Purnama
Berdarah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
HUJAN
lebat mendera Pantai Selatan. Suara hujan yang diterpa hembusan angin keras
yang datang dari laut menimbulkan suara menggidikkan di telinga siapa saja yang
mendengarnya. Di bawah hujan lebat itu seorang penunggang kuda memacu
tunggangannya sepanjang tepian pantai, menembus hujan dan deru angin ke arah
timur. Tepat di satu bukit karang yang menjulang orang ini hentikan kudanya.
Sambil menepuk tengkuk binatang itu dia berkata. “Jangan ke mana-mana. Tunggu
di sini sampai aku kembali!”
Seperti
mengerti akan ucapan orang, kuda itu mendekatkan kepalanya ke bahu tuannya dan
menjilat bahu itu beberapa kali. Ketika petir kelihatan menyambar di tengah
laut, penunggang kuda tadi telah lenyap dari tempat itu. Dia melompat ke sebuah
celah sempit di kaki bukit karang. Di dalam celah itu ada bagian bukit yang
berbentuk seperti tangga kasar. Orang ini menaiki tangga itu dengan gerakan
cepat. Tangga batu karang itu licin dan ada yang berselimutkan lumut. Hujan
lebat membuat udara menjadi redup gelap. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi
tak mungkin orang itu bisa menaiki tangga batu begitu cepat.
Di puncak
tangga batu membentang sebuah pedataran batu yang penuh dengan
gerunjul-gerunjul karang runcing. Pada sebelah kiri pedataran menjulang bukit
berbentuk dinding setinggi lima tombak. Pada salah satu bagian di kaki dinding
inilah kelihatan sebuah lobang besar yang merupakan mulut goa. Orang tadi
bergegas menuju pintu goa. Di mulut goa dia berhenti sebentar. Dia mengusap
wajahnya dua kali berturut-turut lalu baru masuk ke dalam.
Bagian
dalam goa batu karang itu terasa hangat dan merupakan satu terowongan lurus
sedalam sepuluh tombak. Di ujung terowongan kelihatan menyala sebuah lampu
minyak yang meliuk-liuk terkena tiupan angin dari luar. Di belakang lampu ini
terhampar sehelai kulit binatang yang sudah dikeringkan. Bagian kepalanya yang
berupa kepala seekor srigala menghadap ke dinding goa sebelah kiri. Di atas
kulit binatang itu, di sebelah kanan tampak satu sosok tubuh terbalut kulit
binatang tegak kepala di bawah kaki ke atas. Kedua telapak tangan menjejak
kulit di lantai goa sedang sepasang kaki bersilang di sebelah atas. Rambutnya
yang panjang riap-riapan terjulai ke bawah dan wajahnya tertutup oleh
janggutnya yang panjang menjulai. Udara di dalam goa itu menebar bau tidak
sedap.
Orang
yang barusan masuk dalam keadaan basah kuyup sesaat tegak memperhatikan sosok
tubuh yang tegak kepala ke bawah kaki ke atas itu. Lalu mulutnya terbuka
berucap, “Eyang Srigala Karang, saya datang untuk kedua kali!”
Tubuh
yang tegak kaki ke atas kepala di bawah itu tidak bergerak. Namun di balik
janggut panjang yang menutupi hampir keseluruhan wajahnya, sepasang matanya
terbuka sedikit. Menyusul mulutnya bersuara, “Kemala, kau datang untuk kedua
kali. Berarti hatimu telah tetap untuk meminta agar aku meluluskan
keinginanmu?!”
“Betul
sekali Eyang Srigala Karang.” Orang ini ternyata adalah seorang perempuan.
“Bagus
kalau begitu. Aku sudah katakan bahwa sekali kau memutuskan meminta bantuanku,
berarti kau harus memenuhi segala syarat dan aturan!”
“Saya
akan memenuhi,” jawab Kemala yang pakaian dan rambutnya basah kuyup.
“Aku
sudah katakan. Kalau kau melanggar syarat dan aturan maka apa yang kau minta
akan berbalik mencelakai dirimu sendiri!”
“Saya
sudah mengerti hal itu Eyang.”
“Apa yang
kau minta segera terkabul. Setelah kau melihat sendiri nanti, maka baru aku
akan mengatakan syarat-syaratnya.”
“Eyang,
apakah tidak sebaiknya Eyang mengatakan lebih dulu syarat-syarat itu?” ujar
Kemala.
“Kau yang
meminta bantuan, aku yang menentukan syarat. Lagi pula apa sulitnya memenuhi
syarat yang tidak sukar?”
Orang
yang berdiri di depan lampu minyak diam sejurus. Maka terdengar orang yang
disebut dengan Eyang Srigala Karang itu berkata. “Aku tidak suka pada
orang-orang yang datang dengan hati meragu bimbang. Jika perasaan itu ada dalam
hati sanubarimu, cepat-cepat saja meninggalkan goa ini! Aku tidak punya terlalu
banyak waktu mengurusi tamu sepertimu! Aku mau dengar jawabanmu!”
“Saya
tidak ragu. Apapun nanti syarat dari Eyang akan saya penuhi.” kata Kemala pula.
Eyang
Srigala Karang keluarkan suara tawa mengekeh, membuat orang di depannya sesaat
jadi tercekat. “Aku akan pertemukan kau dengan makhluk yang akan menjadi
sahabat dan suruhanmu!” kata Eyang Srigala Karang. Lalu tangan kiri sang Eyang
tampak terangkat dari atas tikar kulit binatang. Tangan ini bergerak ke arah
kepala srigala yang dikeringkan. Kemudian mengusap kepala itu tiga kali
berturut-turut. Pada akhir usapan ketiga tiba-tiba asap kelabu mengepul keluar
dari dua telinga, mata, dan hidung yang ada di kepala srigala yang telah
dikeringkan itu. Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti gerengan atau
auman binatang. Demikian kerasnya suara ini hingga lantai dan dinding goa
bergetar. Kemala tercekat sesaat. Kedua matanya dibuka lebar-lebar. Dia
menyaksikan bagaimana kepulan asap itu berbuntal menjadi satu. Lalu berubah
menjadi sosok seekor binatang buas berupa srigala yang mengerikan. Kedua mata
binatang ini berwarna merah, laksana bara api. Telinganya mencuat ke atas.
Mulutnya sampai ke gigi, taring, dan lidahnya tampak basah oleh darah. Begitu
juga dua kaki depannya yang memiliki kuku-kuku panjang runcing. Binatang ini
berputar menghadap ke arah Kemala lalu menggereng keras. Kemala merasakan
nyawanya seperti terbang. Tapi perempuan ini cepat menguasai dirinya kembali.
“Kawanmu
ini harus kau panggil dengan nama Datuk. Jika kau ingin menemuinya dan menyuruh
dia melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi keinginanmu, maka kau
cukup menyebut namanya tiga kali berturutturut. Dia akan muncul di hadapanmu
menunggu perintah. Dia hanya akan melakukan satu perintah saja yaitu
mencabik-cabik sampai mati setiap orang yang kau inginkan. Namun ingat,
pembunuhan itu hanya bisa kau lakukan pada malam bulan purnama. Lain dari saat
yang telah ditentukan itu, Datuk tidak akan melakukannya. Dia hanya akan
berkeliaran di mana-mana atau muncul jika kau panggil, tapi tidak akan
melakukan perintah membunuh!”
“Mengapa
Datuk hanya bisa melakukan pembunuhan pada malam bulan purnama saja Eyang?”
tanya Kemala.
“Begitu
yang telah ditentukan oleh alam gaib dan ilmu gaib. Tak seorang pun bisa
merobahnya. Malam bulan purnama adalah malam yang indah. Malam kebanyakan orang
lelaki dan perempuan saling bermesraan dan merasakan saat-saat paling bahagia!”
jawab Eyang Srigala Karang. “Kau harus menerima ketentuan ini. Kau telah
berjanji.”
“Ya, saya
menerimanya Eyang,” kata Kemala pula dengan suara perlahan.
Eyang
Srigala Karang tertawa mengekeh. “Aku tahu, kau ingin membunuh dan membunuh
sebanyak dan secepat mungkin. Jika keinginanmu itu diikuti, dalam waktu singkat
puluhan orang akan menjadi korbanmu. Sekarang siapkan dirimu untuk menerima
syarat-syarat yang harus kau lakukan.”
Kemala
tegak lurus-lurus tak bergerak.
“Syarat
pertama! Setiap setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada tiga malam purnama,
seorang pemuda yang memiliki sepasang telinga panjang ke atas seperti srigala
akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang
dimintanya termasuk bermesraan dengannya…”
“Eyang!”
seru Kemala terkejut sekali dan parasnya langsung berubah.
“Kau tak
boleh menolak, tak layak membantah. Itu syarat yang tidak bisa dirobah! Ingat
ucapan-ucapanku sebelumnya!”
“Tapi
Eyang, saya…”
“Berani
kau bicara lagi maka Datuk akan kusuruh mencabik-cabik sekujur tubuhmu mulai
dari kepala sampai kaki!”
Datuk, si
srigala bermata merah itu keluarkan suara lolong raungan keras. Dua sinar merah
api seperti berkelebat keluar dari kedua matanya, menyambar ke arah Kemala.
Gadis ini tersentak mundur.
Eyang
Srigala Karang kembali mengekeh. “Datuk, mulai saat ini kau bertuan pada gadis
di hadapanmu ini. Ikuti segala perintahnya sesuai dengan aturan. Ingat, kau
hanya boleh membunuh pada malam bulan purnama!”
Srigala
itu kembali meraung panjang.
“Sekarang
kau boleh pergi Datuk!”
Eyang
Srigala Karang mengusap kepala srigala yang sudah dikeringkan tiga kali
berturut-turut. Binatang bermata merah itu perlahan-lahan berubah menjadi asap
lalu lenyap dari pemandangan.
“Syarat
kedua dan terakhir!” terdengar Eyang Srigala.
Kemala
terdiam. Sepasang matanya menatap ke arah wajah yang tertutup janggut itu.
“Tanggalkan
seluruh pakaianmu!”
Kemala
seperti mendengar petir menyambar di depan hidungnya! “Apa kata Eyang?!”
“Tanggalkan
semua pakaian yang melekat di tubuhmu!”
“Apa
maksud Eyang?!” tanya Kemala. Suaranya keras pertanda ada hawa amarah memasuki
dirinya.
“Apa
maksudku tak perlu kau ketahui! Aku memerintahkan supaya kau membuka seluruh
pakaianmu! Seka
rang
juga! Ini syarat yang harus kau lakukan!”
“Syarat
gila!” teriak Kemala.
Eyang
Srigala Karang tertawa panjang. “Jika kau menolak perintah, Datuk akan muncul
membunuhmu!”
“Saya
tidak takut! Syarat yang Eyang katakan tidak mungkin saya lakukan!”
“Apa
sulitnya membuka pakaian!”
“Membuka
pakaian memang mudah! Tapi ada maksud busuk dalam diri Eyang hendak mencemari
saya!”
Eyang
Srigala Karang kembali tertawa. Begitu suara tawanya sirap dari mulutnya
keluarlah suara seperti raungan srigala dalam rimba belantara di malam gelap
gulita.
Tiba-tiba
tubuhnya yang sejak tadi berdiri di atas kedua tangannya bergerak
berjumpalitan. Kini dia tegak di atas kedua kakinya. Wajahnya yang sejak tadi
tertutup oleh janggutnya yang panjang sekarang terlihat jelas. Ternyata dia
memiliki wajah mirip seekor srigala, lengkap dengan gigi-gigi serta
taring-taring besar runcing. Kedua telinganya panjang mencuat ke atas.
Keseluruhan wajahnya sampai ke telinga tertutup oleh selapis bulu-bulu berwarna
coklat. Lalu kedua matanya menyerupai sepasang mata Datuk makhluk srigala itu.
Berwarna merah laksana bara api!
“Kalau
kau tidak mau membuka sendiri pakaianmu, terpaksa aku yang akan melakukannya!”
kata Eyang Srigala Karang.
Eyang
Srigala Karang mengulurkan tangan kanannya ke depan ke arah Kemala. Ketika
tangan itu membuat gerakan-gerakan aneh, terjadilah hal yang sulit dipercaya.
Seluruh pakaian yang melekat di tubuh Kemala seolah-olah terbang, lepas
bertanggalan hingga kini gadis itu tegak menjerit dalam keadaan bugil. Kemala
berteriak tiada henti sambil kedua tangannya berusaha menutupi auratnya.
Eyang
Srigala Karang tertawa panjang.
“Syarat
harus dipenuhi! Aturan harus diikuti! Ah…! Tubuhmu ternyata putih sekali. Bagus
dan mulus. Mendekatlah kemari biar dapat kujamah…”
“Manusia
keparat! Kau rupanya tidak lebih dari seorang dukun cabul!” teriak Kemala.
“Kau
tidak lebih baik dariku! Kau meminta ilmu hitam untuk melampiaskan kebusukanmu!
Mendekat kataku!”
“Tua
bangka cabul! Aku bersumpah akan membunuhmu!”
“Kalau
kau tidak mau mendekat, biar aku yang mendatangi!” kata Eyang Srigala Karang
pula. Lalu dia maju selangkah demi selangkah.
Kemala
yang dalam keadaan terancam tampak tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Kalau
tadi kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi auratnya sedapatdapatnya,
kini dia sengaja menurunkan kedua tangan itu dan mengembangkan kedua tangannya
ke samping. Gerakan ini membuat sepasang mata api Eyang Srigala Karang menjadi
silau oleh pemandangan yang membakar nafsunya. Dia menyangka Kemala telah siap
menyerahkan diri mematuhi syarat yang dikatakannya. Kedua tangannya diulurkan
hendak menjamah dada si gadis.
Sesaat
lagi jari-jari tangan yang kotor menjijikkan itu akan menyentuh payudara
Kemala, tiba-tiba gadis ini keluarkan bentakan keras. Tubuhnya berkelebat.
Tangan kanannya menghantam ke depan.
Bukkk!
Eyang
Srigala Karang berseru kesakitan. Tubuhnya terpental membentur dinding akibat
jotosan Kemala yang telak menghantam dada kirinya. Jantungnya seperti berhenti
berdenyut. Kedua mata apinya membelalak. Dia sama sekali tidak menyangka akan
dihajar seperti itu.
“Kau…
kau…” kata orang tua bermuka srigala itu sambil berdiri tertatih-tatih dan memegangi
dadanya yang mendenyut sakit. “Kau memukulku. Perbuatanmu merangsang nafsuku!
Lihat… lihat apa yang akan kulakukan!” Eyang Srigala Karang lalu menggerakkan
kedua tangannya membuka pakaiannya sendiri yang terbuat dari kulit binatang
yang dikeringkan.
“Manusia
terkutuk!” teriak Kemala.
Dampratan
itu dibalas dengan tawa mengekeh oleh Eyang Srigala Karang. Tapi tawanya lenyap
begitu tendangan Kemala menabas salah satu kakinya hingga tubuhnya terbanting
ke lantai goa. Sambil meringis kesakitan orang tua ini masih bisa berusaha
berdiri. Dia tegak terhuyung-huyung memandangi Kemala dengan mata berapi-api.
Ternyata meskipun memiliki ilmu gaib yang aneh, orang tua ini sama sekali tidak
menguasai kepandaian silat. Maka sewaktu ketiga kalinya serangan Kemala mendarat
di tubuhnya, Eyang Srigala Karang melolong kesakitan. Hidungnya yang dihantam
jotosan keras mengucurkan darah. Sekarang hawa amarah lebih menguasai dirinya
daripada nafsu bejatnya. Dia sama sekali tidak menduga kalau gadis di
hadapannya memiliki kepandaian silat. Orang tua ini melompat ke arah kepala
srigala yang dikeringkan. Dia berusaha mengusap kepala srigala itu dengan
tangan kirinya. Jelas dia hendak memanggil Sang Datuk! Kemala yang tahu apa
yang hendak dilakukan orang tua itu kembali berkelebat. Kali ini pukulannya
melanda lambung Eyang Srigala Karang. Selagi tubuh orang tua itu tertekuk ke
depan, Kemala menyambar dan menjambak rambutnya yang panjang riap-riapan. Lalu
kepala itu ditariknya kuat-kuat, dibantingkan ke dinding goa karang!
Praaakk!
Untuk
kesekian kalinya terdengar suara jeritan keras dan panjang dari mulut Eyang
Srigala. Keningnya tampak rengkah dan darah membasahi wajahnya yang tertutup
bulu-bulu halus berwarna coklat itu. Tapi dia belum mati. Suara menggereng kini
terdengar berkepanjangan dari tenggorokannya. Kemala cepat menyambar pakaiannya
yang terhamparan di lantai goa lalu berkelebat menuju mulut goa. Di luar
sebelum melenyapkan diri dia mengusap wajahnya dua kali berturut-turut.
Eyang
Srigala Karang merangkak mendekati kepala srigala yang diawetkan. Namun sebelum
berhasil mencapainya, tubuhnya tergelimpang di lantai. Darah makin banyak
mengucur dari luka mengerikan di keningnya. Dalam keadaan sekarat orang tua ini
melafatkan sesuatu yang diakhiri dengan ucapan: “Datuk Putra datanglah. Aku
perlu dirimu…”
Begitu
ucapan itu berakhir terdengar suara menderu seperti gemuruh ombak memecah di
tepi pantai. Lalu dalam goa, entah dari mana datangnya muncul sosok tubuh
seorang pemuda yang mengenakan destar. Wajahnya tampan namun dia memiliki
sepasang telinga yang panjang mencuat ke atas serta berbulu seperti telinga
seekor srigala. Sedang kedua matanya berwarna biru dan pandangannya
menggidikkan. Di samping si pemuda mendekam sosok lain yang ternyata adalah
sang Datuk, yaitu srigala bermata api.
“Orang
tua, aku sudah datang. Katakan kepentinganmu!” Pemuda berdestar hitam dan
bertelinga seperti srigala berkata.
“Kau
lihat apa yang terjadi pada diriku! Gadis itu yang melakukan. Gadis bernama
Kemala itu! Aku akan segera menemui kematian! Tapi aku akan mati secara
penasaran! Aku ingin pembalasan. Lakukan sesuatu! Bunuh gadis itu! Suruh Datuk
mencabik-cabik tubuhnya!”
Pemuda
bernama Datuk Putra gelengkan kepala. “Perjanjian apa yang sudah kau buat
dengan gadis itu tidak bisa dirubah. Dia memiliki kekuatan untuk menguasai dan
memerintah Datuk…”
“Aku
tidak peduli! Kau harus melakukan sesuatu, Datuk Putra!” kata Eyang Srigala
Karang hampir berteriak tapi kemudian dia mengeluh kesakitan sambil memegangi
dadanya.
“Aku akan
perhatikan permintaanmu. Cuma mungkin belum bisa dilakukan apa-apa sebelum 40
kali bulan purnama. Kau melakukan kekeliruan. Meminta syarat yang seharusnya
tidak menjadi syarat! Kau terjebak oleh nafsu kotormu sendiri!”
Eyang
Srigala Karang terbujur di lantai goa. Kedua matanya yang merah kini telah
tertutup darah dari rengkahan kepalanya.
Pemuda
dari alam gaib bernama Datuk Putra berpaling pada srigala bermata api di
sampingnya. “Kau sudah mendapatkan tuan yang baru. Kau harus berada di mana dia
berada. Pergilah…”
Srigala
yang mulut dan kedua kaki depannya bergelimangan darah itu meninggikan
kepalanya, menggereng beberapa kali, lalu memutar diri dan melompat ke mulut
goa. Datuk Putra membungkuk mengambil lampu minyak. Minyak lampu itu
disiramkannya ke sekujur tubuh Eyang Srigala Karang. Lalu disulutkannya api
pelita ke salah satu bagian tubuh si orang tua.
Wussss!
Serta
merta api besar menggebubu membakar tubuh Eyang Srigala Karang. Datuk Putra
tetap berada dalam goa itu sampai seluruh tubuh sang Eyang musnah dimakan api
yang secara aneh tubuh itu terbakar tanpa mengeluarkan bau daging terpanggang.
Selain itu ketika api akhirnya padam, tubuh itu kini hanya tinggal berbentuk
seonggok tulang belulang yang hitam menggosong!
Dengan
sisa-sisa tikar kulit binatang yang sebagian terbakar hangus termasuk kepala
srigala yang dikeringkan, Datuk Putra membungkus tulang belulang Eyang Srigala
Karang. Tulang belulang ini kemudian dibawanya ke tepi pantai. Dia mendongak ke
langit yang sampai saat itu masih mengucurkan hujan lebat. Kemudian tikar kulit
berisi tulang-tulang Eyang Srigala Karang itu dilemparkannya jauh-jauh ke tengah
laut.
“Kau aman
di tempatmu yang baru,” kata Datuk Putra seraya memandang ke tengah laut. “Jika
kau berkeras untuk muncul di dunia ini kembali, kau harus sanggup menanggung
segala akibatnya. Kita memang orang-orang dari dunia gelap dan hitam. Tapi
berbuat kekeliruan tidak ada ampunannya!”
Di tengah
laut tampak halilintar menyambar. Lautan sekilas jadi terang benderang. Datuk
Putra rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan.
Daun telinganya yang mencuat panjang ke atas tampak bergerak-gerak tiada henti.
Lalu seperti tadi kemunculannya yang entah dari mana, sesaat kemudian tubuhnya
pun lenyap entah ke mana!
*****************
2
SEBENARNYA
saat itu sedang musim penghujan. Hampir tiap hari, siang atau malam hujan
turun. Namun pada siang dan malam hari pesta perkawinan Rumini, puteri Kepala
Desa Cadas Brantas, dengan seorang pemuda bernama Randu Wulung yang kabarnya
adalah seorang perwira muda di jajaran pasukan kerajaan, udara tampak cerah.
Siang hari ketika upacara pernikahan dilangsungkan tidak setetes hujan-pun
turun. Begitu pula pada malam harinya. Udara terasa sejuk segar dan di langit
bulan purnama tiga belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi
bintang gemintang.
Yang
punya hajat tentu saja merasa bersyukur sedang para tamu ikut senang sambil
bertanya-tanya pawang hujan dari mana yang dipakai oleh tuan rumah sehingga
begitu ampuh mencegah turunnya hujan.
Lewat
tengah malam pesta perkawinan usai sudah. Semua tamu pulang ke rumah
masing-masing. Rombongan pemain gamelan sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa
yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada dua lampu minyak besar
yang sengaja dinyalakan terus di beranda depan.
Pagi
harinya Kepala Desa dan isterinya telah lama bangun. Suami istri ini bersama
sanak keluarga dan karib kerabat duduk berkumpul di ruang tengah rumah besar
sambil menikmati kopi hangat dan sarapan pagi.
“Sepasang
pengantin yang berbahagia rupanya masih tertidur pulas…” kata seorang di antara
keluarga yang masih merupakan paman pengantin perempuan sambil senyum-senyum.
“Maklum
saja. Namanya pengantin baru,” menyahuti anggota keluarga yang lain lalu
menghirup kopi hangatnya sampai mengeluarkan suara keras.
Obrol
punya obrol tak terasa pagi bergerak siang. Dua pengantin di dalam kamar masih
juga belum keluar.
“Tak enak
rasanya kalau mereka masih terus di dalam kamar. Matahari sudah tinggi,” kata
Kepala Desa pada istrinya. “Coba kau bangunkan mereka…”
Istri
Kepala Desa bangkit dari duduknya. Lalu melangkah ke bagian depan kiri rumah
besar di mana terletak kamar pengantin. Perempuan ini mengetuk pintu kamar.
Mengetuk sampai berulang kali dan karena tak ada jawaban akhirnya dia kembali
ke ruang tengah, memberitahu pada suaminya.
“Mereka
mungkin masih sangat pulas. Jadi harus keras mengetuk membangunkan mereka,”
kata Kepala Desa. Dia bangkit berdiri. “Sudah, biar aku saja yang
membangunkan.”
Kepala
Desa Cadas Brantas mengetuk pintu kamar pengantin. Mula-mula perlahan saja.
Lalu lebih keras. Dan lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil
nama anak perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban.
Beberapa
orang anggota keluarga yang ada di ruangan tengah ikut berdiri dan berkumpul di
depan pintu kamar. “Coba ketuk lebih keras,” kata salah seorang dari mereka.
Kepala
Desa kali ini bukan lagi mengetuk, tapi menggedor pintu kamar.
“Aneh,
apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” kata Kepala
Desa sambil memandang pada orang-orang yang ada di depan pintu.
“Tak ada
lobang tempat mengintip. Berarti tak ada jalan lain. Kita harus mendobrak
pintu!” kata seorang anggota keluarga yang berbadan tinggi besar. “Kalau
Kangmas izinkan tentunya.”
Kepala
Desa Cadas Brantas meraba dagunya lalu mengangguk, “Ya, kita dobrak saja,”
katanya menyetujui.
Lelaki
tinggi besar tadi mundur beberapa langkah sementara semua orang yang ada di
pintu bersibak ke samping. Dengan kaki kanannya yang kuat orang tinggi besar
menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur berantakan. Begitu pintu
terpentang lebar, Kepala Desa masuk ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di
antaranya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir semua orang
secara berbarengan keluarkan seruan keras. Isteri Kepala Desa paling keras
jeritannya. Dia menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu terhuyung-huyung dan
pasti roboh kalau tidak lekas ada yang memegangi.
“Gusti
Allah! Apa yang terjadi di sini?!” teriak Kepala Desa. “Anakku Rumini! Randu
Wulung!”
Hari itu
juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Cadas Brantas.
Sepasang pengantin baru, Rumini dan Randu Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi
mayat. Rumini terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya
menggeletak di lantai dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat
di tubuh masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar. Robekan-robekan itu
ternyata sangat dalam. Bukan hanya mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus
ke daging tubuh dua manusia malang itu. Yang lebih mengerikan, wajah Rumini dan
Randu Wulung hampir tak bisa dikenali. Karena wajah-wajah mereka juga tampak
koyak robek mengerikan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi kamar bahagia
itu diperciki darah mulai dari ranjang sampai ke lantai dan beberapa bagian
dinding.
Jelas
sepasang pengantin itu menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan
siapa pelakunya?!
Menurut
dugaan orang banyak, sepasang pengantin itu menemui ajal karena dikoyak muka
dan tubuhnya dengan sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar.
“Aku
tidak punya musuh. Siapa yang begitu jahat menghabisi nyawa anak menantuku!
Kejam! Jahat luar biasa!” kata Kepala Desa Cadas Brantas sambil
mengepalkepalkan kedua tinjunya dan berulang kali mengusap mukanya. Sementara
itu istrinya berada dalam kamar masih menangis dan sesekali menjerit memilukan.
Rumini adalah anak mereka satu-satunya. Bilamana gadis itu meninggal dunia karena
sakit mungkin tidak demikian hebat duka kedua orang tuanya. Namun Rumini mati
dibunuh orang, secara luar biasa kejam begitu rupa! Pada hari perkawinannya
pula! Orang tua mana yang bisa pasrah!
“Bapak
Santiko,” kata seorang lelaki separuh baya berbadan tegap. Dia adalah Gandar
Seto, Perwira Tinggi atasan Randu Wulung yang menyempatkan diri datang ke Cadas
Brantas untuk menghadiri pesta perkawinan pemuda bawahannya itu. Karena
istrinya kurang sehat, perwira ini membawa serta anak perempuannya sebagai wakil
sang ibu. Anak perempuan Gandar Seto yang bernama Ratih Kiranasari bertubuh
tinggi semampai, berkulit putih dan memiliki wajah termasuk cantik. Namun dalam
usianya yang hampir memasuki 30 tahun itu dia masih juga belum bersuami, belum
menemukan jodoh. Hal ini sebenarnya menjadi salah satu ganjalan tidak enak
dalam diri sang ayah. Pada masa itu kebanyakan gadis sudah menikah dan berumah
tangga di usia 16 atau 17 tahun. Bahkan ada yang telah kawin di usia lebih muda
dari itu. Karenanya tidak disalahkan kalau banyak orang berpendapat bahwa Ratih
Kiranasari sudah termasuk yang disebut perawan tua.
Malam itu
Gandar Seto dan puterinya menginap di rumah seorang kenalan di desa Cadas
Brantas. Pagi harinya ketika hendak berangkat ke Kotaraja, begitu mendengar
berita duka kematian sepasang pengantin yang menggegerkan itu, dengan bergegas
Perwira Tinggi ini mendatangi rumah duka yang sebelumnya merupakan rumah pesta
perkawinan itu. Setelah menyuruh anak gadisnya tetap berada dalam kereta,
Gandar Seto segera turun dan masuk ke dalam rumah.
Perwira
Tinggi ini sudah sering melihat kematian orang. Baik di medan perang maupun
ketika menumpas para penjahat dan perampok pengacau Kerajaan. Namun belum
pernah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian yang mengerikan
begini rupa.
“Ganas.
Kejam sekali!” kata Ganda Seto dalam hati. Lalu dia menemui Kepala Desa Santiko
yang duduk terkulai di sebuah kursi besar.
“Bapak
Santiko,” tegurnya sambil memegang bahu Kepala Desa itu. “Saya tahu ini cobaan
yang sangat berat dan besar bagimu dan istri. Namun saya harapkan kau bisa
tabah menghadapinya. Saya berjanji untuk menyelidiki kematian Rumini dan Randu.
Saya sendiri nanti yang akan memancung batang leher pembunuh biadab itu!”
Kepala
Desa itu menatap wajah Gandar Seto sesaat lalu dianggukkannya kepalanya yang
berwajah pucat itu perlahan sekali.
“Saya
tidak punya musuh. Baik di masa muda saya maupun saat ini. Siapa orangnya yang
begitu kejam dan berhati keji membunuh anak menantuku pada malam hari bahagia
mereka.”
“Setahu
saya Randu Wulung juga tidak punya musuh. Dia disenangi orang di dalam maupun
di luar jajaran pasukan kerajaan. Dia seorang calon perwira tinggi yang
diharapkan Sri Baginda menggantikan kami yang sudah tua-tua ini. Saya dan tentu
saja kerajaan sangat kehilangan dirinya…” Perwira Tinggi itu diam sesaat. Lalu
dengan suara rawan dia meneruskan ucapannya. “Hidup ini memang aneh. Dalam
keanehan itu ada berbagai rasa jahat, iri hati dan kedengkian. Bukan mustahil
bawahan saya menjadi korban ketiga hal tersebut.”
“Raden
Gandar…” kata Kepala Desa Cadas Brantas dengan suara bergetar. “Tolong… kau
usutlah perkara ini sampai berhasil menangkap pembunuhnya.”
“Saya
berjanji. Tadi pun saya sudah coba melakukan penyelidikan singkat. Agaknya si
pembunuh masuk lewat jendela. Saya dapatkan jendela kamar pengantin dalam
keadaan terbuka. Ada beberapa bagian daun jendela yang menunjukkan tanda-tanda
bekas dicongkel.”
“Maafkan
kalau saya ingin memberitahukan sesuatu,” kata seorang anggota keluarga. Dia
adalah lelaki tinggi besar yang tadi mendobrak pintu kamar untuk dapat masuk ke
dalam.
Kepala
Desa Cadas Brantas dan Perwira Tinggi Gandar Seto berpaling pada orang ini.
“Apa yang
hendak kau beritahukan Padullah?”tanya Santiko.
“Malam
tadi saya hampir tertidur waktu lapat-lapat saya mendengar suara seperti
lolongan binatang di kejauhan. Terdengarnya seperti suara raungan anjing. Tetapi
setelah saya simak saya yakin betul itu bukan suara lolongan anjing. Saya tidak
dapat memastikan suara lolongan binatang apa. Mungkin anjing hutan atau
srigala. Tapi kita tahu sendiri di sekitar sini tidak pernah ada anjing atau
srigala hutan. Walau hati saya mendadak jadi tidak enak, saya mencoba
memejamkan mata, tidur. Lalu saya mendengar ada suara halus. Suara seperti
jendela atau pintu terbuka. Tapi saya ragu saat itu. Mungkin saja yang saya
dengar adalah hembusan angin malam atau desah daun-daun pepohonan yang tertiup
angin. Lalu akhirnya saya tertidur…”
Baik
Kepala Desa Santiko maupun Perwira Tinggi Gandar Seto kelihatannya sama-sama
tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Padullah itu.
“Saya
menunda kepulangan ke Kotaraja pagi ini. Saya tetap di sini sampai kedua
jenazah dimakamkan,” kata Gandar Seto pula. “Namun puteri saya Ratih Kiranasari
akan saya suruh pulang lebih dulu. Saya akan keluar untuk memberitahu padanya.”
Perwira
Tinggi itu lalu menemui puterinya. Gadis itu akhirnya berangkat ke Kotaraja
hanya ditemani kusir kereta. Sebelum pergi Gandar Seto berkata pada anaknya
agar begitu sampai di Kotaraja dia menghubungi seorang pejabat Keraton,
memberitahu apa yang telah terjadi dengan diri Perwira Muda Randu Wulung.
*****************
3
KERETA
yang dikemudikan kusir tua itu meluncur meninggalkan desa Cadas Brantas. Untuk
mencapai Kotaraja kendaraan ini harus menempuh satu daerah berbukit-bukit
kemudian melewati kawasan rimba belantara Jati Mundu. Hutan Jati Mundu
merupakan hutan penghubung kawasan luar kota dengan pinggir timur Kotaraja.
Hutan ini menjadi pusat lalu lintas semua orang yang mau ke atau meninggalkan
Kotaraja. Hutan Jati Mundu tidak terlalu luas, tetapi pohon-pohon yang tumbuh
di dalamnya besar-besar, berusia ratusan tahun hingga batang-batangnya banyak
yang diselimuti lumut. Di samping itu semak belukarnya pun lebat-lebat. Namun
demikian, walau keadaannya seperti itu, tidak ada orang yang merasa takut
melewati rimba belantara ini. Hutan Jati Mundu dikenal aman. Tak ada binatang
buas seperti harimau atau ular. Bukan pula jadi tempat persembunyian atau
sarangnya orang-orang jahat seperti begal dan rampok.
Setelah
melewati jalan menurun di kaki bukit, kereta yang dikemudikan kusir tua itu
mulai memasuki hutan Jati Mundu. Saat itu tirai jendela depan kereta terbuka
dan satu wajah cantik muncul.
“Pak Tua,
tak usah melarikan kuda terlalu cepat. Perlahan saja. Saya letih, mau mencoba
tidur sebelum sampai di Kotaraja. Malam tadi saya menghadiri pesta perkawinan
sepasang pengantin yang malang itu sampai larut. Jadi kurang tidur…”
Kusir
kereta berambut putih itu menoleh. “Saya menurut apa kata Den Ayu saja. Tapi
bukankah ayah Den Ayu berpesan agar kita cepat-cepat sampai di Kotaraja lalu
menghubungi seorang pejabat di sana?”
“Kau
betul Pak Tua, Kotaraja tidak terlalu jauh dari sini. Lagi pula hari masih
pagi. Memang ada pesan yang harus disampaikan. Namun semua itu tidak akan
menolong menghidupkan sepasang pengantin yang terbunuh itu. Jadi perlahan-lahan
saja Pak Tua. Saya tak mau tidur singkat saya terganggu.”
“Baik Den
Ayu. Saya akan menuruti apa kata Den Ayu,” jawab kusir kereta. Lalu dalam hati
orang tua yang sudah mengabdi puluhan tahun pada ayah sang dara itu membatin.
“Kasihan. Wajahnya cantik, budi pekertinya tak ada yang tercela. Kenapa belum
ada juga laki-laki yang berkenan di hatinya untuk dijadikan suami? Atau mungkin
benar kata-kata orang, Den Ayu Ratih tinggi hati dan terlalu memilih. Kasihan
kalau dia nanti benar-benar jadi perawan tua seumur hidupnya.” Lalu sesuai
dengan yang diperintahkan anak majikannya itu kusir kereta memperlambat lari
kuda.
Memasuki
Hutan Jati Mundu udara terasa redup dan sejuk. Hari masih terlalu pagi. Belum
ada satu orang pun yang berpapasan dengan kereta itu. Seringkali terdengar
suara kicau burung-burung hutan yang bertengger di pepohonan atau berterbangan
kian kemari.
Di bagian
lain hutan Jati Mundu seorang pemuda pejalan kaki yang melewati hutan itu
sambil bersiul-siul membawakan lagu tidak menentu tiba-tiba tergagau dan
tersurut mundur ketika di hadapannya muncul sosok tubuh seekor binatang
bermoncong panjang. Semula dikiranya seekor anjing hutan. Tapi ketika
diperhatikan binatang itu lebih banyak berupa seekor srigala liar.
Yang
membuat si pemuda khawatir ialah menyaksikan moncong binatang itu berselomotan
cairan merah. Ketika binatang ini menggereng kelihatan gigi-gigi dan
taringtaringnya yang besar runcing juga tertutup cairan merah. Si pemuda
memperhatikan sepasang kaki depan binatang. Seluruh kuku-kuku srigala liar ini
panjang runcing berkeluk juga diselimuti cairan merah. Lalu pada beberapa
bagian bulu tubuhnya yang berwarna coklat terang tampak ada percikan-percikan
cairan berwarna sama. Ketika lidahnya dijulurkan jelas kelihatan cairan merah
bercampur dengan ludahnya.
“Darah…”
desis si pemuda dalam hati. “Mungkin binatang ini baru saja menyantap seekor
kelinci hutan atau anak menjangan. Tapi mungkin juga barusan membunuh orang!”
Pikirnya lebih jauh. Yang membuat pemuda ini bertindak waspada bukan saja
karena melihat darah itu namun menyaksikan adanya kilapan sinar aneh pada
sepasang mata srigala hutan yang berwarna merah itu! “Srigala biasa tidak
memiliki dua mata merah bersinar seperti itu. Makhluk apa sebenarnya yang ada
di depanku ini?” Lalu pemuda ini ingat. “Setahuku, kata orang di hutan Jati
Mundu ini jangankan binatang buas, seekor lalat pun tak bakal ditemui. Tapi
bagaimana hari ini aku tiba-tiba berhadapan dengan makhluk celaka ini? Nasibku
yang apes atau bagaimana?!”
Srigala
bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi dan taringnya yang runcing
kemerahan mencuat mengerikan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar.
Kepalanya merunduk dan kedua kakinya diluruskan panjang-panjang ke depan tanda
siap menerkam.
“Binatang
ini hendak menyerangku,” kata si pemuda. Tangan kanannya cepat bergerak ke
pinggang. Sebilah kapak bermata dua yang memancarkan cahaya putih berkilau kini
tergenggam di tangan pemuda itu. Dalam hati dia berkata, “Binatang atau iblis
serang diriku! Niscaya kubelah kepalamu dengan Kapak Naga Geni 212 ini!”
Entah
mengapa srigala bermata aneh angker itu perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua
kaki depannya ditarik, kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali. Setelah
menggereng sekali lagi binatang ini lalu memutar diri, melompat masuk ke dalam
serumpunan semak belukar dan lenyap!
Si pemuda
menarik nafas lega. Sambil tangan kirinya menggaruk kepalanya yang berambut
gondrong, tangan kanannya menyelinapkan senjata mustikanya ke balik pakaiannya.
Si pemuda yang tentu saja Pendekar 212 dari Gunung Gede bernama Wiro Sableng
itu siap meneruskan perjalanannya. Mulutnya hendak mengeluarkan siulan lagi
sekedar untuk menenteramkan perasaan akibat melihat binatang aneh tadi. Namun
gerakannya tertahan.
Telinga
Wiro menangkap suara derak roda kereta dan derap kaki kuda di dalam hutan itu.
Dia cepat bergerak ke jurusan datangnya suara.
Di
pinggir sebuah jalan tanah yang cukup lebar dalam hutan pemuda ini berhenti.
Sesaat kemudian sebuah kereta ditarik seekor kuda dan dikemudikan oleh kusir
tua berambut putih muncul dari kelokan jalan. Pemuda ini cepat menyongsong.
Sambil mengangkat tangan kanannya dia berseru.
“Pak Tua!
Hentikan dulu keretamu!”
********************
Beberapa
saat sebelum kereta itu dihentikan. Ratih Kiranasari berada di pinggiran hutan
Jati Mundu. Gadis ini membawa sebuah keranjang bambu berisi manggis dan mangga
hutan yang besar-besar dan matang. Dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Udara pagi itu cerah dan segar sekali. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi sejuk.
Tibatiba satu jeritan keluar dari mulut sang dara ketika mendadak sekali
seekor binatang berbentuk srigala melompat keluar dari semak-semak di tepi
jalan dan merunduk siap menerkam dirinya.
Binatang
ini keluarkan gerengan aneh. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi, taring
dan lidah yang berselomotan darah. Sehabis menggereng binatang ini melompat
menyergap Ratih Kiranasari. Moncongnya terbuka lebar sedang sepasang kaki depan
yang berkuku runcing menerjang siap merobek muka dan tubuhnya!
Sekali
lagi puteri Perwira Tinggi itu menjerit. Lalu tubuhnya tersentak. Kedua matanya
terbuka. Sekujur tubuhnya keringatan. Dadanya turun naik. Nafasnya memburu
sesak. Dia menyibakkan tirai jendela di sampingnya. Disadarinya kereta saat itu
berhenti di tengah hutan. Digosoknya kedua matanya. Ternyata dia barusan
bermimpi. Lalu dia menarik tirai jendela sebelah depan dan memanggil kusir
kereta.
“Pak Tua,
ada apa kau menghentikan kereta?”
“Ada
seorang tak dikenal menghentikan kereta,” jawab kusir tua itu.
Lewat
jendela kecil di belakang kusir kereta itu, Ratih Kiranasari memandang ke luar,
ke arah jalanan di depannya. Di sebelah sana dilihatnya seorang pemuda berambut
gondrong, berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak mengangkat tangan
lalu melangkah mendekati kereta yang berhenti. Ratih Kiranasari untuk beberapa
saat lamanya seperti terpana melihat pemuda itu. “Pakaiannya sederhana,
tubuhnya tegap penuh otot, wajahnya tampan dan mulutnya setiap saat melempar
senyum. Siapa gerangan pemuda ini yang membuat hatiku jadi tergetar. Jelas dia
bukan seorang petani atau pencari kayu di rimba belantara ini..”
Selagi
puteri Perwira Tinggi ini bertanya-tanya dalam hati seperti itu, di luar sana
didengarnya suara kusir tua berkata pada si pemuda.
“Anak
muda, ada apa kau menyuruh aku menghentikan kereta?” tanya kusir kereta.
Melihat gelagatnya pemuda ini bukan orang jahat, rampok atau begal. Dia sama
sekali tidak membawa senjata dan tampangnya tidak seram. Meskipun heran namun
kusir tua itu tidak menaruh curiga apalagi takut.
Pemuda di
depan kereta menjawab. “Ada seekor binatang buas gentayangan di rimba belantara
ini. Jika kau hendak meneruskan perjalanan hati-hatilah. Sebaiknya menyiapkan
golok atau parang!”
Kusir tua
itu menatap wajah pemuda gondrong itu sesaat lalu sambil tertawa dia berkata,
“Anak muda, puluhan tahun aku hidup di wilayah ini. Ratusan kali aku melewati
hutan Jati Mundu ini. Belum pernah diketahui orang ada binatang buas di sini.
Juga rampok atau begal. Dan melihat wajah dan sikapmu kau tentu bukan seorang
penjahat!”
Si
gondrong balas tertawa. “Terima kasih kau mengatakan aku bukan orang jahat.
Tapi kau harus percaya pada keteranganku tentang binatang buas itu. Aku barusan
saja melihatnya dalam hutan ini. Mungkin dia masih berkeliaran di sekitar sini.
Mulut dan sepasang kaki depannya penuh darah tanda dia baru saja membunuh
makhluk bernyawa. Entah binatang entah manusia! Jadi hati-hatilah. Kau hendak
menuju ke mana, Pak Tua? Apa yang kau bawa dalam kereta?”
Pertanyaan
terakhir Wiro Sableng membuat kusir tua itu mulai curiga. “Kalau memang ada
binatang buas di sekitar sini, mengapa kau sendiri tidak takut dan meninggalkan
hutan ini?” tanya kusir tua itu pula.
Yang
ditanya jadi garuk-garuk kepala. Lalu dia berkata. “Terserah kaulah, Pak Tua.
Aku hanya memberitahu agar kau berhati-hati…”
Kusir tua
itu hendak menyentakkan tali kekang kuda agar binatang itu berjalan kembali.
Namun di belakangnya terdengar suara Ratih Kiranasari. Sejak tadi gadis ini
telah memperhatikan pemuda yang tegak di depan kereta itu. Lewat jendela kecil
di belakang punggung kusir kereta Ratih berkata. “Pak Tua, jangan pergi dulu.
Suruh pemuda itu mendekat ke samping kereta. Saya mau bicara dengannya.”
“Akan
saya beritahu Den Ayu,” jawab kusir kereta. Lalu dia berkata pada si pemuda.
“Anak muda, puteri majikanku ingin bicara denganmu. Melangkahlah ke samping kereta
sebelah kiri.”
“Ah, ada
seorang puteri rupanya dalam kereta. Sungguh aku tidak menduga,” jawab pemuda
tadi lalu dia melangkah cepat-cepat ke samping kiri kereta. Saat itu pula kain
tirai jendela tersingkap dan satu wajah jelita muncul menjenguk keluar.
“Hemm…
Ini rupanya sang puteri. Wajah dan dandanannya anggun. Kulitnya putih tapi
agaknya sudah agak berumur.” kata Wiro menilai dalam hati.
“Saudara,
apa betul kau memberitahu kusir kereta ada seekor binatang buas di hutan ini?”
“Betul
sekali. Saya barusan sempat melihatnya. Hampir saja saya hendak diterkam
dijadikan mangsa.”
Ratih
Kiranasari tersenyum. Waktu tersenyum ini kelihatan lesung pipit muncul di
kedua pipinya dekat dagu. “Rupanya binatang itu takut padamu,” katanya. Lalu
dia bertanya. “Binatang buas yang kau lihat itu apakah sebangsa harimau atau
singa. Atau ular besar?”
“Bukan,
bukan harimau atau singa. Bukan juga ular besar. Tapi seekor anjing hutan.
Seekor srigala… Mulut, gigi dan lidah serta sepasang kaki depannya berlumuran
darah. Kedua matanya berwarna merah dan menyorotkan sinar angker!”
“Aneh,”
kata Ratih.
“Apanya
yang aneh?” bertanya si pemuda.
“Apa yang
kau katakan begitu sama dengan apa yang barusan aku mimpikan. Tadi aku sempat
tertidur dalam kereta. Dalam mimpi aku sedang berjalan di hutan lalu muncul
binatang berbentuk srigala itu. Aku terbangun sewaktu binatang ini siap
menerkamku.”
Si pemuda
garuk-garuk kepala. “Ya betul aneh. Bagaimana mungkin mimpimu sama dengan apa
yang saya lihat. Sebaiknya kau segera meneruskan perjalanan. Tutup rapat-rapat
semua jendela…”
“Terima
kasih kau memberitahu tentang srigala itu. Kalau aku boleh bertanya, apakah kau
tinggal di sekitar sini?” tanya Ratih.
“Saya
datang dari jauh.”
“Apakah
kau punya nama?”
Pendekar
212 tertawa lebar. “Setiap orang tentu saja punya nama…”
“Lalu
siapa namamu?”
“Wiro…”
“Cuma
Wiro? Pendek amat!”
“Sebetulnya
ada sambungannya. Tapi sudahlah…” Pemuda itu garuk-garuk kepalanya sambil
senyum-senyum. Dia sengaja tidak mau menerangkan nama belakangnya yaitu
Sableng!
“Orang
tak mau memberitahu masakan aku memaksa,” kata Ratih pula. “Jika kau benar
melihat srigala dalam mimpiku itu berkeliaran di hutan Jati Mundu ini, terus
terang aku merasa khawatir. Aku harap kau menolong tidak setengah-setengah.”
“Maksudmu?”
tanya Wiro.
“Apakah
kau mau ikut menemani kami sampai di Kotaraja?”
Wiro tak
menjawab. Terdengar Ratih Kiranasari berkata lagi. “Hitung-hitung sebagai
pengawal. Kalau binatang buas menyeramkan itu muncul menghadang, melihat kau
tentu dia akan lari. Tak berani mengganggu…”
Wiro
garuk-garuk kepala dan memandang pada kusir kereta. Orang tua ini berkata
setengah berbisik. “Ikuti saja permintaan anak majikanku. Tidak banyak pemuda
yang beruntung mendapat tawaran begini baik darinya. Kurasa dia suka padamu!”
Wiro
menyeringai. “Kebetulan saya memang hendak ke Kotaraja. Baiklah, saya akan
menemanimu.”
Ratih
tersenyum gembira. Wiro melompat ke atas kereta. Duduk di depan di samping
kusir tua. Si gadis berkata. “Jika kau mau kau boleh duduk di dalam sini.”
“Terima
kasih. Biar saya duduk di sini saja,” jawab Wiro.
Kusir tua
menarik tali kekang kuda. Begitu kereta mulai bergerak berbisik pada Wiro, “Tidak
pernah aku melihat pemuda setololmu. Diajak duduk di dalam sana mengapa kau
menolak?”
Wiro
menyengir. “Bagaimana kalau kau saja yang duduk di sampingnya. Biar aku yang
mengemudikan kereta.”
Kusir tua
itu tertawa gelak-gelak. “Anak muda, kau yang disukainya, bukan si tua bangka
ini!”
Wiro
tertawa. “Siapa nama gadis cantik itu?” tanyanya.
“Ratih
Kiranasari,” jawab kusir kereta.
“Nama
bagus orangnya pun cantik…”
“Anak
muda, ketahuilah tidak banyak pemuda yang beruntung sepertimu. Bisa diajak
seperjalanan seperti saat ini.”
“Maksud
Pak Tua apa?”
“Puteri
majikanku itu kata kebanyakan orang cantik tapi tinggi hati. Banyak pemuda yang
menyukainya, ingin memperistrikannya. Tapi karena merasa anak seorang Perwira
Tinggi dia berlagak jual mahal. Banyak pilih. Akibatnya sampai saat ini dia
masih belum kawin. Orang mulai usil. Mengatakan dia sebagai perawan tua.”
“Belum
kawin tapi benar-benar masih perawan, kan?” ujar Wiro.
“Anak
muda. Aku punya firasat puteri majikanku ini suka padamu,” bisik si orang tua.
“Kau
ngaco saja Pak Tua! Seorang puteri pejabat tinggi suka pada pemuda gelandangan
macamku? Kau tahu sendiri, dia minta aku ikut seperjalanan karena khawatir
dengan binatang buas itu…”
“Eh, soal
binatang buas itu apakah bukan karanganmu saja. Maksudmu sebenarnya adalah
ingin berkenalan dengan gadis itu. Yah mudah-mudahan dia memang suka padamu.
Tampangmu tidak jelek-jelek amat!”
Wiro
tersenyum pencong mendengar ucapan kusir tua itu.
“Dengar,”
Kusir itu kembali membuka mulut. “Jika kau memang suka padanya, aku mau
membantu mengatakan pada orang tuanya. Kalau sampai kau dipungut jadi menantu,
wah kau bakalan diberikan jabatan lumayan di Kotaraja. Tapi jika hal itu
benar-benar terjadi jangan lupa hadiah untukku!”
