Wasiat Dewa
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
SATU
LIDAH
Tiga Bayangan Setan terjulur sedang kawannya si Elang Setan terbatuk-batuk
dengan mata basah memerah.
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?!” tanya Elang Setan.
“Aku
bersumpah akan membunuh Pangeran keparat itu!” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Jangan tolol!
Tingkat kepandaiannya di atas kita! Apalagi kini dia memiliki Kitab Wasiat
Iblis itu….”
“Kita
harus pergunakan akal! Cari kesempatan waktu dia lengah!”
“Kalau
begitu kita terpaksa mengikuti kemana dia pergi!” kata Elang Setan pula.
“Aku
benar-benar tidak suka ini! Pangeran jahanam! Mayatmu kelak akan kukupas!
Kulitmu kujembreng kujadikan mantel!” kertak Tiga Bayangan Setan. “Aku yakin
bisa membunuhnya. Ilmu Tiga Bayangan Setanku pasti bisa menaklukannya….Ayo kita
ikuti dia!”
Kedua
orang itu segera mengejar Pangeran Matahari. Tahu orang mengikuti sang Pangeran
menghentikan langkah dan berbalik.
“Kenapa
kalian mengikutiku?!” tanya Pangeran Matahari membentak dengan mata melotot.
“Maafkan
kami. Bukankah kami merupakan anjing-anjing pengawalmu? Jadi kemana Pangeran
pergi kami harus mengikuti.” jawab Tiga Bayangan Setan.
Pangeran
Matahari menyeringai. Dalam hati dia berkata. “Siapa percaya pada kalian!
Menurut mauku sebaiknya kubunuh saja keduanya saat ini daripada menyusahkan
dikemudian hari. Tapi hemmm…. Sebelum mereka mampus ada baiknya kuperalat lebih
dulu….” Sang Pangeran lalu dongakkan kepala. Kedua matanya dipejamkan tanda dia
tengah berfikir keras. Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan pada dua orang
di depannya.
“Kalian
berdua tak usah mengikuti aku!” kata Pangeran Matahari pula.
“Lalu…
lalu apa yang kami lakukan? Menunggu sampai datangnya saat kematian seratus
hari dimuka tanpa kau memberi obat penawar? Pangeran harap kasihani selembar
nyawa kami…” kata Elang Setan setengah meratap.
“Kalian
kembali ke sumur batu itu! Aku akan mengatur kedatangan seseorang….”
“Kembali
ke sumur batu…?” ujar Elang Setan sambil memandang pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa… apa
yang kami lakukan di sumur itu?” Tiga Bayangan Setan ajukan pertanyaan.
“Tunggu
sampai orang yang kumaksud itu datang!”
“Siapa
dia adanya Pangeran?” tanya Elang Setan.
“Seorang
pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212!”
“Pendekar
212 Wiro Sableng!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan hampir bersamaan
dengan muka berubah.
“Begitu
dia muncul di sumur batu dia harus segera kalian bunuh!”
“Pangeran….
Pendekar 212 bukan manusia sembarangan….”
“Jika dia
bukan manusia sembarangan apa berarti dia setan? Rupanya kalian takut…?
“Selama
hidup kami tidak mengenal takut. Tapi dalam keadaan keracunan seperti ini sulit
bagi kami….”
“Setan
alas! Aku tidak perduli apa kesulitan kalian! Kau punya satu kesulitan! Aku
punya seribu! Dan dengar, ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik.
Pendekar 212 harus tidak tahu kalau aku yang menyuruh kalian untuk membunuhnya!
Kalian dengar?!”
“Kami
dengar,” jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagus!
Aku pergi sekarang!”
“Pangeran!
Tunggu…!” seru Elang Setan.
“Kau
tidak dapat memastikan kapan Pendekar 212 muncul. Jika sampai lewat seratus
hari dia tidak datang, kami sudah mati konyol akibat racun dalam tubuh. Kemana
kami harus mencarimu?”
“Manusia
anjing! Kau tidak layak mengatur diriku! Jika aku tidak memberimu obat penawar
dalam waktu seratus hari berarti itu nasib kalian yang jelek! Ha… ha…ha…!”
Pelipis
Tiga Bayangan Setan menggembung sedang rahang Elang Setan terkatup rapat-rapat
tanda kedua orang ini tengah berusaha menahan meledaknya amarah yang saat itu
membakar diri masing-masing. Pangeran Matahari bukannya tidak tahu hal itu.
Sambil menyeringai dia berkata. “Kalau kalian merasa terlalu lama menunggu
kematian sampai seratus hari di muka, aku bersedia mengirimmu ke liang neraka
saat ini juga!” Lalu sang Pangeran mendongak dan angkat tangan kanannya.
“Tunggu!”
seru Tiga Bayangan Setan.
“Jangan!”
ujar Elang Setan cepat. “Kami akan mematuhi perintahmu. Kami akan berjaga-jaga
di sumur batu itu!”
“Bagus!
Sekarang menggonggonglah dan kembali ke sumur itu!” Pangeran Matahari balikkan
diri lalu tinggalkan tempat itu.
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan menggonggong beberapa kali. Sambil keluarkan
suara menyalak seperti anjing itu tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua
tinjunya. Dengan cepat dua kepalan itu diangkat ke atas lalu saling diadu di
atas kepala. Tiga bayangan seperti asap mengepul di kepalanya. Dia hendak
keluarkan ilmu kesaktiannya yaitu melepas tiga makhluk raksasa jejadian tapi
Elang Setan cepat menarik dan menghempaskan kedua tangannya ke bawah. Tiga
bayangan raksasa serta merta lenyap.
“Jangan
tolol! Kau mungkin bisa membokongnya dari belakang! Tapi kita berdua tidak
bakalan lolos dari kematian! Kau saksikan apa yang terjadi dengan Ratu
Pesolek!”
Tubuh
Tiga Bayangan Setan bergoncang keras akibat menahan kekuatan sakti yang tadi
dilepas dan kini terpaksa masuk kembali ke dalam tubuhnya.
“Apa kau
percaya dia bakal muncul memberi obat penawar racun yang ada di tubuh kita?”
sentak Tiga Bayangan Setan.
“Aku
memang tidak percaya padanya! Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik
menghabiskan sisa hidup seratus hari sambil mencari jalan dari pada langsung
mampus saat ini juga!” jawab Elang Setan.
Dengan
menghentakkan kaki Tiga Bayangan Setan kembali ke sumur batu. Saking kesalnya
tongkat sakti Wesi Ketatton yang tergeletak di tanah milik Jarot Ampel yang
mati dibunuhnya beberapa waktu lalu diinjaknya hingga amblas ke dalam tanah.
“Aku
bersumpah akan mengorek jantung Pangeran keparat itu Tiga Bayangan Setan. Lalu
kita santap bersama-sama! Sekarang kita terpaksa bersabar…” kata Elang Setan
setengah membujuk sambil pegang bahu saudara angkatnya itu.
“Aku akan
bersamadi,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Mungkin arwah guru yang ada di
dalam sumur bisa memberi petunjuk.”
“Aku
memilih tidur saja…” kata Elang Setan pula lalu duduk bersandar pada kaki
sebatang pohon.
*******************
DUA
PENDEKAR
212 Wiro Sableng hentikan larinya. Dia memandang berkeliling sambil dongakkan
kepala menghirup udara pagi dalam-dalam.
“Aneh… di
rimba belantara begini ada bau harum,” katanya dalam hati sambil terus
menghirup dan mencium. Hidungnya kelihatan kembang kempis dan mulutnya
termonyong-monyong. “Mungkin ada bidadari yang kebetulan turun ke hutan ini?
Heh…. Aku rasa-rasa pernah mencium bau harum seperti ini sebelumnya….”
Murid
nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede ini angkat tangan
kanannya ke atas. Telapak dikembangkan dan diputar-putar ke berbagai jurusan.
Di satu arah dia hentikan gerakannya ketika terasa dingin. “Angin bertiup dari
arah sana. Berarti bau harum itu datang dari situ.”
Wiro
melangkah ke jurusan yang diduganya sebagai sumber datangnya bau harum. Pada
langkah kedua belas telinganya menangkap suara air mengucur. “Mungkin ada
pancuran di sebelah sana…” pikir Wiro. Dia berjalan terus hingga langkahnya
sampai di hadapan batu-batu besar dan semak belukar. Suara air mengucur dan bau
harum justru datang dari balik batu. Lalu sesekali terdengar suara orang menyanyi.
Suara perempuan. Wiro bergerak ke sebelah kanan batu. Ketika serumpun daun
keladi hutan disibakkannya, sang pendekar hampir keluarkan seruan tertahan.
Cepat Wiro tutup mulutnya dengan tangan kiri tapi sebaliknya sepasang matanya
terbuka lebar-lebar.
“Di dalam
hutan ada pemandangan begini hebat! Rejekiku besar sekali hari ini!”
kata Wiro
dalam hati lalu dia mencari tempat yang lebih baik agar bisa melihat lebih
jelas.
Di bawah
sana, hanya sejarak kurang dua puluh langkah dari tempat Wiro mengintai ada
sebuah telaga kecil. Pada sisi kanan telaga terdapat dinding batu yang tak
seberapa tinggi. Dari bagian atas batu mengucur air membentuk sebuh air terjun
kecil. Telaga kecil itu dikelilingi batu-batu besar berbentuk rata. Di salah
satu batu berdiri seorang gadis tinggi semampai yang sambil menyanyi-nyanyi
kecil membuka gulungan rambutnya. Ternyata dia memiliki rambut berwarna pirang,
digerai lepas sampai ke pinggang. Dia mengenakan pakaian biru tipis. Pakaian,
tubuh dan rambutnya menebar bau harum yng tercium sampai ke hidung Wiro.
“Rambut
dan bau wangi itu…” desis Wiro. “Sayang dia membelakangi. Aku tak dapat melihat
wajahnya. Tapi jika melihat pada bentuk dan warna pakaiannya… aku hampir pasti
dia adalah….”
Ucapan
membatin murid Sinto Gendeng terputus. Dadanya berdebar keras-keras dilihatnya
sambil terus bernyanyi-nyanyi kecil gadis itu mulai membuka pakaian birunya. Si
gadis hanya membuka bagian atas lalu membiarkan pakaian itu lepas dan merosot
jatuh ke atas batu. Wiro tekap mulutnya dengan tangan kiri sementara tangan
kanan menggaruk kepala habis-habisan. Sepasang matanya melotot tidak berkesip
dan seperti mau melompat dari rongganya.
“O
ladalah! Benar-benar polos. Bagaimana aku bisa tahan menyaksikan pemandangan
ini. Apakah aku harus ikut-ikutan membuka pakaian dan menyebur ke dalam telaga?
Memandang terus-terusan bisa membuat aku jadi setengah gila!” murid Sinto
Gendeng tarik nafas panjang. Dua lututnya bergetar. Ketika dia coba menggeser
kakinya, tiba-tiba tanah yang dipijaknya bergerak longsor.
“Celaka!”
Wiro keluarkan seruan tertahan. Dia cepat mengimbangi diri dan berusaha
menggapai batu di sampingnya tapi batu itu licin. Tangannya luput sementara
tanah di bawah kedua kakinya semakin keras longsornya. Tak ampun lagi sang
pendekar jatuh terperosok. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh langkah, ketika dia
coba melompat tubuhnya terpelanting karena tanah yang dipijaknya ternyata basah
dan licin. Tak ampun lagi sepuluh langkah ke bawah tubuhnya terguling-guling.
Wiro tergeletak jatuh tepat di samping batu di mana gadis berambut pirang baru
saja menanggalkan pakaiannya. Si gadis menjerit keras. Secepat kilat ia
menyambar pakaian dan mengenakannya kembali. Pada saat sosok Wiro tergeletak di
samping batu di bawahnya si gadis keluarkan teriakan marah.
“Pemuda
lancang! Minta mati berani mengintai orang mandi!”
Begitu
berteriak si gadis hantamkan tumit kanannya ke leher Wiro. Ini merupakan satu
serangan maut yang dalam keadaannya seperti itu tak mungkin dielakkan oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng hanya bisa berteriak dan coba
lindungi lehernya dengan lengan kanan. Tapi ketika diangkat tangannya tertahan
oleh ujung batu!
“Tamat
riwayatmu pengintai lancang!”
Wiro
hanya bisa melotot menunggu kematian. Tiba-tiba si gadis yang lancarkan
serangan maut tahan gerakan kaki kanannya. Matanya masih mendelik dan wajahnya
yang cantik masih terbungkus hawa marah. Tapi dari mulutnya kemudian terdengar
seruan.
“Kau!”
Kalau
tadi Wiro merasa nyawanya seolah sudah terbang dan wajahnya sudah sepucat
mayat, kini dia menarik nafas lega dan berusaha bangkit dengan cepat.
“Wiro
Sableng! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Wiro
sesaat tertegun lalu balas berteriak. “Bidadari Angin Timur!”
“Demi
Tuhan! Aku tidak menyangka kalau kau orangnya yang berlaku kurang ajar! Berani
mengintip perempuan mandi!”
Wiro
berdiri. “Tunggu…. Jangan salah sangka!”
“Kau
sudah tertangkap tangan! Masih hendak mungkir?!”
Wiro
garuk-gruk kepala. “Tidak, tunggu dulu. Biar aku jelaskan. Aku tadi berada di
hutan sebelah sana. Ketika berjalan aku mencium bau harum. Aku ingat betul bau
itu adalah harumnya tubuh, rambut dan pakaianmu….” Sampai disitu Wiro hentikan
ucapannya. Wajah gadis cantik di hadapannya dilihatnya tidak berubah. Dia lalu
meneruskan. “Kemudian kudengar ada suara air mengucur, juga suara perempuan
menyanyi. Aku sampai dekat batu besar di atas sana. Ketika memandang ke bawah
kulihat sosok tubuhmu. Karena kau membelakangi aku tak segera mengenali. Lalu
tibatiba tanah yang kupijak longsor. Aku jatuh sampai ke sini…. Percayalah aku
tidak berbuat kurang ajar mengintipmu! Semua serba tidak sengaja….”
“Kau
tidak berdusta?” tanya si gadis.
“Aku
bersumpah tidak berdusta!” jawab Wiro seraya angkat kedua tangannya ke atas.
“Lagi pula kalaupun hal ini terjadi, mengingat hubungan kita dimasa lalu kurasa
kau bisa memaafkan….”
Si gadis
diam saja. Dalam hati Wiro jadi bertanya-tanya. Kemudian dilihatnya gadis itu
tersenyum dan rapatkan pakaian birunya.
“Kalau
kau mau mandi silahkan saja. Aku akan pergi dari sini sampai kau selesai….”
“Ada apa
kau tahu-tahu bisa muncul di tempat ini Wiro?” tanya si gadis.
“Aku
sengaja mengambil jalan pintas. Aku dalam perjalanan ke sebuah pulau di pantai
laut selatan. Kau sendiri mengapa berada disini?”
Si gadis
menarik nafas panjang. Sambil menyisir rambut pirangnya dengan jarijari tangan
kanan dia berkata. “Dunia ini sempit juga rupanya. Buktinya kita bisa bertemu
secara tidak terduga dalam rimba belantara ini. Aku dalam perjalanan ke
Kartosuro….”
“Hemm….
Rupanya kau punya urusan penting di sana.”
“Sangat
penting Wiro. Aku harus pergi ke sebuah bukit kecil di luar Kartosuro. Ada satu
tugas maha besar yang harus kuselesaikan….”
Pendekar
212 ingat akan pertemuannya dengan Si Raja Penidur, Sinto Gendeng dan Kakek
Segala tahu di puncak Merbabu beberapa waktu lalu. Sambil tersenyum Wiro
berkata. “Rasanya aku tahu urusan apa kau pergi ke bukit kecil di pinggiran
Kartosuro itu.”
“Hah?!
Kau malang melintang kemana-mana. Punya banyak kenalan orang-orang pandai.
Tidak heran kalau kau mungkin tahu apa urusanku. Tapi aku mau menguji. Coba kau
sebutkan!” kata si gadis pula.
Wiro
garuk-garuk kepalanya. “Aku mendengar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab
Wasiat Iblis. Kabarnya berada di bukit itu. Tersimpan secara aneh dalam sebuah
sumur….”
Paras si
gadis berubah.
“Parasmu
berubah, berarti dugaanku betul!” kata Pandekar 212.
“Kau
memang hebat! Aku tidak akan menanyakan bagaimana kau bisa menduga begitu
tepat….”
“Mencari
sebuah benda keramat atau benda sakti sama saja dengan mengadu nyawa. Kau harus
hati-hati kalau memang bermaksud mendapatkan kitab itu.”
“Eh,
mengapa kau bilang begitu Wiro?”
“Aku
yakin bukan kau saja yang menginginkan kitab sakti itu. Pasti banyak
orang-orang lain berkepandaian tinggi. Jika satu benda dicari oleh banyak orang
berarti akan terjadi perebutan. Perebutan berarti pertumpahan darah…!”
“Hemmm….
Kau mungkin betul. Tapi aku tidak takut mengadu nasib!”
“Aku tahu
kau memiliki kepandaian tinggi. Walau begitu tetap saja harus berhatihati.
Karena kalau kau bisa mendapatkan kitab itu, yang lain-lain bisa bergabung dan
mengeroyokmu untuk merampas kitab itu.”
“Terima
kasih atas nasihatmu. Kau sendiri tidak berminat mendapatkan kitab sakti itu?”
tanya si gadis pula.
Wiro
garuk-garuk kepala “Tentu saja ada keinginan. Tapi sayangnya disaat yang
bersamaan ada hal lain yang lebih penting harus dikerjakan….”
“Aku
tidak secerdikmu. Jadi tidak bisa menduga apa urusanmu itu. Apa kau mau
mengatakan…?”
Wiro Sableng
tertawa. Lalu menjawab. “Mohon dimaafkan, aku tidak bisa mengatakannya padamu.”
“Juga
mengingat hubungan kita di masa lalu?” ujar si gadis.
Wiro
garuk-garuk kepala. “Sampai saat ini kau tidak pernah memberitahu siapa namamu.
Aku memberi panggilan padamuu Bidadari Angin Timur. Karena kau secantik
bidadari dan gerakanmu secepat angin….”
“Kau
boleh terus memanggilku dengan nama itu…”ujar si gadis seraya tersenyum. (Siapa
adanya gadis yang diberi nama Bidadari Angin Timur ini harap baca serial Wiro
Sableng berjudul Guci Setan)
Wiro
tatap lekat-lekat wajah yang tersenyum itu. “Bidadari Angin Timur…”
katanya
dalam hati. “Kecantikanmu sejak dulu tak pernah kulupakan. Justru pada
pertemuan ini mendadak rasa rinduku menggelora. Gila betul!” Di hadapannya si
gadis masih tersenyum. “Senyum itu menimbulkan munculnya dua lesung pipit di
wajahnya. Hemmm… Dua lesung pipit itu sepertinya….”
“Kau
seoleh termenung memikirkan sesuatu. Kau tak mau lagi memanggil diriku dengan
sebutan Bidadari Angin Timur itu?”
“Ah,
tentu saja mau!” jawab Wiro cepat. Lalu dengan polos dia berkata. “Terus terang
aku tidak pernah melupakan dirimu sejak pertemuan kita gara-gara Guci Setan
itu….”
Satu
getaran aneh yang tak pernah dirasakan sebelumnya menjalari dada Pendekar 212
Wiro Sableng. “Gila, mengapa aku tiba-tiba begitu kangen pada gadis ini. Ingin
memeluknya, ingin menciumnya. Apakah aku sudah jatuh cinta atau Cuma…. Ah!
Bagaimana ini!” Wiro lagi-lagi garuk-garuk kepala.
Apa yang
ada dalam pikiranmu Wiro…? tanya Bidadari Angin Timur perlahan seraya menatap
dalam-dalam ke mata sang pendekar membuat Wiro jadi salah tingkah.
“Aku… aku
juga gembira mengetahui kau selalu ingat padaku…” jawab Wiro.
“Pertemuan
ini satu hal yang sangat berarti bagiku.”
“Bagiku
juga… Lalu, apakah kau mau menyertaiku ke Kartosuro?”
“Tentu…tentu
saja aku mau…. Tapi….” Wiro ingat akan tugas dari tiga tokoh silat yang salah
satu adalah gurunya sendiri.
“Ah,
hatimu bimbang. Aku tak ingin memaksa. Mungkin lain waktu kau mau berjalan
bersamaku lagi….” Suara Bidadari Angin Timur terdengar sedih. Hati Pendekar 212
jadi luluh. Ketika si gadis membalikkan tubuhnya Wiro cepat pegang tangannya
dan berkata.
“Saat ini
kau lebih penting bagiku. Aku akan antarkan kemana kau ingin pergi.”
“Sungguh?”
tanya Bidadari Angin Timur ingin kepastian sambil pegang jari-jari tangan sang
pendekar.
Wiro
anggukkan kepala. Si gadis dekapkan kedua tangannya ke pipi Wiro lalu
perlahan-lahan menarik wajah sang pendekar hingga akhirnya dua bibir mereka
saling bertemu.
“Aneh…
Mengapa dia jadi begini berani? Karena gembira aku mengantarkannya ke
Kartosuro? Atau karena kangen. Atau….”
Murid
Sinto Gendeng tak bisa berfikir lebih lama karena saat itu pelukan dan ciuman
Bidadari Angin Timur membuat dirinya serasa terbakar. Ketika dia balas
merangkul tubuh si gadis, Bidadari Angin Timur miringkan tubuhnya ke samping
hingga tak ampun lagi keduanya masuk ke dalam telaga.
*******************
TIGA
AKU
mencium bau busuk…” kata Wiro. Bidadari Angin Timur hentikan langkahnya. Dia
mendongak sebentar lalu menunjuk ke arah kiri. “Datangnya dari arah sana. Mari
kita selidiki….”
Kedua
orang itu dengan cepat bergerak menuju datangnya sumber bau busuk di lereng
bukit kecil. Tiba-tiba si gadis hentikan langkahnya.
“Ada
apa?” tanya Wiro.
“Ada
mayat yang sudah tak karuan rupa bergeletakan di sana….”
Wiro
sibakkan semak belukar dan memandang ke arah yang ditunjuk Bidadari Angin
Timur. “Bukan hanya satu mayat. Ada tiga… empat… Mungkin lebih. Sudah membusuk.
Dikerubungi belatung dan lalat….” Wiro meludah ke tanah. “Sebagian hanya
tinggal tulang belulang belaka….”
“Mengerikan
sekali keadaan di tempat ini….”
“Sebaiknya
kita pergi saja,” kata Wiro.
“Tunggu!
Wiro lihat…” suara gadis di sebelahnya terdengar bergetar.
“Apa…?”
“Di
sebelah sana. Sumur batu…. Aku merasa pasti itu sumur yang aku cari. Tempat
tersembunyinya Kitab Wasiat Iblis,” bisik si gadis.
Wiro
memandang ke arah sumur batu itu. Lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sunyi kecuali suara lalat yang beterbangan di atas bangkai-bangkai manusia itu.
“Kau
tunggu di sini. Aku akan menyelidik. Jika kuberi tanda baru bergerak.” Si gadis
anggukkan kepala dan berbisik. “Hati-hati. Jangan kau biarkan aku sendirian terlalu
lama disini.” Gadis ini lepaskan pegangannya pada lengan Wiro.
Wiro
cepat mendekati sumur batu, melangkahi mayat-mayat yang membusuk.
“Gelap,
berkabut…. Sumur ini pasti dalam sekali.” Kata Wiro dalam hati begitu dia
berdiri di tepi sumur dan memandang ke dalamnya. “Apa betul Kitab Wasiat Iblis
itu ada di dalam sumur ini? Bangkai-bangkai manusia itu. Siapa mereka? Korban
saling bunuh antara pemburu kitab sakti?” Wiro perhatikan bagian sebelah atas
sumur yang agak terang. Dia melihat ada ulir berbentuk tangga menurun sepanjang
dinding sumur.
“Aku
tidak berminat mendapatkan kitab itu. Tapi kalau jalan ke dasarnya mudah apa
salahnya menyelidik. Hanya saja dari dalam sumur aku mencium bau busuk. Pasti
ada mayat di dalam sana….”
Wiro
berpaling ke arah semak-semak tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin
Timur. “Sahabatku cantik! Silahkan datang ke sini! Wiro memanggil. Tak ada
jawaban.
“Bidadari
Angin Timur! Aku di sini!” seru Wiro. Dia menunggu sesaat. “Eh, apa gadis itu
sudah dicekik hantu bisu hingga tak bisa menjawab?!” Wiro memanggil lebih
keras. “Bidadari Angin Timur!”
Tiba-tiba
dari balik semak belukar terdengar suara tawa bergelak, membuat Pendekar 212
terkejut bukan main.
“Ada
sesuatu yang tidak beres!” pikir murid Sinto Gendeng. Dia cepat melangkah ke
arah semak belukar tempat tadi dia meninggalkan Bidadari Angin Timur. Namun
belum sempat dia mencapai tempat itu dari balik semak belukar muncul dua orang
bertampang angker.
Orang
pertama mengenakan jubah hitam. Memiliki mata kanan membeliak besar sebaliknya
mata kiri hampir tertutup. Kepalanya botak aneh karena hanya yang sebelah kiri
sedang bagian kanan memiliki rambut panjang awut-awutan. Mukanya sebagian
tertutup kumis dan cambang bawuk lebat.
“Manusia
apa ini, jelek angker. Ada tiga guratan pada keningnya…” kata Wiro dalam hati.
Dia berpaling pada orang kedua. Yang pertama sekali diperhatikannya adalah
bentuk sepasang tangan orang itu. Selain ditumbuhi bulu lebat dua tangan itu
tidak berbentuk tangan manusia tapi berupa cakar berkuku hitam runcing. Daging
wajah orang ini hancur seperti dicacah sedang hidungnya tinggi bengkok.
Sepasang matanya mengerikan karena bagian bawahnya menggembung merah dan selalu
basah . “Aku rasarasa kenal dua kadal angker ini”, membatin Wiro.
Yang
membuat Pendekar 212 jadi tersentak kaget ialah karena dua manusia tak dikenal
itu keluar dari semak belukar sambil menyeret bidadari Angin Timur.
“Bidadari!”
seru Wiro seraya hendak melompat. Tapi dua orang yang menyeret si gadis lebih
dulu menyongsong menghadang, melepas si gadis begitu saja hingga jatuh
tertelungkup di tanah.
“Dia
tidak bergerak, juga tidak bersuara! Pasti dua keparat itu telah membokongnya
dengan totokan hebat!”
“Siapa
kalian?!” Bentak Bentak Wiro.” Apa yang kau lakukan terhadap sahabatku?!”
Dua orang
yang dibentak menyeringai. Si jubah hitam membuka mulut. “Jawaban pertama aku
yang menjawab. Aku datuk dunia persilatan dikenal denagn Tiga Bayangan Setan!”
“Cocok!”
seru Wiro.
Tiga
Bayangan Setan kerenyitkan kening dan pelototkan matanya yang gembung.”Apa
maksudmu cocok?!”
“Mukamu
memang seperti setan!”
“Kurang
ajar!” Tiga Bayangan Setan menggembor marah dan langsung hendak menyerang Wiro.
Tapi teman disebelahnya berkata.”Kau belum memperkenalkan diriku…”
Mulut
Tiga Bayangan Setan komat-kamit sebentar baru bicara. “Dia dikenal dengan
julukan Elang Setan!”
“Aha!
Juga cocok! Muka seperti setan tangan seperti cakar elang. Boleh aku
bertanya…?”
“Bangsat!”
Kau mau tanya apa?!” bentak Elang Setan.
“Dengan
tangan seperti itu bagaimana kau menyuap makanan? Lalu satu lagi…bagaimana kau
cebok?! Lalu kulihat cakar kelingking kirimu buntung. Apa patah waktu kau
ngupil?!”
“Setan
alas minta mampus!” Elang Setan berteriak keras lalu melompat sambil tangan
kanannya membeset kearah leher Wiro.
Murid
Eyang Sinto Gendeng maklum kehebatan cakar lawan. Waktu sinar hitam dan merah
bertabur keluar dari tangan kanan Elang dia cepat mundur dua langkah sambil
dorongkan tangan kanan melepas pukulan “benteng topan melanda samudera”.
Elang
Setan Keluarkan seruan tertahan ketika merasakan ada satu gelombang angin
laksana tembok yang tak kelihatan menahan gerakannya. Ketika dia kerahkan
tenaga untuk menembus kedua kakinya malah terangkat ke atas.
“Kurang
ajar!” Kau kira aku tidak sanggup menembus pertahananmu!” teriak Elang Setan.
Dia melesat dua tombak ke atas lalu jungkir balik di udara. Di lain kejap
tubuhnya meluncur laksana sebatang tombak. Dua tangan terpentang lurus. Satu
diarahkan ke muka Wiro, satunya lagi ke bagian dada tepat di arah jantung.
Sebelum serangan sampai dua larik sinar merah bercampur hitam menerpa lebih
dahulu!
“Serangan
ganas! Dia hendak mencakar hancur mukaku dan menjebol dadaku!”
Wiro
kertakkan rahang. Cepat dia bergerak ke samping kiri. Dia merasa angin
menggidikan menampar mukanya sebelah sewaktu serangan cakar elang lawan lewat
di samping kepalanya.
Ternyata
serangan Elang Setan kearah muka tipuan belaka. Dia sengaja memperlambat
gerakan serangannya agar mudah dihindar. Namun bersamaan dengan itu cakar setan
tanmgan kanannya melesat ke dada.
“Serahkan
jantungmu!” teriak Elang Setan sambil tertawa bergelak karena dia yakin
serangan mautnya itu akan berhasil. Sadar kalau dia tak bisa menghindarkan diri
dari serangan lawan maka Wiro cepat kerahkan tenaga dalam. Tangan kirinya
bergerak, memukul ke atas. Dua lengan beradu keras.
“Bukkk!”
Suara
tawa Elang Setan mendadak sontak terputus berganti dengan seruan kesakitan.
Tubuhnya terpental sampai empat langkah lalu terjengkang di tanah. Walau sangat
kesakitan tapi dia cepat melompat berdiri. Dalam hati dia merasa tidak percaya.
Sepasang lengannya itu kebal terhadap segala macam rasa sakit. Waktu Pangeran
Matahari menghantamkan tangannya ke sumur batu, justru bibir sumur batu yang
gompal sementara lengannya sendiri tidak cidera. Tapi kini bentrokan dengan
lengan Wiro dia merasa sakit bukan main. Yang lebih membuatnya sakit hati, di
hadapannya dilihatnya Wiro masih tetap berdiri walau lengan kirinya tampak
membengkak merah.
Elang
Setan melompat ke samping Tiga Bayangan Setan dan berbisik. “Manusia ini
benar-benar berbahaya. Sesuai tugas kita harus membunuhnya saat ini juga!”
Apa yang
dibisikan Elang Setan sempat terdengar oleh Wiro. Sang Pendekar serta merta
membentak.
“Siapa
yang menugaskan kalian membunuhku? Siapa yang membayar kalian?!”
*******************
EMPAT
TIGA
Bayangan Setan dan Elang Setan sama-sama menyeringai. “Telingamu tajam juga
rupanya!” ujar Tiga Bayangan Setan. “Siapa yang menugaskan kami membunuhmu tak
usah kau tanyakan. Jika masih penasaran nanti tanyakan saja pada setan kuburan!
Ha…ha… ha…!”
Elang
Setan pegang bahu saudara angkatnya itu lalu berkata. “Tapi mungkin kita akan
mempertimbangkan untuk tidak membunuhnya kalau dia menyerahkan barang berharga
yang dimilikinya….”
“Apa
maksudmu?!” bertanya Wiro sambil melirik ke arah sosok Bidadari Angin Timur
yang tertelungkup tak berdaya, tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Dalam hati
Wiro membatin. “Setahuku gadis itu memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya
laksana kilat. Kalau dia bisa dilumpuhkan begitu rupa berarti dua manusia
keparat ini memiliki kepandaian luar biasa. Aku harus berlaku hati-hati.”
“Kami
mendengar kau membekal satu senjata mustika berupa kapak sakti bermata dua
berikut pasangannya batu api hitam mukjizat. Kalau kau mau menyerahkan dua benda
itu pada kami, kami akan mengampuni selembar nyawamu!” Yang bicara adalah Tiga
Bayangan Setan. Mendengar ucapan Tiga Bayangan Setan Wiro segera maklum kalau
dua orang di hadapannya sudah mengetahui siapa dirinya. “Apa yang kumiliki
tidak untuk dipertukarkan. Tapi jika kalian berdua memaksa bagaimana kalau dua
benda itu aku tukar dengan dua nyawa kalian!” Habis berkata begitu Wiro tertawa
gelak-gelak.
Tiga
Bayangan Setan maju selangkah. ”Kau mau nyawaku silahkan ambil! ”Dia pentang
dada dan menantang. ”Kau mau berbuat apa unutuk ambil nyawaku silahkan lakukan!
”Pilih tempat yang empuk agar nyawaku enak keluarnya. Ha…ha…ha!”
“Manusia
jelek gundul sebelah! Kau akan menyesal berani bicara keliwat takabur!” Begitu
selesai bicara Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke depan. Tangan kanannya
melesat dalam jurus ”kepala naga menyusup awan.” Yang di arah adalah dada Tiga
Bayangan Setan, tepat di bagian jantung.
“Bukkk!”
Tubuh
Tiga Bayangan Setan mencelat sampai dua tombak. Sesaat dia terkapar dan
tersandar ke dinding sumur batu. Wajahnya yang angker sama sekali tidak
menunjukkan bayangan rasa sakit, malah melontarkan seringai mengejek. Dari
mulutnya tak ada darah yang mengucur.
“Seharusnya
jantungnya pecah dan saat ini sudah konyol! Gila! Ilmu kebal apa yang dimiliki
setan alas gundul sebelah ini?!” ujar Wiro dalam hati sambil perhatikan tinju
kanannya.
Tiga
Bayangan Setan keluarkan tawa bergelak lalu berdiri: Dia berpaling pada Elang
Setan dan berkata. “Berikan tombak Wesi Ketaton itu padanya…”
Elang
Setan mengambil tombak besi yang separuh amblas di tanah lalu melemparkannya
pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Cara Elang Setan melemparkan Senjata itu tidak
sembarangan. Salah tangkap atau kurang cepat memegangnya bagian runcing atau
bagian yang berbentuk pisau tipis melingkar bisa membabat leher Wiro. Sambil
merunduk Wiro tangkap tombak yang dilemparkan dengan tangan kiri.
“Astaga!
Setahuku ini adalah senjata Tubagus Kasatama, orang tua bergelar Dewa Berjubah
Kuning Berongkat Besi!” membatin murid Sinto Gendeng begitu dia pegangi dan
perhatikan tongkat besi dalam genggamannya.”Apa yang terjadi-dengan orang tua
kepercayaan Keraton itu?”
“Kau
mengenali senjata itu Pendekar 212?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Dan kau
ingin tahu dimana pemiliknya sekarang berada, apa yang telah terjadi dengan
dirinya?!” menimpali Elang Setan sambil usap-usap lengannya yang masih sakit
akibat bentrokan dengan Wiro tadi.
“Apa yang
telah kalian lakukan terhadap orang tua itu?!” sentak Wiro.
Tiga
Bayangan Setan tertawa panjang. ”Kau tak usah khawatir keadaan orang tua itu.
Saat ini pasti dia sehat-sehat dan tenang-tenang berada di dalam akhirat!”
“Jadi
kalian telah membunuhnya?!” Wiro melotot besar.
“Saudara
angkatku hanya mengorek jantungnya dari dalam dadanya. Kalau dia kemudian
menemui kematian mana bisa kami dipersalahkan!” Tiga Bayangan Setan dan Elang
Setan lalu tertawa terbahak-bahak.
“Jahanam!”
rutuk Wiro. Sebagai orang yang punya hubungan dekat dengan Keraton di barat dan
timur, Wiro kenal baik dengan Tubagus Kasatama alias Dewa Berjubah Bertongkat
Besi. Saking marahnya Wiro kerahkan tenaga dalam dan siap untuk lepaskan
”pukulan sinar matahari” kearah Tiga Bayangan Setan. Tapi di depan sana, sambil
bersandar ke dinding sumur Tiga Bayangan Setan kembali menantang.
“Pukulanmu
tadi terlalu empuk! Sungguh memalukan karena dilepas oleh orang yang katanya
punya nama besar dalam dunia persilatan dan sampai dijuluki Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212. Ternyata kau tidak punya kepandaian apa-apa! Bagaimana selama
ini kau bisa menipu dunia persilatan?!”
Murid
Sinto Gendeng merasa terbakar. Dia melangkah dekati Tiga Bayangan Setan.
“Nah,
nah! Ternyata kau masih punya nyali untuk melawanku. Silahkan pergunakan tombak
sakti itu! Kau boleh menusuk tubuhku dengan ujung yang runcing, atau membabat
putus leherku dengan bagian yang bulat pipih setajam mata pisau!”
“Manusia
sombong! Aku mau tahu sampai dimana kehebatanmu!” Wiro pindahkan tombak Wesi
Keraton ke tangan kanannya. Karena tangan itu telah dialiri tenaga dalam penuh
maka tombak sakti sampai mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan.
“Kau
boleh pilih bagian yang kau suka! Mukaku, dada atau perut! Atau kau suka bagian
di bawah perutku?!” Tiga Bayangan Setan tertawa bergelak. Dia memandang tak
berkesip ketika Wiro dengan kecepatan kilat melompat ke hadapannya. Tongkat
besi di tangan kanan ditusukkan ke arah kening Tiga Bayangan Setan dimana
terdapat tiga guratan aneh!
Kepala
Tiga Bayangan Setan seolah terlontar ke belakang tapi tubuhnya tetap tak
beranjak dari dinding sumur batu. Bersamaan dengan kilatan aneh keluar dari
tiga guratan di keningnya. Lalu terdengar suara berdentrang. Ujung runcing
tombak yang ditusukkan Wiro ke kening orang itu patah. Wiro sendiri merasakan
tangannya bergetar keras dan seolah memegang besi panas hingga dia terpaksa
lepaskan senjata itu. Menyaksikan tombak sakti bisa patah sedang kening Tiga
Bayangan Setan tidak cedera sedikitpun, Pendekar 212 ambil keputusan untuk
lancarkan serangan sakti berupa “pukulan sinar matahari” yang selama ini sulit
dicari tandingannya dan merupakan pukulan sakti dikenal paling mematikan dalam
rimba persilatan.
Sebagai
tokoh silat golongan hitam yang menjadi menjadi momok dimana-mana tentu saja
Tiga Bayangan Setan segera menduga pukulan sakti apa yang hendak dikeluarkan
lawan begitu dilihatnya tangan kanan Pendekar 212 berubah menjadi putih
berkilau laksana perak mendidih!
“Pukulan
sinar matahari! Aku sudah lama mendengar kehebatannya. Tapi kalau tidak
dibuktikan mana aku mau percaya!” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Manusia
setan ini benar-benar sangat takabur!” kata murid Sinto Gendeng yang jadi kalap
karena dipandang enteng begitu rupa. Seluruh tenaga dalam disalurkannya ke
tangan kanan. Didahului teriakan lantang tangan itu dihantamnya ke depan!
“Wusss!
Sinar
putih menyilaukan disertai panas luar biasa berkiblat menghantam Tiga Bayangan
Setan yang saat itu masih berdiri bersandar ke dinding sumur batu. Meski
percaya diri namun Tiga Bayangan Setan tidak mau berlaku ayal. Tubuhnya melesat
ke atas setinggi dua tombak. Dua tangannya mengepal lalu diadukan satu sama
lain di atas kepala.
Pukulan
sinar matahari menghantam sumur batu hingga hancur berkeping-keping. Walau
pukulan sakti itu tidak mengenai sasarannya namun hawa panas membuat kaki jubah
hitam yang dikenakan Tiga Bayangan Setan hangus! Sementara itu hancuran sumur
bertebar ke berbagai penjuru menutupi pemandangan.
“Jahanam!
Pukulan sakti itu benar-benar berbahaya!” rutuk Tiga Bayangan Setan walau
tubuhnya tidak cidera sedikitpun.
Mau tak
mau hati Pendekar 212 Wiro Sableng diam-diam jadi tergetar juga melihat lawan
sanggup meloloskan diri dari pukulan saktinya. Dua kepalan Tiga Bayangan Setan
meletup keluar tiga sosok yang mula-mula berupa asap namun dalam waktu
sekejapan saja berubah menjadi tiga sosok makhluk berbentuk raksasa, rambut
riap-riapan, taring mencuat dan mata merah. Ketiganya keluarkan suara
menggereng lalu serentak ulurkan tangan kanan, memukul kearah batok kepala
Pendekar 212 Wiro Sableng!
Seumur
hidup baru sekali ini murid Sinto Gendeng melihat ilmu hitam begitu hebat. Dia
melompat jauhkan diri. Ketika Tiga Bayangan Setan berusaha menyergap dan tiga
raksasa jejadian lancarkan serangan Wiro langsung menghantam dengan “pukulan
sinar matahari”!
Wusss!”
Sinar
putih dan panas berkiblat. Tiga Bayangan Setan jatuhkan diri ke tanah. Tiga
makhluk raksasa keluarkan raungan keras.
“Bummmm!”
“Bummmm!”
Dua
ledakan keras menggelegar.
Tiga
Bayangan Setan jatuh terbanting ke tanah. Makhluk raksasa di sebelah kiri dan
kanan mental seolah-olah tanggal dari batok kepalanya, berubah jadi asap. Tapi
makhluk raksasa yang di sebelah tengah tetap utuh. Malah didahului raungan
keras dia melesat ke depan. Kalau sebelumnya sosoknya sampai sedada kini
makhluk rakasasa jejadian ini keluar utuh dari batok kepala Tiga Bayangan Setan
sementara dua temannya tadi musnah akibat hantaman pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro perlahan-lahan kembali ke bemtuknya semula!
“Bunuh!”
teriak Tiga Bayangan Setan.
Makhluk
raksasa yang di tengah menghantam kearah Wiro.
“Jin dan
segala macam makhluk jejadian takut dengan api!” Pikiran itu tiba-tiba muncul
di benak Wiro. Secepat kilat dia mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu
hitam pasangannya. Mata kapak kalau diadu dengan batu hitam akan mengeluarkan
lidah api. Inilah yang dilakukan segera oleh Wiro. Namun sebelum tangannya
bergerak Tiga Bayangan Setan berteriak memberi perintah.
“Rampas!”
Pendekar
212 Wiro Sableng berseru kaget ketika tiba-tiba dua tangan raksasa yang sebelah
tengah berubah menjadi panjang dan menyambar kearah dua senjata mustika yang
dipegangnya.
Wiro
cepat menghindar dengan melompat ke belakang. Begitu ada kesempatan dia segera
hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro sengaja menerobos diantara dua tangan
yang terjulur. Yang diarahnya adalah batok kepala raksasa di sebelah tengah.
Namun alangkah kagetnya murid Sinto Gendeng ini ketika lebih cepat dari
gerakannya, tangan raksasa jejadian sebelah kanan bergerak mendahului
mencengkram mata kapak sedang tangan kiri memukul kearah batok kepalanya!
Pendekar
212 hanya punya kesempatan sekejapan untuk memilih. Apa dia mau selamatkan
senjata mustikanya atau hindarkan kepalanya dari kehancuran!
“Setan
alas keparat!” Wiro masih sempat memaki. Dia tak kuasa mempertahankan Kapak
Naga Geni 212 dari renggutan raksasa jejadian yang sangat kuat. Senjata mustika
sakti itu terlepas pegangannya karena mau tak mau dia harus selamatkan kepala!
Ketika
hantaman pada kepalanya berhasil diledakan Pendekar 212 masih berusaha
menerjang ke muka untuk dapatkan senjatanya kembali. Tapi sosok raksasa sebelah
kiri tiba-tiba hantamkan tangan kanannya. Wiro merasa seperti di gebuk balok
besar. Dari mulutnya keluar jeritan keras disertai semburan darah. Tubuhnya
mencelat sampai tiga tombak dan terkapar di tanah tak berkutik lagi.
“Kita
berhasil membunuhnya!” teriak Elang Setan. “Dunia persilatan akan geger! Nama
kita akan mencuat setinggi langit! Aku mau tahu siapa tokoh persilatan yang
tidak merinding mendengar nama kita! Ha…ha…ha!”
Tiga
sosok raksasa jejadian di atas kepala Tiga Bayangan Setan lenyap. Sambil
meyeringai puas dia berkata pada Elang Setan. “Ambil batu hitam di tangan kiri
pemuda itu. Kita perlu segera mencari Pangeran Matahari untuk memberi tahu
peristiwa besar ini. Tugas dari dia sudah kita jalankan. Empat puluh hari lebih
kita menunggu munculnya Pendekar 212. Saatnya kita minta dia memberikan obat
penawar racun dalam tubuh kita.”
Saat itu
tiba-tiba udara menjadi redup seolah matahari tertutup awan tebal. Tiga
Bayangan Setan memandang ke langit dan serta merta terperangah. Di langit
dilihatnya ada pemandangan aneh.
“Elang
Setan! Lihat!” Tiga Bayangan Setan berseru seraya menunjuk ke langit.
Saat itu
di langit tampak tujuh paying tujuh warna dalam keadaan terkembang meluncur
demikian rupa laksana terbang. Mula-mula tujuh payung itu terbang memanjang
dalam bentuk garis lurus. Tepat di atas lereng bukit dimana Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan berada, tujuh payung bergerak berputar membentuk lingkaran
dengan payung warna merah berada berada di tengah lingkaran. Melihat tujuh
payung warna warni secara aneh terbang di udara saja sudah merupakan keanehan.
Apalagi saat itu jelas terlihat ada sesosok tubuh bergantungan pada tangkai
payung berwarna merah. Cara orang ini bukan memgang payung dengan tangannya
tapi justru kedua kakinya yang menjepit gagang payung. Jadi saat itu keadaan
tubuhnya menggelantung kaki ke atas kepala ke bawah. Dari bentuk dan warna
pakaian serta rambunya yang tergerai jatuh ke bawah dapat diduga orang yang
bergantung pada gagang payung merah adalah seorang perempuan.
“Aneh…”desis
Elang Setan.
“Aku
mencium bau bahaya…” berkata Tiga Bayangan Setan. “Kita sudah dapatkan senjata
mustika itu. Buat apa mencari urusan baru. Lekas ambil batu hitam itu. Aku akan
membawa si gadis!”
Tiga
Bayangan Setan bergerak cepat ke tempat Bidadari Angin Timur tergeletak sedang
Elang Setan berkelebat merenggut batu hitam sakti dari genggaman tangan kiri
Pendekar 212.
*******************
LIMA
Pangeran
Matahari mendera kuda tunggangannya habis-habisan hingga binatang itu lari
seperti kesetanan. Ketika hari mulai gelap, memasuki sebuah lembah di utara
Tegalrejo baru dia memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh kini menurun
terus, penuh semak belukar dan gelap. Tapi kuda itu bergerak terus tanpa
halangan seolah dia sudah tahu seluk beluk jalan yang ditempuhnya.
Pangeran
Matahari usap-usap leher kudanya seraya berkata. “Kau kuda baik, kuda cerdik.
Empat tahun tak pernah ke sini ternyata kau masih ingat jalan! Di dekat goa
sana banyak tumbuh rumput segar hijau dan gemuk! Kau nanti boleh makan
sepuasmu!”
Lewat
sepeminuman teh kuda yang ditunggangi Pangeran Matahari berhenti di hadapan
sebuah gundukan batu besar, diapit oleh dua batang pohon besar serta tertutup
oleh semak belukar tinggi. Disekitar tempat itu tumbuh banyak sekali rumput
segar gemuk.
“Kita
sudah sampai…” kata Pangeran Matahari. “Kau boleh istirahat dan makan rumput
sepuasmu!”
Lalu sang
Pangeran turun dari kudanya. Baru saja dia menginjakan kaki di tanah binatang
itu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan keluarkan suara menggembor. Pangeran
Matahari yang tadinya hendak melangkah segera hentikan gerakannya dan menatap
kudanya.
“Kau
mengetahui sesuatu yang aku belum ketahui. Ada apa…?” Pangeran Matahari
usap-usap bagian atas hidung binatang itu. Sang kuda menggembor lagi, lalu
meringkik halus.
“Hemmm…
Terima kasih… Kau mengingatkan agar aku berlaku waspada!” Sang Pangeran buka
matanya lebar-lebar dan memandang berkeliling. Tapi dia memang tidak memperhatikan
tapi kini dia bisa melihat. “Ada semak belukar yang terusik. Tapi tak ada
tanda-tanda bekas rumput terpijak. Hanya orang-orang berkepandaian tinggi yang
bisa punya pekerjaan seperti ini….” Pangeran Matahari besarkan mata, pasang
telinga lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya sekali lagi. Ketika dia
mendongak ke atas, dadanya berdebar. Pada cabang pohon di sebelah kanan
gundukan batu besar sesosok tubuh kelihatan menelungkup membelintang. Ada
cairan mengucur dari bagian kepalanya.
“Kudaku ,
kau pergilah merumput. Tenang dan jangan keluarkan suara. Tak ada apa-apa di
tempat ini…” bisik sang Pangeran pada kudanya. Lalu dia putar tubuhnya. Sekali
kedua kakinya menekan tanah, tubuhnya berayun dan melesat ke atas. Sesaat
kemudian dia sudah berada di cabang pohon dimana ada sosok tubuh tergeletak
membelintang. Pangeran Matahari membungkuk berusaha untuk melihat wajah orang.
Tapi kepalanya laksana disentakkan. Dia meludah ke tanah. Wajah dan kepala
orang di cabang pohon itu hancur mengerikan, tak bisa dikenali! Siapapun dia
adanya orang ini sudah jadi mayat. Jelas dia dibunuh orang!
Pangeran
Matahari perhatikan pakaian orang. Pakaian ringkas warna coklat. Pada
pinggangnya melilit sebuah rantai besi yang diganduli puluhan kepingan-kepingan
besi berbentuk segitiga tajam.
“Senjata
andalannya ini tak sempat dipergunakan. Lawan keburu menghabisinya…” pikir
Pangeran Matahari. Dari atas cabang pohon dia bisa melihat keadaan di bawahnya
lebih jelas. Tak ada gerakan, tak ada suara. Kehitaman mendekam dimana-mana.
Akhirnya dia melompat turun kembali. “Siapapun orang yang membunuh lelaki di
cabang pohon itu pasti dia sudah meninggalkan tempat ini… Mungkin aku harus
membatalkan niat untuk tinggal di tempat ini. Paling tidak aku hanya bisa
pergunakan untuk sekedar bermalam…”
Pangeran
Matahari lalu mencabuti semak belukar yang menghalangi langkahnya menuju
gundukan batu besar.”Semak belukar tak terusik. Belum ada yang masuk ke tempat
ini…” Pangeran Matahari merambas pohon-pohon jalar yang menutupi gundukan batu.
Ketika semak belukar dan pohon jalar yang tersingkir, bagian depan gundukan
batu besar itu ternyata adalah mulut sebuah goa besar.
Sang
Pangeran tak segera masuk. Dia dongakkan kepala lalu menghirup udara
dalam-dalam.”Udara segar bercampur bau minyak. Berarti memang tak ada manusia
yang masuk ke sini. Dan minyak obor-obor di dalam sana masih utuh…”
Bagian
dalam goa itu cukup besar dan tinggi. Suasana gelap menyambut Pangeran
Matahari. Dia melangkah ke dinding kanan, meraba-raba sampai akhirnya tangannya
menyantuh sebuah obor besar yang tergantung di dinding batu. Dengan cepat obor
dinyalakan. Keadaan dalam goa kini jadi terang. Di dinding sebelah kiri
kelihatan lagi sebuah obor yang segera dinyalakan oleh sang Pangeran hingga
keadaan dalam goa jadi terang benderang.
Pada
bagian tengah goa sebelah dalam ada sebuah batu tinggi berbentuk rata yang keseluruhannya
telah diselimuti lumut kehijauan. Pada ujung batu sebelah kanan berdiri satu
patung manusia berkepala singa yang bagian atasnya berlobang. Pada lobang ini
menancap sebuah obor kecil. Setelah menyalakan obor kecil ini Pangeran Matahari
buka mantelnya lalu mengembangkannya di atas batu rata. Duduk di atas batu
Pangeran Matahari rangkapkan kedua tangan di depan dada, pejamkan mata dan
tubuhnya untuk beberapa lama tak bergerak sedikitpun. Hembuskan nafasnya bahkan
tidak terdengar. Apa yang dilakukan sang Pangeran saat itu adalah mengatur
jalan nafas dan peredaran darah serta hawa sakti yang ada dalam tubuhnya.
Sesaat
kemudian sepasang mata Pangeran Matahari tampak terbuka, wajahnya kelihatan
merah. “Kitab Wasiat Iblis yang ada padaku membawa perubahan besar. Sebelumnya
tak pernah aku merasa jalan darah, pernafasan dan hawa sakti dalam tubuhku
begini luar biasa…”
Dari
balik baju hitamnya sang Pangeran keluarkan kitab sakti itu. Tangannya sesaat
terasa bergetar. Sampul kitab berwarna hitam, terbuat dari daun lontar kering
yang dicelup dalam sejenis dawai. Beberapa bagian dari sampul kitab ini sudah
gugus dimakan usia. Dengan tangan masih agak gemetar Pangeran Matahari letakkan
kitab di atas pangkuannya lalu membuka sampulnya. Pada halaman pertama kitab
daun lontar itu tertera tulisan berbunyi “ Kitab Wasiat Iblis ”. Dihalaman kedua
yang keadaannya sangat rusak samar-samar tertera tulisan dalam huruf-huruf Jawa
kuno berbunyi :
” Kitab
ini berjodoh bagi siapa saja yang sanggup
membunuh lawan sambil tersenyum, meneguk darah musuh seperti meneguk tuak
harum, melahap jantung seteru seperti menyantap daging panggang. ”
Pangeran
Matahari katupkan rahangnya rapat-rapat. Dia membuka halaman ketiga yang
ternyata merupakan halaman terakhir. Di situ ada sebaris tulisan dalam aksara
sangat kecil dan rusak hingga untuk membacanya lebih jelas Pangeran Matahari
terpaksa mendekatkan kitab itu ke obor yang ada di atas kepala patung singa.
“ Induk
kekuatan segala ilmu hitam dan ilmu putih hanya satu. Kekuatan ilmu hitam
selalu satu langkah di depan ilmu putih, Kekuatan ilmu hitam selalu satu
jengkal di atas
ilmu putih. Siapa yang memiliki Kitab Wasiat Iblis ini akan menjadi induk
segala induk
dari kekuatan dunia iblis. Orang yang punya jodoh hanya satu. Ilmu yang ampuh hanya
satu. Yang satu itu tersimpan dalam kitab ini. Untuk menguasai ilmu penguasa dunia ini
yang berjodoh hanya perlu merawatnya baik-baik, membawanya kemana dia pergi.
Serahkan semuanya pada kekuatan Maha Iblis! Tapi bilamana disertai samadi dan puasa
tiga kali setiap Kemis malam Jum’at Kliwon maka kesempurnaan ilmu akan tercapai.
Tak ada satu kekuatan di langit dan di bumi mampu menandingi...! ”
Sesaat
Pangeran Matahari duduk sambil dongakkan kepala ke langit-langit goa batu. Dia
ingat kehebatan Kitab Wasiat Iblis sewaktu berhadapan dengan Iblis Tua Ratu
Pesolek. Dia belum sempat melakukan sesuatu ketika nenek sakti itu
menyerangnya. Tahu-tahu dari dada, di balik pakaian hitamnya dimana Kitab
Wasiat Iblis tersimpan melesat cahaya hitam pekat, menghantam lawan hingga menemui
ajal dalam keadaan mengerikan yaitu hanya tinggal tulang belulang hangus hitam!
“Kekuatan
hebat dalam kitab ini bekerja sewaktu aku diserang Ratu Pesolek. Berarti Kitab
Wasiat Iblis ini memang berjodoh dengan diriku…” Pangeran Matahari cium kitab
hitam itu beberapa kali lalu meletakkannya di atas kepala. “Kitab Wasiat Iblis
kitab mustika sakti. Kau akan jadi junjunganku. Dengan kekuatan yang kau miliki
selama jagat terkembang aku akan menguasai dunia persilatan.” Pangeran Matahari
menyeringai.
Bayangan
Pendekar 212 muncul di pelupuk matanya. “Manusia Wiro Sableng, tunggu
kedatanganku. Sekali ini kau tak bakal bisa lolos dari tangan mautku!”
Perlahan-lahan
Pangeran Matahari turunkan tangannya yang memegang kitab di atas kepala. Ketika
dia hendak memasukkan kitab itu ke balik baju hitamnya tiba-tiba terdengar
suara tiupan keras.
“Bleppp!”
Obor
besar di dinding kanan goa batu padam!
“Siapa?!”
bentak Pangeran Matahari lalu cepat selinapkan Kitab Wasiat Iblis ke balik
pakaiannya. Tak ada jawaban.
“Berani
bergurau di tempat ini berarti mengantar nyawa!” kata Pangeran Matahari lantang
hingga suaranya menggema di dalam goa batu itu. Tetap saja tak ada jawaban.
“Kurang
ajar!”
Baru saja
Pangeran memaki seperti itu tiba-tiba kembali berdesir angin keras.
“Bleppp!”
Kini obor
besar di dinding kiri goa padam hingga bagian depan goa menjadi kelam.
Satu-satunya obor yang masih menyala adalah di atas kepala patung manusia
berkepala singa. Obor ini menerangi batu rata dan sosok Pangeran Matahari yang
duduk di atasnya.
“Mematikan
lampu minyak bisa kuanggap satu pekerjaan mudah. Tapi membunuh api obor yang
begitu besar hanya bisa dilakukan oleh manusia berkepandaian sangat tinggi!”
membatin Pangeran Matahari.
Pada saat
itu tiba-tiba muncul satu sosok memasuki mulut goa. Pangeran Matahari cepat
mengambil mantelnya dan berdiri. Tenaga dalam siap dialirkan ke tangan kanan
untuk melancarkan pukulan maut “Telapak Merapi”.
Di
pertengahan goa sosok yang masuk hentikan langkahnya. Pangeran Matahari tidak
dapat melihat wajah orang ini karena terlindung oleh kegelapan. Dia hanya bisa
melihat bagian paling bawah pakaian yang dikenakannya yaitu sehelai jubah
hitam. Ujung kakinya tersembul dari balik jubah. Dia tidak memakai kasut. Orang
ini ternyata memiliki kaki sangat hitam dengan kuku-kuku panjang juga berwarna
hitam.
“Hanya
guruku si Muka Bangkai yang tahu tempat ini. Kalau ada orang lain muncul disini
jelas dia membawa maksud tidak baik!” pikir Pangeran Matahari.
“Tamu tak
diundang. Melangkah ke tempat terang. Aku mau melihat tampangmu sebelum nyawamu
kubikin terbang ke neraka!”
Pangeran
Matahari menyangka ucapannya itu tidak diperdulikan. Bahkan mungkin dia akan
langsung diserang. Ternyata salah. Dua kaki hitam berkuku panjang bergerak maju
dan berhenti dua langkah di hadapan batu datar.
Cahaya
api obor kecil di kepala patung manusia berkepala singa menerangi sosok tubuh
itu. Kini Pangeran Matahari dapat melihat orang yang berdiri di hadapannya.
Orang ini bertubuh sangat jangkung, mengenakan jubah hitam. Kepalanya yang
memakai sorban hitam hampir menyentuh bagian atas goa. Sepasang tangannya
menjulang ke samping, begitu panjangnya hingga ujung jari sampai betis. Orang
ini memiliki muka sangat hitam dan berminyak. Dibawah cahaya obor mukanya
tampak berkilat-kilat. Dua matanya yang besar dilingkari serbuk hitam. Karena
dua mata ini berwarna merah maka pandangannya tampak menyorot menggidikan. Dari
sela mulutnya yang terus menerus berkomat kamit menetes keluar cairan berwarna
merah karena dalam mulutnya dia selalu mengunyah tembakau campur daun sirih.
“Heran!”
Kata Pangeran Matahari. “Ada makhluk jelek tak tahu diri masuk ke dalam goaku!
Katakan siapa kau adanya!”
Manusia
bersorban hitam sunggingkan senyum sinis baru menjawab. Suaranya parau seperti
tercekik.
“Aku
adalah orang yang dilihat gurumu Si Muka Bangkai dalam mimpinya tujuh puluh
hari lalu!”
Jantung
Pangeran Matahari berdetak keras. Kejutnya bukan olah-olah namun dia cepat
balas lontarkan seringai buruk dan berkata. “Mimpi…? Mimpi apa? Jangan berani
ngaco dihadapkanku! Jangan sekali-kali menyebut nama atau gelar guruku untuk
urusan yang tidak-tidak!”
Si
jangkung berjubah dan bersorban hitam tertawa pendek.
“Aku
tidak bicara ngaco! Kau yang berdusta dan pandai menyembunyikan
keterkejutanmu!”
“Manusia
berkulit sehitam arang ini punya kemampuan menduga hatiku,”membatin Pangeran
Matahari. Lalu dia membentak. “Jangan membuat aku muak ! Lekas katakan siapa
dirimu, apa kepentinganmu lalu lekas minggat dari hadapanku!”
Tangan
kanan sang Pangeran tampak bergetar tanda tenaga dalamnya sudah tersalur penuh.
“Aku
datang dari jauh. Di timur aku dikenal dengan julukan Datuk Sengkang Makale. Di
barat aku dijuluki Hantu Tinggi Pelebur Jiwa. Di utara orang-orang memanggilku
Sepasang Tangan Kematian. Lalu di selatan orang-orang menggelariku Pencabut Roh
Bersorban Hitam. Nah, aku sudah menjawab pertanyaanmu!”
“Pangeran
Matahari tertawa lebar. “Julukanmu banyak juga rupanya. Tapi tak satupun
membuatku merinding. Ha…ha…ha…! Sudah, sekarang katakan apa kepentinganmu
datang kesini. Kalau sudah lekas angkat kaki dari hadapanku! Goa ini jadi busuk
akibat bau badanmu!”
“Aku
datang untuk meminta Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik pakaianmu!”
Paras
Pangeran Matahari berubah. Tapi dia lekas mengumbar suara tawa bergelak lalu
berkata. “Manusia muka hitam sinting! Kau tahu tengah berhadapan dengan
siapa?!”
“Aku
lebih dari tahu siapa tahu siapa dirimu. Kau terlahir dengan nama Anom.
Ditakdirkan sebagai seorang Pangeran terlantar karena ibumu hanya istri ketiga
dari penguasa Kerajaan. Kau hampir mampus kalau tidak diselamatkan oleh kakek
sakti berjuluk Setan Muka Pucat alias Si Muka Bangkai. Dari dia kau menerima
segala kepandaian silat dan kesaktian. Dari petunjuk yang aku berikan dalam
mimpinya maka kau berhasil mendapatkan Kitab Wasiat Iblis setalah mengalahkan
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Nah apakah kurang lengkap semua
keteranganku?!”
Untuk
beberapa saat lamanya Pangeran Matahari tegak seperti patung. Mulutnya
ternganga. Dia dongakan kepala lalu angkat tangan kanannya ke atas. Orang muka
di hadapannya menyeringai dan berkata.
“Jangan
teruskan gerakanmu, atau kau akan jadi debu saat ini juga!”
Pangeran
Matahari yang dikenal sebagai pendekar segala cerdik, segala akal, segala
congkak dan segala licik merasa sangat dihina oleh ucapan dan ancaman Datuk
Sengkang Makale. Dia meludah ke lantai lalu berkata. “Aku hanya bersedia
menukar Kitab Wasiat Iblis itu dengan nyawamu. Apa jawabmu Hantu Tinggi Pelebur
Nyawa!”
“Jika aku
boleh menawar, bagaimana kalau nyawaku ditukar dengan kitab ditambah nyawamu?!”
Rahang
Pangeran Matahari menggembung. Sepasang matanya membeliak berapiapi. Datuk
Sengkang Makale tertawa gelak-gelak
“Aha!
Agaknya kau punya dua nyawa hingga berani berucap begitu!” ujar Pangeran
Matahari.
“Kau
sudah melihat sendiri ada manusia mampus yang mayatnya melintang di cabang
pohon! Mayat itu sekarang kedinginan! Apa kau mau menemaninya?!”
“Siapa
orang itu?! Kenapa kau membunuhnya?!” Tanya Pangeran Matahari.
“Dia
seorang tokoh dari utara menyadang julukan Sepasang Tangan Beracun. Aku
membunuhnya karena dia mencoba bersaing untuk dapatkan Kitab Wasiat Iblis!
Kalau aku bisa membunuhnya riwayatmu malam ini?!”
Pangeran
Matahari tahu betul bahwa orang yang mati itu bukan tokoh sembarangan. Jika si
korban hitam bergelar Hantu Tinggi Pelebur Nyawa ini mampu membunuhnya jelas
dia memang memiliki kepandaian yang sulit dijajaki. Tapi dasar berjiwa congkak,
Pangeran Matahari anggap enteng orang di depannya malah kembali dia meludah.
“Orang
sombong sepertimu biasanya bakal menemui kematian dengan tubuh cerai-berai!”
Si
jangkung Hitam terus saja tertawa. Tiba-tiba dia semburkan gumpalan tembakau
dan sirih yang sejak tadi dikunyahnya. Benda ini melesat deras kearah patung
singa berkepala manusia dan amblas dalam patung batu itu!
“Pangeran,
kita akan lihat siapa yang tolol diantara kita. Siapa yang tidak sadar
tingginya langit akan mampus lebih dulu!” Habis berkata begitu si hitam ini
ulurkan kaki kanannya ke lantai yang kejatuhan ludah Sang Pangeran. Ludah itu
dipijaknya lalu kakinya diputar-putar. Tiba-tiba terlihat Pangeran Matahari
tersentak ke depan. Mulut dan perutnya laksana tertusuk ratusan jarum. Dia
cepat kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Tak urung butir-butir keringat
memercik di keningnya. Bibirnya bergetar. Sang Datuk tertawa mengekeh.
“Manusia
jahanam! Dengan kepandaian picisan itu apa kau kira mampu menghindar dari
kematian?!” bentak Pangeran Matahari. Tangannya yang sudah menyiapkan pukulan
“Telapak Merapi” didorongkan ke arah orang tinggi hitam yang hanya berada empat
langkah di depannya.
“Wussss!”
Dari
telapak tangan kanan Pangeran Matahari keluar angin deras menggemuruh dan
menggoncang goa batu. Bersamaan dengan itu udara terasa sangat panas. Jangankan
tubuh manusia, batu sekalipun bisa hancur dan hangus terkena hantaman pukulan
sakti ini. Tapi di hadapan sang Pangeran Datuk Sengkang Makale tak sedikitpun
bergeming malah hadapi serangan maut itu dengan tangan kiri ditolakkan di
pinggang sedangkan tangan kanan diangkat ke atas dengan jari telunjuk menunjuk
lurus-lurus ke langit-langit goa!
Terjadi
suatu hal yang hebat dan membuat Pangeran Matahari terbeliak besar. Sinar hitam
pukulan saktinya laksana tersedot, tertarik kearah jari telunjuk Datuk Sengkang
Makale. Suara gemuruh dan hawa panas perlahan-lahan menjadi sirna. Sebaliknya
jari telunjuk sang Datuk kelihatan memancarkan sinar hitam legam. Ketika jari
itu dijentikkannya ke atas terdengar ledakan dahsyat. Cahaya hitam dan angin
keras menderu. Atap goa batu hancur berantakan. Lantai batu bergetar hebat lalu
terbelah. Kalau sang Pangeran tak cepat melompat, kedua kakinya akan terperosok
ke dalam belahan lantai goa! Untuk sesaat pandekar segala cerdik segala congkak
itu tegak tersandar ke dinding goa yang masih utuh. Wajahnya pucat pasi!
“Barusan
aku hanya menyedot dan melepas setengah kekuatan pukulan saktimu Pangeran!”
kata Datuk Sengkang Makale. “Yang setengah lagi biar kukembalikan padamu!”
Lalu sang
Datuk jentikkan telunjuk tangan kanannya ke arah Pangeran Matahari. Sinar hitam
berkiblat! Nyawa sang Pangeran terancam oleh pukulan sakti miliknya sendiri
yang diredam lalu dilepas kembali oleh lawan untuk menyerang dan menghabisi
nya! Sadar bahaya besar mengancamnya Pangeran Matahari tak mau berlaku ayal.
Secepat kilat dia angkat kedua tangannya untuk menangkis dan balas menghantam
dengan pukulan “Gerhana Matahari”.
Namun
sebelum pukulan maut itu sempat dilepas mendadak dia merasakan dadanya dia
merasakan dia merasakan dadanya dilanda hawa panas. Lalu tiba-tiba sekali dari
dada Pangeran Matahari menderu satu gelombang angin luar biasa dahsyatnya
disertai berkiblatnya sinar hitam menggidikkan. Hawa panas menghampar laksana
di neraka. Sinar hitam maut yang dijentikkan sang Datuk disapu habis!
Lolongan
setinggi langit keluar dari mulut Datuk Sengkang Makale. Tubuhnya mencelat
keluar goa, sesaat menyangsrang di semak belukar lalu jatuh di atas rerumputan.
Asap mengepul.
Ketika
Pengeran Matahari keluar dari goa dia menyaksikan apa yang telah terjadi dengan
nenek sakti berjuluk Ratu Pesolek. Sosok jangkung Datuk Sengkang Makale yang
punya empat julukan itu hanya tinggal tulang-belulang hitam hangus mengeluarkan
kepulan asap tipis!
Pangeran
Matahari keluarkan Kitab Wasiat Iblis dari balik bajunya. Benda ini terasa
hangat. Perlahan dan hati-hati kitab sakti ini diletakkannya di batu goa lalu
dia jatuhkan diri menyembah.
“Junjunganku
Kitab Wasiat Iblis! Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku!”
Lalu
kitab itu diciumnya berulang kali, diletakkannya di atas kepalanya kemudian dia
melangkah masuk kembali ke dalam goa.
*******************
ENAM
Tujuh
payung warna warni yakni merah, biru, kuning, putih, hitam, hijau dan ungu
melayang turun menuju lereng bukit tak jauh dari sumur batu dimana sosok
Pendekar 212 terkapar. Payung warna merah sampai lebih dulu. Sejengkal lagi
kepalanya akan menyentuh tanah, perempuan yang bergelantungan pada payung itu
lalu melompat ke samping. Di lain kejap dia sudah tegak di tanah bukit. Lalu
clep! Gagang lancip payung merah menancap di tanah. Sekali lagi secara aneh
terdengar suara clep! Payung warna merah yang tadi mengembang kini kuncup
dengan sendirinya.
Perempuan
yang tegak di samping payung merah ternyata adalah seorang gadis berwajah
sangat cantik. Mukanya tidak disentuh alat perias sedikitpun namun kedua
pipinya kelihatan merah. Begitu juga bibirnya tampak segar merah. Sepasang
alisnya sangat hitam menaungi barisan bulu mata yang tebal lentik. Dia
mengenakan pakaian ringkas warna biru berbunga-bunga kuning. Rambutnya hitam,
tergerai lepas dipermainkan angin bukit.
Enam
payung yang masih terkembang di udara sesaat kemudian satu persatu menyusul
turun mengitari payung merah dan gadis cantik itu. Lalu ujung-ujung gagang
payung yang lancip menancap di tanah. Satu persatu pula secara aneh enam payung
yang tadi terkembang menguncup!
Gadis di
tengah kelilingan payung memandang berkeliling. Seperti diketahui bukit di
sekitar sumur batu itu dilanda bau busuk beberapa mayat yang bertebaran di
sana-sini. Tapi si gadis seolah tidak menciumnya. Dengan tenang kemudian dia
melangkah kearah sumur batu lalu menatap ke dalam.
“Aku
yakin memang ini sumur yang dikatakan guru. Tapi firasatku mengatakan aku
datang terlambat. Benda yang kucari itu sudah tak ada di sini. Tadi aku melihat
ada dua orang meninggalkan bukit ini. Mungkin mereka telah mendapatkan benda
itu. Sebaiknya aku naik ke udara kembali. Mereka tentu belum jauh…”
Gadis
cantik itu melangkah kea rah payung merah yang menancap di tanah. Tibatiba dia
hentikan langkah dan membalik. Matanya memperhatikan sosok tubuh Pendekar 212.
“Banyak
mayat di tempat ini. Yang satu itu masih segar. Pasti belum lama menemui ajal!
Pasti dua orang yang kulihat tadi yang membunuhnya… Hemm…apakah perlu memeriksa
siapa dia adanya?” Berpikir sampai disitu si gadis melangkah mendekati tubuh
Pendekar 212 yang terkapar menelungkup. Dengan ujung kakinya dia balikkan tubuh
pemuda itu hingga terlentang. Sesaat dia pandangi muka Pendekar 212.
“Ada
bekas darah di sekitar mulutnya. Mukanya sepucat kain kafan. Orang ini mati
akibat luka dalam yang amat parah. Hemmm… Tak pernah aku melihat dia sebelumnya.”
Setelah memperhatikan sesaat lagi, si gadis siap untuk beranjak. Angin bukit
bertiup kencang menyingkapkan pakaian putih Wiro di bagian dada. Saat itulah
dia tak sengaja melihat rajah tiga buah angka yang tertera di dada si pemuda.
Gerakan
kaki si gadis yang hendak melangkah serta merta tertahan. Sepasang matanya yang
bening membesar. ”Dua satu dua…!” desisnya. “Astaga!” Bukankah dia…” Gadis ini
sesaat tampak meragu. Air mukanya mendadak pucat. Lalu perlahanlahan dia
berlutut. Tangannya diulurkan memegang lengan kiri Wiro. “Tak ada denyutan
nadi….Dia memang benar-benar sudah mati! Ah…. Bagaimana ini? Padahal menurut
guru aku harus…” Si gadis akhirnya duduk di samping tubuh Pendekar 212, menatap
terus menerus. Lalu mata itu melihat tanda merah kebiruan di bagian dada.
“Bekas pukulan aneh…” katanya dalam hati. Lalu menyambung. “Nasib manusia
memang di tangan Yang Kuasa. Mana aku menyangka kalau pertemuan dengan dirinya
ternyata dia sudah menjadi mayat begini rupa…. Satu-satunya kebajikan yang bisa
kulakukan adalah mengubur jenazahnya!” Gadis itu kembali memandang berkeliling.
Di lereng bukit sekitar lima puluh langkah dibawahnya ada sebatang pohon
rindang. “Mungkin di bawah pohon itu kubur yang baik untuknya…” Si gadis
bangkit berdiri lalu membungkuk.
Tangan
Wiro kiri kanan dicekalnya. Perlahan-lahan, dengan sangat hati-hati dia
menyeret mayat Pendekar 212 ke arah pohon besar di bawah sana. Baru enam
langkah dia menyeret sosok tubuh itu tiba-tiba terdengar suara orang
terbatuk-batuk.
“Mayat
hidup!” Si gadis terpekik. Lepaskan pegangannya pada tangan Wiro lalu melompat
menjauh dengan wajah berubah. Tubuh Wiro yang tadi terangkat karena pegangannya
dilepas jadi terbanting ke tanah. Tiba-tiba tubuh itu menggeliat. Membuat gadis
tadi jadi tambah ketakutan.
“Astaga!
Jelas tadi dia sudah mati. Bagaimana bisa hidup kembali!” ujar si gadis dalam
hati ketika dilihatnya sosok Wiro berbalik ke kanan lalu dengan susah payah dia
berusaha berdiri. Tapi dalam sikap merangkak tubuhnya kembali terhempas. Dari
mulutnya keluar suara keluhan disertai kucuran darah. Wiro angkat kepalanya.
Pandangannya kabur. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berdiri di
hadapannya.
“Demi
Tuhan, siapapun kau adanya to… tolong….”
“Dia
benar-benar masih hidup!” ujar si gadis. Ketika kepala Wiro terkulai kembali
dia cepat mendatangi.
DUA mata
yang terbuka itu tak dapat mengenali benda-benda apa yang ada di atas tubuhnya.
Dia hanya melihat samar-samar warna hijau, merah, kuning dan entah warna apa
lagi. Pendekar 212 pejamkan kembali matanya. Beberapa saat kemudian baru
dibukanya.
“Aneh,
benda-benda apa ini?” otaknya mulai mampu berpikir. “Tubuhku terasa sakit.
Tulang-tulangku seperti luluh. Tenggorokanku kering seperti terbakar. Mulutku
pahit. Dadaku uh… mendenyut sakit. Bernafaspun serasa mau mati! Eh, berada
dimana aku ini…?” Wiro merasa getaran-getaran di tanah. Matanya melirik. “Ada
orang melangkah di dekatku… Aku hanya melihat kaki berkasut . Pakaian biru
kembangkembang itu membungkuk. Wiro melihat rambut hitam tergerai. Lalu rambut
itu bergerak seperti disibakkan. Kelihatan satu wajah.
Wiro
pejamkan kedua matanya. Dibuka lalu dikedip-kedipkan berulang kali.
“Heh…
Jangan-jangan aku ini memang sudah mati dan masuk sorga. Buktinya aku melihat
wajah cantik rambut panjang. Pasti itu wajah bidadari…” ujar Wiro perlahan tapi
cukup terdengar oleh orang yang berada di sampingnya.
“Hik…
hik… hik…”
Wiro
terkejut mendengar ada suara orang perempuan tertawa cekikikan tapi
tertahan-tahan. Matanya berputar memandang kian kemari. “Astaga…. Jangan-jangan
yang kulihat tadi bidadari jejadian alias hantu perempuan!” kata Wiro lalu
berusaha berdiri. Namun dia cuma mampu duduk. Itupun dengan terhuyung-huyung.
Rambut tergerai dan wajah cantik lenyap, berganti dengan satu sosok utuh mulai
dari kaki sampai kepala yang duduk du hadapan Pendekar 212.
“Si..siapa
kau…? Berada dimana aku saat ini?” Wiro bertanya. Kepalanya terasa berat. Dia
kuatkan diri berusaha agar tidak rubuh. Tapi tak bisa.
Gadis di
hadapan Wiro menjawab. ”Keadaan tubuhmu masih sangat lemah. Sebaiknya kau
berbaring saja dulu…”
“Aku…aku
lemah?” Wiro memandang berkeliling sampai matanya kembali menatap kearah wajah
cantik di depannya. “Memangnya aku kenapa…?” Wiro turunkan kepalanya. Wajahnya
langsung berubah ketika nmelihat ada noda darah di baju serta dadanya yang
tersingkap. Dia juga melihat tanda merah kebiruan membelintang di dadanya. Saat
itu kembali rasa sakit menyerang dadanya membuat dia merintih panjang. Lalu
kembali Wiro menatap gadis di depannya dengan air muka penuh pertanyaan.
“Pertama
aku menemuimu, kukira kau sudah mati. Aku mengubur jenazahmu…” si gadis berniat
hendak memberitahu.
“Tengkukku
merinding mendengar ucapanmu. Apa betul…” Wiro berucap.
Tangan
kanannya hendak menggaruk kepala tapi dia masih tak mampu menggerakkan. Malah
saat itu tubuhnya terasa huyung dan akhirnya dia terbaring terlentang di tanah.
“Baiknya
kau jangan banyak bbicara dulu. Kau menderita luka dalam amat parah. Hanya
kekuasaan Allah yang membuatmu masih hidup saat ini… Berbaring seperti itu
lebih baik bagimu.”
“Allah
memang Maha Besar. Maha Penolong. Apa… apa yang sebenarnya terjadi dengan
diriku. Otakku masih belum mampu mengingat….”
“Jangan
banyak berpikir, jangan bergerak. Juga tak perlu banyak bicara…”
“Mana
mungkin aku berbuat begitu. Itu sama saja seperti mati sungguhan…” kata Wiro.
“Terserah.
Kalau kau mau sembuh ikuti nasihatku. Kalau tidak…Jika orang-orang yang ingin
membunuhmu itu muncul kembali dan kau masih dalam keadaan seperti ini, tamat
riwayatmu!”
“Eh,
siapa yang ingin membunuhku…?” Wiro ajukan pertanyaan tapi mendadak mukanya
mengernyit. Dadanya mendenyut sakit seperti ada yang meremas di sebelah dalam.
“Telan
ini…” kata gadis berpakaian biru seraya mengeluarkan sebutir benda berwarna
hitam sebesar ujung jari kelingking.
“Apa
ini…? Tahi kambing?” Tanya Wiro.
Paras si
gadis berubah menunjukkan rasa jengkel. “Bergurau memang sehat. Tapi harus pada
tempatnya. Aku memberimu obat tapi kau bicara melantur. Aku akan simpan saja
obat ini! Kau boleh menunggu sembuh sampai seratus hari!”
Murid
Sinto Gendeng jadi terkejut mendengar ucapan itu. “Jangan buru-buru marah. Aku
tidak kenal kau. Maksudmu bisa saja baik. Tapi kecurigaan ada kalanya
memperpanjang umur, bukan sebaliknya. Dengar….Di balik pakaian putihku ada
sebuah kantong kecil berisi obat. Tolong ambilkan dan masukkan ke dalam
mulutku…”
Gadis
berbaju biru angkat tangannya. “Kantong kain butut dan bau ini?!” ujarnya
seraya memperlihatkan sebuah kantong kain yang memang milik Wiro.
“Jangan
menghina! Dalam kantong itu ada obat pemberian guruku!”
Si gadis
tersenyum lebar. “Kantongnya saja sudah butut bau begini. Obatnya tentu lebih
buruk lagi!”
“Kau
keliwat menghina!” Wiro berteriak tapi tenggorokannya mendadak tercekik hingga
dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Dia coba bangkit dan ulurkan tangan
mengambil kantong kain di tangan si gadis. Namun dia hanya mampu bergerak
sedikit lalu jatuh lagi ke tanah.
“Apapun
obat yang ada dalam kantong ini tak akan mampu menolong dirimu! Kau bukan
menderita luka dalam akibat pukulan manusia. Tapi oleh pukulan iblis. Hanya
obat iblis pula yang mampu menyembuhkanmu…”
“Maksudmu
…?” Wiro melirik pada benda hitam di tangan si gadis. “Berati yang di tanganmu
itu obat iblis!”
“Terserah
kau mau menyebutnya apa. Kau mau menelannya atau tidak?”
“Tidak…”
jawab Wiro.
“Kalau
begitu tak ada gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Selamat tinggal. Selamat
bertemu dengan teman-temanmu…”
Eh
teman-temanku siapa?!” Tanya Wiro heran.
“Yang
sudah meninggal lebih dulu darimu!” jawab si gadis lalu letakkan kantong kain
milik Wiro dan cepat berdiri.
Dalam
hati Pendekar 212 seperti mau merutuk habis-habisan. Tapi di mulutnya malah
muncul senyum lebar. “Tunggu!”
“Aku tak
punya waktu melayanimu!” jawab si gadis. Tangannya bergerak mencabut sebuah
tiang yang menancap di tanah. Ketika tiang itu diangkat baru Wiro mengenali
bahwa banda itu adalh gagang sebuah payung berwarna merah. Wiro memandang ke
atas.”Ah, kalau begitu enam benda warna warni lain yang ada di atas tubuhku ini
adalah payung semua…” piker Wiro. “Tujuh payung terkembang…Bagaimana dia bisa
memakainya semua? Siapa sebenarnya gadis cantik ini. Apa benar dia hendak
menolongku…?”
“Hai, kau
betulan mau pergi?!” Wiro bertanya.
“Kau
tidak membutuhkan pertolongan…”
“Siapa
bilang?!” tukas Wiro.
Si gadis
hentikan gerakannya yang hendak melangkah pergi. Dia memandang pada Wiro dengan
pandangan mengkal.
“Baik,
aku bersedia menerima pertolonganmu. Aku mengucapkan terima kasih…Tapi boleh
aku tahu dulu siapa dirimu sebenarnya? Kau pasti punya nama dan …Hek!”
Wiro
tercekik. Ternyata si gadis telah melemparkan obat hitam di tangannya ke dalam
mulutnya. Begitu berada dalam mulut obat itu keluarkan letupan halus. Wiro
merasakan mulut dan seluruh kepalanya seperti terbakar. Dia menjerit keras.
Perlahanlahan kulitnya terbakar. Dia menjerit keras. Perlahan-lahan kulit
mukanya kelihatan menghitam.Warna hitam ini menjalar ke leher terus ke dada dan
akhirnya turun terus sampai ke ujung kaki. Bersamaan dengan itu Wiro merasa
nafasnya sangat sesak. Matanya perih. Dalam Keadaan seperti itu akhirnya dia
hanya melihat kegelapan lalu tak tahu apa-apa lagi.
*******************
TUJUH
Pendekar
212 sadar akan dirinya ketika sang surya bersinar terik di langit.
Perlahan-lahan dia buka kedua matanya. Dia coba berpikir. Ternyata daya
ingatannya telah jernih kembali. Bukan itu saja, dia merasakan ada kekuatan
lagi dalam tubuhnya walau rasa sakit masih ada di bagian dada. Masih dalam
keadaan terbaring di tanah dia memutar mata, memandang berkeliling.
“Benda
kuning warna-warni itu… Payung-payung itu tak ada lagi… Gadis cantik berpakaian
biru kembang kuning itu…” Wiro bangkit duduk. Lalu berdiri. “Aneh, kekuatanku
sudah pulih. Pasti berkat obat yang diberikan gadis itu. Kemana dia?!” Ketika
dia hendak memandang lagi berkeliling mencari-cari, tiba-tiba Wiro ingat akan
senjata mustikanya. Diperiksanya pinggang pakaian, dia meraba kian kemari.
Jantungnya bergemuruh.
“Kapak
Naga Geni 212! Batu hitam sakti!” teriak Wiro keras tapi bergetar.
“Celaka!
Dua senjata mustika itu lenyap! Pasti telah di bawa kabur Tiga Bayangan Setan
dan Elang Setan! Jahanam! Aku bersumpah membunuh dua manusia setan itu!” Wiro
terduduk lemah di tanah. Saat itulah pertama kalinya Wiro memperhatikan kedua
tangannya, lalu kedua kakinya. Disingkapnya dada pakaiannya.
“Ya
Tuhan! Pa yang terjadi dengan diriku! Kulit tubuhku hitam semua! Mukaku pasti
juga!” Wiro usap wajahnya. “Celaka! Jangan-jangan…” Wiro berucap sambil
mengusap-usap ke dua tangannya tapi warna hitam itu tidak berubah seolah dia
memang sudah hitam sejak dilahirkan!
Udara di
atas Wiro tiba-tiba redup seolah ada awan tebal menghalangi cahaya yang surya.
Bersamaan dengan itu terdengar suara perempuan berkata.
“Kau tak
usah khawatir. Warna hitam itu nanti akan hilang sendirinya. Keadaanmu akan
pulih jika bulan purnama muncul dan tubuhmu terkena sinarnya!”
Wiro
palingkan kepala dan mendongak. Dia hampir tak bisa percaya dengan apa yang
dilihatnya. Tujuh payung warna-warni melayang di atas bukit dalam keadaan
terkembang. Pada gagang payung warna merah tampak bergantung gadis cantik
berpakaian biru berbunga-bunga.
“Ah dia
rupanya! Luar biasa! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga mampu terbang
dengan payung sementara enam payung mengiring seolah mengawalnya!” Wiro
berdecak kagum lalu lambaikan tangan.
“Sahabat,
turunlah! Aku ingin bicara banyak denganmu!” seru Wiro.
“Urusanku
di tempat ini sudah selesai! Aku tak bisa memenuhi permintaanmu!”
gadis
baju biru menjawab. Payung merah yang dipegangnya melayang di atas bukit lalu
perlahan-lahan naik ke atas.
Murid
Sinto Gendeng garuk kepalanya. “Ah! Syukur! Sekarang aku bisa garuk kepala!”
murid Sinto Gendeng merasa lega tapi begitu melihat tujuh payung terbang
semakin jauh dia segera berlari mengikuti. Celakanya karena lereng bukit
menurun dengan sendirinya dengan payung-payung itu bertambah jauh.
“Kulompati
terlalu jauh! Bagaimana caranya…” Tiba-tiba Wiro melihat sebuah pohon besar
dengan cabang-cabangnya yang panjang di bawah sana. “Tujuh payung bakal
melewati pohon itu. Ini kesempatan bagiku…” Secepat kilat Wiro lari ke arah
pohon, memanjatnya dengan cepat lalu merangkak ke salah satu cabang di arah
mana tujuh payung akan lewat. Walau payung-payung itu masih tetap akan melayang
di atasnya namun jaraknya tidak seberapa tinggi lagi. Payung warna ungu adalah
payung yang paling dekat dengan ujung cabang. Tanpa menunggu lebih lama Wiro
kerahkan tenaga dalam dan mengayun dirinya pada cabang pohon. Tubuhnya melesat
ringan ke atas.
Wiro
berhasil menangkap gagang payung warna ungu, yakni payung yang berada di
sebelah tengah. Gadis berpakaian biru berada dua payung di sebelah depannya.
“Hai! Apa
yang kau lakukan?!” teriak gadis itu ketika melihat Wiro tahu-tahu sugah
bergantungan pada gagang payung ungu.
“Aku mau
ikut kemana kau pergi! Aku tadi sudah bilang ingin bicara banyak denganmu!”
jawab Wiro. Lalu ketika ada kesempatan dia melesat ke samping dan berhasil
menangkap gagang payung hijau. Kini dia hanya terpisah satu payung dari si
gadis sementara tubuhnya dan si gadis serta lima payung lain terus melayang di
atas bukit. Wiro sesaat memandang ke bawah. Karena tak biasa berada di udara
seperti itu dia merasa gamang juga. Di sebelah bawah dia melihat sebuah kali
kecil berair jernih.
“Kau tak
bisa mengikutiku! Kau harus turun!” berteriak si gadis.
“Tidak!
Kalau kau mau turun aku baru ikut turun! Jawab Wiro.
“Jangan
memaksa aku melakukan kekerasan!”
“Ahai!
Gadis secantikmu mana tega menjatuhkan tangan keras!” jawab Wiro sambil tertawa
lebar.
“Kau mau
mengujiku! Baik! Aku akan buat kau tahu rasa!” jawab si gadis dengan suara
keras. Dia tampak marah karena merasa ditantang. Rambutnya yang tergerai
melambai-lambai tertiup angin. Kepalanya digoyangkan. Tiba-tiba clep!
Payung
hijau yang digelantungi murid Eyang Sinto Gendeng itu menguncup dengan keras.
Ujungnya memukul tangan dan kepala Wiro. Pendekar 212 mengeluh keras. Bukan
saja karena kesakitan tetapi juga terkejut. Kepalanya laksana dijapit hingga
dia tak bisa bergerak. Japitan itu makin lama makin kencang. Walau payung cuma
terbuat dari kertas dan ruas-ruas bambu namun bagaimanpun dia berusaha tetap
saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Dengan tangan kirinya yang bebas dia
berusaha tetap saja Wiro tak bisa melepaskan kepalanya. Pukulannya tak
sampai-sampai sementara tangan kanannya yang memegang payung selain sakit
terjepit juga terasa mulai lemah hingga tak mungkin baginya bertahan lama.
Di
sebelah kiri bawahnya terdengar suara tawa cekikikan.
“Sialan!
Dia menertawaiku!” memaki Wiro. “Kalau bukan gidas cantik sudah kukencingi dia
saat ini. Aduh…! Bagaimana ini?!” Jepitan payung di kepala Wiro semakin keras.
Tangan kanannya bertambah lemah dan hilang rasa. Melirik ke bawah Wiro melihat
bukit cukup jauh di bawah sana. “Kalau aku harus melepaskan payung celaka ini
lebih baik aku memilih jatuh masuk ke dalam kali sana…” pikir Wiro. Karena tak
sanggup lagi menahan sakit dan mulai pengap dalam jepitan payung hijau Wiro
akhirnya terpaksa lepaskan pegangannya pada gagang payung. Ketika tubuhnya
melayang ke bawah tiba-tiba saja selintas pikiran muncul di benaknya. Di udara
murid Sinto Gendeng liukkan tubuh membuat gerakan aneh. Tiba-tiba tubuh Pendekar
212 melesat ke samping kiri dan terdengar jeritan gadis berpakaian biru itu
ketika Wiro berhasil menangkap dan merangkul pinggangnya!
Payung
merah berguncang keras ketika si gadis meronta-ronta coba lepaskan diri dari
pelukan Wiro. Seumur hidup baru kali ini dia dipeluk orang seperti itu. Oleh
laki-laki pula!
“Pemuda
kurang ajar! Lepaskan diriku!” teriak si gadis. Sebaliknya Wiro yang keenakan
memeluk gadis cantik itu malah tertawa gelak-gelak.
“Aku
sedang keenakan, bodoh dan rugi kalau aku melepaskan pelukan!” jawab Wiro
seenaknya.
“Benar-benar
manusia kurang ajar!” Si gadis marah sekali. Tangan kirinya digebukkan.
“Bukkk!”
Tubuh
Wiro menggeliat ketika gebukan si gadis menghantam bahu kirinya dengan keras.
Sakitnya bukan main. Tulang belikatnya serasa patah. Tapi dasar brengsek dia
bukannya berteriak kesakitan malah berseru.
“Aduh!
Enaaak!”
Karena
beban yang ditahan payung merah dua kali lebih berat dari sebelumnya maka
perlahan-lahan payung itu melayang ke bawah.
“Kau
benar-benar tidak mau melepaskan pelukanmu?!” Si gadis kembali berteriak.
“Kita
turun saja sama-sama, mengapa musti rebut-ribut! Aku tidak bermaksud kurang
ajar!” jawab Wiro dan tambah memperkencang pelukannya.
Si gadis
hilang sabarnya. Kaki kanannya bergerak. Lututnya dihantamkan ke bawah perut
Pendekar 212. Kali ini Wiro benar-benar kesakitan. Dia berteriak keras. Lalu
tak sadar kalau saat itu dia berada di udara, begitu lepaskan pelukan kedua
tangannya berada dipakai menekap bagian bawah perutnya.
“Hancur
keponakanku!”
Tubuh
Pendekar 212 melayang jatuh ke bawah. Untung saja saat itu jaraknya ke tanah
tidak terlalu jauh. Lagi pula dia masih bisa memilih jatuh dengan mencebur
masuk ke dalam anak sungai berair jernih!
Dalam
keadaan basah kuyup Wiro berenang menuju tebing sungai. Sementara di udara
payung merah tempat gadis cantik bergantung perlahan-lahan kembali melayang
naik ke udara diikuti oleh enam payung warna-warni lainnya. Bersamaan dengan
jatuhnya Wiro ke anak sungai tadi, dari balik pakaian gadis baju biru melayang
jatuh pula secarik kertas. Tepat ketika Wiro mencapai pinggiran sungai, kertas
itu jatuh di atas sebuah batu.
“Eh,
kertas apa ini..?” ujar Wiro. Dia mendongak ke atas.
Di udara
gadis baju biru tampak sibuk memeriksa pakaiannya. Dia memandang ke bawah.
“Astaga! Kertas itu…” katanya dengan paras berubah. Begitu dilihatnya Wiro
ulurkan tangan hendak ambil kertas yang jatuh di atas batu, dia segera
berteriak. “Jangan sentuh benda itu!” Lalu si gadis kerahkan tenaga. Kedua
kakinya digerak-gerakkan. Tangan kirinya diputar-putar. Secara aneh payung
merah yang digelantunginya melesat kencang ke bawah hingga dalam waktu cepat
sekali dia sudah menjejakkan kaki di depan batu di mana kertas tadi terjatuh.
Namun dia kalah cepat karena saat itu Wiro telah lebih dulu mengambil kertas
itu. Ketika diperhatikannya ternyata hanya sehelai kertas kosong. Tak ada
tulisan ataupun gambar di atasnya.
“Kembalikan
kertas itu padaku!” ujar si gadis di hadapn Wiro
“Aneh,
hanya sehelai kertas kosong mengapa dia begitu bersikeras memintanya…?” pikir
Wiro dalam hati lalu membalik-balikkan kertas itu beberapa kali.
“Hai! Kau
tuli tidak mendengar orang berkata?!” bentak si gadis.
Wiro
tersenyum lalu ulurkan tangan kanannya yang memegang kertas. Sesaat lagi
jari-jari si gadis akan menyentuh kertas itu Wiro tarik tangannya hingga orang
hanya menangkap angin. Murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak. Merasa di
permainkan gadis baju biru menjadi marah. Dia bukan saja berusaha merampas
kertas itu tapi sekaligus kirimkan serangan.
“Serangannya
ganas sekali…” membatin Wiro dan cepat berkelit. Namun tangan kiri si gadis
sempat melabrak ulu hatinya. Selagi tubuh Wiro terkekuk ke depan tangan kanan
lawan menyambar ke arah kertas. Wiro masih sempat berkelit. Tapi entah
bagaimana pegangannya pada kertas terlepas dan kertas itu melayang sebentar
lalu masuk ke dalam sungai. Sesaat kertas itu dihanyutkan arus namun di satu
tempat tertahan di antara dua buah batu.
Wiro
melihat perubahan aneh pada wajah gadis di hadapannya. “Heran , hanya selembar
kertas kosong mengapa dia begitu ngotot?!’ pikir Wiro. Sambil pegangi perutnya
yang tadi dihantam dengkul gadis itu Wiro berpaling kearah sungai. Matanya yang
ditujukan pada kertas yang terjepit di antara dua buah batu tiba-tiba
terpentang lebar. “Aneh, tadi kertas itu kosong tak ada apa-apanya. Kini aku
lihat seperti ada sesuatu di situ….” Wiro bergerak menuruni tebing sungai.
“Tetap di
tempatmu! Jangan kau berani menyentuh kertas itu!” Gadis di belakangnya
berkata. Suaranya bukan merupakan ancaman kosong karena saat itu juga melompat
ke hadapan Wiro dan dorongkan kedua tangannya dan dada sang pendekar. Jarak dua
tangan dan dada terpisah sekitar tiga jengkal. Dua rangkum angin dingin menyambar
tanpa suara sama sekali, membuat murid Sinto Gendeng terlempar sampai dua
tombak. Dia jatuh terbanting di antara tujuh buah payung yang menancap di tepi
sungai, semua dalam keadaan kuncup!
Karena
sebelumnya dadanya pernah cidera akibat hantaman makhluk raksasa jejadian yang
keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan dan kini mendapat hantaman di bagian
yang sama, akibatnya Wiro merasakan sakit sekali, membuat dia terhuyunghuyung
ketika coba berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya keluar lelehan
darah. Luka dalamnya ternyata kambuh kembali.
“Hanya
karena sehelai kertas kau tega mencelakaiku…” desis Wiro. Dia kerahkan tenaga
dalam dan atur jalan nafas serta darah.
Si gadis
tak menjawab. Malah balikkan diri lalu menuruni tebing sungai dengan cepat. Di
satu tempat dia siap untuk melompat, mengambil kertas yang tersangkut di celah
dua buah batu sungai.
Pada saat
dia membungkuk, dari belakang tiba-tiba menderu satu gelombang angin deras. Si
gadis tak sempat melihat apa yang terjadi. Tapi dia maklum kalau ada orang
menyerang dengan satu pukulan sakti. Secepat kilat dia membuang diri ke
samping. Namun tak urung sambaran angin masih sempat menyerempet tubuhnya
sebelah kiri. Tak ampun lagi gadis ini terpelintir lalu tubuhnya terjungkal ke
dalam sungai!
Wiro yang
barusan lepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang” dalam keadaan menahan
sakit pada dadanya cepat pergunakan kesempatan untuk melompat ke atas salah
satu batu dimana lembaran kertas basah itu sebelum dihanyutkan air melewati
celah di antara dua batu.
“Hai!”
terdengar seruan gadis baju biru dari dalam sungai. Dia berusaha berenang
secepatnya sebelum Wiro berhasil mengambil kertas itu. Namun kalah cepat. Dia
masih jauh sewaktu Wiro meletakkan kertas basah itu di atas batu. Sepasang mata
murid Sinto Gendeng terbelalak membaca apa yang tertulis di atas kertas itu.
Meskipun air sungai membuat tulisan itu luntur namun Wiro masih bisa
merangkainya satu sama lain dan membaca keseluruhan apa yang tertulis di situ.
Muridku
Puti Andini.
Karena
keperluan sangat penting di Gunung Singgalang aku tidak dapat menemuimu.
Seperti
yang aku pesankan dulu, seterimanya surat ini kau harus segera berangkat ke
tanah Jawa.
Cari
pemuda bergelar Pendekar 212. Dia tahu dimana mendapatkan kitab sakti itu.
Bagaimana
caranya terserah padamu. Jangan ragu-ragu membunuhnya jika kau mengalami
kesulitan.
Wiro
ambil kertas basah itu dari atas batu. Dia mengangkat kepala tepat ketika gadis
yang berenang sampai di dekat batu dalam keadaan basah kuyup.
“Kau
inginkan kertas ini? Ambilah!” kata Wiro seraya menjatuhkan lembaran kertas
yang basah dan hampir robek itu ke atas batu.
Si gadis
usap mukanya yang basah. Sambil menutupi wajahnya dengan tangan dia berkata
seolah pada diri sendiri. “Tak ada gunanya lagi. Dia sudah sempat membaca apa
yang tertulis di kertas itu…”
*******************
DELAPAN
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan memacu kuda masing-masing menuju puncak Gunung
Merapi. Namun selewatnya pertengahan lereng, jalan yang buruk tidak
memungkinkan mereka meneruskan perjalanan dengan kuda. Keduanya terpaksa
tinggalkan binatang-binatang itu di satu tempat lalu melanjutkan dengan jalan
kaki.
“Ini
tempat terkhir kita mencarinya. Kalau dia tak ada di puncak Merapi ini kita
berdua bakal celaka…” kata Tiga Bayangan Setan seraya mencoba berjalan cepat
bahkan setengah berlari menuju puncak Gunung Merapi melewati jalan liar penuh
semak belukar dan onak duri.
Hari itu
adalah hari kesembilan puluh sejak mereka menelan obat mengandung racun
kematian yang telah mereka telan karena dipaksa oleh Pangeran Matahari. Sangat
beralasan megapa kini mereka sangat ketakutan dan ingin cepat-cepat menemui
sang Pangeran guna mendapatkan pobat penawar seperti yang oernah dijanjikan.
“Tiga
Bayangan, aku masih tetap pada rencana semula. Begitu dia memberi kita obat
penawar kita intai saat dia lengah lalu membunuhnya! Kalau Pangeran keparat itu
bisa kita habisi, berarti kita berdua akan menjadi raja diraja dunia
persilatan…”
“Apa yang
ada diotakmu juga merupakan keinginanku, Elang Setan. Tapi selama Kitab Wasiat
Iblis ada apadanya, jangan harap kita bisa membunuhnya sekalipun dengan cara
membiokong. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Iblis Tua Ratu
Pesolek…”
“Kalau
begitu kita akan celaka seumur-umur!” kata Ekang Setan pula.
“Jangan
dulu putus asa, “kata Tiga Bayangan Setan. “Kita harus cari jalan lain yang
ampuh. Misalnya menjebak Pangeran sialan itu…”
“Menjebak
bagaimana?” Tanya Elang Setan.
“Setahuku
dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Doyan perempuan. Kita cari seorang
gadis untuk merayunya. Pada waktu bersenang-senang tak mungkin Kitab Wasiat itu
akan menempel terus di badannya. Saat itulah kita menyergap dan mengambil kitab
tersebut….”
“Rencanamu
masuk akal. Sayang gadis cantik berpakaian biru itu berhasil lolos. Kalalu
tidak dia bisa kita jadikan jebakan…” kata Elang Setan.
Tiga
Bayangan Setan tertawa. “Kau lupa bagaimana dia menghajarmu sampai mukamu
bengkak sebelah. Singa betina seperti itu mana bisa diatur. Salah-salah kita
yang dijebaknya masuk liang kubur…”
Semakin
tinggi menuju puncak Gunung Merapi semakin sulit jalan yang ditempuh sedang
udara bertambah dingin padahal saat itu tengah hari tepat dan sang surya
bersinar terik terang benderang.
Tak
berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya sampai juga di puncak timur
Gunung Merapi.
“Itu
bangunannya. Kuharap dia benar-benar berada di situ. Kalau tidak tamatlah
riwayat kita!” kata Elang Setan sambil menunjuk ke sebuah bangunan panggung
terbuat dari kayu jati beratap rumbia. Untuk naik ke atas rumah harus melewati
sebuah tangga. Di sebelah dalam bangunan itu merupakan satu ruangan terbuka
tanpa kamar. Dengan cepat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menaiki tangga.
Di pintu depan Elang Setan mengetuk dan Tiga Bayangan Setan berseru memanggil.
“Pangeran
Matahari! Apa kau ada di dalam? Kami datang membawa kabar gembira untukmu!”
Sunyi tak
ada jawaban. Dua orang di depan pintu saling berpandangan. Elang Setan mengetuk
lagi lebih keras. Tiga Bayangan Setan berteriak.
“Pangeran
Matahari! Kami Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan datang menghadapimu! Kami
berhasil menjalankan tugas!”
Tetap
saja tak ada jawaban dari dalam bangunan kayu jati. “Kita sudah mengetuk dan
memanggil. Mungkin dia sedang tidur nyenyak. Buka saja pintu dan kita masuk ke
dalam,” kata Elang Setan.
Tiga
Bayangan Setan mengangguk tanda setuju lalu mendorong pintu kayu. Begitu pintu
terbuka keduanya segera menyelinap masuk. Ternyata bangunan itu kosong.
“Celaka!
Nyawa kita tak akan ketolongan! Kita hanya bisa hidup sepuluh hari saja!” kata
Elang Setan seraya melangkah ke pintu. Tiga Bayangan Setan mengikuti.
Namun
baru saja keduanya sampai di ambang pintu sesosok tubuh tinggi kekar tahu-tahu
menghadang di situ.
“Pangeran
Matahari!” seru Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan hampir berbarengan lalu
menjura dalam-dalam.
Di ambang
pintu orang yang tegak memang Pangeran Matahari. Mengenakan pakaian bergambar
Gunung Merapi warna biru di bagian dada.
“Hemmm…cara
kalian menghormat seperti aku ini seorang pamong rendahan saja! Lekas berlutut
di hadapan Pangeran Matahari!”
Dibentak
seperti itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera jatuhkan diri berlutut
patuh walau dalam hati keduanya memaki habis-habisan. Tak pernah mereka
diberlakukan demikian hinanya sebelumnya.
“Hemmm…
Aku sudah menduga kalian bakal mencariku ke sini. Tadi kudengar salah satu dari
kalian mengatakan datang membawa kabar gembira. Berhasil menjalankan tugas!
Kalian boleh berdiri dan ceritakan apa yang telah kalian lakukan! Tiga Bayangan
Setan, kau yang menjelaskan!”
Dua orang
itu serentak berdiri. Tiga Bayangan Setan segera membuka mulut beri keterangan.
“Pangeran
Matahari, sesuai tugas yang kau berikan kami berhasil membunuh Pendekar 212
Wiro Sableng…”
Sepasang
mata Pangeran Matahari membesar. Tapi keningnya mengernyit. Rahangnya yang
persegi dan dagunya yang kokoh sesaat kelihatan menggembung. Kepalanya
didongakkan. Lalu terdengar dia berkata.
“Tiga
Bayangan Setan. Coba bilang sekali lagi apa yang barusan kau ucapkan!”
“Aku Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan telah berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro
Sableng.”
“Dimana
dan bagaimana kejadiannya!” ujar Pangeran Matahari.
“Di bukit
di luar Kartosuro. Tak jauh dari sumur batu, tempat Pangeran Matahari menemukan
Kitab Wasiat Iblis itu, “jawab Tiga Bayangan Setan. ”Nyawanya amblas setelah
terkena pukulan salah satu makhluk raksasa yang ada di kepalaku!”
“Hemmm…”
Pangeran Matahari bergumam sambil usap-usap dagunya.
Wajahnya
yang congkak tidak berubah, tampak dingin-dingin saja. “Setahuku dari ubunubun
di kepalamu bisa keluar tiga makhluk raksasa. Makhluk sebelah mana yang katamu
telah membunuh Pendekar 212?”
“Yang
sebelah kiri, Pangeran, “jawab Tiga Bayangan Setan.
“Bagian
mana yang dihantam makhluk peliharaanmu itu?” bertanya lagi Pangeran Matahari.
“Kepala atau tubuh?!”
“Tepat di
bagian dadanya Pangeran.”
Untuk
beberapa saat lamanya Pangeran Matahari masih dongakkan kepala. Lalu
perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya pada Tiga Bayangan Setan. Dipandang
lekat-lekat tak berkesip seperti itu Tiga Bayangan Setan diam-diam merasa
merinding.
“Apa yang
ada di benak manusia ini…?” membatin Tiga Bayangan Setan. “Dia seolah tidak
yakin aku telah membunuh musuh besarnya itu!”
“Tiga
Bayangan Setan, katamu kau telah berhasil membunuh Pendekar 212. Mengapa
kepalanya tidak kau bawa ke hadapanku?!”
Mendengar
kata-kata Pangeran Matahari itu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling
pandang.
“Tapi
Pangeran,” yang menjawab adalah Elang Setan. “Sebelumnya kau tidak pernah
memerintah begitu…”
“Elang
Setan, tutup mulutmu!” bentak Pangeran Matahari sambil melirik tajam pada Elang
Setan. “Tiga Bayangan Setan aku tanya, bukan kau! Jangan berani bermulut
lancang kalau tidak ditanya!”
“Maafkan
aku Pangeran, “kata Elang Setan cepat sambil membungkuk dalam.
Pangeran
Matahari tujukan pandangannya kembali pada Tiga Bayangan Setan.
“Apa
jawabanmu?!” bentaknya.
“Aku
mohon maafmu Pangeran. Hal yang kau katakan itu tidak kami lakukan. Karena kami
tidak mendengar hal itu pernah kau katakan waktu memberi tugas… Tapi kami punya
sesuatu yang mungkin bisa memberikan keyakinan padamu kalau Pendekar 212 memang
sudah tamat riwayatnya!”
“Apa
sesuatu itu?!” Tanya Pangeran Matahari dengan suara datar.
Dari
balik pakaiannya Tiga Bayangan Setan keluarkan sebuah benda yang memancarkan
cahaya terang menyilaukan dan membuat Pangeran Matahari terbelalak tapi juga
berseru gembira.
“Kapak
Maut Naga Geni 212!”
Elang
Setan tidak mau ketinggalan. Dari Kantong pakaiannya yang tebal dekil dia
keluarkan sebuah batu hitam empat persegi.
Batu
mustika hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212!” kembali Pangeran Matahari
berseru.
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan segera serahkan senjata mustika itu yang tentu
saja dengan cepat segera diambil oleh Pangeran Matahari. Dengan mata
berkilatkilat dia perhatikan kapak dan batu hitam.
“Kalian
berdua memang hebat!” memuji Pangeran Matahari. Kapak Naga Geni 212
dibabatkannya ke udara. Terdengar suara seperti ribuan tawon berdengung disertai
berkiblatnya sinar putih perak menyilaukan mata dan menghamparnya hawa panas.
Pangeran Matahari geleng-geleng kepala lalu tertawa panjang.
“Pangeran,
dua benda sakti itu apakah sudah cukup sebagai bukti bahwa Pendekar 212 Wiro
Sableng telah menemui ajal di tangan kami?!”
Pangeran
Matahari tidak segera menjawab. Dia terus tertawa sambil dongakkan kepala.
Setelah itu diarahkan pandangannya berganti-ganti pada dua orang di depannya.
Sesaat dia angguk-anggukkan kepala baru berkata.
“Aku
sudah memuji kalian sebagai manusia-manusia, sebagai pembantupembantu, sebagai
pengawal-pengawalku yang hebat! Apa yang telah kalian lakukan adalah satu
pekerjaan yang besar!” Pangeran Matahari selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di
pinggang dan simpan batu hitam persegi di balik pakaian hitamnya. Lalu dia
bertanya: “Apa ada hal lain yang hendak kalian sampaikan?”
“Memang
ada Pangeran,” jawab Elang Setan. “Pertama kami mau memberi tahu, waktu kami
berada di bukit Pendekar 212 Wiro Sableng muncul bersama seorang gadis cantik
berpakaian serba biru. Kami berhasil melumpuhkan gadis itu terlebih dahulu.
Setelah Pendekar 212 tewas kami bermaksud membawanya untuk dipersembahkan pada
Pangeran. Tapi di tengah jalan, sekitar sepuluh hari lalu gadis itu berhasil
meloloskan diri!”
“Hemmm… Itu
sebabnya kulihat mukamu bengkak besar. Pasti dia telah menggebukmu cukup
keras…” ujar Pangeran Matahari sambil menyeringai. “Tapi Kalian tak usah
khawatir. Kejadian itu tidak akan mengurangi pujianku terhadap kalian. Nah ada
lagi yang hendak kalian katakan?!”
“Mengenai
obat penawar itu, “kata Tiga Bayangan Setan pula. “Bukankah Pangeran telah
berjanji akan memberikannya sebelum saat seratus hari sampai?”
“Kalian
tak usah khawatir. Obat itu memang sudah kusiapkan!”
Wajah
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi cerah. Keduanya merasa sangat lega.
Mereka memperhatikan bagaimana dari balik pakaian hitamnya sang Pangeran
keluarkan dua butir obat berwarna putih, berkilauan seperti perak. “Ambil
seorang satu. Telanlah. Racun kematian dalam tubuh kalian akan musnah sebelum
kalian sempat menghitung sampai sepuluh!”
Tanpa
ragu-ragu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mengambil masing-masing
sebutir obat itu dari telapak tangan Pangeran Matahari lalu memasukkannya ke
dalam mulut dan segera menelan. Pangeran Matahari tiba-tiba tertawa
tergelak-gelak. Mendadak saja dua orang itu merasa syak.
“Pangeran…”
Tiga Bayangan Setan berkata tapi ucapannya terputus karena sang Pangeran
memberi isyarat dengan melambaikan tangan kiri.
“Racun
seratus hari kini berganti dengan racun kematian tiga ratus hari!”
Kaget dua
orang itu di hadapan Pangeran Matahari bukan olah-olah. Muka mereka mendadak
sontak pucat putih sperti kertas.
“Pangeran!
Kau sudah berjanji! Kami sudah melaksanakan tugas…!” ujar Tiga Bayangan Setan
hampir berteriak dan pegangi perutnya. Sementara kawannya memandang melotot
pada sang Pangeran dengan pelipis gembung bergerak-gerak tanda dia menahan
amarah yang meluap.
“Kau
menipu kami Pangeran!” ujar Elang Setan.
Pangeran
Matahari semakin keras tawanya.
“Kalian
harus berterimakasih karena aku sudah memperpanjang umur kalian sampai tiga
ratus hari dimuka! Mengapa berani bicara keras dan kurang ajar padaku?!”
“Sesuai
perjanjian….”
“Setan
alas keparat! Siapa yang berjanji padamu?!” sentak Pangeran Matahari pada Tiga
Bayangan Setan. “Dengar baik-baik. Pasang telinga kalian! Kembali ke bukit ke
luar Kartosuro itu. Jika benar kalian sudah membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng,
bawa kepalanya ke tempat ini. Aku akan berada disini seratus hari dari
sekarang!”
Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan jadi sama-sama saling pandang dan ternganga.
Elang Setan beranikan diri membuka mulut. “Pangeran, bukit itu sangat jauh dari
sini. Kalau kami sampai di sana mungkin saja mayat Pendekar 212 sudah rusak
busuk atau dimakan binatang buas….”
“Plakkkk!”
Satu
tamparan mendarat di pipi Elang Setan hingga mukanya yang bengkak kelihatan
jadi tambah gembung. Sekujur tubuh Elang Setan bergelar keras. Kuku-kuku
tangannya mencuat lurus.
Pangeran
Matahari menyeringai. “Kau berani menyerangku? Aku mau lihat !” ujar sang
Pangeran sambil memandang pada Elang Setan.
Elang
Setan hendak membuka mulut mendamprat. Tapi Tiga Bayangan Setan cepat memegang
bahunya dan berkata. “Mari kita tinggalkan tempat ini….” Katanya.
Sesaat
Elang Setan masih memandangi Pangeran Matahari dengan mata membeliak. Lalu
perlahan-lahan dia putar tubuh dan melangkah mengikuti saudara angakatnya
menuruni tangga rumah panggung.
“Ingat!
Kalian punya waktu seratus hari melakukan tugas itu! Dan kalian cuma punya umur
tiga ratus hari dari sekarang! Jangan berani macam-macam padaku! Masih mending
aku tidak menyuruh kalian menggonggong seperti anjing seperti dulu. Ha…ha…ha…!”
“Jahanam
keparat!” maki Elang Setan dalam hati. Kaki kanannya bergerak menendang.
“Krakkkkk!”
Kayu
pegangan tangga hancur berantakan. Di atas rumah suara tawa Pangeran Matahari
tambah keras. Sesaat setelah kedua orang itu lenyap dari pemandangan, Pangeran
Matahari menghentikan tawanya lalu menutup pintu rumah. Dia berbalik dan
berseru. “Kekasihku! Kau boleh turun sekarang!”
Dari atas
atap rumah tiba-tiba melayang sesosok tubuh seorang gadis. Begitu turun ke
lantai rumah dia langsung memeluk Pangeran Matahari. Sang Pangeran membalas
dengan penuh nafsu. Dua tangannya bergerak menggerayang di tubuh si gadis.
Hidung dan bibirnya menjalar di leher yang putih. Tiba-tiba mulutnya dibuka. Si
gadis terpekik penuh rangsangan ketika Pangeran Matahari menggigit lehernya
yang putih jenjang.
*******************
SEMBILAN
Gadis
bernama Puti Andini itu tumpangkan kedua siku tangannya di atas batu. Untuk
beberapa lamanya wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.
Wiro
pandangi gadis itu sambil berkata dalam hati. “Dulu Kitab Wasiat Iblis
menimbulkan perkara. Kini Kitab Putih Wasiat Dewa agaknya bakal punya cerita
sama. Semakin banyak keterangan yang harus kukorek dari gadis ini.”
Sewaktu
Puti Andini turunkan tangannya dari atas batu dan memandang menengadah pada
Wiro, murid Sinto Gendeng pandangi wajah yang basah dan sangat cantik itu. “Aku
harus mengakui, kecantikannya melebihi Bidadari Angin Timur. Tapi jika dia
ingin membunuhku apa artinya…”
Puti
Andini naik ke atas batu. Tapi arus sungai saat itu cukup deras dan batu yang
dipegangnya agak licin. Wiro ulurkan tangan, berusaha membantu si gadis untuk
naik keatas batu. Untuk beberapa saat Puti Andini tampak ragu-ragu. Akhirnya
perlahan-lahan diulurkannya juga tangannya. Dua tangan saling bersentuhan.
Sepuluh jari saling mencengkram. Puti Andini merasa ada getaran aneh dalam
dirinya. Detak jantungnya mendadak lebih cepat. Sebaliknya Pendekar 212
biasa-biasa saja. Sekali tarik saja gadis itu berhasil ditolongnya naik ke atas
batu lalu dibantunya melompat ke tebing sungai. Sebelum menyusul melompat ke
tepi sungai Wiro sesaat perhatikan lagi kertas basah yang ada di atas batu.
“Kepandaian manusia ada-ada saja. Waktu kering kertas itu seolah kosong saja.
Begitu terkena air serta merta terlihat tulisan yang tertera disitu…”
Karena
pakaian biru berbunga-bunga kuning yang dikenakan Puti Andini terbuat dari
bahan yang agak tipis dan dalam keadaan basah kuyup, pakaian itu seperti
membungkus tubuhnya sangat lekat sehingga Wiro dapat melihat setiap lekuk
belahan auratnya.
Puti
Andini tiba-tiba balikkan badannya, melangkah ke arah deretan tujuh payung
hijau yang tadi sempat memukul kepala Wiro kelihatan dalam keadaan kuncup.
“Kau mau
kemana?!” tanya Pendekar 212 ketika dilihatnya Puti Andini mencabut payung
merah dari tanah. Lalu dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja dia mampu
membuat terkembang payung hijau yang tadi kuncup.
“Aku….
Aku harus pergi,” jawab si gadis.
“Mencari
Kitab Wasiat Dewa atau kembali ke gurumu?”
“Apa yang
aku lakukan dan kemana aku harus pergi bukan urusanmu!”
“Kau
betul! Tapi ada banyak hal yang harus kutanyakan padamu sebelum kau pergi…
Kuharap kau mau…”
“Kau
terlalu keras kepala. Apapun yang kau lakukan aku tidak melayanimu!”
“Hemmm…
Bukan aku, tapi kau yang keras kepala!” ujar Wiro mulai jengkel. Lalu dia
berseru. “Lihat batu!”
Meski
tidak mengerti apa yang hedak dilakukan Wiro, Puti Andini menoleh juga kearah
batu di tengah sungai. Saat itu terdengar suara menderu disusul dengan
melesatnya selarik sinar putih panas menyilaukan.
“Wussss!”
“Braakkk…byaar!”
Batu
besar di tengah sungai hancur lebur. Kepingannya berlesatan kian kemari dalam
keadaan hangus. Sebagian ada yang dikobari api.
“Batu
saja bisa terbakar, apa lagi payungmu yang hanya terbuat dari kertas!”
Sesaat
panas Puti Andini tampak berubah. Kemudian dia tersenyum seolah tidak perduli
akan yang barusan dilakukan Pendekar 212.
“Mengancam
orang dengan pertunjukan tolol adalah perbuatan anak kecil!”
Murid
Sinto Gendeng hampir terlonjak mendengar ejekan itu. “Gadis tengil…!”
“Apa itu
tengil?!” tanya Puti Andini tidak mengerti.
Wiro mau
memaki panjang pendek saking kesalnya. “Dengar, aku hanya mau ajukan beberapa
pertanyaan. Tapi jika kau benar-benar keras kepala, aku jadi ingin tahu
seberapa kerasnya kepalamu dibanding dengan batu-batu di tengah sungai itu!”
“Hemmm,
begitu…? Baiklah. Kalau aku mengalah bukan berarti aku takut pada ancamanmu.
Apa saja yang ingin kau tanyakan?”
“Pertama
kejadian di bukit itu. Kurasa kau datang sesaat setelah dua pengeroyok
menjatuhkanku hingga pingsan dan hampir mati jika tidak kau tolong. Kau
berpayung di atas, tentu kau melihat apa yang terjadi di bawah. Kau bisa
menceritakan apa yang kau lihat?”
“Cuma
sekilas. Semuanya terjadi dengan cepat. Ada dua orang meninggalkan lereng
bukit. Salah seorang diantara mereka mendukung sesosok tubuh perempuan
mengenakan pakian biru….”
“Itu
pasti Bidadari Angin Timur. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah
menculiknya! Keselamatan Gadis itu pasti terancam!”
“Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan katamu…?” ujar Puti Andini dengan wajah berubah.
“Kau
kenal mereka…?”
Puti
Andini menggeleng. “Aku hanya tahu mereka adalah dua iblis yang harus
dimusnahkan!”
“Gurumu
yang berkata begitu? Atau memberimu tugas begitu?!”
Si gadis
tidak menjawab. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan…”
“Jika
kuhubungkan apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang kau lakukan
terhadapku jelas sekali berlawanan. Kau seharusnya membunuhku, bukan
menyelamatkan diriku…”
“Aku
membunuhmu jika kau sudah memiliki Kitab Wasiat Dewa dan tak mau menyerahkan
padaku!” jawab Puti Andini.
Wiro
menyeringai lebar.
Si gadis
sadar kalau ucapan Wiro tadi sengaja memancing dirinya untuk mengatakan apa
yang sebenarnya yang harus dilakukannya.
“Siapa
gurumu…?”
Puti
Andini tidak menjawab.
“Baik,
kau tidak memberi tahu. Kau berasal dari pulau Andalas. Kau kenal dengan
seorang tokoh silat dijuluki Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias
Iblis Gila Pencabut Jiwa…?”
“Siapa
yang tidak kenal tua bangka itu. Dia pernah membunuh tiga ratus orang hanya
gara-gara patah hati…”
Hampir
saja terlompat hardikan dari mulut Pendekar 212 karena bagaimanapun juga Tua
Gila adalah guru malah sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri. (Mengenai siapa
adanya Tua Gila harap baca seial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun
Tulang)
“Kau
menyebut orang tua itu dengan nada permusuhan….”
“Dia
memang bermusuhan dengan guru. Setiap musuh guruku adalah musuhku juga!” jawab
Puti Andini.
“Aku
tidak ada permusuhan dengan gurumu ataupun dirimu, mengapa gurumu memerintahkan
agar kau membunuhku?!” tukas Wiro Sableng.
“Kau tak
usah khawatir. Kematianmu bisa diundur sampai kau mendapatkan Kitab Wasiat Dewa
itu…”
“Sialan…
Enak saja kau bicara!” kata Wiro sambil kepalkan kedua tinjunya.
“Jika kau
tak ada pertanyaan lain, aku akan pergi. Jangan berani menghalangi!”
“Tunggu!
Kau harus menjelaskan mengapa sekujur tubuhku menjadi hitam begini!”
“Bukan
cuma tubuhmu! Tapi juga mukamu! Mukamu hitam legam seperti pantat kuali! Kalau
tidak percaya coba berkaca di air sungai!” Si gadis lalu tertawa panjang.
Karena tak tahu mau berbuat apa, saking gemasnya Wiro hantamkan kaki kanannya
ke tanah sungai hingga tanah itu melesak sedalam setengah jengkal! Si gadis
malah tertawa terpingkal-pingkal!
“Puti
Andini !” teriak Wiro. ‘Jangan kau berani bicara main-main!”
“Wiro
Sableng!” balas berteriak si gadis.
“Eh,
bagaimana kau tahu namaku?!” Wiro keheranan.
“Waktu
kau pingsan aku melihat ada rajah angka 212 di dadamu. Itu sudah cukup memberi
tahu siapa kau adanya….” Jawab Puti Andini pula.
“Waktu
aku sadar kali pertama keadaan kulitku tidak hitam gosong seperti ini. Saat aku
siuman kembali baru kulihat sekujur badanku telah berubah warna jadi hitam
legam. Kau telah melakukan sesuatu padaku!”
“Kau
benar! Lalu apakah kau menyesali diri dan memilih mati daripada menerima
keadaan seperti ini? Tubuhmu yang terkena pukulan iblis mengidap racun teramat
jahat. Waktu obat yang kuberikan berusaha memusnahkan racun dalam tubuhmu,
jiwamu selamat tapi kulitmu menjadi gosong. Bukankah itu lebih baik daripada
menemui kematian mengenaskan? Lagi pula kau tak usah khawatir. Kulit hitammu
hanya sementara. Sudah kukatakan sebelumnya. Jika sinar purnama mengenai
badanmu, warna hitam itu akan serta merta lenyap…”
“Bagaimana
kalau bulan purnama tidak muncul. Tertutup awan atau udara mendung terus
menerus…”
Puti
Andini tertawa dan geleng-gelengkan kepala. “Kau bicara seperti anak kecil.
Muncul tidaknya bulan purnama adalah kehendak Tuhan, bukan segala macam awan
atau udara mendung!”
“Sial!
Aku tak tahu harus bagaimana dengan gadis ini!” pikir Wiro lalu garukgaruk
kepalanya berulang kali.
“Kau
masih ada pertanyaan?!”
“Ya…ya!
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan telah mencuri dua senjata mustikaku. Kau
sempat melihat mereka melarikan diri. Katakan kearah mana mereka kabur.”
“Selatan,”
jawab Puti Andini pendek.
“Aku
bersumpah akan membunuh pencuri-pencuri senjataku itu!”
“Kau
mungkin bisa membunuh Elang Setan, tapi tidak kawannya yang bernama Tiga
Bayangan Setan itu!” kata Puti Andini.
“Aku tahu
dia kebal pukulan sakti, tahan senjata tajam. Tapi tetap saja dia tak punya
nyawa rangkap!” jawab Wiro meradang.
“Masalahnya
bukan apakah dia punya nyawa lebih dari satu. Tapi dia memang tidak bisa
dibunuh sampai dunia kiamat kalau tidak mengetahui kelemahannya!”
“Lalu apa
kau tahu kelemahan manusia setan itu?!” Tanya Wiro menahan gusar.
“Mengenai
diri seorang manusia iblis, hanya iblis lainnya yang tahu!”
“Apa
maksudmu?!” Tanya Wiro.
“Untuk
mengetahui kelemahan Tiga Bayangan Setan kau harus mencari seorang tokoh silat
golongan hitam yang aneh tapi seribu jahat seribu ganas berjuluk Iblis Pemabuk.
Sebelum kau bisa mendekatinya sejarak tiga langkah kau mungkin sudah dibunuhnya
lebih dulu!”
“Dimana
aku bisa menemukan orang yang kau sebutkan itu?” Tanya Pendekar 212.
“Menyelidiki seorang iblis harus bertanya kepada iblis! Dan aku bukan iblis!”
Habis
berkata begitu Puti Andini angkat payung merah yang dipegangnya di atas kepala.
Bersamaan dengan itu kaki kirinya dihentakkan ke tanah. Enam payung yang
menancap di tanah melesat ke atas. Sekali lagi Puti Andini menghentakkan
kakinya ke tanah. Payung merah yang dipegangnya naik ke atas. Perlahan-lahan
tubuh si gadis terangkat ke udara. Wiro hendak mengejar. “Jangan kau berani
mengikuti!”
Wiro
tidak peduli. Dia melompat berusaha menyambar gagang payung hitam yang saat itu
sudah naik setinggi kepala.
“Dasr
sableng keras kepala!” terdengar Puti Andini mengumpat. Tangan kirinya bergerak
membuat gerakan berputar. Enam buah payung yaitu payung biru, kuning, hijau,
putih, hitam dan ungu tiba-tiba berputar pesat mengeluarkan suara deru angin
yang dahsyat. Lalu di lain kejap enam ujung gagang payung yang runcing
menghantam kearah Pendekar 212. Tiga menusuk kearah muka dan kepala, tiga lagi
menghunjam ke dada dan perut!
Wiro
berseru tegang. Secepat kilat dia jatuhkan diri mencari selamat. Tempat jatuh
yang paling aman adalah anak sungai berair jernih. Sesaat sosok tubuh Pendekar
212 lenyap di bawah air. Ketika dia muncul di permukaan air sungai dan berenang
ke tepi, enam buah payung kelihatan telah mengudara, menyusul payung merah
dimana Puti Andini bergantung.
Wiro
geleng-geleng kepala. Dadanya agak sesak dan sedikit sakit. Memandang ke udara
dia berkata. “Kau tak mau diikuti, tapi lihat saja nanti. Jika kau punya
kepentingan dengan Kitab Wasiat Dewa, kau sendiri yang bakal mengikutiku!”
Setelah
Puti Andini lenyap bersama tujuh payungnya Pendekar 2121 bingung sendiri.
“Apa yang
harus kulakukan sekarang? Langsung menuju pulau kecil di pantai laut selatan?
Atau mencari Iblis Pemabuk lebih dulu? Mungkin aku harus mencari Tiga Bayangan
Setan dan Elang Setan. Dua manusia setan itu telah mencuri Bidadari Angin
Timur… Seumur hidup baru aku bingung seberat ini! Gila betul!” Murid Sinto
Gendeng garuk kepalanya berulang-ulang.
*******************
SEPULUH
Muara
Kali Opak ramai oleh perahu yang baru kembali melaut. Para nelayan sibuk
memunggah ikan. Para tengkulak hilir mudik memborong ikan dengan harga semurah
mungkin yang kadang-kadang membuat jengkel nelayan. Dalam keadaan seperti itu
Wiro berusaha mencari perahu sewaan. Sampai siang dan muara menjadi sepi tak
satu pun pemilik yang mau disewa. Selain mereka letih, rata-rata saat itu
mereka sudah mengantongi uang cukup banyak. Perlu apa bersusah payah menyewakan
perahu pada seorang pemuda tak dikenal yang kelihatannya tidak berkantong
tebal, berkulit dan bermuka hitam jelek pula!
Wiro
tegak bersandar pada sebuah perahu kosong. Pemiliknya tengah mengumpulkan
barang – barangnya. Sebelumnya Wiro sudah bicara dengan orang ini. Melihat Wiro
berada di situ, pemilik perahu mendekatinya dan bertanya. “Muka pantat dandang,
kau masih belum dapat perahu sewaan?”
Wiro
delikkan mata dan memaki dalam hati karena dirinya dipanggil dengan sebutan
muka pantat dandang. Ini gara-gara kulit tubuh dan mukanya yang sangat hitam
akibat obat yang diberikan oleh Puti Andini. Meski jengkel Wiro menjawab juga
dengan gelengan kepala.
“Anak
muda, sebenarnya kemana tujuanmu?”
“Sebuah
pulau. Didiami oleh seorang tabib sakti dipanggil dengan sebutan Raja Obat
Delapan Penjuru Angin. Kau tahu letak pulau itu?”
“Kami
para nelayan memang pernah mendengar nama itu. Tapi tak ada yang tahu atau bisa
membuktikan bahwa si Raja Obat benar-benar ada dan tinggal di satu pulau. Dari
sini kau bisa lihat sendiri. Ada puluhan, mungkin ratusan pulau tersebar di
laut selatan ini. Apa kau mau mendatangi pulau-pulau itu satu persatu untuk
mencari si Raja Obat yang belum tentu ada?”
Wiro
garuk-garuk kepala. Dia ingat pertemuan dengan Eyang Sinto Gendeng, Dewa Tuak
dan Kakek Segala Tahu. “Tidak mungkin mereka berdusta tentang Kitab Wasiat Dewa
itu. Tapi kalau begini susahnya mencari, kurasa sampai ubanan aku tak bakal
menemukan orang tua itu. Padahal katanya dia cuma bisa memberi keterangan
dimana kitab sakti itu beradanya. Jadi kalau sudah diberitahu aku masih harus
mencari kitab sakti itu. Bisa saja kitab itu bukan di pantai selatan ini tapi
terpendam di pantai utara! Celakanya diriku ini!” Wiro garuk-garuk kepala
berulang kali.
Dari
dalam saku pakaiannya Wiro kemudian keluarkan sekeping perak. Benda berharga
ini ditimang-timangnya. Pemilik perahu tersenyum lalu berkata. “Aku tidak
tertarik dengan perak itu kalau kau mengira bisa membayarku dengan itu. Tak
seorang nelayan atau pemilik perahupun mau membawamu ke laut. Ada satu hal yang
mungkin tidak kau ketahui…”
“Apa?!”
Tanya Wiro sambil terus menimang-nimang kepingan perak.
“Saat ini
harihari menjelang bulan purnama. Di laut sekitar sini biasanya muncul sebuah
pusaran air. Tidak terduga kapan munculnya dan tidak terduga di bagian mana
dari laut selatan ini. Tapi yang jelas terjadinya selalu pada siang hari.
Jangankan perahu, gunungpun sanggup disedot oleh pusaran itu sampai amblas ke
dasar samudera!”
“Ah,
ternyata nelayan di sini pengecut semua. Sekalipun kubayar dengan emas sebesar
bukit tetap saja tak ada yang mau mengantarku ke laut!” kata Wiro pula. Dia
berpaling pada nelayan di sampingnya. “Apa ada hal lain yang aku tidak ketahui
dan ingin kau beritahu?”
Nelayan
pemilik perahu tertawa lebar. “Memang ada,” jawabnya. “Kalau kau beruntung kau
akan bertemu dengan seorang nelayan aneh. Dia mungkin bisa dan mau mengantarmu
ke laut…”
“Dimana
aku bisa menemui nelayan aneh itu. Siapa namanya?”
“Dia
muncul dan lenyap secara tak terduga. Bisa saja sebentar lagi. Tapi bisa saja
satu dua hari bahkan berminggu-minggu. Kami para nelayan dimuara Kali Opak ini
menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala!”
“Eh,
kenapa kalian memberi nama begitu padanya?”
“Karena
dia menderita sejenis penyakit cacar yang sangat berbahaya. Tak pernah
sembuh-sembuh. Sekujur tubuhnya dilelehi nanah, menebar bau amis. Jangankan
manusia, kuda atau gajahpun bisa ditulari penyakitnya. Mudah-mudahan kau bisa
lekas bertemu dengannya. Agar kau ketularan…!” Sambil tertawa-tawa pemilik perahu
tinggalkan Wiro.
Murid
Sinto Gendeng kenbali garuk-garuk kepala. “Kalau memang dia yang mau dan tahu
kediaman si Raja Obat, tak ada jalan lain. Aku harus menunggu sampai dia
muncul.”
Lima hari
berlalu . Wiro berusaha bertahan dan bersabar sambil berharap agar nelayan
berpenyakit cacar yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu muncul. Satu hari lagi
berlalu. Kesabaran murid Sinto Gendeng mulai goyah. Kini memasuki hari ketujuh.
Siang itu muara Kali Opak tampak sunyi. Ombak besar-besaran menggemuruh dan
memecah di pantai. Mungkin hujan turun di tengah laut. Angin bertiup kencang.
Wiro berlindung di bawah teratak daun kelapa yang dibuatnya.”Aku akan menunggu
sampai sore nanti. Kalau orang itu tidak juga muncul lebih baik angkat kaki
dari sini. Bagaimana dengan tiga orang tua yang menyebabkan aku sampai di sini,
urusan nantilah!”
Wiro
menghela nafas dalam. Perutnya terasa lapar karena memang belum diisi sejak
pagi-pagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan rintik-rintik. Wiro memandang ke
tengah laut biru laksana sehelai permadani raksasa berayun-ayun didera
gelombang besar. Sepasang matanya membesar dan tak berkesip.
Di tengah
laut kelihatan sebuah titik putih. Makin lama makin besar dan bergerak menembus
gelombang menuju tepi pantai. Wiro mengusap kedua matanya beberapa kali lalu
terus memperhatikan. Semakin dekat ke pantai semakin jelas di mata Wiro bahwa
benda di tengah laut itu adalah sebuah perahu berwarna putih tanpa layar.
Seolah tidak perduli akan besarnya gelombang buasnya ombak, perahu itu meluncur
pesat kearah pantai. Di atasnya hanya ada seorang penumpang.
Lalu Wiro
melihat dan menyadari satu hal aneh. Orang di atas perahu mengenakan sebuah
caping lebar. Wajahnya ditutup dengan sehelai kain. Dia sama sekali tidak
menggunakan pendayung untuk mengayuh perahunya. Dia kelihatan duduk berjuntai
di samping kiri perahu putih. Dua kakinya it uterus menerus digerak-gerakkan
kian kemari. Gerakannya inilah yang membuat perahu bisa melesat kencang diantara
gemuruh gelombang.
“Orang
aneh di atas perahu jangan-jangan si Makhluk Pembawa Bala itu!”
Berpikir
begitu murid Sinto Gendeng segera keluar dari bawah teratak daun kelapa. Hujan
rintik mulai melebat. Wiro berlari ke tepi pasir lalu melambai-lambaikan tangannya
sementara perahu semakin mendekat ke tepi pantai.
Namun
hanya tinggal beberapa jauh saja dari tepi pantai tiba-tiba orang di samping
kiri perahu angkat tangan kanannya ke atas. Perahu yang ditumpanginya tibatiba
berputar, membalik ke arah tengah laut. Pada saat itu justru sebuah gelombang
besar muncul. Suara gemuruhnya terdengar sampai ke tepi pantai di mana Wiro
berada.
“Astaga!
Hai! Awas! “ teriak Wiro.
Namun
gelombang besar telah menelan perahu putih dan penumpangnya. Dalam sekejap saja
perahu itu pun lenyap.
“Pasti
amblas ke dalam laut!” pikir Wiro. “Orang gendeng! Mungkin dia sengaja mencari
mati. Bunuh diri!” Wiro geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba di tengah laut
terdengar suara orang berteriak. Wiro memperhatikan.
“Eh….”
Murid Sinto Gendeng jadi melengak terheran-heran. Perahu putih tadi tiba-tiba
muncul dipermukaan laut. Penumpangnya kelihatan tegak di atas perahu,
berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Caping dan sekujur pakaiannya
basah kuyup.
“Aneh,
kurasa tadi dia sudah ditelan laut. Kini malah jingkrak-jingkrakan seperti anak
kecil ini kegirangan! Selain itu caping bambu itu masih melekat di kepalanya!
Aku harus tahu siapa adanya manusia aneh ini!”
Saat itu
sekitar sepuluh tombak di sebelah kanan perahu putih tiba-tiba muncul menderu
satu gelombang besar. Orang bercaping di atas perahu kembali angkat tangan
kanannya dan menunjuk lurus-lurus ke langit. Perahu putih mencelat ke udara
setinggi lima tombak. Penumpangnya ikut mental lebih tinggi. Begitu jatuh ke
dalam laut, perahu dan penumpang lenyap ditelan samudera!
“Sekarang
jangan harap dia mampu muncul hidup-hidup!” membatin murid Sinto Gendeng.
Mendadak. “Hai!” Wiro berseru kaget.
Didorong
oleh sebuah ombak besar perahu putih tiba-tiba muncul kembali di permukaan
laut. Penumpangnya tegak dengan kaki terkembang, menginjak bagian kiri kanan
perahu. Dua tangannya disilangkan di depan dada. Kepalanya manggut-manggut
mengikuti yang dialun ombak.
Laksana
sebatang anak panah melesat dari busurnya, begitu layaknya perahu putih melesat
menuju menuju pantai, melayang di atas pasir dan astaga! Perahu itu ternyata
melesat ke arah Pendekar 212 yang berdiri tegak di pasir pantai. Wiro berseru
kaget dan jatuhkan diri ke pasir.
“Wusss!”
Perahu
putih menyambar hanya setengah jengkal dari atas tubuhnya. Lalu terdengar suara
braaakk!
Dalam
keadaan menelungkup di atas pasir Wiro palingkan kepala. Perahu putih
dilihatnya melabrak gubuk tempat dia sebelumnya berlindung. Gubuk hancur
berantakan. Perahu tergelimpang ditimbuni runtuhan gubuk namun tetap dalam
keadaan utuh!
“Eh, di
mana orang bercaping itu?” Tanya Wiro dalam hati seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba
ada suara tawa bergelak diseling suara seperti orang meludah beberapa kali.
Wiro cepat bangkit berdiri. Menoleh ke kiri sebelah atas lagi-lagi dia dibuat
terkejut. Orang bercaping yang dicarinya ternyata berada di atas sebatang pohon
kelapa, duduk berjuntai pada salah satu pelepah sambil uncang-uncang kakinya.
Wajahnya ditutupi kain. Orang ini mengenakan pakaian berbentuk jubah. Ketika
angin bertiup Wiro mencium bau busuk dan amis.
Sosok di
atas pohon tiba-tiba melayang ke bawah secara aneh. Tubuh itu seperti seekor
tringgiling, menggelinding jatuh ke bawah, kepalanya lebih dulu!
“Hancur
kepalamu!” seru Wiro tegang sewaktu melihat bagaimana tubuh yang bergulung itu
jatuh dengan kepala lebih dulu siap menancap amblas di atas pasir pantai. Tapi
dia kecele karena dengan satu gerakan aneh tubuh bergulung itu melenting dan di
lain kejap tahu-tahu orang itu sudah berdiri tegak di samping reruntuhan gubuk.
“Sedap
sekali permainanku hari ini. Sayang aku tak punya waktu banyak. Harus buru-buru
pergi….” Lalu orang ini berusaha menarik perahu putihnya dari reruntuhan gubuk.
Saat itulah Wiro datang mendekati. Sebelum menegur murid Sinto Gendeng dengan
cepat perhatikan orang itu.
“Tubuhnya
bau busuk, amis! Tangan dan kakinya…astaga! Dia menderita penyakit kulit.
Koreng-koreng yang mengelupas pecah, mengeluarkan nanah campur darah!” Wiro
teringat pada ucapan seorang nelayan beberapa hari lalu. Begitu orang lewat di
depannya sambil menyeret perahu putih Wiro cepat menegur.
“Bapak
bercadar…Kau pasti yang dipanggil orang dengan sebutan Makhluk Pembawa Bala.
Kalau betul…”
Belum
sempat Wiro meneruskan ucapannya, tanpa berpaling dan terus melangkah menyeret
perahu menuju ke laut orang bercaping yang mukanya ditutupi kain itu berkata.
“Buseett!
Kalau memang ada makhluk seperti itu di kolong langit, aku pun mau melihatnya!
Hik…hik…!” Dari mulutnya orang ini keluarkan suara seperti meludah. Ketika
diperhatikan, Wiro melihat kain yang menutupi wajah orang bercaping itu
berwarna merah dan basah di bagian mulut.
“Tak
pelak lagi! Memang dia!” kata Wiro lalu langsung saja memegang lengan orang itu
walau kemudian dia memegang tangang yang penuh koreng cacar berdarah busuk dan
bernanah!
“Walau
kau tak mau mengakui siapa dirimu, tapi aku yakin kau memang orang berjuluk
Makhluk Pembawa Bala itu. Bagiku kau justru Makhluk Pembawa Pertolongan.
Dengar, aku butuh pertolonganmu. Tunggu… Mari kubantu menyeret perahumu ke
laut…”
“Jangan
berani menanam budi padaku. Kau bakal kecewa manusia berkulit arang!” Orang
berpenyakit cacar berkata tanpa berpaling dan terus melangkah. Kaki dan
sebagian perahunya sudah masuk ke dalam air laut.
“Aku
butuh pertolonganmu… Kau pasti bisa menolongku!”
“Untuk
urusan ini apakah kau sanggup membayar dengan nyawamu?!”
Wiro jadi
tertegun mendengar ucapan orang itu. ”Apa maksudmu?” tanya Pendekar 212.
“Aku tahu
kau minta diantar ke sebuah pulau di tengah laut sana! Makanya aku tanya apa
kau sudah bersiap-siap menghadapi kematian?!”
“Soal
mati hidup di tangan Tuhan! Aku tidak takut!”
Orang
bercaping keluarkan suara meludah. Kain penutup wajahnya kembali tampak basah
dan warna merah.
“Kau
betul. Kematian anak manusia di tangan Tuhan. Tapi berapa banyak saja anak
manusia yang berlaku tolol. Sengaja mencari mati! Salah seorang di antaranya
adalah kau sendiri!”
“Aku
tidak perduli walau menemui kematian sekalipun! Aku membawa tugas untuk
menyelamatkan dunia persilatan!” kata Wiro. Tanpa sadar dia telah ketelepasan
bicara.
“Oh
begitu….? Rupanya kau ini malaikat penyelamat ya? Huh! Hik..hik! Malaikat mana
ada yang hitam gosong sepertimu!”
Dalam
hati Pendekar 212 jadi memaki setengah mati mendengar kata-kata orang itu.
Tanpa perduli orang tidak suka padanya Wiro terus saja mengikuti masuk ke dalam
laut. Begitu perahu putih mengapung di atas permukaan air laut, orang bercaping
langsung melompat naik. Wiro tak menunggu lebih lama. Dia segera pula melompat.
Pemilik perahu jadi marah. Dia keluarkan suara menggembor lalu membentak.
“Siapa
mengizinkanmu naik ke atas perahuku?!”
“Memang
tak ada yang mengizinkan. Aku tak ingin memaksa. Aku butuh pertolonganmu.
Antarkan aku ke pulau tempat kediaman Raja Obat Delapan Penjuru Angin!”
“Kau mau
kutendang dari atas perahu ini atau turun secara baik-baik!” hardik orang
bercaping.
“Jika kau
mengancam begitu aku juga bisa mengancam! Kalau kau tidak mau membawaku, akan
kuhancurkan perahu ini!”
Diancam
seperti itu orang berccaping rangkapkan kedua tangannya di depan dada lalu
tertawa gelak-gelak. “Tadinya kukira kau malaikat! Aku mau lihat bagaimana kau
akan menghancurkan perahuku. Hik..hik!”
Hilang
sabarnya Wiro berteriak. “Pasang matamu! Lihat bagaimana aku menjebol
perahumu!”
Habis
berteriak begitu Wiro langsung hantamkan tinjunya ke dasar perahu. “Braak!”
Lantai
perahu yang terbuat dari kayu itu jebol berlubang. Tangan kanan Wiro sendiri
jeblos masuk ke dalam lubang itu sampai sebatas siku. Berarti sebagian
tengahnya terendam ke dalam air laut. Ketika tangannya hendak ditarik murid
Sinto Gendeng ini jadi terkejut. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga tetap saja
tidak mampu menarik lepas tangannya dari lubang yang menjepit.
“Celaka!
Bagaimana bisa begini?!” ujar Wiro dalam hati. Dia melirik ke samping. Orang
bercaping dilihatnya tenang-tenang saja, melangkah ke sisi perahu yang lain
sambil tertawa panjang lalu duduk di pinggiran perahu. Kedua kakinya yang penuh
koreng cacar dimasukkannya ke dalam air. Sementara Wiro berkutat berusaha
mengeluarkan tangannya yang terjepit di lobang perahu, orang itu gerak-gerakkan
kedua kakinya. Perlahan-lahan perahu mulai bergerak. Makin lama makin kencang.
“Gila!
Tanganku!” teriak Wiro.
“Ha..ha…!”
Orang bercaping tertawa. “Setahuku laut sekitar sini banyak ikan buasnya.
Pernah kau merasa digeragot ikan Hiu atau ditusuk ikan Todak bermulut runcing
seperti tombak?! Kuharap tanganmu tetap utuh sampai di tempat tujuan. Kalaupun
tanganmu selamat apakah sudah siap menerima kematian mendadak? Ha…ha…ha!”
“Kurang
ajar! Apa yang kau lakukan terhadapku?!” teriak Pendekar 212.
Yang
ditanya tidak menjawab malah sambil bernyanyi-nyanyi kecil dia goyanggoyangkan
kedua kakinya yang ada dalam air lebih kencang. Akibatnya perahu putih itu
melesat tambah cepat.
“Kalau
kau tidak melepaskan tanganku, aku akan pukul perahu ini dengan pukulan sakti!
Biar kita tenggelam dan mampus sama-sama!” teriak Wiro mengancam.
“Pemuda
muka hitam, kau masih galak saja! Coba kau buktikan ucapanmu! Apa kau mampu
menggerakan tanganmu sebelah kiri?!”
“Mengapa
tidak?!” jawab murid Sinto Gendeng. Dia merapal aji kesaktian pukulan sinar
matahari sementara hujan yang tadi turun perlahan-lahan mulai berhenti. Orang
bercaping tenang saja malah berpalingpun tidak. Wiro jadi kalap. Dengan tenaga
penuh dia hantamkan tangan kirinya. Tapi astaga! Sesiur angin dingin bertiup.
Wiro merasa lengan kirinya sampai ke tulang bergetar aneh. Setelah itu dia
tidak mampu lagi menggerakkan tangan kirinya. Perlahan-lahan sinar putih
menyilaukan menjadi surut dan tangannya kembali ke bentuk semula.
“Ha…ha…ha!
Ha…ha…ha…!” Orang bercaping tertawa panjang. Perahu melesat semakin kencang.
Wiro merasakan kepalanya pusing dan perutnya seperti mau muntah!
Saat
itulah tiba-tiba Wiro melihat ada sebuah perahu meluncur di permukaan laut.
Walau jelas perahu ini berusaha mengejar perahu yang ditumpanginya, namun
begitu terkejar perahu itu sepertinya sengaja menjaga jarak. Untuk beberapa
lama dua perahu meluncur bersisi-sisian. Dalam keadaan tangan kanannya masih
terjepit di dalam lubang perahu Wiro berusaha melihat siapa adanya penumpang
tunggal perahu di sebelah sana.
“Heh…
penumpangnya perempuan. Berpakaian biru. Rambutnya pirang…!
Astaga!”
Wiro terkejut tapi juga gembira. “Bidadari Angin Timur! Itu Bidadari Angin
Timur!”
Wiro
lambaikan tangan kirinya. Tapi tangan itu tak mampu digerakkan. Dia coba
berteriak. Lebih celaka lagi! Ternyata dia tidak bisa keluarkan suara barang
sedikitpun!
“Jahanam!
Manusia caping bau busuk itu pasti telah menotok diriku!” Wiro merutuk setengah
mati. “Kuharap gadis itu bisa melihatku… Nah, perahunya agak mendekat. Pasti
dia bisa melihatku! Dia memang Bidadari Angin Timur! Aku butuh pertolonganmu!”
Perahu
yang ditumpangi gadis berbaju biru itu memang mendekat sampai beberapa tombak.
Tapi kemudian bergerak ke kanan, menjauhi perahu putih.
“Celaka!
Kenapa menjauh? Gadis itu pasti tadi terus saja pergi?! Sial betul!” Wiro
sangat kecewa tapi juga jengkel penasaran. “Mustahil dia tidak melihat!
Mustahil dia tidak mengenaliku! Tapi…” Wiro baru sadar keadaan dirinya yang
saat itu hitam legam mulai dari kepala sampai ke kaki. “Kulitku! Mungkin ini
sebabnya dia tidak mengenali dan terus saja pergi? Hik…hik!”
“Jahanam!”
maki murid Sinto Gendeng. “Menoleh pun dia tidak tadi. Bagaimana dia bisa tahu
ada gadis cantik di perahu itu?!”
Perahu
putih itu semakin jauh ke tengah laut. Tepian pantai mulai tampak samarsamar di
kejauhan.
*******************
SEBELAS
Dalam
keadaan tak bisa bergerak, tangan kanan terjepit di lantai perahu sementara
matahari bersinar terik, Pendekar 212 merasa tubuhnya seolah-olah dipanggang.
Yang membuatnya jengkel setengah mati, orang bercaping di samping perahu
enak-enak saja duduk uncang-uncang kaki malah sambil bernyanyi-nayanyi kecil.
Laut luas menghampar, tak kelihatan pantai tak tampak pulau.
“Hendak
dibawa kemana aku ini…?” pikir Wiro.”Orang ini benar-benar menjadi bala
bagiku!”
Tiba-tiba
suara nyanyian orang bercaping lenyap. Menysul suaranya berkata.
“Lihat
berkeliling! Makhluk-makhluk kematian telah datang menjemput dirimu!” Wiro
merasakan ada angin halus dingin menyapu leher dan kepalanya. Mendadak saja
kini dia bisa menggerakan kepala dan memandang berkeliling. Hati sang Pendekar
menjadi kecut ketika melihat di sekeliling perahu bermunculan beberapa ekor
ikan hiu sebesar manusia!
Wiro
membuka mulut hendak meneriakkan sesuatu pada Makhluk Pembawa Bala. Ternyata
walau kini dia mampu menggerakkan kepala namun sampai saat itu mulutnya tetap
saja tak bisa mengeluarkan suara alias tetap gagu! Wiro merasa sekujur tubuhnya
dingin. “Tanganku…” kata Wiro dalam hati begitu menyadari tangannya yang terjepit
di lantai perahu dan berada di dalam air laut. “Sekali ikan-ikan itu menyambar
pasti bunting!”
“Anak
muda, kau kulihat ketakutan setengah mati. Mengapa harus takut? Ikanikan itu
sebenarnya makhluk-makhluk jinak. Kecuali kalau melihat darah. Ha…ha…ha…!”
Wiro
putar kepala dan beliakan matanya pada bercaping. “Kalau ikan-ikan itu
menyerang apa kau sendiri bisa selamat?!” ujar Wiro. Suaranya tak keluar dari
dalam mulut. Tiba-tiba dia merasakan sebuah benda tajam menyentuh lengannya
yang berada di dalam laut. Ada rasa perih. Ketika kepalanya diangkat untuk
memperhatikan, dilihatnya ada warna merah di air laut. “Tanganku luka! Warna
merah itu pasti darahku…! Celaka!
Manusia
jahanam ini benar-benar hendak membunuhku…” Wiro jadi gemetar membayangkan apa
yang akan segera terjadi. Tiba-tiba perahu putih itu berguncang keras.
Ikan-ikan hiu di dalam laut telah melihat dan mencium bau darah . Beberapa di
antara mereka menjadi liar dan menabrak perahu dengan kepala atau tubuh
masing-masing. Makin lama goncangan makin keras. Air laut mulai masuk. Perahu
putih oleng kian kemari, hanya menunggu terbalik saja.
“Selamat
tinggal anak muda!”
“Heh! Mau
kemana makhluk celaka ini?!”
Dari
salah satu bagian lantai perahu Wiro melihat orang itu mengeluarkan sebuah
benda empat persegi dilengkapi dua utas tali. Ternyata selembar papan. Dengar
cepat orang itu meletakkan kaki kirinya yang busuk bernanah di atas papan lalu
pergunakan dua utas tali intuk mengikat kakinya erat-erat. Dia berpaling pada
Wiro, lambaikan tangan kiri seraya berkala. “Sekali lagi, selamat tinggal anak
muda! Mudah-mudahan kau bisa bertemu Raja Obat Delapan Penjuru Angin di
akhirat! Ha…ha…ha!” Habis berkata begitu manusia yang dijuluki Makhluk Pembawa
Bala itu melompat ke dalam laut. Papan injakkannya mengapung di atas air.
Sekali kaki kanannya membuat gerakan seperti mengayuh maka papan yang
dipijaknya meluncur ke depan!
“Jahanam
betul!” rutuk murid Sinto Gendeng. Dia sadar kalau kematian memang sudah dekat
di depan matanya. “Sekalipun ikan-ikan hiu itu tidak akan mencabik aku
selamatkan diri dari mati tenggelam! Sudah takdir aku harus berkubur di dasar
laut. Semoga takdir Tuhan mengampuni segala dosaku…!” Begitu Wiro berkata
setengah meratap dan masih bisa mengingat Tuhan. Bayangan-bayangan orang yang
paling dekat muncul di depannya. Eyang Sinto Gendeng, lalu Kakek Segala Tahu.
Menyusul Si Raja Penidur. Setelah itu terbayang wajah gemuk Bujang Gila Tapak
Sakti, disusul dengan Tua Gila. Muncul pula sosok Suci alias Dewi Bunga Mayat.
Lalu ada bayangan biru berkelebat dan muncul satu wajah secantik bidadari.
“Bidadari Angin Timur… Kita tak akan bertemu lagi selama-lamanya…”
“Braaaakk!-Braaakk!”
Dua ekor
ikan hiu menghantam dinding perahu kiri kanan hingga perahu putih itu pecah,
terbelah dua. Lantai sebelah kanan hancur berkeping-keping. Tangan Wiro yang
terjepit kini terlepas bebas. Namun tak ada gunanya karena sekujur tubuhnya
saat itu berada dalam keadaan kaku tak bisa digerakkan kecuali kepalanya.
Sebelum tubuhnya tenggelam masuk ke dalam air laut, dia melihat belasan ekor
ikan hiu yang berada di sekelilingnya menghentakan ekor mengibaskan sirip.
Binatangbinatang haus darah ini menyerbu ke arahnya!
Di saat
yang bersamaan tiba-tiba di dasar laut ada kilatan-kilatan aneh terang beberapa
kali. Pada saat belasan ikan hiu hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi dari
tubuh Pendekar 212 yang melayang tenggelam di dalam air laut, terdengar suara
menggemuruh amat dahsyat. Murid Sinto Gendeng yang berusaha mempertahankan
nyawanya tanpa mampu berbuat sesuatu, sebelum jatuh semakin dalam dan hilang
kesadarannya melihat seperti ada tabir kelabu mengurung dan mendekat. Tabir itu
ternyata adalah puluhan ekor ikan lumba-lumba berbobot rata-rata dua sampai
tiga kali besarnya tubuh manusia. Belasan ikan hiu mendadak sontak seperti takut
melihat munculnya puluhan ikan lumba-lumba ini. Dalam keadaan kacau balau
ikan-ikan hiu itu berkelebat kian kemari, melarikan diri dan akhirnya lenyap.
Wiro sendiri setelah itu tidak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya yang
berada dalam keadaan pingsan terus meluncur tenggelam ke dasar laut. Dia tidak
sempat melihat serombongan makhluk aneh membawa tongkat besi yang ujungnya
memancarkan kilatan-kilatan sinar terang mendatanginya. Mereka ternyata adalah
makhluk yang tubuhnya berujud gadis bertelanjang dada di bagian atas sedang di
sebelah bawah berupa sosok ikan berwarna perak.
PERTAMA
sekali yang didengar kertika dia siuman dan belum sempat membuka kedua matanya
ialah alunan suara petikan kecapi yang sangat merdu. Hidungnya mencium bau
harum semerbak.
Perlahan-lahan
Wiro buka kedua matanya. Memandang ke atas lalu melihat berkeliling dia
dapatkan dirinya terbujur di atas sebuah tilam sangat bagus.
“Ruangan
apa ini…?” pikir Pendekar 212. Dia gerakkan kakinya. “Eh, kakiku bisa
bergerak…” Dia gerakkan tangannya. Tangannya juga bisa bergerak. Ketika dia
mencoba bangkit ternyata dia mampu duduk di atas pembaringan itu. “Dimana aku
ini?”
Ruangan
dia berada saat itu ditutup dengan tirai berwarna biru muda. Langit-langit
kamar terbuat dari bahan aneh memancarkan cahaya hingga menerangi seluruh
tempat. Wiro angkat tangan kanannya. Ada bubuk aneh mulai mengering pada
pangkal lengan. Dia coba berpikir. Walaupun agak lambat namun dia mampu
mengingat apa yang telah dialaminya sebelumnya. “Perahu putih pecah berantakan.
Aku tenggelam ke dalam laut. Ada ikan-ikan buas siap menyerangku. Lalu ada
suara menggemuruh. Muncul tabir kelabu aneh…” Wiro pandangi lagi lengan
kanannya. “Luka di tanganku di taburi sesuatu. Mungkin sekali obat. Berarti ada
yang telah menyelamatkan diriku…”
“Srett…srett…srett…srettt!”
Tiba-tiba
tirai biru muda yang menutupi empat dinding ruangan terbuka. Murid Sinto
Gendeng hampir tersentak. Mulutunya ternganga dan matanya terbuka lebar tak
berkesip.
“Jangan-jangan
aku benar sudah mati. Dan masuk ke dalam sorga… Buktinya saat ini aku
dikelilingi selusin gadis. Cantik-cantik semua, berkulit putih halus.
Mengenaskan pakaian yang membuat jantungku bisa copot! Tapi apa mungkinlah ya
aku ini betulan di sorga?” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Dosaku bertumpuk.
Masakan aku bisa masuk sorga semulus ini…?” Wiro memandang berkeliling.
Perhatikan gadis-gadis cantik itu. Mereka mengenakan pakaian terusan warna
hitam yang ketat, terbelah di bagian sisinya mulai dari ujung kaki sampai ke
pinggul, lalu terbelah lagi di bagian dada sebelah atas.
“Cantik
semua. Kalian ini siapa…Aku berada dimana?” tanya Wiro lalu perlahanlahan dia
turun dari berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. “Jangan-jangan para gadis ini
makhluk tipuan ciptaan si jahanam itu…” Selintas pikiran muncul dan membuat
murid Sinto Gendeng jadi tidak enak dan bercuriga.
“Hai! Tak
ada satupun dari kalian yang mau menjawab pertanyaanku tadi…?” Wiro
memperhatikan berkeliling.
Tiba-tiba
dua gadis bergeser ke samping. Dari celah di antara keduanya melangkah maju
seorang gadis membawa sebuah nampan terbuat dari kerang laut yang sangat besar.
Di atas nampan ini ada seperangkat pakaian lelaki berwarna hitam lengkap dengan
ikat kepala, juga terbuat dari kain hitam. Si gadis ulurkan nampan ke hadapan
Wiro lalu membungkuk. Karena dada pakaiannya terbelah dalam, ketika membungkuk
sepasang payudaranya yang putih kencang seperti hendak melompat keluar. Murid Eyang
Sinto Gendeng merasa jantungnya seperti mau tanggal menyaksikan!
“Tamu
dari daratan silahkan membuka seluruh pakaianmu dan kenakan pakaian yang kami
bawa ini.” Gadis pembawa pakaian di atas nampan kerang berkata. Wiro jadi
tertegun. Saat itu pakaian putih yang dikenakannya selain basah juga kotor dan
bau.
“Kalian
gadis-gadis baik. Mau memberikan salinan untukku. Baik, aku akan berganti
pakaian. Tapi harap kalian meniggalkan tempat ini…”
Gadis
pembawa pakaian dan sebelas teman-temannya saling pandang lalu hik…hik! Mereka
sama-sama tertawa.
“Kenapa
tertawa?” Tanya Wiro heran. “Oh, pasti menertawai kulitku yang hitam. Kalian
tahu ini bukan kulitku asli. Kulitku dulu kuning, halus. Tidak kalah dengan
kulit kalian itu…!”
Ruangan
itu riuh oleh suara tawa dua belas gadis cantik. Wiro memandang cepat
berkeliling, memperhatikan bagaimana dada-dada putih montok para gadis
berguncangguncang sewaktu mereka tertawa.
Salah
seorang dari para gadis lalu berkata. “Pemuda dari daratan. Kami akan membawamu
menghadap Ratu. Kurang pantas rasanya kalau kau mengenakan pakaian butut dan
kotor serta bau itu…”
“Ratu
…Ratu…apa…?” Wiro jadi heran.
“Kami
tidak diperkenankan terlalu banyak bertutur. Harap segera berganti pakaian,”
gadis yang membawa nampan kerang memberi tahu.
“Ya… ya
aku akan berganti pakaian . Tapi harap kalian suka meninggalkan tempat ini…”
kata murid Sinto Gendeng pula lalu mengambil seperangkat pakaian hitam yang ada
di atas nampan kerang.
“Kami
tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini. Jadi kau harus berganti pakaian di
depan kami…”
“Hah !
Apa?!” Wiro letakkan kembali pakaian hitam ke atas nampan. “Kalau begitu biar
aku tidak jadi ganti pakaian!”
“Kau tamu
yang berada di tempat orang. Jadi harus mengikuti aturan tuan rumah. Jangan
membuat Ratu menunggu terlalu lama…”
“Walah!
Siapa Ratu kalian? Kalian ini siapa sebenarnya? Manusia sungguhan, makhluk
jejadian, sebangsa peri atau apa?!”
“Sekali
lagi kami beri tahu, kami tidak diperkenankan bicara terlalu banyak. Silahkan
berganti pakaian atau kau terpaksa kembali ke daratan dengan segala
penderitaanmu…”
“Gila!”
Wiro memaki tapi cepat-cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri.
”Maafkan
ucapan burukku tadi. Tapi apakah kalian tidak tahu? Bagiku lebih menderita
membuka pakaian di hadapan kalian!”
“Aturan
mengatakan begitu! Kami semua harus mematuhi!” kata salah seorang dari dua
belas dara cantik.
“Ah,
bilang saja sebenarnya kalian suka melihat lelaki bugil! Iya kan?!”
Dua belas
wajah cantik kelihatan menjadi merah.
Gadis
pembawa pakaian maju mendekat dan berkata dengan air muka tegang. “Dengar
pemuda jahat! Kau tinggal memilih…”
“Aku suka
kalau kalian mengeroyokku…” ujar Wiro masih bergurau.
Gadis
pembawa pakaian menoleh pada teman di sampingnya lalu mengangguk. Melihat
isyarat anggukan itu gadis yang satu ini angkat tangannya. Telapak yang
terkembang diarahkan pada Wiro. Tiba-tiba ada kalian sinar biru menyambar ke
arah kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212. Saat itu juga terdengar jeritan
Wiro. Tubuhnya laksana berpijar-pijar. Sakitnya laksana ditusuk ribuan jarum.
Wusss…
wusss… wussss.
Tubuh
Pendekar 212 mengepulkan asap. Ketika kepulan itu sirna dia dapatkan dirinya
tanpa pakaian lagi alias bugil! Murid Sinto Gendeng berseru kaget. Dia
memandang berkeliling mencari kemana lenyapnya pakaian yang tadi melekat di
tubuhnya tapi tak berhasil menemukan. Cepat dia tutupkan kedua tangannya ke
aurat sebelah bawah. Dua belas gadis cantik tertawa cekikian. Yang membawa
nampan berisi pakaian hitam berkata. ”Apa kau masih tak mau mengenakan pakaian
hitam ini?”
“Kalian
ini… Ah!” Wiro jadi garuk-garuk kepala sekaligus dengan kedua tangannya. Lupa
kalau sepasang tangannya itu sedang dipakai untuk menutupi auratnya. Ketika dia
sadar cepat-cepat dia turunkan dua tangannya kembali. Ruangan itu ramai lagi
dengan suara tawa para gadis!
“Kalian
benar-benar mempermainkanku! Tapi aku mau bilang apa! Aku menyerah!” Pakaian di
atas nampan kerang cepat disambar Wiro. Dia mengenakan sambil berbalik,
maksudnya paling tidak dia bisa berlindung dari sorot pandang gadis itu. Tapi
percuma saja karena dua belas gadis itu tegak mengelilingi ruangan. Jadi
kemanapun dia menghadap tetap saja tidak akan bebas dari pandangan mata
gadis-gadis cantik itu.
Wiro
merasa nafasnya sesak begitu dia selesai mengenakan pakaian. Sambil memakai
destar dia bertanya. “Kalian sudah lihat tubuhku. Bagaimana…bagus?!”
“Hitam
semua!” celetuk salah seorang gadis yang mengundang tawa ramai lagi di ruangan
itu.
Sebelum
tinggalkan tempat itu Wiro ajukan pertanyaan kemana lenyapnya pakaian yang tadi
dikenakannya.
“Jangan
khawatir,” jawab gadis yang berjalan di depannya. “Kelak jika kau meninggalkan
tempat ini pakaian butut itu akan dikembalikan padamu. Lengkap dengan segala
isi yang menempel di situ. Mungkin ada surat cinta dari kekasihmu dalam saku
pakaian hingga kau begitu khawatir akan pakaianmu?”
Wiro
tertawa. Tentu saja tidak ada surat cinta disimpannya dalam pakaian itu. Yang
dikhawatirkannya adalah hilangnya bunga kenangan sakti pemberian Suci alias
Bunga alias Dewi Bunga Mayat yang merupakan satu-satunya benda keramat yang sanggup
menghubungkan dirinya dengan gadis dari alam barzah itu jika dia sewaktuwaktu
ingin bertemu atau meminta bantuannya. (Mengenai Dewi Bunga Mayat harap baca
serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewa Bunga Mayat).
“Ada satu
hal lagi yang ingin kutanyakan,” kata Wiro sambil melangkah mengikuti
gadis-gadis cantik itu. Sebentar-sebentar matanya memandang ke bawah
memperhatikan betis dan paha serta pinggul-pinggul putih yang tersingkap dari
belahan pakaian. Tak ada yang mengeluarkan suara atau menoleh padanya. Wiro
lalu teruskan maksudnya bertanya.
“Kita ini
berada dimana…? Di daratan atau di dasar laut?”
“Kita
berada di atas permukaan laut. Di awang-awang,” seorang gadis kemudian
menjawab.
“Ini yang
aku tidak mengerti. Seingatku aku jatuh ke dalam laut…Mengapa kini kau katakan
berada di awang-awang? Mana mungkin aku bisa berjalan di udara…”
“Bangunan
ini memang berada di udara terbuka. Di atas sebuah pulau. Manusia biasa
sepertimu tentu saja sulit percaya dan dibuat mengerti…”
“Lalu
kalian ini apakah bukan manusia sepertiku juga?”
“Hentikan
semua pembicaraan! Kita akan segera memasuki ruang tempat Sang Ratu menunggu.”
“Ratu…”
mengulang Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia ingat pengalamannya waktu bertemu
dengan perempuan sakti bergelar Ratu Pantai Utara. “Di laut utara ada Ratu,
ternyata di pulau pantai laut selatan ini juga ada Ratu. Akan kusaksikan mana
yang paling cantik antara keduanya…” kata murid Sinto Gendeng konyol. (Harap
baca serial Wiro Sebleng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)
*******************
DUA BELAS
Dalam
setiap langkah yang dibuatnya Wiro masih terus tak bisa mengerti kalau bangunan
itu berada di awang-awang. Sementara itu suara petikan kecapi merdu terdengar
semakin jelas dan bau harum bertambah semerbak.
Pendekar
212 dibawa memasuki sebuah ruangan besar yang hanya diterangi cahaya-cahaya
redup hingga mendatangkan suasana angker. Sekeliling ruangan, mulai dari pintu
masuk tegak berdiri puluhan gadis berpakaian seperti yang membawa Wiro ke
ruangan itu.
Di ujung
ruangan, menghadap ke pintu ada sebuah kursi terbuat dari batu besar yang
sandarannya berbentuk seekor ikan limba-lumba besar membungkuk memayungi
seseorang yang duduk di bawahnya. Orang ini mengenakan pakaian terbuat dari
manikmanik berwarna putih perak berkilauan. Seperti pakaian para gadis lainnya,
baju yang dikenakannya juga dibelah di bagian dada dan pinggul. Kecantikan yang
satu ini memang melebihi semua gadis yang ada di situ. Namun kalau para gadis
lain banyak senyumnya, yang duduk di kursi batu ini sama sekali tidak
menunjukkan air muka ramah. Orang ini mengenakan anting, kalung dan gelang
terbuat dari kerang tapi berwarna merah. Yang membuat Wiro jadi tercekat ialah
ketika memandang mata orang itu. Sepasang bola matanya berwarna biru dan
memancarkan pesona aneh kalau tidak mau dikatakan angker. Di pangkuannya ada
sebuah cermin besar berbentuk bulat.
“Ini
rupanya Sang Ratu…” kata Wiro dalam hati.
Dua belas
gadis yang membawa Wiro ke ruangan itu membungkuk dalam memberi penghormatan.
Ketika salah seorang dari mereka melihat Wiro dan berkata, “Jangan berlaku
kurang ajar! Lekas berikan penghormatan pada Ratu Duyung penguasa Pulau pantai
laut selatan…”
Didorong
dengan tiba-tiba membuat Wiro tersentak kaget dan hampir tersungkur ke depan.
“Ratu Duyung…? Kulihat keadaan tubuhnya biasa-biasa saja seperti manusia.
Pinggul ke bawah mempunyai kaki, bukan seperti ikan…”
“Kalau
kau tak segera menghormat Ratu kami, kami terpaksa menderamu dengan pentungan
tulang ikan hiu sampai tujuh puluh kali!” Satu cara mengancam di belakang Wiro.
Murid
Sinto Gendeng terpaksa lakukan apa yang diperintah. Dia melangkah maju ke
hadapan sang Ratu lalu membungkuk dalam-dalam. Namun sambil membungkuk matanya
yang nakal coba mencuri pandang kearah bagian bawah pakaian sang Ratu yang
tersingkap. Ketika dia berdiri tegak kembali untuk pertama kalinya Wiro melihat
bahwa di salah satu sudut ruangan ada sebuah meja bulat berkaki satu. Di atas
meja ini terletak sebuah pendupaan mengepulkan asap menebar bau sangat harum.
Di samping pendupaan, tersandar pada sebuah sandaran terbuat dar kayu sebuah kitab.
Karena jauh Wiro tak dapat membaca apa tulisan yang tertera di sampul kitab
itu. Namun mendadak saja dadanya berdebar.
Salah
seorang gadis pengantar maju ke hadapan kursi batu tempat duduk sang Ratu.
Setelah membungkuk dia berkata.
“Penghormatan
untukmu ya Ratu Duyung penguasa Pulau pantai laut selatan. Perintah telah kami
jalankan. Orang yang kau lihat dalam cermin sakti telah kami antarkan ke
hadapanmu. Kami menunggu petunjuk lebih lanjut.”
Orang
yang disebut sebagai Ratu Duyung mengangguk sedikit. Dia memandang pada Wiro
lalu jari-jari tangan kirinya yang diletakkan di atas tangan kursi batu
digerakkan memberi isyarat agar Wiro mendekat.
Murid
Eyang Sinto Gendeng maju tiga langkah. Walaupun dia terpesona melihat
kecantikan Sang Ratu dalam jarak sedekat itu namun matanya tak bisa lepas dari
memandang ke arah meja bulat berkaki tunggal yang terletak di sudut ruangan.
Karena dia jadi lebih pendek dan matanya di sampul buku. Kitab Putih Wasiat
Dewa!
Lupa
dirinya berada dimana Wiro Sableng langsung saja menghambur ke arah meja bulat.
Beberapa orang gadis berseru kaget melihat apa yang dilakukan pemuda berkulit
hitam itu. Sebaliknya Ratu Duyung tetap tenang di kursi batunya. Ketika
jari-jari tangan Wiro hampir menyentuh buku di atas meja bulat di samping
pendupaan, Ratu Duyung menekan salah satu bagian tangan kursi batu. Terdengar
suara desingan halus. Lalu lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun
lagi Pendekar 212 jatuh terperosok ke dalam lubang batu sedalam leher. Kini
hanya kepalanya saja yang tersembul di lantai ruangan. Secara aneh tapi
mengerikan empat dinding lantai batu itu bergerak menyempit hingga Pendekar 212
tidak mampu selamatkan diri keluar dari lobang itu!
Perlahan-lahan
Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Cermin bulat yang terletak di
pangkuannya dipindahkan ke atas kursi batu. Lalu dia melangkah anggun mendekati
lobang tempat Wiro terjerumus. Berhenti tepat di tepi lobang itu. Dalam keadaan
lain melihat sang Ratu berdiri di atasnya merupakan satu pemandangan
menggiurkan bagi Wiro. Namun saat itu dia terjebak di lobang aneh dan tak mampu
keluar selamatkan diri.
“Kadang-kadang
kecerobohan bisa membawa celaka seseorang…” kata Ratu Duyung.
“Ratu,
demi Tuhan aku tidak bermaksud mengambil kitab itu!” ujar Wiro.
“Sumpah
anak manusia tidak berlaku di tempat ini!”
Sang Ratu
sunggingkan senyum sinis. Dia ulurkan tangan kanannya menekan sebuah tombol di
bawah meja bulat. Dari langit-langit ruangan tiba-tiba meluncur turun
perlahan-lahan dua buah pilar besi yang ujungnya runcing dan merah membaca.
Jika bergerak terus dua batangan besi panas ini akan jatuh tepat di atas kepala
Pendekar 212 yang berada di lobang batu lantai ruangan. Wiro maklum bahaya maut
kini kembali mengancamnya.
“Ratu!
Aku akan jelaskan…”
“Kau tak
perlu menjelaskan apa-apa anak manusia. Cermin Sakti sudah memberi petunjuk
bahwa memang kau tengah mencari kitab sakti itu…”
“Kau
benar dan aku tidak berdusta, “ jawab Wiro. “Tadi aku begitu terkejut dan lupa
diri. Aku menghampiri sekedar untuk memastikan kalau memang itu buku yang aku
cari. Bukan untuk mengambilnya!”
Ratu
Duyung tertawa. “Kau bukan saja seorang pendusta besar. Tapi juga tolol! Jika
kau memang mencari kitab itu, setelah bertemu masakan tidak akan kau ambil!
Orang-orangku telah menyelamatkanmu dari ikan-ikan hiu buas. Kau bukannya
menyadari budi orang malah hedak mencuri!”
“Terserah
kau mau bilang apa! Aku sudah katakan dengan jujur aku terkejut melihat kitab
itu ada di tempat ini. Padahal menurut petunjuk kitab itu seharusnya berada di
tempat lain….!”
“Begitu?!”
Ratu Duyung kembali tertawa. Sementara itu dua buah batangan besi runcing panas
membara perlahan-lahan turun terus mengarah batok kepala Wiro. Jarak
ujung-ujungnya dengan kepala Wiro semakin pendek. Kini hnya tinggal sekitar
lima belas jengkal.
“Aku
tidak tahu di pihak mana kau dan orang-orangmu berada. Apa berpihak pada
kelompok manusia-manusia jahat atau termasuk dalam golongan orang-orang putih
yang berbuat kebajikan demi tenteramnya dunia persilatan….”
“Jangan
berkhotbah di hadapanku! Kami tidak berada pada satu pun di antara dua golongan
yang kau katakan!” Habis berkata begitu Ratu Duyung melangkah kembali ke kursi
batunya. Sebelum duduk dia memandang ke dalam Cermin Sakti. Lalu dia memberi
tanda pada seorang gadis yang ada di ruangan itu. “Lekas bawa masuk tamu kita
yang datang malam tadi!”
Gadis
yang diperintah segera meninggalkan tampat itu. Tak selang berapa lama dia
muncul kembali. Di belakangnya mengikuti seorang kakek gemuk luar biasa bermata
sipit hampir merupakan garis. Rambutnya yang putih disanggul di atas kepala.
Dia mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan destar hitam seperti yang
saat itu dikenakan Wiro. Berat tubuhnya yang sekitar 200 kati membuat setiap
langkah yang dilakukannya menimbulkan suara bergetar di lantai ruangan! Dia
melangkah sambil tiada hentinya tertawa-tawa.
Wiro
melengak kaget melihat siapa adanya orang gendut ini. Dia hendak berseru
memanggil tapi tak jadi karena khawatir akan membuat marah Ratu Duyung dan
dianggap lagi-lagi berlaku ceroboh. Lagipula saat itu dia sendiri lebih
khawatir akan keselamatan dirinya. Dari langit-langit ruangan dua batang besi
runcing turun semakin mendekati kepalanya!
Sampai di
hadapan Ratu Duyung orang tua gemuk itu membungkuk memberi hormat pada sang
Ratu.
“Tamu
terhormat maafkan aku mengganggu saat istirahatmu. Ada satu urusan penting yang
kami hadapi. Kau lihat pemuda dalam liang batu di depan meja bulat sana?!
Nyawanya tergantung pada penjelasan yang akan kau berikan.”
Orang tua
gemuk berpaling kearah yang ditunjuk Ratu Duyung. Dia lalu mengangguk. Pada
saat si gemuk memandang ke arahnya Wiro cepat tersenyum dan kedip-kedipkan
matanya.
“Apa ini
orang yang kau maksudkan dalam keteranganmu? Pendekar yang katamu siap
mengarungi segala bahaya untuk mencari kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat
Dewa itu….?”
Si Gemuk
kembali memandang pada Wiro. Pendekar 212 kembali tersenyum.
Lalu dia
melihat si gendut menggeleng dan berkata. “Bukan, bukan dia orangnya…Ha…ha..
ha!”
“Jadi kau
tidak mengenalinya?” Tanya Ratu Duyung.
“Tidak,
aku tidak kenal dengan manusia bermuka gosong itu!” Lalu kembali orang ini
tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
“Sialan
si gendut Kerbau Bunting itu!” maki Wiro dalam hati. “Apa matanya sudah lamur
tidak mengenali diriku lagi?! Enak saja aku disebutnya mnusia bermuka gosong.
Tapi eh…!”
“Kalau
begitu kematiannya tidak akan menjadi persoalan bagi dirimu?!” bertanya Ratu
Duyung.
“Perduli
apa dengan nyawanya!” jawab si gendut lalu tertawa mengekeh. “Kau boleh kembali
ke tempat peristirahatanmu!” kata Ratu Duyung pula.
Ketika si
gendut hendak memutar tubuhnya Wiro cepat berteriak. “Dewa Ketawa!
Jangan
pergi dulu! Kau harus menolongku! Jangan bicara ngacok mengatakan kau tidak
kenal diriku!”
Si gendut
yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa sesaat hentikan tawanya. Dia
berpaling. Menatap tajam pada Wiro sambil dalam hati memaki. “Anak setan muka
hitam itu tahu darimana namaku!” Dia menatap tak berkesip dengan matanya yang
sipit. “Siapa kau?!” tanyanya sambil tertawa-tawa.
“Aku Wiro
Sableng, sobat keponakanmu Bujang Gila Tapak Sakti. Masakan kau tidak mengenali
diriku?!”
“Puah!”
si gendut tertawa gelak-gelak. “Wiro Sableng Pendekar 212?!”
“Betul!
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede!” sambung Wiro. Dia mendongak ke atas. Dua
batang besi merah membara kini hanya berjarak sepuluh jengkal dari kepalanya.
Orang
yang dipanggil Wiro dengan sebutan Dewa Ketawa itu tertawa mengekeh hingga
matanya yang sipit kucurkan air mata. “Pendekar 212 yang aku kenal mukanya
tidak gosong hitam sepertimu! Tolol sekali kau hendak menipu aku! Apa kau kira
aku sudah buta?!”
“Buta
mungkin belum tapi bisa saja sudah lamur!” teriak Wiro.
“Manusia
bermuka hitam!” membentak Ratu Duyung. “Jangan lancang berani menghina
tetamuku!”
“Aku
tidak menghina! Aku yakin dia berdusta mengatakan tidak kenal padaku. Dewa
Ketawa, ingat pertemuan kita terakhir sewaktu mengembalikan dua buah bonang
milik Keraton yang dicuri orang?!”
Si gendut
sesaat terdiam. Dia seperti berpikir-pikir. “Ya aku ingat! Waktu itu kau masuk
ke dalam tanah bersama Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Kukira kalian berdua sudah
jadi mayat hidup…!”
“Nah, kau
ingat peristiwa itu. Berarti otakmu masih encer! Apa kau juga ingat waktu kau
ketakutan mau dicium oleh Nyi Bulan….?!”
“Eh!” si
gendut Dewa Ketawa usap-usap pipinya yang gembrot. Lalu dia tertawa
gelak-gelak. Para gadis anak buah Ratu Duyung banyak yang ikut tertawa cekikikkan.
“Sekarang
kau harus mengatakan pada Ratu Duyung bahwa aku memang Wiro Sableng, Pendekar
212 yang tengah menjalankan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Tidak
bisa…” kata Dewa Ketawa sambil kembali tertawa-tawa.
“Gila!
Apa yang tidak bisa! Mengapa tidak bisa?!” ujar Wiro hampir berteriak karena di
atasnya dua batang besi runcing panas hanya tinggal delapan jengakal dari batok
kepalanya.
“Pendekar
212 yang aku kenal mukanya tidak hitam sepertimu! Kau berusaha mengelabui
diriku!”
“Sesuatu
terjadi dengan diriku!” jawab Wiro. Lalu dia menjelaskan peristiwa
perkelahiannya dengan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Juga kemunculan
seorang yang datang menolongnya dan memberikan obat penyembuh luka dalamnya
yang parah. Nyawanya berhasil diselamatkan walau untuk sementara sekujur kulit
tubuh dan wajahnya menjadi hitam legam.
Orang tua
gendut itu goleng-goleng kepala dan enak saja dia memutar tubuhnya hendak
meninggalkan tempat itu.
“Dewa
Ketawa!” teriak Wiro.
Si gendut
hentikan langkah. Tanpa berpaling dia berkata. “Pendekar 212 yang aku kenal
memiliki satu senjata mustika sakti. Sebilah kapak bermata dua dikenal dengan
sebutan Kapak Maut Naga Geni 212. Jika kau mampu memperlihatkan senjata itu
padaku, mungkin aku bisa mengakui kalau dirimu memang murid si Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu!”
“Aku tak
menunjukkan senjata itu! Kapak Naga Geni 212 dan juga batu hitam sakti
pasangannya dicuri oleh Tiga Bayangan Setan dan kambratnya Elang Setan!”
“Hemmm…
Kalau begitu bagaimana aku bisa menolong?” ujar Dewa Ketawa seraya
tersenyum-senyum sambil garuk-garuk dagu. “Hemmm…Aku ingat ada rajahan angka
212 di dadamu. Itu mungkin bisa menolong….”
“Sudah
kubilang sekujur kulit tubuhku berubah. Rajah itu tertutup warna hitam!”
“Sayang
sekali. Agaknya kau memang harus menemui ajal secara mengenaskan di dalam liang
batu itu!” kata Dewa Ketawa pula. Tapi dia masih belum beranjak dari tempat
itu. Tiba-tiba dia berpaling dan tertawa gelak-gelak.
“Jahanam
gendut itu tertawa seperti orang gila! Aku sendiri sudah mau mati!”
Wiro merutuk
dan memandang ke atas. Dua ujung besi lancip hanya tinggal empat jengkal!
“Ada satu
cara untuk membuktikan bahwa kau betul-betul Wiro Sableng Pendekar 212…”
“Apa itu!
Lekas kau katakan! Jika terlambat dua besi panas ini siap menambus batok
kepalaku!” teriak Wiro.
“Waktu
pertama kali kita bertemu, kemudian sama-sama terlibat urusan dua bonang celaka
itu apa sebutanku memanggilmu? Nah ayo lekas kau jawab!”
“Sobatku
Muda!” teriak Wiro. “Begitu kau memanggil diriku!”
“Eh,
memang benar!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia hentikan
tawanya dan berkata. “Itu belum cukup dijadikan bukti kalau kau memang Pendekar
212 Wiro Sableng!”
“Gila!
Apa lagi maumu?!” teriak Wiro. Di atas kepalanya dua batang besi menyala hanya
tinggal tiga jengkal.
“Kau
masih ingat bagaimana kau memanggil aku waktu itu?!” tanya Dewa Ketawa.
“Apa
sulitnya mengingat!” jawab Wiro. “Kau kupanggil Sobatku Gendut! Terkadang
kupanggil kau Kerbau Bunting!”
“Ha…ha…ha…!”
tawa Dewa Ketawa meledak hingga dinding dan lantai ruangan itu bergetar. Apa
lagi semua anak buah Ratu Duyung tak dapat pula menahan tawanya.
“Sekarang
aku yakin, kau memang Pendekar 212 Wiro Sableng! Ha…ha…ha!”(Siapa adanya Bujang
Gila Tapak Sakti dan Dewa Ketawa dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng
berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)
“Kalau
begitu!” ujar Wiro seraya memandang ke atas dan melihat dua ujung besi runcing
hanya tinggal satu jengkal di atas kepalanya, “Lekas minta pada tuan rumah
untuk menghentikan gerakan dua besi maut itu!”
“Ratu
Duyung…” ujar Dewa Ketawa anteng-anteng saja sementara Wiro sudah ketakutan
setangah mati, “Aku minta dengan hormat kau suka menghentikan gerakan benda
kematian itu!”
Ratu
Duyung tak segera melakukan apa yang diminta Dewa Ketawa. Dia bertanya lebih
dulu. “Jadi sekarang kau yakin pemuda berkulit hitam itu benar-benar Pendekar
212, orang yang tempo hari kau katakan pertama kali kau datang ke sini?”
“Ya…ya…ya!
Memang dia!” jawab Dewa Ketawa sambil angguk-anggukkan kepala lalu tertawa
gelak-gelak.
Ratu
Duyung melangkah mendekati meja bulat berkaki satu. Dia menekan tombol di bawah
meja. Saat itu juga dua batang besi runcing berujung panas merah berhenti
meluncur pada jarak hanya tinggal setengah jengkal saja lagi dari kepala Wiro.
Murid Sinto Gendeng menarik nafas lega. Kalau saja kulit mukanya tidak hitam
maka akan jelas kelihatan bagaimana wajah itu sepucat kertas!
“Pendekar
212 kau sudah selamat dari kematian! Aku harus pergi sekarang!” kata Dewa
Ketawa.
“Aku
belum seluruhnya selamat!”teriak Wiro.
“Eh, apa
maksudmu?!” Tanya Dewa Ketawa.
“Kau
lihat sendiri! Tubuhku masih dipendam di dalam liang batu ini. Empat buah
dinding batu menekan terus. Kalau tidak dicegah tubuhku bisa medel hancur!”
Dewa
Ketawa tertawa membahak. Dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu Duyung, kurasa
kau juga tidak sampai hati membuat sobat mudaku itu jadi tapai atau jadi
pergedel!”
Untuk
pertama kalinya Wiro melihat Sang Ratu tersenyum. Lalu jari-jari tangannya
menekan salah satu bagian lengan kursi batu. Empat dinding batu yang menggencet
tubuh Pendekar 212 perlahan-lahan bergerak merenggang. Begitu ada kesempatan
Wiro segera melompat keluar. Karena dia berada dekat meja berkaki tunggal itu
mau tak mau padangan Wiro kembali tertuju pada Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada
di atas meja.
“Pendekar
212, kau masih penasaran hendak melihat kitab itu lebih dekat? Silahkan saja!
Kau sentuh pun kini tak ada yang melarang!” terdengar Ratu Duyung berucap.
Sesaat
Wiro merasa ragu. Dia memandang pada Sang Ratu lalu melirik pada Dewa Ketawa
yang masih tegak di ruangan tak jadi berlalu dari situ. Dilirik seperti itu si
Gendut sunggingkan tawa lebar. Akhirnya Wiro melangkah maju mendekati meja
bulat.
“Ternyata
kitab sakti ini berada di sini. Tidak seperti yang diterangkan Kakek Segala
Tahu…” Dengan tangan gemetar Wiro menyentuh kitab itu. Tiba-tiba dia tersentak.
Buku diusapnya berulang kali. Matanya membeliak besar.
“Kitab
palsu! Hanya terbuat dari lilin!” kata Wiro. Tawa bergelak. “Pendekar 212,”
ujar Sang Ratu. “Apa yang terjadi memberi banyak pelajaran padamu. Pertama
kecerobohan selain tidak disukai orang lain juga bisa membawa bahaya besar.
Kedua, perasaan hati yang meluap bisa membuat seseorang seperti buta, tak dapat
melihat kebenaran suatu benda. Ketiga, kehati-hatian dalam segala hal adalah
pangkal segala keselamatan!”
Pendekar
212 garuk-garuk kepalanya. Dia menjura dalam-dalam seraya berkata.
“Terimakasih
atas pelajaran yang kau berikan. Juga aku mengucapkan terimakasih padamu dan
semua gadis yang ada di sini. Kalau tidak karena kalian saat ini pasti aku
sudah menemui ajal, berkubur di dasar samudera laut selatan ini. Hanya ada
beberapa hal yang tidak jelas bagiku. Pertama, mengapa kalian menyelamatkan
diriku. Agaknya sebelumnya keadaan diriku sudah dipantau lewat Cermin Sakti itu
dan juga berdasarkan keterangan-keterangan Sobatku Gendut itu. Kedua, bagaimana
tiruan Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari lilin ada di sini. Lantas dimana
adanya kitab yang asli? Lalu apakah aku di sini sebagai tawanan atau sebagai
tamu seperti si Gendut itu…”
Dewa
Ketawa tertawa bergelak.
“Sejak
kau kami yakini adalah Pendekar 212, maka dirimu adalah tamu kehormatan di
tempat ini,” berucap Ratu Duyung.
“Tapi
karena di tempat ini hanya kita berdua yang laki-laki, selebihnya gadisgadis
cantik, jadi jangan sekali-kali kau mencoba berbuat macam-macam!” Yang bicara
adalah Dewa Ketawa yang tutup ucapannya dengan tawa kepala.
Wiro
garuk-garuk kepala.
Ratu
Duyung bertepuk tiga kali lalu berkata.”Pertemuan hari ini cukup sampai di
sini. Pertanyaanmu yang belum terjawab akan dibicarakan pada pertemuan besok.
Harap antarkan Pendekar 212 ke tempat peristirahatannya!”
Seorang
gadis segera mendekati Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Sebelum
melangkah pergi Wiro membungkuk memberi penghormatan pada Ratu Duyung. Lalu dia
cepat-cepat mengikuti gadis di hadapannya. Namun di pintu keluar dia ditunggui
oleh Dewa Ketawa.
“Sobatku
Muda. Kau beruntung bisa selamat….Ha…ha…ha…!”
“Dewa
Ketawa, aku ada pertanyaan padamu. Apa benar bangunan ini berada di udara. Di
awang – awang?”
“Memangnya
kau tak percaya?” balik bertanya si orang tua bertubuh gemuk luar biasa itu.
“Akalku
tak bisa menerima…”
“Ha…ha…ha!
Itu perbedaan antara kita dengan mereka. Yang tidak masuk akal dan pikiran bagi
kita manusia biasa justru sebaliknya bagi mereka . Kau bisa gila jika terlalu
memikirkan. Anggap saja semua serba wajar. Kau akan bisa tidur enak malam
nanti….Ha…ha…ha!”
“Satu
lagi pertanyaanku. Turut pembicaraanmu dengan Sang Ratu tadi, kehadiranmu
sebagai tamu di tempat ini ada sangkut pautnya dengan Kitab Putih Wasiat
Dewa…Betul?”
Dewa
Ketawa mengangguk lalu tersenyum lebar.
“Apa yang
kau ketahui tentang kitab itu Sobatku Gendut?” Tanya Pendekar 212.
“Tidak
banyak. Cuma satu perkara yang aku tahu menyangkut kitab sakti itu. Yaitu sang
kitab berasal dari daratan Tiongkok….”
Wiro
tercengang mendengar ucapan Dewa Ketawa itu sampai mulutnya menganga. Di satu
tempat gadis pengantar membelok ke kiri sedang Dewa Ketawa membelok ke kanan.
Sebelum berpisah Wiro memegang lengan si kakek gendut seraya berbisik.
“Sobatku
Gendut, kulihat kau mengenakan pakaian serba hitam seperti diriku.
Pasti ini
pakaian pemberian anak buahnya Ratu Duyung. Jadi….Apakah kau juga disuruh
mereka berbugil dulu sebelum kau mengenakan pakaian hitam ini?”
Dewa
Ketawa tertawa keras hingga dada dan perutnya bergoncang-goncang. Apa yang
dilakukan mereka terhadapmu juga terjadi atas diriku! Ha…ha…ha…! Cuma denganmu
mereka lebih untung!”
Apa
maksudmu?”Tanya Wiro.
“Tubuh
gendut buruk berlemak macamku ini mana sedap jadi pandangan para gadis cantik.
Sebaliknya walau kulitmu hitam legam tapi keadaan tubuhmu dan peralatanmu masih
kencang….! Ha…ha…ha!”
Pendekar
212 pencongkan mulutnya. Dia hanya bisa garuk-garuk kepala memperhatikan Dewa
Ketawa berlalu sambil terus mengumbar tawa keras.
TAMAT
No comments:
Post a Comment