Kematian Kedua
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
DENGAN
mengubah diri menjadi asap, Bunga si gadis alam roh, berhasil menyelinap masuk
ke dalam bukit batu markas barisan manusia pocong lewat sebuah celah sehalus
rambut. Suara genta mendadak menggema mengguncang seantero tempat. Menyadari
bahwa kemunculannya telah diketahui penghuni 113 Lorong Kematian, dia harus
bertindak cepat. Bau setanggi mendadak memenuhi ruangan. Lalu satu suara halus
mengiang di telinga Bunga.
“Roh dari
alam gaib. Kau datang membawa bencana. Terima kematianmu sebelum kau menimbulkan
malapetaka!”
Bunga
tidak tinggal diam. Dia segera menyahuti suara yang datang dari jauh itu.
“Bencana
ada dalam hatimu. Malapetaka ada dalam benakmu! Aku datang membawa kebaikan.
Aku akan
bertindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas kau agar bisa kembali bebas ke
alam asal.
Dunia
bukan tempat tinggalmu. Di dalam lorong ada manusia jahat memperalat dirimu!”
“Ahai!
Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan.
Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai! Aku mau lihat apakah kau masih bisa berkata-kata
sesudah aku menjatuhkan kematian kedua padamu!”
Bunga
terkesiap mendengar ucapan dari kejauhan itu. Bukan perihal kematian kedua atas
dirinya, tapi kata-kata menyangkut diri Yang Mulia. “Apakah mahluk bernama Sang
Ratu itu telah bercinta dengan Ketua Barisan Manusia Pocong? Apakah Sang Ketua
telah menggauli dirinya? Celaka kalau hal itu sampai terjadi!
Berarti
dia telah menguasai ilmu kesaktian luar biasa dahsyatnya!”
Bunga tak
sempat berpikir lebih jauh. Dari arah lorong di depannya bertiup serangkum
angin.
Menyusul
muncul cahaya kuning menggidikkan.
Bunga
cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala. Mulut terkancing rapat,
Sepasang mata menatap tajam ke arah cahaya kuning yang datang menyambar. “Roh
alam gaib, aku mewakili semua roh dari alammu. Berikan seluruh kekuatan dan
kesaktianmu padaku! Hancurkan pintu itu!”
Bunga
gerakkan tangan kanan ke depan.
Sejenis
bubuk menebar di udara. Bau harum setanggi semakin santar di tempat itu. Dari
jauh mendadak terdengar suara pekikan.
Sosok
bunga laksana kilat berubah menjadi asap dan melesat ke atas. Di ujung lorong
kemudian terdengar satu teriakan keras.
“Jangan!
Aahh!”
Ada satu
kekuatan berusaha mencegah tapi terlambat. Cahaya kuning berkiblat. Cahaya maut
yang seharusnya menghantam Bunga, lolos lalu melabrak dinding batu. Tebaran
setanggi yang melayang di udara berubah menjadi percikan bunga api terang
benderang.
Bumm!
Byaarr!
Satu
letusan keras berdentum mengguncang bukit batu. Dinding batu di depan sana
hancur berantakan. Sebuah lobang berbentuk pintu empat persegi panjang
terpentang.
Bunga
kembali membentuk ujud nyatanya.
Gadis
dari alam roh ini tertawa panjang lalu berseru. “Terima kasih! Kau telah
membukakan pintu untuk calon suamimu!”
Satu
pekikan dahsyat dan panjang menggelegar di kejauhan. Begitu suara pekikan
sirna, tiba-tiba terdengar suara genta bergema tujuh kali berturut-turut.
Terguncang ke kiri dan ke kanan, Bunga lari ke arah pintu.
“Wiro,
cepat!”
Di bawah
sana di dasar jurang, Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga Kuning dan Jatilandak
baru saja keluar dari dalam telaga. Melihat Bunga muncul dan berteriak,
keempatnya segera menaiki tangga batu menuju ke atas dan sampai di satu ruangan
beratap dan berdinding batu tapi berlantai tanah keras. Bukan pekerjaan mudah
menaiki tangga terjal itu sementara bukit batu digoncang oleh suara genta.
“Cepat,
ikuti aku!” kata Bunga begitu keempat orang tersebut sampai di hadapannya. Di
kejauhan genta terdengar berdentang lagi tujuh kali berturut-turut. Kawasan 113
Lorong Kematian seperti diguncang gempa. Ada kekuatan dahsyat ingin
melampiaskan kemarahannya. Bahaya besar mengancam Bunga dan empat orang yang
telah menerobos masuk ke dalam bukit batu di mana terletak 113 Lorong Kematian,
markas barisan manusia pocong.
Masuk
sejauh belasan tombak menyelusuri lorong yang masih harum oleh bau setanggi, di
kiri kanan muncul dua cabang lorong. Wiro dan Naga Kuning yang berada di sebelah
depan tahan lari masing-masing.
“Lurus!”
teriak Bunga yang berada di belakang Naga Kuning.
Wiro dan
Naga Kuning, diikuti Gondoruwo Patah Hati dan Jatilandak segera menggebrak
lurus ke depam. Baru bergerak sepuluh langkah tiba-tiba dari arah berlawanan
terdengar suara menderu dahsyat disusul kiblatnya cahaya kuning datang menyapu.
“Awas!”
seru Pendekar 212.
“Jatuhkan
diri ke tanah!” teriak Bunga. Sebelumnya dia telah melihat keganasan cahaya
kuning itu. Dia khawatir tak seorangpun akan sanggup menghadapinya. Karena itu
dia memperingatkan agar semua orang jatuhkan diri ke lantai lorong. Bunga
sendiri sehabis berteriak melesat ke atas, tempelkan tubuh sama rata dengan
atap lorong.
Wuuuttt!
Wussss!
Ketika
cahaya kuning menderu di atas punggung mereka, Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga
Kuning, dan Jatilandak merasa seperti disambar api. Untuk beberapa lamanya
mereka hanya mampu menelungkup di lantai lorong sebelum tersentak oleh suara
benda runtuh jauh dibelakang sana. Yaitu suara hancurnya salah satu bagian
dinding bukit batu akibat hantaman cahaya kuning tadi.
“Gila!
Hampir leleh tubuhku!” ucap Naga Kuning sambil usap-usap rambutnya yang jabrik.
“Makanya
anak kecil jangan berani-beranian di depan.” Kata Gondoruwo Patah Hati. “Sini,
di belakangku saja!” Lalu si bocah ditarik ke belakangnya.
Naga
Kuning menggerutu lalu meledek. “Bilang saja kau takut, mau dekat-dekat aku.”
“Huh!”
Gondoruwo Patah Hati yang sebenarnya adalah kekasih Naga Kuning pencongkan
mulut.
Seperti
yang diketahui, ujud sebenarnya Naga Kuning adalah seorang kakek yang biasa
disebut dengan nama Kiai Paus Samudera Biru dan bernama asli Gunung. Sementara
Gondoruwo Patah Hati yang perwujudannya sehari-hari adalah seorang nenek
berwajah jelek dan angker sebenarnya adalah seorang perempuan cantik bernama
Ning Intan Lestari dan merupakan puteri angkat dari seorang kakek sakti yang
dianggap setengah dewa yaitu Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Ikuti
aku,” Bunga berkata lalu berjalan cepat mendahului di sebelah depan. Bau
setanggi masih tercium di dalam lorong. Di depan sana lorong yang mereka tempuh
bercabang ke kanan. Bunga hentikan langkah. Tangan kanan diangkat memberi tanda
agar semua orang berhenti. Mendadak dari balik lorong sebelah kanan terdengar
suara orang tertawa bergelak. Di lain saat muncullah sosok seorang manusia
pocong. Mahluk ini keluarkan ucapan.
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua seorang yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia
Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Semua
orang hentikan langkah. Naga Kuning justru maju ke depan. Dia pelototi sosok
manusia berjubah dan bertutup kepala serba putih itu.
“Wow!
Jadi ini mahluknya yang bernama manusia pocong. Ternyata cuma seorang lelaki
yang bercinta dengan Yang Mulia Ketua. Tidak sangka kalau kau cuma budak nafsu
seorang lelaki yang doyan sesama jenis!” Habis berkata
begitu
Naga Kuning lalu tertawa tergelak-gelak.
Sepasang
mata di balik dua lobang kecil kain penutup kepala pancarkan sinar amarah.
Tenggorokan keluarkan suara menggembor. Dada menggembung. “Bocah tolol, kau dan
kawan-kawanmu akan mampus mengenaskan. Kau akan kubuat paling sengsara!”
“Sombongnya!”
ejek Naga Kuning lalu putar tubuh dan songgengkan pantat.
Marah
sekali, manusia pocong bergerak dan tendangkan kaki kanan. Pendekar 212 Wiro
Sableng yang sudah tidak sabaran cepat menarik Naga Kuning lalu melompat ke
hadapan manusia pocong. Tangan kanannya sudah dialiri tenaga dalam tinggi siap
melepas pukulan maut.
“Mahluk
edan! Jangan banyak bicara di hadapan kami! Lekas antarkan kami ke tempat
kalian mengurung para tokoh dan perempuanperempuan hamil. Atau tubuhmu kubuat
gosong saat ini juga!”
Manusia
pocong sambuti ancaman Wiro dengan rangkapkan dua tangan di depan dada lalu
berkata. “Pendekar 212 Wiro Sableng! Kedatanganmu dan kawan-kawan memang sudah
lama ditunggu. Aku bisa saja mendapatkan pahala, menggiring kalian ke hadapan
Yang Mulia Ketua.
Tapi aku
ingin membuat pahala yang lebih besar!
Membunuh
empat temanmu ini dan membawamu hidup-hidup ke hadapan Yang Mulia Ketua!”
“Kalau
begitu apa yang kau tunggu?!” bentak Pendekar 212 sambil perlahan-lahan angkat
tangan kanan ke atas. Sebatas siku ke bawah tangan itu telah berubah warna
menjadi putih keperakan.
“Kau
hendak melepas Pukulan Sinar Matahari yang tersohor itu?” ucap manusia pocong
dengan suara mengejek.
Wiro
terkesiap karena orang kenali ilmu kesaktiannya. “Di sini bukan tempatnya untuk
memamerkan kehebatan. Karena kalian tak lebih dari sampah yang siap untuk
digusur dan dimasukkan ke dalam keranjang sampah!”
“Puah!”
Naga Kuning semburkan ludah. Gondoruwo Patah Hati dekati bocah ini, merunduk
dan berbisik. “Aku seperti mengenali suara mahluk celaka ini. Kau ingat
sesuatu?” Naga Kuning menggeleng.
Tiba-tiba
manusia pocong di depan sana berteriak.
“Dengar!
Kematian sudah jadi takdir kalian semua! Sebelum mati kalian harus menyerahkan
semua ilmu kepandaian kalian pada Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun aku bisa
memberikan sedikit kenyamanan pada kalian agar mampus seperti nyenyaknya orang
tidur. Syaratnya, nenek berpakaian serba hitam berambut kelabu itu harus mau
ikut aku hidup-hidup!”
Semua
orang jadi terkejut mendengar ucapan manusia pocong itu. Terutama Gondoruwo
Patah Hati. Si nenek maju ke hadapan manusia pocong, memandang lekat-lekat
seolah mau menembus kain penutup kepala. Dia perhatikan sepasang mata yang
berkilat namun tetap saja dia belum dapat menduga pasti siapa adanya mahluk itu
dan mengapa justru inginkan dirinya.
“Mahluk
salah urus! Kalau kau inginkan diriku katakan siapa kau sebenamya!” hardik si
nenek.
Manusia
pocong jawab hardikan orang dengan tertawa panjang. “Siapa diriku itulah yang
aku tidak tahu. Tapi percayalah, kau tidak akan kecewa bila ikut bersamaku.
Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya…”
“Setan
alas kentut busuk! Kalau tidak mau menerangkan diri sekarang lekas buka
topengmu!”
Laksana
kilat tangan kanan Gondoruwo Patah Hati yang berkuku hitam melesat ke atas hendak
menarik lepas kain penutup kepala manusia pocong.
Manusia
pocong tertawa pendek. Geser dua kaki dan hentakkah kepala ke belakang.
Sambaran tangan si nenek luput. Saking kesalnya Gondoruwo Patah Hati segera
menerjang. Tangan kanan yang berkuku panjang kembali berkelebat.
Kuku-kuku
berwarna hitam setengah jalan berubah menjadi merah menyala. Inilah ilmu Kuku
Api, salah satu dari sekian banyak ilmu kesaktian yang dimiliki si nenek. Kali
ini serangannya bukan untuk menarik lepas kain penutup kepala, tapi membeset ke
arah dada. Jika serangan ini menemui sasaran, daging dan tulang dada manusia
pocong bisa jebol. Bahkan jantungnya bisa dibeset hancur atau dibetot lepas.
“Ilmu
Kuku Api. Jurus Lima Cakar Langit!”
teriak
manusia pocong sambil melompat mundur.
Untuk
kedua kalinya dia berhasil lolos dari serangan si nenek. Sebenarnya bukan
kecepatan lompatan mundur ini yang menyelamatkan diri nya, melainkan satu
gelombang angin keras yang tiba-tiba menghantam ke arah Gondoruwo Patah Hati.
Tubuh si nenek terpental dua langkah.
Ketika
berdiri sosok Gondoruwo Patah Hati masih tergontai goyang dan wajah angkernya
berubah pucat.
“Jahanam,
dia mengenali ilmu kesaktian dan jurus seranganku,” Gondoruwo Patah Hati memaki
dalam hati.
“Intan,
kau tak apa-apa?” Tanya Naga Kuning penuh khawatir.
“Ada satu
kekuatan luar biasa datang dari dalam lorong membentengi mahluk celaka ini!”
jawab Gondoruwo Patah Hati.
“Mahluk
dari alam roh yang ada di dalam lorong yang mengirimkan kekuatan gaib membantu
manusia pocong,” kata Bunga memberi tahu.
Anggota
Barisan Manusia Pocong umbar tawa lalu berkata. “Kalau sudah tahu ada kekuatan
yang tidak bisa kalian tembus, mengapa tidak segera saja bunuh diri serahkan
nyawa. Kecuali nenek satu itu! Aku tak bakal melepaskannya!” Naga Kuning tak
dapat menahan diri lagi.
Sekali
tubuhnya bergerak selarik sinar biru melesat dari tangan kanannya. Sebelum
tubuhnya sampai ke hadapan manusia pocong, sinar biru itu telah menyambar ke
arah kepala orang.
“Aha! Aku
sudah lama mendengar kehebatan jurus Naga Murka Merobek Langit!” seru manusia
pocong menyebut jurus serangan yang dilancarkan Naga Kuning. “ternyata jurus
ini tidak ada apa-apanya!”
Sekali
ini si manusia pocong kecele. Walau dia berhasil selamatkan diri dari jurus
Naga Murka Merobek Langit namun dia tidak mengira dan tidak melihat kalau di
saat yang sama tangan kiri Naga Kuning ikut bergerak. Sesaat tangan ini akan
mendarat di kening sebelah kanan manusia pocong, tiba-tiba ada cahaya kuning
menyambar dari ujung lorong, mengarah pada bocah rambut jabrik itu.
Naga
Kuning tidak menyangka bakal mendapat serangan begitu rupa berseru kaget,
terlambat selamatkan diri. Bunga cepat mengeruk setanggi di dalam kantong putih
di balik baju kebaya panjangnya. Secepat kilat setanggi ditebarkan ke arah
sambaran cahaya kuning.
Bummm!
Taarrr…
tarr!
******************
2
LEDAKAN
dahsyat disertai letusan menebar bunga api memercik di udara. Tiga orang
berkaparan di tanah, yaitu Naga Kuning, Bunga, dan Gondoruwo Patah Hati. Wiro
jatuh terduduk sementara Jatilandak yang berdiri agak jauh terbanting ke
dinding.
Manusia
pocong keluarkan tawa mengejek.
“Manusia-manusia
geblek! Ajal sudah di depan mata masih saja berlaku tolol!”
Bunga dan
Gondoruwo Patah Hati cepat bergerak bangkit. Wiro menyusul dan Jatilandak
menjauh dari dinding. Hanya Naga Kuning yang masih terkapar di tanah. Namun
saat itu terjadi keanehan atas dirinya. Sosok dan wajah bocahnya telah berubah
menjadi seorang kakek berjubah biru dan berambut putih panjang menjulai. Inilah
sosok asli Naga Kuning yaitu seorang kakek usia 120 tahun. Perlahan-lahan si
kakek bangkit berdiri lalu melangkah ke arah manusia pocong.
“Ha… ha!”
seru manusia pocong. “Naga Kuning!
Rupanya
kau inginkan mati dalam ujud aslimu sebagai Kiai Paus Samudera Biru! Aku siap
membantumu mencari jalan ke akhirat sekarang juga!”
Sementara
Naga Kuning heran mahluk di hadapannya tahu riwayat dirinya, si manusia pocong
kebutkan dua lengan jubah. Dua larik angin keras menderu ke arah Kiai Paus
Samudera Biru. Serangan ini ternyata hanyalah satu tipuan belaka, karena begitu
lawan mengelak, manusia pocong lesatkan tubuh ke depan sambil sekaligus
hantamkan jotosan tangan kanan ke batok kepala Kiai Paus Biru. Ketika Kiai Paus
Biru balas menggebrak menangkis serangan lawan dengan tangan kiri sementara
tangan kanan laksana kilat menyusup ke dada lawan, tiba-tiba ada kekuatan lain
datang dari belakang manusia pocong.
“Kiai!
Cepat menyingkir!” teriak Bunga.
Tapi
terlambat. Dua lengan sudah beradu.
Manusia
pocong menjerit keras dan terpental empat langkah. Kiai Paus Samudera Biru
mengeluh tinggi. Tubuhnya terlontar ke belakang hampir satu tombak pertanda dia
kalah tenaga luar maupun tenaga dalam. Kalah kesaktian!
Gondoruwo
Patah Hati berseru tegang. Tak percaya dia kalau kekasihnya itu bisa dihantam
lawan begitu rupa. Sebelum si kakek jatuh terjengkang di tanah, nenek ini cepat
merangkul pinggangnya.
“Gunung…”
Gondoruwo Patah Hati sebut nama asli Naga Kuning.
“Aku
tidak apa-apa,” ucap Kiai Paus Samudera Biru. Mukanya pucat dan ada keringat
memercik di keningnya. Dada turun naik sedang nafas menyengal. Ketika si nenek
memperhatikan lengan jubah kiri kekasihnya itu ternyata ada bagian berwarna
hitam hangus akibat benturan dengan lengan manusia pocong. Cepat-cepat
Gondoruwo Patah Hati membawa Kiai Paus Samudera Biru ke tempat yang lebih aman.
“Gunung,
kau tunggu di sini. Aku akan habisi bangsat yang mencelakai dirimu itu!”
“Nek,
biar aku menunggui kakek ini,” kata Jatilandak.
“Hati-hati
Intan. Ada kekuatan gaib dan dahsyat yang membantu manusia pocong itu.” Kiai
Paus Samudera Biru mengingatkan dan perlahanlahan ujudnya kembali ke bentuk
Naga Kuning, seorang bocah berambut jabrik berpakaian serba hitam. Walau kini
pakaiannya bukan lagi sehelai jubah, namun pada lengan kiri baju hitam anak itu
juga terlihat ada bagian yang hangus.
“Perduli
setan! Akan kupecahkan kepalanya!” jawab si nenek lalu melompat ke hadapan
manusia pocong.
“Ah,
seorang kekasih ingin menolong kekasih!
Sungguh
setia dan luar biasa budimu. Sekarang kau mau memukulku? Silahkan! Aku tidak
akan melawan! Kalau kau sudah puas menghajarku aku tetap berharap bisa dapatkan
dirimu!” Manusia pocong berkata sambil maju satu langkah seolah menyerahkan
diri untuk dihantam.
Wiro dan
Bunga saling pandang sesaat. Lalu murid Sinto Gendeng ini berbisik “Bunga, ada
yang tidak beres. Tidak masuk akal mahluk keparat itu mau serahkan diri
dihantam begitu saja tanpa melawan. Ini satu tipuan. Si nenek bisa terjebak
mati konyol. Aku harus melakukan sesuatu.” Wiro berkata sambil tangannya siap
mengambil kantong kain berisi setanggi yang diberikan Bunga.
Gadis
dari alam roh ini cepat berkata. “Aku tahu apa yang ada di benakmu! Biar aku
yang mengerjakan. Kau awasi nenek itu.”
Begitu
selesai berucap sosok Bunga berubah menjadi seperti bayang-bayang dan melesat
ke atas melewati kepala Gondoruwo Patah Hati.
Ketika
lewat di atas kepala manusia pocong, mahluk ini berusaha memukul, namun dia
seperti menghantam asap. Di lain kejap Bunga telah berada di lorong di sebelah
belakangnya. “Apa yang hendak dilakukan setan perempuan itu?”
pikir
manusia pocong. Namun perhatiannya segera kembali pada Gondoruwo Patah Hati
yang kini tegak dekat sekali di hadapannya. Sesaat padangan mata si manusia
pocong mengeluarkan cahaya dan dadanya berdebar.
“Tunggu
apa lagi? Kenapa tidak segera memukul?”
Ditantang
begitu rupa, apalagi setelah kekasihnya dicederai, Gondoruwo Patah Hati
keluarkan suara mendengus. Tanpa banyak bicara lagi tangan kanan dihantamkan ke
dada manusia pocong. Tangan si nenek saat itu telah berubah biru dan keras
seperti batu.
“Pukulan
Batu Naroko,” ucap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia pernah melihat orang lain
mengeluarkan ilmu ini, malah menghadapinya sendiri. Yaitu ketika terlibat dalam
perkelahian hidup mati melawan seorang pemuda bernama Damar Wulung alias
Adisaka yang adalah seorang murid Gondoruwo Patah Hati sendiri. (Baca: Wiro
Sableng — Senandung Kematian) Kalau saja Wiro tidak memiliki ilmu Pukulan
Harimau Dewa yang didapatnya dari Datuk Rao Basaluang Ameh, dalam kejadian itu
kemungkinan sudah tamat riwayatnya. Paling tidak hancur luluh tangan kanannya
sampai ke siku. Konon Damar Wulung alias Adisaka mendapat ilmu pukulan sakti
itu dengan cara mencuri, tidak diajarkan atau diwariskan oleh Gondoruwo Patah
Hati. Kalau sang murid sudah demikian luar biasa tingkat kehebatan dalam
penggunaan ilmu pukulan sakti itu, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya jika itu
dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Dan pukulan inilah yang dihantamkan si nenek
pada manusia pocong di hadapannya.
Manusia
pocong yang hendak dihajar berdiri tenang, tidak bergerak, tidak berkesip. Ada
satu keyakinan dalam dirinya bahwa pukulan lawan tidak akan menciderainya.
Malah dia ulurkan kepala sedikit dan keluarkan ucapan berbisik.
“Intan,
aku tidak ingin kau celaka. Lekas tarik pulang pukulanmu!”
Si nenek
heran tapi tidak perdulikan ucapan orang yang merupakan satu keanehan. Malah
dia perhebat aliran tenaga dalam ke tangan kanan.
Wuuuttt!
Pukulan
Batu Naroko menderu ke arah dada manusia pocong. Seperti yang diduga Wiro dan
Bunga pada saat yang bersamaan ketika tangan Gondoruwo Patah Hati mulai
bergerak, dari ujung lorong menderu angin dahsyat disertai berkiblatnya cahaya
kuning.
Tangan
kanan Bunga bergerak menebar setanggi. Tangan kiri melempar tiga buah benda
kuning yang bukan lain adalah tiga kuntum kembang kenanga.
Bummm!
Blaarr…
tarr… tarr!
Seperti kejadian
sebelumnya, begitu tebaran setanggi bersentuhan dengan cahaya kuning, dentuman
dahsyat menggelegar disertai kerlapan bunga api menyilaukan mata. Dua kembang
kenanga hancur berantakan, satunya lolos dan melesat lenyap ke arah ujung
lorong.
Ketika dentuman
mengguncang seantero tempat. Wiro cepat menarik Gondoruwo Patah Hati ke
belakang sambil berbisik. “Tahan dulu seranganmu, nek!”
Di
sebelah depan manusia pocong sesaat terkesiap menyadari apa yang terjadi.
Kekuatan gaib yang tadi membentengi dan melipatgandakan kekuatan yang
dimilikinya tidak muncul karena keburu dihadang oleh Bunga. Saat itu, walau
sanggup mementahkan kekuatan gaib yang dahsyat, tak urung Bunga
tergontai-gontai sambil pegangi dada. Walau cuma sebentar dan kemudian sirna,
di sudut bibir gadis alam roh ini kelihatan cairan kental, bukan darah merah
tapi cairan berwarna biru.
Wiro
tepuk bahu Gondoruwo Patah Hati dan berkata. “Sekarang Nek!”
Gondoruwo
Patah Hati berpaling pada sang pendekar. “Sekarang?”
Wiro
kedipkan mata dan anggukkan kepala. Si nenek menyeringai.
Tahu
gelagat kalau dirinya bakal diserang, si manusia pocong segera mendahului.
Tangannya kiri kanan naik ka atas lalu menghantam dalam gerakan menggunting.
Yang diarah adalah batang leher si nenek. Inilah jurus serangan yang disebut
Gunting Iblis. Gondoruwo Patah Hati tertawa pendek. Lengan kiri melesat ke atas
menangkis kemplangan tangan kanan lawan. Kini kedua orang itu sama-sama
mengerahkan kehebatan ilmu milik sendiri.
Kraak!
Manusia
pocong menjerit keras ketika benturan dua tangan membuat tulang lengan kanannya
patah. Selain itu bentrokan yang hebat menyebabkan tubuhnya terputar hingga
pukulan tangan kiri hanya mengenai angin. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu
untuk selamatkan diri, Pukulan Batu Naroko sudah mendarat di dadanya!
Jeritan
manusia pocong tertahan oleh darah yang menyembur keluar dari mulutnya. Tubuh
terpental ke dinding dan tertegun di sana seolah menempel. Di balik kain
penutup kepala sepasang matanya mendelik mencelet. Mulut menganga dan lidah
terjulur. Noda darah membasahi kain penutup kepala dan leher pakaian sementara
bagian dada jubah putihnya tampak bolong hangus biru mengerikan. Asap mengepul
dari dada yang kena hantaman Pukulan Batu Naroko.
Di
kejauhan suara genta menggema bertalutalu disertai suara aneh seperti raungan
anjing di malam buta. Lorong batu bergetar hebat. Manusia pocong batuk-batuk
beberapa kali lalu jatuh tergelimpang. Ketika tubuhnya tertelungkup di tanah,
bagian punggungnya kelihatan bolong.
Ternyata
Pukulan Batu Naroko tembus dari dada sampai ke punggung!
Naga
Kuning tinggalkan Jatilandak yang menungguinya. Melompat ke arah sosok manusia
pocong. Dengan kaki kirinya dia balikkan tubuh tanpa nyawa yang tertelungkup
itu. Lalu ditariknya kain putih yang menutupi kepala.
Begitu
kepala dan wajah tersingkap, walau mata mencelet dan lidah terjulur, siapa
dirinya masih bisa dikenali. Gondoruwo Patah Hati tersurut dua langkah. Wiro
dan Naga Kuning sama-sama keluarkan suara tercekat. Manusia pocong ternyata
adalah seorang kakek berambut, berkumis, dan berjanggut putih. Diduga sudah
jadi mayat ternyata megap-megap masih hidup.
Malah
masih bisa keluarkan ucapan walau terpatah-patah dan kelu.
“Intan,
aku ber… bahagia mati di tangan… mu.
Sam… pai
ka… panpun aku tetap men… cintaimu.
Ak… aku
akan me… nunggumu di pintu akhirat…”
“Manusia
keparat! Kalau kau mau ke akhirat silahkan jalan duluan!” Makian keras keluar
dari mulut Naga Kuning. Marah sekali, bocah ini tendang kepala manusia pocong
hingga remuk dan tubuhnya mental menghantam dinding lorong lalu terkapar di
tanah. Kini nyawanya benar-benar putus sudah!
Bunga
yang telah pulih keadaannya dekati Wiro dan berbisik. “Siapa adanya manusia
pocong itu?”
“Namanya
Rana Suwarte. Dia pernah jadi kaki tangan Kerajaan yang hendak menangkap diriku.
Setahuku
di masa muda dia tergila-gila pada si nenek. Tapi kalah saing dengan bocah
konyol berambut jabrik itu. Antara mereka sampai pernah terjadi perkelahian.
Rana Suwarte menghindar ketika tahu siapa adanya Naga Kuning. Dia menyadari
ilmu kesaktiannya tak akan mampu menghadapi bocah itu. Tadi dia berani
menantang karena ada kekuatan sakti luar biasa yang menolongnya. Kalau kau
tidak menghadang kekuatan itu niscaya si nenek tamat riwayatnya. Paling tidak
celaka berat.”
“Heran,”
Jatilandak berkata sambil melihat ke arah mayat Rana Suwarte. “Jika dia seorang
tokoh rimba persilatan, apa lagi alat Kerajaan, mengapa sampai jadi anggota
barisan manusia pocong?”
“Mungkin
dia mendapat imbalan besar. Mungkin juga merupakan salah satu korban
penculikan. Yang jelas aku merasa otaknya tidak bekerja wajar.” Menjawab Bunga.
Gadis dari alam roh ini menarik nafas dalam. “Masalah cinta tak pernah
habis-habisnya di dunia ini. Membuat banyak manusia menemui ajal dalam
penasaran bahkan kesesatan.” Gadis dari alam roh itu berucap perlahan. Dia
ingat akan nasib dirinya yang berkenaan seperti itu, mati dibunuh karena cinta
sesat. (Baca: Wiro Sableng — Misteri Dewi Bunga Mayat)
“Wiro,
kita harus segera keluar dari sini. Kita harus menemui calon istrimu.”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu…?” ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Bunga
tersenyum lalu mengangguk. “Ikuti aku,” katanya dan siap memimpin rombongan itu
masuk makin jauh ke dalam perut bukit markas Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kematian.
Namun
Jatilandak mendahului.
“Biar aku
yang di depan,” kata pemuda berkulit kuning kepala botak dari negeri 1200 silam
itu.
Sebelum
Bunga membantah, pemuda itu lalu goyangkan tubuh. Asap mengepul. Serta merta
ujudnya berubah menjadi sosok seekor landak besar. Namun sewaktu bicara
suaranya tetap seperti manusia.
“Aku
tidak merendahkan kemampuan para sahabat di sini, termasuk Bunga. Namun dengan
ujud seperti ini aku memiliki penciuman dan pendengaran lebih tajam dari
kalian.” Jatilandak lalu berlari cepat di sepanjang lorong.
Wiro
pandangi sosok Jatilandak. sebenarnya dia ingin sekali bertanya pada pemuda ini
di mana beradanya Bidadari Angin Timur. Namun karena masih ada ganjalan dia
memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Seperti diketahui antara Pendekar
212, Jatilandak, dan Bidadari Angin Timur telah terjadi satu ganjalan besar.
Dimulai ketika Wiro memergoki Bidadari Angin Timur dianggapnya bermesraan
dengan Jatilandak. (Baca: Wiro Sableng — Bendera Darah).
******************
3
RUANG
Bendera Darah di dalam 113 Lorong Kematian. Sebuah bendera besar berlumur darah
setengah kering menancap di dinding batu. Inilah bendera yang merupakan salah
satu benda sakral milik Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian, disebut
Induk Bendera Darah.
Bau amis
darah yang menebar dari bendera besar ini tidak mampu ditindih oleh bau
kemenyan dari pendupaan yang terletak di empat sudut ruangan.
Di kursi
batu di tengah ruangan duduk satu sosok tinggi besar, kepala tegak, sepasang
mata di balik kain penutup kepala putih menatap tak berkesip ke arah dinding di
depannya di mana terdapat sebuah pintu rahasia. Tanpa berpaling pada manusia
pocong yang berdiri tak bergerak di sampingnya, yang juga memiliki perawakan
tinggi kokoh, orang yang duduk di atas kursi batu berkata.
“Wakil
Ketua, anak buahmu bekerja lambat!
Kalau
mereka datang apa aku perlu mengepruk kepala mereka sampai hancur?”
“Mohon
maafmu Yang Mulia Ketua. Salah seorang dari mereka baru saja melakukan tugas
pengintaian…”
“Tugas
pegintaian? Kita sudah tahu siapa saja yang berhasil menyelinap masuk ke dalam
lewat telaga di dasar jurang lalu masuk ke bagian belakang lorong lewat tangga
seratus undak! Kau memberi tahu telah menyiapkan sambutan hingga semua akan
berlangsung sesuai rencana. Menurut keteranganmu mereka adalah Pendekar 212,
seorang nenek berpakaian hitam, lalu seorang bocah lelaki berambut jabrik, dan
seekor landak besar! Aku mengharapkan Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur
muncul bersama mereka.
Ternyata
tidak! Padahal aku ingin dua gadis cantik itu dapat kau ringkus lalu ikut
menyaksikan kematian Pendekar 212! Mengapa masih ada yang diberi tugas
mengintai?”
“Yang
Mulia Ketua, keadaan mendadak berubah…”
“Apa
maksudmu?” Tanya Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
“Seperti
rencana, kita ingin menjebak mereka masuk lewat pintu lorong sebelah depan.
Ternyata mereka bisa tembus lewat jalan rahasia di bukit sebelah belakang.”
“Aku
tidak perduli mereka mau masuk dari mana. Yang penting sekarang mereka sudah
masuk ke dalam lorong kematian dan bakal menemui ajal mengenaskan di tempat
ini! Dan Partai Bendera Darah akan menjadi satu-satunya partai yang berkuasa di
rimba persilatan negeri ini!”
Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong membungkuk dalam-dalam. “Hanya perintah yang Mulia
Ketua yang harus dilaksanakan!” Manusia pocong ini membungkuk sekali lagi lalu
teruskan ucapannya. “Namun Yang Mulia, perlu saya beritahu. Keadaan berubah.
Ada sesuatu yang tidak terduga. Pendekar 212 dan kawan-kawannya masuk ke dalam
lorong ditemani seorang mahluk aneh.”
“Jangankan
satu orang, seribu mahluk aneh akan menemui ajalnya di dalam lorong ini! Apa
yang kau takutkan?”
“Saya
bukannya takut Yang Mulia…”
Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian angkat tangan kirinya.
“Ada yang datang,” katanya. Lalu dia menekan sebuah tonjolan batu di ujung
lengan kanan kursi batu yang didudukinya. Terdengar suara desiran halus.
Secara
aneh bagian dinding di seberang sana bergerak turun ke bawah membentuk sebuah
pintu besar. Seorang Satria Pocong berdiri di ambang pintu, memanggul sosok
seorang manusia pocong.
“Lemparkan
orang itu dan pergi dari sini!”
Satria
Pocong segera lakukan apa yang diperintahkan Yang Mulia Ketua. Orang yang
dipanggul dilempar ke dalam Ruang Bendera Darah, menggelinding di lantai dan
berhenti tepat di depan kursi batu. Dinding yang tadi turun kini bergerak naik
kembali.
“Buka
kain penutup kepalanya!”
Wakil
Ketua dekati sosok manusia pocong lalu tarik lepas kain putih yang menutupi
kepalanya.
Kelihatan
satu wajah tua dengan rambut, kumis, dan janggut putih menjulai dada. Dua mata
dalam keadaan terpejam.
“Tua
bangka konyol! Jangan berpura-pura tidur!” Yang Mulia Ketua memaki marah.
Bangkit dari kursinya lalu tendang tubuh orang tua itu hingga mencelat,
terduduk di lantai tersandar ke dinding. Sesaat sepasang mata masih terpejam.
Lalu
mulut terbuka menguap lebar.
“Aahhhh.
Enak-enak tidur, siapa yang membangunkan? Padahal baru mimpi mau menunggangi
perempuan cantik. Ha… ha… ha! Eh, masih malam atau sudah siang?” Orang tua itu
menggeliat dan jilat-jilat bibirnya sendiri dengan ujung lidah.
Plaakk!
Plaaakk!
Dua
tamparan Yang Mulia Ketua mendarat di pipi kiri kanan si orang tua itu hingga
tubuhnya terguncang dan melosoh ke lantai.
“Bukannya
diberi tuak malah dihajar dengan tamparan. Mana bumbung tuakku…”
Wakil
Ketua jambak rambut putih orang tua itu hingga kembali terduduk di lantai. Pipi
kirinya kelihatan bengkak akibat tamparan. Di sudut bibir sebelah kanan ada
lelehan darah.
“Dewa
Tuak! Kau harus menjawab pertanyaan Yang Mulia Ketua! Setelah itu nyawamu tak
ada artinya lagi!”
Tanpa
membuka mata si kakek yang adalah Dewa Tuak sahuti ucapan orang. “Bagaimana
kalau aku mati dulu baru menjawab pertanyaan?
Ha… ha…
ha!”
“Tua
bangka jahanam! Kau minta mampus lebih cepat!” Teriak Wakil Ketua. Kaki
kanannya diangkat. Siap ditendangkan ke kepala Dewa Tuak dengan kekuatan tenaga
dalam penuh.
Yang
Mulia Ketua angkat tangan kiri memberi isyarat agar wakilnya tidak segera
membunuh kakek itu.
Perlahan-lahan
Dewa Tuak buka kedua matanya. Sesaat dia menatap ke arah depan ke arah Yang
Mulia Ketua, lalu pejamkan mata kembali. Dua tangan diangkat ke depan mulut,
kepala didongakkan. Lalu, glukk… glukkk… glukk, tenggorokannya turun naik dan
keluarkan suara seperti orang sungguhan minum tuak yang mengucur dari bumbung.
Kali ini
Wakil Ketua tidak dapat lagi menahan kesabarannya.
“Tua
bangka setan alas! Berani berlaku kurang ajar di hadapan Yang Mulia Ketua!”
Plaakkk!
Tamparan
Wakil Ketua ke muka Dewa Tuak membuat orang tua ini terjerembab ke lantai tapi
cepat dijambak kembali dan disandarkan ke dinding. Darah meleleh dari sudut
bibir kiri kanan. Tak kelihatan ringis kesakitan. Dewa Tuak perlahan-lahan buka
lagi dua matanya. Memandang berkeliling.
“He… he.
Berada di mana aku ini? Ada bendera besar, ada dua manusia pocong, bau
kemenyan, bau anyir… Huek! Kuburan? Neraka atau kawasan comberan?”
Di balik
kain penutup kepala, rahang Yang Mulia Ketua menggembung. Tangan mengepal
kencang. Saat itu ingin sekali dia memukul pecah batok kepala si kakek.
“Dewa
Tuak, katakan di mana kau menyembunyikan gadis yang bernama Anggini, muridmu
itu!”
Dewa Tuak
menatap sosok Yang Mulia Ketua.
Lalu
menguap lebar-lebar. “Ngantuk. Aku masih ngantuk. Disuguhi pertanyaan. Pertanyaan
itu lagi! Itu lagi!” Dewa Tuak lalu jilat lelehan darah di sudut bibirnya. “Aku
sudah bilang aku tidak punya murid. Anggini… Huh, siapa dia? Tikus atau
meong…?”
Sang
Ketua berpaling kepada wakilnya lalu bertanya. “Aku melihat keanehan. Dia masih
ingat pada tuak minuman kesayangannya. Apakah minuman pencuci otak yang kita
cekoki itu benarbenar telah berhasil memusnahkan ingatan dan daya pikirnya?”
“Saya
rasa begitu,” jawab Wakil Ketua. “Saya menyuruh orang memberinya tambah dua
cangkir lagi. Enam cangkir semuanya.”
“Kalau
begitu tak ada guna ditanyai lagi. Bawa dia ke halaman Rumah Tanpa Dosa
sekarang juga.
Minta
Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu kesaktiannya
sebelum Pendekar 212 dan penyusup lainnya masuk lebih jauh di dalam lorong!
Anggota kita saat ini hanya tinggal empat orang. Satu-satunya andalan kita
adalah Yang Mulia Sri Paduka Ratu, mahluk sakti pemilik nyawa kedua dengan
selangit ilmu kesaktian.”
Wakil
Ketua membungkuk, tidak mengeluarkan ucapan apa-apa. Karena dalam benaknya
sendiri saat itu ada satu pikiran lain.
Yang
Mulia Ketua melangkah ke kursi batu di tengah ruangan. Jari tangan menekan
tonjolan batu di lengan kursi. Dinding batu bergerak turun ke bawah.
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!” Wakil Ketua berucap, lalu menyarungkan kain putih
ke kepala Dewa Tuak lalu membawa kakek itu keluar dari Ruang Bendera Darah.
Lewat sebuah pintu rahasia lainnya yang tembus ke sebuah lorong di mana
terdapat beberapa buah kamar. Yang Mulia Ketua tinggalkan Ruang Bendera Darah.
Di dalam kamar, di atas sebuah ranjang telah menunggu seorang perempuan muda
dalam keadaan hamil hampir delapan bulan. Begitu melihat kemunculan Yang Mulia
Ketua perempuan ini segera turun dari atas ranjang, bungkukkan badan seraya
berkata.
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai!”
Habis
berkata begitu perempuan hamil itu tanggalkan seluruh pakaiannya lalu naik
kembali ke atas ranjang. Dua tangan direntang ke atas, dua kaki direnggang.
Yang
Mulia Ketua tanggalkan kain penutup kepala. Ketika melirik wajah tampan itu,
perempuan hamil di atas ranjang kembali keluarkan ucapan. “Hanya perintah Yang
Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai. Saya siap melayani Yang Mulia Ketua.”
Yang
Mulia Ketua tanggalkan jubah putihnya.
Namun
belum kesampaian tiba-tiba matanya melihat tombolan batu merah di dinding kiri
kamar mengeluarkan cahaya. “Tanda bahaya! Apa yang terjadi?” membatin Yang
Mulia Ketua dengan mata mendelik menahan nafsu sekaligus menahan amarah. Dia
cepat mengenakan kembali jubah dan kain penutup kepala lalu keluar dari kamar.
Ketika
pintu dibuka seorang manusia pocong berdiri di ambang pintu, membungkuk
dalam-dalam seraya berucap. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan…”
“Satria
Pocong! Kau mengganggu kesenanganku! Cepat katakan ada apa!” Membentak Yang
Mulia Ketua.
“Yang
Mulia Ketua, mohon maafmu. Saya melapor. Satria Pocong bernama Rana Suwarte
menemui ajal di tangan musuh yang masuk dari bagian belakang lorong…”
“Keparat!
Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Saya…”
“Sudah!
Jangan banyak mulut! Hadang mereka semua. Habisi semuanya kecuali Pendekar 212
Wiro Sableng. Yang Mulia Sri Paduka Ratu akan kuminta membantumu!”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!”
******************
4
RATU
Duyung dan Setan Ngompol berdiri di tepi jurang. “Kita menghadapi jalan buntu,”
kata si kakek sambil usap-usap perutnya.
“Bagaimana
kalau kita kembali dan masuk melalui mulut lorong di sebelah selatan?”
“Selain
membuang waktu kita mungkin tak mampu menembus sampai ke sarang penguasa
lorong,” jawab Ratu Duyung. “Ada satu hal yang aku pikirkan.”
“Apa?”
Tanya Setan Ngompol sambil mengusap bagian bawah perut.
“Menurut
Bidadari Angin Timur, Wiro didorong seorang nenek cebol masuk ke dalam jurang.
Sayang
aku lupa menanyakan ciri-ciri nenek cebol itu. Aku punya dugaan… tapi,
sudahlah. Waktu kupantau melalui cermin sakti, Wiro ternyata masih hidup dan
menaiki tangga batu bersama Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati, dan Jatilandak.
Di dasar jurang ada telaga. Itulah yang menyelamatkan Wiro dari kematian.”
“Jatilandak,
Gondoruwo Patah Hati, serta Naga Kuning. Mereka tidak didorong nenek cebol
masuk ke dalam jurang. Tapi bagaimana bisa berada bersama-sama Wiro? Pasti ada
jalan masuk lain ke dalam lorong…”
“Kau
betul,” jawab Ratu Duyung. “Waktu aku memantau ke arah telaga lewat cermin aku
melihat ada lobang besar di salah satu dinding batu yang mengelilingi telaga.
Di luar lobang ada sungai mengalir. Aku yakin Naga Kuning dan Gondoruwo Patah
Hati datang lewat sungai, masuk ke telaga melalui lobang di dinding.
Mengenai
Jatilandak, ini yang jadi pertanyaan.
Tapi… dia
bukan manusia biasa. Dia mahluk dari alam lain. Dia punya banyak ilmu untuk
berbuat apa saja.” Ratu Duyung diam sebentar baru meneruskan ucapannya. “Saat
ini Wiro dan yang lain mungkin telah menemui jalan masuk ke dalam markas mahluk
yang disebut manusia pocong itu. Kita harus segera menyusul mereka.”
Dua
tangan Setan Ngompol langsung menekan bagian bawah perut menahan kencing. Mulut
dipencongkan. “Tadi kita mendengar suara-suara aneh. Seperti suara lonceng
raksasa. Tanah bergetar. Lalu ada suara jeritan-jeritan. Suara raungan serta
letusan-letusan hebat…”
“Kau
takut? Bilang saja begitu!” Potong Ratu Duyung.
“Siapa
bilang aku takut!” jawab Setan Ngompol.
“Yang aku
pikirkan bagaimana caranya kita ikut masuk ke dalam lorong kematian menyusul
teman-teman. Dengan cara tepat tapi aman.”
“Gampang
saja.” Jawab Ratu Duyung enteng sambil senyum-senyum.
“Enak
saja kau bicara. Gampang bagaimana?” Tanya si kakek biang kencing penasaran.
“Melompat
ke dalam jurang!”
Serrrr!
Air
kencing Setan Ngompol langsung terpancar!
Ketika
Ratu Duyung melangkah mendekati, si kakek cepat bergerak mundur.
“Ratu
Duyung, jangan kau berani macammacam!” mengancam Setan Ngompol.
“Siapa macam-macam.
Aku justru mau jadikan kau satu macam!” Habis berkata begitu Ratu Duyung sambar
lengan kiri Setan Ngompol lalu secepat kilat melompat ke arah jurang. Si kakek
menjerit keras ketika tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang di sela-sela
ranting dan cabang pohon. Pakaian robek-robek. Kencingnya muncrat
habis-habisan. Sementara Setan Ngompol takut setengah mati, Ratu Duyung tertawa
cekikikan.
Saat itu
gadis cantik bermata biru ini masih mencekal lengan kiri Setan Ngompol. Entah
saking takut entah memang punya niat nakal, tiba-tiba kakek ini gelungkan
tangan kanannya. Dua kaki dikembang lalu disilang ke tubuh Ratu Duyung.
Keadaan
Setan Ngompol saat itu tidak ubahnya seperti tengah digendong belakang oleh
Ratu Duyung.
“Kakek
kurang ajar! Apa yang kau lakukan ini!” Teriak Ratu Duyung.
Setan
Ngompol tertawa tergelak-gelak.
“Kau
membuat aku ketakutan setengah mati!
Tapi saat
ini aku senang. Kapan lagi ada kesempatan memelukmu seperti ini!” Lalu serrr!
Air kencing si kakek mengguyur hangat punggung Ratu Duyung membuat gadis ini
berteriak marah.
Tangan
kirinya dijambakan ke tengkuk baju Setan Ngompol. Sementara tubuhnya melayang
ke bawah, Ratu Duyung membuat gerakan jungkir balik. Tengkuk baju dihentakkan
keras. Bersamaan dengan itu tangan kanan melepas cekalan di lengan kiri. Tak
ampun Setan Ngompol terpelanting ke bawah. Byuurrr!
Setan
Ngompol kecebur dalam telaga, Ratu Duyung menyusul sesaat kemudian. sebenarnya
dia mampu membuat gerakan melesat ke arah tepi telaga. Tapi gadis ini memilih
menceburkan diri lebih dulu ke dalam air telaga untuk membersihkan tubuh dan
pakaiannya dari kencing Setan Ngompol.
Ketika
Setan Ngompol muncul megap-megap di permukaan air, dilihatnya Ratu Duyung
berdiri di tepi telaga, tak jauh dari sebuah perahu kayu, bertolak pinggang, unjukkan
raut wajah marah.
Kakek ini
meledek lambaikan tangan seraya berseru. “Kapan-kapan kalau mau lompat lagi ke
dalam telaga, jangan lupa mengajak aku! Ha ha ha…!”
Clepp!
Suara
tawa Setan Ngompol mendadak lenyap.
Di atas
sana terdengar suara genta yang membuat seantero telaga bergetar hebat. Sosok
Ratu Duyung tergontai-gontai. Lalu ada suara letusanletusan dan jerit pekik.
“Suara
genta!” ucap Ratu Duyung. Dia ingat.
“Rumah
putih di dalam cermin!” Gadis ini ingat lagi. “Aku harus cepat ke sana. Aku
punya firasat bahaya besar mengancam para sahabat yang sudah masuk ke dalam
lorong!” Tanpa menunggu lebih lama Ratu Duyung putar tubuh lalu melesat ke arah
tangga batu di dinding telaga.
“Hai! Kau
mau ke mana? Tunggu!” teriak Setan Ngompol. Cepat-cepat dia berenang ke tepi
telaga.
Ketika
keluar dari dalam air, ternyata celana luarnya yang memang longgar dan kini
menjadi berat karena basah kuyup oleh air, telah merosot sampai ke paha!
Dan di
balik celana luar itu si kakek tidak punya celana dalam!
“Kakek
sial!” maki Ratu Duyung yang tak sengaja melihat perabotan Setan Ngompol yang
tersingkap polos!
******************
Wakil
Ketua berlari cepat sepanjang lorong.
Sosok
Dewa Tuak ada di atas bahu kirinya. Di satu tempat di mana lorong bercabang
dua, untuk pergi ke rumah putih yang merupakan pusat kekuatan gaib luar biasa,
seharusnya dia membelok ke kanan. Tapi manusia pocong ini justru mengambil arah
memasuki lorong sebelah kiri. Di satu tempat Wakil Ketua hentikan langkah.
Telapak tangan kanan ditekankan pada salah satu bagian dinding batu. Dinding
bergeser ke samping.
Menjorok
ke dalam ada sebuah pintu besi berwarna merah. Dewa Tuak diturunkan lalu
didudukkan di lantai antara dinding batu dan pintu merah. Wakil Ketua menutup
kembali bagian dinding batu yang terbuka lalu menekan alat
rahasia
lain untuk membuka pintu merah. Begitu pintu terbuka dia cepat menyelinap
masuk. Di sebelah dalam ternyata ada sebuah ruangan tidur.
Di atas
sebuah ranjang terbaring sosok seorang gadis berpakaian ringkas warna ungu.
Rambut panjang acak-acakan tapi justru membuat wajahnya tambah cantik. Wakil
Ketua mendekati ranjang lalu berkata pada gadis yang terbaring dalam keadaan
tertotok. “Gurumu ada di luar. Aku diperintahkan Yang Mulia Ketua untuk
membunuhnya! Jika kau mau menuruti kemauanku, aku akan menyelamatkannya.
Permintaanku cuma satu. Jika semua persoalan di tempat ini selesai, kau harus
sedia jadi istriku!”
“Mahluk
setan jahanam busuk!” teriak gadis di atas ranjang. Rupanya hanya tubuhnya yang
ditotok sementara jalan suara dibiarkan terbuka.
“Aku
sudah minta agar kau segera membunuhku!
Siapa
sudi jadi istri mahluk setan sepertimu! Tapi sebelum aku mati di tanganmu
tunjukkan kejantananmu! Buka kain penutup kepalamu. Perlihatkan siapa dirimu
sebenarnya!”
Wakil Ketua
keluarkan suara mendecak. “Gadis keras kepala. Kalau kau memang ingin mati
mudah saja bagiku melakukannya. Tapi sebelum mati sesuai dengan permintaanmu
aku akan tunjukkan kejantananku padamu.”
Wakil
Ketua naik ke atas ranjang lalu menarik turun celana si gadis. Pakaian dalamnya
tersibak.
Si gadis
menjerit keras. Penuh nafsu Wakil Ketua menarik lagi celana luar si gadis.
Namun sebelum celana itu merosot sampai ke bawah pinggul tibatiba ada bayangan
berkelebat, dan, bukkk! Satu tendangan menghantam pinggang Wakil Ketua.
Tendangan
itu tidak berapa kencang. Tubuh Wakil Ketua hanya tergontai-gontai. Ketika
berpaling dia dapatkan Dewa Tuak berdiri di depannya, terbungkuk-bungkuk lalu
tengadahkan kepala dan tertawa mengekeh.
“Guru!”
seru gadis di atas ranjang. Kaget juga marah melihat wajah gurunya yang
bengkak.
“Siapa
yang mencideraimu?”
Dewa Tuak
cuma lambaikan tangan, berpaling pada Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Mahluk
keparat! Jadi kau yang punya pekerjaan!
Menculik
muridku Anggini. menyekapnya di tempat ini! Berpura-pura sibuk mencari. Kini
kau hendak berbuat bejat atas dirinya! Jahanam betul!
Tanganku
sudah gatal mau mematahkan batang lehermu! Tapi biar aku melepas dahaga dulu.
Setelah
itu aku akan menemui pimpinanmu, memberi tahu apa yang telah kau lakukan!”
Si kakek
dongakkan kepala. Dua tangan dinaikkan di atas mulut. Lalu, glukk… glukk… gluk…
Dewa Tuak seperti orang yang betul-betul tengah minum tuak.
Di atas
ranjang gadis yang memang Anggini, murid Dewa Tuak adanya menarik nafas dalam.
“Tendangannya
tadi tidak membuat cidera. Sikapnya menunjukkan kelainan. Pasti guru sudah
dicekok dengan obat terkutuk itu.” Membatin sang murid.
“Tua
bangka setan alas!” teriak Wakil Ketua marah. Dia sama sekali tidak menyangka
kakek yang telah dicekok dengan minuman pencuci otak itu masih mampu
melancarkan serangan.
sebenarnya
ilmu kepandaian dan kesaktian Dewa Tuak memang masih ada di dalam dirinya namun
pengaruh obat membuat sekujur badannya lemas.
Dia tidak
mampu mengalirkan tenaga dalam, tidak dapat mengeluarkan kesaktian. Bahkan
tenaga luarnya waktu menendang tadi lemah sekali.
“Dewa
Tuak! Aku ingin cepat-cepat membawamu ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu!
Tapi sebelum kau mampus aku ingin kau menyaksikan apa yang akan aku lakukan
terhadap muridmu!”
Wakil
Ketua melompat ke arah Dewa Tuak.
Sarangkan
satu jotosan ke perut kakek itu hingga Dewa Tuak terlipat ke depan, lalu roboh
di lantai ruangan, mengeluh tinggi. Mata melotot ke arah ranjang. Mulut
komat-kamit tapi tak mampu keluarkan suara.
“Jahanam
pengecut! Beraninya hanya pada orang tua yang tidak berdaya!” Anggini memaki
marah.
Wakil
Ketua menyeringai di balik kain putih penutup kepala lalu melompat ke atas
ranjang.
Dengan
gelegak nafsu serta amarah dia kembali menarik turun celana luar dan pakaian
dalam Anggini.
Pada saat
itulah tiba-tiba menggema suara genta. Ruangan tidur bergetar hebat. Di luar
ada teriakan-teriakan keras. Ada suara orang-orang lari melewati lorong di
depan kamar.
Wakil
Ketua tekap telinga kanannya. Di antara suara genta mengiang suara perempuan.
Tidak jelas, namun Wakil Ketua sudah maklum siapa yang bicara. Dalam hati dia
memaki. “Jahanam!
Mengapa
setiap aku hendak melakukan hal ini selalu ada suara mengganggu! Mengapa jika
Ketua yang berbuat tidak terjadi apa-apa! Mungkin karena dia memegang batu
keramat itu? Aksara Batu Bernyawa!”
Di
kejauhan suara genta semakin menjadi-jadi.
“Suara
genta sekali ini tidak seperti biasanya.
Ada
sesuatu yang tidak beres di luar sana!” Wakil Ketua berpaling ke arah ranjang.
Hatinya bimbang. Akhirnya dia buka pintu besi merah, jambak rambut putih si
kakek.
“Manusia
pocong terkutuk! Kalau kau membunuh guruku aku bersumpah memenggal kepala,
menguliti dan mencincang tubuhmu!”
“Ckk…
ckkk… ckkk!” Wakil Ketua berdecak leletkan lidah lalu tertawa bergelak. “Jangan
bicara tolol! Kau tak akan mampu membebaskan diri!
Tidak ada
satu orangpun yang akan menolongmu!
Aku
menginginkan kau jadi istriku! Itu satu kehormatan luar biasa bagimu! Tapi kau
justru malah memilih mati! Apa sulitnya bagiku?
Kunikmati
tubuhmu lalu kuhabisi nyawamu! Dan aku akan mengajak serta gurumu ikut
bersamamu ke alam kematian! Ha… ha… ha!”
“Di alam
kematian aku akan menyaksikan dirimu jadi kemasukan setan” gadis ini menjerit
keras.
Wakil
Ketua yang hendak menutup pintu merah hentikan gerakan lalu melangkah ke arah
ranjang. Sepasang matanya memandang berkilat ke arah bagian bawah tubuh
Anggini. Tiba-tiba dia ulurkan tangan. Menarik lepas selendang ungu yang
tergelung di pinggang si gadis lalu memasukkannya ke balik jubah putih.
“Mahluk
pocong keparat! Kembalikan selendang itu!”
Wakil
Ketua membungkuk, membuat gerakan seperti hendak mengembalikan selendang. Namun
yang dilakukannya adalah melampiaskan nafsu binatangnya. Menciumi wajah dan
dada Anggini. Lalu mulutnya berucap.
“Kekasihmu
pemuda sableng itu akan mati berdiri jika mengetahui apa yang nanti aku lakukan
padamu. Kalau saja kematiannya tidak lebih dahulu dari kematianmu!”
“Mahluk
setan! Aku ingin sekali melihat muka anjingmu! Ada permusuhan apa antara kau
dan Wiro hingga memperlakukan diriku seperti ini?”
Wakil
Ketua dongakkan kepala lalu tertawa perlahan. Setelah keluarkan suara berdecak
dia berkata.
“Tunggu
saja. Kelak kau bakal menyaksikan wajahku! Aku tidak kalah ganteng dari pemuda
edan itu! Kau benar-benar akan menyesal sampai di alam kematian karena menolak
kujadikan istri!”
******************
5
JATILANDAK
yang membentuk diri menjadi seekor landak raksasa berlari sepanjang lorong yang
bergetar akibat hantaman suara genta dari arah Rumah Putih kawasan 113 Lorong
Kematian. Di sebelah belakang menyusul Wiro, Bunga, Gondoruwo Patah Hati, dan
Naga Kuning.
Kalau
yang lain-lain merasa sakit kuping mereka dan berlari terhuyung-huyung,
Jatilandak tidak terpengaruh oleh suara genta itu. Larinya malah dipercepat.
Empat kaki berkuku panjang serta duri-duri tebal lancip di tubuh sama sekali
tidak mengeluarkan suara bergemerisik. Sepuluh langkah di depan sana, lorong
bercabang dua.
Jatilandak
hentikan lari. Angkat kepala lalu meng hirup udara dalam-dalam. Dua bola mata
coklat pekat bergerak ke kiri dan ke kanan. Duri panjang tebal dan runcing yang
menutupi tubuh berjingkrak.
“Aku
mencium ada bahaya di lorong kiri dan lorong kanan. Bahaya di lorong kanan
lebih dahsyat. Aku dan para sahabat harus bergerak memasuki lorong kiri.”
Setelah
mengambil keputusan begitu rupa Jatilandak memberi isyarat pada orang-orang di
belakangnya lalu mendahului bergerak memasuki lorong sebelah kiri. Baru dua
langkah memasuki lorong sebelah kiri tiba-tiba belasan bendera merah disertai
cipratan air berbau busuk berkelebat di udara “Bendera Darah! Awas!” teriak
Jatilandak.
Secepat
kilat dia melompat ke udara, duri yang menutupi tubuhnya bergerak ke depan membentuk
tameng. Mulut keluarkan suara melengking lalu meniup. Di sebelah belakang Wiro
lepaskan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Bunga
melesat ke atas, dua tangan didorongkan. Dua gelombang angin menderu.
Luar
biasa! Walau dihantam tiupan angin sakti dari mulut Jatilandak, didera pukulan
berkekuatan tenaga dalam tinggi yang dilepas Wiro dan Bunga, hanya sembilan
Bendera Darah yang menyerang ganas sanggup dirontokkan. Tiga lainnya tembus.
Yang pertama berhasil menyusup di sela duri-duri lalu menancap di bahu kiri
Jatilandak. Jatilandak terbanting ke tanah.
mengerang
sebentar lalu patahkan gagang Bendera Darah dengan cara menggigitnya.
Bendera
Darah Kedua walau agak goyang berhasil menyusup dan menyambar di atas kepala
Gondoruwo Patah Hati, menyerempet luka kulit kepalanya. Cairan merah darah
membasahi sebagian rambut. Seujung kuku saja gagang bendera menyambar ke bawah
niscaya menancap di kening si nenek!
“Jahanam
kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan! Lekas unjukkan diri!” Teriak Gondoruwo
Patah Hati sambil kibaskan rambut. Sementara di belakang, Naga Kuning meringis
karena Bendera Darah ketiga menancap di lengan baju sebelah kanan, menyerempet
melukai daging bahunya cukup dalam. Untung tidak sampai menancap.
Dari arah
tikungan lorong di sebelah depan membahana suara tawa bergelak. Di lain saat
muncul sosok seorang manusia pocong. Tangan kiri berkacak pinggang, tangan
kanan diletakkan di depan dada.
“Sayang
hanya diberi wewenang membunuh tiga di antara kalian! Padahal tanganku sudah
gatal untuk mengorek jantungmu!” Manusia pocong satu ini tutup ucapannya sambil
tudingkan telunjuk tangan kiri tepat-tepat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang berdiri sekitar tujuh langkah di hadapannya.
“Kunyuk,
jejadian setan putih!” bentak murid Sinto Gendeng tapi mukanya tidak unjukkan
hawa marah malah menyeringai dan sambil garuk-garuk kepala. “Aku kepingin tahu,
mau melihat ilmu apa yang kau miliki hingga bisa-bisanya mengorek jantungku?
Ha… ha… ha! Kalau ilmu mengorek yang aku punya cuma ilmu mengorek kuping!”
Lalu Wiro
masukkan kelingking kirinya ke telinga kiri dan digoyang-goyang. Mulut
dipencongkan dan mata dimerem-melekkan.
“Dasar
otak miring! Siap mampus masih mau guyonan!” Maki manusia pocong.
“Hai!
Tunggu! Aku rasa-rasanya mengenal suaramu!” Wiro berseru.
“Pemuda sinting!
Jangan banyak mulut!
Menghindar
kalau tidak mau kubunuh sekalian bersama tiga temanmu!”
“Sombongnya!
Ayo perlihatkan ilmu korek kupingmu!” kata Wiro mengejek lalu menerjang ke
depan sambil lepaskan jotosan Kepala Naga Menyusup Awan. Gerakan tangan sang
pendekar perlahan saja seperti penari. Namun tahu-tahu kepalan tangan kanan itu
telah melesat ke bawah dagu manusia pocong!
“Mampus
kau!” teriak Naga Kuning yang sudah merasa pasti mahluk serba putih tidak
sanggup mengelak.
Tapi apa
yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan. Sosok manusia pocong seperti
terangkat ke atas. Begitu dagunya selamat dari pukulan Kepala Naga Menyusup
Awan, kaki kanannya tiba-tiba melesat ke depan. Wiro berkelit ke samping.
Tendangan lawan hanya lewat seujung kuku dari depan perutnya. Dengan geram Wiro
balas menyerang. Juga dengan gerakan menendang. Yang jadi sasaran adalah kaki
kiri manusia pocong sementara kaki kanan masih berada di udara. Seperti
serangan pukulan ke dagu tadi, hampir tendangan Wiro akan menemui sasaran mendadak
tubuh manusia pocong terangkat ke atas. Begitu melayang turun dia menyerbu
dengan dua tangan kosong sekaligus.
Seperti
sepasang pedang atau golok, dua tangan itu membeset, menusuk, dan membacok.
Traangg!
Serangan
tangan kiri manusia pocong dalam gerakan membacok ke arah kepala Wiro meleset,
menghantam dinding batu, mengeluarkan suara berdentang seolah yang beradu
dengan dinding itu adalah sebilah senjata tajam, bukan tangan manusia! Dan luar
biasanya lagi dinding batu yang terkena hantaman tangan kelihatan benarbenar
pecah gompal berantakan!
“Gila!”
ucap murid Sinto Gendeng, mata melotot. “Tangannya seperti golok betulan! Kalau
tidak segera dihabisi aku bisa konyol!”
Tidak
menunggu lebih lama Pendekar 212 segera menyerbu manusia pocong dengan
jurusjurus mematikan yang dipadu dengan pukulanpukulan sakti mengandung tenaga
dalam tinggi.
Namun
seperti ditahan satu tembok kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, semua
serangan Wiro tidak satupun mampu menyentuh lawan.
Malah dua
tangan manusia pocong itu berkelebat semakin ganas dan mengeluarkan suara deru
angin luar biasa keras. Wiro terdesak hebat. Kalau sampai kepala kena hantam
pasti terbelah. Kalau leher yang kena sasaran niscaya kuntung putus laksana
ditebas golok atau pedang!
Bunga
memperhatikan tanpa berkesip. Dua kali tadi dia melihat ada cahaya kuning
sangat tipis yang menyelubungi sosok putih manusia pocong.
Yaitu
ketika dua kali Wiro hampir berhasil menjotos dagu dan menendang kaki kirinya.
Lalu setiap melancarkan serangan, cahaya kuning tipis berubah lebih jelas. Dari
sekian banyak pasang mata yang ada di tempat itu, hanya Bunga sendiri yang
mampu melihat keberadaan cahaya kuning.
Ketika
mereka berhadapan dengan Rana Suwarte, Bunga tidak melihat ada lapisan cahaya
kuning seperti ini. Itu sebabnya walau cukup sulit namun akhirnya Rana Suwarte
berhasil juga ditamatkan riwayatnya dengan Pukulan Batu Naroko oleh Gondoruwo
Patah Hati. Agak aneh. Apakah mahluk luar biasa pengirim kekuatan gaib itu
memiliki ketentuan sendiri untuk menentukan jenis perlindungan yang diberikan.
Dari apa yang dilihatnya, yaitu sejak memasuki gunung batu di bagian belakang
113 Lorong Kematian, Bunga maklum kalau kehebatan tenaga pelindung berbeda
untuk manusia pocong satu dengan manusia pocong lainnya. Mengapa?
“Tingkat
ilmu silat dan kesaktian manusia pocong satu ini mungkin tidak seberapa. Cahaya
kuning tipis. Itulah kekuatan gaib luar biasa yang melindunginya dari jauh.
Bukan cuma melindungi. Sekaligus memberikan kekuatan sakti untuk membunuh
lawan! Luar biasa berbahaya!”
Bunga
bergerak cepat ke samping Pendekar 212. “Wiro, hati-hati. Mahluk ini mendapat
lindungan dan kekuatan dari alam gaib. Tahan serangan. Aku akan coba menahan
kekuatan pelindungnya. Kalau aku berteriak memberi tanda, baru hantam!”
Bunga
renggangkan dua kaki. Tubuh dibungkukkan sambil dua tangan diangkat datar di
depan dada. Dua telapak terkembang. Ketika jarijari tangan kiri kanan
dijentikkan, pada masingmasing tangan kelihatan sekuntum bunga kenanga kuning.
Begitu dua tangan didorong dan kaki kanan dihentakkan ke lantai, hawa aneh
bergeletar di lantai ruangan, menyengat ke arah sepasang kaki manusia pocong.
Di balik kain penutup kepala mahluk ini mengerenyit menahan sakit. Tubuhnya
terlonjak. Cahaya kuning yang membungkus sekujur tubuhnya kelihatan meredup.
Sekali lagi Bunga hentakkan kaki kanannya.
Si
manusia pocong terdorong satu langkah ke belakang. Cahaya kuning lenyap.
Di
kejauhan sayup-sayup ada suara menggerung panjang lalu caci maki penuh amarah.
Menyusul
suara menderu. Ada gelombang angin dengan deras menuju ke tempat itu.
“Wiro!
Cepat hantam!” Bunga gadis dari alam roh berteriak memberi tanda.
Pendekar
212 Wiro Sableng berteriak tak kalah kerasnya. Tubuh melesat ke depan. Tangan
kanan melancarkan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Ini adalah ilmu
pukulan jurus kedua yang diwarisi Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh. (Baca:
Wiro Sableng — Delapan Sabda Dewa).
Bukkk!
Selagi
manusia pocong berusaha mengimbangi diri, pukulan sakti yang dilepaskan Wiro
mendarat telak di pertengahan dadanya. Kesaktian pukulan ini satu tingkat di
atas pukulan Batu Naroko milik Gondoruwo Patah Hati yang telah menewaskan Rana
Suwarte. Jangankan dada manusia, tembok baja sekalipun tidak akan mampu menahan
kehebatan pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang itu. Manusia pocong
terpental empat langkah, terjengkang di tanah.
“Tamat
riwayatmu!” ucap Naga Kuning.
Bersamaan
dengan itu dari arah belakang manusia pocong, suara gelombang angin semakin
deras. Lalu tampak cahaya kuning berkiblat. Hawa panas memenuhi seantero
tempat.
“Semua
tiarap!” teriak Bunga. Dua kembang kenanga di tangan kiri kanan dilemparkan ke
arah cahaya kuning. Dari balik pakaian dia mengambil setanggi lalu melemparkan
ke udara.
Buuummmm!
Blaarrr!
Taarr!
Taarr! Taarr!
Dentuman
dahsyat, goncangan keras serta letusan-letusan yang disertai percikan bunga api
berkiblat dalam ruangan. Tempat itu laksana diguncang gempa. Angin kuning panas
menyambar ganas. Semua orang merasa punggung masing-masing terbakar melepuh.
Untuk beberapa lama mereka menelungkup tak bergerak. Wiro angkat kepala.
Berpaling ke belakang. Bunga, gadis dari alam roh duduk tersandar di dinding
batu. Ada lelehan cairan berwarna biru di salah satu sudut bibirnya. Mukanya
yang putih lebih pucat dari biasanya.
******************
6
BUNGA!”
seru Wiro ketika melihat keadaan gadis dari alam roh itu. Dia cepat berdiri.
Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati ikut mendatangi. Hanya Jatilandak yang masih
tak bergerak di tempatnya. Karena berada di sebelah depan, sapuan angin panas
bercahaya kuning menyapu–nya lebih dulu dan lebih keras.
Membuat
separuh dari duri-duri yang menutupi tubuhnya terpang–gang hangus dan untuk
beberapa lama kelihatan membara merah!
Wiro usap
lelehan cairan biru di sudut bibir Bunga. Gadis alam roh ini pegang lengan si
pemuda. Matanya menatap mesra ke dalam mata Wiro. Senyum menyeruak di bibir.
“Terima
kasih, Wiro. Aku tak apa-apa…”
“Lelehan
cairan biru. Kau terluka di dalam.” Kata Wiro pula.
Bunga
mengangguk. “Dalam waktu beberapa saat luka dalamku akan sembuh sendiri. Kau
tak usah mengkhawatirkan diriku. Justru aku mengkhawatirkan dirimu dan para
sahabat. Lorong Kematian agaknya benar-benar akan menjadi timbungan kuburan
bagi kita semua kalau kita tidak bertindak cepat. Kita harus segera menemukan
mahluk yang disebut Sri Paduka Ratu itu…”
“Yang
akan kau nikahkan dengan diriku!” ujar Wiro pula.
“Kodrat
menentukan itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri kita semua serta
malapetaka besar rimba persilatan.”
“Aku
punya firasat…” kata Wiro pula sambil menggaruk kepala.
“Firasat
apa?” Tanya Bunga.
“Ya, ya.
Katakan firasat apa?” Naga Kuning menimpali.
“Baik
atau buruk?” ikut bersuara Gondoruwo Patah Hati.
“Buruk.
Agaknya diriku yang jadi sasaran utama. Aku bakal menemui ajal paling sengsara,
paling mengenaskan…”
“Jangan
berkata seperti itu!” tukas Gondoruwo Patah Hati. “Kami teman-temanmu, masa
akan hanya berpangku tangan.”
“Aku
tahu. Tapi…” Ucapan murid Sinto Gendeng terputus.
Dalam
keadaan begitu rupa mendadak terdengar suara tawa bergelak! Semua orang
memandang ke depan.
“Astaga
gila! Aku kira sudah mampus dia!” ucap Naga Kuning seraya berdiri. Yang
lain-lain ikut bergerak bangkit.
Di depan
sana sosok manusia pocong yang tadi tergeletak di tanah kelihatan bergerak
bangkit, perlahan-lahan berdiri. Di balik kain penutup kepala, mulutnya
kemudian berucap.
“Nyawaku
dilindungi nyawa kedua. Tidak satupun dari kalian bisa membuatku mati!”
“Setan
alas, takabur sekali!” maki Naga Kuning.
“Apa aku
boleh ikut minta perlindungan nyawa kedua?” Jatilandak yang sejak tadi diam tak
bergerak maupun bersuara tiba-tiba keluarkan kata-kata. Begitu ucapannya
selesai, tubuhnya digoyang keras. Duri-duri yang masih bersisa di tubuhnya
dikibas.
Sett!
Settt! Settt!
Duapuluh
bulu landak tebal, kuat, dan runcing melesat ke arah duapuluh bagian tubuh
manusia pocong. Yang diserang cepat menyingkir sambil lepaskan pukulan tangan
kosong. Hebat! Tak satupun duri landak yang seolah berubah menjadi senjata
rahasia itu sanggup menyentuh tubuh manusia pocong. Tiga dari sekian banyak
bulu landak yang dibikin mental menancap di dinding batu.
Walau
selamat dari serangan bulu landak, namun manusia pocong ini sempat dibikin
kaget, kelabakan selamatkan diri. Tadi dia menyangka binatang landak itu telah
meregang nyawa. Pada saat inilah justru Jatilandak melesat di udara, menyerang
ke arah manusia pocong. Mahluk dari lorong kematian terlambat mengelak. Empat
kaki Jatilandak mencengkeram di bahu dan dada.
Mulut
dengan deretan gigi panjang lancip menancap di batang lehernya! Kain penutup
kepala yang menjuntai sampai ke leher bawah kelihatan berwarna merah!
Tiba-tiba
ada suara genta menggema keras di kejauhan. Lalu dari arah belakang menderu dan
berkiblat cahaya kuning.
Jatilandak
yang sudah siap untuk merobek leher manusia pocong dengan gigitan mautnya
angkat kepala sedikit dan menjawab. “Kawankawan!
Aku siap
mati bersama mahluk iblis ini!”
Jatilandak
lalu merobek leher manusia pocong dengan gigitan ganas.
“Jangan
tolol!” teriak Bunga “Cahaya kuning itu akan melindungi dan memberi kekuatan
pada musuhmu! Kau sendiri bisa terpanggang gosong!”
Jatilandak
menduga gigitannya pada leher manusia pocong akan menewaskan mahluk itu.
Didahului
suara menggembor keras dia melompat dari tubuh manusia pocong. Cahaya kuning
menyapu. Sosok manusia pocong yang tadi sudah menghuyung sambil pegangi luka
menganga di lehernya, kini berdiri tegap kembali. Malah mampu melangkah ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ternyata cahaya kuning itu menjadi sumber kekuatan
dan penolong bagi dirinya.
Sebaliknya
malapetaka bagi Wiro dan kawankawan.
Namun
gerakan si manusia pocong tertahan ketika tiba-tiba ada suara mengiang di
telinganya.
“Satria
Pocong, lekas kembali ke markas. Kau sudah bertindak dan keluarkan ucapan
terlalu jauh. Yang harus kau bunuh adalah tiga orang itu.
Tapi kau
justru memusatkan tangan maut pada Pendekar 212 Wiro Sableng! Otakmu sudah
dicuci!
Mengapa
dendam masih menguasai dirimu? Ingat tugas utamamu! Juga jangan kau berani
menyentuh pemuda itu. Nyawanya tegas-tegas bagian Yang Mulia Ketua! Segera
kembali ke markas!
Datang
langsung ke Rumah Putih! Tenagamu dibutuhkan di tempat itu!”
Manusia
pocong tundukkan kepala sedikit lalu lantangkan ucapan. “Hanya perintah Yang
Mulia Ketua yang wajib dilaksanakan!” Setelah keluarkan ucapan tadi dia maju
satu langkah mendekati Wiro. “Kalian semua tidak satupun yang bakal selamat!”
Manusia
pocong palingkan tubuh. Tangan kanan menggapai ke arah cahaya kuning yang ada
di atas kepalanya, seperti menangkap sebuah bola kecil. Lalu tangan kanan itu
dihantamkan ke arah Wiro dan kawan-kawan. Untuk kesekian kalinya keempat orang
yang mendapat serangan menjadi kalang kabut selamatkan diri. Begitu terhindar
dari serangan cahaya kuning yang ganas, Wiro dan kawan-kawan dapatkan si
manusia pocong tak ada lagi di tempat itu.
Jatilandak
hendak mengejar ke ujung lorong tapi cepat dicegah oleh Bunga.
“Aneh!”
kata Jatilandak. “Aku rasa aku sudah mengoyak lehernya lebih dari setengah!
Darah jelas mengucur! Mengapa dia masih bisa hidup?”
“Mahluk
itu mendapat perlindungan dan kekuatan dari mahluk alam gaib yang ada di dalam
Lorong Kematian. Kita harus mampu menghancurkan pusat kekuatan mereka!”
menjelaskan Bunga.
“Lalu apa
maksudnya dengan kata-kata nyawa kedua?” ujar Wiro pula.
“Itulah
biang segala bencana yang diperalat oleh Ketua Barisan Manusia Pocong. Kita
akan saksikan sendiri nanti.” Jawab Bunga lalu dia memberi isyarat untuk
melanjutkan perjalanan.
Namun
belum sampai melangkah tiga tindak mendadak di belakang ada suara angin
berkelebat.
Begitu
berpaling, kelihatan sosok tinggi besar seorang manusia pocong. Dari bentuk
tubuhnya yang tinggi besar jelas dia bukan manusia pocong yang tadi.
Manusia
pocong bertubuh tinggi ini sama sekali tidak keluarkan ucapan. Sepasang mata di
balik kain penutup kepala memandang ke arah Pendekar 212. Tiba-tiba dalam
kecepatan luar biasa dia kibaskan lengan jubah sebelah kiri tiga kali
berturut-turut.
Dess…
dess… desss!
Buntalan
asap berwarna putih kekuningan serta-merta memenuhi tempat itu.
“Asap
beracun! Tutup jalan pernafasan!” teriak Bunga. Gadis dari alam roh ini melesat
ke udara.
Menghantam
ke arah manusia pocong yang menebar asap beracun.
Wuttt!
Braakk!
******************
7
PUKULAN
sakti Bunga hanya menghancurkan dinding batu. Sementara manusia pocong sudah
lenyap entah ke mana. Bunga berpaling ke arah Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan
Naga Kuning. Wajah mereka tampak pucat.
Dengan
cepat satu persatu ketiga orang itu ditotoknya di bagian pangkal leher sehingga
untuk beberapa saat mereka mengalami sulit bernafas.
Ini
adalah untuk menghindari menghirup hawa beracun yang sangat berbahaya itu.
Ketika hendak menotok Jatilandak, Bunga jadi bingung. Seluruh leher Jatilandak
tertutup duri tebal dan rapat.
“Balikkan
tubuhmu! Aku akan menotok bagian leher sebelah bawah!”
Sepasang
mata Jatilandak menatap sayu ke arah gadis alam roh.
“Lekas!”
Bunga berusaha membalikkan tubuh Jatilandak dengan kedua tangannya. Tapi pemuda
dari negeri 1200 tahun silam yang berada dalam perujudan seekor landak itu
gelengkan kepala.
“Terima
kasih kau mau berbaik hati menolongku. Sayang sudah terlambat…”
“Terlambat
bagaimana?” Tanya Naga Kuning sambil membungkuk lalu mendorong tubuh
Jatilandak. Ternyata tubuh itu berat sekali. Seolah batu ratusan kati!
“Aku
telah menghirup hawa beracun itu,” menerangkan Jatilandak. Mata semakin kuyu
dan empat kakinya terentang lunglai di tanah.
“Kita
semua memang sempat menghirup. Tapi kadarnya cuma sedikit. Kita masih bisa
selamat.
Gerakkan
kepalamu ke samping biar aku bisa melihat lehermu!” Bunga siap untuk menotok.
Namun
lagi-lagi jawaban Jatilandak terdengar memelas.
“Kalian
dan aku berbeda. Asap beracun itu mengandung belerang. Aku tidak boleh
bersentuhan dengan belerang dalam bentuk apapun.
Kawan-kawan,
pergilah. Tinggalkan aku di sini.
Aku akan
menemui jalanku sendiri. Pergilah, aku doakan agar kalian berhasil
menghancurkan markas manusia pocong itu. Hati-hati.”
Semua
orang terkejut. Wiro tercekat dan ingat riwayat hidup Jatilandak semasa di
Negeri Latanahsilam. Pemuda yang terlahir dari perkawinan yang tidak direstui
oleh para Peri ini dibuang ke sebuah pulau. Di pulau ini dia dipelihara oleh
seseorang yang memiliki tubuh penuh sisik bernama Tringgiling Liang Batu.
Sebelum kedatangan Jatilandak, Tringgiling Liang Batu telah memelihara sepasang
landak. Baik Tringgiling Liang Batu maupun dua landak peliharaannya sangat
tidak tahan terhadap belerang.
Jangankan
sampai tersentuh, mencium baunya saja bisa mengakibatkan kematian! Keberpantangan
terhadap belerang ini ternyata juga diwarisi dan diindap oleh Jatilandak.
Bahaya racun belerang yang mematikan itulah kini tengah dihadapi pemuda dari
Negeri Latanahsilam ini. (Baca: Wiro Sableng —Hantu Jatilandak).
“Kami
tidak akan pergi tanpa kau!” kata Bunga, sementara Wiro tegak tertegun.
“Betul.
Kita datang bersama pergi harus bersama.” Kata Naga Kuning sambil melintangkan
di atas dada bumbung bambu milik Dewa Tuak yang masih terus dibawanya lalu
melirik pada Wiro yang sejak tadi bersikap diam saja.
“Jangan
risaukan diriku. Kalian lekas pergi sebelum terlambat…” kata Jatilandak.
Tiba-tiba
di kejauhan lagi-lagi genta membahana. Tempat itu kembali berguncang
bergeletar.
Lapat-lapat
seperti ada suara orang menyanyi yang diakhiri dengan tawa panjang
menggidikkan.
“Kita
tidak bisa menunggu lebih lama,” berkata Bunga seraya menatap ke arah
Jatilandak.
Pemuda
yang berujud landak ini berkedip sayu matanya tanda mengerti. Bunga berpaling
pada Wiro, Gondoruwo Patah Hati, dan Naga Kuning.
“Kalau
memang tak ada jalan lain kita terpaksa harus meninggalkannya…” si nenek
terpaksa berkata perlahan.
Bunga
tidak berlama-lama lagi. Gadis dari alam roh ini segera berkelebat ke jurusan
lenyapnya manusia pocong yang tadi dirobek lehernya oleh Jatilandak. Naga
Kuning menyusul, lalu Wiro, dan di belakang sekali Gondoruwo Patah Hati.
Sementara berlari Wiro merasa hatinya galau. Kalau dia ingat apa yang telah
terjadi dia tak mau perduli.
Tapi
kalau menyadari bahwa dia memiliki jiwa kesatria, kebimbangan menggalau
sanubarinya.
Sementara
itu totokan yang tadi dilakukan Bunga masih menguasai Wiro, Naga Kuning, dan
Gondoruwo Patah Hati. Nafas dan dada yang sesak membuat mereka tak mampu
berlari cepat.
Menjelang
sebuah tikungan rasa sesak turun kebawah, membuat perut membuncah mulas seperti
terdesak buang air besar.
“Celaka!
Aku mau berak!” kata Naga Kuning sambil pegangi perut. Mukanya kelihatan merah.
Butir-butir
keringat memercik di keningnya. Si nenek Gondoruwo Patah Hati kalang kabut. Dia
juga mengalami hal yang sama. Demikian pula dengan Wiro. Bunga yang telah
menghentikan larinya memperhatikan sambil senyum-senyum.
“Enaknya
saja kau mesem-mesem!” ucap Gondoruwo Patah Hati.
“Sudah!
Berak saja barengan di sini!” kata Naga Kuning. Bocah berambut jabrik ini siap
dodorkan celana ke bawah.
Tiba-tiba
secara aneh, rasa mulas di perut ketiga orang itu lenyap, berpindah naik ke
atas.
Ada hawa
panas di dada. Rasa seperti tercekik.
Lalu,
hueekkk…! Wiro, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati sama-sama semburkan
muntah berupa cairan berwarna kekuning-kuningan. Bersamaan dengan itu rasa
sesak hilang, jalan pernafasan sesaat masih megap-megap lalu kembali berubah
wajar. Ketiga orang itu terduduk di tanah.
Muka
merah basah oleh keringat.
“Edan.”
Naga Kuning masih bisa keluarkan suara. “Untung cuma muntah barengan. Kalau
sampai berak barengan!”
Gondoruwo
Patah Hati jambak rambut Naga Kuning tapi sambil tawa cekikikan. Bunga memberi
isyarat agar mereka segera meneruskan masuk ke dalam lorong.
Wiro yang
ingatannya masih terpaut pada Jatilandak berkata. “Kalian pergilah duluan. Aku
segera menyusul.”
“Memangnya
kau mau ke mana?” Tanya Bunga heran.
“Jangan-jangan
sembunyi mau berak!” kata Naga Kuning pula.
“Jatilandak…”
ucap Pendekar 212.
“Jatilandak?
Apa yang ada di pikiranmu, Wiro?” Bertanya Bunga.
“Kita
tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”
“Aahhh…”
Gadis dari alam roh menghela nafas.
Menatap
ke sepasang mata Pendekar 212 dia seperti bisa membaca apa yang ada di dalam
pikiran dan hati pemuda ini.
“Sebenarnya,
bukankah dia sendiri yang minta ditinggalkan? Dia menyadari keadaan,” kata Naga
Kuning pula.
“Aku…”
Wiro mengusap dagu, tidak teruskan ucapannya.
“Ada
sesuatu yang hendak kau lakukan?” Tanya Gondoruwo Patah Hati.
Wiro
tidak menjawab. Malah mendorong Naga Kuning ke samping lalu lari ke arah tadi
dia dan rombongan datang. Ketika sampai di tempat Jatilandak tergeletak, Wiro
terkejut. Sosok yang tadinya berbentuk landak kini telah berubah menjadi sosok
manusia berkulit kuning, tertelungkup mengenaskan di tanah. Pakaian coklatnya
hancur hangus, menyembulkan punggung yang terpanggang merah.
Dua
tangan dan dua kaki pemuda itu terbentang di lantai. Sepasang mata tertutup.
Wiro tidak dapat memastikan apakah Jatilandak masih hidup. Namun kemudian dari
sela bibir Jatilandak yang terbuka dia mendengar suara erangan halus.
Mendengar
langkah kaki orang mendatangi lalu berdiri di dekatnya, pemuda dari negeri 1200
tahun silam ini perlahan-lahan buka sepasang matanya.
“Wiro,
kenapa kau kembali?” Suara Jatilandak perlahan sekali.
“Kami
tidak bisa meninggalkan kau sendirian di sini.”
“Lalu…”
Wiro
membungkuk. Membuat empat kali totokan, satu di belakang kepala, tiga di bagian
tubuh Jatilandak. Sesaat kemudian pemuda dari Latanahsilam itu sudah berada di
bahu kirinya lalu dibawa lari kembali ke arah lorong dari mana tadi mereka
datang.
“Wiro,
aku berterima kasih kau punya maksud menolong diriku. Tapi menolong orang yang
segera akan menemui kematian tidak ada gunanya. Lebih baik kau segera bergabung
dengan para sahabat.
Mereka
lebih membutuhkan dirimu. Kau tak mungkin membawa aku ke mana kau pergi…”
“Kau
betul. Tapi aku bisa mencarikan tempat yang lebih baik dan lebih aman bagimu.”
Wiro
membawa Jatilandak ke telaga di dasar jurang. Susah payah dia menuruni tangga
terjal di dinding batu. Jatilandak dibaringkan di tepi telaga.
“Untuk
sementara kau aman di sini. Aku harus pergi. Kalau semua urusan dengan mahluk
setan itu selesai, kami akan kembali menemuimu di sini.”
Jatilandak
ulurkan tangan memegang lengan kiri Pendekar 212 erat-erat.
“Aku
sangat berterima kasih. Hatimu seputih kapas, budimu semurni emas. Wiro, aku
tidak akan bertahan lama. Aku tidak ingin mati dengan meninggalkan duga dan
sangka yang menjadi beban berat dalam perjalananku ke alam lain. Aku ingin kau
tahu. Antara aku dan Bidadari Angin Timur tidak ada apa-apa. Tidak pernah
terjadi apa-apa di antara kami. Budinya setinggi langit, sejuk hatinya sedalam
lautan. Aku sangat menghormatinya…”
Wiro
terdiam sesaat lalu berdiri.
“Wiro,
gadis itu mencintai dirimu setulus hatinya…,” Jatilandak lepaskan pegangannya
di tangan Wiro.
Pendekar
212 garuk kepala, menatap wajah Jatilandak sesaat lalu pandangannya membentur
ujung patahan gagang kayu Bendera Darah yang masih menancap di bahu kiri pemuda
berkulit kuning itu. Wiro ingat apa yang telah dilakukan Eyang Sinto Gendeng
ketika keluarkan Kapak Naga Geni 212. Salah satu mata kapak ditempelkan ke
patahan kayu gagang bendera. Wiro kerahkan tenaga dalam. Kapak Naga Geni 212
pancarkan cahaya menyilaukan disertai hawa panas.
Cessss!
Jatilandak
mengernyit menahan sakit. Daging bahunya mengepulkan asap. Gagang Bendera Darah
serta merta berubah hitam, hangus gosong menjadi bubuk.
Wiro
berbalik lalu tinggalkan tempat itu. Dia terharu mendengar ucapan Jatilandak
tadi. Namun semua itu tidak dapat melenyapkan ganjalan yang ada di dalam
hatinya. Ganjalan yang seolaholah telah menyatu menjadi batu. Sulit untuk
dipupus.
Di
belakang sana terdengar suara Jatilandak berucap perlahan.
“Wiro,
terima kasih. Aku mendoakan keselamatan bagimu dan kawan-kawan…”
*********************
Di dalam
lorong, Naga Kuning tampak seperti orang bingung. Sebentar-sebentar dia usap
bagian bawah perutnya. Bibir digigit-gigit. Dia memandang berkeliling, melirik
pada Gondoruwo Patah Hati dan Bunga. “Kalau saja keduanya laki-laki aku tidak
malu-malu melakukannya di sini,” kata si bocah dalam hati.
“Intan,”
Naga Kuning menyebut nama asli si nenek.
“Kau mau
ke mana?” Tanya Gondoruwo Patah Hati yang sejak tadi memperhatikan Naga Kuning.
“Aku mau
menyusul Wiro. Aku khawatir kalau dia pergi sendirian…”
“Hai…”
Naga
Kuning tidak perdulikan seruan Gondoruwo Patah Hati. Langsung saja bocah ini
berlari cepat ke arah lorong yang tadi ditempuh Wiro sewaktu membawa
Jatilandak. Di satu tikungan dia hentikan lari. Nafas mengengah.
“Gila,
aku tidak tahan lagi. Betul-betul kebelet!
Sudah, di
sini rasanya bisa kulakukan. Tak ada yang melihat,” Lalu anak ini dodorkan
celana hitamnya ke bawah. Tapi dia bingung sendiri. “Ah, apa langsung saja di
sini? Kalau tempat ini banyak mahluk halusnya bagaimana? Bisa kapiran aku kalau
sampai anuku dipencet.” Dia melirik pada bumbung bambu yang tersembul di
kepitan tangan kiri. “Baiknya kumasukkan dalam bumbung ini saja. Nanti kalau
ada kesempatan baru aku buang…”
Naga
Kuning ambil bumbung bambu kosong, dekatkan ke bagian bawah perutnya lalu,
seerrr!
Bocah ini
pancarkan air kencingnya ke dalam bumbung bambu. Selesai kencing dia menarik
nafas lega. Dari balik pakaian dia keluarkan sehelai sapu tangan butut lalu
disumpalkan ke ujung bambu.
******************
8
BANGUNAN
serba putih yang dikenal dengan nama Rumah Tanpa Dosa memancarkan cahaya
berkilau terkena sinar terik sang surya. Suara bahana genta baru saja lenyap.
Kesunyian
membungkus delapan penjuru angin sampai ke lembah kecil yang terletak tak jauh
di sebelah utara Rumah Tanpa Dosa.
Sambil
memanggul tubuh Dewa Tuak, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kematian berlari cepat melewati rumah tua berbentuk panggung beratap ijuk
hitam. Lampion kain putih di bawah atap bangunan membersit keluar bau busuk
antara amis dan bau bangkai.
Selewatnya,
sebuah lembah kecil yang lebih banyak tertutup batu daripada tetumbuhan, Wakil
Ketua akhirnya sampai di halaman satu rumah panggung serba putih, mulai dari
atap ijuk sampai tiang-tiang penyanggah bangunan serta tangga setengah
lingkaran. Sebuah genta besar tergantung di bawah atap ijuk putih. Tali genta
menjulai ke bawah, hampir menyentuh tanah. Dua buah benda yaitu dua kuntum
kembang kenanga menancap di atas pintu putih. Kayu di sekitar dua kembang itu
kelihatan hangus menghitam, terdapatlah dua kembang kenanga yang dilempar Bunga
sewaktu berusaha menahan serangan kekuatan gaib yang dilepas Sri Paduka Ratu
dari Rumah Tanpa Dosa.
“Sial,
Yang Mulia Ketua selalu memberi perintah berubah-ubah dan mendadak. Kalau saja
dia tidak menyuruh aku menebar hawa beracun di lorong, urusanku sudah selesai
dari tadi. Segala rencana jadi tak karuan. Aku harus bertindak cepat!”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu! Aku Wakil Ketua datang menjalankan perintah Yang Mulia
Ketua.
Lekas
keluar dan laksanakan perintah!” Suara keras seruan Wakil Ketua menggema
panjang lalu lenyap. Tak ada gerakan, tak ada jawaban dari dalam Rumah Tanpa
Dosa.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu! Kita tidak punya waktu banyak! Para penyusup sudah
berada di dalam lorong sebelah selatan!” Wakil Ketua berteriak lagi.
“Wakil
Ketua! Aku tidak tuli! Mengapa berteriak tidak karuan seolah kau lebih kuasa
dari Yang Mulia Ketua?” Tiba-tiba ada suara perempuan dari dalam bangunan
putih, mendesing keras seolah sambaran angin.
“Perempuan
keparat! Kau akan rasakan bagianmu nanti! Kau akan menyembah di kakiku sebelum
tubuhmu kembali ke alam bangkai busuk!” Wakil Ketua memaki dalam hati.
Tidak
sabaran Wakil Ketua menarik tali genta tiga kali berturut-turut. Suara keras
menggelegar.
Tanah
bergeletar. Rumah Tanpa Dosa mengeluarkan suara berderik. Wakil Ketua
terhuyunghuyung dan cepat kerahkan tenaga sebelum tubuhnya terbanting ke tanah.
Ketika
suara genta berhenti, dari dalam Rumah Tanpa Dosa terdengar suara perempuan
tertawa.
Pintu
putih di ujung atas tangga setengah lingkaran terbuka. Sesaat kemudian muncul
satu sosok putih, melangkah dalam gerakan kaku.
Sosok
putih ini mengenakan kain penutup kepala yang pada bagian atas melingkar sebuah
mahkota kecil berwarna hijau. Jubah putih yang menutupi tubuh begitu tipis
menerawang hingga bentuk aurat di sebelah dalam nyaris jelas. Ada satu
kejanggalan. Jubah putih itu robek di bagian perut. Di sebelah belakang, di
bawah kain penutup kepala menjulai rambut panjang hitam sampai sepinggang.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu,” Wakil Ketua berseru. “Yang Mulia Ketua minta kau
menyedot tenaga dalam dan kesaktian kakek ini! Harap kau lakukan dengan cepat!”
Habis
berkata begitu Wakil Ketua turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya. Si
kakek, dalam keadaan lemah tegak terhuyung, dua tangan terkulai lunglai, dua
lutut agak tertekuk dan sepasang mata terpejam.
Sepasang
mata di balik dua lobang pada kain penutup kepala bermahkota menatap tak
berkesip ke arah Wakil Ketua dan kakek yang tegak di sampingnya.
“Wakil
Ketua, kau menunjukkan perilaku sangat setia dalam menjalankan perintah Yang
Mulia Ketua. Tapi kau tidak bisa menipu diriku!”
Wakil
Ketua terkejut. “Perasaanku jadi tidak enak. Apa dia mengetahui semua
rencanaku?
Berbahaya.
Aku benar-benar harus bertindak cepat. Mudah-mudahan Ketua masih sibuk dalam
melampiaskan nafsu bejatnya.”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, apa maksud Yang Mulia dengan ucapan tadi?” Wakil Ketua
ajukan pertanyaan.
“Berapa
kali aku menegur agar kau tidak berbuat cabul di tempat ini?”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, saya tidak mengerti…”
Sang Ratu
yang masih berdiri di ujung atas tangga putih tertawa panjang.
“Kau
menculik dan menyekap seorang gadis.
Punya
maksud hendak mencabulinya. Apakah kau tidak takut mendapat hukuman berat?”
Ucapan sang
Ratu kembali membuat Wakil Ketua terkejut. “Bagaimana dia bisa tahu aku
menculik dan menyekap gadis itu?”
“Sri
Paduka Ratu, jangan kau percaya pada segala kabar angin. Tugasku banyak. Mana
ada waktu untuk segala urusan culik menculik, sekap menyekap.”
Sosok
putih di depan pintu tertawa panjang.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Kau rupanya selalu memperhatikan gerak-gerikku. Padahal
yang berbuat cabul di tempat ini bukan cuma aku…”
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu kembali tertawa.
“Apakah
engkau hendak mengatakan Yang Mulia Ketua juga melakukan perbuatan cabul tapi
mengapa aku tidak memperdulikan dan tidak menegur? Beraninya kau punya pikiran
dan keluarkan ucapan seperti itu. Apa tidak khawatir Yang Mulia Ketua
mendengar?”
“Perempuan
setan!” maki Wakil Ketua tapi diam-diam hatinya kecut juga. Dia memandang
berputar ke arah kejauhan. Belum kelihatan tanda-tanda Yang Mulia Ketua akan
segera muncul.
Di atas
tangga Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali membuka mulut.
“Kau lupa
pada ucapan kesetiaan bahwa hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”
Dalam
hati Wakil Ketua kembali memaki. Lalu dia berkata dengan suara keras.
“Kehadiranku di sini bukan untuk mendengar segala bicara panjang lebar. Aku
membawa tugas dari Yang Mulia Ketua. Kau diperintahkan untuk menyedot tenaga
dalam dan kesaktian kakek ini! Laksanakan saja tugasmu! Jangan banyak bicara!”
Sri
Paduka Ratu tertawa panjang. Sekali kakinya digerakkan, seperti terbang
tubuhnya melayang ke bawah dan tegak di halaman Rumah Tanpa Dosa, terpisah lima
langkah di hadapan Dewa Tuak dan Wakil Ketua.
“Aku
mencium bau aneh di tubuh kakek ini.
Wakil
Ketua, harap kau menerangkan siapa dia adanya.”
Wakil
Ketua tanggalkan kain putih penutup kepala orang yang tegak terbungkuk di
sampingnya. Kelihatan satu wajah tua berambut putih dengan sepasang mata dalam
keadaan terpejam.
“Julukannya
Dewa Tuak. Kuberitahupun kau tidak tahu apa-apa!” jawab Wakil Ketua pula.
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu menyeringai lalu melangkah mendekati Dewa Tuak yang masih
berdiri terhuyung-huyung. Tiba-tiba kakek ini buka matanya yang sejak tadi
terpejam. Begitu melihat siapa yang berdiri di depannya, dua
matanya
langsung dikedap-kedipkan.
“Aku
harap tidak bermimpi. Tidak menduga bakal bertemu seorang manusia pocong betina
di tempat ini! Ada mahkota di kepalamu! Ha… ha… ha! Kau pasti bukan mahluk
sembarangan.
Sayang
wajahmu tertutup kain putih. Tapi aku yakin pasti wajahmu secantik bidadari.
Ha… ha… ha!”
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Lekas laksanakan tugasmu! Cepat sedot tenaga dalam dan
kesaktiannya!” Wakil Ketua sudah tidak sabaran.
“Eh,
apa?” Dewa Tuak angkat kepalanya sedikit. Tangan kiri digelungkan di belakang
daun telinga kiri. Lagaknya seperti orang mau mendengar lebih jelas. “Kalau mau
menyedot jangan tenaga dalam dan kesaktianku. Aku rela memberikan bagian
tubuhku yang lain untuk disedot! Kau pasti merasa enak! Aku juga enak!
Sama-sama
enaklah kita! Ha… ha… ha!”
“Tua
bangka kurang ajar!” Sri Paduka Ratu memaki marah. Tangan kanan diangkat ke
atas.
Telapak
membuka, lima jari menekuk seperti mencengkeram. Cahaya kuning kemudian muncul
di lima jari. Ketika tangan itu diputar ke kanan lalu disusul dengan gerakan
seperti membetot, Dewa Tuak menjerit keras. Tubuhnya yang tadi membungkuk
bergoncang keras. Dari mulutnya menyembur darah segar!
“Ratu!
Jangan berlaku tolol! Kau mau membunuh kakek ini sebelum melaksanakan perintah
Yang Mulia Ketua?” berteriak Wakil Ketua.
“Diam!”
bentak Sang Ratu. “Aku tahu apa yang aku lakukan!”
Lalu Sri
Paduka Ratu pegang kuat-kuat bahu kanan Dewa Tuak dengan tangan kiri sementara
telapak tangan diletakkan di atas batok kepala si kakek.
Kasihan
Dewa Tuak. Bukan saja seluruh tenaga dalam serta kesaktiannya akan tersedot
masuk ke dalam tubuh Sri Paduka Ratu, tapi nyawanyapun tidak akan tertolong.
Begitu
Sri Paduka Ratu meletakkan telapak tangan kanan di atas kepala Dewa Tuak, Wakil
Ketua cepat beranjak dan kini dia sengaja tegak di samping sang Ratu, sedikit
ke belakang, terpisah kurang dari dua langkah. Dua jari tangannya yang sebagian
tertutup di balik lengan jubah, diamdiam bergerak lurus dalam sikap siap untuk
menotok. Siapa yang akan ditotoknya? Jelas bukan Dewa Tuak!
******************
9
TANGAN
kanan Sri Paduka Ratu yang berada di atas ubun-ubun kepala Dewa Tuak tampak
ber–getar pertanda dia mulai melakukan penyedotan tenaga dalam dan kesaktian si
kakek. Sangat cepat getaran menjalar ke tubuh korban.
Dess!
Dess! Dess!
Asap
tipis kelabu mengepul dari batok kepala si kakek. Kalau sewaktu menyedot tenaga
dalam dan kesaktian Hantu Muka Dua kelihatan ada cahaya biru di kaki mahluk
dari Latanahsilam itu dan terus menjalar ke atas, maka pada diri Dewa Tuak yang
kelihatan adalah cahaya putih. Ini pertanda bahwa tenaga dalam dan kesaktian yang
dimilikinya adalah murni dari golongan putih.
Pada saat
sangat genting, yaitu ketika cahaya putih di kaki Dewa Tuak kelihatan mulai
bergerak naik ke atas, tiba-tiba empat bayangan berkelebat dari arah utara
halaman Rumah Tanpa Dosa.
Menyusul
seruan nyaring suara perempuan.
“Mahluk
alam roh! Hentikan perbuatan terkutukmu!”
Bersamaan
dengan itu empat gelombang angin menderu ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
membuatnya terkejut, menjerit keras. Cepat dia tarik tangan kanannya dari atas
kepala Dewa Tuak lalu melompat mundur. Walau semua gerakan itu dilakukan dengan
sangat cepat namun empat gelombang angin masih sempat menyerempetnya. Untuk
kedua kalinya sang Ratu menjerit keras. Kali ini bukan jeritan kaget, tapi
Jeritan penuh marah.
Empat
gelombang angin yang menghantam tubuhnya berasal dari pukulan tangan kosong
jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi serta ilmu kesaktian bukan
sembarangan.
Blaar!
Blaar! Blaar! Blaar!
Jangankan
tubuh manusia, tembok batu sekalipun pasti ambruk berkeping-keping. Tetapi luar
biasa, Sri Paduka Ratu hanya tergontaigontai.
Itupun
cuma seketika. Apa yang terjadi?
Sesaat
sebelum empat pukulan sakti jarak jauh menghantam, serangkum cahaya kuning
muncul melindungi dirinya mulai dari kepala sampai kaki.
Hantaman
empat angin pukulan sakti hanya menimbulkan suara dentangan aneh.
“Jahanam
berani mati! Siapa kalian?” Yang Mulia Sri Paduka Ratu berteriak marah. Dua
tangan di balik jubah putih dipukulkan ke depan.
“Lekas
menyingkir!” Seseorang berteriak.
“Selamatkan
Dewa Tuak!” Ada suara lain ikut berseru.
Wutttt!
Wuttt!
Dua larik
angin dahsyat memancarkan cahaya kuning panas berkiblat. Namun empat orang yang
hendak dijadikan bangkai gosong tak ada lagi di tempat semula. Bahkan Dewa Tuak
yang tadi ada di dekat mereka ikut lenyap! Dua gelombang angin kuning menderu
jauh memapas udara kosong lalu menghantam pinggiran lembah. Bebatuan di tubir
lembah sebelah atas hancur bertaburan, berubah menjadi bara menyala. Tanah dan
pasir beterbangan ke udara.
Memandang
berkeliling, dua belas langkah di sebelah kiri, Sri Paduka Ratu melihat Dewa
Tuak berada dalam gendongan seorang pemuda berambut gondrong. Sepasang mata Sri
Paduka Ratu menyipit, kening mengerenyit. Saat itu si pemuda tengah menurunkan
kakek yang digendongnya ke tanah. Dewa Tuak tegak terbungkuk sambil pegangi
dadanya yang mendenyut sakit. Noda darah membasahi bagian depan jubah putih
yang dikenakannya. Sepasang mata si kakek berputar.
Pandangannya
berhenti pada sosok Naga Kuning yang tegak sambil memegang bumbung bambu.
Dua bola
mata si kakek membesar. Mulut menganga, tenggorokan turun naik.
“Bocah!
Bumbung bambu itu! Kau dapat di mana? Rasa-rasanya. Ah, aku jadi haus!” Si
kakek lalu duduk menjelepok di tanah. Kepala didongakkan. Dua tangan diangkat
ke atas. Menggantung di udara. Satu di atas kening, satu di dekat mulut.
Kalau
sudah begitu biasanya tenggorokan si kakek akan mengeluarkan suara gluk, gluk,
gluk, seperti melahap minuman benaran. Tapi sekali ini hal itu tidak terjadi.
Malah perlahan-lahan dia turunkan dua tangan. “Apa nikmatnya minum bohongan
terus-terusan,” kata si kakek perlahan lalu berpaling pada Naga Kuning, menatap
ke arah bumbung bambu. “Bocah jabrik! Berikan bumbung bambu itu padaku!”
Naga
Kuning jadi bingung.
Gondoruwo
Patah Hati berkata, “Lekas serahkan. Mengapa kau diam saja?”
“Aku…”
“Kakek
itu seperti kurang waras. Siapa tahu kalau memegang bumbung bambu ingatannya
kembali pulih. Kita butuh dia. Sebentar lagi tempat ini bakal jadi ajang sabung
nyawa.”
“Tapi,
Nek. Kau, kau tidak tahu…”
Tidak
sabaran Gondoruwo Patah Hati rampas bumbung bambu dari tangan Naga Kuning. Saat
itu dia merasakan kalau dalam tabung ada cairan.
“Eh,
setahuku waktu kau temukan bumbung ini kosong. Mengapa sekarang ada cairannya?
Ada kain penyumpal?” si nenek menatap Naga Kuning.
“Sudah,
kalau kau ingin menyerahkannya pada Dewa Tuak. Serahkan saja…” kata Naga Kuning
pula. Lalu dalam hati bocah konyol ini berkata “Gila! Kalau di luar sadar Dewa
Tuak sampai menenggak isi bumbung itu dan satu ketika dia tahu apa sebenarnya
isinya, aku bisa celaka…”
Dewa Tuak
tertawa penuh gembira ketika menyambuti bumbung bambu yang diserahkan Gondoruwo
Patah Hati. Untuk beberapa lamanya bumbung itu diletakkan di pangkuan dan
diusapusap.
Wiro yang
berdiri di sebelah Bunga berbisik, “Manusia pocong betina itu, luar biasa
sekali. Dia mampu menahan empat hantaman kita sekaligus!
Agaknya
benar ucapan orang di luaran. Sekali masuk ke dalam lorong kematian, tidak ada
jalan keluar hidup-hidup.”
“Wiro,
apa kau sudah mati semangat?”
Wiro
terdiam. Matanya memperhatikan robekan di perut jubah putih Yang Mulia Sri
Paduka Ratu.
“Bunga,
kau lihat robekan di bagian perut manusia pocong itu? Hantu Muka Dua tidak
bohong. Ketika bertemu mahluk pocong ini dia melihat sesuatu di dalam perutnya,
berusaha mengambil tapi hanya sanggup menggapai robek jubahnya…”
“Tadi aku
sempat mencoba melihat tembus.
Memang
ada sesuatu di dalam perutnya. Tapi aku cuma melihat samar. Sewaktu aku
paksakan mataku terasa sangat perih. Sebelum satu kekuatan hebat melabrakku aku
hentikan melihat tembus…”
“Coba aku
periksa,” kata Wiro pula. Lalu dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang yang
didapatnya dari Ratu Duyung.
“Wiro,
jangan! Kau bisa celaka!” mengingatkan Bunga. Tapi terlambat, Wiro telah keburu
mengerahkan ilmu melihat tembus pandang ke dalam perut Sri Paduka Ratu.
“Bunga,
aku… aku bisa melihat lebih jelas. Itu gulungan Pedang Naga… Ah!” Satu kekuatan
tak terlihat tiba-tiba muncul menerpa Pendekar 212.
Wiro
terjajar lalu terjengkang di tanah. Kepala bergetar sakit seperti mau rengkah!
Mata terasa sangat perih. Dia coba menggosok. Ketika matanya dibuka kembali dia
tersentak kaget. Dia hanya melihat kegelapan. “Celaka! Aku tak bisa melihat
apa-apa! Buta! Aku buta!”
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu tertawa panjang.
Bunga
cepat dekati Wiro. Mengusap kedua matanya dengan tangan kiri. “Cepat berdiri.
Kau hanya buta sementara. Kerahkan hawa sakti pada dua matamu. Sesaat lagi
penglihatanmu akan pulih!”
Apa yang
dikatakan Bunga benar adanya.
Hanya
selang beberapa ketika setelah dia mengerahkan tenaga dalam dan aliran hawa
sakti pada kedua matanya, dia sudah mampu melihat seperti semula. “Gila…” ucap
Wiro sambil mengusap keningnya yang keringatan.
“Bunga,
kita menghadapi satu kekuatan yang sulit ditandingi…”
“Aku
sudah tahu jauh sebelumnya. Aku sudah bilang padamu. Kekuatan alam gaib itu
berpusat di rumah putih. Di dalam rumah putih penghuninya adalah manusia pocong
perempuan ini.
Seperti
diriku dia datang dari alam roh. Namun dia datang dibekali kesesatan. Dialah
sumber dan pusat segala kekuatan ilmu kesaktian di tempat ini. Tapi dia berada
di bawah kendali seseorang.
Hampir
pasti si pengendali adalah Ketua Barisan Manusia Pocong. Selain itu ingat, kita
harus menemukan satu batu pipih hitam. Dugaanku benda itu berada di tangan
penguasa lorong kematian. Jika batu tidak berhasil dirampas, kejahatan yang
sama dapat terulang kembali.”
“Mana dia
sang ketua. Aku belum melihat batang hidungnya…”
“Mungkin
dia tidak akan pernah muncul. Dia cukup mengendalikan Sang Ratu untuk
menghabisi kita. Sebelum itu terjadi kita harus sanggup menghancurkan
kekuatannya. Kekuatan itu hanya bisa dihancurkan jika kau menikahi manusia
pocong yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kita tak punya waktu banyak.
Ikuti aku!”
Bunga
lalu menarik tangan Wiro, melangkah ke hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Wakil Ketua yang berada di dekat tempat itu cepat menghadang. Sepasang mata
berkilat pada Wiro Sableng.
Wiro
balas memperhatikan. Dari potongan tubuh orang ini Wiro segera tahu kalau dia
adalah manusia pocong yang muncul menebar asap beracun di dalam lorong. Wiro
cepat alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari disiapkan.
Manusia
pocong di hadapan Wiro tertawa perlahan. “Kalaupun kau punya sepuluh tangan dan
menghantamkan sepuluh pukulan Sinar Matahari sekaligus, kau tak akan mampu
mengalahkanku. Sayang nyawamu sudah ada yang punya. Kalau tidak, saat ini
kepalamu tidak ada lagi di atas leher!”
“Omongan
hebat! Tapi siapa percaya ucapan manusia jelek macam kau. Yang hanya berani
melepas hawa beracun lalu kabur! Aku menduga ilmumu hanya secetek comberan.
Tapi bermulut besar karena mendapat lindungan dan andalan ilmu kesaktian dari
pocong betina ini.”
Di balik
kain putih penutup kepala, rahang manusia pocong menggembung. Nafasnya
mendengus. Tubuh bergeletar. Lima jari tangan kiri kanan ditekuk sampai
mengeluarkan suara berkeretek.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, lekas pergi kerumah panggung beratap ijuk hitam! Jangan
keluar kalau tidak ada yang memberi perintah.
Monyet-monyet
kesasar ini serahkan padaku.”
“Wakil
Ketua, beraninya kau memerintah diriku? Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan!”
“Perintah
itu berasal dari Yang Mulia Ketua! Apa kau berani membantah?”
“Ha… ha!
Monyet berjubah putih ini Wakil Ketua rupanya!” Tiba-tiba Wiro berseru.
“Oala!”
menimpali Gondoruwo Patah Hati yang tegak di samping Dawa Tuak. Si kakek masih
saja mengusap-usap bumbung bambu di pangkuannya. “Wakil sudah muncul! Ketuanya
mana?”
“Mungkin
lagi berak!” menyahuti Naga Kuning lalu tertawa cekikikan.
“Ckkk…
cekk… cekkk!” Wakil Ketua berdecak leletkan lidah. “Luar biasa beraninya kalian
berbicara! Apakah cukup berani menghadapi kematian?”
“Ckk…
ckkk… ckkk!” Naga Kuning balas berdecak. “Bagaimana kalau kita mati barengan?!”
“Bocah
jahanam! Kau akan kubunuh duluan!” teriak Wakil Ketua.
“Mati
barengan boleh saja,” ujar Wiro. “Tapi mahluk setan ini harus lebih dulu
menunjukkan di mana perempuan-perempuan muda itu disekap.
Di mana
Anggini, Wulan Srindi, Kakek Segala Tahu!”
Wakil
Ketua yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya karena diamuk amarah
mendorong bahu Yang Mulia Sri Paduka Ratu. “Tunggu apa lagi? Lekas pergi ke
rumah panggung ijuk hitam! Itu perintah Yang Mulia Ketua!”
“Rumah
busuk itu! Tempat para bayi dan ibunya mati dibunuh! Mengapa aku harus ke
sana?” Tanya Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Tempat
kediamanku adalah rumah putih ini. Rumah Tanpa Dosa!”
“Sri
Paduka Ratu! Jangan kau berani menolak perintah Yang Mulia Ketua.”
Tapi Yang
Mulia Sri Paduka Ratu tidak perdulikan bentakan Wakil Ketua. Sekali berkelebat
tubuhnya melayang mengikuti tangga putih setengah lingkaran. Secara aneh pintu
putih terbuka.
Sosok Sri
Paduka Ratu lenyap ke dalam rumah putih. Pintu putih tertutup kembali.
Sesaat
sebelum Sri Paduka Ratu masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kematian keluarkan suitan nyaring dua kali
berturut-turut. Tak selang berapa lama, tiga manusia pocong berkelebat di
tempat itu. Salah seorang di antara mereka kelihatan robek kain penutup
kepalanya di bagian leher dan ada noda darah di jubah.
“Pocong
bangsat satu itu yang menyerang kita di dalam lorong. Yang dikoyak lehernya
oleh Jatilandak. Gila. Masih hidup dia!” ucap Naga Kuning.
Manusia
pocong keempat muncul dengan tubuh huyung langkah terseok-seok seperti mau
jatuh. Dari mulutnya keluar suara ha… hu… ha… hu tiada henti. Tangan kanan
diacung-acungkan ke atas. Sungguh aneh penampilan manusia pocong satu ini
dibanding dengan teman-teman nya yang lain, yang bergerak serba cepat dan
bersikap galak ganas.
Sesaat
kemudian dari atas rumah panggung serba putih mengumandang suara nyanyian.
******************
10
KEHIDUPAN
muncul secara aneh
Kematian
datang tidak disangka
Di dalam
bukit batu
Ada
seratus tiga belas lorong
Siapa
masuk akan tersesat
Tidak ada
jalan keluar
Sampai
kematian datang menjemput
Di dalam
lembah
Ada Rumah
Tanpa Dosa
Inilah
tempat tenteram bagi mahluk tidak berdosa
Bendera
Darah lambang kematian
Tiada
daya menentang ajal
Darah
suci bayi yang dilahirkan
Pembawa
kehadiran Nyawa Kedua
Sambungan
hidup insan tak bernyawa
Di dalam
lorong ada kesepian
Di dalam
kesepian ada kehidupan
Di dalam
lorong ada kesunyian
Di dalam
kesunyian ada kematian
Di
halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua memaki dalam hati. “Ratu gila! Dalam
keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya menyanyi!”
Wakil
Ketua berpaling kepada tiga manusia pocong yang ada di seberang sana lalu
berteriak.
“Bunuh
bocah, nenek, dan gadis itu. Si gondrong biar aku yang menangani!”
Begitu
perintah berucap, tiga manusia pocong segera berkelebat.
Wakil
Ketua berpaling pada manusia pocong yang muncul dengan langkah terseok-seok.
“Kau!”
teriak Wakil Ketua. “Tugasmu membunuh kakek yang memegang bumbung bambu!
Lakukan cepat!”
“Gawat!”
ucap Bunga. “Ikuti aku! Kita harus segera masuk ke dalam rumah putih.
Pernikahan harus segera dilangsungkan!”
“Empat
manusia pocong itu hendak menghabisi kawan-kawan! Bagaimana mungkin kita
meninggalkan mereka?”
“Wiro, ini
keadaan yang terpaksa harus kita hadapi. Harus ada yang berkorban demi
musnahnya malapetaka rimba persilatan. Kalau kita bertindak terlambat tak ada
yang bisa ditolong.
Nyawamupun
tidak akan terselamatkan!”
“Aku
memilih menghadapi mahluk-mahluk keparat itu. Aku akan menghajar Wakil Ketua
itu lebih dulu!”
“Jangan
tolol! Ikuti aku! Siapkan setanggi yang aku berikan padamu!” Habis berkata
begitu Bunga cekal lengan kanan Wiro. Tahu-tahu Wiro merasakan dirinya melesat
ke udara. Bunga berkelebat ke arah pintu putih. Sementara dari dalam rumah
putih kembali terdengar suara Sri Paduka Ratu kembali menyanyi.
Braakkk!
Bunga dan
Wiro tersungkur di depan pintu.
Tadi
Bunga mencoba menjebol pintu itu dengan tendangan kaki kanan. Ternyata pintu
tidak bergeming. Malah dia dan Wiro jatuh terbanting di depan tangga.
“Luar
biasa!” ucap Bunga. Wajah putih pucatnya tampak keringatan. Gadis dari alam roh
ini keluarkan kantong berisi serbuk setanggi lalu ditebar di papan pintu. Di
dalam rumah suara nyanyian terputus. Berganti jeritan panjang menyerupai
setengah raungan setengah tangisan.
Rumah
putih bergoncang keras. Genta bergoyang keluarkan suara membahana.
Di
halaman rumah putih Wakil Ketua terkesiap ketika melihat bagaimana Bunga dan
Wiro mampu melesat ke atas Rumah Tanpa Dosa. Selama ini, termasuk dirinya dan
juga Ketua Barisan Manusia Pocong, tak mampu naik ke atas bangunan putih itu.
Konon, siapa saja manusia yang telah tersentuh dosa tidak mungkin bisa berada
di atas rumah putih. Lalu apakah gadis berkebaya putih dan Pendekar 212 Wiro
Sableng merupakan insaninsan tanpa dosa? Bubuk apa yang ditebarkan gadis
bermuka sepucat mayat itu? Memikir sampai ke situ Wakil Ketua berteriak pada
manusia pocong keempat yang masih tertegun-tegun di sebelah sana. Padahal tadi
sudah diperintahkan membunuh Dewa Tuak.
“Tua
bangka sial! Lupakan kakek itu! Tugasmu sekarang adalah masuk ke dalam Rumah
Tanpa Dosa. Selamatkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dari dua penyusup! Bawa ke
dalam rumah panggung beratap ijuk! Cepat laksanakan! Yang Mulia Paduka Ratu
akan memberi kekuatan padamu!”
Selarik
cahaya kuning melesat dari arah rumah putih itu lalu membungkus manusia pocong
yang dimaki tua bangka sial. Mahluk ini balikkan badan. Keadaannya mendadak
sontak berubah.
Sekali
dia menggenjotkan kaki, sosoknya melesat sebat ke udara, melayang di atas
tangga putih setengah lingkaran. Namun hampir sampai di bagian atas tangga,
tiba-tiba ada satu kekuatan menolak kehadirannya. Kekuatan ini menghantam
tubuhnya begitu rupa hingga terpental dan jatuh terguling-guling di tangga,
terbanting ke tanah.
“Gila!”
maki Wakil Ketua dengan mata mendelik tak percaya. “Ratu memberi kekuatan, tapi
kini dia sendiri yang menghantam. Aku mengira kakek itu bersih dari segala
dosa. Dosa apa yang dimilikinya di masa muda?”
Sementara
itu, di depan pintu putih Rumah Tanpa Dosa.
“Sekarang
Wiro!” kata Bunga begitu selesai menebarkan bubuk setanggi di pintu putih.
Keduanya
mundur beberapa langkah lalu samasama menghantam dengan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi.
Wuuut!
Wuuuut!
Braakkk!
Pintu
putih Rumah Tanpa Dosa hancur berantakan. Bunga dan Wiro melompat masuk.
Begitu
sampai di dalam keduanya menjadi kaget.
Walau di
luar terang benderang namun cahaya tidak mampu menembus masuk ke dalam. Dan
sungguh tidak terduga. Bagian dalam Rumah Tanpa Dosa ternyata kelam gelap
gulita! Jangankan melihat keadaan sekeliling. Tangan di depan matapun tidak
kelihatan! Dalam keadaan seperti itu ada suara menggerung dari salah satu
bagian bangunan. Bunga mencium bahaya. Wiro merasa tegang luar biasa.
Sebenarnya dari beberapa orang sakti yang pernah ditemuinya, Wiro mendapat ilmu
mampu melihat lebih terang dalam gelap.
Namun
saat ini kemampuan ilmu itu tidak sanggup menembus kegelapan. Dia kerahkan Ilmu
Menembus Pandang dari Ratu Duyung. Juga siasia!
Bunga
sendiri yang telah lebih dulu mencoba mengandalkan ilmu tembus pandangnya juga
tak berdaya. Tiba-tiba gadis dari alam roh ini ingat.
“Wiro,
pupuri mukamu dengan bubuk setanggi!”
Kedua
orang itu segera mengambil setanggi yang mereka bawa lalu membedaki wajah
masingmasing.
Saat itu
juga suara menggerung dari salah satu sudut rumah berubah menjadi teriak
kemarahan. Ada letupan-letupan keras disertai dengan memancarnya bunga api. Dan
luar biasanya, di saat itu pula ruang dalam Rumah Tanpa Dosa yang tadinya gelap
gulita kini menjadi terang benderang. Memandang ke sudut kanan ruangan, Wiro
terkesiap kaget. Bunga mengerenyit memandang tajam. Keduanya sama tersurut satu
langkah.
Mahluk
roh yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu tegak di sudut ruangan, di atas
tebaran puluhan batu sebesar tinju, merah menyala!
Cahaya
kuning tipis membungkus sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki.
“Gila!
Bagaimana mungkin! Jubahnya tidak terbakar, kakinya tidak melepuh menginjak
batu api!” ucap Wiro.
“Tenang,
Wiro. Jangan pikiranmu dikacaukan oleh apa yang kau lihat!” bisik Bunga.
Di sudut
ruangan Sri Paduka Ratu memandang ke langit-langit ruangan, meraung panjang
lalu raungan berganti dengan suara tawa cekikikan.
Bunga
tidak menunggu lebih lama.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, aku datang membawa pengantin lelaki calon suamimu.
Upacara pernikahanmu dengan pemuda bernama Wiro Sableng ini harus dilaksanakan
saat ini juga!”
Suara
tawa Yang Mulia Sri Paduka Ratu terhenti. Tapi cuma sebentar. Gelak tawanya
disambung kembali. Lebih keras dari tadi. Tibatiba sang Ratu hentakkan kaki
kanan. Belasan batu merah menyala sebesar tinju melesat ke arah Wiro dan Bunga!
******************
11
BUNGA
berseru keras, melesat ke udara sambil ubah ujudnya menjadi asap.
Sembilan
batu menyala menyambar ganas.
Wutt!
Wutt!
Wuss!
Wusss!
Bunga
terpekik. Dua buah batu menyerempet kebaya putih gadis alam roh itu di bagian
bahu kanan dan lengan kiri.
Di bagian
lain Wiro yang juga berusaha selamatkan diri dengan melompat sambil melepaskan
pukulan tangan kosong juga berteriak kaget.
Tujuh
batu menyala menyambar ke arahnya. Tiga berhasil dikelit, dua dipukul mental.
Batu keenam menyambar selangkangan celananya hingga hangus bolong.
Tengkuk
sang pendekar merinding. “Sedikit lagi ke atas amblas perabotanku!” katanya
dalam hati.
Namun dia
tidak bisa merasa lega. Karena batu ketujuh melesat ke samping kiri kepala.
Rambutnya yang gondrong serta merta berkobar. Kalang kabut Wiro berhasil
memadamkan nyala api yang membakar rambutnya.
Semua
batu yang tidak mengenai sasaran menghantam dinding Rumah Tanpa Dosa. Tujuh
lobang hitam kelihatan di dinding putih.
“Wiro!
Lekas keluarkan ilmu Angin Es. Batu menyala itu harus dipadamkan! Aku akan
menghadang kalau sang Ratu menyerang!”
Ilmu
Angin Es adalah salah satu dari sekian banyak ilmu kesaktian yang didapat Wiro
dari Eyang Sinto Gendeng. Dengan cepat dia rangkapkan dua tangan di atas dada.
Sepasang mata menatap tajam ke tebaran batu-batu bernyala.
Settt!
Tangan
yang dirangkapkan dibuka, telapak tangan yang bergetar diarahkan pada batu-batu
menyala. Serta merta Rumah Tanpa Dosa dikungkung hawa dingin sekali. Satu
persatu batu menyala menjadi padam mengepulkan asap dingin seolah berubah
menjadi es! Namun belum sampai setengah dari puluhan batu itu dipadamkan, Yang
Mulia Sri Paduka Ratu berteriak keras. Bahunya digoyangkan. Cahaya kuning yang
menutupi tubuhnya melesat ke arah Bunga dan Wiro.
“Tebarkan
setanggi!” teriak Bunga Dua tangan serta merta menebarkan bubuk setanggi.
Selain menebar bubuk setanggi, Bunga juga melemparkan sekuntum kembang kenanga
ke arah Sri Paduka Ratu. Yang di arah adalah urat besar di pangkal leher
sebelah kiri. Jelas maksudnya untuk melumpuhkan lawan dengan cara menotok. Sang
Ratu mendengus. Lalu membuat sikap sengaja memasang badan. Kembang kenanga
menembus kain putih penutup kepala lalu dengan telak menghajar urat besar di
pangkal leher kiri!
“Lumpuh!”
ucap Bunga dalam hati.
Tapi Sang
Ratu justru keluarkan tawa mengikik.
Dess!
Kembang
kenanga mencelat mental, berbalik menyerang pada pemiliknya! Tidak menduga akan
mendapat serangan balik begitu rupa Bunga terpekik kaget. Dan terlambat
mengelak. Untung saja kembang kenanga hanya menyerempet dan menggores sedikit
pipi kirinya.
Letupan-letupan
keras disertai percikan bunga api memenuhi Rumah Tanpa Dosa. Perlahanlahan Yang
Mulia Sri Paduka Ratu turun dari tumpukan batu menyala.
“Wiro,
serahkan padaku gulungan kain putih! Cepat!”
Pendekar
212 Wiro Sableng jadi sibuk memeriksa ke balik pinggang pakaian. Untung benda
yang diminta Bunga masih terselip di bawah kipas kayu cendana milik Nyi Roro
Manggut yang harus diserahkannya pada Kakek Segala Tahu. Wiro cepat berikan
gulungan kain putih pada Bunga.
Gadis
dari alam roh buka gulungan kain yang berada dalam keadaan basah. Begitu
gulungan terbuka dia segera membaca baris-baris tulisan yang tertera di situ.
Batas
antara kebaikan dan kejahatan adalah kebijaksanaan
Kehidupan
yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa akan menimbulkan bencana malapetaka di
mana-mana
Jika
kehidupan kedua tidak dimusnahkan rimba persilatan akan kiamat
Dalam
kiamat tangan-tangan jahat akan jadi penguasa
Darah
mengalir sederas air sungai di musim hujan
Nyawa
tiada artinya lagi
Hanya
pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi Tumbal penyelamat
Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan,
nikahkan
dia dengan…
Setiap
kalimat yang dibacakan Bunga membuat Yang Mulia Sri Paduka Ratu undur selangkah
demi selangkah. Dada berdebar, tubuh melemas.
Hati
kacau, pikiran galau. Dari balik penutup kepala terdengar suara nafas memburu.
Lalu berubah jadi suara sesenggukan. Namun sebelum Bunga sempat menyelesaikan
membaca seluruh tulisan yang tertera di kain putih basah, tiba-tiba dari pintu
yang terpentang lebar melesat satu bayangan putih.
“Hanya
perintah Yang Mulia yang harus dilaksanakan! Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Tutup
pendengaranmu! Ikuti aku! Cepat!”
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu seperti orang baru sadar diri memandang ke arah manusia
pocong yang barusan masuk. Dari suaranya jelas manusia pocong satu ini adalah
perempuan. Walau suara itu agak lain namun Wiro rasa-rasa mengenalinya.
Ketika
manusia pocong perempuan membalikkan badan dan menghambur ke pintu, Sri Paduka
Ratu secepat kilat berkelebat mengikuti.
“Wiro!
Jangan biarkan mereka kabur!” teriak Bunga.
Pendekar
212 menghadang pocong perempuan yang bergerak ke arahnya. Tanpa ragu murid
Sinto Gendeng ini segera hantamkan satu jotosan ke arah dada orang. Tidak
tanggung-tanggung dia menghantam dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Air Bah.
Ini adalah pukulan keempat dari enam jurus dan ilmu pukulan sakti yang
diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh.
Satu
cahaya kuning menderu dari tubuh Sri Paduka Ratu memasuki tubuh manusia pocong.
Bukkk!
Manusia
pocong menangkis. Lengan beradu lengan. Tenaga luar dan tenaga dalam manusia
pocong perempuan itu ternyata tidak di bawah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget
ketika bentrokan lengan membuat tubuhnya terangkat ke atas.
Kepala
hampir menghantam langit-langit bangunan. Lengan baju putihnya hangus menghitam
dan mengepulkan asap. Lengan itu terasa hancur kutung!
Sambil
menahan sakit, di udara Wiro membuat gerakan jungkir balik. Saat melayang turun
tangan kirinya dipukulkan ke batok kepala pocong perempuan. Tapi luput. Tak
sengaja dia hanya mampu menarik tanggal kain putih penutup kepala. Pocong
perempuan menjerit keras, tutupi wajah dengan dua tangan lalu meluncur ke bawah
lewat pegangan tangga putih setengah lingkaran. Lari ke arah lembah di sebelah
utara.
Pendekar
212 tersentak kaget.
Walau
pocong perempuan itu menutupi wajah dengan kedua tangan namun Wiro masih sempat
mengenalinya.
“Wulan
Srindi!” seru Pendekar 212. Benarbenar tak dapat dipercaya!
Di saat
yang hampir bersamaan Bunga coba menghadang Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Namun
kalah cepat. Sri Paduka Ratu melompat ke arah pintu setelah terlebih dulu
melesatkan dua larik cahaya kuning dari sepasang matanya. Cahaya pertama
mencuat ke atas, ke arah langit-langit.
Wusss!
Bummm!
Satu
ledakan dahsyat menggelegar. Atap Rumah Tanpa Dosa serta merta dilamun kobaran
api!
Cahaya
kuning menyambar ke arah kepala Bunga. Gadis alam roh ini berseru kaget. Cepat
jatuhkan diri sama rata dengan lantai. Di belakangnya sebagian tangga putih
setengah lingkaran hancur berantakan. Kayu-kayu yang berpentalan berubah
menjadi kuntungan api. Bunga masih sempat melihat sosok Sri Paduka Ratu melesat
di atasnya. Secepat kilat gadis ini kirimkan tendangan ke arah kaki lawan.
“Kepandaian
cuma sejengkal! Beraninya kau mengadu kekuatan! Rasakan!” Sri Paduka Ratu balas
tendangan dengan tendangan.
Bunga
menjerit keras. Tubuhnya terpental jauh, meliuk di udara.
“Bunga!”
teriak Wiro. Lalu melompat, cepat menangkap pinggang gadis dari alam roh itu
dan sama-sama jatuh bergulingan di tanah. Wiro bangun duluan dan tersentak
kaget ketika melihat kaki kanan bunga yang tersingkap berwarna hitam kebiruan
mulai dari ujung jari sampai ke betis. Wajahnya sangat pucat. Kedua matanya
tertutup.
“Bunga!”
seru Wiro sambil pegang bahu si gadis.
Bunga
buka sepasang matanya. Astaga! Bagian putih kedua mata si gadis kelihatan hitam
kebiruan.
“Bunga,
kakimu, matamu berwarna hitam kebiruan! Kau keracunan! Aku akan menotok jalan
darahmu!” ucap Wiro khawatir.
Bunga
memberi tanda dengan mengangkat tangan kanan lalu perlahan-lahan bangun dan
duduk di tanah sambil mulutnya berucap. “Aku tahu…” Si gadis perhatikan keadaan
kakinya.
“Ilmu
kesaktian mengandung bubuk besi beracun, hanya dimiliki oleh seorang kakek
sakti bernama Ki Wesi Ireng. Pasti pocong betina itu telah merampas ilmu jahat
itu dari si kakek dengan cara menyedot. Aku masih untung punya kekuatan hingga
racun tidak menjalar ke jantung dan otak.
Tapi
mataku sakit sekali…”
“Katakan
apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu!” ucap Wiro pula.
“Aku bisa
mengobati diriku sendiri. Aku hanya minta agar kau berjaga-jaga. Jangan sampai
ada yang membokong selagi aku memusnahkan racun jahat.”
Wiro
cepat berdiri dan segera kerahkan hawa sakti pada kedua tangannya. Di depannya
Bunga menggigit bibir sendiri hingga darah mengucur.
Sebagian
dari darah itu disemburkan ke kaki kanannya yang hitam kebiruan. Sebagian lagi
disapukan pada kedua matanya. Asap hitam berbau busuk mengepul keluar dari kaki
dan mata. Ketika kepulan asap sirna, warna hitam kebiruan pada kaki dan matanya
ikut lenyap.
Bunga
menarik nafas lega. Saat itu dia masih memegang carikan kain putih di tangan
kanan.
“Untung
kita masih memiliki kain ini. Wiro bantu aku berdiri…”
Selagi
Wiro membantu Bunga berdiri tiba-tiba di belakang terdengar satu ledakan dasyat
luar biasa. Wiro jatuhkan diri dan bersama Bunga berguling sejauh mungkin. Di
belakang mereka, Rumah Tanpa Dosa meledak hancur berkepingkeping.
Lidah
api, kepulan asap serta serpihan kayu melesat ke udara sampai belasan tombak.
“Aku
melihat cahaya tiga warna menghantam rumah putih. Ada yang sengaja
menghancurkan bangunan itu!” kata Bunga pula. Memandang berkeliling Wiro dan
Bunga dapatkan asap tebal menyungkup halaman Rumah Tanpa Dosa. Untuk beberapa
saat pemandangan keduanya jadi terhalang.
“Wiro,
kita harus mengejar sang Ratu.
Pernikahanmu
dengan dia belum terlaksana!
Rimba
persitatan masih dalam bahaya besar!”
“Kalian
tidak akan ke mana-mana! Serahkan kain putih itu padaku!”
Satu
suara membentak garang. Walau asap tebal namun Bunga masih sempat melihat ada
dua bayangan putih berkelebat. Salah satu menyambar ke arah kain putih yang
masih tergenggam di tangan kanannya.
“Ihhh!”
Bunga
terpekik. Kalau tidak cepat dia jatuhkan diri dan berguling di tanah niscaya
gulungan kain putih kena dirampas orang.
Ketika
kepulan asap menipis dan keadaan menjadi lebih terang, Wiro dan Bunga dapatkan
tiga manusia pocong berdiri di hadapan mereka.
Dua
memiliki badan sama-sama besar, samasama tinggi. Salah satu dari mereka
pastilah si Wakil Ketua. Lalu siapa satunya? Sang Ketua?
Manusia
pocong ketiga adalah yang tadi muncul terhuyung-huyung, langkah terseok dan
dimaki dengan sebutan tua bangka sial oleh Wakil Ketua.
“Wiro,
tetap waspada. Walau rumah putih sudah hancur tapi sumber segala kekuatan dan
kesaktian masih berpusat di tangan mahluk itu.”
“Bunga,
Sang Ratu. Aku mendadak punya firasat aneh… ”ucap Wiro.
“Sekarang
bukan saatnya bicara tentang firasat. Kita harus mengejar Ratu. Pernikahan
harus segera dilaksanakan. Tapi aku tidak yakin tiga pocong setan ini akan
melepaskan kita begitu saja. Bersiaplah untuk mengadu jiwa.”
“Kalau
aku harus mati di sini apa boleh buat,” jawab Wiro sambil menyeringai dan garuk
kepala.
Tiba-tiba
salah seorang dari manusia pocong tinggi besar berkata.
“Wakil
Ketua lekas kerjakan apa yang tadi aku katakan. Dua cecunguk kesasar mencari
mati ini biar kami berdua yang menangani!”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!” Wakil Ketua keluarkan
ucapan lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah utara.
“Bunga,
apa kau tidak merasa ada keanehan? Dua manusia pocong tinggi besar itu. Yang
satu…”
Belum
sempat Bunga menjawab, manusia pocong yang disebut tua bangka sial melompat ke
hadapan Bunga. Berusaha merampas gulungan lembaran kain putih. Wiro cepat
menghadang.
Perkelahian
serta merta pecah di antara mereka.
Walau
sebelumnya dia berpenampilan loyo terseok-seok tapi ternyata ketika menggebrak
Wiro manusia pocong itu memiliki kegesitan serta kekuatan luar biasa.
“Wiro,
hati-hati… Aku melihat cahaya kuning tipis membungkus tubuhnya. Berarti
kekuatan gaib berbahaya itu masih ada. Melindunginya…”
Manusia
pocong tinggi besar melangkah mendekati Bunga. “Aku sudah lama mendengar
kehadiran dan kehebatanmu sebagai seorang gadis dari alam roh. Kau bercinta
dengan pemuda tolol ini. Aku merasa iri. Aku Yang Mulia Ketua, apakah bisa
bercinta dan tidur denganmu jika semua urusan ini selesai. Aku akan membuat kau
hidup bahagia di alam nyata ini. Itu lebih baik bagimu dari pada kembali ke
alam asalmu!”
Bunga
keluarkan suara mendengus lalu tertawa cekikikan.
“Terima
kasih atas pujianmu. Tapi kau salah mengira. Aku datang justru hendak membawamu
ke alam gaib. Di situ rohmu akan tergantung antara langit dan bumi. Kau pasti
betah karena banyak sekali temanmu di sana! Kita berangkat sekarang?”
“Iblis
celaka!” bentak Ketua Barisan Manusia Pocong. Didahului dengan melepas satu
pukulan jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi, Sang Ketua menerjang ke arah
gadis alam roh itu.
Bunga
sambut serangan orang dengan tawa cekikikan. Matanya tidak melihat cahaya
kuning membungkus sosok Sang Ketua. Apakah dia memiliki ilmu kesaktian luar
biasa sehingga tidak perlu mendapat perlindungan dari Yang Mulia Sri Paduka
Ratu?
Di lain
pihak sebenarnya Wiro ingin menghadapi langsung Ketua Barisan Manusia Pocong
113 lorong kematian itu. Kebenciannya selangit tembus. Bukan saja karena
perbuatan kejinya menculik perempuan-perempuan hamil, tapi karena sampai saat
itu dia belum mengetahui di mana beradanya Anggini, Dewa Tuak, serta Kakek
Segala Tahu. Namun Pendekar 212 keburu mendapat serangan anak buah Sang Ketua.
Dan ternyata kepandaian manusia pocong yang terlihat loyo ini sungguh luar
biasa. Jurus-jurus silatnya sangat berbahaya. Kemudian Wiro mendengar teriakan
Bunga.
“Wiro
hati-hati! Lawanmu dilindungi kekuatan gaib alam roh!”
Pendekar
212 Wiro Sableng mulai terdesak.
******************
12
SEPERTI
diceritakan dalam Bab 10, Wakil Ketua memerintahkan manusia pocong yang dipanggil
dengan sebutan kakek sial untuk membunuh Dewa Tuak yang duduk menjelepok di
tanah sambil usap-usap bumbung bambu. Namun ketika Wiro dan Bunga melesat coba
masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua merasa perlu untuk selamatkan sang
Ratu lebih dulu. Anak buahnya itu diperintah untuk menghalangi.
Ter–nyata
kekuatan gaib yang keluar dari rumah putih membuat manusia pocong ini terpental
dan jatuh terbanting di tanah. Ini satu pertanda bahwa dia memiliki dosa dan
tidak mungkin masuk ke dalam bangunan putih.
Bangkit
berdiri manusia pocong tertawa geli, tepuk-tepuk dan bersihkan debu serta tanah
yang melekat di jubah putihnya.
Setelah
Rumah Tanpa Dosa meledak hancur berkeping-keping, manusia pocong itu
diperintahkan untuk merampas kain putih yang ada dalam pegangan Bunga. Namun
Wiro menghadang dan selanjutnya terjadi perkelahian hebat. Wiro terdesak.
Sementara
Wiro bertempur melawan manusia pocong, Yang Mulia Ketua berhadapan dengan
Bunga.
Di bagian
lain Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati bertempur tak kalah hebat melawan
tiga manusia pocong. Seorang di antaranya adalah yang lehernya sempat digigit
Jatilandak.
Kita
ikuti dulu perkelahian antara Wiro dengan manusia pocong yang disebut kakek
sialan. Beberapa kali jotosan atau tendangan nyaris mendarat di tubuh Wiro,
padahal gerakan lawan walau gesit dan cepat tapi kelihatan gerabak-gerubuk tak
karuan. Seringkali dia melihat lawan mengangkat kepala menatap ke langit,
seperti memasang telinga.
Wiro
walau telah keluarkan seluruh kepandaian silatnya tetap saja terdesak hebat.
“Gendeng! Aku seperti berhadapan dengan orang gila tapi punya selangit ilmu
kepandaian!”
Akhirnya
murid Sinto Gedeng memutuskan untuk hadapi lawan dengan ilmu silat yang
didapatnya dari Tua Gila. Jurus-jurus silat Tua Gila memang aneh. Gerakannya
seperti orang mabok atau orang gila, namun sangat mantap dalam melancarkan
serangan dan bertahan membentengi diri.
Manusia
pocong lawan Pendekar 212 tiba-tiba keluarkan tawa mengekeh. “Lihat serangan!”
serunya sambil kepala mendongak ke atas. Begitu dia merangsak maju, terkejutlah
murid Sinto Gendeng. “Gila! Bagaimana mungkin! Dia menyerang dengan jurus-jurus
yang aku mainkan!”
Wiro
mundur menjaga jarak namun entah bagaimana tahu-tahu lawan sudah berada di
samping kiri. Siap menghantamkan satu jotosan.
Begitu
Wiro berkelit sambil balas menghantam dengan pukulan Dewa Topan Menggusur
Gunung, manusia pocong lenyap dan mendadak telah berada di samping kanan
melancarkan serangan cepat tak terduga. Tangan kiri menggelung pinggang, tangan
kanan menjotos ke arah kepala!
“Ular
Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa!”
seru Wiro
kaget. Jurus serangan yang dilancarkan lawan adalah salah satu dari jurus silat
Tua Gila!
Wiro
cepat jatuhkan diri ke bawah sambil sodokkan sikut ke perut manusia pocong. Dia
berhasil selamatkan diri. Lawan tertawa mengekeh. Wiro garuk kepala. “Bagaimana
mungkin! Janganjangan manusia ini Tua Gila.” Pikir Pendekar 212.
Lalu dia
berseru. “Pocong setan, siapa kau sebenarnya?”
Yang
ditanya tertawa mengekeh. “Siapa aku itulah yang aku tidak tahu,” jawabnya lalu
menatap ke langit, kepala dimiringkan.
Untuk
pertama kali Wiro menatap tajam ke arah dua lobang kain penutup kepala, di
belakang mana terletak sepasang mata manusia pocong.
Wiro
tersentak. Dua mata orang itu dilihatnya putih. Buta!
“Astaga!
Kek! Kakek Segala Tahu! Kaukah ini?”
Dalam
kaget dan ajukan pertanyaan Wiro berlaku lengah. Pukulan Kilat Menyambar Puncak
Gunung juga merupakan jurus silat Tua Gila, mendarat di perutnya dengan telak.
Tak ampun lagi murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Jatuh
terbanting di tanah, mengerang kesakitan dan kucurkan darah kental dari
mulutnya. Beberapa benda yang disimpan di balik pinggang pakaiannya jatuh ke
tanah. Salah satu di antaranya adalah kaleng rombeng milik Kakek Segala Tahu.
Seperti
diketahui, kaleng ini ditemukan Wiro di suatu tempat dalam perjalanan menuju
113 Lorong Kematian. Ketika tubuhnya didorong jatuh dalam jurang, kaleng ini
kemudian dilihat Wiro mengapung di permukaan telaga lalu diambilnya.
Untuk
beberapa lama Wiro tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Mata terbelalak
memandang langit. Bernafas saja sekujur tubuhnya terasa sakit. Sambil tertawa
mengekeh, si manusia pocong melangkah mendekati Wiro.
“Tamat
riwayatku!” ucap Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti
untuk bisa membebaskan diri dari rasa sakit dan kaku yang membuat tubuhnya
seperti ditotok.
Tak
sengaja kaki manusia pocong menendang kaleng yang tergeletak di tanah hingga
mengeluarkan suara berkerontangan. Sepasang mata si kakek mendelik, berputar ke
kiri ke kanan. Lalu dia melangkah sambil kaki kanan dijulur-julurkan lebih
dulu, mencari kaleng yang tadi tertendang.
Saat itu
Wiro sudah mampu bergerak. Sambil pegangi perut yang masih sakit, dia berusaha
bangkit. Kaleng rombeng diambil lalu melangkah mendekati manusia pocong. Tahu
dirinya didatangi musuh, si manusia pocong segera siap
hendak
menghantam.
“Kek,
tahan seranganmu!” teriak Wiro. Kaleng butut di tangan kanan diangkat
tinggi-tinggi lalu digoyang kuat-kuat. Suara kerontangan keras menggema di
tempat itu.
Si
manusia pocong dongakkan kepala. Mata putih berputar. “Bunyi setan apa itu?”
Mulutnya berucap.
“Kek,
kalau kau memang Kakek Segala Tahu, kau pasti tahu benda apa ini. Ini kaleng
rombeng milikmu!” Wiro lalu lemparkan kaleng ke arah manusia pocong yang secara
acuh tak acuh menangkapnya dengan tangan kiri. Kaleng didekatkan ke hidung lalu
terdengar suaranya mendengus berulang kali.
“Bau tai
kotok! Benda jelek! Tapi lucu juga untuk mainan! Ha… ha… ha!” Manusia pocong
ini lalu tinggalkan Wiro begitu saja sambil tangannya tiada henti menggoyang
kaleng yang dipegang.
Suara
gelegar kaleng rombeng menggetarkan semua kuping yang ada di tempat itu.
Membahana jauh sampai ke dalam lembah.
Sambil
bersihkan darah yang mengotori pipi dan dagunya Wiro pandangi manusia pocong
yang berjalan ke arah lembah. “Walau suaranya berubah lain, aku yakin dia Kakek
Segala Tahu.
Hanya dia
yang mampu menggoyang kaleng hingga menimbulkan suara seperti itu. Tapi
bagaimana mungkin dia tidak mengenali kaleng kesayangannya sendiri? Bau tahi
kotoklah! Malah dia menghajarku begini rupa! Sesuatu terjadi dengan dirinya.
Apakah dia sudah dicekoki minuman pencuci otak seperti yang terjadi pada Rana
Suwarte dan Hantu Muka Dua sebelum tenaga dalam dan kesaktiannya disedot?”
Wiro
ingat pada kipas kayu cendana titipan Nyi Roro Manggut yang dipesan harus
diserahkan pada Kakek Segala Tahu. Dia segera hendak mengejar manusia pocong
berwarna putih itu, namun terpaksa batalkan niat karena pada saat itu
dilihatnya Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati berada dalam bahaya, terdesak
hebat oleh keroyokan tiga manusia pocong. Yang paling berbahaya adalah manusia
pocong yang lehernya digigit Jatilandak. Agaknya dia mendapat kekuatan
perlindungan lebih besar dari dua pocong lainnya.
Untuk
menghadapi serangan ganas tiga lawan yang mendapat kekuatan serta perlindungan
tenaga gaib dari alam roh yang bersumber dari Yang Mulia Sri Paduka Ratu, Gondoruwo
Patah Hati sengaja keluarkan ilmu barunya yang disebut Ilmu Kuku Api. Dalam
rimba persilatan tanah Jawa, ilmu langka ini sangat ditakuti, terutama oleh
para tokoh silat golongan hitam. Sepuluh kuku jarinya yang berwarna hitam
berubah menjadi merah. Setiap sepuluh jari dijentikkan, sepuluh larik sinar
merah menderu angker dan ganas. Jangankan manusia, batu besarpun bisa dibuat
bolong sebelum hancur hangus berkepingkeping.
Namun tak
satu larikpun sinar merah mampu mengenai sosok tiga manusia pocong. Kekuatan
gaib yang melindungi mereka membuat sepuluh serangan sinar melenceng ke
mana-mana!
Penuh
geram si nenek berambut kelabu bermuka seram ini pusatkan serangan pada dua
manusia pocong yang dianggap lebih rendah ilmu kepandaiannya dan pocong yang
pernah mencelakai Jatilandak. Dengan Lima Jari Langit si nenek berhasil menotok
salah satu dari mereka. Namun selagi dia hendak menghantam manusia pocong kedua
dengan Pukulan Batu Naroko, manusia pocong yang tadi ditotok telah bergerak
kembali.
Rupanya
dia punya kemampuan untuk memusnahkan totokan si nenek yang selama ini tidak
mungkin dilakukan oleh pendekar manapun.
Sesuai
namanya totokan, Lima Jari Langit bukan cuma memutus jalan darah pada satu
titik atau dua titik tertentu. Tapi pada lima titik sekaligus!
Terkejut
karena tidak menyangka lawan masih bisa lepas dari totokannya, Gondoruwo Patah
Hati berlaku lengah. Nyaris dada si nenek hampir kena hantam jotosan manusia
pocong kedua kalau tubuhnya tidak cepat ditarik oleh Naga Kuning.
“Gunung,”
ucap Gondoruwo Patah Hati menyeru nama asli Naga Kuning. “Rasanya kita tidak
bisa bertahan lama. Saatnya kau mengeluarkan Naga Hantu Langit Ke Tujuh.”
“Aku
sudah mencoba tadi. Sia-sia…” jawab Naga Kuning. “Kekuatan gaib yang menguasai
tempat ini sungguh luar biasa! Padahal kau saksikan sendiri bangunan putih itu
sudah hancur!”
“Bangunan
itu hanya merupakan tempat kediaman. Sumber segala kekuatan dan kesaktian ada
di tangan penghuninya, Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Barusan dia kabur mengikuti
seorang gadis yang lari menjerit-jent sambil tutupi wajahnya. Aku rasa-rasanya
pernah melihat gadis itu.” Si nenek hentikan ucapannya. Menatap-sayu ke wajah
Naga Kuning. Naga Kuning balas memandang. Wajah si nenek sesaat terlihat dalam
ujud aslinya. Perempuan muda berkulit putih cantik. Si nenek pegang tangan Naga
Kuning.
“Gunung,
apakah kita akan mati bersama di tempat ini?”
“Jangan
bicara seperti itu!” jawab Naga Kuning.
“Pasti
ada cara untuk menghadapi dan mengalahkan mereka! Segala mahluk jahat boleh
punya sejuta kuasa dan kesaktian. Tapi Gusti Allah adalah yang paling kuasa dan
paling sakti.”
“Gunung,
agaknya kita memang bakalan menemui ajal di tempat ini…”
“Eh,
mengapa kau bicara ngacok seperti itu?”
“Biasanya
orang baru ingat Tuhan ketika kematian menampakkan diri…” jawab Gondoruwo Patah
Hati.
“Intan,
kau membuat aku merinding! Kita harus berusaha. Harus mencari akal. Mencari
jalan.”
“Sebelum
menemukan jalan, kita sudah konyol duluan!” ucap Gondoruwo Patah Hati. Naga
Kuning tercekat bingung.
******************
13
SERANGAN
tiga manusia pocong semakin menggila. Agaknya sepasang kekasih Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati hanya mampu bertahan dua tiga jurus saja.
“Gunung,
sementara mencari akal, bagaimana kita mencari selamat lebih dulu?” Gondoruwo
Patah Hati berkata sambil jentikkan sepuluh jarinya ke arah manusia pocong yang
menyerbu dari samping kiri.
“Apa yang
ada dalam benakmu?” Tanya Naga Kuning.
“Aku akan
menabur asap penutup pandang.
Kita
ambil kesempatan untuk bersembunyi dulu di satu tempat…”
Sebelum
Naga Kuning sempat menjawab, Wiro telah berkelebat mendatangi. Dia tahu sekali
Naga Kuning si bocah konyol bukan anak sembarangan.
Bocah ini
sesungguhnya adalah seorang kakek sakti. Lalu si nenek Gondoruwo Patah Hati
merupakan momok perempuan yang ditakuti orang-orang rimba persilatan golongan
hitam karena ilmunya yang tinggi.
“Aku
tidak yakin tiga manusia pocong itu memiliki kemampuan ilmu silat tinggi.
Mereka mendapat perlindungan dan bantuan kekuatan gaib alam roh…” Wiro meraba
pinggang celana di mana masih tersimpan kantong kain berisi setanggi pemberian
Bunga. “Tadi kulihat Sang Ratu melarikan diri ke arah utara sana. Jelas-jelas sumber
kekuatan itu datang dari dirinya. Aku harus memotong jalur…”
“Kawan-kawan,
bertahan terus. Aku akan membantu!” teriak Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng ini
melesat ke udara. Sambil melayang turun dia sebarkan bubuk setanggi di udara.
Pada ketinggian tertentu dari tanah, tiba-tiba bubuk setanggi pancarkan bunga
api disertai suara letupan-letupan hebat. Tubuh Wiro bergoncang keras, lalu ada
rasa sakit seolah dicengkeram tangan raksasa. Wiro kerahkan tenaga dalam
jungkir balik satu kali. Walau berhasil turun di tanah namun dia hampir
terbanting jatuh duduk.
Dadanya
berdenyut sakit. Mata terasa perih! Cepat dia atur alirkan darah dan kerahkan
hawa sakti lalu bangkit berdiri.
Di
kejauhan terdengar suara orang berteriak marah. Gerakan tiga manusia pocong
yang tengah mendesak hebat Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati mendadak
terlihat aneh dan berubah lamban.
“Ini
saatnya!” pikir Wiro. Dia melompat ke arah manusia pocong yang mencelakai
Jatilandak.
Serangan
pertama berupa pukulan ke arah kepala dapat dielakkan lawan. Wiro membuat
gerakan berputar setengah lingkaran. Kaki menendang ke arah punggung lawan.
Tahu bahayanya serangan, manusia pocong melompat ke atas. Punggungnya memang
selamat namun kini tendangan Wiro mendarat di bagian tubuh yang lain.
Kraakk!
Tendangan
menghantam telak di pinggang manusia pocong. Tulang pinggang patah berderak.
Tubuh
manusia pocong terpental hampir satu tombak. Jatuh tertelungkup di tanah. Tak
mampu bergerak.
“Naga
Kuning, Gondoruwo Patah Hati, tunggu apa lagi! Habisi mereka!” teriak Wiro
sambil berlari ke tempat manusia pocong yang tergeletak mengerang di tanah.
Mendengar
teriakan Wiro, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati tersentak sadar. Si nenek
segera jentikkan sepuluh jari. Manusia pocong di seberang sana coba balikkan
badan siap untuk melarikan diri. Namun kasip. Begitu sepuluh sinar merah
melabrak, tubuhnya berubah jadi saringan.
Darah
memancur dari sepuluh lobang menganga akibat hantaman Ilmu Kuku Api! Sesaat
kemudian tubuh manusia pocong itu meledak. Potongan daging dan serpihan tulang
berpelantingan ke udara. Luar biasa mengerikan.
Manusia
pocong ketiga tidak berusaha kabur.
Rupanya
dia tidak menyadari kalau saat itu hubungannya dengan sumber pemberi
perlindungan dan kekuatan telah terputus karena terhalang oleh bubuk setanggi
yang tadi ditebar Wiro. Mahluk satu ini justru menerjang ke arah Naga Kuning
dengan satu serangan maut berupa pukulan sakti jarak jauh. Tapi setengah jalan
gerakannya berubah gontai.
“Apa yang
terjadi dengan diriku?” Manusia pocong bertanya cemas pada diri sendiri.
Saat
itulah Naga Kuning menyerbu dengan pukulan Naga Murka Merobek Langit. Selarik
sinar biru melesat keluar dari tangan kanan Naga Kuning. Membeset tubuh manusia
pocong hingga mengepulkan asap. Manusia pocong ini masih bisa menjerit satu
kali, lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi! Naga Kuning hampiri mayat manusia
pocong lalu tarik kain penutup kepala. Kelihatan satu wajah angker berwarna
biru. Rambut, kumis, dan berewok jadi satu, awut-awutan, juga berwarna biru.
Dua mata mencelet. Yang sangat menyeramkan ialah mukanya nyaris terbelah
seperti dibacok golok besar.
“Siapa
bangsat ini? Kau mengenalinya?” Tanya Naga Kuning.
Wiro
menggeleng.
Gondoruwo
Patah Hati buka suara. “Setahuku dia dijuluki Iblis Siluman Biru. Berasal dari
tanah Jawa sebelah barat.
Yang
Mulia Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian yang tengah bertempur melawan
Bunga tersentak kaget. “Apa yang terjadi? Tiga Satria Pocong dihajar begitu
mudah? Apa Ratu tidak memberikan perlindungan?”
Saat itu
Wiro telah sampai di dekat manusia pocong yang dihantamnya dengan tendangan
hingga patah pinggang dan tergeletak mengerang di tanah. Dengan tangan kiri dia
menarik lepas kain putih penutup kepala manusia pocong.
“Gila!
Apa aku tidak salah lihat?” ucap Wiro setengah berseru, sementara Naga Kuning
dan Gondoruwo Patah Hati mendatangi.
“Astaga!
Wiro! Bukankah manusia ini Sidik Mangkurat, Adipati Magetan?” ucap Naga Kuning
setengah berseru.
“Geblek
betul dia mau-mauan jadi kaki tangan komplotan manusia pocong!” rutuk Gondoruwo
Patah Hati.
“Pasti
dia salah satu dari sekian banyak tokoh korban penculikan.” Kata Wiro. Dia
mencangkung di samping sosok manusia pocong yang tengah sekarat dan dikenal
sebagai Adipati Magetan itu.
Wiro raba
urat besar di leher sang Adipati. Masih ada denyutan halus pertanda masih
hidup. Wiro lalu telentangkan tubuh Adipati itu.
“Adipati,
apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa mau-mauan kau menjadi anggota barisan
manusia pocong?”
Sidik
Mangkurat menatap kuyu ke arah Pendekar 212. Mulutnya terbuka. Dia berucap,
tapi bukan menjawab pertanyaan Wiro. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan.
Hanya
Yang Mulia Ketua seorang…”
“Setan
alas! Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya mengucapkan kata-kata edan itu!”
Plaak!
Setelah
memaki, Wiro tampar keras-keras muka Sidik Mangkurat. Bibir pecah, mulut
terbatuk-batuk beberapa kali.
“Aku
diculik. Aku dicekoki minuman setan.
Yang
Mulia Ketua inginkan aku mendapatkan kembali cambuk sakti Pecut Sewu Geni yang
dirampas Kiai Teguh Pambudi dari Banten. Itu sebabnya aku dibiarkan hidup.
Diberi kekuatan ilmu kesaktian. Aku…”
Tiba-tiba
ada cahaya kuning memancar dari kaki Adipati Sidik Mangkurat. Cahaya itu
perlahan-lahan naik ke atas.
“Wiro
awas! Dia dapatkan kembali kekuatan pelindungnya!” Teriak Gondoruwo Patah Hati.
Apa yang
dikatakan si nenek betul adanya.
Ketika
Wiro menebar setanggi, hubungan antara Sidik Mangkurat dengan pelindungnya
yaitu Yang Mulia Sri Paduka Ratu terputus. Namun begitu setanggi sirna dan
baunya lenyap, hubungan kembali tersambung.
“Hantam
sekarang sebelum kekuatannya pulih penuh!” teriak Naga Kuning.
Wiro
langsung menggebuk kepala Sidik Mangkurat dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam
Tanah. Ini adalah pukulan keenam dari enam pukulan sakti pemberian Datuk Basaluang
Ameh yang termaktub dalam Kitab Putih Wasiat Dewa.
Bukkk!
Praaakkk!
Kepala
Adipati Sidik Mangkurat pecah. Darah, daging, otak, dan tulang batok kepala
muncrat mengerikan. Wiro sendiri sampai merinding mau muntah, mundur beberapa
langkah. Keadaan Adipati Magetan itu tidak beda seperti mayat tanpa kepala.
Karena walau kepalanya hancur, tubuhnya yang sudah sempat dialiri cahaya kuning
masih mampu bergerak, malah berdiri kembali.
Naga
Kuning dan Gondoruwo Patah Hati ikutan menghantam Sidik Mangkurat, namun
terlambat.
Pukulannya
mendarat setelah tubuh Sidik Mangkurat mendapat perlindungan cahaya kuning.
Begitu
dipukul, kekuatan gaib yang ada pada tubuh tanpa kepala itu berikan perlawanan.
Naga Kuning dan si nenek terpental satu tombak. Dada mendenyut sakit, aliran
darah kacau balau. Masih untung keduanya tidak cidera.
“Edan!
Sulit dipercaya!” kata Naga Kuning sambil usap-usap dada.
Sosok
Sidik Mangkurat tegak agak terbungkuk.
Berputar
beberapa kali lalu melangkah ke arah barat.
Menyaksikan
apa yang terjadi atas diri Sidik Mangkurat, Ketua Barisan Manusia Pocong yang
tengah menempur Bunga jadi bergetar nyalinya.
Lebih-lebih
sewaktu Wiro, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati melangkah mendatanginya.
“Kalian
mengaku pendekar rimba persilatan.
Apakah
begitu pengecut hendak mengeroyokku beramai-ramai? Sungguh memalukan!”
Naga
Kuning berkacak pinggang. “Jangan coba menipu kami dengan bicara seperti orang
gagah! Silahkan pilih salah satu di antara kami!”
******************
14
BUNGA
berbisik pada Wiro. “Kita harus mengejar sang Ratu sebelum dia menghilang atau
dihilang–kan. Aku rasa Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati sanggup menghabisi
pocong satu ini. Ayo ikuti aku.”
Wiro
menggeleng. “Bangsat satu ini bagianku! Dia harus mati di tanganku…”
“Kalau
dia adalah Ketua Barisan Manusia Pocong, sebelum kau bunuh harus lebih dulu
bisa mengorek keterangan di mana beradanya Anggini, Kakek Segala Tahu, dan
perempuan-perempuan hamil yang diculik…”
“Aku
mengerti.” jawab Wiro. “Bunga, aku tidak melihat ada cahaya kuning membungkus
tubuh manusia pocong satu ini. Coba kau periksa. Aku khawatir salah melihat
keliru menduga.”
Bunga
segera menatap tajam-tajam sosok Ketua Barisan Manusia Pocong. Mulai dari
kepala sampai ke kaki. Lalu berbisik. “Memang tidak ada cahaya kuning
melindunginya. Tapi aku melihat dia memiliki dasar ilmu silat dan kesaktian
tinggi.
Cukup
sulit bagimu untuk menghadapinya seorang diri. Apa lagi jika sampai ada kiriman
kekuatan gaib ke dalam tubuhnya. Terus terang aku khawatir. Aku akan meminta
Gondoruwo Patah Hati menemanimu. Aku dan Naga Kuning segera mengejar sang Ratu.
Kau masih memiliki persediaan bubuk setanggi?” Wiro mengangguk.
“Jika
tubuh lawanmu memancarkan cahaya kuning, taburkan bubuk setanggi ke tubuhnya.”
Wiro
mengangguk lagi. “Pergilah cepat. Hatihati.
Ada satu
permintaanku…”
“Apa?”
Tanya Bunga.
“Apapun
yang terjadi, jika kalian bertemu gadis bernama Wulan Srindi itu, jangan kalian
bunuh dia.”
Bunga
tersenyum. “Kau mencintainya?”
Wiro
tertawa lebar. “Ini urusan budi dibalas budi. Kau tahu hatiku. Kau banyak
menolong…”
“Jangan
khawatir Wiro. Gadis itu akan aku jaga baik-baik. Tapi satu hal aku ingatkan.
Dia bukan pasangan yang baik untukmu.” Habis berkata begitu, Bunga tarik tangan
Naga Kuning.
Begitu
kedua orang itu pergi, Ketua Barisan Manusia Pocong batuk-batuk. “Kalian
rupanya masih punya harga diri, walaupun cuma sedikit.
Jadi
sekarang yang namanya Pendekar 212 Wiro Sableng dan nenek jelek ini yang harus
aku layani?”
“Mahluk
setan! Kalau kau merasa tampangmu segagah dewa di kayangan, lebih bagus dari
wajahku, mengapa tidak berani unjukkan muka?
Jangan-jangan
mukamu bopengan, bibir sumbing, gigi tonggos!”
Didahului
tawa cekikikan Gondoruwo Patah hati langsung menyerang dengan jurus Lima Cakar
Langit. Tangan kiri berkelebat ke arah kepala sang ketua. Lima kuku hitam siap
merobek.
Yang
Mulia Ketua mendengus dari balik kain penutup kepala. Dia sengaja tidak membuat
gerakan mengelak. Tapi tiba-tiba tangan kiri menyusup ke dada si nenek dalam
gerakan luar biasa cepatnya. Kalau si nenek meneruskan serangan, walau dia
mampu merobek kain kepala atau wajah sang ketua, namun dia sendiri tidak akan
sanggup mengelakkan jotosan yang mengarah dadanya itu!
“Nek,
awas. Mundur cepat!” teriak Wiro yang menyaksikan kejadian berbahaya itu.
Gondoruwo
Patah Hati memang dengan cepat berusaha selamatkan diri. Tapi dia tidak
mengikuti ucapan Wiro. Nenek ini bukan melompat mundur melainkan berkelebat ke
samping sambil sapukan lima jari tangan kirinya yang berkuku hitam ke arah
perut Sang Ketua.
“Perempuan
setan!” maki Yang Mulia Ketua.
Dengan
terpaksa kini dia harus melompat mundur menghindari serangan lima kuku jari
yang sanggup merobek perut membusai usus.
“Nek,
cukup kau bermain-main dengan setan pocong ini. Biar kini aku yang menghadapi!”
Wiro berseru lalu melompat ke hadapan Sang Ketua.
Manusia
pocong ini memperhatikan Pendekar 212 dari kepala sampai ke kaki. Lalu berkacak
pinggang dan tertawa gelak-gelak.
“Pendekar
sinting! Kalau mau berkelahi melawanku ganti dulu celanamu yang robek! Apa kau
sengaja mau mempertontonkan barangmu?
Ha… ha…
ha!”
Wiro
terkejut. Memandang ke bawah dia melihat celananya memang robek besar di bagian
selangkangan. Yaitu akibat sambaran batu menyala serangan Sri Paduka Ratu
sewaktu di rumah putih tadi.
“Gila!
Dari tadi rupanya perabotanku nongol. Kenapa tidak ada teman yang memberitahu?
Sialan!”
Maki Wiro. Dia segera tanggalkan baju putihnya. Bagian depan ditutupkan ke
bawah perut, bagian belakang diikat erat-erat.
Tawa
bergelak Yang Mulia Ketua serta merta berhenti begitu Wiro menerjang dan
langsung menghantam dengan jurus-jurus serangan mematikan. Baku hantam selama
lima jurus Sang Ketua mulai merasa tekanan lawan.
“Kurang
ajar. Manusia ini masih saja perkasa. Aku harus mengeluarkan pukulan andalan.
Atau…”
Dalam
keadaan seperti itu ada suara mengiang di telinga kiri sang Ketua. “Lekas
datang ke rumah panggung atap ijuk!”
Untuk
dapat lolos dari kurungan serangan Pendekar 212, Yang Mulia Ketua membuat dua
gerakan kilat. Pertama menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi lalu menebar asap beracun.
Ketika
Wiro dan Gondoruwo Patah Hati terpaksa mundur menjauh, Sang Ketua pergunakan
kesempatan untuk tinggalkan kalangan pertempuran. Wiro berteriak marah dan
memburu nekad.
Sepuluh
langkah di depan sana Yang Mulia Ketua berhenti dan balikkan badan. Tangan kiri
diangkat. Dari balik lengan jubah kiri terdengar suara halus. Sreett! Ketika
tangan kiri dipukulkan maka cahaya tujuh warna menyambar dahsyat ke arah Wiro.
Jangankan Wiro yang diserang, Gondoruwo Patah Hati yang menyaksikan kejadian
itu ikut tercekat kaget.
Sambil
jatuhkan diri berlutut di tanah, Pendekar 212 sambut serangan ganas Yang Mulia
Ketua dengan Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih menyilaukan disertai hamparan
hawa panas berkiblat di udara. Cahaya tujuh warna amblas berhamburan sedang
cahaya putih Pukulan Sinar Matahari terpental ke udara, menimbulkan ledakan
beberapa kali.
Wiro
terpental. Si nenek coba menahan agar pemuda itu tidak jatuh. Namun daya
pentalan demikian deras sehingga kedua orang itu terguling-guling di tanah.
Ketika gulingan berhenti, si nenek berada di bawah, Wiro di atas. Dan entah
bagaimana bibir keduanya saling bertempelan satu sama lain. Si nenek pejamkan
mata seolah menikmati hal itu. Wiro cepat berdiri sambil hendak menyeka
bibirnya yang basah, tetapi Gondoruwo Patah Hati cepat memegang tangannya dan
berkata.
“Awas
kalau kau berani mengusap bibirmu.
Apa
bibirku begitu menjijikkan? Mulutku bau?”
Wiro
menggeleng. “Nek…”
“Dengar.
Ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan dada jika tidak aku katakan
padamu. Kalau saja aku tidak keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu,
kaulah yang jadi penggantinya.” Si nenek bicara sambil memagut leher Wiro hingga
murid Sinto Gendeng ini tak bisa berdiri. Wiro terkejut bukan kepalang.
“Nek, kau
ini bicara apa. Lepaskan pelukanmu.”
Si nenek
tersenyum. Pelukannya malah makin diperkencang. Wajahnya didekatkan ke muka
Wiro. Saat itu Wiro bukan melihat wajah tua berkeriput angker, tapi wajah
seorang perempuan cantik berkulit putih. Sang pendekar tidak mampu mengelak
ketika Gondoruwo Patah Hati mengecup bibirnya kembali lekat-lekat dan lama.
“Nek!”
Wiro kelagapan.
Wiro
tahan bahu Gondoruwo Patah Hati lalu cepat-cepat berdiri. Dia memandang
berkeliling.
“Siapa
yang kau cari?” Tanya si nenek.
“Kalau
sampai ada orang melihat apa yang kau lakukan tadi, kita berdua bisa celaka!”
Pandang Wiro membentur Dewa Tuak yang saat itu masih duduk menjelepok di tanah
sambil terus mengusap-usap bumbung bambu di pangkuannya.
“Bagaimana
kalau kakek itu melihat apa yang kau lakukan?” ucap Wiro.
“Apa yang
kita lakukan, bukan apa yang aku lakukan,” kata si nenek pula sambil tersenyum
membuat wajah Pendekar 212 bersemu merah.
“Kau tak
usah khawatir. Kakek itu terlalu sibuk dengan bumbung bambunya. Mana sempat dia
memperhatikan kita. Wiro, apa yang lalu ya sudah. Aku tak akan mengkhianati
Naga Kuning lebih dari itu.”
Memandang
berkeliling, Yang Mulia Ketua Barisan Pocong ternyata tidak ada lagi di tempat
itu.
Si nenek
lalu balikkan tubuh dan lari ke arah utara. Wiro mengikuti beberapa langkah di
belakang. Tangan kanan bergerak hendak menyeka bibirnya yang tadi dikecup
lumat-lumat oleh si nenek. Tapi di saat yang sama Gondoruwo Patah Hati menoleh
ke belakang. Wiro turunkan tangan, tak jadi mengusap bibirnya.
“Sial!”
rutuk Pendekar 212 sambil garuk kepala.
Ketika
melewati Dewa Tuak yang duduk di tanah dan masih terus mengusapi bumbung bambu
di pangkuannya, Wiro mendengar kakek itu tertawa perlahan. Murid Sinto Gendeng
acuh saja.
Tapi dia
jadi kaget ketika mendengar si kakek berucap.
“Enak
mana minum tuak sama minum bibir.
Hik… hik…
hik.”
Wiro
garuk kepala habis-habisan. “Nenek sialan! Nenek sialan!” maki Wiro sambil
meludah berulang kali.
******************
15
SEBELUM
mendorong masuk Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke dalam rumah panggung beratap ijuk
hitam melalui pintu paling ujung kiri, Wakil Ketua berpaling pada Wulan Srindi.
“Sementara kami di dalam, tugasmu menjaga di luar. Jangan perbolehkan siapapun
masuk ke dalam. Beri tanda jika ada bahaya mengancam. Sebentar lagi akan ada
beberapa Satria Pocong datang mem–bantumu.”
Wulan
Srindi yang masih mengenakan jubah putih tanpa kain penutup kepala membungkuk
dalam-dalam.
“Perintah
Wakil Ketua akan saya perhatikan.” Ucap gadis yang sewaktu berada di dinding
batu dekat jurang bersama Hantu Muka Dua secara tiba-tiba ditarik masuk ke
dalam lorong oleh seorang manusia pocong melalui pintu rahasia.
Tidak
lama Sri Paduka Ratu dan Wakil Ketua masuk ke dalam rumah panggung beratap ijuk
hitam, dari arah pedataran batu di seberang rumah panggung muncul dua orang.
Yang pertama gadis cantik bermata biru yang bukan lain
adalah
Ratu Duyung. Di sampingnya melangkah seorang manusia pocong yang tubuhnya
menebar bau pesing. Jubahnya tampak basah.
“Siapa
kalian?” bentak Wulan Srindi.
“Gadis
comel! Jangan berlaku galak kepada kami! Aku anggota Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian, mengenakan jubah dan penutup kepala utuh! Kau masih berani
mempertanyakan diriku? Aku yang layak bertanya siapa dirimu?
Mana kain
penutup kepalamu?”
Wulan
Srindi terdiam sesaat. Namun kembali balas membentak. “Anggota Barisan Manusia
Pocong tidak ada yang bau pesing sepertimu! Kau manusia pocong palsu!”
“Kurang
ajar berani menghina! Siapa yang ada di dalam rumah panggung!”
“Itu
bukan urusanmu!” jawab Wulan Srindi.
Dia
menatap tajam pada Ratu Duyung. “Aku banyak mendengar cerita tentang dirimu.
Bukankah
kau yang dipanggil dengan sebutan Ratu Duyung?”
“Terima
kasih kau mengenali diriku. Sekarang mari kita bersahabat. Katakan siapa di
dalam rumah.”
“Aku
bilang itu bukan urusanmu! Lekas berlalu dari tempat ini!”
Ratu
Duyung tersenyum. Dia kerahkan ilmu menembus pandang dan jadi terkejut ketika
melihat di dalam rumah kayu ada dua manusia pocong. Satu lelaki satu perempuan.
Ratu Duyung berbisik pada manusia pocong di sampingnya.
“Layani
gadis itu, aku akan menerobos masuk ke dalam rumah panggung!”
Baru saja
Ratu Duyung hendak bergerak, sekonyong-konyong muncul seorang manusia pocong,
melangkah terseok-seok tapi tahu-tahu sudah sampai di depan rumah panggung.
Tangan kanan memegang kaleng rombeng. Ketika kaleng itu digoyang, menggema
suara berkerontang luar biasa kerasnya. Si kakek tertawa ha-ha hi-hi.
“Kakek
Segala Tahu! Manusia pocong satu ini pasti dia. Lihat matanya yang putih!”
Berseru Ratu Duyung.
Manusia
pocong itu masih terus tertawa. Tibatiba dia berkelebat ke arah manusia pocong
yang datang bersama Ratu Duyung langsung menyerang.
“Pocong
sialan! Kau berani menyerang kawan sendiri!”
“Kalau
kau memang kawanku, buka kain penutup kepala! Mungkin ada baiknya mulutmu
kusumpal dengan kaleng rombeng ini!”
Ratu
Duyung berkata pada manusia pocong bau pesing. “Aku harus segera masuk ke dalam
rumah. Kau terpaksa melayani manusia pocong yang membawa mainan kaleng rombeng
dan gadis itu…”
“Tunggu,
ada yang datang!” ucap manusia pocong bau pesing.
Sesaat
kemudian muncul Naga Kuning bersama Bunga.
Ratu
Duyung segera menghampiri. “Di dalam rumah ada pocong lelaki hendak mencabuli
pocong perempuan…” Ratu Duyung memberi tahu.
“Bunga, ikut
aku menyerbu ke dalam.”
Bunga
terkejut mendengar kata-kata Ratu Duyung. “Pasti Wakil Ketua dan Sri Paduka
Ratu.
Tapi
bagaimana mungkin?”
“Sri
Paduka Ratu? Siapa dia? Mana Wiro?” Tanya Ratu Duyung pula.
“Nanti
kujelaskan. Ada yang janggal. Tapi yang jelas Wakil Ketua tengah berusaha
hendak menyedot tenaga dalam dan seluruh kesaktian sang Ratu dengan cara mesum!
Kita harus mencegah sebelum hal itu terjadi! Malapetaka besar bagi rimba
persilatan!”
“Kalau begitu
apa yang kita tunggu?” Ratu Duyung, Bunga, dan Naga Kuning siap untuk menerobos
masuk ke dalam rumah panggung berpintu dua belas. Namun pada saat itu muncul
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Seharusnya
dia yang melakukan hal itu. Mengapa Wakil Ketua…?” membatin Bunga.
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!” Wulan Srindi dan manusia
pocong yang memegang kaleng rombeng pentang suara keras.
Yang
Mulia Ketua menatap ke arah manusia pocong di samping Ratu Duyung.
“Kau
bukan anak buahku! Unjukkan tampangmu manusia pocong penipu!” Habis berkata
begitu Yang Mulia Ketua kebutkan lengan jubah kiri.
Sreett.
Ada suara halus seperti benda bergesek.
Lalu,
wuuttt! Tujuh cahaya angker menderu ke arah manusia pocong bau pesing. Yang
diserang berseru kaget. Pancarkan air kencing, jatuhkan diri tunggang langgang.
Ratu Duyung cepat keluarkan cermin saktinya. Selarik sinar menyilaukan membabat
ke arah sinar tujuh warna. Walau selamat tapi kain penutup kepala manusia
pocong bau pesing itu kena disambar hingga terlepas mental dan hangus jadi
bubuk di udara.
Yang
Mulia Ketua tertawa tergelak begitu melihat tampang kakek berkepala botak yang
salah satu daun telinganya terbalik.
“Setan
Ngompol! Bukankah itu nama panggilanmu?”
Terkencing-kencing
si kakek yang memang Setan Ngompol adanya bangkit berdiri. “Mahluk terkutuk!
Giliranmu unjukkan tampang!”
Setan
Ngompol menghantam dengan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit. Sambil
menyerang sambil pancarkan air kencing.
Yang
Mulia Ketua ganda tertawa. Dia melompat ke udara setinggi dua tombak lalu
kembali kebutkan lengan jubahnya. Pada saat tujuh cahaya menderu ke arah Setan
Ngompol, manusia pocong yang memegang kaleng rombeng serta Wulan Srindi ikut
menyerbu. Naga Kuning dan Ratu Duyung tidak tinggal diam, cepat membantu
memapaki serangan lawan dengan melepas pukulan sakti. Di saat yang sama dari
arah samping belakang berkiblat cahaya putih perak dan lima larik sinar merah.
Blaar!
Bummm!
Halaman
rumah panggung laksana diguncang gempa ketika beberapa pukulan sakti beradu di
udara. Setan Ngompol terbanting ke tanah. Kencingnya muncrat ke mana-mana.
Wulan Srindi menjerit, jatuh terduduk dengan muka pucat.
Tubuhnya
gemetar. Yang Mulia Ketua sesaat tampak tergontai-gontai. Hanya manusia pocong
yang memegang kaleng rombeng masih tegak terbungkuk dan tertawa ha-ha hi-hi.
Dalam
keadaan seperti itu Wiro dan Gondoruwo Patah Hati sampai pula di tempat itu.
“Syukur
kalian cepat datang. Kita bisa membagi tugas.” Kata Bunga. “Aku dan Ratu Duyung
serta Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati akan menyerbu masuk ke dalam rumah.
Wiro, kau bersama Setan Ngompol menghadapi tiga orang itu!”
Ketika
Bunga melirik ke arah manusia pocong yang memegang kaleng rombeng, dia melihat
ada cahaya kuning membungkus sosok orang itu.
“Celaka!
Apakah kekuatan kiriman itu masih bersumber dari sang Ratu, atau hasil sedotan
Wakil Ketua yang ada di dalam rumah. Berarti dia sudah sempat…”
Tidak
tunggu lebih lama Bunga segera melesat, melabrak salah satu pintu rumah
panggung. Ratu Duyung, Naga Kuning, dan Gondoruwo Patah Hati segera menyusul
melakukan hal yang sama.
*********************
Bagian
dalam rumah kayu panggung yang memiliki dua belas pintu itu menebar bau busuk
yang menyengat. Lantai dan dinding penuh dengan noda darah yang telah
mengering. Hanya ada dua perabotan di dalam rumah kayu itu.
Sebuah
meja kecil di atas mana terletak sebuah bokor perak serta dua bilah pisau besar
berlapis darah kering. Lalu sebuah tempat tidur beralas kain merah yang juga
penuh dengan noda darah yang telah mengering.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Kita tidak punya waktu banyak. Aku membawamu ke tempat
ini untuk menyelamatkan dirimu dari tangan jahat mahluk alam roh yang menyusup.
Cepat tanggalkan seluruh pakaianmu. Naik ke atas tempat tidur!”
“Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan. Dan kau bukan Yang Mulia
Ketua.
Kau hanya
Wakilnya!”
“Jangan
banyak bicara! Yang Mulia Ketua memerintahkan aku melakukan tugas ini!”
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu tertawa perlahan.
“Apa yang
ingin kau lakukan? Wakil Ketua, rasanya ada kelainan dengan…”
“Jangan
membuat aku tidak sabar. Tanggalkan seluruh pakaianmu. Naik ke atas tempat
tidur!”
“Wakil
Ketua, sekali lagi aku bertanya. Apa yang hendak kau lakukan?”
“Aku
ingin menyetubuhimu!”
“Apa? Kau
lupa! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Kau hendak menyedot
tenaga dalam dan ilmu kesaktianku dengan jalan menyetubuhiku! Kau mahluk keji
pengkhianat!
Kau ingin
merebut kekuasaan! Kau hendak menguasai 113 Lorong Kematian!”
Wakil
Ketua habis sabarnya. Dari balik jubah putih dia keluarkan sebuah benda. Benda
ini ternyata adalah sebuah batu pipih hitam berukuran satu jengkal persegi.
Inilah Aksara Batu Bernyawa.
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu tersurut mundur. Di balik kain penutup kepala wajahnya
berubah pucat.
“Setahuku
batu sakti itu berada di tangan Yang Mulia Ketua. Katakan siapa kau
sebenarnya!”
“Kalau
kau masih banyak mulut, roh tumpangan nyawa keduamu akan aku kembalikan ke alam
asal! Kau akan menderita sengsara selama jagad terbentang. Jika kau menurut,
kau akan jadi pendamping abadiku di alam ini!”
Di luar
terdengar suara berkerontangan kaleng keras sekali. Lalu suara
bentakan-bentakan disusul suara perkelahian.
“Aku akan
melaporkan perbuatanmu ini pada Yang Mulia Ketua!”
Ada
dentuman dahsyat di luar sana yang membuat rumah panggung bergetar hebat.
“Bagus!
Sekarang terima kematianmu!” Wakil Ketua angkat tinggi-tinggi Aksara Batu
Bernyawa lalu didekatkan ke muka Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Hawa sangat panas
memancar dari batu sakti. Sri Paduka Ratu cepat melangkah mundur.
Kakinya
tertahan pada ujung tempat tidur. Sekali Wakil Ketua mendorong, sang Ratu jatuh
tertelentang di atas tempat tidur kayu. Wakil Ketua cepat letakkan Aksara Batu
Bernyawa di atas kening Sri Paduka Ratu. Batu tipis kecil seolah sebuah batu
besar menghimpit kepalanya sehingga Sri Paduka tidak mampu bergerak. Tiba-tiba
ada cahaya kuning memancar di tubuh Sri Paduka Ratu.
“Kalau
kau nekad mengeluarkan kesaktianmu, kau akan hancur bersama Aksara Batu
Bemyawa.”
Cahaya
kuning di tubuh Sri Paduka Ratu meredup. Melihat Sri Paduka Ratu mulai tidak
berdaya dan berada di bawah kuasanya, Wakil Ketua segera mengambil Aksara Batu
Bernyawa, menyimpan benda ini di saku jubahnya, lalu
dengan
gerakan sangat cepat dia membuka kancing-kancing serta ikat pinggang di bagian
depan jubah Sang Ratu.
“Wakil
Ketua, aku ingin kau menanggalkan jubahmu juga. Juga kain penutup kepalamu…”
“Ahhh.
Akhirnya kau meminta juga…”
“Apakah
aku boleh membuka kain penutup kepalamu?”
“Jangan
lakukan itu!”
Wakil
Ketua tanggalkan jubah yang dikenakannya. Jubah diletakkan di tepi tempat
tidur. Namun dia tidak mau menanggalkan kain putih penutup kepalanya. Ketika
dia hendak naik ke atas tempat tidur, di luar rumah kembali terdengar
dentumandentuman keras. Rumah panggung bergoyanggoyang.
Wakil
Ketua merutuk dalam hati. Tak ada waktu untuk berpikir. Dia harus melanjutkan
dan menyelesaikan pekerjaan saat itu juga. Pada saat perbuatan keji itu hampir
terlaksana tiba-tiba empat dari dua belas pintu rumah panggung terpentang
hancur berantakan.
******************
16
EMPAT
orang berkelebat masuk. Tiga langsung menerjang ke arah Wakil Ketua yang berada
dalam keadaan bugil. Hanya kain putih yang masih menutup kepalanya. Yang
seorang lagi selamatkan Sri Paduka Ratu dengan cara menariknya dari atas tempat
tidur lalu dilarikan ke luar rumah. Wakil Ketua coba menghalangi, tapi tiga
serangan yang datang menghantam tidak mungkin dibiar–kan begitu saja. Bahkan
Wakil Ketua tidak sempat mengambil jubah di mana di dalam salah satu kantongnya
tersimpan Aksara Batu Bernyawa. Ketika dia masih nekad berusaha hendak
mengambil jubah itu, satu tendangan menghajar tangannya yang terjulur.
Wakil
Ketua mengeluh tinggi lalu berteriak marah. “Manusia-manusia jahanam! Aku
mengadu jiwa dengan kalian!”
Wakil
Ketua putar tubuhnya satu lingkaran penuh. Sambil berputar tangan kiri kanan
melepas dua pukulan sakti yang luar biasa hebatnya.
Tiga
larik sinar berwarna kuning, hitam, dan merah menderu dari tangan kanan.
Bersamaan dengan itu tangan kiri mengebut gelombang angin panas.
“Lekas
menyingkir!” teriak Bunga. Sri Paduka Ratu ada dalam panggulannya. Dia melesat
ke kiri melabrak dinding kayu hingga jebol. Di bagian lain Naga Kuning, Ratu
Duyung, serta Gondoruwo Patah Hati mencari jalan selamat sendiri-sendiri.
Hanya
sesaat setelah orang-orang itu berada di luar rumah panggung, bangunan itu
meledak hebat. Atap runtuh, dinding ambruk. Dua belas tiang kayu penyangga
rumah hancur. Lidah api mencuat sampai lima tombak. Samar-samar, tak ada satu
orangpun yang sempat melihat, satu sosok melesat ke udara dan lenyap.
Bunga
membawa Sri Paduka Ratu sejauh mungkin dari reruntuhan rumah panggung. Di satu
tempat ketika baru saja dibaringkan di tanah, tiba-tiba Sang Ratu keluarkan
suara tawa bergelak, dan, buukkk! Bunga terpental. Pertengahan dadanya terasa
hancur. Cairan biru meleleh di sela bibirnya.
“Gadis
sesat dari alam roh! Selamat jalan ke alam kematian kedua!” Yang Mulia Sri
Paduka Ratu angkat kaki kanannya yang memancarkan cahaya kuning. Kaki itu
dihujamkan ke perut Bunga. Bunga tahan kaki yang hendak menginjak dengan tangan
kanan sementara tangan kiri dengan cepat mengeluarkan setanggi, lalu diusapkan
keras-keras ke kaki kanan sang ratu.
Desss!
Wusss!
Sri
Paduka Ratu menjerit keras. Kaki kanannya melepuh sampai sebatas mata kaki.
Namun luar biasa hebatnya, sebentar saja kaki itu pulih kembali begitu ada
cahaya kuning membungkus.
Bunga
bergulingan di tanah. Di tempat yang dirasakannya cukup aman dia cepat berdiri
lalu berteriak ke arah Pendekar 212 yang saat itu tengah bertempur melawan Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong sementara Naga Kuning dan Setan Ngompol
menghadapi manusia pocong yang pergunakan kaleng rombeng sebagai senjata.
Dari
telinga Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak mengalir cairan merah. Darah!
Kedua orang ini lama-lama tidak sanggup menahan kerasnya suara kerontangan
kaleng. Jika nekad terus menghadapi manusia pocong itu, gendanggendang telinga
mereka pasti pecah! Gondoruwo Patah Hati yang melihat kejadian itu segera
terjun ke kalangan pertempuran membantu Naga Kuning dan Setan Ngompol.
“Wiro!
Cepat kemari!” Bunga berteriak.
Pendekar
212 menjadi bingung. Saat itu dia tengah bertempur habis-habisan menghadapi
Yang Mulia Ketua. Untung Ratu Duyung cepat melompat seraya berkata. “Lekas
temui Bunga.
Biar aku
yang menghadapi manusia puntung neraka ini!”
Yang
Mulia Ketua tertawa. “Gadis cantik bermata biru. Apa untungnya kau bertempur
melawanku. Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Mencari tempat lain yang baik
untuk menjalin kasih!”
“Ajakan
mesummu aku terima! Tapi harap kau mau menerima bingkisan tanda kasih ini
terlebih dahulu,” sahut Ratu Duyung pula. Sepasang mata birunya membesar
berkilat. Kepala disentakkan.
Wuuuss!
Wuuss!
Dua larik
sinar biru melesat keluar dari sepasang mata Ratu Duyung. Yang Mulia Ketua
tersentak kaget. Cepat kebutkan lengan jubah kirinya. Cahaya tujuh warna
menderu menangkis serangan Ratu Duyung.
Wusss!
Bumm!
Dua
kekuatan sakti bentrokan di udara menimbulkan gelegar dentuman keras. Baik Ratu
Duyung maupun Yang Mulia Ketua sama-sama tergontai. Ratu Duyung pulih lebih
dulu. Gadis dari samudera selatan ini berkata, “Tujuh Sinar Pelangi! Aku tahu
siapa dirimu!”
Yang
Mulia Ketua terkesima. “Aku harus membunuh gadis ini atau kabur dari sini.”
Katanya dalam hati.
*********************
Ketika
Wiro sampai di hadapannya, Bunga segera keluarkan kain putih yang disimpannya
di balik dada pakaian. Lalu dia dekati Yang Mulia Sri Paduka Ratu sambil
pentang kain putih di depan kain penutup kepala. Sri Paduka Ratu mundur dua
langkah. Sepasang mata mendelik. Ketika dia membuat gerakan seperti hendak
menyerang, Bunga keluarkan bubuk setanggi lalu dengan cepat membaca keras-keras
tulisan yang tertera di atas kain putih.
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu meratap halus ketika bacaan Bunga sampai pada
kalimatkalimat
Hanya
pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi tumbal penyelamat
Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan, nikahkan dia dengan seorang
perjaka
Jika
pemilik pertama nyawa kedua seorang laki-laki, nikahkan dia dengan seorang
perawan
Pernikahan
adalah sesuatu yang sakral
Dalam
kesakralan ada kesucian
Dalam
kesucian ada jalan untuk selamat
Maka,
kematian abadi,
akan
menjadi jalan keselamatan
Yang
Mulia Sri Paduka Ratu tercekat, letakkan dua tangan di bawah leher lalu mundur
sampai punggungnya tertahan batang pohon. Dari balik kain penutup kepala
terdengar suara tarikan nafas panjang yang berubah menjadi suara sesenggukan.
Bunga
berpaling pada Wiro.
“Pendekar
212 Wiro Sableng. Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu?”
Wiro
garuk kepala dan berbisik. “Bunga, ini pernikahan bohong-bohongan bukan?”
“Jangan
konyol! Ini soal keselamatan umat rimba persilatan termasuk dirimu sendiri!”
Bunga membentak halus. “Aku akan bertanya sekali lagi.
Jawab
saja kau bersedia.” Wiro garuk kepala lalu mengangguk.
“Pendekar
212 Wiro Sableng. Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu?”
“Siap,
aku bersedia.” Jawab Wiro menatap tak berkesip pada Sang Ratu dan sambil
garuk-garuk kepala.
Bunga
berpaling pada Sri Paduka Ratu.
“Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Pendekar 212
Wiro Sableng?”
Sang Ratu
keluarkan suara mendesah. Menarik nafas panjang. Melirik ke kain putih dan
setanggi di tangan Bunga. Menatap Wiro.
“Aku
menerima nasib. Aku bersedia.” Sang Ratu akhirnya keluarkan ucapan. Lalu
sesenggukan seperti menahan tangis.
Bersamaan
dengan selesainya ucapan sang Ratu tiba-tiba di langit kilat menyambar.
Suaranya menggelegar sampai ke dalam tanah.
“Petir di
siang bolong…” ucap Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berpaling ke arah Sri Paduka
Ratu. Tepat pada saat itu, sosok Sang Ratu yang tersandar ke pohon kelihatan
bergoncang keras.
Mulut
keluarkan jeritan keras menggidikan. Dari ubun-ubun, liang telinga, lobang
hidung, dan mulut, melesat keluar asap kelabu, lalu hitam, biru, dan terakhir
asap merah, menembus kain putih penutup kepala yang berubah menjadi hitam
legam! Seluruh tenaga dalam dan semua kesaktiannya musnah sudah!
Sekali
lagi, insan malang yang sebenarnya sudah lama meninggal itu menjerit keras.
Setelah itu perlahan-lahan tubuhnya terkulai lemas.
Sebelum
jatuh, Wiro cepat memeluk sosok Sang Ratu, duduk di tanah dan membaringkannya
di atas pangkuannya.
“Wiro.
Sekarang apakah kau tidak ingin melihat wajah istrimu?” Tanya Bunga. Habis
berkata begitu gadis alam roh ini lalu tinggalkan kedua orang itu.
Perlahan-lahan
Wiro menarik lepas kain putih bermahkota yang telah menjadi hitam yang selama
ini menutupi kepala Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Tersembul
satu wajah cantik tapi pucat. Ada guratan luka di pipi kiri. Sepasang alis
hitam menekuk menaungi dua mata yang terpejam.
Pendekar
212 berteriak keras ketika mengenali wajah itu.
“Puti
Andini! Ahhh… jadi kau rupanya. Ya Tuhan. Mengapa semua ini bisa terjadi.
Kasihan sekali… Kasihan sekali…” Sepasang mata Pendekar 212 berkaca-kaca.
Kepalanya
ditundukkan hingga hidungnya menyentuh kening gadis yang selama hidupnya
dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Gadis ini pula yang pernah
menyelamatkan Wiro dari racun jahat yang hampir menamatkan riwayatnya. (Baca:
Wiro Sableng — Wasiat Dewa).
Ketika
Wiro mengangkat kepalanya, dua mata Puti Andini yang terpejam perlahan-lahan
terbuka. Bening, bagus sekali. Bibir mengukir senyum. Mulut ucapkan suara halus
dan mesra.
“Wiro,
aku bahagia karena kau mau mengantar diriku ke alam kematian kedua. Selamat
tinggal suamiku…” Bibir merapat, mata kembali terpejam.
Wiro
dekap tubuh Puti Andini kuat-kuat ke dadanya. Butiran-butiran air mata jatuh
membasahi pipinya. Suaranya bergetar ketika mengucapkan kata-kata. “Puti, aku
bersumpah akan membunuh orang yang membuatmu sengsara begini rupa.”
Ketika
Wiro membaringkan jenazah Puti Andini kembali ke atas pangkuannya, mata sang
pendekar menjadi silau oleh satu cahaya. Cahaya ini bersumber dari sebuah benda
yang tersembul tepat di bagian jubah putih Puti Andini yang robek, yaitu di
bagian perut. Wiro terkesiap. Benda yang memancarkan sinar terang menyilaukan
itu seperti sebuah ikat pinggang dalam keadaan tergulung.
“Astaga!”
Wiro ingat keterangan Hantu Muka Dua. Ingat pula ucapan Bunga. Dan lebih dari
itu dia memang pernah melihat benda tersebut sebelumnya.
“Pedang
Naga Suci 212.”(Baca: Wiro Sableng — Pedang Naga Suci 212) ucap Wiro memegang
benda keramat itu. Namun belum sempat tersentuh tiba-tiba pedang sakti melesat
ke udara. Di ketinggian lima tombak, srett! Gulungannya terbuka.
Pedang
Naga Suci 212 mengapung utuh di udara. Memancarkan cahaya menyilaukan serta
menebar hawa dingin. Wiro letakkan sosok Puti Andini di tanah. Lalu berdiri dan
berusaha menyambar gagang senjata sakti itu. Namun Pedang Naga Suci 212 melesat
seolah hendak menembus langit. Di tengah jalan satu bayangan putih tibatiba
berkelebat. Satu tangan menangkap gagang senjata sakti yang terbuat dari gading
berbentuk kepala naga betina itu.
Wiro
mendongak kaget, memandang dengan mata tak berkesip.
Yang
menangkap gagang senjata mustika itu ternyata adalah seorang kakek berselempang
kain putih. Rambut putih panjang, kumis dan janggut menjela menutupi sebagian
wajahnya. Orang tua ini seolah berdiri di atas awan.
“Kakek,”
Wiro menyapa. “Saya pernah mendengar cerita tentang dirimu dari Eyang Sinto
Gendeng. Maaf kalau saya menduga. Kakek ini bukankah Kiai Gede Tapa Pamungkas
dari Gunung Gede?”
Orang tua
di atas sana tersenyum. Usap janggut putih panjang lalu berkata, “Anak muda,
terima kasih kau mengenali diriku. Berarti kau tahu riwayat asal muasalnya
pedang sakti yang ada dalam genggamanku ini. Pedang sakti dan
suci ini
tidak boleh berada di tangan seseorang yang tidak suci. Sekali jatuh ke tangan
orang jahat, dunia persilatan akan geger banjir darah.
Sampai
aku menemukan orang yang cocok untuk memegangnya, untuk sementara senjata ini
akan aku bawa kembali ke Gunung Gede…”
“Kiai,
kalau saya boleh berbuat bakti, saya ingin menyerahkan senjata itu pada guru
saya Eyang Sinto Gendeng…”
Kiai Tapa
Pamungkas tersenyum lalu gelengkan kepala. “Sinto Gendeng, dia adalah muridku.
Puluhan
tahun silam dia belum mempunyai kelayakan untuk memiliki senjata ini. Setelah
puluhan tahun berlalu, sampai saat ini dia semakin tidak mungkin
mendapatkannya. Walau sableng kau murid baik. Selamat tinggal anak muda!”
Kiai Tapa
Gede Pamungkas acungkan Pedang Naga Suci 212 ke udara.
Wussss!
Cahaya
putih berkiblat.
Pedang
dan sosok si kakek melesat tinggi ke udara dan lenyap seolah ditelan langit.
Wiro cuma bisa melongo dan menggaruk kepala.
******************
17
SELAGI
Wiro menangisi kematian kedua Puti Andini8, Bunga tinggalkan tempat itu untuk
mem–bantu Ratu Duyung dan yang lainlainnya.
Sesuai
pesan Wiro, gadis alam roh ini selamatkan Wulan Srindi dengan jalan menotoknya.
Tidak sulit bagi Bunga untuk melumpuhkan gadis ini. Selain tingkat kepandaian
Wulan Srindi berada jauh di bawahnya, Wulan Srindi tidak lagi mendapat kekuatan
dan perlindungan dari kesaktian Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Beberapa
peristiwa aneh terjadi bersamaan dengan kematian kedua yang dialami Puti
Andini.
Di dalam
113 Lorong Kematian, semua perempuan hamil yang telah dicekoki minuman pencuci
otak mendadak menjadi sadar akan keadaan diri masing-masing. Mereka saling
berpekikan, bertangisan lalu berusaha mencari jalan ke luar.
Di
pinggir jurang di belakang lorong, Hantu Muka Dua mendadak merasakan tubuhnya
panas. Darah mengalir cepat. Tubuhnya yang semula enteng perlahan-lahan kembali
menjadi berat seperti semula. Awaknya yang terasa lemas kini menjadi kuat lagi.
“Sesuatu
telah terjadi di dalam lorong. Mungkin penguasa lorong sudah menemui ajal,”
pikir mahluk dari alam 1200 tahun silam ini. Dia bangkit berdiri.(Baca: Wiro
Sableng — Makam Ke Tiga)
Luhkentut
cepat berdiri. “Kau mau ke mana?” Tanya nenek yang doyan kentut ini. Seperti
diceritakan sebelumnya, nenek yang juga berasal dari negeri Latanahsilam ini
ditugaskan oleh Nyi Roro Manggut untuk menjaga dan mengawasi Hantu Muka Dua. Si
nenek memperhatikan dengan penuh heran perubahan diri Hantu Muka Dua.
“Aku akan
mencari orang-orang yang telah menolongku. Mereka ada di dalam lorong. Mereka
mungkin dalam bahaya. Mereka telah menolongku. Sekarang giliranku membalas budi
ganti menolong.”
Luhkentut
terdiam heran. “Apa ucapan mahluk satu ini bisa dipercaya?” tanyanya dalam
hati.
Saat itu
dilihatnya Hantu Muka Dua melompat ke tangga batu. Lalu dengan tangan kanan dia
menghantam dinding batu di arah mana sebelumnya ada pintu rahasia. Braakk!
Blaaarr!
Dinding
batu hancur berantakan. Sebuah lobang besar menganga.
“Hantu
Muka Dua benar-benar telah pulih keadaannya. Apakah ini berarti suatu berkah
atau sebuah malapetaka?” Luhkentut berkata dalam hati.
“Luhkentut!
Kau ikut aku atau tetap tinggal di luar sana? Nanti kau masuk angin dan kentut
terus-terusan!” Hantu Muka Dua berseru lalu menerobos masuk ke dalam lobang
besar di dinding.
“Eh, dia
pandai bergurau sekarang. Mungkin dia benar-benar telah berubah?” Luhkentut
tidak berpikir lebih panjang. Prettt! Nenek ini pancarkan kentut lebih dulu
baru melesat masuk ke dalam lobang batu.
Kembali
ke halaman rumah kayu beratap ijuk yang telah hancur lebur. Di arah timur Bunga
melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi. Gadis ini langsung memeluk Bunga dan
menangis tersedu-sedu.
Sementara
manusia pocong yang memegang kaleng rombeng dan tengah bertempur melawan
Gondoruwo Patah Hati, Setan Ngompol, dan Naga Kuning, mendadak sontak hentikan
gerakan, memandang berkeliling, mendongak ke langit, goyangkan kaleng rombeng,
lalu jatuh terduduk di tanah.
Gondoruwo
Patah Hati cepat hampiri manusia pocong ini tanggalkan kain penutup kepala.
Tersembul
kepala seorang kakek bermata putih buta, berambut dan berkumis serta berjanggut
putih. Tenyata seperti yang diduga banyak orang, dia memang adalah Kakek Segala
Tahu.
“Di mana
aku ini, siapa kalian ini semua. Aku mencium bau tai kotok, bau pesing, bau…
Ha… ha… ha!” Si kakek memegang kepalanya. “Hai, mana capingku?”
Kakek ini
yang sebelumnya telah jadi korban sedotan Sri Paduka Ratu, selain kembali
seluruh kekuatan dan kesaktiannya, juga ingatannya ikut pulih. Dia layangkan
pandangan mata putih butanya berkeliling. Memasang telinga. Mendengar suara
orang berkelahi lalu goleng-golengkan kepala dan akhirnya tertawa mengekeh.
Hal yang
sama terjadi pula dengan Yang Mulia Ketua yang saat itu tengah digempur
habishabisan oleh Ratu Duyung. Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan jalannya
pertempuran. Saat itu Yang Mulia Ketua berada dalam keadaan terdesak hebat.
Kehebatan ilmu kepandaian yang seharusnya dimiliki sebagai penguasa 113 Lorong
Kematian seolah luntur, tidak ada apa-apanya. Ini merupakan akibat kematian
kedua Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Wiro
bergerak mendekati kalangan pertempuran. Di saat yang tepat dia berkelebat
masuk.
Seperti
orang kemasukan setan, Wiro menyerang Yang Mulia Ketua bertubi-tubi. Ratu Duyung
terpaksa menjauh, memberi kesempatan sang pendekar untuk melampiaskan segala
dendam kesumatnya. Satu saat ketika Yang Mulia Ketua lancarkan serangan dengan
kebutan lengan jubah yang melesatkan gelombang angin tujuh warna, dengan ilmu
Kopo (mematahkan tulang) yang didapatnya dari seorang nenek sakti di pegunungan
Shikoku, Wiro tangkapkan lengan kiri lawan.
Lalu
kraak! Lengan itu dibuat patah. Yang Mulia Ketua menjerit keras. Dari balik
lengan jubah kirinya jatuh ke tanah sebuah benda, ternyata sebuah kipas.
Yang
Mulia Ketua tidak mampu mengelak sewaktu dengan gerakan kilat jurus Kepala Naga
Menyusup Awan Wiro berhasil merenggut lepas kain putih penutup wajahnya.
Begitu
wajahnya terpentang, beberapa orang yang mengenali sama-sama keluarkan seruan
kaget.
“Adimesa!”
“Pendekar
Kipas Pelangi!”
“Oala!
Siapa yang menyangka dia bangsatnya yang jadi Yang Mulia Ketua pimpinan Barisan
Manusia Pocong! Betul-betul manusia bejat!” si bocah berambut jabrik Naga
Kuning hantamkan tinjunya ke perut Sang Ketua hingga orang ini terjajar dua
langkah dan batuk-batuk menahan sakit. Wajahnya tampak pucat.
“Aku… aku
bukan Ketua Barisan Manusia Pocong sebenarnya.” Katanya coba menerangkan.
“Saat-saat
terakhir kami mengubah panggilan. Ini siasat Yang Mulia Ketua…”
“Lalu
siapa sebenarnya pocong setan biadab yang jadi ketua itu?” Tanya Wiro dengan
rahang menggembung dada bergejolak panas menahan amarah.
“Pangeran
Matahari…” jawab Adimesa polos.
Beberapa
orang keluarkan seruan tertahan. Wiro delikkan mata.
“Mengapa
kau mau melakukan semua ini?” Tanya Ratu Duyung pada Adimesa alias Pendekar
Kipas Pelangi.
“Aku
menaruh dendam pada Wiro. Dia membunuh kakak kandungku, Adisaka. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh Pangeran Matahari yang juga punya sejuta dendam terhadap
Wiro. Kami berserikat untuk membunuhnya sambil menyusun rencana mendirikan
Partai Bendera Darah untuk menguasai rimba persilatan tanah Jawa. Saat ini
Pangeran Matahari pasti sudah kabur. Dia selalu berlaku licik.”
“Tapi kau
masih di sini untuk mempertanggung-jawabkan segala dosa besarmu…” sahut Wiro.
“Apakah
kau akan membunuhku?” Tanya Adimesa. “Bukankah aku pernah menyelamatkan nyawamu
sewaktu hendak dibunuh Momok Dempet Tunggul Gono?”(Baca: Wiro Sableng –.
Kembali Ke Tanah Jawa)
Wiro
tersenyum lalu angguk-anggukkan kepala.
“Kau
menanam budi dalam diriku. Aku tidak melupakan hal itu.” Kata Wiro pula. Murid
Sinto Gendeng melangkah ke dekat pohon. Sambil menggendong jenazah Puti Andini
lalu dia mendekati Gondoruwo Patah Hati.
“Nek,
seorang pemuda bernama Adisaka(Baca: Wiro Sableng — Senandung Kematian) adalah
kakak kandung pemuda bernama Adimesa itu. Aku tahu Adisaka adalah muridmu. Tapi
kau berlaku bijaksana dan tidak pernah mendendam walau akulah yang membunuh
muridmu. Kurasa saat ini kaulah satu-satunya orang yang paling tepat untuk
memberi hukuman padanya.”
Gondoruwo
Patah Hati pencongkan mulut, mata menatap ke langit lalu pandangan diarahkan
pada Adimesa. Perlahan-lahan nenek ini dekati pemuda itu.
“Nek, apa
yang hendak kau lakukan?” Tanya Adimesa dengan suara bergetar dan wajah tambah
pucat.
“Aku
kasihan padamu, anak muda. Sayang kau tersesat terlalu jauh.”
“Tapi
Nek…” Kata-kata Adimesa hanya sampai di situ. Tinju kanan Gondoruwo Patah Hati
melesat ke depan.
Adimesa
hanya keluarkan suara teriakan setinggi langit lalu terjengkang terkapar tak
bergerak di tanah. Dadanya bolong hangus. Si nenek menghantam dengan pukulan
Batu Naroko. Setelah menarik nafas dalam, Gondoruwo Patah Hati mengambil kipas
sakti milik Adimesa dan menyimpan di balik baju hitamnya.
*********************
Ketika
Wiro dan Setan Ngompol bersiap-siap menggali kubur untuk Puti Andini, Bunga
berkata pada Pendekar 212. “Aku harap jenazah itu jangan kau kuburkan sebelum
kami kembali.”
Wiro
tidak berkata apa-apa, hanya menjawab dengan anggukan. Sementara Pendekar 212
Wiro Sableng dibantu Setan Ngompol menggali kubur untuk jenazah Puti Andini,
Ratu Duyung dan yang lain-lainnya dengan bantuan cermin sakti masuk ke dalam
113 Lorong Kematian. Mereka menemukan dan membebaskan Anggini serta menolong
semua perempuan hamil yang tersesat di dalam lorong. Anehnya, mereka tidak
menemukan Jatilandak yang menurut Wiro dibaringkan dan ditinggalkannya di tepi
telaga.
Cukup
lama ditunggu akhirnya Bunga muncul. Di sampingnya melangkah Anggini, diiringi
enam perempuan-perempuan hamil.
Ketika
melihat tebaran jenazah manusia pocong, Anggini segera mencari mayat Wakil
Ketua. Dari balik jubah orang ini dia menemukan kembali selendang ungu
miliknya. Pendekar 212 yang diam-diam memperhatikan gerak-gerik Anggini merasa
heran dan bertanya-tanya dalam hati mengapa selendang itu berada pada Adimesa
alias Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
Pemakaman
jenazah Puti Andini diiringi keharuan dan isak tangis. Naga Kuning sembunyikan
muka sambil mengusut air mata. Bocah ini memandang berkeliling. Dia ingat
seseorang.
“Hai, aku
tidak melihat Dewa Tuak. Ke mana kakek itu? Tadi waktu kita ke sini dia masih
duduk di tanah mengusapi bumbung bambunya.”
Tiba-tiba,
gluk… gluk… gluk. Ada suara lahap orang meneguk minuman dari balik pohon besar.
Semuanya
lari ke balik pohon dan menyaksikan bagaimana Dewa Tuak yang juga sudah
terlepas dari minuman pencuci otak asyik menenggak cairan yang ada di dalam
bumbung bambu.
“Guru,
kau baik-baik saja?” tegur Wulan Srindi lalu bersimpuh di depan si kakek.
Membuat Anggini yang semua hendak dekati gurunya jadi batalkan niat. Beberapa
orang ada di tempat itu merasa kurang senang dengan sikap Wulan Srin
di. Namun
mereka diam saja. Sementara Dewa Tuak acuh tak acuh terus saja melahap
minumannya. Naga Kuning merasa tengkuknya merinding.
Melirik
ke samping dia melihat Gondoruwo Patah Hati tengah memandangnya dengan mata
melotot.
“Ah,
sudah tahu dia rupanya…” pikir Naga Kuning. Anak ini merasa kecut lalu jatuhkan
diri di depan si kakek.
“Kek, aku
mohon ampunmu kek. Aku mohon ampun!” Si bocah berkata sambil menempelkan
keningnya berulang kali ke tanah, pantat menungging-nungging ke atas.
“Eh,
apa-apaan kau ini? Memang dosa apa yang telah kau perbuat pada Dewa Tuak?”
bertanya
Setan Ngompol sambil pegangi perut menahan kencing. Sampai saat itu dia masih
mengenakan jubah pocong(Baca: Wiro Sableng — Rumah Tanpa Dosa) yang ditemuinya
di rumah janda gemuk di Bantul.
Naga
Kuning melintangkan jari telunjuknya di atas bibir. Lalu pelan sekali dia
berkata. “Cairan dalam bambu itu bukan tuak. Tapi air kencingku!”
Serrr!
Air
kencing Setan Ngompol terpancar. “Untung bukan air kencingku…” ucap si kakek
kemudian sambil menahan tawa cekikikan, tapi tidak sanggup menahan pancaran air
kencingnya, Beberapa orang yang sempat mendengar terkesiap kaget.
“Benar-benar
bocah kurang ajar!” kata Gondo ruwo Patah Hati, sedang yang lain-lain setelah
kagetnya hilang mulai senyum-senyum. Ada yang menutup mulut menahan ketawa.
“Kek, aku
mohon ampunanmu. Kau mau mengampuniku kan kek?” Kembali Naga Kuning keluarkan
ucapan sambil pulang balik tempelkan jidat ke tanah di depan Dewa Tuak.
Si kakek
hentikan minumnya. Menatap si bocah seketika.
“Sedap
sekali tuak ini. Baunya harum luar biasa,” katanya. “Minum sedikit saja sudah
kenyang. Rasa hauspun hilang. Belum pernah aku meneguk tuak seperti ini. Luar
biasa!” Bumbung bambu dikocok-kocok. “Wah, masih banyak isinya.” Si kakek
ulurkan tangan mengusap rambut jabrik Naga Kuning. Dia tidak menjambak.
Tapi
ketika tangannya diangkat ke atas, kepala si bocah ikut terangkat. “Cah bagus,
kau pasti haus juga. Aku tidak rakus minum sendirian. Aku suka berbagi rejeki
dengan sobat kecilku ini. Cah bagus, ayo habiskan tuaknya.” Lalu Dewa Tuak
sorongkan bumbung bambu ke mulut Naga Kuning.
Anak ini
tak mampu menolak.
Gluk…
gluk… gluk! Air kencingnya sendiri yang ada di dalam bumbung mengucur masuk ke
dalam mulutnya. Semua orang yang menyaksikan itu tak dapat menahan tawa. Dewa
Tuak ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sebaliknya Naga Kuning gelagapan merasa mual
lalu semburkan muntah campur air kencing!
TAMAT
No comments:
Post a Comment