WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
1
GURUN
Pasir Thar di barat laut India. Matahari bersinar terik membakar bumt. Tiupan
angin bukan mendatangkan kesejukan malah menebar hawa panas. Lautan pasir
seolah berubah menjadi bubuk bara api. Namun aneh dan sangat luar biasa dalam
keadaan seperti itu seorang tua berselempang kain putih berlari di gurun pasir
tanpa alas kaki sama sekali Rambut dan janggut putih panjang melambai-lambai ke
belakang. Di tangan kanan dia memegang sebuah tongkat besar berbalut emas yang
ujung sebelah atas berbentuk bulat dihias batu permata berbagai warna. Saking
cepatnya dia berlari tubuhnya hanya kellhatan berupa bayangan putih dan tongkat
di tangan kanan membentuk cahaya kuning. Di satu tempat cahaya putih dan kuning
sirna, sosok si orang tua laksana lenyap ditelan bumi. Tak selang berapa lama
dia sudah berada di dalam satu lorong panjang di perut gurun.
Orang tua
itu baru berhenti berlari setelah dia sampal di hadapan satu tembok batu berwarna
hitam pekat yang menutupi lorong di bawah gurun. Setelah mengusap wajah
beberapa kali, orang tua ini hunjamkan tongkat besi berpalut emas ke tanah.
Sinar kuning berkiblat menyapu seantero ruangan. Si orang tua tundukkan kepala
lalu keluarkan ucapan.
“Resi
Ketua Khandwa Abitar, saya Resi Kepala Mirpur Patel datang menghadap membawa
kabar.”
Suara
orang tua yang menyebut diri sebagai Resi Kepala Mirpur Patel bergema di dalam
lorong. Begitu suara gema lenyap tiba-tiba di tembok ada satu kilatan cahaya
biru. Di lain kejap di depan tembok batu hitam itu telah berdiri seorang lelaki
tinggi besar, berpakaian selempang kain biru. Kulitnya agak kehitaman, rambut,
alis, janggut serta kumis putih seperti kapas. Di tangan kanan dia memegang
sebuah tongkat terbuat dari batu biru, berkeluk pada ujung sebelah atas. Batu
tongkat yang merupakan batu mustika ini konon bernilai Iebih dari seratus kali
nilai emas murni.
“Resi
Kepala, aku sudah ada di hadapanmu. Sampaikan kabar yang kau bawa. Baik atau
buruk?”
“Maafkan
saya Resi Ketua. Saya datang membawa kabar buruk.” Jawab Resi Kepala Mirpur
Patel.
“Aku
sudah melihat dari raut wajahmu,” kata Resi Ketua pula dengan mata memandang
tak berkesip.
“Saya
ingin memberi tahu, Patung Kamasutra yang disimpan di tempat rahasia dalam Goa
Binaker lenyap.
Hal ini
saya ketahui pagi tadi” Habis berkata begitu Mirpur Patel jatuhkan diri. Dengan
menjatuhkan diri, berlutut di depan Resi Ketua, Mirpur Patel memberi tanda
bahwa dia mengakui dosa, sangat menyesal dan siap dihukum.
“Resi
Kepala, berdirilah.”
Resi
Mirpur Patel perlahan-lahan bangkit berdiri. Kepala masih tertunduk seolah
tidak berani menatap wajah sang Ketua.
Walau
ucapan Resi Kepala lebih dahsyat dari gelegar petir di siang bolong namun Resi
Ketua masih mampu berlaku tenang. Suaranya bergetar ketika berkata.
“Aku
biasa mendapat kabar buruk. Tapi aku sama sekali sangat tidak menyangka bahwa
kabar yang kau bawa adalah lenyapnya Patung Kamasutra yang berusia lebih dan
lima nibu tahun dan telah disimpan di Goa Binaker selama dua ribu delapan ratus
tahun. Ada tujuh pintu rahasia menuju ke goa penyimpanan patung kuna itu.
Patung diletakkan di dalam satu keranda kaca. Jangankan sampai keranda Itu
disentuh, tertiup angin atau dihinggapi lalat saja alat rahasia akan bekerja.
Dua ratus senjata rahasia akan bergerak, lima jenis racun akan menyembur ke
dalam goa.”
Saya juga
tidak mengerti namun saya tidak mau mencari alasan.
Saya
mengakui, semua terjadi atas kelalaian saya.” Ucap Resi Mirpur Patel pula.
Resi
Ketua Khandawa Abitar usap janggut, mata terpejam dan benak berpikir. Lalu dia
berucap. “Resi Kepala, antarkan aku ke Goa Binaker. Kalau tidak melihat dengan
mata kepala sendiri rasanya aku masih kurang percaya”
Mendengar
ucapan Rest Ketua, Resi Kepala segera pindahkan tongkat yang dipegangnya ke
tangan kiri.
Lalu
tangan kanan ditempelkan ke lengan Resi Ketua yang memegang tongkat batu. Satu
cahaya biru berkiblat menyelubungi seluruh ruangan. Saat itu juga ke dua Resi
lenyap dari tempat Itu. Di lain kejap mereka sudah berada di depan mulut Goa Binaker,
sebuah goa rahasia yang terletak di sebelah timur Gurun Pasir Thar. Di dalam
goa dua belas orang Resi berselempang kain putih menyambut kedatangan Resi
Kepala dan Resi Ketua. Mereka sama tundukkan kepala. Di wajah masing-masing
terlihat perasaan takut.
Setelah
melewati enam pintu rahasia di pintu ke tujuh Resi Ketua Khandawa Abitar
menekan sebuah tonjolan batu. Konon hanya dia dan Resi Kepala yang memliliki
ilmu kesaktian untuk mampu menekan tonjolan batu tersebut. Tekanan pada batu
yang menonjol bukan saja membuat pintu rahasia ke tujuh terbuka tapi sekaligus
membuat dua ratus alat rahasia yang ada di dalam ruangan di balik pintu tidak
bekerja lagi, lima jenis racun tak dapat menyembur.
Ketika
masuk ke dalam ruangan, Resi Ketua melihat banyak pasir bertebaran di lantai
batu. Di tengah ruangan batu yang terletak di balik pintu rahasia ke tujuh,
terdapat sebuah gundukan batu yang bagian atas rata licin dan berkliat. di atas
batu ini terletak satu keranda kaca yang bagian bawahnya di buat agak tinggi
demikian rupa dan ditutup kain beludru biru pekat.
Setelah
memperhatikan keranda kaca itu beberapa lama Resi Ketua Khandawa Abitar berkata
“Luar biasa! Sungguh luar biasa Keranda kaca tidak pecah tidak rusak. Tapi
Patung Kamasutra yang ada di dalamnya bisa lenyap tak berbekas! Siapa
pencurinya, ilmu kesaktian epa yang dipakainya untuk masuk ke sini dan mencuri
Patung itu. Resi Ketua berpaling pada Resi Kepala, di sampingnya. “Resi Kepala,
satu hal perlu aku beri tahu padamu. Ketika aku menekan tonjolan batu di pintu
ke tujuh, aku sudah tahu ada kerusakan pada alat rahasia dan alat penyembur
racun.”
Saya juga
sudah memperkirakan hal Itu pagi tadi sewaktu memerika,” jawab Resi Mirpur
Patel. “Berarti si pencuri masuk melewati tujuh pintu dan….” Resi Kepala
hentikan ucapan, memandang pada Resi Khandwa Abitar. “Hanya kita berdua yang
mampu menekan tonjolan batu ltu….” Mendadak wajah Resi Kepala berubah pucat.
Resi
Ketua gelengkan kepala. “Resi Kepala, tak ada yang akan menuduhmu sebagal
pencuri Patung Kamasutra. Walaupun kau mampu masuk ke ruangan ini, kau tak
punya kepandaian untuk mengambil Patung Kamasutra, tanpa memecah kaca keranda.
Kau lihat atap ruangan sebelah sana?”
Resi
Kepala memandang ke arah yang ditunjuk Resi Ketua.
“Kalau
tidak diperhatikan dengan seksama, tidak akan kelihatan adanya kelainan di atap
batu Itu.” Setelah berkata begitu Resi Ketua dongakkan kepala lalu meniup ke
arah atap batu.
“Wusss!”
”Braaakkk!”
Tiupan
Resi Ketua membuat saat itu juga atap batu berlubang besar. Angin menderu masuk
dari luar.
Pecahan
kepingan batu atap berjatuhan ke lantai bersama tebaran pasir gurun. Dari
tempatnya berdiri Resi Kepala dapat melihat jelas langit di luar sana. Hawa
panas Gurun Thar ikut menyeruak masuk.
“Dengan
kepandaiannya si pencuri lebih dulu merusak semua peralatan rahasia. Itu
dilakukannya setelah dia menjebol atap ruangan dari luar. Sebelum kabur dia
menutup lobang di atas. Kukira dia berusaha menipu kita dengan membawa sebuah
keranda kaca kosong yang sama dengan keranda kaca tempat Patung Kamasutra diletakkan.
Keranda kaca berisi patung diambil, keranda kosong diletakkan sebagai
pengganti. Sepintas lalu terithat tidak ada perbedaan Tapi coba kau perhatikan.
Keranda kaca ini bukan keranda kaca yang asli!”
Resi
Kepala perhatikan keranda kaca yang terletak di atas batu rata.
“Resi
Ketua, saya mengaku lalai. Keranda kaca ini memang bukan keranda kaca yang
asli”
“Resi
Kepala, kau tahu malapetaka apa yang akan terjadi jika patung itu berada di
dunia luar sana? Aku tak bisa membayangkan.”
“Saya
berharap si pencuri tidak mengetahui kekuatan jahat yang tersembunyi di dalam
patung,” kata Resi Mirpur Patel lirih. Lalu dia menyambung ucapannya.”Resi
Ketua, saya mengaku salah. Saya siap menjalani hukuman.”
Resi
Ketua Khandawa Abitar merenung sejurus lalu berkata. “Aku tidak berhak
menghukummu. Manusia tidak layak menjatuhkan hukuman atas manusia lain karena
belum tentu si penghukum lebih bersih dan lebih suci dari yang terhukum.
Biarlah para Dewa yang akan menentukan apa yang bakal terjadi”
Resi
Mirpur Patel terdiam. Wajahnya tampak sangat murung menyesali diri. Sejurus
kemudian baru dia berkata. “Resi Ketua, kalau begitu ucapan Resi Ketua, berikan
kesempatan pada saya untuk menebus dosa.”
“Apa
maksudmu Resi Mirpur Patel ?
Sebagat
jawaban Resi Kepala berkelebat melompat ke arah tembok ruangan sebelah kanan.
Resi Ketua berusaha mencegah tapi terlambat.
Kepala
Resi Mirpur Patel beradu dengan tembok batu, mengeluarkan suara menggidikkan.
Kepala itu rengkah. Sosok sang Resi terkapar jatuh. Nyawanya putus sebelum
tubuhnya menyentuh lantai ruangan.
Resi
Khandawa Abitar mengusap. wajah, menghela nafas dalam berulang kali, lalu
berkata. “Resi Mirpur Patel, itu bukan kehendak para Dewa, tapt kemauan dirimu
sendiri”
Resi
Ketua hentakkan ujung tongkatnya ke lantal batu. Selarik cahaya biru menebar
menutupi seluruh ruangan. Sewaktu cahaya itu sirna. sosok Resi Ketua tak
kelihatan lagi di tempat itu.
Angin
gurun yang menyapu dan mengikis lobang batu di atap menimbulkan suara aneh
berkepanjangan.
Pasir
gurun semakin banyak yang masuk ke dalam ruangan. Pada saat itu terjadi satu
keanehan. Dari sosok mayat Resi Kepala Mirpur Patel yang terkapar di lantai
batu tiba-tiba keluar satu sosok samar laki-laki berpakaian hitam. Di tangan
kanan dia memegang sebuah patung kecil terbuat dan batu berwarna abu-abu
kehitaman. Patung itu memancarkan cahaya merah redup.
“Wuttt!!”
Sosok
samar berkelebat ke arah lobang di atas atap dan lenyap dari pemandangan. Angin
gurun bertiup semakin kencang. Pasir gurun yang masuk ke dalam ruangan
bertambah banyak. Lima hari kemudian seluruh ruangan rahasia di Goa Binaker itu
telah tertimbun tumpukan pasir gurun.
***********************
2
Desa
Manding di utara Sumenep. Sang surya belum lama muncul di ufuk timur, masih
belum pupus titik-titik embun di permukaan dedaunan. Sindang, seorang anak lelaki
penggembala itik, ketika menyusuri tepian Kali Pasian mendadak melihat sepasang
kaki putih mulus tersembul dan balik serumpunan semak belukar.
Diselubungi
perasaan heran dan juga takut anak ini melangkah mendekati. Dia jadi terkejut
ketika mendapatkan sosok tubuh seorang gadis tergeletak di balik semak-semak
tanpa secuil kainpun menutupi auratnya. Sindang memperhatikan wajah cantik
pucat, bibir kebiruan. Di kening menempel sekuntum bunga kecil sebesar ujung
kuku berwarna putih kekuningan. Bunga tanjung. Sekujur tubuh anak penggembala
ini bergetar. Kakinya goyah bersurut mundur. Dia. rnengenali gadis yang
tergeletak di tanah itu. Setelah mengumpulkan keberanian dia berjongkok di
tanah. Masih takut-takut, tapi juga tidak tahu pasti apa yang terjadi
Sebenarnya, Sindang ulurkan tangan menggoyang bahu si gadis.
“Kakak
Rui Semanti mengapa tidur di sini? Mengapa tidak pakai baju?”
Setelah
berulang kali menegur dan menggoyang bahu orang namun tak ada jawaban tak ada
gerakan bocah penggembala jadi bingung. Dia tak dapat lagi menahan rasa takut.
“Kakak
Rui Semanti sudah mati. Sudah jadi mayat …“ Sindang berucap terbata-bata lalu
melompat bangkit.
Tidak
pikir panjang lagi, tanpa perdulikan belasan itik angonannya yang berpencaran
kian kemari, anak ini lari ke arah desa sambil berteriak-teriak. Dia tahu rumah
gadis benama Rui Semanti itu, tapi dia tidak menuju ke sana karena agak jauh di
selatan desa. Sindang lari ke arah barat dimana terletak rumah Kenda Jamitan,
pemuda kekasih Rui Semanti. Semua orang di desa Manding termasuk anak
penggembala itu mengetahul bahwa bulan dimuka Rui Semanti dan Kenda Jamitan
akan melangsungkan pernikahan.
Sindang
kenal baik dengan Kenda Jamitan karena pemuda itu sering mengajaknya main
layang-layang.
Sampai di
rumah Kenda Jamitan, Sindang langsung menggedor pintu depan seraya
berteriak-teriak.
“Kakak
Kenda! Kakak Kenda!” Si bocah terengah-engah hampir kehabisan nafas.
Beberapa
tetangga menjulurkan kepala di jendela ingin mengetahut anak siapa yang
pagi-pagi begitu berteriak-terak,dan apa Yang terjadi. Tak lama kemudian pintu
rumah terbuka. Seorang pemuda berkumis tipis, berkulit sawo matang keluar.
“Kakak
Kenda….!”
“Sindang?
ada apa! Pagi-pagi kau muncul di sini. Bukankah seharusnya kau pergi
menggembala?” tanya pemuda berkumis bernama Kenda Jamitan.
“Kakak
Kenda…” Sindang menunjuk ke arah timur. “Saya … saya menemukan kakak Rui
Semanti di tepi sungai”
“Hah Kau
pasti mengintipnya mandi. Awas, kujewer kupingmu sampai putus” Kenda Jamitan
ulurkan tangan.
“Tidak,
sumpah saya tidak berbuat nakal. Saya menemukan Kakak Rui tidak mengenakan
pakaian.
Mukanya
pucat, bibirnya biru, dua mata terpejam. Saya ….“ Sindang lalu menangis keras.
“Apa?!”
Kenda Jamitan terkejut besar.
“Kakak,
lekes ikuti saya.”
Kenda
Jamitan tatap wajah Sindang beberapa ketika. Tidak salahkah dia mendengar? Rui
Semanti calon istrinya ditemui di tepi sungai. Tidak mengenakan pakaian, bibir
biru, mata terpejam. Pemuda ini sulit mau percaya tapi si bocah agaknya tidak
main-main.Darah Kenda Jamitan mendadak berdesir. Dada berdebar.
Dia Iari
ke samping rumah mengambil kuda. Sindang dinaikkan di sebelah depan lalu pemuda
itu memacu kudanya ke arah timur.
DESA
Manding geger besar. Betapa tidak. Rui Semanti, kembang desa cantik jelita yang
akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi dengan Kenda Jamitan ditemukan
tewas dalam keadaàn bugil di tepi Kali Pasian. Melihat kepada bibirnya yang
kebiruan banyak orang menduga gadis malang ini menemui ajal karena keracunan.
Lalu pada bagian tubuhnya yang lain ada tanda-tanda bahwa Rui Semanti telah
dirusak kehormatannya. Rui Semanti dirampas kegadisannya lalu dibunuh dan
mayatnya dibuang di tepi Kali Pasian. Yang menimbulkan tanda tanya tak terjawab
adalah bunga tanjung yang menempel di kening si gadis. Apa artinya dan siapa
yang menempelkan. Sang pembunuh?
Jenàzah
Rui Semanti dibawa ke rumahya. Sementara diratap ditangisi oleh kedua orang tua
dan saudarasaudaranya.
Seperti
orang kemasukan setan tiba-tiba Kenda Jamitan melompat ke halaman dan
berteriak.
“Ini
pasti pekerjaan keji Legung Antah! Dia tidak bisa mendapatkan Rui lalu
memperkosa dan membunuhnya !”
Orang
banyak yang berkumpul di tempat itu menjadi heboh.
Sebenarnya
ada yang sebelumnya juga punya prasangka seperti itu namun tidak berani
mengatakan. Ketika Kenda Jamitan menghunus clurit beberapa orang segéra
mendatangi dan membujuk berusaha menenangkan pemuda itu. Namun semua mereka
terpaksa mundur berserabutan ketika pemuda bertubuh kekar itu membabatkan
clurit.
Sambil
berteriak-teriak menyumpahi Legung Antah, Kenda Jamitan lari ke arah selatan.
Orang banyak mengikuti dari belakang. Mereka tahu apa yang dilakukan Kenda
Jamitan. Mencari Legung Antah, mendatangi rumahnya! Pasti akan terjadi
pertumpahan darah!
DI DEPAN
sebuah rumah besar berhalaman luas Kenda Jamitan berdiri dengan muka berapi-api
dan dada turun naik, sepasang mata membara. Mulut berteriak lantang. Tangan
kanan mengacung-acungkan clurit.
“Legung
Antah! Manusiã jàhanam! Keluar kau! Jangan sembunyi di dalam rumah!”
Tak ada
suara tak ada jawaban. Tetangga berdatangan. Sebentar saja halaman besar di
depan rumah sudah dipenuhi orang.
“Jahanam
Legung Antah! Kalau kau tidak keluar aku bakar rumahmu!” Kenda Jamitan
berteriak mengancam.
Pintu
depan rumah tiba-tiba terbuka. Dua orang keluar. Di sebelah depan seorang
pemuda berambut panjarng sebahu beralis tebal hitam, berkulit kuning. Inilah
Legung Antah, pemuda yang konon sejak lama jatuh cinta pada Rui Semanti namun
cintanya tak berbalas karena si gadis telah lebih dahulu terpikat pada Kenda
Jamitan. Beberapa waktu lalu dua pemuda itu tak sengaja bertemu di pasar
Manding. Entah bagaimana pasal sebab musababnya terjadi perang mulut yang
disusul dengan adu jotos. Dalam perkelahian tangan kosong satu lawan satu Kenda
Jamitan menghajar lawannya sampai babak belur.
Di
belakang Legung Antah melangkah seorang Ielaki tua, agak bungkuk, hanya mengenakan
sehelai celana panjang putih, membekal sebilah clurit di pinggang. Orang tua
ini adalah Antah Bayana, ayah Legung Antah.
“Kenda
Jamitan,” tegur Antah Bayana. Pagi hari kau datang ke rumahku! Berteriak-teriak
seperti orang gila!
Mengacungkan
clurit seperti tukang jagal kesetanan…”
“Diam!”
hardik Kenda Jamitan. “Aku memang hendak menabas batang leher anakmu!”
Antah
Bayana maju ke samping puteranya. “Pasal apa kau datang membawa kemarahan dan
mengancam hendak membunuh anakku?!” tanya si orang tua pada Kenda Jamitan.
“Tua
bangka, kau jangan ikut campur! Sekali lagi kau berani bicara kau juga akan
kuhabisi!”
“Hebat
sekali! Rupanya kau sudah jadi malaikat maut penguasa nyawa manusia!” kata
Antah Bayana tanpa ada perasaan takut Mendengar kata-kata orang Kenda Jamitan
tambah menggelegak amarahnya.
“Puteramu
pemuda jahanam ini telah memperkosa dan membunuh calon istriku! Mayat Rui
Semanti ditemukan di tepi Kali Pasian! Dia menempelkan sebuah kembang tanjung
di keningnya! Apa maksudnya berbuat begitu? Jahanam keparat!”
Orang
banyak yang mendengar kata-kata Kenda Jamitan, yang tadi masih merasa ragu apa
yang sebenarnya terjadi karuan saja menjadi marah. Salah seorang dari mereka
malah berteriak agar Legung Antah dicincang saat itu juga.
“Tunggu!”
Antah Bayana melangkah ke hadapan Kenda Jamitan. Sepasang mata berkilat dan
pelipis bergerak-gerak. “Kau punya bukti anakku yang merusak kehormatan dan
membunuh Rui Semanti?! Kapan, dimana kejadiannya! Di desa ini tidak ada pohon
tanjung. Bagaimana mungkin kau menuduh anakku menempelkan bunga tanjung
dikening Rui Semanti”
“Tua
bangka keparat! Dengar baik-baik? Mayat Rui Semanti ditemukan pagi ini oleh
seorang penggembala di tepi Kali Pasian! Pasti kejadiannya tadi malam! Kalau
kau ingin bukti dan saksi tanyakan pada setan Kali Pasian!” teriak Kenda
Jamitan dengan suara keras dan sepasang mata mendelik membara.
“Semalaman
tadi anakku Legung Antah ada di rumah. Tidak kemana-mana!” Menerangkan’ ayah
Antah Bayana. Lalu dia bertanya.
“Sejak
kapan kau bersahabat dengan para setan Kali Pasian hingga bisa menjadikannya
saksi segala?!
“Dusta
besar! Kau tentu saja mau membela anak jahanammu itu!”
“Kenda
Jamitan!” bentak Legung Antah sambil maju dua langkah.
“Jaga
mulutmu! Jangan kau berani bicara kurang ajar terhadap bapakku!”
“Ayah dan
anak sama saja jahanamnya. Biar aku habisi kalian berdua sekaligus!”
Habis
berteriak begitu Kenda Jamitan menyerbu Legung Antah dengan clurit besar yang
sejak tadi dipegang di tangan kanan. Kalau tidak cepat Legung Antah menghindar.
pasti perutnya robek ditambus clurit.
“Legung
Antah!” teriak Antah Bayana pada puteranya. “Kita orang Madura! Kehormatan diri
dan keluarga adalah pegangan utama! Tidak ada orang boleh menghina dan
memfitnah keluarga Antah dan turunannya!
Hadapi
bangsat edan itu! Carok!” Antah Bayana kemudian cabut clurit yang tergantung di
pinggang lalu diberikan pada Legung Antah. Di Madura carok dikenal sebagai
pembelaan harga diri dan keluarga secara jantan, diselesaikan dalam pertarungan
satu lawan satu dan biasanya masing-masing pihak bersenjatakan clurit. Lima
jurus perkelahian berlalu. Dua pemuda sama-sama punya gerakan cepat. Dua buah
clurit besar berkesiuran di udara mencari sasaran di tubuh lawan. Dalam jurus
ke sembilan darah mulai mengucur.
Legung
Antah kena bacokan di bahu kiri yang segera di balas oleh pemuda itu dengan
membabat ke arah kepala lawan, menabas putus telinga kiri Kenda Jamitan.
Pertarungan semakin hebat semakin ganas.
Bacokan
dibalas bacokan. Sambaran clurit dibalas babatan ganas. Setelah berlalu dua
puluh jurus lebih, dua pemuda itu akhirnya terkapar bergelimang darah di tanah
dengan tubuh dan muka penuh luka bacokan.
Keduanya
sama-sama menghembuskan nafas dalam keadaan sangat mengenaskan.
Sebelum
meIepas ajal, orang banyak masih sempat mendengar Legung Antah keluarkan ucapan.
“Ya Allah ya Tuhanku. Aku rela mati membela kebenaran dan kehormatan diri serta
keluargaku. Kau tahu ya Allah, aku tidak membunuh Rui Semanti….”
Orang
banyak merasakan kuduk masing-masing jadi dingin bergidik mendengar ucapan
menjelang ajal itu.
Lalu
siapa yang telah merusak kehormatan dan membunuh Rui Semanti?
***********************
3
Perempuan
tua berambut putih duduk di bangku bambu di langkan rumah, menatap ke arah
halaman becek lalu memandang ke jalan lurus di depan sana. Mulutnya berucap
perlahan.
“Hujan
sudah lama berhenti. Mengapa anak itu belum juga kembali? Sebentar lagi malam
akan turun.”
Kilat
menyabung di udara, disusul suara gelegar guntur di kejauhan. Di ujung jalan
lurus muncul seorang penunggang kuda. Perempuan tua berdiri dari duduknya, memperhatikan
penuh harapan dan merasa lega ketika mengetahui yang datang adalah puteranya
seorang pemuda bertubuh tegap, berwajah elok. Bajunya basah kuyup pertanda dia
kehujanan dalam perjalanan. Begitu turun perempuan tua langsung menegur.
“Wayan,
syukur kau cepat kembali.”
“Udara
buruk. Barusan hujan. Ayah sakit di dalam. Mengapa ibu berada di luar?”
“Aku
menunggu adikmu. Sejak tadi Ayu pergi ke Pura untuk berdoa memohon kesembuhan
ayahmu pada Sang Hyang Widhi. Mungkin terhalang hujan. Tapi hujan sudah lama
berhenti…”
“Sebentar
lagi dia pasti kembali. Bagaimana keadaan ayah?”
“Panasnya
tidak turun-turun. Nafasnya masih sesak……
“Saya ada
membawa ramuan obat pemberian juru obat Mangku Arsana di Besakih. Tolong ibu
menggodok dan meminumkan pada ayah. Mudah-mudah ayah lekas sembuh.”
Ni Warda,
ibu pemuda bernama, Wayan Arta mengambil bungkusan obat yang diberikan
puteranya.
Sebelum
melangkah masuk ke dalam rumah perempuan ini berkata. “Wayan, ibu tidak merasa
tenteram sebelum adikmu pulang. Cobalah kau pergi ke Pura. Kalau Ayu tidak ada
di sana, tanyakan pada penjaga Pura. Mungkin orang di sana tahu kemana perginya
anak itu.”
Wayan
Mantra turun kembali ke halaman dan naik ke atas kuda. Cukup lama dia pergi,
sewaktu kembali hari sudah malam. Ni Warda keluar dan dalam kamar setelah
memberi minum obat godokan pada suaminya yang sedang sakit.
“Bertemu?”
tanya perempuan berambut putih itu dengan wajah cemas.
“Jadi Ayu
belum kembali?” Wayan Mantra balik bertanya yang mengira adiknya, sudah pulang
sewaktu dia pergi. Sang ibu gelengkan kepala.
“Orang di
Pura memberi tahu Ayu meninggalkan Pura sebelum hujan turun. Kemana perginya
anak itu?”
Wayan
Mantra monatap ke arah jalan becek. “Mungkin dia berteduh di satu tempat atau
pergi ke rumah salah seorang sahabatnya.”
“Sampai
malam begini? Dia tahu ayahnya sedang sakit…” Ni Warda semakin cemas. “Ibu
kawatir…”
“Saya
juga merasa cemas. Tapi kemana saya harus mencari?”
“Desa
Bali Aga ini tidak terlalu luas. Kau bisa bertanya pada banyak orang. Ayu
banyak temannya. Siapa yang tidak kenal adikmu itu.”
“Baik,
Bu. Akan saya cari dia sampai dapat. Ibu tak perlu cemas.
Sebelum
pergi saya akan melihat ayah dulu.”
“Pakaianmu
basah. Gantilah.”
“Tidak
apa. Nanti juga kering,” jawab Wayan Arta.
Setelah
melihat ayahnya yang tengah sakit dalam keadaan tertidur Wayan Arta
meninggalkan rumah.
Hampir
tengah malam pemuda ini baru kembali. Dia datang bersama empat orang temannya
yang samasama menunggangi kuda. Dia melihat ibunya duduk dekat pintu kamar,
setengah tidur setengah jaga.
Perempuan
ini buka kedua matanya begitu Wayan Arta melangkah mendekati. Sebelum sang ibu
bertanya dia mendahului berkata.
“Seluruh
desa sudah saya kelilingi bersama teman-teman. Puluhan orang saya tanyai
termasuk sahabat Ayu. Tak seorangpun yang melihatnya.”
“Wayan,
ibu punya firasat tidak enak. Tadi malam ibu bermimpi…” Perempuan ini mulai
terisak.
Wayan
Arta jongkok di samping Ni Warda dan memeluk perempuan Itu. “Ibu, harap ibu
tenang saja. Saya dan beberapa orang kawan di tambah para penjaga desa akan
melakukan pencarian. Ayu pasti kami temukan….”
“Dalam
keadaan selamat,” sambung sang ibu.
Wayan
Arta gigit bibirnya sendiri. “Tentu, dalam keadan selamat, pemuda itu
mengulangi ucapan ibunya.
Lalu dia
mengambil sepotong kayu yang terletak di sanding pintu sebelah atas. Dengan
kayu itu dia kemudian memukul berulang-ulang kentongan yang tergantung di
langkan rumah. Dalam waktu singkat suara kentongan terdengar bersahut-sahutan
dari berbagai penjuru. Para tetangga dan penduduk Desa Bali Aga berdatangan.
Sebentar saja halaman rumah sudah dipenuhi banyak orang. Tengah malam itu juga
pencarian atas diri Ida Ayu Kintani dilakukan ke seluruh pelosok desa bahkan
sampai ke desa-desa tetangga. Para pencari dibagi atas dua rombongan. Namun
sampai pagi datang dan malam berganti siang gadis jelita berusia delapan beles
tahun itu masih belum berhasil ditemukan.
SORE hari
sebelum Ida Ayu Kintani diketahui hilang. Suasana di dalam Puri hening sekali.
Ida Ayu Kintani berdoa penuh khidmat. Memohon pada Yang Maha Kuasa Sang Hyang
Widhi untuk kesembuhan ayahnya yang telah menderita sakit sejak lima hari lalu.
Selesai berdoa gadis cantik kembang Desa Bali Aga itu bersiap-siap meninggalkan
Pura. Di luar didengarnya suara-suara gelegar guntur dan sesekall kilat
menyambar di langit. Suara hujan rintik-rintik terdengar berjatuhan di atap
Pura.
Di pintu
Pura, seorang penjaga memberi salam. Ida Ayu Kintani membalas salam orang Itu
lalu bergegas pulang. Di satu kelokan jalan hujan rintik-rintik tiba-tiba
berubah deras. Selagi kebingungan mencari tempat berteduh, tiba-tiba muncul
seorang lelaki muda berpayung kertas lebar yang langsung melindungi Ida Ayu
Kintani dari curahan hujan hingga si gadis tak sampai kebasahan. Pemuda yang
memayungi Ida Ayu Kintani berwajah tampan, memelihara kumis, cambang serta
janggut tipis rapi dan tubuhnya menebar harum bunga.
Pakaian
bagus mewah berwama hitam berhias bunga-bunga kocil disulam dari benang perak
dan emas.
Kening
diikat kain merah yang juga bersulam bunga perak dan emas. Ida Ayu Kintani tak
pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Dia yakin orang ini bukan penduduk Desa
Bali Aga dan dari pakaiannya agaknya dia adalah seorang pemuda bangsawan atau
putera keluarga hartawan.
“Peganglah
payung ini Jangan sampai adik kehujanan.” Orang tak dikenal berkata. Suara
begitu lembut dan senyumnya ramah. Ida Ayu Kintani hentikan Iangkah, terdiam
sejenak.
“Apakah
saya mengenal…”
“Jangan
persoalkan dulu kenal atau tidak. Yang penting adik tak boleh kehujanan..”
“Lalu
kakak sendiri bagaimana?” tanya si gadis.
“Saya
masih punya satu payung lagi.” Lalu dari balik punggungnya lelaki ini mengambil
sebuah payung kertas kecil.
Ida Ayu
Kintani akhirnya mengambil juga payung kertas besar yang diberikan orang.
Sebelum melangkah gadis ini bertanya. “Kemana nanti saya mengembailkan payung
ini?”
“Tak usah
dikembalikan. Pulanglah. Bukankah ayah adik sedang sakit dan barusan adik
berdoa di Pura?”
Walau
heran orang tak dikenal ini mengetahui keadaan ayahnya, Si gadis anggukkan
kepala lalu melangkah, diikuti lelaki tadi.“Kalau adik memberi izin, saya punya
sejenis obat. Mudah-mudah bisa menjadi penyembuh penyakit orang tua adik.”
“Terima
kasih. Wayan sudah pergi meminta obat pada seorang tabib di Besakih.” Jawab Ida
Ayu Kintani.
“Siapa
Wayan?’
“Kakak
saya,” menerangkan Ida Ayu Kintani.
Sambil
berjalan berpayung di samping si gadis, lelaki Itu bertanya.
“Apakah
adik pemah mendengar kata Kamasutra?”
“Saya
pernah mendengar tapi tidak tahu apa artinya.”
“Kamasutra
adalah satu mukjizat luar biasa. Jika adik tidak keberatan saya ingin
memperlihatkan sesuatu pada adik.”
“Saya
harus cepat pulang…”
“Saya
mengerti. Tapi kalau adik mau melihat sebentar saja benda itu …“ Ida Ayu
Kintani tidak menjawab.
Dari
balik pakaiannya lelaki berpayung di samping si gadis keluarkan sebuah kantong
kain berwarna hitam.
Ada
sebuah benda di dalam kantong yang memancarkan cahaya merah redup,membuat Ida
Ayu Kintani jadi menaruh perhatian. Mengetahui si gadis mulai tertarik, lelaki
itu berkata. “Hujan tambah lebat. Rumah adik masih cukup jauh dan jalanan
sangat becek. Saya akan memperlihatkan benda di dalam kantong ini pada adik di
satu tempat. Di tepi Danau Batur banyak gubuk kosong. Bagaimana kita pergi ke
sana barang sebentar. Di salah satu gubuk saya akan memperlihatkan benda dalam
kantong pada adik.”
Ida Ayu
Kintani menggeleng. “Saya harus pulang cepat-cepat. Saya tak mau pergi ketempat
yang kau katakan itu.”
“Kalau
begitu…” Pemuda tampan terdiam.
Melihat
orang yang menolongnya kecewa Ida Ayu Kintani lantas berkata.
“Mengapa
harus pergi ke Danau Batur. Perlihatkan saja di sini. Sambil berjalan.”
Lelaki
berkumis dan berjanggut tipis rapi tersenyum. “Kalau itu pinta adik, baiklah…”
katanya. Payung yang dipegangnya dicampakkan begitu saja ke jalan. Dibawah
hujan lebat dan dalam kantong kain hitam dikeluarkannya sebuah benda yang
memancarkan cahaya merah redup lalu diperlihatkan pada si gadis.
Wajah Ida
Ayu Kintani Iangsung berubah merah.
Dia cepat
membuang muka namun telah keburu sempat melihat. Tubuhnya bergetar.
“Adik,
kita ke Danau Batur sekarang…?”
Pemuda
berkumis, bercambang dan berjanggut tipis bertanya lembut sambil memegang
tangan si gadis. Ida Ayu Kintani tidak menyahut. Tapi entah mengapa langkahnya
bergerak mengikuti kemana dia diajak.
MENJELANG
tengah hari Wayan dan teman-teman dibantu penduduk desa melanjutkan pencarian
di rimba belantara di kaki Gunung Abang. Pada saat itulah datang seorang
penduduk desa menunggang kuda. Dia membawa kabar buruk. Seorang penjala ikan
menemukan sesosok Ida Ayu Kintani telah jadi mayat, terapung di tepi Danau
Batur. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung. Bibirnya tampak membiru.
Sebentar
saja kabar buruk itu telah menebar luas dan diketahui seluruh penduduk Desa
Bali Aga. Hampir semua orang menangis meratapi kematian gadis cantik kembang
desa itu.
***********************
4
Pesta
perkawinan Sekartaji, puteri Adipati Lumajang dilangsungkan secara
besar-besaran. Selama tiga hari tiga malam perhelatan digelar dengan segala
kemeriahan. Ratusan tamu datang dari berbagai penjuru termasuk para pejabat
tinggi Kerajaan. Sri Baginda sendiri mengutus Patih Kerajaan untuk menghadiri
pesta tersebut. Selain hidangan dan minuman yang lezat berbagai pertunjukan
untuk menghibur para tamu disuguhkan silih berganti. Mulai dan hiburan gamelan
dengan para penyanyi terkenal, wayang kulit, debus dari Madura sampai rombongan
Reog jauh-jauh didatangkan dari Ponorogo. Selain Sekartaji adalah anak
satu-satunya, perhelatan besar itu juga sekaligus merupakan syukuran karena
bulan dimuka Adipati Lumajang Surogeneng akan dipindah tugas ke Kotaraja. Dia
dipercayai Sri Baginda menduduki jabatan baru setingkat dibawah Patih Kerajaan.
Yang
menjadi besan Adipati Lumajang adalah Giring Santiko seorang hartawan kaya raya
dari Gresik hingga tidak heran kalau pesta perkawinan itu dapat terselenggara
secara besar dan mewah.
Malam
terakhir pesta besar meriah, sebelum masuk ke kamar, Ageng Sutawijaya, sang
pengantin lelaki sementara tampak masih duduk-duduk di wang depan Gedung
Kadipaten dengan teman-temannya sambil minum-minum. Ageng Sutawijaya tidak
henti-hentinya menjadi bulan-bulanan godaan. Seorang teman berkata.
“Ageng,
mengapa kau masih di sini? Masuk ke dalam kamar sana.
Jangan
biarkan pengantinmu kedinginan menunggu terlalu lama.”
Teman
yang lain menyahut. “Kalau kita masih di sini dia tak mau masuk kamar. Takut
kita intip!”
Gelak
tawa untuk kesekian kalinya pecah di tempat itu.
Di dalam
rumah besar, seorang pelayan yang sejak kecil mengurus Sekartaji mengantarkan
pengantin perempuan itu masuk ke dalam kamar.
“Den ayu,
sebentar lagi suamimu akan masuk ke sini. Baiknya mbok keluar saja.” Berkata si
pelayan setelah berada dalam kamar itu beberapa saat lamanya.
“Jangan
pergi dulu mbok. Temani saya. Nanti kalau dia sudah datang baru mbok pergi.”
Pelayan
tua itu tersenyum. Dipegangnya bahu Sekartaji dengan lembut lalu berkata.
“Kalau tahu mbok masih di sini, den masmu pasti tidak akan masuk-masuk. Sudah,
mbok pergi dulu. Awas jangan sampai ketiduran waktu suami den ayu masuk. ini
adalah malam paling bahagia dalam kehidupan den ayu. Yang pasti tidak akan
terlupakan selama-lamanya.”
“Mbok,
apakah mbok tidak akan menolong saya lebih dulu membuka pakaian pengantin ini?”
Sang
pelayan tersenyum. Sambil kedipkan mata dia berkata. Biar suamimu nanti yang
membukanya. Itu salah satu hal yang paling indah dalam malam pengantin ini”
“Mbok,
kau bisa saja menggodaku …… .:, Walau Sekartaji berusaha mencegah agar pelayan
itu jangan pergi dulu, sambil senyum-senyum si pelayan membuka pintu dan keluar
dari kamar.
Setelah
tinggal sendiri, Sekartaji bingung mau berbuat apa. Sebentar dia duduk di tepi
tempat tidur besar, berdiri dan melangkah mundar mandir dalam kamar. Lalu
berdiri di belakang jendela besar Dia ingin membuka jendela itu memandang
keluar tapi tak berani, takut menyalahi adat. Akhirnya sang pengantin perempuan
ini duduk di sebuah kursi di sudut kamar. Pada saat itulah telinganya mendengar,
suara di pintu.
Memandang
ke pintu Sekartaji melihat besi pegangan pintu bergerak ke bawah. Dada
pengantin perempuan ini berdebar. Suaminya datang.
Perlahan-lahan
pintu kamar terbuka. Yang muncul dan kemudian masuk bukan sosok gagah
berpakaian pengantin, bukan sang suami Ageng Sutawijaya, melainkan seorang
pemuda yang tidak dikenal Sekartaji.
Orang
inimengenakan pakalan hitam bersulam bunga-bunga kecil terbuat dan benang perak
dan emas.
Wajahnya
yang tampan tertutup cambang, kumis dan janggut tipis rapi. Kening diikat kain
merah yang juga bersulam gambar bunga terbuat dan benang perak dan emas. Begitu
orang ini berada di dalam kamar, seantero ruangan ditebar bau harumnya kembang
tanjung.
Terkejut
dan heran Sekartaji segera menegur dengan nada marah. “Kau siapa?. Mengapa
berani masuk ke dalam kamar pengantin?!”
Pemuda
yang masuk cepat menutup pintu kamar dengan tangan kanan sementara telunjuk
tangan kiri disilangkan di depan bibir yang tersenyum.
“Jangan
takut, aku sahabat yang membawa keberuntungan bagimu.” Pemuda berpakaian hitam
berkata. Suaranya lembut.
“Aku tak
kenal dirimu. Kau bukan sahabat Ageng Sutawijaya. Keluar atau aku akan
berteriak!” Sekartaji mengancam.
“Aku akan
keluar. Tapi mohon berikan padaku sedikit waktu. Aku memang tamu tak di undang.
Aku juga bukan sahabat suamimu. Tapi diriku adalah sahabatmu. Seperti kataku
tadi aku datang membawa keberuntungan. Dengar, Iihat….Apakah kau pernah melihat
benda ini sebelumnya?”
Dari
dalam saku pakaian di sisi kiri, dengan tangan kirinya pemuda di dalam kamar
mengambil sebuah kantong kain wama hitam. Dengan cepat dia mengeluarkan sebuah
benda yang memancarkan cahaya merah redup dari dalam kantong kain itu.
“Lihat
baik-baik, pandanglah. Bukankah indah sekali?” Si pemuda acungkan benda di
tangan kirinya dekatdekat ke muka Sekartaji. Sang pengantin memperhatikan
dengan mata membesar, tubuh bergetar, wajah memerah dan dua kaki bersurut
mundur, dada turun naik.
“Aku
datang membawa berkah untukmu, Sekartaji.” Si pemuda berucap. Tangan kanan
diulurkan ke kening si gadis, menempelkan sekuntum bunga tanjung bulat kecil.
Saat itu punggung Sekartaji tertahan di dinding kamar. Sekujur tubuhnya
berkeringat. Di depannya ada dua bayangan aneh lelaki perempuan telanjang,
membuat gerakan-gerakan seperti menari.
HAMPIR
menjelang pagi, diiringi tepuk tangan sorak sorai teman-temannya yang terus
menggoda, Ageng Sutawijaya akhirnya masuk juga ke dalam kamar pengantin.
Setelah
menutup pintu pengantin lelaki itu berdiri sejenak, mata memandang seputar
kamar. Dia mengira akan melihat Sekartaji di atas tempat tidur besar, tapi sang
pengantin perempuan itu tak ada di sana. Juga tidak tampak duduk di salah satu
dari dua kursi di dalam kamar.
Sekar…”
Tak ada
jawaban.
“Mungkln
dia menggodaku. Sembunyi atau bagaimana. Mungkin keluar kamar…”
Ageng
Sutawijaya merasa ada tiupan angin dingin. Dia berpaling ke arah kanan. Dia
heran melihat jendela kamar terbuka labar. Timbul rasa curiga. Pemuda ini lari
ke belakang jendela. Halaman samping sunyi sepi.
Di dua
sudut tampak obor menyala dan seorang pengawal tegak berjaga-jaga. Di kejauhan
sana dia bisa mendengar suara gelak tawa teman-temannya yang masih bercanda
satu sama lain.
“Sekar.,.”
Ageng Sutawijaya memanggil sekali lag!. Tak ada jawaban. Merasa semakin tidak
enak dia memeriksa seuruh kamar Malah sampal-sampai membalik tempat tidur
besar. Sekartaji tetap tidak ditemukan.
“Apa yang
terjadi? Sekar! Dimana kau?!” Ageng Sutawijaya mulai berteriak. Akhirnya pemuda
ini melompat keluar kamar lewat jendela. Ketika dia muncul di bagian depan
rumah, teman-temannya yang masih ada di sana karuan saja menjadi heran. Ada
yang mulai menggoda.
“Kau
seperti ketakutan! Ha … ha! Kau diapakan sama pengantinmu?’
“Ageng!
Kau dari mana?” Salah seorang teman bertanya.
“Teman-teman….Sekartaji
hilang!” Ageng Sutawijaya memberi tahu.
Tak ada
yang percaya. Ucapannya disambut gelak tawa.
“Saat ini
seharusnya kau berada dalam kamar berdua-duaan dengan istrimut Mengapa
mau-mauan membuat lelucon?”
“Aku
tidak membuat lelucon Sekartaji benar-benar Tak ada di kamar!” ucap Ageng
Sutawijaya berteriak.
Malam itu
juga Gedung Kadipaten Lumajang yang baru saja mengadakan perhelatan besar tiga
hari tiga malam menjadi geger. Kegegeran ini dengan cepat melanda seluruh kota.
Menjelang pagi semua penduduk mengetahui apa yang terjadi. Sekartaji entah
melarikan diri entah diculik orang. Pencarian besar-besaran segera
dilaksanakan, dibagi dua kelompok. Masing-masing dipimpin oleh Adipati
Surogeneng dan Ageng Sutawijaya.
MENJELANG
tengah hari serombongan pengantar jenazah memasuki kawasan pekuburan yang
terletak di luar kota sebelah timur Lumajang. Selesai jenazah dimakamkan dan
doa dibacakan, pada saat rombongan hendak meninggalkan pekuburan mereka melihat
sebuah keranda jenazah tertutup kain hijau terletak di bawah satu pohon rindeng
tak jauh di arah jalan menuju pintu gerbang.
“Heran,
tadi tidak kulihat keranda itu di sana.
Bagaimana
tahu-tahu bisa berada di tempat Itu?’ seseorang berucap.
Seorang
lain menyambung. ”Siapa yang membawa? Tak ada yang menunggui. Mengapa ditinggal
begitu saja?”
Penuh
rasa ingin tahu semua orang segera mendatangi keranda jenazah itu. Kain hijau
penutup keranda disingkapkan. Langaung saja semua mulut keluarkan seruan
tertehan dan bersurut mundur!
Di alas
keranda terbujur sesosok tubuh perempuan muda mengenakan pakaian pengantin
penuh robek dan nyaris tak mampu menutupi aurat. Di keningnya menempel sekuntum
kembang tanjung putih kekuningan.
Wajah
pucat pasi dan bibir tampak membiru.
“Gusti
Allah ! ini Den Ayu Sekartaji!”
“Ya
Tuhan! Siapa yang membawa kuda! Lekas beri tahu Adipati Surogeneng!” Seseorang
berteriak.
Tak
selang berapa lama, setelah ditemukannya Sekartaji dalam keadaan sudah jadi
mayat, untuk kedua kalinya Lumajang dilanda kegemparan. Sungguh luar biasa dan
sangat mengenaskan kejadian ini. Siapa yang begitu biadab menculik Sekartaji
pada malam pengantinnya, merusak kehormatan lalu membunuhnya!
***********************
5
GOA
CADASBIRU, Kaliurang. Udara pagi masih terasa sejuk walau sang surya sudah cukup
lama menampakkan diri di ufuk timur. Kicau burung masih terdengar
bersahut-sahutan di atas pepohonan. Di dalam goa, di atas ranjang batu
beralaskan kasur empuk, seorang dara cantik berpakaian tidur warna biru
menggeliatkan tubuhnya yang elok, mengangkat ke dua kaki tinggi-tinggi ke atas.
Pakaian tidur yang dikenakannya merosot ke bawah, menyingkapkan sepasang betis
bagus dan paha putih mulus.
“Malas
sekali rasanya pergi mandi ke telaga”. Berucap si gadis lalu duduk di tepi
ranjang. Rambut yang dikonde di atas kepala digerai lepas, panjang sepinggang.
Rambut hitam tebal yang dilepas begitu rupa membuat wajahnya tampak bertambah
jelita.
Di atas
ranjang batu kedua di dalam goa, seorang gadis berpakalan merah menatap ke
langit-langit ruangan. “Kalau kau masih malas mandi, biar aku duluan yang turun
ke telaga.” Si baju merah berkata. Lalu bangun, turun dan tempat tidur dan
tanggalkan pakaiannya. Dalam keadaan bugil begitu rupa dia melangkah ke lorong
menuju pintu goa.
“Kau ke
telaga bertelanjang bulat seperti itu?” menegur gadis berpakaian biru.
”Apa
salahnya? Tak ada orang di tempat ini” jawab si baju merah yang berdiri
bertolak pinggang tanpa pakaian sambil menggoyangkan pinggul.
“Gila!”
Gadis baju biru mendamprat. Kurasa tempat ini tidak lagi aman. Apa kau lupa
kajadian siang kemarin? Ada orang tak dikenal muncul. Mundar mandir di luar
goa. Aku merasa pasti dia tengah meyelidiki tempat ini.”
Kalau
cuma seorang lelaki, apa lagi masih muda dan berwajah tampan mengapa harus
takut? Malah seharusnya kita undang dia datang dan masuk ke dalam goa ini.”
“Ngacok!
Kau bicara tolol atau memang sudah gila?! Kita masih menyimpan lima puluh kati
madat di dalam goa ini!” Banyak orang berusaha mendapatkannya, terutama
pemiliknya orang-orang dari daratan Cina.
Belum
lagi sisa orang-orang yang menamakan diri dari Kraton Kaliningrat. Pasti orang
kemarin tengah menyelidiki keberadaan madat itu. Jika dia menemukan kita tapi
tidak menemukan madat, dia akan membunuh kita!” (Kisah mengenai madat ini
terjadi ketika kaum pemberontak yang menamakan diri orangorang Keraton
Kaliningrat menjarah lima puluh kati madat dari kapal China yang berlabuh di
Moro Damak untuk membiayai perjuangan mereka merebut tahta Kerajaan. Untuk
jelasnya baca serial Wiro Sableng Episode “Perjanjian Dengan Roh” s/d “Api Di
Puncak Merapi”)
“Kita
berdua, orang itu Cuma sendiri. Nyalimu kecil sekali.”
“Jangan
menganggap remeh orang lain. Kau kira apa cuma kita bendua saja yang punya ilmu
silat dan kesaktian di dunia ini?”
“Lalu
apakah aku tidak bisa mandi ke. telaga? Sampai berapa hari kita harus mendekam
di dalam goa ini”
“Siapakah
dua gadis jelita penghuni goa Cadasbiru ini? Mereka bukan lain adalah sepasang
kakak adik Liris Merah dan Liris Biru, murid nenek sakti berjuluk Hantu Malam
Bergigi Perak. Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Azab Sang
Murid” Hantu Malam Bergigi Perak menemui ajal tewas di tangan Sinto Gendeng
dalam memperebutkan Kitab Seribu Pengobatan. Liris Merah dan Linis Biru yang
punya penyakit tidak tahan panas dengan petunjuk yang ada dalam Kitab Seribu
Pengobatan berhasil disembuhkan. Setelah sang guru menemui ajal, Liris Merah
mengalami nasib malang, jatuh ke tangan Pangoran Matahari dan dijadikan budak
nafsu selama beberapa hari sebelum akhirnya Pangeran Matahari menemui ajal di
puncak Gunung Merapi ( Baca serial Wiro Sableng berjudul “Api Di Puncak
Merapi”)
“Kita
harus menunggu sampai keadaan aman. Mari kita awasi dulu keadaan diluar sana
sebelum pergi ke telaga.” kata Liris Biru. Liris Merah kenakan pakaian merahnya
kembali lalu dua kakak beradik ini memasuki lorong pendek dan sampai di mulut
goa yang ditutup dengan sebuah batu besar. Dari luar, mulut goa yang tertutup
batu ini tidak kentara sama sekali. Selain sulit dilihat juga terhalang oleh
beberapa pohon yang tumbuh rapat serta semak belukar lebat.
Di bagian
dalam dinding goa sebelah kanan, terdapat dua buah lobang sangat kecil yang
bisa dipergunakan untuk mengintai keadaan di luar goa.
“Aku
yakin orang kemarin akan muncul lagi di sini. Dia tengah mencari sesuatu. Dia
tidak akan berhenti sebelum menemukan… “ Liris Biru berkata sambil mendekatkan
mata kanan di lobang pengintai.
“Kemarin
aku tak sempat melihatnya. Ketika aku mengintai dia keburu pergi …“
“Orangnya
masih muda, berpakaian hitam. Wajah tampan. Gerak geriknya…”
“Wajahnya
tampan katamu?! Hik … hik..hik! Jangan-jangan aku yang tengah dicarinya. Kalau
dia datang biar aku keluar menemui.”
“Jangan
lakukan perbuatan tolol itu! Sekali orang tahu goa ini kita bisa celaka!”
“Adikku
Liris Biru, kau tenang-tenang sajalah. Tak usah kawatir. Kakakmu ini yang akan
menangani semua urusan!” kata Liris Merah pula sambil tersenyum. “Cuma, aku
merasa bosan, mataku bisa terasa pedas kalau terus-terusan mengintip tanpa kita
tahu kapan munculnya pemuda itu.
“Kemarin
dia muncul tengahari. Kurasa kali ini bisa saja dia datang pagi-pagi begini
atau sore nanti…”Jawab Liris Biru.
Liris
Merah pegang bahu adiknya. Lalu berkata setengah berbisik.
“Ssstt.
Aku melihat sesuatu bergerak. Arah kiri dibalik deretan pohon bambu di kanan
jalan. Agaknya dia datang dari arah telaga.”
Liris
Biru mengintai tak berkesip. Dia perhatikan deretan pohon bambu lalu gadis ini
menahan nafas. Dari balik pohon bambu, berjalan di tangga batu cadas muncul
seorang pemuda berkumis tipis, memelihara janggut dan cambang bawuk rapi.
Pakaiannya yang hitam bersulam bunga-bunga kecil dan benang perak dan emas.
“Liris
Merah, orang yang kita tunggu sudah muncul. Kau mengenali atau pernah melihat
pemuda ini sebelumnya?” Bertanya Liris Biru.
Di luar
goa pemuda gagah berpakaian hitam berdiri di satu gundukan batu cadas,
memandang berkeliling sambil jari-jari tangan kanannya mempermainkan sebuah
benda bulat sebesar ujung jari, berwarna putih kekuningan. Sesekali benda itu
didekatkan ke hidung.
“Aku tak
kenal orang ini. Tapi kelihatannya dia pemuda baik-baik. Mungkin juga seorang
anak bangsawan kaya raya lihat pakaian yang dikenakannya.
Bagus dan
pasti mahal” Ujar Liris Merah yang diam-diam mulai merasa tertarik akan
ketampanan wajah pemuda di luar sana.
“Mungkin
dia mahluk jejadian. Bisa saja dia adalah roh Pangeran Matahari yang tengah
menyaru gentayangan Ucap Liris Biru pula.
Liris
Merah menatap ke arah adiknya lalu kembali mengintal lewat lobang rahasia.
“Mahluk jejadian memang ada. Tapi kali ini aku tidak percaya hal begituan.
Lihat saja, dua kaki pemuda itu jelas-jelas menginjak bumi, menginjak batu.
Mana mungkin dia mahluk jejadian.”
Liris
Biru menghela nafas dalam. “Yang kita tunggu Pendekar Dua Satu Dua. Yang muncul
malah pemuda tak dikenal.”
“Lupakan
dulu pendekar itu. Pemuda yang satu ini pasti turunan bangsawan kaya. Kalau
kita bisa berkenalan dengan dia pasti kita bakal mendapat banyak kesenangan.
Lihat, pemuda itu sekarang duduk di atas batu. Agaknya dia menunggu sesuatu.
Atau tengah berpikir..” Kata Liris Merah pula.
“Aku
punya firasat dia sudah menduga ada orang di sekitar sini. Tadi dia mungkln
menyelidik di telaga.
Kalau dia
mengetahui goa rahasia ini dan tahu kita ada di dalam…”
Liris
Merah menggeleng. “Dia tidak bakal mampu mengetahui.
Walau
sudah meninggal, namun hawa kesaktian guru kita masih ada di sekitar tempat ini
melindungi goa.”
“Kau tahu
benda apa yang berulang kali dicium pemuda itu?”
Bertanya
Liris Biru namun sebelum mendapat jawaban dia sudah berucap lagi. “Kakak,
lihat! Pemuda itu berdiri. Dia melangkah pergi.”
Liris
Merah mengintip kembali. “Liris Biru, kita harus tahu kemana perginya orang
itu. Apa sebenarnya yang tengah dilakukannya di tempat ini. Kau tetap di dalam
goa….”.
“Kau mau
kemana?” tanya sang adik.
“Aku akan
mengikuti pemuda itu. Kita harus tahu apa sebenarnya yang dilakukannya di
tempat ini. Kalau nanti ketahuan dia memang berbahaya, aku akan menghabisinya.”
Liris Merah rapikan pakaian merahnya “
Jangan
lakukan hal itu. Biarkan saja dia pergi. Dia mungkin tak akan kembali lagi ke
sini. Kita sudah aman di dalam sini.”
Liris
Merah tidak perdulikan ucapan adiknya. Malah dia menjawab.
“Kalau
aku.tidak kembali dalam waktu sepeminuman teh, kau harus segera keluar goa
mencariku.” kata Liris Merah lalu menggeser batu besar penutup goa. Sesaat
kemudian gadis itu sudah berada di luar goa.
“Liris
Merah….” Liris Biru berucap sendiri di dalam goa. “Aku tahu kau bukan ingin
menyelidik, kau tertarik pada pemuda itu. Kau tidak jera-jeranya. Apa
pengalaman keji dengan Pangeran Matahari tidak membuatmu kapok?”
Liris
Biru kembali masuk ke dalam ruangan tidur dan membaringkan tubuh di atas
ranjang batu beralas kasur. Dia coba memicingkan mata. Namun hal ini membuat
dia semakin tambah kawatir. Karena takut akan terjadi sesuatu yang tak diingini
atas diri kakaknya, akhirnya sebelum seperminuman teh Liris Biru keluar dari
dalam goa, berkelebat kearah perginya Liris Merah.
Setelah
mencari dan mengejar cukup lama Liris Biru tidak juga menemukan kakaknya,
akhirnya gadis ini hentikan lari. Saat itu dia berada di sebelah timur Goa
Cadasbiru. Dari tempat itu dia bisa melihat telaga di kejauhan. Tiba-tiba gadis
ini melihat bayangan seseorang di balk batu di tepian telaga. Dia
memperhatikan.
Dia
merasa yakin yang tadi dilihatnya sekelebat adalah sosok seorang lelaki. Bukan
kakaknya Liris Merah.
Liris
Biru memperhatikan lagi dengan pandangan ditajamkan. Kali ini dia melihat
kepala laki-laki tersembul di balik batu. Kepala yang diikat kain merah.
“Pemuda
itu! Dia ada di sana!”
Tidak
menunggu Iebih lama Liris Biru segera menghambur lari ke arah telaga. Agar
sampai lebih cepat gadis ini tidak lari melewati jalan biasa melainkan melompat
dart satu cadas batu ke cadas batu lainnya mengandalkan ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Sesaat kemudian dia sudah sampai di tepi telaga, langsung
berkelebat ke arab batu besar dimana tadi dia melihat kepala lelaki tersembul.
Dia mendengar suara tawa manja perempuan. Tawa Liris Merah. Begitu sampai di
balik batu kejut Liris Biru bukan alang kepalang. Gadis tnt berteriak keras.
“Jahanam!
Kalian tengah berbuat apa! Terkutuk!”
Sosok
pemuda telanjang yang tengah meneduhi tubuh Liris Merah tersentak kaget.
Secepat kilat tangannya bergerak ke arah dada Liris Merah yang berada dibawah
tindihannya lalu menyambar baju dan celana hitam millknya. Di lain kejap pemuda
ini sudah lenyap dari tepi telaga. Liris Biru berusaha mengejar. Namun dia
segera berbalik. Dia lebih mementingkan keselamatan kakaknya. Hanya saja ketika
dia memeriksa keadaan sang kakak Liris Merah sudah tidak bernafas lagi. Tubuh
tergeletak bugil. Pakaian merahnya entah berada dimana. Di kening menempel
sekuntum kembang tanjung. Bibir tampak membiru.
“Kakak!”
jerit Liris Biru.
LIRIS
BIRU berlari membawa jenazah kakaknya. Sepanjang jalan gadis ini tiada hentinya
menangis. Dalam keadaan seperti itu dia tidak menyadani kalau ada seorang
pemuda berpakaian hitam berikat kepala kain merah mengikutinya. Di depan goa
rahasia si penguntit memperhatikan bagaimana Liris Biru menggeser batu besar
penutup mulut goa lalu masuk ke dalam.
“Hebat!
Tempat persembunyian luar biasa! Aku berulang kali menyelidik ke sini. Tapi tak
berhasil mengetehul jalan masuk. Sekarang si cantik itu sendirl yang
menunjukkan jalan padaku. Gadis berbaju biru, apakah kau juga sudah tidak
perawan seperti saudara mu itu?”
Pemuda
berpakaian hitam segera menyibak semak belukar dan mendekati batu baser penutup
goa. Namun sebelum dia sempat mengeser batu besar itu tiba-tiba ada orang
berseru.
“Sahabatku
muda dan cantik! Liris Merah Liris Biru! Apa kalian ada di dalam goa? Kangennya
aku ini pada kalian hingga siang malam beser terus-menerus ha..ha”
“Kurang
ajar! Bangsat pengganggu!” Pemuda berpakaian hitam di depan goa terkejut dan
menyumpah marah. Dengan cepat dia melompat ke balik satu pohon besar lalu
berkelebat pergi ke arah timur. Sambil lari dia merutuk habis-habisan.
Sementara, orang yang barusan berseru berdiri termangu di bawah pohon sambil
usap-usap bagian bawah perutnya.
“Aneh,
aku sudah pemah ke tempat ini. Tapi tetap saja tidak tahu dimana letaknya mulut
goa!” Orang ini berucap dan memandang berkeliling. Dia adalah seorang kakek
bermata belok jereng, daun telinga sebeIah kanan lebar terbalik, mengenakan
celana gombrong yang lepek basah oleh air kencing! Siapa lagi kalau bukannya
Setan Ngompol!
“Liris
Merah! Liris Biru! Aku sahabat tua kailan Setan Ngompol! Mana pintu masuk ke
dalam goa!”
Menunggu
beberapa lama tetap tak ada jawaban. Setan Ngompol punya dugaan mungkln dua
kakak adik murid Hantu Malam Bergigi Perak itu tak ada di tempat itu. Namun
mendadak dia mendengar suara sesuatu.
Si kakek
melangkah mundar-mandir. Daun telinga sebelah kanan diputar-putar. Serrr. Si
kakek mulai pancarkan air kencing.
“Aku
mendengar suara orang menangis. Suara perempuan.” Setan Ngompol memandang ke
arah kiri. Dia hanya melihat deretan pohon-pohon, semak belukar dan bukit batu.
“Liris
Merah! Liris Biru! Aku Setan Ngompol! Aku mendengar suara orang menangis!
Mengapa kalian tidak mau membuka pintu goa?!”
Baru saja
Setan Ngompol berteriak tiba-tiba salah satu bagian dinding batu biru di
sebelah depan sana bergeser. Liris Biru keluar dan dalam goa sambil menangis,
Iangsung menghambur ke arah Setan Ngompol.
“Kek,
Liris Merah dibunuh orang….” SI gadis memberl tahu.
Setan
Ngomol kaget besar, langsung terkencing-kencing. Liris Biru membawanya masuk ke
dalam goa. Baik Liris Biru maupun Setan Ngompol tidak menyadari bahwa
kemunculan Si kakek secara tidak terduga sebenarnya telah menyelamatkan gadis
itu dari perkosaan dan pembunuhan seperti yang terjadi dengan kakaknya.
Di dalam
goa Setan Ngompol melihat Liris Merah terbujur di atas kasur, ditutup kain
panjang sampai sebatas leher.
“Bagaimana
kejadiannya!?” tanya si kakek sambil berusaha menahan ngompol.
“Semua
berlangsung cepat sekali…” Lalu Liris Biru menuturkan bagaimana dia menemui
kakaknya di balik batu besar.
Setelah
mendengar cerita si gadis, Setan Ngompol berkata. “Kalau kakakmu tertawa-tawa
ketika dirinya disebadani, berarti dia tidak diperkosa. Dia melakukan hal itu
suka sama suka…”
“Lalu
mengapa dia kemudian di bunuh sekeji ini?! Manusia jahanam itu lebih biadab dan
Pangeran Matahari!” Liris Biru lalu menangis keras. Setelah tangisnya reda dia
menatap memperhatikan wajah kakaknya. “Apa artinya bunga tanjung yang
ditempelkan di kening? Lihat, kek. Bibir Liris Merah biru. Dia mati diracun!”
“Kalau
dia diracun, berarti itu dilakukan sebelum kehormatannya dirampas. Tapi mana
mungkin dalam waktu
sesingkat
itu ….“ Setan Ngompol perhatikan wajah Liris Merah yang masih tampak sagar
merah lalu
melangkah
mundar mandir. Satu saat dia berhenti melangkah dan berkata. “Aku ingin melihat
lehernya.
Coba kau
turunkan kain penutup…”
Liris
Biru turunkan kain panjang penutup jenazah kakaknya sampai ke pundak. Setan
Ngompol perhatikan leher Liris Merah. Dia tidak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan.
“Aku
menduga kakakmu mati dicekik. Ternyata tidak,” ucap Setan Ngompol. “Masih ada
satu tempat lagi yang ingin kulihat. Bagian dadanya. Tolong kau turunkan lagi
kain panjang itu.”
“Tidak,
aku tidak akan memperlihatkan aurat kakakku padamu,” kata Liris Biru pula.
Si kakek
pegang bagian bawah perutnya menahan kencing.
“Terserah
padamu. Aku hanya ingin mengetahui penyebab kematian kakakmu. Kalau dia memang
diracun, dan mana datangnya racun itu dan bagaimana masuknya ke tubuh kakakmu?
Melalui hubungan badan itu…?” Serrr! Kencing Setan Ngompol mendadak terpancar.
Setelah menarik nafas panjang berulang kali akhimya Setan Ngompol berkata.
“Kita urus dulu jenazah kakakmu. Ada baiknya dia dimakamkan di samping kubur
guru kalian. Setelah itu kau harus berkemas. Kau harus tinggalkan goa ini untuk
selamalamanya.
Tempat
ini tidak aman lagi bagimu!
Pemerkosa
dan pembunuh keji itu sewaktu-waktu bisa muncul.
“Aku akan
membunuhnya jika dia berani datang ke sini” ucap Liris Biru pula.
“Aku
punya dugaan, pemuda berpakaian hitam itu bukan cuma memiliki Ilmu kepandaian
tinggi. Tapi mungkin juga memiliki semacam pengasih atau ilmu pelet. Buktinya
bagaimana mungkin kakakmu yang aku ketahui galak itu bisa menyerahkan dirinya
dalam waktu sesingkat itu. Kenalpun tidak sebelumnya …“
Aku tidak
tahu kek,” jawab Liris Biru. “Sejak peristiwa dirinya dengan Pangeran Matahari
tempo hari, Liris Merah selalu ingin berhubungan dengan laki-laki. Tapi satu
hal kau benar Aku memang harus menghindar dulu dari goa ini. Hanya saja….”
Liris Biru ingat pada madat yang disembunyikan di dalam goa.
“Hanya
saja apa?” tanya Setan Ngompol.
“Tidak,
tidak apa-apa.” Jawab Liris Biru. Dia tidak mau menceritakan perihai madat
dalam kantong kulit seberat 50 kati itu. Malah si gadis merubah pembicaraan.
“Kek, kau percaya roh orang yang sudah mati bisa gentayangan menjadi mahluk jejadian?”
“Serrr!”
Setan
Ngompol delikkan mata dan pegangi bagian bawah perutnya yang kembali lepek
basah. “Siang bolong begini rupa kau bicara yang membuat aku mengkirik saja!
Mengapa kau bertanya aneh seperti itu?”
“Aku
takut Pangeran Matahari yang sudah menemui ajal itu rohnya gentayangan,
membentuk diri sebagai pemuda berpakaian serba hitam itu. Gentayangan untuk
menuntut balas.”
Setan
Ngompol enak saja usap-usap tengkuknya yang terasa dingin dengan tangan basah
penuh air kencing. Dia merasa lega sedikit karena air kencing hangat yang ikut
tersapu di kuduknya membuat hilang rasa dingin di kuduk itu.
“Aku
tidak tahu. Tuhan Maha Kuasa, mampu berbuat sekehendakNya. Tapi aku tidak yakin
pemuda berkumis berpakaian hitam itu adalah jejadian Pangeran Matahari. Kalau
memang benar dia jejadian Pangeran Matahari, yang dicari dan dibunuhnya bukan
Liris Merah, tapi Sinto Gendeng, Wiro Sableng dan para pendekar lain yang ikut
urunan membunuhnya di puncak Gunung Merapi. Sudah, sebaiknya kita tidak
membicarakan manusia dajal yang sudah mampus itu. Bisa-bisa aku ngompol
terus-terusan:..”
***********************
6
HUJAN
lebat yang turun sejak pagi dan mulai berhenti pada siang hari membuat jalan di
kaki bukit kecil di tenggara Godean menjadi becek berlumpur. Udara terasa
dingin. Langit masih kelihatan agak kelabu. Di beberapa bagian malah tampak
awan tebal menggantung hitam. Mungkin saja hujan akan turun lagi menjelang sore
atau malam nanti.
Kesunyian
di kaki bukit dipecah oleh suara derap lari seekor kuda diseling
teriakan-teriakan perempuan. Tak lama kemudian di satu jalan menurun, becek dan
penuh batu, seorang gadis berpakaian ringkas warna biru muda yang robek di
bagian dada tampak memacu kuda coklat tunggangannya ke arah timur. Agaknya dia
memang cekatan menunggang kuda namun sangat berbahaya memacu kuda secepat itu
di jalan yang demikian buruk serta menurun. Sesekali gadis ini menoleh ke
belakang. Merapatkan dada pakaiannya yang robek lalu menggigit bibir dan memaki
dalam hati.
“Kurang
ajar! Ilmu lari setan apa yang dimiliki pemuda jahanam itu!” Si gadis menepuk
pinggul kudanya, berteriak keras agar binatang itu lari lebih cepat. Di
wajahnya yang ayu cantik jelas tampak rasa takut amat sangat. Di keningnya,
entah dia sadar atau tidak menempel sekuntum bunga tanjung, putih kekuningan,
kecil sebulatan kuku jari tangan, “Kotaraja masih jauh. Bagaimana aku bisa
memancing agar manusia jahanam itu diringkus pasukan Kerajaan.
Terpisah
sekitar sepuluh tombak di belakang gadis berkuda kelihatan berlari seorang
pemuda berpakaian hitam, berikat kepala merah. Dia berlari luar biasa capat,
seolah dua kaki tidak menginjak tanah jalanan.
Hanya
persoalan waktu. Cepat atau lambat dia akan berhasil mengejar gadis penunggang
kuda di depannya.
Di ujung
jalan yang menurun terdapat satu tikungan patah. Gadis berpakaian biru tidak
berusaha memperlambat lari kuda. Agaknya dia tidak mengenali benar keadaan
jalan di kawasan itu. Dia menyangka begitu keluar dari tikungan akan menemui
jalan rata. Ternyata keliru. Justru di balik tikungan terdapat satu jurang batu
sedalam dua puluh tombak yang hanya dipagari batu-batu setinggi betis serta
semak belukar rendah. Konon tikungan di jalan menurun ini oleh para perampok
seringkali dijadikan tempat menunggu mangsa.
Sementara
itu di pinggiran jurang batu, tak jauh dan jalan yang menikung, dari arah
sebuah goa kecil terdengar merdu suara tiupan seruling. Alunan suara seruling
ini seolah berpadu dengan keadaan udara yang perlahan-lahan berubah mulai cerah
serta munculnya pelangi di langit sebelah timur.
Begitu
melewat tikungan dan melihat jurang menghadang, gadis penunggang kuda berteriak
kaget. Dia cepat tarik tali kekang. Namun dalam kecepatan seperti itu sulit
untuk dapat menghentikan kuda. Malah setelah meringkik keras, kepala mendongak,
dua kaki depan kuda coklat membentur deretan batu di tepi jurang. Patah!
Binatang mi tersungkur. Kepala menghantam sebuah batu besar hingga remuk
mengerikan.
Gadis
berpakaian biru terpental mencelat ke udara. Dia membuat gerakan jungkir balik
satu kali, berusaha mencapai pinggiran jurang. Agaknya dia memiliki sedikit
ilmu kepandaian silat serta ilmu meringankan tubuh.
Namun
ilmu yang secupak itu tidak bisa menahan daya berat tubuhnya, membuat dia tidak
mampu selamatkan diri, malah langsung melesat jatuh ke dalam jurang batu! Gadis
ini menjenit satu kali lalu pingsan tak sadarkan diri.
Suara
tiupan seruling di pinggir jurang mendadak lenyap. Bersamaan dengan itu seorang
berpakaian putih berkelebat ke arah melayangnya tubuh gadis berbaju biru.
Dengan gerakan luar biasa cepat dan mengagumkan orang berpakaian putih berhasil
menyambar pinggang si gadis, lalu melompat ke tepi jurang.
Sosok
gadis itu kemudian dibaringkan di atas rerumputan basah.
Orang
berpakaian putih ternyata adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu.
Sebuah suling perak tersisip di pinggang kiri. Pemuda ini agak terkesima ketika
melihat bagian dada putih yang tersingkap dibalik robekan baju biru. Mulutnya
keluarkan siulan dan tangan kanan menggaruk kepala.
“Tuhan
benar-benar adil.” Si pemuda berucap. “Sejak pagi tadi aku kedinginan, kini
diberi hadiah pemandangan yang menghangatkan! Ha…ha … ha!”
Mendadak
si pemuda hentikan tawa. Dia berbalik, memandang ke arah jalan mendaki. Walau
sangat perlahan namun telinganya yang tajam mampu mendengar suara gerakan. Dia
perhatikan kuda coklat yang terkapar di tanah. Binatang Itu telah menemui ajal,
tak bergerak lagi. Berarti ada sumber suara lain yang tadi ditangkap
pendengarannya.
“Ada
orang sembunyi di salah satu lereng batu di atas sana…” ucap pemuda gondrong.
Lalu dia berteriak.
“Manusia
yang sembunyi di balik batu! Keluarlah! Perlihatkan tampangmu!”
Tak ada
sahutan tak ada gerakan.
“Apa
boleh buat,” ucap si gondrong. Dia usapkan kedua tangan sambil mengalirkan
tenaga dalam. Tiba-tiba tangan kanan dihantamkan ke arah batu paling besar di
kejauhan, di sebelah kanan jalan menurun.
“Wusss!”
Selarik
angin dahsyat menderu.
“Braakkk!”
Batu
besar di tepi jalan hancur berantakan. Satu bayangan hitam berkelebat disertai
terdengarnya suara teriakan memaki lalu sunyi. Pemuda gondrong menunggu. Orang
yang barusan kabur dan balik batu tidak munculkan diri. Si gondrong memandang
ke arah kuda yang tergeletak tak benyawa di tepi jurang. Ada yang menarik
perhatiannya. Pada pinggul kanan binatang ini terdapat sebuah cap hitam
bergambar tombak pendek bermata tiga. Tombak Trisula.
“Setahuku,
tanda di pinggul kuda itu salah satu lambang Kerajaan. Berarti gadis ini bukan
gadis sembarangan.” Si pemuda berucap lalu jongkok di samping gadis baju biru.
Walau pakaian biru yang dikenakan si gadis berpotongan sederhana namun bahannya
adalah kain bagus dan mahal. Ketika dia hendak memeriksa keadaan gadis itu
tiba-tiba si pemuda melihat ujung alis sebelah kiri yang hitam tebal bergerak
beberapa kali. Si pemuda gosokkan telapak tangannya satu sama lain sampai panas
lalu ditempelkan ke pipi gadis yang agaknya mulai siuman.
Sepasang
mata bagus bening terbuka, menatap ke langit. Ketika pandangannya membentur
wajah tersenyum pemuda rambut gondrong, langsung gadis ini menjerit dan
berusaha bangun. Pemuda berpakaian putih cepat memegang bahu si gadis dan
berkata.
“Tenang,
tak ada yang perlu kau takutkan…”
”Aku …
aku sudah mati?”
Si
gondrong tertawa. “Kalau kau sudah mati mana bisa bicara?” Si gadis terdiam.
“Tapi ….
Tadi aku jatuh ke dalam jurang …“ Gadis baju biru memandang ke samping, ke arah
jurang. Kuduknya merinding.
“Tidak,
kau tidak jadi jatuh ke dalam jurang. Tuhan menyelamatkan dirimu.”
“Tuhan…Gusti
Allah menyelamatkan diriku?” Si gadis tampak bingung. Dia usap tangan kiri ke
tangan kanan, lalu tekap wajah. Saat itulah dia melihat pakaiannya yang robek
besar di bagian dada. Cepat cepat dia menutupkan. Namun begitu dilepas tersibak
kembali. Pemuda di depannya tertawa. Dia mencabut tiga batang rumput yang cukup
panjang. Ketika dia hendak menusukkan ujung rumput ke baju biru yang robek, Si
gadis langsung mendorong dadanya hingga dia terjengkang.
“Jangan
kau berani menyentuh diriku!”
Dengar,
aku tidak bermaksud tidak baik. Dengan rumput ini baju yang robek bisa
dijahit…”
“Dusta!
Mana ada orang menjahit baju dengan rumput! iya kan?!”
“Namanya
juga keadaan terpaksa. Kau mau kutolong ….?
Si gadis
akhirnya mengangguk namun sambil keluarkan ucapan. “Awas kalau kau berani
berlaku kurang ajar!”
Pemuda
rambut gondrong cuma tertawa. Tiga ujung rumput ditusukkannya ke bagian baju yang
robek lalu satu persatu ujung dengan ujung saling dibuhul. Ketika melakukan hal
itu tak sengaja jari-jari tangan si pemuda menyentuh payudara si gadis.
Langsung kakinya menendang perut si pemuda. Untuk kedua kalinya pemuda ini
jatuh terjengkang.
“Dasar manusia
kurang ajar! Kau pergunakan kesempatan.
“Mengaku!
Iya kan?!”
“Aku tak
sengaja. Harap dimaafkan. Habis bajumu agak ketat.
Lalu
anumu itu besar sekali. Mana mungkin…”
“Plaakk!”
Satu
tamparan melayang ke pipi si gondrong.
“Bukan
tanganmu saja yang kurang ajar. Ternyata mulutmu juga kurang ajar!”
Si pemuda
meringis pura-pura kesakitan. Sambil pegangi pipi yang tadi ditampar dia
berkata.
“Sudahlah,
yang penting pakaianmu yang robek sudah tertutup. Sekarang ceritakan apa
sebabnya kau menunggangi kuda seperti dikejar setan hingga hampir celaka masuk
jurang.”
Si gadis
tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Lalu menangis ketika melihat kuda
coklat miliknya yang tergeletak mati.
“Ki Sepuh
Ireng” ucap si gadis lirih sesenggukan.
“Siapa Ki
Sepuh Ireng?” tanya pemuda gondrong.
“Kudaku
…. Kuda saja dicemburui..”
“Ee …
siapa yang cemburu!” Si pemuda ingin tertawa bergelak namun akhirnya cuma garuk-garuk
kepala.
Dia
kemudian ingat pada tanda Kerajaan yang tertera di pinggul kuda berbentuk
Tombak Trisula. Lalu dia bertanya.
“Adik,
apakah kau seorang kerabat Keraton?”
“Kau
sendiri siapa?” Si gadis usap air matanya dan balik bertanya.
Pemuda
rambut gondrong tersenyum, menggaruk kepala dan menjawab. “Namaku Wiro…”
“Wiro ….
Wiro. Banyak orang bernama Wiro. Kau ini Wiro yang mana?”
“Maksudmu?”
tanya si gondrong tak mengerti.
“Apa nama
panjangmu?!”
”Oh Itu.
Aku malu mengatakan. Namaku belakangku jelek.” Jawab si pemuda pula.
”Huh,
orangnya juga jelek. Jadi pantas kalau punya nama jelek! Iya kan?!” Si pemuda
tertawa gelak-gelak.
“Weh,
diejek malah tertawa. Konyol! Aku tanya siapa nama panjangmu!”
“Namaku
Wiro …. Wiro Sableng.”
“Apa?” Si
gadis besarkan mata lalu tertawa panjang. Eh, kau tahu apa artinya sableng?”
Pemuda
gondrong yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto
Gendeng dari Gunung Gede sambil senyum-senyum menjawab. “Sableng itu artinya
kalau tidak edan ya sinting, bisa juga gila atau gendeng…”
“Hemmm…”
si gadis bergumam dan angguk-anggukkan kepala. “Jadi Itulah kau manusianya
rupanya.
Pantas
tadi berani berlaku kurang ajar.”
“Kalau
orang gila berlaku kurang ajar kan tidak bisa disalahkan. Iya kan?” ucap Wiro
pula meniru logat bicara si gadis.
“Enaknya!”
“Sekarang
giliranmu memberi tahu siapa namamu dan mengapa kau bisa sampai disini hampir
celaka.”
“Apa
perlunya aku memberi tahu namaku padamu!” jawab si gadis.
Wiro
menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Aneh, ada gadis yang sudah ditolong
begini rupa malah bicara galak. Aku tidak meminta tapi berterima kasihpun dia
tidak.”
“Kalau
kau tidak mau memberi tahu tidak jadi apa.”
“Ya sudah
kalau begitu! Iya kan?!” jawab si gadis pula lalu bangkit berdiri.
Wiro
mendahului bangun, tertawa dan berkata. “Kalau kau memang kerabat Keraton, kau
tentu tahu perjalanan ke Kotaraja dan sini cukup jauh. Kudamu sudah mati. Kalau
kau jalan kaki dua kakimu yang bagus itu bisa meleleh begitu kau Sampai di
Kotaraja. Lalu, di tengah jalan mungkin saja kau akan kejatuhan hujan. Mungkin
kau tidak takut pada air hujan. Tapi ketahuilah kawasan ini sedang digentayangi
para perampok. Kalau orang-orang jahat itu menemuimu, nasibmu lebih celaka dari
pada mati kecebur jurang! Selain itu aku punya dugaan. Kau tadi membedal kuda
luar biasa kencang karena ada orang yang mengejar.
Orang itu
pasti punya niat jahat padamu. Mungkin dia yang merobek bajumu! Orang Itu
berpakaian hitam.
Aku
sempat melihat bayangannya sewaktu aku menghancurkan batu besar dibalik mana
dia sembunyi.
Mungkin
dia masih ada di sekitar sini! Begitu kau berjalan sendirian pasti dia akan
mencekalmu! Seram kan? Ngeri kan?!”
Habis
berkata begitu Pendekar 212 tinggalkan si gadis, melesat ke mulut goa di tepi
jurang, duduk bersila dan ambil suling yang terselip di pinggang. Ditinggal
sendirian si gadis memandang berkeliling. Lalu perlahan-lahan rasa takut mulai
mencekam dirinya. Apalagi melihat ke atas, langit yang tadi cerah kini mulai
diselimuti awan hitam. Dia memandang ke arah goa di tepi jurang. Saat itu Wiro
mulai meniup suling perak.
“Hail
Kesinilah!” si gadis berteriak sambil melambaikan tangan.
Wiro
terus saja meniup suling.
“Hai!
Kesinilah! Aku mau bicara!” teriak gadis baju biru kembali.
Wiro
turunkan suling ke bawah bibir lalu menjawab.
“Kalau
mau bicara kau saja yang datang ke sini!” Wiro lanjutkan meniup suling.
“Kau yang
kesini!” teriak si gadis.
“Aku
tidak perlu kau! Kau yang perlu aku! Iya kan?!” Wiro terus-terusan menirukan
gaya ucapan si gadis yang kalau bicara selalu pakai tambahan kata-kata iya kan.
Tidak perduli dia melanjutkan meniup, suling perak. Dari mana dan bagaimana
Wiro kini memiIiki sebuah suling perak? Seperti dituturkan dalam episode
sebelumnya (Sang Pembunuh) suling perak itu adalah milik Loan Nio Nikouw,
paderi perempuan dari Tionggoan. Sebelum berpisah sang paderi memberikan suling
perak itu sebagai tanda terima kasih pada nenek kembar jejadian (kembaran Eyang
Sepuh Kembar Tilu) yang telah memberikan obat untuk menggugurkan kandungannya.
Sang paderi mengandung akibat diperkosa oleh Liok Ong Cun sewaktu berada dalam
keadaan pingsan. Tanpa setahu Wiro, si nenek kembar jejadian menyelipkan suling
itu di pinggang sang pendekar. Wiro baru menyadari keberadaan suling itu di
pinggangnya beberapa waktu kemudian. Karena dia memang pandai meniup suling,
jika ada kesempatan Wiro menghibur diri dengan suling perak itu.
“Dasar
manusia sableng!” maki gadis baju biru. Tahu kalau pemuda itu tidak akan mau
datang menemuinya gadis ini menjadi nekad. “Kau kira aku tidak mampu datang ke
tempatmu di goa batu?!”
Wiro
berhenti meniup suling lalu menyahut ucapan orang. “Bukan tidak mampu. Tapi
tidak.berani! Iya kan’?!”
“Tunggu!
Akan aku perlihatkan padamu kalau aku Raden Ayu Ambarsari bukan gadis
pengecut!”
Begitu
selesai berucap gadis berpakaian biru dan mengaku bernama Raden Ayu Ambarsari
mundur mengambil ancang-ancang. Lalu dibarengi satu teriakan keras dia melompat
ke arah goa di tepi jurang dimana Pendekar 212 duduk bersila meniup suling.
Celakanya, apapun ilmu yang dimilikinya ternyata gadis ini tidak mampu mencapai
mulut goa.
Tubuhnya
melayang, terapung sesaat hanya dua jengkal dari hadapan Wino. Dia berusaha
menggapai batu pinggiran goa, namun luput.
***********************
7
SESAAT
lagi tubuh Raden Ayu Ambarsari akan melayang jatuh; amblas menemui ajal di
dasar jurang batu berkedalaman dua puluh tombak, tiba-tiba Pendekar 212 ulurkan
tangan kiri mencekal pergelangan tangan kanan si gadis yang menggapai-gapai di
udara.
"Aduh
tubuhmu berat amat! Tanganmu licin. Aku tak bisa menahan!" Wiro berteriak.
Tubuhnya merunduk ke depan. Murid Sinto Gendeng hanya berpura-pura. Dia ingin
tahu sampai dimana sebenarnya kenekadan gadis itu.
"Pegang
lenganku dengan dua tangan!" teriak Ambarsari. Rupanya gadis ini sekarang
benar-benar ketakutan setengah mati.
Wiro
tersenyum. Dia segera kerahkan tenaga dalam. Sekali menyentakkan tangan kiri
tubuh Ambarsari tertarik keras ke atas, melayang ke dalam goa dan jatuh
terbujur tepat di atas pangkuan Wiro. "Ihhh’"
Raden Ayu
Ambarsari cepat berdiri namun tak bisa karena bahunya ditekan Wiro dengan
tangan kiri sementara tangan kanan masih memegang suling perak yang terus
ditiup.
"Gilai
Hentikan meniup sulingi Aku tidak mau kau pangku seperti ini!" teriak
Ambarsari.
"Siapa
yang memangku? Kau sendiri yang menjatuhkan tubuhmu ke pangkuanku! Iya
kan?!" jawab Wiro laiu tertawa gelak-gelak.
"Pemuda
kurang ajar!"
"Jangan
terus-terusan bicara seperti itu. Ingat aku sudah dua kali menyelamatkan
nyawamu!"
"Ooo,
jadi kau ingin minta balasan? Lalu enak saja memangku dan meraba tubuhku?! Aku
tidak takut mati, lihat!" Entah sungguhan entah pura-pura si gadis lalu
hendak melompat kedalam jurang. Wiro tidak mau kesalahan menduga. Cepat dia
sambar leher pakaian si gadis lalu menariknya hingga terduduk di dalam goa.
Dengan
muka pucat keringatan Ambarsari menatap mendelik ke arah Wiro lalu gadis ini
mulai menangis.
"Eeh.
tadi galak nekad Sekarang mengapa jadi cengeng?" ujar Wiro, Tangis si
gadis semakin keras.
"Sudahi
Berhenti menangis!"
"Aku
belum pernah menemui orang sejahat dan sekurang ajar seperti dirimul?’ucap
Ambarsari yang segera dijawab Pendekar 212.
"Aku
belum pernah melihat dara secantikmu tapi tolol dan nekad"
"Mulutmu
lancang sekalil Berani menghinaku!" Si gadis pukulkan tangannya ke
punggung Wiro.
"Kalau
kau terus mewek. terus memukuli, akan aku tinggalkan kau sendirian di dalam goa
ini" Wiro berdiri pura-pura hendak melompat ke tepi jurang sana.
"Tunggul
Jangan pergi!" teriak Ambarsari. Dia mengusut matanya yang basah berulang
kali, hentikan tangis dan tarik tangannya yang memukuli punggung si pemuda.
"Nah
begitu lebih baik. Iya kan?!"
"Iya
kanl Iya kan! Kau benar-benar sableng!" Ambarsari berteriak jengkel.
Kembali dia hendak memukul Wiro tapi tak jadi.
"Jadi
kau gadis Keraton? Namamu Raden Ayu Amparsari? Betul?"
"Sudah
tahu kenapa masih bertanya?!" si gadis unjukkan wajah sebal. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Aku cucu Pangeran tua Wirapala."
Wiro
menggaruk kepala seolah tidak mendengar kata-kata Ambarsari. Padahal walau
belum pernah bertemu muka dia sering-mendengar perihal pangeran itu dari
gurunya. Di masa muda Eyang Sinto Gendeng bersahabat dengan Pangeran Sena
Wirapala.
"Dengar,
tolong aku keluar dari goa ini Aku harus segera kembali ke Kotaraja."
"Aku
akan memenuhi apa pintamu asai kau tidak galak. Apa lagi’setelah tahu kau
puteri Keraton aku harus menaruh hormat padamu. Tapi sebelum meninggalkan
tempat ini aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirimu. Puteri Keraton tidak
pernah memakai bunga tanjung dikeningnya. Apa arti bunga tanjung yang kau
tempelkan dikeningmu itu?"
Raden Ayu
Ambarsari Ingat dan terkejut. Dia cepat meraba keningnya, mengambil bunga
tanjung yang menempel.
Sekali
meremas bunga tanjung itu hancur.
"Manusia
jahanam itu! Dia yang menempelkan bunga tanjung ini di keningku!"
"Manusia
jahanam siapa? Orang berpakaian hitam itu?" tanya Wiro. Ambarsari
mengangguk "Apa perlunya dia menempelkan bunga tanjung dikeningmu?
Memangnya kau tengah bercinta bermesraan dengannya?"
Ambarsari
mengangkat tangan kanannya hendak menampar Wiro tapi kemudian mongurungkan
niatnya.
"Najis
bercinta dan bermesraan dengan jahanam itu. Justru dia hendak merusak
kehormatanku. Bunga tanjung ini mungkin sebagian dari alat sirapannya. Dia
menyirapku dengan sebuah benda berbentuk.."
Belum
selesai Ambarsari berucap tiba-tiba dari pinggir jurang sebelah barat berkiblat
satu cahaya hitam, menderu ke arah goa. rianya bilangan kejapan mata sebelum
goa batu hancur berantakan Pendekar 212 cepat rangkul pinggang gadis di
sampingnya lalu melesat ke tepi jurang. Ambarsari gemetar ketakutan.
Wajahnya
pucat. Selamat dari bokongan serangan, masih merangkul, pinggang Ambarsari
murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung "Buummmm
Braaakkk!"
Pinggiran
jurang batu di sebelah barat hancur berantakan. Lapat-lapat terdengar suara
orang memaki.
"Kabur.
Bangsat pembokong itu pasti sudah kabur" ucap WIro. Dia tak berusaha
mengejar. "Pasti dia manusia jahanam yang hendak mcmperkosamu itu. Dia mau
membunuh kita berdua. Dia tak ingin kau bicara untuk selama-lamanya. Ikuti aku,
kita cari tempat yang aman " Wiro lalu pegang lengan Ambarsari. Di satu
celah batu pada tempat ke tinggian dimana dia bisa melihat keadaan di
sekitarnya dengan jelas Wiro berhenti. "Tempat ini cukup aman. Sekarang
lanjutkan ceritamu. Tadi kau bilang orang itu menyirapmu dengan sebuah benda
berbentuk …. Berbentuk apa?"
"Patung
kecil dari batu. Benda itu memancarkan cahaya merah. Aku ngeri sekali mengingat
kejadiannya …"
"Tidak
usah takut. Coba kau bercerita mulai pertama kali kau bertemu orang itu. Tidak,
jangan dari situ.
Tapi
mulai dari bagaimana kau bisa berada di tempat yang jauh dari Kotaraja
ini."
Ambarsari
sandarkan punggungnya ke batu. Dia terdiam cukup lama berusaha menenangkan diri
sebelum memulai kisahnya.
"Malam
tadi, aku menginap di rumah seorang saudara sepupu di Godean. Pagi hari aku
pergi ke satu pedataran rumput yang banyak kupu-kupu. Aku senang
kupu-kupu."
"Sendirian?"
tanya Wiro,
"Sendirian.
Pergi kemana-mana aku memang tidak suka ditemani, apa lagi yang namanya
dikawal. Ketika aku datang saudara sepupuku ternyata sedang sakit,"
menerangkan Ambarsari,
"Aku
sudah sering pergi ke pedataran berumput itu. Namun karena sejak pagi hujan turun,
tidak satu kupu-kupupun yang kelihatan. Aku duduk menunggu di sebuah gubuk tua
di tepi pedataran. Berharap hujan akan segera berhenti. Siang hari hujan memang
reda tapi kupu-kupu tetap saja tak ada yang muncul. Ketika aku berkemas-kemas
hendak meninggalkan gubuk bersama kudaku Ki Sepuh Ireng. tiba-tiba entah dari
mana datangnya, tahu-tahu di hadapanku telah berdiri seorang pemuda berwajah
tampan, mengenakan baju dan celana hitam, bersulam bunga dari benang perak dan
emas. Keningnya diikat kain merah. Pemuda Ini berkumis tipis, memelihara
janggut dan cambang bawuk rapi. Dia menyapaku. Suaranya lembut."
"ADIK
berbaju biru, di udara begini buruk, di tempat yang begini terpencil, apakah
kau tidak takut hanya seorang diri di sini?"
Raden Ayu
Ambarsari bukan saja terkejut oleh kedatangan orang yang menyapanya dengan
tiba-tiba, tapi juga merasa jengkel. Namun niatnya hendak mendamprat jadi pupus
ketika dilihatnya orang yang menegur adalah seorang pemuda gagah, berpakaian
bagus dan bersikap sopan Selain itu tubuh serta pakaiannya.menebar bau wangi
harumnya bunga.
"Aku
disini aman-aman saja. Momangnya apa yang harus ditakutkan?" Pemuda tampan
tersenyum.
"Selain
cantik ternyata adik seorang pemberani rupanya. Namun kalau boleh saya memberi
nasihat.
sebaiknya
lekas-lekas pergi dari tempat ini. Kawaspn ini adalah tempat malang
melintangnya para perampok dan berbagal macam orang jahat."
"Kau
sendiri termasuk rampok atau orang jahat atau apa?" Si pemuda kembali
tersenyum.
"Nama
saya Cakra." si pemuda perkenalkan diri.
"Kalau
adik memang belum berniat pergi apa keberatan kita bercakap-cakap barang
beberapa ketika?"
"Bercakap-cakap
boleh saja. Tapi awas. Jangan mulai usil atau kurang ajar. Aku Raden Ayu
Ambarsari.
Cucu
Pangeran Tua Sena Wirapala dari Kotaraja "
Mendengar
ucapan si gadis, pemuda berkumis yang berdiri berdekap lengan serta merta
membungkuk.
"Maafkan
saya. Saya tidak tahu adik yang cantik jelita ini adalah seorang puteri
Keraton, cucu seorang Pangeran terkenal pula."
Karena
pemuda bernama Cakra tetap terus membungkuk Ambarsari berkata sebal
"Sudah, jangan membungkuk terus. Nanti kau benar-benar bungkuk seperti
kakek reot! Iya kan?!" Cakra tertawa. Lalu luruskan tubuhnya.
"Kau
hendak bercakap-cakap apa denganku?’ tanya Ambarsari pula.
"Tadinya
sebelum tahu adik Ini puteri Keraton, banyak yang ingin saya bicarakan Tapi
setelah tahu saya jadi sungkan Saya tak berani mengganggu lebih lama. Namun
sebelum pergi saya ingin menanyakan sesuatu."
"Menanyakan
apa?"
"Apakah
Raden Ayu Ambarsari pernah melihat benda ini sebelumnya?" Lalu Cakra
mengambil satu kantong kain berwarna hitam dari saku celana panjangnya. Dari
dalam kantong kain ini dia kemudian mengeluarkan satu benda yang ternyata
adalah sebuah patung batu memancarkan cahaya merah redup.
Patung
batu itu merupakan kesatuan dari patung laki-laki dan perempuan telanjang,
dalam keadaan tengah melakukan hubungan badan. Yang perempuan di sebelah depan,
yang lelaki di sebelah belakang.
Secara
aneh dari dua patung itu keluar dua sosok tubuh berbentuk bayang-bayang yang
perlahan-lahan berubah menjadi besar "Raden Ayu pernah melihat patung ini
sebeumnya?" tanya Cakra.
Ambarsari
menggeleng Dia merasa jengah memperhatikan tapi entah mengapa pandangan matanya
tak bisa dialihkan.
Si pemuda
tersenyum. Sementara dua sosok bayang-bayang merah terus berubah bertambah
besar sampai seukuran manusia.
.
"Raden Ayu tidak pernah melihat dua patung bercinta Ini sebelumnya. Tapi
apakah mengenali raut wajah mereka?" Cakra bertanya lagi.
Ambarsari
memperhatikan. Kening mengerenyit, bola mata membesar. Darahnya tersirap.
Ketika dia memperhatikan raut wajah perempuan telanjang ternyata wajah itu
adalah wajah dirinya sendiri. Sementara patung lelaki menyerupai pemuda
berkumis yang tegak di depannya.
Ambarsari
menekap mulut. Dua sosok bayangan merah telanjang yang keluar dari patung
melakukan gerakan-gerakan bercinta yang membuat darah puteri Keraton ini jadi
berdesir panas. Sekujur tubuhnya
gemetar
berkeringat Terlebih ketika Cakra menempelkan sesuatu di keningnya. Gairahnya
bangkit tidak tertahankan. Dia merasa seolah dirirrya sendirilah yang
benar-benar tengah bercinta dengan pemuda bernama Cakra itu. Dia hanya menurut
saja ketika dirinya dibaringkan di lantai gubuk.
"Raden
Ayu Ambarsari kau kekasihku dan aku Cakra kekasihmu. Ulangi kata-kataku."
"Aku
Ambarsari kekasihmu. Kau Cakra kekasihku … Ambarsari mengikut saja, berucap
sebagaimana yang diperintah.
"Sekarang
tanggalkan seluruh pakaianmu." Kata Cakra, memberi perintah dengan suara
lembut sambil mengelus kening Raden Ayu Ambarsari.
Sosok
bayangan merah lelaki dan perempuan yang keluar dari patung bergerak kian
kemari, menggeliat, menggapai serta, mengeluarkan suara-suara mengerang halus.
Raden Ayu
Ambarsari semakin terangsang. Gairah nafsu menyelubungi sekujur tubuhnya.
Diluar sadar ia lakukan apa yang dikatakan Cakra. Dua tangannya bergerak ke
dada untuk membuka buhul-buhul kecil pengancing baju biru yang dikenakannya.
Pada saat itulah tiba-tiba Ki Sepuh Ireng, kuda hitam milik Ambarsari yarig
berada di samping gubuk meringkik keras.
Ambarsari
tersentak kaget dan sadar. Dia melompat bangun dan dapatkan dua dari buhul
kancing bajunya telah terbuka hingga dadanya tersingkap polos.
"Manusia
kurang ajari Apa yang kau lakukan pada diriku!" teriak Ambarsari marah
sambil cepat menutupi dada "Tenang Ambarsari Apa kau lupa kau adalah
kekasihku dan aku adalah kekasihmu? Lihat dua mahluk merah itu. Mereka adalah
kau dan aku. Bukankah kau ingin kita berbuat seperti itu? Tanggalkan pakaianmu,
lakukanlah."
Namun
apapun bujuk sirapan yang dilakukan si pemuda kini tidak mengena lagi karena
Ambarsari telah sempat pulih kesadarannya sementara si pemuda sendiri telah
terpecah perhatiannya.
"Manusia
jahanam!" Ambarsari dorongkan dua tangannya ke dada Cakra. Dorongan ini
bukan dorongan biasa karena merupakan gerak ilmu silat. Cakra terjajar. Ketika
Ambarsari hendak melompat keluar gubuk pemuda itu berusaha mencengkeram dadanya
tapi luput.
"Breetttt!"
Dada baju
Ambarsari robek besar. Namun dia berhasil selamatkan diri dari sergapan Cakra.
Sampai di luar gubuk dia langsung melompat ke atas punggung kuda hitam dan
membedal binatang itu secepat yang bisa dilakukan Di dalam gubuk Cakra
berteriak marah. Patung batu cepat-cepat dimasukkan ke dalam kantong hitam lalu
lari mengejar Ambarsari . Beberapa kali dia punya niat hendak melepaskan
pukulan jarak jauh yang bisa merobohkan kuda hitam tunggangan si gadis. Namun
dia tidak mau membuat Ambarsari celaka.
"Aku
harus mendapatkan gadis satu ini dalam keadaan hidup dan mulus tanpa segores
lukapun.." ucap Cakra dalam hati. Dengan ilmu lari yang dimilikinya dia
yakin dalam waktu tidak berapa lama lagi dia akan berhasil mengejar dan
menangkap Ambarsari.
Sebenarnya
ada jalan rata dan baik yang dapat dilalui Ambarsari dalam usahanya
menyelamatkan diri.
Namun
perasaan takut membuat pikirannya kacau hingga dia tidak sadar lagi arah yang
ditempuh. Si gadis tersesat melewat jalan sulit di sebelah tenggara Godean di
mana dia kemudian mengalami celaka dan diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng.
***********************
8
PANGERAN
TUA Sena Wirapala tidak dapat memicingkan mata. Di dalam kamar dia turuni dari
pembaringan melangkah mundar mandir. Di luar hujan lebat mengguyur Kotaraja.
Akhirnya dia keluar dari kamar, memanggil pembantu kepercayaannya, seorang
Perwira Muda bernama Soma Kowara.
"Sampai
saat ini cucuku Ambarsari belum kembali. Kau tahu dia pergi ke Godean sejak
kemarin sore.
Anak itu
memang keras kepala. Kemana-mana tak mau dikawal. Seharusnya saat ini sudah
kembali. Aku kawatir terjadi apa-apa dengan dirinya."
Raden Ayu
Ambarsari sudah sering ke Godean Saya rasa dia tidak bakalan tersesat dan aman
jika menempuh jalan di sebelah barat. Namun cuaca belakangan Ini tidak begitu
baik. Hujan turun terus menerus," kata Soma Kowara. "Mungkin Den Ayu
Ambarsari terhalang hujan. Saya menunggu api perintah Pangeran,"
"Siapkan
kuda. Bawa beberapa orang perajurit Kita| berangkat ke Godean malam Ini juga
Aku tidak bisa tenang sebelum melihat cucuku itu dalam keadaan tak kurang suatu
apa."
"Perintah
Pangeran akan saya laksanakan. Tapi apakah kita tidak perlu menunggu sampai
hujan reda?
Selain
itu. apakah Pangeran mau memberi izin, biar saya saja dan anak buah pergi ke
Godean. Saya sudah tahu rumah kediaman saudara sepupu Raden Ayu. Saya kawatir
cuaca buruk nanti mengganggu kesehatan Pangeran."
"Aku
memang sudah tua Usiaku hampir sembilan puluh. Tapi keselamatan cucuku
Ambarsari jauh lebih penting dari kesehatanku. Siapkan semua keperluan. Kita
berangkat sekarang juga."
"Baik
Pangeran," jawab Som a Kowara. Perwira Muda ini tahu sekali bagaimana
sayangnya Pangeran Tua pada Raden Ayu Ambarsari, cucu salu-eatunya. Ketika
kedua orang tua gadis itu meninggal beberapa belas tahun lalu akibat penyakit
menular yang menyerang Kotaraja, dibantu seorang pelayan setia Pangeran Tua
Sena Wirapala-lah yang merawatnya sejak dari gadis cilik sehingga remaja
puteri. Pangeran Tua tidak pula mencari istri baru pengganti istrinya yang
telah lama meninggal dunia. Tidak heran kalau seluruh kasih sayang dalam
kehidupan sang pangeran tertumpah pada Ambarsari.
Sebagai
anak tunggal Ambarsari tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita. Namun
sayangnya gadis ini memiliki beberapa sifat yang dirasakan orang di sekitarnya
kurang berkenan. Antara lain suka bicara ketus, menganggap orang lain tidak
perlu dihormati. Boleh dikatakan dia jarang bergaul dengan penghuni Keraton
lainnya. Walau cantik, karena sifat-sifatnya tadi banyak pemuda kalangan atas
yang semula tertarik kemudian mengundurkan diri. Termasuk Soma Kowara. Sejak
lama Pewira Muda Ini menaruh hati pada cucu Pangeran Tua itu. Namun sifat serta
sikap sang puteri yang tidak dapat dimengerti dan terkadang seperti melecehkan
dirinya membuat dia terpaksa menjaga jarak. Selain itu dia juga tidak mau
merusak kepercayaan Pangeran Tua terhadapnya. Walau jabatannya di Keraton cukup
tinggi namun Soma Kowara merasa belum cukup layak untuk jatuh cinta, apa lagi
menjadi pendamping Raden Ayu Ambarsari. Jadilah dia seperti seekor burung
pungguk merindukan bulan.
Sebagaimana
kebiasaan puteri Keraton pada masaitu, Pangeran Tua mendatangkan seorang guru
tari untuk mengajar cucunya menari.
Tapi
Ambarsari tidak suka segala macam tetarian. Dia tidak suka segala bentuk
peradatan Keraton yang menurutnya terlalu dibuat-buat dan membatasi gerak serta
kemauannya. Malah diam-diam tanpa setahu Pangeran Tua dan orang-orang dalam
Keraton sejak beberapa waktu lalu dia belajar ilmu silat dan kesaktian pada
seorang tokoh silat di Parangtritis.
Tak
selang berapa lama Soma Kowara datang kembali menemui Pangeran Tua. Memberi
tahu bahwa mereka siap berangkat. Kepada Pangeran Tua perwira ini menyerahkan
sehelai mantel terbuat dari kain tebal. Tengah malam buta dibawah hujan lebat
Pangeran Tua dan Perwira Muda Soma Kowara ditemani lima orang perajurit dengan
menunggang kuda meninggalkan Kotaraja. -berangkat menuju Godean di arah barat
laut Rombongan itu membawa pula dua ekor kuda cadangan.
**************************
ANGIN
bertiup kencang. Ambarsari memeluk dada. Pakaian dan tubuhnya basah kuyup.
"Aku
kedinginan. Dari pada cuma diam berteduh di bawah pohon ini lebih baik
menyeberang saja! Hujan sudah-mulai reda"
"Hujan
memang sudah reda. Tapi apa kau tidak melihat arus kali masih sangat deras.
Tunggu saja.
Sebentar
lagi pagi datang. Saat itu kurasa arus sudah mulai reda." Menjawab
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu
kedua orang ini berteduh dibawah sebuah pohon besar. Dari jurang di tenggara
Godean. dalam perjaanan menuju Kotaraja mereka terus menerus didera hujan.
Sampai di satu tempat pejalanan tak bisa diteruskan karena di depan mereka
menghadang anak Kali Progo yang arus airnya luar biasa deras. Mereka akhirnya
terpaksa berteduh dibawah pohon besar Karena tak ada tempat lain yang bisa
dipakai untuk berlindung.
"Kalau
menunggu pagi perlu apa aku mendesak pergi. Justru karena tak ingin
berlama-lama di tempat ini aku minta kita segera menyeberang saat ini juga Kakekku
Pangeran Sena Wirapala pasti saat ini sangat gelisah. Bisa-bisa dia sudah
memerintah orang untuk mencariku. Menyusul ke Godean. Aku pasti dapat marah
besar."
Wiro
menggaruk kepala, seperti tidak mendengar ucapan si gadis. Tidak ditanggapi
Ambarsari lantas berdiri. Dia goyangkan kepala ke arah sebuah rakit bambu yang
terletak tak jauh dari pohon besar.
"Getek
bambu itu bisa kita pakai untuk menyeberang."
"Kau
sudah mengatakan beberapa kali. Aku sudah menerangkan banyak kali. Bukankah aku
tadi sudah memeriksa getek itu? Selain lapuk ada beberapa bambu yang patah.
Dari sini saja bisa dilihat banyak bagian getek sudah pada patah dan
bolong!"
"Alasanmu
saja. Aku tahu…." ucap Ambarsari pula.
"Tahu
apa?" tanya Wiro.
"Kau
sengaja mengulur-ulur waktu. Agar bisa lebih lama bersamaku. Aku rasa dalam
benakmu saat ini pasti ada pikiran kotor. Iya kan?!"
"Tololnya
aku inil Kalau memang aku berniat jahat sudah sejak di jurang itu aku
lakukan!"
"Lalu
mengapa tidak kau lakukan?!" tukas si gadis, Wiro membelalak akhirnya tertawa
tapi tertawa kesal. Sebenarnya dia bisa saja meninggalkan gadis yang punya
sifat serta suka bicara menjengkelkan itu. Namun karena sejak semula sudah
punya niat menolong, dia merasa tidak tega. Kawasan dimana mereka berada masih
merupakan kawasan berbahaya Apa lagi setelah mengetahui Ambarsari adalah cucu
Pangeran Tua Sena Wirapala yang sahabat Eyang Sinto Gendeng.
Belum
habis rasa jengkelnya, Wiro kembali mendengar si gadis bicara tidak enak.
"Jangan-jangan
kau temannya pemuda bernama Cakra itu. Kalian bersekongkol. Kau menjalankan
peran sebagai kesatria penolong. Iya kan?"
"Iya
kan?!" Wiro menirukan ucapan si gadis lalu tertawa. Dalam hati dia
berkata. "Gila benari Belum pernah aku ketemu gadis seperti ini!"
"Eh,
kenapa kau tertawa?!" tanya Ambarsari.
“
Memangnya hatimu senang melihat aku seperti ini? Edan Puteri Keraton bisa
mengalami keadaan seperti ini ?"
"Puteri
Keraton salah kaprah…" ucap Wiro perlahan antara terdengar dan tidak.
"Kau
barusan bilang apa?"
Wiro
menjawab dengan pencongkan mulut.
"Kenapa
mulutmu? Gigimu ada yang sakit?!"
"Gadis
setan!" maki Wiro dalam hati. Ingin dia menjewer atau menarik pipi gadis
itu. Bahkan mau rasanya dia menjambak rambut Ambarsari sejak tadi-tadi. Wiro
memandang ke arah kali. Arus air masih deras. Dia berpaling ke kiri. ke arah
serumpunan pohon bambu. Kepala digaruk, otak berpikir menghitung mengukurukur.
Lalu
mulutnya sunggingkan senyum!
"Nah,
sekarang kau malah tersenyum. Pasti ada pikiran yang tidak-tidak dalam
kepalamul Iya kan?!"
"Kau
masih ingin memaksa menyeberang kali sekarang juga?" Ambarsari anggukkan
kepala.
"Kali
Progo banyak buayanya. Bisa saja ada yang terbawa arus sampai ke sini Kalau
terjadi apa-apa waktu menyeberang atau kau sampai jadi santapan buaya jangan
salahkan aku."
"Aku
tidak takut pada buaya sungai. Aku malah takut pada buaya darat
sepertimu!" jawab Ambarsari.
“Bagus"
ucap Pendekar 212 geram setengah mati "Jangan nanti kau menjerit-jerit
minta tolong kalau bertemu buaya sungai" Dengan langkah kesal dia berjalan
ke arah pohon bambu tinggi. Wiro cabut lima belas batang bambu.
"Kau
mau bikin apa?" tanya Ambarsari.
"Lihat
saja," jawab Wiro acuh.
"Mau
membuat gubuk atau getek baru?" tanya sigadis lagi.
"Lihat
saja, sahut Wiro.
"Lihat
sajal Lihat saja!’ Ambarsari mengomel.
Lima
belas batang bambu yang rata-rata panjar; tiga tombak ditabas dengan pinggiran
tangan lalu dibawa ke tepi kali. Dengan mengerahkan tenaga dalam lima buah
batang bambu itu dilempar ke dalam kali hingga tegak menancap. Dengan
berpijakan pada ujung bambu ke lima, Wiro menancapkan bambu ke enam. Dengan
berdiri di atas ujung bambu ke enam Wiro menancapkan bambu ke tujuh demikian
seterusnya hingga seluruh batang bambu yang berjumlah dua belas menancap
berjejer dari tepi kail yang satu ketepi kali di seberangnya. Arus air kali
yang deras membuat batang bambu bergoyang-goyang.
"Gadis
Keraton!" teriak Wiro dari pinggir kali seberang. "Kalau aku mau aku
bisa meninggalkanmu saat ini juga!"
"Jangan
mengancam. Lakukan saja!" tantang Ambarsari walau hatinya tiba-tiba merasa
kecut kalau Wiro memang benar-benar meninggalkannya.
"Si
bawel satu ini bicaranya pandai sekali. Aku selalu terpojok!" Wiro
menggerutu. Dia melompat ke ujung bambu ke lima belas. Dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan
Ambarsari.
"Kau
sudah siap menyeberang?"
Ambarsari
menatap ke arah deretan tiang bambu di dalam kali. Lalu memandang membelalak
pada Wiro.
“Kau akan
melompat dari ujung bambu satu ke ujung lainnya.”
“ Seperti
tadi yang aku lakukan. Dengan cara itu bisa sampai ke seberang.
“Kau mau
mengikuti aku atau mau melompat duluan?" tanya Pendekar 212 pula.
“Kau
punya ilmu tapi dipakai untuk kesombongan! Kau bukan hendak menolongku tapi mau
pamer ilmu kepandaian! Kau mau menyeberang silahkan saja! Aku biar tetap di
bawah pohon sini! Mudah-mudahan kau kecemplung dimakan buaya!"
"Kalau
begitu kau mau kita menyeberang sama-sama?"
"Sama-sama
bagaimana, maksudmu?" tanya Ambarsari.
"Kau
aku dukung di sebelah depan, atau aku panggul atau aku gendong belakang! Mana
yang enak kau silahkan memilih!"
"Dasar
pemuda sableng! Kau pergunakan kesempatan dalam kesempitan!" Wiro tertawa,
panjang.
"Sudah,
kau gendong aku di sebelah belakang saja," Ambarsari akhirnya keluarkan
ucapan. Wiro lalu berlutut Tapi ditunggu-tunggu si gadis tidak naik-naik juga
ke punggungnya.
"Ayo!
Tunggu apa lagr?!" Wiro berteriak.
"Tidak,
aku tak mau digendong belakang. Kau pasti keenakan."
"Lalu
kugendong di sebelah depan?"
"Tidak.
Tanganmu pasti jahili Aku lebih suka dipanggul saja."
"Kalau
begitu jangan banyak omong lagi!" kata Wiro pula. Lalu dia dekati si
gadis, bergerak cepat dan tahu-tahu Ambarsari sudah tertelungkup, di bahu
kanannya.
"Kau
boleh pegang plnggangkul Tapi awas kalau tanganmu berani turun ke bawah"
Tiba-tiba
di dalam arus air yang berkecamuk dahsyat terdengar suara benda bergerak. Wiro
memperhatikan. Dalam kegelapan dia melihat dua benda besar mengapung besar
menyembul tak Jauh dari deretan lima belas batang bambu yang menancap di tengah
kail.
"Buaya…"
kata Ambarsari dengan suara bergetar.
"Apa
kataku. Binatang itu ternyata sudah sampai di sini "
"Kalau
tidak kau sebut-sebut binatang Itu tidak akan muncu!" Ambarsari menyalahi
Wiro padahal tadi dia juga menyebut.
Rupanya
dua ekor buaya di tengah kali sudah mencium dan melihat Wiro dan Ambarsari.
Kedua binatang ini meluncur ke arah tepi kail. Sebelum keduanya mencapai
pinggiran kali dan naik ke darat, Wiro telah melesat, melompat ke atas ujung
bambu pertama. Ujung bambu bergoyang keras di hantam arus air.
Sebelum
tubuhnya oleng Wiro pindah ke bambu ke dua. Ambarsari memagut leher sang
pendekar kuat-kuat Ujung bambu ke tiga dilewati, juga bambu ke empat. Ketika
menginjak bambu ke lima, dua ekor buaya yang kehilangan mangsa berbalik. Masuk
kembali ke dalam air dan berusaha mengejar. Wiro melesat ke ujung bambu ke
enam, terus ke tujuh, delapan, sembilan dan sebelas.
Pada
ujung bambu ke sebelas salah seekor dari dua buaya berhasil mengejar dan datang
membalik dari arah berlawanan. Sambil berusaha menyambar kaki Wiro dengan
moncongnya yang panjang binatang ini kibaskan ekornya hingga batang bambu ke
dua belas patah. WIro yang sudah melesat di udara dan sedianya akan
menginjakkan kaki di ujung bambu ke dua belas tentu saja jadi terkejut ketika
melihat ujung bambu itu tak ada lagi di permukaan airi Sementara tubuhnya sudah
keburu melayang di udara dan di bawah sana dua ekor buaya besar siap menunggu.
Pada saat
yang menegangkan itu. dalam kegelapan malam Wiro melihat sebuah batang kelapa
dihanyutkan arus air ke arahnya.
"Kraak!
Kraaak!"
Batang
bambu ke tiga belas dan keempat belas hancur berpatahan ditabrak batang kelapa.
Dua ekor buaya sesaat lenyap di bawah air namun di lain kejap muncul kembali,
badan ditinggikan, moncong menyambar. Wiro melihat cuma ada satu kemungkinan.
satu kesempatan. Yaitu pergunakan, batang kelapa sebagai tempat menjejakkan
kaki sekaligus melambungkan diri ke udara lalu melesat mencapai ujung batang
bambu terakhir yaitu batang bambu ke lima belas. Namun dua ekor buaya harus
mampu disingkirkan terlebih dahului Kalau tidak, walau dia bisa mencapai batang
bambu ke lima belas, di saat bersamaan dua ekor buaya itu pasti telah melahap
bagian bawah tubuhnya!
Begitu
dirinya mulai melayang turun, Wiro lontarkan tangan kiri dua kali
berturut-turut melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Inilah
salah satu dari enam pukulan sakti yang ada dalam kitab Putih Wasiat Dewa yang
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Suara
gemuruh luapan arus air anak Kali Progo senyap ditelan suara pukulan sakti yang
menggelegar laksana kumandang suara guntur. Lapat-lapat terdengar suara jeritan
dua ekor buaya sebelum tubuh mereka hancur cerai berai dan dihanyutkan arus.
Air kali melambung sampai setinggi dua tombak.
Celakanya
batang kelapa yang hendak dijadikan pijakan kaki ikut terangkat ke udara. Untuk
menunggu sampai batang kayu kembali turun dan mengambang di permukaan air
terpaksa Wiro membuat satu gerakan jungkir balik yang dalam keadaan seperti itu
sulit dakukan. Ambarsari menjerit keras. Untung Wiro tidak terpengaruh oleh
jeritan itu. Dengan segala, ilmu kepandaian yang dimilikinya serta ketabahan
dan kesigapan seorang pendekar dia berhasil melesat ke udara, turun ke bawah
tepat pada saat batang kelapa sudah mengambang di atas air kembali.
Sekali
menjejakkan kaki kanan di atas batang kelapa Wiro berhasil melesatkan tubuhnya
ke udara. Seperti seekor burung elang murid Slnto Gondong hinggap di ujung
batang bambu ke lima belas. Ketika dia siap untuk melompat ke tepi kali
tiba-tiba ada suara berkesiuran dan dalam kejapan yang sama dari seberang kali
yang gelap melesat lima buah benda aneh. Sebesar ujung ibu jari, berbentuk
bulat putih kekuningan.menebar bau harum!
Pendekar
212 cepat kibaskan tangan kiri Tiga buah benda aneh terpental. Satu melesat
lewat di samping kepalanya. Benda kelima menancap telak di pangkal leher
sebelah kiri. Meskipun mampu mencapai tepian kali namun begitu menjejakkan kaki
di tanah murid Sinto Gendeng langsung ambruk. Ambarsari jatuh dari panggulannya.
Si gadis pergunakan ilmu silatnya agar tidak sampai tersungkur di tanah. Namun
dalam bingungnya gadis Ini membuat gerakan yang salah hingga justru kepalanya
terjun ke tanah lebih dulu!
Sebelum
kepala itu membentur tanah becek di tepi kali, satu bayangan hitam berkelebat
dari balik pohon, menyambar tubuhnya dan lenyap dalam kegelapan.
***********************
9
DALAM
keadaan mata masih terpejam sayup-sayup Wiro mendengar suara deru
berkepanjangan. Udara di sekitarnya terasa dingin. Tubuh lemah menggigil.
Pikiran kosong. Untuk menolak hawa dingin dia kerahkan tenaga dalam guna
mengalirkan hawa sakti. Tapi tak berhasil. Dia coba gerakkan tangan kanan.
Tidak
bisa. Tangan kiri juga kaku. Lalu kaki kiri kanan, sama sekali tak mampu
diangkat. Sesaat kemudian murid Sinto Gendeng ini baru menyadari kalau dia sama
sekali tidak mengenakan baju sementara celana putih yang masih melekat di
tubuhnya merosot sampai ke betis.
"Gila
Apa yang terjadi. Aku berada dimana? Sudah berapa lama aku di tempat Ini?
Dingin, mulutku kering, haus …. lapar." Dia hendak menggaruk kepala. Tentu
saja tidak bisa.
Perlahan-lahan
Wiro buka kedua matanya. Keadaan sekelilingnya agak gelap. Dia tertelungkup di
lantai batu yang mengeluarkan hawa dingin Dia coba membuka mulut Kaku mulai
dari bibir sampai ke lidah "Aku tak bisa bergerak. tak mampu bersuara Aku
berada dibawah pengaruh totokan luar biasa hebat…"
Wajah
sang pendekar mengerenyit ketika ada rasa perih mencucuk pangkal lehernya
sebelah kiri. Hal ini membuat dia mulai ingat akan apa yang telah terjadi
sebelumnya.
"Ambarsari….
Aku dan gadis Keraton itu berusaha menyeberangi kali yang sedang diamuk arus.
Ada buaya …. ada batang kelapa. Lalu ada lima benda aneh menyerangku. Satu
menancap di leher kiri. Setelah itu …" Ingatan sang pendekar hanya sampai
di situ Wiro berusaha memperhatikan tempat dia berada seluas pandangan yang
bisa dilayangkan. Ternyata dia berada dalam satu ruangan batu berhawa dingin.
Satusatunya penerangan yang membuat ruangan itu menjadi sedikit terang adalah
rambasan cahaya yang masuk melalui celah sangat tipis berbentuk empat persegi
panjang.
"Pintu,
pasti disitu ada pintu. Cahaya masuk lewat celah pintu." Wiro berkata
dalam hati. "Bagaimana aku bisa. berada di sini. Tempat celaka apa ini.
Dimana gadis itu. Apa yang terjadi? Jangan-jangan yang menyerang tadi malam
gerombolan rampok. Berarti Ambarsari diculik. Tapi… kalau memang rampok yang
menyerang pasti aku sudah dibunuh. Perlu apa orang jahat itu susah payah
membawa aku ke tempat ini…"
Wiro
pejamkan mata, berusaha berpikir lebih jernih. "Suara deru itu …. Ada
sesuatu yang mengalir di samping atau dibagian atas ruangan ini. Apa? Mungkin
air ~. Berarti ada sungai di sekitar sini…."
Tiba-tiba
Wiro mendengar suara langkah-langkah kaki. Tak lama kemudian terdengar satu
benda berat bergeser lalu ada cahaya memasuki ruangan batu hingga keadaan
sekarang menjadi cukup terang. Wiro memandang ke arah dinding batu yang terbuka
membentuk pintu. Empat orang melangkah masuk. Tiga mengenakan pakaian pasukan
Kerajaan, satu memakai jubah putih menjela lantai. Karena silau Wiro tidak
dapat melihat wajah ke empat orang itu. Namun begitu keempatnya berdiri di
samping dinding kiri dan cahaya dari luar menerangi, Wiro kini dapat melihat
cukup jelas wajah mereka.
Orang
pertama dan kedua adalah perajurit Kerajaan. Yang ketiga seorang pemuda
bertubuh tegap yang juga mengenakan pakaian perajurit Kerajaan. Dari
tanda-tanda kebesaran serta topi yang dikenakannya Wiro menduga pemuda Ini
punya pangkat tinggi, pa ling tidak seorang Perwira Muda. Dugaan Wiro tidak
meleset karena orang itu memang adalah Pewira Muda Soma Kowara.
Orang ke
empat seorang kakek berwajah panjang.Walau mukanya penuh keriput namun tampak
bersih klimis. Dalam usianya yang sudah lanjut sosoknya masih kelihatan kukuh.
Rambutnya yang putih di gelung di atas kepala. Pakaiannya sehelai jubah putih
Penampilannya seperti seorang Resi Orang tua Ini bukan lain adalah Pangeran Tua
Sena Wirapala, kakek Raden Ayu Ambarsari.
"Periksa
apakah tawanan sudah sadar atau belum" Perwira Muda Soma Kowara berkata
pada dua orang perajurit. Kedua perajurit ini segera laksanakan perintah.
Mendengar
dirinya disebut tawanan murid Sinto Gendong jadi terkejut. "Aku tawanan?
Tawanan siapa?"
Wiro
berpikir. Dia ingat keterangan Ambarsari kalau dirinya adalah cucu Pangeran
Sena Wirapala Wiro perhatikan orang tua berjubah putih. "Jangan-jangan dia
Pangeran Tua Sena Wirapala. Berarti aku tawanan Kerajaan. Berarti saat ini aku
disekap di satu tempat di Kotaraja. Gila! Bagaimana bisa kejadian seperti
ini?!"
Dua
perajurit yang memeriksa Wiro dan melihat sang pendekar dalam keadaan dua mata
nyalang, bola mata bergerak-gerak, segera memberi laporan pada Soma Kowara
bahwa tawanan berada dalam keadaan sadar.
"Bagus,
berarti kita bisa menanyainya," orang tua berjubah putih keluarkan ucapan
lalu memberi tanda pada Soma Kowara dengan anggukan kepala. Perwira muda itu
segera melangkah mendekati Wiro, membungkuk lalu sekali dua tangannya bergerak
murid Sinto Gendeng melayang ke dinding seberang dan jatuh terduduk kaku di
sebuah gundukan batu rata berbentuk bangku.
Pangeran
Sena Wirapala, Perwira Muda Soma Kowara dan dua perajurit kemudian melangkah
mendekati Wiro. Begitu berada di hadapan sang pendekar Soma Kowara jambak
rambut Wiro lalu membentak.
"Kami
akan menanyai dirimu! Jika kau tidak menjawab benar dan jujur, kau akan
menerima nasib lebih buruk dari ini!" Habis membentak sang Perwira Muda
hantamkan satu tamparan ke muka Pendekar 212.
Kepala
Wiro sampai tersentak dan ujung bibirnya kucurkan darah saking kerasnya
tamparan.
Orang tua
berjubah putih maju lebih dekat ke arah Wiro. Tiba-tiba dua jari tangan kirinya
melesat ke ubun-ubun murid Sinto Gendeng. Asap mengepul dari batok kepala Wiro.
Wiro merasa kepalanya seperti terbongkar. Mulutnya terbuka lebar. Ternyata
Pangeran Sena Wirapala menusuk ubun-ubun Wiro untuk melepas totokan yang
menutup jalan suaranya. Saat itu juga Wiro keluarkan satu jeritan keras.
"Kalian”
Soma
Kowara kembali menjambak rambut Wiro.
"Manusia
bejat Jangan berani membuka mulut kalau tidak ditanya atau disuruh"
"Plaakk"
Satu tamparan lagi menghajar muka murid Sinto Gendeng hingga kepalanya
tersentak dan telinganya kanannya keluarkan darah. Ternyata Perwira muda itu
bukan melancarkan tamparan biasa, tapi tamparan yang dialiri tenaga dalam
tinggi!
Tanpa
perdulikan ancaman orang, darah menggelegak Wiro membuka mulut hendak memaki
Namun Pangeran Tua Sena Wirapala mengangkat tangan kanan seraya berkata.
"Bicaralah
jika kau diminta bicara. Buka mulutmu jika kau ditanya…"
"Apa
salahku! Mengapa aku diperlakukan sepe ini?" teriak Wiro tanpa perduli.
Kali ini
bukan tamparan tapi satu jotosan melabrak pipi kanan Pendekar 212, "Sekali
lagi kau berani bersuara kuhancurkan mulutmu, kuremukkan hidungmu!" hardik
Soma Kowara.
"Kalian
pasti orang-orang Kerajaan. Tapi buka manusia Melainkan anjing biadab!"
Soma
Kowara berteriak marah. Seluruh tenag dalamnya dikerahkan ke tangan kanan yang
sudah membentuk tinju. Namun sebelum jotosannya mendarat di mulut Wiro Pangeran
Sena Wirapala memegang bahu Perwira Muda ini dan menariknya ke belakang.
"Biarkan
aku menanyai dulu. Nanti kalau dia sudah bicara, kau boleh melakukan apa saja
atas dirinya.
Tapi
ingat. Jangan dibikin mati! Hukum Kerajaan harus diberlakukan. Dia harus mati
di tiang gantungan.
Pangeran
Sena Wirapala lalu maju lagi satu langkah ke hadapan Wiro yang bukan saja heran
mendengar kata-kata si orang tua tapi juga terkejut sekali.
"Aku
Pangeran Sena Wirapala. Raden Ayu Ambarsari adalah cucuku satu-satunya Kau kenal
dirinya?"
"Ya,
aku mengenal cucumu Itu." jawab Wiro.
"Kau
telah membuat kebiadaban luar bisa. Kotaraja geger selama dua hari ini. Rakyat
minta kau digantung di alun-a’un lalu dicincang dan sisa jazadmu dibakar!"
"Apa
salahku?" tanya Wiro dengan mata terbelalak.
"Manusia
terkutuk! Jangan kau berpura-pura! Kau telah memperkosa Raden Ayu Ambarsari
lalu membunuhnya! Dajal sekalipun tidak akan sekeji itu!" Yang membuka
mulut keras adalah Soma Kowara "Tuduhan busuk! Fitnah keji! Aku justru
berusaha menyelamatkannya malam tadi Namun ada orang jahat membokongku! Melepas
lima senjata rahasia. Satu menancap di leherku. Aku kemudian tak sadarkan diri.
Sebelum
roboh pingsan aku melihat Raden Ayu Ambarsari daiam keadaan masih hidup.
Melayang jatuh di tepi anak Kali Progo!"
"Siapa
percaya ucapanmu!" hardik Soma Kowara. Perwira Muda ini memang ingjn
sekali menghabisi Wiro saat itu. Wiro membuat dia kehilangan gadis yang
diam-diam dicintainya.
"Apakah
kau sudah lama mengenal cucuku?" Pangeran Tua bertanya.
"Aku
mengenalnya baru malam tadi. Sewaktu dia hampir celaka masuk jurang karena
dikejar seorang lelaki yang menurutnya bernama Cakra. Orang itu menyirapnya dan
bermaksud hendak merusak kehormatannya ‘Pangeran." kata Soma Kowara
"Kita tidak usah mempercayai semua ucapannya. Lebih baik kita seret ia
sekarang juga ke alun-alun."
"Saatnya
untuk melakukan itu akan tiba. Harap kau bisa bersabar sebentar. Aku masih
ingin menanyainya." Lalu Pangeran Tua memerintahkan Pendekar 212
menceritakan apa yang telah terjadi tadi malam. "Bicara yang jujur. Jika
kau berdusta mengarang cerita, aku sendiri yang akan mematahkan batang
lehermu!"
Wiro
pejamkan kedua matanya. Darahnya seperti mau muncrat, dadanya seolah hendak
meledak menahan amarah. Sekali lagi dia coba mengerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti. Namun dia tidak mampu membuyarkan totokan yang yang membuat kaku kedua
tangan dan kakinya.
"Percuma
kau mencoba! Totokan yang melumpuhkanmu tak mungkin dimusnahkan. Sekalipun kau
punya ilmu setinggi langit sedalam lautan. Lebih baik kau mulai saja menuturkan
kejadian malam tadi."
Wiro coba
menindih amarahnya. Dia sadar tak mungkin bisa membebaskan diri. Dari Eyang
Sinto dia pernah mendengar tentang ketinggian ilmu orang tua ini. Mungkin lebih
tinggi dari gurunya sendiri. Akhirnya Wiro hanya bisa pasrah dan mulai
menuturkan apa yang terjadi malam tadi. Mulai ketika dia menolong Raden Ayu
Ambarsari sampai usaha menyeberangi kali.
Wiro
tutup ceritanya dengan ucapan. "Pangeran sudah mendengar apa yang aku
ceritakan. Di leherku pasti ada bekas serangan senjata gelap itu. Pangeran bisa
memeriksa sendiri"
Pangeran
Sena Wirapala terdiam beberapa lamanya. Soma Kowara yang tidak ingin orang tua
itu mempercayai cerita Pendekar 212 segera membuka mulut. Suaranya tetap keras.
"Pangeran,
pemuda terkutuk ini pandai mengarang cerita. Jangan sampai Pangeran tertipu!
ingat rakyat se Kotaraja masih berkumpul di alun-alun untuk menyaksikan
pelaksanaan hukuman gantung! Selain itu Sri Baginda juga telah memberi petunjuk
agar hukuman segera dilakukan siang Ini juga! Jangan ditunggu sampai matahari
condong ke barat apa lagi sampai tenggelam di timur"
"Pangeran,
aku sudah bicara jujur. Perwira ini agaknya punya kepentingan pribadi,
memaksakan kehendak untuk menjatuhkan hukuman! Padahal aku tidak bersalah!
Pangeran, kau yang kuasa di sini.
Bukan
dia!"
"Bangsat,
kau mau mengadu domba kami berdua?!" bentak Soma Kowara. Wiro menyeringai.
Pangeran
Sena Wirapala menatap wajah Wiro sesaat lalu gelengkan kepala. "Ceritamu
cukup bagus dan bisa saja benar. Katamu ada, orang yang menyerangmu Dengan
benda ini…" Orang tua itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku
jubahnya. Ternyata adalah sekuntum bunga tanjung yang sudah layu, warnanya
berubah coklat dan berlapis noda darah yang telah mengering. Pangeran tua
letakkan bunga tanjung itu di telapak tangan kirinya lalu diperlihatkan pada
Wiro.
"Ini
benda yang menancap di lehermu. Bunga tanjung. Aku yang mengeluarkan dari
lehermu pertama kali kau dibawa ke sini. Benda ini mengandung racun jahat yang
bisa membunuh seekor kerbau. Ternyata kau bisa bertahan dan hanya pingsan
selama dua hari dua malam."
"Kalau
Pangeran sudah mengetahui, ditambah ada bukti orang menyerang diriku secara
gelap, sepatutnya Pangeran membebaskan diriku saat ini juga! Aku akan melupakan
semua kejadian, tapi satu hal aku tidak akan melupakan perlakuan kejam dan
pengecut Pewira Muda Ini!"
"Bangsat
pembunuh! Tidak ada yang akan membebaskan dirimu! Malaikat maut sudah
menunggumu.
Pintu
neraka sudah terbuka lebar!" Teriak Soma Kowara marah besar.
Pendekar
212 menyeringai. "Jika aku bebas, apakah kau masih punya nyali menampar
dan memukulku?!"
Perwira
Muda angkat tangannya tinggi-tinggi. Siap hendak menghajar Wiro, namun Pangeran
tua cepat menghalangi.
"Pembicaraan
kita belum selesai;" kata sang pangeran pada Wiro. "Ceritamu tadi
bagus dan masuk akal kedengarannya. Bukti bunga tanjung juga ikut menunjang.
Tapi bisakah kau memberi tahu, jika kau punya musuh, atau ada orang pandai
jahat di rimba persilatan Ini, siapakah diantara mereka yang mempergunakan
bunga tanjung sebagai senjata?"
"Aku
tidak tahu. Pangeran. Seorang sakti mandraguna bisa saja menjadikan setiap
benda sebagai senjata.
Jangankan
bunga tanjung, kentutpun bisa jadi senjata .."
"Manusia
terkutukl Jangan kau berani bicara kurang ajar pada Pangeran Sena
Wirapala!" bentak Soma Kowara sementara sang pangeran tua hanya
geleng-geleng kepala. Sesaat kemudian orang tua, ini berkata.
"Anak
muda, sayang sekali. Kau tidak pada kedudukan dapat menghindar dari tuduhan
Atau membuktikan bahwa dirimu benar-benar tidak bersalah. Mayat cucuku ditemui
di tepi anak Kali Progo dalam keadaan tanpa pakaian Ada bunga tanjung menempel
di keningnya. Wajah pucat dan bibirnya biru gelap.
Kau
sendiri terbujur di sebelahnya tanpa baju. Celana panjangmu dalam keadaan
tersingkap Kau kami tawan di tempat ini. Cucuku telah dikebumikan siang hari
setelah jenazahnya ditemukan. Jelas semua ceritamu tadi tak ada artinya untuk
dipakai menyelamatkan diri." Wiro kaget bukan kepalang.
"Kau
memperkosa Raden Ayu Ambarsari Lalu membunuhnya!" Soma Kowara berkata
dengan muka didekatkan ke wajah Pendekar 212.
"Demi
Tuhan, aku bersumpah. Aku tidak melakukan hal itu!" Kata Wiro setengah
berteriak Pangeran tua tersenyum dingin "Siapa yaag mau percaya keberadaan
patung laki-laki dan perempuan yang bisa menjelma seperti manusia hidup.
Melakukan perbuatan mesum…"
"Hai
itu bukan aku yang mengatakan. Tapi cucumu sendiri yang menceritakan
padaku." Perwira Muda Soma Kowara mendengus.
"Seribu
kali kau bersumpah, nyawamu tidak akan tertolong!" Perwira Muda ini lalu
berpaling pada Pangeran Sena Wirapala. "Pangeran, semua sudah jelas.
Izinkan saya meninggalkan tempat ini lebih dulu untuk menyiapkan tiang
gantungan."
"Tunggu,"
kata Pangeran Sena Wirapala. Masih ada satu pertanyaanku lagi pada orang
ini." Lalu orang tua ini menatap Wiro beberapa jurus. Dalam hati dia
berkata. "Aku pernah melihatnya sewaktu masih bocah. Namun suara serta
kurang ajarnya tidak ada beda dengan si gondrong ini." Setelah menatap dan
membatin. Pangeran Sena Wirapala berkata. "Dari raut wajahmu, panjangnya
rambut serta bentuk tubuhmu, aku ingat pada seseorang sahabat lama di puncak
Gunung Gede. Pemuda gondrong, apa hubunganmu dengan nenek sakti Sinto
Gendeng?" Wiro diam saja tak mau menjawab.
"Kenapa
kau tak mau bicara?" tanya Pangeran Sena Wirapala.
"Aku
muridnya…" akhirnya Wiro keluarkan ucapan. Perlahan saja namun terdengar
mengejutkan di telinga Sang PAngeran dan Perwira Muda Soma Kowara.
"Berarti
kau orangnya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Naga Goni Dua
Satu Dua?"
Wiro
tidak menjawab, cuma sunggingkan senyum. Soma Kowara berubah tampangnya.
Pangeran
Sena Wirapala pejamkan mata, menarik nafas dalam beberapa kali. Lalu berpaling
pada perwira di sebelahnya. "Soma, kita tidak dapat menggantung orang ini
sebelum memberi tahu gurunya. Aku perintahkan saat ini juga kau mengirim utusan
ke puncak Gunung Gede. Temui Sinto Gendeng. Ceritakan apa yang terjadi dengan
muridnya dan hukuman apa yang akan dijatuhkan Kerajaan atas dirinya!"
Soma
Kowara sampai ternganga mendelik, tak percaya mendengar kata-kata Pangeran tua.
"Pangeran,
saya tidak mengerti…"
"Soma,
ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti. kemelut besar akan melanda
Kerajaan kalau tokoh utama dunia persilatan Sinto Gendeng sampai tidak
diberitahu hukuman yang dijatuhkan Kerajaan atas diri muridnya.
"Pangeran
…"
"Kalau
kau tidak mau melaksanakan perintahku, apakah aku yang harus memerintah
langsung para perajurit untuk berangkat ke Gunung Gede …"
“Pangeran,
Gunung Gede jauh sekali dari sini. dengan berkuda, paling tidak membutuhkan
waktu lebih dari dua minggu porgi pulang. Belum tentu nenek itu ada di sana.
Lalu bagaimana dengan rakyat banyak yang begitu mencintai Raden Ayu dan ingin
manusia satu ini segera dihukum mati di tiang gantungan?
Bagaimana
kalau rakyat marah dan bertindak nekad menyerbu ke sini lalu menggantung
sendiri manusia terkutuk ini?"
"Soal
kecintaan rakyat pada cucuku, aku lebih tahu Dan rakyat Juga tahu kalau aku
mencintai dan menyayangi Ambarsari lebih dari siapapun di atas dunia ini. Aku
merasa lebih baik melepas sepuluh penjahat berdosa dari pada menghukum seorang
yang tidak bersalah. Laksanakan perintahku! Berapa lamapun waktunya, aku tetap
menunggu sampai Sinto Gendeng ditemukan dan datang ke sini!"
Tiba-tiba
di luar ruangan batu terdengar suara tawa perempuan cekikikan. Disusui ucapan.
"Mengapa
susah-susah pergi ke Gunung Gede mencariku. Aku sudah ada disini!"
"Kurang
ajar! Bagaimana orang luar bisa masuki Kemana para pengawal?!" Yang
berteriak marah adalah Soma Kowara. Perwira muda ini melompat ke pintu. Pada
saat yang sama dari luar berkelebat masuk satu bayangan hitam ke dalam ruangan,
langsung menabrak sang perwira.
Soma
Kowara terpental, menabrak dua perajurit dan pangeran tua hingga ke empat orang
itu sama-sama jatuh bergelimpangan di lantai batu! Pangeran tua berseru kaget,
Soma Kowara memaki keras.
***********************
10
TIGA
langkah dari ambang pintu ruangan batu dimana Pendekar 212 ditawan dan masih
dalam keadaan tertotok tak mampu bergerak, berdiri seorang nenek bungkuk
berkulit liat hitam, berbaju serta kain panjang hitam Kepaia yang ditumbuhi
rambut putih jarang ditancapi lima tusuk konde perak. Mata cekung berputar liar
Mulut kempot berkomat kamit.
Kalau
Pangeran Sena Wirapala, Soma Kowara dan dua perajurit sama-sama terkejut maka
Wiro berseru gembira.
"Eyang
Sinto!"
Si nenek
umbar tawa cekikikan.
"Anak
setan, kau tetap saja di tempatmu! Biar aku yang menyelesaikan urusan dengan
orang-orang keblinger ini!"
Wiro
menghela nafas lega namun tiba-tiba dia melihat ada beberapa kelainan pada diri
gurunya itu.
Sewaktu
terakhir bertemu di Godung Kadipaten Losari (baca episode sebelumnya berjudul
"Sang Pembunuh") Eyang Sinto mengenakan pakaian hitam baru dan bagus
serta berdandan mencolok. Saat itu dia muncul bersama kakek sakti kekasih
dimasa mudanya, kakek berjuluk Tua Gila. Kini si nenek kembali mengenakan
pakaian aslinya. Tetapi mengapa kain panjang hitam itu tidak basah dan menebar
bau pesingnya air kencing? Lalu Eyang Sinto juga tidak membekal tongkat kayu
butut yang selalu dibawanya kemana-mana. Di tangan kirinya Wiro malah melihat
si nenek memegang sebuah benda panjang putih yang bukan lain adalah suling
perak milik Loan Nio Nikouw yang tempo hari diberikan sang paderi kepada nenek
kembar jejadian dan si nenek kemudian memberikannya pada Wiro.
"Dimana
Eyang Sinto mendapatkan suling itu? Mungkin di tepi Kali Progo? pikir Wiro.
Kelainan
berikutnya yang dilihat sang murid, si nenek tidak mengunyah susur di mulutnya.
Lalu suara Eyang Sinto walau tetap melengking keras namun agak besar. Apa telah
terjadi perubahan dengan Eyang Sinto sejak pertemuannya dengan Tua Gila?
Pangeran
Sena Wirapala, diikuti Soma Kowara dan dua perajurit cepat berdiri. Sang
Perwira Muda setelah mendengus segera bergerak mendatangi si nenek. Tapi
Pangeran Sena Wirapala menahannya lalu melangkah maju dan menegur.
"Sinto
Gendeng, kau masih saja seperti dulul Bicara jorok ceplas ceplos! Selalu kurang
ajar dalam bertindak!"
Sinto
Gendeng plototkan mata. "Sena. seharusnya kau berterima kasih karena aku
sudah muncul di sini.
Tak perlu
mengirim utusan ke Gunung Gede. menghabiskan tenaga membuang waktu!"
“Itu
semua aku lakukan demi persahabatan kita di masa. lalu."
"Weh,
apakah sekarang ini kita tidak lagi bersahabat?" Sinto Gendeng memutus
ucapan orang. berdiri berkacak pinggang "Tentu, tentu saja kita tetap
masih bersahabat," jawab Sena Wirapala. "Aku benar-benar bersyukur
karena kau datang tepat pada waktunya. Sehingga apapun yang kami lakukan atas
diri muridmu dikemudian hari tidak akan membawa salah pengertian …"
"Begitu?"
ujar si nenek. Dia menatap ke arah Wiro yang sejak tadi terus menerus
memperhatikan dirinya “ Anak setan! Siapa yang menelanjangimu sampai setengah
bugil begitu rupa?"
"Aku
tidak tahu nek Waktu sadar keadaanku sudah begini," jawab Wiro Lalu dia
menambahkan. "Biar jelas kau tanyakan saja pada orang orang itu."
"Hemmm.."
Si nenek bergumam. Dia kedipkan mata lalu berpaling pada Pangeran tua."
Aku sempat mendengar pembicaraan kalian. Aku juga tahu semua kejadian! Karena
itu perihal muridku aku tidak akan banyak cerita Aku cuma mengeluarkan satu
ucapan. Bebaskan anak setan ini karena dia tidak punya salah tidak punya
dosa!"
"Enak
sekali bicaramu!" kata Soma Kowara. Walau dia sadar berhadapan dengan
seorang tokoh terkenal rimba persilatan namun Itu tidak mengurangi kenekatannya
untuk bicara keras. Apa lagi dia merasa berada di pihak yang benar dan membela
atasannya "Muridmu membunuh dan memperkosa Raden Ayu Ambarsari cucu
Pangeran Sena Wirapala. Dan kau minta kami membebaskan! Tua bangka edan! Pantas
kau disebut nenek gendeng!” Habis membentak dan memaki Perwira Muda itu tertawa
gelak-gelak seolah mengejek Sinto Gendeng.
"Perwira
jahanam! Jangan kau berani menghina guruku!" teriak Wiro marah.
Tapi Soma
Kowara tidak perduii ucapan orang. Dia terus saja tertawa gelak-gelak sampai
tubuhnya bergetar dan wajahnya merah keringatan.
Sinto
Gendeng berkomat kamit. "Suara tawamu enak didengar!" ucapnya.
"Apa aku boleh Ikutan tertawa? Hik… hik … hik!"
Si nenek
buka mulutnya lebar-lebar, sepasang mata melesak masuk ke dalam rongga yang
cekung.
Sesaat
kemudian dari mulut Sinto Gendeng mengumbar suara tawa bergelak luar biasa
keras. Suasana mendadak mencekam mengerikan. Suara tawa si nenek seolah
terdengar dalam satu rimba belantara, seram menggema. Membuat seantero ruangan
batu bergetar, pintu batu berderak. Lengkingan suara tawa membuat semua orang
yang ada di situ kecuali Wiro mendenging sakit telinga masing-masing. Luar
biasa, suara tawa yang begitu dahsyat mampu diarahkan pada empat dari lima
orang yang ada dalam ruangan.
Pangeran
tua Sena Wirapala, Soma Kowara dan dua perajurit merasa seperti ada angin panas
mencucuk masuk ke liang telinga mereka, menembus sampai ke otak! Empat orang
ini cepat tekapkan telapak tangan ke telinga masing-masing. Tapi tak ada
gunanya. Getar lengking tawa Sinto Gendeng terus menembus masuk ke dalam liang
telinga membuat mereka kesakitan setengah mati. Dua perajurit yang ada dalam
ruangan menjerit keras lalu roboh ke lantai dengan telinga kiri kanan kucurkan
darah Keduanya tewas dengan mata mendelik. Dari tempatnya duduk Pendekar 212
terheran-heran menyaksikan apa yang terjadi.
"Soma!
Hentikan tawamu!" teriak Pangeran Sena Wirapala.
"Tidakl
Jangan berhenti! Tertawalah terusl Tawamu enak didengar!" Teriak Sinto
Gendeng. Anehnya Perwira Muda itu benar-benar tertawa terus.
Sena
Wirapala melihat bahaya besar mengancam Soma Kowara cepat bertindak. Dia
melompat ke hadapan Perwira Muda itu, lancarkan dua totokan ke arah dada dan
tenggorokan. "Hekkk!"
Soma
Kowara keluarkan suara seperti orang dicekik Saat itu juga suara tawanya lenyap
Sekujur tubuh terasa lemas, melosoh jatuh, terduduk di lantai batu. Muka pucat
seputih kertas. Secara bersamaan suara tawa Sinto Gendeng juga sirap. Si nenek
masih tegak di depan pintu ruangan, tangan berkacak di pinggang.
Pangeran
Sena Wirapala turunkan kedua tangannya yang sejak tadi ditekapkan ke telinga.
Dia menatap ke arah Sinto Gendeng dengan pandangan heran. Hatinya berucap
"Ilmu Seribu Demit Tertawa Memecah Bumi. Aneh,! setahuku Sinto Gendeng
tidak memiliki ilmu kesaktian yang sangat berbahaya itu…"
"Sena
Wirapala. Aku sudah memberi peringatan. Apakah kau masih belum mau membebaskan
muridku?" Sinto Gendeng keluarkan ucapan.
"Aku
tidak mungkin melakukan hal itu. Muridmu punya dosa kesalahan besar. Rakyat
sudah mengetahui.
Tiang
gantungan sudah disiapkan" Jawab Pangeran tua pula.
Sinto
Gendeng ceiikkan mata lalu geleng-geleng kepala.
"Hukum
memang harus dijunjung tinggil Tapi tuduhan yang tidak beralasan namanya bukan
hukum! Satu petunjuk sudah cukup untuk membebaskan muridku anak setan itu! Dia
diserang dengan bunga tanjung.
Dia tidak
membekal senjata gila seperti itu. Lalu di kening cucumu menempel sekuntum
bunga yang sama!
Apakah
kau tidak bisa berpikir. Hanya menurutkan nafsu dendam karena kebetulan cucumu
yang dibunuh orang?!"
"Sinto.
terserah kau mau bilang apa. Tapi…."
"Dengar.
Aku bisa mencari petunjuk lain yang membuktikan anak setan Itu tidak memperkosa
cucumu, apa lagi membunuhnya."
"Petunjuk
dan bukti apa?" tanya Sena Wirapala.
"Sewaktu
kalian menangkapnya di tepi kali apakah kalian memeriksa anunya anak setan itu?
Apakah basah, ada lengket-lengketnya, mungkin juga ada darah. Atau anunya sama
sekail kering!" Wajah Pangeran Tua Sena Wirapala berubah merah.
"Ucapanmu
menjijikkan sekali!"
.
"Bisa begitul Aku yakin saat itu anunya anak setan itu daiam keadaan
kering Berarti dia tidak pernah memperkosa cucumu. Ada orang lain yang
melakukan. Orang ini yang membunuh cucumu. Lalu muridku yang dalam keadaan
pingsan dijejerkan di samping mayat cucumu. Bajunya ditanggalkan, celananya
diperosotkan."
"Kau
mengarang cerita busuk untuk menolong murid bejatmu itu!" tukas Sena
Wirapala.
Sinto
Gendeng menyeringai.
"Muridku
memang sableng! Tapi seumur hidup dia tidak pernah melakukan perbuatan keji
itu.
Memperkosa
dan membunuh korban yang diperkosanya! Ingat baik-baik Sena. Muridku bukan
manusia bejat seperti katamu!" Dua orang itu saling melotot satu sama
lain.
Si nenek
lanjutkan ucapannya "Sena Wirapala. Kau bilang kita masih bersahabat.
Kurasa tidak lagi. Karena kau tidak mempercayai ucapanku sebagal sahabat.
Sekarang aku mengajukan satu usul padamu. Lepaskan muridku, kau boleh
memenjarakan aku bahkan menggantung diriku sebagai gantinya!"
"Tidak
mungkin Sinto. Siapa yang salah itulah yang dihukum. Siapa yang berdosa dialah
yang digantung!" jawab Sena Wirapala.
"Nek,
tua bangka ini keras kepala. Otaknya terbuat dari batu hingga tak mampu
berpikir jernih! Hatinya terbuat dari tanah lempung hingga tak punya
nurani!-" Wiro berkata dari tempatnya terduduk kaku.
"Sinto,
aku tak bisa melayanimu berlama-lama. Silahkan kau meninggalkan tempat
ini." Sena Wirapala memberi Isyarat dengan gerakan tangan agar si nenek
meninggalkan ruangan itu.
"Dengan
senang hati aku akan pergi. Tapi jika aku pergi, anak setan Itu harus ikut
bersamaku!" Ucap Sinto Gendeng pula.
"Lakukanlah
jika kau mampu!" tantang Sena Wirapala.
Sinto
Gendeng tertawa.
"Sena,
kau rupanya masih belum tahu siapa sobat lamamu ini. Dengar, sebelum masuk ke
sini aku sudah membuat retak bagian luar atap ruangan ini. Sekali aku
menghantam atap ruangan akan jebol dan air Kali Opak akan melanda masuk ke
tempat ini. Mudah-mudahan kau bisa menyelamatkan diri."
Pangeran
Sena Wirapala tersentak kaget Berteriak marah dan menyerbu ke arah Sinto
Gendeng.
Didahului
tawa panjang bergelak Sinto Gendeng sabetkan suling perak di tangan kiri Satu
sinar putih perak menyilaukan menyambar ke arah Pangeran Tua Sena Wirapala.
Sambil menghindar sang Pangeran balas menghantam dengan pukulan maut yang
disebut Di Dalam Gelap Menggusur Gunung. Selarik angin dahsyat laksana topan
menerpa ke arah Sinto Gendeng.
Namun
nenek sakti dari Gunung Gede itu telah berkelebat lenyap Sosoknya melayang
menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu sambil melesat ke arah atap ruangan
batu dia tusukkan suling perak ke atas.
Selarik
cahaya putih perak berkiblat Atap ruangan batu jebol.
Terdengar
suara bergemuruh ketika air bah mencurah masuk. Sinto Gendeng berteriak keras
lalu melesat ke atas sambil memanggul muridnya. Sesaat tekanan air bah membuat
gerakannya menembus ke atas tertahan. Tubuhnya mengapung di udara. Si nenek
berteriak sekali lagi dan lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Wusss!"
Sosok
guru dan murid lenyap di lobang besar yang dibanjiri air Kali Opak.
***********************
11
EYANG,
kita sudah jauh meninggalkan Kotaraja. Mengapa tidak mencari tempat
berhenti." Wiro yang berada di atas panggulan Sinto Gendeng berkata.
"Anak
setan! Kau diam sajalah. Ada satu tempat yang aman dan bagus di puncak bukit
sana!" jawab Sinto Gendeng seraya membelok memasuki sebuah hutan kecil.
Sekeluarnya dari hutan ada sebuah bukit kecil.
Di puncak
bukit terdapat sebuah candi yang masih baik keadaannya namun penuh diselimuti
lumut tanda tidak terawat dan jarang didatangi orang.
"Nek,
aku berterima kasih kau telah menolongku dari orang-orang gila itu ….”
"Kau
juga gila. Kalau tidak gila pasti tidak terlibat segala macam urusan keblinger
itu. Pasti cucu Pangeran itu cantik wajahnya. Kalau jelek kau mana bakalan mau
menolong. Karena mata keranjang Sekarang kau rasakan sendiri akibatnya.
Digebuki orang. Untung tidak bonyok…"
"Kau
tidak tahu asal muasal kejadiannya, nek."
"Sudah!
Jangan bicara lagi!" Sinto Gendeng tampak kesal.
“Nek…"
"Apa
lagi?! Apa kau tak bisa mengancing mulutmu barang sebentar?!"
"Anu
nek. Aku lihat kain panjangmu tidak lepek oleh air kencing. Tubuh dan pakaianmu
tidak bau pesing.
Apa
penyakit ngompolmu sudah sembuh?!" Wiro kembali membuka mulut bertanya.
Diam saja
dulu! Nanti di candi sana kita bicara! Aku sudah capek memanggulmu. Kalau kau
terusterusan membuat aku jengkel, aku lempar kau ke tanah, baru rasa!"
Wiro
diam. Tapi sejak tadi mulutnya masih gatal mau bertanya.
"Nek.
kau dapat dari mana suling perak itu?"
"Dasar
anak setani Disuruh diam malah nyerocos bertanya terus!"
Sinto
Gendeng akhirnya sampai di candi di atas bukit. Wiro didudukkan di anak tangga
sebelah atas.
disandarkan
ke tiang candi. Sang murid pandangi gurunya mulai dari kepala sampai ke kaki.
"Nek…."
"Hussl
Apa kau tak bisa menutup mulutmu! Apa perlu aku sumpal dengah tanah?! Aku harus
melepaskan totokan di tubuhmu lebih dulu. Agar kau bisa menggerakkan kaki dan
tangan…"
"Juga
agar bisa kentut" sambung Wiro agak jengkel terus-terusan dibentak.
"Aku disekap di tompat celaka i bawah Kali Opak itu sekitar dua hari.
Tidak diberi makan tidak diberi minum. Perutku kembung kemasukan angin. Tapi
tidak bisa kentut! Aku haus, lapar nek…"
Sinto
Gendeng tidak perdulikan ucapan Wiro Dia meneliti tubuh muridnya namun tak
berhasil melihat tanda di mana pemuda itu ditotok.
"Nek.
waktu kakek yang dipanggil Pangeran itu melepas totokan yang membuat aku
kembali bisa bicara, dia menotok ubun ubunku. Batok kepalaku mengeluarkan
asap" Wiro memberi tahu.
"Begitu
… ? Ilmu totokan apa itu?" ujar Sinto Gendeng sambil berpikir-pikir.
"Hemm aku tahu. Kalau untuk melepas totokan yang membungkam suaramu Sena
Wirapala menotok ubun-ubun di batok kepalamu, berarti untuk melepas totokan
yang membuat kau tak bisa bergerak aku harus menotok ubun-ubun di
pantatmu!"
“Nek. apa
maksudmu?" tanya Wiro.
“Aku
harus menotok lobang anusmu! Kau harus kubuat menungging dulu. Nanti aku totok
anusmu dengan ranting kayu! Celanamu harus aku buka…"
"Nek!’
Wiro berseru kaget. "Aku tidak pernah mendengar cara memusnah totokan
seperti itu. Kau jangan macam-macam nek!"
Sinto
Gendeng berdiri di hadapan Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Membuat sang murid
jadi tambah heran.
"Nek,
tingkahmu aneh."
"Apa
kau tidak tahu kalau dari dulu aku memang aneh?"
"Aku
tahu. TapiWiro terdiam, berpikir sejenak. Waktu di dalam ruang batu tempat aku
ditawan. Kau mengeluarkan ilmu aneh Tertawa bergelak yang bisa membuat dua
perajurit tewas. Perwira Muda pingsan dan Pangeran tua kesakitan setengah mati.
Aku tidak tahu kalau kau memiliki ilmu hebat itu. Ilmu apa itu namanya
nek?"
"Perlu
apa kau bertanya! Rupanya kau minta diajari ilmu itu?" tanya Sinto Gendeng
pula.
"Tidak
nek. Maksudku kau tidak seperti biasanya…"
Sinto
Gendeng kembali tertawa.
"Tongkat
bututmu mana nek?"
"Aku
kelupaan membawanya."
‘Kekasihmu
kakek berjuluk Tua Gila Itu kau tinggal dimana?" tanya Wiro lagi.
Sinto
Gendeng menyeringai Akhirnya sambil mengusap muka dia berkata
‘Anak
setan Kau menyelidiki diriku sambil memancing! Hik … hik … hik! Aku memang
sudah gerah menyamar seperti ini. " Si nenek mengusap wajahnya dua kali
lalu saat itu juga tubuhnya berubah samar.
Ketika
tubuh itu menjadi jelas kembali keadaannya sudah berubah. Yang berdiri di depan
Wiro bukan lagi sang guru Eyang Sinto Gendeng. tapi seorang nenek berjubah
kuning, rambut kelabu mata merah.
Telinganya
dicantel anting-anting terbuat dari tulang manusia.
"Kau’"
seru Wiro.
"Memangnya
kau kira siapa?! Hik… hik… hik!" ucap si nenek yang bukan lain adalah
kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tiiu, lalu tertawa cekikikan.
"Gila.
Samaranmu nyaris sempurna, nek! Tapi aku sudah curiga sejak di ruangan batu
kalau kau bukan guruku benaran. Bagaimana kau bisa sampai ke Kotaraja dan tahu
aku ditawan orang, mau digantung Berarti setelah berpisah dengan Loan Nio
Nikouw kau terus-terusan mengikutiku!" Si nenek tertawa lagi.
"Aku
memang mengikutimu. Kupikir kau pasti menuju Gunung Gede. Tapi di tengah jalan
aku kehilangan Jejakmu. Sekitar dua minggu kemudian setelah kita berpisah, pagi
dua hari lalu aku menemukan suling perak yang kuberikan padamu tempo hari di
tepi anak Kali Progo. Juga kutemui bajumu di sana. Ketika pagi tadi aku
memasuki Kotaraja, aku mendengar kabar tentang kematian Raden Ayu Ambarsari.
Gadis cucu Pangeran Sena Wirapala itu katanya diperkosa dulu baru dibunuh. Aku
Ikuti cerita orang banyak. Kabarnya si pembunuh sudah tertangkap dan ditawan di
satu tempat. Siap digantung dalam satu dua hari mendatang. Ciri-ciri si
pembunuh sama dengan dirimu. Aku berusaha mencari tempat dimana kau ditawan.
Aku berhasil menemui tempat itu. Sebuah bangunan batu di bawah Kali Opak Aku
coba menyusup. Ternyata memang kau yang ditawan di tempat itu. Aku sempat
mendengar semua pertanyaan yang diajukan Pangeran tua. Juga mendengar jawabanmu
"Waktu
aku dipukuli, kau Juga tahu?" tanya Wiro.
"Ya,
aku melihat dari luar pintu."
"Mengapa
kau tidak menolong?" tanya Wiro jadi jengkel
"Aku
pikir ada baiknya kau digebuki orang begitu rupa. Agar dikemudian hari kau
tidak lagi suka usil, tidak mata keranjang. Hik… hik… !"
"Brengsek!"
Wiro memaki, wajah bersungut.
"Aku
tahu Pangeran Sena Wirapala berkepandaian tinggi. Aku keluar dulu menyusun siasat.
Bagian atap ruangan batu tempat kau ditawan aku buat retak. Lalu aku masuk
kembali. Cerita selanjutnya kau sudah tahu."
"Kau
hebat nek. Aku benar-benar berterima kasih."
Kata Wiro
pula. "Nek, apa benar untuk membebaskan totokan ditubuhku kau harus menotok
anusku …?"
Mahluk
jejadian kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa cekikikan. Pemuda
tolol" ujar si nenek. "Kau mau saja aku kibuli. Hik..h!k… hik. Aku
mau periksa lagi di bagian mana kau ditotok pangeran tua itu." Perempuan
tua bermata merah ini memperhatikan kepala, wajah, leher, bahu terus dada dan
bagian perut Wiro. Lalu meneliti kedua kakinya. Dia menggeleng beberapa kali.
"Aku tidak menemukan tandatanda.
Satu-satunya
bagian tubuhmu yang belum aku periksa adalah bagian bawah pusar yang tertutup
celana."
"Ah,
pasti kau mau mempermainkan aku lagi nek!" kata Wiro.
Si nenek
menggeleng. "Kali ini aku tidak main-main. Menurut Pangeran Sena, waktu
kau ditemukan dalam keadaan pingsan, kau tidak mengenakan baju. Celanamu
merosot ke kaki. Aku merasa pasti, totokan itu dilakukan orang di bagian bawah
pusarmu. Mungkin totokan Itu di sebelah belakang, tapi aku lebih punya dugaan
di sebelah depanl Karena di situ terletak jalan darah dan urat-urat serta
syaraf paling peka." Si nenek diam sejurus lalu berkata. "Aku harus
membuka celanamu!"
"Wah
Jangan nek!" ucap Wiro. "Aku tahu kau orangnya suka jahil. Mungkin
sebenarnya bukan di bawah pusar yang di totok. Kau cuma mau melihat anuku! Kau
mencari kesempatan dalam kesempitan."
Si nenek
tertawa terkekeh-kekeh. "Apa yang sempat? Apa yang sempit? ujarnya. Lalu
dia bertanya.
"Coba
kau katakan, cara bagaimana aku harus menolongmu?"
"Diraba
saja dari luar nek," kata Wiro pula.
"Kalau
salah meraba, saiah menotokl Kau mau tanggung akibatnya?"
"Aku
tanggung nek!" jawab Pendekar 212.
"Kau
tidak takut? Tidak menyesal?!"
"Tidak
nek!"
"Bagaimana
kalau kantong menyanmu nanti melembung sebesar kelapa?!"
"Biar
saja nek. Yang penting totokan ditubuhku bisa musnah dulu."
"Baik.
Tapi bagaimana kalau nanti perabotanmu yang lain yang berubah ciut jadi sebesar
cacing?!" tanya si nenek lagi.
"Aahhhf
Kau menakut-nakuti aku terus-terusan nek!"
Nenek
kembar jejadian melangkah mundar mandir. Dia jadi bingung sendiri. Tiba-tiba
dia hentikan langkah.
"Aku
ingat sesuatu!" ucap si nenek.
"Apa?!"
"Bukankah
kau punya ilmu kesaktian yang bisa melihat satu benda di kejauhan atau benda
yang terhalang benda lain? Kau bisa mempergunakan Ilmu itu. Menembus celana dan
melihat bagian auratmu yang tertotok."
"Kalau
aku mampu mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke mata. sudah
sejak tadi tadi aku lakukan. Tapi sialnya totokan celaka itu membuat aku tidak
mampu mengerahkan tenaga, dalam dan mengalirkan hawa sakti
"Ah,
celaka benar nasibmu." Kata si nenek.
Wiro
ingat kejadian sewaktu dia harus memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis
Empat Mata Angin yang pernah dirobahnya dengan mempergunakan ilmu Menahan Darah
Memindah Jazad. (Baca serial Wiro Sableng episode berjudul "Sang
Pembunuh") Saat itu dia berada dalam keadaan tiada daya akibat menghirup
Racun Inti Bumi yang ditebar oleh Raja Racun Bumi Langit. Untuk mengeluarkan
ilmu kesaktian yang didapatnya dari seorang sakti di Latanahsilam itu Wiro
harus memiliki tenaga dalam. Untung saat itu Nyi Roro Manggut, nenek sakti dari
pantai selatan mau meminjamkan dan mengerahkan tenaga dalamnya masuk ke tubuh
Pendekar 212 hingga murid Sinto Gendeng itu berhasil menolong Pengemis Empat
Mata Angin.
"Nek,
apakah kau bisa mengalirkan tenaga dalammu ke tubuhku. Dengan mengandalkan
tenaga dalam itu aku bisa mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat di
bagian mana tubuhku kena totok.”
"Caranya?"
balik bertanya si nenek
"Kau
bisa memegang dua tanganku, atau yang lebih baik menempelkan dua telapak tangan
di punggung lalu mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti."
Lama si
nenek terdiam.
"Cara
seperti itu tak mungkin aku lakukan…"
"Tidak
mungkin atau kau tidak mau menolong" tanya Wiro.
"Kalau
aku katakan terus terang, kau tidak akan percaya. Kau akan menuduhku jahil.
Mencari kesempatan dalam kesempitan."
"Memangnya
kenapa? Memangnya cara kau memindahkan tenaga dalam bagaimana?" Wiro
merasa heran.
Si nenek
menggeleng. "Sudahlah." katanya. "Kita cari saja orang lain yang
bisa menolongmu. Kau tinggal menyebutkan orangnya, dimana beradanya dan aku
akan membawamu menemuinya."
Wiro
heran mengapa mahluk jejadian yang berilmu tinggi itu tidak mau menolongnya.
"Aku
tidak akan pergi dari tempat Ini sebelum kau memberi tahu mengapa kau tidak mau
menolongku."
"Bukan
tidak mau menolong. Tapi "Kita sudah lama bersahabat. Aku sudah banyak
menerima, budi darimu. Sekarang kau ."
Baik,
baik… Aku akan katakan padamu. Tapi jangan kau menuduh yang bukan-bukan. Jangan
berpikiryang bukan-bukan"
"Kau
ini aneh, nek. Tapi baiklah. Aku berjanji tidak akan menuduhmu yang
bukan-bukanl Tidak akan berpikir yang bukan-bukan." kata Wiro pula.
Si nenek
mengusap wajahnya beberapa kali baru berkata
"Bagi
mahluk biasa tenaga dalam dan aliran hawa sakti berpusat pada pusar. Tapi bagi
mahluk jejadian seperti diriku letak pusat tenaga dalam dan kesaktian itu bukan
di pusar. Karena kami tidak punya pusar."
Nenek ini
lalu membuka bagian tengah jubah kuningnya hingga perutnya tersingkap. Murid
Sinto Gendeng jadi melongo melihat perut keriput tak berpusar.
"Kalau
begitu, dimana letak pusat kekuatan tenaga dalam dan kesaktlanmu, nek?"
bertanya Wiro.
Si nenek
menatap Wiro. Tanpa berkesip dia menjawab. "Pada dua puting susuku."
"Hah
Apa?ln WIro lalu tertawa gelak-gelak
Ingat,
kau sudah berjanji tidak akan menuduh dan berpikir yang bukan-bukan."
"Ya
… yal Kalau tenaga dalam dan kesaktianmu terletak pada puting susumu, lantas
bagaimana caranya kau memindahkan tenaga dalam?"
Si nenek
masih menatap tak berkesip.
"Asal
kau memang ihklas, aku bersedia memegang dua susumu.
Dan kau
lalu mengalirkan tenaga dalam serta hawa sakti."
"Tidak,
aku tidak bisa memindahkan tenaga dalam dan hawa sakti dengan cara seperti
itu."
"Jadi?"
"Kau
harus menghisap dua pentil susuku sekaligus!" Menerangkan si nenek.
Kalau
saja tidak dalam keadaan kaku kedua tangan dan kakinya mungkin saat itu
Pendekar 212 Wiro Sableng telah melompat saking kagetnya. Akhirnya Wiro cuma
bisa tertawa. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras bergelak. Wiro mungkin
belum akan berhenti tertawa kalau tiba-tiba dari dalam candi tidak terdengar suara
orang berucap lembut tapi jelas.
"Hidup
ini memang satu keanehan Di dalam susah ada tawa. Di dalam kesulitan ada
penghiburan."
Begitu
ucapan berakhir di dekat Wiro dan nenek jubah kuning telah berdiri seorang
pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat secarik kain merah.
Beberapa bagian baju dan celana dihias sulaman benang emas dan perak. Pemuda
ini berkumis kecil, memelihara janggut dan cambang bawuk tipis rapi.
Belum
sempat Wiro dan si nenek menanyakan siapa adanya dia. si pemuda berkata.
"Sahabat
yang sedang kesusahan. Jika kau bersedia, dengan ilmuku yang bodoh aku mungkin
bisa melepas totokan di tubuhmu. Sejak kalian datang aku sudah ada di dalam
candi. Harap dimaafkan kalau aku tak sengaja mendengar semua pembicaraan
sahabat dan nenek ini."
"Kau
bisa menolong sahabatku ini?" tanya nenek kembar jejadian.
"Jika
kau mengizinkan dan yang punya diri mau ditolong."
"Sahabat,
kalau kau memang mampu menolong, aku berserah diri." Kata Wiro pula.
"Terima
kasih, kau mau mempercayaiku…" Pemuda berpakaian hitam lalu membaringkan
Wiro menelentang di lantai candi. Si nenek mengawasi.
"Harap
maafkan, aku harus menyentuh auratmu di bagian yang ditotok…" Kata pemuda
berpakaian hitam.
Lalu
tangan kanannya menyusup ke bawah celana Pendekar 212. Wiro merasa jari-jari
tangan mengusap permukaan kulit kira-kira setengah jengkal di bawah pusar
Terasa dingin. Hawa sejuk kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda yang
menolong menggerakkan tangan dan kaki Wiro beberapa kali.
"Sahabat
kau sekarang bisa menggerakkan tangan dan kakimu sendiri. Cobalah."
Wiro
gerakkan tangan kiri kanan. Angkat kedua kaki. Ternyata dia benar-benar mampu
melakukan.
"Luar
biasai Sahabat aku berterima kasih padamu!"
"Cobalah
bangun dan berdiri." Kata pemuda yang menolong.
Wiro
bukannya bangun tapi melompat dan dilain saat dia sudah berdiri di hadapan
pemuda berpakaian serba hitam. Membungkuk dalam-dalam dan mengucapkan terima
kasih berulang kali.
Si nenek
tertawa gembira, menepuk-nepuk bahu orang seraya bertanya. "Pemuda hebat,
kalau kami boleh tahu siapakah gerangan kau adanya?"
"Aku
hanya seorang yang kebetulan lewat di sini. Karena capai dan matahari bersinar
terik, aku masuk ke dalam candi. Aku gembira totokan di tubuhmu sudah musnah.
Karena ada keperluan lain. aku mohon diri lebih dulu. DI lain waktu
mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi."
"Tunggu,
kau belum memberi tahu nama" kata Wiro namun seperti ditelan bumi pemuda
tadi lenyap di samping candi. Wiro dan si nenek mengejar. Pemuda itu tak
kelihatan lagi. "Orang sakti berbudi tinggi, selalu merendah diri seperti
itu…" ucap si nenek.
"Ilmunya
luar biasa. Kalau dia tidak menolong…" Ingin tahu Wiro membelakangi si
nenek lalu turunkan celananya di bagian depan untuk melihat bagian tubuhnya di
bawah pusar yang tadi disentuh. Dia terkejut ketika melihat di bawah pusar itu
menempel sekuntum bunga tanjung putih kekuningan.
Ketika
bunga tanjung itu hendak diambilnya tiba-tiba rasa panas menyengat batok
kepalanya. Wajah serasa dipanggang api. Sekujur tubuhnya panas membara. Dalam
keadaan seperti itu entah bagaimana sekilas Wiro ingat pada Raden Ayu
Ambarsari.
"Orang
itu …" Wiro menunjuk ke arah lenyapnya pemuda berpakaian hitam tadi
sementara dua kakinya tampak goyah dan tubuhnya oleng. "Dia … dia yang
mengejar Ambarsari. Dia manusia bernama Cakra yang …."
Murid
Sinto Gendeng tidak sanggup menyelesaikan ucapan. Dari mulut menyembur darah
kental.
Tubuhnya
tergelimpang di tanah, menggeliat beberapa kali lalu tak berkutik lagi.
Nenek
kembar jejadian menjerit kaget. Dia cepat membalikkan Wiro hingga tertelentang.
Dia melihat wajah sang pendekar merah sekali. Bibir membiru.
"Racun
jahat!" ucap si nenek. Lalu dua tangannya kiri kanan bergerak cepat
menotok dua belas urat besar jalan darah di sekujur tubuh Wiro. Ketika dia
menyibakkan celana Wiro dan melihat bunga tanjung yang menempel dibawah pusar,
si nenek segera mengambil bunga itu, meremasnya hingga hancur Lalu dengan ibu
jari tangan kanannya dia menekan kuat-kuat bagian bawah pusar dimana bunga
tanjung tadi menempel.
"Dess…
dess… dess!"
Terdengar
tiga letupan kecil disertai buntalan asap biru. Si nenek menjerit keras. Dari
bagian bawah perut Wiro keluar satu kekuatan hawa aneh, menyambar ke bagian
bawah perut si nenek hingga perempuan jejadian itu terpental lalu terbanting
jatuh di tanah. Mukanya yang keriput tampak merah sementara bibirnya
kebiru-biruan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment