Peti Mati
Dari Jepara
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
Di laut
ombak bergulung dahsyat berpacu memecah menuju pantai. Langit malam tampak
hitam disaput awan gelap dan tebal. Angin menderu kencang menimbulkan suara
aneh menggidikkan, di daratan jepara udara malam dingin mencucuk. Kesunyian
dipecah oleh suara desau daun-daun pepohonan tertiup angin yang datang dari
arah laut. Hujan rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan terdengar suara lolong
anjing bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum’at Keliwon!
Di antara
desau angin malam dan gemerisik suara daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek
oleh lengking lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar gemeretak suara
roda-roda kereta mengiringi derap kakikaki kuda yang menariknya.
Dalam
kegelapan malam, sebuah kereta, laksana kereta hantu meluncur keluar dari
sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta
terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor
kuda penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini
mengenakan ikatan kepala tebal dari kain putih. Baju putihnya yang tidak
dikancing tersibak ditiup angin malam, membuat dadanya tersingkap. Tiga deretan
angka samar-samar tampak tertera di dada yang penuh otot itu. 212.
Pandangan
matanya jarang berkesip. Wajahnya tampak keras menahan gejolak dendam kesumat
sakit hati.
Kedua
orang tuanya dulu tewas akibat kejahatan manusia-manusia durjana. Kini
manusia-manusia seperti itu pula yang menghancurkan kehidupan keluarga
pamannya. Sumiati, saudara sepupunya diculik, diperkosa bergantian secara
keji dan tidak diketahui berada di mana. Kakeknya menemui ajal di tangan
seorang pengkhianat yang bersekutu dengan tiga manusia dajal: Ganco Langit,
Ganco Bumi dan Ganco Laut!
Kapan
kejahatan akan berakhir di dunia ini? Apakah orang-orang dunia bersilatan
seperti dia yang selalu harus turun tangan sementara mereka yang berwenang dan
berkuasa seolah-olah buta mata dan buta hati tidak melihat dan merasakan semua
apa yang menyengsarakan rakyat? Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima
hadiah dari persekutuan jahanam itu!
Memasuki
mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212 Wiro Sableng semakin memperlambat
lari dua ekor kuda penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu
pekerjaan besar dan berbahaya.
Di
belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam angker sebuah peti mati
sangat besar, berwarna hitam pekat.
Pada kayu
penutup peti mati kelihatan deretan angka 212, ditera besar-besar dengan cat
putih. Angka-angka seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti mati.
Di atas
peti mati hitam itu duduk Ken Cilik. Tidak seperti biasanya, saat itu binatang
ini sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak bergerak. Kedua
matanya memandang ke depan. Seolah-olah mahluk ini paham apa yang akan
dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai
tuannya sejak Ranalegowo tewas dibunuh orang-orang Ganco Item.
Kereta
semakin jauh masuk ke dalam kota, Jepara diselimuti kesunyian. Kereta bergerak
menuju pusat kota dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan besar
yang tidak lain adalah gedung Kadipaten.
Saat itu
Adipati Jepara sedang bertugas di selatan. Karena itu penjagaan di gedung tidak
seberapa ketat. Di pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satusatunya
pegawai tampak tidur mendengkur dekat kaki tangga gedung.
Pendekar
212 memasang telinganya. Lalu memandang berkeliling. Sepi, tak ada sesuatupun
yang bergerak. Wiro tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta.
Kedua
binatang ini melangkah perlahan. Kereta bergerak melewati pintu gerbang lalu
berhenti di depan tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca.
Dari
lantai kereta Wiro mengambil sebuah potongan kayu. Benda ini dilemparkannya ke
arah pengawal bermuka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu tepat
jatuh dan masuk ke dalam mulut pengawal yang menganga.
Sesaat
masih terdengar suara dengkur pengawal itu, lalu diam. Menyusul suara seperti
tercekik. Kemudian tampak pengawal itu menggapai-gapai kelagapan. Sadar ada
sesuatu di dalam mulutnya, cepat-cepat dia memuntahkan. Potongan kayu melesat
dari dalam mulutnya, jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh
heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu.
"Edan!"
rutuknya. "Bagaimana kayu ini bisa ada dalam mulutku…"
Justru
pada saat memaki itulah pengawal ini baru menyadari kalau di depannya ada
sebuah kereta di tarik dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak
seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kain putih. Lalu pengawal ini
jadi mengkeret ketika matanya membentur peti mati besar di atas kerta. Tak
pernah dia melihat peti mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet duduk di
atas peti mati itu, memandang dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat
walaupun dalam kegelapan malam.
Si
pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali. Dia mengira tengah bermimpi.
Ketika kereta dan saisnya tetap terpampang di depannya sadarlah pengawal ini
kalau dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam itu adalah malam
Jum’at Kliwon!
"Kereta
hantu!" itu kini yang terpikir dalam benak si pengawal. Kuduknya mendadak
sontak menjadi dingin. Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusaha
berdiri, tapi pandangan mata sais kereta membuatnya laksana di pantek ketangga
batu dimana dia duduk saat itu!
Dalam
keadaan seperti itu pengawal ini coba memperhatikan kaki-kaki dua ekor kuda
penarik kereta. Semua kaki-kaki binatang itu ternyata menginjak tanah. Pertanda
bahwa yang datang bukanlah setan atau hantu. Hal ini membuat keberaniannya
pulih kembali.
"Orang
jelek! Kau pengawal yang bertugas di gedung Kadipaten ini?!" Pendekar 212
Wiro Sableng bertanya dengan suara garang.
Dipanggil
dengan sebutan orang jelek membuat pengawal itu marah.
"Orang
di atas kereta! Mulutmu kurang ajar! Apa keperluanmu datang ke gedung
Kadipaten malam-malam. Hanya setan yang masih gentayangan malam-malam begini!
Kau ini manusia atau setan?!"
"Dua-duanya!"
jawab Pendekar 212 dari atas kereta. Tangan kanannya memutar-mutar cambuk panjang
yang dipegangnya hingga mengeluarkan suara berdesing berulang-ulang.
Mendengar
jawaban Wiro sesaat pengawal itu jadi melengak. "Jangan berani main-main
dengan pengawal Kadipaten!" kertaknya. Lalu dengan marah tangannya
digerakkan ke pinggang untuk mencabut goloknya.
Cambuk di
tangan Wiro melesat. Ujung cambuk ini cepat sekali telah melibat pergelangan
tangan si pengawal, terangkat begitu rupa hingga dia tidak bisa
menggerakkannya untuk menghunus senjatanya. Pengawal ini jadi ternganga dan
berubah tampangnya.
"Kalau
kau cabut golokmu, aku akan jadi setan yang akan menjirat batang lehermu!"
Wiro
gerakkan tangannya. Ujung cambuk yang melibat lengan pengawal terlepas.
Ancaman
Wiro tadi membuat si pengawal menjadi ragu. Tetapi begitu jiratan pada
lengannya lepas, dia malah membentak.
"Setan
manusia! Jangan kau berani membuat keonaran di gedung Kadipaten!"
"Siapa
yang membikin onar! Bukan kau duluan yang hendak mencabut goiok
menyerangku?"
"Setan
manusia! Kau memasuki tempat ini tanpa izinku!" Wiro menyeringati.
"Setan
manusia tidak perlu minta izin pada manusia jelek sepertimu!" sahut Wiro.
"Aku datang mencari seorang Bintara bernama Anggoro! Aku tahu dia ada di
dalam gedung. Lekas panggil ke mari!"
"Bintoro
Anggoro atasanku! Keperluan apa kau mencarinya?!"
"Tak
perlu banyak tanya. Kau panggil saja Bintara itu. Cepat!"
"Bintoro
Anggoro sedang tidur."
"Kalau
begitu bangunkan!"
Pengawal
bopeng itu terdengar menggrendeng. "Kurang ajar! Kau ini serta manusia
berotak miring rupanya! Lekas minggat dari hadapanku! Atau kau akan
menyesal!"
Untuk
kedua kalinya pengawal ini menggerakkan tangannya ke pinggang. Sekali ini dia
sempat mencabut senjatanya. Namun sebelum dia bergerak lebih jauh cambuk di
tangan kanan Pendekar 212 kembali berkelebat dan tahu-tahu batang lehernya
sudah terjirat kencang.
"Kau
panggil Anggoro atau kuremuk batang lehermu!" mengancam Wiro.
Lidah
pengawal yang lehernya terjirat cambuk itu mulai menjulur. Matanya mulai
mendelik. Goloknya terlepas jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya.
"Ja…jangan.
Aku…aku akan panggil Bintoro Anggoro. Aduh…Lepaskan…"
Wiro
lepas dan jiratan cambuk. "Katakan pada atasanmu itu bahwa Malaikat Maut
menunggunya di tempat ini!"
"Malaikat…malaikat
Maut?"
"Ya,
Malaikat Maut!" jawab Pendekar 212. "Lekas panggil Bintara itu!"
hardiknya kemudian.
Sambil
pegangi lehernya yang masih sakit akibat jeratan cambuk tadi, pengawal ini lari
masuk ke dalam.
Saat itu
sesosok tubuh mendatangi dari ruang dalam, langsung memapasi. "Pengawal!
Ada apa kau bergegas memasuki gedung! Tugasmu berjaga-jaga di luar! Tadi
kudengar kau seperti bicara dengan seseorang! Ada siapa di luar sana?!"
Ucapan
dan pertanyaan yang beruntun ini membuat si pengawal jadi tergagap sesaat.
"Hai!
Ada siapa di luar?" bentak orang tadi.
"Malaikat
Maut!" si pengawal akhirnya menjawab.
Orang
yang tadi bertanya kertakan rahang. "Malammalam begini aku tidak suka ada
orang bicara main-main denganku!"
"Maafkan
aku Perwira. Tapi di luar sana memang ada seorang mengaku Malaikat Maut. Dia
mencari Bintoro Anggoro."
Orang
yang dipanggil Perwira itu menatap ke arah pintu depan yang terbuka. Lewat
pintu dia melihat di luar sana ada dua ekor kuda, sebagian ujung kereta lalu
seorang pemuda duduk di atas kereta. Dari tempatnya berdiri perwira ini tidak
dapat melihat peti mati besar di bagian belakang kereta. Namun dia sempat
melihat seekor monyet duduk menangkring di atas bahu kiri pemuda yang bertindak
selaku sais kereta itu.
"Datang
malam-malam begini, membawa seekor monyet. Tamu aneh…" kata si perwira
daiam hati. Lalu dia berpaling pada pengawal tadi. "Kau teruskan memberi
tahu Bintoro Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang itu."
Perwira
tadi lalu cepat-cepat menuju ke bagian depan gedung Kadipaten. Langkahnya serta
merta terhenti begitu dia melihat apa yang ada di atas kereta, di belakang
pemuda yang duduk memegang cambuk.
"Peti
mati. Besar sekali…" kata perwira ini dalam hati. Lalu dia berpaling
menatap heran pada pemuda di atas kereta. Beberapa saat kemudian dia menegur.
"Aku
Ario Gelem, Perwira Muda Kadipaten Jepara."
Wiro angguk-anggukkan
kepala. Matanya memperhatikan Ario Gelem tapi tidak berkata apa-apa.
Sikap
Pendekar 212 itu membuat sang perwira merasa tidak enak. Maka diapun
melanjutkan kata-katanya.
"Saudara,
kau memasuki kawasan gedung Kadipaten malam-malam begini. Membawa seekor moyet
dan sebuah peti mati besar. Apa keperluanmu?!"
"Aku
Malaikat Maut! Datang mencari Bintoro bernama Anggoro untuk minta pertanggungan
jawab!" jawab Wiro.
Perwira
muda itu terkesiap sesaat. Dia mengusap dagunya beberapa kali. Setelah bergumam
dia berkata, "Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan dengan orang
gila atau apa. Tapi kuharap jangan berani bicara main-main. Lekas pergi dari
sini!"
"Malaikat
Maut tidak ada yang gila! Ingat hal itu baikbaik Perwira!" kata Wiro pula
sambil menyeringai. "Aku datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!"
Ario
Gelem hendak tertawa mendengar kata-kata itu. Namun ketika dilihatnya wajah
Pendekar 212 memancarkan sikap dingin dan kedua matanya memancarkan sinar
maut, bahkan seringainya juga menebar hawa kematian, perwira ini jadi tercekat
juga.
"Ada
urusan spa kau dengan bawahanku itu?" tanya Perwira Muda Ario Gelem.
"Kau
akan dengar sendiri kalau dia sudah muncul di sini!" jawab Wiro.
Dua orang
melangkah keluar dari ruangan dalam. Di sebelah belakang adalah pengawal muka
bopeng tadi sedang di depannya seorang lelaki muda yang hanya mengenakan
sehelai pakaian tidur. Di tangan kanannya dia membawa sebilah pedang.
"Anggoro,
orang ini mencarimu. Kau kenal dia?" berkata Ario Gelem.
Bintara
itu memandangi wajah Wiro sesaat lalu menggelengkan kepala.
Saat itu
Ken Cilik yang ada di bahu Pendekar 212 keluarkan suara pekikan tiada henti.
Kedua matanya melotot memandang Bintoro Anggoro. Binatang ini tiba-tiba
melompat menerkam kepala Bintara itu.
"Monyet
sialani Kau minta kugebuk!" maki Anggoro. Tinju kanannya dihantamkan ke
kepala Ken Cilik.
Diatas
kereta Pendekar 212 gerakkan tangan kanannya sedikit. Serangkum angin deras
menerpa ke arah dada Anggoro. Bintara ini terjajar setengah langkah. Hal ini
menyebabkan jotosannya ke arah kepala Ken Cilik tak berhasil menemui sasaran.
"Ken
Cilik! Kembali!" Wiro memanggil.
Monyet
coklat itu menjerit beberapa kali, menjatuhkan diri ke lantai lalu
melompat-lompat ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken
Cilik melompat kembali ke atas bahu Wiro. Wiro usap-usap punggung binatang ini
seraya berkata, "Tenang sahabatku. Aku tahu kau sudah mengenali si
pembunuh itu. Tenang…"
Ketika
tadi Wiro menggerakkan tangan melepas pukulan tangan kosong yang mengandung
tenaga dalam untuk menyelamatkan Ken Cilik dari pukulan Anggoro, Perwira Muda
bernama Ario Gelem itu sempat melihat gerakan ini. Dalam hati dia segera
memaklumi kalau pemuda gondrong di atas kereta adalah seorang yang memiliki
kepandaian tinggi. Perwira ini berpaling pada Anggoro lalu berkata.
"Dia
mengaku bernama Malalkat Maut. Punya urusan denganmu!" sambung Ario Gelem.
"Orang
gila! Katakan apa kepentinganmu membangunkanku malam-malam begini?!"
membentak Anggoro.
"Sekitar
sepuluh hari lalu kau membunuh seorang tua bernama Kioro Mertan di sebuah hutan
dekat Kudus. Benar?!"
Paras
Bintoro Anggoro berubah. Sesaat dia melirik pada Perwira Muda di sampingnya
lalu menghardik ke arah Wiro.
"Pertanyaan
gila apa yang kau ajukan ini?!"
Paras
Wiro tidak bergeming. "Aku hanya ingin mendengar apa yang kukatakan tadi
benar atau tidak!"
Anggoro
tidak menyahut. Tangan kanannya menggenggam pedangnya kuat-kuat.
"Memang
benar!" tiba-tiba Anggoro menjawab. "Sepuluh hari lalu aku membunuh
seorang lelaki tua bernama Kioro Mertan! Tapi dia adalah kaki tangan gerombolan
Ganco Item!"
"Bintoro
Anggoro! Kau bukan saja pandai membunuh dengan pedangmu tapi juga pandai
bersilat lidah memutar balik kenyataan!"
"Bangsat!
Apa maksudmu!"
"Orang
tua korban pembunuhan kejimu itu adalah kakekku. Dia adalah juga mertua dari
Rana Legowo pamanku yang menjadi kepala desa Jatingaleh. Gerombolan Ganco Item
menyerbu desa, membakari rumah penduduk, merampok dan membunuh. Ketika Kioro
Mertan melakukan pengejaran kau secara keji membunuhnya!"
"Aku
tidak segila itu membunuh orang! Kioro Mertan pantas mati karena dia memang
kaki tangan gerombolan Ganco Item!"
"Bukan
kakekku itu yang jadi kaki tangan gerombolan Ganco Item. Tapi kau! Kau menerima
sejumlah uang untuk persekutuan bejatmu dengan manusia-manusia durjana
itu!"
"Kurang
ajar! Pembohong besar! Fitnah jahat!" teriak Bintoro Anggoro lalu
menghunus pedangnya dan langsung menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta.
Wiro
putar tangannya. Cambuk panjang berkelebat di udara mengeluarkan suara keras, menghantam
ke arah muka Anggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan pedangnya yang tadi
dipakai membacok untuk menangkis. Cambuk dan pedang saling beradu. Ujung cambuk
dengan cepat melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik Bintara ini tarik
pedangnya kuat-kuat hingga cambuk putus menjadi beberapa potongan.
"Kau
pasti kaki tangan Ganco Item! Kau juga pantas kuhabisi saat ini!" teriak
Bintoro Anggoro. Kembali dia menyerbu Wiro yang saat itu masih tetap duduk tak
bergerak di bagian depan kereta sementara dua ekor kuda penarik kereta mulai
gelisah sedang Ken Cilik mulai memekik-mekik.
Pedang
menderu. Wiro miringkan pinggangnya yang jadi sasaran Brett! Pakaian putihnya
masih sempat disambar ujung pedang. Ketika Anggoro berusaha membuat gerakan
membalik untuk membacok kedua kalinya, Pendekar 212 mendahului dengan
menghunjamkan kaki kanannya ke dada Bintara ini.
Anggoro
memekik keras. Tubuhnya terpental empat langkah. Pedangnya lepas, mental ke
udara.
Ketika
jatuh kembali, Wiro sudah ulurkan tangan dan menangkap pedang itu.
"Dengan
pedang ini dulu kau membunuh kakekku! Dengan pedang ini pula nyawamu akan
kuhabisi!" kata Wiro masih dari atas kereta. Sementara Anggoro tampak
berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang serasa pecah.
"Bintoro Anggoro! Sebelum kau mati, jawab dulu satu pertanyaanku!
Gerombolan Ganco Item menculik anak gadis kepala desa Jatingaleh! Kau pasti
tahu ke mana mereka membawanya! Kau hanya punya waktu satu kejapan mata!"
"Tunggu!"
Tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem berseru. Dia maju dan tegak antara
kereta dengan Anggoro, "Saudara! Apapun urusanmu dengan bawahanku! Tidak
berarti kau bisa bertindak seenaknya! Aku yakin Bintoro Anggoro punya cukup
bukti-bukti bahwa Kioro Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item. Dia
membunuh orang tua itu dalam menjalankan tugas!"
"Tugas?
Apakah kau yang memberikannya tugas itu Perwira Muda? Kau tak perlu menyebut
seribu bukti. Aku tahu siapa kakekku! Tanyakan pada bawahanmu itu berapa uang
yang didapatnya rnenjadi kaki tangan Ganco Item! Ada perajurit-perajurit
Kadipaten yang menjadi saksi hidup! Adalah tolol kalau kau tidak mengetahui
siapa sebenarnya anak buahmu yang satu ini!"
Merah
padam wajah Ario Gelem.
"Siapa
dia nanti bisa kuperiksa. Sekarang harap kau segera tinggalkan tempat
ini!" kata Perwira Muda itu pula.
Wiro
menyeringai. "Aku tidak akan meninggalkan tem-pat ini tanpa jazad
kotornya!" jawab Pendekar 212. Lalu tangan kanannya menarik sebuah palang
kecil di bagian kanan kereta. Terdengar suara berkereketan. Penutup peti mati
hitam secara aneh bergerak membuka.
Tampang
Bintoro Anggoro menjadi pucat mengkerut.
Wiro
melompat turun dari atas kereta. Tapi gerakannya dihalangi oleh Ario Gelem.
"Kau
membuat aku kehabisan kesabaran Perwira Muda!" ujar Wiro.
"Tinggalkan
tempat ini! Itu perintahku!"
"Persetan
dengan perintahmu! Aku bukan bawahanmu!"
"Kalau
begitu kau minta digebuk!" mengancam Ario Gelem.
"Perwira
tolol! Kau makan dulu ini!" teriak Wiro marah. Lalu tangan kanannya
menyambar ke dada Ario Gelem. Perwira ini cepat menghindar sambil memukul
lengan Pendekar 212 dari bawah. Lalu terdengar Ario Gelem mengeluh. Perwira ini
mundur sambil pegangi lengan kanannya yang saat itu tampak bengkak kemerahan.
Sambil menahan sakit, dengan beringas Ario Gelem kerahkan tenaga dalam lalu
lepaskan satu pukulan setelah terlebih dahulu merapal satu aji kesaktian.
Biasanya
dia jarang mengeluarkan ilmunya ini tetapi setelah bentrokan tadi dan
sebelumnya dia telah pula menyaksikan bagaimana Wiro melepaskan tenaga dalam
yang dapat membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghantam sambil kerahkan
tenaga dalam.
Dua kuda
penarik kereta meringkik keras. Monyet di atas bahu Wiro ikut memekik lalu
melompat ke atas penutup peti mati yang telah terbuka.
Wiro
merasakan ada hawa yang sangat dingin menghantam ke arahnya. Dia cepat
menghindar sambil siapkan tangan kiri untuk menangkis serangan lawan dengan
pukulan tangan kosong pula. Tapi begitu dia kerahkan tenaga dalam, hawa dingin
yang datang menyerbu mendadak berubah menjadi hawa sangat panas! Perubahan
secara mendadak dari dingin ke panas ini membuat Wiro merasakan sekujur
tubuhnya seperti disengat.
Jika
diikutinya nafsu amarahnya saat itu ingin saja dia melepas pukulan sinar
matahari. Namun karena lebih mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka
Wiro cepat keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di
Pulau Andalas. Tubuhnya sempoyongan hebat seperti hendak roboh. Tangan kanannya
yang memegang pedang milik Anggoro di angkat ke atas. Untuk sesaat senjata itu
tampak bergoyang keras akibat terjangan angin pukulan Ario Gelem. Perwira ini
sendiri tampak terkejut ketika melihat bagaimana pedang itu secara aneh
bergerak kian kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin pukulannya
dan menusuk ke arah perutnya!
Sambil
berseru keras Ario Gelem terpaksa melompat mundur langsung cabut golok di
pinggangnya.
Trang!
Terdengar
suara berdentrangan ketika golok di tangan Ario Gelem dan pedang di tangan Wiro
saling bentrokan. Wiro merasakan tangannya bergetar keras. Ario Gelem merasa
bahwa dia memiliki tenaga luar dan tenaga dalam yang lebih ampuh dari lawannya.
Langsung saja Perwira Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya.
Tapi alangkah kagetnya dia ketika disadarinya dia tidak lagi dapat menggerakkan
tangan kanannya yang mengacungkan golok itu.
Apa yang
terjadi atas dirinya? Dicobanya mengangkat kaki kiri. Tak bisa. Kaki kanan.
Juga tak bisa. Tangan kiri. Sama saja. Astaga! Ternyata dia telah berada
dibawah pengaruh satu totokan yang hebat! Sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan
lagi. Dia tegak seperti patung yang tengah mengacungkan senjata!
"Perwira
tolol! Seharusnya kau menghukum bawahan seperti ini! Bukan malah
melindunginya!"
"Kalau
kau berani melakukan sesuatu terhadap Bintara itu, aku akan mencarimu sampai
dapat dan menghukummu!"
Wiro
tertawa mendengar ucapan Ario Gelem itu. "Hukum hanya berlaku untuk
orang-orang tolol sepertimu!" kata Pendekar 212. Lalu dia melangkah
mendekati Anggoro yang saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah mati.
Ken Cilik menjerit keras. Monyet ini tiba-tiba melompat ke arah Bintara itu,
mencengkeramkan kukukukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher
Anggoro. Bintara ini menjerit kesakitan Darah mengucur dari luka-luka kecil di
bahu dan lehernya.
"Ken
Cilik! Lepaskan orang itu! Dia harus mati dengan cara lain!" kata Wiro
seraya angkat tangan kanannya yang memegang pedang.
Ken Cilik
memekik keras lalu melompat ke atas bahu Wiro.
"Apa
yang hendak kau lakukan padaku…?!" tanya Anggoro dengan suara gemetar.
"Ke
mana gerombolan Ganco Item membawa anak gadis Ranalegowo?! Jawab!"
"Aku…aku
tidak tahu. Tapi gerombolan itu kudengar menuju ke selatan.
Mereka…mereka…"
"Mereka
apa?!" bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak rambut Anggoro.
"Mereka…mereka
hendak merampok benda-benda pusaka Keraton Demak yang disimpan di Mesjid
Besar…"
Wiro
lepaskan jambakannya. Dia berpaling ke arah Ario Gelem. "Perwira, kau
dengar sendiri ucapan itu keluar dari mulutnya. Kalau bawahanmu ini bukan kaki
tangan gerombolan Ganco Item, bagaimana dia tahu apa yang akan dilakukan
orang-orang itu?! Lalu apakah dia pernah melaporkan padamu gerakan dan rencana
kejahatan yang hendak dilakukan gerombolan Ganco Item itu?!" Wiro
menyeringai. "Aku tak perlu jawabanmu Perwira. Tapi sekarang kau punya
otak untuk memikirkan siapa anak buahmu ini sebenarnya!"
Paras
Ario Gelem tampak kelam membesi.
Selagi
Wiro bicara kepada Perwira Muda itu, Anggoro berusaha mencari kesempatan untuk
melarikan diri. Tapi Wiro bukannya tidak tahu. Baru saja orang ini sempat
memutar tubuhnya, Pendekar 212 dengan cepat menusukkan pedang milik Anggoro
yang ada di tangan kanannya.
Bintara
itu terdengar menjerit keras. Ario Gelem terbeliak menyaksikan kejadian itu.
Darah tampak mengucur dari lambung yang tertembus pedang. Anggoro hanya mampu
tegak sesaat Tubuhnya kemudian rebah dekat kaki tangga. Suara jeritannya makin
perlahan lalu berubah jadi erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut pedang
yang menancap di perut orang itu. Lalu mayat Anggoro dilemparkannya ke dalam
peti mati.
Wiro
melompat ke atas kereta. Ken Cilik melompat pula ke atas punggung salah seekor
kuda penarik kereta. Binatang ini memandang menyeringai ke arah Ario Gelem. Di
atas kereta Wiro mengambil sebuah kantong tebal berisi bubuk berwarna abu-abu.
Bubuk ini ditebarkannya di atas mayat Anggoro.
Itulah
bubuk penangkal bau busuk yang didapat Wiro dari Haji Tan si penjual peti mati.
"Perwira
Muda…," kata Pendekar 212 kemudian pada Ario Gelem. "Ingat baik-baik.
Jika kau berusaha mengejarku, peti mati ini masih cukup besar untuk ketambahan
mayatmu!"
Ario
Gelem tidak mengeluarkan suara apa-apa. Hanya matanya saja yang memandang
berapi-api pada Wiro, Pendekar 212 mendorong palang kayu di bagian kanan
kereta. Terdengar suara berkereketan ketika papan penutup peti mati yang
bertuliskan angka 212 itu bergerak meninggalkan halaman gedung Kadipaten.
Wiro usap
kepala monyet yang kini duduk di sebelahnya.
"Baru
satu Ken Cilik. Baru satu! Masih ada tiga mayat lagi akan mengisi peti mati
itu, kecuali jika ada yang mau ikutan! Mari, Ken Cilik. Kita akan mengambil
mereka di selatan…"
Ken Cilik
menyeringai lalu membuka mulutnya lebarlebar. "Kwik…kwik…Kwiikkkkk!"
Kera ini memekik dan melompat duduk di samping Wiro.
Angin
bertiup kencang. Hujan yang tadi hanya turun rintik-rintik kini mulai membesar
lalu mencurah lebat. Kereta itu meluncur terus seperti tidak perduli akan
lebatnya hujan dan pekatnya kegelapan malam. Benar-benar seperti kereta hantu!
********************
1
PENDEKAR
212 Wiro Sableng berdiri di depan rerumpunan pohon bambu di puncak bukit.
Memandang
ke depan, jauh di bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah berupa suatu
pedataran yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan.
Sebuah
sungai kecil berair bening yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi
membelah pedataran persawahan dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu
selanjutnya mengalir ke barat, melewati tambak-tambak IKan dan akhirnya
bermuara di laut biru.
Wiro
memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara
hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terburrogkuk-bungkuk. Di
tangan kanannya ada sebatang kayu kecil yang selalu dikibaskibaskan. Sedang
didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti
serombongan itik yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Wiro
segera menuruni bukit, menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di
sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu seperti
tak acuh dia terus saja berjalan.
"Bapak
tua, "Wiro menegur. "Apakah yang di bawah sana itu kampung
Jatingaleh?"
Yang
ditanya berpaling sambii kerenyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di
tangan kanannya.
"Kampung
katamu? Dulu memang hanya sebuah kampung. Tapi kini telah berubah menjadi
sebuah desa besar. Subur makmur dan tentram. Penduduknya bercocok tanam, punya
tambak dan sawah ladang. Juga banyak yang jadi nelayan."
"Ah,
aku tidak keliru datang ke tujuan," kata Wiro dalam hati dan penuh
gembira. Desa Jatingaleh. Dulu hanya merupakan sebuah kampung. Di situ menurut
gurunya dia punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benarbenar merasa
gembira.
Sebentar
lagi dia akan bertemu adik mendiang ayahnya. Mungkin juga dengan
saudara-saudara sepupunya. Dia tidak tahu pamannya punya anak berapa. Selama
ini dia merasa hidup sebatang kara, tidak kadang tidak saudara. Namun hari ini
dia akan bertemu dengan seorang paman, lalu seorang bibi tentunya.
Wiro
ingat ucapan gurunya beberapa tahun lalu. "Menurut apa yang
kuketahui…," berkata Eyang Sinto Gendeng saat sebelum melepas muridnya itu
pergi. "Di kampung Jatingaleh dekat Jepara kau punyai seorang paman.
Namanya…nggg… kalau tak salah namanya Ranalegowo. Bila kau punyai waktu
sambangi dia. Itu tandanya kita orang Jawa yang tidak lupa dan selalu
menghormat pada orang tua."
"Kau
bukan orang sini…" kata orang tua pengangon itik.
Wiro
tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah telaga berair dangkai. Orang tua tadi
kembali mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak, "Mandi, ayo
mandi! Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih
cepat."
Puluhan
itik itu tampak berserabutan hangar-bingar masuk ke dalam telaga. Ada yang
berenang berputar-putar sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada yang
mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling banyak adalah menyudu
dengan paruhnya di sepanjang tepi telaga, mencari cacing-cacing besar yang
memang banyak terdapat disitu.
Sambil
duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua pengangon itik mulai menggulung
sebatang rokok. Wiro ikut duduk di sebelahnya.
"Saya
memang bukan orang sini," kata Wiro. "Saya ke mari untuk menyambangi
seorang paman. Adik ayah saya."
Orang tua
itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apaapa, seperti menunggu Wiro
bercerita lebih lanjut.
"Saya
belum pernah bertemu dengan paman saya itu. Saya tak kenal dia, dia tentu juga
tidak kenal saya."
"Kau
mencari seorang paman…," Pengangon itik nyalakan rokok yang barusan
digulungnya. "Mengapa tidak mencari orang tuamu sendiri?"
"Kedua
orang tua saya sudah sejak lama meninggal," jawab Wiro. "Mereka
dimakamkan jauh di tanah barat sana."
"Siapa
paman yang kau cari itu?"
"Namanya
Ranalegowo."
Orang tua
yang hendak menghisap rokoknya itu nampak berubah parasnya. Rokoknya tak jadi
dihisapnya. "Ranalegowo katamu, anak muda?" Wiro mengangguk.
"Dia
adalah kepala desa kami sejak lebih dua puluh tahun lalu."
"Kalau
begitu saya beruntung punya paman seorang kepala desa. Rumahnya tentu besar,
kudanya banyak, ternaknya tidak terhitung…"
Orang tua
itu tertawa.
"Rumah
kepala desa Jatingaleh memang besar. Tapi dia hidup sederhana. Dia tidak
memiliki sawah atau ladang berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak
berkandangkandang. dia bekerja keras memang. Tapi bukan untuk menumpuk
kekayaan. Melainkan untuk memberi hidup yang berarti bagi keluarganya serta
membantu penduduk membangun desa."
Orang tua
itu hisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri dan memandang lekat-lekat pada
Wiro. Si pemuda jadi ikut-ikutan berdiri.
"Siapa
namamu anak?"
"Wiro,
"jawab murid Sinto Gendeng tanpa mau menambahkan Sableng karena dia
kawatir orang tua ini bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya.
"Anak
muda, tahukah kau siapa aku…?" bertanya orang tua bungkuk itu.
"Mana
saya bisa menduga," jawab Wiro.
"Namaku
Kioro Mertan. Aku adalah ayah mertua pamanmu! Anak perempuanku kawin dengan
Ranalegowo. Mereka punya seorang anak tunggal yang kini sudah menjadi gadis
jelita sebayamu. Bernama Sumiati."
Mendengar
kata-kata orang tua itu Pendekar 212 Wiro Sableng segera membungkuk
dalam-dalam.
"Gusti
Allah memang Maha Besar!" kata Kioro Mertan sambil menepuk-nepuk bahu
Wiro. "Kalau begitu kita harus pulang ke desa sekarang jugal Agar kau
lekas bertemu dengan paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!"
Orang tua
itu memutar tubuhnya. Dengan muka penuh gembira sesaat dia berpaling ke arah
kejauhan di mana terlihat desa Jatingaleh dengan hamparan sawah yang padinya
mulai menguning.
Mendadak
air muka Kioro Mertan berubah. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi di desa!"
Wiro
berpaling dan memandang ke jurusan desa. Dari tempat mereka berdiri di tepi
telaga itu keduanya melihat asap hitam mengepul dari atap beberapa rumah.
Penduduk tampak berlarian kian kemari. Di beberapa jurusan desa kelihatan
penunggang-penunggang kuda bergerak dalam suasana yang onar. Sayup-sayup
terdengar pekik jerit di selingi oleh suara ringkik kuda.
"Kebakaran!
Desa diamuk api!" teriak Kioro Mertan.
Wiro
menatap tajam lalu berkata, "Kalau ada empat lima rumah yang berjauhan
dimakan api dalam waktu bersamaan, lalu penduduk tampak berlarian sambil
berteriak-teriak, itu bukan kebakaran. Rumah-rumah itu sengaja dibakar! Lihat
orang-orang yang menunggang kuda itu!"
Kioro
Mertan tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Wiro. Dia juga melupakan
itik-itiknya yang ada di telaga. Orang tua ini dengan seluruh tenaga yang biasa
dikumpulkannya lari menuruni bukit menuju ke desa.
Ketika
Wiro dan dan orang tua itu sampai di Jatingaleh mereka hanya menemukan
sisa-sisa kejahatan biadab menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang
masih dikobari api. Jerit tangis terdengar dimana-mana. Tubuh-tubuh
bergelimpangan. Ada yang sudah jadi mayat. Ada yang masih meregang nyawa dengan
badan penuh luka bekas bacokan atau tusukan.
Kioro
Mertan menemukan rumahnya termasuk salah satu yang musnah dimakan api. Dia
berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil istrinya. Dekat sebuah
lumbung padi yang telah berubah menjadi puing-puing hitam tergeletak sosok
tubuh seorang perempuan tua. Ada guratan luka yang sangat dalam di pelipis dan
pipi kirinya.
"Bune
Wini…!" teriak Kioro Mertan begitu melihat istrinya. Dia menghambur dan
jatuhkan diri, merangkul perempuan itu. "Apa yang terjadi bune. Katakan
apa yang terjadi…!" Dengan bajunya Kioro Mertan menyeka darah yang
membasahi wajah istrinya.
Perempuan
itu mengerang panjang tak tahan rasa sakit yang dideritanya. Kedua matanya
terpejam.
"Bune…!
Bune…! Kau jangan mati bune! Kau tidak boleh mati!" teriak Kioro Mertan
sesenggukan. Tubuh istrinya diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu
setelah memandang berkeliling beberapa kali, Wiro ikut jongkok di samping
kedua orang itu.
"Pake
…syukur kau datang…" terdengar suara sangat perlahan keluar dari mulut
perempuan tua itu. Dia bicara dengan kedua mata masih tetap memicing.
"Katakan
apa yang terjadi bune. Bicara bune! Ya Tuhan!"
"Orang-orang
jahat itu pakne. Gerombolan Ganco Item! Mereka menyerbu desa. Membakar… merampok…
Lekas ke rumah anak kita pakne … Aku kawatir..:" Ucapan perempuan tua itu
hanya sampai di situ.
Kioro
Mertan meraung dan mengguncang tubuh itu.
Wiro
menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal.
"Masih
saja ada manusia-manusia jahat biadab berkeliaran menimbulkan
malapetaka…" katanya geram.
"Bapak
tua…," kata Wiro. "Mari saya bantu mendukung istrimu ke gubuk sana.
Ada balai-balai di depan gubuk. Baiknya kita baringkan dia di atas balai-balai
itu."
"Aku…aku
masih sanggup mendukungnya sendiri," jawab Kioro Mertan. Dan orang tua
bungkuk ini memang ternyata mampu mendukung lalu membaringkan jenazah istrinya
di alas balai-balai.
"Bapak,
tunjukkan pada saya di arah mana rumah kepala desa menantumu itu."
Kioro
Mertan menyeka kedua matanya yang basah. Lalu dengan menggigit bibir diusapnya
kening dan rambut putih istrinya.
Orang tua
ini berpaling pada Wiro. Dengan suara bergetar dia berkata, "Ikuti
aku!"
Rumah
besar di tengah desa itu tenggelam dalam korban api.
"Rana!
Rawini! Sum…! Dimana kalian?!" teriak Kioro Mertan. Tak ada sahutan. Orang
tua itu berteriak sekali lagi sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi rumah
yang sewaktu-waktu siap ambruk itu, dari atas sebuah pohon dekat rumah besar
yang terbakar terdengar suara pekikanpekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak
seekor monyet berbulu coklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik tiada
henti. Wiro alihkan pandangannya ke arah rumah yang terbakar kembali. Tiba-tiba
dibalik kobaran api dia melihat ada dua sosok tubuh saling berangkulan,
tersandar ke dinding bangunan.
Wiro
tidak dapat memastikan apakah kedua orang yang saling berangkulan itu satu
lelaki, satunya perempuan masih berada datam keadaan hidup. Sulit untuk
menerobos masuk ke dalam bangunan yang tengah dilalap api itu. Namun Pendekar
212 masih dapat melihat satu celah kemungkinan. Dia siap melompat ketika
tiba-tiba dilihatnya Kioro Mertan dari jurusan yang lain hendak melakukan hal
yang sama. Namun orang tua ini tidak menyadari kalau bagian atap dari arah mana
dia hendak melompat, akan segera roboh.
"Bapak
Kioro! Jangan!" teriak Wiro memperingatkan.
Namun
orang tua itu sudah nekad. Wiro terpaksa bergerak memutar lalu melompat. Dia
masih sempat mencekal lengan Kioro Mertan sebelum orang tua itu melompat.
Begitu tangannya memegang lengan, Wiro segera menarik kencang-kencang. Orang
tua itu terseret keras. Tubuhnya dan tubuh Wiro jatuh saling tindih di tanah.
Hanya sekejap setelah keduanya terhampar di tanah, atap bangunan yang dikobari
api jatuh ke bawah. Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik tubuh
Kioro Mertan menjauhi bangunan.
Lalu
ditinggalkan orang tua itu, lari ke samping kanan bangunan dan dari sini
menyusup ke dalam rumah.
Dikeliiingi
oleh kobaran api, tidak mudah bagi Wiro untuk mengangkat dua sosok tubuh itu.
Doengan susah payah sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan api sedang
lengan kirinya tergurat benda lancip mengucurkan darah, Wiro akhirnya berhasil
juga membawa dua sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar. Baru saja
dia membaringkan tubuh-tubuh itu di tanah terdepgar suara menggemuruh. Seluruh
bangunan besar itu roboh. Api menderu ke atas beberapa tombak. Asap hitam
dibarengi suara letupanletupan ikut mencuat ke udara.
"Rana!
Rawini anakku!" terdengar teriakan Kioro Mertan. Orang tua ini menghambur ke
tempat itu, langsung jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan
dibaringkan Wiro di tanah.
Wiro
sendiri saat itu tegak tak bergerak sambil menekap luka berdarah di lengan
kirinya. Kedua matanya memperhatikan dua orang yang barusan ditolongnya. Yang
perempuan pasti itu Rawini, anak perempuan Kioro Mertan jelas tidak tertolong
lagi. Perempuan malang ini telah jadi mayat. Ada luka-luka dalam berbentuk aneh
dan mengerikan di beberapa bagian tubuhnya. Luka yang sama juga kelihatan di
sekujur tubuh suaminya yaitu Ranalegowo. Daging pada luka itu bukan saja
kelihatan ditoreh, tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas.
Ranalegowo ternyata masih bernafas walaupun keadaanya tak mungkin diselamatkan
lagi.
Dari
mulutnya terdengar suara erangan. Menyebut nama seseorang yang tidak begitu
jelas terdengarnya.
"Legowo…Legowo!
Mana Sumi…! Mana cucuku…?!" Kioro Mertan bertanya dengan suara keras.
Orang tua ini membuka bajunya dan menutupkannya ke tubuh Rawini yang penuh
luka-luka mengerikan.
"Bapak.."
terdengar Ranalegowo berucap.
"Orang-orang
Ganco Item menculik Sumiati. Mereka juga merampok uang lumbung desa! Tolong…
Selamatkan. Jangan pikirkan saya…"
"Jahanam!"
kutuk Kioro Mertan.
Wiro
berlutut dekat-dekat tubuh Ranalegowo.
"Paman…"
berucap Wiro Sableng dengan suara tersendat.
Paras
Ranalegowo mengernyit. Entah karena menahan sakit atau terkejut oleh suara
Pendekar 212 tadi. Yang jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini
tampak terbuka.
Wiro
melihat tak ada lagi sinar kehidupan pada kedua bola matanya itu. Wiro memegang
lengan Ranalegowo.
Ranalegowo
masih bisa melihat walaupun pemandangannya tidak jelas lagi. Samar-samar dia
melihat seorang pemuda berambut gondrong disampingnya.
"Siapa
kau yang memanggilku… pa… paman."
"Sa…
Saya Wiro Saksana." jawab Wiro menyebut nama aslinya. "Saya putera
Ranawelang, kakak paman…"
Kembali
wajah Ranalegowo kelihatan mengernyit. Dia coba berpikir tetapi dikala maut
hendak datang merenggut jiwanya itu otaknya tak lagi bekerja.
"Rana….
welang…" desisnya.
Wiro usap-usap
kepala pamannya "Betul, saya anak Ranawelang, kakak paman yang tinggal di
barat." Semula Wiro hendak menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh
Ranalegowo.
Namun
dilihatnya keadaan pamannya itu sulit untuk ditolong.
Maka dia
hanya bisa memandangi dengan hati pedih.
Ketika
hidup dia tak pernah mengenal orang ini. Namun dari air mukanya Wiro mengetahui
bahwa pamannya pekerja keras berhati baja. Seorang yang memiliki sikap jantan
dan jujur. Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk menolong orang lain.
"Dia seorang paman yang baik. Sayang aku hanya bisa melihatnya sesaat
saja. Apakah ayahku juga memiliki ciri-ciri seperti paman?" bertanya Wiro
dalam hati.
Di atas
pohon kembali terdengar pekik monyet coklat tadi. Kemudian terdengar suara
sesunggukan Kioro Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi. Ranalegowo adik
ayahnya telah menyusul istrinya.
Dari atas
pohon monyet coklat tiba-tiba memekik keras lalu melompat ke tanah dan
mengelilingi jenazah Ranalegowo.
"Ken
Cilik hentikan jeritanmu! Aku tahu perasaanmu! Kita semua merasa sangat
kehilangan…" Terdengar Kioro Mertan berkata sambil menutupi mukanya dengan
kedua tangan.
"Ken
Cilik…" kata Wiro dalam hati. "Pasti monyet coklat ini yang
dimaksudkan si orang tua. Mungkin binatang ini peliharaan pamanku. Binatang
terkadang memiliki perasaan lebih tajam dan lebih halus dari manusia."
Monyet
itu tiba-tiba melompat ke atas bahu kanan Kioro Mertan. Orang tua ini
mengusap-usap punggungnya beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik
tiba-tiba secara tak terduga melompat ke atas bahu kirinya lalu menjerit keras
membuat sakit telinga sang pendekar. Wiro tak berani bergerak, kawatir monyet
itu mencakar atau menggigitnya.
"Putus
telingku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Namun setelah menjerit lagi
beberapa kali monyet itu hanya bertengger diam di pundak Wiro, malah
menyurukkan kepalanya ke balik rambut gondrong sang pendekar sambil mengeluskan
suara seperti merintih. Walau dia jadi merinding kegelian tapi Wiro kini bisa
menarik nafas lega.
Dicobanya
mengusap kuduk dan punggung Ken Cilik.
Monyet
ini semakin menempelkan tubuhnya ke bahu wiro. Binatang itu tampak jinak namun
tetap saja Wiro merasa agak merinding.
Wiro dan
Kioro Mertan melihat kini banyak orang berkerumun berkeliling di tempat itu.
Mereka adalah penduduk desa yang baru saja mengalami malapetaka hebat itu.
Wajah mereka masih pucat membayangkan ketakutan. Anak-anak menangis dalam
dukungan ibu mereka. Semua menatap pedih pada Kioro Mertan dan sosok jenazah
kepala desa mereka beserta istrinya yang ikut jadi korban.
"Orang-orang
jahat itu sudah pergi. Untuk sementara tak ada yang perlu ditakutkan,"
Wiro coba menenteramkan.
"Bantu
aku mengurus jenazah warga desa yang menjadi korban," berkata Kioro Mertan
dengan hati pedih. Lalu dia ingat sesuatu. Orang tua ini memandang berkeliling.
"Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati cucuku. Ada yang tahu
ke arah mana para penjahat melarikannya?"
Dua orang
menunjuk ke jurusan tenggara.
Kioro
Mertan mengangguk. "Memang ada kabar-kabar bahwa mereka bermarkas di tenggara.
Di sekitar hutan belantara dekat Kudus. Aku akan mengejar mereka ke sana.
Bahkan sampai ke perut bumi sekalipun!"
Penduduk
desa yang tewas akibat keganasan gerombolan rampok Ganco Item berjumlah enam
belas orang. Sembilan letaki, lima perempuan dan dua orang anak-anak. Di luar
desa Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan kini kelihatan empat belas
kubur baru. Dua anak yang jadi korban dikubur satu dengan ibu masing-masing.
Suasana
hening mencekam. Di langit sang surya bersinar terik menyengat kulit. Tapi
agaknya tak seorangpun mau beranjak sampal akhirnya Kioro Mertan, orang paling
tua yang ada di tempat itu berkata.
"Kalian
semua kembali ke desa. Lakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan…"
Satu demi
satu orang desa beranjak dari tempatnya.
Namun ada
enam orang pemuda dan tiga orang lelaki baya tetap berada di pekuburan itu.
Salah seorang dari mereka berkata.
"Bapak
Kioro. Kami tadi mendengar maksudmu hendak mengejar para penjahat. Kami semua
disini slap ikut bersamamu melakukan pengejaran."
"Kalian
semua orang-orang jantan yang gagah perkasa;" kata Kioro Mertan dengan
hati terharu. "Tapi kalian lebih diperlukan di desa untuk membantu
membangun rumahrumah yang musnah. Biar aku sendiri yang mencari
manusia-manusia puntung neraka itu!"
Sembilan
lelaki itu nampak kecewa mendengar ucapan Kioro Mertan. Sementara itu Wiro
sendiri dalam hati bertanya-tanya. "Orang tua bungkuk ini, dia siapakah
dan bisa mengandalkan apakah hingga berkata ingin mengejar sendiri para
penjahat yang telah menculik cucunya itu?"
Satu demi
satu ke sembilan orang itu meninggalkan pekuburan. Ketika mereka hanya tinggal
berdua, Kioro Mertan berpaling pada Wiro lalu berkata.
"Pertemuan
kita hanya sampai disini. Aku harus pergi mencari manusia-manusia jahat itu.
Aku akan kembali ke desa untuk mengambil kuda."
Lalu
tanpa menunggu jawaban Wiro orang tua itu melangkah ke jurusan dua buah kuburan
baru yaitu kuburan anaknya dan menantunya. Wiro mengikuti dari belakang.
********************
2
DI
hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Wiro
mengikuti dari belakang.
Di
hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Kemudian
terdengar suara orang tua ini berkata.
"Nasibmu
tidak beruntung, Wiro. Kau tak sempat menemui paman dan bibimu."
"Mungkin
memang begitu takdir saya. Takdir kita semua."
Kioro
Mertan tersenyum pedih. "Ini cobaan berat buatku. Terkadang kita manusia
bisa salah berpikir dan menjadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan
mengambil begitu cepat orang-orang baik seperti menantuku dan anakku, penduduk
desa yang tidak berdosa. Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan
melakukan kekejaman tiada taranya…"
"Jangan
berpikir seperti itu bapak. Salah-salah kita bisa jadi kehilangan iman terhadap
Gusti Allah," kata Wiro.
Kioro
Mertan menarik nafas dalam.
"Selamat
tinggal anak muda. Aku harus pergi."
"Bapak,
tunggu dulu. Saya ingin mengatakan sesuatu," kata Wiro pula.
"Apa
yang hendak kau katakan, Wiro?"
"Ranalegowo
adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku dan Sumiati putri mereka adalah saudara
sepupuku. Saya merasa punya kewajiban untuk menuntut balas. Mohon dimaafkan.
Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah kau mewakilkan kepada saya untuk
melakukan pengejaran?"
Orang tua
itu menatap Wiro lama sekali. Lalu dia berkata, "Kepolosan hati dan
keberanianmu sama dengan menantuku. Pasti ayahmu memiliki sifat jantan seperti
itu juga. Tetapi tidak anak muda. Urusan balas dendam ini adalah urusanku.
Usiaku memang tua tapi untuk menuntut balas soal umur tidak meniadi masalah.
"Saya
mengerti bapak tua. Namun yang kau hadapi adalah segerombolan manusia-manusia
jahat. Yang tidak segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau
anak-anak."
"Kau
betul. Siapa yang tidak kenal dengan gerombolan Ganco Item. Kejahatan dan
kekejaman mereka iebih ganas dari iblis…"
"Siapa
sebenarnya penjahat-penjahat itu, pak tua?" tanya Wiro.
"Mereka
terdiri dari tiga orang yang memegang pucuk pimpinan. Dua di antaranya
bersaudara yaitu Ganco Langit sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga
dikenal dengan nama Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam. Itu sebabnya
mereka menyebut diri Ganco Item. Mereka tidak punya tempat tetap. Tapi ada
kabar bahwa mereka suka bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus. Mereka bisa
keluar masuk kota-kota di pesisir utara ini tanpa ada yang berani
menganggu…"
"Termasuk
pasukan atau perajurit Kadipaten?" tanya Wiro.
"Jangankan
pasukan Kadipaten. Balatentara dari Kota rajapun tidak berani turun
tangan…"
"Pasti
ada apa-apanya."
"Itu
bukan rahasia lagi. Ada kabar yang kusirap bahwa sebagian dari hasil kejahatan
mereka dikirimkan sebagai upeti kepada beberapa orang Adipati di pesisir utara
ini, juga dikirim pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain dari itu
kabarnya mereka juga bekerjasama dengan komplotan lanun Tengkorak Darah yang
sering malang melintang di Laut Jawa."
"Bekerjasama
bagaimana maksudmu, pak tua?"
"Bajak
laut Tengkorak Darah menjual sebagian hasil bajakan mereka dengan harga murah
pada komplotan Ganco Item. Ganco Item tidak membayar dengan uang, tapi
menyerahkan segala kebutuhan makanan atau minuman bagi para bajak. Termasuk
perempuan-perempuan!"
Sampai di
situ Kioro Mertan terdiam. Dia ingat pada cucunya yang diculik.
"Sumiati…"
desisnya. "Aku harus melakukan pengejaran sekarang juga!"
Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi pada Wiro orang tua ini lari ke arah desa. Sesaat Wiro
perhatikan cara lari Kioro Mertan. Ada rasa heran, dalam diri Pendekar 212
kini. Orang tua bungkuk itu bukan lari seperti orang biasa. Sebentar saja dia
sudah lenyap di tikungan jalan di ujung pekuburan.
"Ah,
orang tua itu pasti punya ilmu kepandaian. Larinya saja sebat sekali. Aku telah
menduga salah padanya. Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai
dia bakal mampu menghadapi komplotan Ganco Item seorang diri. Aku harus
menyertainya. Bukankah dia bisa kuanggap sebagai kakek sendiri?" Serta
merta Wiro tinggalkan pula pekuburan itu.
Tapi baru
bergerak dua langkah tiba-tiba terdengar suara pekik-pekik keras. Sebuah benda
melayang ke arah Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya Pendekar 212 segera
hendak mengantam. Tapi hup!
Benda
yang melayang itu hingga di bahu kirinya. Wiro berpaling. Dia melihat satu
kepala kecil, sepasang mata coklat yang bersinar-sinar lalu sebuah mulut yang
menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi kecil putih dan runcing.
"Ken
Cilik…! Kau mengejutkanku saja!" kata Wiro.
Monyet di
atas bahu kiri Wiro menyeringai lalu memekik beberapa kali.
"Anak
nakal! Apa kau mau ikut kemana aku hendak mencari manusia-manusia jahat
itu?!"
Monyet
coklat itu memekik tiga kali.
"Bagus,
kau mengerti apa yang aku bilang. Kau bisa membantuku. Paling tidak mengenali
tiga orang gembong Ganco Item itu."
"Kuik…
kuik… kuik…" Ken Cilik kembali memekik.
********************
3
DI DALAM
hutan belantara di sebelah timur Kudus Ganco Langit menyambut kedatangan
adiknya dan Ganco Laut yang baru saja kembali dari penjarahan di Jatingaleh.
Begitu
Ganco Bumi melompat turun dari kudanya, Ganco Langit memeluk adiknya ini dan
menepuk-nepuk bahunya.
"Bagus!
Kau ternyata mampu bergerak sendiri! Satu pertanda bahwa kita semakin
kuat!" kata Ganco Langit.
Ganco
Bumi tertawa sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut kasar.
Ganco
Langit melangkah mendekati Ganco Laut. Dia juga menepuk bahu kawannya ini
seraya bertanya, "Kalian tidak menemui kesulitan?"
"Sama
sekali tidak. Pasukan Kerajaan tidak kelihatan mata hidungnya. Apalagi pasukan
Kadipaten." jawab Ganco Laut.
Ganco
Langit tertawa gelak-gelak. "Mana mereka berani terhadap kita. Baru
melihatmu saja mereka sudah terkencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu
kita hendak menuju satu sasaran, mereka sengaja menghindar ke jurusan lain,
pura-pura tidak tahu!" Ganco Langit tertawa lagi.
"Eh…
banyakkah hasil kita kali ini?" Dia memandang berkeliling.
"Rejeki
kita besar sekali hari ini Langit," menjawab Ganco Bumi si adik. "Apa
yang kita sangka tidak meleset.
Jatingaleh
memang desa kaya. Lihat ini!"
Ganco
Bumi melangkah ke kuda tunggangannya ke dekat kaki kanannya. Terdengar suara
gemerincing sewaktu kantong itu jatuh di tanah.
Ganco
Langit membungkuk, membetot lepas ikatan kantong kain lalu memasukkan tangannya
ke dalam kantong. Ketika tangannya itu diangkat kelihatan dia menggenggam uang
perak dan beberapa potong perhiasan dari emas!
Kedua
mata Ganco Langit tampak berkilat-kilat.
"Kita
akan rayakan peristiwa besar ini nanti malam!" kata Ganco Langit.
"Cocok!"
teriak Ganco Bumi. "Tapi kau belum melihat. Ada lagi barang antik yang
kudapat di Jatingaleh!" kata Ganco Bumi. Dia mengangkat tangannya, memberi
tanda pada Ganco Laut.
Orang
ketiga dari komplotan Ganco Item ini bertepuk dua kali, seorang anggota
komplotan muncul menarik seekor kuda. Di punggung binatang ini membelintang
sesosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai selimut besar.
Anggota
komplotan itu membawa kuda yang ditariknya ke hadapan Ganco Langit. Ganco Bumi
kemudian mendekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut tersingkap
kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, tergeletak menelungkup di atas
punggung kuda.
"Walah!
Bokongnya besar amat!" kata Ganco Langit. Kedua matanya berkilat-kilat.
Ganco
Laut dan Ganco Bumi sampai tertawa bergelak.
"Kau
baru melihat bokongnya. Belum menyaksikan wajahnya!" kata Ganco Bumi. Lalu
di baliknya tubuh yang menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini
kelihatan Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di sebelah dada terbuka
membuat payudaranya tersibak menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitam
tergerai hampir menyetuh tanah.
"Wah!
Betul-betul cantik!" kata Ganco Langit. "Belum pernah aku melihat
perawan secantik ini! Eh, dia masih perawan?" tanya Ganco Langit seraya
berpaling pada adiknya.
"Aku
jamin Langit," jawab Ganco Bumi.
"Perawan
tulen!" kata Ganco Laut pula.
"Anak
siapa dia?"
"Ranalegowo."
"Hemmm,
tidak sangka kepala desa itu menyimpan barang antik begini rupa. Berkali-kali
kite meminta uang perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malah dia bukan
saja memberikan uang dan perhiasan, tetapi juga anak gadisnya!" Tiga
pimpinan gerombolan Ganco Item tertawa mengekeh. "Jadi kita pesta malam ini?"
"Pesta
semalam suntuk!" jawab Ganco Bumi. Anggota komplotan yang ada di sekitar
situ dan mendengar hal itu serta merta bertempik sorak gembira.
"Karena
kalian yang berbuat jasa, kuserahkan gadis ini pada kalian berdua. Kalian boleh
menggarapnya bergantian sepuas hati. Sekali ini aku tak apa mendapat sisa.
Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada sese-orang. Aku ada rencana
bagus!"
Ganco
Bumi dan Ganco Laut sesaat saling pandang. Tidak menyangka pimpinan mereka mau
mengalah seperti itu. Saking gembiranya Ganco Bumi dan Ganco Laut saling
berpelukan lalu tertawa gelak-gelak.
Ganco
Langit menyelinap masuk ke sebuah tenda. Di sini berbaring seorang perempuan
muda berbadan gemuk tapi berdaging padat. Tubuhnya harus ditutup dengan sehelai
kain, itupun hanya sebatas pusat hingga payudaranya yang besar kelihatan putih
menantang.
"Saya
tadi mengintai," kata perempuan itu seraya bangkit dan duduk. Payudaranya
yang besar kelihatan memberat ke bawah.
"Mengintai?
Lalu ape yang kau lihat?" tanya Ganco Langit.
"Kawan-kawan
Ganco Langit datang membawa seorang gadis berambut panjang. Pasti malam ini
Ganco Langit akan melupakan saya dan berpuas-puas dengan gadis baru itu."
"Dia
memang cantik. Tapi aku lebih suka menggeluti tubuhnya Jaminten. Gadis itu biar
menjadi bagian Ganco Bumi dan Ganco Laut."
"Betul
itu?" tanya perempuan itu.
"Rebahkan
tubuhmu di sampingku. Akan kubuktikan bahwa aku lebih menyukai dirimu:’
Perempuan
gemuk bernama Jaminten tampak tersenyum lalu merebah dirinya di atas tikar.
Kedua tangannya diangkat dan dijadikan bantal pengganjal kepala. Kedua
ketiaknya yang putih tampak penuh ditumbuhi bulubulu hitam lebat.
Ganco
Langit suka sekali pada bulu-bulu itu. Hidungnya diselusupkan ke ketiak kiri
Jaminten. Perempuan itu terpekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah
bawah ditendangnya. Kini dia menelentang terdengar memburu.
Ganco
Langit membalik. Nafasnya terdengar memburu.
Orang-orang
Ganco Item mempunyai kebiasaan tertentu setiap habis melakukan perampokan
Mereka melarikan diri ke tempat persembunyian dengan meninggalkan paling tidak
tiga orang anggota di satu tempat. Ketiga anggota komplotan penjahat itu
ditugaskan untuk memantau apakah ada yang melakukan pengejaran. Jika ada dan
jumlah mereka tidak terlalu banyak maka mereka diharuskan untuk menyerang para
pengejar itu.
Sebaliknya
jika kekuatan pihak pengejar jauh lebih besar maka mereka akan membuat
gerakan-gerakan tipuan sehingga para pengejar memburu ke arah yang salah.
Hari itu,
setelah menyerbu dan menjarah desa Jatingaleh Ganco Bumi menempatkan tiga
orang anak buahnya di sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang
membelah desa. Menurut perhitungan Ganco Bumi di Jatingaleh yang merupakan
desa petani dan peternak tidak ada orangorang yang perlu ditakuti. Kepala desa
yang membekal ilmu silat sudah terbunuh. Karenanya tiga orang saja sudah
dirasakan cukup untuk melakukan penghadangan. Ketiga anggota gerombolan ini
menunggangi kuda.
Sampai
matahari tinggi, tiga orang penjahat itu tidak melihat adanya tanda-tanda bakal
ada yang akan melakukan pengejaran.
"Bagaimana
kalau kita segera menuju ke Kudus saja?"
Salah
seorang anggota komplotan berkata.
"Pimpinan
memerintahkan kita tetap berada di sekitar tempat ini sampai menjelang sore.
Jika kau mau melanggar perintah dan ingin mendapatkan hajaran dari Ganco Bumi,
kau boleh saja pergi ke mana kau suka."
"Tentu
saja aku tak berani melanggar perintah. Cuma aku selalu sial. Mengapa aku yang
selalu ditugaskan melakukan penghadangan setiap kita selesai merampok.
Sementara yang lain-lain bersenang-senang menikmati hasil jarahan."
Dua
kawanannya tidak menyahuti.
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda.
"Ada
orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian bersiaplah!" kata anggota
komplotan
Ganco
Item yang bertindak sebagai atasan dari kedua anggota lainnya itu. Mereka masuk
lebih dalam ke balik tikungan jalan. Masing-masing memegang hulu senjata mereka
yang berbentuk aneh yakni sebatang besi yang ujungnya melengkung seperti arit
tetapi runcing dan agak pipih. Senjata ini mereka sebut Ganco. Senjata dengan
bentuk yang aneh itu mempunyai kemampuan luar biasa. Selain dapat digunakan
untuk membacok atau menusuk, Ganco Besi itu bisa pula mencungkil tubuh lawan
hingga hatinya terbetol keluar. Dapat dibayangkan jika senjata berujung runcing
berkelik itu menancap di leher atau menembus perut lawan. Isinya pasti
terbongkarl Selain itu Ganco tersebut bisa diberi bertali atau rantai kecil
sehingga dapat dipakai untuk menyerang lawan yang berada dalam jarak jauh.
Derap
kaki kuda terdengar semakin keras. Tak lama kemudian muncul seorang penunggang
kuda yang memacu tunggangannya dengan kencang.
"Cuma
seorang tua renta berambut putih!" memberi tahu salah seorang komplotan.
"Bagaimana,
akan kita kerjakan?"
Yang
bertindak sebagal pimpinan di tempat itu tidak menjawab. Dia tahu apa yang
harus dilakukannya. Ganco besi dipinggangnya dicabut. Ternyata ganco ini telah
dihubungkan dengan seutas rantai kecil sepanjang hampir dua tombak.
Ketika
kuda bersama penunggangnya melewati tikungan, ganco besi itu diputar
kencang-kencang lalu di lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat ke arah
kaki kuda yang berlari cepat.
Lalu
terjadilah hal yang hebat. Ujung berkeluk ganco besi mengait kaki kanan depan
kuda tunggangan orang tua berambut putih. Binatang ini meringkik keras. Bagian
tajam besi menancap tepat di atas sambungan lututnya. Lalu ketika ganco itu
ditotok keras, binatang yang berlari ken-, cang ini jadi hilang
keseimbangannya. Kuda itu masih sempat meringkik sekali lagi sebelum jatuh
tersungkur dan melemparkan penunggangnyal.
Tiga orang
anggota komplotan Ganco Item sama memastikan bahwa orang tua berambut putih
itu akan cidera berat akibat terpelanting jatuh dari kuda yang tengah berlari
kencang.Tapi mereka kecele.
Si orang
tua yang bukan lain adalah Kioro Mertan membuat gerakan jungkir balik,
menyentuh tanah dengan kedua telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya
dia bergulingan di tanah. Di lain saat dia sudah melompat tegak dan sebilah
parang tergenggam di tangannya. Kedua matanya tampak berkilat-kilat.
"Hemmm…
Tua bangka ini boleh juga!" berkata orang yang bertindak selaku pimpinan.
"Lekas kalian bereskan dia agar kita bisa bergabung dengan
teman-teman!"
Dua
anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing ke arah Kioro Mertan. Yang satu
mendatangi dari kanan, kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan keduanya
tampak berputarputar hingga mengeluarkan suara menderu. Di dahului satu
bentakan, dua ganco itu berkelebat deras. Yang di sebelah kanan menderu ke arah
leher sedang yang dari kiri menyambar ke pelipis.
********************
4
KIORO
Mertan sabatkan parangnya ke atas untuk menangkis serangan ke arah leher.
Sambil tundukkan kepala dia berusaha mengelakkan serangan ganco menderu ke
kepalanya.
Trang!
Di atas
kuda, anggota komplotan yang bentrokan senjata dengan Kioro Mertan jadi
terkejut ketika merasakan tangannya bergetar keras. Dia cepat mundur sambil
menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi Kioro Mertan memang sudah
mengincar lawan yang satu ini, begitu ganco yang menyambar kepala lewat di
atasnya, orang tua ini memburu ke depan.
Parangnya
berkelebat.
Orang di
atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro Mertan bersarang dalam di paha
kanannya. Darah mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera berat ini
sentakkan kudanya menjauh tapi binatang yang sudah terlanjur ketakutan ini
meringkik keras dan berputar ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh
bergedebuk ke tanah. Sebelum dia sempat bangun tendangan kaki kiri Kioro
Mertan mendarat di kepalanya. Tak ampun lagi orang ini kembali roboh. Kali ini
pingsan tak berkutik.
"Tua
bangka jahanam!" membentak anggota Ganco Item yang bertindak sebagai
pimpinan. Kalau tadi dia hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan.
Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya menyambar ke dada Kioro
Mertan. Si orang tua cepat sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang
satu
tendangan
menghantam punggungnya.
Kioro
Mertan terbanting ke depan.
Trang!
Orang tua
ini masih sempat menangkis ganco yang menyambar ke dadanya. Selagi lawan di
atas kuda terhuyung dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang tua itu
cepat balikkan diri tepat pada saat lawan yang tadi menendangnya dari belakang
hendak mengait lehernya dengan ujung besi berkeluk!
Kioro
Mertan tusukkan parangnya ke perut lawan. Orang di atas kuda menjerit keras,
ganconya lepas. Kedua tangannya dipakai menekap perut yang ditembus senjata
Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu roboh dan tergelimpang di tanah.
Sesaat orang ini tampak megap-megap dan melejang-lejangkan kedua kakinya
sebelum nyawanya putus.
Satu-satunya
anggota komplotan yang masih berada di atas punggung kudanya mau tak mau
menjadi terkesiap melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidak bisa dibuat
main," katanya dalam hati.
Meski
rasa was-was kini menyelinapi dirinya namun kematian kawannya tadi membuat
darahnya mendidih.
"Orang
tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah kau ayah mertua Ranalegowo?"
Kioro
Mertan menyeringai. "Bagus! Sebelum mampus kau sudah tahu siapa diriku!
Kau dan komplotan membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga menculik
Sumiati cucuku! Susul kawanmu!"
Orang tua
itu gerakkan tangan kanannya. Parang menderu ke arah pinggang anggota
komplotan. Karena merasa tidak leluasa menghadapi lawan dari atas kuda maka
anggota komplotan Ganco Item segera melompat ke tanah. Kioro Mertan tak mau
memberi kesempatan. Begitu lawan menjejak tanah parangnya segera berkelebat.
Serangan-serangan orang tua ini benar-benar ganas. Dalam waktu dua jurus saja
lawannya segera terdesak dan anak buah Ganco Langit ini berseru tegang ketika
senjata terpukul lepas. Sambil mundur dia keluarkan sebuah belati. Kalau dengan
ganco yang lebih besar dan panjang dia tidak sanggup menghadapi Kioro Mertan,
apalagi harya dengan mengandalkan pisau seperti itu. Beberapa kali saja menerima
serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya bisa keluarkan seruan pendek dan
terbelalak ketika parang di tangan kanan orang tua bungkuk itu menembus
perlengahan dadanya!
Anggota
komplotan yang pertama kali menerima hajaran Kioro Mertan dan masih
tergelimpang di tanah, sebenarnya telah siuman dari pingsannya. Luka di pahanya
sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur. Kepalanya yang tadi kena di tendang
mendenyut tiada henti, membuat pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar
ternyata dia sempat menyaksikan kematian kedua kawannya tadi. Hal ini membuat
dia ingin segera lari selamatkan diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya
akan jadi korban yang ke tiga. Dengan cerdik akhirnya dia memutuskan
berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur kalau orang tua itu menyangkanya
sudah mati.
Kioro
Mertan memandang berkeliling. Seperti yang diharapkan anggota komplotan Ganco
Item yang masih hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah mati.
Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini mendekati salah seekor dari tiga
kuda anggota penjahat lalu melompat ke atas punggung binatang ini dan
tinggal-kan tempat itu.
Setelah
merasa aman, penjahat yang luka pahanya berusaha berdiri. Dia harus segera
menuju keperkemahan untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini serta
merta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba dia mendengar ada
suara derap kaki kuda mendatangi. Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat
seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih muncul di tempat itu
menunggang kuda coklat. Di atas bahu kirinya, dengan satu tangan bergelantungan
ke leher pemuda itu, ada seekor monyet yang tiada hentinya mengeluarkan suara
berisik memekakkan telinga.
"Tenang
Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan kakekmu itu…" kata pemuda di
atas kuda lalu mengelus monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini berhenti
berteriak, hanya kepalanya saja yang berputar-putar kian kemari tak bisa diam.
"Hemmm…
Siapa yang punya pekerjaan ini?" terdengar pemuda itu kembali berkata
sambil menggaruk rambutnya yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling.
Memperhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu persatu. Penjahat
yang masih hidup merasa nafasnya seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya
dipejamkan. Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia menahan
nafas sedapat-dapatnya.
Ketika
didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu menjauh tanda pemuda tadi sudah
meninggalkan tempat itu baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini
berani membuka mata dan perlahan-lahan mencoba bangkit. Dia menggigit bibir
melihat luka besar di paha kanannya. Dirobeknya bajunya lalu dengan robekan
baju itu dibalutnya luka yang menganga dan masih berdarah itu. Dengan
terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang menahan sakit dia melangkah lalu
naik ke atas kudanya.
Jauh di
sebelah depan Pendekar 212 Wiro Sableng memacu kuda coklat yang ditungganginya.
Tujuannya adalah Kudus di mana didengarnya gerombolan Ganco Item berada. Dia
tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapi dia yakin orang tua yang juga
merupakan kakeknya itu telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak mengetahui
apa yang diandalkannya orang tua lanjut usia dan bungkuk itu hingga nekad
mengejar para penjahat. Apapun kehebatan yang dimilikinya mendatangi markas
gerombolan sama saja dengan mendatangi sarang macan. Orang tua itu harus
ditolong. Ini dirasakan sebagai satu kewajiban besar bagi Pendekar 212. Apalagi
cucunya yang masih ada hubungan darah sangat erat dengan Wiro telah pula
diculik oleh orang-orang jahat itu.
Wiro
menggebrak kuda coklatnya agar lari lebih kencang. Namun dia tidak menyadari
bahwa arah yang ditempuhnya menyimpang cukup jauh dari tujuannya hingga ketika
akhirnya dia sampai di markas komplotan Ganca Item malapetaka besar telah
menimpa Kioro Mertan dan Sumiati.
***********************
Rombongan
pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari lima orang. Empat orang prajurit dan
seorang bintara bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan. Dari cara
mereka memacu kuda demikian cepat agaknya pasukan ini mempunyai satu urusan
penting. Saat itu mereka tengah bergerak menuju ke timur sementara sinar
matahari yang menggelincir ke ufuk tenggelamnya mulai terasa meredup.
Di sebuah
kali kecil rombongan berhenti untuk memberi minuman dan mengistirahatkan kuda
sebentar. Ketika hendak melanjutkan perjalanan bintara yang bertindak sebagai
pimpinan mengangkat tangan memberi tanda.
"Ada
orang datang!" katanya.
Empat
perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata masing-masing. Di seberang
kali, dari arah mana tadi mereka datang kelihatan seorang penunggang kuda
berambut putih. Penunggang kuda ini rupanya juga sudah melihat rombongan
pasukan Kadipaten itu karena dia sengaja mengarahkan kudanya ke tempat
rombongan berada di tepi kali. Sebelum orang berambut putih datang dekat, baik
bintara maupun empat perajurit itu segera mengenali siapa adanya orang yang
datang itu.
"Bintoro
Anggoro!" tiba-tiba orang berambut putih itu berseru. "Aku gembira
bisa bertemu denganmu di tempat ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke
Kadipaten. Tapi aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan."
Anggoro
memandang pada keempat bawahannya sesaat lalu berpaling pada penunggang kuda
yang kini sudah sampai dan berhenti di depannya. ;
"Pak
tua Kioro Mertan, aku tidak menyangka akan bertemu kau di tempat sejauh ini!
Sedang menuju ke manakah pak tua gerangan?"
"Jadi
betul dugaanku kau dan rombongan tidak tahu apa yang telah terjadi di
Jatingaleh!?"
Bintoro
Anggoro menggeiengkan kepala. "Lekas katakan apa yang terjadi. Eh, kulihat
ada bercak-bercak darah di pakaianmu!"
"Gerombolan
Ganco Item menyerbu desa menjelang siang tadi. manusia-manusia biadab itu
merampok dan membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku Sumiati diculik.
Saat ini aku tengah melakukan pengejaran. Para penjahat itu membuat markas
sementara di luar Kudus. Aku bersyukur menemui kalian di sini. Aku perlu
bantuan kalian!" kata orang tua berambut putih yang ternyata adaiah Kioro
Mertan.
"Kurang
ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah mengganas pula. Bahkan berani menyerbu
Jatingaleh!" Bintara Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan
kemarahan.
"Kita
tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku perlu bantuan kaliani!"
kata Kioro Mertan yang ingin segera melanjutkan pengejaran.
"Kami
akan membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan gerombolan itu cukup
besar. Selain tiga pimpinan mereka yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan
itu memiliki lebin dari dua lusin anggota."
"Kita
bisa menyusun rencana seperti ini," sahut Kioro Mertan pula. "Kau dan
tiga orangmu bersamaku langsung menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak
buahmu yang keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus untuk meminta bantuan.
Begitu bantuan datang kita terus menyerbu."
Sesaat
Anggoro tidak berkata apa-apa.
Kioro
Mertan jadi jengkel dan berkata.
"Bintoro,
urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika kau merasa ragu-ragu aku tidak
takut melakukan penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak
cucuku!"
"Jangan
salah menduga pak tua," kata Anggoro pula. "Aku setuju pendapatmu.
Mari kita berangkat sekarang juga."
Lalu
Bintara ini berkata pada salah seorang anak buahnya. "Kau langsung menuju
Kudus. Laporkan apa yang terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana
kita."
Prajurit
itu mengangguk sambil menunjukkan sikap siap. Dia juga melihat bagaimana
Bintara Anggoro atasannya itu mengedipkan mata kirinya ketika memberikan
perintah.
********************
5
Hutan
belantara itu terang benderang oleh cahaya obor. Makanan dan minuman berlimpah
ruah. Setiap anggota gerombolan Ganco Item bisa makan dan minum sepuasnya serta
bersenang-senang dengan perempuan-perempuan yang ada di situ. Kebanyakan
perempuan-perempuan ini adalah perempuan-perempuan penghibur yang datang dari
pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang diculik dan dilarikan dari
desa atau kampung yang pernah diserbu oleh gerombolan Ganco Item.
Ganco
Langit tegak di depan tenda sambil mengenakan baju hitamnya. Dia mengusap
keringat yang membasahi dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi
dan Ganco Laut duduk memperhatikannya sambil menyeringai.
Kepala
gerombolan penjahat itu balas menyeringai. Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut
mendatangi, Ganco Langit berkata setengah berbisik.
"Tidak
mengecewakan. Tubuh bagus, semua serba keras. Betul-betul tidak mengecewakan
walau aku cuma dapat bekas kalian! Ha…. ha… ha… ha …!"
"Seperti
rencana, menjelang pagi kita segera akan meninggalkan hutan ini menuju ke
selatan. Bagaimana dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?"
bertanya Ganco Laut.
"Aku
sudah cukup puas menikmati tubuhnya tadi. Lagi pula aku masih punya Jaminten
yang hebat itu. Terserah kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa
membawanya. Saat ini kurasa dia masih setengah pingsan."
Ganco
Laut yang masih dikuasai nafsu, apalagi barusan habis meneguk banyak minuman
keras menyibakkan kain penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati
tergeletak tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuhnya. Dari mulut
gadis malang anak kepala desa Jatingaleh itu terdengar suara erangan. Manusia
beradab akan luluh hati dan perasaannya melihat keadaan dan mendengar erangan
yang memilukan itu. Tetapi manusia durjana seperti Ganco Laut justru merasa
terbakar nafsunya.
"Puaskan
dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak waktu. Tapi ingat, besok kita ada
pekerjaan besar di Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa menduga
apa yang akan dilakukan sobatnya itu.
Ganco
Laut menyeringai. Dia memegang bahu Ganco Langit lalu melangkah masuk dalam
tenda.
Namun
langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada seorang anggota komplotan muncul dan
berkata.
"Ganco
Langit, anggota pengintai melihat ada serombongan orang berkuda bergerak ke
jurusan sini!"
"Sudah
diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?" tanya Ganco Langit.
"Mereka
berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro Mertan, ayah kepala Desa
Jatingaleh. lalu seorang bintara dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit
anak buahnya."
"Hemmm…
" Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari Ganco Lout sesaat lalu berkata,
"Kioro Mertan pasti hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan
cucunya. Orang tua itu ternyata punya nyali. Biarkan mereka datang ke mari!
Rapatkan penjagaan di titik-titik rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak
diundang berani muncul di sini!"
Dari bagian
hutan yang gelap lima penunggang kuda muncul. Kioro Mertan di depan sekali.
Meski sadar keadaan dirinya berada di bawah ancaman besar namun dengan berani
orang tua bungkuk ini melompat dari kudanya dan melangkah cepat ke arah tenda.
Sebilah parang tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi isyarat,
mengikuti langkah Kioro dengan cepat. Dia juga telah menghunus senjatanya yakni
sebatang pedang yang ujungnya berkeluk.
Diam-diam
Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan Ganco Item lainnya jadi bertanya-tanya
ketika melihat parang bernoda darah kering yang dipegang oleh Kioro Mertan.
"Apa
yang telah dilakukan orang tua in!?" tanya Ganco Bumi dalam hati.
Kioro
Mertan dan Bintoro Anggoro sampai di depan tenda. Sepasang mata orang tua itu
berapi-api. Dia tahu tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para
pemimpin gerombolan biadap Ganco Item tapi tidak tahu yang mana Ganco Langit.
Maka dia pun membentak.
"Mana
di antara kalian yang bernama Ganco Langit?!"
"Tua
bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan menjual lagak di hadapan
kami?!" hardik Ganco Laut lalu tangannya bergerak hendak menjambak rambut
putih orang tua itu.
Ganco
Langit menghalangi dan berkata, "Aku Ganco Langit! Kau punya nyali besar
berani datang ke mari Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah
mantu kepala desa Jatingaleh? Apa perlumu menyasarkan diri datang
kemari?!"
"Aku
tidak datang menyasarkan diri. Aku sengaja mencarimu! Kau manusia iblis masih
bisa bertanya apa keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak menantuku! Kau
juga membunuh lebih dari selusin penduduk Jatilengah. Perempuan dan anak-anak!
Merampok! Menculik cucuku Sumiati!"
"Penjelasanmu
cukup lengkap. Sekarang katakan saja apa maumu Kioro Mertan?!"
"Bebaskan
cucuku! Jika sesuatu terjadi atas dirinya akan kugorok batang lehermu! Lihat!
Darah di parang ini masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak buahmu
yang sudah kuhabisi!"
Tampang
tiga pimpinan Ganco Item tampak berubah sesaat. Tanda tanya parang berdarah itu
telah terjawab.
"Kalau
kau datang untuk meminta cucumu, itu soal kecil. Kau bisa mendapatkannya
kembali!"
"Ganco
Langit…. "
Ucapan
Ganco Laut tertahan. Ganco Langit memberi tanda agar dia diam lalu berpaling
pada Kioro Mertan.
"Kau
akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua."
"Mendapatkannya
kembali dalam keadaan selamat. Tak kurang suatu apapuni Jika…"
"Kau
akan mendapatkannya seperti kataku tadi. Hanya saja rnungkin ada yang kurang
sedikit. Mungkin dia kukembalikan dalam keadaan tidak berpakaian lagi…"
Ganco Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa sedang Ganco
Laut hanya bisa menyeringai. Jika Ganco Langit benar-benar hendak mengembalikan
gadis itu berarti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi maksud
bejatnya. Ganco Laut tak dapat menerka apa sebenarnya yang ada di benak
kepalanya itu.
Ganco
Langit menjetikkan jari-jari tangannya dan anggukkan kepala pada Ganco Bumi.
Melihat isyarat ini Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar
kelihatan dia memapah sesosok tubuh tanpa pakaian,
Kioro
Mertan seperti disambar petir melihat pemandangan yang menusuk mata itu.
"Sumi!"
teriak orang tua ini.
"Ka…
kakek…" suara Sumiati sehalus bisikan. Gadis malang telah dirusak
kehormatannya ini secara keji bergantian tegak terhuyung-huyung.
"Kau
mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!" kata Ganco Bumi. Tubuh
Sumiati didorongnya keras-keras.
Kioro
Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum jatuh ke tanah. Dia menyambar kain
tirai penutup pintu tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat itu
terguling tak berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka lebar, tapi dia seperti
tidak melihat apapun kecuali bayangan-bayangan menyeramkan yang gentayangan di
depannya.
Dari
tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara menggembor. Dari keadaan Sumiati saat
itu dia sudah tahu malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu.
"Iblis
durjana!" teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke hadapan Ganco Langit.
Parang di tangannya membabat ke arah leher kepala gerombolan itu.
Trang!
Sebilah
senjata disorongan dari samping menangkis bacokan parang si orang tua.
Kioro
Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah dan berpaling lalu membentak
keras.
"Bintoto
Anggoro! Apa-apan kau ini!" Kedua mata Kioro Mertan seperti hendak
melompat dari sarangnya saking marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau
menangkis seranganku! Menolong durjana keparat ini?!"
Bintoro
Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem beberapa kali sementara Ganco Bumi
dan Ganco Laut mulai keluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro
Mertan memandang berkeliling. Apa yang tidak dimengertinya dia mendapatkan
jawaban sesaat kemudian ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang
membuatnya laksana dipanggang api amarah.
"Orang
tua pikun! Kau terlalu tolol untuk mengetahui bahwa kita sebenarnya bukan di
pihak sama!"
"Bangsat!
Jadi maksudmu…."
"Maksudku
ini!" jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa terduga sama sekali bintara
Kadipaten Jepara ini tusukkan pedangnya ke perut Kioro Mertan. .
Dalam
keterkejutannya orang tua itu jadi berlaku lengah. Dia baru sadar ketika ujung
pedang Anggoro masuk ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal!
"Pengkhianat
keparat!" teriak Kioro Mertan sementara darah mulai mengucur dari
perutnya.
Anggoro
terpaksa menarik tangan tak berani meneruskan tusukannya karena dengan ganas,
setelah keluarkan suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan parangnya.
Dengan
perut terluka dan darah mengucur orang tua ini terus menerjang kalap. Parangnya
menderu mengurung bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan kematian
dirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu.
Dalam
waktu singkat bintara itu terdesak hebat. Anggoro bertahan mati-matian. Selama
ini dia sama sekali tidak mengetahui kalau Kioro Mertan yang dikenalnya
sebagai petani dan peternak biasa ternyata memiliki kepandaian tidak
sembarangan. Dia bertahan mati-matian dan keluarkan jurus-jurus tipuan
mematikan. Namun ternyata kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di
atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan, dari kiri tendangan kaki
orang tua bungkuk itu tak dapat dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan
dikejapan itu pula parang lawan membabat ke lehernya!
"Tua
bungkuk ini boleh juga!" kata Ganco Langit. Seperti Bintoro Anggoro dan
juga dua pimpinan komplotan Ganco Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau
Kioro Mertan bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandaian.
Melihat bintara itu terancam keselamatannya, dia memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang
ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini berkelebat ke depan. Dia masuk
ke kalangan perkelahian hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara
ketiga pimpinan komplotan Ganco Item, Ganco Laut memang menguasai ilmu silat
tangan kosong paling tinggi. Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi
yang besar dan berat namun dia lebih senang membunuh lawan-lawannya dengan
tangan telanjang.
Kedua
tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan deru angin yang keras dan dingin.
Hal ini sudah cukup membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan kosong Ganco
Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan Bintoro Anggoro.
Nasib
Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut pertama yang bersarang tepat
diperutnya yang luka. Darah muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam Ganco
Laut. Selagi orang tua itu terhuyung-huyung kaki kanan Ganco Laut melesat ke
udara, mendarat dengan tepat di rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu
terpelanting. Bersamaan dengan itu pedang Bintoro Anggoro menetak di
punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting menelungkup di tanah.
Ganco Langit siap untuk menginjak kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro
sudah mengangkat tangan untuk meletakkan pedangnya ke batang leher lawan yang
sudah tidak berdaya.
"Cukup!"
tiba-tiba terdengar Ganco Langit berseru. "Tidak kalian hajarpun umurnya
tak bakal lama. Seret tubuhnya dari depan tenda!"
Dua orang
anggota komplotan segera menggotong tubuh Kioro Mertan yang berada dalam
keadaan sekarat itu ke tepi perkemahan. Ganco Langit tengah memandangi tubuh
Sumiati yang terbujur di tanah bertutupkan kain ketika Bintoro Anggoro
mendatanginya.
Ganco
Langit tertawa lebar dan tepuk-tepuk bahu Bintara itu.
"Aku
memang sudah lama ingin bertemu denganmu sobatku. Kau datang membawa kabar
apa?"
"Aku
dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan ke mari ketika di jalan bertemu
dengan Kioro Mertan. Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan. Tapi
aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwa kita selama ini selalu punya kerjasama
yang baik."
Ganco
Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Bintara Kadipaten Jepara itu.
"Sejak
dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu, Bintoro Anggoro. Nah, ada kabar apa
saja yang bisa kau berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kita
bicara di dalam tenda sana?’
"Di
sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco Langit. Apa yang terjadi di
Jatingaleh sudah sampal di Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap
Adipati Moro Gantolo. Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi kita harus
berjaga-jaga terhadap Perwira Muda yang menjadi tangan kanannya."
"Maksudmu
Ario Gelem?"
"Betul,"
jawab Anggoro.
"Perwira
keparat itu! Kenapa kita tidak pernah bisa menariknya agar bergabung?"
Ganco Langit mengkepalkepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke
telapak tangan kirinya.
"Kita
sudah mencoba membujuknya secara halus berulang kali. Tapi hasilnya nihil.
Kurasa sudah saatnya kita menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin
susah kita!" kata Ganco Bumi pula.
"Mungkin
kau benar Bumi. Sudah saatnya kita menyingkirkan kutu busuk itu. Malam ini akan
kita bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu." Lalu Ganco
Bumi berpaling pada Anggoro dan bertanya kalau ada hal lain yang hendak
dikatakannya.
"Aku
menyarankan agar saat ini juga meninggalkan tempat ini. Ario Gelem bisa
melakukan hal-hal yang tidak terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya
tidak seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali tersiar di Kotaraja kita
semua bisa celaka…"
Ganco
Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Kau yang bakal celaka Bintoro
Anggoro! Bukan aku! Tapi nasihatnya memang perlu diperhatikan."
"Hanya
itu saja yang kau katakan Bintoro?"
"Saat
ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku harus kembali ke Jepara sebelum matahari
terbit.
"Baiklah,"
kata Ganco Langit. Dia masuk ke dalam tenda. Ketika keluar di tangannya ada
sebuah kantong kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang Anggoro. Bintara
itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu kembali ke tempat dia
meninggalkan kudanya. Bersama tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari
hutan itu.
Ganco
Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco Laut. "Pesta kita hentikan
sampai di sini. Beri tahu anakanak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang
juga. Tanganku sudah gatal untuk memegang barang-barang antik yang terbuat dari
tempat itu!"
"Ganco
Langit," Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak ke selatan lebih
dahulu, apakah kita masih punya waktu untuk bertemu dengan sobat kita si
Tengkorak Darah di Rembang?"
"Tak
usah kawatir, aku sudah mengirimkan utusan memberi tahu Tengkorak Darah. Jika
satu hari setelah mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan berikutnya
adalah di pantai Demak. Soal makanan dari perempuan yang perlu dikirimkan
padanya sudah diatur oleh orang di Tanjung Bugel."
"Kalau
begitu tak ada yang dikawatirkan. Kita bisa berangkat saat ini juga," kata
Ganco Langit, "Aku akan perintahkan semua anak buah agar
bersiap-siap."
"Sebentar!"
menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya berdiam diri, "Aku masih ingin
mempertanyakan si cantik itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam rombongan
kita?"
Ganco
Langit tertawa lebar. "Rupanya kau masih belum melupakan kekerasan tubuh
anak gadis Ranalegowo itu.
Kau bisa
membawanya ke mana kau suka. Mungkin sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup
ini harus dibumbui dengan selingan. Bukankah begitu? Ha… ha… ha…"
Suara
tawa Ganco Langit terhenti ketika ada satu tangan memegang dan meremas bahunya.
Lalu ada suara perempuan terdengar ketus.
"Saya
tidak mau lihat gadis itu berada dalam rombongan kita!"
Ganco
laut gelengkan kepala. Mukanya tampak cemberut.
Ganco
langit membalik dan berhadapan dengan Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini
membuatnya tergila-gila dan kadang-kadang jadi tak berkutik.
Saat itu
Jaminten hanya mengenakan sehelai baju panjang yang tipis. Cahaya api obor yang
menembus pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat jelas.
Nafsu Ganco
Langit jadi terbakar.
"Kau
tak usah kawatir dia akan menyaingimu Jaminten," kata Ganco Langit
membujuk sambil membelai pipi Jaminten.
"Gadis
itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan temanteman, tapi ada satu rencana yang
harus dijalankan."
"Siapa
percaya pada dirimu. Siang tadi Ganco mengatakan lebih suka menggeluti tubuh
saya. Tapi ternyata malam ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya tidak
tahu!" Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco
Langit tersenyum lalu menciumi wajah Jaminten. "Seribu gadis boleh hadir,
tapi kau tetap pasangan yang tak bakal kulepaskan! Mereka tidak memiliki apa
yang kau miliki! Mereka dingin seperti barang pisang! Tak ada yang pandai
menggigit dan menggerung sepertimu!"
Jaminten
melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langit lalu berkata. "Sebelum pergi
aku ingin pergi ke kali lebih dulu."
"Ya,
sebaiknya kau membersihkan diri baik-baik. Dalam perjalanan ke selatan mungkin
kau tak punya kesempatan melakukan hal itu."
Jaminten
melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco Laut dia kedipkan matanya. Ganco
Laut kemudian terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu anak
buah agar segera bersiap-siap."
"Lakukan
dengan cepat Laut. Bumi, siapkan seekor kuda untuk membawa gadis itu."
Tak
berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah terdapat sebuah kali kecil
berair jernih. Jaminten melangkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat
yang kelindungan dia berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam air untuk mandi
atau membersihkan dirinya. Dia berdiri dalam gelap seperti menunggu seseorang.
Tak lama kemudian dia mendengar suara orang mendatangi.
"Kenapa
lama betul! Aku sudah tidak sabaran!" kata Jaminten.
"Sstt,
jangan keras-keras. Nanti terdengar orang," menjawab lelaki yang barusan
datang.
"Lekas
tanggalkan pakaianmu. Kita turun ke air." Jaminten melepas baju tipisnya.
"Tidak
di tebing saja?"
"Aku
ingin di dalam air. Sudah lama kubayangkan. Sekalian aku bisa membersihkan
diri," bisik perempuan bertubuh gemuk tapi padat itu.
"Terserah,
aku hanya mengikuti apa maumu."
Tanpa
pakaian kedua orang yang berlainan jenis itu turun ke dalam kali. Air kali
terasa sejuk sekali. Jaminten memagut leher lelaki itu lalu menempelkan
tubuhnya rapat-rapat. Mulutnya bertanya, "Kau ingin kuremas sampai
pingsan?"
"Eh,
apa maksudmu?"
"Kenapa
kau tadi kudengar Ingin membawa gadis itu dalam rombongan?"
"Aku
hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidak curiga."
Jaminten
tertawa kecil. "Kau memang cerdik."
"Pujian
itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari Ganco Langit seperti katamu
tempo hari?"
"Yang
satu itu memang tidak tertandingi oleh Ganco langit. Nafsunya besar tapi
kekuatannya seperti lilin yang meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten
lalu turunkan tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di dalam
air.
Di balik
serumpun semak belukar di tepi kali, pada bagian yang sangat gelap sepasang
mata menyaksikan kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan penuh
geram.
"Keparat!
Aku memang sudah lama mencium perbuatan mereka ini! Kalian berdua akan mati
secara tersiksa. Tapi tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu
sampai urusan di selatan selesai."
Ketika
orang ini hendak beranjak dari balik semak belukar tempat dia mengintai
didengarnya suara Jaminten menggerung dari arah kali.
"Bangsat!
Perempuan bangsat!" kutuk serapah meledak keluar dari mulut orang itu.
***********************
Dinginnya
udara malam menambahkan siksaan bagi Kioro Mertan yang berada dalam keadaan
mati dan hidup, tergeletak di antara semak belukar, dibungkus kegelapan. Di
antara suara erangannya terdengar dia berulang kali memanggil nama Tuhan.
"Tuhan…
kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!
Aku rela
mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku Sumiati. Apapun nasib buruk yang
telah menimpa dirinya selamatkan dia…" kata-kata itu diucapkan Kioro
Mertan berulang kali dalam hatinya.
Ketika
tubuhnya terasa sangat lemah dan nafasnya mulai megap-megap mendadak telinganya
sayup-sayup mendengar langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan pemandangan yang
samar-samar dicobanya menembus kegelapan. Hutan belantara itu sunyi senyap
sejak gerombolan Ganco Item meninggalkan tempat itu beberapa waktu lalu. Masih
ada dua buah obor yang menyala, mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro
Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk hidup. Darahnya terlalu banyak
mengucur. Namun rasa ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu membuat
orang tua ini berusaha keras membuka kedua matanya. Dalam kegelapan kemudian
dilihatnya kuda bersama penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua matanya
masih bisa mengenali orang itu. Dia membuka mulut hendak berseru memanggil,
tetapi yang keluar hanya suara erangan.
Mulutnya
bergerak. "Wiro…! Aku di sini! Wiro…! Aku di sini!" namun ucapan itu
hanya menggema dalam hatinya. Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa
tenaganya dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar dia berusaha
menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara
gemerisik semak belukar yang tergeser kakinya menarik perhatian Pendekar 212.
Semula Wiro merasa kecewa karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan.
Gerombolan Ganco Item pasti telah meninggalkan tempat itu selagi dia bersesat
menempun jalan.
Ken
Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di lehernya keluarkan suara memekik
tiada henti. Wiro berpaling ke arah semak belukar dalam kegelapan.
"Siapa
di situ?!" Wiro membentak dan memandang tajam ke arah semak belukar yang
bergoyang-goyang itu. Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga segala
kemungkinan.
********************
6
SEMAK
belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro
mendengar
suara erangan. Murid Sinto Gendeng dari
Gunung
Gede ini segera melompat dari atas kuda, melangkah mendekati rumpunan semak
belukar. Ketika matanya berhasil menembus kegelapan malam terkejutlah pemuda
ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik semak belukar itu.
"Pak
tua Kioro Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua itu lalu melompat dan
jatuhkan diri merangkul tubuh Kioro Merton. "Pak tua, katakan apa yang
terjadi!"
Dari
mulut orang tua itu hanya terdengar suara mengerang. Wiro melihat luka besar
di perut Kioro Merton. Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua
ini tak akan bertahan lama. Wiro segera mendukung Kioro Merton ke arah salah
satu obor yang masih menyala. Di tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua
yang tengah sekarat ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di dua tempat.
Orang tua in merasakan sakit pada luka di perutnya berkurang sedikit. Dfa
merasa ada hawa sejuk mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak
tangannya di kepala. Perlahan-lahan orang tua ini bisa membuka kedua matanya
kembaii. Dia merasa ada sedikit kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan
katakata walaupun terputus-putus.
"Wiro…
tolong… Selamatkan Sumiati. Dia… dilarikan orang-orang Ganco Item…"
"Kakek
tahu kemana mereka membawa cucumu itu?"
tanya
Wiro.
"Aku
tidak tahu… Aku mendengar mereka me… menuju ke sela… tan. Kau… harus
membalaskan sakit hati ini, Wiro…"
"Saya
bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi semua penduduk Jatingaleh yang
jadi korban keganasan Ganco Item…"
"Kau
harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti… tidak bergerak
sendirian…"
Wiro
diam, menunggu ucapan orang tua itu lebih lanjut. Tapi Kioro Mertan juga diam.
"Kakek
apa maksudmu mereka tidak sendirian?’
Wiro
cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua mata Kioro Mertan hendak
terpejam kembali.
"Ger….
gerombolan itu dibantu oleh orangorang Kadipaten Jepara. Seorang Bintara
bernama Anggoro secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku…"
"Keparat
itu tak akan kulepaskan. Begitu juga tiga pimpinan Ganco item!"
"Yang
penting selamatkan Sumiati. Dari Anggoro kau bisa mengorek keterangan kemana
cucuku dibawa. Hatihati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten Jepara
saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar di kotaraja. Gerombolan itu
punya banyak kaki tangan. Aku…"
Terdengar
suara seperti tercekik. Lalu tak terdengar lagi suara ucapan Kioro Mertan.
Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman dan
bibinya. Kini orang tua yang dianggapnya sebagai kakek sendiri itu menemui
kematian di depan matanya.
***********************
Sebuah
papan besar tergantung di depan bangunan beratap seng yang pintu-pintunya masih
tertutup. Di atas papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji Yan.
Penjual Peti Mati kayu Jati Asli.
Ketika
jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang, tampak papan-papan depan
bangunan terbuka satu persatu. Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan
berkumis jarang, berkulit kuning dan bermata sangat sipit sibuk menyusun
papan-papan yang dibukanya satu persatu dan menyandarkannya di sebelah luar
bangunan. Kini kelihatan ruangan dalam yang penuh dengan tumpukan petipeti
mati. Semuanya terbuat dari kayu jati.
Orang
berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik tempat penjualan peti mati
itu. Kakek moyangnya sudah tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan
mencari hidup dengan menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupakan turunan
yang keempat. Meskipun lahir dan dibesarkan di situ namun kalau bicara dialek
tanah leluhurnya tak pernah berubah.
Yan Siu
Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara asli dan memeluk agama Islam.
Beberapa tahun lalu dia naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini
lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan.
Baru saja
Haji Tan selesai membuka seluruh papan di bagian depan bangunan, seorang pemuda
berambut gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya turun dari kuda,
langsung menemui Haji Tan. Binatang di bahunya memekik tiada henti lalu
melompat ke atas sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali.
"Hayyya…"
kata Haji Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada tamu aneh. Mau bikin susah
atawa mau kasih untung!"
Meski
hatinya agak was-was melihat potongan tamu yang datang membawa monyet ini namun
sebagai pedagang yang baik haji Tan membungkuk sambil memberi salam.
"Saya
mau pesan peti mati," berkata pesan tamu yang bukan lain adalah Pendekar
212 Wiro Sableng.
"Pesan…?
Buat apa pesan? Yang sudah jadi ada banyak. Situ silakan pilih…" Haji Tan
menunjuk pada susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang berjumlah tidak
kurang dari dua puluh buah.
Wiro
perhatikan peti-peti itu sebentar lalu gelengkan kepala. "Peti-peti itu
terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali lebih besar."
Tentu
saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan tamunya itu. "Hayya… Peti
mati begitu besal buat isi apa? Manusia mati atawa kalebo?"
"Haji
Tan, kau tak usaha banyak tanya. Siapkan sebuah peti mati tiga kali ukuran
biasa. Aku juga membutuhkan sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati
besar itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk penangkal bau
busuk mayat. Ini bayarannya!"
Dari
balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini dilemparkannya
ke arah Haji Tan. Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar suara berdering.
Haji Tan cepat membuka tali kain pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan
hanya melihat sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah uang perak
yang ada dalam kantong itu. Banyak sekali. Lebih dari cukup untuk bisa
menyediakan semua yang diminta tamunya itu.
Setelah
berdecak beberapa kali Haji Tan berkata. "Anak muda, soal semua yang situ
pesan situ tidak usah kawatil. Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu
besal…"
Wiro
cepat memotong. "Haji Tan, kau siapkan saja apa yang aku pesan. Aku datang
lagi tiga hari di muka untuk mengambilnya!"
"Hayya!
Apa…?! Tiga Hali?! Mana wole hah? Paling tidak owe pelu sepuluh hali…"
"Lima
hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi batal itu pesanan!" kata
Wiro dengan menirukan dialek Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan
pura-pura hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang peti mati itu.
"Oooo
jangan kasi watal. Hayyaa… Lima hali. Owe telima!" Lalu Haji Tan
cepat-cepat masukkan kantong uang ke dalam saku baju putihnya.
"Ken
Cilik!" Wiro memanggil monyet yang masih enakenak duduk di salah satu
peti mati. binatang ini menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik
cepat melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku, Haji Tan berteriak
memanggil istinya.
"Tumini!
Tumini!"
Sang
istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur keluar tergopoh-gopoh. Tan Siu
Kong acungkan dan goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istrinya.
Sang istri ikut goyang-goyangkan kepala menuruti ayunan kantong uang.
"Saya
lagi banyak kerjaan di dapur. Pagi-pagi sudah bercanda. Apa-apaan ini?"
"Eeee,
ini bukan becanda Tumini," kata Haji Tan pula. "Ada olang gila
datang! Pesan peti mati, satu buah gelobak, dua ekol kuda tamba bumbu mayat!
Kasih uang begini banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal. Ini ambil.
Simpan baik-baik!" Haji Tan serahkan kantong uang pada istrinya. Setelah
memberikan beberapa pesan pedagang peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia
berjalan sambil senyum-senyum karena memperoleh untung yang tidak terduga. Tetapi
dia juga tidak habis pikir. Pemuda gondrong yang tidak dikenalnya itu, muncul
menunggang kuda, membawa seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.
Untuk
apa? Sampai saat itu dia sama sekali tidak mendengar kabar ada keluarga di
Jepara yang kematian sanak keluarganya memerlukan peti mati.
********************
7
GUBUK itu
terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari Undaan yaitu antara Kudus dan
Demak. Ganco Langit duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan Ganco Laut. Di
salah satu sudut gubuk tergolek sosok tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring
seenaknya sehingga sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah tersingkap.
Saat itu walau kedua matanya terpejam tapi Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia
mendengarkan pembicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalanan
jauh sepanjang siang tadi membuat sekujur badannya terasa letih. Namun dia tak
bisa memincingkan mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik padanya bahwa
malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan besar besok siang, dia ingin
Jaminten melayaninya.
"Ganco
Bumi, apa kau sudah siap berangkat malam ini?" terdengar suara Ganco
Langit bertanya pada adiknya.
Ganco
Bumi mendehem beberapa kali lalu menjawab.
"Sudah.
Aku membawa serta lima orang anak buah. Sebetulnya aku lebih suka jika tugas
ini dilakukan oleh Ganco Laut."
Ganco
Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam saja. Hanya kedua matanya saja yang
melirik ke arah Ganco Langit.
"Ganco
Laut bakal dapat tugas lain.." kata Ganco Langit. "Lakukan tugasmu
dengan baik. Ingat, kita bergabung di lembah sebelah timur Kuto Ulir pada
tengah hari besok."
Ganco
Bumi mengangguk perlahan lalu berdiri dan tinggalkan gubuk itu. Setelah mereka
tinggal berdua Ganco Laut bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain
untukku. Tugas apa Ganco Langit?"
"Itu
masih kupikirkan. Aku ingin istirahat dulu…" Jawaban Ganco Langit itu
cukup membuat maklum apa yang akan dilakukan oleh Ganco Langit. Ganco Laut
berdiri. Dia melirik sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring mengangkang
kemudian keluar dari gubuk.
Ganco
Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkan diri di samping Jaminten. Perempuan
itu membalik. Nafas mereka saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit mulai
bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini menambah rangsangan Ganco
Langit. Dipeluknya tubuh gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten membalas
seperti penuh bernafsu. Tapi dalam hatinya perempuan ini berkata, "Puaskan
hatimu! Kalau barang-barang pusaka itu sudah didapat, berarti ajalmu sudah
dekat Ganco Langit!"
***********************
Pagi-pagi
sekali ketika hari masih gelap gerobak tertutup itu sudah masuk ke dalam
halaman sebuah rumah di luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi sangat
bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin orang lelaki rata-rata
bertubuh kekar tampak melakukan pengawalan.
Lima
orang anggota gerombolan yang bertindak menjadi pengawal dengan tubuh letih
melompat dari atas kuda masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak
meneguk tuak dari dalam sebuah bumbung bambu lalu melompat turun.
Dua orang
berbadan kekar yang agaknya telah mengenal Ganco Bumi segera datang
menyongsong.
Keduanya
memberi hormat Ganco Bumi lalu salah seorang memberi tahu bahwa Adipati Demak,
Bando Wiseso sudah siap menunggu kedatangannya di dalam rumah. Ganco Bumi memberi
isyarat pada anak buahnya. Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang
gerobak. Sesaat kemudian tampak kedua orang itu menggotong sebuah usungan kayu
di atas mana terbaring sesosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher.
Wajah
yang tersembul dari balik selimut itu adalah wajah seorang gadis. Walaupun
parasnya tampak pucat dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan
paras itu cantik sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu Kioro Mertan,
puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang telah diculik dan dirusak
kehormatannya secara keji oleh Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada
apakah kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut? Dimana telah menunggu seorang
pejabat tinggi Kerajaan yaitu Adipati Bandoro Wiseso?
********************
8
KEDUA
lelaki berbadan kekar melangkah mendahuiui memasuki rumah, diikuti oleh due
anggota gerombolan yang mengusung Sumiati lalu Ganco Bumi di sebelah belakang.
Gadis malang itu diusung memasuki sebuah kamar. Disitu telah menunggu Adipati Bandoro
yang hanya mengenakan pakaian tidur, bertubuh kerempeng tapi jangkung dan
memelihara kumis tebal melintang yang tidak sesuai dengan tampangnya yang kecil
panjang dan cekung pada kedua pipinya. Giginya yang tonggos menambah keburukan
tampangnya. Dia menyeringai ketika melihat paras gadis di atas usungan lalu
berpaling pada Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan di atas pembaringan.
Setelah due pengusung keluar, lelaki tinggi kurus ini melangkah mendekai Ganco
Bumi dan menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu.
"Cantik
sekali. Tapi kenapa wajahnya agak pucat?"
Ganco
Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di depannya itu. "Perjalanan jauh
membuat tubuhnya sangat letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali
berusaha melarikan diri, Kami terpaksa menotoknya."
"Ah…."
Bandoro Wiseso mengangguk. "Aku mengucapkan terima kasih. Kalian selalu
memberikan yang terbaik untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?"
Ganco
Bumi menggeieng. "Dia menitip pesan padamu Adipati. Dia berharap Adipati
bisa bersenang-senang sepanjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta
agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang Kadipaten bertugas di
sekitar tenggara kita siang ini."
"Hemm…
apakah yang hendak kalian lakukan?" tanya Adipati Demak pula.
Ganco
Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dengan pertanyaan
tadi. Adipati Bandoro Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
"Ah,
maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku tak boleh terlalu banyak tanya
dan ingin tahu. Namun sepanjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan pernah
keberatan. Daerah tenggara memang kediaman orang-orang bangsawan dan
orang-orang kaya. Itukah sasaran kalian kali ini?"
Ganco
Bumi menjawab sambil tersenyum. "Dugaanmu tepat Adipati. Demak sudah
dipenuhi oleh bangsawanbangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin
banyak akibat tanahnya dirampas secara halus. Sudah saatnya kekayaan mereka itu
kita ambil dan dibagi kembali kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?"
"Betul!
Betul sekali Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro Wiseso. "Aku setuju
agar sebagian harta kekayaan orang-orang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata.
Tapi kuharap jangan melupakan perjanjian kita, Jika kalian berbuat sesuatu di
luar Demak tapi masih dalam kawasan kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau
kalian menjarah dalam kota Demak, maka bagianku adalah empat perlima. Katakan
itu pada Ganco Langit!"
Ganco
Bumi mengangguk. "Tak usah kawatir. Kami orang-orang Ganco Item selalu
menepati perjanjian asalkan ada bantuan timbal balik."
Dari
dalam saku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan sebuah kantong berisi uang lalu
dimasukkannya ke dalam genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
"Itu
pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya minta diri." kata Ganco Bumi. Lalu
dia menoleh ke arah sosok Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi
masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis itu. Tadi dia hendak
melakukannya di tengah jalan. Namun rencana besar yang akan dilakukannya
bersama kakaknya lebih penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro Wiseso kembali
dan berkata. "Dia masih sangat hijau Adipati. Jangan terlalu galak.
Beberapa saat lagi totokan di tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa
berbuat apa saja terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan
menjemputnya."
"Dua
hari katamu Ganco Bumi? Dua hari? Ah! Untuk gadis secantik ini paling tidak
lima hari!" kata Bandoro Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik.
Matanya memandang berkilat-kilat ke arah tempat tidur.
"Jika
begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu minggu!"
"Kau
benar-benar kawan yang hebat!" kata Bandoro Wiseso dengan tawa lebar.
Seperti tadi kembali dia menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
"Siapa
nama gadis itu Ganco?"
"Sumiati."
"Sumiati…
Sumiati," kata Bandoro Wiseso mengulang beberapa kali. Dia mengantarkan
pimpinan gerombolan itu sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco Bumi dan
orangorangnya keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini sudah menutup pintu
dan setengah berlari dia masuk kembali ke dalam kamar. Selimut yang menutupi
tubuh Surniati disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia enam puluh tahun
ini seperti silau ketika melihat bahwa di balik selimut itu tak ada apapun yang
menutupi tubuh bagus si gadis.
Meski
sudah diberi tahu bahwa totokan di tubuh Sumiati akan terlempas dengan
sendirinya dalam waktu tak berapa lama lagi, namun saat itu Bandoro Wiseso mana
bisa sabar. Ditelitinya sekujur tubuh gadis itu. Sebagai orang yang memiliki
kepandaian tinggi Adipati ini akhirnya berhasil mengetahui di bagian mana
Sumiati ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut urat besar dekat
ketiak kiri si gadis. Sesaat kemudian tubuh Sumiati tampak bergerak. Kedua
matanya perlahanlahan membuka.
Melihat
tampang Adipati itu Sumiati seperti melihat setan. Mendengar suara bisikannya
Sumiati seolah mendengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit keras!
********************
9
ADIPATI
Bandoro Wiseso cepat menutup mulut Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi
sekujur tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Dia hanya bisa menggulingkan diri
ke samping kiri tempat tidur. Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat
menanggalkan pakaian tidurnya. Lalu sekali lompat saja diterkamnya tubuh gadis
itu.
Namun
seperti mendengar suara petir begitu kagetnya sang Adipati ketika pintu kamar
tiba-tiba hancur berantakan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut seperti
melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur. Di hadapannya bergerak
mendekat seorang pemuda berambut gondrong yang tidak dikenalnya. Rahang pemuda
ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan. Kedua tangannya terpentang
seolah slap hendak mencekiknya.
Dua belas
pengawal yang bertebaran di sekitar rumah terheran-heran ketika melihat sebuah
kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak kusir atau sais
ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor monyet coklat, duduk di
bagian depan kereta. Lalu ini yang membuat semua orang di situ dari heran
menjadi terkejut.
Selagi
perhatian semua pengawal itu tertuju pada kereta tersebut, tanpa mereka ketahui
sesosok bayang putih berkelebat masuk ke dalam rumah!
Di atas
kereta ada sebuah peti mati kayu jati berwarna hitam, berukuran besar luar
biasa. Pada dinding-dinding peti mati itu terdapat angka 212 yang tidak mereka
mengerti apa artinya.
Kayu di
sebelah atas atau penutup peti mati tampak terbuka. Ketika kereta itu akhirnya
berhenti di tengah halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah mengelilingi
kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka sama berserabutan untuk
melihat dari dekat apa isi peti mati itu. Begitu mereka mengulurkan kepala, serentak
kepala masing-masing seperti disentak setan. Paras mereka menjadi berubah. Ada
yang merasa jijik, tetapi lebih banyak yang merasa mengkirik!
"Ada
mayat dalam peti itu…" desis salah seorang dari mereka.
"Mayat
siapa…?" yang lain bertanya dengan suara agak gemetar.
Ada
seorang diantara mereka yang berani dan coba melorigok kedalam peti mati
kembali. Lalu kepalanya cepat-cepat dipalingkan. "Aku rasa-rasa pernah
melihat mayat ini…" katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat.
"Astagal ini mayat Anggoro! Bintara di Kadipaten Jepara!"
"Berarti
peti mati ini datang dari Jepara!"’ kata yang lain.
"Siapa
yang mengirimkannya…? Tidak mungkin kereta ini bisa menempuh jarak sejauh itu
tanpa ada kusirnya! Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang
lain.
Baru saja
dia berkata begitu tiba-tiba ada suara menjawab dari arah rumah. "Peti
mati itu memang datang dari Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak
melihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa berbuat kejahatan
dan kebejatan akan menerima pembalasan setimpal!"
Serempak
kedua belas orang pengawal palingkan kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian
membuat semuanya jadi melotot.
Seorang
pemuda berpakaian serba putih dan berambut gondrong tegak di depan rumah sambil
mendukung dua sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi tadi
dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh gadis itu berada dalam keadaan
tidak bergerak di bahu kiri si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok.
Dia mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok
tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas pengawal itu terkejut dan
terbelalak, ialah sosok tubuh Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya
mengenakan celana tidur. Kepalanya terkulai ke bawah. Leher itu patah! Dan dari
mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur darah!
"Pemuda
itu membunuh Adipati Bandoro!" seorang pengawal berteriak. Semuanya
menjadi gempar. Lalu sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya
serentak menyerbu!
Kita
kembali ke kamar di dalam rumah untuk mengetahui apa yang terjadi sebelum
Pendekar 212 keluar dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
"Manusia
keparat!" teriak Wiro begitu dia menerobos masuk ke dalam kamar dan
mendapatkan Adipati tinggi kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam
keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia merasa bersyukur telah
mengambil keputusan yang tepat. Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah
akan mencegat Ganco Bumi dan orang-orangnya yang barusan dari Demak atau
langsung menuju Demak guna menyelamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih
untuk melakukan yang kedua. Ternyata dia datang pada saat yang tepat.
"Kurang
ajar! Siapa kau?!" balas membentak Adipati Bandoro Wiseso.
"Tua
bangka bejat!" kembali Wiro mendamprat. "Tubuh sudah bau tanah masih
saja berbuat keji!"
"Bangsat!
Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani masuk membobol pintu?!" bentak
Bandoro Wiseso.
Si
gondrong menyeringai. "Namaku Wiro Sableng! Tapi aku datang sebagai
Malaikat Maut! Perbuatan kejimu selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau
menerima hukuman. Hari ini adalah hari kematianmu."
"Malaikat
Maut?!" belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak tertawa bergelak namun saat itu
dia baru sadar kalau dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dia cepat
menyambar celana tidurnya. Wiro biarkan orang itu mengenakan celananya. Selesai
mengenakan celana dengan tampak beringas dia melangkah ke hadapan Wiro.
Sementara itu Sumiati berusaha menutupi tubuhnya dengan kain alas tempat tidur.
"Orang
gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Lebih
dari tahu!" jawab Wiro sambil sunggingkan senyum mengejek. "Aku
berhadapan dengan seorang Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi
malah bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai rakyat! Kau makan
uang sogokan! Malah sampai hati hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya
yang diberikan oleh komplotan Ganco item!"
"Bangsat!
Berani kau memfitnah diriku!"
"Manusia
jahanam! Bukti di depan mata masih bisa kau bilang fitnah! Manusia bejat
sepertimu pantas segera disingkirkan!" kertak Wiro.
"Pengawal!"
teriak Adipati Bandoro Wiseso. Namun teriakannya hanya keluar sepotong karena
saat itu Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan satu jotosan ke muka
Adipati Demak ini.
Bandoro
Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya susupkan satu jotosan ke perut Wiro.
Bersamaan dengan itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati Demak ini
menguasai ilmu silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu Wiro mengelak dia
kembali memburu dengan serangan bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak
perut dan dada murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro
merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya seolah melesak. Dia tidak punya
banyak waktu untuk melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar Ganco
Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua kambratnya.
Ketika
Bandoro Wisese kembali menggempurnya dengan serangan berantai Pendekar 212
langsung menyongsong dengan jurus "Di balik gunung memukul
halilintar!" tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Bersamaan dengan itu
tangan kanan yang sudah dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi lepaskan satu
pukulan tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang diwarisinya dari
Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika
ada angin yang mendahului pukulan tangan kanan lawan, Bandoro Wiseso maklum
kalau Wiro hendak menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati Demak yang
cukup punya pengalaman ini cepa-cepat melompat ke samping kiri. Lima jari
tangannya membuat gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan
balasan sang Adipati ternyata mampu mencapai sasaran lebih dulu dari hantaman
tangan kanan yang hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak mau
harus menarik serangannya seraya membuat gerakan menjatuhkan lehernya dari
serangan ganas lawan. Begitu dia bisa menyelamatkan leher Wiro melompat ke atas
tempat tidur. Dari sini dia molompat ke arah lawan sambil mengeluarkan jurus
silat yang didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas yaitu "Kilat
menyambar puncak Gunung." Yang diincarnya adalah batok kepala Adipati itu.
Bandoro
Wiseso tidak mengira serangan kedua ini datang begitu cepatnya. Tak ada
kesempatan untuk menangkis, lelaki ini jatuhkan dirinya. Begitu punggungnya
menyentuh lantai maka dia akan hantamkan kaki kanannya ke perut lawan. Tapi
ternyata Pendekar 212 mengikuti arah jatuhnya ke samping kiri. Dari arah ini
tebasan tangannya masih terus menderu dengan deras. Batok kepala Bandoro Wiseso
memang luput dari serangannya tapi kini gantinya justru adalah batang leher
Adipati itu!
Kraak!
Tulang
leher Bandoro Wiseso berdetak patah!
Tubuhnya
langsung terhuyung roboh. Nyawanya sebenarnya sudah putus saat Itu juga. Namun
saking geramnya, sebelum tubuh itu jatuh ke lantai, murid Eyang Sinto Gendeng
ini hantamkan tumitnya ke dada Bandoro Wiseso.
Tak ampun
lagi tubuh yang sudah jadi mayat itu mencelat menghantam dinding. Dari
mulutnya yang terbuka kelihatan darah memuncrat!
Jika
dituruti nafsu amarahnya saat itu mau rasanya Wiro menghancurluluhkan kepala
dan sekujur tubuh serta semua anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa tak
ada gunanya. Mayat utuh sang Adipati lebih baik dipakai sebagai penambah isi
peti matinya!
Wiro
tersadar oleh suatu erangan dari arah tempat tidur. Dia berpaling. Gadis itu
setengah terduduk. Wajahnya pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas
tempat tidur ke tubuhnya. Wiro mendekat.
"Sumiati…
Jangan takut. Aku datang menolongmu…"
"Kau…Kau
siapa?" Suara gadis itu antara terdengar dan tiada. Dia berusaha beringsut
menjauhkan diri. Bencana yang dialaminya membuat dia tidak bisa percaya dengan
siapa lagi di dunia ini, apalagi yang namanya laki-laki.
"Aku
Wiro. Aku saudara sepupumu," jawab Pendekar
212.
"Sau… saudara sepupu…? Seumur hidup aku tidak pernah punya saudara
sepupu. Kau pasti salah satu dari
manusia-manusia
terkutuk itu!"
Wiro
mendekat sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan
sentuh tubuhku! Bunuh! Lebih baik kau bunuh diriku! Aku ingin mati! Aku ingin
mati!" teriak Sumiati.
Sesaat
Pendekar 212 jadi terkesiap tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun kemudian
disadarinya bahwa dia harus bertindak cepat.
"Aku
tak punya waktu banyak. Nanti saja aku terangkan." Habis berkata begitu
Wiro segera menotok tubuh Sumiati. Dari dalam sebuah lemari di kamar itu dia
hanya menemukan pakaian-pakaian lelaki yaitu milik Bandoro Wiseso. Bagaimanapun
pakaian itu lebih baik dipakaikan ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya
dibungkus dengan selimut atau kain alas tempat tidur.
********************
10
MENGHADAPI
dua belas pengeroyok dengan memikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah
bagi Pendekar 212 Wiro Sabieng meskipun tidak terlihat satupun dari mereka
memegang senjata.
Selagi
orang-orang itu menebar dan bergerak mendekatinya Wiro gerakkan bahu kanannya
dengan keras. Mayat Bandoro Wiseso yang ada di bahu kanan itu tersentak keras
dan melayang di udara. Tentu saja hal ini membuat kedua belas pengawal tadi
sama keluarkan seruan tertahan saking terkejutnya. Ada yang berusaha untuk
menangkap tubuh Adipati mereka itu. Namun tubuh itu melayang di atas kepala
mereka ke arah kereta lalu dengan suara bergedebuk keras menggidikkan jatuh
masuk ke dalam peti mati yang terbuka! Ken Cilik yang ada di atas kereta
memekik beberapa kali sedang dua kuda penarik kereta meringkik panjang. ,
"Kawan-kawan!"
salah seorang pengawal berteriak. "Mari kita bunuh pemuda ini!"
Maka dua
belas orang yang tadi terhenti gerakan mereka sesaat kini kembali menyerbu.
Beberapa orang di antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka tampaknya tidak
ragu-ragu sekaiipun serangan mereka mungkin akan mencelakai gadis yang ada di
bahu kiri Wiro.
Dalam
keadaan seperti ini menyerang lebih dahulu adalah lebih baik dari pada
menunggu.
Pendekar
212 melompat ke kiri. Tangan kirinya memegang pinggang Sumiati. Tangan kanan
lepaskan satu jotosan. Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di ujung
kiri. Namun dari samping kawan si pengawal ini datang membabatkan goloknya.
Wiro terpaksa membuat gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat.
Bukk!
Pengawal
yang tadi hendak membacoknya terpental sambil keluarkan suara mengeluh tinggi.
Rahangnya rengkah.
Tubuhnya
terhempas ke tanah. Sebelas kawannya berteriak marah dan menyerang laksana air
bah. Wiro menggeser kedudukannya memunggungi kereta. Dengan demikian dia
berusaha menghindari serangan dari belakang. Begitu mencapal kereta Wiro
lepaskan pukulan "benteng topan melanda samudera". Walau pukulan ini
dilepaskan dengan mengerahkan hanya sepertiga tenaga dalamnya tapi sudah cukup
untuk membuat para penyerang berteriak kaget. Tiga di antara mereka terpental
dan terguling-guling di tanah sementara debu dan pasir bertebaran disapu angin
pukulan.
Seorang
pengeroyok menyelinap ke samping kereta lalu melompat ke atas kendaraan ini.
Dengan golok di tangan dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi begitu
dia naik di atas kereta, Ken Cilik melompat ke atas bahunya, menggigit telinga
kirinya kuat-kuat. Orang ini menjerit keras. Golok terlepas dari tangannya. Dia
melompat ke tanah dengan darah bercucuran dari telinganya. Ketika telinga itu
dirabanya ternyata daun telinganya robek besar bahkan hampir putus!
Selagi
para pengeroyok tertegun melihat apa yang terjadi, Wiro cepat melompat ke atas
kereta. Tubuh Sumiati dibaringkannya di lantai di sebelah belakang tempat
duduk.
Sambil
tegak bertolak pinggang di atas kereta dia berkata, "Jika ada yang masih
punya nyali silahkan mencoba!"
Lalu
sekali lagi dia lepaskan pukulan sakti tadi. Kali ini dengan mengerahkan hampir
setengah tenaga dalamnya. Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal
yang ada disitu maka Wiro sengaja mengarahkan pukulannya ke tanah. Para pengawal
merasa seolah-olah tempat itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka
bergetar keras sedang kaki masing-masing terasa goyah. Beberapa orang tampak
jatuh terbanting. Debu pasir beterbangan menutupi pemandangan.
Terdengar
suara cambuk dipecutkan. Lalu gemertak roda-roda kereta. Ketika debu dan pasir
surut ke tanah, kereta yang ditarik dua ekor kuda itu bersama penumpangnya
sudah tak ada lagi di tempat itu. Tak ada satupun dari para pengawal itu berani
bergerak untuk mengikuti apa lagi coba mengejar.
***********************
Meskipun
rombongan Ganco Bumi meninggalkan Demak lebih dahulu, namun dengan memacu dua
ekor kuda penarik kereta sekencang-kencangnya dan menempuh jalan memotong
menyeberangi sebuah kali dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya
sarat dengan pepohonan jati, Pendekar 212 berhasil memapaki perjalanan Ganco
Bumi dan lima anak buahnya.
Ganco
Bumi yang tengah memacu kudanya dengan kencang mengangkat tangan memberi tanda.
Namun gerak-gerik keenam binatang ini jelas menunjukkan keresahan. Kuda-kuda
itu kelihatan menggerak-gerakkan ekor mereka tiada henti. Kaki masing-masing
tak bisa diam. Di antaranya ada yang meringkik seolah ketakutan.
Sesaat
keenam orang itu hanya memandangi kereta yang melintang di tengah jatan itu.
Orang yang menjadi kusir kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati di
depannya sambil mengusap-usap monyet yang duduk di sampingnya. Dia seolah-olah
tidak melihat atau mendengar kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal
jelasjelas dia memelintangkan kereta untuk mencegat rombongan itu.
Setelah
mengalihkan pandangannya pada peti mati besar di atas kereta, Ganco Bumi yang
tidak dapat lagi menahan kemarahannya karena perjalanannya sengaja diganggu
pemuda tak dikenal itu menghardik dengan keras.
"Orang
gila dari mana mencari mati berani menghadang perjalananku!"
Pendekar
212 terus mengusap kuduk Ken Cilik. Tanpa berpaling ke arah rombongan Ganco
Bumi dia bertanya pada monyet di sampingnya.
"Ken
Cilik, apakah ini salah seorang dari calon isi peti mati kita?!"
Ken Cilik
putar kepalanya. Kedua matanya memandang besar-besar ke arah Ganco Bumi. Lalu
binatang ini mulai berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Pendekar
212 manggut-manggut.
"Bagus!
Jadi kau sudah mengenali salah satu dari manusia-manusia durjana itu!"
ujar Wiro. Tangan kanannya diturunkan menarik sebuah palang kayu. Tangan kiri
menjangkau cambuk kereta.
Terdengar
suara berkereketan.
Ganco
Bumi yang kembali hendak membentak jadi terkancing mulutnya. Dia mengernyit
sementara lima anak buahnya terperangah ketika menyaksikan bagaimana kayu
penutup peti mati terbuka perlahan-lahan dengan mengeluarkan suara
menggidikkan.
Ketika
penutup peti mati terpentang lebar dan Ganco Bumi serta lima anak buahnya
melihat dua sosok tubuh yang tergelimpang di dalamnya, karuan saja keenam orang
ini keluarkan seruan tertahan. Mereka menyaksikan dua sosok mayat di dalam peti
mati itu. Mayat di samping kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso.
"Demi
setan! Apa yang terjadi dengan Adipati ini!" kata Ganco Bumi dengan mata
mendelik. Pagi tadi dia masih menemui Adipati itu dalam keadaan hidup dan
tertawa gembira karena diberi hadiah seorang gadis cantik. Kini tahu-tahu sudah
jadi mayat!
Mayat
kedua yang tampak mulai membusuk masih bisa dikenali oleh Ganco Bumi yaitu
tidak lain dari pada mayat Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyak
sekutusekutu komplotannya.
"Ini
benar-benar gila!" Ganco Bumi memaki dalam hati. "Aneh, mayat Bintara
itu jelas mulai membusuk, tapi mengapa tidak menebar bau?!"
Saat itu
balk Ganco Bumi maupun para anak buahnya tidak dapat melihat sosok tubuh
Sumiati yang dibaringkan Wiro di sisi kereta sebelah kiri, terhalang oleh peti
mati.
"Manusia
berkulit hitam! Berpakaian serba hitam! Aku tahu kau adalah salah satu dari
tiga anjing Ganco Item! Katakan kau ini Ganco yang mana?! Ganco Langit, Bumi
atau Laut?!" Wiro bicara dengan tetap tidak bergerak di atas tempat duduk
kereta dan menatap ke arah hutan jati.
Ditanya
seperti itu tentu saja Ganco Bumi menjadi meradang berang.
"Bangsat
kurang ajar!" teriaknya memaki. "Aku Ganco Bumi bisa saja membungkam
mulutmu dan menjebloskanmu ke dalam peti mati itu semudah membalikkan telapak
tangan! Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani cecunguk macammu?!"
Makiannya
ini dijawab oleh Ken Cilik dengan jeritanjeritan keras.
"Anak-anak!
Lekas kalian bikin lumat pemuda gila itu!" teriak Ganco Bumi.
Lima anak
buah gerombolan Ganco Item turun dari kuda masing-masing, lalu sambil menghunus
senjata mereka yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengerikan, kelimanya
melompat ke atas kereta. Lima ganco maut berkelebat di udara!
Pendekar
212 keluarkan suara mendengus.
"Ganco
Bumi! Aku telah bersumpah untuk membunuhmu! Peti mati itu kusediakan untuk
dirimu serta dua saudaramu!"
Ganco
Bumi tertawa bergelak. "Sudah macam orang gila, bicarapun seperti
mimpi!"
Wiro
balas tertawaan orang dengan cibiran.
"Nyawamu
tak bakal lolos dariku Ganco Bumi! Tapi jika kau memang mngumpan anak buahmu
untuk menyembunyikan kepengecutanmu, lihat saja apa yang akan terjadi!"
Tubuh
Wiro tampak berdiri tapi kedua kakinya tidak bergeser sedikitpun. Tangan
kirinya yang memegang cambuk bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di
udara laksana gelegar petir. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan tangan
kanannya. Lalu kaki kirinya membuat gerakan menendang.
********************
11
TIGA
jeritan menggema sampai ke dalam hutan jati. Tiga penyerang jatuh terkapar di
tanah. Satu pegangi mukanya yang mengucurkan darah. Muka itu robek akibat
hantaman cambuk. Yang lain merintih di tanah sambil pegangi dada yang dilabrak
jotosan. Dari mulutnya membusa ludah bercampur darah. Orang yang ketiga
tergeletak di tanah sarnbil rnelejang-lejangkan kaki lalu tidak bergeming
lagi.
Mati
dengan kemaluan pecah disambar tendangan Pendekar 212!
Belum
habis rasa terkejut Ganco Bumi melihat apa yang terjadi, di atas kereta Wiro
kembali gerakan tangan kirinya sambil membungkuk untuk menghindari ganco besi
yang menyambar ke arah lehernya.
Cambuk
kereta itu meletup keras. Menyusul jeritan korban yang ke empat. Seperti kawannya
tadi, penyerang yang ke empat jatuh bergulingan di tanah sambil pegangi mukanya
yang berlumuran darah. Hantaman cambuk membuat luka membelintang dalam di
mukanya, mulai dari pinggiran mata kiri sampai ke dagu kanan!
Penyerang
ke lima yang datang dari belakang agaknya akan berhesil manancapkan ganco
besinya ke punggung Wiro. Ganco Sumi menyeringai.
"Kini
baru tahu rasa pemuda gila itu." katanya dalam hati. Tapi seringai Ganco
Bumi menjadi lenyap ketika tibatiba di atas kereta Pendekar 212 balikkan
tubuhnya. Tangan kanannya dengan cepat menjambak rambut penyerangnya lalu
dihempaskan ke samping. Ganco yang tadi ditikamkan lewat hanya seujung kuku di
depan dada Wiro namun sempat merobek pakaian sang pendekar.
Wiro
tarik kepala orang yang dijambaknya ke depan. Begitu kepala itu tertarik Wiro
hantamkan keningnya ke kening lawan. Orang itu menjerit setinggi langit.
Pemandangannya gelap. Keningnya mengucurkan darah. Senjatanya lepas dari
tangan. Dengan satu sentakan saja Wiro membanting tubuh orang itu ke bawah
kereta!
"Keparat!
Ganco Bumi akan melomat tubuhmu!" teriak Ganco Bumi seraya menggebrak
kudanya mendekati kereta. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah ganco besi
yang memancarkan warna hitam tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
"Manusia
durjana bernama Ganco Bumi!" teriak Wiro. "Untuk ke neraka kau tidak
memerlukan kuda!" bentak Wiro. Cambuk di tangan kirinya berkelebat.
Mengira dirinya yang hendak jadi sasaran, Ganco Bumi cepat miringkan tubuh ke
kiri. Tapi cambuk itu ternyata menyambar ke arah kepala kuda.
Craass!
Mata
kanan kuda itu pecah.
Binatang
tunggangan Ganco Bumi ini meringkik keras sambil angkat ke dua kaki depannya
tinggi-tinggi, melemparkan Ganco Bumi dari punggungnya!
"Bangsat!
Makan ini!" teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir balik di udara tangan
kirinya dihantamkan ke arah Wiro. Lima buah senjata rahasia terbuat dari besi
hitam berbentuk bintang bersudut tiga melesat ke arah Pendekar 212.
Melihat
datangnya serangan ganas ini Wiro segera melompat dari atas kereta. Tapi
begitu kedua kakinya menginjak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam
dengan ganco besinya.
Wuuut!
Ujung
tajam senjata di tangan Ganco Bumi menderu menyambar ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan ini sama sekali tidak terduga dan sangat cepat.
Pendekar
212 berseru tegang. Dia melompat sambil miringkan kepala untuk selamatkan
leher. Dia berhasil. Tapi lagi-lagi tidak terduga ganco besi itu menukik ke
bawah, menyapu ke arah bawah perutnya!
Untuk
kedua kalinya Wiro berkelit dengan melompat ke belakang. Meskipun dia sempat
menyelamatkan anggota rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan, namun
Wiro tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung tajam ganco besi merobek
dan menembus paha celana Pendekar 212 lalu melukai daging pahanya.
Wiro
mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api membara. Murid Eyang Sinto
Gendeng ini sadar kalau senjata lawan memiliki racun sangat jahat!
Di
depannya Ganco Bumi tertawa bergelak.
"Pemuda
gila! Ternyata hanya sebegitu saja kehebatanmu! Kau tunggulah beberapa kejapan
mata! Racun ganco besiku akan menghancurkan jantungmu! Tapi sebelum mampus
harap kau beritahu mengapa kau menghadang perjalananku!"
"Manusia
iblis! Jangan terlalu cepat gembira!" jawab Wiro. Meskipun Eyang Sinto
Gendeng menyatakan dirinya kebal terhadap segala macam racun namun Wiro tak mau
bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang terluka guna mencegah
menjalarnya racun ke dalam aliran darahnya.
"Aku
bukan cuma menghadang jalanmu tetapi menghadang nyawa busukmu!"
"Setan
alas! Kau masih belum menjawab pertanyaanku! Apa kau tidak tahu kalau sebentar
lagi nyawamu bakalan putus?!"
Wiro
sunggingkan seringai mengejek.
"Beberapa
waktu lalu kau dan dua saudaramu menyerbu desa Jatingaleh. Kalian bukan saja
merampok harta benda penduduk, tapi juga membunuh dan menculiki Kepala desa dan
istrinya ikut jadi korban. Anak gadis mereka kalian culik dan kalian rusak
kehormatannya! Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro. Anak
gadis kepala desa Jatingaleh kemudian kau berikan pada Adipati Demak sebagai
hadiah dan umpan keji! Sekarang kau lihat sendiri pembalasan bagi
manusiamanusia terkutuk itu! Anggoro dan Bandoro Wiseso ada dalam peti mati.
Peti itu masih cukup besar untuk menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan
Ganco Item lainnya!"
Sesaat
Ganco Bumi jadi terkesiap mendengar ucapan Wiro. Namun di lain kejap manusia
bermuka hitam ini membentak garang.
"Bangsat!
Rupanya kau bangsa manusia yang ingin jadi pahlawan! Lalu apa urusanmu
sebenarnya melakukan semua ini?!"
"Ranalegowo,
kepala desa Jatingaleh adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan
adatah kakekku dan gadis yang kau culik itu adalah sepupuku! Apa perlu
penjelasan lagi manusia muka pantat kuali?!"
"Hemm….
Jadi kau rupanya muncul untuk menuntut balas!" Ganco Bumi kembali tertawa
gelak-gelak. "Kau tak punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelum kau sempat
menghitung sampai sepuluh!"
Ganco
Bumi menunggu beberapa saat. Pada perkiraan hitungan yang kesepuluh hatinya
mulai risau dan tampangnya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak
berdiri. Sama sekali tidak menemui kematian akibat racun ganas ganco besinya!
Tak ada
jalan. Dia harus benar-benar melumat tubuh pemuda itu. Maka didahulul satu
bentakan keras Ganco Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya
sungguh luar biasa. Ganco besi di tangannya lenyap, berubah menjadi
lingkaran-lingkaran yang sabung menyabung mengurung Pendekar 212 dari segala
penjuru.
Sebagai
orang kedua dalam komplotan Ganco Item memang Ganco Bumi memiliki kepandaian
yang sangat tinggi. Antara dia dengan kakaknya hanya terpaut satu tingkat saja.
Tetapi Ganco Langit memiliki satu kehebatan yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi
yakni semacam ilmu kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun senjata.
Tubuhnya bisa dibuat babak belur tetapi tidak mungkin untuk membunuhnya selama
tidak diketahul kelemahannya. Ganco Bumi telah berulang kali meminta pada
kakaknya itu agar dia diberi petunjuk bagaimana cara mendapatkan ilmu kebal
tersebut. Namun Ganco Langit tak pernah mengabulkan permintaan adiknya itu.
Untuk
beberapa lamanya Wiro merasakan dirinya tertekan dan seolah-olah tak bisa
keluar dari buntalan serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang mampu
mengimbangi serangan Ganco Bumi. Setelah didesak terus selama empat jurus
Pendekar 212 mulai berusaha mengirimkan serangan-serangan balasan. Dia mainkan
jurus-jurus silat Gila Tua yang terkenal ampuh dalam bertahan. Secara bersamaan
dia keluarkan jurusjurus silat Eyang Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan
pada kedua telapak tangannya.
Ternyata Ganco
Bumi mengetahui apa yang dilakukan lawannya. Karenanya, sebelum Wiro mulai
melancarkan serangan yang mengandung tenaga dalam, Ganco Bumi melipatgandakan
kecepatan serangannya. Kini bukan saja senjatanya yang lenyap, tubuhnyapun
berubah menjadi bayang-bayang.
Wiro
menghantam sebat beberapa kali, tapi hanya mendapatkan pukulan-pukulannya
menghantam tempat kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak terhadap
lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri hingga punya kesempatan untuk
melancarkan serangan.
Wiro
keluarkan suitan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke arah kerapatan pohon-pohon
jati. Ganco Bumi mengejar. Wiro melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu
dilakukannya berulang kali.
"Pengecut!"
teriak Ganco Bumi. Ganco di tangan kanannya menderu kian kemari. Batang-batang
pohon berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat dibayangkan kalau
senjata Itu sempat mengoyak tubuh Wiro.
Ketika
Ganco Bumi mengejar terus dan jarak mereka terpisah tiga pohon, Wiro pergunakan
kesempatan untuk melepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang".
Ganco
Bumi terkesiap ketika mendengar ada deru angin laksana gemuruh badai menghantam
ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke balik pohon jati besar. Dua pohon jati
di depannya tampak bergetar hebat, hampir tercabut dari akarnya.
"Keparat!
Yang kuhadapi bukan manusia! Bagaimana dia bisa memiliki kekuatan sehebat
itu!" berucap Ganco Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya
mengambil senjata rahasia besi bintang tiga. Selagi dia mengintai mencari kesempatan
untuk melepaskan senjata rahasia itu, dari seberang sana Wiro kembali
menghantam dengan pukulan sakti tadi.
Ganco
Bumi memaki habis-habisan. Dia selamatkan diri dengan membuat lompatan berputar
hingga akhirnya dia berada tepat di belakang Wiro.
"Sekarang
tamat riwayatmu!" kertak Ganco Bumi. Didahului dengan melemparkan lima
senjata rahasia berupa besi berbentuk bintang tiga itu,
Ganco
Bumi kemudian menyerbu dengan ganco beracun.
Saat dia
melompat itulah, sebuah bends tiba-tiba melayang dari atas pohon di sampingnya.
Lalu terdengar suara pekik melengking keras. Ternyata Ken Cilik telah
meninggalkan kereta dan naluri binatang ini menginginkan dirinya untuk ikut
membantu Wiro membunuh orang yang telah membunuh tuannya.
Ken Cilik
berhasil bergayut di punggung Ganco Bumi. Kuku-kukunya mencengkeram dan
taring-taringnya dihunjamkan ke daging Ganco Bumi. Orang ini menjerit
kesakitan.
"Binatang
keparat!" Ganco Bumi pergunakan tangan kirinya menangkap tubuh Ken Cilik.
Dia berhasil mencengkeram kuduk monyet ini lalu membantingkannya ke tanah. Ken
Cilik memekik keras dan berguling-guling di tanah.
Pendekar
212 Wiro Sambleng pukulkan tangan kanannya. Dua senjata rahasia lawan mencelat
mental. Yang tiga lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah. Selagi
Wiro bergulingan Ganco Bumi cepat mendatangani sambil ayunkan ganconya ke perut
Wiro.
Kaki
kanan Pendekar 212 melesat ke atas lebih cepat.
Kraakkk!
Tulang
sambungan siku tangan kanan Ganco Bumi hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas
mental jeritan orang ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kirinya
mengeruk saku pakaiannya untuk mengambil senjata rahasianya. Namun kembali kaki
kanan Wiro bergerak. Kali ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag!
Ganco Bumi terbanting terbanting tertelentang di tanah. Sewaktu dia mencoba
bangun lutut kiri Wiro sudah menekan perutnya. Lalu terjadilah pembalasan
dendam itu.
Tinju
Wiro kiri kanan menderu bertubi-tubi menghantam dada dan muka Ganco Bumi.
Tulang-tulang iganya berpatahan. Tulang dada melesak remuk. Mukanya babak
belur. Darah mengucur dari mulut, hidung dan kedua matanya!
Wiro
tidak tahu berapa lama dia menghujani Ganco Bumi dengan hantaman-hantaman keras
itu. Dia baru berhenti ketika kedua tangannya terasa sakit. Tapi begitu
mendengar suara erangan tanda orang itu masih belum mati, Wiro jambak rambut
Ganco Bumi lalu menghantamkannya ke batang pohon jati. Terdengar suara
menggidikkan ketika batok kepala Ganco Bumi beradu dengan pohon jati dan
rengkah!
Ken cilik
memekik panjang.
Wiro angkat
tubuh Ganco Bumi yang sudah jadi mayat itu lalu melemparkannya ke dalam peti
mati. Tiga mayat kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat Pendekar 212
memandang berkeliling sambil menggaruk kepala. Pandangannya membentur salah
seorang anak buah Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan saat itu
masih terkapar di tanah dengan luka panjang di wajahnya dan masih mengucurkan
darah.
Wiro
dekati anggota komplotan penjahat ini, cekal kerah bajunya kuat-kuat sementara
tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi siap untuk menghantam muka yang cidera
berat itu.
"Jangan!
Ampuni selembar nyawaku!" ratap orang itu yang sebelumnya telah
menyaksikan secara menggidikkan bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan
tangan kosong.
Wiro
menyiringai.
"Kalau
kau masih ingin hidup, turut apa yang aku perintahkan!" katanya. Lalu anak
buah komplotan penjahat itu dilemparkannya ke bagian depan kereta.
********************
12
GANCO
LANGIT melangkah mundar-mandir. Sebentarsebentar tangan kanannya dipukulkan ke
batangbatang pohon yang ada di dekatnya hingga kulit pohon itu melesat atau
pecah terkelupas. Dia sedang kesa! dan marah.
"Keparat
Ganco Bumi itu! Sudah siang begini masih belum kelihatan pangkal
hidungnya!"
Jaminten
yang tegak di sebelahnya berkata, "Janganjangan adikmu itu tidak membawa
gadis itu langsung ke tujuan, tapi mampir dulu di satu tempat melampiaskan
nafsunya!"
Tampang
hitam Ganco Langit kelihatan membesi. "Kalau itu dilakukannya aku akan
menghajarnya sampai dia tahu rasa!" Lalu pimpinan gerombolan Ganco Item
ini mendongak ke atas. Sang surya tampak mulai condong ke barat. Sasuai
perjanjian Ganco Bumi harus sudah berada di lembah itu paling lambat tengah
hari.
"Ganco
Langit," Ganco Laut buka suara. "Dari pada menunggu menghabiskan
waktu, bagaimana kalau kita bergerak saja ke Demak sekarang juga. Seorang anak
buah kita tinggalkan di sini. Kalau Ganco Bumi datang dia bisa memberi tahu
agar menyusul kita."
Ganco
Langit bimbang sesaat. Namun akhirnya dia menyetujui pendapat Ganco Laut itu.
Seorang anggota gerombolan ditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco Bumi. Tak
ada seorangpun di antara mereka yang bakal menduga kalau kelak Ganco Bumi akan
muncul hanya tinggal tubuh kasarnya saja dalam keadaan memar hancur.
Rombongan
berkuda itu bergerak cepat menuju Demak. Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco
Laut. Disebelah belakang mengikuti sepuluh orang anak buah mereka. Lalu sebuah
gerobak ditarik dua ekor kuda. Jaminten berada di atas gerobak ini, duduk di
samping kusir. Setelah gerobak menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan.
Tepat
pada saat matahari tenggelam, setelah menempuh perjalanan begitu jauh
rombongan akhirnya sampai di pinggir timur Demak. Dari sini mereka sengaja
mengambil jalan mengitari pinggiran kota untuk sampai di sebuah tanah datar
dimana terdapat sebuah Masjid Besar.
Masjid
ini, memiliki halaman luas. Bangunannya pun luas sekali. Di salah satu bagian
mesjid terdapat sebuah ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa orang
saja yang tahu, disimpan beberapa barang pusaka Kerajaan. Barang-barang Itu
antara lain adalah sebuah tameng emas yang bagian tengahnya dihias dengan
sebuah batu merah delima sebesar telur burung. Pada pinggirannya ditaburi
dengan berbagai batu permata mutu manikam serta mutiara. Laiu ada sebuah gong
yang juga terbuat dari emas, sebuah rompi emas berhiaskan berlian. Sebelah
keris bernama Kiyai Plered yang juga terbuat dari emas. Kemudian ada pula
seperangkat alat-alat minum dari emas yang konon kabarnya merupakan hadiah dari
seorang kaisar di Tiongkok yang memerintah sekitar seratus tahun silam.
Entah
bagaimana komplotan Ganco Item berhasil mengetahul tentang barang-barang pusaka
berharga itu. Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu hanya
dijaga oleh tujuh orang perajurit yang sehari-hari selalu berpakaian santri dan
seorang tua yang dipanggil dengan nama Syekh Martani. Di mata Ganco langit dan
kawan-kawannya pengawalan seperti itu sama sekali tak ada artinya.
Dalam
Mesjid Besar Syekh Martani tengah menjadi Imam pemimpin solat Magrib. Hanya ada
dua perigawal berjaga-jaga dekat ruangan penyimpanan benda-benda pusaka.
Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ganco Langit dan
kawan-kawannya. Mereka memasuki pintu halaman Mesjid Besar hampir tanpa suara.
Di bawah pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut lima belas orang anggota
gerombolan bergerak menuju ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga
itu. Lima anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di halaman belakang
mesjid.
Dua
penjaga yang ada di tempat itu disergap lalu dihabisi nyawa mereka tanpa
banyak susah. Ganco Langit lalu berusaha mencari kunci pintu ruang penyimpanan
barang pusaka. Beberapa orang menggeledah mayat dua penjaga. Tapi mereka tak
berhasil menemukan anak kunci. Dengan tidak sabaran Ganco Langit mendobrak
pintu ruangan hingga jebol. Begitu pintu terpentang Ganco Langit memberi
isyarat pada tiga orang anak buahnya lalu masuk ke dalam setelah menyuruh Ganco
Laut tetap di luar untuk berjaga-jaga. Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena
ada rasa kawatir kalau-kalau Ganco Laut akan berbuat curang, mencuri dan
menyelinapkan barang-barang berharga yang ada di situ.
Ruangan
yang dimasuki itu berada dalam keadaan gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk
adalah berkas cahaya dari ruangan sembahyang. Tapi mata manusiamanusia
penjahat seperti Ganco Langit yang sudah terbiasa dengan kegelapan, tidak
menemui kesulitan. Dia dan anak buahnya segera dapat melihat barang-barang
berharga itu tersusun rapi di atas sebuah rak panjang.
"Cepat
ambil! Masukkan ke dalam kereta!" kata Ganco Langit lalu menyambar perisai
emas dan gong emas. Tiga anak buahnya cepat-cepat membenahi semua barang
barang
pusaka di atas rak.
"Cepat!"
kata Ganco Langit lalu mendahului keluar.
Ketika
Ganco Langit mendobrak pintu ruangan penyimpanan barang, suara jebolnya pintu
terdengar sampai di ruangan sembahyang yang luas. Mau tak mau Syekh Martani dan
para jamaah lainnya menjadi terganggu kekhusukan sembahyang mereka. Lima orang
pengawal yang tengah solat Magrib saat itu menjadi curiga dan mereka tidak bisa
menguasai diri lagi. Kelimanya lari berserabutan ke bagian belakang mesjid.
Mereka terkejut sewaktu mendapatkan dua teman mereka terkapar di depan ruangan
penyimpanan barang dalam keadaan berlurnuran darah dan tak bernyawa lagi.
Kelimanya masih sempat melihat punggung beberapa orang yang melarikan diri ke
halaman belakang mesjid sambil memboyong barang-barang berharga. Langsung saja
para pengawal ini berteriak lalu mengejar. Namun saat itu mereks tidak membawa
senjata. Enam orang anggota gerombolan yang bersenjatakan ganco besi segera
menghadang dan menyerang. Hanya beberapa gebrakan saja para pengawal itu jatuh
bersungkuran dengan luka-luka mengerikan di kepala, leher atau badan mereka!
Mesjid Besar menjadi geger!
Syekh
Martani menyelesaikan solatnya dalam keadaan sangat tidak khusuk. Begitu
memberi salam orang tua ini cepat menyambar sebuah tongkat yang ujungnya
ditancapi besi lancip. Sekali berkelebat dia sudah berada dihalaman belakang
Mesjid Besar.
"Pencuri-pencuri
terkutuk!" teriak Syekh Martani. Dia mengira yang memboyong barang-barang
pusaka itu adalah pencuri-pencuri biasa.
"Ganco
Laut! Bereskan orang tua itu!" berteria Ganco Langit.
Ganco
Laut bukannya langsung melakukan apa yang dikatakan Ganco Langit, tapi malah
menyuruh tiga orang anak buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri
kemudian ikut lari menuju kereta.
Ketika
ada tiga orang menghadangnya lalu menyerang dengan senjata berupa ganco-ganco
besi barulah Syekh Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan
pencuripencuri biasa. Orang tua ini begitu melihat senjata yang tergenggam di
tangan tiga penghadangnya serta merta merasakan darahnya berdesir.
"Gerombolan
Ganco Item!" katanya dengan hati tergetar. Sebagai penjaga keselamatan
barangbarang pusaka itu tak ada jalan lain. Dia harus mengorbankan jiwa raganya
untuk mendapatkannya kembali!
Syekh
Martani putar tongkatnya begitu tiga lawan menyerbu.
Tiga anak
buah gerombolan Ganco Item sama terkejut ketika senjata masing-masing bentrokan
dengan tongkat di tangan si orang tua. Tangan mereka tergetar hebat. Dengan
kertakan rahang ketiganya kembali menyerang.
********************
13
HAMPIR
bersamaan dengan saat Syekh Martani dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco
Langit, di bawah udara yang mulai berangsur gelap, sebuah kereta ditarik dua
ekor kuda memasuki pintu pagar Mesjid Besar. Kendaraan ini berhenti di pintu
pagar seperti sengaja hendak menutupi jalan.
Di atas
kereta, duduk sebagai kusir seorang lelaki yang ada luka melintang di Mukanya.
Noda darah yang telah mengering pada muka itu membuat tampangnya menjadi seram.
Di atas
kereta itu terlihat sebuah peti mati hitam dan besar. Papannya sebelah atas
nampak tertutup. Di samping kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah pucat.
Rambutnya riap-riapan. Kedua matanya memandang lurus-lurus ke depan. Tubuhnya
tidak bergerak sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung peri yang
angker. Seekor monyet coklat duduk di pangkuannya.
Seperti
gadis itu, binatang inipun memandang luruslurus ke depan. Dari mulutnya keluar
suara mengerang halus.
Ketika
dia melihat sosok Ganco Langit dan Ganco Bumi binatang ini langsung meiornpat
dan berteriak-teriak.
Semua
barang rampokan sudah dimaSukkan ke dalam kereta. Ganco Langit memberi tanda
tinggalkan tempat itu. Namun dari terheran-heran kemudian menjadi marah ketika
melihat ada sebuah kereta berhenti di pintu pagar menghalangi jalan keluar.
"Kurang
ajar! Singkirkan kereta sialan itu!" teriak Ganco Langit.
Pada saat
itu pula di bagian belakang Masjid Besar terdengar suara pekikan-pekikan.
Ketika Ganco Langit, Ganco Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya
berpaling, mereka bagaimana tiga orang kawan mereka satu demi satu tersungkur
di tanah sambil pegangi perut dan dada yang ditembus tongkat Syekh Martani!
"Haram
jadah!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Tadi aku
perintahkan kau membereskan orang tua itu!" teriak Ganco Langit beringas.
"Ternyata
Syekh Martani bukan orang tua sembarangan Ganco Langit," menjawab Ganco
Laut.
"Perduli
setan siapa dia kusuruh untuk menghabisinya saat ini juga!" bentak Ganco
Langit. Dia berpaling ke arah kereta yang menutupi pintu.
Tiba-tiba
gerobak yang dimuati barang-barang rampokan bergerak kencang ke arah kiri,
melabrak pagar bambu dan terus menghambur dalam ke gelapan malam. Jaminten yang
bertindak sebagai kusir gerobak itu mencambuki dua kuda penarik sekuat-kuatnya
hingga kedua binatang itu lari seperti kesetanan.
"Hail
Jaminten!" teriak Ganco Langit. Belum sempat terpikir oleh benaknya apa
yang tengah berlangsung, mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan
barang-barang berharga itu. Baru saja dia hendak berlari ke kudanya untuk
mengejar tiba-tiba orang yang duduk di atas kereta melompat turun dan
berteriak-teriak memanggil namanya.
"Ganco
Langit! Ganco…!" Orang itu lari ke arah Ganco Langit pada saat Ganco
Langit baru saja naik ke punggung kudanya. Dalam keadaan seperti itu Ganco
Langit langsung saja tendang orang yang mendatangi sambil memanggilnya itu.
Tendangan itu agak meleset hingga meskipun jatuh yang ditendang masih sempat
bangun dan kembali
berteriak.
"Ganco
Langit… Ganco Bumi mati dibunuh …!"
"Hah!
Apa katamu?!" Ganco Langit tahan tali kekang kudanya dan menoleh. Baru
saat Itu dia mengenali wajah yang luka mengerikan itu.
"Astaga!
Bukankah kau salah seorang yang ikut bersama Ganco Bumi ke tempat kediaman
Adipati Demak?! Mana adikku?!"
"D…dia…"
Orang itu menunjuk ke arah kereta di pintu pagar.
"Ganco
Bumi mati…mati dibunuh…"
"Bangsat!
Jangan kau berani bergurau!"
"Saya
tidak bergurau Ganco…lihat sendiri! Mayat Ganco Bumi ada di atas kereta
itu…!"
Ganco
Langit sentakan tali di ujung sana. Begitu sampai di dekat kereta, terkejutlah
Ganco Langit. Perempuan yang duduk tak bergerak di atas kereta itu ternyata
adalah Sumiati, anak gadis Ranalegowol Bukankah dia seharusnya berada di tempat
kediaman Adipati Demak saat itu?
Monyet di
atas kereta tiba-tiba menjerit-jerit dan melompat-lompat kembali. Ganco Langit
merutuk. Matanya mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di situ. Dia
memandang lekat-lekat pada peti mati hitam.
Tiba-tiba
terdengar suara berkeretakan. Penutup peti mati perlahan-lahan terbuka. Ganco
Langit mencium bau tidak enak. Bau amisnya darah! Matanya membeliak
memperhatikan penutup peti
mati yang
terus membuka hingga akhirnya terpentang lebar. Kedua mata Ganco Langit kini bukan
cuma membeliak, tapi seperti hendak terbongkar dari rongganya!
Di dalam
peti mati itu! Qia melihat sosok tubuh yang hancur memar tapi masih bisa
dikenalinya. Itu adalah sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di sebelah
mayat adiknya masih ada mayat lain, juga di sebelah bawah. Tapi dia tidak
perduli pada mayat-mayat lain itu. Dia hanya perduli pada mayat adiknya.
"Ganco
Bumi!" teriak Ganco Langit menggeledek. "Siapa yang membunuhmu!"
Dia hendak melompat dari punggung kudanya ke atas kereta. Tapi tiba-tiba
dilihatnya sosok mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco Langit
merinding. Adiknya jadi mayat hidup!
********************
14
MENDADAK
mayat Ganco Bumi disangka bergerak hidup itu jatuh terhempas ke dalam peti
kembali! Bersamaan dengan itu sesosok tubuh lain menyeruak muncul dari dalam
peti di iringi suara tawa bergerak!
Ganco
Langit mundurkan kudanya ketika menyasikan bagaimana sesosok tubuh pemuda
berpakaian putih kumal dan penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu
berdiri di atas peti mati. Saat itulah Ganco Langit sempat melihat mayat
Bintara Anggoro dan mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso. Seganas-ganasnya
manusia seperti Ganco Langit, mau tak mau dia jadi tercekat.
"Siapa
kau?!" dia menghardik pada pemuda yang masih berdiri di dalam peti mati.
Pendekar
212 Wiro Sableng menyeringai.
"Aku
Malaikat Maut yang telah mengambil nyawa busuk adikmu serta dua sekutumu!
Sekarang giliranmu untuk kujemput!" Dosa kalian sedalam lautan setinggi
langit!"
"Orang
gila keparat!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Kau
bereskan orang sinting ini! Aku akan mengejar perempuan gemuk yang kabur
membawa barang-barang pusaka itu!"
"Kau
saja yang membereskannya. Biar aku yang mengejar Jaminten!" menjawab Ganco
Laut.
"Turut
perintahku! Jangan berani membantah!"
"Sekali
ini aku terpaksa membangkang Ganco Langit! Aku sudah memutuskan untuk tidak
bergabung lagf dalam komplotan Ganco Item!"
"Keparat
kau Ganco Laut!" teriak Ganco Langit. "Aku tahu apa yang.ada di
benakmu!" Ganco Langit ingat pada kejadian beberapa waktu lalu.
Malam-malam ketika Ganco Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandi dan
bersenangsenang di kali kecil.
Ganco
Laut tak mau berdebat panjang dengan Ganco Langit. Dia menggerakkan kudanya.
"Mau
kemana kau Ganco Laut? Jangan kira aku tidak tahu persekongkolan kalian! Kau
dan Jaminten sama-sama pengkhianat! Jangan kau berani meninggalkan tempat
ini!"
"Aku
pergi!" kata Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut menangkap tangan itu.
Untuk sesaat keduanya saling mencengkeram dan saling melotot satu sama lain.
"Mengingat
hubungan kita dimasa lalu, aku tak suka kita saling melakukan kekerasan, Ganco
Langit. Itu bukan berarti aku takut padamu. Aku tahu kau manusia kebal macam
senjata dan pukulan. Tapi aku juga tahu di mana rahasia kelemahanmu! Jadi
jangan coba-coba mencegah!"
"Anjing
kurap! Lebih cepat kau mampus lebih baik!" teriak Ganco Langit. Lalu dia
hunus ganconya. Sinar putih berkelebat dalam gelapnya malam. Ganco di tangan
pimpinan penjahat itu terbust dari besi putih.
"Apa
maumu akan kulayani Ganco Langit!" tukas Ganco Laut. Lalu diapun mencabut
ganconya yang terbuat dari besi hitam seperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih
di atas kuda kedua pimpinan gerombolan ini mulai saling baku hantam. Sementara
anak buah mereka meyaksikan dengan terheran-heran spa yang terjadi. Kebencian
satu sama lain serta keserakahan telah membuat Ganco Langit dan Ganco Laut
melupakan bahwa seharusnya mereka bergabung untuk menghadapi Wiro yang telah
membunuh Ganco Bumi!
Di atas
kereta Pendekar 212 Wiro Sableng menggerendeng. Dia tak Ingin kedua orang itu
saling berbunuhan. Kalau mereka harus mati maka dialah yang akan membunuhnya.
Demi untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi
serta sejuta penderitaan yang kini dirasakan Sumiati saudara sepupunya.
Wiro
memegang bahu Sumiati yang sebelumnya memang sengaja didudukkan Wiro setelah
ditotok lebih dahulu. Dia ingin Sumiati menyaksikan pembalasan yang akan
dilakukannya terhadap dua dari tiga manusia yang telah membunuh kedua orang
tuanya dan kakeknya serta merusak kehormatan gadis itu secara keji!
Ken Cilik
memekik keras.
Tubuh
Pendekar 212 melesat dari atas kereta.
Sesaat
kemudian terdengar suara dua kuda meringkik kesakitan. Binatang-binatang ini
menyentakan kaki-kaki depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco
Laut yang menunggunya tercampak ke tanah walaupun mereka bisa jatuh dengan
dengan kedua kaki dahulu. Saat itu keduanya baru sadar bahwa yang harus mereka
lakukan ialah menghadapi Pendekar 212.
"Ganco
Laut! Untuk sementara lupakan dulu pertikaian kita! Bantu aku menghabisi
bangsat yang telah membunuh adikku ini!"
Sesaat
Ganco Laut tampak agak ragu. Namun kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah
mendahului melompat menyerang Wiro.
"Tahan!"
mendadak terdengar suara seruan.
Syekh
Martani muncul di tempat itu. Dia memandang ke arah Ganco Langit dan Ganco Laut
dengan mata berapiapi.
"Kalian
merampok harta pusaka Kerajaan! Lekas kembalikan atau kalian akan kutebas
seperti tiga anak buah kalian!"
"Tua
bangka tak berguna!’ Kau mampuslah duluan!’ bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu
sebuah ganco besi hitam berkelebat.
Syekh
Martani tusukkan tongkat kayu yang berujung besi lancip. Tapi mendadak dia
merasakan leher pakaiannya ditarik orang ke belakang hingga baik tusukan tongkatnya
maupun hantaman ganco Ganco Laut yang hanya mengenai udara kosong.
Berpaling
ke belakang Syekh Martani dapatkan bahwa pemuda berambut gondrong itulah yang
barusan menariknya.
"Lepaskan
peganganmu! Apa-apaan ini?!" teriak orang tua itu.
"Jika
kau ingin dapatkan barang-barang itu kembali, cepat menuju ke timur. Kejar
sebuah gerobak yang dikendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang itu
ada dalam gerobak!" Wiro tarik lagi leher pakaian orang tua itu hingga
Syekh Martani kembali terjajar ke dekat pintu pagar. Merasa apa yang dikatakan
si pemuda memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas punggung
seekor kuda. Tapi enam orang anak buah Ganco Langit sudah mengurungnya.
"Apa
kau sudah siap untuk mati, pemuda gila?" Ganco Langit bertanya dengan nada
mengejek pada Pendekar
212. Dia
tidak lagi memperdulikan Syekh Martani karena anak buahnya sudah mengurung
orang tua itu.
Wiro
tertawa kecil. "Terbalik!" katanya. "Justru akulah yang telah
menyediakan peti mati bagi kalian berdua. Bersama tiga orang yang sudah ada di
dalam sana kalian bisa berangkat ke neraka!"
Murid
Eyang Sinto Gendeng ini lalu cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik
pakaiannya. Ganco Langit dan Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco
Langit bergerak lebih dahulu, disusul oleh Ganco Laut. Kedua orang ini baru
sadar bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senjata sembarangan ketika Wiro
mulai alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kapak itu tampak mengeluarkan
cahaya lebih terang dalam gelapnya malam.
Ganco
Langit dan Ganco Laut keluarkan seruan tertahan ketika sinar menyilaukan
membabat di udara disertai menghamparnya hawa panas menyengat ditambah
menderunya suara aneh seperti ada ribuan tawon menyerbu.
Ganco
Laut cepat tarik tangannya guna menghindari bentrokan senjata. Dia maklum bukan
saja senjata berbentuk kapak bermata dua di tangan pemuda gondrong itu adalah
sebuah senjata muslika tetapi lawan juga jelas memiliki tingkat tenaga dalam
yang tinggi.
Lain
halnya dengan Ganco Langit. Merasa memiliki ilmu kebal yang tidak bisa
ditandingi apa Jan siapapun dia coba menggaet senjata lawan dengan ganco besi
putihnya. Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar dari Kapak
Naga Geni 212 semakin menyilaukan. Dia terus membabat. Dan trang!
Ganco
Laut berseru kaget sambil melompat mundur. Ganco besi putihnya kini hanya
tinggal gagangnya saja yang ads dalam genggamannya. Bagian yang lain telah
amblas putus di hantam senjata lawan.
Selagi
Ganco Langit terkesima oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya itu, Kapak
Naga Geni 212 berbalik lalu menghantam ke arah dadanya. Ganco Langit terlambat
untuk mengelak.
Bukkk!
Mata
Kapak Maut naga Geni 212 melabrak dadanya dengan telak. Kepala gerombolan Ini
mengeluh. Tubuhnya terjengkang di tanah. Dada baju hitamnya tampak robek dan
hangus! Tapi hebatnya Ganco Langit tampak berdiri kembali meskipun agak
terhuyung-huyung.
Sesaat
Pendekar 212 jadi bingung menyaksikan bagaimana senjata mustikanya tidak
mempan terhadap Ganco Langit.
"Durjana
ini rupanya memiliki ilmu kebal luar biasa!" membatin Wiro. "Adiknya
tidak memiliki ilmu kebal. Bagaimana dengan Ganco yang satu?"
Saat
itulah tiba-tiba Ganco Langit menerjang dan hantamkan tinjunya kiri-kanan
bertubi-tubi. Wiro terjajar beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang
berhasil mendera dada dan pipi kirinya!
Dengan
darah mendidih Wiro bacokkan senjatanya. Hebatnya sambil tertawa-tawa Ganco
Langit seperti sengaja memasang diri. Kapak Naga Geni 212 bergedebukan di
tubuhnya. Tubuh Ganco Langit memang terpental atau terbanting berkali-kali.
Tapi jangankan luka, tergores sajapun tidak. Hanya pakaian hitam yang
dikenakannya saja yang penuh robek serta hangus disanasini.
"Puaskan
hatimu sebelum kepaiamu kupuntir sebentar lagi!" kata Ganco Langit masih
terus mengumbar suara tawa.
"Bangsat
ini benar-benar hebat. Kalau kapakku saja sudah tidak tembus naga-naganya aku
bisa celaka!" pikir Wiro. "Aku harus cari akal. Putar siasat!"
Wiro
melirik ke arah Ganco Laut. "Kuharap saja bangsat satu ini tidak memiliki
ilmu kebal yang sama!"
Memikir begitu
Wiro iancarkan serangan ke arah Ganco Laut. Serangannya seperti orang kalap,
ganas luar biasa. Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat
mengelakkan senjata lawan.
Ganco
Langit mendatangi dari samping. Wiro maklum dia harus segera membereskan Ganco
Laut lebih dahulu. Apa dia bisa menghadapiGanco Langit sesudah itu adalah
urusan nanti.
Ganco
Laut bukanlah seorang penjahat sembarangan. Dia memiliki dasar ilmu silat yang
tinggi dan tenaga dalam yang ampuh. Namun diserang secara bertubi-tubi seperti
itu lama-lama membuat dia kelabakan juga. Pada jurus ke sembilan, Kapak Maut
Naga Geni 212 memapas bahu kirinya. Ganco Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas
dan darah mulal mengucur! Selagi dia terhuyung-huyung senjata mustika di tangan
Wiro itu kembali membabat.
Untuk
kedua kalinya Ganco Laut terpekik. Kali ini dadanya yang amblas dilanda kapak.
Tubuhnya terhuyung, kaku dia rubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta.
Untuk
dapat mendaratkan kapaknya ke dada Ganco Laut tadi Wiro harus membayar mahal.
Tubuhnya yang tidak terlindung berhasil dijotos Ganco Langit di bagian perut.
Tubuh Pendekar 212 terlipat ke depan. Ganco Langit hendak merampas Kapak Naga
Deni 212 dari tangan Wiro, tapi pemuda ini dengan cepat sodokkan gagang
senjatanya ke ulu hati Ganco Langit. Orang ini hanya mengeluh pendek. Setelah
itu dia kembali menyerbu Wiro. Berapa kali jotosannya mampir di tubuh murid
Eyang Sinto Gendeng, itu. Satu kali tendangan pada pinggangnya membuat Wiro
terjajar dan jatuh. Selagi dia mencoba bangun satu tendangan lagi menghantam
punggungnya.
Pendekar
212 semburkan darah segar dari mulutnya. Pemandangannya gelap beberapa saat.
Ketika penglihatannya pulih kembali teryata dia terduduk di tanah dekat sosok
Ganco Laut.
Ganco
Laut sendiri saat itu sudah menyadari bahwa dia tak bakal hidup lama. Maksudnya
untuk merampas Jaminten tak akan kesampaian. Rencananya dengan perempuan itu
melarikan barang-barang rampokan memang berhasil. Tapi dia tak akan pernah
merasakan hasil rampokan itu. Jaminten sendiri entah di mana sekarang. Sakit
hatinya terhadap Ganco Langit yang pasti akan hidup senang bersama Jaminten
apakah dapat dibalaskan?
Dia
menoleh, sesaat memperhatikan Wiro yang terduduk di sebelahnya dalam keadaan
babak belur. Tiba-tiba Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan
sakit hatinya terhadap Ganco Laut. Kalau memang dia akan segera menemui ajal
dia merasa tidak takut untuk mati. Tapi Ganco Langit juga harus ikut mati
bersamanya.
"Anak
muda," bisiknya pada Wiro. "Apapun yang kau lakukan, kau tak bakal
dapat membunuh lawanmu itu. Dia memiliki ilmu kebal. Kecuali jika kau bisa
menusuk atau menghancurkan mata kirinya dengan telak. Di situ letak
kelemahannya!"
"Terima
kasih…" sahut Wiro. "Tapi kau tetap menjadi penghuni peti
matiku!" Siku kanannya dihantamkam ke dada kiri Ganco Laut, tepat di arah
jantungnya. Tak ampun lagi orang ini langsung meregang nyawal
Ketika
Wiro mencoba berdiri. Saat itu dilihatnya Ganco Langit mendatangi dengan cepat.
Wiro tekan mata kepala naga Kapak Naga Geni 212. Dua lusin jarum halus berwarna
putih melesat dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak. Meskipun Ganco
Langit kebal terhadap segala macam senjata namun terperangah juga melihat
datangnya serangan itu. Lalu menyeruak senyum sinis di wajahnya. Dia membiarkan
saja jarum-jarum putih itu menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap.
Semuanya kemudian luruh ke tanah.
Meskipun
jarumnya tidak berhasii mencelakai lawan tapi tujuan utama Wiro adalah menipu
perhatian lawan. Selagi jarum-jarum putih berluruhan dan selagi Ganco Langit
tertawa mengejek Wiro lemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah kepala orang
itu.
Pemimpin
gerombolan Ganco Item ini meraung dahsyat lalu jatuh dan berguling-guling di
tanah. Kapak Naga Geni 212 masih menancap di mata kirinya. Wiro bangkit berdiri.
Dia melangkah mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di hadapannya Wiro
hantamkan kaki kanannya ke selangkangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya
Ganco Langit meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak bergerak
lagi.
Di atas
kereta air mata tampak mengucur dari kedua mata Sumiati. Ken Cilik merundukan
kepala seolah dapat merasakan penderitaan gadis mat!.
Satu demi
satu mayat Ganco Laut dan Ganco Bumi dilemparkan Wiro ke dalam peti mati.
Di
halaman kiri Mesjid Besar Syekh Martani mempertahankan diri mati-matian dari
keroyokan anak buah gerombolan. Tubuhnya luka-luka di beberapa bagian. Sebelum
Wiro sempat membantu orang tua ini, tiba-tiba sebuah gerobak diiringi oleh
hampir tiga puluh perajurit Kerajaan memasuki halaman melalui pagar yang telah
roboh diterjang gerobak yang dilarikan Jaminten. Kini gerobak itu pulalah yang
kembali.
Ario
Gelem, Perwira Muda dari Kadipaten Jepara dialah yang menjadi sais gerobak. Di
sampingnya Jaminten duduk tersandar dalam keadaan terikat ke tiang gerobak.
Mukanya yang gemuk tampak sembab tanda habis menangis.
"Hentikan
perkelahlan!" teriak Arlo Gelem. Anak buahnya segera mengurung para
penjahat yang tengah mengeroyok Syekh Martani. Melihat siapa yang datang
membawa pasukan begitu banyak, para penjahat seperti merasa putus asa. Apalagi
tak seorang pimpinan merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamatlah
nyawa Syekh Martani.
Bagaimana
Jaminten bisa digiring kembali ke Mesjid Besar bersama gerobak yang memuat
seluruh barangbarang rampokan itu?
Sejak
siang harl itu, Perwira Muda Arlo Gelem bersama serombongan pasukan yang
didatangkan dari Kotaraja telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka
kemudian mendapat kabar tentang adanya rencana perampokan harta benda Kerajaan
yang disimpan dalam Mesjid Besar. Karena itulah Aria Gelem kemudian memimpin
pasukan tersebut menuju Demak. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan
Jaminten yang memacu sendiri gerobak yang dilarikannya. Karena curiga Ario
Gelem memerintahkan Jaminten menghentikan gerobak untuk diperiksa. Mula-mula
perempuan gemuk itu menolak bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah
bendabenda pusaka Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka diapun ditangkap
dan dibawa kembali ke Demak.
Pendekar
212 Wiro Sableng mengusap kepala Ken Cilik Sumiati kemudian dibaringkannya
kembali di atas lantai kereta.
"Saatnya
kita meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti kita sudah penuh. Manusia-manusia
jahat yang kita cari sudah lengkap masuk di dalamnya."
Ken Cilik
menggembor halus lalu memekik tiga kali.
Ketika
kereta itu mulai bergerak untuk meninggalkan halaman Mesjid Besar tiba-tiba
Perwira Muda bernama Ario Gelem mengangkat tangannya memberi tanda agar
berhenti.
Wiro
tahan tali kekang dua kuda penarik kereta.
"Saudara,
kau terpaksa kami tangkap!" kata Ario Gelem.
Wiro
menatap wajah Perwira Muda Itu sesaat lalu bertanya, "Katakan apa
kesalahanku!"
"Kau
melakukan pembunuhan atas diri lima orang yang kini berada dalam peti mati
itu!" jawab Ario Gelem.
"Perwira
Muda," kata Wiro pula. "Coba terangkan padaku siapa-siaps saja adanya
ke lima orang yang ada di dalam peti mati itu."
"Aku
merasa tidak wajib menjawah-pertanyaanmu."
Siapapun
adanya mereka bukan dalih bagiku untuk membatalkan penangkapan!"
"Perwira,
kalau kau dapat mengembalikan kedua orang tua gadis malang sepupuku ini, kalau
kau bisa mengembalikan Kioro Mertan kakek kami, kalau kau bisa mengembalikan
penduduk Jatingaleh yang dibunuh oleh gerombolan Ganco item, saat ini juga aku
bersedia ditangkap!"
"Kau
bicara ngaco! Mana mungkin aku bisa menghidupkan orang yang sudah mati?!"
ujar Ario Gelem pula.
Pendekar
212 tertawa lebar. "Kalau begitu menurutmu, kuharap kau tidak menjadikan
hal itu sebagal persoalan lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk itu aku
akan berikan satu hadiah besar padamu!"
Habis
berkata begitu Wiro bergerak, ke belakang kereta. Dengan sekuat tenaga
didorongnya peti mati berisi lima mayat itu hingga akhirnya jatuh ke tanah.
"Itu
hadiah yang kukatakan tadi." ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Ario
Gelem hanya bisa berdiri seperti patung ketika Wiro membawa kereta meninggalkan
halaman Mesjid Besar. Dia tetap tak bergerak sampai gerobak dan penumpangnya
itu lenyap dikejauhan dalam kegelapan malam.
TAMAT
No comments:
Post a Comment