WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
1
DALAM
serial sebelumnya berjudul “Selir Pamungkas” diceritakan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah berhasil menyusupkan kekuatan gaib jahat ke dalam diri Empu
Semirang Biru. Ketika itu sang Empu berada di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa
menjaga Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang menancap di langit-langit ruangan. Dia
juga tengah menunggu kedatangan para sahabat muda yaitu Pendekar 212 Wiro
Sableng, Kunti Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi serta Jaka Pesolek. Jalan
pikiran Empu Semirang Biru telah dikuasai dan dikendalikan oleh Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Dia diperintah untuk menyiasati agar mendapatkan Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi dan ternyata memang berhasil.
Setelah
mendapatkan senjata sakti mandraguna yang dibuatnya sendiri di Gunung Bismo
itu, sang Empu keluar dari Ruang Segi Tiga Nyawa melalui lobang di lantai
ruangan yang disebut Terowongan Arwah yang dibuat oleh Sinuhun Merah Penghisap
Arwah.
Karena
pikiran sehatnya tidak bisa bekerja di samping siasat licik Ratu Randang, Empu
Semirang Biru tidak menyadari kalau keris yang dibawanya adalah keris palsu.
Keris diserahkan pada Sinuhun Merah Penghisap Arwah di dalam sebuah goa di
balik air terjun. Di tempat itu hadir pula Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran
Matahari, Sinuhun Muda Ghama Karadipa serta bocah sakti Dirga Purana yang
datang sambil gandeng Ni Gatri.
Ketika
keris dikeluarkan dari balik pinggang pakaian putih, sepasang mata Sinuhun
Merah bergeletar. Kening bocah dua belas tahun Dirga Purana yang mendukung Ni
Gatri mengerenyit. Pangeran Matahari tegak congkak tak bergerak, mata menatap
dingin tak berkesip.
Sinuhun
Muda Ghama Karadipa cepat mengambil keris dari tangan Empu Semirang Biru. Mata
mendelik besar meneliti. Kaki tersurut dua langkah. Keris tak bersarung tak
bergagang terasa dingin. Tak ada hawa kehidupan. Pancaran sinar yang keluar
dari badan keris berwarna merah kehitaman dan sangat redup. Cahaya yang sangat
tidak pantas bagi sebilah keris sakti mandraguna yang bakal dijadikan pusaka
Istana Kerajaan Mataram.
Dengan
cepat Sinuhun Muda memperhatikan dan menghitung jumlah luk di badan keris. Lalu
dia berkata, “Sinuhun Merah, keris ini memang memiliki sembilan luk. Tapi
rasanya ada sesuatu…”
Dengan
cepat Sinuhun Merah mengambil keris dari tangan saudara nyawa kembarnya. Sejak
pertama kali melihat senjata tersebut sebenarnya dia telah menaruh curiga.
Begitu juga dengan bocah dua belas tahun Dirga Purana walau selalu sibuk dengan
Ni Gatri yang berada di panggulan bahu kirinya dalam keadaan tidak sadar karena
di bawah pengaruh totokan. Pandangan mata makhluk atau orang sakti seperti
mereka memang tidak dapat ditipu.
Begitu
keris dipegang di tangan, Sinuhun Merah segera mendekatkan senjata ke hidung
lalu mencium dalamdalam.
“Palsu!”
Teriak Sinuhun Merah menggeledek. Mata merah mendelik besar. Blangkon di kepala
sampai naik satu jengkal dan ubun-ubun kepulkan asap merah. Ini bukan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli! Keris jahanam ini terbuat dari kepingan Rantai
Kepala Arwah Kaki Roh! Aku bisa menciumnya! Empu keparat! Kau berani menipuku!”
Bukk!
Kraakk!
Tendangan
kaki kiri Sinuhun Merah di arah dada membuat Empu Semirang Biru terpental dan
terkapar di lantai goa. Dua tulang iganya patah. Jeritan sang Empu menggelegar
merobek suara deru curahan air terjun.
Dalam
gelegak amarah, Sinuhun Merah, Sinuhun Muda dan bocah sakti Dirga Purana
sepakat untuk segera menghabisi Empu Semirang Biru saat itu juga walau sang
Empu meratap minta ampun, memberi tahu kalau dia tidak punya niat menipu. Dia
tidak tahu bagaimana keris itu tahu-tahu palsu karena sebelumnya dia menerima
sendiri senjata tersebut dari Ratu Randang.
Pangeran
Matahari yang di Bhumi Mataram dikenal dengan panggilan Ksatria Roh Jemputan
mengusulkan agar sang Empu jangan dibunuh tapi dimanfaatkan begitu rupa hingga
berhasil menuntaskan rencana untuk menyingkirkan raja dan sekaligus menguasai
Kerajaan.
Merasa
usulan Ksatria Roh Jemputan masuk diakal Sinuhun Merah Penghisap Arwah
mengampuni Empu Semirang Biru namun sesuai siasat kakek ahli pembuat senjata
itu harus mencari dan menemui raja. Berpura-pura hendak menyerahkan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Begitu Raja lengah sang Empu harus cepat menikam raja.
“Cukup
satu tikaman! Nyawa raja keparat itu pasti amblas!” kata Sinuhun Muda.
“Betul!”
menyahuti Sinuhun Merah. “Cukup satu tikaman. Raja pasti menemui ajal. Karena
keris akan aku bungkus dengan racun Cakar Sukma Merah! Selain itu aku juga akan
memberikan kekuatan pada tubuhmu yang kurus kering tua renta!”
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah angkat dua tangan. Satu diletakkan di atas kepala Empu
Semirang Biru, yang satu lagi digenggamkan ke keris palsu. Dua cahaya merah
memancar dari dua tangan sang Sinuhun Merah. Empu Semirang Biru merasa tubuhnya
menjadi agak segar dan sakit akibat dua tulang iganya yang patah terasa
berkurang. Sinuhun Merah serahkan kembali keris palsu pada Empu Semirang Biru.
Ketika
Empu Semirang Biru siap untuk pergi, Sinuhun Merah memaksanya menelan sebuah
benda bulat merah seujung jari. Benda itu ternyata adalah Racun Kala Merah.
“Jika
dalam tiga hari kau tidak berhasil membunuh Raja Mataram, Racun Kala Merah akan
merenggut nyawamu! Kau akan mampus dengan tubuh leleh menjadi lendir!”
Sekujur
tubuh Empu Semirang Biru bergetar menggigil. Di hadapannya sambil menyeringai
dan usap janggut hitam di dagu Sinuhun Muda berkata, “Jika kau berhasil
menghabisi Raja Mataram sebelum hari ke tiga, lekas menemui kami. Kami akan
memberikan obat penangkal pemusnah Racun Kala Merah yang ada dalam tubuhmu! Kau
dengar itu Empu?!”
“Saya
dengar Sinuhun.” Jawab Empu Semirang Biru.
Sinuhun
Muda tertawa bergelak, kedipkan mata pada Sinuhun Merah pertanda apa yang
barusan dikatakannya tentang obat penangkal adalah dusta belaka.
“Sekarang
lekas laksanakan perintah Sinuhun Merah!” Kata Sinuhun Muda pula lalu tendang
pantat orang tua itu hingga terguling di lantai goa.
Walau
dirinya diperlakukan semena-mena seperti itu bahkan kemudian dihina dipaksa
merangkak melewati selangkangan Sinuhun Merah, namun Empu Semirang Biru tidak
berdaya melawan.
**************************
MENCARI
dan menemui Raja Mataram Raka Kayuwangi Dyah Lokapala bukan hal yang mudah bagi
Empu Semirang Biru. Apa lagi dalam keadaan cidera dua tulang iga patah akibat
tendangan Sinuhun Merah. Selain itu seperti diceritakan sebelumnya, bersama
rombongannya yang pernah menyelamatkan diri di Bukit Batu Hangus, saat itu Raja
Mataram telah mengasingkan diri di satu tempat rahasia yaitu bekas Sumur Api
yang terletak di satu rimba belantara antara kawasan Prambanan dan Kali
Dengkeng.
Tujuan
pertama yang didatangi Empu Semirang Biru adalah Kotaraja. Dia langsung menuju
istana namun jadi kecewa karena didapati bangunan istana dalam keadaan sunyi
gelap, sebagian berada dalam keadaan runtuh. Tak ada yang menghuni bahkan tidak
seorang prajurit atau pengawalpun terlihat di situ. Empu Semirang Biru
mengelilingi bangunan istana sampai tiga kali bahkan masuk menyelidik ke dalam
reruntuhan bangunan. Dia tidak menemukan seorangpun. Dia cepat-cepat kembali ke
halaman depan.
“Jelas
Sri Maharaja Mataram yang harus aku bunuh tidak ada di sini…” Ucap Empu
Semirang Biru. Tubuhnya yang kurus terduduk lemas di tanah. Rasa haus tak
tertahankan menyengat tenggorokannya. Saat itu kegelapan malam membuat segala
yang terlihat di depan mata berwarna hitam. Semakin malam semakin sunyi dan
dingin.
“Aneh,
mengapa tubuhku sekarang menjadi lemas. Apakah kekuatan yang diberikan Sinunun
Merah telah luntur. Aku haus sekali…”
Lapat-lapat
di kejauhan terdengar suara lolongan anjing.
“Hanya
anjing yang ada. Makhluk yang tidak bisa kutanyai tak bisa menjawab di mana
beradanya Raja Mataram…” Kata Empu Semirang Biru sambil duduk tersandar di
dinding kanan pintu gerbang istana. “Kalau saja dulu Raja Mataram tidak
menyuruh aku membuat keris itu, nasibku tidak akan jadi begini. Sekarang
rasanya memang cukup pantas kalau aku membunuhnya!”
Saat itu
keadaan sang Empu sudah sangat lemah. Seharian tidak ada minuman yang diteguk,
tak ada makanan yang ditelan. Bibir kering, tenggorokan laksana disengat api.
Sebenarnya Empu ini memiliki kesaktian yang membuat dia bisa bertahan tidak
minum dan tidak makan selama empat puluh hari. Namun Racun Kala Merah yang
berada dalam perutnya telah membuat dia menjadi sangat lemah.
Sang Empu
menarik nafas dalam. Hidungnya mencium bau busuk. Memandang ke kiri dia melihat
sebuah comberan. Bau busuk air hitam comberan itulah yang menusuk penciumannya.
Lidah kelu diulur mengusap bibir kering.
“Agaknya
hanya air comberan itu rejeki yang dapat kuminum…” Kata sang Empu dalam hati.
Perlahan-lahan dia mencoba berdiri. Namun kakinya terpeleset. Sebelum jatuh
tertelentang ke tanah, setengah sadar dia merasa ada angin menyambar lalu di
depannya, sungguh tidak diduga muncul satu sosok putih. Sosok jerangkong.
“Tengkorak
hidup… hantu… setan… mungkin juga penjaga neraka sudah datang menjemput
diriku.” Ucap Empu Semirang Biru dalam hati. Dia hanya menunggu pasrah apa yang
akan terjadi. Tangan kanan diselinapkan ke balik pakaian, menggenggam keris tak
bergagang. Tibatiba jerangkong membungkuk, tangan kanan bergerak. Tahu-tahu
sang Empu sudah berada di atas pundak kanan. Sekali dua kaki bergerak, wuutt!
Jerangkong hidup melesat dan lenyap dalam kegelapan di arah timur Kotaraja.
***********************
2
EMPU
Semirang Biru merasa ada orang menotok beberapa bagian tubuhnya. Lalu ada
telapak tangan ditempel di kening dan dada. Sesaat kemudian dia merasa hawa
sangat sejuk memasuki kaki, naik ke badan terus ke kepala. Sepasang mata yang
sejak tadi setengah terpejam cepat-cepat dibuka. Bersamaan dengan itu rasa
lemas tak berdaya yang sebelumnya dirasakan lenyap dengan seketika. Bahkan
kakek berwajah tinggal kulit pembalut tulang ini bisa bergerak bangkit lalu
duduk. Dia dapatkan diri berada di dalam satu ruangan batu pualam berwarna
putih kelabu. Di sebelah kiri dia melihat satu pedataran pasir aneh yang seumur
hidup baru kali itu disaksikannya. Pasir pedataran berwarna kuning, berkilau
seperti emas.
Menoleh
ke kanan sang Empu melihat seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu serta
berkasut putih. Kakek ini berdiri sambil rangkapkan dua tangan di atas dada.
Wajahnya yang jernih tampak tersenyum. Sebaliknya wajah Empu Semirang Biru
tampak mengerenyit. Ketika dia hendak membuka mulut bertanya, orang bersorban
mendahului berkata.
“Empu
Semirang Biru, kau berada dalam keletihan luar biasa. Tenggorokanmu laksana api
dalam sekam. Teguklah minuman dalam cangkir ini lebih dulu…”
Empu
Semirang Biru terkejut orang mengetahui namanya. Dia berpikir-pikir namun kakek
bersorban di hadapannya telah mengulurkan tangan. Tangan yang tadi tidak ada
apa-apanya itu tahu-tahu kini telah memegang sehelai cangkir porselen putih
berisi air bening.
“Minumlah
agar Empu sehat dan kuat kembali.
Minuman
ini sekaligus akan melancarkan peredaran darah…”
Empu
Semirang Biru sesaat merasa ragu. Apa betul orang berbaik hati hendak
memberinya minum atau bermaksud meracuni. Tapi ingat pada Racun Kala Merah yang
ada dalam tubuhnya sang Empu menjadi acuh. Cangkir putih diambil lalu cairan di
dalamnya diteguk sampai habis. Begitu cairan habis sang cangkir lenyap dari
pegangannya!
“Luar
biasa…” Wajah Empu Semirang Biru tampak bercahaya. Dia pandai menyembunyikan
rasa kagumnya. “Saya merasa segar. Kekuatan saya pulih kembali. Rasa haus
lenyap dengan seketika.” Tapi ketika memandang ke arah pedataran pasir kuning
wajah ahli pembuat senjata ini tampak agak tercekat.
“Empu
Semirang Biru, kau tidak usah khawatir. Kau berada di tempat aman. Apakah kau
masih mengenali diri saya?” Orang bersorban dan berjubah kelabu terbuat dari
sutera bertanya.
Empu
Semirang Biru bangkit berdiri. Tubuh agak membungkuk. Sejurus dia menatap orang
di hadapannya sebelum berkata, “Sampean, bukankah kau… kau orang yang malam itu
datang ke Puncak Gunung Bismo ketika saya tengah menempa keris pesanan Raja
Mataram…”
“Betul.”
Orang bersorban dan berjubah kelabu di hadapan sang Empu menjawab.
“Sampean
yang memberi ilmu kesaktian hingga tangan saya berubah menjadi bara menyala.
Hingga saya mampu menempa dan menyelesaikan pembuatan keris sakti perintah Yang
Mulia Raja Mataram hanya dalam waktu tiga hari…”
Kakek
bersorban tersenyum lalu anggukkan kepala.
Empu
Semirang Biru terdiam, seperti berpikir mengingat-ingat. Lalu dia berkata,
“Sampean, bukankah sampean kakek gagah bernama Kumara Gandamayana, orang utama
kepercayaan Sri Maharaja Mataram?”
“Itu juga
betul.” Kembali kakek bersorban menjawab.
Empu
Semirang Biru ingat peristiwa di luar Ruang Segi Tiga Nyawa. Sosok Kumara
Gandamayana muncul. Di dalam tubuhnya ternyata ketumpangan sosok Sinto Gendong
guru Ksatria Panggilan yang disusupkan oleh Sinuhun Merah. Sang guru kemudian
merobek dada muridnya, mengambil satu senjata berupa sebuah kapak.
Dalam
hati Empu Semirang Biru membatin, “Kalau kakek di hadapanku ini juga makhluk
susupan Sinuhun Merah, aku tidak perlu merasa khawatir. Tapi kalau…” Sang Empu
menatap ke arah pedataran berpasir kuning emas lalu memperhatikan keadaan
sekeliling ruangan.
“Sahabat
Kumara Gandamayana, kalau sampean berada di sini, berarti ini adalah tempat
rahasia di mana Sri Maharaja Mataram dan keluarga serta para pengikutnya
berada. Saya sungguh bersyukur…”
Sepasang
mata Kumara Gandamayana mengecil, menatap lekat-lekat ke arah sang Empu lalu
bertanya, “Dari mana Empu mengetahui kalau ini tempat rahasia dan Raja Mataram
berada di sini bersama keluarga dan para pengikutnya?”
“Harap
maafkan kalau saya keliru. Saya hanya menduga. Karena saat ini saya membekal
satu amanat tugas luar biasa penting. Tapi saya lebih dulu ingin tahu bagaimana
saya bisa berada di sini. Padahal saya sudah setengah mati mencari dari siang
sampai malam. Saya hampir meneguk air comberan saking haus luar biasa. Kalau
saja sampean tahu dan mau menceritakan saya sangat berterima kasih.”
“Satu
makhluk alam gaib menemukan Empu dekat rimba belantara di Prambanan. Dia
membawa Empu ke tempat ini.” Menerangkan Kumara Gandamayana.
“Makhluk
alam gaib?” Empu Semirang Biru kembali mengingat-ingat. “Sewaktu saya nyaris
pingsan karena kelelahan dan kehausan, mendadak muncul satu sosok menyeramkan.
Saya melihat tengkorak. Jerangkong hidup! Apakah makhluk itu yang sampean maksudkan
dan yang telah menolong saya dan membawa ke tempat ini?”
“Benar.”
jawab Kumara Gandamaya.
“Saya
sangat bersyukur. Rupanya para Dewa telah mengulurkan pertolongan melalui
jerangkong hidup itu untuk menolong saya. Tapi adalah aneh, mengapa makhluk jerangkong
dari alam roh itu mau menolong saya. Apakah dia seseorang yang pernah saya
kenal. Atau dia mengenal saya…”
Tiba-tiba
ada suara mengiang di telinga kiri Empu Semirang Biru, “Empu tolol! Kau
ditugaskan untuk mencari dan membunuh Raja Mataram. Bukan ngobrol panjang lebar
dengan cecunguk kaki tangannya. Lekas laksanakan tugasmu!”
Wajah
sang Empu berubah. Dia cepat mengusap muka. Namun sepasang mata Kumara
Gandamayana tidak dapat ditipu. Kakek bersorban kelabu ini bertanya, “Ada apa
Empu? Kau sepertinya…”
“Tidak,
tidak ada apa-apa. Maaf, sampean belum menjawab pertanyaan saya tadi. Mengapa
makhluk jerangkong hidup itu menolong saya.”
Kumara
Gandamayana tersenyum. “Bukankah tadi Empu sendiri yang mengatakan bahwa itu
adalah uluran tangan pertolongan para Dewa?” Orang kepercayaan Raja Mataram ini
tidak mau menerangkan kalau jerangkong hidup itu sebenarnya adalah Emban
Buyutnya sendiri yang bernama Lor Pengging Jumena.
Empu
Semirang Biru usap janggut birunya lalu anggukkan kepala.
Kumara
Gandamayana lantas berkata. “Sekarang beri tahu saya amanat tugas penting apa
yang tengah Empu emban?”
Diam-diam
Empu Semirang Biru mulai merasa khawatir kalau-kalau orang di hadapannya tahu
apa yang tersembunyi di balik kehadirannya di tempat rahasia itu.
“Sahabat,
saya percaya padamu. Terus terang saya datang membawa Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Untuk diserahkan kepada pemiliknya yang tunggal dan sah yaitu Yang
Mulia Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.”
Kumara
Gandamayana terkejut tapi sekaligus gembira. “Dewa Bathara Agung. Saya tidak
menyangka. Ini satu peristiwa besar!”
“Waktu
saya tidak lama. Bisakah saya menghadap Yang Mulia Raja saat ini juga?” Empu
Semirang Biru berkata sambil dekapkan dua tangan di atas dada lalu membungkuk
pertanda dia memohon dengan hormat tetapi sangat.
“Tentu
saja. Tapi Empu, perbolehkan saya melihat keris sakti itu terlebih dulu.”
“Sahabat,
mohon maaf sampean. Saya ingin memperlihatkan dan menyerahkan Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi langsung ke tangan Yang Mulia Sri Maharaja Mataram. Harap sampean
tidak tersinggung…”
“Empu
tidak mempercayai saya?” Tanya Kumara Gandamayana pula.
“Bukan
tidak mempercayai. Saya justru sangat menghormat sampean.” Jawab Empu Semirang
Biru sambil tersenyum lalu usap janggut yang berwarna biru.
Kumara
Gandamayana terdiam sejenak. Kemudian dia berkata. “Kalau begitu keinginan
Empu…”
“Maaf,
ini bukan keinginan saya. Saya hanya menjalankan amanat”
Kumara
Gandamayana tersenyum, “Baiklah, saya akan mengantarkan Empu menemui Yang Mulia
Raja Mataram. Tapi sebelumnya saya ada satu pertanyaan.”
“Pertanyaan
apa?” Tanya Empu Semirang Biru sambil meluruskan tubuh. Walau orang di
hadapannya tampak tersenyum, namun dalam hati sang Empu merasa tidak senang.
***********************
3
KUMARA
Gandamayana rangkapkan dua tangan di depan dada. Suaranya tenang dan sabar
ketika berkata. “Menurut kabar yang saya ketahui, Keris Sepuh Kanjeng Pelangi
lenyap dicuri orang beberapa ketika setelah Empu menyelesaikan pembuatannya.
Saat itu keris sakti masih belum bergagang dan bersarung.”
“Itu
benar. Itu bukan merupakan rahasia lagi di Bhumi Mataram. Terutama di kalangan
orang-orang Kerajaan dan orang-orang rimba persilatan.” Kata Empu Semirang Biru
pula.
“Cerita
selanjutnya yang saya ketahui, keris sakti berluk sembilan itu dicuri oleh
seorang pertapa yang telah meninggal dunia. Sang pertapa bernama Sedayu
Galiwardhana. Sinuhun Merah Penghisap Arwah berhasil mengeluarkannya dari alam
roh, menguasai dan mengendalikan dirinya. Merubah ujudnya sebagai Raden Ageng
Daksa palsu. Namun pertapa itu kemudian menemui ajal untuk kedua kali di Candi
Kalasan sewaktu bentrokan dengan Ksatria Panggilan yang dibantu oleh beberapa
tokoh perempuan, antaranya Ratu Randang.”
“Ah,
sungguh satu cerita nyata luar biasa. Kalau sampean tidak menuturkan, saya
tidak pernah tahu riwayat itu.” Berkata dusta Empu Semirang Biru.
“Yang
ingin saya ketahui,” kata Kumara Gandamayana pula, “Bagaimana Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi tahu-tahu sekarang berada di tangan Empu dan katanya hendak
diserahkan pada Yang Mulia Sri Maharaja Mataram.”
Empu
Semirang Biru menatap dalam-dalam ke mata orang di hadapannya. Saat itulah dia
kembali mendengar suara mengiang di telinga kiri, “Empu tolol! Lekas kau bunuh
kakek bersorban yang banyak mulut dan banyak bertanya itu! Tampaknya dia akan
menyusahkan dirimu. Bisa-bisa tugas utamamu tidak terlaksana! Jahanam! Dia
telah menaruh curiga padamu!”
Suara
mengiang itu adalah suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Empu Semirang Biru
menduga-duga di mana keberadaan Sinuhun Merah saat itu. Pasti tidak jauh di
luar tempat rahasia itu. Kalau tidak, mana mungkin dengan kesaktiannya dia
mengetahui apa yang tengah dibicarakan. Sekalipun sangat takut dan berada di
bawah kendali Sinuhun Merah Penghisap Arwah namun Empu Semirang Biru saat itu
punya jalan pikiran sendiri. Membunuh Kumara Gandamayana sama saja mencari
kehebohan. Jika itu terjadi, niat utama untuk membunuh Raja Mataram mungkin
tidak pernah kesampaian malah dia akan mendapat celaka. Maka sang Empu tidak
melakukan apa yang diperintah Sinuhun Merah.
“Empu
jahanam! Kau berani kurang ajar tidak melakukan apa yang aku perintah!” Suara
ngiangan Sinuhun Merah menyumpah di telinga kiri Empu Semirang Biru. Sang Empu
usap-usap rambutnya yang riap-riapan dan berusaha bersikap tenang.
