Hantu Santet Laknat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
Luhtinti
tertawa. Dengan manja dia turun dari pangkuan wiro. Walau keadaan di dalam goa
redup agak gelap namun wiro maslh blsa melihat bahwa saat itu di sebelah atas
luhtinti tidak mengenakan apa-apa lagi. "wiro, seperti aku katakan tadi
aku ingat ada satu cara yang blsa membuat kita mampu keluar dari rimba
belantara terkutuk ini." "kalau begitu lekas katakan …."
"caranya sangat sederhana wiro," kata si gadis dengan wajah
ditengadahkan disertai layamgan senyum. "kau mengawini aku, mengambil aku
jadi istrimu …." pendekar 212 tersentak mendengar kata-kata luhtinti itu.
Si gadis sebaliknya malah tertawa panjang.
**********************
SATU
LANGIT
malam bertambah gelap ketika bulan sabit tertutup lenyap dibalik awan hitam. Di
kejauhan terdengar suara auman binatang buas dari arah rimba belantara
Lasesatbuntu. Suara tiupan angin berdesirdingin. Tiba-tiba ada suara sayap
menggelepar di udara. Lalu tampak dua titik merah bercahaya melayang dari
jurusan Gunung Latinggimeru.
Dua titik
merah ini ternyata adalah sepasang mata seekor kelelawar besar yang terbang
menuju puncak sebuah bukit batu berbentuk kerucut tumpul. Di atas bukit batu
ini tampak mendekam duduk satu sosok tubuh kurus kering memiliki wajah seperti
seekor burung gagak hitam. Mulut dan hidungnya jadi satu membentuk paruh.
Sepasang matanya kecil tanpa alis. Tubuhnya mengenakan sehelai pakaian dari
jerami kering warna hitam.
Dari
sikapnya duduk makhluk ini seperti tengah bersemadi. Tapi anehnya sementara dua
tangannya diletakkan di atas batu, dua kakinya dinaikkan ke atas disilangkan di
atas bahu kiri kanan. Orang ini adalah dukun seribu jahat seribu keji yang di
Negeri Latanahsilam dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat.
Banyak
orang telah jadi korban kejahatannya. Antara lain Lakasipo (Baca Bola Bola
Iblis) dan Lawungu (baca Rahasia Kincir Hantu). Kemudian nenek dukun jahat ini
juga telah menguasai Latandai hingga orang berjuluk Hantu Bara Kaliatus ini
menjadi kaki tangannya yang mau melakukan apa saja termasuk membunuh istrinya
sendiri karena si nenek sudah mencuci otaknya (baca Episode Wiro di Negeri
Latanahsilam berjudul Hantu Bara Kaliatus.)
Kelelawar
bermata merah bercahaya berputar dua kali di sebelah Timur lalu melesat ke arah
puncak batu kerucut tumpul. Suara kepakan sayap binatang ini masuk ke telinga
si nenek Membuat dia segera buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan.
Bibirnya bergetar ketika dia mengucap.
"Junjungan
telah datang …."
Kelelawar
hitam keluarkan suara pekikan aneh. Hantu Santet Laknat turunkan dua kakinya.
Lalu dia bersujud di atas batu. Ketika dia bangkit kembali kelelawar bermata
merah telah mengapung di udara, hanya satu tombak di sebelah depan atas
kepalanya. Kepakan sayapnya yang menimbulkan angin deras membuat rambut dan
pakaian si nenek melambai-lambai.
"Junjungan
selamat datang aku ucapkan! Sudilah Junjungan memberi tahu maksud
kedatangan!" Si nenek kembali bersujud hingga keningnya menempel di batu
lalu dia duduk tak bergerak, menatap ke atas, menunggu Kelelawar hitam yang
mengapung di udara keluarkan suara memekik halus. Sayapnya berhenti bergerak.
Lalu sosok hitamnya mengepul, berubah menjadi asap. Asap ini secara aneh
kemudian membentuk satu sosok sangat angker.
Hantu
Santet Laknat yang juga bertampang angker tetap saja mengkirik kuduknya walau
sebelumnya sudah beberapa kali dia melihat sosok seram tersebut Makhluk yang
mengapung dalam kegelapan malam di atas bukit batu berbentuk kerucut tumpul itu
adalah satu sosok berjubah hitam yang wajahnya berupa tengkorak Tangan dan
kakinya yang tersembul dari bagian bawah jubah serta ujung lengan jubah berupa
jerangkong tulang belulang putih. Sepasang mata tengkorak yang hanya merupakan
lobang besar mengeluarkan cahaya kemerahan.
Di atas
batok kepala yang putih bertumbuhan rambut-rambut putih panjang,
melambai-lambai ditiup angin malam. Tiba-tiba rambut yang menjulai ke bawah itu
berjingkrak ke atas, tegak berdiri, kaku laksana kawat Dua bolongan mata
pancarkan cahaya merah lebih terang. Mulut tengkorak yang didereti barisan
gigi-gigi besar bergerak membentuk seringai menggidikkan. Dari sela-sela
giginya keluar kepulan asap. Sesaat kemudian makhluk muka tengkorak tubuh
jerangkong yang tertutup jubah hitam itu keluarkan ucapan. Suaranya bergema
aneh, seolah keluar dari satu liang dala.
"Hantu
Santet Laknat, tiada kekecewaan paling hebat selain kekecewaan terhadap dirimu.
Semua apa yang kau lakukan menemui kegagalan! Aku sudah cukup bersabar diri.
Mungkin sudah saatnya kau meninggalkan Negeri Latanahsilam. Kukirim kembali ke
tempat asalmu di dasar Samudera Labiruhijau!"
Si nenek
bernama Hantu Santet Laknat keluarkan suara tercekat dari hidung dan mulutnya
yang jadi satu berbentuk paruh burung. Lalu buru-buru dia jatuhkan diri, bersujud
di hadapan makhluk yang disebutnya dengan panggilan junjungan.
"Wahai
Junjungan, bukan aku membela diri. Semua tugas telah aku laksanakan. Namun apa
yang kemudian terjadi sungguh di luar dugaan …."
Makhluk
muka tengkorak menyeringai. Dari mulutnya berhembus keluar asap putih.
"Hantu
Santet Laknat, kau memang tidak mebela diri. Tapi kau pandai mencari akal untuk
berdalih! Aku ingin tahu apa yang kau maksudkan dengan kejadian di luar dugaan
itu!"
"Junjungan,
kalau kau mau mendengar, akan kuterangkan satu persatu," kata Hantu Santet
Laknat Lalu nenek bermuka burung gagak hitam ini angkat kepalanya yang sejak
tadi bersujud menempel di atas batu.
"Kejadian
pertama, menyangkut Lakasipo yang kemudian dijuluki Hantu Kaki Batu itu.
Junjungan pasti tahu bagaimana aku berhasil membangkitkan roh istrinya yang
bernama Luhrinjani. Lalu kusuruh dia menjebak suaminya sendiri hingga sepasang
kaki Lakasipo tenggelam dalam cairan yang berubah menjadi batu! Tapi kemudian
tak terduga ada seorang makhluk aneh bersama dua kawannya muncul menolong
Lakasipo. Jika Junjungan mau men-dengar, biar aku menceritakan apa yang terjadi
sejelas-jelasnya ."
Makhluk
muka tengkorak berambut putih riap riapan enyeringai. Dari hidung dan mulutnya
kembali mengepul asap putih. Sedangkan dari dua matanya memancar cahaya
kemerahan. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkata.
"Tak
ada salahnya aku mendengar ceritamu, Hantu Santet Laknat Paling tidak aku mau
membandingkan apa yang kau bilang sama dengan apa yang aku ketahui. Jika kau
berdusta, kau tahu apa akibatnya!"
"Aku
tidak berdusta wahai Junjungan. Akan kuceritakan semua padamu …." Lalu si
nenek bermuka burung gagak hitam itu memulai penuturannya ….
**********************
Dalam
keadaan sang surya yang sebentar lagi akan tenggelam Lakasipo mendukung jenazah
Luhrinjani, istrinya yang menemui ajal, mati bunuh diri di jurang batu tak jauh
dari Bukit Batu Kawin. Dia melangkah mendekati lubang batu yang telah
disiapkannya sebagai makam sang istri. Jenazah perempuan yang hanya sempat
dikawininya selama tiga hari itu dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam
lubang. Tak ada orang lain di tempat itu. Hanya alam semata yang menyaksikan
penguburan Luhrinjani. Mendadak cuaca berubah. Gulungan awan hitam entah dari
mana datangnya muncul menutupi langit Petir mendera sabung menyabung, guntur
menggelegar. Lalu hujan lebat turun membasahi bumi. Lakasipo merasa tidak enak.
Dia
memandang ke langit Gelap. Sesaat gerakannya menurunkan jenazah ke dalam lubang
jadi tertahan. Kilat menyambar. Sekejapan udara menjadi terang benderang. Saat
itulah Lakasipo melihat bagaimana sepasang mata jenazah Luhrinjani yang barusan
dibaringkannya di liang batu dan sejak tadi tertutup tiba-tiba kelihatan
membuka.
Bukan itu
saja! Wajah perempuan yang sudah jadi mayat itu juga tampak tersenyum!
"Luhrinjani
..!. desis Lakasipo. Tubuhnya bergetar. Cahaya kilat lenyap. Bukit batu
Latinggihijau kembali diselimuti kegelapan. Sesaat Lakasipo asih terkesiap.
Namun begitu sadar dia cepat mengambil sebuah batu besar berbentuk pipih dan
menutupkannya di atas lubang makam. Enam buah batu kemudian disusunnya di atas
batu pipih penutup makam itu. Sebelum bertindak pergi, di bawah hujan lebat dan
dalam keadaan basah kuyup Lakasipo pandangi makam istrinya. Lalu mulutnya
berucap perlahan..
"Wahai
Luhrinjani …. Apapun yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku Lakasipo telah
melupakan dan memaafkan semuanya…. Kau lihat sendiri Luhrinjani, aku sudah
menyiapkan satu makam untuk diriku di samping makammu." Lakasipo melirik
kearah sebuah makam kosong yang sebelumnya sengaja dibuatnya di sebelah kubur
sang istri.
"Aku
akan meninggalkanmu Luhrinjani. Aku akan sering-sering mklihatmu. Tenanglah
dalam peristirahdanmu. Para Dewa dan para Peri akan menghiburmu. Selamat
tinggal wahai Luhrinjani …." Lakasipo cium batu makam di bagian kepala
lalu bangkit berdiri.
Hujan
mulai reda tapi cuaca masih kelam. Lakasipo turuni bukit Latinggihijau,
berjalan ke tempat dia meninggalkan Laekakienam, kuda tunggangannya. Belum lama
menunggangi kuda itu, tiba-tiba Lakasipo melihat ada satu bayangan putih berkelebat
di hadapannya. Kuda hitam berkaki enam bertanduk dua itu angkat empat dari enam
kakinya lalu meringkik keras. Sepasang matanya yang merah pancarkan sinar aneh.
Lakasipo
cepat usap tengkuk tunggangannya,
”Tenang
Lae. … Tenang. Tak ada yang perlu kau takutkan." Lakasipo memandang
berkeliling. Saat itu dia sudah mencapai kaki bukit Latinggihijau. Sudut
matanya menangkap sesuatu di arah kiri. Laekakienam kembali menunjukkan gelagat
gelisah. Lakasipo cepat berpaling. Bayangan putih itu kembali muncul di
kejauhan sana. Di antara deretan pepohonan. Ada satu sosok perempuan berpakaian
putih. Meliuk-liuk seperti asap tertiup angin. Ketika dia memperhatikan wajah
perempuan itu tersiraplah darah Lakasipo! Wajah itu adalah wajah Luhrinjani!
"Luhrinjani
…" desis Lakasipo.
"Bagaimana
mungkin! Barusan saja aku menguburkanmu di makam batu …."
Sosok
putih di antara deretan pepohonan tiba-tiba lambaikan tangan seolah memanggil
Lakasipo. Lalu lapat-lapat ada suara.
"Lakasipo
…. Lakasipo suamiku. Datanglah keari. Tolong diriku. Keluarkan aku dari alam
gelap. Lakasipo …."
"Wajah
itu wajah Luhrinjai! Suara itu suara Luhrinjani …." desis Lakasipo.
"Lakasipo
…. Turun dari kudamu. Kemarilah …. Tolong diriku wahai suamiku …."
Mula-mula Lakasipo masih diselimuti rasa takut dan heran. Lalu dia mulai
bimbang. Matanya digosok berulang kali.
"Aku
tidak bermimpi. Sosok itu memang Luhrinjani," Lakasipo segera turun dari
kudanya. Setengah berlari dia menghampiri sosok Luhrinjani. Dia berlari di
sela-sela pepohonan melompati semak belukar, tidak lagi memperhatikan jalan
yang dilaluinya.
"Wahai
Lakasipo suamiku …. Lekaslah. Lari lebih cepat Jarak kita hanya tinggal
dekat…" Sosok Luhrinjani kembali memanggil-manggil. Lakasipo lompati
serumpunan semak belukar pendek. Namun begitu turun ke tanah, dua kakinya
amblas masuk ke dalam dua buah lubang sedalam pangkal betis. Kalau tidak cepat
dia imbangi diri pasti akan tersungkur di tanah. Dia tarik dua kakinya. Tapi
alangkah terkejutnya Lakasipo. Dia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan kedua
kakinya. Lalu dia mendengar suara menggelegak seperti air mendidih. Ketika dia
memandang ke bawah mukanya jadi pucat.
Dua
kakinya dilihatnya terpendam dalam cairan aneh berwarna kelabu berbuih-buih.
Begitu gejolak buih berhenti, cairan telah berubah menjadi keras, memendam
sepasang kaki Lakasipo ke tanah.
"Apa
yang terjadi … ?!" Lakasipo membungkuk Meraba cairan beku yang memendam dua
kakinya.
"Betul!"
ujar Lakasipo dengan suara bergetar.
"Tidak
mungkin!" Dia gerakkan kakinya berusaha melepas diri. Sia-sia saja. Dia
memukul dengan dua tangannya berulang kali. Pukulan yang sanggup menghancurkan
batu karang itu bahkan tidak sanggup membuat bergeming batu keras yang memendam
dua kakinya. Lakasipo segera keluarkan ilmu pukulan sakti bernama "Lima
Kutuk Dari Langit". Lima lariksinar hitam menggidikkan menghantam batu.
"WUSSSS!
Bummmm!"
Sinar
hitam berbalik mental ke udara disertai dentuman keras. Tapi dua kakinya tetap
saja terpendam dalam batu keras yang tidak hancur, retakpun tidak. Lakasipo
penasaran. Dia kembali kerahkan ilmunya. Hawa Sakti dikerahkan pada dua
kakinya. Dia keluarkan kesaktian bernama "Kaki Roh Pengantar Maut."
Cahaya hitam memancar dad kakinya kiri kanan. Tapi segera meredup. Dan
celakanya hawa sakti yang tadi dikerahkannya seolah berbalik mencengkeram dua
kakinya. Sakitnya bukan kepalang.
"Celaka!
Apa yang terjadi dengan diriku! Pasti ada orang jahat …" Lakasipo ingat pada
sosok Luhrinjani. Ketika dia memandang ke depan justru dilihatnya sosok itu
bergerak seperti melayang datang ke arahnya.
"Luhrinjani
…."
Tiba-tiba
terdengar suara berdentrangan. Sosok Luhrinjani ternyata memegang sebuah
rantaiditangan kanannya. Pada kedua ujung rantai ada sebentuk jopitan besi
besar.
"Luhrinjani!
Betul kau yang ada di hadapanku ini?" tanya Lakasipo. Luhrinjani
menyeringai. Wajah itu mendadak berubah. Mula-mula pada mulutnya. Mulut ini
mencuat enonjolkan gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit wajahnya aeolah leleh
hingga membentuk tulang tengkorak. Dua mata berubah menjadi sepasang rongga
mengerikan. Rambutnya yang hitam juga lenyap. Kepalanya kini telah menjadi
sebuah kepala tengkorak putih. Lalu dua tangan yang tersembul dari balik
pakaian putih bergantian pula menjadi tulang belulang mengerikan.
Lakasipo
keluarkan seruan tertahan saking kagetnya. Sosok tengkorak merunduk. Dengan
satu gerakan sangat cepat makhluk ini mejapit pangkal betis Lakasipo kiri
kanan.
"Kau!
kau bukan Luhrinjani! kau makhluk jahat jejadian!" teriak Lakasipo. Sosok
tengkorak tertawa melengking.
"Takdir
buruk telah jatuh atas dirimu Lakasipo! Kau akan terpendam dalam dua batu
seumur hidupmu. Tubuhmu akan rusak, busuk dan hancur luar dalam. Kau akan
mengalami siksaan hebat sebelum menemui ajal!"
"Makhluk
jahanam! Kau pasti suruhan orang jahat! Katakan siapa yang menyuruhmu?!"
teriak Lakasipo.
"Kau
akan mendapatkan jawaban lama sekali Lakasipo," jawab makhluk muka
tengkorak
"Setelah
sosokmu berubah menjadi jerangkong dan rohmu melayang di langit hampa!"
Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Pukulan "Lima Kutuk Dari Langit"
menderu. Lima larik sinar hitam berkiblat
"Bummmm!"
Pukulan
sakti menghantam telak sosok putih di depan sana.
"Braaakkk!
Byaaarrr!"
Sosok
putih hancur berantakan. Serpihan tulang tengkorak dan tulang jerangkong
bertaburan di udara. Lalu berubah menjadi asap lenyap tanpa bekas. Lakasipo
meraung keras. Dia hantamkan pukulan sakti bertubi-tubi. Namun akhirnya dia
lemas sendiri dan jatuh terduduk di tanah. (Secara lebih lengkap kisah di atas
dapat Anda baca dalam Episode pertama Petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam
berjudul "Bola Bola Iblis" )
**********************
DUA
SI NENEK
bermuka burung gagak hitam bersujud di batu. Begitu bangkit dia langsung
berkata.
"Wahai
Junjungan, itulah kisah bagaimana aku telah mencelakai Lakasipo. Aku berhasil
melakukannya sesuai dengan permintaan Lahopeng, musuh besar Lakasipo.
Junjungan, bukankah aku juga telah memberi tahu padamu sebelum aku menyantet
Lakasipo melalui roh istrinya hingga dua kakinya tenggelam dalam dua buah batu.
Namun seperti kataku tadi, secara tidak terduga muncul satu makhluk dari negeri
seribu dua ratus tahun mendatang. Walau sosoknya hanya sejari kelingking tapi
dia mampu menolong Lakasipo… ."
Makhluk
yang dipanggil dengan sebutan Junjungan menyeringai buruk lalu rangkapkan dua
tangan jerangkongnya.
"Hantu
Santet Laknat aku tahu sebetulnya kau lebih banyak dipengaruhi oleh Lahopeng
hingga menempuh cara keliru dalam menyantet Lakasipo. Sebenarnya kau bisa
membunuh orang itu dengan ilmu Lintah Penyedot Jantung! Dalam waktu sepenanakan
nasi saja Lakasipo pasti sudah menemui ajal! Mengapa harus memakai jalan sulit
berbelit, menyantet lewat roh halus segala?!"
Hantu
Santet Laknat terdiam. Lalu dia buru-buru jatuhkan diri bersujud dan berkata.
"Kalau
caraku memang keliru, aku mohon maafmu wahai Junjungan …."
"Apa
yang kau terima dari Lahopeng sebagai upah?" Sang Junjungan bertanya.
"Dia
memberikan beberapa butir batu permata. Semua sudah kutelan," jawab si
nenek bermuka gagak hitam. Sang Junjungan menyeringai.
"Kau
sengaja menelan batu-batu permata itu. Berarti kau masih ingin mempertahankan
llmu Bersalin Wajah yang kau miliki …"
"Kira-kira
memang begitu wahai Junjungan," jawab Hantu Santet Laknat
"Sekarang
aku ingin kau menerangkan tentang makhluk dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang, yang katamu muncul tak terduga menolong Lakasipo …."
"
Aku akan terangkan padamu wahai Junjungan. Aku akan terangkan …" kata
Hantu Santet Laknat pula setelah lebih dulu bersujud tempelkan keningnya di
atas batu.
"Orang
itu masih muda. Namanya Wiro Sableng, konon dia berjuluk Pendekar 212 …."
"Dua
satu dua …" engulang sang Junjungan.
"Apa
artinya itu?"
"Mohon
maafmu wahai Junjungan. Aku sendiri tidak mengerti apa arti tiga buah angka itu
…."
"Kau
harus menyelidikinya nanti. Mungkin di situ terletak kehebatannya. Tapi bisa
juga sekaligus letak kelemahannya …. Teruskan keteranganmu Hantu Santet
Laknat!"
"Pemuda
itu muncul bersama dua temannya. Yang satu seorang bocah bernama Naga Kuning.
Satu lagi seorang kakek bau pesing karena selalu kencing di celana. Dipanggil
dengan sebutan Setan Ngompol."
"Air
kencing…" berkata sang Junjungan.
"lngat
hal itu Hantu Santet Laknat Cairan itu salah satu benda terlarang yang bisa
mencelakai dirimu…."
"Aku
selalu ingat hal itu wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat pula. Lalu
dia lanjutkan keterangannya.
"Wiro
bertemu dengan Lakasipo dalam rimba belantara. Tadinya Lakasipo hendak membunuh
pemuda itu dan dua kawannya. Tapi entah bagaimana mereka kemudian jadi
bersahabat Bahkan pemuda inilah yang kemudian menolong Lakasipo. Mula-mula ia
pergunakan sebuah senjata aneh. Sebilah kapak bermata dua…..”
"Sebilah
kapak bermata dua katamu?"
"Betul
sekali Junjungan," jawab si nenek.
”Tunggu,
coba kusirap dulu senjata itu adanya. Sampai dimana kehebatannya…."
Makhluk
tengkorak berjubah hitam dongakkan kepalanya. Dua tangan dirangkapkan di depan
dada. Dari dua rongga matanya memancar cahaya kemerahan sedang dari hidung dan
sela mulutnya membersit keluar asap putih. Sesaat kemudiaan dia berucap.
"Kapak
itu menyimpan banyak kesaktian. Semua berasal pada kekuatan api putih. Kau
harus berhati hati. Kau harus mengusahakan untuk mendapatkannya …."
"Akan
aku lakukan Junjungan…!"
Sang
Junjungan kembali mendongak. Matanya kembali memancarkan cahaya merah dan asap
putih lagi-lagi berhembus keluar dari hidung dan mulutnya.
"Tapi
Hantu Santet Laknat… Menurut apa yang aku sirap dari alam gaib, bukan kapak itu
yang mampu membebaskan Lakasipo! Dalam alam gaib kulihat ada sesosok binatang
berbulu putih polos. Seekor harimau …."
"Benar
Junjungan. Setelah gagal membebaskan Lakasipo dengan dua larik sinar hijau yang
keluar dari matanya, pemuda itu lantas keluarkan satu ilmu kesaktian aneh. Dia
memelihara seekor harimau putih bermata hijau. Harimau jejadian inilah yang
kemudian mampu memutus rantai besi pengikat kaki Lakasipo. Juga binatang ini
menggali tanah batu tempat Lakasipo terpendam hingga akhirnya dia bisa keluar
dari dalam tanah!"
"Aku
harus menyirap kembali ke alam gaib!" kata sang Junjungan. Lagi-lagi dia
mendongak ke langit dan rangkapkan dua tangan di atas dada jubah hitam. Sesaat
kemudian dia memandang pada Hantu Santet Laknat. Rambut putih di atas kepalanya
kelihatan tegak kaku seperti kawat
"Nenek
bermuka burung gagak!" katanya.
"Kau
benar-benar menemui seorang lawan tangguh. Dua larik sinar hijau yang katamu
keluar dari sepasang matanya adalah senjata sakti gaib bernama Sepasang Pedang
Dewa! Aku tidak bisa menduga Dewa dari mana yang memberikan ilmu itu padanya.
Ketika dia menolong Lakasipo bukankah keadaan dirinya masih sebesar
kelingking?"
"Benar
Junjungan …."
"Karena
sosoknya yang kecil, dia tidak mampu menghimpun kekuatan. Tapi sekarang
sosoknya sama besar dengan mahkluk di Negeri Latanahsilam. Kehebatan Sepasang
Pedang Dewa tidak bisa dianggap enteng. Kau benar-benar harus hati-hati
terhadap orang itu Hantu Santet Laknat. Lalu harimau putih yang kau sebutkan
itu, binatang gaib tersebut memang pelindung yang mengikutinya kemana dia
pergi. Walau dia tidak bisa menghancurkan dua batu bundar yang membungkus kaki
Lakasipo tapi harimau putih itu sangat berbahaya!"
Hantu
Santet Laknat terdiam sejenak Lalu berkata.
"Sebenarnya
aku tidak takut pada pemuda itu wahai Junjungan. Aku yakin bisa membunuhnya
jika berhadapan!"
"Jangan
menganggap enteng makhluk satu ini Hantu Santet Laknat. Dia bukan saja punya
ilmu kesaktian hebat, tapi juga memiliki akal dan otak cerdik!"
"Kalau
begitu aku minta petunjukmu wahai Junjungan," memohon Hantu Santet Laknat
"Dengar
baik-baik apa yang aku ucapkan!" kata sang Junjungan pula.
"Jika
seseorang merasa sanggup menguasai musuh, maka dia harus menghancurkan musuh
itu. Tapi jika dia merasa belum atau tidak sanggup maka dia haws merangkul
musuh tersebut, menjadikannya sahabat Pada saatnya dia merasa mampu maka baru
dia menghancurkan sang musuh!"
"Aku
mengerti apa yang kau katakan itu Junjungan. Tapi yang belum jelas, apa yang
harus aku lakukan terhadap pemuda bernama WiroSableng itu?" tanya Hantu
Santet Laknat pula.
"Kau
harus enjebaknya agar dia tidak bisa kembali pulang ke negerinya! Aku tahu kau
punya otak cerdik dan akal panjang! Kau harus enjebak pemuda itu masuk ke dalam
Rimba Lasesatbuntu. Buat dia tak bisa keluar lagi. Buat dia mendekam seumur
hidupnya dalam rimba belantara itu. Dengan demikian segala npa yang kau lakukan
tidak akan mendapat gangguan …."
Hantu
Santet Laknat mengangguk-angguk.
"Kalau
begitu petunjukmu akan aku lakukan …."
"Tapi!
Seperti ucapanku tadi!" berkata sang Junjungan.
"Jika
kau menghadapi perlawanan dan kau tidak sanggup melawannya, kau harus
menjalankan rencana ke dua. Kau harus merangkul musuh berbahaya itu! Kau harus
memperlakukannya sebagai suami! Kau harus mengawininya!"
Sosok si
nenek Hantu Santet Laknat tersentak saking kagetnya mendengar ucapan sang
Junjungan.
"Wahai
Junjungan, bagaimana mungkin aku mengawini pemuda itu … ?"
"Mengapa
tidak mungkin? Dia laki-laki, kau perempuan? Apa kesulitannya? Lain halnya
kalau kalian sama-sama lelaki atau kalian dua duanya perempuan!"
"Maksudku
…. Maksudku bukan itu wahai Junjungan! Tekad-ku sudah bulat untuk membunuhnya
dari pada di belakang hari menimbulkan malapetaka bagi diriku. Tapi untuk
mengawininya …."
"Hantu
Santet Laknat, apa kau pernah melihat sendiri? Pernah bertemu muka dengan
pemuda bernama Wiro itu?" tanya sang Junjungan pula.
"Selama
ini memang belum pernah Junjungan."
"Makin
cepat kau bertemu dengan pemuda itu makin baik! Lihat saja nanti bagaimana
sikap dan perasaanmu setelah melihatnya!"
"Junjungan,
kalau maksudmu aku akan tertarik padanya mungkin jauh panggang dari api. Bukankah
kau tahu bahwa hanya ada satu orang yang aku cintai di dunia ini? Yaitu Hantu
Muka Dua."
Muka
tengkorak sang Junjungan menyeringai. Dari mulutnya mengepul asap putih.
"AKu
tidak ingin kau memutus cinta dengan Hantu Muka Dua. Tapi jika aku jadimu sudah
sejak lama aku tinggalkan makhluk keji satu itu. Setiap hari dia bergelimang
dosa dengan gadis cantik, Apa kau merasa dirimu bisa bersaing dengan
gadis-gadis itu walau kau punya llmu Bersalin Wajah? Karena itu lagi-lagi
kuminta agar kau segera mencari pemuda bernama Wiro itu. Jika kau meang tidak
suka padanya dan tidak ingin merangkulnya, tidak ingin berselingkuh dengan
kekasihmu si Hantu Muka Dua, maka kau tinggal menjebloskan Wiro ke dalam rimba
Lasesatbuntu."
"Aku
akan lakukan apa katamu.wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat
mengambil sikap mengalah.
"Sekarang
mengenai muridmu bernama Latandai alias Hantu Bara Kaliatus itu!" kata
makhluk muka tengkorak dan jerangkong berjubah hitam.
"Bukankah
kau telah memerintahkannya untuk membunuh Lakasipo dan istrinya sendiri yang
bernama Luhsantini itu? Jangan kau berdusta! Semua tugas itu belum
terlaksana!"
"Aku
mohon maafmu Junjungan. Hantu Bara. Kaliatus meang sedang kucari-cari karena
sejak beberapa lama ini dia tidak muncul. Setahuku dia memang pernah hendak
mencoba membunuh istrinya Luhsantini. Tapi muncul seorang gadis sakti
penunggang kura-kura terbang bernama Luhjelita. Gadis ini menolong Luhsantini
hingga maksud Hantu Bara Kaliatus membunuh istrinya gagal. Dia juga gagal
membunuh Lakasipo!"
"Murid
seperti itu tidak ada gunanya. Kau harus cari dia! Perintahkan sekali lagi
untuk membunuh Lakasipo dan Luhsantini. Jika dia gagal lagi aku perintahkan
padamu untuk membunuh murid tak berguna itu! Kau harus sadar Hantu Santet
Laknat! Lakasipo adalah salah satu musuh besarmu yang selalu berusaha mencari
dan membunuhu. Karena dia sudah tahu kaulah yang menyantet dirinya!" Hantu
Santet Laknat mengangguk perlahan.
"Akan
aku lakukan apa katamu wahai Junjungan."
"Sekarang
mengenai manusia bernama Lawunqu!" berucap sang Junjungan.
"Kau
gagal membunuh manusia satu itu padahal sekujur tubuhnya sampai tulang
belulangnya telah diselubungi luka borok membusuk akibat santetanmu! Mengapa
kau gagal membunuh manusia itu?! Apa yang telah terjadi?!"
"Aku
mohon aafmu wahai Junjungan. Seperti. kejadian yang lain-lainnya, peristiwa
satu inipun gagal akibat ulah tak terduga. Padahal racun ular yang aku susupkan
ke tubuh Lawungu adalah racun paling jahat! Kali ini yang punya pekerjaan
adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab …."
"Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab!" mengulang makhluk muka tengkorak
"Aku
sudah lama mendengar kalau dia memang bersekutu dengan Lawungu dan juga
Lasedayu! Tapi kesaktiannya tidak cukup mampu untuk menyembuhkan santetanmu
terhadap Lawungu. Kecuali ada satu kekuatan atau kesaktian lain …."
"Aku
menyirap kabar dia menemukan sendok emas sakti bernama Sendok Pelangkah atau
Sendok Pemasung Nasib. Dengan benda itu dia mengobati Lawungu!"
Menjelaskan Hantu Santet Laknat (Harap baca Episode sebelumnya berjudul
"Rahasia Kincir Hantu")
"Aku
kecewa! Benar-benar kecewa! Semua ilmu kepandaian yang aku berikan Upadamu
seolah tidak ada artinya dan gunanya. Sendok sakti itu! Bagaimana bisa jatuh ke
tangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
"Dari
kabar yang aku sirap, konon Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab merampasnya dari
tangan Hantu Muka Dua!"
"Kalau
Hantu Muka Dua bisa dipercaya seperti itu berarti memang benar kabar yang aku
dengar bahwa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah makhluk paling tinggi
kepandaiannya di Negeri Latanahsilam. Wahai, kau harus memutar otak,
mempergunakan kelicikan untuk menyingkirkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Tapi buat dulu dia menderita tersiksa batin sebelum kau habisi …."
"Caranya
bagaimana wahai Junjungan?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Kudengar
dia punya dua orang cucu yang cantik-cantik. Bernama Luhkemboja dan Luhkenanga.
Mungkin kau bisa melakukan sesuatu atas diri mereka. Biar Hantu Sejuta Tanya
Hantu Sejuta Jawab tahu rasa! Sekarang apa kau tahu dimana beradanya Sendok
Pemasung Nasib itu?"
"Aku
memang tengah menyelidik dan menyirap kabar. Aku akan berusaha
mendapatkannya…."
"Sendok
emas sakti itu harus kau dapatkan. Tapi yang penting bagimu saat ini adalah
mencari pemuda asing bernama Wiro itu!"
"Aku
akan segera melakukannya wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat pula.
"Jangan
lupa menyelesaikan urusan nyawa dengan Lakasipo dan Luhsantini. Aku akan
mengawasi prilaku serta semua perbuatanmu di Negeri Latanahsilam. Sekali lagi
kau mengecewa-kan aku, riwayatmu akan kuakhiri selama-lamanya. lngat hal itu
Hantu Santet Laknat! Jika aku masih merasa kasihan padamu mungkin aku hanya
akan mencabut semua kepandaian yang pernah aku berikan padamu. Tapi itu baru
kemungkinan saja. Karena aku lebih suka melihat kau terjelapak tanpa nyawa!
lngat itu baik-baik!" Kuduk Hantu Santet Laknat terasa dingin.
"Aku
akan ingat, wahai Junjungan," kata si nenek muka gagak lalu sujud di atas
batu. Ketika dia mengangkat kepalanya kembali makhluk kepala tengkorak badan
jerangkong sudah tidak ada lagi.
**********************
TIGA
KUDA
hitam berkaki enam dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya tegak di puncak
bukit batu dengan sikap gagah. Di atasnya duduk Hantu Kaki Batu, memandang ke
arah lembah batu dibawahnya. Di kejauhan menjulang Gunung Labatuhitam.
"Sunyi,
tak kelihatan ada makhluk apapun di bawah sana. Apakah sejak berpisah dengank
tempo hari dia memang kembali ke sini atau pergi ke tempat lain?" Hantu
Kaki Batu alias Lakasipo bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau
dia memang tidak ada di tempat ini kemana aku harus mencari?" Lakasipo
memandang seputar lembah yang dipenuhi bebatuan hitam berbagai bentuk dan
ukuran sambil usap-usap tengkuk laekakienam, kudaraksasa tunggangannya.
"Lae,
keluarkan ringkikanmu. Beri tanda bahwa kita berada di tempat ini!" kata
Lakasipo berucap pada kuda hitamnya. Mendengar ucapan itu kuda hitam berkaki
enam angkat empat kaki depannya lalu keluarkan suara ringkikan keras,
menggelegar dan bergema di seantero kawasan bukit dan lembah batu. Begitu suara
gema ringkikan kuda lenyap, suasana di tempat itu kembali sunyi. Lakasipo
memandang lagi, menyelidik ke setiap sudut lembah.
"Mungkin
aku harus turun menyelidik ke lembah. Setahuku di bawah sana ada satu goa.
Mungkin dia tengah melatih ilmu atau bersemadi hingga tidak mendengar suara
ringkikan Laekakienam." Berpikir begitu Lakasipo segera tepuk pinggul
kudanya. Namun sebelum binatang bermata merah ini bergerak melangkah tiba-tiba
dari arah langit sebelah utara terdengar suara suitan keras. Mendongak ke atas
Lakasipo melihat satu makhluk hitam bersayap lebar, melesat terbang ke arah
bukit di mana dia berada, ditunggangi seorang lelaki berambut panjang
melambai-lambai. "Walet raksasa!" desis Lakasipo.
"Penunggangnya
pasti si jahanam Latandai! Masih hidup rupanya makhluk keji satu itu!"
Baru saja Lakasipo berkata begitu tiba-tiba dari atas sana melesat dua buah
benda berapi yang mengeluarkan cahaya merah seperti ekor panjang. Satu
menghantam ke arah kepala Laekakienam, satu lagi menyambar ke jurusan kepala
Lakasipo. Lakasipo keluarkan seruan keras. Tangan kirinya menepuk pinggul
Laekakienam. Kuda hitam raksasa ini meringkik dahsyat lalu melompat ke kiri.
Binatang ini selamat karena benda merah berbuntut api lewat hanya setengah
jengkal dari sisi kiri kepalanya. Benda ini yang ternyata adalah sebuah bara
menyala amblas masuk ke dalam lamping batu. Lamping batu kepulkan asap tebal
lalu
"krakkk!
Byaaarr!"
Dinding
batu itu hancur berantakan! Ketika menggebrak pinggul kudanya Lakasipo sendiri
saat itu telah melesat dari punggung kuda, membuat gerakan jungkir balk Sambil
melayang turun dia hantamkan kaki kanannya yang terbungkus batu berbentuk bola.
"Byaaarr!"
Benda
merah menyala yang hendak menghantam kepalanya mencelat mental, hancur
bertaburan. Lakasipo sendiri merasa kakinya seperti disengat api Termiring-
miring dia tegak di atas batu bukit Ketika diperhatikan temyata ada bagian batu
yang membungkus kakinya telah menjadi gompal dan hangus di salah satu bagian.
Di udara,
penunggang walet raksasa tertawa bergelak, Setelah berputar dua kali walet
hitam itu menukik turun. Saat itulah Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Lima
jari tangan menjentik keras.
Lima larik
sinar hitam membeset ke udara, menggempur walet raksasa dan penunggangnya dari
lima jurusan. Seperti tahu bahaya walet raksasa menggebrakkan sayapnya.
Binatang ini menukik tajam sementara penunggangnya melompat sebat, lalu laksana
terbang dia melayang ke bawah dan turun di atas bukit batu, terpisah sejarak
dua belas langkah dari hadapan Lakasipo.
Sepasang
alisnya menjungkat ke atas ketika mendengar suara walet hitam menguik di udara
pertanda binatang itu mengalami kesakitan hebat Nyatanya, salah satu dari lima
larikan sinar hitam berhasil menghantam sayapnya, merobek hangus bagian
kulitnya dan menghancurkan jaringan tulang-tulangnya. Sebagian dari sayap itu
kelihatan menciut pendek Dalam keadaan oleng dan sayap mengepulkan asap walet
hitam ini mendarat di atas sebuah batu berbentuk miring. dari mulutnya tiada
henti keluar suara menguik kesakitan.
"Hantu
Kaki Batu jahanam!" merutuk orang yang barusan melompat dari punggung
walet hitam dan berhasil selamatkan diri dari serangan larikan sinar hitam.
Rahangnya menggembung. "llmu Lima Kutuk dari Langit yang dimilikinya
benar-benar berbahaya!”
“Dia
harus bayar mahal apa yang telah dilakukannya! Dia telah melukai walet
tungganganku!" Orang yang tegak di hadapan Lakasipo itu bertubuh tinggi
besar tapi tidak sekekar Lakasipo.
Berdirinya
agak terbungkuk seolah ada sesuatu yang berat di bawah perutnya. Gerakannya
walau kelihatan hebat, tapi mata orang pandai akan melihat bahwa sebenarnya dia
bergerak lamban. Rambutnya panjang acak-acakan. Pipi kirinya ada cacat besar bekas
luka. Tangan kirinya sebatas siku ke bawah disambung dengan sejenis logam biru
yang dipenuhi tonjolan tonjolan runcing. Yang hebat dan juga aneh ialah keadaan
bagian tubuhnya di sebelah dada sampai ke perut. Seolah ada api di sebelah
dalam, bagian tubuhnya itu meancarkan cahaya kemerah-merahan. Cahaya ini
berasal dari bara menyala yang mendekam di dalam tubuhnya.
Beberapa
waktu silam dari dukun jahat si nenek Hantu Santet Laknat dia pernah
mendapatkan satu ilmu dahsyat yang disebut Bara Setan Penghancur Jagat. Di
kepala, dada dan perutnya menempel dua ratus bara menyala yang bisa
dijadikannya senjata ganas luar biasa. Kejahatan dan kekejian yang dibuatnya
menyebabkan Peri Bunda enjatuhkan kutuk. Baa menyala yang tadinya ada di luar
tubuhdimasukkan ke dalam perutnya! Membuat dia menderita tersiksa setengah
mati.
Dalam
keadaan antara hidup dan mati dia melakukan tapa di satu tempat terpencil
hingga akhirnya dia mampu meredam panasnya bara menyala yang ada di dalam
tubuhnya. Malah kemudian bara menyala itu kembali dapat dipergunakannya sebagai
senjata seperti barusan yang dilakukannya terhadap Laekakienam dan Lakasipo.
"Hantu
Kaki Batu! Kau masih berani datang ke tempat ini mencari istriku Luhsantini!
Benar-benar berani mati!" Lakasipo tertawa bergelak.
"Hantu
Bara Kaliatus ternyata kau masih hidup! Tapi sayang, otakmu sudah miring! Apa
kau tidak sadar, sejak kau hendak membunuhnya yang ke dua kali, sejak itu pula
dia tidak sudi lagi menjadi istrimu?! Baginya kau tidak lebih dari pada iblis
biadab dari pusaran neraka jahanam!" Mendidih amarah Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus.
"Makhluk
jahanam! Perampas istri orang! Kalau Luhsantini ada di sini biar perempuan
celaka itu menyaksikan bagaimana aku memanggang tubuhmu sampai gosong!"
"
Jangan bicara terlalu sombong hantu laknat! Cacat di pipi kirimu bekas hantaman
rantai kakiku, serta cacat di lengan kirimu bekas hajaran Luhsantini masih
membekas nyata! Apa kau mau minta tambahan hajaran baru dariku?! Atau mungkin
kau minta barang di bawah pelutmu aku buat tambah besar dari yang ada
sekarang?!" (Seperti dituturkan dalam Episode berjudul "Hantu Bara
Kaliatus” atas nasihat nakal Naga Kuning Lakasipo telah menotok urat besar di
pangkal paha Hantu Bara Kaliatus. Akibatnya anggota rahasia lelaki itu menjadi
gembung besar seperti orang kondor. lnilah yang membuat gerakannya menjadi
lamban).
Tambah
mendidih amarah Hantu Bara Kaliatus mendengar kata-kata Lakasipo itu. Rahangnya
menggembung, mulutnya berkomat-kamit. Dia angkat tangan kirinya tinggi-tinggi
melewati kepala.
"Bleeepp
… bleepp … bleeppp!"
Dari
belasan tonjolan runcing yang ada di sekujur lengan besi Hantu Bara Kaliatus
membersit nyala api berwarna biru gelap mengeluarkan suara mendesis tak
berkeputusan.
"Hantu
Kaki Batu, sayang sekali! Kau tidak menyadari bahwa kau akan menemui kematian
lebih cepat dari yang kau duga!"
"Nyawa
manusia tidak berada dalam kuasa manusia lainnya! Karenanya jangan bicara
berpongah diri! Mungkin kau yang lebih dulu akan kujebloskan ke alam Roh!"
Bersamaan dengan selesai ucapannya Hantu Kaki Batu melompat. Kaki kirinya yang
terbungkus bola batu berdesing mencari sasaran di pinggul Hantu Bara Kaliatus
dalam jurus yang disebut "Kaki Roh Pengantar Maut." Dari kaki serta
bulatan batu membersit sinar hitam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya lepaskan
pukulan "Lima Kutuk Dari Langit"!
Hantu
Bara Kaliatus seolah menganggap enteng serangan maut yang dilancarkan lawan.
Sambil tertawa mengejekdia gerakkan tangan kirinya. Terjadilah hal yang membuat
kejut Hantu Kaki Batu bukan alang kepalang. Begitu Hantu Bara Kaliatus
menggerakkan tangan kirinya yang sebagian terbuat dari logam aneh, dari belasan
tonjolan runcing, bergulung keluar larikan larikan api panjang berwarna biru,
sangat panas. Gulungan api ini berbentuk demikian rupa seperti jaringan besar yang
dengan cepat menghantam dan menggulung ke arah Hantu Kaki Batu!
"Api
lblis Penjaring Roh!" teriak Lakasipo menyebut ilmu yang dikeluarkan
lawannya itu.
"Setahuku
ilmu ini hanya dimiliki oleh Hantu Santet Laknat! Celaka! Bagaimana jahanam ini
bisa memilikinya!"
"Dress!"
Bola batu
di kaki kiri Lakasipo terpental.Tubuhnya ikut terpelanting sampai tiga tobak.
Lalu jatuh terbanting di tanah.
"Wuss!
Wusssss! Wusssss! wussssss!"
Lima
larik sinar hitam pukulan sakti Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan
Lakasipo hancur bertaburan berubah menjadi asap begitu saling bentur dengan
jaringan api biru. Dengan uka pucat dan sekujur tubuh sakit Lakasipo cepat
bangkit berdiri. Namun
"wuuutttt!"
Jaringan
Api lblis cepat berkelebat menggulung dan membungkus tubuhnya.
"Cessss!
Cessss! Cessss!"
Tubuh
Lakasipo terpanggang hangus di beberapa bagian. Lelaki ini menjerit kesakitan.
Dia berusaha lepaskan diri dari jaring api biru tapi sia-sia saja. Semakin
dicoba semakin banyak bagian tubuhnya yang terluka hangus!
"Celaka!
Aku tak bisa membebaskan diriku! Aku akan terpanggang hancur dalam jaring api
ini!" Di hadapan Lakasipo. Hantu Bara Kaliatus berkacak pinggang dan
tertawa bergelak. Sekali dia meniup maka api biru yang membersit dari tonjolan
tonjolan runcing di tangan kirinya pun padam. Tapi jaring api biru masih tetap
membungkus sosok Lakasipo dan semakin panas hingga Lakasipo merasa tubuhnya
seolah mulai meleleh!
"Bara
Kaliatus keparat! Apa hubunganmu dengan Hantu Santet Laknat?!" Berteriak
Laksipo.
"Ha
…. ha …. ha! Jadi kau rupanya mengenali ilmu kesaktian yang kini menjaring
sekujur tubuhmu! Ha … ha … ha! Dengar baik-baik wahai makhluk malang! Aku
adalah murid si nenek sakti berjuluk Hantu Santet laknat yang kau tanyakan itu!
Ha … ha … ha … ha!"
Dalam
sakitnya Lakasipo terkejut bukan main. Lebih-lebih ketika mendengar Hantu Bara
Kaliatus meneruskan ucapannya.
"Dendam
kesumatku terhadapmu hari ini terbalas sudah! Sekaligus aku berhasil pula
melaksanakan tugas dari guruku! Selamat tinggal Hantu Kaki Batu! Sebelum matahari
tenggelam sekujur tubuhmu akan berubah menjadi bangkai meleleh!"
Lakasipo
mendongak langit. Saat itu sang surya telah jauh menggelincir ke arah barat.
Tak lama lagi matahari akan segera tenggelam. Berarti umurnya memang tak akan
lama. Dia coba gerakkan tangan untuk menghantam tapi
"cesss!"
Sedikit
saja dia bergerak, jaring api melukai dan menghanguskan tubuhnya!
"Hantu
.Bara Kaliatus jahanam! Kelak para Dewa akan menjatuhkan hukuman atas
dirimu!" Hantu Bara Kaliatus yang sudah berjalan beberapa langkah
menghampiri walet tunggangannya balikkan diri. Sambil menyeringai dia berkata.
"Kalau
kau merasa punya Dewa, panggilah! Berteriak minta tolong! Agar kau bisa keluar
dari Api lblis Penjaring Roh! Ha … ha … ha!" Hantu Bara Kaliatus tertawa
bergelak lalu tinggalkan tempat itu.
"Terkutuk
kau Latandai! Terkutuk kau Hantu Bara Kaliatus!" teriak Lakasipo. Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus tidak perdulikan teriakan caci maki Lakasipo. Sambil
terus tertawa dia menghampiri walet hitam. Dia tahu walau binatang itu
menderita cidera akibat hantaman Lakasipo tadi, sang walet masih bisa
menerbangkannya meninggalkan lembah batu itu. Namun tiga langkah di hadapan
walet raksasa, kaki Hantu Bara Kaliatus seolah terpantek ke tanah. Matanya
membeliak begitu menyaksikan bagaimana kepala walet tunggangannya berada dalam
keadaan hancur. Dua sayap dan kakinya menggelepar dan melejang-lejang beberapa
kali lalu diam tak berkutik lagi. Hantu Bara kaliatus berteriak marah.
"Jahanam
berani mati! Siapa membunuh waletku?!" Sebagai jawaban tiba-tiba menggema
suara cekikikan dari balik sebuah batu besar di samping kiri Hantu Bara
Kaliatus. Lelaki ini segera membalik dan menghantam dengan pukulan Selusin
Bianglala Hitam!. Dengan ilmu kesaktian inilah dulu dia hendak membunuh
istrinya atas suruhan Hantu Santet Laknat!.
Dua belas
sinar hitam menderu angker. Dua belas lobang kelihatan di batu itu. Asap
mengepul lalu
"braakk
… byaaarrr!"
Batu
besar hancur berantakan berkeping-keping. Pecahan dan debunya beterbangan ke
udara mmenertupi pemandangan. Ketika kepingan batu dan debu surut jatuh ke
tanah dan keadaan terang kemlbali, di depan sana tampak berdiri dua orang. Yang
pertama seorang kakek yang berdiri terbalik secara aneh yakni dua tangan
dijadikan kaki sedang sepasang kaki berada di sebelah atas.
Orang ke
dua seorang perempuan cantik berpakaian serba merah. Saat itu Lakasipo berada
di dalam keadaan cidera berat. Hampir sekujur tubuhnya hangus akibat
bersentuhan dengan Api lblis Penjaring Roh. Sakitnya bukan olah-olah. Lututnya
sudah goyah, pemandangannya berkunang-kunang. Walau samar-samar dia masih bisa
mengenali siapa adanya dua orang di seberang sana.
**********************
EMPAT
MULUT
Lakasipo bergetar ketika perlahan, antara terdengar dan tiada dia menyebut nama
kedua orang itu.
"Hantu
Langit Terjungkir…. Luhsantini…." Kakek yang tegak di atas dua tangannya
itu memang Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir adanya. Sedang perempuan
cantik berpakaian serba merah adalah Luhsantini, bekas istri Hantu Bara
Kaliatus.
Melihat
kemunculan istrinya, Hantu Bara Kaliatus yang sedang marah karena menemukan
walet terbang tunggangannya dalam keadaan mati pecah kepala jadi bertambah
marah. Sekali lompat saja dia telah berada di hadapan Luhsantini.
"Perempuan
laknat! lstri celaka! Pasti kau yang telah membunuh walet tungganganku!
Kepalanya hancur!"
"Makhluk
keji tak mengenal tobat! Tangan kirimu sudah kuhancurkan! Apa itu tidak cukup
menjadi pelajaran? Rupanya kau memang minta kuhancurkan kepalamu seperti aku
menghancurkan kepala walet hitam itu!" Balas mendamprat Luhsantini. Hantu
Bara Kaliatus keluarkan suara menggembor. Mulutnya berteriak.
"lstri
celaka! Dicari-cari tidak bertemu! Sekarang malah muncul sendiri mengantar
nyawa!" Rahang Hantu Bara Kaliatus menggembung lalu begitu dia meniup ke
depan, dua buah bara menyala melesat menyerang Luhsantini. Tapi Luhsantini
cepat menyingkir selamatkan diri
"Makhluk
keji! Haram bagimu menyebut diriku istri!"
"Kalau
begitu biar kusebut kau gendak Lakasipo alias Hantu Kaki Batu! Mungkin kau
lebih senang dipanggil begitu!" Penuh luapan amarah kembali Hantu Bara
Kaliatus menyergap Luhsantini. Dia melompat sambil kembali semburkan dua bara
api yang ada dalam perutnya. Jelas sekali dia benar-benar ingin membunuh
Luhsantini.
Perempuan
ini cepat berkelebat dan siap balas menyerang. Namun dari samping kakek yang
tegak kepala ke bawah kaki di atas gerakkan dua kakinya. Dua larik angin
dahsyat berwarna ke biruan menebar hawa dingin melabrak ke depan.
Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus tersentak kaget ketika hantaman angin itu sanggup
membuat dua bara api yang disemburkannya terpental kesamping hingga Luhsantini
selamat dari serangannya. Selain itu sambaran angin tadi sempat membuat dia
terhuyung huyung sampai dua langkah.
"Tua
bangka jahanam! Siapa kau!" teriak Hantu Bara Kaliatus walau diam-diam dia
sudah bisa menduga siapa adanya kakek aneh berpakaian compang camping dan
berdiri kaki ke atas kepala ke bawah ini. Kakek yang dibentak keluarkan suara
mengekeh. Dua kakinya digerakkan kembali, siap untuk menghantam, tapi di
sebelahnya Luhsantini berkata.
.
"Kakek Hantu Langit Terjungkir, harap kau suka menolong lelaki dalam
jaring api biru itu! Biar aku melayani jahaman sesat yang otaknya sudah dicuci
oleh si dukun santet Hantu Santet Laknat ini!" Mendengar ucapan Luhsantini
Hantu Langit Terjungkir berkata
"Hati-hatilah.
Perhatikan gerak tangan kirinya! llmu jaring api birunya sangat
berbahaya!" Sehabis memberi ingat begitu si kakek segera berkelebat ke
arah sosok yang terjebak dalam jaring api. Dari jauh dia tidakbegitu jelas dan
tidak mengenali siapa adanya orang itu. Tapi begitu berdekatan, terkejutlah si
orang tua.
"Lakasipo
…." Katanya menyebut nama itu dengan suara bergetar.
"Kau
rupanya …. Aku memang tengah mencarimu. Sejak kau datang ke Lembah Seribu
Kabut, aku selalu teringat padamu dan ingin bertemu denganmu …."
"Kek,
aku tak dapat menyalahkanmu," jawab Lakasipo. Saat itu tubuhnya yang penuh
luka dan hangus sudah mulai goyah. Tegaknya menghuyung. Pemandangannya seperti
kabur. Dia kumpulkan seluruh tenaga untuk bisa keluarkan ucapan menyam-bung
kata katanya tadi.
"Kau
tentu masih merasa sangat penasaran. Karena kebodohan dan kelalaianku hingga
sendok emas sakti yang bisa mengembalikan kesaktianmu amblas dilarikan
orang!" Kepala si kakek yang berada di sebelah bawah kelihatan digelengkan
beberapa kali.
"Wahai
… Bukan! Sendok sakti itu memang sangat penting artinya bagi penyembuhan diriku
yang menderita tersiksa penuh sengsara ini. Tapi jauh lebih penting ada hal
lain yang hendak aku bicarakan denganmu. Menyangkut rahasia aku sebagai seorang
ayah dan …."
"Kek,
aku …." Belum habis Hantu Langit Terjungkir bicara Lakasipo sudah
memotong. Saat itu sosoknya yang berada di dalam jaring api biru tersandar ke
belakang.
"Cesss!”
Daging
punggungnya yang bersentuhan dengan jaring api langsung luka. Lakasipo keluarkan
jerit kesakitan. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah leleh. Dia jatuh
terkulai. Pingsan tak sadarkan diri.
"Jaring
jahanam! Kalau tidak kutolong sesaat lagi dia pasti akan hangus menemui ajal!
Para Dewa beri aku kemampuan menolong dirinya!" Enteng sekali, laksana
kabut mengambang di udara, sosok Hantu Langit Terjungkir naik ke atas. Lalu
laksanakan kilat gerakannya berubah cepat luar biasa, melompat ke bagian atas
jaring Api lblis Penjaring Roh lalu mencengkram!
"Cesss!
Cesssss!"
Telapak
tangan kiri kanan Hantu Langit Terjungkir hangus terkelupas. Sakitnya bukan
kepalang tapi si kakek cuma kelihatan menyeringai. Dia kerahkan tenaga dalamnya
yang secara aneh berpusat di kening. Dari tubuhnya kelihatan memancar asap
kebiru-biruan. Ketika mulutnya meniup ke bawah maka menyemburlah cahaya biru
menebar hawa dingin luar biasa.
"Ceeessssssss!"
Jaring
Api lblis Penjaring Roh yang merupakan pancaran api biru panas luar biasa
keluarkan suara mendesis panjang laksana diguyur air es. Asap biru membubung ke
udara. Warna birunya bukan saja menjadi redup tapi hawa panasnya serta merta
lenyap.
Jaring
biru itu kini tidak bedanya seperti terbuat dari tali biasa. Lakasipo selamat
dari kematian walau hampir sekujur tubuhnya hangus terkelupas dan saat itu dia
masih tergeletak tak sadarkan diri. Dengan dua tangannya Hantu Langit
Terjungkir berusaha merobek putus jaring api biru. Tapi luar biasanya jaring
yang sudah berubah dingin itu atos sekali. Bagaimanapun si kakek mengerahkan
kesaktiannya tetap saja dia tidak mampu menjebol jaring guna mengeluarkan
Lakasipo yang masih terjerat.
"Jaring
jahanam! Setahuku Hantu Santet Laknat tidak memiliki kepandaian menciptakan
jaring seperti ini. Kalau tadi makhluk bertangan logam itu mengaku murid si
nenek, niscaya dukun jahat itu dapatkan ilmu keparat ini dari seseorang. Aku
harus mencari tahu siapa adanya …. Tapi perduli setan! Yang penting saat ini
anakitu sudah berhasil aku selamatkan. Kalau perlu aku akan membawanya dalam
keadaan masih berada dalam jaring itu.
Mungkin
benar kabar yang pernah ku dengar. Hanya ada beberapa orang saja di Negeri
Latanahsilam ini yang sanggup menjebol jaring celaka itu. Satu diantaranya si
nenek berjuluk Hantu Lembah Laekatakhijau. Tapi tak bisa kuduga apa nenek itu
masih hidup. Yang kedua seorang setengah waras berjuluk Hantu Raja Obat atau
Hantu Seribu Obat. Tapi salah-salah meminta bisa isi perutku dibedolnya
dijadikan ramuan obat!"
Hantu
Langit Terjungkir alias Lasedayu pandangi sosok Lakasipo yang melingkar di
dalam jaring api biru. Mata orang tua ini tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan
tubuhnya melayang ke bawah. Dari sisi kanan kembali dia memperhatikan. Kini
pandangan matanya dipusatkan pada bagian belakang atas tangan kanan Lakasipo.
Di antara
daging yang terluka dan hangus dia masih bisa melihat tanda aneh dekat ketiak
lelaki itu. Yakni tanda menyerupai sekuntum bunga dalam lingkaran. Tetesan air
mata jatuh membasahi kening Hantu Langit Terjungkir.
"Aku
yakin …. Yakin sekali. Dia salah seorang dari mereka. Wahai Dewa …. Beri aku
petunjuk. Yang penting saat ini selamatkan nyawanya. Sembuhkan luka lukanya
…."
Baru saja
Hantu Langit Terjungkir berucap seperti itu tiba-tiba disampingnya ada suara
orang berkata.
"Tua
bangka tolol! Memakai tangan sebagai kaki! Kau menangis meneteskan air mata!
Apa orang di dalam jaring itu sudah menemui ajal? Menyingkirlah! Aku mau tahu
siapa yang mampus! Orang atau binatang! Jangan-jangan dia! Kalau benar dial
sungguh sial nasib diriku!" Setelah itu
"buuuut
… !"
Ada suara
orang kentut! Lalu ada satu tangan mendorong. Seperti diketahui walau Hantu
Langit Terjungkir telah kehilangan banyak ilmu kesaktian akibat dirampas oleh
Hantu Muka Dua, namun sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut dia berhasil
menghimpun tenaga dalam baru dan menciptakan ilmu kesaktian. Tidak mudah untuk
mendorong sosok tubuhnya.
Tapi
gerakan orang barusan ternyata mampu membuat si kakek terhuyung-huyung dan
sepasang tangannya tergeser satu jengkal ke kiri! Satu sosok berpakaian kuning
kemudian lewat disamping Hantu Langit Terjungkir, ulurkan kepala memperhatikan
ke dalam jaring api biru.
"Huh!
Hanya seekor kadal raksasa mati hangus! Apa perlunya ditangiskan?!" Si
baju kuning berkata lalu tertawa cekikikan. Kemudian
"buuuuttt!"
**********************
LIMA
HANTU
Langit Terjungkir delikan matanya. Yang tegak di depan jaring ternyata seorang
nenek yang sekujur tubuhnya serba kuning mulai dari rambut sampai ke kaki. Di
punggungnya dia memanggul sebuah keranjang besar terbuat dari rotan penuh
dengan bulu dan kotoran ayam. Saking marahnya mendengar Lakasipo dianggap
seekor kadal raksasa si kakek membentak.
"Matamu
kuning belekan! Pantas! Manusia hidup kau katakan kadal! Kalau bisamu cuma
mengigau dan kentut lekas angkat kaki dari tempat ini!" Tanpa berpaling
pada Hantu Langit Terjungkir si nenek muka kuning yang bukan lain adalah
Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin alias Selaksa Kentut songgengkan pantatnya
lalu
"buuutttt
… !"
Dia
kentut seenaknya! Setelah itu dia tertawa cekikikan. Sepasang matanya yang
kuning sesaat melirik ke arah Hantu Langit Terjungkir. Tiba-tiba dia hentikan
tawanya dan mukanya yang kuning kelihatan berkerenyit.
"Heh
…. Rasa-rasanya aku pernah melihat tampangmu sebelumnya. Apakah aku pernah
mengenal dirimu?!"
"Lebih
baik kau tidak kenal diriku! Siapa sudi kenal dengan nenek-nenek busuk
sepertimu!" Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin alias Hantu Sclaksa Angin
tertawa lalu
"buutt!"
Dia
kembali terkentut-kentut.
"Tua
bangka tidak tahu diri! Jangan kira Cuma kau saja yang bisa kentut! Aku juga
bisa!" Teriak Hantu Langit Terjungkir. Lalu dari mulutnya dia keluarkan
suara
"buuuttlt
… !"
Hantu
Selaksa Angin mendongak ke langit lalu tertawa gelak-gelak.
"Kau
memang hebat dalam keanehanmu! Pertama kulihat kau pergunakan tangan sebagai
kaki, sementara kaki cuma diuncang-uncang di udara! Lalu kalau aku kentut dari
pantat kau pandai kentut dari mulut! Apa tidak aneh dan hebat?! Hik.. hik …
hik!" Hantu Langit Terjunkir memaki panjang pendek.
Sebelumnya
dia memang sudah mendengar sifat dan kelakuan nenek satu ini. Maka dia berucap.
”Tidak
heran kalau penyakit kentutmu tidak pernah sembuh! Sifat, ucapan dan
perbuatanmu selalu seperti orang tidak waras!"
"Siapa
bilang aku tidak bisa sembuh! Ada seorang pemuda dari negeri seribu dua ratus
tahun mendatang tengah menolongku! Aku pasti sembuh! Buktinya sekarang kentutku
sudah tidak panjang lagi seperti dulu!"
"Tua
bangka tolol! Masih banyak urusanku di tempat ini. Lekas menyingkir dari sini!
Jangan mengganggu orang dengan mulut dan pantatmu!"
"Huh!
Bicara sombongnya! Wahai! Kalau tidak kebetulan lewat di sini, dan mengira
kadal hangus itu pemuda penolongku, perlu apa aku berada di tempat hi!" Si
nenek cibirkan bibirnya. Dia melirik pada si kakek, lalu perhatikan acuh tak
acuh perkelahian yang terjadi antara Luhsantini dengan Hantu Bara Kaliatus. Si
nenek kembali songgengkan pantatnya dan
"buu
ttt… !" Lalu dia putar tubuh hendak pergi.
"Tunggu!"
Hantu Langit Terjungkir berseru.
"Pemuda
asing yang kau katakan itu. Apakah namanya Wiro Sableng?"
"Apa
perdulimu! Siapapun namanya apa urusanmu?!" tukas Luhkentut.
"Buuumt!"
saking geramnya Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti orang kentut
dari mulutnya.
"Aku
memang harus perduli. Pemuda itu pernah menyelamat kan diriku! Dengar kau nenek
buruk muka kuning! Jika kau berani mencelakai pemuda itu, akan kurajam tubuhmu!
Akan kubuat kau jadi matang seperti ikan asap!" Si nenek songgengkan
pantatnya. Kembali hendak keluarkan kentut. Tapi tak jadi. Seperti tadi mukanya
yang kuning kembali tampak mengerinyit.
"lkan
asap …." ujar si nenek mengulang.
"Aku
pernah mendengar nama hidangan itu. lkan pindang … ! Itu nama lainnya! Wahai ….
Apakah aku pernah mengenal dirimu sebelumnya kakek aneh yang pergunakan dua
tangan sebagai kaki?!"
"Sudah
kubilang aku tidak sudi kena! denganmu! Lekas angkat kaki dari tempat
ini!" teriak Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir. Si nenek menyeringai.
"Aku
akan pergi. Kau tak usah khawatir. Siapa sudi berlama-lama di tempat celaka
ini! Tapi sebelum pergi aku mau lihat dulu tampangnya yang tertutup janggut dan
kumis menjulai itu! Siapa tahu aku memang pernah kenal dirimu!" Lalu
dengan satu gerakan cepat Nenek Selaksa Kentut alias Selaksa Angin menyambar
dua kaki Hantu Langit Terjungkir. Maksudnya dia hendak membalikkan tubuh si
kakek sebagaimana mestinya yaitu kepala ke atas kaki ke bawah. Dengan demikian
dia bisa melihat lebih jelas sosok serta wajah si kakek.
Namun
sebelum sempat hal itu dilakukannya tiba-tiba di arah kiri terdengar suara
bergemuruh seperti ada pohon yang tumbang lalu menyusul jeritan perempuan.
Gerakan si nenek jadi tertahan sementara Hantu Langit Terjungkir begitu
mendengar suara jeritan serta merta berkelebat ke kiri.
Apa yang
terjadi?
Sesaat
setelah tadi Hantu Langit Terjungkir meninggalkan Luhsantini karena hendak
menolong Lakasipo yang terjerat dalam jaring api biru, tanpa menunggu lebih
lama Latandai alias Hantu Bara Kaliatus menyergap ke arah Luhsantini yang bekas
istrinya itu.
"Perempuan
laknat, istri terkutuk! Sebelum kubunuh kau lekas katakan dimana berada anakku
si Lamatahati?!" Mendendar ucapan Hantu Bara Kaliatus itu Luhsantini
langsung mendamprat!
"Jangan
kau berani menyebut Lamatahati sebagai anakmu! Bukankah dulu kau hendak membunuhnya
bersama diriku di tepi kawah Gunung Latinggimeru?! Manusia durjana! Sebelum kau
membunuhku biar aku lebih dulu mencabut nyawamu! Biar kemudian para Dewa
menggiring Rohmu ke pusaran neraka atas langit" Habis berkata begitu
Luhsantini berkelebat Tangan kanannya laksana kilat menyambar ke arah dada
Hantu Bara Kaliatus. Dari sambaran angin yang mendahului datangnya pukulan,
Hantu Bara Kaliatus maklum kalau serangan Luhsantini tidak bisa dianggap remeh.
Karena dia tidak bisa bergerak cepat akibat tubuhnya sebelah bawah yang
menggembung besar maka Hantu Bara Kaliatus langsung jatuhkan diri, jatuh
punggung ke tanah.
"Bukkkk!"
Pukulan
Luhsantini menghantam lamping batu Di sebelah depan batu itu tidak kelihatan
bergeming sedikitpun, apa lagi retakatau jebol. Tapi luar biasanya, disebelah
belakang lamping batu keluarkan suara berderak lalu retak-retak. Satu per satu
retakan itu kemudian berderai jatuh, mengepulkan asap seperti hangus! lnilah
kehebatan lima pukulan yang selama ini dipelajari dan diyakini Luhsantini,
disebut Di balik Labukit Menghancurkan Lagunung!
Melihat
serangannya luput, Luhsantini tak tinggal diam. Selagi Hantu Bara Kaliatus
masih tertelentang di tanah dia cepat mengejar dengan serangan ke dua. Kalau
tadi tenaganya yang bekerja maka kini kaki kanannya membuat gerakan menghunjam.
Tumit Luhsantini menderu ke arah kening Hantu Bara Kaliatus.
"lstri
laknat perempuan jahanam!" teriak Hantu Bara Kaliatus seraya gulingkan
diri ke kanan.
"Terima
kematianmu!" Sambil bangkit, dalam keadaan setengah duduk Hantu Bara
Kaliatus kerahkan tenaga dalam lalu menyambar.
"Wuutt!
Wuuuuttt!"
Latandai
keluarkan ilmu Bara Setan Penghancur jagat. Tiga bara merah menyala menyambar
cepat dan ganas ke arah Luhsantini. Satu mengarah kepala. Yang ke dua mencari
sasaran di dadanya, sedang bara ke tiga menderu ke bagian bawah perutnya.
Melihat
tiga serangan dahsyat mengancam dirinya mau tak mau Luhsantini batalkan
gerakannya menghantam kepala lawan. Dengan cepat perempuan ini berkelebat ke
kanan sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong. Luhsantini berhasil
menghantam mental bara menyala yang menyerang ke arah kepalanya. Walau serangan
sangat berbahaya itu dapat ditangkis, namun tak urung tangan kanannya bergetar
hebat sedang ujung lengan panjang pakaian merahnya kepulkan asap. Ujung lengan
itu ternyata telah hangus!
Dengan
melompat tadi, Luhsantini juga berhasil menghindari batu bara ke dua yang
melesat ke arah dadanya, Namun serangan ke tiga masih sempat menyerempet
pinggulnya. Perempuan ini terpekik kesakitan. Bukan saja pinggul pakaian
merahnya robek hangus tapi daging pinggulnya ikut terserempet luka! Selagi
Luhsantini tertegak menahan sakit, Hantu Bara Kaliatus telah berada di
hadapannya. Menyeringai sambil angkat tangan kirinya yang disambung dengan
logam.
"Gendakmu
sudah kujebloskan dalam jaring api biru! Sekarang giliranmu!" Hantu Bara
Kaliatus kertakkan rahang. Tangan kirinya digerakkan. Dari pentolan pentolan
runcing di sepanjang lengan palsu yang terbuat dari logam itu, melesat keluar
larikan-larikan sinar biru, bergulung membentuk jaring. Lalu menyambar ke arah
Luhsantini! Perempuan itu cepat menghindar, melompat dan berlindung ke balik
sebatang pohon.
"Wuuusss!"
Jaring
api yang disebut Api lblis Penjaring Roh menyambar. Laksana senjata tajam
membelah air begitulah kelihatan jaring api itu melewati batang pohon. Begitu
lewat batang pohon serta merta berubah hangus hitam kebiru-biruan lalu tumbang
dengan suara bergemuruh. Luhsantini cepat menyingkir namun dia terkesiap kaget
ketika tiba-tiba saja, cepat sekali. Di atasnya jaring api biru telah menyambar
ke bawah, siap menjerat tubuhnya! Perempuan ini keluarkan pekik ngeri seraya
coba menghantam dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun sia-sia saja!
Sekejapan
lagi Luhsantini akan dilibas Api lblis Penjaring Roh tiba-tiba menyambar satu
gelombang kabut memencarkan warna kebiru-biruan dan menebar hawa dingin luar
biasa. Begitu kabut ini bersentuhan dengan jaring api biru terdengar suara
"ceesss. ..cessss" berkepanjangan. Cahaya jaring biru kelihatan
menjadi redup. Hawa panasnya serta merta menjadi lenyap. Tapi gerakan jaring
yang hendak menjerat sosok Luhsantini tetap tidak tertahankan.
Sesaat
kemudian perempuan itu sudah terlibat dalam jaring. Masih untung
larikan-larikan api jaring telah berubah menjadi seperti tali-tali biasa. Kalau
tidak niscaya sekujur wajah dan tubuh Luhsantini akan menjadi terbakar hangus!
"Celaka!"
Di sebelah sana Hantu Langit Terjungkir berseru kaget melihat bagaimana
Luhsantini telah masuk dalam libatan jaring. Bagaimana pun dia berusaha
meloloskan diri tetap saja tidak berhasil. Si kakek sendiri saat itu tengah
berusaha mengatur jalan darah dan pernafasannya. Bentrokan antara kabut
saktinya tadi dengan api jaring biru telah membuat tubuhnya tergoncang hebat
luar dalam. Begitu keadaannya pulih kembali, cepat dia berkelebat mendekati
Luhsantini. Tangannya bergerak kian kemari untuk merobek dan memutus jaring.
Sia-sia belaka! Hantu Bara Kaliatus keluarkan suara tawa bergelak.
"Jangan
harap dia bisa keluar dari dalam jaring itu! Tidak ada satu makhlukpun bisa
membebaskannya! Aku memang tidak berhasil membunuh mereka. Tapi aku sudah cukup
puas menjebloskan keduanya seumur hidup dalam Api lblis Penjaring Roh Ha… ha …
ha!" Hantu Bara Kaliatus balikkan badannya lalu tinggalkan tempat itu.
"Makhluk
keparat!" teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Kemana
kau lari akan kukejar! Tapi sebelum kau mati di tanganku ada sesuatu yang perlu
kutanyakan!" Melihat si kakek hendak mengejar Hantu Bara Kaliatus jadi
marah tapi juga khawatir.
"Kakek
yang tegak menyungsang ini memiliki kepandaian tinggi! Keadaanku membuat aku
tak bisa bergerak cepat. Dia pasti mampu mengejarku! Jahanam! Aku harus dapat
mencegahnya!" Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar lalu meniup ke
arah si kakek. Yang keluar kali ini bukan lesatan bara api tetapi satu
gelombang api. Hantu Langit Terjungkir berseru kaget ketika dia dapatkan
dirinya tiba-tiba terkurung kobaran api. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam
yang ada di kening ke kaki kanannya. Satu larikan besar kabut dingin membeset
udara begitu si kakek tendangkan kaki kanannya. Kabut ini lalu bergulung-gulung
menyambar kobaran api.
"Wusss
… wussss!"
Kobaran
api !enyap. Namun Hantu Bara Kaliatus tak ada lagi di tempat itu.
"Kurang
ajar!" Hantu Langit Terjungkir memaki. Dia meman-dang berkeliling.
Memperhatikan Lakasipo yang ada dalam jaring. Melihat pada nenek bermuka dan
berpakaian serba kuning. Sesaat dia tampak bimbang.
"Apa
yang harus aku lakukan …. Lakasipo sementara dalam keadaan aman walau masih
dilibat jaring. Nenek muka kuning itu nanti saja kuselidiki siapa dirinya. Biar
aku mengejar Hantu Bara Kaliatus. Aku tadi sempat melihat ada tanda bunga dalam
lingkaran di lengan kanannya sebelah belakang. Wahai, bagaimana mungkin ada
darah dagingku sejahat dirinya? Seganas itukah kutuk Dewa terhadap diriku? Aku
harus menyelidiki, harus tahu siapa dia sebenarnya sebelum aku salah
menjatuhkan tangan maut!" Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir
segera berkelebat ke arah yang diduganya lenyapnya Hantu Bara Kaliatus.
"Kek!
Jangan pergi!" teriak Luhsantini ketika melihat Hantu Langit Terjungkir
berkelebat pergi. Saat itu dia masih terus berusaha menjebol jaring agar bisa
lolos. Tapi si kakek keburu lenyap. Luhsantini alihkan pandangannya pada nenek
muka kuning.
"Wahai!
Menurut penglihatanku kau adalah seorang ber-kepandaian tinggi. Mengapa tidak
mencoba membebaskan diriku dan menolong pemuda itu?!"
"Buuttt!"
si nenek men jawab dengan terkentut lalu tertawa cekikikan membuat Luhsantini
menjadi merah wajahnya dan menggerutu marah.
"kalau
bisamu cuma kentut melulu, harap pergi saja dari sini!"
Nenek
Selaksa Angin pencongkan mulutnya.
"Aku
memang mau pergi. Aku mau mengejar kakek aneh tadi! Aku harus harus mencari
jawab apa aku kenal padanya atau tidak!"
"Perempuan
tua tidak bermalu! Kakek itu jelas tidak sudi berkenalan denganmu, mengapa kau
kejar kejar? Jangan-jangan kau bangsa tua bangka gatal!" Luhsantini
mendamprat saking marahnya. Dimaki seperti itu si nenek jadi marah. Tangan
kanannya bergerak dan
"plaak!"
Tamparannya melayang ke pipi kanan Luhsantini. Tamparan yang cukup keras itu
membuat Luhsantini terbanting dan terguling-guling dalam jaring. Pipi kanannya
serasa lebam dan tulangnya seolah pecah. Terhuyung-huyung Luhsantini bangkit
dan menggapai-gapai dalam libatan jaring. Dalam sakit dan juga marahnya
tiba-tiba dia melihat salah satu tali jaring di bagian mana tadi tamparan si
nenek mendarat berada dalam keadaan putus! Berarti nenek muka kuning itu
memiliki kesaktian yang mampu memutus jaring!
"Tua
bangka gatal! Mengapa kau cuma menamparku satu kali?! Ayo tampar lagi! Lakukan
sepuasmu!" Tiba-tiba Luhsantini berteriak. Si nenek pelototkan matanya. Dia
hendak bergerak maju dan benar-benar hendak menampar Luhsantini. Tapi tiba-tiba
dia hentikan gerakannya dan menyeringai. Setelah kentut dua kali dia berkata.
"Jangan
kira aku tidak tahu akal busukmu! Kau minta aku menampar agar bisa memutus
tali-tali jaring!"
"Buutt!"
Si nenek kentut.
"Perlu
apa menolongmu. Lebih baik aku mencari kibul ayam jantan. Tinggal enam belas
ekor lagi! Aku akan segera sembuh! Hik. .. hik!" Si nenek songgengkan
pantatnya ke arah Luhsantini lalu kentut lagi dua kali berturut-turut. Setelah
itu sekali berkelebat perempuan tua itupun lenyap. Luhsantini memaki
habis-habisan.
"Nenek
otak miring! Mencari kibul ayam jantan katanya! Apa artinya kibul? Tua bangka
tidak berbudi!" Luhsantini kemudian periksa bagian jaring yang putus. Dia
coba menarik-narik dan memasukkan kepalanya.
Tapi
lobang di jaring masih sangat kecil. Jangankan kepalanya, kepalannya saja tak
bisa disusupkan. Dalam bingungnya karena tidak tahu apa yang hendak dilakukan
Luhsantini memandang ke arah sosok Lakasipo yang masih terjerat di dalam jaring
satunya. Dia tak dapat memastikan apakah lelaki itu hanya pingsan saja atau
sudah menemui ajal.
"Lakasipo!
Lakasipo!" Luhsantini memanggil berulang-ulang. Namun sosok Lakasipo tidak
bergerak. Hanya ada suara erangan pendek keluardari mulutnya. Setelah itu
keadaan di tempat itu kembali sunyi senyap.
Sementara
di langit sang surya semakin mendekati ufuk tenggelamnya. Sebentar lagi tempat
itu akan menjadi gelap. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba semak belukar di
sebelah kiri terkuak. Tiga sosok muncul dan salah satu diantaranya berucap.
"Seruan
yang memanggil-manggil nama Lakasipo tadi pasti datang dari tempat ini! Tapi
tak ada siapa siapa di sini!"
"Hei!
Lihat di sebelah sana! Ada orang tergeletak di dalam jaring aneh!" Suara
ke dua berseru Menyusul orang ke tiga ikut berteriak.
"Di
sebelah situ juga ada jaring satu lagi! Ada orang terjebak di dalamnya!"
"Kawan-kawan!
Kau lekas memeriksa orang di dalam jaring sebelah sana! Aku akan berusaha
menolong orang satunya!" Ketika orang yang bicara ini melompat ke hadapan
jaring dimana Luhsantini berada kagetlah dia karena dia masih bisa mengenali
siapa adanya perempuan itu.
"Bukankah
…. Bukankah kau orangnya yang bernama Luhsantini?" orang itu bertanya
sambil garuk garuk kepala. Luhsantini memperhatikan dari dalam jaring. Matanya
penuh selidik.
"Kau
siapa?"
"Aku
Wiro, saudara angkat Lakasipo. Mungkin kau tidak mengenali diriku. Karena
pertama kali bertemu dengan kawan-kawan sosok kami bertiga masih sebesar
jari!" Sepasang mata Luhsantini pandangi Pendekar 212. Dia melirik pada
sosok dua orang di sebelah sana yakni Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.
"Wahai!
Aku ingat riwayat kalian bertiga!"
"Apa
yang terjadi denganmu? Siapa orang yang ada di dalam jaring sebelah sana
…."
"Dia
Lakasipo." Terkejutlah Wiro mendengar jawaban Luhsantini itu. Dia
memandang berkeliling. Lalu bertanya.
"Aku
harus menolongmu! Ceritakan bagaimana kejadiannya sampai dirimu terjebak dalam
jaring aneh ini!"
"Jangan
perdulikan diriku. Lebih baik kau menolong Lakasipo lebih dulu. Keadaannya
gawat …" kata Luhsantini.
"Kalau
begitu …." Wiro garuk kepalanya lalu melangkah cepat menghampiri Lakasipo
yang tergeletak di tanah, berada dalam jaring. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol
berusaha membebaskan lelaki itu. Namun akhirnya mereka bingung sendiri karena
apapun yang mereka coba tidak sanggup memutus jaring api biru.
"Wiro!
Keluarkan kapakmu. Mungkin itu bisa dipakai memutus jaring celaka ini …."
Dari. balik jaring tiba-tiba terdengar suara orang berucap. Suara Lakasipo.
Tanpa banyak cerita murid Sinto Gendeng segera keluarkan KapakMaut NagaGeni212.
Cahaya matahari yang hendak tenggelam memantuk kuning kemerahan di permukaan
dua mata kapak. Ketika Wiro hendak membungkuk mencari bagian yang baik di
sebelah kaki jaring untuk dibacok dengan kapak sakti, tiba-tiba ada satu
bayangan biru berkelebat dan tegak di hadapan Wiro. Pendekar 212 angkat
kepalanya.
"Luhcinta!"
ujar murid Eyang Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Tentu saja Pendekar 212 merasa gembira dapat bertemu kembali dengan gadis
cantik jelita itu. Namun dibalik kecantikan si gadis saat itu Wiro melihat ada
satu bayangan rasa gelisah.
"Wiro,
ada satu hal sangat penting ingin kubicarakan denganmu. Harap kau sudi
mengikutiku … !" Suara Luhcinta terdengar lirih pertanda memang ada satu
tekanan batin yang tengah dialaminya saat itu. Si gadis tahu Wiro akan,memenuhi
kehendaknya. Karenanya tanpa menunggu jawaban Wiro dia segera berkelebat pergi.
"Kalian
berdua tunggu di sini. Aku tidak akan lama," kata Pendekar 21 2. Lalu dia
segera berkelebat pula ke arah lenyapnya Luhcinta.
"Seharusnya
dia tinggalkan kapak saki itu. Agar kita bisa menolong Lakasipo!" kata
Naga Kuning.
"Dia
segera kembali. Dia sendiri bilang tak bakal lama!" menyahut Si Setan
Ngompol.
"Kau
orang tua yang seperti tidak pernah muda saja Kek! Seorang pemuda dan seorang
pemudi berdua-dua di satu tempat sunyi, mana mungkin mau sebentar saja. Apa
lagi Luhcinta kelihatannya seperti punya masalah besar!" Apa yang
dikhawatirkan Naga Kuning, bocah aneh yang sebenarnya adalah kakek berusia 120
tahun itu menjadi kenyataan, Sampai matahari tenggelam dan kegelapan mencekam
di lembah batu itu, Pendekar 212 tak kunjung muncul.
"Apa
kataku. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan Wiro! Kek, kau tunggu di
sini. Aku akan menyelidik!" Si Setan Ngompol yang takut ditinggal
sendirian langsung terkencing.
"Aku
ikut bersama!" katanya pada Naga Kuning seraya pegangi celana si bocah.
Berjalan beberapa tindak Naga Kuning hentikan langkahnya.
"Bagaimanadengan
Luhsantinidan Lakasipo?" Anak ini bertanya pada Si Setan Ngompol lalu
memandang pada Luhsantini. Dari balik jaring terdengar perempuan itu berucap.
"Jangan
perdulikan diriku! Lekas cari Wiro. Lakasipo perlu lekas ditolong. Keadaannya
gawat!"
"Kami
segera mencarinya! Bertahanlah!" berkata Setan Ngompol. Lalu tetap masih
sambil pegangi pantat celana Naga Kuning dia berkata.
"Ayo
jalan duluan! Arah sana! Aku lihat si gondrong itu tadi menuju ke sana!"
Si kakek menunjuk ke arah deretan pohon-pohon besar dan semak belukar yang
merupakan bagian luar atau tepi rimba belantara yang disebut Lasesatbuntu.
**********************
ENAM
PENDEKAR
212 berlari cepat melewati deretan pepohonan dan semak belukar tinggi. Luhcinta
berada di sebelah depannya. Walau saat itu cahaya sang surya yang hendak
tenggelam mulai redup namun karena Luhcinta tak berapa jauh di depannya dengan
mudah Wiro bisa mengikuti lari si gadis.
Sebentar
saja kedua orang itu telah masuk jauh ke dalam rimba belantara. Di satu tempat
sosok Luhcinta lenyap. Wiro hentikan larinya, memandang berkeliling.
"Luhcinta!
Dimana kau?!" Wiro memanggil. Suaranya bergema dalam rimba belantara yang
mulai gelap itu. Tak ada jawaban. Wiro menunggu. Sesekali terdengar suara desir
dedaunan yang saling gesek oleh tiupan angin.
"Luhcinta?!"
Wiro memanggil kembali. Setelah ditunggu tetap tak ada jawaban Wiro bersiap
untuk mengerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Namun
tak jadi karena saat itu lapat-lapat mendadak dia mendengar suara orang
menangis.
"ltu
seperti suara Luhcinta! Ada apa dia menangis …." Wiro sibakkan serumpunan
semak belukar lalu bergerak cepat ke arah datangnya suara orang menangis. Suara
tangisan itu terdengar semakin jelas tanda semakin dekat. Namun sampai sekian
lama Wiro masih belum juga menemukan Luhcinta. Sementara itu tanpa disadarinya
Wiro telah masuk makin jauh ke dalam rimba belantara Lasesatbuntu.
Di satu
tempat Wiro akhirnya hentikan langkah. Udara bertambah kelam. Wiro mulai
menyadari keanehan yang dihadapinya.
"Suara
tangis gadis itu dekat sekali. Aku seperti bisa meraba-nya jika tanganku
kuulurkan. Tapi sosoknya tetap tidak kelihatan …."
"Luhcinta!
Kau berada di mana?!" Wiro berteriak.
"Wiro
…. Aku di sini …. Di balik pohon," ada suara perempuan menjawab. Di
samping kiri Wiro memang ada sebuah pohon besar yang akar gantungnya menjulai
sarat menimbulkan satu peman-dangan angker. Pendekar 212 segera mendekati pohon
ini, sibakkan akar-akar gantung di sekitarnya. Begitu dia sampai di balik pohon
besar, memang benar di situ dilihatnya Luhcinta duduk di atas akar besar yang
menonjol di tanah. Gadis ini duduk dengan bahu tersentak-sentak menahan
sesenggukan. Wajahnya ditutup dengan kedua tangan.
"Luhcinta
…." Wiro pegang bahu si gadis.
"Ada
apa sampai kau menangis. Kalau memang mau bicara mengapa jauh-jauh masuk ke
dalam hutan. Di sini keadaannya gelap. Hawanya tidak enak. Mari kita
"kembali ke lembah batu sana. Kalau memang ada sesuatu, kau bisa
mengatakannya parjang lebar di sana. Selain itu ada dua orang sahabat yang
perlu kita tolong."
"Wiro,
biar kita berdua-dua dulu di sini barang sesaat. Memang ada ganjalan hati yang
hendak aku keluarkan agar kau tahu," kata Luhcinta pula.
"Kalau
begitu maumu baiklah," jawab Wiro. Sang pemuda menduga jangan-jangan gadis
ini hendak membicarakan peristiwa belum lama berselang. Menyangkut hubungannya
dengan Luhjelita, Peri Angsa Putih serta Peri Bunda. Sambil membelai rambut
Luhcinta dia berkata.
"Usap
air matamu, turunkan dua tanganmu biar aku bisa melihat wajahmu yang cantik.
Setelah itu katakanlah apa yang hendak kau sampaikan …." Luhcinta hentikan
suara isaknya. Perlahan-lahan dia turunkan kedua tangannya. Saat itu seolah
datang dari atas pohon mendadak terdengar suara tawa bergelak.
Demikian
hebatnya tawa itu hingga Wiro merasa tanah di sekitar pohon bergetar sepetai
ada lindu. Dalam kejutnya murid Sinto Gendeng serta merta mendongak memandang
ke atas pohon. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di situ.
"Aneh!"
pikir Wiro.
"Luhcinta,
kau mendengar suara orang tertawa tadi?" bertanya Wiro seraya palingkan
kepala, memandang kepada Luhcinta kembali. Seperti melihat setan kepalatujuh
begitulah kaget-nya sang pendekar ketika melihat baik sosok maupun wajah yang
duduk dihadapannya saat itu bukan lagi Luhcinta. Tapi satu sosok seorang nenek
berjubah hitam. Wajahnya luar biasa angker karena hidung dan mulutnya menjadi
satu membentuk paruh burung.
Sepasang
matanya yang kecil menyembul tanpa allis berputar-putar r6emandangi Wiro. Sesaat
kemudian nenek ini keluarkan suara tawa "bergelak yang sama dengan suara
bergelak sebelumnya.
"Siapa
kau?!" bentak Wiro.
"Luhcinta!
Kau tengah bergurau mempermainkanku atau bagaimana?"
"Hik
… hik … hik! Siapa bemama Luhcinta! Siapa bergurau mempermainkanmu! Hik … hik …
hik!" Suara si nenek tinggi kecil, mendenging dan menyentak. Wiro yang
mulai mencium adanya bahaya di balik keanehan ini segera kerahkan tenaga
dalamnya untuk sewaktu-waktu bisa menghantam.
"jika
kau bukan Luhcinta berarti kau setan rimba belantara! Makhluk jejadian! Jangan
berani mempermainkan, apalagi bermaksud jahat mencelakaiku!" Si nenek
kembali tertawa panjang. Sambil tertawa dia bangkit berdiri. Wiro mundur
beberapa langkah.
Astaga,
si nenek kurus hitam dan agak bungkuk ini ternyata satu kepala lebih tinggi
dari dia.
"Pendekar212
Wiro Sableng, saat ini kau memang sudah celaka!"
"Nenek
sialan! Apa maksudmu?! Siapa kau sebenarnya? Mana Luhcinta?!"
"Luhcinta
tak pernah ada di tempat ini! Hik … hik. .. hik! Yang ada hanyalah aku. Hantu
Santet Laknat!"
"Hantu
Santet Laknat!" Wiro berseru tegang. Kejapan itu juga dia ingat semua
penuturan Lakasipo. Juga kejadian yang menimpa Lawungu.
"Kau
menipuku! Kau memperdayaiku masuk ke dalam rimba belantara ini!"
"Kau
memang sudah tertipul Sudah terjebak dalam rimba Lasesatbuntu! Seumur hidup kau
tak bakal bisa keluar lagi dari tempat ini! Dewa sekalipun tak bakal bisa
menolongmu! Hik … hik … hik! Nasibmu memang malang anak muda!"
Hantu
Santet Laknat tertawa panjang lalu melangkah mundur. Sebaliknya Wiro cepat
bergerak. Sekali lompat saja dia sudah mencekal rambut putih di kepala si nenek
dengan tangan kiri sementara tangan kanan mencengkeram di leher.
"Tua
bangka keparat! Aku memang sudah lama mendengar kejahatanmu! Antara kita tidak
ada permusuhan! Mengapa kau hendak mencelakai aku? Siapa menyuruhmu?!" Si
nenek hanya menjawab dengan tawa cekikikan.
Wiro
gerakan dua tangannya. Sosok si nenek dibanting-kannya ke tanah hingga
mengeluarkan suara bergedebukan. Tapi hebatnya si nenek cepat bangkit dan
kembali tertawa panjang melengking-lengking. Dengan dua tangannya Wiro tangkap
leher si nenek. Namun dia tak mampu meneruskan gerakannya untuk mencekik atau
mematahkan leher kurus itu. Seperti ada satu kekuatan aneh membendung apa yang
hendak dibuatnya. Tiba-tiba si nenek gerakkan kedua tangannya.
"Bukk
… bukkk … bukkk!" Jotosan keras melanda dada Pendekar 21 2. Berteriak
kesakitan Wiro terpaksa lepaskan cengkeramannya di leher si nenek.
Terhuyung-huyung dia cepat imbangi diri lalu tidak menunggu lebih lama Wiro menghantam
tubuh si nenek dengan pukulan sakti Segulung Ombak Menerpa Karang. Serangkum
angin sedahsyat prahara melabrak tubuh si nenek. Jangankan tubuh manusia,
sesuai dengan hebatnya nama pukulan sakti itu, batu karangpun bisa dihancur
leburkannya.
Sosok Hantu
Santet Laknat mencelat ke udara. Pukulan Wiro yang terus melabrak pohon besar
di belakang si nenek membuat pohon itu bergoncang keras. Batangnya berderak, di
sebelah bawah akar-akarnya bergeletar lalu "braakk!" Pohon besar
miring bergemuruh dan tumbang setelah batangnya terlebih dulu hancur
berkeping-keping.
Wiro
melompat, mencari sosok Hantu Santet Laknat yang dipastikannya sudah ikut
hancur dan berkaparan di sekitar tumbangan pohon. Tapi dia tidak menemukan
apa-apa. Pendekar 212 memaki panjang pendek. Saat itulah tiba-tiba terdengar
suara tertawa, panjang melengking-lengking di belakangnya. Wiro berbalik.
Hendak menghantam dengan pukulan Sinar Matahari. Tapi dia sama sekali tidak
melihat sosok si nenek. Dalam keadaan seperti itu Wiro merasa ada cairan
meleleh di bibirnya. Ketika dia mengusap dan memperhatikan ternyata darah.
"Aku
terluka di dalam. .." kata Wiro dalam hati dan kini baru ingat kalau tadi
dadanya telah dihantam bertubi-tubi oleh Hantu SantetLaknat
"Nenek
jahanam itu. Kalau mau dia bisa membunuhku dengan pukulannya. Tapi dia tidak
melakukan! Pasti dia menyem- bunyikan maksud lebih jahat dan lebih keji
terhadapku!" Murid Sinto Gendeng usap dadanya yang mendenyut sakit.
Perlahan-lahan
dia dudukdi tanah. Mengatur jalan darah, pernafasan dan kerahkan tenaga dalam
ke dadanya yang sakit
**********************
DALAM
gelapnya malam, di atas pohon di pinggir kawasan rimba Lasesatbuntu, Hantu
Santet Laknat mendekam tak bergerak. Sepasang matanya yang tanpa alis terpejam.
Paruh burungnya bergerak-gerak. Saat itu pikirannya sedang kacau. Hatinya terus
menerus membatin.
"Betul
apa yang diucapkan Junjungan. Ternyata pemuda itu memiliki wajah cakap serta
perawakan gagah sempurna. Wahai …. Bersyukur aku masih bisa menahan diri hingga
pukulanku tadi tidak sampai merenggut nyawanya. Wahai, apakah hatiku telah
tergoda? Junjungan, apakah aku benar harus mengikuti ucapanmu? Mengawini pemuda
itu, menjadikannya sebagai suamiku? tapi bagaimana mungkin? Keadaan rupaku yang
seperti ini tidak memberi jalan baginya untuk menyukai diriku. Apalagi dia
sudah mengetahui kejahatan yang aku lakukan terhadapnya. Aku memang memiliki
ilmu kesaktian bernama llmu Bersalin Wajah. Dengan ilmu itu aku bisa merubah
diri setiap saat aku suka. Merubah wajah dengan wajah siapa saja yang aku suka.
Tetapi hal itu tak bisa abadi …. Apa yang harus aku lakukan … ?"
Hantu
Santet Laknat duduk tak bergerak, mendekam sambil rangkapkan dua tangan di
depan dada. Wajah Pendekar 212 Wiro Sableng selalu terbayang sekalipun dia
memejamkan kedua matanya.
"Pemuda
itu …. lakasipo dan Hantu Muka Dua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
dirinya. Mungkin aku harus mengurangi, menarik sebagian manteraku agar dia
tidak celaka di dalam hutan. Setelah itu apa yang harus kuperbuat? Menemuinya?
Bercinta dengannya? Aku harus tahu siapa gadis idamannya. Untuk bersalin wajah
menjadi Luhcinta rasanya teralu berbahaya. Aku harus mencari wajah seorang lain
yang disukainya. Mungkin Luhjelita…?".
**********************
TUJUH
DALAM
gelapnya malam Wiro berusaha mencari jalan keluar dari rimba belantara gelap
itu. Bukan saja dia tidak berhasil keluar tanpa disadarinya dia malah tersesat
semakin dalam ke dalam hutan. Di satu tempat Wiro menemukan sebuah telaga
kecil. Dia berhenti di sini dan memutuskan untuk tetap berada di tempat itu
sampai matahari terbit Malam terasa lama.
Udara
mencucuk dingin. Kesunyian menimbulkan rasa tidak enak bagi Wiro selain saat
itu dadanya masih mendenyut sakit. Sesekali terdengar suara aneh dikejauhan.
Entah suara binatang buas entah suara makhluk halus penghuni rimba belantara.
Sepanjang malam Wiro tak bisa tidur karena selalu diganggu oleh puluhan bahkan
mungkin ratusan nyamuk hutan yang seperti berlomba-lomba ingin menghisap
darahnya.
Menjelang
pagi, serasa matanya, mau terpejam karena tak sanggup menahan kantuk tiba-tiba
Wiro melihat sesuatu bergerak di seberang telaga kecil.
"Manusia,
seperti perempuan. Dalam gelap tubuhnya kelihatan putih. Astaga …. Perempuan
itu nyaris tidak berpakaian di sebelah atas … ." Wiro bangkit berdiri.
Melihat Wiro bergerak orang di seberang telaga serta merta menyelinap ke balik
semak belukar.
"Tunggu!
jangan lari! Aku bukan orang jahat!" Berseru Wiro. Cepat dia memutari
telaga Namun ketib sampai di balik semak belukar sosok itu tak ada di sana.
"Jangan-jangan
yang kulihat tadi hantu penghuni rimba belantara ini …” pikir Wiro dengan
tengkuk merinding. Dia kembali ke tempatnya semula. Menunggu kalau-kalau sosok
tadi terlihat kembali. Tapi orang itu ternyata tidak muncul lagi. Wiro
memandang ke arah timur. Langit masih tampak gelap pertanda sang surya masih
lama baru akan terbit.
Tiba-tiba
terdengar suara seperti ada satu benda meluncur di dalam air. Wiro palingkan
kepalanya menatap tajam-tajam ke dalam telaga. Kejut pemuda ini bukan alang
kepalang ketika tiba-tiba pandangannya membentur satu sosok panjang, hitam
berkilat melesat keluar dari dalam telaga, langsung menyambar ke arahnya!
"Ular
besar!" seru Wiro, Dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauhi tepi
telaga. Namun dari arah kanan tiba-tiba ada yang menyambar.
”Wuuuuttt!"
"Bukkkk!"
Wiro
mengeluh tinggi. Tulang pinggulnya serasa hancur. Binatang panjang yang keluar
dari dalam telaga ternyata telah menghantamnya dengan ujung ekornya. Lalu
binatang ini yang memang menyerupai ular tapi memiliki dua kepala keluarkan
desisan keras, kembali melesat ke arah Wiro.
Kali ini
Wiro tak tinggal diam. Sambil tekuk lututnya sedikit dan menahan sakit pada
pinggulnya Wiro hantamkan satu jotosan ke pangkal leher ular kepala dua.
"Bukkkk!"
Pukulan
yang dilancarkan dengan jurus bernama Kepala Naga menyusup Awan itu dengan
telak mendarat di leher ular kepala dua Jangankan benda hidup, batu sekalipun
pasti akan hancur berantakan dihantam pukulan sakti mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Namun justru saat itu Wiro sendiri yang jatuh terkapar dan mengeluh
kesakitan. Tangan kanannya dikibas-kibaskan. Sakit bukan main seolah
jari-jarinya ada yang remuk!
"Ular
kepala dua ini pasti binatang jejadian!" pikir Wiro.
"Ular
biasa pasti sudah mampus kena hantamanku tadi!" Saat itu Wiro tak bisa
berpikir lebih lama. Dalam gelap ular kepala dua yang tadi hanya sempoyongan
dilanda pukulan Wiro sambil keluarkan suara mendesis kembali menyerang.
Tubuhnya yang hitam berkilat berubah lunrs. Laksana tombak besi yang
dilemparkan dengan sebat, binatang ini melesat ke arah selangkangan Wiro.
"Kurang
ajar! Mengapa barangku yang diincarnya!" maki Pendekar 212. Dengan cepat
dia melompat. Lalu dari atas kirimkan tendangan ke kepala ular. Hebat sekali
binatang ini bukan saja mampu mengelak dengan cara rundukkan kepala, tapi
tiba-tiba sekali bagian belakang tubuhnya berkelebat demikian rupa.
"Wuuuutttt!"
Sebelum
dia sadar apa yang terjadi tahu-tahu Wiro dapatkan dirinya sudah dilibat ular
hitam besar itu mulai dari pinggang sampai ke dada. Kepalanya dan kepala ular
saling berhadap hadapan. Binatang berkepala dua ini buka mulutnya lebar-lebar.
Dalam gelap Wiro dapat melihat bagian dalam dua mulut ular, Lidahnya merah
bercabang. Gigi-giginya panjang runcing, memancarkan sinar aneh.
"Wuuuuttt!"
Dua
kepala ular menyambar ubun-ubun pendekar 212. Wiro hantamkan dua tangannya ke
atas. Satu memukul, satu lagi berusaha mencekal leher binatang itu. Celakanya,
dua gerakan tangan Wiro itu tidak satupun menemui sasaran!
"Tamat
riwayatku!"
Wiro
masih berusaha menggerakkan kepalanya ke samping untuk menghindarkan patukan
ular. Namun sia-sia saja! Sesaat lagi ubun-ubun di batok kepala Pendekar 212
akan jebol dihantam patukan dua kepala ular, tiba-tiba dari kegelapan melesat
selarik sinar hitam. Laksana pedang sinar itu membabat pangkal leher ular
kepala dua.
”Crassss”
Leher itu
putus. Darah muncrat menyembur kepala dan pakaian Wiro. Tidak tunggu lebih lama
Wiro segera betot tubuh ular yang melingkar menggulung dirinya lalu
dibantingkannya ke sebuah batu di tepi telaga. Lalu dia memandang berkeliling.
Dia tak melihat siapa-siapa.
"Orang
pandai yang barusan menolongku!" Wiro berseru.
"Harap
sudi perlihatkan diri untuk menerima ucapan terima kasihku!" Tak ada
jawaban. Tak ada gerakan. Wiro seka kepala dan mukanya yang berselomotan darah
ular. Dia hendak membungkuk ke telaga, bermaksud mencuci mukanya. Tapi khawatir
kalau kalau ada lagi ular seperti tadi, pendekar ini segera urungkan niatnya.
"Lebih
baik aku menjauh dari telaga keparat ini!" Wiro lantas mencari tempat yang
dirasakannya lebih aman. Di atas sebatang pohon yang tidaK terlalu tinggi dan
berdaun jarang akhirnya dia duduk di salah satu cabang. Kantuknya sudah lenyap
sejak tadi-tadi.
"Hantu
Santet Laknat! Ini semua gara-gara nenek keparat itu! Aku tidak ada permusuhan
dengan dia. Mengapa dia mencelakai diriku seperti ini. Janganjangan…!"
Wiro garukk kepalanya.
"Mungkin
karena aku sahabat atau saudara angkat Lakasipo Mungkin dia tahu aku pernah
menolong lelaki itu. Jadi menganggap aku sebagai musuhnya. Gila betul!"
Sementara
itu di tempat lain dalam gelap dan dinginnya malam menjelang pagi Hantu Santet
Laknat mendekam tak bergerak di balik sebuah batu berlumut. Saat itu dia
dibayangi rasa takut
"Kalau
Junjungan mengetahui aku tadi telah menyelamatkan pemuda itu, .bukan saja aku
akan kena damprat. Hukuman berat pasti akan dijatuhkannya atas diriku!"
pikir si nenek. Namun hati kecilnya menyahuti.
"Perlu
apa takut pada Junjungan. Bukankah dia sendiri menyuruhku agar mengawini pemuda
itu? Menjadikannya sebagai suamiku?! Kalau siang tiba kau harus melakukan
sesuatu! Kau harus dapatkan pemuda itu! Lupakan Hantu Muka Dua! Kau hanya
tergila seorang diri padanya! Bertepuk sebelah tangan! Kau harus mendapatkan
pemuda bernama Wiro itu! Harus!"
**********************
"RIMBA
belantara aneh …" kata Wiro yang saat itu masih mendekam di atas pohon
berdaun jarang.
"Suara
kicau burungpun terdengar menyeramkan!" Dia memandang ke arah timur.
Langit di ufuk sana mulai kelihatan terang pertanda sang surya sebentar lagi
akan muncul memperlihatkan diri menerangi jagat.
Dari atas
pohon Wiro memandang ke arah telaga kecil. Di tepi telaga tampak bangkai besar ular
hitam masih tergeletak. Kicau burung semakin riuh. Di kejauhan ayam hutan mulai
berkotek bersahut-sahutan. Langit di sebelah timur semakin terang. Wiro
melompat turun dari atas pohon melangkah menuju telaga. Bangkai ular
ditendangnya dengan kaki kiri hingga terpental jauh. Dia memperhatikan keadaan
didalam dan sekitar telaga. Setelah memastikan tempat itu benar-benar aman baru
dia masuk ke dalam telaga untuk membersihkan diri.
Ketika
dia keluar dari telaga Wiro dapatkan matahari telah muncul di sebelah timur.
"Aku
harus keluar dari hutan celaka ini!" kata Wiro dalam hati. Karena tidak
tahu arah mana yang harus ditempuhnya, Wiro lalu memilih berjalan ke jurusan
timur. Menyongsong sang surya yang baru terbit Dia berjalan cepat di antara
pepohonan dan semak belukar lebat. Di satu tempat terbuka berupa pedataran yang
ditumbuhi rumput liar Wiro hentikan langkahnya. Cahaya matahari yang sedang
bergerak naik saat itu baru mencapai ujung pedataran.
Wiro
kemudian sengaja melangkah ke ujung pedataran ini agar dirinya bisa tersiram
sinar matahari. Sebagian pakaian dan rambut di kepalanya saat itu masih basah
kuyup sehabis dicuci di telaga. Hatinya merasa lega sedikit karena saat itu
sakit di dadanya telah jauh berkurang. Hanya pikirannya masih dibungkus oleh
teka-teki siapa kira-kira orang yang telah menolongnya dari serangan maut ular
kepala dua tadi malam,
"Mungkinkah
Peri Angsa Putih, atau Peri Bunda … ?" Ketika Wiro mencapai ujung
pedataran, sewaktu sinar matahari menyentuh dirinya terjadilah hal yang tidak
terduga dan benar-benar mengejutkan. Pakaian putih yang dikenakannya mendadak
sontak mengepulkan asap laksana terbakar. Di lain kejap seluruh pakaian itu
lenyap tidak berbekas! Kini dia berdiri dalam keadaan bugil polos. Kapak Naga
Geni 212 dan batu hitam pasangannya jatuh ke tanah. Wiro jadi kalang kabut.
Cepat-cepat dia mengambil dua benda sakti itu lalu cepat-cepat pula dia menutup
auratnya sebelah bawah dengan tangan kiri.
"Gila!
Apa yang terjadi? Mana mungkin sinar matahari bisa membuat sirna
pakaianku!" Dia memandang berkeliling.
"Untung
tak ada orang lain! Benar-Benar gila! Bagaimana mungkin aku berkeliaran dalam
hutan ini, mencari jalan keluar, bertelanjang bulat seperti ini?! Kalau sampai
bertemu orang lain, orang perempuan matilah aku! Kemana aku sembunyikan
perabotan di bawah perutku!" Wiro hendak menggaruk kepalanya dengan tangan
kiri Tapi tak jadi. Karena kalau tangan kirinya diangkat ke atas berarti aurat
di bawah perut yang ditutupinya akan terbuka melompong!
"Gila!
Aku harus bagaimana?!" Wiro memaki panjang pendek
"Jangan-jangan
ini lagi-lagi pekerjaannya Hantu Santet Laknat! Nenek celaka jahanam!".
**********************
DELAPAN
SETIAP
kali Naga Kuning menepuk lepas tangan si Setan Ngompol yang selalu memegang
celananya, kembali si kakek menjambret pakaian bocah itu.
"Kakek
geblek! Bagaimana aku bisa berlari cepat kalau kau selalu memegangi pantat
celanaku!" Naga Kuning mengomel.
"Jangan
salahkan diriku!" jawab Setan Ngompol.
"Aku
menaruh firasat hutan ini celaka! Kita bakal menghadapi bahaya tak terduga!
Sudah satu malaman kita di dalam hutan! Kita seperti berputar-putar tak karuan.
Wiro tak kunjung ditemukan!" Jawab Setan Ngompol sambil tangan kirinya
ditekapkan ke bawah perut.
"Naga
Kuning, baiknya kita kembali saja ke lembah batu …."
"Tidak
bisa! Kita harus mencari Wiro sampai dapat. Aku juga punya firasat kalau si
sableng itu sedang dihadang marabahaya!"
"Malam
gelap, dingin. Di dalam rimba seram begini rupa! Aku …." Serrrr. Si kakek
tak sanggup lagi menahan kencingnya. Dia beser sambil terus lari mengikuti Naga
Kuning.
"Sebentar
lagi bakal siang. Apa tidak kau lihat langit di sebelah timur sudah mulai
terang?!" Bocah ini pukul lengan orang tua itu hingga lepas. Tapi kembali
si kakek ulurkan tangan pegangi pantat celana Naga Kuning.
"Kek!
Lebih baik kau berteriak-teriak memanggil Wiro. Mungkin bisa menolong
menemukannya lebih cepat!"
"Di
dalam rimba belantara angker begini rupa aku tak berani berteriak Salah-salah
leherku bisa dicekik dedemit penghuni hutan!" Saking kesalnya Naga Kuning
menjawab.
"Kalau
di sini memang ada dedemit bukan lehermu sebelah atas yang dicekiknya. Tapi
lehermu sebelah bawah yang peot bau pesing itu!"
"Anak
samba!! Jangan Kau menakut-nakuti diriku!" kata si kakek pula dan
perkencang pegangannya pada pakaian si bocah. Tak lama kemudian mentari mulai
kelihatan muncul di ufuk timur. Keadaan yang tadinya gelap kini menjadi terang,
membuat lega hati si Setan Ngompol.
"Ada
pedataran berumput di sebelah sana!" Naga Kuning berseru sambil menunjuk
ke arah barat
"Kita
menuju ke sana! Aku perlu istirahat! Dadaku sudah sesak. Nafasku tinggal
satu-satu !" Kedua orang itu berjalan cepat di sela-sela kerapatan
pepohonan dan menyeruak di antara semak belukar. Hanya tinggal beberapa tombak
lagi mereka akan sampai di ujung pedataran rumput liar tiba-tiba ada satu hawa
aneh datang dari depan, mendorong mereka hingga Naga Kuning yang berada di
sebelah depan terhuyung keras ke belakang, mendorong si kakek, membuatnya
hampir jatuh! Menyangka si bocah sengaja hendak bercanda lagi, si Setan Ngompol
mengomel marah.
"Anak
geblek! Masih berani kau main-main! Jangan kau kira perbuatanmu barusan lucu!
Kalau aku sampai jatuh dan pantatku cidera, kupencet barang bututmu!"
"Siapa
main-main? Apa maksudmu?!" Naga Kuning mendamprat tak kalah marahnya
"Mengapa
kau barusan pura-pura terhuyung-huyung? kalau bukan sengaja mau mendorongku
sampai jatuh!"
"Siapa
pura-pura! Perlu apa mendorong tubuh rongsokan macam kau! Kau tahu, ada angin
aneh menyambar dari depan!"
"Dusta
besar! Aku tidak merasa apa-apa!"
"Kalau
tidak percaya majulah. Jalan ke arah sana …." Setan Ngompol menyeringai.
Masih menganggap si bocah bergurau. Dia melangkah ke depan. Baru berjalan tiga
langkah tiba-tiba ada angin menyambar keras, membuatnya terpental dan jatuh
duduk di tanah, langsung terkencing-kencing. Mukanya pucat
"Ada
yang tidak beres. Tempat ini pasti tempat angker. Lekas pergi dari sini …"
kata Setan Ngompol seraya bangkit berdiri. Naga Kuning memandang berkeliling.
Meski hatinya mulai was-was namun dia ingin mencoba sekali lagi. Kali ini dia
tidak berjalan cepat tapi melangkah perlahan-lahan. Pada langkah ke empat
tubuhnya seperti membentur sebuah tembok yang tidak kelihatan. Dia tidak bisa
meneruskan langkah. Dua tangannya diacungkan ke depan. Dia menyentuh sesuatu
yang keras tapi tidak berujud. Dia coba mendorong. Daya dorongnya membalik ke
arah dirinya sendiri. Makin keras dia mendorong makin keras daya balik mendera
tubuhnya.
"Ada
apa … ?" bertanya Setan Ngompol ketika dilihatnya wajah Naga Kuning bukan
saja keringatan tapi juga memutih pucat.
"Ada
kekuatan aneh. Seperti ada tembok kaca yang tak terlihat menghalang di depan
sini ….”
"Coba
kau hantam dengan pukulan sakti! Masakan tidak jebol! Mana ada tembok yang
tidak kelihatan! Kau punya bisa-bisa sendiri Naga Kuning!" kata Setan
Ngomnpol sambil menahan kencing karena kakek ini memang sudah ketakutan.
"Kau
saja yang memukul!" sahut Naga Kuning. Karena kesal terus-terusan tidak
dipercaya anak ini lantas dorong punggung si kakek hingga Setan Ngompol hampir
tersungkur dan pancarkan air kencing.
"Bocah
sialan!" maki Setan Ngompol. Tapi diam diam dia kerahkan juga tenaga dalam
ke tangan kanan lalu memukul ke depan.
"Bukkk!"
Jotosan
Setan Ngompol menghantam sesuatu yang tidak kelihatan. Si kakek terpekik
kesakitan. Tangan yang tadi memukul dikibas-kibas sementara tangan kiri
bum-buru menekap bagian bawah perut tapi air kencingnya sudah keduluan mancur.
"Kalau
sudah tahu rasa baru percaya!" kata Naga Kuning sambil mencibir. Lalu dia
memandang ke jurusan depan. Tiba-Tiba anak ini berteriak.
"Kek!
Lihat!"
"Ada
apa lagi?!" sembur Setan Ngompol yang masih kesakitan.
"Lihat
si sableng itu! Dia ada di sana! Mengapa dia telanjang begitu rupa? Sudah
benar-benar sableng dia rupanya!" Mendengar ucapan Naga Kuning si kakek
Setan Ngompol segera palingkan kepala, memandang ke jurusan yang ditunjuk.
"Astaga!"
Kagetlah si Kakek.
"Apa
yang terjadi dengan anak itu! Jangan-Jangan dia sudah dipukau setan hingga jadi
gila! Bertelanjang bulat begitu rupa! Lihat, perabotannya gundal-gandil
kemana-mana! Gila betul! Wiro! Hai! Wiro!" Setan Ngompol berteriak. Suara
teriakannya keras dan menggema di seantero rimba belantara karena dia berteriak
disertai pengerahan tenaga dalam. Naga Kuning juga ikut berteriak
memanggil-manggil Wiro. Malah anak ini berlari kedepan, tapi terhempas kembali
seolah ada dinding yang tak kelihatan telah ditabraknya.
"Wiro!"
teriak Naga Kuning sambil lambai-lambaikan tangan.
"Wiro!
Anak sableng!" Setan Ngompol kembali berteriak. Di ujung sana, dekat
pedataran rumput liar, Pendekar 212 kelihatan berjalan kian kemari seperti
orang bingung. Dia memandang ke langit, berpaling ke kiri atau ke kanan,
memandang berkeliling. Sekali-sekali tangannya menggaruk-garuk kepala. Agaknya
dia sama sekali tidak mendengar teriakan Naga Kuning dan Setan Ngompol! Dan
memang aneh luar biasa bagi Setan Ngompol dan Naga Kuning karena saat itu Wiro
sama sekali tidak mengenakan pakaian. Dia berjalan polos kian kemari sambil
memegang kapak sakti dan batu hitam.
"Aneh!
Masakan dia tidak mendengar teriakan kita!" ujar Setan Ngompol. Naga
Kuning juga terheran heran.
"Sepertinya
ada sesuatu yang membatasi antara kita dengan dia. Dinding tak kelihatan itu ….
Kita bukan saja tak bisa melintasi tempat ini, malah suara kita juga tidak bisa
tembus ke sebelah sana!" kata Naga Kuning. Otaknya bekerja. Dia melihat
sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini diambilnya lalu dilemparkannya ke arah
Wiro di ujung lapangan.
Tapi
"blukkk!" Batu sebesar kepalan itu mental kembali. Kalau tidak lekas
merunduk batu itu akan medarat di kening Setan Ngompol. Terkencing-kencing si
kakek memaki panjang pendek.
"Bocah
edan! Kau mau membuat somplak kepalaku!"
"Wiro!
Hai! Kau budek atau tuli? Torek hah?!" Naga Kuning kembali berteriak Tapi
sia-sia saja. Wiro tetap tidak mendengar padahal jarak mereka hanya terpisah
kurang dari tujuh tombak.
"Jangan-jangan
anak itu sudah dicium setan congek hingga telinganya jadi tuli!" kata Naga
Kuning
"Aku.khawatir
dia bukan cuma tuli, tapi matanya juga ikut-ikutan tidak beres. Masakan kita
berada sedekat ini dia tidak bisa melihat!" ujar Setan Ngompol pula.
"Kita
cari jalan berputar. Mungkin bisa tembus! Jalan ke ujung sana baru membelok ke
arah pedataran rumput!" kata Naga Kuning. Setan Ngompol setuju.
Dua orang
itu lari ke ujung timur. Setelah cukup jauh mereka membelok ke kiri. Tapi
"buukk.. bukkk!" Kembali sosok mereka menghantam dinding yang tidak
kelihatan. Selagi terhuyung-huyung tiba-tiba Naga Kuning berseru.
"Dia
lenyap! Wiro lenyap!"
Saat itu
Pendekar 212 yang tadi berada di dekat lapangan sebelah sana kini memang lenyap
tak kelihatan lagi.
"Kemana
kita harus mencari? Apa yang terjadi dengan anak itu?!" Setan Ngompol tampak
bingung sekali dan tak putus-putusnya menekapkan tangan ke bawah perut.
"Aku
tidak percaya pada segala macam setan, jin atau dedemit!" berkata Naga
Kuning.
"Jangan-jangan
ada orang jahat berkepandaian tinggi me-nguasai kawasan rimba belantara ini
sengaja hendak mencelakai Wiro!" berbisik Naga Kuning.
"Kalau
cuma masih namanya manusia, bagaimana pun tinggi kepandaiannya pasti bisa kita
tembus. Kau boleh saja tidak percaya. Tapi kurasa kita tengah berhadapan dengan
sebarisan jin atau dedemit penguasa hutan! Kita harus mencari seseorang untuk
minta bantuan. Aku punya firasat kalau tidak ditolong si Wiro itu tak bakal
bisa keluar dari hutan ini sampai kiamat dan kita tak bisa tembus masuk ke
dalam!"
"Kalau
mau minta tolong pada siapa?" tanya Naga Kuning.
"Nanti
kita selidiki. Yang penting kita harus tinggalkan tempat ini sebelum kita
berdua juga ditelanjangi!" Walau dia sendiri yang berkata begitu tapi rasa
takut tak bisa dibendungnya. Begitu Naga Kuning lari meninggalkan tempat itu si
kakek segera mengikuti sambil terkencing-kencing.
**********************
SEMBILAN
WIRO
duduk dengan paha dirapatkan. Kapak Naga geni 212 dan batu hitam diletakkannya
di atas pangkuan. Memandang ke langit dilihatnya matahari mulai menggelincir ke
barat Sampai saat itu dia masih bingung karena tidak tahu apa sebenarnya yang
terjadi dengan dirinya.
Apa lagi
setelah hampir setengah harian dia mengelilingi rimba belantara itu namun tidak
kunjung bisa keluar. Tanpa setahunya sepasang mata mengintip dari balik
serumpunan semak belukar lebat Tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda hijau
melayang di udaraa lalu jatuh di tanah, beberapa langkah di hadapannya.
Pendekar
212 tidak segera memperhatikan benda apa yang jatuh di tanah itu. Sebaliknya
perhatiannya lebih tertuju pada arah datangnya benda tersebut Saat itu dia
melihat ujung semak belukar di sebelah sana tampak bergerak-gerak. Tanpa sadar
akan keadaan dirinya dan mengira ada orang bermaksud jahat padanya dia cepat
melompat ke arah semak belukar sambil putar Kapak Maut Naga Geni 212 di atas
kepala. Sinar putih berkilauan bergulung di udara, suara seperti tawon mengamuk
menderu.
Begitu
Wiro menjejakkan kaki di tanah di balik semak belukar, satu pekikan perempuan
melengking keras di tempat itu. Meman-dang ke depan Wiro dapat kan dirinya
berhadap-hadapan dengan seorang gadis cantik berkulit hitam manis. Karena hanya
mengena-kan pakaian terbuat dari daun-daun hijau yang disambung-sambung, maka
lekuk-lekuk tubuhnya yang bagur dan kencang terlihat cukup jelas. Ketika
melihat Wiro yang tanpa pakaian tegak di hadapannya, kembali si gadis terpekik
keras dan balikkan badannya lalu lari ke balik semak belukar lain di sebelah
kiri.
Murid
Eyang Sinto Gendeng baru sadar akan keadaan dirinya dan jadi kalang kabut
berusaha menutupi aurat. Dalam bingungnya dia hampir hendak lari, berlindung ke
balik semak belukar yang sama di mana gadis tadi bersembunyi.
"Gila!
Apa yang terjadi dengan diriku! Aku takut dan malu bertemu orang. Malah kini
bertemu seorang gadis. Siapa dia?! Manusia sungguhan atau makhluk halus
jejadian? Jangan-jangan dia Hantu Santet Laknat yang kembali merubah diri
hendak mencelakaiku! Mungkin juga dia sosok orang yang kulihat malam tadi …
?"
Wiro lalu
berlindung ke belakang semak belukar di mana sebelumnya gadis berbaju daun
hijau tadi pertama kali sembunyi. Dari sini dia bisa melihat benda hijau yang
masih tergeletak di tanah. Ketika diperhatikannya sekali lagi baru dia
menyadari. Benda hijau itu adalah rangkaian daun-daun hijau yang dibentuk
demikian rupa hingga merupakan sehelai celana pendek walau agak mekar di
sebelah bavrlah, menyerupai pakaian perempuan.
"JanganJangan
gadis itu hendak berbuat baik. Sengaja melemparkan pakaian dari daun itu
untukku! Ah!" Wiro garuk garuk kepala. Dia memandang ke arah semak belukar
di seberang sana. Si gadis agaknya masih sembunyi ditempat itu. Wiro perhatikan
kembali pakaian dari daun lalu berjingkat-jingkat sambil dua tangan yang
memegang kapak dan batu hitam ditutupkan ke auratnya sebelah bawah, dia
melangkah mendekati pakaian itu. Ketika dia membungkuk hendak mengambil pakaian
dari daun itu tiba-tiba dari balik sermak belukar terdengar si gadis berseru.
"Tunggu!"
"Sial!"
Wiro memaki karena terkejut dan hentikan langkahnya. Dia cepat tutup auratnya
sebelah bawah lalu berpaling ke arah semak belukar.
"Ada
apa ini sebenarnya? Kau siapa?! Apa celana dari daun itu bukan untukku?!"
Dari balik semak belukar terdengar jawaban.
"Celana
itu memang untukmu! Tetapi kau tidak boleh menyentuh dengan tanganmu! Ambil
celana dengan jalan menjepit dengan jari-jari kaki kananmu! Lalu lemparkan ke
udara. Sebelum jatuh sambut dengan kepalamu! Jika celana itu memang ditakdirkan
menjadi pakaianmu, celana itu akan langsung melekat di tubuhmu!" Wiro
tentu saja terheran-heran mendengar penjelasan itu. Sambil garuk-garuk kepala
dia membatin.
"Aneh-aneh
saja! Ambil celana musti dengan kaki segala!" Lalu Wiro berkata ditujukan
pada gadis di belakang semak belukar.
"Aku
tidak tahu apa kau tengah menolangku, sedang mem-permainkan diriku atau
menyembunyikan kejahatan di balik semua ke keanehan ini! Orang gila saja pasti
tahu mana ada orang mengenakan celana dengan cara menjepit dan melemparkannya
ke udara! Gila dan aneh! Aneh dan gila! Mengapa musti begitu?!" Dari
baliksemak belukardi seberang sana kembali terdengar suara orang menjawab.
"Kau
berada di dalam rimba Lasesatbuntu…."
"Hutan
Lasesatbuntu!" ujar Wiro. Dia ingat, Lakasipo pernah menuturkan keangkeran
hutan ini. Lalu dia ajukan pertanyaaan.
"Apa
kau penguasa rimba belantara ini?"
"Bukan!
Kita senasib…."
"Apa
maksudmu senasib?!" tanya Wiro lagi.
"Jangan
banyak bertanya dulu. Dengar, sebagian dari kawasan hutan Lasesatbuntu ini
berada di bawah pengaruh ilmu hitam. Tak tembus pandang, tak tembus suara. Para
Peri dan para Dewa pun tidak sanggup menembus, melihat dan mendengar apa yang terjadi
di sini! Jika celana itu memang layak bagimu maka begitu menyentuh kepalamu dia
akan bergerak turun menutupi tubuhmu dari pinggang ke bawah." Wiro terdiam
sesaat. Pakaian dari daun itu terletak di tanah di tempat terbuka. Jika dia
melakukan apa yang dikatakan si gadis, dari tempatnya bersembunyi gadis itu
akan dapat melihatnya jelas sekali.
"Aku
akan lakukan apa yang kau katakan! Tapi harap kau jangan memperhatikan!"
"Siapa
sudi memperhatikan! Dari tadipun aku sudah mem-balikkan diri!" jawab si
gadis dari balik rerumpunan semak belukar. Wiro ulurkan kaki kanannya.
"Sialan!
Mengapa aku jadi keluarkan keringat dingin!" Murid Sinto Gendeng ini
memaki sendiri di dalam hati. Pakaian dari daun itu dijepitnya dengan jari-jari
kaki kanan lalu seperti yang dikatakan gadis berkulit hitam manis itu Wiro
lemparkan benda itu ke udara. Begitu melayang jatuh dia cepat sambut dengan
kepalanya.
”wuuuttt!”
"Seettt!”
Pakaian
dari daun itu melewati kepala Wiro, turun ke dada terus ke perut seolah dia
tidak memiliki dua tangan yang menghalangi gerak. Sesaat kemudian pakaian itu
telah melingkar mentutupi auratnya mulai dari pinggang sampai ke paha.
"Aneh!
Benar-benar aneh! Seperti sulap saja!" kata Wiro sambil garuk kepala. Dia
ingat pada gadis yang sembunyi di balik semak belukar.
"
Aku sudah berpakaian! Terima kasih kau sudah menolongku! Aku akan
menemuimu!" Di belakang semak belukar Wiro kembali berhadap-hadapan dengan
gadis berkulit hitam manis tadi.
"Aku
tidak mengenalmu. Kau telah memberikan pakaian dari daun aneh ini padaku! Siapa
kau sebenarnya. Apa maksudmu dengan Ucapan kita senasib tadi?"
"Namaku
Luhtinti. Aku sahabat Lakasipo. Laki-laki itu pernah menolongku dari tangan
jahat Hantu Muka Dua!"
"Namaku
Wiro. Aku juga sahabat Lakasipo!" Luhtinti mengangguk.
"Aku
pernah mendengar riwayat dirimu dan dua sahabatmu dari Laksipo," kata si
gadis pula. Tiba-tiba Wiro ingat.
"Aku
harus keluar dari hutan ini. Lakasipo dalam bahaya! Dia masuk dalam sebuah
jaring iblis milik nenek jahat berjuluk Hantu Santet Laknat! Aku harus menolongnya.
"Kau
tak bisa berbuat apa-apa …. Kau tak mungkin bisa keluar dari dalam rimba
belantara ini. Kau berada di bawah pengaruh dan kekuasaan ilmu hitam Hantu
Santet Laknat!" Wiro terkejut
”Apa?!
Bagaimana kau bisa tahu?! Jangan-jangan kau adalah kaki tangan nenek jahat
itu!"
"Aku
senasib denganmu! Hantu Santet Laknat menjebloskaan aku ke dalam rimba
belantara ini atas perintah Hantu Muka Dua. Dulu aku adalah budak .Hantu Muka
Dua yang dipaksa menjadi kaki tangan pembantunya bersama empat orang gadis lain.
Ketika aku melarikan diri bersama Lakasipo, dia menuduhaku sebagai pengkhianat
Karena dia punya pantangan membunuh maka dia menyuruh Hantu Santet Laknat untuk
menghukumku. Aku dijebloskan ke dalam rimba belantara ini! Tak mungkin bisa
keluar lagi untuk selama-lamanya.
Ketika
pertama aku dijebloskan ke dalam rimba ini, hal yang kau alami juga terjadi
atas diriku. Pakaianku musnah secara aneh begitu tersentuh sinar matahari. Aku
membuat dua pakaian dari daun. Satu kupakai sendiri, satu lagi yang kau kenakan
itu …." (Mengenai riwayat Luhtinti baca Episode berjudul "Peri Angsa
Putih")
"Celaka…
celaka,…" Wiro berucap berulang kali. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu
hitam sakti diselipkannya ke pinggang celana yang terbuat dari
sambungan-sambungan daun-daun hijau itu yang ternyata selain tebal juga cukup
kuat.
"Kita
memang telah dilanda celaka dihantam bala!" menyahuti Luhtinti.
"Apa
benar katamu, kita selama-lamanya akan terpendam dalam rimba belantara ini. Tak
bisa keluar dan orang dari luar juga tak bisa menolong kita termasuk para Peri
dan Dewa?!”
"ltulah
nasib kita …" jawab Luhtinti sedih.
"Aku
tidak percaya! Pasti ada cara! Pasti ada jalan! Setiap ilmu hitam bagaimanapun
hebatnya pasti ada titik kelemahannya! Pada titik kelemahan itu kita dapat
menghancurkannya!"
"Aku
sudah tiga purnama berada dalam rimba celaka ini. Gerak dan pandanganku
terbatas. Setiap aku coba mencari jalan ke-luar, aku hanya berputar-putar dan
selalu kembali ke tempat semula. Aku ingin menjerit, ingin menangis! Bahkan
kadang-kadang timbul jalan sesat dalam benak dan hatiku! lngin bunuh diri saja!
Tapi …."
Murid
Eyang Sinto Gendeng pandangi wajah dan sosok Luhtinti. Jika tidak dalam keadaan
seperti itu dia akan menyadari betapa gadis berkulit hitam manis ini bukan saja
memiliki wajah cantik jelita tapi juga tubuh yang sangat bagus dan tersingkap
di sana-sini penuh menggairahkan. Sebaliknya Luhtinti yang berada dalam keadaan
lebih tenang setiap dia menatap paras sang pendekar dadanya terasa berdebar.
Dia harus mengakui, tidak ada pemuda di Negeri Latanahsilam yang memiliki wajah
segagah pemuda asing ini.
Wiro kepalkan
dua tangannya. Lalu dia ingat akan "llmu Menembus Pandang" yang di
dapatnya dari Ratu Duyung. Pada Luhtinti dia berkata.
"Kita
pasti bisa keluar dari sini! Aku akan berusaha!" Lalu Wiro salurkan tenaga
dalamnya ke kepala. Matanya dikedipkan dua kali berturut-turut. Dia memandang
berkeliling. Seperti diketahui dengan ilmu itu Wiro bisa melihat apa saja
dikejauhan sekalipun terhalang sesuatu.
Namun
saat itu sampai dia cucurkan keringat dingin dan sepasang matanya menjadi perih
dia tidak mampu melihat apa-apa. Yang terlihat tetap saja semak belukar,
pohon-pohon dan benda-benda lain yang ada di sekelilingnya.
"Aku
tak mampu …" ujar Wiro perlahan antara kecewa dan marah.
"Wahai,
sudah nasib kita seperti ini …."
"Aku
tak mau menyerah pada nasib!" kata Wiro keras.
"Kalaupun
aku harus menemui ajar di dalam rimba celaka ini, nenek jahat bernama Hantu
Santet Laknat itu harus kuhabisi lebih dulu!" Tiba-tiba Wiro mencium bau
aneh. Nafasnya mendadak menjadi sesak. Dadanya mendenyut sakit. Tenggorokannya
terasa panas. Dia batuk-batuk berulang kali. Lalu ada cairan mengalir keluar
dari hidungnya. Wiro meraba ke bawah bibir.
"Hidungku
berdarah!" kata Wiro terkejut. Hal yang sama juga terjadi dengan Luhtinti.
Tapi dia tampak lebih tenang.
"Hawa
aneh itu datang lagi …" kata si gadis. Dia memberi isyarat pada Wiro agar
cepat mengikutinya meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian setelah berjalan
cukup jauh bau aneh itu lenyap.
"Hawa
aneh itu …" menerangkan Luhtinti.
"Bisa
muncul setiap saat secara tak terduga. Dan itu bukan cuma satu-satunya siksaan
yang bakal kau alami. Ada hawa aneh yang membuat mata menjadi perih berair
serta hidung dan telinga mengeluarkan cairan. Ada hawa aneh yang membuat kulit
terasa gatal. Ketika digaruk rasa gatal berubah menjadi rasa melepuh. Lalu
belum lagi gangguan binatang-binatang jejadian …."
"Tadi
malam aku diserang ular aneh kepala dua. Pasti semua ini perbuatannya Hantu
Santet Laknat!"
"Siapa
lagi kalau bukan dia …."
"Kau
berjalan terus. Kita ini mau kemana?" bertanya Wiro.
"Dalam
rimba belantara ini ada satu tempat yang sedikit agak aman. Sebuah goa batu ….
Masih jauh dari sini. Cepat ikuti aku …." Tak lama berjalan mengikuti
Luhtinti sekonyong konyong Wiro mendengar ada suara orang memanggil-manggil di
belakangnya.
"Wiro
… ! Wiro!"
"Wiro!
Hai! Kami ada di sini!"
Pendekar
212 segera hendak berpaling. Tapi Luhtinti cepat berteriak.
"Jangan
menoleh! Jangan menyahuti!"
"Memangnya
kenapa?" tanya Wiro heran.
"Yang
memanggilmu itu adalah suara gaib dari alam roh jahat yang berada dalam
kekuasaan Hantu Santet Laknat!"
"Mana
mungkin!" sahut Wiro.
"Aku
kenali betul! Itu suara dua sahabatku! Naga Kuning dan kakek berjuluk si Setan
Ngompol."
"Percaya
padaku wahai sahabat! Kita berada dalam rimba Lasesatbuntu! Rimba seribu celaka
seribu petaka. Kita berada di bawah kekuasaan Hantu Santet Laknat! Suara-Suara
yang kau dengar itu adalah tipuan jahat semata!"
"Kalau
… kalau aku menoleh apa yang terjadi?" tanya Wiro.
"Jika
kau sampai menjawab apa lagi menoleh, kepalamu akan berubah tempat. Bagian muka
akan berada di sebelah belakang, yang belakang akan menghadap ke depan. Kau
akan tersiksa begini rupa selama tiga puluh hari tiga puluh malam!"
"Aku
tidak percaya!" kata Wiro.
"Aku
pernah mengalami sendiri pertama kali dijebloskan ke dalam rimba belantara
ini!" menerangkan Luhtinti.
Di
belakang sana masih terdengar suara Naga Kuning dan Setan Ngompol
memanggil-manggil.
"Tapi
bagaimana kalau suara itu sungguhan suara sahabat-sahabatku. Mereka mungkin
dalam bahaya!"
"Percaya
padaku Wiro!"
"Tapi
Luhtinti …."
"Kalau
kau tidak percaya dan tidak mau ikuti nasehatku, silakan saja. Menolehlah!
Berpaling ke belakang! Tapi nanti jangan menyesal!" kata Luhtinti dengan
muka pucat.
Murid
Eyang Sinto Gendeng gerakkan kepalanya. Tapi setengah jalan dia merasa jerih
juga dan hentikan gerakannya. Luhtinti hembuskan nafas lega.
"Ayo,
lekas ikuti aku! Goa itu masih jauh dari sini." Wiro geleng-geleng kepala
dan kembali berjalan mengikuti si gadis. Baru saja mereka melangkah pergi di
belakang sana terdengar suara tawa keras, melengking tinggi menggetarkan
seantero rimba belantara.
"Gila
…" rutuk Pendekar 212.
Setelah
berjalan cukup jauh Wiro beranikan diri ajukan pertanyaan.
"Kalau
tadi aku menoleh, apa hanya kepalaku sebelah atas saja yang berubah tempat?
Kepala sebelah bawah apa juga ikut berpindah ke belakang?"
"Aku
tak mengerti maksudmu. Coba ulangi pertanyaanmu …." kata Luhtinti. Wiro
menyeringai. Dia diam saja tidak mengulangi pertanyaannya.
"Hai,
apa yang kau tanyakan tadi?"
"Tidak,
tidak apa-apa … !" jawab Pendekar 212. Luhtinti hentikan langkahnya dan
menatap sejurus pada Wiro. Wajah si gadis kemudian tampak bersemu merah.
Cepat-Cepat dia palingkan kepala dan melangkah pergi. Wiro kembali menyeringai
seraya garuk-garuk kepala. Di sebelah depan Luhtinti berkata dalam hati.
"Lakasipo
memang pernah menuturkan riwayat dan sifat-sifat pemuda asing ini. Tapi tidak
kusangka, dalam keadaan seperti ini dia masih bisa bicara kurang ajar! Sableng
…. Wiro Sableng. Kata orang di negeri sana Sableng artinya sinting, tidak
waras. Di sini artinya kencing kuda …. dua-duanya betul. Otak pemuda ini memang
agaknya sedikit kurang waras dan mulutnya bicara meluncur seperti kencing
kuda!" Luhtinti tertawa sendiri.
"Kulihat
kau tertawa. Ada apa Luhtinti…?" bertanya Wiro.
"Tidak,
tidak ada apa-apa," jawab si gadis. Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
"Ah,
dia ganti membalas rupanya!" kata Wiro dalam hati.
**********************
SEPULUH
WIRO
pegang lengan Luhtinti. Sambil memandang berkeliling dia berkata.
"Keadaan
di tempat ini aneh sekali. Barusan saja aku masih melihat matahari di langit
dan cuaca terang benderang. Mengapa tahu-tahu di sini keadaan redup, matahari
mendadak lenyap, udara berubah gelap seolah-olah siang telah berganti dengan
malam. Atau saat ini hari sebenarnya memang telah malam? Aku menangkap suara jengkerik
tiada henti di sekitar sini. Lalu ada suara kodok …."
Disentuh
lengannya begitu rupa membuat Luhtinti jadi berdebar. Si gadis balas letakkan
jari jari tangannya yang halus di atas tangan Wiro.
"lnilah
kawasan yang kukatakan sedikit aman bagi kita …. Di luar sana sebenarnya hari
masih siang. Tapi di sini siang malam sama saja. Suara jengkerik dan kodok tak
pernah putus …."
"Katamu
ada sebuah goa …. Aku tidak melihat apa-apa," kata Wiro pula. Luhtinti
menunjuk pada tiga pohon besar yang tumbuh berdampingan.
"Di
balik pohon besar sebelah kanan ada satu gundukan tanah tertutup semak belukar
liar. Lalu ada barisan batu-batu besar. Di bawah salah satu batu besar sebelah
tengah ada sebuah lobang setinggi kepala manusia. ltulah pintu goa…."
"Menurutmu
tempat ini cukup aman bagi kita. Memangnya Hantu Santet Laknat tidak bisa
memburu kita sampai ke sini?"
"Nenek
jahat itu bisa saja gentayangan sampai kesini. Tapi setahuku dia tidak begitu
suka mendatangi tempat ini. Selama aku berada di tempat ini, apalagi di dalam
goa, seolah-olah kekuatan jahatnya tidak bisa menyentuh diriku."
"Tapi
kau tak bisa mendekam terus menerus di dalam goa itu!" kata Wiro.
"Betul,
tapi selama aku tidak tahu cara lain untuk menyelamatkan diri maka goa ini
satu-satunya tempat aku berlindung …. Ikuti aku. Di luar sana sebentar lagi
hari akan memasuki senja. Senja akan berubah menjadi malam. Jika malam tiba
Hantu Santet Laknat selalu gentayangan membuat hal-hal aneh untuk mencelakai
diriku …." Luhtinti dan Wiro melewati deretan tiga pohon besar.
Sementara
itu suara jengkerik dan kodok serta binatang malam lainnya terdengar semakin
keras dan berada di mana-mana. Seperti yang dikatakan si gadis, di bawah salah
satu batu besar itu kelihatan sebuah lobang setinggi manusia. Tanpa ragu-ragu
Luhtinti segera memasuki lobang yang merupakan mulut goa. Wiro bimbang sejenak.
Tiba-Tiba ada hawa dingin menerpa sekujur tubuhnya, membuat Wiro menggeletar
menggigil.
"Hawa
aneh, pasti perbuatan jahat Hantu Santet Laknat …." pikir Wiro.
Cepat-Cepat dia masuk ke dalam goa. Walau keadaan di dalam goa redup namun
disini udara terasa lebih hangat.
"Kau
tidak memiliki lampu minyak atau obor?" bertanya Wiro pada Luhtinti.
"Api
adalah kawannya makhluk jahat seperti Hantu Santet Laknat Aku tidak pernah
menyalakan apapun di dalam goa ini."
"Lalu
di dalam sini apa yang akan kita lakukan?" tanya Wiro.
"Kita
berlindung dari ilmu hitamnya Hantu Santet Laknat. Paling tidak kau bisa
beristirahat…"
"Mana
mungkin aku beristirahat?" Aku harus mencari jalan menyelamatkan diri.
Lalu menolong Lakasipo dan sahabatnya bernama Luhsantini yang terjebak dalam
jaring Hantu Santet Laknat!" Luhtinti menarik nafas dalam.
"Dulu,
hari-hari pertama aku tersesat ke dalam rimba belantara celaka ini, aku juga
selalu berusaha mencari jalan untuk keluar dari hutan ini. Tapi setelah
berminggu-minggu tidak membawa hasil aku sadar. Yang harus aku lakukan ialah
bagaimana bisa mempertahankan hidup dan menjaga agar tidak berubah pikiran
alias gila! Menyelamatkan diri sendiri saja tidak bisa, apalagi hendak menolong
orang di luar sana!"
Wiro
terdiam walau kurang setuju dengan ucapan gadis berkulit hitam manis itu. Di
luar suara berisik binatang malam masih terus terdengar berkepanjangan masuk
dan bergaung sampai ke dalam goa. Bersamaan dengan masuknya suara binatang
binatang malam tanpa disadari kedua orang itu, ikut bersama hembusan angin
masuk pula satu hawa aneh.
"Aku
letih dan ingin istirahat…" kata Luhtinti dari sudut goa. Lalu dia
menguap.
"Aku
juga letih. Perutku lapar …" jawab Wiro. Mulutnya terbuka. Seperti Luhtinti
dia juga ikut – ikutan menguap.
**********************
PENDEKAR
212 Wiro Sableng tidak tahu berapa lama dia terbaring lelap di lantai goa.
Ketika terbangun dia dapati ada satu sosok hangat dan harum terbaring rapat di
sebelahnya. Satu tangan halus melintang merangkul di atas dadanya. Darah sang
pendekar mengalir lebih cepat. Badannya terasa panas dan kencang. Setiap dia
menghela nafas, bau harum tadi masuk ke dalam alur pernafasannya, membangkitkan
rangsangan aneh. Wiro berusaha memalingkan kepala untuk mengetahui siapa
gerangan yang tidur di sebelahnya sambil memeluk tubuhnya. Sebelum dia sempat
melihat wajah orang, satu suara berbisik hangat di telinganya.
"Wiro,
kau sudah bangun…?" Lalu ada satu benda lembut, hangat dan basah menjilati
daun telinganya, membuat Pendekar 212 jadi merinding menggeliat.
"Luhtinti?"
Wiro menyebut nama gadis itu karena suara yang barusan didengar dan dikenalinya
adalah suara Luhtinti. Cepat-cepat Wiro bangkit dan duduk. Karena si gadis
tidak mau melepaskan rangkulannya, sosoknya jadi ikut bangkit dan kini terduduk
diatas
pangkuan
Wiro.
"Wiro,
ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku lupa memberi tahu sebelumnya ….
"!
"Aku
…. Luhtinti aku …."
"Aku
ingat satu cara yang bisa membuat kita keluar dari dalam rimba Lasesatbuntu ini
…."
"Katakanlah,"
jawab Wiro ketika Luhtinti hentikan ucapannya.
"Tapi
harap kau dudukdi lantai. Kalau kau duduk di pangkuanku rasanya aku tak bisa
bernafas!" Luhtinti tertawa. Dengan manja dia turun dari pangkuan Wiro,
lepaskan rangkulannya dan duduk di lantai. Walau keadaan di dalam goa itu redup
dan agak gelap namun Wiro masih bisa melihat bahwa saat itu di sebelah atas
Luhtinti tidak mengenakan apa-apa lagi. Dadanya yang polos kencang menantang.
Senyumnya tidak berkeputusan dan sepasang matanya menatap tidak lepas-lepas
dari wajah Wiro.
"Kau
seperti berubah. Ada apa Luhtinti?" tanya Wiro.
"Wahai,
aku terlalu bergembira, Wiro. Seperti kau katakan tadi aku ingat ada satu cara
yang bisa membuat kita mampu keluar dari rimba belantara terkutuk ini!"
"Kalau
begitu lekas kau katakan agar kita secepatnya berusaha melakukan," jawab
Wiro. Bau harum yang merebak dari tubuh dan rambut si gadis membuat darah sang
pendekar tambah bergejolak. Apalagi jika sesekali dia memberanikan diri
memandang ke dada Luhtinti. Kemudian matanya melihat pakaian hijau bagian atas
yang sebelumnya di kenakan Luhtinti terletak di lantai goa. Wiro ambil pakaian
yang terbuat dari daun-daun ini lalu menutupkannya ke dada si gadis.
"Bicaralah
Luhtinti. Katakan bagaimana caranya kita bisa keluar dari rimba belantara
Lasesatbuntu ini."
"Caranya
sangat sederhana Wiro," kata si gadis dengan wajah ditengadahkan disertai
layangan senyum dan mata membesar.
"Kau
mengawini aku, mengambil aku jadi istrimu …." Pendekar 21 2 tersentak
mendengar kata-kata Lu htinti itu. Si gadis sebaliknya malah tertawa panjang.
"Ucapanku
belum selesai. Kau sudah seperti ketakutan …" kata Luhtinti seraya pegang
lengan Wiro.
"Perkawinan
ini hanya sekedar untuk memusnahkan kekuat-an hitam. Hantu Santet Laknat yang
mengurung kita di hutan ini. Kau tidak perlu selama-lamanya mengambil diriku
sebagai istri. Begitu kekuatan hitam Hantu Santet Laknat musnah, kau boleh saja
meninggalkan diriku …."
"Tapi
….”
"Dengar
dulu," potong Luhtinti.
”Jangan
kau mengira perkawinan ini harus melalui segala macam upacara atau meminta izin
para Peri dan Dewa. Cukup kita melakukan hubungan sebagai suami istri di dalam
goa ini. Itu sudah berarti kau mengawini diriku …."
"Hal
itu tidak mungkin kulakukan Luhtinti!" kata Wiro.
"Mengapa
tidak mungkin?!"
"Perkawinan
adalah sesuatu yang suci dan sakral! Mana mungkin kita kawin seperti kucing
atau ayam begitu saja. Luhtinti tertawa panjang.
"Kita
ini memang bukan kucing dan bukan juga ayam! Jadi kalau kita kawin bukan
berarti kita kawin kucing atau kawin ayam! Lagi pula perkawinan kita adalah
demi untuk menyelamat-kan diri dari malapetaka yang bisa mencelakai kita sampai
kiamat!"
"Aku
memilih celaka sampai kiamat …" kata Wiro tegas sambil bangkit berdiri.
Dia segera ingat akan peristiwa yang dialaminya di Puri Pelebur Kutuk milik
Ratu Duyung ketika berusaha menyelamatkan diri sang Ratu dari kutukan jahat
yang akhirnya membuat Wiro kehilangan semua kesaktian (Mengenai Ratu Duyung
harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu terdiri dari 8 Episode
sedang mengenai peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dapat diikuti dalam serial Wiro
Sableng berjudul Tua Gila Dari Andalas, terdiri dari 11 Episode)
Kini
untuk bisa selamat dari tangan Hantu Santet Laknat dan keluar dari rimba
belantara Lasesatbuntu, apakah memang dia harus melakukan hubungan badan dengan
Luhtinti? Wajah Luhtinti tampak berubah sedih mendengar ucapan Wiro tadi.
"Wahai,
kenapa kau berpikiran begitu dangkal? Bagiku keselamatan diriku sendiri sudah
tidak kupikirkan lagi, Wiro. Aku justru ingin membantu menyelamatkan dirimu.
Apalagi kau mengata-kan bahwa dua orang sahabatmu di luar sana yang mungkin
berada dalam bahaya. Lalu kau sendiri pula yang mengatakan bahwa Lakasipo dan
Luhsantini terjerat dalam jaring Hantu Santet Laknat. Kuharap kau mau
mempertimbangkan. Semua yang akan kita lakukan bukan mencari kesenangan
pribadi. Tapi untuk menolong dirimu dan diri orang lain. Atau mungkin kau tidak
ingat lagi untuk kembali ke negeri asalmu di tanah Jawa sana?"
Pendekar
212 pandangi wajah Luhtinti tak berkesip.
"Semua
yang kau katakan itu benar adanya. Tapi melakukan hubungan badan denganmu tak
mungkin aku lakukan …." Luhtinti tersenyum. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri. Pakaian daun yang menutupi dadanya jatuh ke lantai goa. Kembali dada
gadis ini ter-singkap polos. Tubuhnya kemudian dirapatkan ke badan Wiro yang
tegak tersandar ke dinding goa.
Lalu dua
tangan Wiro dibimbingnya ke pinggulnya. Ketika Wiro menyentuh pinggul gadis
itu, dia tidak merasakan apa-apa kecuali memegang kulit yang lembut dan halus.
Wiro melirik ke bawah. Dadanya bergoncang. Dia tidak tahu entah kapan dan
bagaimana caranya si gadis telah membuka pakaiannya disebelah bawah. Karena
saat itu dilihatnya Luhtinti tegak tanpa sehelai daunpun menutupi auratnya!
"
Wiro ,lakukanlah. Demi keselamatanmu dan sahabat-sahabatmu…." Luhtinti
berkata lirih, wajahnya ditengadahkan, lidahnya yang merah basah tergantung
antara bibirnya yang seperti delima merekah dan bergetar halus.
"Luhtinti,
aku tidak bisa melakukan permintaanmu …." Aku yakin kau bisa. Jika kau
mau…. Jika tidak , berarti kau bukan saja tega mencelakai diri sendiri tapi
juga tega membiarkan sahabat-sahabatmu menemui malapetaka!" Sambil berkata
Luhtinti semakin rapatkan tubuhnya ke badan Wiro.
Dua
tangannya merangkul ke pinggang dan punggung Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan
tubuh Wiro dibawanya luruh jatuh ke lantai goa. Ketika gadis itu hendak
menanggalkan pakaian di tubuh Wiro, sang Pendekar segera sadar. Dia melompat
berdiri dan lari ke luar goa.
"Wiro!"
Luhtinti bangkit berdiri, menyambar pakaian daunnya lalu mengejar. Wiro sengaja
menyembunyikan diri di tempat gelap, di antara dua batu besar dibalik
serumpunan semak belukar. Di sekelilingnya suara jangkrik ditingkah suara kodok
terdengar tidak berkeputusan. Sambil duduk Wiro genggam kapak saki Naga Geni
212 yang diletakkannya di pangkuannya.
"Luhtinti,
aku menaruh curiga. Jangan-jangan gadis itu me-nyembunyikan satu niat jahat
Mengapa dia tiba-tiba menunjukkan sikap jalang? Waktu bertemu pertama kali
rambut dan tubuhnya tidak wangi. Tapi tadi baunya harum sekali. Dan bau harum
itu merangsang darah di tubuhku. Di sengaja memakai minyak pemikat Gila, hampir
saja! Jika dia memang tahu rahasia keluar dari hutan terkutuk ini
seharusnya…."
"Wiro.
…!” Pendekar 212 tersentak. Memandang ke depan Luhtinti tahu-tahu sudah tegak
di hadapannya. Gadis ini telah mengenakan pakaian daunnya.
"Mungkin
aku telah melakukan satu kesalahan besar. Aku …. Aku harus minta maaf padamu
…." Si gadis duduk bersimpuh di tanah di hadapan Wiro. Murid Sinto Gendeng
usap-usap gagang kapak saktinya.
"Tak
ada yang harus dimaafkan Luhtinti. Aku tahu maksudmu baik Hanya saja aku tidak
bisa melakukan apa yang kau minta …."
"Aku
tak ingin membicarakan hal itu lagi. Udara di luar sini terasa dingin. Baiknya
kita masuk kembali ke dalam goa. Aku berjanji tidak akan menganggumu lagi
…."
"Kau
saja masuk ke dalam goa," kata Wiro sambil terus mengusap-usap kapaknya
dan pandangi lobang lobang senjata itu. Entah mengapa saat itu muncul saja niat
di hati murid Eyang Sinto Gendeng untuk meniup kapak itu seperti meniup suling.
Apa lagi di sekitarnya suara jangkerik dan kodok masih menggema terus. Wiro
angkat kapaknya, dekatkan ujung gagang kapala kapak yang berbentuk kepala naga.
Jika
mulut kepala naga itu ditiup, dan lobang-lobangnya ditelusuri dengan jari-jari
tangan maka senjata itu memang akan mengeluarkan suara seperti suling. Kalau
meniupnya dengan mengerahkan tenaga dalam maka suara yang keluar akan terdengar
sangat keras, bisa-bisa memekakkan telinga. Wiro menatap ke arah Luhtinti
sebentar lalu berkata.
"Aku
ingin berada ditempat ini barang beberapa saat. Aku ingin sendirian …."
Luhtinti merasa tidak enak mendengar ucapan Wiro itu. Namun dia tak bisa
berbuat apa-apa. Perlahan-lahan gadis ini bangkit berdiri. Tetapi gerakannya
tertahan sewaktu melihat Wiro mendekatkan gagang kapak yang berbentuk kepala
naga itu ke bibirnya.
"Wahai,
apa yang hendak kau lakukan Wiro?" tanya si gadis.
"Senjataku
ini memiliki beberapa keandalan. Satu diantaranya bisa ditiup dijadikan suling.
Aku ingin menenangkan pikiran. Siapa tahu aku masih ingat beberapa nyanyian
lama. Kalau tiupan serulingku buruk, jangan kau tertawakan …."
"Wiro!
Jangan kau lakukan itu!" kata Luhtinti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.
Wajahnya tampak lain.
"Eh,
jangan melakukan apa maksudmu?" tanya Wiro heran
"Jangan
tiup kapakmu! Jangan keluarkan suara seruling di tempat ini!"
"Memangnya
kenapa? Jika kau tidak suka suara tiupan serulingku masuk saja ke dalam goa dan
tekap dua telingamu rapat-rapat!" kata Wiro pula. Lalu kembali dia
dekatkan mulut naga pada gagang Kapak Maut Maga Geni 212 ke bibirnya. Belum
sempat dia meniup Luhtinti berteriak seraya melompat.
"Wiro!
Hentikan perbuatan itu! Jangan! Kau mengundang bencana besar!"
"Bencana
apa?" tanya Wiro.
"Aku
tak bisa mengatakan. Yang penting jangan meniup kapakmu. Simpan senjata
itu!" Melihat air muka si gadis, mendengar nada suaranya yang keras
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi curiga. Tanpa perdulikan Luhtinti Wiro meniup.
Kali ini Luhtinti benar-benar marah rupanya. Sekali dia bergerak tangannya
menyambar hendak merampas Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro.
Namun
Wiro tidak tinggal diam. Masih tetap duduk kaki kanannya diajukan ke depan,
menahan perut Luhtinti hingga gerakannya merampas tidak bisa dilakukan. Selagi
si gadis berusaha menurunkan kaki Wiro sambil memukul, Pendekar 212 tiup kapak
saktinya. Karena dia meniup dengan pengerahan tenaga dalam maka suara yang
keluar menggema keras menusuk telinga.
"Jangan!"
teriak Luhtinti seraya menekap telinganya. Wiro meniup terus, lebih keras dan
tak karuan karena selain masih terus menahan tubuh Luhtinti dengan kakinya agar
gadis itu tidak bergerak lebih dekat, dia juga harus mengelak kian kemari
karena Luhtinti mulai melepaskan pukulan-pukulan. Ternyata pukulan si gadis
bukan sembarangan karena mengeluarkan angin tajam pertanda ada pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Luhtinti
kembali berteriak. Dadanya yang kencang beroncang keras. Dari ubun-ubunnya ada
asap putih mengepul tipis. Wajahnya yang cantik tampak mengerenyit mengkirik.
Bibirnya bergerak-gerak seperti tengah melafatkan mantera. Sepasang matanya
mendelik.
Pendekar212
meniup kapaksaktinya lebih keras. Luhtinti menjerit dahsyat! Di udara yang
redup gelap terdengar suara berderak seperti ada benda rengkah dan siap runtuh.
. Daun pepohonan kelompok demi kelompok tampak jatuh berluruhan. Suara
jengkerik dan kodok yang tadi terdengar tidak berkeputusan lenyap seperti
ditelan bumi. Lalu di sela-sela jari tangan Luhtinti yang dipakai untuk menekap
telinganya kiri kanan kelihatan ada cairan merah mengalir. Darah!
"Aku
sudah curiga!" kata Wiro dalam hati. Matanya tak berkesip terus mengawasi
Luhtinti. Tiupan serulingnya semakin menggila. Kemudian terjadilah beberapa
keanehan. Kawasan sekitar goa yang tadinya redup perlahanlahan menjadi terang.
Peman-dangan yang tadinya sangat terbatas berangsur-angsur menjadi luas dan
jauh. Lalu yang sama sekali tidak terduga dan membuat pendekar 212 jadi
merinding ialah perubahan yang terjadi atas diri Luhtinti.
Pakaian
Luhtinti yang sebelumnya berupa daun-daun hijau kini berubah menjadi sehelai
jubah hitam. Ketika Wiro melirik dirinya sendiri dia juga kaget karena dapatkan
pakaian putihnya yang sebelumnya sirna secara aneh kini telah melekat kembali
dl badannya sementara celana yang terbuat dari daun-daun hijau masih menempel
diatas pakaian putihnya. Namun Wiro tidak perdulikan keanehan yang ada pada dirinya
karena dia lebih memperhatikan apa yang terjadi pada Luhtinti. Wajah si gadis
yang tadinya hitam manis cantik jelita ini berubah menjadi satu wajah
menyeramkan dengan sepasang mata kecil menonjol tanpa alis. Mulut dan hidungnya
jadi satu membentuk paruh bengkok dan hitam. Kalau tadi rambut serta tubuhnya
menebar bau harum semerbak, kini sebaliknya memancarkan bau busuk!
"Hantu
Santet Laknat!" teriak Wiro kaget.
"Jadi
kau rupanya!" Si nenek menyeringai geram.
"Aku
menawarkan madu, kau lebih suka minum racun! Aku menawarkan kenikmatan hidup,
kau lebih suka menelan hazab!" Habis berkata begitu si nenek keluarkan
suara jeritan melengking seperti hendak merobek langit. Dua tangannya lalu
didorongkan ke depan!
**********************
SEBELAS
WIRO
maklum selain memiliki ilmu hitam jahat si nenek juga menguasai ilmu silat dan
kesaktian tinggi serta kelicikan tipu daya tak terduga. Karenanya dia bertekad
untuk menghadapi Hantu Santet Laknat habis-habisan.
Dua
gelombang angin menyapu kearahnya. Wiro membentak garang. Sesaat suara tiupan
seruling lenyap. Sambil melompat ke atas dan jungkir balik di udara Wiro yang
memegang kapak sakti di tangan kiri kembali meniup senjata itu. Kali ini dengan
pengerahan hampir tiga perempat tenaga dalamnya! Wiro maklum sudah kelemahan
ilmu hitam Hantu Santet Laknat dalam menyirap kawasan rimba belantara
Lasesatbuntu. Yaitu tidak sanggup bertahan dan buyar terhadap kekuatan bunyi
yang dahsyat!
Mungkin
itu sebabnya dia tidak terlalu suka berada di kawasan sekitar goa yang selalu
dihantui suara jangkrik dan kodok terus menerus. Walau suara-suara binatang itu
tidak sampai membuyarkan ilmu hitamnya namun hatinya selalu tidak tentram jika
telinganya mendengar suara aneh berkepanjangan.
Kawasan
rimba belantara dimana dua orang yang bertempur itu berada semakin terang.
Daun-daun pepohonan tambah banyak yang rontok. Tanah terasa bergetar. Tapi
Hantu Santet Laknat yang menderita cidera pada dua telinganya tidak merasa
gentar. Marah besar melihat dua serangannya tadi luput, si nenek kembali
menggebrak. Sepasang matanya yang kecil menonjol ke depan mengeluarkan asap.
Wiro mengira dari dua mata itu akan melesat dua larik sinar mematikan.
Tapi
ternyata tidak. Malah secara tak terduga dari mulut si nenek yang berbentuk
paruh melesat keluar dua larik kobaran api berbentuk sinar aneh warna biru.
Sinar api ini bergulung-gulung membentuk jaring yang kemudian dengan kecepatan
kilat menebar ke arah Pendekar 212.
"Api
lblis Penjaring Roh!" seru Pendekar 212 begitu mengenali benda yang
melesat ke arahnya itu. Jaring inilah sebelumnya yang telah menjerat Lakasipo
dan Luhsantini. Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bagaimana keadaan kedua
orang itu. Hantu Santet Laknat keluarkan tawa mengekeh lalu sentakkan mulutnya
yang berbentuk paruh.
"WUSSSSS!”
Jaring
api biru menyambar ke arah kepala Pendekar 212. Wiro hantamkan tangan kanannya,
melepas pukulan Sinar Matahari. Sinar putih panas terang benderang berkiblat!
"Bummmm!"
Sinar
biru dan putih saling bentrokan di udara! Tanah bergetar seperti dilanda gempa.
Pendekar 212 keluarkan seruan keras. Tubuhnya terpental sampai dua tombak lalu
terbanting di tanah. Hawa panas mendera seolah badannya diselubungi kobaran
api. Ketika dia bangkit berdiri, kagetlah murid Sinto Gendeng ini. Kapak Maut
Naga Geni 212 tidak ada lagi di tangan kirinya! Memandang ke depan, ternyata
senjata itu telah berada dalam jaring api biru yang mengambang di udara,
dikendalikan oleh Hantu Santet Laknat lewat hidung dan mulutnya yang berbentuk
paruh.
Walau
kapak sakti yang masih berada dalam jaring api biru itu tidak mengalami
kerusakan namun sulit bagi Wiro untuk merampasnya kembali.
"Tua
bang ka jahat! Kembalikan kapak itu padaku!" Si nenek keluarkan suara
tertawa mengekeh.
"Pemuda
tolol! Jangan bersombong diri mengira bisa mengalahkanku! Kapak ini akan
kukembalikan padamu asal kau mau bersumpah! Bersedia menjadi kekasih
peliharaanku!"
"Tua
bangka tidak tahu diri! lblis penjaga neraka pun tidak sudi bergendak denganmu!
kau akan menyesal jika tidak segera mengembalikan kapak itu padaku!"
"Begitu?
Hik.. hik … hik!" si nenek kembali mengekeh.
"Kau
inginkan kapak silakan mengambil sendiri!" Lalu Hantu Santet Laknat
goyangnya kepalanya. Jaring.api iblis serta merta lenyap. Kapak Naga Geni 212
kini berada di tangan kiri si nenek. Dengan tangan kanannya Hantu Santet Laknat
tiba-tiba merorotkan bagian dada jubah hitamnya sebelah atas hingga dia kini
tegak dalam keadaan setengah telanjang. Gagang Kapak Naga Geni 212 diciumnya
sambil tertawa terkekeh-kekeh. Bagian gagang yang berbentuk kepala naga dihisap-hisapnya
dengan cara menjijikkan. Lalu senjata itu diletakannya di atas dadanya yang
peot. Secara aneh kapak sakti itu menempel di dadanya.
"Wahai!
Kau tunggu apa lagi? Kau inginkan kapakmu kembali, silakan ambil!" berseru
Hantu Santet Laknat sambil berkacak pinggang dan senyum-senyum genit
"Jahanam!"
rutuk Pendekar 212. Sesaat dia hanya bisa tegak dengan mata mendelik.
"Ho
… ooo! Kau tak mau mendekati diriku, tak mau mengambil kapak karena takut
menyentuh dadaku yang buruk. Jangan takut anak muda! Saat ini aku bukan lagi
Hantu Santet Laknat si nenek buruk. Tapi aku adalah gadis-gadis yang
mengasihimu! Lihat! Kau tinggal memilih mana yang kau suka! Pandang
baik-baik!"
Saat itu
Pendekar 212 memang masih memandangi si nenek dengan penuh geram. Tapi mendadak
dia berseru kaget dan tersurut beberapa langkah. Sosok dan wajah Hantu Santet
Laknat mendadak berubah menjadi wajah sosoksetengah telanjang Ratu Duyung, lalu
berubah menjadi sosok dan wajah Anggini lalu Pandansuri dan malah Bunga alias
Suci, gadis yang telah meninggal di tanah Jawa itu. Begitu terus
berganti-ganti.
"Astaga!
Bagaimana mungkin dia bisa melakukan itu!" membatin Wiro dengan tubuh
bergetar.
"Kau
tidak ingin mengambil kapak dan menyentuh dadaku?! Aku kekasihmu! Bidadari
Angin Timur!" Sosok di depan Wiro berucap. Dan saat itu Wiro benar-benar
melihat sosok utuh serta wajah cantik Bidadari Angin Timur tegak, tersenyum di
hadapannya dalam keadaan dada membusung putih dan polos. Selagi Wiro terpana
tak bergerak sepcrrti itu tiba-tiba di udara melesat cahaya biru dan
"wuttt!" Hantu Santet Laknat pergunakan kelengahan lawan untuk
menyerang. Api lblis Penjaring Roh Kembali melesat, menebar menjirat ke arah
Pendekar 212.
"Kau
tak akan bisa lolos! Kali ini kau tak akan bisa menyelamatkan diri! Masuk ke
dalam jaring! Masuk ke dalam jaring!" Suara Hantu Santet Laknat mengiang
aneh di telinga Wiro. Ternyata nenek jahat ini telah pergunakan ilmu
kesaktiannya yang disebut Menyadap Suara Batin. Ucapannya itu masuk ke telinga
Wiro, menyerap ke dalam otak dan hatinya. Antara sadar dan tidak murid Sinto
Gendeng kini bukan cuma berdiri diam, tapi malah melangkah maju seolah
menyambut kedatangan jaring api birir yang hendak menggulung dirinya dari atas!
"Wiro
awas!" satu teriakan keras tiba-tiba menggeledek di tempat itu, membuat
Pendekar 212 segera sadar dan cepat jatuhkan diri di tanah, bergulingan sambil
lepaskan satu pukulan sakti dalam jurus Tangan Dewa Menghantam Rembulan. Ini
adalah salah satu dari tujuh inti jurus pukulan sakti yang didapatnya dari
sebuah kitab sakti yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh, makhluk yang
dianggap setengah manusia setengah Dewa.
(Baca
serial Wiro Sableng berjudul "Delapan Sabda Dewa" yang merupakan
Episode ke 4 dari 8 Episode)
"Buummmm!"
Satu
ledakan dahsyat menggelegar di udara. Sosok Wiro terhenyak amblas sampai satu
jengkal ke dalam tanah! Sekujur tubuhnya seperti memar dan tulang belulangnya
laksana terpanggang. Dadanya mendenyut sakit Dari sela bibirnya mengalir darah!
Di atas sana jaring api biru terpental sampai dua tombak. Tapi kembali melayang
cepat ke bawah. Kali ini tidak menyerang ke arah Wiro, tapi pada orang yang
tadi berteriak memberi peringatan padanya.
Terhuyung-huyung
Wiro keluar dari dalam lobang di tanah. Ketika dia memandang ke depan
terkejutlah Pendekar 212. Semula dia tidak mengenali. Tapi kemudian sadar,
orang yang hendak dilibas jaring api biru itu adalah Luhtinti yang kini
mengenakan pakaian berwarna hitam. Pakaiannya yang terbuat dari daun daun hijau
masih melekat di tubuhnya.
"Celaka
Luhtinti! Dia pasti tak bisa menyelamatkan diri dari jaring api itu! Aku tak
mungkin menolongnya!" Tiba-tiba Wiro ingat Dari mulutnya kelisar seruan
keras.
"Sepasang
Pedang Dewa!"
Saat itu
juga dari sepasang mata Pendekar 212 memancar dua larik sinar hljau berbentuk
sepasang pedang. Sesaat lagi jaringan api biru akan jatuh menimpa dan
menggulung Luhtinti, dua pedang aneh itu berkiblat ganas. Udara dibeset oleh
dua larik sinar hijau. Lalu
"taar
… taarrr!"
Dua
ledakan keras menggelegar. Wiro terbanting ke tanah. Luhtinti terpekik dan
terguling-guling babak belur tapi selamat Di sebelah sana Hantu Santet Laknat
menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu muntahkan darah
hitam! Tertatih-tatih si nenek bangkit berdiri. Dari kepalanya mengepul asap
putih. llmu sepasang Pedang Dewa yang juga didapat Wiro dari Datuk Basaluang
Ameh sirna. Jaring api biru lenyap entah kemana.
Tapi luar
biasanya ternyata si nenek masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan
kanannya! Dia meludah ke tanah lalu memandang beringas pada Wiro.
"Jangan
kira kau bisa mengalahkan aku, anak muda! Kapak saktimu menjadi milikku! Hik …
hik … hik!" Si nenek kembali meludah.
"Lain
waktu aku akan kembali! Tidak untuk membunuhmu! Tapi untuk bercinta denganmu!
Kau tak akan kulepas sampai hari kiamat sekalipun! Aku sudah terlanjur jatuh
cinta padamu! Hik … hik … hik! Selamat tinggal anak muda. Selamat tinggal
kekasihku! Hik … hik … hilt…!" Pendekar212 jadi merinding mendengar
kata-kata Hantu Santet Laknat itu.
Sosok si
nenek berkelebat dan di mata Wiro dia seperti melayang terbang ke udara hingga
dia tidak mungkin mengejar. Padahal ini adalah tipuan ilmu hitam belaka karena
sebenarnya saat itu Hantu Santet Laknat hanya berjalan biasa meninggalkan
tempat itu.
"Kembalikan
kapakku!" teriak Wiro. Di udara Wiro melihat Hantu Santet Laknat melayang
terbang semakin jauh dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
""Mati
aku!" keluh Wiro sambil tepuk keningnya sendiri lalu jatuhkan diri. Untuk
beberapa lamanya dia terduduk menjelepok di tanah. Kemudian pandangannya membentur
sosok Luhtinti yang tergelimpang pingsan. Ketika tubuh gadis itu bergerak
menggeliat Wiro segera mendekati untuk menolong
"Luhtinti
…. Kau betulan Luhtinti?!" tanya Wiro. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu
lagi-lagi adalah jelmaan ilmu hitam Hantu Santet Laknat. Luhtinti buka dua
matanya.
"Wiro
…" katanya perlahan.
"Syukur
kau masih hidup. Tadinya aku sudah putus asa …."
"Tunggu!
Bagaimana aku tahu kau adalah Luhtinti yang asli. Bukan jejadian Hantu Santet
Laknat!" kata Wiro sambil tetap menjaga jarak dan berlaku waspada.
"Aku
memang tidak bisa membuktikan …" kata Luhtinti pula.
"Tapi
jika kau bersangsi, wahai, tinggalkan saja diriku sekarang juga!" Wiro
garuk-garuk kepalanya.
"Kalau
begitu biar aku yang membuktikan," kata Wiropula. Lalu Pendekar 212
ulurkan tangan kanannya ke dada si gadis seraya berkata.
"Jika
kau masih inginkan kita bersenang senang di dalam goa, apa boleh aku meraba
dadamu lebih dulu?" Berubah paras Luhtinti. Sepasang matanya mendelik.
"Aku
tidak percaya pada pendengaranku! Bagaimana mungkin kau berbuat dan berucap
seperti itu padaku?!" Wiro menyeringai. Sambil garuk-garuk kepala dia
berkata.
"Sekarang
aku yakin kau Luhtinti betulan …."
"Aku
tak mengerti. Memangnya ada apa … ?" tanya si gadis.
"Kalau
kau Luhtinti jejadiannya Hantu Santet Laknat, waktu aku katakan hendak meraba
dadamu tadi pasti kau sudah membuka pakaianmu dan angsurkan diri!"
Merahlah paras Luhtinti.
Nanti aku
ceritakan bagaimana nenek keparat itu hendak mengelabuiku. Sekarang terangkah
apa yang terjadi dengan dirimu." Wiro lalu menolong Luhtinti bangkit dan
duduk. Maka Luhtinti lantas menuturkan.
"Malam
tadi sewaktu kita berada dalam goa. Tiba tiba Hantu Santet Laknat muncul. Dia
menginjak ulu hatiku dengan kakinya hingga aku tidak sadar. Ketika tadi aku
siuman kudapati diriku dicampakan si nenek di satu tempat tak jauh dari sini.
Tubuhku terbungkus pakaianku sendiri yang dulu pernah sirna terkena sentuhan
matahari. Selain pakaian ini, seperti kau lihat aku masih mengenakan daun-daun
hijau ini." Luhtinti lalu membuka dan campakkan daun-daun hijau di atas
pakaiannya itu. Wiro mengikuti, menanggalkan dan membuang celana daunnya.
"Aku
yakin telah terjadi sesuatu yang membuat musnah ilmu hitam si nenek. Lalu aku
mendengar suara bentakan-bentakan serta tawa cekikikan Hantu Santet Laknat Aku
cepat-cepat menuju ke sini …."
"Aku
harus berterima kasih sekali lagi padamu. Kalau tadi kau tidak berteriak
memberi ingat, aku pasti sudah dilibas nenek celaka itu di dalam jaring
apinya!" Wiro ingat pada Lakasipo, Luhsantini dan kawan kawannya.
"Aku
harus meninggalkan tempat ini. Aku musti mencari kawan-kawanku. Menolong
Lakasipo dan Luhsantini."
"Aku
ikut bersamamu!" kata Luhtinti pula
"Eh
…." Wiro pandangi si gadis sambil garuk-garuk kepala.
"Ada
apa?" tanya Luhtinti
"Sebenarnya
aku lebih suka kau mengenakan pakaian dari daun itu. Dari pada pakaian hitam
yang menyembunyikan kebagusan tubuhmu ini!"
"Pemuda
bermata gatal!" kata Luhtinti seraya memencet hidung Pendekar 21 2 hingga
Wiro terpekik kesakitan.
**********************
MESKI
keadaannya babak belur dan dia tidak dapat menjaring Wiro namun Hantu Santet
Laknat masih terhibur karena dia berhasil mendapatkan senjata sakti Kapak Maut
Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Lagi pula seperti yang tadi diucapkannya
tanpa malu si nenek memang telah jatuh cinta pada pendekar kita. Sambil
berjalan dia berkata sendirian
"Kapak
sakti ini akan kubawa ke Gunung Latinggimeru. Akan kubuang ke dalam kawahnya!
Biar terpendam seumur umur! Betapapun aku mencintainya aku tetap harus
berjaga-jaga!" Habis berkata begitu si nenek lantas meludah. Ludahnya
masih bercampur darah pertanda dia menderita luka di dalam.
Baru saja
Hantu Santet Laknat meludah, bahkan ludahnya belum sempat jatuh ke tanah
tiba-tiba ada satu suara di belakangnya berkata.
"Dari
pada jauh jauh dan susah-susah pergi ke Gunung Latinggimeru untuk membuang
kapak itu, lebih baik serahkan saja padaku!"
"Pemiliknya
dicintai tapi barangnya mau dibuang! Hik … hik … hik! Lucu juga nenek peot satu
ini!" Kejut Hantu Santet Laknat bukan kepalang. Dalam hati dia membatin.
"Walau
keadaanku seperti ini, tapi adalah aneh! Aku sampai tidak tahu dan tidak
mendengar kalau ada beberapa orang mengikuti langkahku disebelah belakang!
Agaknya mereka memiliki kepandaian tinggi!" Dengan cepat si nenek memutar
badan.
**********************
DUA BELAS
KARENA
mengejar setengah hati dan sambil mencari ayam jantan, akhirnya si nenek
berjuluk Nenek Selaksa Angin alias Selaksa Kentut itu kehilangan jejak Hantu
Langit Terjungkir. Tapi nenek kurang waras ini agaknya tidak begitu perduli.
Siang itu dia tampak duduk di bawah sebatang pohon rindang. Keranjang besar
berisi tiga ekor ayam terletak di hadapannya. Di sekitarnya tujuh ekor ayam bergelimpangan
mati dengan dubur amblas karena telah dicabuti kibulnya untuk disantap.
Si nenek
lunjurkan sepasang kakinya. Dadanya sesak turun naik Sambil usap-usap perutnya
dia memandang ke arah keranjang.
"Aku
sudah menelan tujuh puluh empat kibul ayam jantan. Tinggal tiga ekor itu. Huh …
aku akan sembuh! Pasti sembuh! Kalau tidak, pemuda asing itu akan kucabut
duburnya, akan kubetot ususnya! Tiga ekor lagi …. Tapi aku benar-benar kenyang!
Rasanya mau muntah!" Luhkentut alias Nenek selaksa Kentut usap-usap
perutnya yang gembul. Lalu
"buut
… prett!" Dia terkentut!
Sekali
ini si nenek memandang berkeliling, lalu pegang-pegang pantatnya sendiri. Bola
matanya yang kuning berputar-putar.
"Kentutku
terdengar aneh sekali ini! Buutnya pendek lalu ada prettnya! Hik … hik. .. hik!
Enak juga kedengarannya! Jangan Jangan aku memang siap sembuh!" Girang
sekali si nenek jadi bersemangat. Lalu dia ambil salah seekor ayam dalam
keranjang. Dengan cepat binatang itu dipesianginya. Dijebol ujung duburnya lalu
dimakan mentah-mentah. Begitu habis disambarnya ayam ke dua. Masih megap-megap
dia tancap ayam ke tiga! Dengan mata mendelik setelah menelan kibul ayam yang
terakhir si nenek berteriak seraya melompat.
"Tujuh
puluh tujuh! Aku sudah menelan tujuh puluh tujuh kibul ayam! Aku sudah
sembuh!" Si nenek merasakan geli-geli di sekitar duburnya. Lalu
"butt..
prett!" Dia kentut lagi, dengan suara aneh tidak seperti biasanya.
"Heh,
bagaimana ini! Aku masih kentut! Berarti belum sembuh! Kurang ajar! Apakah aku
telah tertipu! Aku harus mencari anak itu!"
Tiba-tiba
semak belukar di samping kiri si nenek bergerak. Luhkentut cepat berbalik
seraya hendak menghantam dengan tangan kanannya.
"Nek,
jangan! Ini kami!" Satu suara berseru lalu dua sosok berkelebat dan muncul
di hadapan Luhkentut!
"Kalian!"
hardik si nenek muka kuning dengan mata melotot!
"Mana
kawanmu yang bernama Wiro Sableng itu?!"
"Kami
justru kehilangannya!" jawab salah satu dari dua orang yang barusan datang
yang bukan lain adalah Naga Kuning.
"Kami
tengah mencarinya! Dia lenyap dan tak muncul lagi setelah mengikuti seorang
gadis bernama Luhcinta," menerangkan orang ke dua yaitu si kakek berjuluk
si Setan Ngompol.
"Hemm.
… Dia berani menipuku, sekarang malah asyik bercinta dengan gadis bernama
Luhcinta itu! Kurang ajar! Kau bakal menerima pembalasanku Wiro! Aku setengah
mati menelan tujuh puluh tujuh kibul ayam jantan! Penyakit kentutku ternyata
tidak sembuh!"
"Butt..l
prett!"
"Nek
jangan salahkan sahabat kami! Jika mendengar kentutmu kurasa kau sudah hampir
sembuh …."
"Hampir
sembuh bagaimana! Apa kau tuli tidak mendengar aku masih kentut-kentut?!"
bentak si nenek kepada Setan Ngompol hingga kakek ini terpancar air kencingnya.
"Tunggu
Nek," Naga Kuning menyahuti.
"Kau
memang masih kentut-kentut. Tapi apa kau tidak menghitung? Sekarang kentutmu
jauh berkurang. Tidak terus-terusan seperti dulu. Lagi pula kalau dulu kentutmu
panjang buuttt. .. buuuutttt. .. buuttt! Sekarang kau cuma kentut pendek-pendek
saja. Butt! Dan sekali-sekali. Lalu ada tambahan Prett! Apa itu tidak berarti
kau sudah hampir sembuh malah kentutmu terdengar indah lucu?!"
"lndah
lucu bapak moyangmu! Aku tetap harus mencari pemuda itu! Kalian berdua harus
menunjukkan dimana dia berada!"
"Kami
tidak tahu Nek, sungguh!" jawab Naga Kuning.
"Sahabatku
nenek muka kuning," Setan Ngompol ikut bicara.
"Jika
kau hendak mencelakai Wiro padahal dia telah menolong menyembuhkan penyakit
kentutmu, paling tidak mengurangi, bisa-bisa kau bakal kena . kutuk!"
"Kekek
mata lebar kuping sumplung! Kena kutuk apa maksudmu? Apa telingamu yang sebelah
lagi mau kuambil dan kupindah ke selangkanganmu?!"
"Serrr!"
Kencing si kakek langsung terpencar. Tergagap-gagap Setan Ngompol berkata.
"Maksud
kami berdua baik. Memberi tahu agar kau tidak salah kaprah …."
"Aku
tidak mengerti! Apa itu salah kaprah!" bentak Luhkentut.
"Begini
Nek," Naga Kuning coba menerangkan.
"Sahabat
kami Wiro Sableng telah menolongmu. Walau penyakit kentutmu tidak sembuh
seluruhnya tapi dibanding dulu sudah jauh berbeda. Kini kau Cuma kentut
sekali-sekali. Kentutmu jadi pendek. Lalu ada sedikit hiasan Prett
dibelakangnya! Kau bukannya berterima kaSih pada sahabatku itu, tapi malah mau
mencelakainya. Mencelakai orang yang telah menolong bisa-bisa penyakit kentutmu
kambuh kembali. Malah lebih parah, lebih panjang! Bagaimana kalau kau nanti
kentut sambil kepulkan asap dari duburmu!"
Habis
berkata begitu Naga Kuning tekap hidung dan mulutnya mencegah jangan sampai
tersembur tawanya.
"Anak
kurang ajar! Jangan kau berani menakut nakuti diriku! Kuperas peralatanmu baru
tahu rasa!" Nenek muka kuning ulurkan tangannya ke bagian bawah perut Naga
Kuning. Si bocah tentu saja cepat-cepat melompat selamatkan diri. Setan Ngompol
walau agak takut-takut segera berkata.
"Anak
itu tidak menakut-nakuti. Kalau kau tidak percaya padanya harap percaya padaku.
Kita sama-sama tua.."
"Aku
tua wajar, kau tua terjemur, bau dan buruk!" semprot Nenek Selaksa Kentut.
Si Setan Ngompol tersurut dua langkah. Sambil menahan kencing dengan suara
perlahan dia berkata.
"Terserah
padamu. Aku hanya memberi tahu. Kalau kau sampai salah kaprah bisa celaka. Apa
kau suka nanti setiap kentut kau juga sekaligus mencret?!" Naga Kuning
membuang muka menahan tawa. Si Setan Ngompol pura-pura membetulkan celananya
padahal sudah tidak sanggup menahan kencing. Kedua orang ini melirik ke arah si
nenek muka kuning.
Saat itu
Luhkentut tampak terdiam seperti berpikir pikir Diam diam dia merasa kecut
Apalagi mendengar ucapan si kakek. Bagaimana kalau nanti dia benar benar kentut
dan mencret hanya gara-gara hendak mencelakai pernuda bernama Wiro Sableng itu?
Si nenek melangkah mondar-mandir. Diam diam dia mengakui dan sebenarnya merasa
senang karena kentutnya kini memang hanya tinggal sekali-sekali. Walaupun
kentut, suaranya tinggal pendek dan ada tambahan Prett yang oleh si bocah
bernama Naga Kuning itu disebut sebagai sesuatau yang "indah"
Satu
senyum akhirnya menyeruak di wajah si nenek. Dia memandang pada dua orang di
hadapannya.
"Baiklah,
aku memang pantas berterima kasih pada sahabatmu bernama Wiro Kencing Kuda itu.
Kebaikan seharusnya memang musti dibalas dengan kebaikan. Aku akan rnencarinya
untuk berterima kasih bukan untuk mencelakainya …."
"Kau
memang orang yang rendah hati tinggi budi!" memuji Setan Ngompol
"Baik
hati dan en gg…. Lumayan cakep!" kata Naga Kuning menyambungi.
"Cakep?
Apa itu cakep?" tanya Luhkentut tak mengerti.
"Cakep
artinya kau cantik selangit tembus!" jawab Naga Kuning. Si nenek tertawa
mengekeh.
"Kau
pandai memuji Tapi dibalik pujianmu itu kau masih bercanda nakal mempermainku!
Mana ada di dunia ini nenek-nenek punya kecantikan selangit tembus! Kau salah
berucap. Bukan selangit tembus tapi selangit gosong! Hik … hik … hik!"
Setelah mendongak ke langit sebentar si nenek berkata.
"Kita
segera saja mencari sahabatmu itu. Aku khawatir anak murid Hantu Santet Laknat
bernama Hantu Bara Kaliatus itu telah berbuat macam-macam mencelakai
orang!" Naga Kuning lalu menceritakan di mana dan bagaimana terakhir kali
dia dan Setan Ngompol melihat Wiro dalam keadaan tanpa pakaian berada di satu
pedataran liar dalam rimba belantara Lasesatbuntu.
"Kawanmu
itu sudah kena sirap nenek dukun jahat itu! Kalau kita sampai terlarnbat
bisa-bisa mereka berdua sudah jadi suami istri!"
"Suami
istri?" Naga kuning terkejut.
"Apa?!"
Setan Ngompol tersentak kaget, tak percaya pada pendengarannya.
"Kurasa
anak itu belum cukup gila untuk mau bercinta dengan si nenek buruk bau
itu!" Luhkentut menyeringai.
"Hantu
Santet Laknat bukan dukun jahat namanya kalau tidak mampu menyirap menipu
orang. Setahuku dia punya ilmu hitam yang disebut llmu Bersalin Rupa. Dia bisa
merubah diri menjadi gadis paling cantik di muka bumi ini. Apa sahabatmu si
Sableng itu tidak akan terangsang?"
"Celaka!
Wiro benar-benar dalam bahaya besar!" kata Naga Kuning.
"Aku
punya dugaan, kalau Hantu Santet Laknat menjebak pemuda seperti sahabatmu itu,
dia pasti punya satu maksud tersembunyi! Kita berangkat sekarang juga ke rimba
Lasesatbuntu!"
"Nek,
sebelum pergi, aku mau tanya apa potongan kuping kananku masih ada
padamu?" bertanya Setan Ngompol harap-harap cemas.
"Aku
tak tahu aku simpan dimana kupingmu itu! Entah sudah kubuang entah sudah
kujadikan makanan anjing!"
"Celaka!"
Setan Ngompol tersurut pucat dan keluarkan kencing. Tangan kanannya
mengusap-usap telinga kanannya yang tak ada daunnya lagi karena memang sudah
diambil oleh nenek tukang kentut itu waktu berada di goa tempat
disembunyikannya patung Luhmintari (Baca Episode berjudul Hantu Langit
Terjungkir)
Kemampuan
si nenek mengambil dan memindah bagian-bagian tubuh manusia ini dimungkinkan
karena dia mempunyai ilmu yang disebut Menahan Darah Memindah Jazad
"Memangnya
kenapa kau tanyakan kupingmu itu?!" bertanya Luhkentut.
"Sesuai
perjanjian, kuping itu untuk jadi jaminan bahwa kau bisa disembuhkan. Sekarang
kau sudah bisa dikatakan sembuh. Lagi pula bukankah kita ini sekarang sudah
bersahabat?" Setan Ngompol berkata sambil tersenyum dan kedip-kedipkan
matanya.
Si nenek
muka kuning tertawa masam. Dia meraba-raba pakaian kuningnya, rnencari-cari
disetiap sudut sosok tubuhnya. Meraba sampai di bawah perut si nenek berhenti.
Matanya yang kuning menatap pada Setan Ngompol lalu dikedipkan. Si nenek kemudian
balikkan badannya sambil mengangkat pakaian kuningnya ke atas. Sesaat kemudian
ketika dia kembali membalik, potongan kuping kanan Setan Ngompol sudah berada
di tangan kirinya.
"lni,
kau ambillah kembali! Aku memang tidak butuh lagi kupingmu ini!" Setan
Ngompol menerima potongan kupingnya. Benda itu terasa hangat, basah dan bau
pesing.
"Nek,
kau letakkan di mana kupingku ini tadi … ?" tanya Setan Ngompol.
"Kakek
tolol! Coba kau cium sendiri! Kau pasti sudah tahu kusimpan dimana daun
telingamu itu!" jawab si nenek lalu berpaling pada Naga Kuning. Kedua
orang ini kemudian sama-sama tertawa cekikikan.
"Aku
… !" Setan Ngompol kibas-kibaskan potongan daun telinganya.
"Bagaimana
ini …. Bagaimana aku menempelkannya ke telingaku kembali. Nek … !"
Luhkentut ambil daun telinga yang dipegang si kakek lalu ditempelkannya ke
telinga kanan Setan Ngompol. Tapi tempelannya ternyata terbalik. Bagian daun
telinga yang seharusnya menghadap ke depan diletakkannya di sebelah belakang.
Akibatnya Setan Ngompol merasa bising karena telinga" kirinya menangkap
suara dari depan senang telinga kanan menangkap suara dari sebelah belakang.
Naga Kuning yang mengetahui hal ini diam saja sambil menahan ketawa.
"Sudah?!
Kau puas sekarang?!" tanya Luhkentut.
"Pu
… puas Nek. Tapi …. Ah, aku tak tahu apa yang salah pada diriku! Tempat ini
tiba-tiba seperti bising …."
"Kek,"
kata Naga Kuning.
"Kau
seperti masih menyesali diri. Seharusnya kau berterima kasih pada nenek itu.
Dia telah mengembalikan potongan daun telingamu …."
"Aku
memang berterima kasih!" jawab Naga Kuning.
"Tapi
kau tahu dimana dia menyirnpan kupingku ini?" kata Setan Ngompol dengan
mata melotot.
"Sudahlah,
mengapa hal itu diributkan. Kau sudah dapatkan telingamu kembali dan sudah
dipasangkan ditempatnya semula!"
"Tapi
apa kau tidak melihat tadi?! Dia meletakkan kupingku di anunya!"
"Sudahlah
Kek, seharusnya kau berterima kasih dan merasa senang. Si nenek sudah menyimpan
dan menempatkan daun teli-ngamu di tempat yang paling aman, sedap hangat dan
terhormat …"
"Sedap
bapak moyangmu! Daun telingaku malah basah dan bau!" kata Setan Ngompol.
Naga Kuning tertawa cekikikan. Tanpa perdulikan si Kakek dia segera melangkah
menyusul nenek muka kuning yang sudah berjalan duluan menuju rimba
Lasesatbuntu.
Di
sebelah belakang si kakek berjalan mengikuti. Sesekali dia usap daun telinganya
yang basah. Lalu tangannya didekatkan ke lobang hidung.
"Sial
…. Tapi hemmm…. Baunya lama-lama terasa enak-enak sedap. Betul juga omongan
bocah sialan itu!" Si kakek lalu mesem-mesem tertawa. Melangkah sambil
mengendus-endus jari-jari tangannya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment