Episode
Bujang Gila Tapak Sakti
Bujang
Gila Tapak Sakti
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***************
SATU
Angin
malam bertiup dingin. Tanpa desau dan tak mampu menimbulkan suara gemerisik
pada daun-daun pepohonan di puncak gunung Mahameru. Biasanya kesunyian yang
dibalut udara dingin ini akan berlangsung sampai menjelang pagi ketika
burung-burung atau binatang hutan lainnya mulai mengeluarkan suara menyongsong
terbitnya sang surya. Namun sekali ini baru saja beberapa saat lewat tengah
malam tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh langkah-langkah aneh yang datang dari
lereng sebelah selatan. Suara itu bukan suara kaki-kaki kuda. Di antara suara
langkah yang terus menurut itu sesekali terdengar suara orang tertawa. Manusia
gila dari mana yang tertawa di malam buta di puncak gunung yang gelap dan
dingin begitu rupa?
Suara
dalam kegelapan itu bergerak ke arah puncak gunung. Tak lama kemudian
samar-samar kelihatan satu pemandangan yang sulit dipercaya. Suara
langkah-langkah kaki tadi ternyata adalah suara langkah kaki seekor keledai
bertubuh pendek dan kurus. Binatang ini bergerak menembus kegelapan malam dan
dinginnya udara. Di atas gigih tubuhnya yang kurus dan pendek itu sungguh
kontras tampak duduk seorang bertubuh gemuk luar biasa. Orang ini mengenakan
celana hitam yang sangat komprang tapi karena tubuhnya yang luar biasa gendut
itu maka celana besar itu tetap saja kesempitan. Begitu juga baju putihnya yang
besar dan tak dapat dikancing hingga dada dan perutnya yang gembrot tersembul
keluar.
Si gemuk
ini memiliki sepasang mata sipit sedang rambutnya yang berwarna putih disanggul
di atas kepala. Melihat keadaan rambutnya jelas dia sudah berusia lanjut.
Dengan
berjalan kaki saja seorang akan mengalami kesulitan untuk mendaki gunung
Mahameru apalagi menunggang keledai kurus kecil seperti itu. Dan penunggangnya
memiliki bobot gemuk luar biasa pula, lebih dari 200 kati! Namun keledai dan
penunggangnya itu kelihatan enak saja mendaki dan bergerak menuju puncak gunung
Mahameru. Malah si gendut ini menunggangi binatang itu sambil tertawa-tawa. Di
punggungnya dia memanggul sebuah karung besar yang entah apa isinya. Yang jelas
isi karung itu kelihatan tiada henti-hentinya bergerak-gerak. Sesekali
terdengar suara bergedebuk, seolah-olah ada seorang yang menendang atau meninju
dari dalam karung itu. Sebaliknya si genut ini tetap saja tenang-tenang di atas
punggung keledainya seolah tak ada terjadi apa-apa dan gayanya seperti orang
yang tengah berjalan sambil memperhatikan pemandangan indah di sekelilingnya,
padahal saat itu malam gelap gulita dan dinginya udara menembus jagat dan
daging sampai ke tulang belulang. Malah kemudian setiap terdengar suara gedebuk
dia keluarkan tawa mengekeh.
“Gebukanmu
kurang keras. Tendanganmu kurang kencang! Aku seperti digelitik saja! Ayo
gebuk, pukul lebih kuat! Ha….ha…..ha…..!” si gendut berkata lalu menutup
ucapannya dengan suara tawa membahana di seantero lereng gunung di mana dia
berada.
Hebatnya,
semakin tinggi ke atas gunung semakin cepat langkah keledai pendek dan kurus
itu. Si gendut yang menungganginya kini malah tampak cengengesan sambil
bersiul-siul kecil. Saat itulah terlihat ada keanehan lain. Manusia gemuk ini
nukan benar-benar duduk menunggang di atas punggung keledai. Tapi ternyata
pantatnya hanya sekedar menempel saja karena kedua kakinya yang besar berat
menjejak tanah! Jadi dia hanya mengepit tubuh binatang tunggangannya sedang kedua
kakinya melangkah lincah sambil menjepit dan membimbing langkah si keledai.
Semakin
jauh dan tinggi ke atas semakin keras dan sering gerakan-gerakan benda di dalam
karung. Gebukan dan tendangan semakin sering menimpa tubuh orang gemuk berambut
putih itu. Namun dia tetap anteng-anteng saja. Akhirnya bersama keledainya dia
sampai di puncak sebelah timur gunung Mahameru. Meski dari kawah keluar uap
yang menyebar hawa panas, tetapi di tempat di mana si gendut dan keledainya
berada udara terasa sangat dingin. Keringatnya yang membasahi tubuh di gendut
seolah telah berubah sedingin es! Gilanya seperti tidak merasakan udara dingin
yang bisa membuat orang beku itu, si gendut mulai menyanyi-nyanyi kecil sambil
menurunkan karung besar yang sejak tadi dipanggulnya lalu melemparkannya ke
tanah.
Dari
dalam karung terdengar suara yang tidak jelas. Seperti mengeluh dan mengomel.
Tiba-tiba karung yang berisi benda yang selalu bergerak itu bergulingan ke arah
si gendut. Apapun benda yang ada di dalamnya, gerakan berguling itu bukan
gerakan biasa. Benda apa saja yang kena ditabraknya pastilah akan mengalami
cidera berat.
Si gendut
di atas punggung keledai sesaat mengernyitkan kedua matanya yang sipit. Lalu
dia mengumbar suara tertawa panjang. “Dasar anak gendeng! Dibungkus dalam
karung saja kau masih hendak melawan! Tidak tahu kesalahan! Tidak sadar telah
berbuat dosa besar! Kau tunggu saja! Sebentar lagi kau akan terima hukumanmu!”
Habis mengomel seperti itu manusia gendut ini lalu tertawa gelakgelak. Sungguh
aneh! Sedang marah atau sedang bagaimanakah dia ini sebenarnya.
Sementara
itu karung yang berguling menyambar ke arah si gendut mengeluarkan suara
menderu. Si gendut gerakkan kedua kakinya. Tubuhnya secepat kilat berputar
aneh. Keledai yang ditungganginya juga ikut berputar. Buntalan karung lewat
satu jengkal di sampingnya lalu menghantam sebatang pohon.
Braaak!
Batang
pohon itu mengeluarkan suara berderak. Kulit luarnya hancur berkeping-keping.
Dari dalam karung terdengar suara seperti orang merintih tapi juga seperti menggerendeng!
Si gendut
tertawa memecah kesunyian. Dia tampak turun dari keledainya padahal sebenarnya
dia hanya melangkah mundur lalu bergerak mendekati karung yang terhampar tak
jauh dari pohon yang barusan ditabraknya. Dia membungkuk membuka tali ikatan karung
lalu dengan gerakan cepat dia menarik ke atas bagian bawah karung hingga apa
yang menjadi isinya menggelinding jatuh ke tanah. Dan astaga!
Ternyata
yang keluar dari karung itu adalah sosok tubuh seorang anak lelaki berusia
sekitar 10 tahun. Tak kalah hebatnya dengan lelaki gendut berpakaian sempit itu
si anak juga memiliki badan luar biasa gemuknya. Dia hanya mengenakan sehelai
cawat hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut kelihatan jelas
menggelembung. Saking gendut anak ini kelihatan seolah-olah tak berleher. Dagu
dan dadanya menggempal jadi satu. Anehnya wajah dan tubuhnya tampak
berkeringatan padahal udara di tempat itu dingin luar biasa!
Keningnya
kelihatan benjut. Mungkin ini akibat benturan dengan batang pohon tadi. Jika
batang pohon bisa hancur sedang si anak Cuma benjut keningnya jelas ada satu
kehebatan pada dirinya.
Dengan
sepasang matanya yang besar anak ini memandang marah pada orang di depannya.
Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan terdengar suara tidak jelas seperti suara
orang gagu. Tubuhnya yang terhampar di tanah bergerak bangkit seperti mencoba
hendak duduk. Tapi tubuh itu kemudian roboh kembali. Sepasang tangannya
meninju-ninju sedang kedua kakinya yang besar menendang-nendang. Si anak
keluarkan suara menggerung dari tenggorokkannya.
“Buntalan
jelek bau apek! Ha….ha….ha….! Ayo menarilah terus! Ha…ha…ha…!” Si gendut
bermata sipit mengejek dan tertawa gelak-gelak.
Sebaliknya
si gendut bermata besar tampak beringas. Dia julurkan lidahnya lalu tiba-tiba
sekali tubuh itu menggelinding cepat ke arah orang yang menertawainya. Kedua
kakinya berkelebat demikian rupa. Walau gerakan kedua kakinya jelas kaku namun
dari derasnya suara angin jelas gerakan anak ini mengandung tenaga yang
berbahaya. Apabila setengah jalan menyusul kedua tangannya ikut bergerak.
“Bocah
edan!” teriak teriak si gendut yang diserang. Dia mengomel tapi kemudain
tertawa mengekeh. Dengan sekali bergerak saja dia berhasil mengelakkan serangan
si anak. Tetapi sebelum dia sempat berbalik tahu-tahu bocah gendut itu telah
berputar lebih dulu dan kembali bergulingan menyerbunya!
Bukkk!
Satu
tendangan menghantam lekukan kaki tapat di belakang kedua lutut si gendut. Tak
ampun lagi tubuh yang berat besar itu ambruk jatuh duduk di tanah.
Jatuh
bergedebruk si gendut tampak sangat marah tapi lagi-lagi aneh. Dari mulutnya
yang terdengar bukan suara caci maki malah suara tertawa bergelak!
Tapi
tiba-tiba sekali tubuh yang menjelepok di tanah itu berputar, lalu melesat dan
tahu-tahu tanagn kanan si gendut sudah menjambak rambut anak lelaki gemuk
bercawat itu dan plak-plak. Tangan kirinya menampar pipi kiri kanan si anak!
Yang
ditampar sama sekali tidak kelihatan kesakitan malah mulutnya menyunggingkan
seringai. Tiba-tiba dia mengulurkan lidahnya panjang-panjang. Mencibir
mengejek!
Plak!
Si gendut
berambut putih tampar satu kali lagi pipi anak itu. Kali ini si bocah tidak
tinggal diam. Dengan gerakan kaku dia sentakkan kepalanya hingga jambakan si
gendut terlepas. Lalu secepat kilat anak ini susupkan kepalanya ke selangkangan
orang. Si gendut menjerit keras sewaktu ada yang menggigit salah satu bagian
rahasia di bawah perutnya!
“Putus
burungku!” jerit si gendut seraya melompat mundur. Di bawah sebatan pohon dia
tanggalkan celana lalu membulak-balik, menarik-narik memeriksa.
“Ah…. ”
dia menarik nafas lega. “Untung masih utuh ! Anak gila!” Si gendut memaki
seraya berpaling pada anak lelaki yang saat itu terduduk di tanah. “Dalam
keadaan tertotok saja dia masih mampu bergerak, memukul dan menendang. Bahkan
sempat-sempatnya hendak menggigit perkututku! Aku harus mengakui bocah sedeng
ini memang luar biasa! Kalau saja dia tidak membuat kesalahan besar
rasa-rasanya mau aku mengambilnya jadi murid…..” Si gendut memutar tubuh,
melangkah mendekati anak itu. “Santiko bocah sialan! Aku terpaksa menjatuhkan
hukuman sekarang juga!”
“Ha….huk….hak….huk!”
Keluar suara seperti orang gagu dari mulut anak lelaki sepuluh tahun yang hanya
mengenakan cawat itu. Rupanya dia berusaha mengetakan sesuatu. Tapi karena
dirinya berada dalam keadaan tertotok maka dia tidak bisa mengucapkan apa-apa.
Si gendut bermata sipit tidak perdulikan gelagat itu, dia kembali menjambak
rambtu si anak. Yang dijambak coba meronta lepaskan diri tapi si gendut tidak
mau memberi kesempatan lagi. Dengan cepat dia berkelebat. Seperti melayang
bocah gembrot itu ditentengnya menuju puncak gunung. Di satu tempat yang agak
datar dia berhenti dan memandang berkeliling. Kemudian dilihatnya apa yang dicarinya
yaitu dua buah batu hitam seperti sepasang tonggak menancap di tanah. Si gendut
membawa bocah itu ke arah dua tonggak batu ini. Di antara celah dua batu
kelihatan mengepul asap putih yang membersitkan hawa dingin sekali. Walaupun
mempunyai daya tahan luar biasa ternyata si gendut masih sempat bergumam
kedinginan. Dia katupkan rahangnya kuat-kuat agar gigi-giginya tidak
bergemeletakan.
***************
DUA
Berdiri
di antara dua buah batu hitam si gendut memandang tajam-tajam ke bagian tanah
di antara celah dua batu. Dia coba menembus lapisan asap putih dingin yang
terus-terusan menebar di tempat itu. Matanya berhasil melihat sebuah lobang di
tanah antara dua batu hitam. Rupanya dari sinilah sumber asap putih yang dingin
luar biasa itu keluar.
Si gendut
cekal leher bocah bercawat dan menyeretnya ke dekat lobang.
“Ha….huk….ha…..huk…..huk!”
Si bocah kembali keluarkan suara.
Si gendut
tertawa lebar. Dia mengusap dagunya sesaat lalu berdiri di tepi lobang. “Anak
sableng! Sebagai orang hukuman kau masih layak mengatakan sesuatu sebelum
hukuman dijatuhkan. Ucapkan apa yang hendak kau katakan!”
Lalu si
gendut ini bungkukkan badannya, mulutnya didekatkan ke salah satu bagian leher
si bocah, lantas dia meniup. Begitu angin tiupan menyambar leher si bocah,
jalan suaranya yang tertotok jadi terbuka dan si bocah itu langsung bisa
bicara. Sungguh ini merupakan kepandaian luar biasa. Melepaskan totokan hanya
dengan jalan meniup! Umumnya orang di dunia persilatan akan mempergunakan
jari-jari tangan untuk memusnahkan totokan. Siapakah sebenarnya si gendut aneh
ini?
“Ayo ha
huk ha huk! Totokanmu sudah kulepas! Lekas bicara kalau ada yang mau kau
bilang! Kalau tidak akan segera kupendam kau dalam lobang inti es itu!”
Sesaat
anak usia sepuluh tahun bernama Santiko itu menatap berang pada si gendut
bermata sipit. Kedua matanya yang besar seperti dikobari api kemarahan.
Kemudian perlahan-lahan tatapan garang itu mengendur, wajahnya yang keringatan
kelihatan seperti redup.
“Anak
aneh!” membatin si gemuk. “Bagaimana bisa di udara yang begini dingin, dekat
lobang inti es dia masih saja keringatan. Padahal aku hampir mati kedinginan!”
“Pamanku
tolol!” tiba-tiba keluar ucapan itu dari mulut si anak yang membuat di gendut
di hadapannya jadi melengak.
“Sialan!
Apa katamu?”
“Pamanku
tolol!” mengulang si bocah tanpa rasa takut mendengar bentakan dan melihat
tampang orang yang marah besar. “Sebetulnya apa salah saya sampai paman hendak
memendam diri saya dalam lobang inti es itu?”
“Dasar
anak tak tahu diri! Goblok, sableng dan gendeng! Kau masih bertanya apa
salahmu! Gila! Apa masih perlu kusebutkan?!”
“Sebutkan
saja paman, biar lebih jelas.”
“Baik!”
jawab si gendut dengan nada berang tapi kembali dari mulutnya terdengan suara
tertawa bergelak. “Aku akan katakn biar jelas apa kesalahanmu! Hingga kalaupun
kau mati dalam lobang inti es ini kau tidak akan mampus penasaran! Ha…ha…ha….!”
“Sudah.
Bilang cepetan. Aku bosan mendengar suara tawamu!” kata bocah gemuk bernama
Santiko.
Si gendut
di hadapannya tetap saja mengumbar tawa. Tiba-tiba suara tawanya lenyap,
berganti dengan bentakan.
“Anak
setan! Kau telah melakukan kesalahan maha besar! Kau mencuri peralatan gamelan
Keraton. Sultan sangat marah. Gamelan pusaka tidak bisa dimainkan lagi. Padahal
perayaan Sekaten hanya tinggal beberapa minggu lagi! Nah sekarang kau tahu apa
kesalahanmu! Apa dosamu!”
Santiko
tampak tenang saja. Lalu dia berkata. “Ah, rupanya masalah peralatan gamelan
itu yang jadi biang kerok! Tolong paman katakan, sebenarnya peralatan apa yang
saya curi?”
“Anak
iblis! Mulutmu ternyata licik! Sudah mencuri kau masih bertanya apa yang kau
curi ! Kau memang pantas dipendam dalam lobang inti es itu ! ” “Kalau paman
tidak mau mengatakan benda apa yang kucir ya sudah ! Pendam saja saya
cepat-cepat dalam lobang inti es itu!”
Si gendut
tertawa bergelak. “Betul, memang betul! Sebaiknya kupendam saja kau saat ini
juga! Tapi biar kuberi kesempatan lagi! Ada yang masih hendak kau katakan?!”
“Ya….”
“Apa?!”
“Kau
memang paman tolol!”
“Bocah
sialan!” Si gendut dalam marahnya mengangkat tangan kanannyatinggi-tinggi. Siap
menggebuk kepala si bocah, yang hendak digebuk tenang-tenang
saja
malah ulurkan lidah mencibir! Melihat hal ini si gendut turunkan tangannya dan
tertawa terkekeh-kekeh. “Apa alasanmu mengatakan aku tolol?” tanya si gendut.
“Karena kau tidak mau mengatakan benda apa yang aku curi? Padahal
sebenarnya
kau sendiri tahu apa yang aku curi! Jadi kau tolol!” “Kalau begitu kita berdua
tolol. Paman dan keponakan sama-sama tolol!”
menyahuti
si bocah. Plak! Satu tamparan melayang di pipi kanan Santiko hingga anak ini
terpelanting
dan
tersandar ke salah satu tiang batu dekat lobang yang mengeluarkan kepulan asap
putih.
“Sakit!” tanya si gendut. “Lumayan….” jawab Santiko seenaknya yang membuat
orang yang bertanya
jadi
kembali tertawa membahak.
“Bocah
sialan! Biar saat ini kukatakan padamu apa yang telah kau curi. Kau mencuri
bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog. Itu adalah dua peralatan
tabuhan gamelan yang sangat penting. Tanpa dua benda itu gamelan pusaka Keraton
tidak mungkin dimainkan! Nah kau sudah dengar apa yang aku bilang! Kau mencuri
dua buah bonang!”
“Hanya
dua buah kentongan besi itu yang saya curi. Bukankah masih banyak bonang-bonang
yang lain? Mengapa sampai geger begitu?”
“Anak
setan! Kalau tidak mengingat siapa ibumu sudah kupatahkan batang lehermu saat
ini juga!” teriak si gendut hampir berteriak lalu tertawa bergelak. “Coba kau
katakan, mengapa kau mencuri dua buah bonang itu?’
“Saya
Cuma iseng saja paman….”
“Mencuri
dua buah bonang pelengkap gamelan kramat kau katakan iseng! Anak sialan!
Ha…ha….ha…..! Hai! Katakan pada siapa dua buah bonang itu kau berikan?”
Si bocah
tidak menjawab.
“Tak kau
katakanpun aku sudah tahu!” si gendut menjawab sendiri.
“Kalau
paman sudah tahu mengapa musti bertanya?”
“Aku
hanya memeriksa. Betul dua buah bonang pusaka itu kau berikan pada janda muda
dan cantik bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka?!” Si bocah tertawa gelak-gelak.
“Anak setan! Kenapa kau tertawa!” bentak si gendut.
“Paman
ingat sekali nama panjang perempuan itu! Hik…..hik! Pasti ada apaapanya.”
“Setan!
Jangan kau berani bicara kotor!”
“Rupanya
apa yang Nyi Bulan Seruni benar. Banyak orang lelaki di dalam dan di luar
Keraton tergila-gila padanya. Katanya, salah satu dari mereka adalah paman
sendiri! Hik…..hik…..hik!”
“Kau
benar-benar anak setan! Perempuan itu bukan pasanganku! Usiaku hampir delapan
kali usianya!”
“Apakah
itu menjadi soal? Maklum saja lelaki sekarang. Makin tua makin menjadi. Kambing
tua mana yang tidak doyan rumput segar? Hik….hik…..hik!”
“Edan!
Jadi kau samakan aku dengan kambing tua?!” teriak si gendut marah. Tapi pada
akhir ucapannya dia tertawa gelak-gelak. “Anak setan, mangapa kau mencuri dua
bonang pusaka itu lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan Seruni Pitaloka?”
“Dia
meminta tolong kepada saya untuk mengambilkan dua bonang itu. Mana saya tega
menolak….”
“Diberi
hadiah apa kau olehnya? Pati kau diajak tidur!”
Santiko
menyeringai. “Mauku sih begitu, tapi Nyi Bulan bilang aku masih kecil. Nanti
saja sepuluh tahun lagi katanya! Hik…hik…hik…..” Anak itu tertawa gelak-gelak.
Si gendut
juga ikut-ikutan tertawa.
“Sepuluh
tahun lagi! Kalau kau masih hidup! Mungkin kau sudah keburu mampus dalam lobang
inti es itu!”
“Kalau
begitu kau bisa mewakili saya mendapatkan hadiah itu….”
Si gendut
kembali tertawa mengekeh mendengar kata-kata Santiko itu. Lalu dia diam dan
bertanya. “Kau sudah siap untuk kupendam?!”
“Sudah
sejak tadi paman. Inilah hari sangat bersejarah….”
“Eh,
bersejaah bagaimana maksudmu?!”
“Hari ini
seorang paman hendak memendam hidup-hidup keponakannya sendiri dalam lobang!
Rasanya belum pernah terjadi di dunia ini….Hanya gara-gara dua buah bonang!”
“Anak
sialan! Kau bisa berkata begitu! Dua bonang itu bukan alat tetabuhan biasa.
Pusaka keramat turunan penguasa Kerajaan! Atau kau mungkin lebih suka penguasa
Keraton sendiri yang akan menabas batang lehermu?”
“Dua buah
bonang besi yang tak lebih dari kentongan biasa. Apa sulitnya membuat dan
menggantikannya dengan yang baru? Bukankah banyak ahli pembuat gamelan di tanah
Jawa ini?”
“Jangan
bodoh! Gamelan pusaka itu bukan buatan manusia. Tapi dibuat dan dikirmkan oleh
para dewa dari swargaloka.”
“Paman percaya
hal itu?” tanya Santiko.
“Eh!” si
gendut tergagu, sesaat jadi terdiam.
“Kalau
tak bisa membuat yang baru, mengapa tidak mencari saja yang kini memegangnya
yaitu Nyi Bulan Seruni ? ”
“Dia mana
mau mencari perempuan itu. Kabarnya dia tinggal di dasar lautan dan sering
tetirah di langit ke tujuh!”
“Percuma
saja paamn digelari Dewa Ketawa. Bisanya Cuma ketawa. Cobalah memutar otak
sedikit.”
“Anak
setan! Kau yang berbuat jahat, aku yang kau suruh susah! Sudah! Jangan banyak
bicara lagi. Sebelum kupendam aku tetap ingin tahu alasanmu yang sebenarnya
mengapa kau mau-mauan mencuri bonang-bonang itu lalu menyerahkannya pada Nyi
Bulan.”
“Sudah
saya bilang janda cantik itu minta tolong. Karena merasa tidak ada susahnya,
saya menyelinap masuk Keraton dan mengambil dua benda yang dimintanya itu.”
“Aku
tidak percaya! Semudah itu kau mau mengerjakan apa yang dimintanya….”
“Baiklah.
Akan saya katakan. Dua buah bonang itu berbentuk seperti sepasang payu dara
perempuan. Nah saya anggap saja itu payu daranya Nyi Bulan. Saya lalu
mencurinya. Sebelum menyerahkan dua buah bonang itu saya usap-usap dulu, saya
ciumi. Nah apa tidak sedap? Lalu baru saya serahkan pada Nyi Bulan.”
“Anak
kurang ajar!” teriak si gendut yang punya gelar Dewa Ketawa itu. Habis
berteriak dan lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat. Sekali sergap
saja dia sudah menjambak rambut Santiko, lalu bocah ini diseretnya ke arah
lobang di antara dua buah batu hitam berbentuk tonggak. Sampai di dekat lobang
kedua tangannya membuat gerakan seperti memijit di seluruh tubuh Santiko.
Akibat pijitan aneh ini tubuh anak itu jadi memanjang kaku laksana sebuah balok
kayu. Hanya leher dan kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Suaranyapun
putus tak bisa bicara lagi. Dewa Ketawa memijit dua telapak tangan si anak.
Kedua tangan itu kini tampak mengembang. Lalu dengan gerakan cepat si gendut
memegang pinggang Santiko. Anak ini dibaliknya kepala dan tangan ke bawah, kaki
di atas. Sebelum membenamkan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es Dewa Ketawa
tertawa panjang dan berkata.
“Hukumanmu
tujuh tahun dibenam dalam lobang inti es yang maha dingin. Setelah tujuh tahun
totokan di tubuhmu akan musnah dan kau bisa bebas. Itu tentu saja kalau umurmu
panjang! Selama ini tidak ada mahluk yang sanggup mendekam begitu lama dalam
lobang inti es! Satu tahun di dalam lobang inti es sama dengan sepuluh tahun
hidup di luaran. Kalau nanti kau masih hidup berarti usiamu sudah delapan puluh
tahun! Di dasar lobang kau akan menemui sejenis lumut putih. Hanya itu
satu-tunya makananmu untuk bertahan hidup. Tapi ketahuilah lumut es itu
mengandung racun jahat. Baru makan sedikit saja kau sudah menemui kematian!”
“Ha…ha…ha…ha!”
Habis
tertawa panjang Dewa Ketawa menjebloskan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es.
Mula-mula kedua tangannya masuk ke dalam lobang. Ketika kedua telapak tangan
anak ini mencapai dasar lobang ternyata di sebelah atas tubuhnya hanya
tenggelam sampai ke batas pinggang.
Dewa
Ketawa kembali tertawa gelak-gelak. “Anak sialan! Kau membikin aku susah saja!
Kau bisa tenang di lobang itu sampai malaikat maut menjemput. Tapi aku masih
terus berurusan dengan Kerajaan ! Ah ! Bonang penerus slindro, bonang penerus
pelog di mana aku bisa mencarimu. Nyi Bulan Seruni Pitaloka di maan kau
bersembunyi ? ”
Setelah
memperhatikan sekali lagi ke arah sosok tubuh Santiko yang dipendam kaki ke
atas kepala le bawah itu Dewa Ketawa memandang berkeliling. Keadaan di
sekitarnya masih gelap gulita serta diselimuti hawa dingin. Dia memasukkan dua
jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu meniup. Satu suitan nyaring terdengar
seperti membelah kegelapan malam. Dari arah kiri kemudian kelihatan muncul
keledai kurus pendek itu. Dewa Ketawa mengusap kepala binatang ini lalu naik ke
atas punggungnya. Seperti tadi datangnya, begitu pula dia pergi meninggalkan
puncak gunung Mahameru. Seolah duduk menunggangi keledai tetapi sebenarnya dia
hanya menumpangkan tubuh saja sementara kadua kakinya yang menjejak tanah melangkah
berjalan seperti biasa.
***************
TIGA
Santiko
merasa tubuhnya seperti berubah menjadi batu, mengeras dan kaku. Darah dalam
tubuhnya laksana beku dan berhenti mengalir. Kedua telapak tangannya yang
menempel di dasar lobang inti es disengat hawa dingin luar biasa. Begitu
dinginnya hingga lambat laun dia merasa seperti menempel pada bara api.
Keadaannya benarbenar sangat menderita. Apalagi dia terpendam di lobang kepala
ke bawah kaki ke atas.
Meski
lobang itu agak longgar dan dia bisa bernafas leluasa namun rongga dadanya
seolah mau pecah. Setiap dia menghembuskan nafas yangkeluar adalah asap putih
dingin dan membalik menghantam wajahnya yang gembrot. Anak lelaki berusia
sepuluh tahun ini dengan segala kepandaian terbatas yang dimilikinya berusaha
mengerahkan tenaga dalam guna memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya.
Namun sia-sia belaka. Yang mampu dilakukannya adalah menggerakkan leher dan
sedikit kepala serta bernafas!
Ketika
pagi tiba dan sinar matahari perlahan-lahan muncul menerangi bumi, puncak gunung
Mahameru itu terasa hangat. Tetapi di dalam lobang inti es hawa tetap saja
dingin bukan main. Dari liang hidung Santiko mulai keluar darah. Darah ini
langsung membeku begitu mengalir ke bibir. Masih untung si anak bisa
menggerakkan bibirnya hingga darah yang beku mampu dijatuhkannya ke dasar
lobang. Kalau darah beku itu sampai menutupi kedua lobang hidungnya maka
celakalah dia karena akan sulit untuk bernafas.
Meski
kini hari sudah siang dan matahari bersinar terang benderang namun di dalam
lobang inti es Santiko hanya mampu melihat dasar lobang secara samar-samar.
Perutnya mulai terasa perih minta diisi. Menurut Dewa Ketawa di dasar lobang
itu terdapat sejenis lumut es. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa dimakan.
Tapi celakanya lumut itu mengandung racum mematikan!
“Nasib
diriku memang sialan. Walaupun memang aku mencuri dua buah bonang itu tapi
lenih sialan lagi ada seorang paman yang tega-teganya memendamku di lobang
keparat ini! Apa yang harus kulakukan? Mati lebih cepat rasanya lebih baik dari
pada tersiksa begini! Sialan! Benar-benar sialan!”
Hawa
dingin terus mengalir dari sekitar lobang dan dasar lobang di mana kedua
telapak tangan Santiko menempel.
Hawa itu
mengalir melalui kedua tangannya, terus merasuk ke sekujur tubuhnya hingga dia
merasakan tubuhnya tidak seperti tubuh lagi melainkan seolah telah berubah
menjadi batu yang keras. Dan celakanya perih dalam perut besarnya semakin
menjadi-jadi. Padahal belum setengah harian dia dipendam di tempat itu.
Bocah ini
mulai berpikir-pikir. “Bukankah lebih baik dia makan saja lumut es yang ada di
dasar lobang ? Hingga dia segera mati keracunan ?! ”
Tapi
setelah menimbang-nimbang, bagaimanapun beraninya Santiko dia tetap saja
anak-anak yang punya rasa takut menghadapi kematian. Selama dua hari dua malam
dia bertahan terhadap dingin dan lapar. Namun memasuki hari ketiga dia tak
sanggup lagi. Apapun yang terjadi dia sudah tidak perduli lagi akan kematian.
Meskipun demikian anak nakal aneh berotak cerdik ini tidak begitu saja melahap
lumut es beracun yang ada di sekitar dasar lobang. Mula-mula dia hanya
menjilatjilat saja sekedar melenyapkan dahaga dan lapar yang menggila.
Ternyata meskipun hanya menjilat racun jahat lumut es itu membuat lidah, gusi
dan bibirnya menjadi bengkak tebal, sakit laksana disengat kalajengking. Racun
yang sempat terserap air liurnya menjalar ke kepala hingga bocah sepuluh tahun
ini merasa kepalanya seolaholah menjadi besar dan seperti diketok dengan palu
godam! Pemandangannyapun berkunang-kunang ditambah adanya rasa perih di kedua matanya.
Dua hari
lamanya dia mengalami sengsara seperti itu. Dari telinga dan hidungnya mengucur
darah yang segera membeku. Hari berikutnya bengkak di seluruh mulut mulai
menciut dan rasa sakit pada kepala mulai berkurang. Dua hari setelah itu
keadaanya boleh dikatakan pulih namun untuk makan lumut es itu Santiko tidak
berani. Setelah dua hari bertahan, tasa lapar dan dahaga membuat dia kembali
tak berdaya. Mau tak mau karena hanya lumut es itu satu-satunya makanan yang
ada meskipun mengandung racun jahat Santiko terpaksa kembali menjilati lumut es
di dasar lobang. Dia sudah siap sedia menghadapi apapun yang terjadi. Bahkan
matipun dia sudah pasrah.
Anak itu
menjilat permukaan dasar lobang bebrapa kali. Lalu berhenti. Setelah menunggu
sekian lama tak ada yang terjadi. Lidahnya, gusi dan bibirnya tidak bengkak.
Tak ada rasa sakit seperti disengat kalajengking. Kepalanya juga tidak
berdenyut-denyut atau sakit seperti dikemplang.
“Aneh,
apa yang terjadi dengan tubuhku?” membatin Santiko. “Lumut tawar itu tidak mendatangkan
cidera seprti pertama kali aku menjilatnya” Santiko coba berpikir terus tapi
dia tidak dapat memecahkan rahasia apa yang terjadi.
Sebenarnya
apakah yang terjadi? Lumut es di dasar lobang inti es itu jelasjelas
mengandung racun. Ketika Santiko pertama kali menjilatnya, anak ini menjadi
bengkak mulutnya luar dalam. Kepalanya sakit bukan kepalang sedang kedua
matanya menjadi kabur dan perih. Darah mengucur dari lobang hidung dan liang
telinganya. Namun bersamaan dengan itu racun yang menjalar dalam tubuh Santiko
yang jumlahnya tidak seberapa banyak telah membuat tubuhnya membentuk kekuatan
penangkis jika racun yang sama dalam kadar yang sama kembali masuk ke dalam
tubuhnya. Dengan kata lain tertentu. Tanpa disadari Santiko inilah rupanya yang
terjadi.
Namun
celakanya karena mengira lumut es itu tidak akan mencelakainya lagi maka si
anak menlahapnya dengan rakus. Beberapa saat kemudian dirasakan sekujur
tubuhnya menjadi sangat panas. Bersamaan dengan itu dirasakannya seprti ada
ribuan jarum yang menusuki badannya. Lobang yang tadinya longgar kini mendadak
dirasakannya sempit. Ini satu pertanda bahwa sekujur tubuh Santiko telah
membengkak.
Perutnya
selain panas juga membelit sakit bukan kepalang.
Kepalanya
seprti ditindih batu besar. Dari telinga dan hidungnya keluar darah kental.
Nafasnya menyesak sementara dadanya seprti mau pecah! Dia terbatuk-betuk
beberapa kali lelu muntah-muntah. Isi perutnya laksana mau terbongkar namun
yang keluar ternyata gumpalan-gumpalan darah! Dalam keadaan seperti itu anak ini
akhirnya jatuh pingsan.
Santiko
tidak tahu berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika dia akhirnya siuman.
Dirasakannya hawa dingin mencucuk sampai ke tulang sungsumnya pertanda hawa
panas yang tadi menguasai dirinya telah lenyap. Perutnya tidak sakit lagi dan
nafasnya juga tidak sesak. Darah tidak lagi mengucur dari hidung dan
telinganya.
Untuk
kesekian kalinya anak ini coba memutar otak, memikirkan apa sebenarnya yang
terjadi. “Pertama kali kujilat lumut es itu mendatangkan celaka. Kedua kali
kujilat tidak apa-apa. Aku seperti kebal terhadap racun itu. Ketika kulahap
seperti orang rakus ternyata aku hampir mati dibuatnya…. Jangan-jangan….. Aku
harus mencobanya lagi.”
Kalau aku
masih hidup berarti dugaanku benar. Kalau aku mati aku sudah pasrah.
Begitulah,
setelah menunggu selama tiga hari, begitu tak sanggup lagi menahan lapar dan
dahaga dia kembali melahap lumut es itu. Namun dia berlaku hatihati. Lumut
beracun itu dimakannya sedikit demi sedikit. Tidak melebihi jumlah yang pernah
dimakannya sebelumnya. Dengan hati berdebar dia menunggu. Tubuhnya terasa
panas. Tak lebih dari itu. Tak ada hal-hal lain yang terjadi. Tak ada rasa
sakit pada kepala dan perut serta dada. Juga tak ada darah yang keluar dari
hidung dan telinganya.
“Aku tahu
sekarang!” kata Santiko dalam hati. “Jika kumakan lumut itu sedikit demi
sedikit berarti aku punya kekebalan terhadap sedikit racun lumut es. Jika
kutelan banyak aku akan kebal terhadap racun lumut es sampai sebanyak yang
kutelan…..! Malah tubuhku akan terasa hangat, sanggup melawan dinginnya hawa di
lobang celaka ini! Lumut es beracun! Kau tak akan sanggup membunuhku. Malah kau
memberi kekuatan hebat dalam tubuhku! Aku akan sanggup bertahan dalam lobang
celaka ini sampai kapanpun! Paman Dewa Ketawa! Kau lihat saja nanti! Aku tidak
akan menemui ajal dalam lobang inti es ini! Kau bakal menerima pembalasanku!”
Hari demi
hari berlalu. Berganti minggu, berubah jadi bulan. Tanpa terasa tujuh tahun
telah berlalu sejak hari pertama Dewa Ketawa menjebloskan Santiko ke dalam
lobang inti es itu. Meskipun lumut es beracun itu selama bertahun-tahun dapat
dekendalikannya hingga tidak mendatangkan celaka, namun kesengsaraan yang
dialaminya terpendam sekian lama dalam lobang itu sulit dibayangkan.
Sekian
lama dia berusaha membebaskan diri dengan mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya, namun sia-sia belaka. Dia tak kunjung mampu untuk membebaskan diri
dari totokan Dewa Ketawa. Pada hari terakhir tahun ketujuh, seperti yang
dikatakan oleh Dewa Ketawa dulu, totokan yang menguasai tubuh Santiko ternyata
musnah dengan sendirinya.
Saat itu
pagi menjelang siang.
Anak yang
kini telah menjadi seorang pemuda tujuh belas tahun ini dengan susah payah
mengeluarkan dirinya dari dalam lobang. Selama tujuh tahun terpendam dan hanya
makan lumut es ternyata Santiko telah tumbuh menjadi seorang pemuda bertubuh
gemuk luar biasa. Tubuh yang gemuk inilah yang membuatnya susah keluar dari
lobang yang kini menjadi sangat sempit. Begitu dia akhirnya keluar, Santiko
tertawa gelak-gelak karena dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa pakaian sama
sekali. Pakaian dalam yang melekat di tubuhnya telah sejak lama hancur. Selain
itu banyak bagian tubuhnya yang telah mengalami perubahan. Dari pinggang ke
atas sampai ke wajahnya yaitu bagian yang selama tujuh tahun terpendam dalam
lobang inti es berwarna putih pucat. Cahaya matahari membaut wajahnya dan
dadanya segera menjadi kemerah-merahan.
Dari
pinggang ke bawah sampai ke kaki tubuhnya kelihatan kehitam-hitaman. Selain
auratnya perubahan juga tampak pada telapak tangannya. Kedua telapak tangan
Santiko kini kelihatan putih seolah tidak berdarah. Lalu dia merasakan tubuhnya
yang kini gendut tak karuan itu enteng sekali. Walaupun berat badannya kini
mungkin lebih dari 150 kati namun gerakannya terasa tingan.
Dia coba
berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya laksana melayang. Ketika dicobanya melompat
tahu-tahu hup! Tubuh gemuk itu melayang tinggi ke udara. Dia jadi takut
sendiri. Tapi kembali dia melompat. Kali ini dia melompat dari bawah sebatang
pohon besar. Hup! Enak saja dia sampai di atas pohon dan duduk di salah satu
cabang tertinggi. Mula-mula dia agak merasa gamang. Setelah bebrapa saat tampak
dia mulai tertawa-tawa dan goyang-goyangkan kaki sambil memandang ke mana-mana
memperhatikan pemandangan yang indah di sekeliling puncak gunung Mahameru itu.
Puas
duduk uncang-uncang kaki di atas pohon Santiko melompat turun.
Hal lain
yang terasa aneh baginya ialah bahwa di udara yang sangat dingin di puncak
Mahameru itu tebuhnya terasa hangat. Malah wajahnya selalu keringatan. Tidak
dapat tidak ini tentulah akibat racun lumut es yang kini mengendap dalam
darahnya dan menjadi satu kekuatan aneh yang sanggup melawan hawa sedingin
apapun!
“Apa aku
sekarang jadi seorang pemuda gendut tak karuan. Tapi menurut paman sialan itu
kini usiaku sudah delapan puluh tahun! Gila! Aku akan cari dirinya. Akan
kuhajar habis-habisan. Tapi, aku punya kepandaian app manghadapinya?”
“Dia
begitu sakti!” Santiko jadi termenung sejurus. Sambil merenung tanpa sadar dia
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang putih itu satu sama lain.
Perlahan-lahan terasa ada aliran hawa dingin di antara dia telapak tangan.
Bersamaan dengan itu telapak tanagn yang tadi putih kini tampak menjadi
kemerahan. Tiba-tiba ada satu sinar membersit keluar dari celah dua telapak
tangan yang digosok-gosokkan itu. Sinar ini menghampar hawa dingin luar biasa
dan melesat ke atas. Menyambar cabang pohon besar yang tadi didudukinya.
Kraak!
Santiko
gendut terperangah.
Cabang
pohon itu berderak patah. Bagian yang patah lalu jatuh ke tanah.
Santiko
bersurut mundur saking kagetnya. Pandangannya pulang balik pada kedua talapak
tangannya dan cabang pohon yang jatuh ke tanah.
“Tubuhku
ringan, seolah aku memiliki ilmu meringankan tubuh. Lalu ada angin bercahaya
keluar dari kedua telapak tanganku. Sanggup memutus cabang pohon sebesar paha!
Eh…..apakah aku saat ini sudah jadi orang sakti?” Begitu Santiko berkata-kata
dalam hati saking heran dan bingungnya.
Tapi
pemuda ini tidak hilang akal. Mudah saja untuk membuktikan kalau dia memang benar-benar
punya kesaktian. Dia melangkah mendekati pohon yang tadi cabangnya dihantamnya
hingga tumbang ke tanah. Batang pohon ini besarnya hampir sepemelukan .
Mula-mula Santiko agak bimbang.
Namun
sambil menggigit bibirnya dia lalu menghantam batang pohon itu dengan tangan
kanannya.
Terjadilah
hal yang mengagumkan.
Batang
pohon besar itu hancur berkeping-keping. Lalu perlahan-lahan pohon besar itu
tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh!
Santiko
pandangi tangan kanannya. Waktu memukul tadi dan tangannya beradu dengan batang
pohon yang keras dia sama sekali tidak merasa sakit. Juga tidak mengalami
cidera sedikitpun.
Santiko
berteriak keras lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dada dan perutnya yang
gembrot bergoyang-goyang.
Tiba-tiba
Santiko hentikan lompatannya. Dia sadar. Kedua tangannya ditutupkan ke bagian
bawah perut lalu dia memandang berkeliling.
“Ah,
untung tak ada siapa-siapa. Kalau sampai ada yang melihat diriku
melompat-lompat dalam keadaan telanjang seperti ini bisa-bisa aku dianggap
setan Mahameru! Ha…ha….ha!”
Puas
tertawa pemuda ini mulai berpikir-pikir. “Aku tidak bisa begini terusterusan.
Aku harus mencari pakaian.”
“Tapi di
mana ada baju dan celana di gunung ini? Berarti aku harus turun gunung!
Benar-benar gila!”
Memikir
sampai di situ Santiko bersiap-siap tinggalkan puncak gunung. Sebelum pergi dia
memandang dulu ke arah lobang init es yang selama tujuh tahun menjadi tempatnya
terpendam penuh siksaan.
“Hemmmm…..
Ada baiknya aku melakukan sesuatu.” Katanya dalam hati. Dia memandang pada
kedua telapak tangannya yang putih lalu menoleh ke arah batang pohon yang
tumbang. Di mulutnya tersungging senyum. Santiko melangkah mendekati batang
pohon itu. “Mampukah aku….?” pikirnya sambil lagi-lagi memandang pada kedua
telapak tangannya.
Dengan
agak bimbang dia berjongkok di dekat batang pohon itu sambil menggosok-gosok
kedua telapak tanagnnya satu sama lain. Lalu dirasakannya ada hawa dingin aneh
datang dari perutnya, mengalir cepat sampai di ujung-ujung jarinya.
Perlahan-lahan
Santiko letakkan kedua tangannya di atas batang pohon. Dia menekan sedikit.
Dadanya berdebar ketika melihat bagian batang yang ditakannya itu jadi melesak!
“Kalau
bagini berarti aku mampu melakukannya….” katanya dalam hati. Lalu di gendut ini
pergunakan kedua tangannya untuk merubah batang pohon itu menjadi sebuah boneka
besar berbentuk seorang lelaki yang berdiri dengan kedua kaki saling menempel
dan sepasang tangan diluruskan.
Boneka
kayu ini kemudian dimasukkannya ke dalam lobang, kepala ke bawah kaki ke atas.
Persis seperti yang dilakau Dewa Ketawa terhadap dirinya tujuh tahun yang lalu.
Setelah puas memperhatikan boneka kayu itu sambil tertawa-tawa akhirnya pemuda
gendut ini tinggalkan puncak Mahameru.
Hanya
beberapa saat saja setelah Santiko meninggalkan tampat itu tiba-tiba terdengar
suara tawa bergelak di sebelah timur puncak gunung. Menyusul suara orang
bernyanyi.
Tujuh
tahun dipendam.
Tujuh
tahun menjalani hukuman.
Hari ini
hari pembebasan.
Hari ini
akan kulihat lagi sang insan.
Entah
nasih hidup entah sudah berpulang.
Suara
nyanyian berakhir. Kembali terndenga suara tawa.
Tak lama
kemudian muncullah seorang lelaki bertubuh gemuk besar bermata sipit. Rambutnya
yang putih digulung di atas kepala. Dai muncul menunggang seekor keledai kecil
kurus. Langkah binatang dan penunggangnya cepat sekali.
Dalam
waktu singkat dia sampai di depan lobang inti es yang diapit oleh dua buah
tonggak batu hitam.
Mendadak
si gendut yang bukan lain Dewa Ketawa ini hentikan tawanya. Kedua matanya yang
sipit menatap tak berkesip ke arah lobang inti es. Yang dilihatnya bukan sosok
tubuh manusia yang terpendam dalam lobang itu tetapi……tak dapat dipastikannya.
Dewa
Ketawa turun dari keledainya. Melangkah menghampiri benda yang terpendam itu
Memperhatikannya dari atas sampai ke bagian yang terpendam. Lalu diulurkannya
tangan kanannya meraba-raba. Paras Dewa Ketawa berubah.
“Kayu…..”desisnya.
“Gusti Allah!” Si gendut mengucap. “Apakah hukuman ini telah merubah tubuhnya
menjadi kayu begini rupa?!” Untuk beberapa lamanya Dewa Ketawa tertegun tak
bergerak tak berkesip. Lalu, sekali kedua tangannya bergerak, kayu yang
menyerupai tubuh manusia itu ditariknya keluar dari lobang inti es.
“Gila!
Benar-benar kayu!” kata Dewa Ketawa lagi dengan suara bergetar. Namun kemudian
ada sesuatu yang membuat dia perlahan-lahan memalingkan kepala ke kiri.
Pandangannya membentur pohon kayu yang tumbang. Lalu meledaklah tawa manusia
gemuk ini.
“Dia
masih hidup! Dia coba menipuku dengan membuat boneka kayu ini! Anak setan!
Ha….ha…..ha…..ha!” Meski mengomel panjang pendek namun Dewa Ketawa pada
akhirnya kembali mengumandangkan gelak tawanya di puncak gunung Mahameru itu.
Puas mengumbar tawa akhirnya dia tinggalkan pula tempat itu.
***************
EMPAT
Sebetulnya
Angling Kamesworo tidak suka melewati hutan Randuabang. Selain banyak dihuni
binatang buas di situ juga sering mendekam komplotan rampok ganas yang tidak
segan-segan membunh mangsanya hanya untuk sekeping uang. Selain itu bersama
rombongannya yang terdiri dari selusin perajurit pengawal dia membawa serta
salah soerang puteri patih Kerajaan yang baru saja ikut berburu di kawasan
timur Pagarejo yang dikenal sebagai daerah banyaknya menjangan.
Namun
wakil patih kerajaan ini tidak punya pilihan lain. Dia harus segera berada di
Kotaraja. Lewat hutan Randuabang dia bisa mempersingkat perjalanan. Angling
Kamesworo sebelumnya adalah salah seorang perwira muda di jajaran balatentara
pasukan Kerajaan.
Usianya
yang belum mencapai tiga puluh, penampilan dan perawakannya yang tinggi kukuh
serta berotot ditambah otak cerdas dan pengetahuan luas dalam bidang
ketentaraan termasuk ilmu silat tinggi yang dimilikinya telah membuat patih
Kerajaan yang sudah lanjut usia itu pernah menyampaikan usulan pada Sultan.
Jika dia kelak mengundurkan diri maka Angling Kamesworolah yang diingininya
sebgai penggantinya. Sebgai manusia biasa tentu saja Angling Kamesworo
mempunyai satudua kekurangan. Salah satu kekurangan itu ialah sifatnya yang
sombong dan tinggi hati. Sifat buruk itu semakin menonjol sejak akhir-akhir
ini. Mungkin sekali hal itu timbul karena mengetahui kegagahan dan kehebatan
ilmunya ditambah jabatannya yang cukup tinggi dengan peluang akan menjadi patih
kerajaan dalam waktu beberapa tahun dimuka.
Pagi itu
rombongan mulai menembus hutan Randuabang dan sebelum sore berharap mereka
sudah keluar dari situ. Kalau saja Sekar Mindi, puteri patih kerajaan itu tidak
mempergunakan kereta sebagai kendaraanya tetapi menunggang kuda biasa, mungkin
rombongan bisa bergerak lebih cepat.
Setelah
ikut berburu selama tiga hari, sang dara merasa sangat letih dan lebih suka
naik kereta. Kalau Sekar Mindi adiknya sendiri pasti Angling Kamesworo telah
memaksanya agar menunggang kuda saja. Naumn terhadap puteri atasannya dia tentu
saja tidak bisa memaksa. Apalagi secara diam-diam sebenarnya pemuda ini telah
jatuh hati terhadap Sekar Mindi. Dan ada tanda bahwa gadis itupun suka padanya.
Tak lama
memasuki hutan Randuabang rombongan sampai di dekat sebuah telaga yang
dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan tinggi rimbun serta bunga-bunga hutan hingga
tempat itu selain sejuk juga indah pemandangannya. Sekalipun keadaan di situ
sangat menarik biasanya tidak ada orang yang mau berhenti atau beristirahat.
Namun tidak demikian halnya dengan Sekar Mindi. Gadis yang baru sekali ini
melihat telaga itu begitu tertarik hingga dia berseru pada sais kereta agar
berhenti.
Melihat
kereta berhenti Angling Kamesworo segera mendekati. “Ada apa kau menghentikan
kereta?” tanya pemuda itu. “Saya yang menyuruh,” yang menjawab Sekar Mindi lalu
membuka pintu
kereta.
Angling Kamesworo cepat menahan pintu dan bertanya. “Sekar….Kau hendak
kemanakah?’ “Pemandangan di telaga dan sekitarnya sangat indah. Saya ingin
turun dan
melihat-lihat
barang sebentar.” “Jangan lakukan hal itu Sekar. Kawasan hutan Randuabang ini
sangat berbahaya. Banyak binatang buas dan orang jahat.”
“Berada
bersamamu apa saya perlu menakutkan semua itu , Angling?” tanya sang dara
sambil tersenyum yang membuat si pemuda jadi leleh hatinya dan tak bisa
melarang berbuat apa-apa ketika Sekar Mindi mendorong pintu kereta lebar-lebar
lalu turun. Dia berdiri di tepi telaga, menarik nafas dalam menghirup udara
segar. “Indah sekali pemandangan di sini. Udaranya segar.” Si gadis berpaling
pada Angling Kamesworo. “Kau tidak merasa lapar?’ tanyanya.
Walaupun
memang sepagi itu dia belum makan apa-apa dan perutnya sudah minta diisi namun
Angling Kamesworo menggeleng.
“Saya
justru lapar,” kata Sekar Mindi. “Di kantong perbekalan dalam kereta masih
banyak dendeng kering. Bagaimana kalau kita bakar dan makan sambil menikmati
keindahan telaga ini?”
“Saya
kira…..”
Sekar
Mindi memgang lengan Angling Kamesworo. “Saya rasa mungkin hanya sekali ini
seumur hidup saya berkesempatan berada di tempat ini. Apakah kau tega menolak?”
Pemuda
itu menghela nafas dalam. Dia memandang berkeliling lalu memberi isyarat pada
para pengawal dan kusir kereta. Dari dalam kereta segera diturunkan kantong
perbekalan. Beberapa orang pengawal mencari kayu api untuk memanggang dendeng
kering sedang Sekar Mindi duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga.
Sambil menikmati keindahan telaga dan alam sekitarnya gadis ini
mempermainmainkan kakinya dalam air telaga.
Bau
harumnya dendeng yang dibakar menebar di seantero telaga bahkan jauh ke dalam
hutan Randuabang.
“Dendengnya
sudah matang Sekar. Ingin saya bawakan beberapa potongan besar?”
“Kalau
kau tidak keberatan Angling,” jawab Sekar Mindi tanpa menoleh dan terus
mempermainkan kedua kakinya dalam air telaga. Angling Kamesworo memutar tubuh
melangkah ke tempat pemanggangan dendeng.
Tiba-tiba
terdengar jeritan Sekar Mindi. Ada sesuatu seprti tangan manusia menyentuh jari
dan telapak kakinya. Bersamaan dengan itu satu benda besar tersembul keluar
dari dalam telaga. Air telaga muncrat kemana-mana.
Semua
orang yang ada di tempat itu tentu saja jadi terkejut besar. Angling Kamesworo
melompat ke tempat Sekar Mindi duduk.
“Ada apa
Sekar….?” tanya pemuda itu. Namun dia tak memerlukan jawaban. Dari dalam telaga
saat itu muncul keluar satu sosok tubuh manusia yang luar biasa gemuknya dan
berpakaian aneh.
“Dedemit
telaga!” salah seorang perajurit berteriak. Dia dan kawan-kawannya yang tadi
ikut melompat ke tempat Sekar Mindi berada jadi mundur ketakutan.
Angling
Kamesworo merangkul Sekar Mindi dan membawa gadis ini ke tempat aman lalu
dengan cepat membalikkan tubuh, melompat kembali ke tepi telaga. Saat itu sosok
yang tadi melesat keluar dari dalam telaga tegak berdiri di dekat batu dalam
keadaan basah kuyup. Walaupun sosok manusia bertubuh gemuk luar biasa namun
sesaat Angling Kamesworo tambah meragu dan aujkan pertanyaan dengan membentak.
“Siapa
kau? Setan atau dedemit?”
Yang
dibentak tampak terlonjak kaget tapi sesaat kemudian dia sunggingkan senyum.
Mukanya yang gembrot tampak kemerahan. Dia mengenakan baju yang kesempitan dan
anehnya kancingnya terletak di punggung bukan di sebelah depan. Celananya juga
tampak kekecilan. Di bagian pinggang tarbuka tak terkancing hingga perutnya
yang gembrot kelihatan membuntal keluar. Lalu di kepalanya dia mengenakan
sebuah peci hitam yang kupluk dan basah kuyup.
“Uh….panasnya
hari ini!” kata si gendut pula acuh tak acuh seperti tidak mendengar bentakan
orang dan seolah tidak melihat Angling Kamesworo serta yang lain-lainnya di
tempat itu.
Ucapan si
gendut itu tentu saja membuat semua orang yang ada di situ terheran-heran.
Jelas dia barus keluar dari dalam telaga yang airnya dingin dan saat itu udara
pagi masih terbungkus dinginnya sisa hawa malam hari. Adalah aneh kalau si
gendut yang basah kuyup ini berkata panasnya hari ini!
Sambil
terus tersenyum dia memandang berkeliling. Dari dalam saku bajunya dia
mengeluarkan sebuah benda. Ketika dikembangkannya ternyata benda itu adalah
sebuah kipas kertas yang berada dalam keadaan basah tapi sama sekali tidak
luruh atau robek. Duduk enak-enakan di atas batu lalu dia berkipas-kipas sambil
tiada hentinya berkata “Huh…..panasnya hari ini. Gila panas betul! Aku sampai
keringatan!”
Merasa
seperti tidak diacuhkan dan dianggap sepi Angling Kameseoro menjadi marah.
“Makhluk
edan! Siapapun kau adanya apa kau kura aku tidak berani dan tidak tega
menggasakmu sampai lumat?!”
“Angling….
Hati-hati. Jangan-jangan dia mahluk halus rimba belantara yang menunjukkan
diri….” Sekar Mindi berkata dari kejauhan.
Mendengar
ucapan Sekar Mindi itu si gendut berhenti berkipas. Dia memandang ke arah sang
gadis sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Aku dibilang mahluk halus. Apa buta dan
tidak melihat tubuhku sekasar ini ?! ” Lalu si gendut itu kembali tertawa-tawa
dan berkipas-kipas.
Melihat
sikap dan tutur kata si gendut tak dikenal itu marahlah Angling Kameseoro. Dia
bergerak lebih dekat. Tangan kanannya dihantamkan tepat-tepat ke muka si
gendut. Pukulan yang dilepaskannya bukanlah sembarang pukulan. Kalau sempat
mendarat di hidung pasti akan melesak hancur. Kalau menghantam bibir pasti
mulutnya akan pecah. Kalau sampai menghajar mata tak dapat tidak akan pecah
buta !
Sesaat
lagi jotosan keras itu akan mengenai sasarannya tiba-tiba dengan geraka acuh
tak acuh si gendut angkat kipasnya. Serangkum angin dingin menyambar dan
Angling Kamesworo merasa seperti melabrak tambok tak kelihatan. Tangannya yang
menjotos tertahan. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap
saja tak bisa meneruskan pukulannya, padahal muka lawan yang jadi sasarannya
hanya setengah jengkal di depan tinjunya !
Sadarlah
pemuda itu kalau dia berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Untung saja
tak ada seorang lainpun di situ yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Meski sadar kalau yang dihadapinya bukan manusia sembarangan, namun karena
sifatnya yang congkak sombong, Angling Kamesworo tetap saja tidak mau bersikap
merendah. Dia kembali membentak.
“Setan
atau dedemit, manusia atau jin ! Kalau kau punya sedikit ilmu jangan berani
jual lagak di hadapanku! Sebelum kujatuhkan tangan keras katakan siapa dirimu!
Mengapa berani mengganggu kami yang sedang beristirahat di tempat ini! Malah
kau berlaku kurang ajar! Memegang kaki puteri patih kerajaan, membuatnya
terkejut dan ketakutan!”
Mendengar
ucapan panjang lebar itu si gendut tampak terkejut. Dia hentikan
berkipas-kipas. Lalu berdiri dan berpaling pada Sekar Mindi. Dia membungkuk
dalam-dalam dan berkata
“Cucuku
yang cantik jelita harap maafkan kakekmu ini kalau aku sudah membuatmu kaget
dan ketakutan. Kakek tidak tahu kalau kau adalah puteri sinuhun kanjeng patih
kerajaan. Tapi terus teran kakek tidak ada niat jahat terhadapmu atau
mengganggu istirahat kalian. Terus terang saja tadi kakek sedang enak-enakan
bermain di dasat telaga. Kulihat ada benda putih-putih bergerak di permukaan
telaga. Kukira ikan, tak tahunya kakimu. Maafkan kalau kakek sudah bertindak
kurang ajar berani memegang kakimu yang bagus. Itu kakek lakukan karena
kebodohanku dan tidak tahu. Harap maafkan tua bangka tolol ini!”
Tentu
saja ucapan si gendut berkopiah kupluk itu membuat semua orang jadi kaget. Dia menyebut
dirinya kakek dan memanggil Sekar Mindi sebagai cucu!
“Gendut
keparat!” bentak Angling Kameseworo. “Jangan kau berani berlaku kurang ajar dan
main-main!”
“Ah….. ”
si gendut menghela nafas panjang. “Kalau aku kurang ajar bukankah sudah minta
maaf. Kalau aku dituduh berani main-main, itu sama sekali tidak benar. Masakan
aku setua bangka ini mau bergurau yang bukan-bukan dengan cucuku, puteri patih
kerajaan pula ! ”
“Gendut
sialan ! Kau menyebut dirimu kakek dan menyebut gadis itu cucumu ! Umurmu pasti
lebih muda dari gadis itu ! Apa itu namanya bukan mempermainkan secara kurang
ajar ?! ” bentak Angling Kamesworo dengan suara bergetar karena sudah tak dapat
menahan marah.
Si gendut
tertawa gelak-gelak sampai wajahnya yang keringatan menjadi merah. Dia lalu
menjawab.
“Umur
puteri patih kerajaan itu paling tinggi dua puluh dua tahu. Cucuku, kau tahu
berapa usiaku ?! ”
“Setan
gemuk ! Kau jawablah sendiri ! ” teriak Angling Kamesworo.
“Baik !
Akan kujawab ! ” sahut si gendut pula. “Kalau kau mau tahu, usiaku sudah
delapan puluh ! Kau dengar ?! ”
Kedua
mata Angling Kamesworo melotot. Yang lain-lain juga terkeisap kaget mendengar
ucapan si gendut itu. Jelas kalau dia tidak main-main maka dia adalah seorang
gila yang kesasar. Melihat kepada wajahnya paling tidak usianya hanya dua puluh
tahun, mungkin kurang. Bagaimana dia enak saja berkata bahwa dia berusia
delapan puluh tahun ?!
Angling
Kamesworo kalau menurutkan hawa amarahnya mau dia segera menghantam si gendut
berpeci kupluk itu habis-habisan. Namun sebagai orang berkepandaian dia masih
bisa berpikir. Tadi waktu dia melancarkan jotosan si gendut ini mengangkat
kipasnya secara acuh tak acuh. Tapi dari benda itu membersit hawa dingin yang
dapat menahan gerakannya. Lalu tadi dia berkata sedang main-main di dalam
telaga. Saat dia dan rombongan berhenti di telaga sampai saat si gendut muncul
di permukaan telaga cukup lama. Manusia mana yang mampu mendekam dalam air
selama itu?
“Gendut
mengaku kakek berusia delapan puluh tahun. Sebenarnya siapa sirimu. Siapa
namamu?” tanya Angling Kamesworo.
“Ah,
cucuku, ternyata kau bisa berbasa basi, bisa bicara baik-baik dan sopan. Baik
aku jawab pertanyaanmu,” kata si gendut pula. “Namaku nama kampung. Santiko.
Ada juga yang menyebutku dengan gelaran muluk. Bujang Gila Tapak Sakti.”
“Dari
mana kau berasal dan apa kerjamu di dalam telaga itu?!” tanya Angling
Kamesworo.
“Asalku
dari kampung sekitar sini. Aku berada di dalam telaga karena kepanasan. Coba
mencari kesejukan. Tidakkah kau dan yang lain-lain merasa betapa panasnya hari
ini?” Lalu si gendut mengipas-ngipaskan kipas kertasnya.
Sesaat
Angling Kamesworo memperhatikan kedua tangan si gendut. Jelas terlihat kedua
telapak tangannya berwarna putih pucat. Diam-diam pemuda ini jadi merasa tidak
enak.
“Gendut,
dengar ucapanku. Aku tidak senang kau berada di sini. Lekas angkat kaki dan
pergi…..”
“Ah,
nasibku malang. Dihina dan diusir orang. Tapi baiklah aku akan pergi. Apa
susahnya angkat pantat dari batu dan angkat kaki pergi? Tapi tunggu….” Si
gendut yang bernama Santiko dan bergelar Bujang Gila Tapak Sakti itu mendongakkan
kepalanya. Hidungnya kembang kempis menghirup-hirup. “Aku mencium harumnya bau
daging panggang. Tapi sudah hampir hangus. Mengapa tidak cepat-cepat
disantap?!”
Astaga!
Semua
orang baru sadar kalau dendeng yang mereka panggang hampir hangus. Semua segera
menghampiri tempat pemanggangan kecuali Angling Kamesworo. Sekar Mindi
membagi-begikan potongan dendeng panggang pada orang-orang yang ada di tempat
itu. Ketika dia menghampiri Angling, pemuda ini memberi isyarat agar si gadis
tidak melangkah lebih dekat. Angling berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kau
sudah mendengar kata-kataku tadi. Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?’
“Begitu?
Baik aku segera pergi.” Menjawab si gendut. Dia berpaling pada Sekar Mindi.
“Cucuku, sudah tujuh puluh tahun aku tak pernah menikmati daging. Apalagi
dendeng panggang seperti itu. Apakah aku boleh minta barang sepotong kecil?”
Sekar
Mindi tampak ragu-ragu. Namun sesaat kemudian gadis ini melangkah juga ke arah
Bujang Gila Tapak Sakti sambil membawa potongan dendeng bakar yang tadi hendak
diberikannya pada Angling Kamesworo.
Setengah
jalan Angling mencegatnya. Dendeng panggang yang ada di tangan si gadis
dirampasnya lalu dibantingkannya ke tanah. Tak cukup sampai di situ. Daging
yang jatuh di tanah itu lalu diinjak-injaknya dengan kakinya yang memakai kasut
dari kulit hingga hancur dan kotor.
“Kau
lapar gendut?! Makanlah!” katanya lalu Angling Kamesworo tertawa gelak-gelak.
Dua belas perajurit lainnya ikut-ikutan tertawa. Hanya kusir kereta yang sudah
lanjut usia dan Sekar Mindi yang tidak tertawa, senyumpun tidak.
Si gendut
tenang-tenang saja malah menyeringai. Dia membungkuk mengambil dendeng panggang
yang sudah hancur dan kotor bergelimang tanah itu dengan tangan kanannya. Lalu
sambil membejak-bejak daging itu dalam genggaman telapak tangannya dia berkata
“Sayang, dagingnya seenak ini dibuang begitu saja, diinjak, dikotori dengan
tanah. Padahal banyak orang miskin yang kelaparan sekitar sini. Termasuk
aku…..”
Tangan
yang membejak-bejak dendeng panggang itu perlahan-lahan dibuka. Semua orang
terkejut ketika menyaksikan bagaimana dendeng bakar yang tadi sudah hancur dan
kotor diinjak-injak kini berubah menjadi sepotong besar daging panggang segar
yang mengepulkan asap dan menebar bau harum bukan main.
“Cucuku,”
kata si Bujang Gila Tapak Sakti sambil memandang pada Sekar Mindi. “Terima
kasih atas pemberianmu ini. Kakek tidak akan melupakan kebaikan hatimu….” Habis
berkata begitu si gendut berkopiah kupluk itu melahap daging panggang itu
sambil tangan kiri mengipas-ngipaskan kipas kertasnya. Di satu tempat dia
berpaling lagi pada Sekar Mindi dan menjura dalam-dalam. Lalu hup! Sekali dia
menggenjot kedua kakinya tubuhnya yang seprti buntalan raksasa itu melayang ke
atas. Sesaat kemudian kelihatanlah si gendut itu duduk berjuntai goyang-goyang
kaki di atas cabang sebuah pohon. Cabang ini tak seberapa besarnya.
Dibandingkan dengan tubuh si gendut yang berat seharusnya cabang itu akan
menekuk ke bawah behkan bisa patah. Tapi nyatanya cabang pohon tersebut hanya
melentur bergoyanggoyang mengikuti gerakan atau uncangan kaki si gendut!
Selusin
perajurit dan Sekar Mindi terkagum-kagum melihat apa yang terjadi. Sebaliknya
Angling Kamesworo tampak merah mukanya. Apa yang dilakukan Bujang Gila Tapak
Sakti seolah-olah mempermainkan dan mengejek dirinya. Dia hendak meneriakkan
sesuatu tetapi tak jadi karena dengan tiba-tiba kusir tua menghampirinya dan
berkata. “Raden, kalau saya tidak salah manusia gendut bernama Santiko bergelar
Bujang Gila Tapak Sakti ini tujuh tahun dulu adalah bocah yang mencuri dua buah
bonang perangkat gamelan keraton.”
Tentu
saja keterangan itu membuat Angling Kamesworo jadi terkejut. Tujuh tahun lalu
dia belum masuk ke dalam jajaran pasukan Kerajaan. Namun beberapa waktu sesudah
bergabung dengan alat kerajaan dia pernah mendengar tentang dicurinya dua buah
bonang itu.
“Kenapa
tidak kau katakan dari tadi?!” ujar Angling Kamesworo pula dengan
suara
keras yang ditekan. “Maafkan saya. Ingatan saya berjalan lamban….” “Kalau
begitu dia harus segera kita tangkap!” kata Angling Kamesworo pula
seraya
memandang ke arah cabang pohon dimana si gendut duduk masih enak-enakan
menyantap daging panggang sambil uncang-uncang kaki dan berkipas-kipas. “Bujang
Gila Tapak Sakti! Lekas turun dari pohon! Aku mau bicara denganmu!” berteriak
Angling Kamesworo.
Baru saja
dia berteriak begiut dan belum sempat si gendut memberikan jawaban tiba-tiba
ada derap kaki kuda sekitar telaga. Tahu-tahu lima penunggang kuda bertampang
sangar beringas dan garang muncul di tempat itu. Kelimanya menebar demikian
rupa dalam sikap mengurung rombongan. Masing-masing duduk di atas kuda sambil
menekankan tangan ke gagang golok besar yang tersisip di pinggang.
***************
LIMA
Angling
Kamesworo segera maklum siapa adanya kelima orang itu. Tak dapat tidak pastilah
gerombolan perampok jahat hutan Randuabang.
“Salan!”
maki Angling Kamesworo dalam hati. “Urusan dengan si gendut gila itu belum
selesai. Kini datang lagi penyakit baru!”
“Kalian
siapa dan mau apa?!” tiba-tiba Angling Kamesworo bertanya dengan suara keras
hingga lima penunggang kuda tersentak. Lalu berbarengan kelimanya tertawa
gelak-gelak.
“Anak
muda. Caramu bertanya galak amat!” salah seorang dari lima penunggang kuda
membuka mulut. Barisan gigi-giginya kelihatan besar-besar dan berwarna hitam.
“Jika kau
dan kawan-kawanmu datang membawa maksud jahat, jangan berani lakukan disini.
Kepala kalian akan kubuat menggelinding di tanah!”
Lima
penunggang kuda kembali tertawa bergelak. Yang tadi bicara membuka mulut.
“Aku
Warok Wesi Randuabang, penguasa rimba belantara ini.Empat orang ini adalah
sahabat-sahabat dan anak buahku. Bertemu baru satu kali, bagaimana kau bisa
menuduh kami datang membawa maksud jahat, anak muda?!”
“Sudah!
Aku tak ada waktu panjang lebar dengan kalian! Harap tinggalkan tempat ini. Kamipun
segera akan berlalu dari sini!” Habis berkata begitu wakil patih kerajaan ini
memberi isyarat pada semua anggota rombongan. Lalu dia melangkah mendekati
Sekar Mindi dan dengan cepat membimbing gadis itu masuk ke dalam kereta.
“Tunggu
dulu!” seru Warok Wesi Randuabang.
Angling
Kamesworo menutupkan pintu kereta. Pada Sekar Mindi dia berkata. “Apapun yang
terjadi jangan keluar dari dalam kereta!” lalu dia berpaling pada lima
penunggang kuda.
“Kami
datang karena mencium bau dendeng panggang yang harum itu. Karena lapar dan ada
rejeki jelas kami mau minta bagian! Apakah kalian mau memberi atau terlalu
pelit tak mau berbagi-bagi?”
“Wesi
Randuabang,” penunggang kuda di samping sang warok berkata “Yang kita temui di
tempat ini ternyata bukan cuma dendeng panggang yang lezat tapi ada seorang
gadis cantik. Hanya sayang si jelita itu buru-buru disembunyikan ke dalam
kereta!”
Lima
orang berwajah garang itu kembali tertawa bergelak.
Angling
Kamesworo yang merasa semakin tidak enak cepat berkata.
“KAu dan
kawan-kawanmu mau dendeng panggang silahkan saja ambil. Tapi ingat, jangan
ganggu rombongan ini!”
“Anak
muda, hatimu ternyata sangat baik. Bersedia memberikan dendeng panggang yang
enak itu. Tapi kenapa buru-buru mau pergi?” Warok Wesi Randuabang.
Angling
Kamesworo tidak menjawab. Dia melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat pada
kusir kereta serta dua belas perajurit untuk segera bergerak meninggalkana
tempat itu.
Warok
Wesi Randuabang cepat menggerakkan kudanya. Empat kawannya mengikuti. Kelimanya
kini berada di depan rombongan dan jelas-jelas menghadang.
“Anak
muda, kalau aku bilang jangan buru-buru pergi kau harus patuh!” membentak Warok
Wesi Randuabang. “Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa?!”
“Kau yang
buta tidak tahu berhadapan dengan siapa!” balas membentak Angling Kamesworo.
“Aku
tidak buta anak muda! Kau mengenakan pakaian perwira dan ada dua belas orang
berseragam perajurit. Jelas kalian adalah sekelompok pasukan kerajaan.” Warok
Wesi Randuabang berpaling pada teman-temannya. Lalu bertanya “KAwankawan,
apakah ada bedanya bagi kita kalau mereka adalah cecunguk-cecunguk kerajaan
atau bukan?”
“Tentu
saja tidak!” menyahuti salah seorang anak buah Warok Wesi Randuabang.
“Sekalipun
mereka srombongan setan atau jin pelayangan tentu saja tak ada artinya bagi
kita!” menyahuti anak buah yang lain.
Warok
Wesi Randuabang menyeringai. “Anak muda, kau dengar apa yang dikatakan
teman-temanku.”
“Kalian
membuatku jijik dan lama-lama aku bisa jengkel! Lekas menyingkir. Jangan
menghalangi jalan!” bentak Angling Kamesworo.
“Lagakmu
memuakkan!” tukas Warok Wesi Randuabang, Kepala rampok hutan Randuabang ini
menarik tali kekang mudanya, hendak bergerak ke arah Angling Kamesworo. Tapi
salah seorang anak buahnya cepat mendahului seraya berkata.
“Gembel
kerajaan ini biarkan aku yang membereskan!”
Anak buah
Warok Wesi Randuabang yang satu ini segera menggebrak kudanya. Bersamaan dengan
itu dia mencabut goloknya. Senjata ini membabat begitu dia sampai di hadapan
Angling Kamesworo.
Perwira
muda kerajaan ini cepat merunduk. Kelihatannya dia seperti hendak menysupkan
satu jotosan ke dada lawan.
Melihat
gelagat ini anak buah Warok Wesi putar pergelangan tangannya. Senjatanya kini
menderu ke bawah. Siap untuk membabat putus tangan Angling Kamesworo. Semua
orang di pihak rombongan kerajaan yang menyaksikan itu menjadi terpaku tegang.
Sekar Mindi pejamkan mata dan tekap mulutnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan
suara jeritan. Kalau pemuda pelindungnya itu sampai celaka dan tewas di tangan
kawanan rampok hutan berarti dirinya sendiri tak bisa diselamatkan dan akan
jatuh ke tangan gerombolan rampok Warok Wesi Randuabang. Tubuh gadis ini jadi
menggigil dan wajahnya pucat tak berdarah menghadapi kenyataan ini.
Tetapi
apa yang terjadi kemudian justru mengejutkan Warok Wesi dan kawankawannya. Di
kala mereka sudah memperkirakan lengan perwira muda itu akan dibabat putus
tiba-tiba tubuh Angling Kamesworo merunduk hampir sama datar dengan punggung
kuda. Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat ke depan.
Bukkk!
Ujung
kaki Angling Kamesworo menghantam lambung anak buah Warok Wesi hingga
mengeluarkan suara bergedebukan sedang dari mulutnya meledak suara jeritan
keras. Tubuhnya terpental dari punggung kuda lalu jatuh punggung terkapar di
tanah, goloknya terlepas mencelat ke udara yang dengan cepat segera disambar
oleh sang perwira muda.
Selagi
Warok Wesi dan tiga orang anak buahnya terkesiap melihat kejadian itu dari atas
pohon terdengar suara tertawa bergelak. Jika kita layangkan pandang ke arah
pohon itu ternyata di cabang pohon kini bukan hanya Santiko alias Bujang Gila
Tapak Sakti saja yang kelihatan duduk di sana melainkan di sebelahnya kini
tampak ikut duduk seorang pemuda berambut gondrong mengenakan pakaian
putih-putih.
“Dut,
bagi lagi aku daging panggangnya,” kata si gondrong.
“Ah,
dagingku tinggal sedikit. Tapi baiklah. Kuberikan secuil lagi!” Lalu Bujang
Gila Tapak Sakti memberika sepotong kecil lagi daging panggangnya pada pemuda
di sampingnya. Keduanya mengunyah daging itu sambil tertawa-tawa.
“Aku
sudha lama mencarimu, syukur-syukur sekarang bisa ketemu!” kata si gondrong.
“Aku
merasa tidak perlu mencarimu. Karena aku yakin kau pasti mencariku! Buktinya
sekarang kita ketemu! Ha…ha…ha….!” Bujang Gila Tapak Sakti mengipasngipaskan
kipas kertasnya ke wajahnya yang keringatan. Saat itulah tendangan Angling
Kamesworo mendarat di lambung anak buah Warok Wesi hingga rampok satu ini jatuh
ke tanah. Tak berkutik lagi karena tulang punggungnya patah. Bujang Gila Tapak
Sakti dan si gondrong tertawa gelak-gelak melihat kejadian itu. Warok Wesi
Randuabang melirik ke arah cabang pohon. Dia tidak mengenali siapa adanya si
gendut berkopiah kupluk dan berbaju yang kancingnya terbalik itu. Namun dia
segera mengenali pemuda satunya yang berambut gondrong.
“Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng…..” membatin Warok Wesi. Hatinya mendadak
santak jadi tidak enak. Dia memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya.
“Kalian lekas keroyok perwira muda itu. Aku akan melakukan sesuatu.” Habis
berkata begitu Warok Wesi menggebrak kudanya ke kanan seolaholah dia hendak
meninggalkan tempat itu. Namun di satu tempat dia membelok lagi dan memacu
kudanya ke arah kereta.
“Lindungi
kereta!” teriak Angling Kamesworo.
Sua belas
perajurit segera bergerak mengamankan kereta dimana puteri patih kerajaan
berada.
Angling
Kamesworo sendiri segera menyambut serangan tiga orang anak buah Warok Wesi.
Ketiganya menyerang dengan golok di tangan.
“Kalian
mencari mampus!” hardik perwira muda itu.
Golok di
tangannya berputar aneh. Tiga orang anak buah Warok Wesi merupakan
penjahat-penjahat yang memiliki kepandaian memainkan golok tingkat tinggi.
Selama bertahun-tahun malang melintang dalam rimba Randuababng dan sekitarnya
Warok Wesi menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu golok itu pada empat orang
anak buahnya. Walau masih belum sempurna betul namun kehebatan mereka memainkan
senjata tajam itu tidak bisa dianggap rendah. Namun sekali ini ketiganya kena
batunya. Yang mereka hadapi adalah seorang perwira muda berkepandaian tinggi
calon patih kerajaan!
Tiga anak
buah Warok Wesi sesaat jadi terkesiap ketika melihat golok yang ada di tangan
perwira muda itu seolah berubah menjadi sepuluh buah, menyambar dengan
mengeluarkan suara berdesing menggidikkan.
Trang….trang….trang!
Tiga kali
bunga api berpijar di udara pagi. Tiga seruan tertahan keluar dari mulut tiga
orang anak buah Warok Wesi. Telapak tangan yang memegang golok terasa pedas.
Senjata di tangan masing-masing hampir saja terlepas mental dalam satu
bentrokan golok secara kilat tadi.
Sadar
kalau lawan mereka memiliki kepandaian tinggi, salah seorang dari pengeroyok
berseru.
“Keluarkan
jurus bintang bertabur!”
Ilmu
silat mengandalkan golok yang disebut jurus bintang bertabur itu sebenarnya
harus dimainkan oleh lima orang. Namun karena merasakan adanya ancaman maka
tiga orang perampok hutan Randuabang itu lekas-lekas saja mengeluarkannya
dengan maksud dapat menghabisi lawannya.
Begitu
jurus bintang bertabur itu dimainkan walau Cuma oleh tiga orang saja, Angling
Kamesworo merasakan dirinya menghadapi serangan laksana curahan hujan yang
bertabur dari arah berbeda-beda. Baru saja dia mementahkan atau menangkis satu
serangan lawan, dari jurusan lain datang pula serangan baru. Dihadapinya
serangan satu ini, gempuran datang menderu dari jurusan lain. Hanya dengan kehebatan
dan kecepatannya bergerak perwira muda itu sanggup lolos dari seranganserangan
maut walau dua kali pakaiannya robek besar disambar ujung senjata
lawanlawannya.
Angling
Kamesworo kertakkan rahang. Dia keluarkan suara membentak nyaring lalu menghadapi
keroyokan tiga lawannya dengan gebrakan-gebrakan aneh yang secara
perlahan-lahan membuat dia sanggup bertahan lalu balas mendesak lawan dengan
tusukan atau babatan maut!
Di bagian
lain, ketika melihat dua belas perajurit melindungi kereta, Warok Wesi Randuabang
segera hunus golok besarnya. Tanpa tedeng aling-aling dia menggebrak ke arah
kereta. Para perajurit yang mengawal tentu saja tidak mau tinggal diam. Enam
orang langsung menyongsong sedang enam lainnya tetap bersiaga menjaga
keselamatan kereta.
Enam
perajurit yan gmnyambut kedatangan Warok Wesi Randuabang itu dua memegang
golok, tiga menggenggam pedang dan satu lagi bersenjatakan tombak. Enam senjata
berserabutan ke arah kepala, dada dan perut Warok Wesi. Sang Warok ganda
tertawa. Golok besar di tangannya berkiblat lenyap. Terdengar suara
berdentrangan. Lalu dua jeritan merobek langit. Dua sosok tubuh roboh ke tanah
bermandikan darah. Mereka adalah perajurit yang memegang golok dan pedang.
Empat temannya karuan menjadi gugup. Tapi sadar akan kewajiban dan tanggung
jawab besar mereka atas keselamatan puteri patih kerajaan maka keempat
perajurit ini kembali menyerbu Warok Wesi. Namun keberanian meraka hanya satu
kesia-siaan belaka. Sekali lagi golok di tangan kepala rampok hutan Randuabang
itu berkiblat, dua perajurit lagi roboh ke tanah meregang nyawa. Dua kawannya
yang hampir putus nyali segera memberi isyarat pada enam temannya yang berada
di sekitar kereta. Tiga orang segera bergerak, tiga lagi tetap berjaga-jaga.
Kini ada lima perajurit menghadapi Warok Wesi.
“Kalau
kalian sayang jiwa lekas minggat dari sini. Kalau tidak kalian akan merasakan
akibatnya!”
Lima
perajurit itu rupanya tidak takut akan gertakan Warok Wesi. Dengan cepat mereka
menggebrak memulai serangan. Kali ini mereka menjaga jarak dan bertindak
hati-hati. Tiga jurus pertama mereka bisa bertahan bahkan sesekali melancarkan
serangan yang cukup membuat kepala rampok itu sibuk. Namun jurusjurus
berikutnya satu persatu mereka menemui ajal dibabat atau ditusuk golok besar di
tanagn Warok Wesi.
Dati tiga
orang sisa perajurit yang mengawal kereta hanya satu saja yang mencoba
berjibaku menusukkan goloknya ke punggung Warok Wesi yang saat itu lengah
ketika sibuk membunuhi kawan-kawannya yang lima. Dua lainnya sudah kabur
ketakutan. Perajurit yang satu ini berhasil menusukkan senjatanya ke punggung
kepala perampok itu. Namun alangkah kagetnya ketika menyaksikan bagaimana dia
seolah menusuk batu yang keras. Ternyata sang warok tidak mempan senjata tajam!
Tidak percuma dia menyebut diri sebagai Warok Wesi.
“Pembokong
sialan!” rutuk Warok Wesi. Dia memutar tubuh. Tangan kirinya bergerak mencekik
leher si perajurit. Lalu seperti seorang membelah kelapa, golok di tangannya
menetak batok kepala perajurit itu!
“Keparat!”
maki Warok Wesi ketika muncratan darah membasahi muka dan pakaiannya. Dengan
lengan bajunya dia menyeka noda darah lalu melompat turun dari atas kuda dan
lari ke arah kereta.
Di atas
pohon si gendut berpeci hitam kupluk menepuk bahu si gondrong.
“Sobatku
gondrong! Aku mau tanya, sebetulnya kenapa kau mencariku?!”
“Soal
kecil saja,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku dimintakan bantuan oleh si
Kerbau Bunting itu…..”
“Kerbau
Bunting katamu?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti. Dia berpikir sejenak. Lalu dia
berkata.
“Ah!
Pasti si Dewa Ketawa itu! Paman sialan! Dia yang memendam aku sampai karatan di
lobang inti es di puncak gunung Mahameru! Bantuan apa yang dimintanya? Sudah!
Kau tak usah menjawab! Aku sudah tahu!”
“Tahu
apa?” tanya Wiro menguji.
“Orang
tua itu pasti minta bantuanmu untuk mendapatkan dua buah bonang kelengkapan
gamelan keraton! Betulkan…….?!”
Wiro
mengangguk lalu cepat berkata “Sudah dulu. Urusan dua buah bonang itu kita
tunda dulu. Ada hal yang lebih penting!”
“Apa
maksudmu?”
Pendekar
212 menunjuk ke arah kereta.
“Kau
lihat sendiri. Orang jahat itu berhasil merobohkan dua belas pengawal. Kini dia
tengah menuju kereta hendak menculik puteri patih kerajaan bernama Sekar Mindi.
Apakah kau tidak akan menolongnya?!”
“Perduli
amat dengan gadis itu. Orang-orangnya tadi menghinaku habishabisan….”
“Tapi
gadis itu tidak jahat padamu.”
Si gendut
tertawa sambil berkipas-kipas. “Kau suka padanya. Pasti!”
Wiro
menyeringai. Dia memandang ke bawah pohon. Ke arah kereta. “Lihat, Warok Wesi
tengah menarik tubuh Sekar Mindi dengna paksa dari dalam kereta….. Kau masih
tak mau menolong gadis itu?”
“Kalau
kau suka padanya, kau saja yang menolongnya!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kau
gendut sialan!” maki Wiro sambil menggaruk kepala. Sekali dia berkelebat
tubuhnya melayang ke arah kereta dan menjejak tanah tepat di belakang Warok
Wesi yang tengah berusaha menarik Sekar Mindi keluar dari dalam kereta. Gadis
ini berusaha bertahan sambil berpegangan pada pinggiran pintu. Namun apalah
artinya kekuatan seorang perempuan dibanding dengan kekuatan Warok Wesi seorang
lelaki bertubuh kokoh besar yang sudah dirasuk setan. Sekali lagi dia merengut
maka Sekar Mindi akhirnya keluar dari kereta. Dengan cepat hendak menotok gadis
ini lalu mendukungnya di bahu kiri. Namun tiba-tiba dia merasakan ada seseorang
menepuk bahunya sambil memanggil.
“Warok….”
Warok
Wesi menoleh. Begitu kepalanya menghadap ke belakang satu jotosan melanda
hidungnya. Pegangannya pada pinggang Sekar Mindi terlepas. Kepalanya seperti
dihantam palu godam. Sakitnya bukan main hingga dia menjerit keras. Tetapi
hebatnya jangankan berdarah atau cidera, hidung itu tidak berubah sedikitpun
kecuali hanya berwarna kemerah-merahan.
“Kurang
ajar! Setan alas ini ternyata kebal senjata tajam kebal pukulan!” kata Wiro
dalam hati. “Tak ada jalan lain,aku harus melumpuhkannya dengna totokan!” lalu
Wiro hendak menotok. Rupanya Warok Wesi tahu apa yang hendak dikerjakan lawan.
Didahului dengan bentakan garang kepala rampok ini menerkam ke depan. Kedua
tangannya seperti hendak mencengkeram leher Pendekar 212. Tapi tahu-tahu salah
satu tangannya menggebuk ke arah perut.
Bukkk!
Murid
Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terangkat
sampai setengah tombak sebelum mencelat beberapa langkah.
Dari atas
pohon terdengar suara tertawa bergelak. Yang tertawa bukan lain adalah Bujang
Gila Tapak Sakti.
“Sobatku
Wiro. Bagaimana rasanya digelitik si Warok?!” mengejek si gendut.
“Kentut
busuk!” maki Pendekar 212 seraya bangkit berdiri. Baru saja tegak, Warok Wesi
sudah berada di hadapannya melancarkan satu tendangan deras. Untung Wiro masih
sempat jatuhkan diri dan berguling menjauh. Namun lagilagi begitu dia berdiri
kembali kepala penjahat itu sudah berada di dekatnya dan siap melancarkan
serangan ganas. Kali ini Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi. Dia menahan
serangan lawan dengan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang didapatnya dari
Tua Gila dari pulau Andalas. Begitu lawan kebingungan dan putus asa karena
semua serangannya luput maka Wiro lalu menggempur dengan jurus-jurus kilat :
membuka jendela memanah matahari, di balik gunung memukul halilintar, kincir
padi berputar dan kepala naga menyusup awan. Empat pukulan melanda muka, dada
dan perut Warok Wesi. Mukanya babak belur. Tubuhnya yang tinggi besar
terbanting ke tanah. Untuk beberapa lama Warok Wesi terkapa tak bergerak.
“Tamat
riwayatmu!” kata Wiro puas. Tapi kedua matanya jadi mendelik sewaktu
perlahan-lahan tubh yang terkapar itu bergerak. Lalu tiba-tiba Warok Wesi
membuat satu lompatan dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan murid Sinto
Gendeng itu.
“Iblis
satu ini benar-benar kebal!” desis Pendekar 212. Dia mengerahkan tenaga dalam
siap untuk menghantam dengan pukulan sakti sinar matahari. Justru pada saat
itulah terdenga suara tawa bergelak dari atas pohon.
“Sobatku
Pendekar 212! Coba kau bawa setan alas itu ke bawah pohon ini. Aku akan
tunjukkan padamu bagaimana memusnahkan kekebalan dirinya!”
Wiro
mendongak ke atas pohon di mana si gendut Bujang Gila Tapak Sakti duduk
berjuntai uncang-uncang kaki sambil berkipas-kipas.
Melihat
ke atas pohon, melupakan kedudukan lawan merupakan satu kesalahan besar yang
dibuat Wiro Sableng. Di saat dai bertindak lengah itu Warok Wesi melompat
sambil melayangkan jotosannya ke muka Wiro.
Pendekar212
merasakan kepalanya seolah meledak dan tanggal dari lehernya. Tubuhnya mencelat
jauh dan terbanting tepat di batang pohon di mana Bujang Gila Tapak Sakti duduk
berjuntai. Untuk beberapa lamanya pemandangannya gelap berkunang-kunang. Dia
hanya melihat samar-samar Warok Wesi melangkah mendekatinya. Tangan kanannya
memegang sebilah golok berdarah.
Di
hadapan Wiro, Warok Wesi tegak sesaat. Mukanya seganas iblis. Seringai setan
bermain di mulutnya.
“Aku
tidak pernah memimpikan hari ini akan membunuh tokoh paling terkenal dalam
dunia persilatan. Pendekar 212 hari ini tamat riwayatmu!”
Tangan
Warok Wesi yang memegang golok mengayun ke bawah. Tapi baru setengah jalan
bacokan maut itu berjalan tiba-tiba dari atas pohon mencurah jatuh cairan
kuning. Cairan ini jatuh tepat menimpa kepala dan tubuh Warok Wesi Randuabang,
malah bermuncratan mengenai Pendekar 212 yang duduk tersandar di batang pohon.
Dari
mulut Warok Wesi keluar suara raungan dahsyat. Orang ini melangkah mundur
dengan muka pucat lalu mencak-mencak seperti orang gila. Kedua tangannya
berulang kali memegangi kepala dan bagian tubuhnya yang kecurahan cairan kuning
dari atas pohon. Lain halnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu muncratan
air kuning dan hangat itu menerpa tubuhnya, dia segera tahu apa yang terjadi.
“Bujang
Gila keparat! Apa yang kau lakukan? Kuputus burungmu!” Wiro berteriak lalu
berdiri.
Si gendut
di cabang pohon tertawa gelak-gelak. “Kau harus berterima kasih telah
kukencingi!” berseru Bujang Gila Tapak Sakti.
“Setan
alas! Enak saja kau bicara begitu! Lihat mukaku basah kejatuhan cipratan air
kencingmu di kepala Warok sialan itu!”
“Anak
tolol! Justru itu aku bilang kau harus berterima aksih. Kau Cuma kecipratan.
Lihat si Warok. Dia malah basah kuyup. Air kencingku membuat ilmu kebalnya
musnah tak manjur lagi ! ”
“Pembohong
besar ! Konyol ! ” teriak Wiro masih sangat jengkel. “Turunlah biar kugebuk
tubuhmu sampai jadi pepes ! ”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. “Kalau kau tak percaya mengapa tidak dicoba
? Coba kau hajar Warok itu sekali lagi ! ”
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. Diperhatikannya keadaan Warok Wesi yang mencak-mencak,
meraung sambil coba mengeringkan kepala dan tubuhnya yang basah dengan kedua
tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengeringkan air kencing Bujang
Gila Tapak Sakti itu. Dengan wajah sangat ketakutan dia lari ke kudanya,
berusaha melarikan diri dari tempat itu. Apalagi tiga orang anak buahnya yang
terakhir sudah menemui ajal pula di tangan Angling Kamesworo.
“Mungkin
apa yang diucapkan si gendut sialan itu benar. Kalau tidak mengapa Warok Wesi
sampai berusaha melarikan diri dengan sangat ketakutan seperti itu. ” Memikir
sampai disitu Pendekar 212 segera melompat mengejar Warok Wesi yang saat itu
baru saja menggebrak kudanya hendak melarikan diri. Murid Sinto Gendeng ini
masih sempat mencekal pergelangan kaki kiri Warok Wesi lalu ditariknya
kencang-kencang, Tubuh Warok Wesi terbetot dari kuda tunggangannya. Binatang
ini terus saja berlari. Akibatnya sang Warok jatuh terbanting ke tanah. Sebelum
dia sempat bangkit tendangann kaki kanan Wiro bersarang di sisi kanannya.
Kraaakk !
Warok
Wesi meraung keras. Empat tulang iganya berpatahan ! Dia berusaha bangkit.
Namun baru setengah duduk sebilah golok berkelebat membacok lehernya. Sekali
lagi terdengar suara raungan keluar dari tenggorokan Warok Wesi. Lalu tubuhnya
roboh kembali. Sekali ini tak bergerak lagi. Mati dengna leher hampir putus.
Perlahan-lahan
Angling Kameswowo menjatuhkan golok yang dipegangnya yang barusan dipakainya
untuk membunuh kepala rampok hutan Randuabang yaitu Warok Wesi Randuabang. Lalu
dia menoleh ke atas pohon.
“Anak
muda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, turunlah. Kau telah berbuat jasa pada
kerajaan. Menyelamatkan puteri patih. ”
“Ah siapa
bilang aku menolong. Tadi aku kan Cuma kencing saja ! ”
Pendekar
212 tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Gendut!”
seru Wiro. “Kau turun sajalah! Orang mau bicara padamu ! ”
Mendengar
ucapan murid Sinto Gendeng itu Bujang Gila Tapak Sakti melompat turun dari atas
pohon. Tapi dia tidak melompat turun ke tempat di mana Wiro dan Angling
Kamesworo berada melainkan ke jurusan lain. Begitu dia
berkelebat
si gendut inipun lenyap dari pemandangan.
“Astaga!
Dia kabur!” seru Wiro. “Aku harus mengejarnya!”
“Tunggu!”
kata Angling Kamesworo.
“Ada apa
perwira?” tanya Wiro.
“Sobat
muda berjuluk Pendekar 212, kau sudah kenal lama dengan anak gendut aneh itu?”
“Belum
lama. Tapi dia telah beberapakali menolongku.”
“Kau tahu
dimana bisa mencarinya? Tahu tempat kediamannya mungkin?”
Wiro
gelengkan kepala.
“Ada
perlu apa kau hendak mengejarnya?” tanya Angling Kamesworo lebih lanjut.
“Ada
urusan besar yang harus diselesaikannya.”
“Menyangkut
dua bonang milik keraton itu bukan?”
Wiro jadi
garuk-garuk kepala.
“Pendekar
212. Ketahuilah, kau juga ikut berjasa menyelamatkan puteri patih kerajaan.
Jika kau mau ikut aku ke kotaraja, niscaya patih kerajaan akan memberikan
hadiah besar padamu……”
Wiro
tersenyum. “Perwira, aku harus segera mengejar si gendut itu.”
“Baiklah
sobat. Atas nama kerajaan aku berterima kasih padamu. Satu hal harap kau ingat
baik-baik. Jika dua buah bonang pusaka itu kau temui, harap kau suka
mengembalikannya ke keraton.”
Murid
Eyang Sinto Gendeng mengangguk lalu tinggalkan tempat itu. Dia tak tahu harus
mengejar si gendut ke mana.
Sambil
berlari dia menggerutu seorang diri. “Kalau tidak diminta oleh Dewa Ketawa, aku
tak akan mau menangani urusan gila brengsek ini ! ”
***************
ENAM
Biduk
kecil itu meninggalkan Tanjung Lenggasana tepat dipertengahan malam Jum’at Wage
ketika bulan purnama empat belsa hari tertutup oleh ketebalan awan kelabu
kehitaman. Laut berombak tenang. Angin bertiup datar. Penumpang biduk, seorang
kakek berambut panjang riap-riapan sampai ke punggung duduk di bagian belakang
biduk. Tangan kirinya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang hanya sesekali
saja mengayuh kayu pendayung. Namun hebatnya biduk kecil itu sekali didayung
mampu meluncur jauh.
Berlainan
dengan tangan kirinya si kakek memiliki tangna kanan yang tidak pantas disebut
tangan. Karena sebatas siku ke bawah tangan itu berbentuk sebuah gergaji besi
dengan gigi-giginya yang besar runcing berkilau mengerikan.
Kakek ini
duduk memandang ke arah kejauhan dalam kegelapan malam. Dia rupanya tengah
memusatkan pikirannya ke suatu titik yang saat itu masih belum terlihat.
Makin
jauh ke tengah laut dia mulai melihat apa yang dibayangkannya dalam pikiran dan
coba dilihat dan ditembusnya dalam kegelapan malam.
“Perempuan
itu pasti ada di sana. Firasatku mengatakan demikian. ” membatin si kakek. Lalu
dikayuhnya biduknya dua kali berturu-turut. Biduk kayu itu laksana terbang,
meluncur di permukaan air laut menembus kegalapan malam. Dia coba sekali lagi
untuk memastikan kebenaran firasatnya. Segala pikiran dan titik pandang
dipusatkan. Setelah beberapa lama apa yang dipusatkannya itu mendadak buyar.
“Aneh ! Aku tidak bisa memusatkan pikiran sepenuhnya. Pasti ada yang tidak
beres. ”
Si kakek
memandang ke timur. Laut tampak gelap. Dia berpaling ke barat. Sunyi dan gelap.
Perlahan-lahan dia menoleh ke belakang. “Hemm….ini sebabnya…… ” katanya dalam
hati. Jauh di belakangnya tampak sebuah perahu. Berlayar searah dengan
tujuannya. “Ada yang mengikuti. Aku akan coba membuktikan betul tidaknya. ”
Lalu kakek berambut panjang itu mengayuh tiga kali pada bagian kanan biduk dan
tiga kali pula pada samping kiri.
Terdengar
suara bersiur ketika biduk melesat laksana anak panah lepas dari busurnya.
Beberapa saat kemudian si kakek kembali menoleh ke belakang. Perahu yang tadi
berada di belakang sana lenyap tak kelihatan lagi. Si kaakek tersenyum. Hatinya
lega. Kini tak ada lagi yang dirisaukannya. Tapi astaga ! Ketika dia berpaling
ke timur ternyata dilihatnya perahu tadi kini berada sejajar di sebelah
kanannya.
“Kurang
ajar ! Siapa orang dalam perahu itu. Kalau dia bisa bermain-main di atas laut
dengan perahunya berarti dia bukan manusia sembarangan. Dia coba mengikutiku.
Bahkan sengaja berlayar mendampingi. Dia hendak mengejekku ! Awas ! Akan kuberi
pelajaran padanya ! ”
Kakek itu
lalu memegang kayu pendayung erat-erat di tangan kiri. Kedua matanya
dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Perutnya menggembung lalu mengempis. Hawa
sakti yang mengalir dari perut orang tua itu bergerak memasuki kayu pendayung
melalaui tangan kirinya yang tampak bergetar keras. Sesaat kemudian
perlahan-lahan dibukanya kedua matanya lalu memandang lagi ke arah timur.
Perahu tadi kelihatan di arah itu malah kini tampak lebih memepet mendekat. Si
kakek berusaha memperhatikan siapa penumpang perahu itu adanya. Namun kegelapan
malam sulit ditembus.
“Sekarang
kau terima hadiah dariku, penguntit gelap ! ” si kakek berkata. Tangan kirinya
yang memegang kayu pendayung diturunkan ke dalam air laut. Ujung kayu pendayung
diarahkannya tepat-tepat ke jurusan perahu di kejauhan. Lalu genggamannya
dilepaskan. Pendayung itu meluncur satu jengkal di bawah permukaan air laut.
Laksana seekor ikan hantu pendayung melesat ke arah perahu. Tak lama kemudian
kelihatan perahu di jauhan sana hancur berantakan bagian samping kirinya
terkena hantaman pendayung !
Si kakek
tertawa mengekeh. “Tamat riwayatmu penguntit tolol ! ”
Menjelang
dinihari si kakek mulai dapat melihat satu titik hitam di kajauhan. Makin
sering dia pergunakan tangan kiri mengayuh, makin cepat biduk itu meluncur
makin tambah besar titik yang dilihatnya itu. Lama-lama titik itu telah berubah
menjadi sebuah noktah hitam dan akhirnya terlihat jelas. Ternyata adalah sebuah
pulau.
Biduk
kecil medarat di tepi pantai. Dia memandang berkeliling. Juga menoleh ke tengah
lautan di belakangnya. Tak kelihatan apa-apa. Debur ombak yang memecah di
pantai pulau menimbulkan suara menggidikkan. Merasa aman si kakek turun dari
atas biduknya. Lalu dengan langkah bergegas dia memasuki bagian pulau yang
ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan semak belukar. Melihat caranya berjalan
yang begitu cepat tampaknya kakek ini sudah mengenal seluk beluk pulau itu.
Dalam waktu singkat dia sudah sampai di pertengahan pulau dimana terdapat
sebuah gubuk berdinding kajang beratap rumbia. Anehnya gubuk ini sama sekali
tidak ada jendela ataupun pintunya.
“Nyi
bulan, kau masih saja berlaku aneh seperti dulu-dulu….” Kata si kakek dalam
hati. Setelah memandang berkeliling dan menunggu sesaat maka orang tua ini
kemudian berseru. “Nyi Bulan Seruni Pitaloka! Aku tahu kau ada dalam gubuk.
Begini caramu menyambut tamu yang datang dari jauh?!”
Sunyi
sejenak lalu kesunyian itu dipecahkan oleh suara orang tertawa. Suara tawa
perempuan. Bagitu suara tawa lenyap terdengar sesuatu berkereketan. Bagian atap
gubuk yang terbuat dari rumbia tampak menguak. Tiba-tiba dari celah atap dan
dinding melesat keluar satu sosok tubuh. Di udara dia berjungkir balik beberapa
kali sebelum menjejakkan kedua kaki di tanah dan berdiri tegak hanya satu
langkah di hadapan si kakek hingga orang tua itu sesaat jadi tergagau dan mundur.
Betapa tidak. Yang berdiri di depannya adalah seorang nenek berwajah buruk
kalau tidak mau dikatakan menyeramkan. Hidungnya yang panjang bengkok dicanteli
sebuah anting bulat berwarna merah. Mulutnya yang berbibir tebal kelihatan
pencong perot. Yang menggidikkan adalah sepasang matanya. Mata si nenek
berwarna hitam semua, tak ada putihnya! Lalu rambutnya panjang berkeriting aneh
dan menebar bau busuk.
Melihat
si kakek tergagau atas kemunculannya yang mendadak si nenek tertawa mengekeh
sambil menggoyang-goyangkan kepalanya hingga rambutnya yang busuk menebar bau
tak sedap ke seantero tempat.
“Siapa
kau?!” sentak si kakek.
Si nenek
menjawab dengan tawa melengking.
“Kakek
jelek. Kalau kau punya peradatan sebagai pendatang kaulah yangharus
memperkenalkan diri lebih dulu. Tapi malam ini aku sedang senang. Aku bisa
memaafkan keteledoranmu. Biar aku yang menyebut siapa dirimu. Kakek jelek,
bukankah kau orangnya yang dikenal dengan gelar si Gergaji Setan?!”
Dalam
hatinya si kakek merasa terkejut. “Aku belum pernah mengenal perempuan celaka
ini. Bagaimana dia tahu namauku?” “Gergaji Setan, lekas bilang apa keperluanmu
menginjakkan kaki di pulau Sempu ini!” “Aku ke sini untuk mencari perempuan
bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka!” jawab si kakek.
“Hemm…..
Rupanya kau satu dari sekian banyak lelaki hidung belang yang tergila-gila pada
Nyi Bulan!”
“Jangan
bicara ngaco! Aku datang atas tugas yang diberikan kerajaan!”
“Ah!
Hebat betul! Kerajaan mempercayai satu tugas padamu orang yang selama ini
dikenal bukan sebagai tokoh silat baik-baik….”
“Siapa
aku tidak usah dipersoalkan! Tugasku lebih penting!”
“Kalau
kau memang mendapat tugas dari kerajaan, apakah kau bisa memperlihatkan surat
tugasmu?”
“Kau
tidak layak memeriksa! Apalagi melihat surat tugas kerajaan!”
“Hemmm…..
Beigut? Kalau begitu lekas putar jidatmu, angkat kaki dan pantatmu dari sini.
Tinggalkan pulau Sempu selagi kau bisa bernafas!”
Dalam
dunia persilatan si Gergaji Setan cukup dikenal dan merupakan satu tokoh silat
yang disegani walaupun dia bukan termasuk golongan putih. Ucapan si nenek tadi
jelas dirasakannya sangat merendahkan dan menghina dirinya. Namun karena dia
belum mengenal dan mengetahui siapa adanya nenek ini maka dia tidak mau
bertindak ceroboh.
“Soal
pergi bukan soal susah. Hanya saja aku ingin tahu siapa kau sebenarnya dan aku
tidak akan pergi sebelum ketemu dengan Nyi Bulan Seruni Pitaloka.”
“Kau
ternyat tua bangka keras kepala. Tidak melihat tingginya gunung Mahameru di
depan mata! Ketahuilah aku adalah pembantu Nyi Bulan Seruni. Semua urusan
dengan Nyi Bulan harus disampaikan lewat diriku!”
Si kakek
manggut-manggut. Tangan kirinya menusap-usap mata gergaji pada sambungan tangan
sebelah kanan.
“Ternyata
kau cuma seorang pembantu. Siapa sudi berurusan dengan seorang kacung buruk sepertimu?!”
Paras
buruk si nenek kelihatan berubah jadi tambah buruk. Matanya bersitkan sinar
hitam. Lalut erdengar tawanya melengking panjang.
“Tamu tak
tahu diri. Menyingkirlah sebelum aku menajdi marah!”
“Nenek
buruk! Jangan tolol! Lebih baik lekas kau panggilkan majikanmu! Aku kau muntah
bicara terlalu lama dengan perempuan busuk bau sepertimu!”
“Tua
bangka keparat! Lihat rambutku!” teriak si nenek marah sekali.
Perempuan
tua itu lalu goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang keriting bergerak
aneh, tidak ubahnya seperti senjata yang membabat ke arah kepala si Gergaji
Setan.
Si kakek
yang mengenakan jubah biru tak tinggal diam. Dia kebutkan lengan jubahnya
sebelah kiri. Terdengar suara berkesiuran. Serangan tangan kosong si nenek
buyar berantakan. Tubuhnya terjajar sampai tiga langkah. Di saat itu si Gergaji
Setan menekan. Dengan ganas tanagn kanannya yang berupa gergaji besi itu
membabat ke dada si nenek. Perempuan tua ini terlambat mengelak. Gergaji Setan
melanda dadanya. Tak dapat tidak dada itu akan terbabat dalam sampai
setengahnya. Tapi apa yang terjadi satu keanehan. Terdengar suara berkeresakan
yang keras seolah gergaji besi memapas benda keras.
Si
Gergaji Setan terbelalak kaget dan melompat mundur. Diperhatikannya mata
gergajinya ternyata semua masih utuh. Lalu dia memperhatikan ke depan. Pakaian
si nenek robek besar di bagian dada. Tapi dia sama sekali tidak terluka. Mata
si kakek memebelalak ketika melihat pada dada kiri kanan si nenek menempel dua
buah benda bulat kuning yang ada tonjolannya di bagian tengah.
“Bonang
penerus slindro dan bonang penerus pelog!” seru si kakek ketika dia mengenali
benda paa yang ada di dada si nenek. Justru kemunculannya di pulau itu adalah
dalan tugas mencari dua buah bebunyian pelengkap gemelan keraton itu!
“Kacung
Nyi Bulan!” seru si Gergaji Setan. “Jika kau mau menyerahkan dua buah bonang
itu secara baik-baik, aku berjanji mengampuni selembar nyawamu!”
“Ha….ha
hebatnya! Bagaimana kalau aku punyai dua lembar nyawa?!” ujar si nenek pula
mengejek lalu tertawa gelak-gelak.
“Kalau
begitu biar aku ambil dua-duanya!” kata si kakek dengan marah. Sekali
berkelebat maka dia sudah menyerang perempuan tua itu dengan teramat ganas.
Serangannya susul menyusul laksana deru ombak menghempas karang. Si nenek
dibuat sibuk dan harus bertindak cepat kalau tidak mau kehilangan anggota
badannya putus digilas tangan gergaji. Senjata yang menjadi satu bagian dengan
tangan yang buntung itu menggerus ke dada, membabat ke lengan, kadang-kadang
menukik ke perut lalu berbalik tidak terduga ke arah leher!
Dalam
satu gebrakan hebat pada jurus kedua puluh sembilan kaki kiri nenek pembantu
Nyi Bulan terpeleset. Tubuhnya tak ampun lagi jatuh terduduk di tanah. Sebelum
dia sempat berdiri lawan menyorongkan gergaji mautnya ke leher si nenek.
“Berani
kau bergerak putus lehermu!” ancam si Gergaji Setan.
“Berani
kau membunuhnya kubuat leleh sekujur tubuhmu!” satu suara tibatiba terdengar
membentak.
***************
TUJUH
Si
Gergaji Setan terkejut lalu berpaling. Si nenek yang lehernya hampir digorok
juga berusaha memalingkan kepala ke arah datangnya suara membentak itu. Saat
itu malam mulai menjelang pagi. Udara mulai terang-terang tanah. Si kakek dan
si nenek melihat seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong tegak sekitar
sepuluh langkah kanan. Kedua kakinya terkembang sedagn tangan kanannya mulai
dari siku sampai ke ujung jari kelihatan memancarkan sinar putih perak
menyilaukan. Tak berapa jauh dari pemuda ini, sedikit agak ke belakang berdiri
pula seorang pemuda lain berbadan gemuk luar biasa, mengenakan baju kesempitan
dan memakai peci hitam kupluk di atas kepalanya hampir menutupi alis.
Mata dan
kulit kening si nenek tampak berkerenyit. Dia mengenali siapa pemuda gendut
gembrot itu tapi tidak mengetahui siapa adanya pemuda gagah berambut gondrong
yang tengah mengancam si Gergaji Setan dengan satu pukulan sakti.
Sebaliknya
si Gergaji Setan mengenali siapa adanya si pemuda gondrong dan tidak tahu siapa
adanya si gendut.
“Pendekar
Kapak Maut 212 Wiro Sableng…. ” berkata Gergaji Setan. “Bagaimanadi abisa
muncul di pulau ini ! Apa keperluannya ! Jangan-jangan…. Dia mengancamku dengan
pukulan sinar matahari ! Gila betul!. Sekalipun aku mampu menggorok leher
perempuan celaka ini tapi rasanya aku tak bakal bisa lolos dari hantaman
pukulan sakti itu!” Gergaji Setan berpikir sesaat.
Si nenek
yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka capat membaca situasi. Kalaupun
pemuda gagah itu mampu membunuh si Gergaji Setan dengan pukulan saktinya,
lehernya sendiri tak mungkin lolos dari kematian digorok gergaji lawan. Maka
sebelum si kakek mengambil keputusan dia cepat mengangkat tangan kirinya dan
melambai memberi tanda pada semua orang.
“Pemuda
rambut gondrong! Jangan teruskan seranganmu! Kau tak bakal mampu menyelamatkan
nyawaku. Kakek setan keparat ini orangnya nekad! Biar aku serahkan dua buah
barang milik Nyi Bulan yang dicari dan diinginkannya! Asal saja dia tidak
menggorokku! Gergaji Setan, kau mau bersumpah tidak akan membunuhku jika dua
buah bonang yang ada di balik pakaianku aku serahkan padamu?!”
Gergaji
Setan idak berpikir panjang. Jika orang sudah berkata begitu mengapa dia harus
memperpanjang urusan? Maka cepat dia berkata.
“Aku
bersumpah! Tapi awas kalau kau berani menipu!”
Si nenek
menyeringai. Kedua tangannya bergerak ke arah dada. Dari balik pakaiannya dia
mengeluarkan dua buah benda bundar berwarna kuning ang bagian tengahnya
menonjol ke atas.
Pendekar
212 dan Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak tak jauh dari tempat itu sama-sama
saling pandang.
“Bonang
penerus slindro dan bonang penerus pelog…..?” bisik Bujang Gila Tapak Sakti.
Wiro mengangguk. “Heran. Bagaimana dua peralatan keraton yang hilang itu berada
di tangan si nenek tak dikenal ini?’
“Nenek!”
Bujang Gila Tapak Sakti berseru. “Kau harus menyerahkan dua buah bonang milik
Keraton itu padaku!”
“Gendut!
Aku tidak berurusan denganmu! Tapi dengan kakek berjuluk Gergaji Setan ini! Dia
utusan Kerajaan yang ditugasi mencari dua buah bonang ini! Aku merasa tidak ada
gunanya menahan alat bebunyian ini lebih lama…..” Lalu si nenek serahkan dua
buah bonang itu pada si Gergaji Setan yang segera diterima dan cepatcepat
dimasukkan ke dalam jubah birunya. Perlahan-lahan tangan gergajinya dijauhkan
dari leher si nenek.
“Nenek!”
kini Wiro yang berseru. “Bagaimana kau tahu kalau dia memang betul-betul utusan
Kerajaan?!”
“Apa
perdulimu!” menyahuti si nenek yang merasa nyawanya kembali setelah senjata
maut yang tadi menempel di lehernya diangakt ke atas.
Gergaji
Setan menyeringai. Dengan tangan kirinya dikeluarkan secarik kertas lalu
dilemparkannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Itu
surat tugasku! Ada cap Kerajaan! Kau lihat dan baca sendiri kalau tidak
percaya!” kata si Gergaji Setan. Lalu sekali dia bergerak, tubuhnya sudah
melesat lima langkah.
“Gergaji
Setan! Kau membatalkan niatmu menemui majikanku Nyi Bulan Seruni Pitaloka?!”
berseru si nenek.
Tanpa
berpaling si Gergaji Setan menyahuti. “Perlu apa lagi aku menemui janda itu.
Dua buah bonang pusaka Keraton sudah ada padaku!”
Sementara
itu begitu si Gergaji Setan berkelebat pergi Wiro memberi isyarat pada Bujang
Gila Tapak Sakti yang tegak di sampingnya agar si gendut ini segera mengambil
kertas yang tadi dilemparkan si Gergaji Setan. Pemuda gendut ini cepat
mengambil kertas itu. Dia kelihatan memutar-mutar dan keningnya berkerut-kerut.
“Sialan!”
damprat Wiro. “Kalau tidak bisa baca bilang saja!” Wiro lalu menarik kertas itu
dari tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang hanya bisa menyeringai tersipu-sipu.
Cepta
Wiro meneliti dan membaca surat tugas itu. Di bagian bawah memang ada cap
Kerajaan. Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah sering melihat surat-surat
penting yang dikeluarkan Kerajaan. Sekali melihat saja dia segera mengetahui
bahwa cap Kerajaan itu palsu. Berarti surat tugas itupun palsu!
“Surat
ini palsu!” teriak Pendekar 212 lalu berpaling ke arah larinya si Gergaji
Setan. Saat itu si kakek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Wiro dan
Bujang Gila Tapak Sakti kemudian sama menoleh pada si nenek berhidung bengkok.
Anehnya
perempuan tua berwajah buruk ini tampak menyeringai lalu terdengar suara
tawanya mula-mula perlahan kemudian mengeras tinggi.
“Pagi-pagi
aku sudah tahu kalau surat itu palsu! Siapa yang tidak kenal dengan si Gergaji
Setan? Tokoh silat berhati culas yang bisa jadi ular kepala lima!”
“Tapi dua
buah bonang itu sudah jatuh ke tangannya! Apa yang hendak kau lakukan?!” ujar
Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Betul!
Kalau kau sudah tahu surat itu palsu, mengapa dua buah bonang pusaka itu kau
serahkan padanya. Jangan-jangan kau berkomplot dengan dia. Karena melihat
kedatangan kami! Hayo lekas katakan apa yang akan kau lakukan?!” menukas Bujang
Gila Tapak Sakti.
“Lihat
saja!” jawab si nenek tak acuh. Lalu dia melompat bangkit. Pandangannya
diarahkan pada si Gergaji Setan yang saat itu berada hampir dua puluh langkah
di kejauhan dan siap lenyap di balik serumpunan semak belukar.
Dari
tempatnya berdiri baik Pendekar 212 maupun Bujang Gila Tapak Sakti dapat
melihat bagaimana sepasang mata si nenek yang keseluruhannya berwarna hitam
mengeluarkan kilatan menggidikkan. Lalu perempuan ini tampak anggukkan
kepalanya dua kali berturut-turut.
Wuss!
Wusss!
Dari
kedua mata si nenek melesat keluar dua larik sinar hitam berbentuk dua garis
lurus. Udara di tempat itu serta merta terasa panas. Dua larik sinar hitam
berkiblat ke arah si Gergaji Setan. Kakek ini baru sadar kalau dirinya diancam
bahaya ketika dua larik sinar sudah begitu dekat. Dia berpaling dan berseru
keras lalu cepat menyingkir. Namun terlambat. Dua larik sinar hitam keburu
menghantam punggung dan pinggangnya.
Terdengar
jeritan si Gergaji Setan sekali lagi. Tubuhnya terkapar di samping semak belukar.
Bagian punggung berlobang besar dan mengepulkan asap berbau sangitnya daging
tubuh yang terbakar. Bagian pinggang laksana dipanggang dan hampir putus. Si
Gergaji Setan menemui ajal secara sangat mengerikan.
Bujang
Gila Tapak Sakti leletkan lidah sementara Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa
menyaksikan kejadian itu sambil garuk-garuk kepala.
“Panasnya
udara ini! Aku tak tahan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti lalu keluarkan kipas
kertasnya dan mulai berkipas-kipas. “Aku harus pergi dari sini tapi dia buah
bonang itu harus kuselamatkan lebih dulu!” Lalu si gendut ini hendak melangkah
ke arah mayat si Gergaji Setan. Namun langkahnya tertahan ketika dia mendengar
suara tertawa bergerak dari arah depan sementara Wiro dan si nenek tampak
tercekat.
Sesaat
kemudian dari balik semak belukar di dekat mana mayat si Gergaji Setan terkapar
muncul satu sosok tubuh gendut, berambut putih yang digulung ke atas, bermata
sipit dan menunggangi seekor keledai kurus pendek.
“Dewa
Ketawa!” ujar Wiro.
Orang
gendut yang barusan datang menunggang keledai memang benar si kakek aneh yang
dikenal dengan panggilan Dewa Ketawa adanya. Dengan matanya yang sipit dia
memandang si neenk, Wiro dan agak terkejut ketika melihat Bujang Gila Tapak
Sakti juga ada di situ.
“Kerbau
Bunting! Ada apa kau tahu-tahu muncul di sini?!” Wiro menegur.
Si kakek
meledak tawanya.
“Aku
senang kau masih mau memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting itu !
Ha…ha….ha… ! Pendekar 212 apakah kau ada baik-baik saja ? Ketahuilah kita semua
berada di sini dengan tujuan yang sama. Mencar dan menemukan kembali dua buah
bonang pusaka milik Keraton. Gusti Allah menolongku dan memberi keberuntungan
padaku hingga aku tidak terlambat !” Lalu si kakek gendut ini turun dari
keledainya. Dengan cepat dia memeriksa dada pakaian si Gergaji Setan. Lalu
tampak dia mengeluarkan dua buah bonang yang terbuat dari besi kuning itu dan
memasukkannya ke dalam kantong perbekalan yang tergantung di leher keledai.
Sambil tertawa-tawa si kakek lambaikan tangannya. “Selamat tinggal kalian bertiga.
Aku merasa tak ada kepentingan lain lagi di pulau ini !”
“Tunggu !
Aku punya kepentingan !” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Dewa
Ketawa menoleh pada pemuda gendut itu. Sambil naik ke punggung keledainya dia
berkata. “Ah, kau rupanya. Kucari ke puncak Mahamer. Kukira kau sudah jadi
batu. Mungkin juga sudah jadi santapan binatang buas. Nyatanya kau masih hidup
dan ada di sini ! Ha….ha…..ha…. ! Coba kau katakan apa kepentinganmu !”
“Pertama,
kau harus serahkan kedua bonang itu padaku ! Kedua aku ingin menggebukmu. Tujuh
tahun kau memendamku dalam lobang inti es !”
Dewa
Ketawa tertawa gelak-gelak. “Apa yang kau katakan itu bukan kepentingan !
Pertama, dua buah bonang itu bukan milikmu. Kedua kau kuhukum karena memang
berbuat salah yaitu mencuri dua buah bonang ini ! Ciluk baaaaa. Maluuuuu…… !”
Diejek
begitu rupa Bujang Gila Tapak Sakti jadi naik darah. Sekali lompat saja dia
sudah sampai di depan Dewa Ketawa. Tapi si kakek gendut tidak kalah cepat. Dia
menggebrak pinggul keledainya. Binatang dan penunggangnya melesat ke depan,
lenyap di balik pepohonan.
“Paman
jahat sialan ! Apa kau kira bisa kabur seenaknya ?!” teriak Bujang Gila Tapak
Sakti. Dia coba mengejar. Tapi dari arah depan ada satu gelombang angin
menghantam dengan tiba-tiba. Demikian derasnya gelombang ini hingga pemuda
gemuk itu walaupun memiliki bobot hampir 150 kati tetap saja terpelanting dan
jatuh tunggang langgang.
Bujang
Gila Tapak Sakti membalas dengan mendorongkan telapak tangan kanannya.
Terdengar suara berkesiuran ketika ada angin kencang menggebubu keluar dari
telapak tangan si pemuda. Braak….! Braaaakkkkkk! Semak belukar rambas
berpelantingan. Pohon-pohon kecil bertumbangan. Namun selanjutnya serangan
angin sakti yang dilepaskan Bujang Gila Tapak Sakti itu hanya melanda tampat
kosong.
“Keparat
sialan! Paman celaka itu akan kukejar kemanapun dia pergi!” serapah si pemuda
lalu melompat dan berkelebat ke arah lenyapnya Dewa Ketawa. Mengejar sampai
puluhan tombak Bujang gila Tapak Sakti masih belum menemukan si orang tua. Dia
terus mengejar hingga akhirnya sampai di tepi pantai. Saat itu udara telah
semakin terang. Langit di ufuk timur tampak benderang. Memandang ke tengah laut
Bujang Gila Tapak Sakti jadi melengak, tarik nafas dalam dan bantingkan kakinya
ke pasir pantai.
Saat itu
jauh di tengah laut tampak sebuah perahu meluncur dengan cepat memecah
gelombang pagi. Di atas perahu ada seekor keledai dan di bagian belakang tampak
orang tua gendut berjuluk Dewa Ketawa itu!
“Setan!
Setaaaannnnnn!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti sambil meninjuninjukan tangan
kanannya ke telapak tangan kiri. Dia mencebur masuk ke dalam air laut. Kedua
tangannya dipukulkan ke atas air. Terjadilah suatu yang luar biasa. Dengan
kesaktiannya air laut yang dipukul itu bergulung besar membentuk gelombang
tinggi lalu menghantam ke tengah laut tempat beradanya perahu Dewa Ketawa.
Perahu itu sempat bergoncang keras oleh hantaman gelombang yang memukulnya.
Namun perahu itu sudah berada terlalu jauh ke tengah. Hantaman pukulan sakti
Bujang Gila yang membuat gelombang besar itu hanya mampu menggoncangkannya,
sama sekali tidak mampu membuatnya terbalik!
Sadar dia
tidak bisa berbuat banyak lagi, sambil memaki panjang pendek Bujang Gila Tapak
Sakti keluar dari laut. Dia menghampiri sebatang pohon kelapa besar.
Tangan
kanannya bergerak.
Braaakk!
Pohon
kelapa itu berderak patah lalu tumbang. Si pemuda gosok-gosokkankedua tangannya
hingga ada hawa dingin mengalir. Lalu dengan kesaktian luar biasa yang
dimilikinya, hanya dengan mempergunakan tangan kosong, batang kelapa besar itu
dibentuknya menjadi sebuah perahu ramping. Selesai membuat perahu dia
mematahkan dua batang kayu untuk dijadikan pendayung.
Ketika
Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengikuti Bujang Gila Tapak Sakti sampai pula di
tepi pantai, dilihatnya pemuda gendut itu sudah berada di tengah lautan, duduk
di atas batang kelapa berbentuk perahu seperti menunggang kuda. Kedua tangannya
kiri kanan bergerak cepat mendayung hingga sebentar saja perahu itu semakin
jauh ke tengah dan akhirnya lenyap dari pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kini
murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede inilah yang memaki panjang pendek
karena ditinggal begitu saja. Padahal sebelumnya mereka datang ke pulau itu
bersama-sama. Di tengah laut perahu mereka hancur berantakan oleh pendayung
yang dihantamkan si Gergaji Setan dan mati-matian keduanya terpaksa berenang
untuk mencapai pulau Sempu yang menjadi tujuan mereka di mana diketahui
beradanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang menguasai dua buah bonang perlengkapan
gamelan Keraton.
Selagi
Wiro mengomel seorang diri seperti itu tiba-tiba satu suara menegurnya.
“Tak ada
gunanya mengomel anak muda berambut gondrong. Dewa Ketawa dan keponakannya
sudah pergi jauh. Dua buah bonang yang kau cari juga tak ada lagi di sini.”
Tanpa
berpaling Wiro menjawab.”Kalau saja ada perahu di tempat ini pasti sudah
kukejar paman dan keponakan sialan itu. Gara-gara mereka aku jadi tersesat ke
pulau ini!”
Di
belakangnya terdengar suara orang tertawa.
“Dalam
hidup ini memang banyak hal yang membuat kita kecewa. Tapi apa kau tahu justru
banyak manusia yang sengaja mencari kekecewaan….?”
Ucapan
ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi memutar tubuh. Kini dia
berhadap-hadapan dengan nenek berwajah buruk yang mengaku pembantu Nyi Bulan
Seruni Pitaloka itu.
***************
DELAPAN
Kau
rupanya….. kataWiro agak kaget. Kedua matanya menatap lekat-lekat pada wajah
buruk perempuan tua itu.
“Kau
terkejut anak muda?” tanya si nenek.
“Ya,
kukira siapa…..” jawab Wiro lalu mulutnya menyunggingkann senyum.
“Kau
manusia aneh. Barusan kau memperlihatkan rasa kaget, kini malah tersenyum. Apa
ada yang lucu? Atau kau menertawaiku? Awas kau….”
“Sabar
nek,” kata Wiro cepat seraya mundur satu langkah karena dilihatnya si nenek
menggerakkan tangan kanan. “Dari jauh wajahmu kelihatan seram. Tapi setelah
dekat begini rupa kurasa sebenarnya wajahmu bukan seram tapi malah lucu!”
“Kurang
ajar, apakah kau hendak mempermainkan orang tua yang umurnya lima kali
usiamu?!” bentak si nenek.
“Maafkan
aku,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Aku tersenyum karena belum pernah
melihat orang pakai anting di cuping hidung sepertimu. Setahuku orang pakai
anting di telinga. Hidungmu walau bengkok kulihat bagus. Sayang hidung
dilobangi untuk dicanteli anting. Eh, apa kau pernah punya kekasih nek?”
“Sialan!
Apa maksud pertanyaanmu?!” sentak si nenek.
“Tidak
ada maksud apa-apa. Cuma aku mau tahu saja kalau kekasihmu menciummu apa dia
tidak repot karena ada anting besar merah di hidungmu itu?!”
Si nenek
kelihatan marah namun sesaat kemudian dia tersenyum lalu meledak tawanya tinggi
dan panjang.
“Sekarang
aku yang bertanya nek. Mengapa kau tertawa begini rupa?”
Perempuan
tua itu geleng-geleng kepala. “Aku mau tanya dulu, apa betul kau orangnya yang
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 seperti yang diucapkan si Gergaji
Setan tadi?”
Wiro
kembali garuk-garuk kepala.
“Hai!
Kulihat dari tadi kau menggaruk kepala berulang kali. Pasti kau sudah lama
tidak mandi. Cuci mukapun mungkin juga tidak…..”
Si nenek
lalu tertawa mengekeh sementara Wiro hanya tegak tersipu-sipu.
“Ah,
seharusnya aku tidak layak bicara dan tertawa-tawa dengan orang yang pantas
jadi cucuku…..”
“Aku
yakin kau sebenarnya seorang ramah, nek.” Kata Wiro memuji lalu pemuda ini
melihat ada kerlipan sinar aneh pada kedua mata yang hitam dari si nenek.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa benar kau Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Sebetulnya
aku orang biasa saja. Orang lain saja yang macam-macam menjuluki diriku yang
bukan-bukan.”
“Kau
datang ke pulau Sempu ini ada keperluan apa?”
“Aku
datang bersama si gendut brengsek itu…..”
“Ya, aku
tahu siapa dirinya. Namanya Santiko, dipanggil orang dengan nama Bujang Gila
Tapak Sakti. Kau bersahabat dengan dia….?”
“Bersahabat
benar ya tidak. Soalnya dia sering mengencingiku. Kalau sahabat masakan tega
mengencingi kawan sendiri!”
Si nenek
tak dapat menahan tawanya. Dia tertawa hingga kedua matanya yang hitam berair.
Wiro memperhatikan wajah dan sepasang mata perempuan itu.
“Aku
tahu! Seperti si gendut itu kau kemari untuk mencari dua buah bonang milik
Kerajaan. Betul?!”
Wiro
mengangguk. “Dewa Ketawa, paman Bujang Gila Tapak Sakti yang meminta aku untuk
mendapatkan dua buah peralatan gamelan itu, Keraton kini dilanda kebingungan
besar dengan lenyapnya dua buah alat berbunyian itu. Kabarnya Nyi Bulan Seruni
Pitaloka yang mencurinya….”
“Dari
mana kau tahu janda itu yang mencurinya?”
“Dia
bukan mencuri, dia hanya menyuruh seseorang untuk mengambilnya. Yaitu si gendut
Bujang Gila Tapak Sakti itu!”
Wiro
menyeringai. “Kalau begitu, si Bujang Gila adalah maling kecil karena dia hanya
disuruh saja. Dan Nyi Bulan berarti yang jadi maling besarnya karena dia biang
keroknya!”
“Enak
saja kau mengatakan majikanku biang kerok. Kutampar pecah kepalamu!” si nenek
mengancam.
Wiro
angkat tangannya. “Jangan aku ditampar nek. Aku hanya ingin bertanya satu kali
lagi. Setelah itu akan pergi dari sini.”
“Apa yang
hendak kau tanyakan…..?” Dua mata si nenek menyorot ke arah Wiro.
“Apa
betul kau pembantunya Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu?”
Si nenek
terdiam sesaat. Lalu “Eh, ada perlu apa kau bertanya begitu?!”
“Kalau
kau tak mau menjawab sudahlah. Aku pergi. Tapi…..” Wiro memandang berkeliling.
“Laut begini luas. Tak punya perahu tak mungkin berenang. Bagaimana aku bisa
pergi dari sini….” Wiro memandang pada si nenek. “Jika kau berada di pulau ini
berarti kau punya perahu untuk datang ke sini. Apa aku boleh meminjam perahumu
nek?”
“Enak
bicaramu! Kalau aku pinjami lalu aku mau pakai apa nanti?”
“Bukankah
di sini ada dua buah perahu?” ujar Wiro pula.
“Dari
mana kau tahu?!”
“Bukankah
kau tinggal di sini bersama Nyi Bulan? Berarti paling tidak ada dua buah perahu
di tempat ini.”
“Nyi
Bulan sedang tidak ada di pulau ini. Dia pergi dengan perahunya. Hanya ada satu
perahu di sini. Kalaupun ada dua aku tak akan memeberikannya padamu. Kau datang
mau-maumu sendiri. Silahkan pergi semaumu pula!”
“Ah,
nasibku jelek amat kalau begitu!” ujar Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Nek,
kau pernah melihat kuda melahirkan?’
“Apa-apaan
kau bertanya seperti itu?”
“Jikalau
kau tertarik, aku punya seekor kuda betina di teluk. Sedang hamil besar. Kurasa
hari ini adalah hari dia akan melahirkan. Paling tidak besok. Kalau kau ingin
melihat kita bisa pergi bersama-sama….”
“Itu
hanya akalmu saja agar kau bisa meninggalakan pulau ini, naik perahu bersamaku.
Kau cerdik tapi ketololanmu bisa kubaca!”
Wiro
menghela nafas dalam lalu berkata. “Aku mau pergi. Jadi kau tak bersedia
menolong?’
“Dari
tadi kau selalu bilang mau pergi. Mau pergi. Tapi tidak pergi-pergi. Sudah
pergi sana !”
“Sebelum
pergi aku ingin melihat tempat kediaman Nyi Bulan dulu. Mungkin dia bisa
menolongku.”
“Kau tak
layak melihat. Bukan sembarang orang boleh masuk !”
“Hemmm
begitu?” kata Wiro seraya usap-usap dagunya. “Tadi kulihat kau keluar dari
dalam gubuk kajang beratap rumbia tak ada pintu tak ada jendela. Apa di gubuk aneh
itu kediamanmu bersama Nyi Bulan? Tadi aku diam-diam coba mengintip ke dalam
gubuk. Di dalam ternyata kosong melompong. Tak ada apa-apanya. Tapi di bawah
lantai tanah aku merasa ada sesuatu tersembunyi. Mungkin kau dan majikanmu itu
tinggal di bawah tanah seperti undur-undur!”
Paras si
nenek berubah. Wiro menatapnya dengan tersenyum lalu berkata “Aku suka melihat
kedua matamu yang hitam semua tak ada putihnya itu. Apakah Nyi Bulanmu yang
membuatkan mata itu untukmu? Jangan-jangan pendanganmu bisa tembus hingga kau
bisa melihat auratku sebelah dalam….!”
“Pemuda
lancang! Mulutmu kurang ajar!” teriak si nenek. Dia maju selangkah hendak
memukul. Wiro hanya tegak diam. Perlahan-lahan si nenek tarik pula tangannya.
Dia membalikkan tubuh dan terdengar berucap. “Lekas tinggalkan pulau Sempu ini
sebelum aku berna-benar marah!”
“Aku
tidak akan mau pergi sebelum tahu siapa kau sebenarnya. Jangan-jangan kau
adalah Nyi Bulan janda yang tersohor sampai di Kotaraja itu.”
Terdengar
suara tercekat. Si nenek membalik dan kini kedua matanya yang hitam pekat
tampak berkilat-kilat memandang pada Pendekar 212.
“Nek….”
kata Wiro perlahan seraya mengulurkan tangan memegang lengan perempuan tua itu.
“Eh!
Berani-beraninya kau memegang diriku!” tangan si nenek lalu menampik tangan si
pemuda.
“Nek,
kalau kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya tak jadi apa. Terus terang
aku sudah tahu keadaan dirimu sebenarnya. Nah, aku memang harus pergi. Aku terpaksa
mencari batang pohon dulu untuk kujadikan perahu!”
Wiro
membalikkan diri lalu melangkah ke arah sederet pepohonan.
“Tunggu
dulu!” seru si nenek.
Wiro
hentikan langkah dan berpaling.
“Apa yang
kau ketahui tentang diriku?! Lekas jawab !”
Wiro
terdiam sesaat. Kedua matanya menatap wajah dan sepasang mata hitam si nenek.
Dipandang lama dan lekat seprti itu membuat si nenek seperti gelisah lalu
palingkan wajahnya ke jurusan lain.
“Aku tahu
kau bukan pembantu atau kacungnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka !” kata Wiro.
Bahu si
nenek tampak bergetar.
“Apa lagi
yang kau ketahui?”
“Sudahlah!
Buat apa kita bertanya jawab panjang lebar. Akan mulai membuat perahu
sebisaku.” Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya.
Si nenek terkesiap melihat kapak sakti bermata dua yang memancarkan sinar
menyilaukan itu. Dalam hati perempuan tua ini berkata. “Mungkin senjata mustika
itu bisa menolongku memecahkan masalah. Tapi apakah pemuda ini bisa
dipercaya…..? Kadang-kadang kulihat dia seperti kurang waras. Kadang-kadang
ucapannya kurang ajar seenaknya….. Bagaimana ini? Tapi kalau tidak kucoba
rasanya tidak puas hatiku.”
“Pendekar
212!” memanggil si nenek.
“Eh, ada
apa lagi ini?”
“Aku
ingin membuat perjanjian denganmu!”
“Perjanjian?
Perjanjian apa?” tanya Wiro.
“Temui
aku tengah malam dua hari dari sekarang di Candi Gajah di bukit Imogiri….”
Wiro
tersenyum lalu tertawa panjang. “Jika kau seorang gadis cantik jelita tanpa
dimintapun aku malah berharap dapat bertemu denganmu. Siapa sudi berjanji
denganmu nek.”
“Jangan
bergurau. Aku tidak main-main….”
“Aku juga
tidak main-main,” sahut Wiro.
Si nenek
tampak marah sekali. Tiba-tiba tanagn kanannya bergerak ke arah wajahnya. Dia
membuat gerakan seperti merenggutkan sesuatu. Di lain saat Wiro jadi melengak
kaget. Si nenek ternyata telah menarik lepas sehelai topeng kulit yang halus
sekali dari kepalanya. Kini kelihatanlah satu wajah perempuan muda luar biasa
cantiknya. Bahkan kedua mata si nenek yang semula hitam pekat kini tampak putih
hitam bening berkilat indah sekali.
“Siapa
kau sebenarnya….?” Tanya Wiro masih setengah tercekat dan kagum.
“Apa kau
masih tak membuat janji bertemu denganku di bukit Imogiri?!”
“Ah…!”
Wiro menyeringai. “Katakan dulu siapa dirimu sebenarnya. Janganjangan kau
adalah setan pulau atau jin laut yang memperlihatkan diri sebagai nenek lalu
berubah menjadi perempuan muda dan cantik…”
“Kau
selidikilah sendiri!” kata si jelita. Lalu dia menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya melesat ke atas atap gubuk. Bersamaan dengna itu atap gubuk terbuka
dan tubuh perempuan itupun lenyap masuk ke dalam gubuk. Wiro mengejar, melompat
dan coba ikut menyusup tapi atap gubuk yang terbuat dari rumbia itu sudah
menutup kembali.
“Sialan!”
maki Wiro. Karena masih menggenggam Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya,
semula murid Eyang Sinto Gendeng ini hendak pergunakan senjata itu untuk
menghancurkan atap. Tapi dia berpikir. “Si nenek sepertinya tidak berniat jahat
terhadapku. Ada satu rahasia yang disembunyikannya. Kalau aku merusak gubuk ini
mungkin dia akan marah besar dan aku bisa dapat kesulitan.” Setelah berpikir
lagi sesaat akhirnya Pendekar 212 turun dari atas atap. Dia mengorek dinding
gubuk sedikit lalu mengintai ke dalam. Tak ada benda apapun di situ, kecuali
hanya lantai tanah. “aneh, kesaktian apa yang dimiliki perempuan itu hingga
bisa lenyap begitu rupa? Apakah dia amblas menembus tanah?”
Sambil
geleng-geleng kepala Wiro akhirnya tinggalkan tempat itu. Tiga langkah dia
berjalan dari arah gubuk terdengar suara orang berseru. Suara perempuan.
“Pendekar
2121! Berjalanlah dua ratus langkah ke arah timur! Kau akan menemukan tiga buah
perahu. Kau boleh mengambil salah satu untuk menyeberang ke daratan”!
Wiro
tertawa perlahan lalu menjawab. “Terima kasih nek! Eh, siapa kau. Nenek atau
gadis jelita adi. Ya sudah terima kasih nek gadis!” Wiro tertawa gelakgelak
lalu melangkah cepat ke jurusan sesuai petunjuk suara tadi.
***************
SEMBILAN
Keledai
kurus dan pendek itu kelihatan seperti terbang memasuki pintu gerbang Kotaraja
di sebelah timur. Dewa Ketawa yang berada di atas punggung binatang ini tampak
tersenyum-senyum.
“Kalau
malam ini bisa kutemui sang Patih berarti selesailah urusan gila ini! Sialan
betul! Lebih dari tujuh tahun aku dibuat tersiksa. Gara-gara keponakan kurang
ajar itu!”
Dalam
waktu singkat Dewa Ketawa sampai di hadapan sebuah gedung bagus yang di bagian
depannya tampak menyala sebuah lampu minyak besar. Inilah gedung kediaman Patih
Kerajaan. Dua orang pengawal yang tengah bertugas segera menghadang di pintu
masuk.
“Orang
tua penunggang keledai. Kami tidak kenal siapa dirimu. Apa keperluanmu
malam-malam mendatangi tempat kediaman Patih Kerajaan?”
Dewa
Ketawa menatap tampang pengawal yang barusan menegur lalu tertawa perlahan.
“Pengawal konyol, kau tidak perlu mengenal aku. Adapun keperluanku ialah hendak
menemui Patih Kerajaan. Katakan padanya Dewa Ketawa datang menghadap.”
“Apa?
Siapa? Namamu Dewa Ketawa. Eh, betul….?” Pengawal satunya bertanya
terheran-heran.
Orang tua
gendut di atas keledai itu menjawab dengan suara gelak berderai. “Lekas beri
tahu Patih Kerajaan. Aku datang membawa urusan penting. Disamping itu aku juga
ingin minta kopi manis. Minum kopi malam-malam begini tentu nikmat sekali!”
“Orang
tua, maan mungkin kami akan memberi tahu Patih bahwa ada orang yang hendak
menghadap malam-malam buta begini. Salah-salah kami bisa kena tendangan!”
“Kalau
begitu biar aku yang memberitahu langsung!” Dewa Ketawa lalu menggebrak
keledainya. Dua orang pengawal cepat mencegah namun keduanya segera terpental
jungkir balik di tanah. Ketika Dewa Ketawa mencapai tangga dan hendak bertindak
turun tiba-tiba seorang pemuda bertubuh tinggi tegap muncul dan menegur sopan.
“Orang
tua, keu tentu datang dari jauh dan membawa urusan penting. Mari kusuruh orang
menjaga keledaimu. Kau harap memberi tahu apa keperluanmu.”
“Kau
betul. Aku membawa satu urusan maha penting. Aku ingin menghadap Patih
Kerajaan,” jawab Dewa Ketawa.
“Ah, kau
tentu orang penting yang tengah ditunggu-tunggu oleh Patih. Namun patut saya
beritahu sejak sore tadi Patih kurang sehat. Saat ini dia baru saja pulas.
Tentu kau sependapat denganku bahwa terlalu tidak sopan kalau dia dibangunkan.
Apakah kau tidak keberatan menunggu sampai pagi datang. Lalu kita sama-sama
menghadapnya. Di samping itu kau tentu sangat letih, ingin istirahat. Paling
tidak sebelum merebahkan diri di kasur yang empuk kau juga ingin menikmati kopi
hangat barang seteguk dua teguk.”
Melihat
orang menyapa dengan ramah dan sopan serta tampang si pemuda yang gagah
disertai potongan tubuh yang kekar, Dewa Ketawa tertawa bergelak dan
angguk-anggukkan kepala.
“Tawaran
bagus, siapa mau menolak?!” katanya. Diambilnya buntalan yang tergantung di
leher keledai.
“Kalau begitu
ikuti saya,” kata si pemuda pula. Dia memanggil seorang pengawal dan
memerintahkan agar mengurus keledai Dewa Ketawa. Lalu pemuda ini memberi tanda
agar Dewa Ketawa mengikutinya.
“Anak
muda, siapa namamu dan apa jabatanmu di gedung kepatihan ini?” bertanya si
gendut bermata sipit Dewa Ketawa.
“Saya
Angling Kamesworo, hanya seorang pembantu Patih Kerajaan….” jawab si pemuda.
“Ah
sungguh luar biasa. Semuda ini kau sudah menduduki jabatan yang begitu
tinggi.Tak lama lagi kau tentu akan diangkat menjadi Patih menggantikan Patih
yang sekarang…..”
“Aku
masih harus banyak belajar….” jawab Angling Kamesworo. Dia membawa orang tua
itu ke dalam sebuah kamar yang cukup luas. Selain ada seperangkatan kursi juga
ada sebuah ranjang berkasur tebal dan empuk.
“Orang tua,
kau belum memperkenalkan dirimu. Harap kau suka memberi tahu….”
“Panggil
aku Dewa Ketawa….”
“Astaga!
Sungguh mataku buta tidak melihat Mahameru di depan mata!” kata Angling
Kamesworo lalu membungkuk dalam-dalam. “Dewa Ketawa, silahkan duduk. Kalaupun kau
hendak langsung istirahat dan tidur silahkan naik ke atas ranjang itu….”
Dewa
Ketawa tertawa dulu lalu meletakkan buntalan yang dibawanya di atas meja. Dari
dalam buntalan terdengar suara seperti dua benda keras saling beradu atau
bergesekan.
“Dewa
Ketawa, saya lihat kau membawa dan meletakkan buntalan itu dengan sangat
hati-hati. Isinya tentu benda sangat berharga….” kata Angling Kamesworo yang
sejak tadi memeperhatikan buntalan buruk yang dibawa si tua gendut ini .
Dewa
Ketawa mengekeh. “Pandangan matamu tajam, kau jelas orang cerdik. Tidak salah
kalau kau dipercayakan Sultan jabatan yang tinggi. Karena kau orang baik dan
setelah aku tahu kau ternyata orang kepercayaan kerajaan maka aku tidak akan
menyembunyikan rahasia lagi apa yang kubawa dalam buntalan itu. Tapi aku ingin
kau menerkanya lebih dulu Angling Kamesworo.”
Si pemuda
tersenyum. “Kalau saja saya mempunyai kesaktian untuk dapat melihat tembus,
tentu saya bisa menerka isi buntalanmu itu Dewa Ketawa. Sayang saya tidak pnya
kepandaian itu….”
Dewa
Ketawa tertawa panjang. Dia merasa semakin suka pada pemuda ini. “Baiklahm akan
kukatakan padamu. Buntalan butut ini berisi dua buah benda maha berharga bagi
Kerajaan. Dua buah bonang pelengkap perangkat gamelan Kraton yang hilang ada di
dalamnya! Akan kuserahkan pada Sultan melalui Patih Kerajaan!”
“Gusti
Allah Maha Kuasa!” kata Angling Kamesworo.
“Dua buah
bonang pusaka dan sangat keramat itu akhirnya ditemui juga. Dewa Ketawa, Sultan
pasti akan memberikan hadiah besar luar biasa padamu. Bukan mustahil kau akan
diangkatnya menjadi Adipati di satu wilayah penting!”
Dewa
Ketawa tertawa bergelak.
“Tua
bangka yang sudah bau tanah sepertiku ini sama sekali tidak mengharapkan hadiah
besar, juga tidak menginginkan jabatan. Kalau dua benda pusaka itu sudah
kembali patut kita semua bersyukur. Lenyapnya dua buah bonang ini ada hikmahnya
Angling. Yaitu agar kita semua lebih waspada agar jangan terjadi lagi hal
seperti itu. Omong-omong, bolehkah aku minta kopi hangat berang secangkir? /aku
memang letih tapi belum mengantuk benar.”
“Akan
saya suruh orang menyiapkannya. Saya sendiri nanti yang akan membawanya ke
mari.”
Si gendut
kembali tertawa panjang sementara Angling Kamesworo membuka pintu kamar dan
segera keluar.
Tak lama
kemudian pemuda ini muncul kembali membawa sebuah cangkir besar. Bau harumnya
kopi menebar dalam kamar itu. Dewa Ketawa tertawa lebar menyambuti cangkir yang
diserahkan padanya.
“Silahkan
menikmati kopinya. Sehabis minum kau bisa istirahat. Besok pagipagi sekali
saya akan menghubungi Patih dan memberi tahu kedatanganmu….”
“Terima
kasih anak muda,” kata Dewa Ketawa. Kopi yang masih sangat panas itu langsung
saja diteguknya, membuat Angling Kamesworo terkesiap karena ternyata panasnya
minuman itu tidak membuat bibir, mulut ataupun lidah si kakek gendut melepuh.
Dari situ saja dia sudah mengetahui begaimana saktinya orang ini.
“Saya
minta diri dulu. Sampai besok pagi….” kata Angling Kamesworo seraya membungkuk
lalu melangkah ke pintu.
“Sampai
besok pagi !” menyahuti Dewa Ketawa. Sesaat dia memperhatikan pemuda itu
menutup pintu kamar lalu kembali meneguk kopinya hingga habis. Orang tua ini
meletakkan cangkir di atas meja lalu menggeliat beberapa kali. Perlahan-lahan
dia bangkit dari kursi. Sekujur tubuhnya yang gemuk terasa letih ada perasaan
aneh di dada dan perutnya menjalar ke seluruh tubuh. Orang tua bertubuh gemuk
ini kelihatan mengernyit lalu memegangi dada dan perutnya. Sesaat kemudia satu
jeritan keras keluar dari mulutnya. Bersamaan dengan itu darah segar ikut
menyembur.
“Kurang
ajar ! Aku diracun….” Hanya kata-kata itu yang sempat diucapkannya. Lalu
tubuhnya yang hampir 200 kati itu roboh ke pinggiran ranjang. Sepasang matanya
yang sipit mendelik.
Begitu
Dewa Ketawa roboh ke ranjang, pintu kamar tampak terbuka. Angling Kamesworo
muncul bersama sepuluh orang perajurit. Dua diantara memebawa sebuah tandu.
“Gotong
orang itu ke luar. Naikkan ke atas gerobak bersama keledainya. Buang mayatnya
dan keledai di jurang dalam dekat Candi Gajah ! Ingat baik-baik apa yang kalian
lakukan adalah rahasia besar. Jika sampai bocor kepala kalian semua akan
kupancung tanpa ampun !”
Sepuluh
orang perajurit itu segera masuk ke dalam kamar. Tubuh gemuk Dewa Ketawa
dibujurkan di atas tandu lalu digotong keluar kamar. Angling Kamesworo kemudian
mengambil buntalan di atas meja. Ketika diperiksanya isinya ternyata memang dua
buah bonang milik Keraton yang lenyap dicuri orang lebih dari tujuh tahun
silam. Pemuda ini menyeringai. Dua buah bonanag itu dipegangnya satu di tangan
kiri satu lagi di tangan kanan. Lalu perlahan-lahan dua buah tonjolan bonang
diadunya satu sama lain. Terdengar suara tidak seberapa keras tetapi diikuti
gema yang panjang tanda dua buah peraltan itu memang dibuat dari logam yang
bukan sembarangan.
Angling
Kamesworo memasukkan dua buah bonang itu kembali ke dalam buntalan.Lalu
cepat-cepat keluar dari kamar, kembali ke kamarnya sendiri. Ketika keluar
pemuda ini seudah berganti pakaian. Tak lama kemudian dalam kegelapan tampak
dia memacu seekor kuda menuju selatan yaitu berlawanan arah dari arah yang
ditempuh rombongan yang membawa sosok tubuh Dewa Ketawa dan keledainya. Di luar
Kotaraja wakil patih kerajaan ini membelok ke timur mengikuti sebuah sungai
kecil. Di satu tempat dimana air sungai cukup dangkal dia menyeberang kemudain
memacu tunggangannya menuju daerah bebukitan yang jarang didatangi orang.
***************
SEPULUH
Candi
Gajah di bukit Imogiri kini tak lebih dari sebuah reruntuhan saja. Patung Gajah
besar di halaman depan hanya tinggal bagian tubuh dan empat kaki dalam keadaan
rusak sedang kepalanya lenyap entah kemana.
Jauh
sebelum tengah malam seorang lelaki muda berkumis dan berjanggut lebat
kelihatan berada di tempat. Dia sengaja naik ke atas sebatang pohon berdaun
rimbun lalu duduk di sebuah cabangnya yang gelap kelindungan. Orang ini agaknya
tengah menunggu seseorang.
Tapi yang
ditunggu tidak muncul-muncul. Orang ini mulai kesal. Waktu berjalan seolah
merayap. Apalagi udara malam di bukit Imogiri itu cukup dingin dan nyamuk hutan
menyengat laksana menyerbu.
“Sialan,
tak ada yang muncul. Jangan-jangan aku ditipu perempuan berwajah nenek dan
gadis itu,” pikir si pemuda.
Dari atas
pohon dia memandang berkeliling ke bawah.
Gelap dan
sepi. Tapi tidak. Kesepian itu dipecahkan oleh suara derap kakikaki kuda.
Orang di
atas pohon sekali lagi memandang ke bawah.
Dari
kegelapan malam muncul seorang penunggang kuda. Orang ini mengenakan jubah
putih, memakai tapi merah berbentuk tarbus. Sebuah kumis tipis menghias
mulutnya sedang di dagunya ada secuil janggut berkeluk. Di leher dan hampir
seluruh badan kuda bergelantungan berbagai macam buntalan kain.
Orang ini
berhenti di depan reruntuhan candi Gajah lalu turun dari kudanya. Sesaat dia
memandangi keadaan candi itu termasuk patung gajah. “Sayang…..” terdengar dia
berkata sendirian. “Dulunya candi ini pasti megah dan bagus.”
“Sekarang
rusak tak ada yang memelihara. Sebaiknya aku istirahat dulu di tempat ini.”
Dari dalam
salah satu buntalan orang ini mengeluarkan sepotong makanan lalu pergi duduk di
tangga candi menyantap makanan ini.
Orang di
atas pohon untuk beberapa lamanya masih mendekam memperhatikan orang yang duduk
di tangga candi.
“Siapa
kiranya orang yang membawa begitu banyak buntalan di kudanya?”
Setelah
menunggu sesaat lagi akhirnya orang di atas pohon melompat turun. Langsung
menghampiri orang berjubah putih yang sedang enak-enak istirahat sambil makan.
Munculnya
orang tak dikenal apalagi melompat turun dari atas pohon ditambah orangnya
memiliki kumis dan janggut tebal, tentu saja mengejutkan orang yang duduk di
tangga. Dia melompat dan bergerak cepat ke arah kudanya.
“Saudara,
kau siapa…..?” tanya si kumis tebal.
“Katakan
dulu kau siapa,” jawab si kumis tipis.
“Aku
gelandangan yang kebetulan tersesat di tempat ini.”
Si kumis
tipis memperhatikan orang di hadapannya sesaat. Dia menaruh syak wasangka.
“Sulit dipercaya ada gelandangan tersesat ke tempat sepi begini , malam buta
pula !”
“Lalu kau
anggap siapa kau ini ? Orang jahat ? Rampok ?!”
“Mungkin
sekali ! Kalau tidak mengapa tadi kau sembunyi di atas pohon sana. Berarti kau
sengaja mencegat jalan orang. Jika kabu berani berbuat jahat padaku, kau akan
menyesal ! "
“Hem…
begitu ? Kulihat kau membawa banyak buntalan. Apa isinya?”
“Perlu
apa kau mau tahu? Kalau mau lihat harus ada uang !”
“Gila !
Mau lihat saja pakai uang !”
“Kalau
kau tak mau membeli buat apa melihat-melihat segala ?!”
“Nah,
rupanya kau seorang pedagang keliling. Pantas begini banyak dan sarat
buntalanmu.”
“Kalau
sudah tahu, apakah kau punya uang untuk membeli selembar baju ?”
“Aku tak
punya uang,” jawab sikumis tebal.
“Kau tak
punya uang tak usah bicara denganku. Jangan ganggu, aku ingin istirahat barang
sebentar.” Orang berjubah putih dab bertarbus merah itu menghabiskan makanannya
cepat-cepat. Lalu dia berpaling pada lelaki berkumis tebal. “Kenapa kau masih
di sini ?”
“Memangnya
ada yang melarang aku tak boleh di sini ?!”
“Ada !”
“Siapa
?!”
“Aku !”
jawab si jubah putih yang pedagang keliling.
Lelaki
berkumis tebal tertawa gelak-gelak. “Bicaramu enak amat. Sepertinya tempat ini
nenek moyangmu yang punya!”
“Jangan
bicara seenakmu!” bentak si pedagang keliling.
“Jangan
mengatur orang seenaknya!”
“Sudah!
Aku tak mau bicara denganmu!”
“Siapa
bilang aku suka bicara dengan orang sepertimu!” balas si kumis lebat.
Kedua
orang itu sama-sama membuang muka dan berdiam diri. Tapi tak sengaja keduanya
sama-sama berpaling dan saling pandang. Lalu cepat-cepat keduanya memalingkan
wajah lagi. Beberapa saat berlalu. Lelaki berkumis lebat memutar kepalanya,
memeperhatikan orang yang duduk di tangga. Tak tahan rupanya dia duduk
diam-diam saja.
“Hai!”
tegurnya. Si kumis tipis diam saja. “Hai! Kalau mau dagang jangan ke tampat
sunyi begini. Malam hari pula! Siapa yang mau beli?! Hantu?!”
“Kau
tentu saja tidak bakal membeli karena tidak punya uang. Aku mau dagang aku
pergi kemana sukaku. Rejeki seseorang datangnya tidak pandang waktu dan tempat!
Kau sendiri apa keperluanmu malam-mamal buta berada di sini?!”
“Itu
bukan urusanmu…..”
“Agaknya
kau tengah menunggu seseorang. Siapa yang kau tunggu?”
“Si kumis
tebal jadi kesal. “Apa urusanmu tanya-tanya?!”
“Di sini
hanya kita berdua. Bicara dan saling tanya apa salahnya!” balas si pedagang.
“Tadi kau
sendiri yang bilang tidak suka bicara denganku. Kini malah mengajak omong!”
“Aku
berubah pikiran!” jawab si kumis tipis lalu tersenyum. Kedua matanya menatap tajam
pada orang yang tegak di bawah pohon itu. Sebaliknya orang yang di bawah pohon
juga memandang dengan cara yang sama.
“Dengar
aku tahu siapa kau adanya,” kata si pedagang keliling.
“Aku juga
tahu siapa kau sebenarnya,” balas si kumis lebat.
Keduanya
sama-sama terdiam sesaat. Lalu mereka sama-sama tertawa bergelak.
“Kau
Pendekar 212 Wiro Sableng! Pasti! Jangan mungkir! Tanggalkan kumis dan janggut
palsumu!”
Lelaki di
bawah pohon tampak menggaruk kepalanya.
Perlahan-lahan
kedua tangannya digerakkan ke wajahnya. Srett….srett! Kumis tebal yang tadi
menempel di bawah hidung tanggal lalu dicampakkannya ke tanah. Begitu wajah
orang ini licin klimis kecuali tambutnya yang kemudian dikeluarkannya dari
balik penutup kepala. Ternyata dia berambut gondrong dan memang bukan lain
adalah Wiro Sableng Pendekar 212.
Sambil
menyengir Wiro berkata. “Sekarang giliranmu. Kau pasti si nenek yang mengaku
pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Nenek-nenek yang wajahnya bisa bisa berubah
jadi seorang gadis cantik jelita!”
Orang
yang duduk di tangga candi tertawa geli. Sekali tangannya bergerak maka
lepaslah topeng tipis yang menutupi mukanya. Kini kelihatan wajahnya yang asli
yaitu wajah seorang perempuan muda berparas cantik jelita.
“Nah apa
kataku! Kau memang nenek gadis itu!” kata Wiro.
“Aku
bukan nenek, juga bukan gadis…..”
“Jadi….?”
Wiro berpikir sejenak. “Astaga! Sekali ini pasti tidak akan salah. Kau pastilah
janda muda bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu!”
Perempuan
cantik yang duduk di tangga mengangguk. Lalu dibukanya tarbus merah di atas
kepalanya. Sekali dia menggerakkan kepalanya maka tergerailah rambutnya yang
hitam berkilat sampai ke bahu.
Untuk
kedua kalinya murid Eyang Sinto Gendeng terpesona oleh kecantikan perempuan
muda itu. Pertama kali dulu ketika janda ini membuka samaran sebagai seorang
nenek. “Ah, wajahnya memang seindah rembulan empat belas hari. Malah lebih
indah dari rembulan. Rembulan masih ada penyok-penyoknya, yang ini justru mulus
tanpa cacat!” membatin Wiro.
“Nyi
Seruni sekarang aku ingin tahu mengapa kau melakukan semua ini…..” bertanya
Pendekar 212.
“Apa yang
kau maksud melakukan semua ini?” balik bertanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka.
“Ringkasnya
saja yaitu mengapa kau menyuruh bocah bernama Santiko mencuri dua buah bonang
milik Kraton sampai anak itu dipendam dalam lobang inti es selama tujuh tahun.
Lalu mengapa kau meminta aku menemuimu di tempat ini? Kuminta kau jangan
menjebakku….”
Nyi Bulan
Seruni tertawa kecil.
“Aku
bukan orang jahat. Aku menyesal mendengar Santiko yang sekarang jadi pemuda
berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti itu sampai pernah dihukum sandiri oleh
pamannya si Dewa Ketawa. Tujuh tahun lalu memang aku pernah menyuruhnya mencuri
dua buah bonang perlengkapan gamelan Keraton. Itu aku lakukan demi permintaan
suamiku…..”
“Suamimu
sekarang berada di mana?” bertanya Wiro.
“Kau ini
bagaimana. Kalau aku disebut orang janda tentu aku sudah tak punyai suami
lagi.”
Wiro
menyeringai. “Maksudku, apakah kau janda ditinggal mati suami atau dicerai atau
bagaimana….”
“Kau ini
ada-ada saja. Suamiku tewas di tangan seorang dikenal dengan julukan Sepasang
Pedang Dewa. Kematiannya justru ada sangkut pautnya dengan dua buah bonang itu.
Dulu dia adalah seorang ahli pembuat bonang. Suatu hari seperangkatan bonang
milik Keraton minta dibersihkkan dan diperbaiki bagianbagiannya yang rusak
atau penyok. Ketika sedang melakukan pekerjaan itu Sepasang Pedang Dewa muncul.
Mula-mula merela bicara baik-baik, lalu terjadi pertengkaran yang diakhiri
dengan perkelahian.
Suamiku
kalah dan tewas di tangan lawan. Namun apa yang hendak dirampas oleh Sepasang
Pedang Dewa itu berhasil diselamatkan nya karena sebelum Sepasang Pedang Dewa
muncul dia telah menyembunyikannya di dalam dua buah bonang yaitu bonang
penerus slindro dan bonang penerus pelog. Sebelum mati dia berpesan agar dua
buah bonang itu diselamatkan dan apa yang disembunyikannya di dalam bonang
harus segera diambil. Namun aku terlupa. Ketika orang-orang dari Keraton datang
mengambil seperangkat bonang itu, aku menyerahkannya begitu saja. Ini di
sebabkan karena aku sangat berduka atas kematian suamiku. Walau dia tiga puluh
tahun lebih tua dari ku, tapi dia seorang suami sekaligus ayah yang baik. Satu
minggu kemudian aku baru ingat akan pesan mendiang suamiku. Itupun setelah aku
mendapat mimpi. Tidak mudah untuk masuk ke dalam Kraton, apalagi harus mencuri
dua buah bonang itu. Aku mendapat akal. Karena bentuknya yang gemuk bulat dan
lucu Santiko menjadi kesayangan orang-orang dalam Kraton. Dia mudah pergi dan
masuk kemana saja. Maka aku menyuruhnya mencurinya.
Kasihan,
sebenarnya dia anak baik walaupun suak usil dan kurang ajar. Pamannya
menangkapnya dan menghukumnya di puncak gunung Mahameru. Aku sendiri
menyembunyikan diri dan berusaha memperdalam semua pelajaran ilmu kesaktian
yang kudapat dari suamiku. Jika saja aku dapat mengeluarkan apa yang
disembunyikan suamiku dari dalam dua buah bonang itu, mungkin kepandaianku
sudah stinggi langit sedalam lautan. Itu sebabnya aku menyuruhmu datang kemari
untuk dimintai tolong…..”
“Tunggu
dulu,” memotong Wiro. “Jika dua buah bonang itu begitu berharganya bagimu,
mengapa kau serahkan pada si Gergaji Setan dan akhirnya dilarikan oleh Dewa
Ketawa?”
Nyi Bulan
Seruni Pitaloka tersenyum yang membuat Pendekar 212 diam-diam jadi blingsatan
melihatnya. Janda yang ditinggal mati suaminya ketika berusia 13 tahun itu
berdiri dari tangga candi lalu melangkah mendekati kudanya.
Dari
dalam salah satu buntalan barang yang bergantung di leher serta badan kuda itu
dikeluarkannya dua buah benda berwarna kuning lalu diperlihatakannya pada Wiro.
Ketika Wiro memperhatikan ternyata dua buah benda itu adalah dua buah bonang.
Murid
Eyang Sinto Gendeng jadi terheran-heran. “Aku tak mengerti. Sebelumnya aku
menyaksikan sendiri kau menyerahkan dua buah benda seperti itu pada si Gergaji
Setan. Kini mengapa kau masih memiliki dua buah lagi?”
“Pendekar
212, selama aku memiliki dua buah bonang itu keselamatanku selalu terancam. Banyak
orang-orang pandai yang baik dan yang jahat mencariku. Bukan saja untuk
mendapatkan tubuhku. Aku ingin dua buah bonang dan rahasia yang tersembunyi di
dalamnya tidak jatuh ke tangan orang sebisa-bisanya aku buat dua buah bonang
tiruan….”
“Aku
mengerti sekarang. Dua buah bonang yang kau berikan pada si Gergaji Setan
adalah bonang-bonang palsu sedang yang asli tetap kau sembunyikan di tempat
aman!”
“Apa yang
kau katakan memang betul,” jawab Nyi Bulan Seruni Pitaloka. “Kau benar-benar
cerdik. Sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan dua buah bonang itu?”
bertanya Wiro.
“Aku akan
mengembalikannya ke Keraton. Mungkin dengan minta tolong lagi pada Bujang Gila
Tapak Sakti. Namun sebelum kukembalikan aku ingin mengambil dulu apa yang
tersembunyi di dalamnya, lalu…..”
“Nyi
Bulan! Kau memang cerdik. Tapi kecerdikanmu hari ini berakhir sudah. Jika kau
sayang nyawa lekas serahkan dua buah bonang dalam buntalan itu padaku !”
Satu
suara bergema keras di tempat sunyi itu. Dua buah bayangan berkelebat.
Tahutahu Nyi Bulan sudah diapit oelh dua orang bertubuh tinggi kekar. Satu
sudah berusia lanjut satunya lagi masih muda.
Nyi Bulan
Seruni Pitaloka terkejut besar. Dia cepat berpaling dan segera mengenali orang
yang ada di sebelah kanannya, yakni lelaki berusia lanjut berambut putih dan
mengenakan jubah merah. Pada pinggang jubahnya kiri kanan tergantung
masing-masing sebilah pedang. Lelaki yang lebih muda bukan lain adalah Angling
Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang satu ini memang segera pula dikenali oelh
Pendekar 212. Ada apa pemuda ini tiba-tiba berada di tempat ini, begitu Wiro
berpikir. Di samping itu dia mencium adanya bahaya mengancam Nyi Bulan. “Nyi
Bulan ada hubungan apa antara kau dengan orang-orang ini?’
“Yang ini
adalah Sepasang Pedang Dewa,” jawab Nyi Bulan seraya menunjuk tepat-tepat ke
arah lelaki berambut putih yang mengenakan jubah merah. “Pembunuh keparat ini
berani muncul! Hari ini akan membalaskan dendam kesumat kematian suamiku!”
Sepasang
Pedang Dewa ganda tertawa. “Tadi aku sudah bilang. Kalau sayang nyawa lekas
serahkan dua buah bonang itu !”
“Langkahi
dulu mayatku baru kau bisa mendapatkan benda-benda itu !” teriak Nyi Bulan.
“Kalau begitu bersiaplah untuk mati !” bentak Sepasang Pedang Dewa. Sret !
Srett ! Dua pedang yang tergantung di pinggangnya melesat keluar.
***************
SEBELAS
Kita
kembali dulu pada beberapa peristiwa yang terjadi sebelum munculnya Sepasang
Pedang Dewa dan Angling Kamesworo di Candi Gajah.
Angling
Kamesworo melarikan kudanya mendaki puncak salah satu bukit luat Kotaraja yang
jarang didatangi manusia. Kuda tunggangannya rupanya sudah sering menempuh
jalan itu hingga binatang ini mampu berlari dengan kencang dan dalam waktu
singkat sampai di puncak bukit paling tinggi. Dalam kegelapan tampak sebuah
bangunan kayu berbentuk panggung. Di kolong bangunan enam ekor anjing besar
melompat dan menggarang lalu mulai menyalak begitu Angling Kamesworo muncul
bersama kudanya. Anjing-anjing itu menyalak terus sambil mengurung kuda bahkan
jelas siap hendak menyerang.
Tiba-tiba
dari dalam rumah terdengar suara orang bertanya “Siapa yang datang ?!”
“Saya
guru! Angling Kamesworo!”
Lalu dari
dalam rumah panggung terdengar suara suitan keras. Enam ekor anjing menggerang
pendek dan berbalik lalu lari kembali mendekam di bawah kolong rumah. Angling
Kamesworo tidak turun dari kudanya. Dari atas panggung binatang ini dia
langsung melompat ke serambi depan rumah.
Di tangan
kirinya tergenggam buntalan berisi dua buah bonang hasil meracuni orang tua itu
sampai mati!
Begitu
kakinya menginjak lantai srambi begitu pintu depan bangunan terbuka. Angling
Kamesworo segera masuk. Pintu tertutup kembali. Di dalam rumah, di bawah
penerangan lampu minyak besar tampak duduk di kursi goyang seorang lelaki
berusia lebih dari setengah abad berambut putih. Seseorang perempuan berwajah
ayu, berkulit hitam manis terbaring melintang di atas pahanya dan lengan-lengan
kursi goyang.
Perempuan
ini mengenakan pakaian yang sangat minim hingga Angling Kamesworo dapat melihat
setiap lekuk dan sudut tubuhnya. Begitu si pemuda masuk, orang di atas kursi
goyang mengelus paha si hitam manis itu seraya berkata. “Masuklah dulu ke
kamar. Aku ada tamu yang membawa urusan penting!”
Si jelita
hitam manis itu turun dari pangkuan orang berjubah merah. Ketika berdiri
pakaian minim yang menutupi tubuhnya jatuh dan tercampak di lantai. Tapi dia
tidak berusaha memungutnya malah enak saja dia melangkah menuju ke kamar,
membuat Angling Kamesworo sesaat jadi tertegun.
“Angling,
kau membawa kabar apa untukku?!” si jubah merah yang adalah Sepasang Pedang
Dewa bertanya.
“Saya
membawa kabar baik, guru. Saya telah mendapatkan dua buah bonang itu.”
Sepasang
Pedang Dewa melompat dari duduknya. Langsung saja dia menyambar buntalan yang
dibawa muridnya dan mengeluarkan isinya.
“Kau
hebat!” memuji Sepasang Pedang Dewa sambil tersenyum lebar dan menimang-nimang
dua buah bonang itu. Parasnya tiba-tiba berubah.
“Ada apa
guru?”
“Ceritakan
dulu bagaimana kau mendapatkan dua buah benda ini.”
Angling
Kamesworo lalu bercerita.
“Ceritamu
meyakinkan. Tapi aku merasa was-was. Coba kuperiksa dulu dua bonang ini.” Lalu
Sepasang Pedang Dewa malangkah ke dekat lampu. Nyala api lampu diperbesarnya.
Dua buah bonang ditelitinya berulang kali, dibolak-baliknya tiada henti.
Jari-jari tangannya berkali-kali mengusap bagian bawah dua buah bonang itu.
Tiba-tiba bonang-bonang itu dibantingkannya ke lantai.
“Palsu!
Dua buah bonang itu palsu!” teriaknya. Lalu dia berpaling dengan marah pada
Angling Kamesworo. “Kau yang mempermainkan aku atau kau yang tolol dipermainkan
orang!”
Paras
Angling Kamesworo berubah pucat. “Mana saya berani mempermainkan guru. Saya
mendapat dua buah bonang itu malah sampai membunuh Dewa Ketawa dengan racun
yang dimasukkan dalam kopinya…..”
“Aku
tidak perduli bagaimana kau mendapatkan bonang-bonang palsu itu. Lekas ikuti
aku! Kita harus mendapatkan bonang-bonang yang asli!” teriak Sepasang Pedang
Dewa lalu didorongnya tubuh muridnya ke arah pintu hingga Angling Kamesworo
hampir terjengkang.
Bujang
Gila Tapak Sakti walaupun tertinggal jauh di belakang namun dia
sudah
bisa menduga kemana Dewa Ketawa akan membawa dua buah bonang yang didapatnya
dari pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu. Maka dia segera menuju Kotaraja
dengan tujuan terus mendatangi gedung Kepatihan.
Namun di
luar kota pemuda gendut berpeci kupluk ini berpapasan dengan serombongan
perajurit yang memacu sebuah gerobak. Di atas gerobak itu dilihatnya seekor
binatang yang bukan lain adalah keledai milik pamannya. Terheran-heran Bujang
Gila Tapak Sakti berhenti di tepi jalan dan memeperhatikan rombongan itu
berlalu hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Dia sama sekali tidak tahu kalau di
lantai gerobak tergeletak sosok tubuh pamannya si Dewa Ketawa.
Untuk
beberapa lamanya Bujang Gila Tapak Sakti berdiri bimbang apakah dia akan terus
ke Kotaraja atau mengikuti rombongan itu. Akhirnya dia memutuskan untuk
mengejar rombongan saja. Walau tubuhnya hampir 150 kati namun berkat
kesaktiannya Bujang Gila Tapak Sakti mampu berlari secepat angin. Dalam waktu
singkat dia berhasil mengejar rombongan yang membawa keledai itu tak berapa
jauh dari bukit Imogiri.
“Rombongan
harap berhenti!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Seorang
perajurit yang ditugaskan memimpin rombongan berpaling. Dia terkejut sekali ada
seorang pemuda luar biasa gemuk mampu berlari sekencang itu dan memerintahkan
rombongannya berhenti. Karena curiga maka dia memerintahkan kawan-kawannya
untuk bergerak terus. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya berhasil menyusul
dan menghadang di depan mau tak mau rombongan itu terpaksa berhenti.
“Babi
gendut ada apa kau menghadang perjalanan orang! Apa kau tidak tahu kami adalah
perajurit-perajurit Kepatihan?!”
Plaaakkkk!
Perajurit
pemimpin rombongan yang barusan membentak terpelanting dari kudanya begitu
disambar tamparan Bujang Gila Tapak Sakti. Mulutnya pecah, dia mengerang
sebelum pingsan. Melihat kejadian ini dua orang perajurit yang hendak bertindak
jadi bimbang. Mereka maklum kalau tengah berhadapan bukan saja dengan seorang
berkepandaian tinggi tapi mungkin pula berotak miring.
“Kalian
mau bawa kemana keledai itu?” bertanya Bujang Gila Tapak Sakti.
Tak ada
yang menjawab.
Plaaakkk!
Untuk
kedua kalinya tamparan Bujang Gila Tapak Sakti menyambar. Satu korban lagi
menggelinding jatuh dari punggung kuda.
“Jika
tidak ada yang mau menjawab, satu demi satu kalian akan kuhajar!” mengancam
Bujang Gila Tapak Sakti.
Beberapa
orang perajurit memang tampak takut. Tapi empat orang diantaranya menunjukkan
sikap lain. Melihat dua kawannya terkapar di tanah seperti itu keempatnya
segera mencabut senjata masing-masing lalu menyerang Bujang Gila Tapak Sakti.
Si gendut yang merasa mendapat jalan untuk melampiaskan amarahnya segera saja
menyambut keroyokan orang. Tangan kiri kanan berkelebat kian kemari.
Terdengar
suara bak-buk-bak-buk disertai jerit kesakitan empat perajurit yang jatuh
saling tindih di tanah.
Keempatnya
menderita cidera berat. Ada yang hancur pipinya, remuk tulang dada atau
berpatahan tulang–tulang iganya.
Justru
pada saat mengamuk itulah Bujang Gila Tapak Sakti mendekati gerobak dan
tiba-tiba melihat sosok tubuh Dewa Ketawa yang menggeletak di lantai gerobak.
Pemuda ini menjerit keras lalu melompat ke atas gerobak. Dia melengak ketika
melihat sekujur kulit tubuh pamannya itu sampai ke wajahnya yang gemuk berwarna
hitam kebiruan.
“Kurang
ajar! Siapa yang punya perkejaan ini?!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti keras
sekali hingga perajurit-perajurit yang masih ada di sana tergagau kaget dan
kecut.
“Kami…..kami
tidak tahu apa yang terjadi. Kami hanya disuruh membawa keledai dan mayat orang
gemuk ini untuk dibuang ke dalam jurang dekat sini…..” seorang perajurit
menjawab dengan ketakutan.
“Kurang
ajar! Siapa yang menyuruh kalian?!”
Mula-mula
tak ada yang berani menjawab. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti mulai menggerang
tanda kemarahannya semakin mendidih akhirnya seorang perajurit membuka mulut.
“Raden
Angling Kamesworo yang menyuruh kami….”
“Pembantu
Patih Kerajaan itu?!”
“Betul,”
jawab si perajurit pula. Lalu dia memberi isyarat pada temantemannya. Semua
perajurit yang masih duduk di punggung kuda masing-masing segera saja
menggebrak tunggangan mereka lalu kabur dari tempat itu.
Di atas
kereta Bujang Gila Tapak Sakti menggebuk pantat keledai kurus itu seraya memaki
“Binatang keparat! Turun dulu kau ke tanah! Jangan enak-enakan nongkrong di
atas gerobak ini!”
Dipukul
pantatnya keledai itu melompat turun dari gerobak. Bujang Gila Tapak Sakti
membungkuk lalu meletakkan telinganya ke dada kiri Dewa Ketawa. Dia tidak pasti
apakah dia dapat mendengar detakan jantung pamannya itu atau tidak.
Namun dia
tidak mau menunggu lebih lama. Dia tahu pamannya itu berada di bawah pengaruh
racun yang sangat jahat. Maka dengan ujung sebuah golok ditorehnya urat besar
dekat pergelangan tangan kiri Dewa Ketawa. Lalu dengan mulutnya dia mulai
menyedot darah yang ada dalam tubuh pamannya itu.
Setiap
mulutnya penuh darah yang disedotnya disemburkan keluar. Begitu berulang kali
sampai sedikit demi sedikit warna hitam biru pada sekujur tubuh orang tua gemuk
itu menjadi berkurang. Bujang Gila Tapak Sakti merasa lega sekali begitu dia
menangkap suara erangan halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Orang tua gemuk
ini lalu ditelungkupkannya di atas lantai gerobak. Bajunya disingkapkan di
bagian punggung. Kedua tangannya diusapkan satu sama lain hingga ada hawa
sangat dingin membersit keluar. Dengan hati-hati Bujang Gila Tapak Sakti
meletakkan kedua telapak tangannya di punggung Dewa Ketawa lalu dia mulai mengerahkan
tenaga.
Suara
erangan orang tua itu semakin keras terdengar begitu hawa sakti yang mengalir
dari telapak tangan Bujang Gila masuk merasuk ke dalam sekujur tubuh termasuk
peredaran darahnya. Perlahan-lahan Dewa Ketawa membuka kedua matanya yang tadinya
mendelik tapi sempat dipejamkannya. Begitu dia melihat tampang Bujang Gila
Tapak Sakti, Dewa Ketawa menyeringai lalu umbar tawa panjang.
“Brengsek!
Jangan ketawa dulu! Nyawamu masih berada di ujung tanduk!” kata Bujang Gila
Tapak Sakti memberi ingat.
“Anak
setan! Kau rupanya yang menolongku!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
Tiba-tiba dia melompat dan berdiri di atas gerobak.
“Awas!
Kau masih belum sembuh!” sang keponakan mengingatkan lagi.
“Siapa
bilang aku belum sembuh! Mari ikut aku ke tempat kediaman Angling Kamesworo.
Pembantu patih sialan itu yang meracuniku !” Dewa Ketawa keluarkan suara tawa
mengekeh. Tiba-tiba dia ingat akan buntalannya. Dia memandang berkeliling.
“Heh…dimana buntalan itu ?!” dia bertanya seolah pada diri sendiri sambil
memijit-mijit keningnya.
“Buntalan
apa paman ?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Buntalan
berisi dua buah bonang milik Keraton.”
“Kalau
Angling Kamesworo yang meracunimu, pasti dia pula yang mengambil benda-benda
itu!” kata Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kalau
begitu aku ingin segera membekuk batang lehernya. Kita ke gedung Kepatihan
sekarang juga!” Dewa Ketawa melompat turun dari gerobak. Bujang Gila Tapak
Sakti menyusul. Dia segera mencari kuda paling besar sedang pamannya sudah naik
ke atas punggung keledai. Baru saja keduanya hendak bergerak pergi tiba-tiba di
kejauhan terdengar suara kaki-kaki kuda mendatangi.
“Santiko,
lekas sembunyi. Kita tidak tahu apakah yang datang teman atau lawan!” kata Dewa
Ketawa.
Kedua
orang itu lalu mendekam di tempat gelap. Tak lama kemudian dua penunggang kuda
muncul. Mereka berhenti di tempat itu. Yang pertama adalah orang tua berjubah
merah yakni Sepasang Pedang Dewa sedang satunya jelas Angling Kamesworo.
Pembantu patih Kerajaan ini jadi melengak kaget ketika melihat beberapa orang
perajurit berkaparan di tanah dalam keadaan cidera berat. Dia berpaling pada
Sepasang Pedang Dewa.
“Ini
adalah rombongan perajurit yang saya perintahkan untuk membuang mayat Dewa
Ketawa bersama keledai tunggangannya! Tapi guru lihat sendiri. Keledai itu tak
ada di sini. Mayat Dewa Ketawapun lenyap! Lalu siapa pula yang membunuh
perajurit-perajuritku ini!”
“Sudah!
Perlu apa mengurusi manusia dan keledai keparat itu serta perajuritperajurit
tengik ini!” tukas Sepasang Pedang Dewa. “Kita ada urusan yang lebih penting.
Kuharap saja laporan dari orang kepercayaanku benar adanya.”
Ada
pertemuan antara Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi Bulan Seruni Pitaloka di
Candi Gajah tengah malam ini. Kita harus segera menuju ke sana, membekuk batang
leher janda itu dan merampas dua buah bonang pusaka dari tangannya!”
Di tempat
gelap, sebenarnya Bujang Gila Tapak Sakti sudah gatal tangannya untuk menyerang
dan menghajar habis-habisan Angling Kamesworo. Lebih lagi si gendut Dewa
Ketawa. Namun orang tua ini masih mampu menahan hawa amarahnya ketika
keponakannya berisik mengatakan bahwa dia hendak menghancur lumatkan Angling
Kamesworo.
“Anak
setan gendut sialan! Jangan bertindak ceroboh. Membunuh pembantu Patih Kerajaan
itu tidak ada sulitnya. Tapi dengar apa yang tadi mereka bicarakan? Nyi Bulan
dan Pendekar 212 mengadakan pertemuan rahasia di Candi Gajah.”
Jangan-jangan
pemuda sahabat kita itu sudah menjadi pengkhianat. Bekerja sama dengan Nyi
Bulan Seruni yang jelas-jelas talh mencuri dua buah bonang itu!”
Ucapan
terakhir sang paman membuat Bujang Gila Tapak Sakti merasa tidak enak karena
dirinya sendiri juga terlibat dalam pencurian itu. Malah dia yang bertindak
langsung melakukan pencurian tujuh tahun lalu. Apakah sang paman menyindirnya
saat ini?
Ketika
Angling Kamesworo dan Sepasang Pedang Dewa meninggalkan tampat itu, Dewa Ketawa
memberi isyarat pada Bujang Gila. Paman dan keponakan ini lalu menggebrak
tunggangan masing-masing ke arah yang sama yaitu jurusan bukit Imogiri.
***************
DUA BELAS
Orang
berjubah merah itu tidak percuma dijuluki Sepasang pedang Dewa. Begitu kedua
tangannya bergerak memutar sepasang pedang maka bertaburlah dua cahaya putih
dalam gelapnya malam.
Breet!
Breett!
Nyi Bulan
Seruni Pitaloka terpekik dan melompat mundur. Jubah putihnya robek di bagian
dada dan perut hingga sebagian auratnya tersingkap lebar.
Sepasang
Pedang Dewa menyeringai.
“Itu
peringatan terakhir Nyi Bulan!” katanya sambil melintangkan sepasang pedang di
depan dada. “Apa kau masih belum mau menyerahkan dua buah bonang itu?!”
“Rampok
busuk! Keluarkan kepandaianmu kalau memang bisa mengambilnya dariku!” teriak
Nyi Bulan.
Sepasang
Pedang Dewa tertawa mengekeh. “Kau benar-benar perempuan nekad. Tapi aku ada
usul. Kecantikan sudah lama kuketahui. Ternyata tubuhmu juga sangat bagus.
Bagaimana kalau kau ikut saja ke tempatku secara baik-baik. Kita bisa hidup
bersama. Dua buah bonang itu milik kita berdua!”
“Tua
bangka tak tahu diri! Jangankan aku! Kambingpun tak bakal suka padamu!” teriak
Nyi Bulan.
Tampang
Sepasang Pedang Dewa jadi gelap membesi.
Sambil
membentak kembali dia menyerang dengan dua pedangnya.
Kali ini
Nyi Bulan tidak tinggal diam. Dia berlaku cerdik. Dia menyambut serangan lawan
dengan mempergunakan dua buah bonang untuk menangkis. Hal ini membuat Sepasang
Pedang Dewa menjadi serba salah. Kalau dia terus melanjutkan menyerang ada
kemungkinan dua buah bonang itu kena hantaman senjatanya. Kalau bonang-bonang
tersebut sampai rusak, berarti akan merusak pula rahasia besar yang tersimpan
di dalamnya!
“Aku
harus merampas dua buah bonang itu! Aku akan telanjangi dia sekujur tubuhnya.
Kalau sudah tak berpakaian lagi masakan dia tidak akan menjatuhkan apa yang
dipegangnya guna menutupi aurat!” Begitu Sepasang Pedang Dewa berpikir dan
kembali menyerbu. Dua pedangnya meluncur, membabat dan menusuk kian kemari,
membuat Nyi Bulan jadi sibuk sekali. Dua senjata lawan menyayat dan merobek
pakaiannya di beberapa tempat hingga auratnya semakin tersingkap. Apa yang ada
di benak lawan akhirnya terbaca juga oleh Nyi Bulan. Dia melirik pada Pendekar
212 lalu berteriak “Wiro! Selamatkan dua buah bonang ini!” Lalu secepat kilat
dua buah bonang dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Namun ketika masih
melayang di udara tiba-tiba ada tiga orang yang melompat dan berusaha menangkap
benda-benda itu.
Yang
pertama adalah Angling Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang kedua adalah dua
manusia gendut besar yang baru saja sampai di tempat itu dan bukan lain adalah
Dewa Ketawa dan Bujang Gila Tapak Sakti.
Sesaat
Pendekar 212 jadi terkesiap melihat apa yang terjadi. Lalu dia bertindak cepat.
Sebelum ada yang sempat menyentuh dua buah bonang itu, Wiro lepaskan pukulan
“benteng topan melanda samudera” sekaligus dengan kedua tangannya. Dua
gelombang angin menggebubu dahsyat. Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pepohonan
di sekitar tempat itu luruh bermentalan. Dua buah bonang yang melayang di udara
mencelat tinggi ke atas. Tiga orang yang tadi melompat saling mendahului hendak
menangkap dua buah benda itu kini jadi saling bertabrakan lalu sama-sama jatuh
duduk di tanah. Yang paling menderita adalah Angling Kamesworo. Walau tubuhnya
tinggi dan kekar namun dibanding dengan luar biasa besarnya tubuh-tubuh Dewa
Ketawa serta si Bujang Gila maka tak ampun lagi dia sempat tergencat di
tengah-tengah sebelum jatuh terduduk di tanah. Pembantu Patih Kerajaan ini
seprti dijepit dua buah batu sebesar rumah. Dua tulang iganya patah dan di
keningnya tampak benjut besar!
Selagi
tiga orang itu berkaparan di tanah Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat dan
tanpa banyak kesulitan berhasil menangkap dua buah bonang itu lalu
memasukkannya di balik pakaiannya. Melihat dua buah bonang kini dikuasai Wiro,
Angling Kamesworo walau dalam keadaan cidera cepat berdiri. Tapi gerakannya
jadi tertahan ketika menyadari adanya Dewa Ketawa di tempat itu. “Bagaimana
mungkin orang yang sudah kuracuni sampai mati ini kini berada di sini dalam
keadaan hidup?!” Hanya saja saat itu Angling Kamesworo tidak mau menghabiskan
waktu memikirkan hal itu lebih lama. Dia harus mendapatkan dua buah bonang.
Maka dia melangkah ke arah Pendekar 212.
“Wiro,
lekas kau serahkan dua buah bonang itu padaku!”
“Enak
betul!” sahut Wiro.
“Kau dulu
pernah menyelamatkan Sekar Mindi, puteri Patih Kerajaan. Kau adalah sahabat
Kerajaan. Karena itu lekas serahkan padaku dua bonang! Jasa besarmu akan kuberi
tahu langusng pada Sultan!”
Wiro
menyeringai. “Dulu wajahmu memang kulihat wjah pelanduk. Tapi sekarang sudah
berubah jadi harimau yang ada benjut di kepalanya! Dulu aku melihat wajahmu
seperti seekor domba. Tapi sekarang ini tampangmu sama dengan seekor srigala!
Siapa percaya dirimu!”
Terdengar
suara tawa mengekeh. Satu sosok gendut melompat ke hadapan Wiro. Ternyata Dewa
Ketawa.
“Aku
mendapat tugas dari Kerajaan untuk mengambil dua buah bonang itu. Jadi serahkan
sekarang juga padaku!” kata Dewa Ketawa sambil terus tertawa dan ulurkan kedua
tangannya.
“Sobatku
Kerbau Bunting Dewa Ketawa!” menyahuti Pendekar 212, “Dua buah bonang ini pasti
akan kuserahkan padamu. Tapi nanti. Tidak sekarang…..”
“Sobatku
muda! Kali ini aku tak mau bergurau! Serahkan dua buah bonang itu!” kata Dewa
Ketawa pula ngotot walau dia masih keluarkan suara tertawa.
Saat itu
Bujang Gila Tapak Sakti sudah berdiri pula di samping Dewa Ketawa. Pemuda
berkopiah kupluk dan mengenakan baju terbalik ini berkata “Paman mengapa kau
harus mengurusi dua buah bonang itu! Selesaikan dulu hutang piutangmu dengan
Angling Kamesworo. Bukankah dia yang hendak membunuh meracunimu?!”
“Anak
setan! Betul juga ucapanmu! Ha….ha…..ha….!” kata Dewa Ketawa. “Kalau begitu kau
uruslah dua buah bonang itu. Aku akan mematahkan batang leher manusia culas dan
keji ini!”
Angling
Kamesworo tahu bahaya yang dihadapinya.
Karenanya
begitu Dewa Ketawa melompat menyergapnya, pemuda ini cepat melayangkan dua buah
tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada si gendut. Jotosanjotosan Angling
Kamesworo tentu saja bukan pukulan biasa. Jangankan tubuh manusia, tembok atau
batu saja pasti akan ambruk! Tapi luar biasanya si Dewa Ketawa yang dihantam
bertubi-tubi seperti itu tidak bergeming sedikitpun malah masih bisa tertawa-tawa.
Penasaran
Angling Kamesworo alihkan hantamannya ke muka si gendut.
Sekali
ini Dewa Ketawa tidak tinggal diam.
Orang tua
ini monyongkan mulutnya lalu meniup! Perlahan saja!
Serangkum
angin halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Angling Kamesworo merasakan seperti
ada tembok tak terlihat menghalangi pukulan-pukulannya. Bagaimanapun dia
mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap saja dia tidak mampu menembus apalagi
mendaratkan pukulan ke wajah lawan.
Dewa
Ketawa meniup sekali lagi. Kali ini lebih keras.
Puuuhhh!
Angling
Kamesworo menjerit keras. Wajahnya seperti dihantam pentungan besi. Kepalanya
seperti copot dan tubuhnya terbanting menghantam patung gajah.
Braak!
Patung
batu yang sudah tua itu ambruk. Reruntuhannya menimbun sosok Angling Kamesworo
yang tergeletak di bawahnya antara sadar dan pingsan. Dari mulut, hidung dan
kedua matanya tampak mengucur darah. Dewa Ketawa tarik tangan pemuda ini hingga
dia terbetot keluar dari dalam timbunan reruntuhan lalu membantingkannya ke
tanah. Begitu berulang kali dilakukannya hingga akhirnya pembantu Patih
Kerajaan itu menggeletak tak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya babak belur.
Tulang-tulangnya banyak yang patah. Menggerampun dia tak mampu lagi!
Ketika
Dewa Ketawa melompat ke hadapan Angling Kamesworo tadi, Bujang Gila Tapak Sakti
segera mendekati Pendekar 212.
“Sobatku
Wiro, kau harus berikan dua buah bonang itu padaku. Ini untuk menebus dosaku
pada Kerajaan. Dulu aku yang mencurinya….”
Murid
Eyang Sinto Gendeng berpikir. “Kalau aku bertindak keras membuat urusan dengan
si gendut ini bisa jadi kapiran.” Maka Wiropun menjawab. “Sobatku gendut! Kau
tak usah kawatir. Dua buah bonang ini pasti akan kuberikan padamu. Tapi Nyi
Bulan kekasihmu itu bilang dia sendiri yang akan menyerahkannya padamu nanti.
Nah mana aku berani menyalahi pesan kekasihmu itu!”
Bujang
Gila Tapak Sakti sesaat jadi tertegun. Lalu dia tersenyum. “Siapa Nyi Bulan
kekasihku?”
“Ah, kau
lupa pada ceritamu sendiri tempo hari. Waktu kau mencuri dua buah bonang ini
dengan menyerahkannya padanya, kau kan diciumnya beberapa kali. Nah kalau kau
bukan kekasihnya mana dia mau menciummu! Kau lihat saja, nanti pasti kau akan
diciumnya lagi sampai kau bisa semaput kenikmatan!”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertegun lagi dan tersenyum lagi. Dia mengusap-usap kedua
pipinya yang gembrot lalu berkata. “Kau benar juga. Kalau begitu biar kutunggu
sampai dia selesai berkelahi dengan orang berjubah merah itu.”
“Nah kau
pergilah duduk di tangga candi sana!” kata Wiro selanjutnya. “Apakah kau
membawa kipas saktimu?”
“Tentu
saja. Memang kenapa?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Apakah
kau tidak merasa kepanasan? Kulihat muka dan ketekmu sudah basah oleh
keringat!”
“Astaga!
Kau betul! Untung kau mengingatkan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu dia
keluarkan kipas kertasnya. Sreett! Kipas dikembangkan. Dia pergi duduk di
tangga candi dan berkipas-kipas memperhatikan perkelahian antara Dewa Ketawa
dan Nyi Bulan Seruni Pitaloka melawan Sepasang Pedang Dewa.
Janda
cantik itu sendiri yang sedang menghadapi lawan tangguh dalam hati sempat
memaki-maki mendengar kata-kata Wiro tadi bahwa dia adalah kekasih Bujang Gila
Tapak Sakti dan nanti dia akan menciumnya lagi. Namun karena harus memusatkan
perhatian pada lawan sementara pakaiannya sudah penuh robek-robek di mana-mana
mau tak mau harus melupakan kekesalan hatinya.
Saat itu
dia sudah berada dalam keadaan terdesak hebat. Dia sama sekali tidak memiliki
senjata dan dua pedang lawan dalam sejurus dua jurus lagi pasti tidak lagi
merobek pakaiannya melainkan akan merobek daging dan memutus tulang-tulang
tubuhnya.
“Saatnya
aku harus mengeluarkan ilmu andalanku. Kalau tidak aku akan mati percuma di
tangan bangsat ini!” membatin Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Mulutnya dikatupkan
rapat-rapat. Kedua matanya memandang lekat-lekat ke depan. Tiba-tiba
wuss….wuss!
Dua larik
sinar hitam melesat keluar dari kedua mata Nyi Bulan. Hawa panas menghampar
membuat Bujang Gila Tapak Sakti seperti di panggang.
“Celaka!
Dia benar-benar memiliki ilmu kesaktian sinar sakti pemantek nyawa!” Sepasang
Pedang Dewa berteriak dalam hati ketika melihat dua sinar hitam yang keluar
dari dua mata Nyi Bulan. Orang ini cepat melompat mundur seraya membabatkan
pedangnya untuk melindungi diri.
Dua sinar
hitam menyambar dua bilah pedang.
Cess!
Cesss!
Dua
pedang yang ada dalam genggaman Sepasang Pedang Dewa menjadi leleh. Pemiliknya
berteriak keras dan lepaskan dua senjatanya. Tapi terlambat. Hawa yang sangat
panas keburu menyambar telapak tangannya. Kedua tangan itu kini leleh
mengelupas dagingnnya bahkan tulang telapak tangan dan tulang-tulang jarinya
ikut lumer!
Sepasang
Pedang Dewa menjerit terus. Nyalinya ikut leleh membuat dia dalam sakit yang
bukan alang kepalang akhirnya melarikan diri dari tempat itu.
“Nyi
Bulan! Kesaktianmu hebat sekali kekasihku!”
Nyi Bulan
tersentak dan berpaling. Yang bicara adalah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Sialan!
Ini gara-gara Wiro. Si gendut ini benar-benar menganggap aku kekasihnya!” Nyi
Bulan mengomel dalam hati. Lalu dilihatnya Bujang Gila Tapak Sakti melangkah
mendekatinya sambil terus berkipas-kipas dan cengar-cengir. Saat itu Dewa
Ketawa baru saja membanting Angling Kamesworo habis-habisan dan melangkah ke
arah Pendekar 212.
“Nyi
Bulan, sobatku Wiro bilang kau sendiri yang akan menyerahkan dua buah bonang
itu padaku. Lalu akan menciumku berulang-ulang. Ah….betapa bahagianya diriku!”
Bujang Gila Tapak Sakti memasukkan kipas kertasnya lalu berseru pada Pendekar
212. “Wiro, mana dua buah bonang itu. Berikan pada Nyi Bulan biar dia nanti
yang memberikan padaku!”
“Tidak,
dua buah bonang itu harus kau serahkan padaku!” Dewa Ketawa mempercepat
langkahnya ke arah Wiro.
“Semua
dengar!” tiba-tiba Nyi Bulan berteriak.
“Kekasihku,
jangan berteriak keras-keras. Nanti suaramu yang merdu bisa rusak!” seru Bujang
Gila Tapak Sakti.
Nyi Bulan
katupkan mulutnya rapat-rapat, kedua matanya memandang mendelik pada Wiro.
Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng cepat kedipkan mata memberi tanda. Sebelum
Dewa Ketawa datang lebih dekat Wiro cepat berbisik. “Jangan bodoh. Kita harus
menipu manusia-manusia gendut ini. Kalau tidak bakal menghadapi urusan berat!”
Kemarahan
Nyi Bulan mengendur sedikit. Dia berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti dan
tersenyum manis. Senyuman ini membuat si pemuda gendut jadi blingsatan lalu
kedip-kedipkan matanya. Dia juga membersihkan kedua pipinya dengan ujung-ujung
bajunya, setelah itu dia melangkah mendekati Byi Bulan sambil mengangsurkan
pipinya. “Kata sobatku itu kau mau cium aku sambil menyerahkan dua buah
bonang.”
“Bagaimana
kalau ciumannya dulu, bonangnya boleh nanti boleh menyusul….”
“Setan
betul,” maki Nyi Bulan dalam hati. “Dulu waktu masih bodoh memang semua orang
senag padanya. Sekarang sudah jadi bocah bagini bagaimana mungkin aku
menciumnya!”
Lagi-lagi
Nyi Bulan memandang pada Wiro dengan mata dibesarkan.
Sebaliknya
kembali Pendekar 212 mengedipkan mata dan berbisik. “Cium saja cepat. Sambil
mencium kau totok tubuhnya!”
Mendengar
ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu Nyi Bulan baru mengerti. Maka dia kembali
berpaling dan melangkah mendekati Bujang gila Tapak Sakti seraya berkata.
“Santiko kekasihku! Tujuh tahun lebih kita tak bertemu. Betapa kangennya aku
padamu. Saat ini ingin sekali aku memeluk dan menciummu!”
Mendengar
kata-kata itu Bujang Gila Tapak Sakti berteriak girang. Dia kembangkan kedua
tangannya lalu memeluk Nyi Bulan dengan mesra. Ketika janda jelita ini menciumi
pipinya di gendut yang seperti merasa di sorga ini tersenyumsenyum sambil
pejamkan mata. Pada saat itu pula dua tangan Nyi Bulan bergerak menotok
punggung dan dada si pemuda. Tak ampun lagi Bujang Gila Tapak Sakti menjadi
kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Ketika Nyi Bulan melepaskan dirinya
dari pelukan pemuda ini, si gendut ini masih tegak dengan sikap kedua tangan
merangkul, mulut tersenyum dan mata terpenjam!
Dewa
Ketawa tak bisa ditipu. Dia tahu apa yang terjadi. Segera dia pergunakan
kesaktiannya yaitu meniup dari jauh untuk melepaskan totokan di tubuh
keponakannya. Wiro yang maklum melakukan apa yang akan dilakukan oleh Dewa
Ketawa cepat bergerak menghalangi tubuh Bujang Gila dengan tubuhnya sambil
gerakkan tangan kiri untuk menyingkirkan angin tiupan Dewa Ketawa. Ketika
tangannya tersambar angin tiupan itu murid Eyang Sinto Gendeng merasa seperti
ada ratusan jarum mencucuk! Ketika diperhatikan terlihat darah keluar dari pori-pori
di sekujur lengan kirinya sampai ke telapak. Sakitnya bukan kepalang.
“Lekas
keluarkan dua buah bonang itu. Atau kau akan kubuat lumat seperti pembantu
Patih Kerajaan itu!” mengancam Dewa Ketawa.
Saat itu
Nyi Bulan sudah tegak di hadapan Dewa Ketawa.
“Orang
tua bertubuh gendut. Apakah kau juga minta kupeluk dan kucium?!”
“Eh……!”
Dewa Ketawa sesaat jadi tertegun. Lalu sambil menggoyanggoyangkan tangan dan
melangkah mundur dia berkata. “Tidak! Jangan….. aku tidak butuh peluk dan
ciumanmu! Aku hanya inginkan dua buah bonang itu. Aku harus mengembalikannya
pada Sultan sebagai penebus kesalahan keponakanku!”
“Kalau
begitu baik. Dua buah bonang itu akan kuserahkan padamu setelah aku mengambil
sesuatu yang jadi milikku dan tersembunyi di dalamnya.” Kata Nyi Bulan.
“Aku
tidak mengerti….” Kata Dewa kEtawa sambil menutup mulutnya agar tidak tertawa
dulu.
Nyi Bulan
berpaling pada Pendekar 212 dan berkata. “Wiro, keluarkan dua buah bonang itu.
Juga Kapak Naga Geni 212-mu….?”
Wiro
mengeluarkan dua buah bonang dari balik pakaiannya lalu menyerahkannya pada Nyi
Bulan.
“Kapaknya?”
ujar Nyi Bulan pula.
“Untuk
apa….?” tanya Wiro.
“Ketahuilah,
menurut suamiku sebelum dia menghembuskan nafas terakhir ketika dibunuh oleh
Sepasang Pedang Dewa, benda rahasia yang tersembunyi dalam dua buah bonang ini
hanya mampu dicukil keluar oleh dua macam senjata mustika. Yang pertama dengan
mempergunakan keris sakti keris Nogo Sosro. Yang kedua dengan senjata berbentuk
kapak bermata dua. Keris Nogo Sosro entah berada di mana, tak mungkin aku
mencarinya. Lalu aku melihat kau mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 waktu di
pulau Sempu. Kurasa inilah senjata yang dimaksud suamiku. Nah apakah kau tidak
mau mengeluarkan senjata saktimu itu untuk menolong?’
Pendekar
212 garuk-garuk kepala.
Dewa Ketawa
maju selangkah. “Nyi Bulan, kalau kau menipuku dan sobatku ini, jangan salahkan
nanti aku sampai membunuhmu!”
Nyi Bulan
tidak acuhkan uacapan si gendut itu. Dia cepat mengambil Kapak Maut Naga Geni
212 begitu dikeluarkan Wiro dari balik pakaiannya. Dua buah bonang
diletakkannya saling berdekat di tangga candi. Lalu Kapak Naga Geni 212
diletakkannya di atas dua buah bonang itu. Mata-mata kapak yang tajam
berkilauan menyentuh ujung-ujung menonjol kedua bonang. Nyi Bulan berpaling
pada Wiro dan Dewa Ketawa. “Kuharap tak ada yang mengeluarkan suara baarng
sedikitpun. Kalau tidak sulit bagiku memusatkan pikiran dan tenaga dalam!”
Dewa
Ketawa menekap multnya semakin kuat. Wiro mengangguk sambil menggaruk kepala.
Nyi Bulan pejamkan kedua matanya. Perlahan-lahan dia mulai mengerahkan tenaga
dalam murni dari perutnya. Ketika tenaga dalam itu mengalir melewati dadanya
Pendekar 212 hampir berseru melihat bagaimana sepasang payudara Nyi Bulan jadi
membesar luar biasa.
“Sialan!
Baru sekali ini kau melihat buah sorga sebesar itu. Ingin sekali aku
meremasnya!” kata Pendekar 212 dalam hati.
Aliran
tenaga dalam meluncur melewati dua tangan Nyi Bulan yang memegang gagang Kapak
Maut Naga Geni 212. Sesaat kemudian kelihatan cahaya putih pada mata kapak
semakin terang dan perlahan-lahan berobah menjadi merah. Cahaya merah ini lalu
membungkus dua buah bonang.
Dalam
suasana yang sunyi seperti di pekuburuan itu tiba-tiba terdengar suara halus
jatuhnya sesuatu ke batu tangga candi.
Nyi Bulan
menarik nafas lega. Kedua matanya dibuka. Cahaya merah lenyap. Perlahan-lahan
kapak yang dipegangnya diangkat dan diserahkan pada Wiro seraya mengucapkan
terima kasih.
Dengan
sangat hati-hati janda cantik ini mengangkat dua buah bonang dari tangga candi.
Di bekas tempat bonang-bonang itu diletakkan, di batu tangga kini terlihat dua
buah benda aneh. Baik Wiro maupun Dewa Ketawa tidak tahu benda apa itu adanya.
Benda ini berbentuk gumpalan aneh seperti diremas menjadi bulat. Dengan
hati-hati, satu persatu Nyi Bulan membuka kedua bena itu. Ketika terbuka dan
terkembang ternyata adalah sehelai potongan kain sutra yang sangat tipis. Pada
potongan kain itu terdapat tulisan-tulisan kuno yang tak bisa dibaca oleh Wiro
dan Dewa Ketawa.
“Nyi
Bulan….. Benda apa itu sebenarnya?” tanya Wiro berbisik.
Nyi Bulan
tersenyum. “Suamiku berlaku cerdik. Dia sengaja menuliskan dengan huruf-huruf
kuno secara terbalik. Jika tulisan ini dibaca di atas kaca maka yang pertama
isinya adalah ilmu kesaktian yang sangat langka di dunia ini, sedang yang kedua
berisi ilmu pengobatan yang tak ada duanya.
Wiro dan
Dewa Ketawa jadi terkesiap mendengar keterangan Nyi Bulan itu.
“Dewa
Ketawa, sekarang kalau kau mau ketawa silahkan saja,” kata Nyi Bulan. Lalu dia
berdiri dan menyerahkan dua buah bonang pada orang tua bertubuh gendut itu.
“Dua buah bonang ini tidak cacat barang sedikitpun. Ambillah, bawa kembali ke
tempatnya di Keraton. Kuharap kau bisa buas kini karena bisa menebus kesalahan
keponakanmu itu.”
Dewa
Ketawa cepat mengambil dua buah bonang itu, memeriksanya sebentar lalu
memasukkannya ke balik pakaiannya.
Nyi Bulan
berpaling pada Pendekar 212.
“Wiro,
kau banyak menolngku. Aku berhutang budi besar padamu. Sebagai balasan apakah
kau mau ikut aku berjalan-jalan ke dasar bumi?’
“Heh! Apa
maksudmu Nyi Bulan?”
Janda
jelita itu tak menjawab. Dia memegang lengan Pendekar 212 lalu mengajaknya
berjalan bergandengan. Pada langkah kelima Nyi Bulan hentakkan kaki kanannya ke
tanah.
Di tanah
terlihat sebuah lobang besar dan dalam. Nyi Bulan enak saja meluncur ke dalam
lobang itu. Wiro terpaksa membungkukkan tubuh karena lengannya ikut tertarik.
“Kau mau
ikut aku atau tidak Wiro?”
“Ah,
bagaimana ini! Aku mau saja. Tapi kau bukannya hendak menguburku hidup-hidup?”
“Kalau
aku bermaksud jahat, berarti kita akan mati terkubur bersama-sama. Lagi pula
coba kau lihat ke bawah sana….”
Wiro
ulurkan kepalanya ke dalam lobang. Astaga. Dia tidak percaya pada
pemandangannya. Di bawah sana dia bukannya melihat lorong atau lobang yang
gelap, melainkan menyaksikan satu pemandangan yang indah dari sebuah daerah
pesawahan lengkap dengan sungai dan gunung yang indah sekali.
“Kau mau
ikut sekarang?” tanya Nyi Bulan sambil tersenyum.
Wiro
langusung saja masukkan kedua kakinya ke dalam lobang. Begitu keduanya lenyap,
tanah yang tadi berlobang kini menutup kembali secara aneh tanpa bekas sama
sekali ! Mata sipit Dewa Ketawa sempat tak berkesip beberapa lamanya ketika
menyaksikan bagaimana di tanah ini terlihat ada dua buah gundukan yang
meluncur, bergerak makin jauh, maikn jauh dan akhirnya lenyap di dalam kegelapan.
“Ilmu
berjalan di dalam tanah…. !” seru Dewa Ketawa sambil golenggolengkan kepala.
“Jadi ilmu itu benar-benar ada rupanya….” Setelah menarik nafas panjang dan
mengumbat tawa sepuas-puasnya Dewa Ketawa memutar tubuh. Berjalan tiga langkah
menuju tempat dia meninggalkan keledainya, tiba-tiba dia ingat pada Bujang Gila
Tapak Sakti. Orang tua ini menoleh ke belakang lalu meniup. Hebat sekali !
Totokan yang menguasai tubuh keponakannya itu serta merta musnah. Bujang Gila
Tapak Sakti kini dapat bergerak dan bersuara lagi. Begitu dirinya bebas pemuda
gemuk ini berteriak keras.
“Nyi
Bulan kekasihku! Jangan tinggalkan diriku! Mengapa cacing tanah berambut
gondrong itu yang kau ajak pergi, bukan aku !” Lalu dia jatuhkan diri di tanah
di tempat tadi Nyi Bulan dan Pendekar 212 lenyap masuk ke dalam tanah dan
menangis seperti anak kecil.
Dewa
Ketawa lagi-lagi gelengkan kepala. “Anak setan !” makinya. “Kalau tidak karena
kau semua urusan gila ini tidak bakal terjadi !” Orang tua ini akhirnya
tinggalkan tempat itu. Di kejauhan tak lama kemudian terdengar suara langkah
kakinya dan kaki-kaki keledainya. Lalu dalam kegelapan malam di bukit Imogiri
itu kembali terdengar suara gelak tawanya berkepanjangan.
TAMAT
No comments:
Post a Comment