Episode
Dadu Setan
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*********************
SATU
Malam
hari di pantai Losari. Walau angin bertiup cukup kencang dan udara dingin, air
laut tampak tenang. Sejak senja sebuah kapal kayu besar berbendera merah
bergambar naga hitam telah melego jangkar di perairan Tanjung Losari. Pada saat
malam bertambah gelap karena bulan separuh lingkaran tertutup awan, dari pintu
di lambung kapal sebelah kanan keluar dua orang bertubuh tinggi tegap,
berpakaian dan berikat kepala serba putih. Orang pertama masih muda, bertampang
keren, berkumis kecil. Di sampingnya berdiri seorang lelaki berusia lanjut,
kakek memelihara janggut dan kumis menjulai sampai di bawah dagu, berwarna
hitam karena dicat. Kedua orang ini sama-sama memiliki alis tinggi mencuat,
bermata sipit dan berkulit kuning.
Saat itu
sebuah tangga telah terpasang, menghubungi pintu di kapal dengan sebuah sampan
yang sejak petang hari telah merapat di perut kapal kayu. Sampan ini ditunggui
seorang pendayung berpakaian hitam. Orang tua di pintu kapal berpaling pada
lelaki muda di sampingnya.
“Ingat
rencana. Begitu sampai di daratan tukang perahu itu harus kau habisi! Kita
tidak mau ada seorangpun saksi hidup dalam urusan ini! Kau mengerti Siauw Cie?”
Lelaki muda berkumis kecil yang dipanggil dengan nama Siauw Cie anggukkan
kepala. Lalu berkata.
“Silahkan
Bun enghiong. “ (enghiong = orang gagah/panggilan kehormatan).
Orang tua
she Bun mundur satu langkah. “Kau turun duluan,” katanya. Kedua orang ini
bicara dalam bahasa Cina.
Siauw Cie
kencangkan buhul kain putih ikat kepala lalu tidak menunggu lebih lama tanpa
menuruni tangga langsung saja melompat, melayang masuk ke dalam sampan. Ketika
dua kakinya menginjak lantai sampan, perahu kecil ini sedikitpun tidak oleng.
Satu pertanda bahwa Siauw Cie memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Hal
ini diperhatikan oleh pemilik sampan dengan berdecak penuh kagum.
Hanya
sesaat setelah Siauw Cie berada di atas sampan, orang tua bernama Bun Pek Cuan
melesat pula ke bawah. Ternyata dia memiliki gerakan lebih sebat serta ilmu
meringankan tubuh lebih andal dibanding Siauw Cie. Ini terlihat selain sampan
tidak bergerak, sampan kayu kecil ini juga tidak diberati dan tidak turun masuk
ke dalam air laut. Di atas sampan kedua orang Cina itu tidak duduk melainkan
tetap berdiri.
Begitu
dua orang berpakaian serba putih sudah berada di atas sampan serta melihat
isyarat anggukan kepala dari Siauw Cie, pemilik sampan yang sejak tadi menunggu
segera mendayung sampannya.
Sambil
berdiri rangkapkan dua tangan di depan dada sementara angin laut menerpa dingin,
Bun Pek Cuan berkata.
“Sampan
ini meluncur lamban. Seperti kura-kura merangkak. Kapan kita sampai? Aku tidak
sabaran. Kita harus kembali ke kapal dan berangkat sebelum tengah malam. Siauw
Cie, lakukan sesuatu. “
“Baik Bun
enghiong,” jawab Siauw Cie. Lalu dia jongkok di lantai sampan, tangan kanan
dicelupkan ke dalam air laut yang dingin. Sekali tangan itu dikibaskan ke
belakang, sampan kayu serta merta meluncur pesat ke depan seolah didayung enam
orang. Pemilik sampan yang mendayung dan berada di bagian sampan
terheran-heran. Setelah beberapa kali memperhatikan tangan Siauw Cie menyapu
air dan sampan melesat kencang, pemilik perahu akhirnya letakkan dayung di atas
pangkuan dan hanya duduk tertawa-tawa.
Jauh di
tepi pantai terlihat satu nyala api. Sampan diarahkan menuju cahaya itu. Tak
lama kemudian mereka memasuki arah timur Tanjung Losari dan akhirnya merapat di
daratan. Di situ telah menunggu seorang yang membawa sebuah lentera kecil.
Nyala api lentera inilah yang tadi terlihat dari tengah laut. Tak jauh dari
situ kelihatan tiga ekor kuda tengah merumput.
Bun Pek
Cuan melompat ke darat lebih dulu. Di atas sampan Siauw Cie dekati pemilik
perahu sambil tangannya mengeruk saku pakaian. Mengira akan menerima bayaran
pemilik perahu langsung ulurkan tangan kanan dengan telapak terkembang. Tapi
yang keluar dari dalam saku Siauw Cie bukannya uang bayaran melainkan dua buah
jari lurus sekeras besi.
“Bett!”
Sekali
hantam saja tanpa suara tubuh pemilik sampan terkulai roboh di lantai sampan.
Pada kening kelihatan dua buah lobang mengucurkan darah! Siauw Cie angkat orang
yang telah jadi mayat itu lalu dicemplungkan ke dalam laut.
Orang
yang membawa lentera kecil tidak melihat apa yang terjadi di atas sampan karena
selain. hal itu berlangsung sangat cepat dan tanpa suara, pandangannya
terhalang oleh sosok tinggi besar Bun Pek Cuan. . Bun Pek Cuan mendatangi
lelaki yang membawa lentera. Lalu berkata. “Namaku Hantu Putih. Kami
orang-orang perjanjian. Kami datang membekal kata sandi Malam Gelap. Beritahu
namamu, ucapkan kata sandi. “ ternyata Bun Pek Cuan panda) berbahasa daerah
setempat walau tidak begitu lancar.
Lelaki
berpakaian hitam yang memegang lentera kecil membungkuk sedikit. “Namaku Hantu
Hitam. Kata sandiku Laut Dingin. “
Saat itu
Siauw Cie sudah berada di samping Bun Pek Cuan. “Bagaimana, apakah enghiong
sudah memeriksa?”
“Nama dan
kata sandinya cocok. Dia memang orang kita,” jawab Bun Pek Cuan.
Lelaki
bernama samaran Hantu Hitam campakkan lentera ke laut lalu melangkah ke arah
tiga ekor kuda yang tengah merumput.
*********************
Perkuburan
Karangsembung terletak di barat daya Tanjung Losari. Selain udara gelap dan
dingin, kabut aneh yang tak biasanya muncul kini terlihat mengambang di
beberapa sudut tanah pemakaman, membuat suasana terasa menggidikkan.
Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara rentak kaki kuda mendatangi. Tak lama
kemudian seolah setan di malam buta, dari kegelapan tampak tiga ekor kuda dan tiga
penunggang melompat pagar rendah batas timur tanah pekuburan. Di depan sekali
adalah lelaki berpakaian hitam si Hantu Malam. Di belakangnya menyusul Bun Pek
Cuan dan Siauw Cie.
Setelah
berputar-putar beberapa kali di tanah pekuburan yang cukup luas itu, mereka
sampai di hadapan sebuah makam. Makam yang mereka datangi masih baru. Ini
terlihat dari gundukan tanah yang masih merah dan berbagai macam bunga masih
segar bertebaran di atas gundukan tanah makam.
“Kuburan
ini tidak ada papan atau batu nisan. Apa kau yakin ini kuburan yang kita tuju?”
Siauw Cie bertanya pada Hantu Hitam, mempergunakan bahasa setempat.
“Kubur
ini memang sengaja tidak diberi tanda. Tapi sahabat berdua tidak perlu
khawatir. Sejak pagi orang-orangku telah mengawasi pekuburan ini. “
“Pasti
ini kuburannya Nyi Inten Kameswari?” tanya Bun Pek Cuan.
“Kami
tidak mau kesalahan membuat urusan,” menimpali Siauw Cie.
“Pasti!
Seribu pasti!” jawab Hantu Hitam meyakinkan.
“Kapan
jenazah Nyi Inten dimakamkan?”
“Menjelang
sore tadi. . . “
“Bisa
kita gali sekarang?” tanya Bun Pek Cuan.
“Bisa. .
. “ jawab Hantu Hitam.
“Kita
butuh tenaga dan peralatan,” berkata Siauw Cie.
“Jangan
khawatir. Aku sudah menyiapkan. “ Hantu Hitam lalu keluarkan suara suitan dua
kali. Dari kegelapan malam melompat keluar dua lelaki berpakaian hitam-hitam
bertubuh kekar. Masing-masing membawa pacul dan obor yang belum dinyalakan.
Hantu Hitam memberi isyarat. Dua orang yang barusan datang segera menyalakan
obor lalu ditancapkan pada kuburan di kiri kanan makam baru. Tempat itu kini
jadi terang benderang. Selanjutnya ke dua orang ini dengan cepat menggali makam
yang menurut Hantu Hitam adalah makam Nyi Inten Kameswari.
Cukup
lama menggali akhirnya jenazah ditemukan lalu dinaikkan ke atas. Dibaringkan di
tanah. Keadaannya masih utuh, terbungkus kain kafan yang dilumuri tanah liat.
“Bun
enghiong, jenazah sudah siap. . . . “ berkata Siauw Cie. Orang tua berkumis
menjulai anggukkan kepala. Lalu dia jongkok di samping jenazah. Lima jari
tangan kanan Bun Pek Cuan mengusap dan meraba bagian pinggang lalu pindah ke
arah perut. Lima jari tangan orang tua ini mendadak tampak bergetar.
“Siauw
Cie, aku sudah menemukan letaknya yang tepat,” ucap Bun Pek Cuan setengah
berbisik.
“Silahkan
Bun enghiong melanjutkan. Saya akan memagari tempat ini,” jawab Siauw Cie. Lalu
dia dongakkan kepala, sepasang mata dipejamkan dan dua tangan direntang di
depan dada dengan telapak mengembang. “Enghiong, keadaan aman. . . “
“Sett. .
. sett. . . . sett. . . sett. . . sett!”
Di bawah
nyala dua api obor, di atas kain kafan putih tibatiba satu persatu secara aneh
lima jari tangan Bun Pek Cuan melesat panjang, berwarna hitam dengan lima kuku
terpentang mencuat seperti ujung-ujung pisau putih berkilat, luar biasa tajam!
Hantu
Hitam merasa tengkuknya dingin sementara dua orang yang tadi menggali kuburan
berdiri dengan muka pucat dan sama tersurut dua langkah. Sesuatu yang
mengerikan akan terjadi!
“Wuttt!”
Tibatiba
tangan kanan Bun Pek Cuan menghunjam ke bawah. Menembus tepat di perut jenazah
Nyi Inten Kameswari.
“Brettt!”
kain kafan robek.
Di
kejauhan terdengar suara raungan anjing. Suasana terasa tambah tegang
menggidikkan.
Tangan
kanan Bun Pek Cuan amblas hampir sebatas siku.
Serta
merta kain kafan putih kotor dibasahi darah. Pergelangan tangan Bun Pek Cuan
membuat putaran ke kiri dan ke kanan. Tak selang berapa lama perlahan-lahan
tangan itu diangkat kembali. Keadaannya berlumuran darah. Di dalam genggaman
tangan si orang tua kelihatan dua buah benda putih kekuningan berbentuk kubus.
Dengan tangan kirinya Bun Pek Cuan mengambil satu kantong kulit kecil warna
hitam dari balik pakaian. Dua buah benda putih kekuningan dimasukkan ke dalam
kantong lalu kantong kulit hitam dimasukkan kembali ke balik pakaian.
“Sett. .
. . sett. . . sett. . . . sett. . . sett!”
Satu
persatu jari tangan kanan Bun Pek Cuan mengerut ke bentuk asal. Lima benda
berbentuk pisau di ujung jari lenyap. Begitu juga darah yang sebelumnya
berselepotan di tangan ikut sirna.
“Hantu
Hitam” lekas perintahkan dua orang itu mengubur jenazah kembali,” kata Bun Pek
Cuan sementara Siauw Cie masih tegak mendongak, mata terpejam dua tangan
mengambang.
Tak lama
setelah jenazah dimasukkan Kembali ke Hang lahat dan tanah kuburan ditimbun,
Bun Pek Cuan membuka mulut. “Padamkan obor! Suruh mereka pergi. “
Setelah
memberikan sejumlah uang. Hantu Malam menyuruh dua penggali makam meninggalkan
tempat itu. Hantu Hitam ambil dua buah obor yang menancap di atas dua kuburan
lalu membantingkan ke tanah hingga apinya padam. Sesaat kemudian Siauw Cie
rendahkan kepala, buka dua mata yang terpejam dan turunkan dua tangan yang
mengembang. Dia memberi isyarat kedipan mata pada Bun Pek Cuan lalu berkelebat
pergi.
“Sahabat
muda itu, mengapa dia pergi duluan?” tanya Hantu Hitam pada Bun Pek Cuan.
“Dia
hanya memeriksa keadaan sekitar sini. Untuk memastikan semua dalam keadaan
aman. “ Jawab Bun Pek Cuan.
“Tugasku
sudah selesai. Aku juga ingin pergi. Harap sahabat tua memberikan bayaran. “
“Jangan
khawatir. Aku sudah menyiapkan satu bayaran besar untukmu,” jawab Bun Pek Cuan
sambil tertawa. Dia memberi isyarat agar Hantu Hitam datang mendekat. Beg itu
Hantu Hitam maju dua langkah, Bun Pek Cuan bukan memberikan uang, justru tangan
kirinya melesat dalam satu jotosan luar biasa cepat dan keras.
“Bukk!”.
Hantu
Hitam menjerit. Suara jeritannya lenyap berbarengan dengan semburan darah dari
mulut. Tubuh terjengkang, muka mengkeret dan mata mendelik.
Tak lama
kemudian Siauw Cie muncul kembali.
“Beres?”
tanya Bun Pek Cuan.
Siauw Cie
mengangguk. “Dua tukang gali itu sudah ku habisi. Sebaiknya kita segera kembali
ke kapal. “
Dua orang
berpakaian serba putih melompat ke atas kuda lalu memacu tunggangan
masing-masing ke arah Tanjung Losari. Jauh sebelum tengah malam keduanya sudah
sampai di tepi pantai, melompat turun dan berjalan cepat ke arah sampan di atas
pasir. Di langit bulan setengah lingkaran tersibak dari balik awan gelap,
membuat suasana di tepi pantai menjadi lebih terang. Begitu sampai di samping
sampan, Bun Pek Cuan dan Siauw Cie sama-sama terkejut. Langkah masing-masing
tertahan, dua kaki laksana dipantek. Di dalam perahu saat itu berbaring
melunjur seorang lelaki gemuk berambut putih sebahu, berpakaian jubah bagus
warna hijau, lengkap dengan topi tinggi warna merah. Baik topi, rambut, tubuh
maupun pakaian si gemuk ini tampak basah kuyup. Satu-satunya benda yang masih
dalam keadaan kering adalah sebuah hudtim (kebutan) warna ungu di tangan kanan
yang berwarna hitam. Kebutan ini dikipas-kipaskan di depan wajahnya yang bulat.
Udara di pantai selain dingin juga ada tiupan angin. Sementara sekujur tubuhnya
basah kuyup. Namun si gemuk di dalam perahu kelihatan seperti kepanasan. Ketika
menyeringai tampak deretan gigi besar-besar berwarna merah seperti dilumuri darah.
“Hek Chiu
Mo!” seru Bun Pek Cuan dan Siauw Cie berbarengan. Kedua orang ini dalam kejut
masing-masing segera saja bersikap waspada penuh. (Hek Chiu Mo = Iblis Tangan
Hitam) Mereka bukannya kenal lagi dengan si gemuk bertangan hitam ini. Hek Chiu
Mo adalah salah seorang momok golongan hitam dirimba persilatan Tionggoan
(Tiongkok) bagian selatan. Dia diketahui memiliki tiga senjata ganas. Pertama
hudtim ungu di tangan kanan yang sanggup menghancurkan batu sebesar gajah. Lalu
tangan kanan berwarna hitam yang juga memiliki daya penghancur luar biasa. Dan
ketiga adalah semburan ludah berwarna merah yang mampu menembus setiap bagian
tubuh lawan!
Bagaimana
manusia satu ini tahu-tahu berada di tempat ini? Memandang ke tengah lautan Bun
Pek Cuan dan Siauw Cie tidak melihat kapal lain selain kapal kayu besar yang
sebelumnya mereka tumpangi.
“Siauw
Cie,” bisik Bun Pek Cuan. “Ada yang membocorkan rahasia perjalanan kita. “
Orang
yang berbaring di dalam sampan menyeringai. Kelihatan deretan gigi-gigi besar
berwarna merah seperti dilumuri darah. Mulut terbuka. Suaranya perlahan sekali,
tidak sesuai dengan keadaan kepala dan tubuhnya yang besar gemuk.
“Jangan
heran. Kita menumpang kapal yang sama. Tapi datang ke pantai ini aku lebih suka
berenang dari pada naik perahu seperti kalian. “
Bun Pek
Cuan batuk-batuk lalu berkata.
“Sungguh
satu pertemuan tidak diduga tidak disangka!” ucap Bun Pek Cuan.
Si gemuk
dalam perahu gelengkan kepala.
“Kau dan
temanmu boleh menganggap begitu. Namun bagiku ini satu pertemuan yang sudah aku
rencanakan sebelumnya. Sejak kita masih sama-sama berada di Tionggoan. “
Melihat
gelagat tidak baik Siauw Cie berkata.
“Hek Chiu
Mo, kami tak punya waktu banyak. Kami harus segera kembali ke kapal. Kau mau
ikut sama-sama?” Siauw Cie berkata sambil memberi isyarat kedipan mata pada Bun
Pek Cuan.
Si gemuk
dalam perahu perlahan-lahan bangkit dan duduk. Tangan kanannya yang berwarna
hitam masih mengipas-ngipaskan hudtim. “Perahu sekecil ini tidak mungkin
dimuati kita bertiga. Lagi pula aku tidak punya niat buru-buru kembali ke
kapal. “
“Kalau
begitu harap kau sudi keluar dari perahu. Kami akan mempergunakan perahu itu
untuk kembali ke kapal,” kata Bun Pek Cuan pula.
“Tentu
saja. . . . tentu saja,” jawab Hek Chiu Mo. Lalu sekali bergerak tubuhnya yang
gemuk melesat ke udara. Ketika turun ke pasir, kepalanya menjejak. menempel
pasir pantai lebih dulu. Dua kaki melejang-lejang, mulut keluarkan suara
tertawa. Si gemuk kemudian melesat ke udara, ketika turun kembali, kali ini
kakinya dengan enteng menginjak pasir.
“Sudan
lama tidak bersalto, aku sampai salah. Kepala turun duluan. . . . Ha. . . ha. .
. ha. “ Si gemuk melucu. Namun bagi Bun Pek Cuan dan Siauw Cie jelas orang ini
sengaja memperlihatkan kepandaian. Tanpa banyak menunggu kedua orang ini segera
hendak masuk ke dalam perahu.
“Dua
sahabat, sebelum pergi ada sesuatu yang ingin kutanyakan. “ Tibatiba Hek Chiu
Mo berkata, membuat Bun Pek Cuan dan Siauw Cie dengan jengkel terpaksa hentikan
langkah.
“Kami
ingin cepat. Maaf saat ini tidak bisa berjawab tanya denganmu. Nanti saja
diteruskan kalau bertemu di Tionggoan. “ kata Bun Pek Cuan.
“Ah,
sayang sekali. Kalian ingin cepat, akupun terburu-buru . Agar adil bagaimana
kalau aku tidak akan mengizinkan kalian pergi dari sini!”
“Apa
maksud orang gagah Hek Chiu Mo?” tanya Bun Pek Cuan.
“Maksudku
begini!”
Habis
berkata begitu Hek Chiu Mo tendangkan kaki kanannya. Sekali menendang sampan
kayu di atas pasir pantai mencelat hancur berkeping-keping.
“Aku tahu
kalian tak bisa berenang. Jadi tak mungkin kembali ke kapal. Ha. . . ha. . .
ha!” Hek Chiu Mo tertawa perlahan. Air liurnya yang berwarna merah bercucuran
ke dagu.
*********************
DUA
Melihat
perbuatan si gemuk Hek Chiu Mo menghancurkan sampan, marahlah Bun Pek Cuan dan
Siauw Cie. “Hek Chiu Mo!” hardik Bun Pek Cuan. “Selama ini tak ada silang
sengketa diantara kita! Hari ini jauh dari negeri sendiri, kau sengaja mencari
lantai terjungkat!”
Hek Chiu
Mo tertawa perlahan. Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipaskan di depan
wajahnya yang gemuk berkeringat.
“Bun Pek
Cuan, kalau kakimu yang pincang, jangan mengatakan lantai yang terjungkat. Ucap
kata dan tindak sikapmu sombong sekali. Aku hanya ingin bicara sesuatu, tapi
kau menolak seolah kau tengah ditagih hutang saja.
Ha. . .
ha. . . ha!” Dalam soal bicara Iblis Tangan Hitam memang dikenal paling nomor
satu di Tionggoan.
“Hek Chiu
Mo, sebaiknya kau berterus terang saja. Katakan apa yang kau inginkan dari
kami!” Kata Siauw Cie walau sebenarnya dia dan juga Bun Pek Cuan sudah bisa
menduga apa yang diinginkan tokoh silat golongan hitam di hadapannya itu.
“Orang
sudah bertanya, wajib aku menjawab,” ucap Hek Chiu Mo. Lalu tangan kirinya
ditudingkan ke arah pinggang pakaian Bun Pek Cuan. “Aku inginkan dua buah benda
yang kau simpan di balik pakaianmu. Dalam sebuah kantong kulit berwarna hitam.
Apa ucapanku sudah jelas?!”
“Aku
tidak memiliki kantong kulit hitam di balik pakaianku. Bagaimana mungkin aku
memberikan padamu?” ujar Bun Pek Cuan pula.
Mendengar
ucapan itu, Hek Chiu Mo tersenyum.
“Tidak
sangka orang yang punya nama besar sepertimu pandai pula berdusta!” Ucap Hek
Chiu Mo.
“Hek Chiu
Mo, harap kau tidak, mengada-ada!” Siauw Cie ikut bicara.
“Aku Hek
Chiu Mo ini orang sederhana. Bersikap selalu lemah lembut. Dalam setiap urusan
tidak suka bertindak keras. Apakah hal itu tidak bisa jadi bahan pertimbangan
kalian berdua?”
“Kau
membuang waktu kami saja!” Suara Bun Pek Cuan mulai keras.
“Waktuku
juga sudah banyak terbuang,” menyahuti Hek Chiu Mo. Suaranya tetap perlahan.
Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipas.
“Siauw
Cie!” kata Bun Pek Cuan kesal. “Mari kita tinggalkan orang aneh satu ini!”
Hek Chiu
Mo menyeringai. “Apakah aneh kalau aku meminta barang yang bukan milikmu?!”
“Barang
apa?!” bentak Siauw Cie.
Lagi-lagi
si gemuk Hek Chiu Mo sunggingkan senyum.
“Baiklah,
kalau kalian tak mau memberikan biar aku mengambil sendiri!”
Habis
bekata begitu tubuh gemuk Hek Chiu Mo melangkah ke arah Bun Pek Cuan. Hudtim di
tangan kanan dikebut.
“Wutt!”
Selarik
sinar ungu yang keluar dari kebutan menerpa ganas ke arah wajah Bun Pek Cuan.
Tahu akan kedahsyatan senjata di tangan lawan, Bun Pek Cuan cepat menghindar
sambil jauhkan kepala sementara kaki kanannya tahu-tahu melesat ke arah perut
Hek Chiu Mo. Siauw Cie tak tinggal diam. Dari samping tangan kanannya dengan
dua jari terpentang lurus menusuk ke arah leher Iblis Tangan Hitam.
Tubuh
gemuk Hek Chiu Mo bergerak lentur menghindari dua serangan lawan. Hudtim ungu
kembali dikebutkan. Lingkaran cahaya ungu berbentuk setengah Ijngkaran membeset
udara.
Bun Pek
Cuan berseru kaget dan melompat mundur dengan muka pucat. Kumis kirinya yang
menjulai ke bawah dagu terbabat putus kena sambaran kebutan hingga’ tampangnya
jadi lucu dan membuat Hek Chiu Mo tertawa mengekeh.
“Bun Pek
Cuan, aku sudah memberi peringatan. Apa kau masih belum mau menyerahkan benda
yang aku minta?!”
“Kau
bekerja untuk siapa? Siapa yang menyuruhmu mendapatkan benda itu?!” tanya Siauw
Cie tanpa menyadari kalau pertanyaannya itu memberi kesan bahwa benda yang
dicari dan diingini Hek Chiu Mo memang ada padanya atau pada Bun Pek Cuan.
“Tak ada
yang memerintah. Aku bekerja untuk diri sendiri!” jawab Hek Chiu Mo.
“Bagus!
Kalau begitu kami tidak akan susah-susah memberi tahu tuanmu bahwa kau sudah
menemui ajal di negeri orang” kata Siauw Cie pula. Lalu orang ini melesat ke
depan.
Sepuluh
jari tangan membeset lurus, lebih keras dari besi. Siauw Cie memiliki ilmu
kuntauw yang disebut Sepuluh Jari Besi. Sesuai namanya ke sepuluh jari tangan
Siauw Cie bisa berubah lurus dan sekeras besi. Setiap jurus yang dilancarkan
sangat ganas mematikan. Bun Pek Cuan tak kalah ganas. Dari balik pakaian
putihnya dia hunus sebuah golok yang dalam malam gelap menebar cahaya hijau
angker.
Baik Bun
Pek Cuan maupun Siauw Cie yang masih muda adalah orang-orang rimba persilatan
yang disegani. Tingkat kepandaian mereka telah banyak kali membuat kegemparan
di daratan Cina. Cahaya golok hijau di tangan Bun Pek Cuan bertabur ganas
mengeluarkan hawa dingin. Yang diserang adalah bagian tubuh lawan mulai dari
leher ke bawah. Sementara sepuluh jari besi Siauw Cie berkelebat mencari
sasaran mulai dari leher sampai kepala. Walau dua orang ini punya nama besar
karena ilmu silatnya yang tinggi namun Hek Chiu Mo merupakan dedengkot golongan
hitam yang sudah dikenal dan ditakuti di delapan penjuru rimba_ persilatan
Tionggoan, terutama di bagian selatan.
Kebutan
ungu menderu memapas dan menangkis serangan golok hijau Bun Pek Cuan serta
melindungi kepalanya dari tusukan jari-jari besi Siauw Cie. Tiga jurus berlalu
cepat dan jelas terlihat dua lawan yang dihadapi Iblis Tangan Hitam mulai
kewalahan. Beberapa kali kebutan ungu membentur badan golok di tangan Bun Pek
Cuan. Bukan saja golok dan tangan Bun Pek Cuan jadi tergetar hebat, tetapi
bagian tajam dari mata golok hijau itu gompal di tiga tempat! Siauw Cie sendiri
kalau tidak berlaku sigap dua kali tangan kirinya hampir kena hantaman hudtim.
Walau dia mampu selamatkan tangan tetap saja ujung lengan kiri baju putihnya
hangus kehitaman dan robek besar.
“Bun Pek
Cuah, kau mau serakan benda itu hidup-hidup atau minta mati lebih dulu?!” Hek
Chiu Mo memperingatkan sekaligus mengancam.
Sebagai
jawaban Bun Pek Cuan berteriak. “Iblis gendut keparat! Kau rupanya yang sudah
bosan hidup! Lihat golok!”
“Wuttt!”
Golok di
tangan Bun Pek Cuan berkelebat dalam jurus bernama Langit Meratap Bumi
Menangis. Sinar hijau bertabur.
“Breett!”
Dada
jubah hijau yang dikenakan Hek Chiu Mo robek besar. Kulit dadanya ikut tergores
sepanjang satu jengkal hingga mengucurkan darah. Ternyata keberhasilan Bun Pek
Cuan menciderai lawan harus dibayar mahal. Karena pada saat yang hampir
bersamaan hudtim di tangan Hek Chiu Mo menyambar dari samping.
“Praakk!”
Kepala
bagian kiri Bun Pek Cuan hancur mengerikan. Orang tua ini mengerang satu kali
lalu roboh ke pasir pantai tak berkutik lagi!
Melihat
kematian sahabat tuanya Siauw Cie berteriak marah dan mengamuk. Dia keluarkan
jurus-jurus silat simpanannya hingga beberapa kali Hek Chiu Mo berseru kaget
dan bergerak sebat menghindar dari serangan ganas yang selalu mengarah leher
dan kepala. Setelah didesak selama hampir empat jurus, kini giliran Iblis
Tangan Hitam ganti menggempur. Hudtim ungu bersuit-suit di udara. “
Siauw Cie
bertahan mati-matian untuk selamatkan diri. Karena serangan lawan semakin
ganas, Siauw Cie memutar otak. Dia berpikir lebih baik selamatkan diri sambil
berusaha mengambil kantong kulit yang ada di balik pakaian Bun Pek Cuan dari
pada menemui ajal percuma di tangan Iblis Tangan Hitam.
Didahului
satu bentakan keras Siauw Cie lantas kebutkan lengan baju sebelah kanan. Dari
bawah jubah melesat tiga senjata rahasia berbentuk pisau terbang beracun.
“Licik
sekali!” ucap Hek Chiu Mo lalu kebutkan hudtim ungu.
“Wuttt!”
Tiga
pisau terbang bermentalan dan luruh ke tanah.
Sewaktu
lawan menangkis serangan tiga senjata rahasianya, Siauw Cie pergunakan
kesempatan mengambil kantong kulit hitam yang ada di balik pinggang pakaian Bun
Pek Cuan. Dengan merobek pinggang baju Bun Pek Cuan, Siauw Cie segera menemukan
kantong kulit itu. Namun sebelum dia sempat menyentuh tahu-tahu Hek Chiu Mo
sudah ada di hadapannya. Hudtim ungu dikibaskan ke arah tangan kanan Siauw Cie.
“Kraaakk!”
Siauw Cie
seperti disambar petir, menjerit setinggi langit. Tangan kanannya hancur mulai
dari ujung jari sampai ke pergelangan! Nyali Siauw Cie pun putus. Kalau tadi
dia berusaha selamatkan kantong kulit, sekarang yang lebih penting adalah
selamatkan nyawanya. Tidak pikir lebih lama Siauw Cie jatuhkan diri, berguling
di pasir lalu melompat dan berkelebat melarikan diri dari tempat itu.
“Manusia-manusia
tolol. Memilih mati secara konyol!” kata Hek Chiu Mo pula seraya melangkah
mendekati mayat Bun Pek Cuan. Pada pinggang pakaian yang robek tersingkap, dia
melihat sebuah kantong kulit hitam. Dengan cepat dia ambil kantong itu. Tali
pengikat dibuka, isinya dituangkan ke telapak tangan kiri. Benda yang ada di
dalam kantong kulit itu ternyata adalah dua buah dadu putih kekuningan, terbuat
dari gading, dihias mata dadu berwarna merah.
Hek Chiu
Mo menyeringai, masukkan dua buah dadu kembali ke dalam kantong kulit hitam.
Kantong ini kemudian dimasukkan ke dalam saku di sebelah kiri jubah hijau.
Hek Chiu
Mo menatap ke langit. “Aku harus segera kembali ke kapal,” ucapnya dalam hati.
Pada saat hendak melangkah tibatiba dia mendengar sambaran angin di samping
kiri. Cepat Hek Chiu Mo palingkan diri. Alangkah terkejutnya lelaki gemuk ini
ketika melihat seseorang duduk menjelepok di tepi pasir. Orang ini ternyata
adalah nenek berambut kelabu, bermulut perot dan memiliki sepasang mata warna
merah yang menatap tajam tak berkesip ke arah Hek Chiu Mo. Daun telinga
ditindis dengan giwang terbuat dari tulang-tulang jari manusia. Cipratan ombak
membuat rambut kelabu serta jubah kuning yang dikenakannya basah kuyup.
“Manusia
aneh. Urusan tidak enak. Dia berdiri di jalur berenangku arah ke kapal. Sengaja
menghalangi. Dia bukan orang dari Tionggoan. . . “
Tibatiba
nenek di atas pasir acungkan tangan kanan ke arah Hek Chiu Mo. Tangan kiri
menepuk-nepuk pinggang. Lalu mulutnya berteriak.
“Serahkan
padaku dua dadu di dalam kantong kulit!. “ Celakanya Hek Chiu Mo tidak tahu
bahasa setempat. Tapi dari gerak isyarat orang dia tahu kalau si nenek inginkan
dua dadu yang ada di kantong kiri jubah hijau. Tokoh silat berbadan gemuk ini
gelengkan kepala, goyang-goyang tangan kiri sedang tangan kanan di
lambai-lambaikan ke samping memberi tanda agar si nenek pergi dari situ.
Nenek
yang duduk di atas pasir pantai balas menggeleng. Tangan kanan dilambaikan,
memberi isyarat agar Hek Chiu Mo mendatanginya!
Tidak mau
mencari urusan membuang waktu Hek Chiu Mo lari sepanjang tepi pasir. Di satu
tempat setelah cukup jauh dari nenek aneh itu dia akan mencebur masuk laut dan
berenang menuju kapal. Si nenek tidak tinggal diam. Dalam sikap masih duduk
tubuhnya naik ke atas sejarak satu jengkal, lalu melayang ke kiri mengikuti
arah lari Hek Chiu Mo! Tokoh silat golongan hitam dari Tionggoan ini hentikan
lari. Tubuh si nenek berhenti pula melesat dan turun duduk kembali di atas
pasir. Kejut Hek Chiu Mo bukan alang-kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia
melihat ada orang memiliki kepandaian seperti itu. Sementara Hek Chiu Mo masih
diselimuti perasaan heran, seperti tadi nenek berjubah kuning berteriak agar
Hek Chiu Mo serahkan benda yang dimintanya.
Setelah
diam sejenak, mencari akal akhirnya Hek Chiu Mo keluarkan kantong kulit hitam
dari saku jubah sebelah kiri. Benda ini diacungkan tinggi-tinggi ke udara dan
digoyang-goyang sambil tangan kanannya yang memegang kebutan memberi tanda agar
si nenek mendatangi. Begitu si nenek mendekat akan dihantamnya dengan kebutan
serta pukulan tangan kiri.
Nenek
mata merah berambut kelabu tidak terpancing. Dia tetap berada di tempatnya
duduk dan kembali berteriak agar Hek Chiu Mo menyerahkan kantong kulit.
Wajahnya kini tampak garang pertanda dia mulai marah.
“Gendut!
Berikan kantong kulit itu padaku. Lemparkan kesini! Aku akan memberi jalan
bagimu untuk berenangi kembali ke kapal!”
Walau
tidak tahu bahasa yang diucapkan orang tapi Hek Chiu Mo cukup mengerti apa
kemauan si nenek.
“Aku
sudah mau memberi. Tapi kau tidak mau mengambil! Perduli setan!” Tokoh silat
dari Tionggoan selatan ini masukkan kantong kulit ke dalam saku jubah kembali.
Lalu dengan sangat tibatiba tangan kiri yang berwarna hitam itu memukul ke
depan. Berbarengan dengan itu kebutan di tangan kanan ikut dihantamkan. Sinar
hitam dan cahaya ungu menyambar nenek di tepi laut.
Pasir
pantai laksana digusur topan berhamburan ke udara, meninggalkan lobang dalam
dan panjang. Air laut membentuk ombak besar, muncrat ke udara setinggi tiga
tombak! Nenek di atas pasir menjerit keras. Ketika air laut surut dan pasir
luruh ke pantai kembali, perempuan tua itu tak kelihatan lagi.
Hek Chiu
Mo sunggingkan seringai. Dia menyangka si nenek sudah amblas ke dalam laut dan
menemui ajal. Tapi alangkah terkejutnya tokoh golongan hitam daratan Cina
selatan ini ketika mendadak terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari tiga
arah sekaligus!
*********************
TIGA
Memandang
ke depan Hek Chiu Mo melihat nenek rambut kelabu bermata merah berdiri tegak di
atas pasir tidak kurang suatu apa. Malah berdiri sambil berkacak pinggang dan
sunggingkan seringai sinis. “Luar
biasa!
Ilmu apa yang dimiliki manusia ini hingga jangankan mati, ciderapun dia tidak
dihantam dua serangan saktiku!” pikir Iblis Tangan Hitam. Sebenarnya nenek
jubah hitam tidak memiliki kemampuan untuk adu kekuatan dan menangkis langsung
dua serangan lawan. Dia bisa selamatkan diri karena memiliki daya gerak yang
sangat cepat ditambah ilmu meringankan tubuh luar biasa tinggi.
Yang
kemudian membuat Hek Chiu Mo terlonjak kaget adalah ketika berpaling ke kanan.
Beberapa langkah di arah itu berdiri nenek yang sama, berjubah kuning, rambut
kelabu mata merah, beranting-anting tulang jari manusia dan bertolak pinggang
sambil menyeringai.
“Gila!
Bagaimana bisa jadi dua?!”
Belum
habis kejut Hek Chiu Mo sudut mata sebelah kiri menangkap sesuatu. Cepat si
gemuk ini berpaling dan! Astaga! Di arah ini lagi-lagi dia melihat seorang
nenek berambut kelabu bermata merah berjubah kuning lengkap dengan
anting-anting tulang! Jadi ada tiga nenek yang sama! Bagaimana mungkin?
“Aku
berhadapan dengan setan perempuan berilmu tinggi, punya kepandaian sihir!”
pikir Hek Chiu Mo.
Tibatiba
nenek di sebelah depan berteriak. Tangan kiri ditepuk-tepukkan ke pinggang.
Dua nenek
di kiri kanan melakukan hal yang sama! Berteriak sambil menepuk pinggang kiri.
“Serahkan
dadu!” teriak nenek di sebelah depan.
“Serahkan
dadu!” Dua nenek lainnya ikutan berteriak.
“Ilmu
setan harus dihadapi dengan ilmu setan!” Hek Chiu Mo rangkapkan dua tangan di
depan dada. Tubuh mengeluarkan sekilas sinar. Lalu sosok itu berubah menjadi
lebih besar dan lebih tinggi. Hudtim ungu di tangan kanan ikut membesar. Di
atas kepalanya yang mengenakan topi merah mencuat sepasang tanduk. Muka yang
tadi gemuk polos kini ditumbuhi cambang bawuk dan jenggot serta kumis
meranggas. Sepasang matanya mendelik besar berwarna hitam. Ketika menyeringai
kelihatan deretan gigi-gigi besar serta lidah basah dengan cairan merah!
Sepuluh kuku jari tangan mencuat panjang, memancarkan cahaya redup
menggidikkan. Hek Chiu Mo ternyata punya kepandaian merubah diri menjadi
raksasa! Didahului suara menggembor Hek Chiu Mo melompat ke arah nenek rambut
kelabu yang ada di sebelah depan. Tangan kanan kebutkan hudtim, tangan kiri
lepaskan pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Sinar ungu dan lima
larik cahaya hitam berkiblat!
Nenek
rambut kelabu mata merah di sebelah depan tertawa melengking.
“Raksasa
jejadian! Siapa takut! Di hutan Roban aku punya selusin mahluk macam beginian!
Hik. . . hik. . . hik!” Nenek ini lalu tertawa panjang.
Dua nenek
lainnya ikut keluarkan suara tawa yang sama. Tiga nenek kemudian melompat
setinggi dua tombak, selamatkan diri dari dua serangan lawan lalu laksana kilat
berkelebat lancarkan serangan balasan.
“Bukk!
Bukk! Bukkk!”
“Desss!”
Dua
jotosan keras mendarat di dada Hek Chiu Mo. Satu tendangan melanda perutnya
yang buncit! Hek Chiu Mo hanya geliatkan badan . seperti tidak merasa sakit
sedikitpun. Sebaliknya salah seorang dari tiga nenek rambut kelabu yaitu yang
sebelah kiri hanya tertawa mengekeh sewaktu hudtim ungu mengemplang kepalanya!
Padahal kepala manusia biasa seperti yang terjadi dengan Bun Pek Cuan pasti
akan hancur dihantam kebutan itu.
“Gila!
tidak mempan! Aku harus bisa menggebuk yang asli! Kalau tidak aku bisa celaka!
Tapi yang mana nenek yang asli?!”
Sementara
si gemuk dari Tionggoan selatan itu kebingungan, tiga nenek menjerit keras dan
serempak kembali menyerang. Hek Chiu Mo kebutkan hudtim. Cahaya ungu setengah
lingkaran melindungi dirinya. Sementara tangan kiri siap melancarkan pukulan
tangan kosong ke arah depan, dari tanduk di kepalanya mencuat dua larik sinar
biru, melesat k arah nenek di sebelah kiri dan kanan!
Dua nenek
yang diserang lagi-lagi keluarkan suara jeritan dan teruskan gempuran. Tapi
serangan mereka terhalang oleh sambaran hudtim. Kini mereka malah disambar dua
larik sinar biru. Nenek di sebelah kanan melesat ke udara selamatkan diri. Yang
sebelah kiri hancur tercabik-cabik dan kepulkan asap begitu kena hantaman sinar
biru. Namun cabikan tubuh itu menyatu lagi dan kembali ke ujud semula!
“Yang
depan atau yang kanan!” pikir Hek Chiu Mo lalu tangan kiri keluarkan cahaya
hitam, menyambar ke arah nenek di sebelah depan sementara dari tanduk di atas
kepala mencuat kembali dua larik sinar biru yang menggebubu ke arah nenek di
sebelah kanan. Tidak terduga nenek sebelah kiri yang tadi telah tercabik-cabik
tibatiba melesat sebat dan tahu-tahu telah berada dua langkah dengan tangan
kanan melepas satu jotosan dahsyat.
Hek Chiu
Mo segera sorongkan kepala. Dua tanduk aneh menusuk dada nenek yang melepas
jotosan. Si nenek terpental, keluarkan pekik kesakitan. Tapi keadaannya tidak
cidera sedikitpun. Padahal tembok batu setebal dua kaki sanggup dihantam jebol
oleh sepasang tanduk itu.
Ketika
melihat dua sinar biru menderu ke arahnya, nenek sebelah kanan cepat melesat ke
udara. Dalam keadaan melayang dia lepas dua pukulan tangan kosong yang
memancarkan sinar kemerahan. Hek Chiu Mo keluarkan suara menggembor lalu
menyembur. Cairan merah kental menyambar menangkis dua sinar kemerahan pukulan
tangan kosong nenek di sebelah kanan dan terus melabrak ke arah sasaran. Nenek
satu ini berteriak keras. Muka dan pakaiannya di sebelah penuh berselomotan
cairan merah. Namun yang membuat Hek Chiu Mo jadi kaget ialah nenek ini tidak
mengalami cidera sedikitpun. Padahal semburan ludah berdarah yang dilakukannya
tadi sanggup membuat patah batang pohon dan menghancurkan gundukan batu besar!
Kini Hek
Chiu Mo sadar bahwa mahluk asli berupa nenek rambut kelabu itu adalah yang
berada di sebelah depannya dan yang barusan dihantam dengan pukulan tangan
kiri. Kalau pukulan dahsyat itu sempat menyambar ke arah lawan, namun si nenek
sebelah depan masih bisa menghindar dengan jatuhkan diri ke tanah. Lalu dalam
keadaaan tengkurap nenek ini menyeringai, goyangkan kepala. Saat itu juga dua
larik sinar merah berkiblat keluar dari sepasang mata, langsung menyambar ke
arah leher dan perut Hek Chiu Mo. Tokoh golongan hitam Tionggoan selatan ini
keluarkan pekikan pendek lalu tergelimpang di tanah. Lehernya nyaris putus
sementara perut robek besar. Sosoknya yang tadi berbentuk setengah raksasa
perlahan-lahan menciut ke bentuk asal.
Menyaksikan
Hek Chiu Mo menemui ajal, nenek yang tadi melepaskan dua sinar merah dari
matanya cepat mendatangi untuk mengambil kantong kulit hitam yang tersembul di
pinggang. Namun mendadak satu bayangan putih menyambar kantong kulit itu lalu
kabur ke balik semak belukar.
“Jahanam
kurang ajar! Siapa berani mati!” teriak si nenek lalu angkat dua tangan ke atas
dan berteriak pada dua nenek di depannya.
“Kejar!
Bunuh!”
Dua nenek
yang diberi perintah serta merta melesat ke arah semak belukar melakukan
pengejaran. Tak selang berapa lama dua nenek itu kembali muncul. Yang sebelah
kanan melangkah sambil menenteng kepala manusia yang bukan lain adalah kepala
Siauw Cie. Nenek di sebelah kiri membawa kantong kulit hitam. Begitu sampai di
hadapan nenek pertama, nenek di sebelah kanan campakkan kutungan kepala hingga
menggelinding di atas pasir pantai. Nenek pertama angkat kaki, menahan kepala
yang menggelinding.
“Eyang
Sepuh Kembar Tilu! Dia pencurinya!”
Nenek
yang dipanggil dengan sebutan Eyang Sepuh Kembar Tilu menyeringai. “Ternyata
orang asing dari kapal. Eh, bukankah dia yang sebelumnya telah dihajar oleh si
gendut itu?” Kaki si nenek menendang. Kutungan kepala mencelat masuk ke dalam
laut.
“Eyang
Sepuh, kantongnya. . . “ kata nenek di samping kiri seraya mengulurkan kantong
hitam yang dipegangnya. Sepasang mata Eyang Sepuh berkilat-kilat. Isi kantong
diperiksa. Setelah memasukkan kantong kulit ke balik dada pakaian, Eyang Sepuh
angkat tangan kanan di atas kepala. Dua mata menatap ke arah dua nenek di
hadapannya yang memiliki ujud sama dengan dirinya. Dari ujung-ujung jari tangan
Eyang Sepuh Kembar Tilu mengepul asap tipis. Si nenek berucap perlahan.
“Kalian
berdua pulanglah!”
Saat itu
juga dua nenek yang menyerupai ujud Eyang Sepuh serta merta lenyap laksana
ditelan angin malam!
Bersamaan
dengan menghilangnya dua nenek rambut kelabu tiba-tiba terdengar suara tepukan
tangan disusul ucapan.
“Eyang
Sepuh Kembar Tilu! Pertunjukkan yang sangat mengagumkan. Tidak sia-sia aku
datang dari jauh untuk menyaksikan!”
“Wehhh!”
Si nenek rambut kelabu mata merah dongakkan kepala ke langit, agak heran. Dalam
hati dia bekata. “Suaranya sedikit lain. Tapi hanya dia yang tahu. . . “
“Raden
Kumalasakti, aku tidak mengira kalau Raden sudi hadir di tempat ini. “
“Karena
barang yang dicari sudah didapat, harap Eyang Sepuh menyerahkan padaku. “
“Tentu,
tentu saja. . . “ kata Eyang Sepuh Kembar Tilu lalu melangkah ke arah datangnya
suara. Dari kegelapan keluar seorang penunggang kuda, berpakaian serba hitam,
mengenakan topi kain yang bagian depannya ada cadar tipis hingga wajah orang
ini tidak kelihatan. Di sebelah belakang ada dua penunggang kuda lagi, juga
berpakaian hitam tapi tidak mengenakan topi, bercadar.
Pada
jarak satu langkah di samping nenek rambut kelabu, penunggang kuda bercadar
berhenti. Dia mengambil kantong kulit hitam yang dikeluarkan si nenek dari
balik dada pakaian. Setelah menimang-nimang kantong itu sebentar dia berkata.
“Hadiah
dan bayaran untukmu dapat kau ambil besok pagi di tempat perjanjian di selatan
Losari! Kerjamu bagus! Aku akan tambahkan beberapa hadiah! Misalnya anting
tulang di dua telingamu itu. Layak diganti dengan anting emas!”
“Terima
kasih Raden,” jawab si nenek. Sambil membungkuk dan mengulum senyum dia ikuti
kepergian tiga penunggang kuda. Dia menunggu sebentar lalu berkelebat Ke arah
lenyapnya ke tiga orang itu.
Selewat
tengah malam, Raden Kumalasakti dan dua pengiring sampai di desa kecil bernama
Cangkring. Di jalan masuk menuju desa terdapat sebuah kedai minuman yang selalu
buka sampai larut malam, walaupun pada masa itu keadaan di kawasan tersebut
tjdak begitu aman, banyak orang jahat berkeliaran.
Melihat
kemunculan tiga orang tak dikenal berpakaian serba hitam dan salah seorang
diantara mereka mengenakan cadar, semua pengunjung yang ad a di dalam kedai
cepat-cepat membayar lalu tinggalkan tempat itu. Mereka menduga ke tiga orang
yang barusan masuk ke dalam kedai adalah kawanan begal. Dari pada cari perkara
lebih baik cepat-cepat pergi.
Pemilik
kedai dan istrinya , yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam tamu,
berusaha tenang saja melayani ke tiga orang yang barusan datang. Dengan cepat
mereka menyuguhkan minuman bandrek panas, singkong, ubi dan pisang rebus hangat.
Setelah
meneguk minuman, lelaki bercadar keluarkan kantong kulit hitam yang diberikan
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dua temannya memperhatikan. Ketika isi kantong digulir
di meja, kaget ke tiga orang itu bukan alang kepalang. Dua benda yang
tergeletak di atas meja bukannya yang seperti mereka duga. Bukan dua buah dadu
putih tetapi dua buah batu hitam!
“Kurang
ajar! Kita kena ditipu!” teriak orang bercadar sambil menggebrak meja hingga
minuman dan makanan yang ada di atas meja melesat berhamburan!
“Kita
kembali! Cari nenek sialan itu! Akan aku gorok batang lehernya!”
Tiba-tiba
dari sudut kedai yang agak gelap terdengar suara tawa cekikikan.
“Kalian
tidak usah jauh-jauh mencari. Aku ada di sini!”
*********************
EMPAT
Tiga
kepala dipalingkan. Tiga pasang mata memandang mendelik ke arah salah satu
sudut kedai yang agak gelap. Disitu memang tampak duduk Eyang Sepuh Kembar
Tilu, si nenek berambut kelabu bermata merah. Amarah lelaki bercadar bukan
alang kepala. Dia ambil dua buah batu dan kantong kulit hitam yang tercampak di
lantai. Lalu melompat ke hadapan si nenek dan bantingkan dua buah batu serta
kantong kulit hitam hingga melesak ke dalam kayu meja!
“Ck. . .
ck. . . ckkk!”? Si nenek decakkan mulut. “Pertunjukkan hebat! Tapi aku tidak
tertarik. Hik. . . hik. . . hik!”
“Tua
bangka penipu!” teriak lelaki bercadar. “Lekas berikan dua buah dadu itu
padaku!
Dan aku
akan mengampuni selembar nyawa anjingmu!”
Si nenek
ganda tertawa mendengar ucapan orang.
“Aku
tidak akan menipumu kalau kau tidak menipuku lebih dulu! Kau inginkan dua buah dadu?
Silahkan ambil!”
Si nenek
ulurkan tangan kiri yang tinggal kulit pembalut tulang lalu usap dua buah batu
yang melesak di papan meja. Ketika tangan diangkat dua buah batu hitam telah
berubah menjadi dua buah dadu putih bermata merah.
“Nah,
nah. . . Kenapa pada melongo?!” Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa mengekeh
melihat Raden Kumalasakti dan dua anak buahnya tegak ternganga menyaksikan apa
yang terjadi. Tiba-tiba lelaki bercadar ini jentikan ibu jari dan jari tengah
tangan kirinya.
“Klik!”
Dua
lelaki berpakaian hitam di samping meja langsung gerakkan tangan.
“Srett!
Srett!”
Dua golok
berkilat keluar dari sarungnya, terus dibacokkan ke arah nenek rambut kelabu
yang duduk di belakang meja.
“Dua
monyet hitam! Kenapa kalian jadi kalap?! Terima bagianmu!”
Sosok
nenek rambut kelabu lenyap. Ketika papan meja hancur dilanda bacokan dua golok,
dari bawah kolong meja melesat dua tangan. Dua lelaki berpakaian serba hitam
menjerit keras. Golok terlepas, tubuh mencelat mental, jatuh malang melintang
di atas kursi kayu. Setelah menggelepar-gelepar keduanya terkapar tak berkutik
lagi. Tubuh bagian bawah perut hancur. Darah menggenangi lantai kedai!
Lelaki
bercadar berteriak marah. Sambil tangannya menghunus golok, kaki kanan
menendang hingga meja kayu yang sudah hancur kini mental berkeping-keping.
Namun si nenek rambut kelabu tak kelihatan!
“Jahanam!
Mau lari kemana?!” teriak orang bercadar dan bergerak ke arah pintu.
“Aku
masih di sini. Apa matamu sudah buta?! Hik. . . hik. . . hik!”
“Setan
alas!”
Orang
bercadar babatkan golok besar di tangan kanan ke arah datangnya suara. Namun
serangan ini tertahan begitu satu tangan mencekal pergelangan yang memegang
golok. Orang bercadar menjerit kesakitan ketika tangannya dipuntir lalu
badannya didorong ke tiang kedai hingga tiang itu patah dan membuat atap nyaris
roboh.
“Hik. . .
hik! Beraninya kau menipuku! Kau bukan Raden Kumalasakti!” “Brett!”
Nenek
rambut kelabu betot cadar hitam yang menutupi wajah orang. Ketika cadar
tersingkap kelihatan satu wajah hitam berhidung lebar pesek dan bopeng! Hidung
lebar pesek itu tampak bengkok patah dan mengucurkan darah.
“Pengemis
Muka Bopeng dari Karangkoneng!” si nenek berseru. Lalu decakkan lidah. “Ilmu
kepandaian baru sedengkul, beraninya kau mempermainkan diriku!”
“Nenek
setan! Biar hari ini aku mengadu jiwa denganmu!” Habis berkata begitu lelaki
muka bopeng layangkan satu jotosan keras dengan tangan kiri. Yang di arah
adalah bagian dada si nenek. Kalaupun tidak bisa menghabisi lawan paling tidak
dia hams dapat menghancurkan dua buah dadu yang diketahuinya disimpan si nenek
di batik dada pakaian.
Untuk
kalangan rimba persilatan di perbatasan Jawa sebelah barat dan Jawa sebelah
tengah nama Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng memang cukup ditakuti. Konon
dia memiliki anggota hampir dua ratus orang yang berkeliaran mengemis sambil
berbuat kejahatan dan terkadang melakukan hal-hal tak senonoh terhadap kaum
perempuan. Walau sudah punya nama besar namun untuk menghadapi Eyang Sepuh
Kembar Tilu pengemis bopeng ini belum bisa menandingi.
Sebelum
jotosannya mampu menyentuh dada lawan tiba-tiba si nenek tangkap tangan kiri
lelaki itu lalu kreek. . . kreek. . . kreek. Jari-jari tangan Pengemis Muka
Bopeng hancur berpatahan. Pengemis Muka Bopeng menjerit setinggi langit.
“Tanganmu
akan aku hancurkan sampai ke bahu. . . “ ucap si nenek. “Kecuali kau memberi
tahu siapa yang menyuruhmu memainkan sandiwara tolol ini!” “Kreek. . . kreekkk”
Tangan si
nenek naik ke atas, kini mulai menghancurkan telapak tangan Pengemis Bopeng.
Untuk kesekian kalinya lelaki ini menjerit kesakitan. Tibatiba Pengemis Muka
Bopeng tarik kepalanya ke belakang lalu dengan nekat kepala ini dibenturkan ke
kepala si nenek. Dua kepala beradu keras. “Praakk!”
Si nenek
terhuyung ke belakang, keluarkan tawa mengikik. Pengemis Muka Bopeng begitu
kepalanya beradu langsung terbanting ke belakang lalu roboh ke lantai. Kening
rengkah mengerikan. Darah membasahi muka yang bopeng, mata mendelik. Tubuh
menggeliat satu kali lalu diam tak berkutik lagi.
Eyang
Sepuh Kembar Tilu usap-usap keningnya lalu perhatikan mayat Pengemis Muka
Bopeng seketika. Sambil gelengkan kepala nenek berambut kelabu ini berkata.
“Aneh, dia lebih suka bunuh diri dari pada membuka rahasia. Agaknya ada
seseorang yang ditakutinya dibalik semua perbuatannya. “ Si nenek memandang
berkeliling. Ternyata di dalam kedai yang porak poranda itu hanya tinggal dia
sendirian. Semua tamu dan juga suami istri pemilik kedai tak kelihatan lagi. Si
nenek melangkah ke arah dapur. Dalam sebuah ceret besar dari tanah dia menemukan
minuman air jahe yang masih panas karena belum lama diseduh. Enak saja si nenek
kucurkan minuman itu ke dalam mulut dan meneguknya dengan lahap. Sebelum pergi
dia letakkan sekeping kecil perak di atas meja dapur. Walau ganas tapi rupanya
dia masih punya hati nurani untuk mengganti kerusakan di kedai itu.
Di sebuah
ruangan di dalam kapal kayu besar yang mengapung di perairan Tanjung Losari.
Malam tambah larut, tambah gelap dan tiupan angin laut menjelang pagi terasa
semakin dingin.
Di pintu
ruangan terdengar langkah kaki lalu suara pintu diketuk.
Tiga buah
lilin besar yang ada dalam ruangan serta merta padam oleh lambaian tangan
seorang perempuan bercadar yang duduk di kursi, dekat sebuah jendela.
“Masuk!”
perempuan di atas kursi keluarkan ucapan.
Pintu ruangan
membuka berderik. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri di ambang pintu.
Dia tidak segera masuk, tapi tegak dulu berdiam diri untuk menyesuaikan
pandangan matanya dalam kegelapan. Sesaat kemudian baru dia masuk ke dalam
ruangan, itupun tidak jauh.
Hanya dua
langkah dari ambang pintu orang ini berhenti. Setelah terlebih dulu membungkuk
baru dia membuka mulut.
“Kiang
Loan Nio Nikouw, saya Tek It Hui, nakhoda kapal Naga Hitam. Datang menghadap
memberi laporan. “ Tek it Hui tidak meneruskan ucapannya, menunggu tanggapan
orang yang duduk di atas kursi.
“Sampaikan
laporanmu, nakhoda. “
“Semua
orang yang turun ke darat, satupun belum ada yang kembali Saat ini hampir pagi.
Saya menunggu, putusan yang akan Kiang Loan Nio Nikouw ambil. Apakah terus
menunggu atau kita segera berangkat saja. “ (Nikouw = panggilan terhadap Paderi
perempuan)
Perempuan
bercadar di atas kursi memandang keluar jendela. Setelah memperhatikan keadaan
di luar sana dia berkata. “Kita sudah memberi waktu lebih dari cukup.
Seharusnya salah satu dari mereka sudah kembali paling lambat sekitar tengah
malam. Sekarang menjelang pagi. Aku punya firasat mereka semua gagal
menjalankan tugas. “
“Berarti
kita tak perlu menunggu, berangkat sekarang juga. Atau Kiang Loan Nio Nikouw
berubah pikiran. Ingin turun sendiri ke darat?”
Kiang
Loan Nio Nikouw alihkan kepala dari jendela kapal. Lalu menghela nafas dalam.
“Aku pernah mendengar ketinggian ilmu kepandaian serta kehebatan ilmu kesaktian
orang-orang di tanah Jawa. Tapi apa mereka begitu perkasanya hingga tokoh kang
ouw sehebat Bun Pek Guan, Tong Siauw Chie dan Hek Chiu Mo menemui kegagalan?
Mungkin sekali mereka saat ini sudah menemui ajal semua. . . . “ Paderi
perempuan itu berpaling pada nakhoda kapal yang tegak dalam kegelapan.
(kangouw= rimba persilatan Tiongkok)
“Aku
ingin sekali menjajaki tanah Jawa. Tapi tidak sekarang. Kita akan datang lagi
dalam waktu cepat. Pasti. Nakhoda It Hui, kau ingat nama pendekar tanah Jawa
yang pernah diberi tahu oleh Wakil Ketua Siauw Lim pay. sebelum kita berangkat?”
Nakhoda
kapal Naga Hitam berpikir sejenak. “Kalau saya tidak salah mengingat namanya
Wie Lo Sab Leng. . . “
“Nama
aneh. Terdiri dari empat kata. Apakah Wie itu she nya atau apa?”
Nakhoda
It Hui tertawa. “Setahu saya orang Jawa tidak pakai she. “
“Kau
yakin nama depannya Wie, bukan Lie?”
“Saya
yakin sekali Loan Nio Nikouw. “
Paderi
perempuan yang wajahnya tertutup cadar mengangguk.
“Nakhoda,
ada baiknya kita segera berangkat sekarang saja, ingat, jangan meniupkan
peluit. Sampai kapal merapat di Tionggoan aku harap tidak seorangpun
menggangguku. “
“Saya
mengerti Loan Nio Nikouw. “
Nakhoda
Tek It Hui membungkuk dalam-dalam. Lalu melangkah ke pintu. Begitu lelaki itu
lenyap di balik pintu dan pintu kembali ditutup, perempuan yang dipanggil
sebagai paderi segera berdiri dari kursi. Dari dalam sebuah lemari kecil dia
mengeluarkan dua buah benda. Pertama sebuah tas kecil, satunya sebuah papan
seluncur. Dengan cepat dia mengeluarkan seperangkat pakaian ringkas warna merah
lalu berganti pakaian. Selesai bersalin tas kecil digantungkan di punggung.
Masih mengenakan cadar yang menutupi kepala dan wajah dia membuka jendela lalu
menyelinap ke luar. Untuk beberapa lama Loan Nio Nikouw bergelantungan di
sanding jendela. Lalu papan seluncur dilempar ke bawah. Begitu papan mengapung
di permukaan air laut, paderi perempuan ini lepaskan pegangannya pada sanding
jendela. Tubuhnya melayang dalam gelap. Beberapa saat kemudian kaki kanannya
telah mendarat di atas papan seluncur. Begitu kaki kiri dimasukkan ke dalam air
dan dikibas ke belakang, papan seluncur melesat di permukaan air laut.
*********************
Ditemukannya
tiga mayat fang Cina di pantai, satu diantaranya tanpa kepala menimbulkan
kehebohan besar di Losari dan daerah sekitarnya. Kehebohan itu jadi bertambah
hebat setelah penduduk mengetahui pula adanya tiga mayat tak dikenal di pantai
Losari serta tiga mayat di kedai minuman Akang Punten. Tiga mayat itu ternyata
adalah Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng bersama dua anak buahnya.
Sementara itu menjelang siang di tepi pantai terlihat mengapung sesosok mayat
yang kemudian diketahui adalah Supri, seorang nelayan. Kehebohan tidak sampai
di situ. Penjaga pekuburan di Karangsembung memberitahu terjadinya pembongkaran
atas makam Nyi Inten Kameswari.
Setelah
mendapat cukup; banyak keterangan dari anak buahnya Kepala Pasukan Kadipaten
Losari Rayi Jantra menghadap Adipati Raden Seda Wiralaga untuk memberi laporan.
Rayi Jantra seorang1 lelaki bertubuh tinggi tegap, memelihara kumis dan
jenggot. tipis. Sebenarnya Losari hanyalah sebuah kota pantai yang kecil tidak
pantas kalau di sana ada seorang Adipati. Namun karena letaknya yang sangat
strategis di kawasan perbatasan maka Kerajaan di timur sengaja menempatkan
seorang Adipati di sana. Maksudnya tiada lain adalah untuk mengawasi Kerajaan
di barat. Sebenarnya Losari masih merupakan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan
di barat. Namun karena Kerajaan di barat begitu lemah maka wilayah tersebut
tidak sempat terjangkau dan diperhatikan sebagaimana mestinya. Akibatnya
penduduk di sana merasa lebih dekat pada orang-orang di timur. Hal ini tidak
disia-siakan oleh Kerajaan di timur. Maka mereka menempatkan seorang Adipati di
Losari. Dibawah Adipati Seda Wiralaga Losari maju pesat. Baik di bidang
pertanian, nelayan maupun perdagangan. Banyak kapal-kapal asing yang berlabuh
di tanjung untuk menurunkan barang dagangan sekaligus mengangkut hasil bumi
penduduk termasuk beberapa hasil pertambangan.
“Kematian
Pengemis Muka Bopeng dan dua anak buahnya, apakah sudah diketahui siapa
pembunuhnya?” tanya Adipati Seda Wiralaga.
“Menurut
pemilik warung pembunuh adalah seorang nenek berambut kelabu, sepasang mata
merah dan berjubah kuning. Akang Punten mengaku baru satu kali itu melihat
orang tersebut. “ Menerangkan Kepala Pasukan.
“Dari
ciri-ciri itu bisa diduga si pembunuh adalah orang rimba persilatan. . . “ kata
Adipati Losari sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. “Tujuh
orang menemui ajal di hari yang sama. Menurutku semua kejadian ini ada sangkut
pautnya dengan kapal Cina yang muncul di perairan Tanjung Losari. Bagaimana
pendapatmu Rayi Jantra?”
“Semua
orang menduga demikian, Adipati,” jawab Kepala Pasukan.
“Lain
kali, jika ada lagi kapal asing muncul di Tanjung Losari, langsung memberi tahu
padaku. Jangan baru melapor setelah ada kejadian seperti ini. “
“Mohon
maaf atas kelalaian saya ini Adipati. “
“Untuk
mencegah terulangnya kejadian serupa, tambah jumlah pasukan di semenanjung. “
“Akan
segera saya lakukan Adipati. “
“Mengenai
kejadian aneh di pekuburan Karangsembung, apa saja yang kau ketahui?” tanya
Adipati Seda Wiralaga.
“Penjaga
pekuburan menemukan tanda-tanda makam Nyi Inten Kameswari dibongkar orang lalu
ditimbun kembali.
Perempuan
ini meninggal dan dikubur kemarin sore. Kejadian ini diberi tahu pada Anom
Miharja, suami Nyi Inten. Pagi itu Anom Miharja mendatangi pekuburan
Karangsembung. Makam Nyi Inten dibongkar. Jenazah ditemukan masih dibungkus
kain kafan. Namun perutnya robek besar. Padahal menurut suami Nyi Inten dan
disaksikan banyak orang, sewaktu dikubur jenazah dan kain kafan istrinya dalam
keadaan utuh!”
“Jika
perut jenazah dirobek berarti seseorang mengambil sesuatu dari dalam perut itu.
. . “ ucap Adipati Seda Wiralaga sambil usap tengkuknya yang mendadak terasa
dingin.
“Mengambil
apa, Adipati?” tanya Rayi Jantra pula.
“Mungkin
mengambil jantung, hati atau isi perutnya yang lain. . . . “
“Tapi
untuk apa orang tega-teganya melakukan hal itu, Adipati?”
Adipati
Losari terdiam sesaat. Lalu berkata memuji. “Itu pertanyaan bagus. Kau tahu
Rayi, sekarang ini jaman edan. Banyak orang edan menuntut ilmu edan yang punya
syarat-syarat edan!” Sang Adipati terdiam lagi seketika, baru kemudian
menyambung ucapannya. “Kau tahu rumah kediaman Anom Miharja. Temui dia. Suruh
datang menghadapku. Kita perlu keterangan. Mungkin dia tahu apa yang sebenarnya
terjadi dengan jenazah istrinya. Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada
makam dibongkar, jenazah dijarah isi perutnya!”
“Saya minta
izin berangkat sekarang juga, Adipati. “ Kepala pasukan membungkuk memberi
hormat lalu undur diri dari hadapan sang Adipati.
Rumah
kediaman Raden Anom Miharja terletak di desa Babakan, pinggiran selatan Losari,
berupa sebuah gedung mewah besar dengan halaman luas. Ketika Kepala Pasukan
Rayi Jantra sampai di gedung itu bersama dua orang anak buahnya, kelihatan
banyak orang berkerumun di pintu gerbang.
“Ada apa
ramai-ramai di sini?” tanya Rayi Jantra.
“Raden
Anom Miharja mati gantung diri di kandang kuda,” jawab seseorang.
Mendengar
keterangan orang Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini bersama dua perajurit
segera masuk ke dalam terus menuju halaman belakang dimana terdapat sebuah
kandang kuda besar. Di tempat ini lebih banyak lagi orang yang berkerumun.
Melihat siapa yang datang orang banyak segera memberi jalan.
Kandang
kuda di belakang gedung mewah itu besar sekali. Terbuat dari kayu dan
bangunannya tampak kukuh. Bisa memuat enam kuda sekaligus. Saat itu tidak
seekor kuda pun tampak di dalam kandang. Di bagian tengah kandang ada satu
balok besar melintang. Pada balok ini terikat seutas tali besar. Ujung lain
dari tali menjirat di leher seorang lelaki bertubuh gempal yang hanya
mengenakan celana putih tanpa baju. Sepasang mata mencelet seperti hendak
melompat keluar dari rongganya, lidah terjulur. Keseluruhan wajah yang
mengerikan itu membayangkan satu perasaan takut. Tubuh yang tergantung itu
adalah Anom Miharja, suami Nyi Inten Kameswari.
Kepala
Pasukan Rayi Jantra memperhatikan. Pada dada kiri Anom Miharja ada satu lebam
berwarna merah kebiruan. Di bawah dua kaki Anom Miharja yang tergantung
setinggi orang duduk tidak terdapat apa-apa, misal kursi atau meja.
Tiga
orang pelayan, satu lelaki dua perempuan, duduk menjelepok di tanah, menangis
terisak-isak. Rayi Jantra meminjam golok salah seorang anak buahnya lalu
menebas putus tali yang menjirat leher Anom Miharja.
Ketika
meninggalkan gedung besar, kembali ke tempat mereka menambatkan kuda itu, Rayi
Jantra berkata pada dua anak buahnya. “Aku tidak yakin Anom Miharja mati karena
bunuh diri. Di dalam kandang tidak kelihatan alat bantu tumpuan kaki yang biasa
dipergunakan orang gantung diri. Jika bangsawan kaya raya itu memanjat dulu ke
atas atap, mengikat tali ke balok, menjirat leher lalu terjun ke bawah rasanya
tak masuk akal. Kalaupun memang itu dilakukannya, lehernya akan tanggal, kepala
putus karena balok di atas atap kandang kuda tinggi sekali dudukannya dan bobot
tubuh Anom Miharja lebih seratus lima puluh kati beratnya. Yang membuat aku
curiga ada tanda merah di dada kirinya. Tepat di arah jantung! Aku punya
dugaan, Anom Miharja dibunuh lebih dulu baru digantung. Apa pendapat kalian?”
“Kami
berdua perajurit bodoh, tapi jalan pikiran kami kira-kira sama dengan Raden,”
jawab perajurit di sebelah kiri.
Perajurit
sebelah kanan menimpali. “Saya tidak melihat alasan apa sampai Raden Anom
Miharja nekat bunuh diri. Harta kekayaan melimpah, istri cantik”
“Kalian
pernah mendengar cerita kalau Anom Miharja tidak pernah kawin secara syah
dengan Nyi Inten Kameswari?” tanya Rayi Jantra.
“Ya, kami
pernah mendengar itu,” jawab salah seorang dari dua perajurit sambil melepas
ikatan tali kekang kuda tunggangan Kepala Pasukan yang ditambat pada sebatang
pohon.
“Lalu apa
kalian juga pernah mendengar pergunjingan orang, dari mana Anom Miharja mendapatkan
semua harta kekayaannya? Dia bukan juragan nelayan, atau pedagang besar. . . .
“
“Setahu
saya dia punya sawah puluhan bidang. “ “Itu benar. Tapi ada banyak petani di
Losari ini yang punya banyak sawah. Sampai saat ini mereka hidup secukupnya
kalau tidak mau dikatakan masih saja tetap miskin. “ Kata Kepala Pasukan pula
lalu naik ke punggung kudanya. Dia tidak segera menjalankan tunggangannya itu
malah. bertanya pada dua anak buahnya. “Lalu dari mana sumber semua kekayaan
melimpah ruah Anom Miharja?”
“Kami
tidak berani menduga, Raden,” jawab dua perajurit hampir berbarengan.
“Kalian
punya cerita apa tentang Nyi Inten Kameswari?” “Banyak cerita yang saya dengar,
tapi saya tidak berani menyampaikan,” jawab perajurit bertubuh tinggi langsing
bernama Jumena.
“Kalau
kau bicara tak ada yang mendengar. Ayo, ceritalah sambil jalan. Aku atasan
kalian. Ceritamu tidak akan aku sampaikan pada siapa-siapa jika itu yang kalian
khawatirkan. “ Kepala Pasukan Losari lalu menarik tali kekang kuda. Binatang
itu tidak lari, hanya melangkah perlahan didampingi dua kuda perajurit di
sebelah kiri kanan. Perajurit Jumena akhirnya bercerita. “Banyak orang tahu
kalau Nyi Inten Kameswari sudah berusia lanjut. Lebih dari lima puluhan. Ada
dugaan malah dia lebih tua dari Raden Anom. Tapi raut wajah dan keadaan
tubuhnya tetap awet muda, bagus dan mulus. Konon dia banyak mengenal dan
berhubungan dengan para pejabat Kerajaan di barat maupun di timur. Diantara
para pejabat tinggi itu banyak yang tergila-gila padanya. Raden Anom kabarnya sudah
tahu kalau istrinya kerap berselingkuh dengan beberapa pejabat terutama yang
dari timur. Namun dia seperti acuh tidak perduli. Konon dari hubungan tidak
baik itu Nyi In ten banyak menerima hadiah. “
Rayi
Jantra tersenyum mendengar cerita anak buahnya itu. Dia ulurkan tangan kiri
menepuk-nepuk bahu Jumena. “Kau perajurit baik. Banyak pengetahuan. Aku akan
mengusulkan pada Adipati agar pangkatmu dinaikkan satu tingkat. “
“Terima
kasih, Raden. Terima kasih. . . . “ Jumena bungkukkan dada berulang kali. Ketiga
orang itu kemudian sama menggebrak kuda masing-masing meninggalkan tempat itu.
*********************
LIMA
Penghujung
malam menjelang pagi. Pendekar 212 Wiro Sableng yang tertidur lelap di sebuah
dangau dikejutkan oleh suara ribut ha-hu ha-hu. Murid nenek sakti Sinto Gendeng
dari Gunung Gede ini terbangun kaget. Baru saja dia hendak mengusap mata
tibatiba. “Braakk!”
Satu
tubuh berjubah kuning jatuh tergeletak menelentang di atas lantai dangau
terbuat dari bambu. Wiro memperhatikan dengan penuh kejut dan juga kuduk merinding.
Si jubah kuning ternyata adalah sosok Seorang nenek berambut kelabu bermata
merah. Sepasang telinga ditancapi anting terbuat dari tulang jari manusia. Dua
mata merah itu tampak mendelik mengerikan seperti mau melompat dari sarangnya.
Pada kening nenek tak dikenal Wiro ini menempel sehelai daun. Ada darah meleleh
dari sudut bibir. Dadanya turun naik dan dari mulut serta hidung keluar suara
menyengal tak berkeputusan.
“ha-hu
ha-hu ha-hu!”
Wiro
berpaling ke samping. Astaga! Kaget Pendekar 212 bukan alang kepalang. Di
pinggir dangau berdiri dua nenek yang ujudnya sama dengan yang tergeletak di
atas lantai dangau. Dari mulut keduanya tiada henti keluar suara ha-hu ha-hu.
Sementara sepasang mata dua nenek ini kelihatan basah berkaca-kaca. Tiga nenek
dengan pakaian dan wajah yang sama! Manusia sungguhan atau setan kembar tiga,
pikir Wiro.
“Siapa
kalian?!” tanya Pendekar 212. “ha-hu ha-hu ha-hu!”
Dua nenek
kembar kembali keluarkan suara ha-hu ha-hu. Kali ini sembari tangan
menunjuk-nunjuk ke arah nenek yang tergeletak di lantai dangau.
“ha-hu
ha-hu!” Wiro menirukan sambil garuk kepala. “Kalian ini bicara apa? Mau memberi
tahu apa? Kalian berdua gagu?!”
“ha-hu
ha-hu. . . “ Dua nenek usap air mata yang berlelehan di pipi mereka lalu
seperti tadi kembali menunjuk dengan tangan kanan ke arah nenek di atas dangau
sementara tangan kiri menepuk kening masing-masing. Mula-mula Wiro masih tidak
mengerti apa yang hendak disampaikan oleh dua nenek gagu ini. Setelah berpikir
lagi dan menggaruk kepala Wiro menyeringai. Dia memperhatikkan dua nenek
menepuk kening sambil menunjuk-nunjuk. Lalu memandang pada nenek satunya yang
tergeletak di atas dangau.
“Ah, yang
kalian maksudkan daun di kening nenek itu?” “ha-hu ha-hu!” Dua nenek anggukkan
kepala berulang kali.
Wiro
membungkuk. “Aneh, ada orang sekarat keningnya ditempeli daun. “ Wiro ambil
daun yang menempel di kening si nenek. Dua nenek di samping dangau buru-buru
menjauh, wajah membersitkan ketakutan. Wiro memperhatikan.
“Daun
pohon mengkudu. Aneh, mengapa kalian seperti ketakutan melihat daun ini?” tanya
Wiro lalu pura-pura hendak menyapukan daun ke tubuh dua nenek.
“ha-hu
ha-hu!” Dua nenek menjerit dan mundur menjauh. “Heran, cuma sehelai daun,
mengapa pada ketakutan seperti melihat setan kepala tujuh?!”
Pada saat
daun mengkudu yang menempel di keningnya diambil Wiro, nenek yang tergeletak di
lantai dangau keluarkan suara seperti orang mengorok. Dua mata bergerak liar.
Mulut yang. penuh darah terbuka. Suaranya serak. “
Aku
dikhianati! Aku dikhianati. . . “
“Nek,
siapa yang mengkhianatimu? Kekasihmu?!” tanya Wiro.
“Jangan
bergurau! Aku dalam keadaan sekarat!”
Wiro
berpaling pada dua nenek berpakaian dan berwajah sama.
“Dua
nenek gagu itu apamu?”
“Aku
dikhianati. . . . Dua buah dadu. . . . Aku dikhianati. “
Wiro
menggaruk kepala.
“Nek, kau
dikhianati dua buah dadu? Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin. . . ?”
“Aku
mendengar suara, tidak melihat orangnya. Mendekatlah. Jika kau penolongku, maka
seribu berkah akan menjadi bagianmu. . . “
Wiro
geleng-geleng kepala. Tapi dia dekatkan juga kepalanya ke depan wajah si nenek.
Dua mata merah berputar sebelum menatap ke arah Pendekar 212. Saat itu di timur
fajar telah menyingsing. Keadaan di dalam dangau dan sekitarnya terang-terang
tanah. Si nenek memperhatikan wajah Wiro.
“Haa “ Si
nenek tank nafas panjang. “Aku dikhianati. . . “
“Siapa
yang mengkhianatimu, Nek?”
“Aku
tidak tahu. Daun mengkudu. . . . Orang itu tahu kelemahanku. Dengar anak muda.
Dari wajahmu aku tahu kau orang baik dan punya kepandaian. Tolong aku mencari
pembunuh itu dan dapatkan kembali dua buah dadu yang dirampasnya dariku. . . “
Wiro
tertegun dan jauhkan kepalanya dari wajah si nenek.
“Nek, kau
ini siapa sebenarnya? Dua nenek yang ha-hu ha-hu itu apamu?” bertanya Wiro.
“Aku
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dua nenek itu adalah kembaranku. Daun mengkudu yang
kau pegang, lekas musnahkan, kubur dalam tanah. Jangan sampai tersentuh dua
nenek kembaranku itu. “
Wiro
perhatikan daun mengkudu yang dipegangnya. Lalu memenuhi permintaan si nenek
dia bantingkan daun itu hingga amblas masuk ke dalam tanah di samping dangau.
“Kau
orang hebat. . . . Terima kasih kau telah menolongku,” si nenek rambut kelabu
berucap. “Jalanku lapang sekarang. Dua kembaranku aku titipkan padamu. Mereka
akan muncul jika kau panggil. Mereka akan terbebas dari penyakit gagu jika
pembunuhku menemui ajal. Ingat, cari pembunuhku dan dapatkan dua buah dadu.
Selain itu jika kau punya kesempatan, carilah seorang gadis bernama Nyai Rara
Santang. “
“Nyai
Rara Santang? Siapa dia?” tanya Wiro.
“Sudahlah,
aku pergi sekarang. Ingat, aku menitipkan dua kembaranku padamu. . . “
“Jangan
Nek. Mengurus diri sendiri saja aku sudah susah. Apa lagi mengurus dua nenek
kembaranmu itu. . . . “
“ha-hu
ha-hu,” dua nenek kembar maju dua langkah dan jatuhkan diri di hadapan Pendekar
212. Wajah mereka menunjukkan minta welas asih.
“Wah,
urusan berabe ini!” ucap Wiro sambil garuk kepala.
Nenek di
atas dangau menyeringai. Dari tenggorokannya keluar suara mengorok. “Aku pergi
sekarang. . . “ ucapnya perlahan. Lalu mulutnya terkancing, dua matanya
perlahan-lahan menutup.
Dua nenek
kembar menggerung keras.
“ha-hu
ha-hu ha-hu”
Diam-diam
Wiro merasa kasihan juga pada dua nenek kembar gagu itu. Seperti diketahui
sebelumnya dua nenek kembar jejadian itu bisa bicara dan tidak gagu. Namun
akibat malapetaka yang menimpa kakak kembar mereka yaitu Eyang Sepuh Kembar
Tilu, maka keduanya secara aneh mendadak menjadi gagu.
“Dua
nenek kembar, sebentar lagi hari akan siang. Bawa jenazah kembaranmu ini.
Kuburkan di tempat yang baik. “
“ha-hu
ha-hu ha-hu” Dua nenek kembar menggangguk-angguk lalu kembali jatuhkan diri.
Salah seorang dari mereka tibatiba bangkit. Dia menunjuk-nunjuk dengan tangan
kirinya ke arah jenazah nenek di atas dangau. Lalu dengan tangan yang sama dia
menunjuk-nunjuk ke tangan kanannya sendiri. Hal ini dilakukannya berulang kali
sampai akhirnya Wiro mengerti dan memperhatikan tangan kanan Eyang Sepuh Kembar
Tilu.
Ternyata
lima jari tangan kanan si nenek dalam keadaan tergenggam. Sepertinya ada
sesuatu dalam pegangan si nenek. Wiro buka lima jari yang tergenggam. Dia
menemukan sebuah benda bulat pipih berwarna hitam, terbuat dari sejenis kayu
hitam berbau harum.
“Kancing
baju. . . . “ucap Wiro. Benda itu kemudian disodorkannya pada nenek sebelah
kanan. Si nenek gelengkan kepala, goyang-goyangkan tangan kiri sementara tangan
kanan menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
“Nek, kau
menyuruh aku menyimpan kancing kayu ini. Buat apa?”
“ha-hu
ha-hu ha-hu. . . “ Dua nenek bungkukkan diri berulang kali di hadapan Wiro.
Sepasang mata mereka tampak basah. Keduanya terisak-isak.
“Sudah. .
. sudah. Baik, akan kusimpan kancing sialan ini!” kata Wiro pula lalu
memasukkannya ke dalam kantong di kiri celana putihnya. “Sekarang lekas kalian
bawa jenazah nenek kembaran kalian ini. Aku minta jangan sekali-kali mengikuti
kemana aku pergi!”
“ha-hu
ha-hu ha-hu!” Dua nenek usap wajah masing-masing. Saat itu juga keduanya
berubah menjadi sepasang perempuan muda berwajah cantik.
Wiro
terperangah melihat apa yang terjadi namun kemudian dia tertawa bergelak,
“Kalian berdua, dengar baik-baik. Aku tidak mau diikuti bukan karena kalian dua
nenek jelek. Sekalipun kalian bisa berubah jadi dua gadis cantik, aku tetap
tidak mau diganggu. Tidak mau kalian ikuti!”
“ha-hu
ha-hu ha-hu”
“Sekarang
aku minta kalian pergi. “
“ha-hu
ha-hu ha-hu!” Dua nenek kembali membungkuk-bungkuk lalu turunkan jenazah Eyang
Sepuh Kembar Tilu dari atas dangau. Salah seorang dari mereka memanggul jenazah
kemudian bersama kembarannya dia tinggalkan tempat itu.
Wiro
duduk di pinggiran lantai dangau.
“Makhluk-makhluk
aneh. . . . “ katanya sambil geleng-geleng kepala. “Nenek rambut kelabu
menyuruh aku mencari pembunuhnya serta dua buah dadu yang dirampas. Enak saja!
Apa urusan dan sangkut pautku? Aku disuruh pula mencari seorang bernama Nyai
Rara Santang. Siapa dia itu? Cucu nenek bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu itu?”
*********************
Tak jauh
di selatan Losari terdapat sebuah bukit batu yang oleh penduduk sekitarnya
disebut Bukit Batu Bersuling. Nama ini diberikan karena pada bagian puncak
bukit ada dua buah dinding batu berbentuk lurus pipih yang saling terpisah
hanya sejarak satu jari. Bila angin dari laut bertiup, celah batu yang sempit
itu mengeluarkan suara seperti tiupan seruling. Suara ini oleh penduduk
terdengar dan dirasakan aneh hingga lama kelamaan Bukit Batu Bersuling dianggap
angker dan hampir tak ada orang yang mendatangi.
Malam
itu, dibawah hujan rintik-rintik seorang penunggang kuda memacu tunggangannya
menuju Bukit Batu Bersuling. Di kaki bukit sebelah timur terdapat sebuah
bangunan luas beratap rumbia tanpa dinding. Keadaan gelap dan sepi. Baru saja
orang yang datang menginjakkan kaki di tanah, dari tiga arah kegelapan melompat
keluar tiga orang bercelana hitam bertelanjang dada. Masing-masing mencekal
golok besar yang walaupun keadaan gelap namun saking tajamnya masih tampak
berkilauan. Tiga golok diangkat ke atas, siap untuk membacok dan membabat. Orang
bercelana hitam di sebelah tengah membentak. Rambutnya yang panjang dikuncir ke
belakang berwarna merah.
“Siapa?!”
“Apa
matamu buta tidak mengenali diriku?!” Orang yang dibentak balas menghardik.
Tiga pasang mata membesar memperhatikan. Orang yang datang mengenakan pakaian
ringkas warna biru gelap. Kepala dan wajah tertutup caping bambu. Tiga prang
bertelanjang dada tidak mengenali orang yang datang dari dandanannya namun
mereka rasa-rasa mengenal suara.
“Raden
Kumalasakti. . . ?”
“Hemmm. .
. “ Orang bercaping keluarkan suara bergumam dan buka caping diatas kepala.
Melihat
wajah orang, tiga lelaki bertelanjang dada segera sarungkan golok masing-masing
lalu membungkuk setengah berlutut. Yang tadi membentak cepat-cepat berkata.
“Saya
Kuncir Merah. Mewakili Ki Beringin Reksa, Wakil Kepala Pengawal di tempat ini.
Saya dan dua teman mohon maaf Raden Kumalasakti. Kami tidak mengenali. Tidak
biasanya Raden berdandan seperti ini. “
“Aku
tidak marah. Perbuatan kalian pertanda kalian selalu siap siaga. Waspada menjaga
segala kemungkinan. Belakangan ini keadaan di luaran agak gawat. Banyak
orang-orang pandai menemui ajal. Itu sebabnya aku perlu menyamar, waspada
berjaga-jaga. Bagaimana keadaan di sini?”
Kuncir
Merah dan dua kawannya luruskan badan kembali.
“Semua baik-baik
Raden. Hanya saja kami berada dalam keadaan sedikit gelisah. Sejak meninggalnya
Bandar Agung dua minggu lalu di tempat ini sama sekali tidak ada kegiatan.
Tidak ada yang datang. Dua minggu kami tidak menerima upah. Selain itu para
gadis yang biasa menghibur sudah sering mendesak akan meninggalkan tempat ini.
“
“Aku
mengerti kegelisahan kalian. Itu sebabnya aku datang membawa kabar baik. Kita
akan segera mendapatkan Bandar Agung yang baru. “
“Terima
kasih Raden. Kami sangat berbesar hati mendengar berita ini. Kalau kami boleh
tahu kapan Bandar Agung baru akan datang dan kapan tempat ini akan dibuka
kembali?”
“Lisa
malam, tepat pada saat bulan empat belas hari memancar. “ jawab orang bernama
Raden Kumalasakti. Lalu dia meneruskan ucapan. “Apa kalian sudah mendengar
kabar bahwa Pengemis Muka Bopeng Karangkoneng Kepala Pengawal di tempat ini
telah menemui ajal? Mati dibunuh orang di warung minuman Akang Punten satu
minggu lalu. “
Kuncir
Merah dan dua temannya tampak terkejut. Ketiganya gelengkan kepala.
“Kuncir
Merah, jika kau bekerja bagus aku akan mengusulkan pada Bandar Agung agar kau
mendapat jabatan yang lebih tinggi. “
Kuncir
Merah membungkuk sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.
“Raden
Kumalasakti, jika benar tempat ini akan dibuka kembali lusa malam, ijinkan kami
memberi tahu teman-teman yang lain serta para gadis penghibur. Kami akan
membersihkan semua ruangan. Mematut semua perabotan. Mempersiapkan dan
memeriksa peralatan termasuk semua senjata orang berpakaian dan berikat kepala
hitam telah mengurungnya.
“Manusia
kesasar dari mana berani mati menyusup ke tempat ini!”
Satu
bentakan menggeledek disertai berkelebatnya empat golok besar. Orang yang
diserang cepat melompat ke atas sebuah tembok batu.
Melihat
serangan mereka gagal, secara serentak empat orang berpakaian hitam yang juga
adalah para pengawal tempat tersebut kembali menyerbu. Empat golok berkesiuran
di udara.
“Traang.
. traang. . . traang. . . . traang!”
Empat
kali suara berkerontang memecah kesunyian. Empat tangan yang memegang golok
tergetar hebat. Empat penyerang sama-sama bersurut satu langkah.
“Lihat
pakaiannya!”
Tibatiba
salah seorang empat penyerang berseru. Tiga kawannya memperhatikan. Ternyata
orang yang mereka serang dan saat itu masih berdiri di atas tembok batu
memegang sebilah tombak pendek, mengenakan pakaian penuh tambalan.
“Katakan
apa hubunganmu dengan Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng!”
Orang di
atas tembok menyeringai. “Aku Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung. Pengemis
Muka Bopeng adalah pimpinanku. Kabar kematiannya membuat aku datang kesini
untuk melakukan penyelidikan!”
“Beraninya
kau menyelidik! Walau Pengemis Muka Bopeng salah seorang pimpinan di tempat
ini, tapi itu tidak berarti kau boleh menyusup berbuat lancang!”
Orang
berpakaian penuh tambalan dan mengaku Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung
mendengus. “Pembunuhan atas diri Pengemis Muka Bopeng ada sangkut pautnya
dengan tempat ini! Jangan kalian berani melarangku melakukan penyelidikan. Aku
akan menghabisi siapa saja yang coba menghalangi!”
“Anak
kucing berani datang ke sarang harimau!” Empat orang berpakaian hitam
menyergap. Empat golok kembali berkelebat. Lagi-lagi terdengar suara
berdentangan ketika Pengemis Siang Malam menangkis dengan tombak pendek. Merasa
terdesak di atas tembok, sang pengemis melompat turun sambil lancarkan serangan
ganas dalam jurus Raja Pengemis Minta Sedekah!
Hanya
terdengar dua kali suara beradunya senjata karena dua dari empat lelaki
berpakaian serba hitam yang tadi menyerang kini kelihatan terhuyung huyung.
Yang satu sambil pegangi lehernya yang terluka besar dan kucurkan darah akibat
sambaran ujung tombak. Tubuhnya kemudian roboh ke tanah. Satunya lagi
menggerung keras sebelum terbanting tertelentang dengan muka berlumuran darah.
Keningnya rengkah dihajar tombak Pengemis Siang Malam! Dua lelaki berpakaian
hitam lainnya serta merta jadi ciut nyali mereka dan tak berani lanjutkan
serangan. Malah keduanya melangkah mundur menjauhi lawan. Tibatiba pintu
rahasia di dinding terbuka.
“Ada apa
ribut-ribut di tempat ini?!”
Yang
membentak adalah Kuncir Merah yang muncul bersama delapan anak buahnya. Ketika
melihat dan mengenali Pengemis Siang Malam berdiri sambil melintangkan tombak
berdarah di depan dada langsung Kuncir Merah menghardik.
“Apa
kematian pimpinanmu membuat kau jadi orang tolol dan nekad membuat keributan di
tempat ini?!”
“Pembunuh
pimpinanku adalah orang dalam sini. Aku datang untuk menyelidik dan minta
nyawanya!”
“Pengemis
kurang ajar! Enak saja kau menuduh! Biar aku robek dulu mulutmu!” teriak Kuncir
Merah. Namun sebelum dia berkelebat menyerang semua anak buahnya sudah
mendahului. Sepuluh orang menggempur Pengemis Siang Malam Dari Cisanggarung.
Walau dia sanggup bertahan dan sesekali membalas serangan para pengeroyok,
namun sang pengemis menyadari tidak ada gunanya berlama-lama melayani
orang-orang itu karena dia punya dugaan, pembunuh pimpinannya tidak ada di
tempat itu.
Sementara
itu sepuluh penyerang walaupun berada di tingkat pengawal biasa namun rata-rata
memiliki kepandaian tinggi dan terus berusaha mengurung serta mendesak lawan.
Lima jurus dimuka Kuncir Merah yang melihat anak buahnya masih tidak mampu
menghajar lawan yang cuma seorang itu, dengan jengkel, didahului suara bentakan
keras melesat masuk dalam kalangan pertempuran. Gelombang serangan kini
bertambah hebat melanda Pengemis Siang Malam Tapi orang ini tidak punya niat
lagi menghadapi lawan yang begitu banyak. Setelah mengirimkan satu serangan
kilat yang merobek dada salah seorang lawannya, Pengemis Siang Malam segera
berkelebat tinggalkan tempat itu. “Pengemis keparat! Kau mau kabur kemana?!”
Kuncir Merah mengejar sambil lepas satu pukulan tangan kosong. Namun orang yang
dikejar dan diserang telah lenyap dalam kegelapan malam. Malah mendadak ada
serangan balasan berupa angin dahsyat yang membuat Kuncir Merah terhuyung dan
cepat menyingkir ke samping.
Kuncir
Merah geram sekali. Pimpinan di tempat itu pasti akan mendampratnya.
“Pengemis
Siang Malam jelas-jelas menjadi musuh besar kita. Kita harus mengirim orang
untuk mencari dan menghabisinya sebelum dia membuka rahasia apa yang
berlangsung di tempat ini! Kalau Ki Beringin Reksa atau Raden Kumalasakti
datang, aku akan melaporkan apa yang terjadi” Ucap Kuncir Merah dengan rahang
menggembung dan tangan kanan terkepal.
“Aku tahu
dimana sarang manusia keparat itu,” kata salah seorang anak buah Kuncir Merah.
“Bagus!
Bangsat itu harus mati sebelum tempat ini dibuka kembali!” kata Kuncir Merah
pula.
*********************
ENAM
Sang
surya hampir tenggelam di ufuk barat ketika sepuluh orang berpakaian hitam
berkelebat di tikungan kali Cisanggarung tak jauh dari sebuah desa kecil
bernama Luragung. Mereka mendekam di balik semak belukar di tebing kali sambil
mata menatap ke arah sebuah rumah panggung berbentuk panjang sepuluh tombak di
depan sana. Masing-masing membawa obor yang belum dinyalakan. Sepuluh orang ini
adalah para pengawal dari bangunan yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga yang terletak di Bukit Batu Bersuling.
Sementara
itu di dalam sebuah ruangan besar di atas rumah panggung, seorang lelaki
berambut tebal riap-riapan, berjanggut dan berkumis lebat, berpakaian dekil
penuh tambalan, duduk bersila di depan sebuah pendupaan yang baranya mulai
meredup padam. Di atas pendupaan tergeletak melintang sebuah senjata berupa
tombak pendek. Orang ini bukan lain adalah Pengemis Siang Malam, yang malam
lalu menyerbu ke Bukit Batu Bersuling untuk menuntut balas kematian pimpinannya
yaitu Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng.
Di
ruangan yang sama agak jauh dan merapat ke dinding, duduk delapan orang
perempuan muda beserta lima orang anak-anak berusia antara empat dan enam
tahun. Semua memperhatikan tanpa berani bergerak ataupun keluarkan suara atas
apa yang tengah dilakukan Pengemis Siang Malam. Tiga dari delapan perempuan
adalah istri sang pengemis sedang lima lainnya adalah istri-istri dari anak
buahnya yang tinggal bersama di rumah panggung panjang itu. Dua anak perempuan
yang ada di situ adalah anak Pengemis Siang Malam dan tiga orang lagi adalah
anak dari dua anak buahnya.
Pengemis
Siang Malam saat itu tengah bersamadi bagi kesejahteraan roh pimpinannya.
Selain itu dia punya firasat akan terjadi sesuatu sebagai akibat penyerbuannya
ke Bukit Batu Bersuling. Selesai bersamadi, masih dalam keadaan duduk bersila
Pengemis Siang Malam memanggil istrinya yang paling tua.
“Kau dan
yang lain-lainnya segera tinggalkan rumah ini lewat pintu dan tangga di sebelah
belakang. Pergi ke lembah di seberang telaga. Tunggu di sana. Jika aku tidak
datang pergilah ke Lebakwangi ke tempat guruku. “
Istri
tertua Pengemis Siang Malam anggukkan kepala lalu menemui perempuan-perempuan
yang ada di ruangan dan memberi tahu apa yang harus segera mereka lakukan.
Kembali
ke tikungan pinggir kali Cisanggarung.
Belum
lama sepuluh orang berpakaian serba hitam sembunyi dibalik semak belukar
tibatiba beberapa kali suitan nyaring merobek kesunyian senja. Lima orang
lelaki berambut gondrong, berkumis dan berjanggut liar serta mengenakan pakaian
penuh tambalan melesat keluar dari kolong rumah panggung. Masing-masing
mencekal sebilah golok. Mereka adalah anak buah Pengemis Siang Malam. Salah
seorang dari mereka, yang bertubuh gempal pendek dan berdiri paling depan
berteriak.
“Berani
datang berani unjukkan tampang! Bersembunyi adalah sikap orang yang datang
membawa niat jahat tapi berlaku pengecut! Apa kalian takut kami mau minta uang
receh sedekahan?!”.
“Pengemis-pengemis
kotor bau! Kalian tidak pantas menyambut kedatangan kami Pergi!” Dari arah kali
terdengar suara sahutan. Lalu set. . . set. . . set! Di udara berlesatan banyak
sekali senjata rahasia berbentuk pisau terbang!
Lima
orang berpakaian penuh tambalan berteriak kaget sekaligus marah. Yang bertubuh
gempal cepat melompat setinggi satu tombak sambil sapukan golok ke depan. Tiga
kawannya mengikuti. Terdengar suara bedentrangan berulang kali ketika sekian
banyak pisau terbang beradu dan mental dibabat golok empat anggota Pengemis
Siang Malam.
Pengemis
ke lima terlambat menangkis, tak sempat cari selamat. Sebuah pisau terbang
menancap telak di tenggorokannya. Orang ini keluarkan suara seperti ayam
dipotong. Ketika tubuhnya terbanting rebah ke tanah, darah masih mengucur dari
lehernya yang ditancapi pisau terbang!
Sepuluh
orang berpakaian serba hitam masih tetap tak bergerak di balik semak belukar.
Saat itu di halaman rumah panggung telah berdiri tiga orang lelaki. Yang
pertama berpakaian hitam, berambut panjang dikuncir. Dia bukan lain adalah si
Kuncir Merah, salah seorang pimpinan pengawal di Rumah Seribu Rejeki Seribu
Sorga. Orang kedua kurus tinggi, berjubah hijau gombrong memiliki rambut aneh.
Rambut ini menyerupai daun pohon beringin berwarna hijau berkilat. Dia adalah
Ki Beringin Reksa, Wakil Kepala Pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga.
Dialah tadi yang melemparkan belasan pisau terbang dari pinggir kali dan
menewaskan. Orang ke tiga adalah Raden Kumalasakti, salah satu orang penting
dari Rumah Seribu Rejeki Seribu Sorga. Sikapnya kelihatan agak sombong. Dia
berdiri dengan wajah menyeringai dan dua tangan dirangkap di atas dada.
Melihat
salah seorang teman mereka tewas, empat orang anggota Pengemis Siang Malam
berteriak marah dan langsung menyerbu ke arah tiga orang yang berdiri di depan
mereka. Begitu empat pengemis menyerang, Raden Kumalasakti berteriak. “Bakar!”
“Blepp!”
Sepuluh
obor yang berada di tangan sepuluh orang di balik semak belukar serentak
menyala. Kesepuluh orang ini kemudian melompat keluar dari tempat persembunyian
mereka lalu lari ke arah rumah panggung. Lima obor di lempar ke atas atap. Lima
lagi dipakai menyulut lantai rumah. Sebentar saja rumah yang terbuat dari kayu
itu telah dilamun api.
Di atas
rumah, Pengemis Siang Malam mengambil tombak pendek di atas pendupaan lalu
melompat. “Braakk!”
Sekali
tendang salah satu jendela rumah yang tertutup hancur berantakan. Tubuh sang
pengemis melesat Keluar jendela yang jebol. Pada saat dia injakkan kaki di
tanah, tibatiba di bagian belakang rumah panggung terdengar pekik perempuan dan
jeritan anak-anak. Pengemis Siang Malam tersentak kaget. Setelah api berkobar
ternyata anak istrinya serta perempuan-perempuan lain bersama anak-anak mereka
baru mencapai tangga!
Tanpa
pikir panjang Pengemis Siang Malam segera balikkan diri dan lari ke arah
tangga. Namun gerakannya tertahan. Seorang berjubah dan berambut aneh hijau
menghadang! Ki Beringin Reksa!
“Aku
senang sekali mendengar suara jeritan-jeritan itu! Sebentar lagi aku akan
mencium harumnya bau daging manusia terpanggang! Ha. . . ha. . . ha!” Ki
Beringin Reksa keluarkan ucapan lalu tertawa bergelak.
“Keparat
jahanam!” teriak Pengemis Siang Malam. Tak ada jalan lain. Untuk dapat menolong
perempuan dan anak-anak itu dia harus menyingkirkan orang di hadapannya lebih
dahulu.
“Wuttt!”
Tombak
pendek di tangan Pengemis Siang Malam menderu keluarkan hawa dingin, membabat
ke arah dada Ki Beringin Reksa. Orang yang diserang ganda tertawa. Dia kebutkan
lengan kanan jubah hijaunya. Dari ujung lengan itu menghambur keluar angin
deras, menyerang arah lengan kanan Pengemis Siang Malam.
“Desss!”
Pengemis
Siang Malam menggigit bibir menahan sakit ketika angin pukulan menghantam
lengannya. Tombak pendek bergetar keras hampir terlepas. Setelah keluarkan
gerungan keras Pengemis Siang Malam kembali menyerang dengan tombak pendeknya.
Ki Beringin Reksa tertawa bergelak. Rambutnya yang berbentuk daun beringin
berjingkrak mengembang, mengepulkan asap kehijauan, aneh mengerikan. Saking
geramnya Pengemis Siang Malam hantamkan senjatanya ke kepala lawan. “Traangg!”
Luar
biasa! Tombak pendek itu seperti memukul benda terbuat dari besi atos. Kaget
Pengemis Siang Malam bukan olah-olah dan terpaksa bertindak mundur.
Sementara
itu di bagian belakang rumah hanya tujuh perempuan dan empat orang anak yang
berhasil menuruni tangga dan selamat dari kobaran api, Satu perempuan yaitu
istri kedua Pengemis Siang Malam dan seorang anak perempuan yang juga adalah
anak Pengemis Siang Malam terkurung di bagian belakang rumah. Jeritan menyayat
hati terdengar tidak berkeputusan. Dalam keadaan sesaat lagi kedua orang itu
akan dilahap kobaran api tibatiba satu bayangan merah berkelebat di keremangan
senja. Tak lama kemudian istri dan anak perempuan Pengemis Siang Malam sudah
berada di halaman belakang, berkumpul bersama perempuan dan anak-anak lainnya.
“Mana
orang yang menolongku tadi?” istri; kedua Pengemis Siang Malam bertanya.
memandang berkeliling dengan wajah masih pucat sambil memeluki anak
perempuannya yang terus menangis.
“Kami
tidak melihat ada orang menolongmu. Kau tahu-tahu sudah ada di sini,” seorang
perempuan menyahuti.
“Aneh,
jelas-jelas ada orang berpakaian merah mendukung diriku dan anakku. . . “
“Sudah,
tak perlu diributkan. Mari, kita hams cepat-cepat pergi ke telaga!” berkata
istri tua Pengemis Siang Malam.
Ketika
perempuan dan anak-anak itu hendak meninggalkan tempat tersebut dengan penuh
rasa takut, tibatiba seorang berambut merah yang dikuncir menangkap anak
perempuan istri kedua Pengemis Siang Malam. Si Kuncir Merah!
“Jika
kalian berani pergi dari sini aku gorok leher anak ini!” teriak Kuncir Merah
membuat semua perempuan jadi mati ketakutan dan tak berani bergerak tak berani
bersuara sementara anak-anak mulai bertangisan.
Kembali
pada perkelahian antara Ki Beringin Reksa dengan Pengemis Siang Malam. Tiga
jurus berlalu sangat cepat dan semua serangan tombak sang pengemis hanya
menyambar tempat kosong.
Di bagian
lain Raden Kumalasakti dengan tangan kosong hadapi empat orang anak buah
Pengemis Siang Malam yang menyerbu dengan golok. Dua kali menggebrak, kaki
kanan Raden Kumalasakti berhasil menendang perut salah seorang pengeroyoknya.
Orang ini mencelat mental semburkan darah. Golok yang terlepas dan melayang di
udara cepat disambar Raden Kumalasakti. Dengan senjata ini dia kemudian
menghajar tiga pengeroyoknya satu persatu hingga menemui ajal.
Sambil
menyeringai Raden Kumalasakti bantingkan golok ke tanah hingga amblas sampai ke
gagang. Lelaki ini perhatikan perkelahian antara Ki Beringin Reksa dengan
Pengemis Siang Malam. Untuk beberapa jurus lamanya Ki Beringin Reksa kelihatan
agak terdesak. Lawan rupanya mengeluarkan jurus-jurus andalnya. Serangan tombak
laksana curahan air hujan. Raden Kumalasakti tahu kalau Ki Beringin Reksa
bukanlah lawan Pengemis Siang Malam. Sebentar lagi pengemis itu akan dihajar
babak belur sebelum nyawanya dihabisi. Namun Raden Kumalasakti ingin
menyelesaikan semua urusan di tempat itu secara cepat.
“Pengemis
edan! Semua anak buahmu sudah mampus! Kalau kau tidak segera serahkan diri,
orangku akan menggorok leher anak perempuan itu!”
Teriakan
Raden Kumalasakti membuat Pengemis Siang Malam terkejut besar. Dia melompat
mundur menjauhi Ki Beringin Reksa. Memandang ke arah belakang rumah dia melihat
sepuluh orang berpakaian hitam mengurung anak istrinya bersama perempuan dan
anak-anak lain. Seorang berambut merah dikuncir menjambak rambut seorang anak
perempuan berusia enam tahun dengan tangan kiri sementara tangan kanan
membelintangkan sebilah golok di leher si anak.
Dan anak
perempuan ini adalah anaknya sendiri!
“Jahanam!”
teriak Pengemis Siang Malam. Amarahnya mendidih. Dia melompat ke arah Kuncir
Merah.
“Cukup
sampai di situ! Berani lebih dekat putus leher anakmu!” Kuncir Merah mengancam.
Dua kaki
Pengemis Siang Malam goyah. Sekujur tubuhnya lemas. Dia jatuh berlutut di
tanah.
“Jangan
bunuh anakku! Aku bersedia menyerah asal kalian membebaskan semua perempuan dan
anak-anak itu!”
Raden
Kumalasakti dan Ki Beringin Reksa melangkah dekati Pengemis Siang Malam. Raden
Kumalasakti jambak rambut pengemis itu. . “Kau telah membunuh orang-orangku.
Aku tidak akan mengampuni selembar nyawamu!”
“Aku rela
kalian bunuh. Tapi bebaskan perempuan dan anak-anak itu! Mereka tidak punya
salah dan dosa apa-apa. “ Jawab Pengemis Siang Malam.
“Siapa
mau mendengar ucapanmu! Jika kau memang sudah pasrah mampus aku tak perlu
menunggu lebih lama!”
Raden
Kumalasakti angka tangan kanannya yang dikepal. Tangan ini tampak bergetar
tanda telah dialiri tenaga dalam tinggi. Jangankan kepala manusia, batu
besarpun bisa hancur jika kena pukul.
Sadar
orang tetap akan membunuh dirinya dan tidak akan mengampunkan anak istrinya,
Pengemis Siang Malam mengadu jiwa. Tombak pendek yang masih tergenggam di
tangan kanannya ditusukkan ke perut Raden Kumalasakti.
“Praaakk!”
Pukulan
Raden Kumalasakti menghantam batok kepala Pengemis Siang Malam hingga pecah.
Namun sebelum menerima kematian, hampir bersamaan dengan gerakan lawan,
pengemis itu masih sempat menancapkan tombak pendeknya ke perut orang lalu
merobek perut itu hingga darah muncrat dan isinya berbusaian mengerikan.
Raden
Kumalasakti menjerit setinggi langit.
“Bunuh
semua perempuan dan anak-anak itu!” teriak Raden Kumalasakti. Dia berusaha
menahan isi perutnya yang terbongkar namun dirinya keburu limbung, pemandangan
berubah gelap. Tubuhnya yang tinggi besar roboh menimpa sosok Pengemis Siang
Malam. Kedua orang ini menemui ajal saling bertindihan!
Melihat
kematian Raden Kumalasakti, Ki Beringin Reksa berteriak marah. Dia mengangkat
tangan ke arah Kuncir Merah.
“Bunuh
mereka semua!”
Kuncir
Merah menggembor. Tangannya yang memegang golok bergerak sebat. Sesaat kemudian
lelaki ini keluarkan raungan keras. Tubuhnya terhuyung, golok di tangan kanan
terlepas. Dua mata pecah dan di keningnya kelihatan sebuah lobang sebesar.
Darah membasahi muka orang ini yang kemudian tergelimpang jatuh di tanah. Tiga
batu sebesar telur burung dara telah menghantam kepalanya. Siapa yang
melakukan?!
Delapan
perempuan berpekikan. Lima anak termasuk yang tadi hendak digorok menjerit
menangis.
Sepuluh
lelaki berpakaian hitam berseru kaget. Ki Beringin Reksa juga terkejut besar.
Ada orang pandai telah membunuh Kuncir Merah! Siapa?
Belum
habis kejut orang-orang dari Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga itu tibatiba
dalam udara yang mulai gelap melayang seorang berpakaian serba putih. Di tangan
kiri dia memegang sebuah obor menyala sementara tangan kanan berturut-turut
melepas dua pukulan tangan kosong. Jeritan riuh memenuhi tempat itu ketika dua
orang lelaki berpakaian serba hitam terjungkal dengan kepala pecah sementara
enam lainnya melolong kesakitan sambil pegangi muka mereka yang telah hangus
disundut obor! Dua orang yang tidak cidera serta merta menyerbu orang
berpakaian putih dengan serangan golok. Namun gerakan lelaki di sebelah kiri
tertahan begitu mukanya ditusuk obor sementara temannya mencelat disambar
tendangan!
“Bangsat
berpakaian putih! Siapa kau!” Teriak Ki Beringin Reksa marah sekali. Dia
melompat ke hadapan orang berpakaian putih. Rambutnya yang hijau berbentuk daun
beringin berjingkrak dan kepulkan asap hijau. Saat itu walau cuma dia yang
masih tertinggal dari rombongan penyerang dari Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga namun dia tidak merasa gentar. Orang yang dibentak sunggingkan seringai.
Mulut dipencongkan, tangan kiri menggaruk kepala. Jelas sudah pemuda ini bukan
lain Pendekar 212 Wiro Sableng. Wirolah tadi yang membuat Kuncir Merah mati
konyol dengan lemparan tiga buah batu. Wiro campakkan obor ke tanah. Lalu
berkata.
“Aku
hanya pengelana tolol yang kebetulan lewat dan tak suka melihat kebiadaban
terjadi di depan mata! Kalau hanya tua bangka sama tua bangka yang berbunuhan
aku tidak perduli. Tapi kalau sampai perempuan dan anak-anak mau dibantai, apa
tidak edan?!”
Dua mata
Ki Beringin Reksa memandang melotot penuh selidik. Orang yang berdiri di
hadapannya adalah seorang pemuda berambut gondrong sebahu, bertubuh kekar,
mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Dia belum pernah melihat pemuda ini
sebelumnya.
“Kalau
cuma pengelana tolol mengapa berani mati mencampuri urusan orang? Bicara dan
lagakmu seperti pendekar besar saja! Sudah bosan hidup apa?!”
Wiro
tertawa. Lalu sambil membungkuk seolah merendahkan diri padahal sikapnya
mengejek, dia berkata.
“Aduh,
nyawaku cuma satu. Kalau aku dibunuh dimana kira-kira aku bisa mencari nyawa
cadangan?!”
“Jahanam
kurang ajar! Kau kira bisa menipu aku? Aku tahu kau berpura-pura tolol! Katakan
siap kau sebenarnya. Aku tidak pernah membunuh prang tanpa tahu siapa dirinya!”
“Aku
lahir tidak bernama. . . “ Jawab Wiro.
“Setan
alas!” Ki Beringin Reksa marah sekali. Dia maju mendekati si pemuda sambil
kebutkan ujung lengan jubah sebelah kanan.
“Wuttt!”
Serangkum
angin dashyat yang punya daya penghancur ganas menderu ke arah Wiro.
“Oala!”
si pemuda tampak seperti kelabakan. Tunggang-langgang dia selamatkan diri. Tapi
mulutnya tetap saja menyunggingkan senyum seringai.
Ki
Beringin Reksa tidak memberi hati. Dia tahu saat itu tengah berhadapan dengan
orang berkepandaian tinggi yang punya kelakuan aneh. Dia susul serangannya
dengan menghantamkan dua tangan sekaligus. Dua larik angin memancarkan cahaya
hijau berkiblat ke arah Pendekar 212. Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut
Sepasang Setan Hijau.
Wiro
keluarkan siulan nyaring. Melesat ke udara sambil tangan kiri mematahkan
sepotong ranting. Pada saat melayang turun tangan kanan dihantamkan ke bawah
dua kali berturut-turut, melepas pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
“Dess!
Dess!”
Dua larik
sinar hijau serangan Ki Beringin Reksa musnah. Orang dari Istana Seribu Rejeki
Seribu Sorga yang punya jabatan Wakil Kepala Pengawal ini berseru kaget. Dia
tidak bisa percaya dua pukulan saktinya yang selama ini tidak pernah gagal
dibuat musnah begitu rupa! Cepat dia kirimkan serangan susulan dengan
mengebutkan lengan kiri jubah hijau. Tujuh pisau terbang melesat di udara, mengarah
ketujuh bagian tubuh Pendekar 212 mulai dan kepala sampai ke bagian bawah
perut!
Wiro
berjumpalitan di udara. Ranting kayu di tangan kiri disapukan melindungi tubuh.
Terdengar suara berderak enam kali. Enam pisau terbang runtuh ke tanah. Pisau
ketujuh lolos.
“Breettt!”
Pakaian
putih Wiro robek di bagian bahu kanan.
“Sialan!”
Maki
murid Sinto Gendeng. Tangan kirinya bergerak ke depan luar biasa cepat.
Sepasang
mata Ki Beringin Reksa mendelik jereng ketika ujung ranting di tangan si pemuda
yang kini tinggal pendek akibat berpatahan saat berbenturan dengan pisau
terbang tahu-tahu telah menempel di puncak hidungnya. Ki Beringin Reksa
merasakan ujung ranting itu bergetar dan memancarkan hawa panas.
“Kau mau
membunuhku, lakukan saja!” Ki Beringin Reksa menantang. Di wajahnya sama sekali
tidak ada bayangan rasa takut. ”
Si
gondrong tertawa.
“Saat ini
aku belum mau membunuhmu! Terima ini dulu!”
Tangan
kiri yang memegang ranting bergerak cepat sekali.
“Breett.
. . . breett!”
Jubah
hijau Ki Beringin Reksa robek di dua belas tempat. Jubah itu akhirnya jatuh ke
tanah, membuat Ki Beringin berdiri nyaris telanjang.
“Ha. . .
ha! Walau butut untung kau masih pakai celana kolor! Kalau tidak burung
tekukurmu past! sudah kelihatan! Ha. . . ha. . . ha!” Wiro tertawa gelak-gelak.
Ki
Beringin Reksa marah luar biasa. Asap hijau sampai mengepul dari ubun-ubunnya.
Tibatiba terdengar suara bergemuruh. Dan terjadilah satu hal yang hebat. Sosok
tubuh Ki Beringin Reksa berubah menjadi batang kayu besar. Dari kepalanya
mencuat dua puluh cabang kayu ditumbuhi lebat daun-daun hijau. Laksana tangan
raksasa, dua puluh cabang kayu menyambar ke arah pemuda berambut gondrong lalu
menjepit dan meremas tubuhnya. Hantu Beringin!
*********************
TUJUH
Ilmu yang
dikeluarkan Ki Beringin Reksa disebut Hantu Beringin. Selain aneh juga
merupakan satu-satunya ilmu kesaktian di rimba persilatan tanah Jawa pada masa
itu. Tubuhnya berubah menjadi pohon beringin besar dengan dua puluh cabang
merupakan tangan yang bisa melakukan apa saja.
Wiro
kaget luar biasa. Seumur hidup baru kali ini dia melihat ilmu kesaktian begini
dahsyat. Ketika pohon besar itu bergeser ke arahnya dan dua puluh cabang
berdaun lebat laksana tangan setan menyambar, sebelum tubuhnya dicabik-cabik
atau diremas hancur Wiro segera lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang yaitu pukulan sakti yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Namun
tangan kanan yang hendak memukul keburu dilibat cabang-cabang pohon sementara
lehernya juga sudah terjirat. Dalam keadaan tak berdaya dan sulit bernafas
begitu rupa Wiro pergunakan tangan kiri untuk menjebol lawan. Kali ini dengan
pukulan Sinar Matahari. Namun lagi-lagi dua cabang pohon menjerat tangan
sebelah kiri itu. Sementara belasan cabang melibat tubuhnya mulai dari leher
sampai ke dada, pinggang, perut dan kaki!
“Greeekkk!”
Libat jerat cabang pohon semakin kencang. Pendekar 212 Wiro Sableng agaknya
tidak bakal lolos dari kematian yang sangat mengerikan.
Hanya
sesaat lagi leher si pemuda akan remuk, dua tangan hancur, dada, perut dan dua
kaki ringsek, tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat. Disusul menyambarnya
sinar merah yang berkiblat bertubi-tubi, menebar hawa dingin angker disertai
suara mendesis aneh.
“Craass!
Craasss!”
Luar
biasa! Dua puluh cabang pohon yang melibat dan meremas Wiro terbabat putus!
Raungan dahsyat menggelegar di tempat itu. Pohon beringin besar dengan dua
puluh cabang serta daun-daunnya yang lebat lenyap. Yang kelihatan kini adalah
sosok Ki Beringin Reksa dalam ujud aslinya, hanya mengenakan celana kolor. Dua
tangan buntung, leher cabik, dada dan perut penuh robekan luka. Darah menutupi
sekujur badan. Tubuh itu terhuyung sebentar lalu limbung dan jatuh
tertelungkup, hampir menimpa Wiro kalau dia tidak cepat berguling menjauh.
Walau selamat keadaan murid Sinto Gendeng ini tampak babak belur. Baju
robek-robek, goresan luka di muka dan di tubuh. Darah mengucur dari telinga
kiri yang luka.
“Siapa
yang menolongku?” ucap si pemuda. Menoleh ke kiri dia masih sempat melihat satu
bayangan merah berkelebat lenyap ke arah kali. Lalu ada suara benda meluncur di
permukaan air. Wiro cepat berdiri hendak mengejar. Namun dari arah ujung rumah
yang terbakar terdengar teriakan perempuan.
“Jangan
tinggalkan kami! Tolong!”
Gerakan
Wiro jadi tertahan. Sesaat dia merasa bimbang. Namun akhirnya dia mendatangi
kelompok perempuan dan anak-anak yang ketakutan setengah mati. Begitu Wiro
sampai di hadapan orang-orang itu, mereka semua jatuhkan diri. Ada yang
menangis, ada yang mengucapkan terima kasih terbata-bata.
“Ibu-ibu
ini siapa? Orang-orang berpakaian penuh tambalan itu apa kalian?”
Salah
seorang dari delapan perempuan memberi tahu bahwa mereka adalah istri-istri
dari Pengemis Siang Malam dan lima anak buahnya.
“Raden
telah menolong kami. Apakah Raden masih mau membantu mengantar kami ke tempat
yang aman?”
“Orang-orang
yang melakukan penyerangan itu, siapa mereka?”
“Kami
tidak tahu. Suami-suami kami memang bukan orang baik-baik, banyak musuh.”
“Tapi
hendak membunuh perempuan dan anak-anak sungguh luar biasa keterlaluan. Pasti
mereka punya dendam kesumat besar. . . “
“Pagi
tadi, suami kami Pengemis Siang Malam mengatakan dia tengah menyelidiki satu
urusan rahasia besar. . . “
“Rahasia
besar? Rahasia apa?”
“Kami
tidak tahu. Suami kami tidak menjelaskan. “
“Raden
kami mohon Raden mau mengantar kami sampai di desa Luragung. Di desa itu kami
mungkin bisa minta bantuan penduduk untuk mengurus jenazah suami-suami kami.
Kalau kami tidak mendapatkan pertolongan karena kami dianggap orang-orang jahat
maka kami terpaksa meneruskan perjalanan menuju Lebakwangi. “ Yang bicara
adalah istri kedua Pengemis Siang Malam.
“Ibu-ibu
punya seseorang yang bisa diminta bantuannya di Lebakwangi?”
“Guru tua
suami kami tinggal di sana. “
“Siapa,
namanya?” Wiro ingin tahu. . “Raja Pengemis Delapan Mata Angin. “
Wiro
garuk-garuk kepala.
“Ada
Pengemis Siang Malam. Sekarang ada Raja Pengemis. Jangan-jangan ada juga Ratu
Pengemisnya. “ ucap Wiro dalam hati. Sebenarnya dia masih penasaran hendak
mengejar si pakaian merah yang telah menolongnya tadi. Tapi tak tega
meninggalkan delapan perempuan dan lima anak kecil. Setelah meratapi jenazah
suami masing-masing delapan perempuan serta lima anak kecil tinggalkan tempat
itu. Sambil berjalan Wiro masih juga menduga-duga siapa adanya sang penolong.
“Aku
hanya melihat sekelebatan. Dari pakaian dan bau tubuhnya agaknya dia seorang
perempuan. Bidadari Angin Timur atau Ratu Duyung jelas bukan. Orang itu
berpakaian merah. Bersenjata golok atau pedang.
Menolong
tapi lantas pergi begitu saja. Aneh. Hemmm. . . . mungkin si penolong orang
bernama Rara Santang itu?”
“Kalau
kami boleh bertanya Raden yang telah menolong kami ini siapakah adanya?”
Perempuan yang berjalan di samping Wiro bertanya. Dia adalah istri tua Pengemis
Siang Malam.
Si pemuda
tak segera menjawab. Mungkin tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia berkata
juga.
“Namaku
Wiro, jangan panggil aku Raden. Lagi pula bukan aku sendiri yang menolong. Ada
orang lain. Cuma heran sehabis menolong dia pergi begitu saja. Kita semua
berhutang nyawa padanya. . . “
Wiro
kemudian mengambil dua anak yang paling kecil lalu menggendongnya di tangan
kiri kanan. Wiro ingat sesuatu lalu berpaling pada ibu-ibu di sampingnya. “Ada
yang tahu atau pernah mendengar seorang bernama Rara Santang?”
Mula-mula
tak ada yang menjawab. Kemudian istri pertama Pengemis Siang Malam ajukan
pertanyaan. “Mengapa Raden menanyakan orang itu?”
“Seorang
sahabat minta aku menemuinya. “
“Rara
Santang, lengkapnya Nyai Mas Rara Santang. Dia adalah puteri Prabu Siliwangi
dari Kerajaan Pajajaran, jauh di pedalaman sebelah barat”
“Hemmm. .
. . “ Wiro bergumam dan berpikir. “Ada apa nenek Sepuh Kembar Tilu meminta aku
mencari puteri raja itu? Apa kehidupan di Jawa sebelah barat ini lebih banyak
anehnya dari di timur?”
Menjelang
tengah malam rombongan itu sampai di desa Luragung. Mereka menemui kepala desa.
Kepala desa yang baik hati walau kemudian tahu siapa adanya perempuan dan
anak-anak itu bersedia juga menolong. Sebelum Wiro pergi, delapan orang
perempuan loloskan perhiasan yang mereka miliki seperti kalung, gelang,
anting-anting serta cincin, dikumpul jadi satu, dibungkus dalam sehelai
selendang lalu diberikan pada Wiro.
“Buat
apa?” tanya Pendekar 212 .
“Buat
Raden. Mungkin itu tidak sebanding sebagai balas jasa Raden yang telah
menyelamatkan nyawa kami dan anak-anak. Namun hanya itu yang bisa kami berikan.
“ Wiro tertawa.
“Terima
kasih, tapi aku menolong tanpa pamrih. Lagi pula mana mungkin aku seorang
lelaki pakai kalung, gelang, cincin dan anting-anting. Ha. . . ha. . . ha. . .
. !”
“Kalau
begitu berikan pada istri atau kekasih Raden. . . . “ Istri pertama Pengemis
Siang Malam mendesak.
Wiro
kembali tertawa.
“Aku
tidak punya istri. Kekasihku banyak. Yang mana yang mau dikasih? Dikasih yang
satu yang lain cemburu. Ha. . . ha. . . ha!”
“Tapi
Raden, kami minta dengan sangat. . . . “
Perempuan
yang bicara tidak meneruskan ucapan karena saat itu Pendekar 212 sudah
berkelebat lenyap di kegelapan malam.
Berjalan
meninggalkan desa Luragung ingatan Wiro kembali pada orang yang telah
menolongnya.
“Menolong
lalu kabur. Benar-benar aneh. . . . “ ucap sang pendekar dalam hati. Tibatiba
dia mendengar suara ha-hu. ha-hu ha-hu di belakangnya. Wiro hentikan langkah
dan berpaling. Dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning berdiri di
hadapannya. Kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu. Keduanya membungkuk lalu salah
seorang menyerahkan sebuah bungkusan.
“Kalian
mengikutiku! Aku sudah bilang jangan sekali-kali berani mengikutiku!”
“ha-hu
ha-hu. . . . “
“Apa
ini?” tanya Wiro sambil memandang pada bungkusan yang disodorkan.
“ha-hu
ha-hu!” Dua nenek menepuk-nepuk bahu dan dada. Lalu yang disebelah kanan
menunjuk-nunjuk dengan tangan kiri ke arah Wiro sementara tangan kanan
digaris-gariskan ke dada, perut dan pantatnya.
“Ya. . .
ya aku mengerti. Kalian mau bilang bajuku kotor, banyak robekan. Lalu kenapa?”
“ha-hu
ha-hu. “ Dua nenek gagu kembali menunjuk-nunjuk Wiro. Lalu yang satu menunjuk
pantatnya sendiri berulang kali.
Wiro
berpaling ke belakang, angsur ke depan celananya di bagian pantat. Astaga.
Ternyata disitu ada robekan besar yang membuat tubuhnya sebelah bawah belakang
tersingkap lebar. Robekan ini adalah akibat libatan cabang beringin jejadian Ki
Beringin Reksa.
“Gendeng!
Bagaimana aku bisa tidak tahu kalau pantatku melongo begini?!” ucap Wiro dalam
hati mengomel sendiri. “Perempuan-perempuan itu pasti melihat. Tapi tidak
memberi tahu!”
“ha-hu
ha-hu!”
Nenek
rambut kelabu sebelah kanan kembali menyodorkan bungkusan. Wiro mengambil lalu
memeriksa isinya. Ternyata sehelai baju dan celana putih.
“Ah. . .
. . “ sang pendekar jadi menyesal kalau tadi membentak-bentak dua nenek.
Ternyata mereka berniat baik. Memberikan pakaian pengganti baju dart celananya
yang kotor dan penuh robek. Wiro tertawa.
“ha-hu
ha-hu. “
“Terima
kasih. Kalian berdua ternyata berhati baik. Tapi kalian dapat dari mana pakaian
ini? Pasti kalian curi!”
“Hik. . .
hik. . . hik!”
Dua nenek
jejadian tertawa cekikikan.
“Sekali
lagi terima kasih. Kalian boleh pergi. . . “
“ha-hu
ha-hu. . . “ Dua nenek membungkuk dan tertawa girang. Keduanya balikkan badan.
“Tunggu
dulu,” tibatiba Wiro berkata. “Kalian pasti telah lama mengikutiku. Kalian
pasti melihat semua kejadian di tepi kali. “
“ha-hu
ha-hu. “
“Kalian
melihat orang yang menolongku?”
“ha-hu
ha-hu. “ Dua nenek mengangguk-angguk.
“Berpakaian
merah?”
“ha-hu
ha-hu. “ Dua nenek kembali mengangguk-angguk. Lalu menepuk-nepuk pakaian
masing-masing, kemudian acungkan jempol.
“Hemm. .
. . Maksud kalian pakaiannya bagus?”
“ha-hu
ha-hu. “
“Perempuan?”
“ha-hu
ha-hu. “
“Bagaimana
wajahnya?” tanya Wiro lagi.
Dua nenek
gelengkan kepala lalu dua tangan diusapkan ke wajah.
“Ah. . .
. Maksud kalian orang itu memakai topeng?”
Dua nenek
kembali gelengkan kepala lalu kali ini tangan diusap-usap di depan wajah.
“Aku
mengerti. Orang itu tidak kelihatan wajahnya karena memakai penutup muka atau
cadar”
“ha-hu
ha-hu. “ Dua nenek mengangguk berulang kali
“Orang
itu telah menyelamatkan jiwaku. Sehabis menolong pergi begitu saja. Kalian tahu
kemana perginya?”
Dua nenek
menunjuk ke arah timur.
“Terima
kasih, kalian sudah banyak menolong. Sekarang kalian silahkan pergi. Aku mau
berganti pakaian. Awas, jangan berani mengintip. “
Dua nenek
tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi. “ha-hu ha-hu. . . ha-hu ha-hu. “
*********************
Malam
bulan purnama empat belas hari. Cahaya rembulan cukup terang jatuh di bumi
hingga tiga orang lelaki menunggang kuda dapat memacu tunggangan masing-masing
dengan kencang. Di satu tempat mereka berhenti. Kuda ditambat ke pohon lalu
ketiganya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Arah yang dituju adalah
kaki Bukit Batu Bersuling sebelah timur. Setelah lari cukup lama mereka sampai
di satu bangunan besar tanpa dinding beratap rumbia.
“Raden,”
lelaki di samping kiri berbisik. Namanya Meneng. “Di sini biasanya para tamu
meninggalkan kuda mereka. “
Orang
yang dipanggil Raden yang adalah Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari
meneliti, memandang berkeliling.
“Sepi,
tak ada siapa-siapa. Menurutmu malam ini akan dilakukan pembukaan. . . . “
“Keadaannya
memang terasa aneh. Setahu saya seharusnya. . . “
“Mana
gedung dibawah bukit batu yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. “
“Ikuti
saya. . . . . “ ucap Meneng.
Dipimpin
orang yang agaknya banyak tahu keadaan di tempat itu, ketiganya melangkah cepat
di sepanjang jalan yang diapit dua dinding batu setinggi dua tombak hingga
akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah rumah panggung. Meneng memeriksa
dinding batu sebentar lalu menekan sebuah alat rahasia. Sebuah pintu membuka.
Dia memberi tanda pada dua orang di belakangnya untuk mengikuti. Ketika pintu
rahasia itu menutup kembali, Rayi Jantra berlaku cerdik. Sudut bawah pintu
diganjalnya dengan sebuah balok yang ada di lantai ruangan. Bukan saja dia
berhasil menahan tertutupnya pintu, tapi sekaligus memungkinkan cahaya masuk ke
ruangan dimana dia berada sehingga dia cukup mampu melihat keadaan di tempat
itu.
“Sepi,
tak ada orang. Ruangan ini kosong. Meneng, kau yakin kita tidak datang ke
tempat yang salah?”
Orang
bernama Meneng menjawab. “Tidak Raden, saya yakin sekali ini tempatnya. Tapi
mengapa keadaan berubah. Sunyi, gelap. Tak ada orang. Padahal malam ini saya
mendapat kabar pembukaan malam judi pertama akan dilakukan
“Seharusnya
kita membawa obor,” kata Rayi Jantra.
“Jangan
khawatir, kami akan menerangkan ruangan untuk kalian!”
Mendadak
ada suara orang lalu ruangan gelap itu berubah jadi terang benderang. Ternyata
ada sepuluh lampu minyak besar di tempat itu. Yang menyala hanya lima yaitu di
empat sudut dan di tengah ruangan. Di ruangan yang terang itu terlihat enam
orang lelaki berpakaian hitam. Wajah mereka tampak seram karena selain hitam
hangus juga ada luka di sekitar mulut, hidung dan sepasang mata. Ke enam orang
ini adalah para pengawal Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang malam kemarin
diselomoti Pendekar 212 Wiro Sableng muka mereka dengan obor di tempat kediaman
Pengemis Siang Malam. Ke enam orang ini berdiri dengan golok di tangan. Mereka
semua tidak menyebabkan Rayi Jantra merasa gentar. Namun yang membuatnya jadi
tercekat adalah sosok kakek berjubah biru gelap yang tegak tak bergerak
bersidekap tangan di anak tangga terbawah dari sebuah tangga batu yang
menghubungkan ruangan itu dengan ruangan di sebelah atas bangunan. Tengkuknya
memiliki bulu seperti bulu pada leher kuda. Dua kaki yang tersembul di balik
jubah bukan berbentuk kaki manusia tapi seperti kaki kuda lengkap dengan ladam
besinya!
“Ki
Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis. Bagaimana tokoh silat istana Kerajaan di
timur ini bisa berada di tempat ini?” pikir Rayi Jantra.
“Rayi
Jantra! Datang di tempat orang tanpa diundang. Muncul setengah menyusup!
Gerangan apa maksudnya? Padahal seorang Kepala Pasukan Kadipaten seharusnya
tahu sopan santun peradatan!”
Yang
keluarkan suara adalah kakek bernama Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis.
Walau
hatinya tidak enak namun sebagai salah seorang pemegang kuasa di Losari, dengan
tenang Rayi Jantra unjukkan sikap hormat. Dia membungkuk lebih dulu sebelum menjawab.
“Ki
Sentot, harap maafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteramanmu, Aku tidak
tahu kalau kau ada kepentingan di tempat ini. Aku datang ke sini untuk
melakukan penyelidikan sesuai dengan wewenang dan tugasku. “
“Hemm,
begitu. . . ?” Ki Sentot Balangnipa menyeringai. Waktu mulutnya terbuka
kelihatan deretan gigi serta lidahnya yang menyerupai kuda. “Apakah tugas
kedatanganmu ke tempat ini atas sepengetahuan atasanmu, Adipati Seda Wiralaga?”
“Aku
memang tidak memberi tahu padanya. “ Jawab Rayi Jantra terlalu polos.
“Luar
biasa! Ada bawahan yang bertindak tanpa sepengetahuan atasannya. “ Ki Sentot
Balangnipa geleng-geleng kepala. “Rayi Jantra, apa yang hendak kau selidiki
secara lancang di tempat orang?!”
“Aku
mendapat laporan tempat ini adalah sarang besar perjudian. Semua orang tahu
perjudian adalah hal yang terlarang!”
“Hebat
luar biasa tugasmu, Rayi Jantra! Lalu saat ini apakah kau melihat ada orang
yang berjudi di tempat ini? Apakah kau juga melihat benda-benda alat
perjudian?”
“Memang
tidak ada orang tidak ada peralatan judi. Aku punya dugaan keras semua sudah
disingkirkan sebelum aku datang di tempat ini. Dan kalau aku boleh bertanya,
adalah hal sangat mengherankan seorang tokoh silat Istana di timur ada di
tempat ini! Apa kau bisa menjelaskan?!”
Ki Sentot
Balangnipa menyeringai lagi.
“Tetamu
tak diundang menanyai perihal tuan rumah! Sungguh tidak sopan! Meneng, kau
cepat kemari!”
Lelaki
bernama Meneng, yang datang bersama Rayi Jantra serta merta melompat dan
berdiri di samping Ki Sentot Balangnipa.
“Jahanam
keparat! Meneng! Ternyata kau seekor ular kepala dual Beraninya kau menipu
mengkhianatiku!” teriak Rayi Jantra marah sekali.
Sementara
Meneng berdiri cengengesan Ki Sentot Balangnipa berteriak.
“Anak-anak.
Bunuh dua orang itu!”
*********************
DELAPAN
Enam
lelaki bermuka hangus dan mencekal golok menyerbu ke arah Kepala Pasukan
Kadipaten Losari dan anak buahnya. Rayi Jantra sadar, baginya hanya ada satu
pilihan. Menghabisi semua orang itu atau menemui ajal di tempat itu. Sejak lama
dia pernah mendengar tentang berlangsungnya perjudian besar-besaran di satu
tempat rahasia sekitar Bukit Batu Bersuling. Selain sebagai tempat judi, gedung
itu juga dipakai untuk tempat berbuat mesum. Konon gedung tersebut diberi nama
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga dan dikawal kuat oleh sejumlah orang
berkepandaian tinggi termasuk para tokoh silat. Selain dipakai sebagai tempat
judi dan perbuatan cabul, gedung itu juga diduga keras telah menjadi pusat
pertemuan rahasia beberapa pejabat tinggi Kerajaan di timur dalam rangka
menguasai Kerajaan di barat.
Sebagai
seorang Kepala Pasukan tentu saja Rayi Jantra memiliki kepandaian yang
diandaikan. Sekali menggebrak dia berhasil menghantam roboh salah seorang
penyerang lalu merampas goloknya. Dengan senjata itu Rayi Jantra kemudian
menghajar lima penyerang lainnya. Tiga roboh mandi darah! Ketika dia hendak
menghabisi yang dua orang lagi tibatiba satu sosok tubuh melayang dan jatuh
tepat di hadapan Rayi Jantra.
Begitu
diperhatikan ternyata orang itu adalah Meneng. Tergelimpang di lantai ruangan
dengan leher patah, lidah setengah menjulur dan mata mendelik.
Di
seberang sana Ki Sentot Balangnipa keluarkan suara tertawa seperti kuda
meringkik.
“Rayi
Jantra! Jika kau menyerah dan masuk ke dalam kelompokku, aku akan mengampuni
selembar nyawamu!”
Kepala
Pasukan Kadipaten Losari itu maklum ucapan lawan hanya merupakan satu tipuan
belaka.
“Tawaranmu
cukup menarik. Boleh aku minta penjelasan kelompok macam apa yang kau pimpin?”
“Kau
tidak perlu tahu kelompok macam apa atau apa yang kami lakukan. Yang jelas
hanya dengan kerja ringan setiap bulan kau menerima upah besar. Kalau kau ingin
hiburan, tinggal memilih perempuan yang kau sukai. “
“Hemm. .
. begitu? Aku bisa menduga. Komplotan yang kau maksudkan itu adalah komplotan
perbuatan judi serta perbuatan mesum!”
Ki Sentot
Balangnipa tertawa mengekeh.
“Mulutmu
lancar juga mengeluarkan ocehan. Rasa-rasanya kau jenis manusia yang lebih suka
mati konyol dari pada mendapat kesenangan!”
Rayi
Jantra berbisik pada anak buah di sampingnya.
“Lebak,
lekas tinggalkan tempat ini! Kembali ke Losari. Beri tahu Adipati Soda Wiralaga
apa yang terjadi di sini!”
Perajurit
Kadipaten bernama Lebak tidak tunggu lebih lama segera menghambur ke arah pintu
yang terbuka karena diganjal balok. Ki Sentot Balangnipa hantamkan kaki kirinya
yang berbentuk kaki kuda ke lantai ruangan. Satu gelombang angin keras menderu
ke arah pintu. Balok kayu yang mengganjal hancur berkeping-keping. Pintu
rahasia terbuat dari batu itu menutup dengan mengeluarkan suara keras.
“Jangankan
manusia, setan sekalipun tak bakal bisa lolos dari tempat ini!”
Didahului
umbaran suara ringkikan kuda Ki Sentot Balangnipa melompat ke arah Rayi Jantra.
Kaki kanannya menendang mencari sasaran di dada orang. Kepala Pasukan Kadipaten
Losari ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan lewat dia membacok dengan
golok besar di tangan kanan. Sementara itu dua orang bermuka hangus telah
menyerbu Lebak.
“Traangg!”
Golok
yang membacok kaki kanan Ki Sentot Balangnipa seperti menghantam besi
mengeluarkan suara berdentrangan disertai memerciknya bunga api. Tidak mempan!
Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis kembali tertawa meringkik. Sementara
Rayi Jantra terbelalak melihat golok di tangannya gompal besar. Serta merta dia
campakkan golok ke lantai lalu dari balik pinggangnya Kepala Pasukan Kadipaten
Losari ini hunus senjata tajam yang mengeluarkan cahaya kuning berkilauan.
Senjata ini adalah sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata lima terbuat
dari emas murni yang dipadu dengan batu keramat dari Gunung Salak dan baja
putih dari Banten.
“Ha ha!
Kujang Emas Kiai Pasundan, keramat pusaka Kerajaan Pajajaran! Bagaimana bisa
berada di tanganmu? Pasti kau curi!” Ki Sentot Balangnipa berseru. Walau dia
tidak gentar melihat senjata itu namun wajahnya agak berubah. Dia pernah
mendengar kehebatan senjata sakti itu. “Aku harus dapatkan senjata itu! Harus!”
Kakek ini menggeram.
“Kiai
Pasudan adalah pemberian Pangeran Cakrabuana putera Prabu Siliwangi dari
Kerajaan Pajajaran. Dengan senjata ini aku ditugaskan untuk menumpas
begundal-begundal dari timur yang hendak mengacau di tanah Pasundan bahkan
punya niat jahat hendak merebut kekuasaan. Salah satu begundal itu adalah kau
sendiri!”
Ki Sentot
Balangnipa tertawa bergelak mendengar ucapan Rayi Jantra.
“Usia
masih hijau! Tubuh masih bau kencur! Kencingpun belum lempang! Tapi sudah
bermimpi mau jadi pahlawan besar! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan senjata
di tanganmu!”
Habis
bekata begitu Si Kuda Iblis kebutkan lengan kanan jubah birunya, lalu menyusul
tubuhnya melesat ke depan. Salah satu kaki menendang dahsyat.
Rayi
Jantra membentak keras. Dia melesat ke atas setinggi satu tombak. Senjata di
tangan tanah dikiblatkan. Selarik sinar kuning menderu dahsyat.”
“Craass!”’
Kuda
Iblis berteriak keras. Rambut tebal menyerupai rambut kuda di kuduknya terbabat
putus dan mengepulkan asap. Kejut tokoh silat dari timur ini bukan alang
kepalang. Ternyata Kujang Emas Kiai Pasundan benar-benar merupakan senjata luar
biasa yang tidak bisa dibuat main. Kakek ini goyangkan dua bahunya. Tahu-tahu
di tangan kanannya sudah terpegang dua buah tali kulit menyerupai tali kekang
kuda. Begitu dua tangan menggebrak, tali kekang di tangan kanan melesat ke arah
kaki sedang tali kekang di sebelah kiri menyambar ke arah Kujang Emas Kiai
Pasundan. Dua gerakan tali kekang ini mengeluarkan suara laksana petir
menyambar.
Rayi
Jantra berseru kaget ketika kaki kanannya kena dijirat tali kekang. Begitu Ki
Sentot Balangnipa menyentakkan tali kekang itu tak ampun lag! Kepala pasukari
Kadipaten Losari itu langsung roboh terbanting jatuh punggung. Dalam keadaan
seperti itu tali kekang satunya yang menyambar ke arah tangan kanan Rayi Jantra
berhasil melibat Kujang Emas Kiai Pasundan.
“Dess!
Craasss!”
Ki Sentot
Balangnipa menduga begitu menarik tali kekang dia akan berhasil merampas
senjata sakti di tangan lawan. Ternyata tali kekangnya yang putus!
“Kurang
ajar!” maki Ki Sentot Balangnipa. “Kalau manusia satu ini tidak dihabisi dan
senjata itu tidak dirampas, bisa berbahaya!” Karenanya selagi Rayi Jantra
berusaha bangkit si kakek langsung menggebrak. Sekali melompat dia hantamkan
tali kekang yang putus sementara kaki kanan menendang mencari sasaran di kepala
lawan.
“Blaarrr!”
Karena
berusaha menyelamatkan kepalanya dari tendangan kaki lawan, Rayi Jantra tidak
sempat menghindari serangan tali kekang. Tali kekang yang berobah menjadi
cambuk mendarat di tubuh Rayi Jantra. Pakaiannya robek besar di bagian dada.
Luka mengepulkan asap dan mengucurkan darah membelintang di dada. Sementara itu
tendangan Si Kuda iblis yang tidak menemui sasaran telah membuat jebol dinding
batu di samping Rayi Jantra.
“Manusia
iblis keparat! Terima kematianmu!” teriak Rayi Jantra. Kujang di tangan kanan
ditusukkan dari jarak jauh ke arah Ki Sentot Balangnipa. Dari ujung senjata
sakti itu melesat satu cahaya kuning yang laksana kilat dengan cepat menggulung
sekujur tubuh Si Kuda Iblis!
Dalam
keadaan hampir tak berdaya Ki Sentot Balangnipa kerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikihya. Dua tangan menggapai ke depan.
Kepalanya berubah menjadi kepala kuda sungguhan. Didahului suara meringkik dia
berteriak keras.
“Bummm!”
Satu
ledakan besar menggelegar di ruangan batu di bawah Bukit Batu Bersuling itu.
Rayi Jantra terlempar ke dinding ruangan, semburkan darah dari mulut. Ki Sentot
Balangnipa sendiri merasa goncangan hebat melanda tubuhnya. Dengan cepat dia
kuasai diri lalu menyergap I a wan, lagi-lagi dengan tendangan kaki kanan.
Sekali ini dalam keadaan terluka hebat di dalam Rayi Jantra tak sanggup
mengelak atau menangkis. Dadanya remuk dimakan tendangan, tubuhnya terpuruk ke
sudut ruangan. Dalam keadaan siap meregang nyawa Kepala Pasukan Kadipaten
Losari ini masih sanggup melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir
dia keluarkan ucapan.
“Kiai. .
. . Balaskan sakit hatiku. Lakukan sesuatu Kalau sudah kembalilah ke Pakuan.”
“Tring!”
Kujang
emas terlepas dari tangan Rayi Jantra. Jatuh ke lantai. Di kejap lain senjata
sakti itu tibatiba melesat ke arah Ki Sentot Balangnipa yang berdiri hanya
beberapa langkah dari sosok Rayi Jantra yang tergelimpang di lantai.
Ki Sentot
cepat menangkis dengan kebutkan ujung jubah lengan kiri. Kujang Emas Kiai
Pasundan terpental. Namun hebatnya senjata ini membalik, melesat dan crasss!
Menancap di mata kanan si kakek!
Ki Sentot
Balangnipa alias Si Kuda Iblis meraung setengah mati.
“Craasss!”
Kujang
sakti melesat keluar dari mata kanan, berputar-putar dalam ruangan, berusaha
mencari jalan keluar. Seolah mempunyai otak untuk berpikir dan mata untuk
melihat, senjata sakti ini sadar kalau tak ada sedikit ronggapun dalam ruangan
itu yang bisa dilewati. Tiba-tiba gagang kujang mengepulkan asap. Senjata ini
kemudian melesat ke arah dinding sebelah kiri. Ruangan batu bergetar hebat
sewaktu Kujang Emas Kiai Pasundan menjebol tembus dinding batu, melesat di
kegelapan malam dan lenyap dari pemandangan.
Ki Sentot
Balangnipa tekap mata kanannya yang hancur dengan tangan kiri. Darah
berlelehan. Dengan tangan kanan dia membuat beberapa totokan di sebelah dada
dan leher. Darah berhenti mengucur dari luka di mata kanan namun ada rasa panas
membuat wajahnya seolah dipanggang. Racun senjata! Untung dia telah membuat
beberapa totokan. Mata kiri yang masih utuh mendelik memperhatikan lobang besar
di dinding ruangan. Menoleh ke kiri dia melihat dua anak buahnya yang berwajah
hangus baru saja menghabisi Lebak. Ki Sentot Balangnipa berteriak.
“Kalian
berdua! Singkirkan semua mayat jahanam di ruangan ini. Buang ke dalam jurang!”
*********************
Dalam
kenyenyakan tidurnya Pangeran Walang Sungsang yang juga dikenal dengan sebutan
Pangeran Cakrabuana tersentak bangun oleh suara desiran halus disusul suara
berkerontang.
Putera
Mahkota Kerajaan Pajajaran ini duduk di tepi tempat tidur. Matanya menangkap
selarik cahaya kuning. Berpaling ke samping dia melihat sebuah senjata
tergeletak di atas meja kecil terbuat dari batu pualam, memancarkan cahaya
kuning.
“Kujang
Emas Kiai Pasundan. . . . “ ucap Pangeran Cakrabuana. Cepat senjata sakti itu diambil
dan diperhatikan. “Ada noda darah. Sesuatu telah terjadi dengan Raden Rayi
Jantra. “
Cepat-cepat
Pangeran Cakrabuana mengenakan pakaian lalu memanggil seorang perajurit.
“Beritahu
pengawal Sang Prabu. Katakan saya ingin menemui Raja saat ini juga. Ada urusan
sangat penting. “
Tak lama
kemudian Prabu Siliwangi menemui puteranya di sebuah ruangan di dalam Istana
Pakuan.
“Ada apa
anakku?” menyapa Sang Prabu.
Pangeran
Cakrabuana terlebih dulu memberi salam takzim sambil membungkuk dalam-dalam.
“Ananda
mohon maaf karena telah berani berlaku tidak sopan membangunkan Ayahanda. Ada
satu hal penting yang hendak Ananda sampaikan. “
Dengan
hati-hati Pangeran Cakrabuana keluarkan Kujang Emas Kiai Pasundan dan
meletakkannya di atas meja kayu kecil di hadapan sang ayah.
Sang
Prabu perhatikan senjata itu, menarik nafas panjang, mengusap dagu yang
ditumbuhi janggut putih rapi klimis lalu berkata. “Bukankah ini senjata sakti
yang pernah Ananda berikan pada Raden Rayi Jantra, orang kepercayaan kita di
perbatasan? Kujang Emas Kiai Pasundan?”
“Betul
sekali Ayahanda,” jawab Pangeran Cakrabuana.
“Senjata
sakti keramat kerajaan ini kembali secara gaib di ruang ketiduran Ananda.
Agaknya
telah terjadi sesuatu dengan Raden Rayi Jantra. “
Sang
Prabu anggukkan kepala.
“Kalau
tidak dalam perkara besar, Rayi Jantra tidak akan mengeluarkan senjata sakti
ini. “ Pangeran Cakrabuana menambahkan.
Sang
Prabu angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembang di atas senjata sakti
itu. Kujang mengeluarkan cahaya kuning lebih terang, bergerak turun naik antara
meja dan telapak tangan. Perlahan-lahan Sang Prabu tarik tangan kanannya. Lalu
berkata.
“Noda
darah ini bukan darah Rayi Jantra. Namun belum tentu orang kita itu masih dalam
keadaan selamat. Ayahanda khawatir, dia sudah tewas. Anakku, apa yang hendak
kita lakukan sekarang?”
Pangeran
Cakrabuana susun sepuluh jari di atas kepala lalu berkata. “Sudah sejak lama
Ananda dan Adinda Nyai Mas Rara Santang ingin menyambangi Guru di Gunung Jati.
Mungkin ini saat yang tepat untuk melakukan sekaligus menyelidiki apa yang
terjadi dengan Rayi Jantra. “
Prabu
Sliwangi terdiam merenung seketika.
“Akhir-akhir
ini banyak kabar yang Ayahanda terima mengenai kegiatan orang-orang di Kerajaan
Timur. Terutama sejak kita tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada mereka.
Mereka melupakan adat sopan santun, berdiri sama tinggi duduk sama rendah.
Mereka tidak memandang sebelah mata terhadap Pajajaran. Malah punya niat jahat
hendak menguasai Kerajaan ini. Ayahanda mengizinkan kalian berdua anak-anak
untuk pergi ke Gunung Jati. Tapi ingat. Berlakulah sangat hati-hati. Bawa
pengawal sebanyak mungkin. . . “
“Ayahanda,
jika diizinkan seperti yang sudah-sudah Ananda hanya berangkat berdua saja
dengan Adinda Rara Santang. Kami berdua berjanji akan berlaku hati-hati. . . “
“Kalau
itu mau Ananda baiklah. Tapi sekali-kali jangan berlaku sombong dan takabur
atas kepandaian dan kesaktian yang kalian berdua miliki. Dan jangan lupa, di
setiap desa yang kalian lalui berikan sejumlah bantuan. Tekanan orang-orang di
timur belakangan ini banyak membuat rakyat menderita.”
“Terima
kasih alas izin Ayahanda. Besok Ananda akan menemui Adinda Rara Santang. Paling
lambat siang had kami berdua sudah meninggalkan Pakuan. Dan seperti sebelumnya
tidak ada satu orangpun yang mengetahui kepergian Ananda berdua selain
Ayahanda. “
Sang
Prabu anggukkan kepala. “Sampaikan salam takzim Ayahanda pada Guru Ananda di
Gunung Jati. Dan sebelum pergi Ayahanda ingin saat ini juga Ananda menemui
Panembahan Anyar Pandanarum. Beliau sudah uzur. Namun rasanya beliau tidak akan
mengalami kesulitan untuk membuatkan sarung baru bagi Kujang Emas Kiai
Pasundan. Tidak baik senjata sakti itu dibiarkan dalam keadaan tak bersarung. .
. “
“Ananda
akan menemui Panembahan itu,” jawab sang putera. Lalu Pangeran Cakrabuana
membungkuk dalam-dalam, mencium tangan Sang Prabu dan tinggalkan ruangan itu.
*********************
SEMBILAN
Dua
minggu setelah penyusupan Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari ke
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Bangunan luas tak berdinding beratap rumbia
di kaki timur Bukit Batu Bersuling dipenuhi puluhan ekor kuda. Dua puluh orang
berpakaian hitam bersenjata golok berseliweran berjaga-jaga. Di atas dua
dinding batu yang mengapit sebuah jalan dua orang berjubah biru berdiri tegak
mengawasi keadaan sekitarnya. Lalu pada satu cabang pohon besar dan gelap di
ujung jalan seorang berpakaian ringkas warna hijau mendekam memegang sebilah
gada besi. Sesekali terdengar suara seperti tiupan suling dari celah dua batu
pipih di puncak bukit. Terkadang kesunyian ditingkah oleh suara gemboran kuda.
Gedung
rahasia yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak tepat di
bawah bukit batu, dari luar keadaannya tersamar dibalik pepohonan lebat dan
sepi. Namun di dalam, di bagian bawah yang mewah dan terang benderang puluhan
orang tamu yang semuanya mengenakan cadar merah tampak mengelilingi sebuah meja
besar empat persegi. Meja ini dilapisi beluderu hijau. Pada setengah bagian
dari meja yakni ujung sebelah kanan terdapat garis-garis membentuk dua belas
kotak besar berangka 1 sampai 12. Setengah bagian meja ujung kiri berbentuk
kotak empat persegi.
Di ujung
kiri meja berdiri seorang perempuan cantik berkulit putih. Rambut disanggul
rapi mengenakan pakaian berbentuk kemben. Bagian atas dari kemben ini demikian
rendahnya hingga dua payudara besar putih menyembul dan bergoyang-goyang setiap
si cantik ini membuat gerakan. Di bawah pinggang, kain kemben dipotong kiri
kanan demikan rupa hingga menyingkapkan betis indah dan paha putih. Sekitar dua
puluh gadis-gadis cantik berdandanan dan berpakaian sama mondar-mandir di
ruangan itu, melayani para tamu. Sementara pada tiga sudut ruangan disediakan
berbagai macam minuman serta makanan yang boleh disantap para tamu sesukanya.
Di sudut
ke empat dua orang pemuda tampan memetik kecapi dan menabuh gendang, mengiringi
nyanyian seorang sinden cantik bertubuh montok.
Di ujung
meja sebelah kiri, di samping sebelah kanan duduk seorang lelaki bertubuh
tinggi besar, mengenakan jubah mewah warna ungu dengan wajah ditutup cadar juga
berwarna ungu sementara di atas kepalanya bertengger sebuah destar terbuat dari
kain beluderu tebal berwarna merah. Di sebelah depan destar ini tersemat sebuah
batu permata berwana hijau dengan ikatan suasa berkilat. Inilah Sang Bandar
Agung yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi di Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga.
Setelah
suasana cukup hangat Bandar Agung bangkit dari kursinya, bertepuk tiga kali.
Begitu semua orang berpaling padanya dan suara tetabuhan serta nyanyian sinden
berhenti maka diapun siap memberi sambutan. Suaranya besar parau. Pertama
sekali dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah Bandar Agung yang baru,
menggantikan Bandar Agung lama yang telah mengundurkan diri. Kemudian dia
mengucapkan terima kasih atas kedatangan para tamu sekaligus menyampaikan
permohonan maaf karena dibukanya kembali tempat itu mundur jauh dari jadwal
yang sudah ditentukan. Satu dan lain hal disebutkan karena pihak pengelola
Istana ingin memberi pelayanan yang lebih baik termasuk menjamin keselamatan
serta kerahasiaan para tamu yang datang.
Bandar
Agung juga memberi tahu bahwa seperti di masa lalu, Istana Seribu Rejeki Seribu
Sorga dibuka mulai matahari tenggelam setiap malam Rabu dan malam Sabtu sampai
tengah hari keesokannya. Bilamana keadaan memungkinkan jumlah hari akan
ditambah menjadi tiga hari.
“Jadikanlah
malam pertama ini semeriah mungkin Cari rejeki dan kesenangan
sebanyak-banyaknya. Pasang taruhan para kerabat di nomor yang tepat. Seperti
ketentuan terdahulu setiap nomor yang menang akan dibayar dua kali jumlah
pasangan. Bagi para tamu dan kerabat yang mungkin ingin terlebih dulu
menghilangkan rasa haus atau rasa lapar silahkan mereguk minuman dan menyantap
makanan. Sementara bagi yang ingin lebih dulu berhibur diri silahkan memilih
seorang Kembang Istana dan bersenang-senang di kamar yang telah disediakan di
lantai atas. Bagi mereka yang sudah ingin mendapatkan rejeki besar silahkan
mendatangi meja. Permainan segera akan kita mulai. “
Habis
berkata begitu Bandar Agung kembali ke tempat duduknya di samping kanan meja
dadu. Dibagian bawah meja dadu, agak lebih rendah terdapat sebuah meja besar
dipenuhi
uang
perak dan uang emas serta batangan perak dan batangan emas.
Suara
petikan kecapi dan tabuhan kembali terdengar. Gadis cantik di ujung kiri meja
judi angkat dua tangan ke atas. Ketiaknya tampak putih bersih dan berminyak
oleh keringat Dua tangan itu digoyang-goyang membuat sepasang buah dadanya ikut
bergerak turun naik. Lalu tangan diturunkan di atas sanding meja judi. Begitu
dua tangan dikembang tampak dua buah dadu putih kekuningan bermata merah.
Sesaat kemudian dua buah dadu digenggam kembali, digoyang-goyang dengan gerakan
menggairahkan mengikuti alunan kecapi dan gendang.
“Pasang.
. . . Pasang taruhan sebanyak-banyaknya!” si gadis berseru sambil liukkan
pinggul dan goyangkan dada. Para tamu yang berada di sekitar meja dadu segera
meletakkan taruhan masing-masing di atas nomor yang mereka anggap akan menang.
Gadis
cantik terus mengguncang dadu dalam dua dekapan tangan.
“Semua
sudah memasang? Ayo tambah lagi! Pasti menang!”
Setelah
semua nomor di atas meja dipenuhi pasangan para tamu penjudi gadis cantik
turunkan dua tangan. Lalu dua dadu dalam genggaman dilemparkan ke dalam kotak
kayu pada ujung kiri meja. Dadu bergulir berkerontangan. Di balik cadar,
sepasang mata Bandar Agung dengan cepat memperhatikan pasangan para tamu.
Di dalam
kotak di atas meja setelah bergulir dua buah dadu berhenti diam. Dadu pertama
berhenti pada mata 3 sedang dadu kedua berhenti pada angka 5. pemenang adalah
yang memasang pada nomor 8. Dan saat itu jelas terlihat nomor 8 adalah nomor
yang paling banyak pemasangnya. Para pemenang bersorak gembira. Bandar Agung
segera membayar pasangan pemenang yakni dua kali jumlah taruhan yang dipasang.
“Selamat!
Selamat!” ucap Bandar Agung berulang kali. Permainan dilanjutkan. Mereka yang
menang dengan bersemangat menambah pasangan taruhan pada angka-angka yang
mereka anggap akan memberi keberuntungan.
Suara
kecapi semakin keras, suara gendang bertalu-talu, nyanyian sang sinden
bertambah merdu. Gadis pengocok dadu menggeliat-geliatkan pinggang. Pinggulnya
yang lebar melenggak lenggok. Dadanya bergoncang naik turun.
“Pasang
lagi! Selamat untuk yang barusan menang! Pasang lebih banyak! Kali ini
keberuntungan bagi yang kalah! Pasang, pasang!”
Setelah
semua nomor di atas meja dadu diisi taruhan, gadis pengocok dadu angkat dua
tangannya tinggi-tinggi. Seorang tamu yang tidak tahan gairah melihat keindahan
ketiak si gadis ditambah payudaranya yang montok dan menyembul keluar, turunkan
cadarnya sedikit lalu enak saja hidung dan mulutnya menciumi ketiak si gadis.
Gadis cantik terpekik tapi tidak marah. Bandar Agung tertawa gelak-gelak. Para
tamu bersorak riuh.
Gadis
yang mengguncang dadu turunkan dua tangan. Dua buah dadu bergulir di dalam
kotak kayu. Masing-masing menunjukkan mata 2 dan 4. Jadi yang menang adalah
para pemasang di nomor 6. Salah satu pemenang justru lelaki yang tadi mencium
ketiak gadis pengocok dadu.
“Ha. .
ha! Ketiak pembawa rejeki!” seorang tamu berteriak.
Lalu ada
yang berseru. “Cium lagi! Cium lagi!” Tamu pemenang mengambil bayaran taruhan
yang diserahkan oleh Bandar Agung yaitu berupa delapan uang emas. Satu keping
uang etnas kemudian dimasukkannya ke balik dada gadis pengocok dadu. Rupanya
ciumannya tadi membuat rangsangan besar pada dirinya. Orang ini mendekati
Bandar Agung dan berkata.
“Bandar
Agung, apakah aku boleh membawa gadis ini untuk beristirahat barang sebentar di
lantai atas?”“
“Tentu
saja! Tentu saja! Bawalah ke atas! Selamat bersenang-senang. Kalau sudah puas
jangan lupa kembali ke sini. Seribu Rejeki menunggu di meja dadu. Ha. . . ha. .
. ha!”
Tanpa
menunggu lebih lama tamu tadi segera menarik lengan gadis pengocok dadu. Si
gadis menurut saja malah sambil senyum-senyum. Bandar Agung tepukkan tangan
tiga kali. Seorang gadis segera datang menggantikan gadis tadi.
Di dalam
kamar di lantai atas tamu yang membawa gadis cantik pengocok dadu begitu
menutup pintu langsung memeluk si gadis dan menciumi wajah, leher dan tentu
saja ketiaknya sehingga si gadis menggeliat kegelian.
“Aku suka
ketiakmu. Bersih putih dan enak baunya. Ha. . . ha. . . ha. Siapa namamu?”
“Saya
Ningrum. Saya merasa senang Raden Mas mau membawa saya ke sini. Bolehkan saya
menanggalkan pakaian sekarang juga?”
“Biar aku
yang membuka pakaianmu. “
“Ahh. . .
“ Gadis cantik itu menggeliat. “Apakah Raden Mas tidak akan membuka cadar merah
yang menutupi wajah? Rasanya akan lebih mesra bila kita bisa saling bertatap
muka. “
Sang tamu
segera tanggalkan cadar kain merah yang menutupi wajahnya. Sepasang mata
Ningrum membesar ketika mengenali orang di hadapannya.
“Saya
merasa mendapat kehormatan besar. Saya tidak menyangka kalau tamu yang gagah
dan dermawan ini adalah Raden Mas Karta Suminta , Adipati dari Brebes. . . “
Lelaki
berkumis dan bercambang bawuk tebal itu tertawa lebar. Tangannya dengan cepat
bergerak menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh Ningrum.
“Dengar,
setelah bersenang-senang ada tugas untukmu. Dan kau akan mendapat bayaran
berlipat ganda. “
Ningrum
membelai cambang bawuk Karta Suminta.
“Tugas
apa gerangan, Raden Mas? Jangan berikan saya tugas yang sulit-sulit. Berikan
tugas yang mudah dan enak-enak. Hik. . . hik. . hik”
“Seseorang
akan menemuimu besok pagi. Dia membawa satu bungkusan berisi racun, Tugasmu
adalah menyerahkan racun itu pada seseorang yang akan datang mengambil
bungkusan pada sore hari. Kau mengerti, Ningrum?”
“Saya
mengerti, Raden Mas. Ternyata tugas yang Raden Mas berikan tidak sulit. “ Jawab
Ningrum sambil layangkan senyum genit lalu baringkan diri di atas ranjang
sementara Karta Suminta mulai membuka pakaiannya.
Kembali
ke lantai bawah. Gadis pengganti pengocok dadu memiliki geliatan dan goyangan
tubuh tak kalah merangsang dari tadi yang bernama Ningrum, Saat itu sambil
menggoyang-goyangkan pinggul dia mengguncang dua buah dadu. Di atas kursi
Bandar Agung memperhatikan pasangan para tamu.
Setelah
itu tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jubah ungu. Gadis cantik
melemparkan dua buah dadu ke dalam kotak kayu di atas meja. Dua buah dadu
bergulir. Lalu berhenti pada mata 3 dan 6. Berarti para pemenang adalah
pemasang di angka 9. Ternyata pemasang di nomor itu hanya dua orang dan dalam
jumlah kecil. Yaitu hanya dua keping uang emas dan empat keping uang perak.
Sementara di nomor yang lain puluhan keping uang emas dan perak jadi taruhan,
termasuk dua batangan emas lantak di angka 7 dan 12.
Bandar
Agung dengan cepat meraup semua pasangan yang kalah dan membayar pasangan di
nomor pemenang.
“Pasang.
. . . pasang!” seru gadis pengocok dadu. “Selagi masih siang! Selagi pintu
rejeki terbuka lebar! Pasang, pasang!” Dua buah dadu dimasukkan ke balik dada.
Pakaiannya diusap-usap lalu dua buah dadu dikeluarkan kembali. Para tamu
bersorak riuh dan jadi tambah bersemangat.
*********************
Lenyapnya
Rayi Jantra Kepala Pasukan Kadipaten bersama dua perajurit Lebak dan Meneng
menimbulkan kehebohan di Losari. Adipati Seda Wiralaga memerintah seluruh
jajarannya untuk menyelidik. Malah dalam dua kali pemberangkatan rombongan
penyelidik dia ikut serta turun tangan. Mata-mata disebar ke berbagai pelosok.
Namun hampir dua puluh hari dimuka, misteri raibnya ke tiga orang itu tetap
tidak terpecahkan. Adipati belum mengambil keputusan guna mencari pengganti
Rayi Jantra. Untuk sementara jabatan dan tugas. Kepala Pasukan Kadipaten
dirangkap oleh sang Adipati sendiri.
Pada hari
ke lima hilangnya Kepala Pasukan dan dua perajurit, dari pintu gerbang selatan
Losari seorang lelaki memacu kudanya dengan cepat. Orang ini adalah perajurit
Jumena. Perajurit ini benar-benar merasa sangat kehilangan atasannya. Salah
satu alasan yang membuat dia sangat berduka adalah karena Rayi Jantra pernah
akan menaikkan pangkatnya satu tingkat. Kini dengan lenyap dan diduga sudah
meninggalnya sang atasan, tak ada harapan bagi Jumena untuk mendapat kenaikan
pangkat. Sementara penyelidikan dan pencarian terhadap ketiga orang itu boleh
dikata sudah dihentikan, namun perajurit Jumena secara sendirian masih terus
melakukan pelacakan.
Tanpa
arah pasti yang dituju, pagi itu Jumena telah melewati perbatasan ke arah
timur. Perajurit ini baru sadar dia telah memasuki wilayah timur setelah
perjalanannya terhenti di hadapan Kali Kabuyutan. Jumena turun dari kudanya.
Sementara binatang itu menuruni tebing dan minum air kali, Jumena duduk di
sebuah batu. Keadaan di tempat itu terasa sejuk nyaman. Sesekali terdengar
suara kicau burung.
Jumena
turun ke kali. Membasahi wajah dengan air bening sejuk hingga dirinya merasa
segar. Duduk kembali di atas batu sambil memperhatikan kudanya. Sadar kalau
saat itu dia telah melewati perbatasan dan berada di wilayah sebelah timur,
perajurit ini berpikir.
“Selama
ini penyelidikan lenyapnya Raden Rayi Jantra hanya dilakukan di daerah barat.
Apa salahnya aku menghabiskan waktu sehari dua untuk menyelidik kawasan sebelah
timur perbatasan ini. “ Berpikir begitu Jumena tarik tali kekang kuda. Ketika
dia hendak menunggangi binatang itu tak sengaja dia memandang ke langit arah
timur. Sekumpulan burung hitam tampak berputar-putar di udara lalu sambil
menguik melayang turun. Tak lama kemudian muncul lagi membumbung ke udara. Hal
ini diperhatikan Jumena terjadi berulang kali.
“Ada
sesuatu di arah timur sana yang menarik perhatian puluhan burung hitam itu.”
Akhirnya
Jumena memutuskan untuk menyelidik. Dia segera menggebrak tunggangannya.
Semakin
jauh ke timur semakin jelas Jumena melihat bentuk dan jenis puluhan burung itu.
“Burung
hitam pemakan bangkai!”
Kuduk
sang perajurit mendadak terasa dingin. Kudanya dipacu semakin kencang. Tapi
jalan yang ditempuh semakin sulit. Selain mendaki juga terhalang oleh semak
belukar dan bebatuan. Di satu tempat Jumena terpaksa hentikan kuda dan turun.
Hidungnya mendadak mencium bau sangat busuk. Di pohon-pohon sekitarnya dia
melihat banyak lalat menempel dan beterbangan. Jumena melangkah ke arah tanah
ketinggian sampai akhirnya dia terpaksa berhenti karena di depannya menghadang
sebuah jurang batu.
Jumena
menatap ke langit lalu pandangannya mengikuti burung-burung hitam yang menukik
ke bawah. Ketika perajurit ini memperhatikan dasar jurang, kejutnya. bukan
alang kepalang walau sebelumnya dia sudah menduga-duga.
Meski
cukup terjal namun jurang batu itu tidak seberapa dalam hingga Jumena bisa
melihat cukup jelas lebih dari delapan mayat bergeletak di dasar jurang. Ada
yang terpentang di atas batu, ada yang terselip diantara bebatuan. Semua dalam
keadaan sangat rusak, menebar bau busuk. Malah ada yang hanya tinggal tulang
belulang memutih dibawah terik sinar matahari.
“Aku
punya firasat. Jangan-jangan salah satu dari mayat itu adalah mayat Raden Rayi
Jantra. Ya Tuhan, mudah-mudahan firasatku salah. “
Setelah
menutup hidungnya dengan sehelai sapu tangan, perajurit Jumena dengan hati-hati
menuruni jurang terjal. Burung-burung hitam pemakan mayat menguik keras seolah
marah keberadaan mereka di sana yang tengah menyantap makanan diganggu oleh
kemunculan Jumena. Burung-burung itu melesat ke udara, terbang berputar-putar.
Hanya beberapa ekor saja yang masih memberanikan diri melayang turun untuk
mencungkil sisa-sisa daging busuk pada sekian banyak mayat di dasar jurang.
Jumena
sampai di dasar jurang. Dengan perasaan ngeri dan jijik memperhatikan sosok
mayat satu persatu. Ada enam mayat yang tidak dikenalnya.
“Mudah-mudahan
Raden Rayi tidak menemui nasib malang di tempat ini. . . . “ ucap Jumena. Namun
kuduknya jadi merinding dan matanya terpentang lebar ketika memperhatikan
sesosok mayat yang terselip di antara dua buah batu besar agak jauh di bawah
sana. Dari pakaiannya saja dia sudah bisa menduga bahwa mayat itu adalah mayat
Rayi Jantra. Jumena berusaha mencapai mayat tapi sulit.
Jumena
naik ke satu batu cadas, jongkok memperhatikan ke arah antara dua buah batu
besar. Perhatiannya dipusatkan pada kepala mayat. Walau kepala itu sudah hancur
namun dalam bimbangnya Jumena kini bukan cuma menduga, tapi yakin mayat itu
adalah mayat atasannya. Jumena merasa kepalanya pusing dan perutnya mual. Dia
tidak mungkin mengeluarkan mayat Rayi Jantra yang sudah sangat rusak dari sela
batu apa lagi membawanya ke atas jurang.
“Raden,
maafkan diriku yang tidak bisa menyelamatkan jenazahmu. . . “ Habis berkata
begitu seperti dikejar setan Jumena kembali naik ke atas jurang. Tubuhnya mandi
keringat.
Sampai di
tepi jalan perajurit ini jatuhkan diri berlutut, menghambur tangis. Keluarkan
ratapan.
“Raden
Rayi Jantra, dosa apa yang telah kau perbuat sehingga ada orang tega membunuh
dan membuang mayatmu ke jurang? Siapa pembunuhnya! Siapa?!” Jumena berteriak-teriak
sambil meninju-ninju tanah.
Tibatiba
ada suara menegur.
“Seorang
perajurit tidak pantas menangis! Perajurit, apa yang terjadi di sini?”
Jumena
hentikan tangis, angkat kepala. Dia melihat sosok seorang pemuda berdestar dan
berpakaian putih, rambut panjang sebahu, berdiri di hadapannya.
“Jahanam!”
Jumena berteriak seperti orang kalap. “Pasti kau pembunuhnya! Paling tidak kau
kaki tangan pembunuh!”
Jumena
loloskan golok besar di pinggang lalu tanpa pikir panjang lagi dia melompat
bangkit dan membacok ke arah kepala orang!
Sebelum
golok besar mendarat di sasaran, satu tangan kukuh dengan cepat mencekal
pergelangan tangan kanan Jumena. Sekali tangan itu memuntir golok terlepas,
Jumena terhuyung lalu jatuh terduduk di tanah.
*********************
SEPULUH
“Aku
bertanya baik-baik. Mengapa kau malah hendak membacokku?”
Orang
yang hendak dibacok yakni pemuda berambut gondrong yang bukan lain adalah
Pendekar 212, bertanya.
Jumena
terduduk lemas di tanah. Menatap Wiro masih dalam keadaan setengah kalap.
Ketika amarahnya mengendur dengan suara perlahan dia berkata.
“Aku
tidak berniat jahat . . Aku kalap karena atasanku dibunuh orang dan mayatnya
dibuang ke jurang!”
“Siapakah
atasanmu?”
“Raden
Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari. “
“Kau
adalah perajurit wilayah barat, mengapa berada di wilayah timur?” tanya Wiro.
“Aku
dalam mencari atasanku. Sejak lima hari lalu dia raib bersama dua perajurit.
Seluruh kawasan di barat telah diselidiki. Raden Rayi tidak ditemukan. Akhirnya
aku mencoba masuk ke wilayah ini. Ternyata tidak sia-sia. Mayatnya kutemukan di
dasar jurang.”
“Aku
lihat di sini mayat di jurang berjumlah lebih dari delapan orang. Mayat siapa
yang lainnya?”
“Dua
adalah perajurit Lebak dan Meneng. Yang lain aku tidak bisa menduga.”
Setelah
diam sebentar perajurit Jumena bertanya. “Pemuda Kau sendiri siapakah?”
“Aku
dalam perjalanan ke Gunung Gede. Kebetulan saja lewat di tempat ini. “
“Namamu?”
tanya Jumena lagi.
Wiro
tertawa. Dia balik bertanya.
“Kalau
sampai Kepala Pasukan Kadipaten dibunuh orang lalu mayatnya dibuang di jurang
sana, apakah kau bisa menduga siapa yang berbuat keji. Lalu apa latar belakang
kejahatan ini?”
Jumena
gelengkan kepala.
“Banyak
hal yang aku tidak ketahui. Di kawasan barat, terutama di Kadipaten Losari
akhir-akhir ini banyak kejadian. Semua berujung pada kematian. “
“Perajurit,
ceritamu menarik. Apa kau mau menjelaskan. apa saja yang telah terjadi?” tanya
Wiro.
“Aku
tidak mau bercerita. Aku tidak kenal siapa dirimu. Bukan mustahil kau adalah
mata-mata orang timur. “
Wiro
tertawa.
“Aku
bukan mata-mata. Kalau kau bercerita siapa tahu aku bisa menolong. “
“Tidak,
aku tidak akan bercerita. “ Jawab Jumena. “Silahkan kau melanjutkan perjalanan.
Gunung Gede masih jauh dari sini. “
“Kau
betul, Gunung Gede masih jauh dari sini. Aku melihat seekor kuda besar di
sebelah sana. Pasti milikmu. Aku rasa kau mau berbaik hati meminjamkan kuda itu
untuk tungganganku ke Gunung Gede. “
“Jadi
rupanya kau seorang penjahat! Seorang begal!” Teriak Jumena marah.
Wiro
tertawa.
“Aku
hanya mau meminjam. Jika kau tidak sudi aku tidak memaksa,” jawab Wiro lalu
tinggalkan tempat itu. Belum jauh dia berjalan didengarnya perajurit tadi lari
mengejarnya dan berseru.
“Tunggu!
Jika kau memang ingin penjelasan, aku bersedia menceritakan!”
“Hemm. .
. Begitu? Baiklah. Aku akan mendengarkan. “ Jawab Wiro lalu duduk di tepi
jalan.
Perajurit
Jumena bercerita mulai dengan kematian Nyi Inten Kameswari yang makamnya
kemudian dibongkar orang. Ketika jenazah diperiksa kembali ditemukan perutnya
dalam keadaan robek besar. Lalu menyusul kematian Anom Miharja, suami Nyi Inten
yang dikabarkan bunuh diri. Jumena tidak lupa menceritakan ditemukannya
beberapa mayat orang Cina yang diduga adalah orang-orang rimba persilatan
Tiongkok. Lalu kematian Pengemis Muka Bopeng dan seorang tokoh silat bernama
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Kejadiannya di warung Akang Punten di desa Cangkring.
Sebelum mati Eyang Sepuh didengar menyebut-nyebut nama Raden Kumalasakti. Lalu
diceritakan pula ditemukannya beberapa mayat penduduk setempat.
“Siapa
Raden Kumalasakti itu?” tanya Wiro.
“Seorang
masih muda tapi memiliki kepandaian tinggi, Punya banyak hubungan dengan para
tokoh di barat dan di timur. “
“Menurutmu,
kematian Raden Rayi Jantra ada sangkut pautnya dengan semua pembunuhan yang
terjadi?” Bertanya Wiro.
“Aku tidak
bisa menduga. Bisa saja begitu. Satu hal kuketahui, sebelum tewas Raden Rayi
Jantra tengah menyelidiki asal usul kekayaan keluarga Anom Miharja dan istrinya
Nyi Inten. “
“Ceritamu
tambah menarik. Kalau Anom Miharja dan Nyi Inten sakit hati karena dirinya
diselidiki, tak mungkin mereka yang membunuh Rayi Jantra. Turut ceritamu kedua
orang itu telah mati lebih dulu. “
“Kau tadi
mengatakan ingin menolong. Bagaimana caramu mau menolong?” Jumena kini yang
bertanya.
Wiro
keluarkan kancing hitam dari kayu yang didapatnya dari Eyang Sepuh Kembar Tilu
lalu memperlihatkan pada Jumena.
“Kancing
kayu ini. Kau tahu kira-kira siapa punya pakaian memakai kancing seperti ini?”
“Itu
kancing baju jas tutup. Semua orang kaya, para bangsawan dan pejabat tinggi
jika mereka mempunyai jas tutup pasti kancingnya seperti itu. “ Jawab Jumeha.
“Dari mana kau mendapatkan kancing itu?”
“Kutemukan
di satu tempat,” jawab Wiro berdusta. Seperti diketahui kancing itu didapatnya
tergenggam di tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu sewaktu nenek aneh itu menemui
kematian dibunuh seseorang yang tidak diketahui siapa adanya. Lalu Wiro
berkata, setengah memancing. “Kalau sampai banyak orang asing datang ke Losari
pasti ada seseorang atau sesuatu yang sangat penting dan berharga yang mereka
cari. Apa lagi mereka sampai menemui ajal begitu rupa. Lalu jika dihubungkan
dengan rentetan kematian beberapa tokoh silat seperti Eyang Sepuh Kembar Tilu,
Raden Kumalasakti dan Pengemis Muka Bopeng yang menyaru menjadi Raden
Kumalasakti. Mungkin banyak lagi tokoh atau orang yang telah menemui kematian
tapi tidak kau ketahui. Apakah kau tidak mengira semua itu ada kaitannya satu
sama lain?”
“Aku
Jumena, seorang perajurit rendah. Akalku tidak sampai pada menghubung-hubungkan
semua hal yang terjadi. Hanya saja sewaktu terjadi perkelahian antara Pengemis
Muka Bopeng dan Eyang Sepuh Kembar Tilu di warung Akang Punten, kabarnya
Pengemis Muka Bopeng memaksa si nenek menyerahkan sesuatu barang. “ “Barang
apa?” tanya Wiro. “Dua buah dadu. “ Jawab Jumena. “Dua buah dadu?” Wiro
menggaruk kepala. “Hanya gara-gara dua buah dadu saja saling berbunuhan?! Edan
betul! Tapi….”
Wiro
tidak meneruskan ucapannya. Hidungnya mencium semerbak bau harum. Padahal dari
arah jurang masih santar bau busuknya mayat.
“Hemmm. .
. . Aku pernah mencium bau harum ini sebelumnya. Tapi dimana. . . . “ Murid
Sinto Gendeng lagi-lagi menggaruk kepala. Wiro memandang berkeliling. Sunyi,
tak ada suara, tak ada orang tak ada gerakan. Wiro perhatikan sebuah dinding
batu tak seberapa lebar namun cukup tinggi menjulang ke udara. Kalau ada orang
yang sembunyi dan diam-diam melakukan pengintaian, maka balik lamping batu itu
adalah tempat yang paling baik.
Tidak
menunggu lebih lama, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang andal
Pendekar 212 melompat tinggi ke udara, melesat dan di lain saat dua kakinya
telah menginjak bagian atas dinding batu yang ternyata cukup lebar dan rata.
Wiro memandang ke bawah. Dia melihat satu bayangan merah berkelebat cepat
menuruni lereng batu.
“Hai!”
Wiro
berteriak. Bayangan merah lenyap dari pemandangan. Luar biasa. Tempat dimana
dia berada serta lereng batu terjal di bawah sana berjarak hampir dua puluh
tombak. Namun si bayangan merah mampu menuruni lereng dengan cepat dan lenyap
dalam sekejapan mata. Bukan saja gerakannya cepat sekali tapi ilmu meringankan
tubuhnya juga luar biasa. Bidadari Angin Timur yang memiliki kecepatan seperti
kilat mungkin kepandaiannya masih satu tingkat di bawah si bayangan merah tadi.
“Pasti
dia lagi!” ucap Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak. “Dua nenek
kembar, apa kau ada di sini?!”
Saat itu
juga terdengar suara ha-hu ha-hu. Dua nenek kembar rambut kelabu jubah kuning
muncul. Keduanya membungkuk di hadapan Wiro.
“Kalian
melihat orang yang kabur di bawah sana?”
“ha-hu
ha-hu!”
“Apa dia
orang yang sama. Yang dulu pernah mengintai diriku?!”
“ha-hu
ha-hu!”
“Kejar
dia sampai dapat. Kalau sudah ditemui beritahu padaku dan antar aku ke tempat
dimana dia berada!”
“ha-hu
ha-hu!”
Dua nenek
kembar membungkuk lalu berkelebat lenyap dari tempat itu, melayang laksana
terbang ke jurusan lenyapnya bayangan merah. Wiro berpaling ke arah Jumena.
“Aku
harus pergi. Nanti kita bertemu lagi!”
“Katanya.
mau menolong. Malah pergi. . . . “ Jumena mengomel.
Tidak
seperti si bayangan merah atau dua nenek aneh, untuk sampai ke lereng bukit
batu di bawah Sana Wiro memerlukan satu lompatan antara. Berlari cukup jauh
malah sampai sang surya tepat di ubun-ubun kepala dia masih belum berhasil
mengejar orang berpakaian merah. Sementara dua nenek kembar tak satupun yang
muncul. Sambil lari sesekali Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang yang
didapatnya dari Ratu Duyung namun tetap saja dia tidak dapat menjajagi dimana
beradanya orang yang dikejar. Menjelang petang Wiro akhirnya capai sendiri dan
hentikan pengejaran.
Malam
hari Wiro menemukan sebuah candi kecil yang keadaannya sudah sangat rusak.
Untung ada bagian atap yang masih cukup baik untuk dipakai berlindung dari
embun dingin. Wiro memutuskan untuk bermalam di candi ini. Perutnya terasa
lapar. Selagi dia mencari tempat yang baik dan bersih untuk berbaring tibatiba
terdengar suara derap kaki kuda, keras dan cepat sekali. Wiro memperhatikan
dari balik dinding candi.
Dalam
kegelapan malam kelihatan dua penunggang kuda coklat memacu tunggangan mereka
ke arah candi. Sementara di sebelah belakang mengejar enam orang yang juga
menunggang kuda.
Begitu
sampai di depan candi, dua penunggang kuda coklat yang berpakaian dan berdestar
biru segera berhenti. Kuda dilepas dan keduanya cepat menyelinap ke dalam
candi. Wiro memperhatikan, dua orang ini masih sangat muda-muda. Wajah mereka
sama-sama tampan. Yang bertubuh kecil halus berkumis tipis rapi. Kelihatannya
mereka pemuda baik-baik. Tampang pedagang mereka tidak punya. Mungkin murid
atau santri pesantren yang beberapa diantaranya memang terdapat di daerah itu.
Mungkin juga mereka dua orang putera ningrat bangsawan yang kemalaman di jalan.
Kedua orang ini masing-masing membekal bungkusan besar di punggung.
Enam
penunggang kuda pengejar berhenti di samping candi dengan suara menggemuruh.
Debu mengepul ke udara. Ke enam orang ini mengenakan baju penuh tambalan.
Dengan gerakan sebat cepat mereka melompat masuk ke dalam candi.
“Dua
tikus putih! Apa kalian lebih suka mencari mati dari menyerahkan harta benda?!”
Salah seorang dari enam lelaki yaitu yang paling besar tubuhnya berteriak.
Golok besar berkilat dimelintangkan di atas dada. Rambut hitam lebat, muka
kotor coreng-moreng, kumis melintang, berewok dan janggut meranggas kasar. Satu
keanehan pada diri orang ini, sepasang mata lebih banyak putihnya. Bola mata
hanya merupakan satu titik kecil berwarna hitam. Lima temannya keadaannya
hampir tidak beda. Hanya saja yang lima ini tidak memiliki mata seperti si
tinggi besar tadi.
“Meong. .
. “
Tibatiba
ada suara kucing mengeong. Sesaat kemudian satu sosok berpakaian putih melesat
di udara dan berdiri di tembok candi. Sambil bertolak pinggang orang ini
berkata.
“Tak ada
tikus di sini. Yang ada kucing meong. Aku!” “
Enam
orang lelaki berpakaian penuh tambalan melengak kaget. Tapi cuma sebentar.
Keenamnya menggebor marah. Yang paling depan membentak keras.
“Kalau
tidak ada tikus kucing meongpun jadi!” Lalu orang ini melompat ke depan
babatkan golok besarnya ke kaki orang di atas tembok yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Ah kalian
pasti pengemis apes. Tidak gablek sedekahan siang tadi, malam hari jadi nekad!”
Sekali
melompat Wiro telah berada di udara. Waktu melayang turun dia sengaja injakkan
kaki kiri lebih dulu di atas kepala orang yang paling besar baru jejakkan kaki
di lantai candi. Marah orang ini diperlakukan seperti itu bukan alang kepalang.
Seumur hidup baru kali itu ada orang yang berlaku sangat kurang ajar, berani
menginjak kepalanya. Dia berteriak pada anak buahnya yang lima orang.
“Cari dua
tikus itu! Jarah harta benda mereka! Bunuh jika melawan! Aku akan mencincang
kucing meong satu ini! Tidak ada satu orangpun boleh berlaku kurang ajar
terhadap Pengemis Mata Putih!”
Orang
yang mengaku Pengemis Mata Putih melompat ke atas tembok. Di saat yang sama
sambil tertawa bergelak Wiro melompat ke lantai candi.
“He. .
he! Bagaimana ini! Kau ke atas, aku ke bawah! Ha. . . ha. . . ha!”
Pendekar
212 melirik ke samping lalu berkelebat tinggalkan Pengemis Mata Putih.
“Bukk!
Bukk!”.
Dua
lelaki berpakaian tambalan yang hendak menyergap ke sudut candi dimana
beradanya dua pemuda tampan berpakaian biru tadi mencelat mental dan keluarkan
jeritan keras. Golok terlepas jatuh. Keduanya terkapar di lantai candi,
megap-megap muntah darah. Tiga temannya serta merta berbalik ke arah Wiro dan
kiblatkan golok masing-masing dalam jurus luar biasa cepat dan ganas!
Pendekar
212 mainkan jurus Benteng Topan Melanda Samudera. Dua tangan dikipas ke depan.
“Wutt!
Wuutt!”
“Aahhhhh!”
Tiga
lelaki baju tambalan mengerang keras. Ketiganya terpental. Satu menghantam
dinding candi hingga roboh. Dua lainnya terbanting ke halaman candi! Satu
melejang-lejang kesakitan satunya tak berkutik lagi karena patah leher.
“Singgg!”
Satu
golok besar menyambar ke arah batang leher Pendekar 212. Datangnya dari
samping. Wiro cepat merunduk. Sambil jatuhkan diri dan bersitekan dengan dua
tangan ke lantai candi, kaki kirinya menendang ke belakang dalam jurus Kilat
Menyambar Puncak Gunung.
“Duukkk!”
Gerak serangan
seperti kuda menendang itu mendarat di dada Pengemis Mata Putih yang tadi
membacok dengan ganas. Tubuhnya yang besar hanya bergontai sebentar lalu.
mulutnya keluarkan suara tawa bergelak. Sambil pukul-pukul dadanya sendiri dia
berkata menantang.
“Pemuda
gondrong kau boleh pukul bagian tubuhku yang kau suka! Kau boleh keluarkan
senjata! Bacok dan tusuk dimana kau senang!”
“Hemmm. .
. . rupanya kau punya ilmu kebal hingga berlaku pongah menantang! Tapi apakah
kau merasa lebih hebat dari Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam yang
telah menemui kematian?!”
Kejut
Pengemis Mata Putih bukan alang kepalang. “Kau bicara apa?!” hardik Pengemis
Mata Putih. Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam adalah dua adik
seperguruannya.
“Sebaiknya
kau bersama anak buahmu pergi menghadap gurumu Si Raja Pengemis di Lebakwangi.
Bertobat minta ampun atas semua perbuatan sesat kalian. Diniati jadi pengemis
malah jadi rampok!”
Mendengar
kata-kata Wiro, Pengemis Mata Putih menggerung.
“Jika dua
saudara seperguruanku tewas, berarti kau yang membunuh mereka!”
Dengan
golok di tangan Pengemis Mata Putih menerjang ke depan. Golok besar berkilat
berubah seolah menjadi belasan banyaknya. Membabat, membacok dan menusuk dengan
mengeluarkan angin dingin serta suara berdesing. Pengemis Mata Putih keluarkan
jurus andalnya yang disebut Pengemis Siang Minta Berkah, Pengemis Malam Minta
Sesajen.
”Breett!”
Baju
Pendekar 212 robek di bagian bahu. Pakaian putih itu tampak kemerahan tanda
kulit bahu Wiro ikut terluka. Dari sudut candi terdengar satu suara pekikan.
Walau bahunya terasa perih, Pendekar 212 menyeringai sambil tepuk-tepuk bahu
yang luka.
“Kucing
meong! Baru bahumu yang aku sayat! Sekarang giliran lehermu! Lihat golok!”
Didahului bentakan keras tubuh besar Pengemis Mata Putih melompat. Goloknya
bersiuran, menabur tiga serangan sekaligus. Yaitu membabat ke pinggang lalu
membacok ke kepala dan terakhir sekali yang merupakan serangan sebenarnya
adalah menusuk ke leher! “Serangan hebat! Jaga kepalamu!” teriak Wiro sambil
menghindar.
Pengemis
Mata Putih terkesiap. Suara lawan datang dari empat jurusan. Mana yang
sungguhan dan mana yang palsu? Belum mampu dia memastikan tiba-tiba buukkk!
Batok kepalanya digebuk orang!
Pengemis
Mata Putih tersungkur di tanah. Mengerang sebentar, mata terjereng-jereng lalu
bangkit lagi! Pendekar 212 melengak kaget setengah mati. Tadi dia berhasil
menipu lawan dengan ilmu Empat Penjuru Menebar Suara. Ilmu ini didapatnya dari
Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud yang merupakan guru Hantu Selaksa Angin (Baca serial
Wiro Sableng di Latanahsilam) Selagi lawan kebingungan Wiro kemudian menghantam
ubun-ubun orang dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. Pukulan yang bisa
menghancurkan batu besar itu ternyata tidak mampu memecahkan kepala Pengemis
Mata Putih!
“Gila!
Ilmu kebalnya benar-benar luar biasa! Aku harus mencari kelemahannya! Sebaiknya
aku lebih dulu mencecar dengan serangan.” Wiro lalu kerahkan tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuh. Tubuhnya berkelebat seolah berubah jadi bayang-bayang.
Tangan dan kakinya melesat kian kemari, menendang dan menggebuk. Beberapa dari
serangannya itu bersarang dengan telak di tubuh lawan. Namun tetap saja
Pengemis Mata Putih bergeming, tidak berhasil dirobohkan apa lagi dicederai.
Sebaliknya serangan golok sang pengemis semakin bertubi-tubi dan berbahaya.
Wiro memutuskan untuk menghantam lawan dengan pukulan Sinar Matahari.
“Kelemahan
orang itu adalah pada matanya. Jika kau bisa menciderai satu saja dari dua
matanya, sekali pukul saja dia akan ambruk menemui ajal!”
Tibatiba
Wiro mendengar suara halus di telinga kirinya. Dia tidak berusaha mencari tahu
siapa yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu namun langsung saja melakukan
serangan mengincar dua mata lawan. Setelah mendesak Pengemis Mata Putih tiga
jurus berturut-turut Wiro akhirnya berhasil menjotos mata kiri lawannya dengan
jurus pukulan Membuka Jendela Memanah Matahari.
“Crooss!”
Mata kiri
Pengemis Mata Putih hancur! Orang ini langsung melosoh ke tanah, menjerit tiada
henti. Wiro jambak rambutnya dengan tangan kanan. Ketika tangan kiri hendak
dihantamkan ke muka orang ada orang mencegah dengan mengirimkan suara.
“Jangan
bunuh orang itu!”
Wiro
lepaskan jambakan. Pengemis Mata Putih jatuh terduduk di tanah, berlutut dan
meratap minta ampun.
“Aku
mengaku kalah! Ampuni selembar nyawaku! Aku siap untuk bertobat!”
“Pergilah!
Bawa teman-temanmu yang masih hidup. Awas jika kemudian hari aku menemuimu
masih berbuat jahat!”
Pengemis
Mata Putih membungkuk-bungkuk berulang kali. Ternyata ada empat orang anak
buahnya yang masih hidup walau dua diantaranya luka parah.
Setelah
Pengemis Mata Putih dan empat anak buahnya pergi membawa serta mayat seorang
teman mereka Wiro berpaling ke sudut kiri candi dimana dua pemuda cakap
berpakaian biru berdiri dengan wajah menunjukkan rasa lega, lepas dari
malapetaka.
Pemuda
yang bertubuh lebih besar segera mendatangi Wiro.
“Aku dan
adikku menghaturkan banyak terima kasih dan bersyukur pada Yang Maha Kuasa.
Kalau sahabat tidak menolong, entah apa jadinya kami. berdua. “
Wiro
menggaruk kepala. Sekali lihat saja dia tidak percaya kalau dua pemuda tampan
dan halus ini tidak memiliki ilmu kepandaian. Mereka sembunyikan kehebatan
dibalik sikap merendah dan lemah lembut. Maka Wiro lalu menjawab.
“Kalau
tidak tadi salah satu diantara sahabat yang memberi tahu kelemahan pengemis
itu, rasanya saat ini aku sudah jadi mayat terkutung-kutung. “
Pemuda
yang bertubuh lebih kecil dan berkumis rapi mendatangi.
“Ilmu
silat, ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam saudara sungguh mengagumkan.
Boleh saya bertanya siapa saudara ini dan murid siapa gerangan adanya?”
Wiro
tersenyum.
“Sahabat
keliwat memuji. Kalau saya boleh bertanya, sahabat berdua datang dari mana dan
mau menuju ke mana?”
“Kami
orang pedalaman. Aku Panjirama, adikku bernama Ariadarma. Kami dalam perjalanan
ke utara. Di tengah jalan dihadang dan dikejar oleh Pengemis Mata Putih bersama
anak buahnya. Untung kami bertemu dengan sahabat. Sebelum sampai di sini kami
tidak henti-hentinya melihat bencana, malah mengalaminya sendiri. “
Ariadarma
menyambung ucapan sang kakak. “Sebelumnya kami melewati beberapa desa. Penduduk
disana tengah meratapi bencana yang mereka alami. Air sungai yang melalui desa
mereka diracuni orang. Ikan mati mengambang. Ternak banyak yang menemui ajal.
Bahkan penduduk yang minum air sungai, walau telah dimasak masih mati
keracunan. Diperlukan waktu berminggu-minggu sebelum racun larut hanyut ke
muara. Penduduk beberapa desa itu sudah lama menderita. Kini malah jadi tambah
sengsara. . . “
“Ini
pasti pekerjaan orang-orang di timur. Orang-orang di barat sudah terlalu lama
banyak mengalah. “ Kata Panjirama pula.
Wiro
perhatikan pemuda berkumis yang berdiri di depannya. Dia garuk-garuk kepala
lalu tersenyum dan berkata.
“Kalian
berdua pasti kecapaian. Kalian perlu istirahat. Perjalanan ke utara masih jauh.
Candi rusak ini terlalu sempit untuk kita bertiga. Apa lagi aku tidak ingin
menganggu kehadiran kalian berdua. Aku tak berani menduga, namun bukan mustahil
kalian adalah sepasang kekasih yang sedang berkelana secara menyamar. . . “
Kaget dua
kakak adik berwajah tampan itu bukan main. , “Aku tidak mengerti maksud
sahabat,” kata pemuda bernama Panjirama.
Wiro
membungkuk lalu masih sambil senyum-senyum dia tinggalkan candi itu.
“Heran,”
kata Panjirama. “Bagaimana dia sampai berkata kita adalah sepasang kekasih yang
sedang berkelana secara menyamar. . . “
“Ucapan
itu hanya punya satu arti,” sahut Ariadarma, sang adik. “Dia tahu kalau Adinda
perempuan. Luar biasa, bagaimana dia bisa tahu?”
“Sayang
dia keburu pergi. Padahal pendekar seperti dia yang kita perlukan di kemudian
hari. “ Kata Panjirama pula.
Sementara
itu Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan sambil senyum-senyum. “Berkumis tapi
pakai kalung emas dan punya payudara. Ha. . . ha. . . ha. . . “ Bagaimana Wiro
tahu kalau Ariadarma adalah seorang perempuan? Tidak lain karena kejahilannya
juga. Dia memperhatikan pemuda berkumis itu sambil mengerahkan ilmu Menembus
Pandang. Padahal Ratu Duyung telah berpesan bahwa ilmu tersebut tidak boleh
dipergunakan untuk niat nakal atau jahat.
“ha-hu
ha-hu. . . “
Wiro
hentikan langkah.
“Nenek
kembar?”
Satu
bayangan kuning berkelebat dan salah seorang dari dua nenek kembar rambut
kelabu jubah kuning muncul berdiri di hadapan Wiro.
“ha-hu
ha-hu!” si nenek keluarkan suara gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk
dirinya sedang tangan menunjuk ke arah kejauhan.
“Kau dan
kembaranmu sudah menemui orang berpakaian merah itu?” tanya Wiro.
Nenek
rambut kelabu mengangguk berulang kali.
“Ha hu
ha-hu!”
“Kalau
begitu antarkan aku ke sana. “
“ha-hu
ha-hu!” ucap si nenek.
“ha-hu
ha-hu!” Wiro menirukan sambil menepuk pantat si nenek.
“Uuuhh. .
. “ Walau hanya mahluk jejadian, namun tepukan di pantatnya membuat si nenek
terangsang juga dan tubuhnya mendadak sontak berubah menjadi seorang perempuan
muda cantik jelita.
“Jangan
coba merayuku! Baru pantat belakang yang aku tepuk sudah mau menggoda.
Bagaimana kalau aku tepuk pantatmu yang depan!” kata Pendekar 212 pula sambil
senyum-senyum. “Ayo jalan!”
Perempuan
cantik itu tertawa lebar. Kedip-kedipkan matanya lalu ujudnya kembali seperti
semula yaitu sosok nenek rambut kelabu.
“Ha-hu
ha-hu!”
TAMAT
No comments:
Post a Comment