Lembah
Akhirat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*******************
SATU
Bayangan
putih yang berkelebat di malam gelap dan dingin itu tiba-tiba lenyap laksana
ditelan bumi. Beberapa saat kemudian satu bayangan lagi muncul di tempat itu.
Sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya orang ini memandang
berkeliling. Ternyata dia seorang pemuda berwajah tampan, berkumis tipis,
mengenakan pakaian serba merah. Sehelai kain hitam menutupi kepalanya sampai ke
kening.
“Heran,
apa dia punya ilmu amblas ke dalam tanah? Barusan saja aku masih melihat dia
berada di depanku. Bagaimana tahu-tahu lenyap tanpa bekas?” Orang yang berkata
dalam hatinya itu memandang berkeliling. “Malam gelap sekali. Tapi mataku tak
bisa ditipu. Tak ada pohon besar untuk bersembunyi. Tak ada semak belukar untuk
mendekam. Aneh….”
Orang ini
lalu melangkah ke kiri. Dari sini dia membuat gerakan memutar. Tetap saja orang
yang tadi diikutinya tidak kelihatan. “Apa aku meneruskan perjalanan saja
menuju Kutogede. Bagaimana kalau berpapasan lagi dengan guru. Seperti kejadian
beberapa hari lalu. Hampir aku kepergok olehnya! Kalau dia sampai menemuiku
bakalan celaka diriku! Selain itu aku harus memberitahukan satu hal penting
pada orang yang kukejar tapi lenyap begitu saja!”
Sambil
bicara dalam hati, sepasang mata orang ini terus memandang kian kemari. Apa
yang dicarinya tidak kelihatan. Sesaat dia merasa bingung. Apa akan terus
mencari orang yang tadi dikejarnya atau meneruskan perjalanan saja. Selagi dia
menimbangnimbang begitu tiba-tiba dari sebuah lobang sedalam pinggang yang
nyaris tak kelihatan karena tenggelam dalam kegelapan malam yang sangat pekat
menyambar serangkum angin dahsyat. Menghantam ke arah pemuda berpakaian merah
yang tegak di tempat terbuka itu. Meski terkejut mendapat serangan tak terduga
itu namun karena sebelumnya dia telah berlaku waspada maka begitu sambaran
angin yang sanggup menghancurkan batu mematahkan pohon besar itu menderu ke arahnya,
pemuda berbaju merah melompat ke udara. Dengan sudut matanya dia telah melihat
dari mana datangnya serangan gelap itu. Karenanya begitu melayang turun pemuda
ini balas melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi,
diarahkan ke lobang di kegelapan.
“Wusss!”
“Byarrr!”
Lobang
terbongkar. Tanah laksana berubah jadi air dan muncrat ke udara. Dalam gelap
terdengar suara orang memaki lalu samar-samar tampak bayangan putih melayang ke
udara. Pemuda berbaju merah mengikuti gerakan tubuh yang melayang. Ketika dia
hendak menghantam kembali tiba-tiba dia melihat ada sebuah benda melesat di
udara. Sebelum dia sempat melihat jelas, tahu-tahu sekujur tubuhnya telah
dilibat ikatan benang halus berwarna putih.
“Ah!
Memang dia rupanya!” kata pemuda berpakaian merah begitu dia mengenali benda
apa yang mengikatnya hingga dia tak mampu bergerak barang sedikit pun.
Tiba-tiba dari arah kegelapan benang putih halus itu dikedut orang. Tak ampun
lagi tubuh si pemuda melesat ke udara. Lalu laksana layang-layang ditarik ke
bawah hingga menghunjam tajam ke arah tanah. Bersamaan dengan itu dari
kegelapan terdengar orang berteriak.
“Makan
tanganku! Jebol batok kepalamu!”
“Astaga!
Dia hendak membunuhku!” ujar si pemuda. Dalam keadaan terikat dan melayang
begitu rupa dia coba gerakkan badannya ke kiri seperti gelondongan kayu. Tapi
orang di dalam gelap lebih cepat menyentakkan benang yang mengikat tubuhnya.
Akibatnya sernakin deras dirinya tertarik ke bawah, kepala lebih dulu! “Celaka!
Hancur kepalaku!”
“Kek!
Jangan bunuh diriku!”
“Eeee
anak gila! Walau gelap aku tidak buta! Orang berpakaian merah yang menguntitku
sejak dari pantai dua hari lalu ini adalah seorang pemuda! Tapi mengapa
suaranya seperti perempuan? Apa masih ada banci di dunia ini?!”
“Kek! Aku
Puti Andini! Jangan….”
“Anak
setan kurang ajar! Akan aku rotan kau sampai seribu kali!” “Dettt…
dettt…dettt!” Benang halus putih kembali dikedut orang sampai tiga kali. Sosok
orang berpakaian merah melayang berputar satu kali. Kalau tadi tubuhnya
menghunjam deras ke tanah maka kini tubuh itu laksana layang-layang yang
diturunkan bergerak ke bawah perlahan-lahan dan akhirnya tergolek menelentang
di tanah.
“Gadis
nakal! Terlambat kau mengatakan siapa dirimu, nyawamu tak ketolongan!
Apa yang
kau lakukan itu? Kau sengaja mencari mati?!” Seorang tua berpakaian putih
berkepala botak plontos muncul di samping Puti Andini yang menyamar sebagai
seorang pemuda. “Kek, buka dulu ikatan Benang Kayanganmu. Nanti aku
terangkan….” “Kau kira aku tak tahu sejak dua hari lalu kau menguntitku terus
menerus…!” “Betul, tapi buka dulu ikatan benang saktimu. Aku sulit bernafas!”
“Itu
hukuman agar kau tahu rasa!” jawab orang dalam gelap. Lalu dia gerakkan
tangannya dua kali. Benang sakti yang melibat tubuh orang yang terhampar di
tanah secara aneh terbuka. Orang ini segera membuka kain lebar yang menutupi
kening dan kepalanya. Begitu penutup kepala terbuka maka terlepaslah rambut
panjang yang sebelumnya tergulung. Lalu tangannya bergerak menanggalkan kumis
tipis yang menghias bagian atas bibirnya. Serta merta wajahnya yang tadi
kelihatan seperti wajah pemuda tampan dan halus kini berubah menjadi wajah
seorang gadis cantik berambut panjang. Dengan cepat gadis ini melompat tegak
dan menjura. Orang tua yang berdiri di depannya keluarkan tawa mengekeh.
“Hebat
juga dandanan penyamaranmu! Sekarang ayo katakan mengapa kau menguntit
membayangiku terus menerus! Apa kau tidak sadar itu pekerjaan berbahaya yang
membuatku bisa salah menurunkan tangan maut?! Kau tahu banyak orang yang ingin
membunuhku sejak beberapa waktu belakangan ini!”
“Maafkan
aku Kek. Aku tadinya masih meragukan apa kau yang aku ikuti selama beberapa
hari ini benar-benar kakekku Tua Gila. Soalnya penyamaranmu jauh lebih hebat
dariku!”
Orang tua
berkepala botak tertawa terkekeh-kekeh. Tangan kirinya bergerak ke bagian
belakang kepala. Sekali dia menarik maka terlepaslah satu topeng tipis yang
membungkus muka dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah
seorang kakek cekung keriput. Sepasang matanya memiliki rongga dalam dan sangat
lebar. Rambutnya, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai
ditiup angin. Ternyata dia adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan
julukan Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati dan di masa mudanya juga
dikenal dengan julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa.
“Kita
sama-sama menyamar. Tentu punya alasan. Apa alasanmu Cucuku?” tanya Tua Gila
pada Puti Andini yang memang adalah cucunya sendiri. (Seperti dituturkan dalam
Episode I Tua Gila Dari Andalas) dari hubungan cintanya dengan Sabai Nan Rancak
di masa muda lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Andam Suri. Anak
ini kemudian kawin dengan Datuk Paduko Intan. Ketika melahirkan Puti Andini,
Andam Suri meninggal dunia. Datuk Paduko Intan melenyapkan diri. Ternyata dia
telah menjadi searang Raja kecil di sebuah kerajaan pulau Sipatoka. Dari
istrinya yang kedua Datuk Paduko Intan dikarunia seorang putera yakni Datuk
Pangeran Rajo Mudo. Kalau tidak tersesat ke pulau Sipatoka itu seumur hidup Tua
Gila tak akan pernah bertemu dengan bekas menantu dan puteranya yang berarti
adalah juga cucunya.
“Puti
Andini, kau belum mengatakan mengapa kau menyamar dan meninggalkan pulau
Andalas?”
“Tak lama
setelah Datuk Angek Garang meninggalkan Andalas, guruku Sabai Nan Rancak juga
berangkat. Dia berpesan agar aku segera kembali ke Singgalang. Tapi setelah
ditinggal sendirian aku merasa apa gunanya mendekam di gunung itu. Walau aku
mendapat pengalaman pahit di tanah Jawa sebelumnya tapi perasaan hatiku
mendorongku untuk kembali ke sini. Untuk menghindarkan segala macam urusan yang
tidak diduga, terutama jangan ketahuan guru aku terpaksa menyamar…, Nah
sekarang giliranmu Kek menceritakan mengapa kau menyamar jadi kakek botak!”
Tua Gila
tertawa lebar lalu berkata. “Aku tahu perasaan hati yang mana yang paling keras
mendorongmu untuk kembali ke tanah Jawa ini. Kau ingin menemui muridku si
sableng itu bukan?” Tua Gila tertawa mengekeh melihat paras Puti Andini menjadi
merah.
“Kau
jangan mengganggu aku Kek!” kata si gadis seraya memalingkan wajahnya ke
jurusan lain. “Ayo lekas kau ceritakan apa sebabnya kau menyamar.” “Banyak
orang yang ingin membunuhku. Kau tahu sendiri. Salah seorang diantaranya adalah
gurumu Sabai Nan Rancak. Kemanapun aku pergi maut selalu membayangi. Aku tidak
takut mati. Tapi ada beberapa urusan yang perlu aku selesaikan kalaupun kelak
aku harus mati. Di tengah perjalanan menuju kesini aku mendapat kabar dari
seorang sakti di kawasan laut selatan bahwa satu malapetaka telah menimpa
muridku Wiro Sableng. Bahaya besar mengancam dirinya. Selama seratus hari dia
akan kehilangan semua ilmu silat dan kesaktiannya. Aku harus melakukan sesuatu
untuk menolongnya. Celakanya dimana dia berada belum ku ketahui. Kemungkinan
dia berada di Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Sebelum menuju ke sana aku
akan menyelidik dulu barang beberapa hari….”
“Aku
dapat membayangkan kesulitan besar yang kau hadapi Kek. Kalau saja aku bisa
menolong….” Puti Andini terdiam sesaat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana dengan
Malin Sati, muridmu itu Kek?”
Wajah Tua
Gila langsung berubah mengelam. Rahangnya menggembung dan pelipisnya
bergerak-gerak. “Anak malang …” desah si kakek. “Setelah kusadari dirinya hanya
tinggal tubuh kasar, anak itu aku kuburkan di sebuah pulau….”Sampai di sini Tua
Gila hentikan penuturannya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah akan
diceritakannya pertemuannya dengan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan yang adalah ayah
kandung cucunya itu. Juga tentang Datuk Pangeran Rajo Mudo yang merupakan
saudara satu ayah Puti Andini. “Urusan nanti bisa panjang. Aku khawatir. Untuk
sementara biar aku rahasiakan dulu ihwal orang-orang itu pada gadis ini….”
Wajah Tua
Gila tampak berkerut. Dia seperti merenung.
Karena
lama orang tua itu tidak kunjung membuka mulut maka Puti Andini lalu berkata.
“Kek, tak lama setelah aku menginjakkan kaki di Jawa ini aku menyirap kabar
tentang adanya sebuah kitab maha sakti disebut Kitab Wasiat Malaikat. Konon
kitab itu berada di tangan Datuk Lembah Akhirat yang diam di sebuah lembah
bernama Lembah Akhirat. Aku pernah tahu tentang Kitab Wasiat Iblis dan Kitab
Putih Wasiat Dewa. Katanya Kitab Wasiat Malaikat ini jauh lebih hebat dari dua
kitab itu. Menurut kabar, Datuk Lembah Akhirat akan memberikan kitab sakti itu
pada siapa saja yang dianggapnya cocok. Apa kau pernah tahu hal ihwal Kitab
Wasiat Malaikat itu Kek?”
“Aku
memang mendengar berita itu. Bahkan apa yang ku dengar kitab itu hanya akan
diberikan pada orang yang berjodoh tapi harus dari golongan putih. Lalu
kabarnya telah jatuh beberapa korban dalam memperebutkan kitab tersebut.
Bagaimana urusannya kurang jelas bagiku. Aku tidak tertarik untuk
mendapatkannya karena urusanku jauh lebih penting. Apa kau berniat mencarinya?”
tanya Tua Gila.
“Mungkin….
Siapa tahu aku berjodoh” jawab Puti Andini.
“Mudah-mudahan
kau memang berjodoh mendapatkannya. Namun jika kau suka dan jika kau ada niat
hendak menolong muridku Pendekar 212, ada satu hal yang bisa kau lakukan.”
Mendengar
disebutnya Pendekar 212 sepasang mata si gadis kelihatan membesar dan
mengeluarkan cahaya. “Kek, aku akan melakukan apa saja untuk menolong muridmu
itu. Katakan apa yang kau ingin aku lakukan.”
“Puluhan
tahun silam ketika aku dan Sinto Gendeng masih sama-sama menuntut ilmu sebagai
saudara satu guru kami diwarisi dua senjata mustika sakti. Yang pertama adalah
sebilah pedang putih disebut Pedang Naga Suci 212. Senjata kedua berupa sebilah
kapak bermata dua disebut Kapak Naga Geni 212. Sinto Gendeng memilih Kapak Naga
Geni 212 dan dia berhasil mendapatkannya. Padahal senjata itu seharusnya cocok
untuk diriku yang laki-laki. Aku berembuk dengan Sinto Gendeng agar kapak
diserahkan padaku dan dia mengambil pedang saja. Tapi waktu itu kami sudah
berseteru karena aku berlaku culas dalam bercinta dengan dirinya. Sinto Gendeng
melenyapkan diri membawa Kapak Naga Geni 212 dan sekaligus menyembunyikan
Pedang Naga Suci 212 di suatu tempat. Bertahuntahun aku berusaha mencari pedang
itu tapi sulit dijajagi dimana beradanya. Ketika akhirnya aku mengetahui letak penyimpananya,
aku tidak berminat lagi. Sekarang kurasa tiba saatnya aku menyelusuri lagi
keberadaan pedang sakti itu. Namun bukan untuk diriku dan aku tidak punya waktu
untuk mencarinya. Mungkin kau berjodoh dengan Pedang Naga Suci 212 itu ….”
Puti
Andini terbelalak mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Mungkinkah aku salah
dengar atau orang tua ini yang salah bicara?” pikirnya. “Pedang maha sakti itu
hendak diberikannya padaku?!”
*******************
DUA
Tua gila
menatap paras gadis di depannya beberapa lama lalu bertanya. “Mengapa kau
terbelalak? Kau kira aku main-main?” Polos saja Kek, mengapa kau mau
menyerahkan senjata itu padaku?” tanya Puti Andini.
“Hemmm….
Itu rupanya yang ada dalam benakmu. Baik aku tua bangka ini akan coba menjawab.
Hik… hik… hik!” Tua Gila tertawa dulu baru meneruskan ucapannya. “Pertama aku
sudah tua, sudah bau tanah, tinggal menunggu datangnya malaikat maut saja. Suat
apa aku menghabiskan waktu mencari Pedang Naga Suci 212? Apa aku masih mau jadi
jagoan? Ha… ha… ha! Kedua Pedang Naga Suci 212 itu dirancang untuk perempuan.
Aku tak mau dikatakan banci karena memakai pedang perempuan. Hik… hik… hik!
Yang ketiga daripada senjata itu kuberikan pada orang lain bukankah lebih baik
aku berikan padamu cucuku sendiri? Hal ke empat, dulu kau dikenal dengan
julukan Dewi Payung Tujuh. Gadis cantik sakti bersenjata tujuh buah payung.
Sejak senjatamu dihancurkan musuh kini kulihat kau tidak lagi memiliki senjata
lain….”
“Aku akan
menemui seorang ahli pembuat payung di pantai utara Jawa,” menerangkan Puti
Andini.
“Itu
bagus. Namun rasanya lebih baik kalau tujuh buah payung itu kau ganti dengan
sebilah pedang. Apa kau tidak merasa berabe ke mana-mana membawa tujuh buah
payung?”
Cucu Tua
Gila itu mengusap pipinya beberapa kali lalu berkata. “Kek, aku mau saja
mengganti payung dengan pedang. Tapi bagaimana kalau guruku Sabai Nan Rancak
nanti menanyakan? Ilmu payung tujuh itu aku pelajari darinya.”
“Ah itu
urusanmu dengan dia. Bukankah kau pandai mencari akal? Ha… ha… hal”
Tua Gila
lalu meneruskan. “Hal terakhir yang paling penting ialah Pedang Naga Suci 212
memiliki
daya pengobatan luar biasa. Mungkin dengan senjata itu malapetaka yang tengah
dihadapi muridku Wiro Sableng bisa dimusnahkan.”
Sepasang
mata Puti Andini membesar ketika mendengar nama Pendekar 212 disebutkan. “Kalau
memang begitu katamu aku akan segera mencari Pedang Naga Suci 212. Namun tentu
saja untuk mencari senjata itu akan memakan waktu. Apakah muridmu bisa
bertahan…?” “Itulah yang aku risaukan,” jawab Tua Gila. “Tadinya aku berencana
pergi ke Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Namun rasanya terpaksa aku
batalkan. Lebih baik aku mencari muridku lebih dulu…. Sekarang aku akan
memberitahu dimana Pedang Naga Suci 212 berada. Di dasar telaga besar
Gajahmungkur!” Puti Andini tampak terkejut. “Kek, sesuai kabar yang aku sirap
dan kalau aku tidak salah, bukankah telaga itu berada di tempat yang disebut
Lembah Akhirat?”
Tua Gila
mengangguk. “Aku tahu maksudmu. Menurut hikayat yang aku dengar, ratusan tahun
silam terjadi satu bencana alam besar. Sebuah pedataran luas di barat daya
Gunung Lawu tiba-tiba digoncang gempa dahsyat. Pedataran itu amblas ke pusar
bumi membentuk sebuah lembah luas. Sebagian dari lembah digenangi air aliran
Bengawan Solo, membentuk sebuah telaga yang kemudian diberi nama Telaga
Gajahmungkur. Ratusan penduduk tenggelam menemui ajal di telaga ini. Sebagian
pedataran lagi berubah menjadi lembah. Ternyata di sini lebih banyak penduduk
yang amblas tertimbun tanah. Orang-orang menamakan lembah ini sebagai Lembah
Akhirat. Dan kini kabarnya di tempat itu berada Kitab Wasiat Malaikat yang
lebih hebat dari Kitab Wasiat Iblis ataupun Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesuai
namanya maka Kitab Wasiat Malaikat hanya boleh dikuasai oleh orang-orang
golongan putih. Nah kalau kau berangkat ke tempat itu, aku harap kau lebih dulu
mencari Pedang Naga Suci 212. Baru mencari Kitab Wasiat Malaikat jika memang
itu juga menjadi tujuanmu….”
“Kek,
Telaga Gajahmungkur itu setahuku luas bukan main. Bagaimana aku bisa menemukan
Pedang Naga Suci 212 itu?”
“Aku
tidak suka mendengar ucapan seperti itu!” kata Tua Gila dengan keras dan mata
cekung membelalak. “Kita orang-orang persilatan tidak boleh mengenal kata tidak
bisa!”
Puti
Andini merasa kecut melihat wajah kakeknya sendiri. Melihat sikap cucunya itu
Tua Gila tertawa dan bertanya. “Memangnya kau tidak bisa berenang?” .
“Aku bisa
berenang Kek. Tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Telaga Gajahmungkur selain
luas juga dalam sekali. Mampukah aku menyelam lama untuk mencari senjata sakti
itu?”
“Pasti
mampu! Kau harus menyelam walaupun sampai seribu kali! Bahkan sampai kiamat!
Jangan tinggalkan Telaga Gajahmungkur sebelum kau dapatkan Pedang Naga Suci
212! Itu perintah dari aku kakekmul Dan kau akan kualat kalau tidak
melakukannya!”
“Aku
berjanji mengikuti perintahmu itu Kek,” jawab Puti Andini. “Lalu kalau Pedang
Naga Suci 212 berhasil aku temukan, di mana aku akan mencari muridmu untuk
mengobati?”
Tua Gila
usap-usap janggut putihnya. “Kita membuat janji saja. Malam bulan purnama empat
belas hari yang akan datang kita bertemu di timur Telaga Gajahmungkur.
Mudah-mudahan aku telah berhasil menemukan muridku. Sekarang aku harus pergi….”
“Tunggu
dulu Kek, ada sesuatu yang perlu aku beritahu padamu,” kata Puti Andini seraya
memegang lengan kakeknya.
“Hemm,
ada apa lagi?” tanya Tua Gila. Sewaktu sang cucu hendak menjawab Tua Gila
angkat tangan kirinya memberi isyarat. Lalu dengan sangat perlahan dia berkata.
“Aku punya firasat ada seseorang mendengarkan pembicaraan kita. Dia bersembunyi
di sekitar sini. Aku dapat mencium baunya ….”
Tua Gila
dan juga Puti Andini memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-.apa. Tibatiba
dari arah kanan terdengar suara berkeresek dan muncul satu moncong panjang
disusul tubuh gemuk yang kemudian berlari cepat dan lenyap dalam kegelapan
malam.
“Hanya
seekor babi hutan Kek. Apa yang perlu kau khawatirkan?” ujar Puti Andini.
Tua Gila
tertawa mengekeh. “Mudah-mudahan penciumanku tidak saru dengan bau binatang
tadi.. .. Nah, kau hendak mengatakan apa Cucuku?”
“Ketika
masih berada di Pulau Andalas, aku mendengar guruku Sabai Nan Rancak
dan Datuk
Angek Garang berjanji bertemu pada hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo
dekat
Candi Mendut”
Mendengar
disebutnya nama Datuk Angek Garang rahang Tua Gila langsung menggembung. “Datuk
keparat pembunuh muridku itu! Dia tak bakal lolos dari kematian!”
Tua Gila
gerakkan jari-jari tangan kanannya. Lima tulang jarinya terdengar berkeretakan.
“Sekarang
sudah delapan hari lewat dari waktu yang kau sebutkan itu. Berarti mereka sudah
tak ada lagi di situ,” kata Tua Gila pula.
Puti
Andini gelengkan kepala. “Malam tadi tak sengaja aku melihatnya di Jenar,
tengah menuju ke utara. Jika dia memang menuju ke tempat perjanjian berarti
malam ini dia akan sampai di sana. Bukit Tegalrejo itu tak jauh dari sini
Kek….”
“Cucuku,
keteranganmu sangat penting artinya bagiku. Aku mengucapkan terima kasih. Aku
akan segera menyelidiki kawasan sekitar bukit itu”
“Aku ikut
bersamamu Kek!”
“Tidak
bisa! Apa kau lupa tugasmu? Mencari Pedang Naga Suci 212?!” “Maafkan aku Kek,”
kata Puti Andini cepat. “Nah, aku pergi sekarang!” Dengan cepat Tua Gila
mengenakan kembali topeng tipisnya. Maka kembali berubahlah dia menjadi seorang
kakek kepala botak. Sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu.
Sesaat
setelah Tua Gila berlalu Puti Andini segera pula hendak mengenakan kain hitam
tutupan kepala dan menempelkan kumis palsunya. Namun tiba-tiba “bettt!”
Satu
bayangan hitam berkelebat. Sesosok tubuh berdiri di depan Puti Andini membuat
gadis in tersurut beberapa langkah!
“Mana
dia?!” orang di depan Puti Andini membentak.
*******************
TIGA
Sepasang
mata membeliak memperhatikan Puti Andini mulai dari kepala sampai ke kaki. Si
gadis melihat seorang nenek berjubah hitam, berambut putih panjang riapriapan
dan berwajah bulat dengan tahi lalat di dagu kiri. Sepuluh kuku jarinya panjang
dan berwarna hitam. Perempuan tua ini bukan lain adalah Sika Sure Jelantik yang
juga telah berada di tanah Jawa dalam menguntit dan mengejar Tua Gila.
Sebelumnya dia telah bertekad untuk membunuh kekasih di masa mudanya itu. Namun
kemudian dia dilamun oleh rasa serakah yakni ingin sekaligus mendapatkan Kalung
Permata Kejora yang diketahuinya berada di tangan Tua Gila. Namun ketika tahu
bahwa benda itu tak ada lagi pada Tua Gila maka dia memutuskan untuk menguntit
si kakek. Sampai dia mengetahui dimana beradanya kalung sakti tersebut baru dia
akan menghabisi manusia yang sangat dibencinya itu.
“Gadis
tolol! Apa kau tuli atau gagu hingga tak menjawab pertanyaan orang?!” Sika Sure
Jelantik menghardik garang. “Mana dia? Aku dapat mencium baunya!”
“Nek….
Siapa yang kau maksudkan?” tanya Puti Andini karena mendadak ditanya tanpa tahu
ujung pangkal.
Sika Sure
Jelantik hendak membentak kembali tapi kali ini dia bisa sedikit menguasai
diri. “Aku mencari seorang kakek berpakaian putih. Punya janggut putih, rambut
putih, kumis putih! Muka cekung dan mata selebar ini!” Si nenek pergunakan
jari-jari tangannya untuk membuka lebar-lebar kedua matanya.
Otak
cerdik Puti Andini cepat bekerja. “Jangan-jangan nenek ini salah satu yang
pernah jadi kekasih kakekku di masa muda lalu dikecewakan. Setelah tua menjadi
musuh dan kini ingin membalaskan dendam. Hemmm… Betapa pun jahatnya Tua Gila
dulu, dia tetap kakekku. Aku harus membelanya. Biar aku mempermainkan nenek
ini, mengajaknya bicara panjang lebar, agar Tua Gila bisa lari lebih jauh….”
Puti
Andini cepat menjura. “Maafkan aku tak segera menjawab. Aku masih terkejut
dengan kehadiranmu yang tiba-tiba. Pasti kau seorang berkepandaian tinggi. Aku
yang muda sekali lagi mohon maaf. Mengenai orang yang kau tanya itu aku sejak
tadi berada di sini dan tak melihat siapa-siapa….”
“Jangan
dusta! Baunya masih tercium di tempat ini!” bentak Sika Sure Jelantik.
“Tadi
memang ada yang muncul di sini Nek. Di sebelah sana. Lalu kabur ke jurusan
sana. Tapi bukan manusia. Seekor babi hutan gemuk!”
“Jahanam!
Kutampar mulutmu, ku rusak wajahmu yang cantik baru tahu rasa! Aku bertanya
manusia mengapa kau memberikan jawaban binatang?!”
“Itulah
Nek, harap kau tidak marah. Yang kulihat di sini memang hanya seekor babi
hutan. Mungkin saja orang yang kau cari itu memang lewat di sini sebelum aku
berada di tempat ini. Aku lihat kau seorang nenek yang baik. Jika aku bisa
menolong pasti aku akan melakukan!”
“Anak bau
kencur sepertimu ini bisanya apa!” ujar Sika Sure Jelantik masih marah tapi
sudah agak mengendur. “Kau sendiri mengapa malam-malam buta begini ada di
sini?”
Puti
Andini mulai bersandiwara. Dia tak segera menjawab tapi unjukkan wajah murung.
Lalu dengan suara agak tersendat dia menjawab. “Aku…. Ada tugas yang harus
kulakukan. Aku harus menemukan sebuah batu hitam yang kabarnya berada di dasar
Telaga Gajahmungkur….”
“Ada-ada
saja kau ini! Kalau cuma sebuah batu hitam di mana pun ada. Mengapa sampai
mencari ke dasar telaga? Kau mau berapa gerobak batu hitam hah?!”
“Yang
kucari bukan batu hitam biasa Nek,” jawab Puti Andini. “Batu itu memiliki
mukjizat besar untuk mengobat penyakit…. Kabarnya ada di dasar Telaga Gajahmungkur.”
“Eh,
memangnya siapa yang sakit?” Sika Sure Jelantik mulai tertarik.
“Ibuku…”
jawab Puti Andini.
“Apa
sakit ibumu sampai hanya sebuah batu yang mampu mengobatinya?”
“la
menderita sakit dan sengsara batin karena ditinggal ayah. Ayah tergoda oleh
seorang gadis penghibur lalu meninggalkan ibu begitu saja sejak setahun silam….
Aku telah berupaya mencari dukun, tabib dan berbagai orang pandai tapi sia-sia
saja. Seorang sakti mengatakan tentang batu hitam itu. Hanya itu kini
satu-satunya harapanku untuk mengobati ibu….”
“Dasar
laki-laki! Semua memang jahanam!” kata Sika Sure Jelantik pula sambil
mengepalkan tinju.
Puti
Andini menyeka matanya dengan ujung baju merah dan memperkeras isakannya.
“Jangan
menangis! Aku paling tidak suka melihat orang menangis! Apa lagi perempuan! Itu
sebabnya lelaki mencemoohkan kita sebagai makhluk lemah! Setan betul!”
“Aku
menangis bukan karena apa Nek. Tapi karena aku sangat khawatir tak bakal pernah
bisa mendapatkan batu hitam pengobat ibuku itu.”
“Eh,
mengapa begitu? Bukankah kau sudah tahu batu itu berada di dasar Telaga
Gajahmungkur?”
“Betul
Nek. Tapi telaga itu luas dan dalam sekali. Walau aku bisa berenang tak mungkin
aku sanggup menyelam berlama-lama….”
Dua bola
mata Sika Sure Jelantik membesar. “Anak ini seperti tahu aku punya kepandaian
menyelam dalam air. Jangan-jangan dia sengaja hendak mengajakku….”
“Nek,
mengapa kau memperhatikan aku melotot begitu rupa?” tanya Puti Andini sedih.
“Tidak,
tidak apa-apa,” jawab Sika Sure Jelantik.
“Kalau
begitu izinkan aku pergi. Aku harus mencari batu itu sampai dapat….”
“Tunggu
dulu…!” Si nenek berkata.
“Kau
ingin mengatakan sesuatu Nek?”
“Aku akan
memberikan satu ilmu kepandaian padamu. Tapi hanya punya kekuatan selama
seratus hari….”
Puti
Andini unjukkan wajah kaget. “Ilmu… ilmu apa yang hendak kau berikan padaku
Nek?”
“Agar kau
bisa berada dalam air dalam waktu lama. Agar kau bisa menyelam sampai ke dasar
telaga dan mencari serta mendapatkan batu hitam pengobat ibumu itu!”
“Nek, kau
tidak main-main atau bagaimana? Kita baru saja kali ini bertemu tapi kau hendak
memberikan ilmu kepandaian….”
“Sudahlah,
jangan banyak bertanya! Sebelum ilmu itu aku berikan padamu kau harus berjanji!
Setelah ibumu sembuh kau harus mencari ayahmu, memintanya kembali pada ibumu….”
“Aku akan
lakukan petunjukmu itu Nek. Tapi bagaimana kalau ayahku menolak?”
“Kau
harus membunuhnya! Laki-laki seperti ayahmu itu harus disingkirkan dari muka
bumi! Jika kau tidak bersedia mengikat perjanjian, ilmu itu tidak akan
kuberikan….”
Puti
Andini pura-pura termenung. Sejurus kemudian dia menganggukkan kepala.
“Aku
berjanji Nek.”
“Satu hal
perlu kau ketahui. Begitu ilmu itu masuk ke dalam tubuhmu kau akan tergeletak
pingsan selama satu hari satu malam di tempat ini….”
Paras
Puti Andini jadi berubah. “Kalau begitu…. Maukah kau menolong meletakkan aku di
tempat yang aman? Aku khawatir kawasan ini banyak celengnya. Bisa-bisa….”
“Jangan
terlalu banyak meminta. Kalau kau sudah kuberi ilmu dan kau pingsan, bukan
urusanku lagi mengurus dirimu! Katakan kau mau ilmu itu atau tidak? Terserah!”
“Baik
Nek, bagaimana menurutmu sajalah!” jawab Puti Andini.
“Sekarang
mendekat ke sini!”
Murid
Sabai Nan Rancak itu melangkah ke hadapan Sika Sure Jelantik.
“Dongakkan
kepalamu dan pejamkan mata!” perintah si nenek selanjutnya seraya melipat jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Puti
Andini lakukan apa yang dikatakan si nenek. Begitu dia mendongak dan pejamkan
mata tiba-tiba dia merasakan ada dua benda tumpul menekan dan menutup sepasang
lobang hidungnya. Satu aliran hawa dingin mengalir masuk ke dalam jalan
pernafasannya. Kepalanya terasa mau pecah. Lidahnya terjulur dan sepasang bola
matanya seperti mau melompat dari rongganya. Gadis ini keluarkan pekik
kesakitan lalu roboh tak sadarkan diri.
Sika Sure
Jelantik menghela nafas dalam. Dia membungkuk mengusap wajah Puti Andini hingga
mata dan mulutnya terkatup kembali. Tiba-tiba seolah baru sadar si nenek
berkata. “Tololnya diriku. Aku sama sekali tidak menanyakan namanya! Ah
sudahlah” Si nenek pandang wajah gadis itu sekali lagi lalu tinggalkan tempat
itu.
*******************
EMPAT
Satu
pemandangan luar biasa tampak di hutan Delanggu. Sebuah tandu besar terbuat
dari lima buah batang pohon kelapa dipanggul oleh empat orang kakek bertubuh
tinggi kerempeng. Gerakan mereka lincah dan cepat menyeruak di antara semak
belukar dan kerapatan pepohonan. Padahal lima batang kelapa itu beratnya bukan
main. Apalagi diatas tandu itu kelihatan bergelung sesosok tubuh gemuk luar
biasa. Suara dengkurnya yang berkepanjangan menandakan si gendut ini tengah
tertidur lelap. Namun anehnya sebuah pipa panjang yang mencantel di sela
bibirnya terus saja mengepulkan asap, menebar bau tembakau yang tidak sedap.
Siapakah adanya orang gemuk yang ditandu oleh empat kakek kurus itu? Dia bukan
lain adalah Si Raja Penidur, dedengkot dunia persilatan yang sulit dijajagi
ilmunya. Selama hidupnya yang puluhan tahun dia lebih banyak tidur daripada
melek. Sebenarnya jarang dia pergi ke mana-mana. Kalau dia terpaksa
meninggalkan tempat kediamannya maka berarti ada satu hal penting yang terjadi
di dunia persilatan. Untuk pergi ke mana-mana dia selalu ditandu oleh
orang-orang yang juga berpenampilan aneh. Seperti empat kakek kurus kerempeng
itu. Jangankan memanggul lima batang kelapa, menggotong batang pohon biasa saja
rasanya mereka tidak akan sanggup. Tapi buktinya walau berempat mereka sanggup
memanggul lima batang kelapa yang dijadikan tandu dan dibebani sosok tubuh
ratusan kati itu!
Sekeluarnya
dari hutan Delanggu empat kakek memanggul tandu ke arah barat lalu menyusuri
kawasan selatan Gunung Merapi. Setelah menyeberangi sebuah sungai dangkal Si
Raja Penidur terus dilarikan ke jurusan barat laut hingga akhirnya sampai di
satu bukit kecil. Salah seorang kakek di sebelah depan angkat tangan kirinya
memberi tanda. Tiga kawannya segera hentikan lari.
“Ini
bukit yang dikatakan Raja Penidur! Kita berhenti di sini, menunggu sampai dia
bangun dan menerima petunjuk selanjutnya!”
Perlahan-lahan
tandu batang kelapa itu diturunkan.
“Kalau
begitu lekas kita membuat teratak untuk berlindung dan bermalam. Kita tidak
tahu kapan Raja Penidur akan bangun. Mungkin seminggu. Bisa juga sebulan lagi!”
berkata kakek kurus di sebelah belakang sambil membetulkan celananya yang
kedodoran. Empat kakek cabut golok panjang dari balik pinggang masing-masing
lalu berbagi kerja menebangi pohon dan mengumpulkan ranting-ranting berdaun
untuk dibuat gubuk. Menjelang petang pekerjaan itu rampung. Selagi ke empatnya
melepaskan lelah, tiba-tiba dengkur Raja Penidur berhenti. Empat kepala cepat
berpaling. Di atas tandu batang kelapa sosok Raja Penidur tampak bergerak
menggeliat. Asap dari pipa mengepul keras. Lalu terdengarlah suara si gemuk ini
batuk-batuk.
“Malam
apa siang saat ini…?” Si Raja Penidur ajukan pertanyaan. Suaranya parau.
Apalagi saat itu pipa panjang masih terselip di sela bibirnya.
“Saat ini
sore hari, Raja Penidur. Masih cukup lama sebelum matahari tenggelam.” Menjawab
salah seorang dari empat kakek.
“Hemmm….”
Raja Penidur bergumam lalu menguap lebar-lebar. Jari kelingking tangan kanannya
dimasukkan ke dalam liang telinga kanan lalu digoyang-goyangkan beberapa kali.
Sepasang mata-nya tampak terbalik-balik tanda mencungkil telinga itu nikmat
sekali baginya. “Aku mendengar ada orang melangkah di kejauhan. Salah satu dari
kalian lekas menyelidik ke arah timur. Cari orang itu. Jika bertemu jangan
berkata apa-apa tentang diriku. Bawa langsung ke sini!” Raja Penidur lalu
menguap kembali. Dia membalikkan badannya ke kiri. Gerakannya kini membuat
batang-batang pohon kelapa yang menahan tubuhnya berderak-derak. Salah seorang
dari empat kakek cepat berdiri. Dia segera bergegas ke jurusan timur. Tak lama
berselang di kejauhan, dari arah depan dia melihat seorang berpakaian putih
berjalan menuruni lereng bukit.
“Apa yang
dikatakan Raja Penidur tidak meleset. Pasti orang ini yang dimaksudkannya….” Si
kakek segera memapasi orang itu. Ternyata dia adalah seorang pemuda berambut
gondrong, berwajah pucat. Di balik pakaiannya ada sesuatu yang menyembul tanda
dia membekal senjata. Pemuda ini berjalan tertatih-tatih, entah kecapaian entah
sedang sakit. Melihat ada orang sengaja mendatanginya pemuda itu hentikan
langkahnya.
“Anak
muda bermuka pucat! Lekas kau ikut dengan aku!”
Yang
ditanya pandangi kakek kurus tinggi di hadapannya sesaat lalu berkata. “Orang
tua, aku tidak kenal denganmu, mengapa aku harus ikut bersamamu?”
“Jangan
banyak cerita! Aku tidak punya waktu banyak! Ayo lekas ikut!”
Si pemuda
menyeringai dan garuk-garuk kepala. “Kalaupun kau seorang gadis cantik, belum
tentu aku mau ikut! Coba katakan dulu siapa kau adanya! Mengapa aku harus ikut
denganmu dan ikut ke mana?!”
“Kau
membuat aku kehilangan kesabaran!” Si kakek mengomel. Dia melompat ke depan
siap untuk menyergap dan meringkus. Pemuda berambut gondrong sambut sergapan
orang dengan satu jotosan ke arah dada. .
“Bukkk!”
Jotosan
itu tepat menghantam dada yang kurus kerempeng. Tapi si kakek sama sekali tidak
bergeming malah pemuda yang memukul tampak mengernyit dan kibas-kibaskan
tangannya yang terasa sakit. Selagi dia kesakitan begitu rupa kakek di
hadapannya kembali menyergap.
“Tunggu!
Katakan dulu siapa kau adanya!” teriak pemuda gondrong.
“Tutup
mulutmu! Kau mau ikut secara baik-baik atau aku terpaksa menurunkan tangan
keras?!”
“Hemmmm,
aku sekarang bisa menduga siapa kau adanya. Jangan-jangan kau bangsa tua bangka
yang doyan daun muda, suka sesama jenis!”
“Jahanam!
Kalau tidak menjalankan perintah akan kurobek mulutmu!” teriak si kakek kurus
marah sekali. Sekali dia berkelebat maka pemuda di hadapannya terhuyung ke
kiri. Lalu cepat sekali tangan kirinya menyambar tengkuk baju putih si pemuda
dan di lain kejap pemuda itu telah berada di atas bahu kirinya lalu dilarikan
ke arah dari mana tadi dia datang. Tak selang beberapa lama si kakek sampai
kembali ke tempat Raja Penidur dan tiga temannya berada. Lima batang pohon
kelapa berderak-derak begitu Si Raja Penidur membalikkan tubuh sambil menguap
lebar-lebar. Kedua matanya masih saja terpicing.
“Kau
berhasil menemukan orang itu?!” Raja Penidur bertanya.
“Aku
berhasil! Dia bersamaku saat ini!” jawab kakek yang datang membawa sosok pemuda
berpakaian putih di bahunya.
“Lemparkan
dia ke perutku!”
Si kakek
goyangkan bahunya. Tubuh pemuda yang dipanggulnya melesat ke atas setinggi tiga
tombak lalu melayang jatuh ke bawah dengan deras.
“Blukkk!”
“Uhhhh!”
Si pemuda mengeluh kesakitan walau tempat jatuhnya itu terasa empuk. Rasa empuk
yang aneh. Hidungnya mencium bau tembakau terbakar. Dia angkat kepala dan
memandang berkeliling, berusaha mencari tahu di mana dia berada dan yang lebih
penting mengetahui di atas apa dia barusan jatuh tertelungkup. Dia melihat baju
hitam luar biasa besarnya dan tidak terkancing. Dia melihat tubuh gemuk
berlemak dan berkeringat! Lalu dia melihat wajah serta pipa panjang yang
mengepulkan asap itu.
“Astaga!
Raja Penidur! Kau rupanya!” Pemuda ini segera hendak turun dengan cara
menggelindingkan dirinya dari tubuh yang gemuk besar itu. Namun belum sempat
dia bergerak tangan kiri yang gemuk besar Raja Penidur datang menyambar. Kepala
pemuda berambut gondrong langsung tenggelam ke dalam rangkulannya. Celakanya
bagian muka masuk ke dalam ketiak! Membuat bukan saja si pemuda pengap sulit
bernafas tapi juga seperti mau tanggal hidung dan pecah kepalanya oleh bau
ketiak yang menghimpit mukanya! Perutnya laksana diaduk-aduk dan mulutnya mau
muntah!
“Raja
Penidur…. Uhh… uhh! Lepaskan cekalanmu! Aku Wiro Sableng!”
Si pemuda
berpakaian putih dan berambut gondrong yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng pergunakan kedua tangannya untuk melepaskan pitingan tangan Si Raja
Penidur. Tapi bagaimanapun dia berusaha tetap saja tak mampu. Dalam pelukan
Raja Penidur dia berteriak terus-terusan.
“Kakek
Raja Penidur! Lepaskan! Aku Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng. Kau sobatku dan
sobat guruku! Lepaskan…. Aduh! Uhhh!”
Si Raja
Penidur menguap lebar-lebar. Pipanya mengepulkan asap berbau tidak enak.
“Kakek
Raja Penidur!” teriak Wiro sekali lagi.
“Uaaahhhh!”
Kembali tokoh silat aneh itu menguap.
“Kek!
Kalau kau tidak mau melepas cekalanmu aku terpaksa menendang perutmu! Kalau aku
salah tendang bijimu bisa pecah!”
“Uaahhh!
Ha… ha… ha…!” Asap tembakau me ngepul makin keras. Wiro semakin pengap dan
terbatuk-batuk. “Aku mau lihat sampai di mana kehebatan murid Sinto Gendeng!
Ayo tendang apa saja dari tubuhku yang bisa kau tendang! Uaahhh!” Meskipun sudah
bicara tapi sepasang mata Si Raja Penidur tetap saja terpejam!
“Kalau
itu maumu baik! Jangan salahkan diriku!” teriak Wiro, lalu sikut kanannya
dihantamkan ke dada Raja Penidur. Menyusul tumitnya dihunjamkan ke perut. Belum
juga terlepas cekalan si gendut itu Wiro hantam lambung Raja Penidur dengan
tendangan keras. Semua serangan itu tentu saja hanya mengandalkan tenaga luar
yang tidak punya daya kekuatan apa-apa lagi.
“Uaahhh!
Murid Sinto Gendeng, kau memukuli dan menendangiku atau tengah mengusap-usap
tubuhku?! Ha… ha… ha!”
“Sialan!”
Maki Wiro dalam hati. “Kau rasakan yang ini!” Lalu dibukanya mulutnya
lebar-lebar, siap menggigit dada Raja Penidur yang gembrot.
Uaaahhh!”
Walau matanya masih terpejam tapi Raja Penidur tahu apa yang hendak dilakukan
murid Sinto Gendeng itu. Masih memiting kepala Wiro dia balikkan tubuhnya.
Gerakannya ini tak ampun lagi membuat sebagian tubuh Pendekar 212 terhimpit.
Wiro merasa tubuhnya seperti hancur. Selagi dia mengeluh kesakitan Raja Penidur
kembali membalik. Kini bagian tubuh Wiro yang lain yang kena tersepit. Ternyata
apa yang dilakukan si gendut itu tidak cuma sampai di situ. Dia bukan cuma
menjepit atau menghimpit tubuh Wiro dengan badannya yang gemuk berat tapi juga
membantingnya kian kemari. Sekali dia mencekal tengkuk Wiro lalu kepala pemuda
itu dihunjamkan ke dadanya yang gembrot. Kadang-kadang dia memegang kaki atau
tangan Pendekar 212 terus membantingkannya ke atas perutnya. Demikian
berulangkali. Kalau mula-mula Wiro masih bisa mengeluarkan suara berteriak kesakitan,
lama-lama suaranya hanya tinggal erangan. Keadaannya mulai dari rambut sampai
ke kaki tidak karuan rupa!
Raja
Penidur tertawa mengekeh lalu menguap dua kali. “Anak muda! Kau hanya bisa
berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini! Aku muak padamu! Kau hanya
mengganggu tidurku saja! Pergi sana!”
Lalu
sekali tangannya bergerak tubuh Pendekar 212 terlempar ke samping dan jatuh
tertelentang di tanah.
“Uaahhhh!”
Raja Penidur menguap lebar-lebar lalu setelah menghembuskan asap pipanya dia
jentikkan tangan kiri. Salah satu dari empat kakek kurus tinggi segera
mendekati. Dari balok pakaiannya Raja Penidur kemudian mengeluarkan segulung
kain berwarna merah.
“Letakkan
jubah ini di atas tubuh pemuda itu! Tidak! Kau taruh di atas kepalanya saja
agar kepala dan wajahnya tertutup. Kasihan juga kalau malam nanti mukanya yang
jelek itu habis digerogoti nyamuk! Ha… ha… ha!”
Kakek
yang tegak di samping Si Raja Penidur segera mengambil jubah yang disodorkan
lalu meletakkan benda ini sedemikian rupa hingga kepala dan wajahnya tertutup.
Kain
berwarna merah itu ternyata adalah sehelai jubah beludru merah berlapis kain
sutera juga berwarna merah. Seluruh tepi jubah diberi umbai-umbai yang terbuat
dari benang warna emas.
“Uaahhhh!”
Si Raja Penidur kembali menguap. Lalu dia bertepuk empat kali. Empat kakek
kurus tinggi yang sejak tadi hanya diam berdiri memperhatikan apa yang terjadi,
mendengar isyarat tepukan itu serta merta mengangkat tandu batang kelapa.
Mereka segera menggotong Si Raja Penidur ke arah selatan. Di kejauhan suara
dengkurnya terdengar membahana!
*******************
LIMA
emeletak
suara roda-roda gerobak dan kaki-kaki kuda terdengar tiada putusputusnya di
malam cerah itu. Di angkasa bulan sabit dan bintang-bintang menerangi kawasan
yang dilalui hingga kuda penarik gerobak dapat dipacu kencang. Pengemudi atau
kusir gerobak seorang lelaki tua tinggi besar bertampang garang. Kulitnya
sangat hitam. Jenggot serta kumisnya tebal meranggas. Di atas kepalanya
bertengger sebuah destar merah. Pakaiannya yang serba hitam dan gombrong menambah
keangkerannya.
Saat itu
kuda penarik gerobak telah berlari kencang laksana dikejar setan. Namun sang
pengemudi masih juga mendera kuda itu dengan cambuk di tangan kirinya. Jelas
dia ingin cepat sampai ke satu tujuan dan punya satu urusan sangat penting.
“Binatang
jahanam! Larimu seperti kuda bunting! Ayo lari lebih cepat! Cepaaattt!”
Pengemudi
gerobak berteriak. Lalu cambuk di tangan kirinya kembali dihantamkan ke
punggung kuda. “Delapan hari aku terlambat! Sesuai perjanjian dia akan menunggu
paling lama delapan hari dari saat pertemuan yang telah ditentukan. Ini adalah
malam terakhir jika dia memang masih ada di tempat itu! Jahanam! Kalau saja aku
tidak terpikat pada pelacur berbadan sintal itu tak bakal jadi begini! Mengapa
aku tolol sekali! Urusan penting aku sepelekan begitu saja!”
“Darrr…
darrr… darrr!”
Si tinggi
besar kembali hantamkan cambuknya ke tubuh kuda penarik gerobak. Tibatiba dia
tarik tali kekang yang dipegangnya di tangan kanan. Serta merta kuda penarik
gerobak tertahan larinya. Beberapa belas tombak di hadapannya tampak melintang
satu batang kayu besar menghalangi jalan. Di atas batang kayu ini duduk seorang
tua tak dikenal, berkepala botak. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian.
Jauh
berjalan banyak nan dilihat
Lama
hidup banyak nan dirasa
Salah
jalan bisa tersesat
Salah
hidup bisa celaka
Pengemudi
gerobak berusaha menghentikan larinya kuda dengan menarik tali kekang
kuat-kuat. Empat kaki kuda menggeru tanah. Debu dan pasir beterbangan di udara.
Walau kuda berusaha menghentikan larinya namun dorongan gerobak yang ditariknya
demikian hebat hingga binatang ini tak dapat lagi menghindari tabrakan dengan
orang tua berkepala botak dan batang pohon.
Sekejap
lagi tabrakan itu akan terjadi, orang tua berkepala botak melesat lenyap. Kuda
meringkik keras. Dua roda gerobak menghantam batang pohon. Selanjutnya kuda dan
gerobak sama-sama tergelimpang dan terbanting ke tanah! Orang di atas gerobak
sendiri keluarkan seruan keras. Tubuhnya melesat ke udara, jungkir balik lalu
melayang turun dengan sepasang kaki menjejak tanah lebih dulu. Jelas orang ini
memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak sejak tadi-tadi dia sudah terhempas
berkelukuran di tanah!
“Jahanam!
Kemana perginya tua bangka kepala botak itu?!” ujar si tinggi besar berkepala
botak. Selagi dia mencari-cari tiba-tiba kembali terdengar suara nyanyian.
Jauh
berjalan banyak nan dilihat
Lama
hidup banyak nan dirasa
Salah
jalan bisa tersesat
Salah
hidup bisa celaka
Si tinggi
besar ini palingkan kepalanya ke kiri. Di sebelah sana, di atas gerobak yang
terbalik dilihatnya kakek kepala botak duduk di atas roda gerobak yang
berputar-putar. Dia menyanyi sambil sengaja ikut memutarkan diri pada roda
gerobak!
“Setan
alas!” Lelaki tua tinggi besar merutuk. Matanya berkilat-kilat. Rahangnya
menggembung dan dari mulutnya terdengar suara bergemeletakan tanda dirinya
telah dibungkus kemarahan.
Kalau
jalan sudah tersesat
Sulit
balik untuk kembali
Kalau
hidup mencari celaka
Kutuk
sengsara segera tiba
Sekali
melompat kusir kereta itu sampai di depart gerobak yang terbalik.
“Tua
bangka gila! Siapa kau?! Mengapa sengaja menghadang jalanku!”
Roda
gerobak terus berputar. Kakek botak yang duduk berjuntai di pinggiran roda
gerobak ikut berputar-putar.
“Kau tak
menjawab pertanyaanku! Makan ini!”
Si baju
gombrong hitam menunggu orang tua di atas roda gerobak berputar sampai di
hadapannya. Lalu secepat kilat tangan kanannya melesat ke arah muka orang yang
saat itu masih saja terus-terusan menyanyi.
“Bukkkk”
Dua
lengan beradu keras di udara ketika orang yang diserang menangkis. Si tinggi
besar baju gombrong tersurut satu langkah sambil mengernyit menahan sakit pada
lengannya yang barusan bentrokan. Roda gerobak terus berputar. Begitu orang tua
botak sampai lagi di hadapannya kembali si baju gombrong hitam menghantam. Kali
ini sekaligus dengan pukulan kiri kanan.
Kakek
botak di atas roda yang berputar tiba-tiba membuat gerakan aneh. Kedua kakinya
jingkrak-jingkrakan. Kepalanya bergerak menghuyung kian kemari seperti kepala
seekor ular mabok. Tangannya direntang-rentang membuat gerakan aneh. Tubuh-nya
seperti mau terjungkal jatuh dari atas roda gerobak. Namun aneh dan luar
biasanya semua gerakan yang dibuatnya itu mampu mengelakkan serangan maut yang
dilancarkan lawan!
“Bangsat
tua! Kau mau lari ke mana?!” teriak si tinggi besar ketika dilihatnya orang tua
berkepala botak itu tidak ada lagi di atas roda gerobak. Tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara nyanyian.
Hari
tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo
Datang
dari jauh untuk janji bertemu
Sayang
maksud tak pernah kesampaian
Nyawa
yang terhutang harus dilunasi lebih dulu
Si tinggi
besar berpakaian serba hitam gombrong palingkan kepala. Darahnya tersirap oleh
rasa kaget mendengar bait-bait nyanyian yang dilantunkan orang tua berkepala
botak tak dikenalnya itu.
“Siapa
jahanam ini sebenarnya. Bagaimana dia bisa tahu perihal perjanjianku di bukit
Tegalrejo?!” Sehabis membatin begini dia melompat ke hadapan si tua botak yang
saat itu duduk menjelepok di tanah di pinggir jalan.
“Tua
bangka sinting! Siapa kau sebenarnya?!”
Yang
ditanya dongakkan kepala. Sepasang matanya menatap tajam pada orang yang tegak
di hadapannya membuat si tinggi besar ini jadi tergetar. Lalu mulutnya terbuka
lebar dan terdengar suara tawanya berkekehan.
“Jika kau
masih terus bersikap gila dan tak mau menjawab pertanyaanku, terpaksa
kupecahkan kepalamu!” Orang tua di hadapan kakek botak tak dapat lagi menahan
marahnya. Kaki kanannya ditendangkan ke kepala si botak.
Tubuh
kakek yang diserang tampak terhuyung aneh. Kepalanya seperti tersentak ke
samping. Tendangan maut lawan lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya.
Begitu tendangan orang tidak mengenai sasaran tubuh kakek botak mencelat ke
atas dan “Buk!” Satu jotosan mendarat di pelipis si tinggi besar. Tubuhnya
terpelanting. Darah mengucur membasahi mukanya yang hitam!
Terdengar
suara tawa mengekeh disusul suara nyanyian.
Darah
telah mengucur
Pertanda
raga akan segera hancur
Darah
telah mencuat
Pertanda
nyawa sebentar lagi akan minggat
Datuk
Angek Garang sayang sekali kau tak punya kesempatan minta ampun dan bertobat!
Mendengar
namanya disebut terkejutlah si tinggi hitam berpakaian gombrong. Memang
sebenarnya dia adalah Datuk Angek Garang, seorang tokoh silat dari Andalas yang
berserikat dengan Sabai Nan Rancak untuk membunuh Tua Gila. Dia pula yang
membunuh Malin Sati, murid tunggal Tua Gila. Datuk Angek Garang pergunakan
lengan baju hitamnya untuk mengusap darah yang membasahi sebagian wajahnya.
Mulutnya komat-kamit entah hendak mengucapkan apa. Sepasang matanya memandang
menyorot ke arah orang tua berkepala botak yang tegak di hadapannya sambil
tertawa-tawa. Perlahan-lahan Datuk Angek Garang angkat ke dua tangannya.
Telapak tangan digosokkan satu sama lain. Dari sela-sela jarinya keluar kepulan
asap hitam. Bersamaan dengan itu menebar bau busuk sekali.
“Pukulan
Hawa Neraka! Ha… ha… ha..!” Kakek botak tertawa gelak-gelak.
“Bagus!
Kau sudah tahu pukulan sakti apa yang akan kukeluarkan untuk membungkam mulut
serta jalan nafasmu!” ujar Datuk Angek Garang.
“Kau
sangat pandai memberi nama ilmu pukulan bau kentut itu Datuk Angek Garang!
Justru hawa neraka itulah yang akan mengantar rohmu ke alam akhirat! Ha…
ha…ha!”
Bersamaan
dengan itu kakek botak lepaskan topeng yang menutupi kepala dan wajahnya.. Maka
kelihatanlah wajahnya yang asli.
“Tua
Gila…” desis Datuk Angek Garang dengan suara bergetar. Diam-diam dia menjadi
kecut. Dulu di Andalas bersama Sabai Nan Rancak dan Magek Bagak Baculo Duo dia
tak sanggup menghabisi kakek aneh ini. Sekarang berhadapan hanya seorang diri
bagaimana mungkin nyalinya tidak akan leleh. Maka dia kerahkan seluruh tenaga
dalam yang ada. Kedua tangannya lalu dihantamkan ke depan. Dua larik sinar
hitam menggebu. Bau sangat busuk menghampar membuat Tua Gila seperti tersumbat
jalan pernafasannya. Lehernya seperti dicekik. Dengan cepat orang tua ini
kerahkan tenaga dalam. Sambil berteriak keras dia melesat ke udara. Dart balik
pakaian putihnya dicabutnya sebuah tongkat kayu. Lalu laksana seekor burung
elang yang menyambar mangsanya Tua Gila melayang menukik ke bawah. Tongkat di
tangan kanan berkiblat!
“Kraaakk!”
Datuk
Angek Garang menjerit keras ketika tulang telapak dan jari-jari tangan kirinya
hancur kena pukulan tongkat. Walau tongkat itu hanya sebuah tongkat kayu
terbuat dari kayu butut dan enteng, tetapi di tangan Tua Gila seolah berubah
menjadi palu besi!
“Tua
Gila! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Datuk Angek Garang. Dia kembali
melepaskan pukulan Hawa Neraka dengan tangan kanannya. Namun serangan ini
disusul dengan satu lompatan. Selagi tubuhnya melayang satu tombak di udara dia
kebutkan lengan baju hitamnya yang gombrong. Tiba-tiba tiga buah keris kecil
aneh berwarna merah dan mengeluarkan api menderu ke arah Tua Gila, mencari
sasaran di tiga bagian tubuh orang tua ini.
Tua Gila
mendengar deru serangan senjata rahasia itu. Namun pemandangannya tertutup oleh
asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Dia membuat gerakan jungkir batik untuk
mengelakkan serangan sambil putarkan tongkat kayunya ke samping sedemikian rupa
untuk melindungi dirinya. Karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka
tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar coklat yang hebat.
“Bummm!”
Dua
tenaga dalam bentrokan keras. Dua keris merah api berhasil dibuat mental. Tapi
keris yang ke tiga menyusup lebih cepat dan berhasil menancap di bahu kiri Tua
Gila. Pakaian yang dikenakan si kakek langsung terbakar. Tubuhnya yang
ditancapi keris api laksana dipanggang. Tua Gila menjerit keras saking sakit
dan marah. Tongkat kayunya mental dan hancur berkeping-keping di udara.
Dengan
terlebih dulu menutup jalan nafasnya tua Gila melompat menerobos kepulan asap
hitam Pukulan Hawa Neraka. Saat. itu di balik kepulan pukulan saktinya sendiri
Datuk Angek Garang tampak tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada.
Sepasang matanya mendelik. Dari mulutnya mengucur darah kental.
“Datuk
Angek Garang! Kau membunuh muridku! Hari ini kau terima balasanmu! Aku inginkan
nyawamu manusia anjing!”
Apa yang
terjadi kemudian berlangsung sangat cepat.
Datuk
Angek Garang meraung keras ketika mata kirinya amblas kena tusukan dua ujung
jari tangan kanan Tua Gila. Namun suara raungan ini serta merta lenyap laksana
direnggutkan setan begitu satu renggutan dahsyat merobek leherya, mematahkan
tulang leher dan membusai otot serta urat-urat besar di leher itu!
Tua Gila
tegak terhuyung-huyung memperhatikan Datuk Angek Garang yang terkapar mati di
depan kakinya setelah terlebih dulu menggelepar-gelepar beberapa kali. Dalam
keadaan terluka Tua Gila berusaha membalikkan gerobak yang terbalik. Kuda
penarik gerobak yang masih ketakutan diusapnya berulang kali hingga menjadi
jinak. Lalu dengan satu tendangan tubuh Datuk Angek Garang dibuatnya mencelat
dan jatuh menelungkup di atas gerobak. Di salah satu bagian depan gerobak ada
sebuah obor. Tua Gila segera menyalakan obor ini.
“Kuda
baik…. Kau tahu ke mana tujuanmu semula. Pergi ke bukit Tegalrejo. Bawa mayat
itu…” kata Tua Gila sambil mengelus leher kuda penarik gerobak.
Seolah
mengerti apa kata orang binatang itu meringkik keras lalu bergerak ke arah
timur setelah Tua Gila menyingkirkan batu kayu yang menghalangi jalan. Tua Gila
sendiri mungkin karena kehabisan tenaga atau terlalu banyak darah yang
mengucur, mungkin juga ada racun dalam tubuhnya dari keris merah api tiba-tiba
mengeluh pendek lalu roboh di tanah.
*******************
ENAM
Di lereng
timur Bukit Tegalrejo nenek bermuka putih keriput Sabai Nan Rancak nampak
gelisah setelah Kakek Segala Tahu meninggalkannya seorang diri dalam menanti
kedatangan sobatnya yakni Datuk Angek Garang. Bukan saja dia gelisah karena
telah lewat delapan hari waktu yang ditentukan Datuk Angek Garang belum juga
muncul, tetapi lebih dari itu apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu melipat
gandakan kegelisahan itu. (Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya Asmara
Darah Tua Gila).
Kakek
Segala Tahu telah meramalkan padanya bahwa Datuk Angek Garang, orang yang
ditunggunya tak akan pernah datang. Kalaupun dia muncul di kaki Bukit Tegalrejo
itu maka dia akan muncul tanpa nyawa.
Sabai Nan
Rancak menghela nafas panjang. Lalu telinganya menangkap suara gemeretak roda.
Memandang ke kaki bukit sebelah timur dalam kegelapan malam Sabai Nan Rancak
melihat sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir, ada obor menyala di
bagian depannya, bergerak perlahan menuju kaki bukit. Hatinya mendadak tidak
enak. Dengan cepat nenek ini berkelebat menuruni bukit hingga dalam waktu
singkat dia telah berada di depan gerobak. Sabai mengusap leher kuda itu
beberapa kali lalu memegang tali kekangnya. Begitu kuda dan gerobak berhenti si
nenek memeriksa bagian belakang gerobak. Parasnya langsung berubah dan matanya
membeliak.
“Datuk
Angek Garang!” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik. Di atas gerobak
menggeletak satu sosok tubuh berpakaian gombrong warna hitam. Kepalanya memakai
sebuah destar merah. Dari ciri-ciri orang itu jelas sudah bagi Sabai Nan Rancak
bahwa dia adalah Datuk Angek Garang, sobat yang sesuai perjanjian akan
menemuinya di tempat itu pada hari tujuh bulan tujuh.
Sabai
pandangi lagi tubuh yang menggeletak menelungkuk itu. “Aku harus melihat
mukanya. Jangan-jangan hanya ciri-ciri saja yang sama. Siapa tahu bukan dia…”
Berpikir sampai di situ dengan tangan kirinya Sabai Nan Rancak balikkan tubuh
di atas gerobak hingga tertelentang. Begitu matanya memandang tubuh dan muka
orang yang ada di lantai gerobak itu si nenek sampai tersurut tiga langkah
saking ngerinya. Meski tampang Datuk Angek Garang sebagian tertutup darah,
salah satu matanya terbongkar dan lehernya seolah habis dimangsa harimau lalu
tangan kirinya hancur namun Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali. Orang yang
telah jadi mayat mengerikan di atas gerobak itu memang adalah Datuk Angek
Garang.
“Kakek
Segala Tahu…” desis Sabai Nan Rancak begitu dia ingat pada kakek bercaping,
berpakaian compang camping membawa tongkat kayu dan kaleng rombeng itu.
“Apa yang
dikatakannya betul. Jangan-jangan ia yang telah membunuh Datuk Angek Garang.
Lalu datang memberitahu pura-pura meramal! Kurang ajar! Aku akan menyelidik dan
mencarinya. Jika benar dia yang membunuh sobatku ini, akan kukorek jantungnya!
Aku tak ada waktu mengurus mayat ini!” Sabai Nan Rancak gebrak pinggul kuda.
Binatang penarik gerobak meringkik keras lalu menghambur lari laksana dikejar
setan.
*******************
Kita
kembali pada keadaan Puti Andini, gadis cantik murid Sabai Nan Rancak yang
sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Seperti dituturkan
sebelumnya secara tidak sengaja dia telah bertemu dengan Sika Sure Jelantik
yang datang dari Pulau Andalas untuk mencari Tua Gila. Dengan kecerdikannya
gadis ini berhasil memikat si nenek hingga akhirnya diberi ilmu yang membuat
dia mampu menyelam lama di dalam air. Namun akibat dari pemberian ilmu itu Puti
Andini jatuh pingsan. Sika Sure Jelantik kemudian meneruskan perjalanan dengan
agak menyesal karena dia tidak sempat mengetahui siapa nama gadis itu.
Malam berlalu
merayap. Menjelang pagi sekelompok babi hutan muncul di tempat Puti Andini
tergeletak. Selagi binatang-binatang ini mengendus-endus tubuh si gadis
tibatiba muncul tiga ekor anjing hutan, rata-rata bertubuh besar dan sedang
kelaparan. Semula mereka hendak memangsa kawanan babi hutan tadi. Namun karena
babi-babi itu melarikan diri maka kini sosok Puti Andini yang jadi sasaran.
Tiga
anjing hutan melolong panjang dapatkan mangsa segar itu. Mata mereka berkilat
merah, lidah terjulur dan gigi-gigi besar runcing mencuat di mulut yang
terbuka. Salah seekor dari mereka yaitu anjing hutan betina yang paling besar
dan sedang hamil serta paling lapar langsung melompati tubuh Puti Andini.
Moncongnya menyambar ke arah pergelangan kaki gadis ini. Siap untuk ditarik dan
digeragot putus!
Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Lalu “Crasss!”
Leher
anjing hutan betina yang hendak memangsa kaki Puti Andini putus. Kepalanya
menggelinding. Darah muncrat dan tubuhnya terbanting roboh melejang-lejang.
Dua
anjing lainnya menyalak keras. Lalu mengejar kuda dan penunggangnya yang
barusan menebas batang leher teman mereka. Sadar kalau dua anjing besar itu
bisa mencelakai kudanya maka si penunggang ketika melewati sebatang pohon
melompat ke atas. Sesaat dia bergelantungan berputar-putar pada cabang pohon
itu. Ketika dua ekor anjing mendatangi dia cepat melayang turun dan hunus
pedangnya yang masih basah oleh darah. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda
bertampang keren berkulit sawo matang, mengenakan pakaian hijau terbuat dari
beludru bagus sekali. Potongan tubuhnya yang kekar menambah kejantanannya. Di
telinga kanannya mencantel sebuah anting-anting kecil terbuat dari emas. Anjing
di sebelah kanan menyerang lebih dahulu. Dia menunggu sampai binatang itu sampai
dekat sekali di depannya baru dia menggerakkan tangan yang memegang pedang.
“Craaasss!”
Anjing
besar melolong panjang menggidikkan. Isi perutnya berbusaian dari luka besar
yang merobek tubuhnya sebelah bawah. Anjing ketiga seperti kesetanan menggembor
keras lalu melompati pemuda beranting-anting emas itu. Yang satu ini ternyata
memiliki gerakan cepat luar biasa. Sekali melompat dua kaki depannya telah
berada di depan dada si pemuda, siap untuk merobek. Tidak sempat mempergunakan
pedangnya karena jarak terlalu pendek, pemuda itu cepat melompat ke samping.
Dari samping baru dia tebaskan pedangnya.
“Crasss…
crasss!”
Dua kaki
depan anjing besar tertebas putus. Binatang ini roboh ke tanah. Bergulingguling
dan terkaing-kaing lalu tersaruk-saruk dengan dua kaki depan buntung dia
melarikan diri dalam kegelapan malam menjelang pagi. Setelah membersihkan
pedangnya yang berlumuran darah lalu memasukkannya ke dalam sarung pemuda ini
cepat melangkah menghampiri sosok Puti Andini yang masih terbujur di tanah.
*******************
Ketika
dia siuman, Puti Andini dapatkan dirinya terbaring di atas sebuah jaring yang
terbuat dari akar-akar panjang pepohonan hutan. Memandang berkeliling ternyata
dia berada di antara dua cabang pohon tinggi. Gadis ini merasa gamang ketika
dia melihat ke bawah.
“Bagaimana
aku tahu-tahu berada di sini…?” pikir Puti Andini. “Apa ada hantu hutan
membawaku ke sini? Bagaimana caranya aku turun ke bawah…. Ah, sungguh aneh!
Seingatku si nenek berkuku panjang itu katanya hendak memberikan satu ilmu
padaku. Dia menyuruh aku memejamkan mata. Lalu ada rasa sakit luar biasa.
Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Dan sekarang aku berada di sini! Apa
dia yang melakukan? Gila! Mengapa susah-susah sampai meletakkan aku di atas
pohon seperti ini?!” Puti Andini memeriksa keadaan dirinya. Pakaian merahnya
kotor tapi tubuhnya tak kurang suatu apa. Memandang berkeliling dia dapatkan
saat itu hari masih sangat pagi. Di sekelilingnya terdengar suara kicauan
burung. Gadis ini menarik nafas dalam dan tubuhnya terasa segar. Namun sesaat
kemudian kembali dia merasa gelisah. Dia mulai berpikir bagaimana caranya agar
bisa turun dari pohon yang tinggi itu.
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba di antara kelebatan semak belukar di bawahnya dia
melihat ada seorang berpakaian hijau bergerak cepat. Dalam waktu singkat dia
sudah berada di bawah pohon di mana Puti Andini berada. Belum sempat si gadis
memperkirakan siapa adanya orang itu tiba-tiba si baju hijau ini dengan
kecekatan luar biasa memanjat pohon tinggi itu. Di lain saat tahu-tahu dia
sudah berada di atas pohon di dekat jaring di mana Puti Andini berada. Di
tangan kanannya ada sesuatu dibungkus dengan daun pisang. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang.
Si pemuda
tidak menyangka kalau gadis di atas pohon itu sudah bangun dan sadarkan diri.
Sesaat sepasang matanya yang hitam menatap. Dua pasang mata muda-mudi ini
saling bertemu pandang. Dua hati saling bergetar.
Melihat
yang muncul di hadapannya adalah seorang pemuda gagah berpakaian bagus kejut
dan rasa khawatir Puti Andini menjadi hilang. Ingin sekali dia mengetahui siapa
adanya pemuda yang sangat pandai memanjat pohon ini. Namun dia memilih bersikap
menunggu.
“Aku
gembira melihat kau sudah bangun…” si pemuda membuka pembicaraan.
“Bangun?
Apakah sebelumnya aku ini tidur atau pingsan?” bertanya Puti Andini.
“Terserah
kau mau menyebutkan apa. Pingsan boleh tidur juga boleh. Tapi tidurmu lama
sekali. Aku menemuimu pagi buta hari kemarin. Kau baru terbangun pagi ini.
Tentu tidurmu lelap dan enak sekali. Apakah dihiasi dengan mimpi-mimpi indah?”
Ucapan si
pemuda membuat Puti Andini tertawa lebar, rasa senangnya terhadap pemuda ini
segera timbul. “Aku ingat betul. Waktu aku pingsan aku pasti tergeletak di
tanah di satu tempat. Bagaimana tahu-tahu berada di sini? Apa kau yang membawa
aku ke atas sini? Kalau benar perlu apa susah-susah melakukannya? Sampai
membuat jaring ketiduran dari akar pohon segala?”
“Wah
pertanyaanmu cukup panjang. Aku akan jawab satu persatu. Biar aku bercerita
sedikit…” jawab si pemuda pula. “Aku menemuimu tergeletak di tengah jalan tak
jauh dari hutan ketika sekelompok anjing hutan, siap memangsamu….”
“Apa?!”
Dua mata Puti Andini terbelalak. Tengkuknya terasa dingin.
Si pemuda
melanjutkan. “Saat aku memeriksa dirimu aku agak sulit menduga apa yang
menyebabkan dirimu pingsan dan berada di tempat itu. Lalu tubuhmu kunaikkan ke
atas pohon….”
“Eh,
bagaimana caranya?” tanya Puti Andini heran.
“Tentu
saja kupanggul di bahu. Apa kau kira kubembeng rambutmu yang bagus itu?”
Puti
Andini tertawa. “Aku melihat kau tadi cekatan sekali naik memanjat pohon. Dari
mana kau belajar?”
“Kami
orang-orang pulau rata-rata memiliki kepandaian memanjat pohon sejak kecil,”
jawab si pemuda.
“Kau
orang pulau? Sekitar sini tak ada pulau…”
“Ah,
maksudku…. Aku memang bukan orang sini. Aku…. Ah, tentang asal usulku sudahlah.
Tak perlu dibicarakan.”
“Namaku
Puti Andini. Siapa namamu?”
“Hemmm….
Aku….” Pemuda itu hendak menjawab memberitahu siapa dirinya sebenarnya tapi
cepat membatalkan. Setelah berpikir sejenak dia berkata. “Panggil saja aku
Panji….”
“Namamu
cuma satu kata? Pendek amat!” kata Puti Andini pula. Si pemuda cuma tertawa
mendengar kata-kata itu.
“Sekarang
apakah kau tidak akan menurunkan aku dari atas pohon ini?” bertanya si gadis.
“Tentu
saja. Tapi aku tahu kau lapar. Aku membawa sesuatu untukmu sekedar pengisi
perut. Makanlah.” Pemuda yang mengaku bernama Panji itu menyerahkan bungkusan
daun pisang pada Puti Andini. Ketika dibuka isinya ternyata dua potong besar
singkong rebus.
“Kau curi
dari mana singkong ini?” tanya Puti Andini.
“Aku
tidak mencurinya. Aku minta pada seorang penduduk desa pagi buta tadi. Desanya
cukup jauh dari sini.”
“Terima
kasih. Aku memang sangat lapar. Kau mau sepotong?”
“Tadi ada
tiga potong. Aku sudah makan satu potong,” jawab Panji.
Sambil
makan Puti Andini terus mengajak pemuda itu bicara. “Aku lihat kau mengenakan
pakaian sangat bagus. Kalau kau bukannya anak orang kaya atau turunan
bangsawan, pasti kau…”
“Aku
seorang pemuda biasa saja…” memotong Panji.
“Aku
tidak percaya! Aku lihat kau juga mengenakan anting emas di telinga kananmu?
Bagiku terasa aneh kalau laki-laki pakai anting segala. Apa kau banci? Hik…
hik…hik!”
“Banci?
Apa artinya itu?” tanya Panji.
Makin
keras tawa Puti Andini. “Banci artinya lelaki yang bersifat seperti perempuan.
Bicara seperti perempuan, berdandan seperti perempuan….”
“Apa aku
bicara seperti perempuan?”
“Tidak,
tapi kau berdandan seperti perempuan!” jawab Puti Andini lalu tertawa lagi.
“Kalau
kuberikan anting emas ini padamu apa kau mau memakainya?” tanya Panji.
“Buat
apa? Kalau kupakai bisa lebih gawat lagi?”
“Gawat?
Kenapa gawat?”
“Mana ada
perempuan pakai anting cuma se-belah!” Gelak Puti Andini semakin keras.
Panji
akhirnya ikut-ikutan tertawa.
“Aku
sudah menghabiskan dua potong singkong rebus yang kau berikan. Terima kasih.
Sekarang saatnya kau menurunkan aku dari atas pohon ini.”
“Bersabarlah
barang sebentar. Aku ingin tahu ceritanya mengapa kau sampai kutemukan
menggeletak di tengah jalan. Apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau
lakukan di tempat itu?”
“Aku
kesasar lalu….”
“Aku tahu
kau berdusta. Tapi teruskan bicaramu,” kata Panji pula.
Puti
Andini tercekat lalu tersenyum. “Baik, akan kuceritakan yang sebenarnya.” Lalu
gadis ini memberi tahu ihwal sampai dia berada di tempat Panji menemukan dan
menolongnya. Dia tidak menuturkan seperti apa yang dikatakan pada Sika Sure
Jelantik. Tidak ada cerita tentang ibunya yang sakit. Pada Panji dikatakannya
bahwa dia tengah mencari sebuah batu hitam yang berada di dasar Telaga
Gajahmungkur.”
“Untuk
apa gunanya batu itu bagimu?” tanya Panji agak heran.
“Aku tak
bisa mengatakannya. Tapi batu itu sangat berarti bagiku. Bagaimanapun aku harus
mendapatkannya….”
“Selama
tinggal di pulau, sejak kecil aku sering menyelam sampai ke dasar laut sekitar
pulau. Kalau kau suka aku bersedia membantumu mencari batu itu….”.
“Terima
kasih, aku harus mendapatkannya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa,” jawab murid
Sabai Nan Rancak itu. Lalu dia bertanya. “Sekarang kurasa sudah saatnya kau
menurunkan aku dari atas pohon ini.”
“Kalau
itu pintamu, aku tidak akan menolak,” jawab Panji. “naiklah ke punggungku,
lingkarkan kedua tanganmu di leherku.”
“Hemmmm….”
Si gadis bergumam. “Apa tak ada cara lain untuk turun dari sini?” tanyanya
dengan wajah sedikit kemerahan.
“Ada satu
cara lain. Malah lebih cepat!”
“Katakan
padaku!”
“Langsung
terjun melompat ke bawah sana!” jawab Panji.
Puti
Andini menggigit bibirnya. Dia memandang ke bawah. Saat itu dia berada di
ketinggian hampir tujuh tombak. Sulit baginya untuk melihat bagian tanah yang
datar karena tertutup semak belukar lebat. Selain itu tak ada bagian yang
lowong untuk dijadikan arah lompatan.
“Apa
boleh buat. Aku terpaksa mengikuti caramu!” kata si gadis akhirnya.
Panji
tertawa lebar. Dia menginjakkan kakinya di atas jaring lalu tegak membelakangi
Puti Andini. Kembali kebimbangan mempengaruhi gadis ini. Namun akhirnya dia
lingkarkan juga kedua tangannya di leher Panji. Tubuhnya dirapatkan ke punggung
si pemuda.
“Lingkarkan
kedua kakimu ke depan perutku,” kata Panji.
“Tadi
tidak ada kau sebutkan begitu!” tukas si gadis yang jadi jengah.
“Terserah!
Aku cuma khawatir peganganmu di leherku mengendur karena gamang.”
Mau tak
mau Puti Andini lakukan juga apa yang dikatakan pemuda itu. Kedua kakinya
digelungkan ke tubuh Panji hingga kini badannya menempel erat di badan si
pemuda.
Panji
membuat gerakan mengayun di atas jaring akar pohon. Pada ayunan yang ke lima
tubuhnya melesat tinggi ke udara.
“Hai! Aku
minta diturunkan bukan dibawa ke atas!” teriak Puti Andini.
“Lihat
saja! Aku tidak punya kemampuan terbang ke udara!” jawab Panji lalu tertawa
bergelak.
Sesaat kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar batang pohon terdekat. Pada
cabang pohon ini dia membuat satu kali putaran memaksa Puti Andini pejamkan
mata karena gamang. Dari cabang ini Panji lalu melayang turun lagi ke bawah. Di
satu tempat dia kembali berpegangan ke cabang pohon. Berputar satu kali dan
melesat ke bawah. Hal ini dilakukannya sampai beberapa kali hingga akhirnya dia
menjejakkan kakinya di tanah. Menyangka saat itu dirinya masih diajak melayang
di udara Puti Andini masih saja terus merangkul leher Panji dan menggelungkan
kakinya di pinggang si pemuda.
“Puti
Andini, kita sudah turun di tanah. Mengapa kau masih merangkuli tubuhku?”
Terkejut
bukan main si gadis mendengar kata-kata itu. Dengan muka merah dia lepaskan
rangkulannya dan melompat turun! Panji membalik dan tertawa polos, membuat Puti
Andini semakin jengah. Buru-buru gadis ini berkata. “Terima kasih atas semua
pertolonganmu. Aku berharap satu ketika bisa membalas semua budi baikmu. Aku
harus pergi sekarang….”
“Kau,
apakah aku tidak boleh mengantarkanmu ke telaga tempat kau mencari batu hitam
itu?”
“Terima
kasih. Aku bisa pergi sendiri. Hemmm…. Kalau aku boleh tahu kau sendiri akan
menuju ke mana?”
“Aku akan
mencari seorang sahabat. Seorang kakek bermuka cekung bernama Wiro Sableng….”
Terkejutlah
Puti Andini mendengar ucapan pemuda itu “Seorang kakek bermuka cekung bernama
Wiro Sableng?!”
“Benar.
Kau kenal padanya?”
Puti
Andini tertawa gelak-gelak.
“Eh,
kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya Panji keheranan.
“Manusia
bernama Wiro Sableng itu bukan seorang tua bangka bermuka cekung. Tapi seorang
pemuda yang usianya kurasa sedikit lebih tua darimu!”
“Aneh,
dia sendiri yang menyebutkan namanya begitu sewaktu dulu meninggalkan pulau
tempat kediamanku,” kata Panji pula. (Seperti dituturkan dalam Episode I
berjudul Tua Gila Dari Andalas, sewaktu hendak meninggalkan pulau Kerajaan
Sipatoka, ketika ditanya namanya Tua Gila enak saja mengatakan namanya Wiro
Sableng).
Dari
balik baju beludru hijaunya Panji mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama
sehelai sapu tangan besar berwarna merah. Yang lain adalah sehelai kumis palsu.
“Aku
menemukan dua benda ini dekat tubuhmu tergolek. Mungkin milikmu?”
Puti
Andini segera mengenali kain penutup kepala merah dan kumis palsunya itu. Cepat
kedua benda itu diambilnya.
“Aku
pergi sekarang!” kata Puti Andini sambil terus tertawa cekikikan.
“Hail
Tunggu dulu! Ada yang hendak aku tanyakan!” seru Panji. Namun saat itu Puti
Andini telah lenyap di balik kerapatan semak belukar.
*******************
TUJUH
Lelaki
separuh baya berjubah merah itu hentikan larinya di tepi lembah. Memandang ke
bawah dia hanya melihat kerimbunan pepohonan, mendengar suara kicau burung. Dia
mengusap kepalanya yang botak beberapa kali. Kepala itu keringatan, dicat
kuning dan ada tulisan angka 3 berwarna hitam.
“Apa
betul ini yang dinamakan Lembah Akhirat? Subur, sunyi sama sekali tidak
membayangkan keangkeran….” Si botak membatin. Dia memandang berkeliling.
Menarik nafas dalam. “Di mana aku harus mencari sang datuk penguasa lembah yang
begini luas…. Kalau aku bergerak terus menuju ke utara, pasti akan mencapai
pusat lembah. Mungkin di sana letak markas Datuk Lembah Akhirat….” Setelah diam
beberapa lama akhirnya orang ini melangkahkan kaki. Namun baru berjalan tiga
langkah tiba-tiba terdengar suara suitan keras di sebelah timur. Suitan ini
mendapat sambutan dari arah barat. Suitan ketiga datang dan sebelah utara. Pada
saat itulah melesat tiga benda bulat mengeluarkan suara mengaung. Masing-masing
benda ditancapi sebentuk tongkat terbuat dari bambu. Benda-benda aneh ini
melesat dari tiga jurusan yaitu samping kiri kanan dan dari sebelah depan!
Begitu
tiga benda menancap di tanah tersurutlah lelaki berkepala botak. Tampangnya
menjadi pucat. Tiga benda di atas tongkat bambu dan menancap di tanah itu
ternyata adalah tiga buah tengkorak manusia. Masing-masing berwarna hitam,
merah dan hijau! Untuk sesaat lamanya si botak berjubah merah hanya tegak
laksana patung, tak berani bergerak. Hanya sepasang matanya memandang melotot
melirik ke kiri dan ke kanan. Kepalanya yang botak kuning terasa dingin
keringatan.
Orang ini
tidak menunggu lama. Mendadak ada tiga bayangan berkelebat dan tahutahu tiga
sosok aneh sudah mengurungnya. Di hadapannya kini ada tiga orang lelaki
berwajah hitam, merah dan hijau. Rambut mereka juga sama dengan warna muka
mereka. Selain itu ketiganya mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna
sama seperti warna wajah masing-masing. Tiga orang ini membawa tombak yang pada
bagian tengahnya ditancapi sebuah tengkorak manusia berwarna hijau, hitam dan
merah.
“Sebutkan
nama dan gelar!” Orang berwajah merah membentak.
“Katakan
keperluan!” Si muka hitam menghardik.
“Beritahu
datang membawa apa!” Yang muka hijau menimpali.
Si botak
kepala kuning jadi tergagau kecut. Mukanya sepucat kain kafan ketika tiga ujung
tombak yang jelas mengandung racun disorongkan dekat sekali ke lehernya.
“Namaku
Klewing. Aku tidak bergelar tapi dikenal sebagai orang nomor tiga dari Delapan
Tokoh Kembar. Keperluanku kemari untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Aku
datang membawa satu keping emas.”
“Perlihatkan
emas itu!” perintah si muka hijau.
Si botak
mengeruk saku jubah merahnya. Ketika tangannya dikeluarkan dia telah
menggenggam satu kepingan emas sebesar ujung jari kelingking. Emas ini
dipegangnya erat-erat, takut diambil tiga orang di hadapannya. Tiga orang yang
mukanya berwarna saling pandang melempar isyarat.
“Ikuti
kami!” kata yang bermuka merah.
Tokoh
Kembar nomor 3 masukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya kembali lalu
melangkah mengikuti tiga orang yang sudah dapat dipastikannya sebagai para
pengawal atau penjaga kawasan Lembah Akhirat.
Si jubah
merah ini dibawa menuju pusat lembah. Sepanjang jalan dia menyaksikan
pemandangan yang aneh. Di mana-mana dia melihat tebaran debu tebal berwarna
hitam, merah atau hitam di tanah, Klewing tak dapat menduga debu apa adanya
itu. Makin jauh ke pusat lembah semakin banyak tumpukan pasir berwarna itu
ditemuinya. Walau dia ingin sekali mengetahui namun Klewing tak berani ajukan
pertanyaan pada tiga orang yang berada di dekatnya.
“Aneh,
semula aku menduga Lembah Akhirat adalah lembah maha menyeramkan. Tapi ternyata
keadaannya biasa-biasa saja. Atau mungkin dibalik semua keanehan ini ada
sesuatu yang mengerikan…?” Klewing terus berjalan mengikuti tiga orang itu. Di
samping sebuah pohon besar yang dilingkari semak belukar sangat lebat tiga
pengawal Lembah Akhirat berhenti. Salah seorang dari mereka menyelinap ke balik
pohon. Tak lama kemudian semak belukar di sebelah kanan bergerak dan menguak
aneh. Lalu tampak sebuah mulut goa. Si muka hitam masuk ke dalam goa. Si muka
merah memberi isyarat pada Klewing agar mengikuti. Lalu di sebelah belakang
pengawal bermuka hijau menyusul dengan tombak terhunus.
Bagian
dalam goa merupakan satu tangga batu menurun. Begitu mereka masuk semak belukar
yang tadi menguak tertutup dengan sendirinya. Klewing merasakan hawa dingin
menggidikkan sepanjang perjalanan menyusuri goa yang ternyata cukup panjang
itu. Tak lama kemudian Klewing melihat ada cahaya terang di sebelah depan
pertanda dia akan segera sampai di ujung goa. Memang benar. Begitu sampai di
ujung goa Tokoh Kembar nomor 3 ini melihat satu pedataran terbentang di
hadapannya. Puluhan orang bermuka hijau, merah atau hitam berdiri seputar
pedataran lengkap dengan tombak yang ditancapi tengkorak di tangan
masing-masing.
“Heran,
aku tidak melihat satu orang perempuan pun…” membatin Klewing.
Di tengah
pedataran ada satu batu besar setinggi setengah tombak. Salah satu sisi batu
berbentuk tangga. Sekeliling batu ada kobaran api setinggi tiga jengkal. Lalu
di atas batu besar itu tampak satu gentong kayu besar. Gentong ini berisi air
yang mengeluarkan suara riak seolah mendidih. Asap tipis yang menebar bau aneh
mengepul keluar dari gentong. Klewing tercekat ketika melihat dari dalam
gentong muncul sepasang kaki besar berotot penuh bulu, lurus tak bergerak. Pada
kedua pergelangan kakinya terikat satu tengkorak kecil.
“Ada
orang merendam dirinya di dalam gentong secara aneh…” kata Klewing dalam hati.
“Sulit kuduga apa yang dilakukannya. Tapi jika dia tidak memiliki kepandaian
luar biasa tidak mungkin dia melakukan hal itu…. Tengkorak kecil di kedua
kakinya itu pasti tengkorak anak-anak, mungkin bayi….” Tengkuk satu-satunya
orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini menjadi dingin.
Si botak
Klewing kemudian dibawa ke sebuah bangunan terbuat dari batu yang tidak bedanya
sebuah goa besar. Di dalam bangunan tampak duduk tiga orang bertampang aneh
angker.
Yang di
sebelah kanan memiliki muka berwarna merah, di tengah hitam dan di ujung kiri
hijau. Tiga orang ini memiliki rambut keriting kecil, sangat rapat dan keras.
Rambut mereka berwarna sesuai warna wajah. Si hitam memiliki rambut tinggi
runcing ke atas seperti kerucut. Si merah rambutnya berbentuk bulat tinggi
seperti tempurung besar sedang si hijau berambut menyerupai sarang tawon,
panjang ke atas. Ketiga orang ini mengenakan jubah berlengan gombrong yang
warnanya sesuai dengan warna wajah masing-masing. Si hitam memiliki wajah
lebar, dihias alis, kumis dan janggut tebal berwarna hitam. Sepasang telinganya
ditusuk dengan sepotong tulang manusia. Dia seolah tidak memiliki hidung.
Bagian yang seharusnya ada hidung hanya ada dua buah lubang hingga hidungnya
seolah gerumpung. Orang ini adalah Pengiring Mayat Muka Hitam, salah satu dari
tiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat.
Lelaki
bermuka merah tidak punya alis. Tidak memelihara janggut ataupun kumis. Cuping
hidung sebelah kiri ditancapi potongan tulang manusia. Dia ini dikenal dengan
panggilan Si Pengiring Mayat Muka Merah. Juga merupakan salah satu pembantu
utama Datuk Lembah Akhirat. Orang ketiga yang mukanya berwarna hijau memiliki
kepala panjang peang. Mukanya yang hijau tampak berbenjol-benjol seolah
diserang penyakit bisul. Sepotong tulang manusia menancap di bibir-nya sebelah
bawah. Orang yang terakhir ini me-rupakan pembantu ke tiga Datuk Lembah Akhirat
dan dijulliki Si Pengiring Mayat Muka Hijau. Dari ke tiga manusia seram itu Si
Pengiring Mayat Muka Hitam bertindak sebagai pimpinan mereka.
“Manusia
atau setankah yang ada di hadapanku ini? Seumur hidup aku tidak pernah melihat
makhluk sedahsyat ini…. Yang mana di antara mereka Datuk Lembah Akhirat?”
begitu Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3 membatin dalam hati.
“Menjura
pada Tiga Pengiring Mayat!”
Klewing
tergagau oleh bentakan pengawal bermuka hitam yang ada di sampingnya.
Cepat-cepat dia membungkuk memberi penghormatan pada ketiga orang yang duduk di
dalam bangunan batu itu.
“Tiga
Pengawal Lembah Akhirat! Apa perlunya tuyul kuning berjubah merah ini kalian
bawa ke hadapan kami?! Apa kalian sengaja mencari mati mengganggu ketentraman
tiga wakil tertinggi Datuk Lembah Akhirat?!”
Mendengar
bentakan Si Pengiring Mayat Muka Hitam yang merupakan orang tertinggi di antara
tiga pembantu Datuk Lembah Akhirat, tiga pengawal bersurut mundur dan cepat
menjura. Yang di tengah segera berkata.
“Maafkan
kami, kami tidak bermaksud mengganggu ketentraman Wakil Datuk Lembah Akhirat
bertiga. Tamu ini datang untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Dia membawa
secuil emas sebagai bekal….”
“Hemmm….”
Si Pengiring Mayat Muka Hitam rangkapkan dua lengan di depan dada. Mulutnya
menyunggingkan seringai dan dia saling pandang dengan dua temannya.
“Kalau
begitu kalian bertiga lekas angkat kaki dari hadapan kami!”
“Maafkan
kami para Wakil Datuk Lembah Akhirat…” kata tiga pengawal bersamaan.
Setelah
menjura dalam-dalam ketiganya lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Sampai di
luar bangunan batu mereka merasa lega. Yang satu berbisik pada temannya.
“Untung Si Pengiring Mayat Muka Hitam tidak sewot benar. Ingat, dua hari lalu
dia membunuh dua teman kita hanya gara-gara secara tak sengaja mereka melihat
Si Pengiring Mayat Muka Hitam sedang kencing di bawah pohon…. Gila! Kalau saja
aku bisa kabur dari tempat ini sudah lama aku minggat….”
“Ssst…,
Jalan pikiranmu sama dengan kami berdua,” jawab teman pengawal yang barusan
bicara. “Tapi hati-hati kalau bicara. Pohon, batu dan tanah bisa jadi mata-mata
di tempat ini. Belum lagi teman-teman bangsa penjilat!”
“Sebenarnya
dua teman kita yang-malang itu bukan dibunuh karena tidak sengaja melihat Si
Pengiring Mayat Muka Hitam kencing di bawah pohon,” kata pengawal bermuka
hijau. “Tapi dekat pohon itu ada seekor babi perempuan gemuk. Si Pengiring
Mayat Muka Hitam merasa seperti di-pergoki. Hik… hik… hik! Dasar manusia
edan!”. “Bangsat satu itu memang aneh! Perempuan banyak di tempat penyekapan.
Mengapa doyannya hik… hik…hik…!”
Tiga
pengawal Lembah Akhirat cepat menyelinap di balik bebatuan dan semak belukar,
Kembali ke tempat pengawalan masing-masing sambil terus tertawa cekikikan.
*******************
DELAPAN
Begitu
tiga pengawal berlalu Pengiring Mayat Muka Hitam berpaling pada si botak
berjubah merah. “Botak kepala kuning! Pengawal mengatakan kau membawa secuil
emas. Perlihatkan padaku!”
Mendengar
ucapan Pengiring Mayat Muka Hitam, Klewing cepat keluarkan kepingan emas dari
saku jubah merahnya lalu diperlihatkan pada wakil Datuk Lembah Akhirat itu.
Sekali tangannya bergerak maka kepingan emas sudah berada dalam genggaman
Pengiring Mayat Muka Hitam. Emas ini diperhatikan lalu ditimang-timangnya
beberapa kali.
“Kawan-kawan,
emas yang dibawanya memang murni. Tapi besarnya tidak lebih besar dari bijinya.
Ha… ha… ha! Apa pantas urusan ini kita teruskan?”
“Kita
tanya saja dulu. Kalau dia memang tidak pantas berada di sini, kita akan usir!
Tapi salah satu matanya harus ditinggalkan!”
Kalau
saja Klewing bukan seorang tokoh silat berpengalaman, mendengar ucapan
Pengiring Mayat Muka Merah itu tentu saja akan membuat ciut nyalinya.
Satu-satunya orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini tetap berlaku
tenang dan diam.
“Botak
kepala kuning. Ceritakan siapa dirimu!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Aku
Klewing. Aku datang dari selatan. Bermaksud menghadap Datuk Lembah Akhirat….”
“Tunggu!”
memotong Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kami belum menanyakan maksud kedatanganmu
ke sini. Kawanku minta agar kau menerangkan siapa dirimu….”
“Aku
tidak mengerti. Aku sudah katakan namaku….”
“Botak
kepala tahi tolol!” hardik Pengiring Mayat Muka Merah. “Nama jelek itu tak usah
diulang-ulang. Yang kami ingin tahu apa gelarmu! Kau dari golongan hitam atau
golongan putih!”
Sampai di
sini Pengiring Mayat Muka Hijau ikut berkata. “Kau harus tahu, hanya
orang-orang persilatan golongan putih yang diperbolehkan datang ke tempat ini!
Kau dari pihak mana botak?!”
“Aku….
Aku memang dari golongan putih walau dulu sering terlibat urusan tidak benar….”
“Hemmm….”
Pengiring Mayat Muka Merah berpaling pada si muka hitam. Sambil usap-usap
hidungnya yang ditancapi tulang dia berkata. “Bagaimana pendapatmu?”
Pengiring
Mayat Muka Hitam lantas ajukan pertanyaan pada Klewing. “Mengapa kepalamu botak
dan apa artinya angka tiga di kepalamu itu?!”
“Aku
adalah orang ke tiga Delapan Tokoh Kembar…” menerangkan Klewing.
Mata
ketiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat membesar. Ketiganya lalu tertawa
terbahak-bahak. “Kami memang pernah dengar nama kelompokmu! Jadi kau salah satu
dari kembar delapan? Luar biasa! Apa saja yang dikerjakan ibumu hingga dia bisa
beranak sekali delapan! Ha… ha… ha!” Pengiring Mayat Muka Hitam permainkan jari
telunjuk tangan kanannya di permukaan lobang hidungnya yang sama rata dengan
pipi.
“Kalau
kau kembar delapan, mana saudaramu yang tujuh lagi?!”
“Mereka
sudah mati semua….”
“Hah!
Tujuh saudaramu mati semua?! Malang benar Ha… ha… ha!” ujar Pengiring Mayat
Muka Hitam lalu tertawa gelak-gelak. Dua kawannya ikut-ikutan tertawa.
“Apa
tujuh saudaramu itu mati kecebur sumur atau disambar geledek atau diserang
penyakit sampar?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau sambil senyum-senyum seolah
mengejek.
Walau
hatinya panas mendengar ucapan orang tapi Tokoh Kembar nomor 3 ini berusaha
tenang dan menjawab perlahan. “Mereka menemui ajal di Pangandaran. Dibunuh oleh
beberapa orang tokoh silat. Antara lain Iblis Pemabuk, Ratu Duyung, Tua Gila
serta Pendekar 212 Wiro Sableng….”
“Hemmm….
Jadi mereka terlibat urusan besar di Pangandaran yang menggegerkan itu.
Kabarnya Pangeran Matahari juga menemui ajalnya di tempat itu! Kau sendiri
bagaimana bisa lolos…?”
“Waktu
itu aku cepat membaca situasi. Daripada mati konyol aku cepat-cepat melarikan
diri.”
“Sungguh
pengecut!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kau lari selamatkan diri sementara
tujuh saudaramu mampus meregang nyawa!”
“Aku
bukan pengecut! Keadaan tidak memungkinkan untuk menghadapi pihak musuh.
Lagipula kalau aku menemui ajal, siapa yang bakal menuntut balas kematian tujuh
saudaraku?!” Klewing membantah dengan suara keras.
Tiga
wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh.
“Hemm….
Otakmu agak cerdik juga rupanya.
Jadi kau
datang ke sini dengan satu maksud. Untuk membalaskan sakit hati kematian
saudara-saudaramu!”
“Itu hal
yang pertama. Hal kedua aku ingin mengetahui seluk beluk Kitab Wasiat Malaikat
yang kini ramai dihebohkan di rimba persilatan. Siapa tahu aku berjodoh
mendapatkannya. Paling tidak mempelajari sebagian isinya yang kabarnya
mengandung ilmu kesaktian luar biasa. Selain itu aku juga ingin bergabung
dengan orang-orang Lembah Akhirat ini.”
“Lelewing….”
“Namaku
Klewing!” kata si botak kepala kuning itu ketika Pengiring Mayat Muka Hitam
salah menyebutkan namanya. Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak.
“Aku
sengaja salah menyebut namamu. Soalnya tampangmu memang mirip-mirip binatang
bernama lelewing itu! Ha… ha… ha!”
“Jahanam!”
rutuk Klewing tapi hanya dalam hati ketika mendengar ucapan Pengiring Mayat
Muka Merah tadi.
“Teman-teman…”
kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Aku melihat ada hal yang tidak beres dalam
keterangan manusia botak kepala kuning ini. Dia bilang dari golongan putih.
Tapi mengapa saudara-saudaranya justru dibunuh oleh para tokoh golongan putih!”
“Hemmm….”
Pengiring Mayat Muka Hitam menyeringai lalu membentak. “Apa jawabmu?!”
“Saat itu
kami tertipu. Dipikat oleh seorang gadis cantik yang ternyata adalah kaki tangan
Pangeran Matahari. Hingga kami memilih pihak yang keliru!” Menerangkan Klewing
alias Tokoh Kembar Nomor 3.
“Kawan-kawan,
menurutmu apakah jawaban cecunguk ini bisa diterima?” tanya Pengiring Mayat
Muka Hijau pada si muka merah dan hitam.
“Mauku
dia kita lempar saja ke luar sana. Tak ada gunanya mengurusi manusia macam
begini!” berucap Pengiring Mayat Muka Merah.
“Atau aku
robah saja tubuhnya jadi debu hijau saat ini juga!” kata Pengiring Mayat Muka
Hijau.
Klewing
yang mulai merasa khawatir cepat berkata. “Aku mohon kalian mau membantu
mempertemukan diriku dengan Datuk Lembah Akhirat. Aku ingin bersahabat dengan
kalian. Di kemudian hari jika aku punya rejeki aku tidak akan melupakan
kalian….”
Pengiring
Mayat Muka Hijau tertawa mengekeh. “Manusia jelek sepertimu jauh rejeki! Kalau
hidupmu kelak sengsara apa yang hendak kau bagi pada kami?!”
Pengiring
Mayat Muka Hitam angkat tangannya lalu berkata. “Aku mau memberi kesempatan
padanya. Jika dia tidak cerita tentang emas yang dibawanya pada Datuk Lembah
Akhirat mungkin dia masih ada harganya untuk dibawa menghadap penguasa
tertinggi Lembah Akhirat itu. Bagaimana menurut kalian….”
Pengiring
Mayat Muka Merah dan Pengiring Mayat Muka Hijau tampak seperti berpikir-pikir.
Padahal semua ini adalah sandiwara yang mereka atur semua. Sebelumnya setiap
orang yang hendak menemui Datuk Lembah Akhirat memang selalu mereka peras
begitu rupa. Tiba-tiba terdengar suara suitan keras di luar bangunan batu tiga
kali berturut-turut. Para wakil Datuk Lembah Akhirat dengan cepat melangkah
keluar. Mau tak mau karena ingin tahu Klewing juga mengikuti keluar.
Di depan
mereka saat itu delapan orang pengawal Lembah Akhirat nampak mengusung dua buah
tandu. Di atas ke dua tandu itu menggeletak sesosok tubuh seorang kakek
berjanggut berkumis dan berambut biru serta seorang lelaki separuh baya.
Keduanya telah jadi mayat dan menebar bau busuk. Si kakek tampak hancur
sebagian wajahnya sedang mayat satunya kelihatan hampir putus batang lehernya
seolah ditabas golok atau pedang yang sangat tajam!
Klewing
tidak mengenal siapa adanya mayat lelaki separuh baya itu. Tapi dia kenal betul
mayat satunya. Si kakek diketahuinya adalah salah seorang tokoh silat golongan
putih dari kawasan timur yang dikenal dengan julukan Janggut Biru Berhati Emas.
“Penyebab
kematian kedua orang ini pasti tewas dibunuh. Siapa yang membunuh?
Mengapa
mereka berada di tempat ini?” Berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawab muncul
dalam benak Klewing.
Dua
usungan mayat diturunkan ke tanah. Delapan pengawal Lembah Akhirat menjura.
Salah seorang dari mereka berucap dengan suara lantang.
“Dua
mayat siap dibuang di dalam kawasan Lembah Akhirat. Apakah para wakil Datuk
Lembah Akhirat berkenan memberi izin?!”
“Katakan
dulu siapa yang telah menghabisi kedua orang ini?!” tanya Pengiring Mayat Muka
Hitam.
“Seorang
tokoh silat golongan putih dikenal dengan julukan Dewa Sedih!” jawab Pengawal
Lembah Akhirat yang mukanya berwarna hijau.
Tokoh
Kembar Nomor 3 terkejut sekali mendengar keterangan si pengawal. Sementara tiga
wakil Datuk Lembah Akhirat tampak menyeringai sambil manggutmanggut.
“Kami
ingin segera membuang mayat. Harap petunjuk dari para wakil yang terhormat.”
Berkata pengusung mayat muka hijau.
Pengiring
Mayat Muka Merah angkat tangan kanannya dan berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka
Merah menyetujui agar dua mayat itu segera dibuang!”
Si muka
hijau melakukan hal yang sama. Dia mengangkat tangan kanannya seraya berkata.
“Aku Pengiring Mayat Muka Hijau memperbolehkan kalian membuang dua mayat itu!”
Orang ke
tiga menyusul. Sambil mengangkat tangannya dia berucap. “Aku Pengiring Mayat
Muka Hitam, pembantu utama Datuk Lembah Akhirat, aku mewakili Datuk Lembah
Akhirat, aku menyetujui dan memerintahkan kalian untuk segera membuang dua
mayat itu dalam bentuk sesuai aturan Datuk Lembah Akhirat!” Si muka hitam
memberi isyarat pada dua temannya.
Pengiring
Mayat Muka Hijau dan Muka Merah menyeringai lalu sama-sama anggukkan kepala.
Tiba-tiba kedua orang ini membalik dan hantamkan tangan mereka ke arah mayat
yang tergeletak di atas usungan. Terjadilah hal yang luar biasa dan sangat
menggidikkan Klewing. Dua larik sinar merah dan hijau menebar lalu menghantam
dua sosok mayat di atas usungan. Mayat kakek berjanggut biru tampak laksana
dikobari api berwarna merah. Ketika sinar merah lenyap tubuhnya hanya tinggal
bubuk berwarna merah sementara usungan di atas mana mayatnya sebelumnya berada
tidak rusak sedikit pun!
Seperti
kakek berjanggut biru tubuh mayat lelaki separuh baya mula-mula dihantam dan
dibungkus sinar hijau. Lalu “wuss!” Seolah ada api berwarna hijau melumat
tubuhnya. Sesaat kemudian api hijau lenyap dan kini tinggallah onggokan debu
tebal berwarna hijau di atas usungan!
Pengiring
Mayat Muka Hitam melirik pada Klewing. “Botak kepala kuning, nasibmu bisa
seperti itu kalau ada tingkah perbuatanmu yang tidak menyenangi kami! Ingat itu
baikbaik!”
Tokoh
Kembar Nomor 3 itu diam saja.
“Angkat
dua usungan. Lekas pergi dari sini!” perintah Pengiring Mayat Muka Hijau.
“Yang merah
dibuang di sebelah timur. Yang hijau buang di sebelah barat!” kata Pengiring
Mayat Muka Hitam.
“Perintah
kami jalankan!” kata pengawal Lembah Akhirat. Setelah menjura lebih dulu lalu
delapan orang pengawal kembali mengusung dua mayat di atas tandu yang kini
telah berubah jadi debu lalu tinggalkan tempat itu menuju Lembah sebelah timur
dan barat.
“Bagaimana
dengan si botak ini? Apa pantas kita beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah
Akhirat?” membuka suara Pengiring Mayat Muka Merah.
Tak ada
salahnya mencoba. Kalau kemudian hari janjinya untuk berbagi rejeki dengan kita
tidak ditepati, dia akan menerima siksa neraka sebelum kita merubah mayatnya
menjadi debu!”
Pengiring
Mayat Muka Hijau mengangguk. Si muka merah hanya menyeringai.
“Klewing!
Kau kami beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat. Tapi kau harus
menunggu sampai penguasa tertinggi di lembah ini selesai bersamadi!” kata
Pengiring Mayat Muka Hitam.
“Aku
tidak mengerti…” kata Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3.
Si muka
hitam memberi isyarat lalu bersama dua temannya melangkah tinggalkan tempat
itu. Si botak kepala kuning mengikuti. Mereka kembali ke tempat di mana tadi
Klewing melihat sebuah gentong besar berisi air seolah mendidih disertai
kepulan asap. Di dalam gentong yang terletak di atas batu besar itu tampak
sepasang kaki manusia, berbulu dan di-gelantungi tengkorak kecil. Bagian tubuh
dari pertengahan paha ke atas tidak kelihatan karena berada dalam gentong kayu.
Sejak tadi Klewing tak habis pikir apa yang dilakukan orang itu di dalam
gentong? Mandi atau hendak bunuh diri atau apa?
“Siapa
orang di dalam gentong?” Klewing beranikan diri bertanya.
“Orang di
dalam gentong adalah pimpinan kami. Penguasa tunggal di kawasan ini.
Datuk
Lembah Akhirat. Dia sedang melakukan samadi di dalam gentong berisi air. Dia
baru berhenti bersamadi kalau air beriak dalam gentong habis. Air dalam gentong
akan habis karena penguapan dan juga tetes demi tetes yang keluar dari sebuah
lobang kecil di bagian bawah. Kapan habisnya air itu boleh kau tanyakan pada setan!”
Klewing
menatap tampang Pengiring Mayat Muka Hitam sesaat lalu pandangi gentong berisi
sosok manusia yang hanya kakinya saja yang kelihatan. Dalam hati orang ini
berkata. “Jadi itu Datuk Lembah Akhirat. Aneh sekali caranya bersamadi. Melihat
kecilnya tetesan air dan udara sekitar sini sejuk, air dalam gentong baru akan
habis setelah berminggu-minggu…. Jangan-jangan aku telah salah memilih datang
ke tempat celaka ini!”
*******************
SEMBILAN
Tak lama
lagi matahari akan segera terbit menerangi jagat. Tua Gila yang tengah berlari
cepat tiba-tiba merasakan dadanya sakit, kepalanya berat dan pemandangannya
berkunang. Tubuhnya terasa panas seolah dipanggang. Di bawah sebatang pohon
orang tua ini hentikan larinya, duduk menjelepok di tanah bersandar ke pohon.
Tua Gila gerakan tangan kanannya ke dada. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam
untuk melenyapkan rasa sakit di bagian itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya
bergerak ke bahu kiri. Dia menyentuh sesuatu. Terkejutlah si kakek. Ternyata
keris merah api Datuk Angek Garang masih menancap di situ.
“Senjata
jahanam…. Pasti mengandung racun jahat! Kalau aku tidak segera mendapatkan obat
penolak racun tamatlah riwayatku! Setan betul! Begitu banyak urusan yang harus
kuhadapi, mengapa aku mesti mampus lebih cepat…!” Tua Gila menyeringai.
Dengan
tangan kanannya dia berusaha mencabut keris kecil yang menancap di bahu kirinya
itu. Namun sebelum dia mampu melakukan tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan tak
ampun lagi tokoh silat ini terkapar melingkar di tanah. Pingsan siap menuju
sekarat!
Ketika
matahari bergerak naik dan di arah timur serombongan burung terbang menembus
awan kelabu seorang pejalan kaki nampak keluar dari kerapatan pepohonan. Ada
beberapa keanehan pada diri orang ini. Pertama dia mengenakan pakaian ringkas
warna kuning atas bawah. Rambutnya hitam berkilat disanggul ke belakang. Dari
keseluruhan wajahnya hanya sepasang mata dan sebagian keningnya saja yang
kelihatan karena wajah itu sengaja dilindungi dengan sehelai kain cadar
berwarna kuning!
Keanehan
kedua sambil berjalan orang ini melantunkan suara nyanyian tanpa syair.
Dari
mulutnya terus menerus terdengar suara seperti gema saluang (sejenis seruling
yang umum terdapat di tanah Minang). Lagu yang dibawakannya meski sulit diduga
lagu apa tapi jelas menyatakan perasaan sedih berhiba-hiba. Dan dari suara
nyanyian itu jelas diketahui bahwa orang bercadar kuning ini adalah seorang
perempuan. Dari rambutnya yang masih hitam agaknya dia belum terlalu berumur.
Walau hal itu tidak dapat dipastikan karena wajahnya yang terlindung.
Mendadak
suara nyanyian perempuan itu lenyap, berganti dengan satu keluhan pendek
disertai tarikan nafas. Langkahnya terhenti begitu melihat sosok Tua Gila
tergelimpang di bawah pohon.
“Tanah
Jawa…. tanah Jawa…. Semakin jauh aku berjalan semakin banyak kutemui
keganjilan. Hari ini aku melihat seorang tua terbujur sengsara di tengah jalan.
Siapa gerangan orang tua ini…?”
Perempuan
berpakaian serba kuning berjongkok di samping tubuh Tua Gila.
“Wajahnya
tak kukenal. Sekujur kulitnya merah laksana dipanggang!” Lalu orang ini melihat
keris merah kecil yang menancap di bahu kiri si kakek. “Hemmm…. Kalau senjata
ini aku kenali betul. Ini adalah keris merah api milik Datuk Angek Garang dari
Andalas! Pasti sebelumnya telah terjadi perkelahian antara orang tua ini dengan
si Datuk….”
Perempuan
bercadar kuning berpikir sejenak. Dalam hati dia berkata lagi. “Menolong sesama
kerabat walau tidak saling mengenal adalah aturan dan peradatan rimba persilatan.
Orang tua ini tengah sekarat. Kalau tidak kutolong pasti dia akan menemui ajal.
Paling lama umurnya hanya sampai matahari terbenam nanti.”
Berpikir
begitu perempuan bercadar kuning mengeluarkan satu kantong kain dari balik
pakaiannya. Dari dalam kantong ini diambilnya dua jenis obat. Obat pertama
berwarna kuning berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat kedua berupa
bubuk juga berwarna kuning. Memasukkan obat ke dalam mulut orang yang pingsan
agar dia bisa menelannya bukan pekerjaan mudah. Perempuan bercadar menekan pipi
Tua Gila yang cekung. Begitu mulutnya terbuka, butiran obat kuning
dimasukkannya ke dalam mulut. Lalu dengan tangannya yang lain dia menotok
tenggorokan Tua Gila. Dari mulut si kakek terdengar suara seperti dia bertahak.
Obat kuning tertelan lewat tenggorokan, masuk ke dalam perutnya. Orang bercadar
merasa agak lega sedikit. Obat berupa bubuk kuning ditebarkannya di bahu Tua
Gila yang masih ditancapi keris merah api. Daging di sekitar tancapan keris
yang tadinya berwarna merah dan bengkak perlahan-lahan berubah menjadi biru.
Ketika warna biru berubah menjadi hitam pada saat itulah orang bercadar
mencabut keris yang menancap dari bahu Tua Gila.
Darah
hitam dan bau amis mengucur dari luka bekas tusukan keris. Perempuan bercadar
duduk bersila di tanah. Sepasang matanya terus memperhatikan darah hitam yang
mengucur. Sambil memperhatikan dari mulutnya kembali keluar suara nyanyian
tanpa syair.
Darah
hitam yang mengucur perlahan-lahan berubah menjadi kemerahan. Suara nyanyian
perempuan itu semakin keras tanda hatinya lega. Munculnya darah segar
menggantikan darah hitam berarti dalam tubuh si kakek kini tak ada lagi racun
yang mengendap. Setelah menunggu beberapa lama lagi perempuan bercadar lalu
menotok pundak kiri Tua Gila. Darah segar langsung berhenti keluar dari luka.
“Tugas
menolong telah selesai. Aku harus meninggalkan tempat ini. Harus meninggalkan
orang tua ini….”
Perlahan-lahan
si cadar kuning berdiri. Dia menatap sekali lagi pada tubuh dan wajah Tua Gila
lalu memutar diri dan tinggalkan tempat itu. Dari mulutnya kembali keluar suara
nyanyian berhiba-hiba.
“Tunggu!”
Tiba-tiba
satu seruan terdengar di belakangnya. Perempuan bercadar kuning berpaling.
Orang tua yang barusan ditolongnya dilihatnya telah duduk melunjur dan
bersandar ke batang pohon di belakangnya. Kedua mata orang ini terpejam tapi
tangan kanannya dilambaikan seolah memanggil.
“Ada apa
orang tua…?” tanya perempuan bercadar.
“Kau tuan
penolongku! Mengapa pergi begitu saja setelah menolong?”
“Hemm….
Apa maunya orang tua ini?” pikir si baju kuning. “Waktu kutolong jelas dia
pingsan berat. Waktu aku tinggalkan dia masih belum siuman. Bagaimana dia tahu
aku yang menolongnya?!”
“Hai!
Tuan penolongku! Kemari dulu!”
“Orang
tua, kau berucap berbudi-budi. Aku yang awam jadi tidak mengerti. Aku bukan
tuan penolong seperti yang kau ucapkan. Aku hanya kebetulan lewat dalam
perjalanan.”
Tua Gila
menyeringai lalu tertawa.
“Orang
tua aneh. Dalam keadaan begitu rupa masih bisa tertawa…” membatin si cadar
kuning,
“Kau tak
mengaku telah menolongku! Itu tandanya kau berbudi luhur tidak punya pamrih.
Aku suka hai itu. Satu lagi yang aku suka darimu yaitu gaya bahasamu. Kau
bicara dengan kata-kata seolah-olah bait-bait pantun.”
“Orang
tua kau bersalah sangka. Tak ada pertolongan tak ada apa. Kalau kau mau memuji
itu pertanda kau baik di mulut dan baik di hati.”
Tua Gila
tertawa mengekeh. Saat itu kedua matanya masih terpejam. “Tuan penolongku, kau
boleh menampik dibilang telah menolong. Tapi coba kau perhatikan tanganmu. Ada
sedikit noda darah di sela jarimu. Pada salah satu bagian pakaianmu juga ada
noda darahku. Kalau kau tidak menolong bagaimana tangan dan pakaianmu kotor
begitu rupa…? Hik… hik…hik!”
Wajah di
balik cadar kuning jadi berubah kaget. Orang ini perhatikan kedua tangannya.
Memang di situ ada noda darah. Lalu ketika ditelitinya pakaiannya, pada
pinggiran baju sebelah kiri juga ada noda darah. “Aneh, kedua matanya masih
terpejam, bagaimana dia bisa tahu ada noda di tangan dan bajuku?”
“Orang
tua, pekertimu yang baik aku rasakan dari ucapan serta tawamu. Hanya sayang aku
tak bisa memenuhi permintaanmu. Perjalananku masih panjang. Berbagai urusan
masih menghadang….”
“Perempuan
pandai berpantun. Jika kau tak mau berlama-lama di tem pat ini aku benar-benar
merasa sedih. Tapi aku mesti bilang apa. Sebelum pergi maukah kau memberi tahu
siapa nama atau gelarmu?” Sambil bertanya begitu perlahan-lahan Tua Gila buka
sepasang matanya.
“Ketika
lahir konon orang tuaku tak memberi nama. Setelah besar rimba persilatan tidak
memberi gelar apa-apa. Aku hanyalah aku. Dalam diriku yang ada hanyalah aku….”
“Kalau
kau segan memberi nama tak jadi apa. Biarlah kau kukenang dengan nama Dewi
Penolong Bercadar Kuning…”
Mendengar
ucapan Tua Gila perempuan bercadar tertawa lalu berkata. “Hari ini kau
menganggap aku penolongmu. Di lain saat mungkin kita menjadi seteru. Kau tak
tahu siapa diriku. Aku tak tahu siapa dirimu.”
“Eh,
mengapa kau berkata begitu?” tanya Tua Gila.
“Rimba
persilatan dunia penuh petaka. Hari ini berbuat baik, besok bisa berbuat dosa.
Hari ini menjadi kawan, besok menjadi lawan. Hari ini se-seorang bisa tertawa
dalam bahagia, lusa mungkin menangis dalam sengsara….”
Mau tak
mau Tua Gila jadi tercekat mendengar ucapan tuan penolongnya itu. Dia menggaruk
kepalanya yang ditumbuhi rambut putih tipis lalu menghela nafas panjang.
“Duka
sengsara, senang bahagia. Itu menjadi bagian setiap manusia yang hidup di
dunia. Hari ini aku berbahagia karena ada seorang berbudi luhur menyelamatkan
jiwaku. Tapi sekaligus aku merasa sedih karena tidak tahu siapa dia adanya.
Juga lebih sedih lagi karena tidak tahu bagaimana tua bangka ini harus membalas
budi….”
“Orang
tua, lupakan segala balas budi. Semua perbuatan menjadi catatan Tuhan Yang Maha
Tinggi. Sebagai manusia biasa jangan berharap budi dibalas budi. Dasar
kehidupan manusia justru adalah berbalas kasih….”
“Ah,
semakin tidak tahu aku mengartikan ucapan perempuan yang serba berpantun ini!”
kata Tua Gila dalam hati.
“Orang
tua, aku gembira melihat kau sembuh. Kalau langit masih biru, selama ombak
masih memecah pantai kita pasti bertemu….”
“Pantun
lagi! Pantun lagi!” ujar Tua Gila dalam hati. Lalu dia berkata. “Tuan penolong
yang aku panggil dengan sebutan Dewi Penolong Bercadar Kuning. Tadi kau bilang
berbagai urusan masih menghadang. Jika kau mau memberi tahu mungkin aku bisa
menolong.”
“Terima
kasih atas budi baikmu. Tapi aku adalah aku. Aku hanyalah aku. Urusanku adalah
urusanku. Paling pantang bagiku membuat orang lain jadi terganggu….”
“Aku
hanya khawatir…. Rimba persilatan penuh dengan berbagai muslihat dan kekejaman.
Jika kau sampai celaka…. Tapi sudahlah. Orang berkepandaian tinggi sepertimu
tentu mampu menghadapi segala marabahaya….”
“Tak ada
yang lebih tinggi daripada Tuhan Yang Kuasa. Tak ada yang lebih mampu daripada
Tuhan Yang Esa. Manusia hanya meminta perlindungan padaNya. Bahagia sengsara
datang silih berganti. Tinggal manusia yang akan memilih.”
Tua Gila
angguk-anggukkan kepala. “Dewi Penolong Bercadar Kuning. Aku ucapkan selamat
jalan padamu. Aku berdoa untuk keselamatanmu!”
“Terima
kasih orang tua. Sebelum pergi satu hal perlu kau ketahui. Jangan berdiri
sebelum matahari mencapai titik tertinggi. Tubuhmu masih lemah. Tunggu sampai
kekuatanmu bertambah. Selamat tinggal….!”
Tua Gila
mengangguk lagi dan lambaikan tangannya. Hanya sesaat saja perempuan bercadar
kuning itu berlalu tiba-tiba semak belukar di balik pohon besar terkuak. Lalu
sekali meloncat saja di hadapan Tua Gila tegaklah sesosok tubuh berjubah hitam
rambut putih riap-riapan di bawah topi berkeluk berwarna merah dihias benang
merah.
Sepasang
mata Tua Gila yang cekung lebar laksana melesak ke dalam dan tambah besar
ketika mengenali siapa adanya orang itu.
“Sabai…”
desis Tua Gila.
Tengkuknya
langsung dingin. Dia coba berdiri. Tapi seperti yang dikatakan perempuan
bercadar kuning tadi, ternyata saat itu tubuhnya memang sangat lemah akibat
racun keris merah api Datuk Angek Garang yang sempat menancap di bahu kirinya.
Ketika dia mencoba berdiri tubuhnya serta merta jatuh terduduk kembali!
Tua Gila
cepat meraba pinggangnya di mana tersimpan senjata yang paling diandalkannya
yaitu benang sakti Benang Kayangan. Orang di hadapan Tua Gila menyeringai.
“Apa kau
kira kali ini kau bisa lolos dari kematian Sukat Tandika?!”
“Kau bisa
membunuhku! Tapi aku memilih kita mati bersama! Ha… ha… ha!”
*******************
SEPULUH
Sabai Nan
Rancak tertawa mengekeh. “Siapa sudi jalan ke neraka bersama tua bangka bejat
sepertimu!” katanya lalu meludah ke tanah. Tua Gila balas dengan tawa bergelak.
“Hukuman
memang layak kau jatuhkan atas diriku. Tapi setelah aku mati apa kau akan mendapatkan
kepuasan dalam hidupmu? Kau sendiri sudah bau tanah Sabai! Mengapa berperilaku
seperti anak-anak tapi mengumbar racun dendam kesumat tanpa perhitungan!”
“Aneh,
dulu kau menyatakan pasrah menghadapi kematian! Hari ini sepertinya kau ingin
hidup seribu tahun lagi! Agaknya ada perempuan baru yang akan kau jadikan
korban kebusukan cinta bejatmu?!”
“Kau mau
membunuhku silahkan. Lebih cepat lebih baik! Tapi ada satu hal yang perlu aku
beritahu padamu….”
“Setan!
Rahasia apa yang kau ketahui mengenai diriku! Aku tak punya rahasia apaapa.
Kecuali ingin membunuhmu sejak puluhan tahun lalu!”
“Aku tahu
kau sebenarnya tidak sejahat dan sebuas ini Sabai. Ada seseorang mengendalikan
dirimu. Sadar atau tidak sadar kau telah dipergunakan orang….”
“Tua
bangka bermulut busuk!” teriak Sabai Nan Rancak. “Kau mencari dalih untuk
menutupi kebejatanmu di masa muda!”
“Tenang
Sabai. Aku akan segera mati di tanganmu, itu sudah jelas. Tapi apa kau sadar
bahwa segala perbuatanmu yang dikendalikan orang lain akan mengacaukan rimba persilatan
di pulau Andalas dan tanah Jawa? Kau tengah diperalat seseorang Sabai….”
“Jahanam!
Katakan siapa orangnya!”
“Aku
tidak tahu, tapi aku merasakan. Kau yang lebih tahu!’ jawab Tua Gila.
“Kalau
begitu lebih baik kau mampus saja saat ini! Tapi sebelum kau kukirim ke neraka,
ada satu hal ingin kutanyakan. Bagaimana kau bisa bebas dan melarikan diri
waktu di Andalas tempo hari? Siapa yang menolongmu?!”
Tua Gila
menyeringai lalu kakek ini luruskan jari telunjuk tangan kanannya dan menunjuk
ke langit.
“Dia Yang
Maha Kuasa yang menolongku!” kata Tua Gila. Seperti diketahui yang menolong Tua
Gila saat itu adalah Puti Andini, murid dan cucu Sabai Nan Rancak yang
merupakan juga cucu Tua Gila sendiri.
Mulut
Sabai Nan Rancak berkomat-kamit. Dia maju satu langkah seraya berkata.
“Saatmu
sudah tiba Sukat!”
“Silahkan!
Sudah kukatakan lebih cepat aku kau bunuh lebih baik jadinya! Tapi….Ada satu
hal lagi. Dalam hidupmu selain ingin membunuhku, apakah kau pernah menginginkan
sesuatu menjadi milikmu? Sebuah benda sakti mandraguna?”
Muka
keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah berkeriput karena mengernyit.
“Apa
maksudmu?! Apa kau kira bisa memperpanjang umurmu dengan bicara segala macam
hal ngawur?!”
“Kalung
Permata Kejora, Sabai. Kau ingat kalung sakti itu? Kalung berantai perak
bermata hijau?!”
Sabai Nan
Rancak tak sadar tersurut satu langkah saking kagetnya mendengar ucapan Tua
Gila. Sebaliknya si kakek tertawa gelak-gelak.
“Menurut
riwayat kau tidak bisa membunuhku kalau tidak memakai kalung sakti itu. Apakah
kau sudah memiliki benda itu sekarang Sabai…?”
“Soal
kematianmu bukan ditentukan oleh segala macam kalung! Tapi aku yang
menentukan!” bentak Sabai Nan Rancak. Lalu dia bergumam. “Hemmm…. Di mana kau
sembunyikan kalung itu Sukat? Kalau kau tidak memberitahu kucabut lidahmu
sebelum kau kubuat mampus!”
“Aku
tidak akan memberitahu walau kau mencabut segala bagian tubuhku! Ha… ha…ha!”
Seperti
diketahui Kalung Permata Kejora berada di tangan Ratu Duyung. Sang Ratu
menemukan benda itu di laut sewaktu menolong Tua Gila dari serangan Sika Sure
Jelantik.
“Kau
beritahu atau tidak bagiku sama saja!” kata Sabai Nan Rancak walau kini hatinya
bercabang dua. Yaitu apakah dia memang harus segera membunuh Tua Gila atau
menyiksa bekas kekasihnya itu hingga dia mengaku di mana beradanya Kalung
Permata Kejora.
“Nasibmu
buruk Sukat! Kau harus mampus saat ini juga! Aku akan buktikan bahwa tanpa
kalung itu aku akan sanggup membunuhmu!”
Habis
berkata beg itu Sabai Nan Rancak keluarkan bentakan lalu tubuhnya berkelebat,
melayang setinggi pinggang. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Tua Gila.
Walau keadaannya sangat lemah saat itu namun Tua Gila masih sanggup luncurkan
tubuhnya ke bawah sambil miringkan kepala ke kiri. Tendangan Sabai Nan Rancak
menderu seujung jari di samping telinga kirinya.
“Braakk!”
Terdengar
suara patahnya pohon besar yang tadi jadi sandaran Tua Gila. Pohon yang patah
itu lalu tumbang dengan suara bergemuruh.
Tua Gila
gulingkan tubuhnya di tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang telah
memegang Benang Kayangan bergerak. “Seettt…. settt!” Benang sakti yang
kehebatannya telah menggegerkan dunia persilatan itu menderu melibat tubuh
Sabai Nan Rancak. Namun gerakan Tua Gila sangat lambat akibat kehilangan daya
kekuatan. Dengan mudah lawan menangkap benang sakti itu. Lalu dengan satu
gerakan kilat Sabai Nan Rancak me-lompat ke arah Tua Gila. Benang yang berhasil
dipegangnya digelungkan ke dada terus ke leher si kakek. Tua Gila berusaha
lepaskan diri tapi tidak mampu. Jiratan benang sakti miliknya sendiri laksana
sayatan pisau, mulai melukai kulit lehernya.
“Percaya
ucapanku Sukat! Bukan hanya Kalung Permata Kejora yang sanggup menghabisimu!
Benang sakti milikmu sendiri ternyata yang akan membunuhmu! Hi… hik…hik!”
Sabai Nan
Rancak putar dua tangannya. Dua kaki Tua Gila melejang ke atas akibat jiratan
mematikan itu. Dua matanya yang cekung seperti hendak melompat keluar. Lidahnya
terjulur mengerikan. Dari lehernya keluar suara seperti ayam dipotong. Sesaat
lagi leher Tua Gila akan putus akibat jiratan maut itu tiba-tiba satu bayangan
kuning berkelebat. Bersamaan dengan itu ada cahaya kuning laksana tebaskan
pedang menerpa dari atas ke bawah seperti hendak membelah Sabai Nan Rancak
mulai dari batok kepala sampai ke dada! Sabai Nan Rancak berteriak marah. Dari
hawa dingin yang menyertai sambaran cahaya kuning itu dia segera maklum kalau
serangan yang menerpanya tidak bisa dianggap sepele. Dia terpaksa lepaskan
jiratan di leher Tua Gila. Bersamaan dengan itu didahului bentakan keras Sabai
Nan Rancak hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar merah melesat lurus lalu
menebar membentuk kipas. Si nenek tidak tanggung-tanggung. Bukan saja dia
berusaha menyelamatkan diri tapi sekaligus juga menyerang lawan dengan pukulan
sakti bernama Kipas Neraka!
“Bummm!”
Satu
ledakan keras menggelegar.
Sabai Nan
Rancak terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang berdenyut
sakit. Dia coba bertahan agar tidak jatuh. Namun lutut kirinya goyah. Nenek ini
akhirnya terduduk setengah berlutut.
Waktu
ledakan keras menggelegar tubuh Tua Gila yang kerempeng itu terguling sampai
dua tombak. Begitu dia mencoba bangkit mendadak ada sambaran angin. Tahu-tahu
tubuhnya sudah digendong orang lalu orang ini melarikannya dengan cara yang
aneh. Tubuhnya seperti diajak melompat-lompat. Setiap lompatan membuat sosok
orang yang menggendongnya melayang di udara sejauh tiga tombak. Dalam beberapa
kejapan mata saja Tua Gila sudah dibawa lari jauh. Ketika Sabai Nan Rancak
berhasil berdiri kembali, Tua Gila tak ada lagi di tempat itu.
“Ada
seseorang menolongnya!” desis si nenek sambil usap-usap mukanya yang keriputan.
Hatinya seribu gemas seribu jengkel. “Gerakan si penolong begitu cepat.
Sambaran angin yang berasal dari tenaga dalamnya luar biasa. Aku teringat pada
peristiwa yang dialami muridku Puti Andini. Tidak heran kalau dulu dia gagal
mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa, gagal membunuh Tua Gila. Tanah Jawa penuh
para tokoh sakti.
Bagaimana
aku harus menyelesaikan semua urusan ini? Tua Gila keparat! Urusan dengan
dirinya belum selesai, dia menggantung persoalan dengan membawa masalah baru.
Kalung Permata Kejora. Ah, di mana benda itu beradanya sekarang? Mungkin dia
yang menyembunyikan? Puluhan tahun lalu kalung itu kuberikan pada seseorang
untuk disampaikan pada anakku Andam Suri. Tapi orang itu tak pernah muncul
lagi. Tak dapat kupastikan apakah kalung tersebut sampai di tangan Andam Suri.
Aku sendiri tidak pernah melihat anakku sampai dikabarkan dia meninggal
dunia….”
Sabai Nan
Rancak merasa tubuhnya letih sekali. Dia mencari tempat yang baik untuk duduk.
Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak jelas apa yang diperbuat
nenek dari Singgalang ini. Entah tengah kesal karena tidak dapat membunuh Tua
Gila. Mungkin juga sedih merenungi nasib. Mungkin juga tengah menitikkan air
mata.
*******************
Tua Gila
terbatuk-batuk lalu dia tertawa mengekeh begitu tubuhnya digulingkan di tanah.
Dia berusaha duduk di tanah dan memandang ke depan.
“Kau
lagi!” katanya dengan mata membelalak lalu tertawa gelak-gelak.
“Orang
tua. Jangan mencari bahaya baru. Orang yang menginginkanmu belum berada jauh.
Jika dia sempat mendengar tawamu pasti dia kembali membuatmu celaka!”
Tua Gila
tekap mulutnya lalu tertawa cekikikan.
“Dua kali
kau menyelamatkan jiwaku!”
“Siapa
nenek berjubah hitam? Yang begitu ingin membunuhmu tanda ada dendam
terpendam?!”
Tua Gila
geleng-gelengkan kepalanya. “Urusan lama. Kalau saja nenek tolol itu mau
berpikir sedikit tidak perlu semua ini terjadi….”
“Jalan pikiran
manusia berbeda-beda. Di antara perbedaan itulah muncul malapetaka! Semua orang
menjadi gila! Semua orang jatuh dalam sengsara!”
Tua Gila
menghela nafas dalam lalu berkata. “Aku tahu, kau tidak akan mau menerima
terima kasihku. Aku juga tahu kau tidak akan mau memberitahu namamu. Kalau
begitu biar aku meminta yang lain saja. Maukah kau menyingkapkan cadar kain
kuning yang menutupi mukamu agar aku bisa melihat wajahmu?”
“Hal itu
tidak bisa aku lakukan. Hal ini bukan aku punya kemauan. Keadaanlah yang memaksaku
berbuat demikian,” jawab si cadar kuning tetap dengan kata-kata bernada pantun.
“Baiklah,
aku tidak memaksa. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Tua Gila.
“Seperti
tadi kukatakan. Jangan bergerak sebelum matahari mencapai puncak kepala. Jangan
sampai hal itu terlupakan. Kecuali kau mau mencari celaka…”
“Nasihatmu
akan kuperhatikan Dewi Penolong Bercadar Kuning,” kata tua Gila seraya
kedap-kedipkan sepasang matanya yang lebar dan cekung.
*******************
SEBELAS
Malam
telah larut. Di kejauhan terdengar berbagai suara binatang malam. Suara tetesan
air di dalam gentong yang jatuh ke batu di atasnya makin lama terdengar makin
perlahan dan dalam jarak yang lebih panjang. Sepasang mata Klewing yang merah
tapi redup kelihatan membesar ketika dia melihat sepasang kaki yang sejak
sekian lama diam tak bergerak, tiba-tiba bergoyang. Tengkorak bayi yang
diikatkan ke pergelangan kaki kiri kanan berputar aneh mengeluarkan suara
seperti puput padi.
Dua puluh
hari lebih menunggu bukan waktu yang singkat. Keadaan Klewing sudah tak karuan
rupa. Kepalanya yang botak mulai bertumbuhan rambutnya. Kumis dan cambang
bawuknya meliar. Pipinya cekung. Jubah merahnya kotor dan bau. Kedua mata
Klewing semakin membesar ketika disaksikannya bagaimana tubuh di dalam gentong
secara aneh bergerak ke atas seolah melayang. Lalu tampaklah satu sosok tubuh
lelaki penuh bulu yang hanya mengenakan sehelai cawat. Rambutnya yang basah
hitam menyatu dan mengucurkan air. Di lehernya tergantung kalung terbuat dari
tulang jari-jari manusia!
Di malam
buta itu mendadak terdengar suitan keras dari tiga jurusan. Lalu terdengar
suara genderang ditabuh. Bersamaan dengan itu dari tiga arah nampak sinar
terang puluhan obor.
”Air
dalam gentong telah habis! Datuk Lembah Akhirat telah selesai menjalankan
samadi yang keseratus sembilan puluh tiga! Siapkan upacara penyambutan!”
Pedataran
luas di pusat lembah di mana gentong kayu besar terletak kini diramaikan oleh
puluhan orang. Klewing sama sekali tidak memperhatikan orang-orang itu.
Perhatiannya tertuju pada sosok yang barusan keluar dari dalam gentong. Setelah
melayang di udara, perlahan-lahan sosok tubuh tinggi besar penuh bulu dan hanya
mengenakan cawat itu melayang turun. Lalu tegak di ujung tangga batu di depan
gentong.
Tokoh
Kembar nomor 3 memandang tak berkesip. Orang yang basah kuyup itu berdiri
dengan mata terpejam.
“Tenaga
dalamnya tinggi sekali” kata Klewing dalam hati antara kagum dan ngeri.
“Kalau
tidak mana mungkin dia mampu keluar dari dalam gentong laksana melayang. Apa
lagi bobot tubuhnya demikian besar!”
Sesaat
kemudian dua orang datang berlari-lari. Yang satu membawa kasut terbuat dari
kulit. Satunya lagi membawa seperangkat pakaian berbentuk jubah hitam, lengkap
dengan kain hitam pengikat kepala. Meskipun wajahnya yang garang tertutup
kumis, jenggot dan cambang bawuk liar namun Klewing dapat melihat bahwa orang
yang barusan keluar dari gentong itu memiliki muka tiga warna yaitu, hitam,
hijau dan merah. Inilah dia Datuk Lembah Akhirat. Penguasa kawasan lembah
sebelah barat telaga Gajahmungkur yang sejak beberapa ini lama menjulang
namanya dalam dunia persilatan karena diketahui memiliki kitab sakti bernama
Kitab Wasiat Malaikat. Tersebar dalam rimba persilatan bahwa sang Datuk akan
menyerahkan kitab itu pada siapa yang dianggapnya berjodoh asalkan dari
golongan putih.
Suara
genderang semakin keras ketika kasut disorongkan ke kaki orang dan jubah hitam
dikenakan ke tubuhnya yang tinggi besar. Bersamaan dengan itu seseorang
menyipratkan semacam wewangian ke tubuh dan pakaian orang itu. Perlahan-lahan
Datuk Lembah Akhirat buka sepasang mata di bawah dua alisnya yang sangat tebal
menjulai. Suara genderang ditabuh semakin riuh. Lalu seolah ada yang memberi
isyarat suara genderang itu menjadi perlahan hingga akhirnya sirap sama sekali.
Bersamaan dengan lenyapnya suara genderang maka enam orang pengawal Lembah
Akhirat muncul menggotong sebuah kursi, sebuah meja besar penuh dengan berbagai
minuman dan santapan besar.
Begitu
duduk di atas kursi Datuk Lembah Akhirat menyambar sebuah guci tanah berisi
minuman keras lalu meneguknya sampai habis. Setelah itu dia mulai menyantap
hampir semua yang terhidang di atas meja tanpa mengacuhkan mereka yang ada di
sekitarnya.
Selesai
makan Datuk Lembah Akhirat lunjurkan sepasang kakinya. Tangan kanan mengusap
perut, tangan kiri menyeka mulut. Tiba-tiba Datuk ini bertepuk tiga kali seraya
berteriak.
“Kalian
berani menerima mati! Kalian berani menyuruh aku menunggu!” Meja di hadapannya
digedor dengan tangan kanan. Tak ampun lagi meja itu ambruk. Apa yang ada di
atasnya bermentalan berantakan.
Tiga
wakil Datuk Lembah Akhirat yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam, Hijau dan Merah
cepat datang ke hadapan sang Datuk lalu menjura. Si muka hitam cepat berkata.
“Ketiduran
sudah disiapkan. Teman tidur sedang menuju ke sini. Datuk hanya tinggal
memilih!”
Datuk
Lembah Akhirat kibaskan tangan kirinya. Tiga wakil segera undurkan diri. Di
saat itu enam orang pengawal muncul bersama tiga orang perempuan muda yang
kesemuanya bertubuh gemuk dan mengenakan jubah yang tak terikat atau tak
terkancing hingga sebagian auratnya sebelah depan terlihat jelas.
“Datuk,
silahkan memilih di antara mereka bertiga!” Pengiring Mayat Muka Hitam berkata
dari samping meja yang ambruk.
Datuk
Lembah Akhirat menyeringai. Bola matanya membeliak menatapi tiga gadis bertubuh
gemuk itu satu persatu. Gadis paling kanan berambut pendek sebahu. Mukanya
bulat dan dandanannya mencorong. Ketika tertawa kelihatan gigi-giginya dilapisi
perak. Bentuk tubuhnya membuntal gembrot mulai dari atas sampai ke bawah.
Sang
Datuk alihkan pandangannya pada gadis gemuk di sebelah tengah. Gadis ini
memiliki rambut panjang dilepas riap-riapan. Di sebelah atas tubuhnya membusung
gembrot penuh lemak. Seolah tak memiliki pinggang, di sebelah bawah kembali
tubuhnya membengkak besar. Kulitnya hitam manis seolah berminyak. Dia berdiri
sambil lemparkan senyum genit. Datuk Lembah Akhirat basahi bibirnya dengan
ujung lidah. Lalu matanya dialihkan pada gadis ke tiga. Gadis satu ini walaupun
gemuk luar biasa tapi tubuhnya lebih tinggi dari dua gadis lain. Dada dan
pinggulnya seperti menggembung. Caranya berdiri membuat betis dan sebagian
pahanya tersingkap. Perutnya yang juga tak dapat disembunyikan kelihatan
berlipat-lipat. Dibandingkan dengan dua gadis gemuk lainnya yang satu ini
memiliki wajah menarik walau jidatnya lebar.
“Hanya
tiga orang ini?!” Datuk Lembah Akhirat bertanya pada Pengiring Mayat Muka
Hitam.
“Kami
cuma mendapatkan tiga yang baru. Dua lagi masih dalam perjalanan. Hanya Datuk
keburu menyelesaikan samadi. Mohon maafmu Datuk….”
“Siapa
kowe punya nama?!” Tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat menuding tepat-tepat pada
gadis ketiga yang tinggi gemuk.
Saking
terkejutnya yang ditanya sesaat tak bisa menjawab.
“Datuk
menanyakan namamu. Lekas jawab! Jangan membuat Datuk kehilangan kesabaran,
menjadi marah dan kehilangan nafsu! Kau bias dijadikan umpan anjing-anjing
peliharaannya!” membentak Pengiring Mayat Muka Merah.
“Nama
saya Yuyulentik, Datuk…” Perempuan gemuk yang ditanya akhirnya menjawab.
“Apamu
yang lentik! Kulihat bulu matamu tidak lentik!” kata Datuk Lembah Akhirat pula.
Lalu tertawa gelak-gelak. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya. “Bawa
Yuyulentik ke kamar ketiduranku!” kata sang Datuk pula. Lalu dengan langkah
terhuyung-huyung dia berjalan menuju ke sebuah bangunan di ujung pedataran.
Pengiring
Mayat Muka Hijau segera mendekati gadis gemuk bernama Yuyulentik. Sebelum
menuntun gadis gemuk ini dia berbisik. “Kau terpilih melayani Datuk selama satu
musim sebelum dia kembali bersamadi. Nasibmu baik, rejekimu besar. Awas, jangan
lupa membagi-bagi apa yang kau dapat pada kami bertiga…!”
Yuyulentik
anggukkan kepala. Lalu melangkah saja mengikuti ke mana si muka hijau itu
membawanya.
Ketika
hampir sampai di hadapan bangunan yang dituju tiba-tiba satu sosok berjubah
merah datang menyongsong dan menjura di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Dua wakil
Datuk yakni si muka hitam dan muka merah segera hendak mendamprat. Tapi Datuk
Lembah Akhirat memberi isyarat dengan tangan. Dua pembantu terpaksa hentikan
langkah tak berani membentak.
“Monyet
bau berjubah merah berkepala kuning! Aku tak punya waktu lama. Siapa namamu,
apa keperluanmu!”
“Aku
Klewing, orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar yang kini hanya tinggal nama
saja.,..” Lalu dengan cepat Klewing menceritakan riwayatnya. Tak lupa juga
menerangkan tujuannya datang ke situ.
Datuk
Lembah Akhirat tertawa. “Soal Kitab Wasiat Malaikat yang kau inginkan itu, jika
memang berjodoh dengan dirimu pasti akan menjadi milikmu! Namun untuk
mendapatkan kitab sakti itu banyak persyaratannya! Apa kau mampu melakukan?!”
“Karena
sudah punya tekad, apa pun yang Datuk perintahkan akan aku lakukan!” jawab
Klewing tanpa ragu.
Sang
Datuk menyeringai. “Pertama kau harus membunuh seorang tokoh golongan putih.
Lalu menyebar kabar bahwa yang membunuh tokoh itu adalah seorang tokoh golongan
putih lainnya! Sanggup?!”
“Aku
sanggup melakukan Datuk!”
“Bagus!
Kau punya dendam pada beberapa tokoh golongan putih. Terutama yang telah
membunuh tujuh saudaramu. Aku akan memilihkan calon korban untukmu. Kau sanggup
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng?!”
Klewing
diam-diam agak terperangah karena tidak menduga dia akan disuruh membunuh
pendekar sakti itu. Tapi akhirnya dia mengangguk seraya berkata. “Akan aku
lakukan Datuk….”
“Lalu
siapa tokoh yang akan kau fitnah sebagai pembunuh Pendekar 212?!” tanya Datuk
Lembah Akhirat pula.
“Dewa
Tuak!” jawab Klewing.
“Hemmm…
Kenapa Dewa Tuak?” bertanya Datuk Lembah Akhirat.
“Karena
dari apa yang aku ketahui tokoh tua itu bermaksud menjodohkan muridnya dengan
Pendekar 212. Tapi sang pendekar menolak dengan cara yang memalukan hingga Dewa
Tuak menjadi marah!”
Datuk
Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada tiga orang wakilnya.
“Tuyul
kepala kuning ini ternyata cerdik juga! Kita perlu orang-orang golongan putih
seperti dia!”
Tiga
wakil sang Datuk hanya anggukkan kepala.
Sang
Datuk berpaling pada Klewing. “Selesai tugasmu membunuh Pendekar 212, kau
langsung menyeberang ke pulau Andalas. Cari seorang tokoh silat yang disegani
dan bunuh. Lalu sebarkan kabar bohongi bahwa yang membunuh adalah seorang tokoh
silat golongan putih lainnya! Kau mengerti?!”
“Aku
mengerti Datuk!” jawab Klewing.
“Sekarang
ulurkan tangan kananmu! Buka telapak tanganmu lebar-lebar.”
Klewing
ulurkan tangan kanannya dan membuka telapaknya lebar-lebar sambil dalam hati
bertanya apa yang hendak dilakukan oleh sang Datuk.
“Aku
memberimu tiga warna. Hitam, hijau dan merah. Warna mana yang paling kau
sukai?!”
“Merah!”
jawab Klewing.
Tangan
kanan Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba melesat ke depan, mencengkeram tangan
Klewing demikian rupa hingga telapak tangannya menempel erat dengan telapak
tangan si botak kepala kuning itu. Satu cahaya merah membersit keluar dari
tangan sang Datuk. Klewing merasa tangannya seperti terseduh air mendidih.
Ketika Datuk Lembah Akhirat melepaskan pegangannya Klewing melihat bagaimana
kini telapak tangannya telah berubah seolah dicat dengan cat merah yang tak
bisa dikelupas!
“Kau
sudah menjadi orang kepercayaanku Klewing. Kau sudah menjadi anggota kelompok
Lembah Akhirat! Berarti kau harus menjalankan bulat-bulat segala apa yang aku
perintahkan tanpa berani melanggar!”
“Aku tak
akan melanggar segala perintah Datuk. Aku siap berangkat sekarang juga untuk
melaksanakannya,” kata Klewing pula.
“Bagus,
tapi apa jaminanmu kau tidak bakal berkhianat?!”
“Aku
berani bersumpah. Menyerahkan nyawa jika Datuk menghendaki!” jawab Klewing pula
penuh semangat.
Sang
Datuk ganda tertawa dan berkata. “Banyak sumpah diucapkan. Banyak janji
dikumandangkan. Banyak nyawa dijadikan petaruh. Tapi seringkali semua itu hanya
isapan jempol belaka! Aku tidak mau berlaku tolol! Di Lembah Akhirat ada cara
tersendiri untuk membuat seorang anggota setia pada kelompok dan aku selaku
penguasa tunggal.”
“Kalau
begitu aturannya aku akan mengikuti,” kata Klewing.
“Bagus!”
ujar Datuk Lembah Akhirat seraya menyeringai. “Kau harus menyerahkan barangmu
padaku! Bila mana semua urusan selesai, kau bukan saja akan mendapatkan
beberapa inti ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat, tetapi
barangmu juga akan dikembalikan. Kau kemudian akan kujadikan wakil penguasa
tunggal Lembah Akhirat di kawasan tertentu! Setuju?!”
“Setuju
Datuk. Hanya aku tidak mengerti barang apa yang harus aku serahkan padamu?”
Tiga
wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak.
Datuk
Lembah Akhirat maju mendekati. Tiba-tiba tangan kanannya melesat ke bawah perut
Klewing. Orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar ini tak merasa sesuatu apa
kecuali digerayangi hawa dingin yang aneh. Datuk Lembah Akhirat menarik tangan
kanannya kembali. Sesuatu kini tergenggam di dalam tangannya. Dia berpaling
pada Pengiring Mayat Muka Merah yang saat itu sudah siap dengan sebuah kantong
kain berwarna merah. Datuk Lembah Akhirat memasukkan benda yang dipegangnya ke
dalam kantong merah.
Klewing
tiba-tiba saja menjadi pucat wajahnya. Hawa dingin menjalar ke sekujur
tubuhnya. Tangan kirinya meraba ke bawah perut. Dia terkejut besar. Tangan
kanannya ikut meraba-raba. Pucat pasi muka si botak kuning ini. Tak perduli
banyak orang di tempat itu dia menyingkapkan jubah merahnya. Matanya mendelik
ketika melihat di bawah perutnya tak ada apa-apa lagi.
“Datuk…!”
seru Klewing seperti hendak menggerung. “Apa yang kau lakukan padaku!”
“Kau
dikebiri sementara Klewing. Kelak jika semua urusan sudah selesai dan kau
jalankan dengan baik, seperti kataku tadi milikmu yang paling penting itu akan
aku kembalikan. Kau boleh memintanya pada Pengiring Mayat Muka Merah. Tapi
tidak ada jaminan bahwa barangmu itu tidak akan tertukar dengan barang orang
lain! Ha… ha… ha…!”
Klewing
merasa nyawanya seolah terbang. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Dengan
terhuyung-huyung dia tinggalkan tempat itu. Datuk Lembah Akhirat masih tertawa
bergelak. Tangan kanannya digelungkannya ke pinggang gembrot Yuyulentik.
Sebelum masuk ke dalam bangunan dia bertanya pada tiga wakilnya yang bermuka
hijau, hitam dan merah itu.
“Selama
aku bersamadi apakah Dewa Sedih telah melaksanakan tugasnya?!”
“Sudah
Datuk,” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam. “Dia telah membunuh dua tokoh silat
golongan putih. Mayat kedua orang itu belum lama kami musnahkan menjadi debu
dan para pengawal telah membuangnya di dua tempat.”
“Bagus.
Kalian tahu di mana kakek sakti itu kini berada?”
“Sesuai
petunjuk Datuk dia dipersiapkan untuk menyeberang ke Pulau Andalas untuk
membuat kekacauan di sana. Saat ini dia masih berada di tempat peristirahatan
di selatan Lembah Akhirat.”
Datuk
Lembah Akhirat mengangguk-angguk. “Kalian boleh kembali ke tempat
masing-masing…. Kalau tiba saatnya aku akan menyuruh kalian memanggil Dewa
Sedih,” kata Datuk Lembah Akhirat pula lalu membawa si gemuk Yuyulentik masuk
ke dalam bangunan.
*******************
DUA BELAS
Hari itu
adalah hari ke-70 Pendekar 212 Wiro Sableng kehilangan kekuatan dan
kesaktiannya. Yaitu sebagai akibat menolong melepaskan Ratu Duyung dari kutukan
yang selama bertahun-tahun membuatnya menjadi makhluk setengah manusia setengah
ikan. Di pagi hari yang cerah itu Wiro baru saja membasuh muka di sebuah mata
air di sebelah timur hutan Delanggu. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit akibat
bantingan dan pitingan Si Raja Penidur kemarin. Saat ini dia belum mengenakan
baju putihnya tapi telah memakai jubab Kencono Geni yang diberikan Raja
Penidur. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya yang kini tak ada
artinya lagi sejak dia kehilangan tenaga dalam, terselip di pinggang celananya.
Wiro duduk di tepi mata air sambil merenung.
“Jubah
ini pasti dicurinya dari keraton. Diberikan padaku agar kupakai untuk
melindungi diri dari siapa saja yang bermaksud jahat. Selama jubah ini ada
padaku aku tak akan mempan gebukan, pukulan sakti ataupun senjata tajam. Aku
harus berterima kasih pada kakek gendut itu. Namun yang aku tidak mengerti
adalah ucapannya. Dia berkata: Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak
berpikir apa arti semua ini!”
Murid
Sinto Gendeng garuk-garuk rambutnya yang basah. “Aku tak bisa berpikir
memecahkan arti ucapannya itu. Satu keanehan lagi sejak dia memitingku rasa
kantukku selalu datang menyerang. Jangan-jangan aku sudah ketularan penyakit
tidurnya!”
Wiro
menguap lebar-lebar. Lalu seolah mengomel dia berkata. “Masih begini pagi aku
sudah ngantuk lagi! Padahal malam tadi tidurku cukup lelap dan lama…. Apa yang
terjadi dengan diriku? Apa sebenarnya yang dilakukan Si Raja Penidur itu?”
Wiro
kenakan baju putihnya hingga jubah merah Kencono Geni kini terlindung di balik
pakaian itu. (Mengenai jubah Kencono Geni sakti ini harap baca serial Wiro
Sableng berjudul “Bahala Jubah Kencono Geni”)
“Perutku
lapar. Tapi rasa mengantuk tidak tertahankan. Gila!” Wiro bangkit berdiri dan
tinggalkan mata air. Dia sengaja berjalan cepat agar kantuknya lenyap. Tapi
semakin cepat dia berjalan, semakin banyak keringat yang keluar semakin berat
terasa kepala dan matanya. Tubuhnya pun menjadi letih sekali. Karena tidak
tahan akhirnya Wiro mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia
mendapatkan satu tempat agak bersih di bawah sebatang pohon waru berdaun
rindang. Langsung saja murid Sinto Gendeng ini rebahkan diri, berbaring
setengah bersandar ke batang pohon. Tidak seperti biasanya kali ini begitu
tertidur dia keluarkan suara mendengkur! Wiro agaknya benar-benar telah
ketularan penyakit tidur Si Raja Penidur. Namun anehnya walau matanya terpejam
dan dengkurnya menggembor keras, sayup-sayup dia masih mampu mendengar suara
kicau burung di kejauhan. Itulah sebabnya ketika satu bayangan merah berkelebat,
meski matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak dan dengkurnya menjadi-jadi
Pendekar 212 masih sanggup mendengar suara angin kelebatan orang yang datang.
Di
hadapan Wiro saat itu berdiri Klewing, satu-satunya Delapan Tokoh Kembar yang
masih hidup dan telah menjadi anak buah Datuk Lembah Akhirat. (Mengenai Delapan
Tokoh Kembar harap baca “Kiamat Di Pangandaran”).
“Nasibku
baik, rejekiku besar. Belum lama mencari aku berhasil menemukan pendekar
keparat ini. Kalau tidak karena ulahnya tujuh saudaraku tak bakal menemui
ajal!”
Rahang si
botak kepala kuning menggembung. “Pendekar keparat! Rasakan pembalasanku!”
Habis
memaki begitu Klewing langsung lancarkan satu tendangan maut. Yang diarahnya
adalah bagian bawah dagu Pendekar 212.
Sekejapan
lagi tendangan itu akan menghancurkan rahang serta mematahkan tulang leher
Pendekar 212 tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini menguap lebar lalu seperti tak
acuh balikkan tubuhnya ke samping. Tendangan maut Klewing lewat. Kalau tidak
lekas dia merubah arah tendangannya kakinya akan menghantam batang pohon waru!
“Uaahhh…!”
Wiro kembali menguap sementara matanya terus terpejam. Kaki kanannya
dilunjurkan ke depan. Walau gerakannya tidak cepat dan tidak keras namun kaki
itu sempat menyentuh kaki kanan Klewing yang berada dalam kuda-kuda mengimbangi
dirinya. Karena pusat bobot tubuhnya terpengaruh hampir saja Klewing terjajar.
Dengan geram dan sambil membentak dia melompat. Dari mulutnya terdengar
teriakan “Menjungkir Langit!” Tangan kanannya diletakkan di atas kepala. Tangan
kiri diluruskan ke depan dengan telapak terbuka. Lalu si botak ini meniup.
Inilah ilmu kesaktian yang sangat diandalkan oleh kelompok Delapan Tokoh
Kembar. Satu gelombang angin yang mengeluarkan suara deru sehebat air bah
menyapu ke arah Pendekar 212!
“Uahhh!”
Wiro Sableng lagi-lagi menguap. Tubuhnya miring dan berguling ke kiri.
Namun
sekali ini gerakannya kurang cepat. Walau inti serangan lewat di atasnya namun
sebagian angin serangan Klewing masih sempat menyapu tubuhnya. Tak ampun lagi
Pendekar 212 mencelat mental sampai empat tombak.
Klewing
cepat memburu ke tempat Wiro jatuh terkapar. Dia mengira sang pendekar pasti
sudah menemui ajalnya. Tapi alangkah kagetnya si botak ini ketika melihat
Pendekar 212 duduk menjelepok di tanah. Matanya masih terpejam. Dia menguap dua
kali berturutturut sambil garuk-garuk kepala!
Apakah
yang telah terjadi? Bagaimana Wiro bisa selamat dari tiupan angin sakti Klewing
yang sanggup menghancurkan batu besar itu?!
Ini semua
berkat pertolongan Si Raja Penidur. Bantingan dan pitingan yang dilakukannya
tempo hari terhadap Wiro adalah untuk menyalurkan sebagian ilmunya yang mampu
membuat Wiro mengeluarkan gerakan-gerakan aneh ketika diserang walaupun dia
berada dalam keadaan setengah tidur. Ilmu ini sangat cocok dengan keadaan
Pendekar 212 yang saat itu tanpa kekuatan tanpa kesaktian. Lalu dengan menyerahkan
jubah sakti Kencono Geni yang kini dipakai Wiro, pukulan sakti atau senjata apa
pun tidak akan mampu menciderai dirinya!
Sesaat
Klewing tertegun sambil membatin. “Ilmu apa yang kini dimiliki pendekar keparat
ini! Aku menyirap kabar dia telah kehilangan segala kesaktian! Mengapa kini dia
masih sanggup bertahan terhadap serangan mautku?!”
Selagi
Wiro menguap dan garuk-garuk kepalanya kembali si jubah merah ini lancarkan
satu tendangan. Kali ini yang ditujunya adalah Pendekar 212. Seperti tadi
sesaat lagi tendangan itu akan menghancurkan kepala murid Sinto Gendeng,
mendadak tubuh sang pendekar terhuyung ke kiri lalu rebah ke tanah. Di sini dia
menguap satu kali lalu berguling ke kiri.
“Jahanam!”
rutuk Klewing. Dia melompat. Dengan satu gerakan kilat kaki kanannya
dihunjamkan ke perut Wiro.
“Hekkk!”
Pendekar
212 keluarkan suara seperti orang muntah. Klewing terbelalak. Hunjaman kakinya
yang sanggup menjebol perut lawan ternyata tidak membuat sang pendekar cidera.
Malah Klewing merasakan ada satu kekuatan dahsyat menghantam keluar dari tubuh
Wiro, membuatnya terlempar ke udara sampai dua tombak. Penasaran dari atas si
botak ini kembali keluarkan ilmu kesaktiannya. Dia meniup dengan tenaga dalam
penuh.
“Wuss!”
Satu
gelombang angin menghantam. Tanah di bawah pohon terbongkar berubah menjadi
satu lobang besar. Pohon waru besar tumbang bergemuruh. Tapi Wiro sendiri
lenyap entah ke mana. Ketika Klewing memandang berkeliling dilihatnya pemuda
itu duduk tersandar sambil garuk-garuk kepala pada sebatang pohon pisang hutan.
Kedua matanya bergerak-gerak tapi masih tetap terpejam!
Merasa
dipermainkan si botak nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar ini jadi semakin
ganas. Dia kembali menerjang. Dua tangan dihantamkan ke depan. Tapi justru pada
saat itu gerakannya tertahan oleh selarik sinar ungu yang berkiblat bukan saja
memapasi serangannya terhadap Wiro tapi sekaligus membuatnya terdorong sampai
tiga langkah.
Memandang
ke depan si botak berjubah merah ini menjadi terkejut. Dia dapatkan seorang
dara berpakaian ungu, berwajah cantik tegak di hadapannya sambil bertolak
pinggang. Sebuah pita besar berwarna ungu menghiasi kepalanya. Lalu di lehernya
melingkar sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Klewing tak pernah melihat
atau mengenal gadis ini sebelumnya. Namun dari gerakannya memapasi serangannya
tadi dia maklum kalau si cantik ini memiliki kepandaian tinggi.
*******************
TIGA BELAS
Gadis
liar! Siapa kau?! bentak Klewing dengan mata berkilat-kilat. Bukan saja karena
marah tetapi juga karena diam-diam bernafsu melihat gadis cantik ini. Dia
lantas terbayang pada peristiwa sewaktu dia bersama saudara-saudaranya hendak
memperkosa Puti Andini di Pangandaran dulu.
“Uahhh!”
Di bawah pohon Wiro terdengar menguap lalu mendengkur. Klewing memaki dalam
hati. Si gadis hanya melirik sebentar lalu balas menghardik pada Klewing.
“Botak
kepala tahi! Jaga mulutmu kalau tidak mau kurobek!”
Klewing
tertawa lebar. “Apa urusanmu mencampuri persoalan orang!”
“Persoalanmu
yang mana yang merasa aku campuri?!” tanya si gadis sambil kini berkacak
pinggang dengan dua tangan sekaligus.
“Liar
tapi tolol! Atau berpura-pura tolol! Mengapa kau menolong pemuda yang
hendak
aku bunuh itu!”
“Ohh…
jadi kau hendak membunuh pemuda yang sedang tidur dan tak berdaya itu!”
“Siapa
bilang dia tidur dan tak berdaya! Dia justru memiliki ilmu aneh! Ilmu tidur!”
Gadis
berbaju ungu tertawa bergelak. “Baru sekali ini aku dengar ada ilmu tidur! Kau
yang tolol! Tidak tahu dipermainkan pemuda itu! Hik… hik… hik!”
Tampang
si botak jadi merah padam.
“Aku
memberi pengampunan padamu! Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Hemm….
Kau mengancam! Kalau aku tidak meninggalkan tempat ini apa yang hendak kau
lakukan?!” Menantang gadis baju ungu lalu perlahan-lahan tangannya bergerak
menarik lepas selendang ungunya yang melingkar di leher. Pada saat itulah Klewing
melihat pada salah satu ujung selendang tergurat tiga buah angka. 212!
“Apa
hubunganmu dengan Pendekar 212?!” Klewing ajukan pertanyaan.
“Botak
tolol! Pertanyaanku tadi belum kau jawab. Malah mengajukan pertanyaan! Ayo
katakan apa yang hendak kau lakukan jika aku tidak pergi dari sini!”
“Nasibmu
bakal sama dengan pemuda itu. Aku akan membunuhmu! Malah mungkin lebih buruk
dari kematian!”
“Maksudmu?!”
sentak si gadis.
Klewing
tertawa lebar. “Kau tahu apa maksudku! Kelak kau akan menyukai dan minta ampun
agar dirimu tidak dibunuh. Karena ingin bersenang-senang lebih lama!”
“Ooo
begitu…? Otakmu tolol tapi hatimu keji! Aku menyirap kabar nyawa tujuh
saudaramu digusur para tokoh golongan putih karena kekejian yang sama. Apa kau
ingin cepat-cepat menyusul mereka?!”
“Gadis
jahanam! Terima kematianmu!” teriak Klewing. Lalu dia meniup kuat-kuat ke arah
si gadis. Tapi sebelum angin sakti keluar dari mulutnya, gadis berpakaian Ungu
menyergap lebih dahulu seraya kebutkan selendang ungunya.
“Wuuut!”
Klewing
kerahkan tenaga dalam dan coba bertahan. Namun sia-sia belaka. Ketika si gadis
kembali gerakkan tangannya, selendang ungu yang jadi senjatanya bukan saja
menghantamkan angin dahsyat tapi sekaligus laksana kepala seekor ular, mematuk
ke muka Klewing.
Mau tak
mau si botak kepala kuning ini cepat selamatkan diri dengan melompat ke
samping. Begitu menginjakkan kaki di tanah dia balas menghantam. Tapi saat itu
kaki kiri Pendekar 212 yang tengah mengorok tiba-tiba menyapu ke depan. Tak
ampun lagi si jubah merah ini langsung terjungkal jatuh duduk. Pada saat itulah
selendang ungu si gadis datang menyambar. Leher Klewing masuk dalam jiratan
yang membuatnya tak berkutik lagi. Dia tak berani bergerak apalagi mencoba
loloskan diri. Dia maklum sekali si gadis sentakkan tangannya yang memegang
selendang maka tanggallah lehernya!
Siapakah
adanya gadis cantik berkepandaian tinggi dan memiliki gerakan serba cepat ini?
Dia bukan lain adalah Anggini, murid tunggal kesayangan Dewa Tuak tokoh silat
yang terkenal dengan kegemarannya menenggak tuak harum dan selalu membawa dua
tabung tuak kemanapun dia pergi.
Dari arah
pohon terdengar suara orang menguap panjang disusul suara menggeliat.
Lalu ada
suara bertanya. “Eh, enaknya tidurku barusan. Sampai tidak tahu apa yang
terjadi!”
Sunyi
sesaat, lalu. “Astaga! Anggini, betul engkau yang ada disana itu?!”
“Wiro!
Bicara basa-basi kita lupakan dulu! Kau mau aku apakan si botak kepala kuning
ini?!”
Wiro
usap-usap matanya lalu berdiri dan cepat melangkah ke samping Anggini.
Sesaat
dia usap-usap kepala Klewing lalu menjitaknya dua kali hingga si botak ini
meringis kesakitan.
“Wiro,
kurasa orang ini membunuhmu bukan hanya karena dendam kesumat kematian
saudara-saudaranya. Tapi juga karena ada yang menyuruh….”
“Eh,
bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepalanya.
“Lihat
telapak tangan kanannya!”
Wiro
tarik tangan kanan Klewing lalu balikkan telapak tangan si botak itu. Ternyata
keseluruhan telapak tangannya berwarna merah.
“Botak,
apa artinya tanda merah ini?!” tanya Pendekar 212.
Klewing
berdiam diri, tak mau menjawab.
“Itu
tanda bahwa dia adalah anggota komplotan Lembah Akhirat…” menerangkan Anggini.
“Apa kau tidak tahu? Tidak pernah mendengar apa yang tengah terjadi di dunia
persilatan akhir-akhir ini?”
Wiro
gelengkan kepala. “Selama ini aku menyembunyikan diri….”
“Menyembunyikan
diri? Memangnya kenapa?” tanya Anggini. Sejak tadi dia sebenarnya sudah heran
melihat tindak tanduk Pendekar 212.
“Nanti
saja kita bicara,” jawab Wiro. Lalu kembali dia mengusap-usap kepala botak
Klewing. Kepada si gadis dia berkata. “Anggini, pinjamkan aku senjata rahasiamu
yang berbentuk paku perak itu!”
“Ah, dia
masih ingat senjata rahasiaku. Pertanda dia tidak pernah melupakan diriku…”
membatin si gadis. Dengan cepat Anggini mengeluarkan apa yang diminta. Selain
selendang ungu maka sejumlah paku perak sepanjang setengah jengkal merupakan
senjata rahasia yang tidak bisa dibuat main dan telah membuat ciut nyali tokoh
silat golongan hitam. Sebatang paku diserahkannya pada Wiro.
Melihat
Wiro mengacung-acungkan paku sambil memeriksa mukanya, si botak kepala kuning
jadi merinding juga. “Apa yang hendak kau lakukan?!” tanyanya dengan suara
bergetar.
“Hemm….
Menusuk matamu rasanya kurang sedap,” kata Wiro lalu tertawa terbatukbatuk.
“Menindis
telingamu atau menambah satu lobang lagi di hidungmu rasanya kurang bagus!
Hemm…. Kalau kau anggota satu komplotan dan pimpinan komplotan itu yang
menyuruhmu membunuhku, aku akan melakukan sesuatu lain dari yang lain
untuknya!”
Dengan
gerakan cepat kemudian Wiro pergunakan paku perak itu untuk menggurat angka 212
di kening Klewing. Dengan dalamnya dia menggurat hingga tulang kening si botak
ini kelihatan memutih sementara darah mengucur membasahi mukanya.
“Kau
kembali pada pimpinanmu! Perlihatkan keningmu dan sampaikan salamku padanya!”
Wiro berpaling pada Anggini, memberi isyarat agar si gadis melepaskan jiratan
selendangnya.
“Orang
ini hendak membunuhmu, kau melepaskannya begitu saja?” ujar Anggini.
“Aku
tidak bodoh! Jika dia gagal membunuhku tentu pimpinannya punya perhitungan
sendiri terhadapnya….”
Tanpa
banyak bicara Anggini lepaskan jiratan selendang ungunya dari leher Klewing.
Wiro lantas tendang pant at si botak seraya berkata. “Botak! Lekas minggat dari
tempat ini!”
“Kalian
akan menerima pembalasan dariku! Kalian akan menerima pembalasan dari Datuk
Lembah Akhirat!” kata Klewing seraya bangkit berdiri.
“Hemmm…!
Itu rupanya gelar pimpinan komplotanmu!” ujar Wiro sambil menyengir. “Katakan
pada Datukmu itu! Akhirat itu tidak ada di lembah! Jika dia kurang jelas aku
nanti akan mendatanginya dan menunjukkan jalan ke Akhirat!”
Klewing
mendengus lalu tanpa banyak bicara segera tinggalkan tempat itu. Anggini
berpaling pada Pendekar 212. Dua orang yang telah sangat lama tak pernah
bertemu ini sesaat saling pandang seolah melepas kerinduan. Ternyata itu belum
cukup. Keduanya saling mendekat lalu tenggelam dalam saling rangkul.
“Adikku
Anggini, apakah selama ini kau baik-baik saja?” bisik Wiro sambil membelai
belakang kepala gadis murid tunggal Dewa Tuak itu.
“Aku
baik-baik saja. Aku gembira bertemu denganmu Wiro.” Sepasang mata gadis ini
berkaca-kaca.
“Aku
juga…” jawab Wiro lalu ingat bagaimana guru mereka sangat ingin agar mereka
bersatu menjadi sepasang suami istri.
“Apa yang
terjadi dengan dirimu Wiro? Ketika kau diserang habis-habisan oleh orang itu
tadi, caramu menghadapinya sungguh aneh….”
Wiro
menguap lebar-lebar lalu lepaskan pelukannya.
“Sejak
kapan kau mengidap penyakit suka menguap dan jadi pengantuk seperti ini…? Lalu
kau juga kulihat seperti punya ilmu kebal. Tak mempan gebukan. Apa kau sudah
berguru pada orang sakti baru selain Tua Gila dan Sinto Gendeng?”
Wiro
tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Aku akan
ceritakan. Ini semua pekerjaan Si Raja Penidur. Tapi maksudnya baik. Dia ingin
menolongku….”
Wiro lalu
tuturkan riwayat dirinya sejak dia menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur Kutuk.
“Pengalamanmu
sekali ini sungguh luar biasa. Kau bermaksud menolong orang tetapi kena musibah
tidak terduga. Menurut perhitunganmu tinggal berapa hari lagi kau baru bebas
dari musibah ini, Wiro?”
Wiro
garuk-garuk kepala. “Kalau aku tidak salah hitung mungkin sekitar tiga puluh
hari. Tapi sekarang aku merasa lebih tenteram. Si Raja Penidur memberikan ilmu
silat orang tidur itu padaku. Juga ada Jubah Kencono Geni di bawah bajuku….”
Anggini
tertawa. “Lain kali kalau hendak menolong aku harus lebih berhati-hati Wiro….”
“Ya, ya….
Memang seharusnya begitu!” ujar Pendekar 212. Dalam hati dia membatin.
“Lain
sekali sikap Anggini dengan Bidadari Angin Timur atau Bunga. Dia bisa menerima
apa yang telah aku lakukan sebagai satu pertolongan murni, bukan mengandung
maksud apa-apa. Ah…. Kalau saja Bidadari Angin Timur bersifat seperti Anggini….
Saat ini aku melihatnya sikapnya juga lain. Jauh lebih dewasa. Seolah dia tidak
ingin lagi mengingatingat soal perjodohan itu….” (Mengenai asal usul pertemuan
dan hubungan Wiro dengan Anggini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut
Bernyanyi Di Pajajaran” dan “Keris Tumbal Wilayuda”).
“Anggini,
apa yang membawa dirimu sampai tersesat ke tempat ini’?” Wiro ajukan pertanyaan
sambil memegang tangan Anggini dan mengajaknya duduk di tanah.
“Guruku,
Dewa Tuak…” jawab Anggini.
Wiro
melirik pada selendang ungu yang melingkar di leher si gadis. Pada salah satu
ujung selendang terdapat guratan angka 212. Sekian tahun berlalu ternyata
selendang itu masih ada dan dipeliharanya dengan baik.
“Ada apa
dengan Dewa Tuak?” tanya Wiro.
Lama
sekali dia tidak pernah kembali ke tempat kediamannya. Kabar pun tidak pernah
kudengar. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Di usia setua dia bisa
saja dia jatuh sakit atau bagaimana….”
“Hemmm….”
Wiro usap-usap dagunya dan unjukkan wajah sedih. “Kau benar, terakhir kali aku
bertemu dengan gurumu di Pangandaran beberapa waktu lalu. Dia memang sedang
sakit-sakitan….”
Berubahlah
paras Anggini. “Apa yang terjadi dengan guruku Wiro? Kau tahu di mana dia
sekarang?!”
“Gurumu
itu! Dewa Tuak…. Dia tidak tahu menjaga kesehatan. Akibatnya penyakit lamanya
kambuh kembali! Ah, kasihan dia…!”
“Wiro!
Lekas katakan apa yang terjadi dengan Dewa Tuak!” kata Anggini setengah
berteriak.
“Gurumu
itu jatuh sakit, Anggini. Sakit lama. Sakit asmara….”
“Wiro!
Jangan bergurau! Aku….”
“Tenang
Anggini,” ujar Wiro sambil senyum-senyum membuat si gadis jadi tambah tak
karuan rasa. “Aku bilang tadi gurumu itu kambuh penyakit lamanya. Mungkin lebih
parah dari yang dulu-dulu. Gurumu kambuh penyakit asmaranya. Penyakit jatuh
cinta seri yang ke sekian ratus!”
“Wiro!”
Sepasang mata Anggini melotot besar. “Jangan kira aku tidak tega memukulmu
kalau masih terus bergurau!”
“Siapa
bergurau! Gurumu Dewa Tuak itu memang sedang sakit jatuh cinta pada seorang
nenek yang pernah jadi kekasihnya di masa muda. Mereka bertemu di Pangandaran.
Sama-sama bertempur melawan para tokoh golongan hitam. Kau tahu sendiri apa
akibat pertemuan itu. Segala yang terjadi di masa muda seolah muncul dan mereka
rasakan kembali. Kakek dan nenek itu sama-sama jatuh sakit. Tapi sakit enak
bahagia! Sakit asmara alias sakit cinta! Ha… ha… ha!”
Wiro
tertawa gelak-gelak. Anggini banting-bantingkan kaki dan menjotos dada Pendekar
212 beberapa kali saking gemasnya. Untung saja saat itu Wiro terlindung oleh
jubah sakti Kencono Geni. Kalau tidak pukulan-pukulan yang cukup keras itu bisa
menciderainya.
“Siapa
nenek kekasih guruku itu?” tanya Anggini akhirnya.
“Seorang
nenek cantik dikenal dengan julukan Iblis Muda Ratu Pesolek atau Iblis Putih
Ratu Pesolek…”
Anggini
menarik nafas lega. “Aku pernah mendengar tentang perempuan itu. Guruku sendiri
yang menuturkan riwayat mereka. Kalau dia kini memang sedang tergilagila lagi
dengan si nenek aku bisa merasa lega. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa dengan
dirinya. Kau tahu rimba persilatan di tanah Jawa ini semakin macam-macam.
Berbagai kejadian aneh muncul dan semuanya berakhir dalam bayang-bayang maut.
Kau pernah mendengar tentang Kitab Wasiat Malaikat yang kini dicari oleh para
tokoh?”
“Selama
ini keadaanku membuat aku terpaksa seperti menyembunyikan diri. Aku buta segala
apa yang terjadi di luaran…. Apa yang kau ketahui tentang Kitab Wasiat Malaikat
itu?”
“Kabarnya
kitab itu adalah raja diraja segala kitab sakti. Hanya para tokoh silat
golongan putih yang akan berjodoh. Konon kitab itu kini berada di tangan
seorang Datuk yang bermarkas di Lembah Akhirat. Sang Datuk akan menyerahkan
kitab itu pada seseorang tokoh golongan putih yang dianggapnya cocok untuk
menerima. Namun apa yang terjadi selama ini beberapa tokoh silat golongan putih
lenyap secara aneh. Kalau mati mayatnya tak pernah ditemui apalagi kuburnya….
Aku khawatir guruku Dewa Tuak terpikat akan berita itu lalu berusaha
mendapatkan Kitab Wasiat Malaikat.”
“Kau
sendiri apakah berniat ingin mendapatkannya?”
Anggini
menggeleng. “Bagaimana dengan kau?” balik bertanya si gadis.
“Banyak
masalah besar masih mengerubungi diriku. Bagaimana mungkin aku memikirkan
segala macam kitab…” Wiro hendak menceritakan tentang Kitab Putih Wasiat Dewa
yang saat itu disimpannya di balik bajunya. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih
baik tidak mengatakan hal itu pada si gadis.
“Wiro,
kita harus meninggalkan tempat ini,” kata Anggini seraya berdiri.
“Ya, aku
akan ikut ke mana kau pergi,” jawab Wiro seraya ulurkan tangannya.
Anggini
memegang tangan Wiro lalu membantu sang pendekar bangkit berdiri.
"Uaahhhh!"
Wiro menguap.
"Hemm….
Penyakit tidurmu kambuh lagi! Kau mau tidur dulu atau mau pergi bersamaku atau
bagaimana…? Kalau mau tidur silahkan saja. Aku tak bakal menungguimu!"
ujar Anggini menggoda.
Wiro
cepat tutup mulutnya dengan tangan kanan. "Uahhh! Aku memilih ikut
bersamamu! Biar aku tidur sambil jalan saja!"
*******************
EMPAT BELAS
Tiga
pasang mata memandang Klewing dengan membeliak pertanda membersitkan kemarahan.
Orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar itu merasa jantungnya berdebar keras
dan tengkuknya menjadi dingin. Berulangkali dia mengusap kepalanya yang botak
keringatan.
"Ikuti
kami!" kata Pengiring Mayat Muka Hitam. Lalu dia memberi isyarat pada dua
temannya si muka merah dan muka hijau.
Klewing
melangkah mengikuti ketiga orang itu. Dia sudah maklum mau dibawa ke sana. Di
hadapan sebuah bangunan batu Klewing disuruh menunggu dijaga oleh Pengiring
Mayat Muka Hijau dan Muka Merah.
Tak lama
kemudian si muka hitam keluar kembali. Di belakangnya mengikuti Datuk Lembah
Akhirat yang hanya mengenakan sehelai celana kolor hitam gombrong. Di belakang
penguasa Lembah Akhirat ini kelihatan seorang perempuan muda bertubuh sangat
gemuk yang nyaris tidak mengenakan apa-apa. Klewing mengenali perempuan gemuk
itu bukanlah Yuyulentik yang dulu pernah dilihatnya. Datuk Lembah Akhirat
membisikkan sesuatu pada perempuan itu. Si gemuk ini kemudian masuk ke dalam.
Sepasang
mata Datuk Lembah Akhirat pandangi tampang Klewing. Tampaknya dia tenang-tenang
saja, tak ada bayangan kemarahan. Malah menyeringai. Suaranya pun menegur
dengan halus.
"Jadi
kau gagal membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng…?!"
"Maafkan
diriku Datuk…" jawab Klewing tak berani menatap tampang Datuk Lembah
Akhirat.
"Kau
malah diberinya hadiah tiga guratan angka di kening! Sungguh memalukan!
Tak
pernah kejadian anggota komplotan Lembah Akhirat mengalami penghinaan seperti
ini!"
"Aku
motion maafmu Datuk. Aku sebenarnya hampir dapat membunuhnya. Namun tiba-tiba
muncul seorang perempuan muda berkepandaian tinggi menolong Pendekar 212!"
Datuk
Lembah Akhirat tertawa bergelak. "Kau tidak mampu membunuh Pendekar 212.
Kau juga tidak sanggup mengalahkan lawan yang hanya seorang perempuan muda. Kau
tahu nasib apa yang bakal menimpamu Klewing?!"
"Aku
mengerti telah berbuat kesalahan besar Datuk! Beri kesempatan padaku sekali
lagi…!"
"Kesempatan
hanya sekali seumur hidup. Tak mampu mempergunakan kesempatan maka malapetaka
besar akan menimpa dirimu!"
"Datuk….
Aku bersedia dihukum dan dibatalkan jadi anggota komplotan Lembah
Akhirat…."
"Hukumanmu
tidak seringan itu, anjing kurap kepala kuning!" Kemarahan Datuk Lembah
Akhirat akhirnya meledak. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Hitam lalu
anggukkan kepala. Si muka hitam menoleh pada kawannya si muka merah.
"Lekas
panggil Dewa Sedih, bawa ke sini! Dia harus menyaksikan pelaksanaan hukuman
agar tidak berbuat kesalahan yang sama!"
Pengiring
Mayat Muka Merah segera tinggalkan tempat itu.
"Datuk,
apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Klewing dengan muka pucat dan suara
bergetar.
"Plaakkk!"
Satu
tamparan melanda pipi kiri Klewing hingga kepalanya hampir melintir. Yang
menampar adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.
"Sekali
lagi kau berani membuka mulut tanpa ditanya kuhancurkan kepala botakmu!"
ancam si muka hijau.
Tak lama
kemudian Pengiring Mayat Muka Merah muncul bersama seorang kakek berkulit
hitam, berpakaian selempang kain putih. Rambutnya yang putih digulung di atas
kepala. Alis matanya yang hitam menjulai ke bawah. Tampangnya menunjukkan
kesedihan mendalam. Dari hidung dan mulutnya keluar suara sesenggukan seperti
hendak menangis.
"Dewa
Sedih! Sebentar lagi kau akan melihat pelaksanaan hukuman! Ini agar kau sadar
bahwa kejadian serupa bisa terjadi pada dirimu jika kau berbuat kesalahan atau
tidak sanggup menjalankan perintah…."
Dewa
Sedih langsung keluarkan suara menangis. Dia meratap. "Aku melihat langit,
aku melihat lembah. Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib
manusia…."
Datuk
Lembah Akhirat menyeringai. Dalam hati dia membatin. "Orang tua sakti ini
sudah mengetahui apa yang bakal terjadi…."
Klewing
sendiri semakin pucat mukanya. Kalau tidak bersandar ke dinding batu mungkin
kedua lututnya sudah terkulai roboh!
"Pengiring
Mayat Muka Merah!" tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata. "Manusia
ini berada di bawah pengawasanmu. Selesaikan dia!"
"Datuk!"
jerit Klewing seraya hendak menjatuhkan diri minta ampun pada Datuk Lembah
Akhirat. Namun lehernya keburu dicekal oleh Pengiring Mayat Muka Merah.
Dalam
takut yang amat sangat, Klewing menjadi nekad. Sebelum dijatuhi hukuman yang
pasti hukuman mati dia harus dapat membunuh salah seorang yang ada di
hadapannya. Dia memilih sang Datuk. Mulutnya terbuka. Dia lalu meniup ke arah
Datuk Lembah Akhirat. Satu gelombang angin menderu laksana air bah. Namun
setengah jalan serangan itu menjadi buyar. Dewa Sedih meraung keras. Tangan
kanannya dipukulkan.
Gelombang
angin serangan Klewing terdorong ke samping lalu buyar berantakan!
Datuk
Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia melangkah mendekati Dewa sedih lalu
menepuk bahu orang tua ini berulang-ulang seraya berkata. "Kau anak buahku
yang hebat! Terima kasih kau telah menolongku dari serangan si botak gila
itu!"
Sebagai
jawaban Dewa Sedih tutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis keras.
Telapak tangan kanannya tampak berwarna hitam. Pertanda bahwa dia berada di
bawah pengawasan Pengiring Mayat Muka Hitam.
"Pengiring
Mayat Muka Merah, kau tunggu apa lagi? Selesaikan dia!" Yang bicara adalah
Pengiring Mayat Muka Hitam.
Mendengar
ucapan itu si muka merah cekal leher Klewing kuat-kuat lalu membantingkannya ke
tanah. Klewing merasa sekujur tubuhnya hancur luluh. Terhuyunghuyung dia
bangkit berdiri. Namun dalam keadaan setengah tegak setengah duduk Pengiring
Mayat Muka Merah hantamkan tangan kanannya ke arah si botak.
Selarik
sinar merah bertabur. Jeritan Klewing terdengar mengenaskan. Tubuhnya lenyap
dalam buntalan api berwarna merah. Sesaat kemudian tubuh itu telah berubah
menjadi seonggok debu berwarna merah.
"Aku
melihat langit! Aku melihat lembah! Aku melihat setumpuk debu berwarna merah.
Malangnya nasib manusia! Hik… hik… hik!" Ratap tangis Dewa Sedih si kakek
sakti aneh semakin menjadi-jadi.
Pengiring
Mayat Muka Merah memanggil dua orang pengawal. Mereka diperintahkan
membersihkan debu merah dan membuangnya ke selatan lembah.
"Dewa
Sedih, sobat besarku!" Datuk Lembah Akhirat berkata. "Aku sudah
memikirkan satu kedudukan tinggi bagimu. Namun sebelum hal itu aku berikan, kau
kini ketambahan satu tugas baru…."
"Hik…
hik…. Aku melihat langit. Aku melihat lembah. Aku melihat darah…."
"Bagus,
kalau kau bisa melihat darah berarti kau akan sanggup menjalankan tugas!"
"Hik…
hik…. Sebutkan tugas itu Datuk. Tanganku sudah gatal untuk melakukannya…"
kata Dewa Sedih pula sambil mengusut air matanya.
"Cari
Pendekar 212 sampai dapat! Bunuh dan sebarkan berita bahwa yang membunuhnya
adalah Iblis Putih Ratu Pesolek karena pemuda itu tak mau melayani
dirinya!"
Tangis
Dewa Sedih terhenti sesaat. "Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku
melihat manusia mati berkaparan. Hik… hik… hik…."
"Kalau
tugasmu itu kau laksanakan dengan baik. Kau lekas kembali menemuiku. Satu tugas
lagi akan kuberikan padamu. Setelah itu kau akan kuberikan kedudukan tinggi yang
aku janjikan…."
"Hik…
hik…. Aku melihat langit, aku melihat lembah. Aku melihat kitab. Hik… hik…hik!
Kitab Wasiat Malaikat! Datuk, apakah aku akan mendapatkan kitab sakti itu
sesuai janjimu?" Dewa Sedih bertanya sesenggukan.
Datuk
Lembah Akhirat tersenyum. "Kalau kau memang berjodoh dengan Kitab Wasiat
Malaikat, kitab itu pasti akan menjadi milikmu!"
Sang
Datuk lalu memberi isyarat pada Pengiring Mayat Muka Hitam. "Antarkan dia
ke tempatnya kembali. Berikan makan enak…."
"Datuk,
apakah aku boleh minta sesuatu…?" tiba-tiba Dewa Sedih ajukan pertanyaan.
"Hem….
Katakan saja. Jika memang pantas pasti akan kuberikan…"
"Selama
dua bulan di tempat ini aku tak pernah melihat perempuan. Aku melihat langit,
aku melihat lembah! Tapi tidak melihat perempuan! Hik… hik… hik. Sebelum pergi
aku ingin diri tua ini tidur dikeloni perempuan. Tak perlu gadis atau yang
masih muda. Hik… hik… hik! Nenek-nenek pun jadilah!"
Datuk
Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Tiga wakilnya ikut-ikutan tertawa.
"Dewa
Sedih, sekalipun aku berikan perempuan kau mau berbuat apa?!" ujar sang
Datuk. "Apa kau lupa bahwa kau saat ini berada dalam keadaan dikebiri?
Barangmu telah kuambil dan kutitipkan pada wakilku Pengiring Mayat Muka
Hitam!"
Dewa
sedih unjukkan wajah bengong. Lalu tangannya meraba ke bawah perut. Dia tidak
merasakan apa-apa. Langsung saja si kakek menangis menggerung-gerung.
TAMAT
No comments:
Post a Comment