungkan. Didahului satu bentakan keras dia membuat gerakan seperti
menusuk lalu tangan diputar setengah lingkaran dan jari telunjuk diarahkan ke
bokor perak berisi darah yang terletak di atas meja batu.
Terjadilah
satu keanehan.
Bett…
bettt… bett!
Suara
kibasan lain terdengar dua puluh empat kali berturut-turut. Dua lusin bendera
putih segitiga yang menancap di atas Induk Bendera Darah melesat ke bawah.
Sesuai dengan gerakan jari telunjuk Yang Mulia Ketua, dua puluh empat bendera
itu melesat masuk ke dalam bokor perut di atas meja batu. Darah di dalam bokor
bergejolak mengeluarkan suara seperti mendidih. Asap merah mengepul. Dua lusin
bendera segi tiga yang tadi berwarna putih kini berubah menjadi merah!
"Wakil
Ketua, pada saat fajar menyingsing besok pagi, kau boleh mengambil dua lusin
Bendera Darah itu"
Wakil
Ketua barisan Manusia Pocong membungkuk seraya berkata. "Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan…"
Sang
Ketua anggukkan kepala lalu berkata.
"Antarkan
Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke Rumah Tanpa Dosa. Dua Satria Pocong tetap di sini
untuk membersihkan Ruangan Bendera Darah." Habis berkata begitu Sang Ketua
lalu memberi isyarat pada wakilnya agar mendekat. Sang Wakil segera mendatangi.
Dengan suara perlahan Sang Ketua berkata. "Jangan antarkan langsung gadis
itu ke Rumah Tanpa Dosa. Bawa ke kamarku lebih dulu. Aku ingin bercinta
dengannya malam ini. Sudah lama aku mencari waktu dan kesempatan. Agaknya malam
inilah baru bisa kulaksanakan."
Di balik
kain penutup kepala Wakil Ketua tersenyum lebar. Setelah menganggukkan kepala
tanda mengerti dia segera mendampingi Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Dua Satria
Pocong di sebelah depan. Sang Ketua tekan tombol rahasia di lengan kanan kursi
batu. Bagian dinding batu yang merupakan pintu bergerak turun ke bawah. Hanya
tinggal beberapa langkah lagi ke empat orang itu akan melewati pintu batu,
tiba-tiba dari arah depan yang merupakan sebuah lorong, menggelundung sesosok
tubuh yang kemudian terkapar di ambang pintu! Di sebelah belakang tiga Satria
Pocong tampak mengejar berhamburan.
Ketua
Barisan Manusia Pocong tersentak kaget, langsung melompat dari kursinya seraya
membentak.
"Apa-apaan
ini?!"
Dua mata
Sang Ketua mendelik memperhatikan sosok yang terkapar di lantai batu. Sosok
berjubah putih, berkepala kain putih yang setengah tersingkap. Jelas dia adalah
salah seorang anggota Barisan Manusia Pocong. Apa yang terjadi dengan dirinya?
Tiga
Satria Pocong belum sempat menjawab, sosok di lantai tiba-tiba keluarkan suara
tawa mengekeh.
"Kalau
pertanyaan itu kau tujukan padaku, itulah yang aku tidak bisa menjawab. Ha… ha…
ha!"
"Jahanam!
Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa keparat satu ini?!" Yang Mulia
Ketua berteriak marah. Sekali berkelebat dia berhasil menarik tanggal kain
penutup kepala Satria Pocong. Begitu melihat wajah orang kagetnya jadi tambah
alang kepalang sampai dia berseru menyebut nama.
"Dewa
Tuak!"
"Ha…
ha… Kau kenali diriku. Aku tidak kenali dirimu!" Orang yang tergeletak di
lantai lorong di depan Ruang Bendera Darah kucak-kucak matanya. Dia memang
adalah si kakek yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Sebelumnya dalam keadaan
tubuh lemah dan pikiran kacau dia telah bertempur melawan tiga Satria Pocong.
Walau dia berhasil menghajar mereka namun daya kekuatan yang ada dalam dirinya
semakin parah dan daya ingatnyapun bertambah tidak karuan.
Selain
kaget Sang Ketua Juga marah besar. Mata Sang ketua membelalak pada tiga Satria
Pocong yang muncul berbarengan dengan Dewa Tuak. "Gila! Bagaimana tua bangka
ini bisa lolos! Bagaimana otaknya masih jernih! Aku tidak akan memberi ampun
pada siapa saja yang telah melakukan kesalahan!"
Tiga
Satria Pocong ketakutan setengah mati. Ketiganya segera menjura dalam sambil
berkata berbarengan. "Mohon ampunmu Yang Mulia Ketua." Salah seorang
di antara mereka lalu beranikan diri memberi keterangan.
"Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa lolos
dari kamar sekapan. Ketika kami pergoki dia telah berada di Lorong Seratus Dua.
Kami segera hendak membekuknya. Tapi dia melawan. Mohon maaf, kami bertiga
sempat dihajarnya. Lalu dia melarikan diri ke arah sini. Kami mengejar sambil
melepaskan tiga pukulan berbarengan. Pukulan kami membuat dia jatuh
menggelundung tepat ketika pintu Ruang Bendera Darah terbuka."
"Jahanam!
Ada yang tidak beres!" Teriak Sang Ketua semakin marah.
Wakil
Ketua cepat mendekati dan berbisik. "Dewa Tuak bukan orang sembarangan.
Dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam sangat tinggi. Dua kekuatan itu bisa
saja merupakan daya tolak dari apa yang telah kita lakukan terhadapnya. Tapi
percayalah, daya ingatnya tidak akan bertahan lama. Dia segera akan tunduk pada
perintah dan kemauan kita."
"Jangan
bicara tolol padaku! Sudah berapa lama dia mendekam di tempat ini! Tokoh silat
lainnya begitu dicekoki minuman Selamat Datang langsung punah daya ingatnya.
Mengapa dia tidak?!"
"Saya
akan menyelidik. Saya akan urus tua bangka satu ini. Harap Yang Mulia Ketua
memberi izin."
"Kalau
begitu lekas kau ringkus dia! Jebloskan kembali ke kamar tahanan. Kita
memerlukan dirinya dalam waktu singkat," perintah Sang Ketua.
"Jangan
khawatir. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Saya akan
meringkus dan memberikan minuman tambahan padanya!"
Ketika
Wakil Ketua hendak bergerak, Yang Mulia Ketua pegang bahu jubah orang ini lalu
berkata. "Satu dari dua Satria Pocong yang bertindak sebagai mata-mata
telah memberitahu padaku. Kawasan Telaga Sarangan telah didatangi orang-orang
tak dikenal. Hari-hari besar yang kita tunggu akan segera datang."
"Saya
gembira," jawab Wakil Ketua. "Asalkan Yang Mulia Ketua mau berbagi
rejeki dengan saya."
"Kita
sudah menentukan bagian dan rejeki masing-masing. Tapi jika kau bertindak
lamban, perhitungan rejekimu akan jatuh ke tangan orang lain."
Wajah
Wakil Ketua di balik kain putih penutup kepala menyeringai. "Kalau itu
sampai terjadi, saya akan sangat kecewa. Karena sejak dia membunuh saudara
saya, jelas-jelas nyawanya adalah milik saya."
"Itu
sudah menjadi perjanjian di antara kita. Tapi jangan lupa Wakil Ketua. Banyak
orang dan banyak tangan yang ingin dan bisa membantainya. Sekarang lekas kau
singkirkan tua bangka itu."
"Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Habis berkata begitu
Wakil Ketua melompat ke arah sosok Dewa Tuak yang masih bergelung di lantai
batu sambil mengumbar tawa.
Tiba-tiba,
hekk!
Satu
totokan yang didaratkan Wakil Ketua ke urat besar di pangkal leher membungkam
mulut dan membuat kaku sekujur tubuh Dewa Tuak.
***********************
6
RATU
Duyung lama-lama jadi kesal. Setiap dia memacu kuda meninggalkan Sutri
Kaliangan di belakang, dia terpaksa berbalik kembali atau menunggu. Putri Patih
Kerajaan itu menunggang kuda perlahan santai-santai saja.
"Aku
tak mengerti," Ratu Duyung keluarkan ucapan. "Sewaktu di Kotaraja kau
begitu bersemangat untuk segera melakukan perjalanan. Kau sangat khawatir atas
keselamatan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Sekarang kau malah menunggang
kuda perlahan enak-enakan. Seperti orang tengah tamasya. Apa kau tidak melihat
sang surya sudah jauh condong ke barat. Bisa-bisa kita kemalaman di tengah
jalan."
Sutri
Kaliangan, dara cantik berpakaian serba kuning dengan pedang tergantung di
pinggang tersenyum mendengar ucapan Ratu Duyung. "Sahabatku Ratu Duyung,
menurut hitungan kita sudah setengah jalan. Kalau dipaksakan memang bisa saja
kita sampai malam hari di tempat tujuan. Padahal tujuan kita masih merupakan
teka-teki. Satu-satunya bimbingan arah adalah apa yang kau lihat di cermin
saktimu."
"Kalau
sudah tahu mengapa tidak mempercepat lari kuda? Aku tidak mau bolak-balik
menjemputmu dan meminta agar bergerak lebih cepat."
"Ratu
Duyung, dengar. Sedikit banyak aku cukup mengenali kawasan yang telah kita
lewati dan yang bakal kita tempuh. Jika kita terus mengikuti arah, di depan
sana kita akan menemui sebuah gunung bernama Gunung Kukusan. Di sebelah barat
ada Gunung Lawu. Di dalam cermin kau melihat ada bahaya besar mengancam Wiro.
Kalau kita memasuki daerah tujuan pada malam hari, apakah menurutmu bukan
berarti kita mencari bahaya?" Ratu Duyung diam saja. Sutri Kaliangan
meneruskan kata-katanya. "Kita perlu istirahat. Dua tunggangan kita juga
perlu istirahat. Besok pagi kita lanjutkan perjalanan."
"Besok
pagi? Apa maksudmu, Sutri?"
"Kita
bakal melewati sebuah kampung bernama Jatipurno. Ayahku memiliki sebuah rumah
di sana. Karena terletak tak jauh dari kaki Gunung Kukusan udaranya sejuk,
pemandangan sangat indah. Nah, kita bermalam di Jatipurno. Kita perlu mandi,
cukup istirahat dan cukup tidur."
"Kau
tidak lagi mengawatirkan keselamatan Wiro?"
"Siapa
bilang tidak mengawatirkan. Tapi jangan lupa memikirkan keselamatan diri
sendiri. Kalau kau berniat terus melanjutkan perjalanan, aku tak bisa
menghalangi. Aku tetap akan singgah di Jatipurno."
Setelah
menimbang sesaat akhirnya Ratu Duyung berkata. "Baiklah. Aku mengalah.
Kita bermalam di Jatipurno. Tapi besok pagi-pagi sekali, sebelum matahari
terbit kita harus sudah melanjutkan perjalanan."
Sutri
Kaliangan tertawa lebar. "Sahabatku, agaknya kau juga mengawatirkan
keselamatan pemuda itu. Kurasa bukan hanya sekedar mengawatirkan. Mungkin juga
ada rasa rindu. Sudah berapa lama kalian tidak bertemu?"
Ratu
Duyung tidak menjawab.
"Aku
mendengar, banyak sekali para gadis tergila-gila pada Pendekar itu. Yang sudah
pasti Anggini dan Bidadari Angin Timur. Aku tahu waktu di Gedung Kepatihan tadi
malam mereka berpura-pura acuh ketika kuajak agar segera sama-sama berangkat.
Aku yakin, keduanya mencari jalan sendiri-sendiri. Mungkin ingin mendahului
kita menemui pemuda itu."
"Apakah
kau merasa cemburu kalau Bidadari Angin Timur atau Anggini berhasil menemukan
Wiro lebih dulu?"
"O-ooo.
Justru hal itu yang akan aku tanyakan padamu." Kata Sutri Kaliangan pula
sambil tersenyum dan melirik. Gadis ini tertawa kecil ketika melihat wajah Ratu
Duyung bersemu merah.
"Kau
tak mau menjawab. Ratu, apakah kau mencintai Wiro? Hemmm… aku bisa melihat pada
raut wajah dan sinar matamu. Kau mencintai pemuda itu."
"Sutri,
jika kau terus menggoda, aku lebih baik melanjutkan perjalanan seorang diri.
Terus-terang, aku tidak merasa perlu singgah di Jatipurno."
Sutri
Kaliangan dekatkan kudanya ke kuda Ratu Duyung lalu pegang lengan gadis bermata
biru itu. "Harap kau jangan marah. Aku hanya bergurau. Soalnya, gadis mana
yang tidak terpikat dengan pemuda seperti Wiro. Pendekar berkepandaian tinggi,
berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula. Banyak yang
meramalkan dia bakal jadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah Jawa."
"Pendekar
berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula.
Diramalkan bakal menjadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah Jawa…"
Ratu Duyung mengulangi ucapan Sutri Kaliangan lalu cepat menyambung. "Kau
seorang gadis cantik jelita, Putri Patih Kerajaan, juga memiliki ilmu silat
tinggi. Bukankah merupakan pasangan yang cocok dan serasi?" Kini Ratu
Duyung yang menggoda Sutri Kaliangan.
Yang
digoda tertawa panjang. "Aku boleh dibilang gadis yang ketinggalan kereta.
Bagaimana mungkin bisa bersaing dengan para sahabat yang telah lebih dulu
mengenal Wiro. Bidadari Angin Timur, Anggini dan kau sendiri."
"Kurasa
kau lebih mendapat perhatian karena kau putri Patih Kerajaan. Cantik…"
"Menurutmu
begitu?" tanya Sutri lalu menjawab sendiri pertanyaannya. "Kurasa
tidak. Ketika ayahku menawarkan jabatan Panglima Kerajaan padanya, sebagai balas
jasa dalam membantu mendapatkan Melati Tujuh Racun, satu-satunya obat yang
mampu menyembuhkan penyakit ayah, dia menolak. Berarti dia tidak ada perhatian
pada diriku."
"Menolak
jabatan bukan berarti menolak cinta seorang gadis cantik sepertimu. Justru di
situlah keluhuran budinya sebagai seorang pendekar. Dia tidak mau menjual diri
dengan jabatan. Lebih dari itu dia tidak mau merendahkan makna cinta dan kasih
sayang dengan balas jasa."
"Apapun
alasan penolakannya, yang jelas aku tidak mungkin mendapatkan dirinya,"
kata Sutri Kaliangan pula. Suaranya perlahan seperti sedih, namun di mulutnya
terkulum sekelumit senyum.
"Jangan
terlalu berhiba diri, sahabatku. Dibanding dengan kami-kami rasanya kau lebih
punya kesempatan. Apakah kau pernah mengajuk hatinya? Apakah kalian pernah
berdua-dua?"
"Hai!
Kau tengah menyelidiki diriku!" kata Sutri Kaliangan lalu tertawa
cekikikan.
***********************
SUTRI
Kaliangan dan Ratu Duyung sampai di Jatipurno tepat ketika sang surya tenggelam
di ufuk barat. Rumah milik ayah Sutri itu selain besar juga sangat bagus dan
kokoh bangunannya. Mulai dari tangga sampai tiang dan dinding dipenuhi
ukiran-ukiran bagus dan halus. Setelah dua gadis itu mandi, penjaga rumah
bersama istri menyiapkan makan malam. Selesai makan Sutri menyuruh suami istri
itu pulang ke rumah mereka yang terletak tak jauh dari situ. Ketika
meninggalkan rumah, Ratu Duyung sempat melihat keduanya berbisik-bisik sambil
menuruni tangga dan sesekali menoleh ke belakang memperhatikan dirinya. Walau
heran melihat sikap dua suami istri itu namun Ratu Duyung tidak berkata
apa-apa.
"Di
rumah ini ada dua kamar. Besar-besar. Sebaiknya kita tidur di satu kamar saja.
Kita bisa ngobrol macam-macam sebelum tidur." Begitu Sutri Kaliangan
berkata dan ditanggapi wajar-wajar saja oleh Ratu Duyung.
Sebelum
masuk ke dalam kamar Sutri Kaliangan mengeluarkan sebuah tabung kecil. Tabung
ini ternyata berisi minyak wangi. Begitu penutup tabung dibuka, bau harum luar
biasa memenuhi ruangan. Sutri mengusapkan minyak wangi di leher, belakang
telinga dan pangkal dadanya. Lalu tabung minyak diserahkan pada Ratu Duyung.
"Pakailah…"
"Terima
kasih, aku tak biasa memakai minyak wangi." Jawab Ratu Duyung tidak
berdusta. Selain itu dia merasa setiap dia menghela nafas, harumnya minyak
wangi itu mendatangkan perasaan aneh dalam dirinya.
"Sekali
ini harus. Nanti kau akan biasa. Aku masih ada persediaan satu tabung. Kau
boleh ambil yang satu ini. Pakailah…"
Karena
Sutri Kaliangan memaksa terus, Ratu Duyung mengambil juga tabung kecil berisi
minyak wangi itu tapi tidak dipakainya. Tabung diselipkan di balik pakaian. Tak
lama kemudian keduanya masuk ke dalam kamar. Mereka mengobrol sebentar, mungkin
karena keletihan Ratu Duyung tertidur lebih dulu.
***********************
RATU
Duyung tidak tahu berapa lama dia telah tertidur ketika mendadak terbangun.
Pertama sekali bau harum minyak wangi menusuk hidung, masuk ke dalam jalan
pernafasannya. Ada perasaan aneh. Seperti pertama kali mencium bau itu ketika
Sutri Kaliangan mengusapkan ke tubuhnya. Lalu dia merasakan ada pelukan kuat di
pinggang. Ada himpitan kaki di pahanya. Dia juga merasakan hembusan nafas
panas. Setelah itu ada ciuman di pipi dan pangkal lehernya. Darah Ratu Duyung
mengalir cepat. Jantungnya berdegup keras. Ada kehangatan aneh menyungkupi
dirinya.
"Apakah
aku bermimpi," pikir Ratu Duyung. Dibukanya ke dua matanya. Tepat ketika
ada satu wajah tersenyum mesra meneduhi wajahnya dan hendak mengecup bibirnya.
Ratu
Duyung cepat mendorong tubuh orang yang menghimpitnya. Memandang ke depan
serasa tak percaya dia. Sutri Kaliangan duduk di atas ranjang, tersenyum
padanya. Dan gadis ini, tak sehelai pakaianpun melekat di tubuhnya!
"Sutri,
apa yang kau lakukan terhadapku?" tanya Ratu Duyung heran.
Sutri
Kaliangan masih tersenyum. Lidahnya yang merah dijulurkan membasahi bibir.
"Memangnya aku melakukan apa?" Balik bertanya Sutri. Suara perlahan,
mata setengah dipejamkan.
"Barusan…"
"Barusan
apa?" ucap Sutri lirih.
"Kau
memelukku. Kau menciumku. Kau juga hendak mengecup bibirku…"
Sutri
Kaliangan dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
"Apakah
itu aneh?" ucap putri Patih Kerajaan ini sambil tangannya mengelus paha
Ratu Duyung. Ratu Duyung cepat tepiskan tangan gadis itu.
"Tentu
saja aneh! Bagiku sangat aneh!" Jawab Ratu Duyung. Suaranya keras tanda
kesal. Tubuhnya terasa semakin hangat.
"Jangan
menduga yang bukan-bukan sahabatku. Malam begitu dingin. Tidak ada selimut di
atas ranjang. Kita tidur berdua-dua. Apakah aku tidak boleh mencari kehangatan
dengan memeluk tubuhmu yang bagus?"
Tersirap
darah Ratu Duyung mendengar kata-kata Sutri Kaliangan itu.
"Tapi,
kau bukan cuma memelukku. Kau menciumiku. Kau hendak mengecup bibirku…"
"Ketika
kau tertidur, aku masih sulit memejamkan mata. Aku pandangi wajahmu yang cantik
seperti boneka. Aku kagumi tubuhmu yang putih mulus dan bagus. Sebagai seorang
sahabat apakah aku tidak boleh menyentuhmu?"
"Apa
yang kau lakukan bukan cara orang bersahabat."
"Lalu,
bagaimana seharusnya cara orang bersahabat. Tunjukkan padaku." Kata Sutri
Kaliangan lalu rebahkan dadanya yang putih terbuka ke bahu Ratu Duyung.
Ratu
Duyung cepat menghindar dan berkata.
"Kau
tadi berucap malam begitu dingin. Tapi mengapa kau bertelanjang diri seperti
ini?"
Sutri
Kaliangan tersenyum dan kedipkan perlahan sepasang matanya.
Ratu
Duyung mengusap leher dan belakang telinganya. Jari-jarinya kemudian didekatkan
ke hidung. "Kau… kau mengusapkan minyak wangi itu ke tubuhku…"
"Aku
ingin kau juga memakainya. Bukan cuma aku. Sebagai tanda kita bersahabat…"
Ratu
Duyung geleng-gelengkan kepala.
Karena
bujukannya tidak mengena Sutri Kaliangan akhirnya berkata, "Tidurlah, pagi
masih lama. Kita perlu istirahat." Sutri Kaliangan ulurkan tangan memegang
dan mengelus lengan Ratu Duyung.
Saat itu
setelah mencium minyak wangi yang dioleskan Sutri ke telinga dan lehernya, rasa
aneh semakin berkecamuk dalam tubuh Ratu Duyung.
"Ada
rangsangan aneh dalam diriku. Aku harus sanggup melawan…" Cepat Ratu
Duyung kerahkan tenaga dalam.
"Malam-malam
di atas tempat tidur mengerahkan tenaga dalam. Untuk apa?" tanya Sutri
Kaliangan yang rupanya tahu apa yang tengah dilakukan Ratu Duyung.
"Tidurlah, aku tidak akan mengganggumu." Habis berkata begitu putri
Patih Kerajaan itu lalu rebahkan badannya di atas tempat tidur. Sikapnya
benar-benar membuat jengah Ratu Duyung. Sutri berbaring menelentang. Dua tangan
dikembangkan ke samping menyingkapkan ketiaknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus
hitam.
"Ada
yang tidak beres dengan gadis satu ini. Apa yang ada di benaknya. Minyak wangi
itu… Aku menaruh curiga. Dia memasukkan sesuatu di dalam minyak wangi. Tubuhku
jadi panas. Diriku diselimuti rangsangan. Aku harus berbuat sesuatu…"
"Ratu,
kau mau ke mana?" tanya Sutri ketika dilihatnya Ratu Duyung beranjak turun
dari atas ranjang.
"Aku
perlu ke belakang."
"Biar
aku temani," kata Sutri.
"Tidak
usah."
"Ah
matamu indah sekali. Biru bercahaya. Bolehkah aku menciumnya?" Masih dalam
keadaan tanpa pakaian Sutri Kaliangan beringsut ke tepi ranjang.
Ratu
Duyung cepat-cepat turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar, meninggalkan
rumah, pergi ke sumur kecil di halaman belakang. Tubuhnya terasa lebih segar
setelah mencuci wajah, leher dan dadanya yang diusapi minyak wangi oleh Sutri
Kaliangan. Rangsangan aneh yang ada dalam dirinya perlahan-lahan berkurang.
Ratu Duyung tidak kembali ke dalam bangunan. Di halaman kiri rumah ada sebuah
gerobak. Ratu Duyung naik ke atas gerobak ini. Untuk beberapa lama dia
berbaring di lantai gerobak sambil berpikir-pikir.
"Apa
yang telah dilakukan putri Patih Kerajaan itu terhadapku? Dia memberiku obat
perangsang yang dimasukkan dalam minyak wangi. Sikap dan perbuatannya
terhadapku… Ada sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu. Jangan-jangan, aku
memang pernah mendengar cerita tentang laki-laki yang hanya bergairah terhadap
sesama lelaki. Tentang perempuan yang hanya mau berhubungan sesama perempuan.
Apakah… Jangan-jangan…" Ratu Duyung ingat pada pasangan suami istri
penjaga rumah. "Ketika meninggalkan rumah, dua orang itu berbisik-bisik
sambil memperhatikan diriku. Mungkin sebelumnya Sutri Kaliangan telah sering
membawa gadis-gadis ke rumah ini. Jika benar ada kelainan pada diri Sutri
mereka pasti tahu banyak. Kalau saja aku bisa menemui keduanya…" Ratu
Duyung usap tengkuknya yang mendadak terasa merinding.
Di dalam
gerobak, dinginnya udara malam membuat Ratu Duyung bergelung dan rangkapkan
tangan di depan dada. Dalam masih mengingat-ingat apa yang barusan dialaminya,
gadis ini keluarkan cermin sakti dari balik pakaian.
"Aku
tak mungkin meneruskan perjalanan bersama gadis itu. Aku tahu betul, orang
seperti dia bisa berbuat nekad bila maksudnya tidak kesampaian. Bukan mustahil
dia akan membunuhku karena malu rahasia dirinya kuketahui. Aku harus mencari
jalan sendiri. Rupanya gerak-geriknya yang selama ini seperti terpikat dan
ingin cepat-cepat menemui Wiro hanya satu kepura-puraan belaka. Dia punya
tujuan lain. Aku harus mencari tahu di mana Wiro berada…" Di dalam
gerobak, dalam gelap, dan dinginnya malam Ratu Duyung arahkan pandangan pada
cermin sakti berbentuk bulat. Tanpa diketahuinya, dua bayangan putih laksana
sepasang setan gentayangan berkelebat ke arah bangunan lalu melesat ke atas
wuwungan.
***********************
7
DI ATAS
atap rumah, dalam gelapnya malam dua sosok mendekam sesaat. Dari jubah serta
kain penutup kepala yang serba putih jelas mereka adalah Satria Pocong, anggota
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Setelah saling berbisik salah
seorang dari mereka menggeser atap kayu sirap lalu mengintai ke dalam rumah.
Begitu mengintip orang ini keluarkan suara terperangah, membuat teman di
sebelahnya bertanya.
"Ada
apa?"
"Belum
pernah aku melihat pemandangan luar biasa seperti ini," suara manusia
pocong pertama bergetar. Nafasnya berhembus kencang.
"Ke
pinggirlah, coba kulihat." Manusia pocong kedua ingin tahu pemandangan apa
yang ada di bawah sana.
"Aku
sedang asyik. Jangan kau ganggu dulu."
"Jangan
serakah!" Manusia pocong kedua mengomel.
"Atap
ini masih luas. Mengapa tidak membuat lobang sendiri?"
Penasaran
ingin tahu apa yang dilihat kawannya, manusia pocong kedua mengalah lalu
menggeser atap sirap di bagian lain. Ketika dia mengintai ke dalam rumah,
langsung dari mulutnya keluar ucapan.
"Aahhhh…"
Tengkuknya yang tertutup kain putih diusap berulang kali. Tanpa menggeser mata
dari renggangan atap sirap manusia pocong ini berkata pada teman di sebelahnya.
"Sebelumnya kau bilang ada dua gadis. Yang kulihat cuma seorang."
"Gadis
satunya mungkin sudah pergi. Mungkin tidak tinggal di sini."
"Apa
yang akan kita lakukan?"
"Kita?"
tanya manusia pocong pertama. "Aku akan turun ke bawah. Terserah kau.
Kalau kau minta bagian silahkan menunggu. Kalau tidak kembali saja ke
Lorong."
"Susah
punya teman serakah sepertimu." Manusia pocong kedua mengomel. Tapi
hatinya bimbang. Apa yang disaksikannya di dalam kamar di bawah sana membuat
tubuhnya keringatan. "Aku memilih kembali saja," katanya kemudian.
"Silakan kau bersenang-senang. Tapi aku nasihatkan agar kau tetap waspada.
Hati-hati. Gadis itu agaknya belum tidur. Seperti menunggu kedatangan
seseorang."
"Dia
menunggu aku," jawab manusia pocong pertama lalu tertawa perlahan di balik
kain penutup kepala. "Perlu apa takut terhadap seorang gadis cantik yang
saat ini berbaring di atas ranjang tanpa pakaian."
"Aku
hanya mengingatkan. Kau tahu, belakangan ini kita sudah menyirap kabar tentang
terlihat orang-orang tak dikenal sekitar Telaga Sarangan dan bebukitan batu
sekitar Lorong. Belum lama salah seorang tokoh rimba persilatan berjuluk Dewa
Tuak malah berhasil menyusup ke dalam Lorong."
"Tua
bangka satu itu perlu apa dikhawatirkan. Atas perintah Yang Mulia Ketua, Sri
Paduka Ratu telah meringkusnya. Lagi pula kemunculan orang-orang yang kau
sebutkan itu bukankah sesuai dengan rencana dan apa yang telah diatur oleh Yang
Mulia Ketua? Dewa Tuak sudah muncul dan dilumpuhkan. Dia sekarang jadi salah
satu anggota Barisan Manusia Pocong. Aku yakin tidak lama lagi yang disebut Pendekar
Dua Satu Dua Wiro Sableng akan segera pula muncul."
"Bagaimana
kalau gadis telanjang di dalam kamar itu ternyata merupakan satu pancingah. Kau
bisa celaka…"
"Kalau
kau takut, lekas-lekas saja kembali ke Lorong." Manusia pocong pertama
segera hendak bergerak. Tapi bahunya dipegang oleh teman di sebelahnya.
"Sebelum
naik ke atap ini, aku sempat mengelilingi rumah. Di sebelah belakang aku
menemui dua ekor kuda. Besar dan tegap-tegap. Salah satu diantaranya ada hiasan
kain kuning di leher dan dada. Hiasan seperti ini hanya dimiliki kuda
pejabat-pejabat tinggi di Kotaraja…"
"Sobatku,
kau kembalilah ke Lorong. Aku kesini mencari gadis cantik itu. Bukan mencari
kuda yang ada hiasan kain kuning." Setelah tertawa perlahan manusia pocong
pertama ini lambaikan tangan pada temannya lalu berkelebat turun dari atas atap
rumah. Sesaat kawannya masih berada di atas atap. Sebelum menyusul turun sekali
lagi dia mengintai ke dalam rumah lewat renggangan atap sirap. Menarik nafas
panjang, geleng-geleng kepala lalu berkelebat pergi.
***********************
DI atas
tempat tidur, Sutri Kaliangan berbaring tidak sabar menunggu kedatangan Ratu
Duyung. Ketika pintu kamar terbuka dan ada langkah-langkah kaki halus memasuki
kamar, gadis ini pejamkan mata, tersenyum.
"Ratu
Duyung. Kau membuatku gelisah…" Di atas ranjang Sutri Kaliangan balikkan
tubuh, kepala di arahkan ke pintu kamar. Begitu pandangannya membentur sosok
serba putih yang tegak di samping tempat tidur, gadis ini tersentak kaget dan
keluarkan seruan tertahan. Kejap itu juga dalam keadaan tidak sadar akan
keadaan auratnya, gadis ini melompat turun ke lantai. Begitu sadar kalau saat
itu dia tidak mengenakan pakaian sama sekali, langsung menjerit dan berusaha
menyambar pakaian kuningnya yang berserakan di kaki tempat tidur. Tapi si
manusia pocong lebih cepat. Sekali bergerak dia berhasil mengambil pakaian itu.
Sambil membuntal-buntal pakaian kuning dengan kedua tangannya dia berkata.
"Tak
perlu risaukan pakaian ini. Kau lebih cantik tanpa pakaian! Ha… ha… ha!"
"Manusia
pocong…" ucap Sutri bergetar dalam hati. "Apa ini makhluk yang ramai
dibicarakan orang belakangan ini. Ternyata bukan cuma cerita kosong."
Putri Patih Kerajaan ini hanya terkesiap sesaat. Keberaniannya kemudian muncul.
Sambil melindungi tubuh dengan bantal dia membentak.
"Jahanam!
Kau siapa?! Keluar dari kamar ini!" Matanya melirik ke arah dinding kamar
di mana tergantung pedang miliknya. Manusia pocong sudah membaca apa yang ada
di benak si gadis. Buntalan pakaian kuning yang digenggamnya dilemparkan ke arah
Sutri. Selagi Sutri membuat gerakan menangkap pakaian, secepat kilat manusia
pocong melompat ke arah dinding menyambar pedang perak.
Seperti
diketahui Sutri Kaliangan yang puteri Patih Kerajaan ini walau mempunyai
kelainan tapi juga memiliki ilmu silat cukup tinggi. Sadar kalau orang menipu,
Sutri segera melesat ke arah manusia pocong sambil lancarkan jurus serangan
yang disebut Menusuk Puncak Gunung. Jurus ini sebenarnya adalah jurus serangan
ilmu pedang. Walau dimainkan dalam serangan tangan kosong kehebatannya tidak
kalah berbahaya dengan memakai pedang. Nyatanya si manusia pocong kena
dihantam.
Bukkk!
Jotosan
Sutri Kaliangan mendarat di bahu kanan manusia pocong. Membuat orang ini
melintir dan mengeluh tinggi kesakitan. Gagang pedang yang sudah ada dalam
genggamannya terlepas, senjata itu jatuh berkerontang di lantai. Manusia pocong
segera balikkan tubuh, tepat ketika Sutri Kaliangan melompat sambil hantamkan
satu tendangan.
Manusia
pocong keluarkan suara mendengus dari hidung. Walau marah dan sakit namun
sepasang matanya berkilat menyaksikan tubuh telanjang yang menyerangnya.
Wuttt!
Tendangan
Sutri Kaliangan meleset hanya setengah jengkal di samping kiri tubuhnya. Begitu
serangan lawan lewat, manusia pocong membuat gerakan kilat. Tahu-tahu dia telah
mencekal betis kanan Sutri Kaliangan. Sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu,
tangan yang mencekal betis bergerak dan Sutri terpekik. Tubuhnya terlempar ke
atas, jatuh ke bawah, terjengkang di atas ranjang! Sutri terpekik. Seolah baru
sadar keadaan auratnya yang tanpa pakaian, gadis ini cepat berguling turun dari
atas tempat tidur. Namun manusia pocong bergerak lebih cepat. Dengan satu
gerakan kilat dia membuat lompatan. Dua jari tangan ditusukkan ke arah pangkal
leher si gadis mendaratkan totokan aneh. Tubuh putri Patih Kerajaan itu tidak
kaku, tetapi mendadak menjadi lemas.
"Manusia
setan keparat! Jangan kau berani berlaku kurang ajar terhadapku!" Teriak
Sutri.
"Gadis
cantik! Siapa yang tega berbuat kurang ajar! Aku malah mau memberikan
kesenangan padamu!"
"Setan
terkutuk! Aku Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan! Ayahku akan mencincang
tubuhmu!"
Sesaat si
manusia pocong seperti terkesiap mendengar ucapan Sutri. Namun kemudiah dia
tertawa. "Aku tidak kenal siapa dirimu. Juga tidak tahu siapa itu yang
disebut Patih Kerajaan. Saat ini aku ingin bersenang-senang."
Habis
berkata begitu manusia pocong siap melucuti jubahnya. Di sebelah atas kain
putih penutup kepala tidak ditanggalkan. Agaknya manusia pocong ini tidak mau
wajahnya dilihat orang. Sutri kembali memaki dan berteriak. Dia berusaha
bangkit tapi tidak bisa. Dicobanya menggulingkan diri, juga tidak mampu.
"Gadis,
harap kau pasrah saja pada nasib. Kalau memang berjodoh, urusan hari ini bisa
kita perpanjang sampai nanti. Ha… ha… ha!"
"Makhluk
keparat! Aku bersumpah membunuhmu!"
Sambil
tertawa bergelak manusia pocong melompat ke atas tempat tidur.
***********************
DI dalam
gerobak di halaman kiri rumah, Ratu Duyung menatap tak berkesip ke cermin sakti
bulat yang dipegangnya dengan kedua tangan. Perlahan-lahan bayangan hitam di
dalam cermin berubah terang namun seperti ada gelombang asap melapisi permukaan
cermin. Sesekali ada bayangan putih muncul lalu lenyap, muncul lagi dan kembali
lenyap. Ditunggu sekian lama Ratu Duyung masih belum melihat apa-apa. Tiba-tiba
dua tangan yang memegang cermin mulai bergetar. Ratu Duyung ingat pada kejadian
sewaktu dia melakukan pemantauan di Gedung Kepatihan. Ratu Duyung tidak berani
kerahkan hawa sakti, khawatir akan mengalami hantaman kekuatan yang tak
kelihatan seperti kejadian tempo hari.
"Ada
kekuatan aneh menghalangi. Wiro, di mana kau…" ucap Ratu Duyung. Tiba-tiba
sudut matanya melihat satu bayangan putih berkelebat di depan gerobak. Ratu
Duyung turunkan cermin. Tubuhnya masih melunjur di lantai gerobak. Dada dan
kepala dinaikkan.
"Astaga,
apa yang aku lihat ini? Pocong hidup gentayangan di malam hari?"
Gadis
cantik yang berasal dari kawasan samudera selatan ini segera simpan cerminnya
lalu bergerak bangkit. Sosok serba putih lenyap di balik sederetan pepohonan.
"Pocong
hidup… Mungkin ini makhluk yang pernah dibicarakan para gadis sewaktu di Gedung
Kepatihan. Makhluk setan penculik perempuan hamil." Sang Ratu berpikir
sejenak. Segera saja muncul niatan di hatinya untuk mengejar manusia pocong
tadi. Tidak menunggu lebih lama Ratu Duyung segera keluar dari dalam gerobak.
Ketika dia siap berkelebat mengejar, tiba-tiba dari arah rumah terdengar
jeritan disusul bentakan-bentakan perempuan.
"Sutri
Kaliangan..," ucap Ratu Duyung. "Apa yang terjadi dengan gadis
itu?"
Untuk
seketika gadis jelita bermata biru ini jadi bingung. Apakah akan meneruskan
maksudnya semula mengejar manusia pocong atau menghambur masuk ke dalam rumah
untuk melihat apa yang terjadi.
"Ah,
gadis yang punya kelainan itu mungkin mau menipuku. Sengaja menjerit dan
membentak agar aku segera datang. Lebih baik aku tinggalkan saja dia,"
membatin Ratu Duyung. Namun untuk kesekian kalinya dia mendengar suara jeritan
gadis itu. Lalu suara gedebuk pukulan disusul suara senjata jatuh berkerontang
di lantai. Setelah ulang berpikir akhirnya Ratu Duyung berkelebat ke arah
rumah. Saat itulah ada suara perempuan berteriak di atas atap rumah.
"Aku
tahu! Maksudmu bukan mau membantu! Tapi mau melihat lebih dekat aurat telanjang
gadis cantik itu! Awas kalau kau berani menjamah tubuhnya!"
Terdengar
suara tertawa bocah cekikikan.
Lalu,
braakk!
Salah
satu bagian atap sirap jebol.
Ratu
Duyung memasuki rumah terus melompat ke kamar tidur, tepat ketika satu sosok
kecil gesit berpakaian hitam terjun dari atas wuwungan kamar, langsung melompat
ke belakang sosok manusia pocong yang saat itu siap berbuat bejat hendak
menggagahi Sutri Kaliangan.
"Pocong
jejadian! Hancur kantong menyanmu!"
Sosok
kecil berpakaian hitam ulurkan tangan ke depan.
Krekkk…
tesss!
Si
manusia pocong menjerit setinggi langit. Darah mengucur dari anggota rahasia di
bawah perutnya. Di samping ranjang seorang anak lelaki berpakaian hitam-hitam
berambut jabrik dekatkan tangannya yang barusan meremas ke lobang hidung, lalu
kibas-kibaskan tangan itu sambil keluarkan suara seperti orang mau muntah
kemudian tertawa gelak-gelak. Sementara itu si manusia pocong gulingkan diri,
menungging-nungging di lantai kamar sambil menjerit megap-megap, pegangi
perutnya di sebelah bawah yang telah hancur diremas orang!
"Naga
Kuning! Apa yang kau lakukan?!" teriak Ratu Duyung dengan mata mendelik
ngeri ketika melihat apa yang terjadi dengan manusia pocong yang tadi hendak
menggagahi Sutri Kaliangan.
"Aku
hanya mengusap gituannya. Heran, kenapa dia melintir kelojotan seperti itu!
Seharusnya dia bergumam keenakan! Hik… hik… hikkk!"
Si bocah
berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga Kuning menjawab konyol seenaknya
lalu tertawa cekikikan.
"Bocah
edan kurang ajar!" maki Ratu Duyung tapi dengan wajah setengah tersenyum.
"Ratu,
mohon maafmu. Mungkin tadinya kau bermaksud meraba perabotan orang. Tapi
kedahuluan oleh aku! Ha… ha… ha!"
"Anak
setan! Siapa sudi melakukan yang kau katakan itu!" Ratu Duyung berteriak
marah.
Si bocah
Naga Kning kembali tertawa gelak-gelak sambil matanya melirik ke arah sosok tak
berpakaian Sutri Kaliangan yang tertelentang di atas tempat tidur.
***********************
8
HAI!
Kalian jangan cuma tertawa-tawa. Lekas tolong diriku!" Sutri Kaliangan
berteriak. Di samping tempat tidur si manusia pocong masih menjerit-jerit lalu
melompat ke arah pintu. Ratu Duyung cepat menghalangi namun ditabrak dengan
keras hingga gadis itu terdorong jauh ke dinding kamar.
"Biarkan
pocong keparat itu kabur! Dia akan mati kehabisan darah! Yang penting tolong
dulu diriku. Aku ditotok!" Sutri Kaliangan kembali berteriak
Ratu
Duyung berpikir. Sutri sudah ada orang yang menolong, lebih baik dia mengejar
manusia pocong. Ratu Duyung cepat keluar dari kamar. Ketika sampai di luar
rumah, seekor kuda menghambur dalam kegelapan.
"Manusia
pocong! Dia kabur dengan kuda milik Sutri Kaliangan!" Ratu Duyung kepalkan
tinju lalu cepat lari ke samping rumah. Disitu masih ada seekor kuda yakni kuda
yang sebelumnya ditungganginya dalam perjalanan dari Kotaraja bersama Sutri.
Ratu Duyung melompat ke atas kuda, segera melakukan pengejaran. Namun entah
bagaimana orang menipunya, Ratu Duyung tidak berhasil mengejar manusia pocong.
Orang itu lenyap dalam kegelapan padahal tadi hanya terpaut belasan tembok saja
di depannya.
Dalam
gelap Ratu Duyung segera keluarkan ilmu Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia
mampu melihat benda-benda dalam gelap atau terhalang benda lain yang berada
dalam jarak tertentu. Hawa sakti dialirkan ke kepala, mata dikedipkan dua kali.
Pandangan dipentang ke depan. Sesaat kemudian sang Ratu melihat satu keanehan.
Dia mampu melihat kuda besar yang dipergunakan manusia pocong dalam melarikan
diri. Namun si penunggang sama sekali tidak kelihatan. Kuda besar itu
menghambur sendirian seperti ditunggangi hantu yang tidak kelihatan!
"Aneh
luar biasa! Dirinya dalam keadaan terluka parah. Ilmu setan apa yang dimiliki
manusia pocong itu hingga dirinya tidak tembus pandang? Atau mungkin ada satu
kekuatan dari luar membantu melindungi dirinya? Kekuatan yang tempo hari aku
pernah lihat di cermin sakti?"
Dituntun
oleh ilmu Menembus Pandang meski agak lamban Ratu Duyung berusaha terus
mengikuti manusia pocong yang melarikan diri. Walau tidak takut akan kehilangan
jejak orang yang dikejarnya tapi ada satu hal yang dikhawatirkan Ratu Duyung.
Yaitu seperti yang dikatakan Sutri Kaliangan. Manusia pocong itu bisa saja
menemui ajal kehabisan darah sebelum dia berhasil mengejar atau mengetahui
sarangnya.
Kembali
ke dalam kamar. Mendengar teriakan Sutri Kaliangan minta tolong dan memberitahu
kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok, bocah konyol berambut jabrik Naga
Kuning segera melompat ke samping tempat tidur. Dua matanya menjelajah nakal di
sekujur tubuh si gadis.
"Katakan,
bagian mana tubuhmu yang ditotok." Naga Kuning kembangkan tangan kanan di
atas dada Sutri Kaliangan. Telapak ke bawah dan tangan digerak-gerakkan ke kiri
ke kanan. "Ah, pasti di bagian sini. Di bagian dadamu!" kata anak
itu. Tangannya lalu diturunkan mendekati permukaan dada yang tidak tertutup.
"Bocah
setan!" Dari atas atap rumah yang jebol terdengar satu bentakan.
"Minggir kau! Aku yang akan menolong gadis itu! Awas kalau kau berani
menyentuh tubuhnya!"
Satu
sosok serba hitam, dari atas atap rumah, laksana setan terjun dari langit
melesat masuk ke dalam kamar. Naga Kuning didorong ke samping hingga terjajar
ke dinding. Sambil usap-usap rambutnya yang jabrik Naga Kuning berkata.
"Kau
keliwat cemburu. Masakan aku…"
"Huss!
Diam! Siapa percaya dirimu! Waktu Sinto Gendeng dikeluarkan dari pendaman kau
masih suka melihat tubuh telanjang nenek itu! Padahal tubuhnya kurus hitam keriputan!
Apalagi tubuh gadis cantik dan bagus seperti yang ini! Owalah!" (Mengenai
riwayat Sinto Gendeng dilepas dari pendaman baca seri pertama berjudul 113
Lorong Kematian)
Naga
Kuning hanya bisa sunggingkan senyum mendengar ucapan itu.
Sutri
Kaliangan tercekat memperhatikan orang yang tegak di samping tempat tidur.
Seorang nenek berjubah hitam. Rambut panjang kelabu, bermuka seram seperti
setan. Sepuluh kuku jarinya panjang runcing dan hitam.
"Nek,
mungkin aku pernah melihatmu sebelumnya. Tapi lupa siapa dirimu. Kau bisa
melepaskan totokan di tubuhku?" Sutri Kaliangan keluarkan ucapan.
Si nenek
yang dalam rimba persilatan dikenal dengan panggilan Gondoruwo Patah Hati tidak
menyahuti pertanyaan orang. Sepasang matanya menatap sekujur tubuh Sutri
Kaliangan. Mencari letak di bagian tubuh sebelah mana gadis ini telah ditotok.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan ditekuk. Tiba-tiba dua jari yang
ditekuk ini bergerak, ditekankan ke pangkal leher sebelah kiri Sutri Kaliangan.
Desss!
Saat itu
juga totokan yang menguasai tubuh si gadis punah. Rasa lemas lenyap. Sutri
Kaliangan berseru keras, gulingkan diri ke kiri sambil menarik kain alas tempat
tidur. Untuk beberapa lama dia berdiri terdiam di sudut kamar sambil lindungi
auratnya dengan kain itu. Sepasang mata menatap Gondoruwo Patah Hati dan Naga
Kuning.
"Aku
mengucapkan terima kasih…" kata si gadis kemudian.
Gondoruwo
Patah Hati tidak menjawab. Dia melirik ke arah Naga Kuning lalu melangkah ke
pintu sambil memberi isyarat agar si bocah mengikutinya. Sampai di ambang
pintu, ketika Naga Kuning masih tak beranjak di tempatnya, si nenek hentikan
langkah.
"Kau
masih berada di situ, apakah mau menolong gadis itu mengenakan
pakaiannya?!"
Si bocah
tertawa lebar. Lalu menyahuti, "Kita sudah menolongnya. Tadi kita bercuriga
bahwa orang yang hendak berbuat keji itu mungkin adalah anggota komplotan
orang-orang yang suka menculik perempuan bunting. Mengapa kita tidak bertanya
mencari keterangan pada gadis ini?"
"Kau
bisa bertanya pada orang lain. Bukan pada gadis yang masih telanjang bulat
begitu rupa! Ayo ikut aku tinggalkan tempat ini." Si nenek ulurkan tangan
kirinya menjewer telinga Naga Kuning. Dalam keadaan meringis kesakitan bocah
ini kemudian dibimbing keluar kamar.
"Hai!
Tunggu dulu!" Seru Sutri Kaliangan. "Harap mau memberitahu siapa
adanya kalian."
Naga
Kuning hendak menjawab tapi Gondoruwo Patah Hati mendahului. "Kami adalah
sahabat kakek berjuluk Setan Ngompol yang tempo hari mendapatkan kembang Melati
Tujuh Racun untuk penyembuh sakit ayahmu."
"Jadi,
kau sudah tahu kalau aku puteri Patih Kerajaan?"
Gondoruwo
Patah Hati mengangguk perlahan.
"Ah,
aku benar-benar berterima kasih pada kalian berdua. Tunggulah di luar kamar.
Aku akan berpakaian. Nanti kita bicara lagi. Aku berjanji akan memberikan
hadiah besar pada kalian berdua."
"Sudah
saatnya kami pergi..," kata Gondoruwo Patah Hati.
"Kalian
mau menuju ke mana?"
Naga
Kuning hendak menjawab. Tapi si nenek kembali menjewer kupingnya dan menarik si
bocah meninggalkan tempat itu.
Sampai di
luar Naga Kuning berkata. "Kita menolongnya, mengapa kemudian kau bersikap
ketus pada gadis itu?"
"Sudah,
tak perlu banyak bertanya. Aku punya dugaan kita sudah dekat dengan sarang
manusia-manusia penculik perempuan hamil itu."
"Dugaanmu
bisa saja betul. Tapi aku ingin tahu…"
"Apa
yang kau ingin tahu?" tanya Gondoruwo Patah Hati.
"Intan,"
Naga Kuning memanggil si nenek dengan nama aslinya. Seperti dituturkan dalam
beberapa serial Wiro Sableng sebelumnya, Gondoruwo Patah Hati bernama asli Ning
Intan Lestari merupakan kekasih Naga Kuning di masa muda. Selain itu dia adalah
anak angkat Kiai Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng yang asal muasal
memiliki Kapak Maut Naga Geni 212 dan Pedang Naga Suci 212. Kiai Gede Tapa
Pamungkas ingin menjodohkan anak angkatnya ini dengan Rana Suwarte. Tetapi Ning
Intan Lestari menolak karena hatinya telah lebih dulu tertambat pada Naga
Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek sakti bernama Gunung berjuluk Kiai
Paus Samudera Biru. Namun perjalanan hidup memisahkan mereka selama sekian
puluh tahun. Dalam kepatahan hatinya ditinggal sang kekasih Intan tetap
menunggu sampai akhirnya dia berhasil bertemu kembali dengan Gunung walaupun
saat itu mereka sudah menjadi seorang kakek dan seorang nenek. Namun Kiai Gede
Tapa Pamungkas masih tetap ingin menjodohkan anak angkatnya itu dengan Rana
Suwarte hingga akhirnya terjadi perseteruan antara Naga Kuning dengan Rana
Suwarte. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Gondoruwo Patah Hati,Senandung
Kematian)
"Intan,
apakah kau cemburu aku mau berlaku yang tidak-tidak terhadap gadis tadi?"
Naga Kuning bertanya.
"Itu
hal yang pertama. Hal kedua kau tidak pantas mengenal apa lagi berdekatan
dengan gadis itu. Aku sudah lama menyirap kabar. Puteri Patih Kerajaan itu
punya kelainan.
"Hemm,
begitu? Kelainan apa maksudmu? Suka pada anak-anak bagus seperti aku ini?"
"Bocah
keblinger! Sombongnya! Kau tahu, gadis itu hanya suka pada sesama jenisnya.
Hasratnya hanya bisa tersalur pada sesama perempuan!"
"Nah…
nah! Kalau begitu aku tak bakal diapa-apakannya. Kau yang bakal jadi incaran. Bukankah
kalian sama-sama perempuan? Baiknya kau kembali ke rumah sana. Aku biar
mengintip di luar. Ingin tahu apa saja yang dilakukan antara perempuan dengan
perempuan! Kau pasti bakal diberinya hadiah berlipat ganda! Ha… ha., ha…"
Gelak
tawa Naga Kuning langsung berhenti begitu jari-jari tangan Gondoruwo Patah Hati
memuntir daun telinga kirinya.
***********************
KEMBALI
pada Wulan Srindi, murid Perguruan Silat Lawu Putih. Seperti diceritakan
sebelumnya gadis ini sempat diculik dan hendak diperkosa oleh Warok Jangkrik.
Untung dirinya berhasil ditolong diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur dan
Jatilandak. Namun antara Wulan Srindi dan Bidadari Angin Timur kemudian terjadi
rasa saling tidak enak kalau tidak mau dikatakan sebagai perselisihan. Ini disebabkan
Wulan Srindi telah mengaku dirinya adalah murid Dewa Tuak yang akan dijodohkan
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sampai
beberapa hari berlalu Wulan Srindi belum juga berhasil mencari tahu tentang
keberadaan Wiro. Selain itu dia merasa khawatir akan diri Dewa Tuak. Setelah
menyelamatkan dirinya tempo hari, kakek itu diketahui menyusup masuk ke dalam
sebuah lorong di kawasan bukit batu. Sampai saat ini si kakek tidak pernah lagi
muncul. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas dirinya. Untuk masuk mencari
ke dalam lorong batu Wulan Srindi tidak punya keberanian. Sekali lagi dirinya
sampai ditangkap manusia-manusia pocong, jangan harap dia bakal bisa keluar
dari tempat itu. Kalaupun dia keluar mungkin sudah berupa mayat dan jadi korban
perkosaan! Akhirnya yang dilakukan gadis ini adalah tetap berada di dalam rimba
belantara sekitar pinggiran lembah batu sebelah selatan. Di sebelah utara,
setelah menyeberangi lembah batu menjulang kawasan bukit batu. Di situlah
terletaknya kawasan 113 Lorong Kematian. Sambil menyirap kabar mengenai Dewa
Tuak dan Wiro Sableng Wulan Srindi ingin mengawasi tempat itu barang satu dua
hari. Karena bagaimanapun juga dia punya dendam kesumat pada manusia pocong
yang telah membunuh kakak seperguruan yang juga Ketua Perguruan Silat Lawu
Putin yaitu Parit Juwana (baca serial sebelumnya berjudul "Nyawa
Kedua")
Saat itu
malam hari. Di langit kelihatan rembulan setengah lingkaran. Walau cahayanya
lumayan terang namun tidak dapat menembus ke dalam rimba belantara di mana
Wulan Srindi berada. Menjelang larut malam gadis ini mulai terkantuk-kantuk.
Dia mencari tempat yang baik untuk berbaring di bawah sebatang pohon besar.
Hampir matanya terpicing tiba-tiba sepasang mata gadis ini terbuka kembali.
Lapat-lapat dia mendengar suara gebrakan kaki kuda dari ujung rimba belantara.
Wulan Srindi cepat berdiri, mendekam ke balik serumpunan semak-belukar, pentang
mata mengintai.
Tak
selang berapa lama seekor kuda ditunggang oleh sosok bertutup kepala dan jubah
putih menghambur lewat di depan semak belukar.
"Manusia
pocong," desis Wulan Srindi dalam hati. Sambil kepalkan tangan dan keluar
dari balik semak belukar gadis ini meneruskan ucapannya dalam hati. "Kalau
tahu bangsat itu yang bakal lewat pasti akan aku bokong." Si penunggang
kuda sudah lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam, Wulan Srindi tidak berani
melakukan pengejaran karena sadar setiap Satria Pocong 113 Lorong Kematian
memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Sambil berpikir-pikir apa yang
harus dilakukannya akhirnya gadis ini kembali duduk ke bawah pohon besar. Dia
coba memejamkan mata. Tapi aneh kantuknya kini seolah lenyap. Pikirannya
melayang pada hal lain yaitu sang pendekar yang tengah dicarinya.
"Bagaimana
wajahnya, di mana dia berada. Aku benar-benar ingin sekali melihat dan menemui."
Wulan Srindi menekap pipinya yang terasa dingin. Dua telapak tangannya
digosok-gosok satu sama lain hingga menjadi hangat lalu ditekapkan kembali ke
pipi. Gadis cantik berkulit hitam manis ini tidak sadar berapa lama dia duduk
di bawah pohon sambil menekap wajah begitu rupa. Dia tersentak sewaktu di
kejauhan kembali terdengar suara derap kaki kuda. Kali ini tidak sekeras dan
sekencang yang pertama tadi. Kembali Wulan Srindi bersembunyi di balik semak
belukar. Cukup lama dia menunggu hingga akhirnya kelihatan muncul seekor kuda
yang berlari lamban. Kuda ini ditunggangi oleh seorang yang kepalanya ditutupi
kain putih. Tubuh si penunggang kuda rebah ke depan. Satu tangan bergayut pada
leher kuda, tangan yang lain mendekam di bagian bawah perut.
Ketika kuda
dan penunggang lewat di depan semak belukar, Wulan Srindi jadi terperangah
dalam kejutnya. Si penunggang ternyata tidak mengenakan pakaian selain kain
putih penutup kepala. Dari mulutnya keluar suara erangan. Tampak noda darah di
sekujur paha dan kaki.
"Manusia
pocong… dia terluka. Apa yang terjadi…? Mengapa dia terpencar dari temannya
yang tadi?" Baru saja Wulan Srindi berucap dalam hati sekitar sepuluh
tombak di depan sana tiba-tiba kuda yang ditunggangi manusia pocong meringkik
keras dan angkat dua kaki depan ke atas. Tak ampun manusia pocong yang ada di
punggungnya jatuh tersungkur ke tanah, mengerang panjang lalu diam tak
berkutik. Entah mati entah pingsan.
Wulan
Srindi kerenyitkan kening. Mau mendekati, tengkuknya merinding karena selain
kain putih penutup kepala, si manusia pocong tidak mengenakan apapun.
"Ah,
peduli setan! Mengapa aku harus takut atau jengah! Mungkin dia sudah mampus!
Biar kutarik kain penutup kepalanya. Ingin tahu siapa bangsat satu ini
adanya!" Habis berkata begitu Wulan Srindi segera keluar dari balik semak
belukar, melangkah cepat mendekati manusia pocong yang tergeletak di tanah.
Namun baru berjalan lima langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki
kuda keras dan cepat. "Jangah-jangan kawan manusia pocong. Aku harus sembunyi,"
pikir Wulan. Cepat gadis ini berkelebat ke balik deretan pohon di samping kiri.
Tak lama
kemudian muncul dua orang penunggang kuda. Di sebelah depan seorang pemuda
berpakaian warna gelap, mengenakan destar hitam berwajah cakap. Alis mata
tebal, hidung mancung. Di belakang menyusul seorang pemuda berambut gondrong,
mengenakan ikat kepala dan pakaian serba putih.
Di balik
pohon Wulan Srindi membatin sambil matanya memandang tak berkesip.
"Jangan-jangan pemuda berdestar hitam ini Pendekar Dua Satu Dua Wiro
Sableng yang tengah aku cari. Orangya cakap, sikapnya gagah. Pasti dia."
Sementara
itu penunggang kuda sebelah depan hentikan lari kudanya. Berkata pada temannya
yang di belakang.
"Aneh,
tadi makhluk itu tidak jauh di depan kita. Mengapa mendadak lenyap?"
Teman
yang diajak bicara hentikan pula kudanya di samping kuda kawannya yang
bertanya. Memandang berkeliling lalu berkata. "Barusan ada suara kuda
meringkik. Lalu sunyi. Coba kita teruskan bergerak ke depan. Mungkin kita
menemukan sesuatu. Tapi harap berhati-hati. Bukan mustahil orang yang kita
kejar sedang memasang perangkap. Tempat ini, bukankah tak jauh dari kawasah
Telaga Sarangan?" Si gondrong berucap sambil sesekali menggaruk kepalanya.
"Betul,"
jawab penunggang kuda berdestar hitam. "Kalau tidak salah, di sebelah
timur sana ada air terjun Ngadiloyo. Rimba belantara ini memang termasuk
kawasan Sarangan…"
Si
gondrong angkat tangan kanannya memberi tanda lalu menunjuk. "Lihat,"
katanya. "Di depan sana. Ada sosok menggeletak di tanah…"
Pemuda
berdestar hitam memandang ke arah yang ditunjuk.
"Astaga,
aku berada lebih dekat. Bagaimana sampai tidak melihat?"
Dua
pemuda segera gerakkan kuda ke depan. Di dekat sosok yang tergeletak di tanah
keduanya melompat turun dari kuda tunggangan masing-masing. Dan keduanya
sama-sama terkesiap.
"Seumur
hidup baru sekali ini aku melihat ada manusia mati seperti ini!" kata si
gondrong sambil pandangi melotot sosok tubuh yang terkapar di depannya.
"Dari
kain putih penutup kepalanya aku yakin dia adalah salah satu anggota komplotan
manusia pocong yang menculik istriku."
"Aku
juga menduga begitu. Tapi mengapa dia mati dalam keadaan begini rupa? Bugil di
sebelah bawah?!" Si gondrong tertawa dan lagi-lagi dia menggaruk kepala.
"Wiro…,"
pemuda berdestar hitam sebut nama si gondrong.
Di balik
pohon Wulan Srindi terkejut mendengar ucapan pemuda berdestar hitam. "Aku
mengira dia yang Wiro. Ternyata si gondrong itu… Ah, tampangnya memang tak
kalah gagah, malah kelihatan lebih jantan. Tapi kenapa sikapnya aneh konyol,
seperti orang kurang waras. Sebentar-sebentar ketawa, sebentar-sebentar
menggaruk kepala. Apa karena ini maka dia dinamai Wiro Sableng? Apa betul orang
seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi? Bagaimana ini, apa aku harus
keluar menemuinya? Memperkenalkan diri sambil memberitahu keadaan Dewa
Tuak?"
Setelah
berpikir sekali lagi akhirnya Wulan memutuskan untuk keluar dari balik pohon.
Namun belum sempat bergerak tiba-tiba kedengaran suara derap kuda banyak
sekali. Tak lama kemudian rimba belantara diterangi nyala obor yang dipegang
oleh sekitar dua puluh orang penunggang kuda. Dari pakaian serta perlengkapan
yang mereka bawa kentara mereka adalah serombongan pasukan. Mungkin balatentara
dari Kadipaten.
"Loh
Gatra," bisik Wiro pada pemuda di sebelahnya. "Kita kedatangan tamu
dari Kadipaten Magetan. Naga-naganya bakal ada urusan yang tidak enak."
"Kita
tidak ada urusan dengan mereka. Malah jika mereka tahu urusan kita, mereka
harus membantu."
"Tenang,
lihat saja apa yang bakal terjadi," kata Wiro lalu bangkit berdiri. Pemuda
di sebelahnya yaitu Loh Gatra yang istrinya diculik manusia pocong ikutan
berdiri.
Seorang
bertubuh besar, mengenakan pakaian keprajuritan mewah lengkap dengan topi
tinggi, menyeruak di antara pasukan berkuda. Beberapa langkah dari hadapan Wiro
dan Loh Gatra yang tegak di samping mayat telanjang, orang ini hentikan
kudanya. Dari atas kuda dia pandangi dua pemuda di depannya. Lalu mulutnya
keluarkan ucapan memerintah. "Pasukan! Tangkap pemuda gondrong itu!"
***********************
9
LOH Gatra
terkejut besar mendengar perintah yang dilontarkan penunggang kuda bertopi
tinggi. Selusin prajurit menyerahkan obor yang mereka pegang pada teman-teman
mereka lalu melompat turun dari kuda masing-masing. Ketika mereka bergerak
hendak mengurung dan meringkus Wiro, Loh Gatra cepat melompat ke muka dan
berucap lantang. Sementara murid Sinto Gendeng hanya berdiri tenang-tenang
saja.
"Tahan!
Kalau tidak salah menduga, bukankah kami berhadapan dengan Raden Sidik
Mangkurat, Adipati dari Magetan?"
"Jika
sudah tahu mengapa masih bertanya?!" Seorang prajurit yang berdiri di
samping kanan Loh Gatra membentak. Tampangnya memang galak dan suaranya besar
keras. Dia yang mengepalai rombongan pasukan.
Loh Gatra
tidak perdulikan bentakan prajurit kepala. Dia maju beberapa langkah mendekati
Adipati Magetan lalu berkata. "Saya Loh Gatra, cucu Ki Sarwo Ladoyo,
mendiang sepuh Kadipaten Temanggung!"
Dengan
memberitahu siapa dirinya Loh Gatra berharap Sidik Mangkurat tidak akan berlaku
sembarangan. Tapi sang Adipati tidak memandang sebelah mata. Malah dia
keluarkan ucapan tajam menyindir.
"Aku
pernah mendengar riwayat kakekmu itu. Nama Ki Sarwo tidak begitu bersih. Dia
pernah membangkang terhadap Adipati Temanggung. Pantas kemudian dia
dihabisi!"
"Apa
yang kau dengar tidak benar. Justru kakekku dibunuh secara keji oleh
orang-orang Adipati Temanggung Jatilegowo!" (Baca serial Wiro Sableng
"Badik Sumpah Darah" terdiri dari 7 Episode)
"Orang
muda! Rupanya kau mau memutar balik peristiwa! Menyingkirlah. Aku dan pasukan
datang kemari bukan untuk berdebat dengan pemuda ingusan sepertimu. Kalau kau
tidak mau menyingkir, pasukan akan kuperintahkan untuk meringkusmu bersama si
gondrong ini!"
"Kalau
sahabatku memang punya kesalahan, aku tidak keberatan kau menangkapnya. Tapi
jelaskan dulu apa kesalahan sahabatku ini!"
"Kalian
bersahabat? Bukan mustahil kalian berserikat melakukan kejahatan. Berkomplot
menculik perempuan-perempuan hamil!"
"Edan!
Bagaimana Adipati bisa mengarang cerita fitnah seperti itu?!" Ujar Loh
Gatra setengah berteriak sementara Wiro masih saja berdiri tenang malah
cengar-cengir rangkapkan dua tangan di depan dada.
"Siapa
mengarang fitnah!" bentak Adipati Raden Sidik Mangkurat marah dan melotot
besar.
"Beberapa
waktu lalu terjadi penculikan atas diri Nyi Upit Suwarni, puteri Ki Mantep
Jalawardu sahabatku. Perempuan muda itu tengah hamil tujuh bulan. Penculiknya
diketahui seorang berpakaian serba putih menyerupai pocong hidup. Surablandong,
seorang sahabatku yang melakukan pencarian dibunuh. Lalu Aji Warangan Kepala
Pasukan Kadipaten Magetan lenyap. Tak diketahui di mana beradanya, entah masih
hidup entah sudah mati. Di Bantul pasukanku hampir berhasil menangkap salah
seorang anggota komplotan manusia pocong itu. Dia kami ketahui sebagai seorang
kakek berjuluk Setan Ngompol. Lalu muncul pemuda keparat ini mengaku sahabat si
kakek, menyatakan diri sebagai Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua Wiro
Sableng! Setan Ngompol ditolongnya dengan cara mempermalukan diriku. Aku
ditotok pada bagian sini!" Sang Adipati menunjuk ke arah pangkal lehernya.
Lalu menyambung ucapan. "Aku meragukan apa bangsat gondrong ini benar
Pendekar Dua Satu Dua adanya! Setahuku pendekar itu tidak pernah berbuat
kejahatan atau berkomplot dengan manusia-manusia jahat!"
"Adipati,
sahabatku ini memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adanya."
"Aku
tidak perduli siapa dia! Yang jelas sudah terbukti dia berserikat dengan
komplotan manusia-manusia pocong!"
Wiro
Sableng garuk-garuk kepala lalu keluarkan suara berdehem. Sejak tadi berdiam
diri, kini untuk pertama kali dia keluarkan ucapan.
"Aku
dan sahabat Loh Gatra justru dalam perjalanan mencari sarang komplotan penculik
berupa manusia pocong itu. Istri Loh Gatra ikut jadi korban penculikan. Malam
ini, di satu tempat di selatan, kami melihat ada seorang penunggang kuda yang
kepalanya ditutup kain putih. Kami melakukan pengejaran. Tahu-tahu menemukan
manusia pocong ini tergeletak di tempat ini, dalam keadaan kepala atas ditutup
kain putih tapi kepala sebelah bawah tersingkap polos! Alias bugil plontos!
Silahkan Adipati menyaksikan sendiri." Wiro pergunakan kaki kiri mendorong
hingga sosok manusia pocong terguling dan menungging kaku di depan kuda
tunggangan Sidik Mangkurat. Rahang sang Adipati menggembung melihat pemandangan
yang tidak sedap ini sementara Wiro senyum-senyum dan Loh Gatra ikutan mesem-mesem.
"Kalian
pandai mengarang cerita!" Bentak Adipati Sidik Mangkurat. "Begitu
kepergok lantas saja mengatakan mengejar manusia pocong. Padahal manusia pocong
itu adalah kawan kalian. Mungkin dia dalam keadaan celaka dan tadi pasti kalian
tengah hendak menolong menyelamatkannya!"
Loh Gatra
marah besar mendengar ucapan Adipati Magetan itu.
Wiro
menyeringai. Sambil garuk kepala dia berkata. "Kalau tidak percaya manusia
pocong ini bukan sahabat kami, buka saja kain penutup kepalanya. Nanti bakal
ketahuan siapa dia!"
Dengan
rahang kaku menggembung menahan marah yang menggelegak Adipati Magetan berkata.
"Kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku!"
"Jika
tidak mau, biar aku sendiri yang membuka kain penutup kepalanya!" Enak
saja dengan tangan kirinya Wiro merampas obor yang dipegang seorang prajurit
Kadipaten. Obor itu bukan didekatkan ke kepala tapi diarahkan ke pantat manusia
pocong yang tergeletak di tanah setengah menungging karena saat itu tubuhnya
telah kaku.
"Adipati,
lihat baik-baik. Apa kau mengenali orang ini dari bokongnya?" Habis
berkata Wiro lebih mendekatkan obor ke pantat mayat, memandang ke arah Sidik
Mangkurat lalu tertawa gelak-gelak. Loh Gatra yang tidak bisa menahan geli
ikutan tertawa.
Seorang
prajurit bersenjatakan golok yang tak dapat menahan marahnya langsung menyerbu,
bacokkan senjata ke kepala Wiro. Tapi dari samping Loh Gatra hantamkan satu
jotosan ke dada orang hingga prajurit ini mencelat mental, muntah darah lalu
bergedebuk di tanah tak berkutik lagi. Belasan prajurit di tempat itu menjadi
geger, marah luar biasa. Terlebih Sidik Mangkurat. Dia berteriak memberi
perintah.
"Pasukan!
Bunuh dua pemuda itu! Cincang mereka sampai lumat!"
"Tahan!
Tunggu dulu!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia sengaja kerahkan
tenaga dalam hingga suaranya menggeledek dan tanah terasa bergetar. Beberapa
ekor kuda meringkik ketakutan. Para prajurit yang hendak menyerang termasuk
sang Adipati sendiri jadi terkesiap.
"Luar
biasa, belum pernah aku melihat orang memiliki kekuatan tenaga dalam dengan
pengaruh sehebat ini. Siapa pemuda gondrong ini sebenarnya?" diam-diam
Adipati Sidik Mangkurat berkata dalam hati.
Selagi
semua orang terhenyak hening, Wiro lantas pergunakan kesempatan untuk bicara
dan kembali permainkan Adipati itu.
"Adipati,
kalau dari pantat kau tidak bisa mengenali, apakah kau bisa mengenali dari
sebelah sini?"
Dengan
kaki kirinya Wiro dorong mayat manusia pocong hingga terjungkir dan terlentang
di tanah, dua kaki setengah terangkat menghadap ke arah Adipati Sidik
Mangkurat. Wiro dekatkan obor ke bagian bawah perut mayat manusia pocong yang
terpentang polos! Sambil senyum-senyum dia bertanya. "Adipati, dari bagian
yang satu ini, apakah kau masih belum mengenali siapa adanya manusia pocong
ini?"
Untuk
seketika mau tak mau Sidik Mangkurat jadi tercekat ngeri melihat tubuh bagian
bawah orang yang hancur berlumuran darah namun di lain saat Adipati ini
keluarkan bentakan menggeledek.
"Jahanam
kurang ajar!"
Kali ini
Adipati Magetan benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sambil melompat
dari kuda, kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala Wiro. Sementara tangan
kanan bergerak mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggang lalu
dibabatkan ke arah kepala Wiro. Serangan berantai ini memang luar biasa karena
Sidik Mangkurat memiliki ilmu silat tinggi. Dua serangan yang barusan
dilancarkannya itu adalah jurus yang disebut Mendera Bumi Memapas Langit. Walau
usia sudah lebih setengah abad dan tubuh besar gemuk namun serangan yang
dilancarkan sang Adipati kelihatan cepat dan ganas!
Dengan
mundur ke belakang Wiro berhasil mementahkan tendangan lawan. Begitu
tendangannya berhasil dielakkan Wiro, Sidik Mangkurat keluarkan teriakan
menggeledek sementara pedang membabat dalam kecepatan kilat. Wiro kembali
berkelebat cepat menyingkir namun pedang bergerak aneh dan breett! Ujung pedang
berhasil merobek bahu kiri baju putih murid Sinto Gendeng, menggores luka
daging tubuhnya.
Sambil
meringis menahan sakit murid Sinto Gendeng berteriak. "Adipati geblek!
Tahan dulu seranganmu! Lihat, apa kau mengenali wajah orang ini?" Dengan
ujung kakinya Wiro membetot lepas kain putih penutup kepala manusia pocong.
Lalu obor di tangan kiri di dekatkan ke wajah orang. Begitu nyala api obor
menerangi wajah si manusia pocong, Adipati Sidik Mangkurat keluarkan seruan
tertahan. Semua prajurit Kadipaten ikut melengak kaget.
"Aji
Warangan!" seru Adipati Sidik Mangkurat dengan suara tercekat begitu
mengenali wajah manusia pocong yang barusan disingkap kain penutup kepalanya.
Matanya yang mendelik kemudian diarahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Jahanam!"
teriak sang Adipati sambil menuding dengan ujung pedang, "Kau membunuh
Kepala Pasukanku!"
"Tuduhan
edan!" ejek Wiro. "Tadi kau menuduhku berserikat dengan manusia
pocong ini. Kini setelah ketahuan siapa dirinya enak saja kau menuduh aku
membunuhnya!"
"Aku
punya dugaan lain!" Loh Gatra berucap lantang. "Kalau manusia pocong
satu ini adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan, bukan mustahil Adipatinya
yang jadi pimpinan kelompok masing-masing pocong! Saat ini dia sengaja
menjatuhkan tuduhan busuk pada kita untuk menutupi kejahatannya sendiri!"
"Bisa
jadi! Bisa jadi!" sahut Wiro manggut-manggut konyol lalu tertawa bergelak.
Marahnya
Sang Adipati Magetan bukan alang kepalang.
"Pasukan!
Cincang dua orang ini!" Teriak Sidik Mangkurat. Lalu dengan pedang di
tangan dia mendahului menyerang. Belasan prajurit segera ikut menyerbu. Belasan
lainnya membentuk lingkaran melakukan pengurungan agar dua orang tersebut tidak
lolos.
Tiba-tiba
dari balik pohon ada suara teriakan perempuan.
"Tahan
serangan! Manusia pocong itu menemui ajal bukan dibunuh Wiro dan kawannya! Aku
tahu apa yang terjadi!"
Adipati
Magetan semula tidak mau perduli akan teriakan orang. Namun ketika seorang
gadis cantik melompat gesit ke tengah kalangan pertempuran dia terpaksa menahan
serangan. Melihat sikap atasan mereka anggota pasukan Kadipaten Magetan
terpaksa menahan diri, tak berani teruskan serangan.
Di tengah
kalangan pertempuran Wiro berbisik pada Loh Gatra, "Kau kenal siapa gadis
itu?"
Loh Gatra
gelengkan kepala.
"Gadis!
Katakan siapa dirimu!" Hardik Adipati Sidik Mangkurat.
"Namaku
Wulan Srindi. Aku murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!"
Adipati
Magetan yang memang pernah mendengar nama besar Dewa Tuak jadi tertegun.
Perlahan-lahan dia turunkan pedang dan tatap wajah si gadis yang balas
memandang tak berkedip ke arahnya.
Yang
paling kaget adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mulutnya melongo, hatinya
membatin. "Gadis ini, aku tak pernah mengenal dirinya. Mengaku murid Dewa
Tuak. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid yaitu Anggini. Bagaimana
mungkin dia bisa saja seenaknya mengaku murid Dewa Tuak. Anggini juga tidak
pernah menceritakan kalau dia punya saudara satu guru. Atau mungkin ada sesuatu
diluar pengetahuanku?"
"Gadis,"
Adipati Sidik Mangkurat berkata. "Kalau kau memang murid Dewa Tuak, demi
rasa hormatku pada kakek sakti itu, aku memberi kesempatan padamu untuk
meringkus pemuda berambut gondrong itu. Kawannya biar pasukanku yang
melakukan!"
Wulan
Srindi angkat kepala lalu tertawa panjang.
"Adipati,
harap mau berlaku bijaksana. Aku ingin menerangkan sesuatu, karena aku tahu apa
yang telah terjadi di tempat ini."
Adipati
Sidik Mangkurat jadi kesal tapi berusaha mempersabar diri. "Baik, kau
boleh menerangkan apa yang telah terjadi. Tetapi jika kau nanti ternyata
menipuku, aku tidak segan-segan membuat kepalamu menggelinding di tanah!"
Si gadis
ganda tersenyum, melirik pada Wiro lalu membuka mulut.
"Manusia
bugil itu muncul lebih dulu. Menunggangi kuda. Di depan sana dia tersungkur
jatuh dari kuda yang ditunggangi. Tak lama kemudian muncul dua pemuda itu.
Mereka memeriksa orang yang jatuh, mungkin juga hendak menolongnya. Dari
pembicaraan di antara mereka jelas keduanya tidak ada sangkut paut hubungan
apa-apa dengan orang yang jatuh dari kuda. Yang berdestar hitam memberitahu
pemuda bernama Wiro bahwa dia yakin sekali orang itu adalah anggota komplotan
manusia pocong yang telah menculik istrinya."
Adipati
Magetan menatap ke arah Loh Gatra. Masih ada rasa tidak percaya dalam dirinya
terhadap pemuda satu ini. Dia berpaling pada Wiro. Lebih-lebih terhadap si
gondrong ini. Selain tidak percaya, rasa dendamnya karena ditotok dan
dipermalukan tempo hari masih belum pupus. Apalagi barusan si gondrong ini
masih sempat mempermainkan dirinya secara kurang ajar. Setelah berfikir
sejenak, Adipati Sidik Mangkurat berkata, "Jangan-jangan kau sahabat dua
pemuda ini. Keluar dari persembunyian, pura-pura mengarang cerita untuk
menolong mereka. Kalian semua telah merencanakan semua ini! Beraninya kalian
bersandiwara!"
"Tunggu
dulu!" sahut Wulan Srindi sambil mengangkat tangan. "Siapa dua orang
pemuda ini akupun tidak kenal…"
"Aneh,
kau membela orang-orang yang tidak kau kenal. Mana mungkin aku percaya kalau
tidak ada apa-apanya di antara kalian bertiga. Lalu mengapa dan apa yang
dikerjakan seorang gadis sepertimu malam-malam buta di tempat ini?"
Adipati Magetan itu kini menjadi penuh curiga.
"Supaya
tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan, saya akan beri penjelasan,"
kata Wulan Srindi pula.
Adipati
Sidik Mangkurat sudah keburu kesal.
"Aku
tidak punya waktu mendengar celoteh palsu!" kata sang Adipati. Dengan
pedang terhunus dia maju satu langkah sambil memberi perintah. "Pasukan!
Tangkap gadis ini! Nanti kita akan selidiki siapa dia sebenarnya!"
Dua orang
prajurit yang memegang golok segera sarungkan senjata masing-masing. Mereka
mengira dengan tangan kosong akan mudah saja dan bisa meringkus gadis murid
Perguruan Silat Lawu Putih itu. Tapi keduanya kecele, malah mendapat hajaran.
Begitu dua orang prajurit sampai di hadapannya Wulan Srindi mainkan jurus
Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua lutut ditekuk sedikit, dua tangan
diluruskan ke atas dan tiba-tiba sekali dua tangan ini menghantam ke kiri dan
ke kanan.
Bukkk!
Bukkk!
Dua
prajurit menjerit keras, mencelat lima langkah. Satu berdiri
terbungkuk-bungkuk, mengerang sambil pegangi hidungnya yang mengucurkan darah.
Kawannya terkapar di tanah, mengeluh tak berkeputusan. Pipi dan mata kiri
bengkak lebam.
"Gadis
kurang ajar! Jelas kini bagiku! Kalian bertiga satu komplotan!" Teriak
Adipati Magetan melihat dua prajuritnya cidera begitu rupa. Dengan pedang di
tangan dia mengejar ke arah Wulan Srindi. Dari samping kiri seorang prajurit
yang menjadi kepala rombongan ikut melompat seraya berkata.
"Adipati,
serahkan gadis ini pada saya. Biar saya yang meringkusnya!"
Tapi
amarah Sidik Mangkurat sudah menembus kepala.
"Menyingkir!
Biar aku sendiri yang memberi pelajaran pada gadis kurang ajar ini!" Habis
berkata begitu Sidik Mangkurat gerakan tangan kanannya. Pedang berkilat
membabat aneh, bertabur berkilau dalam gelapnya malam.
Sebelumnya
Wiro telah merasakan kehebatan ilmu pedang Sidik Mangkurat yang mampu merobek
baju dan menoreh luka bahu kirinya. Wiro bukannya meremehkan orang. Tapi apakah
ilmu yang dimiliki si gadis melebihi dirinya? Selain itu Wiro khawatir kalau si
gadis sampai celaka di tangan lawan, dia tidak akan berkesempatan menanya dan
menyelidiki siapa dia sebenarnya dan paling penting untuk mengetahui bagaimana
pangkal ceritanya hingga si gadis menyatakan diri sebagai murid Dewa Tuak.
"Adipati!
Tahan serangan! Mari kita bicara dulu!" Murid Sinto Gendeng berseru seraya
melompat ke tengah kalangan pertempuran. Dia berusaha menahan agar Sidik
Mangkurat tidak melanjutkan serangan. Namun diteriaki serta dihadang begitu
rupa malah membuat Adipati dari Magetan itu jadi kalap.
"Gondrong
kurang ajar! Silahkan kalau kau mau bicara duluan. Cepat lakukan sebelum
kepalamu kutabas menggelinding di tanah!"
Adipati
Magetan yang tidak mau memberi kesempatan pada Wiro langsung kiblatkan pedang,
menggempur dengan jurus-jurus maut! Dia membuka serangan dengan jurus disebut
Kilat Menyambar Menara Keraton. Laksana kilat senjata di tangan kanan Adipati
itu menderu ke arah kepala Wiro. Ketika lawan berhasil mengelakkan serangannya
dengan menundukkan kepala, Sidik Mangkurat mengejar dengan jurus kedua yang
disebut Angin Puting Meremuk Pohon Beringin. Laksana angin puting beliung
pedang berkilat menderu bertabur membungkus tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng
membuat Loh Gatra yang menyaksikan terkesiap ngeri.
Breett!
Breettt!
Sungguh
luar biasa ilmu pedang Adipati Magetan itu. Pakaian Wiro robek di dua tempat.
Wulan
Srindi tercekat. Sambil berteriak keras gadis ini sambar sebatang tombak milik
seorang prajurit lalu melompat ke dalam kalangan pertempuran.
Wutt!
Tombak di
tangan Wulan Srindi laksana kitiran, berputar ke arah pedang dan berusaha
menembus menghantam ke bagian kepala lawan dalam jurus Menyapu Lereng Menjebol
Puncak Gunung.
Traang!
Pedang
dan tombak bentrokkan di udara. Bunga api memercik. Wulan Srindi keluarkan
seruan tertahan ketika dapatkan tombak di tangannya telah patah dibabat pedang
lawan! Selagi dara ini terkesiap begitu rupa, senjata lawan datang menyambar.
Loh Gatra berteriak memberi ingat. Sesaat lagi ujung pedang akan membabat
bagian dada Wulan Srindi, saat itulah Pendekar 212 Wiro Sableng menyusup dalam
jurus Membuka Jendela Memanah Matahari. Tangan kiri melesat ke atas menahan
lengan kanan Sidik Mangkurat. Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar ke
arah pedang. Lalu terdengar tiga kali berturut-turut suara kraak… kraak…
kraaakkkk!
***********************
10
KEJUT
Adipati Sidik Mangkurat dan semua anggota pasukan Kadipaten Magetan bukan alang
kepalang ketika menyaksikan bagaimana dengan tangan kosong Pendekar 212
mematahkan pedang di tiga tempat seperti semudah seorang meremas kerupuk!
Sepertinya ujung pedang patah, lalu bagian pertengahan, menyusul badan pedang
di atas gagang. Pada remasan ke empat tangan Wiro bergerak ke arah pergelangan
tangan lawan. Sidik Mangkurat keluarkan seruan keras. Sebelum lima jari tangan
Wiro sempat mencekal pergelangan tangan kanannya dengan cepat dia lepaskan
gagang pedang. Dengan muka pucat dan mata mendelik besar Adipati ini melompat
menjauhi Wiro. Seumur hidup baru sekali ini dia melihat ada orang memiliki
kesaktian yang mampu meremas mematahkan pedang seperti meremas mematahkan Opak
gendar (Opak gendar sejenis kerupuk dibuat dari nasi yang dikeringkan).
"Ilmu
setan apa yang dimiliki pemuda gondrong ini?" membatin Sidik Mangkurat
sambil matanya mengawasi ilmu jari tangan kanan Pendekar 212. Ilmu yang tadi
dikeluarkan Wiro untuk mematah tiga pedang Sang Adipati adalah ilmu Koppo,
yaitu ilmu mematah benda keras yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura
(baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai).
"Adipati,
apakah sekarang kita bisa bicara?" Bertanya Pendekar 212 Wiro Sableng.
Tangan kanan berkacak pinggang tangan kiri menggaruk kepala.
Hawa
amarah yang membungkus sekujur tubuh Adipati Sidik Mangkurat melebihi rasa
kecut yang ada dalam hatinya. Selain itu dia merasa sangat dipermalukan di
hadapan pasukannya. Tanpa menjawab pertanyaan Wiro dari balik pinggang dia
keluarkan sebuah benda berbentuk tali yang ternyata adalah seutas cambuk
berwarna merah, bergagang yang dilibat kain biru, panjang sekitar dua belas
jengkal.
Beberapa
prajurit Kadipaten, termasuk kepala rombongan pasukan tersentak kaget melihat
senjata di tangan pimpinan mereka. Memandang ngeri, mereka segera bergerak
mundur menjauh. Salah seorang prajurit berbisik pada kepala pasukan.
"Bukankah senjata di tangan Adipati Pecut Sewu Geni?"
"Aku
yakin itu memang Pecut Sewu Geni. Tapi bagaimana bisa dimiliki Adipati?
Bukankah…"
Kepala
rombongan pasukan Kadipaten itu tidak meneruskan ucapannya. Ketika Adipati
Sidik Mangkurat menggerakkan tangan, mulai memutar cambuk mereka mundur semakin
jauh. Wajah masing-masing menunjukkan kengerian.
Semula
Wiro menaruh enteng senjata di tangan lawan yang dianggapnya tidak lebih dari
sebuah cambuk butut bendera lembu atau kuda. Namun matanya menangkap raut
ketakutan beberapa prajurit Kadipaten yang melangkah menjauhi. Hal ini juga
dilihat oleh Loh Gatra yang segera berbisik pada Wiro.
"Senjata
di tangan Adipati itu agaknya bukan sembarangan. Hati-hati. Atau kali ini biar
aku yang menghadapinya…"
"Loh
Gatra, tetap di tempatmu. Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan cambuk
itu," jawab Wiro. Tapi saat itu Loh Gatra sudah melompat ke depan.
"Adipati,
kami masih mau berharap agar kau menyadari bahwa kami bukan orang-orang jahat.
Kami tidak punya sangkut paut apa-apa dengan manusia-manusia pocong. Seperti
yang dikatakan Wiro tadi, istriku telah diculik manusia pocong. Kami berada di
sini tengah melakukan pengejaran."
Adipati
Sidik Mangkurat keluarkan suara mendengus. "Anak muda mengaku cucu Ki
Sarwo Ladoyo. Aku masih mau sedikit menghormati mendiang kakekmu itu. Aku
memberi kesempatan mencari selamat padamu. Menyingkirlah! Kecuali kalau kau
minta mampus duluan!" Sidik Mangkurat gerakkan tangannya ke atas. Cambuk
yang dipegangnya kelihatan memancarkan cahaya benderang merah seolah berubah
seperti besi yang digarang. Ketika Loh Gatra tidak mau beranjak dari tempatnya,
Adipati Sidik Mangkurat tidak menunggu lebih lama. Tangan kanan bergerak
memutar. Pecut Sewu Geni mengeluarkan suara menderu laksana topan menyerbu.
Bersamaan dengan itu nyala merah pada sekujur cambuk berubah menjadi api.
Ketika cambuk membabat terdengar suara letupan-letupan keras. Kobaran lidah api
luar biasa banyaknya menyambar ke arah Loh Gatra.
Wuuttt!
Wuss… Wusss… Wusss!
"Loh
Gatra! Awas!" Teriak Wiro seraya menarik tangan sahabatnya itu. Namun enam
dari sekian banyak kobaran lidah api aneh masih sempat menyambar tubuhnya
sebelah kanan. Pakaiannya serta merta ditambus api. Loh Gatra keluarkan jeritan
keras, jatuhkan diri di tanah lalu berguling berusaha memadamkan api.
"Adipati
keparat! Kejahatan apa yang telah kami perbuat hingga tega-teganya kau
menjatuhkan tangan keji terhadap sahabatku!" Pendekar 212 Wiro Sableng
berteriak marah, melompat ke depan, siap menerkam Sidik Mangkurat. Tangan kiri
membuat gerak jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan untuk membentengi diri dari
serangan api cambuk yang ganas. Tangan kanan melancarkan serangan dalam jurus
Benteng Topan Melanda Samudera. Pukulan sakti ini sangat mematikan. Selain itu
juga mengeluarkan angin deras yang sekaligus diharapkan dapat menghalau
datangnya serangan api yang keluar dari Pecut Sewu Geni.
Wajah
Adipati Sidik Mangkurat menyeringai garang. Rahang menggembung. Tangan kanannya
menghantam.
Wuuuut!
Wusss… Wusss… Wusss!
Kobaran
lidah api, puluhan banyaknya menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro
gerakkan dua tangan, balas menghantam. Tangan kiri membentengi diri, tangan
kanan lancarkan serangan mengeluarkan angin deras. Suara letupan-letupan keras
menggelegar di tempat itu.
"Tembus!"
Teriak Adipati Sidik Mangkurat.
Kenyataannya
memang begitu. Empat belas kobaran lidah api melesat ganas tak sanggup ditahan
jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan ataupun dimusnahkan dengan pukulan Benteng
Topan Melanda Samudera. Wiro tersentak kaget. Tidak percaya serangan cambuk api
lawan sanggup menembus dua kekuatan hawa sakti pertahanan dan serangan. Wulan
Srindi berteriak pucat.
Pada saat
yang luar biasa menegangkan itu tiba-tiba terjadi hal tidak terduga. Di langit
sebelah timur, dalam gelapnya malam mendadak ada satu nyala putih. Nyala ini
bergerak ke arah rimba belantara, begitu cepatnya dan kurang dari sekejapan
mata telah berada di tempat itu. Benda putih menyala ini ternyata adalah sosok
seorang berjubah dan bersorban putih berkilat. Laksana seekor elang, orang ini
menukik ke arah Adipati Sidik Mangkurat. Dua lengan jubah dikebutkan. Dua
gelombang cahaya biru disertai sambaran angin luar biasa dinginnya menerpa.
Puluhan kobaran lidah api serta merta padam. Pendekar 212 Wiro Sableng lolos
dari serangan ganas yang bisa membakar dirinya seperti kejadian dengan Loh
Gatra. Sidik Mangkurat sendiri terjajar sampai empat langkah. Begitu dia
berhasil mengimbangi diri, Pecut Sewu Geni sudah tak ada lagi di tangan
kanannya. Dia memandang berkeliling. Orang yang barusan merampas Pecut Sewu
Geni masih berada di tempat itu. Dia tidak berdiri di tanah tapi memilih tegak
di salah satu cabang pohon. Cabang pohon ini hanya sebesar pergelangan tangan.
Jika orang itu bisa berdiri di atas cabang itu, pastilah dia memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa.
Wiro yang
barusan terselamatkan ikut memandang ke arah pohon. Orang yang berdiri di atas
pohon itu ternyata seorang kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Janggut
serta kumis putih lebat tapi rapi menghias wajahnya yang bersih. Pecut Sewu
Geni digulungkan ke tangan kanannya. Cambuk ini kini berada dalam bentuk dan
warnanya semula. Tak ada lagi bagian yang menyala seperti besi digarang.
Ketika memperhatikan
kakek di cabang pohon, wajah Adipati Sidik Mangkurat berubah, dadanya bergetar,
hatinya tidak enak. "Orang tua di atas pohon! Mengapa kau merampas cambuk
milikku!" Adipati Sidik Mangkurat menegur dengan suara keras.
"Aha!"
si kakek menjawab teguran orang sambil acungkan Pecut Sewu Geni. "Jadi
Pecut Sewu Geni, Pecut Seribu Api ini adalah milikmu?! Maaf, aku tak pernah
menduga sebelumnya." Si kakek tersenyum. "Lima puluh dua purnama aku
mencari. Malam ini baru aku bisa menemukan senjata sakti mandraguna milik
pewaris di tanah seberang. Adipati Sidik Mangkurat, aku tidak menuduhmu mencuri
tapi bertanya-tanya bagaimana cambuk milik orang lain ini bisa berada di
tanganmu. Saat kau harus sudah cukup puas selama lima puluh dua purnama senjata
ini berada di tanganmu. Saatnya senjata ini dikembalikan ke tempat asalnya. Aku
tidak menjatuhkan hukuman apapun padamu asalkan kau mau bertobat dan segera
meninggalkan tempat ini. Jangan mencampuri urusan orang lain…"
"Kau
sendiri apa tidak merasa mencampuri urusan orang lain?" Ucap Sidik
Mangkurat memotong ucapan si kakek. "Kembalikan pecut itu padaku."
"Kalau
kau memang masih menginginkan, ambillah sendiri ke sini," jawab si kakek
di atas cabang pohon.
Rahang
Adipati Magetan menggembung. Sekali dia menekan dua telapak tangan ke tanah,
tubuhnya yang besar itu melesat ke cabang pohon.
Di atas
pohon si kakek berjubah dan bersorban putih tersenyum. Dia kembangkan tangan
kanannya lalu dikipas-kipaskan seraya berkata, "Aneh, malam buta begini
mengapa udara terasa panas…"
Ketika
tangan si kakek mengipas, sosok Adipati Sidik Mangkurat yang tengah melesat ke
arah pohon mendadak terpental kian kemari hingga akhirnya jatuh bergedebuk ke
tanah. Topi tingginya mencelat entah ke mana.
"Hai!
Aku sudah menunggu, apakah kau tidak jadi mengambil Pecut Sewu Geni ini?
Astaga, kau malah enak-enakan tiduran di tanah. Sayang pakaianmu yang
bagus…" Si kakek memandang ke arah Sidik Mangkurat lalu tertawa mengekeh.
Dalam
keadaan sekujur tubuh sakit Adipati itu mencoba bangkit. Terbungkuk-bungkuk
menahan sakit dia naik ke atas kudanya, memberi isyarat pada prajurit kepala
lalu tinggalkan tempat itu.
Di atas
pohon kakek bersorban dan berjubah putih berkilat hendak bergerak pergi. Namun
batalkan niatnya sewaktu pandangannya membentur sosok Loh Gatra yang terkapar
di tanah. Wajah dan tubuhnya sebelah kanan mengalami luka bakar cukup parah.
Saat itu Loh Gatra berusaha bangkit ditolong oleh Wiro. Kakek di atas pohon
melayang turun. Matanya yang kecil tajam pandangi wajah serta bagian tubuh Loh
Gatra yang terbakar lalu geleng-gelengkan kepala. Kakek ini buka libatan Pecut
Sewu Geni di tangannya. Gagang pecut diletakkan di atas kepala, cambuk
dibiarkan menjuntai melewati wajah serta bagian tubuh yang menderita luka
bakar.
"Asal
cambuk kembali kepada cambuk. Asal pecut kembali kepada pecut." Si kakek
berucap lalu meniup ke arah cambuk. Astaga! Saat itu juga luka bakar di wajah
dan tubuh Loh Gatra lenyap. Keadaan dirinya tak kurang suatu apa kecuali
pakaian yang masih berada dalam keadaan hangus terbakar.
"Luar
biasa. Kek, kau hebat sekali…" Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan
menatap si kakek.
Orang tua
yang ditatap balas memandang tersenyum dan kedipkan mata kirinya pada Pendekar
212 Wiro Sableng. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar. Sekali dia berkelebat
sosoknya lenyap dari tempat itu.
Wiro
leletkan tidah, geleng-geleng kepala. "Aku tak kenal siapa adanya kakek
hebat itu."
"Aku
malah tak sempat mengucapkan terima kasih padanya…" Ucap Loh Gatra sambil
usap-usap wajahnya setengah tidak percaya.
Tiba-tiba
di kejauhan ada suara derap kaki kuda. Makin cepat makin keras dan mendatangi
ke tempat orang-orang itu berada. Tak lama kemudian dalam gelapnya malam
kelihatan seorang penunggang kuda berjubah dan bertutup kepala putih.
Gerakannya menunggang kuda aneh sekali. Sebentar dia tak kelihatan, di lain
saat sudah ada di sebelah kiri atau jurusan kanan.
"Manusia
pocong!" ujar Wulan Srindi.
Di depan
sana kuda dan penunggang lenyap kembali. Wulan Srindi putar tubuhnya. Tiba-tiba
gadis ini berteriak.
"Awas
serangan membokong!"
Wiro
berbalik.
"Wiro
awas!" Teriak Wulan Srindi.
Tapi
terlambat.
Pendekar
212 Wiro Sableng hanya sempat melihat sebuah benda melesat di kegelapan malam.
Ada cairan menyiprat. Lalu dia merasakan perih amat sangat di dadanya. Ketika
dia memperhatikan ternyata disitu telah menancap sebuah bendera aneh, berbentuk
segi tiga dan basah oleh cairan berwarna merah.
"Bendera
Darah…" desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.
Wiro
menggigit bibir menahan sakit. "Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan
ini…"
"Pasti
manusia pocong tadi. Aku akan melakukan pengejaran." Kata Loh Gatra.
"Jangan
ke mana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan belaka. Wiro
pejamkan mata. Menjajaki mencari tahu. "Panah ini tidak beracun. Kalau
beracun aku pasti bisa merasakan. Atau mungkin hawa sakti Kapak Naga Geni Dua
Satu Dua telah memusnahkan."
Wiro
kembali menggigit bibir. Ketika dia hendak mencabut gagang bendera darah yang
menancap di dadanya tiba-tiba ada orang berseru.
"Jangan
dicabut! Berbahaya!"
Seorang
berpakaian coklat, berwajah dan bertubuh kuning muncul di tempat itu.
Jatilandak, pemuda dari Negeri Latanahsilam.
"Huh,
dia…" kata Wiro dalam hati. Dia tidak perdulikan kedatangan orang karena
masih merasa sakit hati atas kejadian tempo hari. Dia telah menyaksikan
Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa benci dan
tidak ingin melihat pemuda ini.
Begitu
Jatilandak muncul Wulan Srindi memandang berkeliling. "Mana yang
betina?" Gadis ini membatin. "Bukankan sebelumnya dia berdua-dua
dengan Bidadari Angin Timur? Hemm… mungkin gadis berambut pirang itu sengaja
sembunyikan diri di sekitar sini. Kesempatan bagiku. Lihat saja, akan aku
kerjai lagi dia!"
"Wiro,
jangan dicabut." Jatilandak mengulangi ucapannya tadi.
Tanpa
memandang ke arah pemuda berwajah kuning itu Wiro bertanya. "Memangnya
kalau dicabut kenapa?" Sepasang mata murid Sinto Gendeng memandang
berputar ke arah kegelapan, mencari-cari. Tapi dia tidak melihat Bidadari Angin
Timur. Padahal sebelumnya dia mengetahui kalau gadis itu berdua-duaan dengan
Jatilandak. Mungkin bersembunyi di sekitar situ?
"Aku
pernah melihat bendera ini sebelumnya. Ujung lancip yang menancap di dalam
daging tubuhmu berbentuk gerigi menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut,
daging di sekitarnya akan ikut terbongkar. Sebesar ini." Jatilandak
membuat lingkaran dengan dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.
"Gila!
Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya! Kalau tak boleh dicabut biar
kupatahkan saja!" Nekad murid Sinto Gendeng kembali gerakkan tangan hendak
mematahkan gagang bendera darah. Tapi satu tangan halus memegang lengannya
mencegah.
"Orang
sudah memberi nasihat, jangan berbuat nekad."
Wiro
putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis itu.
"Kau
yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya?!"
"Tadi
sewaktu Adipati itu berada di sini sudah kuberitahu. Apakah kau tidak mendengar?
Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu, selama ini aku
mencarimu…"
"Perlu
apa kau mencariku? Aku tidak percaya kau adalah murid…"
"Tidak
heran, kalau kau tidak percaya. Karena kita tidak pernah bertemu sebelumnya.
Kau akan lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru aku berjodoh
dengan dirimu!"
"Eee…
apa?!" Wiro merasa sakit di dadanya jadi berlipat ganda.
Wulan
Srindi tersenyum. "Nanti saja kita bicarakan hal itu. Tak jauh dari sini
ada tempat yang baik. Kau bisa berbaring di sana sementara kami-kami ini
berusaha membantu mengeluarkan bendera darah itu dari tubuhmu."
Baru saja
Wulan Srindi selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang
berseru.
"Pendekar
Dua Satu Dua Wiro Sableng! Jika kau ingin selamat dari Bendera Darah dan jika
kau punya nyali silahkan datang ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."
"Manusia
pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam betul!" Wiro
segera angkat tangan kanannya. Begitu tangan itu berubah putih seperti perak
mulai dari siku sampai ujung jari, dia langsung menghantam.
Wusss!
Selarik
cahaya putih panas menyilaukan berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke
arah munculnya suara orang berteriak tadi. Pohon-pohon yang terkena sambaran
cahaya hangus lalu berderak roboh. Nyala kobaran api terlihat di mana-mana.
Namun manusia pocong yang jadi sasaran pukulan Sinar matahari yang dilepaskan
Wiro berhasil lolos.
"Jahanam
itu boleh lolos saat ini. Aku bersumpah akan mematahkan batang lehernya!"
Wiro memaki sambil mengepalkan tangan kanan penuh geram.
Di tempat
gelap, di balik sebatang pohon besar, seseorang yang mendekam menyembunyikan
diri, mengeluarkan umpatan perlahan. "Gadis tak tahu diri. Beraninya
mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Lihat saja,
aku bersumpah satu saat akan menampar mulutmu."
"Sahabatku,
siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu? Mudah-mudahan
bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum
apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik… hik… hik." Tiba-tiba satu suara
bertanya.
Orang
yang sembunyi di balik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing. Cepat
palingkan kepala. Dia melihat kepala berambut tipis nyaris gundul, sepasang
telinga berdaun lebar yang salah satunya terbalik. Lalu sepasang mata belok
yang dikedap-kedipkan.
"Kau!
Jangan dekat-dekat. Aku tidak mau celanamu yang basah air kencing menyentuh
pakaian atau tubuhku."
"Aku
tahu diri," jawab orang yang barusan datang. "Aku juga takut
bersentuhan dengan dirimu. Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air
yang lain. Hik… hik… hik."
"Tua
bangka sinting! Aku sedang kesal sakit hati! Jangan bicara jorok!"
"Amboi,
gerangan apa yang mengesalkan hatimu? Putus bercinta, ditinggal kekasih
atau…"
"Kakek
brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Lihat ke depan sana!"
"Astaga!
Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng. Eh, anak sableng
itu dia memakai apa di dadanya?"
"Bukan
memakai apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah!"
"Astaga!
Siapa yang membokong!"
"Manusia
pocong!"
Serr!
Mendengar
disebutnya nama itu langsung kakek bau pesing yang bukan lain Setan Ngompol
adanya kucurkan air kencing.
TAMAT
No comments:
Post a Comment