Sesajen Atap Langit
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
**********************
Tiga
mahluk berbentuk kelelawar raksasa menguik keras. Mereka menukik ke bawah dan
lenyap di balik kabut yang mulai muncul menutupi kawasan puncak gunung semeru,
sesaat kemudian terdengar suara penguasa atap langit.“sinuhun merah penghisap
arwah, terakhir kali kau datang kau membawa sesajen atap langit berupa delapan
jantung bayi lelaki. Katakan padaku, kali ini sesajen atap langit apa yang kau
bawa untuk delapan anak kucing jantan merah sakti peliharaan dirga purana!”
“penguasa atap langit, sesajen yang kubawa kali ini adalah sumsum delapan bayi
lelaki yang telah dicairkan menjadi susu.”
**********************
SATU
DI RUANG
Segi Tiga Mayat yang terletak di dalam tanah di bawah Candi Plaosan Lor, Empu
Semirang Biru mendadak saja dilanda kekawatiran. Di atas atap suara ngeongan
delapan anak kucing merah semakin keras. Ruangan segi tiga bergetar keras. Delapan
Sukma Merah bukan anak kucing biasa!
Orang tua
pembuat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ini menatap ke atas atap.
“Bagaimana
kalau dua Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru, lalu sanggup menembus masuk ke
dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Delapan anak kucing merah pasti akan menyerbu
lebih dulu. Dewa Agung, lindungi kami semua yang ada di ruangan ini. Selamatkan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan mahluk-mahluk jahat.”
Baru saja
Empu Semirang Biru membatinkan kekawatirannya tiba-tiba braakkk!
Satu
sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-robek dipenuhi noda darah. Di
wajah ada tiga guratan luka lalu di dada ada dua lagi.
“Wiro!”
Ratu
Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-sama terpekik. Jaka Pesolek tidak
ikut menjerit tapi gadis ini melompat lebih dulu, menjatuhkan diri di samping
sosok yang terbujur di lantai yang memang sosok Pendekar 212 Wiro Sableng
adanya. Jaka Pesolek langsung memeluk. Tubuh Wiro terasa panas.
Untuk
beberapa lama sosok Wiro diam tak bergerak. Tiba-tiba dari mulutnya keluar suara
mengerang pendek. Tubuh menggeliat lalu melompat mencoba berdiri. Dia tampak
mengerahkan seluruh tenaga yang ada namun terhuyung lalu jatuh berlutut. Wiro
berusaha bertahan, mengerahkan kekuatan untuk tidak ambruk hingga sekujur
tubuhnya tampak bergetar. Keringat memercik Kepala mendongak, mata terpejam,
mulut terkancing. Para sahabat yang ada dalam ruangan berusaha menolong. Empat
pasang tangan memegangi.
“Tubuhnya
panas…”ucap Sakuntaladewi.
“Wiro!
Apa yang terjadi?!”Bertanya Kunti Ambiri sambil dekatkan mulutnya ke telinga
Wiro. Gadis yang selama lini lebih dikenal dengan sebutan Dewi Ular membuat dua
totokan. Satu di punggung dan satu lagi di dada. Ratu Randang alirkan hawa
sakti. Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal cengkeramkan sepuluh jari berkuku
jingga ke bahu kiri kanan lalu kerahkan tenaga dalam.
Ratu
Randang tidak tinggal diam. Dia letakkan telapak tangan di atas kepala Wiro
sementara dua kaki yang menginjak lantai ruangan tampak bergetar. Nenek ini
tengah menerapkan ilmu kesaktian yang disebut Tangan Langit Kaki Bumi.
Jaka
Pesolek yang tidak punya kesaktian apa- apa hanya bisa memperhatikan dengan
wajah tegang.
Tiba-tiba
mulut Wiro yang sejak tadi tertutup membuka lebar. Bukan untuk bicara menjawab
pertanyaan Sakuntaladewi tapi malah muntahkan darah segar.
Ratu
Randang, Jaka Pesolek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama-sama menjerit.
Wajah
Pendekar 212 tampak merah lalu dengan cepat berubah pucat putih seperti mayat.
Di atas
atap ruangan segi tiga suara ngeongan kucing semakin gaduh. Ujud mereka hanya
terlihat samar.
“Binatang
jahanam! Biar kurobek dulu mulut kalian semua!”Teriak Kunti Ambiri marah. Dia
segera hendak mengerahkan serangan Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi. Tapi
cepat dicegah oleh Ratu Randang.
“Kunti,
jangan perhatikan binatang-binatang celaka itu. Seperti kata Empu Semirang Biru
mereka tidak akan bisa menembus masuk ke dalam sini. Lagi pula ujud mereka
terlihat samar. Mereka mampu bergerak cepat. Sulit dijajagi keberadaannya
secara pasti!”
“Sepuluh
ular saktiku bisa mengendus dan melihat binatang itu berada dimana.
Sekali
menyerang mereka sudah mengunci kedudukan sasaran!”
“Dari
pada mengurusi kucing lebih baik menolong Wiro lebih dulu.”Berkata Jaka
Pesolek.
“Hyang
Jagat Bathara! Apa yang harus kita lakukan? Aliran hawa sakti dan tenaga dalam
serta totokan sepertinya tidak banyak menolong!” Kata Sakuntaladewi setengah
berteriak. Diantara semua orang yang ada dalam ruangan itu memang dia yang
paling merasa kawatir. Karena kalau sang pendekar sampai menemui ajal maka
kaulnya untuk mendapat kesembuhan atas dua kakinya yang cacat dengan cara
mengawini Wiro akan gagal selama-lamanya. Ketika dia hendak memeluk Pendekar
212, dari tempatnya duduk bersila dalam keadaan dilihat rantai besi merah, Empu
Semirang Biru berkata.
“Kalian
semua, dengar apa kataku. Menurut penglihatanku, dari luka yang ada di wajah
dan dada pemuda berambut gondrong itu, agaknya dia telah terkena serangan Cakar
Sukma Merah delapan anak kucing merah. Lukanya mengandung racun sangat jahat
dan sangat mematikan. Aku bisa merasakan sebenarnya pemuda itu memiliki
kekebalan terhadap racun. Selain itu ada satu senjata sakti di dalam tubuhnya.
Senjata yang mampu memusnahkan segala macam racun.
Namun
agaknya jalur hawa sakti dan tenaga dalam yang dimilikinya telah disumbat
mahluk jahat. Hingga dia tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Jika sampai
matahari tenggelam racun dalam tubuhnya tidak bisa disembuhkan nyawanya tidak
akan tertolong ……”
Semua
orang yang ada dalam ruangan keluarkan seruan tertahan dan saling pandang
dengan wajah tegang.
“Celaka,
kita berada di dalam tanah. Bagaimana tahu saatnya matahari akan
tenggelam!”Kata Kunti Ambiri.
Ratu
Randang berlutut di lantai, memperhatikan luka di muka dan dada Wiro.
Dia ingat
apa yang terjadi dengan dirinya.
“Empu
Semirang Biru, apa yang kau katakan pasti benar. Sebelumnya aku juga telah
diserang oleh delapan ekor anak kucing merah. Tangan kananku terkena sambaran
cakaran kuku berbentuk pisau. Saat itu aku hanya mengalami satu luka kecil.
Pemuda ini menderita lima guratan luka. Pasti keadaannya jauh lebih berbahaya.
Hanya ada satu orang yang bisa menyembuhkan. Dan hanya ada satu tempat
penyembuhan bisa dilakukan! Aku kawatir…”Suara si nenek tercekat.
Sepasang
mata berkaca kaca.
“Nenek
Ratu Randang…”Kata Sakuntaladewi sambil pegang bahu Ratu Randang. Tepat katakan
siapa orang yang bisa menyembuhkan luka bekas cakaran itu. Juga dimana racun
bisa dimusnahkan!”
Ratu
Randang unjukkan wajah muram.
“Orangnya
adalah kakek sakti berjubah dan bersorban kelabu yang telah menolongku. Dimana
mencarinya aku tidak dapat mengatakan. Dia muncul dan pergi secara aneh. Siapa
dia adanya aku tidak tabu. Tapi seperti yang dijelaskan Empu Semirang Biru,
orang itu adalah Embah Buyut dari Kumara Gandamayana, salah seorang sahabatku,
pembantu dan kepercayaan Raja. Kumara sebelumnya bergabung dengan Rauh
Kalidathi dalam perjalanan menyelamatkan Raja Mataram ke satu tempat rahasia.”
“Lalu
tempat penyembuhan yang kau katakan?”Kunti Ambiri yang bertanya.
“Delapan
tombak di dalam lapisan tanah.”jawab Ratu Randang.
“Ratu,
dari mana kau tahu hal itu?”Tanya Kunti Ambiri.
“Orang
tua itu yang mengatakan waktu dia menolongku. Dia membawaku masuk ke dalam
tanah sedalam delapan tombak.”
Semua
orang saling pandang.
“Empu
Semirang Biru, kau tahu kita di ruangan in! berada di lapisan tanah sedalam
berapa tombak?”Bertanya Ratu Randang.
“Menurut
taksiranku, paling dalam hanya empat tombak.”
Semua
orang terdiam sampai akhirnya Jaka Pesolek memecah kesunyian.
“Kalau
begitu biar aku menemui kakek bernama Kumara Gandamayana itu.” Kata Jaka
Pesolek.
“Kalaupun
bisa ditemu belum tentu Kumara Gandamayana punya ilmu mampu menyembuhkan pemuda
itu. Selain itu belum tentu dia mengetahui dimana Embah Buyutnya
berada,”berkata Empu Semirang Biru. “Kakek sakti dari alam gaib itu memang
larang muncul di luaran. Kalaupun muncul hanya beberapa seat saja.
Konon dia
dikabarkan selalu melakukan samadi di satu tempat yang bernama Atap Langit.
Tempat itu adalah kawasan berkeliarannya orang den mahluk halus jahat. Kemungkinan
si kakek berada sedikit di luar kawasan untuk memantau keadaan.”
“Atap
Langit! Dimana itu Kek?”Tanya Sakuntaladewi.
“Satu
tempat rahasia di atas puncak Gunung Semeru. Kabarnya di sana ada satu kawasan
yang dikuasai dan banyak berkeliaran mahluk jahat dari alam dunia maupun alam
gaib. Di situ mereka mengatur segala hal yang ada sangkut pautnya dengan
kejahatan yang akan mereka lakukan. Sulit bag! manusia biasa masuk ke dalam
kawasan itu.”
“Aku akan
pergi ke sana. Mencari si Embah Buyut! Sebelum matahari tenggelam pasti sudah
kembali ke sini bersama kakek sakti itu.”Kembali Jaka Pesolek berkata.
“Aku ikut
bersamamu!”Kata Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Tiba-tiba
di luar ruangan satu cahaya kelabu berkelebat. Disusul suara orang berucap.
“Kenapa
mempersusah diri jauh-jauh mencariku? Aku sudah berada di dekat kalian. Bawalah
pemuda malang berambut panjang itu ke hadapanku. Akan kuobati dan pasti sembuh.
Semoga Para Dewa menolong den memberi berkat.”
Semua
orang, termasuk Empu Semirang Biru yang berada dalam ikatan rantai besi
sama-sama palingkan kepala. Di luar Ruang Segi Tiga Nyawa tampak berdiri
seorang kakek bersorban dan berjubah kelabu. Wajahnya walau jernih namun
menyiratkan kekawatiran.
“Dewa
Agung!”Seru Empu Semirang Biru. “Kuasa Para Dewa membawa Embah Buyut Kumara
Gandamayana ke tempat ini.”
Ratu
Randang terlonjak kaget tapi juga gembira. Dia perhatikan orang tua di luar
ruangan lalu berucap. “Memang dia. Kakek itu yang sebelumnya menolong diriku,”
“Lekaslah,
waktuku tidak lama.”Embah Buyut Kumara Gandamayana berkata sambil melambaikan
tangan.
Empat
orang yaitu Sakuntaladewi, Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Kunti Ambiri segera
menggotong Wiro yang saat itu berada dalam keadaan masih berlutut.
Empu
Semirang Biru menarik nafas lega. Tiba-tiba orang tua ini mencium bau aneh.
Lantai yang didudukinya terasa bergetar. Lalu ada suara mengiang di telinga
kirinya. Wajah sang Empu berubah, kening mengerenyit. Dia hendak mengatakan
sesuatu, tapi empat orang yang menggotong Wiro sudah berada di luar dinding
Ruang Segi Tiga Nyawa sebelah kanan.
Selagi
tubuhnya digotong, dalam keadaan setengah sadar Wiro mampu memaksakan membuka
sedikit sepasang matanya yang sejak tadi terpicing.
Walaupun
samar pandangan matanya langsung membentur sosok kakek bersorban dan berjubah
kelabu. Murid Sinto Gendeng kedipkan perlahan sepasang mata. Karena tidak
membutuhkan kekuatan tenaga dalam yang banyak, dia masih mampu menerapkan ilmu
Menernbus Pandang, Mendadak saja dia menjadi tegang. Di dalam sosok si orang
tua bersorban den berjubah kelabu dia melihat sosok seorang lain. Memandang
menyeringai angker ke arahnya, memperlihatkan taring merah di sudut mulut!
“Gusti
Allah….”Wiro mengucap.
**********************
DUA
KITA
tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah digotong menemui sosok kakek bersorban
dan berjubah kelabu. Kita menuju ke satu kawasan sangat rahasia di puncak
Gunung Semeru, kawasan aneh yang keberadaannya mengambang di udara dan disebut
sebagai Atap Langit. Banyak tokoh rimba persilatan mengetahui atau mendengar
nama Atap Langit namun hanya satu dua orang saja yang pernah dan mampu memasuki
kawasan tersebut, Konon di Atap Langit banyak berkeliaran mahluk halus yang
muncul dalam berbagai ujud, termasuk arwah sesat dan roh gentayangan.
Saat itu
tengah hari tepat. Sang surya memancar terang benderang dan sangat terik. Namun
d kawasan Atap Langit suasana selalu redup mendung, Sinar matahari seolah tidak
mampu menembus adanya lapisan udara berkekuatan aneh yang menyungkup kawasan di
arah delapan penjuru angin. Bahkan hembusan anginpun tidak pernah menyapu
kawasan Atap Langit! Setiap bands yang ada di kawasan itu seperti tanah,
pepohonan dan bebatuan selalu diselimuti cairan yang sesekali mengepulkan asap
menebar hawa dingin mengiris tulang sumsum.
Ketika di
langit sebelah utara memancar sinar kebiruan, menukik ke bumi seperti bintang
jatuh, dari arah selatan lereng Gunung Semeru berkelebat satu bayangan merah.
Gerakan mahluk ini cepat sekali hingga dalam waktu singkat dia sudah berada di
puncak gunung, berdiri di satu tebing batu lancip licin. Ternyata mahluk ini
adalah seorang kakek berjubah dan mengenakan belangkon merah. Di sebelah depan
belangkon tersemat sebuah hiasan terbuat dari suasa muda atau perunggu
berbentuk bintang bersudut delapan. Dari warna sepasang mata, rambut, kumis,
janggut dan cambang bawuk tipis serta sepasang alis berwarna merah sudah nyata
kalau mahluk ini adalah momok arwah paling ganas dan ditakuti di Bhumi Mataram
yaitu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sementara
tangan kiri berkacak pinggang, di tangan kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah
memegang sebuah piala perak yang memiliki delapan cantelan.
Pada
setiap cantelan tergantung sebuah cangkir perak.
Sepintas
dua kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak seperti menapak batu lancip di
atas tebing. Namun jika diperhatikan ternyata sepasang telapak kaki itu
menggantung atau mengambang di udara, seujung kuku di atas tebing batu yang
basah dan licin!
Ketika di
langit sebelah utara menyala selarik sinar kuning kemerahan, Sinuhun Merah
Penghisap Arwah dongakkan kepala. Lalu mulut berucap lantang.
Penguasa
Kawasan Atap Langit! Aku Sinuhun Merah Penghisap Arwah mahluk alam roh. Aku
kembali datang selaku utusan seorang putra Bhumi Mataram bernama Dirga Purana
yang disebut Sang Junjungan yang kesaktiannya ikut mendulang kawasan Atap
Langit. Aku datang membawa Sesajen Atap Langit yang telah diramu oleh Sang
Junjungan untuk delapan anak kucing jantan sakti peliharaannya. Tiga dari anak
kucing itu tengah menghadapi sekarat akibat tebasan senjata berupa kapak
bermata dua sakti mandraguna yang berasal dari alam delapan ratus tahun
mendatang! Aku mohon nampan perak siap menerima Sesajen Atap Langit, Aku mohon
Penguasa Atap Langit mau menyelamatkan nyawa tiga anak kucing merah sakti yang
terluka parah. Ika Penguasa Atap Langit tidak turun tangan maka nyawa mereka
tidak tertolong. Dunia arwah dan alam roh akan dilanda kegoncangan dahsyat.
Langit bisa runtuh, bumi bisa tenggelam. Aku mohon Penguasa Atap Langit membawa
delapan anak kucing jantan berbulu merah datang untuk menyantap, Sesajen Atap
Langit. Kembalikan kesaktian mereka secara utuh sampai tiba saat pemberian
Sesajen Atap Langit berikutnya.
Aku mohon
Penguasa Atap Langit mau membuka Pintu Gerbang Atap Langit.
Izinkan
aku masuk dengan segera! Mohon maaf karena waktuku tidak lama!”
Baru saja
Sinuhun Merah Penghisap Arwah selesai berucap lantang tiba-tiba di langit
memancar kembali sinar kuning kemerahan. Udara bergetar disusul suara dari
mahluk yang ujudnya tidak kelihatan.
“Tiga
Pengawal Atap Langit! Periksa dengan penciumanmu, lihat dengan matamu. Apa
benar mahluk yang datang adalah Sinuhun Merah Penghisap Arwah dari Kerajaan
Bhumi Mataram! Bukan mahluk jejadian yang menyamar untuk maksud jahat!”
Laksana
petir menyambar tiga benda hitam besar berujud kelelawar raksasa entah dari
mane munculnya tahu-tahu telah melayang mengitari sosok Sinuhun Merah Penghisap
Arwah yang tegak mengambang di atas tebing batu puncak Gunung Semeru. Tiga
pasang sayap lebar mengepak menebar bau busuk. Tiga pasang mate pancarkan
cahaya merah, menyapu di atas kepala den tubuh Sinuhun.
Hidung
menyedot dalam-dalam.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah tenang saja, Kepala masih terus mendongak.
Sebelumnya
dia sudah mengalami hal seperti ini sebanyak due kali. Yaitu setiap dia
mengantar Sesajen Atap Langit untuk memperpanjang kesaktian rahasia yang ada
dalam tubuh delapan anak kucing merah yang dikenal dengan name Delapan Sukma
Merah.
“Blaarrr!
Blaarrr! Blarr!”
Tiga
letusan menggelegar disertai berkiblatnya tiga larik sinar merah. Lalu sunyi
sesaat. Dalam kesunyian kemudian terdengar tiga suara anch berucap bersamaan.
“Penguasa
Atap Langit! Kami telah melihat. Kami Tiga Pengawal Atap Langit bersaksi bahwa
kepala den tubuh itu adalah benar kepala den tubuh Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Kami telah mencium. Kami Tiga Pengawal Atap Langit bersaksi bahwa roh
dalam ujud mahluk berbelangkon den berjubah merah di puncak Gunung Semeru benar
adalah roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Kami mencium! Darah arwah yang
mengalir di dalam ujud mahluk. itu benar adalah darah Sinuhun Merah Penghisap
Arwah.”
“Melihat
belum berarti menyaksikan kebenaran. Tiga Pengawal Atap Langit lakes beri tahu
aku! Aku ingin kepastian kunci! Apa kelainan yang terdapat dalam tubuh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah!”Suara gaib yang menggetarkan udara menggelegar. Suara
mahluk tak kelihatan ujud yang disebut sebagai Penguasa Kawasan Atap Langit.
“Biarr!
Blaarr! Blaar!’
Tiga
letusan kembali menggelegar dan tiga cahaya merah menyusul berkiblat.
Lalu
terdengar tiga suara aneh tadi memberikan jawaban.
“Penguasa
Atap Langit! Kami Tiga Pengawal Atap Langit melihat kelainan yang ada dalam
tubuh roh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Jantungnya berada di sebelah kanan,
bukan di sebelah kiri!”,
“Pemeriksaan
selesai! Tiga Pengawal Atap Langit kalian boleh kembali!”
Tiga
pasang sayap mengepak keras. Bau busuk kembali menebar. Cahaya merah terang
pada, tiga pasang mata meredup. Hidung menghembuskan tiupan nafas panjang. Tiga
mahluk berbentuk, kelelawar raksasa menguik keras lalu berputar dua kali. Pada
putaran ke tiga mereka menukik ke bawah den lenyap di balik kabut yang mulai
muncul menutupi kawasan puncak Gunung Semeru.
Sesaat
kemudian terdengar suara Penguasa Atap Langit.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah, terakhir kali kau datang kau membawa Sesajen Atap Langit
berupa delapan jantung bayi lelaki. Katakan padaku, kali ini Sesajen Atap
Langit apa yang kau bawa untuk delapan anak kucing jantan merah sakti peliharaan
Dirga Purana!”
Penguasa
Atap Langit, sesajen yang kubawa kali ini adalah sumsum delapan bayi lelaki
yang telah dicairkan menjadi susu.”
“Hemmm
….”Terdengar suara bergumam. Di susul ucapan keras. “Sinuhun Merah Penghisap
Arwah! Sebelum Pintu Gerbang Atap Langit dibuka, perlihatkan pada diriku bahwa
kau tidak juga membawa Sesajen Penyanding Sesajen Atap Langit!”
Tangan
kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah yang sejak tadi berkacak pinggang bergerak
ke balik jubah merah, mengeluarkan sebuah kantong kain merah bergambar bintang
kuning berujung delapan pada dua sisinya.
“Penguasa
Atap Langit, Sesajen Penyanding sudah ada dalam genggamanku.
Mungkin
ada sesuatu yang hendak kau tanyakan lagi?”Bertanya Sinuhun Merah Penghisap
Arwah.
“Katakan
ape isi kantong kain merah itu!”Mahluk tak kelihatan ujud bertanya.
“Lima
puluh keping uang emas! Due puluh butir permata mutu manikam! Tiga puluh
lentingan rokok daun jagung yang sudah diisi dengan candu dari negeri Cina!
Mohon Penguasa Atap Langit bersedia menerima!”
Di udara
berkabut di puncak Gunung Semeru terdengar suara tawa bergelak disusul ucapan.
“Aku bersedia menerima! Lemparkan ke udara kantong kain itu!”
Dengan
cepat tangan kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah melemparkan kantong kain ke
udara. Seperti ada kekuatan yang menyedot, kantong kain tertarik ke atas dan
sekejapan saja telah lenyap dari pandangan mata. Sesaat kemudian terdengar
suara berderak. Batu di bawah kaki Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergetar.
“Wusss!”
Belasan
tombak di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul dua buah dinding batu
yang secara cepat bergerak membuka ke samping kiri dan kanan, “Sinuhun Merah
Penghisap Arwah! Pintu Gerbang Atap Langit sudah dibuka!
Kau
diperkenankan masuk!”
Tidak
menunggu lebih lama Sinuhun Merah Penghisap Arwah segera melesat memasuki pintu
batu yang dengan cepat bergerak menutup kembali.
Hanya
sejengkal lagi dua dinding batu akan menutup rapat tiba-tiba satu benda kelabu
laksana ular besar melesat di udara, lalu dess! Bergulung mengganjal Pintu
Gerbang Atap Langit. Benda itu ternyata adalah segulung sorban!
**********************
TIGA
DUA
dinding batu Pintu Gerbang Atap Langit yang terganjal sorban kelabu bergetar
hebat. Kabut yang menyungkup buyar bertebaran dan lenyap hingga keadaan di
tempat itu kini kelihatan lebih jelas walau mendung masih terus meredupi, Udara
mendadak menyentak pengap.
“Pengawal
Atap Langit! Ada mahluk hendak berbuat jahat! Hancurkan benda yang mengganjal
Pintu Atap Langit!”Di langit terdengar suara teriakan lantang Sang Penguasa
Kawasan Atap Langit.
Kejap itu
juga di udara muncul kembali tiga mahluk berbentuk kelelawar raksasa. Tiga
binatang ini langsung melesat ke arah sorban kelabu. Mulut menguik keras. Dari
dalam mulut meluncur keluar lidah panjang merah mengepulkan asap panas. Dua
ekor burung yang terpesat melayang di udara, begitu berada satu tombak, di depan
juluran tiga lidah panjang langsung terbakar musnah!
“Wuutt!”
Tiga
lidah panjang menyambar sorban yang mengganjal pintu.
Kobaran
api berkiblat.
Tapi!
“Dess!
Desss! Desss!”
Tiga
kelelawar besar terpental ke atas dan keluarkan suara meraung seperti lolongan
anjing. Lidah mereka nampak mengepul dan berubah dari merah menjadi hitam.
“Kurang
ajar!”Terdengar makian Penguasa Atap Langit. Pengawal Atap Langit! Serang benda
yang mengganjal pintu dengan Panah Sukma Api! Aku akan meminta semua arwah di
kawasan ini untuk membantu!”
Diatas
puncak Gunung Semeru mendadak terdengar suara raungan riuh. Itu pertanda semua
mahluk alam roh yang ada di Kawasan Atap Langit telah mendengar kata-kata Sang
Penguasa.
Tiga
pasang mata merah kelelawar raksasa mencuat keluar. Begitu mata dikedipkan,
enam panah dikobari api melesat ke arah gulungan sorban kelabu yang mengganjal
Pintu Atap Langit.
Enam
dentuman keras menggelegar.
Udara
bergetar. Pintu Gerbang Atap Langit bergoncang.
Sorban
kelabu di antara dua dinding batu tenggelam dalam kobaran api, musnah berubah
jadi kepulan asap. Greekk! Pintu Gerbang Atap Langit yang tadi tidak bisa
menutup akibat ganjalan sorban kelabu kini bertaut rapat dan tertutup.
Di puncak
timur Gunung Semeru yang barbatasan dengan Kawasan Atap Langit seorang kakek
berjubah kelabu tegak tertegun sambil memegang dada.
“Hyang
Jagat Bathara Dewa, mohon ampun saya bertindak terlambat. Mohon maaf ilmu
kepandaian saya mash berada di bawah mereka. Yang saya kawatirkan adalah
orang-orang dan benda sakti yang ada dalam Ruang Segi Tiga Mayat.
Tolong
mereka, lindungi mereka…”
Kakek
berjubah kelabu angkat tangan kanannya, di arahkan ke Pintu Gerbang Atap Langit
yang mulai tampak samar. Sebelum ujud Pintu Gerbang lenyap kakek ini dengan
cepat sentakkan tangan kanan.
“Wuutt!”
Sorban
yang telah musnah dibakar kobaran enam Panah Sukma Api menampakkan diri
kembali, melesat ke arah si kakek, langsung bergulung diatas kepalanya. Walau
mampu mendapatkan sorbannya kembali namun tak urung dua kaki si kakek tampak
tertekuk goyah dan sekujur tubuh bergetar.
Siapa
gerangan adanya kakek ini? Dia bukan lain orang tua sakti yang telah menolong
Ratu Randang yang oleh Empu Semirang Biru disebut sebagai Embah Buyut Kumara
Gandamayana.
Ketika
siap hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba di sekitarnya terdengar suara
anak kucing mengeong keras tapi ujudnya tidak kelihatan. Kagetnva si kakek
bukan alang kepalang karena mendadak saja dua kakinya tak bisa bergerak!
Ketika
dia memandang ke bawah, astaga! Dua kakinya ternyata telah dilibat gulungan rantai
besi berwarna merah.
“Rantai
Kepala Arwah Koki Roh,”ucap si kakek yang rupanya mengenali dan tahu nama
rantai. Rental inilah yang telah memberangus tubuh Empu Semirang Biru hingga
hanya mampu duduk bersila di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. “Ini pasti pekerjaan
anak lelaki bernama Dirga Purana pemilik Delapan Sukma Merah delapan anak
kucing itu!”Walau darahnya berdesir namun dia tetap berlaku tenang. Dua telapak
tangan dikembang ke arah bawah. Tenaga dalam den hawa sakti dialirkan hingga
dart sepuluh ujung jari memancar cahaya kelabu.
“Rantai
Kaki Arwah Kepala Roh!”Si kakek berteriak sengaja menyebut terbalik name rental
merah. Agaknya ada maksud tertentu dia berucap seperti itu.
Karena
kemudian dia kembali berteriak. “Arwah Penangkal! Tunjukkan yang putih itu
putih! Yang benar itu benar!”
Dua
tangan dihentakkan ke bawah.
“Dess!
Dess!”
“Blaarr!”
Si kakek
sanggup menggerakkan kedua kaki namun rantai besi merah masih mengikat kedua
kakinya walau kini sedikit agak longgar. Tidak menunggu lebih lama dia segera
melompat ke udara. Setengah jalan dia berjungkir, kaki ke atas kepala ke bawah.
Lalu wuuuttt! Tubuh orang tua itu melesat ke bawah Gunung Semeru.
“Aku
harus mencari pemuda dari alam delapan ratus tahun mendatang itu.
Hanya dia
yang memiliki kemampuan menghadang dan menghancurkan kekuatan Penguasa Atap
Langit. Hanya dia yang bisa menghadapi Delapan Sukma Merah.”
Suara
ngeongan anak kucing mendadak kembali terdengar. Kali ini disertai dengan
melesatnya delapan ujud samar berwarna merah. Embah Buyut Kumara Gandamayana
mendengus. Mulut berucap.
“Kalian
belum mendapatkan Sesajen Atap Langit! Kalian tidak punya kekuatan! Kesaktian
kalian mengapung di udara! Kalian sebenarnya adalah ganjalan nyawa mahluk
terkutuk. Kalian tidak akan mampu menyerangku! Pergi!”
Orang tua
itu tanggalkan sorban kelabunya lalu dikebut ke arah delapan bayangan samar
anak kucing merah.
“Wuuutt!”
Satu
gelombang angin memancarkan cahaya kelabu menderu.
“Ngeooong!”
Delapan
sosok samar anak kucing merah mental ke udara.
**************************
Di
KAWASAN Atap Langit di atas puncak Gunung Semeru, Sinuhun Merah Penghisap Arwah
memaklumi sesuatu telah terjadi.
“Ada
mahluk yang coba menghalangi tertutupnya Pintu Gerbang Atap Langit.
Pasti
hendak berusaha menyusup masuk ke dalam.”Sinuhun yang sebenarnya adalah mahluk
dari alam roh ini menyeringai. “Siapa yang sanggup menantang kekuatan Delapan
Sukma Merah! Siapa yang mampu melawan Penguasa Atap Langit yang punya ratusan
anak buah mahluk alam arwah! Tapi aku mulai meragukan kekuatan dan kesaktian
Sang Penguasa.”
Laksana
terbang Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat ke arah timur Kawasan Atap
Langit. Setelah melewati sekian banyak gumpalan gumpalan awan kelabu, begitu
matanya melihat hamparan sembilan batu besar hitam den basah mengambang di
bawah sane die segera menukik turun. Delapan batu tersebar begitu rupa
membentuk lingkaran mengelilingi batu ke sembilan yang disebut Batu Atap
Langit. Di atas batu besar ke sembilan ini terletak sebuah nampan atau baki
memiliki delapan kaki berupa kaki binatang dengan cakar mencuat, terbuat dari
perak putih berkilau.
Seperti
diketahui saat itu siang hari dan sang surya memancarkan sinarnya yang terik.
Namun di tempat itu keadaan redup temaram. Udara terasa basah dan ada hawa
dingin aneh menyembur dari dalam tanah.
Begitu
menjejakkan kaki di atas batu ke sembilan, Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa
ada hawa dingin keluar dari batu, masuk ke dalam tubuh yang membuat dua kakinya
bergetar. Otaknya serasa beku. Sinuhun Merah Penghisap Arwah tertegun kaget den
marah.
“Kurang
ajar! Bagaimana mungkin ada mahluk jahanam bisa tembus masuk ke tempat ini!”
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah memandang berkeliling. Dia melihat ada bayangan warna
kebiruan di balik salah satu delapan batu yang mengelilingi batu ke sembilan.
Dari arah itu datangnya hawa luar biasa dingin. Tidak tunggu lebih lama dia
segera angkat kepala. Delapan benjolan merah di kening pancarkan cahaya terang
siap untuk melancarkan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit. Namun
sebelum delapan cahaya merah keluar dari delapan benjolan tibatiba terdengar
suara Penguasa Atap Langit.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah! Kawasan Atap Langit adalah daerah kekuasaanku! Apapun
yang terjadi tidak seorang lain boleh turun tangan. Kau tidak boleh menimbulkan
kerusakan di sini! Batalkan seranganmu! Biar para Pengawal Atap Langit
menangani masalahmu!”
“Penguasa
Atap Langit!” Sinuhun Merah menyahuti, “Aku rasa kemampuanmu sudah jauh
berkurang. Bagaimana ada mahluk lain bisa menyusup masuk ke dalam kawasan
kekuasaanmu?”
“Bisa
masuk tak ada artinya kalau tidak bisa keluar!”Penguasa Atap Langit lalu
berteriak memanggil Pengawal. Tiga kelelawar raksasa segera muncul lalu melesat
ke arah batu besar yang dibaliknya kelihatan sinar biru.
“Plaak …
plaak!”
Enam
sayap mengepak. Enam cahaya hitam menerpa batu besar. Saat itu juga dari balik
batu memancar cahaya biru legam dibarengi suara jeritan keras.
Sesosok
tubuh mengapung di udara dalam keadaan gosong, sulit dikenali siapa adanya.
Tiga
kelelawar hitam menguik keras, berputar due kali lalu melesat lenyap.
“Penguasa
Atap Langit! Aku tidak mengenali mahluk itu. Harap kau memberi
tahu
siapa dia adanya!”
Di udara
redup terdengar suara tertawa bergelak Sang Penguasa.
“Kau
telah menyaksikan kehebatan pare Pengawal Atap Langit. Jangan ada yang berani
meragukan kekuatan den kuasa kami pare mahluk Atap Langit. Siapa mahluk yang
telah menemui ajal dalam keadaan gosong itu, itu bukan urusanmu.
Harap kau
mawas diri. Di alam nyata dan di alam gaib kau sudah terlalu banyak musuh! Kau
harus bersyukur aku masih memberi kesempatan bagimu untuk melaksanakan upacara
Sesajen Atap Langit! Kalau tidak nyawamu sudah terpecah di delapan penjuru
angin! Sampaikan hal itu pada Junjunganmu anak lelaki bernama Dirga Purana! Aku
menghormatinya tapi jangan ada anak buahnya berani menganggap rendah diriku!
Atap Langit adalah Negeri kekuasaanku, Atap Langit adalah Kerajaanku! Sekarang
cepat kau melaksanakan pemberian Sesajen Atap Langit, Waktumu hanya tinggal
sedikit. Begitu selesai cepat tinggalkan tempat ini!. Masih delapan mahluk lain
yang menunggu pelaksanaan Sesajen Atap Langit!”
Rahang
Sinuhun Merah Penghisap Arwah tampak menggembung. Telinganya terasa panes.
Walau mulutnya ingin berteriak memaki namun dia tidak bisa berbuat apa-apa
selain melakukan apa yang dikatakan Penguasa Atap Langit.
“Jahanam,
inilah kesalahan Kesatria Junjungan. Dia terlalu percaya hingga Penguasa Atap
Langit tahu banyak tentang diri dan kekuatanku! Kalau tiba saatnya Kawasan Atap
Langit akan aku musnahkan dengan Api Delapan Sukma Dewa!”
**********************
EMPAT
Satu demi
satu Sinuhun Merah Penghisap Arwah mengambil cangkir perak yang tergantung pada
cantelan piala. Cangkir kemudian diletakkan diatas nampan perak, masing-masing
gagang menghadap ke arah delapan batu yang mengelilingi.
Setelah
lebih dulu berlutut di atas batu, mahluk alam roh yang berujud serba merah ini
buka penutup piala. Dari dalam piala dia kemudian menuangkan cairan putih ke
dalam setiap cangkir perak. Setelah semua cairan putih yang konon adalah sumsum
belakang delapan bayi dituang dibagi rata hingga penuh sampai dua pertiga
cangkir, Sinuhun Merah Penghisap Arwah lemparkan piala perak ke udara. Di satu
tempat piala perak meledak, berubah jadi asap putih lalu lenyap dari
pemandangan.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah letakkan dua telapak tangan di atas dada.
Dua jari
tengah sengaja ditekuk sementara empat jari lain dari masing-masing tangan
mengembang lurus. Kepala mendongak, mata dipejam. Perlahan-perlahan delapan
jari tangan berubah merah, memancarkan cahaya.
Tak
selang berapa lama bagian batu dibawah delapan nampan perak diletakkan ikut
memancarkan cahaya merah disertai kepulan asap. Lalu cairan sumsum di dalam cangkir
menggelegak perlahan.
Bau aneh
menyerupai bau kemenyan yang di bakar menebar di tempat itu.
Suasana
menjadi bertambah angker sewaktu di udara yang redup dan dingin di kejauhan
terdengar suara panjang raungan anjing. Begitu gema suara raungan lenyap Sinuhun
Merah Penghisap Arwah membuka mulut dan berseru.
“Penguasa
Atap Langit!! Sesajen Atap Langit sudah disiapkan! Mohon Pintu Arwah dibuka.
Izinkan Delapan Sukma Merah menyantap sesajen yang terhidang!”
Di
Kawasan Atap Langit tidak pernah ada angin. Narnun saat itu tiba-tiba terdengar
suara menderu disertai hembusan angin keras. Jubah Merah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah berkibar kibar. Kumis, janggut dan rambut panjang dibawah
belangkon merah bergeletar. Piala dan delapan cangkir perak bergoyang goyang.
Sembilan
batu besar bergetar.
Tiba-tiba
langit seolah terbelah. Dari celah belahan melesat turun delapan benda merah
yang bukan lain adalah delapan anak kucing merah. Binatang ini melesat demikian
rupa lalu melayang turun dan duduk di depan cangkir perak.
Sepasang
mata merah terpentang lebar menatap tak berkesip ke arah cairan di dalam
cangkir. Kuku kaki depan mencuat laksana pisau. Ekor berkibas-kibas.
Telinga
mencuat ke alas dan lidah menjulur tanda tidak sabaran untuk segera menjilat
meneguk cairan sumsum. Jika diperhatikan, walau delapan anak kucing ini semua
berbulu merah, namun tiga di antaranya memiliki bulu berwarna lebih pekat, agak
kehitaman. Tiga anak kucing ini setiap mengeong keras memancarkan cairan merah
dari kedua mata mereka.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah turunkan kepalanya yang sejak tadi mendongak. Sepasang
mata dibuka. Menyapu delapan anak kucing merah. Jika memperhatikan tiga anak
kucing berbulu merah kehitaman, dada kanannya mendenyut sakit.
“Delapan
anak kucing merah yang dengan hormat aku panggil dengan nama Delapan Sukma
Merah! Penguasa Atap Langit telah membuka Pintu, Arwah!
Pertanda
kalian telah mendapat izin. Silahkan menikmati Sesajen Atap Langit yang telah
disediakan!”Seolah mengerti apa yang dikatakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah,
delapan anak kucing merah mendekati cangkir perak di hadapan masing-masing. Dua
kaki depan mencengkeram, kepala dirundukkan lalu terdengar suara mereka
menjilat dan meneguk sumsum putih. Nyaris sekejapan saja sumsum putih di dalam
cangkir serta merta habis tak bersisa. Delapan anak kucing merah mengeong
keras. Tubuh memancarkan cahaya merah menyilaukan.
Seolah
rasa haus belum terobat, rasa lapar belum pulih tiba-tiba mereka membuka mulut
lebar-lebar lalu greek… greekk … greeekkk! Delapan cangkir perak mereka kunyah
seperti menyantap kerupuk!
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah terkejut.
“Pertanda
buruk! Tidak pernah Delapan Sukma Merah berlaku serakus ini!”
Ucap sang
Sinuhun dalam hati lalu cepat dia berteriak. “Delapan Sukma Merah!
Sesajen
Atap Langit sudah kalian dapatkan! Kesaktian kalian sudah diperpanjang!
Saatnya
untuk kembali menemui Satria Junjungan!”
Delapan
anak kucing merah rundukkan kepala hingga dagu menempel di batu.
Mulut
membuka lebar dan mata membeliak. Kuku kaki depan digerus ke atas batu hingga
membuat guratan-guratan dalam yang dikobari api!
“Delapan
Sukma Merah! Jangan merusak apa yang ada di Kawasan Atap Langit! Aku minta agar
kalian segera kembali menghadap Satria Junjungan Dirga Purana! Penguasa Atap
Langit mohon Pintu Akhirat dibuka kembali!”
Seperti
tadi mendadak menderu suara tiupan angin keras. Lalu di atas sana langit seolah
terbelah membuka.
Delapan
kucing merah mengeong keras. Mereka melesat ke arah Sinuhun Merah Penghisap
Arwah, satu jengkal di atas kepala. Hal Ini cukup membuat Sinuhun Merah
terkejut dan cepat rundukkan kepala. Ketika dia memandang ke atas, delapan anak
kucing merah telah meles memasuki celah langit.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah! Upacara Sesajen Atap Langit telah selesai.
Harap kau
segera meninggalkan tempat ini!”Di udara redup menggema suara Penguasa Atap
Langit.
“Penguasa
Atap Langit! Aku mengucapkan terima kasih. Akan aku sampaikan pada Sang
Junjungan semua kebajikan yang telah kau lakukan! Namun sebelum pergi aku mohon
satu pertolongan.”
Udara di
Kawasan Atap langit semakin redup.
“Sinuhun!
Aku peringatkan padamu! Waktumu sebenarnya sudah habis!”
“Penguasa
Atap Langit! Aku mohon dengan sepuluh jari di atas kepala!”
Sinuhun
Arwah Merah Penghisap Arwah susun sepuluh jari di atas kepala dan rundukkan
tubuh.
“Kau
benar-benar mau membuat, aku marah Sinuhun?!”
“Aku
minta maaf dan aku minta ampun, Tapi aku sangat mengharap pertolongan. Aku
mewakili Sang Junjungan!”
Terdengar
suara bergumam marah. Lalu. “Katakan pertolongan apa yang kalian butuhkan!”
“Aku
mohon agar aku bisa menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa dimana Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi berada.”
Dalam
ujudnya yang tidak kelihatan Penguasa Atap Langit tertawa bergelak.
“Caranya
mudah saja!”
“Bagaimana
caranya? Tolong aku diberi tahu!”
“Musnahkan
delapan benjolan yang ada di keningmu dan semua pengikutmu!
Ha … ha …
ha!”
“Keparat
jahanam! Bagaimana mungkin aku dan yang lain-lain memusnahkan delapan benjolan
yang jadi sumber kesaktian!”Sinuhun Merah Penghisap Arwah memaki dalam hati.
Seolah
mendengar makian Sinuhun Merah, Penguasa Atap Langit membentak.
“Sinuhun,
jangan berani memaki di Negeri Atap Langit. Sekalipun dalam hati!”
Tiba-tiba
saja udara bergetar dan hawa menjadi pengap. Kaget Sinuhun Merah Penghisap
Arwah bukan kepalang. Buru-buru dia berkata.
“Penguasa
Atap Langit, aku mau pergi, harap Pintu Gerbang Atap Langit segera dibuka!”
Saat itu
juga di hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah muncul kembali dinding batu yang
dengan cepat bagian tengahnya bergeser ke kiri dan ke kanan.
Tidak
tunggu lebih lama Sinuhun Merah Penghisap Arwah melesat masuk ke dalam celah.
Di lain kejap dia telah berada lagi di puncak Gunung Semeru.
Namun
kaget Sang Sinuhun bukan alang kepalang ketika memandang berkeliling dapatkan
dirinya telah dikurung beberapa mahluk alam roh.
Mahluk
pertama satu sosok angker karena mulai dari kepala sampai ke kaki tertutup
lapisan batu berlumut berwarna ungu.
“Jambal
Ungu, mengapa kau muncul di sini?”
Sinuhun
Merah menyebut nama si mahluk yang bukan lain adalah Raja Dukun Batu Berlumut.
Seperti diketahui mahluk ini dulunya adalah anak buah Sang Sinuhun yang
kemudian menemui ajal dibunuh oleh Ratu Randang (baca episode sebelumnya
berjudul Dua Nyawa Kembar).
Berpaling
ke kiri Sinuhun Merah Penghisap Arwah jadi tersirap. Satu sosok buntung hanya
berbentuk potongan pinggang dan kaki buntung tertatih-tatih bergerak
mendekatinya.
“Ketua
Jin Seratus Perut Bumi!”Ucap Sinuhun Merah. Tiba-tiba dia merasa ada sambaran
angin di belakangnya. Dengan cepat dia berbalik. Sinuhun Merah terkesiap,
tampang berubah, Dihadapannya, hanya terpisah dalam jarak beberapa langkah
merunduk seekor anjing betina berperut besar pertanda tengah hamil berat.
Sepasang mata menatap menyala.
