WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
****************
SATU
Dua sosok
bayangan hitam berkelebat dalam gelapnya malam. Pada waku siang saja hutan
belantara itu selalu diselimuti kegelapan dan dicengkam kesunyian.
Apalagi
di malam buta seperti itu. Hingga dua sosok yang bergerak tadi tidak ubahnya
seperti dua hantu tengah gentayangan.
“Kita
sudah dekat…..” bisik bayangan di sebelah kanan. Ternyata dia manusia juga
adanya.
“Betul,
aku sudah dapat mencium baunya,” menyahuti bayangan satunya.
Keduanya
terus lari ke arah Timur rimba belantara. Tak selang berapa lama mereka sampai
di bagian hutan yang baynak ditumbuhi semak belukar setinggi dada.
Di sini
mereka hentikan lari. Tegak tak bergerak dan juga tidak bersuara. Hanya
sepasang mata masing-masing memandang tak berkedip ke depan.
Di atas
serumpun semak belukar lebar terletak sebuah batu lebar berbentuk hampir pipih.
Di atas batu ini duduk seorang lelaki berpakaian rombeng penuh tambalan seperti
pengemis. Dia mengenakan sebuah caping bamboo. Bagian depan caping ini turun ke
bawah hingga dari wajahnya hanya dagunya yang ditumbuhi bulubulu kasar saja
yang kelihatan.
Bau aneh
seperti bau bunga kamboja busuk datang dari orang yang duduk bersila di atas
batu ini. Entah berasal dari tubuhnya atau dari pakaiannya yang dekil kotor.
Otak dua
orang yang barusan datang cepat bekerja. Batu pipih itu beratnya paling tidak
30 sampai 40 kati. Tetapi mengapa semak belukar setinggi dada itu sanggup
menahannya? Lalu ditambah pula dengan berat badan orang bercaping yang duduk
bersila di atas batu. Semak belukar tetap berdiri tegak! Akal manusia mana yang
bisa menerima kenyataan ini?!
“Aku tak
menyangka dia memiliki ilmu setinggi ini,” bisik orang di sebelah kiri.
“Dia
sanggup membuat tubuh dan batu yang didudukinya seringan kapas,” balas orang di
sebelah kanan. “Tapi kalau cuma ilmu meringankan tubuhnya saja yang hebat,
kenapa kita musti takut?”
“Lalu
bagaimana? Kita teruskan?” tanya orang yang pertama tadi.
“Seharusnya
kau tak usah bertanya begitu. Ucapanmu menandakan keraguan hati. Kau kecut,
bahkan mungkin takut. Padahal, bukankah kita sudah bersumpah untuk menangkapnya
hidup atau mati?” kata orang kedua pula dengan nada sengit.
Lalu
cepat dia menyambung. “Kau dari sebelah kiri. Aku dari kanan. Sekarang!”
Dua orang
itu bergerak. Satu ke kiri, satu ke kanan. Tiba-tiba secara serempak mereka
menyergap ke arah orang yang duduk di atas batu. Dari gerakan-gerakan mereka
yang mengeluarkan suara angin bersiuran jelas dua orang ini bukan hanya
melancarkan serangan biasa, tetapi serangan-serangan dahsyat yang bisa meremuk
dada dan merengkahkan kepala!
Orang
bercaping di atas batu kelihatan tidak bergerak sedikitpun. Seolah sama sekali
tidak menyadari kalau dirinya tengah diancam bahaya maut. Sesaat lagi jotosan
dari kanan akan menghantam caping di atas kepalanya dan jotosan dari kiri akan
menghancurkan tulang dadanya, tiba-tiba dalam satu gerakan kilat yang hampir
tidak terlihat oleh mata telanjang, orang bercaping di atas batu angkat kedua
tangannya.
“Wutt!
Setttt!”
“Wutt
Setttt!”
Dua
penyerang sama berteriak kaget ketika dapatkan lengan kanan masingmasing yang
mereka pergunakan untuk memukul tahu-tahu kena cekal orang!
Mereka
cepat menyentak untuk bebaskan diri. Namun ceklan itu laksana japitan besi yang
tak dapat digoyahkan. Terpaksa keduanya pergunakan tangan kiri untuk
menghantam. Sayang gerakan mereka kalah cepat. Tubuh keduanya tampak terangkat
ke atas. Lalu dalam gerakan kilat yang ditunjang dengan kekuatan luar biasa
tubuh itu diadu satu sama lain!
“Praaakkk!”
Dua
kepala berbentur keras.
Perlahan-lahan
orang di atas batu lepaskan cekalannya. Dua orang yang tadi menyerangnya dan
kini talah menjadi mayat roboh di bawah, terkapar di tanah rimba belantara
lembab.
Keadaan
yang tadi sempat berisik kini kembali diliputi kesunyian. Orang di atas batu
duduk tak bergerak seolah tidak terjadi apa-apa!
Sementara
itu di atas sebuah pohon tinggi, dalam kegelapan malam, sulit terlihat oleh
mata telanjang, seorang kakek bermuka kuning mengenakan pakaian selempang kain
putih seperti seorang resi, duduk di atas salah satu cabang pohon. Di tangan
kanannya dia memegang sebatang joran atau bambu pemancing. Pada ujung benang di
mana terdapat mata kail yang dibalut sejenis getah, berbagai binatang hutan
yaitu serangga terbang, kunang-kunang, nyamuk dan sebagainya telah menjadi
korban.
Mati
menempel di mata kail.
Sungguh
aneh keadaan orang tua ini. Apakah dia menganggap dirinya tengah memancing?
Walaupun dia tidak bergerak atau bersuara namun apa yang terjadi di bawah sana
yaitu kematian mengerikan dua orang yang menyerang, sama sekali tidak luput
dari pandangannya. Malah sewaktu dua orang itu jatuh bergedebukan di tanah
tanpa nyawa dan kepala rengkah, dalam hatinya orang tua di atas pohon mengejek.
“Manusia-manusia
tolol! Kalau ilmu cuma sejengkal mengapa berani datang ke tempat ini! Mencari
perkara mencari mati!”
Kesunyian
di tempat itu ternyata tidak berlangsung jauh. Karena tak selang berapa lama
kemudian entah dari mana datangnya sesosok tubuh renta bungkuk dengan punuk di
tengkuknya tahu-tahu muncul di tempat itu lalu duduk sejarak lima langkah dari
hadapan semak belukar di atas mana ada batu dan duduk orang bercaping. Orang
yang baru darang ini berambut kelabu dan di tangan kanannya ada sebatang
tongkat hitam.
Dua mata
orang tua berambut kelabu ini kecil dan selalu berputar liar, melirik ke kiri
dan ke kanan. Sekilas dia memperhatikan orang di atas batu, lalu memperhatikan
dua sosok yang sudah jadi mayat, lalu kembali lagi memperhatikan orang
bercaping. Kemudian kelihatan dia geleng-gelengkan kepala.
“Anak-anak
manusia malang! Kalian mampus percuma. Akibat meminta lebih dari kemampuan!” Si
rambut kelabu membuka mulut. Lalu dia ketukkan tongkat hitamnya ke tanah.
“Duk….duk….dukkkk!”
Hebat
sekali! Ketukan tongkat itu bukan saja mengeluarkan suara aneh jauh ke dalam
tanah tetapi juga menyebabkan semak belukar di hadapannya bergoyanggoyang.
Goyangan
ini membuat batu hitam di atas semak-semak itu bergetar. Namun orang bercaping
yang duduk di atasnya seolah tidak merasakan apa lagi terganggu.
Di atas
pohon orang tua bermuka kuning dan berpakaian seperti resi usap-usap joran
bambunya. “Si bungkuk itu…… Hemmmmm…..” katanya dan bergumam dalam hati. “Boleh
juga dia. Kepandaiannya jauh meningkat. Ketukan tongkatnya membuat pohon yang
kududuki bergetar. Bahkan pantatku terasa seperti kesemutan.”
“Ck…..Ck…..Ck.”
“Tapi aku
kurang yakin dia mampu melaksanakan niatnya. Biar kutunggu saja sambil
memancing…… Ah, mengapa sedikit sekali hasil pancinganku malam ini.”
Orang tua
berpunuk berhenti mengetuk-ngetukkan tongkat hitamnya. Dia maju dua langkah.
Mulutnya tampak dipencongkan. Sesaat kemudian terdengar dia berucap.
“Kebo
Pradah. Kau boleh menyamar seribu samaran. Sebagai resi, sebagai nelayan atasu
sebaga petani. Juga sebgai pengemis seperi kau lakukan saat ini. tapi kau tak
bisa lari dari aku. Mata tua ini tak bisa ditipu. Aku datang menjemputmu! Apa
jawabmu?!”
Orang di
atas batu tidak bergerak. Juga tidak ada suara jawaban.
Orang tua
berambut kelabu di depan semak belukar menyeringai. Tangan kirinya mengusap-usap
rambutnya beberapa kali lalu tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak.
Ujung
tongkat kayu hitam itu tiba-tiba menyusup ke bawah caping. Di depan mata kiri
ujung tongkat berhenti seolah hendak menusuk. Ternyata tidak. Tongkat itu
bergerak ke bawah lalu berhenti tepat pada cegukan di pangkal leher. Agaknya
bagian inilah yang akan ditusuk. Jelas tusukan membawa kematian!
“Aku
bertanya sekali lagi Kebo Pradah! Kau bersedia ikut aku atau bermaksud
membangkang?!”
Orang tua
berpunuk menunggu. Yakin bahwa dia tak bakal mendapat jawaban maka diapun
keluarkan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba kekehannya lenyap laksana direngut
setan. Pergelangan tangan kanannya bergerak. Ujung tongkat benar-benar menusuk!
“Traaaaakkkk!”
Orang tua
berpunuk berseru kaget lalu melompat mundur sampai tiga langkah.
Dua
matanya mendelik, memandang liar berganti-ganti ke arah orang di atas batu dan
tongkat kayu hitamnya yang patah. Dia tidak dapat melihat kapan orang di atas
batu itu menggerakkan tangannya. Yang jelas gerakan orang itu jauh lebih cepat
dari tusukan tongkatnya tadi.
Di atas
pohon yang gelap, kakek bermuka kuning yang memegang joran geleng-gelengkan
kepalanya. Dalam hati dia berkata. “Tua bangka bungkuk berpunuk itu ternyata
cuma bermulut besar. Kalau otaknya waras apa yang terjadi sudah cukup menjadi
peringatan. Sebaiknya dia lekas saja angkat aki dari tempat ini!”
Namun
lain kata hati si kakek di atas pohon, lain pula ucapan orang tua berpunuk.
“Bagus
Kebo Pradah! Bagus sekali! Kau menunjukkan keperkasaanmu tanda kau memang
pantas kuajak pergi. Tapi dari sikapmu tadi jelas kau memutuskan untuk ikut aku
tanpa nyawa di badan!” Si bungkuk berpunuk lemparkan patahan tongkat ke tanah.
Dari mulutnya keluar suara lengkingan keras. Di lain kejap tubuhnya melesat ke
depan. Ketika kedua tangannya dihantamkan, ada deru angin yang dahsyat
mendahului serangannya. Orang di atas batu maklum dia kini tidak bisa bertindak
gegabah. Dengan cepat dia angkat kedua tangannya menangkis. Dua pasang lengan saling
bentrokan keras. Tapi anehnya sama sekali hampir tidak terdengar suara
bergedebukan. Ini satu pertanda bahwa kedua orang itu sama-sama memiliki tenaga
dalam yang tingginya sulit dijajagi. Terbukti dengan apa yang terjadi setelah
bentrokan lengan itu. batu di atas semak belukar kelihatan retak. Beberapa
bagiannya malah hancur berkeping-keping. Asap mengepul dari batu. Orang
bercaping yang tadi duduk di atasnya lenyap entah kemana! Sebaliknya si bungkuk
berpunuk tampak berlutut enam langkah dari depan semak belukar dengan sekujur
tubuh bergetar.
Punuknya
seolah bertambah besar tiba-tiba.
“Des!”
Punuk itu
meletus pecah! Darah muncrat mengerikan!
****************
DUA
Orang tua
bermuka kuning di atas pohon leletkan lidahnya. “Si bungkuk itu tak bakal lama
nyawanya,” katanya dalam hati. “Kebo Pradah pasti tidak lepas dari hantaman
tenaga dalam lawan. Tapi dia berlaku cerdik. Tenaga sakti lawan diteruskannya
ke atas batu yang tadi didudukinya. Karuan saja batu itu jadi retak bahkan
pecah berkeping-keping!”
Si
bungkuk berambut kelabu berusaha menahan sakit dengan mengatupkan rahangnya
kuat-kuat. Namun tak urung suara erangan terdengar juga keluar dari mulutnya.
Tangan kirinya diulurkan ke belakang. Begitu dia berhasil memegang punuknya
yang pecah, orang ini menekan kuat-kuat. Sungguh luar biasa. Darah yang seperti
memancur dari pecahan punuk serta merta berhenti mengalir.
Dengan
mengumpulkan seluruh tenaga perlahan-lahan orang ini bangkit berdiri.
“Kebo
Pradah! Dimana kau?! Jangan bersembunyi pengecut! Aku akan mengadu jiwa denganmu!”
Si bungkuk memandang kian kemari. Orang bercaping itu tidak kelihatan. Dia
membalik! Tahu-tahu Kebo Pradah sudah ada di depannya!
Si
bungkuk keluarkan suara menggembor. Kedua tangan diulurkan ke depan.
Didahului
bentakan keras dia melompat. Dua tangannya siap untuk mencekal dan mematahkan
leher Kebo Pradah. Namun tindakan nekadnya itu tidak membawa hasil.
Sebelum
dia sempat menyentuh leher yang jadi sasaran, orang bercaping gerakkan tangan
kanannya.
“Praaaakkk!”
Kening si
bungkuk pecah besar. Tubuhnya terjengkang. Jeritannya terdengar singkat karena
maut keburu merenggut nyawanya!
Di atas
pohon orang tua bermuka kuning menghela nafas panjang. “Kasihan, satu korban
lagi jatuh. Apa masih ada lagi manusia tolol akan muncul mencari mati di tempat
ini?”
Di bawah
pohon Kebo Pradah terdengar mendengus. “Tak jelas apa maunya manusia-manusia
itu. Mereka memburuku sejak tiga puluh hari lalu. Hampir tidak memberi
kesempatan bagiku untuk bernafas lega. Pintu Neraka….. Kudengar ada di antara
mereka menyebut-nyebut nama itu. Apa betul ada Pintu Neraka? Di mana itu…..?”
orang ini membetulkan letak capingnya lalu memandang berkeliling sambil
mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. Tiba-tiba Kebo Pradah berseru.
“Orang di
atas pohon! Sudah saatnya kau turun. Aku mau lhat tampangmu biar jelas dan apa
kepentinganmu di tempat ini, mendekam sejak tadi di atas pohon!”
Orang tua
bermuka kuning di atas pohon tersentak kaget. Jorannya sampai bergoyang-goyang.
“Astaga, rupanya dia tahu sejak tadi kalau aku nongkrong di sini!
Ah,
bagaimana ini. Mau tak mau aku harus turun juga! Mungkin sudah saatnya aku
jarus memberi tahu padanya…..”
Orang tua
ini gulung tali kailnya. Baru saja dia hendak melompat turun tibatiba terdengar
suara aneh di kejauhan. Kakek muka kuning dan Kebo Pradah samasama tercekat dan
saling dongakkan kepala. Suara aneh itu terdengar semakin keras tanda bertambah
dekat.
“Hemmmmmm……”
si muka kuning bergumam. “Itu suara kerontang kaleng .
Hanya ada
satu manusia yang membawa kaleng rombeng ke mana-mana. Kakek Segala Tahu…..
Kalau tidak ada apa-apa tidak akan dia muncul di tempat ini. Janganjangan dia
punya maksud yang sama….. Wah, apakah aku harus bentrokan dengan orang satu
golongan…..? Sebaiknya aku menunggu saja. Biar dia muncul dulu di tempat ini…..
Tapi Kebo Pradah pasti tidak sabar!” Orang tua ini berpikir sesaat.
Sementara
itu suara kerontang kaleng terdengar seperti menjauh dan akhirnya lenyap sama
sekali.
“Mudah-mudahan
dugaanku salah. Kakek Segala Tahu mungkin hanya kebetulan saja tersesat ke
kawasan ini. Sudahlah, biar aku turun saja menemui Kebo Pradah……”
Sekali
dia menggoyangkan tubuhnya, orang tua bermuka kuning itu melesat ke bawah dan
mejejakkan kedua kakinya di tanah tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dia
tegak dengan muka menyeringai, joran bambu dimelintangkan di bahu kiri
sementara tangan kiri berkacak pinggang.
“Ah, Si
Pengail Sakti Bermuka Kuning rupanya!” kata Kebo Pradah begitu dia melihat siapa
orang yang tegak lima langkah di hadapannya itu. “Apakah banyak hasil kailmu
malam ini?”
“Cuma
nyamuk dan serangga tak berguna. Ada beberapa ekor kunang-kunang.
Lumayan
dari pada tidak dapat apa-apa sama sekali…..” jawab kakek bermuka kuning lalu
tertawa gelak-gelak.
Kebo
Pradah menunggu. Setelah Si Pengail Sakti hentikan tawanya dia cepat berkata.
“Sekarang katakan apa maksud kehadiranmu di tempat ini Pengail Sakti. Apa sama
dengan orang-orang yang sudah jadi mayat ini?!”
Si
Pengail Sakti usap muka kuningnya dua kali lalu batuk-batuk beberapa kali.
Setelah
itu dia rapikan pakaian putihnya yang seperti pakaian seorang resi, membuat
Kebo Pradah jadi tidak sabaran.
“Aku
menunggu jawabmu Pengail Sakti. Jangan terlalu petantang petenteng di
hadapanku. Atau sebaiknya kau lekas menyingkir saja dari tempat ini?!” Kebo
Pradah akhirnya bicara dengan suara keras.
“Kebo
Pradah, usiamu belum sampai setengah umurku yang sudah seratus dua puluh tahun
ini. Jadi tak pantas bicara kasar padaku….”
“Aku
tidak mau tahu berapa umurmu! Jawab saja pertanyaanku tadi!” hardik Kebo
Pradah.
“Kalau
begitu maumu baiklah. Aku datang ke sini sebenarnya hendak memberitahu bahwa
dirimu terancam bahaya besar…..”
“Hemmmm
begitu? Baik sekali hatimu padaku. Tetapi mengapa ku hanya mendekam di atas
pohon, tidak langsung menemuiu dan memberi tahu?!”
“Begini,
setiap aku hendak turun menemuimu, aku selalu kedahuluan oleh orang-orang yang
muncul mencari urusan denganmu. Aku pikir sebaiknya aku menunggu saja sampai
urusan kalian selesai…..”
“Berarti
kau sengaja membiarkan aku dalam bahaya!”
“Tidak
begitu. Karena kau tahu kau bakal dapat menyelesaikan urusan itu, maka
sebaiknya aku tidak ikut campur. Buktinya kau bisa membereskan orang-orang
itu!”
“Katakan
bahaya besar apa yang mengancam diriku…..”
Pengail
Sakti memandang dulu berkeliling seolah kawatir orang lain di tempa itu
mendengarkan apa yang bakal dikatakannya. Lalu dia maju dua langkah mendekati
Kebo Pradah.
“Ada hal
luar biasa dalam dunia persilatan terjadi sejak beberapa waktu lalu.
Jika hal
ini dibiarkan dunia persilatan akan ambruk!”
“Katakan
saja langsung apa yang kau maksud dengan hal luar biasa itu!” kata Kebo Pradah
pula.
“Beberapa
tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Beberapa tokoh mengadakan
penyelidikan. Ternyata satu kekuatan hitam telah mencullik mereka lalu disekap
di sebuah tempat yang tak mungkin bisa dimasuki oleh manusia biasa. Jika hal
ini dibiarkan terus bukankah bisa membuat kiamat dunia persilatan? Lagi
pula…..”
“Tunggu
dulu! Apa hubungan peristiwa itu dengan diriku…..” memotong Kebo Pradah.
“Seorang
pakar dunia persilatn dari golongan putih yang aku tidak jelas siapa adanya
mengatakan bahwa hanya kau yang bisa menolong menyingkap tabir peristiwa ini.
Menyelamatkan tokoh-tokoh silat yang diculik itu, mengeluarkan dari sekapan
dunia hitam…..”
Kebo
Pradah tertawa. “Selama ini orang-orang persilatan mana pernah memperhatikan
diriku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka. Mereka membuat berbagai
macam urusan. Mereka sendiri yang harus menyelesaikan. Soal segala yang
terjadi, dunia hitam dan kegaiban yang kau katakan itu, aku tidak perduli…..”
“Dengar
dulu Kebo Pradah. Beberapa orang sakti siap untuk masuk ke dalam dunia hitam
makhluk-makhluk gaib sesat itu. Namun mereka tidak bisa tembus.
Meeka
tahu daerahnya tapi tidak tahu bagaimana caranya bisa masuk ke alam gaib itu.
Hanya
mereka katakan kau yang bisa melakukannya. Kau punya kekuatan dan kemampuan
yang tidak dimiliki orang lain……”
“Kau
sudah cerita banyak. Tapi belum mengatakan apa keperntinganmu sendiri datang ke
sini. Hanya untuk memberitahu aku dalam bahaya dan bahwa aku yang bisa menolong
menyingkap tabir aneh itu? Aku tidak percaya. Kau pasti punya kepentingan
sendiri!”
Pengail
Sakti tersenyum. Dia memandang lagi berkeliling. Lalu dengan suara perlahan dia
berkata. “Di alam gaib itu diketahui terdapat timunan harta perhiasan.
Kalau
kita bisa masuk ke dalamnya kita bukan saja bisa menolong para sahabat tetapi
sekaligus bisa mendapatkan harta kekayaan itu! kita akan jadi orang-orang maha
kaya di dunia ini!”
“Aku
tidak tertarik untuk jadi orang kaya…… Sekarang kau boleh pergi….”
“Tunggu
dulu Kebo Pradah. Jika kau tidak tertarik pada kekayaan itu tak jadi apa. Tapi
kuminta kau mau menolong menyingkap tabir alam gaib itu. hanya kau satu-satunya
di dunia ini yang bisa menolongnya!”
Kebo
Pradah menyeringai. “Banyak orang lain memiliki kemampuan lebih hebat dariku.
Kau bisa mencari mereka…..”
“Kau
betul, banyak orang lain yang lebih hebat dan memiliki kemampuan serta
kesaktian jauh di atasmu. Tapi bukan itu masalahnya!”
“Lalu?!”
“Seperti
yang tadi aku bilang. Hanya kau yang memiliki kunci kekuatan untuk dapat masuk
ke alam gaib iu!” kata Pengail Sakti pula.
“Kunci
kekuatan……? Aku tidak mengerti Pengail Sakti…..”
“Kalau
begitu biar aku membuktikannya dulu. Apa betul kau orangnya….”
Pengail
Sakti mengulur tali jorannya sambil memutar-mutar mata kail yang ditempel
dengan sejenis getah perekat.
“Eh, apa
yang hendak kau lakukan?!” tanya Kebo Pradah heran tapi segera saja bersikap
waspada.
Tangan
kanan Pengail Sakti bergerak. Joran bambu yang dipeganginya menderu ke kiri.
Mata kail yang diselubungi getah menyambar ke bagian perut Kebo Pradah.
Mendapat serangan ini Kebo Pradah jadi marah.
“Muka kuning!
Kau berkedok hendak menolong orang. Ternyata kau sama saja dengan orang-orang
lainnya hendak mencelakai diriku!”
Habis
berkata begitu Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Tangan kanannya menyambar ke
arah mata kail. Pengail Sakti kedutkan jorannya agar kailnya tidak sampai
disambar lawan. Namun bersamaan dengan itu tangan kanan Kebo Pradah memukul ke
depan.
“Bagus!”
seru Pengail Sakti. Joran bambu di tangan kanannya bergerak aneh.
“Sreettt…
sretttt… Betttt! Bettttt!”
kebo
Pradah terperangah kaget ketika tahu-tahu kedua tangannya telah terlibat tali
kail sementara mata kail yang bergetah menempel di bagian dada baju rombengnya.
Si
Pengail Sakti tertawa mengekeh. Sekali menyentak saja maka Kebo Pradah terbetot
ke depan.
“Breettt!”
Baju Kebo Pradah robek di bagian dada. “Sialan! Robekannya kurang besar!” kata
Pengail Sakti dalam hati. Joran bambunya kembali disentakkan.
Namun
sekali ini Kebo Pradah sudah dapat membaca apa yang hendak dilakukan kakek
bermuka kuning itu. Dia cepat mendahului. Bukan saja dia mengikuti tarikan
lawan tapi malah mendahului bergerak. Sesaat lagi tubuhnya dan tubuh Si Pengail
Sakti akan saling beradu, tiba-tiba Kebo Pradah berkelebat ke kiri. Dua
tangannya yang dilibat tali kail diangkat ke atas. Lalu dia membuat gerakan
berputar beberapa kali.
Pengail
Sakti berseru tegang ketika melihat tali kailnya melibat lehernya sendiri. Dia
berusaha meloloskan diri dari libatan sambil lepaskan satu pukulan tangan
kosong yang dahsyat. Naumn terlambat. Libatan tali kail di lehernya semakin
kencang. “Trel….trek….trek…..”
Terdengar
suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tulang leher Pengail Sakti patah
di tiga tempat! Lidahnya menjulur ke luar dan kedua matanya membaliak
mengerikan! Untuk meyakinkan bahwa orang tua bermuka kunig itu benar-benar mati,
Kebo Pradah sentakkan kedua tangannya yang terikat dengan keras. Tak ampun lagi
tubuh Pengail Sakti terbanting ke bawah. Muknya menghantam tanah lebih dulu.
Remuk tak
karuan rupa! Dengan tenang Kebo Pradah kemudian membuka libatan tali kail di
kedua tangannya.
“Aku
harus buru-buru meninggalkan tempat celaka ini!” kata Kebo Pradah membatin.
“Kalau tidak, sulit bagiku melakukan samadi…..”
Kebo
Prradah rapikan letak capingnya. Sesaat kakinya hendak melangkah, satu bayangan
berkelebat. Angin bayangan yang menyambar ini membuat capingnya bergesr ke
kiri. Baju rombengnya yang robek berkibar-kibar dan tubuhnya terasa dingin.
Kebo Pradah cepat membalik. Benar saja, bayangan yang barusan berkelebat
tau-tahu sudah berada di belakangnya. Berubahlah paras Kebo Pradah ketika dia
mengenali siapa adanya mahluk di depannya itu!
****************
TIGA
Hutan
Tapakhalimun di kaki selatan Gunung Merapi terkenal angker. Itu sebabnya tak
pernah ada penduduk sekitar situ berani mendekati apa lagi masuk ke dalamnya.
Jangankan
manusia, binatangpun boleh dikatakan jarang kelihtan berkeliaran di sekitar
situ. Kata orang hutan Tapakhalimun adalah sarang segalam macam mahluk halus.
Pada siang hari di kawasan hutan yang selalu redup itu sering terdengar suara
lolongan anjing, bernada aneh panjang menggidikkan. Terkadang ada suara tawa
cekikikan membaut siapa saja yang mendengarnya bisa lari lintang pukang. Ada
pula yang mengatakan bahwa dalam rimba belantara itu sering terdengar suara
jeritanjeritan seperti orang disiksa. Lalu juga ada tangisan orok! Malam hari
tentu saja keangkeran di tempat itu jangan disebut lagi.
Saat itu
tepat tengah hari. Di langit sang surya memancarkan sinarnya yang terik. Namun
di kawasan hutan yang ditumbuhi berbagai pohon besar berdaun rimbun suasana
tampak redup. Sinar matahari seolah tak sanggup menembus kelebatan rimba
belantara Tapakhalimun. Sewaktu lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing
dari dalam hutan, tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Setan? Bukan.
Ternyata dia manusia. Seorang pemuda berpakaian dan ikat kepala putih dengan
rambut gondrong acak-acakan. Sesaat dia memandang berkeliling.
“Sepi….”
Katanya dalam hati. Baru saja dia berucap begitu mendadak dari dalam hutan
terdengar suara lolongan anjing, membuat pemuda ini tergagap kaget dan merutuk
dalam hati. “Sialan! Kalau binatang itu ada di hadapanku pasti kutendang!”
Dia
memandang lagi berkeliling sambil memasang telinga. “Eh, apakah aku ini sudah
sampai di hutan Tapakhalimun…..? Keadaan di sini serba aneh. Udara redup dan
hawanya pengap. Tapi mengapa aku mendadak keluarkan keringat dingin? Ada bau
seperti kebang busuk. Tapi kulihat tak satu pohonpun ada bunganya! Pohon-pohon
besar itu tumbuhnya aneh. Berjajar dekat-dekat seperti pagar….”
Selagi
pemuda ini membatin tiba-tiba kesunyian dirobek oleh suara jeritanjeritan
mengerikan. Kembali pemuda ini terkejut dan memaki habis-habisan.
“Gila!
Siapa yang menjerit seperti itu? Datangnya dari kejauhan di sebelah sana.
Sepertinya lebih dari satu orang. Jangan-jangan itu bukan jeritan manusia
tapi…..” Pemuda ini tidak teruskan ucapannya. Dia melangkah sepanjang deretan
pohon-pohon besar yang membentuk pagar. Di setiap celah antara dua pohon dia
coba memeperhatikan. “Aku seperti melihat ada bayangan berkelebat di sebelah
sana. Jelas bukan bayangan binatang…. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus
melihat bagaimana keadaannya sekarang….” Cepat-cepat dari dalam saku pakaiannya
pemuda ini mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah sekuntum bunga
kenanga aneh. Aneh karena bunga ini tak pernah layu dan jika dikeluarkan selalu
menebar bau harum. Selain itu kembang kenanga ini berasal-usul dari satu
kejadian yang sulit diterima akal manusia.
Beberapa
waktu lalu dia pernah mengenal bahkan bercinta dengan seorang dara cantik yang
dipanggilnya dengan nama Bunga. Gadis ini sebenarnya adalah penjelmaan dari
seorang gadis yang telah meninggal dunia karena diracun oleh kekasihnya sendiri
yang mengkhianati cintanya. Satu kekuatan yang menguasai Bunga membuat gadis
ini mampu meninggalkan alam gaibnya dan hidup seperti mahluk halus bahkan
menjelma atau memperlihatkan diri sebagaimana keadaannya sebelum meninggal
dunia dulu. (untuk jelasnya baca serial Wiro Sableng berjudul “Misteri Dewi
Bunga Mayat”).
Setelah
menatap kembang kenanga itu sesaat, perlahan-lahan si pemuda mendekatkan bunga
tadi ke hidungnya. Perlahan-lahan pula, penuh kekhusukan sambil memejamkan
kedua matanya dia mencium bunga itu. Hawa harum dan sejuk masuk ke dalam
hidungnya terus ke rongga pernafasan. Rasa sejuk menyeruak ke rongga dadanya.
“Bunga…..
Datanglah. Aku ingin melihatmu….” Si pemuda berbisik dengan suara bergetar. Dia
menunggu. Tak terjadi apa-apa. Dia menunggu lagi.
“Aneh,”
kata pemuda ini dalam hati. “Biasanya tidak selama ini. sekali panggil saja dia
sudah muncul memperlihatakn diri….. Jangan-jangan……” Si pemuda tampak kawatir.
Diciumnya kembang kenangaitu sekali lagi. Lebih lama dari tadi seraya berbisik.
“Bunga, aku ingin melihat. Bagaimana keadaanmu sekarang.
Perlihatkan
dirimu Bunga……”
Tetap
saja tak ada yang terjadi. Hati si pemuda jadi semakin tidak tenang.
“Kalau
dia mati dan aku tidak bisa menolongnya…… Aku akan menyesal seumur hidup…….
Tapi bukankah sebenarnya dia sudah mati? Apakah ada mahluk hidup mati sampai
dua kali?” Si pemuda termenung sesaat. “Biar kucoba sekali lagi…..” katanya.
Bunga
kenanga itu diusap-usapnya beberapa kali. Lalu didekatkannya ke hidungnya.
Kemudian diciumnya. “Bunga….. Jika kau masih ada di alammu, datanglah Bunga.
Perlihatkan dirimu……”
Pemuda
itu hampir putus asa ketika menunggu sekian lama apa yang dharapkannya tak
kunjung terjadi. Namun tiba-tiba, perlahan sekali ada suara berdesis.
Serta
merta udara pengap di tempat itu dipenuhi oleh bau bunga kenanga. “Dia
datang…..” desis si pemuda. Kedua matanya memandang tak berkedip ke arah
datangnya suara berdesir itu. dari arah itu tampak satu sinar terang. Hanya
sesaat.
Begitu
sinar terang lenyap muncullah bayangan sosok tubuh seorang gadis mengenakan
kebaya putih berkancing-kancing besar. Rambutnya tergerai lepas.
Bayangan
ini makin lama makin jelas.
“Bunga!”
pekik si pemuda begitu melihat keadaan gadis yang muncul secara aneh itu.
pakaian putihnya ternyata penuh dengan darah. Wajahnya yang cantik tapi pucat
digelimangi datah yang keluar dari kedua matanya, hidung, telinga dan mulut.
Wajah itu
memperlihatkan rasa takut yang amat sangat. Si gadis berada dalam keadaan
terikat kedua tangan dan kakinya pada sebuah tonggak kayu.
“Bunga!”
teriak pemuda tadi kembali seraya memburu. Namun baru sedikit saja dia bergerak
tiba-tiba muncul dua mahluk menyeramkan yang tubuhnya meliukliuk seperti asap.
Setiap menyeringai dua mahluk ini memperlihatkan barisan gigigiginya yang
panjang-panjang dan runcing. Mulutnya, mulai dari bibir sampai gigi dan lidah
bergelimang darah. Dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan sebesar
pisang tanduk, dua mahluk seram ini menarik tubuh si gadis ke arah satu tempat
yang hitam dan gelap sehingga akhirnya lenyap dari pemandangan.
Bersamaan
dengan lenyapnya sosok tubuh itu terdengar suara jertan-jeritan keras, membuat
pemuda itu hampir jatuh duduk saking kaget dan ngerinya. Suara jeritan semakin
keras. Si pemuda kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan pendengarannya.
Tetapi tembus! Terpaksa dia dekap kuat-kuat kedua telinganya. Lalu jatuhkan
diri berlutut. Untuk beberapa lamanya suara jeritan itu masih terus menggema
bahkan kini sesekali diiringi oleh lolongan anjing!
“Ya
Tuhan! Apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya!” Pemuda berpakaian putih
membatin sambil gigit bibirnya sendiri. “Terakhir sekali dia muncul tidak
seperti itu. Masih bisa bicara…… Tapi kini mengapa begitu sengsara keadaannya……
Tuhan! Beri aku kemampuan dan kekuatan untuk menolongnya!”
Baru saja
pemuda ini mengucapkan doa itu suara jerit dan lolongan anjing tadi kini malah
diikuti oleh suara tawa cekikikan riuh sekali. Mau tak mau kuduk si pemuda
menjadi dingin. Mukanya keringatan. Nafasnya mengengah-engah. Dia melompat.
Kerahkan tenaga dalam lalu berteriak sekerasnya yang bisa dilakukannya.
Dalam
kengeriannya dia sengaja berteriak untuk melawan suara-suara menggidikkan itu.
tapi percuma. Suara jerit, tawa cekikikan dan lolongan anjing tetap saja
memenuhi tempat itu.
“Aku
harus meninggalkan tempat ini sebelum terjadi sesuatu dengan diriku!”
kata si
pemuda yang memasukkan kembang kenanga ke dalam sakunya. Dia cepat berdiri
“Tapi…..” Hatinya ragu. “Aku datang kemari bukankah untuk mencari hutan
Tapakhalimun? Aku yakin aku sudah sampai di hutan itu. Bunga….. Tadi dia muncul
lalu dilarikan oleh mahluk-mahluk mengerikan. Berarti seperti katanya dalam
mimpi, dia memang telah dilarikan ke satu sarang mahluk-mahluk halus yang punya
kekuasaan dan kekuatan tidak terbatas! Buktinya Bunga sendiri yang merupakan
mahluk gaib, tidak mampu membebaskan diri dan minta tolong padaku…… Kalau
begitu apapun yang terjadi aku tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sarang
mahlukmahluk jahat itu rasanya tidak jauh dari sini! Dan aku harus
menemukannya! Aku harus segera membebaskan Bunga. Keadaannya gawat sekali…..”
Suara
tawa dan jerit serta lolongan anjing perlahan-lahan mulai berhenti dan akhirnya
lenyap sama sekali. Namun hal ini tidak membuat si pemuda bebas dari rasa ngeri
dan tegang. Kedua matanya kembali menyapu ke arah deretan pohon-pohon besar.
“Aku
yakin suara-suara jerit dan tawa serta lolongan anjing tadi datang dari balik
pohon-pohon besar itu. Aku harus menyelidiki ke sana….”
Si pemuda
mendekati deretan pohon-pohon besar lalu melompat di celah kosong antara dua
batang pohon.
“Dukkkk!”
Pemuda
berambut gondrong itu berteriak keras. Bukan hanya karena kesakitan tapi
terlebih lagi dan terutama oleh rasa kejut yang bukan alang-kepalang. Saat itu
pula terdengar suara tawa cekikikan riuh rendah.
Waktu
pemuda itu tadi melangkah untuk lewat di antara celah dua buah pohon, kaki dan
kepalanya menabrak sesuatu yang tidak kelihatan hingga tubuhnya terhempas ke
belakang.
“Gila!
Aku tidak melihat apa-apa. Mengapa langkahku seperti ada yang menghalangi? Apa
yang barusan kutabrak?!” lalu pemuda ini kembali melangkah maju. Kali ini
gerakannya lebih cepat dan lebih sebat.
“Dukkkk!”
Untuk
kedua kalinya dia menabrak sesuatu hingga langkahnya bukan saja tertahan tapi
tubuhnya jatuh terjengkang di tanah! Saat itu pula terdengar suara tawa
cekikikan disertai lolongan anjing di kejauhan.
“Tembok
tanpa ujud!” desisnya dengan mata melotot memandang ke depan.
“Tak bisa
kupercaya!” Dia melompat berdiri. Tangan kirinya diulurkan ke depan, membuat
gerakan meraba dan mengusap. “Aneh! Tak ada apa-apa di sini!” katanya
terheran-heran. “Lalu tadi apa yang menahan langkahku? Mengapa aku tidak bisa
berjalan ke arah celah pohon?” Pemuda ini berpikir sejenak. “Coba aku melangkah
melewati celah yang lainnya….” Lalu dia melangkah ke delah antara dua pohon di
sebelah kiri. Tak terjadi apa-apa. “Nah, kali ini aku bisa lewat….” Baru saja
dia berkata begitu tiba-tiba.
“Dukkk…..dukkkk!”
kaki kanan dan keningnya lagi-lagi menabrak benda keras yang tidak kelihatan.
“Edan!”
maki pemuda itu. lalu dia tersentak oleh suara tawa bergelak, jeritan aneh dan
lolongan anjing. “Keparat! Mahluk apapun kalian adanya, apa kau kira aku takut
pada kalian!” Pemuda itu kepalkan tangan kanannya lalu menghantam ke depan.
“Dukkk!”
Jeritan
keras keluar dari mulut si pemuda. Tangan kanannya dikibas-kibaskan.
Ketika
diperhatikan ternyata ruas-ruas jarinya lecet bahkan ada kulitnya yang
terkelupas.
“Tempat
celaka apa ini?!” kertak pemuda itu. Amarahnya menggelegak.
Dalam
keadaan seperti itu tanpa pikir panjang lagi dia kerahkan tenaga dalam. Kini
dengan tangan kirinya dia lepaskan pukulan sakti. Gelombang angin laksana topan
prahara menghampar deras.
“Bummmmm!”
Pukulan
sakti itu melanda sesuatu mengeluarkan suara letusan keras. Angin pukulan
membalik dahsyat, menghantam orang yang melepaskannya. Senjata makan tuan! Tak
ampun lagi tubuh pemuda itu mencelat mental. Terlempar dan tergulingguling
sampai bebrapa tombak. Untuk beberapa lamanya dia terkapar di tanah.
Sekujur
tubuhnya laksana remuk. Dari hidungnya meleleh darah. Dadanya berdenyut sakit.
Perlahan-lahan dia coba berdiri. Saat itu pula terdengar suara tawa riuh rendah
dan jeritan panjang pendek.
“Iblis!
Aku mau lihat sampai di mana kehebatan kalian!” teriak si pemuda.
Tangan
kanannya diangkat ke atas. Saat itu juga tampak tangan itu berubah putih dan
mengeluarkan sinar perak menyilaukan. “Makan ini! Masakan tidak jebol!” berseru
si pemuda. Lalu dia menghantam ke depan. Sinar putih panas dan menyilaukan mata
berkiblat. Bersamaan dengan itu si pemuda melompat ke atas. Hal ini
dilakukannya untuk lebih dulu menyelamatkan diri kalau pukulan sakti yang
barusan dilepaskannya seperti tadi berbalik kembali menghantam tubuhnya!
“Wuuuttt!”
“Bummmmm!”
“Wuutttt!”
Benar
saja. Pukulan sakti yang mengeluarkan hawa sangat panas itu ternyata
benar-benar membalik. Kalau saja pemuda itu tidak melompat ke udara pasti sinar
saktiitu akan menghantam dirinya.
“Wusss!
Braaaakkkk!”
Sinar
menyilaukan menyambar semak belukat dan beberapa pohon di seberang sana. Semak
belukar langsung terbakar sedang batang-batang pohon hangus, satu di antaranya
roboh tumbang.
Si pemuda
melayang turun ke tanah. Wajahnya berubah.
“Aneh……
Benar-benar aneh…. Apa sebenarnya yang ada di depan deretan pohon-pohon besar
itu? Tembok sakti tak berwujud. Dinding gaib? Mustahil tak bisa dijebol! Tak
dapat ditembus! Padahal Bunga yang hendak kuselamatkan aku yakin berada di
balik deretan pohon-pohon itu! Tak bisa kupercaya!”
Pemuda
ini usap-usap dagunya. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. “Aku tak akan
menyerah! Dengan senjata mustika ini masakan tak bisa jebol!”
Sinar
menyilaukan memancar di tempat yang redup itu. sebuah senjata berupa kapak
bermata dua tergenggam di tangan si pemuda. Inilah Kapak Maut Naga Geni 212.
Milik nenek sakti mandraguna di Gunung Gede yang kemudian diwariskan pada
muridnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng.
****************
EMPAT
Wiro
pegang Kapak Maut Naga Geni 212 erat-erat. Tahangnya dikatupkan kuatkuat.
“Ciaaattt!”
Didahului
dengan teriakan keras Wiro babatkan senjata mustikanya ke depan.
Sinar
putih perak meyambar disertai suara laksana seribu tawon mengamuk. Hawa panas
menghampar.
“Braaakkkk!”
Kapak
Maut Naga Geni 212 menghantam sebuah benda yang tidak kelihatan.
Terdengar
suara seperti sesuatu hancur berantakan. Tetapi benda atau apa yang hancur itu
sama sekali tidak terlihat oleh mata. Tanah terasa bergetar. Pohon-pohon bergoyang.
Semak belukar berserabutan. Sebaliknya Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas mental
dari tangan Wiro, tercampak di tanah. Wiro merasakan tangannya seperti memegang
bara panas. Jari-jarinya digerak-gerakkan sambil meniup termonyong-monyong.
“Gila
betul! Tapi jebol juga akhirnya!” kata Wiro. Senjata mustika yang tercampak di
tanah cepat diambilnya lalu diperiksa. “Untung tak ada yang gompal,”
kata Wito
lega. Kapak Maut Naga Geni 212 cepat disimpannya di balik pakaian.
“Sekarang
pasti aku bisa masuk ke hutan itu tanpa kesulitan!” berucap Wiro. Dia membuat
langkah-langkah besar, berjalan ke arah salah satu celah pohon di bagian mana
diperkirakannya tadi telah menjebol dinding atau tembok yang tidak berwujud
itu.
“Duukkkkkk!”
“Jahanam!”
rutuk Pendekar 212. Ternyata dugaannya salah. Tembok yang tak kelihatan itu
sama sekali tidak jebol. Kaki dan kepalanya kembali terantuk. Selagi dia
tertegun tiba-tiba dekat sekali di depannya terdengar suara tawa cekikikan
sedang di kejauhan kembali ada suara lolongan anjing, panjang menggidikkan.
Pendekar
212 bersurut beberapa langkah. Langkahnya terhenti ketika punggungnya membentur
sesuatu. Dia sempat tergagau dan cepat berpaling. Kalau tadi cuma tergagau kini
dari mulutnya keluar seruan tertahan. Tampangnya seputih kertas. Apa yang
menyebabkan sang pendekar sampai berseru dan berubah wajahnya begitu rupa? Apa
pula yang barusan telah dibenturnya?
Di
hadapan Wiro saat itu ada satu sosok menyeramkan tegak setengah membungkuk
seolah hendak melompat menerkamnya. Sosok ini adalah sosok seorang tua
berkepala panjang. Dia hanya mengenakan sehelai kancut. Sekujur tubuhnya penuh
dengan luka-luka bekas siksaan. Darah bergelimang di mana-mana.
Sepasang
bola matanya memberojol keluar, bergelayutan di atas pipi seolah hendak copot!
Telinganya lancip ke atas. Dagunya berbentuk segitiga. Di atas dagu terlihat
satu mulut yang hancur dan selalu mengucurkan darah. Pada lidahnya yang
terjulur panjang menancap sepotong besi lancip. Sepotong besi lagi menancap
membelintang dari telinga kiri ke telinga kanan. Pada pangakal lehernya
kelihatan lobang luka besar.
Dari
lobang ini mengucur darah berwarna hitam. Baik tangan maupun kaki mahluk ini
diikat dengan rantai besar merah menyala. Agaknya dia tidak mampu bergerak
sedikitpun. Kalau dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya maka rantai panas
akan melumerkan daging bahkan tulangnya!
Pendekar
212 bersurut beberapa langkah. Sumur hidup belum pernah dia meliha mahluk
mengerikan seperti ini. “Hantu atau apa yang ada di depanku ini…..” pikir Wiro.
“Grokkk….grokkkk…..grokkkkk.”
Dari tenggorokan mahluk dahsyat itu tibatiba keluar suara aneh, hampir seperi
suara orang mengorok. Dari lobang luka di tenggorokannya terus mengucur darah
hitam.
“Agaknya
dia hendak mengatakan sesuatu….” Pikir Wiro dengan tampang mengerenyit
memperhatikan.
“Grokkk…grokkkk….grokkk.”
“Ah,
betul. Dia hendak bicara tapi suaranya seperti itu. Mana aku bisa mengerti….”
Wiro mundur lagi dua langkah. “Kau…. Kau mau bilang apa…..?” Wiro ajukan
pertanyaan.
Mahluk
itu anggukkan kepala. Perlahan sekali. Dua bola matanya yang bergelantungan
tampak bergoyang-goyang. Darah mengucur dari dua rongga matanya.
“Kau….kau
penghuni rimba belantara ini?” tanya Wiro lagi.
Si mahluk
mengangguk.
“Kau
mengerti omonganku. Kau ini manusia atau apa….?”
Kali ini
tak ada anggukan. Mahluk itu diam saja.
“Apakah
kawasan di belakang pohon-pohon besar itu hutan Tapakhalimun….?” Tanya Wiro
selanjutnya.
Kepala
mahluk menyeramkan mengangguk sedikit. Baru saja dia mengangguk tiba-tiba ada
suara letupan disertai kepulan asap di depan deretan pohon-pohon besar.
Lalu dua
sosok sangat besar muncul. Ternyata yang muncul ini adalah dua orang perempuan
gemuk luar biasa, berwajah galak, memiliki lidah menjulur panjang sampai ke
dada. Dua mahluk ini hanya mengenakan cawat. Payudaranya yang besar
bergundal-gandil kian kemari. Rambutnya hitam dan panjang sempai ke betis. Wiro
yang memperhatikan tersentak mundur dan merinding. Di celah-celah rambut
panjang dua perempuan gemuk itu kelihatan bergelantungan ular-ular sepanjang tiga
jengkal, berwarna hitam berbelang kuning! Masing-masing mereka memegang sebilah
golok merah yang menyala.
“Aku
tidak bermimpi! Tapi bagaimana ada mahluk-mahluk mengerikan seperti ini…..”
Dua
mahluk perempuan itu tiba-tiba keluarkan suara pekikan keras. Lalu mereka
memburu ke arah mahluk yang tegak terbungkuk dan terikat rantai panas membara
tangan serta kakinya dan kini tampak sangat ketakutan. Dua golok diacungkan
lurus-lurus diarahkan pada perut mahluk yang terikat tadi.
“Cleeppp!”
“Cleepp!”
“Ceesss!”
“Cesss!”
Tak ampun
lagi perut mahluk itu ambrol di dua tempat. Asap mengepul dari perut yang jebol
dan dua golok yang membara. Begitu dua golok ditarik isi perut si mahluk
laksana dibedol keluar. Wiro seperti mau muntah melihat hal luar biasa
mengerikan itu. Si mahluk sendiri keluarkan suara lolongan aneh sementara dua
mahluk perempuan tadi kembali memekik-mekik marah. Puluhan ular yang ada di
kepala mereka berjingkrak meliuk-liuk seolah-olah iku marah.
Tiba-tiba
mahluk berkepala panjang yang terikat rantai membara kaki dan tangannya itu
melompat ke depan, berusaha menubrukkan kepalanya pada salah satu mahluk
perempuan. Yang hendak ditubruk menjerit keras. Golok panas merah menyala di
tangannya dibacokkan ke arah kepala panjang si mahluk.
“Grokkkkk!”
Mahluk berkepala
panjang itu keluarkan suara menggmbor keras lalu angkat dua tangannya yang
terikat bsei panas untuk melindungi kepala.
“Craassss!”
Dua
lengan putus. Dua tangan yang masih dalam keadaan terikat rantai panas jatuh ke
tanah.
“Grokkkk,,,,!”
mahluk berkepala panjang menggembor keras sementara darah mancur dari dua
tangannya yang kini buntung.
Salah
seorang dari mahluk perempuan tadi cekal leher si kepala panjang lalu
menyeretnya ke arah pepohonan. Kawannya tak segera mengikuti tapi memandang ke
arah Wiro Sableng. Karuan saja murid Sinto Gendeng ini merasa seperti mau lumer
sekujur tubuhnya. Dalam takutnya dia siapkan pukulan sakti “sinar matahari” di
tangan kanan. Mahluk perempuan yang tadi memandang pada Wiro keluarkan pekikan,
berpaling pada kawannya yang tengah menyeret mahluk lelaki yang isi perutnya
manjela-jela sampai ke tanah. Mahluk perempuan yang satu ini gelengkan
kepalanya. Kawannya yang tegak di hadapan Wiro tampak kecewa. Tiba-tiba
lidahnya yang panjang menjulur bertambah panjang.
“Wuttt!”
Lidah itu
melesat ke arah bawah perut Pendekar 212. Wiro merasakan selangakangannya
seperti disambar api. Tubuhnya terlonjak mental sampai satu tombak ke belakang.
“Uhhh….mati
aku!” katanya sambil menekap bagian bawah perutnya.
Di
depannya dilihatnya dua mahluk perempuan itu melangkah ke deretan pohon-pohon
sambil satunya menyeret mahluk lelaki tadi. Begitu melewati barisan pohon
keduanya, juga mahluk lelaki yang diseret tiba-tiba lenyap laksana ditelan
bumi!
Murid
Sinto Gendeng raba-raba bagian bawah perutnya yang tadi disentuh lidah mahluk
perempuan itu.
“Astaga!”
wajahnya jadi pucat. Ikat pinggang celananya dilonggarkan lalu dia mengintip ke
bawah. Sang pendekar menjadi lega. “Masih ada….. Tadi kenapa seperti amblas
lenyap….”
Wiro
memandang ke jurusan lenyapnya tiga mahluk menyeramkan tadi.
“Aku
melihat mereka melangkah ke arah pohon. Lewat di antara dua pohon di sebelah
sana dan lenyap. Berart sebenarnya tidak ada penghalang apapun di tempat itu.”
Berpikir seperti itu murid Sinto Gendeng lalu melangkah ke jurusan tiga mahluk
tadi berjalan dan lenyap. Satu langkah lagi dari hadapan celah dua buah pohon
yang hendak dilewatinya tiba-tiba.
“Dukkkk!”
“Setan
alas!” maki Pendekar 212 sambil pegangi keningnya sedang kaki kanannya
dijingkat-jingkatkan menahan sakit. “Tak bisa ditembus! Kalau begitu mereka
tadi adalah pasti mahluk-mahluk halus. Berarti tak ada gunanya aku mencoba
masuk! Sampai kiamat pun tak akan tembus! Lalu bagaimana dengan Bunga….?”
Wiro
gelengkan kepala dan garuk-garuk keningnya yang masih mendenyut sakit. “Tak ada
gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Aku harus cepat mencari bantuan agar
bisa menyelamatkan Bunga. Tapi mencari bantuan pada siapa….?”
Murid
Sinto Gendeng jadi bingung dan garuk-garuk kepala lagi sambil memandang
berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sesuatu di tanah. Seperti tulisan.
Samarsamar dan apa yang tertulis tidak rampung. Dengan susah payah Wiro coba
membacanya. Dia harus menglilingi tulisan di tanah itu berulang kali sebelum
bisa membaca dengan jelas.
“Tulisan
aneh ini dibuat dengan darah. Darah siapa…..?” Wiro coba berpikir.
“Mahluk
yang perutnya jebol itu. Jangan-jangan dia…. Dia menulis dengan darah yang mengucur
dari salah satu tangannya yang buntung. Sebelum selesai tubuhnya sudah keburu
diseret ke balik pepohonan….”
Wiro
berputar sekali lagi. Kali yang keenam akhirnya dia bisa juga membaca tulisan
itu.
“Kakek
Segal…..”
“Kakek
Segal….. Kakek Segal….” Wiro mengulang-ulang memaca tulisan itu di dalam hati.
“Astaga! Yang dimaksudnya pasti Kakek Segala Tahu! Aku tolol!
Mengapa
aku tidak ingat orang tua itu! Kalau tidak diingatkan oleh mahluk itu….
Aku harus
segera pergi. Tidak mudah mencari tua bangka aneh itu. kalau nasibku jelek,
satu tahun pun berkeliling tak bakal bisa menemukannya.”
****************
LIMA
Hari
pasar di Kotobarang sekali ini bukan main ramainya. Penyebabnya karena hari ini
seorang akrobat ulung akan mempertunjukkan kehebatannya di tengah pasar.
Maka
penduduk Kutobarang bahkan mereka yang tinggal jauh di pedalamn datang
berbondong-bongdong. Pertunjukkan diadakan di sebuah pedataran yang bagian
teganhnya membentuk bukit kecil. Sejak pagi tempat itu telah dipenuhi orang
banyak.
Tak lama
kemudian akrobat ulung yang ditungg-tunggu muncul. Ternyata dia seorang kakek
bungkuk berpakaian compang-camping, kotor penuh tambalan. Di bahunya membekal
buntalan dekil. Di kepalanya bertengger sebuah caping bambu. Sebuah tongkat
kayu tergenggam di tangan kanan.
“Sialan!
Cuma seorang jembel! Apa kemampuannya?!” sungut seorang lelaki yang sejak pagi
berada di situ.
“Tua
bangka itu menipu kita! Berjalan saja susah! Masakan dia pandai main
akrobat?!”
tukas seorang lainnya.
“Jangan-jangan
dia datang ke sini hanya mau mengemis! Minta sedekah!
Lihat!
Kedua matanya putih! Gila! Dia buta!”
Di antara
kekecewaan yang terlontar di mulut orang banyak ada seorang berkata seperti
membela. “Di beberapa desa sebelumnya aku dengar dia mampu memperlihatkan
akrobat mengagumkan luar biasa!”
“Uh!
Siapa percaya pada pengemis!” seseorang menyeletuk.
Di
tempatnya berdiri, orang tua bercaping tegak sambil senyum-senyum.
“Uhhhhh!
Lihat dia cengengesan! Membuat aku muak!” ujar seorang di pinggir lapangan.
“Sebaiknya
kita tinggalkan saja tempat ini. Seekor monyet tua mampu mempertunjukkan apa?!”
“Kau
betul kawan. Baru sekali saja dia meliukkan tubuhnya tulang pinggangnya akan
patah!”
Perlahan-lahan
orang tua di atas bukit kecil membuka capingnya. Begitu caping bambu tanggal
dari kepalanya tiba-tiba seekor burung merpati keluar dari dalam caping,
terbang berputar-putar di atas kepalanya beberapa kali lalu melesat lenyap ke
arah Timur.
Kini
orang banyak jadi terdiam dalam heran. Segala ejek cemooh tidak terdengar lagi.
Semua mata memandang pada pengemis buta di atas tanah berbukit. Si kakek
sendiri usap-usap kedua tangannya satu sama lain. Lalu dia mencabut tongkat
kayu butut yang dikepit di ketiak kiri. Sambil membolang-balingkan tongkat kayu
itu dia melangkah berputar-putar mengelilingi buntalan kainnya yang terletak di
tanah.
Tiba-tiba
dia mengetuk buntalan itu dengan ujung tongkat.
Terdengar
suara denyit keras lalu seekor monyet coklat keluar dari dalam buntalan
meloncat-loncat kian kemari. Si kakek acungkan tongkat kayunya luruslurus ke
atas lalu jentikkan jari tangan kiri. Monyet coklat melompat tinggi lalu hup!
Cekatan
sekali dia naik dan berdiri di ujung tongkat si kakek. Di ujung tongkat
binatang ini tidak hanya berdiri diam tapi berjingkrak-jingkrak malah melompat
jungkir balik beberapa kali. Orang banyak berseru kagum.
Perlahan-lahan
si kakek letakkan tongkat di atas capingnya. Lalu dia melangkah berputar-putar
membuat gerakan seperti orang menari. Di ujung tongkat si monyet kembali
melompat jungkir balik. Orang banyak bertepuk riuh penuh kagum.
Sayang
tak ada tetabuhan. Kalau tidak pasti pertunjukkan itu lebih semarak.
Setelah
membiarkan monyetnya melompat-lompat beberapa lama si kakek angkat capingnya
dengan tangan kanan sedang tangan kiri memegang tongkat. Caping lalu
diputar-putar dengan sebat. Dalam keadaan berputar caping bambu ini
dilemparkannya ke atas. Lalu dia bersuit memberi tanda. Mendengar suitan ini
monyet yang ada di ujung tongkat melompat ke atas caping dan ikut berputar.
Sebelum
caping melayang turun si kakek cepat menunjang dengan tongkatnya lalu memutar
caping itu lebih cepat sehingga caping dan monyet di atasnya terlihat seperti
bayang-bayang. Perlahan-lahan ujung tongkat dipindahkannya ke atas ubun-ubun
kepalanya. Sambil menggoyang-goyangkan kepala agar caping dan monyet terus
berputar, orang tua itu keluarkan dua tiga biah benda dari balik pakaian
rombengnya.
Ternyata
benda-benda itu adalah tiga buah bola terbuat dari rotan. Sementara kepalanya
menjunjung tongkat dan di ujung tongkat terus berputar caping dan monyet, si
kakek mulai melambung-lambungkan tiga buah bola itu. Dilempar, ditangkap lalu
dilempar lagi terus menerus.
“Luar
biasa!”
“Hebat!”
“Tidak
disangka gembel buta tua itu ternyata memang pandai main akrobat!”
Berbagai
pujian keluar dari mulut orang banyak.
Setelah
puas dengan pertunjukan itu si orang tua mengambil kantong kain dan menyandangnya
di bahu kiri. Lalu dia melangkah mendekati sebuah pohon bercabang besar yang
terletak di tepi lapangan. Waktu memungut buntalan dan berjalan, tongkat,
caping dan monyet masih terus berada di atas kepalanya sementara tiga buah bola
terus dimainkannya dengan cekatan. Begitu sampai di bawah cabang pohon besar
dia keluarkan suitan keras. Lalu membuat beberapa gerakan berturut-turut secara
cepat.
Pertama
dia menyimpan kembali tiga buah bola rotan di balik pakaian rombengnya.
Selanjutnya dia melompat ke atas lalu jungkir balik. Di lain kejap dia tampak
bergelantungan pada cabang pohon. Kedua kakinya dicantelkan ke dahan kayu,
tubuh serta kepalanya tergantung ke bawah tidak beda seperti seekor kelelawar.
Di saat
yang sama pula dia ulurkan tangan kiri untuk memegang tongkat. Perlahanlahan
tongkat diturunkannya ke bawah. Caping dan monyet yang ada di ujung tongkat
ikut turun. Lalu dengan kecepatan luar biasa tongkat dikepitnya di ketiak kiri,
caping dipegang di tangan kanan. Karena tak ada tempat berpijak tentu saja
monyet yang ada di atas caping jadi jatuh ke bawah. Dengan tangan kirinya si
kakek cepat menangkap salah satu tangan binatang itu lalu dilemparkannya ke
atas. Monyet itu melesat ke udara. Si kakek keluarkan suitan keras. Tubuhnya
tiba-tiba bergerak memutari dahan.
Dua kali
putaran monyet yang dilempar ke atas kembali jatuh. Si kakek cepat menangkap
tangan binatang ini lalu dilempar kembali ke atas. Demikian terjadi
berulang-ulang. Makin lama putaran tubuh si kakek semakin cepat dan monyet
coklat dilempar semakin tinggi. Orang banyak sesaat tercekat melihat hal yang
luar biasa itu.
sedikit
saja meleset dan sikakek tidak dapat menangkap tangan monyet, binatang itu
pasti akan hancur ke tanah.
Pada
putaran kedua belas kembali kakek itu keluarkan suitan panjang. Monyet yang
ditangkapnya di tangan kiri dilemparkannya ke udara tinggi-tinggi.
“Hai!
Binatang itu lenyap di udara!” teriak seseorang.
“Jangan-jangan
dilempar menembus langit!” seru seorang lainnya.
Ketika si
kakek berhenti berputar-putar di cabang pohon dan melompat turun ke tanah,
orang-orang banyak segera mendatangi.
“Kek,
akrobatmu hebat sekali. Tapi bagaiman dengan monyetmu. Binatang itu lenyap
seperti ditelan langit!” kata seseorang diantara kerumunan orang banyak.
Orang tua
itu tersenyum. “Binatang itu tidak lenyap. Juga tidak ditelan langit,”
katanya.
“Monyet itu aku kembalikan ke tempat asalnya semula. Ke dalam rimba belantara.”
“Berarti
kau tak akan bisa lagi main akrobat!”
“Mengapa
tidak? Aku bisa mencari monyet lain atau binatang lain…..
Saudara-saudara
pertunjukkanku sudah selesai. Kala ada umur panjang lain waktu aku akan ke
Kutobarang lagi. Sekarang jika kalian mau berbelas kasihan dan jika aku ada
sedikit rejeki, aku mohon sedekah. Yang sanggup memberi silahkan, yang tidak
mampu tidak apa-apa….. Aku hanya minta sekedar pembeli nasi untuk hari ini….”
Lalu
pengemis itu turunkan capingnya. Benda ini dibalikannya dan melangkah
berkeliling. Orang banyak memberi sedekah semampu yang bisa mereka berikan. Di
antara kerumunan orang banyak menyeruak seorang lelaki tinggi besar berikat
kapala dan berpakaian hitam. Mukanya tertutup berewok. Pada pipi kirinya ada
cacat bekas luka yang dalam. Di belakangnya ada tiga orang lelaki bermuka
sangar, berpakaian serba hitam yang rupanya adalah kawan-kawan dari lelaki di
sebelah depan. Orang ini mengulurkan tangannya memasukkan sedekah ke dalam
caping. Namun yang diletakkannya dalam caping bambu itu bukannya uang melainkan
sebuah batu sebesar kepalan tangan. Habis meletakkan batu itu dia tertawa
gelak-gelak. Tiga kawannya ikut tertawa.
Orang
banyak yang ada di tempat itu merasa tidak senang dengan perlakuan sendau gurau
kurang ajar itu. namun mereka tidak berani berbuat apa-apa setelah melihat
siapa adanya empat orang itu. Malah perlahan-lahan orang banyak satu demi satu
menyingkir dari tempat itu.
Sebaliknya
si kakek berpakaian rombeng cuma senyum-senyum. “Terima kasih,” katanya pada
lelaki tinggi besar sambil usap-usap batu itu. “Kau memberikan sedekah yang
tidak ternilai. Tidak sangka rejekiku begini besar hari ini. Semoga Tuhan
membalas budi baikmu ini. Aku doakan agar rejekimu berlipat ganda!” si orang
tua mengambil batu itu. dengan tangan kirinya benda itu digenggamnya sesaat
lalu ditimang-timangnya.
Sepasang
mata si tinggi besar, juga tiga kawannya dan banyak orang yang masih ada di
sekitar situ sama-sama membeliak. Yang kini ditimang-timang si pengemis
bukannya batu melainkan benda kuning berkilauan ditimpa sinar matahari. Emas!
****************
ENAM
Salah
seorang berpakaian hitam yang tak percaya pada apa yang dilihatnya berbisik
pada si tinggi besar.
“Ganang!
Kau sudah gila memberi emas pada jembel buruk itu?!”
Ganang
Culo di tinggi besar pelototkan matanya. “Kau yang gila! Masakan aku mau
memberikan emas sebesar itu padanya. Lagi pula punya pun tidak! Kau lihat
sendiri. Yang kuberikan tadi batu!”
“Lalu
bagaimana sekarang jembel itu memegang sebongkah besar emas begitu rupa?!” ujar
kawan Ganang Culo di sebelah kiri.
“Terima
kasih…. Terima kasih,” kata kakek gembel sambil membungkukkan tubuhnya berulang
kali. “Kau baik sekali. Sekarang izinkan aku meninggalkan tempat ini….” Si
orang tua lalu masukkan uang yang didapatkannya ke dalam saku besar di samping
kiri pakaiannya. Katika dia hendak memsaukkan emas sebesar kepalan tangan itu,
Ganang Culo berkata.
“Tunggu
dulu!”
“Ada
apakah orang baik hati?” tanya si kakek.
“Aku
salah memberi. Kembalikan emas itu padaku….!”
“Ah,
rupanya kau ragu. Bersedekah tidak sepenuh hati,” kata kakek sambil tersenyum.
“Tak jadi apa. Rejekiku rupanya berobah. Ini kukembalikan padamu emasnya….”
Lalu orang tua itu menyerahkan emas sebesar kepalan pada Ganang Culo. Begitu
menerima benda sangat berharga itu Ganang Culo memberi isyarat pada tiga orang
temannya. Keempat orang itu lalu cepat-cepat tinggalkan lapangan menuju tempat
mereka menambatkan kuda.
“Orang
tua, orang sudah memberi. Mengapa kau menyerahkan emas itu kembali?!” seseorang
bertanya.
Si kakek
cuma tertawa. “Emas itu belum ditakdirkan jadi punyaku.
Pemiliknya
emminta kembali. Mana mungkin aku menolak…. Nah saudara-saudara aku minta diri
sekarang…”
Kakek
gembel kenakan caping bambunya. Lalu terbungkuk-bungkuk dia tinggalkan tempat
itu diikuti pandangan banyak orang. Kehebatannya bermain akrobat kini dibumbui
dengan cerita sebuah batu yang beruba jadi emas itu dan diserahkan kembali pada
Ganang Culo, yang mereka ketahui adalah penjahat kepala rampok ganas di kawasan
Selatan. Tapi apakah si kakek mengetahui siapakah Ganang Culo dan
kawan-kawannya?
Kita
ikuti dulu kemana perginya para penjahat itu. Ganang Culo membedal kudanya
diikuti tiga orang temannya ke arah Tenggara. Di satu tempat salah satu dari
tiga orang itu rupanya sudah tidak tahan, tiba-tiba berseru.
“Ganang!
Kita berhenti dulu! Emas besar harus kita bagi empat!”
Dua
temannya mengiyakan tanda setuju. Ganang Culo hentikan kudanya, memandang
beringas pada ketiga temannya.
“Rupanya
kalian tidak percaya padaku? Apa kalian kira aku mau makan sendiri emas ini?!”
katanya setengah berteriak. Dari saku pakaian hitamnya dikeluarkannya emas
besar itu. lalu tangan kirinya bergerak mencabut golok besar tanda dia memang
benar-benar siap untuk membagi empat emas besar itu. Tetapi ketika bongkahan
emas itu keluar dari saku dan diperlihatkan pada tiga orang itu, semua mereka
termasuk Ganang Culo sendiri berseru kaget. Benda yang di dalam genggamannya
ternyata bukan emas kuning berkilat melainkan sebuah batu besar.
“Eh, apa
yang terjadi? Bagaimana emas itu kini berubah lagi menjadi batu?!”
kata
Ganang Culo hampir berteriak sedang kedua matanya laksana mau melompat dari
sarangnya.
Tiga
kawannya saling pandang. Salah seorang dari mereka berkata. “Aku lihat sendiri
emas sebesar kepalan itu tadi kau masukkan ke dalam saku pakaianmu.
Adalah
aneh kalau emas itu tahu-tahu berubah menjadi batu….”
“Tapi,
kalian juga tahu dan melihat. Waktu aku memasukkan sedekah ke dalam caping
gembel tua itu, yang kuberikan adalah sebuah batu besar, bukan emas!” tukas
Ganang Culo.
“Memang
benar. Orang tua aneh itu merubahnya jadi emas. Emas itu kau masukkan dalam sakumu,
kau bawa sampai ke sini. Lalu tiba-tiba saja emas berubah jadi batu.
Jangan-jangan kau tukar dengan batu sungguhan. Emas asli kau sembunyikan!”
“Kurang
ajar kau Rantana!” kata Ganang Culo hampir berteriak marah.
Tangannya
bergerak hendak menampar muka kawannya itu. Tapi kawan di sebelahnya cepat
memegang tangannya. Orang ini bernama Janger Kawala. Dia adalah yang paling tua
diantara mereka.
“Tak ada
gunanya kita bersikeras satu sama lain. Menurutku kakek ahli akrobat itu adalah
seorang tukang sihir. Dia berani mempermainkan kita. Berani menipu! Kita harus
mencarinya. Merampok uang hasil pertunjukkan akrobatnya lalu menghajarnya
sampai mampus!”
“Kau
betul,” kata penjahat bernama Tumara Akun. “Aku sempat melihat gembel sialan
itu pergi ke arah Timur. Dia jalan kaki. Kita pasti bisa mengejarnya!”
Keempat
penjahat itu segera memutar kuda masing-masing lalu bergerak menuju ke Timur
dengan cepat.
*******************
Kakek
berpakaian rombeng berjalan seorang diri sambil membolangbalingkan tongkat
kayunya. Agaknya dia dalam keadaan girang karena hari itu banyak sumbangan uang
atau sedekah dari penduduk Kutobarang. Saat itu dia berada jauh di Timur Kota,
melangkah di pinggir pedataran yang banyak ditumbuhi alangalang.
Tiba-tiba
di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Karena jalan sempit
dan dia tidak mau diterjang kuda maka cepat-cepat orang tua ini menepi sambil
pegangi pinggiran capingnya, di bawah mana dia menyimpan seluruh uang logam
hasil pertunjukan akrobatnya.
“Ini dia
penipu keparat itu!” satu suara membentak menggeledek di belakangnya bersamaan
degnan berhentinya derap kaki-kaki kuda.
“Tua
bangka tukang sihir! Jangan harap kau bisa melarikan diri! Kami akan
menghajarmu sampai mati!” bentakan kedua terdengar.
Belum
sempat orang tua itu berpaling, satu tendangan menghantam bahu kanannya.
“Bukkk!”
Tak ampun
lagi orang tua itu tersungkur ke tanah. Tapi anehnya capingnya masih menempel
di kepalanya, tongkat bututnya juga masih tergenggam di tangan kanan.
Perlahan-lahan dia berdiri, menatap pada empat orang penunggang kuda berpakaian
serba hitam.
“Aneh,
meskipun tersungkur tapi tua bangka ini mampu menahan tendanganku! Dia tidak
kelihatan cidera. Bahkan kerenyit kesakitan pun tidak tampak di wajahnya yang
keriput,” begitu Rantana berkata dalam hati. Dialah tadi yang menendang gembel
tua itu.
“Eh,
kalian berempat bukankah dermawan yang memberikan aku sebongkah emas di
Kutobarang, tapi lalu diambil lagi?” kata pengemis tua itu. “Sekarang kalian
muncul lagi. Menendangku! Apa salahku?”
“Tua
bangka penipu! Pengemis buta tukang sihir sialan!” bentak Ganang Culo.
Dari
dalam saku pakaian dikeluarkannya sebuah batu sebesar kepalan tangan. “Ini emas
yang kau berikan itu!” teriaknya dengan mata mendelik. “Kau boleh ambil
kembali!” Lalu Ganang Culo lemparkan batu itu ke arah si pengemis.
“Plukkk!”
Batu
sebesar kepalan mendarat tepat di dagu orang tua itu. Lagi-lagi aneh.
Dagu yang
dihantam batu tampak merah. Namun si orang tua jangankan bergeming, menunjukkan
rasa sakit sedikit sajapun tidak!
“Tua
bangka jahanam! Rupanya kau punya ilmu juga hah! Lalu mau jual lagak di
hadapanku! Baik! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu. Kau bisa merobah
batu jadi emas lalu mengembalikannya jadi batu. Aku juga punya kemampuan
merobah tubuhmu jadi daging cincang dan potongan tulang belulang!”
Ganang
Culo cabut goloknya. Sekali lompat saja tubuhnya melayang di udara.
Golok
berkelebat ke arah kepala pengemis tua.
“Ooo
ladalah! Walau sudah tua bangka begini aku masih ingin hidup lama di dunia!”
teriak si pengemis tua lalu tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak.
Ujung
tongkat melesat ke arah badan golok.
“Treek….”
Walau
tongkat kayu itu memukul badan golok perlahan saja namun Ganang Culo merasa
seolah senjatanya dihantam balok besar. Tak ampun golok terlepas mental.
Tiga
teman Ganang Culo terkesiap kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya rasa
malu dihajar hanya satu kali gebrakan saja membuat dirinya marah sekali. Masih
melayang di udara dia membentak sambil membuat gerakan jungkir balik. Tahu-tahu
kaki kanannya melesat ke arah rahang kiri kakek berpakaian rombeng. Nnemun
tendangan itu tak pernah sampai. Ujung tongkat di tangan si kakek lebih dulu
menyentuh perutnya. Lalu entah bagaimana caranya, entah gerakan apa yang
dilakukan orang tua ini tubuh Ganang Culo kelihatan naik ke atas kemudian
berputarputar seperti baling-baling. Makin lama makin kencang. Rasa sakit pada
perutnya, gamang oleh putaran yang cepat ditambah dengan amarah membuat
GanangCulo berteriak habis-habisan. Dia berusaha melepaskan pukulan tangan
kosong mengandung enaga dalam ke arah si kakek. Tapi selalu luput karena
tubuhnya terus berputar. Malah beberapa pukulannya hampir mengenai
teman-temannya sendiri.
Orang tua
bercaping tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia menarik tangannya yang memegang
tongkat. Untuk seketika tubuh Ganang Culo masih melayang berputar di udara.
Namun sesaat kemudian tubuh tinggi besar itu ambruk jatuh bergedebuk di tanah.
Ganang
Culo menjeri kesakitan. Tulang pinggulnya sebelah kiri remuk. Dari mulutnya
keluar caci maki. Dia berusaha berdiri tapi rubuh kembali. Akhirnya makiannya
ditujukan pada tiga temannya.
“Kalian
keparat semua! Tua bangka gila itu memperlakukan aku seperti ini!
kalian
cuma berdiri seperti patung!”
“Sret!
Sret! Sret!”
Tiga
golok besar dicabut. Rantana, Tumara Akun dan Janger Kawala cabut golok
masing-masing lalu mengurung pengemis bercaping. Ketika Rantana dan Tumara Akun
siap menyerang, Janger Kawala yaitu penjahat paling tua diantara mereka
mengangkat tangannya.
“Tunggu
dulu,” katanya. “Kita bertiga. Membunuh jembel busuk ini semudah membalikkan
telapak tangan. Sebelum dia kita cincang, biar aku menanyakan emas sebesar
kepalan itu padanya…..” Janger Kawala maju satu langkah. “Dimana kau
sembunyikan emas itu! Lekas keluarkan dan srahkan padaku!”
“Ah,
kalian masih saja bicara dan meminta emas itu. Bukankah tadi kawanmu yang
melongsor di sana itu sudah membuangnya dan melemparkannya padaku?”
“Coba
buka capingmu!” bentak Tumara Akun.
Seperti
patuh orang tua itu buka capingnya.
“Mendekat
ke sini! Aku mau lihat apa saja isinya!”
Yang
diperintah melangkah mendekati Tumara Akun lalu mengangsurkan capingnya. Dalam
caping bambu ada sebuah kantong kain butut.
“Apa isi
kantong it?!” tanya Tumara Akun.
“Uang
sedekah orang-orang di Kutobarang,” jawab si orang tua.
“Kalau
begitu serahkan padaku!” sekali rengut saja kantong berisi uang logam itu
berpindah ke tangan si penjahat.
“Mana
emasnya?!” tanya Janger Kawala.
“Tak ada
padaku…..”
Mata
Janger Kawala perhatikan buntalan di bahu si kakek. “Apa isi buntalan itu?!”
“Barang-barang
rongsokan. Pakaian rombeng…..”
Janger
Kawala menyeringai. “Biar aku periksa sendiri!” katanya. Sekali lagi tangan
kiri Janger Kawala berkelebat. Buntalan di bahu si kakek berhasil dibetotnya
lalu dibukanya dengan cepat. Isinya ternyata memang pakaian-pakaian rombeng.
Lalu ada sebuah kaleng butut yang sudah penyok-penyok.
“Apa
ini?!” tanya Janger Kawala.
“Kau
lihat sendiri. Kaleng butut penyok…..”
Janger
Kawala goyang-goyangkan kaleng itu beberapa kali. Suara berisik berkerontang
memenuhi tempat itu.
“Eh, apa
isi kaleng ini?!” tanya Rantana saling pandang dengan Janger kawala.
Si kakek
tertawa perlahan. “Kalian pasti menyangka aku menyembunyikan potongan-potongan
emas dalam kaleng ini. kalau mau tahu kaleng ini isinya batu-batu kerikil…..”
Rantana
berpikir, “Kalau cuma batu-batu kerikil buat apa tua bangka gila ini
memasukkannya ke dalam kaleng. Dia berdusta. Aku harus membongkar kaleng ini!”
Namun
maksud Rantana itu urung karena saat itu Janger Kawala berkata.
“Tumara,
Rantana! Geledah tua bangka penipu ini!”
“Eh,
kalian ini mau apa? Jangan pegang. Aku ini penggeli!” kata si kakek seraya
melangkah mundur begitu Tumara Akun dan Rantana bergerak mendekatinya.
“Kalau
dia tak mau digeledah berari emas itu memang ada padanya. Di sembunyikan di
salah satu bagian pakaiannya!” Yang berkata adalah Ganang Culo yang saat itu
mash tergeletak di tanah. “Buat apa bersusah payah! Bereskan saja dia.
Habis
perkara!”
“Ganang
Culo betul! Saatnya kita mencincang bajingan tengik tua bangka ini!” kata
Rantana yang rupanya sudah habis kesabaran. Lalu dia melompat mendahului dua
kawannya. Golok di tangannya dipancungkan ke arah batok kepala si kakek.
“Celaka!
Kalian hendak menjagalku!” teriak pengemis tua. Cepat dia mengenakan capingnya kembali.
Tangan kirinya bergerak menyambar kaleng penyok di dalam buntalan. Tangan itu
bergoyang. Batu-batu kerikil di dalamnya memukul badan kaleng. Terdengar suara
berkerontang yang menyengat telinga, membuat tiga penyerang bahkan Ganang Culo
yang berada labih jauh merasa sakit dan bergetar gendang-gendang telinga
masing-masing.
Sebenarnya
apa yang telah dilakukan gembel tua itu terhadap Ganang Culo cukup membuat
Janger Kawala dan dua kawannya sadar bahwa mereka tengah menantang gunung di
depan mata. Namun amarah merasa ditipu dan dipermainkan serta keserakahan
hendak mendapatkan emas sebesar kepalan itu kembali membuat mereka seperti
buta. Golok Rantana menderu keras. Menyusul golok Janger Kawala dan Tumara
Akun. Ganang Culo menyeringai di kejauhan. Sesaat lagi tubuh pengemis itu akan
lumat dicincang golok tiga kawannya.
Orang tua
yang diserang sekali lagi kerontangkan kalengnya. Tongkat kayu butut di tangan
kanannya melesat membuat alur setengah lingkaran. Saat itulah tibatiba
terdengar suara seruan.
“Kakek
Segala Tahu! Serahkan tiga ekor tikus hutan ini padaku!”
Satu
bayangan putih berkelebat. Lalu “Plaakk! Buuukkk! Duukkkk!”
****************
TUJUH
Janger
Kawala meraung kesakitan. Tiga giginya tanggal. Darah bercucuran dari mulutnya.
Goloknya mental entah kemana. Di sebelahnya Tumara Akun terjengkang jatuh duduk
di tanah. Tulang dadanya remuk. Dalam keadaan megap-megap sulit bernafas
akhirnya dia roboh terguling. Dari mulutnya keluar darah kental. Rantana yang
paling parah. Mata kirinya hancur. Darah membasahi sebagian mukanya. Suara
jeritannya seperti mau menembus langit!
Di antara
raung kesakitan itu pengemis berpakaian rombeng tertawa mengekeh. Lalu dia
berucap. “Anak sableng! Untung kau datang hingga si tua bangka ini tak perlu
susah-payah!”
Pemuda
berambut gondrong, berpakaian putih yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng dan yang barusan menghajar tiga penjahat itu membungkuk memberi hormat.
“Kek,
syukur aku bisa menemuimu! Kalau tidak ketemu entah bagaimana jadinya?!”
“Bah!
Rupanya kau datang membawa perkara! Bukan khusus muncul menolongku!” orang tua
yang dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu itu merengut. “Perkaramu bisa
dibicarakan nanti. Coba kau urus dulu penjahat jelek yang satu itu. Kudengar
dia hendak merayap kabur!”
Yang
dimaksud Kakek Segala Tahu adalah Ganang Culo. Sungguh luar biasa
pendengarannya hingga merupakan sepasang mata yang tak kalah tajamnya dengan
mata biasa. Penjahat itu benar-benar putus nyalinya melihat apa yang terjadi
dengan tiga orang temannya. Meski saat itu tulang pinggulnya sebelah kiri remuk
dan sakit bukan kepalang namun rasa takut mendapat hajaran lagi membuat
penjahat ini kumpulkan tenaga untuk bisa bangkit lalu melarikan diri. Tapi
usahanya sia-sia saja.
Dia hanya
mampu merayap. Ketika mencoba berdiri tubuhnya ambruk. Saat itu justru Pendekar
212 Wiro Sableng sampai di hadapannya.
“Jangan…..
Jangan…..” suara Ganang Culo setengah meratap.
“Kek, kau
mau aku apakan kampret ini?” tanya Wiro.
“Ampun!
Jangan!” jerit Ganang Culo.
Kakek
Segala Tau kerontangkan kaleng rombengnya. Lalu berkata “Selama ini, kampret
itu gentayangan melakukan kejahatan di mana-mana. Dari tubuhnya yang paling
banyak berbuat jahat adalah tangan kanannya. Kurasa ada baiknya kalau kau
patahkan jari-jari tangan kanannya barang beberapa buah!”
“Aku
menurut saja apa yang kau perintahkan Kek,” jawab Wiro.
“Tobat!
Ampun! Jangan patahkan tanganku!” teriak Ganang Culo Wiro melangkah mendekat.
“Kurasa itu hukuman paling ringan bagimu kampret! Masih untung dia tidak
meminta aku mematahkan batang leher jalan nafasmu!”
“Aku
benar-benar bertobat!” teriak Ganang Culo.
“Ah, soal
tobat-tobatan itu urusanmu dengan Tuhan! Aku tidak menampung urusan
tobat-tobatan!” kata Pendekar 212 pula. Lalu dia membungkuk menyambar tangan
kanan Ganang Culo. Penjahat ini cepat tarik lengannya. Namun saat itu Wiro
sudah meremas telapak tangan kanannya. “Kraakkk….. kraakkkk….. kraakkkk….!”
Tiga jari
tangan kanan Ganang Culo dan juga sebagian tulang telapak tangannya remuk.
Penjahat ini melolong setinggi langit lalu bergulingan di tanah.
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya lalu tertawa mengekeh.
Tongkat
kayu di bolang-baling. Dia melangkah mendekati Janger Kawala.
“Setttt!”
ujung tongkat si kakek melesat ke arah leher pakaian penjahat yang tiga giginya
rontok itu. terjadilah satu hal luar biasa ketika Kakek Segala Tahu
menyentakkan tongkat. Tubuh Janger Kawala melayang ke udara, jatuh tepat di
atas tubuh Ganang Culo uang saat itu masih menjerit-jerit kesakitan. Si kakek
kemudian melangkah ke arah Tumara Akun. Orang yang dadanya remuk ini dan
mengeluarkan darah dari mulut berusaha menghindar sewaktu dilihatnya kakek
bercaping itu mendatangi. Namun terlambat. Ujung tongkat Kakek Segala Tahu
sudah menyambar leher pakaiannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba memukul
tongkat dengan tangan kiri. Berhasil.
“Bukkk!”
Tapi justru dari mulutnya keluar jerit kesakitan. Darah ikut muncrat.
Dia
seperti memukul besi, bukan tongkat kayu. Sebelum dia bisa berbuat yang lain,
tubuhnya tahu-tahu sudah terlempar ke udara. Seperti Janger Kawala tadi, Tumara
Akun pun jatuh menimpa tubuh Ganang Culo hingga ketiganya saling tumpang
tindih.
Lain
halnya dengan Rantana yang mata kirinya hancur dan masih terus mengucurkan
darah. Dalam keadaan mengerang penjahat satu ini hanya pasrah saja melihat apa
yang akan dilakukan oleh si kakek. Ujung tongkat melesat. Rantana merasakan
tubuhnya terangkat lalu seperti dilempar dirinya melesat ke udara. Dia berusaha
berjungkir balik untuk menghindarkan jatuh menimpa tiga kawannya yang tumpang
tindih babak belur. Tapi gagal. Dia jatuh lebih dulu dengan kepala menghantam
dagu Tumara hingga tak ampun lagi Tumara Akun terlonjak kesakitan lalu diam tak
berkutik, pingsan!
Sambil
membolang-balingkan tongkat dan mengoyang-goyangkan kaleng rombengnya Kakek
Segala Tahu membalikkan tubuh ke arah Wiro.
“Ayo kita
pergi dari sini. Empat kampret itu sudah cukup menerima pelajaran.
Kalau
mereka masih meneruskan hidup sebagai penjahat, lain kali bertemu pasti akan
kulipat jalan nafasnya!” Si kakek ambil kantong uang dan buntalan miliknya yang
tercampak di tanah.
Pendekar
212 segera mengikuti Kakek Segala Tahu. Tongkat dan sepasang telinganya menjadi
pengganti matanya. Di satu tempat, karena tidak tahan lagi dan ingin
cepat-cepat bicara, pemuda itu berkata.
“Kek, ada
satu hal penting yang aku ingin minta bantuanmu.”
“Heeemmmm….”
Si kakek menjawab dengan gumaman lalu kerontangkan kalengnya dan terus saja
berjalan.
Walau
hati kecilnya kecewa melihat sikap si kakek namun karena maklum kalau orang tua
itu memang sering bersikap aneh maka dia hanya bisa diam dan terus mengikuti.
Di sebuah
tikungan jalan di mana terdapat satu batu besar Kakek Segala Tahu hentikan
langkahnya lalu duduk di atas batu itu. Sesaat dia memandang pada pemuda di
hadapannya itu, kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata. “Beberapa
orang tokoh persilatan dikabarkan menghilang secara aneh tanpa diketahui ke
mana perginya. Apakah hal penting yang hendak kau katakan itu ada sangkut
pautnya dengan diri mereka?”
“Aku
kurang mengetahui mengenai menghilangnya tokoh-tokoh silat itu. Saat ini aku
butuh pertolonganmu. Seorang sahabatku terancam keselamatannya. Dia disekap dan
disiksa di alam gaib. Alam siluman. Aku berhasil mengetahui letak kawasan gaib
itu. Di kaki Selatan Gunung Merapi. Di satu rimba belantara bernama
Tapakhalimun…..”
Kakek
Segala Tahu kerontangkan kalengnya lalu berkata. “Sahabatmu yang kau katakan
itu pasti seorang perempuan cantik….”
“Bagaimana
kau tahu Kek?” tanya Wiro.
Orang tua
itu menyeringai dan buka capingnya. “Pemuda sepertimu, kalau bukan urusan
perempuan cantik mana mungkin kau mau mencari urusan. Mencariku segala…..!
Siapa nama si cantik itu?”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Namanya Suci. Aku biasa memanggilnya
Bunga. Dia disekap di kawasan siluman hutan Tapakhalimun.”
“Bagaimana
kau bisa tahu dia disekap. Di hutan Tapakhalimun?”
“Mula-mula
aku mendapat petunjuk dari mimpi….”
“Mimpi?
Itu petunjuk gila. Bisa betul bisa menipu!”
“Tapi
Kek, kemudian aku coba memanggilnya dari alam gaib….”
“Pendekar
212, aku baru tahu kalau kau punya ilmu baru. Pandai memanggil orang dari alam
gaib. Lalu apakah sahabatmu itu sebangsa dedemit atau hantu kuburan?!” tanya
Kakek Segala Tahu sambil kerontangkan kalengnya.
“Sebaiknya
aku ceritakan saja padamu asal-usul aku mengenal Bunga,” kata Wiro pula. Lalu
diceritakannya semua kejadian di masa lalu yang telah dialaminya.
“Kau
tidak berdusta….?” Tanya Kakek Segala Tahu begitu Wiro mengakhiri kisahnya.
Murid
Sinto Gendeng menggeleng. “Aku tidak berdusta. Juga tidak bergurau.
Aku tidak
main-main Kek. Keselamatan gadis itu terancam….”
Kakek
buta itu balas gelengkan kepala. “Menolong orang yang sudah mati dari
kematian…. Benar-benar tak bisa dipercaya. Sudah jadi apa dunia ini sebenarnya?
Kalau tidak mendengar dari mulutmu sendiri, sulit aku bisa percaya!”
“Kau
punya ilmu. Punya kesaktian untuk melihat segala sesuatu. Itu sebabnya kau
digelari Kakek Segala Tahu….”
Orang tua
itu tertawa mengekeh. “Yang namanya manusia itu bagaimanapun tinggi ilmu selalu
ada keterbatasan. Ingat hal itu Wiro! Mengenai hutan Tapakhalimun itu memang
sudah lama aku dengar keangkerannya. Kata orang dulu di situ ada satu kerajaan
kecil yang makmur. Rajanya tersesat dalam ilmu-ilmu gaib mengerikan. Seisi
istana dan semua orang di kerajaan berubah menjadi siluman.
Rupanya
mereka masih bercokol di sana….”
“Lalu
yang aku tidak mengerti, mengapa siluman-siluman hutan Tapakhalimun itu
menculik Bunga dari alam gaibnya. Menyekap dan menyiksanya…. Kita harus
menolong dia Kek!”
“Menolong
orang yang sudah mati dan gentayangan di alam gaib. Jangan kau marah kalau
kukatakan sebenarnya gadis itu juga sudah jadi siluman. Bedanya dia siluman
baik-baik dan cantik hingga kau mau menyabung jiwa untuk menyelamatkannya…..”
“Terserah
kau mau menyebutnya siluman, hantu atau apa! Yang penting dia harus
diselamatkan….”
Kakek
Segala Tahu menghela nafas panjang. Dia mendongak. Matanya yang putih buta
menatap langit. Lalu kaleng di tangan kirinya dikerontangkannya beberapa kali.
“Katamu
kau mampu memanggilnya melalui bunga kenanga itu. cobalah aku ingin melihat….”
Dalam
hati Pendekar 212 menggerutu. “Kedua matanya jelas-jelas buta. Apa yang bisa
dilihatnya?”
Namun
untuk tidak mengecewakan orang tua itu Wiro keluarkan juga bunga kenanga
pemberian Suci dari dalam saku bajunya. Sambil memejamkan mata bunga itu
diletakkannya di depan hidung lalu diciumnya dalam-dalam. Hawa segar dan harum
menyeruak masuk kedalam tubuhnya. Tak segera terjadi apa-apa. Wiro menunggu.
Tetap saja tidak ada tanda-tanda Bunga akan muncul.
“Mungkin
jarak dari sini ke hutan Tapakhalimun itu terlalu jauh Kek. Aku tak bisa
menghubunginya….” Kata Wiro.
“Coba
sekali lagi,” ujar Kakek Segala Tahu seaya memegang bahu Wiro.
Pemuda
itu merasakan ada satu hawa aneh masuk ke dalam tubuhnya yang dipegang.
Dia
maklun kalau si kakek kini menyalurkan kekuatan saktinya ke dalam dirinya untuk
membantu memberi kekautan. Wiro dekatkan lagi bunga kenanga itu ke hidungnya
dan menghirup dalam-dalam. Sunyi. Tak ada suara tak ada bayangan yang muncul.
Namun sesaat kemudian terdengar suara lolongan anjing di kejauhan disertai
jeritan-jeritan mengerikan. Setelah itu samar-samar nampak satu sosok
berpakaian putih muncul dalam keadaan terikat pada sebuah tonggak kayu.
“Bunga…..”
bisik Wiro memperhatikan. Keadaan gadis itu tidak beda seperti
yang
dilihatnya sebelumnya. Pakaiannya putih penuh darah begitu juga wajahnya. Kedua
matanya terpejam. Di kiri kanan dua mahluk seram seperti asap, meliuk-liuk
menjaga. Tiba-tiba Bunga membuka kedua matanya. Dari mulutnya keluar jeritan
menggidikkan. Suara jeritan itu menggema laksana menggelegar dalam juran batu
yang dalam. Bersamaan dengan lenyapnya gema jeritan, sirna pula sosok tubuh
Bunga dan dua mahluk seram itu.
Wiro
simpan kembali bunga kenanga dalam saku bajunya. Dia berpaling pada Kakek
Segala Tahu dan bertanya. “Apa yang kau lihat Kek?”
Orang tua
itu mendongak. “Aku memang tidak melihat apa-apa. Tapi aku bisa mendengar dan
merasakan. Bencana yang menimpa sahabatmu itu memang luar biasa.
Jika
mahluk yang berasal dari alam lain tidak mampu melawan kekuatan hitam itu,
apalagi kita manusia biasa!”
“Lalu apa
yang harus kita lakukan?’ tanya Wiro.
Kakek
Segala Tahu mendongak dan kerontangkan kalengnya. “Kita harus segera
meninggalkan tempat ini. di tengah jalan siapa tahu aku bisa mendapatkan
petunjuk.”
“Kita
harus mencari kuda. Sebelum dapat biar kau kugendong dulu!” kata Wiro yang
sudah tidak sabaran. Lalu cepat saja si kakek didukungnya di belakang punggung,
terus lari ke arah Timur.
“Eh, kau
ini mau membawa aku ke mana?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Ke mana
lagi kalau bukan ke hutan Tapakhalimun?!” sahut Wiro.
“Percuma
ke sana. Kau sudah coba menembus tabir alam siluman itu. Tak berhasil. Aku pun
rasa-rasanya tidak sanggup.”
“Celaka
kalau begitu!” ujar Wiro seraya hentikan langkahnya. Si kakek diturunkannya
dari punggungnya. Nafasnya memburu dan dadanya turun naik.
“Jangan
lekas putus asa anak muda,” kata orang tua itu sambil kerontangkan kalengnya.
“Di dunia ini segala urusan ada jawabannya. Hanya untuk mencari jawaban itu
manusia harus memutar otak. Beberapa waktu lalu aku menyirap kabar ada
tokoh-tokoh persilatan tengah mengejar sorang sakti bernama Kebo Pradah…..”
“Aku
tidak tertarik mendengar ceritamu. Apa hubungan kejadian yang tengah kualami
dengan Kebo atau Sapi Pradah itu?!”
Si kakek
tertawa bergelak. “Sudah kubilang segala urusan bisa diselesaikanjika manusia
mau memutar otak mempergunakan akal. Jangan seradakseruduk tak tahu juntrungan
seperti yang sudah kau lakukan. Kebo Pradah bukan orang sembarangan. Jika para
tokoh memburunya berarti ada satu urusan luar biasa yang tengah mereka hadapi.
Kabar yang aku sirap mengatakan para tokoh itu mengejar Kebo Pradah sehubungan
dengan lenyapnya beberapa tokoh silat secara aneh. Siapa-siapa yang lenyap
masih belum diketahui dengan jelas. Si Kebo Pradah ini mempunyai peran penentu.
Kabarnya dia satu-satunya manusia yang punya kekuatan untuk menyingkap tabir
gaib dan untuk dapat menembus ke dalam kawasan alam siluman di hutan
Tapakhalimun itu…… Tanpa dia masalah ini tak akan terpecahkan….”
“Kalau
memang begitu masalahnya di mana kita bisa mencari Kebo Pradah?”
“Itu
sulitnya. Karena dia diburu-buru dengan sendirinya dia selalu kabur
menyembunyikan diri. Terakhir aku dengar dia berada di sebuah hutan kecil di
Barat Gunung Merbabu. Kalau saja kita tidak kedahuluan oleh para tokoh itu
mungkin kita bisa minta bantuannya….”
Wiro
melompat. Mendukung Kakek Segala Tahu di punggungnya lalu lari
sekencang-kencangnya.
“Eh, ke
mana tujuan kita kali ini?!” tanya Kakek Segala Tahu.
“Apa
perlu kau tanyakan lagi Kek? Sudah pasti ke kawasan di Barat Gunung Merbabu!”
jawab Wiro.
“Ah!
terserah kaulah! Aku hanya membonceng di punggungmu!” kata Kakek Segala Tahu
pula lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
****************
DELAPAN
Orang
yang berdiri di depan Kebo Pradah adalah seorang perempuan separuh baya
bertubuh tinggi. Wajahnya sebenarnya cantik namun jadi tampak lucu karena
dandanannya yang tebal. Bibir dan pipinya merah mencorong. Alisnya hitam
panjang dengan kedua ujung mencuat ke atas. Sepasang matanya memiliki pandangan
taja dingin. Walaupun kepekatan malam membungkus tempat itu namun karena
berhadapan begitu dekat Kebo Pradah dapat melihat seluruh sosok orang ini
dengan jelas.
Perempuan
ini mengenakan jubah berbentuk aneh. Bagian dadanya sangat ketat berpotongan
rendah sehingga lebih dari separuh payudaranya menyembul besar keluar. Di bawah
pinggangnya yang sangat ramping jubah berbunga-bunga itu menggembung besar
seperti ada ganjalannya. Di belakang rambutnya yang dikonde tinggi ada tujuh
helai bulu burung merak warna-warni yang dijadikan hiasan seperti sebarisan
tusuk konde.
Untuk
sesaat lamanya Kebo Pradah tak bisa berkata apa-apa, hanya tegak memandang
denan mulut terkancing.
“Kebo
Pradah, kau membisu karena kaget tak menyangka pertemuan ini atau terpesona
melihat buah dadaku yang besar?’
Paras
Kebo Pradah kelihatan merah padam.
Perempuan
cantik berdandan menor dan punya suara merdu itu tertawa panjang lalu
melanjutkan ucapannya. “Dulu kau pernah bersenang-senang menikmati keindahan
bauh dadaku. Tapi setelah kau puas kau kabur begitu saja. Sekarang apakah kau
masih ingin mengelus dan menciumnya?!”
“Dewi
Merak Bungsu….”
“Ah, itu
gelaranku. Kau biasanya memanggil nama asliku. Kuntini Arimurti.
Kenapa
sekarang kau tidak memanggilku denagn nama asli?’
“Kuntini,
terus terang tentu saja aku gembira dengan pertemuan ini….”
“Kalau
begitu kita bisa bersenang-senang lagi seperti dulu? Mandi berdua di danau
Rawapening, bercanda di atas tanjang atau bergurau di pedataran di bawah bulan
purnama?”
“Kuntini,
apa yang terjadi di masa lalu untuk apa diungkit lagi. Kita tak berjodoh jadi
suami istri. Umur kita terpaut jauh. Hampir dua puluh tahun…..”
“Alangkah
enaknya kau bicara seperti itu. Untung saja hubungan gila itu tidak membuatku
hamil. Kalau sampai aku melahirkan anak, kau akan kubunuh di hadapan bayimu
sendiri!”
Kebo
Pradah terdiam. Dewi Merak Bungsu alias Kuntini Arimurti terus menatap orang
itu dengan pandangan lekat dingin tak berkedip.
“Aku
kasihan meihat keadaan dirimu Kebo Pradah, kau kabur kian kemari.
Sembunyi
di sana-sini. Menyamar jadi resi, jadi petani. Sekarang kulihat kau menyamar
jadi seorang pengemis. Apa enaknya hidup seperti itu?”
“Soal
enak atau tidak biar aku yang menanggung sendiri. Aku berbuat seperti ini bukan
kau menghindar atau mencoba sembunyi darimu. Tapi karena dikejar-kejar oleh
tokoh-tokoh silat dengan alasan gila tak masuk akal!”
“Ohhh,
begitu rupanya…..” kata Dewi Merak Bungsu sambil sunnggingkan senyum sinis.
“Lalu
apakah kemunculanmu untuk menghukum perbuatanku di masa lalu?” tanya Kebo
Pradah.
“Soal
hukum menghukum biar kita serahkan pada yang Kuasa. Bukan aku, kelak bakal ada
orang lain yang menghukummu. Kalaupun tidak ada yang menghukummu di dunia ini,
Gusti Allah akan menghukummu di akhirat. Lagi pula kedatanganku ke sini bukan
mengungkit masa lalu. Aku buka anak kecil atau seorang pengemis yang minta
belas kasihanmu. Aku perlu pertolonganmu. Hanya dengan memberi pertolongan
padaku kau bisa menebus dosa di masa lalu.”
“Ah, dia
masih pandai bicara seperti dulu. Otaknya cerdik seolah ada sepuluh otak dalam
kepalanya,” kata Kebo Pradah dalam hati.
“Pertolongan
apa yang hendak kau harapkan dariku. Katakan cepat karena aku tak ada waktu
lama…..”
“Kenapa
terburu-buru Kebo Pradah. Takut akan muncul lagi orang-orang pandai? Saat ini
hanya kita berdua di sini. Tak usah kawatir. Yang aku inginkan ialah agar kau
membantu aku membuka tabir Pintu Neraka di hutan Tapakhalimun…..”
“Ternyata
maksud kedatanganmu tidak beda dengan orang-orang yang lebih dulu muncul di
tempat ini!”
“Oh,
begitu?” ujar Dewi Merak Bungsu sambil menyeringai dan memandang berkeliling.
“Hemmmmmm Pasti kau menolak permintaan mereka lalu membunuh mereka. Memang
banyak kulihat yang sudah jadi korbanmu. Dua bersaudara Cengkir Lesmana. Lalu
ada tua bangka berpunuk. Kemudian satu lagi si Pengail Sakti Muka Kuning.
Mereka bukan orang-orang sembarangan. Jika kau mampu membunuh mereka dengan
mudah berarti kepandaianmu sudah jauh meningkat….”
“Terserah
kau mau menilainya bagaimana. Yang jelas aku tidak mau bentrokan denganmu. Itu
saja….”
“Bagus.
Baik sekali hatimu. Berarti kau akan meluluskan permintaanku minta tolong
tadi….”
“Aku
tidak mau mendengar urusan gila itu lagi. Aku tak akan menolongmu atau
siapapun!”
“Ah,
kalau begitu lain ucapan lain kenyataan!” tukas Dewi Merak Bungsu.
“Kita
habisi pembicaraan sampai di sini Kuntini. Lain kesempatan jika bertemu lagi
kita bisa bicara panjang lebar…. Sebentar lagi pagi akan datang.”
“Tunggu
dulu Kebo Pradah!” kata Dewi Merak Bungsu. Ketika melihat Kebo Pradah hendak
meninggalkan tempat itu. “Bagiku kesempatan hanya ada satu kali.
Aku tak
akan menyia-nyiakan kesempatan. Kuharap kau juga berbuat sama….?”
“Lalu
maumu apa?” Kebo Pradah kelihatan mulai jengkel. Kentara dari nada suaranya.
“Ikut aku
ke hutan Tapakhalimun!”
“Kalau
aku tidak mau?!”
Dewi
Merak Bungsu tertawa panjang hingga buah dadanya yang menyembul besar kelihatan
bergoyang-goyang membuat Kebo Pradah sesaat jadi menahan nafas.
“Kalau
kau tidak mau apa dayaku….” Kata Dewi Merak Bungsu pula seolaholah pasrah
membuat Kebo Pradah menjadi lega. Tapi cuma sesaat karena dilain ketika
perempuan itu meneruskan ucapannya. “Dirimu sangat berharga Kebo Pradah.
Sehingga
sosokmu tanpa nyawapun masih mampu menyingkap tabir gaib alam siluman di kaki
Gunung Merapi itu. Jadi terserah padamu. Mau pergi ke sana hiduphidup atau
dalam keadaan jadi mayat!”
Rahang
Kebo Pradah menggembung. Tampangnya membesi. Dalam hati orang ini berkata.
“Jelas dia bukan lawanku. Dulu saja ilmunya hampir dua tingkat di atasku. Dia
tidak membunuhku di masa lalu karena mencintaiku dan berharap bisa kuambil jadi
istri. Tapi sekarang keadaan sudah berubah. Sebaiknya aku berpura-pura ikut saja.
Kalau dia lengah kuhabisi dirinya!”
“Baiklah
Kuntini. Aku bersedia ikut bersamamu ke hutan Tapakhalimun. Tapi sesudah tabir
itu tersingkap kita berpisah. Tak ada lagi urusan di antara kita….”
“Terima
kasih kau mau menolong. Hanya saja tiba-tiba saja kau berubah pikiran.
Membuatku jadi curiga. Karenanya aku terpaksa merubah rencana. Aku terpaksa
membunuhmu. Tubuh hidupmu dengan mayatmu sama saja artinya!
Mengapa
aku susah-susah harus mempercayaimu?!”
“Rupanya
dia dapat membaca jalan pikiranku!” membatin Kebo Pradah. Lalu dia berkata.
“Kau
memang perempuan culas! Bukan cuma culas! Tapi juga bangsat!”
teriak
Kebo Pradah marah. “Kau mungkin bisa membunuhku! Tapi aku bersumpah untuk
membuat dirimu cacat seumur hidup!” teriak Kebo Pradah lagi. Lalu dari balik pakaiannya
dikeluarkan sebuah tabung bambu. Ketika tabung itu dibuka terdengar letupan
kecil disertai kepulan asap biru kelabu.
“Cairan
pengerut tubuh!” seru Dewi Merak Bungsu terkejut.
Kebo
Pradah mengekeh. “Kau mau bunuh aku silahkan! Tapi wajah dan tubuhmu akan
kubuat cacat! Akan kubuat mengkerut hingga setanpun akan takut malihat dirimu!”
Habis
berkata begitu Kebo Pradah gerakkan tangannya yang memegang tabung bambu.
Sejenis cairan yang disertai semburan asap muncrat ke luar ke arah tubuh Dewi
Merak Bungsu. Perempuan ini menjerit keras kerakutan dan cepat melompat muncur
ke belakang serumpunan semak belukar.
Untungnya
semak belukar itu diselingi oleh tetumbuhan berdaun lebar. Kalau tidak beberapa
bagian dari tanagn dan tubuh Dewi Merak Bungsu akan tersiram cairan dahsyat
itu. daun-daun yang terkena siraman cairan dahsyat itu. daun-daun yang terkena
siraman cairan itu tampak mengepulkan asap dan berlobang besar. Paras Dewi
Merak Bungsu tampak pucat pasi. Di seberang sana dilihatnya Kebo Pradah tengah
memperhatikan tabung bambunya. Lalu terdengar dia memaki “Setan! Isinya Habis!”
Dewi
Merak Bungsu melihat ini kesempatan paling tepat untuk keluar dari balik semak
belukar langsung menyerang Kebo Pradah. Maka tanpa pikir panjang lagi dia
segera melompat dari balik semak belukar, menggebrak Kebo Pradah dengan satu
jotosan keras di bagian kepala orang itu.
Kebo
Pradah tiba-tiba tertawa mengekeh. “Perempuan culas! Kau tertipu!
Tamat
riwayatmu sekarang!” Kebo Pradah angkat tabung bambu tinggi-tinggi.
Ternyata
dalam tabung itu masih terdapat banyak cairan dahsayat pengerut tubuh.
“Seerrrrr.
Seerrrrr. Seerrrrr!”
Cairan
ganas itu muncrat keluar. Dewi Merak Bungsu terpekik. Dia sama sekali tidak
menyangka. Saat itu tak ada kesempatan untuk mengelak. Kalaupun dia mampu menghindar
tetap saja sebagian wajah dan bahu kirinya akan kena tersiram cairan!
Pada saat
yang genting itu tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar menderu sambaran
angin sedahsyat topan. Dewi Merak Bungsu terpelanting ke kiri dan jatuh ke
tanah. Beberapa tetes cairan pengerut lewat di atas kepalanya. Di sebelah sana
Kebo Pradah berseru kaget ketika air pengerut yang disiramkannya ke arah
Kuntini tiba-tiba membalik menghantam dirinya. Sebelum dia terseret oleh
sambaran angin keras itu air pengerut tubuh telah lebih dulu memercik di
wajahnya, dada dan tangan kanannya
Kebo
Pradah meraung keras. Sebagian mukanya tenggelam dalam kepulan asap. Ketika
kepulan asap lenyap kelihatanlah hal yang mengerikan. Wajah Kebo Pradah seolah
berubah jadi hantu menakutkan. Pipi kanan dan mulut mengkerut.
Hidungnya
kini hanya merupakan rongga besar menjijikkan dan mengerikan karena dari situ
bisa terlihat lidah dan rongga tenggorokannya yang juga telah mengkerut.
Mata
kanannya hanya tinggal rongga besar. Bola matanya yang mengkerut mengecil dan
telah jadi buta terbenam di rongga yang mengerikan itu! Tangan dan dadanya juga
mengalami cacat menggidikkan.
“Anak
setan! Sudah ku bilang kau jangan ikut campur urusan orang!” satu suara
terdengar membentak di balik pohon besar.
****************
SEMBILAN
Ketika
Pengail Sakti Muka Kuning hendak melompat turun dari pohon, seperti telah
dituturkan sebelumnya orang tua sakti ini maupun Kebo Pradah sama-sama
mendengar suara kerontangan kaleng di kejauhan malam. Mereka sama-sama
terkesiap dan curiga bahwa seorang kakek sakti yang mereka kenal dengan nama
Kakek Segala Tahu segera akan muncul di tempat itu untuk urusan yang sama.
Namun
suara kerontangan kaleng terdengar semakin jauh dan akhirnya lenyap sama
sekali. Apakah sebenarnya yang terjadi?
Saat itu
sebenarnya Pendekar 212 dan Kakek Segala Tahu memang hendak menuju ke tempat di
mana kedua orang itu berada. Namun si kakek buta ini turun dari kudanya lalu
tegak dengan mendongak. “Aku tidak tahu apakah kita datang terlambat atau
bagaimana,” katanya pada Wiro. “Tapi yang jelas jauh di sebelah sana Kebo
Pradah tidak sendirian. Sebaiknya kita tinggalkan kuda. Dengan jalan kaki kita
purapura menjauh. Mereka menyangka kita sudah pergi. Lalu diam-diam kita
kembali mendekati tempat mereka…..”
“Aku
setuju saja dengan pendapatmu Kek,” kata Wiro walau hati kecilnya dia lebih
suka untuk langsung mendatangi tempat di mana Kebo Pradah berada. Wiro lalu
turun pula dari kudanya dan mengikuti si kakek mengambil jalan berputar.
Menjauh untuk kemudian mendekat kembali dari jurudan lain.
Ketika
mereka sampai di tempat itu, dari balik pepohonan rapat Wiro dan Kakek Segala
Tahu sempat mendengar pembicaraan Kebo Pradah dengan orang bermuka kuning.
“Coba kau
katakan ciri-ciri orang yang berbicara dengan Kebo Pradah itu.
juga
pakaiannya….” Bisik Kakek Segala Tahu pada Wiro.
Pendekar
212 segera menerangkan. “Hemmmmm….. tak ada orang lain. Dia pasti Pengail Sakti
Muka Kuning….. kalau dia berani bertindak keras terhadap Kebo Pradah, dia bakal
celaka. Ilmunya masih di bawah Kebo Pradah…..”
“Kalau
begitu kita harus membantu si muka kuning itu. Biar Kebo Pradah bisa ditangkap
hidup-hidup lalu kita bawa ke hutan Tapakhalimun….”
“Tidak
perlu. Biar mereka membuat urusan dan menyelesaikannya sendiri.
Biarkan
mereka bicara panjang lebar. Berarti kita bisa mendengar keteranganketerangan
berharga. Menurut kabar yang aku sirap si Kebo Pradah ini biar hidup atau pun
mati kemampuannya tetap saja sama untuk dapat membuka tabir gaib di hutan
siluman itu….” jawab Kakek Segala Tahu. Lalu dia hampir saja hendak mengerontangkan
kaleng bututnya kalau tidak cepat kaleng itu diambil oleh Wiro!
Seperti
diketahui setelah terjadi pertengkaran antara Kebo Pradah dan Pengail Sakti
Muka Kuning maka perkelahianpun tak dapat dihindari yang akhirnya membawa
kematian bagi Pengail Sakti.
Saat
itulah sebenarnya Kakek Segala Tahu dan Wiro hendak keluar dari tempat
persembunyian mereka guna menemui Kebo Pradah. Namun dalam gelapnya malam satu
sosok berkelebat. Mereka kedahuluan orang lain.
Yang
muncul ternyata adalah perempuan muda berpakaian semarak aneh dan berwajah
cantik tertutup dandanan tebal mencorong.
Wiro
cepat memberitahu kakek di sebelahnya. Juga diceritakan ciri-ciri perempuan
yang barusan muncul itu. “Walah Kek, bajunya sebelah atas terbuka lebar.
Payudaranya
menyembul sebesar kelapa. Putih berkilat walau dalam gelap…..”
“Setan
kau!” maki Kakek Segala Tahu yang tak bisa melihat. “Kau sengaja membuat aku
jadi blingsatan….”
“Kau
kira-kira kenal siapa perempuan ini Kek?”
“Banyak
sekali perempuan berdandan seperti celepuk. Tapi kalau dia memang memakai tujuh
lemabr tusuk konde terbuat dari bulu burung merak, aku sudah bisa
menduga.
Dan dugaanku tak bakal meleset. Dia adalah Kuntini, berjuluk Dewi Merak Bungsu.
Sebenarnya dia punya saudara kembar berjuluk Dewi Merak Sulung. Tapi sang kakak
meninggal karena sakit berat beberapa tahun silam. Si bungsu ini kalau aku
tidak salah adalah kekasih Kebo Pradah…..”
“Wah,
kalau begitu sebentar lagi aku bakal menyaksikan dua orang bercumbucumbuan di
tempat ini….”
“Husss!
Otakmu selalu kotor. Lihat saja apa yang terjadi. Setahuku dua orang ini sudah
berseteru sejak lama. Dengar saja apa yang mereka bicarakan. Tunggu apa yang
bakal terjadi. Dan ingat! Jangan ikut campur! Yang perempuan itu ilmunya lebih
tinggi dari si Kebo. Aku punya firasat kita bisa menangguk keuntungan dari
pertemuan dua orang ini…..”
“Keuntungan
macam apa?” tanya Wiro.
“Sudah!
Jangan banyak tanya. Kudengar mereka sudah mulai bicara….”
Dari
balik deretan pohon-pohon besar Wiro dan Kakek Segala Tahu diamdiam
mendengarkan pembicaaan antara Kebo Pradah den Dewi Merak Bungsu.
Mula-mula
keduanya bicara biasa-biasa saja sedikit berbasa-basi. Namun pembicaraan
berubah begitu Dewi Merak Bungsu meminta Kebo Pradah ikut ke hutan Tapakhalimun
di kaki Gunung Merapi. Perkelahian tak dapat dicegah. Kebo Pradah yang tahu
bahwa dia tak bakal menang menghadapi bekas kekasihnya itu dengan licik
keluarkan sejenis cairan yang bisa merusak daging manusia. Dewi Merak Bungsu
hampir saja celaka kalau tidak dibantu oleh Pendekar 212 yang tiba-tiba melepaskan
pukulan “benteng topan melanda samudera” dengan tangan kanan dan “kunyuk
melempar buah” dengan tangan kiri.
Akibat
dua serangan dahsyat itu Kebo Pradah bukan saja terpelanting jatuh.
Air
pengerut tubuh yang tadi hendak disiramkannya pada Dewi Merak Bungsu kini
justru membalik ke arahnya tanpa dia bisa mengelak. Akibatnya tubuhnya menjadi
cacat mengerikan seperti yang diceritakan sebelumnya.
“Anak
setan! Sudah kubilang kau jangan ikut campur urusan orang!” Kakek Segala Tahu
membentak marah ketika telinganya menangkap suara raungan Kebo Pradah.
Sebelumnya dia sudah merasakan gerakan yang dibuat Wiro dan menyusul menderunya
dua larik angin dahsyat. “Edan! Edan! Rusak segala rencanaku jadinya!”
“Tapi
Kek, kalau tidak kutolong perempuan itu pasti celaka!” kata Wiro membela diri.
“Saat ini aku menyaksikan muka Kebo Pradah menjadi cacat mengerikan….”
“Lalu apa
keuntunganmu?!” bentak Kakek Segala Tahu. “Kau tertarik pada perempuan muda itu
ya? Kau terangsang melihat payudaranya yang besar hah?!”
Wiro
hanya bisa mesem sambil garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya
perempuan yang barusan diselamatkannya melompat keluar dari balik rerumpunan
semak belukar, bergerak ke arah Kebo Pradah yang terkapar di tanah masih
meraung-raung. Dewi Merak Bungsu tak dapat bayangkan kengerian kalau apa yang
terjadi dengan lelaki itu menimpa dirinya sendiri.
“Demi
Tuhan! Aku minta kau segera membunuhku saat ini juga Kuntini!
Bunuh!
Bunuh aku! Tobat! Aku tak tahan sakitnya! Bunuh aku Kuntini. Sekarang juga!”
“Kau
minta mati! Aku akan memberi. Hitung-hitung sebagai penyelesaian hutang piutang
atas kematian Merak Sulung!”
“Perempuan
bangsat! Apa maksudmu?!”
“Kau ikut
bertanggung jawab atas kematian kakak kembarku itu!”
“Setan
alas! Semua orang tahu kakakmu mati karena sakit! Ayo bunuh aku!
Sekarangggg!”
“Apa yang
semua orang tahu tidak sama dengan apa yang aku tahu. Kakakku memang mati
karena sakit. Tapi bukan sakit biasa. Mati karena kau masukkan sejenis racun
dalam makanannya…..”
“Perempuan
iblis! Dalam keadaan seperti ini kau masih mau menuduh dan memfitnahku!” teriak
Kebo Pradah. Laksana mendapatkan kekuatan hebar lelaki ini melompat. Kedua
tangannya diulurkan untuk mencekik batang leher Dewi Merak Bungsu. Tapi perempuan
itu lebih cepat. Tangan kanannya melesat di antara dua lengan Kebo Pradah.
“Praaaaakkkk!”
Kening
Kebo Pradah rengkah. Tubuhnya terbanting ke tanh. Kali ini tak berkutik lagi
untuk selama-lamanya.
Sesaat
perempuan itu pandangi mayat Kebo Pradah. Tak ada rasa kasihan ataupun
penyesalan dalam dirinya. Lalu perlahan-lahan dia memutar tubuh.
Memandang
ke arah deretan pohon-pohon besar di kegelapan.
“Orang
yang telah menolongku, harap keluar unjukkan diri agar aku bisa mengenali dan
berterima kasih!” Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu keluarkan ucapan.
Di balik
pohon Kakek Segala Tahu berpaling pada Wiro. “Ayo, kau tunggu apa lagi?
Bukankah kau sudah menolongnya? Jadi lekas keluar! Temui dia!”
“Kau saja
yang keluar Kek,” kata Wiro.
“Lah!
Kenapa aku?! Bukankah kau tertarik padanya? Kalau kau berada lebih dekat dengan
dia, pasti kau bisa melihat dadanya lebih puas…..! Enakkan?!”
Pendekar
212 menyeringai. Tiba-tiba dia kerontangkan kaleng rombeng milik Kakek Segala
Tahu yang sejak tadi dipegangnya.
“Ah,
rupanya yang menolongku seorang tokoh sakti yang kalau aku tidak salah mengucap
dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu!” kata Dewi Merak Bungsu. “Kakek
Segala Tahu keluarlah. Aku sudah sejak lama mendengar nama besarmu. Satu
kehormatan kini kau muncul di sini malah jadi tuan penolongku.”
Di balik
pohon Kakek Segala Tahu mengomel penjang pendek. “Dasar anak setan!” makinya.
Kaleng rombeng dirampasnya dari tangan Wiro. Lalu mau tak mau dia melangkah
keluar dari balik pohon.
Begitu si
kakek sampai di hadapannya Dewi Merak Bungsu segera membungkuk memberi hormat.
“Kakek Segala Tahu, aku sangat berterima kasih.
Kalau kau
tidak menolongku entah bagaimana jadinya diriku. Rasanya memang lebih baik mati
dari pada cacat seperti yang dialami Kebo Pradah…..”
“Anak
setan itu……”
“Kau
mengatakan sesuatu Kek…..?”
Kakek
Segala Tahu batuk-batuk beberapa kali. “Anu maksudku….. Sebetulnya bukan aku
yang tadi menolongmu…..”
Sepasang
alis mata Dewi Merak Bungsu naik ke atas. Keningnya mengerenyit.
“Lalu
siapa yang telah menolongku?”
“Seorang
pemuda sahabatku. Rasa-rasanya dia tertarik padamu. Tapi entah mengapa kemudian
dia malu-malu memperlihatkan diri…..”
“Aneh.
Tapi dia bukan banci kan?”
Kakek
Segala Tahu tertawa mengekeh. “Siapa namanya?’
“Biar dia
saja yang memberitahu. Aku akan panggil dia ke sini.” Lalu Kakek Segala Tahu
kerontangkan kalengnya. Sesaat kemudian Pendekar 212 Wiro Sableng ke luar dari
balik pohon dan melangkah ke arah kedua orang itu.
Sesaat
Dewi Merak Bungsu menatap pemuda berambut gondrong itu. Lalu dia tersenyum.
“Ternyata kau memang bukan banci,” katanya. Dia menjura lalu berkata.
“Tuan
penolong, aku sangat berterima kasih, merasa berhutang budi dan nyawa.
Kalau aku
boleh tahu siapa namamu, pasti akan kukenang seumur hidupku….”
Wiro
melirik pada Kakek Segala Tahu. Orang tua buta itu tampak tenangtenang saja.
“Namaku Wiro….”
“Wiro…..
hemmmm aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu….” kata Dewi Merak Bungsu. Dia
melangkah mendekati. Kedua matanya memandang ke arah dada si pemuda yang
terbuka karena bajunya sebelah atas tersibak. Perempuan muda itu melihat rajah
tiga angka di dada si pemuda. Berubahlah parasnya. “Sungguh tidak terduga kalau
malam ini aku bisa bertemu sekaligus dengan dua orang tokoh silat tingkat atas!
Satu di antaranya menjadi tuan penolongku. Pendekar 212……”
Perempuan
itu tidak meneruskan ucapannya. Dia hanya bisa geleng-gelengkan kepala, dalam
hati membatin. “Nama besar pemuda ini sudah lama aku dengar. Tadinya kukira
usianya paling tidak 50 tahun. Tidak sangka ternyata begini muda. Lebih muda
dariku…..” Sehabis membatin begitu perempuan muda ini bertanya, “Kakek Segala
Tahu dan Pendekar 212, kalau aku boleh tanya mengapa kalian berdua bisa muncul
berbarengan di tempat ini?”
Orang tua
itu tidak menjawab. Wiro juga berdiam diri.
“Ah,
kalau kalian punya suatu yang bersifat rahasia kalian tak usah menjawab
pertanyaanku tadi,” kata perempuan muda itu sambil mengerling pada Pendekar
212.
“Kek,
bagaimana ini,” berbisik Wiro. “apa kita beritahukan saja? Kita sudah mendengar
kalau dia hendak ke kaki Gunung Merapi. Tujuannya sama dengan tujuan kita.
Rasa-rasaya masalah yang kita hadapi juga sama….. Aku minta petunjukmu.”
“Kukira
tak ada salahnya kau terangkan saja,” jawab Kakek Segala Tahu.
Saat itu
Dewi Merak Bungsu telah melangkah mendekati mayat Kebo pradah.
“Dewi…..”
Wiro memanggil.
Perempuan
itu membalik. “Namaku Kuntini…..”
“Begini…..
Kurasa antara kita tak perlu ada rahasia. Kami sudah mendengar maksdmu membawa
Kebo Pradah ke kawasan hutan Tapakhalimun. Kami pun sebenarnya hendak menuju ke
sana. Kebo Pradah merupakan satu-satunya kunci yang mampu menyingkap tabir
hutan siluman itu. Dalam keadaan mati maupun hidup…..”
“Eh, dari
mana kau mengetahui hal itu Pendekar 212?” tanya Dewi Merak Bungsu.
“Panggil
aku Wiro saja…..” jawab murid Sinto Gendeng. “Sebelumnya kami memang sudah
menyirap kabar bahwa Kebo Pradah adalah satu-satunya orang yang bisa menolong
kami untuk menembus masuk ke dalam alam siluman di kaki Gunung Merapi itu.
Waktu kami sampai di sini, diam-diam kami telah mendengar pembicaraan antara
Kebo Pradah dengan Pengail Sakti Muka Kuning. Lalu hal itu lebih jelas lagi
setelah kami mendengar pembicaraanmu dengan Kebo Pradah tadi….”
Kuntini
yang bergelar Dewi Merak Bungsu itu terdiam sesaat. Dia melirik pada Kakek
Segala Tahu. “Mengapa kalian ingin masuk ke dalam alam siluman di hutan
Tapakhalimun itu?” tanya kemudian.
“Aku
ingin menolong seorang sahabat. Dia disekap dan disiksa di tempat itu…..” jawab
Wiro. “Di samping itu kami ketahui ada beberapa tokoh persilatan telah diculik
secara aneh. Kami belum tahu siapa-siapa mereka adanya. Namun kami yakin mereka
juga talah jadi korban mahluk-mahluk jahat hutan siluman itu.”
“Siapa
sahabatmu itu?”
“Namanya
Bunga. Sebenarnya dia juga sudah mati dan hidup di alam gaib….”
Sepasang
mata Dewi Merak Bungsu membesar. Keningnya mengerenyit.
“Aku
tidak mengerti. Sahabatmu itu manusia atau apa…..?”
“Kita
tidak punya waktu banyak. Kita harus cepat-cepat ke kaki Gunung Merapi. Nanti
saja aku menerangkan padamu mengenai sahabatku itu…..”
Dewi
Merak Bungsu angkat bahunya. “Kalian ke sini membawa kuda?”
“Ada.
Kami tinggalkan agak jauh dari sini,” jawab Wiro.
“Aku juga
membawa kuda. Aku yakin kakek muka kuning ini datang kemari juga membawa kuda.
Binatang itu bisa dipakai untuk membawa mayat Kebo Pradah…..”
Kakek
Segala Tahu batuk-batuk beberapa kali. “Sebelum pergi, ada dua hal yang ingin
kutanyakan padamu Kuntini. Kau boleh menjawab boleh tidak.”
“Ya,
tanyakan saja,” kata perempuan muda berdandan mencorong itu.
Si kakek
kerontangkan dulu kaleng rombengnya membuat Dewi Merak Bungsu terpaksa
menutupkan kedua tangannya di telinga kiri dan kanan saking bisingnya. “Mengapa
kau ingin masuk ke dalam kawasan hutan siluman itu?” Kakek Segala Tahu ajukan
pertanyaannya.
“Aku
mencari seseorang. Dia juga jadi koeban kebuasan mahluk-mahluk siluman. Apa hal
kedua yang ingin kau tanyakan?”
“Kita,
maksudku engaku sudah menguasai Kebo Pradah yang katanya merupakan satu-satunya
manusia yang bisa membuka tabir dan menembus masuk ke dalam hutan Tapakhalimun.
Yang aku ingin tanyakan bagaimana caranya mayat itu nanti bisa melakukan hal
itu….?”
“Betul
Kuntini,” menyambung Wiro. “Walau kau sudah dapat Kebo Pradah, apakah kau tahu
cara memanfaatkan dirinya untuk menembus dan masuk ke dalam hutan siluman itu?”
“Aku
tidak bisa mengatakannya sekarang. Tunggu saja setelah kita sampai di kaki
Gunung Merapi,” jawab Dewi Merak Bungsu pula. Kakek Segala Tahu teridam.
Wiro pun
tak bersuara. Kedua orang itu diam-diam memaklumi kalau Dewi Merak Bungsu masih
belum dapat mempercayai mereka.
“Sebaiknya
kita berangkat sekarang. Sebentar lagi malam akan berganti siang.
Kita
tidak bisa melewati jalan biasa. Terlalu menarik perhatian orang karena kita
membawa sesosok mayat…..” kata Kuntini dan melangkah mendekati mayat Kebo
Pradah.
“Biar aku
yang menggotongnya. Kau cari saja dulu kudamu,” kata Wiro.
Perempuan
muda itu mantap Pendekar 212 sesaat lalu tersenyum. “Terima kasih. Kau baik
sekali….” Katanya.
****************
SEPULUH
Rombongan
Dewi Merak Bungsu sampai di kaki Selatan Gunung Merapi dua hari kemudian. Saat
itu matahari baru saja tersembul di permukaan bumi.
“Di sini
tempo hari aku coba menembus masuk ke dalam hutan Tapakhalimun,” menerangkan
Wiro.
Dewi
Merak Bungsu diam saja seolah tidak mendengar. Wiro berpaling pada Kakek Segala
Tahu.
“Kek,”
Wiro berbisik pada orang tua itu. “Kita sudah sampai. Kau tahu kirakira yang
akan dilakukan Kuntini dengan mayat Kebo Pradah agar bisa menembus masuk ke
dalam kawasan hutan siluman?”
“Tak bisa
kuduga. Baiknya kita menunggu saja,” jawab orang tua itu. Dia membuka capingnya
lalu turun dari atas kuda.
Saat itu
Dewi Merak Bungsu sudah lebih dulu menjejakkan kaki di tanah. Dia memandang
berkeliling. “Hemmmmm…… Pohon-pohon besar itu tumbuh rapat secara aneh,”
katanya dalam hati.
Wiro
melompat pula dari kudanya. Dia segera mendekati perempuan itu dan berkata. “Di
balik deretan pohon-pohon besar itulah hutan Tapakhalimun. Beberapa waktu yang
lalu aku coba melangkah melewati pepohonan itu. tapi aku tertahan oleh satu
tembok yang tidak kelihatan. Tembok gaib tak mempan dipukul atau dijebol dengan
senjata…..”
Dewi
Merak Bungsu gigit bibirnya sebelah bawah. “Aku memang sudah mendengar hal itu.
tapi belum yakin kalau tidak membuktikan dan melihatnya sendiri!” katanya.
Tangan
kanannya bergerak mencabut salah satu dari tujuh lembar bulu burung merak yang
menancap di kepalanya. Sesaat benda itu digoyang-goyangkannya di depan wajahnya
yang cantik tapi berdandan terlalu tebal. Tiba-tiba didahului suara pekikan
nyaring perempuan muda itu lemparkan bulu burung merak itu ke arah pohon
terdekat. Bulu burung itu melesat laksana sebilah pisau terbang.
Sesaat
lagi bulu itu akan menghantam pohon tiba-tiba terdengar satu ledakan keras.
Tiga buah pohon terdekat bergoyang-goyang. Ranting-rantingnya berpatahan.
Daun-daun
berguguran. Kakek Segala Tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tanah
yang mereka pijak bergetar. Dari belakang deretan pohon-pohon terdengar suara
pekik jerit mengerikan dibarengi oleh suara lolongan anjing panjang sekali.
Empat ekor kuda yang ada di tempat itu meringkik keras dan tampak menjadi lair.
Tubuh mayat Kebo Pradah yang ada di atas salah satu seekor kuda itu jatuh
bergedebuk ke tanah.
Bersamaan
degan itu dari arah depan terdengar suara deru angin sedahsyat topan prahara.
Bulu burung mreak yang tadi dilemparkan hancur berantakan dan beterbangan di
udara menjadi serpihan-serpihan halus.
“Semua
tiarap!” teriak Dewi Merak Bungsu lalu jatihkan diri ke tanah. Wiro tarik
tangan Kakek Segala Tahu. Keduanya lalu sama-sama mencium tanah.
“Wuuuusssss!!”
Gelombang
angin dahsyat yang bersumber pada bulu burung merak yang tadi dilemparkan Dewi
Merak Bungsu, kini membalik ke arah tiga orang itu membawa hawa sedingin es!
Sapuan angin dingin lewat di atas mereka. Terus menghantam semak belukar serta
pepohonan di sebelah sana. Terdengar suara bergemuruh ketika empat pohon besar
tumbang sekaligus dan semak belukar berterbangan ke udara dalam keadaan hancur
luluh.
“Luar
biasa….” Kata Wiro.
“Aku
tidak melihat. Tapi aku yakin perempuan itu telah melemparkan satu dari tujuh
tusuk konde bulu burung meraknya ke arah dinding gaib kawasan hutan siluman,”
kata Kakek Segala Tahu. “Dia bukan hanya merubah bulu burung itu seolah menjadi
sebuah senjata, tapi sekaligus melepaskan pukulan sakti dan mengalirkannya pada
bulu burung. Kalau aku tak salah pukulannya tadi bernama pukulan ratu merak
membelah jagat….”
“Aneh
juga nama pukulan itu. Ratunya pasti cantik….” Kata Wiro masih bisa berseloroh.
Lalu ketika dilihatnya Dewi Merak Bungsu berdiri, dia pun ikut berdiri sambil
memegangi tangan Kakek Segala Tahu.
Sewaktu
memandang berkeliling kagetlah Pendekar 212.
“Eh…..
aku merasakan tanganmu bergetar. Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Kakek Segala
Tahu.
“Empat
ekor kuda itu….” jawab Wiro seperlahan mungkin. “Binatangbinatang itu berkaparan
di tanah dalam keadaan hancur luluh mengerikan. Dapat kau bayangkan kalau tubuh
kita tadi yang kena dihantam angin pukulan ratu merak nekad tadi itu….”
Kakek
Segala Tahu tersenyum lalu kerontangkan kalengnya. Ketika dirasakan Dewi Merak
Bungsu berpaling ke arahnya si kakek segera berkata.
“Kuntini,
kita sudah sampai di tempat yang berbatasan dengan hutan Tapakhalimun. Kebo
Pradah yang menjadi kunci penyingkap tabir gaib juga ada di sini, di bawah
kekuasaanmu. Kalau boleh aku bertanya apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Aku dan
juga kalian berdua kalau suka, akan masuk ke dalam hutan siluman itu.”
“Caranya?”
tanya Wiro. “Tadi kau telah coba menghantam dengan pukulan ratu merak membelah
jagat tapi gagal.”
“Eh,
bagaimana kau tahu nama pukulan itu?” tanya Dewi Merak Bungsu agak kaget.
“Aku
menceritakan kehebatan tusuk konde berbentuk bulu burung yang disertai angin
pukulan begitu dahsyat. Kakek ini lalu memberitahu padaku nama pukulan itu….”
Dewi
Merak Bungsu memandang sesaat pada Kakek Segala Tahu. Tanpa berkata apa-apa dia
melangkah mendekati Kebo Pradah. Dengan tangan kirinya dijambaknya rambut mayat
lalu mayat yang mengerikan itu dibuatnya tegak. Dengan gerakan cepat Dewi Merak
Bungsu kemudian menotok lima bagian tubuh mayat.
Setiap
totokan mengeluarkan suara.
“Trak….
Trak….” Pertanda bahwa totokan itu menembus daging dan menghancukan tulang di
belakangnya!
“Totokan
gila apa pula ini….?” kata Wiro dalam hati keheranan.
Ketika
Dewi Merak Bungsu melepaskan jambakannya pada rambut Kebo Pradah, ternyata mayat
itu mampu berdiri laksana orang hidup yang tegak dalam keadaan tertotok!
Kakek
Segala Tahu dongakkan kepala ke langit sedang Pendekar 212 hanya bisa melongo
saking kagumnya. Menotok manusia hidup hingga kaku tegang merupakan satu hal
biasa. Tetapi jika perempuan cantik itu mampu menotok orang yang sudah jadi
mayat dan membuatnya kaku tegak seperti itu benar-benar luar biasa.
Diam-diam
murid Sinto Gendeng menyadari bahwa di dunia ini banyak sekali orang berilmu
tinggi yang kepadaiannya jauh di atas dirinya.
Selagi
Wiro terkagum-kagum seperti itu Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan kanannya
mencengkeram dada pakaian Kebo Pradah yang robek. Tangan kirinya diangkat
tinggi-tinggi ke atas dengan telapak tangan terkembang. Kedua matanya memandang
ke depan tanpa berkedip, ke arah deretan pohon-pohon besar. Lalu dari mulutnya
terdengar ucapan lantang.
“Penguasa
dan penghuni hutan siluman Tapakhalimun! Aku datang membawa anak manusia
berpusar dua. Dia adalah kunci segala kunci. Karena itu harap bukakan pintu!
Jangan berani melawan kehendak gaib di atas gaib!”
Habis
berkata begitu tangan kanan Dewi Merak Bungsu bergerak membetot pakaian Kebo
Pradah.
“Breeeeeet!”
Baju Kebo
Pradah robek besar hingga seluruh dada dan perutnya tersingkap lebar. Wiro
pelototkan mata memandang ke arah perut Kebo Pradah. Apa yang tadi diucapkan
Dewi Merak Bungsu memang benar. Tidak seperti manusia biasa, Kebo Pradah
ternyata memiliki dua buah pusar!
Begitu
perut Kebo Pradah tersingkap, dari balik deretan pohon-pohon terdengar suara
pekik bersahut-sahutan. Lolongan anjing muncul di mana-mana.
Menyusul
suara seperti orang mengerang dan di kejauhan ada pula suara tawa orang
meringkik seperti kuda!
Tiba-tiba
ada dua cahaya biru menyambar ke arah perut Kebo Pradah disertai suara gelegar
keras. Begitu menyentuh dua buah pusar terdengar letupan keras dua kali
berturut-turut. Asap biru menggebu membungkus tempat itu.
“Kunci
segala kunci! Bukakan pintu masuk ke hutan siluman!” terdengar Dewi Merak
Bungsu berteriak dalam asap biru yang menutupi sekujur badannya.
Wiro yang
merasa kawatir akan terjadi apa-apa yang bisa membahayakan keselamatan dirinya
dan si kakek, bertindak waspada. Kedua tangannya siap melepaskan dua pukulan
sakti. Kakek Segala Tahu tampaknya tenang-tenang saja seolah tidak terpengaruh
dengan apa yang terjadi saat itu. Malah dalam asap biru dia kerontangkan
kalengnya berulang kali hingga suasana jadi tampak tegang mencekam.
Tiba-tiba
ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Pada
puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah
gunung!
Tanah
yang dipijak orang-orang itu oleng keras membuat mereka bertiga terpelanting
jatuh. Namun anehnya sosok mayat kaku Kebo Pradah tetap saja tegak di
tempatnya!
Asap biru
yang membungkus tempat itu perlahan-lahan lenyap. Tapi suara teriakan, pekik
jerit, lolongan anjing serta suara tawa menggidikkan semakin keras.
Sewaktu
asap biru benar-benar pupus dua larik cahaya biru masih tetap tinggal,
membersit ke arah dua buah pusar di perut Kebo Pradah tampak bergetar keras.
Mukanya
yang cacat mengkerut seperti menyeringai. Lehernya seolah-olah menjadi panjang.
Lalu yang lebih mengerikan mulutnya yang rusak itu keluarkan suara jeritan
keras. Bersamaan dengan itu dua buah cahaya biru yang membersit ke perutnya
laksana ditolak oleh satu kekuatan dahsyat membalik ke arah asalnya. Lalu
terdengar suara letusan keras. Tubuh Kebo Pradah mental ke udara. Bukan dalam
keadaan tercabik-cabik. Darahnya muncrat ke mana-mana, menyiprat ke pakaian
Dewi Merak Bungsu, Wiro dan caping Kakek Segala Tahu.
Begitu
letusan suara pupus keadaan di tempat itu sunyi senyap seperti di pekuburan.
Namun kesunyian ini justru membuat ketegangan yang mengantung di udara menjadi
tambah mencekam. Tiba-tiba terdengar suara orang menangis terisakisak.
“Heh…..
Siapa yang menangis?” tanya Kakek Segala Tahu celingukan.
“Hanya
suara Kek, orangnya tak kelihatan,” jawab Wiro. “Aku…..” Murid Sinto Gendeng
tidak meneruskan kata-katanya. Saat itu terdengar suara aneh. Suara seperti
sebuah benda berat bergeser ke kiri dan ke kanan. Wiro memandang berkeliling.
Astaga! Dia terkejut besar. Pohon-pohon yang banyak berderet-deret seperti
membentengi hutan Tapakhalimun lenyap entah ke mana! Kini mereka berada di satu
tempat kosong yang serba putih. Tak ada peohonan, semak belukar atau langit.
Bahkan
mereka tidak tahu tengah berpijak di mana saat itu karena semuanya sebar putih.
Suara
gesekan semakin keras. Begitu juga suara tangisan. Dewi Merak Bungsu melirik ke
arah Wiro. Perempuan cantik ini tampak berusaha menahan rasa tegang. Tangan
kanannya didekatkan ke kepala. Siap untuk mencabut tusuk konde berupa bulu
burung merak yang kini tinggal enam lembar.
Tiba-tiba
“bummmm!”
Satu
ledakan menggelegar mengejutkan ketiga orang itu. Tabir putih di hadapan mereka
seperti terbelah. Yang sebelah kanan bergeser ke kanan dan yang kiri ke kiri.
Dari depan terdengar suara siuran angin. Bukan meniup ke arah tiga orang itu
justru menyedot dengan dahsyatnya hingga tak ampun lagi Dewi Merak Bungsu di
sebelah depan, menyusul Wiro lalu si Kakek Segala Tahu tersedot, laksana amblas
ke satu terowongan yang tidak kelihatan. Ketiganya kelihatan jungkir balik.
Karena
mengenakan jubah panjang yang menggelembung, sewaktu tubuhnya melayang di udara
sedotan atas tubuh perempuan itu agak tertahan. Wiro yang tadi ada di belakang
dan tersedot lebih cepat langsung saja masuk ke dalam jubah itu!
“Manusia
kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini!” teriak Dewi Merak Bungsu marah sekali.
Kepala Pendekar 212 menyelip di antara kedua pangkal pahanya. Dari dalam jubah
terdengar suara Wiro menyahut tapi tidak jelas mengatakan apa. Dewi Merak
Bungsu berusaha menendang tubuh Wiro keluar dari dalam pakaiannya namun tidak
mudah. Sebelum berhasil tubuhnya bersama tubuh Wiro, menyusul tubuh si kakek
tiba-tiba terbanting ke bawah!
“Pemuda
kurang ajar! Rasakan ini!” teriak perempuan itu sambil menarik jubahnya ke atas
lalu hantamkan lututnya. Wiro mengeluh tinggi. Perutnya yang kena sodokan lutut
seperti mau pecah. Terhuyung-huyung dia keluar dari dalam jubah sambil pegangi
perut.
“Ini lagi!”
teriak Dewi Merak Bungsu. Kali ini masih dalam keadaan terlentang kaki kanannya
di tendangkan ke kepala Pendekar 212. Wiro cepat menangkap betis sang Dewi.
“Aduh
mulus dan putihnya. Lembut sekali….” Kata Wiro dalam hati.
“Benar-benar
kurang ajar!” teriak Dewi Merak Bungsu. Dia hendak mencabut selembar tusuk
konde bulu meraknya. Ketika mau dilemparkan tiba-tiba terdengar bentakan Kakek
Segala Tahu.
“Kalian
berdua jangan seperti anjing dan kucing! Coba lihat kita berada di mana!”
Wiro
melepaskan pegangannya pada betis Dewi Merak Bungsu. Perempuan itu cepat
menggulingkan diri. Ketika keduanya memandang berkeliling mereka samasama
tersentak. Di hadapan mereka ada sebuah bangunan batu berbentuk pintu gerbang.
Di sebelah atas pintu gerbang ini ada tulisan berbunyi “Pintu Neraka”! Apa yang
ada di pintu itu dan sekitarnya membuat Dewi Merak Bungsu dan Wiro jadi
merinding.
****************
SEBELAS
Pada dua
buah pilar Pintu Neraka bergelantungan belasan ular besar berwarna hitam
kelabu. Tubuhnya berupa ular namun kepalanya berwujud kepala setan mengerikan.
Di tiang kiri kanan tegak dua mahluk bertubuh tinggi besar dengan tampang
angker. Keduanya berkepala botak yang dibasahi dengan darah. Masingmasing
memegang sebilah golok api berwarna merah. Sekujur tubuh mahluk yang hanya
mengenakan cawat ini penuh dengan kalajengking yang menjalar kian kemari.
Di atas
Pintu Neraka duduk berjuntai enam jerangkong. Yang aneh dan mengerikan kepala
jerangkong berupa tengkorak ini memiliki sepasang mata merah yang selalu
berputar-putar kian kemari. Lalu dari rongga mulutnya mencelat keluar sebuah
lidah berwarna merah, sangat panjang dan ujungnya berupa kepala ular!
“Ya
Tuhan, apakah kita benar-benar sudah masuk di neraka…..?” desisi Pendekar 212
“Ceritakan
apa yang kau lihat!” kata Kakek Segala Tahu. Wiro segera menerangkan dengan
cepat.
“Kita
memang sudah berada di jalan menuju kawasan hutan siluman. Kita harus melewati
Pintu Neraka itu….”
“Celaka…..”
bisik Wiro yang masih berada dalam kengerian.
“Apa yang
celaka?!” tanya Kakek Segala Tahu. Lalu enaknya saja dia kerontangkan
kalengnya. Tapi dia jadi melengak kaget. Bagaimanapun dia mengguncang kalrng
rombeng itu dan merasa batu-batu kerikil di dalamnya memukul dinding kaleng,
tapi sama sekali tidak ada suara yang keluar! “Kekuatan siluman sungguh luar biasa.
Kalengku tak bisa berkerontang…..” kata si kakek. Lalu dia berpaling pada Wiro.
“Ada apa dengan kau?”
“Baru
berada di ambang pintu saja aku sudah mau terkencing-kencing.
Bagaimana
kalau sampai masuk…..”
“Tak ada
jalan mundur! Kita harus melewati Pintu Neraka ini!” kata Dewi Merak Bungsu
walau nyalinya juga hampir leleh oleh rasa ngeri terutama melihat mahluk ular
berkepala manusia yang menyeramkan itu. ketika hendak melangkah, gerakanya
tertahan. Dia berpaling pada Wiro dan Kakek Segala Tahu. “Siapa yang masuk
duluan….?” Tanyanya.
“Kau
saja!” jawab Wiro.
“Sebaiknya
kau!” kata sang Dewi.
“Sudah,
jangan saling tolak-tolakan. Biar aku yang masuk duluan! Siluman itu pasti
tidak tertarik melihat tampang dan keadaanku. Mudah-mudahan mereka tidak
menggangguku. Yang disebelah belakangnya biasanya jadi incaan….”
“Kalau
begitu biar aku yang masuk duluan!” kata Wiro.
Kakek
Segala Tahu mengekeh. Dewi Merak Bungsu membentak halus. “Ini bukan tempat
bersuka ria tertawa segala! Kita bertiga bisa mampus kaki ke atas kepala ke
bawah!” dia berpaling pada Wiro. “Kau bilang mau jalan duluan. Ayo, tunggu apa
lagi?!”
Wiro
garuk kepalanya dengan tangan kiri. Tangan kanan mencabut Kapak Maut Naga Geni
212. Sinar terang benderang memenuhi tempat itu. Lalu dengan segala ketabahan
dia mendekati tangga Pintu Neraka yang terdiri dari tujuh undakan.
Pada saat
kaki kanannya menginjak undakan pertama belasan ular berkepala manusia yang ada
pada pilar pintu keluarkan desisan keras lalu berganti dengan teriakan
mengerikan. Dari mulut mahluk ini menetes-netes darah kental. Langkah Pendekar
212 tertahan. Dua mahluk berkepala botak angkat tangannya yang memegang pedang
merah. Di atas Pintu Neraka enam jerangkong menggoyang-goyangkan tubuhnya mengeluarkan
suara berkeresekan. Kedua tangan diangkat-angkat ke atas, mata berputar liar
dan dari mulut yang menyemburkan darah terdengar pekik-pekik melengking tinggi.
Sesekali lidah mereka yang panjang dan berbentuk kepala ular itu menjulur ke
bawah seperti hendak mematuk Wiro.
“Jalan
terus, tak ada yang perlu ditakutkan!” kata Dewi Merak Bungsu seraya mendorong
punggung Pendekar 212.
Murid
Sinto Gendeng melintangkan senjata mustikanya di depan dada lalu naik ke anak
tangga kedua. Tidak terjadi apa-apa. Begitu kakinya menginjak anak tangga
ketiga, dua mahluk bercawat melompat ke arahnya sambil menusukkan pedang merah.
Luar
biasa. Pedang masih belum sampai sinarnya telah melesat ke arah tenggorokan dan
dada Wiro. Pendekar 212 segera lindingi diri dengan menyabatkan Kapak Maut Naga
Geni 212 ke depan. Sinar putih menyilaukan berkiblat disertai deru lasana
ribuan tawon mengamuk. Hawa panas yang menampar ke luar dari senjata mustika
itu membuat dua mahluk bercawat dan berkepala botak dan berlumuran darah
tersurut mundur sambil mengeluarkan teriakan marah. Sepasang mata mereka
melompat keluar lalu masuk lagi!
Walau
ngeri melihat dua mahluk siluman yang ganas ini tapi Wiro sudah bisa meraba
bahwa mereka pun takut melihat serangan kapaknya. Maka dia cepat melompat ke anak
tangga keempat. Tidak terjadi apa-apa.
“Tangga
berikutnya tangga kelima….” Kata Wiro membatin. “Mahlukmahluk penjaga Pintu
Neraka ini baru berindak setiap aku menginjakkan kaki di anak tangga ganjil.
Jadi aku harus hati-hati….”
Benar
saja. Begitu kaki Wiro menyentuh anak tangga kelima, enam jerangkong di atas
pintu keluarkan pekikan keras. Lalu keenamnya berlompatan. Dua ke arah Wiro.
Dua lainnya mengincar Dewi Merak Bungsu dan dua terakhir melesat ke arah Kakek
Segala Tahu!
Kembali
Kapak Maut Naga Geni 212 membeset udara. Sinar putih berkiblat.
“Wuttt!
Wuuuttttt!” Senjata mustika itu jelas-jelas membabat tubuh dua jerangkong. Tapi
sambaran mata kapak seolah menghantam udara kosong, lewat begitu saja. Di
kejauhan terdengar suara tawa cekikikan. Dua jerangkong membuat gerakan
jumpalitan lalu tiba-tiba sekali melesat kembali menyerang Wiro. Agak gugup
Wiro lepaskan pukulan sakti dengan tangan kiri. Jerangkong yang sebelah kiri
terangkat ke atas, hancur berantakan di udara dan lenyap. Saat itu pula srangan
jerangkong sebelah kanan sampai. Wiro berteriak keras ketika ujung lidah
jerangkong yang berbentuk ular itu mematuk bahu kanannya. Dia merasa seperti
ditusuk besi panas. Kapak Maut Naga Geni 212 hampir terlepas dari genggamannya.
Darah membasahi bahu baju putihnya. Dengan terhuyung dia menindak menaiki anak
tangga keenam. Aman. Terus pada anak tangga ketujuh yaitu yang terakhir.
Sementara
itu dua jerangkong yang menyerang Dewi Merak Bungsu disambut perempuan ini
dengan mendorongkan kedua telapak tangannya ke atas.
“Wuuuss!”
“Wuuss!”
Dua angin
deras menyambar ke atas. Dua jerangkong menjerit keras.
Keduanya
mental berantakan lalu berubah manjadi kepulan asap dan akhirnya sirna.
Perempuan
ini menarik nafas lega sesaat lalu mengikutiWiro menaiki tangga ke enam.
“Ada
darah di bahumu….” Kata Dewi Merak Bungsu.
“Lidah
ular salah satu jerangkong itu sempat mematukku,” jawab Wiro.
Wajahnya
pucat. Agak limbung dia menaiki anak tangga ketujuh yakni anak tangga terakhir
dari Pintu Neraka. Di atas sana terdengar suitan keras. Satu jerangkong siluman
yang tadi menyerangnya kini kembali menyerbu. Wiro segara hendak menghantam
dengan Kapak Maut Naga Geni 212.
Di bagian
bawah tangga Kakek Segala tahu yang berada paling belakang dan mendapat
serangan dua jerangkong dongakkan kepala. Telinganya menangkap suara mendesir.
Dia cepat menghantam ke atas dengan tongkatnya. Ujung tongkat menyambar ganas
dan dengan tepat mengenai sosok dua jerangkong itu. namun seperti sewaktu Wiro
membabat dengan kapak mustikanya ternyata si kakek juga seolah mengenai udara
kosong. Dengan berteriak-teriak sambil menjulurkan lidahnya yang berbentuk
kepala ular dua jerangkong kembali menyerbu.
“O
ladalah!” seru Kakek Segala Tahu yang maklum kalau serangan tongkatnya gagal
dan kini dia jerangkong itu kembali menyerangnya. Dengan cepat dia tanggalkan
caping bambunya. Sekali dia mengibaskan caping itu, satu gelombang angin
menderu laksana air bah. Dua jerangkong yang hendak menghujamkan lidah ularnya
mencelat mental ke atas. Di udara dua jerangkong ini hancur bercerai berai,
mengepulkan asap dan sirna.
Kembali
pada Pendekar 212 yang mendapat serangan dari sisa jerangkong di tangga
ketujuh.
“Jangan
pakai senjata!” teriak Dewi Merak Bungsu. “Hantam dengan pukulan tangan
kosong!”
Sesaat
Wiro terkesiap. “Apa yang dikatakan Kuntini itu agaknya betul. Tadi aku
membabat dengna Kapak Maut Naga Geni tidak mempan. Sewaktu kuhantam dengna
pukulan benteng topan melanda samudera salah satu dari dua jerangkong itu
ambruk…..” Memikir sampai di sini maka murid Eyang Sinto Gendeng segera
lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin laksana gulungan
batu besar menderu. Jerangkong yang menyerang dari atas seolah tahu kalau dia
tak akan mampu menghadapi pukulan sakti itu menjerit keras lal berbalik dan
melesat pergi.
Di anak
tangga ketujuh Dewi Merak Bungsu memberitahu pada Kakek Segala Tahu bahwa Wiro
terluka bahu kanannya akibat pukulan lidah ular jerangkong siluman. Paras orang
tua itu tampak berubah. Dia meraba-raba sekitar ujung capingnya.
“Dia
untung. Obat ini masih tersisa satu. Bisa ular siluman seratus kali lebih jahat
dari bisa ular biasa….. Berikan obat ini padanya dan suruh dia segera
menelannya!”
Perempuan
itu mengambil obat yang diberikan lalu menyerahakan pada Wiro.
Belum
sempat obat berbentuk bulat sebesar ujung kelingking itu berpindah tangan,
tiba-tiba seekor ular besar berkepala setan yang melilit di pilat pintu sebelah
kanan melesat dan berusaha mematuk. Dewi Merak Bungsu terpekik. Saking kagetnya
obat itu terlepas dari tangannya, jatuh tepat di tangga ketujuh!
“Wiro
lekas ambil!” teriak Dewi Merak Bungsu.
Wiro
jatuhkan diri mengambil satu-satunya obat yang bisa menyelamatkan jiwanya itu.
namun ular berkepala manusia tadi meluncur lebih cepat. Pada saat Wiro berhasil
memegang obat , pada detik itu pula ular siluman membuka mulutnya besarbesar.
Kepala
Pendekar 212 hanya setengah jengkal saja dari hadapannya.
Dalam
keadaan genting begitu rupa, sebelum kepala Wiro sempat dilahap ular siluman,
ujung tongkat Kakek Segala Tahu dengan keras memukul putus ujung ekor binatang
ini. Ular siluman keluarkan jeritan seperti raungan anjing di malam buta. Dia
sabatkan ekornya ke arah si kakek. Orang tua ini cepat rundukkan kepala.
Tongkatnya kembali berkelebat. Terdengar lagi raungan seperti anjing itu. Ujung
tongkat Kakek Segala Tahu menancap tepat di leher ular siluman. Darah
menyembur. Si kakek menghindar agar tidak kecipratan. Ular siluman itu
bergelimang darah menyentaknyentak di atas tangga Pintu Neraka. Wiro berguling
memasuki Pintu Neraka sambil menelan obat yang berhasil diambilnya sementara
Dewi Merak Bungsu cepat menarik tangan Kakek Segala Tahu lalu keduanya melompat
melewati Pintu Neraka.
****************
DUA BELAS
Selewatnya
Pintu Neraka ketiga orang itu berada di satu rimba belantara ditumbuhi
pohon-poon besar dan semak belukar aneh. Keadaanya redup sekali dan udara
terasa dingin. Kesunyian yang mencekam justru menimbulkan suasana tambah
menggidikkan.
Kakek
Segala Tahu mendongak. “Aneh…..” katanya. “Tak ada suara barang sedikitpun.
Bahkan suara siliran angin tidak terdengar. Kita harus berhati-hati…. Mungkin
kita akan berkubur di sini atau mati dan ikut jadi siluman….” Wiro dan Kuntini
saling berpandangan dengan wajah tegang. “Apa yang kalian lihat?” si kakek
bertanya.
“Pohon-pohon
besar di mana-mana. Semak belukar setinggi langit seperti jaring. Batu-batu
besar menyerupai binatang purba….” Yang menjawab Dewi Merak Bungsu.
“Apa
lagi?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Hanya
itu….” sahut Wiro.
“Tak ada
hantu atau siluman yang muncul?”
“Tidak,”
jawab Wiro dan Kuntini berbarengan.
Kakek
Segala Tahu coba kerontangkan kalengnya. Tetap tak mau berbunyi.
“Hemmmm….
Keadaan di tempat ini benar-benar berbahaya. Hati-hatilah. Kita bisa mati
mendadak di sini…. Satu hal harus kalian ingat. Kita harus tetap bersama.
Jangan
sampai tercerai….”
Baru saja
orang tua ini berkata begitu tiba-tiba terdengar suara. “Wusssss!”
Disusul
dengan munculnya sinar merah benderang. Wiro dan Kuntini keluarkan seruan
tertahan.
“Ada
apa….?” Tanya Kakek Segala Tahu sambil melintangkan tongkat kayu di depan dada.
“Satu
pohon besar tiba-tiba saja terbakar. Gejolak apinya laksana menjulang langit….”
Menerangkan Dewi Merak Bungsu.
“Tak
dapat kuketahui apa artinya ini….” kara si kakek pula dan berusaha berpikir
memecahkan arti keanehan itu.
“Ada
bayangan orang di atas pohon. Di dalam api!” teriak Dewi Merak Bungsu.
“Astaga!
Itu Bunga sahabatku!” teriak Wiro seraya lari ke arah pohon. Si kakek dan
Kuntini segera mengikuti.
Di atas
salah satu cabang pohon besar yang dilamun api itu kelihatan sosok tubuh
seorang perempuan berambut panjang. Wajahnya cantik tapi sangat pucat dan
pakaiannya penuh darah. Seperti yang dilihat Wiro sebelumnya gadis ini berada
dalam keadaan terikat. Namun tonggak kayu di mana dia diikatkan tidak kelihatan
lagi. Sepasang mata Bunga tampak sangat ketakutan. Mulutnya terbuka. “Wiro….
Wiro….”
“Bunga!”
teriak Pendekar 212. Seperti kalap pendekar ini hendak memanjat pohon. Tapi
begitu hawa panas menyengat sekujur tubuhnya dia jadi tak berdaya dan terpaksa
melangkah mundur.
Di atas
pohon kembali terdengar suara Bunga memanggil memelas. “Wiro…. Taolong….. Aku
tak tahan lagi…..”
Pendekar
212 bantingkan kakinya. Kapak Maut Naga Geni 212 digenggamnya erat-erat. Tapi
senjata itu tak akan ada gunanya.
“Wiro,
kita tak dapat menolong sahabatmu itu. Api di pohon besar sekali….”
Kakek
Segala Tahu yang diam-diam sudah dapat membaca keadaan bertanya.
“Api di
pohon, apakah membakar tubuh, rambut atau pakaian sahabatmu itu….?”
“Ti….
Tidak. Memang tidak….” Jawab Wiro melotot.
“Berarti
dia bukan sahabatmu sungguhan!” juar Kakek Segala Tahu.
“Dia
siluman!” kata Dewi Merak Bungsu pula.
“Aku
tidak percaya. Aku sudah melihat keadaannya seperti itu sebelumnya….” Jawab
Wiro. Dengan nekad dia maju beberapa langkah lalu berteriak.
“Bunga!
Jatuhkan dirimu dari atas pohon! Jatuhkan drimu! Aku akan menangkapmu di bawah
sini!”
“Tolong….
Tolong aku Wiro….”
“Jatuhkan
dirimu!” teriak Wiro lagi.
“Sambut
aku Wiro….. Aku akan jatuhkan diri….” Kata Bunga dari atas pohon.
Lalu
tampak gadis itu menggeliatkan tubhnya. Begitu kedua kakinya bergeswe dari
cabang pohon yang dipijaknya tubuhnya langsung melayang jatuh ke bawah!
Pendekar
212 Wiro Sableng rentangkan tangan mengatur tempat tegaknya agar bisa menyambut
tubuh Bunga yang jatuh itu dengan tepat.
“Blukkkk!”
Tubuh
Bunga jatuh tepat dalam pelukan Wiro.
“Syukur….”
Kata Wiro lega. “Kau selamat Bunga. Aku akan membawa kau keluar dari tempat
jahanam ini!”
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Bersamaan dengan itu keadaan
menjadi tambah redup. Lalu menyusul suara tawa cekikikan menggidikkan.
Dewi
Merak Bungsu diam-diam merasa cemburu melihat Pendekar 212 memeluk gadis cantik
itu tiba-tiba berseru kaget ketika melihat gadis yang dipeluk Wiro berubah
menjadi sosok raksesi. Menyeringai mengerikan mencuat keluar, bergelimang
darah.
“Wiro!
Lemparkan gadis itu! Dia bukan sahabatmu!” teriak Dewi Merak Bungsu.
Tapi
terlambat. Raksesi dalam pelukan Wiro gerakkan kepalanya. Mulutnya ditempelkan
ke leher Pendekar 212. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras.
Darah
muncrat dari lehernya. Tubuh yang dipeluknya langsug dibantingkan ke tanah.
“Hik….
Hik…. Hik….!” Raksesi cepat bangkit berdiri dan julurkan lidahnya yang
bergelimang darah. Darah itu disemburkannya ke arah Kuntini lalu didahului
dengan raungan panjang dia melompat ke arah Wiro. Kedua tangannya berkelebat
lebih dulu. Ternyata dua tangan raksesi ini memiliki jari sebesar pisang dengan
kukukukunya hitam panjang sekali. Dalam keadaan masih tegang oleh rasa kaget
serta luka di leher dan sebelumnya di bahu, Wiro seperti tak berdaya dan
bertindak lamban. Saat itu pula jari tangan berkuku panjang menyambar ke
lehernya!
Dalam
keadaan gawat seperti itu di mana nyawa Pendekar 212 hanya tinggal seujung rambut
tiba-tiba dari samping melesat sebuah benda memancarkan sinar aneka warna
disertai suara menggemuruh. Bulu merak sakti!
Raksesi
yang hendak mencengkeram leher Pendekar 212 keluarkan jeritan tinggi dan
berusaha menghindar. Namun bagian tajam dari bulu burung merak yang dilemparkan
Dewi Merak Bungsu keburu menghantam keningnya! Kepala raksesi itu hancur
berkeping-keping. Hancurnya menyiprat ke muka dan tubuh Pendekar 212.
Sebelum
tubuh raksesi siluman itu lenyap terlebih dulu terdengar suara raungan disertai
suara lolongan anjing di kejauhan.
Wiro usap
mukanya. Kedua kakinya goyah. Dia jatuh berlutut. Wajahnya tampak pucat. Dia
memandang pada Dewi Merak Bungsu. “Kuntini…. Terima kasih.
Kau
menyelamatkan jiwaku….”
“Kau
belum lolos dari kematian….” Jawab Dewi Merak Bungsu.
“Apa
maksudmu?”
“Luka di
lehermu bekas gigitan mahluk siluman itu cukup parah…..”
“Mari
kuperiksa lukamu….” Kata Kakek Segala Tahu yang tadi ikut hanyut dalam
ketegangan. Dengan ujung tongkatnya diraba dan ditusuk-tusuknya luka bekas
gigitan di leher Pendekar 212 hingga pemuda ini menjerit kesakitan.
“Hemmmmm….
Untung tak ada urat yang putus. Lebih untung lagi gigitan itu tidak beracun…..
Biar kutotok agar darahnya berhenti!”
Kakek
Segala Tahu tusukkan ujung tongkatnya dua kali berturut-turut. Wiro meringis
kesakitan. Luka di lehernya seperti bertaut kembali dan darah berhenti
mengucur.
Dewi Merak Bungsu ulurkan tangan kirinya menolong Wiro berdiri.
Sambil
pegangi lehernya Wiro berkata. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kau
mungkin benar Kek, kita akan mati di sini dan ikut jadi siluman…..”
Baru saja
ucapan Wiro berakhir tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak laksana guntur
mengguncang bumi. Suara tawa itu menggema panjang mengerikan.
“Pendekar
212 Wiro Sabelng….. Kau dan dua kawanmu telah memasuki Pintu Neraka Kerajaan
Siluman! Sekali masuk tak ada jalan keluar…. Ha….. ha…. ha!”
“Heh….
Siapa yang tertawa dan bicara itu?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Orangnya
tak kelihatan. Dari mana arahnya pun sulit dicari…..” jawab Wiro.
“Pendekar
212! Membunuhmu saat ini semudah membalik telapak tangan!
Tapi aku
ingin menyiksa kau lebih dulu sampai puas! Ha… Ha…. ha…. ha!”
“Keparat!
Siapa kau! Coba unjukkan diri!” berntak Wiro.
Jawaban
hanyalah suara tertawa. “Ha…..ha…..ha…..ha!”
“Mahluk
pengecut! Tak berani memperlihatkan diri! Siluman keparat!” teriak Wiro.
“Ha….ha….ha!
Aku berada di dekatmu Wiro! Dekat sekali! Dari tahta Kerajaan Siluman aku akan
menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan. Lalu.
“Blaaaammmmm!
baru kubunuh dirimu! Ha….. ha….. ha….!” Suara tawa lenyap. Tempat itu kembali
sunyi.
“Kau
tidak mengenali suara orang tadi yang bicara dan tertawa itu?” bertanya Dewi
Merak Bungsu.
“Sulit
sekali. Suara gemanya terlalu tinggi dan panjang….” Jawab Wiro.
“Itu
tantangan jadi seorang pendekar dalam dunia persilatan….” Terdengar Kakek
Segala Tahu berkata. “Kita akan punya banyak musuh. Begitu banyaknya hingga
kita tidak mengenali lagi suaranya. Bahkan kalau ketemu muka mungkin kita lupa.
Setelah dibokong dan sekarat meregang nyawa baru kita ingat. Tapi sudah
terlambat….”
Ucapan
Kakek Segala Tahu terputus. Di belakang mereka terdengar suara menggemuruh
seperti ada ombak menggulung menyerbu. Tiga orang itu cepat membalik.
“Ada
gelombang air menyerbu ke jurusan kita!” seru Wiro.
“Cairan
berwarna merah….!” Pekik Dewi Merak Bungsu.
“Aku
mencium amisnya bau darah!” teriak Kakek Segala Tahu tegang.
“Gelombang
air itu! Astaga. Itu memang darah!” teriak Wiro.
“Darah
mendidih!” jerit Dewi Merak Bungsu. “Kita harus selamatkan diri!”
“Cari
tempat ketinggian!” teriak Kakek Segala Tahu.
Wiro dan
Dewi Merak Bungsu memandang berkeliling.
“Di
sebelah sana ada kawasan berbatu-batu. Tapi letaknya tak lebih tinggi dari tempat
ini….. Celaka!” seru Dewi Merak Bungsu.
“Kita
naik saja ke atas pohon!” teriak Kakek Segala Tahu dan siap-siap hendak
melompat.
“Lebih
celaka!” seru Wiro.
“Apa yang
lebih celaka?!”
“Semua
pohon kini dipenuhi puluhan ular siluman. Bahkan ratusan kalajengking….”
“Ah,
kalau begitu kita pasrah saja. Kematian sudah di ambang mata!” kata Kakek
Segala Tahu.
“Jangan
pasrah macam orang tolol!” teriak Wiro. “Ayo lari dari sini. Jauhi gelombang
darah mendidih itu…..!”
Tiba-tiba
terdengar suara.
“Grokkk….groookkkk….grooookkk!”
“Heh….suara
malaikat mautkah itu?” ujar Kakek Segala Tahu yang membuat Wiro dan Dewi Merak
Bungsu mau rasanya memaki panjang pendek.
Di
hadapan ketia orang itu melayang satu sosok siluman. Mahluk satu ini hanya
mengenakan cawat. Tua dan berkepala panjang seperti pepaya. Sekujur tubuhnya
penuh luka-luka. Darah membasahi badannya. Kedua matanya memberojol keluar
sperti mau tanggal. Sepasang telinganya lancip mencuat ke atas. Lidahnya
terjulur panjang dan pada lidah ini menancap sepotong besi runsing. Potongan
besi kedua menyatai telinganya dari kiri ke kanan. Di lehernya ada sebuah
lobang besar yang terus menerus mengucurkan darah. Dari lobang ini keluar suara
grooookk….groookkk. Itu! Kedua tangan dan kakinya terikat dengan rantai besi
panas membara. Ketika mahluk ini hendak mendekati Dewi Merak Bungsu, perempuan
ini cepat cabut bulu merak yang dijadikannya tusuk konde dan merupakan senjata
sakti luar biasa. Begitu dia hendak menghantam Wiro dengan cepat mencegah.
“Jangan!”
“Heh! Kau
sudah gila! Siluman ini hendak membunuhku dan kau menghalangi!”
“Dia
bukan siluman jahat! Mahluk ini yang dulu menolongku. Memberi petunjuk agar
mencari Kakek Segala Tahu. Dia tidak bisa bicara. Dia menuliskan pesan dengan
darahnya! Hanya heran. Kenapa sekarang tangannya tidak buntung?!”
“Kau
tidak bergurau!”
“Edan!
Masakan dalam keadaan seperti ini aku mau bergurau!” teriak Wiro.
Mahluk
siluman masih terus berputar-putar mengelilingi mereka sambil mengeluarkan
suara “grokkk…..groookkkkk!” sementara gelombang air bah cairan darah mendidih
dan berbau sangat busuk semakin dekat. Tiba-tiba mahluk siluman itu melesat ke
kiri. Di sini dia berputar dua kali, lalu melesat lagi. Demikian dilakukannya
berkali-kali.
“Aku
tahu! Mahluk itu memberi isyarat agar kita mengikutinya!” teriak Wiro.
“Ayo!
Tunggu apa lagi!” Wiro pegang tangan Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak Bungsu.
“Jangan-jangan
mahluk itu hendak menjebak kita! Di tempat ini kita tidak tahu mana kawan mana
siluman!” kata Dewi Merak Bungsu bimbang. Namun ketika dilihatnya gelombang
darah mendidih semakin dekat, mau tak mau perempuan ini akhirnya lari juga
mengikuti Wiro dan Kakek Segala Tahu.
****************
TIGA BELAS
Mahluk
siluman itu melayang ke arah deretan tujuh buah pohon besar yang batang dan
cabang-cabangnya hampir tertutup oleh akar-akar gantung. Tiga orang di
belakangnya mengikuti dengan rasa takut dan juga bimbang. Bukan mustahil
seperti yang dikatakan Dewi Merak Bungsu tadi mahluk ini hendak menjebak mereka
menuju maut. Di balik deretan tujuh pohon besar kelihatan sebuah daerah berbatubatu
yang makin ke sebelah sana semakin tinggi. Lalu di puncak bebatuan ini terdapat
beberapa buah gundukan batu besar.
Seperti
terbang mahluk siluman itu melesat ke arah salah satu gundukan batu.
“Lihat!
Di atas sana ada gundukan batu membentuk goa!” seru Wiro. “Mahluk itu memberi
isyarat aga kita lari menuju goa itu!”
Di
belakang mereka suara gelombang cairan darah terdengar menggemuruh sewaktu
melewati celah-celah tujuh pohon besar.
“Lekas
naik ke bukit batu!” teirak Wiro. Kakek Segala Tahu lepaskan pegangannya dari
tangan Wiro. Walaupun kedua matanya buta tapi dengan cekatan orang tua sakti
ini melompat enteng dan sebat hingga akhirnya dia sampai di puncak gundukan
batu dan masuk ke dalam goa lebih dulu. Baru menyusul Wiro dan Dewi Merak
Bungsu.
“Grokkkk…..groookkkk…..grokkkk!”
Mahluk
siluman yang menolong tegak di atap goa. Tiba-tiba di kejauhan kelihatan dua
sosok besar melayang di udara. Ternyata mereka adalah mahluk siluman perempuan
yang hanya mengenakan cawat. Payudara mereka gundal-gandil kian kemari.
Tambutnya riap-riapan penuh dengan ular-ular kecil. Di tangan masingmasing ada
sebilah golok merah menyala.
Pendekar
212 cepa menarik sebuah batu besar dan menutupi mulut goa.
“Bantu
aku…. Tarik batu-batu itu….” katanya pada Dewi Merak Bungsu. Di ats atap goa,
begitu melihat dua siluman perempuan telanjang itu mendatangi, siluman penolong
keluarkan suara seperti meratap lalu cepat-cepat berkelebat dan menghilang.
“Hak…..huk….hak….huk!”
Dua siluman perempuan sampai di depan goa mengeluarkan suara aneh. Keduanya
tampak seperti memeriksa tempat itu. Wiro dan Dewi Merak bungsu serta Kakek
Segala Tahu yang berada di sebelah dalam goa menjatuhkan diri sama rata dengan
lantai goa.
“Hak..huk…hak….huk!”
Dua siluman perempuan itu masih melayang-layang di atas goa.
“Celaka!
Kalau mereka sampai mengetahui kita ada di sini, tamat riwayat kita!” bisik
Wiro pada Dewi Merak Bungsu.
“Aku
tidak mengerti. Mengapa siluman yang lidahnya ditancap besi itu menolong kita.
Lalu siapa pula dua siluman perempuan telanjang ini….”
“Kelihatannya
mereka seperti pengawal. Mereka yang dulu menambus siluman penolong itu dengan
pedang menyala. Sampai isi perutnya berojol keluar….”
“Aku
tidak mengerti….”
“Nanti
saja aku ceritakan,” kata Wiro.
Di luar
goa masih terdengar suara hak huk hak huk dua siluman perempuan itu.
tak lama
kemudian keduanya tampak berkelebat di udara lalu lenyap. Di bawah sana
gelombang banjir darah mendidih telah mencapai kaki bebatuan. Makin lama makin
tinggi. Bergerak mendekati goa di mana tiga orang itu berada. Wiro coba
mengintip di antara celah-celah batu. Dewi Merak Bungsu melihat perubahan wajah
pemuda ini dan bertanya.
“Ada
apa….?”
“Air
darah. Naik semakin tinggi. Hanya tinggal beberapa jengkal saja dari mulut
goa…..”
“Kalau
begitu kita harus keluar dari sini. Apa kataku! Siluman yang kau katakan
sebagai penolong itu ternyata menjebak kita di tempat ini!” Dewi Merak Bungsu
bergerak hendak berdiri.
“Tunggu!”
kata Kakek Segala Tahu. “Telingaku menangkap suara gelombang air darah mendidih
berhenti di arah hulu. Berarti tak ada lagi cairan yang akan mengalir ke
sini…..”
Wiro dan
sang Dewi sama-sama mengintip. Memang benar. Ternyata cairan darah tidak
bertambah tinggi. Gelombangnya pun menyurut. “Aku tak bisa tenang.
Kita tak
bisa terus menerus berada di sini….”
“Mau tak
mau. Kita terpaksa menunggu sampai air darah surut….” Kata Wiro.
“Aku
mengantuk….” Kata Kakek Segala Tahu lalu menguap. “Jangan-jangan sekarang sudah
malam.”
“Di
Kerajaan siluman tak pernah ada malam hari…..” jawab Dewi Merak Bungsu. Tapi
saat itu dia sendiri sebenarnya juga sudah mengantuk selain letih. Dia
mengerling pada Wiro. “Kau mengantuk….?” Bisiknya bertanya sementara di
belakang mereka di bagian goa sebelah dalam si kakek terdengar sudah
mendengkur.
“Kalau
kau mengantuk, aku sebenarnya juga ingin tidur. Tapi kupikir-pikir rugi kalau
dalam keadaan seperti ini, berada dekat orang cantik sepertimu aku harus tidur
segala….” Jawab Wiro sambil senyum-senyum.
“Aku
memang sudah dengar tentang kekonyolanmu. Tapi ternyata kau bukan cuma konyol,
malah juga sableng seperti namamu. Bagaimana mungkin dalam keadaan dijepit maut
seperti ini, di kawasan hutan siluman begini rupa kau masih bisa bicara tidak
karuan seperti itu…..”
“Jadi kau
mau tidur ngorok seperti kakek itu. aku juga tidur nyenyak. Lalu kalau siluman
yang datang menyerbu ita mati semua. Enak juga ya mati konyol seperti itu….!”
Dewi
Merak Bungsu terdiam.
“Heiiiii…..”
bisik Wiro.
“Apa
lagi?”
“Kau
tahu, wajahmu cantik sekali. Apa perlunya berdandan tebal-tebal seperti ini?”
Paras
perempuan muda itu menjadi sangat merah karena jengah. “Apa…. Apa betul aku
cantik…..?”
Wiro
mengangguk. Anggukannya ini membuat hidungnya mengusap pipi Dewi Merak Bungsu.
“Dingin sekali dalam goa ini…..” kata perempuan itu. Wiro menggeser tubuhnya lebih
rapat. Tangannya diletakkan di punggung Dewi Merak Bungsu. Perempuan itu diam
saja. Lalu terdengar dia bertanya. “Gadis yang hendak kau tolong itu…. Dia
kekasihmu atau apa…..?”
“Sulit
mengatakan. Mungkin ya, mungkin juga tidak.”
“Mengapa
kau bilang begitu?’
“Soalnya
dia sebenarnya sudah mati. Diracun oleh calon suaminya sendiri.
Kini dia
hidup dalam alam lain…..”
“Keanehan
yang aku tidak mengerti….”
“Lalu kau
sendiri yang kau cari di Kerajaan Siluman ini?”
“Seseorang.
Aku tak ingin membicarakannya sekarang….” Dewi Merak Bungsu balikkan badannya.
Dadanya yang membusung tersingkap lebar. Wiro merasa seperti kesilauan.
Dilihatnya perempuan itu memejamkan kedua matanya.
“Gila,
dia seperti memberikan kesempatan. Apakah aku harus menyianyiakan….?”
Perlahan-lahan
Wiro turunkan kepalanya. Hidungnya menyentuh buah dada perempuan muda itu.
Nafasnya menghangati permukaan dada Dewi Merak Bungsu.
“Wiro,
apakah kita bisa keluar dari tempat celaka ini?”
“Aku tak
tahu Kuntini. Hanya Tuhan yang bisa menolong kita.”
“Aku tengah
berdoa…” bisik perempuan itu.
“Apa
doamu?” tanya Wiro.
“Selain
minta selamat aku juga berdoa kalau berhasil keluar dari tempat ini aku ingin
bersamamu….”
Wiro
mengangkat kepalanya dan menatap paras Dewi Merak Bungsu dengan pandangan
heran. Saat itu dirasakannya degupan jantung perempuan itu mengeras.
Lalu
tangan kanan Dewi Merak Bungsu mengelus kepalanya, mendorong ke bawah hingga
kembali wajah Pendekar 212 menyentuh dadanya.
Ketika
Wiro dan Dewi Merak Bungsu terbangun Kakek Segala tahu masih mengorok. Mereka
tak tahu entah berapa lama mereka tertidur dalam goa itu. Dewi merak Bungsu
merapikan pakaiannya. Lalu membalikkan tubuhnya dan merangkul Pendekar 212. Dia
berbisik hangat. “Tak pernah aku merasakan sebahagia ini….”
Di dalam
goa terdengar suara terbatuk-batuk.
“Kek, kau
sudah bangun?” tanya Wiro.
“Ya…. Ya
aku sudah bangun. Aku terbangun oleh suara-suara getaran pada batu goa. Coba
kalian mengintai keluar. Aku curiga sesuatu tengah terjadi di luar sana…”
Tiba-tiba
di luar terdengar suara mengggelegar keras laksana suara guntur.
Goa di
mana mereka berada terasa goyang. Lalu ada suara teriakan-teriakan mengerikan
dibarengi suara raungan anjing serta tawa cekikikan yang menegakkan bulu roma.
Mendadak semua suara itu sirap. Yang terdengar kini adalah suara orang berucap,
menggelegar dan menggema panjang.
“Tiga
manusia dalam goa keluarlah! Kalian sudah terkurung. Tak mungkin terus
bersembunyi! Tak mungkin keluar hidup-hidup dari dalam Kerajaan Siluman
Tapakhalimun!”
“Suara
itu sama dengan suara orang beberapa waktu lalu….!” Kata Dewi Merak Bungsu
sambil memegang jari-jari tangan Pendekar 212. Keduanya lalu menggeser
batu-batu besar yang menutupi mulut goa.
“Astaga….”
Dewi Merak Bungsu terpekik kecil.
“Apa yang
kalian lihat?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Kek, agaknya
kita memang akan sama-sama mati di tempat ini. Seluruh kawasan telah dikurung
ratusan siluman berbagai bentuk. Mereka berdiri di puncakpuncak batu, di atas
pohon, di seluruh tempat!” suara Wiro bergetar.
Kakek
Segala Tahu menyeruak ke mulut goa. “Apa lagi yang kalian lihat?!” tanyanya
kemudian.
“Cairan
darah mendidih itu lenyap. Tepat di depan kita ada sebuah bukit batu.
Di puncak
bukit ada sebuah tempat duduk memancarkan sinar kuning menyilaukan.
Agaknya terbuat
dari emas. Di atas kursi emas itu duduk seorang berjubah hijau….”
“Kau
mengenali siapa dia…..?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Selain
jauh, dia mengenakan caping. Bagian bawah caping sebelah depan diberi lindungan
kain jarang….” Wiro hentikan ucapannya.
Dewi
Merak Bungsu ganti memberitahu. “Di sekeliling orang yang duduk di kursi emas
itu terdapat enam ekor anjing besar bertaring panjang. Lalu ada dua belas
siluman bersikap sebagai pengawal…. Enam di antaranya siluman perempuan tanpa
pakaian, hanya mengenakan cawat….”
“Sayang
mataku buta! Hingga tak dapat menyaksikan pemandangan bagus itu!” kata Kakek
Segala Tahu. Lalu dia berkata. “Jika ada seorang duduk di kursi emas.
Dikelilingi pengawal binatang dan siluman berarti dialah Raja Siluman, penguasa
di tempat jahanam ini! kalian ingat apa ucapannya beberapa waktu lalu?
Dari
tahta Kerajaan Siluman aku akan menyaksikan dirimu tersiksa dalam ketakutan.
Lalu
blaaam! Baru kubunuh dirimu! Jadi jelas dia memang Raja penguasa hutan siluman
ini!”
“Berarti
satu-satunya jalan untuk selamat adalah kita harus membunuh Raja Siluman itu!”
kata Dewi Merak Bungsu.
“Belum
tentu,” jawab Kakek Segala Tahu.”Siluman tak bisa dibunuh. Mereka bisa
dihancurleburkan tapi kelak akan muncul lagi dlam bentuk semula atau berubah
bentuk. Coba kalian perhatikan orang yang duduk di atas kursi emas itu, apakah
kedua kakinya menginjak batu di bawahnya atau melayang?!”
Wiro dan
Dewi Merak Bungau membuka mata lebar-lebar. “Kedua kakinya memakai kasut. Kasut
itu menempel di batu!” menerangkan Wiro atas apa yang dilihatnya.
“Berarti
dia bukan siluman. Bukan hantu atau setan. Tapi manusia seperti kita juga!
Berarti dia memiliki satu kekuatan sakti luar biasa yang mampu menguasai
kawasan hutan Tapakhalimun serta seluruh isinya…”
Di luar
sana orang berjubah hijau dan duduk di atas kursi keluarkan suara mendengus.
“Keparat, mereka masih berusaha bertahan di dalam goa itu. aku akan berteriak
lagi. Kalau mereka tidak keluar juga akan kulepaskan anjing-anjing siluman!”
Lalu orang ini kempeskan perutnya tanda dia mengerahkan tenaga dalam.
Sesaat
kemudian terdengar suaranya menggelegar. “Pendekar 212! Saatmu habis!
Kalau kau
dan dua kawanmu tidak segera keluar, kami akan datang menjemput!”
“Sebaiknya
kita keluar saja…. Wiro kalau kita mendekat ke tempat penguasa keparat itu,
beritahu padaku setiap apa saja yang kau lihat. Terutama yang ada pada
dirinya,” kata Kakek Segala Tahu. Lalu dia mendahului melangkah ke mulut goa.
Wiro dan
Dewi Merak Bungsu saling pandang. “Kalau aku mati, aku ingin mati bersamamu…..”
bisik perempuan muda itu.
“Kita
tidak akan mati. Tuhan akan menolong kita….” Jawab Wiro.
“Setelah
kita berbuat dosa di goa ini…..?” ujar Dewi Merak Bungsu pula.
“Sssstttt….
Jangan keras-keras. Nanti terdengar oleh orang tua itu,” kata Wiro.
Lalu
ditariknya tangan Dewi Merak Bungsu.
Di atas
kursi emasnya, penguasa hutan siluman rupanya tidak sabaran. Dia menjentikkan
jari-jari tangannya tiga kali berturut-turut. “Jemput mereka! Bawa ke
hadapanku!”
****************
EMPAT BELAS
Tiga ekor
anjing siluman yang perawakannya seram hampir sebesar anak kerbau meraung keras
lalu melompat dan melesat menuruni bukit batu. Hanya dalam beberapa kejapan
saja tiga binatang ini sudah berada di puncak bukit batu di mana goa terletak
dan tiga orang itu baru saja bergeak ke luar.
“Awas
anjing siluman!” teriak Dewi Mreak Bungsu. Namun terlambat.
Sebelum
mereka sempat melakukan sesuatu tiga ekor anjing siluman itu telah menggigit
leher pakaian mereka lalu laksana terbang binatang-binatang siluman ini
melarikan kereka ke arah bukit batu. Sepuluh langkah dari kursi emas tempat si
penguasa duduk ketiga orang iu dijatuhkan di atas batu.
“Ha….
ha….! Tidak kusangka satu di antara kalian ternyata adalah seorang perempuan
cantik!” seru Raja Siluman. “Siapa namamu? Mengapa tersesat ikut pemuda tolol
ini ke sini?”
“Aku Dewi
Merak Bungsu! Aku ke mati mencari seorang bernama Singa Lodra…. Kau telah
menculik dan menyekapnya di tempat celaka ini!”
Enam ekor
anjing siluman menyalak keras. Puluhan siluman lainnya keluarkan jeritan.
Rupanya mereka tidak senang mendengar Dewi Merak Bungsu menyebut tempat itu
sebagai tempat celaka.
Orang di
atas kursi tertawa lebar. “Di sini banyak sekali tawanan. Aku tidak ingat lagi
yang mana bernama Singa Lodra. Apa hubunganmu dengan orang ini?!”
“Dia
kakakku!”
“Ah!
Kalau dia kakakmu, aku pasti akan melepaskannya. Asal kau mau mengikuti segala
kemauanku!”
“Cis!
Siapa sudi turut kemauan siluman macammu! Lekas katakan di mana kau sekap
kakakku itu! juga para tokoh silat lainnya!”
Orang di
atas kursi tertawa bergelak.
Sewaktu
orang itu bicara dengan Dewi Merak Bungsu, diam-diam Wiro berbisik pada Kakek
Segala Tahu. Menceritakan apa yang dilihatnya. “Aku masih belum bisa melihat
tampang keparat itu, Kek. Tapi suaranya aku rasa-rasa pernah mendengar. Dia
mengenakan jubah hijau. Aku yakin di balik jubah ini dia mengenakan jubah
lain….”
“Dengar….”
Balas berbisik Kakek Segala Tahu. “Mata butaku menangkap kilapan sinar putih
berasal dari orang itu. Coba kau perhatikan. Mungkin di pinggangnya dia
menyelipkan senjata mustika, atau memakai kalung permata…. Apa saja. Perhiasan,
batu permata….”
Wiro
memperhatikan dengan teliti. Tak ada kalung, tak ada senjata mustika, juga tak
ada gelang. Tapi! “Kek, aku melihat ada sebentuk cincin aneh di kelingking jari
tangan kanannya. Aku seperti pernah melihat benda ini sebelumnya. Astaga! Ya
Tuhan….. Mana mungkin!”
“Kau
mengenali cincin itu?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Aku
tidak salah lihat! Benda itu dikenal dengan nama Cincin Warisan Setan.
Terbuat
dari baja putih berbentuk kepala ular sendok!”
“O
ladalah! Cincin maha sakti itu! Kau tak salah lihat?!”
“Tidak
Kek. Aku merasa pasti. Itu benar-benar Cincin Warisan Setan.”
Si kakek
gelengkan kepala. “Kau ingat waktu dulu kita merampas cincin bahala itu dari
tangan Randu Ireng sehabis dia diakali oleh Ratu Mesum. Lalu aku sendiri yang
membuang cincin pembawa malapetaka itu ke dalam laut di pantai Selatan. Kenapa
kini muncul dan tahu-tahu berada di tangan orang tak dikenal itu?!
Berarti
cincin itulah yang menjadi kekuatan dirinya untuk menguasai kawasan hutan
siluman ini. apapun yang terjadi kau harus merampas cincin itu Wiro!” (Mengenai
riwayat cincin ini dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul “Cincin
Warisan Setan”)
“Aku akan
melakukannya sekalipun harus mati! Tapi mengapa aku tidak melihat Bunga dan
para tokoh yang katanya disekap di tempat ini?’
“Jangan
bodoh! Penguasa hutan siluman itu tentu saja menyembunyikan mereka agar tidak
mudah dirampas diselamatkan….. Lekas kau bisikkan pada kekasih barumu itu agar
dia ikut bantu merampas cincin itu….”
“Siapa
kau bilang Kek? Kekasih baruku?” ujar Wiro heran.
“Jangan
pura-pura. Kau kira aku tidak tahu kau dan Kuntini saling bercumbuan di dalam
goa?!”
Paras
Pendekar 212 jadi berubah. “Waktu itu bukankah kau sedang tidur ngorok?!”
“Mulutku
yang ngorok tapi telingaku tidak ikut tidur!” jawab Kakek Segala Tahu.
“Sudahlah! Sekarang lekas kau katakan pada Kuntini hal itu. Aku berusaha
menghantam lepas caping dan pelindung muka di kepalanya. Aku kepingin tahu
siapa adanya manusia celaka ini!”
Terhuyung-huyung
Wiro mendekati Dewi Merak Bungsu yang masih bicara dengan orang yang duduk di
atas kursi emas. Lalu dia pura-pura terjatuh dan berpegangan pada Dewi Merak
Bungsu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berbisik. “Kuntini,
usahakan agar kau bisa merampas cincin baja putih di jari kelingking orang
itu…..”
“Aha!
Pendekar 212! Datang mencari mati. Cukup lama aku menunggumu di Pintu Neraka
ini. akhirnya kau muncul juga. Bertahun-tahun mengincarmu, sekarang baru
berahasil! Kecuali kau punya nyawa rangkap maka kau tak akan bisa lolos dari
tempat ini. juga kawanmu tua bangka berbaju rombeng itu!”
“Bagaimana
dengan perempuan ini?!” tanya Wiro.
“Itu
urusanku!”
“Dengar,
aku serahkan dia padamu. Kau boleh berbuat apa saja asal kau lepaskan Bunga dan
biarkan kami meninggalkan tempat ini!”
“Wiro!”
teriak Dewi Merak Bungsu. Di belakang Wiro kakek Segala Tahu juga terdengar
memaki. “Aku tidak menyangka seculas itu hatimu! Pendekar jahat!
Kalau
begitu perbuatanmu lebih baik aku menyerahkan diri sendiri padanya….” Lalu Dewi
Merak Bungsu jatuhkan diri berlutut di hadapan orang bercaping di atas kurisi
emas. Karena keadaanya yang lebih rendah dan tubuhnya agak membungkuk maka
keseluruhan payudaranya yang menggembung besar terlihat jelas. Orang di atas
kursi merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak.
“Dewi
Merak Bungsu, berdirilah….” Kata orang di atas kursi emas. Tangan kirinya
memegang bahu perempuan muda itu. ibu jarinya mengusap pangkal payudaranya.
Sedang tangan kanan mengusap wajah perempuan yang cantik. Dewi Merak Bungsu
usap jari-jari tangan orang itu, menekapnya dengan kedua tangannya sambil
pejamkan mata seolah-olah menikmati tangan kukuh dan hangat itu. lalu
mendekatkan tangan itu ke wajahnya, diusapkan berulang kali di wajahnya yang
cantik itu. kemudian perlahan-lahan didekatkannya ke hidungnya seperti orang
hendak mencium tangan itu dengan mesra.
Orang di
atas kursi yang terangsang oleh kemesraan itu sama sekali tidak menyangka apa
yang sebentar lagi akan terjadi. Tiba-tiba Dewi Merak Bungsu memasukkan jari
tangan kelingking orang itu ke dalam mulutnya.
“Hai!”
teriak orang di atas kursi kaget dan terlonjak dari tempat duduknya.
“Craaassss!”
Jari
kelingking orang berjubah hijau putus dan masuk ke dalam mulut Dewi Merak
Bungsu bersama cincin Warisan Setan yang terbuat dari baja putih itu!
“Perempuan
jahanam! Muntahkan cincin itu ata kau akan mampus!” teriak orang berjubah.
Tangan kirinya yang berlumuran darah dengan cepat memencet kedua pipi Dewi
Merak Bungsu hingga mulut perempuan ini terbuka dan cincin serta potongan jari
yang ada dalam mulutnya hampir tersembul ke luar. Namun sebelum orang itu bisa
mengambil cincin dalam mulut, Wiro dan Kakek Segala Tahu sudah menggebrak.
Si kakek
lemparkan capingnya ke arah kepala orang yang tengah mencekal Dewi Merak
Bungsu. Di saat yang sama Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di tangan Wiro
menderu laksana ribuan tawon mengamuk, menghantam ke arah pinggang orang
berjubah hijau. Sinar putih panas berkilat!
“Kurang
ajar!” teriak si jubah hijau. Dia segera berteriak! “Semua mahluk di Kerajaan
Siluman! Lekas bunuh ketiga orang ini!”
Biasanya,
sekali memerintah saja semua siluman yang ada di tempat itu akan melesat
terbang melakukan apa yang dikatakannya. Tapi aneh. Saat itu semua mahluk
menyeramkan itu tetap diam di tempat masing-masing, hanya mengeluarkan suara
halus seperti orang merintih. Di kejauhan secara aneh terdengar suara orang
menangis.
“Cincin
itu! aku tak mampu menguasai mereka lagi tanpa cincin itu!” Orang berjubah
sadar apa yang terjadi. Sekali lagi dia masih berusaha mengambil cincin baja
putih dari dalam mulut Dewi Merak Bungsu. Tapi tak berhasil. Dalam pada itu dua
serangan datang menyambar. Tak ada kesempatan lagi. Dia harus melepaskan Dewi
Merak Bungsu lalu memilih apakah akan menghidari sambaran Kapak Maut Naga Geni
212 atau menyelamatkan kepalanya dari hantaman caping yang dilemparkan Kakek
Segala Tahu. Orang ini memilih selamat dari serangan pertama.
Sambil
melepaskan cengkeramannya dari muka Dewi Merak Bungsu dan melompat menghidari
sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 si jubah hijau ini balas menghantam ke arah
Kakek Segala Tahu.
“Braaaakkk!”
Caping
yang dilemparkan Kakek Segala Tahu menghantam caping di atas kepala orang itu.
hingga kepala dan wajahnya tersingkap. Sebaliknya pukulan yang dilepaskannya
membuat udara menjadi redup, lalu tiga larik sinar kuning, hitam dan merah
menyambar ganas ke arah Kakek Segala Tahu.
“Pangeran
Matahari!” teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali wajah orang berjubah hijau
di hadapannya. “Jahanam! Kau rupanya!” Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke
depan.
Kakek
Segala Tahu sewaktu mendapatkan serangan pukulan “gerhana matahari” dari orang
berjubah yang bukan lain adalah Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212
Wiro Sableng, cepat melompat mundur dan kibaskan tongkat kayu bututnya dalam
gerakan setengah lingkaran.
“Kraaakkk!”
Tongkat
kayu itu patah dan hancur berkeping-keping. Tapi si kakek selamat dari pukulan
sakti yang sangat mematikan itu! Menyadari siapa yang tengah dihadapi Wiro,
orang tua ini segera bergabung menyerbu manusia durjana terlahir bernama
Pangeran Anom, berjuluk Pangeran Matahari itu.
“Kurang
ajar! Tak mungkin aku menghadapi mereka berdua sekaligus!” rutuk Pangeran
Matahari dalam hati. Lalu berteriak. “Pendekar 212! Kali ini aku gagal lagi!
Tapi
ingat! Aku akan terus memburumu! Mengincar nyawamu!” habis berkata begitu
Pangeran Matahari lemparkan sebuah benda ke tanah.
“Wussss!”
Asap
hitam pekat membumbung ke udara menutup pemandangan. Ketika asap itu lenyap,
Pangeran Matahari tidak kelihatan lagi.
Dewi
Merak Bungsu keluarkan potongan jari kelingking dan Cincin Warisan Setan dari
mulutnya. Dia meludah berulang kali dan keluarkan suara seperti orang mau
muntah. Cincin yang ada dalam genggaman tangan kirinya diserahkan pada Kakek
Segala Tahu.
“Benda
pembawa malapetaka…..” kata si kakek. Ketiga orang itu memandang berkeliling.
Semua siluman hutan Tapakhalimun tak satupun beranjak di empat masing-masing.
Mereka merundukkan kepala dan keluarkan suara seperti orang merintih.
“Kek…..”
kata Wiro. “Kalau memang cincin itu yang dipergunakan Pangeran Matahari untuk
menguasai mereka, berarti kau juga bisa mempergunakannya untuk melakukan
sesuatu…..”
“Apa yang
akan kulakukan? Menjadi Raja di Kerajaan Siluman ini?”
“Aku
tidak melihat Bunga….”
“Kakakku
Singa Lodra juga tak nampak. Jangan-jangan mereka semua sudah dibunuh….” Kata
Dewi Merak Bungsu.
Kakek
Segala Tahu tanggalkan cincin baja berbentuk kepala ular sendok itu dari
potongan jari Pangeran Matahari. Lalu diusap-usapnya beberapa kali. Dia berkata
perlahan. “Cincin sakti. Kalau kau memang mempunyai kekuatan untuk menguasai
hutan siluman dan seluruh isinya, tunjukkan padaku!” Si kakek lalu memandang
berkeliling. “Siluman hutan Tapakhalimun! Kalian semua berada dalam
kekuasaanku!
Lekas
tunjukkan di mana para tahanan disekap. Bawa mereka semua ke mari!”
Semua
siluman menyeramkan berbagai bentuk yang ada di tempat itu keluarkan suara
jeritan keras. Enam anjing siluman menyalak panjang. Mereka lalu berkelebat
lenyap. Tak lama kemudian kembali muncul membawa sembilan sosok tubuh yang
kesemuanya berada dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.
“Bunga!”
teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali Bunga, gadis yang selama ini hidup
dalam alam gaib tapi tak berdaya di bawah kekuasaan siluman. Pemuda ini memburu
dan berusaha membuka ikatan di tubuh Bunga. Tapi tak bisa.
Dewi
Merak Bungsu memandang berkeliling, mencari-cari. Lalu dilihatnya Singa Lodra.
“Kakak!” jerit gadis ini seraya lari lalu menjatuhkan diri di atas tubuh
seorang lelaki paruh baya bertelanjang dada dan tubuhnya penuh bekas cambukan.
Perempuan
ini juga tak mampu membuka ikatan di tangan dan kaki kakaknya.
“Kek,
pergunakan kekuatan cincin itu! perintahkan siluman untuk membuka tali-tali
ikatan para tawanan!” teriak Wiro.
“Kalian
dengan ucapan itu! lakukan perintah! Buka ikatan para tawanan!” kata Kakek
Segala Tahu. Lebih dari duabelas siluman segera bergerak membuka ikatan yang
mengikat tangan serta kaki sembilan tawanan. Begitu ikatannya terlepas Bunga
segera memluk Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau
datang juga akhirnya Wiro…. Aku sudah putus asa. Mengira tak akan bisa keluar
dari hutan siluman ini. Tak bisa kembali ke alamku. Terima kasih Wiro…. Aku tak
apa-apa. Darah ini hanya darah yang disemburkan mahluk-mahluk itu sewaktu
menakuti diriku. Pangeran Matahari sengaja tidak mencelakaiku untuk memancing
dirimu masuk ke tempat ini…. Terima kasih Wiro….”
“Berterima
kasih pada dua sahabatku itu. Kakek Segala Tahu dan Dewi Merak Bungsu….” Kata
Wiro sambil melepaskan pelukannya karena saat itu dia melihat beberapa orang
yang dikenalinya diantara tokoh-tokoh silat yang jadi tawanan. Datuk Harimau
Gunung Merapi, Dewa Pedang dari Timur. Lalu Pendekar Tongkat Gading dan
tiba-tiba matanya membentur sosok tubuh yang luar biasa besarnya itu.
“Raja
Penidur!” teriak Wiro lalu dia melompat ke arah orang tua berbobot lebih dari
200 kati. Manusia gemuk luar biasa ini adalah seorang tokoh silat paling
dihormati dalam usianya yang lebih dari 160 tahun.
Raja
Penidur menggosok-gosok matanya.
“Hah, kau
rupanya. Murid si nenek jelek dari puncak Gunung Gede itu!” kata Raja Penidur
sambil ucak-ucak kedua matanya lalu menguap lebar-lebar. “Heh…. Aku rasanya
kenal pada kakek jelek berbaju tambalan di sampingmu ini. Bukankan dia manusia
yang dijuluki si Segala Tahu itu?”
Kakek
Segala Tahu membungkuk lalu tertawa mengekeh sambil membetulkan capingnya yang
jebol akibat dipakai untuk menghantam caping Pangeran Matahari tadi.
“Mereka
mengambil pipaku! Tolong kalian carikan pipaku! Sementara aku mau tidur dulu!
Awas kalau ada yang berani membangunkan!” Raja Penidur menguap lebar-lebar.
Kedua matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suaranya mengorok.
Wiro
tiba-tiba ingat sesuatu lalu ia berteriak. “Ada satu siluman menolongku dua
kali! Aku tidak melihat dia di antara kalian! Bawa dia kemari cepat!” Sambil
berteriak Wiro ikut memgang cincin baja di tangan Kakek Segala Tahu.
Beberapa
siluman kelihatan sibuk dan lenyap. Tak lama kemudian mereka muncul lagi
membawa siluman yang dimaksudkan oleh Wiro itu. telinga dan lidahnya masih
ditancapi besi runcing. Kedua kakinya diikat dengan besi panas. Dewi Merak
Bungsu dan Bunga mengerenyit ngeri melihat keadaan siluman satu ini. Apa lagi
lehernya bolong dan kedua matanya hampir copot!
“Aku
mengerti, mungkin dia punya kesalahan hingga kalian menghukumnya seperti ini!
tapi sejak saat ini kalian harus membebaskan dirinya! Siapa berani menyiksanya aku
sate tubuhnya dengan besi panas dari pantat sampai ke mulut!”
Dua orang
siluman bertubuh tinggi besar mendekati siluman yang satu itu.
mereka
segera mencabut besi runcing dari lidah dan kepalanya. Lalu juga memutus rantai
besi panas. Begitu bebas siluman satu itu lantas menjatuhkan diri dan berlutut
di hadapan Wiro.
“Bagaimana
kita harus keluar dari tempat ini?!” terdengar Dewi Merak Bungsu bertanya
sambil memapah kakaknya.
“Pergunakan
kekuatan Cincin itu!” kata Bunga seraya melangkah mendekati Wiro dan memeluk
sang pendekar.
“Ah, kau
betul!” kata Kakek Segala Tahu. Lalu diusapnya cincin berbentuk kepala ulat
sendok itu. “Siluman hutan Tapakhalimun! Kami tak mau diganggu dan juga tak
ingin mengganggu kalian. Kami ingin keluar dari tempat kalian. Bawa kami keluar
sampai di depan Pintu Neraka!”
Semua
siluman yang ada di tempat itu bersorak keras. Lalu mereka melayang kian
kemari. Tahu-tahu semua orang yang ada di tempat itu telah melayang di udara,
digotong beramai-ramai. Kakek Segala Tahu di depan sekali, menyusul si gemuk
Raja Penidur dan beberapa tokoh silat lainnya. Setelah itu Bunga, lalu Dewi
Merak Bungsu dan kakak lelakinya dan terakhir sekali Pendekar 212 Wiro Sableng.
Yang
menggotong dan membawa Wiro melayang justru adalah enam orang siluman perempuan
yang hanya mengenakan cawat. Payudara mereka yang sebesar buah kelapa
bergundal-gadil kian kemari. Ada yang sempat menampar dan menyapu wajah atau
tubuh murid Sinto Gendeng itu. Masih melayang di udara tiba-tiba Wiro
berteriak.
“Kurang
ajar! Siapa yang meraba selangkanganku!”
Enam
siluman perempuan itu menyeringai lalu bersorak ramai. “Ah, sudahlah.
Lebih
baik memberi sedekah sedikit sekarang dari pada kemudian hari mereka
gentayangan mencariku!” kata Pendekar 212 dalam hati lalu pejamkan kedua
matanya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment