Photo

Photo

Saturday, 25 January 2020

182. Delapan Pocong Menari



Delapan Pocong Menari
WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito



***********************
1

MALAM Selasa Kliwon. Di dalam Puri Kesatu di Negeri Atap Langit, Ken Parantili benamkan wajah ke dada Pendekar 212, tangan merangkul pinggang, lalu perempuan muda ini angkat kepalanya.
“Kita harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah. Suara gamelan mulai terdengar perlahan. Pertanda Penguasa Atap Langit dalam perjalanan ke tempat ini. Aku harus sudah ada di atas tempat tidur ketika Penguasa Atap Langit datang. Apa yang harus kau lakukan nanti akan akan aku beri tahu.”
Ken Parantili menarik tangan Wiro. Keduanya melangkah menembus dinding. Di luar Kawasan Atap Langit kembali terdengar suara teriakan.
“Penguasa Atap Langit! Ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya besar!”
Ini adalah teriakan yang kedua kali. Setelah gema teriakan lenyap dan keadaan sunyi sebentar, tiba-tiba menggelegar teriakan balasan. Udara bergetar. Hawa dingin terasa tambah mencucuk.
“Makhluk yang berteriak! Aku Penguasa Atap Langit! Aku mengenali suaramu! Bukankah kau Sinuhun Merah Penghisap Arwah?!”
“Benar sekali, Penguasa Atap Langit. Terima kasih kau mau menjawab.”
“Kau berani berada di Kawasan Atap Langit bukan pada hari yang yang ditentukan. Itu pelanggaran pertama. Pelanggaran kedua, kau datang membawa kabar seolah penghuni Negeri Atap Langit termasuk diriku adalah makhluk-makhluk tolol yang tidak tahu menjaga keamanan Negeri! Apa maksudmu berteriak ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit? Para pengawalku, Tiga Kelelawar Raksasa dan dua ratus Arwah Hitam Putih telah melakukan penyelidikan. Negeri dalam keadaan aman! Bagaimana kau bisa mengatakan ada penyusup! Apakah kau sengaja hendak berbaik budi menjilat untuk mendapatkan sesuatu? Apakah kau hendak memaksa agar aku memberi ilmu hingga kau bisa masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?”
“Penguasa Atap Langit! Keinginan untuk masuk ke Ruang Segi Tiga Nyawa sudah aku lupakan!”
“Karena keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi sudah lenyap, sudah keduluan diambil orang! Dan kau hanya dapat keris palsu butut! Ha… ha… ha!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti terhenyak. “Dia tahu apa yang terjadi,” katanya dalam hati. Dia mendongak ke langit lalu menyahuti ucapan orang. “Penguasa Atap Langit! Aku datang bukan untuk menjilat tapi memang hendak berbaik budi! Kau telah banyak menolong diriku dan saudara kembar satu nyawa. Kau juga telah banyak membantu Ksatria Junjungan Dirga Purana. Apa salahnya kalau aku memberi tahu bahwa dirimu saat ini terancam bahaya besar?”
Dari dalam Kawasan Atap Langit menggelegar tawa bergelak sang Penguasa.
“Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku peringatkan dirimu! Lekas menjauh dari kawasan kekuasaanku! Kau baru boleh muncul lagi pada bulan purnama yang akan datang!”
“Tapi Penguasa Atap Langit! Aku tidak bicara dusta. Aku tidak mengarang cerita…”
“Sinuhun Merah! Ini peringatan terakhir! Kau ingin aku menyuruh Tiga Kelelawar Raksasa membakar tubuhmu hingga leleh! Atau kau mau dua ratus makhluk Arwah Hitam Putih mengorek jantungmu yang ada di dalam rongga dada sebelah kanan?!” Ancaman Penguasa Atap Langit rupanya tidak tanggung-tanggung.
“Penguasa Atap Langit. Aku minta maaf. Aku pergi sekarang! Aku hanya berusaha berbuat kebaikan…”
“Aku tidak perlu kebaikan dari makhluk semacammu. Bukankah selama ini kau dan orang-orangmu yang selalu meminta kebaikan padaku?! Kebaikan dan ilmu yang aku berikan kerap kali kau salah gunakan! Bukankah aku sudah mengingatkan sebelumnya?!”
Di puncak Gunung Semeru yang gelap dan dingin, mengambang di atas satu gundukan batu, makhluk alam roh serba merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah mendengus. Dalam hati dia menyumpah, “Makhluk congkak! Rohmu memang bisa amblas berkali-kali! Tapi sekali ini kau akan menyesal sampai ke liang neraka! Begitu kau mampus aku akan menguasai Kawasan Atap Langit!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah sampai tiga kali. Ludahnya berwarna merah. Lalu cepat dia berkelebat pergi.
“Tunggu!” Suara Penguasa Atap Langit menggelegar.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah tahan gerakan.
“Sinuhun Merah, aku memberi perintah padamu! Saat ini juga harap kau segera menemui anak lelaki usia dua belas tahun bernama Dirga Purana. Katakan padanya sebelum tengah hari besok, dia harus sudah mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri ke hadapanku!”
Sesaat Sinuhun Merah tertegun mendengar ucapan Penguasa Atap Langit itu. Dalam hati dia membatin. “Aku punya dugaan, gadis cilik itu pasti akan dijadikan gundik baru.” Ucap Sinuhun Merah dalam hati. “Sang Junjungan sedang mabuk cinta dengan anak perempuan ayu bertubuh molek itu. Apa dia mau menyerahkan?”
“Sinuhun Merah! Kau mendengar apa yang aku katakan?!”
“Aku mendengar. Aku akan menemui Ksatria Junjungan Dirga Purana untuk menyampaikan pesanmu.”
“Bukan cuma disampaikan! Tapi juga untuk dilaksanakan!”
“Baik, perintahmu akan aku laksanakan! Aku sendiri yang akan membawa anak perempuan itu ke hadapanmu!”
“Tidak perlu kamu! Aku sudah bosan terlalu sering melihat tampang merahmu! Suruh makhluk lain yang bisa dipercaya! Kau mengerti?!”
“Aku mengerti,” jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan menahan gelegak amarah. Sebelum meninggalkan tempat itu dia semburkan ludah merah dua kali. Kaki kanan digebrak hingga lereng batu yang menebingi bagian atas kawah Gunung Semeru hancur berantakan.
Ketika melayang dekat pinggiran kawah Gunung Semeru makhluk alam roh yang punya nyawa kembar dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa ini walau gelap kelam namun di bawah sana dia masih bisa melihat sosok empat orang mendekam kedinginan di depan perapian yang apinya telah padam.
Orang-orang itu adalah Ratu Randang, Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti diceritakan sebelumnya mereka dilemparkan di tengah jalan oleh belahan batang pohon beringin sewaktu Pendekar 212 Wiro Sableng diterbangkan menuju Negeri Atap Langit.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah memperhatikan keadaan di puncak gunung. Menatap ke arah kawah yang gelap lalu mengendus dalam-dalam.
“Hemm…” Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergumam sambil usap janggut merahnya. “Aku mencium baunya walau sudah jadi jerangkong! Makhluk bernama Lor Pengging Jumena itu masih mendekam di sekitar kawah. Agaknya tengah menjaga keempat orang itu. Sayang aku ada keperluan lebih penting. Kalau tidak apa susahnya mencelakai keempat orang itu! Ratu Randang, kau tunggu pembalasanku! Kau terlalu banyak menipu diriku dan nyawa kembarku! Aku akan betot semua ilmu yang pernah kuberikan padamu, sekalian dengan jantung, hati, limpa dan ginjalmu!” (Diceritakan sebelumnya makhluk bernama Lor Pengging Jumena itu adalah yang juga dikenal dengan panggilan Embah Buyut Kumara Gandamayana).
Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah lalu melesat ke timur. Saat itu memang ada yang merisaukan hatinya. Dia belum mengetahui apakah Empu Semirang Biru yang telah diracunnya berhasil menemukan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala di tempat persembunyiannya.

**************************

Kembali Ke Puri Kesatu, di dalam ruang tidur Selir Pertama. Ken Parantili melangkah ke arah meja di mana ada tiga bunga mawar segar dalam tiga jambangan kaca. Di atas meja juga terdapat sebuah gelas kaca tinggi berisi cairan kuning. Ken Parantili meneguk habis cairan di dalam gelas kaca. Lalu mengambil dua kuntum bunga mawar dari dalam jambangan kaca sebelah tengah dan menyelipkannya di atas telinga kiri kanan yang dicanteli anting-anting mutiara, disepit dengan untaian rambut. Bunga mawar ketiga diletakkan di balik dada pakaian.
“Wiro, kita segera masuk ke ruang tidur besar di sebelah. Ikuti aku.”
Seperti angin meniup udara kosong, kedua orang itu masuk ke kamar besar menembus dinding. Begitu berada di kamar besar tempat di mana Penguasa Atap Langit akan datang untuk terakhir kali menemui dirinya, Ken Parantili berkata pada Wiro. “Aku akan membaringkan diri di atas tempat tidur. Kau berdirilah di sudut sebelah kiri kepala tempat tidur. Jangan bergerak, jangan bersuara. Penguasa Atap Langit tidak akan melihat dirimu karena rambutku masih menempel di dadamu. Namun untuk menjaga segala kemungkinan, sesuai pesan Nyai Roro Manggut, aku harap sekarang juga kau mengeluarkan ilmu kesaktian yang diberikannya yaitu Ilmu Meraga Sukma. Sukmamu berdiri di sudut kanan, raga aslimu berdiri ke sudut kiri.”
“Ketika Penguasa Atap Langit hendak membunuhmu, apa aku tetap tinggal diam, tidak berusaha menolong?
Bukankah itu budi yang harus aku lakukan?”
“Kau bukannya tidak melakukan apa-apa. Semua yang telah kau lakukan dan apa yang aku katakan jika kau turuti maka itu sudah pertolongan besar bagiku. Penguasa Atap Langit tidak akan mampu membunuhku karena sebelumnya kau telah berbaring di atas tempat tidur ini. Begitu dia mencium bekas bau tubuh dan keringatmu, apalagi kalau sampai bersentuhan, ilmu kesaktiannya menjadi rontok! Karena itu adalah pantangan bagi hampir semua ilmu kesaktiannya. Tidak ada selir yang boleh berselingkuh…”
“Tapi aku ingat percakapan kita beberapa waktu lalu tentang Selir Ketiga Windu Resmi. Dia dicurigai berselingkuh dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mengapa Penguasa Atap Langit tidak celaka?”
“Selir itu tidak berselingkuh di tempat ketiduran Penguasa Atap Langit yang ada di Puri Ketiga. Selain itu giliran kematiannya masih dua purnama di muka. Lalu saat ini dia sudah jadi mayat, kau timbun di pinggir Telaga Bersuci dan Bersegar Diri. Jadi tak ada lagi yang perlu dibicarakan menyangkut selir itu.”
“Tapi kita berdua tidak pernah melakukan perselingkuhan. Maksudku berbuat yang bukan-bukan di atas tempat tidur.” Kata Wiro pula agak mesem-mesem.
“Itu benar. Tapi yang menjadi masalah besar bagi Penguasa Atap Langit adalah jika dia mencium apalagi sampai bersentuhan dengan bau badan atau keringat lelaki lain. Dan lelaki itu ditakdirkan dirimu adanya…”
“Ini yang aku tidak mengerti. Mengapa musti aku?!” Ujar Wiro pula.
“Aku tidak tahu mengapa harus kau. Jika kau kelak bertemu dengan Nyi Roro Manggut, kau bisa tanyakan hal itu padanya. Karena dia yang memberitahu kalau hanya kau yang bisa menyelamatkan diriku.”
“Nenek sakti itu…”
“Husss!” Ken Parantili memotong ucapan Wiro. “Sahabatku, kau tahu siapa dia sebenarnya. Aslinya bukankah dia seorang gadis cantik jelita?”
Wiro ternganga. Tidak menyangka sang selir tahu banyak dan begitu jauh. Wiro mendadak ingat. Ketika orang kepercayaan Penguasa Laut Selatan itu memberikan Ilmu Meraga Sukma padanya, si nenek sakti terlebih dulu menguji dirinya secara berat dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah merayu dan menggodanya untuk menyentuh auratnya lalu melakukan hubungan badan. Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Hal yang sama akan segera terjadi. Apa aku sanggup menahan diri seperti dulu. Selir ini selain cantik kurasa punya pengalaman soal begituan…” (Mengenai riwayat Wiro mendapat ilmu kesaktian dari Nyi Roro Manggut dapat dibaca dalam serial “Meraga Sukma”).
Ken Parantili tatap wajah sang pendekar sejurus lalu meneruskan ucapan. “Nyi Roro Manggut berpesan, pada saat Penguasa Atap Langit hendak melaksanakan niatnya membunuh diriku, maka kau harus segera mengeluarkan Ilmu Meraga Sukma.”
Wiro anggukkan kepala. Lalu berkata. “Seorang kakek sakti yang dipanggil Embah Buyut Kumara Gandamayana memberi tahu. Orang luar kalau pun bisa masuk ke dalam Negeri Atap Langit tidak akan mampu melihat ujud Penguasa Atap Langit. Kecuali jika dia berdiri kaki ke atas kepala ke bawah. Apa aku harus berjungkir balik untuk bisa melihatnya?”
Ken Parantili menggeleng. “Kau sudah mandi di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri yang memiliki delapan pancuran. Matamu akan sama dengan mata semua penghuni Negeri Atap Langit. Tak ada halangan atau kekuatan yang menyekat pandanganmu.”
“Yang mampu melihat…, ujud asliku atau sukmaku?” Tanya Wiro.
“Dua-duanya. Sebaliknya Penguasa Atap Langit tidak bisa melihat dirimu dan sukmamu karena rambut penangkal milikku yang menempel di tubuhmu. Nah, kau sudah siap. Atau masih ada yang ingin ditanyakan?”
Wiro jadi tegang walau sesaat. “Aku sudah siap,” jawabnya kemudian setengah berbisik.
“Suara gamelan sudah lenyap. Berarti Penguasa Atap Langit sudah ada di dekat Puri Kesatu. Siap untuk masuk ke sini.”
Wiro tergagap ketika begitu selesai bicara Ken Parantili goyangkan tubuh. Seluruh pakaian yang tadi melekat melindungi auratnya lenyap entah ke mana! Kini yang melekat di tubuhnya adalah mahkota emas berbentuk atap di kepala, anting-anting dan kalung mutiara serta tiga kuntum bunga mawar merah. Dua tersepit di telinga kiri kanan, satu lagi menempel di dada. Dalam keadaan seperti itu Ken Parantili naik ke atas tempat tidur. Tubuh kemudian ditutup dengan sehelai kain sutera merah muda yang sebelumnya terlipat di bawah salah satu bantal besar.


***********************
2

SELAGI Wiro terpana dengan apa yang disaksikannya, Ken Parantili berkata. “Saatnya kau merapal dan menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Berdiri di dua sudut ruangan di kiri kanan kepala tempat tidur. Jangan bergerak, jangan bersuara, apapun yang terjadi.”
Pendekar 212 segera melangkah ke sudut kiri ruangan. Duduk bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha lalu diangkat dan disilangkan di atas dada. Sepasang mata dipejam. Mulut merapal aji kesaktian. Satu sosok berupa bayangan samar keluar dari tubuh Wiro, membentuk ujud kembar utuh lalu melayang dan berdiri di sudut kanan ruangan. Perlahan-lahan Wiro asli bangkit berdiri.
Hanya sesaat setelah Wiro menerapkan Ilmu Meraga Sukma, satu kaki berkasut hijau mencuat di langit-langit ruangan. Bersamaan dengan itu ada suara orang berucap.
“Ken Parantili, Selir Pertama penghuni Puri Kesatu. Aku Penguasa Atap Langit, aku datang! Apakah kau sudah bersiap diri?”
Di langit-langit ruangan, Wiro melihat satu kaki lagi muncul menjuntai.
“Yang Mulia Penguasa Atap Langit, saya Selir Pertama telah siap di atas tempat tidur. Saya menunggu dengan segala kerinduan.” Walau bicara mesra sebenarnya Ken Parantili telah muak dengan segala basa basi itu. Apalagi dia tahu kalau kedatangan Penguasa Atap Langit kali ini merupakan kedatangan terakhir, yang bukan saja seperti biasa untuk mengumbar nafsu tapi juga membekal niat jahat hendak membunuhnya.
Dua kaki di langit-langit meluncur ke bawah. Kelihataan sosok berjubah hijau tapi yang kelihatan baru dari kaki sampai ke pinggang.
“Ken Parantili, apakah kau telah meneguk habis Cairan Kuning Minuman Penggoda?”
“Saya sudah menghabiskan minuman itu Yang Mulia,” jawab Ken Parantili sambil mengusap tenggorokan.
“Apakah kau juga telah memperelok diri dengan tiga kuntum bunga mawar merah pengharum nafas, pelancar dan pemanas aliran darah?”
“Sudah Yang Mulia.”
“Selir Pertama Ken Parantili, apakah kau sadar kalau malam ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Dan bahwa malam ini kau akan menemui kematian di tanganku?”
Ken Parantili merasa tubuhnya bergetar dan dingin. “Saya sadar Yang Mulia.” Jawab sang selir kemudian.
“Apakah kau berani menolak kematian atas dirimu?”
“Kalau itu sudah takdir diri saya mana saya berani menolak.”
“Apa kau ada permintaan, setelah kau mati ke mana jenazahmu akan dikirimkan?”
Ken Parantili terdiam karena tidak menduga akan ditanya seperti itu. Akhirnya Selir Pertama ini menjawab. “Saya tidak punya orang tua tidak punya saudara. Tidak punya sanak tidak punya kadang. Bahkan desa kelahiran pun saya tidak pernah tahu. Jika Yang Mulia sudi, mohon jenazah saya dimasukkan ke dalam kawah Gunung Semeru. Saya hanya minta satu hal, sebelum jenazah saya dilempar ke kawah Gunung Semeru, harap jantung saya yang ada di tangan Yang Mulia dikembalikan ke dalam tubuh saya. Agar saya bisa menghadap Para Dewa di Kahyangan secara utuh!”
“Itu pintamu, itu yang akan terjadi. Tetapi soal jantungmu, aku yang akan mengatur karena sudah dimasukan ke Ruang Jantung Sembilan Belas. Sekarang aku akan turun menemuimu!”
Sosok berjubah hijau melayang turun ke bawah, berdiri di samping tempat tidur. Wiro asli dan Wiro sukma sama­sama memperhatikan dengan mata tak berkesip. Ternyata Penguasa Atap Langit bertubuh sedang, berkulit bersih putih dan berwajah jernih. Di atas kepala yang rambutnya disanggul ke atas, terdapat sebuah mahkota emas berbentuk atap. Ukurannya jauh lebih besar dari mahkota kepunyaan Ken Parantili dan ditaburi ratna mutu manikam.
Wiro agak terkesiap. Tadinya dia mengira Penguasa Atap Langit memiliki tubuh tinggi besar, bertampang angker, paling tidak memelihara berewok dan kumis melintang. Ternyata perkiraannya jauh meleset. Penguasa Atap Langit juga tidak mengenakan pakaian kebesaran mewah. Pakaiannya sederhana saja, sehelai jubah panjang berwarna hijau.
“Tampangnya memang bersih jernih. Tidak ada keangkeran. Tapi sepasang mata tampak dingin dan bibir tipis panjang tanda makhluk ini menyembunyikan kekejaman dahsyat dalam dirinya,” Wiro berucap dalam hati sambil sepasang mata terus memperhatikan.
Penguasa Atap Langit untuk beberapa lama tegak di tepi tempat tidur, memperhatikan Ken Parantili yang terbaring tertutup kain sutera tipis merah sebatas leher. Dengan gerakan tenang dia melangkah mendekati tempat tidur. Tangan kiri menjangkau mahkota emas di atas kepala sang selir lalu sekali tangan digerakkan mahkota itu melesat ke atas, menancap di langit-langit kamar.
“Kau tampak cantik sekali malam ini.” Penguasa Atas Langit memuji.
“Mungkin hanya kecantikan ini yang bisa saya berikan terakhir kali pada Yang Mulia” kata Ken Parantili.
“Kalau begitu pejamkan kedua matamu. Kita segera mulai.” Tangan kiri Penguasa Atap Langit kembali sibakkan rambut di wajah sang selir sebelah kiri lalu mengambil bunga mawar yang terselip di telinga. Bunga digoyang­goyang di bawah hidung lalu lenyap dimasukkan ke dalam mulut. Tidak tampak dia mengunyah atau menelan. Dengan tangan kanan Penguasa Atap Langit mengambil bunga mawar kedua yang terselip di telinga kanan. Seperti bunga pertama, bunga ini juga dimasukkan ke dalam mulut. Setelah menatap wajah Ken Parantili sebentar, Penguasa Atap Langit susupkan tangan kanan ke bawah kain sutera merah yang menutupi tubuh Ken Parantili. Tangan menyusup dari arah leher, meluncur ke bawah. Ketika tangan dikeluarkan dari balik kain merah, terlihat dia memegang bunga mawar ketiga. Bunga inipun dimasukkan ke dalam mulut setelah lebih dulu digoyang di bawah hidung.
Dari dua sudut ruangan, sosok asli Pendekar 212 dan sosok sukma terus memperhatikan. Tiba-tiba Penguasa Atap Langit angkat tangan kanan. Tangan itu dalam keadaan terkepal diarahkan ke kepala Ken Parantili.
“Aneh, mengapa dia ingin cepat-cepat membunuh selir itu! Akan memecahkan kepalanya! Bukankah dia ingin bersenang-senang dulu? Agaknya apa yang terjadi tidak seperti yang dikatakan Ken parantili.” Sosok asli Pendekar 212 langsung saja menyiapkan serangan pukulan sakti di tangan kanan.
Tangan kanan Penguasa Atap Langit yang mengepal bergerak, bukan berupa serangan memukul kepala yang mematikan, tapi berubah menjadi usapan di atas wajah Ken Parantili. Wiro asli dan Wiro sukma dapat melihat jelas kalau jari tengah dari lima jari tangan yang dikembang dilipat ke telapak tangan.
“Sepertinya dia hendak membunuh selir itu dengan Pukulan Sukma Merah. Tapi mengapa tangan dan jari­jarinya tidak berubah merah.” Wiro membatin.
Tidak mau keduluan dia segera angkat tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam dan hawa sakti. Ini kesalahan yang tidak disadarinya.
Tangan kanan Penguasa Atap Langit ternyata lagi-lagi tidak melancarkan serangan melainkan bergerak ke atas kepalanya sendiri. Gerakan tertahan sebentar ketika kepala digoyangkan.
Wuttt!
Mahkota emas besar di atas kepala Penguasa Atap Langit melesat ke atas dan menancap di langit-langit kamar, tepat menutupi mahkota emas yang lebih kecil, milik Ken Parantili. Penguasa Atap Langit menyeringai.
“Mahkota besar memayungi mahkota kecil, pertanda baik bagimu. Kau akan menemui kematian dengan tenang!” kata Penguasa Atap Langit pada Ken Parantili.
Wiro yang sudah tidak sabaran ingin menghantam, perlahan-lahan kembali turunkan tangan yang masih dialiri tenaga dalam. Kesalahan kedua!
Penguasa Atap Langit merasa dingin pada daun telinga kiri kanan. Sepasang mata menatap wajah Ken Parantili. “Selir Pertama penghuni Puri Kesatu! Aku seperti merasa ada hawa aneh bergerak di dalam kamar ini.”
Penguasa Atap Langit memandang berkeliling. Dia tidak melihat ada orang atau benda lain di tempat itu. “Aku ingat Sinuhun Merah Penghisan Arwah. Jangan-jangan benar apa yang diberitahukannya padaku melalui teriakan dari luar Kawasan Atap Langit. Aku Curiga! Buka dua matamu!”


