Insan Tanpa Wajah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
1
GURUN
Tengger siang terik panas membara. Hari itu hari ke 305, merupakan hari
terakhir dari tapa samadi yang dilakukan Cakra Mentari di atas pohon tanjung
besar yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Sekujur tubuhnya mulai dari
rambut sampai ke kaki memutih tertutup lapisan debu gurun pasir. Sekian ratus
hari dia duduk tidak bergerak, bahkan seolah tanpa bernafas di atas pohon
tanjung yang menghadap ke utara. Setiap hari, tepat pada pertengahan siang,
sekuntum bunga tanjung melayang jatuh ke arah kepalanya, secara gaib masuk ke
dalam tubuh lewat ubun-ubun. Itulah satusatunya makanan sekaligus minuman yang
memberi kehidupan pada Cakra Mentari.
Perlahan-lahan
matahari bergerak menuju titik tertingginya. Menjelang bola penerang jagat itu
mencapai titik kulminasinya, sekujur tubuh Cakra Mentari tampak bergetar. Ada
hawa dingin aneh menyelimuti, membuat tubuh pemuda itu mengeluarkan asap tipis
yang memancarkan cahaya kebiruan. Sekuntum bunga tanjung luruh, melayang jatuh
masuk ke dalam kepalanya. Itulah kuntum bunga yang ke 305, merupakan makanan
terakhir di penutup tapa samadinya.
Tiba-tiba
di arah timur muncul satu titik putih, bergerak ke arah pohon tanjung besar di
tengah gurun pasir Tengger. Saat demi saat noktah putih ini berubah besar dan
ketika hanya tinggal puluhan langkan dari pohon di mana Cakra Mentari berada,
benda yang tadi berupa titik itu kini membentuk sosok seorang berpakaian
selempang kain putih.
Hebat
luar biasanya bahkan boleh dikata mengerikan orang ini tidak memiliki wajah,
tidak mempunyai muka, licin polos dan rata tanpa mata dan alis, tanpa hidung
maupun mulut. Kepala ditumbuhi rambut putih menjulai panjang. Dagu digantungi
janggut putih melambai. Hanya itu yang merupakan satu-satunya pertanda bahwa
makhluk aneh ini telah berusia lanjut.
Samar-samar
di tangan kanannya si muka rata ini memegang sebuah tongkat emas yang ujung
atasnya berbentuk lingkaran dihias berbagai permata aneka warna. Seperti
tertulis pada halaman pertama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib hanya Cakra Mentari
seorang yang bisa melihat pohon tanjung di gurun pasir Tengger itu.
Kalau
kini ada makhluk lain yang mampu mengetahui keberadaan pohon tanjung tersebut,
maka berarti dia adalah seorang yang luar biasa ilmu kesaktiannya. Makhluk ini
melesat ke atas pohon. Seolah seringan kapas dia berdiri di pucuk pohon paling
atas, tatapkan wajah polos ke arah sosok Cakra Mentari yang duduk di cabang
pohon di bawahnya. Tongkat emas dimelintangkan di depan dada.
“Duabelas
purnama telah berlalu. Satu tahun pertama telah berakhir. Aku masih harus
menunggu duabelas purnama lagi. Setelah itu semua akan berada di tanganku…”
Wajah licin itu pancarkan cahaya merah. Tangan yang memegang tongkat emas
diajukan ke bawah, ke arah Cakra Mentari. Saat itu juga melesat sinar kuning,
membungkus tubuh pemuda itu beberapa ketika lalu lenyap. Di lain kejap makhluk
tanpa wajah tidak kelihatan lagi di atas pohon. Hawa dingin yang sejak tadi
menyelimuti tubuh Cakra Mentari kini lenyap, begitu pula cahaya kebiruan yang
membungkusnya ikut sirna.
Hanya
beberapa saat setelah makhluk tanpa wajah lenyap dari tempat itu, sang surya
sampai pada titik tertingginya. Di langit muncul satu lengkungan aneh
memancarkan cahaya tiga warna, merah, biru dan hijau. Lalu dari arah barat
gurun bertiup angin kencang. Pohon tanjung besar bergetar keras. Dahan dan
rerantingan serta daundaun dan bunga tanjung bergoyang-goyang. Daun luruh,
bunga tanjung berguguran, jatuh ke atas pedataran pasir, lenyap dari
pemandangan. Pohon tanjung besar kini tampak gundul. Yang kelihatan hanya batang,
cabang serta rerantingan dan tentu saja sosok Cakra Mentari yang masih duduk
bersila pejamkan mata di atas dahan.
Tiupan
angin yang begitu keras membuat seluruh debu gurun pasir yang menyelimuti
sekujur tubuh Cakra Mentari mulai dari rambut sampai ke ujung kaki terkikis
pupus. Dan sungguh aneh luar biasa! Keadaan diri pemuda ini tidak berubah
sedikitpun. Pakaian hitamnya bersih tidak lusuh. Rambut hitam pekat tidak
bertambah panjang. Begitu juga kumis kecil, janggut dan berewok tipisnya sama
sekali tidak berubah, rapi seperti dulu dan tidak pula menjadi panjang. Wajah
gagah bersih kelimis!
Di langit
matahari mencapai titik tertinggi.
Desss!
Kepulan
asap memancarkan cahaya merah, biru dan hijau keluar dan ubun-ubun, liang
telinga, hidung serta mata Cakra Mentari yang masih terpejam. Bersamaan dengan
itu lengkungan tiga warna yang ada di langit seperti ular raksasa menggeliat
bergerak berputar lalu melesat ke arah pohon tanjung dan masuk ke dalam tubuh
si pemuda. Saat itu pula putera Tajurpambayan dan Sulin dari Desa Tumpang di
barat Pegunungen Tengger ini perlahan-lahan membuka kedua matanya. Pertama
sekali dilihatnya adalah gurun pasir Tengger. Dia menatap ke langit putih
bersih, lalu memandang ke atas memperhatikan pohon besar yang kini tinggal
dahan dan ranting. Akhirnya pemuda ini perhatikan dirinya sendiri.
“Tubuhku
terasa sangat enteng. Pandangan mataku lebih tajam dari yang sudah-sudah. Tiga
ratus lima hari telah berlalu. Aneh, diriku tidak mengalami perubahan. Apakah
saat ini aku sudah memperolah ilmu baru sesuai petunjuk dalam kitab?”
Ingat
akan kitab, Cakra Mentari meraba balik pakaiannya sebelah kiri di mana dia
menyimpan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Kitab masih berada di situ. “Sesuai
petunjuk di dalam kitab, aku baru bisa membaca kitab pada hari yang ke
tigaratus enam. Berarti besok. Sementara menunggu apa yang harus aku lakukan?”
Tiba-tiba
Cakra Mentari merasa ada serangkum angin bertiup dari bawah. Dia tukikkan
pandangan ke bawah pohon.
“Aneh,
bagaimana tahu-tahu orang berjubah hitam itu ada di bawah sana tanpa aku
melihat kedatangannya?” Cakra Mentari berucap dalam hati sewaktu melihat di
bawah pohon ada seorang tinggi besar mengenakan jubah dan sorban hitam. Orang
ini hanya memiliki satu mata. Mata sebelah kiri tinggal merupakan rongga besar
dan dalam mengerikan, masih digenangi darah. Dari bawah pohon dia berusaha
melesat ke atas. Namun setiap dia melakukan hal itu ada satu cahaya kuning
membendung gerakannya, membuat dia berbalik jatuh ke tanah. Orang di bawah
pohon sama sekali tidak bisa melihat pohon tanjung besar tapi mampu melihat
sosok Cakra Mentari yang seolah duduk bersila di awang-awang.
“Cakra
Mentari, turunlah cepat! Ada satu hal penting yang harus aku sampaikan padamu!”
Orang berjubah hitam di bawah pohon yang bukan lain adalah Deewana Khan
berteriak.
“Orang
itu mengenal diriku. Apakah aku mengenalnya?” Cakra Mentari menduga-duga.
“Aku
Deewana Khan. Abdi penolongmu. Cepat turun!” Orang bermata satu kembali
berseru.
Sebelumnya
Tajurpambayan, ayah Cakra Mentari pernah bercerita pada pemuda itu tentang
seorang asing bernama Deewana Khan. Namun saat itu si pemuda tidak ingat
apa-apa lagi.
Di
pedataran pasir Tengger sebelah timur tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih.
“Insan
Tanpa Wajah…,” ucap Deewana Khan dengan suara bergetar. Wajah seramnya berubah.
Rasa cemas mencekam diri. “Cakra Mentari! Cepat turun!” Deewana Khan berteriak.
Seperti diceritakan sebelumnya, Deewana Khan adalah manusia misterius yang
telah menolong kelahiran bayi Cakra Mentari dan sekaligus melindungi anak itu
ketika terjadi penitisan oleh Suma Mahendra (Baca serial Wiro Sableng berjudul
‘Misteri Bunga Noda’).
Merasa
orang sangat memerlukan dirinya Cakra Mentari segera hendak melompat turun dari
dahan di mana saat itu dia duduk bersila. Namun tubuhnya sebelah bawah tak bisa
digerakkan. Seolah menempel dengan dahan pohon! Bagaimanapun pemuda itu
berusaha dengan berbagai cara tetap saja tubuhnya tak bisa lepas dari dahan
yang didudukinya.
Cakra
ingat akan petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib halaman kedua, Kelak kau
akan mendapatkan ilmu yang lebih hebat. Maka pemuda ini segera kerahkan tenaga
dalam. Namun sebelum sesuatu terjadi, tiba-tiba di bawah sana terdengar satu
letusan keras disertai berkiblatnya selarik cahaya kuning terang menyilaukan,
disusul jeritan. Pohon tanjung besar bergoyang kencang. Tubuh Deewana Khan
terpental tiga tombak, terkapar di pedataran pasir mengepulkan asap kuning. Dia
berusaha bangkit sambil menunjuk ke arah orang berselempang kain putih memegang
tongkat emas. Mulutnya lelehkan darah kental.
“Insan
Tanpa Wajah… Aku tahu siapa kau. Aku tahu siapa dirimu. Manusia culas
pengkhianat busuk!”
Orang
berselempang kain putih goyangkan tongkat emas di tangan kanan. Selarik sinar
kuning kembali melesat ke arah Deewana Khan. Untuk kedua kalinya lelaki
bertubuh besar mengenakan jubah hitam itu terpental. Sorban hitam tanggal dari
kepalanya. Kali ini dia tak mampu bangkit lagi. Sekujur tubuhnya berubah
kuning, lalu menciut dan berubah hitam. Angin gurun bertiup kencang. Pasir
gurun beterbangan menutupi sosok mayat Deewana Khan hingga akhirnya tertimbun
dan lenyap dari pemandangan.
Di atas
pohon Cakra Mentari memperhatikan semua yang terjadi. Entah mengapa dia merasa
sedih melihat kematian orang berjubah dan bersorban hitam walau dia tidak tahu
siapa adanya orang itu, seperti ada kontak kejiwaan yang tidak dipahaminya. Di
bawah pohon orang berselempang kain putih tanpa wajah arahkan mukanya pada
Cakra Mentari. Saat itu pula si pemuda mendengar suara mengiang di kedua
telinganya.
“Jangan
lakukan apa saja yang tidak diberi petunjuk di dalam Kitab Jagat Pusaka Alam
Gaib. Jika kau melanggar pantangan dan merusak apa yang sudah direncanakan,
maka dirimu akan mengalani kerusakan lebih dulu.”
Cakra
Mentari terdiam, namun hatinya berkata. “Siapa yang menyampaikan ucapan padaku?
Orang aneh tak berwajah di bawah sana? Apakah aku mengenalnya? Mengapa dia
mengancam diriku? Apakah aku berada di bawah kekuasaan makhluk itu? Apakah aku
harus tunduk kepadanya? Apa yang terjadi dengan diriku.”
Seperti
tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib halaman kedua, Pada saat kau
mendudukkan diri di cabang pohon, saat itu pula terputus hubunganmu dengan masa
lalu. Kau tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan kau tidak ingat lagi ayah ibumu.
Sebenarnya
Cakra Mentari sebelumnya telah melihat makhluk aneh tak berwajah itu. Yakni
tatkala makhluk tersebut mencelakai Suma Mahendra sehingga Suma terpental jatuh
ke bawah Gunung Mahameru. Namun karena jalan pikirannya dengan masa lalu
terputus maka dia tidak mengingat lagi kejadian itu.
Hanya ada
satu hal saja dari masa lalu yang masih melekat di benaknya. Yaitu namanya. Dia
tidak pernah lupa kalau dia bernama Cakra Mentari.
Tiba-tiba
untuk kedua kalinya terdengar suara mengiang di telinga Cakra Mentari.
“Anak
manusia bernama Cakra Mentari. Jangan menyelidik dengan hatimu. Jangan mencari
tahu dengan pikiranmu. Jangan berusaha turun dari pohon karena itu bisa
menghancurkan dirimu sendiri. Besok pagi begitu matahari terbit di timur kau
berkewajiban melanjutkan membaca Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib pada halaman ke
tiga.”
Cakra
Mentari memandang ke bawah pohon. Makhluk tanpa wajah itu ternyata tak ada lagi
di tempatnya semula.
*********************
2
LANGIT di
ufuk timur mulai terang pertanda di kejauhan sana fajar telah menyingsing dan
tak berapa lama lagi sang surya akan kelihatan memunculkan diri. Di atas dahan
pohon tanjung yang menghadap ke utara Cakra Mentari segera ingat. Saat itu
adalah saat di mana dia harus segera membuka Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.
Cakra keluarkan kitab dari balik baju hitamnya. Dia menunggu sesaat sampai
keadaan lebih terang baru membuka kitab pada halaman ke tiga dan mulai
membacanya. Yang disebut halaman ke tiga ini ternyata terdiri dari empat
halaman.
KITAB
JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
– Halaman
Ke Tiga -
Bunga
Tanjung Bunga Bertuah
Wahai
anak manusia!
305 hari
telah berlalu, tapa samadimu telah selesai
Sekarang
kau akan menghadapi masa depan
dengan
bekal ilmu silat serta kesaktian
dari alam
gaib yang tidak ada tandingannya
Kau kini
memiliki ilmu pukulan sakti
bernama
‘Tiga Cahaya Alam Gaib’
Tidak
manusia tidak jin
yang akan
sanggup menghadapimu
Tuntunan
ilmu silat akan kau dapatkan
melalui
mimpi di alam tidurmu
Usapkan
tangan kananmu ke kaki kanan
usapkan
tangan kirimu ke kaki kiri
maka kau
akan mendapatkan
sepasang
kasut pembungkus kaki
Kasut ini
yang akan menuntun
setiap
langkah perjalananmu
Hal
pertama yang harus kau lakukan
begitu
menginjakkan kaki di tanah
memandanglah
ke arah barat laut
Kau akan
melihat satu gurun pasir
yang
puluhan kali lebih luas
dari
Pedataran Pasir Tengger
Itulah
Gurun Pasir Thar di negeri India
Pejamkan
matamu
maka
kekuatan gaib akan membawamu
memasuki
sebuah goa bernama Goa Binaker
Di sana
kau akan menemui seorang Resi
terkapar
di lantai goa
Jazadnya
hidup dalam kematian
mati
dalam kehidupan
Masuklah
ke dalam tubuh Resi ini
Kau akan
mampu melakukan
karena
kau memiliki kesaktian
Di dalam
tubuh sang Resi kau akan menemukan
sebuah
patung batu
lambang
dari lelaki dan perempuan
yang
tengah melakukan sanggama
Itulah
patung Kamasutra
Ambillah
patung itu
Selanjutnya
kekuatan gaib
akan
membawamu kembali ke tanah Jawa
Dunia
serba fana, demikian juga dengan diri
serta
ilmu baru yang kau miliki
Namun dalam
kefanaan ada kebakaan
Ilmu
kesaktian yang ada dalam dirimu
akan
tetap berada di sana
untuk
selama-lamanya
Namun ada
petuah yang harus kau ikuti
dan tak
boleh kau tolak
Kau harus
bisa meniduri paling sedikit
41 orang
gadis yang masih perawan
Rayulah
mereka, perlihatkan Patung Kamasutra
Jika
mereka sudah berada di bawah pengaruhmu
tempelkan
sekuntum bunga tanjung di keningnya
Niscaya
dia akan menyerahkan diri padamu
Namun
rahasia harus dijaga
Karena
itu setiap gadis yang berhasil kau tiduri
harus kau
bunuh
Pada saat
kau bercumbu,
bunga
tanjung akan datang sendiri
dan
berada dalam genggamanmu
Bunga
tanjung juga dapat kau jadikan
senjata
rahasia yang mematikan
Namun ada
pantangan yang harus kau ingat
jangan
sekali-kali bunga tanjung
sampai
melekat atau menempel di keningmu
Untuk
menambah kekuatan ilmu dalam dirimu
Ada tugas
lain yang harus kau laksanakan
Kau harus
membunuh
sebanyak
mungkin para pendekar
golongan
putih rimba persilatan tanah Jawa
Tetapi
akan lebih baik jika kau mampu
membuat
dirinya sengsara seumur-umur
dengan
melumpuhkan kejantanannya
Letakkan
bunga tanjung di bawah pusarnya
maka
kekuatan alam gaib
akan
menyelesaikan perkara
Tugasmu
terakhir setelah semua tugas di atas
selesai
kau laksanakan
adalah
menyerahkan Patung Kamasutra
pada
seseorang yang akan menunggumu
di puncak
Gunung Mahameru
tepat di
tempat di mana kau pernah bersamadi
pada
malam hari Jum’at Legi minggu pertama
duabelas
purnama dari sekarang
Wahai
anak manusia!
Jika kau
melaksanakan petunjuk dalam kitab
maka kau
kelak akan menjadi seorang tokoh besar
Kau akan
menjadi seorang sakti mandraguna
Kau akan
menjadi rajadiraja rimba persilatan
Namun
bila kau menolak melakukan
atau
sengaja menyesatkan diri
maka
kutuk akan jatuh atas dirimu
Azab
kesengsaraan akan membuat
kau
menderita seumur-umur
Jalan
nasibmu telah ditentukan
oleh apa
yang dinamakan takdir
Wahai
anak manusia
Pohon
tanjung akan masuk ke dalam tanah
itulah
saatnya kau meninggalkan tempat ini
Ingat
baik-baik semua yang tertulis di halaman ini
Karena
Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
akan
lenyap dari alam fana untuk selama-lamanya
Bunga
Tanjung Bunga Bertuah
Setelah
bersamadi di atas pohon tanjung di pedataran gurun Tengger, Cakra Mentari
memiliki daya ingat luar biasa. Sekali membaca saja dia sanggup mengingat semua
yang tertulis dalam halaman ke tiga yang terdiri dari empat lembar. Selain itu
perubanan besar terjadi dalam jiwa dan dirinya. Sebelumnya pemuda ini adalah
seorang yang memiliki hati mulia, pembela rakyat, penegak keadilan dan menjadi
musuh besar kaum penjahat termasuk para tokoh silat penjilat yang berada di
istana. Ketika membaca halaman ke tiga Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib di mana dia
harus merusak kehormatan 41 orang gadis dan membunuh para pendekar silat
golongan putih, pemuda ini merasa itu memang satu tugas yang harus
dilaksanakannya. Menggauli 41 orang gadis! Bukankah itu satu kenikmatan luar
biasa?
Samadi
setahun serta ilmu yang kini dimiliki Cakra Mentari serta isi Kitab Jagat
Pusaka Alam Gaib seolah-olah telah mencuci otak pemuda itu. Membuatnya berubah
menjadi seorang pemuda berhati dingin dan menghalalkan segala cara demi
mempertahankan ilmu kesaktian yang dimilikinya.
Cakra
Mentari tutup kitab yang barusan dibaca. Dia bermaksud hendak menyimpan kitab
itu kembali ke balik baju hitamnya. Namun seperti yang tertulis di akhir
halaman ke tiga kitab, tiba-tiba Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib keluarkan suara
meletup. Kejap itu juga kitab dikobari api yang entah dari mana datangnya.
Cakra melepas pegangannya pada kitab, kitab jatuh dan musnah sebelum menyentuh
tanah berpasir.
Cakra
Mentari ingat salah satu kalimat di dalam kitab yang tadi dibacanya, Usapkan
tangan kananmu ke kaki kanan, usapkan tangan kirimu ke kaki kiri, maka kau akan
mendapatkan, sepasang kasut pembungkus kaki. Kasut ini yang akan menuntun
setiap langkah perjalananmu.
Tidak
menunggu lebih lama Cakra Mentari usapkan ke dua tangannya secara berbarengan
ke kaki kiri dan kaki kanan. Saat itu juga dua kakinya yang tadi telanjang kini
telah terbungkus dua kasut kulit berwarna hitam.
“Luar
biasa” ucap Cakra Mentari. Belum habis rasa kagumnya atas apa yang terjadi,
tiba-tiba pohon tanjung besar di mana dia berada bergerak ke bawah,
perlahanlahan masuk ke dalam tanah. Sebelum dirinya ikut tersedot dan pohon
besar itu amblas lenyap dari pemandangan, Cakra Mentari cepat melompat turun.
Begitu dua kakinya menginjak tanah berpasir seperti yang tertulis dalam kitab,
Cakra Mentari arahkan pandangan ke barat laut. Memandanglah ke arah barat laut,
kau akan melihat satu gurun pasir, yang puluhan kali lebih luas, dari Pedataran
Pasir Tengger. Itulah Gurun Pasir Thar di negeri India. Pejamkan matamu, maka
kekuatan gaib akan membawamu, memasuki sebuah goa bernama Goa Binaker
Jauh di
arah barat laut ke jurusan mana matanya memandang, Cakra Mentari melihat satu
gurun pasir. Belum pernah dia menyaksikan gurun pasir seluas itu.
“Bagaimana
hal ini bisa terjadi…?” pikir si pemuda. Lalu sesuai petunjuk selanjutnya dalam
kitab dia pejamkan kedua matanya. Saat itu juga sosoknya lenyap, melesat ke
langit. Di lain kejap Cakra Mentari dapatkan dirinya berada di dalam sebuah
lorong yang terletak di bawah Gurun Pasir Thar di India. Inilah lorong di dalam
Goa Binaker yang membawanya ke satu ruangan rahasia di mana sebelumnya disimpan
Patung Kamasutra yang konon telah berusia lebih dari limaribu tahun.
Di kiri
kanan lorong berdiri beberapa orang berpakaian dan berpenampilan seperti resi
tampaknya sedang berjagajaga. Namun mereka seperti tidak melihat Cakra Mentari
yang berjalan melewati mereka.
Ada enam
pintu rahasia yang dilewati dan ditembus Cakra Mentari secara gaib. Pemuda ini
sampai ke hadapan pintu ke tujuh. Begitu masuk dia dapatkan sesosok tubuh orang
tua berselempang kain putih, berambut dan berjanggut putih tergeletak di lantai
ruangan. Kepala rengkah darah menggenangi lantai batu.
Cakra
Mentari ingat apa yang dibacanya di dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Di sana
kau akan menemui seorang Resi terkapar di lantai Goa. Jazadnya hidup dalam
kematian. Mati dalam kehidupan. Masuklah ke dalam tubuh Resi ini. Kau akan
mampu melakukan karena kau memiliki kesaktian. Di dalam tubuh sang Resi kau
akan menemukan sebuah patung batu lambang dari lelaki dan perempuan yang tengah
melakukan sanggama. Itulah Patung Kamasutra. Ambillah patung itu. Selanjutnya
kekuatan gaib akan membawamu kembali ke tanah Jawa.
Resi tua
yang tergeletak di atas lantai batu seperti yang dituturkan dalam kisah
terdahulu, Petaka Patung Kamasutra, bukan lain adalah Resi Kepala Mirpur Patel.
Resi ini berlaku nekad melakukan bunuh diri dengan membenturkan kepalanya ke
dinding batu. Ini merupakan ungkapan penyesalan serta rasa berdosanya atas
kelalaian hingga Patung Kamasutra yang ada di dalam sebuah keranda kaca lenyap
dicuri orang.
“Bagaimana
caranya aku masuk ke dalam tubuh orang tua malang ini…” pikir Cakra Mentari.
Dia sama sekali tidak merasa jerih bagaimana nanti dia masuk dan berada dalam
tubuh mayat itu. Cakra melangkah lebih dekat. Tibatiba seolah berubah menjadi
bayang-bayang sosok si pemuda masuk ke dalam tubuh sang Resi. Begitu tubuh
mereka menyatu, di bagian dada orang tua itu Cakra Mentari melihat ada cahaya
merah redup. Ternyata cahaya itu keluar dari sebuah patung batu abu-abu
kehitaman. Berbentuk sepasang lelaki dan perempuan tengah melakukan hubungan
badan.
“Patung Kamasutra,”
membatin Cakra Mentari. Semua yang tertulis dalam kitab benar-benar merupakan
kenyataan. Pemuda ini ulurkan tangan. Begitu dia menyentuh patung batu,
tiba-tiba wuttt…! Sosok Cakra Mentari melesat keluar dari mayat Resi Mirpur
Patel, berkelebat ke arah sebuah lobang di atap ruangan batu dan lenyap dari
pemandangan.
Angin
gurun bertiup kencang. Pasir gurun masuk ke dalam ruangan. Lima hari kemudian
seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu telah tertimbun tumpukan pasir
gurun.
Tujuh
hari setelah lenyapnya Patung Kamasutra dan matinya Resi Kepala Mirpur Patel,
Resi Ketua Khandawa Abitar memerintahkan orang-orangnya untuk menggali jenazah
Mirpur Patel. Namun sampai seluruh pasir yang ada di dalam ruangan batu itu
digali dan dibersihkan, jenazah Resi Kepala Mirpur Patel tidak ditemukan.
Seperti
yang tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib, Cakra Mentari secara gaib
kembali ke tanah Jawa untuk mengamalkan ajaran sesat yang bersumber dari kitab
sesat serta Patung Kamasutra dan bunga tanjung bunga noda. Satu persatu korban
berjatuhan. Belasan gadis dirusak kehormatannya lalu dibunuh. Dari kalangan
rimba persilatan justru Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi korban
pertamanya.
*********************
3
GUBUK di
tikungan Kali Progo tampak sepi. Suara arus air kali yang cukup deras mengalun
berkepanjangan serta kicau burung di pagi itu seperti tidak dapat mengusik
kesunyian. Pintu gubuk yang menghadap ke kali terbuka berkereketan. Seorang
kakek berkepala setengah sulah, berdaun telinga lebar yang salah satunya
terbalik, keluar melangkah sambil pegangi bagian bawah perutnya. Siapa lagi
kalau bukan Setan Ngompol. Dia pergi duduk di pinggir kali, di atas sebuah batu
besar. Wajahnya tampak murung. Sesekali lengan kirinya yang basah diusapkan ke
kepala, padahal basahan itu adalah air kencingnya sendiri.
Tiga hari
lalu dengan susah payah bersama Ki Tambakpati dia berhasil membawa Pendekar 212
Wiro Sableng dari sebuah bukit ke gubuk itu. Ki Tambakpati yang dikenal dengan
julukan Si Tangan Penyembuh berusaha mengobati murid Sinto Gendeng, namun
sampai hari itu dia masih belum berhasil. Wiro masih tergeletak tak sadarkan
diri di atas ranjang bambu.
Tanpa
diketahui Setan Ngompol, di atas cabang sebuah pohon besar berdaun rindang di
seberang kali, berdiri sosok samar seorang gadis cantik berwajah pucat,
mengenakan kebaya putih panjang, rambut hitam tergerai di punggung. Sepasang
matanya yang bening tapi dingin memperhatikan kakek yang duduk di tepi sungai.
Dia kenal kakek itu dan cukup bersahabat. Namun dia tak ingin menemuinya saat
itu. Pandangannya kemudian dialihkan ke arah gubuk.
Tak lama
kemudian dari dalam gubuk keluar pula seorang kakek berjubah hijau.
Terbungkuk-bungkuk dia melangkah ke tepi kali, lalu duduk di atas batu besar di
samping Setan Ngompol.
Setan
Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya baru membuka mulut bertanya,
“Sahabatku Ki Tambakpati, bagaimana menurut penglihatanmu sakitnya murid Sinto
Gendeng itu?”
Setelah
terdiam sejurus dan lebih dulu menarik nafas dalam, Ki Tambakpati menjawab.
“Sampai
saat ini aku masih menyesali perbuatan orang-orang kerajaan yang menghancurkan
rumah dan peralatan pengobatanku. Aku tidak dapat menyelidiki apalagi
memberikan kesembuhan tuntas pada pendekar itu. Sakitnya luar biasa aneh.
Mungkin aku hanya mampu membuatnya siuman. Itu pun menunggu sampai dua hari
lagi. Kau telah meraba sendiri. Tubuhnya diselimuti hawa dingin aneh yang
berpusat pada syaraf di bagian bawah pusar. Kita berdua telah sama-sama
mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa panas. Namun hawa dingin yang
bersarang di tubuh pemuda itu tak bisa dilenyapkan. Sudah dua kali aku
memeriksa darahnya dengan menusuk jari tangannya. Ternyata darahnya masih
berwarna hitam. Ada racun jahat mendekam dalam tubuh dan aliran darah pemuda
itu. Sulit dimusnahkan.”
“Apakah
pemuda itu benar-benar tidak dapat disembuhkan? Dengan cara apapun?” tanya
Setan Ngompol.
“Aku
tidak dapat memastikan. Kalaupun dia bisa disembuhkan, ada satu hal yang akan
tetap membawa kesengsaraan bagi dirinya seumur-umur…”
“Aku
tahu. Kau sudah mengatakan. Dia akan menjadi lelaki tidak sempurna. Dia
kehilangan kejantanannya. Sama saja dia mati dalam hidupnya.”
“Kita
hanya tinggal satu harapan. Kalau dia siuman mungkin bisa memberitahu apa yang
terjadi dengan dirinya. Mungkin dari situ kita bisa mencari jalan untuk
menyembuhkan.”
“Aku
punya dugaan…” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perut yang siap
mengucur “Siapun orang yang berlaku jahat terhadap pendekar itu, dia memang
sengaja tidak membunuhnya. Tapi membuatnya menderita seumur hidup.”
Seerrr!
Habis keluarkan ucapan akhirnya Setan Ngompol pancarkan juga air kencingnya.
“Aku
tidak mau bicara jelek tentang sahabat muda kita itu.” kata Ki Tambakpati pula.
“Selama ini aku dengar banyak gadis cantik rimba persilatan yang menaruh hati
padanya. Dari sekian banyak gadis itu mungkin ada yang dicintai oleh pemuda
lain. Namun bertepuk sebelah tangan karena sang gadis sudah terpikat pada Wiro.
Nah, mungkin orang ini yang berbuat jahat terhadap pendekar itu.”
“Jika
memang begitu kejadiannya, suatu saat pasti akan ketahuan siapa orangnya,” kata
Setan Ngompol pula.
Ki
Tambakpati keluarkan suling perak yang ditemuinya di puncak bukit dekat
bangunan candi dekat sosok tubuh Pendekar 212 yang tergeletak pingsan.
“Suling
ini kutemui di halaman candi. Mungkin milik orang jahat yang mencelakai Wiro.
Melalui benda ini kita bisa menyelidik. Lalu jika kita bisa mendapatkan Kitab
Seribu Pengobatan mungkin di sana ada petunjuk untuk penyembuhan penyakit yang
diderita pemuda itu…” berkata Ki Tambakpati.
Setan
Ngompol perhatikan suling perak di tangan Ki Tambakpati. Dia tidak pernah
melihat benda ini sebelumnya, tak bisa menduga siapa pemiliknya. “Setahuku
kitab itu ada pada Wiro. Tapi waktu kita memeriksa dirinya kita tidak menemukan
kitab itu. Mungkin telah diserahkan pada gurunya atau disimpan di satu tempat.”
“Aku tak
habis kasihan pada murid Sinto Gendeng itu…” kata Ki Tambakpati pula. “Dia
belum pernah menikah. Belum pernah kawin. Sekarang malah kejatuhan penyakit yang
menjadikan dia seorang lelaki tidak sempurna. Walau banyak yang menyukai dan
mencintainya tapi sekarang gadis mana yang akan bersedia mengambilnya jadi
suami?”
Tiba-tiba
sebuah perahu meluncur terombang-ambing di permukaan air Kali Progo. Setan
Ngompol memperhatikan lalu berkata.
“Ada
perahu tanpa penumpang. Datang dari hulu kali. Tidakkah kau merasa aneh?”
“Mungkin
saja perahu itu tadinya tertambat di satu tempat. Tambatannya putus lalu
dihanyutkan air sampai ke sini…” menduga Ki Tambakpati.
“Sobatku,
aku tidak sependapat denganmu. Kau tunggu di sini. Aku mau menyelidik.” Habis
berkata begitu sambil satu tangan masih memegangi bagian bawah celananya yang
lepek Setan Ngompol melompat ke atas perahu yang mengapung di kali. Karena ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkat tinggi maka ketika
dua kakinya menjejak lantai perahu, perahu itu tidak bergoyang sedikitpun. Si
kakek perhatikan keadaan perahu dengan matanya yang belok. Lalu dia membungkuk,
mengendus dalam-dalam. Mula-mula dia mencium bau air pesingnya sendiri.
Kemudian dia mencium bau harum. Setan Ngompol luruskan tubuh, memandang
sepanjang kali, memperhatikan kiri kanan tepian Kali Progo, namun dia tidak
melihat siapapun, termasuk sosok samar gadis bermuka pucat yang berdiri di cabang
pohon. Kakek ini segera melesat ke tepi kali, membiarkan perahu meluncur dibawa
arus ke hilir.
“Kau
menemukan sesuatu?” tanya Ki Tambakpati.
Setan
Ngompol mengangguk sambil buru-buru tekap bagian bawah perutnya yang kembali
hendak berulah.
“Ada
seseorang di atas perahu itu sebelumnya. Seorang perempuan.” Menjelaskan Setan
Ngompol.
“Bagaimana
kau bisa tahu ada orang dan perempuan pula!” berkata Ki Tambakpati.
“Aku
mencium bau harum bekas tubuh dan pakaiannya di dalam perahu.” Jawab Setan
Ngompol. “Aku kenal betul bau harum yang satu itu. Kira-kira bisa menduga siapa
orangnya. Tapi aku tidak mau memberi tahu dulu…”
“Aneh,
jika ada orang di atas perahu mengapa dia kemudian meninggalkan perahu begitu
saja? Pergi ke mana? Apa keperluannya melewati daerah ini? Seorang perempuan
pula!”
“Ki
Tambak,” ucap Setan Ngompol setengah berbisik. “Sebenarnya sejak tadi aku
merasa kehadiran seseorang di sekitar tempat ini. Namun aku tidak bisa melihat
tubuh kasarnya…”
“Di
tikungan kali ini banyak demitnya” kata Ki Tambakpati.
Setan
Ngompol terlompat dari duduknya. Dua tangan buru-buru menekap bagian bawah
perut. “Kau jangan menakuti. Aku bisa ngocor terus-terusan!”
Karena
terlalu asyik bicara, dua kakek ini tidak memperhatikan bagaimana satu bayangan
biru melesat di belakang mereka, masuk ke dalam gubuk melalui jendela yang
terbuka.
“Aku
mencium bau harum santar sekali!” kata Setan Ngompol tiba-tiba.
Ki
Tambakpati mendongak dan menghirup udara dalam-dalam, “Eh, aku juga mencium bau
wangi itu. Tapi aneh, mengapa wanginya bau kembang kenanga? Kembang mayat?
Jangan-jangan asin mulutku. Tadi aku cuma bergurau. Tapi mungkin benaran ada
demit di tempat ini!”
Serrr!
Setan
Ngompol memaki panjang pendek dan lagi-lagi pancarkan air kencing.
Dua
sahabat ini kemudian terus saja bercakap-cakap membicarakan keadaan Pendekar
212 Wiro Sableng.
“Aku
ingat pada Liris Biru. Gadis itu begitu nekad mencari ke Kuto Gede pemuda
berpakaian hitam yang katanya membunuh Liris Merah. Aku khawatir dia akan
mengalami celaka seperti kakaknya. Digagahi lalu dibunuh seorang pemuda tak
dikenal.”
“Pangeran
Matahari sudah mati. Sekarang muncul lagi penjahat terkutuk tukang perkosa.
Apakah kejahatan tidak pernah berhenti di muka bumi ini?” ucap Ki Tambakpati sambil
menghela nafas panjang.
Sementara
itu di bagian lain tepi Kali Progo, tiga orang penunggang kuda berhenti di
balik sederetan pohon besar yang tumbuh rapat. Ketiganya adalah gadis-gadis
cantik dan mereka menunggangi kuda sama-sama berwarna putih. Gadis paling depan
mengenakan pakaian ringkas warna kelabu dihias manik-manik putih dan merah.
Rambut hitam digulung di atas kepala. Sepasang bola mata berwarna biru. Gadis
berwajah jelita ini memutar kudanya sedikit, berpaling pada dua gadis di
belakangnya yang juga berparas cantik lalu berkata, “Kurasa kita sudah sampai
di tempat tujuan. Orang yang aku cari berada di sekitar sini. Kalian berdua
cukup mengantarku sampai di sini. Kembalilah ke laut selatan.”
“Ratu
Duyung,” salah seorang dari dua gadis menjawab sambil sedikit bungkukkan dada.
“Sebenarnya kami masih ingin berlama-lama mendampingimu. Bertahun-tahun hidup
di dasar samudera, sekali-sekali berada di alam terbuka seperti ini kami
sungguh merasa bahagia. Karena itu kami memohon izin agar terus bisa bersamamu.”
Si jelita
berbola mata biru yang rupanya adalah Ratu Duyung tersenyum, “Masih banyak
kesempatan di lain waktu. Sekarang ini aku tengah menghadapi beberapa urusan
besar. Tapi jika kalian memang ingin mencari kesenangan, kalian boleh menunda
kepulangan sampai dua hari. Aku tidak memerlukan tunggangan lagi. Bawa kuda ini
bersama kalian.” Ratu Duyung usap tengkuk kuda tunggangannya lalu melompat
turun.
“Terima
kasih Ratu… Terima kasih,” kata dua gadis penuh gembira. “Kami mohon pamit
sekarang juga.”
Ratu
Duyung mengangguk. Dua gadis yang bertindak sebagai pengiring Ratu Duyung
tundukkan kepala lalu tinggalkan tempat itu. Anehnya walau kuda mereka dipacu
kencang namun kaki-kaki binatang itu tidak mengeluarkan suara berderap. Tiga
ekor kuda berlari laksana melayang di atas tanah! Itu sebabnya ketika ketiganya
datang tadi, baik Ki Tambakpati maupun Setan Ngompol tidak mendengar suara
derap kaki binatang-binatang itu.
Setelah
dua pengiring pergi, Ratu Duyung gerakkan tangan kanan ke balik baju kelabu.
Biasanya gadis cantik bermata biru ini selalu mengenakan pakaian hitam mencolok
ketat dengan potongan dada rendah serta belahan tinggi pada pinggul kiri kanan.
Namun sejak ditegur oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas beberapa waktu lalu maka dia
merubah penampilan dan cara berpakaiannya (Baca serial Wiro Sableng berjudul
‘Misteri Pedang Naga Merah’). Kalau tidak mengenakan jubah dalam maka dia
berpakaian ringkas seperti yang dikenakannya saat itu. Seperangkat perhiasan
terbuat dari kerang hijau menghias telinga, leher dan lengan.
“Kurasa
sebelum mendatangi gubuk di tikungan kali itu sebaiknya sekali lagi aku
memantau keadaan lebih dulu…”
Entah
mengapa tergerak saja hati Ratu Duyung untuk bersikap hati-hati. Dari balik
baju kelabu dia keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah cermin bulat
bergagang biru. Selain merupakan senjata sakti cermin ini juga mampu dipakai
untuk melihat atau memantau keadaan sampai jarak cukup jauh.
Memperhatikan
ke dalam cermin, Ratu Duyung melihat dua orang kakek tengah duduk di sebuah
batu besar di tepi kali, asyik bercakap-cakap. Dia segera mengenali salah
seorang dari dua kakek itu adalah Setan Ngompol. Cermin digerakkan, diarahkan
ke atas kali. Di kejauhan masih sempat terlihat sebuah perahu kosong meluncur
ke arah hilir. Mendadak kening sang ratu mengerenyit Pinggiran cermin bulat
sebelah kanan atas memunculkan sepasang kaki samara tegak di atas cabang pohon
di tepi kali. Ratu Duyung geser cermin saktinya hingga kini dia dapat melihat
keseluruhan sosok samar seorang perempuan yang tengah berdiri di atas cabang
pohon itu. Cermin sakti digoyang, diusap, namun tetap saja sosok di atas pohon
tidak bisa terlihat jelas, tetap berujud bayangan samar.
“Makhluk
dari alam lain. Siapa…?” ucap Ratu Duyung dalam hati. Dia coba menerka,
“Makhluk itu mungkin Bunga gadis dari alam roh yang telah bersahabat sejak lama
dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun mungkin juga gadis dari negeri 1200
tahun silam yang dikenalnya dengan nama Purnama. Gadis ini terakhir sekali
ditemuinya sewaktu dia bersama Wiro menyerbu Gedung Kadipaten Losari (Baca
serial Wiro Sableng berjudul ‘Sang Pembunuh’). Hati sang ratu mendadak merasa
tidak enak kalau tidak mau dikatakan cemburu. Ini karena dia tahu kalau Purnama
telah jatuh hati dan diam-diam mencintai Pendekar 212. Cinta gadis alam roh
1200 tahun silam ini terhadap Wiro jauh lebih dahsyat dari cinta Bunga yang
juga makhluk dari alam roh.
“Aku
harus mampu mengetahui siapa yang hadir di sini. Bunga atau Purnama. Jika
Purnama lebih baik aku pergi saja dari sini. Tapi bagaimana dengan Wiro yang
sedang sakit…?” ucap Ratu Duyung dalam hati. Gadis cantik bermata biru ini
selain khawatir juga tampak bingung.
Ratu
Duyung geser lagi cermin saktinya. Dia dapat melihat gubuk di tikungan kali
itu. Cermin digoyang. Kini Ratu Duyung dapat melihat bagian dalam gubuk.
Sepasang bola mata biru gadis cantik ini membesar.
“Aku
keduluan. Bagaimana dia bisa berada di sini lebih dulu dariku?” Suara Ratu
Duyung perlahan agak lirih. “Apa yang harus aku lakukan? Menerobos masuk ke
dalam gubuk? Atau menunggu sampai dia pergi. Tapi mungkin dia akan menunggui
Wiro sampai berhari-hari.”
*********************
4
SEMENTARA
Ratu Duyung memperhatikan keadaan dalam gubuk melalui cermin saktinya, di dalam
gubuk Bidadari Angin Timur tegak di tepi ranjang, tubuh sedikit tertunduk, dua
tangan mendekap dada dan sepasang mata memperhatikan Wiro tak berkesip.
Perlahan-lahan sepasang mata gadis cantik berambut pirang ini mulai
berkaca-kaca. Sesaat kemudian air mata mengucur membasahi pipinya. Jauh di
lubuk hatinya dia berucap, “Gusti Allah mengapa dia selalu mengalami nasib
sengsara seperti ini. Apakah benar ucapan yang kudengar tadi. Bahwa dia…”
Satu
tangan memegang bahu Bidadari Angin Timur membuat si gadis tersentak kaget. Dia
berpaling.
“Kakek
Setan Ngompol,” ucap Bidadari Angin Timur begitu tahu siapa yang memegang
bahunya.
Di
belakang si kakek berdiri Ki Tambakpati.
“Aku
sudah mengira kau akan muncul di tempat ini. Aku mencium harum bau tubuh dan
pakaianmu di perahu. Kau datang langsung masuk ke dalam. Padahal kami berdua
ada di luar.” Berkata Setan Ngompol.
“Harap
maafkan aku, Kek. Pikiranku sangat kacau. Aku menyirap kabar ditangkapnya Wiro.
Lalu ada yang membebaskannya keluar dari penjara kerajaan. Aku mengikuti apa
yang terjadi dan berusaha secepat mungkin menuju Kotaraja. Kemudian aku ketahui
kakek berdua membawa Wiro ke tempat ini” Bidadari Angin Timur mulai terisak.
“Kek, apakah aku tidak keliru mendengar apa yang tadi kalian bicarakan di
luar?”
“Memangnya
kami bicara apa?” tanya Ki Tambakpati.
“Ketika
berada di tepi kali, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua. Apa betul
Wiro telah menjadi seorang lelaki yang tidak sempurna? Apa benar dia telah
kehilangan kejantanannya? Apakah dia memang tidak bisa disembuhkan untuk
selama-lamanya?”
Setan
Ngompol pegangi bagian bawah perutnya. Ki Tambakpati tak bisa menjawab. Tangis
Bidadari Angin Timur pecah.
“Sahabatku,
mari kita keluar. Kita bicara di luar…” Setan Ngompol membujuk.
Bidadari
Angin Timur gigit bibirnya sendiri. Gelengkan kepala dan berkata. “Rasanya
tidak ada yang perlu dibicarakan, Kek. Aku sudah sempat mendengar semuanya…”
Gadis berambut pirang itu membungkuk, mengusap kening Pendekar 212 yang terasa
sangat dingin.
“Kami
berdua akan terus berusaha memusnahkan penyakitnya.” Berucap Ki Tambakpati.
Bidadari
Angin Timur tidak menjawab. Dia letakkan kepalanya di dada Pendekar 212 lalu
menangis keras.
“Hentikan
tangismu, sebaiknya kau membantu dengan memanjatkan doa pada Gusti Allah agar
Wiro bisa disembuhkan…”
“Akan aku
lakukan, Kek. Akan aku lakukan…” jawab Bidadari Angin Timur. Lalu tanpa berkata
apa-apa lagi dia melangkah ke pintu.
“Bidadari
Angin Timur, tunggu dulu!” Setan Ngompol memanggil.
Namun
gadis cantik itu telah lenyap dari pemandangan. Dikejar keluar sosoknya tak
kelihatan lagi. Ki Tambakpati menghela nafas dalam. Setan Ngompol yang berada
di luar gubuk sandarkan punggung ke dinding. Selagi dia berusaha menahan
kencing yang hendak mengucur tiba-tiba dari atas pohon besar di seberang kali
melayang turun satu sosok putih disertai menebarnya bau harum bunga kenanga,
membuat si kakek tersirap kaget dan semburkan air kencing.
“Bau
kembang kenanga. Kembang mayat! Janganjangan tempat ini memang benar-benar ada
demitnya.”
Membatin
Setan Ngompol dan tekap kuat-kuat bagian bawah perutnya.
Di saat
yang hampir bersamaan dari balik semak belukar di tebing kali melesat pula satu
sosok kelabu. Kedua sosok ini saling bertemu di halaman gubuk, beberapa langkah
di hadapan Setan Ngompol.
“Ratu
Duyung!” seru Setan Ngompol ke arah orang yang datang dari balik semak belukar.
Aku hampir tak mengenalimu. Caramu berpakaian jauh berbeda dari yang
sudahsudah.” Memandang ke kiri kakek ini agak ragu sebentar. Lalu berkata.
“Gadis berkebaya putih, bukankah kau Bunga sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Baik Ratu
Duyung dari laut selatan maupun Bunga gadis dari alam roh tidak menyahuti
sapaan si kakek. Dua gadis ini saling pandang. Bunga tersenyum. Ratu Duyung
membalas dengan membungkukkan badan memberi penghormatan.
“Ah, aku
gembira kalian berdua datang ke tempat ini. Apakah kalian telah mengetahui apa
yang terjadi dengan Wiro?” Berkata Setan Ngompol.
Bunga
mengangguk. Wajahnya yang pucat tampak sedih.
Ratu
Duyung bertanya. “Apakah kami berdua boleh menjenguknya ke dalam?”
“Masuklah…
Silahkan masuk.” kata Setan Ngompol pula. Lalu dia berseru pada Ki Tambakpati
memberitahu kedatangan dua gadis cantik itu.
Kalau tak
ada orang lain di dalam gubuk itu baik Bunga maupun Ratu Duyung pasti telah
menjatuhkan diri di samping ranjang dan memeluk Pendekar 212.
Bunga
perhatikan sosok Pendekar 212 mulai dari rambut sampai ke kaki. Gadis ini
memperhatikan bukan dengan mata nyalang tetapi justru dengan mata terpejam.
Dalam keadaan mata yang terpejam Bunga melihat Pendekar 212 seperti onggokan
tulang belulang, nyaris menyerupai jerangkong. Darah hitam mengalir melewati
tulang belulang putih dari ujung kaki sampai ke kepala lalu lenyap. Sesaat
kemudian kelihatan lagi darah hitam mengalir, juga mulai dari kaki naik ke atas
dan lenyap. Begitu terus menerus. Perlahan-lahan gadis dari alam roh ini angkat
dua tangannya, telapak dikembangkan dan diarahkan ke kepala serta tubuh Wiro.
Wuttt!
Ada satu
gelombang kekuatan memukul ke atas, membuat dua tangan Bunga bergetar. Dia coba
bertahan namun akhirnya dua tangan itu terpental. Bunga picingkan mata
kencang-kencang. Dua kaki bersurut setengah langkah. Sepuluh jari tangan
digenggam. Ketika genggaman dilepas tahu-tahu di tangan itu terlihat
masing-masing empat dan tiga kuntum kembang kenanga.
Masih
dengan mata terpicing Bunga pergunakan tujuh kembang kenanga untuk menotok
tubuh Wiro, dua di kepala, tiga di tubuh dan dua lagi di bagian kaki. Saat itu
juga terdengar tujuh kali letupan kecil. Bagian tubuh dan kepala yang tadi
ditotok kepulkan asap berwarna merah, biru dan hijau. Satu dorongan yang kuat
menerpa ke arah Bunga membuat tubuh gadis ini bergetar hebat.
Ratu
Duyung yang sejak tadi diam memperhatikan kini tidak mau tinggal diam. Dia
kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangannya lalu dengan cepat
ditempelkan ke punggung Bunga. Dorongan kuat yang menyerang Bunga terpental,
membuat jebol dinding gubuk di sisi kiri ranjang di mana Wiro terbaring. Asap
merah, biru dan hijau sirna. Dalam mata yang masih terpicing Bunga melihat
sebuah benda kecil putih kekuningan berputar-putar di dalam gubuk lalu melesat
menembus atap.
“Bunga
tanjung. Aneh…” Bunga berkata perlahan lalu buka kedua matanya. Dia mengucapkan
terima kasih pada Ratu Duyung yang telah memberi tambahan kekuatan untuk
bertahan bahkan memusnahkan kekuatan gaib yang menyerangnya.
“Apa yang
terjadi?” tanya Ratu Duyung setengah berbisik.
“Ada
kekuatan aneh menguasai diri Wiro. Kekuatan itu berusaha menggagalkan niatku
menolongnya. Untung berkat pertolonganmu untuk sementara kita berhasil mengusir
kekuatan gaib itu. Wiro juga mengalami kelainan di dalam tubuhnya. Darahnya
mengalir terbalik. Itu yang menyebabkan sekujur tubuhnya dingin. Aku coba
menghentikan keanehan ini dengan menotokkan tujuh bunga kenanga. Tapi aliran
darahnya tetap terbalik. Totokan hanya menolong membuat dia sadar satu hari
lebih cepat.” Bunga berhenti bicara. Lalu dia bertanya pada Ratu Duyung.
“Sahabatku, apakah kau tidak merasakan sesuatu pada tubuhmu?”
“Apa…?
Astaga!” Ratu Duyung baru sadar kalau cermin sakti yang ada di balik pakaiannya
bergetar dan mengeluarkan hawa panas.
“Cermin
saktimu! Lihat cermin saktimu!”
Ratu
Duyung segera keluarkan cermin bulat dari balik bajunya. Ketika memperhatikan
ke dalam cermin, dia melihat sosok seorang lelaki berselempang kain putih,
berjanggut dan berambut putih. Orang ini sama sekali tidak memiliki wajah.
Licin polos!
“Manusia
tanpa wajah!” ucap Ratu Duyung.
Bunga
menarik tangan Ratu Duyung, coba melihat ke dalam cermin lalu gadis alam roh
ini berteriak, “Dia ada di atas atap!”
Sambil
melesat ke atas Bunga lepaskan pukulan Roh Membelah Langit. Selarik angin
dahsyat disertai sambaran sinar putih berkiblat. Atap gubuk hancur berantakan.
Di luar sana terdengar suara dentuman keras. Lalu ada kilatan tiga cahaya
terang sekali. Merah, biru dan hijau. Bunga melesat keluar gubuk lewat atap
yang hancur. Ratu Duyung menyusul. Di atas atap kedua gadis ini memandang
berkeliling, lalu melayang turun ke tanah. Sosok makhluk tanpa wajah yang tadi
jelas terlihat di cermin tidak mereka temui.
Ratu
Duyung melihat sebuah benda kecil putih kekuningan di tanah. Dia mendekati dan
membungkuk hendak mengambil. Namun tarik tangannya ketika terdengar Bunga
berteriak.
“Jangan
sentuh!”
Ratu
Duyung merasa tangannya yang tadi dijulurkan seperti disengat hawa panas.
“Itu
bunga tanjung yang aku lihat waktu memejamkan mata” Berkata Bunga. Lalu gadis
alam roh ini jentikkan jari telunjuknya ke arah bunga tanjung di tanah. Kejap
itu juga bunga tanjung hancur dengan memancarkan cahaya merah, biru dan hijau.
“Sahabatku
Ratu Duyung,” berkata Bunga. “Tidakkah kau melihat keanehan?”
Ratu
Duyung mengangguk.
“Bunga
tanjung biasa tidak akan memancarkan tiga cahaya berwarna seperti itu. Benar
katamu. Ada satu kekuatan yang berusaha menghalangi maksud kita menolong
Pendekar 212.”
“Sahabat,
aku ingin berada lebih lama di tempat ini. Ingin sekali melanjutkan menolong
Wiro. Tapi waktuku di dunia luar sangat terbatas. Aku harus segera pergi. Aku
titip Wiro padamu. Jaga dia baik-baik. Selidiki asal muasal sakit aneh yang
dideritanya. Aku tahu kau akan mampu menolongnya. Beritahu kakek pemilik gubuk
kalau aku minta maaf telah merusak tempat kediamannya…”
“Tak usah
khawatir. Tidak jauh dari sini ada satu bangunan kosong. Dekat aliran Kali
Progo juga. Aku akan meminta mereka pindah dan membawa Wiro ke sana.”
Bunga
memberikan sekuntum kembang kenanga kuning pada Ratu Duyung. “Simpanlah. Jika sewaktu-waktu
kau membutuhkan diriku cium kembang ini dan sebut namaku. Aku akan muncul”
Habis
menyerahkan kembang kenanga dan keluarkan ucapan Bunga berkelebat. Gadis alam
roh ini lenyap dari hadapan Ratu Duyung.
Saat itu
Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sudah berada di luar gubuk.
“Apa yang
terjadi? Mana Bunga?” tanya Setan Ngompol.
“Dia
sudah pergi. Kek, ada sebuah bangunan kosong tak jauh dari sini. Kurasa lebih
baik kita memindahkan Wiro ke sana. Namun sebelumnya aku ingin bertanya
bagaimana kejadiannya sampai Wiro mengidap penyakit aneh itu…”
“Aku yang
pertama kali menemukannya tergeletak di halaman candi di atas sebuah bukit. Aku
mendapat petunjuk dalam mimpi. Aku bicara dengan Sinto Gendeng, guru Wiro…”
Lalu Ki Tambakpati menuturkan bagaimana dan di mana dia menemui Pendekar 212 di
bawah hujan lebat beberapa hari lalu.
Setelah
mendengar penuturan Ki Tambakpati, Ratu Duyung bertanya. “Kek, menurut ceritamu
kau menemukan sebuah suling perak tak jauh dari tempat Wiro tergeletak di
halaman candi. Boleh aku melihat suling itu?”
Ki
Tambakpati masuk ke dalam gubuk. Waktu keluar dia membawa sebuah suling perak
yang berkilat-kilat terkena sinar matahari. Suling diberikan pada Ratu Duyung.
Gadis bermata biru ini memperhatikan dengan seksama sambil berpikir-pikir. Kemudian
dia berkata.
“Kalau
aku tidak salah menduga, suling ini pernah menjadi milik paderi perempuan dari
negeri Cina. Paderi itu bernama Loan Nio. Sebelum kembali ke negerinya dia
menyerahkan suling pada seorang nenek rambut kelabu, makhluk jejadian kembaran
ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu…”
“Bagaimana
kau bisa tahu hal itu, Ratu Duyung?” tanya Setan Ngompol.
“Aku
menyaksikan sendiri kejadian itu” jawab Ratu Duyung seraya mengembalikan suling
perak pada Ki Tambakpati. “Kalau suling itu ditemukan dekat Wiro tergeletak
pingsan mungkin sekali makhluk jejadian itu juga ada di sana. Lalu ke mana
perginya nenek itu?”
“Kau
mencurigai dia yang mencelakai Wiro?” tanya Setan Ngompol.
Ratu
Duyung menggeleng. “Dia berhutang budi pada Wiro. Makhluk jejadian tidak
seperti manusia. Dia tak mungkin akan membalas budi orang dengan kejahatan.
Tapi siapa tahu, keadaan bisa saja membuat makhluk itu berubah. Kita harus
mencari nenek itu untuk ditanyai. Tapi menolong Wiro adalah hal paling pertama
harus kita lakukan. Sahabat kita Bunga menerangkan apa yang dialami Wiro. Tadi
waktu berada di sini, aku sempat mendengar pembicaraan kakek berdua…”
“Syukur
kalau kau sudah tahu nasib buruk yang diderita pemuda itu. Kita hanya memohon
pada Gusti Allah dan berusaha menyelamatkannya dari penyakit yang
menyengsarakan seumur hidup itu. Tadi kami membicarakan Kitab Seribu
Pengobatan. Mungkin ada petunjuk penyembuhan dalam kitab itu.”
“Setahuku
kitab itu pernah hilang kemudian ditemukan kembali. Terakhir dicuri oleh paderi
dari Cina itu. Namun dia sudah mengembalikan pada Wiro.” Menjelaskan Ratu
Duyung.
“Justru
kami tidak menemukan kitab itu padanya” Kata Ki Tambakpati pula. “Aku berharap
kitab itu tidak lenyap lagi untuk ke sekian kalinya.”
“Sementara
hari masih pagi, matahari belum bersinar terik, sebaiknya kita membawa Wiro ke
bangunan kosong itu.” Berkata Ratu Duyung.
Ketika
orang-orang itu sampai di bangunan yang dikatakan Ratu Duyung ternyata bangunan
itu sebuah rumah panggung berkolong rendah. Seharusnya keadaan bangunan serba
kotor, paling tidak penuh debu dan sarang labalaba karena sekian lama tidak
pernah ditinggali. Namun anehnya ketika mereka sampai di depan tangga mereka
dapatkan keadaan bangunan sangat bersih. Lantai kayu licin berkilat, begitu
juga dinding dan langit-langit. Di dalam sebuah kamar terdapat satu ranjang
bambu rendah beralaskan tikar yang walaupun sudah robek-robek tapi bersih. Di
salah satu sudut kamar terdapat sebuah gentong lumayan besar. Ketika diperiksa
ternyata berisi air jernih dan sejuk. Di dinding dekat gentong air ini
tergantung sebuah gayung terbuat dari batok kelapa. Ki Tambakpati dan Setan
Ngompol dengan bantuan Ratu Duyung membaringkan Pendekar 212 di atas ranjang
bambu.
Sambil
memandang berkeliling, lalu berdiri membelakangi jendela yang terbuka Ratu
Duyung berkata, “Aneh, siapa yang membersihkan bangunan ini? Siapa yang mengisi
tempayan dengan air bersih?”
Tiba-tiba
ada suara perempuan menyahuti ucapan Ratu Duyung.
“Para sahabat
bertiga, saat ini hanya itu bantuan yang bisa aku berikan.”
Tiga
orang yang ada di dalam rumah sama-sama terkejut karena tidak menyangka ada
orang lain di rumah panggung itu. Namun ketika melihat siapa yang muncul Setan
Ngompol unjukkan air muka gembira.
Ki
Tambakpati karena tidak mengenal hanya tegak memperhatikan sambil dalam hati
bertanya-tanya. Sementara Ratu Duyung yang memang mengenal siapa adanya orang
dan tidak menyangka kehadirannya di tempat itu berusaha menyembunyikan perasaan
terkejutnya.
*********************
5
SETAN
Ngompol datang menghampiri seraya berkata. “Sahabatku gadis dari negeri seribu
duaratus tahun silam, aku gembira melihatmu. Bagaimana kau bisa berada di sini.
Kaukah yang membersihkan bangunan ini?”
Gadis
yang disapa si kakek ternyata adalah Luhmintari, gadis dari Latanahsilam yang
kini dipanggil Purnama, nama pemberian Pendekar 212 Wiro Sableng.
Purnama
yang mengenakan pakaian biru, rambut hitam digulung di atas kepala, menjura
memberi penghormatan pada tiga orang itu, lalu menjawab pertanyaan Setan
Ngompol, “Kek, sebelum ke sini aku datang ke rumah di pinggir Kali Progo.
Ketika mendengar kakek bertiga akan mempergunakan bangunan ini, aku buru-buru
ke sini menyiapkannya. Maaf kalau aku bertindak lancang mendahului.”
“Siapa yang
bilang kau lancang! Perbuatanmu sangat terpuji dan sangat menolong. Daripada
aku yang menyapu membersihkan rumah ini, bisa terkencing-kencing. Lantainya
bukan jadi bersih malah tambah kotor bau pesing! Ha… ha… ha!”
Semua
orang tertawa geli mendengar ucapan Setan Ngompol itu.
Purnama
berpaling pada Ratu Duyung membungkuk memberi penghormatan lalu berkata,
“Sahabat, waktu kau menyelamatkan diriku di atas atap Gedung Kadipaten dari
tangan jahat Raja Racun Bumi Langit aku belum sempat mengucapkan terima kasih.
Saat ini aku…”
Ratu
Duyung tersenyum. “Tak usah memakai peradatan segala. Antara sesama sahabat
bukankah wajar-wajar saja saling menolong?”
“Walau
begitu aku tetap ingin menyampaikan rasa terima kasihku. Aku bukan cuma
berhutang budi, tapi juga berhutang nyawa padamu.” Kata Purnama pula.
Sementara
dua gadis itu bicara diam-diam Ki Tambakpati memperhatikan dan
menimbang-nimbang. Mana yang lebih cantik di antara mereka. Purnama tinggi
semampai memiliki wajah anggun sedap dipandang. Sementara Ratu Duyung memiliki
sepasang mata biru penuh pesona ditambah bentuk tubuh yang indah. Dia juga
ingat pada gadis cantik berambut pirang Bidadari Angin Timur yang sebelumnya
muncul di gubuk di Kali Progo. Dalam hati kakek ini berkata. “Aku menyirap
kabar tiga gadis itu ditambah gadis berwajah pucat bertubuh samar, mereka semua
mencintai Wiro. Yang mana kelak yang bakal mendapatkan pendekar itu? Apakah
tidak akan terjadi saling bentrok di antara mereka?”
“Ada hal
yang lebih penting,” kata Ratu Duyung “Sahabat kita Pendekar 212 tengah
menderita sakit parah. Kita harus menolongnya…”
Tiba-tiba
Setan Ngompol ingat sesuatu. “Purnama, setahuku kau telah meredam seluruh isi
Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin kau bisa melakukan sesuatu? Mencari petunjuk
untuk menyembuhkan Wiro.”
“Aku akan
mencoba, Kek. Mudah-mudahan Gusti Allah menolong kita semua. Namun kalau Kakek
bisa menceritakan, aku ingin lebih dulu mengetahui bagaimana asal mula
kejadiannya, apa yang diderita Wiro. Lalu tindakan apa saja yang telah
dilakukan dalam usaha menyembuhkannya.”
Setan
Ngompol meminta Ki Tampakpati memberi penjelasan. Kakek ahli pengobatan ini
lalu menceritakan bagaimana pertama kali dia menemui Wiro termasuk kemunculan
Damar Sarka dan Surah Sentono. Kakek ini juga memberi tahu apa yang dialami
Wiro lalu apa yang telah dilakukannya walau tidak banyak menolong. Setan
Ngompol kemudian menambahkan apa yang terjadi sewaktu Bunga berusaha mengobati
sang pendekar.
Diantar
ke tiga orang itu Purnama kemudian masuk ke dalam kamar di mana Wiro terbaring
di atas ranjang bambu.
Purnama
memperhatikan sosok Wiro sejenak. Lalu mulutnya berucap perlahan, “Ada duabelas
bekas totokan di tubuh Wiro. Ada orang yang telah berusaha menolongnya sebelum
gadis bernama Bunga menotok tujuh kali dengan kembang kenanga.”
Gadis
dari negeri 1200 tahun silam ini kemudian letakkan telapak tangan kirinya di
atas kening Pendekar 212. Terasa sangat dingin. Gadis ini lalu berpaling pada
Ki Tambakpati. “Kek, turut penjelasanmu serta keterangan yang diberikan Bunga
agaknya Wiro bukan hanya menderita satu penyakit. Pintu pertama yang harus
dilalui untuk mengobati semua penyakitnya adalah terlebih dulu memperbaiki
jalan darahnya yang terbalik. Sahabat bertiga, aku akan mulai. Bantulah dengan
doa.”
Purnama
pejamkan mata. Tangan kiri yang menyentuh kening Wiro perlahan-lahan dialiri
hawa sakti. Ketika hawa sakti ini bersentuhan dengan kening Wiro, di luar rumah
terdengar letusan aneh seperti petir menyambar. Rumah panggung bergetar.
Purnama seperti disengat api. Gadis alam gaib ini lipat gandakan tenaga dalam.
Mulut mengerang menahan sakit. Tiga cahaya merah, biru dan hijau muncul dalam
ruangan.
Ratu
Duyung berteriak keras lalu melesat ke luar rumah sambil tarik cermin sakti
dari balik baju. Di udara dia melihat jelas satu bayangan putih berkelebat ke
arah pohon besar. Cermin sakti diputar. Selarik sinar putih menderu keluar dari
dalam cermin. Pohon besar yang dilanda sinar putih langsung dikobari api. Namun
bayangan putih lenyap dari pemandangan.
“Manusia
tanpa wajah! Pasti dia! Aku mengenali pakaiannya. Makhluk itu memiliki
kesaktian sangat tinggi. Dia sepertinya berusaha menghalangi pengobatan atas
diri Wiro.”
Ratu
Duyung mengawasi keadaan sekeliling, la1u cepat-cepat masuk kembali ke dalam
rumah. Masuk ke dalam ruangan didapatnya Wiro masih terbaring seperti tadi.
Purnama masih berdiri di samping ranjang. Tangan tetap menempel di kening Wiro
namun keadaan gadis dari alam 1200 tahun silam ini mengenaskan. Dua mata yang
terpejam tampak membengkak. Sebagian pakaian birunya hangus. Wajah sebelah kiri
merah melepuh. Rambut yang sebelumnya digulung di atas kepala kini tergerai
kusut riapriapan. Di sela bibir tampak lelehan darah.
“Purnama,
kau terluka di dalam!” teriak Ratu Duyung lalu cepat merangkul gadis itu.
“Sahabat,
tak usah khawatir. Aku masih dapat menguasai diri. Aku tahu siapa yang barusan
menyerang. Makhluk yang kau lihat dalam cermin. Dia berusaha menghalangi apa
yang hendak kita takukan. Yang penting serangan gaib tadi tidak sampai
mencelakai Wiro. Sekarang aku akan berusaha menyembuhkan kelainan darah di
tubuh Wiro. Mudah-mudahan aku menemukan petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan.”
Ketika
Purnama hentikan ucapannya, keadaan di dalam ruangan itu sehening di pekuburan.
Ki Tambakpati tampak pucat. Setan Ngompol bersandar ke dinding sambil pegangi
bagian bawah perut.
Cukup
lama kesunyian mencekam, kemudian Purnama berucap, “Kitab Seribu Pengobatan…
Halaman tujuhpuluh dua. Pengobatan ke tigaratus satu. Barang siapa menderita
kelainan darah yang biasanya disertai gangguan aliran darah maka penyembuhannya
terdiri dari lima tahap. Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha
Penyembuh agar orang yang sakit disembuhkan dari penderitaannya. Kedua, si
sakit diminumkan tujuh cangkir air tumbukan jahe hangat setiap hari selama tiga
hari. Ketiga, jika aliran darahnya terganggu, si sakit harus diurut pembuluh
darah utamanya ke arah berlawanan dari aliran darah yang ada mulai dari saat
matahari terbit sampai matahari tenggelam. Untuk mengurut harus dipergunakan
madu lebah yang dihangatkan. Keempat, si sakit harus diapungkan di atas sungai
mulai dari matahari terbit sampai siang hari dengan kepala menghadap ke arah
datangnya arus sungai dari hulu. Kelima, tepat pada saat matahari mencapai
titik tertinggi, tusuk sepuluh ujung jari tangan dan ujung jari kaki dengan
benda apa saja yang runcing dan tajam. Bila darah yang keluar kembali ke asal
merah dan segar maka dengan kehendak serta Ridho Tuhan Yang Maha Kuasa Maha
Penyembuh si sakit akan terhapus dari deritanya.”
Ketika
Purnama tarik tangannya yang memegang kening Wiro, Ki Tambakpati mendekati dan
bertanya setengah berbisik, “Petunjuk yang kau dapat adalah untuk mengobati
jalan darahnya yang terbalik. Bagaimana dengan penyembuhan itunya. Maksudku
kemampuannya sebagai laki-laki…”
Purnama
tak segera menjawab. Sewaktu mendengar cerita Ki Tambakpati sebelumnya mengenai
penyakit yang diidap Wiro bahwa pemuda itu akan mengalami kelumpuhan kejantanan
selama-lamanya sebenarnya hatinya merasa perih dan sangat terpukul. Dalam hati
dia membatin, siapa yang punya dendam terhadap Wiro hingga memperlakukannya
demikian kejam? Makhluk tanpa wajah yang dilihatnya dalam cermin?
“Kek,”
akhirnya Purnama berkata. “Kita baru berusaha membuka pintu kesembuhan. Jika
kita berhasil mengobati kelainan jalan darah Wiro, mudah-mudahan kita bisa
menyembuhkan penyakitnya yang lain. Jangan lupa, Wiro harus sadar lebih dulu.
Kalau tidak bagaimana dia bisa meneguk air jahe. Jika Wiro siuman kita perlu
meminta keterangan apa yang terjadi dengan dirinya. Baru nanti kita bisa
menentukan mau berbuat apa. Aku selalu siap untuk mencari petunjuk dalam Kitab
Seribu Pengobatan. Sekarang baiknya kita sama-sama berdoa untuk kesembuhan
Wiro. Setelah itu masing-masing kita menyiapkan segala sesuatu yang akan dipergunakan
untuk alat penyembuhan.”
“Aku akan
mencari madu lebah,” berkata Setan Ngompol.
“Aku akan
mencari jahe. Nanti biar aku juga yang akan mengurut tubuh pendekar itu.”
Berucap Ki Tambakpati.
Purnama
dan Ratu Duyung sama-sama tersenyum. Purnama lalu memberi tanda agar semua
orang siap untuk sama-sama memanjatkan doa. Selesai berdoa Ki Tambakpati
tinggalkan rumah panggung untuk mencari jahe sedang Setan Ngompol pergi ke
hutan mencari madu lebah.
Setelah
dua kakek itu pergi, Ratu Duyung bertanya pada Purnama. “Sahabat, kau merasa
baik-baik saja?”
“Tadi aku
memang terluka di dalam. Untung aku bisa bertahan. Mudah-mudahan sekarang aku
tak kurang suatu apa. Kau tentu dapat menduga, sakitnya Wiro bukan sakit
sembarangan. Ada kekuatan dari alam gaib yang berusaha mencegah penyembuhan dan
membuat keadaan jadi lebih buruk.”
“Manusia
tanpa wajah yang kita lihat dalam cermin. Siapa dia?” ucap Ratu Duyung.
“Sulit
diketahui siapa adanya makhluk itu. Apa sebenarnya kepentingannya. Makhluk itu
mengandalkan ilmu kesaktian yang memancarkan tiga warna merah, biru dan hijau.
Itu yang dipakainya waktu menyerangku.” Kata Purnama pula.
“Sahabat,
luka dalammu mungkin benar sudah sembuh. Tapi apa kau menyadari ada bagian yang
terbakar pada wajahmu sebelah kiri…”
“Aku
memang merasa sedikit perih. Aku tidak tahu seberapa parahnya.”
Ratu
Duyung keluarkan cermin bulat lalu diserahkan pada Purnama. Gadis dari negeri
1200 tahun silam ini dekatkan mukanya ke cermin. Ketika melihat wajahnya dalam
cermin, langsung dia terpekik. Kening kiri, pipi sampai ke dagu kiri kelihatan
merah kehitaman. Sebagian kulit wajahnya ada yang mengelupas.
“Lukamu
akan sembuh. Pasti ada obat untuk menyembuhkan” Ratu Duyung berusaha membujuk
sambil mengelus punggung Purnama. “Coba kau lihat petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan. Pasti kau akan menemukan obat dan cara penyembuhannya.”
“Akan
kucoba…” kata Purnama lalu pejamkan mata. Setelah cukup lama merenung, sambil
menarik nafas dalam gadis ini buka kedua matanya. Perlahan-lahan kepala
digelengkan. “Aku tidak menemukan obat dan cara penyembuhan…”
“Mustahil.
Ada seribu macam pengobatan dalam kitab itu” ujar Ratu Duyung.
“Semua
menyangkut penyakit. Bukan untuk kecantikan.” Jawab Purnama dengan suara lirih.
“Aku
tidak yakin. Kalau saja kita bisa mendapatkan kitab yang asli, mungkin ada yang
tidak terserap dalam benakmu…”
“Aku
sudah menguasai seluruh isi kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan bukan untuk
menyembuhkan dan membuat kecantikan. Aku akan cacat seumur hidup. Mungkin aku
harus kembali ke alamku dan tidak pernah muncul lagi di muka bumi ini untuk
selama-lamanya…” Purnama berucap perlahan. Seperlahan ucapannya seperlahan itu
pula air mata menetes ke wajahnya yang kini cacat.
“Aku
tetap tidak yakin. Kau bukan mencari atau membuat kecantikan. Kau mengobati
dirimu yang terluka. Kalau kau mampu menyembuhkan luka parah yang dialami Wiro
sewaktu dihantam pukulan Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat, kalau kau
mampu menyembuhkan Wiro dari patukan ular gaib Walang Gambir alias Kobra Biru,
masakan kau tidak mampu mengobati luka luar dirimu sendiri?”
“Luka
yang aku alami bukan luka biasa. Ada kekuatan gaib sangat dahsyat yang
melakukannya.”
“Sahabat,
aku tahu hatimu sedang tergoncang. Kita semua dalam bingung dan susah. Tapi
cobalah sekali lagi. Aku yakin kau akan mendapat petunjuk dari Kitab Seribu
Pengobatan yang sudah kau ingat dalam benakmu itu…”
“Kalau
begitu baiklah. Akan kucoba sekali lagi.”
Kali ini
Purnama pejamkan kedua matanya, pikiran benar-benar dipusatkan. Tak lama
kemudian mulutnya berucap.
“Kitab
Seribu Pengobatan. Halaman…” Ucapan Purnama terputus. “Ada yang tidak beres!
Aku melihat kabut hitam. Pikiranku gelap, pemandanganku terhalang. Ada makhluk
jahat…”
Tiba-tiba
meledak tawa cekikikan di tempat itu. Disusul ucapan nyaring perempuan.
“Kau
tidak akan mampu mengobati lukamu. Kau akan cacat seumur hidup! Tidak ada
lelaki yang mau padamu. Termasuk Pendekar 212! Hik… hik… hik!”
“Siapa?!”
Bentak Ratu Duyung. Dia merasa ada angin berkelebat ke arah serambi rumah
panggung. Ratu Duyung mengejar. Sepasang matanya yang biru memancarkan sinar
terang. Lalu wuut… wuut! Dua larik sinar biru melesat ke udara. Itulah ilmu
kesaktian yang disebut Inti Biru Laut Selatan. Di udara terdengar satu letupan
keras disertai kiblatan cahaya ungu terang. Lalu menyusul suara pekikan
perempuan.
“Kau
berhasil menghajarnya. Mudah-mudahan dia kapok menggangguku,” ucap Purnama yang
ikut mengejar dan kini berdiri di halaman rumah panggung di samping Ratu
Duyung.
“Lagi-lagi
makhluk gaib. Kau tahu siapa atau makhluk apa?”
“Makhluk
perempuan dari negeriku. Aku pernah bertarung dan menghajamya. Tapi dia tak
pernah jera. Kurasa tadi kau telah melukainya. Biar kapok!”
Dalam
hati Ratu Duyung berkata. “Kalau makhluk gaib perempuan itu berasal dari alam
yang sama dengannya. Kalau makhluk itu menyumpahinya tidak ada laki-laki yang
mau padanya termasuk Wiro, berarti makhluk itu sebenarnya ingin memiliki Wiro.
Apakah dia yang telah mencelakai Wiro?”
“Ratu,
kau tengah memikirkan apa?” bertanya Purnama ketika dilihatnya Ratu Duyung
tegak terdiam.
“Ah…”
Ratu Duyung tersenyum. “Sahabat, sebaiknya kita masuk kembali ke dalam rumah.
Kau coba lagi mendapatkan petunjuk dari Kitab Seribu Pengobatan. Kali ini kau
pasti berhasil.”
“Tak usah
di dalam rumah. Di sini pun bisa kulakukan” jawab Purnama. Lalu gadis alam 1200
tahun silam ini pejamkan mata. Sesaat kemudian dia berseru. “Ratu! Aku
berhasil! Aku akan membaca dan mengucapkannya! Kitab Seribu Pengobatan, halaman
empatpuluh sembilan, pengobatan ke duaratus dua. Barang siapa yang terluka
kulit sampai dagingnya akibat penyakit atau api atau benda panas lainnya, yang
berasal dari alam nyata maupun alam gaib maka penyembuhannya adalah sebagai
berikut. Pertama, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar si
sakit disembuhkan dari sakit dan penderitaannya. Kedua, siapkan satu kendi susu
sapi. Campur sedikit dengan tanah merah karena manusia berasal dari tanah dan
tubuhnya mengandung unsur tanah. Ketiga, letakkan kendi berisi susu bercampur
tanah di tempat ketinggian, jangan ditutup, embunkan di udara terbuka mulai
saat malam tiba sampai fajar menyingsing. Di pagi yang sama menghadaplah ke
arah matahari tenggelam. Keempat, siramkan air susu dalam kendi ke bagian yang
cidera sambil melafatkan kata-kata: Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang
akan menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air susu. Air susu pula
yang akan menjadi pengobat. Tuhan Maha Kuasa Maha Penyembuh… Jika semua sudah
dilakukan mudah-mudahan Yang Maha Kuasa akan menyembuhkan si sakit.”
Purnama
membuka kedua matanya. Wajahnya yang cacat tampak agak berseri.
“Aku
berhasil. Terima kasih kau telah meyakinkan diriku…”
“Kau akan
mencari susu sapi?”
Purnama
menggeleng. “Akan kulakukan kalau Wiro sudah berhasil kita sembuhkan…”
“Kalau
begitu biar aku yang mencarikan untukmu.”
Purnama
pegang lengan Ratu Duyung. “Terima kasih kau mau berbuat baik. Tapi jangan.
Tidak seorang pun dari kita yang boleh meninggalkan tempat ini sebelum Wiro
sembuh.”
Ratu
Duyung akhirnya mengangguk perlahan. Dalam hati dia membatin, “Kecintaannya
terhadap pemuda itu sungguh luar biasa. Dia rela menanggung cacat, asal Wiro
bisa disembuhkan. Apakah kecintaannya melebihi kecintaanku?”
Menjelang
sang surya tenggelam Ki Tambakpati muncul kembali bertelanjang dada, membawa
setumpuk jahe yang dibungkus dalam jubah hijaunya.
“Mana
kakek tukang ngompol itu. Kukira dia sampai duluan,” kata Ki Tambakpati sambil
letakkan tumpukan jahe di tangga rumah.
Tiba-tiba
terdengar suara orang berlari sambil mengaduh-aduh panjang pendek tiada henti.
“Hai! Itu
suara kakek Setan Ngompol.” ujar Ratu Duyung.
Tak lama
kemudian kakek kepala setengah sulah berkuping lebar itu muncul berlari-lari.
Tangan kanan menenteng dua buah kelapa hijau. Tangan kiri menekapi bawah perut
yang kelihatan aneh melembung.
“Katanya
mencari madu lebah ke hutan. Pulang malah membawa dua butir kelapa. Aneh
sobatku satu ini!” Ucap Ki Tambakpati.
Sampai di
depan rumah panggung Setan Ngompol jatuhkan diri. Dua buah kelapa diletakkan di
tanah. Dia lalu telentangkan badan di tanah sambil dua kaki mencakmencak kian
kemari sementara dari mulutnya terus saja teriakan, “Aduh… aduh… aduh!”
“Kek, ada
apa ini?” bertanya Ratu Duyung.
“Kek, apa
yang terjadi?” Purnama ikut bertanya.
“Hai!
Kenapa celanamu gembung seperti ditiup angin!” Bertanya Ki Tambakpati.
“Lebah
sialan!” teriak Setan Ngompol “Aku bukan ditiup angin. Tapi ditiup lebah
keparat!”
“Tenang,
Kek. Ceritakan apa yang terjadi” kata Purnama pula.
“Lebah
sialan! Lebah keparat! Aku disengat ratusan lebah waktu mengambil madunya di
hutan!”
“Pasti
kau tidak kulo nuwun (minta ijin) dulu!” kata Ki Tambakpati.
“Kulo
nuwun, kulo nuwun! Memangnya lebah ngerti bahasa manusia!” gerutu Setan
Ngompol. “Lihat anuku! Melembung bengkak seperti semangka mau pecah!” Setan
Ngompol enak saja hendak rorotkan celananya yang basah lepek oleh air kencing.
“Hai!
Tahan! Tunggu dulu! Jangan main buka sambarangan. Ada gadis di sini! Mending
anumu bagus! Ha… ha… ha!” Ki Tambakpati tertawa gelak-gelak.
“Sudah
Kek. Nyebur ke kali sana! Biar adem! Biar cepat kempes anunya!” kata Ratu
Duyung kasihan ada geli juga ada.
“Yang
penting kau dapatkan madunya apa tidak?” Ki Tambakpati bertanya sambil pegangi
perut menahan tawa.
“Itu
sudah kumasukkan dalam buah kelapa!” jawab Setan Ngompol lalu sambil kucurkan
air kencing dia bergulingan di tanah, menggelinding masuk Kali Progo.
“Pegangan
Kek! Kalau kau hanyut kami juga yang susah!” berseru Purnama.
Tiba-tiba
dari dalam rumah panggung terdengar jeritanjeritan keras. Empat orang yang ada
di halaman rumah tersentak.
“Wiro!”
Ratu Duyung dan Purnama berseru hampir berbarengan.
Setan
Ngompol yang baru saja sebentar berendam di dalam kali, mendengar jeritan Wiro
segera melompat keluar dari dalam air. Dia seperti melupakan rasa sakit bekas
sengatan lebah. Terbeser-beser dia menghampiri Ki Tambakpati.
“Apa yang
dikatakan Bunga gadis alam roh itu benar adanya. Wiro sadar satu hari lebih
cepat. Tapi mengapa menjerit-jerit?”
“Dia sadar
dalam keadaan jalan darah yang masih terbalik. Sakitnya lebih hebat dari
sundutan bara api!” jawab Ki Tambakpati.
Lalu dua
kakek ini berkelebat menyusul dua gadis masuk ke dalam rumah.
*********************
6
DI ATAS
ranjang bambu tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng bergetar hebat, basah oleh
keringat dan kepulkan asap tiga warna, merah, biru dan hijau. Mulutnya tiada
henti berteriak. Matanya hanya bagian putih saja yang kelihatan.
“Totok
jalan suaranya. Kasihan kalau dia berteriak terus-terusan…” kata Ki Tambakpati.
Ratu
Duyung bertindak cepat. Sekali menotok urat besar di pangkal leher Wiro maka
suara jeritan serta merta lenyap. Pancaran tiga cahaya perlahan-lahan meredup
walau tidak hilang sama sekali. Begitu juga getaran yang menjalari sekujur
tubuh masih berlangsung.
“Dia
menderita sakit luar biasa. Ketika pingsan dia tidak merasakan. Begitu sadar
baru berteriak. Tapi dia belum sadar penuh. Baru mati rasanya yang sembuh.” Ki
Tambakpati menjelaskan. “Kita harus mempercepat pengobatan.
Semua
orang kemudian sibuk. Jahe ditumbuk, madu untuk mengurut disiapkan. Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol membuat rakit kecil nanti untuk dipakai
mengapungkan tubuh Wiro di dalam kali sebagaimana petunjuk Kitab Seribu
Pengobatan yang dilafatkan Purnama.
Ketika
jahe hangat selesai dibuat, cukup sulit untuk meminumkan karena walau setengah
sadar namun boleh dikatakan murid Sinto Gendeng tidak punya tenaga kekuatan
sama sekali. Jangankan mengangkat tangan, untuk menelan air obat saja dia
mengalami kesulitan. Sementara itu kedua matanya masih kelihatan memutih.
Purnama dan Ratu Duyung dengan susah payah berhasil meminumkan obat jahe ke
dalam mulut Wiro. Setan Ngompol dan Ki Tambakpati berdua mengurut sekujur tubuh
Wiro dengan madu. Keempat orang itu bekerja sampai jauh malam. Keesokan paginya
Ratu Duyung meminta izin tiga kerabat untuk melepas totokan Wiro.
“Kita
tidak mungkin menunggu sampai tiga hari seperti petunjuk kitab sakti. Aku tidak
tega melihat tubuhnya terus menerus bergetar berkelojotan. Bagaimana kalau kita
coba melepas jalan suaranya. Siapa tahu Wiro sembuh lebih cepat…”
Ki
Tambakpati agak bersangsi. Namun Setan Ngompol dan Purnama memberikan tanda
persetujuan dengan anggukan kepala. Maka Ratu Duyung segera menotok urat besar
di pangkal leher Pendekar 212. Begitu jalan suaranya terlepas dari mulut Wiro
langsung melesat keluar suara teriakan. Ratu Duyung tersentak, cepat-cepat dia
tutup kembali jalan suara Pendekar 212 dengan menotok lagi urat besar di leher.
“Dia
masih berteriak tanda kesakitan. Tapi ada perubahan. Suara teriakannya tidak
sekeras sebelumnya.” berucap Ki Tambakpati.
“Kita
harus melakukan sesuatu…” kata Ratu Duyung sambil pejamkan mata. Tiba-tiba dia
ingat pada Bunga. “Mungkin kita harus memanggil Bunga…”
Seperti
diketahui, sebelum pergi gadis berwajah pucat dari alam roh itu memberikan
sekuntum kembang kenanga kuning pada Ratu Duyung disertai pesan. Jika
sewaktuwaktu dirinya dibutuhkan maka dengan mencium kembang kenanga serta
menyebut namanya dia akan muncul.
Sebenarnya
Purnama merasa rikuh jika Bunga hadir di tempat itu. Hal ini karena dia
mengetahui kalau Bunga lebih bersahabat terhadap Ratu Duyung daripada dirinya.
Namun saat itu dia harus membuang jauh-jauh segala perasaan pribadi demi untuk
menyelamatkan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Diperhatikan
oleh ketiga orang di dalam ruangan Ratu Duyung keluarkan kembang kenanga dari
balik baju kelabu lalu mencium kembang ini sambil berkata. “Bunga, kami
memerlukan bantuanmu. Datanglah.”
Begitu
kata diucapkan dalam ruangan berpijar cahaya putih menyilaukan disertai
menebarnya bau kembang kenanga. Di lain kejap Bunga si gadis alam roh telah
berada di tempat itu dalam pakaian kebaya putih berkancing besar dan celana
panjang putih sebetis.
“Para
sahabat. Kesulitan kalian adalah kesulitanku juga. Mari kita sama-sama mencari
jalan untuk dapat menolong Wiro.” Gadis alam roh berucap.
“Bunga,
kau mampu membuat Wiro sadar lebih cepat? Kami sudah melakukan apa yang kami
bisa. Namun kami harus menunggu selama dua hari lagi. Kami tidak tega melihat
Wiro tersiksa selama itu. Apakah kau mampu mempercepat kesembuhan kelainan
jalan darah yang dideritanya?” Tanya Ratu Duyung.
Bunga
pandangi wajah dan sosok Pendekar 212 dengan mata sayu. Dengan suara perlahan
dia berkata, “Wiro pernah menyabung nyawa ketika menyelamatkan diriku dari
sekapan guci iblis. Sekarang dia dalam kesulitan besar. Bukankah ini saatnya
membalas segala budi dan hutang nyawa?” (Baca serial Wiro Sableng berjudul ‘Si
Cantik Dalam Guci’).
Bunga
berpaling pada Ratu Duyung dan Purnama. Dari dalam genggaman tangannya gadis
alam roh ini keluarkan tiga kuntum kembang kenanga yang masih segar. Satu
diberikan pada Ratu Duyung, satu pada Purnama.
“Kunyah
dan telanlah kembang yang kuberikan.” Kata Bunga lalu dia masukkan kembang
kenanga yang dipegangnya ke dalam mulut, langsung dikunyah. Ratu Duyung dan
Purnama tanpa ragu melakukan hal yang sama. Bunga kemudian memegang tangan
kedua gadis itu hingga tangan kanan mereka bertiga saling berjabatan.
“Perhatikan
apa yang aku lakukan,” berkata Bunga lalu letakkan tangan kiri di atas kening
Wiro “Letakkan tanganmu di atas tanganku,” kata Bunga pada Ratu Duyung lalu
pada Purnama dia berkata, “Letakkan tangan kirimu di atas tangan Ratu Duyung.”
Maka tiga
tangan saling berjabatan, tiga lainnya bersusun diletakkan di atas kening
Pendekar 212.
“Kalian
berdua, jika aku mengedipkan mata cepat alirkan tenaga dalam penuh. Kita
berusaha. Selebihnya Tuhan yang akan menolong!” Bunga menunggu sesaat. Lalu
mulutnya berucap, “Gusti Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Kasih sayangMu
terlimpah pada kami bertiga. Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari
kekuatan gelombang samudera. Kekuatan kasih sayangMu lebih dahsyat dari
kekuatan sang surya. Kekuatan kasih sayangMu lebih hebat dari kekuatan topan
prahara! Dengan izinMu ya Allah semua kekuatan dalam bungkus kasih sayangMu itu
akan menghancurkan kejahatan, akan menyembuhkan penyakit. Kami bertiga yang
rendah ini memohon ya Allah. Apa yang Engkau kehendaki terjadilah!”
Habis
keluarkan ucapan yang membuat tengkuk semua orang yang ada di tempat itu jadi
merinding, Bunga kedipkan kedua matanya. Tiga tenaga dalam tingkat tinggi
sama-sama dikerahkan.
Blaarrr!
Ledakan keras menggoncang rumah panggung. Muka tiga gadis cantik tampak pucat
seolah tidak berdarah, terlebih Bunga. Ketiganya jatuh terkapar, tubuh bergetar
dada mendenyut sakit. Di sela bibir Ratu Duyung tampak ada lelehan darah
pertanda gadis ini menderita luka dalam.
Bunga
serahkan sekuntum kembang kenanga pada Ratu Duyung. “Cepat kunyah dan telan!”
katanya. Ratu Duyung mengambil kembang kenanga, memasukkan ke dalam mulut lalu
mengunyah dan menelan dengan cepat. Dadanya yang tadi mendenyut sakit,
kepalanya yang tadi agak pening kini semua itu serta merta lenyap. Ratu Duyung
maklum, sebagai dua orang dari alam lain, Purnama dan Bunga masih mampu
bertahan terhadap serangan gaib tadi. Sementara dia walau bisa hidup di darat
dan di laut, bagaimanapun juga dia tetap manusia biasa.
Di luar
rumah terdengar suara gelombang angin menderu. Daun-daun pepohonan berkesiuran.
Ranting-ranting patah berjatuhan. Di dalam rumah panggung tiba-tiba berlangsung
keanehan. Sosok Pendekar 212 melayang naik setinggi satu jengkal, lalu ketika
turun tagi ke ranjang bambu, dari telinga, mata dan hidungnya serta mulut
meleleh darah kental berwama hitam! Cahaya merah, biru dan hijau masih
membayangi tubuhnya. Semua orang tercekat kaget. Ratu Duyung seperti mau
menangis. Purnama pejamkan mata menahan isak. Hanya Bunga yang tetap tenang.
Ketiganya kemudian mengeluarkan sehelai sapu tangan dari balik pakaian
masing-masing lalu membersihkan darah dari wajah Wiro. Tiga sapu tangan yang
basah oleh darah hitam itu kemudian diletakkan di atas selembar papan yang
menempel ke dinding di ujung kaki ranjang.
Keheningan
dipecah oleh suara Ki Tambakpati. “Darahnya masih hitam! Matanya masih
nyalang!”
“Itu
darah hitam terakhir yang masih bersisa dalam tubuhnya. Besok jika totokannya
dilepas, mudah-mudahan aliran darah dalam tubuh Wiro sudah sembuh dan dia tidak
akan berteriak lagi. Bersamaan dengan itu matanya akan terpejam. Bagian hitam
bola matanya akan kembali ke keadaan semula.” Menjelaskan Bunga.
“Bagaimana
dengan pengobatan sesuai petunjuk Kitab Seribu Pengobatan? Apakah harus
dihentikan?” bertanya Purnama.
“Harus
diteruskan. Itu akan lebih menolong.” Jawab Bunga.
“Sebenarnya
ada yang hendak aku sampaikan pada para sahabat. Hanya saja apakah para sahabat
dapat mempercayai ceritaku…”
“Bunga,
jika kau mengetahui sesuatu sehubungan dengan penyakit Wiro harap kau
menceritakan. Jangan ada yang disembunyikan…” ujar Ratu Duyung.
Setelah
berdiam sebentar akhirnya Bunga berkata. “Sewaktu kembali ke alamku aku
berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Wiro. Aku menemukan
tanda bahwa ada manusla titisan yang mencelakainya. Manusia ini berada di bawah
satu kekuatan gaib yang sangat dahsyat, berasal dari negeri sangat jauh, di
belahan timur bumi…”
“Apakah
kau mengetahui sebab musabab mengapa manusia titisan itu mencelakai Wiro?”
bertanya Purnama.
“Makhluk
titisan hanya bertindak sebagai pelaku. Dia berada di bawah bayang-bayang atau
kuasa satu makhluk gaib. Aku menduga makhluk gaib yang muncul tanpa wajah
itulah biang keladi semua kejadian ini. Namun mengapa sang makhluk melakukan
hal itu masih merupakan satu hal yang kabur bagiku…”
“Manusia
yang ketitisan itu, apakah kau sempat melihat ujudnya?” Ratu Duyung bertanya.
“Aku
hanya mampu melihat bayangan hitam sangat samar. Manusia itu dilindungi oleh
makhluk gaib tadi. Setiap aku memusatkan perhatian pada dirinya, ada sinar
merah redup yang melindungi. Agaknya dia membawa sebuah benda sakti bertuah.
Para sahabat pernah mendengar peristiwa perkosaan dan pembunuhan atas diri
banyak gadis cantik belakangan ini?”
Ratu
Duyung tidak menjawab karena memang belum mendengar. Purnama berdiam diri. Ki
Tambakpati berpaling pada Setan Ngompol dan membisikkan sesuatu.
“Aku
pernah mendengar kejadian terkutuk itu. Kejadiannya sampai beberapa kali.”
“Setiap
gadis yang dibunuh ada bunga tanjung menempel di keningnya…” Menjelaskan Bunga.
“Aku jadi
ingat cerita sahabat mudaku Liris Biru, murid Hantu Malam Bergigi Perak yang
tewas di tangan Sinto Gendeng karena salah paham,” berkata Setan Ngompol.
“Kakak perempuannya yang bernama Liris Merah dibunuh seorang pemuda berpakaian
hitam, mengenakan ikat kepala merah. Berkumis, ada berewok dan janggut tipis…”
Setan Ngompol tekap dulu bagian bawah perutnya yang mau mengucur, baru
meneruskan ucapan. “Ketika Liris Biru menemukan mayat kakaknya, di kening Liris
Merah menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya biru. Setelah tadi kau bicara
soal pemerkosaan dan pembunuhan gadisgadis cantik, aku menaruh duga
pembunuhnya adalah manusia titisan itu. Karena katamu setiap ada gadis yang
dibunuh, selalu ada kembang tanjung menempal di keningnya.”
“Bunga
tanjung…” ucap Ratu Duyung dengan suara bergetar.
Dia
berpaling pada Bunga. “Ingat bunga tanjung yang kita temui di halaman gubuk di
Kali Progo? Yang memancarkan cahaya marah, biru dan hijau?”
Bunga
mengangguk. “Aku menduga bunga itu agaknya salah satu kekuatan jahat sekaligus
pelindung makhluk tanpa wajah.”
“Saat itu
mungkin manusia jahat itu muncul di sekitar gubuk di tikungan kali. Namun
karena kesaktiannya kita tidak bisa melihat.”
“Bisa
jadi,” ucap Ratu Duyung pula.
“Kalau
begitu kita harus mencari pemuda dengan ciriciri seperti yang dikatakan Liris
Biru itu,” kata Purnama pula.
“Cepat
atau lambat, kalau tidak kita pasti ada tokoh persilatan akan menemukan orang
itu. Namun sementara itu masih banyak korban lagi akan berjatuhan. Manusia
titisan ini, dia memiliki kesaktian luar biasa tinggi. Bersumber pada tiga
cahaya. Merah, biru dan hijau. Buktinya tadi kami bertiga masih kalah dalam
kekuatan tenaga dalam.”
“Makhluk
yang menitis pada manusia itu, apakah sahabat berhasil mencari tahu siapa dia
adanya?” tanya Purnama pula.
Bunga
menggeleng. “Yang aku tahu hanyalah dia berasal dari masa ratusan tahun silam.
Pada masa awalawal Kerajaan Singosari. Jika para sahabat pernah mendengar
cerita tentang lenyapnya pohon tanjung besar di alun-alun Kerajaan, maka
makhluk yang menitis itu kirakira hidup di masa kejadian itu.”
“Ah,
riwayat pohon tanjung yang lenyap itu” kata Ki Tambakpati pula. “Aku pernah
mendengar dari seorang tua. Orangnya sudah meninggal. Konon seluruh Kerajaan
menjadi geger. Semua orang dilanda ketakutan karena menganggap ada kemarahan
dewa yang luar biasa. Dan ada dugaan kejadian itu ada hubungannya dengan
pertumpahan darah tak kunjung henti karena memperebutkan tahta Kerajaan.”
“Pohon
tanjung…” ucap Ratu Duyung. “Kalau kita bisa menyelidik ke mana lenyapnya pohon
tanjung di alun-alun Kerajaan Singosari itu, di mana beradanya sekarang,
mungkin kita bisa mendapat petunjuk penting.”
Purnama
tarik nafas dalam lalu berkata. “Makhluk gaib tanpa wajah, makhluk penitis,
manusia yang ketitisan, pohon tanjung, bunga tanjung, pemuda berpakaian hitam…
Aku yakin semuanya saling punya hubungan.” Gadis dari Latanahsilam ini seperti
lupa keadaan wajahnya yang cacat.
“Sahabat
semua” berkata Bunga. “Aku terpaksa harus pergi sekarang. Aku titip Pendekar
212 di tangan kalian. “.
“Bunga,
kami sangat berterima kasih padamu…” kata Purnama sambil pegang tangan Bunga.
Gadis
dari alam roh ini tersenyum dan balas memegang tangan Purnama yang juga gadis
dari alam yang sama.
Bunga
berkata, “Kita semua harus berterima kasih pada Gusti Allah.” Lalu saat itu
juga tubuhnya sirna dari pemandangan, meninggalkan harum kembang kenanga.
Tak lama
setelah Bunga meninggalkan rumah panggung, selagi Ratu Duyung dan Purnama
menyiapkan madu untuk mengurut dan Ki Tambakpati serta Setan Ngompol menebang tiga
cabang pohon yang akan dipergunakan untuk mengapungkan tubuh Wiro, tiba-tiba
terdengar suara melenguh keras sekali dan berulang-ulang.
Setan
Ngompol tersentak kaget, langsung pancarkan air kencing. Dia memandang pada Ki
Tambakpati. “Suara apa itu? Suara kerbau atau suara demit?”
Serrr…,
menyebut demit Setan Ngompol kembali pancarkan air kencing.
*********************
7
TIBA-TIBA
dari balik sederetan pohon tak jauh dari kali muncul seekor sapi putih. Di
punggungnya duduk seorang anak gembala. Tangan kiri memegang batang bambu
kecil. Tangan kanan memegang leher sapi erat-erat. Wajahnya pucat, sangat
ketakutan. Sapi yang muncul adalah sapi betina gemuk. Susunya besar
berayun-ayun kian-kemari.
“Sapi ini
pasti baru melahirkan. Lihat susunya melar ke mana-mana. Aneh, dari mana
datangnya tahu-tahu muncul di sini.” ujar Setan Ngompol. Lalu dia datangi sapi
dan anak penggembala.
“Hai
bocah! Di sini bukan tempat mengangon sapi. Di dalam rumah ada orang sakit!
Lenguh sapimu sangat mengganggu! Ayo pergi sana!”
Si bocah
bukan saja ketakutan karena dibentak tapi juga ngeri melihat tampang Setan
Ngompol. Untuk beberapa ketika dia tertegun di atas punggung sapi.
“Hai! Kau
tidak dengar apa aku bilang! Mau aku peper sama air kencing?!” Setan Ngompol
delikkan mata dan masukkan tangan kanan ke balik celananya yang lepek.
Anak
lelaki di punggung sapi cepat melompat turun ke tanah. Dengan suara putus-putus
dia berkata.
“Kek, sa…
saya juga ti… tidak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini! Kek, sa… saya
takut. Saya lagi angon si Ucup ini di desa dekat sawah… La… lalu…”
Rupanya
sapi itu bernama si Ucup.
“Lalu?”
tanya Ki Tambakpati pula.
Si bocah
teruskan ceritanya. “Saya me… melihat perempuan can… cantik di atas pohon.
Rambutnya hitam sepinggang. Perempuan cantik itu mengangkat du… dua tangannya.
Tahu-tahu si Ucup naik ke udara. Tahu-tahu saya sa… sama si Ucup ada di… di
sini!”
“Bocah
pendusta! Mau kujewer kupingmu?! Mana ada sapi bisa naik ke udara! Siapa
perempuan cantik itu? Demit? Kuntilanak?!” Setan Ngompol jadi marah karena
merasa dibohongi. Tapi begitu menyebut demit dan kuntilanak kakek ini jadi
kucurkan air kencing.
Ki
Tambakpati pegang bahu Setan Ngompol. “Sobatku, anak itu tampaknya tidak
berdusta. Tidakkah kau melihat ada keanehan?”
Suara
ribut lenguh sapi membuat Ratu Duyung dan Purnama keluar dari rumah panggung
untuk melihat apa yang terjadi. Dua gadis cantik ini tentu saja terheran-heran
melihat di halaman rumah Setan Ngompol tengah memarahi seorang anak lelaki.
Lalu di halaman ada pula seekor sapi betina bersusu besar.
Purnama
tekap mulutnya dengan tangan kiri, bola mata membesar. Hatinya berdetak. Dia
pegang lengan Ratu Duyung lalu menariknya mendekati sapi betina dan anak
lelaki. Ketika ditanyai oleh Ratu Duyung si bocah ini menceritakan hal sama
seperti yang dikatakannya pada Setan Ngompol.
“Perempuan
di atas pohon. Pasti Bunga!” ucap Ratu Duyung. “Dengan kesaktiannya dia mengirimkan
sapi ini ke sini. Luar biasa!”
“Jangan-Jangan
dia mendengar dari alam gaib apa yang aku bacakan dari Kitab Seribu
Pengobatan.” Kata Purnama sambil mengusap punggung sapi. “Tapi siapa yang bisa
memeras susu binatang ini?”
“Kek, kau
saja yang memeras susu sapi ini,” kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol.
Serrr! Si
kakek langsung pancarkan air kencing. Sambil melangkah mundur Setan Ngompol
berkata. “Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi dengan sapi dan bocah ini.
Kini kau malah membuat aku tambah bingung! Menyuruh aku memeras susu binatang
itu. Susu manusia saja tak pernah aku peras. Sekarang disuruh memeras susu
binatang! Ha… ha… … ha!” Setan Ngompol tertawa gelak-gelak sambil tekap bagian
bawah perutnya kuat-kuat.
“Kalau
tidak ada yang bisa memeras, saya bisa melakukan.” Tiba-tiba bocah yang muncul
bersama sapi berkata.
“Ah, kau!
Kau bisa melakukan?” tanya Purnama.
“Ayah
pernah menyuruh saya beberapa kali,” jawab si bocah sambil perhatikan wajah
cacat Purnama. Gadis dari Latanahsilam ini usap kepala si anak. Lalu berpaling
pada Ratu Duyung.
“Sesuai
petunjuk kitab kita memerlukan kendi tanah untuk menampung susu sapi itu.
Bagaimana mungkin di tempat ini bisa mendapatkan kendi?” ujar Purnama. “Aku
bisa meninggalkan tempat ini. Mencari kendi. Mungkin di pasar. Tidak lama. Tapi
aku tidak mau pergi sebelum Wiro sembuh. Soal cacat di wajahku bisa disembuhkan
kemudian.”
“Susu
sapi sudah ada di hadapan kita. Tinggal memeras saja. Untuk menampungnya kurasa
tidak usah harus kendi.” Kata Ratu Duyung. “Benda apa saja asal terbuat dari
tanah. Kau tunggu di sini.”
“Hai! Kau
mau ke mana?” tanya Purnama.
“Ke kali.
Di sana pasti ada tanah liat. Aku akan membuat mangkuk dari tanah liat. Selagi
matahari terik, mangkuk itu bisa cepat dikeringkan.”
“Aku…”
Purnama benar-benar terharu. “Kau baik sekali…” ucapnya. Lalu dia jatuhkan
diri, berlutut di tanah. Mulutnya berkata. “Bunga, di manapun kau berada, kau
pasti mendengar ucapanku. Aku sangat berterima kasih. Kau memerlukan menolong
diriku dengan mengirim sapi itu. Padahal saat ini kita masih menghadapi musibah
besar, menyelamatkan Wiro…” Dalam hati Purnama berkata “Aku merasa berdosa.
Sebelumnya aku telah menaruh dugaan yang tidak baik pada gadis alam roh itu.
Ternyata hatinya putih dan tulus. Dia menolongku. Juga Ratu Duyung. Mereka baik
semua. Ah bagaimana aku harus menyikapi. Kami bertiga sama-sama mengasihi
Wiro…”
Tak lama
kemudian Ratu Duyung muncul kembali membawa tanah liat yang masih basah dan
sudah dibentuk seperti sebuah mangkuk besar. Di dalam mangkuk tanah yang masih
basah lembab ini terdapat beberapa lempengan tanah liat.
Purnama
cepat-cepat berdiri dan mengusap matanya yang berkaca-kaca.
“Matahari
bersinar cukup terik. Biar mangkuk ini aku letakkan di atap rumah. Agar lebih
cepat kering.” Kata Ratu Duyung lalu melesat ke udara dan meletakkan mangkuk
tanah di atas atap rumah panggung.
“Kalian
ini sebenarnya tengah melakukan apa?” tanya Setan Ngompol. Ki Tambakpati yang
menyaksikan hal itu meski terheran-heran tapi diam saja. Sebagai seorang ahli
pengobatan dia sudah bisa menduga, dua gadis cantik itu tengah mempersiapkan
sesuatu untuk pengobatan.
“Sobat
kecil, siapa namamu?” tanya Purnama pada bocah kecil di samping sapi betina.
“Kudin.”
Jawab si bocah.
“Kudin,
kau mau menunggu sebentar? Kalau mangkuk tanah di atas atap itu sudah kering,
kau mau menolong memeras susu sapi itu? Dimasukkan ke dalam mangkuk tanah?”
Kudin
mengangguk agak ragu. “Ya, saya mau. Tapi jangan terlalu lama. Saya mau cepat
kembali ke desa. Ayah pasti marah kalau sudah sore saya tidak pulang.”
“Jangan
takut. Sekarang belum tengah hari. Kalau ayahmu marah biar aku nanti yang
bicara padanya.” Kata Ratu Duyung pula.
“Kudin,
karena kau mau menolong ini hadiah untukmu.” Kata Purnama lalu dari pakaiannya
gadis ini keluarkan secarik kain hitam. Dengan cekatan tangannya bergerak
melipat-lipat kain itu. Sesaat kemudian kain hitam telah berubah menjadi topi
yang bagus. Topi diletakkan di atas kepala Kudin. Anak ini tertawa girang
sambil pegangi topi di kepalanya. Tiba-tiba tawa Kudin lenyap. Anak ini menunjuk
ke langit.
“Burung
jingga besar!” teriak Kudin.
Ratu
Duyung, Purnama, Ki Tambakpati dan Setan Ngompol sama-sama mendongak ke atas.
Di atas atap tampak berkelebat satu bayangan ungu.
“Astaga!
Itu bukan burung!” ucap Ratu Duyung.
Purnama
mendongak dan menghirup udara dalamdalam. Dia segera mencium bau sesuatu yang
sudah dikenalnya.
“Itu
makhluk perempuan celaka yang selalu menggangguku! Lihat! Dia hendak mengambil
mangkuk tanah di atas atap!” teriak Purnama.
“Belum
mati dia rupanya! Belum kapok! Kali ini aku tidak akan memberi hati!” kata Ratu
Duyung pula. Dua matanya yang biru pancarkan cahaya terang lalu dari kedua mata
itu melesat sinar biru. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Inti Biru Laut
Selatan.
Sebelumnya
ketika makhluk putih itu muncul di gubuk Ki Tambakpati, Ratu Duyung telah
menyerangnya dengan imu kesaktian ini. Sang makhluk menjerit keras. Purnama dan
Ratu Duyung mengira makhluk tersebut mengalami celaka berat. Ternyata dia
muncul lagi. Bersamaan dengan melancarkan serangan Inti Biru Laut Selatan itu
Ratu Dayung tarik keluar cermin bulat dari balik pakaian. Sekali tenaga dalam
dikerahkan dan tangan yang memegang cermin digerakkan maka gulungan cahaya
putih berbentuk lingkaran berkiblat ke udara, ke arah makhluk putih yang hendak
mengambil mangkuk tanah di atas atap rumah panggung. Gulungan sinar putih yang
keluar dari cermin ini disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa, merupakan salah
satu ilmu kesaktian yang diwarisi Ratu Duyung dari Nyai Roro Kidul, penguasa
laut selatan. Lawan yang masuk dalam lingkaran cahaya jika dia seorang manusia
akan menemui kematian dengan tubuh hancur lumat. Jika dia seorang makhluk gaib
maka tubuhnya akan terbakar hangus!
Purnama
tidak tinggal diam. Dua bahu digoyang. Kejap itu juga cahaya biru bergemerlap
melesat ke atas atap rumah. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Menahan Raga
Menyerap Tenaga. Siapa saja yang terkena cahaya tersebut akan menjadi rontok
kekuatan dirinya hingga dia tidak mampu lagi menggerakkan dua tangan dan dua
kaki.
Di udara
di atas atap, bayangan putih keluarkan suara tawa panjang seolah mencemooh
semua serangan yang diarahkan padanya. Tubuhnya mencelat ke atas setinggi satu
tombak. Serangan Inti Biru Laut Selatan menyambar udara kosong di bawah
kakinya. Dengan hantaman tangan kanan yang menebar cahaya putih berkilau
makhluk itu mentahkan serangan Menahan Raga Menyerap Tenaga yang dilancarkan
Purnama. Selanjutnya dengan membuat gerakan jungkir balik walau tubuhnya sempat
terserempet cahaya serangan yang keluar dari cermin sakti, makhluk itu masih
bisa lolos dari lobang jarum kehancuran. Malah dengan gerakan kilat dia
kemudian melayang turun sambil tangan kanan dihantamkan ke arah atap rumah
panggung. Satu sinar ungu menyilaukan berkiblat.
“Makhluk
celaka itu hendak menghancurkan mangkuk tanah di atas atap!” teriak Purnama.
Dia cepat melesat ke atas. Ratu Duyung menyusul sambil lancarkan lagi serangan
dengan cermin sakti. Namun kedua orang ini agaknya kalah cepat. Sesaat lagi
sinar ungu yang dilepaskan makhluk gaib akan menghancurkan mangkuk tanah bahkan
seluruh atap rumah kayu, tiba-tiba di udara berdesing tiga cahaya hijau
kekuningan disertai menebarnya bau harum kembang kenanga!
*********************
8
MAKHLUK
jingga yang hendak menghancurkan mangkuk tanah di atas atap menjerit keras.
Tubuhnya menggeliat beberapa kali lalu jatuh ke tanah, terkapar menelentang.
Sosoknya yang tadi samar untuk beberapa saat kelihatan jelas. Ternyata dia
adalah seorang gadis cantik berkulit putih. Berpakaian ungu yang sisi kanannya
tampak hangus. Rambut hitam tergerai di tanah. Di keningnya menancap tiga
kuntum kembang kenanga. Anehnya tak ada darah yang mengucur. Sepasang mata
gadis cantik ini bergerak berputar lalu menatap ke arah Purnama.
“Luhrembulan!
Jadi kau rupanya!” teriak Purnama kaget besar ketika gadis dari negeri 1200
tahun silam ini mengenali siapa adanya sosok berpakaian ungu yang tergeletak di
tanah itu.
“Kau
mengenalinya?!” tanya Ratu Duyung.
Belum
sempat Purnama menjawab, gadis yang tergeletak di tanah keluarkan ucapan,
“Kalian berdua manusiamanusia laknat terkutuk! Jangan mengira kalian akan
mendapatkan Wiro! Pendekar 212 adalah suamiku! Berani mengambilnya berarti
kematian bagi kalian!”
Purnama
ternganga, sesaat tak bisa berkata apa-apa. Tapi Ratu Duyung malah membentak.
“Jika
Pendekar 212 suamimu mengapa kau mencelakai kami! Padahal kami hendak
menolongnya!”
Gadis
cantik yang disebut dengan nama Luhrembulan masih bisa sunggingkan senyum
mengejek. Lalu berkata. “Siapa yang tidak bisa menduga. Di balik maksud kalian
menolong tersembunyi hasrat untuk memilikinya!”
Ratu
Duyung jadi panas. Kembali dia menghardik. “Aku tidak tahu kau ini manusia atau
bangsa setan! Kalau Wiro suamimu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri
menyelamatkannya! Kau malah gentayangan cekakak-cekikik membuat hal-hal tidak
karuan!”
Luhrembulan
lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak menjawab bentakan Ratu Duyung. Tubuhnya
kepulkan asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah yang tadi cantik
kini berubah menjadi seperti burung gagak hitam. Mulut dan hidung jadi satu
berbentuk paruh panjang dan bengkok. Sepasang mata kecil menonjol keluar tanpa
alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini berubah menjadi sehelai
jubah terbuat dari jerami kering. Makhluk ini buka lebar-lebar paruh
panjangnya, mengeluarkan suara menguik panjang lalu, desss! Didahului suara
letupan serta kepulan asap hitam tubuhnya lenyap dari pemandangan.
Semua
orang yang ada di tempat itu kini sama memandang pada Purnama. Ratu Duyung
pegang lengan gadis ini lalu bertanya. “Siapa makhluk tadi?”
“Dia
makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku. Berusaha menggagalkan setiap
apa yang aku lakukan. Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak
menyalahkan kalau dia sangat membenci diriku. Kini dia juga membenci dirimu…”
“Mengapa?!”
tanya Ratu Duyung. “Karena Wiro? Apa benar Wiro telah menjadi suaminya?”
“Gadis
itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah bentuk burung gagak tadi. Nama
sebenarnya Hantu Santet Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena ada
kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturunannya. Di alamku dia
merupakan seorang teramat jahat. Ketika Wiro terpesat ke sana, dia jatuh cinta
pada Wiro. Dia minta bantuan seorang juru kawin, nenek bernama Lamahila, agar
dia dikawinkan dengan Wiro. Perkawinan dengan manusia seperti Wiro merupakan
satu-satunya cara untuk membebaskan dirinya dari kutukan itu…” (Baca serial
Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari ‘Bola-bola Iblis’ s/d ‘Istana
Kebahagiaan’).
“Ah…”
Ratu Duyung keluarkan suara tercekat sambil pegangi leher yang putih bagus. Dia
ingat akan nasib dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu, menjadi
makhluk setengah ikan setengah manusia. Wirolah yang menolong melepas dirinya
dari kutukan itu hingga dia memiliki ujud manusia sempurna (Baca serial Wiro
Sableng berjudul ‘Wasiat Iblis’ s/d ‘Kiamat di Pangandaran’).
“Ada
apa?” tanya Purnama pada Ratu Duyung.
“Tidak…
tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu.”
Purnama
berpaling pada Setan Ngompol. “Kek, kau tahu kejadian kawinnya Wiro dengan
Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama Naga Kuning ikut
terpesat ke Latanahsilam.”
Setan
Ngompol manggut-manggut lalu berkata, “Sahabatku muda, lanjutkan saja ceritamu.
Biar para sahabat di sini semua tahu.”
“Perkawinan
Wiro dengan Luhrembulan tidak sah. Karena Wiro ditipu. Diberi minuman yang
membuat dia lupa pikiran. Wiro dibawa ke Bukit Batu Kawin. Dalam keadaan tidak
sadar juru kawin Lamahila menikahkan Wiro dengan Luhrembulan.”
“Kalau
aku tidak salah menyirap berita…” kata Setan Ngompol pula. “Hanya beberapa saat
setelah berlangsungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai. Semua orang
terpencar. Sebelum Wiro kembali ke tanah Jawa aku tidak tahu apakah Wiro pernah
bertemu lagi dengan Luhrembulan di Latanahsilam.”
Purnama
yang di Latanahsilam bernama Luhmintari lanjutkan kisahnya. “Waktu Istana
Kebahagiaan hancur, hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah Jawa,
termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti mencari Wiro. Sekaligus ingin
mencelakai diriku karena dia merasa aku hendak merampas pendekar yang
dianggapnya sudah jadi suaminya itu…”
Sewaktu
Purnama selesai dengan ceritanya keadaan di tempat itu menjadi sunyi. Ki
Tambakpati tiba-tiba ingat sesuatu, “Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku
melihat tiga kembang kenanga menancap di keningnya.”
“Kembang
kematian itu yang melumpuhkannya. Serangan kami berdua nyaris tak berbekas…”
kata Purnama pula. Dia menatap ke langit. “Bunga, kau tidak putusputusnya
menolong kami. Aku dan para sahabat sangat berterima kasih.”
“Apakah
gadis aneh tadi itu akan muncul lagi mengganggumu?” bertanya Setan Ngompol pada
Purnama.
“Pasti
Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya dalam waktu cukup lama. Paling
tidak seratus hari lebih…” Menjawab Purnama.
“Apa tidak
ada kekuatan yang bisa membuatnya tenggelam selama-lamanya?” bertanya Ki
Tambakpati.
“Biji
damar,” ucap Purnama. “Itu buah pantangan yang bisa melumpuhkan kami
orang-orang perempuan dari Latanahsilam…”
“Ah,
kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melumpuhkan gadis tadi, pasti aku
berikan!” Kata Setan Ngompol pula yang lalu ditepuk punggungnya oleh Ratu
Duyung. Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing. Sementara
Purnama tampak senyum-senyum.
“Kantong
menyanmu yang disengat tawon masih bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi
alat pelumpuh!” kata Ki Tambakpati.
Tiba-tiba
tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi. Semua orang terkejut. Setan
Ngompol memaki panjang pendek menahan kencingnya yang mau terpancar.
“Hai! Ke
mana bocah bernama Kudin itu?” tiba-tiba Ki Tambakpati bertanya. “Kudin!” Si
kakek berteriak memanggil.
Dari
balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah tampak pucat. Rupanya apa yang
terjadi di tempat itu membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon.
“Kudin,
kau sudah siap menolong memeras susu sapi itu?” tanya Ratu Duyung. Si bocah
mengangguk. Ratu Duyung menatap ke atas atap rumah panggung. “Kurasa mangkuk
tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk menampung susu.” Lalu Ratu
Duyung melesat ke atas atap rumah mengambil mangkuk tanah yang memang ternyata
telah kering dan menjadi keras.
“Kakek
berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya mulai saja mengurut Wiro,” kata
Purnama.
“Pasti
akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua juga ingin tahu apa yang hendak
kalian lakukan dengan susu sapi itu.” Jawab Ki Tambakpati.
“Kalian
tidak akan meminum susu sapi itu, bukan? Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha…
ha… ha!” Setan Ngompol tertawa dan mancurkan air kencingnya.
“Kalau
kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari puting susu sapi betina itu Kek!”
kata Ratu Duyung sambil tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu letakkan
mangkuk tanah di bawah perut binatang itu.
“Ayo
peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh dengan susu.” Kata Ratu Duyung
sementara Purnama jongkok di samping si bocah.
Cekatan
sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya naik turun tiada henti. Susu sapi
mengucur deras. Sebentar saja mangkuk tanah sudah penuh.
“Sahabat,
kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada dalam Kitab Seribu Pengobatan,” kata
Ratu Duyung pada Purnama.
“Susu
dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah merah di dalamnya leleh menyatu. Lalu
susu diembunkan semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai besok
fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan dulu dalam rumah.” Kata
Purnama lalu mendahului tiga orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga
kayu gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan langkah dan
berbalik, memandang berkeliling.
“Bocah
itu… Sapi tadi…” ucap Purnama.
Semua
orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih ternyata tak ada lagi di tempat
itu.
“Sahabat
kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi dan anak itu ke tempatnya semula di
sawah,” kata Ratu Duyung pula.
“Sahabatku
Bunga, aku… kami benar-benar sangat berterima kasih padamu.” Ucap Purnama
sambil membungkukkan tubuhnya.
Sampai di
dalam rumah Ratu Duyung dan Purnama memasukkan cairan jahe ke dalam mulut Wiro,
mengurut bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa tertelan.
Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol mengurut sekujur tubuh Wiro
dengan madu hangat.
Pada saat
matahari tenggelam, Purnama mengambil susu dalam mangkuk tanah lalu membawa dan
meletakkannya di atas atap rumah.
Malam itu
sambil terus mengobati Wiro semua orang bersikap waspada berjaga-jaga. Bukan
mustahil akan muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak suka melihat
kesembuhan Pendekar 212 dan juga kesembuhan Purnama. Sesekali Purnama dan Ratu
Duyung naik ke atas atap untuk melihat susu dalam mangkuk tanah serta
memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung.
“Aku
tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat. Dia tidak akan
muncul sampai seratus hari di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita
lihat dalam cermin. Manusia tak berwajah itu.” Kata Purnama.
“Aku akan
berjaga-jaga di sini…” kata Ratu Duyung pula sambil terapkan ilmu Menembus
Pandang untuk menjajagi keadaan sekitar rumah panggung. “Kau masuklah ke dalam
rumah. Bantu dua kakek itu mengobati Wiro.”
“Biar aku
saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,” jawab Purnama pula.
Ratu
Duyung tersenyum. “Kalau begitu biar aku menemanimu dulu di sini. Pertemuan
semacam ini jarang bisa kita lakukan. Saat ini kita bisa berbagi cerita dan pengalaman.
Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri asalmu Latanahsilam. Negeri
seribu duaratus tahun silam itu.”
“Banyak
memang yang bisa aku ceritakan padamu” jawab Purnama. “Tapi setelah itu rasanya
sangat penting untuk membicarakan sakitnya Wiro. Kita tahu kalau jalan darahnya
bisa disembuhkan masih ada penyakit yang mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan
kejantanannya…”
Larut
malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu masuk ke dalam rumah. Mereka tak bisa
memicingkan mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti Wiro walau
jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar menyingsing keadaan aman-aman saja,
tidak terjadi apaapa.
Begitu
langit di ufuk timur tampak terang, Ratu Duyung memberi isyarat pada Purnama.
Kedua gadis cantik ini keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap rumah.
Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan samasama keluarkan seruan
tertahan. Mangkuk berisi susu sapi tak ada lagi di atas atap!
“Kurang
ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!” teriak Ratu Duyung marah. “Semalam suntuk
kita berjaga-jaga. Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan.”
Purnama
pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam dan berkata. “Mungkin belum
saatnya aku mendapat kesembuhan. Aku pasrah…”
Ratu
Duyung tetap penasaran. Dia memandang berkeliling. Terapkan ilmu Menembus
Pandang. Dia tidak melihat ada orang yang sembunyi sekitar halaman. Dia
perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang mendekam. Gadis bermata biru
ini akhirnya keluarkan cermin saktinya.
“Dengan
cermin sakti ini masakan tidak tembus!” kata Ratu Duyung pula.
“Aku
khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa wajah!” ujar Purnama.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari kolong rumah panggung. Sesaat
kemudian melesat satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di atas
atap, di hadapan Ratu Duyung dan Purnama.
*********************
9
SAHABAT
berdua, apa kalian mencari ini?” Sosok hitam bertanya. “Naga Kuning!” Ratu
Duyung berteriak. “Bocah nakal! Apa yang kau lakukan?! Yang kau pegang itu
bukan benda sembarangan! Awas tumpah!” Sementara Purnama berdiri memperhatikan
sambil geleng-geleng kepala.
Sosok
yang berdiri di atas atap di depan dua gadis cantik itu adalah seorang bocah
berambut jabrik, mengenakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian
dada. Dia bukan lain adalah Naga Kuning alias Gunung alias Kiai Paus Samudera
Biru.
“Naga
Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!” berkata Purnama.
Naga
Kuning serahkan mangkuk susu pada Purnama.
Ratu
Duyung yang masih belum puas bertanya, “Kau menyelinap, kau mengambil mangkuk
berisi susu itu. Apa Naga Kuning betulan?! Atau makhluk jejadian yang menyamar
diri?!” tanya Ratu Duyung sambil alirkan tenaga dalam ke tangan kanan siap
untuk lepaskan pukulan sakti.
“Bocah
seperti aku mana ada yang palsu,” jawab Naga Kuning sambil senyum-senyum
seenaknya. Lalu dia menerangkan, “Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 212
ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sampai ke sini. Kulihat
rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada benda ini. Ketika aku ambil ternyata
berisi susu dingin sejuk. Kebetulan aku haus…”
“Astaga!
Jadi susu itu sudah kau minum?” tanya Purnama tercekat.
“Lancang
dan rakus!” hardik Ratu Duyung penuh gemas.
Naga
Kuning tertawa sambil usap-usap perutnya.
Purnama
jadi jengkel. Ratu Duyung tambah kesal. Dia membentak. “Jawab pertanyaan kami!
Kau minum susu dalam mangkuk itu? Hai! Kau datang sendirian atau dengan
siapa?!”
“Tadinya
aku memang mau minum susu ini. Kelihatannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi
kulakukan. Sebenarnya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini.”
“Apa
maksudmu?” tanya Purnama.
“Aku
disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di
kolong rumah. Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini.”
“Siapa
yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di sini? Kau datang dengan siapa?!”
bentak Ratu Duyung.
“Gondoruwo
Patah Hati…” jawab Naga Kuning.
“Hemm…
Nenek kekasihmu itu. Mana dia?” tanya Ratu Duyung.
“Ada di
kali… Lagi kencing!” jawab si bocah berambut jabrik yang ujud aslinya adalah
seorang kakek sakti berusia hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan Kiai
Paus Samudera Biru.
“Mengapa
nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk berisi susu ini?” tanya Purnama pula.
Naga
Kuning menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya menurut perintahnya saja…”
“Serahkan
mangkuk berisi susu itu padaku!” kata Purnama. Setelah menerima mangkuk tanah
dari Naga Kuning Purnama lalu berkata pada Ratu Duyung. “Hari semakin terang.
Kurasa sebaiknya pengobatan aku lakukan sekarang juga sesuai petunjuk dalam
Kitab Seribu Pengobatan. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus cepat-cepat
menolong Wiro. Biar pengobatan aku lakukan sekarang di atas atap ini!”
Ratu
Duyung mengangguk dan kerahkan ilmu Menembus Pandang untuk mengawasi keadaan
sekitar rumah. Purnama memutar tubuh, menghadap ke arah matahari tenggelam
yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Pengobatan.
Perlahan-lahan dia angkat mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke
wajahnya yang terkelupas cacat di bagian kiri. Tiba-tiba satu bayangan biru
berkelebat menyusul suara teriakan.
“Tahan!
Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam mangkuk!”
Semua
orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di halaman rumah panggung berdiri
sosok seorang nenek berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker. Sepuluh
kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi isyarat dengan lambaian
tangan agar semua orang turun ke tanah.
“Nek, ada
apa ini?!” teriak Ratu Duyung dari atas atap. Dia telah mengenali nenek di
bawah sana yang bukan lain adalah Gondoruwo Patah Hati.
“Turun
saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!” jawab si nenek.
Naga
Kuning melesat turun lebih dulu. Akhirnya Purnama dan Ratu Duyung ikutan turun
ke tanah. Si nenek membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang ada
dalam mangkuk tanah yang dipegang Purnama.
Saat itu
mendengar suara orang bicara di halaman dan di atas atap rumah Ki Tambakpati
dan Setan Ngompol segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si bocah dan si
nenek ada di situ. Gondoruwo Patah Hati yang sudah kenal pada Setan Ngompol
kedipkan matanya, tersenyum sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan
memperhatikan cairan dalam mangkuk.
“Susu
sapi…” ucap si nenek perlahan. Dia menatap wajah sebelah kiri Purnama yang
tampak merah mengelupas.
“Kau akan
pergunakan susu itu untuk mengobati luka di wajahmu. Betul?” bertanya Gondoruwo
Patah Hati.
Purnama
mengangguk.
“Susu itu
mengandung racun!”
Ucapan si
nenek membuat Purnama dan Ratu Duyung terkejut. Ki Tambakpati melongo sedang
Setan Ngompol cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya.
“Racun
dari mana? Siapa yang memasukkan ke dalam susu? Bagaimana mungkin! Kami
berjaga-jaga semalam suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!” Kata
Purnama sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu memandang pada si nenek.
“Racun
itu dikirim dari jauh…” kata Gondoruwo Patah Hati pula. “Kalau kalian tidak
percaya lihat apa yang akan aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam
susu. Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk mengobati luka di
wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu dan lihat…”
Gondoruwo
Patah Hati kembangkan dua telapak tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu
dalam mangkuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama kemudian susu
dalam mangkuk tampak bergejolak seperti mendidih. Lalu mengepul asap hitam.
Dengan sepuluh kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak air
susu di dalam mangkuk berhenti, Gondoruwo Patah Hati mundur tujuh langkah.
Mulut masih berkomat-kamit. Dia berhenti di dekat serumpun semak belukar.
Tangan kanan diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan kanan. Saat itu
juga dari lima ujung jari si nenek mengucur keluar cairan hitam pekat berkilat,
menebar bau busuk. Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam kembali
mengucur. Begitu cairan hitam menyentuh semak belukar, tumbuhan ini serta merta
berubah gosong hitam lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar
biasa busuk, membuat beberapa orang yang ada di tempat itu jadi mual berusaha
menahan muntah.
Gondoruwo
Patah Hati melangkah mendekati Purnama yang tegak dengan muka pucat. “Sahabatku
muda. Kalau susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan jadi gosong
seumur hidup, rambut di kepalamu akan rontok. Dicari ke manapun tak ada obat
penyembuhnya.”
“Nek, aku
sangat berterima kasih. Kalau bukan kau yang menolong hidupku akan celaka
seumur-umur. Nek, kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali bertemu
sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita bahkan tidak sempat saling
menyapa.”
Gondoruwo
Patah Hati tersenyum mendengar ucapan Purnama. “Siapapun sahabat Pendekar 212
adalah sahabatku juga…” Si nenek pegang bahu gadis dari Latanahsilam ini lalu
berkata. “Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi racun di dalamnya. Silahkan kau
mengobati diri…”
Purnama
sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu memutar tubuh dan wajah menghadap ke
arah matahari tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi susu di
angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Seribu Pengobatan
sambil mengguyurkan susu ke atas kepalanya, Purnama melafatkan kata-kata:
Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan menjadi pengobat. Manusia
memulai hidup dengan air susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan
Maha Kuasa Maha Penyembuh.
Susu
putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur membasahi kepala, wajah dan sebagian
tubuh Purnama sebelah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya
tiga warna merah, biru dan hijau. Gondoruwo Patah Hati yang pertama sekali melihat
kilatan cahaya itu langsung hantamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari
mencuat lebih panjang, berubah dari hitam menjadi merah. Sepuluh larik cahaya
merah kemudian melesat ke arah kilatan cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku
Api!
Blaar…
blaarr… blaar!
Satu
kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya terhuyung dan buru-buru dipegang
oleh Ratu Duyung. Di langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas.
“Luar
biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan jahat!” kata Gondoruwo Patah Hati
sambil pegangi dadanya yang berdebar keras.
“Dari
cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia tanpa wajah itu yang punya
pekerjaan!” ucap Ratu Duyung.
Gondoruwo
menatap wajah Purnama dan tersenyum.
“Cacat di
wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!”
Purnama
terpekik. Ratu Duyung berseru gembira. Ki Tambakpati mengucap berulang kali
sedang Setan Ngompol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya.
“Sungguh
luar biasa! Kau benar-benar sembuh!” Kata Ratu Duyung lalu ambil cermin sakti
dan diberikan pada Purnama. Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan
wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkacakaca. Luka cacat di wajahnya
sebelah kiri benar-benar telah lenyap.
“Racun
yang ada di dalam susu itu adalah racun ular jahat yang cuma hidup di gurun
pasir.” Menerangkan si nenek.
Purnama
peluk Gondoruwo Patah Hati lalu merangkul Ratu Duyung. Ketiga orang ini larut
dalam rasa haru serta gembira.
“Aku
tidak kebagian dipeluk?” Naga Kuning keluarkan ucapan.
Gondoruwo
Patah Hati jewer telinga kiri anak ini. “Bocah rakus. Untung kau tidak
menenggak susu itu. Kalau sampai kau tenggak saat ini tubuhmu sudah gosong
menjadi jerangkong hitam!”
“Aduh
Nek, ampun. Suaakiittt” Jerit Naga Kuning. Tapi begitu jeweran dilepas anak ini
tertawa gelak-gelak.
Purnama
kemudian berkata. “Saatnya kita menangani Wiro. Mudah-mudahan dia mendapatkan
kesembuhan pagi ini.”
Semua
orang masuk ke dalam rumah panggung. Yang pertama sekali bergerak adalah Ratu
Duyung. Dengan tangan agak gemetar gadis sakti dari laut selatan ini menotok
urat besar di pangkal leher Wiro untuk melepas jalan suara.
Kleekk!
Tidak
seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara aneh. Ratu Duyung sendiri merasa
dua jari tangan yang dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya masih
ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembuhan yang dilakukan atas diri sang
pendekar. Semua orang menunggu penuh tegang.
Tiba-tiba
dari tenggorokan Pendekar 212 keluar suara mengorok, keras dan panjang. Suara
mengorok berhenti. Mulut Wiro terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah tegang.
Tak ada suara teriakan keluar dari mulut itu. Bahkan mulut yang terbuka lebar
perlahan-lahan menutup kembali. Sepasang mata yang sebelumnya terus-terusan
nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup terpejam.
“Dia
tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan darahnya sudah pulih…?” bisik Ki
Tambakpati.
“Mudah-mudahan
begitu,” menyahuti Ratu Duyung.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” tanya Setan Ngompol, tak lupa menekap
perabotannya dengan dua tangan.
“Kita
harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengobatan berikutnya. Kita harus membawa
Wiro ke kali dan mengapungkannya.” Ucap Purnama.
Wiro lalu
diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas tiga batang kayu yang sudah
disiapkan Setan Ngompol dan Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramai-ramai
digotong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala menghadap ke arah
datangnya arus air kali. Tiga utas tali dipakai untuk mengikat batang kayu ke
pepohonan kecil di tepi kali. Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati
berendam di dalam air memegangi batang kayu. Gondoruwo Patah Hati, Ratu Duyung
dan Purnama berjaga-jaga di tebing kali. Mereka menunggu sampai matahari
mencapai titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh jari tangan dan sepuluh
jari kaki Wiro harus ditusuk sampai mengeluarkan darah.
Menunggu
dari pagi sampai saat sang surya mencapai titik tertingginya terasa sangat
lama. Apalagi disertai perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi. Sesekali
kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap burung yang terbang dari
pohon ke pohon. Air kali yang datang dari hulu membasahi sebagian kepala dan
tubuh Wiro. Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali kucurkan air
kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin sementara mata yang belok
kelihatan redup terkantukkantuk.
“Kek, kau
naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan.” Kata Gondoruwo Patah Hati. Lalu
tanpa menunggu jawaban orang si nenek masuk ke dalam kali. Belum sempat Setan
Ngompol naik ke darat tiba-tiba dari hilir terdengar suara menderu. Di
permukaan kali kelihatan dua benda coklat panjang berjajar meluncur cepat ke
arah di mana orang-orang itu berada.
“Buaya!”
teriak Naga Kuning.
“Ada dua
ekor!” Gondoruwo Patah Hati ikut berteriak.
Ratu
Duyung yang duduk di tepi kali melompat bangkit. “Purnama, kau yang kiri aku
yang kanan!” Teriak sang ratu.
“Aku
mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!” teriak Purnama.
*********************
10
SEMUA
orang yang ada di dalam dan di pinggir kali menjadi geger. Ratu Duyung dan
Purnama bertindak cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali. Dua tangan
lepaskan pukulan sakti. Ratu Duyung menghantam buaya di sebelah kanan dengan
pukulan ganas bernama Pedang Inti Samudera. Dari tangan kanan si gadis mencuat
sinar biru sepanjang satu tombak membentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam,
buaya keluarkan suara lolongan seperti anjing meraung. Kepala binatang ini
terbabat putus. Tak ada darah mengalir! Begitu suara raungan lenyap, buaya itu
juga ikut sirna!
“Purnama
benar! Ini makhluk jejadian!” ucap Ratu Duyung dengan tengkuk dingin.
Sementara
itu Purnama yang menghadapi buaya kedua menghajar binatang jejadian ini dengan
pukulan yang memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya jejadian yang satu
ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia mengetahui apa yang terjadi dengan
temannya. Dengan cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang
dilepas Purnama hanya mengenai tempat kosong. Air Kali Progo muncrat setinggi
dua tombak. Tanah dan lumpur di dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di
lain saat buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di samping Wiro
yang tergeletak di atas tiga batang kayu dengan mulut menganga siap melahap!
Purnama dan Ratu Duyung tersentak kaget. Untuk menolong dengan melancarkan
serangan mereka merasa khawatir karena keduanya berada pada kedudukan menghadap
ke arah Wiro. Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat dekat
dengan Wiro hingga setiap pukulan yang dilancarkan bisa saja mengenai Pendekar
212. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat
berbuat apa. Naga Kuning cepat kerahkan tenaga dalam untuk melepas pukulan Naga
Murka Menjebol Bumi. Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena
dia berada di sisi lain kali dan terhalang sosok Wiro sementara di seberang
sana ada Ratu Duyung dan Purnama. Sekali serangannya meleset, kalau tidak Wiro,
salah satu dari dua gadis itu akan celaka!
Pada saat
yang sangat menentukan itu, Gondoruwo Patah Hati yang baru saja mencebur dan
berada di dalam kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan menghantam ke arah
kepala buaya yang telah membuka mulutnya lebar-lebar untuk melahap tubuh
Pendekar 212.
Selarik
sinar merah bercampur biru bergulung seperti sebuah batu besar, menghajar
kepala buaya jejadian dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya tadi
binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing meraung. Kepala
hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu tenggelam ke dalam air dan lenyap.
“Keji dan
jahat sekali!” ucap Purnama setengah menyumpah. “Kekuatan gaib masih terus
berusaha menghalangi kita menyelamatkan Wiro!”
“Kurasa
aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk memagari tempat ini,” berkata
Ratu Duyung. “Aku khawatir makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu hitam
kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah tahapan akhir usaha kita menyelamatkan
Wiro. Sekali gagal, bencana besar akan menimpa Wiro!”
Habis
berkata begitu Ratu Duyung melompat ke tebing kali di mana terdapat sebuah
batang kayu besar tergeletak tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini,
pejamkan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas dada.
Tak lama
kemudian terdengar Setan Ngompol berseru sambil pegangi bagian bawah perut.
“Hai, mengapa udara mendadak mendung?”
Ki
Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. “Tenang saja. Jangan banyak bicara.
Ratu Duyung tengah melakukan sesuatu.”
Saat itu
memang udara mendadak agak gelap, langit yang tadi cerah berubah mendung. Arus
air kali seolah tak bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan sunyi senyap
seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur tampak sepuluh titik
bercahaya biru, bergerak ke arah kali di mana orang-orang itu berada. Saat demi
saat titik itu membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung tombak. Masing-masing
tombak dipegang oleh seorang gadis cantik berambut hitam panjang tergerai,
mengenakan pakaian hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada serta
belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri kanan.
“Bidadari
turun ke bumi…!” ucap Setan Ngompol dengan mata melotot dan pegangi bagian
bawah perut yang terasa kedut-kedut. “Pasti mereka hendak menolong Wiro. Ah,
aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati bidadari cantik seperti itu…”
“Sobatku,
kau kakek bangkotan yang masih mata keranjang rupanya,” kata Ki Tambakpati.
Saat itu keduanya dan juga Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati masih berada
di dalam kali. “Jangan bicara sembarangan. Itu adalah pasukannya Nyai Roro
Kidul yang akan menjaga tempat ini.”
Sepuluh
gadis pembawa tombak bercahaya mengapung di udara mengelilingi Ratu Duyung.
Mereka membungkuk memberi penghormatan.
Perlahan-lahan
Ratu Duyung turunkan dua tangan yang sejak tadi diletakkan di dada. Mulutnya
berucap, mata masih terpejam. “Terima kasih kalian sudah datang. Dua di sudut
timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di sudut selatan. Dua di
tengah antara empat sudut.”
Dalam
gerakan menyamai kecepatan kejapan mata, sepuluh gadis cantik yang membawa
tombak bercahaya, sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang
disebutkan Ratu Duyung. Di lima titik ini mereka melepas pegangan pada tombak.
Walau dilepas setiap tombak tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan
bentuknya menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari pandangan
mata. Sepuluh gadis cantik kembali berkumpul mengelilingi Ratu Duyung.
“Terima
kasih kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik. Kalian boleh kembali ke laut
selatan. Bila tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke tempat asalnya.
Kalian tak usah menjemput. Salam hormat dan terima kasihku untuk Junjungan Nyai
Roro Kidul.”
Sepuluh
gadis membungkuk lalu satu per satu melesat ke langit dan lenyap dari
pemandangan. Saat itu juga udara yang tadi mendung kini berubah terang
benderang kembali.
“Ah,
mereka pergi semua…” kata Setan Ngompol seolah kecewa oleh lenyapnya
pemandangan indah tadi.
Di atas
tumbangan pohon Ratu Duyung buka kedua matanya. Dia menatap ke arah lima titik
lalu bangkit berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali.
“Para
sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita menunggu sampai tengah hari tepat.”
“Apa yang
akan terjadi pada tengah hari tepat?” bertanya Gondoruwo Patah Hati yang memang
tidak tahu kelanjutan cara pengobatan atas diri Wiro.
Purnama
lalu menjelaskan. “Sesuai petunjuk Kitab Seribu Pengobatan, tepat tengah hari
nanti sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro harus ditusuk dengan benda
tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur dan warnanya merah segar berarti
dia telah sembuh dari penyakitnya…”
Gondoruwo
Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil menggeleng matanya menatap wajah
Pendekar 212. Ada rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat
kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan Wiro dan para tokoh silat
menghancurkan 113 Lorong Kematian yang jadi markas manusia pocong pimpinan
Pangeran Matahari. Saat itu Wiro terlibat bentrokan pukulan sakti dengan Ketua Barisan
Pocong 113 Lorong Kematian. Wiro terpental, coba ditolong oleh Gondoruwo Patah
Hati. Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja sewaktu
bergulingan bibir mereka saling bertempelan. Saat itu juga ujud si nenek
berubah menjadi sosok seorang gadis cantik, memeluk dan menciumi Wiro. Memang
ujud asli Gondoruwo Patah Hati sebenarnya adalah seorang gadis cantik jelita
bernama Ning Intan Lestari. Si nenek melarang Wiro menyeka bibirnya. Malah
berkata. “Dengar ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan dada jika
tidak aku katakan padamu. Kalau saja aku tidak keburu jatuh cinta pada bocah
berambut jabrik itu, kaulah jadi penggantinya.” Celakanya ketika si nenek
mencium Pendekar 212, Dewa Tuak yang berada tak jauh dari tempat itu sempat melihat!
Gondoruwo Patah Hati tarik nafas panjang dan usap bibirnya (Baca serial Wiro
Sableng berjudul ‘Kematian Kedua’).
“Siapa
yang akan menusuk jari tangan dan kaki Wiro?” Purnama bertanya sambil memandang
berkeliling.
“Nek, kau
saja yang melakukan,” kata Ratu Duyung. “Kukumu panjang-panjang. Kita tidak
perlu mencari alat lagi. Harap kau mau membantu…”
Gondoruwo
Patah Hati mengangguk. Dia merasa bersyukur diberi kesempatan menolong pemuda
yang diamdiam dicintainya itu. Purnama kemudian menunjukkan bagian mana dari
jari tangan dan kaki Wiro yang harus ditusuk. Gondoruwo Patah Hati menusuk
sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki Wiro, semua di bagian ujung jari.
Setelah
menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa, yaitu tidak ada darah yang mengucur
keluar dari luka kecil bekas tusukan kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun
sepuluh jari kaki, Purnama menatap ke arah Ratu Duyung. Dua gadis ini sama-sama
menunjukkan rasa cemas. Setan Ngompol dan Ki Tambakpati terdiam tegang. Naga
Kuning memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan sesuatu pada
Gondoruwo Patah Hati sambil menunjuk ke arah timur. Selanjutnya nenek ini
pegang lengan Ratu Duyung seraya berkata.
“Aku rasa
ada yang menghalangi. Lihat di arah timur ada cahaya biru berkelap-kelip.”
Ratu
Duyung cepat menatap ke arah langit sebelah timur. Di arah itu tampak dua
cahaya biru berkedap-kedip.
“Kau
benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini di arah timur memberi tanda. Ada
yang berusaha masuk! Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama lepaskan
pukulan sakti ke arah timur!”
Kecuali
Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki pukulan sakti, semua orang segera
kerahkan tenaga dalam dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka miliki.
Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh. Jangankan manusia atau makhluk
gaib, gunungpun rasarasanya jika dihantam bersama-sama seperti itu akan hancur
berantakan.
“Kek”
kata Ratu Duyung pada Setan Ngompol. “Kau tak usah ikut menyerang. Lindungi
Wiro!”
“Tunggu
dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!” Berkata Purnama. “Ada dua sosok samar
sedang berkelahi di atas sana. Satu berpakaian putih, satu mengenakan pakaian
hitam. Ratu Duyung coba kau selidiki. Keluarkan cermin saktimu!”
Ratu
Duyung cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta di dalam cermin terlihat
seorang berselempang kain putih, berambut dan berjanggut panjang putih dengan
wajah polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda gagah. Si pemuda
mengenakan pakaian serba hitam, memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk.
Dari jalannya perkelahian kelihatan pemuda ini terdesak dan beberapa kali jatuh
tersungkur. Makhluk tidak berwajah mempergunakan sebatang tongkat bercahaya
kuning sebagai senjata ampuh.
Ratu
Duyung menerangkan apa yang dilihatnya dalam cermin.
“Manusia
tanpa wajah itu! Dia hendak menembus melewati pagar gaib pengaman. Pemuda
berpakaian hitam berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera dimusnahkan
oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu dulu… Bunga! Bunga muncul membantu pemuda
berpakaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari tangannya, membuat
manusia tanpa wajah terpaksa mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri,
melesat ke langit. Lari!”
Di langit
tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau berkiblat lalu lenyap.
Purnama
dan beberapa orang lainnya yang merasa tidak puas kalau tidak menyaksikan
sendiri berusaha melihat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin hanya
tinggal bening putih. Pertanda semua makhluk tadi tak ada di langit sebelah
timur.
“Hai
lihat!” Tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati berteriak. Membuat semua orang terkejut
namun kemudian bersorak gembira. Dari duapuluh luka kecil di ujung jari tangan
dan kaki Wiro membersit keluar darah merah.
“Darahnya
merah dan segar!” teriak Ki Tambakpati.
“Wiro
sembuh!” ucap Ratu Duyung sambil menekap wajah menahan tangis.
“Angkat!
Bawa ke dalam rumah!” kata Purnama.
Semua
orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang kayu ke tepi kali. Lalu mereka
menggotong Wiro, membawanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan di
atas ranjang bambu. Darah kental, merah dan segar masih mengalir dari duapuluh
luka kecil di jari tangan dan jari kaki Wiro. Sesaat kemudian kucuran darah
berhenti. Gondoruwo Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya untuk
membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan kaki Wiro.
Tiba-tiba!
Buuuttt…
buuuttt… prett!
“Kurang
ajar! Siapa yang kentut?!” Hardik Setan Ngompol. Mata mendelik dua tangan cepat
menekap bagian bawah perut.
Saat itu
terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah panggung disusul berkelebatnya satu
bayangan kuning. Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang nenek
serba kuning mulai dari pakaian sampai dandanannya. Nenek ini mengenakan jubah
kuning. Rambut kuning digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting yang juga
berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan mencantel giwang berbentuk rantai
kuning. Di leher menggantung sebuah kalung besar berwarna kuning.
Setan
Ngompol, Naga Kuning dan Purnama yang mengenali nenek ini serentak berseru
menyebut namanya.
*********************
11
LUHKENTUT!”
Nenek berjubah kuning yang tegak di ambang pintu ruangan tertawa panjang. Dia
tepuktepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terlalu banyak kentut lalu
berkata, “Aku kebetulan lewat di sini. Aku mencium bau makhluk dari alamku.
Ternyata kau yang berada di sini Luhmintari.” Si nenek berucap dan menyebut
nama Purnama yang asli lalu memandang berkeliling. “Ah, sobatku Setan Ngompol
dan Naga Kuning, kalian juga ada di sini” Si nenek lantas memandang ke arah
ranjang bambu. Kening mengerenyit. “Astaga! Bukankah itu Pendekar 212 Wiro
Sableng?”
Purnama
anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang matanya terus memperhatikan si
nenek. Dia merasa ada kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini.
“Apa yang
terjadi dengan dirinya?” tanya si nenek. Siapa nenek ini sebenarnya? Di negeri
Latanahsilam dia dikenal dengan nama Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin.
Sewaktu Wiro bersama Setan Ngompol dan Naga Kuning terpesat ke negeri 1200
tahun silam Wiro menolong dan berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit
kentut yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si nenek bisa kentut
ratusan kali sehari. Setelah ditolong oleh Wiro penyakitnya sembuh. Kalaupun
masih terkentut hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si nenek
mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad kepada Wiro.
Sewaktu
para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian, Luhkentut ikut ambil bagian dan
kemudian ditugasi mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang juga
makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah menemui ajal di tangan Bidadari
Angin Timur (Nyi Bodong) (Baca serial Wiro Sableng ‘Api Di Puncak Merapi’).
“Wiro
menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap penyembuhan…” menjelaskan Naga
Kuning. Sepasang mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala sampai ke
kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning. Tidak biasanya, pandangan mata
si bocah yang selalu nakal kini kelihatan seolah menyelidik. Seperti diketahui
ujud asli Naga Kuning adalah seorang kakek sakti berusia lebih seratus tahun.
Si nenek
jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng kepala.
“Di
Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentutkentutku! Saatnya aku membalas
budi. Siapa tahu aku bisa menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya.”
Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di mana Wiro terbaring dalam
keadaan mata masih terpejam.
Saat itu
di sudut ruangan Gondoruwo Patah Hati memberi isyarat dengan gerakan tangan
kanan pada Ratu Duyung. Ratu Duyung yang baru saja mengerahkan ilmu Menembus
Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala lalu memberi isyarat pada Purnama.
Gadis dari Latanahsilam ini segera menghadang langkah nenek berjubah kuning.
“Nek,
tunggu. Sebelum kau memeriksa Wiro, kita bicara dulu di luar rumah.”
“Kau mau
membicarakan apa? Mengapa harus di luar rumah, tidak di sini saja?” tanya
Luhkentut heran.
Tanpa
menjawab, Purnama tarik tangan si nenek, membawanya ke halaman. Ratu Duyung dan
Gondoruwo Patah Hati bersama Naga Kuning mengikuti. Sebelum meninggalkan
ruangan si nenek berkata pada dua kakek.
“Jaga
pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek satu itu!”
Sampai di
halaman Luhkentut memandang pada Purnama. “Kita sudah di luar rumah. Apa yang
hendak kau bicarakan?”
“Nek, aku
menaruh curiga pada keadaan dirimu.” Berucap Purnama.
“Bercuriga
pada keadaan diriku? Memangnya ada apa dengan diriku? Aku tidak mengerti.”
Gondoruwo
Patah Hati melangkah ke hadapan Luhkentut. “Kita tua sama tua. Jangan berani
berdusta. Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti katamu tadi.”
“Aih, aku
jadi tambah tidak, mengerti!” Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin mulai tampak
kesal.
“Kau
datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu! Kau bersekutu dengan makhluk gaib
untuk mencelakai Wiro!” Kini giliran Ratu Duyung yang keluarkan ucapan.
Si nenek
menatap Ratu Duyung tak berkesip lalu tertawa mengekeh. “Aku membawa makhluk
asing dalam tubuhku katamu! Hik.. hik… hik! Untuk mencelakai Wiro?! Benar-benar
gila! Kalian mau aku telanjang? Biar aku buka jubah kuning ini agar kalian
melihat apa aku menyembunyikan seseorang!”
“Tidak
perlu Nek,” jawab Ratu Duyung. “Kalau kau tidak percaya akan aku perlihatkan
padamu!” Ratu Duyung ambil cermin bulat sakti.
Purnama
memberi tanda agar jangan bertindak dulu. Dia berkata pada si nenek. “Aku
melihat ada cahaya samar tiga warna dalam tubuhmu! Kau membawa satu makhluk!
Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang belakangan ini selalu hendak
mencelakai kami dan Wiro?!”
Dalam
bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelakgelak. “Manusia tanpa wajah itu
siapa? Setan atau manusia yang mukanya tersiram air panas?! Manusia sepertimu
atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmintari ini? Lelaki atau perempuan,
atau tidak punya kelamin sama sekali. Ikutan polos bagian bawahnya?! Hik.. hik…
hik!”
Mendengar
ucapan si nenek Ratu Duyung jadi marah. Tangan kanannya yang memegang cermin
digoyang tiga kali. Saat itu juga tiga sinar putih berkilau mengandung hawa
panas menyambar ke arah Luhkentut.
“Aku
datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh keterlaluan!” teriak Luhkentut
marah. Nenek ini kebutkan lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua
tombak ke atas. Di udara menggema dua letusan dahsyat sewaktu dua larik sinar
kuning yang keluar dari lengan jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih
menyilaukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar putih ke tiga
berhasil dielakkan oleh Luhkentut dengan cara melompat tadi.
Ketika si
nenek melesat ke atas, Purnama ikut berkelebat. Di udara dia lambaikan tangan
ke arah punggung si nenek. Selarik sinar biru bergemerlap menyapu. Saat itu
juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi kaku, tangan dan kaki tak bisa
digerakkan. Didahului jeritan keras dia melayang jatuh ke tanah.
“Pengecut!
Apa yang telah aku perbuat pada kalian hingga menyerangku beramai-ramai!”
Teriak Luhkentut. Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa bersuara.
Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tangan kanan untuk
melancarkan serangan mematikan namun tidak berhasil.
Sebagai
jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu Duyung kembali gerakkan tangan
kanannya yang memegang cermin sakti.
Dari
dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya putih panas, langsung menelan si
nenek. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di saat
yang hampir bersamaan Purnama lepaskan satu pukulan sakti memancarkan sinar
biru bergemerlap dan Naga Kuning menghantam dengan pukulan Naga Murka
Menghancur Tujuh Dinding Gaib.
Semua
serangan yang dilakukan ketiga orang itu memiliki kekuatan untuk membakar dan
menghancurkan lawan yang mengandalkan kekuatan gaib.
Luhkentut
menjerit keras mengenaskan. Namun yang membuat semua orang tercekat ada satu
raungan keras lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari api
berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu leleh berubah menjadi cairan
putih mengepulkan asap lalu lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih keluar dari
tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak memiliki wajah, tertutup
rambut dan janggut putih. Purnama, Ratu Duyung dan Naga Kuning, kini juga
Gondoruwo Patah Hati serentak menghantam dengan pukulan sakti. Cepat sekali
makhluk tanpa wajah itu melesat ke langit. Salah satu bagian dari pakaian putih
yang dikenakannya tampak dikobari api. Sambil melesat makhluk ini menebar
cahaya merah, biru dan hijau berbentuk kipas, menyambar ke arah para penyerang.
Ratu
Duyung, Naga Kuning, Purnama dan Gondoruwo Patah Hati kalau tidak cepat
menjatuhkan diri sama rata dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah
halaman terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa rerumpunan semak
belukar gosong menghitam! Untuk beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi cukup jelas.
“Kalian
telah membunuh seorang sahabat.”
Semua
orang yang ada di halaman sama tersentak kaget dan palingkan kepala ke arah
rumah panggung.
“Wiro!”
Empat
orang berseru berbarengan menyebut nama Pendekar 212. Di atas rumah panggung,
tepat di depan tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh Setan
Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di samping kiri. Wajah tampak pucat
dan tubuh agak tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang pendekar mampu
berdiri meskipun dipapah namun ucapan yang tadi dikeluarkan Wiro membuat mereka
yang semula hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu dan saling
pandang satu sama lain.
Wiro
palingkan kepala pada dua kakek yang memapahnya lalu balikkan badan, masuk ke
dalam rumah.
“Kalian
dengar ucapan Wiro tadi…” berkata Gondoruwo Patah Hati. “Ada kesalahpahaman.
Sebaiknya kita masuk ke dalam menemui Wiro.”
Keempat
orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan menemui Wiro sudah berbaring di atas
ranjang bambu. Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas langit-langit
ruangan.
“Wiro,
kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti Allah ternyata kau telah
disembuhkan…” Gondoruwo Patah Hati membuka pembicaraan.
Wiro diam
saja. Matanya masih terus menatap ke atas. Ki Tambakpati membuka mulut. “Jalan
darahnya boleh dikatakan sudah pulih. Namun tubuhnya masih lemah. Aku tadi
sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga dalam ataupun hawa sakti yang
dimiliki. Hanya saja dia butuh paling sedikit dua hari untuk dapat memulihkan
kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti.”
Purnama
lebih mendekat ke tepi ranjang.
“Wiro,
apakah kau bisa bicara? Jika kau cukup kuat untuk bicara kami ingin menanyakan
beberapa hal…”
Hening
beberapa ketika. Lalu tampak mulut Wiro bergerak dan terdengar suaranya berucap
perlahan. Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas.
“Aku
berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih. Semua para tetua dan sahabat di
sini telah mau bersusah payah menolongku, menyelamatkan jiwaku…”
“Semua
terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyembuh…” Kata
Ratu Duyung pula.
“Hanya
ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselamatanku ternyata menjadi tumbal
kematian bagi seorang sahabat. Mengapa kalian membunuh sahabatku nenek bernama
Luhkentut itu?”
Tak ada
yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat itu diselimuti kesunyian. Ratu Duyung
berpaling pada Purnama. Purnama memandang pada Gondoruwo Patah Hati. Akhirnya
nenek ini yang bicara.
*********************
12
WIRO,
kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Kami tidak ada niat
membunuh Luhkentut. Namun dia datang membawa makhluk gaib berupa makhluk tidak
punya wajah. Makhluk ini hendak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus
membunuh makhluk itu sebelum dia sempat mencelakaimu…”
“Apakah
makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian bunuh?” Wiro.
Tidak ada
yang menjawab.
Wiro
berkata lagi. “Apakah untuk mengusir atau membunuh makhluk tidak berwajah itu
harus dengan cara membunuh sahabatku Luhkentut? Apa tidak ada cara lain yang
lebih bijaksana?”
Ketika
masih tidak ada yang memberikan jawaban Wiro meneruskan ucapannya. “Luhkentut
sama sekali tidak bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan makhluk
gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya ketumpangan.”
“Wiro,
kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan Luhkentut” kata Gondoruwo Patah
Hati. “Namun saat itu kami tidak ingin melihat kau terbunuh.”
“Sahabat
semua, sesungguhnya aku saat ini sudah mati dalam hidupku. Ki Tambakpati telah
menceritakan apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan kejantananku…”
Semua
orang tundukkan kepala. Purnama sembunyikan wajah dengan mata berkaca-kaca.
Ratu Duyung kemudian menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan
seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat memberitahu pada Wiro atas apa
yang terjadi dengan dirinya menyangkut kejantanannya. Selain itu semua orang
yang ada di tempat itu sama bertanya dalam hati. Mengapa dalam kegembiraan
sembuhnya Wiro kini terjadi hal seperti ini?
Purnama
usap sepasang matanya yang basah lalu berkata, “Wiro, kami…, maksudku aku, Ratu
Duyung, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mengaku bersalah. Apakah ada cara
untuk menebus dosa kesalahan itu?”
“Aku
hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah terbunuh. Soal dosa kesalahan
bukan wewenang diriku. Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Aku
hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik. Aku ingin kalian tahu
bahwa di balik setiap kebenaran itu akan selalu ada apa yang dinamakan
kebijaksanaan. Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal jika dia
mau berpikir maka selalu ada apa yang namanya kebijaksanaan di atas kebenaran!”
Semua
orang jadi terdiam mendengar kata-kata Wiro itu. Gondoruwo Patah Hati, Naga
Kuning, Ratu Duyung dan Purnama merasa paling bersalah dengan terbunuhnya
Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos melarikan diri. Hanya
pakaiannya saja yang terbakar.
Selain
itu semua orang melihat ada kelainan pada diri Pendekar 212 dan membuat mereka
bertanya-tanya. Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya maka Wiro
bicara tenang perlahan seperti itu? Lalu tidak seperti biasanya kali ini Wiro
bicara seperti orang tua memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan
dalam diri sang pendekar? Padahal pada saat dia sadar tadi seharusnya dia ingin
mencari tahu di mana dia berada, bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung
itu dan apa yang telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati dan Setan
Ngompol yang banyak bicara dan memberi tahu keadaan dirinya.
Sementara
semua orang tenggelam dalam alam pikiran masing-masing Ki Tambakpati memecah
kesunyian, “Wiro, ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu, kami
tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami khawatir kitab itu hilang lagi…”
“Aku
telah menyimpan kitab itu di satu tempat.” Jawab Wiro.
“Wiro…”
kata Ratu Duyung. “Kami semua belum merasa benar-benar lega sebelum kau
mendapat kesembuhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana kejadiannya
sampai dirimu ditemui Ki Tambakpati di atas bukit, di halaman sebuah candi
dalam keadaan pingsan.”
“Dari
ceritamu,” menyambung Purnama. “Kami mungkin bisa menyelidik siapa yang telah
berlaku jahat atas dirimu.”
“Mudah-mudahan
kami juga bisa mencari petunjuk penyembuhan atas penyakit yang melumpuhkan
kejantananmu,” menyambung Gondoruwo Patah Hati.
“Aku
sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku. Apa masih perlu segala macam
cerita dari kejadian yang telah lewat?” bertanya Pendekar 212. Suaranya
perlahan dan tenang saja.
“Wiro, kau
pendekar besar! Mengapa menunjukkan sikap seperti tidak punya gairah hidup
lagi? Kalau kau mau bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan dirimu.
Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang yang telah mencelakai
dirimu. Kalau saja Pangeran Matahari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi
begundal satu itu sudah mati.” Habis berkata Naga Kuning usap-usap dada
Pendekar 212.
Setelah
berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Wiro mau juga menceritakan apa yang
telah terjadi dengan dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari
yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama Cakra. Sewaktu menyeberangi
Kali Progo yang arusnya sangat deras, dirinya diserang secara gelap dengan lima
senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima bunga tanjung menancap di
lehernya hingga dia jatuh pingsan.
“Ketika
sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan atas perintah Pangeran Tua Sena
Wirapala. Ternyata Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di
tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebelumnya diperkosa. Aku
dituduh memperkosa dan membunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri
karena Pangeran Tua menotok tubuhku dengan totokan luar biasa hebat. Kemudian
muncul kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai Eyang
Sinto Gendeng nenek itu berhasil mengeluarkan aku dari penjara. Nenek itu
membawaku ke sebuah candi di puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di
tubuhku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul seorang pemuda
berpakaian hitam, berikat kepala kain merah. Pemuda ini menolong diriku melepas
duabelas totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku baru sadar.
Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menurut Ambarsari hendak memperkosanya.
Aku dan si nenek berusaha mencari dan mengejar. Tapi dia lenyap seperti ditelan
bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Sekujur tubuhku panas seolah
berubah jadi bara api. Aku muntah darah segar. Si nenek berusaha menolong
dengan melakukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan sebuah bunga tanjung
di bawah pusarku. Ketika bunga diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku
melesat keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu hingga dirinya
terpental. Sebelum pingsan aku ingat satu hal. Waktu itu hujan turun lebat
sekali di puncak bukit.”
Seperti
diceritakan sebelumnya Wiro sama sekali tidak mengetahui apa yang kemudian
terjadi dengan nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah hujan
lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh ramping tinggi semampai
seorang gadis berkulit putih berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang.
Gadis ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang ringkas berwarna kuning.
Begitu keluar dari tubuh si nenek, di bawah hujan lebat yang tidak membasahi
tubuh serta pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap dari
pemandangan.
“Di
halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak, aku menemukan sebuah
seruling…” Ki Tambakpati keluarkan sebuah suling perak dari balik pakaiannya
dan memperlihatkan pada Wiro.
“Suling
itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si nenek sebelum dia kembali ke
negerinya…” menjelaskan Wiro. “Tolong kau simpan dulu suling itu Kek.”
Kejadian
selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati, mulai saat dia mencari Sinto
Gendeng tapi menemukan Wiro dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit. Lalu
kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah mencari jejak madat lima
puluh kati.
“Ketika
mereka menyiksa diriku karena mengira aku menyembunyikan madat itu, paling
tidak tahu di mana beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris Biru
murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Pertengkaran disusul perkelahian
tidak terelakkan. Ketika Liris Biru dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya
oleh Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah. Pemuda
itu membunuh Damar Sarka lalu pergi begitu saja. Liris Biru ingat ciri-ciri
pemuda itu sangat sama dengan orang yang membunuh dan memperkosa kakaknya.
Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan akan menuju Kuto Gede, Liris Biru
mengambil keputusan untuk mengejar ke sana…”
“Aku
khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia jadi korban seperti Liris
Merah, kakaknya…!” ucap Setan Ngompol.
“Pemuda
berpakaian hitam berikat kepala merah itu, apakah dia memelihara kumis, jenggot
dan berewokan lebat?” tanya Ratu Duyung sambil memandang pada Wiro.
“Betul,
tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta berewokannya juga tipis rapi. Mengapa
kau bertanya hal itu. Apakah pernah melihatnya?” Wiro menjelaskan lalu balik
bertanya.
“Sejak
kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib tak berwajah berusaha mencelakaimu
termasuk semua kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi, berusaha
menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak buahku. Melalui cermin aku lihat
ada seorang pemuda berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi
perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak mengenakan ikat kepala merah.
Kumis, janggut serta berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara.”
Sampai
saat itu meskipun sudah bicara namun Wiro tetap saja mengarahkan pandangannya
ke langit-langit ruangan.
“Bunga
tanjung…” ucap murid Sinto Gendeng. “Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan
yang terjadi atas gadis cantik yang aku dengar, korban selalu ditempeli bunga
tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam bunga tanjung di leherku. Aku jatuh
sakit karena ada yang menempelkan bunga tanjung di bawah pusarku. Agaknya bunga
tanjung ini merupakan pangkal bahala dari banyak malapetaka yang terjadi
belakangan ini. Termasuk yang menimpa diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat
kepala kain merah dan berkumis tipis itu, agaknya dia berada di belakang semua
ini…”
“Wiro,
kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu itu sekarang
beradanya?” tanya Ratu Duyung.
“Aku
tidak tahu,” jawab Wiro. Lalu melanjutkan, “Mungkin Ki Tambakpati bisa
memberitahu karena dia yang pertama kali menemukan diriku di dekat candi.”
“Ketika
aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu dan suling ini. Tidak ada orang
lain…” menjelaskan Ki Tampakpati.
“Jika dia
lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang sedang ditimpa malapetaka, apakah
tidak ada kecurigaan mengapa dia berlaku seperti itu?” Yang berkata adalah
Gondoruwo Patah Hati.
“Mengingat
begitu banyak pertolongannya atas diriku selama ini, aku tidak menaruh syak
wasangka terhadap nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi atas
dirinya.” Jawab Wiro pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini meneruskan
kata-katanya. “Dua hari lagi jika keadaanku sudah pulih, aku akan menemui
guruku di puncak Gunung Gede. Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat
yang baik di puncak gunung itu untuk mulai bertapa. Aku tidak tahu apakah aku
akan turun gunung lagi atau akan menjadi pertapa seumur-umur…”
Ucapan
ini tentu saja membuat semua orang terkejut.
“Wiro,
kau jangan berputus asa seperti itu.” Kata Naga Kuning sambil pegang lengan
Pendekar 212.
“Kalaupun
Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya aku pasrah.”
Semua
orang jadi merinding mendengar kata-kata sang pendekar. Setan Ngompol pancarkan
air kencing.
“Wiro,
ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti ada akhirnya,” kata Gondoruwo
Patah Hati.
“Rimba
persilatan masih membutuhkan pendekar sepertimu. Mengapa kau memilih jadi
pertapa?” Ucap Ratu Duyung sambil memperhatikan air muka Wiro. Dia tidak
melihat kalau pendekar ini tengah bergurau.
“Makhluk
jahat yang mencelakaimu masih gentayangan di alam bebas…” kata Setan Ngompol
pula. “Aku belum puas sebelum mengencingi mayatnya!”
“Kalau
begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini. Aku mau tidur saja…”
Semua
orang kini jadi melongo. Naga Kuning pegang lengan Gondoruwo Patah Hati,
menarik nenek ini keluar ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik.
“Aku
khawatir Wiro kini benar-benar sudah sableng! Pikirannya jadi tidak waras
gara-gara tahu kalau dirinya tidak jantan lagi. Memang kasihan. Aku tahu betul,
seumur hidup dia belum pernah mempergunakan alat kejantanannya itu…”
“Husss!
Orang lagi sakit bicaramu enak saja!” tukas Gondoruwo Patah Hati.
“Aku
bicara apa adanya!” jawab Naga Kuning. “Kalau aku jadi dia akan aku coba dan
buktikan dulu. Akan kupergunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan
kejantananku!”
“Anak
geblek! Kau yang sudah berubah sableng!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu puntir
telinga kiri Naga Kuning. Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya
dalam hati. Ucapan Naga Kuning bisa juga betul. Bagaimana Ki Tambakpati dan
Setan Ngompol tahu kalau Wiro benarbenar telah kehilangan kejantanannya. “Hal
itu memang harus dibuktikan. Kejantanan Wiro harus diuji…” kata si nenek dalam
hati sambil senyum-senyum.
“Hai, ada
apa kau mesem-mesem?” bertanya Naga Kuning sambil usap-usap kupingnya yang barusan
dijewer dan masih terasa pedas. “Pasti ada pikiran kotor dalam otakmu!”
“Huss!
Diam saja kau!” bentak Gondoruwo Patah Hati.
Malam itu
hujan turun lebat sekali mencurah bumi. Udara dingin bukan kepalang. Mungkin
karena keletihan, semua orang yang ada di dalam rumah panggung kepulasan. Dini
hari Gondoruwo Patah Hati terjaga lalu membangunkan Naga Kuning.
“Hatiku
terasa tidak enak,” kata si nenek. Ketika keduanya memasuki ruangan di mana
Wiro berada, mereka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang bambu.
Seisi rumah panggung menjadi heboh.
Ratu
Duyung memandang berkeliling.
“Tidak
semua kita berada di tempat ini. Mana Purnama?” Ucapan gadis bermata biru itu
membuat sadar semua orang kalau Purnama memang tidak ada di tempat itu.
“Kurang
ajar! Gadis alam roh itu melarikan Wiro. Paling tidak membujuknya meninggalkan
tempat ini! Jauh sebelumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!”
Gondoruwo Patah Hati keluarkan suara keras.
Ratu
Duyung ambil cermin sakti. Tenaga dalam dikerahkan ke mata. Dua tangan yang
memegang cermin bergetar.
“Aku
melihat bayangan Wiro. Di arah barat. Samar tanda sudah jauh sekali
meninggalkan tempat ini.”
“Kau juga
melihat gadis alam roh bernama Purnama itu?” tanya Gondoruwo Patah Hati.
Ratu
Duyung goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu menggelengkan kepala. “Tidak tampak
orang lain. Hanya Wiro…”
“Gadis
culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya untuk menangkal agar tidak
terlihat dalam cermin.”
“Kita
harus mengejar Wiro. Mungkin dia dalam perjalanan menuju Gunung Gede menemui
gurunya. Kita harus mencegahnya untuk menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga
harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk
menemuinya.”
“Aku
khawatir…” Naga Kuning tidak meneruskan ucapannya, tapi melihat dulu pada
Gondoruwo Patah Hati.
“Kau
khawatir apa?” sentak si nenek.
“Aku
khawatir Wiro diajak pergi oleh Purnama untuk menguji kejantanannya…” ucap Naga
Kuning pula.
“Anak
edan!” maki Gondoruwo Patah Hati lalu jambak rambut jabrik Naga Kuning.
Sementara anak ini meringis dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air
kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyumsenyum dan Ratu Duyung
kelihatan merah rona wajahnya.
“Bisa
jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga Kuning betul.” membatin
Gondoruwo Patah Hati dengan tubuh merinding karena cemburu.
“Nek…”
ujar Naga Kuning.
“Apa?!”
tanya Gondoruwo Patah Hati agak jengkel.
“Kalau
kau…, apa kau mau menguji keampuhan perabotannya Wiro?” “Anak setan!” Damprat
si nenek sambil mencubit pinggang Naga Kuning hingga anak ini melintir
kesakitan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment