Rahasia
Perkawinan Wiro
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
"Celaka!"
kata luhsantini setengah berseru. "jangan-jangan klta datang terlambat!
Percepat larimu luhcinta!" luhcinta dan luhsantini sampal di puncak bukit
batu kawin. Luhcinta serta merta hendak menghambur ke hadapan orang-orang yang
berada di dekat ranjang batu. Tapi luhsantinl cepat memegang erat lengannya dan
menarik gadis ini ke balik sebuah batu besar yang tertutup semak belukar lebat.
"kita memang terlambat luhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan.
Mereka telah berpegangan tangan …." "mereka siapa?" tanya
luhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak belukar lalu memandang
ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru nikah lamahila. "wiro
sableng dan luhrembulah! Kalian berdua telah aku nlkahkan disaksikan langit dan
bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para dewa dan semua roh yang
tergantung antara langlt dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini
kalian telah resml menjadi suami istri!"
********************
SATU
KUDA
raksasa berkaki enam itu berlari kencang di bawah siraman sang surya yang
tengah menggelincir menuju ufuk tenggelamnya. Bulunya yang hitam pekat seolah
menebar pantulan kekuning-kuningan. Di atas punggungnya dua sosok manusia
tergantung dalam dua buah jala. ltulah sosok Lakasipo dan Luhsantini yang
terjebak tak berdava di dalam jaring api biru akibat perbuatan jahat Hantu Bara
Kaliatus. Orang ke tiga di atas kuda raksasa itu adalah seorang kakek yang
berdiri di punggung kuda dengan dua tangan di sebelah bawah dan dua kaki di
sebelah atas. Rambut, janggut dan kumis putihnya melambai-lambai disapu angin.
Walau kuda hitam bernama Laekakienam berlari secepat setan menyambar namun di
atas punggungnyasi kakek tampak tegak tenang tanpa bergeming sedikitpun. Sudah
dapat diduga kakek ini bukan lain adalah Lasedayu alias Hantu Langit
Terjungkir.
"Huuii
… !" Kakek di atas kuda berseru panjang.
"Kuda
hitam gagah perkasa, kita berhenti dulu di sini! Aku perlu bicara dengan dua
insan di dalam jaring!"
Habis
berkata begitu sosok si kakek melesat ke udara. Dua tangannya menyambar cabang
satu pohon besar. Sesaat tubuhnya berputar sebat dua kali dicabang pohon itu
lalu melayang turun, menjejakkan dua tangannya yang dijadikan kaki di tanah
tanpa keluarkan suara sedikitpun. Kuda hitam yang memiliki dua tanduk di atas
kepala-nya meringkik keras lalu hentikan larinya. Debu be-terbangan di
belakangnya. Setelah meringkik sekali lagi binatang ini lalu melangkah
mendekati si kakek dan menjilat-jilat kaki orang tua itu dengan ujung lidahnya.
"Kuda
hebat! Aku berterima kasih padamu! Seumur hidup baru kali ini aku menunggang
kuda. Aku serasa mau kencing menahan gamang. Tapi nikmat! Ha … ha,.. ha…!"
Si kakek
tepuk-tepuk pinggul Laekakienam lalu dia bergerak mendekati Lakasipo dan
Luhsantini yang berada di dalam dua jaring terpisah. Kakek ini pergunakan dua
kakinya untuk mengait jaring. Lalu perlahan-lahan, enak saja dia turunkan dua
jaring itu ke tanah. Di dalam jaring Lakasipo dan Luhsantini cepat bangkit lalu
bersila di tanah.
"Kakek
Hantu Langit. Terjungkir! Kami berdua menghaturkan terima kasih. Kau telah
membawa kami keluar dari tempat penuh bencana itu!" Luhsantini pertama
sekali keluarkan ucapan.
Hantu
Langit Terjungkir alias Lasedayu sibakkan rambut putih menjulai yang menutupi
mukanya lalu tatap wajah Luhsantini beberapa lamanya. Sesaat kemudian dia
palingkan kepala memandang pada Lakasipo. Dipandang seperti itu Lakasipo merasa
jangan-jangan orang tua ini masih membekal amarah karena tindakannya yang lalai
tempo hari sehingga sendok emas sakti yang bisa menjadi penyembuh bagi si kakek
lenyap dirampas orang. Maka sebelum ditegur Lakasipo berkata duluan.
"Kek,
apakah kau masih marah padaku karena kesalahanku menghilangkan Sendok Pemasung
Nasib itu…? Aku sekali lagi mohon maafmu. Janjiku tetap akan kupenuhi. Aku akan
mencari benda itu sampai dapat walau harus menebus dengan nyawaku
sendiri."
Lasedayu
menghela nafas dalam lalu menyeringai.
"Wahai,
bagaimana kau bisa mencari sendok sakti. Sementara dirimu berada dalam jaring
iblis api biru itu!"
Lakasipo
terdiam mendengar kata-kata si kakek. Dia memandang pada Luhsantini seperti
meminta pendapat Perempuan ini segera membuka mulut "Supaya kami bisa
menebus kesalahan itu harap kau mau menolong kami keluar dari jaring ini."
"Betul,
Kek," menyambung Lakasipo.
"Kami
bukan cuma memikirkan keselamatan diri sendiri. Tapi begitu bebas kami akan
segera kembali ke lembah untuk menolong kawan-kawan kami. Mereka berada dalam
bahaya besar…."
Lasedayu
gelengkan kepala. "Tak ada hal lain yang bisa kuperbuat Aku hanya
berkemampuan merubah jaring ini dari jaring api menjadi jaring tali biasa.
Lebih dari itu aku tak bisa. Seperti penjelasanku dulu, hanya ada beberapa
orang saja di Negeri Latanahsilam ini yang mampu memutus jaring api biru ini …”
(Kisah bagaimana Lakasipo dan Luhsantini terjebak dalam jaring api biru baca Episode
Hantu Santet Laknat)
"Berarti
kita bisa seumur-umur mendekam di dalam jaring celaka ini! Mungkin ajal lebih
dulu datang menjemput sebelum ada yang membebaskan kita!" kata Luhsantini.
"Kek,
kalau aku tidak salah mengingat, kau pernah mengatakan siapa-siapa saja orang
yang mampu menjebol jaring ini. Siapa tahu ada orang yang bisa menemui mereka
untuk dimintai bantuannya …."
"Aku
tidak yakin. Orang-orang itu seperti setan. Ada bernama tapi sulit dicari
bahkan entah masih hidup atau sudah menjadi satu dengan tanah. Seorang di
antara mereka adalah Hantu Seribu Obat. Tapi manusia satu ini aneh
angin-anginan. Kalau hatinya sedang senang apapun yang diminta orang akan
diberikannya sekalipun orang meminta telinga atau matanya! Tapi kalau syarafnya
terganggu, sedang tidak karuan hati dan pikirannya, salah sedikit saja dalam
bicara isi perut kita bisa dibedolnya untuk dijadikan ramuan obat!"
"Tunggu
dulu!" ucap Lakasipo setengah berseru.
"Aku
pernah bertemu dengan Hantu Seribu Obat. Dialah yang menolong dua saudara
angkatku hingga sosoknya menjadi sebesar sosok orang-orang di negeri ini
…" berkata Lakasipo.
"mungkin
waktu itu hatinya sedang senang. Tapi jika bertemu sekali lagi aku tidak dapat
menjamin dia akan bersikap sama," kata Lasedayu pula.
"Siapa
orang lainnya yang menurutmu mampu menolong kami Kek?" bertanya
Luhsantini.
"Seorang
nenek berjuluk Hantu Lembah Laekatak hijau. Nenek satu ini lebih kacau. Di
tempat kediamannya yang sulit diketahui dimana letaknya, dia memelihara ribuan
kodok. Bahkan konon kabarnya sekujur tubuhnya diselimuti binatang itu. Kalau
dia ingin sesuatu yang menyenangkan, si nenek bisa saja menyuruh kodok-kodok
peliharaannya untuk mempesiangi orang hingga dalam waktu sesaat saja orang itu
bisa hanya tinggai tulang memutik!"
Lakasipo
menatap ke arah Luhsantini dan berkata perlahan.
"Agaknya
tidak ada yang bisa kita lakukan.Tidak ada orang yang dapat menolong kita.
Kalau saja nenek tukang kentut berjuluk Hantu Selaksa Angin itu mau menolong
kita. …"
"Dia
punya kemampuan," menyahuti Luhsantini.
"Tapi
apakah dia harus menghantami kita dengan pukulan sakti agar semua tali-tali ini
bisa putus? Jangan-jangan kita lebih dulu remuk jadi bangkai sebelum dia bisa
mengeluarkan kita dari dalam jaring celaka ini! Jika aku bisa lolos, aku
bersumpah akan menguliti Hantu Bara Kaliatus makhluk keji biadab itu!"
Hantu
Langit Terjungkir mendehem beberapa kali lalu berkata. "Sebenarnya aku
melarikan kalian bukan cuma karena ingin menyelamatkan kalian, tapi lebih dari
itu ada satu perkara besar yang ingin aku bicarakan. ini menyangkut dirimu dan
diriku, Lakasipo …."
"Maksudmu
sendok emas itu Kek?" tanya Lakasipo.
"Lupakan
sendok celaka itu!" jawab si kakek. Lalu dia melangkah ke belakang Lakasipo
yang sampai saat itu masih duduk bersila di tanah. Sepasang mata si kakek
memandang tak berkesip ke arah lengan kanan sebelah belakang Lakasipo. Seperti
diketahui di situ terdapat tanda berbentuk sekuntum bunga dalam lingkaran
berwarna kebiru-biruan.
"Hal
yang hendak aku bicarakan ini jauh lebih penting dan lebih berharga dari sendok
emas itu! Aku malah menganggap jauh lebih penting dari nyawa ataupun masa
depanku …." Lasedayu kembali berdiri di hadapan Lakasipo. Dari balik
juntaian rambut putihnya dia pandangi wajah lelaki itu dengan perasaan yang
sulit untuk dikatakan. Saat itu dia seolah ingin menghamburkan sejuta kata
sejuta cerita. Bahkan lebih dari itu ingin memeluk merangkul Lakasipo.
"Lakasipo,
di belakang lengan kananmu sebelah atas,dekat ketiak, ada satu tanda kecil.
Seperti jarahan. Berbentuk bunga dalam lingkaran …."
"Apa
Kek?!" ujar Lakasipo. Wajahnya menyatakan rasa heran. "Tanda bunga
dalam lingkaran … ? Dekat ketiak kananku sebelah belakang?" Lakasipo
angkat tangan kanannya, mencari-cari. Dia berhasil melihat tanda kecil seperti
yang dikatakan si kakek. Bunga dalam lingkaran. "Aku tak-pernah tahu kalau
ada tanda seperti ini di lenganku. Juga tak ada orang yang mengatakan kalau aku
punya tanda seperti ini." Lakasipo menatap wajah si kakek lalu bertanya.
"Kek,
apa pentingnya tanda di balik lenganku ini bagimu? Apa mengandung satu
arti?" ,
"Tanda
itu sangat penting bagiku wahai Lakasipo. Lebih penting dari nyawaku sendiri
…."
"Aku
tidak mengerti. Tunggu …. Aku coba mengingat-ingat. Rasanya aku pernah melihat
tanda seperti yang kau katakan itu di lengan belakang seseorang …."
"Ucapanmu
membuat aku berdebar Lakasipo!" kata Hantu Langit Terjungkir.
"Pusatkan
pikiranmu, pusatkan ingatanmu! Siapa orang yang punya tanda seperti tanda di
dekat ketiak kananmu itu?!" Lakasipo memijit-mijit keningnya
berulang-ulang. Berusaha untuk mengingat Tiba-tiba ditepuknya keningnya.
"Aku
ingat Kek!" katanya dengan suara keras.
"Siapa?!"
tanya Hantu Langit Terjungkir tak kalah kerasnya.
"Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus!"
Si kakek
tersurut satu langkah mendengar ucapan Lakasipo itu. Sementara Luhsantini
keluarkan seruan tertahan karena tidak menyangka nama bekas suaminya itu yang
bakal diucapkan Lakasipo.
"Aku
sudah menduga …" kata Hantu Langit Terjungkir dengan suara bergetar.
Sepasang matanya sekilas tampak berkaca-kaca. Ada satu perasaan besar yang
seperti coba ditekannya.
"Aku
sendiri memang pernah melihat tanda itu di lengan kanan sebelah belakang Hantu
Bara Kaliatus …." Orang tua ini kemudian berpaling pada Luhsantini.
"Kau adalah istri Hantu Bara Kaliatus …."
"Saat
ini aku tidak lagi jadi istri manusia keji jahat itu!" menukas Luhsantini.
"Aku
tahu perasaanmu wahai Luhsantini. Tapi bagaimanapun kau pernah menjadi
istrinya. Yang aku ingin tanyakan, apakah kau pernah tahu, melihat atau
menyadari bahwa Hantu Bara Kaliatus memang memiliki tanda seperti yang ada di
lengan kanan Lakasipo?"
"Aku
…. Hemm . … rasanya ku memang pernah melihat. Tapi aku tidak begitu
memperhatikan. Aku tidak pernah menanyakan atau memberitahu padanya. Mungkin
dia sendiri tidak tahu. Kek, apa arti semua pembicaraan ini?" bertanya
Luhsantini.
Dada
Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir bergemuruh. Sepasang matanya tampak
semakin berkaca-kaca dan sekujur tubuhnya kelihatan bergetar.
"Kek,
ada apa dengan dirimu. Apakah kau sakit?" tanya Lakasipo.
"Kek,
apapun yang terjadi dengan dirimu harap kau menjawab pertanyaanku tadi!"
ujar Luhsantini.
"Apa
artinya semua pembicaraanmu itu! Kau, matamu basah. Bibirmu bergetar. Kau
hendak mengatakan sesuatu Kek?"
"Aku
…." Si kakek tampak agak sempoyongan. Dia sandarkan punggungnya ke tubuh
Laekakienam. Dia menarik nafas panjang sampai dua kali baru membuka mulut.
"Dengar
baik-baik apa yang akan aku ucapkan Lakasipo. Kalian berdua adalah …."
"Kalian
berdua siapa maksudmu Kek," tanya Lakasipo ketika si kakek hentikan
ucapannya seolah lidahnya mendadak menjadi kelu.
"Maksudku
… kau … kau dan Latandai adalah …." Gelora jiwa dan gejolak hati yang
seolah membadai membuat orang tua itu sulit untuk berucap. Dalam hati dia
berdoa.
"Wahai
para Dewa, beri aku kekuatan untuk menyampaikan kebenaran ini. Aku harus
mengatakan sekarang juga! karena mugkin hidupku ini hanya tinggal beberapa
hitungan jengkal saja. Aku …."
Hantu
Langit Terjungkir usap lelehan air mata yang menggelinding jatuh ke pipinya
yang keriput.
"Lakasipo,
dengar baik-baik. Kau dan Latandai adalah dua …."
Belum
sempat si kakekmenyelesaikan ucapannya tiba-tiba di udara menggema suara
seperti petir menyambar. Lalu ada hawa panas menyungkup. Ketika semua orang
memandang ke atas kagetlah mereka. Di udara melayang turun cepat sekali sebuah
jaring besar berwarna biru seolah terbuat dari kobaran api!
"Api
lblis Penjaring Roh!" teriak Lakasipo lalu jatuhkan diri dan berguling
sejauh yang bisa dilakukannya. Hal yang sama segera pula diiakukan Luhsantini.
Hantu Langit Terjungkir hantamkan kakinya kiri kanan ke atas dua kali
berturut-turut. Dua gelombang angin berwarna kebiruan menggebubu.
"Bummm!"
"Buuum!"
Dua
ledakan dahsyat menggoncang seantero tempat!
Laekakienam
meringkik keras! Debu dan pasir beterbangan ke udara. Sebaliknya dari atas
berjatuhan puluhan daun-daun pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu.
Ranting berderak patah lalu ikut melayang jatuh ke tanah.
********************
DUA
LAEKAKIENAM,
kuda hitam berkaki enam milik Lakasipo bergulingan bergemuruh kian kemari
sambil melejang-lejangkan kaki. Debu dan pasir semakin banyak beterbangan ke
udara. Dua pohon patah dan sebuah batu besar terbelah berkeping-keping dihantam
tendangan binatang raksasa itu. Bau sangit daging terbakar memenuhi udara. Kuda
bertanduk dua itu meringkik sekali lagi lalu
"brakk!"
Tubuhnya
menghantam sebatang pohon besar. Pohon ini berderak keras lalu tumbang dengan
suara menggemuruh. Di bawah pohon Laekakienam terkapar melejang-lejang. Sekujur
tubuhnya yang penuh guratan luka sangat dalam, berselemak darah, mengepulkan
asap, berada dalam jiratan jaring api biru.
"Lae!
Lae! Kudaku …. Kudaku!" teriak Lakasipo melihat apa yang terjadi dengan
binatang tunggangannya itu. Lalu seperti orang kalap dia hendak mengamuk.
Kakinya diangkat untuk bisa menginjak putus jaring di bagian bawah tapi tidak
berhasil. Tangannya lalu digerakkan untuk melepas pukulan Lima Kutuk Dari
Langit. Kaget Lakasipo bukan kepalang. Apa yang terjadi dengan dirinya. Dia tak
mampu mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke tangan kanannya!
Sekian lama berada dalam jaring api biru kekuatannya seolah tersedot!
Lakasipo
meraung keras lalu bersujud di tanah, menangis panjang. Luhsantini yang ada di
tempat itu, setelah terpental beberapa kali kini terduduk dengan muka pucat
lalu tutupkan dua tangan di depan wajahnya karena tidak sanggup melihat
kengerian yang terjadi atas Laekakienam.
Hantu
Langit Terjungkir sendiri saat itu tegak dengan tubuh bergoncang keras dan
wajah kaku membesi. Sewaktu jala yang disebut Api lblis Penjaring Roh itu
menebar turun laksana kilat menyambar, si kakek masih mampu berusaha menangkis
dengan dua tendangan yang mengeluarkan gelombang angin sakti.
Bersamaan
dengan itu dengan kecepatan luar biasa dia segera menyingkir karena maklum
serangan yang datang dari atas langit itu bukan olah-olah dahsyat berbahayanya!
Dia
berhasil menyelamatkan diri. Tapi kuda hitam besar Laekakienam yang tadi
disandarinya tertimpa jaring, langsung dibuntal dicabik-cabik hangus sekujur
tubuhnya!
Untuk
beberapa lamanya tempat itu dilanda kesunyian mencekam. Lalu dirobek oleh suara
raungan Lakasipo. Namun suara raungan ini lenyap begitu ada suara tawa mengekeh
mengumandang di tempat itu!
Lakasipo
angkat sosoknya yang bersujud. Luhsantini turunkan dua tangannya yang menutupi
wajah. Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi mukanya. Semua
mata ditujukan ke arah datangnya suara tawa mengekeh.
Di depan
sana berdiri seorang berjubah hitam. Tidak dapat dipastikan apakah dia seorang
manusia atau penjelmaan roh yang gentayangan. Kepala dan mukanya berbentuk
tengkorak. Anehnya di batok kepalanya bertumbuhan rambut-rambut warna putih.
Matanya yang hanya berupa rongga besar memancarkan cahaya merah angker. Dua
tangan-nya yang tersembul keluar dari ujung lengan jubah hitam merupakan
tulang-tulang putih. Tiba-tiba rambut-rambut putih itu berjingkrak kaku ke atas
seperti kawat. Dari rongga matanya cahaya merah memancar keluar laksana lidah
api. Lalu dari mulutnya yang penuh susunan gigI-gigi besar mengerikan kembali
keluar suara tawa mengekeh.
"Makhluk
jerangkong …" desis Hantu Langit Terjungkir.
"Kalau
aku tidak salah menduga dia adalah jahanam yang dipanggil dengan sebutan
Junjungan.Yang konon kabarnya adalah guru Hantu Santet Laknat. Pasti tadi dia
yang melancarkan serangan Api lblis Penjaring Roh! Astaga, lihat siapa yang
berdiri di sampingnya!"
Hantu
Langit Terjungkir buka matanya lebar-lebar. Yang saat itu tegak disebelah
makhluk jerangkong sang Junjungan bukan lain adalah Hantu Bara Kaliatus, murid
Hantu Santet Laknat. Bekas suami Luhsentini!
"Cucu
muridku Hantu Bara Kaliatus! Orang-orang yang kita cari sudah ditemukan!
Kematian sudah menjadi bagian mereka Kau tunggu apalagi?!" Sang Junjungan
keuarkan ucapan. Lalu tangan kirinya yang hanya merupakan tulang-tulang putih
itu diusapnya ke punggung Hantu Bara Kaliatus. Usapan ini bukan usapan biasa
karena bersamaan dengan itu makhluk jerangkong susupkan sebagian hawa sakti ke
dalam tubuh Hantu Bara Kaliatus. Saat itu juga Hantu Bara Kaliatus merasa
tubuhnya lebih ringan namun sekaligus darahnya menggejolak aneh, membawa amarah
luar biasa. Ketika dia menyeringai dan mulutnya terbuka kelihatan ada kobaran
api di dalam mulut itu.
Seperti
diketahui sampai saat itu di dalam perut Hantu Bara Kaliatus masih mendekam
putuhan bara api yang sebelumnya berada di kepala, dada dan perutnya.
"Tunggu
dulu!" tiba-tiba Hantu Langit Terjungkir berseru ketika dilihatnya Hantu
Bara Kaliatus melangkah mendekati Lakasipo dengan tangan kiri yang disambung
besi warna biru dipentang di atas kepala, siap ‘untuk dipukulkan.
"Hantu
Bara Kaliatus! Pasal lantaran apa kau hendak membunuh Lakasipo?!"
"Cucu
muridku Hantu Bara Kaliatus, kau tak usah menjawab pertanyaan tua bangka gila
itu! Lekas bunuh Lakasipo! Biar aku yang menghadapi monyet tua itu!"
Berkata sang Junjungan.
"Terima
kasih kau mau membantuku sang Junjungan. Tapi jika kau tidak keberatan wahai
Junjungan biar aku beritahu padanya pasal lantaran apa aku ingin menghabisi
keparat bebama Lakasipo ini!"
Sang
Junjungan kelihatan tidak begitu senang dengan ucapan Latandai alias Hantu Bara
Kaliatus itu. Tapi dia akhirnya anggukkan kepala. Hantu Bara Kaliatus lalu
berpaling pada Hantu Langit Terjungkir.
"Agar
kau tahu!" kata Hantu Bara Kaliatus pula.
"Makhluk
bernama Lakasipo yang sepasang kakinya ditancapi Bola-Bola lblis itu sudah
sejak lama menjadi musuh besarku. Belum sempat aku membalaskan sakit hati
dendam kesumat, tahu-tahu dia main gila bergendak-gendak dengan istriku. Dia
merampas Luhsantini dari tanganku!"
"Mulutmu
kotor! Tuduhanmu keji!" teriak Lakasipo dari dalam jaring.
"Aku
tidak pernah merampas Luhsantini! Perempuan itu meninggalkan dirimu karena kau
berniat hendak membunuhnya! Otakmu sudah jadi gila karena dicuci oleh dukun
jahat Hantu Santet Laknat! Kau bahkan tega hendak membunuh anak kandungmu
sendiri!"
"Makhluk
culas bermulut keji!" Luhsantini ganti mendamprat dari dalam jaring api
biru.
"Aku
bukan istrimu dan aku tidak pernah berbuat mesum dengan lelaki itu! Kau makhluk
bejat pencelaka pembunuh anak sendiri!"
"Ha
… ha … ha!" Makhluk muka tengkorak tertawa bergelak.
"Kau
mendapat sanggahan serta caci maki yang menyakitkan hati wahai cucu muridku!
Apa jawabmu? Apa tindakanmu?!"
Rahang
Hantu Bara Kaliatus menggembung. "Perempuan jalang! Tunggulah! Kau bakal
menerima bagian setelah kekasih gelapmu ini kuhabisi!"
"Manusia
rendah pengecut busuk! Lakasipo di dalam jaring tidak berdaya! Jika kau memang
jantan keluarkan dia lebih dulu dari dalam jaring baru kau menghadapinya! Aku
mau lihat apa kau punya keberanian!”
Hantu
Bara Kaliatus menyeringai. "Buat apa mencari susah kalau aku bisa
membunuhnya semudah membalikkan tangan!" Lalu sambil semburkan dua bara
api dari mulutnya Hantu Bara Kaliatus menerjang ke arah Lakasipo yang saat itu
sudah tegak berdiri tapi masih terbungkus di dalam jaring api biru.
Begitu
melihat dua bara api melesat ke arahnya Lakasipo cepat jatuhkan diri. Dia
berguling menjauh. Namun dia tidak mampu bergerakcepat. Lawan segera mengejar
mendatangi. Baru saja dia berusaha bangkit, Hantu Bara Kaliatus telah
menghantamkan tangan kirinya yang disambung dengan logam biru serta dipenuhi
tonjolan-tonjolan lancip!
Dari
dalam jala dimana dirinya terkurung Luhsantini berusaha menyerang Hantu Bara
Kaliatus dengan serangan tangan kosong jarak jauh. Tapi gerakannya tertahan.
Lebih dari itu anehnya dia juga tidak mampu menghimpun tenaga dalamnya. Dia
mengalami hal yang sama seperti yang terjadi dengan Lakasipo. Kekuatannya tak
mampu dikerahkan seolah telah disedot sirna oleh jaring api biru!
"Celaka!
Kalau tidak ada yang menolong, Lakasipo pasti akan menemui ajal di tangan
makhluk durjana itu!"
Luhsantini
meratap tegang dalam hatinya. Saat itu Hantu Langit Terjungkir yang telah
melihat bahaya yang mengancam Lakasipo dengan satu gerakan kilat melesat ke
arah Hantu Bara Kaliatus sambil tendangkan kaki kanannya. Selarik gelombang
angin yang memancarkan hawa dingin serta sinar kebiruan menyambar. Semula Hantu
Bara Kaliatus menganggap enteng dan tetap teruskan pukulannya sambil menggeser
kedudukannya sedikit Tapi ketika dirasakannya tubuhnya disengat hawa dingin
luar biasa dan lututnya menjadi goyah kagetlah dia. Dengan cepat Hantu Bara
Kaliatus buka mulutnya lalu menyambar Lidah api menggebubu. Tiga bara menyala
melesat ke arah kepala, dada dan perut Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang
berdiri kaki ke atas tangan ke bawah ini melompat ke udara. Sambil meniup,
tubuhnya membuat gerakan jungkir balik demikian rupa hingga dua serangan bara
api sanggup dikelitnya.
"Cesss!"
Bara api
ke tiga dipukul mental dengan tangan kiri. Tapi akibatnya tangan kiri Hantu
Langit Terjungkir luka hangus, kulitnya terkelupas. Kobaran api yang menggebubu
keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus dihadang oleh angin biru yang melesat
dari mulut Hantu Langit Terjungkir. Bentrokan hebat tidak terhindar lagi. Hantu
Bara Kaliatus menjerit dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Dari
mulutnya membusa darah. Hantu Langit Terjungkir sendiri cidera tak katah
parahnya. Kumis dan janggutnya terbakar hangus sedang daging sekitar mulutnya
tampak menggembung merah. Didahului oleh bentakan marah Hantu Langit Terjungkir
menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus.
"Hebat
juga makhluk celaka itu!" membatin sang Junjungan.
"Aku
sengaja menambah hawa sakti kedalam tubuh Hantu Bara Kaliatus, ternyata dia
masih bisa menciderai cucu muridku itu!"
Sekali
berkelebat makhluk jerangkong itu telah memotong gerakan Hantu Langit
Terjungkir. Entah dari mana dia mengambilnya tahu-tahu sebuah tongkat terbuat
dari tulang putih telah tergenggam di tangan kanannya. Ujung tongkat itu
dimasukkannya ke salah satu matanya yang hanya merupakan rongga yang
memancarkan sinar merah. Tiba-tiba menyembur kobaran api menjilat ujung
tongkat.
"Wusss!"
Di ujung
tongkat kini kelihatan ada api menyala! Barisan gigi-gigi sang Junjungan
sunggingkan seringai aneh. Dia hantamkan tongkatnya ke depan.
”wuuuttttt”
Satu
lingkaran api luar biasa panasnya membuntal ke arah Hantu Langit Terjungkir.
Yang diserang tidak tinggal diam. Dua kaki digerakkan melancarkan serangan
balasan. Sementara tangan kanan menyelinap melancarkan pukulan ke arah badan
tongkat tulang. Lingkaran api yang hendak menggulung Hantu Langit Terjungkir
serta merta buyar begitu terkena sapuan angin dingin biru yang melesat keluar
dari dua kaki Hantu Langit Terjungkir. Melihat dia mampu menghancurkan serangan
lawan Hantu Langit Terjungkir jadi bersemangat. Tenaga dalamnya dilipat
gandakan ke arah tangan yang tengah berusaha memukul tongkat tulang. Sang
Junjungan putar tangan kanannya. Tongkat tulang yang ujungnya ada apinya
berputar secara aneh.
"Kraaakk!"
Hantu
Langit Terjungkir berhasil memukul tongkat tulang itu lalu terdengar suara
benda patah. Bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras dari mulut Hantu
Langit Terjungkir. Ternyata tulang lengan kanan kakek ini telah remuk terkena
sabetan tongkat lawan!
Karena
tangannya itu juga dipergunakan sebagai kaki maka cidera yang dialami Hantu
Langit Terjungkir tentu saja sangat membahayakan dirinya. Menyadari hal ini
Hantu Langit Terjungkir segera lesatkan diri menjauhi lawan.
Sang
Junjungan tertawa mengekeh. Tangan kanannya yang memegang tongkat tulang putih
digerakkan.
Api di
ujung tongkat menjilat panjang. Bergulung membuntal ke arah Hantu Langit
Terjungkir. Kakek yang sedang dilanda kesakitan irii dan kini hanya mampu
berdiri dengan tangan kiri menjadi kelabakan.
Dia bergerak
cepat kian kemari untuk hindari diri dari sundutan api. Sambil menghindar dia
kerahkan hawa sakti yang memancarkan hawa dingin biru. Namun sambaran gulungan
api demikian hebatnya hingga dia terkurung rapat. Kemanapun dia berusaha
menyingkir kobaran api datang membuntal. Sebagian rambut dan pakaiannya sudah
ada yang kena disulut api!
Luhsantini
yang melihat kejadian ini jadi serba bingung. Dia tidak mampu menolong. Lagi
pula kalaupun dia bisa memberikan bantuan,siapa yang harus ditolongnya dan apa
yang bisa dilakukannya. Karena saat itu Lakasipo juga sedang terancam nyawanya.
Kepalanya siap menjadi sasaran tangan kiri Hantu Bara Kaliatus yang terbuat
dari logam keras penuh tonjolan-tonjolan runcing! Akhirnya dari dalam jala
Luhsantini hanya bisa berteriak memohon.
"Hantu
Bara Kaliatus! Jangan bunuh Lakasipo! Aku mohon! Jangan bunuh dia!"
"Ha
… ha…!" Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak "Kau takut kehilangan
gendakmu ini! Lihat! Buka matamu lebar-lebar Luhsantini! Lihat bagaimana
kekasih gelapmu ini menemui kematian!"
Tangan
kiri Hantu Bara Kaliatus laksana pentungan besi menghantam ke batok kepala
Lakasipo Sementara itu dalam keadaan terdesak hebat, pakaian dan tubuhnya
dikobari api yang disulut tongkat sang Junjungan, Hantu Langit Terjungkir tidak
perdulikan lagi keselamatan dirinya. Melihat bagaimana Lakasipo sesaat lagi
akan menemui ajal secara mengerikan di tangan Hantu Bara Kaliatus maka kakek
ini cepat berteriak keras.
"Latandai!
Jangan bunuh Lakasipo! Dia saudara kandungmu!"
********************
TIGA
SEANDAINYA
ada petir menyambar di depan hidungnya saat itu mungkin tidak demikian hebat
kejut Latandai alias Hantu Bara Kaliatus.
Gerakan
tangan kirinya hendak menghabisi Lakasipo serta merta tertahan. Dua matanya
mendelik besar memandangi Hantu Bara Kaliatus lalu berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir.
Yang
terkejut bukan cuma Hantu Bara Kaliatus. Lakasipo yang sebelumnya sudah pasrah
menghadapi kemalian tersentak kaget, memandang pada Hantu Bara Kaliatus lalu
menoleh pada Hantu Langit Terjungkir.
Di dalam
jaring Luhsantini tekapkan salah satu tangannya ke mulut, menahan seruan kaget
yang hampir meluncur dari mulutnya.
"Hantu
Bara Kaliatus saudara kandung Lakasipo? Bagaimana mungkin?!"
Luhsantini
melihat Hantu Langit Terjungkir dongakkan kepala ke langit Dua matanya terpejam.
Mulutnya berkomat kamit. Orang tua itu seperti tengah berdoa.
"Jangan-jangan orang tua itu benar-benar miring otaknya!" pikir
Luhsantini.
Sang
Junjungan termasuk orang yang ikut terkejut. Walau keterkejutan itu tidak
terlihat pada muka tengkoraknya, gerakan tertahan dari tangan kanannya yang
memegang tongkat tulang berapi jelas mem perlihatkan hal itu. Namun makhluk ini
cepat kuasai diri. Dia berteriak keras.
"Hantu
Bara Kaliatus! Jangan dengar ucapan tua bangka gila yang sebentar lagi akan
gosong dimakan api tongkatku! Bunuh Lakasipo! Cepat! Dia bukan saudaramu!
Jangan kau kena ditipu! Bunuh Lakasipo!"
"Jangan!
Latandai! Jangan bunuh Lakasipo! Demi para Dewa! Aku bersumpah! Lakasipo
benar-benar saudara kandungmu!" teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Hantu
Bara Kaliatus! Jangan dengarkan tua bangka gila ini!" sang Junjungan
kembali berteriak lalu "bukkk!"
kaki
kanannya ditendangkan ke perut Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang pakaiannya
telah dimangsa api ini terpental satu tombak, terguling-guling di tanah.
Makhluk muka tengkorak cepat mengejar. Pada saat tubuh Hantu Langit Terjungkir
berhenti berguling dia tusukkan ujung tongkat berapinya ke leher si kakek!
Sementara
itu untuk sesaat Hantu Bara Kaliatus masih tertegun dalan keterkejutannya.
Namun di lain kejap begitu dendam kesumat kembali melanda dirinya, apalagi
mendengar teriakan sang Junjungan berulang kali, tanpa ragu dia teruskan
hantaman tangan kirinya yang terbuat dari besi biru ke kepala Lakasipo.
Hanya
tinggal sejengkal lagi tangan besi itu akan merengkahkan kepala Lakasipo
tiba-tiba ada sebuah benda biru melesat dari atas. Cepat sekali benda ini
menggulung jala api biru lalu menariknya ke udara.
Akibatnya
hantaman Hantu Bara Kaliatus hanya mengenai tempat kosong. Marah sekali Hantu
Bara Kaliatus mendongak ke atas untuk melihat siapa kiranya yang telah
meyelamatkan Lakasipo. Tangan kanannya siap melepaskan pukulan Selusin
Bianglala Hitam. Begitu dia melihat siapa di atas sana menggelegarlah bentakan
Hantu Bara Kaliatus.
"Peri
Angsa Putih! Peri jahanam! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku! Aku tahu kau
menaruh hati pada manusia satu ini! Jangan harap kau bakal mendapatkannya
hidup-hidup!" Habis berteriak penuh marah begitu Hantu Bara Kaliatus
pukulkan tangan kanannya.Masih kurang puas dia barengi serangan tangan itu
dengan semburan dua buah bara api! Selusin sinar hitam berkiblat menyambar ke
arah sosok Lakasipo yang berada dalam jaring api biru, tergantung-gantung di
udara. lnilah pukulan ganas bernama Selusin Bianglala Hitam. Dengan pukulan
inilah puluhan tahun lalu Hantu Bara Kaliatus mencelakai anaknya yang saat itu
masih seorang bayi. (Baca Episode berjudul Hantu Bara Kaliatus)
Namun
pukulan sakti serta semburan dua bara api tidak mampu mengenai Lakasipo karena
jala api biru di dalam mana Lakasipo berada dan tergantung telah lebih dulu
ditarik tinggi ke udara.
Di atas
sana, Peri Angsa Putih yang duduk di atas angsa putih melayang berputar dua
kali lalu turunkan Lakasipo dl satu tempat yang dianggapnya aman.
Tidak
berhasil menyerang Peri Angsa Putih, Hantu Bara Kaliatus tumpahkan amarahnya
pada Luhsantini. Sekali menyergap dia langsung hamburkan lima bara api ke arah
bekas istrinya itu. Luhsantini keluarkan jeritan keras. Jeritannya ini bukan
sepenuhnya jerit ketakutan tapi lebih banyak merupakan jerit penyesalan karena
belum sempat membalaskan sakit hati dendam kesumat terhadap lelaki itu, kini
justru dia sendiri yang bakal menemui kematian secara mengenaskan!
Sambil
menjerit Luhsantini cepat jatuhkan diri. Dia berhasil menghindarkan dua
sambaran bara api, namun tiga bara api lainnya yang melesat ke arah dada dan
perutnya, tak sanggup dikelit apalagi ditangkis!
Sebelum
ajal berpantang mati. ltulah yang terjadi dengan Luhsantini. Sesaat lagi tiga
Bara Setan Penghancur Jagat yang disemburkan Hantu Bara Kaliatus akan menembus
tubuh perempuan itu, tiba-tiba serangkum sambaran angin melanda sosok Hantu
Bara Kaliatus. Demikian hebatnya sambaran ini hingga membuat Hantu Bara
Kaliatus terpental dua tombak lalu terjengkang di tanah. Ketika dia
memperhatikan keadaan sekelilingnya, terkejutlah dia. Tanah di tempat mana dia
barusan jatuh terbanting melesak sampai setengah jengkal. Tapi dia sendiri
tidak merasa sakit.
Tidak ada
bagian tubuhnya yang cidera. Hantu Bara Kaliatus cepat bangkit berdiri.
Memandang ke depan kemudian dia melihat seorang gadis tinggi semampai, berparas
cantik jelita tegak sambil tersenyum dingin padanya. Di keningnya melekat
sekuntum bunga tanjung kuning. Jelas si baju biru bukan lain adalah Luhcinta.
"Aku
rasa-rasa pernah melihat dia di mana. Jika tadi dia berniat jahat aku pasti
sudah cidera berat," membatin Hantu Bara Kaliatus.
"Kerabat
berpakaian biru, apa hubunganmu dengan perempuan laknat bernama Luhsantini itu
hingga mau-mauan menolongnya? Lekas terangkan siapa dirimu adanya!"
Luhcinta
kembali tersenyum. "Semua insan di dunia ini dilahirkan dari dan di dalam
kasih sayang. Mengapa kau berpikiran dangkal membunuh seorang perempuan yang
sesungguhnya adalah bagian dari kasih sayang itu sendiri?"
Sesaat
Hantu Bara Kaliatus jadi terkesima mendengar kata-kata gadis cantik berpakaian
biru itu. Namun kemudian amarahnya timbul kembali.
"Aku
tidak mengerti maksud ucapanmu! Tapi ingin kukatakan, kau tidak tahu siapa
adanya perempuan yang barusan kau tolong itu! Dia adalah seorang istri sesat,
pengkhianat suami! Kabur dan menjadi gendak lelaki bernama Lakasipo yang
barusan ditolong oleh Peri celaka itu!" Hantu Bara Kaliatus menunjuk ke
arah kejauhan di mana Peri Angsa Putih menurunkan sosok Lakasipo.
"Kemarahan
bisa membuat seseorang sesat bicara. Dendam kesumat bisa membuat insan
melupakan kasih. Hasutan bisa menimbulkan bencana. Kalau benar perempuan itu
adalah seorang istri sesat, dan kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan
suaminya sebelumnya?"
Air muka
Hantu Bara Kaliatus berubah, tegang membesi. Rahangnya menggembung dan
gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletak. Untuk beberapa saat lamanya dia tak
bisa membuka mulut dan hanya memandang pada gadis baju biru dengan mendelik
besar.
"Wahai,
kau tidak menjawab, berarti mungkin kaulah bekas suaminya. Benar begitu?"
Hantu
Bara Kaliatus masih membungkam. Lalu dia maju satu langkah. Sambil menuding
tepat-tepat pada gadis baju biru dia bekata.
"Lekas
kau menyingkir dari tempat ini! Jangan mengira aku tidak tega membuatmu
celaka!"
"Hawa
amarah masih menguasai dirimu. Padahal aku yakin di lubuk hatimu masih ada rasa
kasihan. Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku akan membawa serta perempuan
dalam jala itu!"
"Kalau
begitu biar kau sekalian kupasung dalam jala api biru!" Hantu Bara
Kaliatus lalu pukulkan tangan kirinya. Maka dari tonjolan-tonjolan yang ada di
tangan besinya melesat keluar larikan-larikan sinar biru menyala.
Larikan-larikan sinar yang panas luar biasa ini bergerak membentuk jaring lalu
menebar kearah gadis berpakaian biru!
"Wahai,
jaringmu sungguh hebat Tak pernah kulihat ilmu langka ini sebelumnya. Sayang
kau miliki dan kau pergunakan untuk perbuatan sesat!"
Habis
berkata begitu gadis baju biru ini angkat dua tangannya ke atas lalu
didorongkan. Dorongannya perlahan saja. Sambil mendorong dua tumitnya
berjingkat.
Gerakannya
lemah gemulai seperti seorang penari. Namun kekuatan yang ketuar dari dorongan
tangan itu sungguh luar biasa. Jaring Api lblis Penjaring Roh yang hendak
melibas dirinya terangkat ke atas. Si gadis gerakkan lagi dua tangannya.
Seperti mengikuti gerakan dua tangan si gadis jaring itu melayang ke kiri lalu
di satu tempat diturunkan ke tanah.
Kejut
Hantu Bara Kaliatus bukan alang kepalang. Jika gadis itu mampu mengendalikan
jala Api lblis Penjaring Roh, dan jika dia mau, bukan mustahil dia bisa
menjebloskan dirinya ke dalam jala miliknya sendiri! Walau bisa berpikir
seperti itu namun Hantu Bara Kaliatus masih jauh dari rasa sadar.
"Kau
punya ilmu! Aku mau lihat apakah kau bisa menerima ini!" Didahului
bentakan keras Hantu Bara Kaliatus semburkan lima bara menyala. Dua tangannya
ikut bekerja. Melepas serangan Selusin Bianglala Hitam.
Dua puluh
empat larik sinar hitam dengan dahsyatnya menghantam ke arah gadis berpakaian
biru. Melihat serangan luar biasa begitu rupa, Luhcinta tak mau berlaku ayal.
Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat miring ke atas. Lima bara menyala
lewat di sisi kiri kanan. Bersamaan dengan itu dua tangannya dipukulkan ke
depan. Tak ada terdengar deru angin, takada kelihatan cahaya berwarna. Namun
dua serangan tangan kiri kanan Hantu Bara Kaliatus yang memancarkan dua puluh
empat larikan kelihatan tertahan di udara. Si gadis tukikkan dua tangannya ke
bawah ke arah tanah. Dua puluh empat larikan sinar hitam ikut luruh kearah
bawah dan menghujam amblas di tanah. Meninggalkan kepulan asap hitam setinggi
dua tombak!
Hantu
Bara Kaliatus berteriak marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya lalu tumit kirinya dihentakkan ke tanah hingga kakinya melesak
sampai satu jengkal. Akibat hentakan ini secara aneh dua dari dua puluh empat
larikan hitam Selusin Bianglala Hitam yang telah dilumpuhkan dan luruh ke
tanah, tiba-tiba melesat ke atas lalu menderu kearah Luhcinta. Tidakmenyangka
akan kejadian seperti itu si gadis terlambat menghindar.
"Wusss!"
"Wusss!"
Dua larik
sinar hitam menyambar tubuh Luhcinta di bagian pinggul dan bahu sebelah kanan.
Si gadis terpekik kaget Mukanya langsung pucat Pakaiannya terbakar pada dua
tempat yang barusan dilanda serangan. Dia cepat menepuk-nepuk memadamkan api.
Begitu api padam, dari robekan hangus pakaiannya di dua tempat tersembul
kulitnya yang seharusnya putih mulus itu kini kelihatan berbercak
kehitam-hitaman.
Masih
untung kulitnya tidak terluka sampai ke dalam. Walau orang sudah menciderai
dirinya namun si gadis masih bisa berucap. "Sayang …. Sungguh sayang.
Lagi-lagi kepandaian dan limu tinggi dipergunakan dalam kesesatan. Hantu Bara
Kaliatus, kau perlu istirahat Kau perlu memicingkan mata barang beberapa jenak
agar otak dan hatimu bersih." Selesai mengeluarkan ucapan itu si gadis
mengusap mukanya sendiri lalu meniup ke arah Hantu Bara Kaliatus.
********************
EMPAT
GADIS
baju biru, Aku ingat! Kau bernama Luhcinta!" tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus
berteriak.
"llmu
kepandaianmu boleh tinggi tapi jangan harap kau bisa menenung diriku!"
Habis
berkata begiti Hantu Bara Kaliatus siap hendak menghantam kembali. Tapi
tiba-tiba dia merasakan matanya menjadi berat. Kantuk yang amat sangat
menyerangnya tak tertahankan. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati sebatang
pohon. Sebelum sampai ke pohon itu tubuhnya sudah limbung lalu perlahan-lahan
jatuh ke tanah.
"Gadis
kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadap cucu muridku?!"
Satu
suara membentak. Satu bayangan hitam berkelebat. ltulah sosok sang Junjungan
yang saat itu sebenarnya sudah siap untuk kabur dari tempat itu. Tapi melihat
Hantu Sara Kaliatus jatuh tergeletak di tanah dan tak bergerak lagi dia
menyempatkan diri untuk menyelidiki. Gadis yang dibentak tidak segera menjawab
karena keburu tergagau ketika melihat siapa dan bagaimana keadaan orang yang
barusan membentaknya.
"Kau!
Waktu Api lbiis Penjaring Roh menyerangmu, kau menangkis dan mematahkannya
dengan llmuTangan Dewa Merajam Bumi! Lalu waktu dua puluh empat sinar hitam
pukulan Selusin BiancJala Hitam menggempurmu kau menangkis dengan jurus pukulan
bernama Kasih Mendorong Bumi! Lekas katakan apa hubunganmu dengan seorang nenek
sakti berjuluk Hantu Lembah Laekatakhijau?!"
Walau
rasa terkejut mendengar si muka tengkorak menyebut nama gurunya bahkan
mengetahui jurus jurus ilmu serangan sakti yang tadi dilancarkannya menghadapi
serangan Hantu Bara Kaliatus, namun Luhcinta layangkan senyum. Dengan demikian
dia berhasil menutupi perubahan di wajahnya yang jelita. "Makhluk bermuka
tengkorak, matamu sungguh tajam pertanda pengalamanmu sangat luas. Sayang aku
tidak kenal siapa kau adanya. Tadi kau berniat hendak pergi dari sini. Mengapa
tidak diteruskan?"
Sang
Junjungan merasa jengkel karena pertanyaannya tidak dijawab. Namun dia tak mau
menghabiskan waktu bicara berpanjang-panjang. Dia berpaling pada Hantu Bara
Kaliatus. Makhluk Jerangkong berjubah hitam itu merasa heran karena dia melihat
cucu muridnya itu mati tidak, pingsan juga tidak. Tapi tertidur lelap!
"Aku
menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi. Walau sakit hati, hari ini
sebaiknya aku mengalah!" membatin sang Junjungan. Lalu dengan tongkat
tulang putih yang tak kelihatan lagi nyala api di ujungnya makhluk jerangkong
ini menuding kearah Luhcinta.
"Hari
ini untuk pertama kali aku melihatmu. Jika kita bertemu lagi di kali ke dua
mungkin urusan tidak semudah ini bagimu! Kecantikan dan kebagusan tubuhmu tidak
meluruhkan hatiku untuk tidak membakarmu hidup- hidup!"
Habis
berkata begitu makhluk jerangkong sorongkan ujung tongkat tulangnya ke kuduk
pakaian Hantu Bara Kaliatus. Sekali dia gerakkan tangannya maka sosok besar
Hantu Bara Kaliatus jatuh tertelungkup di atas bahu kirinya. Saat itu juga ada
orang berteriak.
"Mahkluk
jerangkong! Jangan kau berani membawa orang itu. Tinggalkan dia di tempat
ini!"
Yang
berteriak ternyata adalah Hantu Langit Terjungkir. Saat itu dia terduduk di
tanah sambil pegangi lengannya yang patah. Luka-luka bakar memenuhi sebagian
tubuhnya. Ketika Luhcinta memandang ke arah si kakek kagetlah gadis ini. Karena
disamping Hantu Bara Kaliatus saat itu berdiri seorang berjubah hitam yang
mukanya tertutup oleh tanah liat dan diberi jelaga hitam.
"Orang
itu. Dia muncul kembali …" kata Luhcinta dalam hati.
"Mungkin
sekali ini aku terpaksa bicara keras terhadapnya. Tapi apakah kasih memang
mengajar kan aku harus berlaku seperti itu?!"
Sang
Junjungan tidak perdulikan teriakan Hantu Bara Kaliatus. Dengan cepat dia
berkelebat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi Luhcinta cepat meng hadangnya.
"Menyingkirlah
atau kugebuk mukamu yang cantik sampai cacat!"
Mahkluk
jerangkong mengancam dan angkat tongkat tulang di tangan kirinya ke atas, siap
dipukulkan ke wajah Luhcinta. Si gadis tetap tenang. Malah berkata.
"Kau
dengar orang meminta. Mengapa sosok yang kau panggul itu tidak segera kau
turunkan saja? Perlu apa berjalan dengan beban seberat itu?"
Makhluk
jerangkong menyeringai. Dia melirik ke arah orang bermuka hitam di sebelah si
gadis. Agaknya bukan ucapan Luhcinta tadi yang jadi bahan pertimbangannya.
"Ucapanmu
yang terakhir mungkin benar. Kau inginkan orang ini silahkan ambil!" Sang
Junjungan gerakkan bahu kirinya. Sosok Hantu Bara Kaliatus terlempar ke arah
Luhcinta. Selagi gadis ini kebingungan apakah akan menanggapi sosok Hantu Bara
Kaliatus atau membiarkannya saja jatuh bergedebuk di tanah, makhluk jerangkong
secepat kilat menggebukkan tongkat putihnya ke wajah si gadis!
Mendapat
serangan seperti itu Luhcinta segera gerakkan dua tangannya kedepan. Bersamaan
dengan itu dia sambut sosok Hantu Bara Kaliatus dengan bahu kirinya. Begitu
bahunya digoyangkan maka tubuh Hantu Bara Kaliatus terjatuh ke depan. Dengan
kaki kanannya Luhcinta sambut tubuh itu lalu sambil meneruskan gerakan dua
tangannya, tubuh Hantu Bara Kaliatus diletakkannya di tanah!
Makhluk
jerangkong berseru kaget ketika tahu-tahu dapatkan tongkat tulang putihnya
tidak ada lagi di tangannya. Memandang ke depan dilihatnya benda itu sudah
berada dalam genggaman gadis berbaju biru!
"Dia
mampu meiakukan dua gerakan sekaligus! Menanggapi sosok yang kulemparkan dan
meram-pas tongkat tulangku!" Si muka tengkorak berjubah hitam membatin
lalu lagi-lagi dia melirik ke arah orang bermuka hitam.
"Lebih
baik aku cari selamat! Perduli amat dengan Latandai!" Tanpa banyak bicara
lagi sang Junjungan segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk meminta
tongkatnya kembalipun dia tidak ingat. Sebaliknya Luhcinta yang memang tidak
memerlukan tongkat tersebut segera melemparkan nya ke arah makhluk jerangkong.
"Wuuuttt..
sett!"
Tongkat
tulang itu menyusup di sisi kiri jubah hitam sang Junjungan, terus menembus
sampai ke bagian kanan. Akibatnya gerakan larinya itu terjegal terserimpung.
Tak ampun lagi dia tersungkur tung-gang langgang. Muka tengkoraknya berkelukuran
di tanah. Sambil menyumpah panjang pendek orang ini bangkit berdiri lalu
tinggalkan tempat itu diiringi suara tawa cekikikan Luhcinta.
"Luhcinta,
aku perlu bicara dengan Hantu Bara Kaliatus. Harap kau buat dia bangun dari
tidurnya!" Ucapan Hantu Langit Terjungkir itu membuat Luhcinta hentikan
tawanya. Gadis ini menatap ke arah Hantu Bara Kaliatus lalu usap mukanya dua
kali dan meniup. Saat itu juga sosok Hantu Bara Kaliatus tampak bergerak Dia
bangkit berdiri sambil memandang berkeliling, berpikir-pikir dan berusaha
mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Dia dapatkan sang Junjungan tak ada
lagi di tempat itu.
Malah di
samping Luhcinta kini berdiri orang yang mukanya dilapisi tanah liat hitam,
dikenal dengan julukan Si Penolong Budiman. Jauh di sebelah sana Peri Angsa
Putih kelihatan tegak di samping Lakasipo. Terpincang-pincang karena kini hanya
pergunakan satu tangan sebagai kaki, Hantu Langit Terjungkir mendekati Hantu
Bara Kaliatus.
"Latandai,
ikuti aku ke tempat Lakasipo berada. Kita bertiga perlu bicara," berkata
Hantu Langit Terjungkir. Dia memandang pada Luhsantini dan Luhcinta lalu juga
pada si muka tanah liat.
"Tidak
ada salahnya kalian turut mendengar apa yang hendak kami bicarakan. Kelak
kalian semua bisa menjadi saksi dari satu kenyataan hidup yang gelap dan selama
ini tersembunyi seolah terpuruk di kerak bumi."
"Tua
bangka buruk! Aku tidak ada urusan denganmu!" Hantu Bara Kaliatus
menjawab. Tanpa banyak bicara dia segera hendak berkelebat pergi.
Hantu
Langit Terjungkir cepat menghalangi. "Latandai, ini bukan urusan main-main
…."
"Kau
menyebut begitu! Kau tua bangka gila! Kalian di sini gila semua!" Saking
marahnya karena merasa dihalangi Hantu Bara Kaliatus lalu tendangkan kaki
kanannya ke bawah. Karena orang tua ini tegak dengan kaki ke atas kepala ke
bawah maka dengan sendirinya tendangan itu mengarah ke kepalanya. Dalam keadaan
tangan kanan patah dan tubuh penuh luka, Hantu Langit Terjungkir tidak mampu
berbuat banyak. Gerakannya menghindar terlalu lambat Kaki kanan Hantu Bara Kaliatusmeluncur
deras dan ganas ke kepalanya.
Orang
berjubah hitam yang wajahnya dilapisi tanah liat hitam cepat hendak bergerak
berikan perto longan. Tapi Luhcinta mendahului dengan satu teriakan. .
"Latandai!
Jangan berlaku bodoh! Mungkin orang tua yang hendak kau bunuh itu adalah ayah
kandungmu sendiri!" Kaget Hantu Bara Kaliatus bukan alang kepalang.
Gerakannya menendang jadi tertahan. Dia membeliak besar ke arah Luhcinta.
"Jangan
kau berani mengada-ada! Apa maksud ucapanmu tadi?!" bentak Hantu Bara Kaliatus.
"Kalau
kau ingin tahu jawabnya, penuhi permintaan orang tua itu. Dia mengajakmu bicara
dengan Lakasipo. Antara kalian agaknya ada pertalian darah yang bukan main-main
…."
"Apapun
yang ada di balik semua kegilaan ini aku tidak akan pernah mengakui bangsat tua
ini adalah ayahku! Juga tidak akan pernah mengakui Lakasipo adalah
saudaraku!" Habis berkata begitu Hantu Bara Kaliatus meludah ke tanah lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Latandai!"
seru Hantu Langit Terjungkir memanggil.Terpincang-pincang jatuh bangun dia
berusaha mengejar Hantu Bara Kaliatus tetapi Luhcinta cepat mencegahnya.
"Kek,
sia-sia saat ini kau memaksa bicara dengan Hantu Bara Kaliatus. Hati dan
pikirannya dibungkus oleh perasaan sombong serta hawa amarah yang membuat dia
tidak mau mengerti perasaan orang lain…."
"Aku
…." Hantu Langit Terjungkir gulingkan badan nya ke bawah. Dia tak kuasa
melanjutkan ucapannya karena tenggorokannya keburu diganjal oleh sesenggukan.
Setengah meratap orang tua ini berucap.
"Aku
tidak menyalahkan dirinya. Kenyataan ini sung guh berat untuk diterima oleh
siapapun …."
"Kek,"
kata Luhcinta pula.
"Mungkin
aku telah mengeluarkan ucapan salah. Tadi aku mengatakan kau mungkin adalah
ayahnya sendiri. Agaknya itu yang membuat Hantu Bara Kaliatus marah besar. Aku tidak
mengerti mengapa sampai bicara begitu. Aku mohon maafmu. Tapi terus terang
seperti ada satu alur perasaan dalam hatiku yang tiba-tiba menyatu dengan alur
perasaan yang ada dalam dirimu … ;"
"Kau
tidak bersalah wahai gadis bernama Luhcinta. Latandai, seperti Lakasipo adalah
anakku. Anak kandung darah dagingku. Aku yakin benar hal itu. Tanda yang ada di
lengan Latandai, juga yang terdapat di lengan Lakasipo tak dapat dipungkiri
…." Air mata bercucuran di pipi orang tua itu.
"Kek,
untuk sementara biar kau menenangkan diri. Tanganmu cidera. Sekujur tubuhmu
penuh luka bakar. Aku akan berusaha menolongmu sebisaku …"
"Terima
kasih. Kau anak baik. Hatimu tutus dan penuh kasih. Kalau saja aku punya anak
perempuan atau menantu sepertimu, hidupku tentu penuh bahagia. Tapi aku ingin
kau membawa aku lebih dulu menemui Lakasipo di bukit kecil sana …."
Hantu
Langit Terjungkir menunjuk ke arah kejauhan di mana tadi Peri Angsa Putih
menurunkan sosok Lakasipo. Tapi ketika semua orang memandang kesana mereka jadi
terkejut Peri Angsa Putih dan juga Lakasipo tak ada lagi di tempat itu.
"Anak
itu …. Kemana dia pergi. Dia tak mungkin berjalan sendiri. Ada seseorang yang
membawanya. Aku masih belum berkesempatan untuk menerang kan padanya ….
Lakasipo anakku …." Kembali Hantu Langit Terjungkir menangis terisak-isak.
"Kek,
biar aku mendukungmu, membawa ke tempat lebih baik untuk dirawat," orang
berjubah hitam bermuka tanah liat tiba-tiba mendekat lalu mendukung si kakek di
bahu kirinya.
"Tak
jauh dari sini ada sebuah telaga di kaki bukit kecil. Untuk sementara kurasa
itu tempat yang baik bagimu." Si muka tanah liat berpaling pada Luhcinta.
"Aku
mendukung kakek ini, harap kau menolong perempuan di dalam jaring …."
"Orang
bermuka aneh, aku tahu tadi kau yang menolong aku dari bahaya maut tangan ganas
makhluk muka tengkorak itu. Dia begitu ketakutan melihat Pukulan Menebar Budi
yang kau lepaskan untuk menyelamatkan nyawaku. Pukulan itu menandakan kau
adalah yang selama ini dijuluki Si Penolong Budiman. Tapi wahai, siapakah kau
sebenarnya?"
Dibalik
tanah liat yang membungkus wajahnya si jubah hitam tersenyum rawan. Dengan
suara perlahan dia berkata.
"Kita
orang-orang bernasib sama. Derita gelap kehidupan kita sama beratnya. Rahasia
yang membalut dirimu telah mulai terungkap. Sedang aku entah kapan mendapat
berkah para Dewa untuk dapat pula menyingkapnya …."
Di ujung
ucapannya si muka tanah liat melirik pada Luhcinta. Luhcinta yang dilirik jadi
berdebar. Dalam hati dia membatin. "betapapun aku tidak suka diikutinya
terus menerus tapi mungkin dia memang menyimpan satu rahasia besar yang ada
sangkut pautnya dengan diriku. Bagaimana aku harus bertindak … ?"
"Penolong
Budiman, tidak kusangka kau menyem bunyikan satu ganjalan hati yang berat
dibalik wajahmu yang terbungkus tanah liat itu. Aku tahu diri. Aku tak akan
menanyakan apa-apa padamu. Eh, mengapa kau mendadak diam saja? Katamu kau
hendak membawaku ke satu telaga kecil …."
"Ah,
maafkan diriku. Kita berangkat sekarang juga Kek," kata si muka tanah
liat. Dia mulai bergerak melangkah. Tiba-tiba langkahnya tertahan.
"Ada
apalagi? Kau mendadak hentikan langkah …" tanya Hantu Langit Terjungkir.
"Gadis
berpakaian serba biru itu. Dia tak ada lagi di sini. Perempuan di dalam jala juga
ikut lenyap!" jawab Si Penolog Budiman.
"Hemm
… aku bisa membaca. Mudah-mudahan apa yang terbaca tidak keliru. Agaknya gadis
itu sengaja menjauhkan diri darimu. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan
rahasia hidupmu?"
Si
Penolong Budiman menarik nafasdalam. Tanpa menjawab pertanyaan si kakek dia
segera melangkah tinggalkan tempat itu.
********************
LIMA
PENDEKAR
212 Wiro Sableng tidak bisa menduga kemana sebenarnya danapa tujuan Hantu
Santet Laknat membawanya. Sebelumnya dukun jahat itu bicara baik-baik padanya
seperti orang berhati mulia. Dia bicara ingin membalas budi karena Wiro pernah
menyelamatkannya. Tapi siapa percaya makhluk seperti nenek satu ini. Yang
menyantet dan membunuh orang seenaknya? Karena tak tahan berdiam diri dan rasa
was-was Wiro akhirnya ajukan pertanyaan.
"Nek,
kau mau bawa aku kemana sebenarnya?" Hantu Santet Laknat gebuk pantat Wiro
dengan tangan kirinya. "Sudah berapa kali kau bertanya. Tidak pernah aku
melihat orang secerewet dirimu ini! Biasanya yang cerewet adalah nenek-nenek
sepertiku ini! Masih muda kau sudah begini cerewetnya, apalagi nanti sudah jadi
kakek! Hi … hik … hik!" Mendapat jawaban seperti itu Wiro akhirnya hanya
diam saja. Dia berusaha mengerahkan tenaga untuk memusnahkan kelumpuhan aneh
yang menguasai dirinya. Tapi sia-sia saja. Rupanya Hantu Santet Laknat
mengetahui apa yang dilakukan Wiro. Maka nenek ini berkata.
"Kau
boleh punya kesaktian setinggi langit sedalam samudera. Jangan harap kau bisa
membebaskan diri dari ilmu Membuhul Urat Mengikat Otot yang menguasai dirimu. Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab menghabiskan waktu lima puluh tahun untuk menyakini
iimu yang membuat orang kaku tegang tak berdaya seperti yang kau rasakan
sekarang ini!"
"Hantu
Santet Laknat, kau telah mencuri kapak saktiku …." Wiro ingat pada Kapak
Maut Naga Geni 212.
"Sudah
kubilang, aku tidak mencuri senjata itu. Aku mengambil semata-mata karena ingin
merasa dekat denganmu …."
"Aku
tak perduli apapun alasanmu. Kau bisa menyebutkan seribu alasan. Mana kapak itu
sekarang?"
"Kusimpan
di balik jubah hitamku."
"Serahkan
padaku!"
"Apa
yang hendak kau lakukan?" tanya si nenek sambil terus berlari.
"Senjata
itu bisa menolong diriku dari luka dalam yang kuderita …."
"Kapakmu
memang senjata luar biasa. Aku pernah mencobanya dan berhasii. Ketika diriku
cidera berat dihantam lawan dan menderita luka dalam. Tapi luka dalam yang kau
derita bukan cidera biasa! Kapak saktimu tak akan mampu menolong. Lagi pula
jika kuserahkan padamu, apa kau bisa memegang senjata itu? Kau berada dalam
keadaan lumpuh. Apa kau bisa mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti yang kau
miliki?"
"Berarti,
seumur-umur aku akan berada dalam keadaan seperti ini?" Si nenek tertawa
panjang.
Wiro
memaki dalam hati. Dalam keadaan seperti itu si nenek masih bisa tertawa.
Kemudian didengarnya Hantu Santet Laknat berkata. "Pemuda tolol, kalau aku
ingin kau menderita sengsara seumur-umur, tidak akan aku membawamu saat ini
…." .
"Tapi
kau tidak mau memberitahu kemana kau membawa diriku …."
"Sudahlah,
jangan banyak bertanya. Hari mulai gelap. Kalau kau ajak bicara terus aku bisa
lari menabrak pohon. Kalau kepalamu yang mendarat. di batang kayu lebih dulu,
apa kau tidak celaka? Nanti kau menuduh diriku sengaja mencelakai dirimu
…."
Wiro
menggerendeng dalam hati. Dadanya men denyut sakit sekali. Tubuhnya saat demi
saat terasa semakin lemah. Hantu Santet Laknat pegang pundak pemuda ini.
"Tubuhmu
mulai dingin. Racun tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mulai bekerja.
Aku harus bertindak cepat …."
Si nenek
percepat larinya. Baru berlalu beberapa saat tiba-tiba Wiro merasakan dadanya
sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar agar bisa bernafas. Tapi dari mulutnya
menghambur darah segar. Saat itu juga murid Eyang Sito Gendeng ini jatuh
pingsan tak sadarkan diri lagi!
"Celaka!
Celaka!" kata Hantu Santet Laknat berulang kali. Dia percepat larinya.
Dalam udara yang mulai gelap sosoknya kelihatan seperti bayang-bayang,
berkelebat ke arah matahari tenggelam. Tujuannya adalah sebuah bukit kecil yang
ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan mengandung obat mujarab bagi penyembuhan luka
dalam yang disertai racun.
Di puncak
bukit itu ternyata ada sebuah gubuk reot beratap daun kelapa kering. Di dalam
gubuk terdapat tiga batang pohon kelapa yang dipotong-potong rata dan disusun
demikian rupa membentuk pembaringan. Hantu Santet Laknat baringkan Wiro di atas
batang-batang kelapa itu. Lalu dia mencari beberapa ranting kering, digabung
jadi satu. Ujung ranting-ranting itu dilumasinya dengan hancuran sejenis daun.
Ketika dibakar maka ujung ranting itu berubah menjadi obor. Walau hanya apinya
kecil saja tapi sudah cukup untuk menerangi seluruh gubuk.
Hantu
Santet Laknat berlutut di samping sosok Wiro. Dengan cepat dibukanya baju
pemuda ini. Muka burungnya berubah dan sepasang matanya yang aneh membeliak
besar ketika melihat tanda kebiruan berbentuk kaki di dada kiri Wiro. Itu
adalah tanda kaki bekas tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Tendangan
Hantu Racun Tujuh …. Tepat di arah jantung. Tidak mudah mengobatinya.,."
desis Hantu Santet Laknat.
"Aku
harus mencari tujuh jenis daun obat. Mungkin membutuhkan waktu lama. Apakah dia
sanggup bertahan …." Si nenek letakkan telinga kirinya di atas dada kiri
Wiro.
"Masih
ada detak jantungnya. Tidak terlalu keras. Para Dewa …. Aku mohon pertolonganmu.
Beri kekuatan pada orang ini agar dia bisa bertahan. Paling tidak sampai aku
dapat mengumpulkan tujuh daun obat yang diperlukan …."
Hantu
Santet Laknat letakkan dua telapak tangannya di dada kiri Pendekar 212. Lalu
dia pejamkan mata.
Perlahan-lahan
si nenek mulai alirkan hawa sakti ke dada murid Eyang Sinto Gendeng. Cukup lama
sampai tubuhnya keringatan karena dari dada pemuda itu seolah ada hawa lain
yang keluar menolak masuknya hawa sakti si nenek. ltulah hawa jahat racun
tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!
"Wiro
…" bisik Hantu Santet Laknat
"Walau
kelak aku tidak mendapatkan dirimu, aku merasa puas jika bisa menyelamatkan
jiwamu. Kehadiranmu membuat aku mulai menyadari betapa hidup di dalam kesesatan
itu hanya akan membakar diri sendiri …." Si nenek belai pipi Wiro lalu
bangkit berdiri. Dia harus bertindak cepat.
Sebelum
keluar dari dalam gubuk dia mengambil ranting-ranting yang dijadikan obor.
Mencari tujuh daun obat di malam gelap seperti itu bukan pekerjaan mudah. Obor
kecil itu bisa menolongnya sebagai penerang jalan.
Baru satu
langkah Hantu Santet Laknat meninggalkan bagian depan gubuk tiba-tiba di dalam
gelap terdengar suara tawa cekikikan.
Kaget si
nenek bukan alang kepalang. Memandang kedepan dia melihat dua gadis cantik
berpakaian serba putih menyeruak keluar dari kegelapan, tegak berkacak
pinggang, memandang ke arahnya sambil tertawa-tawa.
"Sepasang
Gadis Bahagia!" kata si nenek dalam hati.
"Apakah
sudah lama mereka berada di tempat ini? Apakah mereka melihat apa yang tadi aku
lakukan di dalam sana? Ah, menyaksikan mereka berdua-dua seperti ini membuat
rasa penyesalan dalam diriku jadi semakin bertambah. Kalau sang Junjungan tidak
memerintahkan aku .. Tapi bagaimana dengan berita yang tersiar di luaran. Wiro
dikabarkan telah meru sak kehormatan mereka dan menganiaya keduanya. Jika
melihat mereka saat ini tampaknya seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan
mereka ….."
Siapa
adanya Sepasang Gadis Bahagia harap baca Episode sebelumnya berjudul Hantu
Langit Terjungkir.
"Hantu
Santet Laknat!" gadis kembar di sebelah kanan bernama Luhkemboja menegur.
"Apa
yang kau lakukan di dalam gubuk barusan? Hik … hik … hik!"
"Dia
benar-benar beruntung! Hik … hik … hik!" menimpali gadis satunya yakni
Luhkenanga sang adik Hantu Santet Laknat tidak mau layani ucapan dua gadis
kembar itu. Dia membentak keras.
"Dua
gadis liar! Perlu apa malam-malam begini berada di tempat ini! Jika kau
mengikuti diriku dan punya niat tidak baik, jangan kira aku tidak tega membuat
kalian celaka seumur-umur!"
"Hik
… hik! Kak, kau dengar, dia mengancam kita!"
"Dia
takut ketahuan apa yang barusan diperbuatnya di dalam sana dengan pemuda gagah
yang digilainya itu!" ujar Luhkemboja. Lalu dua gadis itu kembali tertawa
panjang.
"Nek,
kami tadi mengintip kau hendak menelanjangi pemuda itu di dalam gubuk!"
kata Luhkenanga.
"Kau
membelai kepalanya. Mengapa tidak membelai bagian tubuh lainnya?!"
"Gadis-gadis
sesat bermulut keji! Kalau kau tidak menjaga ucapan akan kurobek mulut kalian
saat ini juga!" Hantu Santet Laknat marah besar.
"Hik
… hik! Dia takut kita mau mengambil pemuda itu!" kata Luhkenanga pula.
"Hemm
… Kalian suka pada pemuda itu! Silahkan masuk ke dalam gubuk! Lakukan apa yang
kalian mau!" Hantu Santet Laknat berkata seraya maju selangkah.
"Kami
tidak berselera! Apa lagi pemuda itu siap menjadi bangkai tak berguna! Siapa
sudi!" jawab Luhkenanga.
Seperti
diketahui dua gadis kembar cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini memang
mempunyai kelainan. Yakni hanya suka pada kaum sejenis. "Kalau kalian
tidak punya kepentingan lekas menyingkir! Atau api di ujung ranting ini akan
merusak wajah kalian!"
Habis
berkata begitu Hantu Santet Laknat membuat lompatan, menyergap dua gadis kembar
seraya babatkan ujung ranting berapi ke wajah mereka. Sepasang Gadis Bahagia
tahu sekali siapa adanya Hantu Santet Laknat. Mereka tidak mau mencari celaka.
Dengan sigap keduanya membuat gerakan melesat ke udara. Dalam melompat tinggi
sosok mereka seolah-olah bersikap duduk enak-enakan. lnilah jurus yang disebut
Bahagia Naik Ke Pelaminan.
Sesaat
kemudian keduanya lenyap dalam kegelap an. Hanya suara tawa mereka yang
terdengar di kejauhan. Setelah memastikan dua gadis itu telah pergi jauh Hantu
Santet Laknat segera tinggalkan tempat tersebut. Namun hatinya was-was.
"Dua
gadis itu, aku tidak percaya pada mereka. Sejak keadaan mereka menjadi seperti
itu benak dan hati mereka telah dilumuri segala macam kekejian. Aku harus
melakukan sesuatu …."
Si nenek
angkat tangan kirinya tinggi-tinggi keatas. Telapak tangan dipentang terbuka
kearah gubuk. Matanya membesar tak berkesip.
"Wussss!"
Kepulan
asap hitam melesat keluar dari lima jari dan telapak tangan si nenek. Asap itu
membuntal ke arah gubuk. Tepat seperti yang diduga Hantu Santet Laknat, tak
selang berapa lama Sepasang Gadis Bahagia muncul kembali. Mereka memandang
berkeliling dalam gelap.
"Aneh,
rasanya kitasudah sampaidi tempat gubuk itu berada sebelumnya. Tapi mengapa
gubuknya tak ada lagi … ?" berucap Luhkenanga.
"Pohon
besar itu," kata Luhkemboja sambil memandang pada pohon besar beberapa
langkah di hadapannya. "Apakah pohon inisebelumnya memang ada di
sini?"
"Aku
tak dapat memastikan," jawab Luhhkenanga.
"Perasaanku
tidak enak Jika dukun jahat itu membokong kita di malam gelap gulita begini
rupa, kita bisa celaka. Sebaiknya kita pergi saja. bukankah kita ingin menyirap
kabar bagaimana keadaan dan apa yang dilakukan kakek kita Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab?"
"Ya,
kita pergi saja. Kalau bertemu kakek kita beritahu bahwa pemuda asing dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu berada di kawasan bukit kecil
ini."
"Tapi
bagaimana kalau dia tahu kita mendustainya tentang tongkat batu biru itu?"
ujar Luhkenanga. Luhkemboja jadi terdiam sesaat Akhirnya dia berkata.
"Sudah,
lupakan dulu mencari kakek Yang penting kita lekas pergi dari tempat ini!"
Seperti ditelan bumi dan gelapnya malam, dua gadis itu kemudian berkelebat
lenyap dari tempat itu.
********************
ENAM
LANGlT
malam laksana runtuh, tak dapat menahan curahan hujan yang sangat lebat. Gubuk
tua itu seperti akan hancur luluh. Petir sabung menyabung. Guntur menggelegar
menggetarkan puncak bukit. Dinding gubuk yang banyak berlubang membuat angin
dingin menerobos masuk dengan mudah.
Pendekar
21 2 Wiro Sableng terbaring tak bergerak di atas tempat tidur terbuatdari
susunan-batang pohon kelapa. Hanya dua bola matanya memandang berputar.
Tubuhnya terasa dingin diterpa angin yang masuk dari luar. Tampisan air hujan
dari atap dan dinding membasahi dirinya.
Untuk
kesekian kalinya petir menyambar. Gelegar guntur membuat batang-batang pohon
kelapa yang ditiduri Wiro bergetar keras. Tiba-tiba Wiro melihat cahaya terang
di atas gubuk. Lalu terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Sesaat
kemudian "braakk!"
Atap
gubuk jebol ambruk. Bersamaan dengan guyuran air hujen satu sosok putih melayang
turun ke dalam gubuk! Dalam kejutnya Wiro berusaha bangkit Tapi sekujur
tubuhnya laksana direkat kebatang pohon kelapa. Matanya membeliak besar ketika
mengenali siapa adanya sosok tinggi besar berjubah putih basah kuyup yang tegak
di sampingnya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!
"Pemuda
terkutuk dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Aku mau melihat sampai
dimana kesaktianmu! Apa kali ini kau sanggup menyelamat kan diri dari kematian?
Roh teman-temanmu tidak sabar menunggu kedatanganmu untuk bergabung!"
Murid
Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut besar.
"A …
apa?! Jadi kau. .. kau telah membunuh Naga Kuning dan Setan Ngompol?!"
Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertawa bergelak. Tiba-tiba dia gerakkan dua
tangannya. Dua tangan itu serta merta menjadi panjang dan berkelebat ke arah
leher Wiro. Satu cekikan yang sangat kuat membuat lidah Wiro langsung terjulur.
Dia tidak bisa melakukan apapun. Tangannya tak bisa digerakkan. Dia tidak ada
daya untuk menyelamatkan diri! Suara tawa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab
semakin keras. Lidah Wiro semakin panjang terjulur. Ludah bercampur darah
berbusa di mulutnya. Nafasnya tidak keluar lagi dari mulut ataupun hidung!
"Tidak
… ! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!" teriak Wiro. Dia berusaha
mengerahkan tenaga. Tiba-tiba entah bagaimana, dia mampu meng gerakkan tangan
dan kakinya. Langsung dia menendang dan memukul. Tapi sosok Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab seperti bayang-bayang. Wiro hanya memukul angin!
"Aku
tidak mau mati! Tidaakk! Kau yang harus mati! Kau … kau … kau!" Wiro
berteriak lagi lalu kembali dia memukul dan menendang kalap.
Mendadak
pintu gubuk ditendang orang dari luar. Satu sosok hitam menghambur masuk. Di
kepitan tangan kirinya dia membawa berbagai macam dedaunan. Di tangan kanan
orang ini memegang obor ranting kayu. Hantu Santet Laknat!
"Wiro!
Apa yang terjadi?!" si nenek bertanya kaget dan heran melihat keadaan Wiro
begitu rupa. "Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Kau yang harus mati!
Kau … kau … kau!"
"Kau
… kau siapa maksud pemuda ini? Diriku? Dia ingin aku mati?"
Si nenek
sisipkan obor di sudut gubuk. Dedaunan dibuangnya ke lantai lalu cepat dia
mendekati Wiro. Begitu dia menyentuh tubuh si pemuda terasa sangat panas.
"Kau
mimpi! kau barusan bermimpi Wiro! Sekaligus diserang demam panas akibat racun
tendangan …."
Bola mata
Pendekar 212 memandang seputar gubuk. "Mana dia? Mana dia manusia jahat
yang hendak membunuhku itu?!"
"Manusia
jahat siapa? Tidak ada orang lain di sini kecuali kita berdua …." Menjelaskan
Hantu Santet Laknat.
"Tidak
mungkin! Aku lihat sendiri dia menerobos masuk dari atas atap sana! Basah kuyup
karena di luar sedang hujan lebat!"
Hantu
Santet Laknat memandang ke arah atap yang ditunjuk Wiro. "Aku tidak
melihat apa-apa. Coba kau perhatikan baik-baik. Atap gubuk itu tidak ada yang
jebol. Di luar tidak ada hujan …."
"Tidak
mungkin! Jangan mempermainkan aku!" Si nenek gelengkan kepala.
"Kataku
kau bermimpi …."
"Kalau
aku bermimpi bagaimana aku bisa menendang dan memukul?"
Hantu
Santet Laknat tertawa. "Waktu aku masuk aku dapatkan kau terbaring
keringatan tapi masih dalam keadaan kaku di atas batang-batang kelapa itu.
Kalau kau tidak percaya coba gerakkan tangan atau kakimu!"
Wiro
melakukan apa yang dikatakan si nenek. Ternyata dia tidak bisa menggerakkan
tangan dan kakinya.
"Kau
masih berada dalam kelumpuhan akibat perbuatan Hantu SejutaTanya Sejuta Jawab.
Sekarang apa kau percaya bahwa kau tadi hanya bermimpi? Kalau kau mimpi berarti
kau sempat tidur. Itu sangat menolong memulihkan kekuatanmu. Tapi kau masih
belum terlepas dari bahaya. Pejamkan matamu. Jangan memikirkan apa-apa. Aku
pernah mendengar dari seseorang bahwa kau mempunyai Tuhan yang disebut Allah.
Aku tidak mengerti, tidak tahu siapa Dia adanya. Tapi kudengar Dia Maha Kuasa
Maha Penolong dan Maha Pengasih. Kalau begitu mengapa kau tidak berdoa padaNya
agar kau mendapat pertolonganNya. Aku akan berdoa untukmu pada para Dewa. Lalu
menyiapkan ramuan obat Tetap berbaring di sini sampai aku kembali!"
Setelah
Hantu Santet Laknat keluar dari gubuk dan Pendekar 212 tinggal sendirian, murid
Sinto Gendeng ini memperhatikan seputar gubuk sambil berpikir-pikir.
"Mungkin
benar aku bermimpi. Atap itu tak ada yang jebol. Di luar ternyata tidak ada
hujan. Nenek bernama Hantu Santet Laknat itu.. .. Aneh, mengapa dia berubah
sebaik itu padaku? Dia hendak meramu obat katanya? Dia memberitahu agar aku
berdoa pada Allah. Astaga …. Aku memang sudah banyak berdosa karena sejak lama
tidak pernah mengingat-ingat Dia …." Wiro usap mukanya yang keringatan berulang-ulang.
"Gusti
Allah, ampuni diriku!" Wiro pejamkan matanya. Dadanya kembali menyentak
sakit.
********************
Di dalam
gubuk itu waktu terasa seperti merayap. Wiro seolah sudah menunggu
berhari-hari. Matanya hampir terpicing ketika akhirnya Hantu Santet Laknat
muncul kembali. Di tangannya dia membawa daun talas yang dibentuk demikian rupa
tempat menam pung remasan tujuh macam daun yang meng hasilkan semacam cairan
kental.
"Aku
datang membawa obatmu! Kau berdoalah pada Tuhanmu. Aku memohon pada para Dewa
untuk kesembuhanmu. Sekarang buka mulutmu lebar-lebar!"
"Hantu
Santet Laknat, apa yanb ada di dalam daun itu?"
"Obatmu!
Jangan banyak bertanya lagi! Jangan membuang waktu. Jangan membuat aku
kesal!" Karena Wiro tidak mau membuka mulutnya, nenek berwajah seperti burung
gagak hitam itu jadi tak sabaran lalu pencet pipi si pemuda. Begitu mulut Wiro
terbuka Hantu Santet Laknat segera tuangkan cairan kental di dalam daun keladi.
Wiro masih berusaha bertahan dengan tidak mau menelan cairan obat itu karena
ada kekhawatiran dalam dirinya si nenek bukan memberinya obat tetapi racun
jahat yang bisa mencelakainya!
Terpaksa
Hantu Santet Laknat memijat pipi Wiro kembali. "gluk … gluk … gluk!"
Ketika cairan ramuan obat lewat di tenggorokannya, Wiro merasa seperti menelan
cairan timah panas. Mulutnya mengepulkan asap. Wiro berteriak setinggi langit.
Matanya mendelik lalu terkatup..Mulut terkancing. Hantu Santet Laknat tertawa
panjang.
********************
PERLAHAN-lahan
Pendekar 212 buka sepasang matanya. Dia memandang berkeliling dan dapatkan. dirinya
ternyata masih berada dalam gubuk. Di sudut gubuk masih menyala api di ujung
tumpukan ranting kayu yang kini hanya tinggal dua jengkal panjangnya.
Wiro coba
memasang telinga. Selain kesunyian sesekali terdengar suara jengkerik di
kejauhan pertanda saat itu malam hari.
"Malam
hari, apakah masih malam yang sama pertama kali aku dibawa ke sini? Aku masih
berada dalam gubuk ini. Mana si nenek dukun itu … ?" Wiro berucap dalam
hati. "Aneh, tubuhku terasa ringan. Dadaku lega, tak ada rasa sakit
…." Tak sadar Wiro gerakkan tangan kanannya. Astaga! Ternyata dia bisa
menggerakkan tangan. Ganti tangan kiri digerakkan. Lalu digeserkan dua kakinya.
"Gusti
Allah! Kau telah menolongku! Aku sembuh! Aku bisa bergerak!" Masih kurang
percaya, murid sinto Gendeng ini bergerak bangkit. Dia keluarkan seruan
tertahan ketika melihat dia benar-benar bisa duduk di atas pembaringan terbuat
dari batang kelapa itu!
Wiro
perhatikan dada kirinya. Sebefumnya disitu ada tanda kebiru-biruan bekas
tendangan kaki beracun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi saat itu tak ada
lagi, lenyap tak berbekas. "Tuhan Maha Besar!" Wiro bersujud di atas
pembaringan. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Gusti Allah. Jika
pertolongan dan kesembuhanku ini Kau berikan melalui kebaikan seseorang maka
berilah orang itu berkah sebesar-besarnya!
Berilah
kepadaku kemampuan untuk membalas budinya!" Setelah bersujud tak bergerak
beberapa lamanya sambil mengucap puji syukur berkepan-jangan Wiro turun dari
pembaringan. "Aku harus mencari nenek itu …."
Hanya
mengenakan celana putih tanpa baju dia melangkah ke pintu. Pintu gubuk
mengeluarkan suara berkereketan ketika dibuka. Di luar kegelapan hitam menyambutnya.
Setelah memperhatikan keadaan sesaat, Wiro kemudian melangkah. Dia memeriksa
sekitar gubuk malah lebih jauh lagi. Tapi dia tidak menemukan Hantu Santet
Laknat
"Jangan-jangan
dia telah pergi entah kemana. Dia masih membawa kapak saktiku. Kemana aku harus
mencarinya?!" Wiro angkat tangan kanannya menggaruk kepala.
"Ah,
sudah lama aku tidak menggaruk. Enak sekali rasanya!" Murid Sinto Gendeng
lalu pergunakan dua tangan untuk menggaruk kepalanya habis-habisan sambil
tersenyum-senyum. Tapi bila dia ingat kembali pada Hantu Santet Laknat dan
kapak saktinya, senyumnya hilang, gerakan menggaruk terhenti.
Kemudian
disadarinya dia tidak mengenakan baju. "Aku harus kembali ke gubuk.
Mengambil baju dan memeriksa. Siapa tahu nenek itu meninggalkan kapak saktiku di
satu tempat di dalam gubuk itu!" Wiro setengah mengharap walau sebenarnya
dia tidak yakin Hantu Santet Laknat akan meninggalkan Kapak Maut Naga Geni 212
begitu saja tanpa memberitahu padanya.
Wiro
cepat-cepat melangkah kembali ke gubuk. Setengah jalan di satu. tempat
langkahnya tertahan. Telinganya tiba-tiba mendengar suara sesuatu.
"Suara
orang terisak-isak.. " kata Wiro dalam hati. "Siapa pula yang
malam-malam begini menangis di tempat ini?" Dia memandang berkeliling.
Matanya melihat sesuatu beberapa belas langkah di depan sana. Di bawah
bayang-bayang gelap sebuah pohon besar, di atas akar pohon yang menyembul
tinggi di permukaan tanah dia melihat seseorang duduk bersandar. Seorang
perempuan berpakaian putih panjang.
********************
TUJUH
PERI
Angsa Putih …. Bagaimana dia bisa berada di sini. Apa yang membuat hatinya
sedih hingga menangis terisak-isak?" Wiro menyelinap ke balik serumpunan
semak belukar hingga berada lebih dekat dengan pohon besar. Dari tempat itu dia
bisa melihat lebih jelas dan jadi terkejut ketika menda patkan perempuan
berpakaian putih panjang itu ternyata bukanlah Peri Angsa Putih. Wiro
menduga-duga siapa adanya perempuan ini.
"Tak
pernah kulihat gadis bertubuh langsing ini sebelumnya. Wajahnya sungguh luar
biasa. Bulat berseri seperti bulan empat belas hari. Paras yang tidak kalah
cantik dengan para gadis yang pernah kulihat di Negeri Latanahsilam ini.
Rambutnya sungguh hitam dan panjang sampai sepinggang. Kulitnya tak kalah putih
dengan Peri Angsa Putih. Mungkinkah dia seorang Peri yang sela ma ini tidak
pernah memunculkan diri? Tapi Kalau Peri biasanya tubuh serta pakaiannya
mengeluarkan bau harum semerbak."
Selagi
Wiro berpikir-pikir apakah dia segera saja keluar dari balik semak belukaratau
menunggu sam-pai gadis itu pergi dan dia lalu mengikutinya, tiba-tiba ada suara
berdesir menembus semak belukar. Dia hampir keluarkan seruan tertahan sewaktu
meiihat seekor ular hitam besar panjang hampir dua tombak melata cepat di
tanah, melesat ke arah si gadis duduk.
Wiro
hampir berteriak hendak memberikan ingat karena menyangka binatang yang
tubuhnya meman carkan cahaya aneh itu hendak menyerang atau mematuk si gadis.
Tapi dia jadi ternganga sewaktu menyaksikan bagaimana ular besar itu meluncur
di akar pohon yang menyembul tinggi lalu naik ke atas tubuh si gadis dan
bergelung di pangkuannya!
"Wahai
sahabatku Laepanjanghitam," Terdengar si gadis berucap. "Tidak sangka
kau datang malam malam begini …." Ular hitam di pangkuan si gadis tegakkan
kepalanya dan julurkan lidahnya yang me-mancarkan sinar terang kebiruan lalu
Keluarkan suara mendesis halus. Si gadis usap-usap kepala ular besar itu dengan
tangan kirinya. Sang ular kedap-kedipkan sepasang matanya yang berwarna hitam
pekat.
"Sahabatku,
saat ini aku tidak memerlukanmu. Mungkin aku tidak akan meminta pertolonganmu
dalam waktu lama. Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi. Walau begitu di alam
seribu gaib kita akan tetap bersahabat Jika kau memerlukan diriku aku bisa
muncul. Jika aku membutuhkanmu aku akan memanggilmu. Langit di sebelah timur
mulai kelihatan terang. Sebentar lagi pagi akan segera datang. Wahai sahabatku,
pergilah …."
Ular di
pangkuan si gadis kembali keluarkan suara mendesis halus lalu gelungkan
tubuhnya di leher dan dada gadis itu. Setelah mengusapkan kepalanya ke pipi si
gadis seolah membelai, binatang ini meluncur turun dari pangkuannya lalu melata
di tanah dan menghilang di arah matahari terbit.
Tak lama
setelah binatang itu lenyap gadis langsing berpakaian putih bangkit berdiri.
Dia merapikan rambutnya yang tergerai sampai di pinggang, termenung sesaat.
Sambil mengusap pipinya gadis ini balikkan diri, melangkah ke balik pohon besar
tempat sebelumnya dia tadi duduk.
Wiro yang
setengah tercekat menyaksikan semua kejadian itu segera keluar dari balik semak
belukar dan mengejar ke balik pohon besar. Tapi gadis cantik berpakaian putih
berambut panjang itu tak kelihatan lagi.
"Lenyap!"
kata Wiro sambil memandang berkeliling dan garuk-garuk kepala. "Mungkin
dia sebangsa – hantu penghuni kawasan ini. Kalau manusia biasa. masakan
bersahabat dengan seekor ular besar begitu rupa?"
Pendekar
212 memandang ke timur. Langit semakin terang. "Aku harus kembali ke
gubuk. Mungkin Hantu Santet Laknat sudah ada di sana. Aku harus mendapatkan
Kapak Naga Geni 212 kembali. Aku harus mencari kawan-kawanku. Aku harus
menolong
Lakasipo
dan Luhsantini. Terakhir sewaktu di lembah mereka masih berada dalam jaring
aneh itu …." Wiro lalu ingat dengan orang-orang yang hendak menurunkan
tangan jahat terhadapnya. Seperti Lawungu, Hantu Tangan Empat dan Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab.
"Persetan
dengan mereka!" Wiro memaki sendiri lalu balikkan badan, kembali menuju ke
gubuk. Hampir sepeminuman teh berlalu, pendekar kita mulai heran dan
garuk-garuk kepala. "Aneh, waktu pergi tadi rasanya aku tidak jauh-jauh.
Mengapa sekarang membutuhkan waktu begini lama mencari gubuk sialan itu?!"
Wiro
memandang berkeliling. Sementara itu langit sudah terang karena malam telah
berganti siang. Ketika dia menoleh ke kiri kagetlah Wiro. Gubuk yang dicarinya
itu ada di sana. Hanya belasan tombak saja dari tempatnya berdiri.
"Sialan.
Mungkin aku masih ingat-ingat gadis cantik tadi. Hingga gubuk di depan mata aku
tidak melihat!"
Wiro
segera melangkah menuju gubuk. Namun kakinya berhenti berjalan ketika tiba-tiba
pintu gubuk dilihatnya terbuka. Seorang berpakaian serba biru keluar dari dalam
gubuk. Dia membawa sehelai pakaian putih yang sengaja ditekapkannya ke dadanya.
"Luhcinta.
.." desis Pendekar 212. Setengah berlari dia segera menuju ke gubuk.
Sementara itu gadis di depan pintu gubuk kelihatan gugup dan berubah wajahnya.
Pakaian putih yang didekapnya ke dada cepat cepat diturunkannya. Pakaian itu
ternyata adalah baju milik Wiro. Begitu berhadap-hadapan kedua orang ini sesaat
hanya saling pandang, tak ada yang keluarkan ucapan.
Luhcinta
lalu ingat pada baju Wiro yang dipegangnya. Diulurkannya tangannya menyerahkan
pakaian itu. Si gadis berusaha tersenyum.
"Bajumu
…. Kutemukan di dalam gubuk. Aku …."
Wiro
melihat bekas robekan hangus pada bahu kanan dan pinggul Luhcinta.
"Ada
robekan di pakaianmu. Apa yang terjadi … ?"
"Hantu
Bara Kaliatus. Dia menyerangku dengan bara-bara apinya. Untung tidak apa-apa.
Hanya pakaianku yang robek …" menerangkan Luhcinta dan merasa senang
karena si pemuda memperhatikan dirinya.
"Syukur
kalau begitu. Aku gembira kita bisa bertemu di sini. Walau sulit menduga
bagaimana kau bisa sampai di tempat ini," kata Wiro. Mendengar ucapan
Wiro, si gadis merasa bahagia. Dia jadi ceria.
"Panjang
ceritanya, mungkin juga hanya satu kebetulan. Aku akan tuturkan padamu secara
singkat. Setelah kau dilarikan Hantu Santet Laknat aku tersesat ke satu tempat
dimana tengah terjadi perkelahian antara Hantu Bara Kaliatus dengan Hantu
Langit Terjungkir Luhsantini juga ada di situ. Seperti Lakasipo dia masih
terbungkus dalam jaring aneh. Hantu Bara Kaliatus dibantu oleh satu makhluk
berjubah hitam bermuka jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Junjungan.
Ternyata makhluk ini memiliki kepandaian tinggi.
Hantu
Bara Kaliatus hampir membunuh Lakasipo kalau tidak ditolong oleh Peri Angsa
Putih. Hantu Langit Terjungkir sendiri hampir tamat riwayatnya kalau tidak
ditolong oleh seorang aneh bermuka tanah liat yang selama ini dikenal dengan
sebutan Si Penolong Budiman …."
"Orang
itu, bukankah yang menurutmu selalu mengikutimu …." Luhcinta mengangguk.
"Sampai saat ini dia masih saja mengikutiku. Aku akan ceritakan mengenai
dirinya nanti. Biar kulanjutkan dulu cerita tadi. Dalam perkelahian hidup mati
itu Hantu Langit Terjungkir sempat mengatakan pada Hantu Bara Kaliatus bahwa
Lakasipo adalah saudara kandungnya. Kemudian tersingkap singkap pula rahasia
bahwa Hantu Langit Terjungkir itu sebenarnya adalah ayah kandung Hantu Bara
Kaliatus.
Tapi
Hantu Bara Kaliatus tidak mempercayai. Malah marah besar. Dia kemudian
meninggalkan tempat itu. Makhluk muka tengkorak menyusul pergi. Kemudian kami
ketahui pula bahwa Peri Angsa Putih
tak ada
lagi di tempat itu. Lakasipo lenyap. Besar dugaan Peri Angsa Putih yang
membawanya. Aku kemudian membawa Luhsantini. Si Penolong Budiman menolong Hantu
Langit Terjungkir yang cidera patah lengan kanannya. Kami kemudian berpisah
…."
"Luhsantini,
apakah dia sudah bisa dikeluarkan dari dalam jala?" tanya Wiro.
Luhcinta
menggeleng. "Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menjebol jaring itu.
Tapi aku akan berusaha terus …."
"Kau
belum menerangkan bagaimana kau tahu-tahu pagi ini bisa tersesat ke sini,"
kata Wiro pula. Dia ingat gada baju yang dipegangnya. Cepat-cepat Wiro
mengenakan pakaian itu.
"Secara
kebetulan saja …" jawab Luhcinta.
"Setelah
kau lenyap dibawa Hantu Santet Laknat dan kami tidak tahu dimana beradanya dua
sahabatmu benama Naga Kuning dan Setan Ngompol itu, timbul perasaan khawatir.
Jangan-jangan kau sudah dicelakai oleh nenek jahat itu …."
"Tidak,
malah sebaliknya …." Wiro memotong.
"Apa
maksudmu tidak dan malah sebaliknya?" tanya Luhcinta.
"Teruskan
ceritamu. Nanti aku jelaskan," jawab Wiro.
Si gadis
tatap wajah Pendekar 212 sejurus baru meneruskan penuturannya. "Beberapa
hari lalu aku menemukan sebuah gua. Luhsantini kubaringkan di dalam gua yang
ternyata cukup bersih dan ada mata air di dalamnya …."
"Bagaimana
dengan Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman?" Wiro memotong
dengan pertanyaan.
"Aku
tak tahu pasti mereka berada di mana. Tapi sebelum berpisah Si Penolong Budiman
mengatakan akan membawa kakek itu ke sebuah telaga tak jauh dari tempat itu.
Ternyata kemudian kuketahui, gua dimana aku dan Luhsantini berada terletak tak
jauh dari telaga, sama-sama tidak jauh pula dari bukit ini. Pagi tadi, begitu
fajar mulai menyingsing aku berjalan-jalan ke puncak bukit ini. Tak sengaja aku
menemukan gubuk ini. Kuperiksa. Kosong. Tapi di dalamnya aku melihat
tanda-tanda sebelumnya ada orang di sini. Lalu aku melihat sehelai baju putih.
Aku yakin sekali pakaian itu adalah milikmu. Berarti sebelumnya kau ada di dalam
gubuk. Aku memutuskan untuk menunggu. Tapi tak ada yang muncul. Aku keluar dari
gubuk. Tepat pada saat kau tengah menuju ke sini …."
"Aku
memang berada di gubuk ini. Aku tak ingat pasti berapa lama atau berapa malam
aku berada di sini. Sebelumnya aku menderita luka dalam yang amat parah.
Tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuat sekujur badanku lumpuh. Hantu
Santet Laknat membawaku ke sini. Dia mengobati diriku hingga sembuh begini rupa
…."
Tentu
saja Luhcinta merasa terkejut mendengar keterangan Wiro. Dia menatap dengan
pandangan tidak percaya. "Kau diculik Hantu Santet Laknat, dia juga yang
mencuri kapak saktimu. Lalu kau katakan dia mengobati menyembuhkan luka dalam
serta kelumpuhan akibat tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
"Benar!"
jawab Wiro.
"Maksudku,
semua ini tentu saja atas kehendak Gusti Allah yang Maha Kuasa. Si nenek
…."
"Sulit
kupercaya Hantu Santet Laknat mau berlaku sebaik itu …" kata Luhcinta
pula. Lalu dalam hati dia berkata.
"Jangan-jangan
dukun jahat itu menyembunyikan sesuatu dibalik semua kebaikan ini …."
"Kau
agaknya tidak percaya kalau Hantu Santet Laknat benar-benar telah berubah dan
menolongku?" tanya Wiro ketika melihat cara memandang si gadis.
"Aku
percaya. Mudah-mudahan kasih yang tulus dan budi pertolongan yang kudus telah
tumbuh di lubuk hati nenek itu. Aku turut bergembira. Walau demikian aku
sarankan agar kau tetap berlaku hati-hati, waspada. Dibalik sesuatu kebaikan
mungkin tersembunyi satu maksud jahat. Di belakang yang putih mungkin mendekam
sesuatu yang hitam. Di balik budi pertolongan bisa saja berlindung satu niat
buruk yang tidak terduga. Tapi Kalau kasih sudah menjadi bagian hati seseorang
rasanya kebaikan akan terpancar dalam segala tindakannya. ltulah yang
kuharapkan terjadi dengan Hantu Santet Laknat …."
"Kau
menduga nenek itu menaruh hati culas terhadapku?" tanya Wiro.
"Aku
tidak mengatakan demikian. Aku minta agar kau tetap berlaku hati-hati. Terhadap
siapapun …."
"Termasuk
terhadapmu?" tanya Wiro sambil tersenyum.
"Bisa
saja!" jawab Luhcinta. Laludia berkata.
"Aku
harus kembali ke gua. Kau mau ikut bersamaku? Mungkin kita berdua bisa
melakukan sesuatu untuk melepaskan Luhsantini dari dalam jala api biru."
"Aku
ingin sekali ikut bersamamu. Menolong Luhsantini juga menjadi keinginanku. Tapi
tidak sekarang. Tunjukkan saja di mana kira-kira letak gua itu." Luhcinta
merasa kecewa mendengar Wiro tak mau ikut saat itu juga bersamanya.
"Kau
turuni kaki bukit ini ke arah matahari tenggelam. Kau pasti akan menemukan gua
itu Tidaksulit mencarinya."
"Aku
akan menyusul …."
"Apa
yang hendak kau lakukan hingga tidak bisa berangkat bersamaku ke gua?"
bertanya Luhcinta.
"Aku,,
aku harus menunggu sampai Hantu Santet Laknat datang. Dia adalah orang yang
telah menolongku. Rasanya tidak baik kalau aku pergi sebelum bertemu dan
mengucapkan terima kasih. Lagi pula aku ingin mendapatkan Kapak Naga Geni 212
kembali …."
"Aku
mengerti. Aku tunggu kau di gua." Kata Luhcinta pula.
Wiro
menggangguk dan memperhatikan kepergian Luhcinta sambil dalam hati berkata.
"Beberapa
orang mengatakan gadis itu mencintai diriku. Mungkin benar. Dibalik
kekhawatirannya terhadap si nenek dukun, tersembunyi rasa cemburu. Aneh, gadis
secantik itu bisa cemburu terhadap seorang nenek buruk bermuka burung gagak
hitam!"
Setelah
Luhcinta lenyap di balik pepohonan Pendekar 212 segera masuk ke dalam gubuk.
Dia memeriksa setiap sudut gubuk itu. Namun tidak menemukan kapak saktinya.
"Nenek
itu pasti membawanya. Di mana dia sekarang? Agaknya aku harus menunggu sampai
dia datang. Tapi untuk berapa lama? Bagaimana kalau dia tidak muncul
lagi?" Wiro garuk-garuk kepala lalu keluar dari gubuk. Langkahnya hampir
tersurut karena kaget. Karena begitu keluar dari dalam gubuk sosok Hantu Santet
Laknat tahu-tahu telah berdiri di depannya. Tangan kanannya berada di belakang
pinggang. Pandangan mata burungnya yang menyembul hitam, tajam tak berkesip.
Membuat Pendekar 212 merasa tidak enak.
********************
DELAPAN
”APA yang
ada dalam pikiran nenek ini. Jangan- jangan hati jahatnya muncul kembali. Dia
berdiri menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya …" membatin murid
Sinto Gendeng.
Dalam
khawatirnya dia segera siapkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia merasa lega
ternyata kesembuhannya memang menyeluruh, termasuk kemampuan mengerahkan hawa
sakti yang dimilikinya.
"Kau
mencari benda ini?" tiba-tiba Hantu Santet Laknat ajukan pertanyaan. Lalu
nenek ini gerakkan tangan kanannya yang sejak tadi dikebelakangkan. Ternyata di
tangan itu dia memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar matahari pagi membuat
senjata sakti itu memancarkan sinar menyilaukan.
"Nek,
berkat pertolonganmu aku sudah sembuh!" Wiro mengalihkan pembicaraan walau
saat itu dia ingin sekali mengambil kapak saktinya dari tangan si nenek.
"Aku
berterima kasih padamu Nek," kata Wiro lagi sambil memegang bahu si nenek
kiri kanan. Hantu Santet Laknat pandangi wajah Wiro lalu memperhatikan dua
tangan yang mendekap bahunya itu. Si nenek kemudian tersenyum. "Tak perlu
kau mengucapkan terima kasih. Kalaupun kau merasa perlu, sampaikan pada
Tuhanmu. Aku sudah memuji syukur semalaman tadi pada para Dewa …." Hantu
Santet Laknat kemudian ulurkan tangannya yang memegang kapak.
"Berat
hatiku mengembalikan senjata ini padamu. Tapi aku tahu itu bukan milikku. Kau
bukan saja sebagaiorang yang mempunyai tapi aku tahu senjata itu banyak
kegunaannya jika berada di tanganmu. Ambillah kembali. Maafkan kalau kau merasa
aku pernah mencurinya darimu …." Hantu Santet Laknat dekatkan mata kapak
ke wajahnya. Untuk beberapa saat lamanya dia tempelkan senjata itu di pipinya
sambil memejamkan mata. Masih dalam keadaan mata terpejam Kapak Maut Naga Geni
212 diserahkannya pada Wiro.
"Nek,
kau orang baik. Waiau dulu kau pernah mengecewakan diriku dengan perbuatanmu
yang aneh-aneh, tapi belakangan ini aku banyak berhutang budi padamu …."
Wiro ambil kapak sakti dari tangan si nenek. Setelah memeriksanya sesaat
senjata itu segera diselipkan di balik pakaiannya. Dia benar-benar merasa lega
kini.
"Terima
kasih Nek," kata Wiro pada Hantu Santet Laknat sambil tersenyum. Hantu
Santet Laknat tertawa panjang. "Kau bicara soal budi! Hik … hik! Urusan
budi baik hanya ada di negeri asal usulmu yang kau sebut sebagai tanah Jawa
itu. Di Latanahsilam, antara budi dengan kejahatan hanya terpisah setipis kabut
pagi. Tapi aku banyak belajar mengenai budi luhur darimu. Aku tak akan
melupakan hal itu !” Habis berkata begitu si nenek
memandang
berkeliling. Lalu dia memperhatikan tanah di bagian depan gubuk, menghirup
udara beberapa kali dan berkata.
"Kalau
tidak salah aku menduga, agaknya belum lama ini tempat ini telah kedatangan
seorang tamu …." Wiro tertawa lebar.
"Kemampuanmu
melacak tanda dan hawa sungguh membuat aku kagum!" Wiro memuji.
"Jika
kau mau, ilmu itu akan kuberikan. Tapi wajahmu harus berubah jadi wajah buruk
gagak hitam sepertiku! Hik … hik … huk!" Hantu Santet Laknat tertawa
cekikikan.
"Kau
mau mengatakan siapa tamumu itu?"
"Aku
rasa dengan ketinggian ilmumu kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi baik aku
katakan. Aku tak mau berdusta pada sahabat sendiri ….’.
"Wahai!
Kau kini menganggap diriku sebagai sahabat? Sungguhan?!" tanya si nenek.
Wiro
mengangguk. Sepasang mata hitam dan menonjol si nenek kelihatan berbinar-binar
lalu kembali dia tertawa panjang.
"Kau
kenal orangnya. Seorang gadis bernama Luhcinta," Wiro menerangkan. Hantu
Santet Laknat tampak agak tercekat sesaat lalu anggukkan kepala.
"Gadis
itu! Yang kecantikannya membuat iri-para Peri di Negeri Atas Angin. Wahai,
gerangan apakah yang membuat dia sampai terpesat ke puncak bukit ini?"
"Dia
muncul secara tidak sengaja. Sejak beberapa hari lalu dia dan Luhsantini berada
di satu gua di kaki bukit. Perempuan malang bekas istri Hantu Bara Kaliatus itu
masih terkurung dalam jaring api biru." Sampai di situ Wiro ingat sesuatu
dan hentikan ucapannya. Dia menatap wajah burung gagak Hantu Santet Laknat.
"Apa
yang ada di benakmu Wiro?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Nek,
maafkan kalau aku harus membicarakan hal ini padamu …."
"Aku
sudah dapat membaca hatimu dan melihat isi benakmu. Katakan saja lewat
ucapanmu!" kata Hantu Santet Laknat pula.
"Luhsantini
dan Lakasipo. Mereka terjebak dalam jala api biru. Kabarnya tak ada yang bisa
menolong mengeluarkan mereka dari jala itu. Hantu Bara Kaliatus yang mencelakai
mereka. Banyak yang mengetahui Latandai alias Hantu Bara Kaliatus adalah
muridmu. Dia mendapatkan ilmu jala api biru itu pasti darimu. Berarti selain
dia, kau salah seorang yang mampu memusnahkan jala itu dan menolong membebaskan
mereka. Nek, apakah kau mau menolong mereka? Luhsantini istri yang malang dan
menderita sengsara selama bertahun-tahun akibat perlakuan jahat Hantu Bara
Kaliatus. Lakasipo adalah saudara angkatku. Dia juga mengalami nasib sama.
Bertahun-tahun dia tersiksa karena dua kakinya tenggelam dalam dua bola batu
walau kemudian kaki-kakinya itu bisa dijadikan senjata sangat ampuh …."
"Apakah
kau mengetahui bahwa Lakasipo menderita seperti itu juga karena perbuatanku …
?" tanya Hantu Santet Laknat. Murid Eyang Sinto Gendeng
setengah
terkesiap, mendengar pertanyaan yang merupakan pengakuan itu.
"Ah,
agaknya nenek satu ini benar-benar telah berubah," kata Wiro dalam hati.
"Lakasipo
pernah menceritakan hal itu padaku. Tapi itu terjadi sebelum aku dan
kawan-kawan berada di negeri ini. Aku tidak akan mengungkit-ungkit hal itu,
Lagi pula Lahopeng, orang yang menjadi biang racun kesengsaraan Lakasipo sudah
menemui ajal di tangan Lakasipo sendiri. Tapi aku akan berterima kasih besar
jika kau mau menolong mereka semua."
Lama
Hantu Santet Laknat terdiam. Setelah menarik nafas panjang nenek ini berkata.
"Aku berjanji akan menolong Luhsantini dan Lakasipo keluar dari jaring api
biru. Tapi untuk melenyapkan dua bola batu di kaki Lakasipo memakan waktu lama.
Bisa sampai tiga atau empat tahun …."
"Kalau
begitu kerjakan apa yang segera bisa kau lakukan." Hantu Santet Laknat
mengangguk "Aku berjanji menolong mereka. Sekarang aku harus pergi.
Sebelum pergi aku ada satu pertanyaan dan satu permintaan. Kuharap kau mau
menjawab satu pertanyaan itu dan memenuhi satu permintaan itu!"
Wiro
garuk kepalanya. "Kalau pertanyaanmu tidak sulit pasti akan kujawab. Kalau
permintaanmu tidak sukar pasti akan kupenuhi."
"Dalam
rimba persilatan Negeri Latanahsilam tersiar kabar buruk mengenai dirimu. Kau
dikatakan telah memperkosa Sepasang Gadis Bahagia cucu Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Sehabis merusak kehormatan mereka kau juga dituduh menganiaya dua
gadis kembar itu. Lalu kau dituduh sebagai pencuri sebuah tongkat sakti terbuat
dari batu biru yang juga milik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kemudian
tersiar pula berita bahwa kau telah berbuat mesum dengan Luhjelita. Terakhir
sekali yang sangat menghebohkan kau dituduh telah menghamili Peri Bunda!
Pertanyaanku, apakah semua itu betul adanya?"
Wiro
tatap wajah burung gagak hitam Hantu Santet – Laknat lalu garuk-garuk kepalanya.
Dalam hati dia berkata. "Untung nenek ini tidak menanyakan siapa gadis
yang aku cintai di Negeri Latanahsilam ini! Atau lebih gila lagi, apakah aku
mencintai dirinya!" Masih sambil menggaruk kepala, Wiro berkata "Nek,
bagaimana aku harus menjawab. Kalau kubilang aku tidak melakukan semua itu
mungkin tidak ada yang percaya. Badai fitnah telah menimpa diriku. Tetapi jika
kau tidak keberatan, aku mau mengingatkanmu pada kejadian sewaktu kau berubah
diri menjadi Luhtinti dan berusaha untuk memikatku melakukan hubungan badan.
Apakah
saat itu aku mau memenuhi permintaanmu? Padahal keadaan serba memungkinkan ….
Tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat" (Baca Episode berjudul Hantu
Santet Laknat)
Kalau
saja wajah si nenek bukan berupa muka burung gagak yang tertutup bulu hitam,
pasti saat itu akan terlihat bagaimana parasnya berubah semerah saga. Tapi
diam-diam otaknya bekerja. Dalam hati dia berkata. "Kalau benar dia
merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, mengapa ketika dua
gadis itu datang ke gubuk mereka tidak menjatuhkan tangan jahat Padahal Wiro
dalam keadaan tidak berdaya! Tidak mungkin dua gadis yang dihantui dendam
kesumat begitu besar tidak melakukan apa-apa. Lagi pula di wajah atau tubuhnya
tidak tampak tanda-tanda bekas penganiayaan. Sulit aku menduga siapa yang
berdusta.
Dua gadis
itu atau pemuda ini. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mustahil mengarang
cerita..,." Sejurus kemudian si nenek berkata.
"Aku
percaya padamu. Kau tidak melakukan semua yang dituduhkan itu," kata Hantu
Santet Laknat. "Tapi perihal tuduhan kau telah menghamili Peri Bunda
jangan kau anggap soal kecil. Jika mereka tidak tidak punya bukti-bukti tidak
mungkin mereka menjatuhkan tuduhan. Para Peri telah mengutus Peri Angsa Putih
untuk mencarimu …."
"Apakah
menurutmu bangsa Peri itu tidak pernak membuat kesalahan dan kekeliruan? Apakah
para Peri itu hatinya tidak pernah tersentuh rasa iri, dengki hasut dan fitnah.
Mereka tidak jauh berbeda dengan kita bangsa manusia. Malah pada saat yang
tidak terduga mereka bisa lebih jahat dari kita!"
Hantu
Santet Laknat terdiam mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Wiro melanjutkan.
"Aku tidak perduli siapa yang mencariku. Peri Angsa Putih atau Merah atau
Hitam! Aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu …."
"Sekarang
mengenai permintaanku," kata Hantu Santet Laknat pula. "lngat,
beberapa waktu iaiu aku pernah mengatakan padamu agar kau menemui aku di Tebing
Batu Terjal di selatan Bukit Batu Kawin …."
"Aku
ingat …" jawab Wiro. "Kau masih menginginkan aku ke sana?"
"Kau
mau memenuhi permintaanku itu?"
"Akan
kupenuhi. Katakan saja kapan aku harus berada di sana …."
"Kau
tidak lebih dulu hendak menanyakan apa keperluanku meminta kau datang ke
sana?" tanya Hantu Santet Laknat. Wiro garuk kepala. Lalu sambil tersenyum
dia menggeleng.
"Aku
percaya kau hanya punya satu niat. Niat baik," kata Wiro kemudian.
"Kalau
begitu datanglah pada dua malam mendatang. Aku akan menungggu di sana …."
"Aku
pasti datang."
"Aku
pergi sekarang!"
"Baik,
tapi tunggu! Ada satu hal yang hendak kusampaikan padamu," kata Wiro.
Si nenek
balikkan tubuhnya yang tadi setengah berputar siap meiangkah pergi. Dia tegak
memandang Wiro, menunggu apa yang hendak disampaikan pemuda itu. Dadanya
mendadak berdebar.
********************
SEMBILAN
MALAM
tadi, menjelang dinihari, aku terbangun dan dapatkan diriku telah sembuh. Kau
takadadalam gubuk. Diliputi perasaan gembira aku keluar. Di bawah satu pohon
besar tak jauh dari sini aku melihat seorang gadis berambut panjang sepinggang,
berpakaian putih tengah duduk menangis.
Kemudian
muncul seekor ular hitam besar. Gadis itu memangku ular tersebut, bicara dengan
binatang itu. Ular kemudian pergi. Tak lama berselang gadis itu pergi pula. Aku
berusaha mengejarnya tapi dia lenyap cepat sekali …."
"Kau
tidak bermimpi seperti malam tempo hari?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Aku
yakin aku tidak bermimpi. Karena tak berhasil menemukan gadis itu aku kembali
ke gubuk ini menjelang pagi. Nek, kau pasti kenal betul kawasan ini. Apakah kau
tahu atau bisa menduga siapa adanya gadis yang kulihat itu? Mungkin dia memang
tinggal di sekitar kawasan ini?"
"Sulit
aku menduga," jawab Hantu Santet Laknat. "Dia muncul malam menjelang
dinihari. Berpakaian putih dan menangis. Bersahabat seekor ular besar. Mungkin
saja yang kau lihat makhluk jejadian …." "Semula aku menduga begitu.
Tapi ketika aku memeriksa sekitar bawah pohon besar,gadis itu bukan makhluk
jejadian. Ada bekas-bekas kakinya di bawah pohon …."
"Kalau
begitu mungkin ada Peri yang turun kesasar ke tempat ini!" kata si nenek
pula,
"Aku
yakin makhluk itu bukan seorang Peri."
"Wahai,
agaknya kau tertarik pada gadis cantik berpakaian putih itu. Kau ingin aku
menyelidik dan mencarinya?" tanya Hantu Santet Laknat lalu tertawa
cekikikan.
Wiro
hanya bisa tersenyum dan garuk-garuk kepala.
"Ada
hal lain yang hendak kau sampaikan padaku?"
"Sekali
lagi aku berterima kasih padamu Nek," kata Wiro pula. Hantu Santet Laknat
tertawa panjang. Dia lambaikan tangan.
"Jangan
lupa, dua malam mendatang. Di Tebing Batu Terjal!"
"Aku
pasti datang Nek," kata Wiro. Setelah si nenek lenyap Wiro berucap seorang
diri.
"Sulit
menduga. Apa benar nenek jahat itu kini telah berubah menjadi makhluk sangat
baik?" Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia
duduk bersila di tanah. Mata kapak ditempelkannya ke dadanya. Lalu setelah
pejamkan mata murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai atur jalan nafas serta aliran
darah. Setelah itu dia mengatur pula gerakan hawa sakti yang berpusat di
pusarnya. . .
Dibalik
serumpunan semak belukar, tanpa setahu Wiro Luhcinta memperhatikan. Si gadis
sudah sejak tadi berada di tempat itu dan sempat mendengar semua pembicaraan si
pemuda dengan dengan Hantu Santet Laknat.
”Tebing
batu terjal di selatan bukit batu kawin ……, mungkin aku perlu hadir secara
diam-diam di tempat itu ” Luhcinta berkata dan mengambil keputusan dalam
hatinya.
"Jangan-jangan
betul kabar yang tersiar di luaran. Dua orang ini sudah menjalin cinta gila.!”
Luhcinta pegang keningnya yang terasa mendadak berat.
********************
MALAM itu
adalah satu hari setelah pertemuan Luhcinta dengan Wiro. Di dalam gua di kaki
bukit Luhcinta dan Luhsantini tertidur pulas. Di langit bulan sabit bersinar
redup dan sesekaii menghilang di balik saputan awan hitam. Ketika awan hitam
menutupi bulan sabit itu untuk kesekian kalinya dan suasana kaki bukit kembali
menjadi gelap gulita serta diselimuti kesunyian dan udara dingin mencekam.
Saat
itulah tiba-tiba dari arah timur kaki bukit. berkelebat satu bayangan hitam.
Gerakannya cepat seperti bayang-bayang. Di satu tempat sosok ini hentikan
gerakannya. Dia berdiri tak bergerak. lalu memandang berkekeliling seperdi
mencari sesuatu. Matanya yang tajam akhirnya menemui apa yang dicarinya yakni
mulut gua di dalam mana Luhsantini dan Luhcinta tengah tertidur nyenyak. Segera
saja orang ini hendak melangkah cepat menuju mulut gua. Tapi mendadak
telinganya mendengar sambaran angin di kejauhan.
"ltu
bukan desir daun pepohonan, bukan suara kepak binatang malam. Ada seseorang
berkepan daian tinggi tengah menuju ke sini!" Cepat-cepat orang itu
menyelinap ke balik sebatang pohon besar.
Tak lama
kemudian satu bayangan lain berkelebat pula dalam kegelapan malam. Laksana
seekor burung besar yang terbang rendah dia melesat ke mulut gua. Sesaat dia
tegak memasang mata mementang telinga. Lalu tubuhnya lenyap masuk ke dalam
gua.Tapi tidak lama. Beberapa saat kemudian dia kelihatan keluar lagi,
melangkah mundur terbungkuk-bungkuk. Ternyata dia tengah menyeret sosok
Luhsantini yang ada di dalam jaring api biru.
"Aneh,
diseret begitu rupa Luhsantini tidak terbangun dari tidurnya. Jangan-jangan
orang itu telah menyirapnya terlebih dulu. Malam gelap sekali. Aku tak bisa
memastikan siapa adanya orang itu. Sulit menduga-duga dari jarak sejauh ini.
Jika dia berniat jahat pasti dia telah melakukannya di dalam gua. Tapi tidak
ada salahnya aku bersiap siaga!" Orang di balik pohon besar berkata dalam
hati lalu salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Di depan
gua, orang yang barusan menyeret sosok Luhsantini tegak tak bergerak. Mulutnya
komat kamit. Mungkin tengah membaca mantera. Lalu dia meniup ke arah kepala
Luhsantini, terus ke kaki. Dari kaki kembali dia meniup naik sampai ke kepala.
Selesai meniup pulang balik begitu rupa, orang ini masukkan ibu jari tangan
kanannya ke mulut. Ketika dikeluarkan, ujung ibu jari yang basah itu kelihatan
memancarkan cahaya biru. Orang ini kemudian membungkuk. Ujung ibu jari tangan
kanannya lalu ditempelkan ke tali jala dekat pinggang Luhsantini.
Satu
kepulan asap menggebubu di udara. Bersa maan dengan itu selarik cahaya biru
memyap ke seluruh permukaan tali jala! Luhsantini yang sejak tadi diam tak
bergerak tiba-tiba tersentak bangun dan berteriak keras. Dia dapatkan jala api
biru yang selama ini melibat dirinya telah lenyap entah kemana.
Pada saat
ada asap menggebubu ke udara, orang di balik pohon merasa yakin bahwa sosok
manusia di depan sana memang hendak mencelakai Luhsantini. Maka tanpa menunggu
lebih lama dia segera hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam berbentuk
kipas yang ditaburi serpihan-serpihan memancarkan cahaya berkilauan seperti
bunga api, menderu ke arah sosok hitam yang jongkok di samping Luhsantini.
"Wusss!"
"Braaak!"
Satu
jeritan kaget dan lebih merupakan makian kemarahan terdengar di udara malam
yang menjadi lebih gelap akibat bertaburnya debu dan kerikil yang berasal dari
hancurnya mulut gua. Sosok hitam yang tadi ada dekat Luhsantini lenyap.
Dari
dalam gua Luhcinta tersentak bangun dan cepat melompat ke luar. Sesaat
pemandangannya tertutup oleh tebaran kerikil dan debu yang masih menggantung di
depan mulut gua. Begitu keadaan agak terang terlihatlah sosok Luhsantini
berdiri dengan wajah pucat, tubuh bergetar dan dua tangan ditekapkan ke mulut.
Tak jauh dari Luhsantini berdiri pula satu sosok hitam yang segera dikenali
Luhcinta bukan lain adalah makhluk muka tanah liat si Penolong Budiman.
Luhcinta
segera dekati Luhsantini dan rangkul tubuh perempuan itu.
"Ada
apa …. Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa lolos? Kemana perginya jaring api
biru yang melibatmu?!"
"Aku
tidak tahu pasti …" jawab Luhsantini dengan wajah masih pucat dan suara
agak bergetar.
"Aku
tersentak bangun ketika ada suara meletup. Kulihat asap aneh mengepul seolah
keluar dari tubuhku. Lalu jaring di sekujur badanku mengeluarkan cahaya biru!
Aku melihat satu sosok hitam di dekatku. Belum sempat aku mengenali siapa dia
adanya tiba-tiba ada cahaya hitam bertabur bunga api menghantam kearah orang di
dekatku. Hantaman sinar aneh lewat di samping orang itu lalu menghantam mulut
gua..,."
Luhcinta
melirik ke arah Si Penolong Budiman yang saat itu mendatangi. "Aku
khawatir, jangan-jangan aku telah kesalahan melepas tangan," kata Si
Penolong Budiman.
"Aku
mengira orang yang ada di dekat Luhsantini hendak berniat jahat. Itu sebabnya
aku cepat melancarkan serangan dari kejauhan. Maksudku untuk menyelamatkan
Luhsantini. Tapi aku salah menduga. Orang itu justru berniat baik. Hendak
menolong membebaskan Luhsantini dari sergapan jaring api biru. Mudah-mudahan
saja dia tidak mengalami cidera …." Si Penolong Budiman merasa sangat
menyesal. Luhcinta memandang pada Luhsantini.
"Orang
yang menolongmu itu aku yakin adalah Hantu Santet Laknat. Dia yang memusnahkan
jala api biru"
"Bagaimana
kau bisa berkata sepasti itu Luhcinta?" tanya Si Penolong Budiman .
"Dia
dikenal sebagai dukun jahat yang menganggap nyawa binatang lebih berharga dari
nyawa manusia! Bagaimana mungkin dia menolong diriku?" ikut bicara
Luhsantini.
"Ada
kalanya hati yang sangat jahat itu bisa berubah setelah tersentuh oleh apa yang
dinamakan kasih …" jawab Luhcinta. Luhsantini tidak mengerti maksud
kata-kata si gadis sedang Si Penolong Budiman kernyitkan wajah tanah liatnya,
menduga-duga apa arti ucapan Luhcinta barusan.
Tentu
saja Luhcinta tidak mau menerangkan bahwa dia telah melihat pertemuan dan
mendengar pembicaraan antara Hantu Santet Laknat dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Gadis ini berpaling pada si muka tanah liat lalu ajukan pertanyaan. "Kau
sendiri, bagaimana bisa berada di tempat ini?"
Si
Penolong Budiman tidak bisa menjawab. Se benarnya malam itu dia memang sengaja
meninggalkan telaga untuk menyelidik dimana beradanya gua tempat Luhcinta
membawa Luhsantini.
"Mana
kakek bernama Hantu Langit Terjungkir itu?" Luhcinta kembali bertanya.
"Ada,di
tepi telaga …" jawabSi Penolong Budiman .
"Kau
seharusnya tidak meninggalkan orang tua itu. Bukankah kau berjanji menolong
merawatnya? Kini dalam keadaan cidera kau tinggalkan dia seorang diri. Wahai,
kasih dan tanggung jawab macam mana yang kau miliki?!"
"Maafkan
aku. Aku akan kembali ke telaga …" kata Si Penolong Budiman. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
"Luhsantini,
lekas kita tinggalkan tempat ini," Luhcinta mengajak.
"Aku
ikut apa yang kau katakan," jawab Luhsantini.
"Tapi
kalau aku boieh bertanya, apa bukan tidak mungkin sebenarnya lelak! bermuka
tanah liat tadi itulah yang telah menolong diriku?"
Luhcinta
menjawab dengan gelengan kepala. "ilmu Api lblis Penjaring Roh setahuku
hanya dimiliki oleh tiga orang. Pertama seorang bermuka tengkorak disebut Sang
Junjungan. Konon dia dianggap sebagai makhluk aneh yang menguasai diri Hantu
Santet Laknat. Orang ke dua adalah Hantu Santet Laknat sendiri dan yang ke tiga
adalah Hantu Bara Kaliatus. Sang Junjungan, apalagi Hantu Bara Kaliatus tidak
mungkin menolongmu. Berarti Hantu Santet Laknatlah yang melakukan …."
"Aneh,
sungguh aneh …." Luhsantini masih tidak percaya dan geleng-gelengkan
kepala. Luhcinta tersenyum dan berkata. "Disitulah letak kebesaran dan
keagungan kasih. Kita tidak pernah bisa menduga apa yang bisa dilakukannya
…."
"Kau
berulang kali menyebut kasih dalam setiap penampilan dirimu. Tapi kuiihat kau
tidak begitu menyukai orang yang mukanya dibungkus tanah liat itu. Bagaimana
ini … ? Lalu kalau benar Hantu Santet Laknat telah berubah karena sentuhan
kasih, siapa yang mengasihinya? Siapa yang dikasihinya?" Luhcinta hanya
bisa tersenyum mendengar ucapan Luhsantini. Tanpa berikan jawaban dia
cepat-cepat menarik tangan perempuan itu. Keduanya serta merta menghilang di
dalam kegelapan malam.
********************
SEPULUH
TEBlNG
Batu Terjal. Tebing ini berada dalam kawasan bebukitan dimana di sebelah utara
terletak bukit yang disebut Bukit Batu Kawin.
Seperti
yang pernah diceritakan di di dalam Eposide pertama berjudul Bola-Bola Iblis,
Bukit Batu Kawin bagi orang-orang di Negeri Latanahsilam merupakan satu bukit
yang sangat sakral. Karena di bukit itulah setiap upacara perkawinan dilakukan.
Dipimpin oleh seorang nenek berambut putih riap-riapan bernama Lamahila yang
dikenal sebagai sang juru nikah.
Malam itu
Tebing Batu Terjal diselimuti kesunyian dan kegelap gulitaan. Sesekali
terdengar suara gelepar kelelawar yang terbang di udara kelam. Kadang-kadang
angin yang bertiup kencang membuat dedaunan saling bergesek mengeluarkan suara
berdesir aneh. Bukit ini disebut Tebing Batu Terjal karena lebih dari
setengahnya merupakan batu datar membentuk dinding curam. Pada dinding curam
ini terdapat tiga susunan batu mendatar lebar seperti susunan sawah bertingkat
atau seperti anak tangga.
Di
susunan batu ke dua saat itu tampak tiga orang duduk bersila. Mereka duduk
membentuk satu barisan lurus, menghadap ke lamping bukit yang terbuka dan
gelap. Tak satupun bersuara. Tak ada yang bergerak. Mereka duduk diam sambil
sesekali saling pandang namun masing-masing memasang telinga. Di langit bulan sabit
muncul begitu awan hitam yang sejak tadi menghalanginya bergerak menjauh.
Keadaan
diTebing Batu Terjal untuk beberapa lamanya menjadi agak terang. Namun begitu
awan muncul kembali menutupi, suasana serta merta menjadi pekat menghitam
kembali. Orang yang duduk di ujung kiri- adalah seorang lelaki berusia agak
lanjut, bernama Laduliu. Di samping kanan Laduliu duduklah nenek berambut putih
riap-riapan yang bukan lain adalah Lamahila, sang juru nikah. Lalu di ujung
kanan, di sebelah Lamahila duduk sosok berjubah hitam yang memiliki wajah
seekor burung gagak dan sudah diterka siapa adanya yaitu Hantu Santet Laknat.
Lamahila
mengerling pada Laduliu lalu menatap Hantu Santet Laknat Si nenek muka burung
gagak yang mengerti arti tatapan itu menjadi gelisah. Dia memandang ke depan,
menyusuri lereng bukit sampai ke bawah sana. Dia hanya melihat kegelapan yang
menambah kecemasan hatinya.
"Wahai,
hampir tengah malam …" kata si nenek bernama Lamahila.
"Yang
kita tunggu orang belum juga muncul …." Lamahila termasuk orang-orang tua
di Negeri Latanahsilam yang kalau bicara susunan kata-katanya suka
terbalik-balik.Lelaki bernama Laduliu ikut bicara.
"Hantu
Santet Laknat, kau yakin orang itu akan datang ke sini?"
"Harap
kalian mau bersabar. Aku yakin dia akan memenuhi janji." Menjawab Hantu
Santet Laknat. Baru saja nenek muka burung gagak ini berkata begitu tiba-tiba
di bawah bukit sana samar-samar kelihatan satu bayangan putih berkelebat.
"Dia
datang!" kata Hantu Santet Laknat. "Laduliu, lekas beri tanda agar
dia tahu kalau kita berada di sini!"
Dari
balik pakaiannya Laduliu keluarkan sebuah batu bulat. Benda ini dilemparkannya
di dinding terjal di atasnya. begitu batu dan dinding beradu maka terdengar
letupan keras disertai memerciknya tebaran bunga api yang membuat tempat itu
sesaat menjadi terang. Bayangan putih di bawah sana berhenti berkelebat.
Dia
memandang ke atas, memperhatikan percikan bunga api. Sebelum suasana menjadi
gelap kembali orang ini telah melesat ke atas bukit.. Gerakannya hebat sekali
hingga sebelum tujuh hitungan dia sudah berada di susunan ke dua Tebing Batu
Terjal.
Orang
yang baru datang ini segera mengenali Hantu Santet Laknat tadinya dia mengira
si nenek hanya sendirian di tempat itu.
"Wiro,
kau tak usah khawatir. Dua orang ini adalah kerabat baikku," kata Hantu
Santet Laknat. " gembira kau datang memenuhi permintaanku."
Murid
Sinto Gendeng dari Gunung Gede garuk kepalanya lalu berkata. "Aku sudah
datang memenuhi janji. Sekarang harap kau mau menerangkan apa maksud pertemuan
ini."
Nenek
Lamahila batuk-batuk beberapa kali. Lalu membuka mulut. "Pemuda asing
bernama Wiro Sambleng …."
"Wiro
Sableng! Bukan Sambleng!" kata pendekar 212 pula dengan mulut
dipencongkan.
"Maafkan
aku. Lidah tua ini sukar menyebut nama anehmu. Kalau aku bilang Sableng padahal
sableng artinya di negeri ini adalah kencing kuda. Hik … hik! Wahai anak muda,
negeri sebelum kami mengungkapkan maksud pertemuan ini, biarlah Nenek Hantu
Santet Laknat menceritakan sesuatu menyangkut dirinya. Ini sangat penting.
Karena tanpa kau mengetahui siapa dia adanya, sukar bagimu untuk menerima
kenyataan …."
"Aku
tidak mengerti …" ujar Wiro sambil garuk kepala.
"Walaupun
tidak lama mengenal tapi rasanya aku sudah tahu siapa adanya nenek ini.
Lahirnya memang jelek, tapi hatinya ternyata baik … ." Hantu Santet Laknat
menyeringai mendengar kata-kata Pendekar 212 itu.
"Terima
kasih, kau mau mengatakan apa adanya. Mukaku memang jelek tapi hatiku sekarang
mungkin tidak seperti yang kau katakan itu. Untuk menyingkat waktu biarlah aku
mulai saja." Hantu Santet Laknat memberi isyarat agar Wiro duduk bersila
di hadapannya. Setelah Wiro duduk di batu maka nenek inipun memulai
penuturannya.
"Aku
dilahirkan tanpa mengenal siapa ayahku siapa ibuku. Juga aku tidak pernah tahu
apakah aku mempunyai kakak atau adik. Aku dipelihara dan dirawat oleh seorang
perempuan tua bernama Lamagundala yang kemudian kuketahui adalah seorang
saudara sepupu dari nenek Lamahila yang duduk di sebelahku ini. Menurut orang
yang mengetahui, ketika aku dilahirkan keadaanku tiada beda seperti bayi-bayi
anak manusia yang dilahirkan ke muka bumi ini …."
.
"Tapi mengapa …." Wiro memotong penuturan si nenek. Hantu Santet
Laknat angkat tangan kanannya.
"Aku
tahu maksud ucapanmu. Biarlah aku menerus kan cerita." Wiro garuk kepala,
si nenek melanjutkan kisahnya. "Aku dilahirkan tiada beda dengan bayi-bayi
lainnya. Tanpa cacat, tanpa kelainan apapun. Namun memasuki hari ke empat puluh
dan seterusnya terjadi perubahan pada wajahku. Sedikit demi sedikit mukaku
mulai ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam. Hidung dan mulutku menyatu,
lalu berubah membentuk paruh burung. Sepasang mataku mengecil dan bola mata
menyembul hitam keluar. Rambut tipis di kepalaku berubah menjadi bulu-bulu
kasar. Ketika aku berusia tiga ratus enam puluh hari, kepala dan keseluruhan
wajahku telah berubah menjadi wajah seekor burung gagak, seperti yang kau lihat
saat ini …."
Pendekar
21 2 sampai ternganga mendengar-cerita si nenek. "Nek, apa kau atau orang
lain, mengetahui mengapa bisa terjadi perubahan aneh atas wajahmu itu?"
"Lamagundala,
orang yang merawatku, yang kini telah tiada memberitahu. Perubahan yang kualami
adalah akibat dosa warisan yang menjadi kutuk turun temurun. Konon jika kelak
aku mempunyai anak maka anak itu akan memiliki wajah seperti wajahku. Aku tidak
tahu dosa apa yang telah diperbuat kedua orang tuaku. Dosa apa yang telah
dilakukan kedua orang tua mereka dan seterusnya. Kini aku anak cucu mereka yang
akan kejatuhan warisan kutuk ini. Selama dunia terkembang, selama roh masih
tergantung antara langit dan bumi maka konon selama itu pula dosa warisan itu
akan menimpa keturunan kami."
Pendekar
212 jadi merinding. Dia garuk-garuk kepala, menatap pada si nenek Ada rasa
kasihan tapi juga ada rasa ngeri dalam hatinya.
"Nek,
apakah tidak ada orang pandai, atau mungkin para Peri dan para Dewa yang dapat
melepaskan dirimu dari dosa warisan atau kutuk yang kau alami?"
Hantu
Santet Laknat mamandang pada sang juru nikah Lamahila. Nenek berambut
riap-riapan ini anggukan kepala. Hantu Santet Laknat lalu bersuara menjawab
pertanyaan Pendekar.212 tadi.
"Kutuk
yang jatuh padadiriku sulit untuk ditelusuri pangkal sebabnya. Selain itu tidak
ada satu makhluk pun baik di bumi maupun di atas langit sana yang mampu
membebaskan diriku dari dosa warisan kutuk celaka ini. Kutuk telah merubah
hatiku, merubah jalan pikiranku. Lebih lanjut merubah diriku menjadi seorang
buruk rupa dan jahat hati. Aku melakukan kekejian apa saja menurut sukaku. Apa
lagi jika ada yang mendorong. Lebih celaka ketika aku jatuh ke tangan Hantu
Muka Dua dan sempat menjadi budak suruhannya …."
"Kalau
begitu, mungkin Hantu Muka Dua yang bisa menolongmu lepas dari kutuk dosa
warisan itu," kata Wiro pula. Hantu Santet Laknat gelengkan kepala.
"Aku pernah mendapat petunjuk yang datangnya dalam mimpi. Konon kutuk
tersebut bisa disingkirkan sementara pada waktu-waktu tertentu. Yakni ketika
otak keji dan hati jahatku berubah bersih, atau aku tenggelam dalam penyesalan
mendalam. Atau ketika kasih suci memasuki diriku …"
"Kalau
begitu bukankah gampang bagimu untuk bisa melepaskan diri dari kutukan itu? Kau
hanya tinggal merubah semua sifatmu, meninggalkan jalan sesat Berbuat baik dan
mengasihi sesama insan …" kata Wiro pula. Wajah burung gagak Hantu Santet
Laknat mendongak ke langit kelam. "Tidaksemudah itu melakukan apa yang kau
katakan. Hati jahatku sudah mengakar sedalam samudra. Otak kejiku sudah
menjulang setinggi langit. Namun sesekali ketika tabir gelap itu tersingkap
secara aneh, aku menyadari bahwa semua yang aku telah perbuat sungguh merupakan
dosa besar, maka ketika penyesalan menyelinap ke dalam hatiku dan ada kehendak
untuk ingin hidup baik, pada saat itulah kutukan tersebut lenyap. Wajah burukku
berubah ke wajah asli. Tapi tidak bertahan lama. Paling lama se jarak jatuh dan
mengeringnya air mata penyesalan ."
"Nek,
dari kebaikan yang telah kau lakukan terhadapku, aku yakin kau memang sudah
sampai pada titik penyesalan itu …."
"Memang
sudah, dan aku berhasil. Tapi seperti kataku tadi hanya selama jatuh sampai
keringnya air mata di pipiku …."
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Memang, kau tentu saja tidak bisa menangis terus
seumur-umur …." "Pemuda asing," tiba-tiba nenek juru nikah
Lamahila membuka mulut.
"Sentuhan
kasih telah merubah hati kerabatku ini. Jika kau mau, aku bisa menolong dirinya
hingga kutuk dosa warisan akan lenyap dari dirinya untuk selama-lamanya. Aku
percaya, aku sudah menyelidik, kau bisa menolohgnya …."
"Menolong
bagaimana?" tanya Wiro
"Kau
mau menolongnya?"
"Tentu
saja," jawab Wiro
"Benarkan?
Kau berdusta tidak?" menegaskan Lamahila.
"Masakan
aku mau berselingkuh janji menolong orang yang telah menyelamatkan
diriku," jawab Wiro pula. Tapi hati kecilnya mulai bertanya-tanya apa
maksud semua kata-kata si nenek juru nikah itu. Tiba-tiba meluncur pertanyaan
berikutnya dari mulut Lamahila.
"Kau
bersedia menikahinya?" Pendekar 212 tersurut dua langkah mendengar
pertanyaan Lamahila itu.
********************
SEBELAS
LAMAHILA
tertawa datar. Wiro pandangi nenek berambut putih itu sesaat lalu menoleh pada
Hantu Santet Laknat Pemuda ini akhirnya geleng-gelengkan kepala.
"Aku
tidak mengira kau akan menanyakan hal itu. Tentu saja aku tidak bisa …. Tidak
mungkin aku kawin dengan Hantu Santet Laknat!" Lamahila melirik pada Hantu
Santet Laknat yang saat itu serta merta tundukkan kepala begitu mendengar
ucapan Pendekar 212. Hatinya terpukul. Matanya yang hitam kecil menonjol tampak
mulai berkaca-kaca.
"Mengapa
tidak bisa. Mengapa tidak mungkin? Bukankah kau sudah berkata akan bersedia
meno longnya?" Lamahila berucap.
"Betul,
tapi mana aku menduga pertolongan yang kau maksudkan itu adalah dengan cara
mengawi ninya. Aku …."
"Aku
tahu, kau tidak mau karena kerabatku ini adalah seorang nenek buruk bermuka
burung gagak hitam. Tapi anak muda sebentar tagi kau akan melihat bentuk tubuh
dan raut wajahnya yang sebenarnya …. Saat ini dia berada dalam kesedihan yang
mendalam mendengar kata-katamu tadi. Dia menyadari dirinya sebenarnya siapa.
Walau penyesalan dan niat untuk kembali ke jalan baik sudah memasuki hati
nuraninya namun dia hanya mampu bertahan sementara. Lihat dirinya wahai pemuda
asing. Pandang baik-baik. Apakah kau nanti masih tega untuk menampik permintaan
kami … ?"
Wiro
memandang ke arah Hantu Santet Laknat. Saat itu si nenek masih tundukkan
kepala. Bahunya bergetar. Air mata mulai meluncur ke pipinya yang tertutup
bulu. Mulutnya ingin mengeluarkan seribu – ucapan tapi dia tidak kuasa
menyampaikan.
Wahai
makhluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau hidup tersiksa dalam kutuk yang jatuh
menimpa dirimu bukan karena mau dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan tahun kau
tenggelam dalam kesesatan. Menyantet dan membunuh orang-orang yang tak berdosa.
Kini ketika sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika kau
mengambil keputusan bahwa kau bisa meninggalkanjalan sesat dan memilih hidup
baik, ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu. Wahai makhluk tua berwajah
buruk. Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara begini rupa
seumur bumi terbentang, seusia langit terkembang …. "
Hantu
Santet Laknat seka deraian air mata yang jatuh ke pipinya. Pada saat itulah
Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Matanya membeliak besar, memandang si
nenek tak berkesip. Kakinya kembali bergerak tersurut.
"Apa
yang terjadi? Mengapa bisa begini? Jangan jangan dia pergunakan ilmu hitam
untuk merubah dirinya. Tapi …. Astaga, bukankah dia …."
Di
hadapan Wiro, Lamahila dan Laduliu, sosok Hantu Santet Laknat perlahan-lahan
mengalami perubahan. Mula-mula pakaiannya. Jubah hitamnya berubah menjadi
sehelai baju panjang berwarna putih. Lalu perubahan terjadi pada rambutnya.
Rambutnya yang pendek acak-acakan dan sebagian telah berwarna kelabu berganti
dengan rambut hitam panjang, berkilat bagus dan tergerai lepas sampai ke
pinggang. Sosoknya yang seperti pohon lapuk penuh keriput kini berganti menjadi
sosok yang bagus mulus, langsing semampai. Dan yang membuat Pendekar 212 jadi
tercekat besar adalah ketika menyaksikan perubahan pada wajah si nenek.
Wajah
yang sebelumnya berupa wajah burung gagak hitam kini berubah menjadi wajah
seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Wiro garuk-garuk kepala. Matanya masih
tak berkedip.
"Kau
…. Kau! Wajahmu sama dengan wajah gadis berpakaian putih yang kulihat beberapa
malam lalu di dekat gubuk di puncak bukit! Apa … apa kau gadis yang sama?"
Hantu
Santet Laknat yang berubah sosok dan bentuk itu tidak menjawab. Dia hanya
menatap dengan pandangan kuyu pada pendekar 212. Lalu terdengar suara Lamahila.
"Pemuda
asing, gadis berpakaian putih yang kau lihat beberapa malam lalu di puncak
bukit itu memang sama dan adalah juga gadis yang kini duduk di hadapanmu.
Namanya sebenarnya adalah Luhrembulan. Perhatikan baik-baik. Karena begitu air
matanya mengering, sosok dan wajahnya akan kembali ke bentuk semula, buruk
menjijikkan. Mudah-mudahan apa yang kau saksikan dapat menyentuh hatimu untuk
menolongnya secara tulus …."
Wiro gigit-gigit
bibirnya sendiri seolah untuk memas tikan dia masih merasa sakit pertanda bahwa
dia tidak bermimpi. Lalu tangannya mulai menggaruk. Dia hendak mengusap matanya
tapi saat itu sosok dan wajah gadis cantik di hadapannya telah berubah kembali
ke sosok dan wajah Hantu Santet Laknat.
"Anak
muda, setelah menyaksikan kenyataan ini, apakah sekarang hatimu bisa berubah?
Apakah kau masih tega untuk tidak mau menolongnya?" Lamahila bertanya.
Masih
menggaruk kepala dan masih menatap kearah Hantu Santet Laknat, Wiro menjawab.
"Aku menyaksikan satu keanehan yang menyentuh hati. Tapi aku juga tahu
kepandaian Hantu Santet Laknat Dia bisa merubah ujudnya menjadi apa saja yang
dikehendakinya …,"
"Memang
dia mempunyai ilmu hitm yang disebut llmu Bersalin Wajah Tapi aku bersumpah
demi segala roh yang tergantung di antara langit dan bumi, demi para Peri dan
para Dewa. Yang kau saksikan tadi adalah satu kenyataan. Hantu Santet Laknat
tidak menipumu dengan ilmu hitamnya. Apakah hatimu masih membeku dan perasaanmu
masih bimbang untuk memenuhi permintaanku demi menolongnya? Kau bisa
membayangkan bagaimana sengsaranya dia. Puluhan tahun hidup tersiksa dalam
kutuk akibat dosa warisan nenek moyangnya yang dia sendiri tidak tahu siapa
mereka adanya atau dosa apa yang telah mereka lakukan!"
"Demi
Tuhan, aku ingin menolong. Tapi tidak dengan cara mengawininya …." Wiro
garuk kepala lalu bangkit berdiri dan melangkah mundar-mandir di hadapan tiga
orang yang masih terus duduk bersila di atas batu.
Si nenek
bernama Lamahila tertawa perlahan tapi panjang. "Pemuda asing, jangan kau
salah mengerti. Aku tidak meminta kau mengawininya, tapi menikahinya!"
Pendekar212
hentikan langkah. Dia menatap pada si nenek juru nikah.
"Aku
tidak mengerti. Memangnya nikah dan kawin ada bedanya?!" tanya Wiro.
"Bagiku
sama saja. Tapi di negeriku di tanah Jawa memang ada mulut-mulut nakal
berolok-olok. Katanya kalau nikah pakai surat. Entah surat apa. Mungkin surat
dari Pamong Desa Lalu kalau kawin pakai urat! Ha. .. ha … ha!" Lamahila
ikut tertawa. "Aku suka mendengar olok-olok lucu itu. Orang memang bisa
kawin-tanpa nikah. Tapi orang juga bisa nikah tanpa kawin. Terserah padamu
nanti. Kami di sini tidak punya surat. Setelah nikah nanti kau mau
memgergunakan urat atau bagaimana terserah dirimu. Hik. .. hik … hik. Yang
jelas dengan pernikahan ini kau bisa menolong nenek kerabatku ini kembali ke
ujud asalnya untuk selamalamanya …."
"Nek,
apapun istilah yang kau katakan, apakah kawin atau nikah, tetap aku tidak
mungkin melakukannya."
"Setahuku
kau masih bujangan. Belum pernah menikah, entah kalau kawin …. Hik … hi … hik!
Orang yang hendak kau nikahi memiliki kecantikan melebihi peri. Apa yang
membuatmu tak mau menolong? Apakah kau telah mempunyai kekasih di Negeri
Latanahsilam ini? Apa kau tak pernah memikirkan bahwa mungkin kau tak pernah
bisa kembali ke negeri asalmu?"
Wiro jadi
terdiam mendengar kata-kata sang juru nikah itu. Tapi hanya sebentar. Sesaat
kemudian dia kembali gelengkan kepala. "Maafkan aku Hantu Santet Laknat .
Aku ingin menolong. Mungkin ada cara lain …."
Wiro
memandang pada Hantu Santet Laknat Si nenek balas menatapnya dengan pandangan
sayu. Ketika matanya berkaca-kaca kembali wajah aslinya membayang. Hampir raut
wajah itu akan sempurna tiba-tiba lenyap kembali. Lamahila melirik pada Laduliu
yang duduk di sebelahnya. Lelaki ini balas melirik lalu anggukan kepalanya.
"Kalau
hatimu begitu teguh dan tak bisa dirubah wahai pemuda asing, aku ataupun Hantu
Santet Laknat tak dapat memaksa. Berarti pertemuan kita berakhir di tempat ini.
Malang nasibmu wahai kerabatku Hantu Santet Laknat Entah sampai kapan kau akan
tetap berada daiam keadaan ujudmu sekarang ini. Sebentar lagi masing-masing
kita akan segera meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Namun sebelum berpisah,
agar hati sama bersih, tiada perasaan yang jadi ganjalan, tak ada rasa sakit
hati apalagi dendam kesumat, ada baiknya kita sama sama meneguk air suci yang
di sebut embun murni”
Kata-kata
Lamahila itu membuat hati dan perasaan Hantu santer laknat jadi terenyuh. Dia
berusaha menabahkan diri agar tidak mengucurkan air mata.
“Kerabatku
Laduliu, harap kau segera mengeluarkan empat piala perak yang kau bawa."
Mendengar ucapan Lamahila, lelaki bernama Laduliu segera keluarkan empat
buah-piala kecil terbuat dari perak dari dalam sebuah kantong jerami yang sejak
tadi terletak di atas pangkuannya.
Empat
piala itu diletakkannya di atas batu. Sementara itu dari balik punggungnya
Lamahila keluarkan sebuah batangan bambu. Ketika penyumpal bambu dibukanya,
serangkum asap tipis keluar dari dalam bambu menyusul menebarnya bau yang harum
segar. Bau ini mengingatkan Wiro pada Tuak Kayangan minuman kakek saki berjuluk
Dewa Tuak yang selalu dibawanya kemana-mana dalam dua buah tabung bambu besar.
Dari
dalam bambu Lamahila tuangkan sejenis cairan yang sangat bening dan
mengeluarkan cahaya berkilauan walau tempat itu diselimuti kegelapan malam.
Empat piala terisi penuh. Lamahila gosok-gosok telapak tangannya satu sama lain
lalu berkata.
"Semua
kerabat yang ada di sini. Sebentar lagi masing-masing kita akan meninggalkan
Tebing Batu Terjal ini. Sebelum pergi mari kita sama meneguk air suci Embun
Murni ini agar hati kita sama-sama bersih …."
Si nenek
yang pertama sekali mengambil piala perak yang terletak di depannya. Diikuti
Hantu Santet Laknat dan Laduliu. Kini tinggal satu piala di atas pedataran
batu.
"Wahai
pemuda asing, kalau kau tak mau menolong sahabat kami, apakah kau begitu tega
dan sampai hati tidak mau sama-sama meneguk air suci Embun Murni?"
Wiro
garuk kepalanya. Saat itu dia masih berdiri dan memandang pada tiga orang yang
duduk di pedataran batu, yang balas memandang padanya
"Mungkin
dia takut kita akan meracuninya!" berkata Laduliu.
"Kalau
begitu sebaiknya kau tak usah menyentuh minuman itu. Jika benar kami bemiat
jahat dan minuman ini mengandung racun, biarlah kami bertiga menemui ajal lebih
dulu!"
Habis
berkata begitu Lamahila diikuti oleh Hantu Santet Laknat dan Laduliu segera
teguk habis isi piala. Wajah si nenek dan Laduliu kelihatan merah segar. sedang
Hantu Santet Laknat tampak bercahaya sepasang mata hitamnya. Melihatan itu Wiro
jadi merasa tidak enak.
"Kalau
cuma minum air dalam piala itu kurasa tak ada salahnya. Bau minuman itu harum
menyegar kan. Jadi pasti bukan air kencing si nenek rambut putih ini,"
kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Dia garuk kepala lalu duduk bersila di
pedataran batu.
Dengan
tangan kanannya diambilnya piala perak lalu air putih bening dan sejuk di dalam
piala ini diteguknya sampai habis. Selesai meneguk air Embun Murni di dalam
piala, wajah Pendekar 212 kelihatan segar kemerah-merahan.
Di dalam
tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala mengalir hawa aneh sejuk yang
menimbulkan gerasaan gembira bahagia. Pedataran batu di samping Tebing Batu
Terjal itu terasa sangat lapang. Hidungnya menghirup hawa harum semerbak seolah
dia berada di dalam taman yang penuh dengan bunga-bunga harum tengah
berkembang. Wiro memandang berkeliling sambil mengulum senyum. Hatinya
membatin.
"Aneh,
segala sesuatunya tampak indah di mataku. Orang-orang yang ada di hadapanku,
mereka semua menunjukkan wajah bahagia dan senang terhadapku. Mereka begitu
baik, mengapa aku tidak membalas kebaikan dengan kebaikan pula? Ah, hatiku
sangat hiba dan kasihan terhadap mereka.
Terutama
terhadap nenek benwajah burung gagak ini. Betapa sengsara dirinya …. Aku harus
berbuat sesuatu untuk menolongnya."
"Terima
kasih, kau telah mau minum bersama kami," kata Hantu Santet Laknat Lalu
nenek ini bangkit berdiri. Pada Lamahila dan Laduliu dia berkata. "Kalian
telah berusaha menolong, tapi nasib diriku yang buruk pinta. Aku tetap
berterima kasih atas jerih payah kalian. Semoga rahmat dari para Dewa akan
menjadi bagian kalian. lzinkan aku meminta diri."
"Tunggu
dulu wahai kerabatku! Sebelum kau pergi, sebelum kita berpisah di malam kelam
gulita ini, ingin aku menanyakan sekali lagi pada pemuda ini. Mungkin hatinya
telah berubah. Mungkin perasa annya telah berbalik. Wahai anak muda, apakah kau
tega membiarkan nenek malang itu pergi tanpa kau mau menolongnya dengan
memenuhi permintaan kami untuk menikahinya? Aku yakin, dalam hatimu pasti ada
rasa hiba betas kasihan …."
Pendekar
212 diam seperti merenung. Akhirnya dia berucap. "Menolong sesama manusia
adalah satu kebaikan. Aku banyak menerima budi besar dari nenek ini. Kurasa
kurang pantas rasanya kalau aku membiarkan dirinya sengsara seumur-umur.
Padahal aku bisa dan mampu menolongnya …."
"Jadi
kau bersedia aku nikahkan dengan Hantu Santet Laknat?"
"Tidak
dengan Hantu Santet Laknat Tapi dengan gadis berpakaian serba putih yang kau
sebut dengan nama Luhrembulan itu …" jawab Wiro.
Hantu
Santet Laknat keluarkan pekik halus. Dua tangannya dinaikkan ke atas dengan
telapak terbuka. Matanya dipejamkan dan mulutnya yang berbentuk paruh burung
gagak bergetar. Makhluk ini kelihatan seperti tengah menghaturkan doa.
Perlahan-lahan air mata mengucur ke pipinya yang tertutup bulu hitam. Lamahila
bangkit berdiri dari duduknya, diikuti Laduliu. Dipegangnya bahu Pendekar 212
seraya berkata "Budimu sungguh luhur! Lihatlah, gadis bernama Luhrembulan
itu telah menunjukkan ujudnya di hadapanmu. Pertanda sentuhan kasih sayang
darimu telah mampu mengembalikan diriqya ke bentuk sebenamya …."
Wiro
berpaling. Apa yang dikatakan Lamahila memang betul. Saat itu sosok Hantu
Santet Laknat telah berubah kembali menjadi sosok Luhrembulan yang berwajah
cantik jelita. Mau tak mau hati Pendekar 212 jadi tergerak.
"Berdirilah
anak muda. Kita berangkat sekarang juga menuju Bukit Batu Kawin." Lamahila
berkata. Dipegangnya lengan Wiro. Wiro bangkit berdiri. Lalu melangkah
mengikuti si nenek juru nikah. Di belakangnya menyusul Luhrenibulan dan
Laduliu.
********************
DUA BELAS
BUKIT Batu
Kawin. Sunyi senyap diselimuti kegelapan. Hawa dingin mencucuk sampai ke tulang
sungsum. Empat sosok duduk di hadapan sebuah batu besar setinggi lutut,
menyerupai ranjang ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah gundukan batu
rata-rata seperti dua buah bantal. Di ujung ranjang batu ada perapian kecil.
Nenek
rambut putih Lamahila masukkan sebongkah benda putih ke dalam perapian. Saat
itu juga udara di tempat itu dipenuhi bau sangat harum. Hantu Santet Laknat
yang saat itu berada dalam ujud wajah burung gagaknya, duduk tundukkan kepala.
Laduliu memandang ke langit dengan mata terpejam. Pendekar 212 Wiro Sableng
perhatikan ke tigaorang itu satu persatu.
Sesekali
dia menggaruk kepala. Perasaannya kosong. Dia diam tak bergerak menyaksikan
semua apa yang terjadi di hadapannya. talu dari mulut Lamahila keluar suara
panjang meracau tak berkeputusan. Si nenek agaknya tengah merapal semacam
mantera. Perapian keluarkan letupan-letupan kecil dan bau harum semakin santar
memenuhi bukit itu.
"Kalian
semua harap bersabar. Begitu langit di sebelah timur mulai terang tanda
menyingsing sang fajar, upacara pernikahan ini akan segera kita laksanakan. Tak
pernah hatiku sebahagia ini. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang
sudah aku. nikahkan di bukit sakral ini. Tapi rasanya tidak ada yang seindah
upacara kali ini …." Lalu si nenek kembali meracau mantera.
Ketika
seberkas sinar terang memancar di langit sebelah timur, Lamahila hentikan
rapalannya. Laduliu turunkan kepalanya yang sejaktadi mendongak. Hantu Santet
Laknat menatap berdebar pada Wiro lalu memandang pada sang juru nikah. Pendekar
212 sendiri masih tetap tak bergerak dan perhatikan orang-orang itu dengan pandangan
tetap kosong.
"Fajar
telah menyingsing. Upacara akan segera kita mulai. Semoga para Dewa memberkahi
acara pernikahan ini!"
********************
TAK LAMA
setelah Lamahila, Wiro, Laduliu dan Hantu Santet Laknat meninggalkan Tebing
Batu Terjal, di udara malam yang gelap dan bertambah dingin itu kelihatan
berkelebat dua bayangan. Setelah bergerak ke berbagai jurusan beberapa lamanya,
di satu tempat dua bayangan itu berhenti. Mereka ternyata adalah dua perempuan
cantik. Satu mengenakan pakaian serba merah, satu lagi berpakaian biru gelap.
Yang berpakaian biru gelap berkata.
"Luhsantini,kau
yakin tempat di mana kita berada ini adalah-yang disebut Tebing Batu
Terjal?"
"Aku
yakin sekali, Luhcinta. Aku telah sering ke tempat ini sebelumnya. Banyak orang
di Latanahsilam datang kemari."
"Tempat
apa bukit batu ini sebenarnya? Mengapa banyak didatangi orang?" tanya
Luhcinta.
"lni
bukit doa. Di sini orang-orang berdoa meminta sesuatu, memohon agar
keinginannya dikabulkan oleh para Dewa," menerangkan Luhsantini.
Luhcinta
memandang berkeliling. "Kita telah menyelidik hampir seluruh tebing batu
ini. Orang yang kita cari tidak ada. Mungkin ada gua tersembunyi di sekitar
sini?"
"Tidak
ada gua di sini. Jangan-jangan ke dua orang itu membatalkan pertemuan di tempat
ini …."
"Mungkin
saja," kata Luhcinta.
"Tapi
aku kurang yakin. Coba kita menyelidik sekali lagi."
"Tunggu
dulu!" kata Luhsantini seraya memegang tangan Luhcinta.
"Tidakkah
hidungmu membaui sesuatu?" Luhcinta menghirup udara di tempat itu
dalam-dalam.
"Aku
mencium bau harum aneh …" kata gadis cantik yang keningnya ditempeli
sekuntum bunga tanjung kuning ini.
"lkuti
aku," kata Luhsantini. Dia bergerak ke kanan. Tiba-tiba tak sengaja
kakinya menyentuh sesuatu. Terdengar suara berkerontangan di pedataran batu
itu.
"Aku
menendang sesuatu…" kata Luhsantini sambil memandang ke bawah. Luhcinta
lebih cepat Saat itu dia telah mengambil benda.yang tersentuh kaki Luhsantini
tadi lalu memperlihatkannya pada Luhsantini.
"Piala
perak.." desis Luhsantini. "Aku rasa-rasa pernah melihat piala seperti
ini sebelumnya. Dimana… kapan … ?" Luhsantini dekatkan piala perak itu ke
hidungnya. Dia menghirup bau minuman aneh. Mungkinkah minuman suci bernama
Embun Murni?" Lalu berulang-ulang perempuan ini menyebut "Tebing Batu
Terjal …. Piala perak. Wiro …. Hantu Santet Laknat …. Agaknya telah terjadi
satu upacara pemanjatan doa di tempat ini. Doa khusus karena jarang yang
mempergunakan piala dari perak. Biasanya cukup piala dari tanah …."
"Luhsantini,
lihat! Ada tiga piala lagi bertebaran di tempat ini!" berseru Luhcinta
lalu menunjuk pada tiga buah piala yang bertebaran di pedataran batu yang gelap
itu.
"Tiga
piala perak. Empat dengan yang kupegang. Berarti ada empat orang melakukan satu
upacara di tempat ini. Wiro, Hantu Santet Laknat Lalu siapa dua orang lagi?"
Luhsantini coba berpikir menduga-duga. Dalam hati dia membatin. "Hanya ada
satu kemungkinan. Dua orang itu mungkin Lamahila dan pembantunya si Laduliu
…." Paras Luhsantini mendadak berubah.
"Aku
khawatir terjadi sesuatu dengan pemuda itu," kata Luhcinta.
"Sebelumnya
.dia berjanji akan datang ke gua dimana kita berada. Tapi dia tak pernah
muncul. Hai, aku ingat sesuatu. Ketika aku mencuri dengar pembicaraan Wiro
dengan Hantu Santet Laknat tentang rencana pertemuan mereka, nenek itu selain
menyebut Tebing Batu Terjal dia juga menyebut nama satu bukit. Kalau aku tidak
salah ingat bukit bernama Bukit Batu Kawin. Menurut si nenek Tebing Batu Terjal
ini terletak di selatan Bukit Batu Kawin. Aku kira …."
"Cukup!"
kata Luhsantini tiba-tiba seraya menarik tangan Luhcinta.
"Untung
kau ingat dan menyebut nama bukit itu! Letaknya tak jauh dari sini. Kita menuju
ke sana sekarang juga!"
"Wahai,
menurutmu apakah Wiro dan Hantu Santet Laknat pergi ke bukit itu!"
"Aku
khawatir, mereka bukan cuma pergi ke sana! Tapi jangan-jangan telah melakukan
satu upacara!" Paras Luhcinta dalam gelap mendadak berubah. "Upacara
apa?" tanya si Luhcinta pula. Lalu dia menjawab sendiri dengan berkata.
"Kalau memang mereka melakukan upacara,setahuku Bukit Batu Kawin adalah
satu-satunya tempat mengadakan upacara perkawinan! Tapi siapa yang
kawin?!" Mendadak gadis itu merasa tidak enak. Mukanya berubah lagi
menjadi pucat . "Sudah! Jangan membuang waktu! Lekas kita ke sana sekarang
juga!" kata Luhsantini lalu cepat-cepat menarik tangan gadis itu.
DI BAWAH
cahaya fajar menyingsing Bukit Batu Kawin tampak indah sekali dari kejauhan.
Dua perempuan berpakaian merah dan biru yang bukan lain adalah Luhsantini dan
Luhcinta datang berlari dari arah tenggara, naik ke puncak bukit secepat yang
bisa mereka lakukan. Ketika mereka sampai di puncak Bukit Batu Kawin hari telah
terang. Dalam kesunyian yang hanya disaput oleh sapuan suara angin di kejauhan
– terdengar suara orang berucap lantang,
"Disaksikan
oleh matahari penerang jagat, disirami oleh cahaya yang hangat bersih pertanda
membawa keberuntungan bagi setiap insan. Aku Lamahila, juru nikah di
Negeri-Latanahsilam ingin menanyakan pada kalian.Tapi sebelum pertanyaan
diajukan terlebih dahulu harap kalian menerangkan nama katian satu
persatu!"
"Aku
Wiro Sableng!"
"Aku
Luhrembulan!" kata Hantu Santet Laknat yang saat itu masih berujud burung
gagak hitam.
"Celaka!"
kata Luhsantini setengah berseru. "Jangan-jangan kita datang terlambat!
Percepat larimu Luhcinta!"
Luhcinta
yang sejak dari Tebing Batu terjal sudah merasa khawatir, mendengar ucapan
Luhsantini segera kerahkan seluruh kemampuannya. Dia.melesat sebat dan
tinggalkan Luhsantini beberapa tombak di belakangnya. .
"Pengantin
lelaki bemama Wiro Sableng. Pengantin perempuan bemama Luhrembulan. Berdirilah
kalian. Mendekatlah satu sama lain. Letakkan dua tangan Kalian diata satu
dengan yang lainnya. Lalu genggam erat-erat”.
Lamahila
menatap tajam pada dua orang di hadapannya itu. Sementara matahari mulai naik
dan keadaan di puncak bukit Batu Kawin bertambah terang. Wiro bangkit berdiri .
Begitu juga Hant Santet Laknat. Keduanya lalu bergerak saling mendekat. Dalam
jarak hanya terpisah setengah langkah di nenek ulurkan dua tangannya. wiro
menyambuti. Empat tangan saling bertindih lalu menggenggam satu sama lain.Kalau
wiro memandang kosong ke wajah burung gagak dihadapannya. Maka Hantu santet
laknat menatap dengan mata berkaca-kaca.
”Wahai
wiro sableng, apakah kau bersedia aku nikahkan dengan gadis yang terlahir
dengan nama Luhrembulan yang kini dua tangannya berada dalam genggaman dua
tanganmu?"
Sebelum
menjawab Wiro hendak tarik tangan kirinya untuk menggaruk kepala.
"Anak
manusia bernama Wiro Sableng! Jawab saja pertanyaanku! Jangan pakai menggaruk
kepala segala! Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Luhrembulan?"
"aku
bersedia” jawab Wiro, keras tapi agak tercekik.
.Air mata
mengucur deras dari dua mata burung Gagak Hantu Santet Laknat Tubuhnya
bergetar. "Wahai mahluk malang terlahir dengan nama Luhrembulan, apakah
kau bersedia aku nikahkan dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng yang
jarijarinya kau genggam dengan penuh khidmat?"
"Aku
bersedia, karena aku mengasihinya dengan sepenuh hati!" Jawab Hantu Santet
Laknat. Saat itu juga satu cahaya biru memancar di tubuh Hantu Santet Laknat.
Sosoknya mulai dari kepala sampai ke kaki mendadak sontak berubah. Jubah hitam
kumalnya kini menjadi sehelai pakaian putih panjang. Muka burung gagaknya
berganti dengan wajah seorang gadis cantik jelita. Air mata mengucur dari dua
matanya yang bagus. Rambut hitam panjangnya bergoyang indah dihembus angin
pagi.
Luhcinta
dan Luhsantini sampai di puncak Bukit Batu Kawin. Luhcinta serta merta hendak
menghambur ke hadapan orang-orang yang ada di dekat ranjang batu. Tapi
Luhsantini cepat memegang erat tangannya dan menarik gadis ini ke balik sebuah
batu besar yang tertutup semak belukar lebat.
"Kita
memang terlambat Luhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan …. Mereka
telah berpegangan tangan …."
"Mereka
siapa?" tanya Luhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak
belukar lalu memandang ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru
nikah Lamahila.
"Wiro
Sableng dan Luhrembulan! Kalian berdua -telah aku nikahkan disaksikan langit
dan bumi. Apa yang kalian ucapkan di dengar oleh para Dewa dan semua roh yang
tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat mi
kalian telah resmi menjadi suami istri!"
"Menjadisuami
istri?" Wiro kerenyitkan kening lalu garuk-garuk kepala. Di batik batu
besar dan semak belukar, Luhcinta merasa lututnya goyah. Tanah yang dipijaknya
seolah runtuh. Sosoknya niscaya jatuh terduduk kalau tidak lekas dipegang oleh
huhsanthi.
"Siapa
gadis berpakaian putih itu …. Siapa dia?" Ucapan itu taerulang kali kesuar
dari mufut Luhcinta.
"Luhcinta,
ada apa dengan kau? Astaga … kau menangis! Tubuhmu berguncang! Kau sakit atau
bagaimana?" Luhsantini bicara seperlahan mungkin agar tidak terdengar
orang-orang di sebelah sana.
"Luhsantini,
tolong aku. Bawa aku meninggaikan bukit ini. cepat! Seolah ada sejuta jarum
menusuk jantung dan hatiku … Aku … aku tidak Mau menyaksikan semua ini. Aku
tidak sanggup mende ngar ucapan nenek berambut putih itu! Aku inging pergi dari
sini. Bawa aku pergi Luhsantini. Aku ingin mati saja! Aku ingin mati
saja!"
Luhsantini
menjadi bingung.Dia hendak bertanya, dia hendak mengguncang tubuh gadis ltu.
Tapi saat itu mendadak sosok Luhcinta berubah lunglai. Sebelum gadis ini jatuh
terjerembab di tanah Luhsantini cepat rangkul pinggangnya. Dia berusaha
menyadarkan gadis itu dengan menepuk-nepuk pipinya.
"Astaga!
Dia pingsan!" Luhsantini memandang ke tempat Wiro dan yang lain-lainnya
berada. Sulit kuduga, sulit kuduga. Ada apa sebenarnya di antara mereka!"
Luhsantini cepat mendukung sosok Luhcinta lalu tinggalkan puncak Bukit Batu
Kawin.
"Wahai
Wiro dan Luhrembulan, sekarang kalian berdua telah menjadi sepasang suami istri
yang saling mencinta. Aku dan Laduliu tidak ingin berlama-lama di tempat ini.
Ranjang perkawinan telah tersedia. Selagi matahari belum panas menyengat,
selagi hawa pagi begini segar dan keharuman masih menebar tempat ini, mengapa
kalian berdua tidak segera bersenang-senang, melaksanakan hajat sebagai suami
istri? Selamat tinggal wahai sepasang pengantin!" Lamahila memberi isyarat
pada Laduliu. Lalu kedua orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Kini
tinggal Wiro dan Luhrembulan berdua. Angin sejuk di puncak Bukit Batu Kawin
bertiup lembut. Luhrembulan menatap tersenyum pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Aku sangat berterima kasih. Aku benar-benar merasa bahagia. Budimu tak
akan kulupakan sepanjang masa. Berkat pertolonganmu aku telah kembali ke ujud
asliku seperti yang kau lihat …."
"Kau
cantik sekali. Belum pernah aku melihat gadis secantikmu di negeri ini …"
memuji Wiro sambil tersenyum.
"Kecantikanku,
apapun yang ada di diriku, bukankah semua kini menjadi milikmu?" ujar
Luhrembulan, gadis yang berubah ujud itu. Lalu dia menyambung ucapannya.
"Aku
akan abdikan diriku menjadi seorang istri yang baik dan setia…."
"Seorang
istri memang seharusnya begitu. Tapi kalau aku boleh bertanya kau akan
mengabdikan diri pada siapa?"
Pertanyaan
Wiro terasa aneh di telinga Luhrembulan.
Karena
menganggap Wiro bergurau dia pun menjawab. "Kepada siapa lagi, kalau bukan
kepadamu, suamiku."
"Aku
suamimu?!" Wiro tertawa lebar.
"Kau
bergurau, Luhrembulan. Eh, betul namamu Luhrembulan?"
"Kau
yang bergurau wahai suamiku. Bukankah barusan saja kita melangsungkan upacara
pernikahan di Bukit Batu Kawin ini …."
"Upacara
pernikahan? Siapa yang nikah? Kita?!"
Luhrembulan
semakin merasa aneh melihat sikap ,dan mendengar ucapan-ucapan Wiro. Dalam hati
dia membatin.
"Dia
tidak seperti bergurau. Apa yang terjadi dengan dirinya? Tidak mungkin!
Bagaimana dia bisa berucap aneh seperti itu!"
‘”Wiro!
Nenek Lamahila disaksikan oleh pembantu nya Laduliu telah menikahkan kita di
tempat ini! Kau dan aku resmi menjadi suami istri. Kau mau menikahiku karena
hatimu tulus bersih untuk menolongku kembali ke ujud asliku! Kini kau lihat
sendiri keadaanku! Aku bukan lagi nenek buruk benwajah burung gagak hitam
bernama Hantu Santet Laknat itu! Aku kini adatah Luhrembulan. Istrimu!"
Wiro
garuk kepala. "Lamahila menikahan kita!
Dan kau
kini adalah istriku! Gusti Allah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?!"
Pada saat
Wiro menyebut nama Tuhan, tiba-tiba menggelegar suara guntur. Puncak Bukit Batu
Kawin
bergeletar
seperti digoncang gempa. Di langit menyambar halilintar dua kali beihrut-turut.
Langit pagi yang tadinya cerah mendadak berubah gelap. Hujan deras disertai
gemuruh angin dahsyat menyapu puncak bukit
"Wiro!"
Luhrembulan berteriak memanggil. Udara tambah gelap. Gadis itu tak dapat
melihat lebih jauh dari tiga langkah.
"Wiro!"
teriak Luhrembulan lebih keras. Tapi suaranya lenyap tenggelam ditelan gemuruh
deru angin. Lalu satu gelombang angin yang sangat kencang datang menerpa. Gadis
ini terpelanting
sampai
beberapa tombak. Untung dia masih sempat menyambar dan mendekap sebatang pohon
besar. Kalau tidak niscaya dirinya terlempar masuk ke dalam jurang batu sedalam
seratus tombak. Di jurang inilah dulu Luhrinjani, istri Lakasipo menemui ajal
bunuh diri. (Baca Episode pertama berjudul Bola bola lblis)
Angin
laksana badai masih terus melanda puncak Bukit Batu Kawin. Pohon besar tempat
Luhrembulan berlindung berderak-derak. "Kalau pohon ini tumbang celaka
diriku!" Luhrembulan berpaling di belakang dimana membentang jurang dalam
dan gehp menggidikkan.
"Wiro
suamiku … ! Dimana kau! Wahai para Dewa, tolong dia. Selamatkan dirinya!"
Tak
selang berapa lama angin deras mulai reda. Udara yang tadinya gelap
perlahan-lahan kembali terang. Luhrembulan keluar dari balik batang pohon besar
tempat dia berlindung. Dia memandang ke seantero puncak Bukit Batu Kawin. Tapi
Wiro tak ada lagi di situ. Takseorangpun kelihatan di tempat itu.
********************
TIGA BELAS
KITA
tinggalkan Luhrembulan yang kehilangan Pendekar 212 Wiro Sableng di puncak
Bukit Batu Kawin. Kita kembali kepada Lakasipo yang nyawanya telah diselamatkan
oleh Peri Angsa Putih dari tangan maut Latandai alias Hantu Bara Kaliatus yang
adalah saudara kandungnya sendiri. Sang Peri yang menunggangi angsa putih
raksasa ternyata membawa Lakasipo ke satu tempat tak jauh dari telaga dimana Si
Penolong Budiman dan Hantu Langit Terjungkir berada.
"Peri
Angsa Putih, aku berterima kasih kau lagi lagi telah menyelamatkan diriku dari
bahaya maut!" berkata Lakasipo begitu dirinya yang masih terbungkus jala
api biru diturunkan ke tanah.
"Tak
perlu berterima kasih padaku..Karena nasib baik sebenarnya yang telah menolong
dirimu!" jawab Peri Angsa Putih sambil tegak membelakangi Lakasipo.
"Aneh
sekali sikapnya ‘kali ini," kata Lakasipo dalam hati. "Suaranya ketus
dan dia bicara tidak mau melihat padaku …."
"Kau
tahu!" Peri Angsa Putih kembali membuka mulut sambil tetap berdiri
membelakangi Lakasipo.
"Aku
menolongmu karena aku butuh satu keterangan penting!"
"Kita
bersahabat. Jangankan satu, seribu keterangan pun kalau kau tanya dan aku bisa
menjawab pasti akan kujawab!" Peri Angsa Putih keluarkan suara mendengus.
"Kau
bisa bicara begitu tapi pertanyaan yang satu inipun aku sangsikan apa kau mau
menjawab!"
"Katakan
saja! Aku pasti menjawab!"
"Dimana
pemuda bernama Wiro Sableng sahabatmu itu berada?" Lakasipo tatap punggung
sang Peri. Ketika dia tidak segera menjawab tiba-tiba Peri Angsa Putih membalik
dan membentak. "Terbukti kau tidak mau menjawab! Kau tidak memberitahu!
Kau sama saja busuk menjijikkan seperti dua sahabat Wiro bernama Setan Ngompol
dan Naga Kuning!"
"Peri
Angsa Putih, kita bersahabat. Aku banyak menerima budi pedolongan darimu.
Sungguh aku tidak menyangka kau akan bicara seperti itu padaku!"
"Saat
ini memang baru mulutku bicara! Jangan sampai dua tanganku ikut bicara!"
"Peri
Angsa Putih …."
"Jawab
saja pertanyaanku! Dimana Pendekar 212 Wiro Sableng berada?!"
"Aku
tidak tahu! Dia dibawa kabur oleh nenek bemama Hantu Santet Laknat," jawab
Lakasipo. "Aku tidak percaya!" Lakasipo habis kesabarannya. "Kau
bertanya. Aku menjawab memberitahu! Jika kau tidak percaya itu adalah
urusanmu!"
Peri
Angsa Putih kembali keluarkan suara men dengus. Sambil memutar tubuh dengan air
muka mengejek dia berkata. "Jangan harapkan aku akan menolong dirimu
keluar dari dalam jala itu, Lakasipo!
Aku
datang bukan untuk menolongmu! Aku datang mencari saudaramu bemama Wiro Sableng
itu! Dia telah menghamili Peri Bunda!"
Lakasipo
sesaat jadi terkesiap mendengar kata-kata sang Peri. Rasa jengkel membuat
hilang sikap hormatnya pada Peri Angsa Putih. Maka diapun membuka mulut dengan
suara lantang.
"Aku
tidak akan mengemis meminta tolong padamu!
Aku tidak
akan menjatuhkan diri di bawah lututmu agar kau melepaskan diriku dari dalam
jaring ini! Dan aku tidak perduli dengan ucapanmu tentang saudara angkatku!
Karena aku berani bersumpah kaki ke atas kepala ke bawah, biar kau mati dengan
roh tersiksa seumur dunia, saudaraku Wiro Sableng tidak akan pemah melakukan
perbuatan mesum itu! Siapapun yang menghamili Peri Bunda, perbuatan itu pasti
tidak dilakukan secara paksa. Pasti terjadi atas dasar suka sama suka!"
"Lakasipo!
Jaga mulutmu! Jangan memandang rendah kami bangsa Peri!" bentak Peri Angsa
Putih. "Aku tidak pernah memandang rendah siapapun!
Tapi
bukan rahasia lagi kalian bangsa Peri sejak bertahun-tahun belakangan ini telah
terpengaruh akan kehidupan wajar sebagaimana kami bangsa manusia! Kalian
mendambakan cinta kasih. lngin dikasihi dan ingin mengasihi! Jika salah seorang
dari kalian melakukan kesalahan karena tak dapat menahan diri, masuk ke dalam
kehidupan berkasih sayang, kalian lantas mengutuk dan mengucil kannya! Bukankah
itu yang telah kalian lakukan terhadap Hantu Jatilandak?
Bayi yang
terlahir dari perkawinan seorang Peri dengan Lahambalang! Padahal bayi itu
tidak menanggung dosa tidak menanggung kesalahan! Kehidupan hebat seperti
itukah yang kau banggakan wahai Peri Angsa Putih?!
Sekarang
menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihat dirimu! Aku tidak ingin
bicara lagi denganmu! Kalian bangsa Peri hidup dengan lain kata lain perbuatan!
Sungguh
memalukan!
Kalian
hidup bersembunyi dibalik topeng kesucian! Padahal apa yang kami lakukan bangsa
manusia juga ingin kalian lakukan! Bercinta berkasih sayang! Kawin!"
(Mengenai
Hantu Jatitandak dan Lahambalang baca Episode berjudul Hantu Jatilandak)
Wajah
Peri Angsa Putih menjadi marah seperti saga mendengar kata-kata Lakasipo itu.
Didorong oleh hawa amarah yang menggelegak, tanpa disadarinya Peri Angsa Putih
tendangkan kaki kanannya. Lakasipo dan jala api biru yang membungkusnya
terpental sampai dua Iombak. Walau tadi sang Peri menendang tidak sepenuh hati
hingga dia tidak sampai semburkan darah, tapi tetap saja Lakasipo merasa
dadanya seperti hancur. Sakitnya bukan main. Namun sakit badan tidak seberapa
jika dibandingkan dengan rasa sakit hati. Dia berusaha bangkit dan duduk di
tanah. Matanya memandang tak berkesip pada Peri Angsa Putih yang tegak
terkesima seolah menyesal telah menendang lelaki itu.
"Peri
Angsa Putih, aku tidak akan melupakan apa yang hari ini kau lakukan
terhadapku!" kata Lakasipo dengan suara bergetar menahan amarah dan sakit.
"Apa
yang terjadi dengan Negeri Atas Langit. Apakah sudah terjungkir balik hingga
kau menjatuhkan tangan sejahat ini kepadaku?!"
Tiga
bayangan tiba-tiba berkelebat. Menyusul suara berucap. "Lakasipo, kami
saudara-saudara angkatmu juga tidak melupakan apa yang kami lihat hari
ini!" Lakasipo berpaling dan melihat Naga Kuning serta Setan Ngompol tegak
di sampingnya. Di dekat mereka berdiri pula banci berkepandaian tinggi yang
dikenal dengan nama Betina Bercula.
"Kalian.
.." ujar Lakasipo. "Apa kalian juga mendengar apa yang telah
diucapkannya tentang saudara kita Wiro Sableng?"
"Kami
sudah mendengar. Sebelumnya dalam satu pertemuan dia juga telah mengatakan hal
itu! Tapi siapa yang percaya! Seperti katamu tadi kehidupan , para Peri kini
jauh dari suci! Entah siapa yang menghamili, Wiro yang difitnah!
Keterlaluan!" Yang bicara adalah Naga Kuning.
"Bocah
konyol bermulut seenaknya! Jika kalian tidak percaya silahkan datang ke Puri
Kebahagiaan! Kalian saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Peri Bunda. Dia
terbaring menderita malu besar dan sengsara berat!"
"Jika
Peri Bunda memang hamil tanpa adanya keributan, berarti dia sendiri ikut senang
melakukan perbuatan itu! Mengapa kini persoalannya dibesar-besarkan?
Bukankah
kau menambah malu kaummu sendiri?"
"Jika
terbukti Peri Bunda berlaku seperti itu dia pasti mendapat hukuman. Tapi
sahabatmu Wiro Sableng tidak akan lolos dari tangan kami!"
Sambil
pegang bahu Lakasipo Si Setan Ngompol memandang pada Peri Angsa Putih dan
berkata. "Peri Angsa Putih, kau memang wajib menyelidiki persoalan ini
sampai tuntas. Mencari tahu siapa yang telah menyebabkan hamilnya Peri Bunda.
Tapi jika seandainya orang itu tidak berhasil diketahui dan tidak dapat
ditemukan, aku Setan Ngompol bersedia dengan hati ikhlas menjadi ayah pengganti
calon bayi yang akan dilahirkan; Kasihan Kalau bayi itu sampai lahir tanpa
punya ayah! Tapi kuharap kalian para Peri segera memberi persetujuan jauh hari
sebelum sang bayi lahir." Habis berkata begitu si kakek berpaling pada
Naga Kuning lalu kedipkan matanya.
Ke dua
orang ini kemudian tertawa gelak-gelak. Si Betina Bercula ikut tertawa
cekikikan. Di dalam jala Lakasipo akhimya tak dapat pula menahan ledakan
tawanya. Peri Angsa Putih tak dapat lagi menahan amarahnya. Tangan kanannya
diangkat dan siap dihantamkan ke arah orang-orang yang ada di tempat itu. Namun
tiba-tiba satu tangan halus mencekal lengan nya hingga sang Peri tak mampu
menggerakkan tangan barang sedikitpun. Ketika dia berpaling terkejutlah Peri
Angsa Putih.
"Luhrinjani
…" desis sang Peri.
"Wahai,
kau sudah tahu namaku. Berarti aku tidak perlu menerangkan lagi siapa
diriku!" Yang muncul dan memegang tangan Peri Angsa Putih memang adalah
Luhrinjani, makhluk setengah manusia setengah roh jejadian yang dulunya adalah
istri Lakasipo, tapi kemudian menemui ajal karena bunuh diri di jurang Bukit
Batu Kawin. (Baca Bola Bola Iblis).
"Luhrinjani,
kau lagi-lagi berani mencampuri urusanku dan menghalangi diriku yang hendak
mengambil tindakan! Sungguh kurang ajar perbuatanmu! Apa kau lupa kalau kami
bangsa Peri yang memberikan kehidupan baru padamu setelah kau menemui kematian
di dalam jurang batu?!
Kau
makhluk rendah yang tidak tahu berterima kasih!"
"Wahai
Peri Angsa Putih, aku Luhrinjani tidak pernah melupakan pertolongan kalian
bangsa Peri. Aku juga bukan makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Tetapi itu
bukan berarti aku akan menelan mentah-mentah semua perbuatanmu. Bukan berarti
aku harus diam mematung kalau kau hendak mencelakai para sahabat dan suamiku
sendiri. Kau tadi menendang Lakasipo. Padahal dia terada dalam keadaan tidak
berdaya? Apa itu satu perbuatan berbudi luhur? Atau memang begitu kini cara
hidup kalian bangsa Peri dari Negeri Atas Langit!"
Peri
Angsa Putih kerahkan tenaga untuk lepaskan lengannya yang dicekal. Tapi tidak
berhasil. Luhrinjani tersenyum. Perlahan-lahan dia kendurkan cekalannya hingga
Peri Angsa Putih bisa melepaskan diri. Begitu tangannya bebas tanpa banyak
cerita lagi Peri ini segera melompat ke atas punggung angsa putih tunggangannya
dan melesat terbang meninggalkan tempat itu.
"Peri
geblek!" kata Naga Kuning begitu angsa putih dan penunggangnya lenyap di
kejauhan.
"Makhluk-makhluktolol!"
Betina Bercula berucap.
"Siapa
yang tolol! Apa maksudmu?!" tanya Naga Kuning.
"Soal
Peri hamil saja diributkan! Kuda atau sapi bunting tidak pemah jadi masalah!
Tidak pernah dicari siapa yang menghamili! Hik.. hik! Sebenamya, wahai!
Bagaimana rasanya kalau hamil itu! Ingin,sekali aku merasakannya! Apakah di
antara kalian ada yang mau menghamili diriku?!"
Orang-orang
yang ada disitu sama memandang temganga ke arah Betina Bercula. Lalu semuanya
tertawa gelak-gelak. Tidak terduga tiba-tiba enak saja tangan-lelaki banci
berkepandaian tinggi ini bergerak ke bawah pusar Setan Ngompol yang sedang
meleng karena sibuk menahan kencing.
"Kek!
Awas kantong menyanmu mau disambar!" Naga Kuning mengingatkan. Setan
Ngompol cepat menyingkir sambil memaki panjang pendek. "Banci kalengan!
Kau selalu saja mencari kesempatan!" Betina Bercula tertawa cekikikan.
Julurkan lidahnya sambil menowel-nowel puncak hidungnya dengan ujung telunjuk
tangan kanan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment