Peri Angsa Putih
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
Hantu
tangan empat pandangi wajah peri angsa putih sesaat lalu berkata. "adalah
aneh! Wahai! Biasanya para peri yang datang membawa berkah. Kini justru engkau
sebagai peri yang memohon berkah pada kakek jelek dan tolol seperti diriku
ini!" "kek, jangan kau merendah seperti itu. Kalau aku tidak yakin
kau bisa menolong tidak nanti aku datang kemari…." "baiklah wahai
cucuku. Katakan berkah pertolongan apa yang hendak kau mintakan padaku?"
peri angsa putih buka gulungan pakaian putihnya di sebelah pinggang di mana
wiro dan kawan-kawannya berada. Ketiga orang ini kemudian diletakkannya di atas
rumput biru, di depan batu datar di hadapan si kakek. Hantu tangan empat sampai
melesat satu tombak ke udara saking kagetnya melihat ketiga makhluk kecil di
atas rumput itu. Dari atas sambil memandang ke bawah dia berkata dengan suara
gemetar. "wahai cucuku peri angsa putih. Katamu kau datang meminta berkah
pertolongan padaku. Tapi tahukah engkau bahwa kau sebenarnya membawa bencana
padaku?"
******************
1
INDAHNYA
bulan purnama dengan sinarnya yang lembut terang tidak terlihat di kawasan
Telaga Lasituhitam. Air telaga tetap menghitam, suasana dicekam kesunyian dan
udara terasa dingin pengap. Angin seolah tidak mau bertiup menyapu permukaan
telaga dan kawasan sekitarnya.
Jauh di
bawah dasar telaga, dalam sebuah ruangan diterangi dua belas obor, yang disebut
Ruang Dua Belas Obor, di atas sebuah tempat ketiduran terbuat dari batu, duduk
satu sosok tubuh aneh yang kepalanya memiliki dua muka. Satu di depan satunya
lagi di belakang. Muka sebelah depan dan muka sebelah belakang memiliki raut
serta bentuk yang sama, yaitu wajah tampan seorang lelaki berusia sekitar empat
puluhan. Bedanya yang di depan berkulit kuning sedang di muka sebelah belakang
hitam keling.
Selain
keanehan angker pada kepalanya yang bermuka dua itu, makhluk ini memiliki
sepasang mata yang masing-masing bola matanya tidak berbentuk bulat melainkan
berupa segi tiga berwarna hijau menggidikkan. Konon bentuk segi tiga bola
matanya ini menjadi pelambang tiga sifat yang dimilikinya hingga ia dijuluki
Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.
Di
samping kiri dan kanan ranjang batu tempat orang bermuka dua duduk, empat orang
gadis cantik bersimpuh di lantai. Mereka mengenakan pakaian dari kulit kayu
namun tak ada artinya sebagai penutup aurat. Selain tipis, pakaian itu hanya
terdiri dari beberapa potongan kecil yang membuat tubuh keempat gadis itu
nyaris terlihat bugil.
Mahluk
bermuka dua, yang punya dua pasang aneh dan angker ini, tidak sepasangpun dari
mata itu memperhatikankan wajah-wajah cantik dan tubuh-tubuh elok mulus para
gadis yang ada di sekitarnya. Ada dua pasang mata di sebelah belakang
berputar-putar memandang ke langit-langit ruangan. Sementara dua mata disebelah
depan memandang tak berkesip ke arah pekarangan. Di dua muka orang di atas
ranjang batu itu jelas terlihat bayangan ketidaksabaran.
Dua mata
pada muka sebelah depan sesaat membuka tambah lebar. Dari mulutnya keluar suara
mengeluh “Apa yang dilakukan perempuan celaka itu! Wahai, masakan pekerjaan
begitu mudah saja dia pergi berapa lama .Belum muncul sampai saat ini Apa aku
harus marah lagi? Minta darah lagi?!" Dua mata sebelah depan Ini terus
membelalak tak berkedip Memandang ke arah pintu masuk.
Beda lagi
dengan muka ke dua yakni muka berkulit hitam legam di sebelah belakang.
Mulutnya berkomat kamit. Sesaat kemudian mulutnya berucap. "Janganjangan
perempuan satu itu pergunakan kesempatan kabur melarikan diri!"
"Wahai! Kalau itu sampai dilakukannya!" menyahuti mulut sebelah
depan. "Alamat dirinya akan menjadi penghuni Ruangan Obor Tungga!"
"Tunggu…!"
mulut muka berwajah hitam keling di sebelah belakang berkata. "Tidakkah
kau dengar langkahlangkah kaki halus melintas di Ruang Empat Obor. Bergerak
menuju ke sini!"
Sesaat
kemudian di pintu Ruang Dua Belas Obor melangkah masuk seorang gadis berwajah
sangat cantik. Rambutnya yang hitam digulung di atas kepala hingga kuduknya
yang putih dan ditumbuhi bulu-bulu halus tersembul memikat. Gadis ini
mengenakan pakaian kulit kayu dicelup jelaga berwarna Jingga, dihias dedaunan
aneka warna di bagian belakang dan dada.
"Lain
yang ditunggu lain yang datang! Wahai!" Mulut sebelah belakang orang di
atas ranjang batu berseru.
Wajah di
bagian depan tersenyum lebar. "Luhjelita kekasihku! Wahai! Kutunggu-tunggu
kau tak pernah muncul. Tidak diharap-harap kau tahu-tahu datang! Wahai! Kau
membuat diriku jadi kikuk depan belakang!"
Gadis
yang barusan masuk berhenti tiga langkah di samping kanan ranjang batu. Matanya
yang bening bagus menyapu pada empat sosok gadis di depannya. Sepasang alis
matanya perlahan-lahan naik ke atas. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Ha…
ha! Kau mulai cemburu!! Wahai!" Mulut sebelah depan orang bermuka dua
berseru. Lalu dia tepukkan tangannya tiga kali. Melihat isyarat ini empat gadis
cantik yang duduk di lantai serta merta bangkit berdiri dan tinggalkan Ruangan
Dua Belas Obor.
"Kekasihku
Luhjelita! Wahai! Berucaplah. Katakan padaku apa hatimu sedang senang atau
tengah diselimuti kegundahan! Melihat air mukamu, apa yang selama ini kau cari
dan kau rahasiakan padaku masih belum kau dapatkan! Wahai! Betulkah
dugaanku?!"
Gadis
berpakaian Jingga dudukkan dirinya di atas ranjang batu di samping orang
bermuka dua. Lalu dengan suara perlahan lirih yang membuat darah bergejolak
panas dia berkata. "Aku datang karena aku rindu sokali padamu, wahai Hantu
Muka Dua…."
Orang
bermuka dua yang duduk di atas tempat ketiduran batu dan dipanggil dengan nama
Hantu Muka Dua tertawa bergelak.
"Wahai!
Rindu adalah penyakit maha nikmat orang-orang bercinta! Akupun tak kalah rindu
Luhjelita!" Mulut sebelah depan berkata lalu kepala dua muka itu bergerak
hendak mencium si gadis. Tapi Luhjelita dengan sikap manja mendorong dada Hantu
Muka Dua dan jauhkan kepalanya seraya berkata. "Jangan kau membakar
diriku, wahai Hantu Muka Dua. Kulihat kau telah memiliki teman-teman baru.
Siapa empat gadis tadi?"
Hantu
Muka Dua pegang lengan Luhjelita. Mulut berwa|ah hitam di sebelah belakang
berkata. "Kita sudah kenal sejak lama. Bagaimana sifatku kau sudah tahu
Mengapa masih bertanya? Bukankah sudah kukatakan Wahail Boleh ada seribu gadis
cantik di taklimku tapi yang terpendam dalam hatiku! Wahai! Hanyalah
Luhjelita!"
"Kau
pandai merayu!"
Dua mulut
Hantu Muka Dua sama-sama tertawa keras Ialu yang sebelah depan berkata.
"Kau yang mengajarkan segala rayuan dan kegenitan padaku! Kau yang telah
menghangatkan hati dan membakar aliran darahku Sekarang wahai! Coba kau
ceritakan kabar apa sa|a yang kau bawa dari luar."
"Aku
mau bertanya dulu," ujar Luhjelita. "Waktu menuju ko sini aku melihat
ada satu perempuan mendekam di balik semak belukar. Tak jauh dari mulut goa!
Kulitnya hitam manis, kulit yang paling kau gandrungi. Wajahnya cantik dan
sosok tubuhnya kencang pertanda usianya masih sangat muda. Sikapnya seperti
tengah menyelidiki sesuatu dan sebentar-sebentar mendongak ke langit. Siapa
dia?"
"Wahai!
Kau tak perlu curiga dan tak usah cemburu," jawab mulut sebelah belakang
Hantu Muka Dua. "Dia adalah Luhtinti, perempuan yang kujadikan
matamata!"
"Heh….
Selain kau jadikan mata-mata, lalu kau jadikan apa lagi? Kau letakkan di bawah
mata kakimu heh…?"
Hantu
Muka Dua tertawa lebar. "Wahai Luhjelita. Kau tahu diriku…."
"Lebih
dari tahu!" jawab Luhjelita dengan wajah merengut sambil menggeser duduk
menjauh. "Percuma saja kau dijuluki sebagai si Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu. Memang aku yang bodohi Sudah tahu masih bertanya!"
"Luhjelita!
Wahai! Jangan merajuk. Bukankah sudah kubilang cuma kau seorang yang ada di
hatiku," kata Hantu Muka Dua. "Sekarang ceritakan apa saja yang
terjadi di luaran sana."
"Aku
hanya akan menceritakan yang ada sangkut pautnya dengan tugas yang tengah
kujalani…."
Hantu
Muka Dua kembali hendak tertawa bergelak.
Tapi tak
jadi. Dia berkata. "Baiklah. Wahai! Apakah kau berhasil menemui manusia
bernama Latandai yang tengah mengejar ilmu di kawah Gunung Latinggimeru
itu?" Luhjelita anggukkan kepala. "Latandai sekarang memakai nama
Hantu Bara Kaliatus. Di kepala, sekujur dada dan perutnya penuh dengan bara
menyala. Berjumlah dua ratus! Tapi sayangnya setelah kuperiksa ternyata dia
hanya punya satu tahi lalat di bawah pusarnya!"
Hantu
Muka Dua tak dapat menahan tawanya!
“Latandai!
Manusia miskin tahi lalat! Ha… ha… ha! Tapi wahai kekasihku! Kuharap kau jangan
putus asa! Cari lagi, cari lagi, dan aku akan terus membantu. Sampai akhirnya
kau mendapatkan tujuh lelaki yang punya tiga tahi lalat di bawah
pusarnya!"
Mulut
sebelah belakang menyambut! ucapan mulut sebelah depan tadi. "Wahai
Luhjelita, menurut pengintaianku dalam masa seratus tahun mendatang kau masih
akan tetap muda dan cantik. Mengapa kau begitu bernafsu mengejar ilmu. Bukankah
kau mencari tujuh lelaki dengan tiga tahi lalat di bawah pusarnya itu
sebenarnya ingin mendapatkan ilmu awet muda sepanjang jaman?"
Sepasang
mata Luhjelita membesar. "Dari mana kau tahu aku tengah mencari ilmu awet
muda?!" tanya si gadis.
"Hantu
Muka Dua pandai menduga. Wahai! Dan setiap dugaanku biasanya tak pernah
meleset!"
Luhjelita
tersenyum lalu mencibir dan berkata. "Aku tidak akan mengiyakan atau
menidakkan kebenaran dugaanmu Itu wahai Hantu Muka Dua. Aku butuh bantuanmu.
Siapa saja lagi yang harus kuselidiki…."
Wajah
Hantu Muka Dua depan belakang tersenyum. "Sedorct nama dan orang bisa kau
selidiki. Mengapa kau tidak berusaha mencari lelaki bernama Lakasipo yang kini
punya dua julukan. Bola Bola Iblis dan Hantu Kaki Batu. Tapi aku punya satu
pesan. Jika kau menemui lelaki itu dan berhasil menyelidiki, apapun hasil
penyelidikanmu aku minta kau membunuhnya! Paling tidak mengetahui kelemahan
segala ilmu yang dimilikinya!"
Luhjelita
menatap wajah sebelah depan Hantu Muka Dua lalu tersenyum, membuat Hantu Muka
Dua tidak sanggup menahan diri dan angsurkan kepalanya hendak mengecup bibir si
gadis. Wajah mereka hampir bersentuhan tapi jari tangan kanan Luhjelita telah
lebih dulu ditempelkan di atas bibir lelaki Ku hingga tak kesampaian menyentuh
bibirnya.
"Wahai
Hantu Muka Dua. Turut apa yang aku dengar Hantu Santet Laknat telah turun
tangan melakukan hal yang sama. Kabarnya dia telah menguasai otak dan jalan
pikiran Latandai. Lalu pergunakan tangan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus
untuk membunuh Lakasipo. Mengapa kau harus bersusah payah dan menyuruh aku
melakukan hal itu?"
"Terus
terang. Wahai! Aku tidak begitu percaya pada Hantu Santet Laknat. Nenek satu
itu punya rencana terselubung. Kelihatannya dia ingin…."
"Wahai
Hantu Muka Dua, aku tahu maksudmu! Kau takut Hantu Santet Laknat jatuh hati
pada Lakasipo. Padahal bukankah nenek itu sejak lama jatuh hati padamu tapi kau
seperti tidak pernah mengacuhkan?"
Mendengar
kata-kata Luhjelita itu terjadi satu keanehan pada kepala Hantu Muka Dua.
Kepalanya yang bermuka dua dan berupa wajah dua lelaki usia empat puluh tahun
tiba-tiba berubah menjadi dua wajah orang tua yang air mukanya pucat putih
karena terkejut. Dalam hati Hantu Muka Dua berkata. "Dari mana perempuan
satu ini tahu ihwal hubunganku dengan Hantu Santet Laknat…."
Keadaan
dua muka Hantu Muka Dua seperti dua orang tua bermuka pucat hanya sesaat. Di
lain kejap dua mukanya kembali seperti tadi yaitu wajah dua lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun, satu hitam satu putih.
"Luhjelita"kekasihku! Wahai! Kalau kau sudah tahu tentang sikap Hantu
Santet Laknat terhadapku, kuharap kau jangan menebar luas apa yang kau ketahui
Itu. Aku menyuruhmu membunuh Lakasipo karena aku punya firasat, di masa
mendatang dia akan menjadi seorang tokoh sangat berbahaya di kawasan
Latanahsilam…. Maukah kau menolongku wahai kekasihku?"
Luhjelita
tersenyum membuat hati Hantu Muka Dua menjadi sejuk namun sesaat kemudian
darahnya kembali menggelora. Mulutnya sebelah depan berbisik.
"Berbilang
waktu telah berlalu. Berbilang lagi yang akan datang. Wahai! Kapan kita bisa
bersenang-senang wahai Luhjelita?"
"Saatnya
akan tiba, kau harus sabar menunggu…" kata Luhjelita setengah membujuk
sambil memegang lengan Hantu Muka Dua. "Selain menyelidik Lakasipo, apa
tidak ada orang lain yang menurutmu pantas aku selidiki keadaan dirinya?"
"Pernah
kau mendengar seorang bernama Hantu Jatilandak?" tanya Hantu Muka Dua.
"Maksudmu
makhluk menghebohkan yang tinggal di kawasan Hutan Lahitamkelam? Beberapa waktu
yang lalu dia telah membantai serombongan orang yang kabarnya adalah kaki
tangan Hantu Lumpur Hijau yang menguasai sebagian kawasan hutan."
"Betul.
Kau selidiki dia. Siapa tahu dia memiliki tiga tahi lalat di bawah pusarnya.
Tapi hati-hati wahai kekasihku. Hantu Jatilandak benar-benar makhluk biadab
yang sanggup membantai siapa saja dengan Ilmunya yang aneh-aneh…."
Aku akan
perhatikan ucapanmu wahai Hantu Muka Dua Sekarang lzinknn aku pergi…."
Tidak
sebelum aku boleh membelai dadamu dan mengecup bibirmu!" kata Hantu Muka
Dua pula. Lalu dua tangannya cepat hendak merangkul. Tapi lagi-lagi Luhjelita
mendahului mendorong dada lelaki itu seraya berbisik. "Kalau kau mau bersabar
sedikit lagi, kelak aku akan memberikan apa saja yang kau minta…."
"Sayang
aku sudah tidak sabar menunggu lebih lama!" jawab Hantu Muka Dua pula.
Sementara dua mulutnya tertawa bergelak dua wajah di kepalanya mendadak berubah
menjadi dua wajah anak muda yang sangat tampan. Perubahan ini menjadi pertanda
bagi Luhjelita bahwa Hantu Muka Dua tengah mengalami puncak hasrat yang
menggelora dan berusahamemikat dengan merubah dirinya sebagai pemuda gagah.
Bersamaan
dengan terjadinya perubahan itu tiba-tiba cepat dua kaki Hantu Muka Dua
bergerak ke depan dan tahu-tahu dua kaki itu telah menggelung pinggul dan
pinggang Luhjelita lalu menariknya hingga hampir saja gadis itu jatuh menindih
tubuh Hantu Muka Dua.
"Kau
harus belajar punya kesabaran Hantu Muka Dua. Ini hadiah untuk kesabaranmu
itu!" Luhjelita pergunakan tangan kanannya mencubit perut Hantu Muka Dua
hingga orang ini menjerit antara kesakitan dan kegelian. Bersamaan dengan itu
Luhjelita gerakkan tubuhnya ke belakang hingga rangkulan dua kaki Hantu Muka Dua
terlepas.
"Luhjelita
tunggu!" berseru Hantu Muka Dua. "Wahai…!" Tapi Luhjelita telah
berkelebat meninggalkan Ruang Dua Belas Obor.
Hantu
Muka Dua terduduk di atas ranjang batu. Dua mulutnya beberapa lama keluarkan
suara menggerendeng. Lalu mulut sebelah depan berucap perlahan.
"Luhjelita. Wahai! Jangan kau kira aku tak tahu apa sebenarnya yang tengah
kau lakukan dan kau cari. Aku hanya pura-pura percaya bahwa kau tengah mencari
ilmu awet muda. Tapi aku tahu sebenarnya kau tengah mencari satu ilmu kesaktian
yang langka dan sangat hebat. Aku akan membantumu mendapatkan ilmu itu. Aku
akan mengikuti saja apa maumu Luhjelita! Wahai kekasihku! Tapi begitu kau
mendapatkannya aku akan merampasnya dari tanganmu! Ha… ha… ha…! Percuma aku
dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"
Hantu
Muka Dua usap perutnya yang merah akibat cubitan Luhjelita tadi. Lalu dia
singkapkan pakaiannya di bagian bawah perut. Dia menyeringai memperhatikan tiga
buah tahi lalat yang menebar berdekatan tepat di bawah pusarnya.
Hantu
Muka Dua bertepuk tiga kali. Empat gadis cantik yang tadi meninggalkan ruangan
itu kini muncul kembali. Melihat dua muka Hantu Muka Dua yang telah berubah
menjadi wajah pemuda-pemuda tampan, mereka segera maklum. Hantu yang berjuluk
Si Segala Nafsu ini ingin bersenang-senang.
"Empat
gadis cantik! Wahai! Apa kalian siap melayaniku?"
Empat
yang ditanya anggukkan kepala lalu tanpa menunggu lebih lama sama-sama
menghambur ke atas tempat tidur batu.
******************
2
BERSEBELAHAN
dengan Ruang Dua Belas Obor terdapat sebuah ruangan batu redup suram serta bau.
Hantu Muka Dua menyebut ruangan ini Ruang Obor Tunggal karena hanya diterangi
sebuah obor kecil. Siapa saja yang memasuki atau melewati ruangan itu, pertama
kali pasti akan merasa heran. Perasaan heran ini kemudian akan segera berubah
menjadi ngeri menggidikkan.
Di lantai
ruangan yang lembab dan di sana-sini diselubungi lumut, terbaring enam sosok
tubuh perempuan. Empat di antaranya sudah sangat tua, hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Yang dua lagi masih muda, walau tubuh mereka kelihatan cukup
segar namun wajah masing-masing pucat pasi seolah tak berdarah. Enam sosok
perempuan itu terbaring menelentang. Tiga dengan mata terpejam, tiga lagi
menatap ke langit-langit ruangan dengan mata nyalang mombclalak dan sangat
jarang berkedip. Kalau tidak diperhatikan benar sulit mengetahui apakah enam
sonok perempuan itu masih bernafas atau tidak. Selain tidak bergerak, keenamnya
terbaring dengan mulut menganga.
Dari
langit-langit ruangan pada waktu-waktu tertentu menetes setitik air yang
langsung jatuh dan masuk ke dalam mulut keenam perempuan itu. Empat erempuan
tua telah puluhan tahun berada di ruangan itu. Dua yang masih muda baru sekitar
dua belas kali bulan purnama. Keadaan mereka seolah mati tidak hidup pun tidak.
Tetesan-tetesan air telah memanjangkan umur mereka dalam kesengsaraan itu.
Empat
perempuan tua yang ada dalam Ruang Obor Tunggal itu dulunya pernah menjadi
musuh besar Hantu Muka Dua sedang dua perempuan muda adalah gadis-gadis di
sebuah pemukiman di selatan Latanahsilam yang diculik untuk dijadikan budak
pemuas nafsu. Berkali-kali dua gadis itu berusaha melarikan diri dan
berkali-kali pula mereka bermaksud membunuh Hantu Muka Dua namun selalu gagal.
Hantu Muka Dua akhirnya kehilangan kesabaran lalu menjebloskan keduanya ke
Ruang Obor Tunggal. Kalau saja Hantu Muka Dua tidak mempunyai pantangan
membunuh perempuan, sudah sejak lama keenam perempuan itu dihabisinya!
Di ats
ranjang batu di Ruang Dua Belas Obor, Hantu Muka Dua terbujur mandi keringat.
Saat itu dua wajah di kepalanya yang sebelumnya berupa wajah pemuda telah
berubah kembali menjadi wajah lelaki separuh baya. Wajah sebelah depan putih
sedang sebelah belakang hitam keling.
"Malam
semakin laruti Wahail Mengapa orang suruhan kita masih belum kembali!"
Mulut sebelah depan Hantu Muka Dua berucap.
"Mungkin
saja perempuan celaka itu benar-benar telah kabur melarikan diri sejak
tadi-tadi!" Menyahuti mulut bermuka hitam.
"Wahai!
Jika dia berani berkhianat pertanda akan bertambah satu lagi penghuni Ruang
Obor Tunggal!"
"Aku
sudah berkata sebaiknya berpuas-puas dulu dengan dirinya. Tapi kau malah
memberinya tugas di luar goa."
Pada saat
seperti itu Hantu Muka Dua seolah-olah berubah menjadi dua orang yang berlainan
tetapi memiliki satu tubuh.
"Kau
betul," kata mulut sebelah depan. "Kalau dia datang akan kurendam dia
sampai pagi. Ha… ha….ha…!"
"Diam!
Jangan tertawa! Aku mendengar langkahlangkah kaki melintas di Ruangan Obor
Tunggal!" kata mulut sebelah belakang.
Tak lama
kemudian muncullah seorang gadis berkulit hitam legam berwajah ayu. Rambutnya
yang hitam panjang tergerai lepas sampai ke pinggul, berkilat-kilat dan menebar
bau harum karena diberi semacam minyak wangi. Tubuhnya yang padat melenggok
bagus ketika melangkah memasuki Ruang Dua Belas Obor.
"Luhtinti!
Wahai!" Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua berseru. "Apa yang kau
lakukan sampai berlama-lama di luar sana!"
Belum
sempat perempuan muda berdada busung itu menjawab, mulut di sebelah depan
menyusul membentak. "Kau tengah mencari akal hendak melarikan diri Wahail
Apa benar begitu?! Wahai! Jawab!"
Perempuan
yang dibentak tampak ketakutan. Lebih lebih ketika melihat dua muka di kepala
Hantu Muka Dua mendadak berubah menjadi muka-muka mengerikan. Berupa dua wajah
berkulit merah, dilebati kumis, janggut dan cambang bawuk. Hidung dan mulutnya
membesar bengkak sedang dua matanya menggembung membeliak. Dari sela bibirnya
mencuat sepasang taring. Keadaan dua wajah Hantu Muka Dua saat Itu tidak
bedanya seperti wajah-wajah raksasa yang menakutkan. Perubahan muka ini satu
pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada dalam keadaan marah.
"Wahai
Hantu Muka Dua," gadis bernama Luhtinti tepat berkata. Suaranya gemetar.
"Saya, saya tidak bermaksud melarikan diri. Saya melakukan apa yang
diperintahkan. Wahai!"
Muka di
sebelah belakang menyeringai lalu mendengus. "Kau sudah melakukan
perintah! Wahai! Bagus! Sekarang katakan apa yang telah kau lihat di luar
sana!"