“Makin
lama makin tak karuan igauanmu!” tukas Wiro. Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba di sebelah belakang terdengar jeritan Ratih Kiranasari.
Wiro
singkapkan tirai jendela kecil di belakangnya. Ratih dilihatnya duduk
ketakutan. Mukanya pucat dan matanya membeliak memandang keluar jendela.
“Ada apa?”
tanya Wiro sementara kuda penarik kereta memperlihatkan ulah aneh.
“Bin…
binatang itu…” kata Ratih dengan suara gugup ketakutan. Dia menunjuk ke luar
jendela dengan tangan gemetar. Kuda kereta tiba-tiba terdengar meringkik. Wiro
berpaling ke arah yang ditunjuk Ratih. Dia melihat apa yang menakutkan gadis
itu.
Di balik
semak-semak sepanjang jalan yang dilalui kereta, kelihatan bayangan sosok tubuh
srigala bermata merah yang sebelumnya sempat ditemui Wiro. Binatang ini
bergerak sejajar dan searah jalannya kereta. Kusir kereta sibuk berusaha
menenangkan kuda yang tampak ketakutan.
“Pak
Tua,” kata Wiro, “Jalankan terus kereta ini.” Lalu dia siap-siap melompat.
“Kau
hendak ke mana?” tanya kusir kereta.
“Saya
berusaha agar binatang itu tidak menyerang kereta,” jawab Wiro. Lalu dia
melompat turun dari kereta dan berlari di sepanjang jalan antara srigala dan
kereta.
Di satu
kelokan jalan srigala buas itu memutar larinya mendekati Wiro.
“Anak
muda, binatang itu hendak menyerangmu!” teriak kusir kereta. Dari dalam kereta
Ratih Kiranasari juga sudah melihat apa yang bakal terjadi. Gadis ini menutup
wajahnya dengan kedua tangan seraya berdoa agar Wiro selamat dari binatang buas
itu.
“Jangan
perdulikan saya!” teriak Wiro. “Larikan terus kereta!” Lalu dia hentikan larinya.
Srigala bermata api dengan moncong dan kaki depan berselomotan darah yang
merasa ditantang, lari ke arah Wiro. Pendekar 212 siapkan pukulan Kunyuk
Melempar Buah di tangan kanan. Ketika binatang itu hanya tinggal lima langkah
dari hadapannya dia segera angkat tangan kanannya untuk menghantam. Tapi
srigala bermata api tiba-tiba hentikan gerakan dan kini dia malah duduk di
tengah jalan dengan lidah basah berdarah terjulur-julur. Kedua matanya menatap
tajam ke arah Wiro.
Melihat
binatang ini tak jadi menyerang, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede hentikan
pula gerakannya menghantam dengan pukulan sakti. Srigala itu perlahanlahan
rundukkan tubuhnya. Kedua kaki depannya dilunjurkan dan dagunya diletakkan di
atas kedua kakinya itu. Matanya yang tadi bersinar merah mengerikan kini tampak
memandang sayu ke arah Wiro. Dari mulutnya terdengar suara seperti anjing
menggerang halus pilu dan jinak. Sikapnya seperti minta dikasihani.
“Aneh,
binatang apa ini sebenarnya. Mengapa dia tibatiba berubah seperti menderita sesuatu
yang menyakitkan dan bersikap jinak.” Dengan agak ragu Wiro melangkah mendekati
srigala itu. Tiba-tiba binatang ini mengangkat kepalanya dan melolong panjang.
Lolongannya tidak terdengar buas, tapi lagi-lagi memilukan. Walau demikian Wiro
sempat kaget dan tersurut dua langkah. Kemudian dilihatnya srigala itu kembali
meletakkan kepalanya di atas kedua kakinya.
Setelah
memperhatikan sejenak Wiro beranikan diri lagi mendekati srigala itu. Tangan
kanannya tetap disiapkan untuk melepaskan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah
jika sewaktu-waktu srigala itu tiba-tiba menerkam dan menyerangnya. Semakin
dekat Wiro padanya semakin memilukan terdengar suara erangan binatang ini.
“Makhluk
berbentuk srigala, apapun kau adanya, jika kau bersikap bersahabat, aku pun akan
bersahabat denganmu…” kata Wiro bicara pada srigala itu.
Sepasang
mata yang sayu merah tampak berkedipkedip beberapa kali. Wiro ulurkan tangan
kirinya. Dibelainya kepala lalu tengkuk srigala itu.
“Ah, kau
ternyata mau bersahabat denganku!” kata Wiro. “Kalau begitu biar aku pergi.
Jangan turuti aku. Sekali kau masuk ke Kotaraja orang-orang pasti akan
membunuhmu.”
Wiro
mengusap lagi kepala binatang itu. Ketika dia hendak bergerak pergi, srigala
ini menjulurkan lidahnya yang basah berdarah dan sempat menjilat punggung
telapak tangan kiri si pemuda. Wiro mengernyit jijik dan cepat menjauh.
Pada saat
itu terdengar suara derap kaki kuda dan gemeletak roda-roda kereta. Wiro
berpaling. Ternyata kereta yang membawa Ratih Kiranasari dan dikemudikan oleh
kusir tua itu muncul kembali.
Srigala
yang melunjur di tengah jalan tiba-tiba bangkit dengan cepat. Kedua daun
telinganya berdiri tegang ke atas. Dari mulutnya terdengar suara menggereng
keras lalu binatang ini melompat ke balik semak-semak dan lenyap dalam rimba belantara.
“Pak Tua,
kenapa kau kembali?!” tanya Wiro begitu kereta berhenti di sampingnya.
“Den Ayu
Ratih yang menyuruh. Dia khawatir kau diapaapakan oleh binatang itu. Ternyata
tadi kau malah kulihat mengusap-usap kepalanya!”
Tirai
samping jendela terbuka. Wajah cantik Ratih Kiranasari muncul. “Wiro, kau tidak
apa-apa?”
Wiro
tersenyum. “Binatang itu ternyata aneh. Tampangnya memang mengerikan. Tapi
ternyata dia tidak menyerang saya…”
Ratih
memperhatikan tangan kiri si pemuda. “Ada noda darah di tangan kirimu,” katanya
kemudian.
Wiro
memperhatikan. Memang di punggung tangan kirinya ada noda darah bekas jilatan
lidah srigala tadi. Wiro mengambil setangkai daun. Dengan daun ini disekanya
noda darah itu. Wiro lalu melompat ke atas kereta.
“Pak Tua
lekas putar kereta. Kita harus meninggalkan hutan ini cepat-cepat!”
*****************
4
GANDAR
Seto dan istrinya sama-sama memandang pada puteri mereka satu-satunya dengan
mata tak berkedip dan wajah yang menyatakan keheranan. “Banyak keanehan terjadi
akhir-akhir ini, Salah satu di antaranya adalah dirimu Ratih,” kata Perwira
Tinggi itu pada puterinya.
Ratih
Kiranasari hanya bisa menatap wajah kedua orang tuanya sesaat lalu tundukkan
kepala.
Sang ibu
memegang lengan anak gadisnya itu lalu berkata. “Anakku, kami berdua tidak
merasa heran jika kau mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda. Memang
terus terang kami memang sangat mendambakan agar kau segera menemukan seorang
calon suami. Aku dan ibumu sudah sama lanjut dan ingin melihat kau punya suami,
lalu punya anak, cucu kami. Tapi kalau pemuda itu ternyata seorang pemuda yang
tidak diketahui asal-usul dan juntrungannya, tentu saja kami sangat keberatan
anakku. Batalkan saja niatmu untuk mempertemukannya pada kami.”
“Jangan-jangan
dia seorang pemuda gelandangan!” kata Gandar Seto pula menimpali ucapan
istrinya.
“Saya
memang tidak tahu asal usulnya. Namun saya yakin dia bukan gelandangan…”
“Buktinya
kau ketemu dia di Hutan Jati Mundu. Dia tidak tinggal di Kotaraja dan juga
bukan orang sekitar sini. Lalu siapa sebenarnya pemuda yang kau katakan itu?”
“Ayah,
dia seorang pemuda yang punya ilmu. Buktinya saya lihat sendiri dia bisa
menjinakkan seekor srigala buas di hutan itu.”
Perwira
Tinggi itu tertawa gelak-gelak.
“Di Jati
Mundu tak ada binatang buas. Apalagi srigala. Yang kau lihat dijinakkannya itu
jangan-jangan hanya seekor kambing hutan!”
“Ayah,
saya tidak terlalu bodoh membedakan mana kambing dan mana srigala. Binatang
yang saya lihat diusapnya itu sama sekali tidak bertanduk!”
“Mungkin
saja kambing betina! Jelas tidak punya tanduk!” tangkis sang ayah.
“Kalau
ayah dan ibu tidak percaya tanyakan saja pada Pak Tua Tejo, kusir kita. Dia
ikut melihat apa yang saya saksikan.” Ratih terus berusaha meyakinkan kedua
orang tuanya.
“Sudahlah
anakku. Taruh pemuda itu punya ilmu kepandaian dan dia memang bisa menjinakkan
binatang buas dalam Hutan Jati Mundu seperti katamu. Tapi satu hal harus kau
ingat, kami orang tuamu tidak akan menjodohkanmu dengan seorang pemuda
gelandangan! Kami lebih suka kau jadi seorang perawan tua seumur hidup daripada
punya menantu yang memberi malu dan menurunkan derajat kami!”
Berubahlah
paras Ratih Kiranasari mendengar katakata ayahnya itu. Kedua bola matanya
tampak seperti membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat membuat ayah
dan ibunya tercekat. Gadis ini bangkit dari kursinya.
“Ayah dan
ibu terlalu diperbudak oleh kedudukan, jabatan, tingkatan dan derajat. Ayah dan
ibu lupa! Semua manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging! Saya
tidak meminta ayah ibu menjodohkan saya dengan pemuda yang ayah katakan sebagai
gelandangan itu karena dia juga belum tentu mau pada saya! Dan saya benar-benar
tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka melihat anak gadisnya menjadi
perawan tua hanya karena gila jabatan dan derajat!”
“Ratih!”
teriak Gandar Seto keras sekali.
Ratih
sendiri saat itu sudah bangkit berdiri lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Pintu dikuncinya dari dalam. Sunyi sesaat lalu terdengar isak tangisnya. Gandar
Seto dan istrinya berusaha masuk ke dalam kamar dan mengetuk pintu berulang
kali. Tapi Ratih menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis lebih keras.
Gandar
Seto geleng-gelengkan kepala. Kedua suami istri itu saling pandang beberapa
ketika. Perwira Tinggi ini akhirnya mengangkat bahu dan berkata. “Biarkan saja.
Nanti kalau dia sudah tenang pasti mengerti sendiri.”
“Saya
rasa ada baiknya kau menemui kusir kita itu Ppak,” berkata sang istri.
Paras
Perwira Tinggi itu tampak berubah. Dia menatap istrinya sesaat lalu berkata.
“Nah, nah… nah! Rupanya hatimu mulai mendua. Kalau kau memang ingin
bermenantukan gelandangan yang kata anakmu itu pandai menjinakkan binatang
buas, silahkan kau temui dan bicara sendiri dengan Tejo!” Habis berkata begitu
Gandar Seto tinggalkan istrinya masuk ke dalam kamar tidur sambil membanting
pintu. Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri termangu-mangu di depan
pintu. Sesaat kemudian dia kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi
tetap saja tak ada jawaban.
Perempuan
ini akhirnya masuk ke dalam kamar menemui suaminya.
“Yang
saya takutkan, Pak-ne,” katanya, “Jika kita terlalu keras saya khawatir anak
itu akan melarikan diri, minggat dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan
malu.”
“Kalau
dia memang mau minggat aku tidak akan mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku
tidak takut kehilangan anak daripada menerima malu besar. Kalau dia kabur
bersama pemuda gelandangan itu, akan kubunuh kedua-duanya!” kata Gandar Seto
dengan wajah keras membesi.
********************
Di bagian
belakang gedung kediaman Perwira Tinggi Gandar Seto ada sebuah gudang besar
didampingi kandang kuda dan kereta. Tak berapa jauh dari bangunan itu ada
sebuah rumah kecil. Malam terasa dingin. Meski di langit ada bulan purnama
empat belas hari namun halaman belakang gedung besar itu diselimuti kegelapan.
Dalam kegelapan inilah tampak seseorang mengendapendap menuju bagian depan
bangunan kecil. Di depan pintu dia berhenti, memandang berkeliling sebentar
lalu mulai mengetuk. Walaupun bagian dalam rumah berada dalam keadaan gelap
namun penghuninya ternyata belum tidur. Begitu pintu diketuk terdengar suara
orang bertanya dari dalam.
“Siapa?”
“Pak Tua
Tejo, buka pintu. Cepat! Saya mau bicara…?”
Pintu
segera terbuka. “Den Ayu Ratih? Malam-malam begini Den Ayu menemui saya ada
apakah?”
Orang
yang datang itu ternyata adalah Ratih Kiranasari, puteri Perwira Tinggi. Dia
langsung masuk ke dalam rumah kecil itu, tegak bersandar di pintu. Ketika kusir
tua Tejo hendak menyalakan lampu minyak, gadis itu cepat mencegah.
“Ada apa
sebenarnya, Den Ayu?”
Dengan
singkat dan cepat Ratih menceritakan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya.
“Lalu,
mengapa Den Ayu datang ke mari? Apa yang bisa saya lakukan?”
“Pak Tua
Tejo tahu di mana pemuda bernama Wiro itu menginap di Kotaraja?”
“Saya
tidak tahu. Bukankah sewaktu berpisah kemarin pagi saya dengar Den Ayu berjanji
akan menemuinya lagi di satu tempat?”
“Betul,
tapi masih dua hari lagi. Saya perlu bertemu dengan dia sekarang juga. Saya
akan minta dia menemui kedua orang tua saya.”
“Itu satu
maksud yang baik. Tapi saya sarankan jangan sekarang-sekarang ini. Mereka lagi
bingung. Mungkin juga marah. Beri kesempatan barang beberapa hari. Kalau mereka
sudah tampak biasa-biasa saja baru pemuda itu disuruh datang.”
Ratih
terdiam.
“Maaf Den
Ayu. Kalau pemuda bernama Wiro itu dipertemukan dengan kedua orang tua Den Ayu,
apa yang harus dilakukannya? Melamar Den Ayu?”
“Siapa
meminta dia melamar aku?!”
“Lalu…
Ah, saya mungkin tidak mengerti. Katakan saja apa yang harus saya lakukan,”
kata kusir tua Tejo.
“Pak Tua
harus mulai mencari pemuda itu malam ini juga! Pak Tejo harus menolong saya!”
“Tentu.
Pasti saya mau menolong. Tapi mencari pemuda bernama Wiro itu malam-malam
begini rasanya satu pekerjaan sia-sia belaka…”
Ratih
Kiranasari tampak kecewa.
“Den Ayu,
masuk kembali ke dalam gedung. Tidurlah. Besok kita bicarakan lagi hal ini.
Kalau ada penjaga yang sempat melihat Den Ayu ada di tempat ini saya khawatir
mereka bisa salah sangka…”
Tanpa
berkata apa-apa gadis itu keluar dari rumah kecil itu. Kusir tua Tejo memandang
sambil menggelengkan kepala. Mengira puteri majikannya itu benar-benar kembali
ke rumah dan tidur, orang tua ini menutupkan pintu kembali. Ternyata Ratih
tidak kembali ke dalam rumah. Seperti orang yang berjalan sambil tidur gadis
ini melangkah sepembawa kakinya. Penjaga yang terkantuk-kantuk di pintu gerbang
sama sekali tidak melihat gadis ini lewat di depannya.
********************
“Nandang,
hari sudah larut malam. Aku khawatir ada ronda dusun melihat kau berada di
sini…” kata perempuan yang duduk sambil mendekap pemuda di sampingnya. Saat itu
mereka duduk di atas sebuah bangku panjang sambil bersandar pada batang pohon
besar di sebelah belakang.
“Halaman
ini luas sekali. Banyak pohon dan semaksemaknya. Mata ronda dusun tak akan
dapat memandang sampai ke sini. Lagi pula lampu di dalam rumah sudah kau
matikan. Kalaupun ada yang memperhatikan pasti mereka mengira kau sudah tidur,
Sarti.” Menjawab pemuda yang mendekap tubuh langsing Sarti.
“Sinar
bulan purnama cukup terang. Saya khawatir Nandang…”
“Ah, apa
yang harus dikhawatirkan. Bukankah kau sendiri tadi yang meminta agar kita
duduk bermesraan di tempat ini sambil memandang bulan purnama empat belas hari
yang indah itu?”
Sarti
terdiam. Untuk kesekian kalinya dirasakannya jarijari tangan pemuda itu meraba
dan memeras lembut dadanya hingga tubuhnya kembali menggeletar dan darahnya
menjadi panas.
“Lagi
pula, Sarti…” kata si pemuda berbisik ke telinga Sarti. “Kau tidak mengajakku
masuk ke dalam rumah kali ini. Aku tidak akan pergi sebelum kita melewati malam
yang begini indah seperti malam-malam sebelumnya.”
“Nandang,
aku khawatir suamiku akan kembali malam ini. Kalau dia sampai menemukan kita di
dalam kamar, di atas tempat tidur…”
“Aku
yakin Sentot pasti tidak akan pulang malam ini. Paling cepat besok pagi. Aku
tahu banyak yang harus diurusnya di Wates. Ajak aku ke kamarmu Sarti…”
“Jangan
malam ini Nandang. Waktu kita masih banyak.”
“Kalau
begitu kita lakukan di sini saja? Lihat bulan purnama itu. Indah sekali…”
“Jangan
Nandang…” menolak Sarti tapi dia tidak berusaha menepiskan sepasang tangan si
pemuda yang mulai melucuti pakaiannya.
“Kita
tidak pernah bermesraan di tempat terbuka seperti ini. Apalagi ada rembulan
yang begitu indah. Tidakkah kau merasakan dorongan yang meluap-luap dalam
tubuhku, kekasihku…?” bisik Nandang sambil menciumi telinga Sarti hingga
perempuan muda ini menggelinyang. Saat itu kebayanya sudah lepas dari tubuhnya.
Angin malam bertiup dingin tapi Sarti merasakan badannya seperti dikobari api.
Dari mulutnya terdengar suara sesalan halus. “Aku menyesal dan akan menderita
seumur hidup mengapa ayah mengawinkan aku dengan Sentot yang hampir dua puluh
tahun lebih tua dariku. Sementara gadisgadis dusun kulihat kawin dengan
pemuda-pemuda gagah…”
“Jangan
sesali hidup ataupun orang tuamu,” kata Nandang pula seraya tangannya meluncur
ke bawah. “Lupakan Sentot. Bukankah aku akan selalu berada di dekatmu setiap
saat kau membutuhkan diriku?”
Sarti
menyusupkan kepalanya ke dada Nandang. “Aku memang membutuhkanmu Nandang. Aku
tak bisa berpisah denganmu. Bawa aku ke mana kau pergi…”
“Akan
tiba saatnya Sarti. Pasti…” jawab Nandang lalu merebahkan istri Sentot di atas
bangku panjang. Sambil tersenyum Sarti memperhatikan pemuda kekasihnya itu
membuka bajunya. Di atasnya bulan purnama empat belas hari memancarkan sinar
indah sekali. Belum pernah Sarti melihat bulan purnama seindah itu. Keindahan
itu seperti bertambah-tambah ketika Nandang meneduhi tubuhnya, menciumi
lehernya dengan penuh nafsu. Sarti memagut punggung pemuda ini kuat-kuat. Tapi
tiba-tiba sekali dilepaskannya.
“Ada apa,
Sarti?” bertanya Nandang.
*****************
5
MELIHAT
wajah Sarti yang seperti ketakutan Nandang memandang berkeliling. Lalu dia
bertanya sekali lagi. “Ada apa…?” “Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak.
Aku khawatir ada orang mengintai perbuatan kita…”
“Itu
hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini,” kata Nandang
pula lalu ciumannya bertubitubi mendarat di wajah, leher dan dada Sarti.
Sesaat perempuan ini jadi hanyut lupa diri. Namun di lain ketika kedua
tangannya mendorong dada Nandang ke atas.
“Eh,
apa-apaan kau ini, Sarti?” Nandang jadi kesal.
“Apa kau
tidak mendengar? Ada suara gemerisik semak-semak. Aku seperti melihat bayangan
sesuatu di sebelah sana…” Sarti memandang ke jurusan gelap dekat serumpunan
pohon salak.
“Supaya
kau tidak ketakutan terus biar aku menyelidik ke sekitar pohon salak itu.
Ada-ada saja kau Sarti. Kau tunggu di sini…”
Sarti
menutupi tubuhnya dengan kain panjang. Nandang memegang lengannya seraya berkata.
“Awas kalau kau mengenakan pakaianmu kembali. Aku akan menyelidik. Cuma
sebentar. Pasti kau hanya takut tak beralasan… Tak ada apa-apa di sekitar
sini.”
Nandang
bangkit berdiri. Dia tidak perduli lagi kalau saat itu dia sama sekali tidak
mengenakan apa-apa. Dalam keadaan bugil pemuda ini melangkah ke arah pohon
salak. Dia datang dari sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau bayangan apa pun
di situ. Nandang meneruskan langkahnya memutari pohon salak ke sebelah
belakang. Juga tidak ada apa-apa.
“Sarti… Sarti…
Jangan-jangan dia hanya mempermainkan aku,” kata Nandang. Dia segera hendak
meninggalkan tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah cahaya aneh di
sebelah kiri. Pemuda ini cepat berpaling. Nafasnya tertahan. Beberapa langkah
di depan kirinya dilihatnya sosok binatang seperti seekor anjing besar mendekam
duduk dengan moncong terbuka. Kedua matanya berwarna merah, memancarkan sinar
aneh menggidikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya besar tajam
mengerikan. Suara nafas makhluk ini terdengar seperti gerengan harimau. Tengkuk
Nandang menjadi dingin. Namun jika dia menoleh ke samping kanan binatang itu,
terlihat satu pemandangan lain. Di bawah sinar bulan purnama tegak seorang
perempuan berwajah cantik, mengenakan kemben dan kain panjang halus. Rambutnya
yang panjang tergerai lepas di atas bahunya yang putih. Kalau binatang di
sampingnya menyorotkan pandangan yang mengerikan sebaliknya perempuan cantik
ini tampak tersenyum. Hanya saja Nandang tidak memperhatikan bahwa di balik
senyum itu tersembunyi satu bayangan angker menyeramkan.
“Kau… kau
siapa…?” tanya Nandang dengan suara agak tersendat.
Perempuan
muda dan cantik di depannya tidak menjawab. Kedua matanya memperhatikan tubuh
si pemuda yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Pandangan perempuan itu
membuat Nandang sadar akan keadaan dirinya. Dia menurunkan kedua tangannya
berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya.
Si cantik
di depannya kembali tersenyum. “Tak usah kau menutupi aurat. Aku suka melihat
tubuhmu yang tegap!”
Ucapan
itu tentu saja membuat dada Nandang jadi berdebar. “Ah, wanita muda cantik
berpengawal anjing besar ini jangan-jangan seorang peri…” membatin Nandang.
“Anak
muda, apakah kau mau membagi kesenangan yang kau berikan pada perempuan di atas
bangku itu padaku?” Tiba-tiba si cantik di bawah bulan purnama berkata.
Semakin
menggeletar sekujur tubuh Nandang.
“Aku
tidak tahu siapa kau adanya…”
“Namaku
Kemala. Apakah nama itu tidak bagus?”
“Bagus
sekali. Sebagus orangnya…” jawab Nandang.
Perempuan
cantik itu tertawa perlahan. “Kau pemuda pandai memuji dan merayu. Pantas
perempuan itu tergilagila padamu meski sudah jadi istri orang. Sekarang jawab
pertanyaanku tadi.”
Nandang
tak bisa menjawab.
“Apa
wajahku lebih buruk dari istri Sentot. Apa tubuhku lebih jelek dari perempuan
kekasih gelapmu itu?”
Nandang
harus mengakui bahwa wajah perempuan di depannya jauh lebih cantik dari Sarti,
juga potongan tubuhnya begitu indah dan sangat menggiurkan. Namun tetap saja
dia tidak mau menjawab.
“Kau
tidak mau membagi kebahagiaan itu padaku?” Si cantik bertanya lagi sambil
mengusap kepala binatang di sampingnya.
“Dengar,
aku…”
“Sudahlah!
Tak usah banyak bicara lagi!” Si cantik menghentikan usapannya pada kepala
srigala besar di sampingnya lalu berkata. “Datuk, lakukan tugasmu…”
Sepasang
mata srigala ini membersitkan sinar merah mengerikan. Bersamaan dengan itu dari
mulutnya keluar suara lolongan panjang. Nandang merasakan nyawanya seperti
terbang dan lututnya bergetar goyah. Sebelum sempat dia melakukan sesuatu
tiba-tiba srigala besar itu sudah melompat dan menerkamnya. Nandang berteriak
keras. Tapi suara teriakan itu putus begitu kaki kanan srigala yang berkuku
panjang menyambar lehernya. Batang leher Nandang koyak besar mengerikan. Tulang
lehernya patah. Darah menyembur muncrat!
Di atas
bangku panjang di bawah pohon Sarti setengah terlompat ketika mendengar suara
lolongan binatang dari arah pohon salak. Lalu menyusul suara teriakan orang.
“Itu
Nandang…” kata Sarti dalam hati. Mukanya mendadak pucat. Cepat-cepat dia
menutupi tubuhnya dengan kain panjang lalu dengan dada berdebar dia melangkah
ke arah pohon salak ke jurusan mana tadi lenyapnya Nandang.
“Nandang…
Nandang…” memanggil Sarti. Tak ada jawaban. “Nandang kau di mana…?” Sarti
sampai di dekat pohon salak lalu memandang perkeliling. Tiba-tiba satu jeritan
keras keluar dari mulut Sarti. Kedua matanya seperti hendak tanggal dari
rongganya. Hanya beberapa langkah di hadapannya menggeletak tubuh Nandang.
Tubuh tanpa pakaian itu bergelimang darah penuh luka cabik-cabik. Wajahnya
hampir tak bisa dikenali lagi. Salah satu matanya mencuat keluar, hidungnya
tanggal dan mulutnya sobek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih mengucurkan
darah!
Sarti
membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam ketakutannya. Namun di hadapannya
tiba-tiba saja muncul seekor binatang besar menghadangnya dengan mulut
berlumuran darah terbuka mengerikan. Kedua matanya seperti bara api menyala!
Untuk kedua kalinya Sarti menjerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya
terserandung akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tubuhnya jatuh terduduk.
Srigala besar melangkah mendekati. Saat itulah dalam takutnya Sarti melihat ada
sosok seorang perempuan cantik melangkah di belakang srigala besar itu.
“Tolong…
tolong…!” jerit Sarti.
“Perempuan
serakah! Tak ada yang bakal bisa menolongmu!” Si cantik di belakang srigala
berkata. “Sudah punya suami tak cukup bagimu! Masih mau main gila dengan lelaki
lain! Apa kau kira hanya kau satu-satunya perempuan yang hidup di dunia ini?!”
“Tolong!
Siapa kau…?!” teriak Sarti.
“Datuk,
bunuh perempuan itu!”
Mendengar
perintah itu srigala besar meraung panjang lalu menerkam tubuh Sarti. Perempuan
ini masih sempat menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap, bertukar
dengan suara tubuh yang dicabik-cabik srigala itu.
Sosok
tubuh Sarti terbujur di tanah dalam keadaan hancur koyak mengerikan. Si cantik
bernama Kemala yang rambutnya tergerai lepas ke bahu sesaat memperhatikan tubuh
itu tanpa bergeming. Lalu dia berkata pada binatang di depannya.
“Datuk,
kau boleh pergi sekarang. Kita bertemu lagi tiga puluh hari di muka. Tepat pada
saat purnama tiga belas hari muncul di langit.”
Srigala
bermata merah itu memutar tubuhnya lalu merunduk seperti menyembah. Setelah
menggereng keras binatang ini melompat ke kiri dan lenyap dalam kegelapan
malam.
Tempat
itu kini kembali sunyi senyap. Di langit rembulan masih tampak seindah
sebelumnya. Hanya kini ada awan hitam bergerak menutupi.
Perempuan
yang tinggal seorang diri di tempat itu terdengar menghela nafas panjang. Lalu
diusapnya wajahnya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu bersamaan
dengan bertiupnya angin malam yang dingin.
*****************
6
ISTRI
Gandar Seto tidak bisa memicingkan matanya sementara suaminya sudah tertidur
ngorok di sebelahnya. Pikiran perempuan ini masih mengingat pada ketegangan
yang terjadi antara dia dan suaminya di satu pihak dan dengan puteri mereka
Ratih Kiranasari. Setelah bolak-balik beberapa kali akhirnya perempuan ini
turun dari tempat tidur. Di luar kamar dia termenung sesaat sebelum kemudian
melangkah menuju kamar tidur anaknya. Dia tahu Ratih telah mengunci kamar itu
dari dalam. Tetapi entah mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan langsung
membukanya. Agak heran ternyata dia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci.
Perempuan ini masuk ke dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun cahaya
rembulan yang menyeruak masuk lewat lobang angin cukup membantu hingga dia
dapat melihat keadaan seisi kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada sosok
tubuh puterinya!
“Ke mana
anak itu…?” bertanya istri Perwira Tinggi ini dalam hati. Diperiksanya kamar
sekali lagi. Setelah memastikan Ratih tidak ada dalam kamar, perempuan ini
cepat keluar. Dia memeriksa seluruh rumah. Anak gadisnya tetap tidak ditemukan.
Dia segera menuju ke pintu depan, membuka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu
gerbang tampak tertidur pulas. Penjaga yang biasa meronda tidak kelihatan.
Perempuan ini tidak dapat lagi menahan rasa khawatirnya. Setengah berlari dia
masuk ke dalam kamar, membangunkan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka
lenyap entah ke mana.
“Jangan-jangan
dia telah diculik pemuda asing itu Pakne!” kata istri Gandar Seto.
Gedung
kediaman Perwira Tinggi itu menjadi heboh. Semua pengawal dipanggil. Setelah
dimaki habis-habisan mereka diperintahkan untuk segera mencari Ratih
Kiranasari. Namun orang-orang itu termasuk Gandar Seto sendiri tidak tahu harus
mencari ke mana. Tejo si kusir tua jadi bingung. Malam itu sebelumnya putri
majikannya itu telah menemuinya dan menanya apakah dia tahu di mana beradanya
pemuda bernama Wiro. “Kini kalau dia tiba-tiba lenyap jangan-jangan dia mencari
pemuda itu. Den Ayu Ratih, kenapa senekad itu dirimu…”
Gerak
gerik kusir tua yang tidak seperti biasanya itu terlihat oleh Gandar Seto.
Perwira Tinggi ini jadi curiga. Dia menghampiri orang tua ini dan berkata. “Pak
Tejo, sikapmu agak lain kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang terjadi dengan
anakku… Selain kami orang tuanya kau adalah orang yang paling dekat dengan
Ratih. Apa yang kau ketahui Pak Tejo?!”
“Saya…
saya tidak tahu…” Kusir tua itu bukan saja jadi gugup tetapi juga mulai
ketakutan.
Saat itu
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda.
“Ada
orang datang!” seru seorang pengawal.
Semua
orang yang ada di depan gedung sama berpaling ke arah pintu gerbang. Seekor
kuda ditunggangi dua orang memasuki halaman dan sampai di tangga depan gedung.
Semua orang karuan saja jadi terkejut. Karena yang duduk di sebelah belakang
adalah Ratih Kiranasari sendiri, sedang di sebelah depan yang memegang tali
kekang kuda adalah seorang pemuda tak dikenal berambut gondrong.
Gandar
Seto melompat. Dengan cepat dipegangnya pinggang puterinya lalu diturunkannya
ke tanah. Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari
rambut sampai ke kaki.
“Ratih,
kau tidak apa-apa? Kau barusan dari mana?!”
Gadis itu
tak menjawab. Ibunya sudah sampai pula di tempat itu, memeluknya lalu
membimbingnya ke dekat tangga gedung. Gandar Seto kini membelalak memandang
pada si gondrong yang masih duduk di atas kuda dan yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau
siapa?!” bentak Perwira Tinggi itu keras sekali.
Wiro
segera turun dari punggung kuda. Dia membungkuk dengan sikap hormat. “Saya
Wiro. Saya…” jawab Pendekar 212. Belum sempat dia meneruskan ucapannya Gandar
Seto sudah mendamprat.
“Jadi kau
pemuda gelandangan yang…”
“Ayah!
Jangan menghina dia!” Tiba-tiba terdengar teriakan Ratih Kiranasari.
Perwira
Tinggi itu melotot ke arah anaknya. Hampir terlompat makian dari mulutnya.
Dengan suara bergetar dia berkata. “Kau membelanya! Benar rupanya kau menyukai
pemuda ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu orang tua!” Gandar Seto berpaling
pada Wiro. “Berani kau main gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta
lalu kau kembalikan lagi dengan cara seperti ini! Benar-benar kurang ajar!
Kupecahkan kepalamu!”
Gandar
Seto melompat ke hadapan Wiro.
“Perwira,
biar saya jelaskan dulu…” kata Wiro.
Namun
jotosan Perwira Tinggi itu sudah menghantam pipi kanannya lebih dulu.
Bukkk!
Wiro
terjajar dan terpuntir ke belakang. Pipi kanannya tampak memar merah dan
bengkak. Ratih Kiranasari berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat
memegang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar Wiro kembali.
“Jangan,
Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang menolong saya…”
“Menolongmu?
Dia? Si gelandangan ini? Apa yang sebenarnya terjadi anakku?! Dia membawamu
dari rumah ini lalu kau bilang dia menolongmu!”
“Tidak,
saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya tidak sadar apa yang saya lakukan.
Ketika dia menemui saya, saya tergolek di sebuah pondok di pinggiran Desa
Gedangan. Dia lalu membawa saya pulang ke mari…”
“Ceritamu
tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti telah diguna-gunainya hingga bisa
keluar malam-malam untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kau lakukan
pada anak gadisku?!”
Gandar
Seto mendorong Ratih Kiranasari ke samping lalu dia menyerbu Wiro dengan ganas.
Si gadis menjerit keras. Dia melompat di antara ayahnya dan Pendekar 212. Wiro
tahu betul serangan yang dilancarkan oleh Perwira Tinggi itu bukan serangan
main-main atau hanya sekedar melampiaskan kemarahan. Tetapi merupakan serangan
ganas yang bisa membunuhnya karena jelas dirasakannya serangan itu disertai
tenaga dalam tinggi. Di Kotaraja siapa yang tidak kenal dengan Perwira Tinggi
Gandar Seto yang dijuluki Manusia Besi. Dia dikabarkan memiliki aji kesaktian
yang jika dikeluarkan akan merubah sekujur tubuhnya menjadi sekeras dan seatos
besi. Apa saja yang kena gebuk atau tendangannya pasti akan hancur binasa,
termasuk tubuh manusia jika kena dihantamnya! Dan kini agaknya dia telah
mengeluarkan aji kesaktiannya itu untuk menyerang Wiro yang dianggapnya telah
melakukan sesuatu yang memalukan atas diri puterinya.
Ratih
yang sudah tahu akan ilmu yang dimiliki ayahnya itu dan takut Wiro akan
mendapat celaka cepat menghalangi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh
ayahnya sehingga Perwira Tinggi itu kini jadi sulit bergerak.
“Anak
setan! Lepaskan rangkulanmu!” teriak Gandar Seto. “Atau kepalamu ikut aku
pecahkan saat ini juga!”
“Jangan
ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melakukan apa-apa! Dia menemukan saya dalam
keadaan setengah sadar lalu membawa saya ke mari!”
“Anak
setan! Siapa percaya ucapanmu!” Gandar Seto menggerakkan tubuhnya tapi Ratih
pun mengencangkan rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak
selain membentak dan memaki habis-habisan.
“Wiro!
Pergilah! Lari cepat!” teriak Ratih. Gadis ini khawatir dia tidak bisa bertahan
lama sebelum ayahnya melemparkannya ke tanah.
Pendekar
212 sesaat masih tertegak di tempat itu. Pipinya yang memar masih sakit. Tapi
hatinya lebih sakit lagi diperlakukan dan dihina semena-mena seperti itu.
“Pengawal!
Jangan biarkan bangsat ini lari! Tangkap dia!” teriak Gandar Seto sambil
berusaha melepaskan diri dari pelukan puterinya. Delapan orang pengawal segera
menyerbu ke arah Wiro.
“Wiro!
Lari!” teriak Ratih sekali lagi.
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya. Lalu sekali lompat saja dia sudah berada di atas
punggung kuda. Namun empat orang pengawal masih sempat mengejarnya. Pengawal
kelima malah sudah merangkul leher kuda tunggangannya. Di saat itu pula Gandar
Seto hampir dapat melepaskan diri dari pelukan anak gadisnya.
Wiro
gerakkan kaki kiri menendang salah seorang pengawal yang coba menarik
pinggangnya. Orang ini terjungkal dan tergelimpang di tanah sambil
menjerit-jerit kesakitan. Pengawal yang coba menahan lari kuda dengan merangkul
leher binatang itu dihantamnya dengan satu pukulan ke atas batok kepalanya
hingga melosoh jatuh dan pingsan dengan mata melotot. Ketika kudanya mulai
bergerak, seorang pengawal lagi berusaha menghalangi sambil membabatkan sebilah
golok pendek. Wiro jambak rambut orang ini lalu menyeretnya sampai belasan
langkah. Di satu tempat orang ini dihempaskannya ke tanah. Begitu jatuh, kaki
kiri kuda sebelah belakang menginjak dadanya. Terdengar suara berderak patahnya
tulang-tulang iga. Pengawal ini menjerit pendek lalu diam entah pingsan entah
mati.
“Kejar!”
teriak Gandar Seto marah sekali. Beberapa orang pengawal segera menyiapkan
kuda. Namun gerakan mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar suara
kentongan dipukul orang dari arah selatan. Lalu disahuti oleh kentongan lain
dari jurusan berbeda. Malam yang tadinya sepi ini kini jadi ramai oleh suara
kentongan.
“Anak
kurang ajar!” hardik Gandar Seto marah. Tangan kanannya melayang dan, plakk!
Tamparannya mendarat di pipi Ratih Kiranasari yang sampai saat itu masih
memeluki tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebelah kiri.
Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya lalu melangkah pergi. Sang ayah
seperti sadar apa yang telah dilakukannya cepat mengejar, namun saat itu ada
dua orang penunggang kuda memasuki halaman. Begitu sampai di hadapan Gandar
Seto keduanya melompat turun dan menjura. Salah seorang dari mereka berkata.
“Perwira,
kami dari Desa Gedangan. Kepala Desa meng–Zutus kami untuk memberikan laporan.
Satu hal mengerikan telah terjadi di desa kami…”
“Apa yang
terjadi di desamu?!” tanya Gandar Seto dengan rahang menggembung tanda menahan
amarah.
“Seorang
pemuda desa bernama Nandang ditemukan mati dalam keadaan muka dan tubuh
tercabik-cabik. Di samping mayatnya tergeletak mayat Sarti, istri penduduk desa
bernama Sentot. Keadaannya sama. Mati dengan tubuh koyak-koyak mengerikan…”
“Gila!”
teriak Gandar Seto.
Orang
desa yang satu lagi terdengar menambahkan. “Tubuh Nandang dan Sarti ditemukan
tanpa pakaian sama sekali…”
Gandar
Seto kepalkan kedua tinjunya. Kepalanya mendongak. Di langit tak sengaja dia
melihat rembulan empat belas hari. Di mata Perwira Tinggi ini, bulan purnama
yang begitu indah terlihat seperti sebuah bola api yang mengerikan. Sekilas
kembali terbayang kematian mengerikan yang terjadi malam kemarin atas diri
bawahannya Randu Wulung dan Rumini, sepasang pengantin yang sangat malang itu.
Semua mereka menemui kematian dengan cara yang sama! Biadab mengerikan!
“Jangan-jangan
pemuda gondrong bernama Wiro itu yang melakukannya…” desis Gandar Seto.
Ucapan
yang meskipun perlahan ini ternyata masih sempat terdengar oleh Ratih
Kiranasari yang saat itu sesenggukan tenggelam dalam pelukan ibunya. Si gadis
mengangkat kepalanya. Lalu berkata, “Ayah! Kau sungguh keterlaluan! Kini kau
menuduh pemuda itu sebagai pembunuh Nandang dan Sarti!”
Amarah
Gandar Seto menggelegak kembali. Dengan langkah-langkah besar dia mendekati puterinya.
Tangan kanannya diangkat siap untuk menampar lagi. Namun kali ini Perwira
Tinggi ini masih bisa menguasai dirinya. Perlahan-lahan tangannya diturunkan
kembali. Dia memandang berkeliling. Begitu dia melihat kusir tua Tejo, dia
segera berkata. “Siapkan kudaku! Kita harus menemui Patih Kerajaan malam ini
juga! Keamanan Kotaraja terancam. Dua pembunuhan terjadi dua malam
berturut-turut! Seorang pemuda gelandangan yang sangat aku curigai gentayangan
bebas! Aku yakin dia makhluk jahatnya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan
itu!”
*****************
7
PENDEKAR
212 Wiro Sableng menatap wajah kusir tua yang basah oleh keringat itu beberapa
saat lalu sambil menggaruk kepala dia berkata, “Kotaraja dan tempat-tempat
ramai lainnya tidak aman bagiku sekarang ini Pak Tua. Perwira Tinggi Gandar
Seto kabarnya telah mengeluarkan perintah untuk mencari dan menangkap diriku
hidup atau mati! Gila! Aku dituduh sebagai pembunuh sepasang pengantin Randu
Wulung dan Rumini. Lalu aku juga dikatakan yang menghabisi pemuda sesat Nandang
dan Sarti di Gedangan. Edan!”
“Anak
muda, harap kau jangan marah. Apa betul bukan kau yang membunuh keempat orang
itu?”
Kedua
mata Pendekar 212 memandang mendelik. “Pak Tua, kalau bukan kau yang bicara
begitu sudah kubetot lepas lidahnya…”
“Jangan
marah padaku Wiro. Itulah anggapan semua orang di Kotaraja dan sekitarnya saat
ini. Atau mungkin…”
“Mungkin
apa?” tanya Pendekar 212 jadi tambah jengkel.
“Perwira
Tinggi majikanku juga punya anggapan semua korban itu mati akibat koyakan
binatang buas. Lalu dia ingat pada cerita puterinya tentang srigala yang
ditemukan di Hutan Jati Mundu. Jangan-jangan srigala itu binatang
peliharaanmu…”
“Itu
lebih gila! Lebih edan!” kata Wiro.
“Kalau
tidak mengapa binatang buas itu begitu jinak padamu, anak muda…?”
“Itu yang
aku tidak mengerti,” jawab Wiro sambil garukgaruk kepala. Lalu dia berkata,
“Saat ini aku tidak lebih dari seorang buronan. Tapi belum ada seorang petugas
pun dari Kotaraja mengetahui kalau aku ada di sini. Kau berhasil mencari dan
menemukanku, Pak Tua. Sungguh hebat! Sekarang katakan apa keperluanmu.”
“Terus
terang, aku disuruh oleh Den Ayu Ratih. Dia ingin bertemu dengan kau malam
ini…”
“Hemmm…”
Wiro kembali garuk-garuk kepala.
“Kau
harus menemuinya Wiro. Dia merindukan dirimu tanda dia benar-benar menyukaimu.
Katanya sudah satu minggu lebih dia tidak melihatmu…”
Wiro
mengusap pipi kanannya yang masih kelihatan bengkak akibat jotosan Gandar Seto
tempo hari.
“Anak
muda, aku tahu kau tentu sangat membenci ayahnya karena telah memukulmu. Lebih
dari itu dia juga telah menuduhmu dan menjadikan dirimu sebagai seorang
buronan. Namun jangan kau melihat semua itu. Den Ayu Ratih memerlukanmu.”
“Baiklah
Pak Tua. Di mana aku harus menemuinya?” tanya Pendekar 212.
“Kau tahu
reruntuhan Candi Blorok di timur desa Tumpakrejo?”
Wiro
berpikir sebentar lalu mengangguk.
“Den Ayu
Ratih akan datang ke sana. Tepat pada pertengahan malam…”
“Sendirian?”
“Aku
minta menemaninya. Tapi dia bersikeras akan datang seorang diri…”
“Baiklah.
Aku akan menunggu di Candi Blorok,” kata Wiro.
Tejo si
kusir tua tersenyum. Sebelum pergi dia memberi hormat dan berkata. “Anak muda,
kau orang baik. Kalau kau nanti memang berjodoh dengan puteri majikanku itu
nasibku tentu akan tambah baik…”
********************
Di langit
tak ada bulan. Bintang pun cuma ada satu
dua. Malam
gelap, sunyi dan dingin. Bangunan Candi Blorok yang beberapa bagiannya sudah
runtuh tampak menghitam angker dalam kegelapan malam. Satu bayangan putih
berkelebat di belakang candi lalu lenyap dalam kegelapan dan tahu-tahu dia
sudah berada di pelataran candi sebelah dalam. Sesaat dia memandang
berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu, dia lalu
pergi duduk di atas sebuah arca tanpa kepala.
“Memang
lebih baik biar aku yang menunggu,” kata orang ini dalam hati. Dia memandang ke
langit di atasnya. “Belum tengah malam,” dia kembali membatin. Lalu pikirannya
mengelana jauh. “Walaupun gadis itu menyukaiku setengah mati dan aku memang ada
rasa senang padanya, tapi untuk berjodoh dengan dirinya… Ah! Ini satu hal yang
berat. Bahkan tidak mungkin. Apa yang akan dibicarakannya malam ini? Kalau dia
merayuku dengan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya dan aku tidak bisa
bertahan bisa celaka diriku!” Orang yang duduk di atas arca buntung ini lalu
garuk-garuk kepala. Gerakannya terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar ada
suara derap kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin keras tanda
semakin dekat dan memang mengarah ke candi di mana dia berada.
Orang itu
bangkit dari arca yang didudukinya. Di samping kiri candi dilihatnya mendatangi
seorang penunggang kuda. “Ah, dia datang…” Orang ini menarik nafas lega dan
tersenyum. Namun kemudian kedua matanya menyipit dan senyumnya lenyap. “Eh,
bukan dia. Penunggang kuda itu seorang lelaki, bukan Ratih…” Orang ini
melangkah ke dinding candi sebelah kiri agar bisa melihat lebih jelas. Begitu
dia mengenali penunggang kuda itu parasnya jadi berubah oleh rasa kejut.
“Astaga! Itu Perwira Tinggi Gandar Seto! Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di
tempat ini?! Jangan-jangan…”
Orang
yang datang menunggang kuda coklat memang adalah Perwira Tinggi Gandar Seto.
Dari pakaian ringkas yang dikenakannya serta sebilah golok besar yang terselip
di pinggangnya jelas kalau kedatangannya ke tempat itu bukan suatu kebetulan
belaka. Dan ini segera terbukti. Setelah hentikan kudanya di depan Candi
Blorok, Perwira Tinggi itu lalu berteriak.
“Manusia
buronan bernama Wiro! Lekas serahkan diri! Kau sudah terkurung! Jangan harap
bisa lolos!”
Murid
Eyang Sinto Gendeng yang memang adalah orang yang berada dalam Candi Blorok
seperti disentakkan. Kedua matanya membesar ketika memandang berkeliling. Dari
kegelapan di seputar bangunan candi muncul banyak sekali orang. Jumlah mereka
tidak kurang dari seratus. Sebagian menunggang kuda. Kebanyakan dari mereka
mengenakan pakaian pasukan kerajaan.
“Kurang
ajar! Aku dijebak!” maki Pendekar 212 dengan kedua tangan terkepal. Dia kembali
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Di samping Perwira Tinggi Seto kini
dilihatnya berjejer enam orang penunggang kuda. Empat di antara mereka adalah
perwira-perwira muda Kerajaan yang dari sikap mereka jelas memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Murid Eyang Sinto Gendeng tidak begitu mengkhawatirkan
kehadiran empat perwira muda itu maupun puluhan prajurit yang telah mengurung
seantero bangunan Candi Blorok. Yang dirisaukannya selain si Perwira Tinggi
sendiri terlebih lagi adalah dua orang yang berada di kiri kanannya. Orang di
sebelah kiri seorang nenek berambut putih jarang, berkulit hitam. Sekilas
tampangnya seperti Eyang Sinto Gendeng. Di keningnya ada sebuah benjolan hampir
menyerupai tanduk pendek. Bibirnya sumbing hingga seluruh gigi atasnya yang
masih utuh berwarna hitam tonggos kelihatan menjorok ke luar, menjijikkan. Di
tangan kirinya nenek ini memegang sebuah pendupaan berisi bara api menyala dan
menabur asap kelabu berbau aneh. Pendupaan itu tentu saja panas sekali tetapi
si nenek memegangnya tenang-tenang saja seperti memegang sebuah kayu.
Pendekar
212 mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah duga nenek berbibir sumbing itu
dikenal dengan julukan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Kepandaian silatnya
tidak seberapa. Tetapi pendupaan di tangan kirinya itu telah membuat dirinya
menjadi momok nomor satu dan ditakuti di tanah Jawa ini!” Lalu dalam hati Wiro
memakimaki dirinya sendiri habis-habisan yang telah berlaku bodoh hingga
sampai tertipu dan terjebak di tempat itu. “Kusir tua keparat itu, dia ternyata
ular kepala dua!”
Wiro
mengalihkan perhatiannya pada kakek berpakaian merah yang menunggangi kuda di
sebelah kanan Perwira Tinggi Gandar Seto. Kepalanya yang gundul sengaja dicat
merah. Ketika menyeringai kelihatan gigi-giginya juga dicat merah. “Si Bayangan
Api…” desis Wiro. “Aneh, mengapa jago-jago tingkat tinggi ini bisa bergabung
dengan orang-orang Kerajaan?” pikir Wiro lagi.
Murid
Eyang Sinto Gendeng ini tidak tahu bahwa secara diam-diam Gandar Seto telah
melakukan penyelidikan atas dirinya. Dari beberapa sumber dia kemudian
mengetahui bahwa pemuda bernama Wiro itu sebenarnya adalah Wiro Sableng yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Menyadari siapa
sebenarnya orang buronannya maka itulah sebabnya Gandar Seto membawa serta si
Bayangan Api dan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut, ditambah dengan empat
orang perwira muda berkepandaian tinggi dan puluhan prajurit.
Beberapa
orang di Kotaraja yang kenal siapa adanya Pendekar 212 tidak menyetujui cara
Gandar Seto yang langsung melakukan pencarian terhadap Wiro. Mereka mengusulkan
agar menghubungi Sinto Gendeng terlebih dahulu di Gunung Gede karena mereka
tidak bisa percaya begitu saja kalau murid nenek sakti itu kini telah menjadi
orang jahat dan melakukan pembunuhan keji di beberapa tempat. Namun Gandar Seto
dapat meyakinkan Patih Kerajaan bahwa tindakannya adalah benar dan harus cepat
dilaksanakan sebelum pemuda buronan itu kembali melakukan pembunuhan lagi. Di
samping itu Gandar Seto juga menyimpan dendam tertentu terhadap Pendekar 212.
Dia menganggap pemuda ini juga menjadi biang racun yang hendak menjerat
puterinya.
“Pendekar
212 Wiro Sableng!” teriak Gandar Seto. “Apakah kau nyatanya begini pengecut
tidak berani menyerahkan diri?!”
Wiro
tentu saja terkejut ketika orang menyebut gelar dan nama panjangnya. “Dari mana
keparat ini tahu siapa diriku,” katanya dalam hati dan masih tetap berlindung
di balik dinding candi.
Dari atas
kudanya Perwira Tinggi Gandar Seto kembali berteriak. “Pendekar 212! Jika kau
tidak mau menyerahkan diri maka aku akan menyerbu ke dalam candi!”
“Sialan!
Dia benar-benar tahu kalau aku berada di tempat ini!” maki murid Eyang Sinto
Gendeng. Sambil mengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan akhirnya dia keluar
dari balik dinding dan melangkah menuruni bagian depan Candi Blorok. Tiga
langkah dari depan reruntuhan tangga Pendekar 212 berhenti. Dia memandang pada
Gandar Seto dan bertanya.
“Aku
sudah berada di hadapanmu. Katakan apa keperluanmu Perwira Tinggi!”
“Kau yang
harus mengatakan apa kau mau ditangkap hidup-hidup dengan tubuh utuh atau ingin
menyerahkan diri setelah sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai ke kaki kami
cincang lumat!” Gandar Seto menjawab dengan pelipis bergerak-gerak dan rahang
menggembung tanda dia mulai mendekati puncak amarahnya.
“Perwira,
kau ingin menangkap dan mencincang diriku! Katakan apa salahku!”
Gandar
Seto keluarkan suara mendengus. “Lagakmu sungguh hebat! Kau membunuh secara
keji empat orang tak berdosa. Kau bahkan menculik puteriku…”
“Tuduhan
dusta! Kau punya bukti kalau aku yang membunuh empat orang itu? Kau juga punya
bukti bahwa aku menculik puterimu? Padahal puterimu sendiri mengatakan aku
tidak menculiknya. Aku menemuinya dalam keadaan setengah sadar di dekat
Gedangan!”
Perwira
Tinggi itu menggerakkan tangannya. Empat orang perwira muda melompat turun dari
kuda masingmasing, langsung mengurung Pendekar 212.
“Manusia
iblis ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama. Cincang sampai lumat!”
perintah Gandar Seto kemudian.
Empat
golok besar mengeluarkan suara berseresetan begitu dicabut dari sarungnya.
Tanpa menunggu lebih lama keempat perwira muda yang mengurung menyerbu Wiro.
Empat bilah golok besar berkelebat dalam kegelapan malam.
Murid
Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya merunduk.
Bersamaan dengan itu dia hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua orang perwira
muda berteriak kesakitan. Tubuh mereka mencelat mental lalu terhampar di tanah.
Megap-megap sebentar setelah itu pingsan tak berkutik lagi.
Dua bilah
golok lagi datang membabat dari belakang. Murid Eyang Sinto Gendeng jatuhkan
diri ke tanah. Tibatiba tubuh itu membalik sambil kaki kanan menendang.
Terdengar dua kali suara bergedebukan. Dua perwira muda yang tadi menyerang
dari belakang sama-sama menjerit. Yang satu langsung roboh begitu tulang kering
kaki kirinya patah dihantam tendangan Wiro. Satunya lagi mencelat lalu terkapar
di tanah dengan perut pecah. Nyawanya tidak ketolongan lagi!
Selagi
Wiro bergerak bangkit, Gandar Seto yang sudah gatal tangan menarik tali kekang
kudanya. Binatang ini melompat ke depan ke arah Wiro. Bersamaan dengan itu
Perwira Tinggi lepaskan satu pukulan jarak jauh. Serangkum angin menderu
menyambar Pendekar 212 membuat tubuhnya bergetar keras. Dia merasakan seperti
ada sebuah jaring yang tak kelihatan membungkus tubuhnya. Sebelum dirinya
menjadi tidak berdaya, Wiro jatuhkan tubuh ke tanah lalu berguling ke kiri guna
menghindari injakan empat kaki kuda tunggangan Gandar Seto. Ketika Perwira
Tinggi itu berusaha memutar kudanya dan hendak menyerang kembali, Pendekar 212
untuk pertama kalinya lepaskan serangan balasan. Dia berlaku cerdik. Dia tidak
menghantam ke arah Gandar Seto. Yang ditujunya justru kuda tunggangan Perwira
Tinggi itu. Kuda betina ini meringkik keras sewaktu angin pukulan jarak jauh
yang dilepaskan Wiro melabrak rusuknya. Tubuhnya terhuyung ke kiri. Selagi
penunggangnya berusaha mengendalikan kuda itu, Wiro kembali menghajar dengan
pukulan sakti berikutnya yaitu Benteng Topan Melanda Samudera.
Angin
sederas topan prahara membuat kawasan di sekitar Candi Blorok jadi bergetar.
Gandar Seto dan kudanya terhempas ke kiri. Sebelum binatang ini jatuh
tersungkur Perwira Tinggi itu sudah lebih dulu melompat ke udara. Gerakannya
melompat disertai dengan gerakan mencabut golok besar di pinggang. Begitu dia
menukik, tubuhnya kelihatan melesat ke arah Wiro. Senjata di tangannya
menyambar ganas. Yang diincar adalah batang leher murid Sinto Gendeng itu!
Untuk
kesekian kalinya Wiro terpaksa jatuhkan diri. Hanya kali ini gerakan mengelak
itu disertai dengan tendangan kaki ke arah tangan lawan yang memegang senjata.
Kraakk!
Terdengar
suara patahan tulang begitu kaki kanan Wiro menghajar lengan Gandar Seto.
Perwira Tinggi ini menjerit keras. Goloknya terlepas mental sedang tangan
kanannya kelihatan mengambai-ambai!
Semua
orang yang ada di tempat itu tentu saja sangat terkejut menyaksikan apa yang
terjadi. Gandar Seto yang dikenal dengan julukan Manusia Besi, memiliki tubuh
atos tak mempan senjata tajam, kini ternyata mengalami hari naas. Kena
diciderai hingga patah lengan kanannya! Iblis Sumbing diam-diam merasa tidak
enak sedang si Bayangan Api sesaat tampak tertegun. Mereka jadi berpikir.
Rupanya nama besar Pendekar 212 bukan satu nama kosong belaka!
Beberapa
orang perajurit cepat bergerak hendak menolong Perwira Tinggi yang cidera itu.
Namun saat itu kakek berpakaian dan berkepala botak merah sudah mendahului.
Sekali dia berkelebat turun dari kudanya, tubuhnya berubah laksana sambaran
api. Di lain kejap tahu-tahu dia sudah merangkul Gandar Seto yang kemudian
dibawanya ke tempat yang lebih aman.
“Harap
kau tidak bergerak dari tempat ini Perwira. Kulihat cideramu cukup parah!” kata
si Bayangan Api. “Biar aku yang akan menangkap pemuda itu. Aku akan
menghajarnya sampai lumat lebih dulu sebelum kuhabisi nyawanya…”
Ketika
dia hendak melangkah mendekati Wiro, nenek berjuluk Iblis Sumbing Pembawa
Pendupa Maut sudah memajukan kudanya seraya berkata. “Sobatku, kau jaga saja
perwira itu. Biar aku yang menangani kecoak satu ini!” Lalu sambil meninggikan
tangannya yang memegang pendupaan, nenek itu mengarahkan kudanya mendekati
Wiro. “Manusia bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar 212 murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede! Apa kau sudah tahu kalau nyawamu hanya tinggal beberapa
kejapan lagi?”
Karena
mulutnya sumbing maka kata-kata yang diucapkannya terdengar lucu dan sulit
dimengerti Wiro. Seumur-umur baru kali itu dia mendengar orang sumbing bicara.
Maka pemuda ini pun berkata.
“Nek,
kalau bicara biar betul. Jangan telo seperti orok! Aku tidak mengerti apa yang
kau ucapkan!” Brengseknya waktu bicara ini Wiro sengaja menirukan suara si
nenek yang tidak karuan! Tentu saja hal ini membuat Iblis Sumbing Pembawa
Pendupa Maut menjadi marah setengah mati. Tangan kirinya yang memegang
pendupaan diturunkan sejajar bahu. Kepulan asap kelabu berbau aneh semakin
menggebubu.
Tiba-tiba
dari mulut yang sumbing itu keluar suara pekik menggidikkan. Bersamaan dengan
itu tangan kanannya bergerak. Tahu-tahu dari tangan si nenek ada lima buah
senjata rahasia berbentuk paku menyambar ke arah murid Sinto Gendeng.
Dari
sinar redup hitam yang keluar dari lima buah senjata rahasia itu Wiro segera
maklum kalau senjatasenjata terbang itu mengandung racun jahat. Maka dia
segera menghantam dengan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Lima senjata
rahasia berbentuk paku mencelat bermentalan. Tapi si nenek justru malah tertawa
nyaring. Kepalanya merunduk seperti hendak mencium Wiro. Pendupaan di tangan
kirinya didekatkan ke mulut. Wiro kirimkan satu jotosan kilat ke lambung lawan
yang masih berada di atas punggung kudanya ini. Tapi tiba-tiba sekali si nenek
meniup. Asap kelabu berbau aneh menyambar ke arah muka Wiro. Murid Sinto
Gendeng cepat menutup jalan nafasnya dan berusaha melompat menjauhi. Namun
terlambat! Hawa aneh yang keluar dari asap kelabu itu telah lebih dahulu
menyusup memasuki hidung dan mulutnya. Saat itu juga Wiro merasakan kepala dan
kedua matanya menjadi sangat berat. Sekujur anggota badannya terasa lemah. Dia
seperti amblas ke dalam sebuah lobang gelap dan tidak sadarkan diri lagi. Jatuh
tergelimpang di depan kaki kuda tunggangan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Nenek tua
ini tertawa mengekeh lalu memandang pada si Bayangan Api. “Kau tunggu apa lagi
sahabatku? Lekas ringkus pemuda itu. Kita bawa ke hadapan Patih Kerajaan agar
dia segera dijatuhi hukuman mati. Atau ada yang akan mempesianginya saat ini
juga?!”
“Aku yang
akan menghabisinya!” kata Gandar Seto lalu dengan susah payah berusaha berdiri.
“Pinjami golokmu!” katanya pada seorang prajurit yang tegak di sampingnya.
“Dimas
Gandar. Tak perlu susah-susah. Biar kuseret pemuda keparat ini ke hadapanmu!”
kata si Bayangan Api pula. Lalu dicekalnya salah satu pergelangan kaki Wiro.
Tubuh pemuda itu kemudian diseretnya ke hadapan si Perwira Tinggi. Rahang
Gandar Seto tampak menggembung. Matanya berkilat. Golok yang di tangan kiri
digenggamnya erat-erat. Begitu sosok Wiro dilemparkan di hadapannya, dengan
bergegas Perwira Tinggi ini ayunkan senjatanya ke arah batang leher Pendekar
212!
*****************
8
MURID
Sinto Gendeng hanya bisa terima nasib. Dia menghadapi kematian dengan sepasang
mata tidak berkesip sementara golok di tangan kiri Gandar Seto membabat deras
ke bawah. Sesaat lagi bagian tajam dari senjata itu akan menebas putus batang
lehernya tiba-tiba entah dari mana munculnya satu bayangan berkelebat. Gerakan
tubuhnya mengeluarkan angin deras. Tubuh Gandar Seto tahu-tahu terjajar sampai
tiga langkah. Dari mulutnya keluar seruan pendek disusul dengan terlepas
mentalnya golok yang ada di tangan kirinya!
“Manusia
kurang ajar! Siapa kau?!” teriak Perwira Tinggi itu. Ketika dia dan semua orang
yang ada di situ memandang ke depan, mereka menyaksikan satu pemandangan yang
sulit dipercaya!
Seorang
gadis berpakaian hijau gelap tegak di tengah kalangan perkelahian dengan
memanggul tubuh Pendekar 212 di bahu kirinya. Pandangannya tampak bengis tetapi
kebengisan ini tidak melenyapkan kecantikan wajahnya.
“Ada
bidadari nyasar dan ikut campur urusan kita…” kata si Bayangan Api lalu tertawa
mengekeh.
“Siapa
kau?’“ Gandar Seto kembali membentak.
“Mengapa
kau menginginkan pemuda itu?!” ikut membentak Iblis Sumbing Pembawa Pendupa
Maut.
Lalu si
Bayangan Api menimbrung kembali. “Apa hubunganmu dengan Pendekar 212?!”
Gadis di
tengah kalangan menyeringai sinis.
“Siapa
aku kalian tak layak bertanya. Mengapa aku inginkan pemuda ini bukan urusan
kalian. Apa hubunganku dengan dirinya perlu apa kalian mengetahui?!”
“Gadis
cantik! Lagakmu sombong banget!” kata si Bayangan Api sambil usap-usap
kepalanya yang gundul dan dicat merah itu. Mata kirinya dikedipkan
berkali-kali. “Dengar, berikan pemuda itu pada kami!”
“Untuk
apa?!” tanya gadis cantik itu.
“Kau tak
layak bertanya!” jawab si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh. Kedua tangannya
diulurkan ke depan. “Lekas serahkan pemuda itu padaku! Atau aku akan
mengambilnya bersama-sama tubuhmu sekaligus!”
“Tua
bangka buruk berkepala seperti pantat monyet!” bentak si gadis yang memanggul
Wiro. “Kalau kau merasa mampu coba kau rampas pemuda ini dariku!”
Tampang
si Bayangan Api jadi tampak merah seperti udang rebus. “Gadis yang masih bau
pupuk! Rupanya kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hingga bicara kurang
ajar seenaknya!”
“Aku
cukup tahu siapa kau! Gelarmu si Bayangan Api. Kau mengerjakan apa saja asal
dibayar. Seperti tadi aku bilang, kepala botakmu yang merah sama dengan pantat
monyet.”
Tiba-tiba
terdengar suara tawa cekikikan. Yang tertawa ternyata adalah Iblis Sumbing
Pembawa Pendupa Maut. “Kau gadis kocak! Celotehmu enak didengar. Aku mulai suka
denganmu. Gadis jelita, apakah kau juga tahu siapa diriku?” Sambil berkata
begitu nenek berbibir sumbing yang keningnya ada benjolan seperti tanduk ini melangkah
mendekati si gadis. Yang didekati tenang saja seolah tidak takut sama sekali.
“Kau
minta aku menerangkan siapa dirimu?!” Gadis di tengah kalangan sunggingkan
senyum. “Aku mulai dengan usiamu nenek tua! Umurmu saat ini kalau aku tidak
salah duga sudah hampir tujuh puluh! Benar?!”
“Eh, kau
benar!” jawab si nenek dan diam-diam merasa heran.
“Kau
datang dari Madura, mencari makan di tanah Jawa. Betul?!”
“Ah, kau
juga betul!” jawab Iblis Sumbing mangkel tapi tambah heran.
“Kau
dijuluki orang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut!”
“Kau
gadis hebat. Pasti kau seorang tokoh persilatan baru yang mulai naik daun!”
Memuji si nenek.
“Apa
sudah cukup penjelasanku tentang dirimu?!”
“Eh!” Si
nenek jadi agak tersentak. Kini dia mulai merasa tidak enak. “Apa lagi yang kau
ketahui tentang diriku?”
“Banyak!”
“Misalnya?”
“Bukan
misalnya. Tapi nyatanya! Kau mau dengar?”
“Bilang
saja!”
“Kau
tidak bakalan malu nantinya?!”
“Gadis
sialan! Malu? Mengapa musti malu?!”
Si gadis
perdengarkan suara tertawa panjang. “Baiklah, akan kukatakan apa adanya.
Bibirmu sumbing bukan cacat dari lahir. Seorang musuh merobek bibirmu itu!”
“Astaga!”
Si nenek terkejut dalam hati. “Siapa gadis ini sebenarnya. Mengapa dia tahu
banyak tentang diriku?”
“Orang
itu membuatmu cacat dalam satu perkelahian. Gara-gara kau menculik anak
gadisnya. Betul…?”
Wajah
buruk Iblis Sumbing berubah gelap. “Cukup! Hentikan ocehanmu! Sekarang serahkan
pemuda itu padaku dan lekas minggat dari sini!”
“Ha… ha…!
Sekarang kau takut sendiri mendengar ocehanku. Padahal aku belum selesai! Aku
tahu kau bangsa perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu. Karena itu
seumur-umur kau tidak pernah kawin! Kau lebih suka bercinta dengan perempuan…”
“Gadis
sundal haram jadah! Biar kurobek mulut kotormu!” Iblis Sumbing menggembor lalu
tangan kirinya tiba-tiba berkelebat ke arah muka si gadis. Yang diserang
tundukkan kepala dan pukulkan tangan kanannya untuk menangkis. Karena
menganggap enteng, si nenek tidak berusaha menghindari terjadinya bentrokan
lengan.
Bukkk!
Gadis
jelita yang memanggul tubuh Wiro merasakan lengannya bergetar keras. Sebaliknya
Iblis Sumbing keluarkan jerit kesakitan. Tangannya seperti dipukul besi. Rasa
sakit pada lengannya itu menjalar ke seluruh tubuh hingga dia terhuyung-huyung
sampai tiga langkah. Marah dan malu membuat si nenek jadi kalap.
Didahului
oleh satu teriakan dahsyat si nenek melompat ke depan. Pendupaan di tangan
kirinya diturunkan ke muka. Asap kelabu mengepul deras. Lalu dia meniup
kuatkuat, Wusss!
Asap
kelabu yang menebar bau aneh dan sangat berbahaya menderu ke muka si gadis,
langsung masuk ke rongga hidung dan mulutnya. Sesaat dia tampak seperti
kelagapan. Iblis Sumbing tertawa panjang. Sekejapan lagi gadis ini akan tidak
berdaya, limbung lalu jatuh seperti apa yang telah terjadi dengan pemuda yang barusan
ditolongnya.
Tetapi
alangkah terkejutnya si nenek ketika melihat gadis di hadapannya itu bukannya
jatuh malah dari mulutnya terdengar suara tawa panjang menimpali suara tawanya
sendiri! Selagi perempuan tua ini dibungkus rasa kaget tiba-tiba si gadis
runcingkan mulutnya dan meniup asap kelabu yang mengepul keluar dari dalam
pendupaan.
Wusss!
Kepulan
asap itu kini berhembus deras ke arah si pemilik pendupaan. Senjata makan tuan!
Iblis
Sumbing menjerit keras. Kedua matanya terasa perih dan karena dia barusan
membuka mulut begitu lebar, kepulan asap serta merta memenuhi mulutnya terus
memasuki rongga-rongga pernafasan. Akibatnya tak tertolong lagi. Sekujur
tubuhnya menjadi lemas. Mata dan kepalanya terasa berat. Sesaat kemudian tak
ampun lagi tubuhnya amblas jatuh ke tanah.
Kakek
bergelar si Bayangan Api cepat menolong Iblis Sumbing sementara Gandar Seto
melompat ke arah gadis yang memanggul Wiro sambil berteriak pada anggota
pasukannya untuk bantu menyerang. Puluhan perajurit berserabutan melakukan
penyerangan. Gadis yang jadi bulan-bulanan serangan tertawa nyaring. Tubuhnya
tibatiba mencelat ke atas. Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuhnya. Sulit
sekali dicari orang pandai yang mampu melompat setinggi itu sambil membawa
beban manusia di bahunya!
“Kejar!
Jangan biarkan dia melarikan diri!” teriak Gandar Seto.
Beberapa
perajurit melemparkan golok dan tombak mereka. Tetapi tak satu pun yang
mengenai sasaran,
“Keparat!
Seharusnya aku membawa serta pasukan panah!” maki Gandar Seto. Dalam keadaan
salah satu tangannya patah begitu rupa Perwira Tinggi ini mencoba menyusul
melompat ke atas sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi hantamannya
luput. Sosok tubuh si gadis dilihatnya berkelebat turun ke arah kiri candi.
“Biar aku
yang mengejar!” Di bawah sana terdengar suara teriakan si Bayangan Api. Seperti
angin dia berkelebat ke samping kiri Candi Blorok. Dia masih sempat melihat
bayangan si gadis. Serta merta kakek ini lepaskan pukulan sakti. Tapi
serangannya hanya menghantam pinggiran candi. Bangunan yang kena hantam ini
hancur berserakan.
“Gadis
keparat! Apa kau kira bisa lolos dari tanganku!” kertak si Bayangan Api. Tidak
percuma dia mendapat gelar seperti itu. Sekali dia bergerak tubuhnya tenyap dan
hanya bayangan merah tertinggal di belakangnya. Saat itu dia sudah berada di
bagian candi yang lain. Di satu tempat gelap dia kembali melihat bayangan orang
yang dikejarnya. Dengan geram orang tua berkepala botak ini keruk saku pakaian
merahnya. Setengah lusin senjata rahasia berupa panah-panah kecil berwarna
merah melesat dalam kegelapan malam meninggalkan cahaya merah panjang seperti
nyala api di ekornya.
“Pasti
kena!” kata si Bayangan Api penuh yakin karena selama ini tidak ada yang bisa
lolos dari serangan senjata rahasianya itu. Ia berkelebat menyusul ke arah
lesatan senjatanya, Tapi dia jadi terperangah dan berseru kaget ketika
tiba-tiba dari depan dilihatnya ada satu gelombang angin dahsyat yang membuat
lima panah merah yang tadi dilepaskannya berbalik dan menghantam ke arah
dirinya sendiri pada lima sasatan yang sulit dielakkan!
“Perempuan
celaka. Kurang ajar!” maki si Bayangan Api panjang pendek. Dia jatuhkan diri ke
tanah. Tiga anak panah lewat di atas tubuhnya. Anak panah ke empat menembus
leher pakaiannya. Anak panah ke lima menancap di bahu kirinya. Si botak tua ini
menjerit kesakitan!
*****************
9
HAWA aneh
berasal dari asap kelabu pendupaan Iblis Sumbing yang membuat Pendekar 212 jadi
lumpuh tak berdaya perlahan-lahan keluar dari rongga hidungnya setiap dia
bernafas. Perlahan-lahan pula dia mulai sadar dan ingat apa yang telah
dialaminya. Dalam keadaan masih lemas dia hanya bisa berdiam diri di atas
panggulan bahu kiri perempuan yang melarikannya. Wiro berusaha melihat wajah
orang yang menolongnya itu tapi tak berhasil.
“Kuharap
saja tuan penolongku ini bukan seorang nenek sakti berwajah menyeramkan,” kata
Wiro dalam hati. “Bau tubuhnya harum semerbak. Ilmu larinya tinggi sekali. Dia
memiliki tenaga luar biasa. Siapa perempuan ini sebenarnya?” Wiro coba
mengingat-ingat. “Mungkin Pandansuri, anak angkat mendiang Raja Rencong Dari
Utara? Tak mungkin dia berada sejauh ini sampai ke tanah Jawa. Barangkali
Anggini, murid Dewa Tuak…” Wiro berusaha memutar kepalanya agar dapat melihat
wajah perempuan yang memanggulnya. Tapi masih susah. “Anggini selalu mengenakan
pakaian ungu. Agaknya bukan dia. Astaga! Jangan-jangan Dewi Bunga Mayat!” Wiro
kembali mengingat lebih dalam. “Ah, bukan dia. Dewi Bunga Mayat selalu
berkebaya putih dan mengenakan kain panjang. Tubuhnya menebar harum bunga
kenanga. Yang mendukungku ini memiliki wewangian semerbak yang tak pernah aku
baui sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya…”
Selagi
berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba Wiro merasakan orang yang memanggulnya
menghentikan larinya. Lalu perlahan-lahan tubuhnya diturunkan, dibaringkan di
atas tanah. Wiro tidak perdulikan di mana dia berada. Yang dilakukannya saat
itu adalah segera melihat wajah orang di sampingnya itu. Hati sang pendekar
jadi berdebar. Kedua matanya membesar dan mulutnya berdecak melihat bahwa orang
yang menolongnya ternyata seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan
baju ringkas warna biru.
Seperti
mendapat kekuatan Wiro bangkit dan duduk di tanah. Karena si gadis bersimpuh di
sebelahnya maka tubuh dan wajah mereka berada begitu dekat. Sepasang mata
bening sang dara memandang tak berkedip padanya.
“Gadis
cantik tuan penolong. Aku tidak tahu harus berterima kasih bagaimana. Kalau aku
boleh tahu siapa kau ini adanya?”
Gadis di
samping Wiro tersenyum mendengar ucapan itu.
“Tolong
menolong adalah satu keharusan dalam dunia persilatan. Memberitahu siapa diriku
bukan satu keharusan,” berkata sang dara.
Wiro
tertawa lebar. “Ah, bagaimana aku akan mengingat budi orang. Kalau namanya saja
aku tidak tahu… Dan aku bukan cuma berhutang budi. Tapi nyawa. Kau telah
menyelamatkan diriku dari nenek bermulut sumbing itu.”
“Sudah,
hal itu tidak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting sekarang kau sudah
selamat. Dan aku harus segera meninggalkan tempat ini.”
Wiro
memandang berkeliling. Ternyata dia dan gadis penolongnya itu berada di puncak
sebuah bukit kecil. Ketika dilihatnya si gadis hendak berdiri, cepat Wiro
memegang tangannya. Untuk sesaat lamanya kedua orang ini saling berpandangan.
“Sahabatku
yang cantik. Sebelum pergi beritahu siapa namamu. Dan katakan apa yang harus
kulakukan untuk membalas kebaikanmu.”
Gadis itu
masih menatap Wiro beberapa jurus lamanya lalu berkata. “Aku bisa memberikan
seribu nama padamu.”
“Kalau
begitu sebutkanlah. Siapa tahu aku bisa menghafalnya,” jawab Wiro sambil
menahan tawa.
“Kau
cerdik dalam kelucuanmu Pendekar 212!”
“Eh, dia
tahu siapa diriku!” membatin Wiro.
“Namaku
Kemala. Panggil aku dengan nama itu.”
“Namamu
indah, wajahmu cantik. Aku benar-benar seperti kedatangan bidadari.” Wiro lalu
lepaskan pegangannya pada tangan si gadis. “Terima kasih. Aku akan mengingat
nama itu sepanjang zaman. Kalau saja aku bisa bertemu lagi kelak…”
“Pendekar
212. Ada satu cara jika kau memang ingin membalas budi kebaikanku.”
“Katakanlah.”
“Temui
seorang gadis bernama Ratih Kiranasari. Dia menyukaimu. Bukan cuma suka tapi
juga cinta. Bawa dia ke mana kau pergi. Ambil dia jadi istrimu…”
Murid
Eyang Sinto Gendeng jadi melengak. Perlahanlahan dia bangkit berdiri. Gadis
bernama Kemala juga berdiri. Keduanya berdiri berhadap-hadapan.
“Permintaanmu
terlalu berat. Tidak mungkin kupenuhi. Bagaimana kau bisa tahu…”
“Kabulkan
saja harapanku. Sekarang aku harus pergi,” kata sang dara.
“Tunggu!”
ujar Wiro. “Aku bisa memenuhi permintaanmu menemui puteri Perwira Tinggi itu.
Tapi aku tak mungkin membawanya ke mana aku pergi. Apa lagi mengambilnya jadi
istri. Orang gelandangan macam aku ini…”
Gadis di
hadapan Wiro maju selangkah. “Kalau dengan aku, kau mau…?!” Wiro jadi salah
tingkah dan garuk-garuk kepala. Dia tak bisa menjawab. Jantungnya berdetak
keras membuat debaran pada dadanya.
Kemala
berdiri sangat dekat di hadapannya. Dia dapat merasakan hembusan nafas gadis
cantik itu. Si gadis berjingkat. Tubuhnya kini hampir sama tinggi dengan
Pendekar 212. Kedua tangannya digelungkan di belakang leher Wiro. Kepalanya
diangkat. Sesaat kemudian bibirnya menempel di permukaan bibir Wiro. Ketika
sang pendekar memberikan reaksi, Kemala mengecup bibir pemuda itu penuh nafsu.
Wiro siap merangkul dan balas melumat bibir yang membara itu. Namun dia hanya
merangkul angin. Kemala secara luar biasa cepatnya berkelebat pergi. Di satu
tempat dia berhenti lalu mengusap wajahnya dua kali. Setelah itu dia pun lenyap
dari tempat itu.
Di atas
puncak bukit itu kini hanya Pendekar 212 seorang diri tenggelam dalam kegelapan
malam.
Wiro
termangu sambil garuk-garuk kepala. “Ilmunya luar biasa. Kecupannya membuat aku
seperti mau gila. Gadis aneh. Muncul menolong secara aneh. Perginya juga aneh.
Sebelum pergi meninggalkan pesan aneh! Gila! Bagaimana aku harus kawin dengan
puteri Perwira Tinggi itu? Ayahnya saja benci setengah mati padaku. Ingin
membunuhku! Ah! Bagaimana ini! Daripada kawin biar aku menanggung dosa mungkir
janji! Melanggar pesan orang! Kalau dengan dia sih… ah!” Wiro tidak meneruskan
ucapannya.
********************
Tepat
tigapuluh hari berlalu sejak kematian mengerikan menimpa diri Sarti dan Nandang
di Desa Gedangan, pagi hari itu Kotaraja digemparkan oleh peristiwa pembunuhan
yang bentuk serta keadaannya sama dengan yang dialami Sarti dan Nandang serta
Randu Wulung dan Rumini. Korban kali ini adalah puteri sulung seorang bangsawan
yang baru melangsungkan perkawinan selama tiga bulan di mana sang isteri berada
dalam keadaan hamil muda. Keduanya ditemukan telah jadi mayat dalam kamar
tidur. Sekujur muka serta badan luka dicabik-cabik mengerikan.
Perwira
Tinggi Gandar Seto didampingi oleh Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut serta si
Bayangan Api pagi itu juga segera menemui Patih Kerajaan. Tangan kanannya yang
patah tampak dibalut dan masih belum begitu sembuh.
Tanpa
banyak basa basi dan peradatan segala, Perwira Tinggi itu langsung saja bicara
menyangkut masalah besar yang telah menggemparkan Kotaraja itu.
“Paman
Patih, ini adalah kali yang ketiga sepasang orang yang sedang berkasih-kasihan
menemui ajal. Dibunuh secara keji dan kejam. Saya meminta izinmu untuk
melakukan sesuatu…!”
Patih
kerajaan mengusap janggut putihnya. “Apa yang hendak kau lakukan Dimas Gandar?”
“Saya
akan memperbanyak menyebar mata-mata di seluruh negeri. Si pembunuh harus
segera dibekuk batang lehernya! Kalau tidak pasti korban-korban berikutnya akan
segera menjadi mangsa si pembunuh biadab itu!”
Patih
kerajaan mengangguk. “Aku setuju sekali maksudmu itu Dimas Gandar. Kalau aku
tidak salah ingat, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau sudah tahu siapa
orangnya. Yaitu seorang pendekar sesat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212? Bukti perbuatan jahatnya masih tampak pada tangan
kananmu yang cidera.”
Paras
Perwira Tinggi Gandar Seto tampak menjadi kemerahan.
“Betul
sekali Paman Patih. Pencarian atas dirinya tetap kami lakukan… Hanya saja saya
mulai merasa adanya sedikit keraguan. Jangan-jangan bukan dia pelakunya.”
“Semua
urusan kuserahkan padamu Dimas Gandar. Kalaupun bukan dia orangnya, apakah kau
tidak bermaksud menangkap pemuda itu? Bagaimanapun juga dia telah mencelakaimu.
Dan pernah menculik puterimu.”
Gandar
Seto terdiam.
“Bagaimana
keadaan puterimu sekarang Dimas Gandar?” Patih kerajaan mengalihkan pembicaraan
setelah melihat sang perwira seperti tertekan tidak enak.
“Ratih
Kiranasari ada dalam keadaan baik-baik saja Paman Patih. Terima kasih atas
perhatianmu.”
Patih tua
itu mengangguk. Dia memandang pada dua orang yang ikut menemani bawahannya itu
lalu berkata. “Kulihat kau membawa serta dua orang sahabat berkepandaian tinggi
yang bisa diandalkan. Lalu apa sulitnya menangkap si pembunuh biadab dan
mencari Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Karena
Gandar Seto tak bisa menjawab maka si Bayangan Api lalu membuka mulut. “Seperti
Paman Patih ketahui kami bertiga pernah menjebaknya di Candi Blorok. Tapi kita
lihat saja hasilnya. Pendekar 212 bukan seorang pendekar tingkat bawah. Kami
memang berniat untuk memburunya sampai kapan pun. Namun sekali ini kami tidak
saja harus mengandalkan kepandaian tapi juga kecerdikan. Apalagi tiga kali
pembunuhan itu kami rasa ada sisi keanehannya di balik kekejaman dan kekejian
nyata yang kita lihat.”
“Hem…
aneh bagaimana maksudmu?” tanya Patih Kerajaan,
“Tiga
kali pembunuhan terjadi atas diri lelaki perempuan yang merupakan pasangan
saling berkasih sayang, walau satu pasang yaitu Nandang dan Sarti merupakan
pasangan sesat memalukan. Lalu hal lain yang kami perhatikan, ketiga pembunuhan
itu terjadi pada setiap bulan purnama. Selanjutnya kematian mereka dalam cara
yang sama yaitu mati seperti dicabik-cabik binatang buas. Menurut beberapa
orang yang mengetahui, menjelang saat terjadinya peristiwa mengerikan itu
terdengar seperti suara lolongan anjing! Hal lain, Den Ayu Ratih, puteri
Perwira Tinggi Gandar Seto mengatakan pernah melihat seekor srigala berkeliaran
di Hutan Jati Mundu. Bukan mustahil binatang ini pembunuhnya. Tapi dia tidak
seorang diri. Pasti ada yang memelihara dan memerintahkannya. Kami bertiga
tadinya yakin Pendekar 212 yang memelihara binatang buas itu. Namun seperti
tadi yang dikatakan Perwira Tinggi Gandar Seto, kami mulai merasa ragu. Apa
benar dia terlibat dalam semua pembunuhan itu atau tidak.”
“Segala
keanehan akan tetap terpendam aneh. Semua hal yang bersifat rahasia akan tetap
tidak terungkap jika kita tidak memecah dan mengungkapkannya. Oleh karena itu
sekali lagi aku katakan, kalian bertiga aku tugaskan untuk menyingkap keanehan
dan misteri ini, menangkap pelakunya. Entah dia itu seekor binatang buas,
seorang manusia atau punsetan iblis! Jika kalian merasa masih kurang kuat, aku
bersedia menghimpun beberapa orang pandai lagi untuk membantu…”
“Terima
kasih atas petunjuk Paman Patih,” kata Gandar Seto pula. “Biarlah kami bertiga
dulu meneruskan pengusutan. Bilamana dirasakan perlu akan tenaga tambahan kami
tentu akan memberitahu Paman Patih. Sekarang kami bertiga mohon diri…”
Patih
Kerajaan berdiri dari kursinya lalu mengantarkan ketiga orang itu sampai ke
pintu.
*****************
10
MALAM
sebelum pagi yang menggemparkan itu. Seorang berpakaian biru gelap berlari
kencang dari jurusan timur. Dari rambutnya yang riap-riapan jelas dia adalah
seorang perempuan. Hampir dia sampai ke pinggiran Kotaraja di kawasan timur itu
tiba-tiba perempuan ini hentikan larinya. Cahaya rembulan tiga belas hari
menimpa kepala dan tubuhnya. Ternyata perempuan ini adalah seorang gadis muda
berwajah cantik jelita.
Si gadis
menoleh ke belakang. Lalu memandang berkeliling. “Jelas tadi kurasa ada
seseorang mengikuti. Tapi tahu-tahu dia lenyap seperti ditelan bumi. Biar
kupancing.”
Gadis itu
melanjutkan larinya kembali. Sambil berlari dia memasang telinganya
tajam-tajam. Sekitar duapuluh langkah berlari telinganya kembali menangkap ada
seseorang membayang-bayanginya dari belakang. Di satu tempat kembali gadis ini
hentikan larinya lalu membalik dan hantamkan tangan kanannya ke jurusan di mana
dia merasa pasti beradanya orang yang mengikutinya.
Wuuuttt!
Angin
pukulan yang deras bersiuran di kegelapan malam.
Braaak!
Sebatang
pohon waru kecil patah dan tumbang dengan suara berisik. Hanya itu yang
terdengar lalu sepi lagi. Tak ada suara orang menjerit atau mengeluh kesakitan
terkena pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi yang tadi
dilepaskan si gadis. Dengan jengkel gadis itu memutar tubuh hendak melanjutkan
perjalanan. Tapi dia jadi melengak kaget ketika tiba-tiba di hadapannya
terdengar suara menggemuruh seperti deburan ombak. Lalu entah dari mana asal
muasalnya tahu-tahu di hadapan si gadis berdiri seorang pemuda berdestar hitam.
Wajahnya tampan tapi kedua telinganya lancip mencuat ke atas serta berbulu
seperti telinga seekor anjing hutan atau srigala. Sepasang bola matanya
bercahaya biru dalam kegelapan malam. Sesaat si gadis tampak tercekat. Namun
dia segera dapat menguasai dirinya. Dalam hati dia membatin. “Seperti
perjanjian yang dikatakan Eyang Srigala Karang ternyata dia memang datang…
Bagaimana aku menolaknya…”
“Gadis
bernama Kemala. Kau pernah melihat diriku. Apa kau masih mengenali…?”
“Aku
mengenali,” jawab si gadis yang ternyata Kemala adanya.
“Katakan
siapa diriku!” Pemuda bertelinga srigala dan bermata biru memerintah.
“Kau
Datuk Putra. Pendatang dari dunia gelap. Penguasa rimba belantara alam gaib
hitam…”
“Bagus!
Kau ternyata tidak lupa siapa diriku. Tapi apakah kau juga ingat perjanjian
yang kau buat dengan Eyang Srigala Karang?”
Kemala
terdiam.
“Jawab
pertanyaanku Kemala!”
“Sebetulnya
aku tidak punya perjanjian apa-apa dengan orang tua itu. Tapi dia memang
mengatakan sesuatu tentang dirimu. Bahwa kau kelak akan muncul kalau aku sudah
melakukan tiga kali pembunuhan…”
“Memang
betul begitu. Tapi apa kau juga ingat apa yang harus kau lakukan untukku?”
Kembali
Kemala tak bisa menjawab.
Pemuda
bermata biru yang disebut dengan nama Datuk Putra tersenyum. “Perjanjian yang
kau buat dengan Eyang Srigala Karang mengikat dirimu dengan diriku. Sekarang
ikuti aku…” katanya. Lalu membalikkan diri dan melangkah pergi.
Kemala
memperhatikan.
Gadis ini
terkejut ketika dia melihat bahwa Datuk Putra bukan melangkah di rimba
belantara atau di satu kawasan tepi Kotaraja yang penuh semak belukar. Tapi
pemuda bermata biru itu dilihatnya melangkah menaiki tangga panjang yang
berlapiskan permadani biru indah sekali. Di kiri kanan jalan berderet
bunga-bunga aneka warna yang menyebar bau harum semerbak. Datuk Putra melangkah
perlahan, menaiki anak tangga satu demi satu. Di depan sana kelihatan sebuah
bangunan besar berbentuk istana, terang benderang bermandikan cahaya putih
kebiruan, hijau dan merah lembayung.
Kemala
mengedipkan kedua matanya berulang kali. Bahkan kemudian mengusapnya. Apa yang
dilihatnya memang satu kenyataan. Dia tidak bermimpi. Dan entah apa yang
mendorongnya, gadis ini menggerakkan kedua kakinya. Selangkah demi selangkah
mengikuti Datuk Putra menaiki tangga menuju pirttu yang terbuka dari bangunan
berbentuk istana.
Di depan
pintu Datuk Putra tampak menghentikan langkahnya lalu memutar tubuh, berpaling
ke arah Kemala yang saat itu baru saja menjejakkan kedua kakinya di anak tangga
teratas.
“Kekasihku,
masuklah…” terdengar Datuk Putra berkata sambil membuat gerakan tangan yang
mempersilahkan Kemala masuk ke dalam istana.
Otak si
gadis walaupun sangat terpukau dengan suasana sekelilingnya tapi masih bisa
bekerja baik. “Kekasihku…? Dia memanggil aku kekasih…? Apa sebenarnya yang
hendak dilakukannya padaku?” Lalu kembali Kemala ingat akan ucapan Eyang
Srigala Karang beberapa bulan lalu. “Setiap setelah tiga kali melakukan
pembunuhan pada tiga malam purnama, seorang pemuda yang memiliki sepasang
telinga panjang ke atas seperti srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus
melayani pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan
dengannya… kau tak boleh menolak. Tak layak membantah. Itu syarat yang tidak
bisa dirobah!”
“Masuklah…”
Datuk Putra kembali mempersilahkan seraya membungkuk dengan sikap hormat
seorang pangeran mempersilahkan tuan puteri. Perlahan-lahan Kemala melangkah
memasuki pintu besar istana. Datuk Putra mengikutinya dari belakang. Ruangan
besar di balik pintu itu ternyata adalah sebuah kamar yang luar biasa indahnya.
Di lantai terhampar permadani tebal dan lembut. Di dinding tirai aneka warna
menghias. Di tengah ruangan terletak sebuah tempat tidur yang rangka-rangkanya
berwarna kuning berkilauan seolah terbuat dari emas. Bau ruangan itu
benar-benar luar biasa harumnya.
“Kau
harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk bermesraan
dengannya…” Kembali terngiang suara Eyang Srigala Karang di kedua telinga
Kemala. Bulu kuduk gadis ini jadi merinding. Dia membalikkan diri hendak menuju
ke pintu dan segera meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba saja dua daun
pintu besar itu bergerak dan menutup dengan cepat, menimbulkan suara keras.
“Kemala,
tak ada yang perlu ditakutkan. Menurut perjanjian seharusnya aku datang ke
kamar tidurmu. Tetapi sekarang kita malah berada di suatu tempat yang maha
indah. Mengapa harus takut? Jangan sia-siakan waktu. Kita punya kesempatan
bersenang-senang sampai sebelum matahari terbit.”
“Datuk
Putra, apa yang hendak kau lakukan?”
“Ah,
merdu sekali suaramu menyebut namaku.” kata pemuda bertelinga srigala dan
bermata biru itu. “Kita kemari dan berada di tempat ini untuk memenuhi
perjanjian. Nah mendekatlah padaku agar kita bisa bermesraan…”
“Aku
tidak sudi…” kata Kemala seraya melangkah mundur mendekati pintu.
Datuk
Putra tersenyum. Kedua tangannya bergerak menanggalkan kancing-kancing
pakaiannya. Dia menatap pada Kemala dengan pandangan mesra lalu berkata.
“Kekasihku, ikuti apa yang aku lakukan. Buka pakaianmu.”
“Tidak…!”
jawab Kemala. Di hadapannya dilihatnya Datuk Putra benar-benar membuka seluruh
pakaiannya. Sesaat kemudian selagi dia berada dalam keadaan takut dan jijik
menyaksikan pemandangan di depannya, tiba-tiba Datuk Putra melompat ke arahnya.
Dari tenggorokkannya terdengar suara menggembor seperti suara srigala. Sekali
terkam saja tubuh Kemala sudah berada dalam pelukannya.
“Tidak!
Lepaskan!” teriak si gadis. Kedua tangan Datuk Putra bergerak. Kemala menjerit.
Entah bagaimana kedua tangan pemuda itu tahu-tahu berhasil menanggalkan pakaian
atasnya hingga Kemala kini berada dalam keadaan polos di sebelah atas. Sepasang
tangan Datuk Putra kini bergerak ke bawah. Saat itu rasa takut Kemala berubah
menjadi amarah. Gadis ini gerakkan tubuhnya. Dua tangannya ikut bekerja.
Tubuh
Datuk Putra tiba-tiba mental ke atas. Selagi tubuh pemuda ini mengapung jatuh,
Kemala gerakkan tangan kanannya. Serangkum angin menderu dahsyat menghantam ke
arah dada Datuk Putra. Pemuda bermata biru ini membuat gerakan jungkir balik di
udara. Lalu tubuhnya melesat ke kiri. Sekali lagi tubuhnya berputar lalu di
lain kejap pemuda ini sudah tegak di sudut kamar yang luas itu. Dia berpaling
ke atas ketika terdengar suara bergemuruh. Pukulan tangan kosong yang
dilepaskan Kemala menghantam tembok ruangan sebelah atas kiri hingga hancur
berantakan dan kini kelihatan sebuah lobang di dinding itu.
“Kekasihku,
tidak kusangka kau mempunyai ilmu kepandaian begitu tinggi. Tentunya akan lebih
sedap bermesraan dengan orang secantik dan sepandaimu ini…”
Sambil
berkata begitu Datuk Putra melangkah mendekati Kemala. Wajahnya tampak begitu
mesra. Tapi begitu dia hanya satu langkah saja lagi dari hadapan si gadis
tibatiba dari mulutnya keluar suara lolongan dahsyat. Bersamaan dengan itu
luar biasa cepatnya tangan kanannya melesat menghantam ke batok kepala Kemala!
“Manusia
ingkar janji! Pecah kepalamu!” bentak Datuk Putra.
Suara
lolongan yang dahsyat membuat Kemala sesaat jadi tercekat. Untung gadis ini
cepat menguasai diri dan sadar bahaya maut yang mengancam. Dengan cepat tangan
kirinya dipukulkan melintang ke atas.
Bukkk!
Dua
lengan saling beradu sampai menimbulkan suara keras. Kemala merasakan lengan
kirinya seperti dipukul dengan besi. Sesaat tubuhnya tergontai-gontai.
Sebaliknya Datuk Putra tampak menyeringai. Tubuh atau lengannya tidak bergeming
sedikit pun. Namun tiba-tiba seringainya lenyap seperti direnggut setan. Lengan
kanannya yang tadi beradu keras dengan lengan kiri Kemala tiba-tiba terasa
panas seperti disengat bara api. Sengatan ini menjalar ke seluruh tubuhnya
dengan cepat, membuat getaran yang menyakitkan laksana disayat pisau berapi.
Datuk Putra cepat kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan menumpas rasa
sakit. Namun baru saja dia hampir berhasil menguasai diri tiba-tiba tinju kanan
Kemala menderu menghantam lambungnya.
Datuk
Putra menjerit keras. Tubuhnya terlontar ke belakang, menghantam dinding
ruangan dengan keras.
“Gadis
iblis!” desis Datuk Putra seraya bangkit berdiri. “Kau bukan saja mengingkari
janji, tapi berani berbuat kurang ajar. Melakukan kesalahan besar!” Datuk Putra
melolong keras. Kedua tangannya diangkat ke atas. Ternyata kedua tangan itu
telah berubah menjadi dua kaki depan srigala. Kuku-kukunya mencuat keluar
mengerikan.
“Kau akan
mati dengan tubuh tercabik-cabik. Seperti kau membunuh korban-korbanmu!” Sekali
lagi Datuk Putra melolong. Wajahnya yang tampan mendadak berubah menjadi
seperti seekor srigala. Mulutnya membuka lebar. Lidahnya terjulur dan
gigi-giginya tampak besar runcing, taringnya mencuat mengerikan.
“Makhluk
iblis! Kau kira aku takut padamu!” hardik Kemala. Begitu Datuk Putra yang
kepala dan kakinya telah berubah jadi srigala itu mengembor dan menerkamnya, si
gadis angkat kedua tangannya ke atas lalu serentak dido
rongkan
ke depan.
Wuttt!
Wuuuttt!
Dua larik
gelombang angin yang mengeluarkan sinar hitam keluar dari telapak tangan Kemala
kiri kanan. Tubuh Datuk Putra terangkat ke atas begitu dua larik cahaya hitam
itu menghantam tubuhnya. Dari mulutnya keluar suara raungan keras lalu tampak
ada cairan merah mengalir dari sela-sela lidah dan giginya! Makhluk manusia
berkepala srigala ini jatuh terkapar di lantai. Hanya sesaat karena di lain
kejap dia cepat berdiri. Kepala dan kedua tangannya kembali ke bentuk semula.
“Gadis
laknat! Aku tidak main-main lagi. Serahkan dirimu atau kau mati saat ini juga!”
berkata Datuk Putra. Daun telinganya yang seperti srigala bergerak-gerak.
“Aku mau
lihat apa kau benar-benar bisa membunuhku!” jawab Kemala lalu gadis ini tertawa
panjang. Mukanya yang cantik membersitkan sinar bengis.
“Kalau
begitu terimalah kematianmu saat ini juga!” kata Datuk Putra. Kedua matanya
yang biru memandang tak berkedip. Ditujukan tepat-tepat pada Kemala. Tiba-tiba
cahaya biru pada kedua bola matanya menjadi terang benderang. Di lain saat dua
larik sinar biru keluar menderu dari sepasang mata pemuda dari alam gaib itu.
Wusss!
Wusss!
Kemala
sempat terpekik. Lalu cepat menghindar.
Dua larik
sinar biru menderu dan menghantam Kemala. Masih setengah jalan gadis ini sudah
dapat merasakan hawa sangat panas yang keluar dari kedua sinar angker itu.
Didahului oleh satu bentakan garang tubuh Kemala terangkat ke atas lalu seperti
melayang tubuh ini berkelebat ke kiri. Dua larik sinar dahsyat menderu lewat di
samping kepala si gadis, terus menghantam dinding ruangan besar. Kain tirai
menjadi hangus dan api mulai berkobar di ruangan itu. Di belakang kain tirai,
dinding ruangan hancur berkeping-keping.
“Kepandaianmu
tinggi, ilmumu bagus!” memuji Kemala. “Sayang kau kurang cepat!” Lalu gadis ini
balas menghantam dengan tangan kanannya. Serangkum cahaya hitam yang
membersitkan bau menggidikkan menderu menghantam Datuk Putra. Pemuda ini
terbanting ke dinding. Tubuhnya sebelah kanan jelas tampak hangus, namun tak
ada bau daging terbakar pertanda dia memang bukan makhluk manusia adanya!
Tiba-tiba dia menggerang lalu berdiri sambil memandang beringas ke arah Kemala.
“Kau kira
aku sudah kalah? Kau kira kau bisa membunuh diriku? Ha… ha… ha… Nyawamu ada di
tanganku Kemala!” Selangkah demi selangkah Datuk Putra maju mendekati Kemala.
“Makhluk
iblis keparat!” maki Kemala dalam hati. Lalu dia berbisik. “Datuk, Datuk, Datuk
datanglah cepat. Kau kutugaskan untuk membunuh makhluk ini!”
Tiba-tiba
ada suara menggelegar di atas atap bangunan. Menyusul menerobosnya satu sosok
panjang berwarna coklat. Sesaat kemudian seekor srigala besar yang kuku-kuku
kaki depan dan mulutnya berselemotan darah mendekam di samping Kemala. Sepasang
matanya mengeluarkan sinar merah laksana bara api.
“Datuk,
bunuh makhluk di depanmu! Cabik-cabik tubuhnya!”
Srigala
yang dipanggil dengan nama Datuk itu menggereng keras. Punggungnya naik ke
atas. Kedua kakinya dijulurkan ke depan sedang kepalanya merunduk. Binatang ini
siap menerkam Datuk Putra.
Melihat
hal ini Datuk Putra cepat membentak.
“Datuk!
Kau berada di bawah kekuasaan Eyang Srigala Karang. Orang tua itu berada dalam
kekuasaanku! Kau haras tunduk padaku! Jangan dengar perintah gadis keparat
itu!”
Datuk
Srigala menggereng. Binatang dari alam gaib ini tampak seperti bimbang. Melihat
hal ini Kemala cepat berkata.
“Datuk!
Kau berada di bawah kekuasaanku! Tidak ada yang berhak memerintahmu selain aku!
Jalankan apa yang aku katakan! Bunuh Datuk Putra!”
Mendengar
ini Sang Datuk kembali keluarkan suara menggereng. Lalu melolong panjang.
Sesaat kemudian tubuhnya melompat ke arah Datuk Putra.
“Datuk!
Jangan! Pergi! Bunuh gadis itu!” teriak Datuk Putra. Tapi tak ada gunanya.
Datuk srigala tidak patuh padanya. Sesuai perintah Kemala binatang jejadian itu
mulai mencabik dan mengoyak Datuk Putra mulai dari kepala sampai ke kaki. Hanya
dalam waktu beberapa kejapan saja tubuh pemuda itu sudah hancur luluh dikoyak
dan dicabik Datuk srigala. Satu keanehan dilihat Kemala. Walau tubuh Datuk
Putra cabik dan koyak, namun tidak ada setetes darah pun keluar dari luka-luka
mengerikan di tubuhnya itu!
Dari
mulut Datuk Putra terdengar suara seperti air mendidih lalu bersamaan dengan
lenyapnya suara itu terlihat kepulan asap membungkus sosoknya. Setelah itu
tubuh yang dibungkus asap itu terangkat ke atas, melayang di udara dan lenyap
lewat dinding kamar yang jebol.
Bersamaan
dengan lenyapnya tubuh Datuk Putra terjadi lagi satu keanehan. Bangunan besar
berupa istana megah itu tiba-tiba saja lenyap. Kemala dapatkan dirinya berada
di satu daerah liar penuh semak belukar di kawasan timur Kotaraja.
“Eh, aku
berada di tempat sebelumnya aku tadi berada…” kata gadis itu dalam hati. Dia
menoleh ke samping ketika mendengar suara gerengan halus. Dilihatnya Datuk
Srigala mendekam di tanah di sampingnya. Kemala mengusap kepala binatang ini.
“Datuk, kini tak ada lagi yang menguasai kita. Kotaraja berada dalam genggaman
kita. Kerajaan berada dalam kekuasaan kita. Bahkan tanah Jawa ini! Kita bisa
berbuat sesuka apa yang kita maui. Aku bisa mendapatkan pemuda mana saja yang
aku sukai. Namun… Kau tahu Datuk, hanya ada satu pemuda yang mengikat lubuk
hatiku… Di manakah dia berada saat ini…?” Kemala terdiam sejurus.
Datuk
Srigala melunjurkan kepalanya di atas kedua kaki depannya lalu menggereng
halus. Kemala kembali mengusap kepala binatang ini. “Kau boleh pergi sekarang
Datuk. Ingat, besok malam bulan purnama hari empat belas kau akan kupanggil
lagi. Korban kita sekali ini bukan manusia sembarangan. Seorang pangeran yang
main gila dengan istri seorang perajurit!”
Datuk
Srigala kedip-kedipkan matanya. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu sekali
berkelebat binatang ini pun lenyap di kegelapan malam.
*****************
11
GEDUNG
kediaman Perwira Tinggi Gandar Seto diselimuti kegelapan dan kesunyian. Di
pintu gerbang memang ada tiga orang pengawal berjagajaga. Namun sikap mereka
santai-santai saja dan sesekali terdengar suara gelak tawa ketiganya. Dengan
mudah Wiro melompati tembok sam–ping yang tidak seberapa tinggi. Begitu
memasuki halaman dalam dia cepat menyelinap di antara pohon-pohon pisang, lalu
bergerak mendekati sebuah jendela. Dia tahu betul ini adalah jendela kamar
tidur Ratih Kiranasari. Sesaat Wiro hendak mengetuk jendela itu, tahu-tahu
entah dari mana datangnya, muncul saja dua orang pengawal yang rupanya sedang
melakukan perondaan.
“Pencuri
tengik! Berani kau hendak mencuri di rumah Perwira Tinggi Kerajaan?!” Salah
seorang dari dua pengawal membentak.
Kawannya
tanpa banyak menunggu langsung menghunjamkan ujung golok ke perut Wiro. “Jebol
lambungmu pencuri tak tahu diuntung!”
Murid
Eyang Sinto Gendeng keluarkan suara siulan dari mulutnya. Tangannya kiri kanan
bergerak. Saat itu juga dua pengawal merasakan tubuh mereka menjadi kaku.
Sekujur badan tak kuasa digerakkan lagi. Mulutpun seperti terkunci tak mampu
mengeluarkan suara lagi. Keduanya telah kena ditotok oleh sang pendekar. Wiro
memandang kedua orang pengawal itu dengan tersenyum sambil meletakkan telunjuk
tangan kirinya di atas bibir.
“Kalian
berdua tenang-tenang saja di sini. Aku tak begitu suka diganggu.” kata Wiro
pula lalu kembali mendekati jendela. Sekali lagi dia hendak mengetuk, namun
sekali lagi pula gerakannya tertahan. Dari samping terdengar suara seseorang
menegur.
“Kalau
Den Ayu Ratih Kiranasari yang kau cari, dia tidak ada dalam kamar itu…”
Wiro
berpaling. Yang menegur ternyata Tejo. Kusir tua itu berdiri di hadapannya.
Wiro ingat akan perbuatan kusir tua ini beberapa waktu yang lalu hingga dia
terjebak dan hampir tertangkap oleh Perwira Tinggi Gandar Seto kalau tidak
ditolong oleh Kemala si gadis misterius. Mengingat hal itu ingin sekali Wiro
menampar orang tua ini.
“Sekali
ini apakah kau bicara sungguhan Pak Tua? Kau menjebakku beberapa waktu lalu.
Ingat?”
“Saya
bekerja mencari makan di sini, anak muda. Saya terpaksa melakukan hal itu
karena diperintahkan oleh majikan saya Perwira Tinggi Gandar Seto…”
“Apakah
dia juga yang memerintahkan untuk mengatakan bahwa anak gadisnya tidak ada di
kamarnya malammalam buta begini?” tanya Wiro.
“Sekali
ini saya tidak bicara dusta, anak muda. Di rumah hanya ada istri majikan saya
saja seorang diri. Para pembantu sudah tidur di kamar masing-masing.”
“Hem…
sedang ke mana majikanmu Pak Tua?”
“Saya
tidak tahu ke mana. Tapi tadi begitu malam tiba saya lihat Perwira Tinggi
Gandar Seto dijemput oleh beberapa orang. Dua di antara mereka adalah nenek
berbibir sumbing dan kakek berkepala botak merah. Lalu ada seorang kakek tinggi
kurus yang selalu mempermainkan sebuah bola besi yang ada rantainya dan bergerigi…”
“Yang
bermulut sumbing itu pastilah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut dan kakek
botak niscaya si Bayangan Api.”
“Saya
tidak tahu jelas gelaran kedua orang itu. Namun saya rasa memang mereka.”
“Ke mana
orang-orang itu pergi?” tanya Wiro.
“Saya
tidak tahu pasti. Tapi saya mendengar mereka menyebut-nyebut nama seorang
pangeran…”
“Pangeran?
Pangeran mana? Pangeran siapa?”
“Kalau
saya tidak salah dengar mereka menyebut nama Pangeran Rono Kuworo. Mereka
kemudian meninggalkan gedung ini, mengambil jalan ke arah barat.”
“Lalu
apakah Den Ayu Ratih Kiranasari juga ikut bersama rombongan orang-orang itu?”
Kusir tua
Tejo menggeleng. “Inilah yang saya tidak mengerti. Saya hanya melihat secara
kebetulan. Ketika hendak keluar minta rokok pada pengawal, saya lihat Den Ayu
Ratih melompat keluar dari jendela. Sebetulnya saya hendak menegur apa yang
tengah dilakukannya. Tapi dia keburu berlalu. Jangan-jangan dia menyelinap
keluar untuk mencarimu, anak muda…”
Wiro jadi
garuk-garuk kepala. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana harus mencari
gadis itu?” pikir murid Sinto Gendeng dalam hati. Akhirnya ditinggalkannya
tempat itu dan berlari menuju ke barat.
********************
Rumah
kayu di tengah ladang itu diselimuti kegelapan. Cahaya bulan purnama empat
belas hari yang cukup terang tidak mampu menerobos pohon beringin berdaun lebat
yang tumbuh di sebelah rumah.
Di tempat
gelap, di balik serumpunan semak belukar empat orang mendekam tanpa bergerak
tanpa bersuara. Setelah berada di tempat itu cukup lama, salah seorang dari
mereka mulai resah dan bosan berdiam diri terusterusan. Dia berbisik, “Mungkin
sekali orang yang kita tunggu tidak datang malam ini…”
Orang di
sebelahnya balas berbisik. “Aku yakin dia akan datang. Mungkin sebentar lagi.
Soalnya seorang prajuritnya mendengar jelas pesan yang disampaikan lewat
seorang temannya.”
“Kita
tunggu saja. Jika pembunuh keji itu memang masih gentayangan di sekitar sini,
pasti dia akan muncul melakukan niat terkutuknya…”
“Berhenti
berbicara. Aku mendengar suara kaki kuda mendatangi!”
Orang-orang
yang tadi bicara segera menutup mulut. Memang betul. Saat itu terdengar suara
derap kaki kuda mendatangi dari kejauhan. Tak lama kemudian di balik sebatang
pohon cempedak hutan kelihatan muncul sesosok tubuh berpakaian hitam bersama
kuda tunggangannya. Di bawah pohon orang ini berhenti sebentar. Kelihatannya
dia seperti tengah memperhatikan suasana. Ketika dirasakannya semua serba aman,
maka dia turun dari kuda lalu menuntun binatang itu ke arah rumah kayu. Di satu
tempat dia menambatkan kudanya pada sebatang pohon kecil lalu melangkah ke
bagian belakang rumah. Perlahan-lahan dia mengetuk pintu belakang.
“Pangeran…?”
Dari
dalam rumah terdengar suara perempuan perlahan sekali.
“Betul.
Lekas bukakan pintu…”
“Tunggu,
saya akan nyalakan lampu minyak dulu.”
“Jangan
bodoh. Jangan nyalakan lampu. Buka saja pintunya,” kata lelaki di pintu
belakang.
Pintupun
kemudian terbuka. Lelaki tadi menyelinap lenyap ke dalam rumah.
“Gelap
sekali Pangeran, bukankah lebih baik menyalakan lampu minyak?” Parempuan di
dalam rumah membuka mulut.
“Sebenarnya
aku tidak suka ada penerangan di dalam sini. Tapi baiklah. Aku sudah lama tidak
melihat kecantikan parasmu dan keindahan tubuhmu…”
Lalu
sebuah lampu minyak dinyalakan. Sinarnya kecil dan redup sekali. Tetapi orang
yang dipanggil dengan sebutan pangeran sudah dapat melihat jelas perempuan di
hadapannya. Langsung saja dia memeluk dan menciumi perempuan itu.
“Aku
hampir gila tidak melihatmu sekian lama. Banyak sekali pekerjaanku di
Kotaraja…”
“Bagaimana
dengan suami saya, Pangeran?”
“Kau tak
usah khawatir. Sesuai permintaanmu, usulanku menaikkan pangkatnya jadi prajurit
kepala telah dikabulkan Pimpinan Pasukan di Kotaraja…”
“Saya
mengucapkan terima kasih Pangeran. Saya sudah menyiapkan ranjang untuk kita
berdua…”
“Bagus.
Kau seharusnya pantas menjadi selir seorang pangeran sepertiku. Bukan istri
seorang prajurit…”
“Tapi
bukankah saya sudah bersedia untuk menjadi milik Pangeran selama-lamanya?”
Perempuan itu membawa masuk lampu minyak ke dalam kamar. Lelaki tadi
mengikutinya. Begitu masuk ke dalam kamar lelaki ini terus saja merebahkan diri
di atas ranjang. Setelah menyantelkan lampu minyak di dinding kamar perempuan
itu berdiri di tepi ranjang, Satu demi satu dia menanggalkan pakaiannya.
Terakhir sekali dia membuka gelungan sanggulnya hingga rambutnya yang panjang
hitam tergerai lepas di depan dadanya. Melihat kepada raut wajah dan bentuk
tubuh perempuan ini paling tinggi usianya sekitar duapuluh tahun dan belum
pernah melahirkan. Sedang orang yang dipanggil dengan sebutan pangeran berusia
hampir enampuluh. Rambut dan janggut serta kumisnya telah putih.
“Mulailah
Arini…” bisik pangeran itu seraya mengusap tubuh perempuan yang tegak di
samping tempat tidur.
Dari
mulut perempuan bernama Arini tiba-tiba terdengar suara nyanyian. Nyanyian itu
terdengar merdu walaupun perlahan. Sambil menyanyi dia menggerakkan tangan,
kaki dan pinggul dan sesekali dadanya seperti seorang penari. Kedua mata sang
Pangeran terbuka lebar. Dia sudah berulang kali menyaksikan hal ini. Tapi dia
tak pernah bosan dan inilah yang membuatnya selalu tergilagila pada perempuan
muda istri seorang prajurit yang malam itu tengah menjalankan tugas di
Kotaraja. Sambil mendengar suara nyanyian halus dan tarian yang membakar
darahnya itu, sang Pangeran mulai menanggalkan pakaiannya.
Di luar
rumah, di balik semak belukar. Terdengar suara rutuk perlahan. “Memang gila!
Tidak kusangka Pangeran Rono Kuworo begini mesum pekertinya. Isterinya sudah
tiga. Gundiknya tidak terbilang. Masih saja dia menyempatkan diri menggauli
isteri orang lain…”
“Pangeran
itu mungkin tidak salah…” jawab kawan di sebelahnya.
“Tidak
salah bagaimana maksudmu? Jelas dia melakukan perbuatan kotor! Kau kira apa
yang dikerjakannya malam-malam begini mendatangi perempuan itu?!”
“Saya
bilang Pangeran itu tidak salah. Yang salah adalah istri prajurit itu. Mengapa
dia terlalu cantik dan menggiurkan begitu rupa…”
“Sudahlah,
kenapa bertengkar! Kalian kira kita ini berada di tempat apa?” Seorang di
antara mereka menengahi.
“Semua
diam. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Kuharap semua sesuai dengan
rencana…”
Baru saja
orang yang satu ini berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
lolongan srigala, panjang menggidikkan. Empat orang di balik semak belukar
sempat tercekat. Salah seorang dari mereka berbisik. “Makhluk pembunuh itu
tidak berapa jauh dari sini. Kita tunggu saja dan bersiaplah.”
Di atas
sebatang pohon tak jauh dari rumah kayu di mana Pangeran Rono Kuworo dan Arini
tengah bergelunggelung di atas tempat tidur, tanpa setahu empat orang yang
sembunyi di balik semak belukar, dalam kegelapan mendekam seorang berpakaian
serba putih. Seperti empat orang yang ada di balik semak itu, diapun telah
sempat menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Lalu dia mengambil sikap
menunggu dan tersentak ketika telinganya mendengar suara lolongan srigala di
kejauhan.
Di atas
sebatang pohon lain, diam-diam mendekam pula sesosok tubuh gemuk luar biasa
sambil mengipasi wajahnya yang selalu berkeringatan dengan sehelai kipas lipat
dari kertas. Mulutnya tidak berhenti komat kamit menggeragot sebuah mangga
hutan. Begitu mangga habis dimakannya kini tinggal bijinya. Sambil cengar
cengir seorang diri di atas pohon, si gendut yang mengenakan baju serta celana
terbalik ini dan memakai sebuah peci hitam kupluk kebesaran di kepalanya memandang
berkeliling. Dia menimbang-nimbang apakah akan melemparkan biji mangga itu pada
salah seorang yang bersembunyi di balik semak belukar di bawah sana atau pada
pemuda berpakaian putih gondrong yang mendekam di atas pohon dekat rumah kayu.
Si gendut ini akhirnya memilih orang yang di atas pohon. Tangannya yang
memegang biji mangga bergerak melempar. Gerak lemparannya seperti acuh tak acuh
saja. Tapi begitu melesat biji mangga itu laksana terbang menderu ke arah
sasaran. Orang di atas pohon terkejut dan mengeluh kesakitan ketika biji mangga
menghantam keningnya. Dia hendak menyumpah panjang pendek tapi cepat menutup
mulutnya. Padahal empat orang itu di bawah sana sudah sempat mendengar
keluhannya tadi.
“Bangsat
sialan! Siapa yang menyambit keningku!”
Di bawah
sana, di balik semak belukar empat orang yang bersembunyi saling pandang. “Aku
mendengar suara seperti orang mengeluh kesakitan…”
“Betul,”
menyahuti kawan di sebelahnya. “Datangnya dari atas sana…” Dia lalu menunjuk ke
atas pohon besar di belakangnya.
“Diam
semua! Tidak kalian dengar suara lolongan makhluk hantu dan derap kaki kuda
yang semakin mendekat?!” ujar lelaki ke tiga yang memegang bola besi.
Dalam
kegelapan malam tiba-tiba terasa ada angin menderu. Sesaat kemudian dekat rumah
kayu kelihatan dua sosok makhluk. Sinar bulan purnama tidak menyentuh sosok
tubuh itu. Namun empat orang yang ada di balik semak belukar dan dua orang yang
mendekam di atas pohon dapat melihat dengan jelas siapa adanya makhlukmakhluk
itu.
“Lihat!”
bisik salah seorang dari empat orang di balik semak-semak. Suaranya bergetar.
“Astaga…”
Menyahuti yang lain. “Aku belum buta. Aku mengenali sekali. Perempuan muda itu
adalah orang yang tempo hari menolong Pendekar 212 ketika hendak kutabas batang
lehernya! Jadi dia rupanya biang bahalanya…”
“Dia
membawa seekor srigala besar bermata seperti bara api. Mengerikan. Pasti
binatang itu yang jadi suruhannya dalam melakukan pembunuhan!”
Di atas
pohon orang berpakaian putih seperti tak percaya akan pemandangannya.
“Kemala…
Ah! Kalau tidak melihat sendiri tidak percaya aku! Dia datang bersama binatang
itu. Dia pemilik srigala penyebar maut itu…?”
Di bawah
sana gadis yang tegak di samping srigala besar dengan mulut dan kaki depan
penuh lumuran darah sesaat memandang berkeliling. Tidak seperti biasanya kali
ini dia tiba-tiba saja merasa tidak enak.
“Seperti
ada makhluk-makhluk lain di sekitar sini…” Katanya dalam hati. Dia memandang
lagi ke sekitarnya. Tak kelihatan apa atau siapapun. Lalu tangan kanannya
mengusap kepala srigala itu.
“Datuk, jalankan
tugasmu. Bunuh kedua manusia mesum di dalam rumah itu!”
Srigala
besar itu menggereng. Kepalanya mendongak ke atas. Mulutnya terbuka dan
lidahnya menjulur. Sepasang matanya membersitkan sinar merahnya bara api yang
angker sekali. Tiba-tiba binatang ini menggereng sekali lagi. Lebih keras. Lalu
tubuhnya melesat ke depan. Dinding rumah yang terbuat dari kayu laksana sehelai
kertas tipis saja. Hancur berantakan kena seruduknya. Sesaat kemudian di dalam
rumah terdengar pekik jerit Pangeran Rono Kuworo dan Arini mengerikan sekali.
Lalu sunyi!
Dari
dinding rumah yang jebol kelihatan keluar srigala tadi. Moncong dan kedua kaki
depannya kelihatan berlumur darah mengerikan. Binatang ini berhenti di samping
si gadis.
“Bagus
Datuk. Kau menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang mari kita tinggalkan
tempat ini!” kata si gadis pula.
Pada saat
itulah empat orang yang bersembunyi di balik semak belukar, kalau tadi mereka
seolah terpukau oleh apa yang terjadi, kini mereka seperti disentakkan dan
sama-sama melompat keluar!
“Makhluk-makhluk
iblis! Kali ini kalian tidak bisa lolos lagi!” Satu dari empat orang itu
membentak.
Srigala
besar menggereng. Si gadis terkejut dan cepat memandang berkeliling. Empat
orang telah mengurungnya. Tiga di antara mereka segera dikenalinya. Yang
seorang yaitu kakek kurus tinggi yang memegang bola besi berantai tidak
diketahuinya siapa adanya.
“Tiga
cecunguk tidak tahu diri! Pelajaranku tempo hari rupanya tidak membuat kalian
kapok! Kalian berani muncul lagi, malah membawa seorang kawan!”
Iblis
Sumbing Pembawa Pendupa Maut menggembor lalu berkata. “Perempuan durjana! Kau
dan binatang peliharaanmu hanya bisa hidup sampai malam ini! Dosa kalian sudah
lewat dari takaran! Cuma kematian satusatunya penebus dosa-dosamu!”
Si gadis
yaitu Kemala tertawa perlahan. “Nenek sumbing, bicarapun kau belum pandai, mau
menghabisi kami pula. Tua bangka tidak tahu diri! Nanti kujejali lagi mulutmu
dengan asap pendupaan yang kau bawa itu!”
Lelaki
yang tangannya diikat kain mendengus. Dia bukan lain adalah Perwira Tinggi
Gandar Seto. “Iblis perempuan! Ajalmu tak lama lagi! Sebelum mampus lekas
katakan mengapa kau membunuhi orang-orang itu?”
“Ah, kau
tentunya Perwira Tinggi Gandar Seto!” jawab Kemala. “Dengar Perwira. Aku
memberi keampunan bagi jiwamu. Lekas tinggalkan tempat ini! Tiga kawanmu tak
perlu kau perdulikan. Mereka memang layak mampus di tempat ini! Malam ini
juga!”
Dua orang
di samping Gandar Seto tentu saja merasa tersinggung. Kakek-kakek yang memegang
bola besi dan dikenal dengan julukan si Pelumat Jagat berbisik pada kakek botak
di sebelahnya. “Bayangan Api, kucing betina itu sepertinya tidak memandang
sebelah mata pada kita. Untung wajahnya cantik. Kalau dia bisa melayaniku
barang semalaman mungkin bisa kukurangi hukuman bagi dirinya…”
Celakanya
apa yang dikatakan kakek tinggi kurus itu terdengar oleh Kemala. Maka gadis ini
pun melotot.
“Tua
bangka cabul! Kau sama saja dengan lelaki-lelaki lain! Sudah bau tanah masih
saja hendak mengumbar nafsu! Kau layak mati pertama sekali!”
“Bagus,
aku mau tahu bagaimana rasanya mati di tangan gadis secantikmu. Tapi eh…! Apa
betul kau masih gadis, masih perawan? He… he… he!
“Keparat!
Terima kematianmu!” teriak Kemala. Gadis ini melompat ke depan. Tangan kanannya
menderu ke arah kepala si kakek kurus. Yang diserang tak tinggal diam. Bola
besi bergerigi dan berantai di tangan kanannya menyapu ke depan.
Wuuuttt!
Bola besi
itu lenyap dan kini hanya kelihatan sinar hitam disertai angin dingin
menggidikkan. Si gadis terkejut ketika merasa ada sesuatu menyambar ke atas
lehernya. Dengan cepat dia tinjukan tangan kirinya.
Buukkk!
Byuuurrr!
Kemala
tersurut satu langkah. Tangan kirinya merah dan lecet. Gadis ini tampak menahan
rasa kagetnya. Tapi yang lebih terkejut adalah kakek bergelar si Pelumat Jagat.
Dia melompat mundur sampai tiga langkah. Parasnya berubah putih. Di tangan
kanannya kini dia hanya memegang rantai. Bola besinya ternyata hancur lebur
dihantam pukulan tangan kiri Kemala!
“Celaka!
Jangan-jangan gadis ini bukan manusia biasa. Tapi makhluk jejadian yang
memiliki ilmu hitam! Kalau tidak segera dihabisi bisa berabe!” Lalu dia berpaling
pada tiga kawannya. “Para sahabat! Tak perlu sungkan! Lekas keroyok gadis dajal
ini!”
Mendengar
seruan si Pelumat Jagat, Gandar Seto segera hunus golok besar dengan tangan
kiri sedang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa sudah lebih dulu melompat sambil
meniupkan asap pendupaannya. Kali ini dia tidak mengandalkan asap pendupaan
yang mengandung hawa aneh tapi tidak mempan terhadap si gadis, melainkan dia
meniup untuk melesatkan jarum-jarum beracun yang ada di atas bara api! Begitu
dia meniup selusin jarum merah membara menderu ke arah Kemala. Si Bayangan Api
tidak tinggal diam, dia melompat ke dalam kalangan pertempuran setelah terlebih
dulu melepaskan lima senjata rahasia berupa anak panah berwarna merah!
Kemala
tampaknya tenang-tenang saja melihat empat serangan pengeroyok itu. Sebaliknya
orang berpakaian putih di atas pohon tidak dapat lagi menahan diri melihat
bahaya yang mengancam si gadis. Sambil lepaskan satu pukulan sakti dia melompat
turun dari atas pohon!
“Pukulan
Sinar matahari!” teriak si Bayangan Api ketika dia melihat ada suara
menggemuruh disertai berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan.
Empat
pengeroyok cepat melompat mundur.
Bummm!
Sinar
pukulan yang menebar hawa sangat panas itu menghantam tanah hingga terbongkar.
Bumi laksana dilanda lindu. Semua yang menyerang tersentak mundur dan semua
senjata yang dipakai untuk menyerbu mental ke udara bersama batu dan pasir
serta tanah yang beterbangan. Di tanah kini kelihatan sebuah lobang besar!
“Ha… ha!
Seorang sahabat telah membuat liang kubur bagi kalian! Siapa yang mau masuk
lebih dahulu?!” berseru Kemala. Memandang ke samping dilihatnya Pendekar 212
Wiro Sableng tegak dengan kaki terpentang, menatap ke arah empat orang yang
mengurung.
“Dicari-cari
tidak bertemu. Sekarang malah datang sendiri! Dua tangkapan sekaligus! Besar
nian rejeki kita?” kata Gandar Seto begitu melihat Pendekar 212 berada di
tempat itu.
“Sudah
kuduga, pemuda keparat ini punya hubungan tertentu dengan gadis iblis ini!
Ternyata betul! Sayang seorang pendekar sakti mandraguna yang disegani dalam
dunia persilatan ternyata berkomplot dengan gadis pembunuh!” membuka mulut Si
Bayangan Api.
“Kalian
orang tua-tua terserah mau bilang apa. Tapi aku tidak sudi melihat empat orang
tokoh silat mengeroyok seorang gadis!”
“Yang
kami keroyok bukan gadis biasa. Tapi gadis iblis!” jawab Gandar Seto. “Kau mau
menolongnya? Berarti bersiaplah untuk mampus!”
“Kalian
tidak mampu melawannya. Ilmunya jauh berada di atas kalian. Jangan jadi
orang-orang tolol. Pergi dari tempat ini. Jangan ganggu sahabatku ini!”
“Ternyata
kau pun memang sudah benar-benar sesat seperti iblis betina itu! Kawan-kawan
mari kita berjibaku menyingkirkan sepasang iblis ini!” teriak si Bayangan Api.
Keempat
orang itu siap hendak menyerbu kembali. Wiro segera keluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212.
“Wiro,
tunggu!” tiba-tiba Kemala berseru.
“Kemala,
tinggalkan tempat ini cepat. Biar aku yang melayani empat tua bangka ini!” ujar
Pendekar 212.
“Mengapa
kau atau aku harus mencapaikan diri menghadapi orang-orang ini? Biar Datuk yang
membereskan mereka?” kata Kemala pula seraya melangkah mendekati srigala besar.
Tangan kanannya mengusap kepala binatang itu yang segera menggereng dan
dongakkan kepalanya.
“Kemala,
aku ingin kau tidak melakukan pembunuhan lagi. Aku akan coba menyadarkan
keempat orang itu. Aku minta agar kau segera meninggalkan tempat ini!”
Si gadis
hendak membantah tapi melihat air muka Pendekar 212 dia menjadi bimbang.
Akhirnya dia berkata perlahan. “Datuk, mari kita pergi..”
Srigala
yang tadi tampak buas kini kelihatan ikut jinak. Dia membalikkan diri mengikuti
langkah tuannya. Tapi baru satu langkah bergerak tiba-tiba dari atas pohon
melayang turun sebuah benda bulat berputar-putar, lalu bluk! Se-orang pemuda
berbadan gendut buntak, bermuka bulat yang selalu keringatan tahu-tahu tegak
menghadang di depan Kemala dan Datuk Srigala. Di tangan kanan pemuda gendut itu
ada sebuah kipas lipat dari kertas yang dikipaskipaskannya kian kemari.
Kepalanya disungkup dengan sebuah peci hitam kupluk.
“Gadis
dan srigala, kalian tidak boleh pergi dulu sebelum kalian kubebaskan dari
sekapan iblis pembawa ilmu hitam!”
“Gendut
keparat! Siapa kau yang berani menghadang jalanku?!” bentak Kemala sementara
srigala di sampingnya mulai kelihatan beringas.
“Aku
seorang sahabat. Pemuda yang kau sukai itu juga sahabatku! Kepercayaan pada
sahabat adalah di atas segala-galanya!”
“Gendut!
Aku tak kenal dirimu, apa lagi menjadi sahabatmu!” bentak Kemala.
Si gendut
tertawa. “Persahabatan itu tidak selalu harus saling kenal…”
Kemunculan
pemuda gendut berpeci kupluk dan mengenakan pakaian terbalik ini membuat Wiro
terkejut. Beberapa waktu yang lalu dia muncul secara tiba-tiba seperti saat ini
untuk menyelamatkan seorang gadis. Kini dia muncul kembali dan berkata hendak
membebaskan Kemala dan srigala itu dari sekapan iblis! “Si gendut ini ngaco
atau bagaimana…?” kata Wiro pula. Selagi dia berpikir-pikir seperti itu dari
samping tiba-tiba sekali si Bayangan Api dan si Pelumat Jagat telah bergerak
menyerangnya. Dari jurusan lain Gandar Seto dan Iblis Sumbing juga ikut
bergerak menghantam ke arah Kemala.
Si gendut
tampak jengkel sekali. Setelah memaki panjang pendek dia melompat mundur.
“Manusia-manusia tolol! Kalian semua mencari kematian secara sia-sia!”
*****************
12
SI
BAYANGAN Api walau memiliki kepandaian silat tinggi namun dia tidak membawa
senjata. Memang dia membekal senjata rahasia berupa panah-panah merah tapi
dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa senjata rahasia itu tidak mungkin
dipergunakan. Hal yang sama juga terjadi dengan si Pelumat Jagat. Bola besi
yang merupakan senjata andalannya telah dihancurkan oleh Kemala. Sebenarnya
kedua tokoh silat ini menghadapi Pendekar 212 dengan setengah hati. Apalagi
saat itu murid Eyang Sinto Gendeng sudah langsung keluarkan senjata mustikanya
yaitu Kapak Maut Naga Geni 212. Setiap senjata ini dibabatkan atau dibacokkan
terdengar suara bergemuruh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar panas putih
menyilaukan yang keluar dari kedua mata kapak membuat dua lawannya menjadi
semakin ciut nyali masing-masing. Karena tak berani mendekat kedua kakek ini
berusaha menggempur dengan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh mengandung
tenaga dalam tinggi. Si Pelumat Jagat sesekali bertindak curang, coba menyerang
dari belakang. Namun semua serangan lawan dibuat mental oleh sambaran-sambaran
Kapak Maut Naga Geni 212.
Setelah
menggempur habis-habisan sampai limabelas jurus gerakan si Bayangan Api tidak
lagi secepat kilat dan tubuhnya tidak lagi laksana bayangan merah. Begitu juga
si Pelumat Jagat gerakan-gerakannya menjadi lamban. Kedua kakek ini mulai main
mata, saling memberi isyarat bahwa lebih baik mereka kabur saja dari tempat
itu. Begitu ada kesempatan keduanya menyerang gencar secara kilat lalu satu
menghambur ke kiri, satunya lagi ke arah kanan.
Murid
Eyang Sinto Gendeng cepat hendak hantamkan pukulan Sinar Matahari ke arah si
Pelumat Jagat dan lepaskan jarum-jarum rahasia dari mulut kapak ke arah si
Bayangan Api namun setelah berpikir maksudnya itu segera dibatalkan. Sebenarnya
buat apa mengejar orang-orang itu dan mencelakai mereka. Keduanya pasti
hanyalah menjalankan tugas untuk menumpas kejahatan Kemala. Dan dia sudah
menyaksikan sendiri tadi bagaimana si gadis memerintahkan srigala peliharaannya
membunuh Pangeran Rono Kuworo serta istri prajurit yang serong itu. Meski dia
belum menyaksikan mayat kedua orang itu, namun seperti kejadian yang
sudah-sudah dua orang di dalam rumah pasti menemui ajal dengan tubuh
tercabik-cabik.
Wiro
putar tubuh memperhatikan perkelahian yang terjadi antara Kemala yang dikeroyok
oleh Iblis Sumbing dan Perwira Tinggi Gandar Seto. Baik Gandar Seto maupun
Iblis Sumbing sangat bernafsu untuk dapat menghabisi lawannya saat itu juga. Si
nenek berulang kali tiupkan asap kelabu dari pendupaan yang ada di tangan
kirinya. Tujuannya bukan untuk membuat lawan menjadi lemas oleh hawa yang
keluar dari dalam asap. Dari perkelahian pertama sebelumnya dia sudah tahu
Kemala memiliki ilmu kebal yang tak sanggup ditembus oleh asap pendupaannya.
Karenanya asap itu ditiup untuk menghalangi pemandangan lawan sehingga dia bisa
bergerak leluasa dalam melancarkan serangan-serangan. Tetapi Kemala bukan lawan
yang mudah dikecoh. Setelah mengambil sikap bertahan selama sepuluh jurus
tiba-tiba gadis ini berseru.
“Datuk!
Lekas kau hajar nenek bermulut sumbing itu. Jangan diberi ampun! Aku akan
melayani Perwira Kerajaan ini!”
Mendengar
ucapan tuannya itu srigala besar menggereng keras. Kedua matanya memancarkan
sinar membara. Didahului oleh suara meraung yang menggidikkan binatang ini
kemudian melompat ke arah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Si nenek yang
menganggap remeh serangan binatang ini pergunakan kaki kirinya untuk
menendang.
Bukkk!
Tendangan
kaki kanan Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut memang tepat mengenai bagian dada
srigala bermata api. Binatang ini mencelat sampai dua tombak. Tapi apa yang
dialami si nenek sendiri membuat pemuda gendut berkopiah kupluk dan juga
Pendekar 212 jadi merinding. Si nenek terdengar menjerit setinggi langit. Kaki
kanannya sebatas paha sampai ke betis ternyata telah koyak lebar dan dalam.
Meskipun gelap tapi tulang tungkainya masih bisa terlihat jelas. Pendupaan di
tangan kirinya jatuh. Belum sempat benda ini menyentuh tanah tiba-tiba srigala
itu kembali menyerbunya dengan ganas. Raungan si nenek tertindih oleh suara
raungan binatang itu. Leher Iblis Sumbing tampak robek. Urat-uratnya mencuat
putus dan darah menyembur. Dadanya terkuak menyebulkan tulang-tulang iganya. Lalu
di sebelah bawah perutnya robek membusai semua isi yang ada di dalamnya!
Pemuda
gendut mengeluarkan suara mau muntah menyaksikan kejadian itu. Murid Eyang
Sinto Gendeng mengerenyit sambil menutup mulut dengan tangan kiri sementara
tengkuknya merinding dingin. Dia sempat tertunduk ngeri. Ketika dia mengangkat
kepalanya kembali, sekujur tubuh si nenek sudah tak bisa dikenali lagi!
“Gusti
Allah!” seruan itu keluar dari mulut Perwira Tinggi Gandar Seto begitu dia
sempat melihat apa yang terjadi atas diri Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut.
Sekujur tubuhnya bergetar hebat dan tiba-tiba saja dia seperti tidak punya
tulang belulang lagi, lemas dan ketakutan setengah mati.
“Perwira,
aku memberi kesempatan padamu. Jika kau tidak segera minggat dari sini aku akan
suruh binatang itu mengoyak tubuhmu!” kata Kemala pula dengan pandangan mata tak
berkedip.
“Jangan!
Jangan!” Hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan oleh Gandar Seto. Lalu dia
memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat itu secepat yang bisa dilakukannya.
Kemala
menarik nafas dalam. Dia memandang berkeliling. Pandangannya bertemu dengan
pandangan Pendekar 212 yang saat itu melangkah mendekatinya dengan wajah seolah
tak percaya.
“Kemala…”
desis Wiro begitu dia sampai di hadapan si gadis.
“Wiro,
kini kau tahu siapa diriku. Kau pasti amat menyesal. Kau hendak melakukan
sesuatu terhadapku?” meluncur kata-kata itu dari mulut Kemala.
Wiro
menggeleng lalu menggaruk kepala. “Aku… aku tak tahu harus bicara apa. Harus
melakukan apa. Terus terang memang aku tidak menyangka…”
Si gadis
tampak tersenyum. “Apakah kau sudah menemui Ratih Kiranasari, gadis yang
mencintaimu itu?”
“Eh!
Tunggu dulu!” Tiba-tiba pemuda gendut yang sejak tadi asyik menyaksikan
jalannya perkelahian berseru. “Aku mau bicara!”
“Gendut
tak tahu diri! Jangan campuri urusan kami!” sentak Kemala.
“Sobatku,
lebih baik kau dengarkan kata-katanya,” ujar Wiro pula pada si gendut berkopiah
kupluk
“Busyet!
Kau yang harus mendengarkan aku Wiro?! Jangan sampai terjebak! Kau tak tahu
siapa adanya gadis ini!” menjawab si gendut.
“Eh! Apa
maksudmu?” tanya Wiro pada si gendut lalu berpaling pada Kemala dan kembali
menoleh pada pemuda gemuk di hadapannya itu.
Kemala
sendiri saat itu mendadak berubah wajahnya. Dia memandang ke arah bulan purnama
empat belas hari di langit. Mulutnya terbuka. “Datuk, lekas kau bunuh pemuda
gendut itu!”
Srigala
bermata api meraung keras. Tubuhnya merunduk. Si gendut melompat mundur seraya
berseru pada Wiro. “Sobat! Lekas kau berikan padaku batu hitam pasangan Kapak
Naga Geni 212! Cepat!”
Srigala
besar itu semakin merunduk. Kedua kaki depannya tenggelam ke dalam tanah tanda
dia hendak membuat satu terkaman yang hebat luar biasa.
“Wiro
lekas! Berikan padaku batu hitam keramat pasangan Kapak Naga Geni 212!” teriak
si gendut sekali lagi.
Dalam
heran dan bingungnya tentu saja Wiro tidak memenuhi permintaan si gendut itu.
Tiba-tiba srigala besar melesat ke depan. Si gemuk menjerit kalang kabut lalu
lari lintang pukang selamatkan diri ke balik pohon beringin besar. Walaupun
gerakannya terlihat lamban dan benarbenar seperti orang ketakutan tetapi
anehnya si gendut ini ternyata berhasil lolos dari terkaman srigala.
Melihat
serangannya gagal binatang ini menggereng marah. Dia membalik dan kembali
menyerang. Kali ini si gendut melompat ke atas. Kedua tangannya menangkap akar
gantung besar pohon beringin. Tubuhnya yang gendut digoyangnya. Hebat sekali,
tubuh yang beratnya hampir 150 kati itu berayun-ayun lalu melesat ke depan.
Terkaman srigala lewat setengah jengkal di bawah selangkangannya! Si gendut
menjerit. Pegangannya dilepaskan dari akar gantung. Tubuhnya jatuh melesat
tepat ke arah Wiro. Kedua orang ini sama-sama jatuh bergedebukan di tanah,
bergulingan beberapa kali lalu tampak si gendut berdiri lebih dahulu. Ketika
Wiro berdiri pula dilihatnya si gendut memegang sebuah benda hitam di tangan
kanannya. Wiro cepat meraba pinggangnya. Astaga! Batu hitam empat persegi
pasangan Kapak Naga Geni 212 yang selalu disimpannya di balik pinggang pakaian
telah lenyap. Benda itu kini berada dalam genggaman si gendut berpeci kupluk!
“Gendut
sialan! Kau hendak berbuat apa dengan batu mustika itu! Lekas kembalikan!”
teriak Wiro dan hendak melompat untuk merampas batu hitam miliknya.
“Sahabat,
sabar dulu! Justru hanya benda ini yang mampu menolong srigala jejadian itu
bebas dari ilmu hitam, dari sekapan iblis! Juga hanya batu mustika ini yang sanggup
membebaskan sebagian pengaruh iblis dalam diri Kemala!”
“Aku
tidak mengerti maksudmu!” teriak Wiro masih marah.
“Kalau
kau belum mengerti makanya lihat saja!” jawab si gendut. Lalu dia melangkah ke
arah srigala bermata api yang kembali hendak menerkamnya. Dengan cepat si
gendut ini acungkan ke depan batu mustika hitam di tangan kanannya. Terjadilah
hal yang aneh. Raungan srigala mendadak berubah kuncup dan kini mengecil tak
ubah seperti suara seekor anjing yang ketakutan dimarahi tuannya. Binatang ini bersurut
sambil rundukkan kepalanya. Tiba-tiba ada sinar merah melesat dari kedua
matanya, menyerang ke arah si gendut. Orang yang diserang cepat menangkis
dengan batu hitam di tangannya. Dua larik sinar merah tadi kelihatan bergetar
keras lalu membalik dan laksana masuk menembus ke dalam ke dua mata srigala.
Binatang ini meraung panjang. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan
tubuh itu tampak dibungkus oleh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika asap
hitam sirna, di tanah hanya kelihatan seonggok tulang belulang putih, membujur
rapi seperti ruas-ruas tulang srigala.
“Datuk…!”
jerit Kemala ketika menyaksikan apa yang terjadi. Dia memburu hendak
menjatuhkan diri di atas tumpukan tulang belulang itu.
“Jangan!”
teriak si gendut seraya mendorongkan tangan kirinya. Serangkum angin deras
menyambar membuat gerakan tubuh Kemala tertahan lalu perlahan-lahan terjajar
mundur. Baru saja dia menjauh sejarak tiga langkah tibatiba terdengar
letusan-letusan keras. Tulang belulang di tanah bermentalan kian kemari lalu
lenyap tak berbekas seperti asap dihembus angin malam!
Kemala
memutar tubuhnya ke arah si gendut. Sepasang matanya membersitkan sinar
pembunuhan. Kedua tangannya diangkat ke atas.
“Kau… Kau
membunuh Datuk. Sekarang kau harus jadi pengiring kematiannya!” Kemala menjerit
panjang. Suara jeritannya hampir menyerupai lolongan srigala. Tiba-tiba
tubuhnya melesat ke arah si gendut. Melihat hal ini si gendut cepat angkat
tangannya yang memegang batu mustika hitam milik Pendekar 212 Wiro Sableng.
Seperti kesilauan Kemala menutupi kedua matanya dengan tangan kiri. Tapi
terlambat. Sebagian cahaya rembulan yang memantul di atas batu hitam berbalik
menembus kedua matanya. Gadis ini menjerit. Sekali ini suara jeritannya asli
suara jeritan manusia. Lalu tubuhnya jatuh terkapar di tanah! Si gendut menarik
nafas lega. Dia keluarkan kipas kertasnya lalu mengipasi muka dan lehernya yang
basah oleh keringat!
“Kemala!”
teriak Wiro seraya berlari dan jatuhkan dirinya di samping gadis itu.
Ketika
Wiro meletakkan kepala Kemala di atas pangkuannya dan membelai kening gadis
itu, dia merasakan seseorang meletakkan sesuatu di atas kepalanya. Wiro
memegang benda yang diletakkan itu lalu berpaling.
Si gendut
tegak di sampingnya. Sambil menyeringai dia berkata. “Sahabat, aku telah
menyelamatkan gadis itu dari sekapan ilmu iblis. Ketahuilah, batu hitam yang
kau miliki itu adalah raja-diraja penolak segala ilmu hitam. Kau memilikinya
selama bertahun-tahun, tapi tak pernah tahu bagaimana memanfaatkannya. Gadismu
itu kini sudah selamat. Tapi baru setengahnya. Yang setengah lagi hanya kau
yang bisa melakukannya…”
Wiro
pegang benda di atas kepalanya. Ternyata si gendut tadi telah meletakkan batu
hitam mustika miliknya seenaknya saja di atas kepalanya. Cepat-cepat Wiro
memasukkan batu itu ke balik pakaiannya. Ketika dilihatnya si gendut hendak
pergi, Pendekar 212 cepat bangkit dan berkata.
“Gendut!
Jangan pergi dulu! Aku perlu petunjukmu! Katamu gadis itu baru selamat
setengahnya. Yang setengah lagi aku harus melakukannya. Melakukan apa?
Bagaimana?”
“Kau
lihat wajah gadis itu?”
“Tentu
saja aku melihatnya!”
“Cantik
sekali bukan?!”
“Bujang
Gila Tapak Sakti!” teriak Wiro menyebut nama si gendut. “Bukan saatnya kau
bergurau!”
“Siapa
yang bergurau?!” sahut si gendut pula. “Jelas gadis itu cantik. Tapi itu bukan
parasnya yang asli!”
“Eh! Apa
maksudmu?”
“Sobatku.
Biar aku tolong kau sekali lagi. Tadi kukatakan dia baru tertolong setengah.
Kini kutambah seperempat lagi. Yang seperempatnya kau yang melakukan! Setuju?”
Karena
bingung Wiro mengatakan setuju saja.
Si gendut
yang bergelar Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. “Ingat sobat, janji
harus kau penuhi. Kau harus menyempurnakan pelepasan sekapan iblis yang
seperempat lagi!”
Habis
berkata begitu si gendut ini betulkan letak pecinya lalu duduk di samping tubuh
Kemala. Kedua telapak tangannya diusapkan satu sama lain. Lama-lama kedua
tangan itu tampak menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap putih yang
menimbulkan hawa sangat dingin. Si gendut membungkuk. Dengan hati-hati kedua
tangannya yang dingin itu diusapnya ke sekujur wajah Kemala.
Kedua
mata Pendekar 212 membeliak besar ketika melihat apa yang terjadi. Di bawah
cahaya bulan purnama empat belas hari dilihatnya perlahan-lahan, sedikit demi
sedikit wajah Kemala berubah. Ketika si gendut mengangkat tangannya dan wajah
telah sempurna perubahannya, murid Eyang Sinto Gendeng jadi ternganga lebar.
Kerongkongannya tersekat dan lidahnya seolah kelu. Dia hanya mampu mengeluarkan
suara desis perlahan.
“Ratih
Kiranasari…”
Gadis
yang tergeletak di tanah itu memang Ratih Kiranasari adanya!
Perlahan-lahan
Bujang Gila Tapak Sakti bangkit berdiri. Dia memegang bahu Pendekar 212 lalu
berkata. “Tinggal seperempat lagi sobatku. Itu kau punya pekerjaan. Gadis itu
akan pingsan tak sadarkan diri seumur-umurnya bilamana kau tidak menolongnya!”
“Katakan
bagaimana cara aku menolongnya!” jawab Wiro pula.
“Sesuai
janji kau tidak akan mengelak atau mencari dalih!”
“Tidak!”
“Kau tahu
Kemala menyukai dirimu?”
Wiro
mengangguk.
“Sekarang
kau lihat sendiri Kemala ternyata adalah Ratih Kiranasari.”
“Pantas…
pantas dia menyuruh aku menemui Ratih. Ternyata orangnya sama. Dia-dia juga…”
Wiro garuk-garuk kepala. “Aku ingat sekarang. Bau harum tubuh Kemala sama
dengan wanginya tubuh Kiranasari”
Bujang
Gila Tapak Sakti tersenyum. “Sobatku, sekarang kau dengar baik-baik. Ratih
Kiranasari akan sadar dari pingsannya jika kau menggauli dirinya…”
Paras
Pendekar 212 karuan saja menjadi berubah merah. Matanya melotot. “Gendut, kau
jangan bergurau!”
“Aku
tidak bergurau sobatku. Ini persoalan hidup atau mati seseorang. Gadis itu
telah terlanjur terjebak dalam ilmu hitam. Semua gara-gara tidak ada satu
pemuda pun yang mau mencintai dan bersedia dijadikan suaminya. Dalam dirinya
muncul dendam. Dendam ini tak dapat dikuasainya hingga dirinya terjebak dalam
ilmu hitam. Dia harus membunuh setiap orang yang sedang berkasihkasihan.
Ingat, tiga perempat kehidupan dunia hitamnya telah musnah. Kini tinggal yang
seperempat. Obatnya yang aku katakan tadi…”
“Gila!”
“Ini
bukan gila! Hanya itu satu-satunya jalan penangkal ilmu hitam agar keluar dari
tubuhnya. Aku akan pergi agar kau bisa melakukan apa yang aku katakan!”
“Tunggu!”
kata Wiro seraya cepat memegang tangan si gendut.
“Tunggu
apa lagi sobatku?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Bagaimana,
hemmm… Bagaimana kalau kau saja yang melakukannya?!”
Si gendut
tertawa terpingkal-pingkal. “Sobatku, aku sih mau-mau saja. Tapi tidak bakalan
mempan! Dia akan tertolong kalau digauli oleh lelaki yang dicintainya. Nah, aku
tahu sekali gadis itu mencintaimu. Bukan aku si gajah bunting ini! Nah, carilah
tempat yang baik agar kau benarbenar senang melaksanakannya.”
Habis
berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tepuktepuk bahu Wiro. Pendekar 212
geleng-gelengkan kepala. Dipandanginya wajah Ratih Kiranasari sementara
dirasakannya si gendut masih terus menepuk-nepuk bahunya.
“Gendut,”
kata Wiro seraya berpaling pada orang yang tegak di sebelahnya.
Astaga!
Ternyata si gendut itu tak ada lagi di sampingnya. Tetapi anehnya
tepukan-tepukan tangannya masih terasa di bahunya! Sadarlah Wiro kalau
sebenarnya Bujang Gila Tapak Sakti itu sudah lama meninggalkan tempat itu.
Dengan kesaktiannya dia bisa membuat tepukan-tepukan tangan di bahu sang
pendekar padahal dirinya sudah berada di tempat lain!
Cahaya
bulan purnama semakin terang. Wajah Ratih Kiranasari semakin jelas kelihatan
dan tampak bertambah cantik. Dirinya seolah seorang bidadari yang sedang
tertidur lelap. Perlahan-lahan Wiro mengangkat tubuh gadis itu.
“Bujang
Gila Tapak Sakti!” katanya. “Kalau ternyata kau menipu diriku, akan kucari kau
sampai ke langit ke tujuh sekali pun!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment