Misteri
Bunga Noda
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
1
DALAM
kisah sebelumnya (Petaka Patung Kamasutra) diceritakan bagaimana nenek jejadian
kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berusaha melepas totokan di tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Usahanya mengalami kesulitan karena totokan berada
di bawah pusar, di dekat anggota rahasia sang pendekar. Ingat pengalamannya
waktu memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis Empat Mata Angin dimana saat
itu Purnama alias Luhmintari, gadis dan negeri 1200 tahun silam meminjamkan
tenaga dalamnya, maka Wiro minta agar si nenek melakukan hal yang sama. Namun
ternyata cara pemindahan tenaga dalam serta hawa sakti hanya bisa dilakukan
nenek itu melalui dua puting susunya. Agar tenaga dalam dan hawa sakti itu bisa
masuk ke tubuh Wiro maka sang pendekar harus menyedot dua puting susu si nenek
sekaligus!
Ketika
hal itu dikatakan si nenek. Wiro tertawa gelak-gelak karena menyangka si nenek
bergurau mempermainkannya.
"Aku
rasa kau punya otak jahil Nek. Kalau apa yang kau bilang aku lakukan, tiba-tiba
kau bersalin rupa menjadi seorang gadis cantik jelita berdada putih kencang.
Aku bisa kebablasan.
Urusan
bisa jadi kapiran! Ha…ha…ha!"
Murid
flnto Gendeng mungkin belum akan berhenti tertawa kalau tiba-tiba dari dalam
candi tidak terdengar suara orang berucap lembut tapi jelas.
"Hidup
ini memang satu keanehan. Di dalam susah ada tawa.
Di dalam
kesulitan ada canda."
Begitu
ucapan berakhir di dekat Wiro dan nenek jubah kuning tahu-tahu telah berdiri
seorang pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat secarik kain
merah. Beborapa bagian baju dan celana serta kain merah di kepala dihias
sulaman bergambar bunga tanjung terbuat dari benang perak dipadu benang emas.
Pemuda tampan ini berkumis kecil tipis, memelihara janggut serta cambang bawuk
rapi.
Belum
sempat Wiro dan si nenek menanyakan siapa adanya dia, pemuda tak dikenal itu
mendahului berkata. Suaranya lembut
"Sahabat
yang sedang kesusahan. Jika kau bersedia.
dengan
ilmuku yang bodoh aku mungkin bisa melepas totokan di tubuhmu. Ketika kalian
datang aku sudah berada berada di dalam candi. Harap dimaafkan kalau aku tak
sengaja mendengar semua pembicaraan sahabat dan nenek ini."
Nenek
jubah kuning tegakkan kepala Menatap pemuda di hadapannya. "Aku tadi telah
mencoba, tapi tak berhasil memusnahkan totokan di tubuh sahabatku ini. Pangeran
Sena Wirapala. Keparat tua itu yang menotok. Entah Ilmu totokan celaka apa yang
dimilikinya! Eh, kau benaran bisa menolong sahabatku ini?"
Pemuda
berbaju hitam mengangguk.
"Jika
kau mengizinkan dan yang punya diri mau ditolong tentu saja aku akan berusaha.
Hidup didunia ini bukankah musti tolong menolong?" Jawab pemuda berkumis
kecil.
‘Sahabat,
kalau kau memang mampu menolong, aku berserah diri." Kata Wiro pula.
"Terima
kasih kau mau mempercayaiku…"
Pemuda
berpakaian hitam lalu membaringkan Wiro menelentang di lantai candi. Si nenek
mengawasi.
"Harap
maafkan, aku harus menyentuh auratmu di bagian yang ditotok." Pemuda yang
hendak menolong lalu susupkan tangan kanannya ke balik celana Pendekar 212.
Wiro merasa jarijari tangan mengusap permukaan kulit tubuhnya kira-kira
setengah jengkal di bawah pusar. Terasa dingin. Hawa sejuk aneh menjalar ke
seluruh tubuhnya. Pemuda berkumis tipis kemudian menggerakkan kedua tangan Wiro
berulang kail. Setelah itu ganti menggerakkan sepasang kaki.
"Sahabat,
kau sekarang bisa menggerakkan tangan dan kakimu sendiri. Cobalah."
Mendengar
ucapan orang Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Lalu angkat kedua kaki. Seperti
yang dikatakan pemuda berpakaian hitam ternyata dia benar-benar mampu
melakukan.
"Luar
biasa!" Wiro berucap girang. "Sahabat, aku sangat berterima kasih
padamu."
"Cobalah
bangun dan berdiri." Kata pemuda berpakaian hitam.
Wiro
bukan hanya mampu bangun tapi malah sanggup melompat dan di lain saat dia sudah
berdiri di hadapan pemuda penolongnya. Wiro membungkuk dalam-dalam, mengucapkan
terima kasih berulang kali.
Si nenek
tertawa gembira, menepuk-nepuk bahu pemuda tampan itu seraya bertanya. ‘Pemuda
hebat! Kalau kami boleh tahu siapa gerangan kau adanya?"
Yang
ditanya tersenyum. Dia menjawab dengan suara lembut merendah " Aku hanya
seorang yang kebetulan lewat di sini Karena kelelahan dan matahari bersinar
terik, aku masuk ke dalam candi. Aku gembira totokan di tubuh sahabatku ini
sudah musnah. Harap dimaafkan, karena ada keperluan lain aku terpaksa
meninggalkan kalian berdua. Di lain waktu mudahmudahan kita bisa bertemu
lagi."
"Sahabat,
tunggu dutul Kau belum memberi tahu namai" Kata Wiro pula sambil berusaha
mengejar.
Namun
seperti ditelan bumi pemuda berkumis kecil lenyap di samping candi. Wiro dan si
nenek memutari candi, coba mencari. Pemuda itu tak kelihatan lagi.
"Ah
sayang, dia pergi begitu saja…" ucap Wiro sambil menggaruk kepala.
"Orang
sakti berbudi tinggi selalu merendah diri seperti itu…" kata nenek kembar
jejadian.
"Ilmunya
luar biasa. Gerakannya cepat sekali. Kalau tidak dia menolong, entah apa
jadinya dengan diriku."
Murid
Sinto Gendeng ingat sesuatu. Ingin tahu dia berputar membelakangi si nenek lalu
turunkan celananya di sebelah depan untuk melihat bagian tubuh di bawah pusar
yang tadi d sentuh pemuda yang menolongnya. Dia jadi terkejut ketika melihat di
bawah pusarnya menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan.
"Dari
mana munculnya bunga ini?" Wiro bertanya dalam hati "Mungkin pemuda
tadi yang menempelkan? Sebagai alat untuk memusnahkan totokan di tubuhku?"
Murid Sinto Gendeng berpikir, garuk-garuk kepala. Tiba-tiba saja dia ingat pada
puteri Keraton Ambarsari yang tewas mengenaskan itu.
Otak
berpikir, hati berucap. "Pertama kali aku bertemu gadis itu. ada bunga
tanjung di keningnya." Wiro meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin.
"Pemuda berpakaian hitam tadi.
Jangan-jangan…"
Wiro
susupkan tangan ke balik celana untuk mengambil bunga tanjung yang menempel di
bawah perut Tiba-tiba rasa panas menyengat batok kepalanya. Wajahnya serasa
dipanggang api. Sekujur tubuh panas membara. Dalam keadaan seperti tu kembali
Wiro ingat pada Ambarsari. Wajah si gadis membayang di pelupuk matanya. Sang
pendekar tersentak. Dia sadar, Ingat! Ada sesuatu yang mengejutkannya. Wiro
keluarkan Beruan tertahan.
‘Ada
apa?" nenek jubah kuning yang sejak tadi memperhatikan bertanya.
"Orang
itu!" Wiro menunjuk ke arah lenyapnya pemuda berpakaian hitam tadi
sementara dua kakinya mendadak bergetar. Lututnya goyah tubuh terasa limbung.
"Nek, dia…dia orangnya yang mengejar Ambarsari. Dia…dia mengaku bernama
Cakra yang .."
Pendekar
212 Wiro Sableng tak sanggup lagi menyelesaikan ucapan. Kini berganti sekujur
badan diserang hawa dingin luar biasa. Dari mulut menyembur darah kental. Tubuh
Wiro kemudian terhuyung lalu tergelimpang menelungkup di tanah.
menggeliat
beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi.
Nenek
kembar jejadian menjerit kaget. Dia cepat membalikkan Wiro hingga tertelentang.
Wajah sang pendekar tampak merah sekali. Bibir ungu kebiruan.
‘Racun
jahat!" teriak si nenek. Lalu dua tangannya cepat bergerak monotok dua
belas titik di sekujur tubuh Wiro. Ketika memperhatikan bagian celana yang
tersibak, dia melihat bunga tanjung yang menempel di bawah pusar. Si nenek
segera mengambil bunga itu lalu meremas sampai hancur.
"Seharusnya
tadi aku tolong saja dia. Melihat atau menyentuh aurat terlarang demi menolong
apa salahnya?" Si nenek sesali diri sendiri. Mudah-mudahan aku masih bisa
menolongnya." Dengan fbu jari tangan kanan dia menekan kuat-kuat bagian
bawah pusar dimana sebelumnya menempel bunga tanjung. Dia memperkirakan di
bagian inilah jalan masuknya racun jahat ke dalam tubuh Wiro.
Tenaga
dalam dikerahkan disertai aliran hawa sakti.
“Dess..
.desss.. .dess!"
Terdengar
tiga letupan cukup keras disertai membersitnya buntalan asap biru. Si nenek
terpekik. Oari bawah pusar Wiro keluar menyambar hawa aneh dan masuk ke bagian
bawah perut si nenek hingga mahluk jejadian ini terpental lalu terbanting jatuh
di tanah.
Mukanya
yang keriput tampak merah, bibir membiru.
Di langit
muncul awan h-tam merubah udara yang tadi panas terik menjadi redup mengelam.
Guntur menggemuruh.
Sesekali
kilat menyambar. Angin bertiup kencang membuat daun-daun pepohonan bergemerisik
menggidikkan. Tak selang berapa lama hujan mulai mencurah bumi. Sosok Pendekar
212 dan nenek kembar jejadian tergeletak kuyup tak bergerak di halaman samping
candi.
Tiba-tiba
terjadi satu keanehan. Dari sosok tubuh nenek berjubah kuning keluar sebentuk
tubuh ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih berwajah cantik
rambut hitam pekat tergerai lepas. Pakaian kebaya pendek dan celana panjang
ringkas warna kuning. Sesaat gadis ini menatap ke arah tubuh nenek jejadian
lalu balikkan diri. Dengan langkah perlahan sosok aneh ini meninggalkan kawasan
candi, berjalan ke arah matahari tenggelam. Walau saat itu hujan turun lebat
namun kepala, tubuh dan pakaiannya tidak basah sedikitpun.
Pada
setiap langkah yang dibuatnya, di sebelah belakang sosok nenek jejadian yang
tergeletak di tanah perlahan-lahan berubah samar lalu sirna. Di bekas tempat
dia terbujur kini hanya kelihatan sebuah seruling perak. Inilah seruling
pemberian paderi Loan Nio yang semula hendak diserahkan si nenek kepada Wiro,
tapi belum sempat dilakukan.
HUJAN
belum juga reda. Udara masih diselimuti kegelapan.
Siang
hari hampir tidak beda dengan senja. Sesekali angin bertiup keras menimbulkan suara
yang membuat keadaan terasa seram. Di bawah curahan hujan samar-samar di arah
kaki bukit sebelah timur tampak berjalan terbungkuk-bungkuk seorang lelaki tua
berjubah hijau. Sekujur tubuh mulai dari rambut putih sampai ke kaki yang tak
berkasut basah kuyup. Sambil berjalan mulutnya meracau.
"Sinto.
puluhan hari aku menunggu kedatanganmu. Kau hanya muncul di dalam mimpi…"
Di satu
tempat orang ini hentikan langkah. Dia mengusap wajah keriput basah lalu
memandang ke arah puncak bukit.
Walau
sangat samar namun dia masih bisa melihat bangunan itu.
"Bangunan
di puncak bukit. Itu candi yang dikatakan Sinto Gendeng di dalam mimpi."
Orang tua ini geleng-geleng kepala.
"Sinto.
kau menyiksaku. Mengapa kau menyuruh aku ke puncak bukit itu. Padahal kau
berjanji akan datang ke gubukku di tikungan Kali Progo."
Setelah
berdiam diri beberapa ketika, orang tua ini melanjutkan perjalanan. Langkah
kaki kini ditujukan ke puncak bukit dimana dia melihat bangunan candi, tanpa
mengetahui kalau dibawah bukit di balik sederetan pepohonan, dua pasang mata
sejak tadi mengikuti gerak-geriknya.
Orang
yang berdiri di sebelah kanan pohon besar mengenakan topi merah menyerupai
tarbus. Wajah bulat memelihara kumis dan janggut hitam tebal. Pakaian baju dan
celana ringkas warna merah pekat Orang ini adalah Damar Sarka. satu-satunya
orang penting yang masih hidup dari kelompok yang menamakan diri orang-orang
Keraton Kaliningrat.
Seperti
diceritakan dalam serial Wiro Sableng (episode "Perjanjian Dengan
Roh" s/d "Api Di Puncak Merapi") seorang yang menyebut diri
Pangeran Muda bernama Sawung Guntur alias Brata Sukmapala punya rencana hendak
merebut tahta Kerajaan. Dalam menjalankan rencananya dia mengumpulkan
orang-orang berkepandaian tinggi dan menyebut diri sebagai penguasa Keraton
Kaliningrat Namun usaha jahat itu gagal.
Sawung
Guntur menemu, ajal di tangan Patih Wira Bumi. Para pembantu utamanya dan
hampir semua anggota Keraton Kaliningrat terbunuh. Hanya Damar Sarka yang
sempat selamatkan diri. Orang ini pernah menyamar jadi kusir gerobak, membawa
Wiro dan Nyi Retno Mantili dalam perjalanan menuju hutan jati di sebuah bukit
dekat Plaosan. Sebelum berpisah dia menyerahkan sepucuk surat dari Pangeran
Muda yang isinya berusaha membujuk Pendekar 212 Wiro Sableng agar mau bergabung
dengan kelompok Keraton Kaliningrat.
Orang
kedua di sebelah Damar Sarka adalah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun,
berpakaian baju dan celana gombrong hitam. Dia bernama Surah Sentono, adalah
adik Surah Nenggolo, kepala rampok hutan Ngluwer yang ikut bergabung dengan
orang-orang Keraton Kaliningrat. Karena dianggap telah berlaku sembrono
kemudian dibunuh atas perintah Pangeran Muda Sawung Guntur.
"Bagaimana
kalau orang tua itu kita bekuk di lereng bukit sana sekarang juga?" Surah
Sentono keluarkan ucapan.
"Sobatku,
bersabarlah. Jangan terburu-buru. Dia pergi ke bukit pasti menemui seseorang
yang ada hubungannya dengan madat itu. Kau lihat di atas bukit ada bangunan
candi. Aku yakin dia menemui seseorang di candi itu." Menjawab Damar
Sarka.
"Aku
setuju kita tidak bertindak terburu-buru. Tapi kita harus menjaga jarak sedekat
mungkin. Kata Surah Sentono pula.
"Ingat,
walau ilmu silatnya tidak seberapa tapi dia bukan orang sembarangan. Manusia
seperti orang tua itu setiap saat bisa menyelinap lenyap seperti ditelan bumi.
Ingat waktu tempat kediamannya digrebek pasukan Kerajaan. Yang ditemukan dan
kemudian digantung adalah Djaka Tua, pembantu Tumenggung Wirabumi. Orang tua
itu sendiri lenyap tidak diketahui dimana beradanya."
Surah
Sentono menatap Damar Sarka sejurus lalu berkata "Aku tak mau kehilangan
madat lima puluh kati itu" katanya lalu cepat-cepat melangkah ke arah
bukit. Damar Sarka mengikuti. Sementara hujan masih terus turun.
********************
2
ORANG TUA
berjubah hijau sampai di puncak bukit. Hujan mulai mereda sedikit namun keadaan
masih gelap. Tiba-tiba kilat menyambar. Langit seperti terbelah. Puncak bukit
sekejapan terang benderang. Pada waktu bersamaan ada sebuah benda berkilau
memantulkan cahaya terang kilat yang tadi berkiblat.
Terbungkuk-bungkuk
orang tua itu melangkah mendekati benda ini. Namun baru menindak tiga langkah
gerak kakinya tertahan.
Pandangan
sudut matanya membentur sosok tubuh seorang lelaki terbujur di tanah.
"Manusia
atau hantukah yang mau-mauan tidur di bawah hujan lebat begini rupa? Atau
mungkin sosok itu mayat yang tersia-sia?" Orang tua berjubah hijau berkata
dalam hati. Namun bila dia ingat mimpinya tadi malam, hatinya berkata lagi.
"Jangan-jangan
ini ada hubungannya dengan permintaan Sinto Gendeng dalam mimpiku."
Maka
orang tua itu lantas melangkah mendekati sosok lelaki yang terbaring di tanah
becek hanya mengenakan sehelai celana panjang sementara hujan masih turun walau
tidak selebat sebelumnya.
Setelah
memperhatikan sesaat orang yang tergeletak di tanah di halaman samping candi,
si orang tua terkejut, delikkan mata dan keluarkan seruan tertahan.
"Astagal
Apakah aku mengenal orang ini? Bukankah dia murid sobatku Sinto Gendeng. pemuda
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua? Aku pernah menolongnya
sewaktu tangannya luka parah. Bagaimana dia bisa berada di sini? Apa yang
terjadi?"
Orang tua
itu berlutut. Memeriksa Pendekar 212 mulai dari kepala sampai ke kaki. Dia
melihat dua belas tanda bekas totokan di sekujur tubuh Wiro. Lalu ada tanda
kemerah-merahan di bawah pusar. Perlahan-lahan dia ulurkan tangan kanan,
letakkan telapak tangan di atas dada sang pendekar. Tubuh itu terasa dingin.
Bukan
karena kehujanan tapi ada penyebab lain. Kening si orang tua berkerut. Namun
dia masih merasa lega sewaktu tangannya merasa detakan jantung walau hanya
perlahan.
"Aku
ingat betul. Pada pertemuan pertama kali. di dada pemuda ini ada jarahan angka
Dua Satu Dua Sekarang mengapa tidak kelihatan lagi?" Orang tua ini
usap-usap dada Wiro. Seperti diceritakan dalam Episode berjudul "Lentera
Iblis", demi untuk menjaga keselamatan Wiro jarahan angka 212 di dadanya
oleh dilenyapkan secara gaib oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas sementara Kapak Naga
Geni 212 dan batu sakti dimasukkan ke dalam tubuh Wiro.
"Dua
belas totokan! Luar biasa! Siapa yang melakukan?
Aku
menduga ada dua orang yang mengerjai pemuda ini.
Orang
pertama bermaksud jahat. Mencelakainya melalui jalan darah dan syaraf di bagian
bawah pusar. Orang kedua yang membuat dua belas totokan agaknya berusaha
menolong. Tapi mengapa murid Sinto Gendeng lantas dibiarkan tergeletak
sendirian di sini? Dalam keadaan setengah telanjang begini rupa? Jika ada yang
menolong mustahil ditinggal begitu saja.
Atau
mungkin orangnya pergi untuk mencari obat? Mungkin juga mencari orang lain
untuk meminta bantuan? Berarti orang itu akan kembali. Biar kutunggu."
Sementara
menunggu, di bawah siraman hujan orang tua ini balikkan tubuh Pendekar 212. Dia
meraba punggung sebelah kiri, di arah jantung sambil mengerahkan tenaga dalam.
Perlahan-lahan
tangan diangkat jari-jari menekuk membentuk tinju. Tiba-tiba tangan itu
dipukulkan ke punggung.
"Buukk!"
Dari
mulut Pendekar 212 mengalir keluar darah kehitaman.
Si orang
tua tekan punggung kiri Wiro dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengurut
dan menotok aliran darah di leher. Darah mengalir terus dari mulut Wiro. Masih
berwarna hitam.
"Celaka,
darahnya tidak berubah merah. Pemuda ini mengidap racun jahat yang tidak
mematikan. Tapi membuat salah satu bagian tubuhnya akan mengalami kelemahan
seumur hidupi Sayang semua alat pengobatanku telah dimusnahkan
bergundal-bergundal Kerajaan. Sulit bagiku untuk dapat menolong pemuda ini
dalam waktu cepat. Aku harus membawanya ke gubuk di Kali Progo. Tapi bagaimana
caranya?"
Orang tua
itu ingat pada suling perak yang tadi dilihatnya tergeletak di tanah becek.
Suling diambil, diperhatikan lalu ditimang-timang.
"Suling
perak…Bagus sekali buatannya. Milik siapa?
Setahuku
murid Sinto Gendeng tidak pernah membekal suling.
Mungkin milik
orang yang mencelakainya?"
Setelah
menunggu cukup lama tak ada orang yang datang, orang tua ini mulai merasa
risau.
‘Aku tak
mungkin menggendong atau memanggulnya ke gubuk di Kali Progo. Tempat ini
agaknya jarang didatangi orang. Apa lagi cuaca buruk begini. Apa yang harus aku
lakukan?" Orang tua itu memandang berkeliling. Di bagian belakang candi
dia melihat beberapa rumpun pohon bambu. Dari balik pinggang jubah dia
mengeluarkan sebilah golok. Dengan golok ini dia menebang tiga batang bambu lalu
digabung rata jad! satu. Tubuh Wiro diletakkan di atas tiga batang bambu dan
diikat. Perlahan-lahan si orang tua mulai menyeret bambu. Baru beberapa langkah
dia berhenti dan gelengkan kepala. Tubuh sang pendekar berat sekali. Jika
dipaksakan mungkin dia sanggup membawa Wiro sampai ke kaki bukit Tapi untuk
membawa sampai di gubuknya di Kali Progo jelas dia tidak mampu melakukan. Untuk
beberapa lama orang tua ini duduk bersimpuh di tanah becek. Dia ingat pada
suling perak yang tadi ditemuinya. Suling dikeluarkan dari balik jubah,
dipandangi sambil berkata dalam hati.
"Mudah-mudahan
saja suara suling akan menarik perhatian.
Membuat
ada orang datang ke tempat ini."
Lalu
orang tua ini duduk di tangga candi, mulai meniup suling.
Karena
tiupan disertai aliran tenaga dalam maka suaranya menggema keras di udara,
menembus suara hujan dan deru angin di atas bukit.
Apa yang
diharapkan orang tua ini menjadi kenyataan beberapa saat kemudian. Dua orang
berkelebat muncul mendatangi tempat dimana dia duduk di tangga candi meniup
suling. Satu berpakaian hitam gombrong, satunya lagi berbaju dan bercelana
merah, mengenakan tarbus.
Si orang
tua hentikan meniup suling. Memandang pada dua orang yang barusan datang yang
belum pemah dikenalnya sebelumnya lalu membungkuk memberi penghormatan dan
berkata.
"Aku
bersyukur dan berterima kasih kalian berdua telah mau datang ke sini. Dua orang
sahabat, aku butuh pertolongan kalian. Maukah kalian menggotong pemuda di atas
bambu itu ke kaki bukit? Mudah-mudahan cuaca segera berubah baik.
Mudah-mudahan
nanti bertemu dengan orang membawa gerobak. Aku harus membawanya ke tempat
kediamanku di Kali Progo."
Dua orang
yang barusan datang dan bukan lain adalah Damar Sarka dan Surah Sentono saling
pandang satu sama lain lalu menatap ke arah sosok tubuh yang tergeletak di atas
bambu. Begitu melihat wajah orang Damar Sarka terkejut dan melangkah cepat
mendekati. Setelah memperhatikan sebentar dia berpaling pada si orang tua.
"Ki
Tambakpati. bukankah pemuda ini Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng?"
"Ah,
kau tahu namaku. Berarti kau memang benar-benar sahabatku. Dugaanmu juga betul.
Pemuda pingsan di atas bambu itu memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng,
murid sahabatku Sinto Gendeng."
Damar
Sarka dekati Surah Sentono. Keduanya bicara berbisik bisik.
Kemudian
Damar Sarka berkata pada orang tua berjubah hijau yang ternyata adalah Ki
Tambakpati yang dalam rimba persilatan dikenal dengan julukan Si Tangan
Penyembuh.
seorang
ahli pengobatan yang pernah menolong Pangeran Matahari sampai dua kali dan juga
mengobati Wiro. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Kitab Seribu
Pengobatan" dan "Nyi Bodong")
"Ki
Tambakpati. karena kau menganggap kami sahabatmu.
kami
pasti akan menolong pendekar itu. Kami akan menggotongnya kemanapun kau meminta."
"Terima
kasih….terima kasih." Ki Tambakpati gembira sekali.
"Aku
mohon sahabat berdua mau membawanya ke gubuk kediamanku di tikungan Kali
Progo."
"Cukup
jauh dari sini," ucap Surah Sentono dengan mulut dipencongkan. "Tapi
kau tak usah kawatir. Kami berdua akan menggotongnya sampai ke sana."
Surah Sentono tersenyum dan kedipkan mata pada Damar Sarka.
Damar
Sarka sambung ucapan temannya itu. "Namun sebelum kami menolong, kami
punya satu permintaan."
"Ah.
kalau kalian minta pembayaran terus terang aku tidak punya uang," kata Ki
Tambakpati yang salah mengira.
"Tidak,
kami tidak butuh uang. Tapi kami butuh keterangan!"
kata
Damar Sarka. Nada suaranya yang tadi ramah kini berubah kasar.
"Keterangan?
Keterangan apa?" tanya Ki Tambakpati sambil menatap air muka dua orang di
hadapannya. Entah mengapa secara tiba-tiba hatinya merasa tidak enak.
"Ki
Tambak, kau terkenal sebagai tabib sakti rimba persilatan.
Beberapa
waktu lalu kau pemah mengobati seorang pemuda mengaku sebagai Pangeran.
Benar?"
Ki
Tambakpati berpikir-pikir lalu anggukkan kepala.
"Benar,
memang pemah. Dia datang dua kali. Tapi aku tidak akan memberi tahu apa
penyakitnya. Lagi pula aku tahu dia bukan pangeran benaran. Beberapa waktu
kemudian aku tahu dia ternyata adalah Pangeran Matahari, momok paling jahat
dalam rimba persilatan tanah Jawa Belum lama ini aku mendengar kabar dia telah
menemui ajal, tewas di puncak Gunung Merapi."
"Kami
tidak perduli apa dia masih hidup atau sudah mampus,"
ucap
Damar Sarka. "Pada kedatangannya yang pertama dia menunggang seekor kuda
besar. Kau ingat?"
"Ya.
aku ingat."
Damar
Sarka melanjutkan. "Orang itu membekal sebuah kantong kulit Digantung di
leher kuda. Kantong Itu dirampasnya dari kerabat kami. Waktu dia datang, kau
sempat melihat kantong kulit itu?"
Ki
Tambakpati mengangguk. "Aku malah sempat melihat isinya." Kata si
orang tua polos.
Damar
Sarka dan Surah Sentono saling pandang.
"Kalau
kau memang melihat isinya, katakan benda apa yang kau lihat?" Surah
Sentono bertanya ingin menguji.
"Madat
candu." Jawab Ki Tambakpati. "Aku melihat barang itu pertama kali
pada malam hari. Tapi sewaktu aku melihat lagi keesokan paginya, kantong kulit
itu sudah lenyap."
""Kau
tidak berdusta?" tanya Damar Sarka seraya menatap tajam.
Ki
Tambakpati menggeleng.
"Madat
bisa dipergunakan sebagai bahan pengobatan yang ampuh. Untuk menahan segala
macam rasa sakit. Bukan kau yang mengambil madat dalam kantong itu?"
Pandangan mata Damar Sarka membeliak menyelidik.
"Aku
bukan bangsa pencuri." ucap Ki Tambakpati.
“Ucapanmu
betul. Madat bisa dipergunakan sebagal obat, Tapi seumur hidup aku tidak pernah
menggunakan madat untuk menolong orang. Walau tahu harganya luar biasa mahal,
aku tidak mencuri madat itu."
"Kau
berdusta." hardik Damar Sarka.
"Mungkin
digebuk dulu baru bicara benar!" kata Surah Sentono pula sambil letakkan
tinjunya di kening Ki Tambakpati.
Walau
hatinya merasa tidak tenang namun Ki Tambakpati masih bisa tersenyum.
"Aku
sudah bicara jujur. Sekarang apakah kalian benaran mau menolong menggotong
pemuda itu sampai ke Kali Progo?" Damar Sarka dan Surah Sentono tertawa
gelak-gelak.
"Kenapa
kalian tertawa. Apa yang lucu?" tanya Ki Tambakpati.
Damar
Sarka hentikan tawa dan berkata. "Tentu saja kami akan menolong Pendekar
Dua Satu Dua. Bukan untuk menyelamatkan.
Tapi
justru untuk mempercepat kematiannyal Dia dan gurunya Sinto Gendeng telah
banyak menyusahkan kami orang-orang Keraton Kaliningrat!"
"Kami
akan menghabisi pendekar sableng itu. Kami akan mendapat nama besar dalam rimba
persilatanl Sesudah itu jika kau masih tidak mau memberi tahu dimana madat satu
kantong itu kau sembunyikan, kami akan menyiksamu sampai lidahmu mencelet dan
mau bicara"
Habis
berkala begitu Damar Sarka dan Surah Sentono melompat ke arah Wiro terbaring di
atas bambu. Ki Tambakpati berusaha menghalangi.
"Kalau
kalian tidak mau menolong tidak jadi apa. Tapi kalau kalian mau membunuh pemuda
itu terpaksa aku harus mencegah!"
"Kalau
begitu memang baiknya kau duluan yang kami bereskanl Biar kau bisa menjadi
penunjuk jalan bagi Pendekar Dua Satu Dua ke neraka!" Kata Damar Sarka.
Bekas anggota Keraton Kaliningrat ini berpaling pada sahabat di sampingnya
Surah! Habisi tua bangka tak berguna ini!"
Surah
Sentono menyeringai. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ki Tambakpati.
Tangan kanan melesat ke muka orang tua itu. Sebagai seorang ahli ilmu
pengobatan Ki Tambakpati juga memiliki kepandaian silat serta tenaga dalam.
Namun kalau dipakai bertarung untuk menghadapi lawan seperti Surah Sentono atau
Damar Sarka maka kedua orang itu bukanlah tandingannya.
Sambil melompat
mundur Ki Tambakpati berusaha menahan jotosan Surah Sentono dengan dua telapak
tangan dikembang.
Dengan
mudah Surah Sentono mencekal lengan kanan Ki Tambakpati lalu dipelintir ke
punggung dan didorong ke dinding candi.
"Katakan
dlmana kau sembunyikan madat satu kantong itu!" hardik Surah Sentono.
"Aku
tidak mengambil madat itu! Tidak menyembunyikan!
Lepaskan
tanganku!" Ki Tambakpati meringis kesakitan.
Surah
Sentono perkencang pelintirannya hingga si orang tua terpekik keras.
"Bicara
atau aku remukkan tanganmu sampai ke tulang punggung!" ancam Surah
Sentono.
"Demi
Tuhan, aku bersumpah tidak mengambil dan menyembunyikan madat itu!"
"Bagus!
Rasakan ini!"
Ki
Tambakpati meraung keras ketika Surah Sentono menyentakkan pelintirannya.
"Tunggu,
lepaskan tanganku! Aku mau bicara!" teriak Ki Tambakpati dengan nafas
panjang pendek.
"Bagus!
Bicara yang jelas!" kata Surah Sentono seraya kendurkan cekalan.
"Madat
satu kantong itu…..Madat itu aku berikan pada setan neraka. Kalau kalian
menginginkan pergilah mengambilnya ke neraka!" Habis berkata begitu Ki
Tambakpati tertawa gelakgelak.
Dia tahu
apa yang bakal terjadi atas dirinya. Namun saat itu dia merasa puas bisa
mempermainkan orang.
"Tua
bangka kurang ajar!" maki Surah Sentono.
"Surah!
Tak perlu banyak bicara lagi dengan tua bangka keparat itu. Pecahkan kepalanya!
Nanti kita geledah gubuknya di Kali Progo. Aku tahu letak gubuk itu!"
Damar Sarka berteriak jengkel.
Mendengar
teriakan itu Surah Sentono angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Surah Sentono
adalah seorang kidal. Tangan kirinya jauh lebih kuat dari tangan kanan. Ketika
tangan kiri itu dihantamkan ke bawah siap untuk menggebuk hancur batok kepala
Ki Tambakpati, tiba-tiba melesat sebuah benda aneh, jatuh tepat menutupi muka
Surah Sentono. Benda ini adalah sepotong kain basah lepek. Bukan basah oleh air
hujan tapi oleh cairan menebar bau pesing air kencing.
Selagi
Surah Sentono kelagapan tiba-tiba satu tendangan menghajar pinggangnya hingga
orang ini terpental, berteriak keras marah dan kesakitan.
"Bagaimana
rasa air kencingku? Hangat dan sedap? Mau lagi? Ha…ha…ha!"
Seorang
kakek bermata belok, kepala setengah botak dan salah satu daun kuping lebar
terbalik berdiri di tempat itu, tertawa gelak-gelak sambil pegangi bagian bawah
celananya yang lepek oleh air kencing. Siapa lagi kalau bukan kakek konyol si
Setan Ngompol!
Surah
Sentono tarik kain basah yang menempel di mukanya dan campakkan ke tanah sambil
morutuk panjang pendek dan meludah berulang kali karena ada air kencing yang
sempat masuk ke mulutnya. Begitu melihat Setan Ngompol, Surah Sentono
menggembor marah. Dia belum tahu siapa sebenarnya kakek aneh ini. Karenanya
selain marah juga menganggap enteng. Dengan sekali bergerak dan menggebuk dia
mengira bisa membuat Setan Ngompol tergelimpang roboh bahkan menemui ajal!
"Jahanam’
Kau minta mampus!" teriak Surah Sentono.
Di bagian
lain Damar Sarka yang mengenali siapa adanya kakek berkuping terbalik itu
tadinya hendak ikut menyerbu membantu Surah Sentono. Namun dia batalkan niat
ketika melihat ada seorang lain muncul berkelebat bersama si kakek.
Orang itu
ternyata adalah seorang gadis cantik berpakaian serba biru yang bukan lain
adalah Liris Biru.
Damar
Sarka terpesona, menyeringai, tenggorokan turun naik.
"Kakek
juling mata jengkol! Betina cantik ini apamu?!"
"Nah,
nah! Kau naksir rupanya!" sahut Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak
sambfl pegangi bagian bawah perut "Dengar, kami ampuni selembar nyawamu
asal kau mau menyerahkan betina cantik ini padaku! Bagaimana? Apa
jawabmu?!" Damar Sarka berucap sambil kedap-kedipkan sepasang matanya pada
Liris Biru, murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak yang menemui kematian
mengenaskan di tangan Sinto Gendeng.
Setan
Ngompol usap-usap kepala, kembali tertawa bergelak.
Lalu dia
berpaling pada Liris Biru dan bertanya.
"Sobatku
muda Cah Ayu, bagaimana menurutmu? Apa kau suka ikut kepompong merah ini? Asal
tahu saja, manusia satu ini punya banyak istri dan gendaknya bertebaran
dimana-mana." Rupanya Setan Ngompol sudah kenal siapa dan tahu bagaimana
adanya Damar Sarka.
Liris
Biru tertawa cekikikan mendengar Setan Ngompol menganggap Damar Sarka yang
mengenakan tarbus serta pakaian merah itu sebagai kepompong merah.
"Siapa
sudi Kek. Masih jadi kepompong saja lagaknya sudah memuakkan. Apa iagi nanti
kalau sudah keluar jadi ulat benaran!"
Liris
Biru memang sudah jengkel pada Damar Sarka karena tadi dirinya dipanggil dengan
sebutan betina seolah dia seekor binatang saja.
Dikatakan
kepompong Damar Sarka jadi naik pitam. Dia berteriak pada temannya
"Surah!
Kau bunuh Ki Tambakpati. Aku akan meringkus gadis konyol ini!"
Damar
Sarka lalu melompat ke hadapan Liris Biru. langsung hendak memeluk gadis itu.
Ulurkan kepala hendak mencium.
"Plaakk"
Satu
tamparan keras melanda pipi kiri Damar Sarka hingga sudut bibirnya pecah
berdarah. Tarbus merahnya terpental dari atas kepala, jatuh ke tanah. Kepalanya
yang tersingkap ternyata hanya berambut di sebelah bawah, bagian atas botak
plontos.
Bekas
anggota Keraton Kaliningrat yang semula menganggap enteng Liris Biru bersurut
mundur sambil pegangi pipinya yang mendenyut sakit. Ketika melihat darah
membasahi jari-jari tangannya dia berteriak marah.
"Gadis
keparat! Jangan mengira aku tidak tega menghajar dirimu!"
********************
3
KEPOMPONG
botak!" ejek Liris Biru. "Apa kau kira aku juga tidak tega menghajar
mahluk jelek macammu?! Hik…hik.„hik Majulah biar sekarang kutampar pipi
kananmu!"
Amarah
Damar Sarka mendidih. Namun karena mengenali siapa adanya Setan Ngompol, dia
tidak mau bertindak gegabah.
Dengan
membentak dia bertanya.
"Gadis
sialan! Gembel tua bangka itu apamu?!"
"Hik..
hik! Aku kira kau naksir aku. Tidak tahunya kau suka sama kakek tukang ngompol
itu! Hik…hik! Tidak sangka kepompong botak rupanya doyan mahluk sejenis!"
Meledak
amarah Damar Sarka. Nafsu bejatnya yang tadi berkobar melihat kecantikan serta
keelokan dan kemulusan tubuh Liris Biru. berubah menjadi hawa pembunuhanl Dua
tangan diangkat ke atas.
"Cleekkk!"
Terdengar
suara berkeclekan. Sepuluh kuku jari mencuat panjang, berwarna merah pekat
Dalam marahnya Damar Sarka mengeluarkan ilmu paling diandalkan yang disebut
Cakar Darah.
Didahului
bentakan garang dia menyerbu Liris Biru. Setiap dua tangannya berkelebat
sepuluh larik sinar merah berkiblat di udara terlihat goresan menyerupai darah,
berbuntal menyerang murid Hantu Malam Bergigi Perak dari depan dan samping kiri
kanan.
Dari
tempatnya berdiri Setan Ngompol walau tahu Liris Biru tidak mudah bisa
dicelakai Damar Sarka namun si kakek tetap saja merasa kawatir. Ketika dia
hendak melompat mendampingi gadis itu, Surah Sentono sudah lebih dulu menerjang
ke arahnya.
Untuk
menghadapi jurus-jurus berbahaya serangan lawan Liris Biru kerahkan ilmu
meringankan tubuh. Berkelebat cepat Menghindari gempuran sambil sesekali
susupkan serangan balasan.
Tujuh
jurus berlalu cepat. Damar Sarka penasaran sekali karena jangankan mencelakai,
menyentuh tubuh atau pakaian lawan saja dia tidak mampu. Dia berusaha mencari
tahu siapa adanya gadis lawannya itu dengan memperhatikan ilmu silat yang
dimainkan Liris Biru.
Memasuki
jurus ke sembilan, dengan keluarkan suara menggembor Damar Sarka rubah dan
percepat gerak jurus ilmu silatnya. Sosok tubuhnya masih terlihat jelas, namun
dua tangan seolah berubah menjadi bayang-bayang, menyerang dalam
gerakan-gerakan cepat tak terduga. Sepasang kakinya seperti tidak lagi
menginjak tanah. Ternyata orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh setingkat
lebih tinggi dari yang dimiliki Liris Biru.
Jurus
kesebelas.
"Breettt!"
Liris
Biru terpekik. Bahu kiri baju birunya robek besar hingga sebagian auratnya
tersingkap lebar mulai dari bahu sebelah depan sampai ke punggung.
Surah
Sentono yang diam-diam rupanya juga tertarik pada Liris Biru. sambil lancarkan
serangan ke arah Setan Ngompol berseru. "Damar! Jika kau tidak suka gadis
cantik itu, jangan diciderai. Apa lagi sampai kau bunuh! Serahkan padaku!"
Baru saja
bertoriak Surah Sentono keluarkan seman kaget karena tiba-tiba satu sosok
menebar dan memuncratkan air kencing berkelebat di atas kepalanyal
"Jahanam
setan alas" Surah Sentono momaki marah. Ini untuk kedua kalinya mukanya
kena diselomoti air kencing.
Gerak
serangan tangannya yang semula hendak dihantamkan ke depan kini dirubah ke
atas. Mengarah aclangkangan Setan Ngompol yang barusan menyerangnya dengan jurus
Setan Ngompol Mengencingi Pusara. Jika serangan Ini mengenai sasaran, celaka
besar bagi Setan Ngompol Tidak mau berlaku ayal. Setan Ngompol hindari serangan
Surah Sentono dengan mengembangkan dua kakinya. Begitu jotosan lawan lewat di
belakang dia segera kucurkan air kencing sebanyak-banyaknya. Selagi Surah
Sentono kelagapan oleh guyuran air kencing. Setan Ngompol hunjamkan tumit
kirinya ke punggung orang hingga Surah Sentono terjerembab, setengah menungging
jatuh di tanah!
"Hai!
Kau belum dapatkan gadis itu! Mengapa sudah menungging duluan?!" seru
Setan Ngompol mengejek. Sambil balikkan badan dia kembali lepaskan tendangan
menghajar pantat Surah Sentono.
"Duukkk”
Surah
Sentono menjerit keras karena ada bagian kaki Setan Ngompol yang menyerempet
perabotan terlarangnya!
Tubuhnya
tergeletak di tanah becek, mata mendelik, dada megap-megap dan dua tangan
pegangi bagian bawah perut Setan Ngompol tertawa mengekeh sambil kucurkan air
kencing!
Sadar
kalau lawan memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya.
Surah
Sentono memutuskan lebih baik dia tinggalkan tempat itu.
Dia yakin
Damar Sarka juga akan mengalami nasib celaka.Namun sebelum kabur dia masih
berusaha lancarkan satu serangan Ilmu hitam. Sambil berguling ke lereng bukit
dia lambaikan tangan kanan Dari tangan itu tiba-tiba melesat keluar seekor ular
besar berwarna hitam berkilat.
Binatang
jejadian ini meluncur di tanah, langsung menyerang ke arah Setan Ngompol yang
masih asyik tertawa dan terkencing tanpa sadar kalau bahaya maut mengancam.
Hanya
tinggal satu langkah lagi ular hitam siap mematuk perut Setan Ngompol, Ki
Tambakpati berteriak lalu melompat Kaki kanannya dengan cepat menginjak ekor
ular membuat kepala binatang jejadian ini tersentak ke atas. Walau tidak
memiliki kepandaian silat namun dalam menghadapi ular Ki Tambakpati adalah
pawangnya. Secepat kilat dia sambar leher ular.
"Kreek!"
Sekali
meremas, leher ular hancur sampai ke tulang belulangnya.
Dess!"
Binatang
jejadian itu berubah menjadi asap lalu lenyap dari pandangan mata. Setan
Ngompol yang sadar apa yang barusan terjadi hentikan tawa, pegangi bagian bawah
perutnya dan kucurkan air kencing.
"Ki
Tambak, terima kasih kau telah selamatkan jiwaku," ucap Setan Ngompol.
Kita
kembali dulu pada pertarungan antara Damar Sarka dan Liris Biru. Didahului
teriakan penuh amarah si gadis menerjang lawan di hadapannya. Tanpa perdulikan
keadaan tubuh yang tersingkap lebar di sisi kiri gadis ini menyerang dengan
jurus Hantu Malam Berbagi Pahala. Jurus serangan ini sebenarnya dilakukan
secara berdua. Biasanya Liris Biru melakukan bersama dengan Liris Merah
kakaknya. Namun dilakukan sendirian tidak mengurangi kehebatan serangan. Tubuh
Liris Biru melesat di udara. Kaki kanan menendang ke arah kepala sedang kaki
kiri berkelebat ke perut.
Kejut
Damar Sarka bukan alang kepalang melihat serangan cepat dan ganas ini. Terlebih
lagi karena dia bisa mengenali jurus serangan yang dilancarkan lawan.
"Kaul
Apa hubunganmu dengan Hantu Malam Bergigi Perak?!"
teriak
Damar Sarka. Dia cepat berkelit ke samping untuk menghindari tendangan ke arah
perut. Dua tangan serentak diangkat ke atas. Yang kiri untuk menahan gerak
tendangan, tangan kanan untuk mencakar kaki kiri Liris Biru!
Liris
Biru tidak bodoh. Walau dia mampu menghancurkan kepala lawan dengan tendangan
kaki namun cakaran tangan kanan Damar Sarka masih bisa menyusup mencelakai paha
kirinya, membuat dia cacat seumur hidup. Sambil berteriak keras gadis ini putar
tubuhnya di udara lalu melayang turun. Begitu kaki kiri menyentuh tanah dia
langsung menggebrak dengan jurus yang disebut Hantu Malam Menarik Gendewa
Tangan kanan dengan kecepatan kilat melesat ke arah dada kiri tepat di arah
jantung lawan.
Damar
Sarka terbeliak kaget. Dia hampir tidak punya kesempatan untuk selamatkan dada
dari serangan mematikan itu.
Pikirannya
singkat saja. Dia memutuskan berjibaku menyerahkan dada namun bersamaan dengan
itu sepuluh kuku jarinya melesat ganas ke arah batok kepala dan wajah Liris
Biru.
Dalam
keadaan seperti itu, baik Damar Sarka maupun Liris Biru tidak punya kesempatan
lagi untuk menarik diri atau hentikan serangan. Keduanya akan akan sama-sama
menemui ajal, paling tidak menderita cidera berat dan cacat sengsara
selama-lamanya!
Hanya
tinggal sepertiga jengkal lagi jotosan maut Hantu Malam Menarik Gendewa akan
mendarat telak di dada kiri Damar Sarka dan sambaran Cakar Darah akan mengoyaK
rengkah kepala serta muka Liris Biru, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat
disertai terdengarnya ucapan lembut
"Sahabat
berpakaian biru. Mengapa ingin mengotorkan tangan menyentuh orang jahat ini. Mengapa
menurutkan kemarahan dengan mengorbankan diri. Biar aku mewakili dirimu
menjatuhkan hukuman atas dirinya."
Bersamaan
dengan terdengarnya suara itu. tubuh Damar Sarka tertarik ke belakang. Jotosan
maut Liris Biru mengambang di udara, menembus tempat kosong. Sepuluh kuku jari
Damar Sarka hanya menggapai angin. Apa yang terjadi? Saat itu orang yang tadi
berucap dengan suara lembut menarik Damar Sarka dua langkah ke belakang,
sekaligus mencekal leher dan menekan kepalanya. Belum sempat Liris Biru melihat
jelas siapa adanya orang itu tiba-tiba dua tangan bergerak dani
"Kraakk!"
Leher
Damar Sarka patah mengeluarkan suara menggidikkan Nyawanya putus kejapan itu
juga.
Ketika
tubuh Damar Sarka dilepas dan jatuh ke tanah baru Liris Biru, Setan Ngompol dan
Ki Tambakpati melihat siapa adanya orang yang menghabisi bekas anggota Keraton
Kaliningrat itu.
Orang ini
ternyata pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam.
Kening
diikat kain merah Pada baju serta kain merah dlkening terdapat sulaman bunga
dari benang perak dan benang emas.
Bibirnya
dihias kumis kocll, pipi dan dagu tertutup janggut dan berewok tipis rapi. KI
Tambakpati dan Setan Ngompol segera mendatangi sementara Liris Biru untuk
beberapa saat hanya tegak memperhatikan.
"Anak
muda. terima kasih kau telah menyelamatkan gadis sahabatku ini," ucap
Setan Ngompol.
"Ilmu
kepandaian Damar Sarka tidak rendah. Tapi kau menghabisinya begitu mudah dan
cepat Anak muda. siapa kau adanya? Pasti kau murid seorang sakti ternama."
Bertanya Ki Tambakpati.
Pemuda
yang disapa tersenyum dan membungkuk memberi hormat pada dua kakek di
hadapannya.
"Aku
hanya seorang pengelana muda yang tengah mencari pengalaman dan kebetulan
lewat. Kalau tidak ada aku pasti ada orang lain yang akan memberikan
pertolongan. Bukankah semua jalan hidup ini sudah diatur dan ditentukan oleh
Yang Maha Kuasa?"
Setan
Ngompol ternganga. Ki Tambakpati angguk-anggukkan kepala mendengar ucapan BI
pemuda. Setan Ngompol kemudian berpaling pada Liris Biru.
"Liris
Biru, apakah kau tidak Ingin mengucapkan terima kasih pada sahabat muda yang
telah menyelamatkan dirimu?"
"Aku"
Liris Biru tidak mulnkukan apa yang dikatakan Setan Ngompol, ucapannya malah
diputus. Pandangan mata mengarah pada pemuda di depannya, air muka menyatakan
seperti ada yang menyekat jalan pikirannya saat itu.
"Liris…"
Setan Ngompol menegur.
"Kek…."
Pemuda
berpakaian hitam tersenyum. Dia berpaling pada Setan Ngompol dan berkata.
"Gadis sahabatku ini masih terpengaruh oleh apa yang barusan terjadi.
Ucapan terimakasih yang tidak dikatakan tapi disimpan di dalam hati adalah satu
ketulusan abadi.
Kakek
berdua, aku minta diri karena ada urusan penting yang harus aku lakukan di Kuto
Gede."
Habis
berkata begitu, tidak menunggu lebih lama pemuda berpakaian hitam segera
tinggalkan tempat itu. Sebelum pergi dia melirik sekilas ke arah sosok Pendekar
212 Wiro Sableng yang terbaring pingsan di atas bambu.
Baik
Setan Ngompol maupun Ki Tambakpati tidak berusaha mengejar. Keduanya mendatangi
Liris Biru. Setan Ngompol menegur.
"Aku
tidak tahu, apa yang terjadi dengan dirimu. Kau kelihatan seperti orang
bingung. Kau tidak mengucapkan terima kasih pada pemuda yang telah
menyelamatkan dirimu. Apa kau kesemsem, mendadak jatuh hati padanya?!"
Lirus
Biru gelengkan kepala lalu memutar tubuh, memandang ke arah lenyapnya pemuda
tadi.
"Kek,
aku ingat kejadian beberapa waktu sebelum kakak Liris Merah dibunuh."
"Kejadian
apa?" tanya Setan Ngompol yang saat itu merasa mau kencing lagi. Buru-buru
dia pegangi bagian bawah celananya yang basah.
"Waktu
itu aku dan Liris Merah berada dalam goa. Lewat lobang pengintai kami melihat
kemunculan seorang pemuda tak dikenal.
Wajah dan
ciri-ciri pemuda itu sangat sama dengan pemuda yang tadi menolong diriku…"
"Kalau
begitu kalian sudah saling kenal." kata Ki Tambakpati pula.
Liris
Biru menggeleng lalu melanjutkan ucapan "Kemunculannya mendatangkan tanda
tanya kecurigaan. Mungkin sekali dia tengah melakukan penyelidikan…"
"Penyelidikan
apa?" tanya Setan Ngompol.
"Kek,
saat ini aku tidak bisa mengatakan. Lain waktu pasti aku ceritakan
padamu." Jawab Liris Biru yang masih tetap merahasiakan perihal candu 50
kati yang tersimpan di dalam goa.
"Kakakku
Liris Merah rupanya tertarik pada pemuda Itu. Ketika si pemuda pergi Liris
Merah keluar dari goa. Katanya dia mau mengikuti pemuda itu. Namun kemudian
nasib malang menimpa diri kakakku. Aku temui dirinya di tepi telaga, di balik
sebuah batu besar dalam keadaan tanpa pakaian dan tak bernyawa lagi.
Seorang
pemuda yang kupergoki berada di tempat itu melarikan diri…."
‘Kau
sudah menceritakan kisah itu sebelumnya padaku," kata Setan Ngompol.
"Ya
dan aku ingat benar Kek. Walau melihat hanya sekilas namun raut muka, ciri-ciri
dan warna pakaian orang yang meniduri kakakku lalu membunuhnya dan kemudian
kabur melarikan diri, sama dengan pemuda tadi."
Ki
Tambakpati meraba dagunya lalu berkata. "Itu sebabnya tadi kau tampak
bingung…"
"Dugaanku
berat pemuda yang membunuh kakakku sama dengan pemuda yang tadi menolongku.
Namun aku tadi merasa bimbang…"
"Kalau
dia memang jahal mengapa tadi dia mau susah-susah menolong menyelamatkan dirimu
dari Damar Sarka?" tanya Setan Ngompol pula.
"Orang
jahat bisa punya seribu wajah seribu akal seribu tipuan.
Bukan
mustahil dia sengaja menyelamatkan diriku karena kelak aku akan dijadikan
korban berikutnya."
Setan
Ngompol tahan air kencingnya yang hendak memancar Ki Tambakpati terdiam Puncak
bukit mendadak terasa sunyi. karena saat itu hujan telah berhenti
"Untuk
mengetahui bahwa memang dia yang telah membunuh kakakku, aku harus mengejar
manusia satu itu. Dia bilang akan ke Kuto Gede. Aku akan mencarinya di sana.
Kakek berdua, harap maafkan aku terpaksa meninggalkan kalian."
"Tunggu
dulu! Jangan pergi sendirian," seru Ki Tambakpati Dia merasa kawatirakan
keselamatan si gadis. Selain itu dia butuh Liris Biru untuk membantu membawa
Pendekar 212 Wiro Sableng ke gubuknya di tikungan Kali Progo. Namun Liris Biru
sudah keburu lenyap di lereng bukit sebelah timur.
Ki
Tambakpati menarik dan melepas nafas panjang, berpaling pada Setan Ngompol.
"Tinggal kita berdua, tua bangka sial.
Apakah
kita sanggup membawa murid Sinto Gendeng itu ke gubukku di Kali Progo?"
"Mau
dibilang apa? Itu harus kita lakukan berdua." Setan Ngompol pandangi wajah
pucat dan sosok tak bergerak tubuh Pendekar 212 beberapa ketika lalu berkata.
"Aku melihat, pendekar ini seperti mendekam satu malapetaka yang akan
menghancurkan masa depannya."
Ki
Tambakpati mengangguk. "Syukur kau sudah bisa menduga.
Aku
sendiri masih belum jelas apa sebenarnya yang menimpa diri murid Sinto Gendeng
ini dan apakah aku mampu mengobati."
Terbungkuk-bungkuk
dua kakek itu kemudian mulai sama-sama menyeret potongan bambu di atas mana
Pendekar 212 terikat pingsan. Sebentar-sebentar Setan Ngompol pegangi bagian
bawah perutnya dengan salah satu tangan, menahan agar tidak pancarkan air
kencing.
********************
4
BEBERAPA
ratus tahun silam. Sebelum kemunculan pemuda misterius berpakaian serba hitam
membekal patung Kamasutra dan bunga tanjung, melakukan perkosaan atas diri para
gadis dan membunuhnya.
Kawah
Gunung Bromo. Tepat tengah malam. Udara dingin luar biasa. Keadaan gelap karena
di langit tak ada bintang tak ada rembulan. Selain itu kabut tebal menutupi
hampir seluruh kawah. Dalam keadaan seperti itu dimana mahluk hidup baik yang
namanya manusia atau binatang tidak diharapkan berada di tempat itu,
samar-samar di lamping kawah sebelah timur tampak berkelebat satu bayangan
putih. Sepintas seperti setan yang terpesat gentayangan. Namun jika
diperhatikan ternyata dia manusia juga adanya yaitu seorang kakak berjubah
putih.
mengenakan
kain hitam tebal untuk menutup kepala sampai ke kuduk dan sepasang telinga Alis
janggut dan kumis tebal serta rambut yang tersembul di bawah penutup kepala
semua tampak putih. Walau usia paling tidak telah lebih dari tujuh puluh tahun
namun gerakannya begitu ringan dan cepat.
Pandangan
matanya tajam mencari jalan yang akan di tempuh.
Dua
kakinya tidak tersandung atau terpeleset dalam melangkah bahkan sesekali dia
melompat dari satu bagian kawah ke bagian lainnya. Udara dingin yang sanggup
membuat air menjadi beku seperti tidak dirasakannya Sesekali dia memasukkan
tangan kanan ke dalam saku jubah sebelah kanan. Di dalam saku ini terdapat
sebuah benda sakti berupa batu sebesar kepalan yang senantiasa memancarkan hawa
hangat Dengan kesaktian batu inilah orang tua itu bisa bertahan dari hawa
dingin luar biasa yang bisa membuat air menjadi beku.
Di satu
tempat si kakek berhenti. Dia tegak meluruskan tubuh, mendongak menatap ke
langit Setiap hembusan nafas yang keluar dari hidungnya membuat kepulan hawa
dingin berwarna putih membersit di udara.
"Bulan
tidak muncul. Bintang tidak kelihatan. Mudah-mudahan aku tidak salah menghitung
hari. bulan dan tahun. Mudahmudahan aku segera menemukan batang pohon kayu besi
yang aku tancapkan sebagai tanda tiga puluh tahun silam."
Kata-kata
itu terucap dalam hati. Dengan sepasang matanya yang kelabu, orang tua berjubah
putih kemudian memandang berkeliling Lalu mulutnya berkata perlahan.
"Timur di sebelah kiri, barat di sebelah kanan. Aku harus menuju ke utara.
Berarti lurus ke depan."
Begitu
selesai berucap orang tua ini melangkah ke depan.
Kaki kiri
menginjak satu tonjolan batu pada lereng kawah yang terjal. Dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh dia pergunakan batu itu untuk menjadi alat pelontar
diri, melesat ke udara setinggi dua tombak lalu melayang ke arah utara Beberapa
kali berkelebat akhirnya dia sampai di bagian kawah sebelah utara.
Dia
memilih satu tempat ketinggian untuk berhenti dan memperhatikan keadaan
sekitarnya. Kabut putih dari dasar kawah masih terlalu tebal. Orang tua ini
menunggu dengan sabar.
Tak
selang berapa lama kabut mulai naik ke atas. Perlahan lahan bagian kawah yang
tadi tertutup kini terlihat eelas. Dan orang tua ini lepaskan nafas lega ketika
sepasang matanya membentur benda hitam batangan pohon kayu besi yang menancap
di lereng kawah sekitar dua belas langkah di depannya.
Sekali
melesat orang tua ini telah berada di depan batangan kayu besi hitam. Tiga
puluh tahun lalu dia menancapkan potongan batang kayu itu di tempat itu.
Setelah sekian lama waktu berlalu batang kayu itu masih ada di tempat itu.
tidak lapuk bahkan nyaris tidak berubah. Si orang tua mengusap dan mencium
batang kayu hitam. Lalu pandangan matanya dialihkan ke arah lamping kawah,
tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Dia menunggu dengan hati berdebar Mendongak
ke langit. Sepasang mata membesar dan wajah tampak berseri ketika di langit dia
melihat samar-samar muncul bulan sabit "Bulan sabit telah menampakkan
diri. Tepat seperti yang diramalkan semula. Sebentar lagi aku akan melihat
pemuda itu.
Pasti
banyak yang berubah dengan dirinya usianya kini lima puluh lima tahun. Lebih
dari setengah abad."
Si orang
tua bergerak ke depan mendekati lamping kawah di hadapannya. Pada langkah ke
enam dia berhenti lalu menduduk diri, bersila di tanah. Dua mata dipejam, dua tangan
diletakkan di atas paha. Sikapnya seperti seseorang tengah "melakukan
samadi.
Tak
selang berapa lama orang tua ini mendengar langkahlangkah halus yang tak akan
mungkin didengar oleh telinga
manusia
biasa. Orang tua ini buka kedua matanya. Tepat pada saat itu dinding kawah di
hadapannya terasa bergetar lalu mengeluarkan suara berderak. Pada dinding kawah
kelihatan retakan dalam, berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian hampir
satu setengah tombak. Perlahan-lahan retakan di sebelah atas gugus luruh dan
jatuh ke bawah. Sesaat kemudian pada dinding kawah muncul lobang besar
menyerupai mulut sebuah goa.
Di langit
di atas kawah tiba-tiba terjadi satu keanehan. Kilat berkiblat membuat udara
terang benderang seketika sampai ke dasar kawah Dalam kilatan cahaya terang itu
di dalam goa si orang tua melihat satu sosok melangkah keluar. Di lain kejap di
hadapan mulut goa telah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju dan
celana hitam. Wajahnya segar tertutup kumis, cambang bawuk serta jenggot tipis
rapi. Pemuda ini menatap ke arah si orang tua lalu tersenyum.
"Dewa
seru sekalian alam. Orang tua itu keluarkan seruan, setengah melompat dia
menghambur ke mulut goa, jatuhkan diri di tanah sambil pegangi kaki si pemuda.
Pemuda yang dipegangi kedua kakinya balas memegang bahu orang tua itu lalu
berkata. Suaranya lembut
"Paman
Darmasewara, berdirilah. Mengapa harus berlutut di hadapanku. Aku ini masih
keponakanmu, bukan Raja bukan Dewa."
Si orang
tua berdiri langsung memeluk dan menciumi pemuda Itu. Sepasang matanya
berkaca-kaca.
"Suma
Mahendra! Sulit aku percayai Tiga puluh tahun lalu aku meninggalkanmu waktu kau
masuk menembus dinding kawah.
Kini kau
berdiri di hadapanku tanpa perubahan sedikitpunl Kau tetap sebagai seorang
pemuda tiga puluh tahun silam. Rambutmu, kumis dan janggut tidak menjadi
panjang, tidak berubah warna.
Bahkan
pakaianmu tidak lusuh sedikitpunl Kau seolah baru kutinggal petang tadi!"
"Kuasa
dan kasih para Dewa sungguh besar terhadap diriku, Paman."
"Aku
sungguh sangat bersyukur, Mahendra. Eh. lihat diriku!
Ketika
aku mengantarkan kau ke kawah Gunung Bromo ini usiaku sekitar setengah abad.
Kini lihat perubahan yang terjadi! Aku sudah menjadi kakek reot, rambut, kumis
dan janggutku putih semua Separuh gigiku sudah tanggal ompong. Usiaku sekarang
delapan puluh tahun, Suma. Dan kau seharusnya saat ini sudah berumur lima puluh
lima tahun. Namun yang aku lihat kau tetap pada usiamu dulu, usia dua puluh
lima tahun"
Pemuda
bernama Suma Mahendra tersenyum "Paman, seperti yang disebutkan dalam
kitab Jagat Pusaka Dewa, aku berhasil memindahkan pohon tanjung yang terletak
di alun-alun Singosari. Lihatlah ke belakangmu!"
Saat itu
terdengar suara menderu keras, seluruh kawah bergetar, membuat orang tua
bernama Darmasewara tercekat dan berpaling ke belakang. Mata terbeliak, mulut
ternganga.
"Dewa
Penguasa Langit dan Bumi! Sungguh luar biasai"
ucap
Darmasewara. Hanya mulut yang bersuara sementara sekujur tubuh laksana terpaku,
diam tak bergerak. Di hadapannya, mengambang di atas kawah Gunung Bromo tegak
menjulang sebatang pohon tanjung besar berbunga lebat.
Sebelumnya
Darmasewara telah melihat ratusan, mungkin ribuan kali pohon tanjung itu yang
tumbuh di alun-alun Kerajaan Singosari. Saking seringnya dia melihat, orang tua
ini nyaris mengenali setiap sudut batang pohon, setiap cabang dan ranting serta
pada saat-saat pohon Itu berbunga.
"Singosari
akan geger besar begitu besok pagi semua orang melihat pohon tanjung besar di
alun-alun tak ada lagi di tempatnya semula" Darmasewara gelengkan kepala
terkagumkagum.
"Paman…"
Si orang
tua palingkan kepala, memandang pada Suma Mahendra.
Tiga
puluh tahun aku mendekam bersamadl di dalam perut kawah Gunung Bromo ternyata
tidak semua permintaanku dikabulkan secara langsung oleh para Dewa. Dewa
memberiku kekuatan luar biasa hingga aku mampu bertahan hidup, sehat dan tidak
menjadi tua. Dewa memberiku kekuatan dan ilmu luar biasa untuk memindah pohon
tanjung besar ke dalam kawah.
Kelak
pohon itu nantinya akan muncul di pedataran pasir Tengger. Namun tidak semua
mata manusia bisa melihatnya.
Aku
sedih, tapi jauh dari kecewa. Dewa tidak mengabulkan permintaanku untuk
mendapatkan ilmu kesaktian seperti yang tertulis dalam kitab Jagat Pusaka Dewa.
Aku tidak diperkenankan untuk membalas dendam kematian Paman Tunggul Ametung.
Lebih dari itu aku tidak mendapat restu untuk mengambil alih tahta Kerajaan
Singosari. Paman, setelah tiga puluh tahun berlalu, apa yang terjadi dengan
Kerajaan dan siapa sekarang yang berkuasa. Apakah masih Ken Arok, Raja yang
telah membunuh pamanku dan saudara sepupumu itu?"
Darmasewara
menghela nafas panjang lalu gelengkan kepala.
"Lima
tahun setelah berkuasa hukum karma berlaku. Ken Arok dibunuh oleh anak tirinya
sendiri yaitu Anusapati, putera Ken Dedes dari pamanmu Tunggul Ametung.
Anusapati kemudian di bunuh oleh Tohjaya, putera Ken Arok dari istrinya Ken
Umang.
Tahta
berdarah berkelanjutan. Tohjaya dibunuh oleh Ranggawuni.
putera
Anusapati. Sekarang Ranggawuni yang menduduki tahta Kerajaan Singosari."
"Selama
ini apakah Paman mengabdikan diri pada Kerajaan?"
"Sri
Baginda Ranggawuni adalah kerabat satu aliran darah kita. Namun sesuai
petunjukmu sebelum masuk ke dalam kawah Gunung Bromo ini dulu, selama tiga
puluh tahun aku menjauhkan diri dari segala hal dan kegiatan yang berhubungan
dengan Kerajaan. Sri Baginda pernah menanyakan keberadaan dirimu dan meminta
aku datang ke Istana. Namun sampai hari ini aku belum berani memperlihatkan
diri. Kecuali kalau kau memberi petunjuk dan izin untuk melakukan."
"Sebaiknya
Paman jangan dulu menemui Ranggawuni. Kita tidak tahu kemelut apa yang akan
terjadi. Besok atau lusa bisa saja Ranggawuni dibunuh orang. Lalu Paman akan
ikut menjadi korban, paling tidak dijebloskan masuk penjara."
"Suma,
aku akan menuruti nasihatmu," kata Darmasewara pula.
Setelah
mendengar penuturan pamannya dan merenung beberapa lama Suma Mahendra berkata.
"Mungkin sekali karena perselisihan yang membawa dendam, darah dan nyawa
berkepanjangan itu yang menyebabkan para Dewa tidak memberikan ilmu kesaktian
padaku secara langsung dan juga tidak membenarkan aku mengambil alih tampuk
Kerajaan. Ilmu yang aku harapkan itu tadinya akan dipergunakan untuk menghadapi
Ken Arok yang sakti mandraguna. Namun sekarang segala sesuatunya telah berlalu.
Ken Arok sendiri sudah tak ada lagi di permukaan bumi Ini. Aku sangat berterima
kasih, walau tidak memberikan secara langsung padaku namun para Dewa tetap akan
menurunkan ilmu kesaktian itu ke muka bumi ni. Seseorang kelak akan mendapat
menerimanya mewakili diriku."
"Suma.
kau mengatakan para Dewa tidak memberikan ilmu kesaktian padamu secara
langsung. Dan ada seseorang yang akan menerimanya mewakili dirimu. Bagaimana
maksudnya?’ bertanya Darmasewara.
"Paman,
ada satu berita sedih bagimu. Aku tidak akan pulang ke Singosari, tapi akan
kembali masuk ke dalam goa.
Malam ini
juga. Tiga hari dari malam ini aku akan menemui akhir dari perjalanan hidupku.
Aku akan menghembuskan nafas terakhir…"
"Suma
Mahendra’ Kau bicara apa?!" ucap sang paman setengah bertenak saking
kagetnya.
"Begitu
petunjuk yang diberikan para Dewa dalam samadiku."
"Suma,
apakah kau telah melakukan satu kesalahan selama kau bersamadi hingga Dewa
menjadi marah?"
Pemuda
tampan itu menggeleng. "Justru karena Dewa sayang padaku, maka petunjuk
itu diberikan dan pasti akan terlaksana.
Paman tak
usah memikirkan bagaimana nasib jazadku. Aku akan terkubur baik-baik di dasar
kawah Gunung Bromo ini."
"Seandainya
kau tidak mengikuti petunjuk dalam Kitab Jagat Pusaka Dewa itu dan tidak
melakukan samadi. Mungkin kau tidak akan mengalami nasib seperti yang barusan
kau katakan"
"Nasib
seseorang sudah tertulis di dalam Kitab yang bernama Takdir. Sebagai manusia
kita tidak perlu kecewa. Ini adalah satu kenyataan. Kematian adalah kenyataan
yang akan dialami semua orang. Apakah dia seorang Raja atau seorang hamba
sahaya rakyat jelata. Hanya sayang aku tidak dapat membalaskan sakit hati
Kematian paman Tunggul Ametung Para Dewa tidak ingin tanganku berlumur darah
akibat dendam berkepanjangan.
Kenyataannya
dendam saling bunuh itu telah berlangsung." Suma Mahendra pandangi wajah
tua Darmasewara dengan senyum lembut lalu berkata. "Paman, jika paman
suka, paman boleh meninggalkan tempat ini. Aku akan masuk ke dalam goa…"
Suma Mahendra pegang bahu pamannya. Sang paman pegang lengan pemuda itu
erat-erat
"Kau
belum menjawab pertanyaanku mengenai ilmu kesaktian yang akan diberikan secara
tidak langsung. Kau mengatakan ada seseorang yang bakal mendapatkan ilmu
kesaktian Ku. Apakah berarti…"
"Setelah
aku mati, aku akan menitis pada diri seorang bayi.
Namun aku
tidak tahu kapan kejadiannya. Mungkin mmggu atau bulan dimuka. Mungkin juga
puluhan atau ratusan tahun kemudian. Bayi itulah kelak, yang setelah dewasa
akan mendapatkan ilmu kesaktian seperti tertulis dalam Kitab Jagat Pusaka Dewa.
Namun Paman, ada satu hal yang aku lihat dalam samadiku. Ada satu kekuatan alam
roh yang datang dari negeri jauh Ingin mengacaukan keadaan. Aku melihat gurun
pasir luas sekali. Jauh lebih luas dari gurun pasir Tengger. Aku melihat gunung
yang terbuat dari tumpukan jazad perempuan. Di lereng gunung mengalir sebuah
sungai yang airnya berwarna merah seperti darah, menebar bau busuk menjijikkan.
Aku mendengar raung suara anjing yang seolah sangat ketakutan dan meratapi apa
yang bakal terjadi. Lalu aku melihat ratusan bunga tanjung beterbangan, luruh
jatuh masuk ke dalam sungai darah.
Warnanya
yang putih kekuningan berubah menjadi semerah darah. Bunga yang tadinya suci
itu kini telah dibungkus noda.
Paman,
aku mohon kau menjaga Kitab Jagat Pusaka Dewa baik-baik. Jangan sampai jatuh ke
tangan siapapun…"
"Aku
akan melakukan pesanmu itu Suma." jawab si orang tua.
Kedua
orang itu kemudian saling berpelukan. Darmasewara tinggalkan dasar kawah dengan
mata berkaca-kaca. Suma Mahendra mengikuti langkah cepat sang paman dengan mulut
tersenyum lalu perlahan-lahan balikkan diri, masuk kedalam goa.
Ketika
Darmasewara sampai ke ujung kawah sebelah atas tiba-tiba dia mendengar suara
deru seperti angin bertiup. Orang tua Ini berpaling, memandang ke dalam kawah
Dia terheranheran melihat ratusan bunga tanjung yang ada di pohon besar
mengambang di atas kawah, berlesatan masuk ke dalam goa tempat Suma Mahendra
bersamadi. Bau harum semerbak bunga menebar dan tercium sampai ke atas kawah
Namun orang tua ini jadi tercekat ketika bau harum itu mendadak berubah menjadi
bau anyir busuk, menyengat jalan pernafasan hingga dia tak sanggup menahan
muntah. Darmasewara Ingat ucapan Suma Mahendra. Bunga tanjung telah berubah
menjadi bunga noda.
KETIKA
dua hari kemudian Darmasewara kembali ke tempat kediamannya di pinggiran
Kotaraja, orang tua ini terkejut mendapatkan lemari jati yang ada dalam kamar
terguling roboh di lantai. Bagian dinding kamar yang sebelumnya terlindung di
balik lemari hancur berantakan. Pada dinding itu ada sebuah kotak kayu tempat dimana
dia menyimpan Kitab Jagat Pusaka Dewa sejak tiga puluh tahun lalu. Kotak itu
kini tak ada lagi di tempatnya. Raib bersama kitab yang ada di dalamnya!
Darmasewara
jatuh terduduk di lantai kamar. Dia lebih baik mati dari pada menyaksikan
kejadian ini. Sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya dia berkata
lirih.
"Dewa.
saya mohon dengan segala kerendahan.siapapun yang telah mencuri Kitab Jagat
Pusaka Dewa. jangan jadikan hal ini sebagai pangkal munculnya malapetaka."
Perlahan-lahan
Darmasewara turunkan dua tangannya yang menutupi wajah. Ketika pandangannya
membentur dinding di hadapannya, dia terkejut
"Astaga,
sebelumnya tulisan itu tidak ada disitu!" ucapnya.
Saat itu
di dinding kamar entah bagaimana kejadiannya tertera tulisan.
"Kitab
Jagat Pusaka Dewa tidak dicuri orang. Kitab itu hanya perlu diselamatkan dan
orang-orang yang berniat jahat" Darmasewara bangkit berdiri. Dia memandang
seputar kamar.
"Siapa
yang menulis? Aku tidak melihat orang masuk ke tempat ini!" Paman Suma
Mahendra, saudara sepupu Tunggul Ametung ini melihat jendela terbuka. Secepat
kilat dia melompat keluar rumah lewat jendela itu. Berkali-kali dia memutari
rumah, menyelidik sampai ke luar halaman namun tak seorangpun yang kelihatan.
********************
5
RATUSAN
tahun setelah lenyapnya Suma Mahendra di dasar kawah. Desa Tumpang, di barat
Gunung Bromo.
Pagi buta
hari Jum’at Legi, dingin dan gelap. Aki Jarot memacu gerobak sapi sekencang
yang bisa dilakukannya.
Tuminah.
istrinya yang dukun beranak duduk tergoncanggoncang di sampingnya, berpegang
erat pada tiang kayu di pinggiran gerobak. Susur dalam mulutnya dipindah kian
kemari.
"Pakne.
kalau kau memacu gerobak ini lebih kencang, kita berdua bisa mati terbalik. Maksud
hendak menolong orang tidak kesampaian." Tuminah berkata cemas pada
suaminya.
Aki Jarot
mencambuk punggung sapi dengan cemeti, menjawab.
"Tadi
kau sendiri yang minta diantar cepat-cepat Sudah diam saja.
Aku sudah
bertahun-tahun menarik gerobak, sudah belasan tahun kenal jalan ke desa
Tumpang. Mau takut apa?"
"Aku
tidak takut Pakne, aku ingin sampean berhati-hati," jawab sang istri
dengan nada mengalah.
Melewati
sebuah tikungan, jalan yang ditempuh agak mendaki.
Sapi
penarik gerobak tidak mampu berlari sekencang tadi lagi.
Tepat di
puncak pendakian binatang ini berhenti berlari. Bukan karena keletihan, tapi
ada seseorang di depan sana, berdiri di tengah jalan. Orang ini mengenakan
jubah hitam dan ikat kepala seperti sorban juga berwarna hitam. Wajahnya yang
putih tertutup kumis, janggut dan cambang bawuk hitam pekat, di dalam gelap
tampak berkilat. Mungkin diberi minyak.
Tubuhnya
menebar bau wangi kembang. Dari raut wajah serta perawakannya yang tinggi besar
agaknya orang ini bukanlah penduduk asli setempat. Mungkin sekali dia seorang
keturunan Arab atau berdarah India. Di tangan kanannya orang ini memegang
sebuah kitab terkembang.
Sepertinya
dia asyik membaca isi kitab. Aneh. selain tak masuk akal ada orang membaca
kitab di malam buta di tengah jalan seperti itu, juga apakah dia bisa melihat
di malam segelap itu?
Orang
asing ini mengangkat tangan kiri ke atas. Telapak terkembang diarahkan ke depan
pada sapi ponarik gerobak.
Gerak
tangan inilah agaknya yang membuat binatang itu berhenti berlari.
"Ki
sanak di tengah jalan, menyingkirlah. Kami harus melanjutkan perjalanan. Kami
ada urusan pentingl Jangan menghadang di tengah jalan" Aki Jarot
berteriak.
Orang
berjubah hitam terus saja membaca kitab seperti tidak mendengarteriakan itu.
Aki Jarot jadi jengkel.
"Pakne.
orang itu kelihatannya bukan orang Jawa. Mungkin dia tidak mengerti ucapanmu
berkata Tumlnah.
"Siapapun
dia, kalau berada di tempat ini pasti mengerti bahasa di sini. Hantu sekalipun
tahu apa yang aku ucapkan!"
jawab Aki
Jarot. Lalu kembali dia berteriak. "Jangan salahkan kalau kau diterjang
sapiku!" Lelaki separuh baya ini kemudian cambuk sapinya kuat-kuat, tali
kekang disentak berulang kali.
Namun
jangankan berlari, bergerakpun tidak binatang itu Malah sesaat kemudian sapi
putih ini tekuk dua kaki depannya lalu rundukkan diri bersimpuh di tanah.
"Hai!"
Aki Jarot berteriak kaget juga heran. Setelah menyuruh istrinya tetap duduk di
atas gerobak dia melompat turun menemui orang berjubah hitam. Namun baru
menindak tiga langkah, orang tinggi besar angkat tangan kirinya dan tiba-tiba
saja langkah Aki Jarot tertahan. Dua kaki lelaki itu laksana dipantek ke tanah.
"Apa
yang terjadi dengan diriku? Kau!" Aki Jarot berteriak kaget Tuminah turun
dari gerobak menemui suaminya.
"Pakne.
ada apa?"
"Orang
berjubah hitam itu! Dia mengangkat tangan. Kakiku lantas saja tak bisa
digerakkan. Pasti dia orang jahat! Mungkin begal!"
"Biar
aku menemuinya." kata sang istri. Dalam hal-hal tertentu Tuminah memang
perempuan pemberani. Dia turun dari gerobak lalu melangkah ke arah orang tinggi
besar berjubah cian bersorban hitam yang masih tegak dengan sikap asyik membaca
kitab.
Tuminah
keluarkan susur dari dalam mulut lalu menegur orang di tengah jalan dengan
suara keras. "Kalau kau memang begal, kami tidak punya apa-apa. Mau merampok
apa?!"
Si jubah
hitam tinggi besar perlahan-lahan tutup kitab yang dibaca lalu dimasukkan ke
balik jubah. Dia menatap perempuan di depannya, tersenyum lalu membungkuk dan
berkata.
Suaranya
berat tapi lembut. Dialeknya terdengar kaku aneh.
"Bukankah
Ibu ini dukun beranak bernama Tuminah yang tinggal di desa Samberrejo?"
"Sumberrejo.
Kami tinggal di Sumberrejo. Bukan Samberrejo,"
jawab
Tuminah. "Eh. sompoan tahu namaku. Sampean ini siapa? Sampean pasti bukan
orang sini. Mengapa menghadang perjalanan kami?"
"Tuminah!
Hati-hati! Orang itu pasti punya niat jahat!
Jangan
bicara padanya! Kembali ke sini!" Aki Jarot berteriak, kawatir akan
keselamatan istrinya.
"Aku
bukan orang jahat," lelaki berjubah berucap. "Namaku Deewana Khan.
Kau dan suamimu bukankah dalam perjalanan menuju desa Tumpang?"
"Benar,"
jawab Tuminah. Dia hendak masukkan susurnya ke dalam mulut kembali tapi tak
jadi. Perempuan ini bertanya.
"Sampean
pasti bukan penduduk sini. Bagaimana bisa tahu kemana kami mau pergi?"
"Di
desa Tumpang ada seorang perempuan muda bernama Sulin, bersuamikan
Tajurpambayan. Perempuan muda itu hendak melahirkan. Anak pertama. Dan Ibu ke
Tumpang hendak menolongnya. Benar begitu?"
Tuminah
tercengang mendengar ucapan orang tinggi besar Jubah hitam yang benar semua
adanya. Sampean orang aneh.
Tahu
kemana kami pergi dan apa yang hendak aku lakukan.
Kalau
tahu kami mau menolong perempuan yang hendak melahirkan mengapa
menghadang?"
"Aku
tidak menghadang. Hanya ingin memberi tahu bahwa Ibu tidak perlu bersusah payah
jauh-jauh pergi ke Tumpang.
Sudah ada
orang lain yang akan menolong perempuan yang hendak melahirkan itu."
"Siapa?
Mana boleh jadi? Mulai dari Sumbermanjing di selatan sampai Lawangan di utara
hanya aku seorang dukun beranak…"
Orang
mengaku bernama Deewana Khan tersenyum “Sudahlah, kau dan suamimu kembali saja
ke Sumberrejo. Tak perlu mengawatirkan perempuan muda yang hendak melahirkan
itu."
Habis
berkata begitu orang berjubah membuat gerakan mengusap di depan wajah dan tubuh
Tuminah. Tangan kanan kemudian diusapkan ke wajah dan tubuhnya sendiri. Saat
itu juga wajah dan sosok orang ini berubah menjadi wajah dan sosok sama dengan
Tuminah si dukun beranak!
Tuminah
sampai keluarkan seruan tertahan saking kagetnya.
Suaminya
Aki Jarot berteriak menyuruhnya menjauhi orang aneh itu. Namun Tuminah seperti
tak berkuasa beranjak dari tempatnya.
Dengan
tangan kanannya Deewana Khan mengambil susur yang dipegang Tuminah, lalu
dimasukkan ke dalam mulut langsung dikunyah-kunyah!
"Ujud
kita sama. Aku akan mewakilimu menolong Sulin melahirkan." Lelaki tinggi
besar yang berubah menjadi Tuminah itu suaranya kini berubah menjadi suara
perempuan, bahkan suara itu sama benar dengan suara si dukun beranak.
"Sebelum aku pergi ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Kalian
suami istri tidak pernah bertemu denganku, tidak akan pernah memberi tahu
siapapun apa yang terjadi malam ini di tempat ini.
Kalau hal
itu kalian langgar, akan ada kutuk penyakit yang membuat kalian berdua menemui
ajal secara sengsara. Namun jika kalian mematuhi, berkah besar akan menjadi
bagian kalian."
Deewana
Khan alias Tuminah palsu memasukkan sesuatu ke dalam genggaman tangan kanan
Tuminah. Ketika perempuan ini memperhatikan ternyata benda itu adalah sekeping
perak.
Sepasang
mata Tuminah berkilat-kilat
"Itu
pembayar kebajikan hendak menolong orang." kata Tuminah jejadian.
"Tapi…tapi
aku belum melakukan apa-apa. Aku belum menolong Sulin melahirkan."
"Budi
baik dan kebajikan tidak selalu diperlihatkan dengan pekerjaan nyata. Niat yang
luhur dalam hati sudah merupakan satu pahala besar. Ibu. kau dan suamimu
kembalilah ke Sumberejo."
Habis
berkata begitu Tuminah palsu angkat tangan kirinya ke atas. Tahu-tahu di tangan
itu sudah ada kitab yang tadi dibaca sewaktu ujudnya masih merupakan lelaki
tinggi besar.
Kitab
dikembang, tubuh diputar. Sambil membaca kitab Tuminah palsu melangkah pergi.
Hanya sesaat saja tubuhnya kemudian lenyap di telan kegelapan malam.
Saat itu
Aki Jarot merasakan ke dua kakinya enteng dan bisa digerakkan lagi. Secara
bersamaan sapi yang terduduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri. Aki Jarot
cepat menemui istrinya.
"Apa
yang tadi diberikan orang itu padamu?" tanya Aki Jarot pada istrinya.
Tuminah
buka genggaman tangan kanannya, memperlihatkan kepingan perak yang berkilau di
dalam kegelapan. Aki Jarot sampai terbeliak.
Luar
biasa. Kita jadi orang kaya Bune! Siapa sebenarnya orang tadi? Dia bisa merubah
ujud menyerupai dirimu!"
"Pakne.
baiknya kita lekas-lekas tinggalkan tempat ini.
Kembali
ke Sumberrejo."
"Tunggu
dulu." jawab sang suami. "Aku tadi mendengar orang itu mengatakan dia
yang hendak menolong Sulin melahirkan. Aku kawatir…"
"Aku
juga kawatir. Kawatir kalau mahluk jejadian itu sebenarnya adalah mahluk halus
hantu pelayangan…" Tuminah merasa tengkuknya dingin dan memegang tangan
suaminya erat-erat.
"Aku
menduga orang tadi adalah tukang sihir jahat yang hendak melakukan sesuatu
terhadap Sulin. Mungkin dia hendak membunuh perempuan itu atau bayinya Mungkin
juga dia hendak menculik bayi yang nanti dilahirkan Sulin.
"Lalu
apa yang kita lakukan sekarang” Maunya aku kita kembali saja ke Sumberrejo Kita
sudah dapat rejeki besar..
"Kita
bisa saja mendapat rejeki lebih besar" jawab Aki Jarot.
"Apa
maksudmu Pakne?"
"Kita
tidak kembali ke Sumberrejo. Tapi lanjutkan perjalanan ke Tumpang. Kita harus
tahu apa yang akan dilakukan orang itu Jika benar dia hendak berbuat jahat kita
harus mencegah. Jika kita berbuat begitu pasti kau akan dibujuknya dan diberi
lagi tambahan kepingan perak!"
Rupanya
perasaan serakah ketamakan sudah menyelinap di hati Aki Jarot Sang istri yang
tidak begitu suka dengan sikap suaminya itu berkata.
"Tapi
Pakne kalau kita ke Tumpang apa nanti tidak akan membuat ricuh?”
‘Ricuh?
Ricuh bagaimana?’
‘Apa kau
tadi tidak mendengar? Orang Itu berkata agar kita bersikap seolah tidak pernah
bertemu dengan dia. Kita dilarang memberi tahu apa yang terjadi di sini pada
siapapun.
Kalau
sampai kita melanggar akan ada kutuk penyakit yang membuat kita sengsara bahkan
menemui ajal "
"Bune
kau percaya orang itu atau padaku suamimu? Lagi pula kita berniat baik!
Melindungi bayi Sulin dan Tajur dari kemungkinan hendak diapa-apakan orang
asing aneh itu!
Sudah,
lekas naik ke gerobak. Kita berangkat ke Tumpang sekarang juga"
Tuminah
tidak bisa membantah. Setelah memasukkan kepingan perak ke sebuah kantong kecil
di balik siagen di pinggangnya perempuan ini naik ke atas gerobak.
********************
6
BERSAMAAN
dengan menyingsingnya fajar di ufuk sebelah timur, dari sebuah rumah di desa
Tumpang terdengar suara tangis bayi, keras sekali. Itulah suara tangis bayi
yang dilahirkan Sulin dengan pertolongan dukun beranak Tuminah palsu.
"Bayimu
laki-laki. Den Ayu Sulin," memberi tahu dukun beranak yang disambut senyum
bahagia serta perasaan syukur oleh Sulin.
Selesai
bayi dibersihkan, diperlihatkan pada sang Ibu lalu dibaringkan di sampingnya
Suami Sulin. Tajurpambayan tidak sabar lagi segera masuk ke dalam kamar.
Dibelainya kepala dan diciumnya kedua pipi puteranya itu lalu Tajur mencium
kening Sulin. Dengan hati-hati penuh kasih sayang Tajurpambayan kemudian coba
menggendong puteranya. Diam-diam Tuminah pejamkan mata sesaat. Pikiran dan
pandangan matanya melanglang jauh keluar rumah. Hatinya berucap. "Untuk
sementara keadaan aman. Tapi pasti akan ada yang datang.
Aku harus
berlaku waspada. Terutama menjelang putusnya tali pusar bayi, saat
berlangsungnya penirisan…."
"Ibu
Tuminah, saya berterima kasih. Kau telah menolong Kelahiran anak kami dengan
setamat" Berkata Tajurpambayan.
Tuminah
palsu alias perubahan ujud dari lelaki bernama Deewana Khan tersenyum.
"Den
Mas. anakmu laki-laki Apakah kau sudah menyiapkan nama?" tanya Tuminah.
"Kami
sudah sepakat kalau anak yang lahir seorang lakilaki maka akan diberi nama
Cakra. Karena dia lahir tepat pada saat sang surya terbit maka kami memberikan
nama tambahan Mentari. Jadi namanya adalah Cakra Mentari."
"Nama
yang sangat bagus." Memuji Tuminah. "Kalian pandai memilih nama Cakra
adalah satu senjata ampuh yang direstui para Dewa sebagai pembasmi kejahatan
dan pelindung mereka yang lemah. Mentari adalah penorang jagat Puteramu kelak
akan menjadi seorang berkepandaian tinggi bijak yang mampu menerangi hati
setiap manusia yang ditemui dan dikenalnya sehingga kedamaian akan tercipta
dimuka bumi Ini"
Tajurpambayan
hanya tersenyum dan mengangguk saja mendengar ucapan dukun beranak Itu Karena
dia hanya memberi sekedar nama pada sang putera tanpa mengetahui maknanya.
Tiba-tiba di halaman rumah terdengar deru suara roda gerobak disusul suara sapi
melenguh Lalu menyusul suara orang berteriak Wajah Tuminah dukun beranak palsu
berubah.
"Tajuri
Kau ada di dalam rumah? Lekas keluarl Ada yang hendak aku katakan padamul
Cepat! Ini menyangkut keselamatan bayimu!"
Sulin
terkejut Tajurpambayan kaget dan letakkan bayinya di pembaringan. Tuminah palsu
cepat mendahului keluar dari rumah, tepat pada saat Aki Jarot melompat turun
dari atas gerobak sementara istrinya Tuminah asli tetap duduk di atas gerobak,
kelihatan bingung.
"Aki
Jarot, kita sudah membuat perjanjian. Kau dan Istrimu seharusnya kembali ke
Sumberrejo. Mengapa datang ke sini?
Kau
merusak semua tugas yang harus aku laksanakan." Tuminah palsu menegur.
"Aku….Aku
menduga kau punya maksud tidak baik terhadap Sulin dan bayinya…"
"Maksud
tidak baik apa? Jangan kau berprasangka buruk.
Bayi itu
telah lahir dengan selamat Aku minta kau segera pergi bersama istrimu sebelum
Tajurpambayan keluar dan melihat keanehan ini."
"Jika
itu maumu baiklah. Aku akan segera pergi. Tapi aku minta tambahan hadiah."
Jawab Aki Jarot.
Tuminah
palsu menatap wajah lelaki di hadapannya. Kepalanya digeleng-gelengkan tanda
dia tidak senang dengan sikap orang itu. Namun kemudian tangan kanannya
diulurkan. Entah dari mana datangnya di tangan itu sudah terpegang sekeping
perak lalu diserahkan pada Aki Jarot
"Cuma
satu keping?! Aku minta tambahan satu keping lagi!" kata Aki Jarot dengan
serakahnya.
Tuminah
palsu kembali menatap muka Aki Jarot. Dalam hati dia berkata bagaimana mungkin
ada manusia seperti ini.
Namun
kemudian untuk kedua kalinya dia mengulurkan tangan menyerahkan tambahan
sekeping perak yang diminta.
"Lekas
pergi sebelum lelaki itu keluar…" berkata Tuminah palsu.
Tapi
terlambat. Saat itu Tajurpambayan telah keluar dari dalam rumah. Begitu sampai
di halaman dia terheran-heran melihat ada dua Tuminah. Yang pertama yang
berdiri di depan Aki Jarot sedang yang kedua duduk di atas gerobak.
Tuminah
palsu merasakan sekujur tubuhnya bergetar.
Hatinya
berucap. "Pertanda buruk. Agaknya akan terjadi sesuatu di luar rencana.
Aku tak bisa merubah ujud sebelum malam tiba. Lebih baik saat ini aku
melenyapkan diri saja. Aku harus menjaga bayi itu sampai tali pusarnya putus.
Aku harus mengamankan Cakra Mentari sewaktu berlangsungnya titisan Suma
Mahendra."
"Hai!”
Tajurpambayan yang tengah terheran-heran terkejut sekali ketika melihat sosok
dukun beranak Tuminah yang berdiri di hadapan Aki Jarot lenyap tak berbekas.
Dia memandang pada Aki Jarot. "Tadi jelas-jelas kulihat ada ada dua. Lalu
kemana lenyapnya yang satu? Aki, Tuminah istrimu tadi kulihat ada dua. Satu
berdiri di sini satunya yang duduk di atas gerobak itu…"
"Tajur,
Tuminah istriku cuma satu." menyahuti Aki Jarot Dia segera saja mendapat
akal memberikan jawaban. "Kau mungkin hanya melihat bayang-bayang karena
keletihan semalaman menunggui istrimu. Mana mungkin ada dua Tuminah! Aku datang
menjemput istriku. Lihat, dia sudah duduk di atas gerobak Aku ucapkan selamat
karena sekarang kau sudah punya momongan. Jaga bayimu baik-baik. Kami pergi
dulu.." Aki Jarot naik ke atas gerobak
"Aki,
tunggu. Aku belum membayar istrimu…." Tajurpambayan masuk ke dalam rumah.
Namun ketika keluar lagi Aki Jarot dan gerobaknya serta Tuminah tak ada lagi di
halaman.
Tajurpambayan
tegak termangu. "Heran," ucapannya sendirian.
"Waktu
muncul malam tadi dukun beranak itu sendirian. Ketika suaminya datang katanya
hendak menjemput tiba-tiba salah satu sosok dukun beranak itu mendadak lenyap. Tadi
Aki Jarot berteriak hendak mengatakan sesuatu padaku. Tentang keselamatan
bayiku. Aku lupa menanyakan, dia keburu pergi Aku tak mengerti. Ada apa
ini?" Tajurpambayan merasa kawatir lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah.
***********************
SETELAH
sekian lama berdiam diri. sampai di luar desa Tumpang baru Aki Jarot berkata.
"Bukne,
aku merasa letih. Tubuhku terasa agak panas. Kita perlu mencari tempat yang
baik untuk istirahat barang sebentar."
"Aneh,
aku juga merasa panas," menyahuti Tuminah.
"Jangan-jangan
kita ini mau kena demam."
"Aku
tahu ada sebuah telaga di satu kaki bukit kecil. Tak jauh dari sini. Kita
kesana. Berendam dulu barang beberapa lama biar sejuk…"
Hawa
paras aneh yang dirasakan dua suami istri itu semakin lama semakin tak
tertahankan. Karenanya begitu sampai di tepi telaga kedua orang ini langsung
mencebur masuk ke dalam air, berendam sebatas leher. Sesekali mereka
menyelamkan kepala.
Ketika
terakhir kali menyembulkan kepala dan dalam air, Aki Jarot dan Tuminah
sama-sama terkejut Mereka mencium bau wangi. Lalu mereka melihat Di atas air
telaga sekitar mereka mengambang bertaburan puluhan bunga kecil berwarna putih
kekuningan.
"Bunga
tanjung…." ucap Aki Jarot Tuminah memandang berkeliling. Tak ada pohon
tanjung sekitar telaga. "Aneh, dari mana datangnya?"
"Bune,
hatiku merasa tidak enak. Ayo kita naik, cepat-cepat pulang ke
Sumberrejo."
Ketika
suami istri itu sampai di rumah mereka di Sumberrejo.
hawa panas
terasa semakin hebat Selain itu mereka dapatkan ada benjolan-benjolan merah di
wajah, badan serta anggota tubuh mereka. Gatalnya bukan main. Setiap digaruk
benjolan itu pecah mengeluarkan nanah.
"Pakne,
apa yang terjadi dengan kita?" Tuminah ketakutan setengah mati.
"Aku
tidak tahu Bu" Jawab Aki Jarot Ketika membuka bajunya dia tiba-tiba ingat
pada dua keping perak yang didapat dari Tuminah palsu. Dua keping perak itu
dikeluarkannya dari kantong celana. Alangkah terkejutnya lelaki Ini ketika
mendapatkan dua keping perak telah berubah jadi batu.
"Aku
tak percaya!" seru Aki Jarot sambil menggaruk yang membuat dua benjolan di
tubuhnya pecah.
Melihat
apa yang terjadi Tuminah keluarkan pula kepingan perak yang disimpannya dibalik
setagen. Ternyata kepingan perak inipun sudah berubah menjadi batu.
"Pakne,
mungkin ini akibat karena kita melanggar apa yang dikatakan orang tinggi besar
berjubah hitam itu. Aduh Pakne, aku tak tahan Rasanya mau leleh. Tubuhku panas.
Gatal…."
Tuminah
gulingkan diri di lantai. Suaminya melakukan hal yang sama. Karena tidak tahan
oleh rasa panas dan gatal, kedua orang ini kemudian lari keluar rumah sambil
menjerit-jerit.
Tetangga
berdatangan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena Aki Jarot dan Tuminah
sudah tergeletak tak bergerak di tanah. Wajah dan tubuh mereka berselomotan
darah dan nanah Perjanjian telah dilanggar. Keserakahan telah diumbar!
***********************
HARI ke
sebelas setelah kelahiran Cakra Mentari. Sore itu ketika Tajur pulang dan
ladang, Sulin memberi tahu bahwa tali pusar putera mereka telah putus. Malam
barnya hujan turun lebat Angin cukup kencang membuat udara terasa dingin.
Cakra
Mentari tidur nyenyak diapit ayah dan ibunya.
Menjelang
tengah malam, ketika hujan mulai reda, di halaman samping rumah Tajur
berkelebat satu bayangan hitam.
Orang Ini
bertubuh tinggi besar, mendekam di balik pohon.
Tangan
dilipat di atas dada, sepasang mata menatap mengawasi rumah kayu di hadapannya,
memperhatikan mulai dari atap bangunan sampai ke dinding sebelah bawah yang
bersentuhan dengan tanah. Lalu dia sapukan pandangan ke langit lepas.
Telinga
di pasang tajam-tajam. Setelah yakin segala sesuatunya berada dalam keadaan
aman, orang ini yang bukan lain adalah Deewana Khan pejamkan mata, pusatkan
pikiran. Di pelupuk matanya terbayang kawah Gunung Bromo.
“Stt..sstt…sttt!"
Tiba-tiba
di langit kelam berkiblat tiga kali cahaya terang.
Deewana
Khan buka kedua matanya.
"Titisan
datang…"
Hidungnya
mencium bau harum bunga. Di langit sebelah timur tampak puluhan bahkan mungkin
ratusan bunga tanjung melayang memancarkan cahaya terang seperti kunang-kunang.
Di atas
atap rumah kediaman Tajurpambayan dan Sulin, bunga tanjung berputar-putar
membentuk lingkaran. Lalu satu persatu bunga berkilau itu melesat menembus atap
rumah, masuk ke dalam kamar dimana Cakra Mentari tertidur lelap bersama kedua
orang tuanya. Bunga tanjung secara aneh menyusup masuk ke dalam tubuh bayi
lelaki ini. Satu demi satu, sekuntum demi sekuntum tanpa si bayi terusik dari
tidur nyenyaknya.
Saat hal
aneh itu berlangsung tiba-tiba dari arah barat ada satu cahaya merah berkelebat
Sesaat kemudian seorang tinggi kurus mengenakan jubah merah bermantel merah,
berkepala botak dan memiliki tanduk seperti cula badak muncul di tempat itu.
Dia langsung berdiri di atas atap bangunan. Dua tangan dikembang lalu mantel
merah dikebutkan.
"Wuuttt!"
Sinar
merah berkiblat. Ratusan bunga tanjung yang melayang berputar di udara di atas
atap bergoyang hebat Beberapa di antaranya terpental. Sebagian luruh ke tanah
sebagian bergabung lagi dengan bunga tanjung lainnya dan kembali melayang
berputar, lalu seperti tadi melesat menembus atap.
Orang
bertanduk di atas atap kembali hendak mengebutkan mantel merahnya. Saat itu
Deewana Khan telah melesat ke atas atap seraya membentak.
"Rajip
Kupal. Jin pembawa bahala. Siapa yang memerintahmu datang ke tanah Jawa
ini?!"
Orang
bermantel yang disebut dengan nama Rajip Kupal dan dicap sebagai jin pembawa
bahala keluarkan suara menggembor lalu menyeringai. Lidah terjulur serta
barisan gigi besar runcing berwarna merah seperti dilapisi lelehan darah.
"Kau
mengenali diriku itu sudah cukup. Kau tak layak bertanya siapa yang
memerintahkan aku datang ke sini.
Sebaliknya
siapa yang mengutusmu hingga berani-beraninya berada di tempat ini?l Kau rupanya
sudah mendekam sejak lama, sengaja menghadangku!"
Deewana
Khan sunggingkan senyum mengejek.
"Bangsa
jin berada dibawah telapak kaki manusia Jadi tidak pantas kau menanyai diriku.
Lekas menyingkir dari tempat ini atau dengan izin para Dewa aku akan membenamkanmu
ke dasar neraka ke tujuh!"
Rajip
Kupal tertawa gelak-gelak. Dengan suara lantang dia membentak.
"Deewana
Khan! Kaulah yang harus segera angkat kaki dan sini. Atau kulumat tubuhmu
sekarang juga!"
********************
7
MAHLUK
jin Rajip Kupal pegang tanduk di kepalanya dengan tangan kiri lalu mulut
keluarkan suara menggembor. Saat itu juga asap merah mengepul dari batok kepala
yang botak plontos dan tubuhnya berubah besar serta tinggi tiga kali
sebelumnya. Dua tangan menjulai sampai menyentuh tanah. Dua tangan ini tibatiba
berkelebat ke leher Deewana Khan. Siap mencekik dan mematah hancur leher itu
Deewana Khan cepat jentikkan Ibu jari dan jari tengah tangan kanannya hingga
mengeluarkan suara berkelik. Saat itu pula tubuhnya berubah besar dan tinggi,
jauh lebih tinggi dari sosok Rajip Kupal. Kepala menembus awan gelap. Sekail
Deewana Khan menggerakkan dua tangan menangkis serangan lawan, benturan keras
dua pasang lengan membuat Rajip Kupal terhuyung-huyung. Selagi mahluk jin Ini
berusaha mengimbangi diri tendangan kaki kanan Deewana Khan bersarang di
perutnya.
Rajip
Kupal meraung setinggi langit Tubuh terpental belasan tombak. Perut pecah. Isi
perut berkelojotan keluar, menjela di tanah.
"Jahanam
Deewana Khan! Terima pembalasanku!" Teriak jin pembawa bahala Rajip Kupal.
Tangan kanannya bergerak.
Selarik
sinar merah menyambar luar biasa cepat ke arah langit.
"Cahaya
Dewa Langit Ke Tujuh!" teriak Deewana Khan kaget bukan main. "Jin
pembawa bahala! Bagaimana kau bisa menguasai ilmu itu. Kau mencuri dari…."
Sambil berteriak Deewana Khan cepat menghindar selamatkan kepalanya dari
serangan lawan. Namun terlambat Gerakannya menjadi lamban karena ada getaran di
kaki yang berasal dari hawa aneh yang disebar Rajip Kupal.Sesaat kemudian
terdengar jeritan Deewana Khan. Dia tak sempat mengelak. Mata kanannya kena
dihantam sinar merah hingga hancur dan meninggalkan lobang besar dikucuri
darah. Deewana Khan totok pelipisnya kiri kanan lalu susutkan tubuh kembali
melompat turun ke tanah. Dua tangan dipentang, siap menghantam dengan sepasang
pukulan sakti.Tapi Rajip Kupal tak ada lagi. Yang tinggal hanya isi perutnya
yang tergeletak di tanah, berbusaian bergerak-gerak mengerikan.
Di atas
atap rumah kediaman Tajurdan Sulin ratusan bunga tanjung masih melayang
berputar-putar. Seperti tadi kembali melesat masuk ke dalam rumah, terus
menyusup ke dalam tubuh Cakra Mentari.
Di bawah
pohon besar. Deewana Khan rangkapkan dua tangan di depan dada, mata setengah
terpejam dan perlahanlahan mulutnya berucap.
Mahluk
penitisan, datanglah. Para Dewa telah memberkatimu untuk masuk ke dalam tubuh
bayi bernama Cakra Mentari.
Namanya
Cakra Mentari Cakra Mentari…."
Baru saja
Deewana Khan selesai berucap dalam hati begitu rupa, tiba-tiba langit menghitam
membuat keadaan gelap luar biasa. Angin berhenti bertiup. Kesunyian mencengkam
seluruh kawasan. Di dalam kegelapan, dari arah timur tampak seberkas cahaya
melayang ke biru-biruan. Sampai di atas atap rumah kelihatan cahaya itu
ternyata keluar dari satu sosok mahluk berujud manusia mengenakan pakaian serba
hitam Deewana Khan letakkan dua telapak tangan di atas dada lalu membungkuk
dalam-dalam. Dia baru mengangkat kepala dan luruskan tubuh setelah mahluk di
atas atap perlahanlahan melayang ke bawah, menembus atap rumah dan lenyap dari
pemandangan.
Di dalam
rumah semua keributan yang terjadi di luar membuat Tajur dan istrinya
terbangun. Anehnya sang bayi terus saja tertidur lelap. Begitu membuka mata
kedua suami istri itu sama-sama terkejut melihat ada benda-benda kecil putih
kekuningan melayang dari atas langit-langit kamar, masuk dan lenyap ke dalam
tubuh bayi mereka. Udara di dalam kamar berbau bunga harum mewangi.
Sulin
terpekik ketakutan. Dia dan suaminya berusaha melindungi bayi mereka dari
benda-benda yang masuk ke dalam tubuh namun dua-duanya sama-sama tidak bisa bergerak.
Yang bisa
mereka perbuat hanyalah menyaksikan apa yang terjadi dengan mata terbeliak
penuh takut Cukup lama hal itu berlangsung. Ketika tak ada lagi benda yang
melayang masuk ke tubuh Cakra Mentari tiba-tiba dari atas langit-langit kamar
melayang turun satu sosok yang dibungkus cahaya aneh terang kebiru-biruan,
hingga Tajur dan Sulin dapat melihat jelas wajah dan pakaiannya.
Mahluk
ini adalah seorang pemuda berambut hitam sebahu, mengenakan pakaian hitam
berbunga-bunga. Wajahnya tampan, memelihara kumis kecil, janggut dan cambang
bawuk tipis rapi. Mahluk ini bukan lain adalah perujudan gaib Suma Mahendra
yang hidup ratusan tahun silam di masa berdirinya Kerajaan Singosari. Seperti
yang pemah diucapkan Suma Mahendra pada pamannya Darmasewara di kawah Gunung
Bromo, malam itu roh Suma Mahendra tengah melakukan penitisan, masuk ke dalam
bayi Cakra Mentari, putera Tajurpambayan dan Sulin.
Sementara
sosok gaib Suma Mahendra perlahan-lahan melayang turun siap untuk memasuki
tubuh Cakra Mentari, di luar rumah busaian isi perut jin Rajip Kupal bergulung
ke udara, mengepulkan asap hitam. Dan balik asap itu kemudian menyembul sosok
sang jin. Deewana Khan yang menyaksikan kejadian itu terkejut sekali. Tidak
menyangka kalau dari sisasisa isi perutnya jin pembawa bahala bisa muncul
memperlihatkan diri kembali.
"Pasti
dia hendak menghadang dan menghancurkan roh penitis. Aku harus menyingkirkan
mahluk ini untuk selamalamanya!"
Sosok
Deewana Khan naik ke udara setengah jengkal hingga dua kakinya tidak lag!
menginjak tanah. Dua tangan dipukulkan ke depan. Dua larik sinar biru menyembur
lalu bergulung membentuk api biru.
Rajip
Kupal berteriak marah. Tangan kiri melepas pukulan menangkis yang mengeluarkan
cahaya hitam, tangan kanan mengebut mantel membersitkan cahaya merah.
"Asalmu
dari alam rohl Karenanya kau harus kembali ke alam roh. Kau tidak akan keluar
lagi ke alam manusia untuk selama-lamanya!" teriak Deewana Khan.
"Wusss!"
Api biru
menyambar membakar Rajip Kupal. Dia berusaha memadamkan api yang membuntalnya
dengan berbagai cara namun sia-sia. Dalam keadaan terbakar sosoknya melesat ke
langit diringi raung panjang menggidikkan.
Di dalam
kamar Tajur dan Sulin berpekikan ketika melihat bagaimana sosok pemuda aneh
yang melayang dari atas langitlangit kamar berubah seperti selendang bercahaya
kebiruan lalu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh bayi mereka.
"Mahluk
jahat! Tidak!" teriak Tajur.
"Jangan!"
pekik Sulin.
Bersamaan
dengan lenyapnya cahaya biru masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari, Tajur dan
Sulin mendadak sontak mampu menggerakkan badan. Sulin cepat menggendong bayinya
yang saat itu telah terjaga dan menangis keras Tubuh sang bayi terasa hangat
dan keningnya penuh keringat. Tajur sekakeringat di kening puteranya lalu
berkata pada istrinya.
"Sulin,
kau tunggu di sini. Tadi aku mendengar suara ribut di luar rumah. Aku mau
memeriksa. Pasti ada hubungannya dengan peristiwa aneh yang terjadi dengan anak
kita."
"Aku
takut Mas. Hati-hati. jangan lama-lama…"
Sebelum
keluar Tajurpambayan mengambil sebilah golok yang tersisip di dinding dekat
tempat tidur. Tajur keluar dari kamar langsung membuka pintu depan. Kegelapan,
kesunyian dan hawa dingin menerpa lelaki muda ini. Tiba-tiba entah dari mana
munculnya tahu-tahu di hadapannya telah berdiri seorang lelaki tinggi besar.
Berjubah dan bersorban hitam. Bercambang bawuk. berjanggut dan berkumis hitam
berkilat. Yang membuat Tajur tersurut gemetar dan hendak berteriak adalah
ketika dia melihat mata kanan orang itu yang hanya merupakan rongga besar,
dipenuhi cucuran darah. Tajur langsung lunglai. Tangan kanan yang memegang
golok tidak berdaya seolah lumpuh.
"Hantu.
Tolong….!"
Orang di
hadapan Tajur cepat menutup mulut lelaki itu.
“Tajurpambayan,
dengar baik-baik. Namaku Deewana Khan Aku bukan hantu. Aku tidak akan
menyakitimu. Aku hanya ingin menyerahkan sesuatu padamu." Dari balik jubah
hitam besar orang ini keluarkan kantong kain. "DI dalam kantong ini ada
sebuah kitab. Kitab Jagat Pusaka Dewa. Di dalam kantong juga ada seperangkat
pakaian hitam dan ikat kepala kain merah.
Jika
puteramu telah berusia dua puluh empat tahun berikan kitab ini padanya. Suruh
dia membaca dan mempelajari Isinya.
Kitab Ini
berisi ilmu dahsyat yang tidak sembarang orang mampu memilikinya. Puteramu
dengan mudah bisa menguasai ilmu yang tersimpan dalam kitab karena dia barusan
telah ketitisan seorang sakti mandraguna bernama Suma Mahendra, yang hidup di
masa berdirinya Kerajaan Singosari ratusan tahun silam. Serahkan juga
seperangkat pakaian ini pada puteramu.
Dia harus
mengenakan pakaian ini. Selanjutnya ada petunjuk yang bisa diikutinya, tertulis
di dalam kitab. Simpan kitab ini baik-baik. Jangan sekali-kali sampai ada satu
orangpun mengetahui kalau kau memiliki kitab Jagat Pusaka Dewa ini.
Termasuk
Istrimu. Puteramu kelak akan menjadi seorang sakti mandraguna yang akan sangat
berguna bagi rakyat banyak dan Kerajaan."
Dalam
takutnya Tajur tidak menyambut! kantong kain yang diserahkan Deewana Khan. Tak
mau menunggu Deewana Khan letakkan kantong kain di tanah di depan kaki Tajur.
Lalu sekali berkelebat orang tinggi besar ini lenyap dari pandangan mata Tajur.
Untuk
beberapa lamanya Tajurpambayan masih tegak tak beranjak dari tempatnya. Dia
baru sadar ketika istrinya memanggil berulang kali. Tajur bingung. Dia hendak
masuk ke dalam tapi ingat dan melihat pada kantong kain di depan kakinya Dia
membungkuk mengambil kantong namun tak berani membawa masuk ke dalam rumah.
Kantong itu kemudian dimasukkannya di bawah atap rumah.
Hanya
sesaat setelah Tajur masuk ke dalam, di langit di arah tadi lenyapnya jin
pembawa bala Rajip Kupal, tiba-tiba kelihatan cahaya biru. Cahaya biru ini
adalah api yang membuntal satu sosok yang bukan lain adalah jin Rajip Kupal
yang dalam keadaan sakarat masih bisa turun kembali ke arah rumah Tajur. Di
tangan kiri dia membawa sebuah kitab. Dengan gerakan cepat dia mengambil
kantong kain yang disusupkan Tajur di bawah atap. Kitab Jagat Pusaka Dewa
diambil dan ditukar dengan kitab yang dibawanya. Rajip Kupal kemudian melesat
kembali ke langit membawa Kitab Jagat Pusaka. Kitab ini kemudian ikut terbakar
dan musnah bersama sosok Rajip Kupal.
***********************
DUA PULUH
EMPAT tahun setelah terjadinya peristiwa hebat yang dialami oleh Tajurpambayan
bersama istrinya di Tumpang. Hari itu Tajur bangun pagi-pagi sakali.
Dia
bermaksud hendak menemui dan bicara dengan puteranya Cakra Mentari yang kini
telah berusia dua puluh empat tahun.
Setelah
sekian tahun berlalu ternyata kedua suami Istri itu hanya dikarunia seorang
anak yaitu Cakra Mentari yang kini telah menjadi seorang pemuda remaja. Maksud
sang ayah menemui Cakra ada hubungannya dengan bungkusan berisi kitab dan
pakaian yang pernah diterimanya dari Deewana Khan. Sejak kantong
disembunyikannya di bawah atap rumah. Tajur tidak pernah menyentuh benda itu.
Apa lagi memeriksa isinya apa benar ada kitab serta seperangkat pakaian. Dia
merasa takut kalau-kalau saat memeriksa mahluk bermata satu menyeramkan itu
bba-tiba muncul di hadapannya. Selain itu sesuai ucapan orang, dia tidak ingin istrinya
mengetahui kantong kain itu.Namun pagi itu dia tidak melihat puteranya. Menurut
istetinya Cakra pergi ke Kotaraja malam tadi. Kalau ke Kotaraja biasanya dia
selalu menginap di rumah salah seorang sahabatnya.
"Kalau
tahu dia pergi ke Kotaraja dan menginap di sana seharusnya aku mencegah. Ada
hal penting yang hendak aku bicarakan dengan dia pagi ini." Berkata Tajur.
"Mengenai
jabatan yang ditawarkan Patih Kerajaan padanya?" tanya sang istri.
Tajur
menggeleng. "Cakra sudah memberi tahu dia tidak menginginkan jabatan
sebagal Perwira Kerajaan itu. Anak itu aneh. Katanya dia tidak tahu kalau punya
ilmu kepandaian silat serta kesaktian. Tapi utusan Patih Kerajaan Ki Demang
Surta pernah bicara padaku kalau Cakra punya Ilmu hebat luar biasa. Dibanding
dengan Ilmu yang dimiliki Patih Kerajaan, ilmu sang patih ketinggalan
jauh.Selain itu aku banyak mendengar kabar kalau Cakra sering membasmi
orang-orang jahat termasuk orang-orang yang jadi musuh Kerajaan. Belum lama ini
kabarnya dia pernah menangkap seorang tokoh silat istana yang punya niat hendak
membunuh Sri Baginda. Sri Baginda berulang kali mengirim orang meminta Cakra
menemuinya. Namun anak itu selalu menghindar. Selain itu aku dengar dia juga
menjadi pembicaraan belasan gadis cantik.
Banyak
yang jatuh hati padanya. Tapi anak itu lebih suka berkumpul dengan teman-teman
lelaki sebayanya dari pada memperhatikan gadis-gadis cantik Itu."
Tajurpambayan
yang sudah mulai putih rambutnya melangkah ke sumur untuk menimba air. Pada
saat itulah tibatiba serombongan penunggang kuda terdiri dari enam orang
memasuki halaman depan. Lima orang langsung berlompatan.
Masing-masing
membekal golok besar di pinggang. Dari pakaian serta tampang kelima orang itu
yang kesemuanya ditutupi cambang bawuk, kumis serta Janggut lebat tak terurus
Tajurpambayan segera maklum kalau mereka bukan orang baikbaik.
Ketika
melihat kalung tengkorak kecil berwarna merah terbuat dari kayu yang tergantung
di leher ke lima orang itu.
Tajur
mendadak menjadi dingin tengkuknya.
"Lima
Tengkorak Darah…" ucap Tajur dalam hati. Pada masa itu siapa yang tidak
pernah mendengar tentang kelompok lima penjahat yang menamakan diri Lima
Tengkorak Darah.
Selama
bertahun-tahun mereka malang melintang melakukan Kejahatan, merampok dan
menjarah harta benda rakyat menculik anak gadis atau istri orang. Dalam
melakukan kejahatan mereka selalu bertindak cepat. Muncul dan menghilang.
Kabarnya mereka punya banyak tempat persembunyian. Kerajaan telah berulang kali
mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Lima Tengkorak Darah. Namun selalu
mengalami kegagalan. Konon ada orang-orang tertentu yang punya jabatan tinggi
di Kerajaan melindungi para penjahat ini. Untuk itu orang-orang tersebut
menerima sejumlah upeti yang membuat mereka menjadi kaya raya sementara rakyat
banyak menderita dan dilanda ketakutan.
Selain
itu diketahui pula disamping mereka berlima yang menamakan diri Lima Tengkorak
Darah, Juga memiliki banyak anak buah dan kaki tangan yang bertebaran di
wilayah timur terutama sekitar Pegunungan Tengger dan Pegunungan Semeru.
Orang ke
enam, satu-satunya yang tidak turun dan tetap duduk di punggung kuda adalah
seorang kakek berjubah biru.
Seperti
pakaiannya rambut, kumis dan janggut lebatnya juga berwarna biru. Walau
sikapnya tenang-tenang saja namun pandangan sepasang matanya tampak dingin.
Kakek ini bernama Janger Sawung namun lebih dikenal dengan julukan Si Tangan
Gledek. Julukan ini didapatnya karena dia memiliki ilmu kesaktian di tangan
kanan yang sanggup menghancurkan benda sekeras apapun Setiap kali tangan itu
memukul akan terdengar suara berdentum seperti guntur menggelegar. Meski
diketahui Janger Sawung sering berhubungan dengan
kelompok
penjahat Lima Tengkorak Darah, namun pihak Kerajaan sepertinya belum mampu
untuk turun tangan menangkapnya. Dikabarkan pula bahwa Janger Sawung punya
banyak kerabat di kalangan tokoh nmba persilatan, termasuk yang menjadi
pembantu di Istana di Kotaraja.
"Ada
apa manusia-manusia jahat in datang ke sini?" pikir Tajur. Dia tidak
mengenali siapa adanya kakek jubah biru. Tajur cepat-cepat hendak masuk ke
dalam rumah lewat pintu belakang untuk memberi tahu istrinya agar Jangan
keluar. Namun salah seorang dari lima orang itu yang bertubuh tinggi besar,
bermata belok merah laksana dikobari api dan ada cacat bekas luka di kening
berteriak. Agaknya dia adalah pimpinan dari Lima Tengkorak Darah. Anak buahnya
memanggilnya dengan nama Kunto Api.
"Manusia
itu pasti bapaknya! Seret dia kemari!"
Salah
seorang dari empat anak buah Kunto Api melompat ke hadapan Tajurpambayan. Orang
ini lebih dulu hantamkan satu jotosan ke muka Tajur hingga lelaki ini jatuh
tertelentang.
Matanya
yang kena dihajar serta merta lebam bengkak dan merah. Rambutnya dijambak lalu
diseret ke hadapan si berewok tinggi besar Kunto Api.
Pimpinan
Lima Tengkorak Darah Ini letakkan tangan kiri di gagang golok lalu kaki
kanannya berkelebat menendang dada Tajurpambayan hingga orang ini mengeluh
kesakitan.
"Apa
salahku? Mengapa…."
"Diaammm!"
bentak si tinggi besar. "Kami mencari anakmu Cakra Mentari. Ada dimana
dia?"
"Anakku…?
Mengapa anakku? Aku tidak tahu dia berada dimana…"
"Setan
pendusta! Hanya orang tua gila yang tak tahu dimanatkaknya berada!"
"Duukkk!"
********************
8
UNTUK
kedua kalinya kaki kanan Kunto Api bersarang di tubuh Tajurpambayan. Kali ini
menghantam perut Tajur terguling, menjerit namun tercekik karena secara
berbarengan dia muntahkan darah segar.
Saat itu
Sulin keluar dari dalam rumah. Perempuan ini memekik keras ketika melihat
suaminya terkapar meliuk di tanah, mulut bercelemong darah, mata kiri bengkak,
Sulin menghambur menghampiri Tajur lalu jatuhkan diri memeluk suaminya.
"Apa
salah suamiku! Mengapa kalian menyiksanya?!" teriak Sulin.
"Suamimu
tidak bersalah. Anakmu yang berlagak jago tapi kurang ajar. Mungkin bapaknya
tidak mendldlk.Jadi pantas kalau bapaknya diberi hajaran!"
Salah
seorang anggota Lima Tengkorak Darah menjawab sementara Kunto Api saat itu
tegak sambil usap-usap dagu yang ditumbuhi janggut Matanya menatap ke arah
Sulin. Walau berumur empat puluh tahun lebih namun Sulin masih memiliki
kecantikan alami dan tubuh yang sintal. Hal inilah yang menarik perhatian Kunto
Api. Apa lagi ketika perempuan itu membungkuk. Kunto Api sempat melihat buah
dadanya yang putih membuyut besar dibalik kebaya serta betis bagus yang
tersingkap dari balik kain panjang, membuat kepala penjahat ini tersengat nafsu
bejatnya.
"Kunto,
kami akan menggeledah rumahnya! Bisa saja pemuda keparat itu sembunyi di dalam
sana!" Seorang anak buah Kunto Api bernama Jomblang berkata.
Kepala
penjahat yang sudah dipagut nafsu mesum itu dan cepat-cepat mau memboyong Sulin
menjawab. "Tidak perlu.
Bapaknya
tadi sudah berkata tidak tahu anaknya ada dimana.
Kalau dia
berdusta akan tahu rasa sendiri. Jomblang, bawa perempuan itu sebagai jaminan.
Kita tunggu di air terjun Cemoro fjo. Jika sampai besok pagi anaknya tidak
menyerahkan diri perempuan ini akan jadi imbalan penghibur bagi kita
semua!"
Penjahat
bernama Jomblang maklum apa arti ucapan pimpinannya. Kunto Api tidak akan
menunggu sampai esok pagi. Begitu sampai di air terjun Cemoro Ijo pasti akan
langsung menggagahi perempuan itu. Jomblang segera menarik Sulin yang tengah
memeluki suaminya Karena meronta memberikan perlawanan Jomblang jadi tidak
sabaran lalu menotok perempuan itu. Dalam keadaan tak bisa bergerak Sulin
digeletakkan di atas punggung kuda. Perempuan ini berteriak tiada henti hingga
suaranya menjadi serak.
Tajurpambayan
dalam menahan sakit coba berdiri dan berusaha menolong istrinya. Namun Kunto
Api lagi-lagi menendangnya hingga dia Jatuh terjengkang. Tajur berusaha bangun
tapi roboh kembali. Lelaki malang Ini hanya bisa kumpulkan tenaga dan
berteriak.
"Jangan
bawa istriku! Apa salah anakku! Apa yang telah dilakukannya hingga kalian
berbuat sekejam ini! Jika anakku memang salah aku saja yang kalian bawa.
Lepaskan Istriku!
Turunkan
dia dari kuda itu!"
Kunto Api
menyeringai Sambil salah satu kaki menginjak kepala Tajur dia berkata.
"Malam tadi Cakra anakmu membunuh empat orang anak buahku di hutan
Klingkit Dia juga membawa kabur harta rampasan…"
Habis
berkata begitu Kunto Api melompat ke atas punggung kuda. Empat anak buahnya
mengikuti sementara Janger Sawung alias Si Tangan Gledek senyum-senyum. Dia
mendekati Kunto Api lalu berkata.
"Perempuan
itu cocok dengan seleraku. Kali ini aku minta bagian paling dulu."
Kunto Api
balas menyeringai. "Nanti kita atur di Cemara Ijo," jawabnya. Janger
Sawung tidak percaya ucapan kambratnya itu. Yang sudah-sudah dia selalu
kebagian nomor dua setelah Kunto Api. Saat itu dia berpikir-pikir bagaimana
caranya menipu Kunto Api, memboyong dan mendapatkan Sulin lebih dulu.
Kunto Api
memberi tanda. Semua orang menggebrak kuda.
Janger Sawung
lebih dulu. Disusul Kunto Api. Lalu tiga anggota Lima Tengkorak Darah dan
terakhir sekali Jomblang yang membawa Sulin.
"Tolong!
Kembalikan istriku!" teriak Tajurpambayan. Dia berusaha mengejar namun
jatuh tersungkur di tanah.
Belum
sempat semua orang jahat itu keluar dari halaman rumah kediaman Tajurpambayan.
tiba-tiba di sebelah belakang terdengar ringkikan keras sekali. Orang-orang
hentikan kuda masing-masing dan menoleh ke belakang. Semua tercekat kaget
menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpentang di depan mata mereka,
Jomblang yang tadi berkuda membawa Sulin kini mengapung di udara di bawah
sebuah pohon besar yang tumbuh dekat pintu halaman. Tubuhnya terombang-ambing
setengah berputar. Seutas tali menjirat leher, membuat sepasang matanya terbeliak
dan lidah terjulur. Ujung lain dari tali yang menjirat Jomblang terikat di
salah satu dahan pohon besar. Mengerikan luar biasa! Siapa yang telah menjirat
menggantung Jomblang begitu rupa?
Sementara
di atas pohon besar tidak terlihat seorangpun mendekam di sana.
Kuda yang
tadi ditunggangi Jomblang masih meringkik beberapa kail lalu diam tak bergerak,
hanya mengibas-ngibaskan ekornya seolah tak ingin menjatuhkan Sulin dari
punggungnya yang bisa mencelakai perempuan yang berada dalam keadaan tertotok
itu.
"Bangsat
jahanaml Siapa yang punya pekerjaan gila Ini?!"
teriak
Kunto Api marah sekail. "Jangan sembunyil Cepat unjukkan tampang"
Janger
Sawung berkata setengah berbisik. "Hati-hati Kunto! Agaknya kita berurusan
dengan orang berkepandaian tinggi. Tidak sembarang orang bisa menjirat dan
menggantung anak buahmu seperti itu!"
"Siapapun
adanya manusia keparat itu akan kubelah kepalanya!" sahut Kunto Api lalu
cabut golok besar di pinggang. Tiga anak buahnya segera mengikuti mencabut
senjata masing-masing. Janger Sawung usap-usap tangan kanannya yang punya
kemampuan mengeluarkan pukulan maut Tangan Gledekl Sampai saat itu tidak
seorangpun diantara mereka terpikir untuk melepaskan Jomblang dari jiratan tali
yang menggantung lehernya!
"Tangan
Gledek. aku akan memaksa bangsat yang menggantung Jomblang keluar dari
persembunyiannya! Kau cepat tinggalkan tempat celaka ini! Bawa perempuan di
atas kuda itu! Tunggu aku di air terjun Cemoro Ijo."
Sebenarnya
ini kesempatan baik bagi si kakek untuk memboyong Sulin. Namun dia ingin sekali
melihat sendiri siapa adanya orang yang telah menggantung Jomblang begitu rupa.
Dia punya
dugaan bahwa yang melakukan adalah Cakra Mentari, putera Tajurpambayan. Dia
sendiri belum pernah melihat pemuda itu. Dia hanya mendengar cerita bahwa pemuda
itu memiliki ilmu sflat serta kesaktian tinggi Sampai sehebat itukah
kepandaiannya? Jika Cakra Mentari berhadapan melawan Kunto Api maka ini
merupakan pertarungan hebat yang patut disaksikan.
Janger
Sawung lalu berkata. "Kunto Api aku tidak menganggap enteng ilmu
kepandaianmu. Tapi seperti aku bilang tadi kita berhadapan dengan orang berilmu
tinggi. Aku sendiri ingin melihat tampang orang itu. Aku punya dugaan dia
adalah orang yang kita cari. Pemuda bernama Cakra Mentari, anak
Tajurpambayan!"
Kunto Api
tidak perdulikan ucapan orang. Dia memandang ke berbagai jurusan, memperhatikan
pohon besar. Tetap saja dia tidak melihat orang yang dicarinya. Dalam gelegak
amarah melihat kematian anak buahnya dia melompat ke tempat Tajurpambayan
tergeletak. Dengan tangan kiri dia menjambak rambut Tajur lalu disentakkan ke
atas hingga orang itu tertegak.
Golok di
tangan kanan dimelintangkan ditekankan ke leher Tajur lalu dia berteriak.
"Cakra
Mentari! Aku tahu kau ada di tempat ini. Jika kau tidak segera unjukkan diri
akan kugorok batang leher bapakmu!"
Tak ada
jawaban. Tak ada gerakan. Sepasang mata merah Kunto Api, juga mata tiga anak
buahnya serta Janger Sawung memandang berputar. Tidak satu orangpun kelihatan.
"Manusia
keparat! Jangan kira aku mengancam kosong!
Lihat!"
Kunto Api
gerakkan tangannya yang memegang golok.
Kulit
leher Tajurpambayan tersayat Lelaki ini menjerit. Darah mengucur dari goresan
luka!
Pada saat
itulah tubuh Jomblang yang masih tergantung melayang-layang di udara tiba-tiba
laksana ditiup angin dahsyat melesat ke arah Tajur dan Kunto Api yang ada
dibelakangnya.
Kedua
orang itu sama-sama terjengkang jatuh saling tindih, Tajur di sebelah atas.
Marah dan kalap Kunto Api memiting leher lalu bacokkan golok besar ke kepala
Tajur. Sulin yang kali ini bisa menyaksikan kejadian itu dari atas kuda
menjerit keras.
"Jangan
bunuh suamiku!"
Hanya
sekejapan lagi kepala Tajurpambayan akan terbelah tiba-tiba satu bayangan putih
berkelebat Satu tendangan keras menghajar lengan yang memegang golok.
"Kraakk!"
Jeritan
setinggi langit keluar dari mulut Kunto Api. Kepala penjahat ini berguling di
tanah lalu bangun, berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi lengan kanannya
yang remuk. Di hadapannya berdiri seorang pemuda berwajah cakap, mengenakan
pakaian dan destar putih. Bibir dihias kumis tipis, pipi tertutup berewok rapi
dan dagu berjenggot pendek.
"Cakra
anakku!" seru Tajurpambayan. "Lekas pergi dari sini. Orang-orang ini
hendak membunuhmu!" Tajur tekap lehernya yang berdarah.
Pemuda di
hadapan Kunto Api gembungkan rahang. Pelipis bergerak-gerak.
"Kau
mencari dirikul Mengapa mencelakai ayah dan ibuku?!"
Dalam
marahnya si pemuda masih bisa unjukkan sikap tenang.
"Kau…kau
Cakra Mentari?" tanya Kunto Api terputus-putus karena menahan sakit.
"Apa
maumu?!" balik bertanya si pemuda yang memang adalah Cakra Mentari, putera
Tajurpambayan dan Sulin.
"Cakra!
Lekas pergi dari slni!" Tajurpambayan kembali berteriak.
"Ayah,
tidak usah kawatir," jawab Cakra Mentari. Pemuda ini melirik ke arah
ibunya yang masih tertelungkup di punggung kuda. Untuk sementara ibunya cukup
aman. namun dia harus cepat menolong karena keadaan bisa mendadak berubah.
Cakra Mentari berpaling pada Kunto Api.
"Aku
tadi bertanya. Apa maumu! Apa pasal kau menyiksa ayahku dan mau menculik ibuku!
Ayo bicara!"
"Pemuda
keparat! Malam tadi kau membunuh empat anak buahku di hutan Klingklt. Kau juga
menjarah barang rampasan…"
"Lalu?!"
tanya si pemuda sambil berkacak pinggang.
Saat itu
rasa sakit hancurnya lengan mencucuk sampai ke dada. Kunto Api berteriak.
"Jahanam!
Kenapa kalian diam saja! Bunuh pemuda keparat ini!” Kepala penjahat itu marah
sekali. Karena sampai saat itu tiga orang anak buahnya masih tetap duduk di
atas kuda masing-masing, termasuk Janger Sawung alias Si Tapak Geledek. Ke
empat orang ini seolah terpana melihat apa yang terjadi. Mereka tidak b.sa
percaya pimpinan mereka yang berkepandaian tinggi bisa dihajar dipecundangi
begitu rupa hanya dalam satu kali gebrakan saja. Tidak heran kalau ke empat
teman mereka malam tadi menemui ajal di tangan pemuda ini.
Mendengar
teriakan Kunto Api dua anak buahnya segera menghunus golok dan melompat dari
punggung kuda, menghambur ke arah Cakra. Penjahat yang ketiga menggebrak
kudanya. Binatang ini dipacu lurus-lurus untuk ditabrakkan pada pemuda
berpakaian putih.
Tenang
saja tapi dalam ketenangan mampu membuat gerakan secepat kilat Kuda dan
penunggangnya lewat Cakra sudah berada di samping. Tangan kirinya melesat ke
depan menyambar tangan kiri penjahat Tidak disentakpun penjahat itu akan
terlempar ke udara. Apa lagi Cakra Mentari menyentakkan tangan itu. Tak ampun
si penjahat melesat tinggi di udara. Dia coba kerahkan ilmu meringankan tubuh
agar bisa jatuh di atas dua kaki. Namun dari tempatnya berdiri Cakra angkat
tangan kanan. Tangan diputar lalu ditopukkan ke tanah.
Di depan
sana tubuh penjahat yang melayang ikut berputar lalu braakkl Sesuai gerakan
tangan Cakra orang ini jatuh ke bawah, kepala menghantam tanah lebih dulu
hingga rengkahi Meskipun berada dalam ketakutan namun Tajurpambayan tak habis
heran menyaksikan apa yang terjadi. Dari mana puteranya itu memiliki ilmu silat
hebat. Dengan siapa dia berguru?
Sementara
itu dua orang anggota Lima Tengkorak Darah yang bersenjatakan golok walau
tercekat melihat kematian
sahabat
mereka keduanya terus menyerang. Dua golok besar berkelebat dari kiri dan
kanan, sama-sama mengarah bagian atas tubuh Cakra Mentari.
"Tololnya
kalian! Mengapa saling bunuh teman sendiri?!"
Cakra
Mentari berseru sambil kaki bergerak mundur satu langkah, tubuh dlrundukkan
sedikit dan bersamaan dengan itu dua tangan melesat ke atas. Dua anggota Lima
Tengkorak Darah berteriak kaget ketika tangan kanan mereka dicekal lawan, Lalu
kedua tangan itu disentakkan ke samping. Akibatnya golok penjahat yang
dlsebeiah kanan membabat ke arah temannya di sebetah kiri sedang golok penjahat
yang di samping kiri menderu ke arah temannya yang berada di sebelah kanan.
Kedua orang Ini kemudian sama-sama keluarkan jerit kematian. Yang satu nyaris
putus lehernya, yang satu lagi hampir terbelah kepalanya! Keduanya ambruk ke
tanah bermandikan darah.
Melihat
apa yang terjadi Kunto Api yang dalam keadaan remuk lengan kanannya, tidak
menunggu lebih lama gerakkan tangan kiri untuk mengeluarkan sesuatu dari balik
pinggang.
Benda ini
ternyata adalah sebilah keris berluk lima, berwarna hitam legam. Sarung keris
masih terselip di pinggang.
"Keris
Ratu Demit!" seru Cakra Mentari yang rupanya mengenali senjata itu.
"Ha
ha! Keris curian dipakai untuk kejahatan!" Rupanya si pemuda tahu pula
riwayat senjata itu. Memang benar, Keris Ratu Demit yang tergenggam di tangan
kiri Kunto Api adalah senjata curian.
Beberapa
waktu lalu Kunto Api dan anak buahnya menjebol dan menyusup satu ruangan
rahasia di Keraton. Selain menjarah barang-barang pusaka berupa perhiasan dia
juga berhasil mengambil senjata sakti mandraguna berupa sebilah keris bernama
Keris Ratu Demit Pihak Kerajaan beberapa kali mengirim pasukan ke tempat-tempat
yang diketahui menjadi sarang Lima Tengkorak Darah. Namun mereka selalu
terkecoh dan tak berhasil menemui para penjahat. Selain itu keadaan negeri yang
selalu kacau akibat dendam di tahta Kerajaan yang tak kunjung henti membuat
mereka yang berkuasa seperti tidak terlalu memusatkan perhatian untuk
mendapatkan harta serta benda pusaka yang dijarah. Termasuk Keris Ratu Demit
yang kini berada di tangan Kunto Api.
"Bagusi
Kau mengenali senjata ini! Berarti kau sadar ajalmu sudah di depan mata!"
“Wuuttt!"
Keris
Ratu Demit berkiblat. Buntalan sinar hitam menyambar,
menutup
pandangan disertai suara pekikan aneh, suara perempuan. Cakra Mentari cepat
bersurut mundur sambil dorongkan telapak tangan kirinya. Sinar hitam berhasil
dibuyarkan namun buyaran sinar kemudian membentuk larikanlarikan sinar baru
banyak sekali hingga saat itu juga Cakra Mentari berada dalam gulungan sinar.
Ini sangat berbahaya karena dia tidak mampu melihat di arah mana beradanya
Keris Ratu Demit.
“Breett”
********************
9
DADA
kanan baju putih Cakra Mentari robek besar. Untung tadi dia sempat bergerak
mundur hingga hanya pakaiannya yang terkena sambaran ujung keris. Kalau tidak
walau tubuhnya hanya tergores pasti akan membawa celaka besar karena Keris Ratu
Demit mengandung racun jahat sangat mematikan.
Kunto Api
yang berhasil merobek pakaian lawan kini jadi lebih bersemangat Dia yakin dalam
dua tiga jurus di depan dia pasti akan dapat melukai dan membunuh pemuda itu.
Sakit tangan kanannya yang remuk seperti tidak dirasakan. Sambil mengeluarkan
bentakan-bentakan garang tangan kiri yang memegang keris lancarkan serangan
berantai. Senjata sakti itu diputar, ditusukkan dan dibabatkan demikian rupa
hingga larikan sinar hitam laksana topan prahara menerpa Cakra Mentari, membuat
pemuda ini kelagapan. Merasa terdesak Cakra Mentari angkat dua tangan ke udara
mulut menghembus.
Serangkum
angin dahsyat menyembur.Ketika larikan sinar hitam terkuak dan dia dapat
melihat jelas senjata di tangan lawan. Cakra Mentari pukulkan dua tangan secara
berbarengan ke arah tangan kiri Kunto Api.
Dua larik
cahaya biru menderu Hawa luar biasa panas mendera seantero tempat hingga
beberapa ekor kuda yang masih ada di situ meringkik keras lalu lari keluar
halaman termasuk kuda dimana Sulin tergeletak dan juga kuda yang ditunggangi
Janger Sawung. Tajurpambayan bergulingan di tanah, menjauh dan ajang
pertarungan.
Janger
Sawung usap wajahnya berulang kali. Sejak tadi dia memperhatikan jalannya
perkelahian nyaris tak berkesip.
Sebagai
orang berpengalaman luas dalam rimba persilatan dia tidak mengenali jurus-jurus
silat yang dimainkan Cakra Mentari.
Dia juga
tidak tahu pukulan sakti apa yang barusan dilepas pemuda itu.
"Usia
begini muda. Ilmu silat dan kesaktian luar biasa. Murid siapa dia
gerangan?" membatin Janger Sawung.
"Dessl
Desss!"
Keris
Ratu Demit bergetar hebat pancarkan cahaya kuning ketika menangkis serangan dua
larik sinar biru panas.
Sementara
sinar hitam masih terus bergulung menelikung Cakra Mentari.
"Taarr..Taaarr!"
Dua
letusan keras menggelegar. Kunto Api menjerit. Dia kalah kuat dalam tenaga
dalam dan hawa sakti. Tubuhnya mencelat dua tombak. Keris Ratu Demit terlepas
mental.
Tercampak
di tanah namun masih memancarkan larikan sinar hitam. Tangan kiri Kunto Api
dilamun api berwarna biru.
Bersamaan
dengan jeritannya tadi entah dari mana terdengar pula jeritan-jeritan aneh
perempuan. Membuat suasana jadi sangat menggidikkan. Larikan-larikan sinar
hitam yang keluar dari Keris Ratu Demit tiba-tiba lenyap, berubah menjadi sosok
lima demit rakseksi bertelanjang dada. Rambut hitam berkilat awut-awutan, mata
mendelik merah diberi cilak biru di sekelilingnya. Bibir tebal merah mencuatkan
taring besar dan runcing. Secarik cawat hitam hanya itu yang menutupi aurat
mereka. Payu dara yang lebih besar dari buah kelapa bergoyanggoyang kian
kemari. Lima demit rakseksi ini sama-sama keluarkan jeritan keras lalu serentak
menyerang Cakra Mentari.
Sepuluh
tangan berkuku panjang hitam berkelebat Siap untuk membantai si pemudal
"Cakra!
Lari!" teriak Tajurpambayan.
Tapi
pemuda itu mana mau lari. Sambil melompat mundur dia lepaskan dua pukulan
tangan kosong. Lima mahluk demit perempuan yang kena dihantam hanya
bergoyang-goyang seperti asap tertiup angin lalu sambil menjerit-jerit mereka
kembali menyerbu.
Sadar
kalau dia tidak mungkin menghadapi mahluk jejadian itu dengan dengan ilmu luar
atau cara keras Cakra Mentari kembali bersurut mundur beberapa langkah. Dua
kaki berjingkat tubuh terangkat ke atas hingga tidak menjejak tanak Dua tangan
diluruskan ke depan, telapak diusapkan satu sama lain. Mulut berucap perlahan.
"Ilmu
gaib harus dihadapi dengan ilmu gaib! Ilmu hitam harus dilawan dengan ilmu
hitam. Paman Suma Mahendra, melalui rohmu kekuatan Para Dewa di atas
segalanya!"
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara aneh seperti topan berhembus mendatangi. Ranting
pepohonan bergoyang-goyang, daun-daun bergemerisik. banyak yang luruh ke tanah.
Janger Sawung yang menyaksikan kejadian itu kerenyitkan kening menahan nafas.
Dari sela-sela dua telapak tangan Cakra Mentari mengepul keluar asap merah
disertai menebarnya bau setanggi.
Lima
dedemit perempuan yang hendak menyerbu si pemuda hentikan gerakan, mendongak ke
langit Begitu hidung mereka kemasukan asap berbau setanggi, kelimanya menjerit
keras.
Mereka
bergerak mundur dengan wajah ketakutan ketika kepulan asap merah yang keluar
dari sela dua telapak tangan Cakra Mentari berubah membentuk sosok raksasa
berambut dan berkulit merah. Kumis, cambang bawuk dan janggut lebat hitam.
Sekujur tubuh mulai dari leher, dada, pinggang sampai ke kaki ditumbuhi bulu
lebat warna kelabu. Deretan gigi besar panjang berwarna merah mencuat keluar
dari mulut Sepasang mata keseluruhannya juga berwarna merah menatap mendelik
garang ke arah lima dedemit perempuan. Yang luar biasanya mahluk ini muncul
dalam keadaan bugil telanjang bulat Berdiri di depan Cakra Mentari.
Lima
dedemit perempuan yang hendak membantai pemuda itu serta merta jatuhkan diri,
berlutut di tanah, tampak sangat ketakutan dan berbarangan mereka sama-sama berkata.
"Raja
Demitl Ampuni kami”
Mahluk
telanjang yang dipanggil Raja Demit menyeringai. Lalu keluarkan ucapan.
"Jika
kalian ingin menemui celaka, bersiaplah menerimanya saat ini juga. Aku akan
mengirim kalian ke alam gaib dan kalian akan mendekam di sana untuk
selama-lamanya. Tapi jika kalian inginkan kenikmatan, jangan ganggu Cakra
Mentari. Tanggalkan pakaian kalian! Ikut bersamaku!"
Habis
berkata begitu mahluk raksasa yang dipanggil Raja Demit melangkah tinggalkan
tempat itu. Lima dedemit perempuan meraung. Mereka tanggalkan pakaian yang
hanya berupa cawat hitam lalu mengejar Raja Demit Dua diantaranya melompat ke
bahu kiri kanan demit raksasa. Satu lagi sambil tertawa-tawa bergelantungan di
leher, tubuh ditempelkan dan dua kaki disilang di punggung Raja Demit. Di satu
tempat enam mahluk alam gaib itu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.
Melihat
apa yang terjadi nyali Kunto Api si pemimpin Lima Tengkorak Darah menjadi
leleh. Tidak tunggu lebih lama dia segera putar badan dan melompat ke punggung
seekor kuda lalu menghambur kabur dari tempat itu.
"Manusia
jahatl Kau mau lari kemana?!" Teriak Cakra Mentari. Tubuhnya melesat ke
udara. Namun maksudnya mengejar Kunto Api terhenti ketika mendadak di samping
kanan terdengar satu gelegar dahsyat disertai berkiblatnya selarik sinar putih
terang panas, menyambar ke arah Cakra Mentari!
"Pukulan
Tangan Gledek!" teriak Cakra Mentari sambil secepat kilat jatuhkan diri ke
tanah.
"Wuuuttt!"
Sinar
putih lewat satu jengkal di atas tubuh Cakra Mentari membuat punggung baju
putihnya hangus dan tubuhnya panas laksana dipanggang. Sinar putih itu kemudian
melabrak rumah orang tuanya dan wusss! Rumah kayu beratap ijuk itu langsung
tenggelam dalam kobaran api.
Cakra
Mentari berteriak marah. Dia melompat bangun dan melihat ada dua kuda kabur
meninggalkan tempat itu. Yang pertama ke arah barat ditunggangi Kunto Api.
Satunya menuju ke timur ditunggangi Janger Sawung alias Si Tangan Geledek yang
sekaligus memboyong ibunya.
Tidak
tunggu lebih lama Cakra Mentari melompat ke atas punggung seekor kuda lalu
menggebrak binatang ini mengejar Janger Sawung. Tajurpambayan tidak tinggal
diam. Walau sekujur tubuhnya terasa sakit lelaki ini mengambil Keris Ratu Demit
dan sarungnya yang tergeletak di tanah lalu naik ke atas seekor kuda milik
penjahat lainnya Ikut mengejar Janger Sawung yang melarikan istrinya.
Cakra
Mentari kenal betul wilayah kediamannya. Ketika melihat Janger Sawung lari ke
arah timur dia segera mengambil jalan pintas. Tak lama kemudian dia muncul di
satu jalan mendaki. Di balik serumpunan semak belukar pemuda ini berhenti.
Orang yang melarikan ibunya pasti melewati jalan ini. Karena itu satusatunya
jalan ke arah timur. Menunggu tidak terlalu lama Cakra Mentari mendengar suara
derap kaki kuda mendatangi. Ketika kuda itu muncul ternyata tidak membawa
penunggang. Tidak ada Janger Sawung, juga tak ada ibunya.
Cakra
Mentari jengkel sekali karena kena ditipu orang. Dia berlomba dengan waktu
sebelum ibunya diapa-apakan si kakek.
Tak lama
kemudian Tajurpambayan sampai pula di tempat itu.
Cakra
menerangkan apa yang terjadi
"Ayah
tak usah kawatir. Pulanglah. Saya pasti bisa mengejar dan menangkap tua bangka
jahat itu!"
"Tidak,
aku ikut bersamamu sampai ibumu kita temukan."
Jawab
sang ayah. "Aku mendengar para penjahat menyebut satu tempat rahasia di
air terjun Cemoro Ijo. Kakek berjubah biru itu pasti membawa ibumu ke
sana."
Cakra
Mentari menggeleng. "Tua bangka itu tidak akan berlaku sebodoh itu. Kita
akan menemukannya. Pasti!" Pemuda ini lalu angkat tangan kanannya ke
udara. Mulutnya berucap. "Jambul Ireng. Aku perlu bantuanmu!"
Saat itu
juga di langit tampak melayang seekor burung.
Sambil
menguik keras binatang ini menukik dan melesat turun lalu hinggap di lengan
kanan Cakra Mentari Burung ini ternyata seekor elang berbulu putih yang tidak
biasanya memiliki jambul berwarna hitam.
"Seorang
tua berjubah biru menculik ibuku. Tunjukkan aku dimana manusia jahat itu
berada."
Elang
putih berjambul hitam yang disebut Jambul Ireng menguik keras, rentangkan sayap
lalu melesat ke atas. Di udara burung ini berputar-putar beberapa kali lalu
terbang rendah ke arah timur. Cakra Mentari mengikuti dengan kuda yang
ditunggangi. Tajurpambayan terheran-heran melihat ilmu kepandaian puteranya.
Banyak yang ingin ditanyanya.
Namun
saat itu dia hanya bisa berdiam diri dan mengikuti sang anak.
Setelah
kedua orang itu mengikuti beberapa lama Jambul Ireng tiba-tiba melayang turun,
hinggap di satu cabang pohon jati. Karena rapatnya pepohonan serta lebatnya
semak belukar Cakra Mentari tidak mungkin mendekati deretan pohon jati dengan
terus menunggang kuda. Pemuda ini melompat turun lalu memberi tanda pada
Tajurpambayan agar sang ayah menunggu di tempat itu. Cakra kemudian menyusup
cepat dikelebatan semak belukar. Saat dia sampai di deretan pohon jati Jambul
Ireng melayang ke bawah, hinggap di ranting kering serumpunan semak belukar
lalu terbang ke arah satu gundukan batu hitam yang menyerupai sebuah arca rusak
berbentuk gajah berlutut. Burung elang berjambul hitam ini mematuk-matuk arca
itu berulang kali lalu terbang ke udara bertengger di cabang pohon.
Cakra
Mentari melangkah mendekati arca gajah duduk. Dia memutari arca itu satu kali
sambil menduga-duga. Tiba tiba diiringi teriakan keras pemuda Ini lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
"Braakk!"
Arca
gajah hancur berkeping-keping. Di bekas arca itu tadi berdiri kini terlihat
satu lobang besar. Di dalam lobang ada tangga batu berundak lima. Di depan
undakan terbawah kelihatan mulut sebuah lorong batu.
"Pasti
jahanam tua itu membawa ibuku ke lorong batu di bawah tanah ini!" Tidak
berpikir panjang lagi Cakra Mentari melompat ke dalam lobang. Baru kakinya
menginjak undakan tangga batu paling atas tiba-tiba dan dalam lorong
menggelegar suara keras, lalu satu sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa
panas menderu ganas ke atas lobang.
Cakra
Mentari bertenak kaget. Cepat pemuda ini membuang diri ke samping. Walau dia
berhasil menghindar namun
tak urung
bahu kirinya masih kena disapu hawa panas. Untuk kedua kalinya baju putihnya
hangus. Kini di sisi kiri. Sambaran angin panas juga membuat pemuda ini
terjajar keras lalu jatuh punggung di tanah. Tubuhnya sebelah kiri terasa
seolah lumpuh. Sebelum dia sempat bangkit satu kaki telah menginjak dadanya.
Satu tangan yang membekal pukulan sakti Tangan Geledek siap dihantamkan ke
arahnya.
"Tua
bangka keparat! Mana ibuku!" Cakra Mentari berteriak.
Janger
Sawung alias Si Tangan Geledek tertawa mengekeh.
"Kau
anak yang berbakti pada orang tua. Ibumu baik-baik saja di lorong sana. Selagi
aku bersenang-senang, aku tidak suka kau mengganggu. Jadi biar kau kuhabisi
dulu!" Tangan kanan Janger Sawung bergerak.
Sesaat
lagi pukulan Tangan Geledek akan mengakhiri riwayat Cakra Mandiri tiba-tiba
satu benda hitam melesat di udara.
********************
10
SEHARUSNYA
dengan ilmu kepandaian tinggi yang dimilikinya Janger Sawung mampu mengetahui,
paling tidak mendengar suara benda yang melesat di belakangnya. Namun karena
saat itu dia terlalu mengira akan segera dapat menghabisi Cakra Mentari maka
kakek jubah biru ini berlaku lengah. Dia baru sadar dan sudah terlambat ketika
sebuah senjata menancap di tengkuknya.
Benda ini
bukan lain adalah Keris Ratu Demit. Dan yang melemparkan adalah Tajurpambayan.
ayah Cakra Mentari. Seperti diceritakan. sebelum mengejar Janger Sawung bersama
puteranya, lelaki ini masih sempat mengambil keris berikut sarungnya yang
tergeletak ditinggal begitu saja oleh Kunto Api sewaktu kabur melarikan diri.
Kakek
berjuluk Si Tangan Geledek menjerit keras. Mata mendelik, dua tangan terpentang
ke atas, dalam kalap melepas pukulan sakti ke udara. Gelegar dahsyat
menggetarkan seantero tempat
Janger
Sawung menjerit sekati lagi. Busah cairan hitam muncul menyembur dari mulut.
Kulit, rambut, kumis serta janggutnya yang berwarna biru berubah menjadi hitam
legam.
Perlahan-lahan
bagian putih matanya juga berubah hitam.
Racun
jahat Keris Ratu Demit tidak bekerja hanya sampai disitu.
Senjata
curian milik Kerajaan itu kepulkan asap hitam. Sekujur tubuh Janger Sawung
bergetar, jubah hitamnya mengepul lalu terjadilah hal yang mengerikan. Tubuh
itu mulai dari kepala sampai ke kaki leleh laksana lumpur dilanda air.
Tajurpambayan
yang melemparkan keris sakti jadi bergidik sendiri menyaksikan apa yang
terjadi. Lututnya goyah hingga dia terduduk di tanah dengan muka pucat.
"Ayah!"
seru Cakra Mentari seraya melompat menghampiri Tajur lalu memeluk ayahnya
“Ibumu.
Cakra. Cari ibumu. Selamatkan dia lebih dulu…"
"Ayah
saya berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan nyawa saya…" Kata
Cakra Mentari sambil mencium ayahnya berulang kali.
"Aku
tak tahu bagaimana caranya mempergunakan senjata.
Aku hanya
menurutkan naluri saja. Melempar senjata itu ketika melihat kakek jubah biru
hendak menghablsimu.."
"Saya
tahu kehebatan senjata itu. Untuk mempergunakan keris sakti tidak perlu ilmu
kepandaian. Keris Ratu Demit mampu mencari jalan sendiri. Bagaimanapun juga
ayah telah menyelamatkan saya Saya berterima kasih."
Tajurpambayan
memegang bahu puteranya lalu berdiri.
"Ayah
tunggu di sini. Saya akan mencari ibu di dalam lorong batu di bawah tanah
sana."
Cakra
Mentari masuk ke dalam lobang di bekas hancurnya arca batu lalu menuruni tangga
lima undakan yang menuju ke dalam lorong. Tak lama kemudian pemuda ini muncul
kembali sambil menggendong ibunya yang telah dilepaskan dari totokan.
"Dewa
Mahabesar! Sulin!" teriak Tajur gembira. Lelaki ini menghambur. Suami
istri itu saling berangkulan. Sulin menangis sesenggukan. Cakra Mentari
melangkah mendekati mayat leleh Janger Sawung lalu mengambil Keris Ratu Demit
yang tergeletak di atas tubuh meleleh nyaris tak berbentuk itu.
"Sulin,
kau tidak apa-apa?" tanya Tajur sambil memeluk dan membelai rambut
istrinya.
"Pakne,
kau dan Cakra datang tepat pada waktunya. Saya tak kurang suatu apa Mas."
jawab Sulin.
Setelah
ibunya kelihatan lebih tenang sambil memegang Keris Ratu Demit Cakra berkata.
"Ayah dan ibu pulanglah lebih dulu. Ada dua kuda yang bisa ditunggangi.
Saya akan membawa keris ini ke Kotaraja dan memberikannya pada seorang pejabat
untuk diteruskan pada Sri Baginda Raja."
Tajur
menyerahkan sarung keris pada puteranya. "Soal menyerahkan senjata sakti
ini bisa nanti saja kau lakukan. Aku ingin kau pulang dulu bersama kami. Ada
sesuatu yang perlu aku bicarakan denganmu."
"Apakah
tidak bisa ditunda sampai dua tiga hari dimuka, Ayah?" tanya Cakra Mentari
pula.
"Cakra,
aku menunggu dua puluh empat tahun untuk mengatakan hal ini padamu. Apakah kau
begitu saja ingin menundanya?"
Tentu
saja Cakra Mentari terkejut mendengar keterangan ayahnya itu. Buru-buru dia berkata.
"Ah, maafkan saya Ayah.
Kalau
begitu kita pulang sama-sama," jawab Cakra Mentari Lalu dia menolong
ibunya naik ke atas kuda. Tajurpambayan hendak naik dan duduk di belakang
istrinya. Tapi Cakra berkata.
"Ayah
naik saja di kuda yang satu Itu."
"Lalu
kau nafk apa? Hanya ada dua kuda di sini." Kata Tajurpambayan.
"Tidak
apa, saya bisa jalan kaki."
Sang ayah
kerenyitkan kening lalu tertawa.
"Sampai
sore kau baru sampai di rumah. Aku tak mau menunggu selama itu!"
Cakra
Mentari hanya tersenyum. Dia memegang tangan ayahnya lalu membantu menaikkan
lelaki ini ke atas punggung kuda.
Ketika
Tajur dan Sulin sampai di rumah mereka yang kini hanya tinggal puing-puing abu
karena telah dibakar Janger Sawung dengan pukulan saktinya, suami istri itu
melihat anak mereka tengah sibuk mengangkati bagian bangunan yang masih utuh
dan bisa dipakai. Selain itu mereka tidak melihat lagi mayat anggota Lima
Tengkorak Darah yang sebelumnya bergelimpangan di tempat itu. Pasti anak itu
telah membuangnya ke satu tempat.
Dua suami
istri itu hentikan kuda masing-masing.
Sebenarnya
mereka sangat sedih atas musnahnya rumah mereka.
Namun
saat itu keduanya hanya bisa tercengang-cengang.
“Bagaimana
mungkin anak itu bisa sampai lebih dulu dari kita?” ucap Tajurpambayan heran.
“Mas
Tajur, agaknya anak kita sudah jadi orang sakti…” berkata Sulin.
Tajur
geleng-geleng kepala. “Sulin. Untuk sementara kau tinggal dulu bersama orang
tuamu di Pakis. Aku akan antarkan dulu kau ke sana kembali ke sini menemui anak
itu.”
“Sebaikya
Cakra diajak serta mengantarku. Kalau tidak nanti anak itu pergi lagi. Kalau
sudah pergi sulit mencarinya.”
Tajurpambayan
tersenyum. “Tentu, tentu. Kedua orang tuamu kurasa juga sudah kangen pada
cucunya itu.”
***********************
DI TEPI sebuah kali keci I dikaki barat pegunungan tengger, ayah dan anak duduk berhadap-hadapan. Saat itu sang surya mulai condong ke barat, udara terasa nyaman dan suasana begitu sunyi. Keadaan seperti inilah yang diinginkan Tajurpambayan.
"Ayah,
saya masih tidak mengerti. Kalau mau bicara mengapa membawa saya ke tempat ini
Cukup jauh dari rumah. Kalau ada yang hendak Ayah sampaikan bukankah kita bisa
bicara di rumah Kakek sehabis mengantar Ibu?" Cakra Mentari memandang ke
arah bungkusan yang ada di pangkuan ayahnya. "Ayah, apa isi bungkusan
itu?" Dalam bicara anak Ini selalu bersuara lembut
"Cakra,
aku sengaja membawamu ke tempat sunyi Ini karena tidak ingin ada orang lain
mengetahui apa yang bakal aku sampaikan."
"Termasuk
Ibu?" tanya si pemuda.
Tajur
mengangguk. "Termasuk ibumu, karena begitu pesan yang aku terima,"
jawabnya. "Sebaiknya aku mulai saja sekarang. Jika urusan ini selesai aku
bisa merasa lega. Dua puluh empat tahun silam, sewaktu kau masih bayi dan baru
saja lepas tali pusar. Saat itu malam hari. Entah bagaimana terjadi satu hal
aneh. Puluhan bunga tanjung melayang berjatuhan dari atas langit-langit rumah,
satu demi satu masuk ke dalam tubuhmu. Saat itu kau sendiri tengah tertidur
lelap.
Aku dan
ibumu memperhatikan kejadian ini penuh heran.
Setelah
bunga tanjung lenyap, dari atap rumah melayang turun seorang pemuda yang
tubuhnya diselimuti cahaya biru. Seperti bunga-bunga tanjung, mahluk ini secara
aneh masuk ke dalam tubuhmu. Setelah kau dewasa seperti sekarang ini. baru aku
sadari bahwa wajah orang itu sangat menyerupai wajahmu.
Berkumis
kecil, berjanggut dan bercambang bawuktipis…."
"Berarti
ada mahluk yang menitis masuk ke dalam diri saya." ucap Cakra Mentari.
"Siapa?"
"Akan
aku katakan nanti. Biar aku melanjutkan cerita dulu…." jawab Tajurpambayan.
Lalu dia melanjutkan kisahnya.
"Malam
itu di luar rumah aku dengar suara ribut-ribut. Ada suara bentakan. Suara
seperti letusan Sesekali aku merasakan rumah bergetar. Beberapa kali aku dan
ibumu mendengar suara mahluk meraung. Ada yang berkelahi di luar sana. Aku
memberanikan diri keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Begitu
pintu kubuka ada seorang tinggi besar berjubah dan bersorban hitam. Dari
perawakan serta raut wajahnya dia seperti seseorang berdarah India atau
keturunan Arab. Salah satu matanya hanya merupakan rongga mengerikan digenangi
darah. Aku menyangka dia bukan manusia tapi hantu pelayangan. Saking takut aku
hendak berteriak. Tapi mahluk ini menekap mulutku. Dia memberi tahu
namanya…."
"Ayah
ingat nama yang dikatakannya?"
"Ya,
aku tidak bakal melupakan. Dia mengaku bernama Deewana Khan.."
"Ku
nama orang India atau orang Gujarat. Lalu apa yang dilakukannya terhadap
Ayah?" tanya Cakra Mentari.
"Dia
membawa kantong kain. Bungkusan yang sekarang ada di pangkuanku ini."
jawab Tajurpambayan. "Dia mengatakan di dalam kantong ada sebuah kitab
bernama Jagat Pusaka alam gaib.Juga ada seperangkat pakaian hitam dan sehelai
ikat kepala kain merah. Kata mahluk itu, jika kau sudah berusia dua puluh empat
tahun, kitab dan pakaian harus aku serahkan padamu. Kau harus membaca dan
mempelajari isi kitab karena di dalamnya tersimpan ilmu yang dahsyat. Jika kau
mempelajarinya maka kau kelak akan menjadi seorang sakti mandraguna. Selama dua
puluh tiga tahun bungkusan ini aku sembunyikan di bawah atap rumah. Satu tahun
terakhir aku pindahkan ke tempat lain. Aku bersyukur melakukan hal Itu.
Kalau
tidak bungkusan dan isinya pasti sudah ludas sewaktu rumah kita terbakar tadi
pagi. Sampai saat ini ibumu tidak tahu perihal bungkusan dan isinya. Aku tidak
pernah bercerita."
Tajurpambayan
berhenti bicara sejenak untuk menarik nafas dalam Lalu dia melanjutkan.
"Cakra, menurut orang berjubah itu kau akan mampu dan mudah mempelajari
isi kitab karena sebelumnya malam itu seorang sakti dari jaman Singosari
bernama Suma Mahendra telah menitis masuk ke dalam tubuhmu ,."
"Suma
Mahendra.. -" Cakra Mentari berdiri dari duduknya.
Dia
menatap ayahnya beberapa ketika lalu berkata. "Saya memanggilnya Paman.
Ayah, orang itulah yang selama ini mengajarkan berbagai ilmu silat dan ilmu
kesaktian pada saya.
Ayah
mungkin tidak percaya.."
"Aku
dan ibumu selalu bertanya-tanya. Dari mana kau mendapatkan segala Ilmu
kepandaian itu. Tadi kami menyaksikan sendiri waktu kau berkelahi melawan Kunto
Api dan anak buahnya.. Sulit dipercaya. Kau berguru dengan siapa? Orang bernama
Suma Mahendra itu?"
"Ayah
mungkin tidak percaya," jawab Cakra Mentari.
"Ketika
saya menginjak usia dua belas tahun, setiap malam Jum’at ada seorang pemuda
gagah yang ciri-cirinya sama dengan orang yang ayah katakan menitis masuk
kedaiamdiri saya. Saya dibawanya ke pedataran pasir Tengger. Tempat itu jauh
dari sini. Tapi saya dan dia bisa sampai di sana hanya dalam sekojapan mata
saja. Di tempat itu dia mengajarkan pada saya berbagai ilmu kebajikan, ilmu
membela diri serta ilmu kesaktian. Pagi hari sebelum ayah dan ibu bangun, saya
sudah diantarnya kembali ke rumah. Hal itu berlangsung selama
bertahun-tahun…"
"Luar
biasai Kau telah menerima berkah Dewa yang tidak terkirakan besarnya!"
kata Tajurpambayan sambil berdiri.
"Cakra,
kau ambillah bungkusan ini. Baca dan pelajari isi Kitab Jagat Pusaka Dewa. Jika
orang memberikan seperangkat pakaian padamu berarti kau harus mengenakannya.
Nah semua itu yang harus aku sampaikan padamu Sekarang aku merasa lega karena
menyimpan rahasia ini selama puluhan tahun."
Karena
ingin tahu Cakra keluarkan kitab dari dalam kantong kain. Kitab itu tidak
seberapa besar juga tidak tebal, hanya beberapa lembar. Terbuat dari kulit
kambing. Di bagian sampul tidak terdapat tulisan apa-apa sedang di sebelah
dalam dipenuhi tulisan Jawa Kuna. Ketika anaknya membalik-balikkan halaman
kitab Tajurpambayan coba memperhatikan.
"Aneh…"
ucap sang ayah.
“Aneh
bagaimana Ayah?"
"Aku
melihat tak ada tulisan apa-apa dalam kitab itu.
Halamannya
kosong…"
Cakra
heran. "Tapi saya melihat banyak tulisan di dalamnya.
Tidak ada
halaman yang kosong."
"Ah.
semakin banyak keanehan yang tidak aku mengerti," kata Tajurpambayan pula
sambil geleng- geleng kepala.
"Ayah,
saya membutuhkan waktu untuk mempelajari isi kitab ini. Juga saya perlu satu
tempat yang sunyi tenang untuk melakukan hal itu. Saya ingin menitipkan Keris
Ratu Demit pada Ayah. Kalau sampai saatnya akan saya ambil kembali dan serahkan
pada Kerajaan."
"Aku
rasa" Ucapan Tajurpambayan terputus.
Cakra
Mentari memeluk ayahnya erat-erat lalu mencium tangan lelaki itu. Sekali
berkelebat dia sudah lenyap dari tepi sungai.
"Cakra."
Tajurpambayan berseru. Namun sang putera tidak kelihatan lagi. Lelaki ini juga
tersentak heran ketika melihat tahu-tahu Keris Ratu Demit sudah berada dalam
genggaman tangannya. "Aku punya firasat sekali ini anak itu akan pergi
lama sekali. Dewa di Kahyangan, apakah Kau akan mempertemukan aku lagi dengan
puteraku itu? Aku mohon Kau melindungi anak itu kemana dia pergi, dimana dia
berada, apapun yang dilakukannya." Sepasang mata Tajurpambayan tampak
berkaca-kaca.
Baik
Tajurpambayan maupun Cakra Mentari atau siapapun tidak seorangpun tahu bahwa
Kitab Jagat Pusaka Dewa yang kini berada di tangan pemuda itu adalah kitab
palsu. Seperti dituturkan sebelumnya kitab asli telah dicuri dan dimusnahkan
oleh mahluk jin Rajip Kupal lalu diganti dengan sebuah kitab lain. Kejahatan
pemalsuan ini kelak akan menimbulkan malapetaka besar dan kegegeran hebat di
kalangan rimba persilatan tanah Jawa. Antara lain seperti apa yang kini dialami
oleh Pendekar 212 Wiro Sobleng seperti dituturkan dalam awal kisah. Dan
rentetan peristiwa pemerkosaan serta pembunuhan sebagaimana yang diceritakan
sebelumnya dalam serial Wiro Sableng berjudul "Petaka Patung Kamasutra".
***********************
SEHARI
setelah Cakra Mentari berpisah dengan ayahnya, pagi-pagi sekali alun-alun
Kerajaan dilanda kegemparan.
Ratusan
orang berkerumun di dekat sebuah pohon besar. Di salah satu cabang pohon itu
tergantung kaki ke atas kepala ke bawah sosok Kunto Api pimpinan Lima Tengkorak
Darah. Di atas pohon tampak seekor burung elang putih berjambul hitam.
********************
11
SANG
SURYA yang tadi bersinar terik menyilaukan kini perlahan-lahan berubah
kekuning-kuningan.
Bola
penerang jagat ini tengah meluncur menuju titik tenggelamnya. Di sebuah dangau
di tepi sawah kering yang sunyi karena telah dipanen, Cakra Mentari duduk
bersila, mengeluarkan kitab dari dalam kantong kain.
Ketika
pertama kali memegang kitab itu. pada sampulnya tidak tertera tulisan apa-apa.
Tapi kini disitu ada tulisan dalam bahasa Jawa Kuna berbunyi "Kitab Jagat
Pusaka Alam Gaib".
Cakra
ingat betul, ayahnya mengatakan kitab itu bernama "Kitab Jagat Pusaka
Dewa".
"Aneh,
apakah Ayah keliru menyebut nama kitab ini? Waktu pertama kali aku keluarkan
dari dalam kantong kain aku ingat betul. Tak ada tulisan di bagian
sampul." Ucap Cakra Mentari dalam hati.
Pemuda
itu kemudian membuka halaman pertama. Disitu tertera rangkaian tulisan dalam
bahasa Jawa Kuna berwarna hitam.
KITAB
JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
• Halaman
Pertama •
Bunga
Tanjung Bunga Bertuah
Saat ini
tiada tulisan dapat terbaca
Kecuali
yang tertera di sampul dan halaman pertama
Wahai
anak manusia penerima kitab
Kenakan
baju dan celana hitam
Ikatkan
kain merah di kening
Pergilah
ke puncak Gunung Mahameru
Bersamadi
disana
Sampai
ada satu kekuatan gaib
Yang
muncul dan membawamu
Ke gurun
pasir Tengger
Hanya
matamu seorang yang akan melihat
Pohon
tanjung di gurun pasir
Panjatlah,
cari dahan yang kokoh
Yang
menghadap ke utara
Duduk di
sana dan kembangkan kitab
Bacalah
halaman berikutnya
Niscaya
kau akan mendapat petunjuk
Bunga
Tanjung Bunga Bertuah
Cakra
Mentari merenung sejurus, mengusap wajah lalu membuka halaman berikutnya dari
kitab, halaman kedua. Dia terkejut ketika mendapatkan halaman kedua itu dan
halaman selanjutnya benar-benar kosong. Padahal sebelumnya ketika diberikan
ayahnya, dia bisa melihat kalau semua halaman dalam kitab itu penuh dengan
tulisan. Sementara ayahnya tidak melihat apa-apa.
"Ada
apa dibalik semua keanehan ini?" pikir Cakra Mentari. Pemuda ini lalu
keluarkan baju dan celana hitam serta sehelai kain merah dari dalam kantong
kain. Pakaian itu terbuat dari bahan sangat bagus, hitam pekat berkilat mungkin
dari sutera. Pada bagian kelepak baju,bahu, dada, punggung serta ujung
lengannya yang panjang tersulam rangkaian bunga tanjung dari benang emas dan
benang perak. Sulaman yang sama juga terdapat pada pinggiran celana, memanjang
dari pinggang sampai ke ujung kaki. Pada lipatan celana Cakra menemui secarik
kain merah yang juga bersulam bunga.
Cakra
Mentari melirik ke kitab yang masih terbuka.
Wahai
anak manusia penerima kitab. Kenakan baju dan celana hitam. Ikatkan kain merah
di kening.
"Aku
si penerima kitab. Aku harus mengenakan pakaian dan ikat kepala ini…"
Cakra berucap pada diri sendiri. Lama dia memandangi pakaian itu. Ada rasa
tertarik akan semua apa yang baru dialaminya ini. Akhirnya dia membuka pakaian
putih yang dikenakannya lalu diganti dengan pakaian hitam.
Ketika
dia mengikatkan kain merah di kening tiba-tiba di langit menggelegar suara
petir disusul cahaya menyilaukan seperti hendak membelah langit yang disaput
cahaya kekuningan.
"Ada
kekuatan luar biasa menyambut diriku dalam pakaian ini. Namun mungkin juga
merupakan peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak baik." Cakra berkata
dalam hati. Dia ambil Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.simpan di balik baju hitam.
Nun jauh di timur dia melihat bayangan Gunung Mahameru bergandeng dengan Gunung
Kepolo.
********************
DENGAN
ilmu kesaktian yang didapatnya dari mahluk gaib bernama Suma Mahendra dalam
waktu satu hari Cakra Mentari telah sampai di puncak Gunung Mahameru. Saat itu
sore hari.
Dalam
hawa dingin mencucuk tulang dia mencari tempat yang baik untuk bersemedi sesuai
dengan apa yang tertulis di kitab.
Dia
menemukan sebuah batu hitam yang agak datar lalu duduk bersila. Sesaat pemuda
ini ingat pada mahluk bernama Suma Mahendra, dari siapa dia telah menerima
banyak sekali ilmu kepandaian. Apakah semua yang kini terjadi dengan dirinya
ada sangkut paut dengan orang yang dipanggilnya paman itu? Jika memang ada
kaitan mengapa sang paman tidak muncul sekedar memberi petunjuk? Bersamaan
dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat pemuda ini mulai bersemedi.
Menjelang
pagi Cakra merasa ada hawa panas keluar dari dalam batu hitam tempat dia duduk
bcrsi a. Lalu perlahan-lahan muncul asap kelabu hangat menebar bau wangi. Pada
saat itu langit di sebelah timur tampak terang tanda fajar telah menyingsing.
Tiba-tiba satu sosok muncul dan berdiri di hadapan Cakra Mentari. Pemuda ini
merasa tidak asing dengan bau mahluk yang muncul. Dia buka kedua mata
"Paman
Suma Mahendra!" Cakra Mentari berseru girang ketika mengenali siapa yang
berdiri di hadapannya. Namun sekali ini dia melihat kelainan pada sosok orang
yang telah mendidik dan memberinya berbagai ilmu kepandaian itu Wajah sang
paman tampak pucat- Pakaian hitamnya lusuh. Rambut, kumis, berewok serta
janggutnya tampak tidak rapi seperti biasanya. Ketika mulutnya terbuka
mengucapkan sesuatu Cakra tidak mendengar apa-apa.
Tiba-tiba
di langit kilat menyambar aneh. Samar-samar, seperti melihat bayangan, Cakra
Mentari melihat sosok tinggi besar mengenakan pakaian selempang kain putih.
Luar biasanya mahluk ini tidak memiliki wajah. Wajah polos licin itu berambut
dan berjanggut panjang putih nap-riapan pertanda jika dia manusia maka dia
adalah seorang yang telah berusia lanjut. Di tangan kanan mahluk ini
samar-samar memegang sebatang tongkat besi berlapis emas yang ujung sebelah
atas berbentuk bulat berhias batu permata berkilauan aneka wama.
Mahluk
ini pentang tongkatnya ke atas. Saat itu juga dua gelombang angin menderu
dahsyat. Gelombang pertama menghantam Suma Mahendra hingga mahluk ini terlempar
jauh ke bawah gunung.
"Paman!"
teriak Cakra Mentari. Dia tidak tahu harus menolong bagaimana. Namun saat itu
gelombang angin kedua telah menghantam dirinya. Tubuhnya terpental melayang
dalam keadaan masih duduk bersila. Bahkan batu hitam tempat sebelumnya dia
duduk bersemedi ikut terlempar melayang bersamanya!
Cakra
Mentari tidak mampu berbuat apa selain pasrah kemana diri dan batu hitam yang
didudukinya hendak diterbangkan angin dahsyat Dia ingat pada tulisan dalam
Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.
Pergilah
ke puncak Gunung Mahameru. Bersamadi disana. Sampai ada satu kekuatan gaib Yang
muncul dan membawamu. Ke gurun pasir Tengger.
"Kekuatan
gaib ini akan membawaku ke gurun pasir Tengger. Apa yang akan terjadi? Pohon
tanjung. Aku akan menemukan pohon tanjung."
Cakra
Mentari tahu betul, dari Gunung Mahameru pedataran atau gurun pasir Tengger
cukup jauh. Paling tidak jika dia mempergunakan ilmu kesakitan yang dimilikinya
akan memakan waktu satu hari satu malam. Namun yang dialaminya, hanya beberapa
kejapan mata saja tahu-tahu dia sudah berada di gurun pasir itu. Ketika dia
meninggalkan puncak Gunung Mahameru hari masih pagi. sementara saat itu dia
dapatkan berada pada siang hari dimana matahari bersinar luar biasa teriknya.
Cakra
Mentari turun dari batu hitam Dia memandang berkeliling. Ketika menghadap ke
arah timur pemuda ini terkejut, sekitar puluhan langkah di sebelah sana dia
melihat sebuah pohon besar.
Cakra
ingat tulisan dalam kitab.
"Pohon
tanjung…" ucapnya dalam hati. Sejauh mata memandang memang hanya itu
satu-satunya pohon yang tumbuh di gurun pasir itu. Oan pohon ini dalam keadaan
berbunga. Harumnya bunga tanjung itu tercium sampai di tempat si pemuda
berdiri. Tak ada pohon atau tumbuhan lainnya. "Aku harus memanjat pohon
itu.
Duduk di
dahan yang menghadap ke utara dan membuka kitab."
Cakra
Mentari melangkah cepat di pedataran pasir. Sampai di bawah pohon tanjung dia
mencari dahan yang menghadap ke utara. Begitu menemukan pemuda ini segera
melompat ke atas dan duduk di pohon itu. Dari atas pohon dia memandang
berkeliling. Tak ada orang atau mahluk lain di gurun pasir itu.
Hanya dia
dan pohon itu!
Cakra
keluarkan Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib. Tangannya agak bergetar ketika membuka
halaman kedua. Dia mulai membaca apa yang tertulis di situ.
KITAB
JAGAT PUSAKA ALAM GAIB
•Halaman
Kedua•
Bunga
Tanjung Bunga Bertuah
Wahai
anak manusia
Selamat
datang di gurun pasir Tengger
Selamat
pula dudukmu di pohon tanjung
Selamat
membaca halaman kedua
Pada saat
kau mendudukkan diri di cabang pohon
Saat itu
pula terputus hubunganmu dengan masa lalu
Kau tidak
ingat apa-apa lagi
Bahkan
kau tak ingat lagi ayah ibumu
Semua
Ilmu kepandaian yang selama ini kau miliki akan lenyap
Seperti
setetes air tenggelam dalam lautan pasir
Namun
kelak kau akan mendapatkan ilmu yang lebih hebat
Kemana
kau pergi kau akan menjadi raja diraja rimba persiktan
Kehidupanmu
kini adalah kehidupan masa depan
Di pohon
ini ada 305 bunga bertuah
Sebanyak
itu pula hari yang harus kau habiskan untuk bersamadi di pohon ini
Setiap
hari sekuntum bunga bertuah akan masuk ke dalam tubuhmu
Itulah makanan
yang akan menjadi penguat badanmu
Pada hari
ke 306 kau baru boleh membuka halaman ke tiga kitab ini
Sekarang
simpanlah kitab, mulailah bersamadi
BungaTanjung
Bunga Bertuah
Cakra
Mentari menyimpan kitab ke balik baju hitamnya.
Tapi dia
tidak segera melakukan samadi. Dia berpikir-pikir apa benar ilmu kepandaian
yang selama ini dimilikinya, didapat dari Suma Mahendra telah sirna? Dia coba
mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia tidak merasa apa-apa. Tak ada
aliran darah. Tak ada alur hawa sakti. Masih tak percaya dia hantamkan
tangannya ke bawah pohon. Seharusnya tanah tertutup pasir gurun itu akan
terbongkar. Namun saat itu yang terjadi.
bergerak
sedikitpun tidak. Ada kerisauan dalam hati pemuda ini. Namun diam-diam ada rasa
tertarik untuk ingin mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mendadak
di bawah panas terik sinar matahari Cakra Mentari merasakan tubuhnya
kedinginan. Pikirannya terasa kosong. Dia tidak ingat lagi segala sesuatu masa
lalu termasuk orang-orang di sekelilingnya. Yang terlintas dalam pikirannya
adalah semua apa yang tertulis di halaman ke dua Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.
Pemuda ini letakkan dua tangan di atas paha. Lalu perlahan-lahan pejamkan kedua
mata.
Beg tu
dua mata Cakra Mentari terpejam, di langit berkelebat satu cahaya aneh. Sosok
bayangan tanpa wajah mahluk berseiempang kain putih yang pemah muncul di puncak
Gunung Mahameru dan menghantam jatuh ke bawah gunung Suma Mahendra kini
terlihat lagi di tempat itu. Untuk sesaat dia berdiri di ujung ataa pohon
tanjung, menatap dengan wajahnya yang licin polos ko bawah ke arah Cakra
Mentari yang duduk bersila mulai bersamadi
"Aku
harus mengikuti terus gerak gerik pemuda Itu. Jika semua berjalan lancar aku
harus menunggu paling sedikit dua tahun untuk benar-benar mendapatkan patung
keramat itu. Dua tahun tidak lama. Yang penting aku pasti mendapatkannya…"
Mahluk
tanpa wajah berambut dan berjanggut putih riap-riapan berucap dalam hati.
Ketika
angin panas bertiup dari selatan gurun pasir, sosok aneh misterius itupun
lenyap dari pemandangan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment