Guci
Setan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
SATU
Lereng
gunung Merbabu di stu malam buta tanpa bulan tanpa bintang.
Udara
dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat
behkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara
lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku
dalam dingin yang luar biasa.
Sekali
terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung
kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur. Bersamaan dengan
itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada sesuatu yang menggerus
menjalar perut gunung.
Dalam
kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata ada empat
sosok tinggi besar bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalah seorang
laki-laki berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanya kelihatan
penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua lengan dan
kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut gondrong
awut-awutan, kumis lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok cambang bawuk
yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan berkilat-kilat oleh
nyala api. Sebenarnya orang ini belum mencapai usia empat puluhan namun keadaan
dirinya yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur hampir setengah
abad.
Ada
beberapa keanehan yang membuat orang bergidik pada manusia satu ini, yang
berlari di sebelah depan. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan
yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu lalu.
Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah disiram
dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu
adalah mayat seorang perempuan muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya
yang membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan
denga rambut panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka
dalam melintang.
Lelaki
tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu disambung
dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah roda
bergerigi. Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung
dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya
sering-sering tertinggal jauh.
Dalam
pelukan tangan kanannya orang berpakaian serba hitam ini membawa sebuah guci
yang bagian luarnya berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling dengan
gambar tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta lidah
api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi tempat-tempat yang dilalui
dan terutama sekali menerangi tampang seram orang itu.
Di
sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat perempuan dan membawa guci berapi
berlari cepat tiga orang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing tak
kalah seram dan buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi
bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap. Masing-masing mereka
memanggul sebuah pikulan di bahu kanan. Pada ujung pikulan di atas bahu
tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari rotan.
“Ramada!”
seru salah satu dari ketiga lelaki yang berlari di belakang dan berwajah hitam
pada orang yang membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa seabad.
Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!”
“Betul
sekali Ramada!” ikut membuka mulut lelkai bermuka hijau. “Kalau sampai tersesat
di gunung ini celakalah kita!”
“Tenggorokanku
sudah kering! Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.
Apakah
kita tidak bisa berhenti barang sebentar?!” berkata lelaki berpakain merah
ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap.
Sepertinya
orang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat kemudian
terdengar suaranya keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi terdiam
kecut.
“Kalian
bertiga kurcaci-kurcaci tolol! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku
Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung merbabu
ini seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian yang
merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan
kotoranmu sambil berlari!”
Tiga
lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut.
“Aku
ingin mendengar jawaban kalian!” Orang bernama Ramada berteriak.
“Maafkan
kami Ramada!” kata ketiga orang itu berbarengan.
Ramada
meludah ke tanah. Dia terus meluncur di atas roda besinya. Tiga orang anak
buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.
Berlari
sekitar sepenanakan nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala api
kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di
belakangnya.
Mereka
berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata adalah
nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir habis.
Obor ini tergantung pada sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng yang
sekelilingnya dibatasi dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan pintunya
digembok sampai tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali
sarang labah-labah. Ada enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam dalam
dinginya udara malam.
Sebuah
makam terbuat dari batu tampak menghitam angker dalam bangunan beratap seng
itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri makam di
atas sebuah batu rendah panjang tampak duduk bersila seorang lelaki berjanggut
dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas terlihat.
Blangkon
dan pakaian hitam yang dikenakannya sudah tua dan lusuh. Orang ini duduk
bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia
tengah bersemedi maka ini adalah cara bersemedi yang aneh.
Ramada menggerakkan
kepalanya hingga keringat yang membasahi tambutnya berlesatan ke udara. Dia
berpaling pada tiga orang di belakangnya.
“Kita
tidak salah datang ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Banowo dan
orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki Ageng Lentut.”
Tiga
orang lelaki berpakaian merah hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak tadi
meraka belum berani membuka mulut lagi. Takur salah berucap.
Ramada
maju mendekati pintu besi yang digembok tiga. Dia mendehem keras keras lalu
berkata dengan suara keras.
“Ki Ageng
Lentut, salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai petunjuk aku
datang untuk meminta penjelasan atas beberapa hal yang tidak aku ketahui!”
Orang
yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih tertunduk dan
tangannya masih terletak di atas bahu.
Ramada
menunggu sebentar. Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari orang di
samping makam maka diapun berteriak lebih keras, mengulang ucapannya tadi.
Tapi
orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak memberikan jawaban.
Ramada
mulai jengkel. “Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!”
Dia
berpaling pada salah seorang anak buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil batu
itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!”
Orang
yang bernama Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam sesaat tampak
bimbang. “Ramada….” Katanya setengah berbisik, “aku kawatir kita berlaku kurang
ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu….”
“Setan!
Kataku ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga kuburan itu!”
bentak Ramada.
Jalak
Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera melempar.
Hatinya berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ijo dan Jalak Biru.
Kedua orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun mengeluarkan
ucapan.
“Jalak
Item! Kau tunggu apa lagi!” bentak Ramada.
Jalak
Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar kepalan itu
dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping makam.
Jalak Ijo dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak menyeringai.
Sejengkal
lagi batu besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara aneh batu
itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item.
“Jalak
Item! Awas kepalamu!” teriak Jalak ijo.
Jalak
Item cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat. Batu
itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak Item
dengan telak.
Crrooootttt!
Batu
besar menghancurkan mata kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat
keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan
berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu
bagian leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus
mengucur dari matanya yang hancur, menutupi sebagian muka Jalak Item hingga
tampak mengerikan.
Dari arah
makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara orang menegur.
“Tamu-tamuku
yang terhormat, apakah kalian mendapatkan kesulitan?
Mungkin
aku isa membantu?!”
Jalak Ijo
dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap mata kirinya
sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya.
Ramada
memalingkan kep[ala kea rah makam. Kuncen berkumis dan berjanggut putih itu
dilihatnya masih seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala tertunduk.
“Hemmm….
Kalau bukan dia tadi yang bicara siapa lagi?” kata Ramada dalam hati. “Jika
saja aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya anjing
keparat ini saat ini juga!” Setelah memaki begitu Ramada keluarkan tawa panjang
lalu berkata.
“Ki Ageng
Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!”
“Tamu-tamu
yang datang dari jauh, mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen dekat makam
berkata. Kepalanya terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan menerima
tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!”
“Terima
kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu pagar makam
terkunci. Ada tiga gembok besar menghalangi. Apakah harus kuremukkan dulu
dengan tangan kosong?!” ujar Ramada.
******************
DUA
Dari arah
makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki Ageng Lentut itu.
Kembali kepalanya tengakat sedikit.
“Aku tahu
kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Suro Jelantik,
raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa menghancurkan
tiga buah gembok besar itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada gunanya?
Merusak itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah
benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!”
Dalam
hatinya Ramada jadi tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi dia hanya
menundukkan kepala, tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi
bagaimana dia tahu nama dan diriku? Benar-benar manusia berkepandaian tinggi!”
“Kuncen
makam Pangeran Banowo bernama Ki Ageng Lentut. Bagaimana kau bisa tahu bahwa
yang datang ini aku Ramada Suro Jelantik?” Ramada tak dapat menahan rasa ingin
tahunya.
Sang
kuncen di samping makam tertawa perlahan.
“Di dunia
ini siapa manusianya yang berjalan laksana angin di atas roda besi yang hebat
kalau bukannya Ramda Suro Jelantik? Dari jauh kudenar suara alat yang mampu
membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan bau badanmu!
Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Suro Jelantik!”
Ramada
memaki lagi dalam hati lalu menarik nafas dalam dan akhirnya menyeringai.
“Ki Ageng
Lentut, kuncen makam Pangeran Banowo. Kami ingin masuk, harap kau suka membuka
tiga buah gembok!” Akhirnya Ramada berkata.
“Baiklah,
aku akan bukakan pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan kanannya
lalu digerakkan tiga kali.
Trekk….terkk…..treekkkk!
Terdengar
suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar di pintu
pagar makam tampak tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan dengan
itu pintu besi yang berat bergeser membuka dengan mengeluarkan suara
berkereketan.
“Para
tamu dari jauh silakan masuk….” Terdengar kuncen makam berkata.
Tanpa
ragu-ragu Ramada melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru mengikuti
dari belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak ikut
masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata kiriku!”
Dari arah
makam sang kuncen menyahuti. “Setiap amal perbuatan ada ganjarannya. Kalau baik
akan mendapatkan ganjaran yang baik. Kalau jahat akan mendapatkan balasan yang
jahat. Tinggal manusia mau memilih yang mana. Kalau sampeyan tidak mau diajak
masuk, siapa mau memaksa…?”
“Sudah!
Kau tinggal saja di luar sana Jalak Item!” kata Ramada pada anak buahnya itu
lalu meneruskan langkah masuk ke dalam makam.
Ki Ageng
Lentut mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan wajahnya lebih jelas.
Satu wajah tua kelimis dengan janggut dan kumis putih yang terpelihara rapi.
Keningnya tinggi dan rahangnya tampak kokoh.
“Ramada,
aku tak mengira banyak sekali bawaanmu,” kata Ki Ageng Lentut.
Pandangannya
menyambar ke arah guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan Ramada. “Dan
bukan Ramada namanya kalau tidak membawa benda-benda aneh.
Kau boleh
meletakkan jenazah yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci itu dekat
batu tempat dudukku!”
“Maafkan
aku Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam.
Tapi guci
ini biar tetap kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Suro Jelantik.
Sang
kuncen tersenyum.
“Ah,
rupanya guci itu jauh lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan cantik
yang kau bawa.”
“Kira-kira
begitu Ki Ageng Lentut,” jawab Ramada.
Sang
kuncen usap janggut putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada dalam dekapan
tangan kanan Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang terbujur di atas
makam. Lalu dia bertanya “Ramada, mayat siapakah yang kau bawa ini?”
“Mayat
istriku Ki Ageng….”
Ki Ageng
Lentut keluarkan seruan tertahan disertai pandangan mata seperti tidak percaya.
Lalu digeleng-gelengkannya kepalanya.
“Ah,
rupanya tokoh besar dunia persilatan dating membawa nasib malang.
Aku turut
berduka Ramada. Namun apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku melihat istrimu
mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di dekat lehernya.
Setahuku istrimu menguasai ilmu silat dan kesaktian yang tidak rendah.
Bagaimana
mungkin dia bisa menemui ajal seperti ini? Bebanmu berat amat Ramada.
Membawa
mayat istrimu kemana-mana…..”
“Aku akan
membawanya sampai ke neraka sekalipun. Aku tidak akan menguburnya sebelum
menemukan pembunuhnya!”
“Jadi
istrimu mati dibunuh orang!”
“Betul
sekali Ki Ageng. Aku berusaha mencari tahu siapa orangnya. Tapi sampai saat ini
masih gelap. Itu sebabnya aku datang dari jauh untuk menemuimu guna mendapat
petunjuk! Itu pula sebebnya aku membawa guc keramat yang bernama Guci Setan
ini. Menurut banyak orang hanya kau yang bisa melihat kealam ghaib lewat guci
ini.”
Kuncen
makam Pangeran Banowo itu memandangi guci di tangan Ramada dengan sepasang mata
berkilat-kilat.
“Guci
Setan…..” desisnya. “Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci misterius
yang bisa mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan sejuta
angkara murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan
orang
pandai ke
tangan orang pandai lainnya. Menjadi rebutan dalam dunia persilatan.
Bagaimana
benda keramat ini sampai berada di tanganu Ramada?”
“Panjang
ceritanya Ki Ageng. Harap dimaafkan, aku datang kemari bukan untuk menuturkan
riwayat Guci Setan ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat lewat guci,
siapa kiranya manusia keparat yang telah membunuh istriku.”
“Jika itu
maksud tujuanmu, aku akan membantu. Mudah saja melakukannya.
Memang
hanya aku yang mampu untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat guci sakti
itu. Letakkan guci itu di hadapanku Ramada.”
“Tidak Ki
Ageng. Apapun yang akan kau lakukan guci ini tetap harus berada dalam
dekapanku,” jawa Ramada Suro Jelantik.
Kuncen
tua itu tersenyum. “Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?”
“Kepercayaan
di atas dunia ini kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng.
Terserah,
kau mau menolongku dengan cara begini ataau aku akan pergi saja.”
“Baiklah,
jika kau memang lebih suka begitu aku tidak akan membantah.
Sekarang
katakana berapa banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku sebagai upah
melakukan permintaanmu?”
Ramada
Suro Jelantik menyeringai. Dirabanya janggut dan cambang bawuknya yang
meranggas kasar.
“Kau lupa
Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!”
“Eh, apa
maksudmu Ramada?” tanya kuncen makam terheran-heran.
“Aku
sudah membayar dengan mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur hingga kini
dia menjadi cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup?!”
Berubahlah
paras Ki Ageng Lentut. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu tapi cepat
dipotong oleh Ramada. “Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu akibat salah
anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan sahabat
dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat mental ke
jurusan lain! Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera seperti itu!”
Ki Ageng
Lentut terdiam. Lalu dia berkata “Kurasa aku….”
Ramada
Suro Jelantik menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. “Jalak Ijo,
kurasa binatang peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk di
atas atap makam. Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga dari enam
labah-labah itu?”
Jalak Ijo
menyeringai. Pikulan di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang ada di ujung
pikulan diletakkannya di atas pangkuannya. Perlahan-lahan penutup keranjang
rotan itu dibukanya. Begitu penutup keranjang terbuka tiba-tiba melesat sebuah
benda panjang berkepala lebar pipih, berwarna hijau disertai suara mendesis.
“Ular
Kobra!” seru Ki Ageng Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di atas batu
yang didudukinya. “Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat beracun.
Sekali
patuk saja jangankan manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan binatang celaka
itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!”
Ramada
tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ijo.
“Ayo
tunggu apa lagi. Beri makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labahlabah.
Lebih
baik dari pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!”
Jalak Ijo
yang memegang keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk keranjang itu
tiga kali seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah gemuk di atas
atap sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!”
Kobra hijau
di dalam keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba binatang ini
melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang, di bawah
atap seng tiga ekor labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya semula!
Jalak Ijo
Menyeringai. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan ditutupkannya kembali.
Kuncen
makam Pangeran Banowo tak berani bergerak. Berkesippun hampir tidak
dilakukannya. “Ular beracun itu kecepatannya seperti setan. Aku harus
berhatihati.
Mungkin
belum saatnya aku menjalankan rencana….”
Selagi
kuncen berpikir begitu terdengar Ramada Suro Jelantik berkata pada anak buahnya
yang seorang lagi. “Jalak Biru, kukira binatang peliharaanmu juga sudah lapar.
Sayang hanya tingal tiga ekor labah-labah di atas sana. Bagaimana pendapatmu?”
“Biar
mereka berebut rejeki sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan mendapat
santapan enak,” jawab Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya
pikulannya dari bahu. Keranjang rotan yang tesangkut di ujung pikulan itu
diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya penutup keranjang.
Begitu penutup terbuka menjalar keluar tujuh ekor kelabang berwarna biru.
Kepala, kakikaki dan ekornya bergerak kian kemari.
Kembali
Ki Ageng Lentut bergidik dan bersurut mundur di atas batu yang didudukinya.
Ramada tersenyum dan berkata “Ki Ageng, kebuasan dan jahatnya racun tujuh
Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan sampai kau membuat
erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!”
“Kalian
membawa binatang-binatang celaka!” kaata Ki Ageng Lentut tak berani
keras-keras.
“Jalak
Biru. Beri makan binatang peliharaanmu!” kata Ramada pula.
Jalak
Biru mengetuk penutup keranjang rotan tiga kali lalu berkata “Sarapan malam
cuma ada tiga. Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak BIru
meniup kea rah keranjang. Tujuh ekor kelabang biru itu mengeluarkan suara aneh
lalu ketujuhnya melesat ke atas. Tiga yang melesat lebih cepat berhasil
menyambar tiga ekor labah-labah. Yang keempet jatuhkan diri kembali ke dalam
keranjang rotan. Selesai menelan mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun
pula ke dalam keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali.
Ki Ageg
Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini seperti
kembali lagi.
“Ki Ageng
Lentut, apakah kau masih ingin meminta bayaran?” bertanya Ramada pada sang
kuncen. Orang tua berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan kepalanya
berulang kali dengan wajah pucat.
“Nah
sekarang pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa yang telah
membunuh istriku.” Kata Ramada pula.
“Baik,
baik. Akan kulakukan,” kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu tempatnya
duduk lalu berdiri di hadapan Ramada yang mendekap guci berapi itu dalam
gelungan tangan kanannya.
Mula-mula
Ki Ageng Lentut meletakkan kedua telapak tangannya di atas mulut guci yang
mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya dipejamkan.
Multunya berkomat kamit. Beberaa saat kemudian kelihatan sekujur tubuh kuncen
itu bergetar keras. Kedua telapak tangannya yang ada di atas mulut guci ikut
bergetar. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat.
Petunjuk
bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat.
Ada orang
ingin minta pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memberi
petunjuk.”
Beberapa
saat berlalu. Tiba-tiba Ramada, Jalak Ijo dan Jalak Biru melihat begaimana
sekujur tubuh Ki Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya tampak
mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya membesar.
Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang besar.
Lalu dari multunya keluar suara aneh. Bukan suaranya. Tapi suara lain, halus
menggeletar.
“Aku
penghuni dan penguasa Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin kau tanyakan? Tapi
katakan dulu siapa namamu.”
Sesaat
Ramada memandang tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah dan keadaan
tubuh kuncen penjaga makam itu. Demikian juga dengan dua anak buahnya yaitu
Jalak Ijo dan Jalak Biru.
“Penghuni
dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik….”
“Apa
keperluanmu Ramada?” tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara lain.
“Aku
ingin mengetahui siapa pembunuh istriku,” jawab Ramada.
Terdengar
suara mengekeh.
“Setahuku
kau punya empat istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh orang?”
Sesaat
paras Ramada nampak berubah. Dia berdehem beberapa kali lalu menjawab. “Istri
tua dan istri keduaku minggat entah kemana. Istri ketiga sudah kucerai karan
main gila dengan orang lain…”
“Ah, jadi
istri mudamu rupanya yang dibunuh orang!” kata si penghuni Guci Setan. “Siapa
nama istrimu yang malang itu?”
“Namanya
Dardini….”
“Hemm….jadi
kau ingin tahu siapa embunuhnya?”
“Betul.
Siapa orangnya dan dimana aku bisa mencarinya!” jawab Ramada.
Kuncen
itu melangkah lebih dekat pada Ramada. Kedua telapak tangannya diletakkan di
atas mulut guci dimana kepulan asap dan jilatan lidah api. Kalau Ramada telah
membuktikan kehebatannya sanggup memegang dan mendekap guci yang panas tanpa
cidera, maka kuncen makam memperlihatkan kesaktiannya dimana kedua tangannya
sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati api.
“Api di
dalam guci, penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi.
Air di
alam gaib. Masuk dan isilhah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak
melihat ke dalam alam gaib…… Ada anak manusia membutuhkan pertolongan.”
Baru saja
kuncen itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil.
Bersamaan
dengan itu kepulan asap putih menghilang.
Lalu dari
dalam guci terdengar suara seperti ada air dicurahkan. Ramada merasa guci yang
dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebarlebar dn
memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air yang
tingginya sampai setengah badan guci. Air ini secara anh berputar-putar dena
bersamaan dengan itu terdengar suara aneh seperti tiupan angin halus di dalam
guci.
******************
TIGA
Ki Ageng
Lentut mendorong kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya. Lalu memandang
ke dalam guci.
“Air
keramat dan angin sakti telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan
mendengar. Sekarang perlihatkan mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama
Ramada Suro Jelantik kematian iatri bernama Dardini. Perempuan muda itu mati
dibunuh orang. Perlihatakan kesaktianmu padaku. Tunjukkan padaku siapa sang pembunuh!”
Putaran
air aneh di dalam guci semakin keras begitu juga tiupan angin halus.
Guci
bergoncnag keras. Ramada terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat agar tidak
terlepas dari dekapannya.
Perlahan-lahan
putaran air dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu suara tiuapan angin
halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua matanya. Ketika mata
itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci, kelihatan air dalam guci tak
bergereak lagi. Bibir sang kuncen kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah melafatkan
sesuatu agaknya. Lalu terdengar dia berucap.
“Aku
penghuni dan penguasa Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan seseorang di
permukaan air dalam guci. Jauh samar-samar. Mendekat mulai jelas.
Makin
jelas….tambah jelas. Ah…..ternyata seorang pemuda…..”
“Kuncen,
kau mengenali siapa pemuda itu?!” tanya Ramada Suro Jelantik yang rupanya sudah
tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya orang yang membunuh istrinya.
Sang
kuncen yang wajahnya dan kulitnya telah berubah hitam mengerikan menggeram
pendek. “Manusia anjing!” meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi kau
berani menyelak bicara, kupevahkan kepalamu!”
“Bangsat
sialan!” maki Ramada Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia merobek
mulut kuncen tua itu.
“Maafkan
aku….” Ujar Ramada dengan suara bergetar menahan marah lalu mengusap mukanya
yang keringatan.
Ki Ageng
Lentut menurunkan kepalanya, memandang kembali ke dalam guci.
“Betul…..memang
seorang pemuda. Berambut gondrong sebahu….. Keningnya diikat setangan warna
putih. Dia juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm…..lagaknya sombong sekali.
Cengar-cengir seperti orang kurang waras….”
Ki Ageng
Lentut mengangkat kepalanya. “Ramada, itu yang aku lihat di permukaan air dalam
guci. Pembunuh istrimu adalah seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan
pakaian putih….”
“Jauh-jauh
aku datang menempuh hujan dan teriknya matahari. Kau hanya bisa memberi tahu
seperti itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada ratusan orang
berpakaian putih! Ada ratusan orang berambut gondrong! Kuncen makam Pangeran
Banowo, kau benar-benar mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu yang pandai
mengetahui seribu satu macam kejadian yang sudah lalu maupun yang akan datang
ternyata omong kosong belaka!”
Kuncen
tua itu tertawa. “Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah memotong!
Katakn aku yang salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan?!”
“Lalu apa
lagi yang hendak kau katakana? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya
pemuda itu?!”
Ki Ageng
Lentut usap-usap janggutnya lalu rapikan blangkon hitamnya.
Sesaat
setelah dia menatap lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat ke
dalam guci.
“Hemmm….angin
meniup baju pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot, tanda kekuatan yang
hebat. Eh, apa itu….. Aku melihat sesutau di pertengahan dadanya. Ada rajah
tiga buah angka di dada itu. Angka 2….1….2….! 212!” Paras Ki Ageng Lentut
berubah keras membesi. Dia mengangkat kepala, menatap manusia bernama Ramada
Suro Jelantik. “Anak manusia bernama Ramada. Aku sudah tahu siapa pembunuh
istrimu…. Tak pelak lagi. Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro Sableng. Tokoh
silat muda yang dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!
Benar-benar tidak disangka! Pendekar yang begitu diagung-agungkan ternyata
adalah seorang pemerkosa dan pembunuh keji biadab!”
Tampang
angker Ramada Suro Jelantik tampak seganas harimau lapar yang terluka. Sekujur
tubuhnya bergeletar.
“Pendekar
212 keparat!Akan kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu!
Kulumat
sekujur tubuh dan tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang mendidih
tidak terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.
Tiang
besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada. Atap di
atasnya langsung jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki marah tapi Ramada
lebih dahulu membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti terkancing.
“Jadi dia
pembunuhnya! Kuncen! Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan kepandaianmu untuk
melihat dimana pemuda keparat itu saat ini berada!”
Perlahan-lahan
Ki Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat pemandangan seperti
ada laut. Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi tak dapa
kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai Selatan…..”
“Kuncen!”
“Tunggu
dulu! Dalam guci aku melihat gambaran apa yang telah terjadi dengan istrimu.
Aku melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau kecil di
depannya….”
“Itu
tempat kediamanku!!” kata Ramada pula.
“Gelap…..
PErtanda saat itu malam hari. Ada bayangan putih berkelebat.
Orang ini
menerobos masuk ke dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada seorang perempuan
berbaring tidur di atas ranjang…”
“Itu
pasti istriku Dardini!” kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan.
Ki Ageng
Lentut memandang kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun…..
Terjadi
perkelahian tapi singkat sekali. Orang yang masuk berhasil menotok perempuan
itu. Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh
pakaiannya dibuka dengan paksa. Lalu….. Ya ampun….. Orang itu memperkosa
istrimu Ramada…..”
“Jahanam!”
teriak Ramada sambil tegak berdiri. Dia seperti hendak mengamuk. Tapi Ki Ageng
Lentut cepat berkata.
“Duduk
kembali Ramada. Apa yang kulihat di dalam guci ini belum selesai….”
Untuk
beberapa saat lamanya Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur tubuh bergetar
dan keringatan. Kemudian akhirnya dia duduk kembali di hadapan kuncen itu. Sang
kuncen melihat lagi ke dalam guci. “Betul Ramada dia memperkosa istrimu. Tapi
lihat! Istrimu tiba-tiba bisa melepaskan totokannya. Hebat sekali!
Kembali
terjadi perkelahian. Istrimu berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu? Aku
melihat ada cahaya menyilaukan berkiblat. Hemmm, si pemuda ternyata
mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak bermata dua! Jelas ini adalah Kapak
Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi senjata sakti itu Ramada.
Satu
bacokan mendarat dekat pangkal lehernya….. Istrimu roboh. Pemuda itu melarikan
diri….”
Geraham
Ramada terdengar bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari terus. Aku
akan segera menemukannya. Coba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng!
Bantu aku
menemukan pendekar jahanam itu!”
“Sudah
kubilang tadi Ramada. Dia saat ini berada di daerah pantai. Mungkin di Selatan,
mungkin juga di Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya.
Pergi ke
puncak gunung Gede kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto Gendeng.
Bunuh tua bangka itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari sarangnya
mengunjukkan diri untuk mencarimu?! Aku sudah letih Ramada. Aku penghuni dan
penguasa Guci Setan segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja kau ingin
petunjukku lebih lanjut kau boleh menghubungiku…”
“Tunggu
dulu!” kata Ramada setengah berteriak.
Ki Ageng
Lentut yang kemasukan roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang.
Kedua
tangannya diletakkan di atas mulut guci. Mulutnya komat kamit. Kulitnya yang
tadi hitam pekat dan berkeriput kini berubah kembali ke warna asalnya.
Wajahnya
yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya yang
tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan gigi
giginya
yang
menyembul besar, kembali ke bentuk semula.
Dari dalam
guci kelihatan asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak lidah api
menjilat keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu duduk di atas
batu. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Suaranya yang tadi halus
menggeletar kini terdengar seperti semula.
“Ramada….
Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin bersemedi
dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat kaki dari
tempat ini.”
“Ki Ageng
Lentut, aku…..”
Ramada
Suro Jelantik hentikan ucapannya. Dilihatnya sang kuncen saat itu pejamkan
kedua mata, kaki disilangkan di atas batu dan kedua tangannya diletakkan di
atas bahu.
“Sialan!”
maki Ramada. Dia meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bentuan Jalak Ijo
dan Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu kirinya. Di
tangan kanannya Ramada memegang guci erat-erat. “Sialan!” makinya lagi. “Kita
harus segera pergi dari sini. Kalian harus mencari kuda tunggangan.
Gunung
Gede jauh di sebelah Barat.”
“Kita
pasti akan mendapatkan kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,”
kata
Jalak Ijo.
Di depan
makam Jalak Item masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi mengucur dari
mata kirinya yag hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang terus-terusan.
“Kau mau
ikut atau tinggal di sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu.
Perlahan-lahan
Jalak Item berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan kawan-kawannya
melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam.
“Kuncen
keparat! Matamu boelh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli.
Kau
dengar baik-baik. Satu hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa yang
kau lakukan padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan mengorek
kedua matamu sekaligus!”
Di atas
batu kuncen Ki Ageng Lentut teidak bergerak. “Kuncen bangsat!”
rutuk
Jalak Item. Dia meludah makam batu di depannya lalu berpaling dan tingalkan
tempat itu sambil tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.
******************
EMPAT
Meski di
langit matahari bersinar terik namun di puncak Gunung Merbabu itu udara tetap
saja terasa dingin. Satu bayangan putih berkelebat cepat.
Mula-mula
gerakannya terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu muncul
lagi di ketinggian yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan
gerakan sebat ini ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto
Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung, dia membutuhkan waktu cukup lama
sebelum akhirnya menemui makam Pangeran Banowo.
Makam Itu
kosong, diselimuti kesunyian dan udara dingin.
“Aku
datang terlambat! Sebelumnya dia pasti berada di sini,” kata Pendekar 212 dalam
hati lalu memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga bunga yang
sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang telah lama
padam. Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap makam yang
terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini kernyitkan kening
ketika di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kai. “Agaknya dia tidak
sendirian di sini. Siapa bersama dia? Kemana mereka sekarang?”
Wiro
memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu matanya membentur bercak-bercak
hitam di tanah. Lalu mengorek bagian tanah yang ada bercak-bercak kehitaman
itu. “Bekas-bekas darah yang sudah mongering….” Katanya dalam hati.
“Sesuatu
telah terjadi di tempat ini.” Perlahan-lahan Wiro berdiri lalu melangkah
kembali kea rah makam. Baru saja sampai di depan pintu pagar makam yang
bergembok tiga tiba-tiba dia mendengar suara derap kaki kuda. Murid Eyang Sinto
Gendeng berpaling ke jurusan datangnya suara itu. Tapi derap kaki kuda tadi
serta merta lenyap. Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin aku salah dengar,”
katanya sambil garuk-garuk kepala. Di puncak gunung seperti ini siapa orangnya
yang mampu menunggang kuda begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar makam,
Wiro memanjat pintu itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan keadaan
makam, beberapa tombak dari sana, terlindung di balik semak belukar liar yang
lebat, seorang dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain merah
berkata pada orang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan.
“Paman,lihat!
Pemuda tak dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang ajar…..!” Tangannya
bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya.
“Jangan-jangan
dia pula yang telah merusak salah satu tiang atap makam….!”
Menyahuti
lelaki berambut putih di sebelah sang dara.
“Kurang
ajar! Lihat! Dia kini bahkan berani membaringkan diri, tidur menelentang di
atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya akan tambus
tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!” Lali si gadis berpakaian biru itu
menarik lima anak panah dari tabung bambu di punggungnya. Begitu disusupkan ke
tali busur dia segera membidik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang karena
keletihan enak saja merebahkan diri di atas makam batu Pangeran Banowo.
“Tunggu
dulu Dewi…. Aku punya firasat pemuda itu bukan orang sembarangan…..”
“Paman!
Bagaiman kau ini! Oarng telah mengotori bahkan merusak makam ayahanda kau masih
bilang tunggu! Siapapun adanya pemuda itu dia harus kita hajar!
Lagi pula
ini saatnya kau menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!”
“Dengar
Dewi. Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan orang itu.
Kau tetap berada di sini. Bukan mustahil dia datang tidak sendirian….”
Dewi
Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu pamannya melangkah ke arah makam
dia segera melompat dari semak belukar. Lima anak panah yang terpentang di
busurnya dibidikkan ke arah Pendekar 212 yag masih asyik-asyikan
berbaring-baring di atas batu makam bahkan sambil bersiul-siul perlahan! Murid
Sinto Gendeng ini baru melompa tebangun ketika sepasang telinganya menangkap
suara langkah-langkah kaki.
“Astaga!
Ada orang mendatangi. Sudah dekat baru aku dengar langkahnya.
Pasti dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi!” kata Wiro dalam hati dan memperhatikan ke
depan. Dia melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus, berusia sekitar enam
puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan berhenti di pagar
makam.
Yang
membuatnya tercekat adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih itu
ada seorang dara berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas
pertanda bahwa setiap saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang
dibidikkan ke arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara
membentak dengan keras.
“Pemuda
kurang ajar! Jangan senyum-senyum cengengesan! Berani kau bergerak kutambus
sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!”
“Astaga….!
Eh, apa-apaan ini! Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang ajar? Di mana?
Kapan? Kenalpun tidak. Melihatmupun baru sekali ini!” Wiro berpaling pada
lelaki berambut putih yang tegak di pagar makam. Dengan mimik keheranan dia
bertanya “Bapak, dapatkah kau menjelaskan apa masalahnya? Dan siapa kalian
bedua? Gadis cantik itu puterimu?”
“Anak
muda, seperti yang dikatakan keponakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!”
“Aku
telah berlaku kurang ajar?!”
“Kau
telah memasuki makam salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar! Dengan
cara memanjat”
“Ah….!”
Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu kembali menatap
lelaki di hadapannya. “Mungkin benar aku telah berlaku kurang ajar.
Tapi kau
lihat sendiri. Pintu pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat….”
“Memanjat
seperti monyet!” mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja melompati
pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!”
“Ah,
bagaimana ini! Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu kalau ini
adalah makam ayahmu. Apalagi tadi pamanmu bilang ini adalah makam salah seorang
leluhur Kerajaan. Aku mana bisa menduga begitu? Setahuku orangorang penting
Kerajaan dimakamkan di satu tempat khusus di pinggiran kota….”
“Bcaramu
banyak amaat! Paman, menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam manusia kurang
ajar ini!”
Sang
paman mengangkat tangannya memberi tanda agar keponakannya jangan melepas
anak-anak panahnya.
“Anak
muda, sekalipun kau tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang namanya
manusia beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki makam
seseorang tanpa izi keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar lalu tidur-tiduran!”
“Aku
memang salah besar!” Wiro berkata sejujurnya. “Aku ke sini mencari seseorang.
Tapi yang kucari sudah lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri di atas
batu makam yang dingin sejuk itu…. Aku memang salah besar. Mohon aku diberi
maaf…”
“Karena
tertangkap basah kau lalu berdalih tengah mencari seseorang dan keletihan! Enak
saja becaramu! Paman, menyingkirlah….”
“Tunggu
Dewi. Biar aku bicara dulu dengan pemuda ini,” kata sang paman.
“Orang
muda, tahukah kau saat ini berada di makam siapa?”
“Aku
tidak tahu,” jawab Wiro Sableng.
Makam
yang barusan kau panjat pagarnya dan kau tiduri adalah makam Pangeran Banowo.
Aku adalah adiknya dan gadis ini adalah puteri Pangeran Banowo.
Aku
sendiri adalah Pangean Banuarto.”
Sepasang
mata Pendekar 212 jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura.
“Mohon
maafmu. Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku juga
tidak tahu kalau ini adalah makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah
menolong diriku.”
“Paman!
Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar berbuat salah
kini malah bilang ayahanda pernah menolongnya! Kadal ini pandai bicara paman.
Hati-hatilah! Jangan sampai kita dikelabi.”
“Anak
muda, katakan siapa namamu dan siapa orang yang kau cari di tempat ini. Aneh
rasanya kalau ada seseorang di puncak Gunung Merbabu.”
“Namaku
Wiro…. Aku memang benar mencari seseorang di tempat ini.
Hanya
saja mohon dimaafkan aku tidak dapat memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya.”
“Paman!
Kau lihat bagaimana dia melakukan kebohongan!” kata Dewi Santiastri.
Pangeran
Banuarto tidak begitu memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia mencoba
mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama Wiro itu sebelumnya.
Akhirnya
dia berkata.
“Anak
muda, melihat ada obor yang sudah padam di salah satu tiang makam, berarti kau
sejak malam tadi telah berada di tempat ini.”
Wiro
menggeleng. “Aku barusan saja datang. Waktu datang obor itu sudah ada di sini
dalam keadaan padam.”
“Lalu
mengapa kau merusak salah satu tiang atap makam?!” tanya Pangeran Banuarto
pula.
“Bukan
aku yang merusaknya. Tiang itu sudah berada dalam keadaan seperti itu ketika
aku datang.”
“Bohong!
Pendusta besar!” teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak dapat lagi menahan
kesabaran dan kemarahannya. Dia melompat ke kanan sambil merentangkan busur
lebih dalam. Ketika tangan kanannya bergerak melepas, lima anak panah melesat
dengan mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang ke
arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget tapi tak
bisa berbuat apa.
Murid
nenek sakti dari Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia bisa
melompat secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima
anak panah yang menyerang lima bagian tubuhnya yang berbeda.
“Celaka!”
keluh Wiro. “Seumur hidup belum pernah aku melihat kepandaian memanah seperti
ini! Setan sekalipun takakan bisa lolos dari bidikkannya!”
Sadar
kalau dia tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat maka
Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti “benteng topan melanda samudra”
Serangkum
angin deras menderu. Pangeran Banuarto berseru kaget dan cepat menyingkir. Tapi
badannya sebelah kanan masih sempat disambar angin pukulan sakti itu hingga
melintir dan terhempas keras. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu meringankan
tubuh pasti dia akan jatuh terhenyak ke tanah. Sementara itu Dewi Santiastri
juga berteriak kaget. Karena dia tegak dengan kaki terkembang tepat di tengah
jalur hantaman pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi tubuhnyapun
terpental jauh, mencelat ke udara.
Di udara
gadis puteri mendiang Pangeran Banowo ini membuat ggerakan aneh.
Tubuhnya
yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut lalu
tubuh itu tampak melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya hinggap di
cabang sebuah pohon besar. Meskipun gadis ini memiliki kepandaian tinggi dan
mampu meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, tapi jelas wajahnya kelihatan
pucat tanda ada bagian dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia melompat turun,
si gadis merasakan dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia
jatuh berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.
“Dewi…
Kau tak apa-apa…?”
“Saya
tidak apa-apa paman. Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada…..”
Pangeran
Banuaro memapah keponakannya itu ke dekat sebuah pohon lalu mendudukkannya di
akar pohon itu. Sementara itu dari arah makam terdengar suara orang mengeluh.
Ketika Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri memandang ke arah makam mereka melihat
pemuda berambut gondrong itu tersandar ke paga makam sebelah dalam sambil
memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak menancap di paha itu. Celana
putihnya berlumuran darah. Rupanya waktu lima anak panah menyerbunya dihantam
dengan pukulan “benteng topan melanda samudra” hanya empat panah yang sanggup
dibuat mental. Satu anak panah masih sempat menyusup menghantam pahanya.
Rahang
Pendekar 212 tampak menggembung menahan sakit. Wajah dan tubuhnya basah oleh
keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak panah yang
mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya lalu
dibatingkannya ke lantai makam. Lalu dengan satu geakan dia melompati pagar
makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuarto serta keponakannya.
Sepasang
mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.
“Dengan
melukaiku seperti ini, apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!”
Si gadis
hanya bisa diam dan terbelalak. Mukanya masih sangat pucat.
Sementara
Pangeran Banuarto terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata
apa-apa.
Dari
balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah bungkusan kecil lalu melemparkannya
dekat kaki Dewi Santiastri.
“Apa
ini?” tanya Pangeran Banuarto.
“Gadis
keponakanmu itu mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau tidak segera
minum obat itu,” Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya dan
melangkah pergi.
Pangeran
Banuarto memandang pada Dewi Santiastri. “Kalau dia manusia jahat, dia tidak
akan memberikan obat ini untukmu….” Si gadis hanya bisa mengangguk. Melihat
orang begitu baik dan polos terhadapnya ada bayangan rasa menyesal di wajahnya
yang pucat. Pangeran Banuarto cepat berdiri dan berseru.
“Anak
muda! Tunggu! Jangan pergi dulu!”
Wiro
hentikan langkahnya dan berpaling. Pangeran Banuarto berlari mendatanginya.
“Aku menyesalkan ada kesalah pahaman antara kita bertiga.
Tujuanku
dan Dewi ke puncak gunung ini adalah untuk menziarahi makam Pangeran Banowo….”
“Ada yang
aku tidak mengerti. Sebagai seorang Pangeran seharusnya dia dimakamkan di
pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini.
Jauh dari
Kotaraja. Jauh dari keluarga Istana.”
“Apa yang
kau katakan betul. Namun sebelum meninggal Pangeran Banowo pernah berpesan pada
istrinya. Aku mendengar sendiri. Jika ajalnya sampai dia ingin dimakamkan di
puncak Gunung Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak berani
menyalahi pesan itu. Sultan sendiri juga tidak mau melarang. Pangeran Banowo
akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang lalu.
Pemakamannya
dengan upacara kebesaran Kerajaan….”
Saat itu
Dewi Santiastri telah datang pula ke tampat itu. Pamannya cepat memegang
bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata “Paman tak usah
kawatirkan saya. Obat yang tadi diberikannya sudah saya telan walaupun tanpa
air. Saya merasa lebih sehat sekarang.” Lalu gadis ini berpaling pada Pandekar
212.
Dia
hendak mengatakan sesuatu namun Wiro mendahului.
“Aku
kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar…?”
“Namaku
Dewi Santiastri. Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan sebutan den ayu
segala….” Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang
berlumuran
darah. “Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benarbenar
menyesal….”
Wiro
tertawa. Dia berkata pada Pangeran Banuarto. “Pangeran,” katanya, “Keponakanmu
memberikan sau pelajaran baik padaku. Aku harus lebih banyak belajar dan
berlatih silat agar gerakanku lebih cepa hingga kelak akan sanggup berkelit
dari serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun….”
“Tidak,
panah itu tidak beracun,” kata Dewi Santiastri. “Aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Menyangkut
hal apa?” tanya Wiro.
“Ketika
masih hidup ayah memang pernah bercerita tentang seorang pendekar besar muda
usia. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau orangnya?”
Wiro
tertawa. “Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana orang setoloku
ini bisa menyandangnya?”
Si gadis
jadi terdiam beberapa saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu pamannya
sudah bicara duluan.
“Anak
muda, terus terang selain berziarah ke makam Pangeran Banowo, perjalanan kami
ke sini sebenarnya juga tengah menyirap kabar.”
“Menyirap
kabar? Kabar apakah?” tanya Wiro.
“Sebuah
benda keramat milik Kerajaan yang selama ini disimpan secara rahaia, lenyap
dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu jika
disalah gunakan bisa mendatangkan malapetaka.” Menerangkan Pangeran Banuarto.
“Kebetulan aku yang bertanggung jawab atas benda itu. Sebenarnya beberapa tahun
lalu aku sudah mengusulkan pada Sultan agar benda itu dimusnahkan saja karena
lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.”
“Kalau
aku boleh tahu, benda apakah itu gerangan, Pangeran?” bertanya Pendekar 212.
“Sebuah
guci keramat. Bernama Guci Setan. Orang bisa meminta sesuatu yang baik tetapi
juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku tahu bahwa kau
seorang dari dunia persilatan maka aku minta bantuanmu untuk mencari tahu dan
menyirap kabar di mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya.
Kami
mendengar selentingan yaitu setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya
tibatiba satu bulan yang lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan
dan tengah dibawa e daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat
sedikit sehingga tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan.”
“Pangeran
Banuarto, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan berusaha
membantumu. Kita berpisah di sini….”
“Saudara,”
Dewi Santiastri berkata “Dalam keadaan terluka seperti itu tentu sulit bagimu
berjalan kaki, apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku….”
Pendekar
212 tersenyum lebar. “Terima kasih. Kebaikan hatimu telah membuat lukaku
sembuh! Lihat!” lalu Wiro angkat paha kanannya yang tadi tertancap panah.
Dengan tangan kanannya dia memukul-mukul paha yang luka itu. “Sama sekali tidak
sakit. Sudah sembuh!” Padahal sebenarnya waktu memukul tad Pendekar 212 manahan
sakit yang amat sangat. Hal ini diketahui oleh Dewi Santiastri dan pamannya.
“Kau
harus mamakai kudanya,” kata Pangeran Banuarto.
“Saya
masih sanggup berjalan. Bahkan berlari!” kata Wiro. Lalu dia berkelebat
tinggalkan tempat itu. Tapi larinya terpincang-pincang. Padahal ini disengaja.
Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri sama-sama tersenyum.
“Entah
mengapa aku justru punya firasat, pemuda itu tadi memang adalah Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212.”
“Saya
justru sudah tahu kalau dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede.
Waktu
tadi dia mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan bajunya
yang tidak dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di
dadanya yang bidang dan berotot….”
“Keponakanku!”
kata Pangeran Banuarto sambil memegang kedua bahu Dewi Satniastri. “Mengapa
tidak dari tadi-tadi kau katakan?”
Si gadis
tidak menjawab. Hanya di dalam hatinya tiba-tiba saja dia sangat ingin bertemu
lagi dengan pemuda berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu kemudian
melangkah ke arah bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya menunjuk ke
arah makam.
“Paman!
Lihat! Tiang atap yang patah sudah tersambung kembali!”
Pangeran
Banuarto berlari mendekati makam. Apa yang dikatakan keponakannya memang betul.
Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus.
Bagian
patahan sebelah atas bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring
lagi.
“Siapa
yang telah memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran Banuarto.
“Hanya
kita bertiga tadi di tempat ini. Dia, saya paman. Saya jelas tidak
melakukannya. Paman juga. Berarti….”
“Berarti
dia yang melakukannya!” kata Pangeran Banuarto pula. Orang tua ini mengusap
rambutnya yang putih berulang kali. “Bagaimana dia melakukannya?
Dlamkeadaan
terluka pula!”
Diam-diam
Dewi Santiastri semakin merasakan penyesalan yang mendalam di lubuk hatinya.
“Kalau saja aku dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu maaf padanya.
Bisakah aku menemuinya lagi?”
******************
LIMA
Di cabang
paling atas pohon setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek duduk
berjuntai sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara aneh,
entah dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut
putihnya yang sepanjang dada melambai-lambai tertiup angin. Suara dari mulutnya
baru berhenti bilamana dia meneguk dengan lahap tuak murni yang ada dalam
tabung bambu dan diletakkannya di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung
di belakang punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat
pengaruh minuman keras itu.
Untuk
kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia memandang
ke arah pepohonan di sekelilingnya.
“Panas
terik menggila! Tak ada burung tak ad angin!” si kakek seperti menggerutu pada
dirinya sendiri. “Aneh, mengapa aku berada di puncak pohon ini?
Astaga,
jangan-jangan aku sudah mabuk. Betul mabuk? Tidak! Aku masih bisa menghitung
jari-jari tanganku sebelah kiri ini. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam….Eh!
Apa ada jari tangan manusia enam buah? Jangan-jangan benar aku sudah mabuk!”
Walau
jalan pikirannya seperti itu tapi enak saja dia kembali mendekatkan bibir
tabung bambu ke mulutnya. Lalu gluk…. Gluk….gluk tuak dalam bambu ditenggaknya
dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang menebar bau harum itu si kakek seka
mulutnya dengan kain biru yang terselempang di dadanya. Setelah itu sambil
kembali uncang-uncang kaki seperti anak kecil yang kesenangan dia menyanyi
lagi. Tapi tiba-tiba orang tua ini hentikan nyanyiannya. Kepalanya ditinggikan.
Telinganya
dipasang baik-baik. Dia mendengar suara menderu aneh di kejauhan disertai
suara-suara kaki berlari.
Orang tua
itu mendongak ke langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu dia memaki
sendiri. “gila! Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di
bawah situ!” Lalu si kakke memandang ke bawah pohon. “nah, apa kataku! Ada
empat bayangan berkelebat. Aduh, cepat sekali. Terutama yang di depan itu.
Heh…..aneh.
Dia seperti memiliki sebuah roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas roda
yang berputar menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan? Eh, di bahu
kirinya dia memanggul sosok tubuh perempuan. Siapa orang ini?
Hemmm….ada
tiga orang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh.
Apa isi
keranjang rotan yang mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang sayuran.
Hik…hik…hik! Mereka berlari cepat di siang bolong di lereng Gunung Gede!
Sepertinya mereka punya satu keperluan penting! Ah, perduli setan dengan
mereka. Selama mereka tidak mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka.
Eh,
kenapa yang di depan itu tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari.
Hemmmm
tampang-tampang mereka kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka tercium sampai
kemari!”
Di bawah
pohon keempat orang itu bukan lain adalah Ramada Suro Jelantik dan tiga orang
anak buahnya yaitu Jalak Item yang kini mata picak sebelah. Lalu Jalak Ijo dan
Jalak Biru.
“Ada apa
kau berhenti Ramada?” tanya Jalak Ijo.
“Aku
mencium bau sesuatu. Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan belantara di
lereng gunung begini ada bau seperti ini!”
Tiga
orang anak buah Ramada sama meninggikan kepala lalu mengendus dalam-dalam. “Kau
betul Ramada,” kata Jalak Ijo. “Aku juga dapat mencium bau aneh itu. Pasti ada
seseorang di sekitar sini. Jangan-jangan tua bangka bernama Sinto Gendeng itu
tempat kediamannya di sekitar sini.”
“Bagus!
Kalau begitu coba kalian periksa pada tiga jurusan sampai sejarak seratus tombak!
Aku menunggu di sini!”
Jalak Ijo
dan kawan-kawannya segera melakukan apa yang diperintah oleh Ramada. Tak lama
kemudian ketiganya muncul satu persatu.
“Aku
tidak menemukan apa-apa, Ramada,” kata Jalak Item.
“Aku
juga. Tak ada bangunan atau tempat kediaman di sekitar sini,” menerangkan Jalak
Ijo
“Sama,
tak ada orang tak ada rumah,” kata Jalak Biru pula.
Di atas
pohon kakek berjanggut putih menyeringai lebar. “Empat ekor monyet itu mancari
kian kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini. Bau yang
mereka cium sudah pasti bau arak kayanganku ini!”
“Ramada,”
di bawah pohon Jalak Ijo berkata “apakah kita akan meneruskan perjalanan atau
kau tetap menginginkan mencari sumber bau harum itu sampai dapat?”
“Sudah,
kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi.”
Jawab
Ramada Suro Jelantik. “Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui dan
bereskan secepatnya!” Ramada lalu memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang disambung
dengan sebuah roda besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar pasir dan
tanah di sebelah belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul.
Ketika
sang surya mulai condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai di puncak
Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan kediaman Sinto
Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ramada
dan tiga anak buahnya berdiri di hadapan gubuk tua tapi masih tampak kokoh.
Pintu gubuk tertutup, begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung itu
benar-benar diselimuti kesunyian.
‘”Sinto
Gendeng! Kami datang dari jauh untuk menemuimu! Mengapa bersembunyi di dalam
gubuk?!” Ramada berteriak.
Tak ada
jawaban atau suara apapun dari dalam gubuk.
Ramada
berteriak sekali lagi.
Tetap
saja tak ada jawaban.
“Mungkin
tua bangka itu tak ada di sini, Ramada,” kata Jalak Ijo.
“Untuk
memastikan coba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada Suro Jelantik
pula.
Jalak Ijo
dan dua temannya meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu lewat pintu
depan yang ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk.
Di depan
rumah Ramada menunggu dengan rasa tidak sabar. Dia mencoba menghibur diri
dengan mengelus-elus tubuh istri mudanya yang telah jadi mayat seraya berkata
perlahan “Tenang Dardini, tenang. Lewat kematiian tua bangka keparat itu kita
pasti bisa memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan diri akan
kutabas batang lehernya. Kuminum darahnya lalu kulumat daging dan tulang
belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu tempat yang indah.
Kau akan
tidur dengan tenang. Sabar istriku. Sabar….. Aku akan membuatkan makam yang
sangat bagus untukmu. Aku akan….”
Ucapan
Ramada Suro Jelantik terputus. Dari dalam rumah terdengar suara jeritan tiga
kali berturut-turut. Ramada kenal benar. Itu adalah suara teriakan ketiga anak
bauhnya.
“Jalak
Ijo! Jalak Item! Jalak Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!”
Baru saja
Ramada Suro Jelantik berteriak begitu tiba-tiba tiga buah benda melesat keluar
dari dinding-dinding gubuk yang jebol. Satu dari sebelah depan, dua dari
samping kiri.
Ramada
mendelik besar ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat dinding gubuk
lalu bergulingan di tanah ternyata adalah Jalak Ijo, Jalak Item dan Jalak Biru!
“Anjing
kurap! Apa yang terjadi?!” teriak Ramada marah sekali.
Tiga anak
buahnya berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening Jalak Ijo dan
Jalak Biru kelihatan benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak Item megap-megap
sambil pegangi perutnya. Ketiganya lalu berusaha secepat mungkin mengambil
pikulan masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah. Begitu
mereka memegang keranjang rotan tampang mereka tampak beringas.
“Kalau
aku tidak bisa membunuh tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh diri!”
teriak Jalak Item.
“Aku
juga!” menyahuti Jalak Ijo.
“Sama
dengan aku!” kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.
Tiba-tiba
pintu gubuk yang tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari dalam gubuk
muncul satu sosok tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi serta
panjang. Suara tawa ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak buahnya
mengiang sakit tetapi juga membuat keempatnya tercekat. Mamandang ke arah pintu
mereka malah tambah terkesiap karena tidak pernah menyangka kalau perempuan tua
penghuni gubuk di puncak Gunung Gede itu begini angkernya!
******************
ENAM
Orang
yang keluar dari dalam gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam.
Kulitnya
ini tidak lebih dari selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia tidak
bungkuk pasti terlihat bagaimana sosok tubuhnya yang jangkung sekali. Mukanya
cekung di bagian mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih, begitu juga
rambutnya yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris sulah
itu menancap lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak
mungkin disisipkan pada rambutnya yang jarang. Lima perhiasan dari perak itu
justru langsung menancap di kulit dan batok kepalanya! Sepasang matanya yang
hitam gelap memandang berputar ke arah empat orang yang ada di halaman gubuk.
Lalu dari mulutnya meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari mulunya yang
ompong mengucur keluar air liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat
ke arah pohon di seberang halaman.
Terdengar
suara berderik sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke tanah.
Hal itu membuat Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi terkesima.
Namun orang-orang ini mana mengenal rasa takut.
“Ramada,
biar kubunuh nenek keparat itu sekarang juga!” kata Jalak Ijo seraya tangannya
bergerak hendak membuka penutup keranjang rotannya di mana tersimpan ular kobra
beracun yang diberi nama Ratu Hijau. “Sabar sedikit Jalak Ijo. Maut tak bakal
lepas dari dirinya. Biar aku bicara dulu padanya….”
Di ambang
pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dair mulutnya
terdengar suara membentak.
“Puluhan
tahun hidup di puncak Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan tamu aneh dan
kurang ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau mencuri atau
memang munta mati?!”
“Tua
bangka edan! Kami datang memang untuk mencuri. Bukan mencuri harta bendamu
karena pasti dalam gubukmu hanya ada barang-barang rombengan yang tidak ada
harganya!”
Si nenek
tertawa cekikikan. “Manusia bermuka setan alas dan bertuuh sebusuk comberan!
Mulutmu pandai bicara. Coba jelaskan apa yang hendak kau curi dari tempat ini!”
“Aku
kemari untuk mencuri nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang.
Sepasang
mata cekung dan hitam si nenek tampak seperti mengeluarkan kilatan aneh. Lalu
mulutnya kembali tertawa panjang.
“Kalau
kau hendak mencuri nyawaku, apa kau kira aku tak bisa mencuri jantungmu?!”
Hik…hik…hik…!”
“Nenek
iblis!” teriak Ramada. Agar aku tidak kesalahan tangan lekas katakan apakah kau
manusianya yang bernama Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng?!”
“Kalau
aku memang Sinto Gendeng lalu kenapa? Kalau aku bukan Sinto Gendeng lantas
bagaimana?!” si nenek bertanya.
“Iblis
ngacok!” hardik Ramada mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku Dardini
diturunkannya lalu dibaringkannya dengan sangat hati-hati dekat akar sebatang
pohon. “Muridmu si Wiro Sableng itu telah memperkosa istriku! Lalu membunuhnya!
Apa kau kira bakal ada pengampunan bagi dirinya dan juga bagi kau?!”
Si nenek
hentikan tawanya. Dia dongakkan kepala beberapa saat lalu memandang dengan mata
berkilat-kilat pada Ramada Suro Jelantik. “ini adalah fitnah paling keji yang
pernah didengar telinga tua ini!”
“Ini
bukan fitnah!” teriak Jalak Ijo. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid
celakamu itu!”
“Betul!”
menyahuti Jalak Biru. “Muridmu membunuh perempuan itu dengan Kapak Naga Geni
212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal leher jenazah!” Si nenek terdiam.
“Tua
bangka jahanam. Kau terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau Sinto
Gendeng guru Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!”
Si nenek
menyeringai seperti setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sinto Gendeng tidak
akan melakukan kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku menjadi muak
melihat tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman gubukku! Kalian
semua adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan guci!
Bermuka
berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!”
Ramada
mendengus keras. Didahului dengan suara teriakan keras dia menerkam ke arah si
nenek yang memang adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang ada roda besi
bergerigi mencelat ke depan.
Rrrrrrrr!
Gigi-gigi
roda besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek.
Seumur
hidupnya Sinto Gendeng belum pernah melihat senjata seperti ini. Dia berteriak
nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu menghantam
tangga batu di depan gubuk. Tangga batu itu tebongkar berkepingkeping!
Ramada
menyeringai. “Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!”
“Betul
begitu? Aku malah ingin sekali merasakan bagaimana enaknya!” kata Sinto
Gendeng. Lalu dia tertawa cekikikan.
Seperti
terbakar Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya.
Tangan
kirinya ikut melepaskan pukulan tangan kosong sementara tangan kanan tetap
tidak melepaskan Guci Setan.
Tubuh
bungkuk Sinto Gendeng berkelebat kian kemari. Selama enam jurus diserang
terus-terusan dia hanya membuat gerakan menghindar. Baru pada jurus ketujuh si
nenek mulai balas melancarkan serangan-serangan. Gerakannya seperti main-main
saja tetapi Ramada merasa seolah-olah ada satu gelombang raksasa yang
menghantamnya. Sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi maka Ramada Suro
Jelantik segera keluarkan jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang
sementara roda besinya mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala
jurusan.
Eyang Sinto
Gendeng walaupun kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja dia berlaku
tenang. Malah dia tiba-tiba mendapat satu akal guna melumpuhkan serangan lawan.
Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan kanannya
pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan jenazah
istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir sampai di situ, si
nenek lalu mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan
tangan kanan lawan.
“Bangsat
sialan!” maki Ramada Suro Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan habis-habisan
untuk menyelamatkan Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa tidak sanggup,
pada jurus ke 28 lelaki ini berteriak keras lalu lemparkan Guci Setan ke atas.
Guci ini melesat ke udara, melayang tinggi lalu jatuh dan menyangsang di antara
kelebatan daun-daun sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada
menghadapi Sinto Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek
kelihatan terdesak.
“Manusia
bau! Ilmu silatmu boleh juga!” memuji si nenek. “Tapi coba kau hadapi jurus
seranganku ini!” Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan seolah
hndak memukul sisi tubuh lawannya. Bersamaan dengan itu ujung-ujung jarinya
disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas.
“Sepasang
naga menyusup awan!” teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus serangannya. Lalu
dia tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari kuncup lurus ke
depan dan seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah jantung dan
tenggorokan Ramada Suro Jelantik.
Kejut
manusia berkaki buntung ini bukan alang kepalang. Dia cepat menyingkir dengan
membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tenggorokannya
lewat
tapi yang mengarah jantung terus melesat.
“Haram
jadah! Aku terpaksa berjibaku!” rutuk Ramada. Kaki kirinya ditendangkan ke
depan, mengarah perut Sinto Gendeng. Roda besi bergerigi menggerus ganas. Si
nenek tidak mau ambil celaka . Tapi dia juga tidak mau melepaskan musuhnya dari
sasaran. Dengan menggeser kakinya dua langkah ke kanan, Sinto Gendeng teruskan
hantamannya walaupun kini dia tidak bisa menghantam secara telak.
Bukkk!
Lima jari
tangan si nenek mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit keras.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih
tinggi.
Rrrrrrr
Sinto
Gendeng terpekik sewaktu roda besi Ramada Suro Jelantik merobek pakaiannya di
bagian perut!
Tampang
si nenek menkjadi kelam membesi.
“Kurang
ajar!” si nenek geram sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang masih
tertelentang di tanah dengan mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di dekat
jantungnya setelah terkena hantaman si nenek tadi.
“Manusia
setan! Apakah kau pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek sambil
angkat tangan kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti perak.
Ramada
Suro Jelantik memang pernah mendengar kehebatan dan keganasan pukulan sakti
itu. Dia tak mau berlaku ayal. Dia segera melafatkan satu mantera kesaktian.
Roda besi di ujung kaki kirinya tiba-tiba mengeluarkan sinar hitam
menggidikkan. Ketika Sinto Gendeng lepaskan pukulan “sinar matahari” dengan
tangan kanannya. Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti serangan
lalu dengan cerdik menggulingkan diri di tanah.
Bummmm!
Bummm!
Terdengar
dua letusan keras.
Cahaya
putih berkiblat disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari roda
besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar matahari”
yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih
dahsyat dari dua dentuman sebelumnya.
Puncak
Gunung Gede laksana dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada hampir terduduk
di tanah. Sinto Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh bergoyang-goyang.
Mukanya yang hitam tampak semakin hitam. Jantungnya berdegup keras. Di seberangnya
tubuh Ramada Suro Jelantik nampak menggeliat geliat dekat tangga batu. Bahu
kanannya tampak hangus dihantam pukulan “sinar matahari”. Tapi rupanya orang
ini mempunyai kekautan luar biasa. Dalam keadaan terluka parah begitu dia
melompat tegak. Darah semakin banyak mengucur dari mulutnya tapi dia tidak
perduli. Sepasang matanya yang merah memandang laksana bara api pada Sinto
Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar teriakan keras.
“Anak-anak!
Keluarkan binatang peliharaan kalian!” Bunuh tua bangka keparat ini!”
“Eh, apa
yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sinto Gendeng. Dia
berputar, menghadap ke arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak Biru yang berada di
halaman, terpisah di tiga tempat. Begitu berputar dia masih sempat melihat tiga
orang bermuka hijau, hitam dan biru itu embuka penutup keranjang rotan
masingmasing.
Lalu
terdengar suara berdesir aneh. Dilain kejap lima belas binatang berbisa melesat
ke arah si nenek!
“Edan!”
teriak Sinto Gendeng.
Dia cepat
mengangkat kedua tangannya. Satu melepaskan pukulan “sinar matahari” satu lagi
menghantamkan pukulan “segulung ombak menerpa karang”!
******************
TUJUH
Dari
keranjang rotan Jalak Biru melesat keluar tujuh ekor kelabang biru, menyerbu ke
arah Sinto Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular kobra
hijau melesat keluar dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak Ijo. Lalu
dari sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ekor kalajengking
berwarna hitam.
Lima
belas binatang beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek!
Seumur
hidupnya Sinto Gendeng belum pernah mendapat serangan begini banyak dan ganas.
Dalam pada itu telinganya menangkap suara menderu dari arah belakang. Berarti
Ramada Suro Jelantik dalam waktu bersamaan telah menyerang pula dengan roda
bergerigiinya dari belakang!
“Edan!
Gila! Teriak si nenek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Bersamaan
dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada.
Putaran
roda besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto Gendeng.
Trang…..trang!
Terdengar
suara beradunya benda-benda keras disertai percikan bunga api.
Roda besi
Ramada ternyata telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala Sinto
Gendeng hingga hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga buah
gerigi roda besi di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri menjerit keras
kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental sampai
dua tombak!
Walau
selamat dari roda maut Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas dari bahaya.
Pukulan sinar matahari yang dilepaskannya ke depan berhasil menghantam ular
kobra besar yang dilepaskan Jalak Ijo. Tapi hebatnya sebelum terkena hantaman
pukulan sakti yang mematikan itu, ular kobra ini seolah tahu bahaya yang
mengancamnya. Melesat tinggi ke udara. Yang celaka adalah pemiliknya yaitu
Jalak Ijo. Manusia bermuka hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa
serangannya bakal gagal, terlambat menghindar. Pukulan “sinar matahari”
menghantamnya
dengan telak. Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar jauh.
Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus!
Pukulan
“segulung ombak menerpa karang” yang dilepas Sinto Gendeng dengan tenaga dalam
penuh membuat hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan enam ekor kelabang
biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor kala hitam dan
kelabang biru masih sempat lolos. Dua binatang beracun ini menancap di tubuh si
nenek. Kalajengking hitam menancap di leher dekat telinga kirinya sedang
kelabang biru menenmbus bahu kanannya! Si nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh
ke tanah.
Ramada
Suro Jelantik cepat mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan roda besinya
ke arah leher Sinto Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher si nenek
pasti lehernya akan putus dan nyawanya tidak tertolong lagi.
Pada saat
yang genting itu tiba-tiba ada suara berseru “Sahabatku Sinto Gendeng! Siapa
yang berani mencelakaimu akan kuhancurkan batok kepalanya!”
Bersamaan
dengan suara seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari arah kanan.
Lalu ada cairan harum menyembur keras. Ramada Suro Jelantik tahu daangnya
bahaya cepat tari kakinya lalu jatuhkan diri bergulingan.
Brettt!
Breetttt!
Baju
hitam Ramada robek besar di bagian punggung. Kulit punggungnya mengepulkan asap
laksana ditempel besi panas.
“Anak-anak!
Ada orang datang! Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada lalu dia melesat
ke atas pohon di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan kilat
disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil jenazah
istrinya. Sekali lagi dia berkelebat tubuhnyapun lenyap. Hanya suara deru roda
besinya yang menggerus tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan Jalak Biru
segera berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang rotan masing
masing.
Mayat
Jalak Ijo mereka tinggalkan begitu saja.
Sebelum
Ramadad dan tiga anak buahnya sampai de tempat kediaman Sinto Gendeng, orang
tua berjanggut putih dan berpakaian selempang kain biru di atas pohon kembali
meracau seorang diri.
“Empat
manusia aneh tadi. Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya memikul
keranjang. Masing-masing memiliki muka berwarna warni. Eh, ada keperluan apa
mereka berada di gunung ini? Apa yang mereka cari….? Ah, sulit aku menerkaya.”
Di kakek lalu teguk tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya tuak ini” kata si
kakek. “Eh, pikir-pikir aku sendiri mengapa sampai berada di sini?
Astaga!
Aku sampai lupa. Aku datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat.
Jangan-jangan
empat orang tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka jelas
keempatnya bukan orang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto
Gendeng. Jangan-jangan keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek.
Baiknya
aku segera berangkat ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak
kayangan ini!” Si kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman ini
meler berjatuhan di bibirnya. Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat
enteng, dia melompat dari cabang pohon tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya
laksana kapas melayang turun ke tanah tanpa suara sama sekali. Begitu menginjak
tanah dia segera hendak berkelebat pergi namun langkahnya tertahan.
“Eh, aku
ke sini seharusnya tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul!
Kalau dia
sampai tidak datang akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini dikiranya urusan
ain-main?!” Si kakek memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia tidak melihat
seorangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak terdengar
suara apapun. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu., menghambur menuju puncak
Gunung Gede.
Dia
datang tepat pada saat Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap untuk
menjagal lehernya dengan roda bergerigi di ujung kaki kirinya.
Si kakek
segera teguk tuaknya lalu minuman ini disemburkannya ke arah Ramada Suro
Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi di tangan si
kakek bisa berubah menjadi senjata yang sangat berbahaya. Dengan minuman itu
dia telah menjadi seorang tokoh silat tingakt atas yang ditakuti lawan dan
disegani kawan. Dialah tadi yang menyembur Ramada dengan tuak saktinya hingga
Sinto Gendeng selamat dari roda maut yang siap memutus lehernya.
Sebetulnya
si kakek ingin mengejar Ramada namun lebih penting baginya menyelamatkan Sinto
Gendeng. Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya kabur orang tua ini cepat
mendatangi Sinto Gendeng. Menyangka si kakek adalah salah seorang musuhnya
Sinto Gendeng yang tengah breusaha bangkit berdiri angkat tangan kanannya, siap
untuk menghantam.
“Sinto!
Kau mau membunuhku degan pukulan saktimu?!” sikakek cepat berseru.
“Eh!”
sinto Gendeng jadi terkesiap. “Aku rasa-rasa mengenal suaramu.
Bukankah
kau….?”
“Sudah!
Jangan banyak bicara dulu. Ada dua binatang beracun menancap di tubuhmu! Biar
aku singkirkan lebh dulu!”
Kakek
berjanggut putih yang membekal dua buah tabung bambu berisi tuak itu mencabut
kalajengking hitam yang menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan jari-jari
tangannya diremasnya binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si kakek
kelihatan membesar sewaktu dia melihat bahwa leher Sitno Gendeng yang bekas
ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung.
“Racun jahat,”
kata si kakek dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran darahnya.
Tubuhnya terasa panas. Kalau tidak segera ditolong sahabatku ini pasti akan
celaka. Ah, agaknya aku tak akan bisa mengajaknya membicarakan hal itu.
Muridku
celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!”
Sinto
Gendeng yang sedang ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si kakek. “Eh
apakah kau sedang mengomeli diriku?!” tanyanya.
“Jangan
bicara Sinto! Keadaanmu berbahaya. Masih ada satu binatang beracun di tubuhmu!”
kata si kakek. Lalu kelabang biru yang menempel di bahu kanan Sinto Gendeng
dicabutnya dan seperti kala hitam tadi binatang ini diremasnya sampai
lumat.Ketika diperhatikan bahu kanan Sinto Gendeng ternyata juga bengkak besar
tanda racun sudah memasuki tubuhnya.
“Sinto,
keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas…..”
“Panas?
Aku malah merasa kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!” kata Sinto
Gendeng.
“Tunggu,
aku mau melakukan apa yang bisa membendung racun yang ada dalam tubuhmu,” kata
si kakek. Lalu degnan sebuah pisau kecil ditorehnya luka bengkak pada leher dan
bahu kanan Sinto Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam.
Si kakek
pergunakan mulutnya untuk menyedot darah lewat kedua luka. Lalu dia meneguk
tuaknya. Dengan tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu Sinto
Gendeng. Tidak sampai di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si nenek.
“Sobatku
Dewa Tuak,” Sinto Gendeng menyebut nama si kakek. “Aku bersyukur dan berterima
kasih kau menolongku. Kemunculanmu tidak terduga….”
“sudah, jangan
bicara banyak dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,”
ujar si
kakek yang ternyata adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun yang sejak
beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan.
“Kedatanganku
tadinya untuk membicarakan satu masalah penting denganmu.
Tapi
melihat keadaanmu seperti ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan
itu.” Dewa Tuak lalu mendukung tubuh Sinto Gendeng.
“Gila!
Tubuhmu kurus kering begini tapi berat bukan main!” Dewa Tuak seperti mengeluh.
Sinto Gendeng didukungnya masuk ke dalam rumah lalu dibaringkannya pada sebuah
tempat tidur kayu. “Sinto, racun dalam tubuhmu jahat sekali. Aku tidak bisa
menjamin kau bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus mencari seorang
tabib ulung dan membawamu turun gunung.”
Sinto
Gendeng batuk-batuk beberapa kali. “Buat apa kau menyusahkan diri.
Kalau
nyawaku mau minggat dari tubuh keropos ini ya biar saja! Hik…hik…hik!”
Sinto
Gendeng masih bisa tertawa cekikikan.
Dewa Tuak
geleng-gelengkan kepala.
“Tubuhku
terasa dingin. Mana tuak keparatmu itu? Aku minta barang beberapa teguk biar
tubuhku dan darahku jadi hangat!”
Dewa Tuak
menurunkan tabung tuaknya dari punggung lalu mendekatkan mulut tabung ke mulut
Sinto Gendeng. Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak itu dengan lahap.
“Sinto,
kau dengar baik-baik. Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk
menemui
tabib yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar tabib itu
saja yang aku bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa muridku
Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu di
puncak Gunung Gede ini….”
Sinto
Gendeng tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan pertemuan di
sini. Pasti urusan yang itu juga….”
“Keadaanmu
membuat aku terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sinto. Lain kali saja kita
bicarakan lagi….”
“Kalau
umurku masih panjang,” kata Sinto Gendeng.
“Jangan
bicara bagitu Sinto….”
“Kalau
saja Kapak Naga Geni 212 ada di sini segala macam racun yang mendekam dalam
tubuhku pasti bisa disedot….” Kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau
begitu, bagaimana jika aku mencari muridmu dan membawanya ke sini?” minta
pendapat Dewa Tuak.
“Dalam
waktu seribu hari belum tentu kau bakal dapat menemuinya.”
Dewa Tuak
maklum apa yang dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak mudah mencari Wiro
Sableng.
“Sinto,
sebenarnya siapa orang-orang yang mencelakaimu itu?” bertanya Dewa Tuak.
“Aku tak
kenal mereka. Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi pimpinan dipanggil
oleh anak buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sinto Gendeng.
“Ramada….Ramada…..”
Dewa Tuak mengulang-ulang nama itu. “Rasanya aku pernah tahu manusia keparat
satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah nama lengkapnya
Ramada…..Ramada Suro Jelantik. Sebetulnya dia bukan manusia jahat tapi juga
bukan orang baik-baik. Dia tidak diterima dalam golongan hitam dan tidak
diperdulikan dalam golongan putih. Cuma memang belakangan ini, sejak dia punya
beberapa orang anak buah, kelakuannya berubah. Dia banyak berbuat kejahatan.
Kau yakin tidak punya silang sengketa denga orang-orang itu?”
Sinto
Gendeng menggeleng. “Ramada datang membawa tuduhan bahwa muridku Wiro Sableng
telah memperkosa dan membunuh istrinya….”
“Jadi
yang dibawa-bawanya itu adalah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada hal yang
kurasa aneh. Sekalipun muridku berbuat jahat seperti yang dituduhkan, mengapa
dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku?!”
“Ada
sesuatu yang tidak beres Sinto,” kata Dewa Tuak pula. “Bagaimana kalau aku
menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi
petunjuk.”
“Terserah
padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari orang seperti dia tidak mudah.”
Jawab Sinto Gendeng. Dia menarik nafas dalam lalu melanjtukan ucapannya.
“Aku
melihat Ramada membawa sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin pernah melihat
benda itu di masa mudaku. Sebuah guci keramat milik Kerajaan berasal dari zaman
Singosari. Guci itu sangat berbahaya jika sampai jatuh dalam tangan orang-orang
jahat….”
Dewa Tuak
terdiam sesaat. Akhirnya orang tua ini berkata “Sinto, aku harus pergi
sekarang. Kalau muridmu datang dia tentu akan merawatmu sampai aku kembali.”
Sinto
Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri merasa
dingin. Dewa Tuak memegang lengan sahabatnya itu. Didengarnya sinto berbisik
“Tinggalkan satu tabung tuak untukku.”
“Tentu
Sinto. Kau boleh minum tuka ini sepuas hatimu.” Dewa Tuak turunkan tabung
tuaknya yang masih penuh lalu menyandarkan tabung bambu itu di tepi tempat
tidur, dekat kepala Sinto Gendeng.
******************
DELAPAN
Menjelang
petang dua penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung Merbabu. Keduanya
bukan lain adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi Saniastri yang baru
saja menziarahi makam Pangeran Banowo, ayahanda si gadis yang juga merupakan
kakak Pangeran Banuarto.
Setelah
berdiam diri beberapa lamanya, Dewi Santiastri membuka pembicaraan di antara
mereka. “Paman, sebenarnya kalau tidak ada pesan dari almarhum ayahanda ingin
saya memindahkan makam beliau ke pinggiran Kotaraja…”
“Maksudmu
memang baik. Tapi pesan orang yang meninggal harus dihormati.
Aku takut
kalau-kalau nanti ada akibatnya yang tidak baik bagi kita….”
Si gadis
terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang bernama Wiro itu,
apakah benar dia seorang pendekar sakti mandraguna yang punya nama besar di
delapan penjuru angin?”
“Begitu
kabar yang aku dengar….”
“Tapi
mengapa salah satu anak panah saya mempu melukainya?”
Pangeran
Banuarto tersenyum. “Mungkin kehebatannya telah menurun atau bisa saja ilmu
panahmu sudah meningkat jauh!”
Dewi Santiastri
tersenyum. Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu tiba-tiba di lereng
gunung yang menurun itu muncul seorang tua berpakaian dan berblangkon hitam.
Janggut dan kumisnya putih tak terurus. Pandangan matanya dingin angker. Dari
caranya berdiri di jalan jelas dia sengaja menghadang perjalanan kedua orang
yang berkuda itu.
“Orang
tua, siapa kau?” bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu saja dia
tak akan menyangka kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di tempat
itu.
Orang yang
ditegur menyeringai. “Kau tak kenal aku sungguh keterlaluan Pangeran Banuarto,”
orang itu berkata.
“Eh, kau
tahu siapa aku!” Pangeran Banuarto semakin heran.
Orang
berblangkon hitam kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut.
Bertahun-tahun
aku menjadi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar barang
sepeserpun! Apa salah kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala hutang
piutang?!”
Pangeran
Banuarto dan keponakannya jadi saling pandang mendengar kata kata orang yang
tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka mulut.
“Kami
tidak pernah merasa mempunyai kuncen untuk mengurus makam ayahanda….”
“Ah kalau
begitu kau seorang anak yang sangat tidak berbakti!”
“Jaga
mulutmu!” bentak Pangeran Banuarto.
Dibentak
begitu orang yang mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu hanya menyeringai.
“Aku sudah menghitung-hitung berapa bayaran yang harus kuterima. Semuanya
sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku mohon kalian
jangan segera membayarnya saat ini!”
“Orang
gila! Kami tidak membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada tidak akan kami
berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!”
“Pangeran,
jangan berkata begitu. Aku telah merawat….”
“Tunggu
dulu!” sentak Dewi Santiastri. “Kalau kau benar merawat makam ayahandaku,
mengapa makam begitu kotor dan ada tiangnya yang patah?!”
“Soal
tiang patah itu karena ada seorang gila datang mengamuk. Tapi aku telah
mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak….”
“Kau
dusta! Aku tahu kau dusta!” kata Dewi Santiastri pula.
“Jadi
kalian tidak mau membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.
“Siapa
sudi!” teriak Dewi Santiastri.
“Baiklah,
kalau kalian tidak mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang
merugi,
bukan aku. Namun jika kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…”
“Apa
maksudmu?!” tanya Pangeran Banuarto.
“Usiaku
memang sudah agak lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan seorang pemuda
dua puluh tahun. Kulihat keponakanmu itu berparas cantik.
Bagaimana
kalau dirinya saja yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!”
“Manusia
rendah bermulut kurang ajar!” teriak Pangeran Banuarto marah.
Dewi
Santiastri tidak kalah marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang kudanya.
Begitu tunggangannya melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki kanannya
langsung ditendangkan ke kepala orang itu.
“Ah,
tidak dikira putrid almarhum Pangeran Banowo memiliki ilmu silat,”
kata si
kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil menangkap
pergelangan kaki kanan si gadis. Lalu sekali putar saja tubuh Dewi Santiastri
dibuatnya mencelat ke atas.
Sambil
memekik marah puteri mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik di udara. Kedua
tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih dalam keadaan
melayang di udara si gadis lepaskan tiga anak panah kea rah si kuncen. Yang
diserang berseru kaget. Untung dia bisa berlaku cepat melompat menghindari tiga
serangan anak panah itu walau satu anak panah masih sempat menyerempet
blangkonnya hingga blangkon itu robek besar.
“Hem,
gadis ini berbahaya. Dia harus ditangani lebuh dulu,” membatin Ki Ageng Lentut
yangwajahnya sempat pucat akibat keganasan ilmu panah Dewi Santiastri tadi.
Pada saat itu Pangeran Banuarto telah melompat turun dari kudanya.
Dengan
tangan kosong dia menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis dengan melintangkan
lengan kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan saling baradu. Pangeran
Banuarto mengernyit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap kearah Dewi Santiastri
yang saat itu sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima anak panah. Namun
sebelum dia mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam ini telah menyergap
si gadis. Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya.
Dia
berhasil.
Trakkk!
Busur
patah dua begitu menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya yang terluka
mengucur darah. Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali menyergap
bagian pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku tidak
bisa bergerak lagi.
“Keparat
jahanam! Apa yang kau lakukan pada keponakanku?!” teriak Pangeran
Banuarto.Tangan kanannya yang masih sakit akibat bentrokan tadi dipukulkannya
ke perut sang kuncen.
Bukkk!
Jotosan
itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut!
“Mampus!”
teriak Pangeran Banuarto karena dia sudah memastikan perut orang tua itu akan
jebol dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya tadi bukan
pukulan sembarangan. Selain mengandung tenaga dalam tinggi juga disertai aji
“wesi kuning” yang sanggup mematahkan pohon menjebol dinding. Tapi sang
pangeran jadi terbelalak ketika melihat, jangankan jebol atau muntah darah
bergeming sedikitpun tubuh sang kuncen tidak! Malah dia tampak menyeringai dan
berkata mengejek.
“Aji wesi
kuning tidak ada gunanya di hadapanku, pangeran! Sekarang gilirankmu menerima
pukulanku!” Habis berkata begitu Ki Ageng Lentut angkat tangan kanannya ke
atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya berkomat kamit. Lalu telapak tangan yang
diarahkan pada Pangeran Banuarto itu didorongkannya. Perlahan saja. Apa yang
terjadi membuat Dewi Santiastri terpekik.
Dari
telapak tangan Ki Ageng Lentut menyembur keluar suara mendesis keras disertai
hawa panas luar biasa. Pangeran Banuarto cepat menyingkir sambil menghantam
degnan kedua tangan.
Bummmm!
Lereng
Gunung Merbabu itu terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak dengan
lutut menekuk sedang tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya
kelihatan sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya
melurus dan tampangnya tampak berdarah lagi.
Lain
halnya dengan Pangeran Banuarto. Begitu pukulan tangan kosongnya saling
bentrokan dengan hawa panas yang keluar dari telapak tanagn si kuncen, tubuhnya
langsung mencelat mental. Ambruk di tanah berguling-guling sampai beberapa
tombak. Ketika gulingannya tertahan oleh akar semak belukar, kelihatan pakaian
dan sebagian kulit tubuhnya laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik lagi
dan Dewi Santiastri tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya
gadis ini berteriak.
Ki Ageng
Lentut menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar dia tertawa
mengekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran Banuarto. Di
satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan ranting
yang ujungnya tajam ini dia lalu menoreh angka 212 di kening Pangeran Banuarto.
Ranting dicampakkan dan Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh.
Tubuh
Pangeran Banuarto didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali tuanmu
ke Kotaraja!” Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu kuat-kuat hingga
binatang ini menaikkan kedua kakinya lalu lari menghambur.
Ki Ageng
Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.
“Manusia
durjana! Pergi! Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah ke arahnya.
“Tenang
kekasihku, tenang. Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan merasakan satu
kenikmatan dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!”
“Manusia
iblis! Setan! Pergi!” teriak Dewi Santiastri.
Ki Ageng
Lentut sampai di hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di Dewi, tangan
kanannya enak saja secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis itu.
Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan.
“Kekasihku,
apakah kau pernah ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut ajukan pertanyaan seraya
menyusupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi Santiastri.
“Manusia
jahanam! Kau bunuh saja aku daripada menodai begini tupa!” teriak Dewi
Santiastri.
“Jangan
bilang begitu kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ kita akan
bersenang-senang biar roh ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah itu kalau kau
memang mau mati boleh-boleh saja….”
“Jahanam!
Lepaskan!” teriak Dewi. “Lepaskan!”
Ki Ageng
Lentut tertawa mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri lalu
dilarikannya kea rah puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa belas
langkah tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada
semburan angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika merasakan tubuh
gadis yang ada di bahunya terlepas dari panggulannya. Secepat kilat dia
hentikan larina dan berpaling.
“Keparat…..
Dia rupanya!” Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat siapa yang ada di
depannya. “Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat ini juga. Tapi tak
ada gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu apa menyusahkan
diri!” Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda dari saku pakaian
hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah pemuda gondrong yang kini
mendukung Dewi Santiastri.
Blusssss!
Benda
yang dilemparkan meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung membungkus
tempat itu. Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu pukulan
tangan kosong yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut telah
lebih dulu menghambur pergi diblik kepulan asap kelabu. Di sebelah sana
pohon-pohon dan semak belukar patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam
pukulan “dewa topan menggusur gunung.”
Pendekar
212 Wiro Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang rata lalu
melepaskan totokannya. Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar memeluki tubuh
si pemuda.
“Wiro,
syukur kau datang. Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi orang
jahat itu telah membunuh paman Pangeran Banuarto….”
Wiro
terkejut sekali. Dia memandang berkeliling.
“Mayat
paman dinaikkannya ke atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu kini telah
dalam perjalanan ke Kotaraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas kuda dia
telah menoreh angka 212 pada kening mayat…..”
“Apa!”
sepasang mata Pendekar 212 sampai melotot ketika mendengar ucapan di gadis.
Dewi Santiastri lalu menerangkan lebih rinci.
“Kurang
ajar! Apa maksud orang itu….?!” Pendekar 212 berpikir-pikir.
“Hemmmmm….
Jelas dia berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa mayat pamanmu
sampai di Kotaraja semua orang akan segera tahu bahwa akulah pembunuh Pangeran
Banuarto.”
“Tapi aku
bisa menjadi saksi bahwa bukan kau yang melakukan hal itu,” kata Dewi pula.
“Memang
bisa, tapi namaku sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin mengejar kuda
yang membawa jenazah pamanmu. Begitu aku muncul di Kotaraja pasti aku akan
segera ditangkap. Kurang ajar betul! Kau tahu siapa orang tua berkumis dan
berjanggut putih tadi itu?”
“Dia mengaku
kuncen makam ayahandaku. Padahal kami tidak pernah membayar seorang
kuncenpun….”
“Kau
pernah melihat orang itu sebelumnya? Atau mungkin tahu nama serta asalnya?”
tanya Wiro.
“Baru
sekali ini aku melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia
mengaku bernama Ki Ageng Lentut.”
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. “Ki Ageng Lentut….Ki Ageng Lentut….Aku pernah dengar
nama itu. Aku ingat! Dia seorang pengukir patung kayu di Pangadegan. Rasanya
tak mungkin dia yang melakukan. Tapi aku pernah mendengar bahwa dia menguasai
semacam ilm hitam….. Bagaimana cirri-cirinya?”
“Tua,
kumis dan janggutnya sudah putih. Blangkon dan pakaiannya serba hitam….”
“Tepat
sama dengan cirri-ciri juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia akan
kupecahkan kepalanya!” Wiro kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih agak
meragu.
“Kita
harus pergi dari sini. Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang luar
Kotaraja. Begitu sampai di Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana
yang kau kenal baik dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi atas diri
pamanmu.”
“Aku akan
melakukan itu Wiro. Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita bersama-sama
menemui pejabat itu? Aku kenal seorang Tumenggung yang punya hubungan baik
dengan Sultan”
“Terlalu
besar bahayanya. Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan Keraton, aku tak
mungkin masuk ke dalam Kotaraja.”
“Aku
mengerti. Jadi kau antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,” kata
Dewi Santiastri.
Pendekar
212 memapah gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda.
“Kuda
kita cuma satu? Bagaimana dengan kau?”
Wiro
tersenyum. “Asal kau tidak memacunya terlalu cepat aku bisa mengikuti dari
belakang.”
“Kalau
begitu….” Si gadis meragu sesaat. “Kau naik saja di belakangku Wiro.”
Tanpa
disuruh dua kali Wiro Sableng langsung naik punggung kuda besar itu.
Apa yang
diperkirakan Pendekar 212 Wiro Sableng memang benar. Begitu mayat Pangeran
Banuarto sampai di Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212 Wiro Sableng
segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri menemui
pejabat yang dikenalnya lalu menerangkan apa yang terjadi namun pihak Istana
tidak begitu saja mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis itu
mungkin saja berkomplot dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto
karena kini hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang
paman.
******************
SEMBILAN
Malam
yang gelap di pinggiran timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin
setelah hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang
sesekali ditimpali suara kodok.
Di dalam
rumah kayu, orang tua berjanggut dan berkumis putih itu duduk di atas tikar
tengah asyik memperhalus ukiran kepala seekor burung garuda besar.
Sebenarnya
matanya sudah sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai malam itu juga
karena esok pagi pemesanna, seorang hartawan dari Kudus akan mengambilnya.
Sesekali
orang tua ini menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipas-ngipaskan
blangkon hitamnya. Walaupun di luar udara dingin namun dalam rumahnya Ki Ageng
Lentut merasa panas dan sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat.
Tengah
dia asyik menekuni pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki di
depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga ditendang
orang dari luar.
“Hai!
Setan dari mana yang datang mengamuk malam-malam buta di rumahku?!” teriak Ki
Ageng Lentut marah sekali.
Baru saja
dia berteriak begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang
pemuda berambut gondrong dengan tampang beringas seolah siap untuk melumat juru
ukir itu.
“Orang
gila! Siapa kau?! Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?”
Ki Ageng
Lentut letakkan ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan cepat.
Pahat
kecil yang tajam luar biasa tepentang di tanagnnya.
“Benar
kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda.
“Eh setan
sialan! Ditanya malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang gila?”
“Namku
Wiro. Aku ingin jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!”
“Kalau
kau sudah tahu siapa aku lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu pintu
rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!”
“Orang
tua, kau telah membunuh Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan karena
perbuatanmu menoreh angka 212 di kening jenazah pangeran itu!”
“Eh…..eh…!
Tunggu dulu! Kau benar-benar orang gila kesasar. Kalau kaupun aku tidak! Enak
saja menuduh….”
“Di mana
kau sekitar empat hari lalu?!”
“Orang
gila seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar aku membuat
pengecualian. Sejak satu minggu terakhir ini aku tidak pernah meninggalkan
rumah ini !”
“Dusta!”
“Anjing
edan! Lihat pahat!” teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di tangannya
berkelebat.
Pendekar
212 Wiro Sableng cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan gerakan orang
tua itu. Pipinya terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat sekali ke
wajahnya.
Jengkel
melihat serangannya hanya mengenai tempat kosong, si orang tua membuat gerakan
berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat ke
udara.
Bukkkk!
Murid
Eyang Sinto Gendeng terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki Ageng Lentut
mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya terasa
pening. Kehebatan ilmu silat si kakek membuat Wiro semakin yakin bahwa memang
dialah yang telah membunuh Pangeran Banuarto dan hendak menculik Dewi
Santiastri.
“Tua
bangka berkedok pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui!
Jangan
harap kau bisa lolos dari tanganku!” teriak Wiro. Lalu dia lancarkan serangan
bertubi-tubi. Mula-mula Ki Ageng Lentut memang mampu membuat gerakan menghindar
bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya menjadi
lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan jotosan Pendekar 212. Darah
mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu orang tua ini berusaha
berlindung di belakang ukiran patung garuda besar tanpa ampun Wiro melabrak
patung itu dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.
Ki Ageng
Lentut meraung keras. Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari pada melihat
ukiran burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti orang kemasukan setan dia
bergulingan di lantai sambil memegangi beberapa bagian ukiran yang hancur. Wiro
tidak menunggu lebih lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki Aggeng
Lentut. Si orang tua malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan nyawanya
melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.
Sesaat
lagi kaki kanan Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki Ageng Lentut tiba-tiba
atap rumah yang terbuat dari rumbia itu jebol di dua bagian.
Bersamaan
dengan itu terdengar dua suara keras. Yang pertama suara lelaki berseru
“Pendekar 212! Tarik pulang seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!”
Suara
kedua adalah suara perempuan. “Kalau otak ditelan perasaan begini jadinya.
Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan kakimu!”
Lalu dari
atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari atap sebelah
kiri menyambar satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang
mengeluarkan hawa sangat dingin hingga murid Eyang Sinto Gendeng merasa
tengkuknya jadi merinding! Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki Ageng
Lentut yang dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak
menculik dan memperkosa Dewi Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang
pendekar menarik tendangannya dengan cepat.
Byuuuuurrrrr!
Craaaaatttt!
Lantai
papan berlobang di enam tempat akibat semburan cairan aneh berbau harum. Lalu
di bagian lain lantai yang sama robek seperti ditembus benda tajam yaitu akibat
hantaman sinar biru tadi!
Pendekar
212 leletkan lidah dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa terbang.
Kalau tadi dia tidak segera menarik tendangannya jelas kakinya akan hancur dan
terbabat putus! Wiro angkat kepala memandang ke dapan. Dia melihat dua
pemandangan yang kontras sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di lantai
menangisi patungnya yang hancur.
Di
sebelah depan kanan Wiro saat itu berdiri seorang kakek berpakaian selempang
kain biru. Di punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya yang putih
menjela sampai ke bahu. Di bawah penerangan lampu minyak yang tergantung di
dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu.
Dia hendak
berseru memanggil nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika dia melihat
sosok kedua yang berdiri di samping kiri ruangan.
Di situ
tegak seorang dara berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang dikenakannya
sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa terang namun
Wiro masih dapat melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh yang luar
biasa bagusnya. Murid Sinto Gendeng merasakan nafasnya seperti berhenti.
Wajah
dara itu ternyata cantik bukan kepalang. Rambutnya yang panjang tergerai sampai
di dada berwarna coklat kepirangan.
“Gila,
mengapa di saat seperti ini ada bidadari yang turun ke bumi!” kata Pendekar 212
dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata apa-apa selan
tegak tertegun.
Kakek
berjanggut putih yang memang adalah Dewa Tuak betuk-betuk
beberapa
kali. Pendeka 212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan menjura
dalam-dalam memberikan penghhormatan.
“Dewa
Tuak, harap maafkan kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya terjadi begitu
mendadak dan membuatku agak bingung.”
Dewa Tuak
tertawa lebar. “Hidup ini sesekali memang harus dibuat bingung, anak muda.
Bagaimana aku bisa muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu di sini
satu mukjizat yang membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang kuncen
bernama Ki Ageng Lentut. Beberapa hari lalu aku berada di puncak Gunung Gede.
Gurumu dalam bahaya besar. Ada empat tokoh silat dari Timur bernama Ramada Suro
Jelantik. Orang ini memberi tahu bahea kau telah memperkosa istrinya lalu membunuh
perempuan itu. Kemana dia pergi dia membawa jenazah istrinya yang sudah diawet.
Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil membunuhmu!
Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?”
Untuk
beberapa saat lamanya Wiro tampak ternganga mendengar kata-kata Dewa Tuak itu.
“Dewa Tuak, kau kenal diriku sejak aku masih kecil. Tidak meungkin aku
melakukan kejahatan keji seperti itu….”
“Tiga
orang anak buah Ramada memberi kesaksian bahwa kau yang memperkosa dan membunuh
istri pimpinan mereka!”
Wiro
geleng-geleng kepala. “Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus
dijernihkan!”
“Bagus
kalau kau mau bertindak begitu. Jangan harap aku akan membantumu.
Aku punya
urusan yang lebih penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sinto Gendeng dikeroyok
dan diserang dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya digerayangi racun yang
mematikan. Hanya Kapak Naga Geni 212 yang mampu menyesot racun ganas itu dari
tubuhnya. Ddia hanya punya waktu dua minggu.
Berikan
senjata mustika itu padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….”
“Dewa
Tuak, sebagai muridnya bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak Maut Naga Geni
212 ke sana….”
“Tidak
Wiro!” jawab Dewa Tuak sambil menggelengkan kepala. Dia mengambil tabung bambu
berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan menyeka bibirnya
dengan belakang telapak tangan orang tua ini melanjutkan katakatanya.
“Urusanmu
menyelamatkan gurumu serahkan padaku. Kau bereskan urusanmu dengan Ramada dan
anak buahnya…..”
“Dewa
Tuak kau tadi mengatakan aku salah turun tangan. Maksudmu….?’
Dewa Tuak
belum sempat menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri membuka mulut.
“Juru ukir bernama Ki Ageng Lentut itu bukan orang yang kau cari….”
“Lalu….?”
Wiro bertanya heran.
“Kau
harus memecahkan sendiri teka teki ini? Hidup sebagai pendekar banyak
tantangannya. Kau harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang
akan dipecahkan orang!” jawab sang dara.
Wiro
hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara.
Tiba-tiba
Dewa Tuak membuat gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wiro merasakan
seperti dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni 12 yang terselip
di pinggangnya lenyap.
“Dewa
Tuak! Tunggu dulu!” seru Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih sudah
melompat ke atas. Dia menerobos lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak
mengejar tapi langkahnya tertahan karena dara berbaju biru tipis cepat sekali
menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro dapat melihat wajah cantik yang benar
benar sempurna. Hidungnya mencium bau harum yang keluar dari tubuh dan rambut
si gadis.
“Orang
hendak menyelamatkan gurumu, mengapa kau masih banyak cerewe?!” sang dara
tiba-tiba menegur.
“Aku
tidak cerewet!” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Eh, kau ini siapa
sebenarnya?”
“Aku
orang yang tadi hendak membuat buntung kaki kananmu dengan “pedang kilat biru”.
Untung kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau sudah jadi seorang
pendekar buntung seperti Ramada itu!”
“Eh,kau
kenal Ramada yang memfitnah aku memperkosa dan membunuh istrinya?”
“Kenal
atau tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang memperkosa
lalu membunuh istrinya….”
“Kau!”
Wiro hendak mendamprat marah tapi kemarahannya leleh melihat kecantikan gadis
di depannya.
Si gadis
kemudian berkata lagi. “Coba kau lihat juru ukir itu! Kau telah menghancurkan
barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau mampu memperbaiki ukiran
burung garuda itu kembali?”
“Aku tak
mampu melakukannya,” kata Wiro perlahan sambil memandangi si pengukir yang
menelungkup di lantai menagnisi pecahan ukiran burung garudanya.
“Aku
harus mengakui aku menyesal melakukannya. Semua gara-gara….”
“Jangan
salahkan orang lain. Kau yang punya perbuatan kau yang harus bertanggung
jawab.”
Ucapan
itu membuat mulut Wiro Sableng terkancing. “Kau, kau seperti sedang
menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi hukuman padaku?”
Wajah
cantik itu menyeringai sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan menghukum
dirimu!”
“Aku
sudah bilang menyesal!” kata Wiro hampir berteriak dan menunjukkan tangan
kanannya ke dalam telapak tangan kirinya.
Wiro
mengeruk saku bajunya. Semua uang dan beberapa tail perak yang dimilikinya
diletakkan di atas tikar. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut ku
harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi….”
Dara di
depan Pendekar 212 tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan
mengembalikan ukiran burung garudanya yang telah kau hancurkan!”
“Lalu….lalu
aku harus berbuat apa?!”
Sang dara
tak menjawab. Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212 keluarkan seruan
tertahan. Tubuh si gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan laksana kilat
serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu ukiran burung
garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari tempatnya. Begitu
juga yang sedang dipegang oleh si pengukir. Di lain kejap tahu-tahu di atas
tikar pecahan ukiran kayu itu telah menyatu kembali membentuk burung garuda,
utuh seperti semula.
Wiro
bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak percaya.
“Itu yang
diinginkan orang tua ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta benda!”
Wiro
palingkan kepalanya memandang pada gadis di hadapannya. Untuk beberapa lamanya
sepasang mata mereka saling beradu. Wiro kalah. Dia menunduk lebih dulu. Ini
yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju biru itu melesat ke atas
menerobos atap yang jrbol tanpa meunggu lebih lama murid Eyang Sinto Gendeng
segera mengejarnya. Berlari sejauh beberapa puluh langkah, di satu tempat gadis
itu hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wiro sampai di hadapannya dia
membentak.
“Perlu
apa kau mengikutiku?!”
“Aku
tidak mengikutimu. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau kau punya
nama harap memberi tahu.”
“Untuk
apa?!”
“Bukan
untuk apa-apa. Kau tadi telah memberikan satu pelajaran sangat baik padaku….”
Si gadis
tertawa. Wiro seperti terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul di pipi
kiri kanan si gadis.
“Bagi
seorang pendekar, pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain.
Tapi dari
dalam dirinya sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar? Hanya itu saja
persoalannya. Sederhana bukan?”
Untuk
pertama kalinya dalam hidupnya Pendekar 212 merasa seolah seperti seekor kodok
dalam tempurung.
“Kau tak
mau memberi nama tak jadi apa. Kepandaianmu luar biasa.
Gerakanmu
cepat tak terlihat mata laksana angin. Bihar aku panggil kau Bidadari Angin
Timur. Terma kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam diriku.
Yan tidak
akan aku lupakan seumur hidupku. Terima kasih….” Perlahan-lahan Pendekar 212
memutar tubuhnya. Dua langkah dia berjalan tiba-tiba dilihatnya si gadis sudah
ada sejarak dua tombak di depannya. Wiro berpaling ke belakang. Gadis itu tak
ada di tempatnya semula. Wiro memandang lagi ke depan. Di situ tak terlihat
lagi si baju biru itu.
Saat itu
sebenarnya Wiro ingin sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa jengkel,
malu dan rasa bersalah bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya seperti
tidak perduli diri lagi Wiro kencing begitu saja tanpa membuka celana dan
sambil melangkah.
“Sialan!”
katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis cantik
berpakaian biru tipis tadi.
Saat itu
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di sebelah atas. Wiro mendogak ke atas
pohon di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah satu cabang
pohon.
“Hanya
orang tolol yang mau ngompol di celana!” kata si gadis sambil melambaikan
tangannya.
“Astaga!
Bagaimana dia tahu aku kencing di celana?!” kata Wiro sambil memegangi bagian
bawah perutnya yang basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon sang dara tak ada
lagi di tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang terdengar di kejauhan.
“Mungkin
dia benar-benar bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana kalau dia hantu
jejadian? Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang tubuhnya.
Jangan-jangan
dia kuntilanak!” Memikir sampai di situ Wiro jadi merinding sendiri.
******************
SEPULUH
Orang tua
berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang pada Ramada
dan dua orang anak buahnya.
“Hari ini
aku bukan lagi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo.
Namakupun
bukan lagi Ki Ageng Lentut.”
Rahang
Ramada Suro Jelantik menggembung tanda ada hawa amarah di rongga dadanya.
“Tunggu dulu!” katanya memotong. “Aku merasa curiga! Mengapa kau kini berubah
rupa dan pakaian?!”
Orang tua
itu tertawa perlahan. “Hidup harus punya ragam. Bagaimana tampangku dan
bagaimana caraku berpakaian itu urusanku. Yang jelas aku adalah satu-satunya
manusia yang mampu menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib yang ada dalam Guci
Setan itu. Jika kau masih perlu aku kira boleh bicara. Kalau tidak silahkan
angkat kaki dari hadapanku!”
Ramada
mencekal leher jubah orang tua berambut putih panjang itu. “Dengar baik-baik!
Salah seorang anak buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di tangan Sinto
Gendeng. Petunjukmu ternyata membawa celaka!”
“Dan kau
telah membuat sebelah mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah marahnya.
“Kalian
bicara seperti orang tolol!” sentak si orang tua. “Kau hendak mencari pembunuh
istrimu. Apa kau kira begitu gampang tanpa pengorbanan? Ingat! Aku hanya
memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak aku tidak perduli!
Apa
akibatnya pada kalian aku tidak mau tahu!”
Kalau
diperuntukkan kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik orang tua itu
sampai mati. Dengan suara bergetar dia bertanya “Lalu kami harus memanggilmu
apa sekarang?!”
“Diriku
sekarang adalah seorang juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo Bumi,”
jawab orang tua berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!”
Ramada
Suro Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item dan Jalak Biru.
“Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?”
Jalak
Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan kalajengking
mereka terbunuh di tangan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu, keduanya telah
mendapatkan kala dan kelabag baru.
“Kalau
dia menipu kita, aku tak akan memberi ampun lagi padanya!” kata Jalak Item yang
menaruh dendam kesumat pada si kakek. Dia membuka penutup keranjang rotannya
yang berisi tujuh ekor kala hitam beracun. Hal yang sama dilakukan oleh Jalak
Biru yang keranjang rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru.
“Tak ada
yang menipu kalian. Hanya kalian saja yang bertindak bodoh!”
jawab
orang tua yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi itu.
“Kalau
kalian memang tidak perlu diriku dan ingin membunuhku mengapa tidak dilakukan
dari tadi?”
Ramada
dan dua anak buahnya terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang sejak tadi
dipanggul diturunkan lalu dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan kecil
yang terletak di satu kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati dia berkata
“Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi aku bersumpah akan membunuh tua bangka
keparat ini!”
Tiba-tiba
orang tua yang duduk bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan menatap
Ramada lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah orang
tua itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan Guci
Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!” si orang tua berkata.
Ramada
berjongkok di hadapan orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki Ageng Lentut
dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Banowo itu lalu mendekatkan Guci
Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan kedua tangannya.
Seperti
dulu, sewaktu masih memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen
makam Pangeran Banowo, orang tua ini letakkan kedua tangannya di atas mulut
guci yang mengeluarkan kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati kamit.
Perlahan-lahan matanya dipejamkan. Beberapa saat kemudian kelihatan sekujur
tubuh Sangkolo Bumi bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan “Guci Setan guci
keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamkan api. Munculkan air
keramat. Ada orang meminta tolong. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban
memeberi petunjuk!”
Bersamaan
dengan akhir ucapan itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi sangat hitam dan
berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua matanya membesar,
begitu juga gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat panjang.
Dari
mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.
“Aku
penghuni dan penguasa Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?”
Matanya
memandang tak berkedip pada Ramada Suro Jelantik.
“Aku
Ramada. Aku ingin mengetahui dimana Pendekar 212 Wiro Sableng saat ini berada….
Dimana aku bisa membunuhnya!”
“Api di
dalam guci, penghuni dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam gaib. Masuk
dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam
gaib….”
Perlahan-lahan
api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam guci terdengar
seperti ada air mencurah disertai hembusan angin. Guci itu kini bergoyang keras
hingga Ramada harus menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi mendekatkan
kepalanya ke mulut guci.
“Penguasa
guci telah elihat air dan mendengar tiupan angin. Ada seorang bernama Ramada
ingin mengetahui dimana pembunuh istrinya berada. Namanya Wiro Sableng,
bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Guci yang
dipegang Ramada kembali berguncang keras. Sangkolo Bumi melafatkan sesuatu lalu
terdengar suaranya berkata. “Orang bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke Timur. Masuk ke
Girimulyo pada saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda yang kau cari tepat
pada saat sang surya berada di titik tertingginya.”
Mendengar
kata-kata dari alam gaib itu Ramada segera mengangkat Guci Setan dari hadapan
Sangkolo Bumi. Dia cepat mendukung jenazah istrinya kembali lalu memberi
isyarat pada kadua anak buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang itu
tinggalkan si juru ramal begitu saja.
“Manusia-manusia
tidak tahu peradatan,” kata si orang tua perlahan. “Kalian lihat sendiri apa
yang bakal terjadi.”
Hari
pasar di Girimulyo jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai oleh
para pedagang dan para pembeli yang berdatangan dari berbagai penjuru. Di pagi
yang sama
seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di pintu gerbang
gedung Kepatihan. Pada pengawal itu si anak menyerahkan satu lipatan kertas
“Apa ini?” bertanya pengawal.
“Ada
seorang meminta saya menyerahkannya kemari,” jawab si anak lalu cepat-cepat
pergi dari situ.
Pengawal
tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi : Wiro Sableng
alias Pendekar 212 pembunuh Pangeran Banuarto akan berada di pasar Girimulyo
siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya.
Menjelang
tengah hari pasar sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual beli tapi
banyak juga yang asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan. Antara lain
adu ayam, permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di salah satu
pusat keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang mengaku sebagai
ahli meramal tegal di tangah-tengah lingkaran orang banyak. Lalu dia melangkah
mundar mandir. Di tangannya orang tua ini memegang sebuah gong kecil. Setiap
kali sehabis dia memukul gong kecil itu, dia berseru.
“Aku
Sangkolo Bumi, juru ramal yang mampu meramal di delapan penjuru angin. Siapa
yang ingin diramal nasibnya silahkan maju dan masuk ke dalam kalangan. Ulurkan
telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain aku memungut
bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua aku berikan cuma-cuma. Aku tidak memungut
bayaran! Kepandaianku merupakan sedekah bagi siapa yang suka kutolong!”
Sekalipun
dipungut bayaran akan banyak orang yang minta diramal nasibnya.
Apalagi
tidak perlu merogoh kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian langka.
Jarang ada peramal yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di tempat
umum seperti yang dilakukan orang tua berambut dan berjubah putih itu.
Orang
banyak berdesak-desakan minta diramal nasibnya. Si orang tua melayani mereka
satu persatu sampai akhirnya sepasang matanya melihat ada tiga orang penunggang
kuda di kejauhan. Yang di depan sekali memanggul sesosok mayat dan memegang
sebuah guci. Di belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan biru.
Ketiganya tentu saja adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak
Biru.
Juru
ramal Sangkolo Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain.
Di antara
orang banyak yang membentuk lingkaran dia melihat soran gpemuda berambut
gondrong. Dengan gerakan cepat dia mendekati pemuda ini. Sambil tersenyum dan
berkata.
“Anak
muda, wajahmu tampan, tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku ramalkan?”
“Terima
kasih juru ramal. Lain kali saja,” jawab si pemuda.
“Ah
jangan malu apalagi takut. Aku datang ke Girimulyo ini hanya sekali dalam
sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di masa
depan. Aiapa tahu kau bernasib baik…”
Walaupun
tidak mau namun karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan kanannya dan
membawanya ke tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa mengikuti
saja. Padahal tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru ramal
itu ternyata memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda hendak lipat gandakan
tenaganya namun dari pada bersitegang dia memilih mengalah dan membiarkan saja
dirinya ditarik ke tengah kalangan.
Sampai di
tengah lingkaran orang banyak sang juru ramal menarik tangan kanan si pemuda
lalu membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap tak berkesip pada
telapak tangan pemuda itu. Keningnya kemudian tampak mengernyit. Tiba-tiba
kelihatan wajah sang juru ramal Sangkolo Bumi berubah seperti orang terkejut
besar. Kedua matanya memandang mendelik pada si pemuda.
“anak muda,
tidak kusangka kau rupanya!” kata Sangkolo Bumi keras-keras hingga semua orang
memandang ke arah mereka. “Kau! Garis tanganmu berbau darah! Kau seorang
pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kau pembunuh dan pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik! Kau juga yang membunuh
Pangeran Banuarto! Demi Tuhan! Orang banyak! Tangkap pemuda ini!”
Orang
banyak yang ada di tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar teriakan
si juru ramal. Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang bergerak
atau melakukan sesuatu.
Saat itu
dari arah Timur tiga orang penunggang kuda yaitu Ramada Suro Jelantik, Jalak
Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir bersamaan dari
jurusan Selatan muncul serombongan pasuan di pimpin oleh seorang Perwira Tinggi
yang ada parut di bawah mata kirinya hingga tampangnya tampak angker.
“sialan!
Apa-apaan ini?!” teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh juru ramal
Sangkolo Bumi.
“Pendekar
212! Kali ini kau tak akan lolos dari kematian!” kata Sangkolo Bumi.
Si pemuda
berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si orang tua laksana
jepitan besi.
“Kurang
ajar! Orang ini pasti bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja menjebakku.” Begitu
si pemuda berkata dalam hati. Lalu dengan marah dia membentak.
“Juru
ramal keparat! Siapa kau sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri pemuda ini
berkelebat mengirimkan hantaman ke muka Sangkolo Bumi.
Sambil
tertawa mengekeh juru ramal berambut putih panjang itu gerakkan tangan kanannya
menangkis.
Bukkk!
Dua
lengan beradu keras.
Baik si
pemuda maupun si orang tua sama-sama terlempar satu tombak ke belakang dan
terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang banyak
berlarian menjauh. Tapi yang ingin melihat perkelahian dari dekat hanya
beranjak beberapa langkah.
******************
SEBELAS
Pendekar
212 Wiro Sableng sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik.
Sepasang
matanya menatap tajam pada orang tua yang terhantar di tanah di hadapannya. Dia
tidak kenal siapa adanya orang yang mengaku juru ramal itu. Tidak pernah
melihatnya sebelumnya. Namun sepasang mata yang menyorot dingin rasarasanya dia
pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana.
“Astaga!
Sepasang mata orang ini bukan mata orang tua!” kata Wiro dalam hati begitu dia
manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu lengan
kirinya berdenyut sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua telah membuat
lengannya tampak bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru ramal tua itupun tampak
menggembung kemerahan. “Aku mencium bahaya besar!” kata Wiro dalam hati. Dia
cepat melompat tegak. Saat yang bersamaan juru ramal berjanggut putih itu juga
membuat gerakan kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya. Keduanya
saling berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan marah bercampur heran
maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram. Keduanya matanya
menyorotkan sinar pembunuhan!
“Juru
ramal! Katakan siapa kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri seorang
bernama Ramada! Malah aku memang sedang mencarinya karena dia telah mencelakai
guruku! Juga bukan aku yang membunuh Pengeran Banuarto!”
Juru
ramal berjubah putih dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang.
“Caranya
mendongakkan kepala! Aku yakin pernah melihat orang ini sebelumnya! Lalu suara
tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata itu! Dia menagku
bernama Sangkolo Bumi. Mungkin nama palsu!” Selagi Wiro berpikir dan
mengingat-ingat seperti itu sang juru ramal berkata “Katamu kau tidak pernah
membunuh istri orang bernama Ramada! Malah kau mengatakan orang itu mencelakai
gurumu! Bagus! Coba kau katakan hal itu langusng pada orangnya sendiri! Dia
sengaja datang ke tempat ini untuk menabas batang lehermu dan meneguk darahmu!
Lihat ke sana!” Habis berkata begitu si juru ramal mengangkat tangan kanannya
ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan kuda keras sekali. Orang banyak
berlompatan menjauh. Tiga penunggang kuda berhenti di tempat itu. Ramada, Jalak
Item an Jalak Biru.
“Ada
orang membawa mayat!” beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh.
Yang
lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri.
Murid
Eyang Sinto Gendeng kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak mengenal tiga
penunggang kuda yang aneh-aneh dan angker itu. “Satu membawa mayat perempuan
yang sudah kaku tapi tidak busuk dan ada sebuah guci mengepulkan asap serta
menjulurkan lidah api di tangan kanannya. Apakah dia yang bernama Ramada Suro
Jelantik? Tokoh silat dari Timur? Dua kawannya memikul keranjang rotan,
bertampang hitam legam dan biru gelap….” Selagi Wiro berkata dalam hati begitu
rupa kembali terdengar suara si juru ramal. “Pendekar 212! Katamu bukan kau
yang membunuh Pangeran Banuarto! Coba kau jelaskan sendiri pada rombongan
pasukan dari Kotaraja itu!” Sangkolo Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro mengikuti
arah yang ditunjuk si juru ramal. Dari arah Timur tampak serombongan penunggang
kuda berseragam pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh orang.
Di depan
sekali memimpin seorang Perwira Tinggi bermuka garang.
Ramada
yang memanggul mayat istrinya di bahu kiri dan memegang Guci Setan di tangan
kanan, dengan gerakan enteng dan cepat melompat turun dari kudanya. Malihat
cara orang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau manusia bertampang seram
ini memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya sangat cepat dan enteng. Kaki kiri
buntung, dipasangi roda besi bergerigi. Jangan-jangan benda ini menjadi
senjatanya,” pikir Wiro.
Begitu
berdiri di tanah Ramada segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya
mengelilingi Pendekar 212. Lalu dia berhenti empat langkah di hadapan sang
pendekar.
Saat itu
terdengar juru ramal Sangkolo Bumi berkata “Ramada! Tak perlu ragu! Pemuda itu
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kau cari salama ini! Dia yang memperkosa
istrimu lalu membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!”
“Setan
alas juru ramal keparat! Jangan kau berani menuduh sembarangan kalau tak mau
kusobek mulutmu!” teriak Wiro marah sekali.
Di
hadapannya Ramada mendengus keras.
“Jadi ini
jahanamnya yang bernama Wiro Sableng. Pemuda keji berjuluk Pendekar 212!”
Ramada meludah ke tanah. “Hari ini kau akan menerima pembalasanku! Pembunuh
terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk darahmu!”
Habis
berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari bahu kirinya. Lalu mayat
yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada sebuah gerobak hingga merupakan
satu pemandangan yang mengerikan di mata semua orang yang ada di tempat itu.
Perlahan-lahan
Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri.
Lalu dia
memberi isyarat pada Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua orang ini segera melompat
turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang ujungnya tergantung
keranjang rotan berisi tujuh ekor kalajengkinghitam dan tujuh ekor kelabang
biru. Kedua orang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan Ramada agak ke
belakang. Mereka sama-sama jongkok di tanah dan tangan masing-masing siap
membuka penutup keranjang rotan!
Ketika
Ramada hendak bergerak meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro, murid Sinto
Gendeng ini cepat berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti otakmu tidak
waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku pernah kenal dengan
tukang akrobat sepertimu! Aku mendapat keterangan bahwa kau dan anak buahmu
telah mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan monyet-monyetmu itu bisa
bebas dari hukumanku!”
Ramada
Suro Jelantik menyeringai dan mendengus berulang kali.
“Ramada!
Jangan percaya omongannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia bisa berdusta
begitu karena istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi kesaksian!”
Murid
Sinto Gendeng memandang ke arah orang tua berjubah putih itu. “Aneh, kenalpun
tidak. Mengapa orang tua keparat itu sangat membenci diriku?”
“Kau
boleh bersumpah mati di depan pintu neraka!” membentak Ramada.
Rahangnya
menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh Pendekar
212 tadi. Lalu dari balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah golok besar
berbentuk empat persegi dengan bagian tajam pada kedua sisinya Golok ini
berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada
ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau
tajam luar biasa.
Pendekar
212 belum pernah melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu.
Ketika
Ramad memutar senjata ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur dengan
sinar hitam. Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan suara
bersuit.
Murid
Eyang Sinto Gendeng mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur maju tiga
langkah. Golok besar membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang golok
menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan
sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya, lepaskan pukulan “kunyuk
melempar buah” yang kehebatannya tidak beda dengan sebuah batu besar yang
menggelundung dahsyat ke arah Ramada.
Dia jelas
melihat bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman pukulan
saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini ketika
tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi bergerigi yang
berputar hebat menyambar ke arah perut. Wiro cepat menghindar dengan melompat
ke samping kiri. Tapi tidak terduga tiba-tiba golok empat persegi bermata dua
di tangan kanan Ramada memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput rambutnya
terbabat putus! Murid Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking kagetnya.
Ramada
keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. “Sebentar lagi lehermu akan ku
babat putus!” kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya.
Lalu
memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu
arti isyarat ini segera membuka tutup keranjang rotan masing-masing. Didahului
teriakan Ramada Suro Jelantik melompat ke arah Wiro.
Goloknya
kembali berkelebat. Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa melancarkan
serangan roda bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya.
DI sat
yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang rotan.
Dalam
keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa guci di
tangan kiri Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau
tidak benda itu tak akan didepaknya terus sambil melancarkan serangan. Maka
Pendekar 212 mulai mengincar guci dalam dekapan tangan kiri lawannya.namun
matanya yang tajam juga sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada
dua anak buahnya. Dia juga melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru
itu menggerakkan tanan ke arah keranjang rotan masing-masing. Karenanya tanpa
menunggu lebih lama Wiro siapkan dua puklan sakti. Yang pertama pukulan “sinar
matahari” di tangan kanan yang siap dihantamkan ke arah Ramada Suro Jelantik.
Sedang
tangan kiri aji pukulan “benteng topan melanda samudra” ditujukan kepada Jalak
Biru. Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212 tak
mungkin menghantam sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang
bermuka hitam ini. Untuk menghindarkan serangan Jalak Item maka Wiro terpaksa
harus merubah kedudukannya. Dia melompat ke kiri hingga berada di satu garis
lurus di depan Ramada dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan, tanan
kanan Wiro yang sudah berubah menjadi putih menyilaukan itu menghantam ke depan.
Wuuuuussss!
Sinar
putih menyilaukan dan sangat panas berkiblat. “Ramada, awas! Itu pukulan “sinar
matahari!” Yang berteriak memberi ingat adalah si juru ramal Sangkolo Bumi.
Selagi Wiro merasa heran mengapa orang tua itu bisa tahu nama pukulan saktinya
yang dilepaskannya, orang yang diserang malah berteriak lantang.
“Siapa
takut?!” teriak Ramada. Roda besi di ujung kaki kirinya menderu semakin deras.
Golok empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga sinar
hitamnya tampak berbuntal-buntal angker. Wiro sudah siap melepas pukulan
“benteng topan melanda samudra” dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa
hal itu tidak bisa diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan balasan
Ramada Suro Jelantik.
Serangan
Ramada memang bukan alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya putih pukulan sakti
yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki kanannya.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi bergerigi yang
ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh. Begitu sinar
roda besi beradu dengan sinar cahaya putih pukulan “sinar matahari” terdengar
suara keras berkereketan enam kali berturut-turut. Ramada Suro Jelantik
berteriak keras. Di ujung kakinya cahaya putih menyilaukan dan panas ini
sanggup disapunya hingga mencuat ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit
orang banyak yang berada jauh di ujung kalangan perkelahian. Sembilan orang tak
berdosa berkaparan di tanah.
Tubuh
mereka hangus hitam mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan “sinar
matahari” yang berhasil dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada!
Tubuh
Ramada sendiri tampak melesat sampai dua tombak ke udara lalu dengan dua kali
jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam legam dan
tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak seperti tidak berdarah.
Dua
matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigi gigi
roda besinya somplak! Wiro sendiri juga melengak ketika melihat pukulan “sinar
Matahari” yang mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup membuat cidera lawan
bahkan tidak bisa membuat leleh roda besi itu!
Apa yang
terjadi membuat Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan kirinya untuk
melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra” ke arah Jalak Biru. DI saat
itu Jalak Biru telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima ekor kelabang
beracun berwarna biru melesat membeset udara, menyerbu ke arah Wiro.
Celakanya
pula di saat yang sama dengan penuh amarah Ramada Suro Jelantik kembali
menyerbu dengan roda bergeriginya sedang golok di tangan kanannya diputar
dengan sebat, membuntal dalam serangan ganas mengarah bagian dada ke atas!
Murid
Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke balik
pinggang, maksudnya hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi mendadak
mukanya jadi pucat. Astaga! Dia baru sadar. Senjata mustika itu telah dibawa
oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng yang
keracunan akibat serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Suro
Jelantik!
“Celaka!”
keluh Wiro. Pendekar ini cepat melompat mundur. Tapi lima kelabang berwarna
biru beracun dan sambaran roda besi bergerigi seta golok di tangan kanan Ramada
datang lebih cepat.
Di saat
yang sangat genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di udara.
Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa cepatnya dan
tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap manusia tinggi
besar ini jatuh ke tanah!
Ramada
Suro Jelantik menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian sang juru
ramal tua Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi.
Dalam
hati orang tua ini berkata “Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi
kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!”
******************
DUA BELAS
Di udara
lima buah anak panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan berseru
tegang ketika melihat bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi siap untuk
menancapi tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai dihantam lima
buah panah itu!
Wiro
Sableng berpaling ke belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat dilihatnya
Dewi Santiastri, puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima buah anak
panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu terduduk di tanah
dengan mulut ternganga dan muka pucat tanpa darah.
“Terima
kasih Dewi……” kata Wiro.
Si gadis
lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah Jalak Item
ketika dilihatnya anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan
binatang-binatang beracun peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh
ekor kelajengking hitam.
Dewi
lepaskan sartu dari lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item terpekik.
Telapak tangan kanannya tembus ditancapi panah. Darah mengucur.
Penutup
keranjang dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas anak panah
kedua, Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah
mengucur deras ke pangkuannya.
Ramada
Suro Jelantik begitu berdiri baru menyadari kalau golok besar empat persegi
bermata dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam
gengamannya. Memandang ke depan dia jadi beringas ketika melihat bagaimana
senjata yang sangat diandalkannya itu kini berada dalam tangan seorang gadis
berpakaian ringkas serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak
bisa mengerti bagaimana gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja
dia bisa mendorong tubuhnya sampai jatuh terjengkang, tapi bahkan sanggup
merampas goloknya tanpa dia sempat merasakannya.
Meski
gadis itu tidak mengenakan pakaian warna biru seperti pertama kali Wiro
melihatnya, namun murid Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya dengan
cepat.
“Bidadari
Angin Timur….” desis Wiro perlahan. “Dua orang gadis cantik telah menyelamatkan
nyawaku hari ini!” katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Sang dara
memang adalah gadis cantik berambut pirang dan dulu berpakaian serba biru yang
pada pertemuan pertamanya dengan Wiro telah diberikan nama Bidadari Angin Timur
oleh sang pendekar.
“Perempuan-perempuan
dajal! Siapa kalian yang berani mencampuri urusanku?!” teriak Ramada Suro
Jelantik.
Dara
berpakaian serba merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang
memandang tak berkesip ke arah tokoh silat dari Timur itu. Merasa seperti
dipandang rendah Ramada berkata “Gadis baju merah berambut pirang! Kau jangan
kemana-mana! Tetap di tempatmu sampai aku menyelesaikan urusan dengan pemerkosa
dan pembunuh istriku itu!” Dengan tangan kanannya Ramada menuding ke arah Wiro.
“Setan!
Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!”
“Aku
tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!”
“Dan Guci
Setan tak pernah berdusta!” berkata si peramal tua Sangkolo Bumi.
“Bangsat
setan alas!” maki Wiro dalam hati sambil memandang berang pada orang tua itu
yang sebaliknya melempar seringai buruk padanya.
Tiba-tiba
terdengar suara menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah melompat dan
menyerbu ke arah Wiro.
Di saat
yang sama terdengar deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian
ada orang membentak.
“Atas
nama Kerajaan hentikan perkelahian!”
Semua
orang berpaling. Seorang bermuka garang dengan seragam dan tanda pangkat
Perwira Tinggi Kerajaan muncul diiringi sekitar dua puluh orang perajurit.
“Bagus!
Orang-orang yang dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si Perwir
Tinggi sambil memandang ganti berganti pada Ramada Suro Jelantik dan Pendekar
212.
“Kau!”
bentak sang perwira sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat
pada Ramada. “Kau pasti manusianya yang bernama Ramada Suro Jelantik.
Kerajaan
telah mencarimu selama dua tahun. Kau mencuri Guci Setan yang ada dalam dekapan
tangan kirimu itu! Jangan berdalih. Serahkan guci itu padaku lalu serahkan
dirimu untuk menerima hukuman!”
Ramada
menyeringai. “Perwira,” katanya setelah lebih dulu meludah ke tanah.
“Aku muak
mendengar segala ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini!
Jangan
lupa membawa anak –anak buahmu!”
Perwira
Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak.
“Bagus!
Aku suka pada orang yang punya nyalin besar sepertimu! Kita akan lihat nanti
apakah kau masih punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di ruang
penyiksaan!”
Sang
Perwira berpaling pada Wiro. “Kau!” bentaknya. “Kau pasti pemuda gondrong
bernama Wiro Sableng, berjuluk {endekar 212 yang telah membunuh Pangeran
Banuarto!”
“Aku
tidak pernah membunuh Pangeran itu!” jawab Wiro.
Perwira
Tinggi tadi mendengus. “para penjahat memang pintar berdalih! Aku mau lihat apa
kau masih bisa bicara banak setelah lidahmu kusuruh potong!”
Tia-tiba
ada satu suara berkata. “Perwira, saya bersaksi pemuda itu bukan orang yang
membunuh paman saya Pangeran Banuarto….”
Perwira
Tinggi dan semua orang yang ada di tempat itu sama memalingkan kepala.
“Ah, den
Ayu Dewi Santiastri, putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan mendiang
Pangeran Banuarto rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di sini. Apa
kepentinganmu membela pemuda asing yang telah membunuh pamanmu itu?”
‘Sudah
saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean Banuarto. Tapi seorang yang
mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu bernama Ki Ageng Lentut!”
Sementara
juru ramal Sangkolo Bumi yang sudah memperkirakan keadaan akan sangat buruk
bagi Ramada segera berkata “Ramada, keadaan tidak menguntungkan bagimu. Lekas
serahkan guci itu padaku. Biar aku selamatkan dulu.
Kau bisa
mengambilnya di tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin menolongmu.
Lekas…..!”
Ramada
sesaat terdiam dan berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu mungkin
sangat benar. Saat itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212, tetapi juga
Perwirra Tinggi Kerajaan dan duapuluh orang perajuritnya. Lalu gadis berpakaian
merah itu jelas bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan keponakan
Pangeran Banuarto yang pasti telah menjadi lawannya sejak dia muncul dengan
memperlihatkan ilmu panahnya yang meakjubkan, menghancurkan bintang beracun
milik Jalak Biru serta meluai Jalak Item.
Tanpa
pikir panjang Ramada Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke arah si juru
ramal.
“Tangkap!
Lekas pergi dari sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak tadi dikepitnya
di lengan kiri dilemparkannya pada Sangkolo Bumi. Saat itu jarak antara Ramada
dan si orang tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci Setan itu
melayang di udara dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi tiba-tiba empat anak
panah melesat ke udara. Dua berjajar di sisi kiri, dua lagi di sebelah kanan.
Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong
jalannya Guci yang melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan
kemudian dibawa melesat ke kiri hingga Sangkolo Bumi menangkap angin. Empat anak
panah kemudian menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar dan berat itu
terjepit tak bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang
si juru ramal tua itu cepat melompat ke udara guna mengambil guci. Namun saat
yang bersamaan, satu sosok berpakaian hitam melompat pula ke udara. Orang ini
bukannya menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru ramal
lalu menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah.
“Keparat!”
maki Sangkolo Bumi marah sekali ketika mengetathui yang merangkul tubuhnya
ternyata adalah Jalak Item, anak buah Ramada Suro Jelantik. Dia mencoba
melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke belakang.
Bukkkk!
Traaaakkkk!
Jalak
Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah.
Sementara
Ramada Suro Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat guci yang tadi
dilemparkan kini terselip di antara empat buah anak panah yang menancap di
batang pohon segera memburu untuk mengambilnya, kawatir benda itu jatuh ke
tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya mampu menyentuh benda itu
tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat laksana angin, luar biasa cepatnya.
Ramada
dan si perwira tinggi jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadri mereka
telah keduluan oleh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu.
Sang
perwira hendak menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di sebelah
sana Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang
iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal.
“Perwira!
Yang membunuh Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!”
Sangkolo
Bumi berteriak marah. Sekali dia menggerakkan tubuhnya Jalak Item terhempas ke
tanah.
“Keparat!
Kau mencari kematia berani memfitnahku!” bentak Sangkolo Bumi.
“Ki Ageng
Lentut! Sangkolo Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar kuncen makam Pangeran
Banowo atau juru ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang membunuh Pangeran
Banuarto!” Rupanya dendam kesumat Jalak Item akibat perbuatan Ki Ageng Lentut
yang kini menyamar menjadid juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi itu tidak bisa
dipendam lagi. Meledak saat itu juga.
“Keparat!
Tutup mulutmu!” teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.
Praaaaakk!
Jalak
Item tergelimpang roboh di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Suro
Jelantik
sesaat terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia
menghajar juru ramal tua itu saat itu juga. Namun Guci Setan lebih penting. Dia
berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh
Pendekar 212.
Sementara
itu Perwira Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada dua puluh
anak buah agar mereka segera mengurung dan menangkap juru ramal berjubah putih
itu yang oleh Jalak Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh Pangeran banuarto.
Namun begitu mereka bergerak, Sangkolo Bumi menyongsong dengan
serangan-serangan ganas.
“Bidadari
Angin Timur…….” Kata Wiro sambil mendekati gadis berbaju merah itu. “Kau mau
menolongku? Biar kunyuk berewokan ini aku yang menghadapinya. Aku menaruh
curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah panjangnya aku yakin hanya
samaran belaka. Lakukan sesuatu hingga kau bisa membuka kedok siapa dia
sebenarnya.
“Kau
takut menghadapi orang tua jelek itu?” tanya gadis berambut pirang yang membuat
wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah.
“Aku
tidak pernah takut pada siapapu,” jawab Wiro. “Dengan orang tua itu aku tidak
punya perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya alasan untuk
menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telh melukai guruku!”
Gadis
yang oleh Wiro diberi julukan Bidadari Angin Timur itu tersenyum kecil.
“Tampangmu tolol, tapi otakmu cerdik juga. Ambil senjata ini untuk menghadapi
Ramada!” Lalu si gadis menyerahkan golok besar empat persegi panjang itu ke
tanan Pendekar 212. Baru saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap dari
hadapannya. Sebelum masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin Timur melayang
ke atas pohon. Guci Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara
ranting-ranting pohon berdaun lebat. Begitu melayang turun dia cepat mendekati
Perwira Tinggi Kerajaan dan berkata “Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!”
Meskipun
merasa tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar bahwa
menyelamatkan guci di atas pohon adalah jauh lebih penting dari pada melakukan
hal-hal lain. Terlebih ketika gadis di hadapannya berkata “Serahkan pembunuh
Pangeran Banuarto itu padaku. Kita akan segera tahu siapa dia sebenarnya!”
Tanpa
banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas pohon.
Dari atas pohon dia dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau
tangannya sudah gatal untuk turun tangan sendiri.
Ternyata
juru ramal itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia menghajar
perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya higga mereka menemui ajal
sekelompok demi sekelompok.
Melihat
anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira Tinggi di atas
pohon jadi mendidih amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga keselamatan Guci
Setan milik Kerajaan, perwira itu melompat turun. Selagi tubuhnya melayang dia
lepaskan beberapa senjata rahasia berbebuk paku ke arah Sangkolo Bumi.
Sang juru
ramal ganda tertawa. Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan paku yang
menyerangnya mental cerai berai.
“Manusia keparat!
Jadi kau yang membunuh Pangeran Banuarto!” teriak sang perwra marah. Masih di
udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala orang tua itu.
Praaaakkkkk!
Kepala
itu pecah tapi bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Malainkan kepala salah
seorang anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan
Perwira Tinggi itu akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke samping
lalu menarik tubuh seorang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit ini
disentakkannya ke atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan datang,
kepala perajurit itulah yang kena hantam tendangan sang perwira!
“Keparat!”
maki Perwira Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini melemparkan
tubuh perajurit yang kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang perwira jatuh
terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh si orang tua untuk keluar
dari keroyokan sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu melompat ke atas pohon.
“Sangkolo
Bumi, juru ramal keparat! Sekali ini jangan katakan kau tidak menipuku! Aku
tahu sejak lama sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!” teriak Ramada Suro
Jelantik ketika melihat si juru ramal berada di atas pohon sambil memegang Guci
Setan.
Di atas
pohon Sangkolo Bumi tertawa gelak-gelak. “Dasar orang tolol tetap saja tolol!”
katanya.
“Lekas
turun dan serahkan guci itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau
tidak menyerahkannya padaku!” teriak Ramada.
“Dulu kau
pernah bersumpah hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan pembunuh istrimu
itu sudah ada di hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak mencari urusan
denganku? Apa kau takut menghadapi Pendekar 212?
Ha….ha…ha….!”
“Setan
alas!” teriak Ramada. Dia melomapt sambil menyorongkan roda besinya. Roda ini
menderu keras menggerus bagian bawah batang pohon besar hingga akhirnya putus.
Pohon itu tumbang dengan suara bergemuruh tetapi Sangkolo Bumi alias Ki Ageng
Lentut itu sudah lebih dahulu melayang turun.
Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt.
Lima anak
panah melayang pesat ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika mengetahui
lima anak panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan tangan
kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke tanah.
Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seekor burung
alap-alap orang tua ini menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya
berkelebat.
Praaaakkkk!
Dewi
Santiastri menjerit keras.
Kepala
kuda tunggangannya pecah. Suara ringkikan binatang ini merobek langit. Si gadis
sendiri cepat melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar biasa dia masih
sempat mencabut tiga buah anak panah lalu merentangnya di tali busur untuk
kemudain melepasnya ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah sempat
menyerempet jubah putih orang tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris kulit
bahunya namun ini sudah cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat marah.
Tangan
kanannya diangkat untuk melepaskan satu oukulan tangan kosong. Namun dari
samping Ramada Suro Jelantik datang menyerangnya. Satu jotosan yang dilepaskan
orang ini menghantam dagu si orang tua dengan keras dan telak hingga juru ramal
ini terpuntir keras. Selagi tubuhnya sempoyongan begitu rupa Ramada tendangkan
kaki kirinya ke arah bawah perut. Roda besi bergerigi itu menggerus ke arah
selangkangan si orang tua.
“Ki Ageng
Lentut! Sangkolo Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Suro Jelantik.Tapi
dugaannya bahwa dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua itu tidak menjadi
kenyataan. Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru ramal tua itu
berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya kuat-kuat dan
dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap sampai dua jengkal.
Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik kakinya
keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan.
Bukkkk!
Ramada
merasakan dadanya seperti mau meledak.
Selagi
tubuhnya terlempar ke belakang dan ada darah menyembur dari mulutnya, Sangkolo
Bumi kirimkan tendangan ke bawah perut Ramada. Teriakan laksana ledakan keras
keluar dari mulut Ramada. Tubuhnya mencelat jauh dan tergelimpang di tanah tak
berkutik lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan kematian istrinya tidak
pernah kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak penah mengtahui siapa pemerkosa
dan pembunuh Dardini sebenarnya.
Sangkolo
Bumi tegak menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu pada
Dewi Santiastri. Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat oelh jalak
Biru. Anak buah Ramada Suro Jelantik ini dengan cepat melemparkannya keranjang
rotanyang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor kelabang biru yang
masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya. Dua ekor ditangkisnya
dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ekor lainnya dihantamnya
dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia
menangkap kelabang yang keenam lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah
Ramada yang tidak menyangka akan mendapat serangan binatang berbisa miliknya
sendiri itu dalam kejutnya telambat menghindarkan diri cari selamat.
Kelabang
Biru itu menancap tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak Biru
terdengar mengerikan. Sambil menekap mukanya dia menghambur meninggalkan tempat
itu.
Ki Ageng
Lentut alias Sangkolo Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh.
Sebelum
berkelebat pergi dia memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu berkata
“Pendekar 212, kau masih bodoh seperti dulu juga! Tidak mampu melihat langit di
atas langit! Tidak mengerti tingginya puncak gunung dan dalmnya dasar laut!”
“Apa
maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!” bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si orang tua
dia memberi isyarat pada gadis berbaju merah.
“Kau akan
menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!”
kata si
orang tua pula. Dia menggeser kakinya.
Dari
samping kiri tiba-tiba Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang busur dengan
lima anak panah terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu bernama Ki Ageng Lentut
itu, berarti kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap di tempatmu!
Sedikit saja kau berani bererak lima anak panah ini akan amblas ke dalam
tubuhmu!”
“Kau
dengar ucapan gadis itu! Apakah kau tidak mau menyerahkan diri?!
Serahkan
Guci Setan itu padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di samping
Dewi Santiastri.
Si orang
tua ganda tertawa.
“Puteri
Pangeran Banowa, jika aku mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari kesenangan,
apakah kau masih hendak memanahku?!”
“Tua
bangka bermulut kotor!” hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya
lebih dalam.
“Perwira,
kau inginkan guci ini? Apa kau punya kemampuan untuk mengambil sendiri?!”
“Keparat!
Saatnya aku mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira Tinggi Kerajaan.
Si orang
tua kembali tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan merah
berkelebat. Dengan tangan kirinya dia menghantam ke samping. Tapi terlambat.
Tubuhnya seperti digulung ombak. Lalu terdengar suara breeeetttt…..breeeettttt
beberapa kali berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja robek tapi tanggal
lepas dari tubuhnya. Bagitu juga rambutna yang putih panjang tampak tercampak
ke tanah. Selembar topeng tipis yang selama ini menutupi wajah dan sebagian
kepalanya jatuh di depan kakinya.
Kini
kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seoran gpemuda berambut tebal hitam
dengan kening menonjol. Rahang dan dagunya tampak kokoh. Keseluruhan
wajahnya
membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah anggal itu kini
terlihat pakaian hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang gambar puncak
gunung berwarna biru, berlatar belakang sang surya berwarna merah dan
sinar-sinar mentari berupa garis-garis merah.
Apa yang
telah dilakukan Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sangguh tidak didugaoleh
orang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa seperti diusap
bebrapa kali. Ketika Sangkolo Bumi hendak menyergap gadis itu, Pendekar 212
cepat memotong gerakannya.
Pendekar
212 menggeram “Aku sudah duga, ternyata memang dia!” katanya dalam hati. Lalu
murid Sinto Gendeng ini berteriak keras.
“Pangean
Matahari! Kelicikanmu dengan memperalat Ramada tidak kesampaian! Aku yakin kau
iblisnya yang memperkosa istri Ramada lalu membunuhnya! Keparat! Apa lagi
sekarang yang ada dalam otak busukmu?!”
Pangeran
Matahari menyeringai. “Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak. Tuduhanmu
benar! Sayang maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah berada dalam
tubuhmu! Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali ini kau
lolos lagi dari lobang jarum kematian! Tapi Ingat! Aku Pangeran Matahari tidak
akan berhenti sampai akhirnya kau berlutut di hadapanku dan menggali liang
kuburmu sendiri!”
Habis
berkata begitu manusia yang sebe,umnya menyamar menjadi kuncen makam Pangeran
Banowo dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga pura-pura manjadi juru ramal tua
bernama Sangkolo Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi.
Pendekar
212, Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak.
Lima anak
panah melesat mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari sobuk menyelamakan
diri Perwira Tinggi Kerajaan coba marampas Guci Setan dari tangannya namun
lagi-lagi dia gagal karena tendangan Pangeran Matahari menghantam perutnya
lebih dulu hingga dia terpental dan pingsan.
Jotosan
Pendekar 212 berhasil menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari.
Walaupun
tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro menghantam.
Namun
kali ini Pangeran Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas
menghantam. Pukul memukul jarak dekat itu tidak menguntungkan Pangeran Matahari
karena saat itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari
oleh Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia berkata “Pendekar
212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!”
lalu Pangean
Matahari membuat geakan seperti hendak melemparkan Guci Setan itu.
namun apa
yang dilakukannya adalah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.
“Awas!
Asap menutup pandangan!” teriak Wiro.
Ketika
terdengar letusan dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212 dan Bidadari
Angin Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan, satunya
lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari melarikan diri
ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah yang punya
kecepatan laksana kilat itu dapat mengejar Pangeran Matahari lebih dahulu.
Dengan satu geakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan Pangeran
Matahari.
“Betina
keparat! Aku lebih suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak Pangeran
Matahari marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu
mendadak sontak manjadi redup. Dari telapak tangan kanan orang yang dijuluki
pengean segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala
congkak ini melesat keluar sinar kuning, hitam dan merah.
“Pukulan
Gerhana Matahari!” teriak Wiro. “Bidadari Angin Timur lekas menyingkir!” Murid
Eyang Sinto Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya, melepaskan pukulan
“sinar matahari” Terdengar saru dentuman keras. Si gadis berbaju merah cepat
menyingkir ketika sinar putih berkilau dan sinar hitam, merah dan kuning
mencuat ke udara laksana hendak menyapu langit. Tubuhnya tergoncang keras. Guci
Setan terlepas dari pegangannya. Dia coba untuk menjangkaunya tapi satu letusan
lagi membuat tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat di
sampingnya!
Ketika
sinar putih, hitam, merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang
bermentalan ke udara luruh kembali ke tanah Pangean Matahri telah lenyap dan
Pendekar 212 dapatkan dirinya jatuh terelungkup di tanah, hampir berdempetan
dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka bertempelan dan hidung mereka
saling beradu satu sama lain.
“Kau tak
apa-apa……?” tanya Pendekar 212.
Si gadis
hanya menjawab dengan kedipkan mata lalu cepat-cepat hendak berdiri. Tapi Wiro
lekas menahan punggungnya seraya berkata. “Kalau aku bisa mati berdempetan
seperti ini alangkah bahagianya.”
“Mudah-mudahan
malaikat maut mendengar permintaanmu itu,” kata si gadis seraya menarik tangan
Wiro dan berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya tertegun ketika melihat
beberapa langkah di hadapan mereka Guci Setan hanya tinggal merupakan
kepingan-kepingan belaka.
Dua orang
terdengar mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi
Santiastri.
“Kalian
tidak apa-apa?” tanya puteri mendiang Pangeran Banowo itu.
“Berkat
bantuan sahabatku berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa.
Hanya
sayang manusia jahat berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!” jawab Wiro.
Deai
Santiastri memandang pada Guci Sean yang pecah berserakan di tanah.
“Sayang
guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..”
“Mungkin
itu lebih baik! Hancurnya Guci Setan berarti lenyapna segala masalah yang
sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,”
menyahuti
Perwira Tinggi Kerajaan. “Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini.
Aku harus
segera melapor pada Patih.”
Dewi
Santiastri mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. “Wiro, kau ikut bersama
kami?’
“Aku
ingin sekali. Tapi ada hal penting yang harus kulakukan. Aku harus segera pergi
ke puncak Gunung ede untuk menjenguk guruku yang sedang sakit keras….. Aku
berjanji akan menemuimu sepulang dari sana….”
Dewi
Santiastri mengangguk. “Kau kecewa karena dulu aku pernah mencideriamu?’
“Aku
sudah melupakan hal itu,” jawab Wiro.
Dewi
Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wiro.
Diam-diam
dia mengagumi kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat
mendengar Wiro menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar
bidadari. Aku hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia memberi
isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya.
Setelah
kedua orang itu pergi Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya.
“Aku
ingat pertama kali aku melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau
mengenakan pakaian biru yang sangat tipis….”
“Saatku
untuk pergi….” Kata gadis berpakaian merah seolah tidak acuh dengan ucapan si
pemuda.
“tunggu
dulu, ada satu hal yan hendak kutanyakan….” Kata Wiro. Namun sekali berkelebat
gadis itu telah lenyap dari hadapannya.
Pendekar
212 hanya bisa tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin.
Tidak
salah kalau kuberi nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja,
padahal banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa. Ilmu apa
namanya?!”
Dengan
langkah berat Pendekar 212 tinggalkan tempat itu. Namun satu bayangan biru yang
berkelebat beberapa langkah di hadapannya membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini
menjadi terkesiap kaget dan cepat-cepat menyelinap ke balik sebatang pohon
besar untuk menjaga segala kemungkinan. Di depan dan di sekitarnya tidak
terdengar suara apa, juga tidak kelihatan satu gerakanpun.
Ketika
Wiro berpaling ke balakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di balik
pohon itu tahu-tahu telah tegak gadis cantik jelita yang disebutnya dengan
panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi
mengenakan pakaian merah, melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis
seperti yang dikenakan pada pertama kali Wiro melihatnya! Pendekar 212 leletkan
lidah. Kedua matanya membesar. “Bukan main…..” kata Wiro pula.
“Apanya
yang bukan main?” tanya si gadis.
“Aku tak
habis pikir, bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?”
Si gadis
tersenyum. “Aku juga tak habis pikir,” katanya.
“Tentang
apa?”
“Tentang
dirimu! Bagaimana kau bisa membuka pakaian secepat ini?”
Wiro
memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti disapu
angin. Tubuhnya berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti biasa,
murid Sinto Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju
dan celana panjang putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan celana bagian dalam!
Pakaiannya
kelihatan bertebaran di depan kakinya.
“Gila!
Bagaimana bisa jadi begini? Ilmu aneh apa yang dimiliki gadis ini?
Untung
aku tidak ditelanjanginya sampai bugil!” teriak Wiro. Dia memandang
berkeliling. Di depannya terdengar suara tawa cekikikan. Memandang ke depan
dilihatnya gadis berbaju biru tipis itu tegak di samping semak belukar sambil
melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar Wiro mengejarnya.
“Gadis
nakal! Kau berani mempermainkanku! Jangan kira aku tidak bisa menjahilimu!”
teriak Wiro. Lalu enak saja dia membuat gerakan seperti hendak menanggalkan
celana dalamnya.
Di depan
sana Bidadari Angin Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar tubuh melarikan
diri. Wiro cepat tarik kembali celana dlamnya ke atas lalu mengambil baju dan
celana panjangnya yang ercampakan di tanah, sekali lompat saja dia segera
mengejar gadis itu.
Beberapa
hari kemudian ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul di puncak
Gunung Gede, sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil
tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi tuak.
Kakek
nenek ini bukan lain adalah Dewa Tuak dan Sinto Gendeng yang berhasil
diselamatkan dari racun binatang berbisa oleh kesaktian Kapak Maut Naga Geni
212.
TAMAT
No comments:
Post a Comment