"Wahai
Hantu Muka Dua, sesuai perintah saya menatap ke langit. Saya melihat memang
bulan purnama telah muncul menerangi kawasan Telaga Lasituhitam…."
Mulut
sebelah muka Hantu Muka Dua menggeram panjang. Taring-taringnya menyembul
mengerikan. Sepasang matanya yang memiliki bola mata berbentuk segi tiga hijau
membersitkan cahaya menggidikkan. Mulut sebelah belakang berucap.
"Apa
kataku! Wahai! Malam ini tepat tiga puluh hari Hantu Tangan Empat kau
perintahkan pergi ke dunia luar. Malam ini adalah akhir dari waktu menjalankan
perintah! Dan jahanam itu tidak muncul! Wahai tidak kembali! Aku tidak tahu
bagaimana hasil urusannya ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang" Muka
di sebelah belakang kelihatan bertambah merah.
"Jangan-jangan
ada sesuatu terjadi dengannya! Wahai, bukankah aku biasa memberi peluang sampai
tujuh hari sebagai tambahan?!" ujar mulut sebelah depan.
Dua mata
di sebelah belakang memandang ke langit-langit ruangan, berputar tiada henti.
"Aku punya firasat Hantu Tangan Empat telah gaga! menjalankan tugas! Dia
tidak bisa menemukan Batu Sakti Pembalik Waktu itu! Wahai! Aku yakin dia sudah
berada di Negeri Latanahsilam! Tapi sembunyi karena wahai! Dia takut akan
mendapat hajaran darimu!
"Wahai!
aku menaruh percaya besar padanya! Jika dia berbuat macam-macam malah
sembunyikan diri, laknat sengsara akan kujatuhkan atas dirinya!" kata
mulut Hantu Muka Dua yang sebelah depan.
"Wahai
Hantu Muka Dua," perempuan muda bor tubuh bagus berkulit hitam manis
berkata. "Jika kau terlalu lama menunggu saya, mohon kiranya maafmul Namun
ada sesuatu yang saya lihat di langit malam di luar sana dan harus saya
beritahukan padamu…."
"Heh…."
Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua bergumam. Sementara itu perlahan-lahan
dua mukanya yang menyeramkan dan berwarna merah berubah kembali ke bentukdua
wajah lelaki usia empat puluhan.
"Katakan
apa yang kau lihat! Tapi wahai! Luhtinti! Awas! Kalau kau berani mengarang
cerita hanya sekedar membuat diriku senang! Kau tahu, kau lihat apa yang
terjadi dengan enam orang perempuan di Ruang Obor Tunggal!"
Ruangan
Obor Tunggal terletak di sebelah depan. setiap orang yang menuju atau keluar
Ruang Dua Belas Obor harus melewati Ruang Obor Tunggal hingga dia pasti akan
melihat kengerian yang ada di Ruang Obor Tunggal Ku.
Perempuan
muda di depan tempat tidur batu menjadi pucat parasnya. Betapakan tidak. Dia
tahu betul yang dimaksud Hantu Muka Dua dengan enam orang perempuan di Ruang
Obor Tunggal ialah enam orang yang tengah menjalani siksaan mengerikan,
dijadikan mayat hidup. Ke enamnya tergeletak menelentang di ruangan itu. Tubuh
kaku tak bisa bergerak tak blsa bersuara. Mulut menganga. Dari atas langitlangit
ruangan pada saat-saat tertentu jatuh menetes setitik air, masuk ke dalam mulut
keenam perempuan itu. Tetesan-tetesan air itulah yang memberi kehidupan,
menyelamatkan nyawa mereka. Beberapa di antara mereka ada yang telah belasan
tahun berada dalam keadaan seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang sangat
dlbenci oleh Hantu Muka Dua. Empat dari mereka adalah bekas musuh besarnya.
Luhtinti sebenarnya tahu Hantu Muka Dua ingin membunuh mereka semua. Namun
karena mempunyai pantangan membunuh perempuan maka terpaksa dia memperlakukan
keenam perempuan tersebut seperti itu. Mati tidak hidup pun tak ada artinya,
tersiksa sepanjang usia!
"Luhtinti!
Lekas bilang apa yang katamu kau lihat di luar sana!" Tiba-tiba mulut
sebelah belakang membentak hingga semua orang yang ada di situ, termasuk empat
gadis yang duduk bersimpuh di samping ranjang batu tersentak kaget dan
ketakutan.
"Wahai
Hantu Muka Dua," ujar Luhtinti. "Saya melihat sebuah benda putih
berleher tinggi, bersayap lebar melayang berputar berulang kali di atas
telaga…."
"Benda
putih di atas telaga. Berleher tinggi. Wahai!" ujar mulut sebelah belakang
Hantu Muka Dua.
Mulut
sebelah depan menimpali. "Bersayap lebar. Wahai! Terbang berputar berulang
kali di atas telaga! Itu adalah seekor angsa putih raksasa! Luhtinti! Apa kau
lihat ada seseorang menunggang benda putih bersayap lebar yang terbang
berputar-putar di atas telaga itu?!"
"Memang
ada saya lihat wahai Hantu Muka Dua. Seorang berpakaian serba putih. Pakaiannya
begitu panjang hingga sesaat menjela ke bumi sesaat lagi melayang tinggi seolah
menembus langit. Rambutnya yang hitam panjang berkibar-kibar ditiup angin. Saya
juga seperti membaui sesuatu yang harum "
Sepasang
mata sebelah belakang Hantu Muka Dua menatap berputar-putar ke atas. Di sebelah
depan sepasang mata lainnya mendongak tak berkedip. Lensa mata yang berbentuk
segi tiga hijau kembali membersitkan sinar aneh. Lalu mulut depan dan mulut
belakang sama-sama berucap.
"Peri
Angsa Putih…!"
"Aku
tidak takut!" Mulut belakang berteriak.
"Aku
juga tidak takut!" berteriak mulut di sebelah depan. Sesaat dua muka Hantu
Muka Dua kembali berubah menjadi merah dan membentuk tampangtampang raksasa.
Empat taring mencuat. Namun sekali ini perubahan itu hanya sebentar. Begitu
amarahnya turun, dua wajah Hantu Muka Dua berubah lagi menjadi wajah-wajah
lelaki separuh baya.
Hantu
Muka Dua kepal dua tangannya. "Peri satu Itu memang pernah mengancamku!
Lihat saja apa yang bisa dilakukannya! Kalau dia sampai masuk ke dalam
pelukanku! Hik… hik… hik! Wahai! Habis kukelupas sekujur tubuhnya dengan
lidahku!"
"Taringku
akan kutancapkan di bagian-bagian tubuhnya yang menonjol dan empuk!" kata
mulut belakang pula lalu tertawa gelak-gelak.
"Luhtinti,
aku tadinya berburuk sangka. Ternyata kau menjalankan perintah dengan baik.
Wahai! Patut aku memberi hadiah kesenangan padamu!" kata Hantu Muka Dua.
Yang bicara adalah mulutnya sebelah depan Lalu makhluk aneh ini usap mukanya
dengan tangan kanan. Saat itu juga muka Hantu Muka Dua sebelah depan berubah
menjadi muka seorang pemuda tampan.
Pemuda
itu tersenyum dan lambaikan tangannya memberi isyarat agar mendekat. Namun
Luhtinti tidak segera bergerak. Sekalipun jelas dia melihat wajah sebelah depan
Hantu Muka Dua telah berubah menjadi wajah seorang pemuda yang cakap. Walau
matanya terpesona dan hatinya tertarik akan ketampanan dua wajah lelaki muda
itu namun Luhtinti merasa bimbang. Hal ini rupanya diketahui oleh Hantu Muka
Dua. Maka mulut depan segera berkata.
"Wahai
Luhtinti, sekarang mendekatlah. Jangan biarkan darahku menggelora sampai
muncrat dari ubun-ubun!" dua tangan Hantu Muka Dua terkembang seperti siap
hendak merangkul.
Perlahan-lahan
Luhtinti langkahkan kakinya ke depan. Begitu sosoknya sampai di muka tempat
tidur batu, Hantu Muka Dua serta merta memeluk gadis berkulit hitam manis ini
penuh nafsu. Ketika dia hendak merebahkan tubuh Luhtinti di atas tempat tidur
batu tiba-tiba Ruang Dua Belas Obor terasa bergetar. Di kejauhan terdengar
suara menderu seperti ada air mencurah berkepanjangan.
Hantu
Muka Dua lepaskan pelukannya. Luhtinti dibaringkannya di atas tempat tidur batu
lalu dia turun ke lantai. "Wahai! Gerangan apa yang terjadi?!"
bertanya mulut depan.
Getaran
di ruangan itu semakin keras. Suara deru air mencurah terdengar semakin
kencang. Lalu ada hawa panas yang perlahan-lahan seolah memanggang ruangan itu.
Dinding dan langit-langit Ruang Dua Belas Obor berderik. Nyala api dua belas
obor bergoyanggoyang padahal tak ada angin bertiup.
Empat
perempuan cantik yang sejak tadi duduk bersimpuh di lantai tak dapat menahan
rasa takut. Mereka bangkit berdiri, memandang pada Hantu Muka Dua lalu
berpaling ke arah jalan keluar. Luhtinti sendiri saat itu telah turun pula dari
atas tempat tidur batu, bergabung jadi satu kelompok dengan empat perempuan
lainnya.
"Kalian
semua tetap di sini! Jangan ada yang berani keluar! Aku akan menyelidik!"
Mulut Hantu Muka Dua sebelah belakang berkata. Lalu Hantu Muka Dua cepat
berkelebat meninggalkan tempat itu. Lima orang perempuan yang berada dalam
ketakutan mana mau tetap berada dalam ruangan yang semakin digoncang getaran
dan semakin panas itu. Kelimanya berhamburan lari menuju jalan ke luar.
Luhtinti di depan sekali.
******************
3
HANTU
MUKA DUA melompat ke atas sebuah gundukan batu di satu tempat ketinggian di
sebelah timur Telaga Lasituhitam. Begitu dia melayangkan mata, memandang ke
bawah tersentaklah makhluk bermuka dua ini. Dua mata di depan dan dua mata di
belakang membeliak. Di samping rasa terkejut yang amat sangat, pada dua wajah
Hantu Muka Dua jelas terlihat bayangan amarah. Dua wajahnya berubah menjadi dua
wajah orang tua bermuka pucat pasi. Sesaat kemudian wajah-wajah ini berubah
pula menjadi dua muka raksasa berwarna merah menyeramkan. Bola-bola matanya
yang berbentuk segitiga menyorotkan sinar hijau angker.
Saat itu
terjadi sesuatu yang luar biasa di Telaga Lasituhitam. Di bawah penerangan
rembulan, Hantu Muka Dua melihat pinggiran utara telaga yang sebelumnya
dipagari batu-batu serta pohon-pohon besar kini seolah jebol. Batu-batu besar
lenyap entah kemana sedang pohon-pohon bertumbangan malang melintang. Sebuah
celah selebar dua puluh tombak membentuk parit besar, menurun ke bawah. Melalui
parit Ini air telaga hitam mengalir deras. Suara aliran air yang menderu keras
inilah yang tadi terdengar dan membuat kawasan itu bergetar hebat sampai ke
Ruang Dua Belas Obor di tempat kediaman Hantu Muka Dua yang terletak tepat di
bawah telaga.
"Wahai!"
Hantu Muka Dua keluarkan suara tertahan. "Apa yang terjadi?! Tidak ada
gempa, tidak ada topan dan hujan! Mengapa batas telaga di arah utara jebol
begitu rupa!"
"Sebentar
lagi telaga ini pasti akan menjadi kering Wahai!" Mulut sebelah belakang
Hantu Muka Dua ikut bicara.
Baru saja
Hantu Muka Dua berucap seperti itu mendadak dari arah pinggiran telaga sebelah
selatan terdengar suara menggemuruh. Hantu Muka Dua palingkan kepala. Serta
merta dua mulut makhluk ini berteriak keras. Dua pasang matanya membuka lebar
seperti mau memberojol keluar.
"Wahai!
Apa Negeri ini mau kiamat!" seru mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.
"Aku
tidak bisa bertahan lama di sini! Sebentar lagi tempat celaka ini akan jadi
neraka! Jahanam betul!"
Saat itu
kalau di arah utara air hitam dari telaga mengalir deras hingga dalam waktu
singkat Telaga Lasituhitam nyaris kering airnya, maka dari jurusan selatan
menggemuruh cairan berbentuk lahar panas! Sesekali ada lidah api mencuat ke
udara disertai batubatu besar berwarna merah menggelinding dan bersama-sama
cairan lahar masuk ke dalam telaga. Telaga yang barusan terkuras airnya dan
hampir kering kini digenangi dan dipenuhi cairan panas berwarna merah itu.
Udara serta merta menjadi panas luar biasa.
"Lahar
panasi Wahai! Dari mana datangnya? !" teriak mulut Hantu Muka Dua sebelah
depan.
"Lahar
seperti itu hanya ada di kawah Gunung Latinggimeru!" menyahuti mulut
sebelah belakang. "Pasti lahar ini datang dari sana! Tapi bagaimana hal
ini bisa terjadi?! Wahai! Padahal Gunung Latinggimeru tidak meletus!"
"Lihat!"
mulut Hantu Muka Dua sebelah depan berteriak seraya tangan kanannya menunjuk ke
utara. "Batu-batu besar dan pohon-pohon raksasa di pinggiran telaga
sebelah utara kembali muncul! Menutup lompat yang tadi jebol. Menahan cairan
lahar!! Uhhh…! Panasnya tempat ini! Sebentar lagi Telaga Lasituhitam akan
digenangi lahar merah mendidih! Di sini saja panasnya seperti di neraka! Apa
lagi di tempat kediamanku yang terletak di bawah telaga!" Saat itu sekujur
tubuh Hantu Muka Dua basah oleh keringat akibat hawa panas luar biasa yang
keluar dari dalam telaga. Makin tinggi cairan lahar mendidih, makin bertambah
panasnya udara.
Bisingnya
deru lahar panas yang mencurah masuk ke dalam telaga tiba-tiba ditingkahi oleh
suara menggemuruh dahsyat. Kawasan sekitar telaga bergetar hebat. Lahar panas
di bagian tengah telaga menderu ke bawah, seolah memasuki sebuah lobang
raksasa.
"Wahai!"
teriak mulut Hantu Muka Dua depan belakang. Dua muka raksasanya langsung
berubah menjadi dua muka kakek-kakek pucat pasi. "Dasar telaga amblas!
Tempat kediamanku tertimbun lahar! Empat gadis itu! Wahai! Luhtinti! Wahai!
Mati mereka semua!"
"Apa
perduliku!" teriak mulut sebelah belakang. "Apa di negeri begini luas
hanya ada Luhtinti dan empat gadis itu? Aku masih bisa mencari gadis-gadis
cantik lainnya untuk mengumbar nafsu!"
"Kau
betul!" menjawab mulut yang di depan. Lalu dua mulut itu tertawa
gelak-gelak. Sungguh luar biasa. Dalam kengerian mencekam begitu rupa Hantu
Muka Dua masih bisa tertawa bergelak.
Sudut
mata Hantu Muka Dua melihat lima sosok tubuh bergerak mendekati tempat
ketinggian itu. Melihat siapa yang datang Hantu Muka Dua pencongkan mulutnya.
Mereka ternyata adalah Luhtinti dan empat gadis cantik. "Mereka lolos! Tak
jadi mampus mereka rupanya! Ha… ha… ha!" Mulut sebelah belakang ber ucap
dan kembali tertawa.
Saat itu
dalam keadaan pakaian tidak karuan dan tubuh basah oleh keringat dan dikotori
tanah, Luhtinti dan empat gadis yang berhasil keluar selamatkan diri dari Ruang
Oua Belas Obor, tersungkur jatuh di kaki batu. Dada mereka yang nyaris tidak
tertutup bergerak turun naik sedang wajah masing-masing pucat keringatan.
Seolah
tidak perduli akan kehadiran lima gadis itu mulut Hantu Muka Dua sebelah depan
berkata.
"Ini
pasti ada yang punya pekerjaan! Hendak mencelakai diriku! Hendak membunuhku!
Siapa bangsat haram jadahnya!"
Mulut
sebelah belakang menjawab. "Aku tidak perlu bertanya, tak perlu menduga.
Lihat ke langit, ke arah rembulan!"
Hantu
Muka Dua dongakkan kepalanya sebelah depan, memandang ke langit. Benar saja, di
arah bulan purnama tampak sebuah benda putih mengapung di udara.
Benda ini
adalah seekor angsa raksasa berwarna putih. Sayapnya bergerak-gerak perlahan
tapi sosok tubuhnya tetap tidak bergerak, sengaja mengapung di udara. Di atas
punggung angsa raksasa bermata biru ini duduk seorang gadis berwajah cantik
seolah bidadari. Pakaiannya berupa gulungan kain putih halus yang
melambai-lambai di udara malam. Rambutnya panjang hitam, tergerai dalam tiupan
angin. Bila diperhatikan dekat-dekat ternyata gadis ini memiliki sepasang bola
mata berwarna biru.
"Peri
Angsa Putih! Wahai! Jadi dia yang punya pekerjaan…" desis mulut Hantu Muka
Dua sebelah depan. Sepuluh jari tangannya digerakkan hingga mengeluarkan suara
berkeretatan. Lalu teriakan keras menggeledek dari mulutnya.
"Peri
Angsa Putih! Wajahmu cantik! Tapi hatimu jahat! Wahai! Mengapa kau rubah Telaga
Lasrtuhitam menjadi kawah panas mendidih! Padahal kau tahu Kediamanku berada di
bawah telaga itu! Kau telah memusnahkan tempat kediamanku!"
Di atas
punggung angsa putih, gadis cantik yang dipanggil dengan nama Peri Angsa Putih
mengulum senyum. "Hantu Muka Dua! Berbilang hari berbilang minggu.
Berbilang bulan berbilang tahun! Sudah berapa kali aku memberi peringatan
padamu agar merubah diri dan jalan hidup! Agar merubah pekerti dan perbuatan!
Tapi semua himbauan itu tidak kau dengarkan! Kau punya empat telinga! Tapi
seolah tuli! KAU punya empat mata tapi seperti buta! Di usiamu yang sudah
ratusan tahun ini kau masih saja berbuat Jahat. Menimbulkan bencana dan aniaya
bagi orang-orang tak berdosa. Dengan.kehebatan ilmumu kau memperalat orang lain
untuk menimbulkan mala petaka! Setiap tarikan nafasmu kau selalu mengagulkan
nama besarmu sebagai Hantu Segala Keji, Segala Tipu Segala Nafsu! Para Dewa dan
para Peri telah cukup sabar. Apa yang aku lakukan malam ini merupakan satu
peringatan kecil bagimu! Aku telah melakukan atas perintah Peri Bunda, Simpul
Agung Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan! Mereka tidak mau
melihatmu berdiam di bawah Telaga Lasrtuhitam! Karena itu mereka memerintahkan
Dewa Air untuk menguras air Telaga Lasrtuhitam. Lalu Dewa Gunung diperintahkan
menimbun telaga dengan lahar mendidih! Para Dewa dan Peri tidak ingin melihatmu
bercokol lebih lama di tempat ini. Pergi dari sini dan jangan berani kembali ke
Negeri Latanahsilam. Jika di kemudian hari kau masih belum berubah diri, maka
hukuman lebih berat akan dijatuhkan para Dewa dan para Peri atas dirimu!"
"Peri
Angsa Putih!" teriak Hantu Muka Dua. Yang berteriak adalah mulutnya
sebelah belakang. "Di malam bulan purnama seindah ini, tidak sangka kau
tegateganya menjatuhkan malapetaka atas diriku! Kau tidak sadar! Wahai!
Perbuatanmu bukan saja merusak alam, tapi juga kau telah membunuh enam orang
perempuan yang ada di bawah telaga! Kau bertanggung jawab atas kematian
mereka!"
"Mereka
berada di situ sebagai korban kebiadaban-, mu! Kalau mereka mati maka nyawa
mereka adalah tanggung jawabmu! Enam nyawa akan jadi roh yang kelak akan
gentayangan mencarimu!"
"Peri
busuk! Pandainya kau memutar balik lidah dan ucapan!" teriak Hantu Muka
Dua marah. Taring-taring di mulutnya mencuat menggidikkan. Kulit mukanya merah
seperti saga dan matanya membelalang memancarkan sinar hijau. Tapi wajah yang
marah beringas itu mendadak sontak berubah menjadi tenang, malah kini dihiasi
senyum. Dan dua wajah Hantu Muka Dua berubah menjadi dua wajah pemuda gagah.
"Heh…"
gumam Peri Angsa Putih dalam hati. "Tipu daya apa yang hendak dilancarkan
makhluk terkutuk satu ini."
"Peri
Angsa Putih, walau kau seorang Peri tapi aku percaya kau punya hati dan
perasaan. Lebih dari itu kau punya kemauan dan hasrat…."
"Apa
maksud ucapanmu Hantu Muka Dua?" tanya Peri Angsa Putih.
"Lihat
dua wajahku! Pernahkah kau melihat pemuda segagah diriku saat ini?"
"Aku
menilai seseorang tidak dari kegagahannya wahai Hantu Muka Dua…."
Hantu
Muka Dua tersenyum. "Sebagai makhluk yang punya perasaan dan hasrat,
maukah kau bercumbu denganku?"
Paras
Peri Angsa Putih menjadi merah padam. Jika menurutkan amarahnya saat itu juga
mau dia melabrak Hantu Muka Dua. Tapi dia sadar daiam menjalankan tugas dari
Peri Bunda dia memiliki keterbatasan dalam berucap apalagi bertindak.
Bukan
saja menunjukkan kemarahan, tapi di atas sana Peri Angsa Putih hanya tersenyum
mendengar ucapan Hantu Muka Dua itu. "Nafsu telah membuat dirimu lebih
bejat dari kutuk neraka. Nafsu terkutukmu telah menimbulkan malapetaka atas
diri banyak perempuan. Yang terakhir perbuatan kejimu terhadap Luhsantlni,
istri Latandai. Tapi ketahuilah wahai Hantu Muka Dua. Kelak nafsu itu sendiri
yang akan membakar dan menghancur leburkan dirimu! Aku akan pergi! Jika aku
menyelidik ke sini lagi dan melihat kau kembali membangun tempat kediaman di
kawasan ini, hukuman lebih hebat akan menjadi bagianmu Hantu Muka Dua!"
"Wahai!
Kau tak akan pernah kembali ke sini Peri Angsa Putih!" teriak Hantu Muka
Dua.
"Oh
ya? Wahai! Mengapa bisa begitu?" tanya Peri Angsa Putih sambil menaikkan
sepasang alisnya hingga wajahnya tampak tambah cantik.
"Karena
aku mengambil keputusan membunuhmu liat Ini juga!" jawab Hantu Muka Dua.
DI atas
batu yang dipijaknya Hantu Muka Dua lantakkan kepalanya. Bersamaan dengan itu
dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga berkelebat ke udara. Belum lagi dua
kilatan cahaya itu menemui sasarannya, Hantu Muka Dua putar lehernya. Mukanya
sebelah balakang didongakkan ke udara. Lalu "set… set!" Dua kilatan
sinar hijau berbentuk segi tiga panjang keluar dari dua mata Hantu Muka Dua,
menderu ganas kjearah Peri Angsa Putih yang ada di ketinggian belasan tombak di
udara!
"Dasar
makhluk keji! Diberi pengampunan dan peringatan malah nekat menyerang! Sampai di
mana ketinggian ilmumu wahai Hantu Muka Dua?!" berseru Peri Angsa Putih.
Lalu dengan tangan kirinya ditepuk pinggul angsa putih yang ditungganginya
seraya berkata. "Laeputih! Beri pelajaran pada makhluk tak tahu diri
itu!"
Mendengar
ucapan sang Peri, angsa putih bernama Laeputih keluarkan suara aneh. Lehernya
memanjang lurus ke depan. Bersamaan dengar! itu dua sayapnya dikepakkan. Dua
gelombang angin sedahsyat topan menggemuruh ke bawah, menyongsong empat larik
sinar hijau yang menyambar dari empat bola mata Hantu Muka Dua!
Hantu
Muka Dua berteriak kaget. Lima gadis yang ada di dekatnya berpekikan.
Pohon-pohon sekitar tempat itu keluarkan suara berderik lalu rubuh
bertumbangan. Batu besar tempat tadi Hantu Muka Dua tegak berpijak hancur
bertaburan. Lima gadis terpental dan terguling-guling di tanah.
Di udara
terdengar empat letusan dahsyat. Empal larik sinar hijau berubah menjadi
serpihan menyala dan bertaburan kian kemari. Beberapa serpihan melesat
menyambar sayap angsa putih. Binatang raksasa itu keluarkan suara menguik
panjang. Di beberapa bagian sayap bulu-bulu putihnya kelihatan rontok
berjatuhan. Beberapa diantaranya tampak hangus kehitaman. Binatang yang
mengapung di udara ini teroleng-oleng kian kemari.
Peri
Angsa Putih menjerit marah. Dia menunjuk ke bawah! Angsa putih panjangkan
lehernya. Dua sayap dikepakkan. Saat itu juga binatang raksasa itu menukik
cepat ke arah tepian telaga sebelah timur. 01 bawah sana sosok Hantu Muka Dua
telah lenyap dalam kegelapan.
Mata
biasa termasuk mata Peri Angsa Putih sekalipun tak dapat menerobos kegelapan
malam. Apalagi sekitar tepian telaga sebelah timur penuh ditumbuhi semak
belukar dan pohon-pohon besar. Namun mata Laeputih tak bisa ditipu. Binatang
tunggangan Peri Angsa Putih ini walaupun dalam kelam masih sanggup melihat dari
ketinggian puluhan tombak. Begitu melihat sosok Hantu Muka Dua yang berkelebat
ka arah tenggara, Laeputih cepat mengejar. Namun sosoknya yang besar serta
sayapnya yang panjang tidak memungkinkan angsa raksasa ini terbang rendah,
melayang menerobos kerapatan pepohonan.
Tahu
dirinya dikejar, Hantu Muka Dua percepat talinya dan sengaja memilih jalan yang
gelap serta penuh pepohonan. Di satu tempat dia lari memutar maksudnya hendak
menipu angsa pengejar. Tapi tak berhasil. Begitu sempat melihat bayangan sosok
tubuh yang yang dikejarnya di bawah sana, Laeputih menukik lalu kuncupkan dua
sayapnya. Lima tombak dari sosok Hantu Muka Dua, Laeputih gerakkan kepala dan
paruhnya Sekali bergerak pinggang Hantu Muka Dua masuk ke dalam japitan
paruhnya yang panjang. Begitu mulut dikatupkan tak ampun lagi tubuh Hantu Muka
Dua pasti akan terkutung dua. Tapi justru saat itu Peri Angsa Putih keluarkan
seruan tertahan.
"Laeputlhl
Benda apayang kau jepit di mulutmu?!"
Angsa
putih keluarkan suara menguik panjang.
Dalam
penglihatan Peri Angsa Putih, benda yang digigit laeputih dalam mulutnya adalah
batangan potongan kayu, bukan sosok Hantu Muka Dua.
"Iekas
kau lepaskan batang kayu tak berguna itu Laeputih Kita harus mengejar Hantu
Muka Dua. Jika terlambat bertindak pasti dia berhasil melarikan diri!"
Mendengar
kata-kata Peri Angsa Putih kembali Laeputih keluarkan suara menguik pertanda
dia sebenarnya tidak suka melakukan apa yang diperintahkan sang Peri namun tak
berani membantah. Dari ketinggian tiga tombak Laeputih lepaskan benda yang
digigit di paruhnya. Benda ini jatuh bergedebukan ditanah. Laeputih meneruskan
terbang rendah dan berputar-putar. Namun sosok Hantu Muka Dua tidak kelihatan
lagi.
"Wahai
Laeputih! Kita kena dibodohi! Hantu Muka Dua berhasil melarikan diri!"
Laeputih
menguik keras.
"Tak
usah kecewa Laeputih," kata Peri cantik itu sambil usap leher
tunggangannya. "Masih banyak waktu untuk menjatuhkan hukuman pada makhluk
jahat itu. Putar terbangmu. Kita kembali saja, tapi terbang sekali lagi di atas
telaga Lasituhitam…."
Laeputih
tegakkan ekornya ke samping kiri. Angsa raksasa ini berputar di udara, kembali
terbang ke arah telaga.
Di bawah
sana, dalam rimba belantara yang gelap, batang kayu yang tadi dilepaskan
Laeputih dari gigitannya kelihatan bergerak. Jika lebih diperhatikan ternyata
benda itu bukanlah batang kayu melainkan sosok Hantu Muka Dua. Sambil bergerak
bangkit Hantu Muka Dua tertawa mengekeh.
"Peri
Angsa Putih, ternyata aku si Hantu Segala Tipu masih bisa memperdayaimul Ha…
ha… ha! Lain saat kau akan menerima Segala Keji dan Segala Nafsu dariku!"
******************
4
MATAHARI
belum lama tersembul di permukaan bumi. Lakasipo tegak terheran-heran di tepi
timur Telaga Lasituhitam. "Aneh… aneh… aneh!" katanya berulangulang.
"Apa
yang aneh, Lakasipo?" tanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu bersama Naga
Kuning dan Si Setan Ngompol dia berada dalam sebuah jaring akar kayu yang
dilekatkan ke bahu kanan Lakasipo. Bukan saja mereka bisa menghirup udara segar
serta luas pemandangan tapi yang lebih penting kini mereka bisa bicara dan
didengar karena dekat telinga Lakasipo.
"Wahai
tiga saudaraku! Apakah kalian tidak melihat keadaan air telaga itu? Ini telaga
Lasituhitam. Dulu airnya berwarna hitam. Tapi hari ini kulihat telaga ini
isinya adalah lahar mendidih!"
"Mungkin
saja di bawah telaga ada kawah gunung api…" kata Setan Ngompol.
"Yang
jelas pagi ini kita tak bisa mandi…" kata Lakasipo yang dijuluki Bola Bola
Iblis alias Hantu Kaki Batu.
"Duk…
duk… duk… dukkk!" Setiap langkah yang dibuat Lakasipo mengeluarkan suara
keras dan menggetarkan tanah. Sekali lagi Lakasipo perhatikan keadaan di
sekitarnya. Dia melihat batu-batu di tepi telaga banyak yang hancur dan seolah
terbungkus lapisan hijau aneh. Lalu pohon-pohon banyak yang bertumbangan.
Selagi dia menduga-duga apa yang telah
tarjadi
tiba-tiba di sebelah sana kuda tunggangannya Laekakienam meringkik keras.
"Dukkk…
duk… dukkk." Lakasipo melangkah mendekati kuda hitam berkaki enam Ku.
Ternyata binatang ini tengah menjilati sosok seorang gadis berkulit hitam manis
berwajah ayu yang tergeletak pingsan di tanah.
Di dekat
sKu masih ada empat gadis lainnya. Berada dalam keadaan sama seperti yang
tengah dijilati Laekakienam.
"Wahai!
Tambah lagi satu keanehan di tempat ini!"
kata
Lakasipo. "Lihat! Kudaku menemukan lima orang gadis cantik bergeletakan di
tanah!"
"Sebenarnya
aku sudah melihat dari tadi…" kata Naga Kuning pula.
"Lalu
mengapa tidak kau beri tahu padaku?!" ujar Lakasipo.
"Soalnya
siapa mau melewatkan pemandangan luar biasa seperti ini. Lima gadis cantik
tergeletak di tanah. Dalam keadaan tubuh hampir tidak tertutup…."
Berkata
Setan Ngompol sampai tertawa cekikikan dan menahan kencing.
"Kau
tua bangka gatal mata! Bagaimana kalau lima gadis itu sampai tidak keburu
dKolong dan menemui ajal?!"
"Kami
tahu lima gadis Ku cuma pingsan," kata murid Sinto Gendeng.
"Wahai!
Jelas kalian bertiga sudah bersekongkol rupanya!" Lakasipo tak mau lagi
bicara. Dia dekati gadis yang berkulit hitam manis dan tengah dijilati
Laelakienam. Setelah memeriksa keadaan gadis ini Lakasipo berpindah pada empat
gadis lainnya. Seperti yang dikatakan Wiro kelima gadis tak dikenal itu memang
berada dalam keadaan pingsan.
"Turunkan
kami, biar kami bisa ikut menolong!" kata Naga Kuning.
"Bocah
tengill Aku tahu yang ada di benakmu! Kau ingin melihat tubuh mereka lebih
dekat. Kalau bisa mau meraba!" tukas Lakasipo.
Naga
Kuning cuma bisa cemberut. Setan Ngompol tertawa lebar sedang Pendekar212Wiro
Sableng garukgaruk kepala. Lalu Wiro berkata. "Lakasipo, kalau kau
mengerahkan tenaga dalam lalu memijat bagian-bagian tertentu tubuh mereka, lima
gadis itu pasti akan lebih cepat siuman…."
Lakasipo
tidak perdulikan ucapan Wiro. Dia sibuk mencari pohon berdaun lebar. Dengan
daun-daun yang kemudian dirangkai-rangkainya satu sama lain dia menutupi
bagian-bagian penting tubuh kelima gadis itu. Selesai melakukan "itu baru
Lakasipo berkata. "Nah Wiro. Sekarang katakan bagian tubuh mana yang
kupljat agar lima gadis cantik ini segera siuman…."
"Baiknya
jangan kau beri tahu," bisik Naga Kuning."Kalau dia berhasil menolong
lima gadis itu, paling-paling dia yang bakal dapat puji sanjungan. Kita tetap
begini saja!"
"Betul,"
ikut berbisik Setan Ngompol. "Biar kita saja yang melakukan."
"Kalian
bocah dan kakek sama saja konyolnya!" ujar Wiro. Lalu pada Lakasipo dia
memberi tahu agar lelaki Itu memijat urat besar di sebelah kiri atau kanan
leher kelima gadis. Setelah mengalirkan tenaga dalamnya ka tubuh lima gadis
itu, seperti yang dikatakan Wiro, Lakasipo lalu memijat urat besar di leher
mereka. Situ persatu mereka sadarkan diri. Setelah memandang berkeliling,
dengan terheran-heran mereka menatap Lakasipo.
"Orang
gagah berkaki batu," kata gadis berkulit Hitam manis. "Bagaimana kami
bisa berada di tempat ini, Kau siapa…?"
"Bagaimana
kalian berada di tempat ini mana aku tau. Kailan berlima kutemukan tergeletak
pingsan. Coba kalian ingat-ingat. Apa yang terjadi sebelumnya dengan kalian….
Dan kau gadis hitam manis, siapa namamu."
"Aku
Luhtinti. Malam tadi aku dan empat kerabat ini berada di Ruang Dua Belas Obor
di bawah Telaga Lasituhitam…." Lalu Luhtinti menceritakan apa yang masih
sempat diingatnya.
"Tidak
bisa tidak, semua yang terjadi ini adalah kehendak Para Dewa dan Peri,"
kata Lakasipo begitu selesai mendengar penuturan Luhtinti.
"Orang
berkaki batu, karena kau telah menolongku, aku menghatur banyak terima kasih
"
"Kami
juga!" kata empat gadis berbarengan. Lalu salah satu dari mereka berkata.
"Sebelumnya kami berada di bawah kekuasaan Hantu Muka Dua. Karena kini
kami telah bebas dan kau sebagai tuan penolong, maka kami berempat menyerahkan
diri padamu…. Terserah kami mau dibawa kemana. Selain itu mohon sudi memberi
tahu siapa adanya kau tuan penolong kami."
"Apa
kubilang!" kata Naga Kuning sambil menepuk tangan Wiro. "Kita yang
memberi tahu cara menolong, Lakasipo yang dapat untung! Empat gadis cantik
menyerahkan diri sekaligus padanya! Kita satupun tidak kebagian! Kita dilupakan
begitu saja!"
"Menolong
dengan mengharap pamrih tidak ada gunanya. Lagi pula jika mereka menyerahkan
diri padamu, apa yang bisa kau lakukan? Masuk ke dalam lobang hidungnya?
Nongkrong di tiang telinganya?!" sahut Pendekar 212. Membuat Naga Kuning
dan juga Setan Ngompol terdiam.
"Namaku
Lakasipo," kata Lakasipo menjawab pertanyaan Luhtinti tadi.
"Luhtinti, jika benar kau dan empat gadis itu sebelumnya berada di tempat
kediaman Hantu Muka Dua, kau tahu di mana orang itu kini berada se karang?"
Luhtinti
menggeleng. Gadis yang empat ikut-ikutan menggeleng. "Mungkin ada satu hal
yang perlu kuberitahu," kata dara ayu berkulit hitam manis ini.
"Sebelum terjadinya peristiwa hebat di telaga, aku diperintahkan Hantu
Muka Dua untuk menyelidiki keadaan di luar kediamannya. Apakah bulan purnama
muncul malam tadi atau tidak. Ternyata purnama penuh memang kelihatan di langit
tadi malam…."
"Apa
perlunya Hantu Muka Dua menyelidiki hal itu? Atau ada sesuatu bersangkut paut
dengan bulan purnama?"
"Aku
mendengar Hantu Muka Dua menyebut-nyebut Hantu Tangan Empat. Agaknya ada satu
tugas yang diberikan pada Hantu Tangan Empat. Tapi Hantu Tangan Empat tidak
pernah muncul menemui Hantu Muka Dua memberi tahu hasil tugasnya…."
"Mungkin
Hantu Tangan Empat gagal menjalankan lugas," kata Lakasipo.
"Kelihatannya
begitu…."
Wiro dan
kawan-kawannya yang ada di dalam jaring dan sejak tadi sudah gatal untuk bicara
segera berseru. "Lakasipo, tanyakan padanya apa dia tahu di mana Hantu
Tangan Empat berada?"
Lakasipo
tidak acuhkan permintaan Wiro. Baginya ada pertanyaan lain yang lebih penting.
"Wahai Luhtinti, kau mungkin mendengar dan tahu, tugas apa yang harus
dilakukan Hantu Tangan Empat?"
"Aku
mendengar Hantu Muka Dua menyebut-nyebut sebuah benda bernama Batu Sakti
Pembalik Waktu…."
Air muka
Lakasipo berubah. Tapi yang paling terkejut adalah Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol.
"Lakasipo!"
seru Wiro. "Kini tersingkap Hantu Muka Dua menugaskan Hantu Tangan Empat
mencari Batu Sakti Pembalik Waktu. Itu sebabnya dia masuk ke alam kami, alam
seribu dua ratus tahun di muka alammu yang sekarang. Kau sudah tahu dari kami
Hantu Tangan Empat tidak berhasil mendapatkan batu sakti itu. Batu itu
sebelumnya ada pada Setan Ngompol. Jatuh di satu tempat, pertama sekali kami
bertiga muncul di Negeri Latanahsilam ini…."
"Itu
sebabnya kami minta bantuanmu mencari batu itu. Kalau sampai jatuh ke tangan
Hantu Tangan Empat apalagi Hantu Muka Dua, jangan harap kami bisa kembali ke
dunia kami!"
"Lakasipo,
untuk sementara lupakan dulu batu itu," kata Wiro. "Tanyakan pada
gadis itu apa dia tahu di mana Hantu Tangan Empat berada."
Sementara
itu sejak tadi Luhtinti dan empat gadis cantik terheran-heran melihat kelakuan
Lakasipo. Mereka memperhatikan sambil sesekali memandang ke arah bahu kanannya,
di mana Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berada dalam sebuah jaring.
"Lakasipo,
dari tadi kami lihat kau bicara seorang diri…. Kau bicara dengan siapa
sebenarnya?"
"Ya,
jelas bukan dengan kami!" kata satu dari empat gadis cantik di samping
Luhtinti.
"Aku
mendengar suara-suara aneh halus. Benda apa yang ada di atas bahumu, wahai
Lakasipo?"
"Kalau
kuterangkan kalian pasti sulit percaya. Luhtinti, apakah kau atau salah satu
dari kalian tahu di mana beradanya Hantu Tangan Empat?"
Baru saja
Lakasipo bertanya tiba-tiba di tanah bergerak satu bayang-bayang besar.
"Siapa
yang bertanyakan perihal Hantu Tangan Empat?!"
******************
5
SEMUA
orang yang ada di tepi telaga termasuk Wiro dan kawan-kawannya memandang ke
langit. Di atas sana kelihatan seekor angsa putih besar terbang berputarputar.
Makin lama makin turun ke bawah lalu di satu tempat mengapung diam di udara.
Diatas punggung angsa putih ini duduk seorang gadis cantik luar biasa
berpakaian gulungan kain putih. Tubuhnya menebar bau harum.
Sementara
Naga Kuning dan Setan Ngompol ternganga heran, Pendekar 212 Wiro Sableng tegak
tertegun di atas bahu Lakasipo. Matanya menatap sosok gadis cantik di atas
punggung angsa putih.
"Harum
bau tubuh dan pakaiannya mengingatkan pada Bidadari Angin Timur…" kata
Wiro dalam hati. "Kecantikan dan sepasang matanya yang biru mengingatkan
aku pada Ratu Duyung…. Ah, bagaimana sebenarnya perjalanan hidupku ini! Melihat
semua keanehan gadis cantik di atas angsa terbang itu apa Mungkin antara
dirinya ada sangkut paut dengan Ratu Duyung? Mungkin, mustahil…. Aku terbenam
terlalu jauh dalam alam pikiranku. Mereka terpisah dalam jarak waktu seribu dua
ratus tahun…."
"Apakah
tak ada seorangpun yang mau menjawab pertanyaanku?" Gadis di atas angsa
putih yang mengapung di udara kembali bertanya. Matanya yang biru Memandang
tajam ke bawah. Dia menatap wajah dan sosok Lakasipo. Lalu dia juga melihat
sesuatu yang tak bisa dipastikan benda apa adanya yang terletak di atas bahu
Lakasipo.
Seperti
tersadar dari sesuatu yang tidak diduga, Lakasipo cepat menjura lalu letakkan
dua tangan yang dirapatkan di atas kepala.
"Wahai
Peri Angsa Putih, Peri Junjungan dan tercantik di tujuh lapisan langit. Mohon
kau sudi menerima sembah hormat saya. Kehadiranmu sungguh tidak
disangka-sangka. Itu sebabnya saya sampai lupa menjawab pertanyaan. Mohon
maafmu wahai Peri Angsa Putih. Saya yang rendah ini bernama Lakasipo dari
Negeri Latanahsilam. Adapun hal ihwal yang menyangkut Hantu Tangan Empat
dipertanyakan karena ada tiga orang saudara saya membutuhkan
pertolongannya."
Sepasang
mata biru Peri Angsa Putih kembali menatap wajah dan sosok Lakasipo, lalu
seperti tadi pandangannya beralih pada benda yang menempel di bahu kanan lelaki
itu.
Dalam
hati sang Peri berkata. "Lakasipo, sudah lama aku mendengar nama dan
riwayat hidupnya. Baru sekali ini aku melihat jelas keadaannya. Ternyata dia
seorang lelaki berperawakan kekar, berwajah jantan dan gagah. Tidak heran ada
kecemburuan terselubung di hati Hantu Muka Dua. Kalau sampai lelaki ini jatuh
ke tangan si nenek Hantu Santet Laknat, heh…. Aku melihat dua kaki itu. Walau
mungkin menyengsarakan dirinya namun dia memiliki sesuatu yang luar biasa….
Sangat disayangkan kalau lelaki segagah ini jatuh ke tangan Hantu Santet Laknat
atau mungkin…. Aku menyirap kabar seorang gadis sakti bernama Luhjelita
menginginkan dirinya. Entah untuk maksud jahat atau maksud baik. Bisa saja
Luhjelita berhasil memikat hatinya dibanding dengan Hantu Santet Laknat Mungkin
aku perlu menemui Peri Bunda dan berterus terang padanya…."
DI dalam
jaring di atas bahu Lakasipo, kakek Setan Ngompol berbisik pada Wiro dan Naga
Kuning. "Hai, apakah kalian tidak melihat sejak tadi gadis cantik di atas
angsa putih itu memperhatikan diriku?"
Naga
Kuning tertawa cekikikan. Wiro tekapkan tangannya ke mulut menahan tawa.
"Tua
bangka edani Kalau sampai Peri itu jatuh olnta padamu, aku berani digantung
kaki ke atas kepala ke bawah!"
"Aku
berani disunat sekali lagi sampai habis!" kata Wiro pula.
Setan
Ngompol tertawa cekikikan. "Kalaupun dia tidak suka padaku, apa kalian
mengira Peri itu suka pada salah satu dari kalian? Huh!"
Di atas
angsa putih Peri Angsa Putih hendak berkata. Tapi mendadak urungkan niatnya
karena tiba-tiba matanya melihat ada sesosok tubuh berpakaian Jingga mendekam
sembunyi di bawah sebatang pohon yang dikelilingi semak belukar lebat.
"Heh…. Baru disebut sudah muncul. Ternyata dia memang benar-benar mencari
Lakasipo. Luhjelita, gerangan apa maksudmu sebenarnya? Jika kau bermakaud baik
mungkin kau akan mengecewakan diriku. Jika kau berniat jahat jelas-jelas itu
tidak berkenan di hatiku…."
Di balik
pohon besaryang dikelilingi semak belukar lebat dan terletak tak jauh dari
Lakasipo berada memang mendekam sosok seorang gadis berkulit halus, berwajah
cantik yang bukan lain adalah Luhjelita. Di sebelahnya mendekam pula sosok
seekor kura-kura raksasa coklat bersayap yang selama ini menjadi tunggangannya.
Seperti dituturkan sebelumnya Hantu Muka Dua yang menganggap gadis itu sebagai
kekasihnya telah memerintahkan Luhjelita mencari dan membunuh Lakasipo. Seperti
Peri Angsa Putih, selama ini Luhjelita tidak pernah bertemu muka dan melihat
jelas sosok dan wajah Lakasipo. Ternyata lelaki itu memiliki wajah gagah walau
sepasang kakinya berbentuk aneh, terbungkus oleh bola-bola batu.
"Kalau
dia segagah ini, apakah sampai hatiku membunuhnya…?" membatin Luhjelita.
"Ah! Bagaimana ini!" Luhjelita garuk-garuk rambutnya berulang kali.
Lalu dia memandang ke atas. "Heh…. Peri Angsa Putih…. Sepertinya dia telah
tahu kehadiranku di tempat ini. Apakah aku harus terus bersembunyi atau
langsung saja menghadang Lakasipo. Tapi membunuh lelaki itu sepertinya…."
"Lakasipo…."
Tiba-tiba terdengar suara Peri Angsa Putih dari atas sana. "Setahuku kau
dilahirkan sebagai anak tunggal. Bagaimana sekarang kau bisa berkata punya tiga
orang saudara?"
"Panjang
ceritanya wahai Peri Angsa Putih. Tapi jika kau sudi mendengarkan penuturan
saya…."
Peri
Angsa Putih gelengkan kepala. "Tidak sekarang wahai Lakasipo. Pertolongan
apa yang dibutuhkan tiga saudaramu itu?"
"Mereka
ingin kembali ke dunia mereka. Dunia seribu dua ratus tahun mendatang bagi
kita. Jika itu tidak mungkin, mereka ingin agar diri mereka bisa dirubah
menjadi sebesar manusia di negeri Latanahsilam ini…."
"Aneh
kedengarannya. Saudaramu berasal dari dunia seribu dua ratus tahun setelah
dunia kita. Lalu saudaramu ingin dirubah menjadi sebesar kita. Memangnya
bagaimana keadaan diri mereka…?"
"Sulit
bagi saya memberi tahu wahai Peri Angsa Putih kalau tidak menerangkan dari
pangkal ceritanya…."
"Beberapa
waktu lalu Peri Bunda pernah menceritakan tentang makhluk aneh sebesar jari
kelingking yang entah bagaimana tahu-tahu berada di dunia kita…. Merekakah yang
dimaksudkan oleh Peri Bunda?"
"Saya
yakin memang mereka wahai Peri Angsa Putih…." Lakasipo lalu ambil jaring
akar kayu yang menempel di bahu kanannya. Wiro, Naga Kuning dan setan Ngompol
diletakkannya di telapak tangan kiri lalu diperlihatkannya pada Peri Angsa
Putih.
Naga
Kuning langsung menjura. Setan Ngompol terbungkuk-bungkuk tekap bagian bawah
perutnya. Hanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang tetap tegak sambil rangkapkan
dua tangan di depan dada.
Pari
Angsa Putih tundukkan kepalanya, memantang ke bawah. "Heh…. Tiga saudaramu
memang aneh-aneh wahai Lakasipo. Ada yang sikapnya tengil, ada yang bau dan ada
yang bersikap mau gagah sendirl…."
"Harap
maafkan mereka wahai Peri Angsa Putih. Mareka berasal dari alam dunia yang
berbeda dengan kita..”
"Jika
keadaan dan sikap mereka seperti ini, aku khawatir Hantu Tangan Empat tak akan
mau menolong mereka," kata Peri Angsa Putih pula.
Mendengar
kata-kata sang Peri hampir terlompat ucapan dari mulut Wiro bahwa Hantu Tangan
Empat Mati mau menolong. Karena waktu di alam dunia mereka, dia pernah menolong
kakek itu. Tapi karena tadi dirinya sudah disindir sebagai seorang yang
bersikap mau gagah sendiri, murid Sinto Gendeng akhirnya memutuskan diam saja.
