Senandung Kematian
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
“Aku tahu
keris pusaka itu ada padamu!” kata Wiro. “Otakmu culas! Mulutmu busuk! Kalau
kau menuduh aku memiliki keris itu, silahkan ambil sendiri!” kata Damar Wulung.
Tiba-tiba Sutri Kaliangan melompat ke hadapan Damar Wulung. “Atas nama Kerajaan
aku harap kau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!” Damar Wulung tertawa
bergelak “Ini satu lagi gadis sesat kena tipu daya Pendekar Sableng! Aku
menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan. Jika kau mau berlaku adil,
mengapa tidak menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan Kerajaan?!” “Aku
tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek padaku!”
bentak Sutri. “Ha….ha! Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang
jatuh cinta pada Pendekar Geblek itu!” “Sreett!” Sutri Kaliangan keluarkan
pedangnya dari dalam sarung.
***********************
SATU
Puncak
Gunung Gede tampak berdiri gagah dan indah, hijau kebiruan di bawah siraman
sinar sang surya. Walau sinar itu cukup terik tapi di atas gunung udara terasa
sejuk. Dari puncak gunung kemanapun mata diarahkan, terbentang pemandangan yang
indah. Namun semua keindahan itu tidak terlihat, bahkan tidak terasa oleh tiga
orang gadis cantik yang saat itu di arah timur puncak gunung.
Di satu
pedataran, tak jauh dari sebuah pondok kayu, tiga orang gadis duduk bersimpuh
mengelilingi sebuah kubur. Hanya beberapa tombak di sebelah kiri terlihat pula
sebuah makam yang masih merah tanahnya, ditancapi papan nisan bertuliskan :
“DI SINI
BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG.”
Tiga gadis
seperti tenggelam dalam kesedihan tapi juga dendam amarah. Sebelumnya rombongan
mereka berjumlah empat orang. Mereka dalam perjalanan ke Gunung Gede untuk
menyelidik makam ketiga dalam usaha mencari Pendekar 212 Wiro Sableng yang
mereka cintai. Di satu tempat hujan lebat turun menghalangi. Rombongan terpaksa
berhenti. Menjelang dini hari sewaktu hujan reda dan mereka siap melanjutkan
perjalanan mendaki gunung, mendadak diketahui bahwa salah satu dari mereka
yakni gadis jelita dari Andalas, cucu Tuga Gila yang dikenal dengan nama Puti
Andini, bergelar Dewi Payung Tujuh lenyap tak diketahui ke mana perginya.
Tiga
gadis yakni Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini mencari
habis-habisan, bahkan kemudian menunggu sambil mengharap Puti Andini akan muncul.
Tapi sampai sang mentari menyembulkan diri gadis itu tak kunjung datang. Tak
mungkin menunggu dalam ketidak pastian, tak ada waktu menanti lebih lama,
akhirnya tiga gadis melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede tanpa Puti
Andini.
Di arah
timur puncak gunung, Bidadari Angin Timur dan kawan-kawannya menemukan pondok
kediaman Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Pondok kosong.
Dari keadaan luar dan bagian dalam jelas pondok itu tak pernah dihuni sejak
lama. Tiga gadis melanjutkan penyelidikan. Di satu pedataran tak jauh dari
pondok kayu mereka menemukan sebuah makam bertanah merah. Inilah makam ketiga
yang tengah mereka cari dan selidiki. Namun mereka bukan cuma menemukan makam
jahanam itu, tetapi juga satu pemdangan yang sangat keji menusuk mata. Tiga
gadis sempat menjerit keras, jatuh berlutut, bertangisan. Kalau saja mereka
bukan gadis-gadis gagah yang memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan seperti
itu pasti telah roboh pingsan!
Di
belakang kepala makam yang ada papan nisannya, menancap sebuah tiang besar. Di
tiang inilah sosok kawan mereka Puti Andini, berada dalam keadaan terikat.
Pakaiannya penuh robek, bagian tubuhnya yang tersingkap penuh luka. Darah di
mana-mana, mulai dari kepala sampai kaki. Puti Andini mereka temukan dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Jenazah gadis malang itu segera diturunkan dari
tiang, diurus sebisanya lalu dikuburkan di salah satu bagian halaman.
Kesunyian
mencekam. Sesekali terdengar suara siuran angin dan daun-daun atau reranting
yang bergesek.
Untuk beberapa
lamanya tiga orang gadis itu duduk bersimpuh di depan tanah merah makam Puti
Andini. Tak ada yang bicara sampai akhirnya Anggini membuka mulut. Suaranya
bergetar.
“Sahabatku
Puti Andini. Aku bersumpah untuk mencari siapa yang telah berlaku keji terhadapmu.
Aku bersumpah membalaskan sakit hati kematianmu.”
Ratu
Duyung ulurkan tangan kanannya. Memegang tanah makam lalu berkata “Aku Ratu
Duyung, ikut bersumpah untuk membalaskan dendnam kematian sahabat Puti Andini.”
“Membalaskan
sakit hati dendam kesumat sahabat kita memang merupakan satu kewajiban. Namun
kita tidak boleh larut terlalu lama.” Berkata Bidadari Angin Timur. Matanya
kelihatan bengkak dan merah. Rambutnya yang pirang acak-acakan. Pakaian kotor
penuh tanah. Dua temannya tidak lebih baik dari keadaannya. “Kita harus
melakukan sesuatu!”
Bidadari
Angin Timur berdiri, berpaling ke arah makam yang ada papan nisannya lalu
berkata “Saatnya kita menyelidik. Saatnya kita membongkar makam itu. Siapkan
peralatan! Apa saja! Kayu, potongan bambu, pecahan batu!”
Ratu
Duyung dan Anggini segera pula berdiri.
“Tidakkah
kita lebih baik menunggu, siapa tahu Eyang Sinto Gendeng pemilik kawasan ini
muncul? Hingga kelak nanti kita tidak dituduh berlaku gegabah melakukan sesuatu
tanpa ijin di tempatnya?” yang berkata adalah Ratu Duyung sambil berpaling pada
Anggini seolah minta pertimbangan atas ucapannya tadi.
“Maksudmu
baik, tapi jangan lupa. Waktu kita tidak banyak,” menyahuti Bidadari Angin
Timur. “Selain itu salah seorang dari kita telah jadi korban. Dan kita telah
menguburkannya di tempat ini tanpa ada kemungkinan untuk meminta ijin pada
pemilik kawasan ini. Kemudian, bukan mustahil, malah aku yakin saat ini diri
kita juga tengah diintai bahaya! Kalau lambat bertindak kita semua bisa celaka!
Selain itu kita harus segera mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi
dengan Pendekar 212. Walau nenek muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati itu
bilang telah bertemu dengan Wiro yang menyatakan bahwa pendekar itu masih
hidup, tapi itu tidak boleh menghambat kita untuk menghentikan penyelidikan.”
Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur melangkah mendekati makam berpapan
nisan, yakni makam ketiga dari serangkaian kejadian aneh yang dialami para
gadis cantik itu sejak beberapa waktu belakangan ini.
“Kawan-kawan,
apakah kalian ada menaruh duga siapa kiranya manusia durjana yang telah
membunuh Puti Andini?” Anggini, murid Dewa Tuak yang oleh sang guru pernah
ingin dijodohkan dengan Wiro keluarkan ucapan.
“Sebelum
dibunuh, Puti Andini telah diperlakukan secara mesum…..”kata Anggini dengan
suara perlahan. “Aku ingin sekali mengetahui siapa manusia laknat terkutuk
itu!”
Bidadari
Angin Timur mendongak, pejamkan mata. Dia ingat keterangan Puti Andini apa yang
telah diucapkan dan dilakukan Damar Wulung atas dirinya sewaktu mereka berada
di kuil. Gadis ini usap rambutnya yang pirang, membuka matanya kembali lalu
berkata.
“Dugaan
bisa banyak. Tapi aku menaruh wasangka, pemuda bernama Damar Wulung itulah yang
telah melakukan kekejian ini. mungkin sekali dia masih penasaran karena tidak
berhasil mencelakai Ratu Duyung. Malam tadi agaknya dia tidak memilih-milih.
Siapa saja yang didapat itu yang dicelakainya. Dan Puti Andini bernasib malang.
Dia yang jadi korban!” Bidadari Angin Timur menghela nafas panjang. “Sudah,
kita tak perlu banyak bicara. Saatnya membongkar makam!”
“Tunggu!
Ada satu hal ingin kukatakan!” Ratu Duyung tiba-tiba berkata.
“Apa?”
Bidadari Angin Timur dan Anggini bertanya hampir berbarengan.
“Sewaktu
jenazah Puti Andini kita urus dan kita kebumikan, aku sempat memeriksa.
Bukankah sahabat kita ini membekal sebilah pedang mustika sakti?”
“Benar!”
Bidadari Angin Timur membenarkan ucapan Ratu Duyung.
“Tapi
senjata itu tidak ada padanya…..” berucap Ratu Duyung.
Bidadari
Angin Timur terdiam, tidak menunjukkan rasa terkejut. Ini membuat heran dua
gadis lainnya. Namun keganjilan itu segera tersingkap sewaktu dara berambut
pirang itu berkata “Terus terang, aku sendiri sebenarnya juga memeriksa jenazah
Puti Andini. Kau benar Ratu Duyung. Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada Puti
Andini.”
“Berarti
ada yang mencuri!” ujar Anggini.
“Aku
yakin sekali si pencuri adalah juga si pembunuh Puti Andini. Benarbenar
biadab! Sangat kurang ajar!”
Bidadari
Angin Timur kepalkan tinjunya. Diam sesaat dalam geram tiba-tiba Bidadari Angin
Timur berkata “Aku ingat sesuatu. Pedang sakti itu, bukankah senjata itu
mempunyai satu keanehan? Tidak sembarangan orang bisa menyentuhnya. Konon hanya
seorang gadis yang masih suci yang bisa memegang senjata itu. Lalu si pemegang
juga harus tidak memiliki niat jahat. Ingat peristiwa beberapa waktu lalu?
Eyang Sinto Gendeng pernah hendak menguasai Pedang Naga Suci 212. Tapi telapak
tangannya yang memegang pedang hangus melepuh!”
“Kalau
begitu yang mencuri senjata tersebut adalah seorang gadis!” kata Anggini.
Pandangan matanya ditujukan berganti-ganti pada Bidadari Angin Timur dan Ratu
Duyung.
Melihat
cara memandang Anggini, Bidadari Angin Timur merasa tidak enak lalu berkata
“Sahabatku Anggini, jangan menduga yang bukan-bukan. Aku tidak mencuri pedang
sakti itu!”
“Aku juga
tidak!” berkata Ratu Duyung.
“Demikian
pula aku!” ujar Anggini. Sambil tersenyum dia bertanya “Lalu siapa yang
mengambilnya?”
Tak ada
yang menjawab.
Anggini
membuka mulut kembali. “Mungkin aku keliru. Tapi salah satu di antara kita
telah mengambil pedang itu. Bukankah senjata sakti itu berbentuk gulungan
seperti gulungan ikat pinggang. Jadi mudah saja menyembunyikannya.”
Wajah
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung menjadi merah. Dengan menahan amarah
Bidadari Angin Timur berkata “Anggini, ucapanmu sungguh lancang! Dalam keadaan
seperti ini jangan sampai terjadi perpecahan di antara kita. Kau seolah menuduh
salah satu dari kami berdua yang mencuri sementara kau sendiri suci dari
perbuatan mencuri!”
Anggini
tersenyum. Dipegangnya tangan Bidadari Angin Timur seraya berkata “Maafkan
ucapanku. Tidak ada maksud di hatiku menuduh kalian…..”
“Aku
tetap yakin sipencuri adalah orang yang membunuh Puti Andini,” kata Bidadari
Angin Timur. “Besar kemungkinan dia seorang perempuan yang masih suci. Tapi
saat ini untuk sementara kita lupakan dulu pedang mustika itu. Kita harus
segera membongkar makam ketiga ini.”
Tanpa
banyak bicara lagi di bawah pimpinan Bidadari Angin Timur, dengan peralatan
seadanya, antara lain nisan papan bahkan tak jarang mempergunakan tangan mereka
yang halus, tiga gadis itu segera membongkar makam ketiga. Ini bukan pekerjaan
gampang, tapi dibanding dengan menggali kubur untuk Puti Andini tadi,
membongkar makam terasa lebih gampang dan lebih cepat. Apa lagi mereka
mempergunakan tenaga biasa maka dalam waktu singkat makam telah terbongkar
sampai sepertiga kedalamannya. Semakin dalam digali, semakin mencekam perasaan
ketiga gadis itu. Apa yang bakal mereka temukan di dalam makam ketiga ini? Apa
lagi-lagi hanya secarik surat yang memberitahu bahwa mereka ditunggu di makam
keempat?
Mendadak
Anggini hentikan gerakan tangannya menggali makam. Tubuhnya ditarik ke
belakang. Matanya membesar.
“Ada
apa?” bisik Ratu Duyung tegang.
“Aku
merasa tanah makam bergerak. Ada sesuatu yang hidup di dalam kubur ini!” jawab
Anggini dengan berbisik pula.
“Kalau
begitu hati-hati. Siapkan tenaga dalam,” mengingatkan Ratu Duyung.
“Ratu,
coba kau kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Kau pasti bisa melihat benda apa yang
mendekam di dalam makam ini,” bisik Bidadari Angin Timur.
Mendengar
ucapan itu Ratu Duyung segera alirkan tenaga dalamnya ke mata. Mata dikedipkan
dua kali. Samar-samar Ratu Duyung melihat sesuatu. Dia lipat gandakan aliran
tenaga dalam ke mata. Begitu penglihatannya lebih jelas gadis ini jadi
tercekat. Dia tidak bisa percaya. Maka dia kerahkan ilmu kesaktian yang disebut
Menyirap Detak Jantung. Dengan ilmu ini Ratu Duyung sanggup merasakan detak
jantung seseorang di kejauhan. “Kalau mahluk di dalam makam itu memang mahluk
hidup, pasti aku akan merasakan detak jantungnya. Kecuali dia setan
jejadian…..” Ratu Duyung tahan nafas, pasang telinga. Sesaat kemudian dia
merasakan ada debaran di dadanya. Lalu telinganya menangkap suara detakan
jantung. Datangnya dari dalam makam! Serta merta Ratu Duyung berteriak.
“Cepat
keluar dari kubur! Ada mahluk hidup di dalam sana!”
Sambil
berteriak Ratu Duyung melesat ke atas. Berbarengan dengan itu dia cepat menarik
tangan kiri Anggini dan mendorong Bidadari Angin Timur ke kanan.
***********************
DUA
Perempuan
tua yang duduk di depan lampu minyak itu memandang dengan muka masam pada
pemuda di hadapannya. Mulut komat-kamit. Dari dalam mulut itu dikeluarkannya
segumpal susur. Mulutnya dipencongkan sesaat sebelum dia bertanya. Melihat
susur itu si pemuda jadi ingat akan gurunya. Sang guru paling doyan
mempermainkan susur sirih dan tembakau di dalam mulutnya. Kini entah di mana
gurunya itu berada. Mungkin sudah saatnya dia menyambangi di tempat
kediamannya.
“Anak
muda,” berucap perempuan tua di hadapan si pemuda. “Aku belum pernah melihat
tampangmu sebelumnya. Kau bukan penduduk sini. Kau menyusahkan orang saja. Ada
keperluan apa malam-malam begini mengganggu diriku? Apakah kau tidak bisa
menunggu sampai besok pagi?”
Pemuda di
hadapannya menggaruk rambut lalu tersenyum. “Maafkan aku Nek. Aku datang dari
jauh. Waktuku sempit. Mohon jangan marah dulu…..”
Karena
orang bersikap sopan dan bicara halus, perempuan tua itu kendur rasa
jengkelnya. Susurnya hendak dimasukkan ke dalam mulut kembali tapi tak jadi.
“Ah, aku tadi bicara agak kasar. Jangan-jangan kau datang minta tolong karena
istrimu hendak melahirkan. Betul begitu?!”
Si pemuda
tersentak lalu tertawa bergelak.
“Huss!
Malam-malam bagini tertawa seenaknya! Kau mau mengundang setan lewat kesasar
masuk ke rumahku?!”
“Nek,
namaku Wiro. Aku belum punya istri! Tak ada perempuan yang hamil atau bunting!
Aku datang untuk keperluan lain. Aku tahu kau memang dukun beranak. Tapi kata
orang kau yang bernama Nyi Supi juga pengurus jenazah di kawasan sini. Jenazah
orang-orang perempuan.”
“Hemmm…..
Mataku masih ngantuk. Aku mau meneruskan tidur. Bilang cepat apa keperluanmu.
Apa kau datang membawa jenazah untuk aku urusi?”
“Nek, Nyi
Supi, kau masih ingat peristiwa kematian Kinasih, istri Raden Mas Sura
Kalimarta juru ukir Keraton? Aku mendapat keterangan kau yang mengurus dan
memandikan jenazah perempuan itu.”
Muka
keriput si nenek berubah mendengar disebutkan dua nama itu. “Aku tak mau
mengingat-ingat kedua orang yang sudah mati itu. Apalagi Kinasih. Mengerikan
sekali! Seumur hidup aku belum pernah mengurus dan memandikan jenazah seperti
jenazah perempuan malang itu.” Nyi Supi diam sesaat lalu bertanya “Eh, apakah
kau punya hubungan saudara dengan kedua orang itu?”
Wiro
menggeleng.
“Lalu
kenapa tanya-tanya?” Nyi Supi kelihatan heran.
“Nyi
Supi, coba kau ingat. Apa betul di kening jenazah Kinasih ada guratan angka
212?”
“Aku
tidak mau mengingat-ingat lagi. Seram sekali! Sejak peristiwa itu aku sering
kedatangan mimpi buruk…..”
“Tolong
nek, aku butuh keteranganmu. Benar ada guratan 212 di kening istri juru ukir
Keraton itu?”
Nyi Supi
akhirnya anggukkan kepala. “Kematian yang aneh. Tega-teganya ada orang membuat
guratan seperti itu. Entah apa maksud dan artinya. Tapi bagiku itu tidak
terlalu seram. Dibanding…..”
“Dibanding
apa?” tanya Wiro ketika si nenek hentikan ucapannya.
“Terlalu
ngeri…….”
“Tak usah
takut Nek. Ceritakan saja,” ujar Wiro.
“Sekujur
tubuh Kinasih. Penuh luka-luka terkuak. Bukan bekas sayatan atau tusukan
senjata tajam. Tapi luka-luka bekas gigitan. Terutama di bagian dada. Salah
satu putting susunya hampir tanggal. Darah di mana-mana. Waktu memandikan aku
benar-benar tidak tega…..”
“Gigitan
itu, menurutmu apakah gigitan manusia atau binatang buas?” tanya Wiro pula.
“Ya pasti
gigitan manusia! Gigitan orang yang merusak kehormatannya. Masakan binatang
bisa menggigit dan menggurat angka! Kau ini bagaimana? Tanyanya seperti orang
tolol saja!”
Wiro
tertawa.
“Terima
kasih Nek, aku berterima kasih kau mau memberi keterangan. Kini aku baru
percaya kalau di kening mayat Kinasih memang ada guratan tiga angka. Tadinya
aku mengira cuma cerita yang dibuat-buat belaka. Terima kasih Nek. Aku tidak
akan mengganggumu lebih lama. Aku minta diri….”
“Hemmmm…..”
Nyi Supi bergumam. “Sudah pergi sana. Aku mau meneruskan tidur…..”
Wiro
tersenyum. Dia usap-usap pipi peot si nenek seraya berkata. “Teruskan tidurmu
Nek. Semoga kali ini mimpimu bagus-bagus.” Wiro melangkah pergi.
Entah
usapan tadi entah karena hal lain, yang jelas si nenek tiba-tiba ingat sesuatu.
“Wiro,
tunggu,” Nyi Supi memanggil.
Murid
Sinto Gendeng hentikan langkah, memutar tubuh.
“Ya, Nek.
Ada apa?”
Nyi Supi
lambaikan tangan, memberi isyarat aga Wiro lebih mendekat. Begitu Wiro sampai
di hadapannya perempuan tua ini berkata “Ada satu hal perlu kuceritakan.
Mungkin ada artinya bagimu. Ketika jenazah Kinasih aku mandikan, tangan
kanannya dalam keadaan mengepal. Karena sudah kaku, susah untuk diluruskan, apa
lagi dibuka. Tapi karena di celah-celah jarinya yang mengepal kulihat ada benda
seperti secarik kain hitam, aku jadi berpikir. Jangan-jangan benda dalam
genggaman Kinasih itu ada sangkut pautnya dengan kematian dirinya. Dibantu
seorang teman aku berhasil membuka genggaman jari-jari tangan kanan Kinasih.
Benar, benda yang digenggamannya itu ternyata adalah secarik robekan kain
hitam. Nah itu saja yang aku ingin sampaikan padamu…..”
Wiro
terdiam. Berpikir-pikir.
“Nyi
Supi, robekan kain hitam itu, apakah kau masih menyimpannya?”
“Ah,
kejadiannya sudah cukup lama. Aku tak ingat lagi. Tapi mungkin masih ada.
Tolong bawakan lampu minyak itu ke dalam…..”
Di ruang
dalam, di bawah penerangan lampu minyak yang dibawa oleh Wiro, Nyi Supi
memeriksa di beberapa tempat. Dia tidak menemukan benda yang dicarinya.
“Mungkin
kau menyimpan di kamar tidurmu,” kata Wiro.
“Tidak,
benda seperti itu tidak akan pernah kusimpan di kamar tidurku!” Si nenek
pejamkan mata seolah berpikir. “Di sumur!” tiba-tiba si nenek berseru. “Robekan
kain itu semula kusimpan di balik setagen. Ketika mau mandi di sumur setagem
kulepas. Kain hitam tercampak, kupungut lalu kusempilkan….. Anak muda, ayo ikut
aku ke sumur.”
Benar apa
yang dikatakan Nyi Supi, robekan kain itu memang disempilkan di atas bambu
melintang dinding kajang pelindung tempat mandi. Kain itu diserahkannya pada
Wiro. Ketika Wiro memperhatikan, kain itu ternyata tidak cuma berwarna hitam.
Tapi ada warna-warna lain yakni biru dan garis-garis merah.
“Nyi
Supi, kukira robekan kain ini tidak ada gunanya bagimu. Atau kau masih mau
menyimpannya?”
“Buat
apa?” uajr si nenek. Wiro masukkan robekan kain itu ke balik pakaiannya.
“Sekali lagi terima kasih Nek. Aku minta diri…..” Nyi Supi menjawab dengan
menguap lebar.
Hari
masih pagi. Gedung Kepatihan nampak sunyi. Sejak Patih Selo Kaliangan sakit
berat beberapa waktu lalu suasana di Gedung Kepatihan sepi-sepi saja. Beberapa
orang tabib dan ahli pengobatan kabarnya telah berdatangan berusaha mengobati
sang patih. Namun sebegitu jauh keadaannya belum menunjukkan kesembuhan. Racun
yang mengidap di dalam tubuhnya baru sedikit bisa dikeluarkan. Di atas
pembaringan Patih Kerajaan itu tergolek lumpuh. Tubuhnya yang tadinya besar
tegap kelihatan kurus. Untungnya dia masih mampu membuka mulut untuk
berkata-kata walaupun dengan suara tidak terlalu keras.
Seperti
diceritakan dalam Episode sebelumnya (Makam Ketiga) terjadi penyergapan untuk
kesekian kalinya oleh orang-orang Kerajaan terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.
Penyergapan itu dipimpin sendiri pleh Patih Selo Kaliangan, dibantu oleh
beberapa tokoh silat Istana berkepandaian tinggi, sementara Pendekar 212
didampingi oleh nenek sakti sahabat barunya berjuluk Gondoruwo Patah Hati.
Penyergapan
bukan saja gagal tetapi Patih Selo Kaliangan malah ditimpa celaka besar.
Gondoruwo Patah Hati berhasil menangkap salah satu dari dua ular yang jadi
senjata tokoh silat berjuluk Setan Bertongkat Ular. Binatang berbisa ini
kemudian dimasukkan ke dalam celana Patih Kerajaan. Akibatnya patukan ular
berbisa yang bersarang satu jengkal di bawah pusarnya, sang Patih keracunan
berat. Sekujur tubuhnya diserang demam panas. Beberapa hari kemudian dia jatuh
lumpuh. Beberapa orang pandai telah berusaha menolong memberikan pengobatan.
Namun sang Patih masih jauh dari kepulihan. Konon, jika penyakitnya terlambat
diobati, walau kelumpuhannya bisa disembuhkan namun dia akan menderita penyakit
lemah syahwat seumur hidup. Sejak peristiwa itu Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Gondoruwo Patah Hati dinyatakan sebagai buronan, harus ditangkap hidup atau
mati. Sementara Setan Bertongkat Ular karena takur melenyapkan diri entah ke
mana.
Di dalam
kamar saat itu Patih dan pelayan tengah menunggu beberapa pelayan lain yang
setiap pagi datang untuk membersihkan dan memandikan patih Selo Kaliangan. Tapi
lain yang ditunggu lain yang muncul. Dua orang pengawal yang biasa berjaga-jaga
di depan pintu laksana dilabrak topan mencelat masuk ke dalam kamar,
bergelundungan di lantai, mencoba bangkit, tapi tak mampu dan hanya melingkar
di lantai sambil mengerang kesakitan. Yang satu pegangi perut, sedang temannya
menekap hidung dan mulutnya yang berdarah.
Belum
habis kejut Patih Kerajaan dan pelayan di dalam kamar, tiba-tiba seorang pemuda
berpakaian serba putih, berambut gondrong berkelebat masuk dan tahu-tahu sudah
berdiri di samping ketiduran Patih Kerajaan.
Mata
membelalak Patih Selo Kaliangan serta merta mengenali siapa adanya orang yang
tegak di sampng tempat tidurnya. Langsung mulutnya berteriak.
“Kau!
Buronan jahanam! Berani mati masuk ke tempat ini! Pelayan! Panggil pasukan!
Tangkap orang ini! pengawal!”
Pelayan
di sudut kamar yang sejak tadi sudah terlonjak kaget dan bangkit berdiri tanpa
tunggu lebih lama segera lari ke pintu. Namun baru tiga langkah bergerak
tubuhnya mendadak kaku. Satu totokan jarak jauh yang menusuk punggungnya membuat
dia tertegun tak bergerak dan tak bersuara di samping pintu.
Amarah
besar membuat tubuh Patih Selo Kaliangan menggigil. Dia berusaha bangkit,
mencoba menggerakkan tangan untuk menghantam. Tapi sia-sia saja. Kelumpuhan
membuat dia tetap terhenyak di atas tempat tidur. Tak ada hal lain yang bisa
diperbuat Patih Kerajaan ini selain mulai berteriak minta pertolongan. Namun
suara teriakannya lenyap begitu sehelai sapu tangan kotor miliknya sendiri
disumpalkan pemuda berambut gondrong ke mulutnya.
Enak saja
si gondrong ini duduk di tepi ranjang lalu berkata “Patih Selo Kaliangan, aku
Wiro Sableng datang menemuimu untuk membuat perjanjian. Aku akan menawarkan
penyembuhan atas dirimu jika kau mau memberi tahu di mana aku bisa menemukan
Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh. Dia telah
menculik sahabatku, seorang gadis bernama Bunga dan memasukkannya ke dalam
sebuah guci. Jika kau mau menolong hingga aku bisa membebaskan sahabatku itu,
aku berjanji akan mengobati penyakitmu.”
Habis berkata
begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melepaskan sapu tangan yang disumpalkannya ke
mulut Patih Kerajaan. “Kau sudah mendengar apa yang aku ucapkan. Aku ingin
mendengar jawabanmu!”
“Manusia
jahanam! Aku lebih baik menerima kematian sekarang juga dari pada membuat
perjanjian denganmu! Umurmu tidak akan lama! Orang-orangku akan segera
menangkapmu. Tiang gantungan sudah lama menunggumu!”
Murid
Sinto Gendeng menyeringai.
“Orang
mati saja kalau bisa bicara kepingin hidup lagi. Kau yang masih hidup malah
buru-buru minta mati! Kau lupa bahwa penyakitmu akan membawa kesengsaraan
seumur hidup sebelum ajalmu benar-benar datang. Aku kawatir kau tak sanggup
menanggung kesengsaraan. Kau bisa jadi gila! Kasihan. Tapi kalau itu pilihanmu,
apa boleh buat!”
“Pembunuh
terkutuk! Pencuri keris pusaka Kerajaan! Aku tidak takut mati! Aku akan mati
tanpa penyesalan asalkan lebih dulu menyaksikan mayatmu kaku di tiang
gantungan!”
“Patih,
aku bukan pembunuh seperti yang kau tuduhkan! Aku juga bukan pencuri Keris Kiai
Naga Kopek!”
Saking
marahnya mendengar ucapan Wiro, Patih Selo Kaliangan membuang ludah. “Siapa
percaya ucapan manusia bejat sepertimu! Kau tahu, bukan cuma dirimu yang bakal
menerima hukuman berat! Kerajaan telah memutuskan untuk meminta pertanggung
jawaban gurumu si Sinto Gendeng!”
Wiro
terkejut mendengar ucapan Patih Selo Kaliangan itu. “Pada waktunya aku akan
memberikan bukti-bukti padamu siapa sebenarnya pembunuh Kinasih dan suaminya si
juru ukir. Juga siapa yang telah menjarah Keris Pusaka Keraton. Tapi satu hal
aku tidak suka! Guruku Eyang Sinto Gendeng tidak ada sangkut pautnya dengan
semua kejadian ini. Jika orang-orang Kerajaan sampai berani menyentuh selembar
rambutnya, pembalasanku tidak tanggung-tanggung. Gedung Kepatihan ini akan
kusama ratakan dengan tanah. Kalau perlu gedung bangunan Istana juga akan
kubuat amblas sampai ke perut bumi!”
“Manusia
sombong terkutuk! Beraninya kau mengancam!” maki Patih Selo Kaliangan. Lalu dia
berteriak. “Pengawal!”
Wiro
berdiri. Selagi berpikir apa yang hendak dilakukannya untuk memaksa Patih
Kerajaan tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat. Ada angin dahsyat menyambar
menebar hawa dingin. Tak mau berlaku ayal Wiro segera melompat hindarkan diri.
Ketika memandang ke depan kagetlah murid Sinto Gendeng. Yang barusan menyerangnya
ternyata seorang dara berwajah cantik, berambut sangat hitam di gulung di atas
kepala. Di pinggangnya dara ini membekal sebilah pedang yang sarungnya berukir,
ditabur batu-batu aneka warna.
***********************
TIGA
Setelah
pandangi dara cantik itu sesaat Wiro berseru “Aha! Tidak disangka Patih
Kerajaan punya pengawal seorang gadis cantik! Dara jelita siapa namamu?!”
“Ayah!
Siapa pemuda gondrong lancang kurang ajar ini?!” Gadis berpakaian kuning
bertanya. Ternyata dia adalah puteri Patih Selo Kaliangan.
“Sutri!
Hati-hati! Pemuda itu adalah Wiro Sableng, buronan Kerajaan! Lekas panggil
pengawal! Siapkan pasukan! Kurung gedung Kepatihan! Jangan sampai lolos. Dia
harus ditangkap hidup atau mati!” Patih Selo Kaliangan berteriak.
Sepasang
mata gadis jelita membelalak. Wajahnya berubah. Tangan kanannya langsung
bergerak ke pinggang menghunus pedang. Melihat hal itu, Selo Kaliangan yang
tahu kalau Wiro bukan tandingan puterinya kembali berteriak agar Sutri segera
meninggalkan tempat itu, memanggil para pengawal. Tetapi setelah sirap kagetnya
mengetahui siapa adanya pemuda di hadapannya itu, Sutri bukannya pergi malah
membentak.
“Jadi ini
manusia kurang ajar yang mencelakai ayahku! Bagus! Kau datang sengaja mencari
mati! Biar tanganku sendiri menjatuhkan hukuman! Lihat pedang!”
Baru
selesai berucap satu sinar putih sudah bertabur di depan hidung Pendekar
212.
Itulah kilapan cahaya pedang baja putih di tangan puteri sang Patih.
Dari
sambaran angin sewaktu pertama kali gadis ini memasuki ruangan Pendekar 212
maklum kalau puteri Patih Kerajaan itu memiliki ilmu meringankan tubuh cukup
tinggi serta tenaga dalam yang dapat diandalkan. Kini dalam jurus pertama
serangan pedangnya si gadis seolah hendak membelah kepalanya mulai dari ubun-ubun
sampai ke dagu! Benar-benar serangan pertama yang mematikan!
Wiro
cepat bergerak hindarkan serangan lawan.
“Wuuuutttt!”
Pedang
baja putih melanda tempat kosong. Membuat Sutri terkejut besar. Serangan
pertama yang dilancarkannya tadi itu dia sengaja mengeluarkan jurus ketiga dari
ilmu pedangnya yang disebut “Membelah Rembulan Di Puncak Langit.” Jarang lawan
bisa selamat dengan mudah. Tapi ternyata Wiro enak saja bisa menghindar padahal
untuk mendalami jurus ketiga itu dia telah menghabiskan waktu lebih dari satu
tahun!
Didahului
jeritan melengking keras, Sutri kembali menggebrak. Pedangnya berubah menjadi
taburan cahaya putih dan tebaran hawa dingin. Tubuh Pendekar 212 tenggelam
dalam buntalan cahaya putih. Pakaian dan rambutnya berkibar-kibar terkena sambaran
senjata lawan. Melihat kehebatan serangan lawan, apalagi si gadis kelihatannya
begitu nekad, murid Sinto Gendeng tak mau berlaku ayal. Tapi melihat kecantikan
sang dara muncul niat untuk mempermainkan.
Setelah
lima jurus Wiro di desak habis-habisan bahkan ujung lengan kiri bajunya sempat
dimakan pedang lawan, Wiro mulai bergerak aneh. Tubuhnya melompat kian kemari.
Setiap lompatan selalu dilakukannya melintasi tempat tidur Patih Kerajaan
terbaring. Hal ini dianggap kurang ajar dan keterlaluan oleh Sutri apa lagi
oleh Patih Kerajaan. Ayah dan anak memaki habis-habisan.
Sutri
mengamuk. Pedangnya menderu laksana air bah. Mengejar ke mana saja Wiro
berkelebat. Tapi dia harus bertindak hati-hati agar tiap tusukan atau bacokan
senjatanya tidak salah arah hingga bisa mencelakai ayahnya sendiri.
Gilanya,
dalam melompat menghindarkan serangan pedang, tak jarang Wiro mengangkat kaki
atau tangan Patih Selo Kaliangan, dipergunakan untuk menangkis serangan pedang.
Sutri yang tidak mau ayahnya celaka tentu saja terpaksa menarik atau menahan
serangan, penuh geram berteriak memaki.
“Pengecut
tengik!” teriak Surti marah. “Jangan pergunakan tubuh ayahku sebagai tameng
penangkis!”
Wiro
tertawa bergelak. Lalu menyambar sebilah tombak pajangan di sudut kamar.
“Aku
mengikuti apa maumu!” kata Wiro seraya menyeringai dan mengacungkan tombak.
Sutri
kertakkan rahang. Tanpa banyak bicara dia melompat. Tangan kanan diputar dan
pedang baja putih kembali bertabur. Wiro pergunakan tombak untuk menangkis.
“Trang!
Trang! Trang!”
Tiga kali
terdengar suara berdentrangan.
Wiro
keluarkan seruan tertahan. Tombak di tangannya kini tinggal kutungan sepanjang
dua jengkal. Ujung sebelah atas putus tiga kali dibabat pedang baja putih di
tangan Sutri!
“Hebat!
Ilmu pedangmu sungguh luar biasa!” Pendekar 212 memuji. “Sayang aku tidak punya
banyak waktu melayanimu!”
“Buronan
terkutuk! Kau mau lari ke mana!” bentak Sutri ketika melihat Wiro enak saja
melangkah ke arah pintu. Karenanya bagitu sang pendekar lewat di hadapannya
pedang di tanan kanannya langsung dibabatkan ke pinggang sang pendekar.
“Ah!
Putus pinggangku!” seru Wiro seolah kaget ketakutan. Tapi sambil menyeringai.
Tubuhnya meliuk ke samping. Tangan kanan cepat mencekal pergelangan si gadis,
diputar demikian rupa hingga pedang terlepas dari cekalan Sutri. Lalu settt!
Pedang baja putih itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya!
Patih
Kerajaan seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Untuk mempelajari ilmu
pedang itu puterinya digemlbleng oleh dua tokoh silat terkenal dan memakan
waktu lebih dari lima tahun. Kini sang puteri hanya dijadikan bulanan
main-mainan oleh buronan terhukum mati itu!
Sutri
sendiri hendak menggerung saking marah dan malunya. Di hadapannya Pendekar 212
enak saja menyeringai dan berucap.
“Gadis
cantik sepertimu jangan terlalu nekad main pedang!” Konyolnya habis berkata
begitu Wiro lantas mencolek dagu si gadis.
Patih
Kerajaan berteriak marah.
“Lancang
kurang ajar!” teriak Sutri Kaliangan.
“Bukkk!”
satu jotosan melanda perut Wiro.
Sakitnya
lumayan. Tapi bukannya mengeluh kesakitan murid Sinto gendeng malah ulurkan
tangan kanan mengusap pipi Sutri Kaliangan.
“Kurang
ajar!”
“Bukkkk!”
Untuk
kedua kalinya pukulan keras mendarat di perut Wiro. Pemuda ini menyeringai dan
kembali tangannya menjaili mengusap wajah si gadis.
Marah
besar Sutri kembali hendak menjotos perut pemuda itu untuk ketiga kalinya. Tapi
kawatir pipinya bakal diusap lagi, pukulan ke arah perut dibatalkan, diganti
kini dengan jotosan keras ke arah wajah Pendekar 212. Jotosan kali ini
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam. Jangankan kepala Wiro, kepala seekor
kerbaupun bisa amblas!
Wiro
tertawa bergelak. Sebelum pukulan si gadis mendarat di mukanya, dengan cepat
dia merunduk, mencolek pinggang Sutri. Selagi gadis ini terpekik marah dan
kegelian lalu memaki panjang pendek, sambil senyum-senyum murid Sinto Gendeng
berkelebat ke pintu.
Tapi
gerakan Pendekar 212 tertahan. Senyum lenyap dari mulutnya. Di ambang pintu
beberapa orang bertampang garang menutup jalan.
“Ah,
mereka lagi!” ujar Wiro sambil menggaruk kepala. “Kalau mereka menyerbu dan aku
bertahan di kamar ini, tipis harapanku untuk lolos.” Melirik ke samping
dilihatnya Sutri telah menghunus pedang bajanya kembali. Wiro garuk kepala
sekali lagi. Tiba-tiba dia melompat ke kepala tempat tidur Patih Selo
Kaliangan.
“Jahanam
kurang ajar! Apa yang kau lakukan?!” Patih Kerajaan berteriak. Sutri memburu.
Namun gadis ini dan juga semua orang yang ada di depan pintu kamar terpaksa
menyingkir ketika Wiro mengangkat bagian kepala tempat tidur di mana Patih
Kerajaan terbaring, lalu mendorong tempat tidur itu menerobos kurungan
orang-orang di pintu.
Di luar
kamar Wiro lepaskan ujung kepala tempat tidur yang dipegangnya hingga tempat
tidur itu terbanting keras ke bawah. Selagi Sutri berusaha menahan tubuh
ayahnya agar tidak jatuh terbanting ke lantai, Wiro pergunakan kesempatan untuk
meninggalkan tempat itu. Namun lima orang berkelebat cepat dan mengurungnya
dengan rapat.
Kelima
orang ini merupakan musuh lama karena mereka bukan lain adalah dedengkot tokoh
silat Kerajaan yakni Hantu Muka Licin Bukit Tidar, Jalak Kumboro alias Pendekar
Keris Kembar, lalu Tumenggung Cokro Pambudi. Orang keempat adalah Si Bisu
Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan yang kelima Ki Sepuh Item. Wiro mengira Iblis Kepala
Batu Alis Empat juga berada di situ, ternyata momok yang telah memasung Bunga
itu tak kelihatan.
Ki Sepuh
Item berdiri paling dekat. Kakek tinggi kerempeng berkulit hitam gosong ini
memandang penuh geram pada Pendekar 212. Dendamnya terhadap Wiro memang bukan
alang kepalang. Bukan saja karena nyawanya hampir dilalap oleh Wiro sewaktu
terjadi perkelahian hebat di puncak bukit the Karangmojo tempo hari, tapi juga
karena Wirolah yang telah menamatkan riwayat muridnya dengan ilmu Membelah Bumi
Menyedot Arwah. Dirinya sendiri kalau tidak ditolong oleh Adisaka pasti akan
mengalami kematian mengerikan dengan cara yang sama. (baca Episode “Gondoruwo
Patah Hati”)
“Kalian
berlima, tua bangka tidak tahu diri! Masih berani unjukkan diri jual tampang!
Rupanya kalian memang musti digebuk sampai benar-benar tahu rasa!”
Ki Sepuh
Item unjukkan wajah garang lalu bersama Hantu Muka Licin dia keluarkan suara
tawa bergelak.
“Nyawa
sudah di ujung tenggorokan! Masih saja bersikap sombong kurang ajar!” memaki
Hantu Muka Licin.
“Para
tokoh!” tiba-tiba Patih Selo Kaliangan berteriak. “Tidak perlu bicara bertutur
cakap dengan pemuda buronan jahana itu! bunuh dia sekarang juga!”
Lima
tokoh silat berkepandaian tinggi segera bergeak, menebar mengatur kedudukan
untuk menyerang. Sutri, puteri sang Patih tak tinggal diam. Dia melompat ke
samping Si Bisu, pedang baja putih melintang di depan dada.
“Bunuh!”
teriak Patih Selo Kaliangan tidak sabaran.
***********************
EMPAT
Tongkat
tulang putih berlubang di tangan Ki Sepuh Item menderu ke depan, mengeluarkan
suara bising merobek gendang-gendang telinga serta semburan angin dingin
laksana tusukan jarum yang tidak kelihatan! Kalau tangan kanan melancarkan
serangan dengan tongkat tulang putih yang berbahaya, tak kalah bahayanya si kakek
muka gosong ini juga pergunakan tangan kirinya. Di tangan ini dia memiliki ilmu
yang disebut Kaca Hantu. Konon tangan ini diisi sejenis susuk. Jika tenaga
dalam dikerahkan maka telapak tangan akan mengeluarkan sinar berkiblat. Bila
lawan terkena serangan sinar, pandangannya akan menjadi gelap buta kesilauan.
Wiro sebelumnya sudah pernah menghadapi Ki Sepuh Item serta merta angkat tangan
kirinya untuk melindungi mata dari ulmu Kaca Hantu itu.
Serangan
yang datang berbarengan dengan hantaman tongkat dan silaunya Kaca Hantu adalah
sambaran pedang baja putih di tangan Sutri Kaliangan. Gadis ini menyerbu tak
kepalang tanggung. Lancarkan dua tusukan dan satu kali bacokan dalam gebrakan
pertama.
Orang
ketiga yang ikut menghujani Pendekar 212 dengan serangan adalah Keris Kembar
Jalak Kumboro. Waktu terjadi perkelahian besar di puncak bukit teh tempo hari
dia telah kehilangan satu dari dua kerisnya sementara salah satu tangannya
mengalami cidera berat. Saat itu dengan tangan masih dibalut dia menyerang Wiro
mempergunakan keris dan sebilah senjata berbentuk kelewang pendek yang
memancarkan sinar redup kehitaman pertanda senjata ini mengidap racun jahat.
Tumenggung
Cokro Pambudi sebenarnya tidak punya silang sengketa apa-apa dengan Pendekar
212 Wiro Sableng. Namun tokoh istana ini ingin berbuat pahala membalaskan sakit
hati Patih dan menjalankan perintah. Di samping itu dia merasa bertanggung
jawab atas lolosnya pemuda yang mencuri keris pusaka Kiai Naga Kopek. Jika dia
bisa ikut membekuk Pendekar 212 paling tidak rasa kecewa Sri Baginda
terhadapnya bisa berkurang. Senjata yang dipergunakan sang Tumenggung adalah
sebilah golok panjang berbetuk segi empat.
Si Bisu
Pencabu Nyawa Tanpa Suara, kakek aneh yang hidungnya dicanteli anting-anting,
berkepala botak warna kuning keluarkan suara haha-huhu. Setelah itu dengan
gerakan kilat tapi tanpa keluarkan suara sama sekali dia melompat memasuki
kalangan pertempuran. Kakek ini tidak membekal senjata. Yang jadi andalannya
adalah sepuluh kuku jari kakinya yang berwarna hitam panjang. Belasan lawan
berkepandaian tinggi telah menjadi korban keganasan sepuluh kuku jari kakinya
itu. karena dia mempergunakan kuku jari kaki sebagai senjata, maka gerakan
silatnya tampak aneh tapi sangat berbahaya. Dia lebih banyak bergerak setengah
tinggi badan, merunduk bahkan kadang-kadang berguling di tanah. Setiap serangan
tidak mengeluarkan suara atau siuran angin sedikitpun. Tahu-tahu korban sudah
bersimbah darah, tubuh atau muka robek besar disambar kuku jari kaki!
Orang
keenam, yang paling dahsyat melancarkan serangan adalah Hantu Muka Licin Bukit
Tidar. Dendamnya terhadap Wiro tak akan habis-habis seumur hidup. Bukan saja
karena telah dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan orang banyak tapi juga
karena penasaran tak sanggup menghabisi Wiro dengan Jarum Perontok Syaraf.
Seperti diceritakan sebelumnya Bunga, gadis cantik dari alam roh telah
menyelamatkan Pendekar 212 dari racun jarum maut itu. (baca Episode “Roh Dalam
Keraton”)
Dalam
Episode “Gondoruwo Patah Hati” diceritakan bagaimana senjata paling diandalkan
oleh Hantu Muka Licin yakni rumbai-rumbai ikat pinggang kuning yang sanggup
melesatkan jarum beracun telah dimusnahkan oleh Pendekar Kipas Pelangi.
Sementara dia masih belum mendapat senjata pengganti yang bisa diandalkan maka
Hantu Muka Licin Bukit Tidar pergunakan kesaktian dua ujung lengan jubahnya
yang bisa mengeluarkan asap kelabu mengandung racun tak kalah jahatnya dengan
racun Jarum Perontok Syaraf. Sebelumnya ilmu serangan asap ini juga telah
dibuat tak berdaya oleh Pendekar Kipas Pelangi. Saat ini Pendekar 212 hanya
seorang diri hingga Hantu Muka Licin Bukit Tidar merasa yakin dia dan
kawan-kawan kali ini akan sanggup menghabisi Wiro. Memang dalam keadaan seperti
itu sulit dibayangkan bagaimana murid Sinto Gendeng akan mampu menghadapi enam
serangan maut yang datang berseribut cepat untuk membantainya!
Serangan
lawan yang lebih dulu sampai adalah hantaman asap kelabu beracun yang keluar
dari ujung lengan jubah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Wiro begitu mencium bau
yang tidak enak segera menutup jalan pernafasannya.
Enam
penyerang keluarkan seruan tertahan ketika mereka menyangka serangan
masing-masing akan mencapai sasaran tiba-tiba ada cahaya terang menyilaukan
berkiblat disertai suara gaungan dahsyat yang menggetarkan seantero tempat!
“Awas!
Kapak Maut Naga Geni 212!” Seseorang berteriak memberitahu.
“Bukkk!”
Orang yang barusan berteriak menjerit keras begitu satu jotosan tangan kiri
melanda dadanya. Darah menyembur dari mulutnya dan sosoknya terpental lalu
terjengkang di lantai. Orang ini adalah Tumenggung Cokro Pambudi yang
sebelumnya telah menyerbu Wiro dengan satu bacokan golok, tapi berhasil
dielakkan dan dia sendiri harus menerima hantaman jotosan tangan kiri di bagian
dadanya.
Bersamaan
dengan itu ada hawa panas melanda dan trang-trang! Dua bentrokan senjata
terjadi di udara. Dua mulut terpekik keras. Satu sosok mencelat menjauhkan
diri, mengerang pendek, tersandar ke dinding bangunan.
“Bunuh!
Habisi pemuda keparat itu!” Patih Selo Kaliangan berteriak dari samping pilar
besar di mana dia disandarkan oleh puterinya.
Saat iu
Sutri telah keluar dari kalangan pertempuran dengan muka pucat pasi. Pedang
baja masih tergenggam di tangannya tapi sudah buntung dan bagian yang masih
berada dalam pegangannya kelihatan hitam hangus mengepulkan asap!
Orang
kedua di pihak Kerajaan yang bernasib malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris
kembar Jalak Kumboro. Kerisnya yang tinggal satu mental hancur entah kemana
sedang kelewang pendek masih berada dalam pegangannya tapi seperti pedang baja
Sutri, senjata itu kelihatan buntung dan hangus hitam mengeluarkan asap. Jalak
Kumboro sendiri tegak terhuyung-huyung dengan muka pucat, berusaha mengatur
jalan darahnya yang menjadi kacau akibat kejut dan rasa ngeri yang amat sangat!
Di bagian
lain Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tegak tersandar ke dinding bangunan.
Celananya robek besar di bagian paha dan ada noda darah pertanda di balik
robekan ada luka cukup parah. Tubuh Wiro kelihatan bergetar seperti orang
menggigil. Rahangnya menggembung dan keningnya mengerenyit menahan sakit. Apa
yang terjadi?
Ketika
enam serangan datang menerjang dirinya, Wiro bergerak cepat mencabut kapak
sakti dan pergunakan tangan kiri untuk menghantam. Dia berhasil membuat mental
Tumenggung Cokro Pambudi dengan jotosan telak di dada, membabat putus pedang
baja putih di tangan Sutri lalu menghancurkan kelewang dan keris di tangan
Sepasang Keris Kembar. Selain itu Wiro juga berhasil selamatkan kepalanya dari
pukulan tongkat tulang putih di tangan Ki Sepuh Item yang dihantamkan ke
kepalanya. Namun bagaimanapun cepat dan hebatnya gerak Pendekar 212 menghadapi
serangan enam orang lawan, tetap saja dia kebobolan.
Setelah
melindungi matanya dari sambaran Kaca Hantu Ki Sepuh Item yang menyilaukan,
menggebrak tiga lawan, Wiro tidak mampu menghindarkan diri dari serangan aneh
yang dilancarkan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Dia hanya sempat bergerak
mundur setengah langkah sebelum lima kuku hitam jari kaki kanan kakek berkepala
kuning botak ini menggurat robek paha celananya, membuat koyakan luka pada
kedua pahanya. Darah langsung mengucur. Racun kuku mulai bekerja, membuat
tubuhnya panas tapi dia sendiri merasa dingin menggigil.
Sadar
bahaya yang dihadapinya, Wiro melompat menjauhi enam lawan. Dia bersandar ke
dinding bangunan, menotok dua urat besar pangkal paha kiri kanan.
Patih
Selo Kaliangan kembali berteriak. Saat itu adalah kesempatan paling baik untuk
menghabisi Pendekar 212.
“Hantu
Muka Licin, Ki Sepuh Item, Bisu Pencabut Nyawa! Habisi pemuda itu!”
Seperti
sang Patih, tiga orang yang diteriaki itu sama menyadari memang saat itulah
kesempatan paling baik untuk membunuh Pendekar 212. Ketiganya serta merta
menggebrak maju. Wiro yang sudah maklum bahaya besar yang mengancamnya,
pindahkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke tangan kiri. Dengan tangan kanan dia lalu
lepaskan pukulan Sinar Matahari, mengerahkan hempir seluruh kekuatan tenaga
dalamnya!
Ledakan
dahsyat menggelegar. Beberapa bagian bangunan Kepatiha, termasuk sebagian kamar
tidur Patih Selo Kaliangan ambruk. Asap menggebubu, hawa panas menebar
membakar. Ketika asap lenyap, debu hilang dan pemandangan terang kelmbali,
kelihatan beberapa orang berkaparan di lantai di depan kamar.
Yang
pertama tentu saja sang Patih sendiri. Dia tergeletak di lantai. Pakaian
merahnya hangus. Tak jauh dari situ terkapar Ki Sepuh Item, mengerang
menggeliatgeliat. Kulitnya yang hitam kelihatan semakin hitam. Rambut, kumis
dan janggutnya yang tadinya putih kini berubah menjadi hitam. Dari mulutnya
keluar suara erangan halus. Matanya setengah terpejam.
Hanya
beberapa langkah di samping Ki Sepuh Item, berlutut sosok Hantu Muka Licin
Bukit Tidar. Mulut berkomat kamit. Jubah kelabunya hangus di bagian bahu kiri
sampai ke pinggang. Mukanya pucat. Untuk beberapa lama dia berlutut tak
bergeark, mengatur jalan darah dan hawa sakti dalam tubuhnya sambil matanya
mengawasi ke arah Pendekar 212.
Tumenggung
Cokro Pambudi tergeletak tidak sadarkan diri dekat tangga menuju ke taman.
Sementara Sutri masih bisa selamatkan diri karena ketika ledakan dahsyat terjadi
dia terlindung di balik satu tiang besar. Walau kemudian tiang ini roboh, si
gadis masih bisa melompat selamtkan diri.
Yang
paling malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro. Orang ini
berada paling dekat dengan pusat ledakan. Tubuhnya melesat ke atas, kepala
menghantam langit-langit bangunan tepat pada sanding batu yang keras. Ketika
tubuhnya jatuh ke lantai dia tak berkutik lagi. Nyawanya lepas, kepala pecah!
Yang
masih bertahan dan kelihatannya tidak mengalami cidera apa-apa adalah kakek
botak bisu Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Sambil keluarkan suara hahahuhu
dia gulingkan tubuhnya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu terduduk
bersila di lantai. Di sebelah bawah pakaiannya berlepotan darah. Di bagian atas
kelihatan beberapa robekan. Darah mengucur dari sela bibir dan liang
telinganya.
Dadanya
mendenyut sakit! Dia bersyukur tadi ketika melancarkan pukulan Sinar Matahari
dia mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hingga ketika lawan
sama-sama menghantam dengan gempuran tenaga dalam, dia masih bisa bertahan
walau saat itu rasanya nyawanya entah berada di mana. Dalam keadaaan seperti
itu dia melihat Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara berguling ke arahnya sambil
membabatkan kaki kanannya yang berkuku panjang.
Wiro
ingin sekali pergunakan kapak saktinya untuk membabat kaki lawan. Namun dia
memilih lebih baik menghindar dan mempergunakan kecerdikan karena saat itu
beberapa lawan sudah mulai bangkit, bergerak ke arahnya.
Wiro
jatuhkan diri ke lantai. Kaki kanan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara menderu
di atas punggungnya. Selagi kakek botak kepala kuning itu bergulingan Wiro
melompat ke arah Sutri. Dengan satu gerakan cepat gadis ini ditotoknya lalu
dipanggul di bahu kiri. Kapak Naga Geni 212 ditempelkan ke leher putri Patih
Kerajaan itu.
“Jahanam
berani mati! Lepaskan puteri Patih Kerajaan!” teriak Ki Sepuh Item.
Wiro
meludah ke lantai. Ludahnya bercampur darah.
“Siapa
yang inginkan gadis ini silahkan maju! Satu langkah ada yang berani bergerak
kepala gadis ini akan menggelinding di lantai!”
Pendekar
212 mengancam.
Si Bisu
Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan Hantu Muka Licin tidak perduli. Keduanya siap
hendak menyerbu. Tapi patih Selo Kaliangan berteriak. Bagaimanapun dia tidak
ingin melihat puteri kesayangannya menemui kematian di tangan Wiro.
“Tahan
serangan! Buronan jahanam! Berani kau melukai puteriku…..”
“Patih
Kerajaan, aku sudah memberitahu bukan aku pembunuh Kinasih dan suaminya. Juga
bukan aku yang mencuri Keris Kiai Naga Kopek!”
“Tapi kau
telah membunuh beberapa tokoh silat Istana! Buktinya kau lihat sendiri saat
ini! Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro menemui ajal akibat keganasanmu!”
“Siapapun
para tokoh silat Istana yang menemui ajalnya, itu semua menjadi tanggung
jawabmu! Mereka terlalu tolol untuk mau mengikuti perintahmu yang keliru!”
menukas Wiro. “Patih Selo Kaliangan, aku akan membawa anak gadismu! Dia akan
aku jadikan jaminan sampai kau memberitahu di mana sarang kediaman Iblis Kepala
Batu Pemasung Roh!”
Habis
berkata begitu Wiro putar tubuhnya, melangkah menuruni tangga lalu berkelebat
ke arah pintu gerbang sebelah timur gedung Kepatihan. Tak ada yang bergerak apa
lagi mencegah. Patih Selo Kaliangan hanya bisa kepalkan dua tinjunya berulang
kali.
“Patih,
seharusnya kau biarkan kami menghajar pemuda buronan itu!” kata Ki Sepuh Item.
Patih
Selo Kaliangan terdiam, lalu gelengkan kepala. “Keselamatan anakku lebih dari
segala-galanya!”
“Apa
dengan membiarkan dirinya diboyong begitu rupa, kau merasa yakin anak gadismu
akan benar-benar selamat?” ujar Hantu Muka Licin Bukit Tidar. “Bagaimana kalau
murid Sinto Gendeng keparat itu menggagahi anakmu? Memperkosanya?!”
Berubahlah
wajah Patih Selo Kaliangan. Diremas-remasnya rambutnya sendiri. “Hantu Muka
Licin …..” kata sang Patih dengan suara bergetar.”Kumpulkan semua tokoh silat
yang ada! Kejar jahanam penculik puteriku itu! Aku ingin melihat dia kaku di
tiang gantungan sebelum matahari tenggelam!” kata sang Patih setengah
berteriak.
“Jangan
kawatir, perintah Patih akan kami lakukan!” kata Hantu Muka Licin. “Kami bukan
cuma mengejar pemuda itu seorang. Tapi juga buronan satunya. Nenek keparat
berjuluk Gondoruwo Patah Hati!”
***********************
LIMA
Pendekar
212 Wiro Sableng memperlambat larinya, memasang telinga lalu menyelinap ke
balik satu pohon besar. Sutri, puteri Patih Kerajaan yang ada di panggulan bahu
kirinya seperti tidur karena di tengah jalan Wiro telah membungkam jalan suara
gadis itu agar tidak berteriak-teriak.
Sejak
beberapa lama meninggalkan Kotaraja, berlari ke arah timur Wiro merasa ada yang
mengikutinya di sebelah belakang. Dia yakin saat itu para tokoh silat Kerajaan
atas perintah Patih Selo Kaliangan akan melakukan pengejaran. Tapi orang yang
mengikutinya saat itu agaknya bukan tokoh silat Istana. Dia seorang diri dan
caranya mengikuti terasa aneh. Dekat di sebelah belakang tapi tidak mau menunjukkan
diri.
Di satu
tempat yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar Wiro menyelinap ke balik sebuah
pohon, menunggu dan mengintai siapa adanya si penguntit. Lama ditunggu orang
itu tak kunjung muncul. Padahal tadi jelas berada tak berapa jauh di belakangnya.
Selagi Wiro berpikir apakah di akan terus menunggu, menyelidik atau
meninggalkan saja tempat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.
“Pendekar
212 Wiro Sableng, hendak kau apakan gadis culikan itu?!”
Wiro
terkejut. Dia seperti mengenali suara yang barusan menegur. Tapi belum yakin
benar. “Siapa yang barusan bertanya. Harap unjukkan diri.”
Kembali
ada suara tawa mengekeh. Lalu ada sambaran angin halus di atas kepalanya. Wiro
cepat mendongak. Satu sosok berpakaian serba hitam melayang turun dari atas
pohon besar.
“Ning
Intan Lestari! Hah! Kau rupanya yang menguntit diriku!” kata Wiro. Dia merasa
gembira karena sejak pertemuannya tempo hari yaitu ketika si nenek membantu
menyelamatkannya dari sergapan orang-orang Kerajaan, dia memang ingin sekali
bertemu lagi dengan nenek ini. (baca Episode “Makam Ketiga”)
Nenek
berambut kelabu bermuka seram yag berdiri di hadapan Wiro menyeringai. “Aku
jadi malu sendiri mendengar kau menyebut nama asliku!” berucap si nenek. Lalu
dia geleng-gelengkan kepala. “Sulit kupercaya. Tidak kusangka murid Sinto
Gendeng yang tersohor alim itu kiranya suka juga menculik gadis cantik! Hendak
kau apakan anak gadis orang?!” Si nenek yang lebih dikenal dengan julukan
Gondoruwo Patah Hati berkata lalu tertawa cekikikan.
“Aku
bukan pemuda alim Nek. Tapi aku tidak punya maksud jahat terhadap gadis ini!”
jawab Wiro.
“Amboi!
Amboi!” Gondoruwo Patah Hati berucap dan lagi-lagi keluarkan tawa mengikik.
“Seorang pemuda menculik gadis jelita di siang bolong! Berucap tiada niat
jahat! Tapi kalau setan mendekam di dalam dada, turun ke bawah perut, siapa
bisa menduga apa yang akan terjadi?!”
“Nek, kau
tahu siapa adanya gadis ini?” tanya Wiro.
“Tentu
saja aku tahu. Karena aku sudah menguntitmu sejak kau kabur dari Kotaraja!
Gadis itu adalah puteri Patih Selo Kaliangan. Kau membuat urusan tambah jadi
kapiran anak muda! Perlu apa kau menculik gadis itu?”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Ketika dia hendak bicara si nenek berikan isyarat dengan
gerakan tangan.
“Aku
mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Orang-orang Kerajaan pasti tengah
melakukan pengejaran. Tidak aman berlama-lama di tempat ini. Mari ikuti aku.
Ada satu tempat baik untuk bersembunyi.” Dalam gelapnya malam.
Gondoruwo
Patah Hati berkelebat ke arah barat. Wiro mengikuti. Kali ini dia tidak bisa
berlari terlalu cepat karena dua kakinya yang luka terasa sakit dan nafasnya
cepat sesak akibat pengaruh racun kuku kaki Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara
yang masih mengendap dalam aliran darahnya.
Hanya
beberapa saat Wiro dan Gondoruwo Patah Hati meninggalkan kawasan berpohon besar
itu, serombongan pasukan berkuda dari Kotaraja melintas dengan cepat. Di depan
sekali kelihatan Ki Sepuh Item dan si botak berjuluk Si Bisu Pencabut Nyawa
Tanpa Suara.
Tempat
yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati itu adalah sebuah tebing batu berbentuk
cegukan dalam tikungan sebuah sungai, tersembunyi di balik kerimbunan
pohon-pohon bambu. Wiro membaringkan Sutri di tanah yang kering. Si gadis yang
tidak bisa bicara tak bisa bergerak hanya bisa memandang Wiro dengan sorotan
mata garang.
“Aku
perhatikan gerak-gerikmu tidak seperti biasa. Kau terluka……” si nenek bertanya
sambil memandang bagian paha celana Wiro.
Pendekar
212 mengangguk.
“Apa yang
terjadi?’
“Aku
dikeroyok habis-habisan ketika mendatangi Patih Selo Kaliangan di gedung
Kepatihan. Salah seorang pengeroyok, kakek botak berjuluk Si Bisu Pencabut
Nyawa Tanpa Suara berhasil melukai dua pahaku dengan kuku kakinya.
“Kuku itu
beracun……”
“Aku tahu.
Aku telah menotok aliran darahku, menghentikan aliran racun. Tapi rasa sakit
pada luka belum lenyap. Tubuhku terasa dingin, padahal kalau dipegang rasanya
panas……”
“Kau
mencari penyakit. Perlu apa kau jual tampang masuk ke gedung Kepatihan?!” tanya
si nenek.
“Siapa
yang jual tampang?!” jawab Wiro agak kesal tapi kemudian tertawa lebar. “Ingat
ceritaku tempo hari? Tentang gadis sahabatku yang dipasung dimasukkan ke dalam
guci oleh Iblis Kepala Batu? Aku butuh keterangan mengenai mahluk keparat itu.
Patih Kerajaan pasti tahu di mana beradanya.”
“Anak
muda, kadang-kadang kau cerdik, kadang-kadang malah bodoh! Apa kau kira Patih
Kerajaan akan mau begitu saja memberitahu kepadamu di mana beradanya orang yang
kau cari! Padahal sang Patih mendendam setengah mati terhadapmu, terhadap kita
berdua.”
“Aku
katakan padanya, jika dia memberitahu dan aku bisa menyelamatkan sahabatku, aku
akan menolong mengobati penyakit yang dideritanya.”
“Lagakmu!
Racun ular berbisa yang mendekam dalam tubuh Patih itu sulit obatnya……”
“Aku tahu
Nek, tapi dengan petunjuk Tuhan aku yakin bisa menolong. Asal sang Patih juga
mau menolongku.”
Si nenek
tertawa. “Kau benar-benar tolol! Apa kau kira Patih itu mau memberitahu di mana
beradanya orang yang kau cari? Pasti tidak! Lantas kau malah menculik puterinya
untuk dijadikan jaminan!”
“Bukan
itu saja alasanku. Aku terpaksa menculik gadis itu agar bisa lolos dari gedung
Kepatihan,” menerangkan Wiro “Selain itu ada satu hal penting telah kuberitahu
pada Patih Kerajaan yaitu bahwa aku bukan pembunuh Kinasih dan suaminya. Aku
juga bukan orang yang mencuri keris pusaka keraton Keris Kiai Naga Kopek. Bila
tiba saatnya akan kubuktikan pada Patih itu siapa orang-orang yang bertanggung
jawab atas semua kejadian itu.”
Gondoruwo
Patah Hati terdiam. Dia teringat pada pertemuannya dengan Adisaka, muridnya
yang sesat, yang selama ini gentayangan melakukan berbagai kejahatan dengan
memakai nama Damar Wulung. Sebenarnya saat itu dia ingin memberitahu pada Wiro
bahwa dia telah bertemu dengan Damar Wulung dan bahwa Damar Wulung adalah
muridnya. Bahwa dia telah punya niat untuk menghukum sang murid, namun Adisaka
alias Damar Wulung sempat melarikan diri. Entah mengapa mulutnya tak sampai
berucap dan suara hatinya tidak pula keluar. Keterangan itu tidak disampaikannya
kepada Wiro. Si nenek mengusap wajahnya, menyembunyikan perasaan.
“Apa kau
telah bertemu dengan bocah bernama Naga Kuning?” Gondoruwo Patah Hati alihkan
pembicaraan.
Wiro
menggeleng. “Kau sendiri, apakah sudah bertemu dengan Adisaka, muridmu itu?”
Gondoruwo
Patah Hati terdiam. Hatinya bimbang, apa akan diberitahu atau tidak. Seperti
Wiro akhirnya dia juga gelengkan kepala.
Wiro
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian. Setelah mengerahkan
tenaga dalamnya, senjata sakti itu diletakkan di atas kedua pahanya yang
terluka. Seperti diketahui Kapak Maut Naga Geni 212 merupakan senjata sakti
mandraguna yang memiliki kemampuan untuk memusnahkan racun jahat.
Wiro
merasa ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Menyusul muncul aliran
hawa dingin. Gondoruwo Patah Hati melihat apa yang terjadi di hadapannya.
Mula-mula sekujur tubuh Wiro tampak bergetar. Lalu tubuh itu basah oleh
keringat. Dua mata kapak sakti yang tadinya putih berkilat kini menjadi redup
kehitam-hitaman. Racun jahat dalam tubuh Pendekar 212 telah berpindah, tersedot
masuk ke dalam dua mata kapak sakti. Getaran di tubuh Wiro berkurang. Dengan
tangan kanannya Wiro mengangkat Kapak Naga Geni 212 lalu merapal sesuatu.
Ketika dia meniup, cahaya hitam redup yang melekat di mata kapak serta merta
lenyap.
“Senjata
luar biasa!” si nenek memuji kagum. Dari balik pakaian hitamnya dia
mengeluarkan dua butir benda putih. Diberikannya kepada Wiro. “Telan. Lukamu
pasti sembuh dalam waktu satu hari…..”
“Terima
kasih Nek,” kata Wiro. Dia tidak segera menelan obat itu. tapi memperhatikannya
beberapa ketika. “Obat apa ini, Nek? Tahi kambing?”
“Tahi
kambing moyangmu! Tahi kambing mana ada yang putih!”
“Oo,
mungkin ini tahi onta!” kata Wiro pula. Dia tertawa gelak-gelak lalu dua butir
obat itu dimasukkannya ke dalam mulut.
Gondoruwo
Patah Hati melirik pada sosok Sutri yang tergolek di tanah. Lalu dia berpaling
pada Wiro. “Walau tempat ini aman, kita tidak bisa terus-terusan berada di
sini. Apa yang hendak kau lakukan?”
Wiro
merenung memikir jawab. Dia memandang seputar cegukan tebing batu. Begitu
pandangannya sampai pada sosok Sutri, pemuda ini berucap “Aku akan membebaskan
puteri Patih Kerajaan itu. Aku rasa tak ada guna aku menahannya lebih lama. Dia
tidak ada sangkut paut dengan semua yang terjadi. Tidak adil kalau aku
menyengsarakannya.”
Sejak
tadi Sutri yang berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa bersuara telah
mendengar semua percakapan Wiro dan nenek muka setan. Dia tidak mengira bakal
mendengar ucapan seperti yang tadi dikeluarkan Wiro. Kalau sebelumnya dia
merasa sangat benci dan marah terhadap pemuda ini, kini perasaan itu sedikit
demi sedikit menjadi pupus.
Gondoruwo
Patah Hati mengangguk-angguk. “Itu perbuatan ksatria. Kau masih bisa mencari
cara lain untuk menolong sahabatmu gadis dari alam roh itu. sekarang ada satu
hal yang ingin kuberitahu kepadamu. Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan
empat orang gadis kekasihmu!”
“Nek, kau
jangan bergurau! Aku tidak punya kekasih. Apa lagi sampai empat orang!” ujar
Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia lunjurkan kedua kakinya. Luka pada dua
pahanya masih belum kering namun rasa sakit telah jauh berkurang.
Gondoruwo
Patah Hati tertawa cekikikan. “Jangan berpura-pura. Kau tidak senang rahasiamu
diketahui puteri Patih itu hah? Walah, jangan-jangan benar dugaanku. Kau telah
berubah pikiran. Jatuh cinta pada gadis yang kau culik itu?! Lalu berpura-pura
jadi pemuda baik-baik, belum punya kekasih! Hik…..hik…..hik!” Si nenek
memandang ke arah Sutri. “Hemmmmm…… Aku tidak menyalahkan kalau kau kecantol
pada puteri Patih ini. Wajahnya cantik, rambut hitam, tubuh bagus mulus.
Hik…hik….hik!”
Wajah
Sutri Kaliangan menjadi merah mendengar kata-kata nenek muka setan itu
sementara Wiro tertawa gelak-gelak sambil garuk-garuk kepala.
“Kau tak
percaya aku bertemu dengan empat gadis cantik kekasihmu?”
“Katakan,
siapa saja mereka itu Nek,” jawab Wiro.
“Yang
pertama seorang dara berbadan wangi semerbak, berambut pirang. Namanya Bidadari
Angin Timur. Nah…..nah, kulihat dua matamu menjadi besar!” Si nenek tertawa
cekikikan lalu tempelkan telapak tangan kirinya ke dada Wiro. “Nah, nah!
Jantungmu berdebar lebih keras! Hik…hik….hik! Gadis kedua bermata biru. Pakai
mahkota kecil di kepalanya. Pakaiannya ketat, tubuhnya bagus. Dia dikenal
dengan sebutan Ratu Duyung! Yang ketiga, berkulit putih berbadan montok. Gadis
ini kabarnya sudah dijodohkan dengan dirimu. Namanya Anggini, cucu Dewa Tuak.
Kekasihmu yang keempat bernama Puti Andini, cantik tanpa dandanan, dikenal
dengan julukan Dewi Payung Tujuh!”
Wiro
ternganga. Garuk kepala lantas bertanya. “Di….. dimana kau bertemu dengan
mereka, Nek?
“Nah, apa
kataku! Kini kau tak dapat lagi menyembunyikan perasaan! Hik…hik….hik!”
Gondoruwo
Patah Hati lalu menuturkan kisah pertemuannya dengan empat gadis itu. Dimulai
dengan kejadian diculiknya Ratu Duyung. (baca Episode sebelumnya berjudul
“Makam Ketiga”)
“Ah tidak
kusangka kau telah berjada besar menyelamatkan Ratu Duyung dari malapetaka
keji. Nek, apa kau sempat mengetahui siapa manusia terkutuk yang melakukan
perbuatan keji itu?”
Gondoruwo
Patah Hati berdusta. Dia gelengkan kepala. “Orang itu berhasil melarikan diri.
Kepandaiannya tinggi. Sayang aku tidak bisa meringkusnya….” Si nenek ucapkan
kedustaan itu dengan perasaan hati penuh ganjalan.
“Mengenai
empat gadis itu, kau tahu di mana mereka sekarang berada? Mungkin mereka memberitahu
atau mengatakan sesuatu?” Wiro bertanya.
“Setahuku
mereka tengah dalam perjalanan menuju Gunung Gede.”
Wiro
terkejut mendengar jawaban si nenek. “Menuju Gunung Gede? Ada apa di sana?
Apakah Eyang Guru sakit. Atau…..”
“Wiro,
turut apa yang aku dengar, empat gadis itu telah berusaha keras mencarimu sejak
dua tahun silam. Belakangan ini terjadi satu peristiwa besar. Mereka menyirap
kabar bahwa kau telah menemui kematian. Anehnya jenazahmu dimakamkan di tiga
tempat. Pada dua makam pertama mereka tidak menemukan apaapa. Kecuali
surat-surat aneh….” Si nenek lalu menuturkan apa yang diketahuinya tentang
Makam Setan Pertama dan Makam Setan Kedua. “Makam Setan Ketiga ada di puncak
Gunung Gede. Itu sebabnya empat gadis tadi berangkat ke sana…..”
“Aneh,
siapa yang menyebar kabar kalau aku sudah mati? Dikubur di salah satu makam.
Tapi kepergianku ke Negeri Latanahsilam selama dua tahun memang bisa
menimbulkan berbagai prasangka. Ada orang yang sengaja memanfaatkan hal ini…..”
Wiro membatin, menggaruk kepala lalu bertanya.
“Kau
tidak memberitahu bahwa kita pernah bertemu, yang menyatakan bahwa diriku masih
hidup?” tanya Wiro
“Aku
memberitahu. Tapi mungkin mereka tidak sepenuhnya percaya pada ucapan nenek
muka setan sepertiku ini.”
“Aku
punya dugaan ada seseorang mengatur semua ini. Aku punya firasat mereka
berempat dalam bahaya!”
Wiro
berdiri. Dia mengerenyit karena gerakan yang tiba-tiba membuat dua pahanya yang
luka terasa sakit.
“Nek, aku
terpaksa meninggalkanmu. Aku harus segera ke Gunung Gede.”
Si nenek
berkomat kamit. Wiro mendekati sosok Sutri. Dia membungkuk lalu berkata
“Maafkan kalau aku telah menyusahkanmu. Kau boleh kembali ke Kotaraja. Walau
ada urusan besar antara aku dengan ayahmu, harap tidak ada dendam di antara
kita. Karena yang membuat ayahmu celaka bukan diriku, bukan juga nenek itu.
tapi seekor ular berbisa! Ular itu milik tokoh silat Istana berjuluk Setan
Bertongkat Ular. Orang itu melenyapkan diri begitu saja.” Wiro tersenyum lalu
jari-jari tangannya bergerak meleaps totokan di tubuh si gadis. Begitu
totokannya lepas Sutri Kaliangan melompat bangkit. Tangan kanannya bekerja.
“Bukkkk!”
Wiro
terpental, jatuh terjengkang di tanah. Jotosan tangankanan Sutri Kaliangan
bersarang telak di dadanya. Sakitnya bukan main namun sang pendekar masih bisa
tersenyum sambil usap-usap dadanya. Wiro merangkak di tanah, berpegangan pada
kaki Gondoruwo Patah Hati yang ada di hadapannya lalu mencoba bangkit berdiri.
Sambil bergerak bangkit tangannya menarik sedikit bagian bawah pakaian hitam si
nenek. Seperti dulu, dia melihat sepasang betis yang putih, mulus dan bagus.
Bukan layaknya betis seorang nenek seusia Gondoruwo Patah Hati. Ini adalah satu
keanehan yang menjadi tanda tanya besar bagi Wiro namun dalam keadaan seperti
itu tidak mungkin diungkapkannya.
Terbungkuk-bungkuk
Wiro berkata pada Sutri yang tadi menjotos dadanya. “Terima kasih. Aku telah
menerima hukuman darimu. Apa cukup sebegitu saja atau masih ada tambahan yang
lain?”
Paras
cantik puteri Patih Kerajaan itu mengelam merah. Dia maju dua langkah. Tangan
kanan terkepal namun pukulan tidak dilayangkan. Wiro menunggu. Si gadis tetap
tidak bergerak.
“Kau
gadis baik!” Wiro memuji. “Aku harap kau bisa mengerti. Silang sengketa antara
aku, maksudku aku dan nenek ini dengan ayahmu adalah satu kesalah pahaman besar
dari pihak Kerajaan. Aku tidak membunuh Kinasih dan suaminya. Aku juga tidak
mencuri Keris Kiai Naga Kopek. Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku bisa
mengungkapkan siapa yang betanggung jawab atas semua kejadian itu.” Wiro
berpaling pada Gondoruwo Patah Hati. “Nek, aku terpaksa meninggalkanmu. Terima
kasih obat tahi ontamu tadi! Mudah-mudahan mujarab!”
Si nenek
muka setan tertawa mengekeh.
“Tunggu!”
Tba-tiba
Sutri Kaliangan berteriak. Wiro yang sudah berada di luar cegukan tebing batu
hentikan langkahnya dan berpaling. Sekali melompat puteri Patih Selo Kaliangan
itu telah berada di hadapan sang pendekar. Tangan kanannya yang masih membentuk
tinju terpentang di depan dada.
“Ada apa?
Kau belum puas menggebukku?” tanya murid Sinto Gendeng sambil berlaku waspada.
“Aku
hanya mau memberitahu,” berucap si gadis dengan suara perlahan. “Tempat
kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat di sebuah pohon besar, di dekat air
terjun Jurangmungkung……”
Tentu
saja Pendekar 212 WS tercengang tidak mengira si gadis akan mengeluarkan ucapan
seperti itu. Kalau ayahnya, Patih Kerajaan tidak mau memberitahu mengapa kini
tiba-tiba sang puteri memberitahu? Sebelumnya si gadis begitu nekad hendak
membunuhnya. Kini malah menunjukkan itikad baik seperti itu. benar-benar sulit
dipercaya. Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
“Kau
pasti menduga aku menipu atau menjebakmu. Terserah, mau percaya atau tidak. Aku
hanya menginginkan kesembuhan ayahku!” Sutri Kaliangan rupanya bisa menerka
ketidak percayaan dalam diri Wiro. Si gadis balikkan badan.
“Tunggu!
Tentu saja aku percaya pada keteranganmu dan aku mengucapkan terima kasih,”
kata Wiro. “Tapi air terjun Jurangmungkung yang kau katakan itu baru sekali ini
aku mendengar. Di mana letaknya…..?’ tanya Wiro. Dia hanya berpura-pura karena
sebenarnya dia sudah tahu di mana letak air terjun Jurangmungkung itu. Wiro
hanya ingin menguji karena bukan mustahil si gadis memang hendak menipu
dirinya. Sebelumnya Sutri marah besar dan ingin membunuhnya. Kini mengapa sang
dara berubah pikiran dan bersikap baik padanya.
“Tempat
itu tidak jauh dari Mojogedang, arah timur laut Karanganyar.” Menerangkan
Sutri.
“Terima
kasih. Kalau aku boleh tanya mengapa kau memberitahu? Padahal ayahmu sebelumnya
tak mau mengatakan.”
“Apa
pertanyaan itu perlu kujawab?” balik bertanya putri Patih itu. “Malah kini aku
menagih janji. Bukankah kau berkata pada ayahku akan mengobatinya jika
diberitahu tempat kediaman Iblis Kepala Batu?’
“Janji
akan kupenuhi. Namun ada beberapa urusan penting yang harus aku selesaikan.
Ayahmu sanggup bertahan cukup lama…..”
“Kalau
dia menemui kematian sebelum kau sempat menolongnya, berarti kau punya hutang
nyawa. Yang cuma bisa kau lunasi dengan nyawamu sendiri….”
Wiro
menggaruk kepala lalu berkata “Baik. Baik. Nenek jelek menjadi saksi ucapanku.
Biar nyawaku tebusan nyawa ayahmu jika dia sampai menemui kematian.”
“Sialan.
Enak saja kau bicara bilang aku nenek jelek!” kata Gondoruwo Patah Hati sambil
bersungut-sungut.
Wiro
tertawa. “Nek, apa kau lupa. Dulu aku pernah bilang. Wajahmu mungkin seperti
setan tapi hatimu lebih baik dari bidadari.” Si nenek membuang muka, memendang
ke jurusan lain. Tapi Wiro tahu kalau si nenek berbunga-bunga hatinya dikatakan
sebaik bidadari. “Nek, aku pergi dulu. Kalau aku bertemu Naga Kuning, aku akan
beritahu kau mencarinya….”
Gondoruwo
Patah Hati jadi kaget. “Aku tidak mencarinya. Aku……”
“Kalau
begitu, bagaimana jika aku bertemu Rana Suwarte, akan kukatakan padanya kau kangen
daningin bertemu!”
“Kupecahkan
batok kepalamu jika berani melakukan itu!” kata GP setengah berteriak.
Tangan
kanannya yang berkuku panjang diangsurkan ke depan seolah mau mencakar si
pemuda. Wiro cepat menghindar lalu sambil tertawa bergelak dia tinggalkan
tempat itu. Seperti diketahui Rana Suwarte adalah kakek yang hendak dijodohkan
dengan dirinya oleh ayah angkatnya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Tinggal
berdua dengan Sutri, Gondoruwo Patah Hati tatap wajah si gadis sambil hatinya
bertanya-tanya, apakah gadis ini tahu kalau dialah yang memasukkan ular berbisa
ke dalam celana Patih Kerajaan hingga ayah si gadis kini menderita sakit berat.
Tiba-tiba
Sutri berkata. “Aku tahu, kau yang menjadi biang sebab sakitnya ayahku. Saat
ini ingin sekali aku membunuhmu! Tapi aku masih bisa bersabar. Tapi kalau
Pendekar 212 WS tidak menepati janji, tidak mampu menyembuhkan penyakit ayahku,
setelah dia maka kau akan ikut menerima kematian.”
Si nenek
runcingkan mulutnya lalu bertanya. “Mengapa kau mau bersikap baik dan sabar
padaku? Apa karena kau telah jatuh hati pada pemuda sahabatku tadi?’
“Mulutmu
lancang sekali!” Sutri membentak dengan wajah merah.
Gondoruwo
Patah Hati tertawa. “Aku pernah muda sepertimu. Aku tahu betul rasa hati orang
muda. Tidak ada yang melarang seorang gadis menyukai seorang pemuda. Tapi dalam
hal diriku, kau punya empat saingan berat. Empat gadis yang mencintai Pendekar
212 semua cantik-cantik!” Si nenek tertawa panjang lalu tinggalkan tempat itu.
“Tua
bangka geblek. Dari julukannya saja aku tahu dia memendam banyak kepahitan di
masa mudanya. Pasti gara-gara urusan cinta! Mungkin dengan orang bernama Rana
Suwarte itu. Rana Suwarte adalah kakek yang iktu bergabung dengan pasukan
Kerajaan dalam mencari Wiro dan nenek muka setan itu.” Sutri memandang berkeliling.
Apa yang akan dilakukannya? Ke mana dia akan pergi? Kembali ke gedung
Kepatihan? Atau diam-diam mengiktui Wiro? Setelah bimbang sebentar akhirnya
Sutri memilih kembali ke Kotaraja. Bagaimanapun juga gadis ini mengawatirkan
sakit ayahnya.
***********************
ENAM
Kembali
ke puncak Gunung Gede. Di dalam liang makam ketiga yang baru setengahnya mereka
gali, sambil berteriak memperingatkan bahwa ada mahluk hidup di dalam makam,
Ratu Duyung melesat ke atas. Tangan kiri Anggini ditariknya sedang dengan
tangan kanan sosok Bidadari Angin Timur didorongnya kuat-kuat.
Apa yang
kemudian terjadi sungguh tidak terduga dan mengejutkan. Makam itu bergetar lalu
tanah yang belum tergali muncrat ke atas. Bersamaan dengan itu dua tangan
menyembul dari dalam liang kubur, mencuat ke udara, menghantam keras.
Dari
tangan sebelah kanan menderu sinar kuning, hitam dan merah. Tangan sebelah kiri
tidak memancarkan cahaya, namun deru sambaran angin keras dan dingin. Karena
berada paling bawah di dalam kuburan maka dua pukulan itu dengan sendirinya
menyambar ke arah sosok Anggini.
“Anggini
awas!” tariak Ratu Duyung. dia lipat gandakan tenaga untuk menarik lengan
Anggini. Anggini sendiri cepat kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh, mengayunkan tubuh melesat ke atas. Namun bagaimanapun kuatnya tarikan
Ratu Duyung, bagaimanapun cepatnya Anggini melompat selamatkan diri ke atas,
dia hanya mampu menyelamatkan diri dari pukulan sebelah kanan yang memancarkan
cahaya merah, kuning dan hitam.
“Bukkk!”
Satu
jeritan merobek udara.
Tubuh
Anggini mencelat sampai dua tombak. Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur yang
berhasil keluar selamatkan diri dari dalam makam sama-sama terpekik. Dua gadis
ini serta merta menyambuti tubuh Anggini hingga tidak terbating ke tanah. Wajah
cantik cucu Dewa Tuak itu kelihatan pucat. Matanya setengah terpejam kuyu. Dari
dela bibirnya mengucur darah.
Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung cepat menggotong Anggini lalu membaringkan gadis
itu di samping pondok kayu. Mereka berusaha menolong namun perhatian keduanya
terpecah oleh suara tawa bergelak dari arah makam ketiga. Ketika mereka sama
palingkan kepala ke arah makam itu, tiba-tiba satu sosok melesat keluar.
Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung memandang terbeliak.
Orang
yang keluar dari dalam liang makam itu mengenakan baju dan celana hitam. Di
sebelah atas dia mengenakan sehelai mantel berwarna hitam. Keningnya diikat
dengan sehelai kain merah. Ketika dia berdiri dengan kaki merenggang dan
berkacak pinggang, di dada pakaiannya kelihatan gambar gunung berwarna biru
dengan latar belakang matahari warna merah serta garis-garis pancaran sinar
yang juga berwarna merah.
“Pangeran
Matahari!” Dua gadis keluarkan ucapan hampir berbarengan.
“Tapi…..”
ujar Bidadari Angin Timur kemudian sambil memegang lengan Ratu Duyung. Sepasang
matanya terus memandangi si mantel hitam tak berkesip.
“Tapi
wajahnya bukan wajah Pangeran Matahari!” kembali Bidadari Angin Timur keluarkan
suara. “Orang ini mempunyai ilmu bisa mendekam di dalam tanah. Setahuku
Pangeran Matahari tidak memiliki ilmu itu.”
“Aneh.
Tapi siapapun dia adanya, dia pasti bangsat yang berada di belakang semua
kejadian ini. Sejak dari makam pertama, makam kedua dan kini makam ketiga.
Jelas dia memang ounya rencana jahat. Untuk mencelakai kita!”
“Tapi
mengapa kita? Kita tidak ada permusuhan dengannya!” ujar Bidadari Angin Timur.
“Musuh
besarnya memang Pendekar 212. Tapi otak jahatnya punya seribu akal. Bukankah
keparat satu ini yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala
Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak?!”
“Jahanam
betul!” rutuk Bidadari Angin Timur. “Aku akan menemui bangsat itu. Membuat
perhitungan dengannya! Lekas tolong Anggini. Totok jalan darahnya. Dia cidera
berat di sekitar dada. Nyawanya dalam bahaya. Kalau tidak lekas ditolong kita
bisa-bisa kehilangan dirinya.”
“Aku akan
menolong sebisaku. Kau hadapi orang itu. Hati-hati.” Ratu Duyung merasa
kawatir. Jika orang itu benar Pangeran Matahari, sanggupkah Bidadari Angin
Timur menghadapnya?
Bidadari
Angin Timur mengangguk. Sekali melesat, gadis ini sudah berdiri tujuh langkah
di hadapan orang bermantel hitam yang tegak di tepi makam ketiga.
“Manusia
keparat! Siapa kau?!” bentak Bidadari Angin Timur.
Yang
ditanya pandangi wajah cantik jelita di hadapannya sesaat lalu mendongak
danmenghirup udara dalam-dalam. “Hemmmm….. Tubuh memancarkan bau wangi. Rambut
pirang, wajah jelita. Kau tidak mengenali diriku. Tapi aku tahu siapa dirimu.
Bukankah kau dara jelita yang tersohor di delapan penjuru angin itu? Yang
bernama Bidadari Angin Timur?”
Bidadari
Angin Timur terkejut ketika mengetahui orang mengenali dirinya. “Jadi kau biang
racun jahanam di balik munculnya tiga makam setan! Manusia keparat! Apa
maksudmu melakukan semua itu?! Apa kau terlalu pengecut memperkenalkan diri?!
Ingat, kau telah mencelakai temanku! Aku tidak segan-segan membunuhmu!”
Orang
bermantel hitam tertawa gelak-gelak.
“Gadis
cantik, yang namanya Bidadari itu selalu bersifat welas asih dan lemah lembut.
Tapi kau mengapa begini galak dan malah mengancam hendak membunuhku? Ah, ingin
sekali aku tahu bagaimana nikmatnya mati di tangan seorang bidadari! Ha….ha……ha!”.
Habis tertawa orang bermantel lalu meramkan mata, pasang dada seolah menunggu
minta digebuk.
“Jahanam!
Kau minta mati! Aku berikan kematian padamu!” teriak Bidadari Angin Timur.
Gadis ini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Seperti
diketahui Bidadari Angin Timur memiliki gerakan luar biasa cepatnya. Hampir
tidak kelihatan tangan kanan yang sudah diisi tenaga dalam penuh itu, yang
sanggup menjebol tembok tebal menghancurkan batu besar melesat ke arah muka
orang bermantel hitam.
Yang diserang
tenang-tenang saja, malah sambil tertawa bergelak dan bertolak pinggang dia
sengaja menanti datangnya hantaman Bidadari Angin Timur!
Hanya
satu jengkal lagi jotosan Bidadari Angin Timur akan menghancurkan mukanya,
tiba-tiba orang bermantel tekuk sepasang lutut, rundukkan kepala dan dua
tangannya dipukulkan ke depan. Satu mengarah dada, satu mencari sasaran di
perut Bidadari Angin Timur.
“Pukulan
Dua Singa Berebut Matahari! Murid jahanam! Kau pernah punya niat membunuhku!
Aku tidak rela kau pergunakan ilmu itu!”
Satu
seruan keras menggeledek di puncak gunung. Satu auman menggelegar dahsyat lalu
satu bayangan merah berkelebat. Dua larik angin menderu, satu mendorong
Bidadari Angin Timur hingga terjajar jauh ke kiri satunya lagi membuat orang
bermantel hitam tersurut tiga langkah. Bidadari Angin Timur selamat dari dua
pukulan maut, berdiri setengah tertegun dengan muka pucat. Memandang ke depan
dia melihat satu mahluk aneh berdiri di antara dia dengan orang bermantel
hitam. Mahluk ini memiliki tubuh tinggi besar seperti manusia. Tapi kepalanya
tertutup rambut merah berjingkrak. Ketika Bidadari sempat melihat sepasang
matanya, gadis ini jadi merinding. Mata itu memiliki bola mata pipih berwarna
kelabu, seperti mata binatang! Bidadari Angin Timur tak dapat memastikan apakah
mahluk ini manusia betulan atau manusia seetengah binatang, menyerupai singa?
“Pangeran
Miring! Kaukah ini?!” Tiba-tiba mahluk menyerupai singa menegur. Tapi kemudian
wajahnya menunjukkan bayangan rasa heran. Dalam hati dia berkata “Sosok dan
pakaiannya memang dia. Tapi mengapa wajahnya berubah? Mungkinkah dia…..”
Orang
bermantel hitam tampak kaget tapi hanya sebentar. Dia layangkan pandangan
dingin, rahang menggembung.
“Kau
tidak menjawab berarti kau memang Pangeran Miring yang kabur dari jurang di
Teluk Penanjung! Akhirnya kutemui juga kau! Jangan harap bisa lolos! Saat ini
juga kau harus ikut aku ke Teluk!”
Orang
yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring keluarkan suara mendengus. Lalu
meludah ke tanah.
“Singo
Abang! Kau datang mencari mati! Aku akan tamatkan riwayatmu dengan ilmu yang
kau ajarkan padaku! Terima kematianmu!” Begitu ucapannya selesai orang
bermantel hitam langsung hantamkan dua tangannya ke depan. Seperti tadi
menyerang Bidadari Angin Timur, kembali dia keluarkan pukulan Dua Singa Berebut
Matahari. Hanya kali ini pukulan maut tersebut dilancarkan dengan tenaga dalam
lebih dahsyat!
Mahluk
berambut merah yang diserang keluarkan suara mengaum. Lalu balas memukul. Pada
saat itu pula satu bayangan putih melesat di udara. Menyusul satu bentakan.
“Apa yang
terjadi di tempat ini?! Siapa berani berlaku kurang ajar mengotori puncak
Gunung Gede tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng?!”
Begitu
bentakan lenyap satu gelombang angin dahsyat topan prahara melabrak tempat itu.
Lalu bummm! Tiga tenaga dalam tinggi saling bentrokan. Puncak Gunung Gede
laksana mau meledak. Pasir dan debu beterbangan ke udara. Daun-daun pepohonan
luruh ke tanah. Terdengar suara mengaum. Ada yag berteriak kaget. Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung keluarkan seruan tertahan.
Dalam
gelapnya pemandangan akibat tebaran debu dan pasir terdengar suara mengaum lalu
bentakan garang.
“Pangeran
Miring! Kau mau kabur ke mana!”
Satu
bayangan merah berkelebat di dekat Ratu Duyung. Satu suara berucap. “Berikan
obat ini pada gadis yang cidera.” Suara lenyap, bayangan merah ikut lenyap.
Samar-samar
kelihatan dua sosok berkelebat ke arah timur. Ketika udara terang kembali
ternyata orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran Miring dan sosok mahluk
setengah manusia setengah singa yang tadi ada di tempat itu kini lenyap tak
kelihatan lagi! Yang ada di depan sana adalah sosok seorang pemuda gagah
berambut gondrong, berpakaian putih kotor, mengenakan celana robek besar di
bagian paha. Dadanya tampak turun naik akibat bentrokan tenaga dalam yang
hebat.
“Wiro!”
Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur sama-sama berseru. Samasama tak percaya
pada pemandangan mereka karena siapa menduga Pendekar 212 akan muncul di tempat
itu.
***********************
TUJUH
Pendekar
212 WS melompat mendekati Bidadari Angin Timur. “Wiro, aku seperti tak
percaya……” kata si gadis. Ada rasa haru dalam kegembiraan hatinya. Saat itu
ingin sekali dia memeluk orang yang selama ini dirinduinya. Kalau saja di
tempat itu tidak ada Ratu Duyung dan Anggini tidak dalam keadaan cidera berat
mungkin dia sudah melakukan hal itu. paling tidak memegangi tangan si pemuda.
Murid
Sinto Gendeng tersenyum. Dipegangnya bahu Bidadari Angin Timur. Sentuhan tangan
itu bagi si gadis merupakan satu kebahagiaan yang tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata. Diremasnya jari-jari tangan Wiro yang memegang bahunya. “Aku….
Maksudku kami mencarimu di mana-mana. Kami mencarimu hampir di setengah tanah
Jawa. Kami mendatangi dua makam aneh. Ini makam ketiga……”
“Aku
sudah mendengar cerita tentang dua makam itu. Agaknya aku datang terlambat.”
Wiro memandang ke arah Ratu Duyung yang saat itu pura-pura menyibukkan diri
menolong Anggini yang tergeletak di tanah. Sebenarnya hatinya tak sanggup
menahan cemburu ketika melihat Wiro memegang bahu Bidadari Angin Timur dan
Bidadari Angin Timur memegang jari-jari tangan pemuda itu. Dirinya merasa
seperti tidak diacuhkan, seolah dia tidak ada di tempat itu. Murid Sinto
Gendeng memaklumi perasaan Ratu Duyung.
Wiro
turunkan tangannya dari bahu Bidadari Angin Timur. Diikuti si gadis dia
melangkah cepat ke tempat Anggini tergeletak.
“Ratu
Duyung,” tegur Wiro. Dibelainya rambut gadis itu lalu duduk di sebelahnya. Kini
Bidadari Angin Timur yang dirayapi rasa cemburu. “Anggini….” Wiro pegang lengan
Anggini. Masih terasa denyutan nadinya walau agak lemah. Dua mata Anggini
terbuka sedikit. Samar-samar dia melihat wajah sang pendekar. Ada rasa tak
percaya. Dua mata terbuka membesar.
“Wiro…..”
hanya ucapan perlahan menyebut nama si pemuda yang keluar dari mulut Anggini.
Lalu kepala cucu Dewa Tuak ini terkulai. Matanya terkatup. Bidadari Angin Timur
dan Ratu Duyung berseru kaget karena menyangka Anggini telah menghembuskan
nafas terakhir. Dan gadis ini merangkuli tubuh Anggini. Ratu Duyung mulai
sesenggukan.
“Tak
perlu kawatir. Dia cuma pingsan,” kata Wiro yang masih memegang dan merasakan
denyutan di lengan Anggini. Wiro lalu memeriksa keadaan Anggini dengan cepat.
Ketika dia menyingkapkan sedikit pakaian si gadis di bagian dada kelihatan
tanda merah kebiruan. “Dia menderita luka dalam cukup parah.” Wiro segera
menotok beberapa jalan darah di tubuh Anggini lalu kerahkan hawa sakti,
dialirkan ke dalam tubuh si gadis. “Apa yang terjadi?!” tanya Wiro kemudian.
Ratu Duyung
memandang pada Bidadari Angin Timur, memberi tanda dengan anggukan kepala agar
Bidadari Angin Timur saja yang memberi keterangan. Bidadari Angin Timur lalu
menuturkan semua kejadian sejak mereka mulai menjejakkan kaki di tempat itu.
Wiro
merasakan dadanya sesak. Matanya memandang terbeliak ke arah kubur di seberang
sana. “Puti Andini……” katanya serak. “Puti Andini…..mati? Ya Tuhan. Apa yang
terjadi? Siapa yang membunuhnya?” Wiro berdiri, tinggalkan tiga gadis itu,
melangkah menuju makam di mana Puti Andini dikubur. Dia pegangi tanah merah
kuburan. Matanya dipejamkan. Sekujur tubuh bergetar.
“Tuhan,
umur manusia memang kuasaMu. Tetapi aku tidak rela Puti Andini menemui kematian
seperti ini. Aku bersumpah akan menghancurkan kepala manusia yang melakukan perbuatan
keji biadab ini! Puti Andini…… Ah…..” Saat itu semua peristiwa yang dialaminya
di pelupuk mata Pendekar 212 WS. Sepasang mata sang pendekar kelihatan
berkaca-kaca. “Puti Andini, aku banyak sekali berhutang budi padamu. Bahkan
berhutang nyawa. Belum sempat aku membayar semua itu, kini kau telah tiada. Ya
Tuhan, dia gadis baik….. Mengapa kau panggil dia secepat ini……?’
Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung sama berlinang air mata mendengar desah ucapan
Pendekar 212. Wiro berpaling pada kedua gadis itu. Suaranya serak.
“Katakan
siapa yang membunuh Puti Andini? Kalian tahu siapa orangnya?’
“Kami
tidak dapat memastikan,” jawab Bidadari Angin Timur. “Tapi ada dugaan pelakunya
adalah orang yang sebelumnya mendekam dalam makam ketiga.”
“Siapa?!
Siapa orangnya? Bagaimana ciri-cirinya?!” tanya Wiro.
“Dia
berpakaian serba hitam. Mengenakan mantel hitam. Ada ikat kepala kain merah di
keningnya…..” menjelaskan Ratu Duyung.
“Di dada
bajunya ada gambar gunung biru dan matahari merah,” menambahkan Bidadari Angin
Timur.
“Apa?!”
Wiro tersentak kaget sampai terlonjak berdiri. Dua matanya terbeliak, tak
berkesip pandangi dua gadis di depannya. “Hanya ada satu manusia yang mengenakan
pakaian seperti itu. Si jahanam Pangeran Matahari!” Wiro berkata setengah
berteriak. Dua tangan dikepalkan dan dua kakinya tiba-tiba melesak ke dalam
tanah sampai mata kaki! “Aku akan mencari jahanam itu sampai ke neraka
sekalipun!”
“Wiro,”
kata Bidadari Angin Timur. “Tadinya aku dan Ratu Duyung memang mengira orang
itu adalah Pangeran Matahari. Tapi cuma pakaiannya saja yang sama. Wajahnya
bukan wajah Pangeran Matahari …..”
“Apa?!
Mana mungkin orang dengan ciri-ciri pakaian seperti itu bukan Pangeran Matahari.
Aku tahu dia masih hidup! Aku menemuinya di Teluk Penanjung beberapa waktu
lalu.”
“Kami
berdua tak mungkin keliru. Kami pernah melihat Pangeran Matahari sebelumnya…..”
kata Bidadari Angin Timur.
“Suaranya
yang angkuh, nada tertawanya, sama dengan Pangeran Matahari. Tapi wajahnya…..”
menyambung Ratu Duyung.
“Beberapa
waktu lalu, aku bertemu dengan Pangeran jahanam itu di pinggir jurang di Teluk
Penanjung. Malam gelap, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia muncul dengan
muka cacat. Hidung bengkok, salah satu pipi melesak, mata kiri terbenam…..”
“Orang
bermantel hitam itu berwajah mulus. Tak ada cacat sedikitpun…..” kata Bidadari
Angin Timur. “Tapi wajah itu bukan wajah Pangeran Matahari.”
“Sewaktu
di Teluk Penanjung, dia mungkin punya maksud hendak membunuhku. Tapi mendadak
muncul satu mahluk berambut merah menghajarnya.”
“Aneh,”
kata Ratu Duyung.
“Apa yang
aneh?” tanya Wiro.
“Sewaktu
orang bermantel hitam itu lancarkan serangan menghantam Bidadari Angin Timur
tiba-tiba muncul seorang tinggi besar berambut merah. Sosoknya sebelah atas
seperti singa. Dia mengeluarkan suara mengaum. Mahluk ini memanggil si mantel
hitam dengan sebutan Pangeran Miring. Dua orang itu siap saling hantam, ketika
tiba-tiba kau muncul. Entah mengapa si mantel hitam kemudian melarikan diri.
Dikejar oleh si rambut merah. Keduanya kemudian lenyap.”
“Mahluk
berambut merah. Tadi aku melihatnya hanya sekelebatan. Agaknya dia memang
mahluk yang sama yang muncul di tepi jurang Teluk Penanjung.” Kata Wiro pula.
“Mahluk
itu menyebut si mantel hitam dengan nama Pangeran Miring, murid jahanam,”
berkata Bidadari Angin Timur.
“Pangeran
Miring?” Wiro berpikir. “Aku yakin dia memang Pangeran Matahari.”
“Pangeran
Miring menyebut mahluk berambut merah Singo Abang,” kata Ratu Duyung pula.
“Samar-samar
mereka berkelebat ke arah timur. Aku rasa aku harus mengejar mereka sekarang
juga…..” Walau berkata begitu namun Wiro tetak tak bergerak di tempatnya.
Beberapa hal muncul dalam benaknya. Dia tak mungkin meninggalkan Anggini dalam
keadaan seperti itu.
Ratu
Duyung mendekati Wiro, memperlihatkan satu bungkusan kain kecil lalu berkata.
“Sebelum pergi, mahluk berambut merah itu memberikan benda ini padaku disertai
pesan agar obat ini berikan pada Anggini.”
Wiro
mengambil bungkusan itu, memeriksa isinya. Di dalam bungkusan ternyata ada
bubuk warna merah. Wiro menciumnya. Bubuk itu ternyata tidak berbau. Wiro ambil
sedikit lalu meletakkannya di ujung lidah. Aneh, bubuk ini tawar tidak ada rasa
sama sekali namun begitu menyentuh lidah ada hawa sejuk memasuki rongga mulut
Wiro lalu menyusul rasa hangat di bagian dadanya. Keraguan Wiro lenyap.
“Bidadari,
di sebelah sana ada sebuah sumur tua. Pergi ke sana, ambil air sumur
secukupnya. Campur bubuk ini dengan air. Sebagian minumkan pada Anggini,
sisanya usapkan di bagian dadanya yang cidera.” (Mengenai orang bernama Singo
Abang riwayatnya dapat dibaca dalam Episode pertama berjudul “Kembali Ke Tanah
Jawa.”)
Bidadari
segera hendak melakukan apa yang dikatakan Wiro itu. Namun sebelum berlalu dia
bertanya. “Kau sendiri mau ke mana?”
“Aku
segera pergi tapi aku mau mencari sesuatu dulu di dalam pondok,” jawab Pendekar
212.
“Wiro,
kau menghilang selama dua tahun. Kau ke mana saja, apa yang kau lakukan?”
“Bidadari
Angin Timur, panjang ceritanya. Nanti suatu ketika akan kuceritakan pada
kalian. Lekas carikan air……”
Begitu
Bidadari Angin Timur berlalu, sementara Ratu Duyung menunggui Anggini, Wiro
bergegas masuk ke dalam pondok kayu. Berada dalam pondok itu berbagai kenangan
di masa lalu ketika dia tinggaldi tempat itu bersama Eyang Sinto Gendeng
terbayang d pelupuk mata Pendekar 212. Dia tersenyum, gelengkan kepala,
menggaruk-garuk dan memandang berkeliling. Perabotan di dalam pondok itu masih
yang dulu-dulu juga. Balai-balai kayu beralaskan tikar butut, meja kayu miring
dan sebuah kursi reot. Lalu sebuah gentong air besar dekat pintu belakang. Di
atas penutup gentong ada sebuah gayung tempurung kelapa. Debu menutupi semua
yang ada di dalam pondok itu. Sarang laba-laba kelihatan hampir di setiap
sudut.
“Mudah-mudahan
Eyang Sinto tidak memindahkan benda itu dari tempatnya yang lama….” Wiro
membatin lalu dia melangkah mendekati gentong tanah di dekat pintu. Gentong itu
berisi air sampai setengahnya. Perlahan-lahan Wiro menggeser gentong ke kiri.
Lalu mengambil gayung tempurung kelapa. Dengan gagang gayung dia mulai menggali
tanah bekas gentong terletak. Baru menggali sedalam satu jengkal, gagang gayung
menyentuh satu benda keras. Wiro berdebar. Dia pergunakan dua tangannya untuk
menggali dan menyibakkan tanah sampai akhirnya dia menemukan sebuah kotak kayu
besi hitam. Wiro keluarkan kotak itu, meletakkannya di atas balaibalai kayu
lalu membukanya.
Di dalam
kotak itu kelihatan satu kitab tebal yang demikian tuanya nyaris jadi bubuk.
Pada bagian atas kitab tertulis. “Seribu Macam Ilmu Pengobatan.”
Kitab
ilmu pengobatan ini adalah pemberian Kiai Bangkalan yang sempat dicuri oleh
seoerang tokoh jahat rimba persilatan Pulau Andalas. Karena tidak mungkin
membawa kitab berharga itu ke mana-mana Wiro menyerahkannya pada Eyang Sinto
Gendeng. Oleh sang guru kitab disimpan begitu rupa, dimasukkan dalam kotak kayu
besi tahan air lalu ditimbun di dalam pondok dan ditutup dengan gentong besar.
(Mengenai riwayat kitab ilmu pengobatan itu serta kisah Kiai Bangkalan harap
baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah Di Tambun Tulang)
“Terima
kasih Tuhan, terima kasih Eyang Sinto. Ternyata kitab ini masih ada di sini.”
Wiro merasa sangat bersyukur. Dengan hati-hati dia membuka halaman demi
halaman. Debu mengepul setiap dia membalik satu halaman. Lama sekali, entah
berapa puluh halaman telah dibaliknya akhirnya Wiro menemukan apa yang
dicarinya. Dia mulai membaca, perlahan-lahan, hati-hati, kata demi kata agar
tidak ada yang terlewatkan. Dia membaca sampai tiga kali lalu kembali membalik
halaman yang dicarinya. Seperti tadi Wiro membaca perlahan, hati-hati, kata
demi kata, sampai tiga kali. Setelah merenung sesaat sambil pejamkan mata Wiro
menutup kitab itu. memasukkannya ke dalam kotak kayu besi hitam. Kotak ini
dimasukkannya kembali ke dalam lobang di tanah, lalu lobang ditimbun. Terakhir
sekali gentong tanah diletakkan di atas timbunan tanah. Murid Sinto Gendeng
sama sekali tidak mengetahui kalau semua apa yang dilakukannya di dalam pondok
telah diintai seseorang lewat celah dinding kajang.
Ketika
Wiro keluar dari pondok, didapatnya Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung dengan
mempergunakan sehelai daun tengah meminumkan bubuk merah yang telah dicampur
air ke mulut Anggini. Sisa obat pemberian mahluk bernama Singo Abang itu
kemudian diborehkan di dada Anggini yang cidera.
“Aku
ingat sesuatu,” berucap Bidadari Angin Timur. “Sewaktu orang bermantel itu
keluar dari dalam liang makam dan lancarkan dua pukulan, salah satu pukulannya
memancarkan sinar hitam, merah dan kuning. Apakah itu tidak cukup menjadi
pertanda bahwa dia memang Pangeran Matahari?”
“Pukulan
memancarkan sinar merah, kuning dan hitam! Itu memang ciri-ciri pukulan
Pangeran Matahari,” ujar Wiro. “Tunggu, apakah kalian memperhatikan jari
kelingking orang itu?”
Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung sama menggeleng. “Ada apa dengan jari
kelingkingnya?” bertanya Bidadari Angin Timur.
“Jari
kelingking Pangeran Matahari sebelah kiri buntung. Itu akibat gigitan Dewi
Merak Bungsu beberapa tahun lalu.” (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kutunggu
Di Pintu Neraka”)
“Wayang,
kami tidak memperhatikan,” kata Ratu Duyung.
“Wiro,
semua orang tahu, Pangeran Matahari adalah musuh bebuyutanmu. Tetapi mengapa
dia sengaja mencelakai kami. Tidak berani menantangmu secara ksatria?”
Wiro
sesaat pandangi wajah cantik Bidadari Angin Timur, lalu menjawab. “Orang-orang
golongan hitam rimba persilatan punya jalan pikiran jahat seperti ini. Salah
satu cara untuk menghancurkan lawan adalah dengan membunuh orang-orang yang
sangat dekat dengannya arau dikasihinya. Itu sebabnya, sebelum sampai pada
tujuan utamanya untuk menyingkirkan diriku, dia sengaja menjebak untuk
menghabisi kalian. Aku yakin bukan cuma Anggini yang hendak dicelakainya tapi
kalian semua. Puti Andini korban pertama….”
“Mengenai
kematian Puti Andini memang berat dugaan kami manusia bermantel itu yang
membunuhnya. Tapi sebelum sampai ke sini kami hampir menjadi korban kebejatan
seorang pemuda mengaku bernama Damar Wulung.” Menerangkan Ratu Duyung. “Aku
malah sempat diculiknya. Kalau seorang nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati
tidak menyelamatkan diriku, mungkin saat ini aku juga sudah menemui ajal.
Paling tidak ditimpa aib besar….” Secara singkat Ratu Duyung menceritakan
peristiwa di kuil tempo hari.
“Damar
Wulung?!” Sepasang mata Pendekar 212 membesar. “Manusia satu itu, dia tidak
kalah jahat dengan Pangeran Matahari. Dialah yang telah mencuri Keris Kiai Naga
Kopek, pusaka Keraton. Dia juga kuduga terlibat dalam beberapa kejahatan dan
pembunuhan. Kalau urusanku dengan Pangeran Matahari selesai, aku akan mencari
manusia bejat satu itu.” Wiro diam sebentar lalu melanjutkan. “Kalian tahu, aku
dan nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu menjadi buronan Kerajaan.” Wiro
lantas menuturkan rangkaian kejadian sampai Patih Kerajaan menderita sakit
berat akibat patukan ular.
“Aku
ingat satu hal. Nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati pernah menerangkan bahwa
Damar Wulung itu hanya nama palsu belaka. Orangnya sebenarnya bernama
Adisaka….”
Wiro
terkejut. “Adisaka?” ulangnya sambil menatap Ratu Duyung lekat-lekat. “Kau
mendengar sendiri dia berkata begitu?”
“Betul.
Menurut Gondoruwo Patah Hati nama Damar Wulung sebenarnya adalah Adisaka…..”
“Kalian
tahu…..” suara Pendekar 212 terdengar bergetar. “Nenek itu pernah mengatakan
padaku kalau Adisaka adalah murid yang tengah dicari-carinya. Berarti Damar
Wulung adalah muridnya!” Wiro tepuk keningnya sendiri. “Pantas! Terakhir sekali
aku bertemu dengan dia, katika aku menanyakan apakah dia telah bertemu dengan
Adisaka, nenek itu kelihatan seperti ada anjalan….”
“Berarti
dia sudah tahu kebejatan muridnya…..”
“Ada satu
hal yang menjadi pertanyaan. Orang bermantel hitam itu mampu mendekam di dalam
makam. Berarti dia memiliki satu ilmu kesaktian langka. Setahuku Pangeran
Matahari tidak memiliki ilmu seperti itu….. Kalian berdua, Bidadari Angin Timur
dan Ratu Duyung, aku ingin bersama kalian lebih lama di tempat ini. apa lagi
Anggini sedang cidera. Namun mengejar manusia bermantel yang disebut Pangeran
Miring itu lebih penting lagi. Aku yakin dia adalah Pangeran Matahari.”
Bidadari
Angin Timur dan Ratu Duyung jadi terdiam.
“Kalian
jangan kecewa. Untuk sementara tetap di sini sampai Anggini sembuh. Ada satu
obat baru yang harus kalian berikan padanya. Di sebelah selatan puncak gunung
ini ada lereng yang ditumbuhi alang-alang berdaun biru. Ambil akarnya, tumbuk,
peras dan minumkan pada Anggini….”
Wiro
membungkuk, mengusap wajah Anggini, memegang pundak Ratu Duyung dan Bidadari
Angin Timur.
“Wiro,
kalau kami ingin menemuimu, di mana kami harus mencari?” Ratu Duyung bertanya.
“Ada
banyak hal yang harus aku kerjakan,” jawab Pendekar 212. “Salah satu tujuanku
adalah air terjun Jurangmungkung, di dekat Mojogedang. Mungkin aku akan berada
di sana sekitar dua minggu dari sekarang.”
“Kalau
begitu kami akan menemuimu di sana,” kata Bidadari Angin Timur.
Wiro
mengangguk. “Aku pergi, jaga diri kalian baik-baik. Tolong Anggini…..” Wiro
membalikkan badan hendak tinggalkan tempat itu. namun gerakannya terhenti
ketika tiba-tiba telinganya menangkap satu suara. Suara Anggini.
“Wiro,
jangan pergi dulu…..”
Wiro
memutar badannya kembali lalu membungkuk. “Ada apa Anggini?” tanya Wiro sambil
memegang tangan gadis itu. Anggini susupkan jari-jari tangannya ke sela-sela
jari tangan Wiro dan merasakan satu kehangatan serta kebahagiaan tiada tara.
“Ada
sesuatu yang harus kusampaikan padamu. Amanat seseorang….” Berucap Anggini.
Tangannya ditarik dari genggaman Wiro, lalu mengambil sesuatu dari balik
pakaian ungunya. Benda itu diletakkannya di atas telapak tangan Wiro lalu
jari-jari tangan si pemuda digenggamnya seraya mulutnya berucap. “Pemiliknya
meminta aku menyerahkan benda itu padamu…..”
Perlahan-lahan
Wiro tarik tangan kanannya sambil membuka genggaman jarijarinya. Wajah
Pendekar 212 langsung berubah haru. Matanya berkaca-kaca. Yang ada dalam
genggamannya saat itu adalah sehelai bunga kenanga kering.
“Bunga….Suci….”
bisik Wiro dalam hati. Anggini anggukkan kepala perlahan. Wiro hendak bertanya
kapan kembang kenanga itu diberikan Bunga, tapi dilihatnya Anggini sudah
mengatupkan mata. Wiro menarik nafas dalam, bangkit berdiri dan tinggalkan
tempat itu.
“Sebenarnya
banyak hal yang perlu kita bicarakan dengan Wiro. Tapi…..” Ratu Duyung menarik
nafas dalam.
“Aku juga
kecewa. Dua tahun dia menghilang begitu saja. Tadi dia menyebut air terjun
Jurangmungkung. Setahuku itu empat angker yang jarang didatangi manusia. Ada
keperluan apa Wiro ke sana.” Bidadari Angin Timur berkata sambil memandang ke
arah lenyapnya Wiro.
“Aku
melihat sikap gerak geriknya aneh. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. Dia
seperti menanggung banyak beban.” Kata Ratu Duyung pula.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” ujar Bidadari Angin Timur. Gadis ini pejamkan
mata. “Kurasa kita juga harus meninggalkan tempat ini.”
“Kemana?”
tanya Ratu Duyung.
“Mengejar
Wiro. Aku ingin membunuh dengan tanganku sendiri manusia dajal Pangeran Miring
itu. Paling tidak ikut menyaksikan kematiannya.”
“Lalu
bagaimana dengan Anggini?” tanya Ratu Duyung. Hatinya ikut tergerak untuk
mengejar Wiro.
“Kita
cari dulu alang-alang biru…..” Bidadari Angin Timur hentikan ucapannya.
“Alang-alang biru,” katanya kemudian mengulang. “Seumur hidup aku belum pernah
melihat alang-alang berwarna biru. Bagaimana kalau di lereng selatan kita tidak
menemukannya?”
“Kita
harus percaya pada Wiro. Dia bertahun-tahun tinggal di sini. Pasti dia tahu
betul kalau di lereng selatan Gunung Gede memang ada tumbuhan itu. Dan punya
khasiat untuk menyembuhkan luka dalam yang dialami Anggini.
“Ratu
Duyung, kau tinggal di sini menjaga Anggini. Biar aku yang mencari alang-alang
itu. Selesai mengobati Anggini kita akan buat tandu. Kita usung dia sampai ke
tempat kita meninggalkan gerobak. Setelah itu kita berangkat mengejar Wiro.”
“Kawan-kawan….”
Tiba-tiba terdengar suara Anggini membuat dua gadis terkejut. Mereka melihat
dua mata Anggini masih terpejam namun mulutnya bicara. “Kalian berdua pergi saja.
Tak apa aku sendirian di tempat ini. satu dua hari aku bakalan sembuh. Nanti
aku akan menyusul kalian.”
Ratu
Duyung pegang lengan Anggini, Bidadari Angin Timur usap rambut gadis itu.
“Tidak Anggini, apapun yang terjadi kita tetap bersama-sama. Apalagi dalam
keadaan dirimu seperti ini.” kata Bidadari Angin Timur.
“Lagi
pula Wiro telah berpesan agar kami merawatmu baik-baik. Kami akan membuatkan
sebuah tandu untukmu. Kita sama-sama meninggalkan tempat ini…..”
Dari mata
Anggini yang terpejam itu meluncur keluar butir-butir air mata.
***********************
DELAPAN
Mentari
jauh condong ke barat. Tak lama lagi senja akan datang. Sutri yang dalam
perjalanan pulang merasa tidak perlu berlari cepat. Kotaraja hanya tinggal
dekat. Paling lambat bersamaan dengan turunnya malam dia sudah sampai kembali
di Gedung Kepatihan. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda.
Gadis ini segera menepi. Tapi kuda dan penunggangnya malah berhenti di depan
Sutri Kaliangan.
Kuda itu
berwarna coklat. Ada bagian yang berwarna putih di hidungnya. Penunggangnya
seorang pemuda berbadan tegap, memiliki wajah cakap. Sesaat pemuda ini menatap
wajah Sutri Kaliangan lalu turun dari kudanya, melangkah ke hadapan Sutri.
Untuk beberapa lama dia masih pandangi wajah si gadis. Membuat Sutri merasa
tidak senang dan hendak mendamprat. Namun tiba-tiba si pemuda membungkuk hormat
seraya berkata.
“Kalau
tidak salah saya menduga, bukankah saya berhadapan dengan Den Ayu Sutri
Kaliangan, puteri Patih Kerajaan?”
“Aku
memang Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Kau siapa?”
“Nama
saya Damar Wulung. Harap maafkan, sebenarnya saya mengikuti Den Ayu sejak
keluar dari rimba belantara tadi. Berjalan jauh seorang diri, sungguh berbahaya
bagi keselamatan Den Ayu. Mengapa tidak membawa pengawal? Bahkan Den Ayu sama
sekali tidak naik kereta atau menunggang kuda.”
“Kau
sengaja mengikutiku. Apa ada maksud yang tidak baik?” Walau hatinya kini
tertarik pada ketampanan wajah si pemuda namun Sutri bersikap hati-hati.
Si pemuda
tertawa lebar. “Kalau saya berniat jahat, mengapa menunggu sampai sekian lama?
Den Ayu, Kotaraja memang tidak seberapa jauh lagi. Tapi kalau saya boleh
menolong…..”
“Hemmmm,
pertolongan apa bisa kau berikan?”
“Saya
hanya memiliki kuda ini. Den Ayu boleh menungganginya sampai ke gedung Kepatihan.
Saya akan mengikuti dari belakang.”
“Terima
kasih. Aku tidak memerlukan kudamu.”
Damar
Wulung tersenyum. “Pertolongan saya memang tidak ada artinya. Tidak saya
sesalkan Den Ayu sampai menolak. Saya senang dapat bertemu dan bertutur cakap
dengan Den Ayu. Saya mohon diri. Maafkan saya mendeahului Den Ayu…..” Habis
berkata begitu si pemuda sentakkan tali kekang kudanya.
“Tunggu,
apakah kau orang Kotaraja atau penduduk sekitar sini?” sutri Kaliangan
bertanya.
“Ah, saya
cuma pemuda tani. Desa saya tak jauh dari sini,” jawab Damar Wulung. Ini adalah
satu kedustaan belaka. “Saya dalam perjalanan menuju Kotaraja. Ingin
menyambangi makam kakaknya ibu. Waktu beliau meninggal saya tidak sempat
melayat.” Ini adalah kedustaan kedua.
“Siapa
kakak Ibumu itu?”
“Nyi
Kinasih, istri mendiang Raden Mas Sura Kalimarta, juru ukir Keraton.” Ini
merupakan kedustaaan ketiga. “Keluarga kami dalam kesedihan mendalam. Kedua
orang itu menemui kematian secara tidak terduga. Sama-sama mati dibunuh orang.
Mungkin Den Ayu sudah mendengar peristiwanya. Konon sang pembunuh adalah
seorang pendekar bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212.”
Sutri
Kaliangan terdiam. Dia memang telah mendengar peristiwa pembunuhan atas diri
dua suami istri itu.
“Maafkan
saya, apakah ucapan saya ada yang menyinggung Den Ayu?” betanya Damar Wulung
ketika melihat gadis di hadapannya terdiam cukup lama.
“Tak ada
ucapanmu yang menyinggung. Justru kalau aku boleh memberitahu, sore tadi aku
hampir saja memecahkan kepala manusia bernama Wiro Sableng itu!”
Damar
Wulung unjukkan wajah terkejut. “Den Ayu, terkejut sekali saya mendengar ucapan
Den Ayu. Kalau saya boleh mendengar ceritanya…..”
Sutri
Kaliangan merasa tidak ada salahnya dia menceritakan apa yang telah terjadi.
“Benar-benar
manusia bejat kurang ajar! Dia telah mencelakai Ayahanda Den Ayu, lalu meculik
Den Ayu pula! Setahu saya pasukan Kerajaan mencari pemuda itu. Tapi saya ingin
membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Sehabis dari Kotaraja, saya akan
mendatangi tikungan sungai itu, mencari jejak pendekar jahanam itu!”
“Mungkin
dia tak ada lagi di tempat itu. Dia mungkin sudah pergi ke satu tempat…..” kata
Sutri pula.
“Mungkin
Den Ayu mengetahui ke mana dia pergi? Mungkin dia mengatakan pada Den Ayu?’
tanya Damar Wulung.
Polos
saja Sutri Kaliangan menjawab. “Air terjun Jurangmungkung, dekat Mojogedang,
tak jauh di arah timur Karanganyar. Aku rasa dia tengah menuju ke sana.”
“Terima
kasih Den Ayu mau memberitahu,” Damar Wulung membungkuk hormat. “Sekarang
karena kita sama-sama ke Kotaraja, apakah saya tak boleh berbuat baik? Saya
pinjamkan kuda coklat saya pada Den Ayu. Saya akan mengikuti dari belakang.
Saya tidak tahu ilmu berlari cepat, jadi saya harap Den Ayu tidak membedal kuda
itu terlalu cepat.” Si pemuda berkata sambil mengulum senyum.
Melihat
orang bicara begitu sopan menunjukkan sikap baik akhirnya lembut juga hati
puteri Patih Kerajaan itu. “Baiklah, aku terima kebaikanmu.” Lalu tanpa basa
basi lagi Sutri yang memang cekatan dalam menunggang kuda melompat naik ke atas
punggung kuda coklat itu. Baru saja dia duduk di atas punggung kuda tiba-tiba
Damar Wulung melesat dan tahu-tahu sudah duduk pula di atas kuda di belakang
Sutri. Tentu saja gadis itu jadi terkejut.
“Hai!
Tadi kau bilang akan mengikuti dari belakang. Kini mengapa ikutan naik?!”
“Tak usah
kawatir Den Ayu. Kudaku ini cukup kuat! Dia bisa membawa kita sama-sama ke
Kotaraja dengan cepat.” Tangan kiri Damar Wulung menyelinap ke depan merangkul
pinggang Sutri Kaliangan.
“Pemuda
kurang ajar! Akhirnya kau menunjukkan belangmu! Kau mau menipuku! Pasti punya
maksud keji!”
Sutri
Kaliangan hujamkan siku kanannya ke perut Damar Wulung. Ketika si pemuda
bergerak mengelak, Sutri segera melompat turun. Tapi cepat sekali tangan kanan
Damar Wulung mencekal pinggangnya. Lalu di saat yang sama tangan kiri menotok
dua urat besar di dada dan punggung si gadis. Saat itu juga Sutri merasakan
sekujur tubuhnya kaku lumpuh, tak bisa bergerak tak mampu keluarkan suara.
Damar
Wulung tertawa bergelak. Sekali dia sentakkan tali kekang, kuda coklat itu
menghambur ke depan namun di saat yang sama empat kuda hitam besar melompat
menghadang jalan. Empat kuda kemudian menyebar, jelas mengurung kuda coklat
tunggangan Damar Wulung.
“Kurang
ajar! Kalian siapa?!” bentak Damar Wulung.
Empat
penunggang kuda hitam yang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam, bertampang
galak, serta membekal golok besar di pinggang, keluarkan tawa bergelak.
“Beberapa
waktu lalu kau mengerjai, menipu dan membunuh Warok Mata Api dan kawan-kawannya.
Cukup lama kami mencari, hari ini kami berhasil menemuimu. Ternyata kau membawa
seorang gadis culikan! Serahkan gadis itu. Sesudah itu kau juga harus
menyerahkan nyawamu! Ha….ha…..ha!”
Penunggan
kuda yang barusan bicara tertawa bergelak memperlihatkan barisan gigi-gigi yang
putih kilat karena dilapisi perak!
“Manusia-manusia
jahanam! Kalian siapa? Apa hubungan kalian dengan Warok Mata Api?!” Damar
Wulung kembali membentak.
Penunggang
kuda di samping kiri si gigi perak membuka mulut. Matanya cuma satu. Rambutnya
awut-awutan, cambang bawuk meranggas liar. “Sobat, orang bertanya sebaiknya
diberitahu siapa kita ini adanya. Syukur-syukur dia tidak sampai kencing di
celana! Ha…ha….ha!”
Si gigi
perak menyeringai. Sambil letakkan tangan kirinya di atas dada dia berkata “Aku
dikenal dengan nama Warok Gigi Perak. Di samping kiriku yang bermata satu Warok
Mata Picak. Di sebelah kanan Warok Tangan Api. Di belakang sana berkepala botak
Warok Kepala Besi. Kami adalah para dedengkot Alas Roban, kawan-kawan Warok Mata
Api yang kau tipu dan kau bunuh beberapa waktu lalu! Kami datang untuk minta
nyawamu sebagai tebusan nyawa sobat kami Warok Mata Api!”
Damar
Wulung pernah mendengar nama empat Warok itu. Mereka rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Yang paling berbahaya ialah Warok Tangan Api. Walau dia
tidak merasa jerih namun kalau mereka bergabung untuk membalaskan dendam,
keadaan benar-benar tidak menguntungkan bagi dirinya. (Kisah penipuan dan
pembunuhan atas Warok Mata Api oleh Damar Wulung bisa dibaca dalam Episode
sebelumnya berjudul “Roh Dalam Keraton”)
“Empat
Warok, kalian salah menyangkal! Aku bukan pembunuh Warok Mata Api! Pembunuhnya
adalah Wiro Sableng Pendekar 212! Saat ini aku justru tengah mengejar bangsat
itu. Dia baru saja menculik gadis ini! Untung aku berhasil menyelamatkannya.
Kalian mau tahu siapa gadis ini? Dia adalah puteri Patih Kerajaan!”
Empat
Warok sama kerenyitkan kening, saling pandang lalu sama tertawa bergelak. Warok
Kepala Besi usap-usap kepalanya yang botak plontos lalu berkata.
“Benar
apa yang dikatakan orang. Bangsat muda bernama Damar Wulung itu licin seperti
belut, cerdik seperi ular! Kau kira kami mudah saja kau tipu dengan mulut
busukmu?!”
Warok
Mata Picak memandang liar dengan matanya yang satu, lalu ikut bicara “Kalau kau
memang penyelamat gadis itu, mengapa dia berada dalam keadaan tak bisa bicara
tak bisa bergerak? Siapa yang menotoknya?!”
Damar
Wulung tak bisa menjawab.
Warok
Mata Picak kembali bersuara lantang. “Dua orang anak buahku lewat di tempat
kejadian tak lama setelah kau membantai Warok Mata Api dan anak buahnya. Salah
seoerang anak buah Warok Mata Api ditemukan dalam keadaan sekarat, sebelum mati
masih sempat memberitahu bahwa Warok Mata Api dan kawan-kawannya mati dibunuh
oleh seorang pemuda bernama Damar Wulung. Dia memberitahu namamu, mengatakan
bahwa kau menunggangi seekor kuda coklat yang ada warna puttih di hidungnya!
Manusia jahanam, apa kau masih mau berkilah mencari dalih?!”
Warok
Gigi Perak menyeringai. “Damar Wulung, kami sudah lama mengintaimu. Kami tahu
semua apa yang terjadi di tempat ini! Kau bisa menipu Warok Mata Api, tapi
jangan mengira bisa memperdayai kami berempat! Warok Tangan Ap, lekas kau
rampas gadis itu!”
Mendengar
ucapan Warok Gigi Perak, Warok Tangan Api gerakkan tangan kanannya.
“Wussss!”
Satu
kobaran lidah api menderu ke arah Damar Wulung. Kejut pemuda ini bukan
kepalang. Jarak mereka terpisah sekitar dua tombak, tapi lidah api menderu
laksana kilat dan tahu-tahu sudah menyambar di depan hidungnya!
***********************
SEMBILAN
Sambil
membentak keras Damar Wulung miringkan diri ke samping lalu jatuhkan diri ke
tanah. Lidah api menderu hanya satu jengkal di sisinya, panas membakar pinggang
pakaian kuningnya. Dengan tangan kanannya dia menepuk-nepuk pakaiannya hingga
api yang membakar serta merta padam. Didahului suara menggembor marah, begitu
dua kakinya menginjak tanah dia hantamkan tangan kanan ke arah Warok Tangan
Api. Dari tangan Damar Wulung memancarkan dinar biru!
Dua kuda
meringkik keras.
Yang
pertama kuda coklat milik Damar Wulung. Binatang ini yang ketakutan melihat
lidah api serangan Warok Tangan Api meringkik keras, sambil naikkan dua kaki
depannya ke atas. Tak ampun Sutri yang berada dalam keadaan kaku di
punggungnnya, jatuh ke samping. Saat itu Warok Gigi Perak cepat melesat dari
kudanya, menyambar tubuh si gadis lalu membawanya ke tempat aman.
Kuda
kedua yang meringkik kemudain jatuh tergelimpang di tanah adalah kuda milik
Warok Tangan Api. Binatang ini menggeliat melejang-lejang lalu terkapar tak
berkutik lagi, mati dengan kepala pecah akibat pukulan aneh yang tadi
dilepaskan Damar Wulung. Bagian kepala yang hancur berwarna membiru dan
mengepulkan asap.
Warok
Tangan Api bergidik. Kalau dia tadi tidak lekas menghambur dari kudanya,
pastilah dirinyalah yang jadi korban.
“Pukulan
Batunaroko!” kejut Warok Gigi Perak begitu mengenali pukulan yang membunuh kuda
Warok Tangan Api tu. “Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh nenek sakti
berjuluk Gondoruwo Patah Hati. Salama ini si nenek tidak ada permusuhan dengan
para Warok Alas Roban. Juga tidak terdengar dia pernah mempergunakan pukulan
Batunaroko karena terlalu ganas. Pemuda satu ini siapa dia? Apa muridnya?
Terlalu berbahaya! Kalau tidak segera dihabisi bisa menimbulkan malapetaka!”
Tiga
Warok lainnya juga sama terkejut. Terutama Warok Tangan Api. Mukanya sampai
pucat. Dia memberi tanda pada kawan-kawannya. Lalu berteriak.
“Jaring
Golok Iblis!”
Empat
Warok melesat ke arah Damar Wulung.
“Srett!
Srett! Srett! Srett!
Selagi
melayang di udara empat golok dihunus keluar dari sarung. Empat Warok memegang
golok di tangan kiri. Ternyata mereka kidal semua. Lalu empat cahaya berkilauan
disertai deru angin keras berkiblat di udara. Empat cahaya membentuk empat
garis panjang yang saling besilangan seperti jaring lalu secara aneh menderu ke
arah Damar Wulung. Inilah jurus ilmu golok yang disebut Jaring Golok Iblis.
Jangankan seorang lawan, dua orangpun jika sampai diterjang serangan ini akan
sulit selamatkan diri.
Damar
Wulung belum pernah mendengar jurus maut serangan golok empat Warok Alas Roban
itu. Namun dari cahaya yang keluar serta melihat bagaimana empat cahaya
membetuk jaring menderu siap melibasnya Damar Wulung tak mau berlaku ayal.
Secepat kilat dia menghantam. Dua cahaya biru menyambar. “Praak! Praak!”
“Breett!
Breeettt!”
Dua jeritan
merobek udara. Dua tubuh mencelat dan terjengkang tak bernyawa. Lalu ada
suarakudadipacu meninggalkan tempat itu.
Warok
Gigi Perak tegak tertegun, perlahan-lahan memutar kepala, memandang
berkeliling. Mata membelalak, tengkuk terasa dingin. Warok Mata Picak dan Warok
Kepala Besi dilihatnya menggeletak di tanah dengan kepala hancur.
“Pukulan
Batunaroko….” Desis Warok Gigi Perak dengan suara bergetar. Lagi-lagi menyebut
nama pukulan yang mengerikan itu.
Di
sampingnya Warok Tangan Api berdiri tergontai-gontai sambil memandang ke arah
kejauhan sementaa kobaran api di tangan kanannya mengecil lalu padam. Rupanya
tadi sewaktu melihat lawan melarikan diri, melesat keluar dari jaring cahaya
empat golok, dia segera mengejar dengan pukulan sakti yang sanggup mengeluarkan
lidah api. Hanya sayang Damar Wulung telah melompat ke atas punggung kuda
coklatnya dan menggebrak binatang itu kabur dari tempat tersebut.
Warok
Gigi Perak dan Warok Tangan Api setengah menggerung menyaksikan kematian dua
sahabat mereka. Di bagian lain Sutri Kaliangan tak berani membuka mata karena
ngeri menyaksikan apa yang terjadi hanya beberapa langkah di hadapannya.
“Warok
Kepala Besi, Warok Mata Picak, kami berdua akan membalaskan kematianmu! Kami
bersumpah akan mencincang pemuda bernama Damar Wulung itu…..” Warok Gigi Perak
berpaling pada Warok Tangan Api. “Tak jauh dari sini ada jurang batu. Hanya itu
tempat terbaik buat jenazah dua kawan kita ini.”
Warok
Tangan Api mengangguk perlahan. Dia berpaling ke arah Sutri lalu bertanya. “Apa
yang akan kita lakukan terhadap gadis itu?”
Sutri
serta merta buka kedua matanya begitu mendengar dirinya disebut-sebut. Rasa
takut membuat sekujur tubuhnya bergetar dan mukanya pucat tak berdarah. Siapa
tidak takut berada di tangan para perampok hutan Roban. Apa lagi saat itu
mereka baru saja mengalami kejadian hebat. Dua kawan mereka menemui ajal.
Warok
Gigi Perak menyeringai lalu lepaskan dua totokan di tubuh Sutri. Begitu dirinya
bebas gadis ini segera hendak melompat larikan diri tapi lengannya dicekal
Warok Gigi Perak.
“Jangan!
Lepaskan!” jerit Sutri.
“Jangan
berteriak! Jawab pertanyaanku! Apa betul kau puteri Patih Selo Kaliangan?”
tanya Warok Gigi Perak.
“Kalau
sudah tahu janga berani kurang ajar! Lepaskan tanganku!” teriak Sutri sambil
meronta tapi tak sanggup lepaskan cekalan orang.
“Kami
Warok Alas Roban memang kejam, membunuh orang sama dengan membunuh lalat! Tapi
kamu tidak menyakiti kaum perempuan. Itu satu pantangan besar! Dengar, kami
tidak akan menyakitimu. Kau boleh kembali ke Kotaraja sebelum malam tiba. Tapi
kami butuh keterangan….” Warok Gigi Perak lepaskan cekalan di lengan Sutri.
Puteri Patih itu hampir tak percaya mendengar ucapan sang Warok danusap-usap
lengannya yang tadi dicekal. “Kau boleh pergunakan salah satu dari dua kuda itu
untuk pulang ke Kotaraja. Tapi jawab dulu pertanyaanku. Kau tahu kira-kira ke
mana bangsat bernama Damar Wulung itu melarikan diri?”
Sutri
menggeleng. “Aku …..aku tidak tahu. Tapi…..”
“Tapi
apa?” tanya Warok Tangan Api.
“Mungkin
dia menuju air terjun Jurangmungkung.”
“Air
terjun Jurangmungkung dekat Mojogedang?” tanya Warok Gigi Perak.
“Benar…..”
“Ada
keperluan apa bangsat itu ke sana? Setahuku tak satu manusiapun mau datang ke
situ. Itu tempat banyak roh gentayangan. Kematian bisa terjadi semudah angin
beritup.”
“Pemuda
itu punya permusuhan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Kemungkinan besar dia
mencari Pendekar 212 di tempat itu…..”
“Pendekar
212 Wiro Sableng!” uajr Warok Gigi Perak. Tiba-tiba ditangkapnya pinggang
Sutri. Gadis ini lalu dilemparkannya ke atas punggung kuda milik Warok Kepala
Besi. “Berangkatlah ke Kotaraja sebelum malam tiba!”
Lega dada
Sutri. Dia merasa tidak percaya. Tadi dia mengira Warok bergigi perak itu
hendak melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadapnya. Ternyata dia dinaikkan
ke atas kuda dan disuruh pergi. Tanpa banyak menunggu lagi Sutri segera
menggebrak kuda besar itu.
Tak
selang berapa lama setelah lenyapnya Sutri Kaliangan dan perginya dua Warok
dengan membawa mayat dua kawannya, dari balik satu gundukan tanah yang
membentuk bukit kecil, muncullah seekor kuda putih. Penunggangnya seorang nenek
berambut kelabu, berpakaian serba hitam dan bermuka setan. Si nenek yang bukan
lain adalah Gondoruwo Patah Hati berulang kali menarik nafas dalam dan
gelengkan kepala.
“Pukulan
Batunaroko….” Katanya perlahan. “Ganas sekali. Kalau yang jadi korban bangsa
perampok seperti dua orang tadi mungkin aku masih bisa menerima. Tapi jika yang
menemui ajal adalah para pendekar golongan putih, atau orang-orang tidak
bedosa? Menyesal aku telah mengajarkan ilmu itu padanya. Anak itu, apapun yang
terjadi aku harus bisa membawanya kembali ke pertapaan. Kalau dia melawan aku
terpaksa menguras ilmu yang dimilikinya. Berarti dia akan menderita lumpuh
seumur-umur.”
Gondoruwo
Patah Hati memandang ke arah kejauhan, ke arah lenyapnya Damar Wulung. “Dia
menuju ke timur. Apa yang dicarinya di sana?” si nenek menghela nafas panjang
sekali lagi lalu sentakkan tali kekang kuda putihnya.
Di bawah
sinar kuning sang surya yang hendak tenggelam Damar Wulung memacu kuda
coklatnya. Baju kuningnya robek di bahu kiri dan dada kanan akibat sambaran
golok. Bahu kirinya tidka cidera tapi kulit dadanya sempat digores ujung golok
Warok Gigi Perak. Kaki kirinya terasa panas. Ketika dia memandang ke bawah
pemuda ini merutuk. Ujung kaki celana kirinya kelihatan hangus. Kakinya sendiri
kemerah-merahan sampai sebatas mata kaki. Sewaktu ia melompat ke punggung kuda,
Warok Tangan Api masih sempat mengejar dengan serangan lidah api dan mengenai
kaki kirinya. Untung cidera yang dialaminya ringan saja. Rasa sakit juga tak
seberapa. Namun rasa dendamnya terhadap dua Warok yang masih hidup itu laksana
bara menyala. Kelak jika tugas dari Dewi Ular yaitu menangkap Pendekar 212 Wiro
Sableng selesai dilaksanakannya, dia akan mencari dua Warok itu dan membunuh
keduanya tanpa ampun lagi!
Gerobak
berhenti di depan kedai besar di persimpangan jalan. Saat itu tengah hari
tepat. Kedai penuh oleh pengunjung yang sedang makan.
“Biar aku
yang turun,” kata Anggini. “Kedua kakiku ini seperti kaku, tiduran terus dari
kemarin.”
“Tapi kau
masih sakit,” ujar Bidadari Angin Timur.
“Siapa
bilang. Selama perjalanan kalian berdua telah menjadi tabibku yang hebat.
Memberi segala macam obat. Luka dalamku sudah mulai pulih, hanya badan masih
terasa sedikit lemah. Mungkin kebanyakan tidur. Jadi itu sebabnya aku perlu
jalan-jalan sedikit.” Anggini tersenyum lalu turun dari gerobak. Pertama kali
menginjak tanah dia agak terhuyung. Bidadari Angin Timur cepat memeluk bahunya.
“Tidak apa-apa, aku cukup kuat.” Kata Anggini pula. “Jadi aku harus beli apa?
Tiga nasi bungkus?”
“Ratu
Duyung, kau tetap di gerobak. Biar aku menemani Anggini,” berkata Bidadari
Angin Timur.
Kehadiran
dua gadis centik di dalam kedai yang hampir seluruh pengunjungnya adalah
laki-laki tentu saja menarik perhatian. Mereka yang tengah lahap makan menunda
menyuap atau menelan makanan dalam mulut, tak mau melewati pemandangan bagus
itu. Namun melihat pakaian serta gerak-gerik kedua gadis itu, tak ada yang
berani mengganggu. Mereka maklum dua gadis jelita itu adalah orang-orang rimba
persilatan. Semua orang meneruskan makan masing-masing sambil sesekali larak
lirik.
Di sudut
kedai, seorang lelaki ang ada parut bekas luka di pipi kirinya dan tengah lahap
menyantap makanan tiba-tiba tak bisa menelan nasi di dalam mulut. Tidak seperti
yang lain-lain yang menikmati kecantikan wajah dua gadis, lelaki satu ini malah
tampak ketakutan. Sambil memalingkan kepala ke jurusan lain dia cepatcepat
meneguk minumannya. Ketika hendak berdiri tak sengaja tangannya menyentuh gelas
tanah hingga jatuh di lantai, mengeluarkan suara pecah yang menarik perhatian,
termasuk Anggini dan Bidadari Angin Timur. Dua gadis ini berpaling
memperhatikan. Lelaki tadi cepat-cepat menuju bagian belang kedai, lalu keluar
dari pintu samping.
“Orang
berpakaian hitam tadi…..,” bisik Anggini. “Yang mukanya ada cacat. Aku pernah
melihatnya. Coba kau ingat-ingat.”
“Dia
seperti ketakutan melihat kita. Aku ….. Aku ingat! Dia adalah salah seorang
anggota rampok yang membegal kita sewaktu dalam perjalanan menuju Gunung Gede.
Tapi seingatku semua anggota rampok itu termasuk pemimpin mereka yang berjuluk
Sepasang Gada Besi, habis dibantai oleh pemuda jahanam bernama Damar Wulung.
Bagaimana dia kini bisa hidup kembali?”
“Ini satu
hal menarik. Bidadari, kau selesaikan pesanan kita. Aku akan mengejar orang
itu.” Tak banyak menunggu Anggini segera melompat ke pintu samping. Seperti
terbang dara yang baru sembuh sakit enak saja melompati meja panjang di mana
banyak orang sedang menyantap makanan.
Ketika
Anggini sampai di halaman samping, dia jadi tertawa lebar. Di halaman itu
dilihatnya Ratu Duyung tengah menjambak lelaki berpakaian hitam bermuka cacat
yang tengah dikejarnya. Orang ini berteriak-teriak minta ampun.
“Jangan
berteriak terlalu keras. Nanti makanan yang barusan masuk dalam perutmu keluar
semua!” kata Anggini. Dia berpaling pada Ratu Duyung.”Sahabat kau rupanya telah
mengenali siapa dia.”
Ratu
Duyung mengangguk. “Anak buah kelompok rampok Sepasang Gada Besi yang tempo
hari menghadang kita. Mungkin juga dia kaki tangan Damar Wulung!”
“Kami
kira kau sudah mati dibantai Damar Wulung saat itu. Ternyata masih hidup. Kami
ingin tahu bagaimana ceritanya” tanya Anggini.
“Aku…….aku
berpura-pura mati. Setelah semua orang pergi aku lari selamatkan diri. Aku
…..ampun! Aku tidak bermaksud jahat. Damar Wulung menipu kami!”
Anggini
dan Ratu Duyung saling pandang.
“Menipu
bagaimana?” satu suara bertanya. Ternyata Bidadari Angin Timur yang baru saja
keluar dari kedai. Yang ditanya tak menjawab. Dia tampak sangat ketakutan.
“Kalau
kau tidak bisa membuka mulut, biar aku tolong membukakan!” kata Bidadari Angin
Timur. Lalu dia cabut satu pohon kecil. Akar pohon ini disodokkannya ke mulut
si muka parut. Tentu saja orang ini jadi ketakutan dan buruburu membuka mulut.
“Ampun,
jangan! Biar aku bicara. Sebelu kami menghadangmu, Damar Wulung sudah ada
perjanjian dengan pimpinan kami. Kami hanya pura-pura merampokmu, lalu Damar
Wulung pura-pura menolong kalian….”
Bidadari
Angin Timur berpaling pada dua sahabatnya dan berkata “Dugaanku tempo hari
bahwa Damar Wulung memang berkomplot dengan kelompok rampok itu kini terbukti
benar. Sayang sahabat kita Puti Andini sudah tidak ada untuk menyaksikan
kebenaran dugaanku….” Bidadari Angin Timur gebukkan batang pohon ke kaki orang
itu.”Sudah, pergi sana! Lain kali kupergoki kau melakukan kejahatan, kutambah
cacat di mukamu!”
Terpincang-pincang
kesakitan bekas anak buah rampok pimpinan Sepasang Gada Besi itu tinggalkan
tempat tersebut. Sementara orang banyak mulai berkumpul untuk melihat apa yang
terjadi, ketiga gadis sudah berada dalam gerobak, melanjutkan perjalanan.
Pagi itu
di gedung Kepatihan masih tampak sepi. Namun sepagi itu Sutri Kaliangan telah
menghadap ayahnya.
“Saya
mendengar ayah mengirim pasukan besar dan beberapa tokoh silat Istana ke
kawasan air terjun Jurangmungkung untuk menangkap Pendekar 212 Wiro Sableng.”
Di atas
pembaringan, Patih Kaliangan kerenyitkan kening, menatap wajah anak gadisnya
lalu berkata ”Pagi ini aku tak ingin diganggu. Pergilah, nanti saja kembali
lagi ke sini.”
“Saya
menyesal telah memberitahu bahwa Pendkar 212 berada di Jurangmungkung. Padahal
maksud saya memberi tahu agar ayah yakin bahwa dia akan mencarik obat penyembuh
untuk sakit ayah.”
Selo
Kaliangan tersenyum getir. “Dosa manusia itu dan si Gondoruwo Patah Hati sangat
besar! Hanya kematian yang bisa menghapuskan kesalahan mereka. Adalah aneh kau
berubah jalan pikiran. Sepertinya kau ingin membela orang yang telah mencelakai
ayahmu dan menimbulkan musibah besar pada Kerajaan. Sebagai puteri Patih
Kerajaan seharusnya kau membela Kerajaan. Lebih dari itu kau wajib membela aku
ayahmu!”
“Bagi
saya kesembuhan ayah adalah paling utama. Jika ayah berhasil disembuhkan sesuai
janji Pendekar 212 pada saya, apa yang nanti ayah mau lakukan terhadapnya
terserah ayah…..”
“Sutri,
aku tak ingin bicara lebih lama. Pergilah. Panggil ibumu….”
Sutri
termenung sejurus lalu gadis ini keluar dari dalam kamar ayahnya. Bukan untuk
menemui ibunya tapi pergi ke kandang kuda, menyuruh perawat kuda untuk
menyiapkan kuda tunggangannnya.
“Pagi-pagi
begini Den Ayu mau berkuda ke mana?” tanya orang tua perawat kuda.
“Bapak
kuda, aku tidak bisa mengatakan padamu mau pergi ke mana. Aku tak ingin kau
memberitahu pada ayah atau ibu. Atau siapapun. Bapak mengerti?”
“Saya
mengerti Den Ayu, saya mengerti.” Orang tua itu mengangguk.
***********************
SEPULUH
Matahari
baru saja tersembul di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Walau luka di
kedua pahanya boleh dikatakan telah sembuh namun Pendekar 212 berlari dengan
berbagai beban pikiran di benaknya. Sejak dua hari lalu dia kehilangan jejak
Pangeran Matahari yang tengah dikejarnya. Selain itu pikirannya tak bisa lepas
dari menolong Bunga yang dipasung oleh Iblis Kepala Batu Alis Empat dalam
sebuah guci perak. Sejak kehilangan jejak Pangeran Matahari Wiro memutuskan
langsung saja menuju Mojogedang di mana terletaknya air terjun Jurangmungkung.
Lalu dia juga harus mencari obat untuk penyembuhan bagi Patih Selo Kaliangan.
Dalam
kesunyian pagi yang hanya ditandai suara kicau-kicau burung tiba-tiba murid
Sinto Gendeng mendengar suara orang bersiul di depannya. Suara siulan itu
membawakan lagu yang tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Orang yang bersiul
agaknya enar-benar menikmati lagu yang dibawakannya karena lagu itu terus
diulangulang.
Dari lari
biasa Wiro kerahkan ilmu Kaki Angin. Tak selang berapa lama dia telah dapat
melihat orang yang bersiul di depannya. Orang ini mengenakan pakaian biru.
“Sepertinya
aku mengenal orang itu….. “ kata Wiro dalam hati.
Orang
yang bersiul rupanya sudah tahu kalau dia orang berlari mendatangi dari
belakang. Dia hentikan larinya dan berbalik. Ternyata dia seorang pemuda
berwajah tampan, rambut berkilat disisir licin dan ada kumis kecil rapi di atas
bibirnya. Wiro segera mengenali pemuda ini yang bukan lain adalah Adimesa alias
Pendekar Kipas Pelangi. Kedua orang yang sudah saling mengenal itu langsung
saja bertegur sapa lalu bicara panjang lebar. Namun dalam hati Pendekar 212
saat itu ada satu ganjalan besar.
“Sahabatku
Wiro, hal apakah yang membawamu jauh sampai ke sini?” bertanya Adimesa.
“Aku
tengah mengejar seseorang. Ingat peristiwa yang kita alami di jurang Telung
Penanjung?”
“Pangeran
Matahari?”
“Tepat
sekali!”Wiro lalu menceritakan apa yang telah terjadi di puncak Gunung Gede.
“Pangeran
keparat itu agaknya memang sudah saatnya harus disingkirkan. Kalau tidak rimba
persilatan tanah Jawa tidak akan tenteram…..”
“Sayang
aku kehilangan jejaknya,” kata Wiro pula. “Namun aku ada keperluan lain di
Mojogedang. Kau pernah mendengar seorang tokoh silat jahat berjuluk Iblis
Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh?”
“Manusia
yang kau sebutkan itu tidak lebih baik dari Pangeran Matahari. Punya sifat
aneh. Suka menggauli mahluk-mahluk dari alam gaib…..”
“Kalau
begitu keselamtan Bunga sangat terancam….” Ujar Wiro.
“Siapa
Bunga?”
Wiro lalu
menceritakan kejadia menyangkut diri Bunga, gadis cantik dari alam roh itu.
“Selama
ini aku hanya mendengar segala kejahatan yang diklakukan orang itu. jika
kepergianmu ke Mojogedang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang dilakukan
orang itu, aku ingin sekali ikut bersamamu.”
“Terima
kasih. Pertolonganmu tempo hari belum dapat aku balas, kini kau hendak menanam
budi baru. Aku merasa malu walau sangat senang mendengar kau mau ikut
bersamaku.” Saat itu ganjalan yang ada dalam hati Pendekar 212 muncul kembali
membuat dia merasa tidak enak. Wiro ingat pada keterangan Ratu Duyung sewaktu
di Gunung Gede. Menurut gadis itu nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati pernah
mengatakan bahwa Damar Wulung sebenarnya bernama Adisaka. Sedangkan menurut
Pendekar Kipas Pelangi yang bernama Adimesa, Adisaka itu adalah kakaknya yang
selama belasan tahun tidak pernah diketahuinya lagi di mana beradanya. Dua
bersaudara itu terpisah ketika terjadi bencana alam. Mereka hampir menemui ajal
dalam kebakaran hutan akibat letusan Gunung Merapi kalau tidak ditolong oleh
dua orang sakti. Adimesa diselamatkan oleh kakek sakti bernama Ki Riku
Pulungan. Pemuda ini kemudian muncul dalam rimba persilatan dengan julukan
Pendekar Kipas Pelangi. Sedang kakaknya yaitu Adisaka diselamatkan oleh si
nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati. Adisaka kemudian diketahui memakai nama
palsu yaitu DW dan melakukan perbagai kejahatan sebagai akibat terjebak oleh
Dewi Ular. (Mengenai riwayat Adimesa dan Adisaka harap baca Episode pertama
berjudul “Kembali Ke Tanah Jawa.”)
“Bagaimana
aku harus mengatakan pada sahabatku ini,” kata Pendekar 212 dalamhati, “Bahwa
kakaknya adalah manusia yang selama ini gentayangan berbuat kejahatan keji,
merampok dan membunuh, memperkosa. Bahwa kakaknya itu adalah yang menjarah
senjata pusaka Keraton yaitu Keris Kiai Naga Kopek.”
“Pendekar
Kipas Pelangi, sebaiknya kita bercakap-cakap sambil melanjutkan perjalanan
menuju Mojogedang.”
Pendekar
Kipas Pelangi setuju. Kedua pemuda itu lalu lari berdampingan menuju ke utara.
Ketika
suara siulan Pendekar Kipas Pelangi menggema pagi itu, Damar Wulung alias
Adisaka yang tertidur nyenyak di bawah sebuah pohon besar berbantalkan punggung
kuda coklat terbangun. Dia menggosok matanya, memasang telinga lalu melompat
bangun.
“Suara
siulan itu. Sama dengan siulan yang kudengar malam dulu itu. Dia memandang ke
timur, ke arah datangnya suara siulan itu. “Sekali ini aku harus menemukan
orang itu! Dia pasti Adimesa adikku! Pasti! Tidak ada yang tahu lagu itu selain
aku dan dia. Adimesa adikku! Akhirnya kutemui juga kau!”
Karena
suara siulan itu terdengar tidak seberapa jauh, Damar Wulung merasa tidak perlu
menunggangi kuda. Binatang itu ditinggalkannya saja di bawah pohon. Setengah
berlari dia bergerak ke arah datangnya suara siulan. Tapi tiba-tiba satu
bayangan hitam berkelebat di hadapannya. Lalu satu suara dengan nada congkak
bertanya “Apakah ini arah jalan menuju air terjun Jurangmungkung di
Mojogedang?!”
Damar
Wulung merasa tersinggung. Orang sudah menghadang jalannya lalu bertaya congkak
begitu rupa tanpa basa basi, tanpa menegur dengan panggilan saudara, ki sanak
atau bagaimana lumrahnya. Murid Gondoruwo Patah Hati ini siap hendak mendamprat
namun ketka dia memperhatikan pakaian dan wajah orang di hadapannya, Damar
Wulung jadi tersentak kaget. Setelah diam sejenak dia sunggingkan seringai.
“Dunia
begini luas, para pendekar begitu banyak. Tapi aku tidak buta. Bukankah kau
menusianya yang berjuluk Pangeran Matahari?”
Orang
berpakaian serba hitam dan berikat kepala kain merah di hadapan Damar Wulung
balas menyeringai lalu dongakkan kepala. “Dunia begini luas, pendekar begitu
banyak…..” orang itu mengulang ucapan Damar Wulung, “Namun siapa diriku dikenal
orang di mana-mana. Ha…ha….ha! sebaliknya, apakah aku perlu bertanya siapa kau
adanya? Kurasa tidak perlu. Cepat jawab saja pertanyaanku tadi!”
“Aku tahu
kalau Pangeran Matahari itu dikenal sebagai Pangeran Segala Congkak. Tapi aku
beritahu padamu, jangan congkak di hadapanku! Lekas membungkuk memberi hormat!
Karena sudah tiba saatnya kau membalas segala budiku di masa lalu!”
Sepasang
mata orang berpakaian hitam yang memang Pangeran Matahari adanya membesar,
menatap tak berkedip pandangi wajah Damar Wulung sambil menindih rasa terkejut
dan juga amarah. Dari hidungnya dia keluarkan suara mendengus.
“Hari
masih pagi. Tapi aku sudah bertemu orang gila hormat tak tahu juntrungan!
Pangeran Matahari tidak pernah membungkuk kepada siapapun! Dan jangan berani
menyebut segala macam budi! Budi apa yang pernah aku terima darimu!”
“Ingat
nama Bagus Srubud?!” Damar Wulung bertanya, membuat terkejut Pangeran Matahari
dan dua matanya tampak tambah membesar. Lalu sang Pangeran membentak.
“Kau
siapa?!”
“Aku tuan
besar yang telah memberikan kenikmatan dan juga pertolongan padamu. Apa tidak
pantas kalau aku menyuruhmu membungkuk memberi hormat?!”
“Kurang
ajar! Jangan bicara berteka-teki. Lekas katakan siapa kau adanya! Aku Pangeran
Matahari tidak terlalu perduli pada segala macam budi! Jadi jangan mengira aku
tidak mau menggebukmu bahkan membunuhmu jika kau membuat aku sampai marah
besar!”
“Tenang
Pangeran, jangan kesusu, jangan lekas marah. Kesusu dan kemarahan kadang-kadang
membuat orang tidak bisa berpikir, susah mengingat kejadian masa lalu. Tapi aku
tahu kau juga dijuluki Pangeran Segala Cerdik. Masih ingat sorga bernama
Kinasih?!”
Pangeran
Matahari tercengang.
“Bagus
Srubud, aku yang memberikan nama itu padamu. Sorga bernama Kinasih, aku juga
yang emberikan perempuan cantik itu padamu…..”
Rasa
kaget Pangeran Matahari semakin bertambah-tambah. “Kau…..!”
“Masih
ingat seperangkat pakaian petinggi Keraton dan tiga buah topeng tipis terbuat
dari getah pohon latek?! Aku yang memberikan pakaian dan topeng itu padamu.
Satu dari tiga topeng itu kini sudah kau kenakan di wajahmu! Apakah tidak
pantas kau membungkuk memberi hormat. Karena hari ini adalah hari di mana kau
harus membalas semua budi besarku itu!”
“Aku
ingat semua itu! Tapi saat itu, kau tidak menunjukkan diri. Dan aku yakin yang
bicara padaku, yang memberikan pakaian serta topeng bukan kau tapi adalah
guruku Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat!”
Damar
Wulung tersenyum.
“Percuma
kau dijuluki Pangeran Segala Cerdik. Gurumu sudah lama mati, mana ada orang
mati bisa memberikan sorga berupa perempuan cantik. Mana ada orang mati bisa
memberikan pakaian bagus dan topeng untuk menutupi wajahmu yang cacat! Pangeran
Matahari, aku beritahu padamu jangan kepongahan dan kecongkaan membuat otakmu
jadi tumpul!”
Mengembang
rahang Pangeran Matahari mendengar semua ucapan pemuda berpakaian kuning itu.
“Pemuda baju kuning! Siapapun kau adanya jangan berani menghina guruku!”
“Menghina!
Gurumu sudah mati. Itu kenyataan. Apa menghina kalau kukatakan dia sudah mati?
Ha….ha…..ha! Sejak kau dihantam musuh besarmu Pendekar 212 hingga jatuh masuk
ke dalam jurang, kepala terbentur, muka cacat, otakmu rupanya memang jadi tidak
karuan. Tidak salah kalau orang yang menolongmu yaitu Singo Abang menyebutmu
Pangeran Miring! Ha….ha…..ha!”
“Diam!”
bentak Pangeran Matahari. Tangan kanannya diangkat ke atas. “Aku bisa
membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan!”
“Begitu?”
Damar Wulung tersenyum. “Kau mau membunuhku dengan pukulan apa? Pukulan Gerhana
Matahari? Atau Telapak Matahari, atau Merapi Meletus? Mungkin juga dengan
pukulan Dua Singa Berebut Matahari?”
Kejut
Pangeran Matahari bukan alang kepalang. Orang mengetahui semua pukulan andalan
yang dimiliinya. Dua tangan diangkat ke atas, bergetar menahan marah dan juga
karena ada tenaga dalam yang dialirkan. Suaranya ikut bergetar ketika berkata.
“Lekas katakan , siapa kau adanya! Lekas!”
“Namaku
Damar Wulung! Aku tidak punya waktu lama. Dengar, aku tahu kau tengah dalam
perjalanan menuju air terjun Jurangmungkung. Kita punya tujuan sama. Kita juga
punya musuh yang sama. Pendekar 212 Wiro Sableng. Mengapa tidak bekerja sama
menghabisi manusia satu itu?!”
“Kalau
aku sanggup membunuhnya dengan tangan sendiri perlu apa minta bantuan manusia
culas sepertimu!”
“Kau
menyebut culas pada orang yang telah menolongmu! Kau masih bercongkak diri bisa
menghabisi Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangan sendiri. Jangan terllau
congkak Pangeran. Kau tidak tahu siapa saja yang bakal muncul di tempat itu.
selamat tinggal Pangeran congkak! Mungkin ini kali terakhir aku melihatmu dalam
keadaan hidup! Ha…ha….ha!”
“Jahanam,
buktikan dulu kemampuanmu!” teriak Pangeran Matahari marah lalu melompat ke
hadapan Damar Wulung seraya lancarkan satu pukulan tangan kosong. Damar Wulung
cepat menghindar sambil menangkis. Dia tahu Pangeran Matahari hendak menjajagi
tenaga dalamnya.
“Bukkk!”
Dua
lengan beradu keras di udara. Dua pemuda itu sama-sama keluarkan seruan
tertahan. Tubuh masing-masing terlontar sampai satu tombak. Pangeran Matahari
terkapar jatuh punggung. Damar Wulung terguling di tanah. Dengan cepat Pangeran
Matahari bangkit berdiri. Otak cerdiknya bekerja. Sang Pangeran ulurkan tangan,
membantu Damar Wulung berdiri sambil berucap “Kematian untuk Pendekar 212!”
“Kematian
untuk Pendekar 212!” jawab Damar Wulung. Lalu dia memberi isyarat agar Pangeran
Matahari mengikutinya. Dia berkelebat ke arah di mana tadi dia mendengar suara
siulan. Namun sampai di tempat itu dia tidak menemukan siapasiapa. Anehnya dia
melihat ada jejak dua orang di tanah. Damar Wulung berpaling pada Pangeran
Matahari dan berkata.
“Musuh
besar kita sudah dalam perjalanan menuju air terjun Jurangmungkung. Jika kita
berangkat sekarang, paling lambat awal malam kita akan tiba di sana!”
Damar
Wulung mengangguk.
“Tadi kau
mengatakan bukan cuma Wiro Sableng yang berada di tempat itu. Sebaiknya kita
memasuki kawasan air terjun setelah malam tiba. Dalam gelap kita bisa bertindak
leluasa tanpa diketahui musuh….”
Damar
Wulung tersenyum lalu mengambil kudanya. “Kuda ini cukup kuat membawa kita
berdua sampai ke desa terdekat. Di situ kita bisa mendapatkan seekor kuda untuk
tunganganmu!” Kedua orang itu lalu melompat naik ke atas kuda coklat.
***********************
SEBELAS
Malam
merayap mendekati akhirnya. Di kawasan air terjun Juangmungkung kegelapan masih
menggantung. Suara gemuruh curahan air terjun yang kemudian jatuh di atas
batu-batu cadas hitam berlumut merupakan satu-satunya suara yang terdengar
abadi di tempat itu. Kiri kanan tepian Kali Mungkung, menjelang air terjun
ditumbuhi sederetan pohon berdaun rimbun. Di tengah kali tampak beberapa batu
hitam muncul di permukaan air membentuk sosok-sosok seperti orang mendekam
menunggu sesuatu. Sampai menjelang pagi tidak kelihatan gerakan atau sesuatu
terjadi. Di salah satu pohon yang tumbuh di tepi kiri Kali Mungkung, pada tiga
cabang besar yang saling berdekatan, tiga orang mendekam dalam bayang-bayang
gelap dan kerimbunan daun. Mereka dalah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan
Anggini.
Sementara
itu di dalam rumah kayu di atas pohon besar, Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Pendekar Kipas Pelangi yang menyelinap masuk menemui rumah itu dalam keadaan
kosong. Orang yang mereka cari yakni si pemilik rumah Iblis Kepala Batu Alis Empat
alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh yang telah menjebloskan Bunga ke dalam
sebuah guci, tak ada di tempat kediamannya itu. Di dalam rumah hanya ada
sehelai tikar butut dan belasan guci, semua terbuat dari tanah liat.
“Jahanam
Iblis Kepala Batu Pemasung Roh itu. mungkin sekali dia sudah tahu kedatangan
kita ke sini lalu kabur lebih dahulu!” kata murid Sinto Gendeng penuh geram
sambil mengepalkan tinju.
“Menurutmu,
gadis bernama Bunga itu dimasukkan ke dalam guci. Di sini ada belasan guci.
Mungkin……”
Wiro
gelengkan kepala dan memotong ucapan Pendekar Kipas Pelangi. “Guci-guci itu
semua terbuat dari tanah liat. Guci tempat Bunga disekap terbuat dari perak.
Guci perak itu tak ada di sini….”
“Apa yang
akan kita lakukan sekarang?” tanya Pendekar Kipas Pelangi.
“Keluar
daru rumah jahanam ini, menyelidik keadaan di luar,” jawab Wiro lalu
menambahkan. “Sebelum keluar aku ingin menghancurkan tempat ini lebih dulu!”
Lalu Pendekar 212 angkat tangan kanannya. Tangan itu sebatas siku ke atas
berubah menjadi putih seperti perak. Ketika tangan itu dihantamkan berkiblatlah
cahaya putih, panas penyilaukan. Itulah pukulan Sinar Matahari!
Di atas
sebatang pohon di seberang kali, dua orang yang mendekam di balik kerimbunan
dedaunan dan gelapnya malam menjelang pagi saling berbisik-bisik. Yang satu,
yang berpenampilan sebagai seorang kakek, berkata “Aku mulai gamang. Kakiku
gemeteran sejak tadi. Aku tak tahan lagi. Mau beser….”
“Sial,
mau beser, mau kencing ya kencing saja!” menyahuti orang yang diajak berbisik
yaitu seorang bocah berambut jabrik berpakaian hitam.
Sementaa
di sebelah timur kelihatan saputan cahaya terang pertanda tak lama lagi fajar
akan segera menyingsing.
“Di sini?
Di pohon ini?”
“Apa kau
mau turun dulu, kencing di bawah pohon lalu naik lagi ke sini? Gelo!”
“Tapi
bagaimana kalau kencingku mengguyur dua orang di cabang pohon di bawah kita?!”
“Anggap
saja mandi pagi. Paling tidak cuci muka! Hik…hik…..hik!”
“Setan,
jangan tertawa. Kencingku tambah tak tertahankan…..”
Pada saat
itulah rumah kayu di atas pohon besar hancur berantakan. Kakek di atas pohon
tersentak kaget.
“Celaka!
Ngocor sudah kencingku! Uhh….”
Di bawah
pohon orang yang keningnya kecipratan air kencing mula-mula merasa heran.
Bagaimana mungkin, tak ada hujan ada air jatuh dari atas dan terasa hangat. Dirabanya
keningnya, dalam gelap dia coba memperhatikan jari-jari tangannya yang basah.
Lalu hidungnya mencium bau itu. Bau pesing air kencing. Kencing binatang? Apa
ada binatang di atas pohon sana? Dia mendongak. Justru saat itu kembali ada air
jatuh dari atas. Kali ini malah memasuki mulutnya!
“Jahanam
keparat!” maki orang ini. “Ini kencing manusia, bukan binatang! Siapa berani
mengencingiku! Kurang ajar!” Orang itu mengusap mulutnya lalu meludah
berulang-ulang.
“Pangeran,
ada apa?” tiba-tiba orang di sebelahnya bertanya.
“Ada
orang mengencingiku di atas sana! Aku akan menyelidik ke atas!” jawab orang
yang dipanggil dengan sebutan Pangeran yang bukan lain Pangeran Matahari
adanya.
“Tunggu,
jangan lakukan itu. Rencana yang sudah kita susun bisa kacau….” Kata sang teman
yang adalah Damar Wulung alias Adisaka.
“Tapi
mulutku dikencingi!” jawab Pangeran Matahari mata mencorong marah, rahang
menggembung, pelipis bergerak-gerak.
“Pangeran,
aku barusan melihat ada dua bayangan melesat turun dari rumah yang hancur. Sesuai
rencana, aku siap menyanyikan senandung itu. Harap kau menahan diri!” kata
Adisaka pula.
Di atas
pohon yang lain Anggini berkata. “Sebentar lagi pagi akan datang. Satu malam
suntuk kita berada di tempat ini. Saatnya kita menyelidik. Ratu Duyung harap
kau segera menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Ada dua orang melayang keluar dari
rumah yang hancur di atas pohon. Keduanya melesat ke pohon di seberang sana.
Mungkin salah seorang di antaranya Wiro?
Ratu
Duyung mengangguk. Tanpa banyak menunggu gadis bermata biru ini segera saja
arahkan pandangannya ke atas pohon di pinggir kali. Namun sebelum sempat Ratu
Duyung mengerahkan ilmu kesaktiannya itu tiba-tiba di atas salah satu pohon di
seberang kali terdengar suara orang menyanyi.
Kaliurang
desa tercinta
Terletak
di kaki Gunung Merapi
Di sana
kami dilahirkan
Alamnya
indah penduduknya ramah
Kami anak
desa
Bangun
pagi sudah biasa
Hawa
dingin tidak terasa
Kerja di
sawah membuat sehat
Kerja di
ladang membuat kuat
Kami anak
desa
Rajin
membantu orang tua
Menolong
Ibu di rumah
Membantu
Ayah di sawah
Kami anak
desa
Tidak
lupa sembahyang mengaji
Rendah
hati dan tinggi budi
Selalu
unjukkan jiwa satria
Tiga
gadis di atas pohon sama terkejut dan saling pandang.
“Gila,
siapa pula yang menyanyi pagi buta di tempat begini rupa?” berucap Bidadari
Angin Timur.
“Yang
menyanyi suaranya jelas orang dewasa. Tapi senandungnya adalah lagu
anak-anak….” Berkata Anggini.
“Aku akan
menyelidik ke arah pepohonan di seberang sana. Suara nyanyian itu datang dari
situ,” kata Ratu Duyung lalu terapkan Ilmu Menembus Pandang. Tapi belum sempat
dia melihat sosok orang di atas pohon terdengar pula suara orang bernyanyi.
Bait-bait yang disenandungkannya sama dengan yang tadi dinyanyikan orang di
atas pohon di seberang kali.
“Tambah
aneh!” kata Bidadari Angin Timur. “Kini ada satu lagi orang gila menyanyikan
lagu sama! Apakah ini merupakan satu tanda rahasia atau jawaban dari senandung
pertama? Tapi kalau orang kedua menyanyi sebagai jawaban senandung orang
pertama, mengapa kata-kata dalam setiap bait yang dinyanyikan sama?”
“Jangan
dulu pecahkan keanehan itu, sahabatku!” kata Anggini. “Sebaiknya lekas kau
menyelidiki siapa orang-orang itu.”
“Baik,
akan segera aku lakukan,” jawab Ratu Duyung.
Tapi
lagi-lagi sang Ratu terkesima, tak jadi menerapkan Ilmu Menembus Pandang karena
mendadak di seberang kali ada orang berteriak. “Orang yang bernyanyi di
seberang kali! Apakah kau bernama Adimesa?!”
***********************
DUA BELAS
Tak ada
jawaban. Hanya deru air terjun yang terdengar. Namun tiba-tiba ada teriakan
balasan. “Kakak Adisaka! Kaukah yang diseberang sana?!”
Dua pekik
keras menggema di pagi buta itu. Lalu dari atas dua pohon yang berseberangan di
kiri kanan Kali Mungkung tiba-tiba melesat dua sosok, berkelebat laksana
bayangan, pertanda keduanya memiliki kepandaian tinggi.
“Adimesa!
Adikku!”
“Kakak
Adisaka!”
Dua orang
yang berkelebat dari dau pohon berseberangan, bertemu di udara, saling rangkul.
Lalu melesat di pinggiran kiri Kali Mungkung, membuat gerakan berputar dan
berjungkir balik di udara, di lain saat mendarat di tepi kali, masih dalam
keadaan berpelukan. Satu berpakaian serba biru, satunya berbaju kuning
bercelana hitam.
“Kakak
Adisaka! Benarkah ini kau?!” bertanya orang berpakaian serba biru yakni Adimesa
yang dikenal dengan julukan Pendekar Kipas Pelangi. Dia seperti tak percaya.
Sepasang matanya pandangi pemuda berbaju kuning di hadapannya mulai dari kepala
sampai ke kaki lalu dipeluknya kembali. Matanya berkaca-kaca.
“Adikku,
aku memang Adisaka! Kakakmu! Siapa yang tahu nyanyian Kami Anak Desa itu
kecuali kita berdua?! Adimesa adikku. Belasan tahun kita berpisah…..”
“Kakak,
tadinya aku mengira tak ada harapan lagi bertemu denganmu. Namun Tuhan Maha
Besar. Denan Karunia-Nya kita akhirnya dipertemukan juga. Terima kasih Tuhan.
Terima kasih Gusti Allah…..”
“Seorang
sahabat yang panjang akal memberitahu. Jika kau ingin menguji bahwa kau ada di
tempat ini mengapa aku tidak mengeluarkan senandung yang sering ktia nyanyikan
di masa kanak-kanak di desa dulu? Anjurannya itu masuk akal. Aku menyanyi
keras-keras. Kau mendengar dan memberikan sambutan dengan menyanyi pula! Dan
kita akhirnya bertemu!”
“Sahabatmu
si panjang akal itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi…..”
“Kau akan
terkejut kalau mengetahui siapa dia! Aku akan mempertemukannya denganmu…..”
Tiba-tiba untuk pertama kali Adisaka menyadari apa tujuan sebenarnya berada di
tempat itu. Yaitu untuk menangkap Wiro hidup-hidup sesuai perintah Dewi Ular.
Tapi saat itu dia juga ingin tahu bagaimana adiknya bisa muncul di tempat itu.
“Adikku, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”
“Panjang
ceritanya. Kalau aku boleh bertanya Kakak sendiri berada di sini bagaimana pula
kisahnya?’
Adimesa
memandang berkeliling.
Saat itu
keadaan sudah terang-terang tanah. Walau agak samar-samar namun tiga gadis di
atas pohon segera mengenali salah satu dari dua pemuda yang tadi saling
berpelukanitu. Bidadari Angin Timur yang membuka mulut lebih dulu.
“Pemuda
berpakaian kuning itu, bukankah dia keparat bernama Damar Wulung? Asli bernama
Adisaka sesuai keterangan Gondoruwo Patah Hati?!”
“Tidak
salah! Dia memang jahanam keji yang menculik dan hampir menodaiku!” ucap Ratu
Duyung.
“Kalau
begitu kita tunggu apa lagi!” kata Anggini.
Tiga
gadis cantik siap hendak melesat turun dari atas pohon di tepi kali tapi serta
merta urungkan niat mereka karena tiba-tiba ada dua orang melesat dari pohon di
kiri kanan Kali Mungkung. Kejut tiga gadis ini bukan alang kepalang ketika
mengenali siapa adanya kedua orang itu. yang berdiri di samping Damar Wulung
dengan sikap congkak pongah sambil bertolak pinggang bukan lain adalah Pangeran
Miring alias Pangeran Matahari. Sedang yang tegak di sebelah Adimesa alias
Pendekar Kipas Pelangi adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Rasa
keterkejutan bercampur heran melanda orang-orang yang ada di tempat itu.
Sekaligus rasa tegang ikut menggantung di udara. Kalau Wiro terkejut dan heran
melihat Pangeran Matahari muncul bersama Damar Wulung maka Damar Wulung sendiri
kaget dan heran melihat adiknya Adimesa muncul bersama Pendekar 212 Wiro
Sableng. Berlainan dengan Pangeran Matahari, walau hatinya sebenarnya risau namun
dia tetap unjukkan sikap congkak.
Murid
Sinto Gendeng perhatikan sosok berpakaian hitam dengan gambar matahari merah di
dada serta mantel hitam di punggung. Pakaian itu adalah pakaian Pangeran
Matahari. “Betul apa yang dikatakan tiga gadis itu. Pakaiannya jelas pakaian
Pangeran Matahari. Tapi wajahnya bukan wajah pangeran keparat itu!” Wiro
membatin. Lalu dengan cepat matanya bergeark memperhatikan tangan kiri orang.
Pendekar 212 menyeringai. Jari tangan kiri si baju hitam ternyata buntung!
“Kelainan wajah bangsat durjana ini. Dia pasti mengenakan topeng tipis!” Wiro
lalu menggertak dengan suara keras.
“Pangeran
Matahari! Kau boleh sembunyi di balik topeng menutupi muka cacatmu! Tapi jangan
kira kau bisa menipuku! Jangan harap bisa sembunyi dan lolos dari dosa besar.
Kau telah merusak kehormatan dan membunuh Puti Andini! Kau juga adalah pembunuh
Kinasih, istri jruu ukir Keraton!”
Pangeran
Matahari berkacak pinggang, dongakkan kepala lalu tertawa bergelak. “Dasar
manusia sableng. Matahari belum lagi muncul penuh, kau sudah mengigau di
hadapanku!”
“Aku ada
bukti robekan pakaianmu dalam genggaman tangan korban!” dari balik pakaiannya
Wiro keluarkan robekan kain hitam yang didapatnya dari Nyi Supi. “Sekarang kau
harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan terkutuk itu dengan nyawamu
sendiri!”
Sekilas
sepasang mata Pangeran Matahari memancarkan cahaya angker. “Membuktikan
pembunuhan dengan secarik kain butut! Sungguh naif! Bisa saja kau sendiri yang
telah memperkosa dan membunuh perempuan itu. Lalu mencari sepotong kain yang
sama dengan pakaianku dan memfitnah diriku! Busuk! Buktinya di kening Kinasih
kau sengaja mengguratkan angka 212 dengan kukumu! Untuk apa? Untuk menunjukkan
kehebatan yang congkak dan keji?!” Pangeran Matahari meludah ke tanah. Bertolak
pinggang, mendongak ke langit yang mulai terang lalu kembali tertawa
gelak-gelak.
Wiro
menyeringai lalu ikut-ikutan tertawa. Suara tawanya demikian keras, menindih
suara tawa Pangeran Matahari dan deru air terjun. Tanah terasa bergetar. Begitu
hentikan tawanya Wiro berkata lantang.
“Pangeran
Matahari, kau memang dikenal sebagai Pangeran Segala Cerdik, Segala Licik,
Segala Akal, Segala Congkak, Segala Ilmu! Tapi ada kalanya orang cerdik berlaku
lebih goblok dari orang tolol. Ada kalanya orang licik terpeleset oleh
kelicikannya sendiri. Sering orang yang panjang akal jadi pendek akal karena
kehabisan akal! Ha….ha! Banyak orang beilmu jadi bodoh dalam kecongkakannya.
Dan semua itu kini terjadi dengan dirimu! Kau mengatakan ada guratan angka 212
di kening Kinasih. Bagaimana kau tahu hal itu padahal kau tidak melihat sendiri
jenazahnya! Bagaimana kau tahu angka 212 itu digurat dengan kuku, kalau bukan
kau sendiri yang melakukannya? Pangeran Miring, kau terjebak oleh kelicikanmu
sendiri! Ha….ha….ha!”
Rahang
Pangeran Matahari menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya
terasa panas karena sadar kalau dirinya memang terjebak. Buruburu dia membuka
mulut hendak melabrak. Tapi saat itu mendadak ada suara angin menerpa, satu
bayangan kuning berkelebat disusul dengan suara orang berseru.
“Aku
mewakili Patih Kerajaan! Aku menjadi saksi semua pembicaraan! Kawasan air
terjun Jurangmungkung telah dikurung dua ratus perajurit!”
Semua
orang yang ada di tempat itu menjadi kaget. Memandang ke arah kiri kali mereka
melihat seorang gadis berpakaian ringkas warna kuning berdiri di situ. Wajah
cantik, rambut hitam digulung di atas kepala. Sebilah pedang baru melintang di
pinggangnya.
Bagaimana
puteri Patih Kerajaan itu berada di tempat tersebut? Seperti diceritakan
sebelumnya Sutri merasa kecewa besar ketika mengetahui ayahnya mengirim
beberapa tokoh silat Istana dan pasukan besar untuk menangkap Wiro. Dengan
menunggang kuda gadis ini tinggalkan Gedung Kepatihan, berangkat menuju
Mojogedang. Karena dia sendirian dan mengambil jalan pintas. Sutri berhsail
mendahului rombongan pasukan Kerajaan.
“Sutri!”
ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala begitu mengenali siapa adanya gadis itu.
dia memandang berkeliling. Saat itu hari mulai terang. Dia tidak melihat
pasukan Kerajaan sekitar tempat itu karena pasukan memang masih cukup jauh di
sebelah selatan.
Sutri
Kaliangan terus saja memandang ke jurusan Damar Wulung dan Pangeran Matahari.
Tanpa berpaling pada Pendekar 212 gadis ini berkata “Wiro apa kau masih mau
bicara? Aku mewakili Patih Kerajaan menjadi saksi semua apa yang terjadi di
tempat ini!”
Wiro
masih garuk-garuk kepala. Dari ucapan dan gerak-gerik si gadis agaknya puteri
Patih Kerajaan ini berada di pihaknya.
Di atas
pohon, tiga gadis memperhatikan Sutri Kaliangan. Mereka kagum melihat sikap
gagah gadis berpakaian kuning itu. Tapi begitu menyadari kecantikan sang dara,
Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini diam-diam dirayapi rasa cemburu.
“Kau
tahu, siapa adanya gadis itu?” berbisik Anggini.
Ratu
Duyung menggeleng.
“Katanya
dia mewakili Patih Kerajaan. Apakah memang ada seorang dara jelita dalam
jajaran pasukan Kerajaan atau pasukan Kepatihan?” ujar Bidadari Angin Timur
pula. Lalu menambahkan “Dari sikap dan cara bicaranya sepertinya dia telah
mengenal Wiro.”
Tiga
gadis di atas pohon terdiam, hanya mata masing-masing memandang ke bawah sana.
Di
pinggir kali Damar Wu;ung rangkapkan dua tangan di depan dada. Dia merasa tidak
enak. Jika Sutri, puteri Patih Kerajaan itu sampai membongkar kebejatannya maka
dia bisa berabe. Gadis satu ini harus segera disingkirkan. Bagaimana caranya?
Damar Wulung memutar otak. Di depannya Pendekar 212 tampak sunggingkan seringai
mengejek ke arah Pangeran Matahari lalu berucap lantang.
“Pangeran
comberan! Ada yang memberimu nama Pangeran Miring. Kurasa itu memang pantas!
Tapi sungguh aneh. Kau juga pernah memakai nama Bagus Srubud! Mengaku petinggi
dari Keraton. Keraton mana?! Ha….ha…..ha!”
Damar
Wulung terkejut ketika Wiro menyebut nama Bagus Srubud karena dia pernah
memakai nama itu dan dia pula yang tempo hari menyuruh Pangeran Matahari
mempergunakan nama itu. Bagaimana Wiro bisa menerka? Atau memang Wiro sudah
tahu banyak? Sekilas Damar Wulung melirik ke arah Pangeran Matahari yang saat
itu membuka mulut menyahuti ucapan Wiro.
“Pendekar
212, murid sableng nenek gendeng dari Gunung Gede! Selama ini kau tolol-tolol
saja. Kini rupanya sudah pandai bicara! Malah bicara sombong! Belasan kali kau
sesumbar hendak membunuhku! Nyatanya sampai hari ini aku masih hidup!
Ha….ha……ha!”. Dengan cerdik, Pangeran Matahari yang sudah bisa membaca keadaan
menyambung ucapannya. “Aku sendirian saja kau tak pernah sanggup menghadapi.
Apalagi saat ini aku bersama Damar Wulung, murid GPH, apakah kau masih punya
nyali, bicara sombong hendak menghabisiku?!”
“Wiro!
Jangan takut! Biar Pangeran keparat itu membawa selusin teman kami bertiga siap
membantumu!”
Satu
suara melengking keras di tempat itu. lalu tiga bayangan berkelebat dari atas
pohon. Sesaat kemudian Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini telah
berdiri di kiri kanan Wiro. Pendekar Kipas Pelangi Adimesa selain
terkagum-kagum melihat kemunculan tiga gadis itu, juga jadi terheran-heran.
“Tiga
dara cantik! Luar biasa!” Pendekar Kipas Pelangi berkata dalam hati. “Inikah
para gadis yang dikabarkan mencintai Wiro?” Pemuda berkumis rapi ini melirik
pada Bidadari Angin Timur. Mungkin rambutnya yang pirang menimbulkan daya tarik
terhadap sang dara dibanding dua gadis lainnya.
Rasa
kagum dan heran Pendekar Kipas Pelangi serta merta berubah menjadi rasa kaget
ketika tiba-tiba Ratu Duyung melompat ke hadapan Adisaka, membentak sambil
menuding.
“Damar
Wulung manusia jahanam! Jangan jual tampang tak berdosa di hadapan kami! Kami
bertiga sudah tahu kebejatanmu! Kau pernah hendak memperkosaku! Kau juga telah
mencuri cermin sakti milikku! Manusia sepertimu sudah saatnya ditumpas!”
Damar
Wulung terkesima sampai surut satu langkah mendapat dampratan tak terduga itu.
Dia cepat buka mulut untuk berkilah, tapi saat itu gadis berbaju kuning sambil
cabut pedang dan melintangkan itu di depan dada melompat ke hadapannya dan
bicara keras.
“Damar
Wulung! Aku Sutri Kaliangan puteri Patih Kerajaan! Memberi kesaksian bahwa kau
juga pernah hendak menculik diriku secara keji!”
Anggini
yang sejak tadi menahan diri melompat pula ke hadapan Pangeran Matahari. “Kau
membunuh Puti Andini! Kau mencideraiku! Ditambah seribu satu kejahatan yang
telah kau perbuat, hari ini pintu neraka telah terbuka lebar-lebar untukmu!”
Pangeran
Matahari dengan sikap pongah rangkapkan dua tangan di depan dada lalu tertawa
membahak. “Dara berpakaian ungu, aku tahu kau muridnya Dewa Tuak. Yang konon
dijodohkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng! Kasihan kalau dirimu sampai jadi
pasangan pemuda edan itu. Bukankah lebih baik ikut aku saja? Ha….ha……ha!”
“Pangeran
Miring!” bentak Wiro. “Binatang saja kalau pandai bicara pasti menolak menjadi
pendampingmu! Apa lagi murid Dewa Tuak ini!”
Pangeran
Matahari menyeringai. “Pendekar 212, jangan cepat cemburu! Sungguh memalukan
dan pengecut sekali! Ternyata dalam kesombonganmu kau berlindung di balik tiga
gadis cantik! Ha…..ha….!”
“Pangeran
Miring, kau boleh mengatakan diriku pengecut. Tapi kalau aku boleh bertanya
mengapa kau melindungi dirimu di balik sehelai topeng? Kau takut setan neraka
mengenalimu? Atau takut karena terlalu banyak musuh?!”
“Aku
Pangeran Matahari tidak pernah mengenal kata takut!” jawab Pangeran Matahari
sambil bertolak pinggang. Padahal sebenarnya saat itu dia tengah
menghitung-hitung kekuatan. Berdua dengan Damar Wulung apakah dia sanggup
menghadapi Wiro Sableng dan tiga gadis cantik yang diketahuinya berkepandaian
tinggi itu? Lalu pemuda berpakaian biru berkumis kecil bernama Adimesa berjuluk
Pendekar Kipas Pelangi itu, berada di pihak manakah dia?
Sementara
itu Pendekar Kipas Pelangi sendiri yang sejak tadi menahan rasa keterkejutannya
mendengar semua pembicaraan yang berlangsung, mendekati Wiro dan bertanya.
“Sahabat Wiro, apakah ucapan gadis bermata biru tentang kakakku benar adanya?”
“Sahabatku,”
jawab Wiro. “Kau boleh tidak percaya pada ucapan Ratu Duyung. Tapi jika Sutri
Kaliangan puteri Patih Kerajaan ikut bicara tentang kakakmu, apakah kau masih
tidak percaya?” Wiro tatap wajah pemuda itu sesaat sambil menduga-duga, jika
pecah perkelahian hebat di tempat itu, di pihak manakah pemuda ini akan
berpihak? Dia hanya seorang sahabat, tetapi Adisaka alias Damar Wulung adalah
kakaknya sedarah sedaging. Wiro kemudian melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya
sejak aku ketahui Damar Wulung adalah Adisaka, mengingat persahabatan kita, apa
lagi kau pernah menyelamatkan diriku, ada satu ganjalan besar dalam hatiku. Aku
tak tega memberitahu semua perbuatan jahat saudaramu itu. Kini kau sudah
mengetahui sendiri dari orang lain……”
“Adimesa!
Jangan pecaya mulut keji Pendekar 212!” tiba-tiba Adisaka alias Damar Wulung
berteriak. “Aku justru selama ini mengejarnya untuk diseret ke haapan arwah
Dewi Ular yang telah dibunuhnya!”
“Pendekar
Kipas Pelangi,” kata Wiro, “Menyesal sekali aku katakan, kakakmu itulah yang
menjarah rombongan pembawa harta Keraton beberapa waktu lalu. Bukan saja jatuh
beberapa korban tak berosa, tapi dia merampas Keris Kiai Naga Kopek. Aku
menerima apesnya, kena dituduh sebagai pencuri keris pusaka itu!”
“Penipu
busuk! Kau memutar balik kenyataan! Kaulah yang telah membunuh para perampok
hutan Roban pimpinan Warok Mata Api. Kau juga yang menjarah harta perhiasan,
uang emas dan Keris Kiai Naga Kopek. Kini kau tuduh aku yang melakukan!” teriak
Damar Wulung menggeledek.
Wiro
menggeram dan memaki dalam hati mendengar kata-kata beracun Damar Wulung itu.
Kalau saja Kinasih masih hidup, dia bisa menjadi saksi atas keterlibatan
langsung Damar Wulung dalam peristiwa perampokan harta benda milik Kerajaan.
“Benar,
aku tahu sekali ceritanya!” Pangeran Matahari menimpali. “Keris Kiai Naga Kopek
memang dijarah oleh Pendekar 212 Wiro Sableng! Kini pasukan Kerajaan mencarinya
karena sudah dicap sebagai buronan!”
“Sahabat
Wiro, bagaimana ini? Mana yang benar…..?” Pendekar Kipas Pelangi bertanya.
“Adimesa,
aku tahu pemuda itu adalah kakakmu! Kau mungkin lebih mempercayai dirinya dari
pada aku. Tapi aku akan segera membuktikan bahwa Keris Kiai Naga Kopek memang
ada padanya. Saat ini senjata itu diselipkan di pinggang kiri sebelah
belakang…..”
“Bagaimana
kau bisa tahu?” tanya Pendekar Kipas Pelangi.
“Aku
barusan menerapkan Ilmu Menembus Pandang…..”
Semakin
bingung Pendekar Kipas Pelangi. Dia berpaling pada kakaknya. “Kakak Adisaka,
benarkah…..”
“Adimesa!
Kau adikku! Kau percaya padanya atau padaku? Kau berada di pihak siapa? Lekas
berdiri di sebelahku! Perlu apa kau berdampingan dengan jahanam keparat itu!”
“Kakak,
aku ingin kejujuranmu. Benarkah…..?”
Damar
Wulung menggeram marah. Dia dorong dada adiknya hingga Adimesa terjajar hampir
jatuh. Wiro cepat menahan tubuh Adimesa hingga pemuda ini tak sampai jatuh ke
tahah.
“Damar
Wulung! Aku harap kau segera menyerahkan Keris Kiai Naga Kopek untuk aku
kembalikan pada Kerajaan!”
Damar
Wulung kerenyitkan kening mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau mau jadi pahlawan
kesiangan? Padahal kau sebenarnya seorang buronan! Hendak berbuat jasa pada
Kerajaan agar segala dosamu diampuni? Ha….ha….ha!”
“Aku tahu
keris pusaka itu ada padamu. Kau sisipkan di pinggang sebelah kiri belakang!”
kata Wiro pula. Sebelumnya Wiro telah menerapkan Ilmu Menembus Pandang hingga
dia mampu melihat kalau senjata pusaka Keraton itu yang memang tersisip di
pinggang belakang Damar Wulung. Selain itu Wiro juga melihat sebuah benda bulat
berkilat terselip di bagian depan perut Damar Wulung. Benda ini adalah cermin
sakti milik Ratu Duyung yang dicuri Damar Wulung sewaktu menculik gadis bermata
biru itu.
“Otakmu
culas! Mulutmu busuk! Kalau kau menuduh aku memiliki keris itu, silahkan ambil
sendiri!” kata Damar Wulung.
“Atas
nama Kerajaan aku harap kau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!” Tiba-tiba
Sutri Kaliangan melompat ke hadapan Damar Wulung.
Damar
Wulung tertawa bergelak “Ini satu lagi gadis sesat kena tipu daya Pendekar
Sableng! Aku menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan. Jika kau mau
berlaku adil, mengapa tidak menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan
Kerajaan?!”
“Aku
tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek padaku!”
bentak Sutri.
“Ha….ha!
Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang jatuh cinta pada
Pendekar Geblek itu!”
“Sreett!”
Sutri
Kaliangan keluarkan pedangnya dari dalam sarung. Tangan kiri melintangkan
pedang di depan dada sementara tangan kanan diangsurkan ke arah Damar Wulung.
“Kalau
kau inginkan keris yang tak ada padaku, apakah ini berarti sebenarnya kau
inginkan diriku?!” ujar Damar Wulung lalu tertawa bergelak. Pangeran Matahari
ikut-ikutan tertawa.
Saat
itulah satu suara membentak menggetarkan seantero tempat.
“Adisaka!
Serahkan Keris Kiai Naga Kopek pada puteri Patih Kerajaan. Dan kau ikut aku ke
pertapaan!”
***********************
TIGA BELAS
Belum
habis kejut Damar Wulung tahu-tahu seorang nenek bermuka seram, berpakaian
hitam telah berdiri di hadapannya, memandang dengan garang. Sesaat nenek ini
melirik ke arah Wiro dan Ratu Duyung, dua orang yang telah dikenalnya dan
pernah ditolongnya.
Di atas
pohon kakek bermata jereng, berkuping lebar dan bau pesing yang bukan lain
adalah Setan Ngompol tusukkan sikutnya ke pinggang bocah breambut jabrik dan
berkata. “Naga Kuning, melihat nenek seram itu aku ingat ceritamu. Apa dia
Gondoruwo Patah Hati, asli bernama Ning Intan Lestari?”
Naga
Kuning mengangguk. Matanya memandangi si nenek tak lepas-lepas. Sambil
pencongkan mulutnya Setan Ngompol kembali berkata “Kalau cuma nenek lampir
seperti itu perlu apa kau sukai. Padahal masih banyak perempuan yang bisa kau
gaet. Janda muda bertebaran di mana-mana….”
Naga
Kuning tertawa lebar. “Dia bukan sembarang nenek. Kalau sudah kau lihat
wajahnya……”
“Dari
tadi aku sudah melihat wajahnya. Kurasa, maaf bicara, pantatku masih lebih
bagus dari mukanya. Hik…hik…..hik!” habis tertawa kakek ini langsung kucurkan
air kencing.
“Kakek
sial…..” maki Naga Kuning lalu meremas paha Setan Ngompol hingga kakek ini
terpekik kesakitan dan makin mancur air kencingnya.
“Guru…..!”
ujar Damar Wulung seraya membungkuk hormat.
“Aku tak
perlu segala basa-basi sopan santun! Lakukan apa yang barusan aku katakan.
Serahkan senjata pusaka Keraton pada puteri Patih Kerajaan. Setelah itu kau
ikut aku! Cepat!”
“Guru,
aku…..”
Gondoruwo
Patah Hati tampak mulai hilang kesabarannya. Saat itulah Pangeran Matahari
mendekati Damar Wulung dan membisikkan sesuatu. Ketika sang guru mendatanginya,
Damar Wulung cepat membungkuk seraya berkata “Guru, kalau memang itu maumu, aku
menurut saja. Keris Kiai Naga Kopek tidak ada padaku. Aku siap menuruti
perintah, mengikutimu ke pertapaan…..”
“Enak
betul!” berteriak Ratu Duyung. Gadis ini segera melompat ke hadapan Damar
Wulung.
“Mana
bisa begitu!” berseru Bidadari Angin Timur. Sekali bergerak dia sudah berada
tiga langkah di hadapan pemuda yang pernah hampir menodainya.
Melihat
hal ini Pangeran Matahari tak tingal diam, dia melompat mendampingi Damar
Wulung. Anggini yang menaruh dendam paling besar terhadap sang Pangeran segera
maju menghadang gerakan orang.
Adimesa,
alias Pendekar Kipas Pelangi sesaat tampak bingung. Namun di lain saat pemuda
ini cepat bergerak mendapingi kakaknya.
Melihat
gerakan Pendekar Kipas Pelangi, Wiro segera maju lalu berdiri di samping
Gondoruwo Patah Hati, menghadap ke arah Pangeran Matahari dan Damar Wulung.
Sutri
Kaliangan tak tinggal diam. Gadis ini ikut maju. Pedangnya yang telah terhunus
ditukik ke tanah. Jika dikehendaki senjata ini bisa mencuat membabat ke atas,
membelah tubuh Damar Wulung!
“Kalian
semua dengar! Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah!” tibatiba Gondoruwo
Patah Hati berseru keras. Dia lalu memandang pada Ratu Duyung dan Pendekar 212
Wiro Sableng. Lalu berkata “Kita bersahabat. Bukan aku mengungkit segala budi
pertolongan di masa lampau. Tapi apakah hal itu tidak bisa menjadi pertimbangan
kalian berdua untuk menghentikan semua ini? Aku tahu muridku punya dosa dan
kesalahan besar. Itu sebabnya aku membawanya kmbali ke pertapaan untuk
dihukum!”
Ratu
Duyung memandang pada Wiro. Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala.
“Adisaka!
Jika keris pusaka Keraton itu memang tidak ada padamu, jangan banyak cingcong!
Ikuti aku sekarang. Tinggalkan tempat ini!”
“Ning
Intan Lestari!” tiba-tiba ada suara dari atas pohon. “Maksudmu baik. Tapi
muridmu pergunakan maksudmu untuk mencari kesempatan. Meloloskan diri dari
pertanggungan jawab semua kejahatan yang pernah dibuatnya!”
Gondoruwo
Patah Hati tersentak kaget ada orang yang menyebut nama aslinya. Dia rasa-rasa
mengenali suara itu. Ini membuat si nenek jadi bergetar dadanya. Dia ingin
kepastian lalu berteriak. “Siapa yang bicara?! Mengapa tidak berani unjukkan
diri?!”
Baru saja
suara si nenek lenyap, dari atas sebuah pohon melayang turun sosok seorang anak
kecil berambut jabrik berpakaian hitam. Di belakangnya mengikuti sosok seorang
tua menebar bau pesing.
“Jahanam
kurang ajar! Pasti tua bangka itu yang mengencingi mulutku!” rutuk Pangeran
Matahari. Dia segera hendak mendekati Setan Ngompol namun niatnya dibatalkan
ketika dilihatnya Damar Wulung memberi isyarat agar dia jangan meninggalkan
tempat.
“Naga
Kuning! Setan Ngompol!” seru murid Sinto Gendeng.
Naga
Kuning cibirkan mulut sedang Setan Ngompol lambaikan tangan sambil
senyum-senyum cengengesan. Naga Kuning memandang pada Gondoruwo Patah Hati.
“Nek, apakah ucapanku tadi salah?’
Setelah
melihat siapa yang ada di hadapannya dan bicara padanya si nenek jadi salah
tingkah. “Naga Kuning …..” katanya perlahan. “Jadi dugaanku tidak meleset. Anak
ini memang dia adanya…..”
Si bocah
dekati Gondoruwo Patah Hati dan berkata. “Kita sudah sama-sama tua, mengapa
mencampuri urusan orang-orang muda? Biar saja mereka menyelesaikan urusan
mereka.”
“Mana
bisa begitu, Gunung?” ujar si nenek.
Naga
Kuning tersenyum mendengar si nenek menyebut nama aslinya. “Kau masih ingat
namaku itu. Cuma sayang, agaknya saat ini kita tidak berada di pihak yang
sama…..”
Gondoruwo
Patah Hati sesaat tampak sedih.
“Intan,
jika kau hanya menuruti kemauanmu sendiri, harap kau melihat sekelilingmu. Saat
ini dua sisi kali sudah dikurung rapat. Kita berada di tengahtengah.”
Gondoruwo
Patah Hati terkejut mendengar ucapan Naga Kuning. Dia memandang berkeliling dan
jadi lebih terkejut. Ternyata tempat itu memang telah dikurung oleh banyak
sekali perajurit Kerajaan. Beberapa orang tampak menunggangi kuda besar. Mereka
adalah para tokoh silat Istana. Dua dari orang-orang berkuda ini melompat turun
dari tunggangannya lalu melangkah cepat ke tempat di mana Gondoruwo Patah Hati
dan yang lain-lainnya berada. Di sebelah kanan adalah Tumenggung Cokro Pambudi.
Di sampingnya melangkah cepat sosok berjubah kelabu Hantu Muka Licin Bukit
Tidar.
Tumenggung
Cokro Pambudi, diikuti Hantu Muka Licin berhenti tepat di hadapan Damar Wulung.
Melirik ke samping sang Tumenggung melihat Sutri Kaliangan, membuatnya kaget.
Bagaimana gadis ini bisa berada di tempat ini, pikir Tumenggung Cokro. Lalu dia
menuding ke arah Damar Wulung.
“Pemuda
bernama Damar Wulung! Kau orangnya yang tempo hari datang ke tempat kediamanku
membawa harta Kerajaan serta Keris Kiai Naga Kopek yang dijarah. Kau memberikan
keris itu padaku seolah hendak berbuat jasa besar pada Kerajaan. Tapi ternyata
senjata itu palsu! Hanya sarungnya saja yang asli! Mana keris yang asli?
Serahkan padaku!”
“Tumenggung,
aku tak ingat apakah aku pernah berkunjung ke rumahmu,” jawab Damar Wulung
licik. “Tapi jika kau mencari Keris Kiai Naga Kopek, tanyakan pada Pendekar
212. Dialah yang mencuri pusaka Keraton itu! Seharusnya dia yang segear kau
tangkap. Bukankah dia buronan Kerajaan? Dan nenek ini, dia juga buronan
Kerajaan!”
Gondoruwo
Patah Hati kaget besar, tidak menyangka muridnya akan bicara seperti itu.
“Kurang
ajar!” maki Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku akan perlihatkan di mana keris itu
beradanya!” Lalu sekali berkelebat Wiro melompat ke arah Damar Wulung.
Tangannya menyambar ke pinggang si pemuda.
“Sebelum
kau sentuh tubuhku, biar kusentuh dulu kapalamu!” bentak Damar Wulung. Tangan
kanannya memancarkan cahaya biru lalu dihantamkan ke arah kepala Pendekar 212.
“Pukulan
Batunaroko!” seru Gondoruwo Patah Hati. “Adisaka! Aku mengharamkan kau
mempergunakan pukulan itu!”
“Kalau
begitu biar aku kemgalikan kepadamu!” teriak Damar Wulung. Tanagnnya sebelah
kiri bergerak. Seperti tangan kanan yang dihantamkan ke kepala Wiro, tangan
kiri yang dipukulkan ke kepala si nenek memancarkan sinar biru. Ini satu
pertanda bahwa Damar Wulung melancarkan pukulan maut bernama Batunaroko yang
sangat dahsyat. Jangankan kepala manusia, batu karangpun akan amblas hancur
terkena pukulan ini! Mengapa pemuda ini menjadi nekad dan tega hendak membunuh
gurunya sendiri? Lain tidak karena dia merasa tak akan bisa lolos dari tangan
si nenek. Cepat atau lambat, tidak sekarang, nanti-nanti orang tua itu pasti
akan terus mengejar dan menjatuhkan hukuman atas dirinya.
Gondoruwo
Patah Hati terkesiap kaget. Tidak menyangka kalau sang murid akan menjatuhkan
tangan jahat terhadapnya. Hanya tinggal sejengkal pukulan itu akan
menghancurkan kepalanya dia masih saja melotot diam terkesima. Tiba-tiba satu
tangan menarik pinggangnya. Tubuh si nenek terbetot ke kiri.
“Bertahun-tahun
kau menghabiskan waktu mencariku, berusaha menyingkapkan teka teki rasa antara
ktia. Kini mengapa bersikap seperti mau bunuh diri di depan mata?!” Orang yang
menarik si nenek keluarkan ucapan. Gondoruwo Patah Hati segera palingkan
kepala.
“Gunung…..
Terima kasih. Aku barusan memang berlaku ayal. Pertemuan ini, perbuatan
muridku, semua membuat aku jadi kacau pikiran dan berat perasaan……”
Naga
Kuning turunkan tubuh si nenek ke tanah. Sambil senyum-senyum dia berkata.
“Biarkan orang-orang itu menyelesaikan urusan mereka. Kita yang tua-tua kali
ini terpaksa hanya memperhatikan…..”
“Gunung,
bagaimana kau tahu aku Ning Intan Lestari?”
“Huss!
Nanti saja kita bicarakan hal itu….” Jawab Naga Kuning.
“Tidak,
aku ingin mendengar jawabanmu sekarang juga!” kata si nenek pula.
Naga
Kuning tertawa. “Kau masih saja seperti dulu. Tidak sabaran, keras hati dan
tegas!”
“Aku
memang tidak pernah berubah, Gunung.”
“Aah….
Syukurlah. Baik, aku memberitahu. Sejak pertemuan kita yang pertama di
Banyuanget dulu itu, Aku menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Berusaha mendapatkan
keterangan. Dia tidak bicara banyak. Tapi dari sikapnya itu aku justru
mengetahui kalau nenek muka setan berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu sebenarnya
memang adalah Ning Intan Lestari …..”
Baru saja
Naga Kuning berkata begitu tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat disertai
terdengarnya ucapan lantang. “Berdua-duaan bermesraan dikala maut gentayangan
mencari kematian, sungguh perbuatan mahluk-mahluk pendek pikiran!”
Gondoruwo
Patah Hati dan Naga Kuning cepat berpaling. Di hadapan mereka berdiri seorang
kakek berwajah jernih, berpakaian ringkas.
“Rana
Suwarte…..” ucap Naga Kuning dan si nenek hampir berbarengan. Kakek ini adalah
orang yang mencintai Gondoruwo Patah Hati sejak masa muda remaja tapi si nenek
tidak dapat menerima cinta Rama Suwarte karena hatinya telah tertambat pada
Gunung alias Naga Kuning. Sampai-sampai Rana Suwarte meminta pertolognan Kiai
Gede Tapa Pamungkas yang adalah ayah angkat si nenek, tetap saja perempuan itu
tidak bisa menerima kehadiran Rana Suwarte sebagai pendamping dirinya.
Penolakan ini telah menimbulkan dendam luar biasa dalam diri Rana Suwarte
terhadap Naga Kuning. Jika dia tidak bisa mendapatkan Ning Intan Lestari maka
Naga Kuning juga tidak akan mendapatkan perempuan itu. Rana Suwarte menyusun
rencana untuk melenyapkan Naga Kuning. Salah satu caranya ialah denan bergabung
dengan orang-orang Kerajaan. (Riwayat lebih jelas mengenai Ning Intan Lestari
harap baca Episode sebelumnya berjudul “Gondoruwo Patah Hati”)
Sutri
Kaliangan yang sudah merasa bahwa perkelahian hebat akan segera terjadi di
tempat itu, berseru keras. “Atas nama Patih Kerajaan harap semua tokoh silat
Istana jangan mencampuri urusan di tempat ini!”
Tumenggung
Cokro Pambudi dan Hantu Muka Licin hentikan langkah mereka mendekati Damar
Wulung.
“Den Ayu
Sutri, saya rasa kau tidak punya wewenang mengeluarkan ucapan itu….” berkata
Tumenggung Cokro Pambudi.
Dari
balik pakaian kuningnya Sutri Kaliangan mengeluarkan selembar kertas dan
memperlihatkannya pada Tumenggung Cokro Pambudi. Tapi kertas itu diperlihatkan
hanya dari jauh.
“Ini
wewenang yang diberikan oleh Patih Kerajaan padaku! Apakah Paman Tumenggung
berani membantah?” Sutri menggertak. Padahal surat itu palsu belaka!
Hantu
Muka Licin Bukit Tidar yang sebenarnya sudah letih mengurusi perkara seperti
ini dan lebih suka bersenang-senang di Kotaraja berbisik. “Tumenggung Cokro,
sebaiknya kita mengundurkan diri saja, kembali bergabung dengan pasukan. Perlua
apa bersusah payah? Kalau Keris Kiai Naga Kopek itu memang ada pada pemuda
bernama Damar Wulung, bukankah lebih baik kita mempergunakan tangan orang lain
untuk mendapatkannya?”
Setelah
berpikir cepat Tumenggung Cokro akhirnya menjawab. “Benar juga. Mari kita
menjauh, kembali ke pasukan. Tapi kita tetap harus mengurung kawasan ini!”
Kalau dua
tokoh Istana itu mengundurkan diri, lain halnya dengan Rana Suwarte. Kakek
bermuka jernih yang dilanda cinta dibarengi dendam membara ini melesat ke arah
Naga Kuning.
“Budak
keparat! Salah satu di antara kita harus disingkirkan dai muka bumi ini!” Habis
berkata begitu Rana Suwarte langsung lancarkan satu tendangan ke dada si bocah.
Setan
Ngompol yang sejak tadi diam saja, melihat Naga Kuning diserang serta merta
memotong gerakan Rana Suwarte.
“Tua
bangka edan! Tidak tahu malu beraninya melawan anak kecil! Aku lawanmu!” bentak
Setan Ngompol lalu tertawa bergelak dan serrrr, kucurkan air kencing.
“Sobatku
mata jereng bau pesing!” kata Naga Kuning. “Siapa bilang aku anak kecil? Pasang
mata kalian baik-baik!”
Si bocah
berambut jabrik putar-putar lehernya. Kepala digoyang-goyangkan. Tiba-tiba ada
asap tipis mengepul dari batok kepala anak itu. ketika dia mengusap wajahnya
satu kali, wajah itu berubah menjadi wajah seorang tua berambut putih, alis dan
kumis serta janggut putih. Sosoknya juga bukan sosok anak kecil lagi tapi
berubah besar menjadi sosok orang tua. Gondoruwo Patah Hati terkesiap. Puluhan
tahun dia tidak pernah melihat ujud asli orang yang dikasihinya itu. sepasang
matanya berkaca-kaca.
Setan
Ngompol kaget bukan kepalang. Kakek ini memang sudah tahu kalau Naga Kuning
sebenarnya adalah seorang tua berusia hampir seratus dua puluh tahun. Tapi selama
ini dia belum pernah melihat wajah dan sosok asli sahabatnya yang selalu konyol
itu.
“Gila!
Kau ini mahluk jejadian atau apa…..” kata Setan Ngompol sambil pegangi bagian
bawah perutnya yang tambah gencar mengucurkan air kencing.
Lain
halnya dengan Rana Suwarte. Kakek bermuka jernih ini serta merta menjadi pucat.
“Kiai Paus Samudera Biru…..” ucapnya dengan suara gemetar. Tendangannya jadi
tertahan. Nyalinya untuk meneruskan perkelahian jadi leleh. Selama ini dia
hanya tahu kala Naga Kuning itu ujudnya adalah seorang kakek yang jadi
saingannya dalam memperebutkan cinta Ning Intan Lestari. Dia tidak mengetahui
kalau si kakek sebenarnya adalah orang berjuluk Kiai Paus Samudera Biru yang
memiliki kesaktian jauh di atasnya. Untuk tidak kehilangan muka Rana Suwarte
buruburu berkata. “Tugasku sebenanya mengejar dan menangkap Pendekar 212 Wiro
Sableng. Gunung, urusan kita biar diselesaikan kemudian hari saja.” Lalu Rana
Suwarte tinggalkan tempat itu, kembali bergabung dengan para tokoh silat Istana
lainnya.
Kiai Paus
Samudera Biru hendak mengejar tapi cepat dicegah oelh Ning Intan Lestari. “Tak
usah dikejar Gunung. Aku lebih suka kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini….”
“Aku
setuju saja. Dengan dua syarat,” jawab Kiai Paus Samudera Biru. “Pertama kita
tunggu sahabatku Wiro menyelesaikan urusannya dengan Damar Wulung dan Pangeran
Matahari. Kedua aku ingin agar kau membuka dan membuang topeng tipis yang
selama ini selalu menutupi wajah aslimu yang cantik…..”
“Astaga,”
kejut si nenek muka setan. “Bagaimana kau tahu?”
Naga
Kuning alias Kiai Paus Samudera Biru hanya tersenyum. Sambil kedipkan mata dia
berkata. “Aku seorang Kiai, apa pantas berdampingan dengan setan perempuan.
Padahal setan perempuan itu sebenarnya seorang perempuan secantik bidadari?”
Ning
Intan Lestari menahan tawa cekikikan. Tangan kirinya menyambar mencubit lengan
orang yang dicintainya tu.
***********************
EMPAT BELAS
Kembali
pada perkelahian awal antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Damar Wulung.
Ketika melihat tangan kanan lawan yang memukul memancarkan cahaya biru, murid
Eyang Sinto Gendeng itu segera maklum kalau Damar Wulung melancarkan satu
pukulan sangat berbahaya. Karena yang diincar adalah kepala, maka berarti
pukulan itu sangat mematikan! Apa lagi tadi dia mendengar Gondoruwo Patah Hati
berseru agar Damar Wulung tidak mempergunakan ilmu pukulan yang disebut
batunaroko itu.
Dengan
cepat Wiro geser kuda-kuda kedua kakinya, rundukkan kepala lalu dari bawah
kirimkan pukulan tangkisan. Dia sengaja memilih bagian lengan lawan yang tidak
berwarna biru. Begitu terjadi bentrokan dua lengan dia akan keluarkan ilmu
Koppo, yaitu ilmu menghancurkan tulang yang didapatnya dari Nenek Neko. (Baca
serial Wiro Ssableng berjudul “Sepasang Manusia Bonsai”)
“Bukkk!”
Dua lengan beradu di udara mengeluarkan suara keras. Damar Wulung berseru kaget
ketika dapatkan dirinya mencelat ke udara setinggi satu tombak membuat Wiro
tidak bisa mengirimkan serangan lanjutan dengan ilmu Koppo. Wiro sendiri
terempas ke bawah, hampir jatuh duduk di tanah kalau tidak cepat menopangkan
tangan kirinya.
Bentrokan
lengan itu menyadarkan Damar Wulung bahwa tenaga dalam Pendekar 212 tidak
berada di bawahnya, juga tidak berada di bawah Pangeran Matahari yang telah
dijajalnya sebelumnya. Walau hatinya agak tergetar tapi selama hanya Wiro yang
dihadapinya dia merasa yakin akan dapat menghabisi lawan. Maka Damar Wulung
keluarkan jurus-jurus ilmu silatnya yang paling hebat sementara kedua tangan
sudah dipasangi aji kesaktian pukulan Batunaroko!
Lima
jurus pertama Wiro masih sanggup mengimbangi lawan sambil sesekali susupkan
serangan balasan. Namun dua kepalan Damar Wulung yang sangat mematikan itu
membuat Wiro tidak bisa bergerak leluasa karena dia harus berlaku sangat
hati-hati. Meleset perhitungan sedikit saja dan salah satu tinju lawan mengenai
dirinya, celekalah dia. Untuk membentengi diri dari serbuan Damar Wulung yang
kelihatan kalap ingin cepat-cepat menghabisi dirinya, Wiro keluarkan
jurus-jurus ilmu silat orang gila yang dipelajarinya dari Tua Gila, dipadu
dengan jurus-jurus silat langka dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Jurus Tangan Dewa
Menghantam Matahari, Tangan Dewa Menghantam Batu Karang, Tangan Dewa Menghantam
Rembulan serta Tangan Dewa Menghantam Air Bah keluar silih berganti. Lama-lama
Damar Wulung mulai kewalahan. Dia berusaha keras agar salah satu jotosannya
mampu mendarat di tubuh atau kepala lawan. Tapi usahanya sia-sia saja karena
gerakangerakan pertahanan dan serangan lawan tidak terduga. Apalagi dia tidak
mungkin mengerahkan tenaga dalam secara terus menerus pada dua tangannya karena
akan menguras seluruh tenaganya.
Memasuki
jurus ketiga puluh Damar Wulung terdesak hebat. Keringat membasahi pakaiannya.
Tengkuknya terasa dingin. Beberapa kali serangan lawan hampir bersarang di
tubuhnya. Ketika memasuki jurus tiga puluh empat, Damar Wulung robah permainan
silatnya. Kalau sebelumnya dia mengandalkan dua kepalan, kini secara tak
terduga sepasang kakinya ganti memegang peranan. Pada jurus ketiga puluh
delapan tendangannya berhasil melanda perut Pendekar 212! Tak ampun lagi tubuh
Wiro terlipat lalu terjerembab ke depan. Saat itu tangan kanan Damar Wulung
datang menderu ke arah keningnya. Tangan itu memancarkan cahaya biru terang
pertanda Damar Wulung sengaja mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Wiro tak
punya kesempatan untuk mengelak. Tangan kirinya memegangi perut yang terasa
seperti jebol amblas! Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah
mempergunakan tangan kanan untuk menangkis. Sekali ini mungkin Wiro tidak mampu
menangkis dengan memukul lengan lawan yang tidak berwarna biru. Jika hal itu
sampai terjadi berarti dia akan dihantam pukulan Batunaroko!
Setan
Ngompol terkencing-kencing begtu melihat dan menyadari bahaya yang dihadapi
Wiro. Kakek bermata jereng ini siap melompat memasuki kalangan perkelahian
dengan melancarkan jurus “Setan Ngompol Mengencingi Langit.” Namun sebelum
maksudnya kesampaian di depan sana telah terjadi sesuatu yang hebat!
Hanya
satu kejapan mata lagi dua tangan akan beradu, Pendekar 212 Wiro Sableng tiup
tangan kanannya. Di permukaan telapak tangan yang terkepal serta merta muncul
gambar kepala harimau putih bermata hijau. Itulah gambar harimau Datuk Rao
Bamato Hijau, harimau gaib pelindung Wiro.
“Bukkk!”
Dua
jotosan beradu di udara.
Pukulan
Batunaroko yang dilancarkan Damar Wulung baku hantam dengan Pukulan Harimau
Dewa yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Jeritan
setinggi langit, merobek deru air terjun melesat keluar dari mulut Damar
Wulung. Tubuhnya terpental ke udara lalu terguling-guling di tanah. Sebuah
benda bulat berkilau tersembul dari pakaiannya lalu jatuh ke tanah. Ternyata
cermin sakti milik Ratu Duyung. Melihat cermin miliknya tergeletak di tanah
Ratu Duyung cepat mengambilnya.
Wiro
sendiri mengeluh keras, terhenyak jatuh duduk di tanah dan ketika dia
memperhatikan tangan kanannya ternyata beberapa jari tangan itu telah
terkelupas kulitnya dan mengepulkan asap ke biru-biruan. Sesaat tanan kanannya
terasa kaku, aliran darah tak karuan dan dada mendenyut sesak.
Damar
Wulung sendiri tangan kanannya tidak berbentuk tangan lagi. Sampai sebatas
lengan tangan itu hancur mengerikan, mengepulkan asap kebiru-biruan.
Bagaimanapun
kemarahan Gondoruwo Patah Hati terhadap muridnya itu namun si nenek tidak tega
melihat cidera derita yang dialami Damar Wulung. Dia hendak memburu sang murid.
Tapi Kiai Paus Samudera Biru alias Naga Kuning alias Gunung memegang lengannya
seraya berkata “Intan, apapun yang terjadi dengan muridmu ikhlaskan saja.
Mungkin semua itu merupakan hukuman atas segala perbuatannya di masa lalu…..”
Begitu
berdiri Wiro segera mengejar ke arah Damar Wulung yang sambil menggerung
kesakitan berusaha bangun. Damar Wulung baru setengah duduk ketika Wiro sampai
dan susupkan tanan kirinya ke arah pinggang pemuda itu. Tangannya menyentuh
sesuatu, segera diambil. Ternyata sebilah keris bergagang emas. Keris Kiai Naga
Kopek!
Ketika
Wiro mengejar Damar Wulung dan gerakkan tangannya, Adimesa alias Pendekar Kipas
Pelangi mengira Wiro hendak menghabisi saudaranya itu. Bagaimanapun juga, siapa
orangnya yang berdiam diri saja melihat saudaranya sedarah sedaging hendak
dihabisi musuh. Dengan gerakan kilat Adimesa keluarkan kipas saktinya dari
balik baju.
Kipas
dibuka. Sambil diarahkan pada Wiro, Adimesa masih punya hari baik untuk
berteriak memberi ingat.
“Wiro!
Lihat serangan!”
Kipas
sakti digerakkan. Tujuh sinar pelangi berkiblat.
“Wuuuuusss!”
Di depan
sana Pendekar 212 yang telah memegang Keris Kiai Naga Kopek jatuhkan diri ke
tanah. Sebagian tubuhnya terlindung di belakang sosok Damar Wulung. Pada saat
itulah tujuh sinar pelangi datang melabrak! Tubuh Wiro dan tubuh Damar Wulung
mencelat sampai dua tombak lalu jatuh bergedebukan di tanah. Kalau Wiro masih
bisa bangkit berdiri walau sekujur tubuhnya terasa bergetar, namun Damar Wulung
tetap terkapar di tanah. Pakaiannya hancur, sekujur badannya kelihatan memar.
Dari hidung, mulut dan liang telinga darah mengucur.
Pendekar
Kipas Pelangi keluarkan gerungan keras.
“Kakak
Adisaka!” jeritnya lalu lari dan jatuhkan diri di samping sosok saudaranya itu.
di tempatnya berdiri Gondoruwo Patah Hati hanya bisa tundukkan kepala dan
teteskan air mata.
“Kakak!
Aku…..aku tak bermaksud mencelakaimu! Aku…. Gusti Allah, aku telah membunuh
kakakku sendiri! Besar sekali dosaku!” Terisak-isak Adimesa peluki tubuh
kakaknya. “Kakak….. Kakak Adisaka, jangan mati Kak!” Adimesa letakkan kepala
kakaknya di atas pangkaun, membelai rambut lalu mengusap darah yang membasahi
wajah kakaknya.
Wiro
masih tegak memegangi Keris Kiai Naga Kopek, setengah tertegun. Mukanya pucat,
Sutri Kaliangan tahu-tahu berdiri di hadapannya.
“Wiro,
kau berhasil membuktikan bahwa dirimu bukan pencuri keris pusaka ini….”
Wiro
mengangguk perlahan. “Senjata pusaka sakti in menyelamatkan aku dari serangan
kipas sakti Pendekar Kipas Pelangi.” Wiro memandang sesaat ke arah sosok
Adisaka yang tergolek di atas pangkuan adiknya. Lalu dia ulurkan tangan,
menyerahkan keris emas itu kepada Sutri. “Aku minta bantuanmu untuk menyerahkan
keris pusaka ini pada Sri Baginda di Istana. Jangan lupa menceritakan semua apa
yang terjadi di tempat ini.”
Sutri
Kaliangan mengangguk.
“Masih
ada satu hutangku padamu. Mengobati sakit ayahmu. Selesai urusan gila di tempat
ini aku akan berusaha melunasi hutang itu. aku sudah tahu obatnya, tinggal
mencari saja.”
“Aku
percaya kau tak akan ingkat janji,” kata puteri Patih Kerajaan itu. Keris Kiai
Naga Kopek disimpannya di balik pakaian kuningnya lalu gadis ini menemui tiga
gadis lainnya.
Pangeran
Matahari menjadi kaget. Dia sedang asyik menyaksikan perkelahian antara Wiro
dengan Damar Wulung ketika beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu empat gadis
cantik telah mengurung dirinya yaitu Bidadari Angin Timur, Anggini, Ratu Duyung
dan Sutri Kaliangan.
Tapi
dasar licik dan panjang akal, sang Pangeran sunggingkan senyum. “Empat gadis
cantik, kalian mau berbuat apa? Mau bicara, mengajakku ke satu tempat untuk
bersenang-senang? Hemmm….. tempat ini memang kurang pantas untuk kita.
Ha….ha…..ha!”
“Pangeran
keparat!” bentak Ratu Duyung. “Banyak arwah menunggumu di alam barzah!”
“Sudah
mau mampus masih bicara ngaco!” damprat Bidadari Angin Timur.
Anggini
tidak banyak bicara. Gadis ini loloskan selendang ungunya. Selendang ini adalah
senjata andalannya. Dengan pengerahan tenaga dalam benda yang lembut ini bisa
menjadi sekukuh tombak atau pentungan, bisa juga berubah setajam pedang. Sutri
Kaliangan yang sejak tadi sudah memegang pedang telanjang mendatangi dari
samping kiri. Ratu Duyung siap menggebrak dengan cermin saktinya.
“Wah…..wah!
Kalian empat gadis cantik mau mengeroyokku? Apa tidak salah tempat dan waktu?
Bagaimana kalau kalian mengeroyokku di atas ranjang saja nanti?! Ha…ha….ha!”
“Manusia
jahanam!” teriak Anggini.
“Laknat
terkutuk!” teriak Sutri Kaliangan.
Pangeran
Matahari masih terus tertawa-tawa. “Empat gadis mengeroyokku, sungguh luar
biasa! Mari mendekat. Ayo serang! Aku ingin seklai menjamah tubuh kalian!”
Empat
gadis keluarkan suara merutuk marah lalu tanpa banyak bicara lagi mereka segera
menyerbu Pangeran Matahari. Ternyata yang menyerang sang Pangeran bukan cuma
empat gadis itu karena tiba-tiba entah dari mana datangnya satu mahluk tinggi
besar berambut merah berwajah singa telah melesat ke dalam kalangan pertempuran
dan ikut menyerang. Mahluk ini bukan lain adalah Singo Abang, yang pernah
menyelamatkan Pangeran Matahari dan juga mengambilnya sebagai murid.
Pangeran
Matahari tahu gelagat. Empat gadis yang menyerangnya, di balik kecantikan dan
keelokan lekuk tubuh mereka tersimpan ilmu silat tinggi, tersembunyi kesaktian
dahsyat mematikan. Apalagi kini muncul Singo Abang, sang guru yang berubah
menjadi musuh besarnya. Lalu di sebelah sana Pendekar 212 Wiro Sableng
dilihatnya melangkah mendatangi.
“Pengeroyok
licik! Lihat serangan!” Pangeran Matahari berteriak. Dua tangan dihantamkan ke
depan, membuka serangan balasan. Dia lancarkan pukulan Dua Singa Berebut
Matahari. Lalu susul dengan pukulan Gerhana Matahari. Anehnya serangan itu
tidak diarahkan pada lima lawannya tapi dihantamkan ke tanah kering di
pinggiran kali serta sederetan pohon.
Suara
pohon tumbang menggemuruh. Daun-daun yang rontok begitu banyak, menutupi
pemandangan. Ditambah dengan tanah dan pasir yang bermuncratan ke udara.
Pinggiran Kali Mungkung di saat matahari baru terbit itu menjadi gelap.
“Jahanam
kurang ajar!” Pendekar 212 memaki. Dia sudah tahu apa yang hendak dilakukan
Pangeran Matahari. Tangan kanannya bergerak melepas pukulan Sinar Matahari.
Dalam udara gelap satu cahaya putih berkiblat dan panas melabrak ke arah
Pangeran Matahari. Namun serangan Wiro agak terlambat. Sekejapan sebelum
pukulan sakti itu berkiblat terdengar suara benda mencebur masuk kali. Wiro
mengejar. Dia hanya sempat melihat sekilas sosok Pangeran Matahari di ujung
kali, lalu lenyap dibawa arus air yang turun deras ke bawah membentuk air
terjun.
Sosok
Adisaka tergeletak tidak bergerak di atas pangkuan Adimesa. Matanya terbuka,
tapi pandangannya kosong. Perlahan-lahana mulutnya yang sejak tadi terkancing
terbuka sedikit. Matanya bergerak sayu, manatap wajah adiknya. Lalu dari mulut
Adisaka keluar suara nyanyian.
Kaliurang
desa tercinta
Terletak
di kaki Gunung Merapi
Di sana
kami dilahirkan
Alamnya
indah penduduknya ramah
Nyanyi
yang disenandungkan Adisaka tidak terlalu keras, tapi cukup jelas didengar
semua orang yang ada di tempat itu. ketika dia mulai menyanyikan bait kedua,
Adimesa dengan air mata berlinang ikut bernyanyi bersama kakaknya.
Kami anak
desa
Bangun
pagi sudah biasa
Hawa
dingin tidak terasa
Kerja di
sawah membuat sehat
Kerja di
ladang membuat kuat
Memasuki
bait ketiga suara Adisaka mulai perlahan lalu lenyap sama sekali. Dia
batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar darah segar. Dia masih
memaksakan hendak meneruskan senandung yang belum selesai dinyanyikan. Namun
matanya tertutup, mulut terkancing. Kepala terkulai.
Suara
nyanyian Adimesa ikut lenyap, berganti dengan suara tangis mengiringi kepergian
sang kakak.
TAMAT
No comments:
Post a Comment