“Sri
Padmi Kameswari….”Suara Sinuhun Merah terdengar bergetar perlahan.
Anjing
betina angkat kepala lalu meraung panjang. Mengenai riwayat Sri Padmi Kameswari
dapat dibaca kembali pada episode awal berjudul “Malam Jahanam Di Mataram”dan
episode lanjutan “Sepasang Arwah Bisu”
“Kalian
bertiga ada keperluan apa muncul berada di tempat ini!”Sinuhun Merah menegur.
“Hidup di
alam roh lapis kedua tidak tenteram. Kami minta kau mengembalikan kami ke dalam
alam roh lapis kesatu.”Tiga mahluk di hadapan Sinuhun Merah menjawab
berbarengan.
“Apa!
Kalian sudah mati ya sudah! Aku tidak mungkin melakukan apa yang kalian minta!”
“Jika
tidak mungkin maka kami minta rohmu sebagai pengganjal roh kami di alam roh
lapis kedua!”Tiga makhluk kembali bicara secara bersamaan.
“Jangan
bercanda! Kalian tahu tengah berhadapan dengan siapa!”Sinuhun Merah Penghisap
Arwah mengancam. Delapan benjolan di kening pancarkan cahaya benderang.
Untuk
kedua kalinya anjing betina bunting meraung. Kali ini selesai meraung terus
menerjang Sinuhun Merah dengan serangan berupa dua cakaran kaki depan.
Mahluk
buntung Ketua Jin Seratus Perut Bumi dan Raja Dukun Batu Berlumut tidak tinggal
diam. Dua mahluk alam roh yang telah jadi korban keganasan Sinuhun Merah segera
pula menyerbu!
“Mahluk
sesat keparat! Kalian ingin aku benamkan di lapis tanah ke delapan!”
Teriak
Sinuhun Merah Penghisap Arwah marah. Dia siap menyambut serangan lawan dengan
pukulan tangan kiri kanan yaitu Delapan Sukma Merah.
“Sinuhun
Merah! Mengapa harus repot! Biarkan aku yang memberi pelajaran pada tiga mahluk
tidak tahu diri itu!”
Tiba-tiba
ada orang berteriak. Lalu wusss!
Selarik
sinar merah berkiblat disertai suara menggelegar seperti petir menyambar. Hawa
panas menghampar di seantero tempat. Sebagian puncak Gunung Semeru tenggelam dalam
kobaran api. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat menghindar dengan melompat
sampai delapan tombak. Tiga jeritan menggelegar lalu lenyap.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah usap wajah sampai dua kali. Memandang ke
puncak
gunung di arah kiri dia melihat sosok Pangeran Matahari alias Kesatria Roh
Jemputan tegak sambil memegang senjata Lentera Iblis.
“Jahanam
dari alam roh delapan ratus tahun mendatang itu!”Maki Sang Sinuhun. Dia
tiba-tiba muncul di sini. Apa dia sungguhan hendak menolong aku atau punya
maksud tersembunyi sebenarnya hendak menghabisiku!”
“Kesatria
Roh Jemputan! Terima kasih kau telah menolong diriku! Lekas kembali ke Bhumi
Mataram! Pekerjaan besar menunggu!”Sinuhun Merah akhirnya berteriak. Lalu tanpa
menunggu jawaban Pangeran Matahari dia tinggalkan puncak Gunung Semeru.
**********************
LIMA
KEMBALI
ke Ruang Segi Tiga Nyawa di bawah Candi Plaosan Lor. Seperti diceritakan
sebelumnya dalam serial terdahulu berjudul “Delapan Sukma Merah", ketika
berada di halaman Candi Kalasan tiba-tiba ada sinar kuning melesat dari langit.
Sinar melingkari tanah tempat Jaka Pesolek berdiri lalu naik ke atas membungkus
tubuh dan kepala si gadis. Sesaat kemudian tubuh Jaka Pesolek amblas lenyap
masuk ke dalam tanah.
“Ada yang
menculik Jaka Pesolek!”Wiro berteriak kaget. Ini pasti pekerjaan dua Sinuhun
keparat!”Setelah berpesan pada Ratu Randang dan Dewi Ular agar jangan
kemana-mana dan tetap menunggunya di tempat itu Wiro dengan mengandalkan ilmu
baru yang didapat dari kakek sakti Kumara Gandamayana masuk ke dalam tanah
mengejar Jaka Pesolek.
Dugaan
Wiro bahwa Jaka Pesolek diculik oleh dua Sinuhun jahat ternyata keliru. Sesuai
keterangan Jaka Pesolek pada Empu Semirang Biru setelah masuk ke dalam tanah,
dia merasa heran karena dia merasa seperti berada di alam terbuka. Lalu dia
melihat seberkas cahaya kuning disertai gema lonceng di kejauhan. Cahaya kuning
bergerak ke depan. Jaka Pesolek mengikuti hingga akhirnya sampai di Ruang Segi
Tiga Nyawa. Menurut Empu Semirang Biru ternyata Jaka Pesolek telah ditolong
oleh anak sakti Mimba Purana yang dikenal dengan sebutan Satria Lonceng Dewa.
Wiro yang
berusaha mengejar karena kawatir akan keselamatan Jaka Pesolek terpaut jauh
lebih dari tiga puluh tombak di belakang si gadis. Sewaktu sayupsayup dia
mendengar suara lonceng dan bayangan samar cahaya kuning di kejauhan, karena
tidak tahu di arah mana beradanya Jaka Pesolek maka Wiro mengejar ke jurusan
dia mendengar suara lonceng dan melihat cahaya kuning samar.
Di satu
tempat dimana lapisan tanah berubah dari coklat kehitaman menjadi merah
kehitaman Wiro hentikan lari ketika mendadak dia merasa ada sambaran angin dari
arah depan. Dia memperhatikan, astaga! Di hadapannya terlihat satu pemandangan
aneh.
“Satu…dua…tiga…”Wiro
menghitung sampai delapan. Sepasang mata tidak berkesip. “Delapan anak kucing
berbulu merah! Ada benjolan di kening!”Wiro ingat sebelumnya pernah beberapa
kali mendengar suara ngeongan kucing. “Apa binatang-binatang ini yang mengeong?
Dari sikap mereka tampaknya mereka sengaja menghadang jalanku.”
Delapan
anak kucing berbulu merah di dalam lapisan tanah di bawah kawasan Candi Plaosan
Lor duduk mencangkung, berjejer dari kiri ke kanan. Delapan pasang mata
menyorot tak berkedip ke arah Wiro. Perlahan lahan mulut menyeringai
memperlihatkan lidah panjang serta taring runcing. Telinga panjang mencuat ke
atas. Tiba-tiba didahului ngeongan keras, delapan anak kucing merah melompat
menyerbu. Saat itulah Wiro melihat seluruh kuku yang dimiliki delapan anak
kucing itu mencuat keluar menyerupai pisau besar, tajam dan runcing berwarna
merah. Cakar Sukma Merah!
Menghadapi
delapan musuh yang berbentuk manusia atau mahluk jejadian bukan hal yang
menakutkan bagi Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi diserang delapan anak kucing
baru sekali ini dialaminya seumur hidup. Dalam hati ada perasaan tidak tega
untuk menyakiti apa lagi sampai membunuh binatang itu. Hal ini membuat sang
pendekar berlaku ayal. Ketika delapan anak kucing semburkan cahaya merah dari
benjolan di kening masing-masing, Wiro tersentak kaget.
Pandangan
matanya silau. Selagi dia berusaha melompat mundur, lima cakaran menyambar.
“Brett!
Brettt!”
Beberapa
sambaran Cakar Sukma Merah berhasil dihindari Wiro walau bajunya robek-robek.
Ketika delapan cahaya merah kembali melesat dari benjolan di kening delapan
anak kucing, dua sambaran Cakar Sukma Merah menyerempet dada, tiga menggores
wajah!
Walau
cuma luka berbentuk goresan namun racun yang dikandung benar-benar jahat. Saat
itu juga Wiro merasa aliran darahnya menjadi panas, pemandangan menggelap dan
dua kaki goyah lemas. Dengan langkah terhuyung-huyung dia coba berjalan ke arah
cahaya, terang kemerahan jauh di depan sana. Namun delapan anak kucing kembali
melancarkan serangan.
Wiro
membentak keras. Tangan kanan didekatkan ke muka, telapak dikembang lalu dia
meniup. Kejapan itu juga, di atas telapak tangan kanan terpampang gambar kepala
harimau putih bermata, hijau. Ketika, Wiro menghantarkan tangan Kanan ke arah
delapan kucing yang menyerang, didahului suara auman harimau selarik sinar
putih disertai dua jalur sinar hijau menderu keras. Seantero tempat bergeletar.
Tanah berguguran.
“Ngeonggg!”
Tiga ekor
anak kucing terpental ke alas lalu jatuh terkapar di tanah. Anehnya mereka
tidak kelihatan cidera. Hanya sepasang mata tampak mengeluarkan cairan merah
dan bulu mereka yang semula merah terang kini berubah menjadi merah gelap
kehitaman. Namun demikian ketiga, binatang ini hanya mampu gerakkan kepala
sedikit, mengeong pendek, megap-megap lalu melosoh tak berkutik.
Melihat
apa yang terjadi dengan tiga kawan mereka, lima anak kucing lainnya mengeong
keras lalu tiga diantaranya dengan cepat melompat dan menggigit kuduk tiga
teman mereka yang cidera. Ketika Wiro memandang berkeliling dan siap hendak
melepas lagi Pukulan Harimau Dewa semua anak kucing tak ada lagi di tempat itu
“Celaka,
apa yang terjadi dengan diriku. Tubuhku panas, kakiku lemas. Ada racun ganas
dalam tubuhku…”Meski pandangan matanya mulai samar namun Wiro masih bisa
melihat sinar terang merah di kejauhan. Yang dilihatnya itu adalah Ruang Segi
Tiga Nyawa dimana Ratu Randang, Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi
berada bersama Empu Semirang Biru. Wiro merasa heran. Kapak Naga Geni 212 yang
ada dalam tubuhnya serta hawa sakti yang seharusnya mampu menumpas racun di
dalam tubuhnya sepertinya tidak bekerja.
Dengan
gerakan kaku dan berat Wiro totok beberapa bagian tubuhnya. Lalu terhuyung-huyung
dia melangkah ke arah cahaya merah terang. Dia merasa seperti berjalan di gurun
pasir dimana matahari seolah berada satu jengkal di atas kepala dan kaki
laksana dipanggang. Ketika akhirnya dia berhasil mencapai cahaya merah terang
dan masuk ke Ruang Segi Tiga Nyawa, Wiro langsung roboh di lantai ruangan.
Tenaganya terkuras habis. Tubuh basah oleh keringat bercampur darah yang keluar
dari guratan luka di wajah dan dada.
Ratu
Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri yang ada dalam ruangan terpekik keras.
Jaka Pesolek langsung menubruk dan memeluk tubuh Wiro.
Ketika
semua orang berusaha mencari jalan untuk menolong Wiro dan Jaka Pesolek serta
Sakuntaladewi sama-sama bertekad untuk mencari Embah Buyut Kumara Gandamayana,
tiba-tiba saja orang tua sakti itu muncul dan terlihat di luar Ruang Segi Tiga
Nyawa.
“Kenapa
mempersusah diri jauh-jauh mencariku! Aku sudah berada di dekat kalian. Bawalah
pemuda malang berambut panjang itu ke hadapanku. Akan aku obati dan pasti
sembuh. Semoga Para Dewa menolong dan memberi berkat.”
Begitu si
orang tua berkata dari luar Ruang Segi Tiga Nyawa.
Ketika
digotong, dalam keadaan setengah sadar Pendekar 212 Wiro Sableng berusaha
membuka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Walau agak samar namun pandangan
matanya ia langsung membentur sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu di luar
Ruang Segi Tiga Nyawa. Otaknya masih bisa bekerja.
Mendadak
saja dia ingat peristiwa Raja Mataram jejadian yang muncul di Candi Kalasan.
Kali ini dia juga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Wiro kedipkan perlahan
kedua matanya. Karena ilmu kesaktian yang hendak dikeluarkan tidak membutuhkan
banyak kekuatan tenaga dalam dia masih mampu menerapkan ilmu menembus Pandang.
Mendadak
saja Wiro menjadi tegang. Di dalam sosok kakek bersorban dan berjubah kelabu
dia melihat sosok seorang lain. Memandang menyeringai angker ke arahnya,
memperlihatkan taring merah di sudut mulut!
“Gusti
Allah “Wiro mengucap. Dia berusaha melepaskan diri dari pegangan ke empat orang
yang menggotongnya namun tidak punya kekuatan. Sesaat kemudian tubuhnya sudah
berada di luar Ruang Segi Tiga Nyawa, lalu didudukkan orang di tanah.
“Eyang
Sinto, mengapa jadi begini. Mengapa Eyang …”
Melihat
raut wajah serta ucapan Wiro yang aneh, Kunti Ambiri bertanya.
“Wiro,
kau bicara dengan siapa?!”
**********************
ENAM
WIRO
menatap lekat-lekat ke arah orang tua di depannya. Mulut berucap perlahan
karena dada mulai terasa sesak.
“Ka …
kakek itu Dalam tubuhnya ada ….”
Belum
sempat Wiro menyelesaikan ucapan tiba-tiba orang tua bersorban dan berjubah
kelabu melompat ke hadapan Wiro. Namun yang bergerak ke depan ternyata hanyalah
pakaian yang melekat di tubuhnya yaitu sorban kelabu, jubah kelabu dan kasut
putih. Begitu seluruh pakaian tanggal, tubuhnya lenyap berubah jadi asap merah.
Lalu dari balik kepulan asap menyelinap keluar satu sosok tinggi kurus dan
hitam berambut putih jarang riap-riapan.
Di mata
Wiro, sosok itu adalah sosok gurunya Eyang Sinto Gendeng dalam ujud asli yaitu
seorang nenek berkulit hitam kurus, wajah seperti tengkorak hidup karena hanya
dilapisi kulit hitam tipis, batok kepala dihias empat tusuk konde perak.
Pakaian lurik dan kain panjang hitam. Tubuh dan pakaian menebar bau pesing.
Mulut pencong ke kanan dan ke kiri karena mengunyah susur. Namun ada kelainan
pada mulut sang guru. Yaitu pada dua sudut mulut mencuat caling panjang runcing
berwarna merah! Lalu di atas kening tampak delapan benjolan yang juga berwarna
merah.
Rambut
putih jarang riap-riapan berjingkrak di atas kepala di antara empat tusuk konde
perak. Ketika si nenek menyeringai dan mengangkat dua tangannya, astaga! Wiro
melihat delapan jari Eyang Sinto telah berubah berbentuk delapan pisau tajam
warna merah. Jari tengah dilipat ke belakang.
Wiro tahu
kalau Eyang Sinto selama ini berada di bawah kekuasaan Sinuhun Merah Penghisap
Arwah dan otaknya telah dirasuki apa yang disebut ilmu hitam Delapan Jalur
Arwah Pencuci Otak Tapi dia benar-benar terkejut dan tidak menyangka begitu
melihat keadaan sang guru yang seperti itu.
“Guru!
Eyang… apa yang terjadi denganmu Eyang!”
Sinto
Gendeng menyeringai. Lidah menjulur merah. Dua caling mencuat tambah panjang.
Ketika nenek ini mengeluarkan suara, suaranya bukan suara manusia, tapi
merupakan ngeong kucing yang keras menakutkan!
“Ya
Tuhan!”Wiro kembali mengucap.
Kalau
Wiro melihat sosok gurunya seperti itu, demikian juga yang disaksikan oleh
Kunti Ambiri. Namun Jaka Pesolek, Ratu Randang dan Sakuntaladewi serta Empu
Semirang Biru yang masih berada dalam Ruang Segi Tiga Nyawa yaitu semua orang
yang berasal dari Bhumi Mataram melihat si nenek sebagai seorang gadis cantik
bertubuh molek dan tubuh serta pakaian menebar bau wangi, bukan bau pesing!
“Wiro,
hati-hati …. Waktu di Bukit Batu Hangus, gurumu hendak membunuhmu!” Ratu
Randang memperingatkan. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi berjaga waspada.
Dari
dalam Ruang Segi Tiga Nyawa Empu Semirang Biru yang sudah melihat gelagat tidak
baik berteriak keras.
“Lekas
bawa masuk pemuda itu kembali ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa!”
Kunti
Ambiri can tiga orang lainnya tersentak lalu cepat bergerak menggotong Wiro
kembali. Namun terlambat!
Delapan
cahaya merah menyembur dari delapan benjolan di kening Sinto Gendeng. Ketika
semua orang tersurut kesilauan sosok Sinto Gendeng melesat ke depan. Delapan
jari berbentuk pisau berkelebat.
“Dess!”
“Reetttt!”
Ratu
Randang menjerit keras. Kunti Ambiri berteriak. Jaka Pesolek tertegun dengan
wajah pucat dan mulut terkancing. Hanya Sakuntaladewi yang bisa menguasai diri
walau berada dalam keadaan sangat tegang.
Semua
terjadi dengan sangat cepat. Disaksikan sekian banyak pasang mata yang
terkesiap nyaris tak percaya, delapan jari tangan Sinto Gendeng yang menyerupai
pisau menggurat di tubuh Wiro mulai dari dada sampai ke pertengahan perut. Tak
ada darah mengucur. Yang terlihat tubuh Wiro terkuak mengerikan demikian rupa
di sebelah dada dan perut lalu dua tangan Sinto Gendeng amblas masuk ke dalam
tubuh sang murid. Pada saat keluar lagi salah satu tangan memegang sebuah benda
bersinar putih berkilau yang bukan lain adalah Kapak Maut Naga Geni 212 yang
selama ini memang berada di dalam badan sang pendekar yaitu sejak Kiai Gede
Tapa Pamungkas memasukkan senjata sakti mandraguna itu ke dalam tubuhnya.
“Edan!
Orang tua itu merampas Kapak Naga Geni Dua Satu Dua! Teriak Kunti Ambiri.
Selama di alam delapan ratus tahun mendatang dia tahu banyak kesaktian dan
riwayat senjata ini.
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. Mulut mengeluarkan suara mengeong.
Tangan
kanan yang memegang kapak sakti dibabatkan setengah lingkaran.
“Wusss!”
Cahaya
putih berkiblat disertai suara seperti ribuan tawon mendengung mengamuk. Hawa
panas menghampar. Ruangan Segi Tiga Nyawa bergetar.
Beberapa
bagian dinding tanah merah berguguran. Kunti Ambiri dan tiga orang lainnya
cepat jatuhkan diri di tanah. Di dalam ruangan Empu Semirang Biru terduduk
pucat, dia kirimkan serangan berupa tiupan ke arah Sinto Gendeng yang
dilihatnya sebagai seorang gadis cantik. Namun jarak terlalu jauh. Selain itu
dinding Ruang Segi Tiga Nyawa ikut menjadi penghalang.
Ketika
semua orang di luar ruangan bangkit berdiri kembali, Sinto Gendeng bersama
Kapak Naga Geni 212 telah raib. Wiro terbaring tak bergerak dengan baju robek
tersingkap dan di tubuh terlihat ada guratan memanjang seperti luka bertaut
yang baru sembuh.
Ratu
Randang dan Kunti Ambiri berusaha mengejar Sinto Gendeng namun dicegah oleh
Empu Semirang Biru.
“Jangan
dikejar. Kita semua telah tertipu. Yang datang tadi arwah jejadian Embah Buyut
Kumara Gandamayana. Sosoknya telah disusupi mahluk lain berujud gadis cantik.
Semua ini jelas pekerjaan dua Sinuhun dibantu anak bernama Dirga Purana.”
“Gadis
tadi adalah guru pemuda ini.”Menerangkan Ratu Randang yang membuat Empu
Semirang Biru terheran heran.
Kening
Empu Semirang Biru mengerenyit, alis mencuat ke atas.
“Bagaimana
mungkin guru semuda usia muridnya?” Ucapnya. Namun kemudian melanjutkan. “Tapi
sudahlah! Di Bhumi Mataram semakin banyak keanehan dan kita semua mungkin akan
mati dalam keanehan itu!”
“Empu,
aku tidak bisa membiarkan orang mencuri senjata milik sahabatku ini.
Aku harus
mengejar dan dapatkan senjata itu kembali.”Berkata Kunti Ambiri.
“Aku
tetap melarang. Tapi terserah padamu.”Empu Semirang Biru menjawab.
“Kami
bertiga juga akan ikut mengejar!”Kata Sakuntaladewi pula.
“Lalu
siapa yang akan menolong pemuda itu? Lalu siapa yang akan menyelamatkan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi yang masih menancap di atas sana?”
Hanya
Kunti Ambiri yang tidak perdulikan ucapan Sang Empu. Sebelum pergi dia mendekati
Sakuntaladewi dan Ratu Randang serta Jaka pesolek lalu berkata setengah
berbisik.
“Diantara
kita harus ada yang tahu dimana guru pemuda itu berada dan kemana Kapak Naga
Geni Dua Satu Dua dibawa. Kalau senjata itu tidak bisa dirampas, tunggu saja
riwayat senjata makan tuan! Bukan hanya Wiro yang bakal menemui ajal, tapi kita
semua bakal dibantai oleh dua Sinuhun!”
Ratu
Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek terdiam. Kunti Ambiri meneruskan
ucapan.
“Nek
Ratu, aku akan menyerahkan delapan Bunga Matahari kecil padamu.
Berikan
pada Wiro jika dia sudah siuman….”
“Bagaimana
kalau dia tidak pernah siuman tapi malah mati akibat racun jahat?!”Kata Jaka
Pesolek polos-polos saja. Gadis ini langsung bungkam ketika Kunti Ambiri, Ratu
Randang dan Sakuntaladewi delikkan mata menatap ke arahnya.
Kunti
Ambiri lanjutkan kata katanya. “Nek, jangan lupa menyampaikan pesan Nyi Loro
Jonggrang pada Wiro. Aku pergi sekarang.”
Lalu
gadis cantik alam roh ini keluarkan delapan Bunga Matahari kecil dari balik
pakaian hijaunya dan diserahkan pada Ratu Randang. Ketika dia. hendak melesat
ke atas, siap untuk pergi tiba-tiba Ratu Randang memeluknya erat-erat.
“Nek, kau
ini mengapa memelukku segala?”Tanya Kunti Ambiri.
“Ssttt,
jangan bicara. Dengar, aku tahu kau punya ilmu bernama membalik Mata Menipu
Pandong….”
Kunti
Ambiri terkejut.
“Eh Nek,
dari mana kau tahu….”
“Wiro
yang menceritakan. Katanya kau gadis hebat. Dengan ilmu itu katanya dulu kaul
menyelamatkan diri sewaktu hendak dibunuh Wiro…”
“Lalu apa
sangkut pautnya dengan kau memelukku saat ini?”Tanya Kunti Ambiri.
“Aku akan
menambah kehebatan ilmu itu. Hingga kau bisa merubah diri menjadi mahluk hidup
apa saja agar selamat dari segala macam maksud jahat mahluk lain.”Menjelaskan
Ratu Randang.
“Tetapi
aku tidak mau sepertimu. Berubah jadi anjing lalu diperkosa …….”
“Hik …
hik … hik!”Si nenek tertawa. “Kita sudah bersahabat. Aku tak ingin sahabatku
kena celaka. Dua Sinuhun dan bocah bernama Dirga Purana itu banyak akalnya.
Semua akal, serba jahat dan licik. Apa lagi mereka dibantu pula oleh Kesatria
Roh Jemputan. Yang menurut Wiro dijuluki sebagai Pangeran Segala Cerdik, Segala
Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak…”
“Nek, aku
tidak mengira kau banyak mendapat cerita dari Wiro.”
“Sssttt
…. Bukan hanya cerita. Ciuman juga banyak!”Jawab Ratu Randang lalu tertawa
cekikikan dan merangkul tubuh Kunti Ambiri lebih kencang. Saat itu juga gadis
alam roh ini merasa ada hawa dingin masuk ke dalam tubuhnya melalui ubun-ubun
dan kedua telapak kaki. “Kau tinggal menyebut nama mahluk hidup yang kau
inginkan. Setelah mahluk hidup itu terujud, tubuh kasarmu akan pindah ke tempat
lain.”
“Terima
kasih Nek. Biar kucium dulu dadamu yang besar montok!”Kata Kunti Ambiri pula,
Lalu hidungnya disusupkan ke balik dada pakaian Ratu Randang hingga si nenek terpekik,
menggeliat kegelian.
“Kalian
semua! Lekas gotong pemuda itu dan cepat masuk kembali ke sini!”
Tiba-tiba
Empu Semirang Biru berseru. “Aku kawatir delapan ekor anak kucing merah masih
berada di luar sana.”
Ratu
Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek segera mengangkat Wiro dan masuk
kembali ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.
**********************
TUJUH
DI DALAM
Ruang Segi Tiga Nyawa, Wiro dibaringkan di lantai, dua langkah di depan Empu
Semirang Biru yang berada dalam keadaan terikat rantai merah yang disebut
Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Ratu Randang tegak di samping Jaka Pesolek dan
Sakuntaladewi, memegang delapan Bunga Matahari kecil di tangan kanan.
“Ratu
Randang, ketika kau terkena racun Cakar Sukma Merah, Embah Buyut Kumara
Gandamayana menolongmu. Jika kau masih ingat cara orang tua gaib itu
menyelamatkanmu, sebaiknya segera kau cobakan pada pemuda itu.”Berkata
Sakuntaladewi.
Ratu
Randang rapikan dada pakaiannya yang tersingkap akibat ciuman Kunti Ambiri tadi
lalu menjawab.
“Waktu
itu Embah Buyut menotok ubun-ubunku lalu meremas tanganku yang luka hingga
darah mengandung racun mengucur keluar. Setelah darah berhenti mengucur dia
menotok dada kiriku.”
“Ditotok
atau diusap Nek?”Bisik Jaka Pesolek. Gadis yang punya ilmu hebat menangkap
petir ini langsung menjerit ketik perutnya disambar cubitan Ratu Randang.
Sakuntaladewi
menegur. “Sahabatku Jaka Pesolek, sekarang bukan saatnya bergurau!”
Jaka
Pesolek senyum cengengesan dan membungkuk-bungkuk sambil berkata.
“Maafkan
aku … maafkan aku.”Lalu mulut ditepuk-tepuk.
Empu
Semirang Biru cepat menengahi.
“Ratu,
kau tahu semua apa yang dilakukan Embah Buyut. Apakah kau bisa menolong pemuda
itu dengan cara yang sama?”
“Aku bisa
saja melakukan seperti cara Embah Buyut. Tapi tingkat ilmuku tidak setinggi
orang tua itu.
Selain
itu menurut Embah Buyut, orang yang kena racun Cakar Sukma Merah baru bisa
diberi pertolongan kalau tubuhnya dibawa masuk delapan tombak ke dalam tanah.
Nah, ini yang tidak bisa aku lakukan. Bagaimana mengukur dan menghitung masuk
ke dalam tanah sejauh delapan tombak.”
Ruang
Segi Tiga Nyawa menjadi sunyi karena semua orang jadi terdiam. Ratu Randang
memperhatikan sosok Wiro dengan perasaan sedih sambil masih terus memegangi
delapan Bunga Matahari kecil. Sakuntaladewi tampak sangat tegang hingga
wajahnya pucat. Jaka Pesolek unjukkan air muka berubah ketika si nenek
dilihatnya mengusap-usap delapan Bunga Matahari sambil melangkah mendekati Wiro
dan berlutut di samping sosok sang pendekar. Delapan Bunga Matahari terus
diusap, sesekali dicium.
“Nek, apa
yang ada dalam benakmu?”Jaka Pesolek bertanya. Tengkuknya mendadak saja dingin
tapi dada bergetar.
“Sttt,
diam saja. Aku tengah berpikir.”
“Kalau
kau berpikir mau mengobati pemuda ini dengan cara mengusapkan delapan Bunga
Matahari kecil … Apa kau tidak kawatir kejadian yang lalu akan terulang
kembali? Kau lupa apa yang terjadi dengan kita? Bagaimana kalau Wiro bukannya
sembuh tapi malah celaka lagi seperti yang kita alami. Dirasuk hawa tidak
karuan rasa…”
“Memangnya
aku mau mengusap apanya?”Tukas Ratu Randang sambil delikkan mata pada Jaka
Pesolek. Lalu nenek cantik ini pejamkan mata dan menarik nafas panjang beberapa
kali. Kemudian dia berkata.
“Waktu
itu aku memang bertindak konyol ceroboh. Sekarang tidak akan aku ulangi.
Delapan bunga ini bunga sakti! Berasal dari sekuntum Bunga Matahari besar. Yang
melalui tangan Nyi Loro Jonggrang dirobah menjadi delapan bunga kecil. Kita
hanya berusaha. Lebih baik melakukan sesuatu dari pada diam saja.
Mudah-mudahan
Yang Maha Kuasa memberkati. Kalian berdua mengapa tidak segera berdoa agar
sahabat kita ini bisa selamat?”
“Nek…”Sakuntaladewi
berkata.
Ratu
Randang tidak menjawab. Sepasang mata dibuka kembali. Delapan Bunga Matahari
kecil didekatkan ke ubun-ubun Wiro lalu diletakkan di atas kening. Dalam hati
dia berdoa memohon pertolongan Yang Maha Kuasa.
Perlahan-lahan
delapan bunga diusap ke wajah yang ada goresan tiga luka.
Usapan
diteruskan ke dada dimana terdapat dua goresan luka.
Gerakan
tangan Ratu Randang berhenti sesaat.
Sepasang
mata menatap bekas luka memanjang mulai dari dada sampai ke perut. Yaitu bekas
dua tangan Sinto Gendeng merobek perut dan mengambil Kapak Naga Geni 212.
Setelah menarik nafas dalam nenek ini gerakkan tangan kanan yang memegang
delapan Bunga Matahari kecil. Delapan bunga menyentuh bekas luka di perut.
Ketika delapan bunga bergerak mendekati pusar, Jaka Pesolek tidak tenang lagi.
Cepat dia ulurkan tangan, memegang lengan si nenek.
“Cukup
sampai di situ Nek. Aku tidak mau terjadi hal yang macam-macam.
Kau
mungkin sudah kapok berbuat konyol. Tapi kalau kebetulan ada setan lewat lalu
mengusilimu?! Kalau Yang Maha Kuasa menakdirkan sahabat kita ini sembuh maka
dia akan sembuh. Kalau tidak, jangan ditambah penderitaannya.”
“Jaka
Pesolek benar Nek,”Kata Sakuntaladewi yang berdiri di samping kiri Ratu
Randang. Gadis berkaki tunggal yang punya kaul akan mengambil Wiro jadi
suaminya ulurkan tangan untuk mengambil delapan Bunga Matahari kecil dari
tangan si nenek.
Pada saat
itulah mendadak Ruang Segi Tiga Nyawa bergoyang keras. Atap laksana mau runtuh.
Lantai seperti hendak amblas dan tiga sisi dinding seolah akan roboh! Ratu
Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi berusaha mengimbangi diri agar tidak
jatuh terbanting. Namun tetap saja mereka terhuyung keras lalu braakk!
Ketiganya jatuh tergeletak di lantai ruangan. Empu Semirang Biru meniup
berulang kali, menghimpun tenaga agar tidak terguling. Goncangan yang begitu
keras membuat orang tua ini hampir tersandar ke salah satu dinding ruangan,
dada turun naik, nafas terengah. Anehnya sosok Wiro yang terbaring di lantai
sedikitpun tidak bergerak atau beranjak.
Di
sebelah atas. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang menancap di atap bergetar keras
membersitkan tujuh cahaya pelangi. Sedikit demi sedikit bagian gagang yang
menancap di atas bergerak ke bawah. Ada kekuatan aneh seperti menarik senjata
ini agar lepas dari atap ruangan! Namun kekuatan yang menahan keris agar tetap
berada di tempatnya tak kalah hebat! Akibatnya badan keris bergetar keras dan
atap ruangan ikut bergoyang!
Tiba-tiba
di atas atap terdengar suara ngeongan kucing disusul suara cakaran berulang.
kali. Wajah Empu Semirang Biru berubah.
“Ada
mahluk coba menerobos masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.”Sang Empu membatin.
Lalu dia berdoa. “Hyang Jagat Bathara, lindungi ruangan yang telah Kau ciptakan
untuk keselamatan ini. Lindungi keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Lindungi
kami semua yang ada di sini.”
Tiba-tiba
selarik sinar kuning memancar di atas atap lalu lenyap, goyangan yang
mengguncang ruangan berhenti. Suara ngeongan dan cakaran kucing menggelegar
lalu sirna. Suasana di Ruang Segi Tiga Nyawa berubah sunyi laksana di
pekuburan.
Ratu
Randang yang pertama kali berdiri. Nenek cantik ini menjerit keras ketika dia
memandang ke arah sosok Pendekar 212.
“Nek! Ada
apa?! Tanya Sakuntaladewi yang segera pula berdiri disusul oleh Jaka Pesolek
sementara Empu Semirang Biru yang masih tersandar di dinding memperhatikan dari
sudut ruangan, berusaha agar bisa duduk bersila kembali di lantai. Setelah
meniup dua kali orang tua ini akhirnya mampu menggerakkan tubuh dari dinding
dan duduk bersila di lantai seperti sebelumnya.
Ratu
Randang tidak berani terus memandang. Dia membalikkan tubuh seraya berkata.
“Kasihan. Hyang Jagatnatha! Mohon ampunMu! Aku tidak bisa menolongnya.”Si nenek
tutup wajah dengan tangan kiri sambil menahan isak.
Kepala
disandarkan ke dinding.
Sakuntaladewi
dan Jaka Pesolek berpaling ke arah sosok Wiro. Keduanya sama-sama keluarkan
seruan kaget. Saat itu Wiro terbujur tak bergerak. Dari ubun-ubun, liang
telinga, dua lobang hidung, sudut mata serta mulut mengucur darah merah
kehitaman. Wajahnya sepucat mayat. Walau takut namun Jaka Pesolek beranikan
diri mendekati Wiro. Ketika dia memegang tangan sang pendekar, gadis ini
terpekik, Tangan itu terasa dingin! Jaka Pesolek bersurut mundur, berpaling dan
memandang ke arah Ratu Randang.
“Sang
Hyang Widhi! Sudah takdir bagiku akan menerima azab cacat seumur hidup! Wahai
Para Dewa di Kahyangan, mengapa tidak sekalian nyawaku diambil
juga.”Sakuntaladewi meratap. Tubuhnya yang terasa lemas perlahan-lahan terkulai
berlutut di lantai. Kepala tertunduk.
“Aku
belum sempat belajar ilmu membuat petir padanya, kini dia sudah tiada….”Jaka
Pesolek sesunggukan dan tekap wajah dengan dua tangan sambil sandarkan tubuh ke
badan Ratu Randang.
Di sudut
ruangan Empu Semirang Biru berkata. “Hidup dan mati seorang insan hanya Yang
Maha Kuasa yang menentukan. Apa yang sudah jadi takdir-Nya tidak seorangpun
bisa menolak. Kita semua harus bersyukur.”
“Empu
teganya kau berkata begitu!”Ratu Randang berteriak tapi masih terus
menyandarkan kening ke dinding ruangan. “Kau ajak kami mensyukuri kematian
seorang sahabat. Seorang Kesatria yang diharapkan bisa menyelamatkan Bhumi
Mataram!”
“Kalian
dari tadi memalingkan wajah, memejamkan mata dan menundukkan kepala hingga
tidak melihat apa yang terjadi. Angkat kepala kalian.
Memandanglah
ke arah pemuda itu. Yang Maha Kuasa telah memberikan rakhmat luar biasa berupa
kehidupan, bukan kematian!”
Walau
Empu Semirang Biru bicara penuh semangat namun air mukanya terlihat tidak
gembira.
“Orang
tua ngacok!”Ucap Jaka Pesolek. “Darah keluar dari mana-mana, dada tidak
bergerak. Tubuh sudah dingin kaku. Kau masih bisa bilang bukan kematian!”
**********************
DELAPAN
TIBA-TIBA
dalam ruangan ada suara orang batuk. Sakuntaladewi angkat kepala. Ratu Randang
dan Jaka Pesolek sama berpaling. Ketiganya memandang ke tengah ruangan dimana
saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tengah berusaha bangun dan duduk di
lantai. Walau mulut menyemburkan darah ketika batuk namun darah yang sebelumnya
keluar dari ubun-ubun, hidung, mata dan telinga telah berhenti mengucur.
Guratan luka di wajah, dada dan di tubuh yaitu luka memanjang sampai ke perut
lenyap tak berbekas.
“Wiro!”
Ketiga
orang itu sama sama menjerit. Empu Semirang Biru mengusap dada, mata dipejam.
Sulit diduga bagaimana perasaannya saat itu.
Sakuntaladewi
keluarkan sehelai sapu tangan jingga. Jaka Pesolek tahu apa yang hendak
dilakukan gadis berkaki satu itu. Cepat dia mengambil sapu tangan jingga seraya
berkata. “Sahabat, biar aku yang membersihkan noda darah di kepala dan wajah
kekasihmu itu!”
Untuk
beberapa lama Sakuntaladewi tertegun tak bergerak serasa masih tak percaya
sebelum akhirnya dia kembali berteriak menyebut nama Wiro, terisak isak lalu
memeluk sang pendekar.
Ratu
Randang berdiri menatap tak berkesip ke arah Wiro lalu perhatikan delapan Bunga
Matahari kecil di tangan kanannya.
“Bunga
Matahari …. Apakah delapan bunga sakti ini yang memberikan kesembuhan pada
Wiro?” Si nenek bertanya-tanya dalam hati lalu berlutut di samping Jaka Pesolek
yang sibuk membersihkan noda darah. “Wiro, apa yang telah terjadi dengan
dirimu. Kau tadi …. kau tadi sepertinya sudah tidak bernafas, tahu-tahu hidup
lagi.”
“Sahabat
bertiga, aku melihat mata kalian pada merah tanda habis menangis.
Apa betul
aku tadi sudah mati? Aku jadi bingung. Kalau begitu saat ini aku sebenarnya
sudah jadi hantu!” Wiro keluarkan ucapan yang membuat sernua orang terperangah
walau dia berkata dengan senyum-senyum dan sambil menggaruk kepala. Dia
tambahkan candanya sambil memandang ke bawah. “Ah, aku belum jadi hantu.
Buktinya aku berdiri, dua kaki masih menjejak lantai. Ha … ha…ha!”
“Anak
muda Kesatria Panggilan.” Empu Semirang Biru menegur. “Sebaiknya kita saling
memberi penjelasan. Kau memberi tahu apa yang terjadi dengan dirimu sebelumnya
dan kami akan menceritakan apa yang terjadi dengan dirimu di Ruang Segi Tiga
Nyawa ini. Setelah itu kita akan melakukan satu pekerjaan besar.”
“Pekerjaan
apa, Kek?” Tanya Wiro setelah terlebih dulu membungkuk, memberi hormat. Dia
heran melihat keadaan si kakek yang dibelit rantai merah.
Empu
Semirang Biru menatap ke atas atap ruangan.. “Mengambil dan menyelamatkan Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada di atas sana.”
Wiro
mendongak, memandang ke atas atap ruangan. Dari cahaya yang memancar
mengelilingi tubuh keris yang berluk sembilan itu dia sudah bisa mengetahui
kalau senjata tersebut merupakan satu senjata sakti mandraguna.
Empu
Semirang Biru lalu menuturkan secara singkat, riwayat senjata yang dibuatnya
atas perintah Raja Mataram itu. Termasuk petir yang menyambar dari keris jika
ada orang mendekati untuk mengambilnya.
“Hanya
gadis bernama Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi yang sanggup mengambil senjata
bertuah itu. Itu sebabnya Para Dewa telah mengatur hingga keduanya berada di
tempat ini.”
“Kek,
turut bicaramu ruang ini bernama Ruang Segi Tiga Nyawa. Para Dewa yang
menciptakan untuk melindungi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Kalau keris itu
diambil lalu siapa yang menyimpannya? Akan dibawa ke Kotaraja untuk diserahkan
pada Raja Mataram? Bukankah terlalu berbahaya bila keris berada di luaran sana
dimana dua Sinuhun dan anak buahnya berkeliaran? Bukankah ruangan ini lebih
memberi perlindungan pada senjata tersebut?”
“Kau
benar anak muda. Tapi bagaimana kalau dua Sinuhun dengan bantuan bocah sakti
bernama Dirga Purana suatu ketika mampu menembus atap atau dinding ruangan,
atau menjebol lantai. Masuk ke dalam ruangan dan mengambil keris.”
“Mahluk
yang akan mengambil akan hancur musnah dihantam petir yang keluar dari keris.
Bukan begitu menurut cerita Empu?”
“Bukan
cuma cerita, tapi kenyataan.” Kata Sakuntaladewi pula. Lalu gadis ini
menceritakan apa yang terjadi ketika dia mencoba mengambil keris sakti. Kepada
Wiro diperlihatkannya pakaiannya yang hangus disambar kilatan petir yang keluar
dari keris sakti. Lalu Sakuntaladewi juga menerangkan sewaktu Dewi Ular alias
Kunti Ambiri pergunakan sepuluh ular jejadian untuk mengambil keris. Sepuluh
binatang itu musnah!
“Aku juga
menaruh kawatir,” kataEmpu Semirang Biru pula. ”Mungkin saja dua Sinuhun atau
mahluk utusannya sudah membekal ilmu penangkal mementahkan serangan petir.
Keris sakti itu merupakan satu satunya senjata yang bisa mengembalikan
Sakuntaladewi pada ujud aslinya, seorang gadis berkaki dua.
Tentunya
setelah kau lebih dulu bersedia dijadikan suaminya. Lalu keris itu pula
satu-satunya senjata saat ini yang bisa memutus rantai besi merah yang melibat
sekujur tubuhku.”
Wiro
terdiam, menggaruk kepala. Ucapan sang Empu bahwa kemungkinan Sinuhun Merah
telah punya ilmu penangkal dan keris sakti merupakan satu satunya senjata yang
bisa melenyapkan cacat di kaki Sakuntaladewi bisa diterimanya. Tapi kalau keris
sampai dikeluarkan dari ruang perlindungan, ini yang tidak masuk jalan
pikirannya.
“Waktu
kita semakin sempit. Anak muda, harap kau mau memberi tahu apa yang terjadi
dengan dirimu sebelumnya.” Kata Empu Semirang Biru pula.
Wiro lalu
menceritakan kejadian ketika dia tengah mengejar Jaka Pesolek masuk ke dalam
tanah mendadak dihadang delapan ekor anak kucing berbulu merah.
“Delapan
Sukma Merah,” kata Empu Semirang Biru. “Kesatria Panggilan, aku sudah menduga
kalau binatang peliharaan bocah bernama Dirga Purana itu yang menyerangmu.”
Ratu
Randang lalu menuturkan bagaimana sebelumnya ketika berada di Candi Kalasan dia
telah diserang dan hampir dibantai delapan ekor anak kucing itu.
Namun
bisa selamat karena ditolong oleh seorang, kakek sakti dari alam gaib yang
menurut Empu Semirang Biru adalah Embah Buyut Kumara Gandamayana.
“Apakah
kakek itu juga yang telah menyelamatkan diriku?” Wiro bertanya.
“Tiga
sahabatmu itu yang telah menolongmu,”jawab Empu Semirang Biru.
Wiro
berpaling, menatap pada tiga orang yang berada di depannya lalu berkata.
“Kalau
begitu aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian bertiga!” Wiro lalu
memeluk satu persatu Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek.
Jaka
Pesolek pergunakan kesempatan untuk balas merangkul Wiro berlamalama.
Tersipu-sipu
dia baru melepas pelukan setelah Ratu Randang menarik tangannya. Sakuntaladewi
mengambil kembali sapu tangannya yang tadi dipergunakan membersihkan darah di
kepala, wajah serta dada Wiro lalu disimpan di balik pakaian.
“Wiro,
aku yakin kesaktian delapan BungaMatahari kecil ini yang telah menyembuhkan
dirimu. Kau ingat peristiwa ketika Nyi Loro Jonggrang memberikan sekuntum Bunga
Matahari besar padamu? Bunga yang delapan ini berasal dari yang besar itu. Kami
menerima amanat dari Nyi Roro Jonggrang.
Bunga ini
harus diserahkan padamu.” RatuRandang dengan cepat susupkan delapan Bunga
Matahari kecil ke pinggang Wiro. “Ada pesan dari Nyi Loro …”
“Nek,
tunggu dulu,” Wiro memotong ucapan RatuRandang. “Ketika berada di luar ruangan
aku melihat Kunti Ambiri ada di sini…”
“Gadis
itu pergi mengejar gurumu yang telahmengambil senjata berbentuk kapak yang ada
dalam tubuhmu.”
Wiro
tersentak kaget. Dia baru sadar dan ingat. Ketika digotong menemui kakek bersorban
dan berjubah kelabu, di dalam tubuh si kakek samar-samar dia melihat sosok
Eyang Sinto Gendeng. Setelah itu ada delapan cahaya merah menyilaukan menyambar
ke arahnya dan dia tidak ingat apa-apa lagi.
Wiro
usapkan dua tangan ke dada, lalu berucap gemetar. Dia tidak merasa ada hawa
hangat masuk ke dalam telapak tangannya!
“Kosong
…. hampa! Ya Tuhan! Kapak Naga Geni Dua Satu Dua tak ada lagi dalam tubuhku!”
Wiro tersandar ke dinding ruangan. Mata menatap ke arah tiga orang di depannya
dengan pandangan kosong. Mulut berucap perlahan. “Aku tak percaya! Eyang
mengambil kapak sakti milikku. Bagaimana. caranya? Selain diriku hanya Kiai
Gede Tapak Pamungkas yang mampu memasukkan dan mengeluarkan senjata sakti itu
dari tubuhku! Tidak mungkin Eyang Sinto bisa melakukan! Karena semua adalah
pekerjaan gaib.”
“Wiro,
kau tahu gurumu telah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah.”
Berkata Ratu Randang.
Wiro
terdiam. Dia memang sudah tahu hal itu.
“Kami
bertiga menyaksikan sendiri apa yang terjadi! Juga Empu Semirang Biru!”Kata
Sakuntaladewi pula. “Gurumu membelah tubuhmu di bagian dada sampai ke perut.
Semua terjadi sangat cepat. Luar biasa mengerikan!”
Wiro
merinding. Lalu perhatikan dan usap-usap dada serta perutnya.
“Eyang
Sinto membelek tubuhku? Aneh, mengapa tidak ada bekasnya!”
Itu
berkat delapan Bunga Matahari yang diusapkan nenek ini ke dada dan perutmu.”
Yang menjawab Jaka Pesolek. “Sebetulnya aku mau juga mengusapkan, tapi nenek
ini tak memberi kesempatan. Mungkin mengharap ciuman tambahan…”
“Husss!
Ratu Randang membentak sambil pelototkan mata.
Jaka
Pesolek cepat-cepat menjauh. Takut dipelintir lagi perutnya dengan cubitan.
“Aku akan
ceritakan apa yang terjadi dan aku lihat,” Empu Semirang Biru berkata lalu
memberitahu Wiro apa yang terjadi. Dia juga menyatakan rasa herannya bahwa guru
yang dipanggil dengan sebutan Eyang itu ternyata seorang gadis cantik.
“Empu,
aku tidak tahu bagaimana kejadiannya orang-orang di Bhumi Mataram melihat
guruku seperti seorang gadis cantik. Sementara aku tetap melihatnya seperti apa
adanya, yaitu ujud seorang nenek. Seperti kata Ratu Randang, aku yakin Eyang
Sinto berbuat jahat bukan maunya. Dia telah dikuasai oleh Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Otaknya telah dicuci dengan ilmu hitam bernama Delapan Jalur
Arwah Pencuci Otak Celaka, pasti semua yang terjadi sudah diatur dan dibawah
kendali Sinuhun Merah. Kapak Naga Geni Dua Satu Dua pasti akan diserahkan Eyang
Sinto pada mahluk jahanam itu. Kek, sahabat semua, aku harus mengejar Eyang
Sinto. Mencegah agar kapak sakti tidak jatuh ke tangan Sinuhun Merah. Walau
Kunti Ambiri sudah melakukan pengejaran tapi tanggung jawab senjata sakti itu
ada di tanganku!”
“Aku akan
menemanimu!” Kata Jaka Pesolek.
“Aku
juga!” Kata Ratu Randang dan Sakuntaladewi berbarengan.
“Kesatria
Panggilan, kau memang wajib membela dan menyelamatkan gurumu. Kalau dia sampai
menemui ajal di tangan Sinuhun Merah dan kau tidak berbuat apa-apa, kau akan
menyesal seumur hidup. Kau akan dicap sebagai murid yang tidak berbakti kepada
guru. Selain itu kau juga harus mendapatkan kapak sakti milikmu itu kembali.
Aku tidak akan kecewa kalau kau pergi. Tapi kuharap paling tidak Jaka Pesolek
dan Sakuntaladewi tetap di sini. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi harus segara
diambil dari atas atap sana!”
“Kek,
keris itu cukup aman selama berada dalam ruangan ini,” kata Jaka Pesolek meniru
ucapan Wiro karena dia sudah tidak betah lagi berada di tempat itu.
Wajah
Empu Semirang Biru berubah. Dia berpaling dan menatap Sakuntaladewi.
“Aku
mohon kau dan Jaka Pesolekmementingkan senjata itu. Kalau keris sudah didapat
dan kalian menyerahkannya padaku, kalian mau pergi kemana aku tidak akan
perduli. Aku berkewajiban menyerahkan keris itu pada Raja Mataram karena
senjata itu lenyap dari tanganku di tempat kediamanku di Gunung Bismo.
Tapi
sebelum kalian pergi biar aku ingin berbakti dulu yaitu agar dapat melenyapkan kutuk
hitam yang selama ini telah menyengsarakan dirimu…”
Mendengar
ucapan Empu Semirang Biru yang terdengar lirih itu Sakuntaladewi menjadi
bimbang. Dia memandang ke arah Jaka Pesolek. Ketika dia hendak menoleh ke arah
Wiro, astaga! Sang pendekar sudah tidak ada lagi di tempat itu!
“Kek!
Kalaupun keris itu kita dapatkan, tapi bagaimana kau bisa mengembalikan ujudku
karena Wiro tak ada lagi di sini?! Bukankah dia harus mengucapkan kata, janji
atau sumpah bahwa dia akan bersedia menjadi suamiku?”
“Sakuntaladewi,
hal itu tidak perlu terlalu kau kawatirkan. Jika Para Dewa telah menentukan dia
bakal menjadi suamimu, maka dia akan menjadi suamimu.
Jika Yang
Maha Kuasa menentukan kau akan sembuh tanpa kehadiran pemuda itu maka kau akan
sembuh.”
Dewi Kaki
Tunggal,” kata Jaka pesolek dengan menyebut nama julukan si gadis. “Kita harus
mengejar Wiro secepatnya. Lebih baik kita segera menurut saja apa yang diminta
Empu biar kita bisa pergi lebih cepat dari sini.”
“Jaka
Pesolek, ternyata kau memiliki hati dan jalan pikiran yang lebih jernih.
Aku
berterima kasih padamu. Sahabatmu Sakuntaladewi pasti mau menolong.
Bukan
menolong diriku saja. Tapi yang jauh lebih penting adalah kalian akan menolong
Raja Mataram dan menyelamatkan Kerajaan dari mahluk-mahluk jahat pimpinan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah.”
Merasa
hiba pada sang Empu dan merasa Jaka Pesolek berucap benar maka Sakuntaladewi
akhirnya anggukkan kepala.
“Kek,
kami berdua akan bekerjasama mengambil keris sakti itu.”
“Hyang
Jagat Bathara! Aku sangat berterimakasih. Para Dewa akan memberkati
kesembuhanmu wahai Sakuntaladewi.” Kata Empu Semirang Biru dengan wajah
berseri. Lalu lagi-lagi dia kembali mendengar suara mengiang di telinga kiri.
Tubuhnya yang duduk bersila bergerak ke atas seujung kuku lalu turun lagi ke
lantai. Tidak seorangpun di dalam ruangan melihat kejadian ini.
**********************
SEMBILAN
KELUAR
dari Ruang Segi Tiga Nyawa Pendekar 212 Wiro Sableng dapatkan diri berada di
kawasan Candi Plaosan Lor. Saat itu mentari mulai condong ke barat namun
cahayanya masih terasa sangat terik, memerihan kulit, mendenyut benak.
Tidak
tahu mau mencari dan mengejar Eyang Sinto Gendeng kemana, setelah memandang
berkeliling memperhatikan beberapa candi yang ada di tempat itu, Wiro akhirnya
mendatangi salah satu candi, duduk di bagian tangga yang terlindung dari
sorotan sinar matahari. Sesekali angin bertiup kencang menerbangkan debu ke
udara. Wiro perhatikan keadaan pakaiannya yang kotor dan robek. Sang pendekar
goleng-goleng kepala lalu menggerutu sendiri.
“Gembel
saja mungkin lebih baik keadaannya dari diriku saat ini!” Kemudian Wiro ingat
pada senjatanya yang hilang. “Kalau aku tidak bisa mendapatkan Kapak Naga Geni
kembali, tidak dapat menyelamatkan Eyang Sinto serta tidak bisa mencari tahu
dimana beradanya Ni Gatri, rasanya celaka habis diriku ini!”
Wiro
lunjurkan tubuh di atas tangga, mata dipejam, kepala digaruk. Dia coba
mengingat kejadian yang baru saja dialami. “Ruang Segi Tiga Nyawa. Nama aneh.
Kenapa disebut begitu? Empu Semirang Biru. Kakek yang katanya pembuat Keris
Kanjeng Sepuh pelangi itu, dia juga aneh. Dari mana dia tahu kalau aku dijuluki
Kesatria Panggilan? Padahal tidak ada yang memberi tahu! Wajar-wajar saja kalau
dia sangat mementingkan keris sakti yang menancap di atap ruangan.
Padahal
selama tetap berada di dalam ruangan perlindungan Dewa senjata itu akan
aman-aman saja. Tapi kelihatannya, aku merasa dia tidak suka aku berlama-lama,
berada dalam ruangan itu. Dengan alasan aku harus mendapatkan kapak serta
menyelamatkan Eyang Sinto dia lebih suka aku pergi. Kenapa?”
Wiro
menggaruk kepala kembali lalu membatin. “Ah, sudahlah. Mengapa semua itu harus
aku pikirkan. Tapi tidak dipikir memang jadi pikiran. Eh, kalau urusan keris
sudah selesai, bagaimana Ratu Randang, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi keluar
dan dalam ruangan di dalam tanah itu? Apakah Empu Semirang Biru punya ilmu
kesaktian untuk mengeluarkan mereka? Seharusnya aku mengajak Ratu Randang
bersamaku. Mungkin dia bisa menolong mencari dimana beradanya Eyang Sinto atau
membuntuti Kunti Ambiri. Nenek genit itu punya ilmu menjajagi orang. Selain itu
dia pasti tahu dimana sarangnya Sinuhun Merah. Aku jadi kawatir. Tapi urusan
sendiri laksana gunung batu membebani diriku…”
Wiro
usap-usap bibirnya lalu tersenyum sendiri. “Nenek tukang cium. Berapa ciuman
lagi yang masih bersisa? Aku tidak menghitung!”
Wiro
kemudian ingat pada kuda lumping yang menjadi tumpangannya sewaktu masuk ke
Bhumi Mataram alam delapan ratus tahun sebelumnya. Dimana beradanya kuda
lumping itu tidak diketahui.
“Tanpa
kuda lumping itu aku tidak mungkin kembali ke alam delapan ratus tahun
mendatang. Juga Eyang Sinto dan Ni Gatri. Apa yang harus aku lakukan?
Siapa
yang bisa menolong? Jangan-jangan sudah ditakdirkan aku tidak bisa kembali.
Celaka besar! Edan semua!” Wiro bantingkan kaki kanannya ke tanah lalu berdiri.
Tiba-tiba
di kejauhan terdengar suara jeritan panjang. Ketika Wiro memandang ke atas di
udara dia melihat sebuah benda kehijauan melayang jatuh dari balik atap
bangunan candi paling besar. Benda inilah yang mengeluarkan jeritan. Lalu ada
cairan merah bertebaran diudara. Darah!
“Burung?
Kenapa besar sekali? Kalau burung mana bisa menjerit seperti manusia?
Kelihatannya sosok itu terluka.” Wiro berpikir. Sewaktu benda yang melayang
jatuh itu hanya tinggal sekitar delapan tombak akan mencapai tanah kaget
Pendekar 212 bukan alang kepalang ketika dia mengenali!
“Kunti
Ambiri!”Teriak Wiro.
Ternyata
yang melayang jatuh adalah sosok Kunti Ambiri alias Dewi Ular.
Dalam
kejut dan bingungnya Wiro masih bisa berpikir. Kalau dia langsung berusaha
menangkap tubuh gadis alam roh itu mungkin dia akan kesulitan menahan daya
berat jatuhnya tubuh. Bisa-bisa tangkapannya lepas jebol dan Kunti Ambiri tetap
saja terbanting jatuh ke tanah.
Tidak
menunggu lebih lama Wiro melompat satu tombak ke depan dan berdiri tepat
dibawah sosok yang akan jatuh. Dua lutut ditekuk, dua tangan diangkat lalu perlahan-lahan
didorong ke atas sambil merapal aji kesaktian Dinding Angin Berhembus Tindih
Menindih.
Dua
gelombang angin menderu ke udara, menghadang sosok Kunti Ambiri, membuat
gerakan jatuh yang kencang tertahan seketika lalu diredam demikian rupa. Walau tubuh
kemudian masih terus melayang ke bawah namun gerakannya berubah perlahan.
Sebelum menyentuh tanah Wiro dengan cepat menangkap dan merangkul tubuh si
gadis lalu dibaringkan di tempat keteduhan di bawah sebatang pohon.
Ketika
Wiro memperhatikan keadaan sosok Kunti Ambiri, dadanya berdebar, tengkuk
merinding. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Mata setengah nyalang, wajah
pucat pasi dan di leher ada satu luka panjang menguak. Dari luka ini mengucur
darah merah kehitaman, membasahi dada dan pakaian.
“Kunti!”Wiro
berteriak. Dengan kedua tangannya dia menekan dada si gadis dan alirkan tenaga
dalam serta hawa sakti. Dari mulut Kunti Ambiri keluar suara erangan pendek.
Wiro lipat gandakan kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti. Lalu membuat beberapa
totokan di tubuh sebelah atas serta leher si gadis. Namun darah masih terus
mengucur dari luka di leher dan Kunti Ambiri masih tidak sadarkan diri. “Cakar
Sukma Merah. Pasti dia terkena serangan mengandung racun ganas itu!” Pikir
Wiro. “Siapa yang melakukan? Delapan anak kucing merah yang pernah menyerang
dan mencelakai diriku?” Wiro ulurkan tangan kanan, telapak diletakkan di atas
kening Kunti Ambiri lalu kembali dia mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti.
Tetap saja gadis itu tidak bergerak.
Wiro
menghela nafas dalam, tidak tahu mau berbuat apa untuk menolong Kunti Ambiri.
Saat itulah dia mencium bau tidak enak. Walau pakaian tipis hijau dan tubuh
Kunti Ambiri menebar bau wangi, namun bau wangi itu kalah oleh bau lain yang
barusan terhendus.
“Bau
pesing!” ucap Wiro perlahan. Dia kenal betul bau itu. Wiro memandang
berkeliling. “Eyang Sinto, apa kau ada di sini!”Tak ada jawaban. Wiro
memperhatikan ke arah candi besar dan beberapa candi lainnya di kawasan itu,
juga memperhatikan ke atas pohon. Tidak kelihatan siapapun, Wiro arahkan
perhatiannya kembali pada Kunti Ambiri. Pandangannya membentur sebuah benda
yang tergenggam dalam kepalan tangan kanan si gadis. Benda itu adalah robekan
secarik kain hitam basah yang cukup lebar, sebagian terkepal dalam genggaman
Kunti Ambiri.
“Robekan
kain…Apakah mungkin…?”Wiro dekatkan hidungnya ke tangan kanan si gadis. Begitu
menghendus, kepala serta merta ditarik menjauh.
Tampang
sang pendekar jadi mengkeret. “Betul bau pesing Eyang Sinto!
Robekan
kain basah itu pasti robekan pakaiannya … Bagaimana bisa berada dalam genggaman
Kunti Ambiri!”Wiro berpikir. Dia ingat keterangan Ratu Randang sewaktu berada
di Ruang Segi Tiga Nyawa. Si nenek menceritakan kalau Kunti Ambiri pergi
mengejar Eyang Sinto Gendeng yang telah merobek tubuhnya dan mengambil Kapak
Naga Geni 212. Lalu dia ingat pula akan perubahan yang dilihatnya pada diri
sang guru. Mulut bertaring, kuku jari tangan mencuat seperti pisau, suara
berubah seperti kucing mengeong!
“Bukan
mustahil Eyang Sinto yang telah mencelakai gadis ini!”Pikir Wiro.
“Apa yang
harus aku lakukan? Kalau tidak segera ditolong Kunti Ambiri pasti menemui
ajal!” Wiro berlutut di samping tubuh si gadis. Tangan kanan berulang kali
mengusap kening Kunti Ambiri. Di masa lalu si gadis adalah salah satu musuhnya
yang paling jahat. Tapi saat itu dia merasa sangat terpukul kalau Kunti Ambiri
benar-benar menemui kematian. Apa lagi kalau si pembunuh sebenarnya memang
adalah Eyang Sinto Gendeng walau si nenek berbuat diluar kesadaran.
Wiro
dekatkan mukanya ke wajah sebelah kiri Kunti Ambiri. Setelah mencium pipinya,
dia berbisik ke telinga si gadis.
“Kunti,
aku tahu kau dalam keadaan pingsan. Tapi aku juga tahu Gusti Allah akan memberi
kemampuan padamu untuk mendengar. Kunti, kau dulu adalah musuhku paling jahat.
Aku bahkan pernah membunuhmu! Tapi sekarang kau adalah sahabat paling dekat dan
aku sayangi. Dengar Kunti, berdoalah walaupun hanya dalam hatimu. Berdoalah
pada Yang Maha Kuasa mohon keselamatan.
Gusti
Allah pasti akan mendengar doa orang teraniaya sepertimu!”
Wiro lalu
mencium kening Kunti Ambiri. Tiba-tiba dia merasa ada getarangetaran hebat di
dalam tanah di pedataran Candi Plaosan.
Lapat-lapat
dia juga mendengar suara seperti teriakan orang disertai bentakan bentakan.
Wiro terkesiap.
“Sesuatu
terjadi di bawah tanah sana. Mungkin dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.
Aku
kawatir kalau-kalau …”
Mendadak
di kejauhan terdengar suara tambur dan tiupan seruling. Udara berubah menjadi
agak teduh.
“Dua
manusia aneh. Si pemukul tambur dan peniup seruling. Kalau dia muncul biasanya
…’
Dua
bayangan terlihat di atas bangunan Candi Plaosan paling besar.
“Benar
mereka! Sepasang Arwah Bisu. Kakeknenek Sakuntaladewi…” Wiro menatap tak
berkesip.
**********************
SEPULUH
DI ATAS
menara paling tinggi Candi Plaosan terlihat sepasang kakek nenek berselempang
kain putih mengambang di udara. Sementara di kejauhan suara tambur dan suling
terdengar semakin keras.
Maklum
kalau dua kakek nenek alam gaib itu muncul untuk satu maksud tertentu Wiro
segera menjura membungkuk memberi penghormatan.
Kakek di
atas bangunan candi segera menggerakan dua tangan dan jari-jari, membuat bahasa
bicara orang bisu sementara si nenek menampung dua tangan seolah tengah berdoa.
Wiro yang telah mendapat ilmu bicara ini dari Nyi Loro Jonggrang cukup mengerti
apa yang disampaikan si kakek.
“Ketika
bingung memang insan bisa menjadilinglung. Ketika dilanda ketegangan manusia
bisa lupa pada Kekuatan dan Kuasa Para Dewa. Anak muda, kau membekal delapan
Bunga Matahari sakti. Dengan bunga itu orang pernah menyembuhkan luka akibat
Cakar Sukma Merah dan menyelamatkan jiwamu.
Mengapa
sekarang bunga sakti tidak dipergunakan untuk menyelamatkan sahabat yang
teraniaya dan yang sebenarnya hari demi hari berlalu sangat mencintai dirimu?
Kekuatan cinta yang ada di dalam dirinya merupakan sebagian kekuatan yang
diberikan Yang Maha Kuasa hingga tekadnya untuk sembuh dan hidup lebih kuat
dari tiupan badai di pedataran Bromo! Tolong dia dengan delapan Bunga Matahari
itu. Usapkan delapan bunga Matahari ke luka di lehernya. Sekarang juga!”
Pendekar
212 Wiro Sableng melengak kaget.
Bukan
saja karena ucapan bahasa bisu si kakek menyadarkan dan mengingatkannya tentang
delapan Bunga Matahari yang ada padanya yaitu diberikan oleh Ratu Randang
ketika masih berada di Ruang Segi Tiga Nyawa, tapi lebih hebat dari itu adalah
ucapan yang mengatakan bahwa Kunti Ambiri mencintai dirinya dan kekuatan cinta
si gadis merupakan tekad kekuatan luar biasa hebat untuk sembuh dan bertahan
hidup.
Wiro
menatap sebentar ke arah Kunti Ambiri. Ketika dia memandang lagi ke bagian atas
Candi Plaosan sosok dua kakek nenek telah memudar samar. Wiro cepat gerakkan
dua tangan dan jari jemari menyampaikan ucapan terima kasih atas petunjuk si
kakek. Di kejauhan kembali terdengar suara tambur dan suling, bayangan Sepasang
Arwah Bisu lenyap dari pemandangan.
Dari
balik pakaiannya yang robek dengan cepat Wiro mengeluarkan delapan kuntum Bunga
Matahari kecil. Bunga dipegang erat, ditempelkan ke leher yang luka lalu
perlahan lahan disapukan pulang balik dua kali berturut turut. Pada sapuan ke
tiga Wiro melihat delapan Bunga Matahari bergetar, memancarkan cahaya coklat,
kuning dan hijau. Di langit terdengar suara kucing mengeong riuh.
Desss!
Asap tiga
warna mengepul dari leher Kunti Ambiri. Begitu pupus Wiro melihat luka di leher
si gadis telah lenyap tanpa bekas sedikitpun. Kunti Ambiri mengerang pendek.
Tubuh menggeliat, dalam keadaan miring dan mencoba bangkit gadis ini muntahkan
darah merah kehitaman.
Wiro
cepat memeluk si gadis. Meletakkan delapan bunga di atas kepalanya dan berbisik
“Kunti kau pasti sembuh! Kau pasti sembuh! Dua kakek nenek bisu terima kasih
kau telah memberi petunjuk. Gusti Allah terima kasih Kau telah menolong sahabat
saya.” Wiro merasa ada dua tangan merangkulpunggungnya.
Ada suara
mengisak disusul ucapan. “Wiro, kaukah ini?”
Wiro
anggukkan kepala.
“Akusangat
berterima kasih kau menolongku…”
“Sshhh,
berterima kasih pada Gusti Allah. YangMaha Kuasa …”
Kunti
Ambiri gelengkan kepala lalu sesenggukan dan memeluk Wiro lebih kencang. “Aku …
aku…..”
“Aku
kenapa Kunti!”Tanya Wiro karena si gadis tidak meneruskan ucapan.
“Aku,
apakah untuk bisa seperti sekarangini, untuk bisa memelukmu dengan segala
ketulusan hatiku aku harus menderita dulu bahkan nyaris mati.” Wiro terdiam.
Hatinya terenyuh. Dia pergunakan ujung bajunya untuk menyeka noda darah yang
masih menempel di mulut dan dagu si gadis.
“Wiro,
aku tidak akan melepaskan pelukan ini sampai kapanpun!”
Wiro
tertawa. Dia usap-usapkan delapan Bunga Matahari ke pipi si gadis.
“Ratu
Randang yang memberikan bunga ini padamu?”
Wiro
mengangguk. “Bunga sakti ini yang menyembuhkan luka beracun di lehermu.” Wiro
memberi tahu.
“Apa Ratu
Randang juga menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang?”Tanya Kunti Ambiri sambil
membelai tengkuk Wiro.
“Dia
sepertinya hendak mengatakan sesuatu tapi belum sempat diucapkan ……”
“Aku tahu
semua pesan Nyi Loro Jonggrang. Aku akan memberi tahu padamu.”
“Nanti
saja. Sekarang kau butuh istirahat dulu. Tubuhmu kurasa masih panas akibat
racun…”
“Racun di
tubuhku sudah tiada.Kau yakin saat ini tubuhku panas karena racun itu?” Tanya
Kunti Ambiri sambil menatap Wiro lalu mengedipkan sepasang matanya.
Wiro
tertawa namun tawanya lenyap ketika Kunti Ambiri menempelkan pipinya ke pipi
sang pendekar lalu menciumnya.
Debaran
di dada Wiro semakin keras.
“Kunti,
aku akan membawamu ke dalam Candi. Di sana lebih teduh dan sejuk…”
“Tidak
usah, aku lebih suka di sini.” Jawab sigadis. Lalu rebahkan tubuhnya di
pangkuan Wiro. Mata dipejam, mulut berucap. “Aku benar-benar tidak pernah
mengimpikan saat-saat seperti ini…”
Wiro jadi
bingung sendiri. Dalam hati dia membatin. “Apa yang dikatakan kakek bisu itu
agaknya memang kenyataan. Kalau aku mengikuti alunan perasaan gadis ini saat
ini ……”
“Kunti,
aku ingin tahu apa yang telah terjadi.Menurut tiga sahabat di Ruang Segi Tiga
Nyawa kau pergi mengejar guruku Eyang Sinto Gendeng yang telah mencuri Kapak
Naga Geni Dua Satu Dua dengan cara membelah dadaku.”
“Akan aku
ceritakan,” jawab Kunti Ambiri lalusandarkan punggung ke batang pohon. Setelah
mengusap lehernya gadis cantik alam roh ini menuturkan ……..
**********************
SINAR
sang surya bukan saja sangat terik memerihkan jangat tapi juga membuat silau
pandangan Kunti Ambiri. Tadi sekejapan dia sempat melihat sosok Eyang Sinto
Gendeng berkelebat ke arah barat. Agar pemandangan bisa lebih luas Kunti Ambiri
melesat ke atas salah satu candi. Benar saja, begitu menjejakkan kaki di atas
menara candi dia bisa melihat si nenek yang saat itu ternyata berada di atas
atap candi Plaosan Lor paling besar. Berdiri berkacak pinggang, mulut perot
mengunyah susur dan sepasang mata menatap garang ke arah si gadis.
“Nenek
itu tidak meneruskan lari. Dia seperti sengaja menungguku!” Pikir Kunti Ambiri.
Tidak menunggu lebih lama si gadis segera melesat ke atas puncak candi dimana
Sinto Gendeng berada. Si neriek menyambut dengan seringai angker memperlihatkan
taring di sudut bibir. Delapan dari sepuluh kuku jari tangannya mencuat laksana
pisau berwarna merah. Kapak Naga Geni 212 tampak terselip di balik pakaiannya.
Walau
tahu kalau Sinto Gendeng sudah dicuci otaknya oleh Sinuhun Merah Penghisap
Arwah, namun Kunti Ambiri tetap menaruh hormat dan menyapa.
“Nek,
salam hormat untukmu.”
“Gadis
dajal alam roh! Kau sudah lama mampus! Apa mau mampus lagi dan rohmu aku
cabik-cabik berani mengejar diriku?!” Sinto Gendeng membentak.
Delapan
benjolan merah di kepalanya memancar terang.
“Nek,
maafkan aku …”
“Benar-benar
dajal jahanam! Kau panggil aku nenek? Apa matamu bota?!”
Kunti
Ambiri melongo heran. Kemudian dia segera ingat. Orang-orang asli Bhumi Mataram
melihat ujud Sinto Gendeng seperti seorang gadis cantik bertubuh molek dan
wangi. Sebaliknya dia bersama Wiro, Ni Gatri dan Pangeran Matahari yang berasal
dari alam delapan ratus tahun mendatang melihat Sinto Gendeng sebagai ujud
aslinya yaitu nenek angker berkulit hitam.
“Orang di
depan mata, apapun ujudmu adanya, aku berdoa agar Gusti Allah memberi
kesadaran, padamu. Aku mohon kau mengembalikan Kapak Naga Geni Dua Satu Dua
yang sudah kau ambil dari dalam tubuh Wiro.”
Sepasang
mata Sinto Gendeng seperti mau melompat keluar dari rongganya yang cekung.
Nenek ini tertawa gelak-gelak. Lalu dia membentak.
“Apa kau
merasa kapak sakti ini milikmu hingga berani meminta?!”
“Tidak,
kapak itu bukan milikku. Aku akan mengembalikan pada muridmu.
Dia
sangat membutuhkan senjata itu. Banyak urusan besar yang harus di hadapinya di
Bhumi Mataram ini.” Jawab Kunti Ambiri.
Sinto
Gendeng kembali tertawa mengakak.
“Kau mau
berbuat baik pada anak setan itu apa kau mengharapkan dia bakal jatuh hati
padamu? Hik … hik … hik. Lekas pergi dari hadapanku dan jangan berani mengejar
lagi!”
“Aku
mohon, kembalikan dulu KapakNaga Geni. Aku minta tolong, aku mohon…”
Sinto
Gendeng memaki panjang pendek lalu berkata.
“Melangkah
ke hadapanku! Berlutut dulu dan cium ke dua kakiku. Minta ampun atas segala
dosamu selama ini! Baru senjata yang kau minta aku berikan padamu!”
Kunti
Ambiri terkesima. Kalau saja dia tidak telah menerima berkah Yang Maha Kuasa
melalui Nyi Loro Jonggrang yang telah merubah sifat serta budi pekertinya,
gadis alam roh ini saat itu juga mungkin sudah menyerbu menghajar si nenek.
Kunti
Ambiri malah tersenyum mendengar ucapan si nenek. Dalam hati dia berkata. “Apa
susahnya berlutut. Apa hinanya mencium kaki seorang yang jauh lebih tua dariku.
Anggap saja dia ibuku. Tapi hemm, apa benar semudah itu dia hendak memberikan
senjata tersebut padaku? Aku menduga dia hendak menjebakku. Apakah aku sebodoh
itu? Hik … hik!”
Dengan
langkah tenang Kunti Ambiri mendekati Sinto Gendeng lalu berlutut di hadapan si
nenek sambil menahan nafas karena tidak tahan mencium bau pesing tubuh dan
pakaian si nenek. Ketika dia membuat gerakan hendak mencium kaki Sinto Gendeng
tiba tiba dia mendengar suara berdesir.
“Serrr!”
Kunti
Ambiri angkat kepala, memandang ke atas. Ternyata yang berdesir adalah bunyi
air kencing yang tengah dimuncratkan si nenek. Meski merasa si nenek sudah
sangat keterlaluan namun Kunti Ambiri masih mengambil sikap mengalah.
Cepat-cepat dia melompat menjauh tapi Sinto Gendeng mengejar sambil kirirnkan
tendangan berantai.
“Wuuttt!”
“Braaakk!”
Tendangan
Sinto Gendeng menghajar dinding atas candi hingga jebol karena Kunti Ambiri
berhasil mengelakkan. Didahului teriakan yang mirip suara kucing mengeong si
nenek kembali menyerbu. Kali ini dengan mempergunakan serangan dua tangan yang
memiliki delapan kuku jari menyerupai pisau. Di dalam rimba persilatan di tanah
Jawa, tingkat kepandaian Kunti Ambiri bagaimanapun juga berada di bawah si
nenek. Namun untuk mengalahkan Kunti Ambiri bukan hal mudah. Dalam tiga
gebrakan pertama pertarungan tampak imbang. Jurus-jurus selanjutnya Kunti
Ambiri agak terdesak karena gadis ini lebih banyak memusatkan perhatiannya
untuk dapat merampas Kapak Naga Geni 212 yang terselip di pinggang Sinto
Gendeng.
Sinto
Gendeng menyerang Kunti Ambiri seperti kesetanan. Tubuhnya lenyap di balik
cahaya delapan kuku merah berbentuk pisau. Gerakannya cepat sekali, walau
menimbulkan angin tapi tidak bersuara pertanda nenek ini memiliki ilmu
meringankan tubuh nyaris mencapai tingkat sempurna.
Dalam
satu gebrakan di jurus ke sembilan Kunti Ambiri hampir berhasil menyentuh kapak
namun tangan kanan Sinto Gendeng membabat luar biasa cepat.
Si gadis
melompat mundur tapi kalah cepat.
“Craasss!”
Salah
satu kuku jari berbentuk pisau membabat leher Kunti Ambiri. Luka menguak, darah
menyembur.
“Brett!”
Kunti
Ambiri hanya mampu menarik robek kain panjang lurik hitam yang dikenakan Sinto
Gendeng. Setelah itu tubuhnya terjatuh dari atas atap candi sewaktu berusaha
menyelamatkan diri dari serangan Cakar Sukma Merah berikutnya.
**********************
KUNTI
AMBIRI menyudahi ceritanya dengan ucapan. “Ketika jatuh aku coba mengimbangi
diri. Tapi tak berhasil. Setelah melayang jatuh aku masih berusaha jungkir
balik agar bisa melayang ke bawah, dengan dua kaki menginjak tanah lebih dulu.
Tapi luka di leherku sangat parah. Selain itu racun Cakar Sukma Merah bekerja
sangat cepat. Tubuhku diselimuti hawa panas. Kepala seperti mau pecah dan
pemandangan berubah guram. Yang bisa aku lakukan hanya menjerit.”
“Kalau
kau tidak menjerit aku tidak akan melihat sosokmu yang jatuh dari atas candi,”
kata Wiro pula.
Kunti
Ambiri usap pipinya lalu berkata. “Aku menyesal tidak bisa mendapatkan kapak
saktimu.”
“Kita
pasti akan menemukan Kapak Naga Geni kembali.”
“Kita?”
Ucap Kunti Ambiri dalam hati. “Maksudnya dia dan aku bersama sama mencari
senjata itu?”
Wiro
berdiri menghampiri robekan pakaian Sinto Gendeng yang sejak tadi tercampak di
tanah.
“Robekan
kain ini bisa dipergunakan untukmenjajagi dimana beradanya Eyang Sinto.
Seseorang dengan ilmu kepandaiannya akan menolong kita.”
“Maksudmu
Ratu Randang!”Tanya Kunti Ambiri.
Wiro
mengangguk.
Tiba-tiba
tanah di tempat itu bergetar. Pohon besar dimana mereka berada
bergoyang-goyang. Dedaunan gugur berjatuhan.
“Sesuatu
terjadi di bawah sana. Di dalam tanah…”
Ini kali
kedua tanah bergetar.” Wiro memberi tahu. “Aku kawatir terjadi apa apa dengan
tiga orang sahabat kita yang masih berada di dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.”
“Sebaiknya
kita segera saja menyelidik kesana.”
Wiro
anggukkan kepala. Dia menolong Kunti Ambiri berdiri. Hanya sekejapan lagi kedua
orang berkepandaian tinggi itu akan siap mengamblaskan diri masuk ke dalam
tanah tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Lalu ada suara tiga jeritan keras.
Tanah di samping kanan pohon terbongkar besar lalu brakkk! Tiga sosok terkapar
di tanah!
Wiro
melengak kaget.
Kunti
Ambiri menjerit.
Tiga
sosok itu adalah Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek!
Ketiganya
dalam keadaan setengah pingsan. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki
tertutup tanah dan debu berwarna merah.
**********************
SEBELAS
TAK
berapa lama setelah Pendekar 212 Wiro Sableng meninggalkan Ruang Segi Tiga
Nyawa, Empu Semirang Biru berhasil membujuk Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi agar
tidak pergi menyusul Wiro.
“Sahabatku,”
berbisik Sakuntaladewi.
“Ada
apa?” Tanya Jaka Pesolek.
“Tidakkah
kau memperhatikan … ?”
“Dewi
Kaki Tunggal, kau ini bicara sepotong-sepotong. Apa yang tidak aku perhatikan?”
“Sssttt,
bicara pelan-pelan. Jangan sampai terdengar kakek itu. Apa kau tidak
memperhatikan kalau suara sang Empu sedikit agak berubah. Pertama kali suaranya
halus tapi beberapa saat belakangan ini berubah agak parau dan keras.”
Yang
bicara adalah Ratu Randang dan Sakuntaladewi membenarkan ucapan si nenek dengan
anggukkan kepala.
“Hal
begitu saja jadi perhatianmu. Lebih baik kita cepat-cepat mengambil keris.
Begitu urusan selesai kita cepat-cepat pergi dari sini.” Jaka Pesolek lalu
berpaling pada Empu Semirang Biru. “Empu, kami berdua siap mengambil keris di
atas atap.”
“Lakukanlah.
Raja Mataram tidak akan melupakan baktimu pada Kerajaan.
Aku akan
melindungi usaha kalian agar tidak ada roh jahat yang menghalangi.”
Empu
Semirang Biru menjawab lalu meniup ke arah kedua kakinya sendiri.
Kemudian
kepala diangkat sedikit. Tiupan diarahkan ke lantai ruangan, terus naik ke
dinding dan terus naik lagi menuju atap dimana Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
menancap.
“Jaka,
kau sudah siap?”Bertanya Sakuntaladewi.
Tidak
seperti biasa selalu girang kalau akan menghadapi dan menangkap petir, sekali
ini Jaka Pesolek tampak agak tegang. Gadis ini kemudian mengangguk.
“Jaka,jangan
tegang. Kau pasti mampu menangkap petir yang keluar dari keris sakti. Kalau
berhasil aku berikan kau sepuluh ciuman!”Ratu Randang memberi semangat tapi
dengan cara bergurau.
Sakuntaladewi
memberi isyarat bahwa dia siap untuk melompat ke atas atap ruangan. Tapi Jaka
Pesolek balas memberi isyarat sambil berkata.
“Jangan
kau yang melompat lebih dulu. Biar akuyang memancing. Aku akan melompat ke
atap. Begitu petir keluar dari dalam keris, aku akan membuntal dan kau akan
aman pergunakan kesempatan cepat-cepat melesat ke atas mengambil keris.”
Sakuntaladewi
dalam hati memuji kecerdikan Jaka Pesolek lalu memberi tanda agar gadis yang
mengaku bisa jantan bisa betina itu segera melompat ke atap.
Sebelum
melompat Jaka Pesolek melirik ke arah Empu Semirang Biru. Orang tua ini tampak
tegang.
Jaka
Pesolek jejakkan dua kaki ke lantai ruangan.
“Wuttt!”
Tubuh
Jaka Pesolek melesat ke atas atap setinggi empat tombak. Kurang satu tombak
tubuhnya melayang dalam ruangan tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan
cahaya sembilan warna, dikelilingi cahaya biru. Setelah itu terdengar ledakan
laksana petir benar-benar menggelegar. Cahaya putih menyilaukan dan panas
berkiblat menyambar ke bawah, ke arah Jaka. Pesolek. Seantero ruangan menjadi
panas luar biasa! Jaka Pesolek menyambut hantaman petir dengan berteriak keras.
Dua tangan dikembang! Dess! Dess! Dua tangan si gadis begitu bersentuhan dengan
cahaya putih langsung membuat gerakan memiting. Cahaya putih dibuntal seperti
menggulung sebuah pita raksasa lalu dia melayang turun ke lantai ruangan,
membawa gulungan petir dan menghenyakkannya di salah satu sudut, menahan dengan
kedua lutut.
“Petir
jejadian! Mana bisa lebih hebat dari petir sungguhan ciptaan Yang Maha Kuasa!
Petir jejadian jangan berani bercanda dengan aku Jaka Pesolek! Hik … hik …
hik!”
Kini Jaka
Pesolek bisa tertawa tawa. Buntalan petir yang tadi putih panas menyilaukan
perlahan lahan berubah redup dan mengecil. Sebaliknya seluruh pakaian dan
sekujur tubuh Jaka Pesolek tampak diselubungi lapisan berwarna merah, seperti
bara mengepul hawa panas!
Ketika
Jaka Pesolek berhasil menangkap dan menggulung petir yang keluar dari tubuh
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dan mengamankan petir di sudut ruangan, secepat
kilat Sakuntaladewi jejakkan kakinya yang hanya satu ke lantai ruangan.
“Wusss!”
Tubuh
gadis itu melesat membal ke atas atap ruangan dimana Keris Kanjeng Seputi
Pelangi menancap. Tangan kanan berkelebat cepat, menangkap badan keris lalu
menarik senjata ini dari kayu keras tempatnya menancap! Ketika tangan kanannya
menyentuh keris sakti, Sakuntaladewi merasa ada hawa dingin masuk ke dalam
tubuhnya yang membuat tengkuknya merinding. Dengan cepat gadis ini melayang
turun ke bawah Sakuntaladewi sambil membuat gerakan jungkir balik satu kali.
Tubuhnya meluncur sebat dan dalam bilangan kejapan mata saja dia sudah berdiri
kembali di lantai ruangan.
“Jaka!
Ratu! Kita berhasil!” Teriak Sakuntaladewigirang.
Jaka
Pesolek tidak menjawab karena saat itu dia tengah berusaha merontokkan lapisan
merah panas yang menyelubungi dirinya sementara dua kaki masih terus menahan
buntalan petir yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap dalam bentuk kepulan
asap.
Ratu
Randang cepat memeluk Sakuntaladewi.
“Kau
gadis hebat! Sekarang lekas minta tolong pada Empu itu bagaimana caranya
menyembuhkan dirimu. Mengembalikan kakimu yang satu jadi dua lagi.”
Kedua orang
itu lalu mendatangi Empu Semirang Biru yang sejak tadi sudah tidak sabaran.
Dari sela-sela libatan rantai besi merah dia menggerakkan tangan memberi
isyarat.
“Sakuntaladewi,
lekas putuskan rantai besi yangmelibat diriku. Hanya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
yang mampu menghancurkan Rantai Kepala Arwah Kaki Roh! Setelah aku bebas, aku
akan segera akan menolong dirimu.”
Ratu
Randang perhatikan sikap Empu Semirang Biru yang sama sekali tidak
memperlihatkan atau memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa atas telah
didapatnya keris sakti itu. Padahal sebelumnya dia banyak mengucap. Menyebut
Para Dewa, menyeru Yang Maha Kuasa. Si kakek tampaknya lebih mementingkan dan
mendahulukan keselamatan diri sendiri.
Diikuti
Ratu Randang, Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang Biru. Keris
sesaat dipentang di depan wajah orang tua itu yang memandang dengan mata
berkilat-kilat.
“Laksanakan
sekarang!” Kata Empu Semirang Biru dengan suara parau bergetar.
Sakuntaladewi
angkat tangannya yang memegang keris lebih tinggi. Lalu tangan itu dibabatkan
ke bawah.
“Traangg!”
Bunga api
merah berpijar terang.
Ruang
Segi Tiga Nyawa bergoncang!
Rantai
besi merah di bagian bahu kanan Empu Semirang Biru putus berkerontangan. Tubuh
sang Empu terlonjak.
“Teruskan!
Putuskan semuanya!”Teriak Empu Semirang Biru bersemangat.
Sakuntaladewi
kembali membabatkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi hingga dalam Ruang Segi Tiga
Nyawa terdengar suara berdentrangan berulang kali disertai memijarnya percikan
terang bunga api. Rantai Kepala Arwah Kaki Roh putus di enam bagian, luruh
jatuh ke lantai dengan suara berkerontang dahsyat!
Ruang
Segi Tiga Nyawa kembali bergoncang. Kali ini disertai terdengarnya suara raung
anjing dan ngeong kucing dikejauhan!
“Terima
kasih …. terimakasih. Aku sudah bebas sekarang!” Kata Empu Semirang Biru. Namun
dia tidak berdiri, tetap saja terus duduk bersila dilantai ruangan. Malah
berkata. “Sakuntaladewi, berikan senjata itu padaku. Kini giliran aku menolong
membebaskanmu dari kutukan yang telah membawa sengsara dirimu selama ini.”
“Heran,
Empu itu tak mau beranjak dari duduknya. Apa pantatnya sudah lengket ke lantai
ruangan …. ?”Berkata Ratu Randang dalam hati. Lalu dia berkata yang ditujukan
pada Empu Semirang Biru.
“Empu,
izinkan aku barang sebentar melihat dan memegang keris sakti yang luar biasa
hebat mengagumkan ini!” Kata Ratu Randang dengan cepat melangkah ke hadapan
Sakuntaladewi sekaligus membelakangi Empu Semirang Biru. Tapi karena
terburu-buru mungkin juga agak gugup breett! Tak sengaja ujung keris mengait
dada pakaiannya hingga robek, membuat sebagian dada si nenek yang masih putih
dan kencang tersembul. Saking terkejutnya keris sakti sampai terlempar ke
udara. Saat itu si nenek sendiri seperti kehilangan keseimbangan, nyaris jatuh
kalau tidak bersitekan dengan tangan kanan ke lantai. Dengan cepat Ratu Randang
bangkit berdiri dan menyambar keris yang jatuh.
“Oala!”
Ucap Ratu Randang sambil satu tanganditekapkan ke dada. “Keris bagus! Tapi agak
nakal! Bajuku dirobeknya! Hik … hik…hik!”
“Bukan
keris itu yang nakal Nek. Tapi engkauyang nakal. Keris sakti dibuat mainan!”
Kata Jaka Pesolek dari sudut ruangan.
Ratu
Randang tersipu-sipu, cepat berbalik dan menyerahkan sendiri Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi. Ketika menyerahkan si nenek sengaja membungkuk sehingga dadanya
tersingkap, membuyut besar dan sempat membuat darah Empu Semirang Biru
berdesir, mata sampai tidak mengedip karena terkesiap. Lebih lebih ketika Ratu
Randang menyusupkan keris sakti ke balik pinggang pakaiannya, dada nenek cantik
itu nyaris menyentuh hidungnya!
Empu
Semirang Biru raba pinggangnya untuk memastikan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ada
dan tersisip di situ. Lalu masih dalam sikap keadaan bersila tubuh Empu
Semirang Biru bergerak ke atas. Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek
berseru kaget ketika melihat di lantai yang sejak tadi diduduki Empu Semirang
Biru terdapat sebuah lobang merah sepemasukan tubuh manusia. Belum habis kejut
mereka tiba-tiba Empu Semirang Biru keluarkan suara tawa bergelak.
“Selamat
tinggal manusia-manusia tolol!”
Tubuh,
sang Empu menggeliat. Dua kaki yang terlipat bergerak lurus ke bawah lalu wuss!
Sosoknya lenyap masuk ke dalam lobang disedot oleh satu kekuatan luar biasa
kencang.
“Kurangajar!
Kita ditipu!” Teriak Ratu Randang.
Dia
melompat ke tepi lobang lalu hantamkan pukulan Tombak Dewa Memancung berhala.
Selarik sinar biru menderu masuk ke dalam lobang.
Sakuntaladewi
tidak tinggal diam. Gadis kaki satu ini gerakkan dua tangan dalam jurus Enam
Belas Gerakan Tangan Bisu lalu wusss! Sepuluh larik sinar jingga yang mencuat
dari ujung jari melabrak masuk ke dalam lobang.
Dari
dalam lobang terdengar suara bergemuruh. Lalu ada kilatan cahaya kuning
kemerahan menyambar ke atas.
Ruang
Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat. Dinding dan atap tanah merah luruh. Lalu satu
ledakan menggelegar ketika pukulan sakti yang dilepas Sakuntaladewi dan Ratu
Randang saling bentrok dengan sambaran cahaya kuning kemerahan. Tiga orang yang
ada di dalam ruangan terlempar ke atas!
**********************
DUA BELAS
BEGITU
mengenali tiga orang yang terkapar di tanah, Kunti Ambiri dan Wiro berteriak
kaget. Keduanya langsung melompat.
“Nek, apa
yang terjadi?!” Tanya Wiro dan buru-buru melengos lalu menjauh ketika melihat
dada Ratu Randang yang tersingkap, Dia memberI isyarat pada Kunti Ambiri agar
segera menolong Ratu Randang lalu cepat mendekati Sakuntaladewi dan Jaka
Pesolek. Seperti Ratu Randang kedua orang ini terbujur dalam keadaan setengah
pingsan, megap-megap seolah kehabisan nafas.
Kunti
Ambiri cepat membuhul sebisanya pakaian Ratu Randang yang robek hingga aurat si
nenek tertutup. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam serta hawa sakti dia
berhasil membuat Ratu Randang siuman.
Wiro
melihat kepala Jaka Pesolek miring ke kiri dan Sakuntaladewi megap megap sulit
bernafas. Wiro cepat menotok kedua orang ini di tiga tempat lalu
pegang
pergelangan kaki masing-masing sambil menyalurkan tenaga dalam dan hawa sakti.
Jaka
Pesolek sadar lebih dulu. Gadis ini cepat bangkit dan duduk, memandang
berkeliling. Kepala terkulai miring ke kiri.
“Jaka,
setan mana yang menamparmu sampai kepalamu teleng begini rupa?!” Tanya Wiro.
“Sialan!”
Jaka Pesolek memaki jengkel. Leherdan kepala ditepuk-tepuk.
“Tidak
ada setan yang menamparku! Aku terkena semburan cahaya kuning merah yang keluar
dari lobang!”
“Lobang?
Lobang apa?” Tanya Wiro pula.
Jaka
Pesolek tidak menjawab. Leher dipukul-pukul. Kepala dipelintir lalu di dorong
ke kanan. Kreek! Leher dan kepalanya lurus kembali tapi mulutnya berucap.
“Aduh, aku mau kencing tapi tidak bisa! Ini gara-gara tiupan Empu sialan itu!
Aduh, bagaimana ini!”
Sakuntaladewi
mulai sadar pula. Setelah batuk-batuk dan menyeka wajahnya yang penuh debu
gadis berkaki satu ini bergerak duduk. Dia cepat menyadari apa yang terjadi
lalu mulai sesenggukan.
“Aku akan
sengsara seumur hidup. Keris saktiitu dibawa kabur Empu Semirang Biru. Hyang
Jagat Bathara mengapa buruk sekali nasib diriku…”
Wiro dan
Kunti Ambiri saling pandang. Lalu Wiro berpaling pada Ratu Randang. “Nek.,
ceritakan apa yang terjadi. Apa betul Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dilarikan
oleh Empu Semirang Biru? Rasanya tidak masuk akal…” Ratu Randang anggukkan
kepala.
“Empu
celaka itu. Tidak sangka dia ternyata kakitangan Sinuhun Merah yang menyusup
masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa.” Berkata Sakuntaladewi ditengah isaknya.
“Aku
tidak melihat ada benjolan merah di kening Empu itu. Apa benar dia orangnya
Sinuhun Merah Penghisap Arwah?” Kata Wiro pula.
“Kalau
bukan orangnya Sinuhun, perlu apa dia mencuri keris? Kami bertiga dimaki
sebagai manusia-manusia tolol! Brengsek!”Jaka Pesolek mengomel. Lalu bicara
lagi. “Aku ditiup disirapnya hingga tidak bisa kencing. Sekarang dia kabur!
Bagaimana
aku mau kencing!” Jaka Pesolek usap-usap bagian bawah perutnya.
“Aku
menduga…”Berkata Sakuntaladewi sambil mengusap wajah. “Kali ini Sinuhun Merah
tidak mempergunakan orang atau mahluk yang ada benjolannya karena tidak bisa
menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa yang ada dalam perlindungan Para
Dewa. Yang aku tidak mengerti mengapa Empu Semirang Biru, orang yang membuat
Keris Kanjeng Sepuh pelangi, orang kepercayaan Raja Mataram, tega-teganya
melakukan khianat! Kalau tahu dia akan menipu dan melarikan keris itu, tidak
akan aku putuskan rantai yang mengikat tubuhnya!”
“Agaknya
Sinuhun Merah mempergunakan cara luar biasa cerdik untuk menguasai Empu itu.
Mungkin melalui lobang di lantai yang dikatakan Jaka Pesolek”Berkata Ratu
Randang.
“Berarti
Empu Semirang Biru dikerjai lewat pantatnya!”Kata Jaka Pesolek pula. Lalu
kembali memaki. “Sial! Najis!”
“Nek,
keadaan di pihak kita semakin tidak menguntungkan.” Kata Wiro pada Ratu Randang
“Kapak Naga Geni belum ditemukan. Eyang Sinto dan Ni Gatri entah berada dimana.
Raja Mataram belum diketahui kabarnya, apa Rauh Kalidathi berhasil membawa Raja
bersama keluarganya sampai dengan selamat di tempat rahasia. Sekarang Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi lenyap dibawa kabur orang. Agaknya kita memang harus
membagi pekerjaan.”
“Membagi
pekerjaan bagaimana?” Tanya RatuRandang.
Wiro
menunjuk ke arah robekan kain pakaian Eyang Sinto Gendeng yang sampai saat itu
masih tergeletak di tanah.
“Itu
robekan kain yang dikenakan Eyang Sinto. Kau punya ilmu kepandaian.
Dengan
mengandalkan robekan kain itu kau bisa menjajagi dimana beradanya guruku.”
Kening
Ratu randang mengerenyit. Lalu dia melangkah mendekati robekan kain. Dia
membungkuk sedikit lalu cepat-cepat luruskan tubuh. “Robekan kain bau pesing
ini? He … he! Apa ilmuku mampu menjajagi?”
“Kalau Ratu
Randang mengejar gurumu, lalu siapa yang mencari keris?” Bertanya
Sakuntaladewi.
“Aku yang
akan melakukan.” Jawab Wiro.
“Aku
ikut! Soalnya aku harus menemui Empu najis itu dan minta ditiup agar bisa
kencing lagi!” KataJaka Pesolek.
“Kalau
ditiup kau sembuh ya syukur-syukur. Tapi bagaimana kalau ditiup anumu yang bisa
jantan bisa betina itu jadi lenyap?!” Ujar Wiro pula.
Jaka
Pesolek terpekik.
“Jangan
bicara seperti itu! Kau membuat aku bukan saja tidak bisa kencing tapi juga
tidak bisa berak!”
Sakuntaladewi
tepuk-tepuk debu yang masih banyak menempel di pakaiannya lalu berkata.
“Sebaiknya kita pergi dalam satu rombongan mengejar Eyang Sinto, mencari kapak
dan mencari keris. Musuh yang kita hadapi selain banyak juga memiliki ilmu
kesaktian tinggi. Aku mohon kita mencari keris lebih dulu.” Kata Sakuntaladewi
pula.
“Ratu
Randang, bagaimana menurutmu?”Bertanya Wiro.
“Soal
menjajagi gurumu, mencari kapak dan mencari anak perempuan bernama Ni Gatri itu
aku setuju. Tapi soal mencari keris sebaiknya kita lupakan saja.”
Sakuntaladewi
langsung terlonjak mendengar ucapan Ratu Randang itu.
Wajahnya
tampak berubah merah dan marah namun kemudian surut kembali tanda gadis ini
mampu menahan gejolak darahnya. Dengan wajah sayu dan suara lirih dia berkata.
“Kalau
memang tidak ada yang mau menolong,aku pergi sendiri! Aku akan menemui kakek
nenekku Sepasang Arwah Bisu. Mereka pasti tahu dimana beradanya Keris Kanjeng
Sepuluh Pelangi! Mudah-mudahan mereka mau menolong. Mudah-mudahan Yang Maha
Kuasa menunjukkan jalan.”
Wiro
cepat pegang lengan Sakuntaladewi ketika gadis itu hendak menghambur pergi.
Lalu pada Ratu Randang dia berkata. “Nek, sahabatku satu ini sudah cukup lama
menderita. Aku harus menolongnya. Aku akan menemaninya mencari keris sakti itu
agar dia bisa sembuh dari azab yang menyengsarakan.”
“Terserah
kalau kau mau pergi bersamanya atau kemana saja. Tapi kalian hanya
membuang-buang waktu….”
“Membuang
buang waktu bagaimana maksudmuNek?”Tanya Wiro yang mulai kesal melihat sikap
Ratu Randang. Sementara Sakuntaladewi terbelalak, tidak, percaya si nenek akan
berkata seperti itu.
Ratu
Randang malah tampak tersenyum.
“Sahabatku
semua, terutama kau Sakuntaiadewi.Jangan menaruh marah atau benci padaku. Aku
katakan kalian hanya membuang waktu mencari Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Karena
senjata sakti itu sesungguhnya ada padaku!”
Kaget dan
kejut meledak di tempat itu. Semua mulut ternganga, mata mendelik bahkan ada
yang berteriak.
“Apa
katamuNek?! Jangan bergurau!”Kata Wiro pula.
Tenang
saja Ratu Randang susupkan tangan kiri ke dada kanan.
“Sial,
dia mau membuka kutang bukan mau menunjukkan keris sakti!”Bisik Jaka Pesolek
pada Wiro.
Pada
keadaan lain mungkin saat itu murid Sinto Gendeng akan tertawa bergelak
mendengar ucapan Jaka Pesolek. Namun dalam suasana tegang seperti itu dia hanya
bisa menginjak kaki kiri Jaka Pesolek hingga gadis ini meringis kesakitan dan
buru-buru menarik kaki.
Tangan
kiri Ratu Randang yang menyusup ke balik dada kanan perlahan-lahan keluar dari
balik pakaian. Ternyata tangan itu kosong, tidak memegang apa-apa!
“Apa
kataku! Nenek itu bohong’ Dia tadi Cuma mau mencabut bulu ketek!”
Kembali
Jaka pesolek membuka mulut, jengkel.
“Aku
tidak punya bulu ketek! Hik … hik! Jadi tidak ada yang mau dicabut!”
Jawab
Ratu Randang sambil tertawa-tawa. “Aku hanya lupa menyembunyikan di sebelah
mana keris sakti itu.” Lalu Ratu Randang gerakkan tangan kanan, kini menyusup
ke dada kiri.
Ketika
tangan kanan dikeluarkan, semua orang berseru kaget!
“Lihat!
Ini bukan bulu ketek ‘kan!” Ucap si nenek.
**********************
TIGA BELAS
DI TANGAN
kanan Ratu Randang tergenggam sebilah keris telanjang luk sembilan tanpa
gagang.
Cahaya
biru menyelubungi seluruh badan keris. Pada sisi kanan keris memancar kumpulan
sinar sembilan warna. Dimanapun senjata ini berada sembilan cahaya selalu
berada di sisi kanan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi asli, ciptaan Empu
Semirang Biru dari Gunung Bisma, yang dibuat atas perintah Raja Mataram Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala.
Wiro,
Kunti Ambiri, Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi langsung mendekat mengerubungi
Ratu Randang.
“Nek, apa
benar ini Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!”Bertanya Jaka Pesolek. Dia hendak meraba
keris telanjang itu tapi si nenek menghalangi dengan tangan kiri.
“Tadi
semua kalian mengatakan kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibawa kabur Empu
pembuatnya yang kemudian lolos lewat sebuah lobang di lantai ruangan. Sekarang
tahu-tahu kau memegang keris itu! Nek, jangan-jangan kau tengah bermain sulap
atau sihir!” Yang bicara Wiro.
Kunti
Ambiri tidak berkata apa-apa hanya memperhatikan keris di tangan si nenek
dengan mata tidak berkedip. Dari dua cahaya yang ada di badan keris sebenarnya
dia sudah punya perasaan kalau senjata itu memang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
yang asli. Namun dia tidak mau berkata apa-apa karena kawatir keanehan tidak
terduga bisa saja terjadi.
Sakuntaladewi
unjukkan wajah gembira karena ternyata keris sakti yang bisa menyembuhkannya
berada di tangan Ratu Randang. Namun hatinya masih merasa was-was. Dia melihat
sendiri si nenek menyelipkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke pinggang Empu
Semirang Biru. Sekarang bagaimana mungkin senjata itu masih berada di tangan
Ratu Randang? Bisa jadi apa yang diduga Wiro benar adanya. Si nenek tengah
bermain sulap atau sihir untuk sekedar menghibur hatinya. Tapi kalau itu keris
palsu tidak mungkin memancarkan cahaya sakral begitu rupa.
Ratu
Randang tertawa, matanya yang juling dikedap-kedip.
“Ini
bukan sulap bukan sihir! Aku hanya mempergunakan kecepatan gerak tangan dan
tipu kampungan! Hik … hik! Syukur Empu kentut itu tidak menyadari karena
matanya sudah silau melihat dadaku! Waktu keris aku selipkan ke pinggang dia
tidak tahu kalau itu keris palsu! Hik … hik … hik!”
Semua
orang jadi saling pandang.
“Keris
palsu katamu Nek? Aku melihat kau menyusupkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke
pinggang Empu Semirang. Lalu dari mana kau mendapatkan keris palsu, apa kau
sudah menyiapkan terlebih dulu”Bertanya Sakuntaladewi.
Si nenek
menggeleng.
“Aku
tidak menyiapkan sebelumnya. Semua terpikir begitu cepat dalam benakku. Dan
semua terjadi dengan kehendak Yang Maha Kuasa.” Jawab Ratu Randang pula. Latu
dia menceritakan.
“Setelah
keris aku torehkan ke dada pakaianku dan aku pura-pura jatuh, dengan tangan
kiri aku mengambil salah satu buntungan rantai besi yang tercampak di lantai.
Keris asli aku susupkan ke balik dada sambil aku merapal ilmu kesaktian menipu
pandangan mahluk. Hik..hik. Yang Maha Kuasa menolong. potongan besi merah
berubah jadi sebilah keris. Keris palsu ini cepat-cepat aku serahkan pada Empu
semirang Biru. Aku sengaja, menyusupkan ke pinggangnya agar dia tidak melihat.
Selain itu dia percaya saja karena sudah kesilauan melihat dadaku yang montok.
Hik…hik … hik! Saat ini kalau dia tengah menyerahkan senjata, itu pada Sinuhun
Merah, pasti dia dihajar babis-habisan karena menyerahkan keris palsu!
Hik …
hik..hik!”
“Kalau
ini benar Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang asli, berarti bisa segera
dipergunakan untuk menyembuhkan sahabat Wita Dewi Kaki Tunggal.” Kata Jaka
Pesolek.
“Bagaimana
caranya?” Bertanya Wiro.
Ratu
Randang dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal saling pandang.
Si nenek
kemudian berkata. “Waktu masih berada di Ruang Segi Tiga Nyawa, Empu itu tidak
memberi tahu cara penyembuhan kaki Sakuntaladewi dengan keris ini.”
“Aku
kawatir sang Empu sengaja berdusta untuk mendapatkan keris. Setelah dapat dia
bawa lari.” Yang berkata Kunti Ambiri.
Paras
Sakuntaladewi berubah. Dia berucap perlahan. “Keris ini mampu memutus rantai
merah yang melibat sekujur tubuh Empu Semirang. Berarti memang memiliki
kesaktian luar biasa…”
“Jika
kalian setuju sebaiknya keris ini kita bawa dan serahkan saja pada Raja Mataram
karena sebenarnya dia yang memiliki.” Kata Jaka Pesolek.
“Tunggu
dulu!” Kata Sakuntaladewi pula. “Kita harus menemui kakek nenekku Sepasang
Arwah Bisu iebih dulu. Mungkin mereka tahu cara menyembuhkan dan memusnah kutuk
atas diriku.”
“Dewi,
kau belum pernah menceritakan padaku. Sebenarnya siapa yang telah berbuat jahat
dan mengutukmu hingga berkeadaan seperti ini?”Bertanya Wiro.
Sakuntaladewi
tak segera menjawab. Lalu sepasang matanya tampak berkaca kaca. Kunti Ambiri
segera memeluk gadis itu dan berkata membujuk.
“Katakan
pada kami. Kami berjanji akan memegang rahasia, tidak menceritakan pada
siapapun. Kami sangat ingin menolongmu.”
Dengan
ujung baju jingganya Sakuntaladewi mengusut air mata lalu berkata lirih. “Harap
dimaafkan kalau selama ini aku selalu merahasiakan apa yang terjadi. Sebenarnya
ini bukan kutukan. Tapi perbuatan jahat Sinuhun Muda Ghama Karadipa dibantu
Sinuhun Merah Penghisap arwah dan beberapa dukun jahat. Sinuhun Muda melakukan
ketika aku membuka aibnya hendak memperkosa diriku padahal dia tahu aku adalah
saudara satu ayahnya. Tapi dia kemudian membuat cerita lain pada kakek nenek
Sepasang Arwah Bisu.. Memfitnah bahwa aku telah merayunya untuk berbuat serong
padahal aku tahu kami masih bersaudara. Kakek nenekku waktu itu lebih
mempercayai Sinuhun Muda. Mereka ikut menambah kekuatan jahat yang dijatuhkan
Sinuhun Muda atas diriku…”
Sebagian
dari cerita Sakuntaladewi telah diketahui Kunti Ambiri sewaktu masih
berhubungan dekat dengan kedua Sinuhun.
“Kalau
begitu sudah saatnya Sinuhun Muda dibunuh. Kalau dia mati cacat ditubuhmu akan
sembuh.” Kata Jaka Pesolek pula.
Sakuntaladewi
menggeleng.
“Sinuhun
Muda tidak bisa dibunuh karena dia punya nyawa kembar yaitu Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.” Menerangkan si gadis.
“Kalau
begitu kita harus membunuh keduanya!” Ucap Wiro pula.
“Nyawa
Sinuhun Merah terpecah delapan. Masing-masing pecahan ada dalam tubuh delapan
anak kucing merah yang disebut Delapan Sukma Merah. Delapan anak kucing itu
adalah peliharaan bocah sakti Dirga Purana.”
“Berarti
delapan anak kucing itu yang harus dihabisi lebih dulu!” Kata Wiro sambil
mengepalkan tangan.
“Dewi,
aku rasa kita tetap harus mencari kakek-nenekmu. Jika mereka dulu ikut
menurunkan tangan jahat hingga kau cacat begini rupa, pasti mereka juga tahu
cara penyembuhannya. Jika kau menerangkan kejadian sebenarnya mereka pasti
percaya padamu. Selama ini mereka telah beberapa kali muncul membantu kita dan
orang-orang Mataram .” Kunti Ambiri kemukakan pendapat.
“Harus
mencari kemana? Kalau dicari mereka sulit ditemukan. Tapi bisa muncul secara
mendadak lalu menghilang lagi. Setiap mereka muncul aku selalu mencari
kesempatan untuk bicara. Tapi selalu gagal.”
“Apa kau
ingat, sewaktu kedua kakek nenekmu itu meninggal dunia, apakah jazad mereka
dibakar atau dikubur?” BertanyaRatu Randang.
“Dikubur.
Itu sesuai dengan pesan mereka.” Menerangkan Sakuntaladewi.
“Kau tahu
dimana makam mereka?” Tanya Ratu Randang.
“Konon di
satu tempat rahasia di Bukit Menoreh. Tapi itu hanya kabar yang aku dengar.
Pastinya aku tidak tahu.”
“Coba kau
ingat-ingat. Pasti ada orang yang tahu letak makam kedua kakek nenekmu.” Ujar
Kunti Ambiri.
“Pasti
ada yang tahu. Kedua orang tuamu?” UcapWiro menyambung kata-kata Ratu Randang.
“Mereka
tewas dibunuh kaki tangan ayah Sinuhun Muda sewaktu terjadi pemberontakan
beberapa tahun lalu.”
“Seingatku,
setiap sepasang kakek nenek bisuitu muncul selalu didahului dan diakhiri oleh
suara tambur dan tiupan seruling ……”
“Astaga!”
Sakuntaladewi memotong ucapan Pendekar 212. “Aku ingat sekarang. “Kedua orang
ituSi Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Mereka adalah penjaga dan perawat
makam kakek nenekku. Pasti mereka tahu dimana makam mereka. Tapi mencari dua
mahluk aneh itu sama sulitnya dengan mencari kutu di gurun pasir.”
Wiro
menggaruk kepala.
“Aku
punya akal.Tapi nanti saja aku katakan. Sekarang urusan paling penting
kelihatannya adalah mencari sarang dua Sinuhun. Mencari tahu dimana bocah
bernama Dirga Purana berada. Kita harus membunuh delapan anak kucing merah itu
lebih dulu. Aku sudah pernah menghajar tiga diantara mereka.”
Wiro lalu
berpaling pada Ratu Randang. “Nek, katamukau membuat Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi dari potongan rantai besi yang pernah melihat tubuh Empu Semirang Biru.
Apa kau bisa menjajagi dan mencari dimana beradanya orang itu berdasarkan besi
yang kau pegang yang berubah menjadi keris palsu dan kini berada di tangannya?”
Ratu
Randang kedipkan mata.
“Mengapa
tidak? Itu lebih baik dari pada aku menyiasati gurumu dengan robekan kainnya
yang bau pesing itu!” Ratu Randang menunjuk ke arah robekan kain pakaian Sinto
Gendeng yang masih ada di tanah, yang tadinya basah kini telah berubah kering.
“Tapi aku ada usul. Sebelum kita berbagi tugas, mengapa tidak dicoba lebih dulu
menyembuhkan sahabat kita Sakuntaladewi dengan delapan Bunga Matahari yang
sekarang ada padamu? Mudah-mudahan Gusti Allahmu memberi berkat.”
Wito
hendak tertawa sewaktu Ratu Randang menyebut Gusti Allah. Lalu dia berpaling
pada Sakuntaladewi. “Dewi, bagaimana? Tidak ada salahnya kalau kita coba.”
“Aku
bersedia,” menjawab Sakuntaladewi pula.
Ratu
Randang merobek ujung pakaiannya, memasukkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke
dalam lipatan robekan kain lalu menyimpan hati-hati di balik pinggang. Semua
orang kemudian sama menyetujui agar mereka masuk ke dalam salah satu candi di
kawasan Candi Plaosan Lor. Di situ mereka akan coba mengobati kaki
Sakuntaladewi.
Sambil
berjalan ke arah candi terdekat Kunti Ambiri berkata pada Pendekar 212.
“Wiro,
sebenarnya ada pesan dari Nyi Loro Jonggrang yang harus aku sampaikan padamu
berkaitan dengan delapan Bunga Matahari itu.”
“Aku tahu
dari si nenek. Nanti saja kau katakan setelah kita mencoba mengobati Dewi Kaki
Tunggal,”Wiro menyahuti.
Hanya
beberapa langkah lagi orang-orang itu akan mencapai tangga candi yang terdiri
dari sembilan batu undakan, tiba-tiba udara mendadak redup. Di langit sekilas
menyambar selarik sinar kuning bersemu merah lalu lenyap. Selagi semua orang
hentikan langkah dan menduga-duga apa yang terjadi tiba-tiba di halaman candi
sebelah kanan agak ke belakang terdengar suara braak!
“Ada
benda jatuh di halaman sana!” Kata JakaPesolek.
“Aku akan
menyelidik!”Kata Ratu Randang lalu menghambur ke halaman kanan candi sebelah
belakang. Sesaat kemudian terdengar pekik si nenek!
**********************
EMPAT BELAS
WIRO dan
yang lain-lainnya segera berlari menuju halaman samping. Disitu mereka melihat
Ratu Randang tengah berdiri sambil menutup wajah. Di hadapan si nenek,
tergeletak di tanah seorang perempuan tua bermuka bulat, berwajah tanpa alis
berdandan mencorong. Semua orang segera mengenali. Dia adalah Rauh Kalidathi,
salah seorang pembantu kepercayaan Raja Mataram.
“Nek!”Pekik
Sakuntaladewi, “Bukankah Nenek mengawal Raja Mataram dan keluarganya ke satu
tempat rahasia?”
Yang
ditanya tidak menjawab.
Ketika
semua orang hendak mendekati Rauh Kalidathi, Wiro berkata.
“Tunggu!
Lebih baik aku periksa dulu. Bisa saja di dalam tubuh nenek, ini ada mahluk
titipan Sinuhun Merah!”
Wiro lalu
terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak melihat sosok lain dalam tubuh Rauh
Kalidathi. Setelah Wiro memberitahu semua orang baru mendekati si nenek yang
tergeletak di tanah. Dada turun naik, nafas megapmegap.
Di
lehernya kelihatan menguak tiga luka memanjang. Dari sela mulut mulai mengucur
darah merah kehitaman.
“Cakar
Sukma Merah!” Ucap Ratu Randang. Lalunenek ini berteriak. “Wiro, lekas
keluarkan delapan Bunga Matahari!”
Wiro
segera keluarkan delapan Bunga Matahari dan langsung disapukan di atas luka di
leher Rauh Kalidathi.
“Anak
muda, terima kasih kau mau menolongku.Sapuan bunga hanya mengurangi rasa panas
yang memanggang tubuhku, hanya menunda kematianku.
Lukaku
terlalu parah. Racun mengindap sangat cepat dan jahat…”
“Nek, apa
yang terjadi dengan Raja?” kembaliSakuntaladewi bertanya.
“Sri
Baginda Raja Mataram, keluarga dan semuaorang dalam rombongan telah selamat aku
antar sampai di tempat rahasia. Di sana juga ada sahabat Kumara Gandamayana.
Aku diperintah Raja untuk menemui kalian. Raja berpesan agar tetap berada di
kawasan Candi Plaosan ini. Karena sebelum matahari tenggelam ada seseorang yang
akan menemui pemuda, yang disebut Kesatria Panggilan itu.
Dalam
perjalanan aku dihadang Sinuhun Muda Ghama Karadipa. Dia memaksa aku memberi
tahu dimana bersembunyinya Raja Mataram dari keluarganya. Aku tidak mau
menjawab. Lalu muncul seorang bocah membawa delapan anak kucing merah.
Binatang-binatang setan itu disuruh menyerangku. Mereka terlalu sakti.
Mereka
mengoyak leherku. Aku berpura pura mati. Sinuhun Muda kemudian menendangku.
Lalu datang seorang suruhannya berujud kakek buta. Sinuhun keparat itu tahu
kalau kalian berada di sini. Dia menyuruh kakek buta membawa dan melemparkan
tubuhku yang sekarat di tempat ini. Sinuhun dan orangorangnya, mereka tengah
merencanakan sesuatu. Mereka hendak membakar kawasan dimana mereka mencurigai
beradanya Raja Mataram.”
“Jahanam
kurang ajar!” Rutuk Kunti Ambiri. “Wiro, kita tidak bisa menunda lagi. Kita
harus cepat mencari mahluk-mahluk jahat itu! Menghabisi mereka semua!”
Rauh
Kalidathi mengangkat tangan kanan, melambai menggapai gapai ke arah Wiro.
“Anak
muda, tundukkan kepalamu di atasdadaku. Kau bermaksud terpuji mau menolong
diriku walau tidak berhasil. Aku tetap berterima kasih atas budi baikmu. Sejak
pertama melihatmu, aku sudah kagum. Aku berharap kau tetap berbakti selamanya
pada Kerajaan Mataram, Aku akan memberikan satu ilmu padamu ilmu bernama Tiga
Bayangan Pelindung Raga. Bagaimana cara mempergunakannya tanyakan nanti pada
Ratu Randang … ”
“Nek, aku
tidak berani menerima …” Wiro ingin menolak.
Jangan
menampik. Lekas, ajalku hampir sampai!”
Ratu
Randang dekatkan kepalanya pada Wiro dan berbisik. “Ikuti permintaan sahabatku
ini. Agar dia menemui kematian dengan perasaan lega…”
Wiro
akhirnya menurut juga. Kepala ditundukkan di atas dada Rauh Kalidathi.
Si nenek
kemudian letakkan telapak tangan kanannya di atas ubun-ubun Pendekar 212. Lalu
dia menarik nafas dalam. Ketika nafas dihembuskan kembali Wiro merasakan ada
hawa hangat memasuki kepalanya, menjalar sampai ke ujung kaki.
Dalam
keadaan seperti itu dia melihat satu pemandangan aneh. Di depan sana, dia
melihat samar dirinya sendiri sebanyak tiga orang. Wiro hendak menjerit saking
kagetnya tapi suara teriakan tidak keluar dari tenggorokan. Malah dia kemudian
jadi tercekat ketika melihat tangan kanan Rauh Kalidathi terkulai jatuh.
Sepasang
mata si
nenek menatap kosong ke arahnya lalu menutup. Sosok tiga dirinya lenyap dari
pemandangan.
“Sahabatku
sudah tidak ada,” ucap Ratu Randang lirih. “Aku akan mengurus jenazahnya lebih
dulu. Aku akan mencari tempat yang baik untuk kuburnya.”
“Aku akan
membantumu Nek,” kata Wiro.
“Kami
juga.” KataKunti Ambiri dan Jaka Pesolek sementara Sakuntaladewi telah
melangkah ke bawah pohon besar. Gadis ini menunjuk ke tanah, memberi tanda
kalau itu tempat yang terbaik untuk menguburkan Rauh Kalidathi.
Jaka
Pesolek memandang berkeliling. Tidak ada alat untuk menggali.
Bagaimana
mau membuat kubur? Selagi gadis ini bertanya tanya dalam hati di depan sana
Wiro menggurat tanah dengan ujung kasut kaki kanan, membuat garis empat persegi
panjang. Lalu tangan kanan dihantamkan ke pertengahan garis melepas pukulan
Tangan Dewa Menghantam Tanah.
“Blaaarr!”
Tanah
yang terkena pukulan mencuat ke atas, membuat keadaan di bawah pohon menjadi
gelap. Begitu tanah luruh ke bawah, di bawah pohon terlihat sebuah lobang besar
empat persegi panjang sedalam hampir satu tombak. Tanah yang terbongkar
bertumpuk mengitari lobang seolah diatur tangan manusia. Kalau yang lain-lain
sudah maklum akan ilmu kesaktian yang dimiliki Wiro maka Jaka Pesolek
menyaksikan dengan mulut menganga melongo. Dalam hati gadis ini berkata.
“Tangannya bisa membuat petir. Bisa membongkar tanah. Kalau tangan itu sampai
membelai tubuhku ihh …. Apa tidak merinding!”
Jenazah
Rauh Kalidathi dimasukkan ke dalam lobang. Jaka Pesolek
mengeluarkan
sehelai selendang putih lalu ditutupkan ke wajah si nenek. Dengan tangan
masing-masing semua orang mendorong tanah di seputar lobang untuk menutup liang
kubur. Wiro mengangkat beberapa batu besar yang bertebaran di sekitar candi
lalu meletakkan di atas makam. Untuk beberapa lamanya semua orang berada di
sekeliling kubur tegak berdiam diri. Dari semua mereka Ratu Randang adalah
orang yang paling sedih.
Wiro
kemudian bertanya pada Ratu Randang. “Nek, matahari sudah condong ke barat.
Kita harus segera masuk ke dalam candi untuk mengobati Dewi Kaki Tunggal.” Ratu
Randang mengangguk. “Kita coba Bunga Matahari lebih dulu.
Kalau
tidak berhasil kita pergunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.”Lalu si nenek
pegang lengan Sakuntaladewi dan menggandengnya ke arah candi. Wiro siap-siap
mengeluarkan delapan Bunga Matahari. kembali. Mendadak terdengar suara
perempuan menyanyi.
Seorang
sahabat telah pergi
Aku turut
bersedih
Sekarang
saatnya untuk berbagi budi
Apakah
insan di bawah sana menaruh sudi
**********************
LIMA BELAS
SEMUA
orang yang ada di depan candi mendongak ke atas karena suara perempuan menyanyi
itu memang seolah datang dari langit. Mereka melengak heran ketika melihat satu
batang pohon Beringin berdaun rimbun dan masih ada akarnya, melayang melintang
perlahan di udara lalu berhenti mengambang dan perlahan lahan turun, berhenti
dua tombak dari atas tanah, hanya beberapa langkah di hadapan orang-orang itu.
Pada batang pohon, duduk berjuntai seorang perempuan sangat muda, mengenakan
pakaian dan kain putih berenda, sepasang kaki berbetis putih mulus mengenakan
kasut hitam bertali tinggi melingkar sampai ke lutut. Kuku kaki yang tersembul
dari ujung kasut kelihatan dicat merah berkilat.
“Oala
cantiknya! Apakah ini yang dinamakan bidadari?” Jaka Pesolek berucap sementara
yang lain menatap tertegun sambil hati bertanya tanya.
Gadis
yang duduk di atas batang kayu memang cantik sekali. Wajahnya bulat telur,
dihias hidung mancung, alis tebal hitam, dagu bak lebah bergantung dan bibir
merah segar seperti delima merekah. Telinga yang berlekuk indah dicanteli
sepasang anting anting panjang bermata mutiara. Di leher yang putih jenjang
melingkar kalung yang juga terbuat dari untaian mutiara.
Di atas
kepala perempuan cantik jelita itu ada sebuah mahkota yang lebih tepat
dikatakan topi. Topi ini bentuknya sederhana, menyerupai atap rumah. Walau
sederhana namun ternyata terbuat dari lempengan emas murni! Dibawah topi emas,
tergerai rambut hitam panjang sepinggang yang melambai-lambai ditiup angin.
Kunti
Ambiri pegang lengan Wiro. Sepertinya ada rasa cemburu dalam diri gadis alam
roh ini.
Karena
semua orang seperti tertegun dan tidak ada yang menyapa, si cantik di atas
batang pohon kembali bernyanyi. Sambil menyanyi mata yang bagus dilayangkan ke
bawah namun jelas lebih banyak menatap ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bersunyi
diri berdiam hati
Mungkin
maksud tidak dimengerti
Wahai
para sahabat di depan candi
Tersenyumlah
sedikit, unjukkan welas berseri
“Orang
bicara dengan bernyanyi. Biar aku jawabdengan nyanyian juga!”
Kata Jaka
Pesolek. Lalu dia hendak melompat ke depan tapi cepat di pegang oleh Ratu
Randang. Sambil mencekal lengan Jaka Pesolek si nenek berbisik pada Wiro.
“Apa kau
sudah menerapkan ilmu untuk melihat sampai ke isi perut gadis di atas batang
kayu itu?”
“Sudah
Nek,” jawab Wiro. “Aku tidak melihat mahluk tersembunyi di dalam ujudnya. Tapi
itu tidak berarti aman.”
“Gadis
cantik yang duduk diatas batangan pohon. Siapakah gerangan dirimu adanya dan
datang dari mana?”
“Terima
kasih ada sahabat yang mau bertanya….”Si cantik di atas batang pohon membungkuk
menyatakan hormat pada Ratu Randang yang barusan bertanya.
“Ah,
ternyata dia bisa bicara biasa seperti kita.Jadi tidak terus-terusan menyanyi!”
Jaka Pesolek berkata sementara mata tidak lepas dari memandang wajah cantik di
atas sana.
Si cantik
di atas batang pohon pangkukan kaki kiri di atas kaki kanan.
“Namaku
Ken Parantili. Perlu aku beritahukan kalau diriku bukan seorang gadis lagi. Aku
datang dari Negeri Atap Langit. Walau Atap Langit bukan satu Kerajaan namun
Penguasa di sana sudah menganggap diri seperti Raja. Raja selalu mempunyai
sembilan belas orang selir. Saat ini aku adalah selir pada urutan pertama atau
selir kesatu….”
“Oala!
kata Jaka Pesolek sambil menyikut pinggang Wiro. “Kalau selir paling tua begini
cantik dan mulusnya bagaimana selir-selir lainnya. Pasti lebih memesona. Walau
selir satu ini tidak gadis lagi tapi kalau ehem-ehem aku tidak menolak.”
Wiro
menggelungkan lengannya di bahu Jaka Pesolek. “Jangan terlalu banyak bicara.
Kalau ternyata si cantik itu adalah lelembut kesasar, bisa mati kau
dicekiknya.”
“Tergantungdia
mencekik leher yang mana!”
Jawab
Jaka pesolek enteng saja. “Kalau dia mencekik leherku yang bisa jantan bisa
betina aku pasrah saja. Soalnya pasti mantap! He … he … he!” Habis berkata Jaka
Pesolek buru-buru menjauhi Wiro, takut dipelintir dengan cubitan.
Sakuntaladewi
mendekati Ratu Randang dan bertanya berbisik “Nek, kau tahu dimana beradanya
Negeri Atap Langit? Baru kali ini aku mendengar.”
“Aku
pernah tahu ceritanya, tapi tidak tahu berada dimana. Kabarnya itu merupakan
negeri yang penghuninya paling banyak mahluk jejadian, tempat segala macam roh
atau arwah liar jahat gentayangan.” Menjawab Ratu Randang.
“Bisa
jadi negeri itu salah satu pemukimanSinuhun Merah Penghisap Arwah dan kaki
tangannya,” kata Wiro pula. “Kunti, coba kau selidikilagi orang yang mengaku
selir Penguasa Atap Langit itu.”
“Sahabat
cantik, kau datang dari negeri yang tidak kami ketahui. Pasti negerimu jauh
dari sini.” Berkata Kunti Ambiri.
Si cantik
di atas pohon tersenyum. Melirik ke arah Wiro lalu menjawab.
“Tidak,
Negeri Atap Langit tidak jauh dari sini. Dengan mengendarai pohon ini, dari
Plaosan ini hanya sejengkal jauhnya ke arah matahari terbit.”
Semua
orang yang ada di depan candi saling pandang. Jaka Pesolek tercengang cengang.
Wiro menggaruk kepala. “Naik batang pohon, hanya sejengkal ke arah matahari
terbit. Bicara orang ini aneh. Batang pohon saja lebih dari sejengkal
panjangnya. Berarti Negeri Atap Langit ada di depan jidat kita semua atau di
belakang pantat kita.”
“Jangan
kau bicara seperti itu,” kata Ratu Randang pula. “Apa kau tidak merasa. Dari
tadi si cantik itu selalu melirik ke arahmu. Aku menduga kedatangannya ada
sangkut paut dengan dirimu.”
Wiro yang
merasa kalau si nenek cemburu segera menjawab.
“Wah,
kalau begitu tolong kau mengawasi Nek. Aku tidak mau kehilangan sisa ciumanmu
yang masih terhutang buaannyaak ……”
Wiro
langsung menggeliat ketika cubitan si nenek cantik menyambar daging
pinggangnya.
Sakuntaladewi
maju selangkah, menatap ke atas lalu bertanya. “Sahabat Ken Parantili, beri
tahu pada kami apa maksud kedatanganmu ke sini. Apa ada seseorang yang
mengutusmu?”
“Aku
datang atas kemauanku sendiri. Tidak ada yang mengutus, tapi ada seseorang
memberi nasihat…” Jawab Ken Parantili, yang mengaku sebagai selir pertama
Penguasa Negeri Atap Langit.
“Kalau
begitu katakan maksudmu lalu siapa orang yang memberi nasihat.” Berkata Kunti
Ambiri.
Sebelum
menjawab lagi-lagi Ken Parantili melayangkan pandangan ke arah Wiro. “Aku
datanguntuk meminta pertolongan. Mudah-mudahan ada budi baik yang bisa aku
terima. Penguasa Negeri Atap Langit mempunyai aturan keji dan kejam. Setiap
enam purnama, dia selalu membunuh selir pada urutan paling atas atau paling
tua. Saat ini sebagai selir yang ke satu aku akan dibunuh besok pagi, pada saat
menjelang fajar menyingsing. Malam ini adalah malam Selasa Kliwon.
Malam
yang selalu dipakai Penguasa Atap Langit untuk membunuh selir-selirnya.
Setelah
itu Penguasa Atap Langit akan mencari selir baru pengganti diriku.”
“Gila
juga Penguasa Atap Langit!”Kata Jaka pesolek setengah memaki.
“Tadi
malam, seseorang menasihatkan diriku. Jika aku ingin selamat dari kekejaman
Penguasa Atap Langit maka salah satu diantara sahabat dibawah sana bisa
menolong. Itu sebabnya aku datang mencari kalian.”
“Siapa orang
yang memberi nasihat itu?”Tanya Kunti Ambiri.
Lagi-lagi
Ken Parantili melirik ke arah Wiro baru menjawab. “Seorang sakti dari pantai
selatan. Namanya Nyi Roro Manggut.”
Wiro
keluarkan suara tersedak. Kaki tersurut setumit. Air muka berubah. Kunti Ambiri
yang tahu riwayat orang bernama Nyi Roro Manggut itu langsung berpaling ke arah
Wiro. Ratu Randang bertanya pada sang pendekar.
“Kau
kenal dengan orang yang barusan disebutselir itu?”
“Dia
nenek sakti pembantu kepercayaan Nyi Roro Penguasa Pantai Selatan.
Dia yang
memberi ilmu Meraga Sukma padaku Jawab Wiro dengan suara tersendat.
“Dugaankutidak
meleseti” KataRatu Randang. “Selir itu kesini memang mencarimu!”
Wiro
menggaruk kepala. “Belum tentu mencariaku Nek. Coba diminta agar dia mengatakan
atau menunjuk langsung siapa orang yang dimaksudkan bisa menolong dirinya.”
“Baik,
akan aku tanyakan. Kau jangan mencoba kabur dari sin!!” Jawab Ratu Randang.
Lalu si nenek berseru. “Sahabat di atas sana. Siapadiantara kami di sini yang
menurutmu mampu menolongmu?”
Ken
Parantili membungkuk. Tangan kanan disapukan ke bawah lalu diangkat, ibu jari
menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabat yangbahunya robek,
berambut panjang dan menurut Nyi Roro Manggut bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua…”
“Selesai
sudah!” Celetuk Jaka Pesolek sementara semua orang terdiam menatap ke arah
Wiro.
“Aku
tidak punya kepandaian apa-apa. Aku…” Wiro berkata gagap.
“Sudah,
jangan mencari dalih. Orang sudah menunjuk dirimu karena sudah tahu kau siapa…”
KataRatu Randang pula.
Diatas
batang pohon yang mengambang di udara Ken Parantili mengangkat wajahnya
sedikit, menatap ke arah langit jernih lalu mulut melantunkan nyanyian.
Dari Atap
Langit ke Kaki Bumi
Perjalanan
jauh terasa satu jengkal
Datang
untuk memohon budi
Bukan
untuk mencari tumbal
Dari Atap
Langit Ke Kaki Bumi
Menyanding
budi dengan balas
Kalau
selamat nyawa di badan
Sebagai
balas arwah jahat tentulah amblas
“Apa arti
dan maksud nyanyian selir itu?”Tanya Wiro sambil menggaruk kepala.
“Aku
tidak tahu. Aku tidak mau lagi bertanya. Kalau kau ingin tahu kau saja yang
bertanya.” JawabRatu Randang.
Wiro
kembali menggaruk kepala. Menatap ke atas lalu berseru. “Sahabat, aku … anu ….
bagaimana caranya aku menyelamatkan nyawamu dari tangan jahat Penguasa Atap
Langit?”
“Sangat
mudah, sangat mudah.” Jawab KenParantili.
“Mudah
bagaimana? Apa semudah membaliktelapak tangan?” Tanya Wiro lagi. “Caranya hanya
dengan tidur bersamaku sejak matahari tenggelam sampai fajar menyingsing pada
malam ini, malam Selasa Kliwon.”
Sementara
semua orang yang ada di situ tersentak kaget terutama Wiro, Jaka Pesolek
berteriak. “Oala! Kalau caranya begitu aku juga mau! Aku pasti bisa!”
“Gadis
konyol! Kencing saja kau tidak bisa! Mau…!”Kunti Ambiri tidak meneruskan
ucapannya tapi lantas tertawa cekikikan.
T A M A T
No comments:
Post a Comment