"Perl
Angsa Putih, menurut tiga saudaraku, dan setahuku sendiri, Hantu Tangan Empat
selalu bersikap baik pada semua orang. Aku yakin kakek itu mau menolong tiga
saudaraku. Kalau saja Peri mau menunjukkan di mana dia berada…."
"Aku
tak mungkin memberitahu tanpa ijinnya…" kata Peri Angsa Putih pula.
"Lakasipo!"
teriak Wiro. "Dari ucapan Peri Angsa Putih aku yakin dia tahu di mana
Hantu Tangan Empat Itu berada. Kau harus memaksanya. Ini kesempatan
satu-satunya bagi kami untuk bisa kembali ke dunia kami!"
"Peri
Angsa Putih, saya harap kau mau bermurah hati menolong tiga saudaraku
ini…."
"Maafkan
aku wahai Lakasipo. Saat Ini aku belum bisa menjanjikan apa-apa. Entah di
kemudian hari…."
Wiro
hentakkan kaki kanannya di atas telapak tangan Lakasipo. "Lakasipol
Katakan pada Peri itu, setahuku yang namanya Peri bersifat murah hati, penuh
hasrat menolong. Peri yang satu ini Peri sungguhan atau apa…?"
"Aku
tak berani memaksanya wahai saudaraku…."
"Kalau
begitu biar aku yang bicara dengannya! Angkat diriku lebih ke atas…."
"Jaraknya
terlalu jauh Wiro…."
"Kalau
begitu minta dia turun lebih dekat ke sini," kata Wiro pula.
Tapi
Lakasipo mana berani memerintah Peri Angsa Putih.
Di atas
punggung tunggangannya Peri Angsa Putih mendengar ucapan-ucapan Lakasipo. Dia
menimbangnimbang seketika lalu ketika dia siap hendak berucap tiba-tiba dari
balik semak belukar melompat sosok tubuh seorang gadis berpakaian Jingga.
"Lakasipo!
Kita belum pernah bertemu muka! Apakah diriku cukup layak menemuimu untuk
membicarakan satu urusan sangat penting?"
"Dukk…
dukkk!"
Lakasipo
sampai tersurut dua langkah saking kagetnya. Sambaran angin orang yang barusan
berkelebat bukan olah-olah kerasnya pertanda dia memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Memandang ke depan Lakasipo tercekat melihat seorang gadis berpakaian
Jingga, berwajah cantik dan memiliki kulit putih mulus serta rambut digulung ke
atas. Potongan tubuhnya yang padat elok membuat nafas Lakasipo seolah tertahan
beberapa lamanya.
"Wahai
gadis berpakaian Jingga. Siapakah engkau dan urusan sangat penting apa yang kau
maksudkan?" bertanya Lakasipo.
Di atas
sana paras Peri Angsa Putih langsung berubah ketika melihat siapa yang muncul.
"Gadis genit tukang rayu itu! Akhirnya berani juga ia memunculkan diri
mendahuluiku! Kalau Lakasipo sampai terpikat dia bisa celaka… Bagaimana aku
memotong pembicaraan mereka dan memberi ingat lelaki itu."
"Lakasipo!"
Peri Angsa Putih berseru. "Pembicaraan kita belum selesai. Harap kau tidak
membuat urusan baru dulu!"
Di atas
telapak tangan Lakasipo Pendekar 212 Wiro Sableng cepat membaca keadaan.
"Heh… Peri Angsa Putih seolah merasa tersisih dengan kemunculan si cantik
berpakaian Jingga ini. Mungkin juga ada rasa cemburu. Mungkin aku bisa
pergunakan kesempatan agar dia tidak kehilangan muka!" Habis berpikir
begitu Wiro hentakkan kakinya ke telapak tangan Lakasipo lalu berteriak.
"Lakasipo!
Jika kau tidak perdulikan Peri di atas sana, jangan harap ada yang mampu
menolong diriku dan kawan-kawan. Kalau sampai kami tidak tertolong karena
ulahmu, jangan kira kami masih mau menganggap dirimu sebagai saudara!"
Diancam
seperti itu Lakasipo jadi bingung. Sementara itu didepannya Luhjelita mulai
merayu dengan melontarkan senyum-senyum memikat. Malah dengan beraninya sambil
memegang lengan Lakasipo gadis ini berkata. "Lakasipo, namaku Luhjelita.
Aku datang untuk memberitahu kabar yang kusirap. Ada seseorang inginkan
jiwamu…."
"Siapa?!"
tanya Lakasipo.
"Tak
bisa kukatakan di sini…."
"Jika
kau bermaksud baik mengapa berahasia segala?!" sergah Lakasipo.
"Lakasipo!"
Di atas sana Peri Angsa Putih berseru keras. "Jika kau tidak merasa perlu
meneruskan pembicaraan denganku, aku siap pergi…."
Wiro
kembali hentakkan kaki kanannya ke telapak tangan Lakasipo dan berteriak
mengancam. "Lakasipo! Cukup kita bersaudara sampai di sini! Turunkan aku
dan kawan-kawan ke tanah! Biar kami memilih jalan sendiri!"
"Wiro,
tunggu…." Lakasipo memandang ke depan. "Luhjelita, saat ini
aku…."
Gadis
cantik di depan Lakasipo tersenyum manis lalu berkata. "Aku tidak akan
mengganggumu. Aku tidak mau mengecewakan tiga makhluk aneh yang kau sebut
saudaramu Ku. Aku akan tinggalkan tempat ini. Tapi satu hari di muka, pada saat
matahari terbit kutunggu dirimu di Goa Pualam Lamerah. Kau akan menyesal
seumur-umur jika tidak menemuiku…"
Tanpa
menunggu jawaban Lakasipo, Luhjelita segera putar tubuh dan berkelebat
tinggalkan tempat itu. Sebelum berlalu dari tepi telaga dia melirik ke atas
sana dan mengulum senyum penuh arti pada Peri Angsa Putih. Dalam hati gadis ini
berkata. "Peri Angsa Putih, dengan segala kecantikan dan kelebihan
derajatmu jangan mengira kau bakal mendapatkan Lakasipo. Hatiku terlanjur jatuh
padanya pada pandangan pertama…." Luhjelita kembali ke balik semak belukar
lebat di bawah pohon besar, langsung naik ke punggung kura-kura lalu melayang
terbang dan lenyap di udara.
******************
6
DI ATAS
punggung angsa putih, Peri Angsa Putih luruskan jari telunjuk tangan kanannya.
Jari ini diarahkan pada telapak tangan Lakasipo di atas mana Wiro dan dua
kawannya berada. Ketika jari tangan itu tergetar terjadilah satu hal yang luar
biasa. Seperti tersedot tubuh Wiro melesat ke atas. Belum sempat sang pendekar
sadar apa yang terjadi tahu-tahu dirinya sudah berada di atas telapak tangan
kiri Peri Angsa Putih.
Untuk
beberapa lamanya sepasang mata biru sang Peri menatap memperhatikan sosok Wiro
yang hanya sebesar jari kelingking Ku. Melihat keadaan Wiro sedekat dan sejelas
Ku, sikap Peri Angsa Putih yang semula tidak acuh kini jadi berubah.
"Wahai,
rupanya orang ini masih muda belia. Rambutnya gondrong. Wajahnya cakap.
Ternyata dia lebih gagah dari Lakasipo. Murah senyum. Kulitnya kuning bersih.
Pandangan matanya lucu. Suka garuk-garuk kepala. Tubuhnya penuh otot Heh… ada
guratan tiga angka di pertengahan dadanya. Lalu ada sebuah benda terselip di
pinggang celananya. Pakaiannya walau dekil tapi bukan terbuat dari kulit kayu
atau dedaunan seperti yang dimiliki orang-orang di Latanahsilam. Sikapnya
seenaknya saja, malah agak kurang ajar. Terhadap diriku dia seolah menganggap
sama rata saja. Tapi mengapa aku mulai tertarik padanya…?"
"Terima
kasih, kau tadi telah menyelamatkan mukaku dari malu besar…" kata Peri
Angsa Putih.
Hembusan
nafasnya waktu bicara tadi membuat Wiro terpental hingga hampir jatuh
terjungkal ke tanah. Sang Peri maklum kalau dia harus bicara perlahan di jarak
sedekat itu.
"Sosok
cebol, makhluk apa kau sebenarnya? Siapa dirimu? Apakah kau punya nama?"
Murid
Eyang Sinto Gendeng menyeringai. "Kau boleh memanggil saya Si Cebol, Si
Kontet atau Si Katai! Suka-sukamulah wahai Peri Angsa Putih…."
Peri
cantik itu tertawa lebar mendengar kata-kata Pendekar 212. "Mendengar
tutur bicaramu jelas kau bukan penduduk Latanahsilam, walau kau bicara coba
meniru logat orang sini. Pakai wahai segala! Aneh terdengarnya. Apa benar kau
berasal dari dunia seribu dua ratus tahun lebih tua dari dunia kami?"
"Saya
dan kawan-kawan memang berasal dari dunia lain. Kami kesasar datang ke
sini…."
"Bagaimana
bisa kesasar?"
"Itu
yang masih kami selidiki. Tapi saat ini yang kami inginkan adalah kembali ke
dunia kami. Jika tidak mungkin, jika nasib kami harus tetap mendekam di negeri
ini maka kami ingin agar sosok kami bisa dibuat sebesar sosok orang-orang yang ada
di sini. Kalau tidak bahaya akan selalu mengikuti kemana kami pergi."
"Katamu
kau datang kesasar ke negeri ini. Berarti sulit mencari jalan pulang. Untuk
memenuhi keinginanmu menjadi sebesar kami, siapa pula yang bisa
melakukannya?"
"Hanya
ada satu orang. Hantu Tangan Empat!" jawab Wiro.
"Mengapa
kau begitu yakin kakek satu itu bisa menolongmu?" tanya Peri Angsa Putih.
"Kami
pernah bertemu dengannya di Tanah Jawa…."
"Tanah
Jawa? Di mana itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro
garuk-garuk kepalanya. "Negeri asai kami. Sulit bagaimana menerangkannya
padamu. Waktu berada di Tanah Jawa, sosok Hantu Tangan Empat sama besarnya
dengan sosok tubuh kami. Kalau dia berada di sini tentu sosoknya sama besar
dengan orang-orang di sini. Berarti dia punya ilmu membesar dan mengecilkan
tubuh…."
"Kau
cerdik!" kata Peri Angsa Putih seperti memuji.
"Tidak,
itu jalan pikiran wajar-wajar saja," jawab Wiro polos. "Peri Angsa
Putih, melihat kepada wajahmu yang cantik dan tutur bicaramu yang sopan, saya
tahu kau seorang Peri baik hati. Tetapi mengapa kau tidak mau menolong diriku
mempertemukan dengan Hantu Tangan Empat?"
"Soalnya
aku tidak tahu di mana dia berada."
Wiro
tersenyum. "Tadi saya dengar kau berkata tidak mau membawa saya pada kakek
itu tanpa ijinnya. Bagi saya berarti kau tahu di mana Hantu Tangan Empat
berada. Malah saya menduga kau punya hubungan dekat dengan orang tua itu….
Seingat saya Hantu Tangan Empat hidungnya mancung bagus. Hidungmu juga mancung
bagus. Mungkin itu Embanmu atau…."
"Apa
itu Emban?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro jadi
garuk-garuk kepala lagi. "Maksud saya mungkin dia kakekmu…."
Peri
Angsa Putih kembali tertawa. "Kalau aku tidak mau menolongmu, apa yang
akan kau lakukan?"
"Ya,
bagaimana ya? Tapi saya tidak percaya suara mulutmu sama dengan suara hatimu
"
Peri
Angsa Putih tersenyum. Makin banyak bicara dengan makhluk di atas telapak
tangannya itu makin senang hatinya.
"Makhluk
cebol yang tak mau memberitahu nama…."
"Nama
saya Wiro. Wiro Sableng!" ujar Wiro.
Peri
Angsa Putih tertawa cekikikan.
"Ada
yang lucu wahai Peri Angsa Putih?"
"Kau
tahu apa arti sableng di negeri Latanahsilam ini?" tanya Peri Angsa Putih.
Wiro
menggeleng.
"Di
Latanahsilam sableng artinya kencing kuda! Hik… hik… hik!" Sang Peri
tertawa cekikikan.
"Sialan!"
maki Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Masih bagus artinya cuma kencing
kuda. Kalau anunya kuda…!"
Kembali
Peri Angsa Putih tertawa cekikikan walau kali ini wajahnya kelihatan kemerahan.
"Lakasipo
tak pernah memberi tahu," ujar Wiro pula. "Dia cuma memberi tahu kata
totok yang artinya dada perempuan. Tapi tidak dijelaskan apa dada gadis yang
masih montok bagus atau punyanya nenek-nenek yang sudah peot!"
Walau
paras Peri Angsa Putih menjadi merah namun dia tak dapat menyembunyikan
tawanya.
"Baiklah
makhluk aneh bernama Wiro Sableng. Aku berjanji akan mempertemukanmu dengan
Hantu Tangan Empat. Mudah-mudahan dia bisa menolongmu. Kita berangkat
sekarang…."
"Tunggu!"
seru Wiro. "Yang perlu ditolong bukan cuma saya seorang. Tapi juga dua
orang kawanku yang masih ada di atas telapak tangan Lakasipo itu…."
Peri
Angsa Putih gelengkan kepala. "Wahai! Aku hanya bersedia menolong kau
seorang. Perihal dua kawanmu itu biar mereka mencari pertolongan sendiri."
"Maafkan
saya wahai Peri Angsa Putih. Kalau dua kawanku tidak ikut, lebih baik aku tidak
pergi bersamamu. Lebih baik kami bertiga seumur-umur berada dalam keadaan
seperti ini. Jika nasib baik mungkin satu ketika ada yang bisa menolong
kami…."
Peri
Angsa Putih tatap wajah Pendekar 212 sambil hatinya berkata. "Pemuda cebol
ini ternyata berhati luhur. Setia kawan. Padahal tadi aku cuma ingin me nyelami
budi pekertinya yang sebenarnya. Ternyata dia benar-benar baik."
"Wiro,
kau tak usah khawatir. Kalau kau ingin dua kawanmu turut serta tidak jadi
masalah. Mereka biar saja ikut bersama Lakasipo. Kau ikut naik angsa
bersamaku…."
"Terima
kasih Peri Angsa Putih. Tapi mohon maafmu. Jika kau sudi, bawa saya dan dua
kawanku sekalian. Kalau tidak biar Lakasipo yang membawa kami bertiga…."
Peri
Angsa Putih kembali tatap wajah Wiro. Lalu senyum nampak menyeruak di wajahnya
yang cantik. Jari tangannya diluruskan dan diarahkan ke bawah. Sosok Naga
Kuning dan Setan Ngompol serta merta tersedot ke udara.
"Wahai
Lakasipo, aku akan membawa tiga saudaramu ini ke satu tempat. Kau menyusul
dengan kuda kaki enammu. Turuti arah matahari terbenam hingga akhirnya kau
menemukan sebuah sungai bercabang dua. Berhenti di cabang sungai sampai kau
mendapat petunjuk lebih lanjut. Tapi ada satu hal harus kau ingat wahai
Lakasipo. Hindari pertemuan dengan Luhjelita di Goa Pualam Lamerah!"
Rupanya
Peri Angsa Putih telah sempat mendengar ucapan Luhjelita tentang rencana
pertemuan di satu goa bernama Pualam Lamerah.
"Saya…
saya akan perhatikan apa yang kau katakan wahai Peri Angsa Putih," ujar
Lakasipo pula.
Sesaat
angsa putih dan penunggangnya lenyap di udara. Lakasipo segera melangkah ke
tempat dia meninggalkan Laekakienam. Namun baru menindak dua langkah tiba-tiba
lima gadis cantik menghadang langkahnya. Mereka ternyata adalah Luhtinti dan
empat gadis yang berasal dari tempat kediaman Hantu Muka Dua. Lakasipo hampir
lupa kalau mereka masih ada di situ.
"Lakasipo,
aku ingin kau membawa aku serta…" kata Luhtinti.
"Kami
berempat juga," kata salah satu dari empat gadis. "Kau telah menolong
kami. Kini diri kami adalah milikmu. Bawa kami bersamamu!"
"Wahai!
Walau kudaku besar tapi enam orang menungganginya sekaligus mana mungkin!"
kata Lakasipo. Lalu dia pandangi empat gadis di depannya. "Kalian,
bukankah penduduk sekitar sini? Sekarang kalian bebas. Sebaiknya pulang kembali
ke tempat asal masing-masing…."
Empat
gadis itu sama-sama terdiam. Akhirnya yang satu berkata. "Jika itu
kehendakmu, kami menurut saja. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu." Bersama tiga kawannya gadis ini letakkan dua tangan di
atas kepala lalu bersurut mundur dan tinggalkan tempat itu.
"Aku
tak punya tempat kediaman, tak punya orang tua ataupun sanak saudara. Apakah
kau akan menyuruhku pergi juga seperti mereka wahai Lakasipo?" bertanya
Luhtinti, si gadis hitam manis.
"Luhtinti,
mengadakan perjalanan bersamaku berarti menjatuhkan sebagian bahaya dan
malapetaka atas dirimu. Aku tak mau…."
"Kalau
tidak kau tolong, aku sudah lama mati di tempat ini wahai Lakasipo. Sekarang
apa artinya bahaya atau malapetaka bagiku? Kematian pun jika menghadang akan
kuhadapi…."
Lakasipo
menarik nafas panjang. Akhirnya dipegangnya pinggul ramping Luhtinti lalu gadis
hitam manis ini dinaikkannya ke atas kuda berkaki enam yang jadi tunggangannya.
******************
7
KARENA
Goa Pualam Lamerah terletak di satu arah perjalanan yang menuju ke tempat
pertemuan yang dikatakan Peri Angsa Putih maka Lakasipo alias Hantu Kaki Batu
merasa tidak ada salahnya dia mampir ke goa itu guna menemui gadis cantik
bernama Luhjelita.
Ada
beberapa hal aneh yang ingin disingkapkan Lakasipo. Pertama mengapa Peri Angsa
Putih melarangnya bertemu dengan Luhjelita. Ke dua, siapa Luhjelita sebenarnya
dan apakah benar keterangan gadis itu bahwa ada seseorang ingin membunuhnya?
Semakin keras terasa panggilan larangan Peri Angsa Putih sebaliknya bertambah
kuat pula hasrat Lakasipo untuk menemui Luhjelita.
Saat itu
sebenarnya Lakasipo ingin berada sendirian. Namun Luhtinti masih terus saja
ikut bersamanya walau sudah didesak berulang kali agar gadis itu kembali ke
tempat asal kediamannya atau diantar ke satu tempat. Kalau tidak karena kasihan
rasanya mau Lakasipo meninggalkan gadis itu begitu saja di tengah jalan. Kini
kehadirannya seolah menjadi beban bagi dirinya.
Beberapa
saat setelah matahari terbit pagi itu, udara mendung menyungkup sepanjang
perjalanan. Sebelum mencapaitujuannya hujan lebat turun. Karena ingin
cepat-cepat sampai di Goa Pualam Lamerah, Lakasipo terus saja memacu kuda kaki
enamnya.
Di bawah
hujan lebat yang mendera, dalam keadaan basah kuyup Lakasipo akhirnya memasuki
satu daerah bebukitan penuh dengan batu-batu berwarna putih kelabu. Inilah
kawasan bukit batu pualam di mana Goa Pualam Lamerah terletak.
Tidak
sulit bagi Lakasipo mencari goa itu karena berada di puncak salah satu
bebukitan dan dari kejauhan telah kelihatan batu-batunya yang berwarna merah.
Lakasipo tinggalkan kuda kaki hitam enamnya di mulut goa lalu melompat turun.
Sebelum masuk ke dalam goa batu merah itu dia mengelus leher kudanya seraya
berbisik. "Laekakienam, harap kau berjaga-jaga di tempat ini. Aku punya
firasat kurang enak. Beri tahu aku jika terjadi sesuatu…."
Lakasipo
berpaling pada Luhtinti yang masih berada di atas punggung Laekakienam.
"Ayo turun. Ikut aku masuk ke dalam goa…."
"Wahai.
Aku menunggu di sini saja…."
"Di
bawah hujan lebat begini rupa?"
"Tak
jadi apa," kata Luhtinti sambil menyibakkan rambutnya yang basah.
Lakasipo
pandangi wajah gadis itu. Seolah baru Sadar dia melihat ternyata Luhtinti
memiliki wajah cantik dan tubuh bagus. Memandang dari arah samping wajah
Luhtinti mengingatkan Lakasipo pada wajah Luhsantini, istri Latandai alias
Hantu Bara Kaliatus yang malang Ku. Sebelumnya perempuan Ku bersikeras akan
ikut kemana Lakasipo pergi. Setelah diberi peringatan, apa lagi keadaannya yang
cidera di tangan kanan, dan setelah dijanjikan akan segera ditemui baru
Luhsantini mau ditinggalkan di Latanahsilam. (Baca Hantu Bara Kaliatus)
Kuda
hitam besar usap bahu Lakasipo dengan ujung lidahnya tanda mengerti apa yang
barusan dikatakan Lakasipo.
"Luhtinti,
kau dan Laekakienam tunggu di sini. Aku tak akan lama…."
Luhtinti
anggukkan kepala. Namun dalam hati dia berkata. "Jika yang kau temui
adalah seorang gadis bernama Luhjelita, kau tak akan bisa cepat-cepat
meninggalkannya." Ingin Luhtinti memperingatkan lelaki itu agar
berhati-hati. Namun entah mengapa ucapan itu tidak keluar dari mulutnya.
Lakasipo
balikkan badan lalu melangkah masuk ke dalam goa. "Dukk… duukkk…
dukkkk". Kaki-kaki batu yang melangkah menimbulkan suara dan getaran keras
di lantai goa. Setelah menempuh sebuah lorong sepanjang dua belas tombak dia
sampai ke sebuah ruangan batu berwarna merah muda. Ruangan ini kosong
melompong. Tak ada pintu tak ada perabotan. Ini adalah ujung buntu dari Goa
Pualam Lamerah.
"Kosong,
tak ada orang tak ada apapun. Janganjangan gadis itu menipuku. Atau mungkin ini
satu jebakan? Atau bisa jadi dia belum sampai di tempat ini…." Pikir
Lakasipo. Dia dudukkan diri di lantai batu. Menunggu sesaat sambil mengeringkan
rambut dan badannya yang basah. Setelah duduk cukup lama Lakasipo jadi kesal.
Di luar goa tidak terdengar lagi suara menderu pertanda hujan telah reda.
Lakasipo bangkit berdiri. Ketika dia hendak melangkah meninggalkan ruangan itu
tiba-tiba di atasnya ada suara berdesir. Memandang ke atas Lakasipo terkejut.
Sebagian langit-langit batu dilihatnya bergerak turun. Langit-langit yang turun
ini berbentuk sebuah tonggak empat persegi panjang setinggi dua tombak. Di atas
tonggak batu ini tegak berdiri sosok gadis cantik berpakaian jingga. Sebelumnya
Lakasipo melihat rambutnya tergulung. Kini rambut gadis itu tergerai lepas
menutupi bagian dadanya. Kalau saja rambut itu tidak menjulai di depan dada
niscaya Lakasipo bisa melihat kelembutan dada yang membukit karena
hanyaditutupi dedaunan aneka warna.
"Luhjelita…"
desis Lakasipo.
"Wahai
gembiranya hati ini. Ternyata kau masih ingat namaku dan sudi menyebutnya…"
kata Luhjelita sambil lemparkan senyum dikulum. Dia membuat gerakan dengan
tangan kirinya. Tonggak batu tempat dia berdiri secara aneh secara
perlahan-lahan bergerak miring ke kiri. Kini tonggak batu besar itu berubah
seolah menjadi tempat ketiduran. Luhjelita duduk di salah satu ujungnya.
"Harap
maafkan diriku wahai Lakasipo. Aku telah membuatdirimu bersusah payah,
kehujanan dan basah kuyup untuk datang ke sini…."
Lakasipo
balas tersenyum.
"Apakah
kau datang seorang diri ke Goa Pualam Lamerah ini wahai Lakasipo?"
"Ada
seorang gadis menunggu di luar goa bersama kuda hitamku…" jawab Lakasipo.
"Heh….
Apakah dia itu seorang Peri atau seorang gadis berkulit hitam manis bernama
Luhtinti?"
"Dia
Luhtinti…."
"Mengapa
kau membiarkannya saja sendirian di luar sana?"
"Aku
sudah mengajaknya masuk tapi dia tidak mau."
"Wahai!
Mungkin dia tidak suka melihat diriku!" kata Luhjelita pula lalu tertawa
berderai. Dalam hati Luhjelita berkata. "Luhtinti gadis cerdik. Wajahnya
cantik. Sebelum dia menjadi sainganku lebih baik siapa dirinya kuberitahu pada
Lakasipo."
"Luhjelita,
waktu di tepi telaga kemarin kau mengatakan ada seseorang yang ingin
membunuhku…."
"Hal
itu memang akan kita bicarakan wahai Lakasipo. Duduklah di atas batu ini, di
sampingku. Banyak yang akan kita bicarakan. Aku tak mau kau menjadi lelah
karena berdiri terus-terusan…."
Lakasipo
duduk di atas batu di sebelah Luhjelita. Tapi dia sengaja menjaga jarak, tidak
terlalu dekat.
"Sebelum
kujelaskan siapa yang ingin membunuhmu, terlebih dahulu perlu kuberitahu siapa
adanya Luhtinti, gadis cantik yang berada di luar goa sana…. Dia adalah gadis
culikan Hantu Muka Dua yang kemudian dipelihara dan diberikan tugas sebagai
mata-mata…."
"Mata-mata….?
Mata-mata apa maksudmu wahai Luhjelita?"
"Apa
kau tidak pernah menyirap kabar bahwa sejak lama Hantu Muka Dua memaklumkan
diri sebagai Raja Di Raja segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini?"
"Memang
pernah kudengar hal itu. Tapi kukira dia akan mendapat banyak tantangan…. Tidak
semua para Hantu suka dan mau tunduk padanya," kata Lakasipo.
"Benar.
Namun jika ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kepandaian semua Hantu
digabung jadi satu, apa daya mereka? Menantang berarti hancuri Luhtinti
dijadikan mata-mata untuk menyirap kabar, menyelidik segala sesuatunya. Karena
kabarnya Hantu Muka Dua telah membangun satu Istana Batu di mana dia akan
bertahta sebagai Raja Di Raja Para Hantu Negeri Latanahsilam…. Aku khawatir
Luhtinti sengaja ikut denganmu dalam rangka tugasnya sebagai matamata Hantu
Muka Dua."
Lakasipo
terdiam. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. "Gadis itu
menunjukkan sikap sebagai sangat berhutang budi padaku. Aku menyelamatkannya di
Telaga Lasituhitam. Dia seolah ingin memperhambakan diri padaku walau terus terang
aku tidak suka…."
"Suka
atau tidak suka jangan sampai kau tertipu. Kau tahu salah satu sifat Hantu Muka
Dua adalah Segala Tipu. Hal itu pasti sudah diajarkannya pada gadis mata-mata
itu."
Saat itu
tiba-tiba di luar goa terdengar ringkikan Laekakienam. Lakasipo memandang ke
arah lorong keluar. Ketika dia hendak berdiri Luhjelita memegang lengannya.
"Kudamu
hanya meringkik karena kedinginan. Mengapa perlu kau risaukan wahai Lakasipo.
Pembicaraan kita masih panjang. Apa mau diputus begitu saja? Bahkan aku masih
belum memberi tahu siapa yang berniat jahat hendak membunuhmu…."
Mendengar
kata-kata Luhjelita itu ditambah sentuhan jari-jari tangan halus dan hangat di
lengannya membuat Lakasipo yang hendak berdiri kembali duduk di batu panjang.
Luhjelita
menggeser duduknya lebih dekat. Tangannya masih memegangi lengan Lakasipo.
"Tidakkah
kau merasa dingin Lakasipo?" tanya Luhjelita. Hembusan nafasnya
menghangati wajah lelaki itu.
"Aku
habis kehujanan. Memang terasa dingin. Tapi sedikit. Tak jadi apa…."
"Jika
kau kedinginan dan perutmu terasa lapar, kebetulan aku membawa dua bungkus
kecil wajik ketan. Gurih dan manis…." Luhjelita lalu keluarkan dua
bungkusan kecil daun pisang dan diperlihatkannya pada Lakasipo. "Ambillah.
Kau satu aku satu…."
"Terima
kasih wahai Luhjelita. Aku tidak lapar…."
Luhjelita
tersenyum. Dua bungkus wajik itu disimpannya kembali.
"Kapan
kau akan menceritakan siapa yang ingin membunuhku?" tanya Lakasipo.
"Ohh…
soal Ku! Pasti akan kuceritakan. Sekarang juga!" Jawab Luhjelita seraya
tertawa lebar dan dengan manja letakkan kepalanya di bahu Lakasipo. "Kau
kenal nama Hantu Santet Laknat bukan?"
Lakasipo
mengangguk.
"Kau
juga kenal seorang bernama Latandai yang kemudian dijuluki Hantu Bara
Kaliatus?"
"Ya,
aku kenal. Lebih dari kenal…" jawab Lakasipo.
"Hantu
Bara Kaliatus adalah murid Hantu Santet Laknat. Dia telah mendapatkan satu ilmu
kesaktian dahsyat bernama Bara Setan Penghancur Jagat. Itu saja sudah jadi
malapetaka bagi Negeri Latahasilaml Tapi yang sangat berbahaya ialah bahwa
Hantu Santet Laknat telah mencuci otak lelaki itu. Menjadikannya budak
kekuasaannya dan akan melakukan apa saja yang diperintahkannya. Salah satu
perintah si nenek Hantu Santet Laknat adalah membunuhmu!"
Berubahlah
air muka Lakasipo mendengar keterangan Luhjelita itu. "Aku pernah
bertempur melawan Hantu Bara Kaliatus ketika dia hendak membunuh Luhsantini
istrinya sendiri. Peri Bunda turun tangan hingga lelaki itu menerima hukuman
mengerikan. Dia lenyap entah kemana…. Tapi aku tidak pernah mengira kalau Hantu
Santet Laknat juga memberi perintah padanya untuk membunuhku!"
"Antara
kau dan Hantu Santet Laknat pasti ada satu silang sengketa besar. Coba kau
ingat-ingat…."
Lakasipo
pandangi wajah cantik jelita di sampingnya. Yang dipandangi membalas dengan
senyum mesra dan kembali letakkan kepalanya di bahu Lakasipo. Sesaat Lakasipo
elus-elus kepala gadis itu. Lalu berkata. "Kemungkinan Hantu Santet Laknat
merasa khawatir aku" akan membalas dendam. Karena keadaan dua kakiku
sampai ditimbun bola-bola batu begini rupa adalah akibat pekerjaan santetnya.
Seorang pemuda keji bernama Lahopeng telah membayarnya agar aku disantet begini
rupa. Yang lebih terkutuk Hantu Santet Laknat memperalat roh istriku untuk
mencelakai diriku!" (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Bola Bola
Iblis")
Waktu
berkata-kata itu dada Lakasipo tampak turun naik pertanda darahnya dibakar oleh
dendam kesumat. Lama Luhjelita terdiam. Tidak disangkanya Lakasipo mempunyai
riwayat hidup yang begitu hebat tetapi juga menyedihkan. Sebelumnya Luhjelita
hanya mendengar sedikit saja dari riwayat Lakasipo. Rasa hiba muncul di hati
gadis ini. Semakin jauh dia dari maksud semula yang diperintahkan Hantu Muka
Dua yaitu membunuh Lakasipo!
"Aku
yakin dugaanmu tidak meleset. Pasti Hantu Santet Laknat memperalat Latandai
alias Hantu Bara Kaliatus untuk membunuhmu sebelum kau melakukan
pembalasan…" kata Luhjelita pula.
"Wahai
Luhjelita, hanya itu semuakah yang hendak kau sampaikan padaku?" bertanya
Lakasipo setelah ke duanya sama berdiam diri beberapa lamanya.
"Masih
ada satu hal lagi. Ini yang paling penting. Hantu Muka Dua juga ingin
membunuhmu…."
Lakasipo
sampai bangkit tertegak mendengar katakata Luhjelita itu. Sepasang mata mereka
saling bertatapan. Kalau Lakasipo memandang dengan perasaan kaget penuh tanda
tanya sebaliknya Luhjelita menatapnya dengan senyum dan segala kemesraan.
"Wahai
Luhjelita, bagaimana… dari mana kau tahu Hantu Muka Dua inginkan jiwaku?!"
Pertanyaan
Lakasipo yang tiba-tiba ini membuat Luhjelita tak segera bisa menjawab. Tentu
saja tak mungkin baginya mengatakan bagaimana hubungannya selama ini dengan
Hantu Muka Dua. Walau Hantu Muka Dua menganggapnya sebagai kekasih padahal
sebenarnya dia tidak menyukai orang itu, mungkin saja perasaan curiga dan tidak
enak akan muncul di hati Lakasipo terhadapnya. Karenanya Luhjelita mencari akal
dalam memberikan jawaban.
"Gadis
yang datang bersamamu itu, seperti kataku dia adalah mata-mata Hantu Muka Dua.
Dia pasti tahu lebih banyak dariku…. Mengapa tidak kau tanyakan padanya?"
"Heh….
Begitu? Akan kutanyakan sekarang Juga!" kata Lakasipo.
Luhjelita
cepat lingkarkan dua tangannya di ping-gang Lakasipo. "Jangan kesusu wahai
Lakasipo. Tenangkan sedikit hatimu. Jika kau bertanya seperti memaksa mungkin
kau tidak akan mendapat jawaban yang kau inginkan. Sekarang, apakah kau masih
tidak lapar?"
Luhjelita
lalu keluarkan kembali dua buah wajik yang dibungkusdaun pisang. "Aku
perempuan, perutku kecil. Kau ambil wajik yang besar."
Lakasipo
tersenyum. "Kau gadis baik. Kau telah memberitahu sesuatu yang sangat
berharga, yang bisa membuat aku bedaku hati-hati. Aku tak tahu bagaimana
membalas semua budimu…."
Luhjelita
tertawa merdu. Dia rangkul pinggang Lakasipo erat-erat lalu tempelkan kepalanya
ke perut lelaki itu.
Di luar
sana kembali terdengar suara ringkikan Laekakienam. Membuat Lakasipo lagi-lagi
palingkan kepala. Lalu terdengar suara benda hancur.
"Hatiku
tidak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan kudaku…."
"Lakasipo,
ambillah wajik yang besar ini. Kau ingin aku membuka bungkus daun
pisangnya?" kata Luhjelita seolah tidak mendengar ucapan Lakasipo tadi.
"Biar
kubuka sendiri," kata Lakasipo akhirnya sambil mengambil wajik yang
diberikan si gadis. Keduanya duduk berdampingan di atas batu besar. Hanya
sesaat setelah menelan habis wajik itu Lakasipo berkata. "Wajikmu enak.
Tapi mengapa tubuhku mendadak merasa letih dan kepalaku jadi berat. Mataku
seperti mengantuk…."
Luhjelita
merangkul tubuh Lakasipo. "Kau kecapaian wahai Lakasipo. Banyak pekerjaan
berat yang telah kau lakukan. Kau perlu istirahat. Kalau kau suka kau boleh
tidur di atas batu ini…. Mari kutolong kau berbaring."
Perlahan-lahan
Luhjelita baringkan tubuh Lakasipo di atas batu besar. Gadis ini ikut
membaringkan dirinya di samping lelaki itu. Luhjelita gerakkan tangan kirinya.
Batu besar keluarkan suara berdesir lalu bergerak naik ke atas langit-langit
ruangan.
******************
8
PENDEKAR
212 Wiro Sableng dan Naga Kuning gamang ketakutan setengah mati dibawa terbang
angsa putih. Si Setan Ngompol tergeletak pucat seperti mau pingsan. Dari bawah
perutnya terus-menerus mengucur air kencing. Saat itu ketiganya berada dalam
gulungan kain putih tipis di pinggang Peri Angsa Putih. Ketiganya tak berani
memandang kebawah padahal pemandangan dari ketinggian seperti itu indah sekali.
"Mau
dibawa kemana kita ini…." Setan Ngompol tiba-tiba bersuara.
"Diam
sajalah…" menyahuti Naga Kuning. "Bukankah kau ingin buru-buru
kembali ke Tanah Jawa? Peri yang membawa kita berniat hendak menolong kau masih
saja banyak tanya!"
Terbang
membumbung tinggi di udara beberapa lamanya Laeputih akhirnya turun merendah.
Mereka melewati beberapa gugusan bukit-bukit yang tertutup hutan lebat,
melayang di atas sebuah sungai besar lalu turun di lamping satu bukit batu
terjal di atas mana terdapat lima buah air terjun.
Dari
lamping batu itu ada satu tangga menuju ke bawah. Peri Angsa Putih periksa
gulungan pakaian di pinggangnya. Wiro dan kawan-kawannya tampak terbujur tak
bergerak entah pingsan entah tertidur. Peri Angsa Putih melompat turun dari
tunggangannya lalu dengan cepat menuruni tangga batu. Di satu tempat di bawah
air terjun di ujung kiri dia berhenti dan memandang berkeliling.
"Bertahun-tahun
aku tak pernah ke sini. Memang tak ada perubahan. Tapi apakah aku berada pada
air terjun yang benar?" Peri Angsa Putih berkata dalam hati sambil
memandang berkeliling. Deru air terjun membuat terbangun Wiro dan dua kawannya.
"Astaga!
Berada di mana kita ini!" seru Naga Kuning sementara Setan Ngompol terdiam
cemas menahan kencing. Wiro memperhatikan sekelilingnya lalu memandang ke atas.
"Air
terjun! Kita berada di bawah air terjun raksasa! Di sebelah sana kulihat ada
beberapa air terjun lagi. Apakah ini daerah tempat kediaman Hantu Tangan
Empat?"
Pandangan
Peri Angsa Putih membentur sebuah tonjolan di lamping batu. "Tonjolan batu
itu…. Kuharap aku tidak salah." Gadis bermata biru melangkah mendekati
dinding batu. Dengan tangan kanannya yang disertai pengerahan tenaga dalam
gadis ini tekan kuatkuat tonjolan batu itu. Sesaat menunggu terdengar suara
benda berat bergeser. Lalu terlihat salah satu bagian dari dinding batu di
bawah air terjun kelima di ujung kiri bergeser membentuk sebuah lobang empat
persegi seukuran tinggi dan besar sosok manusia. Selagi Wiro dan kawan-kawannya
keheranan melihat apa yang terjadi, Peri Angsa Putih dengan cepat menyelinap
masuk ke dalam lobang di dinding batu. Begitu dia berada di sebelah dalam, dinding
batu yang tadi bergeser bergerak kembali menutup lobang. Keadaan di tempat itu
serta merta menjadi gelap gulita. Tangan di depan mata pun tidak kelihatan.
Setan
Ngompol tak berani membuka mulut. Tapi kencingnya muncrat terus-terusan.
"Wiro…"
terdengar Naga Kuning berbisik. "Bukankah kau memiliki ilmu yang disebut
Menembus Pan dang. Coba kau pergunakan untuk melihat di mana kita berada. Siapa
tahu kau bisa melihat sosok Hantu Tangan Empat yang kita cari…."
"Tak
ada gunanya. Sebelumnya waktu mencari Batu Sakti Pembalik Waktu aku pernah
pergunakan ilmu itu. Tapi Negeri Latanahsilam ini seolah mempunyai daya tolak
aneh hingga aku tak mampu mempergunakan ilmu tembus pandang itu…. Atau mungkin
keadaan tubuhku yang begini kecil tidak memungkinkan aku mempergunakan
kesaktian itu…. Kita berharap yang terbaik sajalah sobatku. Aku tidak yakin
Peri Angsa Putih mendustai kita…."
"Aku
tak berani menduga. Semakin cantik gadis di Negeri Latanahsilam ini semakin
banyak urusan yang kita hadapi…" kata Naga Kuning pula.
Dalam gelap
Peri Angsa Putih berjalan setengah berlari. Makin jauh jarak yang ditempuhnya
makin terang keadaan di sekitarnya. Sementara itu di atas terdengar suara
seperti ada air yang mengalir terus menerus.
"Kau
dengar suara itu?" bisik Naga Kuning.
"Ya,
seperti suara aliran air. Kukira ada sungai besar di atas kita…" jawab
Wiro.
Ketika
keadaan menjadi terang benderang Wiro dan kawan-kawannya dapatkan mereka berada
di sebuah bukit ditumbuhi rumput berwarna aneh. Rumput yang biasanya hijau, di
sini berwarna biru! Peri Angsa Putih berlari cepat menuju puncak bukit di mana
terdapat satu bangunan berbentuk gapura besar. Pada kiri kanan gapura ada
patung lelaki bermuka raksasa yang pada bahunya mendukung seorang perempuan
berwajah cantik. Bagi Wiro dan kawan-kawannya patung yang sangat tinggi itu
seperti hendak menyapu langit.
Di
kejauhan terdengar suara tiupan seruling. Demikian kerasnya bagi Wiro dan
kawan-kawannya, hingga telinga mereka menjadi sakit dan terpaksa harus
cepat-cepat menekap telinga masing-masing.
Ternyata
Peri Angsa Putih berlari ke arah orang yang meniup seruling. Orang ini
kelihatannya seperti duduk bersila di atas sebuah batu rata, tetapi jika
diperhatikan kenyataannya sosoknya mengapung setinggi setengah jengkal dari
atas batu tersebut. Dia meniup suling sambil pejamkan mata seolah benarbenar
menikmati permainannya.
Melihat
wajah dan sosok orang yang meniup suling, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol
menjadi kaget tapi sama berseru kaget.
"Hantu
Tangan Empat!"
Yang
duduk mengapung di atas batu itu adalah seorang tua berambut, berkumis dan
berjenggot putih riap-riapan. Kening, hidung, pipi dan mulut serta dagunya sama
rata. Pakaiannya kulit kayu yang dikeringkan. Orang tua berwajah aneh inilah
yang dulu pernah ditemui Wiro di Tanah Jawa.
Setan
Ngompol dekati Wiro sambil menahan kencing. "Wiro, ketika berada di Jawa
dulu aku ingat betul. Kehadirannya dari alam seribu dua ratus tahun lalu adalah
untuk membunuh kita! Tapi hal itu urung dilakukannya. Sekarang dia berada di
negerinya sendiri. Bukankah mudah saja baginya sekarang menghabiskan
kita?!"
Wiro
terdiam sesaat mendengar ucapan si kakek. "Bahaya bisa mengancam dari
segala penjuru, secara tidak terduga," kata murid Sinto Gendeng pula.
"Tapi aku percaya pada Peri Angsa Putih. Kalau dia tidak bermaksud
menolong kita apa perlunya dia membawa kita jauh-jauh ke sini…."
"Jangan
kau lekas percaya, Pendekar 212. Kalau Peri Angsa Putih membawa kita ke sini
justru hendak menyerahkan kita pada Hantu Tangan Empat, bukankah berarti celaka
bagi kita semua?"
Hati Pendekar
212 jadi tidak enak mendengar kata-kata Setan Ngompol itu. Memang kalau
dipikirnya bukan mustahil hal seperti itu bisa saja terjadi. Namun ketika
pandangan matanya membentur gambar ular naga kuning yang ada di dada Naga
Kuning maka dia menjawab tenang. "Sewaktu di Tanah Jawa dulu kakek itu
takut setengah mati dan tunduk pada Naga Kuning karena naga siluman yang keluar
dari badannya. Kita bisa andalkan ilmu kepandaian anak ini untuk menghadapi
Hantu Tangan Empat jika dia memang nanti berniat jahat hendak membunuh
kita."
Peri
Angsa Putih berdiri tak bergerak di hadapan orang tua yang asyik meniup suling
itu. Dia tidak berani mengganggu keasyikan orang maka dia berdiri saja menunggu
sampai si kakek selesai meniup sulingnya. Hal itu diketahui oleh Wiro dan
kawan-kawannya. Mungkin mereka terpaksa menunggu agak lama. Tapi cepat atau
lambat akhirnya kakek itu pasti akan menyudahi permainannya.
Ternyata
Hantu Tangan Empat baru menghentikan tiupan sulingnya hampir tengah hari.
Padahal Peri Angsa Putih menunggu sejak pagil Dalam keadaan mata masih terpejam
orang tua ini selipkan sulingnya di pinggang pakaiannya yang terbuat dari kulit
kayu.
Peri
Angsa Putih jatuhkan diri berlutut. Melihat sikap gadis ini Wiro merasa heran.
Kedudukan seorang peri bagaimanapun juga adalah jauh lebih tinggi dari seorang
manusia seperti si kakek sekalipun punya nama besar dan disebut Hantu Tangan
Empat. Lalu mengapa si gadis jatuhkan diri seolah sangat menghormat orang tua
itu?
"Wahai
kakek yang kusebut dengan nama Hantu Tangan Empat, jika kau telah selesai
meniup suling, berkenan kiranya menerima kedatanganku. Aku Peri Angsa
Putih."
Sepasang
mata si kakek yang duduk mengapung di atas batu perlahan-lahan terbuka. Begitu
dia melihat siapa yang berlutut di hadapannya, senyum menyeruak di wajahnya
yang rata. Lalu dia berbatuk-batuk beberapa kali.
"Cucuku
Peri Angsa Putih! Wahai! Belasan tahun kau tak pernah muncul. Ternyata kau
semakin cantik saja. Dan syukur kau tidak tersesat sampai di tempat ini!"
Si kakek tertawa mengekeh. "Wahai, angin apa yang melayangkan dirimu
hingga muncul hari ini di hadapanku?"
"Angin
baik disertai permohonan permintaan berkah darimu wahai kakekku!"
Di dalam
gulungan kain putih tipis Naga Kuning berkata. "Peri ini menyebut Hantu
Tangan Empat kakek. Si orang tua menyebutnya cucu…. Bagaimana ini bisa
begitu?"
"Ini
satu keanehan yang sudah kuduga sebelumnya," jawab Wiro. "Antara Peri
Angsa Putih dan Hantu Tangan Empat ada semacam hubungan atau pertalian
darah…."
Hantu
Tangan Empat pandangi wajah Peri Angsa Putih sesaat lalu berkata. "Adalah
aneh! Wahai! Biasanya para Peri yang datang membawa berkah. Kini justru engkau
sebagai Peri yang memohon berkah pada kakek jelek dan tolol seperti diriku
ini!"
"Kek,
jangan kau merendah seperti itu. Kalau aku tidak yakin kau bisa menolong tidak
nanti aku datang kemari…."
"Baiklah
wahai cucuku. Katakanlah berkah pertolongan apa yang hendak kau mintakan
padaku?" bertanya Hantu Tangan Empat.
Peri
Angsa Putih tidak segera menjawab. Dia mem buka gulungan pakaian putihnya di
sebelah pinggang di mana Wiro dan kawan-kawannya berada. Ke tiga orang ini
kemudian diletakkannya di atas rumput biru, di depan batu datar di hadapan si
kakek.
Hantu
Tangan Empat sampai melesat satu tombak ke udara saking kagetnya melihat ke
tiga makhluk kecil di atas rumput itu. Dari atas sambil memandang ke bawah dia
berkata dengan suara gemetar.
"Wahai
cucuku Peri Angsa Putih. Katamu kau datang meminta berkah pertolongan padaku.
Tapi tahukah engkau bahwa kau sebenarnya membawa bencana padaku!"
******************
9
PERI
Angsa Putih heran bercampur terkejut melihat sikap dan mendengar kata-kata
Hantu Tangan Empat. "Wahai kakekku, gerangan apa yang membuatmu berucap
seperti itu? Bencana apa yang bisa ditimbulkan oleh tiga makhluk sebesar jari
kelingking ini? Jika mereka berniat jahat terhadapmu, aku yang pertama kali
akan turun tangan. Sekali remas saja mereka hancur dalam genggamanku!"
Perlahan-lahan
sosok Hantu Tangan Empat yang tadi naik satu tombak ke udara turun ke bawah dan
kembali mengapung setengah jengkal dari atas batu rata. Sepasang matanya masih
memandang lekat-lekat pada sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang ada
di rumput biru.
"Cucuku….
Wahai. Aku sengaja memencilkan diri di tempat ini untuk menjauhi kemurkaan
Hantu Muka Dua atas diriku. Dan kemurkaan Hantu Muka Dua pada diriku berasal
muasal pada diri ke tiga makhluk ini, yang dulu pertama sekali kutemui di Tanah
Jawa, tanah yang seribu dua ratus tahun lebih maju dari dunia kita…. Aku tak
ingin melihat mereka. Singkirkan mereka dari pandangan mataku! Mereka hanya
akan menimbulkan celaka bagi dirikul Bagi dirimu juga! Bahkan bagi Negeri dan
semua orang yang ada di Latanahsilam ini!"
Mendengar
kata-kata Hantu Tangan Empat "itu Peri Angsa Putih jadi terdiam. Tapi dua
matanya yang biru beralih, kini ditujukan pada Wiro dan kawan-kawannya
sementara Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang mendengar ucapan si kakek
jadi saling pandang dan diam-diam merasa geram. Tiba-tiba Peri Angsa Putih
ambil ke tiga orang itu dan letakkan di atas telapak tangannya.
"Tiga
makhluk cebol! Kau sudah dengar ucapan Hantu Tangan Empat Dia tak mau menolong
diri kalian. Wahai, aku terpaksa membawa kalian pergi dari sini…."
Naga
Kuning membuka mulut hendak berteriak. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng cepat
mendahului. Dia sengaja kerahkan tenaga dalam agar suaranya terdengar oleh
Hantu Tangan Empat.
"Peri
Angsa Putih, kami sangat berterima kasih padamu. Kau telah bersusah payah
membawa kami jauh-jauh ke tempat ini. Jika kakekmu tidak mau menolong kami
-padahal kau belum memberi tahu pertolongan apa yang kami minta bagi kami tidak
jadi apa. Dunia kami dengan duniamu memang beda. Sifat penduduk di sini dan
penduduk di negeri kami juga berbeda. Di negeri kami menolong orang lain adalah
satu kehormatan. Tapi di negerimu yang terbelakang seribu dua ratus tahun dari
negeri kami menolong orang merupakan satu malapetaka…."
"Kalau
perlu orang yang minta tolong harus disingkir dihabisi!" Menimpali Naga
Kuning.
Wiro
teruskan ucapannya yang terpotong. "Ketahuilah, jika ada yang harus
disingkir dihabisi orangnya adalah Hantu Muka Dua. Makhluk itu telah menjadikan
kakekmu sebagai budak suruhannya! Hantu Muka Dua menugaskan kakekmu pergi ke
dunia kami untuk mencari sebuah batu sakti bernama Batu Sakti Pembalik Waktu.
Sekaligus dia juga ditugaskan membunuh kami bertiga. Karena katanya semua
rencana itu telah dilihatnya sejak lima ratus tahun lalu! Kebetulan batu sakti
itu memang ada pada salah satu dari kami. Tapi kakekmu gagal mendapatkannya.
Dia kembali bukan saja dengan berharnpa tangan tapi hampir tewas di tangan
kawanku Naga Kuning ini. Kalau saja dia tidak berbaik hati berbudi luhur
mungkin kakekmu sudah dibunuhnya!"
"Kami
meminta tolong kakekmu sekarang bukan sebagai imbalan pengampunan itu!"
Naga Kuning kembali bicara. Saat itu kelihatan muka Hantu Tangan Empat menjadi
sangat merah.
"Peri
Angsa Putih," Wiro lanjutkan lagi kata-katanya. "Aku kasihan pada
kakekmu. Saking takutnya pada Hantu Muka Dua dia sampai sembunyikan diri di
tempat ini. Apakah dia tidak punya ilmu dan kemampuan melawan makhluk jahat
seperti Hantu Muka Dua itu? Apakah semua para Hantu di sini mau menjadi budak
Hantu Muka Dua? Apa gunanya kakekmu menyandang nama Hantu Tangan Empat kalau
otaknya mungkin cuma dipergunakan seperempat saja!"
Paras
Peri Angsa Putih bersemu merah mendengar sindiran yang ditujukan pada kakeknya
itu. Hantu Tangan Empat sendiri merah mengelam tampangnya. Rahangnya
menggembung tanda dia berusaha menahan gejolak amarah.
"Peri
Angsa Putih, kami mohon kau membawa kami keluar dari tempat ini. Antarkan kami
ke tempat di mana sungai bercabang dua. Tempat perjanjianmu dengan
Lakasipo!"
Saat itu
saking geramnya Naga Kuning usap-usap dadanya yang tersingkap dan terasa panas.
Pada dada anak ini terpampang gambar seekor naga. Sejak tadi Hantu Tangan Empat
tak berani menatap ke arah anak ini. Karena seperti diketahui, dalam serial
Wiro Sableng berjudul "Bola Bola Iblis" ketika kakek ini hendak
membunuh Naga Kuning, anak itu singkapkan dadanya. Gambar atau jarahan naga kuning
yang ada di dadanya tiba-tiba laksana hidup bergerak keluar, makin lama makin
besar dan siap menerkam Hantu Tangan Empat. Melihat kejadian itu Hantu Tangan
Empat ketakutan setengah mati lalu jatuhkan diri mengambil sikap seperti
menyembah. Berulang kali kakek ini minta maaf dan mohon ampun. Dia menyebut
naga yang keluar dari tubuh Naga Kuning sebagai Naga Hantu Dari Langit Ke
Tujuh. Tapi ular naga itu telah keburu menyerangnya dan membelitnya ke sebatang
pohon. Ketika binatang jejadian ini hampir menghancur remuk sosok Hantu Tangan
Empat, Wiro berteriak keras meminta agar Naga Kuning jangan membunuh kakek itu.
Walau kalap namun Naga Kuning mau juga mendengar teriakan Wiro. Selamatlah
nyawa Hantu Tangan Empat!
Wiro
sempat memperhatikan gerakan tangan Naga Kuning mengusap dadanya berulang kali.
Cepat dia berbisik. "Jangan penolakan Hantu Tangan Empat kau jadikan
alasan untuk mengeluarkan ilmumu dan menyerang dirinya. Jika dia tak mau
menolong berarti nasib kita yang sial…."
"Sebaliknya
kita segera tinggalkan tempat ini Wiro…."
"Ya,
sebelum kukencingi habis-habisan tangan Peri yang cantik ini!" kata Setan
Ngompol pula.
"Wiro,
biar aku membujuk kakekku. Siapa tahu hatinya bisa dilembutkan…" kata Peri
Angsa Putih sangat pelan seraya mendekatkan telapak tangannya ke wajahnya
hingga dia bisa melihat Pendekar 212 lebih jelas.
Wiro
menyeringai. "Terima kasih. Kau baik sekali. Tapi ada satu ujar-ujar di
negeri kami. Jangan memaksa orang yang tidak mau. Kalaupun dia akhirnya mau, di
dalam hatinya akan ada umpat dan penyesalan di kemudian hari."
Peri
Angsa Putih tersenyum. "Aku senang sekali mendengar kata-katamu yang bagus
itu wahai Wiro. Tapi apa salahnya kalau aku coba membujuk dirinya. Kurasa
kakekku saat ini sedang dalam pikiran kacau…." Peri Angsa Putih kedipkan
matanya.
Wiro
garuk-garuk kepala. "Apa pendapatmu Naga Kuning?" tanya Wiro.
"Terserah
kau saja. Aku muak melihat tampang kakek itu. Ingin kukentuti lobang
hidungnya!" jawab Naga Kuning perlahan hingga tidak terdengar oleh Peri
Angsa Putih dan Hantu Tangan Empat.
"Kalau
aku lebih baik segera saja pergi dari sini!" kata Setan Ngompol.
Peri
Angsa Putih dekatkan dirinya pada si kakek lalu berkata. "Kek, aku mohon
kau…."
"Sudahlah!"
Hantu Tangan Empat memotong ucapan cucunya. "Tanyakan pertolongan apa yang
diinginkannya?"
Paras
Peri Angsa Putih jadi berseri-seri. Dia angkat tangan kirinya. "Wiro,
kakekku bertanya. Pertolongan apa yang kalian inginkan?"
"Kami
minta agar bisa dikembalikan ke negeri kami…." Wiro tidak teruskan
ucapannya karena tiba-tiba dia melihat wajah sang Peri berubah seperti murung.
"Peri
Angsa Putih, apakah aku salah berucap hingga hatimu tidak senang?" tanya
Wiro.
Si gadis
tak menjawab. Wajahnya bersemu merah dan dia coba menyembunyikan perubahan itu
dengan tersenyum. Ketika mendengar permintaan yang diucapkan Wiro tadi, entah
mengapa hatinya mendadak menjadi seperti sedih. "Aku suka pada orang-orang
ini. Terutama dengan yang bernama Wiro. Wahai bagaimana aku mencegah agar
mereka tidak kembali ke dunia mereka…?" Suara Ku menyeruak muncul di lubuk
hati sang Peri. Diam-diam sang Peri merasa malu sendiri. "Peri Angsa
Putih, mengapa kau diam saja?" Wiro bertanya. Sang Peri tersenyum. Dia
berpaling pada Hantu Tangan Empat. "Kek, mereka minta dikembalikan ke
negeri asal mereka. Bisakah kau melakukannya?" Katakata itu diucapkan Peri
Angsa Putih perlahan sekali hampir tak bersemangat.
Hantu
Tangan Empat menatap paras cucunya sesaat lalu memandang pada ke tiga orang
yang ada di atas telapak tangan kiri Peri Angsa Putih itu. Si kakek gelengkan
kepalanya. "Tidak mungkin…. Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kecuali kalau
Batu Sakti Pembalik Waktu ditemukan….".
"Tapi
kakekmu bisa masuk ke dalam duniaku. Jika itu dilakukannya sekali lagi sambil
membawa kami…."
Hantu
Tangan Empat yang mendengar ucapan Wiro itu berkata. "Ilmu kepandaianku
hanya mampu membawa diriku sendiri. Itu pun hanya bisa kulakukan seratus tahun
sekali…."
Peri
Angsa Putih pejamkan matanya. Dalam hati ia merasa gembira mendengar kata-kata
Hantu Tangan Empat itu.
"Kalau
begitu…. Apakah kau bisa menolong membesarkan tubuh kami. Jadi sebesar sosok
orang-orang yang ada di negeri ini?" tanya Wiro.
Sesaat
Hantu Tangan Empat terdiam. Membuat Wiro dan dua kawannya jadi berdebar dan tak
sabar menunggu jawaban.
"Hal
itu hanya bisa kulakukan jika diizinkan oleh Peri Sesepuh dan dia sendiri
menyaksikan upacara permohonan itu…" jawab Hantu Tangan Empat.
"Siapakah
Peri Sesepuh itu?" tanya Wiro. "Apa sama dengan Peri Bunda?"
"Peri
Sesepuh adalah pemimpin dari semua Peri dan adalah atasan Peri Bunda…."
"Kakekmu
tampaknya bersedia menolong. Tapi bagaimana memberi tahu dan menghadirkan Peri
Sesepuh? Apakah kau bisa membantu?" tanya Wiro pada Peri Angsa Putih.
Peri
Angsa Putih memandang ke langit. Saat itu matahari tengah menggelincir menuju
titik tertingginya. "Waktu kita hanya sedikit. Peri Sesepuh mempunyai
kebiasaan melakukan sesuatu sebelum jatuh tengah hari tepat. Akan aku usahakan
bicara dengan Peri Sesepuh. Kuharap dia mau menolong. Aku juga akan menghubungi
Peri Bunda minta bantuannya membujuk Peri Sesepuh. Peri Sesepuh suka rewel dan
sulit diajak bicara…."
Peri
Angsa Putih letakkan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol di atas rumput biru.
Lalu dia bangkit berdiri dan melangkah ke satu tempat sunyi di sebelah kanan
puncak bukit. Di tempat ini dia berlutut sambil letakkan dua tangan di atas
kening. Mulutnya tampak bergerak-gerak namun tidak sedikit suara pun yang
terdengar.
Sampai
lama ditunggu Peri Angsa Putih masih saja terus berlutut di puncak bukit
sebelah sana.
"Lama
sekali. Apa yang dilakukan Peri itu…? Jangan-jangan dia tidak bisa menghubungi
Peri Sesepuh…."
"Mungkin
sang Peri Sesepuh sedang pergi kencing di sungai…!" kata murid Sinto
Gendeng antara bergurau dan jengkel tidak sabaran.
Sosok
Peri Angsa Putih nampak bergerak bangkit.
Ketika
dia kembali ke tempat Hantu Tangan Empat tubuhnya penuh keringat. Sepertinya
dia barusan telah melakukan satu pekerjaan berat dan memakan tenaga.
"Nasib
kalian baik. Peri Sesepuh memberi ijin dan bersedia turun ke bukit ini untuk
menyaksikan pelaksanaan permohonan kalian. Peri Bunda juga tidak keberatan
walau tidak bisa menghadiri." Peri Angsa Putih memberi tahu pada Wiro dan
kawan-kawannya sambil membungkuk. Lalu pada Hantu Tangan Empat dia berkata.
"Kek, Peri Sesepuh meminta kita menyiapkan segala sesuatunya. Dia memilih
batu datar ini sebagai tempat pelaksanaan permohonan."
Hantu
Tangan Empatanggukkan kepala. Perlahan lahan tubuhnya yang masih dalam sikap
bersila dan mengapung di udara bergerak melayang lalu duduk di belakang batu
datar, menghadap ke arah barat. Peri Angsa Putih angkat Wiro, Naga Kuning dan
Setan Ngompol ke atas batu datar. Lalu dia sendiri duduk di rumput, di samping
kanan si kakek. Hampir sang surya mencapai titik tertingginya tiba-tiba di
langit sebelah timur kelihatan ada satu titik terang berwarna merah. Titik ini
makin lama makin besar dan jelas melayang turun ke arah puncak bukit di mana
orang-orang itu berada. "Peri Sesepuh datang…" kata Peri Angsa Putih.
Lalu Peri cantik ini angkat tangannya, telapak dirapatkan satu sama lain dan
diletakkan di atas kening.
Hantu
Tangan Empat lakukan hal yang sama. Melihat Wiro dan dua kawannya tenang-tenang
saja di atas batu, Peri Angsa Putih segera berkata. "Wahai! Lekas tirukan
perbuatan kami. Letakkan tangan kalian di atas kening sebagai penghormatan pada
Peri Sesepuh yang telah berkenan datang…."
Naga
Kuning dan Setan Ngompol saling berpandangan. Wiro berkata. "Ikuti saja
apa maunya. Apa susahnya meletakkan kepala di atas kening dengan dua telapak
dirapatkan…."
"Betul,"
sahut Naga Kuning. "Yang susah kalau diletakkan di belakang pantat!"
Bocah konyol ini tertawa cekikikan.
"Anak
sialan! Jangan kau berani bergurau dalam keadaan seperti ini!" hardik
Setan Ngompol dengan mata mendelik marah. Tapi lalu tertawa cekikikan dan
terkencing-kencing.
******************
10
TONGGAK
batu berbentuk tempat tidur itu bergerak naik di dalam sebuah rongga batu di
bagian atas Goa Pualam Lamerah. Ketika batu itu berhenti bergerak di sebuah
ruangan yang bagus, dihias berbagai bunga hidup menebar bau harum semerbak,
Lakasipo masih tergeletak tak bergerak seolah tertidur pulas.
Luhjelita
pandangi wajah lelaki itu beberapa lamanya. Begitu dia alihkan pandangan pada
dua kaki Lakasipo gadis ini geleng-geleng kepala sambil beberapa kali menarik
nafas dalam. Ada rasa sedih dan kasihan di hatinya.
"Hantu
Santet Laknat…" kata si gadis perlahan. "Kejam nian perbuatanmu!
Orang yang membayarmu sudah menemui ajal. Tapi bekas kejahatanmu tidak akan
hilang. Sampai kapan? Sepuluh tahun? Lima puluh tahun…. Seratus tahun? Lelaki
malang. Kasihan kau Lakasipo. Aku akan mencari jalan agar kau terlepas dari dua
batu yang membuatmu sengsara. Jika saja aku bisa meminta pertolongan Hantu Muka
Dua…. Tapi, mungkin dia akan menjatuhkan hukuman berat atas diriku jika tahu
aku menyukaimu. Apa lagi menolongmu. Padahal dia sudah memerintahkan diriku
untuk membunuhmu…."
Pandangan
Luhjelita naik ke atas. Lalu kembali terdengar suaranya. "Maafkan diriku
wahai Lakasipo. Aku tidak ingin melakukan hal ini atas dirimu. Namun ada satu
tugas berat yang harus kulakukan. Aku…."
Sayup-sayup
Luhjelita mendengar suara kuda meringkik disusul suara seperti batu-batu
menggelinding dan hancur. "Sesuatu terjadi di luar goa. Aku harus
bertindak cepat…."
Dengan
tangan gemetar Luhjelita menyibakkan kulit kayu pakaian Lakasipo di bagian
pinggang. Dengan hati-hati sambil matanya mengawasi wajah orang karena khawatir
lelaki itu tiba-tiba sadar Luhjelita terus menyingkapkan pakaian Lakasipo
sampai ke bawah. Ketika matanya kemudian memandang ke bagian bawah pusar Lakasipo
berubahlah paras gadis ini.
Di situ,
tepat di bawah pusar Lakasipo, dia melihat tiga buah tahi lalat menebar. Dua di
samping kiri, satu di sebelah kanan.
"Tiga
tahi lalat…" desis Luhjelita. Tubuhnya mendadak bergetar hebat. Lima jari
tangan kanannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka lebar-lebar. Tangan itu
bergoncang keras. Luhjelita kuatkan hati. Perlahan-lahan dia kerahkan tenaga
dalamnya ke telapak tangan kanan. Lalu perlahan-lahan pula masih dalam keadaan
bergetar keras dia ulurkan tangan itu ke bawah pusar Lakasipo. Demikian rupa
hingga telapaknya menutupi tiga buah tahi lalat yang ada di bawah pusar. Dari
mulut Luhjelita kemudian keluar suara berkepanjangan yang tidak jelas. Entah
dia tengah meracau entah sedang merapal mantera.
Keringat
membasahi wajah dan sekujur tubuh Luhjelita. Telapak tangannya yang menempel di
tubuh Lakasipo terasa panas. Dia seolah-olah memegang bara api. Dari sela-sela
jarinya keluar tiga larik asap hitam, meliuk-liuk ke atas lalu lenyap di salah
satu sudut ruangan. Gadis ini tersentak kaget ketika mendadak sosok Lakasipo
menggeliat Dari mulutnya keluar suara seperti binatang menggereng. Dua kakinya
bergerak ke atas.
"Duukkk…
duukkkk! Byaaaarr!"
Ujung
tonggak batu hancur berantakan ketika dua kaki Lakasipo yang berbentuk batu
jatuh menghantam. Luhjelita tiba-tiba menjerit. Bukan karena hancurnya tonggak
batu yang jadi ketiduran, tapi karena melihat ada darah mengucur keluar dari
hidung, mulut dan telinga, bahkan pinggiran mata Lakasipo!
"Wahai!
Apa yang terjadi! Matikah dia?! Aku tak bermaksud membunuhnya! Lakasipo! Aku
tidak bermaksud membunuhmu!" teriak Luhjelita. Diguncangnya tubuh lelaki
itu. Dia seperti hendak menangis. Lalu kepalanya diletakkan di dada Lakasipo.
Telinganya ditempelkan di arah jantung.
"Masih
ada suara detakan. Dia masih hidup " Luhjelita sesaat menjadi lega. Dia
tanggalkan serangkaian bunga-bunga yang melingkar di pinggangnya. Lalu dia
pergunakan bunga-bunga itu untuk membersihkan darah di muka Lakasipo. Ketika
dia mencampakkan bunga-bunga itu ke lantai ruangan dan mengarahkan pandangannya
ke bawah pusar Lakasipo terkejutlah gadis itu.
"Tiga
tahi lalat di bawah pusarnya. Lenyap! Hilang kemana?! Wahai!" Setengah tak
percaya Luhjelita dekatkan matanya ke tubuh Lakasipo. "Lenyap! Benarbenar
tak ada lagi!"
Perlahan-lahan
Luhjelita angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembangkan. Gadis ini
keluarkan seruan tertahan. Telapak tangannya yang sebelumnya putih bersih dan
mulus kini di situ tahu-tahu terdapat tiga buah tahi lalat hitam!
"Tiga
tahi lalat itu…. Berpindah ke telapak tanganku!" ujar Luhjelita dengan
suara bergetar. "Apakah ini satu pertanda baik bahwa para Dewa dan Peri
telah memberi jalan padaku untuk mendapatkan ilmu yang kucari itu?"
Sepasang mata Luhjelita berkilat-kilat. Senyum menyeruak di bibirnya yang
bagus. Berulang kali tangan kirinya mengusapi telapak tangan yang kini ada tiga
tahi lalat Ku. "Tiga tahi lalat…" desis si gadis. "Aku masih
harus mencari delapan belas lagi. Wahai! Berarti aku harus mendapatkan enam
lelaki lagi…."
Luhjelita
alihkan pandangannya pada Lakasipo.
"Luhjelita!
Di mana kau?! Luhjelita!"
Tiba-tiba
terdengar suara teriakan orang di bawah sana. Luhjelita tercekat kaget.
"Wahai….
Itu suara Hantu Muka Dua! Bagaimana dia bisa sampai kemari secepat Ku!"
Wajah Luhjelita berubah. "Dia pasti marah besar jika dia tahu…."
Terdengar
suara benda hancur.
Luhjelita
pegang dada Lakasipo dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengusap kening
dan rambut lelaki ini. "Wahai Lakasipo, sebenarnya aku tidak ingin
meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. "Tapi aku harus pergi. Di lain
hari aku akan mencarimu lagi. Orang gagah, biar kutinggalkan separoh hatiku di
dalam hatimu…." Luhjelita usap dadanya dengan tangan kanan. Lalu tangan Ku
diusapkannya ke dada Lakasipo. "Aku pergi Lakasipo. Kau akan aman di
tempat ini. Tak ada satu kekuatan pun sanggup menerobos masuk ke tempat ini.
Hantu Muka Dua sekalipun tidak punya kemampuan…." Sesaat si gadis pegangi
wajah Lakasipo dengan kedua tangannya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkelebat
ke sudut ruangan sebelah kiri. Sebuah celah membuka di dinding batu. Luhjelita
cepat menyelina p masuk ke da lam celah. Begitu dia menghilang celah Ku menutup
kembali.
Tak lama
setelah Luhjelita pergi, sosok Lakasipo di atas batu tampak bergerak. Matanya
terbuka. "Wahai, di mana aku. Apa yang terjadi dengan diriku…?"
Lakasipo memandang berkeliling. Lalu matanya perhatikan dirinya sendiri.
Memandang ke bawah hatinya bertanya-tanya. Dia melihat sesuatu kelainan namun
sulit menduga apa yang telah terjadi. "Wahai…. Mengapa pakaianku di
sebelah bawah berkeadaan seperti ini. Apa yang telah terjadi…?" Lakasipo
usap perutnya. "Ada satu kelainan. Tapi aku tidak tahu pasti kelainan
apa…." Saat itu Lakasipo tidak menyadari bahwa tiga buah tahi lalat yang
sebelumnya ada di bawah pusarnya kini telah lenyap. Yang diingatnya kemudian
justru adalah gadis itu.
"Luhjelita…"
ucapnya perlahan. "Luhjelita! Di mana kau?!" Lakasipo bangkit dan
duduk di atas batu. Kaki kanannya jatuh ke lantai.
"Dukkkk!"
Lantai ruangan bergetar dan remuk tertimpa kaki batu Lakasipo. Tidak sengaja
kaki batu itu menggeser bagian tengah sebelah bawah tonggak batu di mana justru
terletak alat rahasia untuk menurunkan batu itu. Terdengar suara berdesir. Batu
di atas mana Lakasipo terduduk perlahan-lahan turun ke ruangan bawah. Di
ruangan bawah ini telah menunggu Hantu Muka Dua!
******************
Kita
kembali dulu pada beberapa saat sebelum Luhjelita dan Lakasipo masuk ke dalam
goa dan naik ke ruangan yang penuh dengan bunga-bunga….
Hujan
telah lama reda. Luhtinti masih duduk di punggung kuda kaki enam menahan
dingin. Setelah sekian lama menunggu dan Lakasipo tidak juga muncul, timbul
rasa was-was dalam hati gadis cantik berkulit hitam manis ini.
"Jangan-jangan
terjadi apa-apa dengan lelaki itu. Sifat Luhjelita tidak bisa diduga. Waktu di
tepi telaga jelas kulihat pada wajah dan sikapnya bayangan rasa cemburu
terhadap Peri Angsa Putih. Pertanda dia menyukai lelaki itu. Kalau sampai
terjadi sesuatu, bagaimana dengan diriku…?"
Luhtinti
usap-usap kuduk basah Laekakienam lalu berkata. "Kuda hitam berkaki enam,
kau tunggulah di sini. Aku akan melihat ke dalam goa…."
Laekakienam
putar lehernya dan julurkan lidahnya seraya mengedipkan mata seolah mengerti
ucapan si gadis. Luhtinti segera bergerak turun. Namun baru saja kakinya
menyentuh tanah tiba-tiba ada sambaran angin dan tahu-tahu sesosok tubuh yang
memiliki kepala bermuka dua telah tegak menyeringai di hadapannya.
"Hantu
Muka Dua! Wahai…." Paras Luhtinti berubah pucat pertanda takut.
"Luhtinti….
Luhtinti…" kata Hantu Muka Dua berulang kali seraya geleng-gelengkan
kepala. Saat itu dua wajahnya adalah wajah lelaki separuh baya, putih di
sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang. "Jauh sekali
perjalananmu sampai ke sini. Dan agaknya barusan kau menunggangi kuda hitam
berkaki enam. Wahai! Tidak aku sangka kau punya hubungan dengan pemilik kuda
ini. Wahai mata-mataku. Kau mengkhianati diriku! Kau tahu Lakasipo adalah salah
seorang yang masuk dalam daftar kematian yang telah kutentukan!"
Tangan
kanan Hantu Muka Dua menjambak rambut basah Luhtinti. Demikian kerasnya
jambakan itu hingga banyak rambut yang tercabut. Luhtinti terpekik kesakitan.
"Wahai
Hantu Muka Dua…. Tidak ada niat mengkhianatimu. Sewaktu terjadi bencana di
Telaga Lasituhitam saya sempat jatuh pingsan. Ketika siuman ternyata saya dan
empat gadismu telah diselamatkan oleh Lakasipo. Kalau lelaki itu tidak menolong
niscaya kami semua bakal menemui kematian. Kami tidak tahu di mana kau berada.
Karena Lakasipo menjadi tuan penolong maka kami hanya bisa "menyerahkan
diri padanya…."
"Bagus
betul perbuatanmu Luhtinti!" kata Hantu Muka Dua dengan suara keras
menghardik. "Kemana perginya empat gadis itu! Wahai." Aku tidak
melihat mereka seorangpun di tempat ini!"
"Mereka
kembali ke kampung masing-masing setelah Lakasipo menolak membawa mereka…"
menerangkan Luhtinti.
Hantu
Muka Dua menyeringai. "Nasibmu rupanya beruntung! Lakasipo mau membawamu!
Ha… ha… ha…! Pasti kau sudah ditidurinya! Mengaku!"
Masih
dijambak, Luhtinti gelengkan kepalanya. "Wahai Hantu Muka Dua, kami tidak
berbuat apa-apa. Lakasipo tidak…."
"Perempuan
laknat! Siapa percaya pada ucapanmu! Aku tahu lelaki macam apa adanya Lakasipo!
Kau pantas menerima hukuman dariku wahai Luhtinti!"
Saat
bicara penuh amarah itu muka Hantu Muka Dua depan belakang berubah menjadi muka
raksasa angker menggidikkan. Tangannya yang menjambak Luhtinti bergerak.
"Kreeeekkkk!"
Luhtinti
menjerit. Keras dan panjang.
Rambut
hitam bagus di kepala gadis itu hampir tercabut keseluruhannya dari kulit
kepalanya. Kepala Luhtinti nyaris botak dan darah mengucur dari kulit kepala
yang luka. Gadis malang ini terhantar di tanah, mengerang berkepanjangan.
Masih
beringas Hantu Muka Dua jongkok di samping Luhtinti seraya cekal lengan gadis
itu. "Dengar Luhtinti! Aku tidak akan membunuhmu! Tapi aku tidak
segan-segan menanggalkan tanganmu ini…."
"Ampun!
Jangan! Jangan lakukan itu wahai Hantu Muka Dua!" jerit Luhtinti ketakutan
setengah mati.
Hantu
Muka Dua tertawa mengekeh. "Kalau begitu lekas berrtahu. Apakah Lakasipo datang
ke goa ini mencari Luhjelita?!"
"Betul
sekali wahai Hantu Muka Dua…" jawab Luhtinti lalu suaranya putus berganti
erangan. Sesaat kemudian baru dia menyambung. "Menurut Lakasipo, Luhjelita
yang memintanya datang ke goa ini…."
Muka
seram depan belakang Hantu Muka Dua mengerenyit. Taring-taringnya mencuat.
Empat bola matanya yang berbentuk segi tiga memancarkan sinar hijau.
"Kekasihku! Wahai! Apa kau juga telah jadi pengkhianat?! Luhjelita! Di
mana kau! Luhjelita!" Hantu Muka Dua mendongak ke langit lalu berteriak
keras. Gaung suaranya menggetarkan kawasan bukit batu. Rambut hitam panjang
Luhtinti yang sejak tadi digenggamnya dicampakkannya ke tanah. Dengan kaki
kanannya ditendangnya pinggul gadis ini hingga terpental bergulingan.
"Wahai!
Kalau saja aku tidak punya pantangan membunuh, sudah kuhabisi nyawamu!"
Masih belum puas, kembali dia hendak menendang gadis yang sudah tidak berdaya
dan cidera berat itu. Namun tiba-tiba terdengar ringkik keras Laekakienam. Kuda
raksasa milik Lakasipo ini menerjang. Dua kaki depannya menderu ke kepala dan
perut Hantu Muka Dua!
"Binatang
keparat! Kau minta kugebuk mampus!" bentak Hantu Muka Dua marah. Sambil
melompat setinggi dua tombak dia hantamkan tangan kanannya ke kepala
Laekakienam. Sesaat lagi pukulan itu akan menghancurkan kepala sebelah kiri
kuda berkaki enam Ku mendadak dua mata sebelah depan Hantu Muka Dua sempat
melihat bagian bawah di antara dua kaki belakang binatang tersebut.
"Wahai!"
Hantu Muka Dua berseru kaget. Dia cepat tarik pulang pukulan mautnya. "Binatang
celaka ini ternyata seekor kuda betina! Walau cuma binatang dia tetap adalah
perempuan! Aku tak berani kesalahan melanggar pantangan!"
Tendangan
dua kaki enam Laekakienam menghantam dinding batu dekat mulut goa hingga hancur
bergemuruh. Dengan cepat binatang ini berbalik, siap mencari dan menyerang
Hantu Muka Dua kembali. Namun saat itu dari samping Hantu Muka Dua bertindak
lebih cepat. Dua tangannya dengan telapak terkembang didorongkan ke arah
Laekakienam. Binatang Ini meringkik keras ketika tubuhnya yang besar laksana
dilanda topan prahara terlempar keras lalu terbanting ke mulut goa. Sebagian
mulut goa dan dinding batu hancur berantakan. Laekakienam meringkik keras
sekali lagi lalu jatuh melosoh. Untuk beberapa lamanya binatang ini tak mampu
bergerak tak mampu keluarkan suara.
Mulut
Hantu Muka Dua depan belakang meludah berulang kali. Lalu dia berkelebat
memasuki Goa Pualam Lamerah.
"Luhjelita!
Di mana kau! Luhjelita!" Hantu Muka Dua berteriak memanggil. Suaranya
menggema dahsyat di seantero lorong batu. Di satu ruangan Hantu Muka Dua
hentikan langkahnya. Telinganya menangkap suara berdesir di atas kepalanya.
Ketika dia mendongak, wajahnya yang saat itu masih berujud muka dua raksasa
berkerenyit. Empat buah matanya membersitkan sinar hijau. Di atasnya,
langit-langit ruangan membuka lalu muncul sebuah tonggak batu yang
perlahan-lahan bergerak turun. Lalu dia melihat bola-bola batu itu. Tampang
Hantu-Muka Dua depan belakang mendadak sontak jadi beringas. Dia melangkah
mundur. Tepat pada saat punggungnya menyentuh dinding, batu empat persegi
panjang mencapai lantai ruangan dan berhenti. Lakasipo yang berada di atas batu
itu terkejut ketika mengetahui dia tidak seorang diri ditempat itu. Luhjelita
yang dicarinya tetapi makhluk bermuka dua itu yang ditemuinya.
"Manusia
memiliki dua muka. Satu di depan satu di belakang. Dia pasti Hantu Muka Dua
yang punya niat hendak membunuhku!" ujar Lakasipo dalam hati.
"Sebelum
aku membunuhmu wahai manusia bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu! Beri
tahu di mana beradanya kekasihku Luhjelita!" Sambil bicara dua mata Hantu
Muka Dua sebelah depan memandang ke arah pusar Lakasipo yang terbuka.
"Sebelum
aku menjawab ingin aku tahu! Sebab lantaran apa kau yang dinamai Hantu Muka Dua
inginkan nyawaku!" menukas Lakasipo.
******************
11
DUA mulut
Hantu Muka Dua tertawa bergelak. Lalu dengan garang dia membentak. "Hantu
Kaki Batu Jika tubuh kasarmu tidak mau memberitahu biar nanti rohmu yang akan
kutanyai di mana beradanya Luhjelital Sekarang bersiaplah menerima
kematian!"
Habis
berkata begitu Hantu Muka Dua keluarkan suara meringkik seperti kuda melihat
setani Bersamaan dengan Ku tangan kanannya dipukulkan ke depan.
Tak ada
kiblatan sinar. Tak ada sambaran sinar atau cahaya. Namun tahu-tahu Lakasipo
merasa ada satu kekuatan dahsyat melabrak dirinya.
"Tangan
Hantu Tanpa Suara!" teriak Lakasipo yang pernah mendengar ilmu kesaktian
yang dimiliki lawan tapi baru sekali ini melihat dan merasakannya. Cepatcepat
lelaki ini singkirkan diri sampai dua tombak ke samping.
"Braaakkk!
Byaaarr!"
Sebagian
batu empat persegi panjang dan dinding di belakang Lakasipo hancur berantakan.
Asap aneh bercampur dengan kepingan serta hancuran batu berbentuk bubuk
memenuhi ruangan dalam Goa Pualam Lamerah itu, menutupi pemandangan. Lakasipo
cepat tutup jalan pernafasannya. Sesaat dia menunggu. Begitu melihat bayangan
Hantu Muka Dua di depan sana dia segera menghantam dengan pukulan sakti bernama
Lima Kutuk Dari Langit\
Lima
larik sinar hitam menyambar ke arah Hantu Muka Dua. Ini adalah satu pukulan
sakti yang bukan saja membuat lawan menjadi gosong sekujur tubuhnya tapi tubuh
yang terkena hantaman pukulan ini akan menjadi ciut atau mengkerut! Siapa di
Negeri Latanahsilam yang tidak mengenal kehebatan dan keganasan ilmu ini. Namun
Hantu Muka Dua ganda tertawa ketika melihat lima larik sinar maut yang datang
ke arahnya itu.
Setengah
tombak lagi lima sinar itu akan menghantam tubuhnya tiba-tiba Hantu Muka Dua
membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar laksana gasing. Bersamaan dengan itu
mulutnya depan belakang meniup keras.
"Wusssss!"
Suara
letupan keras dan berkepanjangan menggetarkan ruangan batu. Bersamaan dengan
itu muncul asap merah bergulung-gulung berbentuk kerucut, kecil di bawah
melebar di sebelah atas. Gulungan asap merah ini bukan saja membentengi dirinya
dari Pukulan Lima Kutuk Dari Langit tetapi sekaligus secara aneh menyedot lima
larik sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan Lakasipo!
Lakasipo
berseru kaget ketika merasakan tubuhnya tertarik dan hampir tersedot masuk ke
dalam gulungan sinar merah berbentuk kerucut. Dengan cepat dia kerahkan seluruh
tenaga dalam lalu kaki kanannya yang terbungkus batu berbentuk bola
ditendangkan ke depan, melepas tendangan yang disebut Kaki Roh Pengantar Mautl
"Wusssss!"
Sinar
hitam menderu.
"Reeekkkk!"
"Bummmmm!"
Ruang
batu dalam Goa Pualam Lamerah itu bergetar hebat. Beberapa bagian langit-langit
batu runtuh dan dinding ada yang retak pecah! Lantai mencuat ambrol! Untuk
kedua kalinya tempat itu tertutup oleh asap dan hancuran batu-batu. Ketika
keadaan kembali terang kelihatan Lakasipo terduduk di salah satu sudut ruangan.
Kaki kanannya yang tadi dipakai menendang kini berada dalam keadaan kaku dan
berat tak bisa digerakkan. Dadanya sesak membuat dia sulit bernafas sementara
kepalanya berdenyut sakit dan pemandangannya berkunang-kunang. Dati sela
bibirnya mengucur darah kental! Tubuhnya sebelah kanan mulai dari pipi sampai
ke paha kelihatan kemerah-merahan. Salah satu bagian dari bola batu yang
membungkus kakinya hancur!
Beberapa
langkah di depan Lakasipo, Hantu Muka Dua kelihatan tegak dengan tubuh
bergeletar bergoyanggoyang. Makhluk bermuka dua ini keluarkan suara menggereng
dan cepat kuasai dirinya. Dua mulutnya menyeringai lalu dia mengerenyit seperti
menahan sakit. Ketika dia memandang ke dada kirinya kagetlah Hantu Muka Dua.
Serta merta dua muka raksasa di kepalanya berubah menjadi wajah dua kakek yang
pucat pasi! Di dada kirinya menancap pecahan runcing batu yang berasal dari
bola batu di kaki kanan Lakasipo.
"Lakasipo
jahanam!" teriak Hantu Muka Dua marah sekali. Dua wajahnya kembali berubah
membentuk tampang raksasa. Sinar hijau membersit dari empat bola matanya yang
berbentuk segi tiga. Dengan tangan kirinya dia cabut pecahan batu yang menancap
di dada kirinya lalu dilemparkan ke arah Lakasipo.
Dalam
keadaan tak mampu menggerakkan kaki kanan, Lakasipo pergunakan kaki kiri untuk
menangkis serangan batu runcing yang mengarah ke kepalanya.
"Traaakkkk!"
Batu
runcing hancur berantakan begitu beradu dengan bola batu yang membungkus kaki
kiri Lakasipo.
Walau
selamat namun seperti yang terjadi dengan kaki kanannya, kembali Lakasipo
merasakan kaki itu menjadi berat dan kaku hingga tak bisa digerakkan. Kini
Lakasipo benar-benar jadi tidak berdaya. Ketika Hantu Muka Dua melangkah
mendekatinya, dia tidak mampu berdiri! Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam
ke tangan kiri kanan, menjaga segala kemungkinan, mempersiapkan pukulan Lima
Kutuk Dari Langit. Akan tetapi, Hantu Muka Dua bertindak lebih cepat. Dari dua
matanya di sebelah depan melesat dua larik sinar hijau berbentuk segitiga
panjang! Inilah serangan maut yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Rohl Konon
ilmu kesaktian ini dulunya dimiliki oleh seorang dedengkot hantu di Negeri
Latanahsilam yang disebut Hantu Lumpur Hijau. Dengan segala kekejian dan tipu
daya busuk Hantu Muka Dua berhasil merampas ilmu itu dari Hantu Lumpur Hijau.
Hantu Lumpur Hijau sendiri kemudian terpaksa menyelamatkan diri ke dalam rimba
belantara yang penuh dengan lumpur dan disebut Kubangan Lalumpur. Jangankan
sosok manusia, pohon besar atau batu sekalipun jika terkena hantaman sinar
hijau ini akan hancur mengerikan seperti lumpur dan berwarna hijau!
Lakasipo
masih berusaha menangkis dan menghantam dengan pukulan Lima Kutuk Dari Langit
seraya miringkan tubuh ke samping. Namun tak ada gunanya. Hantu Muka Dua
tertawa mengekeh. Hanya sesaat lagi dua larik sinar hijau yang keluar dari mata
Hantu Muka Dua akan menamatkan riwayat Lakasipo tiba-tiba berkelebat satu
bayangan putih. Hantu Muka Dua merasakan tubuhnya bergetar oleh sambaran angin.
Dua kakinya tersurut satu langkah. Meski demikian dua larik sinar hijau yang
dilepaskannya menghantam tidak bisa ditahan.
"Braaakkk!"
"Braaaaakk!"
Dinding
batu dalam Goa Pualam Lamerah untuk kesekian kalinya hancur berantakan. Namun
kali ini lebih dahsyat dan lebih mengerikan. Pada dinding terlihat dua buah
lobang besar berwarna kehijauan. Pinggiran lobang laksana leleh. Di lantaigoa
bertaburan pecahan-pecahan batu yang telah berubah menjadi hijau dan lunak
seperti lumpurl
Hantu
Muka Dua berseru kaget dan juga marah. Karena ketika dia memandang ke depan dan
memastikan sosok Lakasipo alias Hantu Kaki Batu telah lumat menjadi lumpur
hijau ternyata Lakasipo tidak ada lagi di tempat itu!
"Jahanam!"
teriak Hantu Muka Dua marah. Muka raksasanya menjadi semerah bara.
Taring-taring mencuat keluar dari dua mulutnya dan dua pasang matanya seperti
mau melompat dari rongganya. "Siapa minta mampus berani mencampuri urusan
Hantu Muka Dua!" Hantu Muka Dua bantingkan kaki kanannya hingga lantai goa
yang sudah hancur di sana sini itu kini melesak sedalam satu jengkal!
Kemarahan
Hantu Muka Dua mendadak sontak berubah menjadi rasa kaget ketika dia palingkan
mata sebelah belakangnya dia melihat satu sosok tegak sejarak enam langkah di
seberang sana. Sosok aneh ini berupa seorang perempuan muda berparas cantik,
mengenakan pakaian terbuat dari bahan menyerupai sutera tipis putih. Sekujur
sosoknya bergoyang-goyang seolah dirinya terbuat dari asap atau hanya berupa
bayang-bayang samar. Namun saat demi saat sosok dan wajah perempuan ini semakin
nyata. Dia berdiri sambil mendukung Lakasipo yang berada dalam keadaan setengah
sadar setengah lupa diri. Sepasang matanya menatap dingin tak berkesip ke arah
Hantu Muka Dua.
"Sulit
aku percaya!" kata Hantu Muka Dua. "Wahai! Apa betul aku melihat
Luhrinjani, pengantin muda, istri yang dikabarkan telah tewas bunuh diri di
jurang Bukit Batu Kawin puluhan tahun silam!"
Mulut
perempuan cantik yang mendukung Lakasipo terbuka. Dia memang adalah penjelmaan
Luhrinjani istri Lakasipo yang telah meninggal bunuh diri puluhan tahun silam
dan bisa muncul seperti itu berkat kekuatan sakti yang diberikan para Dewa dan
para Peri.
"Kau
melihat diriku! Kau tidak buta! Wahai! Apa yang kau lihat itulah kenyataan yang
ada! Kau mendengar suarakul Wahai! Apa yang kau dengar itulah kenyataan yang
ada!"
"Luhrinjani….
Kau muncul secara tidak wajar. Aku…."
"Di
negeri ini sudah lama terjadi ketidakwajaran!" menukas sosok Luhrinjani.
"Dan kau adalah biang racun segala ketidak wajaran itu! Kau menebar
kekejian, tipu dan mengumbar nafsu. Kau merasa berbangga diri dengan julukan
Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu!"
"Ha…
ha…! Kau tahu jelas siapa diriku! Perempuan dari alam roh! Kalau kemunculanmu
hanya sekedar menolong suamimu, aku mungkin bisa memaafkan. Tapi kalau kau
sengaja mencari perkara lebih lanjut, aku akan membuat kau tidak bisa kembali
ke alammu! Kau akan kugantung antara bumi dan langit!"
"Wahai!
Mulutmu berucap keji dan sombong! Apakah ilmu kepandaianmu melebihi kesaktian
para Dewa dan para Peri di langit ke tujuh?!"
"Untuk
memberi pelajaran padamu, ilmu kepandaian yang sudah kumiliki rasa-rasanya bisa
membuatmu kapok seumur jaman!" Hantu Muka Dua sentakkan kepalanya hingga
rambutnya yang gondrong acakacakan tersibak dan kini dua wajahnya yang seram
kelihatan jelas.
"Kutuk
dan hukum para Dewa dan para Peri akan jatuh atas dirimu! Sekarang menyingkir
dari hadapanku!" Luhrinjani melangkah ke pintu lorong yang menuju mulut
goa. Tapi Hantu Muka Dua segera menghadang.
"Kau
boleh pergi. Tapi tinggalkan laki-laki itu disini!"
"Heh….
Begitu?" Luhrinjani tersenyum lalu tertawa perlahan. "Baik, kupenuhi
permintaanmu wahai Hantu Muka Dua. Lakasipo akan kutinggalkan di dalam goa ini.
Aku akan pergi. Tapi sebelum pergi aku minta nyawamu lebih dulu!"
"Makhluk
jejadian jahanam!" teriak Hantu Muka Dua. Dua larik sinar hijau berbentuk
segi tiga yang ujungnya runcing menyambar ke arah sosok Luhrinjani.
Luhrinjani
berseru kerasi Tubuh Lakasipo yang berada dalam dukungannya dilemparkan ke atas
ruangan lalu dia sendiri cepat berkelebat
"Braaakkk….
Byaaaar!"
Dinding
ruangan di belakang Luhrinjani hancur dan berubah menjadi lelehan lumpurl
"Bukkk!"
Hantu
Muka Dua mengeluh tinggi. Satu pukulan keras melanda dadanya hingga dia
terjengkang di lantai goa. Sambil menahan sakit dia cepat melompat berdiri lalu
menerjang ke arah Luhrinjani. Namun yang diserang seolah ditelan bumi lenyap
dari hadapannya. Di lain saat kembali terdengar suara "bukkk!" Kali
ini punggung Hantu Muka Dua yang jadi sasaran hingga dia terbanting ke dinding
goa. Di saat yang sama tubuh Lakasipo yang tadi dilemparkan ke atas, begitu
jatuh dengan cepat disambut oleh Luhrinjani.
"Apa
yang terjadi?!" Lakasipo bersuara. Rupanya lelaki ini sudah sadarkan diri.
Dia terkejut sekali ketika dapatkan dirinya berada dalam dukungan seseorang.
Dan ketika dia memandang ke atas memperhatikan wajah si pendukung tambah
kagetlah Lakasipo. "Luhrinjanil Wahail Apa yang terjadi?!"
Lakasipo
cepat melompat turun dari dukungan Luhrinjani. Goa Pualam Lamerah bergelegar
keras begitu dua kaki batunya menginjak lantai goa. Pada saat pandangannya
membentur sosok Hantu Muka Dua lelaki ini segera sadar apa yang telah terjadi
sebelumnya.
"Hantu
Muka Dua makhluk keparat! Saatnya riwayatmu ditamatkan!" Lakasipo
menggereng keras. Tubuhnya melesat ke depan. Kaki kanannya menderu ke arah
kepala Hantu Muka Dua. Walau dengan mudah Hantu Muka Dua bisa mengelakkan
serangan itu namun hatinya mulai dilanda rasa kecut. Lakasipo tidak mudah
mengalahkannya. Sebaliknya dia merasa mampu membunuh lelaki itu. Namun
kehadiran Luhrinjani membuat keadaan bisa berubah. Bagaimanapun amarah
kebenciannya terhadap Luhrinjani namun pantangan yang harus dijalaninya tidak
memungkinkannya membunuh perempuan itu! Menyadari keadaan ini Hantu Muka Dua
gunakan siasat licik. Serangannya bertubi-tubi diarahkan pada Lakasipo. Pada
saat-saat tertentu dia keluarkan ilmu Hantu Hijau Penjungkir Roh. Bagaimanapun cepatnya
gerakan Lakasipo untuk mengelakkan serangan lawan serta dahsyatnya dua kaki
batu yang dimilikinya setelah beberapa jurus berlalu Lakasipo mulai terdesak.
Melihat
kejadian ini Luhrinjani tidak menunggu lebih lama. Dia melompat ke dalam
kalangan perkelahian lalu lancarkan serangan berantai dari samping dan
belakang. Repotnya bagi Hantu Muka Dua, walau dia bisa melayani semua serangan
Luhrinjani namun dia selalu merasa ragu membalas serangan itu secara keras.
Khawatir Luhrinjani cidera berat dan menemui ajal. Sebaliknya begitu melihat
lawan mulai bingung Luhrinjani pergunakan kesempatan. Dia memberi isyarat pada
Lakasipo. Pada saat yang tepat kedua orang ini melompat ke arah lorong yang
menuju mulut goa.
"Kalian
mau lap ke mana!" teriak Hantu Muka Dua mengejar. Namun sebelum dia sempat
masuk ke dalam lorong batu, Lakasipo dan Luhrinjani telah lebih dulu membobol
langit-langit dan dinding terowongan hingga runtuh menggemuruh dan menutup
jalan menuju mulut goa!
"Jahanam!
Apa kalian mengira aku tidak bisa menembus runtuhan batu-batu ini!" teriak
Hantu Muka Dua marah. Dua tangannya didorongkan ke depan. Mulutnya meniup.
Buntalan gelombang angin dahsyat menderu. Batu-batu yang menutupi lorong goa
mencelat bermentalan. Hantu Muka Dua cepat melesat di sepanjang reruntuhan
lorong. Namun ketika dia sampai di luar Goa Pualam La merah, Lakasipo dan
Luhrinjani tidak kelihatan. Kuda hitam berkaki enam dan Luhtinti juga tidak ada
lagi di tempat itu.
Hantu
Muka Dua menggeram marah. "Luhjelita! Luhtinti! Perempuan-perempuan
pengkhianatl Aku memang tidak bisa "membunuh kalian! Tapi awas!
Pembalasanku lebih sakit dari pada kematian! Kalian berdua akan kusiksa
sepanjang jaman! Tempat penyiksaaan seperti Ruang Obor Tunggal kelak akan
menjadi bagian kalian!"
******************
12
KEMBALI
ke puncak bukit berumput biru. Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan Setan
Ngompol menunggu dengan hati berdebar. Mereka memandang ke langit tinggi di
mana mereka melihat ada satu titik merah bergerak turun dari langit di arah
timur.
"Aku
ingin sekali cepat-cepat melihat bagaimana rupanya Peri Sesepuh yang mau
menolong kita itu…" bisik Naga Kuning.
"Pasti
sangat cantik dan paling cantik di antara semua Peri yang pernah kita lihat.
Kita sudah menyaksikan cantiknya Peri Angsa Putih, sudah melihat wajah Peri
Bunda. Peri Sesepuh yang jadi pimpinan segala Peri pasti cantiknya selangit
tembus!" kata Setan Ngompol pula.
Titik
merah yang turun dari langit makin lama semakin besar. Hantu Tangan Empat
menatap dengan mata dibesarkan dan tak pernah berkesip. Ketika titik Ku
membentuk besarnya telur ayam, Hantu Tangan Empat pergunakan dua tangannya
mengusap mukanya. Saat Ku juga mukanya yang tadi rata berubah menjadi satu
wajah amat mengerikan. Rambutnya yang sebelumnya putih kini menjadi merah
darah, tegak kaku. Dari sela-sela rambut kelihatan asap merah mengepul. Lalu
dua matanya yang besar mencuat dan kini seolah tergantung di luar rongga.
Hidungnya yang semula rata kini tinggi panjang dan bengkok. Bibirnya berwarna
biru pekat Gigi-giginya berubah panjang dan lancip Perubahan lain yang membuat
keadaan tambah angker ialah jumlah tangannya yang kini menjadi empati
"Kalian
lihat, Hantu Tangan Empat telah merubah tampangnya…" memberi tahu Wiro
pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalau Naga Kuning hanya melirik dengan rasa
ngeri, sebaliknya Setan Ngompol lang-sung terkencing karena kaget
Di
langit, benda merah berkilauan tadi semakin membesar. Hantu Tangan Empat
kembangkan dua tangan di depan dada dengan telapak tangan terbuka menghadap ke
langit. Dua tangan lainnya diluruskan ke samping telinga kiri kanan. Lalu dari
mulutnya keluar suara seperti orang membaca jampai-jampai terus menerus tidak
henti-hentinya. Mukanya yang mengerikan kelihatan bertambah angker. Seperti
tadi dua matanya memandang ke langit, tidak pernah berkedip.
Kira-kira
lima puluh tombak benda merah tadi berada di atas bukti rumput biru bentuknya
mulai jelas. Ternyata benda itu adalah sosok seorang perempuan berpakaian merah
yang duduk di atas sebuah batu pualam berwarna merah. Ujung pakaiannya
melambailambai panjang dan perlahan-lahan turun ke tanah. Bau harum semerbak
memenuhi puncak bukit
"Heh….
Baunya saja sewangi ini, pasti Peri Sesepuh ini cantik sekali…" bisik
Setan Ngompol sambil menyikut Naga Kuning. Tubuhnya pasti tinggi semampai,
langsing dan dadanya heh…." Setan Ngompol senyumsenyum sendiri.
Semakin
dekat sosok merah yang turun di langit itu semakin jelas bentuknya. Ketika
sosok ini akhirnya sampai di puncak bukit dan menggantung di udara setinggi dua
tombak, Setan Ngompol terperangah dan cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya.
Apa yang diduga dan diucapkannya ternyata meleset sangat jauh. Yang bernama
Peri Sesepuh itu ternyata seorang perempuan bertubuh luar biasa gemuknya.
Wajahnya bulat dan selalu keringatan. Hidungnya lebar pesek. Selain dandanannya
sangat mencolok, pada pipi kirinya ada sebuah tahi lalat selebar telur burung
merpati. Dagu dan lehernya tidak kelihatan lagi karena gemuk berlemak jadi
satu. Rambut di kepalanya disanggul aneh diikat dengan sebuah pita merah. Lalu
pada telinga kirinya melingkar sebuah giwang besar berbentuk bulat berwarna
merah.
Tubuhnya
yang berbobot lebih dari dua ratus lima puluh kati itu duduk di atas sebuah
kursi batu pualam merah. Dia mengenakan lilitan kain sutera merah. Di bagian
atas kain merah ini tidak menutupi seluruh dadanya yang gembrot hingga
ketiaknya tersingkap lebar. Di sebelah bawah kain sutera itu hanya melingkar
sampai pertengahan paha sedang ujungnya bergulung di bagian belakang dan terus
menjela ke bawah ke rumput di atas bukit. Ketika sang Peri tersenyum
kelihatanlah giginya yang besar-besar.
"Kukira
yang datang ini bukan Peri Sesepuh. Tapi Peri Raksesi…!" kata Setan
Ngompol yang kecewa besar karena apa yang dia harapkan berbeda dengan
kenyataan.
Naga
Kuning tertawa cekikikan sedang murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepala
pulang balik. Lalu dia cepat berbisik. "Hussssl Bagaimanapun keadaannya
kita harus bersyukur dan berterima kasih dia mau menolong kita. Jangan bicara
yang bukanbukan dan jangan bicara keras-keras. Kalau sampai terdengar Peri
gembrot itu bisa urung kita jadi orang !"
"Kalau
saja kawanmu si Dewa Ketawa atau si Bujang Gila Tapak Sakti yang gendut-gendut
itu ada di sini, pasti mereka senang sekali melihat Peri gemuk itu…"
menyahuti Naga Kuning.
Setelah
mengapung diam di udara beberapa ke tika, Peri Sesepuh dan kursinya bergerak
merendah. Pada ketinggian hanya tinggal satu tombak dari atas bukit sang Peri
melayang berputar-putar mengelilingi orang-orang yang ada di atas bukit itu.
Pada putaran ke tujuh baru dia berhenti. Tepat di hadapan Peri Angsa Putih dan
Hantu Tangan Empat lalu perlahan-lahan kursi yang didudukinya turun ke bawah
menjejak permukaan bukit yang ditumbuhi rumput biru.
"Astaga!"
seru Naga Kuning dengan mata melotot seraya menggamit Wiro dan Setan Ngompol.
"Wiro, Setan Ngompol, apa yang aku lihat sudah kalian lihat juga?!"
Wiro
mengulum senyum. Walau merasa jengah tapi matanya tidak dialihkan dari apa yang
dilihatnya seperti barusan dikatakan Naga Kuning. Setan Ngompol sendiri
tertegun dengan mata mendelik, menatap ke arah Peri Sesepuh, tak bisa keluarkan
suara, hanya tenggorokannya saja yang naik turun seperti orang ketulangan.
"Peri
edan…!" terdengar kembali suara Naga Kuning. "Duduknya ngongkongl Aku
bisa melihat jelas sekali dari sini…."
"Aku
juga! Benar-benar gilai Dia tidak pakai celanal Mungkin dia tidak punya celana
dalam!" kata Setan Ngompol sambil matanya terus mengawasi dan dua
tangannya dipakai menekap bagian bawah perut.
"Mungkin
di negeri ini memang tidak ada perempuan pakai celanal Celana dalam tidak
dikenal di sini! Ha… ha… ha…!" Wiro tertawa bergelak.
"Dari
mana kau tahu?!" ujar Setan Ngompol. "Memangnya kau pernah mengintip
perempuan di sini mandi…?!"
Naga
Kuning terus menimpali. "Wiro, tadi waktu kita menunggu lama kau bilang
mungkin Peri itu sedang kencing di sungai. Mungkin benar. Selesai kencing
celananya ketinggalan di sungai! Hik… hik… hik!"
Wiro usap
matanya yang basah karena tertawa terus-terusan kemudian melirik pada Peri
Angsa Putih. Lalu berbisik pada teman-temannya. "Lihat Peri Angsa Putih….
dia tidak berani memandang ke depan. Mukanya bersemu merah. Berarti dia sudah
melihat dan tahu kalau Peri gembrot itu tidak pakai celana!"
"Sssstttt….
Coba kalian lihat Hantu Tangan Empat," bisik Naga Kuning pula. Wiro dan
Setan Ngompol berpaling.
Saat itu
Hantu Tangan Empat sudah tak kedengaran lagi suara racauannya. Tenggorokannya
seperti tercekik. Beberapa kali dia batuk-batuk. Sedang dua matanya yang
memberojol keluar tampak bertambah besar dan seperti mau melompat. Memandang
luruslurus ke arah Peri Sesepuh yang duduk di kursi batu hanya empat langkah di
hadapannya!
"Dia
pasti sudah melihat…" bisik Setan Ngompol.
"Pasti!"
bisik Wiro. "Matanya tidak berkedip, tenggorokan dan dadanya turun naik.
Di pinggiran mulutnya ada air liur mengalir!"
"Peri
Angsa Putih!" Tiba-tiba Peri Sesepuh membuka mulut.
"Orangnya
seperti raksesi gendut. Suaranya seperti tikus nyingnying!" celetuk Naga
Kuning yang tak bisa diam.
"Apakah
persiapan pelaksanaan permohonan sudah rampung?"
Peri
Angsa Putih yang sampai saat itu masih meletakkan dua tangannya di atas kepala
membungkuk sedikit lalu menjawab. "Wahai Peri Sesepuh, pimpinan dan
junjungan dari segala Peri. Pertama sekali kami mengucapkan terima kasih atas
kesudian Peri turun ke bukit ini untuk menyaksikan permohonan dan tentunya
tidak akan terlaksana tanpa berkah dari Peri. Persiapan memang sudah
dirampungkan. Kami segera akan melaksanakan…."
Peri
Sesepuh melirik ke arah Hantu Tangan Empat. "Wahai Hantu Tangan Empat, kau
sudah siap?"
Hantu
Tangan Empat manggut-manggut. "Siap Wahai Peri Sesepuh," katanya
kemudian dengan suara tercekik lalu batuk-batuk.
"Kalau
begitu segera laksanakan!" kata Peri Sesepuh pula sambil angkat tangan
kanannya lalu menunjuk ke depan.
"Ssttt…."
Naga Kuning kembali berbisik. "Waktu Peri itu mengangkat tangannya aku
melihat ada ijuk berjubalan di bawah ketiaknya…. Hik… hik… hik!"
"Kau
ini! Ada saja yang kau lihat…" kata Setan Ngompol tapi segera mementang
mata melihat ke arah ketiak Peri Sesepuh.
"Tunggu
dulu!" Tiba-tiba Peri Sesepuh berseru. Tangan kirinya diangkat. Tapi tidak
menunjuk seperti tadi melainkan dimasukkan ke salah satu lobang hidungnya lalu
enak saja dia mengupil sampai matanya m era m mefek!
"Celaka!
Jangan-jangan Peri itu mendengar apa yang barusan kau katakan Naga Kuning! Dia
pasti marah!" ujar Wiro.
Setan
Ngompol langsung terkencing.
"Sebelum
permohonan dilakukan, aku ingin melihat dulu mana tiga makhluk cebol yang ingin
minta dibesarkan itu?!"
Peri
Angsa Putih berpaling pada Wiro dan dua temannya yang berada di atas batu. Lalu
berkata. "Berteriaklah: Kami ada di sini wahai Peri Sesepuh!"
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol segera melakukan apa yang dikatakan Peri Angsa
Putih.
"Kami
ada di sini wahai Peri Sesepuh…."
Peri
gembrot itu keluarkan tangan kirinya dari lobang hidung dan berpaling ke arah
batu. Sesaat memandangi dia lalu menyeringai. "Aku mau melihat salah satu
dari kalian lebih dekat. Bagaimana bentuk kalian sebenarnya…." Sang Peri
gembrot ulurkan tangan kirinya.
Peri
Angsa Putih gerakkan tangannya. Wiro cepat menyelinap ke belakang seraya
berkata. "Kau saja Naga Kuning!"
"Tidak!
Aku melihat sendiri Peri itu tadi mengupil dengan tangan kiri. Kini dengan
tangan itu dia hendak memegangku!"
"Kalau
begitu kau saja Kek!" kata Wiro seraya mendorong tubuh Setan Ngompol.
Dorongan itu membuat Setan Ngompol terjatuh di depan jari-jari tangan Peri
Angsa Putih. Peri itu segera saja mengambil si kakek lalu meletakkannya di
telapak tangan Peri Sesepuh. Peri gemuk ini dekatkan tangan kirinya ke depan
wajahnya. Sesaat kemudian dia bergumam. "Heh…. Makhluk jelek begini saja
maunya macam-macam. Matanya saja juling. Badannya bau pesing… Kalau tidak
memandang pada dirimu dan kakekmu wahai Peri Angsa Putih, tidak sudi aku turun
dari langit menyaksikan permohonan ini!" Lalu enak saja dia lemparkan
Setan Ngompol pada Peri Angsa Putih. Kalau tidak lekas disambuti Peri Angsa
Putih, niscaya si kakek terbanting jatuh di atas batu datar! Sampai di atas
batu Setan Ngompol memaki panjang pendek.
"Enak
saja aku dibilangnya bau. Padahal upilnya yang
sebesar
tetampah dan masih menempel di jarinya membuat aku mau muntah!"
"Peri
Sesepuh, bolehkah kami memulai upacara permohonan ini?" tanya Peri Angsa
Putih setelah meletakkan kembali Setan Ngompol di atas batu.
Peri
Sesepuh anggukkan kepalanya lalu membersihkan tangannya yang tadi bekas
memegang Setan Ngompol dengan ujung pakaian merahnya.
"Kakek
Hantu Tangan Empat, silahkan kau membaca rapalan…" kata Peri Angsa Putih
pula.
Ditunggu-tunggu
tak ada suara Hantu Tangan Empat terdengar.
"Kek…?!"
ujar Peri Angsa Putih.
Karena
masih belum ada jawaban Peri Angsa Putih berpaling. Ternyata Hantu Tangan Empat
tengah menatap tak berkedip ke arah Peri Sesepuh. Dengan wajah bersemu merah
Peri Angsa Putih julurkan kakinya menendang paha si kakek. Hantu Tangan Empat
baru tersadar lalu cepat-cepat bertanya. "Ya, apa…?"
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol tertawa cekikikan. "Hantu itu rupanya
terpesona melihat pemandangan ajaib yang dibuat Peri Sesepuh!" kata Wiro.
"Hantu
Tangan Empat!" Peri Sesepuh tiba-tiba berkata karena menunggu tidak
sabaran. "Sebentar lagi matahari akan sampai di titik tertingginya. Aku
tidak punya waktu banyak menunggu. Kau akan mulai dengan upacara permohonan ini
atau bagaimana?!"
Mendapat
teguran itu Hantu Tangan Empat memohon maaf berulang kali. "Maafkan saya
wahai Peri Sesepuh. Saya sudah siap…."
"Kalau
begitu segera mulai!" ujar Peri Sesepuh seraya menggeser duduknya.
Celakanya gerakan ini membuat keadaannya tambah tersingkap. Dua mata Hantu
Tangan Empat jadi tambah mendelik.
"Kek!
Mulailah! Kau tunggu apa lagi?!" Peri Angsa Putih mulai jengkel dan tidak
sabaran. Dia khawatir Peri Sesepuh jadi marah dan meninggalkan tempat itu
kembali ke langit.
Hantu
Tangan Empat berkomat kamit. Suaranya terdengar seperti tercekik dan
sebentar-sebentar dia batuk-batuk sementara dua matanya saja melotot ke arah
Peri Sesepuh.
"Hantu
Tangan Empat!" kembali Peri gemuk Ku menegur. "Suaramu terdengar
aneh. Tak jelas mantera yang kau ucapkan. Sebentar-sebentar kau batuk. Ada apa
dengan dirimu?!"
"Maafkan
saya wahai Peri Sesepuh…. Saya memang sedang kurang sehat. Masuk angin…."
"Kalau
kau masuk angin harusnya keluar angin. Bukan melantur membaca mantera!"
tukas Peri Sesepuh yang membuat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sama-sama
menyengir.
"Kurasa
Hantu Tangan Empat terpengaruh melihat Peri Sesepuh yang duduknya tak karuan
seperti itu…" kata Wiro.
"Dia
seperti lupa mau berbuat apa. Lupa membaca mantera. Kalau salah kita bisa
celaka…. Bukannya tubuh kita jadi besar, malah tambah kecil!" ujar Naga
Kuning.
"Maafkan
saya wahai Peri Sesepuh. Saya segera mulai…" kata Hantu Tangan Empat. Dia
menunduk sesaat dan mulai melafalkan kata-kata dalam bahasa aneh yang tidak
dimengerti Wiro dan dua kawannya. Namun kakek ini hanya sesaat saja tundukkan
kepala. Di lain saat dia kembali mengangkat kepala dan memandang ke arah Peri
Sesepuh. Akibatnya mantera apa yang harus dibacanya di luar kepala jadi kacau.
Sementara
itu setelah beberapa saat dibacai mantera, tubuh Wiro, Naga Kuning dan Setan
Ngompol sedikit demi sedikK menjadi besar. Ketiga orang Ku hendak berteriak
gembira saking girangnya. Tapi Peri Angsa Putih cepat memberi tanda agar mereka
berdiam diri.
Hantu
Tangan Empat kembali meneruskan membaca mantera. Sosok Wiro dan dua kawannya
semakin besar. Saat Ku telah mencapai setinggi lutut orang orang di negeri
Latanahsilam.
"Selamat
kita I Sebentar lagi kita akan jadi sebesar mereka!" kata Wiro pada dua
temannya. Ketiga orang itu saling berangkulan saking girangnya.
"Kalau
tubuhku sudah besar, akan kucari anak perempuan bernama Luhkimkim itu…"
kata Naga Kuning.
"Aku
akan mencari nenek berdandan medok yang katanya sudah kawin beberapa kali itu
tapi lakinya mati semual Ingin tahu aku apa kehebatan perempuan satu itu! Hik…
hik… hik!" kata Setan Ngompol menimpali.
Di atas
kursi batu pualam merah Peri Sesepuh menguap lebar. Dua kakinya dijulurkan di
atas rumput sedang tubuhnya enak saja digeser ke depan. Dua mata Hantu Tangan
Empat berkedap-kedip lalu nyalang besar. Tenggorokannya turun naik. Suaranya
merapal kini hilang-hilang timbul. Lalu berhenti sama sekali.
Wiro dan
kawan-kawan melepas rangkulan ma-sing-masing. "Apa Hantu Tangan Empat
sudah selesai merapal manteranya? Tapi tubuh kita masih setinggi lutut
begini!" ujar Wiro.
Peri
Angsa Putih berpaling.
"Kek…?!"
"Hantu
Tangan Empat?!" Di atas kursi merah Peri Sesepuh bertanya. "Sudah
selesai kau membaca mantera membesarkan tiga makhluk cebol Ku?!"
"Be…
belum wahai Peri Sesepuh…" jawab Hantu Tangan Empat tersendat
"Kalau
begitu lekas kau lanjutkan!" Peri Sesepuh memandang ke langit
"Cepat
Kek!" bisik Peri Angsa Putih. Kembali gadis ini tendang paha kakeknya
dengan ujung kaki.
Hantu
Tangan Empat kembali merapal. Tapi matanya masih terus nyalang besar.
"Tutup
kedua matamu!" kata Peri Angsa Putih yang dengan muka merah maklum apa
yang terus-terusan dilihat kakeknya sejak tadi.
"Percuma….
Aku tak bisa meneruskan merapal mantera itu di luar kepala…."
"Heh,
kenapa tak bisa…?" tanya Peri Angsa Putih.
"Maafkan
saya. Saya lupa terusan manteranya. Walau dicoba dan dipaksa tetap saja tidak
bisa!" jawab Hantu Tangan Empat.
"Celaka!
Hantu Tangan Empat tak bisa meneruskan membaca mantera. Sementara kita masih
sebesar ini!" Setan Ngompol berkata setengah menjerit lalu
terkencing-kencing.
"Pasti
ini gara-gara dia melihat Peri Sesepuh duduk mengongkong!" teriak Naga
Kuning banting-banting kaki. "Wiro! Katakan sesuatu! Lakukan apa
saja!"
Wiro
garuk-garuk kepala. "Nasib kita jelek kawankawan. Hantu Tangan Empat terpengaruh
oleh apa yang dilihatnya. Dia tak bisa meneruskan membaca mantera! Berarti
keadaan kita hanya sebesar ini! Setinggi lutut!"
"Celaka!"
seru Naga Kuning.
"Sial
nasib kita!" ujar Setan Ngompol.
"Bukan
kita yang sial! Tapi Hantu keparat itu yang sialan!" maki Naga Kuning
pula.
"Kalau
kupikir-pikir bukan si Hantu Tangan Empat yang sial! Penyebab kesialan ini
justru adalah Peri Sesepuh! Coba kalau dia tidak duduk seenaknya seperti itu
pasti bacaan mantera Hantu Tangan Empat lancar dan kita akan jadi sebesar
mereka!" kata Wiro pula.
"Waktuku
habis!" Tiba-tiba Peri Sesepuh berkata. Dia menggeliat lalu mengangkat dua
tangan. Perlahanlahan kursi batu pualam merah yang didudukinya bergerak naik ke
atas.
"Maafkan
saya wahai Peri Sesepuh…" kata Hantu Tangan Empat sambil membungkuk.
Ketika Peri Sesepuh mencapai ketinggian sepuluh tombak di udara Hantu Tangan
Empat segera berdiri.
"Keki
Apa yang terjadi dengan dirimu?! Sekarang kau mau kemana?!" tanya Peri
Angsa Putih lalu cepat berdiri.
"Tak
ada yang bisa aku lakukan lagi, wahai cucuku. Aku akan pergi ke air terjun.
Bersepi diri di sana barang beberapa lama…."
"Saat
ini mungkin kau sudah ingat lanjutan mantera itu. Bagaimana kalau kau
mengulangi agar tiga orang itu bisa mencapai besar seperti kita?"
Hantu
Tangan Empat menggeleng. "Tidak mung-kin untuk saat ini wahai Peri Angsa
Putih. Selama Peri Sesepuh tidak hadir menyaksikan hal itu tidak mungkin
dilakukan…."
"Kalau
begitu panggil Peri itu kembali. Ulangi lagi besok sebelum tengah hari!"
teriak Wiro.
"Aku
khawatir!" berkata Naga Kuning. "Kalau Hantu Tangan Empat membaca
mantera yang salah atau terbalik-balik, kita bukannya tambah besar tapi
bisabisa tubuh dan muka kita jadi morat marit!"
"Benar!"
kata Setan Ngompol pula. "Malah mungkin hanya bagian tubuh tertentu saja
yang besar. Kalau anuku atau anumu saja yang membesar apa tidak lebih
celaka?!"
Wiro
terdiam sesaat lalu tertawa gelak-gelak. Naga Kuning dan Setan Ngompol ikut
tertawa hingga tempat itu menjadi riuh.
Hantu
Tangan Empat berpaling menatap pada ketiga orang yang kini telah berubah
menjadi sebesar dan setinggi lutut itu. Perlahan-lahan dia usapkan dua
tangannya di depan wajahnya. Serta merta mukanya kembali seperti semula, wajah
seorang kakek tua bermuka rata. Tangannya yang empat kini menjadi dua kembali.
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia tinggalkan puncak bukit berumput biru itu.
"Kakek
Hantu Tangan Empat!" Wiro berteriak memanggil.
Hantu
Tangan Empat hentikan langkahnya dan berpaling. "Ada apa…?" tanyanya
datar.
"Terima
kasih! Bagaimanapun juga kami harus mengucapkan terima kasih padamu. Kau sudah
membuat kaki kami, tangan, muka, badan…. Apa lagi?" Wiro berpaling pada
Naga Kuning.
"Anu
kita!" Jawab si bocah enak saja mungkin karena masih kecewa dengan keadaan
tubuh yang tidak seperti diharapkan.
"Ya,
kau telah membuat tangan, muka, kaki, tubuh dan anu kami menjadi lebih besar!
Kami benar-benar berterima kasih…!"
Hantu
Tangan Empat mengangguk. Lalu untuk pertama kalinya menyeruak senyum di
wajahnya yang rata itu. "Terima kasih kembali. Mudah-mudahan kalian bisa
mempergunakan anu kalian sebagaimana mestinya…" katanya.
Wiro,
Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi saling pandang lalu tertawa gelak-gelak.
"Tidak
disangka hantu tua itu bisa bercanda juga!" kata Wiro.
"Hai,
apa yang kalian tertawakan?r tiba-tiba Peri Angsa Putih bertanya sambil duduk
di rumput di depan
"Kami
barusan bicara soal anu…" jawab Wiro sambil senyum-senyum
"Soal
anu? Anu apa?" tanya Peri Angsa Putih.
Ditanya
seperti itu kembali ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.
"Hai!
Kalian Ini bicara apa? Apanya yang anu?" tanya Peri Angsa Putih kembali.
"Ya,
anunya si anu yang sekarang sudah jadi sebesar anu!" sahut Setan Ngompol
lalu tertawa gelak-gelak dan tentu saja disertai dengan terkencing-kencing!
TAMAT
No comments:
Post a Comment