Photo

Photo

Monday, 13 January 2020

100. Dendam Dalam Titisan



Dendam Dalam Titisan
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito


*******************
SATU

Ucapan orang berpakaian dan bercadar kuning untuk beberapa lamanya mengiang di telinga Bidadari Angin Timur. Hatinya diharu biru oleh berbagai perasaan. “Tidak ada yang paling bahagia di dunia ini selain menolong orang yang kita cintai….”
“Aku memang mencintai dirinya sepenuh dan setulus hati. Namun kalau kasihnya bukan untuk diriku? Kusaksikan dengan mata kepala sendiri dia bercinta dengan Ratu Duyung di tepi telaga. Apakah hati ini masih mau untuk menolong? Jika kemudian hari hanya memberi jalan dia diambil oleh gadis lain….?”
Orang bercadar di samping Bidadari Angin Timur yang tadinya siap bergerak kini berpaling heran campur jengkel. “Gadis berambut pirang! Apa lagi yang membuatmu bimbang?! Aku sudah siap bergerak. Kalau kau ingin orang yang kau cintai selamat dan jika tidak mau melihat rimba persilatan ditimpa malapetaka besar lebih baik kau segera berbuat! Jangan menangis jika akhirnya kau menemui penyesalan hebat!”
Bidadari Angin Timur menatap sepasang mata orang yang tegak di hadapannya. Yang dilihat saat itu seolah dua mata biru Ratu Duyung. Membuat rasa benci membakar dirinya. Lalu tiba-tiba muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Aku bicara penghabisan kali! Orang pandai sepertimu tidak boleh tertipu oleh suara hati! Kalau kau tak sudi aku pun tak perduli!” kata orang bercadar dengan ucapan yang selalu berpantun. Dia bergerak hendak memutar diri.
“Aku….” Bidadari Angin Timur akhirnya anggukkan kepala. “Aku siap!” Gadis jelita ini tabahkan sikap dan kuatkan hati.
Begitu mendengar ucapan Bidadari Angin Timur orang bercadar segera bergerak ke kanan. Berjalan tiga langkah lalu laksana terbang tubuhnya berkelebat cepat ke arah Puti Andini yang saat itu bersama Panji berlindung di balik pohon dan semak belukar. Seperti diperintahkan kakek botak, sepasang muda mudi ini terpaksa menunggu di tempat itu. Si kakek merasa perlu menyelidik apa yang terjadi di dalam rimba belantara yakni ketika berlangsung bentrokan hebat antara Sinto Gendeng dan Sabai Nan Rancak sampai-sampai terbakarnya pepohonan. Selain itu dia juga berusaha mencari tahu siapa adanya bayangan seseorang yang rnengundang kecurigaan dan tahu-tahu muncul di sekitar situ.
Selagi menunggu itulah orang bercadar muncul dari balik semak belukar di sebelah kanan. Panji hanya merasa sambaran angin yang membuat dirinya terhuyung dua langkah. Di sampingnya Puti Andini masih sempat melihat berkelebatnya satu bayangan kuning lalu merasakan satu tepukan di bahu kanannya. Dalam kagetnya gadis ini gerakkan kedua tangan untuk mendorong orang yang disangkanya hendak menyerang.
“Breett!”
Gerakan Puti Andini luar biasa ringannya. Ini adalah berkat hawa sakti yang memancar dari Pedang Naga Suci 212 yang saat itu ada di balik pakaiannya. Walaupun dia tidak berhasil menyentuh tubuh namun Puti Andini masih sempat merobek pakaian orang itu. Selagi dia berusaha mengejar tiba-tiba terdengar teriakan Panji.
“Puti! Awas di samping kirimu!”
Pemuda ini melompat ke depan. Namun ada selarik angin kencang menahan gerakan yang membuatnya terjengkang di tanah walau dia tidak mengalami cidera apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
Dengan cepat Puti Andini memutar tubuhnya ke kiri. Tapi kali ini dia masih kalah cepat. Dia mencium bau sangat harum lalu ada orang berpakaian biru mendorongnya ke belakang. Orang ini memiliki rambut panjang berwarna pirang yang melesat demikian rupa menutupi mata hingga Puti Andini tidak sempat melihat wajahnya. Selagi mengimbangi diri dia merasakan ada sentuhan halus pada bagian pinggang sebelah kiri. Lalu si bayangan biru melesat ke kanan dan lenyap di balik pohon besar.
“Puti, kau tak apa-apa…?” tanya Panji seraya bangkit berdiri dan memegang lengan gadis itu.
“Aku….” Puti Andini mendadak melihat baju hijau milik Panji yang dikenakannya tersibak di bagian pinggang. Cepat dia meraba bagian tubuh itu. Lalu terpekiklah gadis ini.
Ada apa?!” tanya Panji yang melihat perubahan pada wajah si gadis.
“Pedang Naga Suci 212!” jawab Puti Andini dengan suara bergetar dan wajah pucat pasi. “Senjata itu lenyap! Pasti si bayangan biru tadi yang mencurinya!” Si gadis merasa sekujur tubuhnya menjadi lemas. Sampai-sampai dia jatuh terduduk dan bersimpuh di tanah. Bahunya turun naik. Dadanya sesak menahan tangis. Dia memandang berkeliling dengan mata nya lang membelalak.
“Sebelumnya aku menanyakan tentang pedang itu padamu. Kau tak mau menjawab. Aku tidak tahu kalau kau menyimpannya di balik pakaian. Aku sama sekali tidak melihat gagangnya menyembul. Lagi pula kulihat orang berpakaian biru tadi lenyap tidak membawa pedang. Betapapun cepat gerakannya masakan aku tidak bisa melihat pedang yang dicurinya. Coba kau periksa dulu. Mungkin masih ada….”
“Kau mana tahu bentuk pedang itu!” jawab Puti Andini jengkel. Lalu meraba-raba sekitar pinggang dan perutnya. Gad is ini gelengkan kepala. Wajahnya ditutup dengan kedua tangan. Tangisnya hampir meledak. Panji berusaha membujuk. Saat itulah tiba-tiba menggelegar satu bentakan dahsyat.
“Gadis berbaju hijau! Lekas kau serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”
Puti Andini tersentak. Cepat turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Empat langkah di hadapannya dilihatnya berdiri seorang kakek yang walau tua tapi masih punya tampang klimis. Tubuhnya tinggi besar mengenakan jubah panjang menjela tanah dan destar kain putih. Semula dia mengira Kiai Gede Tapa Pamungkas yang tegak di depannya itu. Ternyata bukan. Orang tua tak dikenalnya ini tegak dengan tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan diulurkan dengan sikap meminta sesuatu. Jari-jari tangannya digerak-gerakkan. Wajahnya walau menyunggingkan senyum angker dan dingin.
“Orang tua berdestar putih! Kau siapa?!” Panji yang berada di sebelah Puti Andini ajukan pertanyaan.
“Pemuda gembel tak punya baju! Aku tidak bicara denganmu!” Orang tua tinggi besar menjawab tanpa memandang pada Panji. Tangan kanannya dikibaskan dan “wuttt!” Satu gelombang angin menderu membuat Panji terhuyung-huyung lalu jatuh menyangsrang di antara serumpunan semak belukar.
Melihat gelagat orang Puti Andini segera melompat bangkit. Diam-diam gadis ini merasakan gerakannya tidak lagi secepat dan seringan sebelumnya. Ini tidak lain karena saat itu Pedang Naga Suci 212 yang memberikan kekuatan hebat tidak ada lagi padanya.
“Aku berkata satu kali lagi! Lekas serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!”
“Aku tidak kenal kau! Dan aku tidak punya pedang yang kau minta!”
Si orang tua berdestar putih kembali menyeringai mendengar ucapan Puti Andini.
“Aku Sutan Alam Rajo Di Bumi datang jauh-jauh dari puncak Gunung Singgalang di Pulau Andalas.
Mana sudi mendengar cerita dusta! Mana sudi aku pergi berhampa tangan! Aku tahu pedang sakti itu berada padamu! Aku meminta secara baik. Kalau kau tak mau segera menyerahkan terpaksa aku akan mengambil berikut nyawamu sekalian!”
“Dulu aku pernah mendengar nama orang ini disebut-sebut guru,” kata Puti Andini dalam hati. Yang dimaksudkannya dengan guru adalah neneknya sendiri yakni Sabai Nan Rancak.
Belum sempat Puti Andini berpikir lebih panjang dilihatnya orang berjubah putih di hadapannya ulurkan tangan. Saat itu jarak mereka masih terpisah empat langkah namun seolah-olah bisa menjadi panjang tahu-tahu tangan kanan orang yang mengaku bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi ini telah mencekik leher Puti Andini.
“Aku bisa mematahkan lehermu semudah aku mengedipkan mata!” kata Sutan Alam lalu tertawa mengekeh.
“Orang tua kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhnya! Lepaskan cekikanmu!” teriak Panji. Pemuda yang sebelumnya telah dikibas hingga terpental ini menerjang dan kirimkan satu tendangan ke arah pinggang si orang tua. Disaat yang sama Puti Andini hunjamkan kaki kirinya ke arah selangkangan si orang tua. Mendapat serangan berupa tendangan dari dua arah Sutan Alam Rajo Di Bumi membuat gerakan aneh dan hebat. Tubuhnya melesat ke udara. Jubah putihnya mengembang seperti kipas terbuka, tokoh sakti dari Pulau Andalas ini membuat gerakan setengah lingkaran. Ketika dia menginjakkan kedua kakinya kembali ke tanah bukan saja dia berhasil mengelakkan dua tendangan, tapi juga masih tetap mencekik leher Puti Andini. Ha nya kini dia berdiri di sebelah belakang si gadis hingga sulit bagi Puti Andini untuk menyerang.
Namun gadis cucu dan murid Sabai Nan Rancak ini tidak hilang akal.
Seperti diketahui gadis ini sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Tenaga dalamnya dipusatkan ke kaki. Dua tangan dikembangkan ke samping dengan telapak tangan terbuka menghadap ke bawah. Begitu jari-jari tangannya dijentikkan hingga mengeluarkan suara “klik… klik…” maka tubuh Puti Andini bergerak naik ke atas, inilah gerakan atau jurus yang disebut Payung Mengarak Awan.
Sutan Alam Rajo Di Bumi terkejut sekali ketika dia tak mampu menghentikan gerakan si gadis. Walau dia kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuhnya ikut terangkat naik ke atas. Sutan Alam tidak mau lepaskan cekikannya di leher Puti Andini. Malah kini dengan geram dia pergunakan tangan kanan merabai sekujur tubuh si gadis. Sepertinya dia tengah mencari sesuatu.
“Aneh! Apa betul pedang itu tidak ada padanya? Aku tidak menemukan apa-apa di tubuhnya!” kata Sutan Alam dalam hati penuh heran.
Di mata Panji apa yang diperbuat oleh si orang tua adalah perbuatan kurang ajar. Dengan geram dia melompat ke depan.
“Bukkk!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi menggereng. Punggungnya barusan digebuk orang. Walau dia tidak merasa kesakitan tapi amarahnya meluap.
Dengan gerakan kilat dia pergunakan dua jar; tangan kiri untuk menotok urat besar di punggung Puti Andini hingga sekujur tubuh gadis ini menjadi kaku tegang dan jatuh di tanah. Disaat yang sama di bawah jubah putih panjang kaki kanan Sutan Alam Rajo Di Bumi melesat ke arah bawah perut Panji. Pemuda ini tak sempat mengelak hanya bisa berteriak keras.
Sesaat lagi anggota rahasia Panji akan hancur dimakan tendangan Sutan Alam dan jiwanya tak akan tertolong tiba-tiba dan samping melesat satu bayangan putih. Sutan Alam merasakan ada sambaran angin deras ke arah batok kepalanya. Kakek ini cepat tundukkan kepala. Walau dia sanggup mengelak serangan maut itu namun tiba-tiba dia merasa ada yang menjirat kaki kirinya yang menjejak tanah sementara kaki kanan yang tadi dipakai menendang masih mengapung di udara.
Belum sempat Sutan Alam Rajo Di Bumi melakukan sesuatu mendadak satu sentakan membuat kaki kirinya laksana dihantam kayu besar hingga terpental dan tak ampun lagi tubuhnya terhuyung jatuh siap terbanting di tanah!


*******************
DUA

Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah seorang tokoh silat cabang atas yang punya nama disegani di Pulau Andalas. Pada saat tubuhnya hampir jatuh terbanting ke tanah, tangan kirinya cepat dipergunakan untuk menopang dirinya. Sesaat kemudian tampak tubuh orang tua ini seolah membal ke udara. Lalu wuutt… wuutt… wuutt, Angin deras menyambar. Bayangan putih berkelebatan. Ternyata begitu melompat dan berdiri kembali Sutan Alam langsung menyerang prang yang barusan menjirat kaki kirinya.
“Bukk! Bukkk!”
Dua jotosan yang dilepaskan Sutan Alam Rajo Di Bumi mengenai sasaran. Bersarang telak di bagian dada dan perut orang. Sesaat orang yang kena gebuk itu tegak tak bergeming. Namun setelah itu kakinya terjajar dua langkah dan tubuhnya terhuyung. Namun dia sama sekali tidak kelihatan cidera. Malah keluarkan tawa mengekeh sambil gulung sebentuk benang putih halus yang tadi dipakainya untuk menjirat kaki Sutan Alam. Begitu benang tergulung dengan cepat disimpannya di balik pakaian putihnya yang lusuh.
“Tua bangka kepala botak! Kau sanggup menahan pukulanku! Siapa kau!” Bentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Ha… ha…! Pukulanmu tadi lumayan mantap. Tapi apa gunanya memiliki ilmu tinggi kalau dipergunakan menurut kehendak hati yang salah! Kakek berjubah kau datang dari jauh tentu saja tidak mengenali diriku!” Menjawab orang yang dibentak dan ternyata adalah kakek kepala botak. Sambil tertawa dia mengusap-usap kepalanya yang licin berkilat. “Kau tidak kenal aku. Tapi aku cukup kenal tampangmu! Bukankah kau yang di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Sutan Alam Rajo Di Bumi?!”
Sutan Alam Rajo di Bumi cepat menguasai diri agar wajahnya tidak berubah. “Kakek botak ini tahu siapa aku. Aku sendiri tidak kenal padanya. Kalau melihat senjata berupa benang halus putih yang tadi dipergunakannya untuk menjiratku berat dugaan dia adalah…. Tapi wajahnya lain. Kepalanya botak. Hemmm…. Siapapun dia adanya agaknya dia bukan manusia sembarangan. Dia sanggup menahan dua jotosan telakku yang mengandung setengah tenaga dalamku!”
“Tua bangka botak! ternyata kau kenal aku! Harap kau mau memperkenalkan diri hingga jelas kau ini teman atau lawan!”
Orang tua kepala botak tertawa panjang lalu menjawab.
“Teman atau lawan belum jelas. Mengapa kau menyerang gadis itu, menotoknya sampai tidak berdaya. Mengapa kau hendak membunuh pemuda itu dengan tendangan mengarah selangkangan! Lalu barusan kau menjotosku sampai dua kali! Sungguh hebat! Menghantam dulu baru bertanya teman atau lawan! Apakah begitu adat para tokoh silat dari tanah seberang?!”
Tampang Sutan Alam menjadi merah.
Sambil menyeringai kakek botak membungkuk mengambil sebuah batu sebesar ujung ibu jari. Lalu batu itu dilemparkannya ke punggung Puti Andini yang tergeletak di tanah. Tepat di tempat dimana Sutan Alam menotok sebelumnya. Serta merta totokan yang menguasai gadis itu menjadi punah. Begitu lepas dari totokan Puti Andini segera melompat dan langsung hendak menyerang Sutan Alam. Panji juga tak tinggal diam.
Dendam Dalam Titisan
Kakek botak cepat angkat tangan kanannya dan berseru. “Tahan! Jangan menyerang! Aku mengharapkan orang ini pergi dengan tenang dan kembali ke Pulau Andalas dengan nyawa utuh di badan. Kehadiran manusia semacammu di tanah Jawa ini hanya membuat onar dan mencari susah saja!”
“Susah senang diriku bukan urusanmu!” Sentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.
“Begitu?” Kakek botak lalu tertawa panjang. “Jauh-jauh kau datang dari tanah seberang hanya hendak berbuat kejahatan. Buktinya barusan kau hendak merampas senjata yang dimiliki gadis itu!”
“Apa ada bukti aku mengambil dan memiliki senjata itu saat ini?!” Tanya Sutan Alam pula dengan berang dan mata mendelik.
Si botak kembali tertawa. “Orang seberang memang pandai bicara, pintar bersilat lidah. Tapi jangan sampai prang di sini membungkam mulutmu hingga tak bisa bicara atau melipat lidahmu hingga tak mampu bersuara! Bukankah lebih baik bagimu cepat-cepat meninggalkan tempat ini?!”
“Aku akan pergi dengan satu syarat!” tukas Sutan Alam yang masih penasaran.
“Katakan apa maumu! Aku mulai muak melihat tampangmu!” kata kakek botak pula.
“Jika kau sanggup menahan satu pukulanku aku akan segera angkat kaki dari tempat ini!”
Kakek botak tertawa lebar. “Barusan kau sudah menjotosku sampai dua kali! Rupanya kau masih penasaran!”
“Apakah kau takut menerima tantanganku?!” tanya Sutan Alam dengan nada dan mimik mengejek.
Kakek botak mendongak ke langit sambil usap-usap kepalanya. “Rupanya kau belum puas. Rupanya kau masih punya ilmu simpanan. Hemmm…. Coba aku menerka. Ilmu pukulan apa kira-kira yang hendak kau hadiahkan padaku. Hemmm… mungkin pukulan Malaikat Maut Mendera Bumi? Pukulan yang kabarnya sanggup menembus batu bahkan merobek dinding besi itu?!”
Kali ini Sutan Alam tak dapat lagi menyembunyikan perubahan wajah tanda keterkejutannya. “Dia benar-benar banyak mengetahui tentang diriku!” membatin Sutan Alam.
Kakek botak kembali tertawa. “Hidup manusia tidak lama. Mengapa waktu dipergunakan untuk berbuat yang tidak-tidak! Manusia setuamu seharusnya sudah sejak dulu-dulu tobat dan insyaf…!”
“Botak, apa maksud ucapanmu?!” tanya Sutan Alam membentak.
“Begini saja Sutan Alam. Tak usah kau perlihatkan kehebatan pukulan Malaikat Maut Mendera Bumi padaku. Cukup kau coba saja memutuskan benang buruk ini!”
Habis berkata begitu kakek botak keluarkan kembali gulungan benang putih halusnya. Sekali tangannya bergerak benang itu melesat ke udara dan berputar-putar di depan hidung Sutan Alam.
Saking geramnya diperlakukan seperti itu Sutan Alam segera menyambar benang putih itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan gemas benang itu ditariknya. Tapi bagaimanapun dia mengerahkan tenaga benang halus putih itu tak sanggup diputusnya.
Kakek botak tertawa bergelak. Tangan kanannya disentakkan. “Wuuuttt!” Benang putih tiba-tiba melesat berbuntal-buntal. Sutan Alam keluarkan seruan tertahan ketika menyadari bahwa dua pergelangan tangannya tahu-tahu telah dilibat benang putih!
Didahului bentakan garang Sutan Alam Rajo Di Bumi melompat satu tombak ke atas. Di udara dia membuat gerakan jungkir balik yang disebut Langit Runtuh Bumi Bergoncang. Tubuhnya seolah lenyap masuk ke dalam jubah putih. Lalu tibatiba dua kakinya mencuat ke bawah, melangkah cepat diatas benang putih halus. Sebagai tokoh silat tingkat tinggi Sutan Alam tentu memiliki keringanan tubuh luar biasa. Itu sebabnya dia mampu berjalan di atas benang halus. Namun, anehnya disaat yang sama kakek botak merasa benang putihnya seolah ditindih satu batu raksasa yang menggelinding ke arahnya. Benang putih melengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah. Pada saat itulah tiba-tiba bagian bawah jubah Sutan Alam membeset ke depan laksana sambaran sebilah pedang.
“Breeettt!”
“Desss!”
Sutan Alam Rajo Di Bumi berdiri di tanah dengan air muka berubah. Dia pandangi ujung jubahnya sebelah bawah. Seluruh jubah bagian depan robek besar hingga kakinya yang biasanya tertutup kini tampak menyembul. Dia masih untung karena tadi kakinya tidak ikut dibabat benang sakti yang ketajamannya melebihi mata pedang.
“Puluhan tahun hidup ditakuti lawan disegani kawan. Baru hari ini aku diperlakukan orang seperti ini. Jubahku putus amblas. Kalau si botak ini benar-benar punya niat jahat salah satu kakiku tadi pasti bisa ditabasnya dengan benang saktinya. Hemmm…. Tak bisa tidak, manusia satu ini pasti setan alas yang berjuluk Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa. Yang lebih dikenal dengan gelar si Tua Gila!” Sehabis berkata dalam hati seperti itu perlahan-lahan Sutan Alam Rajo Di Bumi angkat kepalanya, memandang ke arah kakek botak. Tengkuknya terasa dingin.
Saat itu si kakek botak sendiri berdiri setengah tertegun sambil pandangi benang saktinya yang putus. “Bukan main kemajuan ilmu kepandaian orang ini. Dia sanggup melepas kakinya yang terjirat. Lalu memutus Benang Kayangan milikku….” Seperti diketahui senjata berupa benang halus putih yang disebut Benang Kayangan adalah milik Tua Gila Dari Andalas. Berarti kakek botak itu memang bukan lain adalah Tua Gila yang tengah menyamar.
Sambil menggulung benang saktinya lalu menyimpannya di balik pakaian Tua Gila angkat kepala menatap ke arah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Untuk beberapa lamanya dua pasang mata saling bentrokan. SUtan Alam berkedip lebih dulu pertanda ada rasa gentar dalam hatinya.
“Tua bangka botak siapa dirimu aku sudah bisa menduga! Aku bersumpah akan kembali mencarimu dalam waktu dekat. Saat ini karena ada urusan lain aku terpaksa meninggalkanmu. Pada pertemuan kedua jangan bermimpi kau masih bisa berdiri jual lagak di hadapanku!” ,
Kakek botak hanya ganda tertawa mendengar ucapan orang. Dia kurang yakin Sutan Alam akan menyudahi persoalan begitu saja. Sebaliknya Panji yang sangat benci melihat Sutan Alam membuka mulut lemparkan ejekan. “Kau pandai mencari alasan untuk menghindar. Sebenarnya kau gentar menghadapi kakek sahabatku ini!”
Rahang Sutan Alam sesaat tampak menggembung. Dia acungkan jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si pemuda lalu berkata. “Kau adalah orang kedua yang kelak akan kubunuh setelah tua bangka ini!”
Habis berkata begitu Sutan Alam segera berkelebat pergi. Tua Gila tak tinggal diam. “Aku menaruh firasat manusia satu ini adalah racun biang kerok semua kejadian dalam
rimba persilatan belakangan ini,” kata si kakek dalam hati. Lalu dia berteriak. “Sutan keparat! Kau mau lari ke mana!”
Tua Gila hentakkan dua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dua tombak dan mengejar ke arah lenyapnya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun setelah mengejar cukup lama dia tak berhasil menemukan Sutan Alam. “Sialan! Ilmu apa yang dipakai manusia itu hingga bisa lenyap seolah raib?”
Sebenarnya Sutan Alam tidak memiliki kepandaian melenyapkan diri. Yang dilakukannya adalah lari kencang ke. satu arah dengan dugaan bahwa lawan pasti akan mengejar. Beg itu dia mengetahui Tua Gila memang mengejar maka Sutan Alam berputar kembali dan lari ke jurusan datangnya semula. Dengan sendirinya Tua Gila tak bakal dapat menemukannya karena kini orang yang dikejar berada jauh di belakangnya!
Begitu berhasil menipu Tua Gila dengan cepat Sutan Alam berbelok ke arah timur. Dalam waktu singkat dia sampai ke satu tempat dimana di bawah sebatang pohon besar duduk tersandar seorang nenek berjubah hitam berambut putih. Wajahnya yang keriput tampak sangat pucat. Di pangkuannya tergeletak sebuah mantel hitam yang robek di beberapa bagian. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak yang sebelumnya telah mengalami cidera akibat serangan tusuk konde Sinto Gendeng.
“Suto, aku gembira kau kembali ke sini dalam keadaan selamat…. Waktu kau tiba-tiba muncul tadi dan pergi, aku khawatir kau tak akan kembali,” menyapa Sabai dengan memanggil Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan nama aslinya.
“Kau kekasihku. Masakan akan kutinggal begitu saja. Apalagi saat ini kau berada dalam keadaan terluka dan kita sama-sama di tanah orang,” jawab Sutan Alam Rajo Di Bumi sambil tersenyum. Diam-diam Sabai Nan Rancak merasakan ada satu keanehan dalam senyum tokoh silat dari Andalas itu. Si nenek tidak sempat menduga-duga lebih jauh karena saat itu pandangannya membentur jubah sebelah bawah Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang.
“Apa yang terjadi Suto?” tanya Sabai Nan Rancak cemas lalu bangkit berdiri sambil mengenakan Mantel Sakti.
“Aku gagal merampas Pedang Naga Suci 212. Padahal kalau senjata itu berada di tanganku semua niat dan urusan pasti beres….”
“Kau tak boleh berputus asa Suto…” ujar Sabai Nan Rancak seraya mendekat dan hendak memeluk Sutan Alam. Tapi si kakek jauhkan diri lalu diceritakannya apa yang terjadi sambil melangkah mondar-mandir.
“Hendak kupeluk dia sengaja menjauh. Hatiku tak enak. Sikapnya sekali ini benar­benar aneh….” Membatin Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
“Kakek kepala botak itu…. Aku menaruh curiga jangan-jangan dia adalah Sukat Tandika alias Tua Gila. Aku pernah menemuinya.”
“Justru dugaan itu memang yang ada dalam benakku!” jawab Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia hentikan langkahnya lalu menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. “Kalau kau memang sudah menduga orang itu adalah Sukat Tandika alias Tua Gila, mengapa tidak kau bunuh? Bukankah itu menjadi salah satu tugasmu?! Tapi kau tidak melakukannya! Aku curiga Sabai! Jangan-jangan kau masih menaruh hati pada bekas kekasihmu itu!”
Wajah keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam.
“Suto Abang, ketahuilah olehmu. Sejak Sukat Tandika berlaku semena-mena dan meninggalkan diriku seperti sampah! Aku tidak lagi menganggap dirinya manusia. Tapi setan yang harus aku bunuh dengan tanganku sendiri! Lalu sejak aku bertemu denganmu, hati dan tubuhku hanya untukmu seorang. Walau sampai saat ini aku masih terus menunggu karena janjimu untuk menikahiku secara sah belum juga kau penuhi.”
Mulut Sutan Alam Rajo Di Bumi jadi terkancing mendengar kata-kata Sabai Nan Rancak itu.
Setelah berdiam diri beberapa lama baru dia berkata. “Aku harus meninggalkanmu Sabai. Se-belum pergi aku ingin kau menyerahkan padaku Mantel Sakti dan Mutiara Setan….”
Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar ucapan Sutan Alam. “Kau…. Kau mau ke mana Suto?”
“Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang ini….”
Hati Sabai Nan Rancak menjadi tidak enak. “Kau bermain rahasia denganku. Tidak Suto. Lama kita tidak saling temu. Apakah kau tidak merasa rindu? Kali ini aku tak mau lagi berpisah denganmu. Ke mana kau pergi aku ikut. Apalagi keadaan sekarang sedang gawat­gawatnya….”
Sutan Alam gelengkan kepala. “Kau tahu sudah tersiar kabar adanya pemusatan kekuatan orang-orang persilatan tanah Jawa di tepi barat Telaga Gajahmungkur. Aku yakin orang-orang Lembah Akhirat juga akan menyusun kekuatan dibantu para tokoh yang bisa mereka rangkul….”
“Hemmm…” si nenek bergumam. “Menurutmu kau belum lama menginjakkan kaki di tanah Jawa ini. Tapi ternyata kau tahu banyak apa yang terjadi dalam dunia persilatan di sini.”
Sutan Alam tidak menjawab. Dia maju lebih dekat dan berkata. “Mantel dan Mutiara Hitam itu, Sabai…. Aku tak punya waktu banyak.”
Sabai Nan Rancak menatap wajah Sutan Alam beberapa lamanya. Lalu perlahan­lahan dibukanya Mantel Sakti dan diserahkannya pada Sutan Alam. Dari balik jubah hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini berisi senjata rahasia berupa Mutiara Hitam. Baik mantel maupun mutiara seperti diketahui adalah milik Datuk Tinggi Rajo Di Langit yang kini berganti gelar sebagai Jagal Iblis Makam Setan. Begitu menyerahkan kantong berisi Mutiara Setan, Sabai Nan Rancak berkata, “Suto, dulu kau yang menyuruh aku mencari dan mendapatkan mantel serta mutiara. Sekarang mengapa kau meminta dua senjata sakti ini?”
“ingat percakapan kita di Singgalang pada pertemuan terakhir dulu, Sabai? Aku memintamu untuk mencari dan mendapatkan dua senjata sakti ini. Setelah dapat kau harus mempergunakan senjata-senjata ini untuk membunuh Tua Gila, Sinto Gendeng dan Pendekar 212 Wiro Sableng! tapi apakah kau telah berhasil melakukan tugas-tugasmu itu Sabai? Apakah masih ada gunanya Mantel Sakti dan Mutiara Setan berlama-lama di tanganmu tanpa kau mampu melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik dua senjata kini berada di tanganku agar bisa kupergunakan untuk melaksanakan tugas yang kau tidak sanggup melakukan?!”
Paras Sabai Nan Rancak jadi berubah. Namun dalam hatinya nenek ini membatin. “Aku mulai menyangsikan manusia satu ini. Sikap dan cara bicaranya tampak berubah. Dia sama sekali tidak memperlihatkan kasih sayangnya yang selama ini diagung-agungkannya padaku. Dia merahasiakan kemana mau pergi. Aku harus menguntit dirinya, Aku….”
Begitu Sutan Alam Rajo Di Bumi berkelebat pergi, Sabai menunggu beberapa saat baru bergerak mengikuti secara diam-diam.


*******************
TIGA

Panji memegang bahu Puti Andini yang saat itu terduduk di tanah sambil menutupi wajah dengan dua tangan berusaha menahan tangis. Dalam hati berulangkali si gadis menyesali dan memaki diri sendiri.
“Tololnya aku ini! Diberi kepercayaan untuk memegang Pedang Naga Suci 212. Sekarang pedang sakti itu lenyap dicuri orang! Ya Tuhan! Tua Gila pasti akan marah besar mengetahui keteledoranku ini! Bagaimana aku akan menolong Pendekar 212 dari malapetaka yang menimpa dirinya? Waktu tertinggal sempit sekali. Hanya sampai nanti malam! Celakalah dunia persilatan!”
“Puti, tak usah bersedih. Kita akan cari pedang itu sampai dapat. Sekarang…” kata Panji lalu duduk berlutut di hadapan Puti Andini sambil dua tangannya diletakkan di atas pundak si gadis kiri kanan.
Sentuhan tangan Panji membuat si gadis merasa agak lega. Tanpa sadar gadis ini rangkulkan tangannya ke punggung Panji dan sandarkan wajahnya di dada si pemuda yang diam-diam disukai dan kepada siapa dia sudah jatuh hati.
“Rasanya saat ini aku ingin mati saja!” kata Puti Andini setengah berbisik. Nafasnya menghangati dada Panji yang tidak mengenakan baju.
Pemuda beranting emas ini turunkan kepalanya, mencium mesra rambut Puti Andini. Si gadis pejamkan sepasang matanya yang bening, terbuai oleh kemesraan yang selama ini memang selalu didambakannya. Kalau tidak dalam keadaan seperti saat itu mungkin dia tidak akan malu-malu memeluk dan menciumi dada Panji. Panji sendiri hampir lupa diri kalau saja wajah Anggini, murid Dewa Tuak tidak muncul secara tiba-tiba dan aneh di pelupuk matanya. Puti Andini angkat wajahnya, menatap paras si pemuda sesaat.
“Kau memikirkan sesuatu, Panji…?” Panji tidak menjawab.
“Pernahkah kau memikirkan tentang diri kita berdua, Panji?”
“Sudahlah. Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mengejar dan mencari kakekmu orang tua botak itu….”
“Aku takut bertemu dengannya. Dia pasti marah besar!”
“Marah atau tidak kita tetap harus mencari kakekmu itu. Menceritakan apa yang telah terjadi,” ujar Panji pula. Tapi agaknya Puti Andini tidak mau berlaku cepat-cepat. Rangkulannya di tubuh Panji semakin kencang.
Ketika Panji hendak mencium tengkuk si gadis tiba-tiba ada suara berdehem. Satu bayangan berkelebat. Kakek kepala botak kembali muncul di hadapan sepasang muda mudi itu. Melihat siapa yang tegak di hadapannya Puti dan Panji serta merta lepaskan pelukan masing­masing. Puti Andini segera jatuhkan diri dan pegangi kedua kaki Tua Gila.
“Aku sudah tahu Pedang Naga Suci 212 lenyap dirampas orang! Mau apa lagi! Tapi aku ingin tahu bagaimana kejadiannya!” ujar Tua Gila.
Setengah meratap Puti Andini lantas ceritakan apa yang terjadi. Wajah Tua Gila yang tersembunyi di balik topeng tipis berubah kelam. Kepalanya yang botak dipukulnya berulangkali sedang kakinya di-banting-bantingkan ke tanah hingga menimbulkan getaran hebat.
“Puluhan tahun aku menunggu. Setelah dapat pedang sakti dicuri orang! Sutan Alam Rajo Di Bumi ikut-ikutan hendak menguasainya. Kukejar jahanam itu kabur melenyapkan diri!” Tua Gila menatap Puti Andini dan Panji bergantian. “Apa kalian tahu siapa si pencuri itu?”
Panji memperlihatkan secarik sobekan kain kuning yang tadi dijatuhkan Puti Andini di tanah.
“Puti berhasil merobek pakaian si pencuri. Namun kami tak bisa menduga siapa dia adanya. Orang itu bergerak cepat luar biasa. Sebelum kami bisa melihat sosoknya sudah lenyap. Selain itu kami juga melihat ada satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat wangi.“
Tua Gila mengambil sobekan kain kuning dari tangan Panji. Matanya membeliak besar memperhatikan kain itu. “Kain kuning, orang berpakaian biru dan bau wangi. Berarti ada dua orang bersekongkol mengerjaimu, Puti!”
“Maafkan saya Kek. Apakah kau bisa menduga siapa mereka adanya? Biar kucari sampai ke neraka sekalipun!” kata Puti Andini pula dengan mata memancarkan sinar geram.
“Siapa lagi kalau bukannya manusia bercadar kuning itu. Kawannya pasti gadis berambut pirang yang dijuluki Bidadari Angin Timur!”
Baik Puti Andini maupun Panji sama-sama terkejut mendengar ucapan kakek botak. “Tapi Kek…” kata si gadis pula. “Bukankah dua orang itu masih kawan kita sendiri? Orang-orang sehaluan dalam golongan putih?”
“Dunia persilatan saat ini sudah sangat kacau balau! Sulit diduga mana teman dan mana lawan! Bukan mustahil mereka berdua telah terperangkap masuk ke dalam kelompok manusia jahat. Jadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat!” jawab Tua Gila. “Sebelum malam tiba kita harus dapat mencari mereka!”
Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang keras memekakkan telinga.
“Tua bangka sialan itu! Mengapa pula dia muncul lagi di tempat ini!” memaki Tua Gila.
Baru saja Tua Gila memaki begitu tiba-tiba kakek bercaping yang mengerontangkan kaleng sudah muncul di hadapannya. Temyata dia tidak sendirian. Ada beberapa orang lain ikut datang di tempat itu,
“Kalian semua! Aku muak melihat kalian!” mendamprat Tua Gila.
Terdengar suara tertawa melengking tinggi. Yang tertawa ternyata Sinto Gendeng, guru Pendekar 212. Di sampingnya berdiri kakek yang dikenal dengan julukan Setan Ngompol. Tak jauh dari mereka berdiri Sika Sure Jelantik. Lalu di jurusan Iain terlihat pula si bocah Naga Kuning, Iblis Pemalu, Pendekar 212 Wiro Sableng didampingi Ratu Duyung.
“Kalian bertiga!” Tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara melengking keras sambil menunjuk dan memandang melotot pada kakek kepala botak yang masih belum diketahuinya siapa adanya.
“Salah satu dari kalian yang memegang Pedang Naga Suci 212. Lekas serahkan padaku atau kubuat tempat ini jadi neraka bagi kalian bertiga!”
Semua orang memandang ke depan. Semua mata membelalak terkejut. Nenek sakti dari puncak Gunung Gede ini agaknya tidak main-main. Saat itu dia berdiri dengan tangan kiri memegang tiga tusuk konde perak yang merupakan senjata beracun dan sangat mematikan. Lalu tangan kanannya yang diangkat di atas kepala tampak memancarkan cahaya putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan sakti Sinar Matahari! Sepasang mata cekung si nenek membeliak galak. Pelipisnya berg era k-g era k dan mulutnya yang perot berkomat-kamit terus-terusan.
“Nek…!” Wiro yang melihat keadaan gurunya itu berusaha mengatakan sesuatu tapi segera dibentak oleh Sinto Gendeng.
“Anak setan! Jangan kau banyak bacot! Gara-gara kau urusan jadi kapiran begini rupa! Berani kau bicara lagi kurobek mulutmu!”
Wiro masih berusaha hendak melangkah mendekati gurunya tapi Ratu Duyung cepat memegang lengannya seraya berbisik. “Jangan menambah keruh suasana. Lekas berdiri di belakangku. Kalau terjadi apa-apa aku masih bisa melindungi dirimu. Dalam keadaan seperti ini bukan mustahil gurumu ketelepasan tangan!”
Wiro hentikan langkahnya. Sambil garuk-garuk kepala akhirnya dia bergerak ke belakang Ratu Duyung.
“Sinto,” Setan Ngompol berbisik. “Kalau berteriak jangan keras-keras. Nanti aku bisa ngom…”
Ucapan Setan Ngompol terputus. Tendangan kaki kiri Sinto Gendeng mendarat di bawah pusarnya.
“Dukk!”
Setan Ngompol mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat tiga langkah lalu jatuh duduk di tanah. “Serrrr!” Saat itu juga kakek ini mancurkan air kencing.
“Jahatnya kau Sinto. Padahal aku tadi sudah mampu menahan kencing. Sekarang aku malah jadi beser berat!” kata Setan Ngompol seraya mencoba bangkit berdiri. Tapi tersentak jatuh kembali begitu Sinto Gendeng membentak keras.
“Pedang Naga Suci 212! Lekas serahkan padaku atau kalian bertiga mampus semua!” Tangan kiri kanan Sinto Gendeng bergerak.
“Tunggu dulu!” Tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras. “Aku yang pertama sekali mendapatkan Pedang Naga Suci 212! Jadi harus diserahkan kembali padaku!”
“Tua bangka jelek! Jangan kau berani pentang bacot di hadapanku!” damprat Sinto Gendeng. “Lebih baik kau kembali ke kampungmu sebelum kau ku-bantai di tempat ini! Kau biang kerok semua kekacauan ini!”
Si nenek berambut putih Sika Sure Jelantik dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh. Tawanya dihentikan dengan tiba-tiba lalu dia meludah ke tanah. “Dasar perempuan gendeng! Rupanya kau tidak pernah berkaca! Pantatku jauh lebih cantik dari mukamu! Rambutmu sudah sulah. Mulutmu pencong, kulitmu hitam seperti arang! Hik… hik… hik!”
Marahlah Sinto Gendeng diejek begitu rupa. Dari tenggorokannya keluar suara menggereng. Matanya yang cekung berapi-api seolah hendak melompat keluar. Dia memutar tubuh ke arah Sika Sure jelantik. Tapi kakek botak yaitu Tua Gila cepat menghalangi gerakannya.
“Sinto, jangan tertipu oleh gejolak darah. Jangan terhasut oleh hawa amarah. Terus terang aku katakan padamu Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada kami bertiga. Kau tidak akan mendapatkannya sekalipun kau membunuh kami semua! Pedang sakti itu lenyap dicuri orang!”
“Kentut busuk! Jangan berani mengarang cerita!” hardik Sinto Gendeng.
“Aku bersumpah Nek!” kata Puti Andini. “Senjata sakti itu memang telah dicuri orang. Kami tidak tahu pasti siapa pencurinya. Ada dua orang. Salah satu dari mereka mengenakan pakaian kuning. Robekan bajunya masih ada di tangan kakek botak itu!”
Semua mata diarahkan ke tangan kanan kakek botak. Memang mereka melihat si kakek memegang sobekan kecil sehelai kain kuning.
“Kalau kau masih kurang percaya silahkan menggeledah diriku luar dalam.” Kata si kakek botak pula sambil menyengir.
“Siapa sudi menyentuh tubuhmu yang bau!” tukas Sinto Gendeng.
Sesaat suasana menjadi sunyi senyap. Kesunyian dirobek oleh suara kerontangan kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu untuk pertama kalinya kakek buta ini membuka mulut.
“Kalian semua orang-orang tolol! Waktu tinggal sedikit sebelum malam datang. Mengapa mau saling berbunuhan dan bukannya mengatur cara yang baik untuk mencari pedang sakti itu? Aku tak mau melibatkan diri lebih lama dengan kalian. Aku mau pergi. Tapi sebelum pergi sekali lagi aku bilang pada kalian. Jangan terlambat berkumpul di tepi barat Telaga Gajahmungkur malam nanti, Sekarang aku mau tahu apa anak konyol bernama Naga Kuning ada di tempat ini?”.
“Aku memang ada di sini Kek!” menjawab Naga kuning seraya keluar dari balik serumpunan semak belukar.
“Bagus! Kalau begitu lekas ikuti aku!” kata Kakek Segala Tahu pula seraya mengerontangkan kaleng dan “memutar tubuh.
“Eh, kau mau membawa aku ke mana Kek?”
“Sudan, jangan banyak tanya. Aku perlu bantuanmu untuk menyelidik ke Lembah Akhirat….”
Berubahlah paras si bocah sementara yang Iain-Iain terheran-heran. “Kau menyuruh aku masuk ke sarang macan Kek!”
“Bagimu sarang macan masih jauh lebih baik dari liang kubur! terserah kau mau memilih mana! Lagi pula aku tahu. Semasa Kiaimu si Gede Tapa Pamungkas bersamadi bertahun-tahun di Gajahmungkur, kau sudah menggentayangi kawasan ini berulangkali!” jawab Kakek Segala Tahu sambil melangkah terus tanpa perdulikan kebingungan si bocah.
“Kek, apa yang musti aku selidiki di Lembah Akhirat?” tanya Naga Kuning sambil melangkah di belakang Kakek Segala tahu.
Orang tua bercaping bambu itu goyangkan kaleng rombengnya di samping telinga kiri si bocah hingga Naga Kuning terlompat setengah tombak dan menjerit. “Kau mau memecahkan liang telingaku Kek!”
Kakek Segala Tahu menyeringai. “Justru aku ingin agar kau memasang telinga, mendengar baik-baik! Kau tahu para tokoh sahabatku yang berkumpul di tepi barat telaga cuma bertindak menurut nafsu. Mereka ingin menghancurkan Lembah Akhirat. Membunuh Datuk Lembah Akhirat. Tapi mereka tidak tahu siapa adanya sang Datuk. Sampai dimana ilmu kesaktiannya. Senjata apa saja yang dimilikinya. Siapa saja para pembantunya!”
“Lalu apa kau sendiri tahu, Kek?” tanya Naga Kuning. Sambil melengos anak itu cibirkan bibirnya.
“Hemmm…. Walau sedikit tapi aku lebih tahu dari para tokoh geblek itu! Bocah sialan! Jangan kau “berani mengejekku! Aku suruh kau ke sana justru buat menyelidik! Siapa saja yang sudah bergabung menjadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat. Apa kekuatan dan kelemahan sang Datuk. Aku mendengar mereka adalah orang-orang aneh yang jalan pikiran dan perbuatannya aneh tidak wajar. Di atas semua itu ada satu hal yang sangat penting. Aku menyirap kabar bahwa Datuk Lembah Akhirat memiliki sepasang sarung
Dendam Dalam Titisan tangan iblis. Senjata itu bukan saja sanggup membunuh lawan tapi sekaligus menyedot tenaga dalam korbannya! Nah, itu yang perlu kau selidiki!”
“Walah! Tugasku berat amat Kek! Kalau aku tertangkap bisa-bisa tubuhku hanya tinggal taburan debu merah, hijau atau hitam!”
“Kalau kau menolak perintahku, saat ini juga tubuhmu akan kujadikan taburan tahi kuning!” kata Kakek Segala Tahu pula lalu tertawa mengekeh dan goyangkan kaleng tiga kali berturut-turut.
Setelah Kakek Segala Tahu dan Naga Kuning meninggalkan tempat itu, semua orang yang ada di sana baru menyadari kalau Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung juga telah lenyap dari tempat itu. Disaat yang sama kakek botak memberi isyarat pada Put! Andini dan Panji untuk segera pula berlalu dari situ.
Sinto Gendeng menggerendeng panjang. “Celaka si anak setan itu. Kalau pedang sakti tidak bertemu dan keadaannya tidak bisa dipulihkan sebelum tengah malam nanti tamatlah riwayatnya! Aku punya firasat, turut apa yang diucapkan gembel buta tadi. Malam nanti akan terjadi satu peristiwa besar di Gajahmungkur! Celaka! Benar-benar celaka anak setan itu!”
Sinto Gendeng melirik pada Sika Sure Jelantik yang tegak di samping kirinya lalu memberi isyarat pada kakek bermata jereng Setan Ngompol. Dua orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Sika Sure Jelantik yang tinggal sendiri sesaat berpikir. “Apa yang aku lakukan sekarang? Mengikuti rombongan kakek botak. Atau menguntit Sinto Gendeng dan Setan Ngompol. Atau mengejar ke arah lenyapnya Wiro Sableng dan Ratu Duyung? Atau baiknya aku kembali saja ke Lembah Akhirat….” Setelah berpikir sejenak akhirnya nenek berambut riap-riapan ini mengambil keputusan untuk mengikuti rombongan kakek botak karena dia menduga Pedang Naga Suci 212 masih berada pada kakek itu atau pada Puti Andini.


*******************
EMPAT

Sebelum mengikuti penguntitan yang dilakukan Sabai Nan Rancak atas diri Sutan Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang serta apa pula yang bakal dilakukan si nenek bernama Sika Sure Jelantik, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi pada masa sekitar tujuh bulan sebelumnya.
Di satu bukit yang menghadap ke pantai selatan. Di atas sebuah makam tua terbuat dari batu yang telah gugus, duduk bersila seorang kakek bermuka lancip. Rambut panjang, kumis serta janggutnya berwarna kelabu, melambai-lambai ditiup angin. Sepasang matanya terpejam dan dari mulutnya tiada putus-putusnya keluar suara meracau seperti orang membaca mantera. Tempat itu dipenuhi bau kemenyan yang dibakar di dalam sebuah pendupaan dan diletakkan di kepala makam.
Di depan kakek yang mengenakan jubah hitam gombrong ini duduk seorang lelaki bertubuh tinggi besar, kepala dan wajahnya tertutup rambut panjang awut-awutan, kumis tebal, cambang bawuk serta janggut liar. Seperti si kakek, lelaki ini juga mengenakan sehelai jubah hitam sangat gombrong. Dari mukanya yang garang kelihatan bahwa orang ini sudah, tidak sabaran. Sebentar-sebentar dari hidungnya keluar suara mendengus. Lalu mulutnya komat-kamit berulangkali.
Telah tujuh hari tujuh malam kedua orang itu berada di makam batu di puncak bukit tersebut.
Siang dihantam sengatan sinar matahari dan malam dihajar hawa dingin luar biasa. Kalau tidak karena satu urusan sangat penting orang tinggi besar mungkin sudah meledak kesabarannya dan tinggalkan tempat itu dengan kutuk serapah.
Tepat di pertengahan malam, di kejauhan terdengar suara salakan anjing. Lalu di langit kelam serombongan burung hitam berkelebat dengan sayap-sayap berkesiuran. Di atas makam burung-burung itu menukik rendah lalu melesat dan akhirnya lenyap” dalam kegelapan. Di arah timur mendadak ada sinar terang disusul suara keras laksana petir menyambar membuat orang tinggi besar tersentak kaget. Tapi kakek berwajah lancip tetap tenang saja. Perlahan-lahan sepasang matanya yang sejak tujuh hari lalu terpejam membuka. Memperhatikan keadaan mata orang tua ini bergidiklah kawan di depannya. Mata si kakek membuka besar tapi membelalak begitu rupa dan hanya bagian putihnya saja yang kelihatan!
Suara racauan kakek yang duduk di atas makam batu itu secara perlahan-lahan berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara halus. Suara perempuan yang tidak diketahui dari mana datangnya dan juga tidak kelihatan ujudnya.
“Malam ini malam Jum’at Kliwon. Malam terpuji dari empat puluh malam yang ada. Malam sakti dari empat puluh kesaktian yang ada. Malam permintaan bagi yang meminta. Malam perjanjian bagi yang mau berjanji…”
Orang tinggi besar berjubah hitam gombrong tambah dingin tengkuknya. Dia mendongak ke atas.
Suara yang didengarnya tadi seolah ada di atas ubun-ubun kepalanya. Dia memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
“Dua anak manusia di atas makam…. Tujuh hari tujuh malam kalian berada di tempat ini. Ini adalah malam ke tujuh, malam Jum’at Kliwon di mana segala permintaan yang baik maupun yang jahat akan dikabulkan. Katakan siapa diri kalian berdua….”
Si kakek berwajah lancip dan dua mata masih terbalik putih segera menjawab.
“Aku Mangkutani yang biasa disebut Ki Juru Tenung. Temanku bernama Suto Angil. Kami berdua menghaturkan sembah hormat atas kesudian Junjungan datang ke tempat ini. Kami akan lebih bersyukur kalau Junjungan sudi memperlihatkan diri….”
“Katakan dulu maksud dan tujuanmu bersamadi di atas makam tua di bukit yang menghadap ke laut selatan ini. Kalau aku dan penguasa samudera berkenan, dengan syarat­syarat tertentu mungkin permintaanmu akan dikabulkan. Tapi kalau permintaan kalian ditolak maka malam ini akan menjadi malam laknat bagi kalian berdua. Kalian akan kubunuh di tempat ini juga!”
Sesaat sepasang mata putih kakek bernama Mangkutani berputar terbalik-balik. Sebentar putih sebentar hitam lalu putih lagi. Sementara itu orang yang bernama Suto Angil jadi pucat tampangnya dan mengkirik dingin bulu kuduknya.
“Junjungan, aku bersamadi mewakili Suto Angil. Kami berada di sini dengan niat baik yakni mengharapkan turunnya berkah bagi kami berdua….”
“Berkah berupa apa anak manusia? Harta, uang atau jabatan?!” tanya suara perempuan tanpa ujud.
“Junjungan, kami tidak menginginkan harta atau uang. Tidak pula jabatan…” jawab Mangkutani.
“Aneh! Lalu kalian inginkan apa? Bidadari dari dasar lautan atau bidadari dari ujung langit?!”
“Juga tidak wahai Junjungan! Suto Angil adalah orang dari dunia persilatan. Cita­citanya sangat besar ingin menguasai rimba persilatan. Namun bekal ilmu yang dimilikinya tidak memungkinkan dia melaksanakan niatnya itu. Karena itulah saat ini jika Junjungan sudi mengabulkan aku ingin memintakan satu bekal kekuatan baginya. Bekal itu entah berupa apa kami serahkan pada Junjungan….”
Perempuan tanpa ujud tidak segera menjawab. Lalu terdengar suara tawa halus. “Menguasai rimba persilatan adalah satu hal yang dimimpi-mimpikan oleh setiap orang persilatan. Aku pun dulu pernah menginginkan hal itu. Namun ajalku lebih dulu sampai. Aku sangat tertarik mendengar permintaan kawanmu itu, Mangkutani. Aku akan mengabulkan dengan beberapa syarat….”
Mendengar ucapan tanpa ujud itu Mangkutani alias Ki Juru Tenung segera jatuhkan diri, bersujud di tanah. Suto Angil segera ikuti apa yang diperbuat si kakek. Setelah disuruh bangkit baru keduanya duduk bersila kembali. Saat itu kelihatan bahwa sepasang mata Mangkutani tidak lagi membeliak putih.
“Mangkutani dan Suto Angil. Putar duduk kalian. Menghadaplah ke arah lautan!”
Mendengar perintah, di atas makam batu Mangkutani dan Suto Angil segera memutar duduk menghadap ke arah lautan luas yang dibungkus kegelapan malam.
“Kalian berdua aku perintahkan membuka mata besar-besar. Jangan berkedip sebelum kalian melihat sesuatu di depan kalian!” Suara perempuan tanpa ujud terdengar keras dan lantang. Maka dua orang di atas makam batu itu segera saja membuka mata lebar­lebar, memandang ke depan.
Tiba-tiba di bawah sana, di dalam laut seolah-olah keluar dari dasar laut ada dua kilatan cahaya aneh masing-masing sepanjang satu tombak. Dua cahaya ini mencuat ke permukaan laut terus melesat di udara malam dan sesaat kemudian keduanya telah berada di hadapan Mangkutani dan Suto Angil, mengapung di udara dalam ujud dua ekor ular kobra atau ular sendok besar. Masing-masing binatang ini memiliki tiga warna yakni hitam, merah dan hijau.
Dua orang di atas makam batu menjadi gemetar. Membeliak dan tak berani bergerak atau keluarkan suara.
“Suto Angil….” Tiba-tiba suara perempuan tanpa ujud terdengar kembali. “Katakan apa yang kau lihat di depan matamu?!”
“Aku… aku melihat dua ekor ular besar…” jawab Suto Angil dengan suara gemetar.
“Kau tahu ular jenis apa yang kau lihat?”
“Aku… aku kurang tahu Junjungan….”
“Dua ekor ular itu adalah ular-ular kobra laut betina yang akan kuberikan padamu sesuai dengan permintaanmu untuk dibekali sesuatu hingga bisa menguasai rimba persilatan…!”
Mangkutani kerenyitkan kening. Suto Angil tersentak kaget. Kedua orang ini tidak mengira kalau dua ekor ular berbisa itulah yang mereka dapat. Padahal mereka mengharapkan bekal berupa senjata atau jimat.
Manusia tanpa ujud tertawa panjang. “Kulihat kalian berdua seperti ketakutan setengah mati. Hik… hik… hik. Jangan khawatir! Suto Angil, aku tidak akan membekalimu dengan ular-ular sendok dalam keadaan hidup itu. Sebelum aku memberi tahu apa yang akan kulakukan, terlebih dulu aku akan memperlihatkan diri pada kalian. Pejamkan mata kalian. Baru dibuka bila mendengar suara tiupan angin menyerupai suara seruling di kejauhan….”
Serta merta Mangkutani alias Ki Juru Tenung dan Suto Angil pejamkan mata masing­masing. Saat mata mereka tertutup di sebelah depan ada cahaya terang. Bersamaan dengan itu terdengar suara siuran angin dari arah laut yang menyerupai bunyi tiupan seruling. Lalu udara di sekitar makam batu itu menjadi sangat dingin. Bau sangat wangi menusuk hidung mengalahkan harumnya kemenyan yang dibakar dalam pendupaan.
Perlahan-lahan dengan rasa takut mencekam Mangkutani dan Suto Angil buka kembali mata mereka yang barusan dipejamkan. Dua orang ini tercekat melihat pemandangan yang terpampang di depan mereka.


*******************
LIMA

Dihadapan Mangkutani dan Suto Angil saat itu, seolah mengapung di udara tegak berdiri seorang perempuan sangat cantik yang di atas kepalanya ada sebuah mahkota terbuat dari emas berbentuk seekor ular. Dia mengenakan pakaian dalam hijau tipis. Karena seolah ada cahaya yang menerangi dirinya maka tubuhnya seperti tidak terbungkus apa-apa.
Sesaat setelah dapat menguasai diri dari keterkejutan masing-masing, Mangkutani dan Suto Angil segera jatuhkan diri bersujud. Setelah diperintahkan bangkit baru mereka kembali duduk bersila. Namun mereka tidak berani menatap ke bagian atas tubuh perempuan berbaju hijau. Mereka tundukan kepala hanya memperhatikan sepasang kaki yang bagus.
“Junjungan, kami berterima kasih kau telah sudi memperlihatkan diri…” kata Suto Angil.
“Aku terlahir bernama Kunti Arimbi yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewi Ular….”
“Ah!”
Mangkutani dan Suto Angil sama-sama keluarkan seruan tertahan. Beberapa waktu yang lalu orang rimba persilatan mana yang tidak pernah mendengar nama Dewi Ular. Cuma diam-diam kedua orang itu merasa heran sendiri. Dewi Ular mereka ketahui telah tewas beberapa waktu lalu. Kalau saat itu dia menunjukkan diri pasti yang muncul ini adalah roh atau hantu alias ujud jejadiannya!
“Kalian harap bangkit dan dengarkan penuturanku!” kata Dewi Ular. “Aku hidup di alam yang tidak sama dengan alam kalian. Beberapa waktu lalu aku dan guruku Ratu Ular terpaksa tewas bunuh diri di satu jurang. Kematian kami adalah akibat perbuatan orang-orang golongan putih rimba persilatan. Kami menemui ajal dengan membawa sejuta rasa penasaran dan dendam kesumat ke dalam alam baka! Roh kami tidak bisa tenteram sebelum para penyebab kematian itu menemui ajal. Nanti akan kukatakan siapa-siapa mereka adanya. Sekarang waktunya aku akan memberikan bekal padamu Suto Angil. Apakah kau sudah siap menerima ular-ularku?!”
“Aku siap Junjungan Dewi Ular…” jawab Suto Angil. Tubuhnya yang tinggi besar bergetar dan tengkuknya kembali terasa dingin.
“Ulurkan dua tanganmu ke depan. Buka telapak tangan, bentangkan ke atas…!”
Suto Angil lakukan apa yang diperintah Dewi Ular.
Sang Dewi arahkan pandangan matanya pada dua telapak tangan Suto Angil lalu beralih pada dua ekor ular kobra laut yang mengapung di udara dengan kepala tegak tak bergerak tapi ekor menggeliat-geliat.
“Suto Angil harap perhatikan baik-baik. Aku akan menitis masuk ke dalam dua ekor ular sendok itu…” berkata Dewi Ular. Lalu dari sepasang matanya mencuat dua larik sinar hijau, menyambar ke arah kepala dua ekor ular kobra betina. Binatang-binatang ini keluarkan desisan panjang. Dari kepala masing-masing mengepul asap hijau. Di sebelah sana tubuh Dewi Ular bergoncang keras. Wajahnya yang cantik berubah menjadi pucat seolah kehabisan darah. Bibirnya membiru dan dua bola matanya berubah warna menjadi
Dendam Dalam Titisan kelabu. Wajahnya yang cantik basah oleh keringat dan kelihatan angker menggidikkan. Perlahan-lahan dua sinar hijau sirna.
“Titisanku sudah berada dalam sosok dua ekor ular kobra betina. Suto Angil, dua ekor ular itu sekarang akan kuperintah masuk ke dalam tubuhmu lewat dua telapak tangan yang terkembang. Jangan bergerak dan apapun yang terjadi kau harus sanggup menahan sakit….”
Si kakek bernama Mangkutani yang hanya mendengar kata-kata Dewi Ular merasa bergeming apalagi Suto Angil. Belum apa-apa dadanya sudah terasa sesak dan mukanya menjadi pucat. Dia berusaha tabahkan diri. Dewi Ular keluarkan pekikan keras dan goyangkan kepalanya. Dua ekor ular kobra laut belang tiga mendesis panjang. Lalu laksana dua anak panah binatang-binatang itu melesat ke arah dua telapak tangan Suto Angil.
“Craasss!”
“Craasss!”
Dua ekor ular menghunjam masuk ke dalam telapak tangan kiri kanan Suto Angil. Darah muncrat. Laksana ditusuk pedang, begitu sakitnya membuat manusia tinggi besar ini walau tidak bergerak dari duduknya di atas makam batu tapi tetap saja tak mampu menahan jerit kesakitan yang meledak keluar dari mulutnya. Sekujur tubuhnya mendadak sontak basah oleh keringat.
Secara aneh dua ular kobra laut yang menembus telapak tangan Suto Angil terus menyusup masuk ke dalam tangan, terus amblas sepanjang lengan dan baru berhenti begitu buntutnya lenyap dari permukaan masing-masing telapak tangan!
Suto Angil merasa nyawanya seperti terbang. Dadanya turun naik. Dia berusaha agar tidak roboh di atas batu makam. Untuk beberapa lamanya rasa sakit masih menguasai dirinya. Darah dalam tubuhnya laksana mengalir menyungsang.
“Suto Angil, titisanku berupa dua ekor ular kobra laut telah masuk dan berada dalam tubuhmu. Sekarang kau telah membekal satu ilmu kesaktian yang tidak ada duanya di dunia persilatan. Namun ilmu itu belum muncul kalau kau tidak melakukan syarat-syarat yang akan kusebutkan. Apa kau bersedia menjalankan syarat yang akan aku katakan Suto Angil?”
“Aku… aku akan menjalankan, Junjungan Dewi Ular,” jawab Suto Angil masih tercekat walau rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya perlahan-lahan mulai lenyap.
“Syarat pertama. Setelah aku pergi kau harus bersamadi di tempat ini seorang diri selama dua puluh satu hari. Kalau kau bisa bertahan kau akan hidup dan dapatkan apa yang menjadi niatmu. Kalau nasibmu buruk dan umurmu pendek, mungkin sebelum hari kedua puluh satu kau sudah jadi mayat di tempat ini! Pada akhir samadimu, kau akan melihat tanganmu kiri kanan sebatas siku ke bawah terbungkus oleh kulit ular kobra laut berwarna hitam, merah dan hijau. Itu berarti kau telah memiliki sepasang sarung tangan sakti yang kuberi nama Sarung Tangan Penyedot Batin! Inilah senjata yang dapat kau jadikan bekal untuk menjadi penguasa rimba persilatan. Sarung tangan itu memiliki dua kekuatan hebat. Pertama daya kekuatan untuk membunuh lawan dan kedua menyedot tenaga dalam yang dimiliki lawan! Jika kau mau kau bisa membunuh lawanmu sekaligus menyedot tenaga dalamnya. Kalau kau hanya inginkan tenaga dalam lawan kau bisa menyedotnya tanpa membunuh….”
Dendam Dalam Titisan
“Junjungan Dewi Ular, aku sangat berterima kasih atas kebaikan hati dan berkah darimu…” kata Suto Angil lalu bersujud. Mangkutani segera pula ikut menyembah dan menghaturkan rasa terima kasih.
“Sarung tangan sakti itu harap kau jaga baik-baik seperti kau menjaga nyawamu sendiri. Jika tidak kau pergunakan kau bisa melepaskannya dari tanganmu dan menyimpannya di sebuah peti besi yang akan muncul sendirinya pada hari terakhir samadimu di tempat ini….”
“Terima kasih sekali lagi junjungan Dewi Ular,” kata Suto Angil sambil membungkuk dalam.
“Sekarang syarat kedua yang harus kau lakukan. Tadi sudah kukatakan, aku dan guruku Ratu Ular terpaksa melakukan bunuh diri di satu jurang akibat keganasan orang-orang golongan putih. Karena itu orang-orang golongan putih harus ditumpas. Terutama mereka yang berada di tanah Jawa ini dan di Pulau Andalas! Kau harus menebar racun perpecahan di antara mereka hingga saling curiga dan saling bunuh! Untuk itu kau harus mencari satu tempat yang baik sebagai markasmu dan memaklumkan diri sebagai calon penguasa tunggal rimba persilatan….”
“Dewi Ular, aku mendengar apa yang kau katakan. Namun jika kau sudi memberi petunjuk harap suka memberi tahu kira-kira di daerah atau kawasan manakah tempat yang patut aku jadikan markas yang kau maksudkan itu.”
“Tak jauh dari Telaga Gajahmungkur ada satu kawasan berupa lembah subur. Kau dengan mudah bisa menemukannya. Jadikan lembah itu sebagai markasmu. Beri nama lembah itu Lembah Akhirat dan umumkan dirimu sebagai Datuk Lembah Akhirat….”
“Terima kasih atas petunjuk Junjungan…” kata Suto Angil.
“Aku juga menghaturkan terima kasih,” kata Mangkutani pula.
“Kalian berdua harus bekerja sama menyusun siasat hingga apa yang menjadi niat Suto Angil bisa menjadi kenyataan,” kata Dewi Ular. “Suto Angil, sekarang dengarkan baik­baik syarat selanjutnya. Ini yang paling penting. Dari sekian banyak para tokoh silat golongan putih yang harus kau bunuh, ada beberapa orang yang harus kau hukum mati lebih dulu. Mereka adalah para penyebab kematian diriku dan guruku Ratu Ular. Manusia pertama seorang pendekar muda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Orang kedua seorang tokoh bertubuh gemuk luar biasa, dikenal dengan julukan Si Raja Penidur. Orang ke tiga adalah pemuda bernama Sandaka. Orang ini sebelumnya dikenal dengan julukan Manusia Paku. ingat nama atau gelar tiga manusia keparat itu baik-baik. Bunuh mereka dengan cara paling keji. Jika kau berhasil bawa mayat mereka dan letakkan di atas makam tua ini hingga aku tahu kau telah melakukan perintahku….”
“Junjungan Dewi Ular, perintah akan aku lakukan. Kalau aku boleh bertanya untuk melakukan tugas membunuh tiga prang itu apakah ada batasan waktu?” bertanya Suto Angil.
“Tiga orang itu adalah manusia-manusia berkepandaian tinggi. Memang tidak mudah membunuh mereka. Itu sebabnya aku tidak memberi batasan waktu padamu untuk melaksanakannya. Tapi khusus untuk Pendekar 212 Wiro Sableng, aku perintahkan agar kau membunuhnya dalam waktu cepat!”
“Akan aku lakukan Junjungan Dewi Ular.”
Dendam Dalam Titisan
“Sebentar lagi pagi akan datang, matahari akan terbit. Waktuku hampir habis. Jika kalian tidak ada pertanyaan maka aku akan segera meninggalkan tempat ini….”
Suto Angil memandang pada Ki Juru Tenung alias Mangkutani. Kakek bermuka lancip ini gelengkan kepala.
“Kami tidak ada pertanyaan apa-apa Junjungan.
Semua petunjuk dan perintahmu sudah jelas…. Kami sekali lagi menghaturkan banyak terima kasih. Kami tidak tahu harus membalas bagaimana….”
“Hik… hik… hik.” Dewi Ular tertawa panjang. “Kalian orang-orang berhati jahat, nyatanya masih punya peradatan. Balasan yang kuharapkan adalah bunuh Pendekar 212 Wiro Sableng secepat-cepatnya!”
Habis berkata begitu Dewi Ular angkat kedua tangannya ke atas. Gerakannya ini membuat sosok tubuhnya yang hanya terbungkus kain tipis semakin jelas kelihatan. Lalu di kejauhan tiba-tiba ada tiupan angin keras menyerupai bunyi seruling. Bersamaan dengan itu tubuh Dewi Ular perlahan-lahan lenyap dalam kegelapan, Yang tinggal kini hanyalah wangi bau tubuhnya.
Hanya sesaat setelah Dewi Ular raib dari puncak bukit |tu, di balik satu gundukan tanah seorang berpakaian biru menyelinap dalam kegelapan. Tanpa setahu Mangkutani dan Suto Angil orang ini berkelebat menuruni bukit ke arah timur.
Sambil berlari orang yang memiliki tubuh tinggi langsing dan bermuka klimis itu berkata dalam hati. “Suto Angil aku tidak akan membiarkan keberuntungan menjadi milikmu seorang. Aku tahu sejak lama kau punya rencana menguasai dunia persilatan. Untuk itu kau hendak memanfaatkan diriku, menipu diriku. Tapi kelak aku pun akan menyiasati dirimu! Kau boleh bangga punya nama besar Datuk Lembah Akhirat! Kau lupa kalau seperti manusia lainnya kau cuma punya satu nyawa!” (Riwayat Dewi Ular dan Ratu Ular bisa dibaca dalam Serial Wiro Sableng terdiri dari dua Episode berjudul Dendam Manusia Paku dan Dewi Ular)


*******************
ENAM

Sesuai petunjuk Mangkutani yang dipercayakan Suto Angil sebagai juru ramai atau juru tenung maka Suto Angil tidak segera menggebrak rimba persilatan. Mereka mengatur siasat sambil mencari para pembantu yang bisa diandaikan. Salah seorang yang menurut Mangkutani bisa dimanfaatkan adalah Suto Abang, adik Suto Angil yang memang memiliki kepandaian tinggi dan sudah mendapat nama dalam rimba persilatan. Setelah diberi janji-janji muluk Suto Abang kemudian berangkat ke Pulau Andalas. Kehadirannya di pulau ini adalah untuk menimbulkan perpecahan di kalangan tokoh silat golongan putih lalu diam-diam membunuh mereka satu persatu.
Suto Abang mau meninggalkan tanah Jawa dan berangkat ke tanah seberang sebenarnya mempunyai rencana tersendiri. Selain memang memiliki dendam kesumat terhadap beberapa tokoh rimba persilatan dia juga merasa rindu dan ingin bertemu dengan seorang nenek yang dimasa mudanya pernah dikenalnya dan kepada siapa sebenarnya dia menaruh hati, perempuan itu adalah Sabai Nan Rancak.
Seperti pernah dituturkan sebelumnya sebenarnya dimasa mudanya Suto Abang pernah berkasih mesra dengan Sinto Weni alias Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun saat itu muncullah pemuda gagah bernama Sukat Tandika (yang kemudian dikenal dengan julukan Tua Gila) yang membuat Sinto Gendeng tergila-gila dan meninggalkan Suto Abang begitu saja. Ternyata Sukat Tandika tidak bersungguh-sungguh mencintai Sinto Gendeng. Seperti burung elang Sukat Tandika hinggap ke sana ke mari mencari dan menggauli gadis-gadis di tanah Jawa maupun di Pulau Andalas. Salah satu gadis-gadis itu yang kemudian dihamilinya adalah Sabai Nan Rancak. Suto Abang merasa sangat kecewa ditinggal Sabai Nan Rancak. Lama tak mendengar kabar, setelah puluhan tahun baru diketahuinya bahwa Sabai diam di Gunung Singgalang. Maka pada kesempatan dia menginjakkan kaki di Pulau Andalas Suto Abang segera mencari Sabai yang tentunya sudah berusia lanjut alias sudah nenek-nenek. Di Pulau Andalas Suto Abang memperkenalkan diri dengan nama Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia segera mencari Sabai Nan Rancak di Gunung Singgalang dan berhasil menemui kekasih dimasa mudanya itu. Walau sudah tua sama tua namun riwayat pengalaman dan hubungan mereka dimasa muda menggugah hati sepasang kakek nenek itu. Sabai Nan Rancak tidak segan-segan menerima dan melayani kasih sayang Suto Abang dimasa tuanya dengan sepenuh hati. Tanpa dia mengetahui bahwa sebenarnya laki-laki itu tengah menjalankan siasat bersandiwara. Seperti diceritakan sebelumnya kelak Suto Abang akan memanfaatkan Sabai Nan Rancak sesuai dengan rencana besar yang dibuatnya bersama kakaknya yaitu Suto Angil.

*******************

Hujan rintik-rintik turun dalam kegelapan malam. Dua sosok berjubah hitam mendekam di kawasan Candi Jombang. Mereka adalah Ki Juru Tenung alias Mangkutani dan Suto Abang. Malam merayap dingin. Suto Abang mulai tidak sabaran.
“Ki Juru tenung, apa kau tidak keliru menyirap kabar? Sudah lewat tengah malam. Sebentar lagi menjelang pagi. Dua kelompok yang katamu hendak mengadakan pertemuan di tempat ini mengapa masih belum muncul?”
Si kakek yang dipanggil sebagai Ki Juru Tenung itu menyeringai. Saat itu dia memegang sehelai daun yang ditekuk demikian rupa dan diberi air. Dalam gelap kakek ini memperhatikan ke dalam air. Sebutannya sebagai Ki Juru Tenung ternyata bukan nama kosong belaka. Orang tua ini dengan cara melihat air mampu mengetahui sesuatu yang bakal terjadi.
“Kesabaranku tidak sia-sia Suto. Dalam air di. atas daun ini aku melihat ada dua benda bergerak ke arah Candi Jombang ini. Selain itu telingaku sudah mendengar detak roda kereta dari dua arah. Timur dan barat. Sebentar lagi rombongan itu akan muncul dan mengadakan pertemuan di tempat ini. ingat baik-baik apa yang telah kita atur. Kau membunuh dan menyedot tenaga dalam Warok Kunto Ireng dan Tumenggung Wiro Culo. Tapi biarkan hidup tangan kanan Tumenggung yang berjuluk Si Raja Candu. Setahuku dia memiliki dan menimbun harta kekayaan di satu tempat. Harta kekayaan, itu bisa kita pergunakan untuk mengembangkan Lembah Akhirat. Selain itu aku menyirap kabar Si Raja Candu mempunyai seorang kakek berkepandaian tinggi dikenal dengan julukan Mayat Tiga Warna.
Manusia ini memiliki ilmu pukulan sakti yang sangat langka. Siapa saja yang kena hantamannya akan mati dengan tubuh berubah menjadi debu warna hitam, hijau atau merah. Kalau kau telah memiliki ilmu itu, kurasa sudah saatnya kau mengumandangkan kehadiran Lembah Akhirat di rimba persilatan.”
“Aku percaya padamu Ki Juru Tenung. Aku akan turuti apa katamu…” kata Suto Angil menyeringai.
“Ini berarti semua perempuan yang dibawa Tumenggung untuk Warok Kunto Ireng akan menjadi milikmu hah?!”
Ki Juru Tenung tertawa cekikikan tapi kemudian cepat-cepat menutup mulutnya dan berbisik. “Dua rombongan sudah di depan mata.” Ki Juru Tenung buang daun berisi air yang sejak tadi dipegangnya.
Saat itu suara gemeletakan roda kereta dan gerobak terdengar makin keras dan tak selang berapa lama dalam kegelapan muncullah dua rombongan yang dinanti-nantikan kedua orang itu.
Dari sebelah kiri kelihatan sebuah gerobak besar ditarik oleh dua ekor kuda. Di atas gerobak yang tertutup, rapat kajang bambu ini ada enam orang perempuan desa. Tiga janda, dua istri orang dan seorang lagi masih gadis. Di samping kiri gerobak, ada seekor kuda putih ditunggangi seorang lelaki berusia setengah abad, berpakaian biru dan wajahnya sebatas mata ke bawah ditutupi sehelai sapu tangan hitam.
“Yang memakai penutup muka kain hitam itu adalah Tumenggung Wiro Culo. Dia sengaja menyamar agar tidak ketahuan.” Berbisik Ki Juru Tenung.
Di samping kanan gerobak, di atas seekor kuda hitam, duduk seorang kakek sambil terkempot-kempot menghisap sebuah pipa panjang. Kepalanya di sebelah tengah botak berkilat. Rambutnya yang putih panjang hanya tumbuh di samping kiri dan kanan.
“Si botak berpipa itu pasti Si Raja Candu…” kata Suto Angil.
“Betul,” jawab Ki Juru Tenung. “Kemana-mana dia selalu menghisap pipa candunya. Pipa itu juga sebagai senjata. Dia menyemburkan hawa candu dari ujung pipa yang bisa membuat lawan pusing lalu dihabisinya dengan ujung pipa lainnya yang biasa dihisapnya. Kalau kau perhatikan ujung pipa ini diselimuti kerak berwarna hitam dan bau busuk. Itu adalah darah korban-korban yang dibunuhnya dan telah mengering) Suto semua urusan kini berada di tanganmu!” Habis berkata begitu Ki Juru Tenung lalu menyelinap dalam gelap. Sesaat kemudian dia sudah berada di sebuah cabang sebatang pohon. Dari tempatnya berada dia bisa melihat segala apa yang bakal terjadi di tempat itu.
Dari balik pakaiannya Suto Angil keluarkan satu gulungan kain putih. Di dalam gulungan kain ini tersimpan sepasang sarung tangan sakti pemberian Dewi Ular yakni Sarung Tangan Penyedot Batin. Sarung tangan ular kobra tiga warna ini dengan cepat dikenakannya di tangan kiri kanan.
Sementara itu dari arah kanan muncul rombongan kedua. Rombongan ini terdiri dari enam orang berkuda bertampang garang, berpakaian dekil dan bau. Sebuah kereta ditarik oleh seekor kuda berada di belakang keenam orang ini. Di bagian tengah sebelah depan, bertubuh pendek gempal dan berkulit hitam legam adalah pimpinan rombongan yakni Warok Kunto Ireng, pimpinan rampok paling ditakuti di seantero kawasan Jawa bagian tengah. Dua bilah golok panjang berkeluk melintang di pinggangnya kiri kanan.
Dari atas kudanya Warok Kunto Ireng angkat tangan kiri dan berseru. “Tumenggung Wiro Culo! Kami datang sesuai janji. Dalam kereta ada enam peti besar berisi barang-barang berharga untukmu. Sebagai imbalan apakah kau membawa apa yang kami suka?!”
Orang bercadar, Tumenggung Wiro Culo, balas mengangkat tangan kiri. “Dalam gerobak tertutup kajang ini ada enam hidangan nikmat yang kalian suka!”
Warok Kunto Ireng tertawa lebar. Lima anak buahnya bersorak gembira. Sang Tumenggung kembali mengangkat tangan. “Sobatku Si Raja Candu juga tidak lupa membawa satu tas kulit berisi candu murni untuk kalian!”
Kembali anak buah Warok Kunto Ireng berteriak gembira.
“Kalau begitu pertukaran bisa kita laksanakan sekarang juga!” kata Warok Kunto Ireng.
“Harap bersabar. Ada satu keterangan yang aku inginkan. Pada pertemuan terakhir kita bicara soal menyingkirkan Adipati Ajibarang dan Grobokan. Apa rencana kalian sudah disiapkan?”
“Rencana sudah disiapkan. Tinggal menunggu saat baiknya!” jawab sang Warok.
“Aku ingin tahu kapan saat baik kau maksudkan itu. Orang-orangku yang siap menggantikan dua Adipati tak berguna itu sudah tidak sabaran!”
“Jangan khawatir Tumenggung. Pada hari delapan bulan di muka dua Adipati itu berjanji berburu bersama di sebuah hutan belantara. Saat itulah aku dan anak buahku akan menghabisi mereka!”
“Hemmm…. Baik kalau begitu. Sekarang pertukaran bisa dilaksanakan!” kata Tumenggung Wiro Culo pula.
Warok Kunto Ireng memberi tanda pada kusir kereta. Disaat yang sama Tumenggung Wiro Culo memberi isyarat pula pada kusir gerobak. Sementara kakek berjuluk Si Raja Candu ambil sebuah kantong kain yang tergantung di leher kudanya. Sekali tangannya berkelebat kantong itu dilemparkannya ke arah Warok Kunto Ireng yang segera disambuti oleh kepala rampok ini sambil tertawa mengekeh.
Pada saat gerobak berisi enam orang perempuan sama-sama bergerak hendak dipertukarkan tiba-tiba dari kegelapan ada satu suara membentak.
“Candi Jombang dan sekitarnya adalah daerah kekuasaanku! Apa saja yang ada di sini menjadi milikku, termasuk nyawa kalian semua!”
Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja menjadi terkejut kecuali Si Raja Candu. Kakek ini lontarkan lirikan ke arah gelap dari mana datangnya suara tadi. Lalu dengan tenang dia menghisap pipa candunya kembali. Asap candu mengepul dari liang hidung dan ujung pipanya.
Yang pertama sekali bersuara dan membuat gerakan adalah Warok Kunto Ireng. Dari atas punggung kudanya kepala rampok bertubuh gempal pendek ini melesat ke udara. Setelah jungkir balik dua kali dia langsung melesat ke hadapan orang tinggi besaryang barusan keluar dari balik semak belukar.
“Bangsat rendah! Siapa kau berani mencari mati mencampuri urusan Warok Kunto Ireng!”
Si tinggi besar bermuka tertutup rambut gondrong, kumis lebat, janggut dan berewok tebal menyeringai. “Malam terlalu gelap rupanya. Hingga kau buta tidak melihat tuan besarmu sendiri!”
Dijawab seperti itu marahlah Warok Kunto Ireng. “jahanam! Biar tubuhmu yang tinggi besar aku buat jadi dua belas kutungan!”
Entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu Warok Kunto Ireng telah cabut sepasang golok berkeluknya. Dilain kejap dua senjata itu berkiblat memapas ke arah leher dan kepala orang. Suto Angil angkat kedua tangannya untuk menangkis.
“Traang!”
“Traang!”
Dua golok panjang di tangan Warok Kunto Ireng keluarkan suara berdentrangan disertai percikan bunga api begitu membentur sepasang sarung tangan ular kobra laut yang dikenakan Suto Angil, Warok Kunto Ireng berteriak kaget dan cepat melompat mundur. Yang membuat kaget pemimpin rampok ini bukan saja atosnya sarung tangan lawan namun karena saat itu mendadak dia merasakan sesuatu.
“Aneh, tubuhku mendadak terasa lemas! Tenaga dalamku seperti mengendor!”
Dengan mata berapi-api sang Warok memandang pada Suto Angil. “Makhluk jahanam, siapa kau! Manusia atau setan!”
Suto Angil menyeringai.
“Aku Datuk Lembah Akhirat! Penguasa rimba persilatan dari Lembah Akhirat!”
Warok Kunto Ireng tertawa bergelak. “Baru sekali ini aku dengar namamu dan nama Lembah Akhirat! Berarti benar dugaanku kau adalah sebangsa hantu yang kesasar turun dari akhirat!”
Suto Angil tertawa bergelak.
Untuk pertama kalinya Si Raja Candu angkat kepala dan cabut pipa lalu berpaling ke arah Suto Angil. Bagi kakek satu ini nama Datuk Lembah Akhirat dan Lembah Akhirat sama sekali tidak mengejutkannya. Dia juga tidak terkesiap melihat kekebalan sarung tangan yang dipakai orang. Yang membuat dia tiba-tiba mencurahkan perhatian adalah suara tawa Suto Angil tadi. Dia merasa empat kaki kuda dan perut binatang tunggangannya bergetar aneh ketika Suto Angil keluarkan suara tawa bergelak tadi.
“Manusia tinggi besar itu memiliki tenaga dalam luar biasa…” kata Si Raja Candu dalam hati.
“Warok Kunto Ireng!” kata Suto Angil. “Kalau orang pendek dan bau sepertimu ini sudah tahu aku adalah bangsanya hantu, mengapa tidak lekas menyembah agar kuampuni selembar nyawamu?!”
“Bangsat haram jadah! Nyawamu justru tak ada ampunannya!” Habis membentak begitu pimpinan rampok ini langsung menggebrak dengan dua golok panjang. Namun sekali ini gerakannya tidak bertenaga lagi. Sepasang senjatanya boleh dikatakan membabat hanya mengandalkan tenaga luar saja akibat tenaga dalamnya yang telah tersedot dan pindah ke dalam tubuh Suto Angil!
“Bukk!”
“Bukk!”
Dua jotosan melanda perut dan dada Warok Kunto Ireng. Kepala rampok ini menjerit keras lalu, terjengkang di tanah. Matanya mendelik, sekujur tubuhnya seolah tidak bertulang lagi. Setelah megap-megap sebentar orang ini akhirnya terkapar tak berkutik dan tak bernafas lagi!
Tumenggung Wiro Culo tak percaya akan apa yang barusan disaksikannya. Dia berpaling pada Si Raja Candu.
Si Raja Candu cabut pipanya dari mulut. Matanya menatap tak berkesip. “Aku tak percaya. Warok Kunto Ireng bukan lawan yang mudah ditaklukkan dalam dua gebrakan saja! Sarung tangan yang dikenakan si tinggi besar itu pasti mengandung satu kekuatan hebat. Aku harus menguji!” Memanfaatkan kemarahan lima anak buah Warok Kunto Ireng atas kematian pimpinan mereka maka Si Raja Candu lantas berteriak.
“Kalian berlima mengapa cuma jadi patung! Apa tidak mau membalas kematian pimpinan kalian?!”
Mendengar teriakan itu lima anak buah Kunto Ireng seolah baru sadar sama berteriak marah. Masing-masing cabut senjata terus menyerbu Suto Angil. .
“Monyet-monyet tolol! Disuruh mampus mau saja!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Kedua tangannya digerakkan kian kemari. Menangkis dan menghantam. Suara berdentrangan terdengar berulangkali diseling suara bergedebukan. Lima anggota rampok itu berpekikan dan. berkaparan tumpang tindih di tanah.
“Tua bangka botak penyadik candu! Kau ambil, patung-patungmu ini!” teriak Suto Angil. Lalu satu persatu mayat kelima anggota rampok itu dilemparkannya ke arah Si Raja Candu.


*******************
TUJUH

Raja Candu kepulkan asap pipanya ke udara, Sekali dia bergerak maka tubuhnya melesat lenyap dari atas kuda hingga tidak satu pun dari lima mayat yang dilemparkan Datuk Lembah Akhirat mengenai tubuhnya. Dilain kejap kakek ini tahu­tahu sudah berdiri di hadapan Suto Angil dengan sikap mengejek. Kepala mendongak ke langit gelap. Mulut menyedot pipa dan tangan kiri berkacak pinggang.
“Puluhan tahun malang melintang dalam rimba persilatan baru hari ini aku mendengar adanya manusia berjuluk Datuk Lembah Akhirat berasal dari Lembah Akhirat. Kalau aku boleh bertanya siapa kau sebenarnya dan dari mana asalmu sebetulnya!”
“Raja Candu! Aku tidak begitu suka berbincang-bincang dengan manusia sepertimu. Manusia laknat yang menjual dari menyebar candu membuat rakyat melarat! Juga temanmu berpangkat Tumenggung bernama Wiro Culo itu! Musuh Raja dalam selimut. Yang mau membunuh Adipati-adipati tidak berdosa agar kaki tangannya bisa menduduki jabatan itu!” Si Raja Candu kepulkan asap pipanya lalu tertawa gelak-gelak. Tapi diam-diam dia melirik memperhatikan sepasang sarung tangan yang dikenakan orang.
“Ucapanmu sungguh hebat luar biasa! Manusia miskin sepertimu mana mampu membeli candu hingga tidak tahu kenikmatan dunia! Ha… ha-ha! Tapi aku akan berbaik hati memberikan secuil kecil padamu asal kau mau menyerahkan sepasang sarung tangan kulit ular tiga warna itu!”
“Ah, kau inginkan sarung tanganku rupanya! Hendak kau pertukarkan dengan secuil candu! Kau baik sekali! Aku menerima tawaranmu!” Lalu Datuk Lembah Akhirat membuat gerakan seperti hendak membuka sarung tangannya. Tapi tahu-tahu tangan kanannya meluncur ke arah dada Si Raja Candu! Yang diserang keluarkan suara tawa mengekeh, “ilmu baru sejengkal. Sarung tangan butut mau diandaikan! Ha… ha… ha!”
Orang tua yang rambutnya hanya tumbuh di samping kepala ini berkelebat mengelak. Tangan kanannya bergerak. Ujung pipanya menusuk ke mata kiri Datuk Lembah Akhirat!
Sang Datuk mendengus marah. Kalau dia teruskan pukulannya pasti mengena. Tapi dia tak mau kehilangan mata. Karenanya dengan cepat sang Datuk menyingkir ke kiri. Kaki kanannya menendang. Si Raja Candu kembali tertawa mengejek serangan itu. Tubuhnya membuat gerakan aneh. Berputar setengah lingkaran. Asap candu membuntal ke arah muka Datuk Lembah Akhirat. Serta merta jalan pernafasannya tersumbat dan kepalanya pusing. Sesaat pemandangannya jadi berkunang. Tubuhnya tertegun nanar. Di atas pohon Ki Juru Tenung menjadi cemas.
“Celaka! Apa yang terjadi!” pikir Ki Juru Tenung. Saat itulah didahului suara tawa memandang enteng Si Raja Candu yang menganggap lawan telah tak berdaya dibawah pengaruh asap candunya, tusukkan pipa candunya ke tenggorokan Suto Angil. “Kalau asalmu dari akhirat kembalilah ke akhirat! Mampus!” bentak Si Raja Candu.
Sejengkal lagi ujung pipa maut akan mengenai sasarannya tiba-tiba tangan kanan Datuk Lembah Akhirat berkelebat ke atas. Karena tidak menyangka lawan masih mampu menangkis, Si Raja Tandu terlambat mengelak, Pipa kayu beradu dengan belakang telapak tangan kanan Datuk Lembah Akhirat. Pipa dan sarung tangan langsung bertempelan!
Si Raja Candu keluarkan seruan tertahan ketika dia merasakan ada hawa sakti tertarik keluar dari dalam tubuhnya lewat tangan terus ke pipa. Serta merta tubuhnya menjadi limbung. Sadar apa yang terjadi kakek ini cepat kerahkan tenaga dalam dan menghantam dengan tangan kiri. Justru inilah kesalahan besar yang tidak disadarinya. Ketika dia mengerahkan tenaga dalam langsung saja sarung tangan sakti menyedot seluruh tenaga yang disalurkannya. Akibatnya tangan kiri Yang hendak melancarkan serangan tadi jadi terkulai jatuh.
“Celaka! Apa yang terjadi!” pikir Si Raja Candu. Dia semburkan sisa asap pipa yang masih ada dalam mulutnya sambil melompat mundur. Tapi terlambat. Disaat yang bersamaan jotosan tangan kiri Datuk Lembah Akhirat menghajar dadanya dengan telak. Tokoh silat tangan kanan Tumenggung Wiro Culo ini terpental satu tombak. Darah segar menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terbanting jatuh punggung di tanah. Dia mengerang pendek lalu dengan cepat bangkit berdiri, tapi saat itu juga tubuhnya kembali terkapar di tanah. Dirinya seolah telah berubah menjadi selembar benang basah yang tak sanggup ditegakkan lagi karena seluruh kekuatannya sudah tersedot masuk ke tubuh Datuk Akhirat!
Ketika sang Datuk keluarkan suara tawa bergelak maka suaranya membahana menggetarkan seantero tempat karena tenaga dalamnya telah bertambah dengan tenaga dalam milik Si Raja Candu yang berhasil disedotnya.
Melihat apa yang terjadi Tumenggung Wiro Culo menjadi leleh nyalinya. Kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Si Raja Candu. Untuk melawan sama saja dengan bunuh diri. Maka orang ini segera memutar otak dan dekati Datuk Lembah Akhirat.
“Aku Tumenggung Wiro Culo. Aku punya pengaruh besar di Keraton. Orang sehebatmu patut mendapat tempat yang layak di Kerajaan. Jika kau mau ikut menjadi orang kepercayaanku, aku akan memberikan satu jabatan tinggi untukmu!”
Datuk Lembah Akhirat menyeringai. “Jabatan apa? Tumenggung sepertimu atau Adipati sial yang bakalan mati kau bunuh? Ha… ha… ha!”
“Aku tidak main-main. Orang sehebatmu bisa dijadikan Kepala Pasukan Kerajaan. Selain itu kau dengar baik-baik. Aku punya segudang timbunan harta kekayaan. Kau tinggal menyebutkan apa saja yang kau inginkan. Semua akan kuberikan padamu. Sebagai gantinya cukup kau memberikan satu saja dari sarung tangan kulit ular itu. Kau pasti tidak akan menolak. Mulai saat ini kita bisa menjadi dua sahabat!”
“Hemmmm….” Datuk Lembah Akhirat bergumam sambil usap-usap jenggot tebal di dagunya. “Aku tidak melihat orang sepertimu ada artinya bagiku. Datuk Lembah Akhirat tidak butuh orang sepertimu!” Habis berkata begitu sang Datuk lalu melompat dan cekal leher Tumenggung Wiro Culo dengan tangan kanannya. Wiro Culo berteriak dan memukul kian kemari. Namun tak ada gunanya. Tubuh Datuk Lembah Akhirat yang sudah sarat dengan tenaga dalam itu seolah kebal terhadap pukulan. Sambil mengangkat tubuh Tumenggung itu ke atas, Sarung Tangan Penyedot Batin langsung menyedot tenaga dalam yang dimiliki Tumenggung. Begitu tubuh orang ini dibantingkan ke tanah bukan saja tenaga dalamnya telah terkuras habis tapi nyawanya pun putus sudah!
Datuk Lembah Akhirat melangkah mendekati kusir gerobak dan kusir kereta yang berusaha melarikan diri tapi keburu dicekal dan dijambak.
“Kalian berdua tidak akan kuapa-apakan. Kalian boleh pergi dari sini. Tapi ingat! Kalian harus memberi tahu kepada setiap orang apa yang telah kalian saksikan di sini. Katakan pada semua orang bahwa ini semua adalah pekerjaan. Datuk Lembah Akhirat dari
Lembah Akhirat!” Begitu cekalan dan jambakan mereka dilepaskan kusir kereta dan kusir gerobak itu serta merta ambil langkah seribu!
Sambil berteriak gembira Ki Juru Tenung melompat turun dari atas cabang pohon. Dia langsung berlari menuju gerobak yang ditutup rapat dengan kajang bambu. Begitu kajang yang menutupi bagian belakang gerobak ditarik lepas, terlihatlah enam orang perempuan desa
“Kalian semua tidak perlu takut. Datuk Lembah Akhirat dan aku Ki Juru Tenung telah menyelamatkan kalian dari perbuatan keji Tumenggung Wiro Culo. Lekas turun dari gerobak. Aku akan membawa kalian ke tempat aman sebelum kukembalikan ke desa kalian.”
Mendengar ucapan kakek itu walau mereka tidak kenal namun enam perempuan desa itu segera saja berserabutan turun dari gerobak. Salah seorang dari mereka adalah seorang janda bertubuh tambun gemuk. Datuk Lembah Akhirat berkobar birahinya melihat si gemuk ini. Langsung saja dia mencekal pinggang si gemuk dengan tangan kiri sementara tangan kanan merobek lepas pakaian yang melekat di tubuh perempuan itu.
Lima perempuan lainnya yang tadi merasa gembira karena ada orang yang menolong kini kembali dilanda ketakutan. Ketika Ki Juru Tenung mendekati mereka, kelimanya menjerit. Salah seorang berhasil melarikan diri tapi yang empat lagi tidak berdaya. Ki Juru Tenung agaknya memiliki satu ilmu aneh yang membuat perempuan-perempuan desa itu tidak berkutik lagi. Keempatnya diseret kakek ini ke satu tempat satu persatu.
Beberapa hari berselang ketika seorang penebang kayu lewat di tempat itu, dia menemukan lima perempuan desa itu telah jadi mayat membusuk. Dibunuh dengan kepala pecah!
Datuk Lembah Akhirat jambak rambut putih Si Raja Candu. Sambil memandang ke tengah danau kecil di hadapannya dia berkata. “Anggota badanmu akan kutanggalkan satu persatu jika nanti terbukti kau menipuku. Bagaimana mungkin ada orang tinggal di bawah danau!”
“Buat apa aku mendustaimu Datuk. Kau sudah merampas harta kekayaan yang kusimpan di dalam goa. Diri dan nyawaku ada dibawah kekuasaanmu…” jawab Si Raja Candu.
Datuk Lembah Akhirat berpaling pada orang kepercayaannya. “Ki Juru Tenung, coba kau lihat apa benar yang dikatakan tua bangka ini!”
Ki Juru Tenung segera melangkah ke tepi danau. Dengan dua tangannya dia menciduk air danau lalu memperhatikan beberapa saat. Perlahan-lahan dia anggukkan kepala. “Memang ada tanda-tanda kehidupan di bawah danau. Namun jalan ke sana bukan lewat air atau menyelam. Agaknya ada satu jalan rahasia yang harus kita tempuh. Si botak ini pasti mengetahui.”
Datuk Lembah Akhirat goncang kepala Si Raja Candu yang dijambaknya. “Lekas kau beri tahu jalan rahasia menuju bawah danau! Atau kutanggalkan batang lehermu saat ini juga!”
“Sulit ditemukan. Kakekku selalu merubah-rubah jalan rahasia itu. Mungkin ada sepuluh atau dua belas jalan rahasia berbeda-beda….”
“Kalau begitu kita urut satu persatu. Masakan tidak bertemu!” kata Ki Juru Tenung.
“Memang akan bertemu. Tapi membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari!” jawab Si Raja Candu. Lidahnya dijulurkan berulangkali membasahi bibirnya yang kering dan kasat. Setengah meratap dia berkata. “Aku sudah tak tahan. Berikan secuil candu padaku!”
“Kau mau candu? Ini candumu!” Datuk Lembah Akhirat menjumput tanah di tepi danau lalu disumpalkan ke mulut Si Raja Candu. Orang tua ini menyemburkan tanah dalam mulutnya berulangkali. “Kau tak mau bicara memberi tahu?”
Yang ditanya diam saja.
“Tak ada jalan lain Datuk. Puntir lehernya sampai putus!” kata Ki Juru Tenung tak sabaran.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat disertai suara membentak.
“Siapa berani memuntir leher cucu Mayat Tiga Warna?!”
Datuk Lembah Akhirat bersurut dua langkah sambil ikut menyeret tubuh Si Raja Candu sementara Ki Juru Tenung keluarkan seruan tertahan. Di hadapan mereka tegak seorang berjubah gombrong warna hitam. Orang ini memiliki muka ditutupi selapis cat berwarna hitam. Rambutnya yang keriting kecil-kecil dicat hitam, tinggi menyerupai kerucut. Sebagian wajahnya tertutup kumis dan jenggot tebal. Hidungnya hanya merupakan dua lobang kecil karena hampir sama rata dengan pipi. Sepasang telinganya ditindis dengan tulang manusia. Pada bahu kirinya orang ini memanggul seekor babi besar yang empat kakinya diikat demikian rupa hingga binatang ini tidak bisa bergerak.
Melihat kemunculan orang itu diam-diam Si Raja Candu menjadi gembira.
“Manusia aneh! Turut bicaramu kau kenal baik tua bangka botak ini. Juga tahu dengan seorang berjuluk Mayat Tiga Warna!”
“Orang tinggi besar. Kau bukan saja telah masuk ke dalam kawasan terlarang. Tapi memperlakukan Si Raja Candu secara kurang ajari Lekas lepaskan orang tua itu. Nyawamu akan kuampuni. Aku hanya akan minta sepasang matamu dan mata temanmu itu sebagai gantinya!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Kalau benar si tua bangka ini cucu manusia berjuluk Mayat Tiga Warna itu, aku harap kau mempertemukan kami dengan dia! Berani membantah akan kubunuh orang ini saat ini juga!”
Orang bermuka hitam balas tertawa. “Aku Pengiring Mayat Muka Hitam! Sepuluh tahun mengabdi pada Mayat Tiga Warna haru hari ini ada gembel kesasar yang berani bicara ngacok! Buka mata kalian lebar-lebar. Lihat batu di depart sana!”
Baru saja Datuk Lembah Akhirat dan Ki Juru Tenung menoleh ke arah batu yang ditunjuk, si muka hitam gerakkan tangan kanannya yang berwarna hitam.
“Wusss!”
Selarik angin berwarna hitam menderu. Dan astaga! Batu hitam besar yang tadi utuh tiba-tiba dikobari api aneh berwarna hitam. Begitu api lenyap batu itu telah berubah menjadi debu hitam! Ki Juru Tenung leletkan lidah. Datuk Lembah Akhirat sendiri diam-diam merasa kaget juga melihat kesaktian si muka hitam itu.
“Kau masih belum mau melepaskan orang tua itu?” tanya si muka hitam seraya menyeringai dan tangan kirinya diangkat siap menghantam ke arah Datuk Lembah Akhirat.
“Ah, hari ini sungguh aku sangat beruntung! Bertemu dengan seorang sakti mandraguna! Tapi bagaimana kau akan membunuhku dengan pukulan saktimu itu kalau cucu si Mayat Tiga Warna ini aku jadikan tameng seperti ini?!”
Dengan cepat Datuk Lembah Akhirat angkat tubuh Si Raja Candu dan
menempatkannya di depan badannya.
“Jahanam! Kau kira aku tidak mampu membunuhmu?!”
“Jangan takabur muka hitam! Kalau kakek ini sampai cidera pasti kau akan mendapat hukuman berat dari Mayat Tiga Warna!”
Pengiring Mayat Muka Hitam memaki habis-habisan. Tiba-tiba dengan kalap dia melompat ke samping. Dari samping dia hendak lancarkan serangan. Tapi gagal lagi karena dengan cepat Datuk Lembah Akhirat memutar diri demikian rupa hingga Si Raja Candu tetap saja terlambat menarik pulang tangannya laksana kilat Datuk Lembah Akhirat mencekal lengan orang itu. Sarung Tangan Penyedot Batin langsung menyedot tenaga dalam Pengiring Mayat Muka Hitam. Selagi orang ini berteriak kaget dan tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya tenaga dalamnya telah habis terkuras masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat. Tubuhnya menjadi lemah seperti tidak bertulang lagi dan langsung roboh bersama babi gemuk yang dipanggulnya!
Ki Juru Tenung tepuk-tepuk rambut keriting si muka hitam yang mumbul lalu pelintir tulang hiasan di kedua daun telinganya hingga Pengiring Mayat Muka Hitam menggerenyit dan mengeluh kesakitan.
“Muka hitam! Sejak saat ini hidupmu tidak berguna lagi karena jika kekuatanmu tidak segera dipulihkan, dalam tempo satu hari satu malam kau akan cacat lumpuh seumur hidup. Kau boleh pilih, hidup menderita sengsara seumur-umur atau menunjukkan jalan ke tempat kediaman Mayat Tiga Warna….”
Mula-mula Pengiring Mayat Muka Hitam bersikeras tidak mau membuka mulut. Tap! ketika diancam hendak ditinggalkan begitu saja akhirnya dia berkata. “Aku akan tunjukkan. Tapi apa jaminan bahwa kalian akan memulihkan kekuatanku?!”
“Datuk Lembah Akhirat tidak pernah dusta pada orang yang mau bekerja sama. Siapa tahu dikemudian hari kau bisa dipercaya dan diangkat menjadi wakilnya. Datuk Lembah Akhirat akan menjadi raja diraja dunia persilatan, ingat itu baik-baik….”
“Babiku…. Aku hanya akan pergi jika kalian mau membawa serta babiku…” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Binatang itu demikian bergunanya bagimu?” tanya Ki Juru Tenung pula. Dia dekati Datuk Lembah Akhirat lalu berbisik. “Aku punya firasat babi gemuk itu sama berharganya seperti seorang perempuan cantik bagi si muka hitam itu!” Ki Juru Tenung dan Datuk Lembah Akhirat lalu tertawa gelak-gelak.


*******************
DELAPAN

Sosok tua kurus kering itu yang telah sangat uzur itu tergeletak hampir sama rata dengan pembaringan. Kalau tidak diperhatikan benar tubuh itu seolah tidak bernafas lagi. Apalagi sepasang matanya terpejam. Dalam keadaan seperti itu masih tertinggal satu keangkeran di wajah tua renta ini. Mukanya yang tak lebih menyerupai sebuah tengkorak hidup tertutup dengan warna merah, hijau dan hitam. Lalu karena hanya mengenakan sehelai celana pendek komprang dan tidak berpakaian maka tulang belulang di dadanya tidak beda dengan susunan tulang-tulang jerangkong.
Dua orang lelaki aneh duduk di samping pembaringan. Yang pertama adalah seorang berpenampilan serba merah. Mulai dari pakaian, rambut maupun mukanya. Selain tidak memiliki alis pada cuping hidung sebelah kiri menancap sepotong tulang kecil. Di sebelah kiri orang ini duduk tak bergerak lelaki yang berpenampilan serba hijau. Rambutnya yang keriting hijau tak beda dengan sarang tawon di atas kepalanya yang peang. Mukanya penuh benjolan dan pada bibir sebelah bawah mencantel sepotong tulang manusia.
Orang yang tergolek di atas pembaringan itu adalah seorang tokoh silat sangat tua yang usianya hampir mencapai 180 tahun. Dialah yang dikenal dengan julukan Mayat Tiga Warna. Sejak sepuluh tahun lalu keadaannya seperti itu, tak pernah meninggalkan pembaringan. Mati tidak hidup pun seolah tidak. Dua orang yang duduk di samping pembaringan adalah murid-muridnya yang dikenal dengan panggilan Pengiring Mayat Muka Merah dan Pengiring Mayat Muka Hijau.
Dari mulut orang tua di atas pembaringan tiba-tiba terdengar suara sangat halus.
“Kakek guru, kau hendak mengatakan sesuatu?” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau seraya beringsut mendekati pembaringan. Temannya mengikuti. Keduanya mendekatkan telinga ke mulut orang tua itu. Tapi bagaimanapun mereka berusaha tetap saja tidak tahu apa yang hendak dikatakan sang guru. Tiba-tiba Pengiring Mayat Muka Merah melihat ibu jari tangan kanan gurunya bergerak seolah menunjuk ke atas sedang jari telunjuk dan jari tengah disilangkan. Si muka merah ini segera memberi tahu kawannya. Menyaksikan tanda­tanda yang dibuat sang guru Pengiring Mayat Muka Hijau berbisik. “Kakek guru memberi tahu ada orang di atas. Datang membawa bahaya. Aku akan menyelidik ke pintu rahasia. Kau berjaga-jaga di sini.”
Baru saja Pengiring Mayat Muka Hijau hendak bangkit berdiri tiba-tiba sebuah benda melayang di dalam ruangan lalu jatuh bergedebukan di atas lantai dibarengi suara menguik keras. Si muka hijau dan si muka merah berseru kaget lalu melompat berdiri. Di atas ruangan terkapar seekor babi dalam keadaan terikat keempat kakinya. Mulutnya pecah akibat berbenturan dengan lantai batu. Berpaling ke arah pintu masuk, dua orang dalam ruangan tambah terkejut. Mereka melihat kakek yang mereka kenal sebagai cucu guru mereka diseret oleh seorang kakek tak dikenal. Lalu kawan mereka Pengiring Mayat Muka Hitam tersandar ke dinding. Rambutnya dijambak oleh seorang lelaki tinggi besar bertampang angker tertutup kumis, janggut dan berewok lebat.
“Pengiring Mayat Muka Hitam!” seru si muka merah. Lalu melompat ke hadapan temannya, memperhatikan dengan mata melotot. Si muka hijau segera pula melakukan hal yang sama.
“Kalian siapa? Mengapa memperlakukan teman dan cucu guru kami seperti ini?!” bentak si muka hijau. Tangan kanannya diangkat ke atas. Si muka merah juga melakukan hal yang sama. Siap untuk menghantam.
“Siapa diriku biar temanmu yang menerangkan!” jawab si tinggi besar yang bukan lain adalah Datuk Lembah Akhirat. Lalu dipuntirnya rambut si muka hitam hingga orang ini mengerang kesakitan dan segera membuka mulut.
“Orang yang menjambakku ini adalah Datuk Lembah Akhirat, calon penguasa tunggal rimba persilatan. Kakek kawannya bernama Ki Juru Tenung. Mereka datang ke sini untuk mencari tahu tentang ilmu pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Jika tidak mendapatkan ilmu itu kami berdua akan dibunuh. Kalian dan juga kakek guru akan menjadi korban keganasannya.”
“Manusia jahanam!” teriak Pengiring Mayat Muka Merah. Tangan kanannya serta merta dihantamkan ke arah Datuk Lembah Akhirat.
“Tahan! Jangan serang!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam memperingatkan. Tapi terlambat. Baru saja tangan si muka merah bergerak, tangan kiri Datuk Lembah Akhirat yang mengenakan sarung tangan sakti melesat ke atas.
“Bukk!”
Dua lengan saling beradu. Kekuatan dahsyat yang ada dalam sarung tangan itu serta merta menyedot tenaga dalam yang dimiliki si muka merah. Sesaat kemudian tubuh murid Mayat Tiga Warna ini terkulai lalu roboh ke lantai. Datuk Lembah Akhirat menyeringat pada si muka hijau. “Kalau kau ingin mengalami nasib seperti kawanmu ini silahkan menyerang!”
Menggelegak amarah Pengiring Mayat Muka Hijau. Ketika dia hendak bergerak si muka hitam cepat berteriak. “Lepaskan pukulan dari jauh. Jangan sampai, tangan atau tubuhmu kena disentuh!”
Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. “Silahkan menuruti nasihat temanmu. Aku siap menerima pukulan!” Lalu dengan cepat sang Datuk menarik tubuh Pengiring Mayat Muka Hitam dan Muka Merah untuk melindungi dirinya!
“Jahanam! Aku mengadu jiwa!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu dengan nekad dia kembali hendak menghantam. Tak perduli walau serangannya akan menciderai dua teman asalkan Datuk Lembah Akhirat bisa dibunuhnya.
“Muka Hijau! Jangan bertindak tolol! Kita berdua bisa mati konyol dan nyawamu serta nyawa kakek guru belum tentu bisa tertolong!”
“Perduli setan!” sahut si muka hijau yang memang paling keras hati di antara tiga murid Mayat Tiga Warna itu.
Tiba-tiba sesiur angin menerpa dalam ruangan. Tubuh Pengiring Mayat Muka Hijau terjajar ke samping. Tiupan angin terus menyambar ke arah jalan masuk hingga Datuk Lembah Akhirat dan Ki Juru Tenung juga ikut terhuyung-huyung. Ketika dia memandang ke arah kiri ruangan, di atas pembaringan dilihatnya sosok tua seperti jerangkong tahu-tahu telah duduk di atas pembaringan, menatap ke arahnya walau sepasang matanya masih dalam keadaan terpejam dan tubuh terhuyung-huyung seperti mau jatuh. Melihat keadaan gurunya Pengiring Mayat Muka Hijau segera menghampiri.
“Kakek guru! Harap kau berbaring saja. Biar kami para murid yang menyelesaikan semua urusan di tempat ini!”
Dendam Dalam Titisan
“Muridku, malang tidak dapat ditolak, untung belum tentu bisa diraih. Takdir Yang Kuasa mungkin akan berlaku atas diriku. Tapi aku tidak akan berpangku tangan begitu saja. Aku bersedia hancur dan lebur bersama orang yang menginginkan keributan di tempat ini!”
Habis berkata begitu orang tua yang dikenal dengan nama Mayat Tiga Warna ini angkat sedikit kepalanya ke atas. Saat itu juga sekujur tubuhnya memancarkan cahaya merah, hitam dan hijau.
Pengiring Mayat Muka Hijau, Muka Hitam dan Muka Merah serta Si Raja Candu sama-sama terkejut menyaksikan keadaan Mayat Tiga Warna. Selama bertahun-tahun orang tua berusia seratus delapan puluh tahun itu hanya terbaring di atas ranjang, jangankan duduk seperti saat itu, bicara saja dia tidak mampu lagi. Tapi kini mereka menyaksikan semua keanehan itu. Sang guru duduk di atas pembaringan, berbicara malah tubuhnya memancarkan sinar tiga warna!
“Orang tua di atas pembaringan. Aku Datuk Lembah Akhirat tidak datang mencari keributan. Tetapi bilamana kau coba melawan takdir memang nasibmu akan hancur dan lebur. Aku kemari untuk meminta ilmu kesaktian yang disebut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Jika kau tidak memberikan maka kalian semua akan kuhabisi!”
“Ilmu kesaktian bukan diperjualbelikan. Apa lagi dipertukarkan secara murah dengan nyawa manusia! Aku dan murid-muridku siap menerima kematian. Tapi siapa saja yang ada di tempat ini termasuk dirimu tak akan lolos dari maut! Pengiring Mayat Muka Hijau, tanggalkan alat rahasia penyanggah dasar danau….”
“Tua bangka tolol! Cukup kau saja yang tolol. Jangan menyuruh muridmu ikut­ikutan tolol!” Habis membantah begitu Datuk Lembah Akhirat hantamkan tangan kanannya. Selarik angin mengandung tenaga dalam luar biasa menyapu ke depan. Ruangan di bawah danau itu bergoyang keras dan “braaakk!” Pembaringan kayu di atas mana Mayat Tiga Warna duduk-duduk walau kini tubuhnya mengapung di udara. Sekaligus hal ini menunjukkan bahwa kakek ini selain memiliki tenaga dalam tinggi juga menguasai ilmu meringankan tubuh yang langka.
“Hebat! Kau bertahan untuk hidup tanpa memikirkan keselamatan murid-muridmu! Aku ingin tahu apa kau sanggup menerima pukulanku yang kedua ini!”
Datuk Lembah Akhirat kembali menghantam. Kali ini dengan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Ruangan batu di dasar danau itu laksana dihantam gempa dahsyat. Semua orang yang ada di dalamnya termasuk sang Datuk sendiri berpelantingan jungkir balik. Namun tidak demikian dengan Mayat Tiga Warna. Sosok orang tua ini tetap mengapung tak bergerak. Akibat hantaman Datuk Lembah Akhirat tadi dinding ruangan di samping kiri hancur berkeping-keping. Dari bagian yang hancur merembes masuk air danau.
Mayat Tiga Warna tertawa perlahan. “Kematian bersama tak bisa dihindari. Air danau telah masuk ke dalam ruangan!”
“Tua bangka geblek! Kau silahkan mati duluan!” teriak Datuk Lembah Akhirat lalu sekali lagi lancarkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dari tubuh Mayat Tiga Warna menyambar keluar cahaya hitam, merah dan hijau. Datuk Lembah Akhirat berteriak keras dan melesat ke atas.
“Wusss!”
“Wusss!”
Cahaya merah dan cahaya hijau sempat memapas kaki celana dan bahu pakaian hitam sang Datuk hingga hangus dan berubah menjadi debu. Kaki serta bahunya serasa dipanggang.
“Tua bangka geblek! Kau memilih mati daripada selamat!” Selagi masih di udara Datuk Lembah Akhirat kembali menghantam dengan tangan kiri dan kanan sekaligus. Ruangan batu itu porak poranda. Mayat Tiga Warna tak bisa bertahan lagi seperti tadi. Tubuhnya melayang kian kemari. Ketika dia mendengar ada siuran angin di belakangnya dia kerahkan tenaga dalam. Cahaya merah dan hitam membersit melindungi tubuhnya. Namun sekali ini si kakek tertipu. Sambaran angin itu sengaja dibuat Datuk Lembah Akhirat dengan tiupan mulutnya. Begitu lawan terkecoh sambil berjungkir balik dia melayang; turun lalu hantamkan tangannya ke dada si orang tua.
“Bukk!”
“Kraaak!” . Mayat Tiga Warna terpental menghantam dinding.
Walau tangan kanan Datuk Lembah Akhirat bertempelan dengan tubuh orang tua itu hanya sekejapan saja, namun kesaktian luar biasa dari Sarung Tangan Penyedot Batin sanggup menguras habis tenaga dalamnya dan masuk ke dalam tubuh Datuk Lembah Akhirat!
Pengiring Mayat Muka Hitam dan Muka Merah berteriak keras tapi tak bisa berbuat apa-apa. Pengiring Mayat Muka Hijau menggembor marah saksikan gurunya tergeletak dengan dada hancur. Si muka hijau ini tahu betul bahwa orang tua itu sudah tak bernyawa lagi. Dia berbalik untuk melabrak Datuk Lembah Akhirat. Justru saat Ku lehernya dicekal sang Datuk dari belakang. Dengan nekad dia masih coba menghantam tapi tak ada artinya. Tubuhnya terasa lemah. Kakinya menekuk. Begitu dibanting ke lantai yang sudah tergenang air dia tak sanggup lagi berdiri.
“Muka hijau, merah dan hitam! Kalian bertiga masih bisa kuampuni jika mau memberi tahu di mana guru kalian menyimpan jimat ilmu pukulan tiga warna itu. Aku menjanjikan kehidupan dan jabatan tinggi bagi kalian di Lembah Akhirat! Selain itu tenaga dalam kalian yang sudah kusedot akan kukembalikan sebagian pada kalian!”
“Kau boleh membunuh kami! Kami tidak akan memberi tahu apa-apa!” jawab Pengiring Mayat Muka Hijau lalu meludah ke lantai.
“Bagus! Kau murid yang setia pada guru. Tapi kesetiaan buta hanya akan membawa sengsara! Korban pertama akan segera jatuh. Buka mata kalian lebar-lebar. Saksikan apa yang terjadi!”
Datuk Lembah Akhirat menjentikkan tangannya ke arah Ki Juru Tenung yang tegak menjambak Si Raja Candu. Melihat isyarat itu Ki Juru Tenung segera lemparkan tubuh si penyadik candu itu hingga jatuh tergelimpang di atas lantai berair, tepat di depan Datuk Lembah Akhirat.
“Lihat baik-baik!” teriak sang Datuk. Lalu “praak!” Kaki kanannya menendang pecah kepala Si Raja Candu. Langsung tiga-murid Mayat Tiga Warna menjadi ciut nyalinya.
“Korban kedua!” teriak Datuk Lembah Akhirat. Kembali dia memberi isyarat dengan jentikkan jari. Ki Juru Tenung lemparkan tubuh Pengiring Mayat Muka Hitam ke arah Datuk Lembah Akhirat. Kaki kanan sang Datuk berkelebat menyambar ke arah bagian bawah perut si muka hitam ini.
“Tahan! Aku akan memberi tahu!” Pengiring Mayat Muka Merah tiba-tiba berteriak.
Datuk Lembah Akhirat hentikan gerakan kaki kanannya.
“Muka Merah! Roh guru akan mengutukmu sampai kiamat kalau kau berkhianat memberi tahu!” berteriak Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Ini bukan soal berkhianat atau apa!” jawab Pengiring Mayat Muka Merah. “Guru sudah mati! Kita tidak bisa menyelamatkannya! Apa guna mengorbankan diri secara sia­sia!”
“Dia mungkin benar….” Pengiring Mayat Muka Hitam ikut bicara.
“Kalian jahanam semua!” teriak Pengiring Mayat Muka Hijau. Lalu seperti anak kecil dia menangis menggerung.
Datuk Lembah Akhirat menginjak kepala Pengiring Mayat Muka Merah. “Lekas beri tahu dimana gurumu menyimpan benda yang kucari!”
“Di dalam tubuhnya. Di dalam perutnya…” jawab Pengiring Mayat Muka Merah.
“Bangsat sialan! Jangan kau berani bicara ngacok dan dusta!” bentak Datuk Lembah Akhirat.
“Aku tidak ngacok tidak dusta!” jawab si muka merah.
Sang Datuk berpaling pada Ki Juru Tenung.
Kakek ini segera menyiduk air di lantai dengan tangan kirinya lalu rnemperhatikan. “Dia tidak dusta! Menurut penglihatanku memang ada sesuatu dalam perut Mayat Tiga Warna….”
Mendengar penjelasan si Juru Tenung, Datuk Lembah Akhirat cepat hampiri jenazah Mayat Tiga Warna. Dengan tangan kanannya dijebolnya perut orang tua itu hingga isinya berbusaian keluar. Di antara isi perut dan darah Datuk Lembah Akhirat temukan sebuah benda berupa batu bulat pipih memancarkan warna redup hitam, merah dan hijau. Pada permukaan batu itu tertera tulisan dalam huruf Jawa Kuna dan huruf-huruf aneh seperti huruf Arab.
“Apa yang akan kulakukan dengan benda ini…?” tanya Datuk Lembah Akhirat pada Ki Juru Tenung sementara tangannya yang memegang batu pipih itu mulai terasa panas dan bergetar.
Ki Juru Tenung periksa bolak-balik batu bulat pipih. Lalu dia menciduk air dari lantai. Untuk kesekian kalinya kakek ini pergunakan keahliannya untuk melihat sesuatu yang tak mungkin dilihat oleh orang biasa.
“Datuk kau harus menelan batu tiga warna itu,” kata Ki Juru Tenung sesaat kemudian.
Datuk Lembah Akhirat tampak bimbang.
“Jangan ragu Datuk. Benda itu kau temukan dalam perut Mayat Tiga Warna. Berarti memang di situlah tempatnya bagi setiap orang yang ingin memiliki dan menguasai ilmunya!”
Mendengar ucapan orang kepercayaannya itu Datuk Lembah Akhirat buka mulutnya dan masukkan batu bulat pipih, langsung ditelan. Beg itu batu masuk ke dalam perut besar terjadilah satu hal yang hebat. Perut Datuk Lembah Akhirat menggembung besar ialu menciut kembali. Bersamaan dengan itu dari kepalanya mengepul asap tiga warna. Ketika asap lenyap kelihatan muka Datuk Lembah Akhirat telah berubah menjadi belang merah, hijau dan hitam!
“Datuk, kau telah menguasai ilmu itu! Lihat wajahmu dalam air!” seru Ki Juru Tenung.
Dendam Dalam Titisan
Datuk Lembah Akhirat berteriak girang. Dia sambar dan panggul tubuh Pengiring Mayat Muka Merah lalu menyeret Pengiring Mayat Muka Hitam. Pada Ki Juru Tenung dia berteriak agar menyeret Pengiring Mayat Muka Hijau lalu mengikutinya keluar dari ruangan di bawah danau. Hanya beberapa saat setelah mereka berada di tempat terbuka di tepi danau, langit-langit dan dinding ruangan di dasar danau jebol. Air danau menggemuruh masuk. Lenyaplah ruangan rahasia yang selama puluhan tahun menjadi tempat kediaman kakek sakti Mayat Tiga Warna bersama murid-muridnya.


*******************
SEMBILAN

Mari kita ikuti apa yang dilakukan Sabai Nan Rancak. Saat itu langit di ufuk barat berwarna kuning oleh saputan sinar sang surya yang hendak tenggelam Di bawah bayang-bayang cahaya kuning, di antara kerapatan pepohonan Sabai Nan Rancak berkelebat mengikuti Sutan Alam Rajo Di Bumi. Dia sengaja mengukur jarak, agar orang yang dikuntit tidak sampai tahu kalau dirinya tengah diikuti. Berlari sekitar sepeminuman teh nenek sakti dari Pulau Andalas ini diam-diam mulai merasa heran.
“Melihat arah sang surya, memperhatikan jurusan yang ditempuh Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi. Aku yakin ini adalah arah ke Lembah Akhirat. Adalah aneh kalau dia sekarang justru menuju ke sana….”
Dalam hati penuh tanda tanya serta berbagai pikiran muncul dalam benaknya Sabai Nan Rancak terus juga mengikuti Sutan Alam. Apa yang diyakininya ternyata tidak meleset. Sutan Alam Rajo Di Bumi memang menuju dan memasuki kawasan Lembah Akhirat sementara sang surya yang mulai tenggelam membuat suasana perlahan-lahan menjadi gelap.
Dari balik kerimbunan kawasan pepohonan yang sangat luas serta dalam udara yang sunyi tiba-tiba terdengar suitan aneh tiga kali berturut-turut. Satu datang dari barat, satunya dari timur dan yang ketiga dari jurusan depan atau sebelah utara. Belum lama gema suitan lenyap tahu-tahu tiga sosok tubuh berkelebat menghadang Sutan Alam Rajo Di Bumi.
Tiga orang berjubah hitam, hijau dan merah tegak sambil menolakkan tangan kiri di pinggang masing-masing. Rambut dan wajah dipoles dengan sejenis cat yang warna nya sesuai dengan warna jubah mereka. Pada tangan kanan mereka tergenggam sebilah tombak yang bagian tengahnya ditancapi tengkorak kepala manusia berwarna hitam, hijau dan merah.
Orang lain mungkin bisa putus nyalinya melihat kemunculan tiga sosok aneh menyeramkan ini. Namun Sutan Alam. Rajo Di Bumi tenang saja, Ketika salah seorang penghadang membentak menanyakan siapa nama dan gelarnya dia ganda menyeringai. Sambil rangkap tangan di muka dada dia berkata.
“Namaku Suto Abang. Gelarku Sutan Alam Rajo Di Bumi. Setelah tahu siapa diriku apa kalian masih layak berdiri di depanku?!”
Mendengar orang menyebutkan nama dan gelar tiga manusia berwajah hitam, hijau dan merah serta merta jatuhkan diri bersujud di tanah. Salah seorang dari mereka dengan suara gemetar berkata.
“Harap maafkan kami bertiga yang buta dan bodoh! Tidak tahu kalau Gunung Singgalang menjulang di hadapan kami! Kami bertiga pengawal Lembah Akhirat siap mengantar saudara besar dan tetamu agung menemui Datuk Lembah Akhirat.”
“Aku tahu jalan! Tak usah pakai diantar segala. Katakan saja di mana Datuk Lembah Akhirat berada saat ini!” kata Sutan Alam alias Suto Abang.
“Datuk berada di dalam Ruangan Sorga. Tengah bersuka-suka dengan Yuyulentik, kekasih barunya,”
Sutan Alam hanya keluarkan suara bergumam lalu mendorong pengawal di sebelah kiri dengan kakinya. Setelah itu berkelebat lenyap memasuki Lembah Akhirat. Tiga pengawal lembah yang tadinya ketakutan setengah mati merasa lega. Perlahan-lahan mereka bangkit berdiri lalu bergerak cepat ke arah lenyapnya Suto Abang tanpa mengetahui bahwa di belakang mereka saat itu mengendap-endap sosok Sabai Nan Rancak.
Yang disebut Ruangan Sorga adalah sebuah kamar dilengkapi sebuah tempat tidur besar. Karena pengawal tidak berani mengganggu maka terpaksa Sutan Alam sendiri mengetuk pintu sambil berteriak memanggil.
“Suto Angil! Aku adikmu Suto Abang datang!”
Di dalam ruangan terdengar suara ranjang berderik disertai suara tawa perempuan. Tak ia ma kemudian pintu besar terbuka. Sesosok tubuh lelaki tanpa pakaian berdiri di hadapan Suto Alam. Tubuhnya penuh bulu. Mukanya tertutup kumis, cambang bawuk dan jenggot lebat serta tiga warna yakni hitam, hijau dan merah.
“Manusia sontoloyo! Kalau kau bukan adikku dan datang dari jauh pasti sudah kupatahkan batang lehermu! Suto Abang akhirnya kau datang juga. Kau memang sudah kutunggu! Harap kau suka menanti di taman kecil di belakang bangunan ini!”
Dari tempatnya berdiri Sutan Alam dapat melihat seorang perempuan tergolek di atas tempat tidur besar. Tubuhnya yang gemuk penuh lemak berlipat-lipat terlihat jelas. Di sebelah kiri, duduk merapat ke dinding ruangan ada tiga prang perempuan lagi, bertubuh gemuk. Ketika Suto Abang memandang padanya ketiganya segera bangkit berdiri seraya melempar senyum.
“Sejak dulu seleramu rupanya tak pernah berubah!” kata Suto Abang sambil menyeringai.
“Kalau kau suka, kau boleh pilih salah satu dari mereka. Asal jangan yang di atas ranjang. Dia kekasih baruku!”
Mendadak satu bayangan merah berkelebat. Di hadapan Sutan Alam alias Suto Abang berdiri satu dari tiga orang kepercayaan sang Datuk yakni yang dikenal dengan sebutan Pengiring Mayat Muka Merah. Rambutnya yang keriting berwarna merah berbentuk batok kelapa. Muka dan jubahnya berwarna merah. Cuping hidung sebelah kiri ditancapi sebuah tulang. Manusia satu ini tidak memiliki alis hingga tampangnya benar­benar angker.
Dengan sikap garang dia hendak membentak. Tapi begitu mengenali siapa yang berdiri di depan pintu itu dengan cepat dia melangkah mundur dan menjura. “Harap dimaafkan, saya tidak sempat tahu siapa yang datang. Sutan Alam yang datang dari jauh. Mengapa muncul tidak memberi kabar lebih dulu hingga kami bisa mengadakan penyambutan?”
“Pengiring Mayat Muka Merah, syukur kau masih belum lupa padaku!” kata Suto Abang sambil tersenyum. Pengiring Mayat Muka Merah menjura sekali lagi laju setelah melirik ke dalam kamar dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Suto Abang berpaling pada kakaknya lalu berkata. “Aku menunggumu di taman. Jangan terlalu lama. Waktu kita terbatas. Yang kita akan bicarakan banyak sekali! Keadaan sudah sangat gawat!”
“Jangan khawatir adikku. Aku hanya melanjutkan sedikit lagi apa yang tadi belum sempat kulakukan,” jawab Datuk Lembah Akhirat. Lalu tanpa menutup pintu dia naik ke atas ranjang besar, masuk ke dalam rangkulan tangan dan kaki Yuyulentik, perempuan gemuk yang sejak beberapa waktu lalu menjadi kekasih peliharaan sang Datuk.
Suto Abang sesaat memperhatikan dua orange itu. Lalu dengan air muka jijik dia meludah ke lantai dan bergegas tinggalkan tempat itu.
Di dalam Ruang Sorga Datuk Lembah Akhirat tergolek mandi keringat.
“Yuyulentik….”
Perempuan gemuk di samping Datuk Lembah Akhirat berbalik dan gelungkan kakinya yang gempal putih di perut sang Datuk.
“Ada apa Datuk…?”
“Aku merasa tidak memerlukan dirimu lagi. Kau tidak sehebat dulu. Aku sudah bosan….”
“Datuk!” Perempuan gemuk bernama Yuyulentik itu angkat tubuhnya ke tubuh Datuk Lembah Akhirat. “Sampai mati aku bersedia melayanimu. Apa maumu pasti aku turuti….”
“Mauku banyak. Tapi saat ini cuma satu keinginanku….”
“Katakan Datuk…” ujar Yuyulentik.
Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Sikut kirinya menghantam. “Praaak!” Rahang Yuyulentik rengkah. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Perempuan malang ini menemui ajalnya setelah melepas suara erang mengenaskan.
Begitu keluar dari kamar Datuk Lembah Akhirat tidak segera menemui Suto Abang. Dia terlebih dulu mencari Ki Juru Tenung orang kepercayaannya.
“Adikku Suto Abang berada di Lembah Akhirat.” Dia ingin bicara soal urusan penting. Aku sudah bisa menduga apa yang bakal disampaikannya. Menurutmu apa yang harus aku lakukan? Menghabisinya begitu selesai pembicaraan?”
Si Juru Tenung itu tuangkan air putih ke dalam sebuah piring lalu melihat dan merenung. Sesaat kemudian dia gelengkan kepalanya. “Belum saatnya Datuk. Belum saatnya. Kita masih perlu memanfaatkan tenaga dan ilmu kepandaiannya. Dia bisa kita pakai untuk menghadapi orang-orang tertentu disamping mengawasi para tokoh silat golongan putih yang bergabung dengan kita….”
Datuk Lembah Akhirat terdiam sejenak. Akhirnya sambil mengusap-usap dadanya yang penuh bulu dia anggukkan kepala menyetujui pendapat sang juru tenung.


*******************
SEPULUH

Dari tempatnya bersembunyi Sabai Nan Rancak melihat munculnya seorang lelaki tinggi besar mengenakan pakaian hitam serba gombrong. Kepalanya diikat dengan sehelai kain hitam. Mukanya yang garang memiliki tiga warna tertutup oleh kumis, berewok dan janggut lebat. Pergelangan kaki kiri dan kanan digelantungi tengkorak bayi. Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan getaran di tanah pertanda dia memiliki kekuatan tenaga dalam yang hebat.
“Makhluk ini pasti Datuk Lembah Akhirat…” menerka Sabai Nan Rancak. Dia menanti dengan hati berdebar.
Datuk Lembah Akhirat melangkah mendekati Suto Abang yang duduk menunggu di atas sebuah batu di satu tempat yang sebenarnya tidak pantas disebut taman. Di situ memang bertumbuhan beberapa jenis tanaman bunga. Tapi keadaannya kotor dan lebih banyak semak belukarnya. “Suto Angil, kita langsung saja bicara pada masalahnya….”
“Adikku, mengapa terburu-buru. Kita membasahi tenggorokan dulu dengan anggur lezat dan panggang daging sebelum bicara! Kalau kau suka bersenang-senang aku hanya tinggal menyuruh orang membawakan perempuan cantik untukmu. Aku tahu sekian lama di Pulau Andalas kau hanya berteman si nenek peot itu. Kau pasti ingin barang segar. Ha… ha… ha!”
“Itu bisa kita lakukan nanti saja. Apa kau sudah tahu kalau malam nanti, saat bulan purnama empat belas hari muncul, para tokoh silat golongan putih akan berkumpul di kawasan barat Telaga Gajahmungkur?” “Gajahmungkur satu telaga sangat luas. Siapa saja boleh berkumpul di salah satu tepiannya. Mengapa kau keliwat khawatir adikku?!”
“Suto Angil, harap kau jangan bergurau apalagi menganggap remeh persoalan. Orang-orang dunia persilatan di Pulau Andalas dan tanah Jawa boleh dibilang sudah tahu apa yang telah kita lakukan. Hantu Balak Anam Dari Sijunjung yang pertama sekali menaruh curiga lalu menyelidik sambil menebar kabar ke mana-mana. Bahkan Sabai Nan Rancak kurasa juga telah menaruh curiga padaku….”
“Suto Abang! Kau tak dapat mengurus kekasihmu sendiri! Sungguh memalukan! Aku sudah mendengar bahwa nenek sakti dari puncak Singgalang itu gagal menjalankan beberapa tugas yang kau berikan! Apa dia masih berharga untuk kita manfaatkan? Apa dia masih berharga jadi kekasih pemuas nafsumu? Walau sudah tua kau lebih gagah dariku. Kau masih bisa mencari perempuan muda yang jauh lebih cantik wajahnya dan jauh lebih kencang tubuhnya ketimbang nenek-nenek rongsokan itu!” Sutan Alam alias Suto Abang terbeliak mendengar ucapan Datuk Lembah Akhirat. Mulutnya laksana terkancing.
Sesaat kemudian baru dia bisa berkata. “Aku masih bisa mengurus perempuan satu itu. Kau tak usah keliwat khawatir. Kuharap kau tidak menyepelekan kekuatan orang-orang golongan putih yang akan berkumpul di tepi barat Gajahmungkur. Mereka bergabung menyusun kekuatan untuk menyerbu markasmu ini!”
“Apa yang kau takutkan adikku? Bukankah ini termasuk salah satu jebakan kita? Soal kekuatan apa yang kau khawatirkan. Bukankah hampir semua para tokoh silat golongan putih di Pulau Andalas telah berhasil kau singkirkan? Sesuai rencana kita mensiasati mereka hingga saling curiga dan saling tumpas lalu ambruk sendiri! Ha… ha… ha!”
“Itu rencana kita. Tapi kenyataannya lain Suto Angil. Justru mereka berkumpul di barat telaga untuk menyusun kekuatan menghancurkan kita!”
“Menghancurkan kita katamu Suto Abang?! Ha… ha… hal Justru mereka tidak tahu kalau sudah kita jebak. Mereka tidak sadar kalau tepi barat telaga Gajahmungkur akan jadi liang kubur bagi mereka! Gajahmungkur tidak sama dengan Pangandaran. Dulu di Pangandaran orang-orang golongan putih boleh bersombong diri menghancurkan golongan hitam di bawah pimpinan Pangeran Matahari. Tapi Gajahmungkur tidak sama dengan Pangandaran. Gajahmungkur adalah kubangan tempat nyawa mereka minggat ke neraka! Apalagi kalau mereka nekad berani menyerbu ke Lembah Akhirat ini! Darah mereka akan berkeleleran di seantero lembah. Roh mereka akan gentayangan ke mana-mana menjadi setan penasaran!”
“Kau begitu yakin mereka akan bisa kita hancurkan. Aku tahu kau memiliki sepasang sarung tangan sakti. Aku juga tahu kau kini memiliki tenaga dalam luar biasa yang tidak satu tokoh lain pun mampu menghadapinya. Mungkin juga kau kini telah memiliki kitab Wasiat Ma la ikat itu hingga kau tidak takutkan apapun?!” tanya Suto Abang kepada kakaknya Suto Angil.
Datuk Lembah Akhirat menyeringai. “Adikku, saat ini aku masih mempunyai tiga orang pembantu utama berkepandaian tinggi. Ditambah dengan dirimu kita pasti bisa membendung kekuatan orang-orang golongan putih. Aku sudah bisa menghitung dengan jari siapa-siapa saja mereka. Lalu nenek sakti Sika Sure jelantik dan Dewa Sedih telah bergabung dengan kita. Jika kau masih merasa jerih biar aku katakan bahwa Dewa Ketawa pun sudah berada di pihak kita!”
“Dewa Ketawa?” mengulang Sutan Alam sambil usap-usap dagunya.
Datuk Lembah Akhirat pegang bahu adiknya lalu berkata. “Masih ada beberapa tokoh silat tingkat tinggi yang juga telah bergabung dengan kita. Di antaranya seorang tokoh muda berjuluk Utusan Dari Akhirat…”
“Aku memang ada mendengar manusia satu ini. Tapi tidak tahu siapa dia adanya….”
“Dia adalah adik satu guru dari Pangeran Matahari!” jawab Datuk Lembah Akhirat. “Siapa bisa menduga! Pangeran Matahari mati tahu-tahu muncul adik seperguruannya!”
Suto Abang agak tercengang mendengar ucapan kakaknya itu. “Setahuku tak pernah kudengar Pangeran itu punya saudara seperguruan….”
“Siapapun dia adanya ternyata dia memiliki semua pukulan sakti yang dipunyai Pangeran Matahari!”
“Apa semua mereka itu berada di sini saat ini?” tanya Suto Abang.
“Dewa Sedih dan Dewa Ketawa memang sudah ada di sini. Si nenek Sika Sure Jelantik aku tugaskan untuk menyirap kabar mengenai sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212. Selain itu dia punya urusan sendiri dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, Tua Gila dan orang aneh bernama iblis Pemalu. Jika dia bisa membunuh orang-orang itu bukankah berarti tugas kita jadi lebih mudah?”
“Pedang Naga Suci 212…” berkata Suto Abang. “Senjata itu kabarnya telah ditemukan orang di dasar Telaga Gajahmungkur. Namun kemudian lenyap dicuri….”
“Senjata itu tidak pernah lenyap. Yang terjadi adalah bahwa kita tidak tahu di mana beradanya. Bukan begitu? Ha… ha… ha… ha!” Datuk Lembah Akhirat tertawa namun dia segera hentikan tawanya ketika dilihatnya Sutan Alam alias Suto Abang unjukkan wajah gelisah. “Rupanya kau masih merasa was-was. Padahal sesuai apa yang sudah kita rencanakan kulihat kau berhasil mendapatkan Mantel Sakti milik Datuk Tinggi Raja Di Langit. Kalau kau mendapatkan mantelnya, pasti kau juga telah mendapatkan Mutiara Setan milik tokoh itu. Aku ingin tahu bagaimana ceritanya kau berhasil mendapatkan mantel dan mutiara itu.”
“Terus terang aku menyimpang dari rencana semula. Bukan aku sendiri yang turun tangan tapi aku menugaskan pada Sabai Nan Rancak. Setelah dapat, mantel dan mutiara diserahkannya padaku….”
“Hebat! Pintar! Kau benar-benar cerdik panjang akal, Kalaupun Datuk Tinggi alias Jagal iblis Makam Setan mencari dua senjata pusakanya ini, pasti Sabai Nan Rancak yang akan dikejarnya. Ha… ha… ha! Di dalam ilmu silat ada satu jurus yang disebut Di balik gunung mengait awan. Rupanya jurus itu yang telah kau pergunakan pada kekasihmu! Ha… ha… ha! Namun kau harus berhati-hati adikku. Kalau Jagal iblis tahu dua senjata saktinya berada di tanganmu maka kau akan jadi sasarannya lebih dulu selain Sabai Nan Rancak.”
Sementara itu di tempat persembunyiannya Sabai Nan Rancak merasa sekujur tubuhnya panas dingin. Wajahnya memucat. Semua pembicaraan antara Datuk Lembah Akhirat dengan Sutan Alam orang yang selama ini menjadi kekasih dan dipercayanya membuat dirinya tak karuan rasa. Sadarlah si nenek kalau sebenarnya dirinya telah dimanfaatkan oleh kedua orang itu untuk mensiasati orang-orang golongan putih.
“Jahanam busuk! Jadi Datuk Lembah Akhirat adalah kakaknya Suto Abang. Dua kakak adik keparat ini telah menyusun rencana untuk menyingkirkan para tokoh persilatan di Pulau Andalas. Dan Suto Abang menipuku dengan cinta kasih palsunya. Dia berpura­pura mencintai diriku. Padahal maksudnya adalah untuk memperalat diriku! Ya Tuhan! Berapa saja tokoh-tokoh tak berdosa telah jadi korban kebodohanku!”
Sekujur tubuh Sabai Nan Rancak kembali panas dingin dan menggigil saking dia berusaha menahan amukan amarah dalam dirinya. Dua tangannya terkepal. Seandainya saat itu dia menggenggam batu di masing-masing tangan, pastilah batu itu akan hancur diremasnya!
Kalau dia tak dapat menahan diri, saat itu maulah Sabai Nan Rancak keluar dari tempat persembunyiannya lalu melompat ke hadapan Suto Abang alias Sutan Alam Rajo Di Bumi dan menghajarnya sampai mati. Namun si nenek maklum kalau dia berada di sarang harimau. Mungkin dia bisa menghantam Suto Abang, namun sang Datuk pasti tak tinggal diam.
Dengan darah masih mendidih Sabai Nan Rancak memutar tubuh, siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba satu suitan keras merobek kesunyian di atas lembah. Tahu-tahu tiga orang bertampang aneh telah mengurung si nenek.


*******************
SEBELAS

Yang muncul ternyata adalah tiga pengawal yang sebelumnya telah menghadang Sutan Alam di jalan masuk menuju Lembah Akhirat. Ketiganya tegak sambil mengangkat tombak siap dihunjamkan ke leher, dada dan perut Sabai Nan Rancak. Salah seorang dari mereka membentak.
“Tua bangka mencari mampus! Berani kau menyusup ke dalam Lembah Akhirat dan mencuri dengar pembicaraan pemimpin kami!”
Temannya yang bertampang hijau ikut menimpali. “Sebelum kau kami bantai lekas beri tahu siapa nama siapa gelar! Punya tujuan jahat apa masuk ke dalam kawasan Lembah Akhirat!”
Sabai Nan Rancak tegak tercekat. Dia tidak takut pada tiga pengawal bermuka merah, hitam dan hijau itu walau tiga ujung tombak siap menembus tubuhnya. Yang dikhawatirkannya justru adalah Datuk Lembah Akhirat dan Sutan Alam Rajo Di Bumi yang ada di dalam taman. Kenyataannya saat itu sang Datuk dan Suto Alam memang sudah tegak berdiri karena mendengar suara suitan dan bentakan-bentakan tadi.
“Celaka! Aku harus menghantam tiga pengawal ini sebelum dua orang itu muncul di sini dan mengetahui kehadiranku!” Sabai Nan Rancak mengambil keputusan cepat.
Tiga pengawal Lembah Akhirat terkesiap kaget ketika melihat tangan kanan Sabai Nan Rancak berubah merah.
“Dia hendak melepas pukulan sakti!” teriak pengawal muka hitam.
“Bunuh!” beri perintah si muka merah.
Tiga tombak ditusukkan, tapi terlambat. Saat itu dari tangan kanan Sabai Nan Rancak menyembur cahaya merah yang dengan cepat merambas melebar, melalap ketiga pengawal yang ada di depan si nenek.
Ketika Datuk Lembah Akhirat dan Sutan Alam sampai di tempat itu mereka menjadi kaget. Tiga pengawal bergeletakan di tanah dengan sekujur tubuh hangus berwarna merah.
“Kurang ajar! Apa yang terjadi! Siapa berani melakukan pembunuhan atas tiga pengawal di tempat kediamanku!” Datuk Lembah Akhirat menggereng marah lalu keluarkan suitan keras.
Sutan Alam perhatikan keadaan tiga pengawal yang telah jadi mayat itu. Melihat keadaan warna tubuh serta cara mati ketiganya Sutan Alam diam-diam bisa menduga siapa yang telah menghabisi mereka.
“Antara taman dan tempat ini tidak seberapa jauh. Kalau diantara kita sampai tidak tahu adanya penyusup berarti orang itu memiliki kepandaian tinggi. Gila betul!” Sang Datuk melangkah mundar-mandir lalu berpaling pada adiknya.
“Suto Abang! Kau mengetahui sesuatu?!” tanya Datuk Lembah Akhirat sambil memperhatikan adiknya dengan tajam.
“Sabai…” desis Suto Alam. “Pasti dia yang melakukan. Tiga pengawal ini mati akibat pukulan sakti Kipas Neraka. Aku mengenali sekali….”
“Kalau begitu kau harus mencari nenek keparat itu sekarang juga! Jika kau kembali aku ingin kau membawa mayatnya! Kau dengar Suto Abang?!”
Sebelum Suto Abang sempat menjawab, dua orang mendadak muncul di hadapan Datuk. Mereka adalah Pengiring Mayat Muka Hitam dan Pengiring Mayat Muka Merah yang cepat datang setelah mendengar tanda berupa suitan sang Datuk tadi.
“Apa saja yang kalian lakukan hingga tidak tahu ada penyusup masuk ke dalam Lembah Akhirat. Suto Abang! Kau pimpin dua pembantu utamaku mengejar jahanam kekasihmu itu!”

*******************

Sabai Nan Rancak mengharapkan udara yang mulai gelap karena memasuki malam akan menolongnya meloloskan diri dari tiga orang pengejarnya. Namun dia baru sekali itu memasuki Lembah Akhirat. Walau kelihatannya lembah itu biasa-biasa saja namun ternyata setelah berkelebat cepat dan menyelinap lenyap dari kejaran orang, tahu-tahu dia kembali lagi ke tempat semula! Sewaktu dia menyadari hal itu, Sutan Alam Rajo Di Bumi, Pengiring Mayat Muka Merah dan Muka Hitam sudah berada sepuluh tombak di samping kirinya.
Begitu melihat orang yang mereka kejar tanpa menunggu lebih lama Pengiring Mayat Muka Merah yang merupakan salah satu dari tiga wakil utama sang Datuk langsung lepaskan pukulan Maut Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sinar merah menggidikkan berkiblat. Sutan Alam tercekat dan keluarkan seruan tertahan. Dia tahu sekali keganasan ilmu kesaktian itu. Tengkuknya dingin bergidik. Walau dia dan kakaknya memang telah menyusun rencana mensiasati Sabai Nan Rancak namun membayangkan kematian si nenek hatinya tak tega juga. Pukulan yang dilepaskan Pengiring Mayat Muka Merah jika sempat mengenai si nenek maka tubuh Sabai Nan Rancak akan berubah menjadi tebaran debu berwarna merah!
“Tahan!”
Tapi terlambat Sinar merah telah berkiblat dan “wusss!” Di depan sana terdengar jeritan Sabai Nan Rancak dibarengi dengan menyambarnya cahaya merah menebar berbentuk kipas.
Apa yang terjadi? Sewaktu melihat kemunculan tiga orang itu disusul oleh menggebunya sinar merah, Sabai yang sudah banyak mendengar tentang ilmu orang-orang Lembah Akhirat segera maklum kalau dirinya telah diserang dengan pukulan Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Sambil menyingkir selamatkan diri dia lepaskan pukulan Kipas Neraka. Dua pukulan sakti bertemu di udara mengeluarkan letusan dahsyat. Cahaya merah laksana semburan bara menyala yang keluar dari muntahan gunung berapi berlesatan kian kemari. Salah satu diantaranya menyambar ke arah Sabai Nan Rancak. Bagaimanapun nenek ini bergerak cepat selamatkan diri tetap saja bahu jubah hitamnya sebelah kanan kena terserempet hingga mengebul dan langsung dikobari api.
Sabai menyelinap ke balik rerumpunan semak berlukar di balik sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi ketika melihat bagaimana bahu pakaiannya telah berubah menjadi debu berwarna merah. Ketika dia mempergunakan tangan kiri untuk menepuk mematikan api baru disadarinya kalau ada bagian dari daging bahunya yang ikut leleh dan menjadi debu! Disaat itu juga dia merasakan rasa sakit yang amat sangat hingga tubuhnya terhuyung-huyung. Dengan cepat dia bersandar ke batang pohon. Justru saat itu dua dari tiga pengejarnya berkelebat mendekat yakni Pengiring Mayat Muka Hitam dan Sutan Alam.
Pengiring Mayat Muka Merah tertinggal di belakang; karena ternyata bentrokan kekuatan tenaga dalam melalui beradunya dua pukulan sakti tadi telah menciderai dirinya pula. Walau di sebelah luar pakaian maupun tubuhnya tidak apa-apa, namun dari denyutan jantung, aliran darah serta rasa yang menusuk-nusuk di bagian dada, si Pengiring Mayat Muka Merah sadar kalau dirinya mengalami cidera di sebelah dalam. Karenanya sebelum meneruskan pengejaran, dia terpaksa menjatuhkan diri, duduk di tanah untuk memulihkan peredaran darah serta mengatur nafas dan tenaga dalam.
Sabai Nan Rancak maklum dia tak bisa bersembunyi lebih lama di balik semak belukar, Dalam waktu cepat para pengejar akan melihat dirinya.
Nenek ini segera berkelebat ke kiri. Berlari dua belas tombak dia jadi kaget karena seperti tadi dia justru kembali lagi berada di sekitar taman! Sementara itu di belakang sana Sutan Alam dan Pengiring Mayat Muka Hitam semakin dekat dan si Pengiring Mayat Muka Merah juga telah sanggup berdiri lagi lalu ikut melakukan pengejaran kembali.
“Celaka! Tak ada tempat lari! Tak ada pilihan lain kecuali mengadu jiwa!” keluh Sabai Nan Rancak dalam hati.
Disaat yang sangat menegangkan itu tiba-tiba dia mendengar suara berdesir di dekat kakinya. Ketika dia memandang ke bawah terkejutlah si nenek. Sebuah batu besar di dalam taman bergeser ke kiri. Lalu tampak sebuah lobang batu dan ada tangga menuju ke bagian dalam lobang. Selagi perempuan tua ini tercekat mendadak ada dua tangan mencuat keluar lobang, langsung mencekal dua pergelangan kakinya. Sebelum Sabai Nan Rancak tahu apa yang terjadi tahu-tahu tubuhnya terbetot ke bawah. Ketika Pengiring Mayat Muka Hitam dan Sutan Alam disusul Pengiring Mayat Muka Merah sampai di taman, batu besar tadi telah bergeser dan lobang yang tadi terbuka menutup kembali.
“Jahanam itu lenyap!” teriak Pengiring Mayat Muka Hitam sementara Sutan Alam tegak terheran-heran.
“Tak mungkin perempuan tua keparat itu bisa melarikan diri! Dia pasti bersembunyi di sekitar sini!” kata Pengiring Mayat Muka Merah yang menyusul sampai ke tempat itu. Ketiga orang itu lalu menggeledah taman dan sekitarnya, Namun mereka tidak menemukan tanda-tanda kemana lenyapnya Sabai Nan Rancak. Selagi mereka tegak kebingungan dan saling pandang muncullah Datuk Lembah Akhirat.
“Kalian tak lebih dari babi-babi tolol! Nenek itu pasti telah kabur lewat jalan rahasia.!”
Meski tidak mengerti maksud ucapan Datuk Lembah Akhirat tapi tak ada yang berani bertanya. Tiga orang itu kembali saling pandang sementara di dalam hati saling bertanya-tanya. Jalan rahasia apa dan di mana adanya yang dimaksudkan sang Datuk itu.
Datuk Lembah Akhirat melangkah mendekati batu besar di mana sebelumnya Sutan Alam tadi duduk sewaktu bicara dengan kakaknya itu. Dengan ujung kaki kirinya sang Datuk menekan tonjolan batu kecil di dekat batu besar. Terdengar suara berdesir. Disusul dengan bergesemya batu besar ke kiri. Lalu tampaklah lobang dan tangga menuju ke bawah. Pengiring Mayat Muka Hitam dan Merah, apalagi Sutan Alam sama-sama melengak. Sekian lama mereka berada di Lembah Akhirat baru saat itu mengetahui ada satu jalan rahasia yang bermulut di taman.
Merasa tidak enak, Pengiring Mayat Muka Hitam akhirnya berkata. “Datuk, izinkan kami memasuki lobang, meneruskan pengejaran.”
Dendam Dalam Titisan
Sang Datuk menyeringai. “Sekalipun kau mampu bergerak secepat kilat, kau tak bakal bisa mengejar mereka. Aku hanya bertanya-tanya. Bagaimana perempuan tua itu bisa masuk ke dalam lobang rahasia.
Siapa yang telah jadi pengkhianat diantara orang-orangku?!” Datuk Lembah Akhirat lemparkan pandangan curiga pada adiknya.
Merasa tidak enak dipandang seperti itu Suto Abang cepat membuka mulut. “Jangan kau menaruh curiga padaku Suto Angil! Kalau dia mendengar pembicaraan kita berarti perempuan itu kini sudah menganggap diriku musuh besar yang harus dibunuhnya!”
“Memalukan sekali kalau kau sampai mampus di tangan bekas kekasihmu!” ujar Datuk Lembah Akhirat lalu tinggalkan tempat itu.

*******************

Di dalam terowongan batu berlantai menurun dan sangat licin tubuh Sabai Nan Rancak meluncur ditarik orang yang memegang kedua pergelangan kakinya.
“Hai! Hentikan perbuatan gila ini! Mengapa kau menyeretku!” teriak Sabai Nan Rancak karena punggungnya terasa sakit lecet dan tulang-tulangnya seperti mau bertanggalan. Tapi orang yang menariknya tidak perduli. Jangankan berhenti menyeret, malah dia tampak mempercepat larinya di dalam terowongan batu yang licin dan gelap itu.
“Hai!” teriak Sabai sekali lagi. Dia berusaha menerjangkan kedua kakinya untuk melepaskan diri. Tapi tidak sanggup. Si nenek siapkan pukulan Kipas Neraka tapi setelah menimbang-nimbang dia batal menghantam. “Jangan-jangan orang ini adalah tuan penolongku….”
Si nenek tidak dapat memastikan berapa jauh dia diseret seperti itu. Dalam keadaan hampir setengah pingsan tiba-tiba di depannya dia melihat sinar terang disertai tiupan angin. Berarti dia dan si penyeret tengah mendekati ujung terowongan. Betul saja. Sesaat kemudian tiba-tiba “byurrr… byurr!”
Sabai Nan Rancak dapatkan dirinya tercebur masuk ke dalam air yang sangat dingin. Orang yang menyeretnya telah tercebur lebih dulu. Dia memandang berkeliling tapi tak melihat di mana si penolong itu. Dengan cepat Sabai Nan Rancak berenang menuju tepian terdekat, Begitu dia sampai di daratan dan memandang berkeliling sadarlah dia kalau tadi dia tercebur masuk ke dalam Telaga Gajahmungkur.
Tiba-tiba terdengar suara orang menggigil kedinginan. Sabai Nan Rancak berpaling ke kiri. Astaga, begitu dekat dia dengan orang itu tapi bagaimana tadi dia tidak mengetahui kehadirannya di situ kalau orang ini tidak mengeluarkan suara menggigil.
“Kau!” seru Sabai Nan Rancak dengan mata melotot.
Yang ditegur tertawa cekikikkan. “Kau hebat Nek, tidak kedinginan sepertiku,…”
“Naga Kuning bocah kepar….” Sabai Nan Rancak tidak teruskan rutukannya. Digigitnya bibirnya. “Mengapa kau menolongku?!”
“Heh, siapa menolong siapa….?” ujar si bocah yang seperti Sabai berada dalam keadaan basah kuyup.
“Bukankah kau yang menarik aku masuk ke dalam lobang, menyeret aku sepanjang terowongan hingga aku selamat dari kejaran bergundal-bergundal Datuk Lembah Akhirat?!”
“Engggg… sebenarnya aku sendiri juga ketakutan setengah mati Nek. Coba kau cium celanaku. Bau pesing tanda tadi aku sempat terkencing saking takutnya. Hik… hik… hik…”
“Anak kurang ajar. Bukan saatnya bersenda gurau!” bentak Sabai Nan Rancak.
Naga Kuning menyeringai. Lagi pula Nek, kurasa daripada kabur sendiri kebetulan ada kau, bukankah lebih baik kabur berdua? Hik… hik… hik!”
“Naga Kuning, aku tidak suka padamu. Tapi aku harus mengucapkan terima kasih kau telah menyelamatkan jiwaku!” kata Sabai Nan Rancak tegas-tegas seraya menekapkan tangan kirinya ke bahu kanannya yang cidera.
“Maksudmu Nek, apakah sekarang kita jadi bersahabat?” tanya Naga Kuning.
“Siapa sudi bersahabat dengan anak kurang ajar sepertimu!” labrak Sabai Nan Rancak.
“Ah, kau tentu masih mendendam perbuatanku dulu. Menarik pakaianmu hingga auratmu tersingkap bugil….”
“Setan! Jangan kau sebut-sebut peristiwa itu!” bentak si nenek dengan muka merah padam.
“Jadi kita sudah bersahabat sekarang Nek?” tanya Naga Kuning kembali.
Sabai Nan Rancak menggerendeng panjang pendek. “Aku kepingin tahu mengapa kau menyusup ke dalam Lembah Akhirat. Apa yang kau lakukan di sana?”
“Aku tengah menjalankan tugas Nek!” jawab Naga Kuning keren.
“Tugas! Tugas apa? Siapa yang memberikanmu tugas!” tanya Sabai Nan Rancak lagi.
“Maunya aku tidak akan memberi tahu. Tapi hitung-hitung kita sudah bersahabat biar kukatakan juga. Yang memberi aku tugas adalah Kakek Segala Tahu…”
“Tua bangka jahanam itu!” maki Sabai Nan Rancak. Sampai saat itu dia tetap menaruh kesan bahwa Kakek Segala Tahulah yang telah membunuh sahabatnya yaitu Datuk Angek Garang.
“Eh, kenapa kau memaki kakek itu, Nek? Orang seperti dia harusnya kau jadikan teman. Karena kalau kau sampai patah arang dengan Sutan Alam mungkin Kakek Segala Tahu bisa jadi gantinya! Hik… hik… hik!”
“Anak haram jadah! Kurobek mulut kurang ajarmu!” teriak Sabai Nan Rancak. Si nenek melompat ke depan. Kalau tidak cepat si bocah menghindar pasti tamparan keras sudah bersarang di pipinya!
Walau orang sudah marah setengah mati tapi Naga Kuning masih juga menggoda. “Kakek Segala Tahu memang agak jelekan dibanding dengan Suto Alam. Tapi jelek-jelek gocekannya hebat luar biasa Nek! Hik… hik… hik!”
Saking marahnya Sabai Nan Rancak pentang tangan hendak menghantam si bocah dengan pukulan Kipas Neraka, Namun dia cepat sadar. Begitu amarahnya surut dia bertanya. “Anak kurang ajar, bagaimana kau tahu ihwal hubunganku dengan Sutan Alam?”
Naga Kuning tertawa. “Aku sudah gentayangan di tiga samudera, berkeliaran di tiga daratan. Usiaku jauh lebih tua darimu. Pengalaman hidupku jauh lebih banyak dari padamu….”
Sabai Nan Rancak kerenyitkan kening tidak percaya mendengar kata-kata si bocah. Seperti diketahui Naga Kuning alias Naga Cilik ini adalah orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas yang telah berusia 120 tahun. Hanya karena ilmu yang dimilikinya ujudnya terlihat sebagai anak berusia belasan tahun.
Dendam Dalam Titisan
“Tugas apa saja yang disuruhkan kakek geblek itu padamu?!” Sabai Nan Rancak akhirnya ajukan pertanyaan.
“Banyak Nek. Mengetahui kelemahan dan kekuatan orang-orang Lembah Akhirat. Menyelidik apa benar Dewa Sedih dan Dewa Ketawa sudah bergabung dengan mereka. Lalu….”
Belum selesai keterangan Naga Kuning tiba-tiba berkelebat satu bayangan kuning.
“Manusia bercadar kuning!” seru Sabai Nan Rancak. “Ada keperluan apa kau muncul di sini. Urusan tempo hari belum selesai. Kau mau….”
“Justru aku datang untuk memberi tahu. Meneruskan pembicaraan terdahulu. Rahasia lama baru sebagian tersingkap. Jangan salah mengambil sikap. Kami menunggumu sebelum tengah malam di arah barat telaga. Jangan datang membawa curiga. Ini adalah kesempatan terakhir dan terbaik. Sebelum malapetaka datang mencabik!”
Habis berkata begitu orang berpakaian dan bercadar kuning itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam.
“Hai! Tunggu!” seru Sabai Nan Rancak. Dia hendak mengejar tapi batal ketika mendengar suara Naga Kuning berucap.
“Tak usah dikejar Nek. Aku tahu siapa orang itu. Jika kau mau menahan diri pasti semua urusanmu dengan dia akan berjalan baik….”
“Kau tahu siapa orang tadi? Katakan padaku!” ujar Sabai setengah berteriak.
Naga Kuning gelengkan kepala. “Bukankah dia telah mengatur pertemuan di barat telaga? Mengapa kau tak mau bersabar?”
“Hemrnm…. Jangan-jangan kau kaki tangan orang bercadar kuning tadi!”
Naga Kuning tidak menjawab. Dia kembangkan dua telapak tangannya ke atas. “Gerimis…” katanya perlahan. Anak ini lalu memandang ke atas. “Langit gelap…. Aku merasakan keanehan. Mengapa rembulan empat belas hari belum juga muncul?”
Mendengar kata-kata Naga Kuning itu Sabai Nan Rancak ikut-ikutan memandang ke langit sementara gerimis tambah keras. Seperti yang dikatakan si bocah, langit memang tampak menghitam tertutup awan. Tak ada bintang. Tak tampak bulan purnama. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing hutan bersahut-sahutan.


*******************
DUA BELAS

Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan larinya ketika Ratu Duyung tiba-tiba memeganglengannya dan melangkah ke depan lalu tegak membelakanginya.“Ada apa…?” tanya Wiro setengah berbisik. Dari air muka, sikap dan cara berdiri jelas sang Ratu tengah melindungi dirinya terhadap sesuatu.
Ratu Duyung belum sempat memberi penjelasan tiba-tiba seseorang berpakaian dan bercadar serba kuning muncul di hadapan mereka.
“Orang aneh, kemunculanmu kali ini buruk atau jahat?!” Ratu Duyung ajukan pertanyaan.
“Bukan saatnya bertanya jawab. Jika ingin tahu pergilah ke arah barat. Cari dua pohon kelapa saling bersilang. Di situ akan dipulihkan kekuatan yang hilang.”
Seperti dituturkan sebelumnya sesuai yang direncanakan, setelah Bidadari Angin Timur berhasil mengambil Pedang Naga Suci 212 maka diatur pertemuan antara Wiro dengan gadis berambut pirang itu di satu tempat. Kelak di tempat itulah pedang sakti tersebut akan dibuktikan keampuhannya yang konon bisa menyembuhkan malapetaka yang dialami Wiro. Disaat itu juga sekaligus Bidadari Angin Timur akan menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 kepada Wiro. Seperti dituturkan kapak sakti itu diselamatkan oleh orang bercadar kuning lalu diserahkan kepada Bidadari Angin Timur. Karena Bidadari Angin Timur merasa sungkan untuk menemui Wiro maka orang bercadar menyuruh Bidadari Angin Timur menunggu di tempat yang telah ditentukan. Lalu dia sendiri pergi mencari murid Sinto Gendeng itu.
“Aku tidak paham pembicaraan berpantun-pantun. Katakan saja langsung dan terus terang apa maksudmu menyuruh kami pergi ke arah barat…” kata Ratu Duyung pula. Lalu dia ingat apa yang terjadi dan dialami Puti Andini sebelumnya.
“Kepercayaan memang perlu diuji. Tapi membuang waktu adalah perbuatan tidak terpuji…” berucap orang bercadar kuning.
“Jawab dengan jujur! Bukankah kau dan seorang kawanmu telah mencuri Pedang Naga Suci 212 dari tangan Puti Andini, gadis dari seberang itu?!”
“Jawaban apapun tidak akan menentukan, ikuti nasihat demi kebaikan. Kalau tengah malam datang lebih dahulu dan orang-orang Lembah Akhirat melakukan penyerbuan maka segala persiapan hanyalah kesia-siaan.”
Habis berkata begitu si cadar kuning memandang ke langit. Saat itu udara malam tambah kelam. Tak ada bintang tak ada rembulan. Dan hujan gerimis turuh semakin deras. Sepasang mata yang tersembul dibalik cadar kuning menetap pada Wiro dan Ratu Duyung berganti-ganti. “Ingat, sebelum tengah malam. Di barat telaga Gajahmungkur. Di arah pohon kelapa bersilang. Di situ tempat kita memuji segala syukur….”
Setelah orang bercadar meninggalkan tempat itu, Ratu Duyung berpaling pada Wiro. “Aku tidak ada pertentangan dengan orang aneh tadi. Tapi jika dia memang bermaksud baik mengapa tidak mengatakan secara terus terang…”
Wiro menggaruk kepala. Saat itu perasaannya terasa lain. Penuh harap tapi juga penuh rasa cemas. Waktu 100 hari dia kehilangan kekuatan dan kesaktiannya masih tersisa satu setengah hari lagi. Berarti lusa siang baru dia benar-benar pulih. Ini berarti jika tengah
Dendam Dalam Titisan malam nanti terjadi bencana hebat yaitu bentrokan besar-besaran antara orang-orang Lembah Akhirat dengan para tokoh golongan putih maka bukan saja dia tidak mampu melakukan sesuatu tetapi juga tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin keselamatan dirinya.
“Turut dugaan kakek botak dan penjelasan Puti Andini maka pencuri Pedang Naga Suci 212 adalah orang bercadar tadi dan Bidadari Angin Timur. Lalu jika dihubungkan apa yang barusan dikatakan si cadar kuning, agaknya memang senjata itu ada pada mereka. Kita disuruh datang ke sana agar dengan pedang sakti itu musibah yang menimpa diriku bisa disembuhkan.”
“Jika kau memang yakin orang bermaksud baik hendak menyembuhkanmu memang tak ada jalan lain. Kau harus segera pergi ke tempat yang dikatakan. Hanya saja aku tak bisa mengantar….”
“Tak bisa mengantar?” mengulang Wiro. Sesaat dia menatap sepasang mata biru sang Ratu. “Ratu, aku tahu. Kau tidak suka pada Bidadari Angin Timur. Kau cemburu padanya….”
Kata-kata Pendekar 212 itu membuat hati Ratu Duyung jadi tidak enak.
“Apa alasanku tidak suka pada gadis berambut pirang bertubuh harum semerbak itu,” jawab Ratu Duyung mendustai dirinya sendiri. “Lalu apa pula alasanku untuk cemburu padanya. Karena kau bukan milikku dan kau tidak merasa aku ini milikmu. Bukankah begitu Wiro?”
“Ah, bagaimana ini!” ujar murid Sinto Gendeng sambil garuk-garuk kepala dan tersenyum tapi getir. Hatinya serba bingung, jika dia pergi berarti dia akan menyinggung perasaan Ratu Duyung. Jika dia tidak pergi maka kesembuhan atas dirinya tidak segera terjadi malah bahaya besar akan menghadang. “Ratu, biar kita bicara berterus terang. Aku….”
Ratu Duyung pegang dua lengan Pendekar 212 dengan tangannya yang halus. “Wiro, keterusterangan adalah sifat sangat baik. Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Aku akan menunggu di sini. Pergilah ke tempat yang dikatakan orang bercadar itu. Semoga kau segera dapat disembuhkan….”
“Kau tak mau pergi bersamaku?”
“Bukan tidak mau. Aku hanya ingin menjaga perasaan hatiku dan perasaan hati orang lain, jangan karena kehadiranku rencana penyembuhan atas dirimu menjadi terhalang.”
“Kalau ucapanmu itu keluar dari hati yang tulus, aku akan pergi seorang diri. Tunggu di sini sampai aku kembali.” Pendekar 212 memeluk Ratu Duyung erat-erat, menciumi wajahnya berulangkali lalu tinggalkan gadis itu. Ditinggal seorang diri Ratu buyung tak dapat lagi menahan tangisnya.
“Ya Tuhan, mengapa buruk benar nasibku. Mengapa tidak kau mungkinkan aku memiliki dirinya. Aku mendambakan kembali hidup sebagai manusia biasa. Agar aku bisa mendampinginya. Tapi setelah berhasil semua harapan dan keinginan itu ternyata tidak menjadi kenyataan….” Ratu Duyung tekap wajahnya dengan kedua tangan. Pada saat itulah sudut matanya menangkap cahaya terang berkelebat. Gadis ini segera turunkan kedua tangannya dan berpaling ke kiri.
Ratu Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa yaitu barusan lewat di sampingnya. Dia melihat sebuah obor. Lalu sosok seseorang berlari sambil mendukung
seorang berjubah hitam. Yang membuatnya terperangah dan tak jadi mengejar adalah ketika di telinganya terdengar satu suara macam nyamuk mengiang.
“Gadis cantik bermata biru. Tak ada yang paling beruntung bagi seorang gadis. Selain hidup bersama lelaki yang mencintainya. Bukan dengan lelaki yang dicintainya. Memangnya hanya ada satu pemuda baik di dunia ini? Memangnya hanya ada seorang lelaki yang bisa dikasihi di kolong langit itu? Carilah, kau pasti akan menemukan. Ketuklah, pintu pasti akan terbuka….”
“Suara aneh. Seperti ngiangan nyamuk. Siapa diantara dua orang tadi yang bicara dengan ilmu melempar kata memindahkan suara. Yang mendukung atau yang didukung? Benar-benar aneh malam sekali ini….”
Lama Ratu Duyung tegang termangu mendengar kata-kata itu. Dalam hatinya perlahan-lahan menyeruak perasaan bimbang. Apakah dia akan menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat itu. Atau mungkin lebih baik dia pergi saja. Hati kecilnya mendorongnya tidak menantikan kembalinya Wiro. Namun ketika dia meraba perutnya dan jari-jari tangannya menyentuh Kitab Wasiat Malaikat maka kebimbangannya menjadi sirna, Dia mencari tempat yang baik untuk duduk menunggu serta berlindung dari hujan rintik­rintik yang terus turun.
Belum lama duduk di tempat itu mendadak pandangan Ratu Duyung membentur pada satu benda hitam yang mendekam dalam gelap di hadapan serumpunan pohon bambu hutan.
“Aneh, aku yakin betul benda itu tadi tak ada di sana. Bagaimana tahu-tahu muncul…?”
Mula-mula dia menyangka benda ini adalah sebuah area atau patung batu. Tapi makin diperhatikan makin keras dugaannya bahwa benda itu adalah satu makhluk hidup. Penuh rasa ingin tahu Ratu Duyung bangkit berdiri lalu melangkah mendekati. Nyawanya seperti terbang dan hampir saja keluar jeritan dari mulutnya ketika tiba-tiba benda yang disangka nya area batu itu berbangkis keras.
Sambil mundur dua langkah Ratu Duyung memperhatikan dengan mata tak berkesip. Makhluk yang duduk menjelepok di tanah itu berbobot luar biasa besar dan gemuk. Di atas kepalanya ada sebuah kopiah hitam kebesaran hingga kupluk tenggelam di keningnya hampir menutupi sepasang alis. Di bawah alis kedua matanya terpejam tapi bergerak-gerak tanda dia tidak tidur. Orang ini mengenakan baju yang dipakai terbalik. Perutnya yang gendut membuntal keluar. Dadanya gembrot bergerak turun naik.
“Seumur hidup belum pernah aku lihat manusia segemuk ini. Jika memang dia manusia adanya…” membatin Ratu Duyung. Walau tadi jelas-jelas dia melihat dan mendengar si gemuk itu berbangkis, namun ada rasa was-was dalam diri sang Ratu. Dia memandang berkeliling mencari sesuatu dalam gelap. Yang dicarinya yaitu sebuah batu kecil. Begitu ditemukan, batu kecil ini kemudian dilemparkannya ke atas pangkuan si gemuk. Yang dilempar diam saja. Tapi jelas salah satu matanya yang terpejam perlahan­lahan terbuka dan memandang pada Ratu Duyung. Mata orang ini ternyata belok besar luar biasa.
“Hik… hik… hik….” Tiba-tiba si gemuk di depan pohon bambu tertawa cekikikan. “Pasti tadi kau mengira aku sebangsa hantu rimba atau setan kesasar. Sebaliknya aku juga tadi mengira kau setan perempuan yang gentayangan di malam hari. Hi… hi… hik! Ternyata kita sama-sama manusia juga!”
Ratu Duyung tak segera percaya begitu saja ucapan orang. “Setan dan hantu jaman sekarang pandai menyaru seperti manusia segemuk dan sejelekmu! Jika kau manusia mengapa malam-malam begini berada di tempat ini?”
“Anak perjaka berada di luar rumah sampai semalam suntuk siapa yang melarang? Tapi anak gadis secantikmu berada di tempat ini malam-malam begini apa tidak aneh?! Ha… ha… ha! Jangan-jangan kau sebangsa kuntil anak atau cucunya kuntil anak! Ha… ha… ha!”
Wajah Ratu Duyung jadi bersemu merah. Tapi diam-diam dia mulai merasa suka pada si gemuk ini.
“Gadis cantik bermata biru….”
Ratu Duyung jadi kaget. “Tempat ini cukup gelap. Bagaimana dia bisa tahu aku memiliki mata biru,” pikir si gadis.
“Aku sedang mencari pamanku. Kabarnya dia tersesat masuk ke Lembah Akhirat. Apa kau tahu di mana Lembah Akhirat?”
Ratu Duyung terkejut. “Hah! Jadi kau kaki tangan Datuk Lembah Akhirat rupanya!”
“Kau ini bagaimana! Aku bilang tengah mencari pamanku yang tersesat di Lembah Akhirat. Dia bukan orang Lembah Akhirat. Tapi tersesat dan terjebak di sana hingga tak bisa keluar lagi. Aku keponakan yang baik. Jadi harus menolongnya! Padahal dulu aku pernah dibenamnya dalam tanah es selama bertahun-tahun!”
“Hemmm…. Lembah Akhirat bukan tempat sembarangan. Sekali masuk tak mungkin keluar!”
“Mana bisa begitu. Setiap bisa masuk pasti bisa keluar! Lihat contohnya ini!” Lalu enak saja si gemuk berpeci kupluk itu memasukkan jari telunjuknya ke salah satu lobang hidung dan mengupil sambil kedip-kedipkan matanya. Sesaat kemudian jarinya dikeluarkan lalu berkata. “Nah, kau lihat sendiri. Jariku bisa masuk bisa keluar! Ha… ha… ha…!”
Walau jengkel tapi Ratu Duyung mau tak mau jadi tertawa juga. “Siapa nama pamanmu?” tanya Ratu Duyung pula.
“Kerbau Bunting,” jawab si gendut.
“Jangan bergurau! Masakan ada orang bernama Kerbau Bunting!”
“Tunggu dulu. Itukan panggilan jeleknya!” jawab si gendut. “Orang biasa menyebutnya dengan Dewa Ketawa!”
Kagetlah Ratu Duyung. “Aku pernah mendengar satu cerita. Jangan-jangan orang dalam cerita itu engkau adanya.”
“Tergantung siapa yang bercerita padamu.”
“Yang bercerita Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212….”
“Wah! Kalau si brengsek geblek itu yang bercerita padamu pasti betul. Pasti kau sekarang bisa menduga siapa diriku.”
“Ya, kau pasti yang dipanggil orang Bujang Gila Tapak Sakti.”
Si gemuk tertawa gelak-gelak. “Girang hatiku dikenali orang secantik dirimu. Aku sendiri juga pernah mendengar cerita tentang dirimu….”
“Dari siapa…?” tanya Ratu Duyung.
“Wah banyak sekali! Tak bisa kusebutkan satu persatu. Tapi yang jelas semua cerita itu tidak dusta. Jika ada seorang gadis berwajah cantik selangit tembus, memiliki potongan badan sebagus bidadari dan mempunyai mata sebiru permata di dasar lautan, siapa lagi orangnya kalau bukan Ratu Duyung….” Si gemuk betulkan letak kopiahnya lalu bertanya.
Ratu Duyung terkesiap karena si gendut itu ternyata tahu betul siapa dirinya.
“Eh, ngomong-ngomong apa kau tidak merasa panas saat ini?” Bujang Gila Tapak Sakti ajukan pertanyaan sambil seka keringat yang mengucur di kening, muka dan lehernya.
“Eh, malam mulai terasa dingin. Aneh kalau kau merasa panas dan keringatan….”
“itulah penyakit jelek orang gemuk!” kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.
Dari sela ketiaknya Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan sebuah benda. “Sreeeettt!” Ternyata benda itu adalah sebuah kipas kertas. “Aku memang tidak tahan panas. Kalau tak ada kipas ini celaka diriku. Jika kau merasa kepanasan mendekatlah ke sini biar angin kipas kita bagi dua..,. Tapi aku yakin kau tak berani mendekat. Kau takut akan aku apa-apakan. Padahal aku perjaka alim sejak lahir. Ha… ha… hal” Lalu si gemuk ini berkipas-kipas seenaknya. Padahal Ratu Duyung sudah sesak nafasnya mencium bau yang keluar dari ketiaknya.
“Bujang Gila jika kau tahu tentang Lembah Akhirat, tahu bahwa pamanmu terjebak di sana, apakah kau juga tahu bakal terjadi sesuatu di kawasan Telaga Gajahmungkur ini?”
Si gemuk terus saja berkipas-kipas tapi kali ini dia anggukkan kepala berulangkali. “Dunia sudah kotor oleh perbuatan yang tidak karuan para tokoh silat golongan hitam. Yang golongan putih malah ikut-ikutan! Sudan saatnya disapu bersih sampai ke akar­akarnya. Kau tahu laki-laki dan perempuan sekarang ini sudah sama-sama pintarnya kencing berdiri! Ha… ha… ha!”
Ratu Duyung menutup mulutnya menahan ketawa. Lalu gadis ini memandang ke langit. Setelah itu berpaling ke arah perginya Wiro. Bujang Gila memperhatikan. “Sejak tadi kulihat kau menatap ke langit lalu memandang ke jurusan sana. Ada apa…?”
“Aku tidak melihat bulan purnama muncul di langit. Padahal rembulan itu satu isyarat atas dimulainya pertemuan orang-orang golongan putih dalam menghadapi orang-orang Lembah Akhirat….”
“Hal itu sudah kudengar dan kuketahui. Lalu apa yang menyebabkan kau berulangkali memandang ke jurusan sana?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Terus terang aku tengah menunggu kedatangan seseorang….”
Si gemuk kedap-kedipkan matanya. “Yang kau tunggu bukankah seorang pemuda?”
“Kau hanya menduga-duga!”
“Yang kau tunggu bukankah Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Ratu Duyung heran..
Si gemuk itu tertawa lebar. “Waktu kalian berdua sampai di tempat ini tadi, aku sudah lama nongkrong di sini. Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Aku juga melihat kalian berpeluk cium. Asyiknya! Ha… ha… ha!”’
Merah padam wajah Ratu Duyung mendengar kata-kata Bujang Gila Tapak Sakti itu. “Gendut! Ternyata kau seorang kurang ajar yang suka mengintip orang!”
“Jangan kau salah sangka. Ada ujar-ujar mengatakan begini. Sengaja mengintip adalah dosa! Tidak sengaja mengintip adalah rejeki. Nah, aku ini ‘kan termasuk golongan yang terakhir itu! Ha… ha…ha!” Si gendut tertawa gelak-gelak hingga perut dan dadanya yang gembrot berguncang-guncang.
Setelah mengusap mukanya yang basah oleh keringat Bujang Gila Tapak Sakti berkata. “Ratu Duyung, kalau kau sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng, berarti aku adalah juga sahabatmu. Aku orangnya memang suka bercanda. Jangan kau salah paham. Sekarang, kalau aku boleh memberi nasihat harap kau segera menyusul Pendekar 212. Aku menaruh firasat, jangan-jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan dirinya.”
“Hatiku memang was-was. Apa kau bisa menduga siapa orang yang berniat jahat terhadapnya? Mungkin ada orang yang hendak menjebaknya?”
“Tidak dapat kupastikan. Tapi yang jelas kudengar dia telah kehilangan kesaktian dan tenaga dalamnya. Berarti kemana pun dia pergi bahaya besar selalu mengikutinya. Kalau orang-orang Lembah Akhirat sampai menangkapnya, nyawanya tidak akan tertolong.”
“Bujang Gila, kuceritakan padamu. Ada seseorang meminta Wiro datang ke satu tempat. Katanya di tempat itu Wiro akan disembuhkan dari malapetaka yang menimpa dirinya dengan sebilah pedang. Apakah orang itu berdusta dan hendak mencelakainya?”
Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng. “Lekas kau tinggalkan tempat ini. Susul pemuda itu. Kalau sampai terlambat kau bisa menyesal.”
“Akan kuturuti nasihatmu. Tapi kau sendiri bagaimana?”
“Aku akan tetap di sini dulu. Berangin-angin berkipas-kipas sampai tubuhku terasa sejuk,” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.
Mendengar kata-kata Bujang Gila tapak Sakti itu Ratu Duyung segera berkelebat ke arah jalan yang tadi ditempuh Pendekar 212 Wiro Sableng. (Untuk lebih jelas siapa adanya Bujang Gila Tapak Sakti harap baca serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti).
Belum lama Ratu Duyung berlalu, di dalam gelap kelihatan sosok seorang anak yang melangkah sambil mulutnya berucap.
“Seratus tombak ke timur. Membelok ke kanan melangkah dua puluh tombak. Sudan kulakukan! Melangkah terus ke kiri. Berhenti tujuh langkah di depan rumpun bambu. Hemmm…. Rumpun bambu sudah kutemukan. Di depan rumpun di situ akan kujumpai orang yang kucari!” Anak itu yang bukan lain adalah Naga Kuning, memandang berkeliling. “Rumpun bambu sudah ada. Tapi orang yang kucari tidak kelihatan. Cuma ada sebuah area besar. Hemmm…. Bagaimana ini. Jangan-jangan Kakek Segala Tahu keliru memberi penjelasan…. Mana tempat ini banyak nyamuk, dingin. Lalu ada bau aneh. Seperti bau ketiak….”
Merasa letih Naga Kuning dudukkan tubuhnya di tangan area. Tiba-tiba plaak! Satu tamparan melanda pantat Naga Kuning hingga bocah ini terpelanting jatuh di tanah lalu terkentut-kentut. Dia cepat bangkit sambil memandang ke arah area yang tadi didudukinya.
“Gila! Tidak mungkin! Mana bisa area batu menggebuk pantatku!” kata Naga Kuning.
“Anak kurang ajar! Buka matamu lebar-lebar! Apa aku ini arca?!”
Kagetlah Naga Kuning. Anak ini sampai tersurut beberapa langkah ketika mendengar benda besar yang mendekam dalam gelap di depan pohon bambu mengeluarkan suara! takut-takut dia melangkah mendekati. Dari jarak empat langkah bocah ini melotot memeriksa.
“Astaga! Kau pasti si gemuk yang aku cari! Kau pasti Bujang Gila Tapak Sakti yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Sobatku gendut harap maafkan diriku! Kukira kau area gajah yang hidungnya sudah gerumpung! Ha… hal., ha!”
“Anak seta nil Kupiting kepalamu, kusumpal hidungmu dengan ketiakku baru kau tahu rasa!” memaki Bujang Gila Tapak Sakti.
Dendam Dalam Titisan
“Bujang Gila Tapak Sakti, aku disuruh Kakek Segala Tahu mencarimu. Sudan bertemu sekarang lekas kau ikut aku. Ada satu urusan penting yang harus kau bantu!”
“Aku juga punya urusan penting! Mencari kakekku Si Dewa Ketawa yang terjebak masuk ke dalam Lembah Akhirat!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kalau begitu kebetulan sekali! Kau memang mau disuruh pergi ke Lembah Akhirat itu! Ayo! Sebelum tengah malam urusan musti sudah rampung!” Naga Kuning tarik lengan si gemuk agar cepat bangun. Tapi Bujang Gila Tapak Sakti tidak bergerak malah keluarkan suara kentut keras sekali.
“Tanggal hidungku!” seru Naga Kuning seraya menekap hidungnya dengan tangan kiri.
“Tadi kau mengentuti aku! Sekarang giliranku membalas!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu tertawa gelak-gelak. Dengan susah payah si gemuk ini bangkit berdiri. Sebelum melangkah dia seka dulu keringat di muka dan lehernya. Rapikan bajunya yang kesempitan dan atur letak kopiah hitamnya yang kupluk. Lalu dia mulai melangkah. Sambil berjalan mengikuti Naga Kuning dia bersiul-siul. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya angin dan semburan ludah. Naga Kuning memaki panjang pendek karena semburan ludah si gendut itu ada yang mengenai tengkuknya.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4496 - 4499

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4496-4499 Thomas benar-benar tercengang saat melihat pemandangan di depannya, wajahnya luar biasa.  "Ini...i...