Dua
Nyawa Kembar
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
1
NENEK
sakti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng terkencing-kencing
serabutan begitu melayang jatuh memasuki alam delapan ratus tahun silam Bhumi
Mataram di kawasan selatan kaki Gunung Merapi. Tubuh kurus kering si nenek
terguling-guling di tanah lalu tertumbuk dan tersandar di sebatang pohon
mahoni. Dua kaki masih mengepit kuda lumping yang tadi ditunggangi sewaktu
melesat dari dalam hutan di dekat Candi Prambanan.
“Oala!
Bagaimana bisa kejadian begini rupa?!” Si nenek berucap setengah berseru lalu
semburkan air kunyahan susur yang ada di dalam mulut. Dia memandang
berkeliling. “Aku di mana? Apa aku sudah berada di Mataram Kuna, kerajaan
delapan ratus tahun silam?”
Perlahan-lahan
si nenek bangkit berdiri. Kuda lumping dikepit di ketiak kiri, tangan kanan
rapikan empat tusuk konde perak yang menancap di kepalanya.
Bukannya
ingin mencari tahu di mana keberadaan Wiro dan anak perempuan bernama Ni Gatri,
si nenek malah terus bertanya-tanya dalam hati. “Apakah aku akan bertemu lagi
dengan kakek gagah bersorban dan berjubah kelabu yang menyusup ke dalam tubuh
Ni Gatri sewaktu berada di rumah Abdi Dalem Pringkun? Ah, mengapa aku begitu
tertarik padanya? Padahal apakah dia tertarik pada diriku yang jelek rongsokan
ini?”
Membayangkan
wajah kakek dari alam gaib itu si nenek senyum-senyum sendiri (Baca “Empat
Mayat Aneh”). Namun wajahnya yang hanya dilapis kulit tipis keriput mendadak
berubah redup.
“Kalau
aku sampai bertemu dia dalam keadaan diriku tak karuan seperti ini, dekil dan
bau pesing, tobat biyung! Betapa memalukan! Aku harus mencari pakaian
pengganti, bersolek sedikit dan yang paling penting mendapatkan pewangi
pengharum tubuh. Agaknya aku harus mencari pasar lalu mencuri barang dagangan
orang. Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng tertawa cekikikan lalu membatin lagi.
“Mungkin
juga kakek gagah itu tidak suka dan jijik melihat aku mengunyah susur. Biar aku
buang saja!”
Si nenek
lalu semburkan susur yang ada di dalam mulut hingga amblas masuk ke dalam
batang pohon. Lalu dia kembali merenung. “Aku ingat orang bernama Swara Pancala
itu. Apa benar yang dikatakannya kalau kakek gagah melihat diriku dalam ujud
seorang gadis cantik hitam manis. Sebagaimana keadaan wajah dan tubuhku di masa
muda…? Dan bahwa dia akan minta kakek gagah itu menggantikan tusuk kondeku yang
hancur? Ah, rasanya tidak diganti pun aku tidak kecewa. Yang penting
syukursyukur aku bisa bertemu dengan dia dan… Hik… hik… hik!” Sinto Gendeng
lantas ingat pula sewaktu Wiro menggodanya. Yaitu mengapa dia tidak minta
dipeluk dan dicium oleh kakek gagah yang terlihat di dalam diri Ni Gatri itu.
Si nenek tersipu, usap-usap dagunya yang runcing.
Sebagaimana
diceritakan dalam serial sebelumnya (Roh Jemputan) sesuai petunjuk kakek jubah
kelabu makhluk alam gaib dari zaman Mataram Kuna delapan ratus tahun silam yang
masuk ke dalam tubuh Ni Gatri dan bicara lewat anak perempuan itu, pada
menjelang tengah malam Mayat Keempat benar-benar muncul mengejutkan Wiro, Ni
Gatri dan Sinto Gendeng yang memang telah menunggu di dalam rimba belantara tak
jauh dari Candi Prambanan. Tentu saja mereka tidak pernah menyangka yang bakal
datang adalah makhluk dengan ujud begitu rupa dan mengaku bernama Mayat Aneh
Keempat!
Sebelum
itu seorang bernama Swara Pancala yang masuk ke dalam kuda lumping lalu
berpindah ke dalam tubuh Ni Gatri menjelaskan bahwa kuda lumping terbuat dari
bambu itu kelak akan dijadikan tunggangan bagi Wiro untuk masuk ke alam delapan
ratus tahun silam, yaitu pada masa terjadinya malapetaka Malam Jahanam di Bhumi
Mataram.
Sinto
Gendeng merasa sangat kesal ketika Mayat Keempat tidak mengizinkannya pergi
bersama sang murid. Sebaliknya Ni Gatri malah disuruh ikut dengan Wiro. Sebelum
Wiro menunggangi, Sinto Gendeng mendahului melompat naik ke punggung kuda
lumping. Kuda lumping dari kajang bambu yang telah berubah menjadi satu benda
sakti ini langsung melesat ke udara. Untung saja Wiro sambil menarik Ni Gatri
masih bisa mengejar hingga ketiga orang itu duduk berdesakan di punggung kuda
lumping yang melesat ke langit untuk kemudian melayang turun di Bhumi Mataram.
Ketika hampir mencapai tanah ke tiga orang itu jatuh terpental berpencaran. Ni
Gatri jatuh ke dalam pangkuan seorang nenek bernama Rauh Kalidathi yang dalam
keadaan lumpuh tengah duduk bersemadi di atas serumpunan semak belukar. Baru
saja anak perempuan itu berada dalam haribaannya mendadak muncul seorang
bernama Ludra Bhawana yang di Bhumi Mataram dikenal sebagai dukun jahat, anak
buah Raja Dukun Batu Berlumut. Raja Dukun adalah kaki tangan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Ludra Bhawana memaksa Rauh Kalidathi menyerahkan Ni Gatri
kepadanya. Melihat ancaman bahaya, Rauh Kalidathi mengamankan Ni Gatri dengan
Ilmu Kesejukan di Dalam Api. Anak perempuan itu dimasukkan ke dalam semak
belukar dan dilindungi dengan kobaran api.
Pertarungan
antara si nenek dengan Ludra Bhawana tidak dapat dihindari. Walau usia lanjut
dan banyak pengalaman namun ternyata kesaktian si nenek masih berada di bawah
lawan. Sekejapan lagi Rauh Kalidathi akan menemui ajal dihantam pukulan Batu
Neraka Menggoncang Jagat yang dilepas Ludra Bhawana tiba-tiba satu makhluk gaib
sakti merasuk masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Sosok anak perempuan ini melesat
keluar dari dalam semak belukar yang terbakar. Tangan kanan menunjuk ke arah
Ludra Bhawana, mulut membentak dalam suara lelaki tua.
“Manusia
culas Ludra Bhawana! Masih muda tapi dosa setinggi langit sedalam samudera!
Kerajaan memberi pangkat tinggi dan anugerah besar padamu! Tapi kau berkhianat!
Malam ini dosamu sudah lewat dari takaran! Malam ini kau harus menyerahkan
nyawa busukmu pada penjaga pintu neraka?”
Rupanya
orang bernama Ludra Bhawana ini dulunya adalah pejabat kerajaan yang kemudian
berkhianat menjadi anak buah Raja Dukun Batu Berlumut alias Jambal Ungu dan
memperhamba diri pada makhluk bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang dalam
alur cerita diketahui menjadi makhluk penimbul bencana Malam Jahanam di
Kerajaan Mataram Kuna.
Begitu
bentakan yang keluar dari mulut Ni Gatri berakhir, dari dalam tanah tiba-tiba
reettt… rettt! Mencuat keluar dua tangan besar merah menyala laksana bara. Dua
tangan dengan gerakan kilat mencekal pergelangan sepasang kaki Ludra Bhawana.
Cess!
Cess!
Dua kaki
Ludra Bhawana leleh mulai dari kulit sampai ke daging dan tembus ke tulang!
Orang ini menjerit setinggi langit, mulut robek, lidah mencuat terjulur. Dia
berusaha menarik dua kakinya yang telah lumat namun satu hentakan dahsyat
membuat tubuhnya amblas masuk ke dalam tanah!
Kembali
pada Sinto Gendeng yang tengah teringat pada kakek gageh bersorban dan berjubah
kelabu. Nenek satu ini sedang memikirkan bagaimana caranya dia harus mematut
diri sebelum bertemu dengan kakek yang sangat menarik hatinya itu ketika
lapat-lapat dia mendengar suara air mengalir. Sinto Gendeng tancapkan tongkat
kayunya ke tanah. Melalui getaran yang keluar dari dalam tanah dan menjalar
masuk ke tongkat terus ke tangannya si nenek segera bisa menduga di mana
beradanya sumber suara aliran air. Melangkah cepat mengikuti getaran sejauh
belasan tombak akhirnya Sinto Gendeng menemukan sebuah kali kecil dan dangkal.
Walau airnya jernih namun kali kecil ini nyaris hanya merupakan sebuah selokan
selebar tiga langkah. Si nenek tidak berhenti sampai di situ. Dia berjalan ke
arah tanah yang ketinggian, berlawanan dengan aliran air dan sangat gembira
ketika di satu tempat akhirnya dia menemukan sebuah telaga kecil. Saat itu ada
rembulan setengah lingkaran di langit. Cahaya bulan membuat suasana di telaga
dan sekitarnya tampak indah dan sejuk. Namun Sinto Gendeng tidak memperdulikan
semua itu. Yang dipikirkan si nenek saat itu adalah segera menanggalkan pakaian
lalu masuk ke dalam telaga untuk membersihkan diri.
Puas
mandi di telaga berair jernih dan sejuk Sinto Gendeng menepi ke daratan, ke
arah batu datar di mana tadi dia melepas dan meninggalkan pakaian. Si nenek
terkejut ketika dia dapatkan baju panjang hitam dan kain hitam miliknya tidak
ada lagi di atas batu. Yang ada di atas batu hanya tongkat kayunya sementara
kuda lumping masih tergeletak di tanah di pinggiran telaga.
Sebaliknya,
yang membuat dia tercengang di atas batu kini terlihat pula seperangkat kebaya
dalam berwarna biru serta sehelai kain panjang yang sangat bagus dan halus
tenunannya. Dan yang membuat nenek ini jadi lebih melengak adalah ketika
melihat di samping pakaian ada sebuah nampan kecil terbuat dari perak. Di atas
nampan terdapat serbuk pupur putih kemerahan, kayu kecil hitam untuk penghitam
alis, kayu merah basah untuk pemerah bibir. Lalu ada sebuah tabung perunggu
kecil yang dari balik penutupnya menebar keluar bau harum semerbak yang membuat
sedap rongga pernafasan.
“Ada
orang meletakkan semua benda itu di atas batu. Siapa? Apa memang aku disuruh
mengganti pakaian dan berdandan. Baik sekali orang itu…” Sinto Gendeng
memandang berkeliling. Dalam kegelapan malam dia tidak melihat siapapun Telinga
dipasang. Tenaga dalam dikerahkan. “Aku tidak mendengar suara gerakan, apalagi
degup jantung dan tarikan nafas…”
Si nenek
akhirnya kembali menatap ke arah batu datar. Dia bergerak mendekati. Tangan
diulurkan. Namun ditarik kembali. Ada kebimbangan dalam diri nenek sakti yang
kini berada di alam delapan ratus tahun silam itu.
“Ini
negeri asing. Aku tidak mengenal siapapun di sini. Aneh kalau ada orang berbuat
baik. Apakah ini satu jebakan atau kakek gagah itu yang hendak berbuat baik
menanam budi…?” Sinto Gendeng usap-usap keningnya yang berkulit tipis dan
hitam.
Tidak
terduga tiba-tiba dalam kegelapan malam terdengar suara lembut seorang lelaki
menegur, mengucapkan kata-kata.
“Gadis
cantik yang datang dari alam jauh. Jangan ragu, jangan ada kebimbangan. Setelah
bersegar diri mandi di dalam Telaga Banyu Mindi, sangatlah layak bagimu untuk
berpakaian dan menghias diri serta memperwangi tubuh dengan Minyak Sari Seratus
Bunga.”
**********************
2
SINTO
Gendeng terkejut. Dua tangan disilang melindungi dada seolah anak perawan yang
merasa malu karena auratnya tersingkap dan takut dilihat orang. Padahal dada si
nenek rata dan ceper kisut! Kepala dipaling ke arah kiri pinggiran telaga di
mana tumbuh sederetan pohon besar. Orang yang tadi mengeluarkan ucapan,
suaranya datang dari balik deretan pepohonan itu.
“Orang
itu, dia mengatakan diriku gadis cantik! Apa matanya buta tidak melihat wajah
dan kulit tubuhku yang keriputan? Atau… Heh! Jangan-jangan dia melihat keadaan
diriku di masa muda. Berarti dia adalah si kakek gagah. Ah…” Sinto Gendeng
terkesima. Wajah berseri. Mengingatingat. Lalu berkata lagi dalam hati. “Suara
itu sungguh lembut. Memang mirip dengan suara kakek berwajah gagah yang aku
lihat dan aku dengar tempo hari. Aku yakin yang bicara dari balik pohon itu
memang dia…”
Wajah
Sinto Gendeng tampak berseri. Dia menatap sekali lagi ke arah gelap deretan
pohon lalu berkata dengan dada berdebar. “Orang di balik pohon, harap kau suka
memperlihatkan diri. Aku mengenali suaramu. Mungkin kita pernah bertemu.”
Tak ada
jawaban. Sinto Gendeng menunggu. Ketika masih tak ada jawaban dia berseru.
“Hai! Mengapa tidak menjawab?”
“Gadis
cantik di dalam telaga. Bagaimana mungkin aku memperlihatkan diri sementara
auratmu yang bagus tidak tertutup selembar benangpun. Para Dewa akan
menghukumku jika berani melihat tubuh terlarang seorang anak gadis baik-baik,
cantik, mulus dan bagus…”
“Ah…”
Sinto Gendeng tersipu-sipu.
“Selesaikan
mandimu…” Kata orang di balik pohon.
“Aku
memang sudah selesai mandi.” Jawab Sinto Gendeng.
“Kalau
begitu keluarlah dari dalam telaga. Kenakan pakaian yang telah tersedia.
Setelah itu berhiaslah dan pakai Minyak Sari Seratus Bunga. Maka kau tidak akan
beda laksana seorang bidadari yang turun dari Swargaloka…”
Sudah
puluhan tahun Sinto Gendeng tidak mendengar puji sanjung seperti itu. Tentu
saja hati si nenek jadi berbunga-bunga.
“Orang di
balik pohon! Aku akan keluar dari telaga. Awas, jangan berani mengintip!” Habis
berkata begitu tanpa tedeng aling-aling Sinto Gendeng enak saja keluar dari
dalam telaga. Naik ke atas batu datar untuk mengambil dan mengenakan kebaya dan
kain panjang. Setelah memperhatikan segala macam alat berhias yang ada di atas
nampan perak, nenek ini dengan cepat berdandan diri. Karena tidak ada kaca
untuk melihat wajahnya maka dandanan Sinto Gendeng boleh dikatakan centang
perenang tak karuan rupa. Selesai berdandan si nenek guyurkan Minyak Sari
Seratus Bunga di dalam tabung perunggu, mulai dari ubun-ubun, leher, dada,
perut dan sampai bagian di bawah perut!
“Hik…
hik! Nyaman rasanya tapi agak panas-panas…” Ucap si nenek sambil keluarkan
tangan kanan dari balik kain panjang. Dua kaki dikibas-kibas. Sisa minyak wangi
yang masih ada dioles di kedua ketiak dan kain panjang sebelah bawah untuk
berjaga-jaga dan menangkis kalau dia sempat terkencing! Tabung perunggu yang
sudah kosong di buang ke dalam telaga. Saat itu juga seantero telaga dan
sekitarnya ditebar bau wangi luar biasa yang keluar dari tubuh dan pakaian si
nenek.
“Aku
sudah selesai! Sekarang sahabat yang baik harap mau memperlihatkan diri!”
Berseru Sinto Gendeng sambil berdiri lurus-lurus dan menatap ke arah deretan
pepohonan.
Saat itu
juga dari balik pohon besar di sebelah tengah muncul keluar seorang kakek gagah
berwajah klimis, mengenakan sorban dan jubah dalam berwarna abu-abu. Sambil
tersenyum dia berjalan ke tepi telaga dan berhenti dua langkah di hadapan batu
besar di mana Sinto Gendeng berdiri memegang tongkat kayu. Dengan mengembangkan
tangan, sambil membungkuk si orang tua berkata.
“Bidadari
yang malam hari datang dari jauh, konon dari negeri delapan ratus tahun
mendatang, aku Kumara Gandamayana mengucapkan selamat datang di Bhumi Mataram,
kerajaan yang tengah ditimpa malapetaka akibat perbuatan orang-orang jahat yang
berserikat menjatuhkan angkara murka ganas luar biasa.”
Sambil
berkata kakek itu melirik memperhatikan wajah Sinto Gendeng. Lalu tundukkan
kepala untuk menyembunyikan senyum. Sang bidadari cantik berambut hitam
disanggul dengan empat tusuk konde perak menancap di kepala, dandanannya
celemong mencorong tak karuan. Wajah tertutup pupur tebal, sepasang alis kereng
hitam mencong dan mulut belepotan pemerah bibir.
Akan
halnya dengan Sinto Gendeng, ketika mendengar nama belakang kakek gagah di
hadapannya itu, lantas saja dia teringat pada seorang pendeta bernama Mayana
yang pernah menjadi kekasihnya di masa muda dan tewas menjelang runtuhnya
Kerajaan Singosari (Mengenai kisah Sinto Gendeng dan Pendeta bernama Mayana
bisa dibaca dalam dua serial Wiro Sableng yaitu “Halilintar di Singosari” dan
“Pelangi di Majapahit”).
Sinto
Gendeng menatap tak berkesip. Memang ada senyum di bibir si nenek tanda gembira
dengan pertemuan itu, namun juga ada bayangan rasa heran di wajahnya yang
keriputan. Sinto Gendeng yang biasa bicara ceplas-ceplos langsung saja berkata.
“Sahabat,
aku yakin kau orang tua gagah yang aku lihat berada dalam tubuh anak perempuan
bernama Ni Gatri di rumah kediaman Abdi Dalem Pringkun…”
“Gadis
cantik, ucapanmu tidak keliru…”
“Tapi…”
Sinto Gendeng cepat memotong ucapan orang. “Waktu itu keningmu kulihat polos. Sekarang
mengapa ada delapan benjolan merah? Apakah kau sedang menderita sakit?”
Kakek
mengaku bernama Kumara Gandamayana tersenyum. Dia mengusap delapan benjolan
yang ada di keningnya lalu berkata. “Kau telah menyaksikan. Inilah perbuatan
ganas manusia-manusia terkutuk yang hendak menghancurkan Kerajaan Mataram.
Membunuh semua orang yang ada di sini mulai dari Sri Maharaja Rakai Kayuwangi,
para pengikutnya dan seluruh rakyat. Bahkan hewan tak berdosa pun menjadi
korban. Sahabatku cantik, dengar, malam ini juga aku akan membawamu ke
kotaraja. Kau bisa menyaksikan sendiri bagaimana sebagian besar negeri ini
telah tenggelam ditelan banjir air merah busuk. Semua orang menderita lumpuh,
diserang demam panas dan benjolan di kening, dilanda kelaparan. Mudah-mudahan
kedatanganmu bisa membantu memusnahkan malapetaka yang menimpa kami. Untuk itu
aku akan mempertemukan dirimu dengan Sri Maharaja Mataram…”
“Sahabat,
ceritamu sungguh mengejutkan. Sebelumnya aku memang mendengar kabar tentang
malapetaka itu. Namun tidak mengira luar biasa ganas seperti yang kau katakan.
Namun, apakah kau juga diserang demam panas? Aku lihat kau sehat-sehat saja dan
tidak mengalami kelumpuhan…”
“Aku
bersyukur, Para Dewa masih melindungi diriku,” jawab Kumara Gandamayana.
Sinto
Gendeng mengusap keningnya yang saat itu terasa basah oleh kucuran keringat.
Kepalanya terasa agak berat.
“Kau
memegang kepala, ada apakah?”
“Tidak
apa-apa. Hanya sedikit pusing…” Jawab Sinto Gendeng.
“Mungkin
udara di tempat ini tidak baik bagimu…”
“Kakek
bernama Kumara Gandamayana, apakah kau yang menyadiaken seperangkat pakaian
lengkap dengan alat berhias?” Tanya Sinto Gendeng kemudian.
Kakek
bersorban dan berjubah kelabu tersenyum. Anggukkan kepala seraya berkata.
“Untuk seorang sahabat yang datang dari jauh, apalagi seorang gadis secantik
bidadari, apapun akan aku lakukan…”
“Kau
keliwat memuji,” kata Sinto Gendeng pula. Lalu dia bertanya. “Kau… saat ini kau
melihat diriku memangnya seperti apa? Tadi kau menyebut aku gadis cantik,
bidadari. Apakah kau tidak salah pandang Tidak keliru melihat?”
Orang
yang ditanya tertawa lebar. Dia mengusap sepasang mata beberapa kali lalu
menjawab. “Saat ini memang malam hari. Namun aku tidak lamur juga belum buta.
Apa yang aku lihat itulah yang aku katakan…”
“Terus
terang aku sebenarnya sudah tua bangka, hitam jelek…”
Kumara
Gandamayana tertawa mengekeh. “Jangan berkata begitu. Para Dewa akan kecewa
jika kau memutar balik keadaan dirimu yang cantik jelita, muda belia menjadi
seorang nenek buruk…”
“Aneh…”
“Tidak
ada yang aneh. Jangan lupa kau berada di alam delapan ratus tahun silam.
Berarti kalau dipikir sebenarnya kau terlahirpun belum. Selain itu Yang Maha
Kuasa memberi anugerah kepadamu hingga kau terlihat dalam keadaan cantik
belia…”
“Apakah
kulitku hitam manis? Tidak budukan, keriput kisut…?”
“Kulitmu
hitam manis. Mulus. Tubuhmu elok…”
“Bagaimana
dadaku?” Sinto Gendeng bertanya lagi tanpa ada perasaan sungkan sambil memegang
dadanya yang rata ceper.
**********************
3
KUMARA
Gandamayana telan ludahnya sendiri. “Aku… aku tak berani mengatakan. Tapi terus
terang belum pernah aku melihat gadis yang memiliki dada besar dan bagus
sepertimu. Semoga Para Dewa mengampuni kalau orang tua seusiaku telah bicara
tidak pantas…”
Kini
Sinto Gendeng benar-benar yakin kalau ujud dirinya di mata Kumara Gandamayana
adalah benar-benar ujud ketika dia masih gadis muda belia. Berarti semua orang
yang berada di Bhumi Mataram akan melihatnya dalam keadaan seperti itu. Wahai,
benarkah demikian?
“Gadis
cantik, bolehkah aku mengetahui siapa namamu? Jika sudah tahu bolehkah aku
memanggilmu dengan nama itu?”
“Namaku
Sinto Weni,” jawab si nenek memberi tahu nama aslinya dan tentu saja tidak mau
mengatakan kalau dia lebih dikenal dengan nama Sinto Gendeng alias Sinto
Sinting!
“Ah, nama
yang bagus. Sungguh indah terdengar di telinga. Cocok dengan orangnya.” Memuji
Kumara Gandamayana.
“Kakek
sahabatku, kau mengenal seorang bernama Swara Pancala?”
“Dia
sahabatku. Dia yang memberi tahu kalau kau telah menyelamatkan dirinya sewaktu
diserang sehabis menemuimu di negeri delapan ratus tahun mendatang. Dia juga
mengatakan bagaimana kau kehilangan satu dari lima tusuk kondemu dan meminta
aku mengganti tusuk konde yang musnah itu. Aku akan menggantinya…”
“Sebenarnya
aku datang ke sini bukan untuk urusan tusuk konde butut itu. Aku…” Sinto
Gendeng tidak meneruskan ucapan lalu tersenyum sambil menghela nafas. “Aku
sudah merasa sangat senang dapat bertemu denganmu.”
Kumara
Gandamayana ikut tersenyum.
“Sahabat
yang datang dari jauh. Aku senang kau mau bicara berterus terang. Turut kabar
yang aku terima kau datang ke Mataram bersama dua orang sahabat. Di manakah
mereka sekarang?”
“Kami
mental berpencaran sewaktu melayang turun hampir mencapai tanah. Aku tidak tahu
di mana mereka sekarang.”
“Kalau
begitu aku dan para sahabat akan mencari tahu di mana mereka berada dan akan
menolong jika terjadi sesuatu dengan keduanya. Kalau aku boleh tahu, siapa saja
kedua orang itu?” Bertanya Kumara Gandamayana.
“Seorang
anak perempuan bernama Ni Gatri dan seorang pemuda bernama Wiro Sableng.” jawab
Sinto Gendeng polos.
“Pemuda
itu, bukankah dia yang diketahui memiliki ilmu kesaktian tinggi, dan konon
memiliki sebuah senjata sakti mandraguna di dalam tubuhnya?”
Sinto
Gendeng tercengang.
“Bagaimana
kau bisa tahu hal itu?” bertanya si nenek. Lalu dia menjawab sendiri. “Pasti
orang bernama Swara Pancala itu yang memberitahu…”
Kumara
Gandamayana tersenyum, usap dagu, menatap ke arah kejauhan dan angguk-anggukkan
kepala.
“Aku
harap kita segera akan menemukan mereka. Keduanya dan juga dirimu tidak akan
terserang malapetaka yang dibuat orang-orang jahat itu. Jika kau berkenan kami
semua para tokoh Bhumi Mataram sangat menginginkan bantuanmu untuk menghabisi
manusia-manusia jahat yang telah menimbulkan malapetaka mengerikan itu.”
“Siapa
saja mereka? Apakah orang-orang jahat itu berjumlah banyak?” Bertanya Sinto
Gendeng.
“Nanti
kau akan melihat dan menemui mereka. Yang penting apakah kau mau menuruti semua
permohonan kami? Membantu kerajaan dan rakyat Mataram?”
“Kalau
sudah begitu kehendak Yang Maha Kuasa, ketika seorang sahabat minta tolong
masakan aku akan berpangku tangan.”
“Aku
sangat berterima kasih…” Kata Kumara Gandamayana lalu memegang dan remas
jari-jari tangan kanan si nenek. Perasaan mesra membuat Sinto Gendeng balas
meremas.
“Sahabat,
ke manapun kau pergi aku akan mengikuti. Pertolongan apapun yang kau harapkan
mudah-mudahan aku bisa memberikan…”
“Kau
gadis baik! Belum pernah aku menemui gadis sepertimu. Cantik, rendah hati dan
mau menanam budi menolong kami…” Kumara Gandamayana lalu dekatkan tangan kanan
Sinto Gendeng ke wajahnya. Tangan dieluskan ke pipi lalu punggung telapak
tangan dicium dengan lembut serta mesra. Wajah Sinto Gendeng berubah merah.
Hati senang berbunga-bunga luar biasa.
Kakek
bersorban dan berjubah kelabu lepaskan pegangannya lalu memandang ke arah kuda
lumping bambu yang tergeletak di tanah dekat batu besar di tepi telaga.
“Benda
aneh berbentuk kuda tak berkaki ini milikmu?”
Sinto
Gendeng mengangguk lalu membungkuk mengambil kuda lumping bambu.
“Seumur
hidup belum pernah aku melihat benda atau mainan seperti ini. Boleh aku
melihat? Boleh aku pegeng?” tanya Kumara Gandamayana pula.
“Boleh
saja. Benda ini bernama kuda lumping. Dia adalah tungganganku bersama dua orang
lainnya sewaktu melayang memasuki Bhumi Mataram.”
Si kakek
tercengang lalu berdecak kagum beberapa kali.
“Kuda
lumping ini pastilah merupakan benda sakti mandraguna!” Kata Kumara Gandamayana
sambil ulurkan tangan mengambil kuda lumping yang diserahkan Sinto Gendeng.
Mendadak
di saat yang bersamaan ada suara mengiang di telinga kiri Sinto Gendeng.
“Jangan
serahkan kuda lumping pada orang itu! Cepat tarik tanganmu!”
Tapi
terlambat.
Saat itu
Kumara Gandamayana telah menyentuh kuda lumping yang diserahkan Sinto Gendeng.
Begitu kuda lumping berada dalam pegangannya Kumara Gandamayana keluarkan suara
tertawa bergelak.
“Gadis
tolol tidak tahu diri! Berdandan celemongan tak karuan rupa! Kau akan menemui
ajal di Bhumi Mataram! Kalaupun kau bisa bertahan hidup kau tidak akan pernah
bisa kembali ke negeri asalmu seumur-umur! Di negeri ini kau akan menjadi budak
hamba sahayaku! Seperti katamu kau akan ikut ke mana aku pergi! Dan patuh pada
apa yang aku perintahkan! Ha… ha… ha!”
Kejut
Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Lebih kaget lagi ketika dari delapan
benjolan di kening Kumara Gandamayana melesat keluar delapan larik sinar merah
menyala. Semuanya menyambar ke arah Sinto Gendeng.
Wuttt!
Wuttt!
Delapan
larik sinar merah masuk ke dalam tubuh Sinto Gendeng. Saat itu juga delapan
benjolan merah muncul di kening si nenek.
“Sinto
Weni! Berlutut di hadapanku! Bersumpah kalau kau akan setia mengabdi pada
diriku!”
Entah apa
yang terjadi dengan Sinto Gendeng, nenek ini jatuhkan diri berlutut di tanah.
Mulut berucap. “Aku Sinto Weni bersumpah setia dan mengabdi padamu, orang yang
bernama Kumara Gandamayana!”
“Bagus!”
seru si kakek. “Sekarang kau harus pergi ke Bukit Batu Hangus! Ada yang akan
membimbingmu pergi ke bukit itu! Bunuh semua orang yang ada di sana. Termasuk
Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! Apa jawabmu?”
“Kumara
Gandamayana, semua perintahmu akan aku laksanakan!” Jawab Sinto Gendeng sambil
manggutmanggut
“Mulai
sekarang, jangan lagi kau berani memanggil aku Kumara Gandamayana. Namaku
adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Ha… ha… ha! Aku akan segera melenyapkan
diri dari hadapanmu. Dan kau harus segera pergi ke Bukit Batu Hangus!”
Sosok
kakek yang kini menyebut diri sebagai Sinuhun Merah Penghisap Arwah berubah
merah lalu lenyap dari pemandangan. Kuda lumping yang dipegangnya ikut lenyap
tak kelihatan lagi! Kini hanya suara tawanya yang masih menggema di kaki
selatan Gunung Merapi itu.
Sinto
Gendeng berdiri. Memandang berkeliling. “Bukit Batu Hangus. Di mana letaknya…?”
Si nenek membatin.
Tiba-tiba
ada suara mengiang. “Berjalan lurus ke arah matahari tenggelam. Pergunakan ilmu
kesaktianmu untuk berlari cepat. Kau akan sampai ke Bukit Batu Hangus
selewatnya tengah malam!”
Tidak pikir
panjang lagi Sinto Gendeng segera putar tubuh menghadap ke barat. Ketika dia
siap hendak pergi tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat disertai seruan.
“Tunggu!
Jangan pergi dulu! Orang telah mencuci otakmu dengan ilmu hitam Delapan Jalur
Arwah Pencuci Otak!”
**********************
4
KETIKA
melihat orang yang muncul dari kegelapan itu ternyata seorang kakek bersorban
dan berjubah kelabu, meski tercengang namun wajah Sinto Gendeng nampak gembira.
“Sinuhun Merah Penghisap Arwah, kau kembali. Apakah hendak…”
Orang
yang disapa angkat tangan kanan memberi tanda agar Sinto Gendeng tidak
meneruskan ucapan lalu dia sendiri berkata.
“Sahabat
yang pernah aku lihat di alam delapan ratus tahun mendatang, aku bukan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah.”
Sinto
Gendong delikkan mata. Memperhatikan si kakek mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Aku tak
mengerti. Tadi kau hadir di sini. Lalu lenyap setelah ujudmu menjadi merah.
Sekarang muncul kembali dalam ujud pertama kali aku melihatmu. Apa kau berubah
pikiran dan hendak mengantar sendiri aku ke Bukit Batu Hangus?”
“Sahabat,
aku adalah orang bernama Kumara Gandamayana yang sebenarnya. Orang yang kau
lihat dalam sosok anak perempuan bernama Ni Gatri di alam kediamanmu delapan
ratus tahun mendatang. Yang tadi muncul di hadapanmu adalah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah yang sengaja merubah diri menyerupaiku untuk mengelabuhi dan
menipumu. Dialah makhluk penimbul malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram.”
Sinto
Gendeng tancapkan tongkat kayu ke tanah hingga kakek di hadapannya merasakan
ada getaran hawa panas masuk ke dalam tubuhnya.
“Kumara
Gandamayana, siapapun kau adanya jangan berani bicara dusta! Jangan berani
menghalangi ke mana aku mau pergi! Sinuhun Merah Penghisap Arwah adalah kepada
siapa segala perintah harus aku laksanakan! Sekarang lekas menyingkir dari
hadapanku!”
“Sahabat
yang aku ketahui bernama Sinto Weni…”
“Jangan
berani menyebut namaku sembarangan!”
“Sebelumnya
kau begitu mendambakan ingin bertemu dengan diriku. Setelah saling berhadapan
muka mengapa kau berubah…”
“Aku sudah
berjumpa dengan orang yang ingin aku temui. Kau muncul pasti dengan niat
jahat!”
“Sahabatku,
aku sangat menghormatimu. Ketahuilah keadaan dirimu sekarang telah berubah. Kau
telah kena tersirap ilmu hitam Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak. Di keningmu kini
ada delapan benjolan merah. Tanpa kau sadari kau telah masuk ke dalam pengaruh
kekuatan dan kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dia bahkan telah merampas
kuda lumping dari tanganmu. Selama kuda lumping itu berada di tangan Sinuhun
kau dan anak perempuan itu serta pemuda berambut panjang yang di Bhumi Mataram
kami panggil dengan Julukan Ksatria Panggilan tidak akan dapat kembali ke
negeri asalmu…”
“Siapa
bilang! Enak saja kau bicara! Sinuhun tidak akan mencelakai diriku karena aku
telah mengucap sumpah setia dan patuh padanya!”
“Aku
tahu. Bahkan dia sangat suka padamu. Bukankah dia telah membelai dan mencium
tanganmu?”
“Apa
perdulimu? Sekalipun dia mencium pipi atau ketiakku, kalau aku suka kau mau
apa?! Hik… hik… hik!” Si nenek bicara sambil kacakkan dua tangan di pinggang
lalu tertawa mengekeh.
“Sinto
Weni kita telah memulai pertemuan dengan persahabatan. Demi persahabatan itu,
izinkan aku menolong dirimu agar lepas dari jeratan Ilmu Delapan Jalur Arwah
Pencuci Otak. Apa kau tidak sadar kalau di keningmu saat ini ada delapan
benjolan? Delapan benjolan itu bukan tanda kesengsaraan seperti dialami semua
orang di Mataram. Tapi pertanda bahwa kau telah kemasukan arwah jahat yang akan
memperbudakmu untuk berbuat apa saja!”
Sinto
Gendeng delikkan mata lalu tertawa gelek-gelak. “Aku tidak yakin! Bisa-bisa
kaulah jejadian yang meniru keberadaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kecuali
jika kau bisa membuktikan…”
“Aku
memang tidak mungkin membuktikan. Karena ujud tiruan yang dibuatnya sangat sama
dengan ujud diriku seperti yang kau lihat saat ini. Lagi pula dia memiliki dua
nyawa kembar yang memungkinkannya bisa berada di dua tempat yang berlainan
dalam waktu bersamaan…”
“Dua
nyawa kembar! Hik… hik! Lucu juga banyolanmu! Tapi aku sudah muak mendengar
ocehanmu. Jangan sampai membuat aku muntah! Tidak ada gunanya kau masih berdiri
di hadapanku! Lekas menyingkir! Atau…”
“Sinto
Weni, aku telah berjanji pada Swara Pancala kalau aku akan mengganti tusuk
konde milikmu yang hancur sewaktu menyelamatkan anak buahku itu…”
Sinto
Gendeng menyeringai. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah lebih dulu
menjanjikan hal itu padaku! Kakek penipu! Kau ketinggalan dokar! Ha. ha… ha!”
Sinto
Gendeng angkat tongkat kayu di tangan kanannya. Tongkat itu serta merta berubah
merah dan memancarkan delapan larik cahaya.
Kakek di
hadapan si nenek terkejut.
“Astaga!
Tongkat itu telah memiliki kekuatan jahat ilmu kesaktian Sinuhun Merah! Kalau
tidak aku rampas bisabisa menimbulkan malapetaka tambah besar di Bhumi
Mataram…”
Wuttt!
Tongkat
di tangan kanan dibabatkan ke depan.
Wusss!
Delapan
larik cahaya merah menderu dahsyat. Menyambar ganas ke arah kakek bersorban dan
berjubah kelabu.
“Selendang
Dewa Menutup Bahala!”
Kumara
Gandamayana berseru merapal ilmu kesaktian yang dimilikinya. Saat itu juga
tubuhnya berubah menyerupai sehelai selendang putih panjang yang menyelinap di
antara delapan larik serangan cahaya merah untuk kemudian menggulung tongkat
kayu di tangan Sinto Gendeng!
Dengan
cepat si nenek putar tongkatnya ke arah berlawanan dari gulungan selendang.
Breett!
Ada
bagian selendang yang robek.
**********************
5
SINTO
Gendeng menjerit kaget dan marah ketika tongkat yang dipegang di tangan kanan
mendadak ditarik lepas oleh sentakan gulungan selendang. Walau robek dan bagian
selendang ada yang terbakar namun dia tidak bisa menyelamatkan tongkat.
“Makhluk
jahanam!” maki Sinto Gendong. Tongkat miliknya kini berada di tangan lawan.
Saat itu
Kumara Gandamayana telah kembali ke ujud semula. Bahu dan ujung bawah jubahnya
tampak hangus. Pipi kanan tampak lecet merah.
“Sinto
Weni, aku tidak ingin kita sama-sama bertindak lebih keliru. Aku akan
kembalikan tongkatmu kalau kau mau aku ajak bicara secara baik-baik!”
“Jangan
sombong! Apa kau kira aku tidak bisa mengambil tongkat itu kembali?”
Delapan
benjolan merah di kening si nenek kepulkan asap. Begitu si nenek sentakan
kepala tiba-tiba dari delapan benjolan melesat keluar delapan larik sinar
merah. Jauh lebih dahsyat dari delapan larik cahaya yang tadi keluar dari
tongkat.
“Delapan
Arwah Sesat Menembus Langit!” Ucap Kumara Gandamayana dengan suara bergetar
begitu mengenali serangan.
“Dewa
Bathara Agung! Nenek satu ini benar-benar telah dikuasai dan menguasai ilmu
hitam sinuhun keparat itu! Celaka besar bagi Mataram!”
Dengan
cepat si kakek jatuhkan diri dan bergulingan. Sorban di atas kepala tercampak
ke tanah. Tenaga dalam penuh dialirkan ke tangan kanan. Ketika tongkat
dibabatkan ke depan, selarik cahaya putih menyambar deras, langsung bentrokan
dengan delapan cahaya merah.
Letusan
keras menggelegar. Tanah berderak seolah rengkah. Air telaga muncrat setinggi
dua tombak. Dua buah batu di tepi telaga pecah berantakan. Tiga pohon besar
tumbang ke tanah! Tongkat di tangan kanan Kumara Gandamayana kini hanya tinggal
berupa arang hitam yang kemudian jatuh berguguran ke tanah.
Sinto
Gendeng menjerit keras melihat keadaan tongkatnya. Dia segera melompat ke arah
sosok Kumara Gandamayana yang walau berhasil membuat buyar serangan lawan namun
saat itu tidak kuasa untuk bangkit berdiri. Apalagi berusaha menghindar ketika
Sinto Gendeng melancarkan satu tendangan ke kepalanya. Saat itu si kakek merasakan
sekujur tubuhnya lemas tiada daya. Tangan kanan seolah lumpuh terkulai ke
tanah. Tubuh laksana luluh lantak dihantam kekuatan tenaga dalam dan hawa
sakti.
Hanya
sekejapan lagi tendangan akan memecahkan kepala Kumara Gandamayana mendadak
Sinto Gendeng tahan serangan. Dengan mata mendelik, setengah membungkuk nenek
ini berkata.
“Sebelum
kau kuhabisi ada satu hal yang ingin aku tanyakan! Saat ini kau melihat diriku
seperti apa?! Tua bangka nenek keriputan atau gadis cantik berkulit hitam
manis…”
Kumara Gandamayana
tidak segera menjawab melainkan terlebih dulu menatap cukup lama. Suaranya
bergetar ketika keluarkan ucapan. “Kau tidak ada perubahan seperti pertama kali
aku melihatmu. Gadis cantik berkulit hitam manis dan berotak cerdik…”
“Hemm…”
Sinto Gendeng bergumam. Terdiam sebentar lalu berkata. “Aku mengampuni selembar
nyawamu! Tapi awas! Jangan berani menghalangi ke mana aku mau pergi!”
“Sinto
Weni, kau hendak pergi ke Bukit Batu Hangus?”
“Apa
urusanmu?!” Bentak Sinto Gendeng.
“Jika kau
pergi ke Bukit Batu Hangus lalu membunuhi semua orang yang ada di sana seperti
yang diperintahkan Sinuhun, maka kau akan berbuat satu kesalahan dan dosa
besar. Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus adalah orang-orang tidak
berdosa yang telah mendapat celaka dan sengsara akibat perbuatan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah bersama para pengikutnya. Kau akan dikutuk Yang Maha Kuasa
dunia akhirat!”
“Kau
boleh bicara apa saja sampai mulutmu robek! Aku tidak percaya pada dirimu!
Satu-satunya yang kupercaya di Bhumi Mataram ini adalah Sinuhun Merah Penghisap
Arwah!” Sinto Gendeng balikkan badan.
“Tunggu!
Jangan pergi dulu. Mungkin aku bisa menghilangkan delapan benjolan merah di
keningmu agar kau sadar siapa dirimu sebenarnya. Kau orang baik yang datang
dari negeri jauh yang kami harapkan untuk menolong kami di Bhumi Mataram ini.
Selanjutnya aku akan memberikan sesuatu padamu agar kau tidak lagi kena
dipengaruhi roh atau arwah jahat dari luar!”
Mendengar
ucapan si kakek Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Lalu mencibir. Untung saja saat
itu di mulutnya tidak ada lagi susur. Kalau ada pasti sudah disemburkannya ke
arah si kakek.
“Aku
tidak butuh pertolonganmu! Jika kau ingin punya delapan benjolan di keningmu
aku bersedia memberikan!”
Sinto
Gendeng silangkan dua tangan di atas dada. Tenaga dalam dialirkan ke kepala.
Tiba-tiba didahului bentakan keras, delapan benjolan di kening Sinto Gendeng
pancarkan cahaya terang lalu wuttt! Delapan larik sinar merah menderu ke arah
Kumara Gandamayana yang saat itu terduduk tak berdaya di tanah.
Si kakek berjubah
kelabu berteriak kaget. “Tahan! Jangan!”
Wusss!
Delapan
larik sinar merah yang melesat keluar dari delapan benjolan merah di kening
Sinto Gendeng menderu ganas ke arah kening si kakek!
Hanya
seujung jari delapan sinar merah akan mendarat dan menghajar kening Kumara
Gandamayana tiba-tiba satu cahaya kuning melesat jatuh dari langit malam kelam.
Bersamaan dengan itu terdengar suara lonceng membahana.
Delapan
larik cahaya merah yang hendak menghantam kening Kumara Gandamayana terpental
berantakan, mengeluarkan pijaran angker lalu lenyap dari pemandangan.
Sinto
Gendeng terjungkal di tanah. Tubuh menggigil seperti orang diserang demam kura.
Mulut meracau mengeluarkan suara tidak karuan.
“Gadis
cantik, kami menghormati dirimu walau kedatanganmu di Bhumi Mataram tidak
diminta,” satu suara tiba-tiba terdengar di tempat itu. Suara anak kecil
laki-laki.
“Keterkaitanmu
dengan Ksatria Panggilan sebagai guru dan murid membuat kami tidak mau
bertindak keras. Kami tahu saat ini kau berada di bawah pengaruh dan kuasa ilmu
hitam Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami akan mencari jalan agar kau kembali
ke negeri asalmu delapan ratus tahun mendatang.”
“Bocah
itu, dia melihat diriku dalam ujud seorang gadis,” Sinto Gendeng membatin. Lalu
dia berseru. “Anak sialan! Siapa kau! Kau bicara tapi ujudmu tidak kelihatan.
Kalau bukan anak jin pasti kau makhluk jejadian tak ketahuan juntrungan! Jika
kalian orang-orang Mataram mampu bertindak keras, mengapa tidak mampu
menghabisi manusia-manusia penimbul angkara murka yang masih gentayangan di
negeri ini! Mengapa meminta bantuan muridku! Mendatangkannya secara paksa!”
Tubuh
Kumara Gandamayana sampai bergetar saking marah mendengar ucapan Sinto Gendeng.
“Dia tidak tahu tengah bicara dengan siapa,” ucap si kakek dalam hati.
“Sinto
Weni, kau boleh bicara kurang ajar terhadap diriku. Tapi jangan bicara tak
karuan pada Satria Lonceng Dewa. Dia bukan anak sembarangan. Dia…”
“Kek,”
Mimba Purana memotong ucapan Kumara Gandamayana. “Lebih baik kita tinggalkan
saja gadis itu. Tidak perlu diurusi. Kita harus segera menemui Ksatria
Panggilan. Waktu kita sangat sedikit. Makhluk Roh Jemputan itu pasti sudah
berada di Bhumi Mataram…”
“Mimba,
saya merasa sangat malu dan rendah diri. Saya tidak mampu menghadapi kekuatan
Sinuhun yang ada di dalam tubuh nenek dari alam delapan ratus tahun mendatang
itu. Bagaimana mungkin saya akan mampu menyelamatkan kerajaan dan rakyat
Mataram?”
“Kakek
Kumara, kau tidak perlu berkecil hati. Selama Para Dewa melindungi kita, semua
kesulitan pasti akan dapat diatasi. Ilmu kesaktian Sinuhun Merah Penghisap
Arwah memang tinggi. Tapi itu bukan berarti kebenaran tidak bisa
menghancurkannya. Saya rasa yang perlu dikhawatirkan adalah kehadiran gadis
itu. Walau kita melihat ujudnya sebagai seorang gadis cantik, namun saya yakin
perbedaan alam yang delapan ratus tahun, dalam keadaan sebenarnya dia bukan
seorang gadis. Ilmu kesaktiannya saya duga jauh lebih tinggi dari Sinuhun. Itu
sebabnya Sinuhun memilih lebih dulu menguasai gadis itu. Lalu Sinuhun
menambahkan pula padanya kekuatan hitam yang bersumber pada apa yang disebut
sebagai Delapan Sukma Merah… Sampai saat ini kita tidak mengetahui apa
sebenarnya Delapan Sukma Merah. Apakah satu kekuatan gaib sakti mandraguna atau
berupa makhluk sakti yang tak ada tandingannya. Sekarang saatnya kita menjemput
kedatangan Ksatria Panggilan. Kalau gurunya sudah muncul pasti dia juga telah
berada di sini bersama anak perempuan bernama Ni Gatri itu.”
“Satria
Lonceng Dewa, mohon maafmu kalau saya telah bertindak mendahului. Saya telah
membawa anak perempuan bernama Ni Gatri itu bersama nenek Rauh Kalidathi ke
Bukit Batu Hangus. Itu satu-satunya tempat yang aman bagi mereka. Saya tidak
lama berada di bukit itu. Namun saya sempat menyaksikan penderitaan semua orang
yang ada di sana. Terutama perempuan dan anak-anak…” Lalu Kumara Gandamayana
menceritakan apa yang telah terjadi. Yaitu Ni Gatri diselamatkan Rauh Kalidathi
ketika diserang anak buah Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang bernama Ludra
Bhawana.
“Syukur
mereka kau selamatkan. Namun gadis kecil itu harus dipertemukan dengan Raja
Mataram karena nanti setelah kau masuk ke dalam dirinya, anak itu akan jadi
penghubung antara Raja dengan Ksatria Panggilan…”
“Saya
sudah meninggalkan pesan pada Swara Pancala. Jika sudah saatnya dia harus
menjemput anak perempuan itu guna dipertemukan dengan Sri Maharaja Mataram dan
Ksatria Panggilan. Kemungkinan saya akan mewakili Raja Mataram masuk ke dalam
tubuh Ni Gatri dan bicara dengan Ksatria Panggilan yang telah saya ketahui
bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.” Kumara
Gandamayana diam sebentar lalu sambung ucapannya. “Saya merasa sedih telah
membunuh Ludra Bhawana. Dulu dia sahabat baik saya. Sudah saya anggap sebagai
adik…”
“Orang
baik yang telah berubah menjadi durjana layak disingkirkan dari muka bumi ini.
Lagi pula jika Kakek tidak membunuhnya pasti dia yang akan menghabisi Kakek.”
Berkata anak sakti keramat pilihan Para Dewa bernama Mimba Purana. “Kakek
Kumara, kita harus bertindak cepat. Saat ini sudah lewat tengah malam. Tak lama
lagi fajar akan segera menyingsing. Sinuhun telah memanfaatkan ilmu kesaktian
bernama Dua Arwah Kembar. Itu sebabnya saya ketahui seperti juga yang kau
ketahui, dia mampu berada di dua tempat. Nyawa pertama menemui Roh Jemputan.
Nyawa kedua mendatangi nenek tadi dengan merubah ujud menyerupai dirimu. Ilmu
jahat ini jika tidak dimusnahkan benar-benar akan sangat berbahaya. Namun saya yakin
Dewa akan memberi petunjuk. Dewa akan memberi jalan. Mudah-mudahan kita tidak
salah bertindak meminta bantuan Ksatria Panggilan dari alam delapan ratus tahun
mendatang itu. Sekarang saatnya kita harus segera pergi.”
Sinar
kuning kembali memancar. Lalu lenyap. Di kejauhan terdengar suara lonceng
bergema. Saat itu pula sosok Kumara Gandamayana terangkat ke atas lalu melesat
ke langit laksana diterbangkan seseorang.
Sinto
Gendeng melompat bangun. Berusaha mengejar. Namun dua orang itu telah berada
jauh di udara. Si nenek merasa sangat penasaran. Sepasang mata cekung menatap
ke langit. Tangan kanan diangkat ke atas hendak melepas satu pukulan sakti ke
arah bocah samar dalam cahaya kuning dan Kumara Gandamayana. Namun entah
mengapa niat itu dibatalkan.
Sambil
mengepal-ngepalkan dua tangan Sinto Gendeng memandang berkeliling,
memperhatikan ke arah telaga lalu menyumpah panjang pendek.
Saat itu
kekuatan jahat yang ditanamkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah masih menguasai
dirinya. Celakanya nenek sakti ini sama sekali tidak menyadari. Sinto Gendeng
meludah ke tanah. Mulut terasa pahit. Dia merasa menyesal telah membuang
susurnya, padahal dia tidak lagi punya persediaan tembakau, pinang, sirih dan
kapur. Si nenek tiba-tiba saja ingat pada muridnya. Dia berteriak keras. Suara
teriakannya menggelegar di malam buta.
“Anak
setan! Kau berada di mana! Aku akan mencincang tubuhmu sampai lumat kalau kau
berani menolong orang-orang Mataram yang menjadi musuh Sinuhun Merah Penghisap
Arwah!”
Sinto
Gendeng usap wajah hitam keriputnya yang di mata orang-orang di Bhumi Mataram
tampak sebagai wajah gadis cantik. Tangannya menyentuh delapan benjolan di
kening. Si nenek menyeringai. Bukannya sadar kalau delapan benjolan itu
merupakan sumber ilmu hitam bernama Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak yaitu
kekuatan yang menguasai dan mengendalikan dirinya, malah sambil senyum-senyum
dia berkata dalam hati.
“Aku
telah menerima kenang-kenangan indah dari Sinuhun. Walau sikapnya galak tapi
aku rasa dia telah jatuh hati padaku. Hik… hik… hik!”
**********************
6
KEMBALI
pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Dalam kisah sebelumnya (“Roh Jemputan”)
dituturkan baru saja sang pendekar terhampar di Bhumi Mataram, terpencar dari
Sinto Gendeng dan Ni Gatri tiba-tiba ada delapan bocah lelaki kembar telanjang
bertubuh merah melesat keluar dari dalam tanah. Bocah-bocah aneh ini yang bukan
lain adalah kiriman Sinuhun Merah Penghisap Arwah masing-masing membekal
sebatang suling. Ketika suling ditiup, dari enam lobang setiap suling menyembur
keluar gulungan api yang langsung menyambar Wiro.
Pendekar
212 bukan saja berhasil selamatkan diri dari kepungan empat puluh delapan jalur
api, malah dia membalas dan membuat serangan api berbalik menghantam delapan
bocah kembar bugil hingga muka mereka hangus gosong! Wiro berhasil mencekal dan
meremas kemaluan salah seorang bocah. Tujuh bocah lainnya jadi ikut tak
berdaya. Karena tidak mampu kabur melarikan diri ketujuh bocah bugil bersujud
minta ampun. Wiro berjanji akan mengampuni jika mereka mau memberitahu siapa
yang telah menyuruh mereka untuk membunuh dirinya. Bukannya memberitahu,
ketujuh bocah bugil itu malah benturkan kepala ke tanah hingga hancur. Sosok
makhluk jejadian ini kemudian berubah menjadi asap dan lenyap dari pemandangan.
Anak
lelaki ke delapan yang dicekal dan diremas hancur kemaluannya oleh Wiro, walau
tidak membenturkan kepala ke tanah namun aneh, kepalanya tampak ikut pecah
mengerikan. Seperti tujuh saudara kembarnya yang lain, sosoknya mengepulkan
asap lalu lenyap. Wiro tersentak kaget! Dalam keadaan tangan berlumuran darah
yang berasal dari hancuran remasan kemaluan sang bocah, Wiro memaki panjang
pendek sambil menahan muntah. Beruntung dia kemudian menemukan sebuah kali
kecil. Ketika dia tengah membersihkan tangan di kali, tibatiba dia mendengar suara
teriakan yang menggetarkan seantero tempat di malam buta itu. Dia tidak
mendengar jelas kata-kata yang diteriakan, namun Wiro segera mengenali.
“Itu
suara Eyang Sinto! Agaknya dia berada tidak jauh dari sini!”
Tidak
menunggu lebih lama sang murid serta merta berkelebat ke arah datangnya suara
teriakan. Dia sampai di sebuah telaga. Dalam gelap dia mencium bau harum.
Setelah memperhatikan keadaan di sekitar telaga Wiro maklum, kalau belum lama
telah terjadi perkelahian hebat di tempat itu. Beberapa buah batu besar di tepi
telaga dalam keadaan hancur. Beberapa pohon besar tumbang ke tanah. Memandang
berkeliling Wiro tidak melihat satu orang pun di tempat itu.
“Ada
orang berkelahi malam-malam di tempat begini rupa. Salah satu di antaranya
pasti perempuan, karena aku mencium bau harum. Apakah Eyang Sinto yang membuat
ulah di tempat ini? Belum lama datang, masih malam buta sudah membuat perkara!
Tapi kalau memang dia, mengapa bukan tercium bau pesing. Malah aku mencium bau
wangi.”
“Guru!
Eyang Sinto! Nek! Ni Gatri! Kalian berada di mana?!” Pendekar 212 akhirnya
berseru memanggil. Karena seruan disertai aliran tenaga dalam maka suaranya
menggelegar tidak kalah dahsyat dengan teriakan sang guru tadi.
Sampai
gaung suaranya lenyap seolah ditelan kegelapan malam tidak ada suara jawaban.
Tidak ada gerakan di sekitar telaga. Tapi tunggu dulu!
Kesunyian
di sekitar telaga mendadak dihingar-bingari oleh suara deru aneh. Lalu weerrr…
werrr… weerr! Ketika memperhatikan berkeliling, Wiro terheran-heran.
“Aneh,
mengapa pepohonan di tempat ini jadi bertambah banyak?”
Saat itu
secara aneh puluhan pohon baru mencuat tumbuh muncul dari dalam tanah hingga
keadaan di tempat itu menjadi semakin gelap!
“Aku
mencium bau amis!”
Baru saja
Wiro berucap dalam hati tiba-tiba puluhan batang pohon besar di sekelilingnya
bergetar. Ranting, cabang dan dedaunan bergoyang-goyang mengeluarkan suara
menggidikkan. Belum habis kejut sang pendekar, tiba-tiba terdengar suara
seperti puluhan harimau menggereng. Lalu dess… dess… desss! Puluhan pohon besar
berubah ujud menjadi makhluk tinggi hitam, berperut buncit. Bagian bawah perut
tampak licin hingga walau dalam keadan bugil tidak bisa diketahui apakah dia
lelaki atau perempuan.
Puluhan
makhluk ini memiliki kepala botak yang ditumbuhi sebuah cula atau tanduk.
Sepasang mata besar merah. Sepuluh kuku jari tangan berwarna merah, mencuat
panjang seperti cakar burung elang. Ketika puluhan makhluk ini menyeringai,
lidahnya menjulur panjang hampir menyentuh tanah! Inilah Seratus Jin Perut
Bumi! Makhluk yang berada di bawah kekuasaan dan perintah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah!
Seperti
diketahui, selagi Wiro berada di dalam rimba belantara dekat Candi Prambanan di
alam delapan ratus tahun mendatang, di bawah pimpinan sang ketua,
makhluk-makhluk alam gaib itu berusaha mencegah masuknya Wiro ke Bhumi Mataram.
Namun mereka terlambat karena Wiro bersama Sinto Gendeng dan Ni Gatri telah
lebih dulu melesat pergi menunggangi kuda lumping sakti.
Pendekar
212 terperangah. “Sebelumnya cuma delapan bocah bugil. Kini biangnya yang
muncul. Gila, jumlah mereka kurasa hampir seratusan. Tidak ketahuan lelaki atau
perempuan! Ada cula di kepala. Mungkin itu kemaluannya! Gila! Bagaimana aku
harus menghadapi…”
Tengah
Wiro tertegun menghadapi kehadiran seratus jin yang jelas akan membantainya,
sosok jin yang paling tinggi dan memakai anting-anting bulat hitam di cuping
kiri hidung melangkah mendekati. Kepala mendongak, hidung menghirup. Inilah Jin
Ketua, pimpinan Seratus Jin Perut Bumi.
“Aku
mencium baunya. Tidak salah. Memang ini orangnya! Kalian semua, bunuh orang
ini! Jangan ada yang bersisa dari tubuhnya!” Jin Ketua berteriak.
Sembilan
puluh sembilan jin anak buahnya keluarkan suara menggembor keras. Tubuh mereka
bergerak aneh, bergoyang laksana asap ditiup angin. Lidah yang menjulur
membeset ke depan.
“Celaka!
Jauh-jauh datang ke sini ternyata cuma mencari mati! Kuda lumping lenyap entah
ke mana. Siapa yang akan membawaku ke hadapan Raja Mataram?! Bagaimana Eyang
Sinto, Ni Gatri. Jangan-jangan mereka sudah mati duluan!”
Ketika
lima lidah panjang menjerat pinggang dan dua kakinya, Wiro membuat jurus
gerakan yang disebut Kincir Padi Berputar. Bersamaan dengan itu tangan kiri
yang sudah dialirkan tenaga dalam tinggi melepas pukulan Tangan Dewa Menghantam
Matahari. Tangan kanan lancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.
Begitu tubuh bergerak setengah lingkaran tangan kiri kembali melepas pukulan
susulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Semua pukulan sakti itu didapat Wiro dari
Datuk Rao Basaluang Ameh, seorang tokoh rimba persilatan di tanah Minang.
Satu dari
tiga pukulan sakti yang dilancarkan Wiro yaitu Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang sengaja diarahkan telak pada Jin Ketua. Ketika hal ini dilihat oleh anak
buahnya, delapan Jin Perut Bumi segera melompat membentengi sang pimpinan.
Dess!
Blaarr!
Sosok
delapan jin terlempar, memancarkan cahaya hitam menggidikkan. Mereka
mengeluarkan suara raungan dahsyat sebelum tubuh masing-masing bertabur
cerai-berai di udara. Di bagian lain dua pukulan sakti yang dilepas Wiro juga
berhasil mengenai sasaran. Dua belas Jin Perut Bumi terkapar di tanah.
Menggeliat sambil meraung-raung, lalu blaar! Seperti delapan temannya tadi
tubuh mereka meledak berkeping-keping.
Jin Ketua
menggembor dahsyat. Saat itu lima lidah panjang telah menjerat tubuh Pendekar
212 mulai dari pinggang sampai ke kaki. Tiba-tiba lidah yang hitam berubah
menjadi merah dan mengeluarkan hawa panas. Wiro merasa tubuhnya seperti
dilingkari besi membara. Dalam keadaan nyaris tak berdaya seperti itu didahului
teriakan keras, sang pendekar siap melepas Pukulan Sinar Matahari. Namun
mendadak ada suara orang berseru. Suara perempuan.
“Jin
Ketua! Kau telah berbuat satu hal yang hebat. Namun atas nama Sang Junjungan
yang diwakili oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan diriku sebagai kepanjangan
tangannya, harap kau dan anak buahmu segera meninggalkan tempat ini! Mulai saat
ini semua urusan dengan tamu yang datang dari jauh menjadi tanggung jawabku!”
Sepasang
mata merah Jin Ketua mendelik. Dia belum melihat orang tapi telah mendahului
menjawab. “Sinuhun telah meminta diriku untuk membunuh pemuda itu! Aku dan anak
buahku telah menghadang sampai ke alam delapan ratus tahun mendatang. Ketika
niat hampir terlaksana mengapa kau berani menghalangi? Padahal dua puluh anak
buahku telah jadi korban!”
Perempuan
yang tadi bicara mendengus.
“Aku
perempuan bodoh dan tidak punya keberanian apa-apa. Mungkin kau berani
menentang perintah Sinuhun Merah Penghisap Arwah?”
Mendengar
ucapan orang, Jin Ketua yang saat itu hanya tinggal dua langkah dari hadapan
Wiro dan siap untuk merobek-robek tubuh murid Sinto Gendeng dengan sepuluh kuku
merah menyerupai cakar burung elang menggerung keras, hentikan langkah lalu
palingkan kepala ke arah orang yang barusan datang dan keluarkan ucapan.
Begitu
mengenali kedua orang itu, hawa amarah Jin Ketua menjadi kendur walau hatinya
tetap jengkel.
“Kekasih
Sinuhun memberi perintah. Sial sekali aku tidak kuasa menolak!” Jin Ketua
menggerutu dalam hati. Lidahnya menjulur sampai ke tanah. Dess! Tanah
mengepulkan asap merah ketika terkena sentuhan ujung lidah!
Jin Ketua
kemudian memberi tanda pada anak buahnya yang kini hanya tinggal delapan puluh
orang. Lidah-lidah merah panjang dan panas yang menjerat tubuh Pendekar 212
bergerak membuka. Lalu didahului oleh Jin Ketua di sebelah depan, dengan
mengeluarkan suara menderu dahsyat, makhluk-makhluk gaib itu melesat ke langit
kelam.
Wiro yang
saat itu dalam keadaan jatuh terduduk di tanah cepat berdiri bangun. Beberapa
bagian pakaiannya tampak hangus bekas jeratan lidah merah panas. Kulitnya juga
ada yang cidera. Dia berpaling ke arah kiri. Di dalam gelapnya malam dia
melihat orang yang datang. Ternyata ada dua orang.
**********************
7
ORANG di
samping kanan, seorang perempuan berusia sudah agak lanjut namun memiliki
kecantikan yang menggoda serta potongan tubuh memikat. Perempuan ini mengenakan
pakaian ringkas warna merah muda yang ketat sehingga keelokan tubuhnya laksana
dicetak. Rambut dikuncir di atas kepala seperti seorang gadis manja. Dia
memiliki sepasang mata yang walaupun juling tapi penuh daya tarik. Keningnya
tampak licin tidak ditumbuhi benjolan. Perempuan ini adalah Ratu Randang,
penasihat Raja Mataram yang sebelum terjadi malapetaka Malam Jahanam di Mataram
telah meninggalkan Kotaraja dengan memberi alasan pada Sri Maharaja bahwa dia
akan menemui Arwah Ketua di Candi Miring untuk meminta bantuan menghadapi
persekongkolan orang-orang jahat yang hendak menghancurkan Kerajaan Mataram.
Ternyata Ratu Randang tidak pergi ke Candi Miring, melainkan menemui dan
bercinta dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah alias Ghama Karadipa di satu goa
rahasia. Rupanya kedua orang ini sudah lama menjalin hubungan rahasia. Dan
sampai saat itu walau Ratu Randang dikabarkan sebagai seorang perempuan yang
suka berhubungan dengan banyak pemuda namun belum ada seorangpun termasuk raja
mengetahui jalinan hubungannya dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Di
samping Ratu Randang, berdiri seorang lelaki katai. Dia tidak mengenakan pakaian
karena sekujur tubuh sampai ke wajah ditutupi batu berlumut berwarna ungu.
Delapan benjolan merah terlihat di keningnya. Selain tubuh yang berlapis batu
berlumut orang ini memiliki keanehan lain yaitu punya dua daun telinga di
masing-masing sisi kepala serta sepasang alis yang terletak bukan di atas mata
melainkan di sebelah bawah mata. Orang ini memegang sebuah kantong kain kecil
di tangan kiri. Sesekali tangan kanan dimasukkan ke dalam kantong untuk
mengambil sejumput benda. Benda ini yang ternyata adalah potongan-potongan
kemenyan kemudian dimasukkan ke mulut, dikunyah seperti enaknya mengunyah
kacang!
Orang
katai ini bukan lain adalah Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut. Dia
merupakan salah seorang tangan kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah, seorang
dukun sakti yang bersama beberapa orang anak buahnya ikut menjadi biang racun
timbulnya malapetaka Malam Jahanam di Mataram.
Sebelumnya
Sinuhun Merah Penghisap Arwah bermaksud membawa serta Ratu Randang untuk pergi
ke alam delapan ratus tahun mendatang menjemput Ksatria Roh Jemputan yang bukan
lain adalah Pangeran Matahari. Namun Sinuhun merobah rencana. Dia pergi seorang
diri ke puncak Gunung Merapi untuk menjemput roh Pangeran Matahari dan meminta
Ratu Randang bersama Raja Dukun Batu Berlumut untuk menghadang kedatangan
Ksatria Panggilan Pendekar 212.
Wiro yang
walau tidak tahu siapa adanya kedua orang ini namun karena merasa diri telah
ditolong segera membungkuk memberi penghormatan sambil berkata.
“Dua
sahabat yang tidak aku kenal. Aku berterima kasih karena telah diselamatkan
dari puluhan makhluk hitam bugil tadi.”
Dua orang
yang disapa tidak menyahut. Ratu Randang berbisik. Suaranya hanya mampu
terdengar oleh orang katai di sampingnya. Sementara sepasang mata yang bagus
tapi juling terus memperhatikan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
“Jambal
Ungu, coba kau perhatikan. Apa benar pemuda ini yang kau lihat di dalam ilmu
gaibmu. Yang disebut sebagai Ksatria Panggilan yang harus ditamatkan riwayatnya
sebelum dia berbuat macam-macam di Bhumi Mataram?”
“Aku
tidak keliru. Memang dia orangnya. Namun kita perlu menyelidik dulu agar jangan
sampai kesalahan.” Menjawab si Raja Dukun.
“Kalau
begitu kau yang bicara padanya.”
Si katai
berkulit batu berlumut maju satu langkah mendekati Wiro.
“Orang
muda yang datang dari alam lain yang sungguh sangat jauh. Kami berdua sudah
mengira siapa adanya dirimu. Tapi sebelum mempertemukan dirimu dengan Sri
Maharaja Mataram terlebih dulu kami harus memeriksa.”
Wiro
memandang berkeliling. Menggaruk kepala lalu berkata. “Jadi saat ini aku sudah
berada di Kerajaan Mataram Kuna? Terkait jarak waktu delapan ratus tahun dengan
negeri asalku?”
“Betul
sekali,” jawab Raja Dukun.
“Sahabat
bertubuh katai, kau dan temanmu yang cantik itu hendak memeriksa apa? Mau menggeledah
tubuhku atau bagaimana? Kalau mau menggeledah aku suka-suka saja…” Wiro berkata
sambil mata dikedipkan ke arah Ratu Randang.
Disebut
si cantik dan dikedipkan mata Ratu Randang diam saja. Hanya sepasang mata
julingnya sekilas tampak berbinar. Dalam hati perempuan yang sudah berusis
sekitar setengah abad ini berkata. “Benar kabar yang aku sirap. Ksatria
Panggilan ini ternyata seorang pemuda bermulut usil konyol dan mata keranjang.
Apa dia benar memiliki ilmu kesaktian luar biasa hingga hanya dia yang diharapkan
mampu menyelamatkan Mataram? Hemm. Dia belum tahu siapa diriku. Hik… hik… hik…”
“Apa
benar sahabat muda yang di negeri ini kami panggil sebagai Ksatria Panggilan
bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?” Raja Dukun
bertanya.
Wiro
tidak menjawab melainkan balas bertanya. “Sahabat, bagaimana kau tahu tentang
diriku?”
“Seorang
anak perempuan bernama Ni Gatri memberitahu pada kami…”
“Ni
Gatri. Di mana anak itu sekarang?” tanya Wiro.
“Dia
berada di tempat yang aman. Setelah kami pertemukan kau dengan Sri Maharaja
Mataram, kami akan membawamu menemui anak itu.”
“Apa
kalian juga tahu perihal seorang nenek yang ikut datang ke negeri ini?”
“Tidak
ada nenek. Yang ada seorang gadis cantik berkulit hitam manis yang tubuh dan
pakaiannya harum selangit. Ada empat tusuk kundai di kepalanya…”
Wiro
tercengang mendengar ucapan Raja Dukun lalu menggaruk kepala.
“Sahabat
muda, seseorang telah memberi tahu bahwa untuk bertemu dengan Sri Maharaja
Mataram kau harus memperlihatkan sebuah benda…”
Murid
Sinto Gendeng terdiam lalu anggukkan kepala.
“Apakah
kau membawa benda itu sekarang?” Tanya Raja Dukun.
Wiro
kembali mengangguk lalu mengeluarkan sebuah benda pipih putih berbentuk segi
tiga yang ada guratan angka 2, 1 dan 2 berwarna biru pada masing-masing
sudutnya. Batu putih itu diperlihatkan pada si katai di depannya.
“Benda
ini maksudmu?”
“Ah,
malam agak gelap. Penglihatanku kurang baik. Apa boleh kau serahkan barang
sebentar padaku biar aku bisa meneliti. Kau tahu sahabat, dunia sekarang ini
penuh dengan tipu daya. Aku tak ingin dirimu dan juga diriku tertipu
orang-orang bermulut manis tapi sebenarnya punya niat jahat.” Berkata si Raja
Dukun Batu Berlumut.
Wiro
menggaruk kepala. “Kalau kau cuma mau melihat sebentar apa salahnya…” Kata
Pendekar 212 pada akhirnya.
Pada saat
itu Wiro melihat perempuan cantik bermata juling yang tegak di sebelah belakang
Raja Dukun gelengkan kepala sambil menggoyangkan tangan kanan. Wiro jadi heran
tapi juga berpikir. “Aneh, mereka muncul berdua. Si katai minta batu, si cantik
berdada montok memberi isyarat agar aku tidak menyerahkan batu. Bagaimana ini?”
Akhirnya
Wiro berkata, “Sahabat, sesuai perjanjian sebenarnya batu putih ini hanya boleh
aku perlihatkan dan diserahkan pada Sri Maharaja Mataram…”
“Sahabat
muda Ksatria Panggilan. Kami berdua justru datang mewakili dan atas perintah
Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.”
Wiro diam
saja, hanya menggaruk kepala. Melihat tanda orang tidak akan mau menyerahkan
batu putih segi tiga yang diminta, Raja Dukun berpaling pada Ratu Randang dan
bertanya dengan suara yang hanya terdengar mengiang.
“Aku rasa
kita harus membunuh pemuda ini sekarang juga!”
Ratu
Randang kedipkan sepasang mata julingnya.
“Sahabat
muda,” kata Raja Dukun Batu Berlumut. “Aku sudah melihat batu putih segi tiga.
Itu kurasa sudah cukup. Kau tidak mau menyerahkan tidak jadi apa. Bersiaplah
untuk aku antar menemui Raja Mataram…”
Wiro
ingat, sesuai rencana sesampainya di Bhumi Mataram kuda lumping yang akan
membawa dirinya menemui Raja Mataram. Kini kuda lumping itu entah berada di
mana. Maka dia bertanya. “Aku gembira akan bertemu Raja. Saat ini berada di
manakah beliau…?”
“Di Bukit
Batu Hangus. Sebuah bukit tak jauh di pinggiran Kotaraja. Bukit ini sudah ada
sejak ratusan tahun lalu. Ujudnya pasti juga ada di dalam alammu. Hanya mungkin
bernama lain…” Menerangkan Raja Dukun. Dia maju satu langkah lagi mendekati
Pendekar 212. “Aku akan menyerahkan sebatang tongkat pembimbing langkah padamu.
Ini bukan tongkat sembarangan. Merupakan benda alam gaib. Dengan membawa
tongkat ini kau selalu berada dalam perlindungan Yang Maha Kuasa selama kau
berada di negeri ini. Kau harus tahu, ada banyak orang dan makhluk gaib yang
ingin membunuhmu! Kau sudah mengalami sendiri sejak pertama kali menginjakkan
kaki di Bhumi Mataram!”
Apa yang
dikatakan Raja Dukun diakui kebenarannya oleh Pendekar 212. Yang pertama
delapan bocah merah telanjang. Yang kedua seratus makhluk hitam bugil bercula
berlidah panjang. Namun untuk menerima pemberian orang dia merasa segan.
Sebelum
Wiro sempat menjawab menolak maksud baik orang, tangan kanan Raja Dukun
mengeluarkan cahaya berpijar hitam. Di lain kejap dalam genggamannya terlihat
sebatang tongkat terbuat dari besi hitam berujud tubuh lurus seekor ular yang
pada keningnya ada delapan titik merah.
“Ksatria
Panggilan ambil tongkat ini. Susupkan di balik punggung bajumu!” Ucap si Raja
Dukun Batu Berlumut sambil tangan kiri diletakkan di atas dada, kepala sedikit
ditundukkan penuh takzim seolah tongkat yang diberikan benar-benar sebuah
senjata sakti mandraguna dan sakral!
Tongkat
diulurkan pada Wiro. Namun setengah jalan, wuuut…! Dengan gerakan luar biasa
cepat tongkat kepala ular dihantamkan ke arah kepala sang pendekar! Cahaya
hitam berkiblat ditimpai delapan larik sinar merah!
Jangankan
kepala manusia, kepala seekor gajah bahkan batu sebesar rumahpun akan hancur
mengerikan jika sampai kena hantaman tongkat kepala ular berbenjol delapan!
“Jambal
Ungu. Cukup sampai di sini aku mengikuti sandiwaramu! Hik… hik… hik!”
Di
sebelah belakang Ratu Randang keluarkan ucapan. Lalu lebih cepat dari gerakan
memukul tongkat ke kepala Wiro yang dilakukan oleh Raja Dukun tiba-tiba sekali
perempuan itu pukulkan tangan kanannya ke batok kepala Raja Dukun.
Praakk!
Sekali
hantam saja Jambal Ungu alias Raja Dukun Batu Berlumut terjengkang di tanah,
tak berkutik lagi. Kepala pecah! Delapan benjolan di kepala mengebul lalu
hilang.
Manusia
katai ini menemui ajal tanpa keluarkan suara sedikitpun! Tongkat yang tadi
tergenggam di tangannya jatuh ke tanah lalu sirna begitu saja!
**********************
8
KEJUT
Wiro bukan alang kepalang. Namun sebelum dia sempat mengatakan sesuatu
perempuan di hadapannya mendahului bicara. “Tinggalkan tempat ini! Cepat ikuti
aku!”
“Hai!
Tunggu dulu! Aku mau tanya!”
“Jangan
banyak bicara! Tutup mulut dan ikuti aku kalau tidak mau celaka!”
Wiro
tertegun garuk-garuk kepala.
“Si
cantik aneh! Siapa perempuan ini adanya! Membunuh orang sambil tertawa
cekikikan!” Wiro membatin.
Habis
berucap Ratu Randang segera berkelebat. Dia sengaja melompat melayang di atas
telaga yang cukup lebar. Maksudnya sengaja hendak menguji apakah Wiro akan
melakukan hal yang sama atau melompat memutari telaga pertanda dia tidak
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namun alangkah terkejutnya perempuan cantik
berdada besar ini ketika dia berhenti di seberang telaga dan menunggu
kedatangan Wiro tahu-tahu ada yang menepuk bahunya.
“Sahabat
cantik! Aku ada di sini.”
Ratu
Randang tersentak kaget. Cepat berbalik. Di hadapannya berdiri Pendekar 212
sambil tertawa dan kedip-kedipkan mata!
“Benar-benar
pemuda konyol!” Ratu Randang menggerutu dalam hati. Namun diam-diam dia merasa
gembira. Ternyata Ksatria Panggilan yang diharapkan dapat menyelamatkan Mataram
itu walau punya sifat aneh tapi memang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Sekarang
aku mau ikut kau ke mana?” Wiro bertanya.
Tiba-tiba
di langit sebelah timur bertebar selarik cahaya merah. Ratu Randang cepat tarik
Wiro ke balik semak belukar. Sambil memegang bahu si pemuda dia berbisik.
Bisikannya terdengar merupakan ngiangan di telinga Wiro.
“Salah
satu dari dua makhluk keparat itu sudah datang…”
“Makhluk
keparat siapa maksudmu?” tanya Wiro dengan suara biasa-biasa saja.
“Anak
muda, apakah kau tidak punya ilmu kepandaian! Bicara padaku dengan suara halus
mengiang hingga tidak ada orang lain yang mendengar. Di negeri ini orang pandai
bisa punya seribu telinga!”
Wiro jadi
garuk-garuk kepala. Seperti diketahui, sang pendekar memang tidak memiliki ilmu
mengirimkan suara secara mengiang ke telinga orang.
“Aku
tidak memiliki ilmu itu. Ilmu kepandaianku tidak setinggi yang kau miliki. Kau
pasti orang hebat di negeri ini!” Wiro menjawab dengan suara perlahan. Mengakui
terus terang tidak punya ilmu mengirimkan suara dan sekaligus memuji orang.
Ratu
Randang tersenyum kecil. Tangan kanan masih diletakkan di bahu sang pendekar.
Wiro menatap wajah cantik di sampingnya lalu berkata.
“Aku
mendengar cerita. Semua orang di Bhumi Mataram memiliki delapan benjolan merah
di jidat. Kenapa aku lihat keningmu licin-licin saja. Atau mungkin benjolan
pada dirimu tumbuh di bagian tubuh yang lain? He… he… he!”
Ratu
Randang menutup mulut menahan tawa. Lalu dia mencubit punggung sang pendekar
dan berkata, “Memangnya kau tahu apa tentang tubuhku?”
Wiro
menjawab dengan menatap perempuan di sampingnya dari rambut sampai ke kaki lalu
berulang kali keluarkan suara berdecak tanda kagum.
“Baru
sekali ini aku bertemu orang paling konyol sepertimu! Dalam keadaan seperti ini
kau masih bisa bersenda gurau!” Sekali lagi dia mencubit punggung Wiro.
Wiro
meringis kesakitan. Ketika dia hendak membuka mulut, Ratu Randang cepat
berucap.
“Sudah,
lain kali saja kau teruskan kekonyolanmu. Aku harus menyelidik keadaan di
sekitar sini.”
Ratu
Randang memperhatikan dengan sepasang mata julingnya ke arah kegelapan.
Terutama lurus-lurus ke arah seberang telaga di mana mereka sebelumnya berada
dan mayat si katai Raja Dukun Batu Berlumut masih terkapar tergeletak.
“Aneh,
tadi sudah kelihatan cahayanya. Tapi mengapa aku masih belum melihat ujudnya?
Pasti dia mempergunakan Ilmu Tabir Langit Turun ke Bumi atau Insan Berjalan
Tanpa Bayangan…”
“Dari
namanya pasti itu ilmu-ilmu kesaktian hebat. Tapi kurasa aku bisa menembus ilmu
kesaktian itu.”
“Anak
muda, jangan sombong kalau bicara. Kalau kau sudah berhadapan dengan manusia
biang racun itu kau bisa terkencing di celana!”
Murid
Sinto Gendeng menyeringai.
“Aku
tidak pernah kencing di celana. Buka celana dulu baru kencing. Kau mau lihat
bagaimana caranya aku kencing?!” Murid Sinto Gendeng pura-pura menggerakkan
tangan ke pinggang celana.
Sepasang
mata juling Ratu Randang mendelik besar. Dua kaki tersurut satu langkah.
“Aku suka
mata julingmu yang bagus itu.” Wiro kembali menggoda.
“Benar-benar
sinting!” Ucap Ratu Randang sambil goleng-goleng kepala.
Wiro
melintangkan jari telunjuk di depan bibir. Sepasang mata menatap ke seberang
telaga. Lalu dia berbisik, “Aku sudah melihat orang yang datang. Ternyata ada
dua orang.”
Ratu
Randang terkejut. Sampai saat itu dia masih belum melihat apa-apa.
“Kau
melihat dua orang katamu. Aku tidak melihat sepotong manusiapun! Yang aku lihat
gelap dan kelam.”
“Orang
cantik, maaf saja. Kau melihat dengan mata biasa. Aku melihat dengan mata biasa
ditambah sedikit ilmu.” Jawab Pendekar 212 sambil senyum-senyum.
“Kau
jangan mempermainkan diriku! Sampai saat ini aku tidak melihat satu orang pun!”
“Dua
orang yang barusan datang saat ini ada di seberang telaga. Satu seorang pemuda
gagah berpakaian hijau. Satunya lagi lelaki berusia sekitar setengah abad
mengenakan selempang kain biru dan berdestar biru. Mereka tengah melangkah
mendekati mayat si katai yang tadi kau pecahkan kepalanya.”
Penjelasan
Wiro ini membuat Ratu Randang tersentak kaget.
“Seharusnya
aku singkirkan dulu mayat dukun celaka itu. Mengapa tadi tidak aku ceburkan ke
dalam telaga. Tapi sekarang sudah terlambat…” Lalu Ratu Randang bertanya pada
Wiro.
“Pemuda
berpakaian hijau yang kau lihat apakah dia memelihara kumis, janggut dan
berewok tipis? Kepala diikat kain hijau?”
Wiro
anggukkan kepala. “Kau kenal pemuda itu?”
Ratu
Randang tidak menjawab. Dia usap dua mata berulang-ulang tapi tetap saja tidak
melihat dua orang yang dikatakan Wiro. Sambil tersenyum Wiro tekap kedua
matanya sendiri dengan tangan kanan. Lalu telapak tangan kanan disapukan di
atas sepasang mata juling Ratu Randang.
“Jangan
jahil! Apa yang kau lakukan?!”
“Ssttt…
Tenang saja. Sekarang coba kau lihat ke seberang telaga di depan sana.”
Ratu
Randang ikuti apa yang dikatakan Wiro. Berubahlah paras perempuan cantik
berusia setengah abad ini. Alisnya yang hitam kereng mencuat ke atas. Kuncir di
atas kepala bergoyang-goyang. Dia kini melihat dua orang yang dikatakan Wiro
tadi dan berada di seberang telaga.
“Kau kini
bisa melihat dua orang yang tadi aku katakan?”
Ratu
Randang mengangguk.
“Siapa
mereka. Dari sini kelihatan mereka tengah memeriksa mayat lelaki katai yang kau
sebut sebagai Raja Dukun itu.”
“Siapa
mereka tidak penting. Ada yang jauh lebih penting,” menyahuti Ratu Randang.
“Aku ingin bertanya.”
“Apa?”
Tanya Wiro.
“Kau bisa
lebih dulu melihat dari aku. Katamu kau melihat dengan mata biasa ditambah
sedikit ilmu. Ilmu apa?”
Wiro
tertawa, tidak menjawab.
Ratu
Randang jadi penasaran.
“Dengar,
aku akan berikan padamu ilmu bicara mengiang ke telinga orang yang ingin kau
ajak bicara. Kau berikan padaku ilmu yang bisa melihat dalam gelap sampai ke
tempat jauh itu.”
“Hanya
bertukar ilmu itu tawaranmu?” Wiro seperti jual mahal.
“Apa itu
kurang adil?! Memangnya kau mau apa? Hemmm…” Ratu Randang bergumam
berpikir-pikir. Lalu sambil tersenyum dia berkata. “Aku tahu maunya laki-laki…
Dengar, aku akan tambah tawaranku dengan memberikan seratus pelukan dan seratus
ciuman!”
Ditawari
seperti itu murid Sinto Gendeng semakin menggoda.
“Sedap!
Seratus pelukan seratus ciuman. Ciumannya di sebelah mana? Di pipi atau di
bibir?”
“Kalau
kau mau dicium di bibir aku tidak keberatan…” Jawab Ratu Randang dengan raut
wajah bersungguhsungguh.
“Hanya
seratus ciuman?” tanya Wiro lagi.
“Memangnya
kau mau berapa kali? Mau lima ratus kali?!”
“Wah!
Bisa jontor bibirku!” Kata Wiro pula sambil tertawa lebar.
“Baik.
Aku akan menciummu sampai lima ratus kali! Biar cepatan dan biar kau percaya
aku akan melakukannya sekarang!” Perempuan tinggi semampai ini rangkulkan
tangan ke punggung Wiro. Lalu sambil menarik tubuh sang pendekar dia dekatkan
bibirnya ke mulut Wiro. Namun gerakannya tiba-tiba terhenti. Sepasang matanya
yang tak sengaja memandang ke arah seberang telaga melihat tanda-tanda bahaya.
“Tunggu,
jangan kau mengira aku mendustaimu. Aku lihat dua orang di seberang telaga sana
bicara sambil memandang ke arah kita. Aku rasa mereka sudah tahu kehadiran kita
di sini. Mungkin karena kau dari tadi bicara terlalu keras dan tidak karuan…”
“Biarkan
saja mereka. Bagaimana janjimu hendak menciumku. Tidak mau dilanjutkan?”
Ratu
Randang tidak menjawab. Dia menarik tangan Wiro. Wiro merasa dua kakinya
terangkat dari tanah. Sesaat kemudian ketika memandang ke bawah ternyata dia
telah dibawa melayang di antara kerapatan pepohonan di malam gelap.
“Ilmu
terbang yang kau miliki ini apa namanya? Ilmu Jalan-jalan di Malam Gelap dan
Sunyi?”
“Jangan
bergurau terus. Kita belum lepas dari bahaya!” Kata Ratu Randang pula.
Sambil
mencekal tangan Wiro, Ratu Randang berkomatkamit. Lalu tangannya dipukulkan ke
bawah.
Wuttt!
Terdengar
sambaran angin sangat halus.
“Apa yang
kau lakukan? Mengeluarkan ilmu lagi?” Bertanya Wiro.
“Aku
menciptakan telaga kedua. Untuk mengelabuhi kedua orang itu jika mereka mengejar
kita.”
“Apa?!
Telaga kedua? Semudah dan secepat kau membalikkan tangan?!”
“Kalau
tidak percaya lihat saja ke bawah. Pergunakan ilmu kepandaianmu yang bisa
melihat jauh di dalam gelap.”
Pendekar
212 memandang ke bawah. Astaga! Apa yang dikatakan Ratu Randang bukan dusta.
Saat itu di bawah sana Wiro melihat sebuah telaga sementara lebih jauh ke
selatan telaga di mana sebelumnya dia berada masih terlihat walau agak samar.
Kemudian dia melihat dua orang berkelebat di sekitar telaga kedua.
“Hebat!
Belum pernah aku melihat tukang sihir secantikmu!” Wiro memuji.
Ratu
Randang dongakkan kepala.
“Aku
jelas cantik! Tapi jelas aku bukan tukang sihir!”
Wiro
tertawa.
Tawa sang
pendekar lenyap ketika, cuuppp!
Bibir
Ratu Randang menempel ketat di bibir Wiro hingga sang pendekar gelagapan. Ratu
Randang tertawa cekikikan.
“Itu
ciuman pertama! Masih ada empat ratus sembilan puluh sembilan ciuman lagi! Hik…
hik… hik!”
**********************
9
DUA ORANG
di tepi telaga yang memeriksa mayat Raja Dukun Batu Berlumut untuk beberapa
lama samasama terdiam. Agaknya mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Akhirnya pemuda berpakaian hijau membuka mulut. “Swara Pancala, apa
pendapatmu?”
Melihat
kepada umur, orang berpakaian dan berdestar biru jauh lebih tua dari si pemuda
yang bertanya. Namun jika pemuda itu langsung menyebut nama maka ini adalah
satu kejanggalan mengandung keanehan.
Orang
yang ditanya menghirup udara malam di tepi telaga dalam-dalam baru menjawab.
“Dari udara yang ada di tempat ini saya mencium Ratu Randang dan sahabat malang
ini sebelumnya memang sama-sama berada di sini. Namun di mana sekarang
beradanya Ratu Randang dan siapa yang membunuh Jambal Ungu alias Raja Dukun
Batu Berlumut ini masih merupakan satu tanda tanya besar. Saya juga mencium
kalau orang dari negeri delapan ratus tahun mendatang yang disebut dengan nama
Ksatria Panggilan itu sebelumnya mungkin juga berada di tempat ini. Apakah dia
pergi bersama Ratu Randang…”
“Swara
Pancala, harap bicara memakai pertimbangan. Apa kau lupa kalau Ratu Randang
adalah kekasih nyawa kembarku? Apakah mungkin dia mengkhianati nyawa
kembarku?!” Pemuda berpakaian hijau memotong ucapan orang bernama Swara
Pancala.
“Maafkan
saya Sinuhun Muda. Saya tahu Ratu Randang yang cantik itu adalah kekasih
Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Saya tidak mengatakan bahwa
Ratu Randang telah berkhianat. Saya hanya memberi tahu apa yang saya ketahui.
Raja Dukun berilmu tinggi. Agaknya dia dibunuh dalam keadaan lengah. Melihat
bagian belakang kepala yang hancur parah saya yakin dia telah dihantam dari
belakang. Lalu melihat bentuk hancurnya kepala, mohon dimaafkan kalau saya
mengatakan Raja Dukun telah dihantam dengan ilmu pukulan bernama Di Dalam Gelap
Tangan Penghukum Membelah Jagat.”
Sepasang
mata pemuda berpakaian hijau membesar. Dia usap dagu dan cambang bawuknya
sebelum keluarkan ucapan. “Ilmu pukulan itu adalah salah satu ilmu yang
dimiliki Ratu Randang!”
“Maafkan
saya Sinuhun Muda Ghama Karadipa.” Orang bernama Swara Pancala cepat-cepat
tundukkan kepala lalu memandang ke arah lain.
“Swara
Pancala, sebenarnya tadi-tadi aku sudah menduga kalau Ratu Randang telah
melakukan pengkhianatan. Aku tidak mengerti. Dia bercinta denganku. Menjadi
kekasihku walau belum terlalu lama. Lalu mengapa dia menjadi musuh dalam
selimut? Apakah kesetiaannya pada Raja Mataram melebihi kesetiaannya dan
cintanya terhadap diriku?”
“Sinuhun
Muda, saya tidak berani memberikan tanggapan. Namun saya menduga apa yang
dilakukan Ratu Randang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Mengapa dia
tidak pernah menemui Arwah Ketua sebagaimana yang Sinuhun Muda perintahkan, itu
cukup pula menjadi pertanda bahwa ada satu kerahasiaan dalam diri perempuan
itu. Mohon saya dimaafkan kalau salah bicara…”
Sinuhun
Muda menarik nafas dalam.
“Aku
telah berbuat kesalahan besar menyuruhnya pergi bersama Raja Dukun. Saat itu
kau tengah menjaga roh Sedayu Galiwardhana. Aku sendiri dalam ujud nyawa kembar
yang lain tengah menjemput Ksatria Roh Jemputan di Gunung Merapi di alam
delapan ratus tahun mendatang…”
Sinuhun
Muda berhenti bicara dan menatap tajamtajam ke wajah orang di hadapannya.
Melihat hal ini Swara Pancala yang jadi gelisah segera saja berkata.
“Mohon
saya diberi tahu apa yang ada di pikiran Sinuhun Muda. Ada sesuatu yang hendak
Sinuhun Muda katakan?”
“Benar.
Aku khawatir kau kelak akan berbuat culas, sama dengan Ratu Randang. Sampai
saat ini pihak kerajaan tidak tahu menahu apa yang kau lakukan. Kalau kau telah
menjadi orang kepercayaanku dan berkhianat pada Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala
Raja Mataram…”
“Sinuhun
Muda, kalau saya boleh berkata. Arwah kedua orang tua saya, istri dan seorang
anak yang tewas ketika kerajaan menumpas pemberontakan beberapa tahun silam,
apakah itu tidak cukup menjadi sumber dendam kesumat yang sangat besar bagi
saya? Rasanya dalam hal ini kita banyak kesamaan.”
“Aku tahu
hal itu,” sahut Sinuhun Muda pula. Namun wajahnya masih tetap menunjukkan
sesuatu yang tidak mengenakkan bagi Swara Pancala.
Maka
Swara Pancalapun berkata. “Sinuhun Muda, kalau ada sesuatu yang dapat saya
lakukan untuk membuat Sinuhun Muda percaya bahwa saya tidak akan mengkhianati
Sinuhun Muda…”
Pemuda
berpakaian dan berikat kepala hijau tersenyum. Dari kantong pakaiannya dia
mengeluarkan sesuatu yang dibungkus dengan daun pisang kering. Perlahanlahan
daun pembungkus dibuka lalu dibuang ke tanah. Kini di telapak tangan kanan
Sinuhun Muda tampak sebuah benda hitam bulat memancarkan cahaya berkilau.
“Swara
Pancala, benda yang ada di tanganku ini adalah gumpalan Tiga Ratus Tuba Duri
Bambu. Siapa saja yang berbuat jahat terhadap diriku dan telah menelan racun
ini maka dia hanya mampu bertahan hidup selama dua puluh satu hari. Sebelum
menemui ajal orang yang menelan akan muntah darah selama tujuh hari hingga
seluruh cairan yang ada di dalam tubuhnya menjadi kering. Keadaannya akan
berubah tidak beda seperti jerangkong hidup. Tetapi jika orang yang menelan
memang tidak punya niat jahat terhadapku maka setelah dua puluh satu hari dia
akan selamat. Nah, berikan kepercayaan padaku. Telan benda ini!”
Tampang
Swara Pancala berubah pucat. Orang ini tertegun untuk beberapa lama.
“Swara
Pancala. Aku menunggu. Tapi jangan terlalu lama. Aku akan menghitung sampai lima.
Jika kau tidak bersedia menelan maka aku minta kau membenturkan kepalamu ke
batu besar di tepi telaga sana.”
Swara
Pancala melirik ke arah batu besar yang dikatakan lalu kembali memperhatikan
benda hitam di atas telapak tangan Sinuhun Muda. Tengkuk terasa dingin tapi
dada berdebar panas!
“Swara
Pancala. Aku akan menghitung dengan sangat cepat! Satu! Dua! Tiga! Em…”
Pada
hitungan ke empat Swara Pancala ulurkan tangan mengambil gumpalan racun Tiga
Ratus Tuba Duri Bambu lalu memasukkan ke dalam mulut dan dengan cepat
menelannya. Sesaat sepasang mata orang ini tampak mendelik dan muka serta
tubuhnya basah dengan keringat.
“Sinuhun
Muda,” ucap Swara Pancala dengan suara bergetar. “Saya telah membuktikan bahwa
saya tidak sama dengan Ratu Randang.”
Sinuhun
Muda angguk-anggukkan kepala. Memegang bahu Swara Pancala dan berkata. “Bagus.
Pengabdianmu tidak akan aku lupakan.”
“Kalau
begitu sekarang kita harus bertindak mengejar perempuan itu.”
Sinuhun
Muda gelengkan kepala.
“Sampai
sebelum matahari terbit kita tidak akan mampu mengetahui di mana perempuan
pengkhianat itu berada dan dengan siapa. Aku merasa sangat menyesal telah
memberikan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan padanya.”
“Kalau
begitu agar kita tidak terpaut terlalu jauh dengannya, sebaiknya kita sekarang
juga bergerak ke jurusan lenyapnya perempuan itu. Mudah-mudahan kita masih bisa
tertolong dengan Ilmu Tanpa Mata Mengandalkan Penciuman. Kita berdua sudah sama
mengetahui bau tubuh dan pekaian perempuan itu…”
“Tidak
ada salahnya dicoba,” jawab Sinuhun Muda.
Lalu
sekali berkelebat kedua orang ini telah melayang di atas telaga meninggalkan
rimba belantara gelap di belakang mereka. Tak selang berapa lama Sinuhun Muda
angkat tangan kanan dan berseru sambil melayang turun ke tanah.
“Swara
Pancala! Lihat ke depan!”
Swara
Pancala segera pula melayang turun ke tanah, berdiri di samping Sinuhun Muda
dan memandang ke depan.
Astaga!
Di depan
mereka terbentang sebuah telaga. Telaga yang sama dengan telaga sebelumnya di
mana mereka berada. Yang berbeda adalah di tepi telaga tidak ada mayat Raja
Dukun Batu Berlumut!
Masih tak
percaya Sinuhun Muda dan Swara Pancala memandang berkeliling. Keadaan di
sekitar telaga juga sama dengan telaga sebelumnya!
“Perempuan
celaka itu telah mempergunakan Ilmu Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa. Kita
disesatkan dengan telaga jejadian ini yang baru akan lenyap kalau tersentuh
sinar sang surya. Kecuali ada petunjuk lain. Percuma saja kita meneruskan
pengejaran.”
Tiba-tiba
tidak disangka-sangka ada suara menyahuti ucapan Sinuhun Muda. Suara perempuan.
“Kalau
yang bernama Sinuhun Muda percaya, maka petunjuk itu ada padaku. Aku tahu di
mana orang yang dicari saat ini berada. Apakah Sinuhun Muda masih ingat
kata-kataku beberapa waktu lalu di alam delapan ratus tahun mendatang? Pada
saat Sinuhun Muda muncul dengan ujud Sinuhun Merah Penghisap Arwah? Apakah itu
ujud nyawa kembar Sinuhun Muda? Ingat? Waktu itu aku berkata. Suatu ketika kau
akan memerlukan diriku. Mungkin untuk berbagi ilmu. Mungkin juga untuk berbagi
cinta.
Hik… hik… hik…”
Sinuhun
Muda terkesiap. Swara Pancala palingkan kepala ke arah datangnya suara tadi.
Sinuhun Muda lalu berucap perlahan.
“Aku
kenal suara itu. Aku juga ingat kata-kata itu. Tapi bagaimana dia tahu-tahu
bisa berada di Bhumi Mataram ini…?”
**********************
10
PENDEKAR
212 Wiro Sableng memandang seputar ruangan batu. Tak ada jendela tak ada pintu.
Aneh, melalui bagian mana tadi dia dibawa masuk oleh perempuan cantik itu.
Sementara sang pendekar masih tercengang-cengang, Ratu Randang melangkah
mondarmandir mengelilingi ruangan sambil sapukan tangan kanan pada empat
din–ding. Sesekali mata dipejamkan dan bibir yang merah bergetar. Jelas dia
tengah merapal sesuatu bacaan.
Tak lama
kemudian perempuan ini memutar tubuh. Punggung dirapatkan ke dinding, kaki
dikembang dan dada dibusungkan. Sepasang mata juling tapi bagus menatap lurus
ke arah Wiro. Sikapnya berdiri sungguh menawan.
“Sahabat
muda, apa benar namamu Wiro Sableng. Sableng yang artinya sinting?”
“Aku
memang sableng tapi belum sinting,” jawab Wiro sambil tertawa. “Aku sendiri,
sampai saat ini belum tahu namamu. Padahal aku sudah berhutang budi dan nyawa
padamu.”
“Jangan
menyebut segala macam hutang budi. Mungkin kelak aku yang akan menerima budi jauh
lebih besar darimu.”
“Lalu
namamu? Apa kau tidak mau memberi tahu?” tanya Wiro lagi.
“Namaku
Ratu Randang…”
“Ratu
Rendang! Nama bagus. Tapi mengapa seperti nama hidangan daging lezat?”
Si cantik
di hadapan Wiro cemberut.
“Ih…!
Namaku Ratu Randang. Bukan Rendang! Enak saja kau bicara! Kau sengaja
mempermainkan aku!”
Wiro
tertawa. “Maafkan kalau aku salah menyebut. Namamu benar-benar bagus. Kau
memang secantik seorang ratu…” Wiro memuji. Dia lantas saja ingat pada Ratu
Duyung, gadis cantik bermata biru yang mencintai dirinya.
“Sebenarnya
aku adalah salah seorang pembantu dekat Raja Mataram. Aku seorang penasihat
Istana Mataram…” Ratu Randang coba menjelaskan siapa dirinya.
Wiro
tercengang.
“Jadi,
ternyata kau bukan saja seorang sakti berkepandaian hebat Tapi juga seorang
tokoh berkedudukan tinggi di Istana Mataram. Sungguh kau orang luar biasa.
Tapi…” Wiro memandang seputar ruangan lalu bertanya. “Sahabat cantik, saat ini
kita berada di mana. Ruangan batu ini tertutup rapat Tidak ada pintu tidak ada
jendela. Heran ruangan ini bisa terang. Lalu dari mana tadi kau membawa aku
masuk ke tempat ini.”
“Ketahuilah
kita berada di dalam tanah di bawah Candi Prambanan.” Ratu Randang memberi tahu
yang membuat murid Sinto Gendeng jadi melongo. “Aku membawamu ke sini dengan
ilmu Menunggang Kabut Menembus Batu…”
Wiro
keluarkan suara berdecak.
“Kau
begitu polos mau memberi tahu ilmu kesaktian yang kau miliki. Jangan-jangan kau
mau menukar dengan apa lagi? Lima ratus pelukan dan ciuman saja belum selesai.
He… he.”
Wajah
Ratu Randang bersemu merah. Kalau Wiro ada sepejangkauan tangannya pasti sudah
dicubit perutnya sampai melintir!
“Kau
masih saja bersenda gurau. Terus terang sebenarnya saat ini kita belum terlepas
dari bahaya…”
Wiro
menggaruk kepala.
“Jadi
saat ini kita berada di bawah Candi Prambanan? Candi Prambanan di Mataram Kuna
atau yang di negeriku?”
“Keduanya
adalah candi yang sama walau berbeda alam. Sesepuh nenek moyangmu membuat Candi
Prambanan di masa lalu. Candi tetap berdiri gagah sampai delapan ratus tahun
kemudian. Walau saat ini keadaan memang aman namun aku tidak tahu kita bisa
bertahan sampai berapa lama. Kalau kita keluar sekarang-sekarang dari tempat
ini aku khawatir orang-orang yang mengejar bisa menemui kita. Saat ini aku
punya kewajiban harus membawamu ke hadapan Sri Maharaja Mataram
secepatcepatnya. Padahal itu sebenarnya tugas orang lain. Namun keadaan
berubah. Tindakan cepat harus dilakukan. Siapa sangka aku diperintahkan bersama
si katai yang sudah mati itu menemuimu. Kau masih menyimpan baik-baik batu
putih berbentuk segi tiga itu?”
Wiro
menepuk-nepuk pinggang sebelah kiri tanda benda yang ditanyakan berada dalam
keadaan aman.
“Siapa
yang memerintahmu menemui aku bersama orang katai pemakan kemenyan itu?” Wiro
bertanya.
“Satu
makhluk yang memiliki dua nyawa kembar.” Jawab Ratu Randang.
“Nyawa
kembar? Baru sekali ini aku mendengar ada nyawa kembar. Bagaimana mungkin…?”
“Akal
sehat memang tidak bisa menerima. Namun begitulah kejadiannya. Dua nyawa kembar
masuk ke dalam sosok makhluk yang punya dua ujud. Ujud pertama yang sebenarnya
sudah menemui kematian beberapa tahun silam, dipanggil dengan nama Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Ujud kedua adalah pemuda berpakaian dan berikat kepala
hijau yang tadi kau lihat di tepi telaga. Keduanya bisa berada di tempat berbeda
dalam waktu yang bersamaan.”
Wiro
menggaruk kepala.
“Berarti
jika yang satu lagi asyik menyanyi di satu tempat, ujud yang lain bisa saja
tengah membunuh orang! Hebat juga!” Setelah berpikir sejenak Wiro berkata.
“Jika makhluk bernyawa kembar memberi perintah padamu dan orang katai yang
sudah mati itu, berarti kalian berdua sebenarnya adalah anak buah
Sinuhun-Sinuhun. Tadi kau mengatakan dirimu adalah penasihat Raja Mataram. Lalu
mengapa pula kau membunuh si katai itu? Aku menduga kau membunuhnya bukan
karena hendak menolongku saja, tapi ada penyebab lain…”
“Aku
ingin menyelamatkan Raja Mataram, rakyat dan kerajaan. Dua sinuhun bersama para
pengikutnya telah menjatuhkan malapetaka mengerikan di Bhumi Mataram.” Lalu
Ratu Randang menceritakan apa yang telah terjadi.
“Jika
begitu ceritanya berarti kau telah mengkhianati dua sinuhun. Tidak heran kalau
makhluk bernyawa kembar itu akan mencarimu sampai ke langit ke tujuh sekalipun!
Tapi dari caramu bercerita dan dari raut wajahmu aku melihat tidak ada perasaan
takut dalam dirimu. Aku punya dugaan ada satu perkara yang tidak kau jelaskan
padaku.”
Sepasang
mata juling Ratu Randang menatap Pendekar 212 tak berkesip.
“Apa?”
tanya perempuan itu. “Apa yang tidak aku ceritakan padamu?”
“Aku
tidak tahu, tapi pasti ada. Aku bisa merasakan. Kau melakukan pengkhianatan.
Dua sinuhun aku rasa bukan makhluk tolol yang bisa mempercayaimu begitu saja…”
Ratu
Randang tertawa.
“Kau
memang benar. Pengkhianatan itu harus aku bayar mahal, sangat mahal. Aku
bercinta, berpura-pura menjadi kekasih dua sinuhun. Bahkan Sri Maharaja dan
orang-orang penting di kerajaan tidak mengetahui hal ini. Semua aku rencanakan
sendiri karena aku sadar dalam keadaan negeri dilanda malapetaka seperti ini
terkadang sulit menduga mana kawan mana lawan.”
“Pengorbananmu
sungguh luar biasa besar. Tapi tidak sia-sia karena ada enaknya.”
“Jangan
menyindir! Kau marah? Atau cemburu?”
Wiro
tertawa lebar dan gelengkan kepala.
“Hanya
dengan cara begitu aku bisa mengabdi menyelamatkan raja dan kerajaan. Aku
berhasil mencari tahu apa kelemahan dua sinuhun…”
“Kalau
memang kau sudah tahu kelemahan mereka mengapa tidak membunuh saja keduanya?
Raja dan kerajaan selamat. Cerita selesai! Aku tidak perlu jauh-jauh datang ke
sini naik kuda lumping!”
“Tidak
semudah itu membunuh dua makhluk bernyawa kembar itu. Seperti yang kau katakan
tadi mereka bukan makhluk-makhluk tolol. Sekalipun aku tahu kelemahan mereka
namun pasti mereka memiliki penangkal. Selain itu aku khawatir mereka tidak
bisa dibunuh satu demi satu, tapi harus sekaligus. Kalau nyawa kembar yang satu
mati yang lain masih hidup, celaka besar akan terjadi. Riwayatku akan tamat!
Padahal aku masih ingin panjang umur menikmati hidup di dunia yang penuh
keindahan ini. Hik… hik”
Setelah
mengusap lehernya yang putih jenjang Ratu Randang teruskan ucapan. “Mengenai
kuda lumping yang kau tunggangi bersama dua orang lain dari negeri delapan
ratus tahun mendatang, benda sakti itu kini berada di tangan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah yang menyamar menyerupai Kumara Gandamayana. Sulit bagimu untuk
kembali ke negeri asalmu kalau tidak mendapatkan kuda lumping itu kembali.”
“Celaka
biyung!” Ujar Wiro. “Agaknya sudah takdir aku akan berada di negeri ini sampai
karatan.” Lalu Wiro bertanya. “Siapa orang bernama Kumara Gandamayana itu?”
“Seorang
kakek sakti yang pernah datang ke negerimu, masuk ke dalam tubuh seorang anak
perempuan dan bicara dengan seorang gadis bersunting lima tusuk konde perak.
Gadis itu badan dan pakaiannya menebar bau sangat harum. Kini tusuk kondenya
tinggal empat.”
“Yang
pakai tusuk konde perak ditancap di batok kepala cuma ada satu orang. Guruku!
Eyang Sinto Gendeng. Dan dia sudah nenek keriput, bukan gadis! Tubuhnya bau
pesing karena suka kencing! Aneh kalau kau mengatakan tubuhnya sangat harum.”
“Agaknya
telah terjadi satu keanehan. Semua orang di sini melihat gurumu itu sebagai
seorang gadis cantik.”
“Hebatnya
guruku! Tapi aku benar-benar tidak mengerti keadaan di negeri ini. Banyak aku
melihat dan mengalami keanehan sebelumnya tapi tidak seperti di sini…”
“Wiro,
aku sedih mengatakan gurumu sekarang berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Otaknya telah dicuci dengan Ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci
Otak. Dia akan melakukan apa saja yang diperintahkan sinuhun, termasuk membunuhmu!”
Wiro
terlonjak kaget.
“Bagaimana
kejadiannya?”
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah berhasil menipu gurumu. Merampas kuda lumping dan
sekaligus mencuci otaknya dengan ilmu kesaktian yang aku sebutkan tadi. Delapan
Jalur Arwah Pencuci Otak.”
“Apakah
kau punya obat penangkalnya?” Tanya Wiro.
Ratu
Randang menggeleng. “Agaknya sulit menyembuhkan gurumu atau siapa saja yang
sudah ditumbuhi delapan benjolan merah di keningnya…”
“Astaga!
Jadi guruku sudah terserang benjolan aneh itu! Celaka! Benar-benar celaka!
Sebenarnya nenek itu sudah dilarang untuk tidak ikut ke Mataram. Tapi dia
memaksa. Aku menduga dia tergila-gila pada si Kumara itu. Sekarang dia jadi
gila benaran!” Wiro tepuk-tepuk jidatnya sendiri. Lalu berkata. “Aku harus
mencari guruku lebih dulu. Aku harus menyelamatkan dirinya.”
“Tapi
raja dan rakyat Mataram menunggu dan memerlukan pertolonganmu.” Kata Ratu
Randang pula.
Murid
Sinto Gendeng jadi bingung. Dia lalu ingat seseorang. “Ratu, orang yang muncul
bersama Sinuhun Muda, berpakaian dan berdestar biru. Siapakah dia?”
“Namanya
Swara Pancala. Dialah pengkhianat sebenarnya.”
Wiro
terkejut!
“Nama
itu! Aku pernah mendengar sebelumnya…”
“Swara
Pancala adalah salah seorang kepercayaan Raja Mataram. Namun dia kena
dipengaruhi Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan secara diam-diam menjadi kaki
tangannya. Aku khawatir banyak rahasia yang diketahuinya telah disampaikan
kepada Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Termasuk mengenai dirimu dan batu segi
tiga putih. Itu sebabnya Sinuhun mengirim si katai Raja Dukun dan diriku untuk
merampas batu segi tiga putih. Maksudnya dia akan menyerahkan batu itu pada
seorang makhluk alam roh yang didatangkan dari alam delapan ratus tahun
mendatang. Konon makhluk itu diberi nama Ksatria Jemputan. Dengan berbekal
batu, Ksatria Roh Jemputan akan mengaku diri sebagai Ksatria Panggilan
menghadap raja, menipu lalu membunuhnya.”
“Roh
Jemputan…” Wiro mengulang nama itu. “Ratu Randang, kau tahu siapa adanya
makhluk yang disebut Roh Jemputan itu?”
“Aku
tidak tahu. Tapi aku tahu Sinuhun Merah sendiri yang pergi ke negeri asalmu,
menghisap arwah Roh Jemputan di puncak Gunung Merapi. Saat ini mungkin dia
sudah masuk ke Bhumi Mataram. Satu hal lagi yang aku ketahui, Ksatria Roh
Jemputan akan dikendalikan untuk membunuhmu!”
“Edan!”
Wiro memaki. “Ratu, dua sinuhun yang berasal dari dua nyawa kembar itu, kau
tahu siapa mereka sebenarnya? Mengapa mereka menjatuhkan tangan jahat terhadap
raja dan rakyat Mataram yang tidak berdosa? Pasti ada sesuatu sebab makhluk dua
nyawa kembar itu berbuat begitu. Sesuatu yang merupakan dendam kesumat yang
terbawa di dalam dirinya seumur-umur dan baru akan lenyap jika dia sudah
melakukan pembalasan…”
“Aku
tidak bisa menduga. Selama beberapa kali aku bercinta dengan Sinuhun Muda Ghama
Karadipa, pemuda itu selalu bicara tentang hal-hal yang aku tidak mengerti…”
“Misalnya?”
tanya Wiro pula.
“Terkadang
dia bersikap aneh. Seperti mau menangis sesenggukan. Lalu bicara tentang segala
macam arwah keramat. Cerita tentang perang arwah! Pernah satu kali ketika dia
terbaring setengah tertidur setelah bercinta denganku, tiba-tiba Sinuhun Muda
berteriak. Ayahku!
Jangan
dipenggal! Jangan! Jangan! Ibu… Ibu… kau di mana Ibu! Dewa Jagat Bathara!
Mereka juga telah memancung Ibuku! Habis berteriak Sinuhun Muda lalu menangis
tersedu-sedu.”
Wiro
menggaruk kepala. Coba merenung.
“Agaknya
ada satu peristiwa dahsyat di masa lalu yang sampai saat ini tidak bisa
dilupakannya. Mungkin peristiwa itu yang menjadi pemicu dendam kesumat yang
melekat di dalam dirinya seumur-umur dan baru akan lenyap jika dia sudah
melakukan pembalasan. Ratu, tadi kau mengatakan telah berhasil mengetahui
kelemahan dua sinuhun nyawa kembar itu. Kau mau memberi tahu padaku?”
“Aku
sudah lama menduga-duga. Dugaanku itu tersingkap kebenarannya ketika belum lama
ini aku hendak bercinta dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Malah dia sendiri
yang menyebut kelemahan dirinya. Waktu itu dia mengatakan…”
Mendadak
Ratu Randang hentikan ucapan.
“Mengatakan
apa? Ratu, mengapa kau tidak meneruskan keterangan?”
Ratu
Randang memberi tanda agar Wiro tidak bicara. Perempuan ini menghirup udara
dalam-dalam lalu berbisik.
“Kau
mendengar sesuatu?”
Wiro raba
telinga kirinya. “Aku mendengar suara seperti sesuatu melata di tanah. Mungkin
seekor ular besar. Aku juga mencium bau harum semerbak. Tapi bukan bau harum
manusia. Melainkah bau harum makhluk alam roh!”
“Kepalaku
terasa pusing mencium bau itu,” kata Ratu Randang sambil memijit pelipis kiri
kanan.
“Ratu,
kita harus meninggalkan tempat ini! Aku curiga orang sudah mengetahui
persembunyian kita.”
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah dinding
ruangan batu sebelah kanan menyembur asap kuning. Serta merta kedua orang itu
merasa sesak dada masing-masing dan pemandangan menjadi kabur.
“Racun
ular!” Teriak Pendekar 212.
Tidak
menunggu lebih lama Ratu Randang segera menarik lengan Pendekar 212 sambil
merapal ajian Menunggang Kabut Menembus Batu.
Saat itu
juga tubuh Ratu Randang dan Wiro melesat ke atap ruangan. Seperti tadi ketika
masuk Wiro merasakan sekujur tubuhnya dingin lalu, sett… sett! Di lain kejap
sosok kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan batu. Memandang berkeliling
Wiro dapatkan dirinya berada di satu pedataran dan dia melihat tiga buah candi
besar yang segera dikenalinya sebagai Candi Siwa atau Candi Loro Jonggrang,
Candi Brahma dan Candi Wisnu.
Saat itu
udara masih dibalut kegelapan malam dan hawa dingin. Tanah pedataran tampak
basah oleh genangan air berwarna merah dan menebar bau busuk. Dua ekor sapi dan
empat ekor kambing yang telah jadi bangkai tergeletak di kejauhan.
“Wiro aku
memperkirakan ada beberapa orang sembunyi di balik candi di sebelah kanan.
Lekas kau tinggalkan tempat ini. Pergi lurus-lurus ke arah utara. Kau akan
menemukan sebuah bukit batu. Itulah Bukit Batu Hangus. Raja Mataram ada di
sana! Segera temui beliau!”
“Kau
sendiri mau ke mana? Mau berbuat apa?” Tanya Pendekar 212.
“Aku akan
tetap di sini. Aku akan menghadang mereka!”
Wiro
tekapkan kedua tangannya di wajah Ratu Randang dan berkata.
“Aku juga
akan tetap di sini. Mati hidup kita berdua!”
Ratu
Randang terkesiap mendengar ucapan sang pendekar.
“Tapi
Wiro, raja dan rakyat Mataram membutuhkan pertolonganmu! Jika terjadi sesuatu
dengan dirimu di tempat ini aku merasa bersalah dan harus bertanggung jawab…”
“Tenang
saja. Tidak akan terjadi apa-apa dengan kita berdua.” Kata Wiro pula.
Saking
girangnya Ratu Randang langsung saja mengecup bibir Pendekar 212 hangat dan
mesra. Lalu sambil tersipu perempuan ini berkata. “Masih empat ratus sembilan
puluh delapan ciuman…”
Wiro
hanya bisa tersenyum.
Saat
itulah tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa melengking panjang.
“Dasar
pemuda mata keranjang! Di tanah delapan ratus tahun mendatang berbuat cabul!
Sampai di sini masih juga berbuat mesum! Menyekap diri di dalam liang batu
dengan perempuan dajal yang berusia dua kali lebih tua! Hik… hik… hik! Padahal
kedatanganmu katanya untuk menolong. Ternyata malah enak-enakan berbuat serong!
Hik… hik… hik!”
Wajah
Ratu Randang tampak mengelam merah. Tubuh bergetar pertanda marah besar
menyelimuti sekujur dirinya.
“Jangan
perdulikan ucapan orang!” kata Wiro sambil pegang lengan Ratu Randang. “Aku
punya dugaan perempuan bermulut kotor itu datang dari negeri yang sama dengan
negeri asalku!”
Tiba-tiba
dari balik Candi Wisnu tiga bayangan berkelebat!
**********************
11
DARI tiga
orang yang berdiri di hadapannya, Wiro segera mengenali orang pertama dan kedua
yaitu orang-orang yang malam itu dilihatnya di tepi telaga dan telah dijelaskan
siapa adanya oleh Ratu Randang. Kedua orang ini bukan lain adalah Sinuhun Muda
Ghama Karadipa dan si pengkhianat Swara Pancala.
Di antara
kedua orang itu berdiri seorang perempuan muda berwajah cantik mengenakan
pakaian terbuat dari sutera halus berwarna hijau. Tubuhnya yang sintal serta
pakaian bagusnya, menebar bau harum. Rambut hitam digerai lepas sepinggang. Di
sebelah atas dada pakaian hijaunya agak tersingkap hingga menyembulkan sepasang
payudara yang kencang putih. Di kepala sebelah depan terdapat sebuah mahkota
kecil terbuat dari perak putih berkilat ditaburi batu permata aneka warna.
Sementara
Pendekar 212 terperangah tidak percaya akan apa yang dilihatnya, Ratu Randang
mengerenyit karena di pinggang perempuan muda cantik yang tidak dikenalnya itu
melingkar seekor ular hitam besar berkepala putih. Dan yang membuat Ratu
Randang jadi mengkirik bergidik, sebagian tubuh ular yakni di sebelah ekor
masuk menembus ke dalam perut orang melalui pusar!
Sesaat
Ratu Randang kerenyitkan kening, sebelum berbisik, bertanya pada Pendekar 212.
“Wiro,
kau mengenali siapa perempuan muda yang tegak di antara dua makhluk jahanam
itu? Benar dia orang yang juga datang dari negeri asalmu? Mengapa aku lihat ada
ular. Aku punya dugaan dia bukan manusia biasa. Tapi makhluk alam roh.”
“Dewi
Ular…” Ucap Wiro berkata dalam hati. “Aneh, bagaimana perempuan jahat yang
sudah mati ini bisa muncul di Bhumi Mataram. Lebih aneh lagi mengapa dia
tahu-tahu bergabung dengan orang bernama Sinuhun dan Swara Pancala. Pasti tadi
dia yang menyemburkan asap beracun ke dalam liang batu…”
Karena
tidak mendapat jawaban Ratu Randang kembali bertanya. “Wiro, kau kenal
perempuan bermahkota yang perutnya ditancapi ular itu?”
Wiro
mengangguk perlahan.
“Kau
benar Ratu. Manusia satu ini sebenarnya sudah mati beberapa waktu lalu. Aku
yang membunuhnya bersama seorang sahabat di sebuah jurang batu pualam. Ilmunya
tinggi, secantik bidadari tapi hatinya lebih jahat dari iblis. Namanya Kunti
Ambiri. Di negeri asalku ketika masih hidup dia lebih dikenal dengan panggilan
Dewi Ular. Tadinya aku agak pangling karena biasanya dia memakai mahkota
terbuat dari emas berbentuk kepala ular. Sekarang diganti dengan mahkota
perak…” (Riwayat asal muasal Dewi Ular bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng
berjudul “Dewi Ular” sedang kematian Dewi Ular diceritakan dalam serial
berjudul “Bayi Titisan”).
“Kau
menyebut mahkota emas! Wiro ketahuilah…”
Ratu
Randang yang hendak memberi tahu kelemahan makhluk dua nyawa kembar tidak
sempat menyelesaikan ucapan karena tiba-tiba di depan sana ular besar yang
bergelung di pinggang Dewi Ular melesat ke depan, mendesis keras, menyambar
satu jengkal di depan Ratu Randang, membuat perempuan ini terpekik lalu
melompat mundur.
“Ratu,
tenang saja. Jangan membalas. Perempuan iblis itu hanya menakut-nakuti. Mungkin
sekedar menjajagi ilmu kepandaianmu…”
“Aku
yakin Sinuhun Penghisap Arwah telah menghisap arwahnya hingga dia bisa datang
ke sini. Pasti Sinuhun sudah menguasai pula dirinya. Tapi mengapa tidak ada
delapan benjolan di keningnya seperti yang terjadi dengan gurumu. Perempuan
bermahkota ini menjadi lebih berbahaya karena dia datang membekal dendam
kesumat pembunuhan yang kau lakukan atas dirinya. Kau harus berhati-hati…”
“Ratu,
tiga orang ini mengincar kita berdua. Kau pergi cepat dari sini. Aku titipkan
batu putih segi tiga…”
“Kalau
kau sudah berkata memilih mati berdua, aku juga akan melakukan hal yang sama!”
Jawab Ratu Randang.
“Dua
manusia salah kaprah! Apa berlama-lama di liang batu masih belum puas? Masih
bercumbu berbisik-bisik di hadapan kami?! Sungguh menjijikkan! Luar biasa
memalukan!” Tiba-tiba si cantik berbaju sutera hijau keluarkan seruan. Suaranya
menggema keras dalam kegelapan malam. Menghadang alur hembusan angin di antara
tiga candi besar.
Ratu
Randang dongakkan kepala lalu tertawa panjang. Suara tawanya tidak kalah
dahsyat dengan seruan Dewi Ular tadi.
“Disedot
dari alam roh! Kesasar di Bhumi Mataram. Aku khawatir kau tidak tahu jalan
pulang! Padahal bangkai busukmu tidak diterima tanah negeri ini! Mengapa berani
bicara sombong? Mengandalkan dua orang yang mendampingi dirimu? Hik… hik… hik!”
“Berujud
cantik padahal sudah nenek tua bangka! Perempuan tidak tahu diri. Pengkhianat
busuk bermata juling! Berlutut di hadapan kami! Minta ampun pada Sinuhun. Maka
selembar nyawamu akan diampuni!”
Mendengar
ucapan Dewi Ular, Ratu Randang kembali tertawa panjang.
“Perempuan
iblis roh busuk! Hik… hik! Kau menyuruh aku berlutut di hadapan Sinuhun?! Kau
tidak tahu, aku sudah terlalu sering berlutut di hadapan Sinuhun! Yaitu pada
saat kami bercinta! Hik… hik… hik! Walau penampilanmu seperti bidadari apa kau
kira Sinuhun akan mengambilmu menjadi kekasih? Bagaimana mungkin bercinta
dengan roh seorang iblis perempuan yang perut dan kemaluannya tersumpal ular
jejadian? Hik… hik… hik!”
Pendekar
212 Wiro Sableng ikut-ikutan tertawa bergelak mendengar kata-kata Ratu Randang.
Mulut dipencongpencong dan mata dijereng-jerengkan
Marahlah
Dewi Ular. Ular hitam besar di pinggangnya mendesis keras. Tiba-tiba dari
sepasang mata, dua lobang hidung, dua liang telinga serta mulut, pusar, dubur
dan aurat terlarangnya mencuat keluar sepuluh ular merah belang hitam.
Didahului suara gemerisik sisik tubuh dan desis di mulut sepuluh binatang ini
siap melesat ke arah Ratu Randang.
“Ilmu
Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi!” Ucap Wiro yang mengenali serangan yang
hendak dilancarkan Dewi Ular. Serta merta dia kembangkan telapak tangan dan
meniup perlahan. Saat itu juga di telapak tangan sang pendekar muncul gambar
kepala harimau putih bermata hijau. Pukulan Harimau Dewa! Itulah pukulan sakti
pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh!
Sementara
itu Ratu Randang alirkan tenaga dalam penuh ke tangan kanan hingga tangannya
mulai dari ujung jari sampai ke siku berubah menjadi merah.
Sinuhun
Muda Ghama Karadipa tidak tahu ilmu pukulan sakti apa yang hendak dilepaskan
pemuda berambut gondrong di hadapannya. Namun melihat perubahan tangan Ratu
Randang dia menimbang-nimbang lalu cepat melangkah ke depan sambil membentak.
“Tunggu!
Aku mau bicara dulu!”
Suara
Sinuhun Muda Ghama Karadipa luar biasa keras. Udara bergaung, tanah basah
bergetar. Genangan air merah busuk bermuncratan. Sepasang matanya memandang
berapi-api ke arah Ratu Randang. Delapan benjolan merah memancar cahaya terang.
Melihat
keadaan dan sikap Sinuhun Muda, murid Sinto Gendeng segera maklum bahwa sumber
kekuatan orang ini terletak pada delapan benjolan di kening. Namun di mana
letak kelemahannya? Sayang Ratu Randang masih belum sempat memberi tahu.
“Perempuan
jahanam! Aku masih mau melupakan kau sebagai seorang pengkhianat. Nyawamu
kuampuni. Dengan satu syarat! Pemuda berambut gondrong bernama Wiro Sableng ini
harus menyerahkan batu segi tiga putih berikut nyawanya padaku!”
Sebagai
jawaban Ratu Randang sunggingkan tawa mengejek.
“Batu dan
nyawa bukan milikku. Tapi milik pemuda dari alam delapan ratus tahun mendatang.
Jika kau merasa mampu mengapa tidak melakukan sendiri? Merampas batu dan
merampas nyawanya?! Hik… hik! Kita memang beberapa kali bercinta! Tapi yang
kuberikan padamu bukan tubuhku! Melainkan tubuh bangkai anjing! Hik… hik… hik!”
Tampang
Sinuhun Muda merah membesi! Gemuruh amarah seperti hendak meledakkan tubuhnya!
“Kurang
ajar! Dewi Ular! Bunuh kedua orang ini!” Teriak Sinuhun Muda.
**********************
12
RATU
Randang tudingkan telunjuk tangan kiri tepattepat ke arah Sinuhun Muda.
“Sungguh memalukan! Ternyata kau tidak punya nyali menghadapi Ksatria
Panggilan! Kau bersembunyi di balik ketiak perempuan iblis itu! Apakah kau
sudah pernah bercinta dan tidur dengan dia? Apakah enak gigitan ularnya? Hik…
hik… hik!”
“Apakah
ularmu tidak dipatuk ularnya?! Ha… ha… ha!” Wiro ikut menimpali.
Sinuhun Muda
berteriak marah. Dewi ular menggembor keras. Sepuluh ular merah belang hitam
yang meliuk-liuk di sekujur tubuhnya mendesis panjang dan menggeliat. Lidah di
dalam mulut pancarkan cahaya kebiru-biruan.
“Keparat
jahanam! Kau akan menjadi budakku di dunia dan alam roh!”
Delapan
larik sinar merah menyembur keluar dari delapan benjolan di kening Sinuhun
Muda. Yang diarah adalah kening Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika serangan itu
mengenai sasaran maka seperti apa yang terjadi dengan Sinto Gendeng, Wiro akan
jatuh ke dalam kekuasaan dan kendali Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah!
Saat
itulah Ratu Randang dengan tiba-tiba memeluk tubuh Pendekar 212 sambil
berteriak.
“Wiro!
Cepat balas memeluk tubuhku!”
Meskipun
terkejut namun Wiro melakukan apa yang dikatakan Ratu Randang. Begitu keduanya
saling berpelukan maka di tanah basah di bawah kaki mereka berpijar sinar
putih.
Reettt!
Sinar
putih menjalar ke atas.
“Dia
menggunakan Ilmu Insan Berjalan Tanpa Bayangan! Aku benar-benar menyesal
memberikan ilmu itu pada perempuan keparat itu!” Teriak Sinuhun Muda. Lalu
hantamkan tangan kanannya sementara dari delapan benjolan di kening masih terus
melesat delapan sinar merah. Dua serangan ini diarahkan pada Ratu Randang dan
Wiro yang saling berpelukan.
Di
sebelah Sinuhun Muda sepuluh ular telah melesat laksana anak panah lepas dari
busurnya. Namun terlambat! Sosok Wiro dan Ratu Randang telah terlebih dulu
lenyap dari pemandangan bersama sirnanya pijaran sinar putih.
Malah
saat itu ada sambaran cahaya putih kehijauan. Dewi Ular menjerit. Sinuhun Muda
berteriak marah. Sepuluh ular merah yang keluar menyerang dari tubuh Dewi Ular
terpental di udara, jatuh di tanah basah dalam keadaan hancur berkeping-keping.
Dewi Ular terjajar ke belakang, nyaris jatuh ke tanah kalau tidak lekas ditolong
Swara Pancala. Wajahnya yang cantik tampak pucat. Mahkota perak di atas kepala
miring ke kiri.
Sinuhun
Muda perhatikan lima jari tangan lalu meraba kening yang ada benjolan. Dalam
hati dia membatin, “Luar biasa! Pemuda jahanam itu tidak bisa dipandang sebelah
mata. Sebelum lenyap bersama perempuan celaka itu agaknya dia masih sempat
melepas serangan balasan! Untung delapan sinar merah masih bisa meredam. Kalau
tidak bisa-bisa aku sudah celaka…”
Sinuhun
Merah berpaling pada Dewi Ular. Lalu berkata. “Ternyata kau tidak punya
kemampuan apa-apa. Ilmu kesaktianmu tidak sanggup membunuh pemuda itu. Apakah aku
masih memerlukan dirimu?!”
“Jangan
memandang rendah diriku. Kalau aku tidak menyerang dengan sepuluh ular
jejadian, saat ini tubuh Sinuhun Muda mungkin sudah tercabik-cabik.”
“Dewi
Ular, aku rasa aku tidak memerlukan dirimu lagi. Kau makhluk tidak berguna.
Cepat menyingkir dari hadapanku!”
Mendengar
ucapan orang Dewi Ular alias Kunti Ambiri ganda menyeringai. Mulut kemudian
berucap, “Yang menghisap arwahku dan mendatangkan diriku ke Bhumi Mataram ini
adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah walau pertama kali dia merasa ragu
melakukan. Dia yang membutuhkan diriku! Sekarang terserah Sinuhun Muda. Kalau
Sinuhun Muda merasa tidak memerlukan diriku lagi, aku akan pergi ke mana aku
suka! Tapi jangan menyesal kalau kelak aku akan bergabung dengan orang-orang
kerajaan. Harap Sinuhun Muda mau memberi tahu hal itu pada Sinuhun Merah…”
“Swara
Pancala! Antarkan Dewi Ular ke gua di balik air terjun! Kalian berdua tunggu
aku di sana. Awasi perempuan ini!”
“Aku
tidak perlu pengawalan. Aku tidak berhasrat pergi ke gua di balik air terjun!
Aku akan pergi ke mana aku suka!”
“Perempuan
keparat! Kau mencari celaka berani menentangku!” Sinuhun Muda berteriak marah.
Kaki kanannya dibantingkan ke tanah. Tanah bergetar. Genangan air merah busuk
muncrat ke udara. Dewi Ular merasa ada hawa aneh memasuki tubuhnya. Sebelum dia
menyadari bahaya dan melakukan sesuatu tiba-tiba sekujur tubuhnya berubah kaku
tak bisa digerakkan lagi. Bahkan ular hitam kepala putih yang bergelung di
pinggangnya ikut diam membatu!
“Swara
Pancala! Bawa perempuan itu ke gua di balik air terjun. Setelah itu kau cepat
menyusul aku ke Bukit Batu Hangus sebelum fajar menyingsing! Aku akan berusaha
menghambat Ratu Randang dan pemuda gondrong itu menemui Raja Mataram dengan
Ilmu Tabir Langit Turun Ke Bumi. Aku juga akan menerapkan Di Bumi Ada Enam
Kesesatan, Di Langit Ada Tujuh Kesesalan, Dalam Air Ada Delapan Kesesatan. Kita
terpaksa melaksanakan rencana cadangan. Raja Mataram harus menemui ajal sebelum
Ksatria Panggilan lebih dulu menemuinya!”
Tidak
tunggu lebih lama lagi Swara Pancala segera panggul tubuh Dewi Ular lalu
berkelebat ke arah selatan. Dalam berlari secapat angin berhembus, dada lelaki
ini berdebar keras. Sejak istrinya tewas beberapa tahun silam baru kali ini dia
bersentuhan dengan tubuh molek seorang perempuan berwajah cantik penuh pesona.
*************************
Di dalam
gua di balik air terjun di tempat mana Sinuhun Muda pernah bercinta dengan Ratu
Randang, Swara Pancala membaringkan Dewi Ular di lantai batu. Pakaian mereka
basah sewaktu melewati air terjun. Setelah membaringkan Dewi Ular, Swara
Pancala cepat-cepat berbalik hendak meninggalkan gua.
“Swara,
kita belum lama bersahabat Tapi aku tahu kau orang baik. Kau mau pergi ke
mana?”
“Aku
harus segera menuju Bukit Batu Hangus!” Jawab Swara Pancala.
“Kau tega
meninggalkan aku seorang diri dalam keadaan tubuh tak berdaya seperti ini?”
“Aku
hanya menjalankan perintah Sinuhun Muda.”
“Tapi
saat ini Sinuhun Muda tidak ada di sini. Jika kau mau berbaik hati menolong
diriku, aku tidak akan melupakan budimu. Apapun yang kau minta sebagai imbalan
akan aku berikan…”
Dewi Ular
layangkan senyum mesra sambil sepasang mata menatap mesra.
“Jangan
memikatku! Aku harus pergi!”
Dewi Ular
tertawa lepas. Barisan giginya tampak rata putih dan lidahnya kelihatan merah
basah.
“Swara
Pancala. Jangan berburuk kira. Aku tidak berusaha memikatmu. Persahabatan dan
kebaikan itulah yang lebih utama. Kau telah melihat apa yang dilakukan Sinuhun
Muda terhadap diriku. Aku khawatir hal yang serupa akan terjadi atas dirimu di
kemudian hari. Kau memberikan seluruh pengabdian dan kepatuhan pada Sinuhun
Muda. Apakah kau benar-benar bisa mempercayainya? Saat ini dia memerlukan
bantuanmu karena ada urusan besar. Kalau urusan sudah selesai dan kau tidak
diperlukan lagi mungkin saja kau akan dilempar ke comberan, itu yang paling
baik. Karena tidak mustahil Sinuhun Muda akan membantaimu!”
“Aku
lebih percaya pada Sinuhun Muda daripada mendengar ucapanmu!”
“Swara
Pancala. Ketahuilah, penyesalan selalu datang belakangan.”
“Aku
tidak akan pernah menyesal mengabdi pada Sinuhun Muda dan Sinuhun Merah. Sekian
belas tahun mengabdi kepada pada raja dan kerajaan Mataram sebenarnya aku hanya
menunggu kesempatan. Raja Mataram Rakai Kayuwangi bertanggung jawab atas
kematian dua orang tua, istri dan saudara-saudaraku. Mereka dibantai tanpa
kemanusiaan sewaktu terjadi huru-hara besar penumpasan kaum pemberontak. Itu
pula yang terjadi dengan Sinuhun Muda!”
“Ah,
kalian berdua menanggung beban dendam luar biasa rupanya! Swara, saat ini kau
telah melakukan hal yang terbaik. Kau hanya menunggu kesempatan membalas dendam
pada Raja Mataram. Aku yakin kau akan berhasil membalaskan sakit hati dendam
kesumat. Untuk itu aku akan berdoa bagi keberhasilanmu. Jika kau memang mau
pergi aku tidak bisa melarang. Kau melihat ketidakadilan yang terjadi atas
diriku. Aku tahu hatimu memelas namun karena kesetiaan pada sinuhun kau tidak
bergeming. Seandainya diriku ini adik perempuanmu atau kekasihmu, apa kau akan
tetap tidak perduli? Aku hanya minta satu hal…”
“Apa?”
tanya Swara Pancala yang mulai terpengaruh.
“Kalau
aku harus mati di dalam gua ini, aku tidak ingin diriku mengenakan mahkota di
kepala dan pakaian di badan. Aku mohon, tanggalkan mahkota dan seluruh
pakaianku. Dengan cara itu kelak aku akan lebih cepat kembali ke alam rohku di
masa delapan ratus tahun mendatang…”
Swara
Pancala tidak bergerak. Menjawabpun tidak.
“Mengapa
kau hanya berdiam diri? Kau tidak mau menolongku? Apa yang aku minta tidak
sulit untuk kau lakukan. Aku akan sangat berterima kasih…”
“Aku
tidak yakin kau akan mati di tempat ini. Sinuhun Muda akan datang menemuimu
begitu urusan di Bukit Batu Hangus selesai.”
“Bagaimana
kalau Sinuhun Muda menemui ajal di bukit itu? Kau mau datang ke sini untuk
membebaskan diriku?”
“Aku
tidak berjanji.”
“Kau tak
perlu berjanji. Hanya kuminta melakukan satu pekerjaan mudah. Tolong tanggalkan
mahkota dan pakaianku.”
Swara
Pancala terdiam, berpikir-pikir.
“Aku tahu
kau akan memenuhi permintaanku. Karena kau orang baik…”
Swara
Pencala tatap wajah Dewi Ular yang tersenyum padanya dengan mata setengah
terpejam. Perlahan-lahan lelaki ini akhirnya membungkuk, berlutut di lantai
batu lalu menanggalkan mahkota perak di atas kepala Dewi Ular. Ketika Swara
Pancala hendak menanggalkan pakaian Dewi Ular, lelaki ini agak tertegun. Namun
akhirnya hal itu dilakukannya juga.
“Swara,
aku merasa sangat kedinginan. Sebelum kau pergi maukah kau memeluk tubuhku
barang sebentar agar aku merasakan kehangatan…”
Sejak
tadi sebenarnya Swara Pancala tidak sanggup lagi menahan gejolak darahnya yang
mengalir cepat dan panas. Jantung berdegup kencang, nafas menyengat terbendung
gelora nafsu yang membara.
Tidak
berpikir lebih lama lagi lelaki ini jatuhkan diri di samping Dewi Ular lalu
memeluk tubuh perempuan yang putih elok dan yang tidak lagi tertutup selembar
benangpun!
Kemudian
Swara mendengar bisikan itu. “Swara, tidakkah kau ingin menanggalkan pula
pakaianmu?”
“Dewi,
jika semua urusan gila di Bhumi Mataram ini selesai, apakah kau mau menjadi
istriku?”
Sepasang
mata Dewi Ular berbinar, bibir bergetar merenggang. Lidah merah basah
dijulurkan lalu senyum dikulum. Dada yang putih besar bergerak mengikuti
tarikan nafas bahagia.
“Swara,
kau mungkin tidak percaya. Itulah yang aku harapkan ketika pertama kali aku
melihat wajahmu. Apa yang barusan kau ucapkan adalah kata-kata paling indah
yang pernah aku dengar. Kalau saja aku mampu menggerakkan kedua tangan dan
kakiku, pasti saat ini tubuhmu sudah aku rangkul dan tidak akan aku lepaskan…”
“Aku bisa
membuyarkan ilmu sinuhun yang membuatmu kaku tidak bisa bergerak…”
“Swara,
aku bersumpah untuk menyerahkan diri dan jiwaku untukmu seorang.”
“Sumpahmu
adalah sumpahku juga!” Sahut Swara Pancala.
Lalu
dengan cepat seperti yang diminta Dewi Ular dia melepas pakaian yang melekat di
tubuhnya.
**********************
13
DINI hari
di Bukit Batu Hangus. Ratusan orang berhamparan di lereng bukit dalam keadaan
menyedihkan. Tidak terlindung dari hawa dingin, tubuh masih diserang demam
panas dan kaki masih dalam keadaan lumpuh. Sejak persediaan air di bukit mulai
berkurang, keadaan ratusan orang itu semakin tambah sengsara.
Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala duduk di atas sebuah batu besar
memperhatikan Ni Gatri yang tengah memberi minum Rauh Kalidathi, nenek yang
telah menyelamatkannya dari Ludra Bhawana, anak buah Sinuhun Merah Penghisap
Arwah yang hendak menculik dan membunuhnya. Setelah memberi minum si nenek anak
perempuan ini berkeliling menolong orang-orang lainnya. Kebanyakan orang yang
ada di atas bukit termasuk keluarga raja berada dalam keadaan lemah, tergolek
tertidur dalam haus dan lapar serta diserang penyakit panas dan lumpuh. Jika
sampai besok siang orang-orang itu tidak juga mendapat pertolongan, lepas dari
penderitaan yang mengerikan itu, sudah dapat diduga apa yang akan terjadi. Satu
persatu mereka akan menemui ajal!
Ketika
Raja Mataram hendak memanjatkan doa mohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa
tiba-tiba di kejauhan di kaki bukit terdengar suara kuda meringkik.
Sri
Maharaja Rakai Kayuwangi buka sepasang matanya yang baru saja terpejam. Memandang
ke kaki bukit lalu menoleh ke jurusan Ni Gatri yang saat itu dilihatnya berdiri
tertegun.
“Suara
kuda meringkik. Masih adakah hewan peliharaan yang hidup di Bhumi Mataram?
Mungkin ada seseorang dari jauh datang ke sini dengan menunggang kuda? Mudah-mudahan
Ksatria Panggilan. Tapi menunggang kuda?” Raja Mataram berkata dalam hati yang
penuh harapan namun juga ada perasaan khawatir.
Akan
halnya Ni Gatri, ketika mendengar suara kuda meringkik, anak perempuan ini
langsung ingat pada kuda lumpingnya.
“Kuda
lumpingku, apakah kau yang meringkik. Kau berada di mana? Datanglah ke sini…”
Raja
Mataram bangkit berdiri, turun dari atas batu lalu mendekati Ni Gatri.
“Anak
perempuan, kau barusan bicara dengan siapa?”
“Gusti
Yang Mulia, saya barusan mendengar suara kuda meringkik. Saya mengharap itu
adalah ringkikan kuda lumping. Mungkin saya terlalu berharap dan mengada-ada.
Kuda- kudaan dari bambu itu mana bisa mengeluarkan suara meringkik. Lagi pula
kuda lumping saya tidak tahu berada di mana sekarang. Terakhir sekali masih
ditunggangi nenek bernama Sinto Gendeng…”
“Nenek
itu lenyap tidak diketahui di mana rimbanya. Pendekar panggilan bernama Wiro
Sableng seharusnya sudah menemuiku. Kau beruntung dalam keadaan selamat sampai
di bukit ini…”
Baru saja
Raja Mataram Rakai Kayuwangi berucap tibatiba di kejauhan terdengar suara
anjing meraung, panjang berhiba-hiba. Suara raungan ini ditimpali oleh suara
anjing lain yang terdengar lebih kecil dan pendek.
Raja
mengusap kumis dan janggutnya yang meranggas.
“Tadi
ringkikan kuda, sekarang raungan anjing. Apa artinya semua ini…?” Pikir Raja
Mataram. Lalu dia berkata pada Ni Gatri. “Kau pergilah ke atas. Tolong jaga
anakanakku, juga perhatikan orang-orang tua yang sakit…”
Ni Gatri
membungkuk. Namun sebelum anak perempuan ini sempat beranjak tiba-tiba di kaki
bukit ada kilauan cahaya merah. Di lain kejap satu sosok berpakaian dan berikat
kepala putih berkelebat muncul berdiri di hadapan Raja Mataram. Ternyata dia
adalah sosok Pendekar 212 Wiro Sableng. Sang pendekar membungkuk hormat seraya
berkata.
“Yang
Mulia Sri Maharaja Mataram, maafkan kalau kedatangan saya yang agak terlambat
kurang berkenan di hati Yang Mulia. Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Wiro
Sableng dari alam delapan ratus tahun mendatang menghatur hormat dan siap
melaksanakan perintah Yang Mulia.”
Wiro
berpaling pada Ni Gatri, kedipkan mata dan berkata. “Aku senang kau berada
dalam keadaan selamat.”
Sri
Maharaja Mataram merasa gembira mengetahui kalau pemuda yang berdiri di
depannya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, sang Ksatria Panggilan. Dia tidak
menyangka kalau sang pendekar begitu sopan sikap dan tutur katanya. Sebelumnya
dia mendengar kalau Ksatria Panggilan walau berilmu tinggi adalah seorang
pendekar urakan dan konyol kalau tidak mau dikatakan kurang ajar!
“Pendekar,
aku berterima kasih padamu dan bersyukur pada Para Dewa kau telah hadir di
Bhumi Mataram. Seharusnya ada yang mengantarmu ke sini…” Lalu dalam hati Raja
Mataram berkata. “Kumara Gandamayana baru saja pergi dari sini sehabis
mengantar aku dan Ni Gatri. Seharusnya pendekar ini datang diantar Swara
Pancala. Di mana beradanya orang kepercayaanku itu. Aku khawatir dia mengalami
nasib buruk seperti Ageng Daksa…”
Raden
Ageng Daksa adalah orang kepercayaan Raja Mataram yang mati dibunuh dan sampai
saat itu belum diketahui siapa pembunuhnya.
“Yang
Mulia, tidak sulit mencari Bukit Batu Hangus ini. Nama dan letaknya tidak
berubah dari delapan ratus tahun silam. Selain itu saya tidak mau merepotkan
orang lain untuk mengantar segala.”
Pendekar
212 memandang berkeliling dan tarik nafas tercekat ketika melihat puluhan orang
yang bergelimpangan di sekitarnya. Memandang ke bagian atas bukit dia melihat
lebih banyak lagi orang yang sengsara.
“Yang
Mulia, jika ada sesuatu yang harus saya lakukan, maka kita harus bertindak
cepat.”
Sementara
Pendeker 212 bicara dengan Raja Mataram, Ni Gatri terus-menerus memandangi sang
pendekar. Dipandangi begitu rupa Wiro kedipkan mata.
“Ni
Gatri, kau memperhatikan aku terus dari tadi. Pasti kau kangen dengan kakakmu
ini.”
Ni Gatri
tersenyum.
“Gatri
gembira bertemu Kakak lagi. Hanya saja kuda lumping Gatri lenyap entah ke
mana…”
“Tidak
usah khawatir, nanti kita cari sama-sama. Pasti bertemu,” kata Wiro pula.
Ni Gatri
dekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar. Diam-diam anak ini menghirup udara
dalam-dalam. Hidungnya diarahkan ke tubuh Wiro.
“Kakak,
aku tak mau berpisah lagi denganmu,” kata Ni Gatri yang dijawab oleh Pendekar
212 dengan mengusap kepala anak perempuan itu.
Ni Gatri
kembali berdiri di samping Raja Mataram.
“Ksatria
Panggilan, apa yang kau katakan benar sekali. Kita harus bertindak cepat.
Sebelum kuajak menemui beberapa tokoh yang ada di bukit ini untuk merundingkan
hal apa saja yang harus kita laksanakan dan dahulukan, aku ingin bertanya
apakah kau membawa sebuah benda titipan yang membuktikan jati dirimu memang
sebenarnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng dari negeri delapan ratus tahun
mendatang.”
“Tentu
saja Yang Mulia. Saya memang membawanya. Bukankah batu itu berasal dari Yang
Mulia juga, dititipkan pada makhluk yang memperkenalkan diri sebagai Mayat Aneh
Keempat…”
“Bersyukur
pada Yang Maha Kuasa, semuanya berjalan lancar.” Ucap Raja Mataram yang gembira
mendengar kata-kata Wiro tadi yang menyatakan bahwa si pemuda berambut gondrong
itu memang benar adalah Ksatria Panggilan yang diharapkan mampu menyelamatkan
kerajaan.
Tiba-tiba
di samping Raja Ni Gatri batuk-batuk berulang kali sampai tubuhnya
terbungkuk-bungkuk dan wajah tampak merah.
“Ni Gatri
kau pergilah ke atas bukit. Temui dan lihat anak-anakku…”
Ni Gatri
mengangguk. Sambil batuk-batuk dia melangkah menuju ke bukit sebelah atas.
Sewaktu berada di samping Raja Mataram tubuh anak ini mendadak tampak limbung.
Sebelum jatuh Raja Mataram cepat memegangnya. Pada saat itulah anak perempuan
ini berbisik pada sang raja.
“Gusti
Yang Mulia, orang itu bukan kakak saya. Dia bukan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lekas menjauh!”
Walau
terkejut namun Raja Mataram Rakai Kayuwangi bisa bersikap tenang dan wajahnya
pun tidak berubah. Dia mengusap kepala anak perempuan itu dan menyuruh naik ke
bagian atas bukit. Namun Ni Gatri tidak mau beranjak dari tempatnya.
Ketika
Raja berpaling pada Pendekar 212, sang pendekar saat itu telah mengeluarkan
sebuah benda berwana putih yang bukan lain adalah batu pipih berbentuk segi
tiga. Pada masing-masing sudut batu terdapat guratan angka berwarna biru: 212.
Raja Mataram ingat apa yang tadi dibisikkan Ni Gatri. Dalam hati sang Raja
berkata. “Apa ada yang tidak beres? Pemuda ini membawa batu titipanku. Berarti
dia memang… Tapi mengapa anak perempuan itu tadi berkata…”
Di
hadapan Raja, Pendekar 212 berdiri membungkukkan badan dan mengulurkan batu
pipih putih berbentuk segi tiga.
“Yang
Mulia, batu titipan saya kembalikan. Harap Yang Mulia sudi memeriksa
keasliannya.”
“Aku
melihat tidak ada kelainan pada batu itu,” jawab Sri Maharaja Mataram lalu
mengulurkan tangan untuk mengambil batu segi tiga yang hendak diserahkan.
Pada saat
itulah mendadak terdengar suara dua ekor anjing menyalak. Lalu ada suara orang
berteriak. Suara perempuan.
“Yang
Mulia! Jangan sentuh batu putih! Lekas lari menjauh!”
Dalam
keterkejutannya Raja Mataram sempat terkesiap tak bergerak. Lalu tanpa melihat
ujud dia merasakan ada empat buah kaki secara aneh mendorong tubuhnya hingga
dia jatuh terjengkang dan terguling-guling ke lereng bukit sebelah kiri.
Di saat
yang sama Ni Gatri merasa ada sesuatu menggigit bagian bawah bajunya lalu
tubuhnya ditarik hingga terseret cukup jauh.
**********************
14
HANYA
sekejapan saja setelah sosok Raja Mataram jatuh tertelentang di batu bukit dan
tubuh Ni Gatri terseret jauh, tiba-tiba batu putih segi tiga di tangan Pendekar
212 Wiro Sableng memancarkan cahaya terang lalu menyemburkan delapan larik
sinar merah menyala!
Kedelapan
sinar merah menyambar ke arah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Namun saat itu
sosok Raja Mataram telah lebih dulu terhempas jatuh ke atas batu bukit. Bukan
saja sang Raja selamat akibat dorongan empat kaki aneh tetapi juga karena
sekaligus serangan delapan larik sinar merah yang ganas mematikan terhalang
oleh sosok tubuh aneh berkaki empat tadi. Ketika sosok aneh ini ujudnya
menampakkan diri, ternyata dia adalah seekor anjing betina besar mengenakan
kalung emas tebal di leher! Sekujur kulit tubuhnya nyaris mengelupas dan
mengepulkan asap akibat hantaman delapan sinar merah. Di sela mulut kelihatan
ada lelehan darah. Anjing betina ini meraung panjang lalu melompat di samping
tubuh Raja Mataram, seolah bertindak untuk melindungi.
Raja
Mataram memandang tak berkesip. Dia merasa mengenali anjing betina ini.
“Sri
Padmi Kameswari. Apakah ini kau…”
Anjing
betina menggereng perlahan, berbalik dengan cepat, menatap galak ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu tampak sangat pucat wajahnya dan tegak
terhuyung-huyung.
Di bagian
lain Ni Gatri terpekik ketika melihat ada seekor anak anjing menarik-narik
bagian bawah pakaiannya. Menyeret dirinya hingga menjauh ke tempat yang aman.
Tiba-tiba,
dess… dess!
Sosok
Pendekar 212 Wiro Sableng mengepulkan asap merah lalu lenyap. Di tempat sang
pendekar berdiri kini kelihatan ujud Sinuhun Muda Ghama Karadipa, berpakaian
dan berikat kepala hijau. Tampangnya tampak merah membatu. Kumis, janggut dan
berewok tipis hitam yang membungkus wajahnya berjingkrak meranggas. Sepasang
mata laksana berubah menjadi bara api.
“Binatang
itu membuka rahasia diriku! Jahanam, ilmu apa yang dimilikinya?!” Sinuhun Muda
merutuk dalam hati. Lalu dia berteriak dahsyat, “Anjing keparat! Aku tahu siapa
kau! Sudah saatnya kau aku tenggelamkan ke dalam neraka alam roh lapis ke
tujuh!”
Tubuh
Sinuhun Muda bergerak ke udara lalu melesat ke arah anjing betina yang ada di
samping Raja Mataram. Tangan kiri kanan di pentang lurus ke depan. Telapak
dikembangkan memancar sinar merah. Saat itulah terlihat kalau setiap tangannya
telah berubah, kini hanya memiliki empat buah jari, tanpa jari tengah!
Pukulan
Delapan Sukma Merah!
Selama
ini tidak ada satu manusia atau makhluk alam rohpun yang sanggup menghadapi
pukulan dahsyat ini!
Tapi
anjing betina yang hendak dibantai sedikitpun tidak bergeming, malah kepala
didongak dan mulut keluarkan raungan panjang seolah menyambut senang serangan
orang!
Tiba-tiba
di langit sebelah timur Bukit Batu Hangus berkiblat cahaya kuning bersemu
merah. Cahaya itu kelihatan hanya sebentar lalu lenyap! Lalu terdengar suara
mencicit aneh riuh sekali. Kemudian ada suara lain. Suara anak lelaki kecil!
Suara itu
mengiang begitu rupa dan hanya terdengar oleh Sinuhun Muda dan Raja Mataram
Rakai Kayuwangi.
“Sinuhun!
Buka mata besar-besar! Jangan kemarahan membutakan penglihatan. Perhatikan apa
yang ada di leher anjing betina itu!”
Sinuhun
Merah tersentak kaget. Gerakannya melesat segera dihentikan. Dia terjungkir
balik satu kali. Melayang turun ke atas bukit batu. Begitu berdiri sepasang
mata langsung memperhatikan leher anjing betina yang barusan hendak diserangnya
dengan pukulan maut! Kagetnya sang Sinuhun bukan alang kepalang!
“Kalung
emas!” ucap Sinuhun Muda dengan suara bergetar. Tengkuk terasa dingin! “Kalau
saja Ksatria Junjungan tidak muncul dan mengingatkan diriku, walau anjing itu
bisa aku bunuh tapi saat ini tubuhku mungkin sudah hancur berkeping-keping!”
Seperti
diketahui dan dikatakan sendiri oleh Sinuhun Muda pada Ratu Randang saat mereka
bercinta di gua di balik air terjun, dia memiliki pantangan yaitu tidak boleh
tersentuh emas. Kalau hal itu sampai terjadi maka tubuhnya seperti meledak akan
hancur berantakan tak karuan rupa!
“Binatang
jahanam! Aku akan kembali! Kau dan raja keparat itu tidak akan bisa lolos dari
tanganku!”
Sinuhun
Muda hanya bisa keluarkan caci maki dan ancaman. Lalu tidak menunggu lebih lama
dia segera melesat pergi meninggalkan Bukit Batu Hangus.
Namun tak
jauh dari situ sekonyong-konyong ada suara perempuan berseru.
“Sinuhun
Muda! Malam masih panjang. Mengapa pergi terburu-buru. Aku harap kau senang
menyaksikan tontonan bagus ini!”
Sinuhun
Muda mengenali suara perempuan itu. Dengan cepat dia hentikan lari lalu
berkelebat ke balik sebuah gundukan batu. Dari lereng Bukit Batu Hangus sebelah
timur tiba-tiba, wutt! Ada orang melemparkan sebuah benda menyerupai sosok
manusia ke udara. Lalu, braakkk! Benda itu jatuh tergeletak di atas sebuah batu
besar. Ketika Sinuhun Merah memperhatikan, berubahlah wajahnya. Kagetnya bukan
alang kepalang. Keterkejutan yang sama juga terjadi atas diri Raja Mataram
ketika dia mengenali siapa adanya orang yang terkapar di atas batu dalam
keadaan sudah jadi mayat dengan kepala pecah! Sosok laki-laki itu berada dalam
keadaan telanjang bulat. Sekujur tubuh penuh puluhan lubang luka dan
bergelimang darah!
Semua
orang yang ada di Bukit Batu Hangus termasuk para tokoh istana Mataram terkejut
gempar. Raja Mataram sendiri berucap setengah berteriak.
“Swara
Pancala. Hyang Jagat Bathara, mengapa satu lagi orang kepercayaanku harus
menemui ajal!’’
TAMAT
No comments:
Post a Comment