Nyawa Titipan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
Tiba-tiba
satu benda putih melesat di udara. Cakra Mentari yang tengah mengenakan pakaian
dan bersiap-siap tinggalkan tempat itu berteriak kaget. Saat itu juga tubuh
pemuda yang masih bertelanjang bulat itu bergetar hebat oleh satu hawa panas
yang seperti hendak melelehkan tubuhnya mulai dari batok kepala sampai ke
telapak kaki. Luar biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara berucap dari
dalam tubuhnya sendiri! ”Anak manusia bernama Cakra Mentari! Aku menitipkan
nyawaku di dalam tubuhmu!”
*********************
SATU
MALAM
HARI. Gurun pasir Thar di barat laut daratan India di selimuti kegelapan dan
kesunyian. Tak ada rembulan tak tampak bintang. Bahkan tiupan angin gurun yang
biasanya disertai suara menderu saat itu nyaris tak terdengar sama sekali.
Di dalam
sebuah ruang batu hitam terletak di bawah gurun pasir, yang jalan masuk berupa
pintu rahasia dijaga sepuluh Resi berpakaian putih, Resi Ketua Khandawa Abitar
tengah duduk khidmat bersamadi. Ini adalah malam kedua dia melakukan samadi dan
sebegitu jauh, walau ada getaran-getaran halus menjalari sekujur tubuhnya namun
dia belum mampu mendapat hubungan bathin dengan alam gaib, belum juga mendapat
petunjuk dari Para Dewa.
Beberapa
malam sebelumnya Resi Khandawa Abitar bermimpi. Dalam mimpi dia melihat satu
cahaya putih sangat terang menyilaukan mata. Saat cahaya muncul terdengar suara
bergema penuh wibawa.
“Resi
Khandawa Abitar. Bersamadilah. Bersamadilah. Kelak kau akan mendapat petunjuk
untuk satu cara menyelamatkan banyak manusia tidak berdosa di satu negeri yang
jauh dari sini.”
Suara
lenyap, cahaya terang menyilaukan ikut sirna. Kejadian mimpi itu dialami sang
Resi sampai tiga malam berturut-turut.
“Mimpi
adalah salah satu dari sekian banyak jalur petunjuk Para Dewa ….” Sang Resi
membathin dalam merenung arti mimpinya.
Karenanya
sejak malam kemarin dia mulai melakukan samadi dan terus tetap khusuk sampai
malam kedua walau petunjuk belum muncul.
Malam
ketiga. Selewatnya tengah malam, menjelang dinihari, di langit gelap sebelah timur
mendadak terlihat tujuh titik putih bersinar terang, melayang berarak di atas
gurun pasir Thar menuju ke barat laut. Pada saat berada di sekitar lorong batu
tempat kediaman Resi Khandawa Abitar berada, tujuh titik putih menukik ke
bawah. Lenyap masuk ke dalam gurun pasir, menembus bebatuan tebal. Meninggalkan
kabut tipis kelabu memancarkan bau harum kemenyan sejauh ratusan tombak.
Suasana
menjadi terasa angker sewaktu dikejauhan terdengar suara raung puluhan serigala
gurun.
Di dalam
goa tempatnya bersamadi, kelopak mata Resi Khandawa Abitar bergetar
bergerak-gerak. Walau matanya masih terpicing namun ada tujuh cahaya aneh
membuat dia merasa sangat silau. Selain itu hidungnya mencium semerbak bau
kemenyan yang terbakar. Sang Resi merasa tengkuknya dingin.
Seumur
hidup baru kali ini dia mengalami hal seperti ini.
“Dewa
Batara, apakah kau datang memberi petunjuk?” ucap sang Resi dalam hati. Tujuh
cahaya terang semakin menyilaukan.
Membuat
sang Resi gerakkan kepala ke belakang sambil merapal doa. Pada pertengahan doa
cahaya silau menghilang. Di ujung doa cahaya tersebut akhirnya lenyap. Resi
Khandawa Abitar lepas napas lega dan perlahan-lahan buka kedua matanya.
Pandangannya
langsung membentur tujuh manusia katai yang berdiri berjajar didepan tembok
ruangan samadi. Tujuh manusia katai ini mengenakan pakaian selempang kain
putih. Semua memakai sorban putih dengan wajah tertutup kumis, janggut dan
berewok hitam lebat berkilat. Pertanda walau mereka bertubuh kecil tapi usia
mereka rata-rata mungkin di atas delapan puluh tahunan. Yang hebatnya, sorban
di kepala tujuh manusia katai memancarkan cahaya putih sejuk, indah dipandang.
“Dewa
Batara Penuh Kuasa. Bagaimana tujuh manusia katai tak dikenal bisa menyusup
masuk ke dalam ruangan ini?”
membathin
Resi Khandawa Abitar. Ketika lebih diperhatikan baru sang Resi menyadari kalau
tujuh manusia katai itu sama sekali tidak menjejakkan kaki di lantai batu.
Telapak kaki mereka tergantung dan berada seujung kuku di atas batu goa!
Tujuh
manusia katai berselempang kain putih menggerakkan tangan membuka sorban
masing-masing lalu membungkuk dalam memberi penghormatan pada Resi Khandawa
Abitar. Yang diberi penghormatan cepat-cepat bangkit berdiri lalu balas
menghormat dengan membungkuk pula. Tujuh manusia katai kenakan sorban kembali.
Setelah meluruskan tubuh, sambil mengulum senyum Resi Khandawa Abitar menyapa
dengan suara lembut.
“Sahabat
bertujuh. Kalian pastilah orang-orang yang diberkahi Para Dewa hingga bersedia
dan mampu datang ketempatku yang buruk ini. Mohon aku diberitahu kalian ini
siapa, datang dari mana dan ada keperluan apa menemui diriku?”
Manusia
katai disebelah tengah maju dua langkah, malayang satu kuku di atas lantai batu
lalu menjawab. Suaranya halus tapi menimbulkan gema di ruang batu itu. Lalu
bahasa yang diucapkannya adalah aneh, sama sekali tidak dimengerti oleh Resi
Khandawa Abitar.
“Sahabat
yang bicara. Harap dimaafkan. Aku tidak mengerti bahasa yang kau bicarakan.”
Si
manusia katai tadi masih terus bicara nyerocos kalau tidak diberi tanda oleh
teman disamping kanannya dengan sikutan.
Teman
yang mengingatkan ini lalu maju ke depan, yang tadi bicara kembali ke tempat
tegak semula.
“Resi
Yang Mulia, mohon maafmu. Sahabat kita tadi bicara dalam bahasa roh. Biar
sekarang aku yang mewakili.”
Resi
Khandawa Abitar menganggguk-angguk sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangan
dengan telapak terkembang sebagai tanda mempersilahkan manusia katai
dihadapannya meneruskan ucapan.
“Resi
Yang Mulia, kami bertujuh tidak bernama. Datang dari negeri alam gaib, jauh di
atas atap langit ketujuh. Kami datang sebagai utusan Sang Kebenaran ….”
“Dewa
Batara Maha Agung…..” Ucap Resi Khandawa Abitar.
Manusia
katai tadi lanjutkan ucapan. “Kami datang membawa sebuah benda berupa sebilah
pedang sakti mandraguna bernama Pedang Bulan Sabit. Sang Kebenaran meminta kami
untuk menyerahkan pedang ini kepada Resi Yang Mulia.”
Habis
berkata begitu manusia katai ini luruskan dua tangan ke depan, telapak
dikembangkan dan saling dirapatkan. Mulut yang berkumis berkomat-kamit beberapa
kali. Tiba-tiba ada sinar putih yang keluar membayang dari dadanya. Sinar ini
kemudian bergerak ke atas, memecah jadi dua dan meluncur pada lengan kiri
kanan. Begitu sinar mencapai dua telapak tangan yang terbuka, sinar memancar
lebih terang. Didahului suara menyeruapai suara genta bertalu tahu-tahu di atas
dua telapak tangan itu telah tergeletak melintang sebilah pedang.
Senjata
ini panjangnya hanya tiga jengkal. Satu jengkal dalam bentuk gagang terbuat
dari gading gajah dan dua jengkal berupa sarung berkeluk yang juga terbuat dari
gading dihias tebaran batu permata berlian. Gagang dan sarung pedang ditambah
batu-batu berlian memancarkan cahaya putih menakjubkan.
Dengan
gerak perlahan dan penuh khidmat manusia katai menarik gagang dan sarung
pedang. Sesaat kemudian pedang telah keluar dari sarungnya. Pedang dan sarung
diacungkan ke atas. Pedang Bulat Sabit ini bentuknya benar-benar menyerupai
bulan sabit, pendek berkeluk, memancarkan cahaya putih terang indah sekali.
Laksana bulat sabit dilangit lepas memancarkan cahayanya ke bumi.
Setelah
merasa Resi Khandawa Abitar melihat senjata itu dengan seksama, manusia katai
masukkan kembali Pedang Bulan Sabit ke dalam sarung lalu dia melangkah
kehadapan sang Resi.
“Resi
Yang Mulia. Sang Kebenaran meminta agar kami menyerahkan Pedang Bulat Sabit ini
pada Yang Mulia.”
“Sahabat,
bagaimana mungkin. Mana aku berani berlaku lancang menerima senjata bertuah
sakti mandraguna itu.”
“Resi
Yang Mulia, jangan menolak karena ini semua adalah atas kehendak Para Dewa.”
Untuk
beberapa ketika Resi Khandawa Abitar terdiam mendengar ucapan manusia katai
itu. Lalu dia tundukkan kepala dan berkata.
“Kalau
memang ini kehendak Dewa, aku yang rendah mana berani menampik.”
“Resi
Yang Mulia, Sang Kebenaran berpesan. Pedang Bulan Sabit adalah satu-satunya
senjata yang mampu menghancurkan mahluk jahat yang selama ini gentayangan di
satu negeri jauh.
Mahluk
ini telah mencuri sebuah kitab bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa. Menggantikannya
dengan satu kitab jahat dan palsu bernama Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.
Memperalat dan memperbudak seorang budak yang tak berdosa. Hanya karena ingin
menguasai satu ilmu kesaktian sangat dahsyat yang kelak akan disedotnya dari
tubuh si pemuda ….”
“Aku Resi
Khandawa Abitar menjunjung tinggi setiap sabda perintah Para Dewa. Namun apakah
keterkaitan diriku dengan kejahatan yang terjadi di negeri orang jauh itu. Dan
mengapa aku yang harus menerima pedang. Apa yang harus aku lakukan?”
“Karena
Yang Mulia, mahluk jahat itu berasal dari negeri ini.”
Jawaban
manusia katai membuat Resi Khandawa Abitar jadi berubah raut mukanya. Dia
lantas bertanya.
“Siapakah
mahluk jahat itu gerangan adanya?”
“Sang
Kebenaran tidak memberitahu. Sang Kebenaran hanya berpesan bahwa Resi Yang
Mulia satu-satunya orang yang bisa menumpas mahluk jahat tersebut dan
menyelamatkan manusia dari kejahatan keji. Karena kalau dia berhasil
mendapatkan ilmu kesaktian Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib maka sebagian dunia ini
akan tenggelam dalam kejahatan yang dilakukannya. Selain itu Sang Kebenaran
juga berpesan. Petunjuk lebih jauh bisa di dapat jika Resi Yang Mulia melakukan
samadi mulai pertengahan malam besok dan meletakkan Pedang Bulan Sabit di atas
pangkuan Yang Mulia.”
Resi
Khandawa Abitar menarik nafas panjang berulang kali.
“Aku
tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian seperti ini. Aku tunduk
kepada Para Dewa. Aku wajib melaksanakan apa yang menjadi pesan Para Dewa,
termasuk Sang Kebenaran, siapapun dia adanya.”
Resi
Khandawa Abitar ulurkan dua tangan, menyambut Pedang Bulan Sabit yang
diangsurkan manusia katai kearahnya.
Hawa luar
biasa sejuk mengalir dari dalam pedang sakti ke tangan Resi Khandawa Abitar.
Hawa ini terus menjalar memasuki sekujur tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke
kaki.
“Dewa
Maha Agung … Dewa Maha Agung …” ucap sang Resi berulang kali. Tengah dia
mengucap begitu rupa tiba-tiba ada selarik cahaya putih menebar seperti tirai.
Ketika cahaya itu sirna, tujuh manusia katai tak ada lagi dalam ruangan.
“Dewa
Maha Agung ….” Kata Resi Khandawa Abitar sambil membungkuk berulang kali.
*********************
DUA
TENGAH
malam keesokan harinya Resi Khandawa Abitar sesuai pesan yang diterima dari
Sang Kebenaran melalui tujuh manusia katai mulai melakukan samadi. Pedang Bulan
Sabit diletakkan di atas pangkuan di alas dengan sehelai permadani kecil
berbunga-bunga merah dan hijau. Kalau malam sebelumnya tak ada bintang tak ada
rembulan maka malam ini begitu banyak bintang gumintang bertabur indah di
langit dan rembulan berbentuk sabit ikut menghias menambah keelokan malam.
Memasuki
dini hari, udara dalam goa yang tadinya dingin kini mulai terasa hangat. Pedang
Bulan Sabit di atas pangkuan memancarkan cahaya lebih benderang. Pakaian
selempang kain biru Resi Khandawa lembab oleh keringat. Wajah dipenuhi
butirbutir keringat sementara alis, kumis dan berewoknya yang putih seperti
kapas berubah menjadi kaku. Resi ini berusaha mengatur jalan nafasnya yang
tiba-tiba tidak terkendali. Dadanya mulai berdebar. Ada satu kekuatan dari luar
yang berusaha memutus samadinya. Saat itulah dari Pedang Bulan Sabit tiba-tiba
memancar keluar satu hawa sejuk, melindungi tubuh sang Resi dari kekuatan jahat
yang hendak mencelakakan. Begitu gangguan lenyap, dalam samadinya Resi Khandawa
Abitar melihat satu tabir asap keluar dari lantai goa, naik ke atas membentuk
dinding putih. Di dinding putih kemudian muncul pemandangan di sebuah ruangan
batu di Goa Binaker. Resi Khandawa Abitar mengenali, itu adalah ruangan rahasia
dimana sebuah patung kuna bernama patung Kamasutra pernah disimpan kemudian
lenyap dicuri orang.
Dalam
samadinya saat itu sang Resi melihat di ruangan itu berdiri sosok Resi Kepala
Mirpur Patel mengenakan pakaian selempang kain putih tampak kusut. Sosoknya
begitu nyata dan ketika dia bicara suaranya begitu jelas.
”Resi
Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua berikan kesempatan pada saya untuk
menebus dosa.”
Habis
berucap Resi Mirpur Patel melompat ke arah tembok ruangan sebelah kanan. Kepalanya
dibenturkan dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan. Kepala itu
rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh.
Tak
selang berapa lama di dinding putih muncul kembali perujudan Mirpur Patel
tergeletak di lantai goa. Tiba-tiba dari tubuh Resi Kepala keluar sesosok samar
laki-laki berpakaian hitam. Di tangan kanan orang ini memegang sebuah patung
kecil di batu berwarna abu-abu kehitaman. Patung memancarkan cahaya merah.
Sosok samar hitam berkelebat ke arah lobang di atas atap goa dan lenyap. (Kisah
ini dapat diikuti lebih jelas dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul
”Petaka Patung Kamasutra”).
Apa yang
terlihat di dinding putih dalam samadi Resi Khandawa ternyata masih
berkelanjutan. Kini muncul sebuah titik kuning. Makin lama makin besar dan tambah
bercahaya, menyerupai sebuah kepingan logam. Begitu kepingan logam kuning ini
berubah sebesar jari kelingking tiba-tiba Pedang Bulan Sabit yang ada di
pangkuan Resi Khandawa bergerak keluar dari sarungnya. Senjata sakti mandraguna
ini melayang ke atas, bergerak ke arah dinding putih dan menusuk kepingan logam
kuning. Kepingan logam nampak berubah seperti bara api. Di kejauhan saat itu
juga terdengar raungan manusia. Kepingan logam kembali ke warna aslinya,
melesat ke udara lalu ada satu tangan gadis jelita menjangkau kepingan logam
kuning itu dan memasukkannya ke balik pakaian biru yang dikenakannya.
Pedang
Bulan Sabit melayang turun dari dinding putih lalu masuk kembali ke dalam
sarungnya.
Dinding
putih berubah lagi menjadi tabir asap, turun ke bawah dan masuk lenyap di
lantai ruangan. Tubuh Resi Khandawa Abitar bergoncang keras. Lalu diam tak
bergerak, seolah tak bernafas. Hawa sejuk seperti tadi kembali keluar dari
Pedang Bulan Sabit yang ada di pangkuan masuk ke dalam tubuh Resi Khandawa
Abitar. Sekujur tubuhnya yang tegang berangsur kendur. Rambut, alis serta
janggutnya yang tadi kaku kini kembali menjulai lembut. Perlahan-lahan Resi ini
buka kedua matanya.
Lama dia
memandang tak berkeslp ke dinding batu hitam di hadapannya. Dia ingat kejadian
lebih setahun silam. Suara hatinya mulai membatin.
”Resi
Mirpur Patel kau menipuku. Aku berlaku ayal hingga bisa tertipu. Kau
sesungguhnya tidak tewas bunuh diri membenturkan kepala ke dinding batu Goa
Binaker. Kau pergunakan ilmu Sembunyi Dalam Lorong Roh untuk menyesatkan
pandangan mata. Kau mempergunakan ilmu kesaktian Masuk Ke Dalam Alam Roh
Melalui Jazad Kentara yang aku tahu hanya ada di dalam kitab ajaran orang-orang
sesat. Ilmu itu kau pergunakan untuk mencuri Patung Kamasutra, memasuk
menyembunyikannya dalam tubuhmu. Lalu kau mengirim seseorang secara gaib untuk
mengambil patung itu dari dalam tubuhmu. Setelah itu kau kabur melenyapkan diri
dari dalam Goa Binaker. Apa maksud tujuan perbuatanmu? Menebar kejahatan keji
seperti yang dikatakan manusia katai utusan Sang Kebenaran demi untuk
mendapatkan ilmu kesaktian dahsyat yang bakal kau sedot dari tubuh pemuda yang
kau perbudak? Aku tiba-tiba saja ingat satu hal. Ketika kau tergeletak di
lantai Goa Binaker, tongkat emasmu tidak terlihat. Berarti kau telah memasukkan
dan menyembunyikan di dalam tubuhmu. Kepingan logam kuning yang aku lihat di
dalam samadi bukankah itu gompalan tongkat saktimu yang terbuat dari emas?”
Resi
Khandawa Abitar menarik nafas panjang lalu suara batinnya kembali bicara.
"Pedang Bulan Sabit menusuk kepingan logam kuning. Agaknya ini merupakan
satu pasan aku harus melakukan hai itu. Gadis berbaju biru. Aku harus menemuimu
karena aku perlu bantuanmu. Kau memiliki logam kuning itu.
Walau
ujudmu seperti manusia biasa namun aku punya firasat kalau dirimu adalah mahluk
dari alam gaib. Namun aku tidak mau kesalahan tangan. Aku terpaksa melakukan
sesuatu. Mudahmudahan aku tidak akan menyakiti dirimu.”
Dengan
hati-hati Resi Khandawa Abitar lipat permadani kecil untuk membungkus Pedang
Bulan Sabit lalu menaruhnya dalam sebuah cegukan batu di dinding kamar tidur,
sebuah ruangan batu di sebelah ruangan samadi.
Menjelang
fajar menyingsing dia kembali ke ruang semadi membawa dua buah benda. Benda
pertama adalah sebuah pendupaan berisi puluhan batu kecil seujung ibu jari.
Benda kedua sebuah tongkat berlekuk terbuat dari batu biru. Pendupaan
diletakkan di lantai batu. Lalu ujung tongkat didekatkan ke mulut dan ditiup
satu kali. Ujung tongkat kemudian dimasukkan ke dalam pendupaan. Satu cahaya
biru bergemerlap.
”Wusss!”
Kejap itu
juga puluhan batu di dalam pendupaan burubah menjadi bara api menyala! Tongkat
ditarik sedikit lalu diletakkan di bibir pendupaan. Bau harum setanggi serta
merta memenuhi ruangan.
Setelah
menaruh tongkat batu biru berkeluk dilantai batu di samping kanannya Resi
Khandawa Abitar mulai malakukan samadi. Biasanya satiap bersamadi dua tangan
sang Rasi diletakkan di atas dua paha atau dua telapak tangan ditempelkan di
dada. Namun sekali ini dua tangan diulur ke depan setinggi dada dengan telapak
terbuka menghadap ke atas.
Tidak
sampai sepenghisapan rokok dua tangan sang Resi tampak bergetar. Tangan kanan
perlahan-lahan naik sedikit ke atas.
”Kraakk
!”
Terdengar
suara patahan benda keras. Tak selang berapa lama sebuah benda kuning entah
dari mana datangnya melayang jatuh ke atas telapak tangan kanan Resi Khandawa
Abitar. Untuk beberapa lamanya tangan itu bergetar dan terbungkus cahaya
kuning. Sang Resi hentikan samadi. Langsung memperhatikan telapak tangan kanan.
Benda yang ada, di atas telapak tangan Itu ternyata patahan dari satu keping
gompalan emas. Resi Khandawa lepas nafas lega.
”Aku
melihat lebih nyata. Kepingan ini memang berasal dari tongkat sakti milik Resi
Mirpur Patel. Pertanda dia memang tidak tewas bunuh diri. Dia berkeliaran di
dunia sana. Gadis alam gaib, aku harus segera menemuimu.”
Resi
Khandawa letakkan ujung tongkat biru di atas pendupaan. Serta merta bara api
menyala di dalam pendupaan padam, kembali ke bentuk semula, batu-batu sebesar
ujung kuku.
Dengan
menenteng tongkat biru Resi Khandawa melangkah ke dinding batu sebelah kiri.
Ujung tongkat diketukkan ke salah satu bagian dinding. Salah satu bagian batu
membuka membentuk pintu. Di luar pintu sepuluh Resi berpakaian putih membungkuk
hormat begitu Resi Ketua Khandawa Abitar lewat di depan mereka. Sebelum pergi
Resi Ketua ini berkata pada mereka.
”Jaga
tempat ini baik-baik. Jangan boleh siapapun masuk ke dalam goa. Jika terjadi
apa-apa cepat beri tahu aku melalui Genta Bumi Langit.”
Genta
Bumi Langit adalah sebuah lonceng sakti besar tapi sangat tipis terbuat dari
emas murni yang disimpan di sebuah lorong rahasia. Bila genta ini ditalu maka
suaranya akan sampai ke telinga orang yang dituju sekalipun dia berada sangat
jauh. Sepuluh Resi membungkuk sambil merapal doa. Pintu batu kembali menutup.
DI luar
goa fajar belum menyingsing. Gurun pasir Thar masih diselimuti kegelapan. Resi
Khandawa Abitar acungkan tongkat biru ke udara. Saat itu juga tubuhnya
terangkat ke atas lalu melesat laksana terbang ke arah timur. Di tangan kiri
dia memegang patahan kepingan emas yang tadi didapatnya secara gaib. Benda ini
menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju.
************************
DI Gurun
Pasir Tengger, satu tempat yang sangat jauh dari Gurun Pasir Thar, Purnama yang
tengah berusaha menyelamatkan diri agar tidak disapu topan. Gadis dari alam
gaib Latanahsilam ini sengaja mengeluarkan rohnya dan tubuh kasar.
Sementara
dia berada di alam roh sosok kasarnya masih terbaring di pedataran pasir.
Selagi dia merasa aman tiba-tiba gadis ini menyaksikan dan mendengar gompalan
tongkat mahluk tanpa wajah yang disimpannya di balik pakaian berderak patah
menjadi dua potong. Potongan pertama tetap berada di balik pakaian biru
sementara potongan kedua dengan kecepatan luar biasa melesat ke udara. Melayang
bercahaya ke jurusan barat hingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
”Apa yang
terjadi?” pikir Purnama. ”Siapa yang mematah dan membawa lari potongan gompalan
tongkat emas itu?! Aku harus segera kembali masuk ke dalam jazadku.”
************************
TAK
SELANG berapa lama setelah kepergian Resi Khandawa Abitar, bersamaan dengan
menyembulnya mentari di ufuk timur, satu bayangan putih berkelebat masuk ke dalam
lorong batu di perut Gurun Thar disertai barkiblatnya satu cahaya kuning.
Sepuluh
Resi berselempang kain putih yang menjaga ruangan batu kediaman Resi Khandawa
Abitar melongak kaget ketika melihat siapa yang berdiri di depan mereka.
”Resi
Kepala Mirpur Patel…” Sepuluh Resi menyebut nama.
Menatap
dengan pandangan mata setengah takut setengah tak percaya.
Orang
yang dipanggil Resi Kepala Mirpur Patel. Kakek berjanggut, berkumis dan
berambut putih balik memandang mendelik. Sambil membolang baling tongkat emas
di tangan kanan hingga menimbulkan cahaya berkilauan dan menggetarkan seantero
lorong batu, dia membentak.
”Kalian
melihat diriku seolah aku ini setan! Mangapa tidak memberi salam dan hormat?!”
Sepuluh
Resi segera membungkuk. Gerakan mereka menghormat tampak kaku. Setelah
meluruskan badan salah seorang dari mereka memberanikan diri berkata.
”Resi
Kepala mohon maafmu. Bukankah…. bukankah kau sebenarnya telah meninggal dunia
dalam peristiwa di Goa Binaker lewat satu tahun silam?”
*********************
TIGA
SEPASANG
mata Resi Kepala berkilat-kilat, mendelik bertambah besar. ”Kau yang bicara!”
ucapnya manyentak sambil menunjuk tepat-tepat dengan ujung tongkat kuning ke
hidung arah Resi yang barusan bicara. ”Apakah kau merasa lebih kuasa dan lebih
tahu dari Para Dewa?! Dewa belum memanggilku!
Bagaimana
kau beraninya mengatakan diriku telah meninggal?”
Resi yang
dituding dengan ujung tongkat tampak pucat. Sembilan Resi lainnya tak satupun
yang berani membuka mulut. Mereka berdiam diri sambil tundukkan kepala.
”Kalau
aku memang meninggal di Goa Binaker! Apa jenazahku pernah ditemukan di goa
itu?!” Resi Kepala bertanya dengan suara membentak.
”Resi
Kepala,” Resi yang tadi bicara cepat-cepat jatuhkan diri. ”Jenazah Resi memang
tidak pernah ditemukan di Goa Binaker. Itu pertanda bahwa sebenarnya Resi
Kepala memang masih hidup seperti layaknya saat ini. Mohon maafmu kalau saya
tadi sudah ketelepasan bicara. Saya menyesal dan mohon maafmu…”
Resi
pengawal yang berdiri di samping temannya yang barusan dibentak agak takut-takut
memberi tahu.
”Kalau
Resi Kepala ingin bertemu Resi Ketua, maka kami memberi tahu Resi Ketua tak ada
di dalam gua. Beliau pergi sejak dini hari tadi.”
”Aku
sudah tahu. ” jawab kakek berselempang kain putih yang adalah Mirpur Patel sang
Resi Kepala yang barusan saja dilihat Resi Khandawa Abitar dalam samadinya.
Resi Kepala melangkah mundar-mandir dihadapan sepuluh Resi pengawal lalu
berhenti dan berkata. ”Justru kedatanganku adalah membawa memberi kabar buruk.
Ketahuilah, Resi Ketua Khandawa Abitar telah mati terbunuh oleh satu kekuatan
dashyat alam gaib. Aku terlambat menolong. Bahkan jenazahnya tak berhasil aku
temukan. Kalau tidak menguap dalam alam gaib pasti masuk lenyap ke dalam bumi
atau ditelan gelombang samudera…"
Sepuluh
Resi keluarkan saruan tertahan sambil menyebut nama Resi Khandawa Abitar
berulang kail. Ada yang merapal doa, ada yang keluarkan suara seperti mau
menangis.
”Kalau
Resi Ketua memang sudah menemui ajal, dimanapun jenazahnya kami akan berusaha
mencari.” Seorang Resi pengawal berkata.
”Jangan
berlaku tolol ! Aku saja tidak mampu mengetahui dimana beradanya jenazah Resi
Ketua!” Kata Resi Mirpur Patel dengan mata didelikkan.
Resi lain
Ikut bicara. ”Bagaimana mungkin bisa terjadi. Para Dewa pasti melindungi Resi
Ketua…”
"Ajal
manusia hanya Para Dewa yang tahu dan punya kuasa. Aku tengah melakukan
penyelidikan. Sementara itu, sampai ada keputusan sidang Resi Sepuluh Ketua
akulah yang menjadi pimpinan di tempat ini. Sampaikan itu pada semua Resi yang
ada di sini. Katakan bahwa mereka termasuk kalian harus patuh pada apa yang aku
katakan. Siapa berani membangkang akan aku usir dari tempat ini. Biar jadi Resi
gelandangan di Gurun Pasir Thar sana! Kalian mendengar apa yang aku katakan?”
Sepuluh
Resi membungkuk. Namun salah seorang diantara mereka memberanikan diri berkata.
”Resi
Kepala, Resi Ketua sebelum pergi berpesan pada kami.
Jika
terjadi sesuatu maka kami harus menghubunginya melalui Genta Bumi Langit.”
”Resi aku
menegurmu dengan keras!” Resi Kepala membentak dengan mata menyala. ”Apa kau
tuli?! Tadi sudah kukatakan bahwa Resi Ketua telah tewas. Kau ingin menghina
arwahnya dengan menghubungi dirinya melalui Genta Bumi Langit? Bukankah lebih
baik kau dan puluhan Resi lain yang ada di tempat ini segera saja memanjatkan
doa ke hadapan Para Dewa demi ketenangan roh Resi Ketua di alam baka?!”
Sepuluh
Resi membungkuk dalam-dalam tak ada satupun yang bicara. Dari balik pakaiannya
Resi Kepala Mirpur Patel keluarkan satu kantong kain putih. Dia lalu melangkah
pulang balik di depan pintu lorong sambil menaburkan sejenis bubuk putih dari
dalam kantong. Bubuk ini menebar bau harum kembang melati. Begitu menyentuh
lantai batu bubuk putih berubah jadi asap dan menebar ke seluruh ruangan hingga
akhirnya lenyap dari pemandangan.
Setelah
menyimpan kantong putih Resi Kepala Mirpur Patel berkata. ”Aku akan segera
meninggalkan tempat ini. Aku melarang siapapun masuk ke dalam tempat kediaman
mendiang Resi Khandawa Abitar. ”Apa kalian mendengar perintahku?!"
”Kami
mendengar Resi Kepala.” Jawab sepuluh Resi hampir berbarengan.
Hanya
sesaat setelah Resi Kepala Mirpur Patel tinggalkan tempat itu salah seorang
Resi mengajak teman-temannya bicara.
”Bubuk
putih yang ditebar Resi Kepala tadi bukankah itu Bubuk Penyesat Mata dan Rasa?”
”Aku
tahu,” Jawab temannya. ”Tadipun aku sudah menduga.”
”Berarti
sebenarnya Resi Ketua Khandawa Abitar masih hidup. Tidak tewas seperti yang
dikatakan Resi Kepala Tadi.”
”Betul.”
Beberapa orang Resi keluarkan ucapan yang sama hampir berbarangan.
”Resi
Kepala sengaja menebar bubuk Penyesat Mata Dan Rasa untuk menangkal agar Resi
Ketua tidak bisa kembali ke tempat ini.”
”Ada
sesuatu yang tidak beres. Para Resi sekalian, kalian tunggu di sini…” Berkata
Resi Kandila.
”Resi
Kandila, kau mau kemana ? Mau berbuat apa ?”
bertanya
salah seorang Resi pada Resi yang barusan bicara.
”Aku akan
masuk ke ruangan Genta Bumi Langit. Aku akan menghubungi Resi Ketua melalui
genta itu, sesuai pesan beliau.”
”Kalau
begitu aku Resi Mitkapul akan menemanimu.”
Dua orang
Resi yakni Resi Kandila dan Resi Mitkapuil membuka pintu rahasia lalu masuk ke
dalam lorong. Bangunan batu di bawah perut Gurun Pasir Thar memiliki dua belas
lorong. Setiap lorong mempunyai beberapa ruangan tertentu. Tidak semua lorong
pintunya bisa dibuka oleh Resi pengawal. Antaranya lorong menuju kediaman Resi
Khandawa Abitar. Dua Resi masuk ke dalam lorong Sebelas. Setelah menekan satu
alat rahasia, dua Resi tadi masuk ke dalam ruangan ke Dua. Begitu pintu terbuka
langsung berhadapan dengan tangga batu terdiri dari dua belas undakan. Di
sebelah atas tangga terdapat satu ruang batu empat persegi. Di atap ruangan ini
tergantung sebuah lonceng besar terbuat dari emas. Anak lonceng tergantung pada
ujung rantai yang juga terbuat dari emas murni.
Resi
Kandila yang menaiki tangga di sebelah depan sampai lebih dulu ke ruang empat
persegi. Resi Mitkapul mendampingi di sebelah belakang. Keduanya membungkuk di
hadapan lonceng sakti. Setelah lebih dulu sama-sama merapal doa dan
membayangkan wajah Resi Khandawa Abitar, Resi Kandila ulurkan tangan untuk
memegang anak lonceng. Siap ditarik. Namun sebelum hal Itu kesampaian tiba-tiba
byaaarrr !
Satu
larik sinar kuning berkiblat terang di ruangan itu.
”Bukk !”
Rasi
Kandila tersungkur di lantai di bawah lonceng. Kepalanya hancur. Tapi tak ada
darah yang mengucur. Dia langsung tewas tanpa keluarkan suara sedlkitpun !
Melihat
apa yang terjadi Resi Mitkapul berteriak kaget. Menyebut nama Dewa Agung dan
berbalik. Namun belum sempat melihat siapa adanya orang yang barusan membunuh
temannya Resi satu ini juga sama menerima nasib malang. Sebuah benda
memancarkan cahaya kuning menghantam keningnya. Resi ini terguling sampai di
undakan tangga kesepuluh dengan kepala pecah ! Tak ada darah yang keluar !
DI SATU
tempat di gurun pasir Tengger, sementara topan dahsyat masih terus menderu.
Pumama gadis alam gaib dari negeri Latanahsilam yang sudah merasa aman
siap-siap keluar dari alam roh,masuk kembali ke ujud kasarnya yang masih
tergeletak di tanah gurun. Seperti yang diceritakan dalam episode sebelumnya
(Topan Di Gurun Tengger) ketika terjebak dalam badai yang menerbangkan jutaan
butir pasir dan bisa membuat tubuh berubah jadi saringan gadis ini mendapat
serangan gelap dari mahluk gaib yang diperkirakannya adalah mahluk jahat tanpa
wajah. Dengan memancing musuh tak terlihat itu dengan gompalan tongkat emas
Purnama berhasil selamatkan diri.
Selagi si
gadis bersiap-siap untuk pindah dari alam roh dan masuk kembali ke dalam
jazadnya yang masih terbaring di atas gurun pasir dekat lobang besar bekas
hantaman mahluk tanpa wajah, tiba-tiba dari arah timur tampak satu sinar biru
yang begitu luar biasa hingga mampu menembus ketebalan topan pasir. Sinar ini
bergerak luar biasa cepat dan dalam waktu singkat telah berada sekitar dua
ratus tombak di atas gurun pasir Tengger dimana Purnama saat itu berada. Si
gadis batalkan niat untuk masuk ke dalam jazadnya.
Di langit
memercik ratusan bunga api disertai suara gelegar berkepanjangan ketika sinar
biru menembus terpaan gelombang topan. Daya tembus sinar biru agak tersendat
sewaktu dari arah barat tiba-tiba berkiblat cahaya kuning, coba membabat putus
sinar biru. Agaknya kekuatan dibalik sinar biru lebih hebat dari sinar kuning
yang coba memusnahkannya.
Didahului
satu dentuman dahsyat laksana guntur menggelegar, sinar kuning tercabik-cabik
di udara. Tiupan topan ikut terpental kian kemari. Sinar kuning akhirnya sirna
namun topan masih terus menderu walau kini tidak sedahsyat sebelumnya. Dalam
keadaan seperti itu, laksana terbang dan turun dari langit di arah timur tampak
melayang sosok seorang kakek bertubuh tinggi besar mengenakan pakaian selempang
kain biru dengan kepala dan wajah dihias rambut putih dan Janggut panjang serta
kumis menjulai putih seperti kapas. Dua Jengkal di depan tubuh orang tua ini
yang bukan lain Rasi Khandawa Abitar adanya berputar sebuah tongkat biru
berkeluk yang bukan saja memancarkan cahaya biru benderang tapi sekaligus
melindungi dirinya serta membendung keganasan topan dahsyat yang melanda Gurun
Pasir Tengger.
Di satu
tempat Resi Khandawa berhenti melayang.
Tubuhnya
mengapung di udara. Sungguh luar biasa ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
”Topan
buatan ! Sang pembuat sudah melarikan diri. Hawa sakti kebenaran telah
menguasai tempat ini. Mengapa masih menunjukkan digjaya sia-sia ? Kombali ke
tempat asalmu !”
Resi
Khandawa Abitar berucap. Suaranya tidak mombentak tapi perlahan saja. Mulutnya
kemudian komat kamit merapal mantera. Anehnya saat itu juga suara deru topan
berubah mengendur dan tebaran jutaan pasir gurun yang melayang di udara sedikit
demi sedikit luruh ke bawah dan bersatu kembali dengan pedataran gurun tempat
asal datangnya. Hanya selang beberapa saat topan yang melanda Gurun Pasir
Tengger lenyap walau cuaca agak gelap masih belum surut.
”Tongkat
sakti Kuntala Biru. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik. Para Dewa di
Swargaloka. Saya Resi Khandawa Abitar berterima kasih atas Kuasa dan
pertolonganMu. Mohon perlindungan Para Dewa untuk tindak selanjutnya. "
Habis
keluarkan ucapan Resi Khandawa Abitar ulurkan tangan kanan menangkap ujung
berkeluk tongkat biru yang masih berputar deras. Tangan manusia biasa yang
punya kepandaian dan ilmu, kesaktian yang tidak tinggi, salah-salah menyentuh
bisa terbabat putus oleh putaran tongkat.
Resi
Khandawa Abitar gerakkan dua kaki. Tubuhnya kembali melayang turun. Matanya
yang bening tajam memandang ke seantero pedataran pasir Gurun Tengger. Jauh di
bawah sana dia melihat beberapa orang berkaparan di gurun pasir.
Resi dari
Gurun Pasir Thar ini memiliki ilmu kesaktian bernama Mengulur Mata Menjerat
Pandang. Dengan ilmu ini dia bisa melihat benda di kejauhan menjadi dekat
seolah berada di depannya. Di arah kiri gurun pasir saat itu dia melihat
seseorang tengah berusaha berdiri. Begitu dia menerapkan Ilmu Mengulur Mata
Menjerat Pandang serta merta dia melihat orang itu adalah pemuda berambut
gondrong. Wajah bercelemong pasir. Rambut dan pakaian Juga penuh ditempeli
pasir. Si pemuda kibas-kibas rambut gondrongnya dan tepuk-tepuk pakaian putih
untuk membersihkan pasir gurun yang menempel. Lalu dia mengusap muka berulang
kali.
Ketika
sang Resi memperhatikan bagian tubuh antara dada dan perut pemuda ini, empat
kelopak matanya terasa bergetar. Jantung berdetak lebih kencang dan darah
mengalir lebih cepat. Resi ini terkesima.
*********************
EMPAT
AKU
melihat cahaya putih aneh di tubuh sebelah depan pemuda berambut gondrong Itu.
Hemmm… ” Sang Resi bergumam. ”Dia menyimpan satu senjata sakti mandraguna di
dekat relung jantung dan hati di dalam tubuhnya. Luar biasa!
Kalau
kekuatan tongkat Kuntala Biru masuk ke dalam tubuhnya, bergabung dengan
kekuatan senjata yang dimilikinya, langit bisa diruntuhkan, samudera bisa
dibendung. Tujuh Tonggak Kekuasaan, Keadilan dan Kebenaran bisa dikuasainya.
Pemuda itu siapa dia gerangan. Sebelum kembali ke Gurun Thar aku perlu menemui
dirinya. Sekarang aku harus mencari gadis berbaju biru yang aku lihat dalam
samadiku…”
Sementara
tubuhnya terus melayang turun Resi Khandawa Abitar tukikkan pandangan ke bawah.
Mendadak di arah depan dia melihat satu pemandangan yang membuat wajah tuanya
yang klimis bersemu merah namun kemudian tertawa geli sendirian. Gerangan apa
yang telah dilihat dan membuat Resi sakti dari India ini sampai tertawa
demikian rupa?
Seperti
diceritakan sebelumnya ketika topan prahara membadai di Gurun Pasir Tengger,
Naga Kuning telah merubah diri ke dalam ujud aslinya yakni seorang kakek sakti
bernama Kiai Paus Samudera Biru. Sambil menindih tubuh Gondoruwo Patah Hati
kakek ini berusaha merayu kekasihnya itu. Dia berbisik ke telinga si nenek.
”Intan,
lama sekali aku menginginkan kita berdua-dua seperti Ini. Sekarang baru ada
kesempatan…”
”Ihhh!”
Gondoruwo Patah Hati terpekik. ”Tua bangka kurang ajar! Lekas turun! Kalau
tidak….”
”Nek,
tidakkah kau ingin merubah dirimu menjadi Intan Ning Lestari agar kita bisa bermesraan
lebih mantap? Apa kau tega membiarkan diriku seperti ini?”
Si nenek
agak tergagap. Tapi kemudian membentak memaki.
”Kiai
edan! Jangan-jangan kau sudah kemasukan roh jahat Cakra Mentari!” Si nenek
susupkan tangan kirinya ke balik jubah si kakek. Kiai Paus Samudera Biru
mesem-mesem menikmati sentuhan tangan yang menjalar itu. Ah, ini yang
diharapkan. Dia menunggu usapan terakhir di bagian bawah perutnya di tempat
yang tak bisa dibayangkan!
Namun
mendadak sang Kiai menjerit keras. Bukan mendapat usapan, bukan pula merasa
kenikmatan tapi kantong menyan perabotannya amblas dipencet si nenek. Sosok si
kakek langsung melintir dan terguling ke tanah. Dua kaki melejanglejang, mulut
mengerang dan muka meringis menahan sakit.
”Rasakan!
Makan pencarianmu!” Maki Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa cekikikan. Namun
nenek ini kemudian hentikan tawa dan unjukkan muka kawatir. Sebabnya sosok Kiai
Paus Samudera Biru kini tergeletak di pasir tidak bergerak tidak bersuara!
Ketika dia memperhatikan muka si kakek kelihatan sepasang mata yang terbuka
mendelik tak berkesip!
”Astaga!
Jangan-jangan…” Si nenek ketakutan lalu jatuhkan diri dan peluk tubuh si kakek.
Dia usap kepala sambil ciumi wajah Kiai Paus Samudera Biru berulang kali.
”Gunung, apakah tadi aku terlalu keras memencet anumu?” Gunung adalah nama asli
Naga Kuning.
Si kakek
tidak dapat menahan tawanya lagi. Sosoknya berubah menjadi Naga Kuning kembali.
Sambil merangkul punggung dengan kedua tangan serta menggelungkan dua kaki di
pinggul si nenek bocah berambut jabrik ini tertawa terpingkalpingkal.
”Anak
kurang ajar!” Gondoruwo Patah Hati mendamprat lalu berguling menjauh sambil
terus memaki panjang pendek.
Semua apa
yang terjadi itulah yang telah disaksikan oleh Resi Khandawa Abitar dari atas
gurun pasir dan membuat dia tertawa geli.
”Hidup di
muka bumi di luar alamku ternyata banyak keluguan dan kelucuan. Para Dewa
sungguh adil. Membagi kebahagiaan pada ummat manusia. Dalam susah maupun
senang…”
Sang Resi
kemudian memperhatikan ke beberapa jurusan lain sambil tangan kiri yang
memegang patahan gompalan tongkat emas di acungkan di depan dada.
Agak jauh
di sebetah selatan Rasi Khandawa Abitar melihat satu bangunan. Dari bentuknya
dia tahu kalau bangunan itu adalah sebuah Kuil Hindu. Kembali dia mengerahkan
Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang. Bangunan kuil yang tadinya kecil berubah
jadi besar. Begitu melihat Kuil yang masih berada dalam keadaan utuh tanpa
kerusakan sedikitpun sang Resi segera rundukkan kepala memanjatkan doa dan
puji-pujian.
”Dewa
Pelindung Agung.Topan badai begitu besar namun kerusakan tidak sampai menyentuh
Kuil suci itu. BerkahMu sangat besar wahai Para Dewa di Swargaloka. Terima
kasih Dewa. Terima kasih….”
Masih
dalam menerapkan ilmu kesaktiannya, tidak jauh dari bangunan Kuil tampak
seorang tua berselempang kain putih, melangkah terseok-seok menuju Kuil.
Pakaian putih dan sekujur tubuhnya kotor penuh debu dan pasir gurun. Beberapa
bagian lengan dan bahu dalam keadaan luka akibat ditembus pasir.
Orang tua
yang dilihat Resi Khandawa Abitar ini adalah Resi Jantika Lamantara yang dengan
susah payah berusaha mencapai Kuil. Walau dua kaki goyah, sekujur tubuh sakit
bukan kepalang namun melihat keadaan Kuil yang masih utuh memberi semangat
padanya untuk meneruskan langkah. Sambil berjalan mulutnya tiada henti mengucap
doa puji syukur. Pada saat Resi Khandawa Abitar akhirnya menjejakkan dua kaki
di Gurun PasirTengger sudut mata sang Resi tiba-tiba menangkap kilatan cahaya
di arah kiri. Ketika berpaling ke kanan, di kejauhan dia melihat seorang gadis
cantik memegang sebuah cermin bulat lengah berusaha bangkit berdiri.
”Bukan
gadis yang kucari…” ucap Resi Khandawa Abitar.
”Gadis
berjubah kelabu, seperti tiga orang tadi agaknya dia juga bukan orang
sambarangan. Cermin bulat di tangannya pasti sebuah senjata sakti. Aku melihat
cahaya biru di balik dadanya.
Heran,
bagaimana banyak orang berkepandaian tinggi bertebaran di gurun pasir yang baru
dilanda topan ini? Apakah mereka semua punya sangkut paut dengan kejahatan Resi
Mirpur Patel? Agaknya aku bakal mendapat banyak sahabat di negeri ini.”
Sambil
terus berpikir-pikir Resi Khandawa Abitar
memandang
berkeliling sampai pandangannya membentur satu sosok berpakaian biru, berambut
panjang lepas riap-riapan tertiup angin, terbaring menelungkup. Dada sang Resi
berdebar.
”Ada
cahaya kuning bersinar di bagian bawah tubuhnya yang menelungkup. Aku harus
melihat wajah perempuan ini…”
Resi
Khandawa kembali kerahkan Ilmu Mengulur Mata Menjerat Pandang. Begitu sosok
orang menjadi besar dan sewaktu dia melihat sebagian wajah yang tertelungkup
darahnya berdesir.
”Walau
wajahnya cuma terlihat sebagian tapi aku yakin ini gadis yang kulihat dalam
samadi. Benda bercahaya di bagian bawah tubuhnya pasti potongan gompalan
tongkat emas…”
Tidak
menunggu lebih lama Resi Khandawa Abitar segera melesat mendekati sosok tubuh
yang tertelungkup di pasir.
”Aneh,
topan sudah reda. Mengapa perempuan muda Ini masih berbaring menelungkup?
Apakah dia masih hidup. Jangan-jangan telah tewas dilanda topan. Tapi tubuhnya
terlihat utuh…” Resi Khandawa maju lagi dua langkah, lebih mendekat.
Sambil
pandangi sosok perempuan berpakaian biru di depannya dia menarik nafas dan
menghirup udara dalam-dalam. Tongkat Kuntala Biru disapukan di punggung
perempuan yang terbaring menelungkup. Mendadak saja Resi ini tersurut satu
langkah.
”Sosok
perempuan ini dalam keadaan kosong. Berarti…..”
Sang Resi
memandang berkeliling. Dia tidak dapat melihat tapi dia mampu merasakan. Maka
segera saja dia keluarkan ucapan.
”Mahluk
pandai dari alam roh, kau punya tubuh bagus dan wajah cantik. Mengapa ditinggal
disia-siakan?”
Roh
Purnama yang ada di dekat situ yang tadi sebenarnya memang hendak kembali masuk
ke dalam jazadnya namun membatalkan niat karena kedatangan sang Resi, kini
setelah mendengar ucapan Resi itu langsung saja dia masuk kembali ke dalam
tubuh kasarnya. Kejap itu pula dia bergerak bangkit, berdiri dua langkah di
hadapan sang Resi.
”Ah, kini
aku melihat wajahmu dengan jelas. Kau memang orang yang ada dalam samadiku.
Terima kasih Dewa telah mempertemukan aku denganmu.” Resi Khandawa Abitar
melintangkan tongkat Kuntala Biru lalu membungkuk memberi hormat pada gadis
cantik hadapannya.
Purnama
perhatikan orang tua di depannya sesaat lalu berkata. ”Orang tua, dari
dandananmu saya tahu kau adalah orang asing. Kau pandai bahasa negeri ini.”
”Dewa
memberi berkah padaku,” jawab Resi Khandawa Abitar. ”Logat bicaramu seperti
seorang yang pernah aku kenal.
Namanya
Deewana Khan.”
”Dewa
Maha Besar!” Resi Khandawa Abitar mengucap menyebut nama Dewa. ”Kau kenal
Deewana Khan. Aku akan bertanya banyak tentang dirinya. Namun saat ini ada satu
hal penting yang harus didahulukan.”
”Tunggu
dulu,” kata Purnama pula. ”Ada satu mahluk tanpa wajah yang juga punya logat
bicara sepertimu. Orang tua apa hubunganmu dengan mahluk itu? Kalian agaknya
datang dari negeri yang sama.”
Resi
Khandawa Abitar tersenyum. Setelah anggukkan kepala beberapa kali dia berkata.
”Kedatanganku kesini justru ada sangkut pautnya dengan semua apa yang kau
ketahui. Gadis berbaju biru, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Khandawa
Abitar. Aku Resi Ketua dari Gurun Thar di India. Kalau aku boleh bertanya,
siapakah namamu?"
”Purnama…”
”Dewa
Maha Agung. Purnama. Bukankah itu juga berarti rembulan? Nama yang sangat
bagus. Sahabatku muda, apakah kau mengenali benda ini?"
Resi
Khandawa Abitar perlihatkan keping gompalan tongkat emas yang sejak tadi
digenggamnya.
”Kau
mengenali benda ini?”
Purnama
memperhatikan dan tampak terkejut. Dia meraba ke balik baju biru yang
dikenakannya. Resi Khandawa Abitar berkata. ”Kau sudah maklum. Kepingan emas
ini adalah gompalan dari tongkat milik mahiuk tanpa wajah….”
”Saya
tidak mengerti. Kepingan itu ada pada saya. Beberapa saat lalu patah secara
aneh…”
”Aku yang
mematahkan. Keluarkanlah bagian patahan yang ada padamu…”
Purnama
keluarkan patahan gompalan tongkat emas yang dimilikinya. Resi Khandawa
melangkah mendekat. Dia mengambil patahan kepingan tongkat yang dipegang
Purnama. Ketika dua patahan gompalan tongkat emas saling ditempelkan satu sama
lain ternyata dua patahan bersambung menyatu sangat tepat.
”Aku
benar-benar telah menemui gadis yang aku lihat dalam semadiku. Dewa sungguh
Agung. Purnama, aku akan melakukan sesuatu. Harap kau tetap berdiri tenang di
tempatmu…”
Selesai
berucap Resi Khandawa letakkan dua keping patahan gompalan tongkat di telapak
tangan kiri. Lalu dia angkat tongkat Kuntala Biru. Sambil merapal doa Resi ini
kemudian tekankan ujung tongkat sakti pada dua patahan gompalan tongkat emas.
Satu sinar biru yang amat terang membersit keluar dari tongkat sakti.
”Wusss!”
Saat itu
juga dua patahan gompalan tongkat emas tunggelam dalam kobaran api berwarna
biru. Satu kekuatan yang tak kelihatan muncul secara aneh, melabrak Khandawa
Abitar hingga Resi dari Gurun Thar ini jatuh terduduk. Wajahnya tampak merah.
Purnama cepat mendatangi. Maksudnya hendak menolong sang Resi berdiri. Namun
Resi Khandawa Abitar cepat mencegah. ”Jangan sentuh!”
”Wusss”
*********************
LIMA
SATU
kobaran api berwarna biru menggebubu ke udara setinggi hampir dua tombak,
membuat tubuh Resi Khandawa Abitar lenyap tak kelihatan lagi. Purnama terpekik.
Kalau dia tidak cepat melompat mundur niscaya ikut tersulut api dahsyat Itu.
Di saat
yang bersamaan di kejauhan di arah selatan terdengar raungan manusia luar biasa
keras hingga menggema sampai di permukaan pedataran pasir.
Dari
dalam kobaran api biru tiba-tiba terdengar suara Resi Khandawa Abitar.
”Resi
Mirpur Patel. Saatnya kau datang ke hadapanku untuk meminta maaf dan meminta
ampun pada Para Dewa atas semua dosa kesalahan yang telah kau perbuat.”
Di
selatan kembali terdengar suara raungan namun kali ini disertai suara ucapan
bergumam yang tidak jelas.
Di dalam
kobaran api biru terdengar lagi suara Resi Khandawa Abitar. ”Apa? Kau menolak
datang. Sayang sekali. Apakah kau sudah berpikir baik-baik Resi Mirpur Patel?”
Kembali
menggelegar suara raungan dan ucapan bergumam dari arah selatan. Lalu menyusul
suara sang Resi yang masih tenggelam dalam kobaran api biru setinggi dua
tombak.
”Jika kau
mau datang, aku berjanji meminta keringanan hukuman pada Para Dewa Apa… ? Ah,
sayang sekali. Kau tetap tak mau datang malah menantang tak takut mati. Resi
Mirpur Patel, nyawamu bukan di tanganku. Aku tidak punya kewenangan untuk
membunuhmu. Namun jika Para Dewa memberi kuasa bagiku untuk melakukan sesuatu,
aku masih tetap ingin kau minta ampun dan bertobat atas semua kesalahanmu. Kita
para Resi, apakah tidak ingin melihat dunia ini dan semua ummat di dalamnya
hidup dalam bahagia ketenteraman?”
DI selatan
menggelegar raungan dahsyat dan gumam aneh.
”Ah,
sayang sekali. Benar-benar sayang sekali! Apa yang terjadi dengan dirimu?
Mengapa kau begitu keras kepala? Hanya karena ingin mendapatkan ilmu sesat dari
kitab palsu yang aku mengira kau sendiri yang membuatnya? Sayang sekali! Kau
tak mau datang dengan ikhlas, aku terpaksa menyedotmu datang kemari!” kata Resi
Khandawa Abitar. Dia acungkan tongkat Kuntala Biru ke depan setinggi dada. Lalu
tongkat disentakkan kebelakang.
”Wuutttt!”
Terdengar
suara bergemuruh disertai hawa aneh menarik kuat sekali ke arah sang Resi.
Purnama cepat-cepat jatuhkan diri ke gurun pasir lalu berguling menjauh. Selagi
dia hendak mencoba berdiri tiba-tiba blukk!
Satu
sosok putih jatuh bergedebuk di atas pasir di depannya lalu menggelundung dan
berhenti tiga langkah di hadapan Resi Khandawa Abitar. Sosok putih ini seorang
tua berambut dan berjanggut putih panjang dengan wajah licin rata tidak berupa.
Dalam kepitan tangan kiri ada sebuah tongkat emas besar berbentuk bulat salah
satu ujungnya.
”Mahluk
tanpa wajah!” ucap Purnama setengah berseru.
”Wusss!”
Api biru
setinggi dua tombak yang sejak tadi menyelubungi Resi Khandawa Abitar tiba-tiba
lenyap. Tak kurang suatu apa Resi ini melangkah mendekati sosok orang tua tanpa
wajah yang masih tergeletak di pasir. Agaknya dia memang tak mampu bergerak
ataupun bicara. Dari mulutnya hanya keluar suara desah meracau.
Resi
Khandawa sapukan tongkat sakti Kuntala Biru di wajah licin pada arah letak
mulut yang tidak kelihatan dari mahluk tanpa wajah.
”Resi
Mirpur Patel, aku sudah membuka jalan suaramu. Sekarang bicaralah.”
Wajah
licin tanpa mulut itu secara aneh mengeluarkan suara parau menjawab.
”Resi
Khandawa, kau lebih baik membunuhku saat Ini juga. Aku tidak akan pemah mau
bicara!”
”Begitu..
.?” Resi Khandawa tersenyum. ”Memang tidak sopan bicara kalau wajahmu tidak
kelihatan.”
Resi
Khandawa Abitar kembali sapukan tongkat saktinya.
Kini ke
kepala dan seluruh wajah Resi Mirpur Patel. Tiba-tiba tiga cahaya berwana
merah, biru dan hijau memancar terang dari kepala Resi Mirpur Patel, menyambar
ke arah Resi Khandawa Abitar. Dengan cepat Resi ini melompat mundur seraya
sapukan tongkat Kuntala Biru.Tiga letusan keras menggeledek di tempat itu. Resi
Mirpur Patel mengerang keras. Tubuhnya melesak
masuk ke
dalam tanah, setengah terkubur di dalam pasir! Masih tidak punya kemampuan
begerak. Tongkat emasnya menancap ke dalam pasir sampai setengahnya. Pada saat
itu kepalanya yang tadi polos licin tanpa wajah kini berubah menunjukkan wajah
seorang kakek berambut, kumis dan janggut putih. Tampangnya tampak angker
memandang penuh geram pada Resi Khandawa Abitar.
Sepasang
mata Resi Khandawa Abitar tatap sosok dan wajah Resi Mirpur Patel tak berkesip.
Dalam hati dia berkata. ”Resi ini agaknya sudah memiliki ilmu kesaktian jahat
dari buku sesat.
Pukulan
Tiga Cahaya Alam Gaib. Jika dia berhasil menyedot ilmu yang di dapat pemuda
yang jadi budaknya itu, kekuatan ilmu pukulan bisa berubah dahsyat sepuluh kali
lipat! Jangankan bumi, Swargalokapun bisa tergoncang!”
”Resi
Mirpur Patel, apakah kau masih tidak mau bicara?”
Dua pipi
Resi Mirpur Patel menggembung, pelipisnya begerakgerak. Tiba-tiba dia meludah.
”Puuhhh!”
Dihina
seperti itu Resi Khandawa Abitar hanya tersenyum. ”Hatimu sekeras batu di Gurun
Thar. Perasaanmu sebeku salju di puncak Pegunungan Vindhya dan pikiranmu
seperti terselubung lumut setebal lumut di dasar sungai Chambal. Resi Mirpur
Patel, aku akan memohon pengampunan bagi dirimu pada Para Dewa di Swargaloka.
Asal kau mau mengembalikan padaku Patung Kamasutra yang kau curi di Goa
Binaker.”
”Patung
itu tidak ada padaku.”
”Kalau
begitu kau pasti tahu dimana beradanya dan siapa yang memegangnya.”
”Tanyakan
saja pada Para Dewa di Swargaloka,” jawab Mirpur Patel alias mahluk tanpa wajah
dengan nada mengejek.
Mendengar
ucapan Mirpur Patei itu marahlah Resi Khandawa Abitar. Orang boleh menghina
dirinya.Tapi jika orang berani menghina Dewa di hadapannya maka dia akan turun
tangan lebih dulu! Resi yang biasa bicara lembut ini sekarang berucap dengan
suara keras dan bergetar menahan marah.
”Resi
Mirpur Patel! Kau tahu tidak ada dosa paling besar selain menghina dan
mempermalukan Para Dewa! Aku tidak akan membunuhmu. Tapi aku juga tidak akan
membiarkan dirimu hidup gentayangan seenaknya di muka bumi ini. Hukum harus
diberlakukan atas dirimu! Dewa memutuskan! Aku melaksanakan!”
”Resi
pengecut! Jangan meminjam nama Dewa! Akui saja kau tidak berani membunuhku!”
Sebagai
jawab atas ucapan Resi Mirpur Patel, Resi Khandawa Abitar tancapkan tongkat
Kuntala Biru ke tanah. Dari balik pakaian birunya dia keluarkan Pedang Bulan
Sabit yang didapatnya dari tujuh orang katai yang mengaku sebagai utusan Sang
Kebenaran. Perlahan-lahan dia pergunakan tangan kanan untuk menarik gagang
pedang. Meskipun saat itu matahari bersinar cerah namun kilau cahaya putih
terang dan indah dari Pedang Bulan Sabit yang dicabut dari sarungnya tidak
menjadi redup.
Sementara
Resi Khandawa Abitar merapal doa di dalam hati, sosok Resi Mirpur Patel alias
mahluk tanpa wajah yang tergeletak di tanah berusaha memusnahkan kekuatan yang
membuat sekujur tubuhnya kaku. Dia sadar sesuatu akan terjadi atas dirinya.
Karena itu dia harus bisa melarikan diri. Namun jangankan membebaskan diri,
begerak sedikitpun dia tidak bisa.
”Kurang
ajar! Resi itu telah melumpuhkan sekujur auratku dengan ilmu Seribu Titik Tanpa
Daya? Resi Mirpur Patel menyumpah geram.
”Khandawa
Abitar! Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau melakukan sesuatu atas diriku!”
Resi Mirpur Patel keluarkan ancaman.
Sepasang
matanya tidak lepas dari memperhatikan senjata di tangan Resi Khandawa Abitar.
Resi Khandawa sendiri tidak perdulikan ancaman orang. Sambil memegang Pedang
Bulan Sabit di tangan kanan dia melangkah mendekati Resi Mirpur Patel.
”Kau mau
melakukan apa?!” teriak Mirpur Patel.
”Kebenaran
harus ditegakkan. Hukum harus dilaksanakan. Dewa menyampaikan pesan melalui
Pedang Bulan Sabit ini!"
Selesai
berucap Resi Khandawa Abitar tekankan ujung runcing Pedang Bulan Sabit ke
kening Resi Mirpur Patel. Gerakannya perlahan saja, tidak sampai membuat kening
Mirpur Patel terluka.
Satu
kilatan cahaya putih melesat masuk menembus batok kapala Resi Mirpur Patel,
menjalar ke seluruh tubuhnya yang kemudian terjengkang di tanah gurun.
Bersamaan dengan itu terjadilah hal aneh.
Kegelapan
mendadak menyungkup gurun pasir dimana orang-orang itu berada. Ketika kegelapan
lenyap dan udara terang benderang kembali sekujur tubuh Resi Mirpur Patel yang
kurus jangkung tergelatak berubah menjadi sosok tanpa daging, nyaris menyerupai
jerangkong. Sosok itu mengepulkan asap luar biasa panas hingga Purnama menjauh
sampai lima langkah. Dari mata, telinga, mulut dan hidung mengucur cairan
hitam.
”Mirpur
Patel. Darahmu hitam bukan merah. Pertanda Para Dewa telah memperlihatkan
kehitaman hatimu. Hari ini riwayatmu telah tamat. Sekarang pergilah untuk
selama-lamanya dari muka bumi ini.”
Resi
Mirpur Patel keluarkan suara menggembor keras. Cairan hitam bermuncratan dari
mulut, mata, hidung dan telinga. Begitu suara menggembor putus, dari mulutnya
keluar jeritan keras berkepanjangan. Resi Mirpur Patel yang dalam keadaan hidup
tidak matipun tidak merasa sekujur tubuhnya dilanda panas luar biasa.
”Rasi
jahanam Itu tidak membunuhku! Dia mau menyiksa diriku dengan hawa panas
memanggang seumur hidup! Dari mana dia dapatkan ilmu itu? Dari pedang celaka
berbentuk bulan sabit Ku? Kurang ajar !. Dari mana dia dapatkan pedang keparat
itu?” Resi Mirpur Patel menyumpah habis-habisan. Lalu dia merapal segala macam
mantera untuk menolak dan memusnahkan hawa panas dalam tubuhnya. Namun sia-sia
saja.
Resi
Khandawa Abitar masukkan Pedang Bulan Sabit ke dalam sarung. Pedang sakti
dipegang dengan tangan kanan. Lalu dengan tangan kiri dia cabut tongkat Kuntala
Biru dari tanah gurun. Tongkat disapukan ke arah Resi Mirpur Patel.
”Dess!
Dess! Desss!”
Tubuh
Resi Mirpur Patel keluarkan letupan sampai tiga kali Resi Khandawa Abitar
berucap setengah membentak seraya kaki kanan dihentakkan ke tanah gurun.
”Pergilah!”
Pedataran
Pasir Gurun Tengger bergetar oleh hentakan kaki Resi Khandawa Abitar. Resi
Mirpur Patel maklum apa yang akan terjadi. Dia berusaha meronta dan menerjang.
Namun tak mampu bergerak.
”Resi
Khandawa Abitar! Aku tidak akan mati! Tidak pernah! Aku akan tetap hidup sejuta
tahun! Aku akan membalas semua perbuatanmu ini !”
”Resi
Mirpur Patel. Kau tidak punya daya, tidak punya kekuatan. Saatnya kau pergi.”
Resi Khandawa Abitar goyang dan putar ujung tongkat biru lalu disentakkan ke
atas. Saat itu juga tubuh Resi Mirpur Patel yang setengah terpendam di tanah
berpasir melesat ke udara, lenyap seolah menembus langit.
Setelah
sosoknya hilang dari pemandangan suara jeritannya masih terdengar mengumandang.
Resi Khandawa Abitar tarik nafas panjang dan dalam lalu bekata.
”Semua
sahabat yang ada disini. Resi jahat itu akan terkatung-katung antara langit dan
bumi. Mati tidak hiduppun tidak. Sekujur tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya
ada satu jalan mencari selamat sementara, itupun kalau dia tahu caranya. Yaitu
masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari yang telah diperbudaknya dengan ilmu setan.”
Resi
Khandawa mendongak menatap ke langit. ”Tujuh manusia katai utusan Sang
Kebenaran. Tugasku sudah selesai.
Apakah
para sahabat bermaksud mengambil kembali Pedang Bulan Sabit?”
Baru saja
ucapan berakhir di langit arah barat kelihatan tujuh titik begemerlap, melayang
ke arah Gurun Pasir Tengger dimana Resi Khandawa Abitar berada. Tak selang
berapa lama tujuh titik berubah membesar dan sesaat kemudian tujuh manusia
katai bersorban yang mengeluarkan cahaya putih sejuk telah berada di tempat
itu. Mereka berdiri berjejer di hadapan Resi Khandawa Abitar. Tujuh pasang kaki
mereka sama sekali tidak menginjak pasir gurun. Tergantung di udara seujung
kuku jari dari tanah. Ketujuh manusia katai membuka sorban masing-masing.
Sorban
diletakkan di atas pasir gurun lalu mereka sama-sama membungkuk memberi hormat.
Resi Khandawa Abitar membalas hormat kamudian melangkah mendekati manusia katai
di sebetah tengah.
”Bukankah
sudah saatnya aku harus mengembalikan Pedang Bulan Sabit? Dan kau serta
kawan-kawan sudah datang menjemput.”
”Resi
Yang Mulia. Apa yang kau katakan tidak keliru.
Sebenarnya
Sang Kebenaran juga mempunyai pesan. Pedang itu kami ambil lantas kami serahkan
pada seseorang yang ada di tempat ini….”
Resi
Khandawa Abitar berpaling ke arah Purnama yang tegak di sampingnya. ”Maksud
kalian pedang akan diserahkan pada gadis cantik berpakaian biru yang berdiri di
sampingku ini?”
”Resi
Yang Mulia. Kami mahluk-mahluk yang punya keterbatasan. Di alam lain selain
alam kami, kami tidak bisa melihat sosok seorang perempuan…”
Sepasang
alis mata Purnama mengerenyit naik ke atas. Resi Khandawa Abitar tersenyum.
”Sayang sekali,” katanya. ”Gadis yang ada di sebelahku bertubuh elok dan
berparas sangat cantik. Kalian benaran tidak mau melihatnya?”
Tujuh
manusia katai termesem-mesem dan saling sikutsikutan satu sama lain. Lalu
adalah seorang dari mereka menjawab. ”Kalau hal itu kami lakukan, Sang
Kebenaran akan murka dan kami tidak bisa kembali lagi ke alam kami.”
”Aku
mengerti.” jawab Resi Khandawa Abitar pula.
”Jadi
bagaimana dengan Pedang Bulan Sabit ini?”
”Kami
akan mengambilnya. Jika Sang Kebenaran kemudian memberikan perintah baru,
ResiYang Mulia pasti akan mengetahui. Paling tidak akan mendapat petunjuk di
dalam samadi” Jawab manusia katai di sebelah tengah lalu dia maju mendekat dan
ambil Pedang Bulan Sabit dari tangan kanan Resi Khandawa Abitar. Setelah
mengenakan sorban kembali dan membungkuk memberi hormat pada Resi Khandawa
Abitar di hadapan tujuh manusia katai keluar tabir asap. Ketika tabir ini
lenyap tujuh manusia katai sudah melayang ke langit dan akhirnya lenyap dari
pemandangan.
Purnama
datang mendekati Resi Khandawa Abitar.
”Gadis
baju biru, aku masih ada satu pekerjaan yang harus dilakukan. Menjauhlah dulu.”
Purnama terpaksa bersurut kembali.
Sang Resi
masukkan ujung tongkat Kuntala Biru ke bagian tongkat emas yang berbentuk bulat
milik Resi Mirpur Patel yang saat itu masih menancap di tanah.
”Tombak
emas Pusaka Langit Ketiga. Kembalilah ke tempat asalmu di Lembah
Godavari!"
Resi
Khandawa Abitar sentakkan ke atas tongkat Kuntala Biru di tangan kanan.
”Tring!”
Terdengar
suara berdering ketika dua tongkat sakti saling beradu disertai memerciknya
bunga api berwarna kuning dan biru.
”Wuttt!”
Tongkat
emas milik Resi Mirpur Patei tercabut dari tanah, melesat Ke udara dengan
kecepatan luar biasa hingga hanya terlihat berupa satu cahaya kuning terang.
Cahaya ini berputar tiga kali di atas Gunung Bromo lalu menderu ke langit dan
akhirnya lenyap dari pemandangan.
Resi
Khandawa Abitar usap wajahnya sampai tiga kali. Ketika dia berpaling ke arah
Purnama ternyata sigadis tidak hanya sendirian di tempat itu. Ada empat orang
lain bersamanya. Sang Resi ingat ke empat orang ini adalah orang-orang yang
tadi dilihatnya sewaktu melayang turun ke Gurun Pasir Tengger.
*********************
ENAM
YANG
pertama sekali diperhatikan Resi Khandawa Abitar adalah si bocah berambut
jabrik Naga Kuning dan nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Sang Resi senyum
mesem-mesem melihat kedua orang ini terutama Naga Kuning. Lalu dia berpaling
pada Ratu Duyung, melirik sekilas pada Purnama seolah ingin membandingkan
kecantikan dua gadis ini. Terakhir sekali matanya dialihkan pada Pendekar 212
Wiro Sableng. Berdiri cukup dekat begitu rupa kini Resi sakti ini dapat melihat
keadaan Wiro lebih jelas. Seperti yang sudah dilihatnya sebelumnya lewat ilmu
Mengulur Matai Menjerat Pandang dia mampu mengetahui keberadaan satu senjata
sakti di dalam tubuh murid Sinto Gendeng. Berhadapan begitu dekat Resi Khandawa
dapat melihat bentuk senjata yang ada dalam tubuh Wiro.
”Kapak
bermata dua….” ucap sang Resi dalam hati. Lebih dan itu dia juga melihat adanya
benda-benda sakti lainnya didalam kantung celana sang pendekar. Lalu dia juga
melihat keberadaan dua buah kitab dibalik pakaian Wiro. Bahkan Resi sakti ini
juga melihati tanda putih di bawah pusar sang pendekar.
”Dua
kitab sakti mandraguna. Satu salinan, satu lagi yang sudah terbakar hangus. Ah
kasihan pemuda ini, dia mengindap satu penyakit sangat menakutkan. Siapa yang
punya pekerjaan.
Resi
Mirpur Patel? Apakah aku bisa menolong pemuda ini? Mudahmudahan Dewa memberi
petunjuk.”
Sadar
kalau dia terlalu lama memperhatikan orang-orang itu Resi Khandawa Abitar buru-buru
membungkuk menghatur hormat.
”Semua
sahabat yang ada di sini, maafkan aku sammpai terkesima melihat orang-orang
gagah seperti kalian. Terima salam hormatku. Aku Resi Khandawa Abitar dari
Gurun Thar di negeri India.” Resi Khandawa perkenalkan diri dan lagi-lagi
unjukkan senyum ketika melihat ke arah Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning. Si
bocah karena merasa, mulutnya yang jahil langsung saja bertanya polos.
”Kek,
dari tadi kau mesem-mesem saja melihat diriku. Apakah ada yang lucu?”
Resi
Khandawa Abitar batuk-batuk beberapa kali. Dia menjawab. ”Sahabatku kecil. Kau
tak pantas memanggil diriku Kakek. Karena kalau tidak salah aku menduga, usiamu
lebih tua dari diriku.”
Naga
Kuning jadi melongo. Gondoruwo Patah Hati cubit pinggang si bocah lalu berbisik.
”Anak
konyol! Kau tidak sadar berhadapan dengan siapa? Kalau bukan Resi ini yang
menolong, kita semua termasuk kau sudah ditimbun pasir topan!”
”Aku
tahu,” menyahuti Naga Kuning. ”Tapi aku juga tahu satu hal lain! Dia pasti
melihat waktu kita saling tindihan dan kau mengusap ke bawah perutku. Itu
sebabnya dia mesem-mesem terus melihat kita! Hik…hik!”
Ucapan
Naga Kuning membuat Gondruwo Patah Hati jadi terdiam.
Wiro maju
mendekati dan membungkuk di hadapan Resi Khandawa Abitar.
”Resi
Khandawa, terima salam hormatku. Namaku Wiro. Gadis di sebelah kanan ini
Purnama…”
”Aku
sudah kenal,” menerangkan Resi Khandawa Abitar.
Wiro
meneruskan sambil menunjuk pada Naga Kuning.
”Anak ini
Naga Kuning, nenek di sebelahnya Gondoruwo Patah Hati dan gadis bermata biru
ini Ratu Duyung.”
”Aku
maklum, kalian semua adalah orang-orang gagah rimba persilatan negeri ini,
berhati baja berkepandaian tinggi.”
”Resi
Khandawa, kami semua di sini mengucapkan terimakasih. Kau telah menolong kami
hingga selamat dari bencana topan gurun pasirTengger.”
”Semua
itu atas kuasa dan kehendak Para Dewa. Harap….” Saat itu tiba-tiba ada
seseorang mendatangi dan begitu sampai di hadapan Resi Khandawa Abitar dia
langsung jatuhkan diri. Orang ini ternyata adalah Resi Jantika Lamantara.
”Resi
Yang Mulia, apa yang barusan diucapkan pemuda ini benar adanya. Saya Resi
Jantika Lamantara dari Kuil Bromo Agung menghaturkan puji syukur dan berterima
kasih padamu.
Kau telah
diutus untuk menyelamatkan kami. Kuil tidak sedikitpun mengalami kerusakan.
Semua barang sesajian yang disiapkan penduduk untuk upacara Kasada besok juga
berada dalam keadaan utuh….”
Resi
Khandawa Abitar pegang bahu Resi Jantika Lamantara dan menolongnya berdiri.
”Semua
adalah atas kehendak dan kuasa Para Dewa.
Perlindungan
itu datang dari Yang Maha Kuasa. Aku sama dan tiada beda dengan dirimu. Kita
adaah orang-orang yang hidup untuk mengabdi pada ummat manusia.”
”Resi
Khandawa dan para sahabat semua. Kalau saja saya boleh mengundang rasanya lebih
baik kita meneruskan pembicaraan di Kuil Bromo Agung tempat kediaman saya…”
”Dengan
senang hati aku menerima undanganmu Resi Jantika. Apa aku akan mendapat suguhan
teh harum. Aku mendengar kabar teh di sini ini lebih sedap dari teh di
daerahku. Apalagi jika dicampur pemanis gula merah.”
Resi
Jantika berjalan paling depan mendampingi Resi Khandawa. Wiro dan yang
lain-lain mengikuti di belakang. Sang surya yang bersinar cukup terik tidak
terasa panas karena hawa gunung yang sangat sejuk mampu membendung keterikan
itu.
Sampai di
Kuil Bromo Agung tempat kediaman Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji
Sumabarang, para tamu disuguhi teh manis bergula merah serta singkong dan ubi
rebus hangat.
”Buah
putih panjang dan merah bulat yang direbus ini.” kata Resi Khandawa Abitar
sambil menunjuk pada singkong dan ubi rebus, ”Tak ada di negeriku. Sungguh
sedap…" Sang Resi menyeka bibirnya lalu meneruskan ucapan. ”Kailan semua
disini tadi menyaksikan bagaimana aku telah mempecundangi Resi Mirpur Patel,
yang kalian kenal sebagal insan tanpa wajah Itu.
Namun
karena dia tidak mati, aku yakin dia akan melakukan pembalasan. Karena itu aku
mengingatkan agar kalian semua terus berhati-hati. Sekarang, kalau boleh aku
ingin menanyakan beberapa hal pada kalian. Aku mulai dengan sahabat berbaju
biru.
Purnama,
waktu di gurun tadi kau menyebut nama Deewana Khan. Dia salah satu orang
kepercayaanku. Tapi aku punya firasat dia sudah lama meninggalkan dunia fana
ini. Bagaimana kejadiannya kau mengenal Deewana Khan?”
Purnama
lalu menuturkan peristiwa sewaktu Deewana Khan menemuinya dan menyerahkan dua
kitab bernama Kitab Jagat Pusaka Dewa. Satu kitab asli tapi dalam keadaan
hangus, satunya salinan yang tidak dapat dibaca karena semua halamannya kosong
melompong.
”Deewana
Khan keadaannya sangat mengerikan. Mukanya berlumuran darah. Mata kanan hanya
merupakan rongga besar menggidikkan…”
”Itu
pasti pekerjaan Resi Mirpur Patel," kata Resi Khandawa Abitar pula. ”Kau
menerangkan Deewana Khan menyerahkan dua buah kitab. Dimana kau simpan dua
kitab itu sekarang?”
Sebenarnya
dari penglihatannya Resi Khandawa Abitar sudah tahu kalau dua kitab itu berada
pada pemuda gondrong yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia bertanya sekedar
untuk menguji kejujuran sahabat-sahabat barunya itu.
Purnama
menjawab. ”Deewana Khan berpesan agar dua buah kitab diserahkan pada sahabat
Wiro. Karena katanya hanya Wiro yang sanggup memecahkan rahasia yang ada dalam
kitab.”
”Benar
Resi, dua buah kitab itu ada padaku. Karena aku yakin dua kitab adalah milikmu
maka aku akan menyerahkan padamu.”
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan dua buah kitab dimaksud lalu menyerahkan pada
Resi Khandawa Abitar. Sang Resi meletakkan dua buah kitab di atas dadanya. Wiro
menjelaskan. ”Berdasarkan petunjuk dalam kitab yang hangus aku dan Purnama
mendatangi Gunung Bromo dan bertemu dengan seorang manusia dari alam gaib
mengaku bernama Suma Mahendra. Dia banyak membantu memberi penjelasan. Menurut
Suma Mahendra ratusan tahun silam dia menitis masuk ke dalam tubuh seorang bayi
bernama Cakra Mentari…”
Belum
selesai Wiro menutur, Resi Khandawa Abitar mengangkat tangan kanan. ”Cakra
Mentari! Itulah pemuda yang menjadi budak ilmu sesat Resi Mirpur Patel.
Bukankah dia yang telah mencelakai dirimu?”
Wiro
mengangguk.
”Bukankah
dia juga yang memperkosa dan membunuh sekian banyak gadis tak berdosa?”
Wiro
mengangguk lagi.
”Jika
kelak kau berhadapan dengan dirinya kuraslah tiga ratus lima bunga tanjung yang
ada dalam tubuhnya. Niscaya dia tidak akan berdaya.”
”Suma
Mahendra juga mengatakan hal itu,” berucap Purnama. ”Namun sayang dia tidak
menerangkan bagaimana cara menguras bunga tanjung yang ada dalam tubuh Cakra
Mentari.
Apakah
Resi Khandawa mengetahui sesuatu?”
Resi
Khandawa Abitar yang duduk bersila di lantai kuil letakkan dua kitab di
pangkuan lalu mengambil Tongkat Kuntala Biru. Dia minta Wiro mengembangkan
telapak tangan kanan lalu ujung tongkat ditempelkan ke telapak yang terkembang.
Sesaat kemudian tongkat biru tampak bergetar. Satu aliran cahaya biru menjalar
dari ujung yang berkeluk ke ujung yang menempel di telapak tangan Wiro. Ketika
cahaya biru menyentuh telapak tangan itu ujung tongkat Kuntala Biru mengepul
dan terpental ke atas setinggi setengah jengkal. Wiro sendiri merasakan
tubuhnya seperti dihenyak dibenamkan ke lantai kuil, keringat membanjir,
pakaiannya sampai kuyup. Pada bagian bawah pusarnya dimana terdapat tanda putih
bekas tempelan bunga tanjung terasa mendenyut sakit seperti ditusuk puluhan
jarum. Sampai-sampai rahangnya menggembung menahan sakit.
Resi
Khandawa Abitar kerenyitkan kening. Dia membungkuk memperhatikan telapak tangan
Wiro. Samar-samar dia melihat ada tulisan tiga angka di telapak tangan itu.
Angka 212. Seperti yang diriwayatkan, ketika Eyang Sinto Gendeng mewariskan ilmu
kesaktian pada Pendekar 212 di puncak Gunung Gede, nenek sakti itu telah
membuat jarahan angka 212 dengan jarum di dada sang murid. Angka ini kemudian
dilenyapkan oleh Ki Gede Tapa Pamungkas karena menurut guru Sinto Gendeng ini
tanda jarahan tiga angka itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudarat
ketidakbaikan dari pada manfaat kebaikan. Musuh secara mudah mengenali Wiro.
Selain
angka 212 di dada, Eyang Sinto juga memasukkan angka 212 ke dalam telapak
tangan Wiro. Telapak tangan yang mengandung racun itu bisa membunuh lawan
dengan sekali hantam saja. Ketika pertama kali turun gunung Wiro memang sering
mempergunakan ilmu kesaktian ini. Semua orang jahat yang dihajarnya tewas
dengan tanda angka 212 hitam gosong di keningnya. Kalaupun orang yang dipukul tidak
sampai mati namun seumur hidup angka 212 di keningnya tidak bisa dilenyapkan.
Rimba persilatan di tanah Jawa geger. Banyak yang berpendapat bahwa mati dengan
tanda angka 212 di keningnya bagi para penjahat sudah cukup pantas. Namun
banyak pula yang menganggap hal itu sebagai tindakan kekejaman. Selanjutnya
Wiro jarang mempergunakan ilmu pukulan ini karena selain tidak mau meninggalkan
tanda pamer diri, dia juga tidak mau dicap sebagai pendekar muda yang sombong.
Melihat
apa yang terjadi Resi Khandawa Abitar berkata.
”Ah …
maafkan aku yang tidak tahu. Pintu masuk rupanya sudah ada yang menjaga. Anak
muda, mohon ganti tangan kananmu dengan tangan kiri.”
*********************
TUJUH
WIRO
garukkan dulu tangan kirinya ka kepala baru diulurkan. Telapak tangan
dikembang. Seperti tadi kembali Resi Khandawa Abitar letakkan ujung tongkat
Kuntala Biru di atas telapak tangan kiri Pendekar 212. Cahaya biru mengalir
lagi dari gagang tongkat yang berkeluk sampai ke ujung tongkat dan masuk ke
dalam tangan Wiro. Kali ini tidak terjadi apa-apa malah Wiro merasa ada hawa
sejuk masuk ke dalam tubuhnya. Untuk beberapa saat tubuh murid Sinto Gendeng
ini dikerlapi cahaya biru. Ketika kerlap cahaya biru lenyap, Wiro memperhatikan
ada keanehan dengan lima kuku jari tangan kirinya. Lima kuku itu tampak
berwarna biru muda dan kuning keputihan, tergantung dari arah mana seseorang
melihatnya.
”Anak
muda, ketahuilah saat ini aku telah meminjamkan ilmu kesaktian bernama Menguras
Bahala Menyedot Petaka. Ilmu ini hanya bisa dipergunakan satu kali saja. Kalau
kau kesalahan memakai, misal bukan ketika berhadapan dengan lawan lain dan
bukan Cakra Mentari, maka sewaktu kau bertarung melawan Cakra Mentari kau tidak
lagi memiliki ilmu itu dan seumur hidupnya Cakra Mentari akan merajalela
menebar kejahatan. ”Resi Khandawa Abitar tarik tongkat saktinya kembali,
diletakkan di lantai di samping kanan. Lalu melanjutkan bicara. ”Wiro, bilamana
kau berhadapan dengan pemuda bernama Cakra Mentari itu, apapun yang
dilakukannya kau hanya tinggal mengangkat tangan kiri dengan mengembangkan
telapak tangan. Arahkan telapak tanganmu ke bagian kepala. Maka tiga ratus lima
bunga tanjung yang ada dalam tubuhnya dan merupakan sebagian dari kekuatannya
akan tersedot keluar lewat ubun-ubun di batok kepalanya. Ingat hal ini. Bunga
tanjung akan keluar lewat ubunubun di atas kepalanya. Bilamana bunga tanjung
tidak keluar dari ubun-ubun di kepala, misal keluar melalui mulut atau telinga,
atau dada dan bagian tubuh lainnya, maka orang yang menjadi lawanmu itu
sebenarnya bukanlah Cakra Mentari. Tapi bisa saja jejadiannya….”
”Wah
repot juga ya Resi!” si bocah berambut jabrik Naga Kuning nyeletuk.
Resi
Khandawa Abitar tersenyum. ”Satu hal lagi yang perlu kau ketahui. Dari semua
bunga itu hanya tiga ratus empat yang jatuh luruh dan mengering ke tanah. Satu
sisanya akan melayang di udara, sampai dia menemui seseorang yang ketitipan
bunga tanjung yang mencelakai dirimu…”
Sampai di
situ tiba-tiba Naga Kuning tertawa geli.
Gondoruwo
Patah Hati cepat mencekal kuduk bocah ini. ”Anak konyol! Jangan kau berani
macam-macam! Apa yang ada di otakmu! Pasti yang kotor-kotor!”
”Tidak
apa,” ucap Resi Khandawa Abitar. ”Sobat kecil Naga Kuning, boleh tahu apa yang
membuat kau barusan tertawa geli?”
”Maafkan
saya Resi,” jawab Naga Kuning. ”Waktu bertemu orang bernama Suma Mahendara di
kawah Gunung Bromo, orang itu mengatakan bahwa untuk mengalahkan pemuda bernama
Cakra Mentari lebih dulu harus mengalahkan mahluk pelindung yaitu mahluk tanpa
wajah yang ternyata adalah Resi bernama Mirpur Patel itu. Caranya dengan menghancurkan
atau merampas tongkat emasnya. Resi tadi telah melakukan hal itu.
Mengembalikan
tongkat emas ke tempat asalnya…”
”Tak ada
yang lucu dengan tongkat itu. Lalu apa yang sampai membuatmu tertawa geli?”
tanya Resi Khandawa pula.
”Memang
bukan tongkat itu yang membuat saya geli. Tapi ada hal yang lain,” jawab Naga
Kuning.
”Gunung!
Kau pasti hendak bicara yang bukan-bukan!”
bentak
Gondoruwo Patah Hati kembali marah melihat tingkah dan ucapan si bocah berambut
jabrik yang sebenarnya adalah kekasihnya sendiri.
”Nek, aku
bicara kenyataan. Bukan mau usil atau kurang ajar. Kau sendiri mendengar
keterangan Suma Mahendra waktu di kawah Gunung Bromo. Menurut orang dari alam
gaib itu, bunga tanjung yang dipakai untuk mencelakai sahabat kita Wiro konon
berada dalam kemaluan perempuan dari alam gaib yang pernah berusaha
menolongnya. Resi Khandawa, karena ingat hal itu membuat saya jadi tertawa
geli… !”
Resi
Khandawa sendiri akhirnya tidak dapat menahan tawa. Setelah mengusap wajahnya
yang kemerahan beberapa kali, dia bertanya pada Wiro.
”Apakah
kau ingat siapa perempuan dari alam gaib yang telah menolongmu?”
Wiro
menggeleng. ”Saat itu aku berada dalam keadaan pingsan.”
”Tak jadi
apa.” Ucap sang Resi. ”Satu bunga tanjung yang keluar dari tubuh pemuda bernama
Cakra Mentari yaitu bunga ke tiga ratus lima akan membimbingmu menemukan
perempuan itu.”
”Resi
Khandawa,” kembali Naga Kuning bersuara. ”Kalau sudah bertemu, lalu bagaimana
caranya mengambil bunga tanjung itu dari dalam anunya perempuan itu?
Hik…hik..hik! Apa harus dikorek pakai jari tangan atau pakai lidi atau….”
Naga
Kuning tidak dapat meneruskan ucapannya karena rambutnya yang jabrik keburu
dijambak oleh Gondoruwo Patah Hati yang sudah sangat geregetan lalu bocah ini
dibembengnya keluar dari dalam Kuil Bromo Agung.
Resi
Khandawa, Resi Jantika dan Resi Aji Sumabarang tampak senyum-senyum sementara
Wiro garuk-garuk kepala sedang Ratu Duyung dan Purnama pura-pura memandang ke
jurusan lain. Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang tundukkan kepala
sambil mempermainkan kalung berbentuk tasbih besar terbuat dari kayu.
”Resi
Khandawa,” berkata Wiro. ”Aku rasa, walau terdengar agak kurang ajar apa yang
tadi ditanyakan Naga Kuning ada benarnya. Kalau bunga tanjung yang mencelakai
diriku ada di dalam anunya perempuan alam gaib itu, siapapun akan kesulitan
mengambilnya. Karena menurut petunjuk lebih lanjut dari Suma Mahendra bunga
tanjung satu itu harus di tanam di tanah, di bawah pohon tanjung, di antara dua
akar yang tumbuh sejajar.”
Resi
Khandawa Abitar merenung sejurus. Akhirnya dia berkata.
”Suma
Mahendra tidak memberi tahu karena memang sulit memberi petunjuk. Aku sendiri
tidak dapat memberi tahu bagaimana caranya. Tapi sementara waku berjalan
mudahmudahan Dewa Agung akan memberi petunjuk padamu atau pada salah seorang
sahabat yang ada di sini. Bisa saja petunjuk itu di dapat sahabat kecil bernama
Naga Kuning tadi.”
Resi
Khandawa senyum-senyum lalu letakkan ujung tongkat saktinya di atas paha kiri
Wiro dan berkata.
”Jika kau
berhadapan dengan Cakra Mentari, kebenaran harus ditegakkan. Namun harus selalu
kau ingat. Di atas kebenaran itu ada akal sehat yang bernama kebijaksanaan.
Cakra Mentari sebenarnya bukan manusia jahat. Dia ditipu, dijebak dan tersesat
lalu dijadikan alat oleh Resi Mirpur Patel alias insan tanpa wajah. Dijadikan
alat untuk mendapatkan ilmu kesaktian luar biasa.”
”Kira-kira
ilmu kesaktian apakah itu, Resi Khandawa?” tanya Ratu Duyung yang untuk pertama
kalinya bicara.
Resi
Khandawa Abitar tatap wajah cantik bermata biru itu sesaat. ”Sahabat bermata
biru yang membekali batu ampuh pusaka sakti dari dasar samudera… ” ucap sang
Resi yang membuat Ratu Duyung terkesiap karena memang saat itu dia masih
membekai Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pinjaman Nyi Roro Kidul. ”Saat
ini Cakra Mentari memiliki satu ilmu pukulan sakti bernama Tiga Cahaya Alam
Gaib. Jika ilmu dikeluarkan maka tiga cahaya akan memancar. Merah, biru dan
hijau. Kehebatannya hanya beberapa tingkat dibawah tongkat emas milik Resi
Mirpur Patel…”
”Kami
sudah beberapa kail diserangnya dengan pukulan itu.
Ganas
sekali…” Menerangkan Purnama.
”Ilmu
kesaktian itu didapatnya dari Resi Mirpur Patel melalui kitab sesat yang dibuat
sang Resi. Kadar kesaktian dan kekuatan yang ada pada ilmu pukulan yang kini
dimiliki Cakra Mentari belum apa-apa.Tidak beda dengan sebuah biji buah kecil
yang ditanam di tanah. Kalau sudah tumbuh menjadi pohon besar dan berbuah, Resi
Mirpur Patel tinggal memetiknya. Inilah permulaan dari satu bencana besar. Saat
itu kadar kesaktian dan kekuatan ilmu bisa melebih seratus kali kekuatan yang
ada saat ini.
Rasanya
tidak akan ada lawan yang bisa menandingi.”
Untuk
beberapa saat ruang pendapa Kuil Bromo Agung diselimuti kesunyian karena tak
ada yang bicara.
Resi
Khandawa menatap dua buah kitab yang ada di pangkuannya. Kitab yang hangus
diambil dengan tangan kanan, diacungkan di atas kepala sambil mulut berkomat
kamit membaca doa. Lalu dia meniup ke arah kitab.
”Wusss!”
Serta
merta Kitab Jagat Pusaka Dewa asli yang telah hangus itu berubah jadi asap
putih. Asap melayang berputar ke atas dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
Saat itu juga di dalam Kuil menebar bau harum setanggi.
Kini di
pangkuan Resi Khandawa Abitar hanya tinggal salinan asli Kitab Jagat Pusaka
Dewa. Untuk beberapa lama sang Resi tatap kitab itu. Lalu kitab diambil.
Halaman kosong dibolak balik.
Mata
kemudian dipejam. Begitu mata dibuka kitab diletakkan kembali di atas pangkuan
lalu sang Resi mengambil tongkat Kuntala Biru yang tergeletak di samping
kanannya. Tongkat sakti diletakkan melintang di atas kitab. Resi Khandawa
berpaling pada dua Resi di kiri kanannya yaitu Resi Jantika Lamantara dan Resi
Aji Sumabarang.
”Resi
berdua, bantu saya memanjatkan doa Mencapai Kesempurnaan Melalui Kuasa Sang
Pencipta.”
”Kami
akan melakukan,” jawab dua Resi Kuil Bromo Agung berbarengan.
Ketiga
Resi lalu berdoa penuh khidmat sementara Wiro dan yang lain-lainnya
memperhatikan sambil bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Resi Khandawa Abitar.
Apakah dia juga akan memusnahkan salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang ada di
pangkuannya itu?
Sampai
saat itu Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati masih berada di luar Kuil.
Tiba-tiba
tongkat Kuntala Biru bergetar. Satu cahaya hitam berkiblat di wuwungan Kuil
Bromo Agung, menembus atap, masuk ke dalam batang tongkat lalu lenyap di dalam
kitab.
Resi
Khandawa Abitar hentikan berdoa, melepas nafas lega.
Buka
kedua mata. Hal yang sama dilakukan oleh dua Resi di kiri kanannya. Dengan
hati-hati Resi Khandawa pindahkan tongkat saktinya, kembali diletakkan di
lantai di samping kanan. Lalu dia ambil salinan Kitab Jagat Pusaka Dewa yang
ada dipangkuan.
Halaman di
bolak balik. Ternyata halaman yang tadi kosong kini telah ada tulisannya,
berwarna hitam. Pada sampul kitab yang agak tebal tertulis besar ”Kitab Jagat
Pusaka Dewa".
”Bagaimana
mungkin…?” ucap Purnama dalam hati.
Resi
Khandawa Abitar membolak balik sekali lagi kitab yang dipegangnya itu lalu
mendekapkan ke dada. Sepasang mata menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
”Sahabat
muda, saya akan menyerahkan kitab ini padamu..”
”Apa Resi
?” Murid Sinto Gendeng terkejut.
”Kitab
Jagat Pusaka Dewa ini akan saya berikan padamu. Bersediakah kau menerimanya?”
Wiro
menggaruk kepala. Tersenyum. Lalu menjawab. ”Anu Resi…… Aku, aku tidak berani
menerima kitab itu…” jawab Wiro yang membuat Ratu Duyung dan Purnama serta dua
orang Resi tidak percaya.
”Wiro, di
dalam kitab ini terdapat tiga ilmu kesaktian langka yang tidak sembarang orang
bisa menguasai. Aku sendiri hanya memiliki satu dari tiga ilmu itu. Mengapa kau
menolak menerimanya?”
Wiro
menggaruk kepala kembali.
”Mohon
maafmu Resi Khandawa. Aku merasa budi Resi terhadap kami sudah demikian besar.
Kalau bukan Resi yang menghentikan topan itu, mungkin kami semua sudah jadi
mayat dibawah timbunan pasir. Kalau bukan Resi yang menyelamatkan mungkin
bangunan Kuil ini sudah sama rata dengan gurun pasir Tengger. Aku sangat berterimakasih
dengan niat Resi. Sekali lagi mohon maafmu…”
Lama Resi
Khandawa Abitar memandangi wajah Pendekar 212. Dia sendiri seperti tidak
percaya bahwa si pemuda akan menolak pemberian kitab itu.
”Segala
budi besar itu hanya alasannya belaka…” ucap sang Resi dalam hati. ”Alasan
sebenarnya adalah dia tidak mau serakah dalam memiliki ilmu kepandaian.
Padahal….Ah, dia memang seorang pendekar sejati.”
Resi
Khandawa Abitar akhirnya tersenyum.
”Saat ini
kau tidak mau menerima. Satu hari kelak mungkin hatimu tergerak dan berubah
pikiran. Jika itu terjadi maka datanglah ke sini untuk mengambil kitab.
Letakkan telapak tanganmu di lantai Kuil ini, kerahkan tenaga dalam dan Kitab
Jagat Pusaka Dewa akan menyembul keluar dari tempat penyimpanannya.”
Selesai
berucap Resi Khandawa Abitar letakkan salah satu ujung sudut kitab ke lantai
Kuil yang terbuat dari batu pualam.
Lalu dia
mengerahkan tenaga dalam.
”Seetttt!”
Kitab
Jagat Pusaka Dewa lenyap dari pandangan mata, amblas masuk ke dalam lantai
Kuil. Bersamaan dengan itu, seperti tadi udara di dalam Kuil Bromo Agung
dipenuhi harum bau setanggi dibakar.
”Para
sahabat, saatnya saya harus pergi.” Resi Khandawa Abitar ambil tongkatnya lalu
berdiri.
Saat itu
Juga Resi Jantika Lamantara dan Resi Aji Sumabarang cepat-cepat berdiri.
”Resi
Khandawa, kami akan sangat berbahagia bila Resi mau menginap barang satu malam
di Kuil Bromo Agung ini. Besok adalah hari Kasada, hari besar dan suci ummat
Hindu di negeri ini.
Kami
ingin Resi Khandawa mau merayakan bersama kami.”
Resi
Khandawa kempit tongkat Kuntala Biru lalu pegang bahu dua Resi di hadapannya.
”Aku akan
berdoa bagi Resi serta seluruh ummat Hindu di negeri ini.” Kata Resi Khandawa
Abitar pula.
Tiba-tiba
Wiro yang saat itu juga hendak bangkit berdiri terduduk kembali di lantai Kuil.
Ratu
Duyung mendekati. ”Ada apa?” tanya gadis bermata biru ini.
”Resi
Khandawa, jangan pergi dulu. Ada seseorang memberi pesan padamu dari jauh…”
Ucap Wiro. Saat itu murid Sinto Gendeng ini mendengar satu suara mengiang di
telinga kirinya.
Wiro
mengagguk-angguk sambil menggaruk kepala. Matanya melirik pada Ratu Duyung,
lalu memperhatikan Resi Khandawa.
Setelah
suara mengiang lenyap baru Wiro mampu bangkit berdiri.
”Ada
apa?” tanya Resi Khandawa pula.
”Seorang
sahabat berkirim pesan dari dasar samudera selatan untuk Resi.”
Sepasang
alis Ratu Duyung naik ke atas. Nyi Roro Kidul? Pikir gadis cantik yang berasal
dari samudera selatan itu.
”Siapa?
Pesan apa?” Bertanya Resi Khandawa.
”Yang
berpesan namanya Nyi Roro Manggut. Pesannya begini. Jika Resi kembali ke negeri
Resi, sejarak seribu tombak sebelum sampai ke tempat kediaman Resi, Resi harus
membuka pakaian, memakainya kembali secara terbalik dan selempangnya kalau
sekarang dari bahu kiri ke bawah harap diganti dari bahu kanan ke bawah.”
Wajah
Resi Khandawa Abitar yang bertubuh tinggi besar itu tampak berubah. Dia
mengusap selempang kain biru yang jadi pakaiannya.
”Sahabat
muda, aku yakin kau tidak sedang bergurau.
Benar?”
Sang Resi bertanya dengan pandangan mata tidak berkesip.
”Tidak
Resi, aku tidak bergurau.”
”Ada
seseorang yang ingin membuatku tersesat, menghalangiku kembali pulang untuk
selama-lamanya. Ada seseorang menebar Bubuk Penyesat Mata Dan Rasa. Mirpur
Patel!
Pasti
dia. Kapan dia melakukan? Sebelum kusedot untuk datang kehadapanku tadi?”
Resi
Khandawa Abitar pegang bahu Pendekar 212 dan berkata. ”Saya berterima kasih.
Sangat berterima kasih. Pesan sahabatmu yang bernama Nyi Roro Manggut itu akan
saya lakukan. Saya baru tahu kalau begitu cara menangkal ilmu yang menyesatkan
itu. Sampaikan salam dan terima kasih saya pada Nyi Roro Manggut. Suatu ketika
saya ingin berkenalan dan bertemu dengannya. Para sahabat, jaga diri kalian
baik-baik. Saya pergi sekarang…”
Gema
suara sang Resi belum lenyap namun orangnya sudah tidak kelihatan lagi. Di luar
Kuil Naga Kuning merasa ada seseorang menepuk bahunya. Bocah ini berpaling. Dia
hanya melihat bayangan biru berkelebat. Bocah ini melirik pada Gondoruwo Patah
Hati yang mengenakan pakaian jubah biru.
”Nek, kau
barusan mencolekku ya?” Naga Kuning bertanya.
”lhh….Apa
enaknya mencolokmu?” Jawab si nenek menyemprot.
”Enak
mungkin tidak. Tapi mungkin kau ingat-ingat peristiwa tadi waktu kita saling
tindih. Jangan-jangan, mungkin saja kau jadi kepingin ditindih lagi.
”Hik.Hik!”
”Bocah
edan! Kau ini tidak kapok-kapoknya bicara jorok !”
Gondoruwo
Patah Hati hendak menjewer telinga Naga Kuning.
Tapi anak
ini cepat-cepat kabur masuk ke dalam Kuli. Saat itulah dia baru tahu kalau Resi
Khandawa Abitar yang berpakaian selempang kain biru tak ada lagi di tempat itu.
Dia berpaling pada si nenek yang mengikuti di sebelah belakang.
”Nek, aku
sudah tahu siapa tadi mencolekku,” kata Naga Kuning pula.
”Siapa?”
tanya Gondoruwo Patah Hati.
”Ya
sampean!” jawab si bocah lalu tertawa cekikikan sambil lari menjauh.
*********************
DELAPAN
SETELAH
dirinya dilempar ke udara oleh Resi Khandawa Abitar, Resi Mirpur Patel untuk
beberapa lama masih melayang beputar-putar di utara Gurun Pasir Tengger. Ketika
dia melihat tongkat emas Pusaka Langit Ketiga miliknya melesat di udara, Resi
Mirpur Patel berusaha menyambar tongkat sakti itu. Namun kekuatan ilmu Seribu
Titik Tanpa Daya yang diterapkan Resi Khandawa Abitar atas dirinya masih
berpengaruh besar sehingga sekujur tubuh belum mampu bergerak leluasa. Selain itu
akibat tusukan Pedang Bulan Sabit yang dilakukan Resi Khandawa Abitar di
keningnya membuat tubuhnya terasa panas tidak beda seperti bara menyala! Suara
jeritan menggidikkan tidak berhenti menyembur keluar dari mulut sang Resi.
Sekali sekali disertai kutuk serapah.
”Jahanam
Resi Khandawa! Aku tidak akan pernah mati! Kau tidak akan pernah menamatkan
riwayatku! Tunggu pembalasanku!”
Menjelang
tengah hari kekuatan yang membungkus tubuhnya sehingga sulit bergerak mulai
lenyap. Namun sebaliknya hawa panas yang menyelubungi dirinya semakin
menjadi-jadi. Asap mengepul dari ubun-ubun, mata, telinga, hidung dan mulut.
Resi
Mirpur Patel yang sosoknya kini tidak berdaging dan nyaris menyerupai
jerangkong melesat ke arah barat sambil terus menjerit-jerit.
”Cakra
Mentari! Dimana kau?! Cakra Mentari! Dimana kau?!”
teriak
sang Resi berulang kali. Kehilangan ilmu kesaktian ditambah hawa panas yang membara
membuat Mirpur Patel kini tidak punya kemampuan penuh secara cepat dan tepat
untuk menerapkan Ilmu penjajag yang selama ini dimilikinya. Baru menjelang
petang setelah mengendus udara berulang kali dia berhasil memperkirakan dimana
beradanya pemuda bernama Cakra Mentari. Yaitu di satu tempat di selatan Gunung
Merapi di pertengahan pulau Jawa.
”Aku
harus keluar dari tubuhku sendiri. Aku harus lenyap dari jazad celaka membara
ini! Aku harus dapat mencapai pemuda itu sebelum matahari terbit.”
Mirpur
Patel yang juga dikenal sebagal insan atau mahluk tanpa wajah melesat ke arah
barat. Gerakannya lamban. Bukan saja karena dia tidak mampu mengerahkan ilmu
kesaktian, tapi juga sebagal akibat dari kehilangan tongkat emas sakti. Hawa
panas yang memuncak membuat tubuhnya berpijar-pijar dan mengeluarkan suara
meletup-letup.
************************
PEMBACA
masih ingat gadis cantik bernama Banjaratih di Kuto Gede? Yang selamat dari
perbuatan jahat Cakra Mentari setelah ditolong oleh Liris Biru,walau akhirnya
Liris Biru sendiri menemui ajal di tangan Cakra Mentari. (Baca serial Wiro
Sableng sebelumnya berjudul ”Sang Pemikat”).
Setelah
kehilangan jejak gadis cantik berpakaian kuning bertubuh luar bisa mempesona
mengaku bernama Dewi, sementara gairah nafsu bejatnya terus menyala berkobar, Cakra
Mentari kembali ingat pada Banjaratih.
”Rumah
kediaman gadis itu pasti masih dikawal ketat. Aku harus berlaku nekad. Aku
harus dapatkan gadis itu secara mulus.
Malam ini
juga!” Cakra Mentari membanding-bandingkan kecantikan dan kebagusan tubuh
Banjaratih dengan gadis berpakaian kuning bernama Dewi.
”Edan!
Aku tergila-gila pada dua gadis itu! Aku harus mendapatkan keduanya! Tapi jika
aku berhasil mengagahi mereka berarti aku melebihi hitungan! Menurut petunjuk
dalam kitab Jagat Pusaka Alam Gaib aku harus meniduri empat puluh satu gadis.
Aku sudah mendapatkan empat puluh gadis. Masih bersisa satu. Yang ada justru
dua orang!” Cakra Mentari senyum-senyum sendiri. ”Perduli setan! Agaknya sudah
jadi rejekiku. Banjaratih
dan Dewi
harus aku dapatkan! Banjaratih lebih dulu.
”Keberadaannya
sudah ketahuan. Dia pasti masih berada di sana. Aku harus kembali ke Kuto Gede
sebelum matahari terbit.”
Seperti
diceritakan dalam serial sebelumnya (Sang Pemikat) setelah selamat dari tangan
Cakra Mentari dan setelah Setan Ngompol meninggalkan Kuto Gede untuk
menyemayamkan Janazah Liris Biru di Cadas Biru, para tokoh di Kuto Gede yang
malam itu ikut mengawal dan bantu menyelamatkan Banjaratih saling membagi
tugas. Ki Lawang Bakar guru silat terkenal di Kuto Gede bersama beberapa orang
menyusul Setan Ngompol ke Cadas Biru untuk bantu mengurus penguburan Jenazah
Liris Biru.
Ki Bayu
Sleman yang Kepala Desa Kuto Gede pergi ke Kotaraja untuk minta tambahan
pasukan. Sementara Ki Bening Surah, pemilik rumah makan di Kuto Gede mengatur tempat
persembunyian rahasia yang baru bagi Banjaratih bersama ibunya, Ni Suwita.
Semua tugas dilakukan maiam itu juga.
Ki Bening
Surah memilih rumah makannya untuk menjadi tempat mengungsi menyelamatkan
Banjaratih dan ibunya.
Karena
rumah makan itu siang malam selalu ramai pengunjung maka akan lebih mudah
mengamankan si gadis bersama ibunya.
Dua
perempuan ini dibawa dengan gerobak besar, ditutupi dengan tikar. Di atas tikar
diletakkan jerami kering. Ki Bening Surah menunggang kuda di sebelah depan, di
kiri kanan dan belakang gerobak mengiring masing-masing dua orang bersenjata
golok. Malangnya, ketika gerobak meluncur ke arah tenggara Kuto Gede dimana
terletak rumah makan sekaligus kediaman Ki Bening Surah, pemuda berpakaian
serba hitam berikat kepala kain merah Cakra Mentari memasuki Kuto Gede dari
arah berlawanan. Ketika telinganya menangkap suara deru roda gerobak yang
dipacu kencang pemuda ini segera melompat ke atas pohon di tepi jalan.
Tak lama
menunggu dia melihat Ki Bening Surah menunggang kuda di sebelah depan. Di
belakangnya mengikuti gerobak membawa tumpukan jerami kering.
Otak
cerdik Cakra Mentari segera saja bekerja. ”Kalau cuma membawa jerami kering
mengapa dikawal begitu banyak orang?
Hemm…”
Cakra Mentari bergumam. Menyeringai sambil usapusap janggut tipisnya. Begitu
rombongan lewat dia cepat melayang turun. Langsung mendarat di punggung kuda
sebelah belakang salah seorang pengawal paling akhir. Sekali memelintir tulang
leher pengawal remuk patah. Si pengawal kemudian di lempar ke tepi jalan setelah
lebih dulu melucuti goloknya. Apa yang terjadi rupanya terlihat oleh seorang
pengawal di samping kereta sebelah kiri. Dia hendak berteriak. Namun golok yang
dilemparkan Cakra Mentari menancap tepat di dada arah Jantung membuatnya
langsung roboh bergelimang darah. Kuda yang ditunggangi meringkik keras.
Kehebohan tidak dapat dihindari.
Cakra
Mentari menggebrak kuda tunggangannya sejarak dua tombak ke depan lalu melompat
ke atas gerobak. Kusir gerobak, seorang lelaki tinggi besar berkepala botak di
hantam dengan tendangan hingga terpental jatuh dari gerobak, tergelimpang
pingsan di tanah dengan lima tulang iga patah!
Ketika
menyaksikan apa yang terjadi dan melihat pemuda berpakaian serba hitam kejut Ki
Bening Surah bukan alang kepalang.
”Pemuda
terkutuk Cakra Mentari! Dia berani kembali!”
Pemilik
rumah makan yang punya kepandaian silat lumayan tinggi ini cabut golok di
pinggang sambil berteriak memerintahkan semua orang yang ada di situ naik ke
atas gerobak menyerbu Cakra Mentari. Dia sendiri telah lebih dulu memepet
gerobak dan menyerang Cakra Mentari yang kini memegang kendali kuda hitam
penarik gerobak. Golok besar di tangan kanan Ki Bening Surah berkesiuran
menyambar ke pinggang kiri Cakra Mentari.
Bagaimanapun
semua orang itu walau berjumlah lebih banyak tidak ada artinya dengan kehebatan
Cakra Mentari yang hanya seorang diri. Ki Bening Surah roboh lebih dulu dengan
kepala pecah kena keprukan tangan kiri Cakra Mentari setelah gagal membabat
pinggang si pemuda. Lalu dua orang lagi menjerit, terbanting roboh ke tanah
jalanan. Salah seorang malah tergilas roda gerobak lehernya hingga putus
nyawanya saat itu juga!
Melihat
apa yang terjadi nyali orang-orang yang masih hidup leleh sudah. Tidak pikir
panjang lagi, tidak perduli dengan tugas yang harus mereka laksanakan, semuanya
menggebrak kuda masing-masing lalu kabur melarikan diri. Yang penting adalah
menyelamatkan nyawa lebih dulu!
Cakra
Mentari memacu kuda hitam penarik gerobak menuju luar desa desa Kuto Gede
sebelah barat hingga akhirnya sampai di satu daerah pemakaman tua yang tak
terpelihara, sunyi dan gelap. Dia melompat ke bagian belakang gerobak.
Membongkar tumpukan jerami kering. Menemukan sebuah tikar daun pandan.
Ketika
tikar disingkap dua perempuan yang berbaring di lantai gerobak sama-sama
berpekikan. Ternyata memang Banjaratih dan Ni Suwita disembunyikan di dalam
gerobak itu. Ibu dan anak ini ketakutan setengah mati. Terus menjerit-jerit
sebelum diancam.
”Kalau kalian
berdua masih terus menjerit, aku bunuh saat Ini juga!” Walau mengancam namun
suara Cakra Mentari terdengar lembut. Golok berdarah dlmelintangkan di depan
wajah ibu dan anak itu hingga Banjaratih dan Ni Suwita ini menggigil pucat
ketakutan setengah mati.
”Dengar….”
ucap Ni Suwita dengan suara bergetar.
”Kau
boleh bunuh aku, tapi jangan apa-apakan anakku.”
”Aku
tidak akan membunuh anakmu, aku hanya ingin menikmati tubuhnya!” Semua
kata-kata itu diucapkan Cakra Mentari dengan suara lembut dan sambil tersenyum.
Sepasang
mata Ni Suwita terbeliak. Banjaratih sendiri menjerit keras. Ni Suwita berkata.
”Demi Gusti Allah! Jangan lakukan itu! Aku bersedia menyerahkan diriku padamu
asal lepaskan anakku! Ratih! Lekas turun dari gerobak! Lari!”
Banjaratih
segera melompat bangkit. Kaki kirinya sempat melewati dinding gerobak ketika
dia berusaha melarikan diri.
Namun
Cakra Mentari menarik gadis ini hingga tubuhnya terkapar dan jatuh kembali di
lantai gerobak.
Sepasang
mata Cakra Mentari berkilat-kilat menatap wajah dan tubuh Ni Suwita. Walau
sudah separuh baya ternyata wajah dan kemolekan tubuh sang Ibu tidak kalah jauh
dari puterinya.
”Kau
betulan mau menyerahkan diri padaku ?” tanya Cakra Mentari sambil keluarkan
patung Kamasutra dari dalam sebuah kantong kain hitam dari balik pakaian.
”Asal kau
bersumpah mau membebaskan anakku. Biarkan Banjaratih meninggalkan tempat ini…”
Cakra
Mentari tersenyum. ”Anakmu akan kubebaskan. Tapi kalian berdua lihat dulu
patung ini. Bukankah patung dua orang ini sangat indah?”
”Patung terkutuk!”
teriak Banjaratih yang telah mendengar cerita tentang patung Kamasutra itu.
Namun terlambat. Ni Suwita telah keburu melihat ke arah patung batu yang
memancarkan cahaya merah redup. Banjaratih sendiri walau mengingatkan sang ibu
tapi tak urung sempat pula melihat ke arah patung. Dua orang perempuan ini
langsung saja masuk ke dalam perangkap bejat Patung Kamasutra. Mereka melihat
bagaimana dua patung sepasang lelaki gagah dan perempuan muda cantik berubah
membesar, hidup seperti manusia sungguhan, bergerak menarinari sambil
menanggalkan pakaian satu persatu. Dan ternyata wajah patung perempuan itu
adalah wajah mereka sendiri.
Sedang
yang lelaki menyerupai wajah dan sosok pemuda berpakaian serba hitam. Ni Suwita
yang telah lama menjanda merasa sekujur tubuhnya bergetar menggigil seperti
diserang demam panas dingin. Keadaan Banjaratih tidak berbeda. Ketika Cakra
Mentari menempelkan sekuntum bunga tanjung dikening mereka, ibu dan anak ini
tidak sadar diri lagi. Keduanya menanggalkan pakaian masing-masing lalu
sama-sama bergayut memeluki tubuh Cakra Mentari penuh gairah. Bola mata
membesar, nafas mendesah, darah memanas, terbakar oleh nafsu bejat yang mereka
sendiri sebenarnya tidak menyadari.
Di atas
pekuburan langit hitam semakin kelam ketika awan gelap menutupi. Angin bersiur
lebih kencang dan tak lama kemudian hujan turun rintik-rintik. Suasana malam
dan turunnya hujan seolah meratapi malapetaka yang menimpa ibu dan anak yang
kini telah menjadi mayat. Bibir berwarna kebiruan, kembang tanjung menempel di
kening.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba ada satu benda putih melesat di udara. Cakra
Mentari yang tengah mengenakan pakaian dan bersiap-siap tinggalkan tempat itu
berteriak kaget.
Benda
putih yang melayang di kegelapan malam menukik ke bumi dan masuk ke dalam tubuh
Cakra Mentari. Saat itu juga tubuh pemuda yang masih bertelanjang bulat ini
bergetar hebat oleh satu hawa panas yang seperti hendak melelehkan tubuhnya
mulai dari batok kepala sampai ke telapak kaki.
Lalu luar
biasanya Cakra Mentari mendengar satu suara berucap dari dalam tubuhnya
sendiri!
”Anak
manusia bernama Cakra Mentari! Aku menitipkan nyawaku di dalam tubuhmu!”
*********************
SEMBILAN
CAKRA
MENTARI kaget bukan main. Namun pemuda ini tetap tenang. Setelah mengenakan
pakaian dia segera tinggalkan kawasan pekuburan. Mayat Banjaratih dan Ni Suwita
sama sekali tidak diperdulikannya.
”Cakra
Mentari, aku belum selesai bicara! Kau mau kemana?!” Suara di dalam tubuh si
pemuda bertanya.
”Mahluk
tumpangan! Kau menitipkan nyawa dalam tubuhku!
Berarti
aku yang menguasai nyawamu! Kemana aku pergi kau tidak layak bertanya apa lagi
mengatur!”
Yang
disebut mahluk tumpangan si penitip nyawa perdengarkan suara tertawa.
”Cakra
Mentari, jangan bicara sombong! Aku masih tetap penguasa yang mengatur diri dan
jalan hidupmu! Kau tetap harus tunduk padaku!”
”Hebat!
Memangnya kau siapa?!”
”Aku Resi
Mirpur Patel. Mahluk yang kau kenal tidak memiliki wajah! Aku yang memberikan
Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib padamu! Aku yang menyuruhmu bersamadi di pohon
tanjung di Gurun Tengger! Aku yang memberikan ilmu Tiga Cahaya Alam Gaib
padamu! Apakah kau masih hendak bicara sombong? Urat pusarmu di sebelah dalam
ada di ujung tanganku. Sekali aku piintir nyawamu akan melayang ke langit
ketujuh!”
Cakra
Mentari hentikan lari saking kagetnya. Dia membungkuk sedikit menyatakan hormat
lalu bertanya.
”Apa yang
terjadi? Mengapa kau sampai berkeadaan seperti ini? Kehadiranmu dalam tubuhku
membuat aku merasa kepanasan.”
”Seorang
Resi sakti dari India datang menghakimi diriku.Tapi itu bukan urusanmu dan
tidak perlu aku ceritakan lebih rinci.
Justru
kau yang ada urusan denganku! Kau telah melanggar apa yang telah ditetapkan
dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib.”
”Hal apa
yang telah aku langgar?” tanya Cakra Mentari walau dia sudah bisa menduga-duga
sendiri.
”Dalam
kitab ditetapkan kau harus merusak kehormatan dan membunuh empat puluh satu
orang gadis. Malam ini kau memperkosa dan membunuh dua orang. Walau yang satu
bukan gadis lagi namun jumlah yang diatur telah kau langgar. Kau memperkosa dan
membunuh empat puluh dua perempuan!”
”Resi,
menurutku jika aku mampu melakukan apa yang melebihi ketetapan, bukankah itu
satu hal yang harus mendapat pujian?!”
”Jangan
berpikir tolol Cakra Mentari! Ketetapan adalah ketetapan…” Dalam hati sang
mahluk tumpangan berpikir.
”Manusia
satu ini mulai bicara dan bersikap tidak menyenangkan bahkan seperti
membangkang. Aku harus hati-hati.”
”Resi
Mirpur. aku malah masih menginginkan satu gadis lagi,” ucap Cakra Mentari pula.
”Apa?!
Pantangan telah dilanggar. Bersiaplah kau menghadapi malapetaka….” Cakra
Mentari tersenyum.
”Kau
atasan pelindung diriku. Kau menitipkan nyawa di dalam tubuhku berarti kau
membutuhkan aku! Mengapa kau menginginkan aku celaka? Resi Mirpur Patel kalau
aku celaka karena ulahmu, kau akan menerima getahnya. Kau tidak akan dapat
mengambil alih ilmu kesaktian yang ada dalam diriku.”
”Pantangan
telah kau langgar. Mana mungkin kau masih mengharapkan ilmu kesaktian yang kau
samadikan selama tiga ratus lima hari akan berada dalam dirimu?”
”Resi
Mirpur Patel, terus terang aku tidak pernah menginginkan semua ilmu kesaktian
itu. Kau telah memperalatku.
Kau
menjadikan diriku sebagai mahluk perantara untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Tiga
Cahaya Alam Gaib yang punya bobot kekuatan seratus kali dari yang aku miliki
sekarang!”
Suara di
dalam tubuh Cakra Mentari untuk beberapa lama tidak menjawab. Tak selang berapa
lama baru terdengar katakatanya penuh dusta. ”Bagaimana kau bisa menduga
seperti itu?
Ilmu yang
kau dapat kelak akan menjadi milikmu untuk selama lamanya. Karena aku tidak
mungkin kembali ke alamku seperti semula.”
”Kitab
Jagat Pusaka Alam Gaib mengajarkan agar aku melupakan masa lalu. Namun kitab
itu tidak mengajarkan aku untuk mempelajari hal yang akan datang. Masa depanku
kabur dan samar. Resi Mirpur, aku tidak tahu kebenaran ucapanmu.
Waktu
kelak yang akan membuktikan.”
”Jahanam
kurang ajar! Setan apa yang masuk ke dalam benak dan tubuh pemuda ini?!” ucap
Mirpur Patel, mahluk si penitip nyawa dalam hati. Dia merasa sangat kawatir.
Lalu dia keluarkan suara.
”Cakra
Mentari, kau manusia cerdik. Tapi jangan pergunakan kecerdikan mencelakai diri
sendiri. Apalagi mencelakai diriku.”
”Aku
tidak punya maksud seperti itu. Namun………”
Tiba-tiba
Cakra Mentari menjerit keras. Perutnya di arah pusar laksana dipendam dengan
bara menyala! Tubuhnya sampai jatuh terduduk menahan sakit dan hawa panas luar
biasa.
”Kau
saksikan dan kau rasakan sendiri Cakra Mentari. Aku masih menguasai dirimu.
Jangan lagi berbuat yang aku tidak suka…”
”Mahluk dalam
tubuhku. Siapapun kau adanya selanjutnya aku akan berlaku patuh. Kecuali satu
hal.”
”Apa ?”
”Aku
tetap menginginkan gadis cantik bernama Dewi yang telah amat sangat memikatku.”
”Berarti
kau memperkosa dan membunuh empat puluh tiga orang perempuan.”
”Betul.
Apa bedanya empat puluh satu dengan empat puluh tiga? Aku justru yakin. Jumlah
yang lebih banyak akan lebih memperhebat bobot iimu kesaktian yang akan
kudapat”
”Cakra
Mentari. Dengar baik-baik. Aku punya firasat. Ada beberapa orang tokoh silat
yang akan mendatangimu. Mereka serombongan datang dari Gurun Pasir Tengger.
Mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka akan meminta
pertanggungjawabanmu atas kejahatan yang telah kau lakukan selama ini.
Memperkosa dan membunuh puluhan gadis…”
”Siapapun
mereka boleh saja datang menemuiku. Mereka datang untuk minta mati….”
”Itu
ucapan yang ingin aku dengar!” kata mahluk dalam diri Cakra Mentari memuji.
”Namun saat ini kau harus segera ikut aku ke puncak Gunung Mahameru. Disana aku
akan membaitmu untuk mendapatkan ilmu kesaktian Tiga Cahaya Alam Gaib yang maha
dahsyat”
”Resi,
kalau kau mau membaitku, disinipun bisa. Mengapa jauh-jauh ke Gunung Mahameru
segala? Lagi pula tadi aku sudah mengatakan bahwa aku harus mencari dan
mendapatkan gadis bernama Dewi itu lebih dulu. Kalau kau suka, kau juga boleh
mengambil bagian.”
”Cakra
Mentari, apa aku harus menghajarmu dengan memuntir urat pusarmu seperti tadi?!”
mengancam mahluk tumpangan si penitip nyawa walau ucapan Si pemuda membuat
dadanya bergetar.
”Resi,
saat ini matipun aku tidak takut,” jawab Cakra Mentari yang benar-benar kini
memiliki kepribadian aneh. Mungkin karena begitu tergila-gila pada Dewi?
Mahluk
dalam tubuh Cakra Mentari terpaksa bersabar mengurut dada. Namun dia sudah
menaruh firasat akan terjadi hal yang tidak diharapkan akibat perbuatan si
pemuda yang kelebihan memperkosa dan membunuh perempuan, apa lagi tidak semua
korban masih gadis. Kalau saja dia mampu keluar dari tubuh yang menjadi
tumpangan nyawanya itu sudah dari tadi-tadi dilakukan. Namun begitu keadaannya.
Sekali masuk menitipkan nyawa tidak mungkin keluar lagi!
”Celaka,
aku telah kesalahan memilih raga. Kalau begini jadinya aku harus melakukan tindakan
penangkal agar bisa tetap mendapatkan ilmu dahsyat itu. Aku harus menghancurkan
kemaluannya pada saat dia hendak memperkosa gadis yang ke empat puluh tiga
itu!”
”Cakra,
kau harus berlaku hati-hati. Orang-orang yang hendak menghadangmu itu telah
bertemu dengan Resi Khandawa Abitar. Resi tertua dan Resi paling sakti di
India. Aku kawatir Resi keparat itu telah mengatakan banyak hal tentang dirimu.
Dia juga yang telah membuat diriku tak karuan seperti ini…”
”Resi
Mirpur! Aku sekarang memiliki dua nyawa. Lalu apa yang harus ditakutkan?”
”Aku
percaya padamu. Aku ingin beristirahat barang beberapa ketika. Sudah ratusan
hari aku tak pernah tidur.”
Tak lama
kemudian di dalam tubuh Cakra Mentari terdengar suara orang mengorok. Bersamaan
dengan itu hawa panas yang terasa sejak tadi menyelubungi dirinya kini jauh
berkurang.
Di timur
langit mulai tampak terang tanda fajar telah menyingsing.
”Dewi,
dimana kau…?” ucap Cakra Mentari dalam hati.
Gairahnya
kembali berkobar begitu dia ingat lagi gadis cantik berpakaian kuning berdada
montok putih bertubuh molek itu.
Sambil
berjalan pemuda Ini memutar otak. Tiba-tiba dia hentikan langkah. ”Dia menyukai
Pangeran yang tinggal di pinggiran Kotaraja. Bukan mustahil dia akan muncul di
tempat kediaman Pangeran itu.”
Cakra
Mentari menyeringai. ”Pangeran, kau boleh bermimpi seumur hidup mendapatkan
Dewi. Karena aku yang akan mendurinya lebih dulu. Kalau kau suka silahkan
bermain-main dengan mayatnya. Ha…ha…ha.”
*********************
SEPULUH
KETIKA
malam keesokannya Cakra Mentari mendatangi rumah kediaman Pangeran Aryo
Dipasena di pinggiran Kotaraja, ternyata sudah ada orang lain mendekam di satu
tempat tersembunyi, di balik kerapatan pohon bambu di tembok halaman sebelah
timur.
”Aku
tidak dapat melihat jelas. Tapi rasa-rasanya aku pernah melihat orang ini.
Bukankah dia salah seorang Kepala Pengawal dari Kotaraja. Yang waktu terjadi
bentrokan antara aku dengan Pangeran itu tempo hari juga berada di tempat ini?
Apa yang dilakukannya? Memata-matai sang putera Raja?”
Orang
yang mendekam di balik kegelapan pohon bambu itu memang adalah Ki Rorot
Keminting, salah satu dari sekian banyak Kepala Pasukan di Kotaraja. Sejak dia
melapor kepada Sri Baginda tentang peristiwa di tempat kediaman Pangeran Aryo
Dipasena, Raja telah memerintahkan Kepaia Pengawal itu untuk terus menyelidik
dan mematai-matai gerak-gerik puteranya. Jika memang Pangeran Aryo telah
mempunyai seorang kekasih, seorang gadis cantik jelita, mengapa bersembunyi
diri tidak mau memberi tahu sang ayah? Lagi pula hal seperti itu bukanlah sifat
Pangeran Aryo. Selama ini memang banyak para gadis cantik dari berbagai tingkat
dan kalangan yang tertarik namun sebegitu jauh Pangeran Aryo Dipasena belum
menjatuhkan pilihan.
Setelah
hampir semalaman suntuk berjaga-jaga akhirnya orang yang ditunggu-tunggu Cakra
Mentari dan Ki Rorot Keminting muncul juga. Sewaktu di langit awan kelabu
bergerak menutupi bulan setengah lingkaran tiba-tiba berkolobat satu bayangan
kuning. Laksana seekor burung b«sar tapi jinak orang ini jejakkan kaki di
wuwungan rumah kediaman Pangeran Aryo tanpa mengeluarkan suara, pertanda dia
mengusai ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
”Dewi
Pemikat….Ah. akhirnya kutemui juga dirimu.” Kata Cakra Mentari penuh gembira.
Darah di tubuhnya langsung mengalir cepat dan panas. D ddalam dirinya terdengar
suara mahluk tumpangan penitip nyawa Mirpur Patel berucap.
”Jadi ini
gadis bernama Dewi yang telah membuatmu tergila-gila? Ah sungguh cantik sekali.
Bentuk auratnya begitu mempesona. Harum tubuhnya tercium sampai kesini…”
Cakra
Mentari tidak menjawab. Dia merasa ada tambahan hawa panas di dalam tubuhnya.
Hawa panas dari rasa gairah yang memancar dari tubuh tumpangan Resi Mirpur
Patel!
Cakra
Mentari terus mengawasi gerak gerik si baju kuning di atas atap sambil sesekali
melirik ke arah rumpunan pohon bambu dimana Ki Rorot Keminting berada.
Di atas
atap, gadis cantik berpakaian kuning dengan potongan dada sangat rendah hingga
menyibakkan sepasang payudara putih dan besar berucap sendirian.
”Heran,
mengapa aku tidak bisa melupakan Pangeran ini.
Setiap
aku mengingat dirinya, rasa gatal dan hawa panas semakin menjadi-jadi di bagian
bawah perutku. Ah, Pangeran malam ini biar aku mengantar diri dan berserah
tubuh padamu. Aku yakin kaupun suka padaku….”
Sementara
itu dari dalam tubuh si pemuda yang menjadi tumpangan jazad dan nyawa Resi
Mirpur Patel kembali bersuara.
”Kau
tunggu apa lagi? Sergap gadis itu sekarang juga, bawa ke tempat sunyi dan
lakukan apa yang harus kau lakukan. Setelah itu aku akan membaitmu dan kau akan
memiliki ilmu kesaktian tak ada tandingannnyadi dunia ini.”
”Resi
Mirpur Patel, aku tahu apa yang harus aku kerjakan.
Harap kau
tidak terlalu banyak bersuara” Cakra Mentari merasa kesal. Dia melirik lagi ke
arah pohon bambu. Ketika dia berpaling kembali ke arah rumah, sosok gadis berbaju
kuning di atas atap telah lenyap.
”Dia
pasti telah masuk ke dalam rumah lewat atap…”
membatin
Cakra Mentari. Pemuda ini merasa kesal karena mahluk tumpangan di dalam tubuh
membuyarkan perhatiannya.
”Kesempatan
pertama telah lewat. Kini agaknya aku harus membunuh Pangeran itu untuk
mendapatkan Dewi…”
Cakra
Mentari siap keluar dari tampat persembunyian.
Namun
gerakannya tertahan. Ada seekor burung putih melayang di udara dan hinggap di
cabang pohon besar dekat kolam mandi.
Bersamaan
dengan itu dari balik rerumpunan pohon bambu Ki Rorot Keminting si kepala
pengawal keluar dan melangkah cepat ke arah pintu depan rumah kediaman Pangeran
Aryo Dipasena.
Cakra
Mentari mengerenyit melihat burung putih hitam yang hinggap di cabang pohon.
Seperti diketahui burung berjambul hitam ini dulunya adalah peliharaan si
pemuda dan diberi nama Jambul Ireng. Namun ketersesatannya dalam mengikuti ilmu
yang diajarkan Mirpur Patel, dan sebagaimana tertera dalam Kitab Jagat Pusaka
Alam Gaib maka Cakra Mentari tidak pemah ingat lagi segala sesuatu di masa
silamnya. Jangankan burung. Bahkan dia tidak mengenal dirinya sendiri termasuk
tidak ingat lagi akan kedua orang tuanya serta dari mana dia berasal.
Cakra
Mentari tidak menunggu lebih lama. Dia berkelebat ke arah depan rumah.Tapi lagi-lagi
terpaksa menahan langkah. Di pintu depan rumah dia melihat Kepala Pengawal Ki
Rorot Keminting berdiri siap hendak mengetuk pintu.
”Manusia
satu ini membuang-buang waktuku saja !” kata Cakra Mentari kesal. Lima jari
tangan kanan dijentikkan ke depan.
Lima
larik cahaya hijau melesat ini adalah bagian dari Ilmu Tiga Cahaya Alam Gaib
yang hanya mengeluarkan satu cahaya, disebut Cahaya Hijau Alam Gaib.
Walau Ki
Rorot Keminting melihat serangan berupa cahaya benderang hijau yang datang
kearahnya namun Kepala Pengawal ini tidak cukup cepat untuk berkelit. Cahaya
hijau menyambar tengkuk Ki Rorot Keminting. Saat itu juga tubuhnya terbanting
ke pintu, tersungkur ke lantai, tenggelam dalam sinar hijau mengepulkan asap,
meletup dan tewas dengan tubuh hangus berwarna hijau.
*********************
DI DALAM
rumah. Pangeran Aryo Dipasena tak percaya akan apa yang terjadi. Ketika membuka
mata dari ketetapan tidur dia dapatkan gadis cantik yang diberinya nama Dewi
Pemikat telah berada di atasnya, menindih tubuhnya. Sang Pangeran seperti tidak
percaya.
”Dewi,
Dewi Pemikat…? Benar ini dirimu?”
Yang
disapa tersenyum, menggeser tubuh panasnya lebih ke atas.
”Kalau
bukan aku, apakah kau mempunyai seorang kekasih lain?” bisik Dewi Pemikat.
”Dewi!
Aku hampir tak bisa percaya. Wajahmu, suaramu!”
Pangeran
Aryo pagut punggung gadis yang berbaring di atas tubuhnya lalu membalikkan
badan kini ganti menindih tubuh si gadis.
”Kau…..”
ucap Pangeran Aryo. ”Aku sudah putus harapan bahwa kau tidak akan kembali lagi
menemuiku…”
”Pangeran…”
”Jangan
panggil aku Pangeran…”
”Kekasihku
Aryo Dipasena. Aku tak pernah bisa melupakanmu. Aku tak sanggup menahan rindu.
Peluk aku eraterat.
Jangan
lepaskan. Cium wajahku, tubuhku, seluruh auratku.
Ah….”
Dua orang
itu saling berpeluk erat dan bercium lumat dan baru berhenti ketika nafas
masing-masing mengengah.
”Aryo,
rumahmu tidak aman. Ketika aku datang dan naik ke atas atap aku memperkirakan
paling tidak ada dua orang berada di tempat gelap sekitar rumah. Kita harus
pergi dari sini. Aku tak mau terganggu. Kita bercinta di tempat lain saja. Di
alam terbuka biar lebih mesra…”
”Kekasihku,
aku menurut saja apa pintamu.” Baru saja Pangeran Aryo berucap tiba-tiba
braakk! Itu adalah suara tubuh Ki Rorot Keminting yang dihantam cahaya hijau
dan jatuh menimpa pintu depan sebelum tewas tergelimpang di langkan rumah.
”Lewat
pintu belakang…” Bisik Pangeran Aryo lalu dia memegang lengan Dewi Pemikat.
Keduanya keluar dari dalam rumah lewat pintu belakang. Di sebuah kandang di
halaman belakang terdapat seekor kuda besar berbulu putih. Pangeran Aryo
keluarkan kuda dari dalam kandang. Lalu bersama Dewi Pemikat naik ke atas
punggung binatang ini. Kuda putih digebrak mengambur lewat tembok halaman
belakang yang lebih dulu dijebol dengan satu pukulan sakti jarak jauh oleh
Pangeran Aryo.
Sesaat
kemudian kuda putih bersama dua penunggangnya lenyap ditelan kegelapan malam.
Ketika
Cakra Mentari masuk ke kamar tidur, dia hanya menemukan ranjang kosong. Dia
mengejar ke bagian belakang bangunan dan dapatkan pintu belakang terpentang
lebar. Di luar pintu dia hanya melihat kegelapan disertai hembusan angin
dingin. Di sebelah sana tampak tembok halaman belakang yang jebol.
”Kurang
ajar! Gadis itu melarikan diri bersama Pangeran. Kandang kuda kosong. Mereka
pasti kabur menunggang kuda.”
Saking
geramnya Cakra Mentari tendang sebuah tempayan besar yang terletak di samping
pintu hingga pecah berantakan dan airnya menggenangi serambi belakang rumah.
”Cakra,
kau tak usah kawatir. Kita bisa mengejarnya. Aku bisa mencium bau tubuh gadis
itu. Kejar ke arah timur! Mereka kabur kesana!” Mahluk tumpangan di dalam tubuh
Cakra Mentari bersuara. Percaya apa yang dikatakan sang penitip nyawa Cakra
Mentari segera hendak berkelebat ke jurusan timur. Namun sesaat dia berbalik.
Menghadap ke arah rumah. Tangan kanan membuat gerakan memukul.
”Wuttt!”
Tiga
larik sinar merah, biru dan hijau berkiblat ke arah bangunan.
”Wusss!”
Saat itu
juga rumah kediaman Pangeran Aryo Dipasena tenggelam dalam kobaran api!
*********************
SEBELAS
DENGAN
mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pinjaman Nyi Roro
Kidul, Ratu Duyung bersama Pendekar 212 Wiro Sableng, Purnama, Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati sampai di Kotaraja. Waktunya hampir bersamaan dengan saat
Dewi Pemikat menemui Pangeran Aryo Dipasena.
Semula ke
empat orang ini hendak mencari Setan Ngompol dan Liris Biru di Kuto Gede. Namun
mereka mendapat cerita dari dua orang peronda malam bahwa Liris Biru telah
menemui ajal di tangan Cakra Mentari. Setan Ngompol telah membawa jenazah gadis
malang itu ke satu tempat di kawasan Cadas Biru.
Wiro
ingin menyusul ke Cadas Biru namun Ratu Duyung dan Purnama menyarankan untuk
segera saja mencari Cakra Mentari.
Ratu
Duyung membawa orang-orang itu ke sebuah bukit kecil yang ada goanya di pantai
selatan. Dia sengaja ingin mendekatkan diri dengan samudera besar kekuasaan dan
kediaman Nyi Roro Kidul agar mendapat bantuan petunjuk dimana beradanya pemuda
jahat bernama Cakra Mentari itu.
DI dalam
goa yang menghadap ke laut Ratu Duyung keluarkan cermin sakti. Pendekar 212
Wiro Sableng kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Purnama masuk ke dalam alam gaib.
Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati yang tidak melakukan apa-apa, hanya duduk
memperhatikan ke tiga orang itu. Lewat tengah malam Ratu Duyung melihat sesuatu
dalam cermin. Purnama keluar dari alam roh, masuk kembali ke dalam jazad
kasarnya Wiro terapkan Ilmu Meraga Sukma yang didapatnya dari Nyi Roro Manggut.
Tubuh kasarnya tetap duduk di dalam goa, sementara tubuh halus atau sukmanya
melayang ke udara.
Setelah
cukup lama mengamati ke dalam cermin, perlahanlahan Ratu Duyung turunkan cermin
bulat yang sejak tadi
dipegang,
diletakkan di atas pangkuan. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mendekati.
”Ratu,
kau melihat sesuatu?” tanya si nenek.
Ratu
Duyung tak segera menjawab. Gadis cantik ini tampak seperti berpikir-pikir.
Naga Kuning berbisik pada Gondoruwo Patah Hati.
”Nek,
mungkin dia melihat anunya perempuan dari alam gaib yang kesusupan tanjung itu.
Tapi malu mau mengatakan pada kita.”
Si nenek
pelototkan mata. Lalu mendamprat. ”Orang sedang kerja keras kau ngomongnya
ngacok saja!”
”Nek,”
Ratu Duyung akhirnya membuka suara.
”Aku
memang melihat sosok lelaki sesuai ciri-ciri Cakra Mentari. Tapi ada keanehan.
Wajahnya terkadang menampilkan muka orang lain yang samar dan tak jelas dalam
penglihatanku.
Selain
itu sepertinya dia memiliki dua sosok. Aku tak mengerti….”
”Hai!”
tiba-tiba Naga Kuning nyeletuk.
”Apa?!”
Gondoruwo Patah Hati langsung membentak. ”Kau mau bicara apa? Mau omong jorok
lagi?”
”Jangan
marah dulu Nek.” jawab bocah berambut jabrik.
”Kalian
apa tidak ingat ucapan Resi yang punya tongkat biru berkeluk itu. Resi apa
namanya. Aku agak lupa. Oh ya Resi Kajanda…”
Gondoruwo
Patah Hati dorong kepala Naga Kuning dengan tangan kiri. ”Kajanda…Kajanda !”
Ingatmu cuma janda saja!
Khandawa!
Itu namanya! Dasar bocah konyol!”
Naga
Kuning mesem-mesem. ”Ya, ya! Resi Khandawa.
Sebelum
pergi aku ingat sekali apa yang dikatakannya. ”Semua sahabat yang ada di sini.
Resi jahat itu akan terkatung-katung antara langit dan bumi. Mati tidak hidup
juga tidak. Seluruh tubuhnya dijalari hawa panas. Hanya ada satu jalan mencari
selamat baginya. Yaitu masuk ke dalam tubuh Cakra Mentari. Itu kalau dia tahu.”
Ratu
Duyung menepuk bahu Naga Kuning.
”Sobat
kecil! Kali ini kau tidak bicara ngelantur. Apa yang barusan kau ucapkan aku
yakin itulah yang terjadi.”
”Kalau
memang terjadi seperti itu, berarti Cakra Mentari punya dua tubuh, punya dua
nyawa. Ilmu kesaktiannya juga pasti berlipat ganda karena ketumpangan Resi berkepandaian
tinggi itu.
Kita
harus berhati-hati jika menghadapinya.” Berkata Gondoruwo Patah Hati.
Saat itu
Wiro dan Purnama muncul berbarangan.
”Apa yang
kailan dapatkan?” bertanya si nenek.
Purnama
menjawab duluan. ”Alam roh memberi petunjuk padaku. Cakra Mentari saat ini
berada di satu tempat, dekat sebuah kali kecil. Lurus di sebelah utara, tak
jauh dari Kotaraja…”
Ratu
Duyung berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Tanpa
ditanya murid Slnto Gendeng ini menerangkan. ”Ketika aku meraga sukma, daya
Ilmuku tertindih kesaktian Purnama yang telah memantau lebih dulu. Ini berarti
apa yang dilihat Purnama tidak beda dengan apa yang seharusnya aku lihat.”
”Nek,”
Naga Kuning kembali jahil. Sambil menggamit lengan Gondoruwo Patah Hati bocah
ini berbisik. ”Untung Ilmunya yang di tindih si gadis. Kalau tubuhnya yang
ditindih seperti kejadian di goa Teluk Losari, wah! Pasti dua-duanya tidak
muncul-muncul ke tempat ini.”
”Sudah !
Diam kamu!" hardik Gondoruwo Patah Hati.
”Kita
harus berangkat sekarang juga ke arah utara. DI utara kita menyusuri Kali Opak.
Itu satu-satunya kali dekat Kotaraja sebelah selatan. Mudah-mudahan kita bisa
menemukan Cakra Mentari secepatnya. Kalau tidak, aku punya firasat dia akan
melakukan kejahatan lagi.” Berkata Wiro.
”Tunggu
dulu,” kata Purnama. ”Aku ingat sesuatu. Ketika mahluk tanpa wajah yang
sekarang kita kenal sebagal Resi jahat bernama Mirpur Patel itu hendak
membunuhku. Waktu itu aku sudah dikunci dipendam di dalam tanah. Ketika dia
hendak menggebukku dengan tongkat emas, mendadak dia batalkan niat.
Dia
langsung melesat ke langit ketika melihat kemunculan dua kakek yaitu Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol. Salah seorang dari kakek itu pasti ada
apa-apanya. Mungkin dia takut. Takut pada kakek yang mana? Kalau saja Ki
Tambakpati atau Setan Ngompol ada di sini, mungkin kita bisa menanyakan. Pasti
ada sesuatu… ”
”Para
sahabat, aku sudah ada di sini. Apa kalian semua sudah kangen pada bau air
kencing di kuyupku? Ha…ha…ha!”
Semua
orang berpaling dan berseru berbarengan.
”Setan
Ngompol!”
”Ha…ha…ha!”
Si kakek berkepala setengah sulah, bermata belok yang salah satu daun
telinganya terbalik ini tertawa mengekeh dan seerrr! Seperti biasa langsung
pancarkan air kencing!
”Najis !”
teriak Naga Kuning.
”Najis
tapi baunya mantap!” Jawab Setan Ngompol seraya peras celananya yang kuyup oleh
air kencing lalu kepretkan tangannya yang basah air kencing ke arah si bocah!
Naga Kuning melompat, cepat-cepat menjauh.
Sementara
semua orang senyum-senyum melihat kejadian itu Ratu Duyung memutar otak.
”Najis…. ” Dia mengulang ucapan Naga Kuning. Dia merasakan sesuatu dan
berpikir-pikir. Namun otaknya tak mau diajak bicara, buntu. Akhirnya Ratu
Duyung berkata.
”Para
sahabat, sebaiknya kita berangkat sekarang juga.”
Karena
tempat tujuan yang hendak didatangi tidak berapa jauh di utara, Ratu Duyung
tidak merasa perlu mengandalkan kesaktian batu mustika yang ada padanya. Semua
orang cukup pergunakan Ilmu lari masing-masing. Dangan pengerahan tenaga dalam
dan Ilmu meringankan tubuh ke lima orang itu mampu berlari cepat.
Di malam
buta begitu rupa, jika ada yang melihat pasti orang itu akan menyangka telah
melihat serombongan setan sedang berkelebat gentayangan.
Setelah
melewati satu desa kecil yang sunyi senyap Ratu Duyung dan kawan-kawan menemui
Kali Opak. Mereka mengikuti kali ini ke arah utara. Sementara berlari sesekali
Purnama memperhatikan ke udara. Sejak beberapa saat lalu dia melihat seekor
burung putih terbang di atas rombongan. Kadang-kadang binatang ini melesat mendahului.
Purnama memberi tahu pada rombongan agar menghentikan lari.
”Ada
apa?” tanya Ratu Duyung.
Purnama
menunjuk ke sebuah pohon. Di atas salah satu cabang tampak seekor burung putih
bertengger.
”Burung
itu…” kata Purnama pula. ”Sejak tadi terbang di atas kita. Seperti mengikuti.
Tapi kadang-kadang terbang mendahului. Ketika kita berhenti, burung itu hinggap
di dahan sana. Seperti sengaja menunggu kita. Tidakkah kalian merasa aneh?”
Semua
orang memandang ke arah cabang pohon dimana elang putih bertengger. Burung ini
bukan lain adalah Jambul Ireng, bekas peliharaan Cakra Mentari yang kini
mengelana tak karuan dan terus berusaha mencari tuannya walau pada pertemuan
terakhir Cakra Mentari tidak mengenal dan tidak memperdulikannya.
”Memang
aneh. Seekor burung terbang di malam hari….” kata Rata Duyung.
Wiro
menggaruk kepala. ”Tampaknya seekor elang putih.
Berjambul
hitam. Rasanya tak pernah ada burung elang memiliki jambul hitam. Selain itu
jarang sekail burung yang suka terbang sekitar laut ini berada jauh masuk ke
daratan.”
Burung di
atas pohon keluarkan suara menguik beberapa kali. Kibaskan sayapnya lalu
melayang ke udara. Berputar-putar sebentar di atas rombongan orang-orang itu
kemudian melesat ke utara.
”Aku
merasakan sesuatu. Kita ikuti burung itu…” kata Gondoruwo Patah Hati. Lalu
nenek ini berkelebat lebih dulu, diikuti Naga Kuning. Ratu Duyung, Wiro dan
Purnama. Setan Ngompol kembangkan dua kaki lebih dulu, usap-usap perutnya lalu
serrr. Kucurkan air kencing. Setelah beser baru dia mengejar orang-orang yang
telah benda jauh di depannya.
”Hai
tunggu!” teriak si kakek.
”Beser
saja terus Kek! Sampai anumu copot!” balas beteriak Naga Kuning.
Sambil
berlari orang-orang itu memperhatikan terus elang putih yang melesat di udara.
Seolah dituntun mereka mengikuti ke arah mana sang burung terbang. Tiba-tiba
Purnama yang melihat lebih dulu berteriak. "
”Tiga
cahaya menyerang burung!”
DI langit
kelam saat itu mendadak berkiblat cahaya merah, biru dan hijau. Menyambar ke
arah elang putih. Melihat bahaya mengancam burung, serentak Purnama, Ratu
Duyung dan Wiro melesat ke udara sambil lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi, memapas tiga cahaya maut.
Tiga
dentuman menggelegar di kegelapan malam. Sambaran cahaya tiga warna bertabur
mental. Elang putih menguik keras.
Tubuhnya
tampak limbung akibat terpaan angin keras dan hawa panas yang berasal dari tiga
dentuman. Binatang ini jatuh tercampak di tanah, tepat di hadapan Naga Kuning.
Wiro
sendiri, juga Ratu Duyung dan Purnama begitu terjadi bentrokan pukulan dengan
cahaya tiga wama di udara sama-sama jatuh terduduk di tanah dengan wajah tampak
agak pucat.
”Ada
orang hendak membunuh elang putih!” kata Purnama.
”Kalau
yang melakukan adalah mahluk tanpa wajah, melihat kekuatan cahaya tiga warna,
besar kemungkinan bobot kekuatan Ilmu kesaktian yang dimilikinya lebih dahsyat
dari sebelumnya.” Berucap Ratu Duyung.
”Aku
menduga mahluk tanpa wajah telah mengetahui kedatangan kita. Jika dia sengaja
membunuh elang putih , berarti burung itu tengah berusaha menunjukkan pada kita
dimana beradanya mahluk jahat itu dan si mahluk tanpa wajah berusaha
mencegahnya!”
Semua
orang mengelilingi Naga Kuning yang tengah memeluk dan mengusap-usap burung
elang putih. Di depan Naga Kuning mencangkung Gondoruwo Patah Hati. Nenek ini
jongkok agak seronok hingga sebagian jubah birunya melompong tersingkap di
sebelah depan bawah. Celakanya si nenek tidak pula pakal celana dalam pelindung
auratnya yang paling tersembunyi dan sangat rahasia itu! Untungnya saat itu
tidak ada yang memperhatikan karena semua mata ditujukan pada burung elang
putih yang dipeluk Naga Kuning. Sebagian jambulnya yang hitam tampak rontok.
”Burung,
kalau aku alirkan hawa sakti ketubuhmu dan kau dapat terbang lagi apakah kau
mau menjadi penunjuk jalan kami kembali?” Tanya naga Kuning sambil terus
usap-usap kuduk elang putih. Binatang ini hanya mengedipkan sepasang matanya
yang merah.
Tanda itu
sudah cukup bagi Naga Kuning. SI bocah sambil mengelus kini alirkan tenaga
dalam dan hawa sakti ke tubuh eiang putih yang tadi kena hantaman angin keras
dan hawa panas sewaktu terjadi bentrokan antara cahaya tiga warna dengan
pukulan sakti yang dilepaskan.
Begitu
hawa sakti masuk ke dalam tubuhnya Jambul Ireng tegakkan leher. Mata membesar.
Setelah menguik panjang burung ini lepaskan diri dari pelukan Naga Kuning,
melesat ke depan langsung masuk ke dalam bagian bawah jubah biru Gondoruwo
Patah Hati yang sejak tadi tersingkap melompong!
”Hai! Si
nenek terpekik kalang kabut! Dia berusaha berdiri.
Tapi di
dalam jubah Jambul Ireng menggelepar-gelepar lalu mendekam diam seperti anteng
keenakan. Gondoruwo Patah Hati sampai jatuh terduduk. Berteriak-teriak kegelian
sambil melejanglejangkan kaki!
*********************
DUA BELAS
KUDA
putih yang ditunggangi Pangeran Aryo Dipasena dan Dewi Pemikat berlari kencang
memasuki hutan jati di selatan Kotaraja. Duduk di sebelah belakang sambil
memegang pinggang sang Pangeran, Dewi Pemikat memberi tahu kemana harus
mengarahkan lari kuda. Tak lama kemudian di kejauhan tampak sebuah bangunan
terbuat dari kayu tanpa dinding.
”Itu
pondoknya. Di belakang pondok ada kali kecil berair bening,” kata Dewi Pemikat
sambil menunjuk ke arah pondok kayu di tengah hutan. Aryo Dipasena hentikan
kuda di samping pondok. Dewi Pemikat melompat turun lebih dulu, naik ke atas
pondok yang dibangun setengah panggung. Berdiri bertolak pinggang menunggu
kedatangan Pangeran Aryo. Begitu sang Pangeran menginjakkan kaki di lantai
pondok langsung Dewi Pemikat memeluknya.
”Aryo,
kita bercinta di tempat ini sampai pagi…” ucap Dewi Pemikat dengan nafas hangat
memburu. Jari-jari tangan mencengkeram ke punggung si pemuda membuat putera
Raja ini jadi bergairah dan balas memeluk. Keduanya saling cium lama sekali.
Perlahan-lahan Dewi Pemikat menarik turun Pangeran Aryo ke lantai seraya
berbisik nakal.
”Aryo
Dipasena kekasihku. Apakah aku harus membuka pakaianku sendiri? Apakah kau
tidak mau bantu melakukannya…?” Si gadis bicara sambil meliuk-liukkan pinggul.
”Dewi,
aku…..” Wajah Pangeran Aryo tampak merah dan berkeringat. Walau dirinya sangat
terangsang namun pemuda ini tampak gugup. Seumur hidup baru sekali ini dia
mengalami hal seperti ini. Dewi Pemikat memegang ke dua tangannya dan
meletakkan di atas dadanya yang busung. Sesaat ketika jari-jari tangan pemuda
itu muiai membuka pakaian kuning yang dikenakan Dewi Pemikat gadis cantik ini
tidak sabaran lagi. Dia ulurkan dua tangan merobek baju yang dikenakan Pangeran
Aryo.
Dengan
gemas Dewi Pemikat susupkan wajahnya di dada berbulu Pangeran Aryo.
Tiba-tiba
kuda putih yang dilepas di samping pondok meringkik keras. Lalu terdengar suara
blukk!
Pangeran
Aryo Dipasena tersentak kaget dan melompat bangun. Matanya terbeliak kaget
ketika melihat kuda putih kesayangannya tergeletak tak bergerak di tanah dengan
kepala hancur !
”Kencono
Putih!” teriak Pangeran Aryo menyebut nama kudanya. ”Siapa yang membunuhmu!”
Dia hendak melompat turun dari atas pondok namun pinggangnya keburu dipagut
Dewi Pemikat.
”Kekasihku.
Mengapa meributkan kuda mati? Nanti saja diurus. Mari kita bersenang-senang dulu.”
Dewi Pemikat menarik tubuh pemuda Itu. Sang Pangeran coba bertahan. Dia
terpaksa mengalah ketika si gadis merobek dan menanggalkan celana luarnya.
”Permainan
cinta yang sungguh menakjubkan!” Tiba-tiba mengumandang satu suara dari arah
kegelapan. Disusul suara tertawa bergolak.
Pangeran
Aryo selain terkejut juga merasa heran. Yang dilihatnya muncul hanya satu orang
yaitu pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala merah. Tapi mengapa yang
tertawa ada dua suara? Dewi Pemikat tampak tenang-tenang saja. Dia berdiri di
belakang Pangeran Aryo dan berbisik.
”Pangeran,
aku tidak membutuhkan dirimu lagi. Cepat tinggalkan tempat ini. Aku tak ingin
melihatmu menemui kematian di sini !” Pangeran Aryo berpaling heran.
”Apa? Apa
maksud ucapanmu? Kau…kau mengenal pemuda berkumis berpakaian hitam itu? Aku
tahu sekarang! Jadi…jadi kau memperalat diriku untuk memancingnya ke sini? Dewi
Pemikat, siapa kau sebenamya?!”
”Jangan
banyak bertanya menghabiskan waktu! cepat pergi!”
”Aku
ingat. Rasa-rasanya bukankah pemuda berpakaian hitam itu yang pernah muncul
malam hari sewaktu kau mandi di kolam di rumah kediamanku?”
”Pangeran,
bukan saatnya kau harus cemburu. Nyawamu lebih penting! Pergi dan jangan
kembali ke sini !” Dewi Pemikat cekal lengan Pangeran Aryo. sekali dia menyentak
tubuh tinggi besar pemuda itu melesat keluar pondok namun selagi melayang di
udara cahaya tiga warna melesat menyambar dari kegelapan.
Dewi
Pemikat berteriak.
”Cakra
Mentari! Jika kau inginkan diriku jangan bunuh orang itu!” Cahaya tiga warna
langsung redup dan akhirnya lenyap.
Bersamaan
dengan itu seorang pemuda gagah berpakaian hitam bersulam kembang perak dan
emas telah berdiri di atas pondok di hadapan Dewi Pemikat. Cakra Mentari!
Sepasang mata pemuda ini berkilat-kilat memperhatikan dada padat dan sebagian
pinggul putih yang tersingkap. Cuping hidung mengembang pertanda nafsu sudah
naik membakar darah di kepala. Di dalam tubuhnya pemuda ini juga merasa sosok
tumpangan si penitip nyawa berubah panas. Ikut bergairah.
”Dewi,
akhirnya kutemui juga dirimu. Kali ini kau tak akan bisa lolos lagi….”
”Apakah
kau mengira aku akan mempermalnkanmu lagi lalu melarikan diri? Kali ini justru
aku memang menunggu kedatanganmu.” Jawab Dewi Pemikat lalu langsung saja dia
hendak jatuhkan diri ke dalam pelukan Cakra Mentari. Pemuda berkumis, janggut
dan bercambang bawuk tipis ini tahan dada busung Dewi Pemikat dengan telapak
tangan kiri. Dengan tangan kanan dia mengeluarkan patung Kamasutra dari balik
pakaiannya.
Dewi
Pemikat tertawa.
”Cakra,
kau tidak membutuhkan patung mesum itu untuk membangkit gairahku. Lihat…..”
Dewi
Pemikat menggerakkan dua tangan, menggoyang bahu dan pinggul. Saat itu juga
seluruh pakaian kuning yang masih melekat di tubuhnya jatuh ke lantai pondok.
Sosok penitip nyawa dalam tubuh si pemuda menghela nafas berulang kali. Selama
ini Cakra Mentari telah melihat dan menikmati keindahan tubuh 42 orang
perempuan. Namun dia harus mengakui keindahan tubuh Dewi Pemikat tak dapat
dibanding dengan semua perempuan itu.
Cakra
Mentari simpan Patung Kamasutra. Di tangan kirinya kini telah tergenggam
sekuntum bunga tanjung. Sambil merebahkan Dewi Pemikat lantai pondok, bunga
tanjung ditempelkan ke kening si gadis.
Dewi
Pemikat mengeluarkan desah panjang menggeliatgeliat sementara Cakra Mentari
sibuk menanggalkan pakaian hitamnya. Di dalam tubuhnya mahluk penitip nyawa
Mirpur Patel berulang kali berucap.
”Cepat
lakukan Cakra! Cepat!” Cakra Mentari masukkan Patung Kamasutra ke dalam
gulungan baju dan celana hitam lalu dlletakka- di lantai pondok. Ketika pemuda
itu meneduhi dirinya.
Dewi
Pemikat memeluknya rapat dan kuat. Dua tangan kemudian menekap wajah gagah si
pemuda, ditarik didekatkan ke wajahnya sendiri lalu diciumi. Selama ini setelah
sekian banyak perempuan yang jadi korbannya belum pernah Cakra Mentari
mendapatkan yang bergairah seperti Dewi Pemikat ini. Karuan saja si pemuda jadi
lupa diri, ikut tenggelam dalam rangsangan yang luar biasa.
Dalam
keadaan seperti itu, ketika wajah mereka saling bersentuhan, tidak sengaja
bunga tanjung yang menempel di kening Dewi Pemikat menyentuh keningnya. Karena
keningnya bekeringat maka bunga tanjung itu kini berpindah, menempel di kening
Cakra Mentari. Mahluk penitip nyawa di dalam tubuh Cakra Mentari keluarkan
suara seperti melolong.
”Anak
manusia bernama Cakra Mentari! Untuk kedua kalinya
kau
melanggar apa yang telah ditetapkan. Dalam Kitab Jagat Pusaka Alam Gaib
jelas-jelas tertulis….ada pantangan yang harus kau ingat. Jangan sekali-kali
bunga tanjung sampai melekat atau menempel di keningmu…. Cakra Mentari kali ini
kau tak bisa bertahan lagi! Aku tak mau kehilangan ilmu yang telah aku harapkan
selama hampir dua tahun.”
”Hai, aku
mendengar suara orang lain. Siapa yang bicara?” Dewi Pemikat bertanya.
Cakra
Mentari tidak perdulikan pertanyaan Dewi Pemikat.
Gerakannya
hendak meneduhi si gadis jadi tertahan. Dengan kesal dia membentak.
”Resi
Mirpur Patel, kau mau berbuat apa…?”
”Aku
terpaksa melakukan tindakan penangkal agar ilmu itu tidak lenyap! Kau akan
kembali ke asalmu semula! Semua ilmu kesaktian yang kau dapat melalui Kitab
Jagat Pusaka Alam Gaib akan berpindah ke tanganku!”
”Tindakan
penangkal? Apa maksudmu? Mahluk terkutuk!
Sejak
semula kau memang telah menipuku! Resi keparat! Keluar kau dari tubuhku! Kalau
tidak aku akan mengadu nyawa. Jika aku mati kau juga akan mampus!”
Tak ada
jawaban. Yang terdengar kemudian malah jeritan Cakra Mentari. Pemuda ini
melompat sambil pegang anggota rahasia di bagian bawah perutnya yang hancur
mengucurkan darah. Sebenarnya tanpa Cakra Mentari terkena tempelan bunga
tanjung Resi Mirpur Patel memang sudah punya rencana untuk melakukan apa yang
disebutnya sebagai tindakan penangkal itu.
Karena
memang hanya itu satu-satunya cara untuk mengamankan ilmu pukulan sakti dahsyat
yang kini telah berada dalam tubuh Cakra Mentari.
Dewi
Pemikat menjerit lalu melompat menyambar pakaiannya. Melihat sosok bugil putih
bagus si gadis cantik Naga Kuning mendelik. Setan Ngompol melotot dan langsung
pancarkan air kencing. Murid Sinto Gendong walau agak malu-malu tapi sambil
menggaruk kepala melirik juga. Purnama dan Ratu Duyung saling pandang, tak
barani melihat. Dewi Pemikat melompat turun dari atas pondok, menyelinap ke
balik sebatang pohon. Selesai berpakaian dia kembali ke dalam pondok. Anehnya
walaupun tadi dia siap untuk bersenang-senang melakukan hubungan badan dengan
Cakra Mentari namun saat itu dia sama sekali tidak berusaha menolong si pemuda.
Cakra
Mentari Jatuh terduduk bersimpuh terbungkukbungkuk di tanah sementara darah
mengalir terus menggenangi lantai pondok. Dalam keadaan seperti Itu Cakra
Mentari masih bisa berpikir untuk cepat-cepat menotok beberapa bagian tubuhnya
sebelah bawah hingga darah berhenti mengucur.
Terdengar
suara tawa mengekeh disusul ucapan Mirpur Patel.
”Kau tak
usah kawatlr Cakra Mentari. Kau tidak akan menemui ajal hanya karena anggota
rahasiamu kubuat hancur!”
Tiba-tiba
seperti ada yang mengangkat tubuh Cakra Mentari naik ke atas lalu dibanting ke
lantai pondok. Saat itu juga dari dalam tubuhnya membayang keluar sosok samar
Resi Mirpur Patel yang keadaannya nyaris tidak berdaging seperti jerangkong.
Kaki kiri menginjak lantai pondok kaki kanan tak berkasut menginjak kepala
Cakra Mentari. Melalui injakan kaki itulah dia akan menyedot ilmu kesaktian
yang ada dalam tubuh Cakra Mentari.
Ketika
Resi Mirpur Patel merapal mantera sambil mengerahkan sisa hawa sakti yang
sangat sedikit masih dimilikinya dan siap menyedot ilmu kesaktian yang ada di
tubuh Cakra Mentari tiba-tiba terdengar suara menguik. Seekor elang putih
berjambul hitam menukik dari kegelapan malam. Paruhnya yang tajam menyambar
ganas ke arah leher sang Resi.
”Mahluk
jahanam ! Aku tahu siapa dirimu ! Mampuslah !”
Sosok
samar Resi Mirpur Patel angkat tangan kanan, menangkap leher elang putih lalu
kreekk ! Sekali meremas burung malang Itu menguik keras dan hancur luluh.
Sebelum tewas Jambul Hitam malah sempat mencakar lengan kanan Mirpur Patel
hingga sama-samar tampak darah hitam mengucur dari robekan luka !
Mahluk
tumpangan Mirpur Patel bantingkan elang putih berjambul hitam yang sudah mati
itu ke tanah. Namun seorang anak kecil berambut jabrik entah dari mana
datangnya dengan cepat menangkap burung itu. Naga Kuning!
”Mahluk
samar Resi sesat! Kau rupanya suka sekali meremas burung. Burung orang dan
burung benaran! Hik…Hik..hik !
Bagaimana
kalau gantian aku meremas burungmu! Hik..hik…hik !”
*********************
TIGA BELAS
ANAK
kurang ajar?! Kau siapa?!” bentak Mirpur Patel marah besar karena maksudnya
hendak menyedot ilmu kesaktian lewat kepala Cakra Mentari jadi terhalang.
”Bocah
itu adalah sahabat kami dan kekasihku!” Mirpur Patel terkesiap. Seorang nenek
berjubah biru berwajah setan berambut kelabu tahu-tahu berdiri di hadapannya
sambil menyeringai kedap-kedipkan mata. Gondoruwo Patah Kati. Ternyata si nenek
tidak sendirian. Mirpur Patel segera mengenali Purnama yang pernah dipendamnya
dalam tanah. Dalam hati dia menggeram penuh dendam. Gadis inilah yang telah
membuat rompal tongkat emasnya dan berdasarkan gompalan tongkat itu menyebabkan
Resi Khandawa Abitar berhasil menjajagi keberadaannya dan menjatuhkan hukuman
atas dirinya. Lalu ada pemuda berambut gondrong dan seorang gadis cantik
bermata biru. Dia kenal semua orang ini karena beberapa kali pernah menyerang
mereka secara membokong dari jarak jauh. Ketika pandangannya membentur Setan
Ngompol berubahlah tampang sang Resi. Hal ini sempat dilihat Ratu Duyung. Dia
ingat keterangan Purnama bahwa ada sesuatu yang ditakuti mahluk yang pernah
muncul tanpa wajah itu. Pasti ada satu rahasia dibalik kerenyit wajah mahluk
tumpangan itu. Mirpur Patel angkat kakinya yang menginjak kepala Cakra Mentari.
Wiro dan kawan-kawan tampak melengak kaget ketika melihat bagaimana sosok samar
Resi Mirpur Patel masuk ke dalam tubuh pemuda yang terbujur di lantai pondok.
Sebagai
penitip nyawa Resi Mirpur Patel memang tidak mungkin dan tidak bisa lepas dari
tubuh tumpangannya. Kesempatan ini serta merta dipergunakan oleh Cakra Mentari
yang saat itu masih telanjang bulat untuk berdiri. Semua perempuan yang ada di
tempat itu segera palingkan muka. Kecuali si nenek Gondoruwo Patah Hati yang
enak-enakan saja memperhatikan dengan wajah menyeringai dan lidah dijulur-julur
membasahi bibir.
”Cakra
Mentari! Lekas kau kenakan pakaianmu! Keadaanmu seperti ini hanya menambah sial
saja!” Mahluk tumpangan berucap.
Cakra
Mentari segera mengenakan pakaian. Ketika dia menyimpan patung Kamasutra ke
balik pakaiannya semua orang sempat melihat kantong kain hitam yang ditembusi
cahaya merah redup.
Wiro
berkata dalam hati.
”Aku
yakin, di dalam kantong kain warna hitam itu dia menyimpan Patung Kamasutra
yang dicari Resi Khandawa Abitar.
Selama
ini patung itu telah dipakai untuk melaksanakan perbuatan terkutuknya!”
”Cakra,
kau harus segera meninggalkan tempat ini. Orangorang ini sangat berbahaya.
Mereka bisa membuat gagal dirimu mendapatkan ilmu kesaktian pukulan Tiga Cahaya
Alam Gaib.”
”Wiro.
Aku mendengar suara lain dalam tubuh Cakra Mentari. Mungkin suara Resi yang
sudah menitipkan nyawanya seperti keterangan Resi Khandawa Abitar. Cakra
Mentari hendak kabur dari sini.” Purnama yang berdiri di samping Wiro berbisik
pada sang pendekar.
”Lekas
berpencar…” kata Wiro pula sambil memberi tanda.
Purnama
berkelebat ke bagian kiri pondok. Ratu Duyung melesat ke bagian belakang sambil
memegang cermin bulat sakti. Naga Kuning letakkan burung elang putih yang sudah
mati di dekat serumpun semak belukar lalu bersama Gondoruwo Patah Hati bocah
ini bergerak ke samping kanan bangunan. Sementara Wiro dan Setan Ngompol
mendatangi dari sebelah depan.
”Kakek
celaka berkuping terbalik itu. Bagiku dia sangat berbahaya Cakra, sebaiknya
kita lekas minggat dari sini!” Berkata Mirpur Patel.
”Aku
yakin saat ini aku sudah memiliki ilmu pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang lebih
dahsyat. Buktinya tadi kau hendak mengambilnya lewat injakan kaki. Lalu mengapa
aku takut menghadapi orang-orang ini? Saat ini aku mulai berpikir-pikir.
Bagaimana
caranya mendapatkan dua gadis cantik itu. Yang berpakaian biru dan yang bermata
biru!”
”Jangan
berlaku tolol!” tukas Mirpur Patel si mahluk penitip nyawa. ”Aku yakin Resi
Khandawa Abitar telah membekali orangorang ini dengan satu atau dua ilmu. Aku
akan memuntir urat pusarmu jika kau tidak menurut perintah!”
”Lakukanlah.
Aku gembira kalau bisa mati berbarengan di tempat ini,” jawab Cakra Mentari.
”Jahanam
kurang ajar !” Rutuk Mirpur Patel.
Lalu
dengan suara lebih perlahan dia berkata.
”Kalau
kau memang ingin menghadapi mereka, bunuh dulu kakek bermata besar yang
celananya basah air kencing itu!”
Cakra
Mentari tidak perdullkan ucapan Mirpur Patel karena saat itu dilihatnya Wiro melangkah
mendekati pondok kayu.
Setelah
menatap wajah pemuda berpakaian serba hitam berikat kepala kain merah itu Wiro
berkata.
”Cakra
Mentari. Aku membawa pesan Resi Khandawa Abitar…”
”Ha ha!
Ternyata kau kacung seorang Resi!” Ujar Cakra Mentari mengejek. Sesaat dia
melirik dulu pada Purnama dan membalik ke belakang memperhatikan dan kedipkan
mata pada Ratu Duyung. Begitu menghadap ke arah Wiro kembali dia ajukan
pertanyaan. ”Apa gerangan pesan majikan besarmu itu?!”
Murid
Sinto Gendong menyeringai dan garuk-garuk kepala dengan tangan kanan sementara
tangan kiri mengandung ilmu Menguras Bahala Menyedot Petaka yang didapat dari
Resi Khandawa Abitar siap digerakkan sesuai untuk menguras tiga ratus lima
bunga tanjung yang mendekam dalam tubuh Cakra Mentari.
”Resi
Khandawa Abitar berpesan agar kau menyerahkan Patung Kamasutra pada kami,”
jawab Wiro kemudian.
Cakra
Mentari tertawa gelak-gelak. Mahluk tumpangan Mirpur Patel ikut tertawa
mengekeh.
”Kalau
aku tidak mau memberikan, kalian semua mau apa?!”
Wiro
kembali menggaruk kepala dengan tangan kanan. Lalu menyahuti.
”Berarti
aku harus melakukan pesan Resi Khandawa Abitar yang kedua.”
”Apa?
Pesan kedua apa?!” hardik Cakra Mentari.
Saat Ku
juga Pendekar 212 angkat tangan kirinya. Telapak dikembang terbuka ke arah
Cakra Mentari. Selarik sinar kebirubiruan menyambar. Mahluk penitip nyawa
meraung keras. Dia mengenali.
”Ilmu
Menguras Bahala Menyedot Petaka! Cakra! Lekas menyingkir!” Cakra Mentari
terkesima. Dia merasa tubuhnya bergetar hebat. Pemuda ini cepat melompat turun
dari pondok.
Tapi
terlambat! Begitu kakinya menginjak tanah dari mulutnya melesat suara raungan
panjang sementara sekujur tubuhnya menjadi kaku tak mampu digerakkan dan tubuh
itu memancarkan cahaya begermerlap. Setelah itu terjadi hal luar biasa.
Seperti
yang dikatakan Resi Khandawa Abitar dari ubunubun kepala Cakra Mentari melesat
keluar 304 bunga tanjung dalam keadaan layu berwarna kecoklatan, luruh ke
tanah. Bunga tanjung terakhir yakni yang ke 305 melayang berputar di udara lalu
bergerak turun ke arah gadis berpakaian kuning di dalam pondok dan menyusup di
sela-sela rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas. Dewi Pemikat!
”Dia!”
Teriak Naga Kuning.
Ratu
Duyung menatap kaget tak berkesip.
”Jadi
gadis cantik berpakaian seronok ini ternyata gadis dari alam gaib yang
kesusupan bunga tanjung penyembuh Wiro di bagian bawah perutnya. Aneh rasanya.
Bagaimana kejadiannya…”
Purnama
sendiri terheran-heran. ”Dia rupanya. Kalau dia memang dari alam gaib mengapa
aku tidak bisa menjajagi? Siapa dia sebenarnya. Apa hubungannya dengan Cakra
Mentari. Salah satu calon korban? Aku meragukan. Karena dia tidak melarikan
diri sewaktu pemuda itu jatuh terduduk di tanah. Apakah dia memiliki ilmu luar
biasa tinggi hingga aku tidak dapat menembus jati dirinya?”
Tidak
menunggu lebih lama Wiro, Ratu Duyung dan Purnama segera melompat naik ke atas
pondok kayu. Naga Kuning menyelinap dan berdiri di depan ke tiga orang itu.
Gondoruwo
Patah Hati yang kawatir si bocah ini berbuat macam macam segera pula naik ke
atas pondok.
Wiro
berpaling pada Ratu Duyung dan berkata. ”Kau saja yang bicara. Katakan apa
adanya.”
Saat itu
Cakra Mentari terduduk lemas di tanah. Sekujur tubuhnya menggigil seperti
dikubur dalam salju. Tiba-tiba dia merasa ada hawa panas memusnahkan rasa
dingin. Itu adalah hawa panas yang disalurkan mahluk tumpangan Mirpur Patel.
”Cakra,
tenang saja. Kau tak akan mati. Kau tetap akan menguasai Ilmu pukulan Tiga
Cahaya Alam Gaib.”
Tiba-tiba
sebagian tubuh samar Mirpur Patel keluar dari sosok Cakra Mentari. Dua
tangannya bergerak ke depan hendak mencekik leher si pemuda. Entah bagaimana
mahluk tumpangan ini tiba-tiba saja punya keyakinan, cara cepat dan jalan
pintas untuk menguasai ilmu kesaktian yang ada dalam diri Cakra Mentari adalah
dengan membunuh si pemuda. Jika Cakra Mentari mati, ilmu kesaktiannya akan
mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Dia tidak
mengetahui dengan keluarnya tiga ratus lima bunga tanjung dari dalam tubuh
Cakra Mentari maka ilmu Tiga Cahaya Alam Gaib yang sudah di dapat si pemuda
serta merta lenyap tak berbekas. Yang masih tertinggal dalam diri Cakra Mentari
hanyalah semua ilmu kesaktian yang didapatnya dari gurugurunya sebelumnya,
antara lain Suma Mahendra.
”Lihat!”
teriak Naga Kuning. Anak ini langsung mengangkat tangan hendak melepas satu
pukulan tangan kosong bernama Naga Murka Menjebol Bumi ke arah mahiuk samar.
Tapi cepat dicegah oleh Wiro.
”Jangan!
Seranganmu bisa meleset mengenai pemuda itu.
Kita
menginginkannya tetap hidup. Ingat ucapan Resi Khandawa!
Dia
pemuda yang terjebak oleh tipu daya Resi Mirpur Patel!”
Naga
Kuning tarik serangannya. ”Kalau begitu biar aku yang mengamankan kedua orang
itu!” Berkata Purnama. Gadis ini goyangkan bahunya. Sinar terang berwarna biru
disertai percikanpercikan seperti kembang api memenuhi tempat itu lalu
menyungkup sosok Cakra Mentari dan Mirpur Patel.
”Cakra,
hantam dengan Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib!”
teriak
mahluk tumpangan Mirpur Patel. Cakra Mentari lakukan apa yang dikatakan orang.
Tangan kanan dipukulkan. Tiga cahaya merah, biru dan hijau menderu.
”Dess!
Dess! Dess!”
Purnama
berseru kaget ketika melihat sinar biru yang menyungkup Cakra Mentari dan
Mirpur Patel jebol di tiga tempat.
Mirpur
Patel tertawa mengekeh. Namun diam-diam dia merasa kawatir. Kekuatan pukulan
Tiga Cahaya Alam Gaib yang tadi dilepaskan Cakra Mentari masih dalam bentuk
kekuatan lama.
Celaka!
Pukulan Tiga Cahaya Alam Gaib yang didapatnya dari samadi di Gurun Tengger
mungkin sudah lenyap! Ini akibat pantangan yang dilanggar sampai dua kali!”
Mirpur Patel menggembor marah.
”Cakra
Mentari! Kau tidak mendapatkan ilmu kesaktian Tiga Cahaya Alam Gaib itu! Aku
hanya membuang waktu percuma! Aku "
”Kalau
kau membunuhku, kau sendiri akan menerima kematian yang sama. Karena nyawamu
bertumpangan dengan nyawaku! Nyawamu hanya nyawa titipan!”
”Persetan
dengan kematian! Aku sudah mempersiapkan diri untuk hidup di alam gaib!”
Habis
berkata begitu mahiuk tumpangan Mirpur Patel susupkan dua tangannya ke dalam
perut Cakra Mentari, mencekal dan membetot urat di belakang pusar si pemuda.
”Breettt!”
Cakra
Mentari menjerit setinggi langit. Perutnya terbongkar jebol.
Darah
muncrat sampai setengah tombak. Isi perutnya seperti menggelegak. Semua orang
yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan tertahan dan merasa tengkuk
masing-masing menjadi dingin karena bergidik.
Setan
Ngompol terkencing-kencing. Ketika dia berusaha menjauh, tanah yang becek oleh
darah dan air kencing membuat kakinya terpeleset. Kakek ini coba menggapai
tiang pondok.
Namun
gerakannya malah membuat tubuhnya melintir dan terhuyung ke arah mahluk
tumpangan Mirpur Patel yang tengah berusaha mengeluarkan tubuh samarnya dari
mayat Cakra Mentari. Ketika melihat si kakek yang celananya basah kuyup air
kencing ini hendak jatuh menimpa dirinya Mirpur Patel berteriak keras, berusaha
menghindar. Namun terlambat. Paha kiri Setan Ngompol jatuh tepat di pipi
kanannya.
”Air
najis! Air celaka! Air kematian!” raung Mirpur Patel.
Ratu
Duyung dan Purnama saling pandang. Dua gadis cantik itu sekarang mengerti bahwa
air kencing Setan Ngompol merupakan hal yang ditakuti Mirpur Patel sejak dia
muncul sebagal mahluk tanpa wajah.
Muka
mahluk tumpangan yang terkena basahan air kencing Setan Ngompol langsung
berubah hitam hangus. Darah hitam meleleh dari telinga kanan, mata kanan,
hidung dan mulut. Tubuh menggeliat lalu meletup beberapa kali, berubah jadi
asap dan membubung ke udara. Namun baru naik setinggi atap pondok tiba-tiba
satu suara menggema di tempat itu. Suara Resi Khandawa Abitar sementara
orangnya sendiri tidak kelihatan.
”Mirpur
Patel, Para Dewa tidak mengizinkan dirimu hidup di alam gaib. Sudah diputuskan
bahwa kau akan dibenam di dasar bumi lapisan ketujuh untuk selama-lamanya!”
”Wuuttt!”
Satu
cahaya biru menderu. Itulah pukulan tongkat sakti Kuntala Biru milik Resi
Khandawa Abitar. Saat itu juga sosok asap Mirpur Patel amblas masuk ke dalam
tanah diiringi suara raungan panjang menggidikkan!
*********************
EMPAT BELAS
Di DALAM
pondok Ratu Duyung dekati Dewi Pemikat yang berdiri tenang-tenang saja seolah
tidak ada terjadi apa-apa di tempat itu. Padahal mayat Cakra Mentari dengan
perut terbusai masih menggeletak di samping pondok.
”Sahabat
berbaju kuning, aku dipanggil orang dengan sebutan Ratu Duyung. Kalau aku boleh
bertanya siapakah namamu?”
”Orang-orang
momanggilku Dewi Pemikat. Nama itu bukan nama sembarangan karena diberikan oleh
seorang Pangeran.”
”Ah,
beruntung kau punya kenalan seorang Pangeran yang baik hati,” ucap Purnama.
Wiro kini
ganti bertanya. ”Bagaimana ceritanya sampai pemuda berpakaian hitam itu hendak
memperkosamu?”
Dewi
Pemikat tatap wajah Pendekar 212 sejurus. Wiro balas menatap. Sepasang
pandangan saling beradu. Wiro merasakan ada getaran aneh di kelopak matanya.
Dia tidak memikirkan hal itu lebih jauh karena tiba-tiba gadis cantik montok di
hadapannya tertawa panjang. Wiro hanya bisa memperhatikan sambil garukgaruk
kepala
”Apa?
Pemuda berpakaian hitam itu hendak memperkosaku?
Hik… Hik!
Bukan dia yang hendak mamperkosaku. Tapi justru aku yang hendak memperkosanya!
Eh, apakah kau mau aku perkosa?”
Wiro
menyeringai, garuk-garuk kepala sementara Dewi Pemikat senyum-senyum sambil
kedap-kedipkan mata.
Murid
Sinto Gendeng jadi melongo. Purnama dan Ratu Duyung tampak merah wajah
masing-masing. Gondoruwo Patah Hati cemberut. Hanya Naga Kuning seorang yang
tertawa gelakgeiak.
”Nah,
anak ini tertawa. Berarti dia tahu kalau apa yang kuucapkan benar adanya!” Kata
Dewi Pemikat pula.
Karena
dipuji begitu rupa, timbul keberanian Naga Kuning.
”Sahabatku
cantik. Sobatku si gondrong ini mengidap satu penyakit aneh. Ada yang memberi
penjelasan penyakitnya bisa disembuhkan kalau…”
”Tunggu
dulu,” memotong Dewi Pemikat ”Penyakit apa yang diderita sobatmu gondrong ini?”
”Itu,
anunya….” Naga Kuning luruskan jari telunjuk tangan kanan. Lalu perlahan-lahan
jari itu ditekuk diturunkan kebawah.
”Loyo…”
Ucap si bocah pula.
Wiro tak
bisa marah, Cuma garuk-garuk kepala. Dewi Pemikat tertawa cekikikan.
”Tadi kau
bilang ada yang memberi penjelasan penyakitnya bisa disembuhkan kalau….Kalau
apa?” Bertanya Dewi Pemikat.
”Menurut
yang punya cerita…”
”Siapa
yang cerita?” Dewi Pemikat memburu terus.
”Seorang
yang diam di kawah Gunung Bromo. Namanya Suma Mahendra…”
”Hemmm
begitu? Orang itu cerita apa?”
”Katanya
peyakit sobatku ini bisa sembuh setelah sebuah bunga tanjung yang ada didalam
anunya seorang perempuan dari alam gaib dikeluarkan lalu ditanam di bawah pohon
tanjung, antara dua akar yang sejajar."
Dewi Pemikat
ternganga lalu tertawa gelak-gelak.
”Sekecil
ini kau sudah pandai mengarang cerita!”
”Sahabat,
anak ini tidak mengarang cerita.” Menyahuti Pumama. "Apa yang dikatakannya
betul semua. Petunjuk tentang perempuan dari alam gaib itu telah kami lihat.
Yaitu sekuntum bunga tanjung terakhir yang keluar dari tubuh pemuda bernama
Cakra Mentari. Bunga tanjung dimaksud adaiah bunga tanjung yang saat ini masih
terselip di rambutmu.”
Dewi
Pemikat terkejut. Dia meraba rambutnya. Dia menemukan bunga tanjung yang terselip.
Setelah memperhatikan bunga itu beberapa lama si gadis lalu berkata.
”Kalau
bunga yang ini ada di rambutku jelas tak bisa kupungkiri. Tapi bagaimana
mungkin ada bunga tanjung dalam anuku! Ihhh. Kalian ini ngacok semua!”
”Kami
tidak ngacok. Kami percaya akan keterangan Suma Mahendra karena dia juga
seorang yang berasal dari alam gaib.” Kata Gondoruwo Patah Hati.
Naga
Kuning lalu menimpali. ”Itu sebabnya, aku sudah bersiap-siap.Jika kau
mengizinkan bunga tanjung itu dikeluarkan, aku bersedia membantu. Aku ini anak
kecil. Masakan malu sama anak kecil!”
Satu
jeweran mampir di telinga Naga Kuning. Lalu suara Gondoruwo Patah Hati
mengomel. ”Anak geblek. Kau mulai ngacok lagi!”
Dewi
Pemikat tersenyum. Dia berpaling pada Wiro.
”Ah,
rupanya kau ingin si sakit langsung yangmengambil bunga tanjung di dalam anumu
itu. Ya sudah, aku mengaku kalah ganteng! Biar aku cari gawean yang lain saja!
Hik.hik…hik!” Naga Kuning tertawa cekikikan.
”Sahabat
Dewi Pemikat,” Ratu Duyung berkata.
”Selama
ini apa kau tidak menyadari ada kelainan dalam tubuhmu di bagian yang rahasia
itu?”
Dewi
Pemikat terdiam. Lalu dengan suara agak perlahan dia menjawab.
”Aku
tidak begitu memperhatikan. Tapi terus terang memang ada satu keanehan. Anuku
itu selalu gatal-gatal…”
”Gatal-gatal
bukan karena jarang cebok?” celetuk Naga Kuning hingga kembali jeweran
Gondoruwo Patah Hati menyambar telinga kirinya.
Dewi
Pemikat cuma senyum-senyum.
”Selain
merasa gatal, aku memiliki rasa gairah berkelebihan terhadap kaum laki-laki…”
”Kalau
bunga tanjung itu memang bisa dikeluarkan, mungkin semua keanehan yang kau
alami akan berakhir. Kau bisa kembali hidup wajar…”
Dewi
Pemikat tatap Purnama yang barusan bicara.
”Aku tak
akan berkata apa-apa lagi. Semua yang terjadi dengan diriku mungkin sudah
takdir!”
”Jadi kau
tidak mau ditolong agar terlepas dari keanehan yang kau alami. Sekaligus
menolong sahabat kami ini?” Tanya Ratu Duyung pula.
Dewi
Pemikat pandangi Pendekar 212 sejurus.
”Mungkin…mungkin
saja aku mau diobati penyakit gatalgatal dan gairah aneh itu. Sekalian menolong
si gondrong yang suka garuk-garuk kepala seperti orang jarang mandi ini. Tapi
yang aku pikirkan, bagaimana caranya mengeluarkan…”
Dewi
Pemikat tidak teruskan ucapan karena tak bisa menahan tawa.
”Aku
sudah siap kerja sukarela,” berkata Naga Kuning sambil mesem-mesem. ”Atau aku
ada akal lain. Sobatku baju kuning harus berendam dalam telaga yang airnya
sejuk bening.”
”Bocah
tolol!” Berkata Setan Ngompol. ”Kalau direndam malah makin sempit jalan
keluarnya…”
”Kalau
begitu diganggang saja sama bara menyala biar lebar jalan keluarnya!” Ucap Naga
Kuning yang membuat semua orang jadi terkejut tapi tak bisa menahan tawa.
”Bocah,
apa kau benar mau kerja sukarela mengeluarkan bunga tanjung itu?”
Pertanyaan
Dewi Pemikat itu membuat semua orang jadi terkejut termasuk Naga Kuning
sendiri.
”Kau
punya alat apa yang mau dipakai…?” Dewi Pemikat bertanya lagi.
Naga
Kuning tak bisa menjawab.
”Ha !!
Aku bertanya. Kau mau pakai alat apa mengeluarkan bunga tanjung itu dari
anuku?” Dewi Pemikat bertanya polospolosan.
”Anu…Aku,aku
cuma punya jari ini.” Jawab Naga Kuning sambil goyang-goyangkan jari tengah
tangan kanannya.
”Baik kau
boleh mempergunakan jarimu itu! Nah, ayo kau kerjakan!”
Dewi
Pemikat tarik lengan Naga Kuning. Kedua-nya naik ke dalam pondok diikuti oleh
Wiro, Purnama, Setan Ngompol dan Ratu Duyung bersama Gondoruwo Patah Hati yang
sudah siapsiap hendak menyemprot si bocah.
Di dalam
pondok Dewi Pemikat baringkan tubuh di lantai.
Dua kaki
dilipat sedikit dan dikembangkan lebar-lebar. Melihat orang bersungguh-sungguh
seperti itu Naga Kuning malah jadi takut dan bersurat dua langkah.
”Ayo, kau
tunggu apa lagi?! Bocah, lekas tarik celanaku!”
”Aku,
hemmm…”
”Anak
konyol! Tenyata kau cuma besar mulut!” Ejek Dewi Pemikat. Dikatai seperti itu
Naga Kuning jadi jengkel. Dia langsung jongkok di depan sosok Dewi Pemikat yang
masih berbaring di lantai.
”Anak
gila! Kau mau melakukan apa?!” Bentak Gondoruwo Patah Hati.
”Biar
saja Nek. Anak ini mau berbuat baik. Tak usah dilarang.” Berkata Dewi Pemikat.
Naga
Kuning pegang ujung dua kaki celana panjang kuning Dewi Pemikat. Ketika kaki
celana itu hendak ditariknya tiba-tiba meledaklah tawa Dewi Pemikat. Saat itu
juga wajahnya yang cantik jelita dan tubuhnya yang bagus molek berubah! Yang
terbaring di lantai pondok kini bukan lain adalah seorang nenek keriput
berambut kelabu, mengenakan jubah kuning. Daun telinga diganduli anting terbuat
dari tulang. Sepasang mata merah. Mulut perot terkempot-kempot! Naga Kuning
terlonjak dan cepat-cepat bersurat mundur.
”Kembaran
ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu!” berseru Pendekar 212 lalu tertawa
gelak-gelak. Saat itu juga pondok kayu di tengah hutan Jati itu seperti mau
roboh oleh hebohnya gelak tawa semua orang yang ada di tempat itu.
Si nenek
yang memang adalah kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu bangkit berdiri
sambil ikutan tertawa hahahihi. Mulutnya yang kempot tidak henti-hentinya
berkata. ”Jangan salahkan diriku! Semua ini bukan aku punya mau!
Ketika
aku menolong Wiro melepas bunga tanjung yang nempel di bawah parutnya tiba-tiba
ada hawa aneh menyambar ke arah anuku. Lalu aku berubah jadi gadis montok.
Hik..hik. .hik. Aku bisa kembali ke bentuk asalku setelah pemuda bernama Cakra
Mentari itu menemui ajal.” Si nenek berpaling pada Naga Kuning.
”Bocah,
sekarang apa kau masih mau kerja suka rela mengeluarkan bunga tanjung itu?”
”Ampun
Nek, tobat Nek!” jawab Naga Kuning sambil pijit hidungnya dengan tangan kiri,
melangkah mundur dan goyanggoyangkan tangan kanan.
************************
SETELAH
jenazah Cakra Mentari dikuburkan di hutan jati, Ratu Duyung membawa kembaran ke
tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu ke tempat kediamannya di laut selatan Sementara
Wiro dan yang lain-lainnya menunggu di sebuah goa di dekat Parangtritis.
DI
Kerajaan bawah laut seorang tabib perempuan memberi si nenek obat dan berhasil
mengeluarkan bunga tanjung dari bagian tubuh dibawah perut. Seorang suruhan
kemudian menanam bunga tanjung itu di bawah pohon tanjung, diantara dua akar
yang muncul sejajar di tanah. Hanya sehari sesudah itu Pendekar 212 Wiro
Sableng sembuh dari penyakitnya.
Apa yang
terjadi dengan Pangeran Aryo Dipasena? Ketika dirinya dilempar oleh Dewi
Pemikat, kepalanya membentur pohon jati hingga putera Raja ini pingsan cukup
lama. Dia baru siuman pada siang keesokan harinya. Kembali ke pondok dia hanya
menemukan bangkai kuda putih miliknya. Sang Pangeran duduk di lantai pondok.
Dia benar-benar merasa kehilangan Dewi Pemikat yang telh sangat mempesona
dirinya. Hanya saja, kalau dia tahu siapa sebenarnya asli gadis berwajah cantik
bertubuh montok putih itu, mungkin dia bisa pingsan selama tiga hari tiga malam
!
Akan
halnya Patung Kamasutra yang ditemukan di balik pakaian Cakra Mentari diambil
oleh Ratu Duyung, disimpan di Kerajaan bawah laut sampai ada kesempatan untuk
menghubungi dan menyerahkannya pada Resi Khandawa Abitar.
Bagaimana
pula dengan Bidadari Angin Timur? Apakah semudah itu gadis cantik berambut
pirang ini melupakan Pendekar 212 Wiro Sableng dan mengalihkan cintanya pada
Jatilandak yang sekarang menjadi Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon dengan nama
Tubagus Putrakesuma?
TAMAT
No comments:
Post a Comment