Jabang Bayi Dalam Guci
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
Tiba-tiba
satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu seorang kakek berselempang kain
putih, berkumis dan berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken
Parantili. Di tangan kanan orang tua Ini memegang sebuah guci tembus pandang
berisi air bening.
"Dengan
izin Para Dewa, dengan lindungan kasih sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon
masukkan jabang bayi itu ke dalam guci ini." Berkata si orang tua.
"Resi,
aku…." Ken Parantili tidak bisa meneruskan ucapan. Perlahan-lahan tangan
kanan yang memegang jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus
pandang. Ketika genggaman dilepas. Jabang bayi merah langsung masuk ke dalam
guci.
**********************
1
MALAM
sunyi dan dingin di bantaran Kali Gondang tak Jauh dari desa Kebonarum. Hampir
bersamaan waktunya ketika Raja Mataram dan rombongan meninggalkan tempat
rahasia di Sumur Api dalam perjalanan menuju Kotaraja. Hujan turun
rintik-rintik.
Bulan
biru masih menggantung indah di langit Mataram, memancarkan cahaya sejuk. Di
satu tikungan kali yang aliran airnya bergelombang deras terlihat sebuah
bangunan candi kecil, menghitam di bawah bayang-bayang sebuah pohon besar yang
tumbuh miring.
Pohon
telah tumbuh lebih dari seratus tahun, hampir sama dengan usia candi. Konon
pohon itu ditanam ketika candi mulai dibangun.
Karena
letaknya yang sangat terpencil dan sulit dicapai, sejak selesai dibangun candi
itu jarang didatangi orang. Di bagian belakang dan kiri kanan candi terbentang
kawasan berbatu-batu tinggi dan terjal, ditutup pula oleh rimba belantara
lebat. Satusatunya jalan untuk mencapai candi adalah melalui Kali Gondang. Tapi
karena arus air kali di tikungan selalu besar dan sangat berbahaya maka tak ada
yang berani mempertaruhkan nyawa. Menurut penduduk desa Kebonarum beberapa kali
orang-orang nekad berusaha mendatangi candi dengan menaiki perahu dan getek.
Mereka tertarik oleh kabar bahwa di dalam candi terdapat sejumlah harta karun.
Namun semua mereka menemui ajal ditelan arus. Kabarnya arus air di Kali Gondang
mendadak berubah menjadi lebih besar dan ganas jika ada orang berada di sekitar
kali dan coba mendekati candi.
Namun
malam itu ada satu keanehan. Dari luar candi terlihat cahaya temaram pertanda
ada orang di dalamnya Memang ternyata begitulah kejadiannya Saat itu di dalam
candi berada seorang Resi yang sejak dua malam lalu melakukan tapa Di depannya
di lantai candi terdapat sebuah lobang berbentuk empat persegi sedalam satu
jengkal. Di dalam lobang terletak empat puluh keping batu berwarna putih. Dalam
tapanya sang resi memancarkan aliran hawa sakti ke dalam lobang.
Setelah
dua hari dua malam berlalu, pada malam ketiga kepingan-kepingan batu putih
pancarkan cahaya merah. Semakin lama cahaya itu semakin terang. Candi yang
tadinya gelap gulita kini menjadi benderang.
Bersamaan
dengan itu di dalam candi menebar bau harum dan hawa sejuk.
Tepat di
pertengahan malam ketika empat puluh kepingan batu memancarkan cahaya yang
sangat terang tiba-tiba dari arah pintu depan candi berkelebat satu cahaya
putih. Lalu terdengar satu suara lembut berucap.
"Resi
Kali Jagat Ampusena, kekuatan tapamu mampu menyalakan empat puluh keping batu
putih.
Tapamu
diterima, berhentilah bersemedi dan dengar baik-baik apa yang aku
katakan."
Resi
bernama Kali Jagat Ampusena mengusap wajah yang ditumbuhi kumis dan janggut
putih, perlahan-lahan buka sepasang mata. Hal pertama yang dilihatnya setelah
mendengar suara tadi adalah cahaya putih di pintu candi. Serta merta orang tua
berusia hampir seratus tahun ini tundukkan tubuh, kepala menyentuh lantai
candi, mulut berucap.
"Roh
Putih pelindung langit dan bumi, saya yang rendah sangat berterima kasih Roh
Putih telah berkenan datang. Saya tahu ketenteraman telah datang di Bhumi
Mataram. Namun rasa aman masih belum mencapai kesempurnaan. Untuk itu saya
mohon petunjuk lebih lanjut dari Roh Putih."
"Resi
Kali Jagat Ampusena, ucapanmu menyatakan betapa hati sanubarimu menunjukkan
bakti yang sangat tinggi terhadap Kerajaan. Tetapi ketahuilah, urusan Kerajaan
sudah ada yang menangani. Mataram masih memiliki seorang Raja. Kerajaan masih
mempunyai banyak pejabat dan orang sakti berkepandaian tinggi yang telah dan
akan tetap berbakti untuk Bhumi Mataram. Biar semua mereka itu yang mengatur
sesuai
dengan
kehendak Yang Maha Kuasa. Bagi dirimu, ada satu tugas yang sebenarnya sudah
tersurat di alam gaib sejak dua puluh purnama yang lalu…"
Dalam
kejutnya mendengar ucapan Roh Putih Resi Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan
tubuh dan kepala.
"Roh
Putih, saya mohon diberikan petunjuk atas tugas yang menjadi kewajiban saya
itu."
Baru saja
sang Resi keluarkan ucapan tiba-tiba di lantai di hadapannya muncul sepasang
kasut berwarna putih.
"Resi
Kali Jagat pada saat cahaya putih lenyap dari pandangan matamu maka berdirilah.
Kenakan kasut putih. Kasut putih akan membawamu ke satu tujuan. Di tempat itu
kau akan menemukan seratus butir mutiara putih di dalam sebuah mangkok perak.
Segera lakukan semedi. Sebelum fajar menyingsing dengan kehendak Yang Maha
Kuasa seratus mutiara akan meleleh laiu berubah menjadi sebuah guci sangat
indah tembus pandang, lengkap dengan tutup yang mencantei di bibir guci. Benda
apa saja yang masuk ke dalamnya akan terlindung dan dapat dilihat dengan mata
telanjang seolah guci itu terbuat dari kaca "
"Sungguh
besar kuasa Sang Hyang Jagatnatha…." Resi Kali Jagat ucapkan pujian.
"Roh Putih, apa yang selanjutnya harus saya lakukan?"
"Ambil
guci itu. Masukkan air embun yang bisa kau dapat dari tetesan yang ada di
dedaunan. Sebelum fajar menyingsing air embun itu sudah harus mencapai dua
pertiga ketinggian guci. Jika hal itu sudah kau lakukan, kau akan menerima
petunjuk lebih lanjut dan kasut putih akan membawamu ke setiap tujuan sesuai
kehendak Yang Maha Kuasa. Satu hal penting kau harus menjaga guci itu baik-baik.
Kau harus menganggap guci itu pertaruhannya sama saja dengan nyawamu.
Karena
kelak guci itu akan menjadi rahim kedua dari satu jabang bayi…."
"Rahim
kedua dari satu jabang bayi?" Resi Kali Jagat Ampusena mengulang ucapan
mahluk gaib berupa cahaya putih di ambang pintu candi yang dipanggilnya sebagai
Roh Putih.
"Resi
Kali Jagat, ucapan sudah kau dengar.
petunjuk
sudah kau dapat. Sekarang laksanakan tugasmu."
Resi Kali
Jagat Ampusena kembali rundukkan tubuh dan kepala.
"Roh
Putih, saya siap melaksanakan tugas."
"Semoga
Yang Maha Kuasa melindungi dan memberi pertolongan padamu."
"Terima
kasih Roh Putih." Resi berusia seratus tahun itu luruskan tubuh. Ketika
memandang ke arah pintu candi, cahaya putih yang tadi ada di tempat itu
ternyata sudah lenyap. Si orang tua mengusap wajah beberapa kali.
Hatinya
tiba-tiba saja membatin. "Apakah barusan aku bukannya bermimpi?" Mata
sang Resi kemudian menatap sepasang kasut putih di lantai candi. "Tidak,
aku tidak bermimpi." Ucap hatinya meyakinkan diri.
Resi Kali
Jagat cepat berdiri. Kasut putih dikenakan pada kedua kaki. Saat itu juga dia
merasa tubuhnya seringan kapas. Belum sempat dia melangkah, sepasang kasut
putih telah menggerakkan dua kakinya.
"Kasut
putih sahabatku, bawa aku segera ke tempat beradanya seratus mutiara
putih." Resi Kali Jagat berkata.
Saat itu
juga si orang tua merasa tubuhnya terangkat ke udara lalu ketika dia membuat
gerakan melangkah ternyata dirinya melayang. Sekejapan saja dia sudah keluar
dari dalam candi dan melayang di udara malam yang dingin. Menatap ke langit dia
melihat bulan biru memancarkan cahaya bening dan sejuk. Hujan gerimis telah
berhenti.
"Bulan
biru di langit Mataram. Aku bisa berjalan melayang seolah terbang. Seratus
mutiara putih.
Jabang
bayi di dalam guci. Kebesaran Yang Maha Kuasa sungguh tidak terjangkau oleh
akal semua insan." Resi Kali Jagat Ampusena berucap dalam hati.
**********************
2
ROMBONGAN
yang menjemput Raja Mataram di kawasan rahasia Sumur Api memasuki Kotaraja
setelah lewat tengah malam. Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna
biru memancarkan cahaya lembut dan sejuk. Di depan sekali kelihatan kereta
putih yang ditumpangi Raja Rakai Kayu Wangi Dyah Lokapala bersama permaisuri
dan putera puterinya yang masih kecil-kecil. Seperti telah diceritakan daiam
episode sebelumnya (Bulan Biru Di Mataram) kereta putih dikusiri oleh anak buah
Raja Jin Hutan Roban, satu mahluk berjubah putih berwajah licin. Di sebelahnya
duduk Ratu Randang tampak agak terkantuk-kantuk.
perjalanan
jauh yang cukup melelahkan serta bayangi rasa takut akan adanya serangan
mendadak akhimya sampai juga di tujuan dengan selamat Ketika rombongan memasuki
pintu gerbang halaman istana, mendadak satu ledakan dahsyat menggelegar di
halaman belakang Istana. Cahaya angker membersit ke udara dalam bentuk lima larik
sinar merah yang pada kedua tepinya ada alur berwarna hitam. Lima sinar
bersibak menebar. Satu melesat ke arah atap Istana, dua lainnya menyambar ke
arah dua sudut tembok halaman dua lagi menghambur ke arah pohon beringin besar
di halaman dalam istana. Semua kuda penarik kereta dan gerobak meringkik keras.
Agaknya mereka melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa.
Lima sinar merah bertepi hitam kemudian lenyap. Keadaan serta merta dicekam
kesunyian Sewaktu ledakan menggelegar, Ratu Randang segera melompat turun dari
atas kereta Kakek sakti Kumara Gandamayana yang berada di bagian belakang
rombongan cepat melesat ke pintu gerbang, terus memasuki halaman istana Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi berjaga-jaga di kiri kanan kereta putih, mencegah Raja
Mataram agar tidak keluar dan turun dari kereta.
"Apa
yang terjadi?" Raja bertanya sambil keluarkan kepala dari jendela kereta.
"Belum
jelas Yang Mulia," jawab Kunti Ambiri.
"Tadi
ada lima cahaya merah bertepi hitam menyusul suara ledakan. Lalu lenyap. Kakek
Kumara sedang melakukan penyelidikan."
"Pasti
ini pekerjaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah Heran sudah menemui ajal masih
mampu gentayangan."
Ucap Raja
sambil memeluk seorang puterinya yang ketakutan.
"Yang
Mulia, saya melihat ada keganjilan." Berkata Ratu Randang. Kalau ini
memang serangan datang dari Sinuhun merah mengapa hanya ada lima cahaya merah
Biasanya mahluk jahat itu selalu menggempur dengan delapan serangan cahaya
sekaligus."
Raja tak
bisa menjawab. Justru Sakuntaladewi yang menyahuti. "Mungkin ada sesuatu
terjadi. Sebagai sebab akibat kematian mahluk alam roh Sinuhun Merah itu
"Bisa jadi begitu " Kata Raja puia Lalu dia bertanya "Apakah
Kesatria Panggilan sudah ada di sini ?”
Belum
sempat Kunti Amblri menjawab tiba-tiba orang Abdi Dalem berteriak "Ada
orang bertarung di atas wuwungan Istana!"
Semua
orang segera palingkan kepala, arahkan pandangan ke atas atap istana. Raja
Mataram kembali ulurkan kepala dari jendela kereta putih untuk menyaksikan apa
yang terjadi.
Di atas
atap Istana satu mahluk aneh yang tubuhnya dikobari nyala api tampak tengah
menggempur seorang pemuda berambut panjang yang bukan lain adalah Pendekar 212
Wiro Sableng.
"itu
Kesatria Panggilan!" Teriak Raja Mataram "Dia dalam keadaan terdesak.
Lekas dibantu!"
Kumara
Gandamayana yang telah kembali ke pintu gerbang memberi tahu Ratu Randang.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi untuk menjaga Raja Mataram dan keluarganya yang
masih berada di daiam kereta serta dua kereta iain di sebelah belakang.
"Kalian
tetap di sini. Aku akan membantu Kesatria Panggilan." Kata si kakek.
Pada saat
itu dari atas atap terdengar suara orang berteriak.
"Kuntit
Cepat keluarkan Raja dan keluarga dari kereta putih! Keluarkan semua orang dari
kereta dan gerobak! Cari perlindungan!"
Yang
berteriak adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu memang agak terdesak
oleh serangan mahluk berapi. Beberapa kali dia melompat dan berjungkir balik di
udara untuk mengelakkan serangan ganas. Hawa panas kobaran api yang keluar dari
tubuh dan setiap serangan lawan sungguh luar biasa.
Membuat
Wiro sulit mendekat dan terpaksa menghindari bentrokan langsung dua lengan.
Kumara
Gandamayana yang hendak melesat ke atas atap Istana, mendengar teriakan Wiro
jadi saling pandang dengan tiga perempuan di depannya.
"Pasti
ada sesuatu! " Ucap Kunti Ambiri. Lalu gadis cantik alam roh yang duiu
dikenai dengan sebutan Dewi Ular ini mendobrak pintu kereta putih. Raja,
Permaisuri dan putera-puterinya segera dikeluarkan. Di belakang kereta putih
Sakuntaiadewi mengeluarkan keluarga Raja lainnya dari dalam dua kereta. Lebih
ke belakang, puluhan orang berserabutan melompat keluar dari kereta dan
gerobak.
Baru saja
Raja dan Permaisuri serta putera-puterinya keluar dari kereta dan berlindung di
balik tembok kukuh pintu gerbang sebelah luar tiba-tiba dari arah pohon
beringin besar di depan kanan Istana melesat satu cahaya merah bertepi hitam
menyambar! ke arah kereta putih yang tadi ditumpangi Raja Mataram dan kini
berada dalam keadaan kosong.
"Awas
serangan cahaya merahi" Teriak Ratu Randang. Melihat cahaya merah serangan
si nenek mengira yang menyerang adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah atau kaki
tangannya. Maka tidak tunggu lebih lama Ratu Randang segera keluarkan ilmu
penangkal. Dengan cepat dia tusukkan delapan jari tangan pada batang pohon
besar di sampingnya.
"Crasss!
Kraakkk!"
Delapan
jari tangan kiri kanan menancap dalam batang pohon.
Namun
tidak seperti kejadian yang sudah-sudah ilmu penangkal ternyata tidak
mempengaruhi serangan cahaya merah bertepi hitam apa lagi mampu menghancurkan
atau berbalik menyerang mahluk yang melepaskan.
"Oala!"
Ratu Randang terkesiap kaget. "Berarti Ini bukan ilmu bersumber pada
kesaktian Sinuhun keparat itu. Atau mungkin ada kekuatan baru dalam sinar
merah. Aku melihat bagian tepi berwarna hitam!
Celakai
Apa yang harus aku lakukan?!"
"Blaarr!"
Ledakan
dahsyat menggelegar ketika cahaya merah bertepi hitam menghantam hancur kereta
putih dan kuda penariknya. Baik kepingan kereta maupun cabikan tubuh kuda
bermentalan ke berbagai penjuru, jatuh di tanah dalam keadaan gosong hitam
berkobar api, luar biasa mengerikan!
"Ratu!
Kunti, Dewi Kaki Tunggal. Ada dua mahluk jahat berujud manusia api di pohon
beringin! Juga pada dua sudut tembok Istana!"
Dari atas
wuwungan istana Wiro berteriak memberitahu. Apakah sebenarnya yang telah
terjadi?
Ketika
ledakan menggelegar di halaman belakang Istana disusul melesatnya delapan
cahaya merah bertepi hitam Wiro yang berada di bagian depan Istana segera
menyuruh tiga beias perempuan muda yang ada bersamanya mencari perlindungan di
kandang kuda. Karena kaiau masih berada di dalam Istana bukan mustahil bangunan
itu akan menjadi bulan-bulanan serangan. Wiro melihat bagaimana lima cahaya
merah menyebar masing-masing satu ke atas atap, dua ke arah pohon beringin
besar dan dua lagi melesat ke atas dua sudut tembok tinggi yang mengelilingi
halaman Istana.
"Lima
cahaya merah, tidak ada alur kuning tapi justru ada warna hitam di kedua
tepinya." Wiro berkata sambil terus memperhatikan. Kemudian dilihatnya
tiba tiba lima cahaya lenyap. "Lima cahaya tidak melakukan serangan. Ini
aneh! Pasti akan terjadi sesuatu tidak terduga!" Pikir Wiro. Maka dia
segera terapkan Ilmu Menembus Pandang. Ketika sepasang mata diarahkan ke atas
atap Istana kagetlah sang pendekar. Di atas sana dia melihat ada satu sosok
aneh dikobari api. Wiro memperhatikan ke jurusan dua sudut tembok halaman
Istana, lalu ke arah pohon beringin besar di halaman Istana. Di pohon itu dia
kembali melihat dua sosok mahluk berkobar api. Mereka membuat gerakangerakan
mencurigakan, menatap ke arah pintu gerbang.
Mahluk di
atas atap tiba-tiba membuat gerakan tangan kanan siap hendak melepaskan pukulan
sakti jarak Jauh. Yang jadi sasaran ternyata pintu gerbang istana dfmana berada
rombongan Raja Mataram yang baru sampai.
"Raja
dalam bahaya!" Pikir Pendekar 212.
Tidak
menunggu lebih lama Wiro segera melesat ke atas atap Istana. Selagi masih
melayang di udara dia sudah lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam Karang.
Dalam melancarkan serangan dia harus berlaku hati-hati agar tidak meleset dan
menghancurkan atap Istana.
Ketika
gelombang angin dahsyat datang menghantam, mahluk yang dikobari api segera
melesat ke udara. Gerakan luar biasa cepat dan begitu pukulan sakti Wiro lewat
di bawah dua kaki, mahluk ini segera melesat menyerbu. Agaknya dia sengaja
melakukan pertarungan langsung dengan tangan kosong. Wiro yang cerdik segera
maklum kalau kekuatan lawan terletak pada dua tangan yang diselubungi api. Maka
dia tidak melayani untuk adu pukul atau bentrokan tangan. Dua tangan dipentang kedepan.
Mata menatap tak berkesip. Dari dua tangan mengepul keluar asap putih menebar
hawa luar biasa dingin.
Begitu
hawa dingin menyentuh sosok berapi, dess….desssl Terdengar letupan keras.
Mahluk api tampak sempoyongan.
"Pukulan
Angin Es!"
Ucap
Kunti Ambiri melihat apa yang terjadi dan mengetahui ilmu apa yang dikeluarkan
Pendekar 212 untuk menyerang lawan.
Mahluk
berselubung kobaran api keluarkan suara seperti raungan srigala gurun di malam
buta.
**********************
3
KOBARAN
api yang menyelimuti mahluk aneh di atas atap Istana langsung padam. Sosoknya
kini terlihat berupa. Mahluk ini tampak menggigil hebat akibat hantaman hawa
dingin luar biasa. Rahang menggembung geraham bergemeletakan. Dia berusaha
berusaha menggerakkan tangan dan kaki tapi tidak mampu. Sekujur aurat dan
anggota badan membeku.
Rambut
dan sepasang alis berjingkrak kaku! Ujud yang serba merah dengan cepat
diselubungi cairan putih membeku. Sepasang mata walau membeliak besar namun tak
dapat melihat karena tertutup cairan putfh luar biasa dingin! Sekujur tubuh
kepulkan uap aneh!
Selagi
mahluk itu terhuyung-huyung Wiro kirim tendangan kilat ke arah dada. Tendangan
ini bukan tendangan biasa karena dilakukan dengan memakai jurus Kilat Menyambar
Puncak Gunung dan dialiri aji kesaktian Harimau Dewa.
Tak ampun
mahluk api mencelat mental dari atas atap, jatuh ke tanah. Hebatnya ketika
jatuh ke tanah dia masih bisa berdiri di atas dua kaki dan menggembor garang.
Namun hanya sebentar. Begitu darah menyembur dari mulut , mahluk ini langsung
roboh tergelimpang di tanah dengan mata mencelet dan tak berkutik lagi. Ketika
lapisan putih leleh dari sekujur tubuh maka kelihatanlah sosok dan tampang asli
sang mahluk.
Ternyata
mahluk ini adalah seorang lelaki muda berkulit hitam, muka bulat, hidung besar
pesek.
Kumara
Gandamayana yang melompat memeriksa keadaan orang itu mengusap dagu. Dalam hati
orang tua ini berkata.
"Ada
yang menyusupkan Ilmu jahat pada orang tak berdosa ini lalu mengendalikan dari
jauh. Dia mungkin orang desa yang tidak tahu apa-apa." Si kakek memandang
berkeliling lalu cepat kembali ke dekat pintu gerbang dlmana Raja dan yang
lain-lainnya berada.
Selagi
Wiro menendang mental lawan di atas atap, pada dua sudut tembok yang
mengelilingi halaman Istana dan dua pohon beringin besar dimana tadi lenyapnya
empat dari lima cahaya merah bertepi hitam, tiba-tiba kelihatan mendekam
masing-masing satu mahluk yang tubuhnya dlkobari api. Didahului lolongan keras
dua mahluk menyerbu ke arah pintu gerbang halaman Istana. Berkelebat ke balik
tembok tinggi dimana Raja Mataram berada. Dua mahluk lainnya turun ke bawah
pohon beringin, bicara berbisik-bisik. Yang seorang berkata.
"Jahanam
di atas atap dia memiliki Ilmu pelumpuh yang bisa mengeluarkan selubung cairan
sekeras salju membeku! Untung kita dibekali Minyak Cengkih Penangkal Bala.
Lekas lumuri sekujur tubuh mulai dari rambut sampai ke kaki!" Saat itulah
kawan mereka yang bertarung di atas atap Istana dihantam roboh oleh tendangan
Wiro hingga mental dan jatuh ke halaman Istana.
Melihat
hal ini dua mahluk berselubung kobaran api di bawah pohon Beringin cepat
keluarkan sebuah tabung terbuat dari bambu. Penutup tabung dibuka. Isi diguyur
ke atas kepala. Benda cair yang bernama Minyak Cengkih Penangkal Bala dilumuri
ke atas kepala, wajah, sekujur tubuh sampai ke kaki. Anehnya walau dilumuri
cairan minyak kobaran api di tubuh mereka masih terus menyala!
Didahului
suara menggembor keras dua mahluk api Ini kemudian melesat ke atas wuwungan
Istana, tepat ketika Wiro hendak melompat turun guna melindungi Raja dan
keluarganya dari serangan dua mahluk api. Raja saat itu dikawal ketat oleh
Kumara Gandamayana, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.
Sementara
itu dua belas orang berjubah putih bermuka licin anak buah Raja Jin Hutan Roban
yang sebelumnya diperintahkan oleh pimpinan mereka untuk menjemput dan membawa
rombongan Raja Mataram ke Kotaraja, berkumpul di salah satu sudut halaman
Istana. Salah seorang dari mereka berkata.
"Kita
hanya dapat perintah menjemput rombongan Raja Mataram dan membawanya ke sini.
Tugas sebenarnya sudah selesai dan kita boleh pergi.
Tapi saat
ini Raja Mataram berada dalam keadaan bahaya. Sementara kita tidak dapat
perintah untuk melakukan hal lain selain menjemput. Apa yang harus kita
lakukan?!"
"Walau
tidak ada perintah dari pimpinan, sebaiknya kita membantu mengusir empat mahluk
api Itu!" Seorang Jin menyahuti.
"Kalau
begitu kita harus bertindak cepat!" Jin muka licin yang bertubuh paling
tinggi mengambil keputusan.
‘Wuttt!
Sett. ..settt!"
Enam anak
buah Raja Jin Hutan Roban melesat keatas Istana sementara enam lainnya ke arah
dua mahluk api yang berkelebat ke jurusan pintu gerbang, siap untuk menyerang
Raja dan keluarganya.
"Dua
mahluk api! Kembali ke ujud kalian semula!"
"Susul
teman kalian yang sudah jadi bangkai!"
Dua Jin
muka licin berteriak lalu bersama empat temannya dorongkan dua tangan sekaligus
ke arah dua mahluk api yang berada di depan mereka. Enam cahaya putih menderu,
menebar bau kemenyan!
Dua
mahluk api keluarkan suara meraung keras, balikkan badan lalu membalas serangan
lawan dengan pukulan tangan kanan yang menebar cahaya merah menyala bertepi
hitam.
"Blaarr!
Blaarr! Blaarr!"
Dua
cahaya merah bertepi hitam saling bentrokan di udara dengan enam cahaya putih.
Saking hebatnya bentrokan itu tiang pintu gejbang sebelah kiri roboh, bagian
tembok halaman runtuh! Dua kereta hancur berantakan, dua kuda penariknya
tergelimpang meringkik keras.
Enam
mahluk berjubah putih berseru kaget ketika dapatkan diri mereka
tergontai-gontai. Sepasang kaki seperti mau leleh. Dan yang membuat mereka
berteriak kaget karena tiba-tiba sekujur jubah mereka sudah dlkobari api.
Bagian dlmana seharusnya mulut berada dari Jin muka licin menggembung ke depan
lalu terdengar suara meniup keras berulang kali.
Kobaran
api yang membakar jubah serta merta padam.
Jubah
yang tadi putih kini tampak hangus dan robek di beberapa bagian.
Baru
selamat dari serangan di depan sana enam jin muka putih licin melihat dua
mahluk api kembali hendak melancarkan serangan. Kali Ini tidak tanggungtanggung
karena mereka pergunakan dua tangan sekaligus! Benar saja, sekejapan kemudian
empat jalur cahaya merah bertepi hitam berkiblat luar biasa ganas!
"Kita
berasal dari api neraka! Mengapa takut pada api dunia! Ha…ha…ha!"
Salah
seorang Jin berjubah dan berwajah putih berseru. Lalu dia kembali berteriak.
"Jin
Langit Meratap Jin Bumi Menangis!"
Itu
adalah salah satu ilmu yang dimiliki anak buah Raja Jin Hutan Roban. Walau
hebat namun tingkatannya belum mencapai kesempurnaan. Tiga sosok putih melesat
ke udara sambil keluarkan suara seperti orang meratap. Tiga jin lagi lagi
jatuhkan diri ke tanah seolaholah hendak amblaskan tubuh. Dari mulut mereka
keluar suara layaknya orang menangis! Yang di atas dorongkan telapak tangan ke
bawah, tiga yang dibawah mendorong tangan ke atas!
Dua
mahluk api tersentak kaget ketika mendadak sontak merasa seperti ada satu
tembok besar menekan Kepala mereka ke bawah sementara di sebelah bawah bumi
bergetar dan bergerak ke atas! Sosok api mereka laksana digenceti Serangan
empat cahaya merah yang mereka lancarkan bergoyang tak karuan lalu tiba-tiba
amblas. Dua mahluk api meraung keras. Mereka seolah mengalami kesakitan hebat
Pada hal ini adalah tipuan belaka.
Merasa
berhasil menghancurkan serangan tiga mahluk api, enam Jin Putih menjadi lengah
dalam kegembiraan mereka. Tiba-tiba tidak terduga dua mahluk api melompat dan
mengambang melintang di udara. Ini adalah satu cara untuk menghindari gencetan
dari atas dan tekanan dari bawah dibanding jika mereka tetap berdiri. Tubuh
kembali mulur panjang seperti semula. Keduanya sentakkan tangan kiri kanan.
Empat larik sinar hitam yang sebelumnya berada di dua sisi cahaya merah
tiba-tiba muncul kembali dan dengan kecepatan kilat greekk…greekk…greekk!
Delapan
larik tali hitam bukan hanya melibat enam Jin muka licin hingga tak mampu
bergerak tapi sekaligus merupakan benda tajam aneh yang memotong putus tubuh
mereka hingga terkutung-kutung di delapan bagian.
Semua
orang menyaksikan kejadian yang luar biasa mengerikan itu dengan tengkuk dingin
dan jantung serasa copot. Permaisuri dan beberapa perempuan menjerit dan
menutup muka. Enam Jin muka licin keluarkan suara menggerung. Walau tubuh
mereka terkutung-kutung tapi tak ada darah yang menyembur.
Tak ada
isi perut yang berbusalan.
Kutungan
tubuh berubah menjadi asap merah lalu lenyap tak berbekas. Enam Jin muka licin
yang masih hidup berteriak marah tapi mereka tidak berani berbuat apa-apa.
Dua
mahluk api tertawa bergelak. Tiba-tiba mereka membalikkan tubuh ke arah tembok
Istana di sisi kiri pintu gerbang yang roboh. Dua pasang mata merah mendelik
besar menatap ke arah tempat Raja Mataram berada. Rakai Kayuwangl sendiri saat
itu sudah bersiap diri dengan keris Widuri Bulan di tangan kanan. Sementara
Kumara Gandamayana, Kunti Amblri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi yang sejak
tadi berjaga-jaga berjajar berkeliling siap melindungi Raja dan keluarganya.
Tiba-tiba
dua mahluk api memekik keras, dua lutut ditekuk, empat tangan dipukulkan ke
depan secara berbarangan!
**********************
4
KETIKA
melihat Raja dalam bahaya Pendekar 212 segera melompat dari atas atap Istana
sambil melepas Pukulan Angin Es ke arah dua mahluk api yang menyerang. Namun
jarak terlalu jauh.
Selain
itu di saat bersamaan dua mahluk api lainnya telah melesat ke udara langsung
menyerang dirinya.
"Wusss!"
Dua lidah
api berkiblat Dua mahluk api runcingkan mulut meniup.
Dua
semburan api menderu menyusul dua lidah api sebelumnya. Kalau dua lidah api
pertama melesat ke arah atas kepala Wiro maka dua semburan api rnenyambar ke
bagian kaki.
"Kurang
ajar. Dua bangsat itu tidak memberi Kesempatan. Mereka membuat serangan
mengunci hingga aku tidak bisa melompat ke atas atau terjun ke bawahl Mereka
benar-benar inginkan nyawaku! Mereka tidak tahu. Di dalam kecerdikan ada akal”
Wiro
menjejak dua kaki. Tubuhnya naik ke atas lalu mengambang sama datar dengan bagian
tertinggi atap Istana. Begitu lidah api lewat dialas dan dibawah tubuhnya
secepat kilat tangan kanan menggebrak melepas Pukulan Angin Es ke arah tiga
mahluk api.
Kepulan
asap putih menebar hawa luar biasa dingin menderu. Dalam jarak yang begitu
dekat apa lagi tengah melesat ke udara, dua mahluk api tidak mampu mengelak
atau menangkis.
"Dess
Desss!"
Hawa
dingin menyambar dan menggulung tubuh dua mahluk api. Keduanya tampak
sempoyongan seperti mau terjungkal dari atas atap. Namun dengan cepat mereka
mampu mengimbangi diri. Yang membuat Wiro terkejut, Pukulan Angin Es kali ini
tidak membuat api yang menyelubungi tubuh dua lawan menjadi padam, apa lagi
melumpuhkan mereka dengan selubung cairan putih dingin menyerupai salju.
Padahal
sebelumnya satu mahluk api telah dibuat tak berdaya dengan pukulan yang sama.
Ini bukan lain karena kesaktian cairan pelindung berupa Minyak Cengkih
Penangkal Bala.
Dua
mahluk api tertawa bergelak seolah mengejek.
Lalu
berbarangan mereka berteriak.
"Nyawa!
Nyawamu! Kami minta nyawamu pengganti nyawa sahabat kami yang kau bunuh!"
Dua mahluk api lalu memutar tangan masing-masing dalam gerakan aneh. Empat
lidah api yang tadi gagal menghantam sasaran kini seperti dibetot tiba-tiba
berbafik, berubah membuntal laksana ombak melabrak ke arah Pendekar 212.
"Gila!"
Rutuk Pendekar 212. "Dua Setan Alas Kalian susul saja keparat sahabat
kalian itu" Teriak Wiro.
Tenaga
dalam dikerahkan penuh.Tangan kiri bergerak melepas Pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera yang merupakan serangan sekaligus membentengi diri. Lalu dalam
waktu bersamaan tangan kanan hantamkan Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.
Dentuman
dahsyat menggelegar di udara. Empat lidah api tercabik mental ke udara.
Terdengar teriakanteriakan garang penasaranl Memandang ke depan Wiro tidak
melihat lagi dua mahluk api Itul Mendadak dia merasa ada sambaran angin
disertai suara mendesir. Wiro mendongak ke atas. Astaga!
Empat
benda aneh berbentuk tali hitam melesat ke arah Wiro dalam gerak luar biasa
cepat Empat tali yang memiliki kekuatan laksana kawat baja Ini berasal dari dua
cahaya merah serangan pukulan tiga mahluk api.
Walau dua
cahaya merah berhasil dibuat musnah tercabik-cabik namun empat alur hitam yang
mengapitnya tidak mampu dihancurkan. Tali hitam Inilah yang sebelumnya telah
membabat buntung tubuh enam Jin muka licin! Wiro menyaksikan sendiri kejadian
mengerikan Itu! Dan kini agaknya dia akan mengalami nasib yang sama!
"Wutttt!"
"Bettt!
Bettt! Bettt!
Empat
tali hitam dengan cepat melibat sosok Wiro mulai dari leher, tubuh sampai
betis! Dua mahluk api saling memberi isyarat, siap untuk menyentakkan empat
tali maut yang memiliki kekuatan laksana seutas baja serta ketajaman seperti
pedang tipis bermata dua!"Gusti Allah! Kalau memang belum saatnya mati
maka selamatkan diri saya! Kalau memang ajal sudah di depan mata, saya pasrah
datang menghadapMu!"
Wiro
berseru lalu menyambung ucapan dengan rapalan aji kesaktian ilmu Belut Menyusup
Tanah. Bersamaan dengan itu, karena dua tangannya sudah dilibat empat tali
hitam dan tidak mungkin dipergunakan untuk melepas pukulan, dengan cepat Wiro
alirkan sebagian tenaga dalam dan hawa sakti ke kepala sambil sepasang mata
dipentang.
Aji
kesaktian Belut Menyusup Tanah membuat sekujur tubuh Wiro mulai dari kepala
sampai ujung kaki menjadi selicin belut berselubung minyak. Sosok Wiro meluncur
kebawah, lolos dari libatan empat tali hitam. Bersamaan dengan itu dari
sepasang matanya mencuat keluar dua larik cahaya hijau yang saling bersilang.
Laksana sebuah gunting raksasa dua cahaya hijau membabat ke arah tiga mahluk
api. Ilmu Sepasang Pedang Dewa.
"Crasssl
Crasss!"
Raungan
seperti lolongan anjing menggelegar di atas atap bangunan Istana. Dua sosok
mahluk api terkutung dua, jatuh menggelinding di atas atap lalu jatuh
bergedebuk di halaman samping. Api yang mengobarl tubuh mereka lenyap. Dua
sosok yang terkutung mengerikan itu berubah ke ujud asli dan berselubung warna
hijau pekat Dari wajah ke dua orang itu, walau sudah berubah hijau namun masih
bisa disaksikan kalau mereka adalah anak-anak muda berusia belasan tahuni
Sungguh sangat mengenaskan!
Ketika
lolos dari libatan empat tali maut, sosok Wiro yang diselimuti aji kesaktian Belut
Menyusup Tanah meluncur deras ke bawah dan mau tak mau menghantam atap bangunan
Istana tanpa bisa dicegah.
"Braaakkk!"
Atap
jebol. Tubuh Pendekar 212 terperosok masuk ke dalam Istana, jatuh setengah
berlutut di lantai batu pualam.
"Gusti
Allah! Terima kasih Kau masih memberi umur panjang pada saya!"
Baru saja
Pendekar 212 keluarkan ucapan puji syukur seperti itu tiba-tiba dari sudut
ruangan terdengar suara desahan nafas. Sebuah benda meluncur dan berhenti di
hadapannya. Benda itu ternyata sebuah bintang kecil bersudut lima berwarna
merah pekat, terbuat dari perunggu.
Wiro
palingkan kepala ke arah sudut ruangan dari mana tadi datangnya benda berbentuk
bintang.
Disudut
sana dia melihat satu sosok samar mengenakan jubah berwarna hijau. Di atas
kepalanya ada sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang tidak jelas apakah
topi, belangkon atau mahkota.
Wiro
cepat berdiri dan membentak sambil tangan siap melepas pukulan jarak jauh.
"Siapa?!"
Wiro membentak. Mata menatap tak berkesip, otak berpikir coba mengenali siapa
adanya mahluk di sudut ruangan.
Suara
jawaban yang didengar Wiro hanya berupa suara mengiang di kedua telinganya.
"Cepat
ambil bintang merah bersudut lima.
Simpan
baik-baik. Jangan bunuh mahluk api ke lima.
Jika Raja
sudah terselamatkan tancapkan bintang merah ke dalam batok kepala mahluk api ke
lima!"
Wiro
memandang seputar ruangan lalu kembali menatap ke arah sosok samar hijau.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu! Kau siapa! Punya niat baik atau
jahat!"
Kali ini
tidak ada suara jawaban. Sosok samar hijau di sudut ruangan berputar laksana
gasing lalu wuuss! Sosok itu lenyap amblas ke lantai ruangan yang terbuat dari
batu pualam. Wiro ambil benda berbentuk bintang merah lalu melangkah cepat ke
sudut ruangan dimana tadi mahluk samar hijau berada. Di lantai ruangan dia
melihat ada sebuah lobang sangat dalam.
"Terowongan
Arwah!" Ucap Pendekar 212.
"Apakah
mahluk tadi bukannya Penguasa Atap Langit Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada
di sini?"
Wiro
tidak dapat berpikir dan menduga-duga lebih lama. Di luar sana terdengar suara
teriakan-teriakan riuh dan ringkikan kuda berulang kali. Benda berbentuk
bintang sudut dimasukkan ke balik pakaian. Tidak sengaja benda Itu disisipkan
di bagian yang sama dimana sebelumnya Wiro menyimpan delapan bunga Matahari
kecil.
"Ihhhh!
Jangan satukan kami dengan mahluk najis bau amis ini!" Tiba-tiba terdengar
jeritan halus.
"Ampun!
Hueekkk! Aku mau muntah!"
Wiro
terperangah. Delapan bunga Matahari kecil.
Delapan
Pocong Menari! Wiro cepat-cepat keluarkan benda berbentuk bintang lalu dipindah
dan dimasukkan pada sebuah celah di sabuk kulit yang melilit di pinggang.
Tidak
menunggu lebih lama dia kemudian segera keluar dan dalam ruangan. Begitu keluar
dari dalam Istana Wiro melihat di pintu gerbang yang telah runtuh melesat empat
larik cahaya merah bertepi hitam.
Berarti
dua mahluk api sudah melancarkan serangan.
Walau dia
melihat ada Kumara Gandamayana, Ratu Kandang, Kunti Ambiri dan Dewi Kaki
Tunggal sakuntaladewi, namun apakah mereka sanggup menghadapi serangan lawan
dan sekaligus mampu melindungi Raja?
Cerdiknya
dua mahluk api membagi serangan sedemikian rupa hingga benar-benar membuat
terkejut Wiro dan mereka yang melindungi Raja serta keluarganya.
**********************
5
EMPAT
sambaran lidah api menderu ke arah Kumara Gandamayana, Ratu Randang, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi. Selagi ketiga orang ini berusaha menghindar sambil
balas menghantam dengan pukulan sakti, delapan larik tali hitam yang berasal
dari dua tepi pada empat sinar merah didahului suara menggelegar menderu ke
arah Raja Mataram dan keluarganya.
Raja
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala cepat babatkan Keris Wlduri Bulan di tangan
kanan. Selarik sinar putih berbentuk kipas raksasa membabat di udara.
"Traangg!"
Keris
sakti terlepas dari genggaman Raja, terpental jatuh ke tanah, berubah menjadi
besi melengkung hitam gosong! Dua tali hitam musnah namun sisanya yang enam
terus menggebubu ke arah Raja dan keluarganya yang saat itu terkapar dan
bergeletakan di tanah.
Raja
Mataram berteriak keras ketika melihat empat tali hitam menyerang ke arahnya
sementara dua lagi bergulung ganas menuju permaisuri dan puteraputerinya.
Dua orang
Abdi Dalem yang hanya memiliki Ilmu silat luar berusaha melindungi Raja dan
keluarganya dengan cara nekad yaitu hamburkan diri monyosong serangan tali-tali
hitam.
"Bett!
Bett! Crasss!"
Tubuh
kedua Abdi Dalem itu bertebaran ditanah dalam bentuk kutungan-kutungan
mengerikan dan berwarna hitam gosong!
Di saat
yang begitu genting Raja berupaya mellndungi diri dan keluarganya dengan
pukulan sakti Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu seperti payung
terkembang muncul di udara. Dua lagi serangan tali hitam dapat dimusnahkan.
Namun tidak terduga salah seorang mahluk api melesat melewati reruntuhan tombok
dan kirimkan satu tendangan ke tangan Raja yang tengah melancarkan pukulan
sakti.
"Kraakk!"
Raja
Mataram mengeluh tinggi. Tubuh kembali terbanting ke tanah, lengan kanan patah
dihantam tendangan! Dalam keadaan seperti Itu dua tali hitam masih terus
menderu ke arahnya!
"Celaka!
Selamatkan Raja!" Teriak Ratu Randang sementara dia dan yang lain-lain
berusaha menahan hantaman empat ildah api dengan serangan balasan.
Kumara
Gandamayana lemparkan sorban kelabunya berusaha menahan serangan empat tali
hitam namun sorban musnah tercabik-cabik lalu musnah jadi debu!
Dari arah
Istana Wiro berniat melepas Pukulan Sinar Matahari ke arah dua mahluk api.
Namun dia merasa bimbang karena keberadaan dua mahluk api itu dekat sekali dan
dalam satu garis lurus dengan kedudukan Raja serta para sahabat. Akhirnya Wiro
membuat gerakan berjungkir balik, tubuh melesat ke kiri lalu dari arah samping
ini dia baru dapat melepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih menyilaukan
disertai hamparan hawa luar bias panas berkiblat!
Di saat
yang bersamaan dari arah depan Ratu Rendang Kunti Ambin serta Sakuntaladewi
sama-sama pula melepas pukulan sakti menghantam empat lidah api. Dengan
demikian keberadaan dan keselamatan Raja Mataram beserta keluarganya telah
terlupakan!
Justru
hal inilah yang rupanya sengaja diciptakan oleh dua mahluk api walau maksud
jahat mereka itu akhirnya mengalami kesia-siaan!
Udara di
tempat itu dilanda gelegar letusan luar biasa dahsyat. Dua mahluk api terkapar
di tanah Kobaran api yang menyelubungi mereka tak kelihatan lagi. Kini terlihat
sosok mereka berupa dua pemuda dengan sekujur badan hangus mengelupas. Ternyata
mereka masih hidup. Mengerang panjang dan menggeliat-geliat Melihat hal Ini
Kunti Ambiri yang tidak sabaran langsung saja melompat dan tendang kepala salah
satu dari dua orang itu hingga pecah dan tubuh mencelat mental. Ketika Kunti
Ambiri hendak menendang kepala pemuda yang kedua Wiro cepat berteriak.
"Jangan
bunuh yang satu itu! Lekas selamatkan Raja"
Kunti
Ambiri merasa heran mengapa Wiro melarang dia membunuh mahluk jahat itu. Namun
gadis alam roh ini Ini mendadak sadar kalau saat Itu Raja Mataram beserta
keluarganya tidak lagi terlindungi "Edani Kenapa kita semua berlaku tolol
melupakan Raja" Teriak Ratu Randang. Bersama sakuntaladewi nenek ini
berkelebat ke arah pintu gerbang.
Dalam
keadaan luar biasa genting dimana tidak ada lagi kesempatan untuk menolong Raja
dan keluarganya dari serangan empat tali hitam, tiba-tiba dari arah tembok
Istana sebelah selatan melesat orang berpakaian hijau, rambut tergerai lepas
mengambang di udara saking luar biasa cepat gerakannya. Di punggungnya orang
ini membekal sebuah buntalan kain hitam. Sambil melesat di udara dia berseru.
"Petir
hitam! Mana mungkin ada di dunia ini! Tapi aku melihat dengan mata kepala
sendiri! Luar biasa!
Mengapa
para sahabat tidak mau memberi tahu sebelumnya kalau d sini ada petir anehi
Hik…hik…hik!"
Suara
yang berseru adalah suara perempuan. Sosok yang melesat di udara berjungkir
balik satu kali lalu wutttt! Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan empat tali
hitam.
"Petir
hitam di malam buta! Ada empat! Weehhh! Aku suka"
Lalu
sulit dipercaya tetapi nyata, orang berpakaian hijau kembangkan dua tangan.
Dengan gerakan aneh dia berhasil menangkap ujung delapan tali hitam lalu dengan
kecepatan luar biasa dia melesat ke udara sambil membuntal delapan tali hitam
yang disangkanya petir.
"Jaka
Pesolek!"
Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi sama berseru berbarengan!
hik…hikl
Ini memang aku! Tapi jangan bicara dulu!
Aku lagi
asyik! Ini petir paling aneh yang pernah aku lihat seumur hidup!" Orang
yang membuntal empat tali maut hitam berteriak menyahuti!
**********************
6
ORANG
berambut hitam panjang berpakaian hijau memang adalah gadis bernama Jaka
Pesolek yang selama Ini dikenal sebagai satu-satunya manusia memiliki
kepandaian aneh luar biasa. Yaitu mampu menangkap petir.
Dengan
gerakan kilat Jaka Pesolek kembangkang dua tangan lalu sett..sett…sett…sett!
empat ujung tali hitam tahu-tahu sudah berada dalam cekalannya lalu dengan
kecepatan luar biasa dibuntal demikian rupa malah digulung-gulung ke tubuhnya
sendirl seperti bermain-main!.
"Petir
jeleki Tidak ada apa-apanya!" Si gadis berteriak lalu dia melesat ke arah
sebuah pohon besar di kiri luar tembok istana. Tubuh diputar.
"Retttt!"
Empat
tali hitam yang menggulung tubuh terbuka lalu dengan cepat ganti digulung ke
batang pohon.
sambil
tertawa haha-hihi Jaka Pesolek melayang turun ke tanah. Mulutnya lagi-lagi
berucap.
"Petir
jelek! Tidur saja kalian di batang pohon itu! Sialan! Hanya membuang-buang
waktuku saja.
Baru saja
si gadis keluarkan ucapan tiba-tiba greek…greekk….greekkl Empat tali hitam yang
digulung pada batang pohon bergeletar keras seperti ada yang menyentakkan. Di
lain kejap batang pohon putus di tiga tempat lalu tumbang dengan suara
bergemuruh. Empat tali hitam melesat ke udara, membentuk asap lalu lenyap dari
pandangan mata di malam gelap!
Wajah
cantik Jaka Pesolek berubah pucat menyaksikan apa yang terjadi dengan batang
pohon.
"Kalau
aku yang mengalami! Oala!" Si gadis cepat tekap bagian bawah perutnya.
Lalu dia meraba ke belakang, memegang bungkusan kain hitam yang dipanggulnya.
"Aku harus cepat pergi dari sini Sebagian waktuku sudah lenyap percuma
gara-gara petir hitam sialan itu!"
Wiro
cepat melompat ke arah tembok dekat pintu gerbang yang runtuh. Saat itu
dikelilingi oleh Permaisuri dan anak-anak serta beberapa orang Abdi Dalem, Raja
Mataram berusaha berdiri sambil bersandar ke bagian tembok yang masih utuh.
Tangan kanan terkulai ke bawah karena patah di bagian lengan akibat tendangan
salah satu mahluk api.
"Yang
Mulia, izinkan saya mengobati lengan Yang Mulia yang patah." Berkata Wiro
begitu sampai di hadapan Raja Mataram.
"Terima
kasih. Aku lebih suka kalau bisa masuk dulu ke dalam Istana bersama semua orang
yang ada di sini sekarang juga." Jawab Raja Mataram.
"Jangan
dulu masuk Istana. Saya kawatlr masih ada mahluk atau orang jahat di sekitar
sini yang secara tak terduga bisa melakukan serangan lagi." Jawab Wiro
pula.
Raja
Mataram terdiam sejurus. Sepasang mata menatap ke arah kejauhan. Orang-orang
itu, mengapa mereka mengejar gadis yang tadi telah menolongku."
Berkata
Raja sambil menatap ke arah Jaka Pesolek yang berlari meninggalkan tempat itu
tapi dicegah dan berusaha dikejar oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi. Sebenarnya dengan kecepatan gerakan kilat yang dimilikinya Jaka
Pesolek tidak mungkin akan terkejar. Namun akhirnya di satu tempat si gadis
hentikan lari, menunggu kedatangan tiga orang yang mengejarnya.
"Hal!
Kalian bertiga, mengapa mengejarku?" Bertanya Jaka Pesolek.
"Gadis
gendeng! Masih bisa bertanya! Waktu di tepi telaga yang ada air terjunnya, kau
tiba-tiba lenyap begitu saja!" Berkata Ratu Randang.
Kunti
Ambiri mendekati Jaka Pesolek lalu berkata.
"Waktu
itu aku memberikan sehelai pakaian hijau padamu pengganti pakaian merahmu yang
robek amburadul tak karuan. Waktu itu kau pergi ke balik semak belukar untuk
berganti pakaian. Lalu kami mendengar suara teriakanmu minta tolong. Begitu
kami menyelidik ke balik semak belukar, kau tidak ada lagi di tempat itu. Apa
yang terjadi? Nyatanya kau sekarang mengenakan pakaian yang aku berikan."
"Anu,
anu…panjang ceritanya. Waktuku sangat berharga. Apa kalian tidak lebih
mementingkan menolong Raja dan keluarganya lebih dulu? Aku harus pergi."
"Kalau
kau berani pergi sebelum memberi keterangan, aku tarik anumu sampai
putus!"
Kunti
Ambiri mengancam dan ulurkan tangan ke bawah perut Jaka Pesolek. Si gadis cepat
bersurut mundur sambil tekap auratnya sebelah bawah. Sambil senyum-senyum dia
berkata.
"Jangan
ditarik, apa lagi sampai putus! Nanti aku tidak bisa jantan tidak bisa betina
iagi! Hik…hik…hik!"
"Sahabat
Jaka Pesolek, kau membawa bungkusan kain hitam! Apa isinya?" Bertanya
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
"Anu…anu…."
"Anu…anu!
Mengapa kau sekarang bicara seperti itu!
Menyebut
anu anu terus-terusan?!" Sentak Ratu Randang.
"Anu,
eh maksudku Nek, bungkusan ini isinya benda luar biasa berharga. Ada sangkut
paut dengan si anu yang menemuiku di balik semak belukar ketika aku tengah
berganti pakaian."
"Gadis
sial! Siapa si anu yang kau maksudkan?"
Tanya
Ratu Randang kesal dengan mata mendelik.
"Dia…Itu
lelaki gagah yang menemuiku di balik semak belukar.
Kulitnya
putih, wajahnya jernih. Dia tampan sekali.
Jubahnya
sama warnanya dengan pakaian yang aku kenakan. Di kepalanya bertengger semacam
mahkota aneh berbentuk atap rumah terbuat dari emas."
Ratu
Randang. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi saling pandang. "Teruskan
ceritamu," kata si nenek pula.
"Lelaki
itu apik dan gagah. Tapi sayang ketika aku diam-diam meraba ke bawah perutnya
ternyata di bagian itu cuma licin-licin saja. Berarti walau penampilan sebagai
seorang lelaki gagah, dia sebetulnya bukan laki-laki karena tidak punya
anu!"
"Masakan
kau berani melakukan itu?" Ujar Sakuntaladewi.
"Ih,
aku ini kan cantik. Mana ada lelaki yang tidak mau aku poles anunya.
Hik…hik…hik!"
"Jaka
Pesolekl Jangan berceloteh tak karuan.
Ceritakan
apa yang telah terjadi I" Kunti Ambiri berkata setengah membentak.
Jaka
Pesolek senyum-senyum lalu menuturkan.
Waktu aku
berada di balik semak belukar, dalam keadaan nyaris bugil karena tengah
berganti pakaian tiba-tiba si anu itu muncul! Tentu saja aku menjerit melihat
ada orang gagah berada di hadapanku. Aku merinding, tapi merinding senang.
Hik…hik!"
"Kau
pasti merayunya!" Tuduh Ratu Randang pula.
"Kalau
saja kalian tidak ada di dekat telaga, mungkin hal itu aku lakukan.
hik…hik…hik. Belum sempat aku mengenakan pakaian hijau yang diberikan sahabat
Kunti Ambiri, lelaki itu merangkul pinggangku. Aku dipanggul lalu dilarikan ke
satu tempat. Ternyata dia tidak bermaksud jahat Lebih dulu dia menyuruhku
berpakaian.
Kemudian
dia mengatakan kalau sangat membutuhkan pertolongan seseorang yang mampu
bertindak cepat seperti diriku. Dia minta aku mencari seorang bernama Ken
Parantili.."
"Astaga!
Itu adalah selir pertama dari Penguasa Atap Langit!” Kata Kunti Ambiri
terkejut.
"Betul
sekali!" Menyahut Jaka Pesolek. "Dan lelaki gagah itu adalah sang
Penguasa sendiri!"
Kembali
tiga orang di hadapan Jaka pesolek saling bertatap pandang.
"Pertolongan
apa yang diinginkan Penguasa Atap Langit?" Sakuntaladewi bertanya.
"Dia
memberikan bungkusan Ini padaku." Jaka Pesolek turunkan bungkusan kain
hitam di punggung.
Lalu dia
melangkah mendekati tiga orang di hadapannya sambil membuka bungkusan kain
hitam.
Sakuntaladewi,
Ratu Randang dan Kunti Ambiri ulurkan kepala, melihat isi bungkusan kain hitam.
Di dalam bungkusan terdapat sebuah keranjang terbuat dari anyaman daun pisang
segar dan hijau. Perlahanlahan Jaka Pesolek membuka penutup keranjang.
Walau
keadaan agak gelap tapi jelas terlihat di dalam keranjang daun pisang itu ada
air. Lalu di dalam air ada sebuah benda aneh, lebih besar sedikit dari kepalan
tangan manusia, berwarna merah dan tiada henti berdenyut.
"Benda
apa itu?" Tanya Ratu Randang sementara Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri
tentu saja ingin tahu pula.
"Jantung!
Jantung manusiai" Jawab Jaka Pesolek.
Tiga
orang di hadapan si gadis bersurut mundur.
Wajah
berubah.
"Edan!"
Rutuki Ratu Randang.
"Jangan
bicara ngacok!" Hardik Kunti Ambiri.
"Aku
tidak edan! Aku tidak bicara ngacokl Ini Jantung manusia! Jantungnya Ken
Parantili Selir pertama Penguasa Atap Langit!"
Mendengar
ucapan Jaka Pesolek, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan sakuntaladewi meski masih
belum percaya tetap saja mereka merasa tengkuk masingmasing menjadi merinding
dingin!
"Aneh,
mengapa Penguasa Atap Langit memberikan jantung Ken Parantili padamu?"
Tanya Ratu Randang.
"Apa
mau diserahkan pada Kesatria Panggilan atau seseorang yang menjadi
musuhnya?"
**********************
7
"APA
kalian tidak ingat cerita yang pernah dituturkan sahabat Kesatria Panggilan?
Penguasa
Atap Langit selalu mencopot jantung setiap selirnya lalu disimpan di satu
tempat rahasia. Alasannya agar para selir tidak bisa meninggalkan Negeri Atap
Langit. Karena kalau itu mereka lakukan maka dalam waktu tiga hari mereka akan
menemui kematian. Tapi Ken Parantili berlaku nekad. Dia kabur dan tak perduli
dengan jantungnya. Berarti dia juga tidak takut mati. Penguasa Atap Langit rupanya
menaruh kasihan lalu mengambil jantung selirnya dari tempat rahasia. Jantung
Ini harus bisa masuk kembali ke dalam tubuh Ken Parantili dalam waktu tiga
hari. Kalau tidak maka selir itu akan menemui ajal. Penguasa Atap Langit
meminta aku menolong mencari selir itu karena aku bisa bergerak cepat."
"Ada
manusia tidak berjantung! Hidup lagi! Tidak bisa kupercaya. Sulit masuk
akali" Ucap Kunti Ambiri sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan
berkata begitu. Waktu di puncak Gunung Semeru kita semua menyaksikan bagaimana
Ken Parantili membelah dada lalu memperlihatkan bagian jantungnya yang
kosongi" Berkata Jaka Pesolek.
"Itu
betul, tapi tetap saja sulit dipercaya. Bagaimana manusia bisa hidup tanpa
jantung." Ujar Kunti Ambiri pula.
"Lalu
sekarang kau mau melakukan apa? Mencari selir itu?" Tanya Ratu Randang.
Jaka
Pesolek mengangguk.
"Kau
bisa berkelebat ke delapan ujung dunia dalam sekejapan mata. Tapi kau tidak
tahu selir itu berada dimana." Kata Kunti Ambiri.
"Betul.
Tapi Penguasa Atap Langit memberikan sesuatu padaku untuk dipergunakan
menjajagi dimana beradanya Ken Parantlli." Jaka Pesolek tutup keranjang
daun pisang lalu dengan hati-hati membungkus kain hitam. Bungkusan lalu
dipangggul di bahu kiri. Dari balik pakaian hijaunya Jaka Pesolek kemudian mengeluarkan
sejumput rambut hitam dalam keadaan tergulung.
"Itu
bulu ketekmu?"! Tanya Ratu Randang dengan mulut dipencongkan.
"Gila
kau Nekl Kalaupun aku punya bulu ketek masakan sampai sebanyak dan sepanjang
ini?" Ujar Jaka Pesolek.
"Lalu
itu apanya siapa?"!" Bertanya Kunti Ambiri.
"Ini
gulungan rambut Ken Parantili. Rambut ini udah dlrapal oleh Penguasa Atap
Langit Katanya jika Ken Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah maka
rambut ini akan memberi tanda. Rambut akan meringkal bergerak ke atas lalu
melesat ke arah dimana beradanya selir itu."
"Kalau
semudah itu mencari Ken Parantili mengapa tidak dilakukan sendiri oleh Penguasa
Atap Langit?" Ujar Sakuntaladewi.
"Menurut
pengakuan Penguasa Atap Langit dia tidak mungkin melakukan hal itu. Karena pada
jarak tertentu Ken Parantili mampu mencium bau tubuhnya. Begitu mencium pasti
dia akan melarikan diri. Seumur-umur Penguasa Atap langit tidak akan mampu
mencari dan menemukan selirnya itu. Selain itu sang Penguasa mempunyai
pantangan. Tidak boleh berada di luar Negeri Atap Langit lebih dari dua kali
matahari terbit"
"Mahluk
bernama Penguasa Atap Langit itu punya enam belas selir Kehilangan satu saja
mengapa dia sampai kalang kabut mengejar dan membawa jantungnya!"
"Nek,
kau ini seperti tidak tahu saja. Dimana-mana ada orang punya banyak selir. Tapi
pasti ada satu yang paling disayang. Nah bisa saja Ken Parantili memang
kesayangannya Penguasa Atap Langit" Kata Jaka Pesolek pula.
"Tahu
dari mana kau?!" Tukas Ratu Randang sambil pencongkan mulut.
"Nek,
ada ujar-ujar begini. Seseorang baru tahu betapa sayangnya dia pada sang
kekasih, pada saat sang kekasih tidak lagi menjadi miliknya. Entah mati, entah
minggat entah kabur sama lelaki lain"
"Hebat
juga bicaramu!" Kata Ratu Randang lalu melirik ke arah Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi.
"Nek,
Kunti, Sakuntaladewi aku pergi sekarang.
Kalau
tugasku sudah selesai aku pasti akan mencari kalian…"
"Tunggu,
jangan pergi dulu. Kau kami perlukan di sini." Berkata Kunti Ambiri.
"Sudah
banyak orang gagah dan hebat di tempat ini Lagi pula aku telah menerima
permintaan orang untuk menolong. Mana mungkin mau mengingkari. Lebih baik para
sahabat cepat membantu Raja dan orang-orang di pintu gerbang. Masakan kalian
tega membiarkan Kesatria Panggilan bekerja sendiri "
Jaka
Pesolek kedipkan mata lalu segera tinggalkan orang-orang itu.
"Kalau
tidak ada urusan besar di Kotaraja, rasanya aku mau mengikuti gadis aneh itu.
Mau tahu apa yang bakal kejadian." Kata Kunti Ambiri.
"Yang
jadi pertanyaan, gadis itu dijanjikan apa oleh Penguasa Atap Langit
sampai-sampai mau berkeliaran kesana-sini membawa jantung manusia. Pasti ada
satu imbalan yang menarik…" Ucap Ratu Randang.
"Mungkin
janji boleh mengusap…." Menyahuti Kunti Ambiri dengan wajah agak cemberut.
Lalu
Kunti Ambiri mendahului lari ke arah pintu gerbang diikuti Sakuntaladewi dan
Ratu Randang dimana Wiro berada bersama Raja dan keluarga serta para pengikut
Karena Raja Mataram tetap memaksa masuk ke dalam Istana, Wiro akhirnya berkata.
"Yang
Mulia, saya minta diberi waktu. Saya akan melakukan sesuatu. Lalu memeriksa
keadaan Istana.
Jika
segala sesuatunya memang aman, saya akan kembali memberi tahu. Tapi apakah Yang
Mulia tidak mau mengizinkan lebih dulu agar saya mengobati tangan Yang Mulia
yang patah?"
Mendengar
ucapan Wiro Ratu Randang cepat mendekati dan berbisik. "Kau mau berbuat
konyol apa?
Kau bukan
tabib bukan dukun! Bagaimana mau mengobati tangan Raja? Untuk menyambung tulang
lengan yang patah itu perlu waktu paling sedikit sepuluh hari! Kalau kau memang
mampu melakukan, kau benar-benar orang hebat!"
"Seorang
nenek di Negeri Matahari Terbit bernama Nenek Neko pernah memberikan ilmu
padaku. Ilmu mematah dan menyembuhkan tulang. Mudah-mudahan dengan kehendak
Gusti Allah aku bisa menolong Raja.
Kalaupun
tidak aku tetap puas karena sudah berikhtiar." Menerangkan Wiro.
"Hemm….Rupanya
kau banyak punya sahabat nenek sepertiku. Pasti si Nenek Neko itu orangnya
cantik!"
Wiro
tertawa. Lalu dia berkata. "Nek, baiknya kau bantu membujuk Raja agar dia
mau kutolong."
"Tak
usah kawatir. Aku akan mencoba. Tapi mengapa kau tidak mempergunakan kesaktian
delapan bunga Matahari saja?" Ujar si nenek pula.
"Kalau
itu maumu akan kucoba."
Ratu
Randang mendatangi Raja yang saat itu duduk di tanah, bersandar ke tembok
halaman. Tangan kanan yang patah diletakkan di atas pangkuan paha kanan, dibalut
dengan sehelai kain. Setelah bicara dan dibujuk oleh Ratu Randang ternyata Raja
Mataram kini bersedia ditolong oleh Wiro.
Dari
balik pakaiannya Wiro segera keluarkan delapan bunga Matahari kecil.
"Maafkan saya Yang Mulia. Akan saya coba menolong dengan bunga sakti ini
lebih dulu."
Mendadak
terdengar suara alunan gamelan di kejauhan disusul suara mengiang ke telinga
Wiro yang juga didengar oleh Raja Mataram, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan
Sakuntaladewi.
"Kami
minta maaf beribu maaf. Kemampuan kami menolong hanya tinggal satu kali yaitu
untuk membebaskan guru Kesatria Panggilan. Kalau kali ini kami menolong walau
tidak muncul memperlihatkan diri, maka kami tidak mungkin melakukan pertolongan
lagi."
**********************
8
SEMUA
orang, termasuk Raja Mataram terkesiap mendengar suara mengiang itu. Wiro
sendiri jadi tertegun dan menggaruk kepala. Delapan bunga Matahari dipandangi
beberapa lama. Lalu terdengar sang pendekar berkata.
"Delapan
bunga Matahari, sahabatku Delapan Pocong Menari, saat Ini Yang Mulia Raja
Mataram sangat membutuhkan pertolongan. Tendangan mahluk api tadi agaknya bukan
tendangan sembarangan. Aku melihat ada bagian daging lengan yang menggembung
biru pertanda tendangan mengandung racun jahat. Jika tangan yang patah tidak
segera diobati, racun jahat bisa saja menyebar lebih cepat. Kalau racun sampai
ke jantung nyawa Yang Mulia Raja Mataram mungkin tidak bisa tertolong
lagi."
Semua
orang terkejut mendengar ucapan Wiro itu.
Ternyata
Wiro lebih mementingkan Raja Mataram dari menyelamatkan gurunya. Raja Mataram
sendiri letakkan tangan kiri di atas dada, wajah tampak haru.
Sepasang
mata menatap Wiro tak berkesip.
Kemudian
terdengar lagi suara mengiang.
"Kesatria
Panggilan, jika itu keinginanmu mana kami berani menolak. Kami akan segera
menolong. Kau tinggal mengusapkan diri kami di atas cidera di tangan kanan Raja
Mataram. Maka setelah tugas dan pertolongan kami selesai kami akan bermohon
diri.
Kami
tidak akan muncul lagi untuk selama-lamanya.
Lalu
siapa kelak yang akan menyelamatkan gurumu?"
"Gusti
Allah pasti akan menolong beliau." Jawab Wiro tanpa keraguan.
Ratu
Randang melangkah mendekati Wiro lalu berbisik. "Jika kau memang punya
ilmu lain, sebaiknya Ilmu itu dulu yang dicobakan. Tadi aku menyuruh kau
mempergunakan bunga itu karena sudah tahu pasti kesaktiannya. Bukan maksudku
merendahkan ilmu kesaktianmu yang lain. Cepat kau pergunakan Ilmu yang kau
dapat dari si nenek Neko Neko itu!"
"Nekonya
cuma satu kali saja Nek," kata Wiro.
"Sudah,
itu saja jadi persoalan. Lekas tolong Yang Mulia Raja Mataram." Kata Ratu
Randang sambil tersenyum dan kedipkan matanya yang juling.
Setelah
meminta izin terlebih dulu Wiro membuka kain yang membalut lengan kanan Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala. Lalu tangan kanan diletakkan di atas lengan yang
patah. Lima jari dikembang lalu meremas tiga kali berturut-turut.
"Kreekk….kreekkk…kreekkk!"
Raja
Mataram menjerit setinggi langit Rasa sakit luar biasa membuat kaki kanannya
tak sengaja menendang ke depan.
"Dukkk!"
Tendangan
mendarat telak di dada Pendekar 212 Membuat Wiro terpental, jatuh duduk di
tanah, cepat ditolong Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Untungnya tendangan Raja
Mataram dilakukan hanya dengan kekuatan luar tanpa tenaga dalam. Walau Wiro
merasa sakit namun tidak ada bagian tubuh yang cidera. Hanya wajahnya tampak
sedikit pucat karena terkejut tidak menyangka bakal mendapat hadiah tendangan!
Sehabis
menjerit keras tiba-tiba Raja Mataram berseru.
"Hyang
Jagatnatha Bathara Agung! Lihat! Tanganku yang patah sembuh!" Raja berseru
sambil angkat tangan kanannya ke atas, gembira tapi juga seperti tidak percaya.
Tangan yang telah bersambung kembali diusap lalu dipijat-pijat. Tiba-tiba dari
tangan yang tulangnya sudah bersambung kembali itu mengucur keluar cairan hitam
kebiruan. Raja tersentak kaget.
"Tidak
apa-apa Yang Mulia. Tak usah kawatir. Racun jahat dalam tubuh Yang Mulia sudah
keluar," kata Wiro memberi tahu.
"Kesatria
Panggilan aku sangat berterima kasih padamu!" Raja merangkul Wiro yang
saat itu telah berdiri sambil usap-usap dadanya yang tadi kena tendangan.
Sambil memeluk Wiro, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala berkata. "Maafkan
tendangan tadi. Aku tidak sengaja. Rasa sakit yang menyembuhkan itu seperti
tombak api yang ditancapkan dibatok kepala…"
"Kalau
cidera Yang Mulia tidak mengindap racun, sebenarnya hal itu tidak akan
terjadi…"
"Aku
tetap berterima kasjh atas pertolonganmu. Kau benar-benar luar biasa!"
"Yang
Mulia, Yang Maha Penyembuh telah menunjukkan kekuasaanNya. Bukan saya."
Ucap Wiro pula.
"Gusti
Aliahmu?" Tanya Raja Mataram.
Wiro
tersenyum lalu anggukkan kepala.
Semua
orang yang menyaksikan kejadian itu sejak tadi terkejut kagum sekaligus
gembira. Ratu Randang saking girangnya saat itu sebenarnya ingin sekali memeluk
dan mencium sang pendekar tapi terpaksa menahan diri sambil senyum-senyum.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi saling berpegangan tangan pertanda mereka juga
merasa gembira melihat kesembuhan Raja Mataram.
"Yang
Mulia, seperti kata saya tadi ada sesuatu yang harus saya lakukan. Harap Yang
Mulia dan keluarga sudi menunggu sebentar di tempat ini."
Dengan
cepat Wiro masuk ke dalam halaman Istana.
semua
orang termasuk Raja Mataram tidak dapat menahan rasa ingin tahu apa Sebenarnya
yang hendak dilakukan Wiro. Mereka semua segera mengikuti tapi .menjaga jarak
agak jauh di sebelah belakang sang Pendekar.
**********************
9
WlRO
melangkah cepat menghampiri mahluk api yang masih hidup dan saat itu terkapar
di halaman Istana dalam ujud seorang pemuda belasan tahun yang keadaannya
sangat mengenaskan.
Sekujur
tubuh mengelupas hangus. Mulut mengerang tiada henti dan sesekali tangan serta
kaki melejanglejang.
Agaknya
umurnya tak bakal lama.
Wiro
letakkan tangan kiri di atas dada si pemuda lalu kerahkan tenaga dalam disertai
aliran hawa sakti. Suara erangan lenyap.
"Pemuda
malang, katakan siapa dirimu!"
Sepasang
mata orang yang ditanya bergerak sedikit, menatap sayu ke arah Wiro, mulut
tidak memberi jawaban. Wiro lipat gandakan aliran tenaga dalam dan hawa sakti.
Mata itu tampak membuka membesar.
"Ada
orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam tubuhmu! Lalu menguasai dan
mengendalikan dirimu.
Kau
diperintah untuk membuat keonaran di Istana Kerajaan Mataram. Kau pasti
diperintah membunuh Yang Mulia Raja Mataram! Betul?!"
Mulut tak
menjawab tapi sepasang mata si pemuda mengedip perlahan.
"Katakan
siapa orang yang melakukan semua itu?!" Wiro kembali bertanya.
Mulut si
pemuda membuka, bukan untuk mengeluarkan suara tapi batuk-batuk beberapa kali
lalu semburkan darah hitam! Mata membelalak beberapa saat Tubuh menggeliat dan
tangan kiri kanan melejanglejang.
Wiro menunggu
sampai pemuda itu tenang.
Kalau
tadi dia alirkan hawa sakti hangat maka kini diganti dengan aliran hawa sejuk.
Muka yang melepuh dari si pemuda tampak agak bercahaya "Lekas katakan
siapa orang yang telah mencelakai dirimu!" Wiro bertanya sekali lagi.
Si pemuda
menatap kosong ke langit kelam di atasnya. Kepala digeleng perlahan. Mulut tak
kunjung mengeluarkan suara. Wiro lantas keluarkan bintang perunggu bersudut
lima berwarna merah pekat yang diberikan oleh mahluk samar hijau di dalam
Istana yang diduganya adalah Penguasa Atap Langit.
"Jangan
bunuh mahluk api ke lima. Jika Raja sudah diselamatkan tancapkan bintang merah
ke dalam batok kepala mahluk api ke llma”
Wiro
ingat betul ucapan mahluk hijau di dalam Istana. Tidak tunggu lebih lama dia
segera ulurkan tangan kanan yang memegang bintang perunggu merah. Sepasang mata
si pemuda kelihatan membeliak besar ketika sekilas sempat melihat benda
tersebut.
Mulut
tiba-tiba keluarkan suara meracau, tak jelas apa yang dikatakan. Wiro letakkan
bintang perunggu merah tepat di atas ubun-ubun si pemuda. Dengan mengerahkan
sedikit tenaga dalam bintang perunggu merah ditekan hingga desss! Bintang merah
melesak masuk ke dalam batok kepala si pemuda. Asap merah mengepul. Dari
mulutnya keluar suara meraung aneh.
Bukan menyerupai
suara anjing atau srigala tapi merupakan suara ngeongan kucing.
Wiro,
Raja Mataram dan semua orang yang ada di tempat itu tercekat kaget ketika
tiba-tiba seekor anak kucing merah melesat keluar dari batok kepala yang
barusan ditembus bintang merah. Anak kucing ini mengeong keras tiga kali,
melompat ke udara setinggi tiga tombak.
Hebatnya
dari empat jurusan lain tiba-tiba melesat pula empat anak kucing merah. Kelima
anak kucing saling bergabung di udara, membentuk lingkaran dan melayang
berputar sampai lima kali lalu wuttt! Kelima binatang itu melesat ke atas,
lenyap di langit gelap.
"Lima
dari delapan Sukma Merah! Pasti!" Ucap Ratu Randang.
Keanehan
tidak cuma sampai di sana. Begitu lima anak kucing merah lenyap di langit sosok
pemuda yang terkapar di tanah tiba-tiba menjerit keras lalu bergerak duduk.
Dada turun naik seolah ada yang hendak meledak di dalam tubuhnya. Kulit yang
gosong hitam mengelupas berubah ke bentuk asli tanpa cidera sedikitpun.
Wajahnya kini terlihat jelas. Ternyata dia seorang pemuda lugu berusia sekitar
delapan belas tahun.
Wiro
cepat ulurkan tangan kanan memegang bahu si pemuda sambil alirkan tenaga dalam
dan hawa sakti sejuk.
"Tenang,
tenang. Sekarang kau pasti bisa bicara.
Katakan
apa yang terjadi dengan dirimu. Siapa orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam
dirimu! Siapa yang mengendali dan memerintahkanmu menyerang Istana dan berniat
membunuh Raja Mataram."
"Hek!"
Si pemuda keluarkan suara tercekik.
Wiro
cepat menotok urat besar di leher si pemuda.
Sementara
Raja Mataram, Ratu Randang, Kunti Ambiri.
Sakuntaladewi
dan Kumara Gandamayana serta beberapa Abdi Dalem sudah berada di situ,
mengelilingi Wiro dan si pemuda.
"Bicara!
Ayo cepat bicara!" Wiro kerahkan lebih banyak tenaga dalam.
Mulut si
pemuda akhirnya terbuka sedikit. Dari mulut itu meluncur suara bergetar dan
agak terputusputus.
"Jen….Jenazah
Sim…Jenazah Simpanan…."
"Jenazah
Simpanan?! Mahluk apa itu? Siapa dia?!" Tanya Wiro.
Si pemuda
menggeleng.
"Dimana
kami bisa menemukan mahluk bernama Jenazah Simpanan itu!"
"An…antara
tuj…tujuh lapis langit dan tujuh lap…lapis bumi…"
"Antara
tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi Edan!" Maki Ratu Randang.
"Kalau
dia tidak mau menerangkan dengan jelas biar aku bunuh saja!" Mengancam
Kunti Ambiri lalu menjambak rambut si pemuda. "Ayo lekas bicara! Atau aku
betot sampai copot kepalamu!"
Tiba-tiba
terasa ada sambaran angin. Dari tenggorokan si pemuda saat itu juga keluar
suara mengorok. Disusul cairan membusah. Lalu sepasang mata mendelik dan nafas
menyengai. Lidah mulai terjulur. Dua tangan bergerak ke leher, membuat gerakan
seolah-olah menyingkirkan sesuatu yang mencekiknya!
"Ada
mahluk tak terlihat mencekik pemuda ini!" Bisik Ratu Randang.
Wiro
cepat berdiri sambil memberi isyarat pada si nenek, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi sementara Kumara Gandamayana cepat membawa Raja Mataram menjauhi
tempat itu.
"Hekk….kreekkk!"
Sebelum
semua orang bisa bertindak menyelamatkan tiba-tiba batang leher si pemuda
berderak patah dan kepalanya terkulai ke kiri.Mata mencelet, lidah terjulur.
"Kreekkk!
Kreekkk!"
Sekujur
tubuh si pemuda kelihatan remuk mengerikan. Dalam keadaan hancur tubuh ini
kemudian roboh ke tanah!
"Kurang
ajar!" Wiro yang tadinya hendak mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk
melihat mahluk apa yang mencelakai si pemuda tidak mau membuang waktu lagi.
Serta meria dia merapal aji pukulan Harimau Dewa. Kunti Ambiri dan Ratu Randang
tidak tinggal diam. Keduanya juga menghantam ke arah sasaran tak terlihat yang
dipukul Wiro.
"Braakkk!"
Tiga
pukulan sakti seolah menghantam tembok tebal. Terdengar suara bergemuruh lalu
buukkk! Dua belas langkah dari hadapan orang-orang Itu tersungkur menggeletak
satu sosok tubuh mengenakan jubah hitam.
Ketika
semua mendatangi, termasuk Raja Mataram, ternyata orang itu adalah seorang
kakek berambut, berkumis dan berjanggut ungu. Di keningnya ada satu benjolan
sebesar telur burung dara juga berwarna ungu.
Meski
jelas-jelas tadi tiga pukulan sakti menghantam tubuhnya yang semula tidak
kelihatan, namun si kakek sedikitpun tidak mengalami cidera. Hanya sepasang
matanya saja yang kelihatan tertutup.
"Resi
Jingga Anthasana…." Berucap Ratu Randang.
"Ratu,
kau kenal orang ini?" Tanya Raja Mataram.
"Dia
Resi sesat bermukim di lereng timur Gunung Sumbing. Sejak beberapa waktu silam
saya ketahui dia telah diusir oleh para Resi Sesepuh dari pemukiman…."
"Kalau
dia Resi sesat berarti pasti dia telah berkomplot dengan mahluk jahat lain yang
telah menguasai dirinya. Aku curiga ini lagi-lagi perbuatan dua Sinuhun keparat
itu, dibantu oleh Dirga Purana si bocah sialan!" Wiro berkata setengah
memaki.
"Memang
tidak ada tanda-tanda cahaya merah atau kuning atau hitam pada Resi ini. Juga
sewaktu dia membunuh pemuda itu. Sama sekali tidak tampak terlibatnya ilmu
kesaktian dua Sinuhun dan Dirga Purana. Namun lima anak kucing merah tadi cukup
meyakinkan bahwa kelompok dua Sinuhun masih gentayangan di Bhumi Mataram."
Berkata Kumara Gandamayana.
Tiba-tiba
sepasang mata Resi Jingga Anthasana terbuka nyalang.
Astagal
Ternyata kedua mata orang tua ini hanya merupakan rongga kosong dalam berwarna
ungu. Dari dalam dua rongga mata mengepul keluar dua larik asap ungu.
Disaat
yang sama terdengar suara mendesis halus disertai menebarnya bau amis. Kunti
Ambiri yang sudah berpengalaman mendengar suara serta mencium bau amis serta
merta berteriak.
"Lekas
menyingkir!"
Meski
tidak tahu apa yang akan terjadi namun semua orang termasuk Raja yang terus
didampingi oleh Kumara Gandamayana segera menjauhi tempat itu.
Mereka
berusaha mencapai pohon beringin besar di tengah halaman untuk dipakai
berlindung.
Tiba-tiba
sosok Resi Jingga Anthasana menggeliat, tangan menempel ke sisi tubuh, dua kaki
merapat Di lain kejap sosok sang Resi telah berubah menjadi seekor ular besar
berwarna ungu yang memiliki sepasang mata hanya berupa bolongan rongga! Di atas
kepala ada sebuah tanduk lancip. Perlahan-lahan binatang ini membuat gerakan
berdiri. Bagian tubuh sebelah bawah membentuk ilma lingkaran. Tubuh sebelah
atas berdiri lurus. Sisi kiri kanan kepala mengembang seperti ular sendok.
Semua orang yang menyaksikan jadi bergidik.
"Wusss!"
Laksana
kilat ular ungu melesat ke arah Raja Mataram!
Kumara
Gandamayana melompat ke depan menyongsong serangan. Selain melindungi Raja
Rakai Kayuwangi Oyah Lokapala, orang tua ini pentang dua tangan ke atas. Dua
tangan berubah menjadi merah seperti bara menyala. Sambil melangkah maju
menghadang datangnya serangan ular ungu kakek ini membuat gerakan aneh. Dua
tangan menjulur panjang, siap untuk menangkap dan melumat kepala ular ungu.
Inilah
jurus serangan yang disebut Sepasang Tangan Membuka Pintu Neraka. Ilmu ini
jarang dikeluarkan Kumara Gandamayana karena sangat ganas.
Benda apa
saja yang kena diringkus dua tangan pasti akan hancur dan leleh mengerikan!
Dari
samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak
Gunung yang didapat dari Tua Gila. Seperti serangan Kumara Gandamayana yang di
arah adalah kepala ular ungu.
Ratu
Randang tidak tinggal diam. Nenek ini gulingkan diri di tanah, lalu dari bawah
dia menghantam ke atas ke arah tubuh ular sebelah bawah dengan pukulan bernama
Di Dalam Gelap Tangan Penghukum Membelah Jagat Selarik sinar biru membeset ke
udara.
Sakuntaladewi
membalkan tubuh ke udara lalu dari atas dia membuat gerakan menghunjam dengan
kaki tunggalnya. Saat itu juga selarik sinar biru kehijauan menderu menyambar
ke arah tubuh ular ungu sebelah atas. Melihat datangnya empat serangan dari
orang-orang berkepandaian tinggi sudah dapat dipastikan ular besar yang melesat
ke arah Raja Mataram akan menemui kematian dengan tubun hancur berkeping-keping
tak karuan rupa kalau tidak mau dikatakan menjadi bubuk.
Satu-satunya
orang yang tidak ikut menyerang adalah Kunti Ambiri Gadis ini menggantikan kedudukan
Kumara Gandamayana, melindungi Raja yang kini berada di belakangnya.
"Desss!"
"Blaarr!"
"Craasss!"
"Bukkk!"
Empat
serangan menghantam sosok ular ungu dengan telak mulai dari kepala sampai
kepertengahan tubuh atas bawah. Binatang itu mendesis keras. Sekujur tubuh
mulai dari kepala sampai ke ekor pancarkan cahaya ungu Inilah cahaya pelindung
yang hebat luar biasa! Empat serangan sakti hanya membuat tubuhnya bergoncang
melejang-lejang beberapa kali Kumara Gandamayana tidak mampu menangkap dan
menghancurkan kepala ular dengan dua tangannya yang merah membara. Tiga
serangan Wiro, Ratu Randang dan Sakuntaladewi juga tidak sanggup menciderai
ular ungu. Dalam keadaan tubuh masih utuh ular ungu kembali melesat ke arah
Raja Kali ini dengan kepala tegak dan mulut menyembur uap ungu mengandung
racun!
Melihat
hal ini Wiro segera menghadang dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun saat itu
Kunti Ambiri sudah menerjang ke depan.
"Ini
bagianku! Semua lekas menjauh! Tutup jalan nafas!"
Sambil
melompat mundur Ratu Randang keluarkan ilmu Tangan Langit Kaki Bumi. Selapis
hawa aneh serta merta menyungkup udara, memagari semua orang yang ada di tempat
itu.
**********************
10
RAHANG
Kunti Ambiri menggembung.
Bersamaan
dengan itu perut mencekung. Didahului satu pekikan dahsyat gadis sakti alam roh
ini menyembur. Bersamaan dengan itu perut yang tadi mengempis melenting ke
depan.
"Sett!
Setttr!
"Wuutttt!"
Dari
dalam mulut Kunti Ambiri yang menyembur berhamburan puluhan ular biru bermata
merah panjang satu tombak. Sementara dari pusar si gadis melesat keluar seekor
ular besar dengan panjang hampir tiga tombak berwarna hitam berkepala putih!
Tidak percuma Kunti Ambiri pernah menyandang julukan sebagai Dewi Ular!
Puluhan
ular biru bermata merah dengan cepat melibat tubuh ular ungu jejadian sosok
Resi Jingga Anthasana sehingga ular ungu seolah terbungkus tak terlihat lagi.
Sambil melibat binatang-binatang ini mematuk buas. Suara patukan menggemuruh
menggidikanl Sekujur tubuh ular ungu tampak dipenuhi puluhan lobang!
Tiba-tiba
dari tubuh ular yang dikeroyok memancar cahaya ungu. Saat itu juga puluhan ular
biru terpental ke berbagai penjuru dalam keadaan tubuh hangus mengkeret lalu
meledak!
Kunti
Ambiri menjerit marah!
"Bunuh!"
Teriak si gadis.
Ular
besar hitam kepala putih yang keluar dari dalam perut melalui pusar Kunti
Ambiri melesat laksana topan, menyerbu ke arah ular ungu bercula yang berada
dalam keadaan tubuh penuh luka. Libat melibat berlangsung ganas. Kepala saling
dibentur. Patuk dan gigitan terjadi berulang kali membuat luka-luka berdarah di
tubuh masing-masing. Kibasan ekor menderu tiada henti. Tampaknya ular ungu
bercula terdesak menghadapi keganasan ular hitam kepala putih. Namun tidak
disangka, didahului pijaran cahaya ungu tiba-tiba kepala dan sosok ular ungu
berubah besar dan panjang menjadi dua kali ujud semula. Sekali membuat gerakan
menggeliat libatan ular hitam kepala putih terlepas. Lalu terjadilah hal yang
membuat semua orang terkejut dan Kunti Ambiri berteriak kaget.
Ular ungu
pentang kepala, mulut membuka lebar.
Sekali
kepala melesat ke depan tak ampun lagi kepala dan tubuh ular hitam kepala putih
milik Kunti Ambiri amblas masuk.
"Greeekkk!
Kreekk…kreekk…kreekk!"
"Kurang
ajar! Edan!" Kunti Ambiri berteriak marah.
Tidak
percaya ketika melihat bagaimana ular hitam kepala putih menggelepar-gelepar
ditelan ular ungu. Darah kental mengucur. Suara derak tulangtulang yang hancur
dari ular hitam kepala putih miliknya membuat tubuhnya sendiri ikut serasa
remuk dan nafas menyesak. Semua orang terkesiap ngeri dan untuk beberapa ketika
hanya bisa tertegun bergidik melihat apa yang terjadi.
Wiro
sadar lebih dulu. Tangan kanan dipentang dan serta merta berubah menjadi
seputih perak berkilau. Pukulan Sinar Matahari siap untuk dihantamkan ke arah
ular ungu yang saat itu nyaris melahap habis sosok ular hitam kepala putih.
Namun sebelum Wiro sempat melepas pukulan sakti itu tibatiba dengan kecepatan
luar biasa ekor ular ungu mengibas melesat ke arahnya.
"Wuutt!"
Wiro melihat
seolah batang pohon kelapa siap menggebuk dirinya. Walau mungkin dia masih bisa
menghajar ular ungu dengan pukulan Sinar Matahari namun dirinya belum tentu
selamat dari gebukan ekor ular! Mau tidak mau, sambil memaki geram murid Sinto
Gendeng terpaksa jatuhkan diri ke tanah.
"Braakkk!"
Tembok
halaman istana di dekat pintu gerbang yang sebelumnya sudah roboh kini tambah
hancur tak karuan dihantam ekor ular ungu.
Tidak
berhasil menggebuk Wiro dengan ekornya, ular ungu mengejar sambil muntahkan
hancuran tubuh ular hitam kepala putih yang barusan diremuk dan ditelan. Hanya
sesaat lagi Wiro akan kejatuhan hancuran tubuh ular itu dari samping Ratu
Randang dan Sakuntaladewi sama-sama melepas pukulan sakti. Kunti Ambiri ikut
menghantam pula dengan pukulan jarak jauh memancar cahaya hijau.
Yang di
arah adalah hidung ular ungu yang dianggapnya merupakan bagian terlemah dari
setiap ular.
Walau
pukulan Ratu Randang dan Sakuntaladewi hanya bisa mendorong ular ungu sampai
dua tombak, namun itu sudah cukup menyelamatkan Wiro dari muntahan tubuh dan
tulang belulang ular hitam kepala putih.
"Bruukkk!"
Muntahan
tubuh dan tulang ular ungu jatuh di tanah, membentuk satu gundukan setinggi
betis dan hanya beberapa langkah di kiri Wiro yang saat itu tengah berusaha
berdiri din siap melepas pukulan pamungkas, Pukulan Sinar Matahari. Bau amis
menebar.
Sosok
ular ungu bergerak ke atas, mengambang setengah tombak d udara. Hidung tampak
mengucurkan darah akibat pukulan Kunti Ambiri.
Bagian
tubuh sebelah tengah sampai kepala mengapung datar. Ekor mencuat ke atas tanda
siap melancarkan serangan lagi. Betul saja, didahului dengan melesatnya dua
cahaya ungu dari dalam rongga mata yang bolong, ekor menyusul mengibas dalam
gerak serangan berbentuk lingkaran.
Ratu
Randang, Kunti Ambili dan Sakuntaladewi berpencar selamatkan diri. Terpaan
angin yang keluar dari serangan ekor ular ungu membuat ketiganya terkapar di
tanah. Walau tidak cidera tapi untuk beberapa lama mereka tidak mampu bergerak
bangkit.
Sementara
itu Wiro tetap nekad untuk menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun
kepala ular ungu dengan mulut terbuka lebar melesat lebih cepat.
Cahaya
ungu yang membersit dari sepasang mata sang ular membuat Wiro kesilauan dan
tidak dapat melihat jeias datangnya serangan. Beberapa orang yang menyaksikan
dan sudah menduga apa yang bakal terjadi dengan Wiro menjerit. Delapan pekikan
perempuan yang berasal dari delapan bunga Matahari kecil ikut memenuhi udara
malam.
Kumara
Gandamayana jejakkan kaki kanan ke tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan
Bhumi Milik Para Dewa. Begitu kaki kanan berhasil menyedot kekuatan dari dalam
tanah, kakek ini langsung melompat dan menendang ke arah kepala ular ungu.
"Bukkk!"
Tendangan
Kumara Gandamayana memang berhasil mendarat telak di kepala sebelah kanan ular
ungu. Tapi si kakek sendiri terpental dan menjerit kesakitan lalu jatuh di
tanah, tak mampu bergerak untuk beberapa ketika. Kasut di kaki kanan robek dan
kaki kanan si kakek tampak menggembung bengkak.
Ular ungu
tanpa bergeming sedikitpun terus melesat ke arah Wiro dengan mulut terpentang
lebar.
Lidah
panjang bercabang menjulur merah. Cairan ludah dan racun bercampur darah
berlelehan. Taring mencuat panjang dan runcing.
Hanya sekejapan
mata lagi kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam
mulut ular raksasa mendadak suasana malam di atas kawasan istana menjadi lebih
kelam. Di udara terdengar suara kepakan sayap aneh menimbulkan angin kencang,
membuat tanah bergetar dan daun pohon beringin luruh berhamburan. Satu
bayang-bayang hitam menutupi bangunan dan halaman Istana. Bau busuk menyambar
jalan pernafasan. Semua orang menatap ke atas dan langsung terkesiap kaget.
Mereka tidak tahu apakah yang mereka lihat benar-benar seekor binatang raksasa
atau hantu jejadian.
"Kelelawar
hantu…." Ucap Sakuntaladewi dengan suara bergetar.
**********************
11
WIRO usap
kedua mata hingga pemandangannya lebih jelas. Ketika menatap ke atas sang
pendekar jadi kaget. Dia melihat satu mahluk raksasa melayang rendah.
"Astaga!
Apa benar? Bagamana mahluk ini bisa muncul di sini?!"
Tiba-tiba
di udara kelam melesat dua benda aneh dlkobari api.
"Panah
Api!" Berseru Ratu Randang. "Jelas ini semua pekerjaan dua Sinuhun
keparat!" Nenek ini, dalam keadaan masih terduduk di tanah siap melepas
pukulan sakti.
"Nek,
tunggu! Tahan serangan!" Teriak Wiro sambil dua tangan ditekapkan di atas
kepala.
"Edan!
Memangnya ada apa?i" Si nenek berteriak bertanya.
"Craass!
Craass!"
Dua panah
api menancap di mata kiri kanan ular ungu yang hanya berupa rongga dalam.
Binatang ini menggeliat sambil keluarkan suara mendesis keras.
Gerakannya
hendak menelan kepala dan tubuh Wiro jadi tertahan. Kepala dipating ke arah
datangnya serangan dua panah api. Mulut mendesis keras.
Binatang
ini siap melancarkan serangan. Namun saat itu mahluk rakasasa yang melayang di
udara tiba-tiba menyambar ke bawah dan laksana kilat kepala dan sebagian badan
ular ungu telah berada dalam mulutnya yang dipenuhi gigi besar dan taring
runcing.
"Grreekkk…..!"
Ular ungu
berusaha menyerang mahluk yang menelannya dengan ekor namun serangan itu
dibalas dengan hantaman kepakan sayap. Ular ungu coba melibat untuk meremuk
tubuh lawan tapi cepat sekali seluruh sosoknya telah amblas ditelan mahluk
raksasa.
Walau
semua orang merasa lega karena Wiro selamat namun mereka tak habis kejut
melihat kemunculan mahluk berupa seekor kelelawar besar berbulu tebal hitam
kecokiatan yang saking besarnya, bentangan dua sayapnya bisa menutup seluruh
atap bangunan Istana.
Dengan
kepala ditunduk, sayap dlkuncup. kelelawar raksasa melayang turun ke halaman
Istana lalu melangkah ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Semua orang lagi-lagi
dibuat kaget ketika mendengar binatang ini mengeluarkan ucapan. "Mahluk
edan Gila Dia bisa bicara seperti manusia" Ucap Ratu Randang.
Di
hadapan Wiro Kelelawar Raksasa berkata.
"Yang
Mulia, harap maafkan karena saya terlambat datang menolong Yang Mulia!"
Sekarang
kejut semua orang bukan olah-olah. Raja saling pandang dengan Kumara
Gandamayana yang saat itu masih kesakitan karena cidera di kaki tapi sudah bisa
berdiri. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi juga tak habis heran.
"Yang
Muliai Dia dipanggil Yang Mulia. Weehhh!
Sejak
kapan si gondrong itu Jadi Raja Diraja mahluk aneh Kelelawar Raksasal
Jangan-jangan binatang itu Kelelawar betina yang ujud sebenarnya seorang gadis
cantik!" Ucap Ratu Randang pula.
Tersipu-sipu
Wiro bangkit berdiri. Kepala digaruk. Dia sendiri yang sudah ditolong Kelelawar
Raksasa seolah tidak percaya mengalami kejadian itu.
"Sahabat
Kelelawar Raksasa dari Negeri Atap Langit, aku berterima kasih padamu. Kau
telah menyelamatkan nyawaku!" Kata Wiro pula.
"Itu
menjadi tugas saya. Tapi mohon maaf atas kelancangan saya.
Sebenarnya
tadi akan ada dua pertolongan atas diri Yang Mulia. Pertama dari satu mahluk
berujud seekor harimau berbulu putih bermata hijau…."
"Datuk
Rao Bamato Hijau!" Tercengang-cengang Wiro menyebut nama harimau sakti
peliharaan Datuk Rao Basaluang Amen dari pulau Andalas. Dia merasa heran
bagaimana Kelelawar Rasksasa mengetahui hal itu.
"Betul,"
jawab Kelelawar Raksasa. ."Lalu pertolongan kedua dari keris sakti yang
terselip di pinggang Yang Mulia."
"Astaga,
mahluk ini tahu semua!" Pikir Wiro. Sang pendekar kembali menggaruk
kepala. "Sahabatku, aku sekali lagi berterima kasih padamu."
"Yang
Mulia," kata Kelelawar Raksasa. "Izinkan saya kembali ke Negeri Atap
Langit Negeri hanya dijaga oleh para sahabat Arwah Hitam Putih. Keadaan disana
masih kacau. Saya kawatir akan terjadi apa-apa. Kecuali jika Yang Mulia ingin
saya melakukan sesuatu atau minta saya tetap di sini, saya akan menurut
perintah Yang Mulia.
"Sang
Penguasa, apa dia tidak ada di Negeri Atap Langit?" Bertanya Wiro?"
"Seperti
kata saya dulu. Beliau lenyap entah kemana.
Sebelum
pergi beliau memberi tahu bahwa Yang Mulialah junjungan saya yang baru dan
harus saya lindungi…."
Wiro
ingat cerita Jaka Pesolek akan keberadaan Penguasa Atap Langit di Bhumi Mataram
yang meminta gadis itu untuk menyerahkan jantung Ken Parantili pada sang selir.
"Kalau
begitu kau lekaslah kembali ke Negeri Atap Langit"
"Baik
Yang Mulia, saya mohon diri," kata Kelelawar Raksasa. Lalu binatang ini
tundukkan kepala ke arah Wiro dan Raja Mataram seolah memberi penghormatan.
Sesaat kemudian wuttl Kelelawar Raksasa melesat ke udara. Kepakan sayap membuat
tubuh semua orang bergoyang-goyang. Tanah bergetar.
Debu
beterbangan ke udara. Daun-daun pohon Beringin kembali luruh.
"Mahluk
hebat!" Ucap Kunti Ambiri sambil gelenggeleng kepala.
"Sahabat
Wirol Tidak disangka kau rupanya sudah menjadi Yang Mulia Raja di Negeri Atap
Langit!" Berkata sakuntaladewi.
"Wahh…waahhl
Berarti sekarang dia juga bakal punya belasan selir!" Kata Ratu Randang
pula.
Mendengar
ucapan si nenek Wiro hanya bisa tertawa.
Raja
Mataram mendekati Wiro. "Kesatria Panggilan, siapa adanya mahluk
tadi?" Raja bertanya.
Wiro lalu
menuturkan riwayat pengalamannya di Negeri Atap Langit.
"Sebelumnya
mahluk Kelelawar Raksasa itu ada tiga. Yang dua menemui ajal akibat serangan
Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Mereka adalah para pengawal Penguasa Atap
Langit."
"Apa
benar kau telah menjadi Yang Mulia atau Raja Penguasa Negeri Atap Langit?"
Tanya Raja lagi sementara semua orang memasang telinga ingin mendengar jawab
keterangan sang pendekar. Wiro tertawa.
"Yang
Mulia, mana mungkin orang seperti saya ini ada tampang bisa jadi Raja sekalipun
Raja Negeri Antah Berantah. Mahluk kelelawar itu selalu menyebut saya dengan
panggilan Yang Mulia. Mungkin itu hanya sebagai ucapan terima kasih karena saya
pernah menyelamatkan nyawanya dari tangan jahat Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
Selain itu saya tidak pernah bisa menduga apa sebenarnya yang ada di dalam
benak Penguasa Atap Langit yang sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya.
Tapi turut keterangan Jaka Pesolek Penguasa Atap Langit ada di Bhumi Mataram
tengah mencari selir pertamanya yang bernama Ken Parantili." (Riwayat
Kelelawar Hantu bisa dibaca dalam serial sebelumnya berjudul "Delapan
Pocong menari")
Sambil
bicara tadi Wiro terapkan ilmu Menembus Pandang, memperhatikan keadaan di luar
dan di dalam bangunan istana. Melihat tidak ada hal yang mencurigakan Wiro
berkata pada Raja Mataram.
"Yang
Mulia, saya rasa keadaan sekarang sudah aman. Yang Mulia dan keluarga bisa
segera masuk ke dalam istana. Saya dan para sahabat akan tetap berada di sini
sampai sang surya terbit. Selain itu, sudah saatnya saya harus menyerahkan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada Yang Mulia."
Mendengar
ucapan Wiro, Ratu Randang segera mendekati Kumara Gandamayana dan berbisik.
"Setelah
Raja menerima keris sakti, senjata itu harus dipinjam dan dipergunakan untuk
menolong Sakuntaladewi. Hanya senjata itu dan hanya Kesatria Panggilan yang
bisa mengembalikan dua kaki si gadis…"
Si kakek
mengusap wajah lalu menjawab. "Aku sudah mendengar riwayat gadis itu.
Bagaimana dengan kaulan yang menjadi pegangan Sakuntaladewi?
Kesatria
Panggilan tidak akan mampu menyembuhkan Sakuntaladewi kalau tidak menerima
kaulan bahwa dia bersedia menjadi suami gadis itu."
Dada Ratu
Randang berdebar. Wajahnya berubah.
Wiro akan
menjadi suami Sakuntaladewi Setelah menundukkan kepala beberapa lama dengan
suara perlahan si nenek berkata.
‘Kalau
memang sudah demikian kehendak Yang Maha Kuasa, kita mana bisa menolak. Kasihan
kalau Sakuntaladewi sengsara begitu rupa seumur-umur."
Kunti
Ambiri mendekati Ratu Randang dan mengusap bahunya. Dia tahu bagaimana perasaan
si nenek terhadap Wiro. Walau selalu disembunyikan dalam berbagai kelucuan
namun sebenarnya nenek berwajah cantik dan bertubuh masih molek ini sangat
menyukai Wiro.
"Nek,
jangan pikirkan hal lain. Niat Wiro untuk menolong semata…." Bisik Kunti
Ambiri yang tahu perasaan si nenek dan coba menghibur.
Ratu
Randang berpaling, menatap wajah Kunti Ambiri dengan sepasang matanya yang
Juling. Dua alis yang bagus bergerak ke atas.
"Ah,
kulihat matamu berkaca-kaca…." bisik Ratu Randang yang membuat Kunti
Ambiri cepat-cepat dongakkan kepala pura-pura menatap bulan biru.
Sambil
memegang dan meremas jari-jari tangan Kunti Ambiri, Ratu Randang berkata.
"Kita sebenarnya hanyalah insan-insan lemah yang tidak bisa menyembunyikan
perasaan…."
Sepasang
mata Kunti Ambiri dan Ratu Randang saling tatap beberapa lama lalu keduanya
saling berpelukan.
**********************
12
KITA
Ikuti dulu perjalanan Jaka Pesolek yang ketitipan amanat dari Penguasa Atap
Langit untuk menyerahkan jantung milik Ken Parantili pada sang selir.
Tepat
ketika fajar menyingsing si gadis sampai di satu telaga kecil di kaki selatan
Gunung Merapi, sekitar kawasan Kaliurang.
"Heran,
musim hujan sudah tiba. Mengapa telaga ini airnya hanya dangkal sebetis?"
Pikir Jaka Pesolek sambil duduk uncang-uncang kaki di atas sebuah batu di tepi
telaga. Saat itu dia ingin turun ke air untuk membersihkan diri sebelum
melanjutkan perjalanan mencari Ken Parantili. Namun pemandangan indah di
sekitar telaga membuat dia untuk beberapa lama masih terus duduk di atas batu.
Tak sengaja matanya melihat sebuah batu besar di tepi telaga sebelah timur.
Batu ini seperti menggantung dan dibanding dengan batu-batu lainnya di dalam dan
sekitar telaga yang banyak ditutup lumut, batu satu itu tampak bersih licin.
Berarti batu ini sebelumnya berasal dari tempat lain, menggelinding dan
terhenti lalu menyumbat di tebing batu. Dari selasela batu kiri kanan dan
sebelah bawah mengucur perlahan air jernih yang kemudian masuk ke dalam telaga.
"Di
balik batu itu…." ucap Jaka Pesolek dalam hati, "sepertinya ada
sumber aliran air. Tapi aliran terhalang oleh batu. Hemmm….Mungkin ini
penyebabnya air telaga menjadi dangkal."
Dengan
gerakan kilat dalam sekejapan saja Jaka Pesolek sudah berada di tepi telaga
sebelah timur.
Dia
perhatikan keadaan batu, terutama celah-celah dari mana keluarnya rembesan air.
Setelah yakin batu besar yang menggantung itu menjadi penghalang aliran air si
gadis melompat ke atas tebing. Dari sini dia pergunakan dua tangan untuk
mendorong batu. Seperti diketahui gadis ini walau punya gerakan secepat kilat
dan mampu menangkap petir namun dia tidak punya kesaktian lain ataupun tenaga
dalam. Dengan mengandalkan tenaga luar mana mungkin dia mendorong batu besar.
Tidak putus asa Jaka Pesolek sandarkan punggung ke dinding batu di belakangnya
lalu kaki kanan dipergunakan untuk mendorong.
Sampai
mukanya merah dan tubuh keringatan tetap saja batu tidak bergeming.
"Edan,
ya sudahi Agaknya aku harus mandi setengah badan di air telaga yang dangkal
Itu!"
Jaka
Pesolek turun melompat turun ke tepi telaga. Buntalan kain hitam berisi jantung
Ken Parantili diletakkan di atas sebuah batu. Karena air telaga cuma setinggi
betis Jaka Pesolek terpaksa hanya mencuci muka saja. Selagi dia membasahi
rambut tiba-tiba dilihatnya buntalan kain hitam bergerak-gerak. Buntelan di
sebelah atas terbuka.Lalu settt! Segulung benda panjang hitam melesat ke arah
pohon tak jauh di tepi telaga, menancap di batang pohon!
"Astaga!
Rambut selir itu! Apa yang terjadi?!"
Ken
Parantili berseru kaget lalu dengan cepat melompat keluar dari dalam telaga.
Berdiri di depan pohon sambil memperhatikan rambut yang menancap si gadis ingat
ucapan Penguasa Atap Langit. "Jika Ken Parantili berada dalam jarak dua
ratus langkah rambut akan memberi tanda. Rambut akan meringkal bergerak ke atas
lalu melesat ke arah dimana beradanya selir itu."
Jaka
Pesolek memandang berkeliling, melihat ke atas pohon. Dia menyelidik ke
beberapa jurusan namun sama sekali tidak melihat Ken Parantili.
"Pertanda
yang salah atau ada yang tidak beres ?"
Baru saja
Jaka Pesolek berpikir seperti itu tiba-tiba brukk!
Sesosok
tubuh jatuh tersungkur di tanah. Ternyata seorang perempuan berkebaya putih.
Ketika melihat wajah perempuan itu kejut Jaka Pesolek bukan alang kepalang.
Selain
terkejut dia juga merasa gembira.
"Ken
Parantili! Syukur aku menemuimu di sini!
Apa yang
terjadi denganmu?" Jaka Pesolek jatuhkan diri di samping selir pertama
Penguasa Atap Langit yang saat itu dalam keadaan megap-megap. Wajahnya yang
cantik tampak pucat. Bibir nyaris putih tak berdarah. Sepasang mata setengah
tertutup. Keadaan dirinya tampak lemah sekali. Jaka Pesolek segera memangku
kepala sang selir.
"Kau…kau
siapa…?" Ken Parantili masih bisa keluarkan ucapan, bertanya walau sangat
perlahan.
"Kau
lupa? Aku Jaka Pesolek! Sahabat Kesatria Panggilan Wiro Sableng dari negeri
delapan ratus tahun mendatang! Berarti sahabatmu Juga!"
"Jaka
Pesolek. Kita memang pernah bertemu.
Dengar,
kita harus cepat pergi dari sini. Ada dua orang mengejar. Dia hendak memperkosa
diriku…"
Baru saja
Ken Parantili keluarkan ucapan tiba-tiba dari balik semak belukar di depan
deretan beberapa pohon melompat keluar dua orang lelaki berpakaian dan berdestar
hitam. Di pinggang masing-masing terselip sebilah golok besar. Dari tampang
serta pakaian mereka Jelas bukan orang baik-baik. Kemungkinan bangsa begal atau
rampok.
"Ha
hal Rejeki kita memang besari Sekarang malah ada dua perempuan cantikl Satunya
sangat segar bugar!
Kita bisa
berbagi satu orang untuk satu orang!
Ha…ha…ha!"
Yang
keluarkan ucapan adalah lelaki berbadan tinggi besar memelihara kumis dan
berewok tebal.
Temannya
yang bertubuh gemuk tertawa mengekeh, lidah diulur berulang kali. Pakaian dan
tubuh kedua orang ini menebar bau tidak enak.
"Tunggu
apa lagi. Langsung saja kita kerjai" Berkata si gendut.
"Jaka
Pesolek, cepat Kau punya ilmu…."
Dua
lelaki garang tiba-tiba melompat ke hadapan dua perempuan Itu. Jaka Pesolek
cepat berdiri.
"Tunggu!
Kalian berdua jangan ganggu sahabatku ini. Kalau mau bersenang-senang aku bisa
melayani kalian berdua sekaligus! Aku bisa jantan bisa betina!"
Si gendut
dan si tinggi besar saling pandang lalu tertawa gelak-gelak.
"Hebat
juga gadis satu ini!" Kata si tinggi besar.
"Aku
memang hebat! Nanti kalian berdua akan lebih tahu kehebatankul hik…hik..hik.
Aku akan membuka pakaian. Kalian berdua ayo cepat tanggalkan baju dan celana!
Hik…hikl Kalau kalian suka boleh masuk mencebur ke dalam telaga. Nanti kita
bersenang-senang di dalam airi Hik…hik…hik!"
Habis
berkata begitu Jaka Pesolek lalu buka dan singkapkan dada pakaiannya. Dua
lelaki di hadapannya mendelik melihat dada yang putih bagus.
"Hai,
tunggu apa lagi! Lekas mencebur ke dalam telagal Lihat, aku akan buka seluruh
pakaianku!" Jaka Pesolek singkapkan bajunya lebih lebar.
"Gadis
cantik, kau tidak menipu, tidak bergurau?!" Si gendut bertanya agak
curiga.
"Siapa
yang berguraul Siapa yang menipul Aku memang suka laki-laki seperti kalian.
Kalian berdua pasti hebat! Hik…hik! Lihat, sebentar lagi akan aku tanggalkan
pakaianku sebelah bawahi" Si gadis singsingkan ke atas bagian bawah
pakaian merahnya hingga kakinya tersingkap sampai di atas lutut. Hal Ini
membuat si gendut dan si tinggi besar jadi blingsatan.
Sambil
terus bicara merayu Jaka Pesolek dekat kedua orang itu lalu menarik tangan
mereka ke dekat telaga. Si gendut dan si tinggi besar masih tak percaya.
Tapi
keduanya Jadi tersentak ketika tangan Jaka Pesolek enak saja mengusap bagian
bawah perut mereka.
"Kalau
kalian tidak mau aku tak Jadi menanggalkan pakaian. Ayol Lekas masuk ke dalam
telaga." Jaka Pesolek berpura-pura condongkan badan seperti hendak
mencebur ke daiam telaga. Melihat hal ini dua lelaki tadi tidak tunggu lebih
lama segera saja mendahului masuk mencebur ke dalam telaga berair dangkal.
"Bagus!
Kalian berdua tunggu saja di dalam telaga sampai tubuh kalian gembung!
Hik…hik…hik!"
Begitu
kedua orang itu sudah berada dalam telaga Jaka Pesolek cepat menyambar buntalan
hitam di atas batu lalu dia menggendong tubuh Ken Parantili.
Sekali
berkelebat dengan ilmu gerakan kilat yang dimilikinya gadis ini sudah melesat
jauh meninggalkan telaga.
"Jahanaml
Kita kena ditipu!" Teriak si gendut sambil acungkan tinju.
"Kurang
ajar! Ayo kita kejar gadis sialan itu!"
"Mau
dikejar kemana? Gerakannya secepat setan melenyapkan diri!" Ucap si gendut
lalu melosoh terduduk lemas di dasar telaga. Kepala dipukui-pukul.
**********************
13
Di SATU
kawasan pesawahan yang sunyi yang ikut dilanda banjir air merah pada malapetaka
Malam Jahanam Jaka Pesolek hentikan lari.
Ken
Parantili dibaringkan di atas lantai sebuah teratak.
Tubuh
sang selir terasa panas. Tak jauh dari tempat itu ada aliran air jernih. Jaka
Pesolek petik sehelai daun kecil, menggulung daun ini begitu rupa hingga bisa
dipakai untuk menampung air. Air sejuk itu kemudian diminumkan dan sebagian
dipergunakan membasahi kepala, wajah serta bibir Ken Parantili yang kering.
"Jaka,
terima kasih kau telah menolongku. Ketika dua manusia jahat itu menghadangku,
keadaanku sangat lemah. Ilmu kesaktianku tak bisa aku keluarkan.
Seharusnya
aku bisa bertahan sampai tiga hari.
Sekarang
aku merasa ada keanehen.Aku merasa kekuatanku mulai pulih. Bukan karena air
yang barusan kau berikan. Ada sesuatu. Aku merasa ada suara detakan yang
menggetarkan dadaku sebelah kiri…"
"Sahabat,
aku merasa bersyukur bisa menemuimu lebih cepat. Penguasa Atap Langit pastl
gembira jika mengetahui hal ini."
Saking
terkejutnya mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ken Parantili sampai terbangun dan
duduk bersandar di tiang teratak. Wajahnya yang pucat tampak berubah.
"Apa
katamu? Kau menyebut Penguasa Atap Langit. Memangnya…?"
"Penguasa
Atap Langit menemuiku di satu tempat. Dia menyerahkan jantung milikmu padaku
dengan pesan agar aku mencarimu lalu memberikan jantung itu…."
"Aku
seperti tak percaya. Penguasa Atap Langit memintamu mencariku?" Ken
Parantili berkata sambil mata melirik pada buntalan kain hitam.
"Betul.
Dia memberikan gulungan rambutmu agar aku bisa lebih mudah menemuimu. Dia
suamimu, mengapa kau bertanya seperti heran?"
Ken
Parantili terdiam, tidak menjawab malah kemudian bertanya. "Apa isi
buntalan itu?"
"Jantungmu!
Memangnya kau kira timbel apa?!"
Ken
Parantili menatap Jaka Pesolek sampai lama.
Tangannya
memegangi lengan si gadis dan mulut berucap. "Pantas, kekuatan tubuhku
tiba-tiba saja terasa pulih. Rupanya jantungku berada dekat diriku…"
"Aku
hanya diberi tugas menyerahkan jantung. Kalau perihal bagaimana memasangkannya
ke dalam tubuhmu aku tidak tahu. Ihh…tengkukku jadi merinding…"
.
"Aku…sebenarnya saat ini aku tengah berpikir." Kata Ken Parantili
pula.
"Berpikir
apa?" Tanya Jaka Pesolek.
"Apa
aku memang bagusnya memasukkan jantung itu ke dalam tubuhku dan meneruskan
kehidupan ini atau lebih baik mati saja."
"Sahabat,
kau ini bicara aneh. Orang mati saja kalau bisa hidup, maunya ingin hidup lagi.
Kau yang masih hidup malah pingin mati…"
"Tapi
sebenarnya selama ini aku sudah mati dalam hidupku…"
"Siapa
bilang. Ayo, kau tak mau mengambil jantungmu itu?"
Ken
Parantili diam tak bergerak. Sepertinya selir ini memang tidak ingin hidup
lebih lama lagi.
Jaka
Pesolek mengambil buntalan hitam, membuka pembuhulnya lalu dengan hati-hati
mengeluarkan benda yang ada di dalam keranjang daun pisang berisi air.
"Ken
Parantili sahabatku….lni terlalu mengerikan bagiku. Lekas kau ambil jantungmu.
Aku ingin segera bebas dari amanat yang membuat ganjalan besar dalam
diriku." Jaka Pesolak berucap. Suara dan tangannya yang memegang jantung
bergetar. "Ambil cepat. Semoga Yang Maha Kuasa memberi berkah
padamu…"
Ucapan
terakhir Jaka Pesolek seolah membuat Ken Parantili menjadi sadar dan punya
semangat hidup.
Untuk
beberapa lama dia pandangi jantung merah berdenyut di tangan Jaka Pesolek. Perlahan-lahan
dia buka bajunya hingga dadanya tersingkap lebar. Dengan dua jari tangan kanan
yang diluruskan selir cantik ini membuat guratan di atas dada sebelah kiri.
"Settt!"
Dada
terbelah dan terkuak besar. Tak ada darah yang mengucur.
Jaka
Pesolek tak berani memandang. Tapi ketika dia merasa Ken Parantili menggerakkan
tangan mengambil jantung yang dipegangnya, gadis bisa jantan bisa betina ini
kuatkan hati, beranikan diri dan membuka matanya kembali untuk menyaksikan apa
yang terjadi. Saat itu dilihatnya Ken Parantili dengan segala ketegaran yang
ada memasukkan jantungnya ke dalam dada sebelah kiri yang menganga terkuak.
Begitu jantung masuk di dalam dada, dada lalu di usap. Dada yang terbelah
menutup kembali tanpa ada bekas sedikitpun.
"Dewa
Agung Hyang Jagatnatha!" Ucap Jaka Pesolek. Bulu tengkuknya kembali
merinding. Saat itu dilihatnya wajah pucat Ken Parantili tampak bercahaya
kembali. Bibir yang putih kering berubah merah segar.
Ken
Parantili dekati Jaka Pesolek lalu memeluk gadis itu.
"Jaka,
aku berterima kasih padamu. Kau telah melakukan tugas sangat berat Budi baikmu
tidak bisa kubalas…"
"Aku
merasa bahagia bisa menolongmu. Tapi aku juga merasa sedih. Karena sebentar
lagi pasti kau akan pergi meninggalkan aku. Apakah kau akan kembali ke Negeri
Atap Langit?"
Ken
Parantili lepaskan rangkulan. Kepala digeleng.
Aku tak
akan pernah kembali ke sana."
"Tapi
suamimu ada di sana."
"Aku
cuma seorang selir. Bukan istri."
"Penguasa
Atap Langit berlaku baik terhadapmu.
Paling
tidak dia tidak benci padamu Buktinya dia mau menyerahkan jantungmu."
Ken
Parantili menatap ke arah pesawahan. Perlahanlahan air mata meluncur dari-kedua
matanya yang bagus.
"Kau
menangis. Karena bahagia atau apa…?"
Ken
Parantili tidak menjawab. Dia mulai sesenggukan. Tiba-tiba selir Penguasa Atap
Langit ini melompat berdiri di atas lantai teratak dan berteriak keras.
"Tidak!
Tidaakkk!"
Jaka
Pesolek cepat berdiri.
"Ken
Parantili! Ada apa? Mengapa kau berteriak begitu?!"
"Aku
memang sekarang bisa hidup wajar karena jantungku telah berada dalam tubuhku.
Tapi aku tidak mau hidup dengan membekal jabang bayi dalam rahimku!"
Jaka
Pesolek melengak kaget "Memangnya kau tengah mengandung?" Jaka
Pesolek ulurkan tangan mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ken
Parantili.
Yang ditanya
mengangguk perlahan.
"Tiga
bulan…."
Jaka
Pesolek menggigit bibir. Dia tak ingin bertanya tapi mulutnya kepalang
terlanjur berucap walaupun agak gagap "Si..siapa ayah jabang bayimu?"
Dada Jaka Pesolek berdebar. Kawatir akan mendapat jawaban Kesatria Panggilan
alias Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Penguasa
Atap Langit memberi tahu kalau aku tengah mengandung jabang bayi laki-laki
berusia tiga bulan dari benih hasil hubungannya dengan diriku."
Jaka
Pesolek merasa lega. Ternyata bukan Wiro!
"Jelas
bukan Wiro Mereka hanya bertemu beberapa hari. Sekalipun mereka melakukan
hubungan badan mana mungkin bisa membuat selir itu mengandung tiga bulan.
Tololnya aku ini!" Jaka Pesolek berucap dalam hati, memaki diri sendiri.
"Penguasa
Atap Langit juga berpesan, kalau anak itu lahir aku harus memberinya nama
Bintang Langit Dia sudah tahu kalau bayi yang aku kandung seorang bayi
laki-laki."
"Nama
bagus. Pasti anakmu kelak akan menjadi seorang pemuda gagah, berilmu
tinggi."
"Aku
tidak menginginkan anak itu!" Kata Ken Parantili.
Wajahnya
tampak kelam.
Kening
Jaka Pesolek mnengerenyit. "Hanya karena ayah si anak adalah Penguasa Atap
Langit yang kau benci?"
"Itu
salah satu alasan yang paling berat." Jawab Ken Parantili. "Aku harus
melakukan sesuatu agar tidak melahirkan bayi Itu."
"Memangnya
kau mau melakukan apa?" Tanya Jaka Pesolek "Kau mau menggugurkan
kandunganmu?
Usia
kandunganmu sudah tiga bulan. Berbahaya kalau kau melakukan itu. "
Ken
Parantili palingkan kepala. Untuk beberapa lama dia menatap wajah Jaka Pesolek.
Lalu mulutnya berucap.
"Ada
cara paling cepat untuk melenyapkan jabang bayi itu!"
Tiba-tiba
Ken Parantili luruskan dua tangan kanannya.
Jaka
Pesolek terkejut, maklum apa yang hendak dilakukan selir Penguasa Atap Langit
Ku. Dia berteriak.
“Jangan!
Jangan lakukan itu!"
Ken
Parantili susupkan tangan kanan ke balik kebaya. Tangan kiri menarik ke bawah
celana hitamnya.
Tangan
kanan mencapai bagian bawah pusar. Lalu terdengar suara settt!
Ketika
tangan itu kemudian keluar Jaka Pesolek berteriak ngeri, jatuh terduduk di atas
lantai teratak, nyaris pingsan! Di tangan kanan Ken Parantili tergenggam sosok
jabang bayi merah hampir sebesar anak kucing!
"Dewa
Bathara Agung Dewa Bathara Agung…." Jaka Pesolek mengucap berulang kali.
Mukanya pucat seolah tidak berdarah, mata membelalak Mulut ditekap menahan
muntah!
Seperti
tadi ketika membelah dada memasukkan jantung, tak ada darah yang mengucur.
Dengan tangan kiri Ken Parantili mengusap perut yang barusan dijebol untuk
mengeluarkan jabang bayi berusia tiga bulan.
Saat itu
juga perut itu kembali tertutup rapat!
"Ken
Parantili, sahabatku….Kau sadar apa yang telah kau lakukan ?" Ujar Jaka
Pesolek dengan suara bergetar.
Yang
ditanya mengangguk. Wajah tegang dan air mata bercucuran di pipi.
"Lalu
hendak kau apakan jabang bayi itu?" Tanya Jaka Pesolek pula.
Ken
Parantili tidak menjawab tapi tangannya bergerak. Sikapnya seperti hendak
membanting Jabang bayi yang dipegangnya ke lantai teratak.
"Jangan!
Jangan lakukan itu!" Teriak Jaka Pesolek.
"Lebih
baik kau berikan padaku!" Jaka Pesolek ulurkan tangan walau merasa ngeri.
Tapi Ken
Parantili tidak perduli.
Tiba-tiba
ada satu bayangan berkelebat Tahu-tahu seorang kakek berselempang kain putih,
berkumis dan berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken Parantili.
Di tangan kanan orang tua ini memegang benda aneh yang ternyata adalah sebuah
guci tembus pandang berisi air sangat bening. Di sebelah atas guci ada tutup
yang memiliki dua puluh lobang kecil.
"Membunuh
mahluk hidup tak bersalah pada galibnya adalah perbuatan berdosa, apapun
alasannya.
Membunuh
jabang bayi sendiri dosanya sangat-sangat berlipat ganda. Jika kau tidak
menginginkan jabang bayi darah dagingmu sendiri, maka izinkan aku untuk
memeliharanya."
"Klik!"
Penutup guci tembus pandang terbuka.
"Dengan
izin Para Dewa, dengan lindungan kasih sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon
masukkan jabang bayi itu ke dalam guci ini."
Ken
Parantili dan Jaka Pesolek sama-sama terpana.
"Orang
tua, kau siapa?" Ken Parantili bertanya sambil mata menatap tak berkesip.
"Aku
Resi Kali Jagat Ampusena. Kabulkan permohonanku. Semoga Yang Masa Kuasa memberi
berkah pada jabang bayi dan dirimu."
"Resi,
aku…." Ken Parantili tidak bisa meneruskan ucapan. Tenggorokannya serasa
tersekat. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat,
didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika genggamannya dilepas, jabang
bayi merah langsung masuk ke dalam guci. Air bening didalam guci naik ke atas dan
kliki Penutup guci menutup dengan sendirinya.
"Terima
kasih kau telah melakukan hal terpuji. Walau kau tidak menyukai jabang bayi
ini. Namun apa yang telah kau lakukan menyatakan bahwa saat ini sebenarnya kau
sudah memiliki jiwa asih terhadap jabang bayi ini. Kau ingin dia tetap hidup
terus walau tidak di dalam rahimmu."
Ken
Parantili tekap wajahnya ialu menangis terisak-isak.
Resi Kali
Jagat Ampusena, yang di bagian pertama cerita ini telah bertapa di satu candi
kecil di bantaran Kali Gondang berpaling pada Jaka Pesolek.
"Anak
gadis, pahala yang telah kau buat sungguh sangat besar. Semoga Dewa Agung akan
memberkatimu."
Jaka
Pesolek tidak perhatikan ucapan si orang tua.
Matanya
menatap ke tangan kanan yang memegang guci tembus pandang.
"Resi
Kali Jagat, kau mau bawa kemana jabang bayi itu. Mau kau apakan?" Bertanya
Jaka Pesolek.
"Aku
bersyukur telah menyelamatkan jabang bayi ini.
Selanjutnya
menjadi kewajibanku untuk menjaga, memeliharanya sampai akhirnya dia menjadi
bayi seusia sembilan bulan sepuluh hari…"
"Guci
itu tidak sama dengan rahim ibunya. Dari mana jabang bayi mendapat makanan?
Bagaimana dia bisa hidup.*
Resi Kali
Jagat tersenyum. Tangan kirinya diletakkan di atas bahu Jaka Pesolek.
"Kalau Yang Maha Kuasa berbuat segala sesuatunya, apakah masih ada insan
yang meragukan? Kasih sayang adalah sesuatu yang luar biasa. Ibu dari jabang
bayi ini telah memperlihatkan hal itu. Dia dengan segala ikhlas memasukkan
jabang bayi darah dagingnya ke dalam guci ini."
Mendengar
ucapan sang Resi tangis Ken Parantili semakin keras.
Jaka
Pesolek mengambil kain hitam bekas pembungkus jantung Ken Parantili. Kain itu
diserahkan pada Resi Kali Jagat "Aku mohon, bungkus guci itu dengan kain
hitam ini. Aku tidak tega…."
Resi Kali
Jagat lakukan apa yang dikatakan Jaka Pesolek.
Ketika
tangis Ken Parantili mereda dan dia menurunkan dua tangan yang menutup wajah,
Resi Kali Jagat Ampusena tidak ada lagi di tempat itu.
"Jaka,
kau melihat Resi itu pergi ke jurusan mana?" Ken Parantili bertanya pada
Jaka Pesolek.
Yang
ditanya menggeleng. "Dia lenyap begitu saja.
Seolah
jadi satu dengan angin."
"Kurasa
aku harus mengejar Resi itu."
"Mengapa
kau ingin mengejar?" Tanya Jaka Pesolek. Tapi Ken Parantili tidak
menyahut. Tanpa pamit lagi selir Penguasa Atap Langit itu berkelebat pergi.
"Aneh,
tadi dia tidak mau ada jabang bayi dalam rahimnya. Sekarang setelah orang tua
Ku membawa pergi jabang bayi di dalam guci, selir itu ingin mengejar.
Mau
mengambil kembali jabang bayinya? Apakah dia menyesal telah mengeluarkan jabang
bayi itu dari dalam rahimnya? Mau dimasukkan kembali? Ihhh…."
**********************
14
MATAHARI
pagi mulai memupus kesejukan di puncak bukit yang ditumbuhi pepohonan jati
rata-rata berusia lebih dari lima puluh tahun. Resi Kali Jagat Ampusena berlari
laksana terbang. Sepasang kasut putih pemberian mahluk gaib yang dipanggilnya
dengan sebutan Roh Putih memang luar biasa. Tanpa kasut itu tak mungkin baginya
bergerak laksana kilat dan mampu menemui Ken Parantili dalam waktu demikian
cepat.
Pagi itu
dia merasa cukup lega karena sebagian tugas yang ada di pundaknya telah dapat
dilaksanakan.
Dari
semua itu, tugas paling utama adalah mendapatkan jabang bayi yang kini berada
di dalam guci tembus pandang. Guci yang dibungkus dalam kain hitam, dikempit di
tangan kanan seolah mendukung seorang bayi benaran. Selanjutnya, sesuai pesan
Roh Putih pada waktu dia mendapatkan guci yang terbuat dari seratus mutiara
putih itu, dia harus membawa guci ke satu tempat aman, di simpan di tempat itu
selama enam bulan.
Resi Kali
Jagat berhenti di depan sebatang pohon Jati yang dua buah cabangnya saling
bersilang. Inilah tanda aneh yang menjadi petunjuk bahwa dia tidak datang ke
tempat yang salah karena dibukit itu ada ratusan pohon jati dan bentuknya
hampir mirip satu sama lain.
Setelah
merenung sesaat di depan pohon, Resi Kali Jagat membuat gerakan seperti orang
mengetuk pintu pada batang pohon. Setelah mengetuk tiga kali mulutnya berucap.
"Orang
sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam
Rumah Ketenteraman dan Keselamatan dibuka."
Resi Kali
Jagat Ampusena menunggu. Ketika tak ada jawaban maka dia mengetuk batang pohon
Jati dan kembali berkata.
"Orang
sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam
Rumah Ketenteraman dan Keselamatan dibuka."
Tiba-tiba
batang pohon Jati bergetar. Di sebelah atas daun pohon bergoyang-goyang
bergemerisik dan dua cabang yang bersilang saling bergesek mengeluarkan suara
aneh. Begitu getaran dan gesekan berhenti terdengar suara perempuan bertanya.
Suara itu begitu merdu dan keluar dari dalam tanah di bawah pohon jati.
"Tamu
yang datang ketika sang surya baru saja naik dan puncak bukit Jati diberkati
kehangatan yang menyegarkan, katakan siapa dirimu. Apakah kau bernama dan
apakah kau mempunyai gelar?"
Resi Kali
Jagat sesaat terdiam tapi wajahnya menyimpulkan senyum.
"Orang
sakti Penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku adalah Kali Jagat Ampusena.
Aku tidak bergelar dan aku adalah seorang Resi."
Dari
dalam tanah terdengar suara seperti orang menarik nafas karena tercekat
"Kali Jagat Ampusena, setengah abad tidak pemah bertemu, tiba-tiba saja
kau muncul. Gerangan apa yang membawamu ke sini? Apakah sepasang kasut putih
itu yang telah menuntunmu ke mari?"
Resi Kali
Jagat Ampusena usap guci putih yang dibungkus kain hitam yang dibawanya. Dia
memandang ke bawah memperhatikan ke dua kakinya.
Dalam
hati dia berkata. "Berada jauh di dalam tanah tapi dia tahu kalau aku
mengenakan sepasang kasut putih. Pertanda ilmu kesaktiannya sudah jauh lebih
tinggi dari masa lalu."
Setelah
mengusap wajahnya sang resi berkata memberi tahu. "Aku datang membawa
sesuatu yang sangat berharga untuk dititipkan."
"
"Hemmm" Orang perempuan di dalam tanah bergumam. "Apakah kau
membawa satu peti emas atau satu peti berlian untuk dititipkan? Ketahuilah
Rumah Ketenteraman dan Keselamatan tidak menerima bendabenda seperti itu."
"Aku
tahu, justru aku tidak datang membawa emas berlian atau batu permata berharga.
Aku datang membawa satu mahluk bernyawa yang berada dalam kesengsaraan, yang
perlu diselamatkan dan ingin aku titipkan selama enam bulan."
"Mahluk
bernyawa yang kau maksud, apakah dia semacam roh, mahluk jejadian, manusia atau
hewan?" Perempuan di dalam tanah di bawah pohon bertanya.
"Yang
aku bawa adalah satu jabang bayi laki-laki.
Mohon
diberi tahu apakah Penghuni Pohon Peliharaan Para Dewa mau menerima titipan?"
Baru saja
Resi Kali Jagat Ampusena memberi tahu benda apa yang dibawanya tiba-tiba di
dalam rimba belantara pohon Jati itu menggelegar suara gongggongan anjing.
Begitu dahsyatnya hingga tanah bergetar, pohon jati bergoyang-goyang. Walau
sangat terkejut namun Resi Kali Jagat berusaha tenang. Guci di tangan kiri
dikempit erat-erat Tiba-tiba wutt…wuttt. Lima sosok merah melayang turun dari
atas pohon. Di lain kejap lima ekor anjing besar berbulu merah sudah
mengelilingi Resi Kali Jagat Binatang ini memiliki kepala bundar, tak seperti
anjing yang biasanya berkepala dan bermoncong panjang.
Selain
itu dari sela mulut kiri kanan mencuat taring besar panjang dan lancip,
berwarna merah menyala.
Empat
ekor anjing merah tiba-tiba membuat lompatan menyerang kaki, tubuh serta kepala
sang Resi. Sementara anjing merah ke lima melesat ke arah tangan kiri sang Resi
yang mengempit bungkusan kain hitam berisi guci putih tembus pandang dimana
tersimpan jabang bayi laki-laki Ken Parantili. Melihat hal ini Resi Kali Jagat
Ampusena segera maklum.
Kemunculan
lima anjing merah aneh adalah sematamata hendak merampas atau membunuh jabang
bayi yang dibawanya.
Dengan
cepat Resi Kali Jagat melompat ke udara.
Tanpa
membuat gerakan tiba-tiba kaki kanan yang memakai kasut putih melesat ke depan.
"Buukk!"
Salah
seekor anjing yang menyerang bagian tubuhnya mencelat mental mengeluarkan suara
meraung keras lalu terkapar di tanah. Perut jebol pecah namun tidak ada isi
perut atau darah yang menyembur keluarl Sang Resi tidak memperhatikan lagi apa
yang kemudian terjadi dengan binatang itu. Dia terus melesat ke atas dan
mematahkan satu cabang kecil pohon Jati.
Cabang
pohon kemudian di putar diatas kepala, dipergunakan sebagai senjata untuk
bertahan.
"Bukkk!"
Kembali ada anjing merah yang jadi korban yaitu yang menyerang ke arah
kepalanya.
Binatang
ini menggelepar di tanah dengan kepala pecah.
Meski
berhasil menghabisi dua anjing merah, tiga anjing lainnya masih merupakan
ancaman besar.
Salah
seekor dari tiga binatang itu berhasil menendang jatuh cabang pohon di tangan
kanan sang Resi lalu mencakar ganas hingga selempang kain putih sang Resi robek
besar di bagian dada. Untungnya cakaran tidak sampai mengenai tubuh si orang
tua. Sebaliknya anjing yang menyerang harus menerima tendangan di bagian kepala
dan dalam keadaan kepala remuk binatang ini terbanting ke tanah tak bernafas
lagi.
Anjing ke
empat menyalak ganas. Mata mendelik, dua kaki depan menyambar dan dari sepasang
mata menyembur keluar cahaya merah. Ketika Resi Kali Jagat berusaha mengelakkan
serangan anjing ke lima melesat ke arah kempitan tangan kirinya!
"Breett!"
Kain
hitam pembungkus guci putih berisi jabang bayi robek besar. Sambil meraung
dahsyat anjing ke lima membuat gerakan dengan ke dua kaki depan. Seolah
memiliki dua tangan seperti manusia dia melesat menyambar guci putih dan
berhasil!
Resi Kali
Jagat berseru kaget. Dia cepat mengejar namun terhalang oleh serangan anjing ke
empat yang telah melesatkan dua larik cahaya merah dari sepasang matanya. Orang
tua Ini hanya punya satu pilihan. Terus mengejar menyelamatkan guci atau
menghadapi serangan anjing ke empat Resi Kali Jagat memilih yang pertama.
Dengan nekad dia melesat ke arah anjing yang membawa lari guci dalam bungkusan kain
hitam.
Anehnya
binatang itu kini berlari seperti manusia. Dua kaki belakang menjejak tanah,
dua kaki sebelah atas memegang guci!
"Binatang
pencuri! Kembalikan guci atau aku terpaksa membunuhmu seperti aku telah
membunuh tiga temanmu!"
Teriakan
mengancam Resi Kali Jagat tidak dlperdulikan oleh anjing merah yang telah
menggondol guci putih berisi jabang bayi. Resi Kali Jagat juga tidak perdulikan
lagi serangan dua larik sinar merah. Sambil kebutkan ke belakang ujung pakaian
yang berupa selempang kain putih dia terus mengejar. Dari ujung kain putih
melesat keluar cahaya kebiruan, menghadang datangnya serangan dua larik sinar
merah yang hanya tinggal beberapa jengkal dari kepala dan tubuh Resi Kali Jagat
"Blaarr!"
Dua larik
cahaya merah bentrokan di udara dengan cahaya biru, mengeluarkan suara letusan
keras Resi Kali Jagat terhuyung keras ke depan, nyaris tersungkur jatuh kalau
dia tidak cepat mengimbangi diri dan terus melakukan pengejaran.
Ternyata
cahaya biru ilmu kesaktian yang keluar dari ujung selempang kain putih Resi
Kali Jagat tidak mampu membendung dua hantaman sinar merah.
Begitu
cahaya biru musnah bertaburan menjadi asap, dua larik sinar merah masih terus
menerobos dan menghantam ke arah sang Resi.
Hanya
sesaat lagi tubuh Resi Kali Jagat Ampusena akan leleh dihantam dua larik sinar
merah tiba-tiba udara di atas bukit berubah gelap. Lalu terdengar suara
plaak…plaak! Sembilan pohon jati besar roboh bergemuruh. Anjing merah ke empat
yang tadi menyerang Resi Kali Jagat dengan dua larik sinar merah meraung keras.
Satu benda besar lebar berwana coklat kehitaman menghantam tubuhnya laksana
tembok raksasa jatuh menimpa.
"Plaakk!"
Sosok
besar anjing merah yang menyerang Resi Kali Jagat amblas lenyap ke dalam tanah.
Sang Resi hanya sekilas melihat apa yang terjadi di belakangnya.
"Plaak!
Plaak!"
Mahluk
raksasa bersayap lebar melesat ke udara dan lenyap di langit luas. Resi Kali
Jagat terus mengejar anjing merah yang memboyong guci putih. Namun binatang itu
berlari cepat sekali laksana setan berkelebat Kesaktian kasut putih ternyata
tidak bisa menandingi kehebatan lari si mahluk aneh. Agaknya anjing yang satu
ini memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding empat anjing lainnya.
"Celaka,
aku tak mungkin mengejarnya!" Resi Kali Jagat merasa dadanya berdenyut
sakit dan nafasnya sesak.lni adalah akibat bentrokan tenaga sakti dan tenaga
dalam dengan dua cahaya merah. Sang Resi tersungkur di tanah namun masih sempat
memanjatkan doa. "Dewa Agung, saya mohon pertolongan.
Selamatkan
jabang bayi dalam guci putih Itu." Doa sang Resi ternyata didengar oleh
Yang Maha Kuasa.
Dari
dalam tanah sekonyong-konyong mencuat keluar dua tangan berbentuk tulang
belulang. Berwarna sangat merah laksana bara menyala dan menebar hawa luar
biasa panas.
Dua
tangan dengan cepat mencekal sepasang kaki anjing merah yang tengah berlari
cepat.
**********************
15
"DESS!
desss!" Anjing merah meraung keras.
Dua
kakinya nyaris leleh dan mengepulkan asap, membuatnya tidak mampu lagi
meneruskan berlari. Akibat sentakan yang keras dan tiba-tiba guci putih berisi
jabang bayi yang terbungkus kain hitam robek telepas dari pegangan dua kaki
depan yang menyerupai tangan. Anjing merah sendiri kemudian jatuh tergelimpang
di tanah, hanya mampu menggonggong dan menggeliat-geliat.
Melihat
apa yang terjadi, Resi Kali Jagat yang masih tertelungkup di tanah kerahkan
seluruh kekuatan lalu melesat coba menangkap guci putih agar tidak terhempas
jatuh ke tanah. Kalau guci sampai pecah, jabang bayi yang ada di dalamnya tak
akan tertolong.
Namun
karena jarak antara dirinya dan guci yang jatuh cukup jauh, walau berhasil
melesat namun sang Resi tidak mampu menangkap guci putih berselubung robekan
kain hitam.
Hanya
sekejapan lagi guci akan jatuh dan hancur berkeping-keping di tanah, tiba-tiba
mahluk yang memiliki dua tangan menyala melesat keluar dari dalam tanah.
Ternyata ujudnya adalah berupa jerangkong putih. Sambil melesat keluar dari
dalam tanah mahluk ini yang dua tangannya tidak lagi berwarna merah membara,
dengan cepat menangkap guci putih.
Resi Kali
Jagat jatuhkan diri berlutut di depan jerangkong. Meski mahluk tulang belulang
putih itu telah menyelamatkan guci putih berisi jabang bayi namun si orang tua
tetap saja menaruh kawatir. Bukan mustahil mahluk jerangkong ini bukan menolong
tapi sebenarnya Ingin merampas guci putih!
Ki Sanak
berujud jerangkong putih, apakah… apakah kau Roh Putih yang selama ini menjadi
pelindung dan memberi petunjuk pada diriku?"
Mahluk
jerangkong menatap sang Resi dengan matanya yang bolong lalu gelengkan kepala.
"Bukan,
aku bukan mahluk Roh Putih yang kau maskudkan." Astaga! Ternyata mahluk
jerangkong ini bisa bicara seperti manusia.
"Ki
Sanak, saya berterima kasih kau telah menyelamatkan benda dalam bungkusan kain
hitam hingga tidak jatuh ke tanah."
Jerangkong
putih rundukkan kepala. Mata yang hanya merupakan rongga bolong kembali menatap
ke arah Resi Kali Jagat.
"Benda
di dalam bungkusan kain putih ini, benda apa gerangan adanya?"
"Satu
benda titipan yang nilainya sama dengan nyawa saya." Jawab Resi Kali
Jagat.
"Luar
biasa. Apa kau mau mengatakan benda apa itu adanya?"
"Saya
percaya padamu. Silahkan menyibak kain hitam dan melihat sendiri apa
isinya." Jawab Resi Kali Jagat pula lalu bangkit berdiri.
Jari-jari
tangan yang hanya berupa tulang belulang putih bergerak membuka bungkusan kain
hitam. Begitu guci putih tersembul dan mahluk jerangkong dapat melihat isinya,
untuk beberapa lama mahluk jerangkong ini berdiri tidak bergerak.
Lalu
terdengar mulutnya berucap.
"Yang
Maha Kuasa mampu berbuat segala-galanya.
Namun hari
ini aku baru pertama kali melihat janin di simpan di dalam guci. Bagaimana
ceritanya…?"
"Maafkan
saya Ki Sanak. Saya tidak bisa menceritakan asai usui jabang bayi itu."
"Tidak
mengapa. Kalau boleh tahu siapakah sahabat ini?"
"Saya
Resi Kali Jagat Ampusena."
Kepala
berupa tengkorak manggut-manggut beberapa kali. Bungkusan kain hitam ditutup
kembali.
Tangan
diulur.
"Resi
Kali Jagat, sllahkan kau mengambil guci Ini berikut benda yang ada di
dalamnya."
Dengan
cepat Resi Kali Jagat Ampusena mengambil guci putih yang diserahkan. Sambil
menunduk dalam dia berkata. "Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.
Dengan
segala kerendahan hati saya ingin bertanya. Siapa Ki Sanak ini
sebenarnya?"
"Namaku
Lor Pengging Jumena. Banyak orang yang memanggilku dengan sebutan Embah
Buyut…"
Resi Kali
Jagat tersentak kaget Dia tundukkan kepala berulang kali. "Tidak menduga
hari ini saya bisa bertemu dengan seorang tokoh yang selama ini hanya saya
dengar nama dan kehebatannya. Tapi harap Ki Sanak jangan tersinggung. Lor
Pengging Jumena yang saya ketahui berujud manusia biasa, seorang kakek sakti
yang memang sudah sepuh. Lalu mengapa kini yang saya lihat Ki Sanak berujud
seperti ini? Sekali lagi maaf kalau saya menyinggung perasaan Ki Sanak."
(Mengenai riwayat Embah Sepuh atau Lor Pengging Jumena dapat dibaca dalam
serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul "Selir Pamungkas")
Mahluk
Jerangkong keluarkan suara tertawa.
"Perjalanan
dan hidup manusia semua ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Para Dewa telah
menetapkan diriku berujud seperti ini. Aku menerima dengan segala keikhlasan.
Bukankah kita semua miiikNya?" Resi Kali Jagat anggukkan kepala.
"Resi,
aku merasa senang bisa bertemu denganmu.
Aku harus
segera kembali ke alamku. Berhati-hatilah, tempat yang jadi tujuanmu jauh dari
aman dan tenteram.
Lihatlah
berkeliling. Perhatikan lima ekor anjing merah yang berkaparan di tanah. Ujud
mereka telah berubah."
Resi Kali
Jagat berpaling ke arah empat anjing merah yang telah menemui ajal dan
bertebaran di sebelah sana. Astaga. Tengkuk orang tua berusia hampir seratus
tahun ini merinding. Guci putih dikepit erat-erat.
Empat
anjing merah yang telah menemui ajal itu kini ujudnya telah berubah menjadi
manusia. Yang dua tewas dengan kepala pecah. Yang ketiga tewas dengan perut
jebol. Anjing ke empat tidak tahu bagaimana ujudnya karena amblas masuk ke
dalam tanah. Sang Resi ingat apa yang telah terjadi. Dia tadi melihat sekilas
satu mahtuk berupa Kelelawar raksasa. Mahluk itulah yang menghantam salah satu
dari lima anjing merah yang menyerangnya hingga melesak masuk ke dalam tanah.
"Mahluk
luar biasa besar dan mengerikan itu, mengapa dia menolong diriku?" Resi
Kali Jagat bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tiba-tiba dia mendengar suara
orang mengerang. Dia cepat berpaling. Di samping kiri terbujur mahluk yang
sebelumnya adalah anjing kelima. Kini ujudnya telah berubah menjadi manusia.
Dua kaki hancur akibat cekalan sepasang tangan merah panas mahluk jerangkong
mengaku bernama Lor Pengging Jumena.
Resi Kali
Jagat segera mendatangi orang ini.
Ternyata
dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.
"Anak
muda, apa yang terjadi dengan dirimu.
Ketika
masih dalam ujud seekor anjing merah kau dan empat kawanmu menyerangku. Siapa
dirimu sebenarnya? Apakah aku pernah berbuat kesalahan hingga kau dan kawanmu
ingin membunuhku?"
Orang
yang ditanya memutar mata memandang ke arah sang Resi. Mulut masih mengeluarkan
suara mengerang dan dia tidak menjawab pertanyaan orang.
"Aku
tahu, kau bukan cuma ingin membunuhku.
Tapi
ingin merampas guci putih ini! Aku yakin semua itu bukan maumu sendiri. Katakan
siapa yang menyuruhmu?"
Sepasang
mata pemuda yang dua kakinya hancur itu melirik kian kemari.
"Tidak
ada orang lain di sini. Mengapa kau seperti ketakutan hendak bicara?" Ucap
Resi Kali Jagat Si pemuda buka mulutnya sedikit Tapi tak ada suara yang keluar.
"Bicara
saja, tidak perlu takuti" Resi Kali Jagat lalu tempelkan tangan kanannya di
dada si pemuda, alirkan hawa sakti dan tenaga dalam untuk memberi kekuatan.
"Nah sekarang bicaralah. Kau pasti bisa bicara."
"Jen…Jenazah
Sim…Simpanan…." Si pemuda akhirnya keluarkan ucapan.
"Jenazah
Simpanan? Mahluk apa itu? Dimana beradanya?"
Mulut si pemuda
terbuka kembali. Tapi kali ini bukan untuk bicara melainkan yang terlihat
adalah lidah yang terjulur serta mata yang mencelet.
Resi Kali
Jagat terkejut. "Ada apa?!"
Tiba-tiba
ada sambaran angin dan kraaakkk!
Leher si
pemuda putus seperti ditebas benda tajam.
Darah
menyembur. Kepala menggelinding. Resi Kali Jagat berseru kaget dan melompat
mundur. Sebagian pakaiannya masih sempat terkena cipratan darah!
Tiba-tiba
sambaran angin seperti tadi menyapu ke arah sang resi. Dengan cepat Resi Kali
Jagat mundur dua langkah sambil tangan kanan melepas satu pukulan sakti ke arah
depan dari mana arah datangnya sambaran angin.
Selarik
sinar biru menerpa keluar dari telapak tangan Resi Kali Jagat
"Braakkk!"
Terdengar
suara seolah ada batu besar jatuh atau tembok tebal rubuh. Lalu menyusul suara
ringkikan kuda dan brukkk! Sesosok tubuh berpakaian hitam jatuh bergedebuk di
tanah. Ujudnya adalah seorang manusia berkepala kuda! Di tangan kanannya
tergenggam sebilah golok besar bernoda darah.
"Pasti
mahluk Ini yang tadi membabat putus leher pemuda itu. Dewa Agung! Malapetaka
apa sebenarnya yang ada di tempat ini? Saya mohon perlindungan. Tugas yang
harus saya laksanakan masih belum rampung."
Baru saja
sang Resi berucap seperti itu mendadak terdengar enam kali suara letupan
disertai kepulan asap. Lima sosok pemuda yang tadinya berujud anjing merah
disusul sosok manusia berkepala kuda berubah jadi kepulan asap merah lalu
lenyap dari pandangan mata. Anehnya noda darah yang mengotori pakaian Resi Kali
Jagat Ampusena ikut hilang tak berbekas.
**********************
16
SETELAH
tegak terdiam beberapa lama di hutan jati yang kini menjadi sunyi senyap, Resi
Kali Jagat memeriksa jabang bayi yang ada dalam guci putih tembus padang. Dia
merasa lega ketika melihat jabang bayi itu tidak kurang suatu apa. Orang tua
ini kembali mendatangi pohon jati yang dua cabangnya saling bersilangan.
Ketika
Kelelawar Raksasa mengepakkan sayap untuk menghabisi anjing merah sembilan
pohon jatuh tumbang. Adalah aneh walau pohon Jati satu ini berada di tengah
hantaman sayap namun tidak ikut roboh, hanya dedaunannya saja yang yang rontok,
itupun tak banyak.
Seperti
yang dilakukannya sebelumnya Resi Kali Jagat ulurkan tangan kanan, mengetuk
batang pohon tiga kali.
"Orang
sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para Dewa, aku Resi Kali Jagat Ampusena
kembali memohon untuk dibuka pintu masuk ke dalam Rumah Ketenteraman dan
Keselamatan."
Sunyi
sesaat Lalu terdengar suara sahutan dari dalam tanah.
"Resi
Kaii Jagat, aku mendengar permintaanmu. Lapangkan hati dalam menghadapi segala
cobaan. Pintu terbuka lebar bagimu. Silahkan masuk." Begitu suara di dalam
tanah selesai berucap tibatiba terdengar suara angin berdesir. Batang pohon
Jati di hadapan si orang tua bergetar. Cabang dan ranting serta daun-daun
bergerak lurus ke atas mengarah ke langit. Di lain kejap terjadilah hai yang
sungguh luar biasa.
Pohon
Jati besar berusia lebih dari setengah abad itu melesat ke udara sampai
setinggi tiga tombak.
Akar
menjuntai bergerak-gerak mengeluarkan suara berdesir aneh.Dari lobang besar
yang kini menganga di tanah muncul keluar satu bangunan terbuat dari batu hitam
berbentuk candi kecil. Resi Kali Jagat terpana.
Mata
menatap tak berkesip. Dia sudah sering mendengar adanya keanehan ini namun baru
kali ini melihat sendiri.
Saat itu
terdengar lagi suara berdesir dari arah bangunan batu. Lalu pintu bangunan
kelihatan bergeser, membuka ke samping membentuk jalan masuk.
"Resi
Kali Jagat Ampusena, pintu telah terbuka.
Berarti
kedatanganmu diterima. Silahkan masuk." Ada suara mempersilahkan.
Resi Kali
Jagat kepit erat-erat guci putih di tangan kiri lalu dengan cepat masuk ke
daiam bangunan melalui pintu yang terbuka. Begitu si orang tua berada di dalam
bangunan, pintu batu menutup dengan sendirinya lalu terasa bangunan itu
bergerak turun masuk jauh ke dalam tanah. DI luar sana pohon Jati besar
bergerak pula ke bawah dan kembali tertanam di tanah seperti sebelumnya.
Cabang, ranting dan dedaunan yang mengarah ke langit perlahan-lahan bergerak ke
bawah.
Bangunan
batu yang diluar tampak kecil saja ternyata sebelah dalamnya cukup luas. Di
satu mang terbuka berderet beberapa patung batu, tiga patung lelaki, dua
berujud patung perempuan.
"Pemilik
Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, aku sudah berada di dalam bangunan. Aku
menghatur terima kasih kau telah memberi perkenan bagiku untuk masuk. Salam
hormat dan sejahtera untukmu."
Baru saja
Resi Kali Jagat berucap tiba-tiba dari lantai mencuat tiga buah benda. Ternyata
benda itu adalah dua buah kursi dan sebuah meja terbuat dari batu hitam
berkilat.
"Ampusena
silahkan duduk. Apakah kau berkenan terlebih dulu membasahi rangkungan dengan
secangkir anggur murni atau secawan tuak harum?"’ Suara yang menyapa
adalah suara perempuan yang sama sewaktu sang Resi masih berada di hutan Jati.
"Terima
kasih, kalau boleh aku hanya minta secangkir air putih bening."
Mendengar
jawaban itu, perempuan yang masih belum kelihatan ujudnya keluarkan suara
tertawa.
"Ampusena,
agaknya kau tidak pernah berubah dari dulu."
Resi Kali
Jagat tidak menjawab, hanya rundukkan kepala dan dada sebagai penghormatan atas
ucapan orang. Ketika dia meluruskan kepala dan tubuh kembali di atas meja batu
tabu-tabu telah terletak sebuah cangkir tanah berisi air bening. Namun di dalam
kebeningan itu Resi Kali Jagat melihat sesekali ada kilauan warna merah. Racun!
"Resi Kali Jagat, silahkan membasahi rangkungan.
Silahkan
diminum air putih bening sejuk di atas meja." Suara perempuan tanpa ujud
kembali terdengar.
Resi Kali
Jagat yang telah melihat adanya kelainan dalam cairan putih bening menjawab
dengan suara lembut penuh hormat "Penghuni Rumah Ketenteraman dan
Keselamatan mohon maaf. Aku lupa kalau hari ini aku tengah berpuasa."
"Begitu?
Makin tua umur dunia membuatmu kini jadi seorang pelupa. Itu lebih baik
dibandingkan jadi orang pikun"
Didahului
suara tertawa tiba-tiba salah satu dari dua patung perempuan di dalam ruangan
pancarkan cahaya kuning. Cahaya ini melesat ke arah kursi batu.
Sesaat
kemudian di atas kursi batu di belakang meja di hadapan Resi Kali Jagat
terlihat sosok seorang nenek.
Nenek ini
memiliki wajah runcing mengenakan jubah kuning, berambut kuning dan di atas
kepalanya menancap tiga tusuk konde terbuat dari batu berwarna merah pekat.
Wajahnya tampak aneh kalau tidak mau dikatakan angker. Nenek ini hanya punya
satu alis, memanjang dari pelipis kiri sampai pelipis kanan. Di bawah alis
panjang itu terdapat dua buah mata. Mata yang sebelah kiri lebih besar dari
mata sebelah kanan. Hidung bengkok menyerupai paruh burung dicantel!
anting-anting bulat terbuat dari emas.
Mulut
berbentuk segi tiga. Si nenek tidak duduk di atas kursi tapi berdiri. Dan
tubuhnya ternyata pendek sekali alias katai.
Resi Kali
Jagat cepat berdiri lalu membungkuk.
"Penghuni
Rumah "Ketenteraman dan Keselamatan, salam hormatku untukmu."
SI nenek
katai tertawa panjang lalu berkata.
"Walau
pertemuan kita terakhir sekitar lima puluh tahun silam, namun kita sudah saling
kenai. Terus terang aku merasa lucu dengan segala basa basi ini. Ampusena,
apakah kau baik-baik saja selama ini?"
Resi Kali
Jagat Ampusena membungkuk.
"Penghuni
Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, terima kasih. Aku ada baik-baik saja. Kau
sendiri bagaimana…?"
Mulut
segi tiga si nenek tersenyum. "Tidak perlu sungkan. Seperti di masa lalu
kau boleh memanggil diriku dengan nama asliku Ning Rakanin!. Beberapa bulan
silam aku menyambangi makam adikku Ning Prameswari di Bukit Menoreh. Ternyata
keadaan makam sangat bersih dan terpelihara. Bunga-bunga tumbuh segar dan mekar
di sekeliling makam. Apakah kau yang selama ini merawat makam Itu?"
"Benar
Ning Rakaninl. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk tetap menghormati
kecintaanku padanya." Jawab Resi Kali Jagat.
Si nenek
bernama Ning Rakaninl terdiam sejenak.
Lalu dia
berkata. "Ampusena, aku sangat berterima kasih atas semua perhatianmu
terhadap mendiang adikku. Sekarang katakan apa tujuanmu menyambangiku di tempat
yang sangat rahasia Ini tapi kau berhasil menemukan."
"Hanya
atas perlindungan dan bimbingan Para Dewa maka aku bisa sampai ke sini…"
"Sepasang
kasut putih yang kau pakai itu turut membantumu?"
"Benar
Ning Rakanini. Sepasang kasut ini pemberian Roh Putih yang jadi pelindung
diriku." Menjawab Resi Kali Jagat.
"Tapi
ketika ada lima mahluk anjing merah besar menyerangmu dan berusaha merampas
barang yang kau bawa. Roh Putihmu tidak menolong dirimu! Apakah begitu cara Roh
Putih melindungimu?"
Resi Kali
Jagat Ampusena terdiam. Rupanya si nenek mengetahui apa yang terjadi di hutan
Jati sana.
"Ning
Rakanini, terima kasih kau telah memperhatikan diriku. Mengenai pertolongan Roh
Putih, tidak selamanya sang penolong selalu turun tangan sendiri. Melalui
uluran tangan Yang Maha Kuasa bisa saja yang muncul menolong bukan si pelindung
langsung, itu yang terjadi dengan diriku. Ada mahluk berujud jerangkong putih
muncul menolong diriku pada kejadian serangan lima ekor anjing merah. Semua itu
pasti terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa."
Si nenek
yang berdiri di kursi batu anggukanggukkan kepala. Dia menatap ke arah
bungkusan hitam yang masih dikempit sang Resi dan memberi Isyarat Resi Kali
Jagat Ampusena letakkan bungkusan kain hitam di atas meja batu.
"Ning
Rakaninl, maksud tujuanku ke sini adalah untuk menitipkan benda yang ada dalam
bungkusan ini…."
"Aku
ingin melihat benda itu. Harap kau segera saja membuka bungkusan kain
hitam." Kata si nenek pula.
Dengan
cepat tapi hati-hati Resi Kali Jagat membuka bungkusan kain hitam. Sepasang
mata Ning Rakaninl yang besar dan kecil menatap tak berkesip, alis panjang
hitam di kening mencuat pada kedua ujungnya ketika melihat guci putih tembus
pandang serta benda yang ada di dalamnya.
"Ampusena,
aku tak berani menduga. Katakan benda apa yang ada di dalam guci putih itu.
Menurut penglihatanku seperti seekor kadal merah walau tidak ada buntutnya. Aku
melihat ada denyutan halus di tubuhnya, apakah mahluk ini dalam keadaan
hidup?"
"Ning
Rakanini, benda yang ada dalam guci putih adalah jabang bayi hidup berusia tiga
bulan calon seorang anak laki-laki." Si nenek berambut kuning bermuka aneh
sampai berjingkrak mendengar keterangan Resi Kali Jagat "Dewa Bathara
Agungi Baru sekali ini seumur hidup aku melihat jabang bayi ada di luar rahim
ibunya!
Dan
jabang bayi ini yang hendak kau titipkan padaku. Betul Ampusena?!"
"Betul
Ning Rakanini. Aku menitipkan selama enam bulan sepuluh Kari saja. Setelah Itu
aku akan datang kembali untuk mengambil ujudnya yang pasti taat itu sudah
menjadi seorang bayi"
Sosok
nenek bernama Ning Rakanini, pemilik bangunan yang disebut Rumah Ketenteraman
dan Keselamatan meluncur ke bawah dan terduduk di atas kursi batu.
"Ini
kali pertama aku ketitipan barang berupa jabang bayi. Sulit dipercaya tapi
nyata. Dan yang membawanya adalah seorang yang pernah aku harapkan menjadi
pendamping hidupku! Bagaimana mungkin aku bisa menolak?!"
**********************
17
RESI Kali
Jagat Ampusena mengusap wajah. Walau wajah itu tidak menunjukkan perubahan
namun diam-diam si orang tua merasa dadanya berdebar mendengar ucapan si nenek
katai.
"Ampusena,
apa kau mau memberi tahu bagaimana cerita riwayat jabang bayi itu? Bagaimana
kau sampai ketitipan tugas untuk membawanya ke tempat ini?"
"Beberapa
waktu lalu aku bertapa dalam sebuah candi kecil di bantaran Kali Gondang. Hasil
tapaku adalah berupa petunjuk dari Roh Putih." Lalu Resi Kali Jagat
menuturkan tapa yang dilakukannya sampai kedatangan Roh Putih yang
memerintahkannya untuk mencari sebuah mangkok perak berisi seratus mutiara putih.
"Aku
berhasil menemukan mangkok perak dan seratus mutiara putih. Sesuai petunjuk Roh
Putih aku melakukan semedi. Mutiara dalam mangkok lalu berubah membentuk sebuah
guci putih tembus padang lengkap dengan penutupnya. Guci aku isi dengan air
embun hingga ketinggian dua pertiganya. Saat itulah Roh Putih kembali
menampakkan diri dalam ujud cahaya putih dan memberi petunjuk lebih lanjut. Aku
diminta mengikuti arah yang dibawa sepasang kasut yaitu ke jurusan timur. Tak
lama setelah mataharti terbit aku akan sampai di satu daerah pesawahan. Di
dalam sebuah teratak di tepi sawah aku berjumpa dengan dua orang perempuan.
Salah seorang diantaranya tengah mengandung tiga bulan. Namun perempuan Ini
tidak sudi mempunyai janin dari benih lelaki yang tidak dicintainya. Dia bermaksud
mengeluarkan janin itu dan membunuhnya. Aku diperintahkan oleh Roh Putih untuk
menyelamatkan jabang bayi dan memasukkannya ke dalam guci putih."
Ketika
Resi Kali Jagat hentikan penuturannya si nenek berkata. "Roh Putih
kemudian memintamu membawa jabang bayi dalam guci putih ke tempat kediamanku
ini untuk dititipkan. Betul?"
"Betul
sekali Ning Rakanini. Keadaan di luar sana masih belum aman. Walau banjir
berair merah serta penyakit aneh yang menimpa rakyat telah lenyap namun bahaya
tidak terduga bisa saja mengancam secara tiba-tiba. Konon penimbul malapetaka
itu adalah mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah, dibantu oleh
saudara nyawa kembarnya dan seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Aku tak
mungkin pergi kemana-mana membawa jabang bayi dalam guci Ini. Roh Putih
menyuruh aku menitipkannya padamu. Sepasang kasut putih membimbing perjalananku
sampai di hutan Jati dan aku menemukan pohon Jati yang memiliki dua cabang
saling bersilang…"
"Ampusena,
ceritamu sungguh luar biasa. Apa kau menyaksikan dengan mata kepalamu ketika
ibu dari jabang bayi itu hendak membunuh darah dagingnya sendiri?"
Bertanya Ning Rakanini.
"Aku
malah melihat ketika dia mengorek keluar janin tak berdosa itu dari dalam
perutnya!" Jawab Resi Kali Jagat.
"Keji
sekali. Tak terpikir olehku ada ibu yang akan berbuat sejahat itu terhadap
darah dagingnya sendiri.
Atau
mungkin dia punya alasan untuk melakukan hal itu?"
"Turut
cerita yang aku dengar jabang bayi yang dikandung sang Ibu adalah hasil
hubungannya dengan seorang Penguasa Negeri yang terletak di alam gaib di puncak
gunung. Mungkin Gunung Semeru. Si ibu hanyalah selir dari sang Penguasa dan
tidak menginginkan bayi itu terlahir ke dunia…"
"Kau
tahu siapa nama ibu jabang bayi ini?" Tanya Ning Rakanini pula.
"Namanya
kalau aku tidak keliru adalah Ken Parantili. Setelah jabang bayi aku dapatkan
dan dimasukkan ke dalam guci putih aku segera pergi. Dia aku tinggalkan bersama
seorang gadis bernama Jaka Pesolek."
Ning
Rakanini merenung beberapa ketika lalu berkata. "Ampusena, ada satu hal
yang aku kawatirkan."
"Hal
apakah itu kalau aku boleh tahu?"
"Minggu
demi minggu, bulan demi bulan jabang bayi dalam guci akan berkembang tumbuh
menjadi lebih besar. Sementara guci putih besarnya tetap tak berubah. Berarti
jabang bayi bisa menemui ajal akibat tergencet dinding guci."
"Ning
Rakaninl, hal yang kau tanyakan pernah aku tanyakan juga pada Roh Putih. Aku
mendapat jawaban bahwa bersamaan dengan tumbuh serta membesarnya jabang bayi,
guci putih tembus pandang akan membesar pula mengikuti besarnya sang
janin…."
"Dewa
Agung!" Ucap si nenek seraya bergerak bangun dan kembali berdiri di atas
kursi batu.
"Satu
lagi pertanyaanku. Selama di dalam guci jabang bayi tidak mendapat makanan
apa-apa. Lain halnya jika dia berada dalam rahim ibunya. Dia akan mendapat
makanan dari tubuh sang ibu. Tanpa makan apa jabang bayi bisa bertahan hidup
sampai enam bulan sepuluh hari dimuka?
"Menurut
Roh Putih, cairan embun yang ada di alam guci merupakan air dan makanan yang
akan menghidupkan jabang bayi karena guci putih itu adalah rahim kedua tempat
kehidupan sang janin."
"Luar
biasa! Luar biasa!" Ucap si nenek berulang kali.
Resi Kali
Jagat menutup guci putih kembali dengan kain hitam.
"Aneh,
tiba-tiba saja aku menjadi haus," berkata Ning Rakanini. "Ampusena,
jika kau memang sedang berpuasa dan tidak mau minum air bening sejuk dalam
cangkir, biar aku saja yang meneguknya."
"Ning
Rakanini, apakah kau lupa kalau hari ini kau sebenarnya juga tengah
berpuasa?"
Ucapan
sang Resi membuat si nenek terkejut heran.
"Seumur
hidup aku tidak pernah berpuasa. Apa maksud bicaramu Ampusena?"
Resi Kali
Jagat menatap ke arah cangkir tanah berisi air putih bening. Tangan kiri diulurkan
memegang cangkir. Lalu cangkir di angkat ke atas dan dibalikkan. Air putih di
dalam cangkir serta merta jatuh tumpah ke bawah. Sebelum menyentuh lantai
ruangan batu tumpahan air yang putih bening tampak bersinar merah. Begitu air
menyentuh lantai terdengar suara dess….dess….desss! Asap merah mengepul. Ketika
asap lenyap, lantai batu kelihatan retak terkuak dan berlobang merah hangus di
beberapa bagian.
"Ning
Rakanini, kau bisa membayangkan kalau air dalam cangkir masuk ke dalam perutmu.
Batu lantai saja bisa retak dan berlobang."
Berubahlah
paras si nenek.Tubuhnya yang katai kembali melompat dan berdiri di atas kursi
batu.
"Ampusena,
kau tidak menyindir atau menuduh kalau aku telah meletakkan sesuatu dalam
minuman itu untuk meracuni dan membunuhmu?!"
"Sama
sekali tidak. Aku hanya secara kebetulan melihat ada warna merah dalam air
sewaktu cangkir kau letakkan di atas meja."
"Berarti
ada seseorang hendak mencelakai dirimu.
Berarti
kau sebenarnya juga tidak puasa!"
"Benar,
aku hanya menolak minum secara halus.
Maaf
kalau itu membuatmu tersinggung."
"Kurang
ajar! Ada musuh dalam selimut di tempat ini!"
Ning
Rakanini bertepuk tiga kali. Dua dinding ruangan, sebelah kiri dan sebelah
kanan bergeser membuka. Dari setiap dinding yang terbuka keluar enam orang
perempuan berpakaian pelayan. DI pinggang masing-masing membekal tombak pendek
terbuat dari besi hitam Mereka semua berwajah bopeng.
Sekali
lihat saja Resi Kali Jagat segera maklum kalau muka bopeng itu hanyalah topeng
tipis penutup wajah belaka.
Begitu
berada di ruangan ke dua belas gadis pelayan membungkuk memberi penghormatan
pada si nenek, melirik sekilas ke arah Resi Kali Jagat lalu berlutut di lantai.
"Siapa
dlantara kalian yang tadi telah menghidangkan secara gaib air putih dalam
cangkir? Lekas berdiri dan melangkah ke hadapanku!"
Untuk
beberapa ketika ruangan batu menjadi sunyi senyap. Kalau si nenek menatap ke
arah dua belas orang pelayan dengan mata mendelik marah, sebaliknya sang Resi
memandang dengan tenang.
"Tidak
ada yang menjawab? Tidak ada yang mau mengakui baik. Semua kalian akan menerima
kematian saat ini juga!"
Ning
Rakanini jadi marah. Mulut segi tiganya memaki berulang kali lalu dua tangan
dipentang ke kiri dan kanan. Saat itu dua tangan tampak berubah menjadi hitam
dan memancarkan cahaya menggidikkan. Dua belas gadis pelayan bermuka bopeng
tundukkan kepala seolah pasrah menerima hukuman maut!
Tiba-tiba
salah seorang diantara para gadis bermuka bopeng berdiri dari berlutut lalu
melangkah ke hadapan Ning Rakanini. Di depan si nenek dia jatuhkan diri
berlutut.
"Kau.
Perlihatkan wajahmu!” Bentak Ning Rakanini.
Si gadis
segera tanggalkan topeng yang menutupi wajah dan kini terlihat muka aslinya.
Ternyata dia adalah seorang gadis berkulit kuning berwajah ayu jelita.
"Menur
Kembiri!" Teriak Ning Rakanini menyebut nama si gadis. "Jadi kau
orangnya! Katakan apa yang telah kau lakukan dengan minuman di dalam
cangkir!"
"Mohon
ampunanmu Ajeng Puteri Ning Rakanini.
Seorang
pemuda asing telah menyuruh saya memasukkan sejenis bubuk merah ke dalam
minuman dalam cangkir. Saya tidak kuasa menolak karena saya telah bercinta
dengan dia." Sang pelayan menyebut si nenek dengan panggilan Ajeng Puteri.
"Jahanam
kurang ajar! Siapa pemuda itu! Dimana dia sekarang?!" Hardik Ning Rakanini
Gadis bernama Menur Kembiri angkat kepala, memandang seputar ruangan lalu
menunjuk ke atap ruangan sudut sebelah kiri.
Walau
tidak melihat apa-apa namun tidak menunggu lebih lama Ning Rakanini segera
hantamkan dua tangannya ke sudut atas ruangan yang ditunjuk si pelayan.
"Blaarr!"
Dua larik
sinar hitam menderu ke atap ruangan.
"Braakk!"
Sudut
atap ruangan hancur berantakan, memunculkan satu lobang besar. Sesaat sebelum
dua larik sinar pukulan sakti si nenek menghancurkan atap ruangan di sudut kiri
selarik cahaya kuning tampak melesat. Ketika atap hancur membentuk lobang, pada
lobang besar itu tampak berdiri seorang anak lelaki berpakaian mewah serba
hitam. Di telinga kiri mencantel sebuah anting emas.
"Kurang
ajar! Pembohong sialan! Cuma seorang bocah kau menyebutnya seorang
pemuda!" Teriak Ning Rakanini sambil pelototkan mata pada Menur Kembiri.
Dalam
keadaan tambah marah si nenek melesat dari kursi batu. Dua tangan diluruskan ke
arah si bocah, tinju dikepal. Dari dua kepalan kemudian menyembur cahaya
kebiruan.
"Ning
Rakanini! Tahan serangan!" Teriak Resi Kali Jagat tapi si nenek tidak
perduli. Tubuhnya terus melesat malah dia lipat gandakan tenaga dalam.
Anak
lelaki yang berdiri di dalam lobang besar di atap bangunan hentakkan kaki
kanannya ke pinggiran lobang. Saat itu juga udara terasa pengap.
Sosok
Ning Rakanini yang melesat dalam ruangan mendadak tertahan dan mengapung di
udara. Resi Kali Jagat dan semua orang yang ada di tempat itu juga merasa tubuh
mereka kaku. Si bocah tertawa bergelak.
Matanya
memandang berkilat ke arah bungkusan kain hitam di atas meja batu. Ketika dia
hendak melompat siap mengambil bungkusan berisi guci putih tiba-tiba ada suara
seperti orang melangkah. Hebatnya setiap langkah yang terdengar membuat seluruh
bangunan terasa bergoyang. Lalu ada suara mengiang yang di telinga si bocah di
dalam lobang di atas atap.
"Sang
Junjungan! Ada mahluk asing datangi Lekas pergil Saat ini kita belum beruntungl
Lain kali kita coba lagi!"
Anak
lelaki unjukkan wajah tidak senang. Mata masih memandang berkilat ke arah
bungkusan kain hitam. Namun dia maklum harus mengalah. Si bocah membuat
gerakan. Tapi bukannya melesat meninggalkan ruangan melainkan justru melayang
turun memasuki ruangan dan menyambar tubuh Menur Kembiri lalu dipanggul. Si
bocah hentakkan kaki kanan ke lantai. Begitu sebuah lobang besar dan dalam
muncul di lantai si bocah segera ceburkan diri ke dalam lobang. Sesaat kemudian
lobang lenyap, lantai kembali rata seperti semula.
Hanya
sesaat setelah si bocah kabur memboyong gadis pelayan yang cantik itu Ning
Rakanini mampu gerakkan tubuh dan melayang turun ke atas kursi batu.
Resi Kali
Jagat serta sebelas pelayan perempuan lainnya juga lepas dari ilmu aneh yang
membuat mereka semua kaku tak mampu bergerak.
"Ampusena!
Kau melarang aku menyerang bocah itu? Kenapa? Memang dia siapa? Kau lihat
sendiri dia membawa kabur seorang pelayanku! Bocah itu kurasa baru berusia
sekitar dua belas tahun. Tapi sudah tahu perempuan. Bedebah jahanam! Ampusena
kau juga mendengar penjelasan dan tahu kalau bocah itu hendak meracunmu melalui
pelayan itu! Dia mampu masuk menerebos ke tempat inil Baru satu kali terjadi
seumur hidupku ada orang bisa masuk tanpa izinku!"
"Ning
Rakanini, maafkan aku. Aku bermaksud baik.
Mencegahmu
agar tidak membuka silang sengketa dengan kelompok orang-orang jahat yang
menyanjung apa yang dinamakan Sukma Merah. Bocah tadi adalah Dirga Purana,
seorang anak sakti yang sering membantu orang-orang Sukma Merah. Aku yakin dia
datang ke sini bukan cuma hendak membunuhku, tapi juga ingin merampas guci
putih berisi jabang bayi."
"Nah,
nah ternyata dia seorang bocah jahat anggota komplotan Sukma Merah Aku pernah
mendengar pimpinan kelompok itu. Satu mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Tapi aku dengar nyawanya sudah amblas. Aku menyesal kau telah
menghalangi diriku membunuhnya. Padahal kalau tadi aku bisa menghabisinya
berarti aku telah berbuat bakti besar pada Kerajaan Mataram! Bukankah komplotan
itu yang telah menimbulkan malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram?"
"Ning
Rakanini, tidak aku cegahpun kau tidak bisa membunuhnya. Dia keburu
mengeluarkan kesaktian yang disebut Ilmu Membungkam Bumi.
Dalam
lingkaran sepuluh tombak semua mahluk hidup yang ada akan menjadi kaku tak
mampu bergerak."
Si nenek
terdiam sejurus. Dia berpaling ke kiri dan kanan ke arah para pelayan bertopeng
wajah bopeng.
"Kalian
semua! Kembali ke tempat kalian!" Si nenek menghardik.
Sebelas
pelayan yang sejak tadi berlutut segera berdiri lalu berlari keluar
meninggalkan ruangan lewat dua pintu di dinding. Setelah semua pelayan keluar
dua pintu kembali bergeser menutup.
Tinggal
berdua di dalam ruangan Ning Rakanini berkata.
"Ampusena,
aku merasa malu dan sangat terpukul.
Ada orang
mampu menembus masuk ke tempatku ini.
Aku harus
membenahi pengamanan kalau tidak tempat ini tidak bisa lagi dinamakan Rumah
Ketenteraman dan Keselamatan. Aku mohon kau mau meninggalkan tempat ini
sekarang juga."
"Aku
mengerti kesulitan yang kau hadapi. Namun kalau aku boleh bertanya apakah
ucapanmu tadi berarti kau menolak ketitipan guci putih berisi jabang bayi
ini?"
"Aku
tidak menolak. Tapi dengan adanya kejadian seorang bocah bisa menerobos masuk
lalu kabur begitu saja dari sini, aku tidak bisa menjamin keselamatan
guci."
Tiba-tiba
suara langkah-langkah aneh yang membuat bangunan bergoyang muncul kembali. Di
lobang di atas atap muncul satu kepala luar biasa besar berkepala botak. Kepala
raksasa I Di kening ada tanduk memancarkan cahaya merah. Sepasang mata besar
menjorok keluar, bagian putihnya hanya memiliki satu titik hitam kecil, melirik
berputar. Lalu terdengar suara seperti orang mengorok. Ketika dua lobang hidung
menghembuskan nafas, baik si nenek maupun sang Resi merasa mata mereka menjadi
perih. Lalu terdengar si pemilik kepala di lobang berucap.
"Jika
tidak ada yang mau ketitipan guci putih berisi jabang bayi Itu, berikan
padaku!"
Resi Kali
Jagat dan Ning Rakanini sama-sama terkejut.
"Ada
lagi yang mau membuat onar dan menerobos masuk ke dalam tempat
kediamanku!" Kata si nenek.
Dua
tangan diangkat dan serta merta menjadi hitam berkilat "Tahan!
Jangan!"
Resi Kali
Jagat cepat berteriak.
- TERHENTI SAAT EPISODE INI…! -
No comments:
Post a Comment