“Sahabat
Kumara Gandamayana, setelah pertapa Sedayu Galihwardhana terbunuh, para Dewa
turun tangan menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Senjata sakti yang
bakal menjadi pusaka Kerajaan Mataram itu dimasukkan Para Dewa ke dalam satu
ruangan bernama Ruang Segi Tiga Nyawa. Saya juga ikut dimasukkan untuk
mengawasi. Saya hanya bisa menjaga karena saya tidak bisa menyentuh senjata
itu. Sinuhun Merah Penghisap Arwah, dibantu oleh bocah sakti bernama Dirga
Purana, walau tidak mampu menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa tapi
mereka masih bisa menyusupkan ilmu-ilmu dahsyat ke dalam Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Siapa saja yang mendekati keris, apa lagi sampai menyentuhnya maka
dari dalam keris akan menyambar petir dahsyat.”
“Lalu
bagaimana sekarang keris itu bisa berada di tangan Empu?” Tanya Kumara
Gandamayana.
“Cerita
saya belum selesai,” jawab sang Empu. Lalu Empu ini menuturkan bagaimana dia
meminta Empat Mayat Aneh menculik Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal untuk
dibawa menemuinya. Dia juga menceritakan kedatangan seorang gadis bernama Jaka
Pesolek yang mampu menangkap petir yang memang sangat diharapkannya.
“Berkat
pertolongan kedua orang itu, Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berhasil diambil dari
langit-langit ruangan dan diserahkan kepada saya.”
“Siapa
yang menyerahkan?” Tanya Kumara Gandamayana pula.
“Nenek
sakti bernama Ratu Randang.” Jawab Empu Semirang Biru. “Bukankah dia salah
seorang pembantu kepercayaan Raja?”
“Betul,
dia memang salah seorang pembantu kepercayaan Raja Mataram.” jawab Kumara
Gandamayana.
Mulut
berucap tapi pikiran dan hati sama bertanyatanya. “Mengapa Ratu Randang
menyerahkan keris pada Empu ini, tidak menyerahkan sendiri ke tangan Raja?”
“Selain
Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi, siapa lagi yang ada dalam Ruang
Segi Tiga Nyawa?” Kumara Gandamayana bertanya hendak menguji apakah sang Empu
akan menjawab jujur atau tidak.
“Seorang
pemuda yang dikenal sebagai Ksatria Panggilan, lalu gadis berpakaian hijau
bernama Kunti Ambiri…” Menjawab Empu Semirang Biru.
“Setelah
menerima keris dari Ratu Randang, Empu langsung saja meninggalkan orang-orang
itu?”
“Benar,
karena saya merasa perlu harus bertindak cepat. Menyerahkan keris kepada Yang
Mulia Raja Mataram. ‘‘ Empu Semirang Biru diam sesaat lalu bicara lagi “Sahabat
Kumara Gandamayana, saya tidak bisa berlamalama bicara denganmu di tempat ini.
Mohon dimaafkan. Saya harus segera menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada
Yang Mulia Raja Mataram. Saya mohon sampean segera mengantar saya menghadap
beliau.”
“Empu
Semirang Biru, harap kau bersabar menunggu di tempat ini. Saya akan memberi
tahu kedatanganmu pada Raja Mataram.”
“Saya
sangat berterima kasih.” kata Empu Semirang Biru sambil bungkukkan badan.
Tak
selang berapa lama Kumara Gandamayana muncul kembali mengiringi seorang lelaki
gagah berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambut tergerai
sebahu dan kumis serta janggut meranggas kasar.
Walau
tidak mengenakan mahkota namun Empu Semirang Biru mengenali, orang yang
melangkah di depan Kumara Gandamayana itu adalah Sri Maharaja Mataram Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala.
Empu
Semirang Biru cepat-cepat berlutut susuk dua tangan di atas kepala seraya
berkata. “Salam hormat saya untuk Sri Maharaja Mataram. Mohon dimaafkan kalau
kedatangan saya telah mengganggu ketenteraman Yang Mulia.”
“Empu
Semirang Biru, berdirilah. Lama saya tidak mendengar kabar tentang dirimu. Saya
lihat Empu tidak kurang suatu apa. Apa benar Empu datang untuk menyerahkan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi seperti yang diberitahukan kakek Kumara
Gandamayana?”
Empu
Semirang Biru rundukkan kepala hingga kening hampir menyentuh lantai
“Mohon
maaf Yang Mulia. Keris sakti hilang dirampas orang ketika masih berada di
tangan saya. Saya merasa sangat bertanggung jawab untuk menemukannya kembali.
Para Dewa telah menolong saya. Saya berhasil mendapatkan keris dan saya merasa
punya kewajiban untuk menyerahkan ke tangan Yang Mulia”
“Kalau
begitu perlihatkanlah keris sakti itu. Empu boleh menyerahkan kepada saya
sekarang juga.” Kata Raja Mataram pula.
Empu
Semirang Biru bangkit berdiri. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sebuah benda
yang dibungkus kain putih. Kain pembungkus di buka. Kelihatan sebilah keris
berluk sembilan tidak bergagang. Selarik sinar merah kehitaman menyelubungi
keris mulai dari ujung yang lancip di sebelah atas sampai ke bagian gagang di
sebelah bawah.
Raja
Mataram perhatikan senjata itu sejenak. Sebelumnya dia memang tidak pernah
melihat ujud Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang dimintanya sang Empu untuk
membuat. Raja ulurkan tangan namun tiba-tiba dia melihat Kumara Gandamayana
yang sengaja berpindah tegak ke hadapannya gelengkan kepala perlahan sembari
kedipkan mata. Walau tidak mengerti apa maksud isyarat yang diberikan kakek
pembantu kepercayaannya itu, namun Raja Mataram serta merta tarik dua tangannya
yang barusan diulur.
“Yang
Mulia,” Empu Semirang Biru berkata. “Sekali lagi saya mohon maaf atas kelalaian
hingga keris sakti ini sampai dicuri orang. Mudah-mudahan dengan bantuan serta
kesaktian keris ini Yang Mulia mampu keluar dari semua kesulitan dan memimpin
Bhumi Mataram kembali. Saya mohon Yang Mulia sudi menerima Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi ini…”
Empu
Semirang Biru tundukkan kepala, maju dua langkah sambil ulurkan dua tangan.
Bagian pertengahan keris sampai ke ujung lancip diletakkan di atas telapak
tangan kiri. Tangan kanan menggenggam gagang senjata.
“Empu
Semirang Biru! Tetap di tempatmu! Jangan berani bergerak! Berikan keris
padaku!” Tiba-tiba Kumala Gandamayana membentak.
***********************
4
SAHABAT
Kumara Gandamayana, ada apakah…?” Bertanya Empu Semirang Biru sambil kepala
dipalingkan sedikit. Tapi dua kaki terus saja melangkah. Dan tiba-tiba sekali,
tangan yang menggenggam gagang keris laksana kilat bergerak. Cahaya merah
kehitaman yang tadinya redup membungkus keris tiba-tiba memancar terang. Ujung
keris berkiblat ke arah dada kiri Raja Mataram.
Secepat
yang bisa dilakukan Kumara Gandamayana melompat ke depan mendorong Raja
Mataram. Raja terjengkang jatuh tapi selamat dari tusukan keris yang mengarah
dada. Sebaliknya mata keris menyambar ke arah lengan kiri Kumara Gandamayana
yang menghalang.
Brettt!
Crass!
Lengan
jubah kiri Kumara Gandamayana robek besar. Kulit dan daging lengan ikut
terluka. Darah mengucur tapi tidak berwarna merah pertanda ada racun yang
bekerja sangat cepat.
Gagal
dengan serangan pertama menikam ke arah dada Raja, Empu Semirang Biru keluarkan
suara menggereng seperti raungan anjing terluka lalu membuat gerakan melompat
terjun ke arah Raja Mataram yang saat itu tengah berusaha berdiri. Keris di
tangan kanan ditikamkan ke arah tenggorokan Raja. Namun sebelum keris palsu
mengandung racun Cakar Sukma Merah yang mematikan itu menancap di leher Raja,
Kumara Gandamayana telah terlebih dulu melompat ke hadapan sang Empu. Dua tangan
yang saat itu telah berubah menjadi merah laksana bara menyambar ke arah leher.
“Kakek
Kumara, jangan bunuh Empu itu!” Tiba-tiba Raja berteriak. “Saya punya dugaan
dia hendak membunuh saya bukan maunya! Saya mencium bau kemenyan dalam hembusan
nafasnya! Ada satu kekuatan menguasai dirinya!”
Mendengar
teriakan Raja, Kumara Gandamayana tidak mau meneruskan serangan dua tangan
mautnya namun dia juga tidak ingin sang Empu menimbulkan bencana lanjutan. Maka
sambil membuat gerakan setengah merunduk, Kumara Gandamayana hantamkan kaki
kanannya ke arah perut Empu Semirang Biru.
“Makhluk
biru! Siapapun kau adanya lekas pergi dari sini! Jangan berani kembali.
Bersyukurlah Raja Mataram telah memberi pengampunan!”
Wuttt!
Tendangan
kaki kanan Kumara Gandamayana berkelebat. Selarik sinar kelabu mendahului
tendangan, membuat tubuh Empu Semirang Biru tergontai-gontai. Lalu,
Bukkk!
Kali
kedua tendangan kaki kanan Kumara Gandamayana mendarat telak di pertengahan
perut Empu Semirang Biru. Sosok sang Empu mencelat menghantam atap batu pualam
lalu terpental kembali jatuh ke bawah. Darah menyembur dari mulut. Walau cidera
hebat seperti itu, namun keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu masih tergenggam
erat di tangan kanan. Selagi tubuh Empu Semirang Biru melayang jatuh ke bawah,
Kumara Gandamayana tanggalkan sorban kelabu di atas kepala. Sekali mengebut,
sorban berkelebat manggulung tubuh sang Empu. Begitu sorban disentakkan dalam
gerak jurus ilmu Selendang Dewa Menutup Bahala, untuk kedua kalinya tubuh Empu
Semirang Biru mencalat ke atas langit-langit ruangan. Hanya saja sekali ini
langit-langit jebol dan sosok sang Empu melesat lenyap tak kelihatan lagi!
“Kakek
Kumara Gandamayana, terima kasih kau telah menyelamatkan saya” Raja Mataram
berkata sambil melangkah menghampiri. “Seharusnya tadi kita merampas Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan Empu itu.”
“Tidak
ada gunanya Yang Mulia,” jawab Kumara Gandamayana sambil merobek lengan kiri
jubahnya. Tangan yang tersingkap nampak melembung hitam dan darah masih
mengucur.
“Mengapa
Kakek berkata begitu?” Tanya Raja Mataram.
“Keris
yang dibawa Empu itu adalah keris palsu. Bukan keris Kanjeng Sepuh Pelangi.”
Raja
Mataram tercengang karena tidak menyangka. “Walau keris palsu tapi agaknya
mengandung racun jahat. Kau harus cepat mengobati luka di tangan kirimu itu.”
“Akan
saya lakukan. Tapi saya tidak pasti apakah ada obat yang bisa saya temui dan
bisa segera menyembuhkan. Tubuh saya terasa panas. Saya tidak tahu berapa lama
saya bisa bertahan.” Kumara Gandamayana lalu totok urat besar di beberapa bagian
tubuhnya.
***********************
EMPU
Semirang Biru terkapar tertelentang di satu tempat yang tidak diketahuinya di
mana. Setelah mengerang panjang pendek dan mengusap darah yang masih mengucur
di sela bibir dia berusaha bangun. Tangan kiri menopang tanah, tangan kanan masih
memegang keris. Baru saja dia mampu berdiri sambil bersandar ke satu batang
pohon tiba-tiba tiga orang melayang melompat dari semak belukar tinggi di
hadapannya. Mereka ternyata adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah, Sinuhun Muda
Ghama Karadipa dan Ksatria Roh Jemputan alis Pangeran Matahari.
“Empu
tolol sialan! Kau tidak mampu membunuh Raja Mataram!” Berteriak Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. “Kau tahu apa artinya ini?!”
Empu
Semirang Biru jatuhkan diri berlutut meratap minta ampun, “Sinuhun mohon maafmu.
Saya dihadang oleh kakek sakti bernama Kumara Gandamayana.”
Plaakkk!
Satu
tamparan keras yang dilayangkan Sinuhun Muda Ghama Karadipa membuat kepala Empu
Semirang Biru terpelanting ke kiri dan darah mengucur dari mulutnya yang pecah.
“Aku
menyuruh kau membunuh kakek itu, tidak kau lakukan! Sekarang kau rasakan
sendiri akibatnya!” Hardik Sinuhun Merah. Lalu dia membentak “Ketika kau di
ruang rahasia di mana tempat Raja keparat itu berada kau tahu di mana letak
tempat itu?!”
“Saya
tidak tahu Sinuhun. Saya hanya tahu ada satu makhluk berupa jerangkong putih
yang membawa saya ke sana…”
Piaakkk!
Satu
tamparan kembali lagi mendarat di pipi Empu Semirang Biru.
“Kami
tidak menanyakan siapa yang membawamu ke sana, Empu tolol! Goblok!” Yang
menampar dan menghardik lagi-lagi adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
“Saya
mohon ampunan Sinuhun berdua. Saya mohon diberi obat pemusnah Racun Sukma
Merah…”
Sinuhun
Merah dan Sinuhun Muda sama-sama tersenyum. Sinuhun Merah berpaling pada
Ksatria Roh Jemputan lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Ksatria Roh
Jemputan segera melangkah mendekati si Empu.
“Empu,
kau harus bersyukur dua sinuhun berbaik hati mengampuni selembar nyawamu.
Sebelum kau diberikan obat pemusnah Racun Sukma Merah, harap keris yang kau
pegang diserahkan dulu padaku…”
Percaya
pada ucapan orang, Empu Semirang Biru ulurkan tangan kanan yang sejak tadi
menggenggam Keris Kanjeng Sepuh Pelangi palsu. Begitu tangan diulurkan Ksatria
Roh Jemputan bukannya mengambil keris itu tapi malah menggenggam kuat-kuat
tangan kanan sang Empu, tangan kiri menekan siku lalu secepat kilat dengan
kekuatan penuh dia balikkan ujung keris dan, blesss!
Empu
Semirang Biru keluarkan jeritan keras. Mata mencelet. Mulut semburkan darah
begitu keris menancap di dada kirinya, langsung menembus jantung.
Perlahanlahan tubuh berselempang kain putih itu tergelimpang di tanah. Dua
kaki melejang-lejang. Begitu Racun Sukma Merah membanjiri jantung dan mengalir
di seluruh jalan darahnya, tak ampun lagi ahli pembuat senjata sakti ini
meregang nyawa dalam keadaan sangat mengenaskan.
“Empu
tolol! Menjauh dari pandangan mataku!” Bentak Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Kaki kanan ditendangkan ke tubuh orang. Sosok sang Empu mencelat jauh di atas
permukaan rimba belantara.
***********************
5
WAJAH
tampan anak lelaki usia dua belas tahun yang tengah duduk khidmat bersemedi
tampak tenang bercahaya ketika dalam pandangan mata di alam gaib semedi dia melihat
langit malam bertabur bintang. Hembusan angin meniup sekelompok awan putih,
perlahan-lahan menyingkap rembulan yang sejak tadi tertutup. Ada keanehan.
Bulan purnama bulat penuh yang tampak di langit berwarna biru bersih. Lalu
entah dari mana datangnya bermunculan sosok sembilan orang-orang tua berpakaian
serba putih. Lima orang lelaki, empat orang perempuan. Mereka berputar-putar di
arah rembulan. Yang lelaki susun dua tangan di atas kepala sambil merapal
bacaan suci Kitab Weda. Yang perempuan menebar bebungaan. Semua apa yang
terlihat di ruang pandangan mata alam gaib anak lelaki yang tengah bersemedi,
harum mewangi tebaran bunga itu mendatangkan rasa sejuk. Sayup-sayup terdengar
suara-suara nyanyian perempuan, mendayu berhiba-hiba.
Alam gaib
dan keajaiban
Adalah
kuasa Para Dewa di Kahyangan Swargaloka
Jika
ummat berputih hati
Bertobat
dari segala kesalahan
Maka Yang
Maha Kuasa menjanjikan
Bulan
Biru di langit Mataram
Jika
kejahatan terpaksa ditumpas, dengan air mata dan darah
Yang Maha
Kuasa masih akan tetap menepati janji
Bulan
Biru di langit Mataram
Mendadak
wajah bercahaya dan berseri anak lelaki yang bersemedi di atas batu berubah
redup. Pertanda ada yang mempengaruhi perasaan hati dan jalan pikiran.
Perhatiannya terpecah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar genta suara lonceng.
Dengan segala kemampuan yang ada anak lelaki itu berusaha bertahan agar semedi
tidak terputus. Namun ketika satu cahaya kuning berkiblat terang lalu lenyap di
depan sepasang matanya yang terpejam, anak ini tak sanggup lagi bertahan. Bulan
purnama biru lenyap. Langit terkembang dan bintang-bintang sirna. Begitu juga
suara nyanyian dan sosok sembilan orang tua.
Wajah dan
sekujur tubuh si anak basah oleh keringat, tembus sampai ke pakaian hitam yang
dikenakan. Anting-anting emas di telinga kanan berpijar benderang, membuat daun
telinganya terasa panas. Batu tempat dia duduk bersila yang tadinya hangat
mendadak berubah dingin. Lalu ada hawa aneh membersit dari dalam batu memasuki
tubuh. Begitu menembus kepala yang tertutup rambut tebal hitam, asap kuning
mengepul. Seperti disentak oleh satu kekuatan dahsyat, sepasang mata membuka
nyalang.
“Hyang
Jagat Bathara Agung, apa yang terjadi hingga samadi saya terputus begini rupa?
Adakah saya berbuat kesalahan hingga samadi tidak bisa dirampungkan?” Anak
lelaki itu merenung dan bertanya dalam hati. Dia lebih dulu melihat ke dalam
diri sendiri, tidak berprasangka menaruh curiga pada hal buruk yang datang dari
luar. Satu pertanda anak ini memiliki rasa timbang bijaksana serta budi yang
tinggi.
Ketika
dia mengusap keringat di kening mendadak ada suara ngeongan kucing mengiang di
telinga. Disusul jeritan menyerupai suara raungan anjing di kejauhan.
Anak
lelaki di atas batu kembali merenung. Perlahanlahan mulut berucap. “Yang Maha
Kuasa memberi dua pertanda. Pertama bulan purnama biru di langit. Sembilan
orang tua dan tebaran bunga. Ada suara nyanyian. Pertanda kedua, gema suara
lonceng, kilau cahaya kuning, suara ngeongan kucing dan jeritan menyerupai
lolongan anjing di malam buta, hawa aneh dari dalam batu, hawa panas di telinga
kananku. Sesuatu tengah terjadi di luar sana. Mungkinkah…”
Mendadak
sebuah benda melayang di udara dan, bluukkk!
Satu
sosok berselempang kain putih tergelimpang jatuh di hadapan si anak lelaki.
Ketika diperhatikan ternyata sosok seorang kakek kurus, berambut biru
riap-riapan. Muka laksana tengkorak karena tinggal kulit pembalut tulang. Mulut
pecah. Kumis, janggut serta alis juga berwarna biru. Sepasang mata terbeliak
tak berkedip!
Anak
lelaki di atas batu menatap beberapa jurus tanpa rasa takut. Hanya kening
tampak mengerenyit dan sepasang alis tebal bergerak naik. Lalu mulutnya
berucap, “Orang tua, apakah saya mengenal dirimu? Kalau tidak salah saya
menduga, bukankah kau Empu sakti dari Gunung Bismo, bernama Empu Semirang Biru?
Wahai, nasib buruk apa yang membawamu jatuh di hadapan saya dalam keadaan
begini rupa? Pertanda apa…”
Ucapan si
anak lelaki terhenti. Gerakannya bangkit berdiri setengah tertahan ketika dua
matanya yang besar bening melihat sebilah keris tidak bergagang dan memancarkan
warna redup hitam, menancap tepat di dada kiri si orang tua. Kain putih yang
jadi pakaian dan hampir seluruh tubuhnya basah oleh lumuran darah.
Anak
lelaki di atas batu tarik nafas dalam dan panjang. Wajah tampak redup. Mata
dipejam sesaat, kepala digeleng. “Orang tua malang, nyawamu telah tiada.
Agaknya kau menemui ajal di luar wajar. Saya hanya bisa berduka. Saya tidak
mungkin menolongmu…”
Perlahan-lahan
dengan tangan kanannya anak lelaki itu mengusap sepasang mata nyalang jenazah
Empu Semirang Biru hingga menutup.
Mendadak
di kejauhan kembali dia mendengar suara lonceng, lalu riuh suara mengeong
disertai jeritan seperti lolongan anjing. Bayangan cahaya kuning muncul lagi di
pelupuk matanya.
“Empu,
saya harus pergi. Tanda yang diberikan oleh Para Dewa kali ini sudah cukup
jelas. Saudara saya dalam bahaya. Maafkan kalau saya tidak bisa mengurus
jenazahmu. Mudah-mudahan akan ada orang menemuimu di sini…”
Setelah
menatap cukup lama pada keris tak bergagang yang menancap di dada kiri sang
Empu anak lelaki itu berdiri dengan cepat. Sebelum pergi dia kembangkan telapak
tangan, di arahkan ke jenazah Empu Semirang Biru.
Selarik
cahaya kuning menebar hawa luar biasa dingin melesat keluar dari telapak
tangan. Begitu menyentuh sosok jenazah maka sekujur jenazah diselubungi lapisan
kuning mengepulkan asap dingin.
“Salju
Kuning. Semoga jenazahmu tetap utuh sampai ada orang menemui. Selamat tinggal
Empu.”
Anak
lelaki berpakaian hitam beranting emas di telinga kanan menatap ke langit.
Dalam hati anak ini membatin, “Kanda Dirga Purana aku adikmu Mimba Purana
mendengar suara jeritanmu. Bukan dalam suara manusia. Tapi suara raungan
anjing. Aku mendengar suara binatang peliharaanmu mengeong riuh. Apa yang
terjadi denganmu?! Apa ada kesulitan tengah kau alami yang berhubungan dengan
kematian Empu ini…?”
Perlahan-lahan
dua kaki berkasut kulit kayu bergerak ke atas lalu wuuttt! Sosok anak ini
melesat masuk ke dalam gumpalan awan, lenyap dari pemandangan.
***********************
6
DALAM
buku sebelumnya berjudul “Delapan Pocong Menari” diceritakan bahwa Selir Kesatu
Penguasa Atap Langit Ken Parantili memberitahu kepada Wiro di mana beradanya Ni
Gatri. Menurut Ken Parantili gadis berusia empat belas tahun itu diancam bahaya
besar, disekap oleh bocah sakti Dirga Purana di sebuah goa, terlindung oleh air
terjun di dekat sebuah telaga. Sang selir juga menceritakan kalau Ratu Randang
mengetahui letak goa tersebut. Tidak menunggu lebih lama, setelah Ken Parantili
melenyapkan diri melalui Terowongan Arwah, dipimpin oleh Ratu Randang, Pendekar
212 Wiro Sableng, Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera menuju ke
kawasan di mana beradanya goa di balik air terjun.
Tidak disangka,
Sinuhun Merah Penghisap Arwah telah terlebih dulu berada di tempat itu, tengah
berjaga-jaga sementara Dirga Purana berada di dalam goa bersama Ni Gatri.
Karena diejek dan dipermainkan oleh kelima orang itu, Sinuhun Merah Penghisap
Arwah kena dipancing oleh Kunti Ambiri. Dia menyerang Wiro dengan pukulan
Delapan Sukma Merah dan menghantam Ratu Randang dengan ilmu Delapan Arwah Sesat
Menembus Langit. Semua serangan mencuatkan sinar merah.
Begitu
diserang Wiro segera berteriak memberi tahu pada kawan-kawan untuk membalas
serangan Sinuhun Merah dengan serangan balik berupa ilmu penangkal dahsyat
sebagaimana yang diajarkan Ken Parantili padanya. Maka didahului oleh Wiro,
Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi segera tancapkan delapan jari
tangan kiri kanan masing-masing ke bebatuan yang ada di sekitar telaga. Empat
jari saja kehebatan daya penangkalnya bukan olah-olah. Apa lagi saat itu tiga
puluh dua jari sekaligus ditancapkan ke batu. Enam belas serangan berupa cahaya
merah yang dilepas Sinuhun Merah berbalik menyerang dirinya sendiri. Tak ampun
lagi sosok makhluk alam roh itu meletus keras, hancur tercabik-cabik. Anggota
badan terkutung-kutung. Belahan kepala mengapung di permukaan air telaga!
Pada saat
itu anehnya terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah memanggil nyawa
kembarannya agar menjemput rohnya. Sang saudara nyawa kembar yaitu Sinuhun Muda
Ghama Karadipa kemudian memang muncul sambil mengembangkan dua tangan. Lalu
terjadi keanehan kedua. Semua kutungan tubuh, belahan kepala, cabikan daging
dan hancuran tulang belulang Sinuhun Merah Penghisap Arwah laksana disedot
melayang ke udara, bergabung membentuk sosok samar lalu masuk menyatu ke dalam
tubuh Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
Wiro
berusaha menghantam Sinuhun Muda dengan Pukulan Sinar Matahari namun lelaki
muda berpakaian dan berikat kepala hijau itu telah lebih cepat berhasil
melarikan diri setelah meneriakkan ancaman akan melakukan pembalasan terhadap
Wiro dan kawan-kawan. Tak lama kemudian dari dalam goa, menembus celah terbuka
air terjun melesat keluar delapan ekor anak kucing merah. Delapan Sukma Merah!
Binatang-binatang ini langsung menyerang. Ketika semua orang siap hendak
menghantam, muncul bocah sakti Dirga Purana sambil mencekik leher Ni Gatri.
Lima jari tangannya yang mencekik nampak berubah sangat besar. Dirga Purana
mengancam akan membunuh Ni Gatri kalau ada yang berani menyerang delapan ekor
anak kucing berbulu merah. Dengan sombongnya dia menyuruh semua orang
meninggalkan tempat itu sementara Wiro dipaksa bunuh diri dengan membenturkan
kepala ke tebing batu.
“Laknat
jahanam!” Rutuk Wiro
Kutuk
serapah Wiro dibalas dengan teriakan keras oleh Dirga Purana, ditujukan pada
delapan ekor anak kucing peliharaannya.
“Rakanda!
Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana semula! Bunuh mereka semua!”
Didahului
suara mengeong keras, delapan anak kucing siap menyerang. Namun pada saat itu
delapan bunga matahari kecil yang ada pada Wiro mendadak berubah dan muncullah
delapan pocong berwajah polos. Delapan Pocong Menari! Sambil menari, dari sela
dua telapak tangannya delapan pocong melepas delapan ekor anak kucing betina
gemuk berbulu putih. Begitu melihat kehadiran delapan anak kucing betina putih
yang montokmontok, delapan anak kucing merah langsung mengeong riuh, melompat
mendatangi, mencium dan menjilati.
Dirga
Purana berteriak keras ketakutan ketika dia melihat delapan kucing
peliharaannya menunggangi delapan kucing putih.
“Celaka!
Celaka besar! Pantangan besar telah dilanggar!”
Dirga
Purana berteriak berulang kali memanggil delapan anak kucing merah. Menyuruh
mereka masuk kembali ke dalam goa. Tapi binatang-binatang itu tidak perduli.
Mereka lebih asyik menggeluti delapan anak kucing putih. Sadar bahaya besar
yang akan mengancam sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa, tanpa perdulikan
lagi Ni Gatri yang saat itu jatuh terguling di kaki tebing batu di pinggir
telaga, didahului teriakan berupa lolongan anjing Dirga Purana melesat ke
udara, maksudnya segera masuk ke dalam goa lewat celah di pertengahan air
terjun yang masih berhenti mencurah. Namun kaget sang bocah bukan alang
kepalang ketika dapatkan dirinya telah dikelilingi oleh Wiro, Ratu Randang,
Jaka Pesolek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.
“Bocah
keparat! Apa yang telah kau lakukan pada Ni Gatri!” Bentak Wiro.
Dirga
Purana menyeringai. “Anak perempuan itu ada di sana. Mengapa tidak kau tanya
langsung padanya? Pasti dia akan bercerita bagaimana enaknya ketika aku
membelai tubuhnya. Ha… ha… ha!”
“Bangsat
kurang ajar!” Wiro langsung menggebuk dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam
Batu Karang. Sikutan diarahkan ke kepala Dirga Purana pertanda dalam marah yang
menggelegak sang pendekar ingin menghabisi si anak saat itu juga.
Sementara
semua orang siap menyerang Dirga Purana, Jaka Pesolek yang memang tidak
memiliki ilmu silat apa lagi pukulan sakti palingkan kepala ke arah tebing batu
di tepi telaga. Melihat sosok Ni Gatri yang tergeletak di tanah gadis ini
merasa perlu segera menolong anak itu. Secepat kilat dia melompat ke arah
tebing. Namun selagi tubuhnya masih melayang di atas telaga tiba-tiba seseorang
bermantel hitam muncul dari balik tebing, langsung menyambar tubuh Ni Gatri.
Dalam sekejap saja orang itu telah lenyap di arah timur. Jaka pesolek tidak
tinggal diam. Dengan kemampuannya bergerak laksana kilat dia segera melesat ke
atas tebing. Dari sini terus melakukan pengejaran. Namun sambaran cahaya tiga
warna yang tiba-tiba menyerang dari arah depan membuatnya cepat-cepat
selamatkan diri.
Ketika
bagian atas tebing batu tempat tadi dia berdiri hancur berkeping-keping
disertai kobaran api dan kepulan asap, Jaka Pesolek telah lebih dulu melesat ke
satu pohon tinggi.
Wajah
gadis ini tampak pucat, tengkuk terasa dingin. Karena sekejap saja dia
terlambat pasti dia sudah menemui ajal dengan tubuh tak karuan rupa.
“Gila!
Aku seperti mau kencing tapi tidak bisa!” Jaka Pesolek memaki sendiri dalam
hati “Aku harus menolong anak itu. Orang bermantel walau aku tidak melihat
mukanya, aku menduga pasti dia hendak mencabuli anak itu. Kasihan Ni Gatri.
Jangan-jangan sebelumnya anak itu sudah…”
Walau
takut namun Jaka Pesolek kembali melanjutkan pengejaran ke arah timur.
***********************
7
KEMBALI
ke telaga di depan air terjun. Ketika dirinya diserang Pendekar 212, Dirga
Purana tidak berusaha menghindar atau menangkis. Dengan sikap menantang anak
usia dua belas tahun berpakaian mewah ini berkacak pinggang sunggingkan senyum
mengejek. Wiro jadi geram langsung kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Jangankan kepala seorang bocah seperti Dirga Purana, batu sebesar rumahpun akan
hancur luluh dihantam pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang warisan Datuk
Rao Basaluang Ameh yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa.
Hanya
setengah jengkal pukulan maut akan mendarat di batok kepala Dirga Purana,
tiba-tiba satu cahaya kuning bening melesat keluar dari tubuh anak itu. Walau
pukulannya terus menderu tanpa halangan namun saat itu Wiro merasa sekujur
tubuhnya panas kesemutan.
Bukkk!
Pukulan
Tangan Dewa Menghantam Batu Karang saling bentrokan dengan sinar kuning bening
yang melindungi Dirga Purana. Wiro menjerit keras. Ratu Randang, Kunti Ambiri
dan Sakuntaladewi terpekik. Wiro hampir terjengkang jatuh ke dalam telaga kalau
tidak cepat mengimbangi diri. Dia melihat tangan kanannya bengkak melepuh
sampai pergelangan. Jangankan untuk melancarkan serangan susulan, digerakkan
saja tangan itu sakitnya bukan kepalang. Seumur hidup baru kali ini dia
mengalami cidera dan rasa sakit seperti itu.
Ratu
Randang usap wajahnya yang pucat. Mata juling menatap tak berkesip. “Bocah itu!
Dia punya Ilmu Mega Kuning Sujud Ke Bumi!” Si nenek cepat salurkan suara
mengiang ke telinga Pendekar 212. “Wiro! Selama dua kaki anak itu menginjak
bumi, tidak satu ilmu kesaktianpun bisa menciderai apa lagi membunuhnya! Kau
harus menghajarnya pada saat dua kakinya tidak menginjak tanah, batu, air atau
apa saja yang berhubungan dengan bumi! Aku akan mengangkat anak itu ke udara.
Syukursyukur bisa melemparnya. Nanti kau cepat menggebuknya!”
Wiro
berpaling ke arah Ratu Randang. Tangannya yang bengkak melepuh terasa seberat
gundukan batu besar. Sambil menahan sakit tubuhnya tertarik ke bawah hingga dia
jatuh setengah berlutut di atas batu di tengah telaga. Dengan tangan kiri Wiro
menotok urat besar di pundak dan di atas siku sambil alirkan hawa sakti.
“Celaka!
Ditotok malah tanganku terasa seperti digarang api!” Wiro mengerenyit menahan
sakit. Karena tidak tahan hawa panas yang menyelubungi tangan dan seluruh
tubuhnya Wiro bermaksud hendak menceburkan diri saja ke dalam telaga. Tiba-tiba
ada suara beberapa orang perempuan yang berucap berbarengan.
“Percuma
mencebur ke dalam telaga. Cidera di tangan tidak akan sembuh…”
“Siapa
yang bicara?” Wiro bertanya dengan suara tertahan.
“Jangan
khawatir kami akan menolongmu. Tapi kami tidak lagi bisa menampakkan diri
dengan kehendak kami sendiri…”
“Delapan
bunga matahari. Delapan Pocong Menari!” Dengan tangan kiri Wiro pegang pinggang
pakaiannya di balik mana dia menyimpan delapan bunga matahari kecil. Saat itu
juga dia merasa ada hawa sejuk mengalir di dalam tubuh, bergerak menuju ke
tangan kanan. Lima jari berpijar. Telapak tangan berdenyut dan ajaib, sesaat
kemudian bengkak melepuh di tangan kanan sirna tidak berbekas. Hawa panas di
sekujur tubuh ikut lenyap.
Di tepi
telaga Dirga Purana tertawa gelak-gelak. Dia tidak memperhatikan dan tidak tahu
kalau saat itu cidera di tangan Wiro telah lenyap.
“Jauh-jauh
dipanggil dari negeri delapan ratus tahun mendatang ternyata ilmumu hanya
setetek comberan!” Si bocah tertawa lagi lalu meludah sampai tiga kali. Setelah
itu dengan cepat dia berkelebat ke arah delapan anak kucing putih yang tengah
ditunggangi oleh delapan anak kucing merah peliharaannya.
“Makhluk
pembawa bahala! Mampus kalian semua!”
Satu demi
satu anak kucing putih ditendang hingga terpental jauh. Setelah mengeong
kesakitan secara aneh delapan anak kucing putih berubah menjadi asap lalu
lenyap!
Melihat
delapan anak kucing putih ditendang dan lenyap entah ke mana, delapan kucing
merah yang merasa diputus kenikmatannya menjadi marah dan kalap. Mereka
menggerung keras. Taring dan kuku langsung mencuat. Siap menyerang Dirga
Purana!
“Makhluk
keparat! Kalian berani kurang ajar hendak menyerangku!” Dirga Purana membentak
marah. Dua tangan digerakkan demikian rupa seperti orang tengah membuntal
sesuatu. Saat itu juga bergemerlap cahaya merah disertai suara bergemerincing.
Satu rantai panjang berwarna merah bergulung di udara, Rantai Kepala Arwah Kaki
Roh!
Dengan
sangat cepat rantai meliuk melibat tubuh delapan anak kucing merah.
Binatang-binatang itu mengeong keras. Coba memutus rantai besi dengan gigitan dan
cakaran tetapi tidak berhasil.
“Masuk ke
dalam goa!” Bentak Dirga Purana sambil kebutkan tangan kanan ke arah delapan
anak kucing merah yang tidak berdaya dan ada dalam gulungan rantai. Saat itu
juga gulungan rantai melesat ke udara, siap masuk ke dalam goa melewati di
antara celah air terjun yang sampai saat itu masih menggantung di udara!
“Nek!”
Tiba-tiba Sakuntaladewi berkata pada Ratu Randang. “Lekas bunuh delapan anak
kucing merah. Pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada padamu! Jika
tidak dibunuh, dalam tempo dua puluh satu hari kelak Sinuhun Merah Penghisap
Arwah akan muncul kembali karena sesungguhnya roh atau jiwanya terpecah dalam
sosok delapan anak kucing merah itu!” (Hal ini telah pernah diberitahu
Sakuntaladewi kepada Pendekar 212 dan kawan-kawan sebelumnya. Baca “Sesajen
Atap Langit”)
Ratu
Randang tersentak kaget. Tidak banyak menunggu ataupun bertanya si nenek segera
keluarkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi asli dari balik pakaian, membuka kain
yang membungkus senjata. Begitu keris sakti tergenggam di tangan, si nenek
merasa tubuhnya luar biasa enteng dan ada hawa sejuk di kepala dan hawa hangat
di pertengahan dada. Secepat kilat Ratu Randang melesat ke udara.
Cahaya
biru berkiblat dari badan keris. Kemudian ikut memancar sembilan cahaya aneh
menyerupai cahaya pelangi.
Traangg!
Traangg!
Rantai
Kepala Arwah Kaki Roh putus berdentrangan di enam bagian. Delapan anak kucing
merah yang merasa bebas mengeong keras lalu menghambur laksana terbang ke arah
celah air terjun. Ratu Randang tidak mau memberi hati. Membunuh delapan anak
kucing itu bukan saja berarti membunuh delapan binatang jahat tapi sekaligus
menghabisi delapan pecahan roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang mendekam di
dalam tubuh mereka dan suatu ketika akan keluar lagi, muncul di Bhumi Mataram
untuk berbuat berbagai macam kejahatan yang lebih dahsyat!
Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi membeset di udara. Tidak mengeluarkan suara menderu,
tidak menimbulkan angin, tapi mencuatkan cahaya tujuh pelangi dan sembilan luk.
Delapan anak kucing berbulu merah yang tengah mengeong keras mendadak bungkam.
Tubuh mereka mengapung tak bergerak. Dirga Purana berteriak kaget melihat apa
yang terjadi.
Hanya
dalam bilangan kejapan mata saja delapan binatang peliharaannya itu akan
menemui ajal dibantai keris sakti, si bocah cepat dorong dua tangan ke atas.
Larikan sinar bening menderu. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Mega Kuning
Berarak Naik ke Langit yang merupakan pasangan dari Mega Kuning Sujud ke Bumi
dan sebelumnya telah mampu menciderai Pendekar 212.
***********************
8
DI UDARA,
Ratu Randang terkejut melihat semburan cahaya kuning menyerang dirinya dari
bawah. Di sekitar telaga Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi
tidak tinggal diam. Dengan pukulan sakti keduanya menggempur ilmu Mega Kuning
Berarak Naik ke Langit. Dua letusan keras menggelegar.
Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi yang melancarkan serangan untuk menghantam Mega Kuning
Berarak Naik ke Langit menjerit keras. Tubuh mereka berpelantingan. Kunti
Ambiri terguling di tepi telaga sebelah kiri sementara Sakuntaladewi tergeletak
dekat sebuah batu besar. Keduanya laksana lumpuh, tak bisa menggerakkan tubuh
dan anggota badan. Sepasang mata membeliak, wajah pucat pasi. Nafas
megap-megap, dada turun naik. Di seberang telaga dua tangan Dirga Purana
membuat gerakan seperti orang merobek.
Breett!
Cahaya
Mega Kuning Berarak Naik ke Langit terbelah dua, seolah satu kain besar yang
robek menjadi dua. Bagian pertama terus melesat ke arah Ratu Randang, bagian
yang lain berubah menjadi Mega Kuning Sujud ke Bumi, menderu membabat ke arah
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang saat itu dalam keadaan tidak berdaya, tak
mampu bergerak apa lagi selamatkan diri!
Melihat
serangan sinar kuning ke arah Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri yang berada dalam
keadaan tidak berdaya, Pendekar 212 yang baru saja pulih dari cideranya
melompat bangkit. Mulut merapal. Tangan kanan berubah warna menjadi putih perak
sampai sebatas siku. Sekali tangan dihantamkan, Pukulan Sinar Matahari
menggeledek ke arah cahaya Mega Kuning Sujud ke Bumi.
Wuusss!
Sinar
putih terang menyilaukan menderu disertai hamparan hawa luar biasa panas. Di
atas batu tempatnya berdiri Dirga Purana sunggingkan senyum merendahkan. Dalam
jalan pikirannya ilmu kesaktian apapun tidak akan mampu menyentuh apa lagi
memusnahkan ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi. Dia lupa apa yang tadi ditakutkan
dan diteriakkannya sendiri yaitu bahala besar akibat delapan anak kucing merah
peliharaannya telah menyebadani delapan anak kucing putih yang merupakan
pantangan besar.
Blaarr!
Letusan
keras disertai pijaran bunga api setinggi sepuluh tombak melesat ke udara dan
seantero telaga. Air terjun yang sejak tadi berhenti mencurah dan tergantung di
udara bergoyang keras lalu seolah terbuat dari kaca hancur berkeping-keping
untuk kemudian kembali utuh dan mencurah lagi! Empat batu besar di dalam telaga
lenyap dari tempatnya semula. Dua hancur bertaburan menjadi debu, dua lagi
amblas masuk ke dasar telaga. Suara ngeongan kucing mendadak terdengar
menggidikkan. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi selamat. Musnahnya Ilmu Mega
Kuning Sujud ke Bumi membuat mereka mampu bergerak kembali walau seluruh
pakaian dan permukaan kulit mereka tampak diselimuti debu berwarna kuning.
Walau tidak bicara atau memberi isyarat namun keduanya sama-sama menceburkan
diri ke dalam telaga untuk membersihkan noda kuning. Lalu dengan cepat keduanya
keluar dari dalam telaga.
Di atas
telaga, Ratu Randang yang tengah menghadapi serbuan cahaya kuning Ilmu Mega
Kuning Berarak Naik ke Langit melihat Dirga Purana jatuh berlutut di atas batu
di tengah telaga. Wajahnya seputih kain kafan. Dua tangan menggapai ke udara.
Mulut terbuka seperti hendak berteriak namun tidak ada suara yang keluar. Mega
Kuning Berarak Naik ke Langit mendadak sontak menciut lalu bergulung berubah
bentuk menyerupai sebatang lidi. Lidi ini kemudian melesat ke bawah, masuk ke
dalam telaga.
Dirga
Purana tiba-tiba saja bisa berteriak keras. Namun teriakannya terdengar
menggidikkan karena bukan merupakan teriakan anak kecil atau manusia, tetapi
menyerupai raungan anjing di malam buta! Dia sendiri terkesiap kaget mendengar
suara teriakannya itu.
“Pertanda
tidak baik. Malapetaka besar tengah mengancam diriku! Aku akan segera menemui
kematian.” Anak usia dua belas tahun itu membatin ngeri dalam hati. Wajahnya
pucat pasi. Tubuh terasa dingin.
Sementara
itu Ratu Randang berseru kaget ketika tibatiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
yang digenggam erat di tangan kanan, entah bagaimana tahu-tahu melesat lepas
dan bergulung di udara. Saat itu juga terdengar suara mengeong keras.
Tiga anak
kucing merah berjelapakan di tepi telaga tanpa kepala!
Si nenek
mendelik ngeri. “Oala bukan aku yang membantai. Tapi keris sakti yang punya
mau!” Ucap Ratu Randang dalam hati.
Dirga
Purana kembali menjeritkan suara raungan anjing. Tidak pikir panjang lagi dia
melompat ke udara. Mulut merapal panjang. Delapan benjolan merah tiba-tiba
muncul di kening. Sekali kepala digoyangkan, delapan sinar merah melesat ke
arah Ratu Randang. Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
Sebelumnya
Ratu Randang oleh Wiro sudah diberi tahu ilmu penangkal setiap serangan yang
memancarkan sinar atau cahaya merah, yaitu dengan menusukkan delapan jari
tangan ke benda apa saja. Namun saat ketika diserang itu dirinya masih melayang
di udara. Ratu Randang tidak tahu mau menusuk apa. Wiro lupa menerangkan kalau
berada dalam keadaan seperti itu maka dia bisa menusuk kepala atau tubuhnya
sendiri! Sementara Keris Kanjeng Sepuh Pelangi masih melayang di udara,
mengejar ke arah lima kucing merah yang saat itu lari berpencaran. Dengan nekad
binatang itu menembus curahan air terjun dan masuk ke dalam goa.
Dua
tangan Dirga Purana berubah panjang dan besar berwarna hitam berkilat. Sepuluh
kuku jari memancarkan cahaya merah. Hebatnya dua tangan itu bisa diulur panjang
ke udara untuk menangkap Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Inilah ilmu yang disebut
Dua Roh Bermata Sepuluh. Ilmu kesaktian ini bukan saja bisa berupa serangan
ganas mematikan tapi juga sanggup menangkap bendabenda sakti yang berada di
tempat jauh seperti keris yang saat itu tengah melayang di udara.
Namun
yang dihadapi Dua Roh Bermata Sepuluh adalah keris sakti mandraguna Kanjeng
Sepuh Pelangi yang kelak akan menjadi pusaka bertuah Kerajaan Mataram yang oleh
sementara petinggi kerajaan dan para tokoh rimba persilatan seperti pernah
dikatakan oleh Jaka Pesolek, senjata itu dijuluki sebagai ‘Mahkota di Atas
Mahkota’.
Wuttt!
Wuttt!
Dua
tangan hitam berkelebat di udara. Sepuluh cahaya merah bergulung membuntal
membentuk jaring. Menyambar ke arah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang tadi
mengejar lima ekor anak kucing merah.
Tanpa
suara kecuali pancaran cahaya, keris sakti melesat tinggi ke udara sambil
membersitkan kibasan sembilan cahaya pelangi, yang membuat dua tangan hitam
Dirga Purana saling memukul sendiri satu sama lain!
Kraaakk!
Tulang
dua lengan hitam berderak patah. Sepuluh cahaya merah di ujung kuku lenyap. Si
bocah sendiri berteriak setinggi langit. Tubuh terbanting jatuh di pinggiran
telaga. Tangannya kembali berubah pendek seperti semula dan tampak terbujur tak
berkutik!
Sementara
itu Keris Sepuh Kanjeng Pelangi dengan cepat turun ke bawah ke arah Ratu
Randang. Lagi-lagi tanpa suara sembilan cahaya pelangi memancar laksana kipas
raksasa terbuka, melindungi si nenek dengan tebaran sembilan cahaya pelangi!
Ketika
serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang dilepas lebih dulu oleh Dirga
Purana membentur sembilan cahaya pelangi, untuk ke dua kalinya di tempat itu
menggelegar letusan keras. Seantero tempat tenggelam dalam goncangan luar biasa
hebat disertai punahnya delapan cahaya merah.
Ratu
Randang yang terkesiap melihat apa yang terjadi tersentak kaget sewaktu
tiba-tiba gagang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menyusup kembali ke dalam
genggamannya. Di bawahnya dia melihat bocah Dirga Purana terkapar tak bergerak,
mengerang panjang pendek dan ada sesekali muntahkan darah segar dari mulut.
Tiba-tiba ada satu cahaya kuning bertabur ke bawah dengan cepat menyapu tepian
telaga di mana Dirga Purana tergeletak. Di saat bersamaan di kejauhan terdengar
suara genta lonceng. Sosok Dirga Purana yang tadi terkapar tak bergerak
mendadak bangkit berdiri. Dua tangan yang sebelumnya patah tergontai-gontai
kini tampak utuh tanpa cidera.
Di bagian
lain telaga, di atas batu besar Pendekar 212 melihat kesempatan untuk kedua
kali melepas Pukulan Sinar Matahari. Kali ini diarahkan pada Dirga Purana. Dia
lupa kehebatan ilmu kesaktian bocah ini. Dari udara Ratu Randang cepat mengirim
suara mengiang.
“Wiro!
Hantam pinggiran telaga di bawah kaki anak itu. Begitu dia tidak menginjak bumi
lagi aku akan menyerang dengan Keris Kanjeng Sepuh pelangi! Riwayatnya harus
tamat saat ini juga!”
Wiro
mendongak ke atas. Sebagai tanda telah mendengar apa yang diucapkan si nenek,
murid Sinto Gendeng tekapkan tiga jari tangan kiri di atas bibir lalu tangan
dilayangkan ke arah si nenek.
“Edan!
Masih bisa bergurau si gondrong itu!” Ucap Ratu Randang dalam hati agak kesal
tapi mulut tampak mesemmesem melihat gerak cium jauh yang dilayangkan Pendekar
212.
Didahului
teriakan panjang si nenek melayang ke bawah. Tangan yang memegang keris sakti
diulur luruslurus. Ujung lancip diarahkan tepat-tepat ke dada Dirga Purana.
Karena
dua tangan yang patah sudah sembuh secara aneh dan kekuatan telah kembali
pulih, Dirga Purana membalas serangan si nenek dengan Ilmu Pembungkam Bumi.
Ilmu ini sanggup membuat semua benda hidup dan gerakan manusia dalam lingkaran
sepuluh tombak serta merta terhenti laksana kaku. Namun saat itu satu cahaya putih
menyilaukan disertai gebubu hawa panas melesat ke arah tepian telaga tempat si
bocah berdiri. Pukulan Sinar Matahari!
Blaaarrr!
Bebatuan
di tepi telaga tempat Dirga Purana berdiri hancur berantakan, sebagian besar
longsor ke dalam telaga. Karena tidak menginjak apa-apa lagi si bocah langsung
melesat ke atas. Membuat gerakan jungkir balik. Lalu cepat-cepat melayang
turun. Namun begitu tubuhnya mengapung lurus di udara dia berteriak kaget
ketika melihat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi di tangan Ratu Randang telah berada
hanya dua jengkal di depan dada! Di saat itu pula dia sadar kalau dua kakinya
tidak menginjak apa-apa!
Si bocah
berteriak keras. Lagi-lagi suara teriakannya luar biasa menggidikkan.
Menyerupai raungan anjing di malam buta!
“Ibunda
Ananthawuri! Tewas putramu! Tewas putramu!” Dirga Purana berteriak menyebut
nama ibunya.
Hanya
sekejapan lagi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi akan menghunjam telak di dada kiri
Dirga Purana tiba-tiba terdengar suara genta lonceng disertai menyambarnya satu
cahaya kuning, menyapu tepat antara dada dan ujung keris!
***********************
9
SAMBARAN
cahaya kuning yang disertai suara gema lonceng membuat Dirga Purana terpental
ke arah kiri, menembus curahan air mancur dan lenyap masuk ke dalam goa.
Blaarr!
Hampir di
saat bersamaan, Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menusuk deras. Benturan antara
senjata sakti dan sinar kuning menimbulkan suara letusan dahsyat. Ternyata
keris sakti itu masih sanggup menembus cahaya kuning.
Breett!
Baju
hitam mewah Dirga Purana robek besar di dada kiri! Untungnya sosok anak itu
telah mental lebih dahulu terdorong sambaran cahaya kuning. Kalau tidak jangan
harap bocah itu lolos dari kematian!
Selagi
semua orang terkesiap melihat apa yang terjadi, Ratu Randang cepat melayang
turun ke dekat Wiro berdiri dan langsung berbisik, “Ada yang menyelamatkan
bocah kurang ajar itu!”
“Kau
betul Nek, justru aku ingin tahu siapa pelakunya.”
Mata
juling bagus Ratu Randang menatap ke langit. “Sebentar lagi kita segera akan
melihat orangnya. Hatiku tidak enak,” kata si nenek pula.
Benar
saja, sesaat kemudian di langit tampak ada awan kelabu melayang turun ke arah
telaga sementara suara gema lonceng terdengar semakin keras. Ketika suara
lonceng berhenti, awan kelabu telah berada beberapa tombak di atas telaga. Di
saat itu terdengar seseorang berucap. Suara anak laki-laki.
“Pemilik
sah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum mendapatkan senjatanya. Mengapa orang
lain bertindak lancang berani mempergunakan keris untuk membunuh?”
“Sial
Nek. Kita dibilang lancang!” Wiro menggerutu. “Anak kecil yang mana pula ini!
Aku rasa-rasa pernah mendengar suaranya!”
Tiba-tiba
awan kelabu bergerak naik ke udara dan dari bagian bawah melayang turun seorang
anak lelaki mengenakan pakaian hitam sederhana serta kasut dari kulit kayu.
Wajah tampan jernih dan segar. Di telinga kanan mencantel sebuah anting-anting
emas. Raut wajah dan rambutnya sangat sama dengan Dirga Purana. Anak ini
berdiri di tepi telaga sebelah selatan, di kiri air terjun. Setelah memandang
pada semua orang yang ada di tempat itu, dia membungkuk memberi penghormatan.
“Nek,
waktu di Bukit Batu Hangus kita pernah bertemu dengan anak ini! Aku pernah
mendampratnya gara-gara bicara konyol! Bukankah dia yang pernah berkata: Jangan
membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sekarang dia
muncul lagi! Dan barusan kau dengar sendiri dia bicara seperti apa! Nek, cepat
susupkan keris sakti ke balik pakaian di punggungku. Aku tidak suka anak satu
ini. Aku punya dugaan anak ini hendak meminta senjata itu!”
Tanpa
banyak tanya Ratu Randang gulung Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dengan potongan
kain robekan pakaiannya yang telah dipergunakan sebelumnya lalu diselipkan ke
pinggang di balik punggung pakaian Wiro.
“Nek apa
anak yang ini kembaran dari anak satunya bernama Dirga Purana itu yang berhasil
kabur masuk ke dalam goa?”
“Menurut
riwayat yang aku dengar dia adalah adik Dirga Purana. Kesaktiannya berada di
atas sang kakak. Kau lupa kalau dia yang bernama Mimba Purana, berjuluk Satria
Lonceng Dewa.”
“Aku
tidak lupa. Bukankah dia yang menurut Raja Mataram merupakan anak keramat
mempunyai kesaktian luar biasa tapi berpantang membunuh makhluk hidup, hewan
atau manusia, kecuali kalau ada petunjuk dari Para Dewa berupa suara lonceng!
Lalu dia jadi punya alasan membiarkan saja malapetaka dan pembunuhan terjadi di
Bhumi Mataram. Pasti tadi dia yang menolong kakaknya dengan cahaya kuning itu.
Padahal kau tahu sendiri siapa adanya bocah bernama Dirga Purana itu.”
Ratu
Randang hanya anggukkan kepala karena saat itu bocah yang tengah dirasani telah
melompat ke atas batu di tengah telaga dan kini hanya terpisah beberapa langkah
dari Ratu Randang dan Wiro Sableng sementara Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi
memperhatikan dari tepi telaga.
“Nek, aku
tidak mau bicara berbasa basi dengan anak itu. Aku harus segera menyusul Jaka
Pesolek mengejar Ni Gatri. Aku sangat khawatir bocah keparat Dirga Purana itu
telah berbuat mesum atas dirinya. Tadi aku sempat melihat ada orang bermantel
melarikan anak itu. Kurasa Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan. Kau
urus dan layani bocah tengik satu ini.”
“Ssst…”
Ratu Randang sentuh lengan Wiro dan berkata perlahan. “Jangan bicara seperti
itu. Kalau anak itu mendengar kita bisa berabe…”
“Apanya
yang berabe?” Wiro jadi kesal. “Aku tidak ada urusan dengan dia. Tadi
jelas-jelas dia menyelamatkan bocah jahat bernama Dirga Purana. Siapapun dia
adanya dia memperlihatkan diri sebagai pembela orang jahat!”
“Tapi
bocah jahat itu adalah kakaknya sendiri. Wajar saja kalau dia memberi
pertolongan.” Jawab Ratu Randang.
“Terserah
kau mau bicara apa Nek. Menurutku anak ini punya otak tapi setengahnya sudah
berlumut. Punya hati tapi separuhnya sudah membeku jadi batu! Aku pergi Nek.
Aku akan mengajak Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri…”
“Tunggu!”
Ratu Randang cepat cekal tangan kiri Wiro. “Kau ingat, ketika kau dihajar
gurumu dan aku beserta kawan-kawan beramai-ramai balas menghantam Sinto
Gendeng, nenek itu pasti sudah menemui ajal dalam keadaan tubuh hancur tak
karuan kalau tidak diselamatkan oleh bocah sakti ini.”
Wiro
terdiam. Lalu berkata. “Dia berbuat budi, aku berterima kasih. Tapi itu bukan
berarti aku mau menjual diri! Nek, kau juga harus ingat, kapak yang hilang
belum ditemukan. Selain itu guruku juga harus diselamatkan.” Wiro lalu memberi
isyarat pada Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi yang ada di tepi telaga. Ketika
Wiro hendak melesat ke arah kedua perempuan ini tiba-tiba anak lelaki di depan
sana geserkan kaki kanannya yang menginjak batu. Saat itu juga ada selarik cahaya
kuning memancar lalu bergerak ke arah batu di mana Wiro berdiri. Bersamaan
dengan itu terdengar anak ini berkata.
“Sahabat
dari negeri delapan ratus tahun mendatang yang di Bhumi Mataram dikenal dengan
sebutan Ksatria Panggilan, beri saya waktu untuk bicara dan menerangkan.”
Sepasang
kaki Pendekar 212 mendadak tidak bisa bergerak. Wiro maklum bocah di hadapannya
telah mempergunakan kesaktian untuk menahan geraknya melalui pancaran cahaya
kuning yang keluar dari kaki kanan si bocah. Sebenarnya Wiro sudah siap untuk
alirkan tenaga dalam penuh pada kedua kaki namun dilihatnya Ratu Randang
memberi isyarat dengan gerakan kepala disertai suara mengiang.
“Tak usah
dilawan. Dengarkan saja apa yang mau dikatakannya.”
Wiro
batalkan niat mengalirkan tenaga dalam lalu berkata, “Sahabat muda Mimba
Purana, kalau ingin bicara pergunakan mulut, bukan diam-diam mencekal sepasang
kakiku unjukkan kesaktian!”
Anak
lelaki bernama Mimba Purana tersenyum. “Sahabat Ksatria Panggilan, terima kasih
kau telah menegur. Saya bersyukur bisa menemuimu dan kau mau memberi waktu…”
“Sudah,
katakan saja kau mau bicara dan menerangkan apa?” Wiro memotong ucapan Mimba
Purana.
“Pertama
saya perlu menjelaskan bahwa anak lelaki yang tadi masuk ke dalam goa adalah
kakak kandung saya sedarah sedaging. Ketika salah satu dari kami berada dalam
bahaya adalah wajar jika kami memberi pertolongan…”
“Saya
maklum dan saya mengerti. Tadipun Ratu Randang sudah memberitahu.” Jawab
Pendekar 212. “Tapi apa yang saya tidak maklum dan tidak mengerti, apakah sahabat
muda menyadari berapa saja tokoh kerajaan yang sudah menemui ajal? Berapa saja
rakyat tak berdosa yang telah terbunuh? Semua gara-gara perbuatan Sinuhun Merah
dan Sinuhun Muda. Dan sangat disayangkan karena secara kasat mata semua orang
tahu bahwa kakak kandung sahabat muda ikut terlibat dalam semua kejahatan itu.
Termasuk punya andil dalam menimbulkan Malapetaka Malam Jahanam di Bhumi
Mataram!”
“Ksatria
Panggilan, saya tidak menyangkal kalau kakak saya telah banyak melakukan
kesalahan besar. Namun kita sebagai manusia dan saya sebagai adiknya merasa
jika kesalahan kakak saya masih bisa diperbaiki, mengapa saya tidak harus
melakukannya? Menasihatinya dan meminta dia bertobat?”
“Apakah
sahabat muda sudah melakukan hal itu? Pernah menasihati dan menyuruh tobat
kakak kandung sahabat muda?” Pertanyaan itu diucapkan Wiro sambil
senyum-senyum.
“Memang
belum.” jawab Mimba Purana.
Pendekar
212 kembali tersenyum, “Walah…!” Wiro menggaruk kepala “Selagi sahabat muda
bicara panjang lebar di sini, berapa orang lagi di luar sana menemui ajal
akibat kejahatan dua Sinuhun dan kaki tangannya! Mengapa hukum dan kebenaran
tidak lebih cepat dilakukan?”
“Soal
hukuman bahkan kematian sekalipun biarlah Para Dewa yang menentukan. Kita
manusia jangan mendahului kehendak Yang Maha Kuasa.”
“Kejahatan
telah terjadi di depan mata dan masih akan terjadi. Dan kita bangsa manusia
hanya berpangku tangan dengan alasan jangan mendahului kehendak Yang Maha
Kuasa! Oala! Apa memang begitu maunya Yang Maha Kuasa? Kita telah berbuat lalai
lalu enak saja berkata biar nanti Yang Maha Kuasa yang menjatuhkan hukuman!
Pantas banyak orang mati tak karuan di negeri ini. Kalau sudah jadi roh maka
rohnyapun masih gentayangan tidak karuan! Masih tega berbuat kejahatan!”
Wajah
Ratu Randang tampak berubah. Dia khawatir Satria Lonceng Dewa akan merasa
tersinggung oleh ucapan Wiro tadi. Sakuntaladewi unjukkan raut muka terkesiap.
Sebaliknya Kunti Ambiri tersenyum dan dari tepi telaga dia acungkan jempol
tangan kanannya ke udara.
Mimba
Purana sebaliknya tetap unjukkan wajah tenang, tidak ada rasa kecewa, apa lagi
gejolak amarah mendengar ucapan Pendekar 212. “Sahabat Ksatria Panggilan, saya
sangat mengerti jalan pikiran dan suara hatimu,” berkata Mimba Purana “Bagi
saya jika sesuatu bisa diperbaiki dengan cara tidak membunuh maka hal itulah
yang pertama kali akan saya lakukan. Lagi pula bagaimanakah perasaan hati
seseorang membunuh saudara kandung sendiri. Ksatria Panggilan, apakah kau punya
saudara kandung? Jika punya apakah kau akan merasa tega membunuh saudaramu
sendiri walau dia memang bersalah?”
“Sahabat
Mimba Purana, mohon maaf. Turut bicaramu rupanya ada perbedaan hukum terhadap
saudara kandung dan orang yang bukan saudara kandung. Sayang, aku memang tidak
punya saudara kandung hingga tidak dapat menyelami jalan pikiran dan perasaan
hatimu. Sahabat muda, mohon maafmu. Aku dan kawan-kawan harus pergi. Seorang
anak perempuan terancam keselamatannya. Kami harus menolong, walau anak itu
bukan saudara kandung kami!”
“Tunggu…!
Masih ada yang ingin saya sampaikan.”
“Pasti
dia mau minta keris!” Duga Wiro dalam hati. Saat itu kembali dia mulai kerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti ke kaki.
“Ksatria
Panggilan, saya tahu kau mampu memusnahkan kekuatan yang membuat dua kakimu tak
bisa bergerak dan pergi dari sini. Tapi saya mohon jangan pergi dulu. Ada
sesuatu teramat penting yang akan saya sampaikan”
“Apakah
itu lebih penting dari menyelamatkan nyawa dan kehormatan seorang anak
perempuan bernama Ni Gatri, menemukan kapak sakti, menyelamatkan guruku dan…”
“Semua
yang sahabat sebutkan itu memang penting, bahkan sangat penting. Tergantung
dari sisi mana kita melihatnya…”
“Tidak
ada sisi yang lebih baik selain sisi kebenaran!” Jawab Wiro yang sudah jengkel
dan tak dapat menahan diri lagi. Setengah berbisik Wiro berkata pada Ratu
Randang. “Nek, temui aku di pinggiran timur kawasan Prambanan. Aku sudah muak
melihat dan bicara dengan bocah sok pintar itu. Beri tahu teman-teman…”
Murid
Sinto Gendeng dengan cepat kembali salurkan tenaga dalam tinggi dan hawa sakti
penuh pada dua kakinya.
Desss!
Batu
besar di tengah telaga yang dipijak Wiro bergetar keras. Selarik cahaya kuning
mengepul.
Braakkk!
Batu
besar hancur berantakan. Air telaga muncrat setinggi dua tombak. Bersamaan
dengan itu sosok Pendekar 212 meluncur ke bawah, lenyap ke dalam telaga.
Mimba
Purana terkesiap melihat apa yang terjadi.
“Nenek
Ratu Randang…” Ucapan anak ini terputus karena saat itu Ratu Randang tidak ada
lagi di tempatnya semula. Dia berpaling ke tepi telaga. Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi juga tidak kelihatan lagi!
Si bocah
menarik nafas dalam. Perlahan mulutnya berucap. “Mungkin aku terlalu banyak
bicara. Seharusnya tadi langsung saja pada amanat yang diberikan kakek alam roh
itu…”
Dia
kemudian memandang ke arah curahan air terjun.
Memperhatikan
mulut goa yang terlihat samar. Mulut kembali berucap, “Rakanda Dirga, hari ini
aku masih bisa menolongmu. Tapi bila datang takdir dan kuasa Para Dewa, tidak
seorangpun bisa menyelamatkanmu, termasuk dirimu sendiri.”
Setelah
merenung sejenak anak ini gosokkan dua telapak tangan. Ketika dua telapak
dipisahkan kelihatan ada lingkaran putih di telapak tangan kanan. Di dalam
lingkaran putih terdapat bagian berwarna biru setengah luas lingkaran.
“Warna
biru baru seluas setengah lingkaran. Hyang Jagat Bathara Dewa, apakah Bhumi
Mataram benar-benar akan dapat diselamatkan? Apakah Bulan Biru benar-benar akan
muncul di langit pada malam yang telah ditentukan? Apa lagi yang akan terjadi
sampai warna biru menutup seluruh lingkaran putih di telapak tangan kanan saya?
Sayang, saya tidak berkesempatan memberitahu pada pendekar dari alam delapan
ratus tahun mendatang itu. Dia kelihatan jengkel pada saya. Tapi saya tahu
mulut dan hatinya polos. Saya mohon Para Dewa memberi perlindungan dan
pertolongan pada semua maksud baik yang hendak dilaksanakannya.”
Awan
kelabu tiba-tiba muncul dan turun di tengah telaga. Mimba Purana melesat ke bagian
atas awan. Dia bersila seolah duduk di atas satu buntalan empuk. Dua tangan
dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam. Angin sejuk bertiup dari arah
timur. Awan kelabu bergerak naik semakin tinggi. Anak lelaki itu mulai masuk ke
alam samadi.
***********************
10
KSATRIA
Roh Jemputan alias Pangeran Matahari boleh punya ilmu lari secepat setan
berkelebat. Namun dia tidak mampu menghindar dari kejaran Jaka Pesolek yang
sanggup melesat seperti kilat menyambar. Di satu hutan jati yang sepi tak jauh
dari kawasan Prambanan, Pangeran Matahari baringkan Ni Gatri di tanah. Dia
tidak mengetahui kalau di atas salah satu pohon jati di sekitar situ Jaka
Pesolek mengawasi apa yang dilakukannya.
Setelah
membaringkan Ni Gatri Pangeran Matahari memeriksa keadaan anak perempuan itu.
Tubuh Ni Gatri diraba di beberapa bagian. Lalu pipi ditepuk-tepuk. Namun Ni
Gatri tetap tidak bergerak.
“Anak ini
masih bernafas. Aku tidak yakin dia dalam keadaan pingsan. Ada satu kekuatan
aneh mendekam dalam tubuhnya. Jangan-jangan bocah itu telah mempergunakan
rapalan jahat ilmu mencuci otak.” Sang Pangeran perhatikan keadaan pakaian Ni
Gatri. Dadanya berdebar, kecurigaan muncul.
“Jangan-jangan
aku sudah kedahuluan…” Ucap Pangeran Matahari dalam hati. Tangan kanan diulur
menyingkap pakaian Ni Gatri di sebelah bawah. Serta merta sang Pangeran
tersentak melihat apa yang disaksikannya.
“Dirga
Purana bocah keparat! Kurang ajar!” Pangeran Matahari berdiri. “Ni Gatri, kau
tidak ada gunanya lagi bagiku! Pangeran Matahari berpantang mendapat sisa!”
Tidak
pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera hendak melangkah pergi. Saat itulah
sudut matanya melihat satu benda kemerahan menyelinap di atas salah satu pohon
jati.
“Pohon
jati tidak pernah membekal warna merah. Ada seseorang mengintai gerak-gerikku!”
Tidak
menunggu lebih lama sang Pangeran segera angkat tangan kanan. Tidak
tanggung-tanggung dia melepas pukulan Gerhana Matahari. Tiga cahaya berkiblat
kuning, hitam, dan merah.
Wusss!
Pohon
jati besar yang telah berumur setengah abad lebih tenggelam dalam buntalan api.
Satu pekikan terdengar ketika pohon jati roboh ke tanah dalam keadaan hangus
hitam. Pangeran Matahari cepat melompat mendatangi.
“Jelas
aku mendengar suara jeritan! Tapi tidak ada bangkai gosong!” Sang Pangeran
berpikir-pikir. “Bayangan merah. Agaknya bukan pendekar keparat itu! Suara yang
menjerit suara perempuan! Mungkin Dewi Ular atau gadis berkaki satu itu?”
Tadinya
Pangeran Matahari mengira yang mengintainya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Bangsat pengintai itu mampu selamatkan diri dari pukulan Gerhana Matahari.
Berarti dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Tapi mengapa tidak
membalas. Justru malah sembunyi.”
Pangeran
Matahari memandang berkeliling, “Aku tak mungkin membakar seluruh hutan jati
ini untuk menangkap tikus yang bersembunyi!”
Pangeran
berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak
ini menyeringai. Satu akal cerdik terlintas di benaknya. Cepat-cepat dia
mendatangi sosok Ni Gatri yang masih tergeletak di tanah. Dia berteriak keras-keras,
“Ni Gatri! Kau layak mendapat kemurahan hati seorang pangeran. Soal aku sudah
kedahuluan anak jahanam itu aku tidak perduli! Kau masih pantas melayani
diriku!”
Pangeran
Matahari gerakkan dua tangan ke pinggang celana lalu membungkuk di atas tubuh
Ni Gatri. Pada saat itulah tiba-tiba ada yang berteriak.
“Jangan!
Anak itu sudah cukup menderita! Jangan kau tambah kesengsaraannya!”
Satu
bayangan merah berkelebat dari balik serumpun semak belukar. Yang muncul
ternyata seorang gadis cantik berpakaian merah muda yang bukan lain adalah Jaka
Pesolek.
“Kau!”
Ujar Pangeran Matahari yang diam-diam senang jebakannya berhasil. Lebih senang
lagi ketika menyaksikan yang berdiri di hadapannya saat itu adalah gadis cantik
salah seorang sahabat Pendekar 212. Akal busuknya kembali bekerja. “Gadis
cantik kau berani menghalangi apa yang hendak aku lakukan! Apa imbalannya kalau
maksudku terhadap anak ini tidak jadi aku teruskan? Kau mau menjadi
penggantinya?”
Jaka
Pesolek tersipu-sipu. “Walau kasar tapi tampang orang ini tidak jelek-jelek
amat.” Kata si gadis dalam hati. Lalu dia berkata “Aku mohon, anak itu masih
terlalu kecil. Dalam keadaan pingsan pula…”
“Kurasa
anak itu sudah mati…”
“Aku
tidak percaya. Masakan seorang yang mengaku Pangeran mau meniduri mayat! Hik…
hik… hik!”
“Kurang
ajar! Cerdik juga gadis satu ini!” Pikir Pangeran Matahari. “Dengar, kau boleh
membawa anak ini. Tapi sebelum pergi kita berdua bisa bersenang-senang lebih
dulu.”
“Bersenang-senang
bagaimana maksudmu?”
Pangeran
Matahari menyeringai. “Jangan pura-pura tolol. Lekas tanggalkan pakaianmu!”
“Hik…
hik!” Jaka Pesolek tertawa. “Mengapa aku harus menanggalkan pakaian?!” Dia
bertanya lalu keluarkan kotak hias, bedaki wajah, poles bibir dan kerengi alis.
Sambil rapikan rambut dia simpan kembali kotak hias hadiah Nyi Roro Jonggrang
itu. Sesaat Pangeran Matahari dibuat terpesona melihat wajah yang kini berubah
lebih cantik dan lebih segar itu. Sambil usap-usap dadanya sendiri Jaka Pesolek
bertanya konyol. “Hai, apakah menurutmu dadaku bagus dan besar?”
“Kalau
pakaianmu sudah kau buka baru aku bisa tahu!” Jawab Pangeran Matahari tak kalah
konyol.
“Oh
begitu? Tapi kau belum menjawab mengapa aku harus menanggalkan pakaian.”
“Jangan
berpura-pura. Sorot matamu menyatakan kau suka padaku! Tapi kalau kau menampik,
berarti kau minta aku yang menanggalkan pakaianmu!”
“Ah, itu
rasanya lebih menarik. Hik… hik… hik. Tapi bagaimana kalau kita berdua
sama-sama menanggalkan pakaian. Kulihat bajumu sudah tersingkap, celanamu sudah
melorot!”
“Aku
tidak menolak!” Jawab Pangeran Matahari jadi panas. Cuping hidung kembang
kempis dan pelipis bergerak-gerak.
“Bagus,
tapi sebelum kita sama-sama bugil lalu terus…, hik… hik. Aku ingin anak
perempuan itu disingkirkan lebih dulu. Biar aku pindahkan dia ke balik semak
belukar sana. Siapa tahu selagi kita berasyik-asyik tiba-tiba dia sadar dan
melihat apa yang kita kerjakan. Bagaimana, kau bisa mengerti? Kau setuju?”
Pangeran
Matahari mengangguk. “Lakukan cepat! Kalau sudah lekas datang ke hadapanku!”
“Jangan
khawatir!” Kata Jaka Pesolek pula. “Selesai aku membawa anak ini ke balik semak
belukar sana aku akan membuka seluruh pakaianku. Lalu datang ke hadapanmu! Aku
harap kau sudah menunggu dalam keadaan yang sama.” Jaka Pesolek layangkan
senyum genit sambil lidah dijulur membasahi bibir.
Hasrat
Pangeran Matahari jadi tambah bergelora. Membuat dia jadi tidak sabaran. “Cepat
singkirkan anak itu!”
Pangeran
Matahari memperhatikan sambil usap janggut tipis kasar di dagu. Dalam hati dia
membatin. “Tadinya kalau sudah bersenang-senang aku niat akan membunuhnya. Tapi
dia punya ilmu bergerak cepat luar biasa. Lalu kepandaiannya menangkap serangan
Lentera Iblis yang dianggapnya petir kurasa bisa aku manfaatkan. Aku akan
merayunya agar mau menjadi kekasih untuk membantuku menumpas Sinuhun Muda
merebut kuasa di negeri yang sedang kacau ini! Sinuhun Merah sudah mampus,
kembali ke alam roh! Tujuanku hanya tinggal beberapa langkah saja!”
**************************
Seperti
diceritakan dalam Episode terdahulu berjudul “Roh Jemputan”, Sinuhun Merah
Penghisap Arwah memasuki alam delapan ratus tahun mendatang dan pergi ke Gunung
Merapi untuk menemui Pangeran Matahari yang disebut sebagai Ksatria Roh
Jemputan. Sinuhun Merah minta bantuan Pangeran Matahari untuk membunuh Ksatria
Panggilan yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Pangeran Matahari
menjawab dia bersedia membantu asal diberi imbalan. Imbalan yang diminta adalah
agar Sinuhun Merah dan orang-orangnya membantu pendirian Partai Bendera Darah
di Bhumi Mataram.
Saat itu
dengan congkak Pangeran Matahari yang belum tahu banyak siapa adanya Sinuhun
Merah Penghisap Arwah, berkata, “Sinuhun Merah, aku minta diberi hak dan
kesempatan untuk mendirikan Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram. Partai ini
kelak akan menguasai dunia nyata dan alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang
pembantuku. Berarti mulai saat ini kau harus tunduk padaku!”
Kejut
Sinuhun Merah bukan alang kepalang. Darah mendidih. Amarah meledak! Setelah
memaki dia pancarkan delapan cahaya merah dari benjolan yang ada di keningnya,
diarahkan pada Pangeran Matahari. Saat itu juga di kening Pangeran Matahari
muncul delapan benjolan merah.
“Roh
Jemputan!” Hardik Sinuhun Merah. “Kesombonganmu tidak berlaku di hadapanku.
Mulai saat ini kau yang harus tunduk padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan
memberi setiap perintah yang harus kau patuhi! Sekarang berlututlah di
hadapanku! Jika kau menolak aku akan membuat kau tidak kembali ke alammu untuk
selama-lamanya. Rohmu akan berkeliaran tak karuan, tergantung antara bumi dan
langit! Tunduk dan berlutut!”
Aneh!
Saat itu juga Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan yang tadi bersikap
garang congkak perlahanlahan menekuk sepasang kaki lalu berlutut di hadapan
Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
**************************
Jaka
Pesolek segera mendekati Ni Gatri. Sosok anak perempuan itu digendong. Dia
berpaling sejenak ke arah Pangeran Matahari dan berkata, “Harap kau mau
bersabar barang sebentar. Aku akan segera datang ke dalam pelukanmu. Tanpa
pakaian.” Gadis itu julurkan lidah merahnya, kedipkan mata lalu dengan cepat
berlari membawa Ni Gatri ke balik semak belukar. Tapi begitu dirinya terhalang
dari pandangan Pangeran Matahari secepat kilat Jaka Pesolek melesat ke dalam
rimba belantara, berkelebat di balik deretan pohon jati. Sosok Ni Gatri
dipanggul di bahu kanan. Dalam sekejap saja dia sudah lenyap di balik deretan
pohon jati.
Pangeran
Matahari yang tidak menyangka kalau dirinya tengah ditipu terbelalak kaget.
Didahului suara menggembor marah, dengan cepat dia mengejar.
“Gadis
kurang ajar! Kau kira bisa menipuku lalu kabur begitu saja!”
Maklum
kalau Jaka Pesolek memiliki ilmu melesat laksana kilat yang tak mungkin
dikejar, sambil berkelebat Pangeran Matahari pentang dua tangan ke depan.
Tangan kiri membuat gerakan mengepal seperti mencekal sesuatu. Tangan kanan
dengan lima jari mencengkeram diangkat lebih tinggi lalu diputar demikian rupa.
Inilah ilmu bernama Menahan Bumi Memutar Matahari yang didapatnya dari salah
seorang sakti bernama Singo Abang (Baca serial Wiro Sableng berjudul “Kembali
Ke Tanah Jawa”).
Jaka
Pesolek yang tengah melesat di udara dan berusaha meninggalkan hutan jati
sambil memanggul Ni Gatri tiba-tiba merasakan ada sambaran angin di sebelah
bawah. Kedua kakinya terasa berat dan tubuhnya seperti ditarik ke tanah.
Sementara itu di arah depan dia melihat cahaya terang berputar yang membuat
pandangannya menjadi silau.
Braakk!
***********************
11
JAKA
PESOLEK terpekik ketika bahu kirinya menabrak pohon jati. Tak ampun lagi tubuh
gadis ini jatuh terbanting ke tanah. Ni Gatri terguling dari panggulan. Sambil
mengusap bahu kirinya dan mengerang kesakitan, terhuyung-huyung Jaka Pesolek
mencoba berdiri. Saat itulah dari belakang ada satu tangan berkelebat.
Breett!
Jaka
Pesolek terpekik. Bagian belakang baju merahnya robek besar mulai dari punggung
sampai ke pinggul! Jaka Pesolek tahu bahaya besar yang mengancam dirinya. Dia
hendak berkelebat lari tapi pandangan kedua matanya masih gelap. Dalam takutnya
gadis ini jadi nekad. Dia menghambur dengan gerakan kilat tapi tanpa arah.
Akibatnya Pangeran Matahari dengan mudah berhasil mencekalnya!
“Aku suka
gadis berani dan punya akal!” Berkata Pangeran Matahari lalu tertawa bergelak.
Tangan kanan bergerak.
Breett!
Breett!
Pakaian
merah muda Jaka Pesolek robek di bagian bahu dan pinggang. Gadis itu usap kedua
matanya. Ketika pandangannya mulai jelas dia melihat dua tangan diulur ke arah
dadanya. Dengan cepat Jaka Pesolek melompat ke belakang. Namun gerakannya
terhalang batang pohon jati.
“Gadis
cantik, kau harus dibuat jinak lebih dulu!”
Lalu
bett… bett!
Dua
totokan mendarat di urat besar di leher serta bahu kanan Jaka Pesolek. Langsung
gadis ini merasa tubuhnya kejang, tak bisa bergerak tapi masih mampu bersuara.
Ketika tubuhnya terhuyung ke depan, Pangeran Matahari cepat merangkul
pinggangnya lalu baringkan si gadis di tanah.
Dalam
takutnya Jaka Pesolek berkata. “Jangan berlaku kasar. Kalau kau lepaskan
totokan, aku akan melayanimu sampai kau benar-benar merasa puas…”
Pangeran
Matahari menyeringai. “Siapa percaya gadis penipu sepertimu!”
Tangan
kiri menyambar ke dada.
Brettt!
Kembali
ada pakaian Jaka Pesolek yang robek. Kali ini di bagian dada. Sepasang mata
Pangeran Matahari mendelik, kening mengerenyit dan tampang berubah aneh ketika
melihat dada yang tersingkap. Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada
seorang gadis rata seperti itu. Penasaran dengan cepat tangannya bergerak turun
ke bawah.
“Tunggu…
jangan! Aku mau bicara dulu!” Jaka Pesolek berkata. Wajah mendadak pucat.
“Ada
apa?!” Bentak Pangeran Matahari. “Tadi kau menantang mau membuat aku puas.
Sekarang kenapa kau ketakutan?! Kau mau mengatakan apa…?”
“Aku,
aku, maksudku… aku bisa jantan bisa betina…”
“Apa
maksudmu dengan ucapan itu!”
“Hik…
hik! Aku hanya mau memberi tahu. Biar aku sendiri yang menanggalkan pakaianku.
Lepaskan totokanku. Nanti aku…”
Tidak
sabaran Pangeran Matahari langsung saja bertindak kurang ajar. Seluruh pakaian
Jaka Pesolek di sebelah bawah ditarik lepas. Begitu melihat aurat yang
tersingkap, Pangeran Matahari berteriak kaget! Tubuhnya yang mencangkung di
samping Jaka Pesolek tersurut bahkan kemudian dia melompat berdiri!
“Jahanam
keparat! Kau ini makhluk apa?! Manusia atau jejadian?! Kau ini lelaki atau
perempuan. Kalau lelaki mengapa berpakaian dan berdandan serta punya suara
seperti perempuan! Kalau perempuan mengapa…”
“Pangeran,
lepaskan dulu totokan di tubuhku. Nanti aku akan menerangkan. Kau tidak akan
kecewa! Karena, karena seperti kataku tadi aku bisa jantan bisa betina.
Terserah kau mau memilih yang mana. Bisa salah satu bisa dua-duanya…”
“Makhluk
terkutuk! Manusia banci! Berani kau mempermainkanku!” Saking marahnya Pangeran
Matahari tendangkan kaki kanannya ke pinggul Jaka Pesolek.
Bukkk!
Jaka
Pesolek menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak. Terkapar
tertelentang di tanah, mengerang pendek lalu megap-megap siap untuk pingsan!
Masih belum puas Pangeran Matahari mengejar. Kaki kanan diangkat tinggi-tinggi.
Kali ini kaki itu siap dihunjamkan ke bagian bawah perut Jaka Pesolek.
Hanya
tinggal sekejapan saja tubuh bagian bawah Jaka Pesolek akan hancur luluh dan
sudah dipastikan akibatnya si gadis akan menemui ajal, tiba-tiba tanah di
samping kaki kiri Pangeran Matahari terkuak. Satu tangan mencuat ke atas
langsung mencekal pergelangan kaki kirinya!
Kaget
Pangeran Matahari bukan olah-olah.
“Kurang
ajar! Setan dari mana…?!”
Ketika
Pangeran Matahari berusaha menyentakkan kaki yang dicekal tiba-tiba sesosok
tubuh berpakaian merah bergaris kuning, didahului oleh kepala berambut gondrong
sebahu mencuat keluar dari dalam tanah. Saat itu juga sang Pangeran merasa kaki
kirinya dibetot keras, membuat tubuhnya melintir diputar seperti titiran.
Ketika cekalan tiba-tiba dilepas tak ampun lagi tubuh Pangeran Matahari
terlempar ke udara dan baru berhenti ketika, braaakk!
Tubuh itu
menghantam batang pohon jati kecil. Pohon jati berderak patah dan tumbang.
Walau bahu kirinya serasa remuk akibat beradu dengan pohon namun Pangeran
Matahari masih bisa keluarkan teriakan marah. Tubuh melesat ke udara,
berjungkir balik satu kali dan di lain kejap sudah berdiri lima langkah di
hadapan orang yang melemparnya ke udara. Dia jadi melengak kaget karena tidak
menyangka. Ternyata orang itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!
“Jahanam
keparat! Kau muncul mengantar nyawa!” Teriak Pangeran Matahari dengan menindih
rasa herannya melihat Wiro memiliki ilmu bisa masuk dan keluar dari dalam
tanah!
Wiro
sunggingkan senyum mengejek.
“Dari
hidup kau minta mampus. Sudah mampus dan jadi roh masih berkeliaran menebar
kejahatan! Pangeran geblek! Kau pantas dikembalikan ke alam roh untuk
selama-lamanya!”
Mendidih
darah dan amarah Pangeran Matahari mendengar ucapan Wiro. Didahului teriakan
dahsyat tidak kepalang tanggung dia lancarkan dua serangan dengan tangan kiri
kanan sekaligus!
Tangan
kiri diangkat ke atas membentuk tinju. Begitu tangan dihantamkan ke arah lawan,
lima jari yang mengepal dibuka. Lima larik angin menderu tanpa warna. Lawan
yang diserang serta merta merasa dada dan isi perutnya seperti dibongkar
dibetot keluar. Jalan darah terhenti. Kepala seperti dihajar palu godam! Tubuh
secara mendadak kehilangan kekuatan! Inilah yang disebut Pukulan Merapi
Meletus. Jika tidak mampu selamatkan diri maka dalam hitungan kejapan mata
orang yang jadi sasaran akan meledak tubuhnya mulai dari kepala sampai ke ujung
kaki!
Serangan
Pangeran Matahari kedua yang dilancarkan dengan tangan kanan melesatkan cahaya
tiga warna yaitu merah, kuning, dan hitam, Pukulan Gerhana Matahari!
Orang
lain mungkin tidak bisa menghindar dan meregang nyawa secara mengerikan dilanda
dua serangan Pangeran Matahari. Tetapi murid Sinto Gendeng sebagai musuh lama
dan bebuyutan tahu betul semua ilmu kesaktian yang dimiliki lawan. Malah saat
itu dia sudah mewaspadai kalau-kalau Pangeran Matahari akan mengeluarkan
senjata dahsyatnya, yaitu Lentera Iblis!
Walau
saat itu tubuhnya mulai terasa gontai dan panas akibat dikunci serangan pertama
yaitu Pukulan Merapi Meletus, sementara serangan kedua menderu dengan ganas,
Pendekar 212 cepat tancapkan dua kaki ke tanah hingga tenggelam sampai sebatas
pertengahan betis. Dari batok kepala mengepul asap putih. Ini pertanda sang
pendekar tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki.
Satu hal yang jarang-jarang dilakukan Wiro.
Sambil
membentak keras Wiro tekuk sedikit kedua lutut. Dua tangan dihantamkan ke
depan, ke arah datangnya dua serangan lawan. Tangan kiri digerakkan dalam jurus
Membuka Jendela Memanah Matahari lalu melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam
Batu Karang. Dengan tangan kanan Wiro melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam
Tanah yang sengaja diarahkan ke bagian kaki lawan.
Dua
dentuman keras menggelegar di dalam hutan jati. Tanah di depan kaki Pangeran
Matahari terbongkar membentuk lobang besar. Sang Pangeran tampak tergontai
pucat. Mulut lelehkan darah merah kehitaman. Dalam berusaha mengimbangi diri
agar tidak terperosok ke dalam lobang, Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang datang menggebubu. Ketika dia berusaha bertahan dengan mengerahkan
seluruh kekuatan luar dalam yang dimiliki, Pangeran Matahari dapatkan tubuhnya
terangkat ke udara. Wiro sentakkan tangan kiri. Seperti dibetot tubuh Pangeran
Matahari tertarik ke depan dan langsung masuk ke dalam lobang besar. Di saat
itu Wiro yang juga menderita luka dalam cepat guratkan ujung kaki kanannya ke
tanah.
Rrrttttt!
Ilmu
Membelah Bumi Menyedot Tanah! Tanah di dalam lobang besar terbelah. Pangeran
Matahari berteriak kaget ketika tubuhnya mendadak tersedot ke dalam belahan
tanah. Mendahului datangnya daya sedotan yang lebih besar, Pangeran yang cerdik
ini dengan ilmu yang didapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah amblaskan
diri ke sisi kiri belahan tanah. Lenyap dari pemandangan.
Wiro
cepat mengejar namun hanya bisa berhenti di depan belahan tanah yang
perlahan-lahan kembali bersatu. Wiro seka darah yang keluar di sela bibirnya.
Dada mendenyut sakit. Selagi dia berpikir-pikir apakah Pangeran Matahari
benar-benar telah menemui ajal di dalam tanah tiba-tiba dia merasa sambaran
angin di belakangnya. Wiro cepat berbalik tepat pada saat satu jotosan dahsyat
memancarkan cahaya merah menderu ke arah keningnya. Inilah pukulan bernama Di
Dalam Arwah Ada Raga. Yang melancarkan serangan adalah Pangeran Matahari.
Ternyata makhluk berjuluk Ksatria Roh Jemputan ini masih hidup!
***********************
12
PUKULAN
yang dilancarkan Pangeran Matahari adalah pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada
Raga yang didapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Sebenarnya Wiro punya
kesempatan untuk mengelak atau menghindar dari pukulan maut itu, namun entah
mengapa dia memilih berjibaku. Ingin melumat musuh bebuyutannya saat itu juga!
Pendekar
212 rundukkan kepala sambil dua lutut ditekuk. Dua tangan dengan cepat
dipentang ke atas, disilang demikian rupa. Telapak tangan kanan dibuka lalu
ditiup. Serta merta di atas telapak tangan itu muncul gambar kepala harimau
putih bermata biru! Di kejauhan tibatiba terdengar suara auman dahsyat yang
menggetarkan tanah di hutan jati. Itulah auman harimau sakti Datuk Rao Bamato
Hijau yang walau terpisah jauh tapi mendapat sambung rasa dan tahu kalau
Pendekar 212 berada dalam bahaya.
Pangeran
Matahari terlalu yakin kalau serangannya kali itu akan menghancurkan kepala
lawan dan menamatkan riwayat Pendekar 212! Sambil keluarkan suara menggembor
dia kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti. Sebaliknya begitu tangan
kanan lawan masuk, Wiro menggerakkan dua tangan seperti gunting melibas.
Bukkk!
Terjadi
bentrokan hebat antara dua tangan Wiro yang disilang dengan lengan Pangeran
Matahari yang datang menyambar.
Kraakk!
Jeritan
menggelegar dari mulut Pangeran Matahari begitu tulang lengan tangan kanannya
patah. Selain itu dorongan tenaga dalam lawan membuat tubuhnya terpental dua
tombak dan jatuh terjengkang di tanah. Kehebatan serangan sang Pangeran yang
mengandalkan ilmu kesaktian dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah ternyata tidak
mampu menandingi tangkisan sekaligus serangan Pukulan Harimau Dewa warisan
Datuk Rao Basaluang Ameh dari Danau Maninjau!
Wiro
sendiri terhempas satu tombak ke belakang. Punggung membentur batang pohon
jati. Cidera dalam yang dialaminya bertambah parah akibat bentrokan tadi dan
lelehan darah semakin menebal di sela bibir sementara dua kaki terasa bergetar.
Sebelum dirinya jatuh berlutut, Wiro masih mampu mengangkat tangan, merapal aji
kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan kanan mulai dari siku sampai ke
ujung jari berubah menjadi seputih perak, Wiro langsung menghantam ke depan.
Sinar
putih berkilau disertai suara menggelegar dan hamparan panas berkiblat ke arah
Pangeran Matahari yang dalam keadaan nyaris tak berdaya masih berusaha jatuhkan
diri ke tanah walaupun terlambat. Hanya sesaat lagi dia akan menemui ajal untuk
kedua kali tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat di udara. Aneh dan luar
biasanya bayangan ini sengaja menyongsong datangnya cahaya putih menyilaukan
Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk menghabisi
Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan!
Apa yang
terjadi?
Sebelumnya
diketahui Jaka Pesolek terhantar di tanah akibat tendangan Pangeran Matahari.
Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan dia mengetahui sedang terjadi
pertarungan hebat antara Wiro dan sang Pangeran sementara Ni Gatri tidak
terlihat lagi di sekitar situ. Mungkin anak ini terlempar ke dalam hutan jati
ketika terjadi letusan-letusan dahsyat akibat bentrokan pukulan-pukulan sakti
tadi. Meski tidak berdaya seperti itu, tetapi ketika dia mendengar suara
menggelegar disertai sambaran cahaya putih, mendadak sontak semangat dan
kekuatan Jaka Pesolek timbul kembali. Anehnya, dia merasa tubuhnya seringan
kapas.
“Ada
petir menyambar di dalam hutan! Oala! Tanganku jadi gatal! Aku…”
Tidak
tunggu lebih lama gadis ini segera melesat ke atas lalu laksana kilat menyambar
dia berkelebat ke arah cahaya putih yang seperti sudah-sudah, diduganya sebagai
petir. Padahal cahaya putih menyilaukan dan panas itu adalah Pukulan Sinar
Matahari yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk menghabisi Pangeran
Matahari!
Sambil
berteriak girang Jaka Pesolek kembangkan dua tangan di udara, dengan cepat
menyambar ujung cahaya putih lalu membuntalnya seperti menggulung kain panjang.
Beberapa
orang yang menyaksikan kejadian itu berseru kaget.
“Aku
berhasil!” teriak Jaka Pesolek girang. Cahaya putih yang dibuntal lalu diusung
ke atas dan dilempar di langit lepas. Tubuh dan pakaiannya tampak putih
berkilat, mengepulkan asap panas. Namun Jaka Pesolek tidak merasa apa-apa.
Begitu gadis ini melayang turun sambil tertawa haha-hihi dan jejakkan dua kaki
di tanah. Wiro langsung membentak marah.
“Jaka
Pesolek! Apa yang kau lakukan?! Kau menolong musuh bebuyutanku! Kau sengaja
menyelamatkan musuh besar raja dan rakyat Mataram!”
Jaka
Pesolek jadi terkejut, mulut ternganga mata mendelik. “Astaga! Apa aku telah
berbuat keliru? Aku menyangka…” Saking takutnya Jaka Pesolek tak bisa teruskan
ucapan.
Sementara
itu Pangeran Matahari sendiri tak kalah kejutnya. Dia mengira Jaka Pesolek
memang telah menyelamatkan dirinya dari hantaman Pukulan Sinar Matahari. Tapi
otak dan hatinya tetap saja ingin berbuat jahat. Melihat perhatian Wiro tertuju
pada Jaka Pesolek dia merasa ada kesempatan. Pangeran Matahari segera lepaskan
serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Delapan cahaya merah menderu
dahsyat dari delapan benjolan di kening. Enam menyambar ke arah Wiro, sisa yang
dua melesat ke arah Jaka Pesolek yang berdiri membelakanginya dan menghalangi
pandangan Wiro. Semua terjadi sangat cepat dan tidak terduga.
Kurang
dari sekejapan mata tubuh Jaka Pesolek akan hancur berkeping-keping dan
dikobari api, menyusul hal sama akan terjadi pula dengan Wiro, tiba-tiba
berkelebat tiga bayangan disertai suara teriakan perempuan.
“Kawan-kawan!
Lekas tancapkan delapan jari!”
Sett!
Settt!
Dua puluh
empat jari tangan yang dipentang seperti besi lurus berkelebat deras. Delapan
menancap di tanah, delapan menusuk batang pohon jati dan delapan lagi melesak
ke dalam gundukan batu. Saat itu juga terjadi hal luar biasa hebat.
Pangeran
Matahari tidak pernah tahu adanya ilmu penangkal serangan Delapan Arwah Sesat
Menembus Langit. Dia berteriak keras ketika menyaksikan delapan larik cahaya
merah panas berbalik menderu lalu menyerang ke arah dirinya! Ilmu apapun yang
dimilikinya, kecepatan bagaimanapun yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan
diri, semua hanyalah sia-sia belaka!
Blaarr!
Blaarr!
Letusan
keras disertai percikan bunga api setinggi dan selebar dua tombak menggelegar
di hutan jati, menggetar gendang-gendang telinga, seolah menyumbat jalan aliran
darah! Beberapa pohon jati tenggelam dalam kobaran api dan langsung gosong
menghitam!
Suara
jeritan sang Pangeran yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala
Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak, serta merta terputus begitu delapan larik
cahaya merah membabat tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki! Kutungan tubuh
yang dikobari api dan menebar bau daging terpanggang menggidikkan itu
berlesatan ke berbagai penjuru hutan jati lalu mengepul jadi asap dan akhirnya
lenyap dari pandangan mata.
Saat itu
Wiro dengan terhuyung-huyung berusaha bangkit berdiri. Tangan kiri ditopangkan
ke pohon jati di dekatnya. Dada mendenyut sakit tak karuan, tangan kanan
menyeka darah yang membasahi dagu. Dia memandang berkeliling. Di arah depan dia
melihat Kunti Ambiri mengeluarkan delapan jari tangan dari dalam pohon jati
yang ditusuknya. Lalu di sebelah kiri tampak Ratu Randang mencabut delapan jari
dari dalam batu. Di arah kanan Sakuntaladewi si gadis berkaki tunggal tengah
membersihkan jari-jari tangannya yang tadi ditancapkan ke tanah.
“Mereka
menyelamatkan nyawaku dengan ilmu penangkal.” Ucap Wiro dalam hati. Dia hendak
melangkah mendekati ke tiga orang itu.
Tiba-tiba
terjadi satu hal luar biasa aneh. Dari dalam hutan jati menggelegar suara
teriakan.
“Ksatria
Roh Jemputan! Aku berikan pecahan lima nyawaku padamu! Aku akan membantumu! Kau
akan kembali pada ujudmu! Keluarkan Lentera Iblis. Bunuh semua musuhmu!” Suara
orang yang berteriak terdengar sama dengan suara Sinuhun Merah Penghisap Arwah
yang roh keduanya telah menemui ajal.
Lima
benda aneh berwarna merah samar berkelebat di dalam hutan jati lalu bergabung
jadi satu, membentuk asap merah menyerupai sosok manusia. Ketika turun ke tanah
ujudnya membentuk sosok Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan. Tapi
wajahnya berwarna sangat putih seperti kain kafan! Tangan kanan menggenggam
Lentera Iblis!
Selagi
Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi terkejut melihat kemunculan
Pangeran Matahari secara tidak disangka-sangka, sang Pangeran tiba-tiba sudah
menggerakkan tangan kanan memutar Lentera Iblis. Dia sengaja lancarkan serangan
terhebat yakni jurus ketiga dari Tiga Jurus Serangan Lentera Iblis yang bernama
Liang Lahat Menunggu.
Cahaya
kuning berkiblat. Menghambur secepat setan menyambar ke arah Wiro dan tiga
orang lainnya pada ketinggian sepinggang tubuh manusia!
“Awas
serangan Lentera Iblis!” Teriak Wiro memperingatkan tiga perempuan. Dia cepat
melompat ke udara setinggi dua tombak. Ratu Randang berkelebat ke balik satu
pohon jati besar lalu melompat naik ke cabang terendah. Kunti Ambiri amblaskan
diri masuk ke dalam tanah. Sakuntaladewi jejakkan kaki tunggalnya ke tanah
hingga tubuhnya membal sampai tiga tombak lalu melayang turun dan seperti
seekor burung hinggap di puncak salah satu cabang pohon jati.
Kalau
Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi berhasil selamatkan diri maka tidak
demikian dengan Kunti Ambiri. Di antara ke empat orang itu dia satu-satunya
yang mengambil cara menyelamatkan diri dengan memasukkan tubuh ke dalam tanah.
Padahal saat itu cahaya kuning Lentera Iblis melesat datar setinggi pinggang di
atas tanah. Ketika tubuhnya amblas baru sampai ke lutut, serangan cahaya kuning
Lentera Iblis bernama Liang Lahat Menunggu datang menyambar! Dalam sekejapan
lagi sudah dapat dipastikan tubuh gadis cantik alam roh yang pernah berjuluk
Dewi Ular itu akan terkutung dua lalu meledak hancur berkeping-keping!
Dari
tempat masing-masing berada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi dalam kaget
mereka cepat bertindak. Wiro hantamkan dua tangan sekaligus melepas Pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera dengan tangan kiri sementara tangan kanan untuk
kedua kalinya melepas Pukulan Sinar Matahari.
Ratu
Randang menggebrak dengan Pukulan Tangan Langit Kaki Bumi. Sakuntaladewi
gerakkan dua tangan membuat Enam Belas Gerakan Tangan Bisu.
Langit
seolah hendak runtuh, tanah bergoncang seperu dilanda lindu. Beberapa pohon
jati berderak bertumbangan ketika berbagai warna cahaya pukulan-pukulan sakti
yang dilancarkan Wiro, Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling beradu dahsyat dengan
sambaran sinar kuning Lentera Iblis!
Wiro
membentak keras, Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama terpekik. Tubuh ketiga
orang ini terjengkang di tanah, semburkan darah segar dari mulut masing-masing.
Khawatir akan mendapat serangan balasan, ketiganya cepat bergulingan di tanah
mencari tempat yang aman Di depan sana Pangeran Matahari tegak menyeringai. Dia
tidak tampak cidera sedikitpun. Namun sebenarnya saat itu bagian dalam tubuh
makhluk alam roh ini telah mengalami luka luar biasa parah. Tangan kanan masih
memegang Lentera Iblis yang diputar demikian rupa tanda siap hendak melancarkan
serangan lagi. Agaknya dia akan sekaligus menghantamkan tiga cahaya lentera
yaitu merah, kuning dan hitam! Namun sesaat kemudian dua lututnya tampak
bergetar dan mulai menekuk. Darah mengalir tersendat. Wajah berubah merah
kelam. Dada terhuyung ke depan. Tenggorokan keluarkan suara mengorok. Seperti
orang mau muntah. Mulut terbuka.
“Tahan!
Jangan muntah! Cepat jauhkan Lentera!”
Mendadak
ada suara mengiang di telinga Pangeran Matahari. Suara itu datang dari makhluk
aneh yang ada di dalam tubuhnya yang bukan lain pecahan lima roh Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.
Pangeran
Matahari terkejut! Astaga! Dia baru sadar. Lentera Iblis punya pantangan
rahasia. Yaitu tidak boleh tersentuh oleh cairan yang keluar dari tubuh
manusia, terutama berasal dari orang yang memegangnya. Cairan itu bisa saja
berupa keringat, air kencing, ludah bahkan termasuk juga darah! Pangeran
Matahari cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri. Namun saat itu tubuhnya telah
terhuyung ke depan. Dalam keadaan seperti itu mulut tak mampu lagi menahan
muntah. Ketika mulut terbuka yang menyembur ternyata adalah darah kental
berbukubuku! Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari tersungkur ke depan.
Lentera iblis terlepas dari tangannya, menggelinding ke arah tebaran muntahan
darah di tanah!
Pangeran
Matahari cepat ulurkan tangan menjangkau lentera agar tidak bersentuhan dengan
muntahan darah. Hanya seujung kuku dia akan berhasil menyentuh Lentera Iblis
mendadak ada satu bayangan hijau berkelebat. Semula Wiro dan kawan-kawan
mengira Sinuhun Muda Ghama Karadipa yang muncul, turun tangan untuk menolong
Pangeran Matahari. Tapi apa yang kemudian terjadi membuat semua orang jadi
melengak kaget!
\
***********************
13
ENTAH
dari mana datangnya tiba-tiba muncul lima cahaya biru panjang yang ujudnya
hampir menyerupai benang menyambar ke arah lima bagian tubuh Pangeran Matahari.
Bau santar kemenyan terbakar memenuhi udara, menggidikan! Lalu terdengar suara
drett drett! Sosok Pangeran Matahari serta merta kaku. Tangan yang diulur
seolah berubah menjadi batu. Sekujur tubuh, mulai dari leher, dada, pinggang,
dua tangan, dan sepasang kaki dilibat cahaya benang biru membuat keadaannya
tidak beda seperti dijahit mati. Semua anggota badan tidak bisa digerakkan
lagi. Di atas batok kepala menancap lima benda aneh berbentuk jarum panjang
sejengkal berwarna biru! Mulut dibuka hendak berteriak tapi tidak ada suara
yang keluar.
“Lima
Jarum Penjahit Raga!” Ucap Wiro dengan mata terbelalak. Matanya memandang cepat
berkeliling seperti tengah mencari seseorang. Saat itu dilihatnya Lentera Iblis
yang menggelinding di tanah hanya sejengkal lagi akan menyentuh muntahan darah
Pangeran Matahari. Wiro serta merta berteriak. “Cepat menyingkir! Lentera
jahanam akan segera meledak!”
Walau
saat itu ketiganya menderita luka dalam dan masih terbaring di tanah namun
dengan mengerahkan tenaga yang ada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi cepat
berdiri lalu melompat sejauh yang bisa dilakukan, mencari tempat yang aman.
Ketiganya berkelebat ke balik satu gundukan batu setinggi pinggul yang berada
di belakang tumbangan tiga pohon jati.
Ledakan
dahsyat kembali menggelegar di hutan jati. Lentera Iblis hancur
berkeping-keping mengeluarkan pancaran cahaya merah kuning dan hitam. Pangeran
Matahari yang terkena sambaran cahaya yang keluar dari Lentera Iblis mencelat
ke udara, meledak hancur tak karuan rupa dalam keadaan hancur. Sebelum meledak
satu sosok aneh berwarna merah keluar dari tubuh sang Pangeran. Walau samar
namun Wiro dan kawan-kawan masih bisa melihat betapa sosok itu luar biasa
mengerikan. Kepala hanya sebelah. Bagian mata merupakan rongga merah dalam.
Mulut pencong mencuatkan gigi panjang hitam. Dada dan perut bolong. Sebagian
usus besar keluar menggelembung. Tangan serta kaki hanya tinggal satu. Seluruh
kulit mengelupas merah! Di balik gundukan batu untuk beberapa lama Wiro, Ratu
Randang, dan Sakuntaladewi sama-sama mendelik melihat makhluk yang tadi keluar
dari dalam tubuh Pangeran Matahari. Tengkuk masing-masing terasa dingin padahal
rimba yang terbakar menghampar hawa panas!
Hutan
jati diselimuti kesunyian. Sesekali hanya terdengar suara gemeretak ranting dan
dedaunan yang terbakar. Serombongan burung yang terbang terlalu rendah di atas
hutan begitu kena sengatan kobaran api mencicit keras, jatuh ke tanah dalam
keadaan gosong!
**************************
Di satu
tempat sunyi di lereng barat Gunung Merapi awan kelabu yang berarak di langit
perlahan-lahan berubah putih bersih. Lalu awan putih ini melayang ke timur,
untuk beberapa lama diam menggantung di udara tinggi kemudian berubah menjadi
biru.
Mimba
Purana yang tengah duduk bersila di satu cabang pohon sejak tadi memperhatikan
keadaan langit. Perubahan awan putih menjadi kebiruan tidak lepas dari
pandangan matanya. Anak sakti bergelar Satria Lonceng Dewa ini letakkan dua
telapak tangan di atas dada. Lalu dua telapak tangan disatukan dan digosok satu
sama lain. Setelah itu dua telapak dipisah. Tangan kiri diletakkan di kepala
sebelah belakang sementara sepasang mata memperhatikan telapak tangan kanan
yang dikembang.
Di atas
telapak tangan itu kelihatan satu lingkaran putih. Di dalam lingkaran putih ada
warna biru memenuhi dua pertiga luas lingkaran putih. Beberapa waktu sebelumnya
warna biru itu baru setengah luas lingkaran. Melihat hal ini anak lelaki
berusia dua belas tahun yang mencantol anting-anting merah di telinga kanan
tampak berseri wajahnya. Perlahan dia berucap.
“Luas
warna biru dalam lingkaran putih bertambah besar. Berarti malam nanti bulan
purnama hari ke empat belas akan muncul dengan warna kebiru-biruan. Bahaya yang
selama ini mengungkung kerajaan akan segera lenyap. Aku tidak sabar untuk
menyaksikan. Tapi…”
Wajah
Satria Lonceng Dewa Mimba Purana berubah suram. Ada kekhawatiran di dalam
hatinya.
“Aku
tahu, ada arti lain dari pertambahan warna biru di telapak tanganku. Ada
manusia yang berbuat kebajikan dan ada makhluk atau orang jahat musuh Raja dan
rakyat Mataram telah menemui ajal. Siapa?” Anak lelaki itu pejamkan mata seolah
berusaha melihat jauh ke dalam alam gaib. Namun apa yang diharapkan tidak
mendapat jawaban. Dua mata dibuka kembali. “Jangan-jangan kakanda Dirga Purana
yang bernasib malang…”
Anak
lelaki di lereng Gunung Merapi itu bangkit berdiri. Tubuh dan wajah dihadapkan
ke selatan ke arah laut di kejauhan yang tidak terlihat dari tempatnya berdiri.
Namun dia sanggup mencium baunya hawa laut. Sayup-sayup mendengar suara tiupan
angin samudera selatan. Dua tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata
dipejam. Dia mencoba lagi masuk ke dalam alam gaib. Selarik cahaya kuning
keluar dari ubun-ubun anak ini. Lalu di kejauhan terdengar suara lonceng.
Setelah cukup lama menjajagi Mimba Purana akhirnya buka kedua matanya.
“Aneh,
semedi pendekku tidak mampu melihat atau mendapatkan satu petunjuk. Mengapa aku
mengalami kesulitan masuk ke alam gaib. Tidak pernah kejadian seperti ini. Ada
satu kekuatan membentuk tabir menghalangi semediku. Para Dewa di Kahyangan?
Adakah kakak saya berada dalam keadaan selamat? Saya mohon perlindungan Para
Dewa atas dirinya…”
Tiba-tiba
di arah timur menyambar cahaya serta gelegar petir. Darah Mimba Purana
tersirap. Lebih-lebih ketika dilihatnya di langit ada satu lingkaran
kemerah-merahan mengelilingi matahari. Udara berubah redup seolah malam akan
segera datang.
“Aneh,
rasanya malam tiba lebih cepat dari biasanya. Apakah ini merupakan suatu berkat
atau…” Mimba Purana berdiri, menatap ke arah kejauhan. Lalu dengan gerakan
cepat tanpa suara, laksana terbang anak ini berkelebat menuruni lereng barat
Gunung Merapi.
**************************
KEMBALI
ke hutan jati yang masih dilamun kobaran api berasal dari ledakan Lentera
Iblis. Wiro berpaling pada dua perempuan di sampingnya. “Nek, Dewi Kaki
Tunggal, kau tak apa-apa…?”
Meski
jelas mereka terluka di dalam dan masih ada sisa lelehan darah di dagu
masing-masing namun dua perempuan itu sama menjawab kalau mereka baik-baik
saja. Wiro yang tidak percaya ucapan orang berpikir sejenak lalu segera
keluarkan delapan bunga matahari kecil dari balik pakaian.
“Mudah-mudahan
bunga sakti ini bisa menolong kalian.” Lalu Wiro usapkan delapan bunga matahari
kecil ke kening dan dada Ratu Randang serta Sakuntaladewi. Kedua perempuan itu
sama-sama batuk beberapa kali.
Ratu
Randang tarik nafas panjang. “Rasanya tubuhku jauh lebih segar.” Kata si nenek
sambil mengusap dada.
Sakuntaladewi
menyambung ucapan Ratu Randang, “Denyutan sakit di dadaku lenyap.” Lalu dia
bertanya pada Wiro. “Kau tidak mengobati dirimu sendiri?”
“Dadaku
memang sakit. Aliran darah terasa tersendat dan tubuhku terasa panas. Kalau
kalian tidak membantu ikut menghantam serangan yang dilakukan Pangeran Keparat
itu, rasanya saat ini aku bisa-bisa sudah jadi bangkai gosong!”
Wiro lalu
usapkan delapan bunga matahari ke dadanya. Setelah tubuhnya terasa lega bunga
dicium berulang kali. Terasa ada hawa sangat sejuk masuk ke dalam jalan
pernafasan, mengalir dalam semua saluran darah di tubuhnya. Kemudian delapan
bunga disimpan kembali di balik pakaian. Tiba-tiba terdengar suara tawa
cekikikan. Suara perempuan.
“Hai,
kami berdua dicium. Hik… hik. Kalian berenam tidak beruntung rupanya. Tidak
kebagian ciuman…”
Wiro dan
Ratu Randang serta Sakuntaladewi saling berpandangan.
“Siapa
yang barusan bicara dan tertawa cekikikan?” Berbisik Sakuntaladewi.
Wiro
menggaruk kepala. “Kurasa makhluk di dalam bunga. Delapan pocong. Bukankah
mereka sebenarnya gadis dari alam gaib? Kalau kalian tidak percaya biar kucium
lagi. Sekarang aku akan cium delapan bunga itu bergantian agar tidak ada yang
iri.”
“Sudah…”
kata Ratu Randang pula yang merasa disindir sambil cepat memegang tangan kanan
Wiro yang hendak mengeluarkan delapan bunga matahari kecil. Lalu si nenek
berkata. “Tadi waktu lima cahaya biru halus muncul, kau kudengar mengatakan
sesuatu. Lima Jarum Penjahit Raga. Aku memang melihat sinar biru seperti benang
dan lima jarum menancap di atas kepala Ksatria Roh Jemputan. Jika itu nama satu
ilmu kesaktian, dari mana kau tahu? Siapa pemiliknya yang tadi menjahit lima
bagian tubuh pangeran jahanam itu?”
“Pemilik
satu-satunya Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga adalah Penguasa Atap Langit.”
Menerangkan Wiro.
Ratu
Randang dan Sakuntaladewi sama-sama tercengang.
“Aneh!”
Kata Sakuntaladewi.
“Wiro,
bagaimana kau tahu nama ilmu aneh yang menjirat Pangeran Matahari itu? Lalu
juga dari mana kau tahu pemilik ilmu kesaktian itu adalah Penguasa Atap
Langit?” Bertanya Ratu Randang.
“Ketika
berada di Negeri Atap Langit aku pernah melihat sendiri Penguasa Atap Langit
menyerang Ken Parantili dengan ilmu itu. Ken Parantili sempat kudengar menyebut
ilmu serangan itu. Yang membuat dia jadi lumpuh, tak mampu bergerak…”
“Ken
Parantili. Di mana selir itu sekarang?” tanya Ratu Randang.
Wiro
hanya gelengkan kepala lalu berpaling pada Sakuntaladewi. “Tadi kau bilang
aneh. Apa yang aneh?”
“Kalau
Ilmu Jarum Penjahit Raga adalah milik makhluk yang kau sebut Penguasa Atap
Langit, berarti tadi dia berada di tempat ini.”
“Kurasa
begitu,” jawab Wiro. “Tadi aku melihat ada bayangan hijau berkelebat di dekat
sosok Pangeran Matahari.”
“Penguasa
Atap Langit menjahit Pangeran Matahari dengan ilmu anehnya. Berarti dia
menolong kita. Mengapa dia melakukan hal itu? Waktu muncul tidak kelihatan,
setelah menolong dia lenyap begitu saja. Dari bayangan hijaunya tadi aku
mengira dia adalah Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Ada apa sebenarnya dia datang
ke Bhumi Mataram ini? Untuk maksud baik atau jahat?”
“Nek,
sebelum aku meninggalkan Negeri Atap Langit aku melihat ada beberapa perubahan
pada diri Penguasa Atap Langit. Dia seperti ingin menjadi makhluk baik…”
“Makhluk
jahat seperti dia ingin berbuat baik? Tidak masuk di akal!” Sahut Ratu Randang.
“Satu
makhluk jahat berubah menjadi baik secepat membalik telapak tangan memang tidak
masuk akal!” Sakuntaladewi sambung ucapan si nenek
“Aku
punya dugaan sebenarnya Penguasa Atap Langit makhluk baik. Beberapa
kesalahannya adalah memberikan ilmu kesaktian pada Sinuhun Merah Penghisap
Arwah dan kawan-kawannya. Lalu Sinuhun sialan itu menyalahgunakan ilmu
kesaktian yang didapatnya. Kesalahan lain adalah memelihara sekian banyak
gundik dan setiap enam bulan sekali membunuh selir pertama Setahuku dia
melakukan itu untuk kelanggengan ilmunya.”
“Walau
tadi kita sama menduga dia telah menolong kita dengan menjahit Ksatria Roh
Jemputan tapi aku merasa dia tetap makhluk jahat yang harus diwaspadai. Aku
yakin ada satu hal tersembunyi mengapa dia datang ke Bhumi Mataram.”
“Nek,
kurasa dia tengah mencari selir pertamanya, Ken Parantili!” Jawab Wiro.
“Gagal
membunuh selir itu di Negeri Atap Langit lalu mau menghabisinya di Bhumi
Mataram ini?” Ucap Ratu Randang pula. Lalu si nenek menyambung ucapannya.
“Kalian lihat tadi ada makhluk mengerikan keluar dari tubuh Ksatria Roh
Jemputan sebelum meledak?”
“Itu
sosok Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Yang menjawab Sakuntaladewi. “Sosok
rohnya tidak sempurna lagi karena tiga dari delapan pecahan nyawanya sudah
amblas. Ini sebagai akibat karena Wiro berhasil membunuh tiga anak kucing merah
itu.”
“Dunia
penuh keanehan!” Kata Ratu Randang sambil geleng-geleng kepala.
Makhluk-mahluknya lebih aneh lagi. Dalam keanehan itu gentayangan segala macam
niat jahat dan busuk!”
Wiro
memandang berkeliling.
“Kawan-kawan,
kita seperti melupakan Kunti Ambiri. Jangan-jangan…”
“Aku
khawatir sebelum seluruh tubuhnya masuk ke dalam tanah, cahaya kuning Lentera
Iblis sempat menghantamnya.” Berkata Sakuntaladewi sambil ikut pula memandang
berkeliling.
“Jika dia
tewas dengan tubuh terkutung, bagian tubuh sebelah atas pasti ada di sekitar
sini, bagaimanapun ujudnya.” Jawab Wiro. Mendadak murid Sinto Gendeng ingat
sesuatu. Setengah berteriak dia berkata. “Astaga!
Kita juga
melupakan Ni Gatri. Dan Jaka Pesolek! Di mana
mereka?!”
Ketiga
orang itu lalu sama-sama berteriak.
“Ni
Gatri! Jaka Pesolek! Kalian di mana?”
Tak ada
suara jawaban. Kobaran api yang membakar hutan jati semakin besar karena tiupan
angin dari arah barat.
“Aku akan
mencari mereka! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menemui
keduanya!” Kata Wiro.
“Kami
berdua akan membantu! Sekalian kita menyelidik apa yang terjadi dengan sahabat
Kunti Ambiri.” Kata Ratu Randang pula.
“Sebaiknya
kita berpencar. Aku akan naik ke atas salah satu pohon jati agar lebih mudah
menyelidik.” Berkata Sakuntaladewi.
Baru saja
ke tiga orang itu hendak berpencar, dari balik satu batang pohon jati yang
condong nyaris tumbang karena akarnya terbongkar berserabutan,
sekonyongkonyong keluar seseorang, melangkah tertatih-tatih. Orang ini
mengenakan pakaian merah muda yang kotor dan penuh robek hingga auratnya
tersingkap di mana-mana. Rambut riap-riapan. Dia berjalan sambil menangis
kucurkan air mata, menggendong seorang anak perempuan yang keadaannya sangat
memilukan. Pipi kiri sembab sampai ke mata seperti bekas pukulan. Pakaian
tersingkap tak karuan.
Orang
yang menggendong bukan lain Jaka Pesolek, sedang yang digendong adalah Ni
Gatri! Saat itu Jaka Pesolek kelihatan tidak mampu lagi berdiri. Kedua kakinya
terlipat lalu tersungkur di tanah. Ni Gatri terguling lepas dari gendongannya.
Wiro, Ratu Randang dan Sakuntaladewi sama-sama berseru kaget dan menghambur
mendatangi.
“Jaka,
apa yang terjadi padamu dan Ni Gatri?!” Tanya Wiro.
Jaka
Pesolek tidak menjawab. Wajah tampak pucat, tubuh bergetar, mulut sesenggukan
dan ada air mata meluncur jatuh di pipinya.
“Celaka!
Ada yang tidak beres!” Wiro membungkuk, memeriksa Ni Gatri. Sekali pandang saja
dia sudah tahu apa yang terjadi. Wiro coba tepuk-tepuk pipi anak perempuan itu.
Tapi Ni Gatri diam saja. Si anak ternyata sudah tak bernafas lagi.
“Jahanam!
Kau memperkosa anak perempuan ini! Ni Gatri sudah tidak bernyawa! Pasti kau
juga yang punya pekerjaan! Memperkosa lalu membunuhnya!” Wiro berteriak
menggeledek.
Tangis
Jaka Pesolek menghambur. Kepala digeleng berulang kali. Tidak pikir panjang
lagi Wiro hantamkan kaki kanannya ke kepala Jaka Pesolek. Si gadis tidak
berusaha menghindar, seolah memang sudah pasrah!
***********************
14
RATU
Randang cepat menggelung pinggang Wiro lalu menariknya ke belakang. Bersamaan
dengan itu Sakuntaladewi palangkan kaki tunggalnya di arah tendangan.
Buukkk!
Kaki
kanan Wiro beradu dengan kaki tunggal Sakuntaladewi. Kepala Jaka Pesolek
selamat dari tendangan maut Pendekar 212 namun Sakuntaladewi terpekik
kesakitan. Tubuhnya mencelat membal ke udara sampai tiga tombak! Begitu turun
dengan menahan sakit, terpincang-pincang Sakuntaladewi cepat mendatangi Jaka
Pesolek sementara Ratu Randang masih terus memegangi Wiro.
“Jaka
Pesolek, katakan apa yang terjadi. Benar kau…”
Ditanya
Sakuntaladewi seperti itu Jaka Pesolek gelengkan kepala dan menjawab. “Tidak,
aku tidak berbuat sekeji itu. Anak ini…”
“Apa
Pangeran Matahari yang telah berlaku biadab? Memperkosa Ni Gatri?!” Tanya
Sakuntaladewi memotong ucapan Jaka Pesolek.
“Tidak,
bukan dia. Dia memang punya maksud mesum tapi tidak kesampaian…”
“Kami
melihat sewaktu di telaga air terjun dia melarikan Ni Gatri. Pasti dia telah
melakukan sesuatu. Bagaimana kau bisa mengatakan tidak.” Ratu Randang berkata,
masih dengan memegangi Wiro walau tidak seerat tadi.
“Aku
menguntit pangeran itu ketika dia membawa lari Ni Gatri. Dia memang punya
maksud keji. Tapi saat itu sebenarnya Ni Gatri sudah tidak bernyawa akibat
perbuatan terkutuk anak lelaki jahanam bernama Dirga Purana.
Aku yakin
Ni Gatri telah dirusak kehormatannya ketika berada di dalam goa di belakang air
terjun. Pangeran Matahari marah besar ketika mengetahui kalau dirinya telah
kedahuluan. Namun entah setan apa yang masuk ke dalam tubuhnya, tiba-tiba saja
dia juga hendak memperkosa Ni Gatri. Aku berusaha mencegah. Tapi aku ditendang
dan dihajar babak belur. Ketika aku hampir mati di tangannya, untung kalian
datang menolong. Sewaktu terjadi pertarungan antara Wiro dengan Pangeran
Matahari aku mendatangi Ni Gatri yang terhampar di dalam hutan jati sana.
Ketika aku periksa keadaannya, anak malang itu ternyata memang sudah tidak
bernyawa lagi. Tubuhnya kugendong, kubawa ke sini…” Jaka Pesolek bicara sambil
berusaha menahan sesenggukan. Dia sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga
hendak diperkosa oleh Pangeran Matahari sebelum sang pangeran tahu keadaan
auratnya.
Mendengar
cerita Jaka Pesolek itu Pendekar 212 berteriak marah. Sekujur tubuh bergetar.
Ketika dia membuat sentakan keras, Ratu Randang yang masih mencekalnya
terlempar dan terjengkang di tanah. Wiro menghambur memeluk Ni Gatri. Wajah
anak perempuan itu dicium berulang kali. Sambil mencium kening Ni Gatri Wiro
berkata, “Adikku, maafkan aku tidak dapat menolongmu. Aku bersumpah akan
membalaskan sakit hati serta kesengsaraan yang kau alami! Adik, tidurlah dengan
tenang.”
Perlahan-lahan
Wiro berdiri. Dua tangan dikepal. Sepasang mata tampak merah.
“Kalian
semua!” Wiro berkata dengan suara keras. Tolong urus jenazah Ni Gatri.
Kuburkan, jangan dibakar!”
“Kau
sendiri mau ke mana?!” Tanya Ratu Randang sambil berdiri.
“Aku akan
kembali ke air terjun mencari anak jahanam bernama Dirga Purana itu! Dia harus
mampus di tanganku. Hari ini juga!”
“Wiro…”
Teriak Sakuntaladewi berucap.
Namun
Wiro mendahului sambil tunjukkan jari telunjuk ke langit, “Tidakkah kalian
melihat keanehan? Langit di atas sana tampak redup. Sore pergi begitu saja.
Malam datang lebih cepat…”
“Kami
memang melihat keanehan.” jawab Sakuntaladewi “Tapi, kami harap…”
Namun
Wiro tak dapat menahan sabar. Sekali berkelebat dia sudah melesat ke arah
barat.
Ratu
Randang menarik nafas dalam lalu berkata pada Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek,
“Kita bertiga harus menguburkan Ni Gatri cepat-cepat lalu mengejar Wiro. Aku
tidak mau dia pergi sendirian. Roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah masih
gentayangan. Masih ada saudara kembaran nyawanya Sinuhun Muda Ghama Karadipa.
Lalu bocah bernama Dirga Purana itu bukan pula anak sembarangan! Apa lagi kalau
saudaranya Mimba Purana turun tangan kembali menolongnya. Ditambah dengan arwah-arwah
bejat yang jadi kaki tangan Sinuhun Merah ada pula di mana-mana. Jika mereka
bergabung menghadapi Wiro, bisa celaka sahabat kita itu. Kawan-kawan, cepat
bantu aku membuat liang kubur!”
Baru saja
Ratu Randang selesai berucap tiba-tiba ada perempuan berseru. “Sahabat bertiga,
tidak usah bersusah payah. Biar aku yang menyiapkan makam buat sahabat kecil
kita yang malang itu!”
Dua
tangan halus putih mencuat keluar dari dalam tanah. Jelas tangan perempuan
mengenakan pakaian berlengan panjang warna hijau tipis! Lalu rrrtttttt. Dua
tangan bergerak menggurat tanah berbentuk empat persegi panjang. Sesaat
kemudian bersamaan dengan mencelatnya keluar orang yang menggurat, tanah
berhamburan ke udara dan tahu-tahu satu lobang besar sudah menganga di hutan
jati!
“Sahabat
Kunti Ambiri!” Berseru Sakuntaladewi ketika melihat siapa adanya orang yang
barusan keluar dari dalam lobang di tanah. Semua orang merasa gembira melihat
Kunti Ambiri tidak kurang suatu apa.
Saking
girangnya melihat Kunti Ambiri selamat, Jaka Pesolek langsung saja hendak
memeluk dan mencium gadis cantik alam roh itu. Tapi cepat didorong oleh Kunti
Ambiri hingga terjajar ke belakang.
“Kunti
Ambiri, syukur kau masih hidup. Sebelumnya kami sudah menduga yang tidak-tidak!
Kami menyangka kau sudah menemui ajal.” Berkata Ratu Randang. “Apa yang terjadi
dengan dirimu?”
“Cuma
nasib baik saja Nek,” Jawab Kunti Ambiri. “Kalau terlambat sedikit saja aku
masuk ke dalam tanah, kepalaku pasti sudah leleh dihajar cahaya Lentera Iblis
Pangeran keparat itu!”
“Dia
sudah mampus dihajar ledakan Lentera Iblis miliknya sendiri.” Menerangkan Ratu
Randang.
Kunti
Ambiri menatap ke langit. “Heran, mengapa hari ini sore cepat sekali berlalu.
Di langit sebelah sana malah sudah tampak bayangan rembulan…”
“Sahabat
Wiro tadi juga mengatakan hal itu.” Berkata Ratu Randang.
“Lalu
sekarang dia berada di mana?” Tanya Kunti Ambiri pula.
“Dia
pergi ke gua di balik air terjun. Katanya mau membunuh bocah bernama Dirga
Purana itu…”
“Astaga,
apa yang terjadi?!” Kunti Ambiri baru sadar, menatap ke arah Ni Gatri. Gadis
cantik alam roh ini segera saja maklum apa yang telah dialami anak perempuan
itu sebelum menemui ajal. “Kurang ajar! Jika memang bocah itu telah berbuat
keji, dia pantas dihabisi!”
Setelah
selesai mengubur Ni Gatri, Kunti Ambiri melirik ka arah Jaka Pesolek yang
berpakaian compang-camping penuh robekan, termasuk celana dalam yang
dikenakannya dan merupakan hadiah dari patung sakti Nyi Roro Jonggrang. Seperti
diceritakan sebelumnya celana dalam itu adalah untuk Kunti Ambiri tapi ditilap
oleh Jaka Pesolek. Walau sampai saat itu masih merasa jengkel terhadap Jaka
Pesolek bahkan tadi sempat mendorongnya, namun merasa tidak tega melihat
keadaan Jaka Pesolek yang kusut masai tidak karuan. Dari balik pakaiannya Kunti
Ambiri keluarkan sehelai pakaian salinan berwarna hijau. Pakaian dilempar ke
arah Jaka Pesolek.
“Sahabat,
aku sangat berterima kasih,” kata Jaka Pesolek sambil segera menyambuti pakaian
yang dilempar. Dia membungkuk berulang kali lalu cepat-cepat menyelinap ke
balik semak belukar. Hanya beberapa saat setelah Jaka Pesolek lenyap di balik
semak belukar tiba-tiba terdengar suara jeritan gadis itu.
“Tolong…
tol…!”
Suara
jeritan putus.
Kunti
Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi tersentak kaget. Ketiganya segera
melesat ke balik rumpunan semak belukar. Namun Jaka Pesolek tidak ada di situ!
“Jangan-jangan
gadis itu sudah diculik Sinuhun Merah Penghisap Arwah!” Kata Sakuntaladewi.
Ketiga
orang itu saling berpandangan.
“Nek, aku
mencium bau kemenyan terbakar.” Kata Sakuntaladewi.
“Aku
juga,” jawab si nenek sementara Kunti Ambiri menyelidik dengan pandangan mata
ke berbagai jurusan hutan jati. Walau tidak melihat ujud nyata tapi dia merasa
ada seorang lain di tempat itu.
***********************
15
KEADAAN
di kawasan air terjun merayap gelap walau di barat sang surya masih tampak
menggelantung di langit. Dari balik semak belukar lebat untuk beberapa lama
Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan keadaan sekitar telaga. Mata dipentang
telinga dipasang. Kemudian dia memperhatikan ke arah air terjun. Dengan
mengerahkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung, Wiro mampu melihat
mulut goa di tebing batu di belakang air terjun. Goa yang selama ini menjadi
tempat kediaman Dirga Purana dan juga sering dipergunakan oleh Sinuhun Merah
serta Sinuhun Muda.
“Aku
harap bocah keparat itu belum kabur!” Kata Wiro dalam hati. Dia keluar dari
balik semak belukar, melesat ke tengah telaga, berdiri di atas sebuah batu
besar. Tenaga dalam dihimpun ke pertengahan perut lalu dialirkan ke arah tangan
kanan. Begitu kekuatan penuh telah terkumpul di tangan kanan, Wiro membuat
gerakan mengayun lalu didahului satu teriakan keras dia lepaskan Pukulan Dewa
Topan Menggusur Gunung, ilmu pukulan sakti yang didapat dari gurunya Tua Gila
di Pulau Andalas.
Curahan
air terjun langsung terputus dan tertahan begitu pukulan melanda. Ketika ujung
angin sakti pukulan menghantam hancur tebing batu dan sebagian mulut goa, Wiro
cepat melompat sementara batu besar yang tadi dipijaknya berderak terbelah di
empat bagian. Tubuh Wiro melesat di udara, melewati celah air terjun dan sesaat
kemudian dia sudah berada di depan mulut goa. Air terjun yang terbelah menyatu
dan kembali mencurah jatuh ke dalam telaga.
Wiro
cepat berkelebat masuk ke dalam goa. Sambil melangkah dia siapkan Pukulan Sinar
Matahari di tangan kanan hingga tangan kanannya berubah seputih perak berkilau
mulai dari ujung jari sampai ke siku. Selain itu agar lebih waspada dia juga
menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Namun aneh, dia tidak bisa melihat
benda-benda lain selain lorong goa yang dilaluinya.
“Ada
kekuatan hebat menahan Ilmu Menembus Pandang. Berarti anak jahanam itu masih
berada di sini. Paling tidak ada kaki tangannya yang berjaga-jaga!” Wiro
membatin. Dia terus melangkah.
Kalau
sepuluh tombak pertama bagian dalam goa diselimuti kegelapan, namun selewat
sepuluh tombak keadaan mulai terang. Ternyata bagian dalam goa itu kini berubah
menyerupai satu bangunan kokoh. Lantai goa, dinding kiri kanan dan bagian atas
bukan lagi berupa tanah dan bebatuan namun berbentuk batu pualam putih
keabuabuan. Hawa di tempat itu kini juga terasa sejuk.
Di
pertengahan goa Wiro menemui sebuah kolam bundar. Di tengah kolam terdapat
sebuah patung. Wiro terkejut ketika melihat patung itu merupakan ujud Penguasa
Atap Langit!
“Aneh,
mengapa Patung Penguasa Atap Langit ada di tempat ini? Apakah ini termasuk
kediaman dan daerah kekuasaannya? Atau mungkin patung itu dibuat oleh
orang-orang Sinuhun Merah Penghisap Arwah termasuk bocah jahanam itu sebagai
penghormatan pada sang guru?!”
Khawatir
ada makhluk sembunyi di dalam patung Wiro segera memeriksa patung dengan Ilmu
Menembus Pandang. Kali ini ilmu kesaktian itu mampu diterapkan. Ternyata patung
itu bersih, tak ada makhluk yang mendekam di dalamnya.
Wiro
mengikuti lorong batu pualam di seberang kolam. Berjalan sepuluh tombak lorong
batu pualam ternyata buntu, tertutup sebuah batu hitam besar berlapis lumut
tebal berwarna merah. Ketika Wiro mendekati, sayup sayup dia mendengar suara
air mengalir.
“Kurasa
ada sungai mengalir di belakang batu berlumut merah ini,” membatin Wiro.
Karena
sampai saat itu masih belum menemukan jejak anak lelaki yang dicarinya Wiro
berteriak. “Dirga Purana! Bocah keji keparat! Di mana kau sembunyi?!”
Pada saat
itulah secara tidak terduga lumut merah yang menyelubungi batu besar bergerak
aneh seperti mengelupas. Di lain kejap lapisan lumut telah berubah menjadi
larikan kain lebar berwarna merah dan secepat kilat berkelebat siap
menyelubungi Wiro.
“Selubung
Kain Kafan Merah!” Ucap Wiro tersentak kaget. Cepat dia menghantam dengan
tangan kanan. Wiro segera lepas Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih berkilau
menggelegar dahsyat. Hawa panas menebar. Batu besar di depan sana hancur
berkeping-keping terkena hantaman Pukulan Sinar Matahari. Beberapa bagian dari
lorong goa yang dilapisi batu pualam ikut berderak runtuh. Sementara itu walau
Pukulan Sinar Matahari berhasil dibuat tercabik-cabik dan dikobari api, secara
aneh Kain Kafan Merah menyatu kembali dan dalam gerakan lebih cepat dari
serangan pertama berhasil menyelubung sosok Wiro mulai dari kepala sampai ke
betis.
Wiro
berusaha merobek kain merah. Tapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya hal
itu tidak mampu dilakukan. Dia kerahkan tenaga dalam, berusaha menjebol
kelumunan Kain Kafan Merah dengan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari dan
Pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah.
Dess!
Desss!
Dua
pukulan sakti seperti menghantam bantalan kasur tebal dan empuk, lenyap seolah
hembusan asap!
“Gila!”
Wiro memaki dalam hati. Dia jatuhkan diri, berguling di lantai goa. Berusaha
mencari jalan lain untuk selamatkan diri dari telikungan Kain Kafan Merah.
Namun Kain Kafan Merah semakin ketat menelikungnya. Malah dia merasakan
tubuhnya menjadi lemah. Tenaganya seolah tersedot!
Wiro
ingat, ketika dia dan sukmanya ditelikung Kain Kafan Merah di Negeri Atap
Langit, sang sukma berhasil meloloskan diri. Maka Wiro cepat merapal ajian
untuk mengeluarkan sukmanya dari dalam tubuh.
“Sukmaku,
keluarlah. Musnahkan Kain Kafan Merah!”
Namun
setelah dicoba berulang kali sang sukma tak kunjung keluar. Malah kini dadanya
terasa sesak, tenggorokan seperti dicekik, sulit bernafas!
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar mengiang riuh suara perempuan.
“Apa yang
terjadi? Mengapa keadaan tiba-tiba menjadi gelap?!”
“Kita ini
berada di mana?!”
“Aku
tidak bisa bernafas!
“Kita
harus melakukan sesuatu!”
“Tapi
kita tidak mungkin bisa keluar lagi. Kecuali kalau diminta oleh Ksatria
Panggilan.”
“Dia
hanya bisa memanggil kita satu kali. Berarti kita tidak bisa menolong dia untuk
kedua kali. Padahal akan ada perkara besar menghadang! Bagaimana kalau nanti
ada urusan yang lebih hebat? Dia tidak bisa minta tolong, kita tidak bisa
menolong!”
“Lekas mencari
akal!”
“Keluarkan
Ilmu Madu Bunga Sakti Membersih Jalan Darah!”
Wiro
tiba-tiba merasa ada hawa sejuk menjalar memasuki urat dan pembuluh darah dalam
tubuhnya. Nafas yang sesak dan dada yang sakit lenyap. Ada rasa manis di dalam
mulutnya yang berdarah. Namun hanya sesaat! Hawa sejuk lenyap, berganti hawa
panas yang menerpa sekujur badan. Tenggorokan kembali seperti dicekik membuat
dia sulit bernafas! Rasa manis di dalam mulut berubah menjadi rasa pahit luar
biasa!
“Tidak
mempan!” Tiba-tiba ada suara perempuan berseru.
“Celaka!”
“Tunggu!
Aku melihat ada petunjuk dari bokong Ksatria Panggilan!”
“Kau ini
bicara apa! Jangan berani kurang ajar!”
“Sudah!
Lihat saja nanti!”
Suara
perempuan bersahut-sahutan yang mengiang di telinganya membuat Wiro tersentak
dan berhenti berguling di lantai goa.
“Delapan
Pocong Perempuan. Salah seorang dari mereka melihat ada petunjuk dari bokongku.
Apa maksudnya?” Ucap Wiro dalam hati. Dia berusaha berdiri dan ulurkan tangan
hendak mengusap pantat. Tapi bluukk! Wiro langsung roboh karena dua kakinya
seolah telah berubah menjadi benda leleh! Suara perempuan riuh berpelukan.
“Celaka!”
Wiro
semakin sulit bernafas. Sepasang mata mulai kabur lalu segala sesuatunya
berubah gelap.
“Hekk!”
Lidah
Wiro terjulur keluar bersama melelehnya darah kental. Suara pekikan perempuan
kembali mengiang di telinga Wiro. Dalam hati Pendekar 212 berucap, “Gusti
Allah, kematian adalah kuasaMu dan bagian semua makhluk hidup. Saya pasrah
menemui ajal! Tapi saya mohon! Bagaimana Eyang Sinto, bagaimana Kapak Naga
Geni. Bagaimana raja, rakyat dan Kerajaan Mataram…”
Begitu
Wiro menyebut nama Mataram mendadak sontak ada suara berdesir di belakang
punggungnya di atas bokongnya! Dari bagian tubuh ini kemudian muncul getaran
hawa dingin menjalar di sekujur tubuh.
Wuuttt!
Di dalam
telikungan Kain Kafan Merah sebuah benda melesat keluar dari pinggang sebelah
belakang Pendekar 212, menabur cahaya sembilan warna! Lalu breett breett brett.
Kain Kafan Merah yang menelikung Wiro mulai dari kaki sampai ke betis bukan
saja robek besar di sembilan bagian, tapi sekaligus membuat hangus Kain Kafan
Merah, lalu berubah menjadi bubuk! Wiro cepat melompat menjauhi batu besar di
ujung lorong goa.
“Delapan
Pocong! Terima kasih telah menolongku!’’
“Ksatria
Panggilan! Bukan kami yang menolongmu!” Terdengar jawaban.
Wiro
terkesiap. Dia memandang berkeliling. Saat itulah di depannya berkelebat sebuah
benda memancarkan sinar biru yang ketika diperhatikan ternyata adalah Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi.
“Keris
sakti, terima kasih sampean menolongku.” Wiro cepat gerakkan tangan untuk
menangkap senjata sakti itu. Namun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi lebih cepat
menyelinap masuk ke balik punggung Wiro, menyusup ke dalam robekan kain pakaian
Ratu Randang yang jadi pembungkusnya.
Belum
sempat Wiro menarik nafas lega tiba-tiba menggelegar satu letusan keras. Batu
besar yang menutup ujung goa dan kini tidak berlumut lagi meledak hancur. Di
bekas batu yang hancur tampak satu lobang besar. Saat itu pula terdengar suara
menggemuruh. Ketika Wiro memandang ke depan kagetnya bukan alang kepalang. Dari
lobang besar bergemuruh air bah berwarna merah! Saat itu jarak Wiro dengan
ujung air bah sekitar dua belas tombak. Cepatnya air bah yang datang menggulung
tidak mungkin bagi Wiro untuk menyelamatkan diri dengan lari ke mulut goa.
Sambil
bergerak mundur Wiro lepas dua pukulan. Yang pertama Pukulan Dinding Angin
Berhembus Tindih Menindih, yang kedua Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan. Dua
pukulan sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng memang dapat menahan bahkan
mendorong datangnya serbuan air bah. Namun hanya sebentar. Tak selang berapa
lama air bah itu kembali menggemuruh lebih ganas ke arah Pendekar 212. Selain
itu Wiro melihat ada cairan aneh berkilau mengambang di atas permukaan air bah.
Wiro mencium sesuatu
“Aku
mencium bau minyak…”
Baru saja
Wiro keluarkan ucapan dalam hati tiba-tiba dari ujung sana kelihatan dua sosok
bayangan, satu kecil satu besar. Walau tidak kelihatan wajah mereka namun
keduanya tampak jelas menyulutkan api ke atas permukaan air bah yang digenangi minyak!
Cepat sekali kobaran api membakar minyak di permukaan air bah! Wiro berbalik,
berusaha melesat mencapai mulut goa yang kini berada belasan tombak di depan
sana. Dua tawa bergelak menggelegar di dalam goa. Satu suara lelaki dewasa,
satu lagi suara anak-anak.
“Pasti
Sinuhun Muda keparat dan bocah sialan bernama Dirga Purana itu!” Rutuk Wiro
dalam hati.
Tiba-tiba
terdengar lagi suara bergemuruh.
***********************
16
TEBING
batu di atas mulut goa mendadak runtuh dan menutup mulut goa. Sekaligus menutup
jalan keluar! Sementara gulungan air bah merah mendatangi dengan cepat sambil
membuntal kobaran api ganas! Udara di tempat itu yang tadinya sejuk kini
berubah menjadi panas. Di saat yang sama Wiro mendengar lapat-lapat suara
jeritan perempuan banyak sekali. Mereka jelas-jelas dalam ketakutan yang amat
sangat. Datangnya dari balik dinding batu pualam sebelah kanan.
“Delapan
Pocong, kaliankah yang berteriak?!” Wiro bertanya ingin memastikan kalau dia
tidak salah mendengar.
“Bukan
kami! Jangan perdulikan kami! Selamatkan dirimu!” Terdengar jawaban perempuan.
“Aku
tidak mungkin menyelamatkan diri!” Teriak Wiro.
“Jangan
bicara tolol!”
“Betul!
Keluarkan ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah! Gurat di lantai batu pualam pada
dinding kiri. Jangan menggurat di dinding kanan! Alihkan arah air bah! Cepat
lakukan! Kalau terlambat, bulan biru tidak akan pernah muncul di langit
Mataram!”
Wiro
terperangah. Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah, itu memang ilmu kesaktian yang
dimilikinya. Tapi bulan biru di langit Mataram, apa maksudnya?
“Diberi
tahu malah seperti orang melamun! Kau mau kita mati konyol semua dalam goa
ini?!”
“Sebaiknya
kita cepat keluar dari dalam bunga matahari.”
“Tunggu!”
Wiro berteriak. Dia cepat melompat mundur. Saat itu jarak antara dirinya dengan
ujung air bah berapi hanya tinggal lima tombak. Tiga tombak di belakang
terletak kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit. Sambil merapal aji
kesaktian Wiro guratkan kaki kanan di lantai batu pualam sementara dua tangan
didorong ke depan mengeluarkan kekuatan sakti untuk menahan laju gemuruhnya
arus air bah.
Rrreettt!
Guratan
menimbulkan kepulan asap. Wiro merasa ada satu kekuatan tersembunyi di dalam
lantai berusaha menyerangnya, membuat kakinya bergetar sampai ke lutut. Dengan
cepat dia melompat ke atas setinggi setengah tombak. Kaki kanan kembali
menggurat, kali ini digurat ke dinding goa sebelah kiri.
Rettt!
Sekarang
tidak ada lagi kekuatan tersembunyi yang menyerang kaki Wiro.
Asap
mengepul dari dinding batu pualam. Terjadilah hal luar biasa hebat yang Wiro
sebelumnya tidak mengira. Di lantai goa menganga satu lobang besar dan dalam.
Demikian juga di dinding batu pualam sebelah kiri. Dari kedua lobang muncul
kekuatan menyedot dahsyat. Jangankan manusia, seekor gajahpun mampu disedot
hingga amblas.
Ketika
air bah datang menderu, arahnya serta merta terpecah dua. Yang pertama
menggebubu masuk dan tersedot ke dalam lobang di lantai. Yang kedua bersibak
masuk disedot ke dalam lobang di dinding kiri goa. Dengan kejadian itu tidak
ada sedikitpun air bah berapi yang bisa terus melanda ke arah mulut goa. Di
antara gemuruh suara air bah yang bersibak, lapat-lapat Wiro mendengar suara
seorang menjerit. Lalu di ujung sana dia melihat ada satu bayangan hijau
tergulung dalam air bah merah berapi, ikut tersedot amblas ke dalam lobang
besar di lantai goa! Bersamaan dengan itu dia juga mendengar suara jeritan anak
kecil disusul suara genta lonceng. Sekilas dia seperti melihat ada cahaya
kuning menyambar.
Tidak
tunggu lebih lama Wiro segera lari ke mulut goa sambil siapkan satu pukulan
sakti untuk mendobrak jalan keluar yang tertutup runtuhan batu-batu tebing.
Tiba-tiba
kembali terdengar suara jerit pekik perempuan banyak sekali. Ada pula suara
menangis meraungraung.
“Tolong!
Tolong!”
“Hyang
Jagat Bathara! Selamatkan kami!”
Kini
jelas suara teriakan itu berasal dari orang-orang yang minta tolong. Seperti
tadi datangnya dari balik dinding kanan goa. Karena Wiro menghadap ke arah
mulut goa, sekarang suara itu muncul dari balik dinding kiri.
“Suara
perempuan berteriak minta tolong! Siapa mereka? Berada di mana?!” Wiro
perhatikan dinding goa di arah kiri. Dia segera mengeluarkan Pukulan Tangan
Dewa Menghantam Karang untuk menjebol dinding batu pualam di hadapannya.
Wuttt!
Pukulan
sakti pemberian Datuk Rao Basaluang Ameh menggelegar. Seantero goa bergoncang
laksana dihantam gempa keras namun dinding yang dipukul sedikitpun tidak rusak
apa lagi jebol! Di balik dinding suara jeritan perempuan semakin menjadi-jadi.
“Kasihan!
Ada banyak nyawa yang agaknya terancam di balik dinding ini. Tapi aku tak
berdaya menolong!” Wiro garuk kepala lalu ingat ilmu yang diberikan kakek sakti
Kumara Gandamayana padanya yaitu ilmu mengamblaskan diri ke dalam tanah. Dengan
masuk ke bagian bawah goa dia mungkin bisa menemui perempuan-perempuan yang
minta tolong itu. Dengan cepat Wiro hentakkan kaki kanan ke lantai goa.
Bukkk!
Lantai
batu pualam bergetar sedikit. Pendekar 212 terkejut ketika ternyata dia tidak
mampu mengamblaskan diri masuk menembus lantai batu pualam!
“Aku
harus cepat keluar dari sini. Aku akan coba menolong orang-orang itu dari luar
goa.” Wiro balikkan badan, siap lari ke arah mulut goa yang tertutup timbunan
hancuran batu tebing.
Ketika
lewat di samping kolam yang ada patung Penguasa Atap Langit, tiba-tiba
terdengar suara mengiang di telinga kiri Pendekar 212.
“Yang
Maha Kuasa berbuat sesuai kuasaNya. Niat dan perbuatan baik para makhluk tidak
akan pernah lepas dari perhatianNya. Pertobatan akan mendapat balas dengan
segala asih. Saat ini malam telah tiba. Lebih cepat datangnya dari seribu malam
sebelumnya. Segala kebajikan menuai berkah. Rakhmat sejahtera dan ketenteraman
akan menjadi bagian Bhumi Mataram. Kuasa Para Dewa akan muncul malam ini. Di
langit warna biru nyaris sempurna memenuhi lingkaran rembulan empat belas hari.
Itulah pertanda dari Yang Maha Kuasa.”
Wiro
hentikan lari. Dia menatap ke arah kolam lalu perhatikan patung Penguasa Atap
Langit.
“Siapa
yang bicara?” Wiro bertanya. Tak ada jawaban. Wiro ketok-ketok tempurung lutut
kanan patung. Aneh! Kaki yang diketuk berjingkat ke atas. Wajah patung batu
Penguasa Atap Langit tampak mengerenyit!
“Aku
bertanya, siapa yang barusan bicara. Jika mau memberi petunjuk lekas katakan!”
Setelah
kaki patung diketok mendadak saja ada jawaban, “Tidak usah bertanya siapa
diriku. Dan jangan jahil mengetuk tempurung lututku! Lekas masuk ke sini. Lewat
lobang ini kau akan sampai di ruangan sebelah, tempat para perempuan berteriak
minta tolong! Selamatkan mereka. Kebajikanmu akan membuat bulan berwarna biru
penuh. Bhumi Mataram akan kembali aman sejahtera.”
Wiro
menggaruk kepala. “Penguasa Atap Langit? Kau yang barusan bicara? Aku mengenali
suaramu!” Wiro keluarkan ucapan. Hidung menghirup. Dia mencium bau kemenyan
terbakar.
“Sudah,
waktumu tidak banyak. Lekas masuk ke dalam lobang ini!”
Wiro
melongo kaget ketika mendengar suara berdesir dan melihat patung batu Penguasa
Atap Langit tiba-tiba bergeser ke kiri lalu menggantung di atas kolam. Di bekas
tempat tegaknya patung terlihat sebuah lobang batu empat persegi. Wiro
menggaruk kepala.
“Jangan
menaruh curiga. Jangan bersyak wasangka. Tidak ada maksud untuk menjebak.
Lobang ini akan tetap terbuka sampai hitungan dua ratus. Inilah jalan
keselamatan! Mulailah menghitung.”
Setelah
menghilangkan kebimbangan hatinya Wiro mulai menghitung. Lalu dengan cepat dia
melompat ke atas lobang batu di tengah kolam yang berada pada ketinggian
sepinggang di atas air. Di bagian bawah lobang dia melihat delapan anak tangga
berwarna merah. Wiro cepat masuk ke dalam lobang lalu menuruni delapan undakan
batu. Di sebelah bawah, satu langkah di hadapannya dia menemukan sebuah tangga
lain yang juga punya delapan anak tangga, mengarah naik ke atas menuju sebuah
ruangan dengan tiga dinding berwarna merah sementara dinding ke empat di
sebelah depan merupakan dinding tembus padang. Entah dari mana datangnya, air
berwarna merah tampak menggenangi ruangan. Saat itu sudah mencapai ketinggian
sebatas lutut. Belasan perempuan berada dalam ruangan itu. Mereka
berteriak-teriak, meraung menangis. Ada pula yang menggedor-gedor dinding
tembus pandang menyerupai kaca. Rata-rata mereka adalah gadis atau perempuan
muda berwajah cantik. Namun ada juga beberapa orang anak perempuan sebaya Ni Gatri.
Wiro
melompati delapan anak tangga sekaligus. Pada hitungan ke tiga puluh enam di
depan dinding tembus pandang dia sama sekali tidak melihat pintu atau jalan
masuk. Wiro kerahkan sedikit tenaga dalam lalu menghantam dinding tembus
pandang dengan satu jotosan keras. Dinding tidak bergeming sedikitpun!
Wiro
memberi tanda agar semua perempuan yang ada dalam ruangan menjauh dari dinding
tembus pandang karena dia siap menjebol dinding itu dengan pukulan sakti
berkekuatan tenaga dalam penuh. Namun hampir semua perempuan di dalam ruangan
berteriak dan memberi isyarat dengan goyangan tangan agar Wiro tidak melakukan
hal itu.
Beberapa
di antaranya membuat gerakan tangan, menunjuk ke arah dinding batu sebelah kiri
di luar ruangan. Di salah satu bagian dinding menempel sebuah batu bulat
berwarna merah.
“Batu
merah! Tekan batu merah!” Perempuan-perempuan itu berteriak sambil mencontohkan
gerakan menekan dengan telapak tangan masing-masing. Saat itu Wiro sudah sampai
pada hitungan ke seratus sepuluh. Mendengar apa yang diteriakkan serta tanda
yang diberikan beberapa perempuan di dalam ruangan, Wiro cepat mendatangi
dinding di samping kiri lalu tanpa ragu menekan satu tonjolan batu berwarna
merah. Saat itu juga terdengar suara aneh seperti suitan bersahut-sahutan disusul
suara deru keras. Bersamaan dengan itu dinding tembus pandang terbelah di
bagian tengah. Masing-masing belahan bergeser ke kiri dan ke kanan. Air merah
di dalam ruangan langsung mencurah ke ruangan bawah tempat dua tangga batu
berundak delapan bertemu. Beberapa orang perempuan hampir terpeleset akibat
seretan air merah yang cukup deras.
“Lekas
keluar! Ikuti aku!” Teriak Wiro. Namun dia sadar, orang-orang itu tidak mungkin
menuruni tangga yang satu lalu naik lagi ke tangga yang lain sementara genangan
air merah telah memenuhi lantai. Untuk disuruh menyeberang dengan cara melompat
pasti mereka tidak mampu, malah bisa-bisa tercebur ke dalam air merah.
Wiro
menggaruk kepala. Tiba-tiba dengan cepat dia melompat ke udara, lalu
membelintang menelungkup antara dua buah tangga batu pada undakan ke lima. Dua
kaki bersitekan pada anak tangga ke lima di depan dinding tembus, dua tangan
berpegangan kuat pada anak tangga di sebelah lainnya. Tubuh dibuat demikian
rupa dijadikan jembatan penyeberang.
“Kalian
semua! Lekas melintas di atas punggungku! Menyeberang ke ruangan sebelah!
Cepat! Satu-satu! Jangan berebutan! Jangan saling dorong!”
Tapi yang
namanya perempuan tetap saja mereka berteriak riuh. Apa lagi dalam keadaan
takut kacau balau mereka berebutan cari selamat saling mendahului satu sama
lain. Akibatnya dari enam belas perempuan yang berusaha menyeberang melalui
tubuh Wiro, tiga di antaranya terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam genangan
air merah sedalam dua ketinggian tubuh manusia! Wiro tak mungkin menolong sementara
tubuhnya masih terus dijadikan landasan jembatan untuk menyeberangi.
***********************
17
TlGA
belas perempuan yang berhasil selamat setelah sampai di sebarang cepat dituntun
Wiro berlari menaiki tangga menuju ke arah lobang empat persegi yang masih
menganga di atas kolam! Saat itu sudah sampai hitungan seratus empat puluh!
Pada hitungan ke seratus sembilan puluh satu, perempuan terakhir keluar
melewati lobang batu empat persegi. Begitu memasuki hitungan ke seratus
sembilan puluh sembilan patung batu Penguasa Atap Langit yang menggantung di
atas kolam bergeser kembali ke tempatnya semula, menutup lobang. Wiro menarik
nafas lega. Dia mendahului lari ke arah mulut goa yang saat itu masih tertutup
runtuhan batu-batu tebing yang hancur.
Dari
jarak dua tombak Wiro lepaskan pukulan sakti dengan kedua tangannya yang tak
lain adalah Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung dan Benteng Topan Melanda
Samudera.
Blaarr!
Blaarr!
Timbunan
puing batu di mulut goa hancur, beterbangan ke udara. Yang hancur ternyata bukan
timbunan batu tapi juga puing di atasnya. Suara bergemuruh dan goncangan hebat
melanda seantero tempat sewaktu dasar sungai besar di atas bukit batu yang
menjadi tempat aliran air bergeser jauh, membuat curahan air terjun berpindah
ke kanan sampai tiga tombak dari tempatnya semula dan kini tidak lagi mencurah
masuk ke dalam telaga!
Wiro
berdiri di tepi telaga dikelilingi sepuluh gadis dan tiga anak perempuan. Saat
itu ternyata hari sudah malam. Menatap ke langit dia melihat bulan purnama
empat belas hari berwarna biru.
“Aneh,
aku sudah beberapa kali mendengar orang menyebut bulan biru. Tapi tidak
menyangka kalau hal itu benar-benar berupa kenyataan. Apa yang sebenarnya telah
terjadi?” Wiro membatin dalam hati. Lalu dia berpaling pada tiga belas
perempuan cantik di sekelilingnya. Tiga di antaranya masih berusia belasan
tahun.
“Kalian
siapa? Mengapa berada di dalam goa?” Wiro bertanya.
Ditanya
begitu rupa semua orang langsung jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga yang
kini airnya hanya tinggal setinggi mata kaki susut entah ke mana.
“Kami…,
kami adalah orang peliharaan bocah bejat Dirga Purana. Kami sudah lama disekap
di dalam goa. Kami harus melayani kemauan mesumnya…” Seorang perempuan muda
bicara tersendat memberi tahu.
“Hah!
Apa? Seorang bocah dua belas tahun punya belasan perempuan cantik sebagai
peliharaan?! Gila!” Wiro tak bisa mempercayai. “Bocah jahanam terkutuk! Aku
harap dia benar-benar sudah mampus di dalam goa sana!” Dalam marahnya dia ingat
apa yang telah terjadi dengan Ni Gatri. Anak perempuan malang itu telah menjadi
korban kemesuman Dirga Purana. Tapi adalah aneh bagaimana dia bisa berbuat
mesum dengan gadis-gadis cantik yang lebih besar sosok tubuhnya dan lebih tua
usianya.
“Kalian
diperlakukan mesum oleh bocah sekecil itu. Bagaimana mungkin? Mengapa kalian
mau saja?i” Wiro bertanya masih merasa tidak percaya.
Dengan
menundukkan kepala salah seorang gadis menjawab, “Kami dicekoki semacam obat
yang mempengaruhi jalan pikiran dan tidak mampu menolak apa mau anak itu.
Selain itu, jika dia sedang berbuat keji tubuhnya berubah menjadi besar walau
mukanya masih tetap anakanak.”
“Dajal
edan!” Teriak Wiro.
“Kakak
siapa…?” Salah seorang gadis bertanya.
Wiro tak
menjawab.
“Kami
sangat berterima kasih pada kakak.” Seorang gadis lainnya berkata sambil
berdiri. Yang lain-lain ikut berdiri. Lalu tiga belas gadis itu mengerubungi
Wiro. Ada yang mencium tangannya, ada pula yang memeluknya sambil kucurkan air
mata.
Tiba-tiba
ada suara orang berseru lantang.
“Oala!
Orang yang kita khawatirkan keselamatannya ternyata tengah bersenang-senang
dengan belasan gadis cantik!”
Tiga
belas gadis cepat melepaskan pelukan. Wiro berpaling ke arah telaga sebelah
kiri. Di tepi telaga itu berdiri Ratu Randang senyum-senyum. Di sebelahnya
tegak Sakuntaladewi sambil menggigit-gigit bibir, sementara agak jauh Kunti
Ambiri berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada menatap ke langit
memandangi bulan biru.
“Wiro,
rejekimu rupanya besar nian malam ini! Dari mana kau dapat begitu banyak
kekasih cantik?” Ratu Randang kembali keluarkan ucapan.
“Nek,
mereka bukan kekasihku. Mereka para gadis peliharaan Dirga Purana. Mereka…”
“Sudah,
sudah. Aku percaya pada ucapanmu. Rupanya Dirga Purana bocah kurang ajar itu
sudah mati di tanganmu! Jadi kini kau merasa semua peliharaannya menjadi
milikmu!”
“Bukan
begitu Nek. Aku… Tanya saja sama mereka apa yang telah terjadi. Apa kau juga
tidak melihat ada keanehan? Di langit bulan purnama empat belas hari berwarna
biru!”
“Weehhh!
Jangan mengalih pembicaraan dari kepergok bercumbu-cumbuan kepada bulan di
langit tinggi. Jauh amat. Hik… hik… hik!”
Tiba-tiba
di kegelapan malam melesat satu bayangan putih di tepi telaga sebelah timur.
Ketika semua mata dipalingkan ke arah itu, di atas sebuah batu kelihatan
berdiri satu jerangkong yang memancarkan cahaya putih. Di atas tengkorak
kepalanya bergelung sehelai sorban berwarna kelabu.
“Emban
Buyut Kumara Gandamayana. Lor Pengging Jumena.” Ucap Sakuntaladewi perlahan
dengan suara bergetar sementara Ratu Randang dan Kunti Ambiri menatap tak
berkesip. Tak ada yang berani bicara. Tiga belas gadis yang mengelilingi Wiro
tampak ketakutan.
Jerangkong
yang berdiri di atas batu dongakkan kepala, memandang ke arah bulan purnama
biru di langit malam. Lalu makhluk ini keluarkan ucapan bersuara lembut tapi
jelas terdengar oleh semua orang yang ada di sekitar telaga, padahal air terjun
walau sudah berpindah tempat suaranya masih tetap menggemuruh deras.
“Kebajikan
telah dibuat. Berkah Yang Maha Kuasa telah turun. Bulan biru menjadi kenyataan.
Bhumi Mataram telah kembali pada ketenteraman. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Lokapala akan kembali memimpin kerajaan. Lalu mengapa kita masih menaruh syak
wasangka dan berprasangka buruk…?”
Ratu
Randang yang maklum kalau ucapan itu ditujukan pada dirinya cepat menjawab,
“Embah Buyut Lor Pengging Jumena, maafkan saya. Sebenarnya tadi saya cuma
bercanda…”
Seolah
tidak mendengar apa yang diucapkan si nenek, jerangkong di atas batu lanjutkan
ucapan.
“Di balik
semua berkah itu masih ada perkara yang belum terselesaikan. Ksatria Panggilan,
pergilah ke Kotaraja. Sebelum fajar menyingsing, selagi rembulan biru masih
kelihatan ujudnya di langit Mataram, kau sudah harus sampai di sana. Temui Raja
Mataram dan serahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada beliau. Setelah Raja
menerima senjata sakti itu minta izin padanya untuk kau pinjam barang seketika
guna menyembuhkan cacat di kaki gadis bernama Sakuntaladewi itu. Hanya kau yang
ditentukan mampu menyembuhkan cacat yang membawa derita sengsara dirinya. Lalu
jangan lupa akan segala kaul yang telah terucap. Sebaik-baiknya hati adalah
yang siap menerima segala kenyataan. Sebaik-baiknya perbuatan adalah yang
dilakukan dengan segala keikhlasan…”
Sosok
jerangkong di atas batu yang tadi bersinar terang perlanan-lahan berubah redup dan
akhirnya lenyap dari pemandangan. Ratu Randang tundukkan kepala. Kunti Ambiri
menatap ke arah air terjun yang kini telah berpindah tempat. Sakuntaladewi
melirik ke jurusan Pendekar 212, dan tiga belas gadis tampak tertegun
memandangi Wiro sang tuan penolong mereka.
“Kakak,
kami akan mengantarmu ke Kotaraja…” Tibatiba salah seorang gadis berkata.
Wiro
tersenyum lalu anggukkan kepala. “Kita semua sama-sama menuju ke sana. Kalau
memang ada berkah Yang Maha Kuasa turun ke bumi, maka berkah itu adalah juga bagian
kita semua yang ada di sini. Kalau kita semua bisa berjalan cepat sebelum
tengah malam pasti sudah sampai di Kotaraja.” Wiro lalu melangkah mendekati
Sakuntaladewi. Dipegangnya tangan gadis itu. “Aku sudah terlalu lama tidak
memperhatikan dirimu. Saatnya aku harus menolongmu. Kita berangkat ke
Kotaraja.” Lalu Wiro mendekati Kunti Ambiri. Memeluk gadis cantik alam roh ini
pada punggungnya dan menggandengnya mendatangi Ratu Randang.
“Nek,
sebelum aku merasa berkah Yang Maha Kuasa benar-benar menjadi bagian diriku,
aku ingin menerima berkah darimu terlebih dulu…”
Ratu
Randang tampak terkejut. “A… apa maksudmu?” Tanya Ratu Randang agak gagap.
“Ssstt!
Berapa sisa ciumanku yang masih terhutang?” Ujar Wiro pula dengan suara sengaja
diperlahan.
Sepasang
mata si nenek mendelik, tapi wajahnya tampak berseri. Tidak malu-malu dan tidak
menunggu lebih lama lagi Ratu Randang lalu rangkul dan daratkan belasan ciuman
di wajah Pendekar 212. Kunti Ambiri geleng-geleng kepala. Sakuntaladewi
senyum-senyum. Sepuluh gadis dan tiga anak perempuan tercengang-cengang melihat
apa yang terjadi. Tapi tak urung semua mereka kemudian bersorak bahkan ada yang
berseru dan tertawa haha-hihi!
TAMAT
No comments:
Post a Comment