***********************
3

PERLAHAN-LAHAN Ken Parantili buka kedua matanya. Sekujur tubuh terasa dingin. Dia menduga paling tidak salah satu dari sosok Wiro telah membuat gerakan. “Sudah diberi tahu agar jangan bergerak…” Ken Parantili melirik ke arah sosok asli Wiro yang berdiri di sudut kiri ruangan. “Mungkin dia mengira Penguasa Atap Langit hendak membunuhku, mungkin dia membuat gerakan hendak mendahului menyerang. Berarti dia mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Celaka!”
Ken Parantili menjadi tegang. Dia hendak memberi tanda dengan kedipan mata ke arah Wiro namun takut ketahuan Penguasa Atap Langit. “Aku harus cepat-cepat mengajaknya naik ke tempat tidur. Agar tubuhnya bersentuhan dengan basahan keringat Wiro yang masih menempel di bantal dan kasur…”
Sementara itu Wiro asli dan Wiro sukma terkesiap kaget saling pandang. Wiro baru menyadari kalau dia telah melakukan kesalahan. Membuat gerakan.
Wiro melihat Ken Parantili membuka kedua mata, menggeliat sambil menurunkan kain merah yang menutupi tubuhnya mulai dari leher sampai ke dada. Penguasa Atap Langit tampaknya tidak terpengaruh dengan tubuh yang tersingkap itu. Sebaliknya sosok asli wiro dan sukmanya ternganga dan terbeliak.
Lalu terdengar Ken Parantili berucap. “Yang Mulia, yang kau dengar adalah desau halus gerakan dua kakiku di atas kasur. Aku pasrah menunggu saat kematianku. Tapi aku tidak tahan menunggu saat-saat terakhir kau mencumbuku di atas ranjang ini. Aku ingin menghembuskan nafas terakhir tanpa beban.”
“Begitu…?” Penguasa Atap Langit menyeringai lalu melangkah mundar-mandir di samping tempat tidur. Beberapa kali dia menarik nafas dalam mengendus-endus. Di sudut kiri kamar dia berhenti. Walau saat itu jaraknya hanya satu langkah dari sosok asli Wiro, namun dia tidak bisa melihat atau mencium bau tubuh sang pendekar. Ini karena rambut sakti sang selir yang masih menempel di tubuh Wiro. Selain itu Ken Parantili telah membuat penangkal yaitu dengan menyuruh Wiro mandi di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri hingga Penguasa Atap Langit tidak mampu mencium sosok sang pendekar.
“Selir Pertama, aku percaya apa yang kau ucapkan barusan.” Berkata Penguasa Atap Langit lalu dia bergerak mendekati tempat tidur. Tangan kanan diangkat ke atas kepala membuka gulungan rambut yang dikonde. Begitu konde terlepas terlihat kalau dia memiliki rambut hitam berkilat tergerai panjang sampai ke punggung, menebar bau harum.
Di atas tempat tidur Ken Parantili sengaja tersenyum untuk menutupi rasa tegang yang memagut sampai ke wajah.
Dada berdebar turun naik, Penguasa Atap Langit luruskan dua jari telunjuk tangan kiri kanan lalu diguratkan di atas sepasang alis. Begitu digurat kedua alisnya tampak kereng hitam dan tebal berkeluk. Lalu ibu jari tangan kanan disapukan di atas bibir. Bibir yang tadinya agak pucat kini kelihatan merah segar. Dua telapak tangan ditekapkan ke pipi. Sepasang pipi kini tampak merah segar bercahaya!
Di sudut ruangan sebelah kiri Wiro asli memperhatikan apa yang dilakukan Penguasa Atap Langit dengan tercengang-cengang. “Apa yang dilakukan makhluk itu? Wajahnya seperti dipoles dandanan apik. Oala, mengapa wajahnya seperti perempuan. Lumayan cantik tapi hidung agak besar. He… he!”
Wiro kemudian melihat Penguasa Atap Langit melambai-lambaikan dua tangan di atas kepala, sepuluh jari dijentik-jentik. Aneh, dari ujung-ujung jari bertabur kerlap-kerlip percikan terang seperti bunga api. Dua tangan disapukan mulai dari kepala sampai ke kaki. Bau harum semerbak membalut tubuh Penguasa Atap Langit. Menebar ke seluruh sudut ruangan. Wiro sampai terpana karena belum pernah mencium bau harum semerbak seperti itu. Saluran pernafasan dan dadanya terasa sejuk dan segar. Namun aliran darah berubah mengencang.
Penguasa Atap Langit berdiri lurus-lurus. Mata menatap berbinar ke arah Ken Parantili. Tiba-tiba dia goyangkan tubuh dan saat itu juga jubah hijau yang dikenakannya merosot sampai ke pinggang.
Pendekar 212 dan sukmanya hampir saja mengeluarkan seruan tertahan saking kaget. Dua pasang mata menatap membelalak ke arah dada Penguasa Atap Langit. “Astaga, jadi benar! Tapi edan… mengapa ada bulu di pertengahan dada?!”
Ternyata Penguasa Atap Langit memiliki dada putih bagus seperti seorang perempuan! Hanya saja di bagian tengah dada terlihat ada bulunya.
“Wah! Mengapa jubah tidak ditanggalkan seluruhnya hingga aku bisa melihat lebih jelas, makhluk ini lelaki atu perempuan, atau sebangsa banci!” ucap wiro dalam hati. Dia jadi ingat pada Jaka pesolek. Sepasang mata terus memperhatikan.
“Kekasihku Ken Parantili, walau hidupmu hanya tingal setengah malaman, aku harap kau akan menghiburku seperti yang sudah-sudah.”
Wiro dan sukmanya sama melengak. Suara Penguasa Atap Langit yang terdengar di dalam kamar jelas adalah suara perempuan, halus dan lembut.
“Penguasa Atap Langit! Diriku milikmu. Mudah­mudahan aku bisa memberikan yang lebih baik pada saat terakhir ini…”
“Selir edan, jelas tahu mau dibunuh malah bicara bermesra-mesra!” sosok asli Wiro menggerutu dalam hati.
Tanpa melepas seluruh jubahnya Penguasa Atap Langit bergerak naik ke atas tempat tidur lalu membaringkan tubuh di samping Ken Parantili. Ketika dia hendak memeluk dan mencium sang selir, tiba-tiba dessss… desss!
Asap kelabu mengepul dari bantal dan kain tebal penutup tempat tidur yang masih basah oleh keringat Wiro! Penguasa Atap Langit menjerit keras, tubuh terpental ke udara lalu jatuh tergelimpang di lantai permadani. Wajah tampak pucat!
Suara jeritan Penguasa Atap Langit tadi bukan suara lelaki sakti yang menggelegar. Tapi itu adalah suara jeritan perempuan!
“Selir jahanam! Kau membawa lelaki tidur di atas ranjangku!” Teriak Penguasa Atap Langit. Kini suaranya kembali berubah menjadi suara laki-laki. Menggelegar keras di dalam ruangan hingga menimbulkan getaran hebat! Sekujur tubuh mengepulkan asap kelabu. Wajah yang sebelumnya jernih dipoles dandanan apik dan juga tubuh sebelah atas yang tersingkap putih dan bagus perlahan-lahan berubah berkerenyut lalu memutih dan leleh seperti timah mencair. Jubah hijau yang masih melekat di tubuh sebelah bawah tampak putih gosong.
Menyaksikan apa yang terjadi Wiro hampir tak percaya. Hanya karena bersentuhan dengan bau badan dan keringatnya yang menempel di bantal serta tempat tidur, Penguasa Atap Langit yang memiliki kesaktian hebat itu ternyata benar-benar mengalami celaka luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu Penguasa Atap Langit berusaha bangkit tapi dia hanya mampu terduduk di lantai. Dua tangan diangkat ke atas. Lalu menjerit lagi. Setelah itu mulut berkomat-kamit pertanda ada sesuatu yang dirapalnya.
Lalu setengah megap-megap dia berkata. “Selir jahanam! Kau merontokkan sembilan ilmu kesaktianku, tapi jangan mengira aku tidak akan mampu membunuhmu! Jangan kira kau bisa lolos dari kematian! Aku masih menyimpan ilmu yang tidak bisa dimusnahkan oleh keringat dan bau tubuh lelaki yang berselingkuh denganmu! Aku akan mencari tahu siapa adanya bangsat penyusup itu sekarang juga! Akan kubunuh! Biar kau saksikan bagaimana aku membantai lelaki selingkuhanmu! Baru setelah itu kau kuhabisi!”
Ken Parantili terkejut mendengar ucapan Penguasa Atap Langit. Dia cepat goyangkan tubuh. Saat itu pakaian putih berenda yang sebelumnya dikenakan kembali muncul membalut tubuhnya yang sejak tadi dalam keadaan telanjang hanya terlindung kain sutera tipis. Dengan cepat perempuan ini melompat dari tempat tidur.
“Kau mau lari ke mana?!” Hardik Penguasa Atap Langit. Tubuhnya yang leleh kini mampu berdiri walau terhuyung­huyung. Kelihatannya sebagian kekuatannya mulai pulih. Jubah gosong putih yang tadi masih menggantung sepinggang rontok jatuh ke lantai permadani. Ternyata bagian tubuh dari pinggang sampai ke kaki juga sudah memutih leleh pula!
Wiro asli dan Wiro sukma buka mata lebar-lebar, menatap ke bagian bawah perut Penguasa Atap Langit. Namun keadaan tubuh yang leleh putih begitu rupa sulit untuk memastikan apa sebenarnya jenis kelamin Penguasa Atap Langit. “Sial, aku tidak bisa melihat apa dia punya kelamin lelaki atau perempuan. Mungkin juga dia punya dua kelamin. Weehhh!” Wiro berkata dalam hati.
“Ken Parantili, kau tidak bisa lolos. Aku telah menutup semua dinding, lantai dan atap! Tidak ada jalan keluar bagimu!” Penguasa Atap Langit berteriak mengancam.
Ken Parantili memandang seputar kamar, mendongak ke langit-langit. Wajah selir ini berubah pucat ketika dia melihat bagaimana lantai yang ditutupi permadani, dinding dan langit-langit kamar yang berwarna merah muda bergaris kuning kini berubah menjadi hitam pekat bergaris merah berbuhul-buhul menyerupai jaring.
“Jaring Sukma Merah!” ucap Ken Parantili. “Aku masih bisa menembus. Tapi bagaimana dengan Wiro?”
Benda putih aneh di pertengahan langit-langit yang menjadi penerang ruangan tiba-tiba meredup. Rasa tegang dan takut yang amat sangat terlihat di wajah Ken Parantili. “Kalau aku memang harus mati aku pasrah. Tapi bagaimanapun aku harus menolong pemuda itu!”
Tiba-tiba Selir Pertama itu berteriak keras. Tangan kanan diangkat setinggi dada lalu dihantamkan ke arah Penguasa Atap Langit yang saat itu berdiri angker di tengah ruangan.
Wusss!
Selarik sinar kebiru-biruan menyembur lalu membentuk buntalan ombak, mengeluarkan suara menderu seperti air mendidih melesat dari telapak tangan kanan Ken Parantili. Uap luar biasa panas mengepul!
Dapatkan dirinya diserang Penguasa Atap Langit malah tertawa bergelak. “Ombak Neraka Mendidih! Kau mendapatkan ilmu itu dariku! Mana mungkin bisa mencelakaiku! Selir jahanam! Saatnya kau menerima kematian di tanganku! Tubuhmu akan aku buat jadi babi rebus!”
Penguasa Atap Langit tekuk sepasang lutut. Dua tangan membuat gerakan menggapai ke udara. Hanya beberapa jengkal lagi buntalan air mendidih akan mengguyur tubuhnya, tiba-tiba sang penguasa membentak keras dan pukulkan dua tangan ke atas.
Dess! Desss!
Gelombang air mendidih serta merta tertahan menggantung di udara. Penguasa Atap Langit bantingkan kaki kanan ke lantai membuat permadani hangus.
Byuuuuurr! Pukulan Ombak Mendidih berbalik menghambur ke arah Ken Parantili!
Penguasa Atap Langit mendadak sontak terkejut besar ketika melihat di dalam ruangan Ken Parantili bukannya ketakutan atau mencoba selamatkan diri tapi malah berdiri kaki merenggang tangan berkacak di pinggang.
Tiba-tiba selir ini teriakan ucapan. “Ombak hanya ada di laut! Di darat topan prahara yang berkuasa!”
“Kurang ajar! Dari mana dia tahu rapal penangkal itu!”
Penguasa Atap Langit tersentak kaget sampai keluarkan suara menggembor keras.
Di hadapannya Ken Parantili membungkuk sambil mendorongkan dua tangan dan kepala. Di dalam ruangan bergemuruh deru angin. Lantai, empat dinding dan langit­langit bergoyang. Pukulan Ombak Neraka Mendidih berbalik menyerang Penguasa Atap Langit. Didahului suara hardikan marah Penguasa Atap Langit cepat angkat tangan kiri. Lima larik sinar hitam mencuat.
“Kipas Hitam Menyapu Puncak Semeru!” Ken Parantili berseru kaget dalam hati, mengenali dan menyebut nama ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Penguasa Atap Langit. Cepat-cepat dia bersurut mundur hingga punggung menyentuh dinding ruangan. Sinar hitam menderu menebar membentuk lima kipas raksasa, langsung menghantam ke depan memusnahkan serangan balik yang dilancarkan Ken Parantili. Gelombang air biru bermuncratan ke seluruh ruangan membuat goncangan hebat, lalu raib tanpa bekas tanpa membuat ruangan jadi basah.
Penguasa Atap Langit rupanya tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan cepat dia jentikkan lima jari tangan kanan. Lima sinar biru sangat halus menyambar tanpa suara ke arah lima jalan darah di tubuh Ken Parantili.
“Lima Jarum Penjahit Raga!” Dada Ken Parantili berdegup. Darah tersirap dan wajah berubah pucat. “Celaka! Aku tidak tahu ilmu penangkalnya!”
Dreett… dreett


***********************
4

DUA UJUD Wiro yang berada di sudut ruangan tersentak kaget ketika melihat bagaimana Ken Parantili tertegak kaku. Sekujur tubuh mulai dari leher sampai ke betis dilibat cahaya halus kebiru-biruan seolah rajutan benang yang menjahit lima bagian tubuhnya. Mulai dari leher, dada, pinggang, dua tangan dan sepasang kaki hingga dia tidak bisa bergerak. Di atas kepala menancap lima benda aneh berbentuk jarum sepanjang satu jengkal berwarna biru.
“Wiro! Lekas lari! Tinggalkan tempat ini!” Ken Parantili berteriak.
“Ha… ha! Jadi bergundal teman selingkuhanmu itu bernama Wiro. Nama aneh, orang dari mana dia?! Aku mau lihat tampangnya. Apa dia lebih sakti dariku hingga bisa menembus Jaring Sukma Merah yang telah membungkus seluruh Puri Kesatu!”
Sadar kalau Wiro tidak mungkin menembus ilmu Jaring Sukma Merah, Ken Parantili kembali berteriak. “Wiro! Cepat terapkan ilmu yang kau keluarkan di tepi telaga!”
Mendengar teriakan Ken Parantili, Pendekar 212 segera gerakkan kaki kanan ke depan.
Rrrrttttt!
Permadani merah di lantai ruangan robek besar ketika Wiro menoreh dengan ujung ibu jari kaki kanan. Tapi lantai tidak terbelah! Wiro asli terbelalak. Wiro sukma melengak.
Ken Parantili terkejut. Tidak menyangka Penguasa Atap Langit masih punya kesaktian untuk mementahkan serangan Membelah Bumi Menyedot Arwah yang dilancarkan Wiro.
Sepasang mata Penguasa Atap Langit mendelik. Dia menyaksikan permadani robek memanjang tapi tidak melihat siapa yang melakukan. Kini dia benar-benar yakin. Walau tidak dapat melihat ujud tapi dalam ruangan itu ada makhluk lain. Mungkin manusia biasa, bisa juga makhluk alam arwah.
Penguasa Atap Langit dongakkan kepala. Mulut komat­kamit lalu meniup tiga kali berturut-turut. Dalam ruangan muncul segulung cahaya kuning melayang berputar-putar. Selain mengeluarkan suara tiupan angin menguing yang menyakitkan telinga, gulungan angin bercahaya kuning juga punya kemampuan menyedot!
“Celaka! Dia mengeluarkan ilmu Raja Arwah Meniup Puncak Langit!” Kejut Ken Parantili. Lalu dia berteriak memperingatkan. “Wiro awas! Tekap dadamu! Jangan sampai rambutku terlepas tanggal dari tubuhmu!”
Namun terlambat. Saat itu gulungan cahaya kuning telah memutar tiga kali di atas kepala Wiro lalu melesat ke atas menembus langit-langit kamar.
Wuuusss!
Tubuh Wiro terangkat sampai setengah tombak. Pakaiannya berkibar-kibar, dada baju tersibak. Permadani penutup lantai melekuk ke atas. Tempat tidur besar naik ke udara sampai dua jengkal lalu terhempas ke bawah.
Mendengar teriakan Ken Parantili Wiro cepat dekapkan dua tangan di depan dada. Namun saat itu sehelai rambut Ken Parantili yang melekat di dadanya terbetot ke atas, menyusup keluar dari balik pakaian, melesat dan menancap laksana batangan lidi di langit-langit kamar!
Ken Parantili berteriak tegang. Rasanya dia ingin menjambak putus rambut di kepala dan melemparkan ke arah Wiro. Namun saat itu dia tak mampu bergerak akibat Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga. Dua tangan menempel ke badan seolah dijahit!
Begitu rambut yang selama ini menjadi pelindungnya tidak ada lagi di tubuh, dua sosok Wiro yang asli dan yang sukma serta merta terlihat jelas oleh Penguasa Atap Langit.
Sesaat Penguasa Atap Langit terkesiap. Sepasang mata mendelik besar, pancarkan cahaya merah menyala pertanda amarahnya sudah mendidih sampai kepala. Dia tidak menyangka kalau ternyata ada dua orang lelaki muda di dalam kamar yang berarti Selir Pertama telah berselingkuh bukan hanya dengan satu orang tapi dengan dua orang sekaligus!
“Dua pemuda aneh berambut gondrong. Pakaian, tampang sama. Apa mereka kembar?!” Amarah Penguasa Atap Langit meledak. “Selir jahanam! Kau melindungi dua bangsat ini dengan rambutmu hingga dia tidak terlihat dan bisa lolos masuk ke dalam Negeri Atap Langit. Jadi dua pemuda gembel bejat ini yang telah menidurimu!”
“Yang Mulia, kau sengaja unjukkan kemarahan untuk sembunyikan rasa takutmu pada dua kekasihku yang gagah dan hebat itu! Hik… hik!” Ken Parantili mengejek lalu tertawa cekikikan. Padahal dalam hati saat itu dia merasa sangat takut.
“Kau akan menyaksikan! Saat ini juga keduanya akan kubantai habis!” Teriak Penguasa Atap Langit.
“Tidak usah keduanya. Coba kau hadapi yang satu di sudut kamar sebelah kiri saja. Apa kau sanggup membunuhnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah.” Menyebut Ken Parantili. Suara keras, air muka sunggingkan ejekan, membuat amarah Penguasa Atap Langit semakin menggelegak. Sosok Wiro yang ada di sudut kiri ruangan adalah sosok yang asli.
Ditantang seperti itu meledaklah amarah Penguasa Atap Langit. Dia terpancing! Sambil berjingkrak, dua tangan dihantamkan ke arah Wiro asli dan Wiro sukma. Kecuali jari tengah yang dilipat ke bawah telapak, empat jari lainnya mencuat lurus ke depan.
Wusss!
Delapan larik sinar merah pekat berkiblat. Empat ke arah raga asli Wiro, empat lagi ke sudut kanan ruangan di mana berdiri sukma Pendekar 212. Inilah perbedaan antara Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Sang Penguasa. Sebagai pemilik ilmu kesaktian Delapan Sukma Merah tersebut, Penguasa Atap Langit langsung melancarkan serangan dari delapan jari tangannya. Sementara Dua Sinuhun lebih mengandalkan delapan benjolan yang ada di kening. Jika benjolan lenyap maka lenyap pula ilmu kesaktian itu.
“Wiro! Ingat kejadian di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri!” Berteriak Ken Parantili. Dia sengaja tidak meneriaki agar Wiro menancapkan delapan jari tangan karena kuatir jika Penguasa Atap Langit mengetahui hal itu, mungkin sekali dia akan membatalkan serangan lalu menggempur dengan ilmu kesaktian lain.
“Selir jahanam! Benar-benar kurang ajar! Jadi kau…”
Hardik kemarahan Penguasa Atap Langit tidak selesai. Saat itu di sudut kiri ruangan Wiro lipat jari tengah masing­masing tangan ke arah telapak. Tanpa berpaling, delapan jari yang mencuat lurus kemudian ditancapkan ke dinding di belakangnya.
Kraakk!
Di sudut kamar sebelah kanan sukma Wiro lakukan hal yang sama. Delapan jari tangan bukan ditancap ke dinding kamar tapi diarahkan ke atas batok kepala sendiri!
Kreekkk!
Delapan jari tangan tenggelam menancap ke dalam batok kepala. Tapi hebatnya tidak ada darah yang meleleh atau otak yang muncrat. Malah sukma Pendekar 212 senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata!
Kamar besar tidak berjendela tidak berpintu bergetar keras. Lantai laksana mau amblas. Penguasa Atap Langit luar biasa kaget melihat apa yang dilakukan Wiro asli, dan lebih melengak lagi menyaksikan apa yang diperbuat sukma Wiro.
“Makhluk apa keparat yang satu ini! Manusia biasa tidak mungkin mencucuk kepalanya sendiri sampai berlubang. Juga tidak ada darah mengucur!”
Penguasa Atap Langit kemudian sadar kalau dirinya telah termakan pancingan orang. Dia berteriak sambil menunjuk ke arah Ken Parantili. “Selir keparat! Kau memberi tahu cara menangkal pada dua gembel…!”
Makian Penguasa Atap Langit terhenti. Saat itu ada kekuatan aneh menggempur dirinya hingga bergetar keras. Beberapa bagian tubuhnya yang memutih seperti lelehan timah membeku jatuh berkeping-keping ke lantai ruangan. Sepasang mata memberojol keluar, daun telinga mengepul api. Dari beberapa bagian tubuh menyembur asap hitam.
Penguasa Atap Langit menjerit keras. Seperti yang terjadi dengan Selir Ketiga Windu Resmi, dia gerakkan sepuluh jari tangan mencekik leher sendiri! Kreekk! Terdengar suara seperti tulang patah. Di leher tampak luka menganga. Tubuh terhuyung limbung lalu tersungkur. Kening menempel di atas lantai, tubuh sebelah bawah menungging ke atas. Dari mulut membuih busa merah.
Di saat-saat genting seperti itu ternyata Penguasa Atap Langit masih mampu menguasai diri. Didahului teriakan seperti anjing meraung dia tusukkan dua jari telunjuk ke pusar di pertengahan perut hingga jebol membentuk dua lobang besar. Dari dalam dua lobang ini mengepul keluar asap merah tipis yang dengan cepat menyelubungi tubuhnya.
Penguasa Atap Langit kembali meraung keras dan panjang. Begitu lolongan putus sosoknya melesat ke atas. Ketika turun lagi menjejak lantai keadaannya berubah ujud. Tubuh yang tadi berwarna putih seperti timah meleleh, kini tampak utuh seperti manusia. Hanya saja keseluruhannya berwarna merah dan gerak-geriknya seperti patung kayu kaku! Setiap membuat gerakan, beberapa bagian tubuh mengeluarkan suara berkereketan.
Greekk!
Kepala dan kaki yang diputar mengeluarkan suara menggidikan. Lantai yang tergeser mengepulkan asap!
Greekk!
Dua tangan bergerak ke depan. Sepuluh jari dipentang.
Masih tersandar ke dinding ruangan Ken Parantili terkejut luar biasa. “Hyang Jagat Bathara!” Untuk pertama kalinya selir ini mengucap nama Dewa. “Ternyata benar dia memiliki ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah! Tak ada lagi harapan hidup bagiku!” Ken Parantili berpaling ke arah Wiro lalu berteriak. “Wiro! Lekas pergi! Tinggalkan tempat ini!”
Penguasa Atap Langit tertawa bergelak. Suara tawanya membuat ruangan berguncang dan dada berdegup. “Tidak ada satu makhlukpun bisa keluar dari tempat ini! Muncul di sini mati di sini!”
Selesai keluarkan ucapan Penguasa Atap Langit meniup ke arah Ken Parantili sementara dua tangan dilambaikan ke depan. Tangan kanan melambai ke arah Wiro asli, tangan kiri menyapu ke jurusan sukma Wiro.
Tiga larik cahaya menggebubu dalam ruangan membentuk larikan kain lebar berwarna merah disertai menebarnya bau bunga kemboja, bunga yang banyak tumbuh di pekuburan!
Teriakan Ken Parantili membuat Pendekar 212 bisa mengetahui kalau Penguasa Atap Langit akan melancarkan serangan berupa ilmu yang dahsyat. Terlebih ketika hidungnya mencium bau bunga kemboja mendadak berubah menjadi bau kemenyan dibakar!
Bukannya menuruti apa yang dikatakan sang selir, murid Sinto Gendeng justru ingat pada keterangan Ken Parantili sebelumnya, yaitu bahwa semua bangunan di Negeri Atap Langit tidak ada pintu dan jendela. Karena setiap pintu dan jendela merupakan pantangan bagi sang penguasa yang konon bisa membuat ilmu kesaktian yang ada padanya akan lenyap satu persatu melalui pintu atau jendela itu.
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera hantamkan dua tangan. Tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari diarahkan ke Penguasa Atap Langit, tangan kiri memukul ke arah dinding melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Wiro sengaja mengeluarkan pukulan sakti pemberian Tua Gila dari Andalas ini untuk menjebol dinding membuat satu lobang atau pintu besar guna mematahkan kesaktian Penguasa Atap Langit.
Di sudut lain ruangan sukma Wiro tidak tinggal diam. Dengan gerakan yang tampak lamban sosok mengapung, tubuh mengambang dalam ruangan, dua tangan bergerak menggapai ke arah sosok Penguasa Atap Langit.
Mula-mula sang penguasa tidak begitu memperhatikan. Namun ketika melihat sosok sukma Wiro yang berubah dari utuh menjadi bayang-bayang kagetnya bukan alang kepalang. Apalagi dua tangan yang menggapai kelihatan jelas mampu menembus tebaran kain kafan merah tanpa merobeknya! Tampang Penguasa Atap Langit berubah. Jantung berdegup keras.
“Tidak mungkin! Aku menyirap kabar dia sudah lama menemui kematian. Bagaimana bisa ilmunya…” Dalam kaget Penguasa Atap Langit tidak bisa berpikir panjang. Serta merta Penguasa Atap Langit kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki! Tiga larik cahaya merah ilmu bernama Selubung Kain Kafan Sukma Merah melebar dan bertambah tebal, membuntal menelikung ke arah Ken Parantili, Wiro asli dan sukma Wiro. Dua tangan sukma Wiro yang tadi mampu menembus kain merah mendadak sontak lenyap!
Bentrokan kekuatan-kekuatan dahsyat menggelegar dalam ruangan. Ken Parantili menjerit lalu sosoknya lenyap dalam buntalan cahaya berbentuk kain merah lebar dan panjang! Sesaat terdengar suara jeritannya. Lalu diam. Tubuh yang tergulung dalam buntalan kain kafan merah roboh ke lantai lalu laksana dihantam angin prahara melesat ke samping kiri menembus dinding ruangan.


***********************
5

BERSAMAAN dengan terlemparnya sosok Ken Parantili, Puri Kesatu tempat kediaman selir pertama itu laksana dihantam gempa. Pukulan Sinar Matahari dan Dewa Topan Menggusur Gunung berkiblat. Langit­langit ruangan runtuh. Dinding roboh di dua tempat. Lantai rengkah. Wiro dan sosok sukma mencelat ke udara dalam keadaan tubuh mengepul dan tergulung kain kafan merah.
Di dalam ruangan yang sudah porak poranda, tubuh kaku seperti kayu Penguasa Atap Langit tergontai-gontai, mengeluarkan suara greek-greek berulang kali seolah hendak hancur bertanggalan. Namun luar biasanya cahaya putih panas pukulan Sinar Matahari yang dihantamkan Wiro ke arahnya tampak mengapung di tengah ruangan, tidak mampu mendekati sasaran!
Walau sanggup mementahkan serangan Pendekar 212, namun ketika melihat dinding jebol membentuk dua pintu besar terbuka, Penguasa Atap Langit sadar bahaya yang mengancam. Dengan cepat dia melesat keluar dari dalam bangunan Puri Kesatu. Satu cahaya merah melesat keluar dari dalam batok kepala sang penguasa, pertanda ada satu ilmunya yang sempat terlepas keluar akibat berada dalam ruangan yang dindingnya berlobang menyerupai pintu!
Di halaman Puri Kesatu Pendekar 212 Wiro Sableng terhampar di tanah, bersebelahan dengan sosok sukmanya. Keduanya terbungkus dalam gulungan kain kafan merah. Wiro mencoba merobek kain merah yang membungkusnya dengan berbagai cara namun sia-sia saja. Dia berusaha berdiri tapi roboh. Nafas mulai menyengal. Tubuhnya mendadak terasa lemah hingga tidak mampu bergerak. Di sampingnya sukma Wiro mengalami hal yang sama tapi masih mampu berdiri walau tergontai-gontai.
Wuttt!
Satu bayangan merah berkelebat. Satu kaki tahu-tahu menendang punggung Wiro dari belakang hingga sang pendekar tersungkur. Wiro merasa sekujur tubuh seperti hancur remuk. Yang bisa dilakukannya hanya mengerang kesakitan dan menyumpah habis-habisan. Kemudian dirasakannya ada satu kaki menginjak dadanya tepat di arah jantung! Lalu breett! Ada orang merobek kain kafan yang menutupi kepalanya.
Kain kafan merah robek di bagian wajah Wiro hingga dia bisa melihat keadaan di sekitarnya serta siapa yang menginjak dadanya. Bukan lain Penguasa Atap Langit! Ketika dia memperhatikan, ternyata kasut merah yang menginjak dadanya memiliki paku-paku runcing!
Di saat bersamaan terdengar suara kepakan disertai suara teriakan hiruk-pikuk. Bau busuk memenuhi udara malam. Di langit muncul tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk berwajah hitam putih, berambut riap­riapan. Mata memberojol bisa keluar masuk mengerikan!
Melihat kedatangan para pengawal itu Penguasa Atap Langit bukannya gembira tapi malah menghardik marah. “Aku sudah babak belur! Kalian baru muncul! Jahanam tidak berguna! Pergi dari hadapanku. Jangan berani datang kalau tidak aku panggil!”
Salah seekor kelelawar raksasa rundukkan kepala kuncupkan dua sayap lebar. Lalu dia bicara dan suaranya tidak beda dengan manusia. “Yang Mulia, mohon maafmu. Kami sudah tahu kalau sesuatu terjadi di Puri Kesatu. Namun ketika kami berusaha menuju ke sini, ada kekuatan aneh yang membuat kami berputar-putar tak karuan di langit. Setelah berusaha keras baru kami berhasil menembus. Kami mohon maaf…”
“Aku tidak perduli alasan kalian! Kalian sudah kuberi ilmu kesaktian! Mengapa bisa berlaku tolol! Lekas menyingkir dari hadapanku! Jangan tunggu sampai aku menjatuhkan azab hukuman atas kelalaian kalian!”
“Yang Mulia, kami mohon maaf…”
“Sudah! Menyingkir dari hadapanku! Kalian jaga saja perbatasan Negeri Atap Langit. Jangan ada yang bisa lolos dari sini atau ada yang menyelinap masuk!”
Tiga kelelawar raksasa rundukkan kepala. Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih keluarkan suara memelas. Lalu semua makhluk berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Penguasa Atap Langit gesekkan kaki kanannya. Paku­paku runcing di telapak kasut bukan saja merobek baju tapi juga membuat luka dalam di dada Wiro. Dan paku­paku di telapak kasut itu bukan paku biasa karena mengandung racun jahat yang bisa mematikan seekor kerbau besar dalam waktu setengah harian!
Dalam keadaan tak berdaya seperti itu Wiro masih berusaha mengeluarkan ilmu kesaktian Sepasang Pedang Dewa, yaitu berupa sambaran dua sinar hijau yang keluar dari kedua mata. Namun ilmu kesaktian itu tidak mampu dikeluarkan!
“Celaka, apa yang terjadi dengan diriku!” Pikir Pendekar 212.
Ternyata Penguasa Atap Langit masih memiliki ilmu yang mampu menghadang kekuatan dan kesaktian Pendekar 212!
“Manusia bejat penidur selir pertamaku! Jantungmu…! Aku akan menghancurkan jantungmu! Ha… ha… ha!” Penguasa Atap Langit geser-geserkan kasut berpaku.
Tidak mampu menahan sakit, Wiro berteriak namun tenggorokannya tercekik dan dari mulut kelihatan ada lelehan darah mengucur!
Penguasa Atap Langit kembali tertawa bergelak. Tenaga dalam dialirkan ke kaki kanan. Pada saat dia siap menghunjamkan kaki itu ke dada Wiro untuk menghancurkan jantung sang pendekar, tiba-tiba entah dari mana datangnya sayup-sayup terdengar suara tabuhan gamelan.
Penguasa Atap Langit terkesiap.
“Ada suara seruling dan tabuhan gendang. Ada suara gesekan rebab. Itu bukan suara gamelan Negeri Atap Langit. Aku merasa ada yang tidak beres. Hidungku mencium bau wangi aneh…”
Tidak tunggu lebih lama Penguasa Atap Langit segera gerakkan kaki kanan. Kasut merah berpaku dihunjam keras ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun dia melengak kaget. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam, kaki kanan itu terasa kaku, berat dan tak sanggup digerakkan.
Dalam keadaan seperti itu terdengar suara orang bernyanyi. Yang menyanyi lebih dari satu orang. Tiap bait nyanyian dilantun saling bergantian. Suara yang menyanyi adalah suara perempuan!
“Sebelum ajal berpantang mati
Tidak dipanggil datang sendiri
Jangan membunuh sembarangan
Nyawa manusia bukan barang ketengan
Tidak dipanggil datang sendiri
Kehendak Yang Kuasa adalah pasti
Sebelum ajal berpantang mati
Jangan menanam dendam di dalam hati
Lupakan amarah agar bisa menanam budi”
Baik Wiro maupun Penguasa Atap Langit sama-sama terkejut. Ada suara menyanyi tapi orang yang menyanyi tidak kelihatan. Penguasa Atap Langit kertakkan rahang. Kaki kanan kembali dihunjam kuat-kuat ke dada kiri Pendekar 212. Tiba-tiba di dalam gelap dan dinginnya malam dari balik pinggang pakaian Wiro meluncur keluar delapan benda aneh bercahaya, melayang seperti kunang­kunang.


***********************
6

UJUD kunang-kunang berubah membesar namun cahaya yang semula terang menjadi redup. Benda­benda aneh ini kemudian membesar dan membesar hingga membentuk ujud sangat samar, menyerupai sosok bayang-bayang delapan pocong hitam gelap, meliuk-liuk seperti asap ditiup angin tetapi gerakannya seolah mengikuti suara tetabuhan gamelan di kejauhan. Dari tubuh mereka yang hitam sesekali memancar warna kuning, coklat dan hijau dan bau harum mewangi.
Sulit diduga makhluk apa mereka adanya. Hantu atau makhluk jejadian dari alam arwah atau mungkin setan kuburan yang terpesat gentayangan. Tapi apa memang ada kuburan di Negeri Atap Langit?
Dalam keadaan tak berdaya Wiro menghitung. Sosok samar itu berjumlah delapan. Meliuk-liuk mengelilingi dirinya dan Penguasa Atap Langit yang mendadak tampak ketakutan. Wiro ingat, warna kuning, coklat dan hijau adalah paduan tiga warna yang ada pada kuntum bunga matahari!
Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri. Dia cepat menggerakkan tangan kanan. Dalam keadaan tubuh lemah tiada daya dengan susah payah baru dia berhasil meraba pinggang kanannya. Astaga! Walau masih belum yakin tapi dia merasa dugaannya mungkin benar. Delapan bunga matahari kecil yang sebelumnya terselip di pinggangnya tak ada lagi di tempat semula!
Wiro lantas saja ingat pada keterangan Ken Parantili sewaktu berada di Puri Kesatu. Saat itu sang selir berkata, “Kau harus menjaga delapan bunga itu baik-baik. Karena
delapan bunga sesungguhnya adalah delapan pocong gadis cantik. Jika kau melantunkan sepenggal nyanyian, maka mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan kehendak Yang Maha Kuasa mereka akan melakukan apa saja yang kau inginkan. Terutama menolong dan menjaga keselamatan dirimu…” (Baca serial sebelumnya “Selir Pamungkas”).
“Tapi aku tidak melantunkan nyanyian. Aku tidak memanggil mereka. Mengapa mereka bisa keluar dari dalam bunga…” Membatin Pendekar 212. Lalu dia ingat pada nyanyian yang terdengar sebelum delapan pocong menari menampakkan diri. “Tidak dipanggil datang sendiri… Kehendak Yang Kuasa adalah pasti… Sebelum ajal berpantang mati…”
“Delapan Pocong Menari… Mereka muncul sendiri. Keluar dari dalam delapan bunga matahari untuk menolongku. Terima kasih delapan pocong! Terima kasih Gusti Allah!” Wiro mengucap dalam hati.
Setelah terkesiap cukup lama, Penguasa Atap Langit menggembor keras. Kreeek! Seluruh tenaga dalam yang ada disalurkan ke kaki kanan untuk menjebol dada Wiro. Tangan kiri kanan dipentang. Jari tengah dilipat.
Kreek!
Delapan jari lainnya mencuat lurus, pancarkan cahaya merah!
“Sebelum ajal berpantang mati. Jangan menanam dendam di dalam hati. Lupakan amarah agar bisa menanam budi.”
Kembali terdengar suara perempuan menyanyi. Lalu disusul suara meniup. Tiupan itu perlahan saja namun Wiro melihat bagaimana sosok Penguasa Atap Langit tiba-tiba terangkat ke atas, jungkir balik di udara malam tiga kali sebelum ambruk ke tanah kepala ke bawah kaki ke atas! Untuk beberapa lama kepala Penguasa Atap Langit menancap di tanah sampai sebatas leher sementara dua kaki melejang-lejang.
Delapan pocong hitam tiba-tiba palingkan wajah ke arah Wiro lalu sama-sama runcingkan mulut siap meniup. Wiro jadi melengak kaget. Mengira dirinya akan diperlakukan seperti Penguasa Atap langit, dilempar ke udara lalu dibanting ke bawah, kepala menancap di tanah!
“Oala! Kalau kalian mau membunuhku gebuk saja langsung batok kepalaku! Jangan dibuat sengsara seperti makhluk itu!” Wiro keluarkan ucapan.
“Hik… hik… hik!”
Terdengar dua di antara pocong, tertawa mengikik. Membuat Wiro jadi heran. Lalu ada suara berkata. “Hati­hati… Jangan meniup terlalu keras. Bisa-bisa seluruh pakaiannya ikut tanggal! Hik… hik… hik!”
“Memangnya kita tidak boleh melihat pemuda telanjang?! Hik hik!” Ada suara bertanya lalu ikutan cekikikan.
Delapan mulut meniup! Wiro merasa ada sambaran angin halus meniup dirinya mulai dari kepala sampai ke kaki.
Wuttt!
Kain kafan merah yang membungkus tubuh Wiro lenyap seketika. Bersamaan dengan itu kekuatannya kembali pulih. Wiro cepat melompat berdiri hendak mendatangi delapan pocong hitam. Maksudnya hendak mengucapkan terima kasih sambil memperhatikan bagaimana sesungguhnya wajah mereka. Tapi didahului suara tawa cekikikan delapan makhluk itu lenyap tanpa bekas. Ketika memandang ke depan dia melihat Penguasa Atap Langit pergunakan dua tangan menggebuk tanah hingga tanah terbongkar dan kepalanya terlepas dari jepitan tanah. Walau kini bebas namun kekuatannya seperti leleh. Tubuh terguling ke tanah, dada turun naik, nafas megap-megap, lidah terjulur dan sepasang mata mencelat. Dua tangan memegangi leher seperti berusaha melepaskan diri dari cekikan yang tidak kelihatan.
Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok sukmanya. Dia juga tidak melihat Ken Parantili. Wiro tidak khawatir pada keselamatan sukmanya. Tapi dia merasa takut kalau telah terjadi sesuatu dengan Ken Parantili.
“Selir itu. Jangan-jangan sudah dihabisi Penguasa Atap Langit!”
Memikir sampai ke situ Wiro melompat ke hadapan Penguasa Atap Langit yang tergelimpang di tanah. Tanpa banyak cerita lagi kaki kanannya bergerak menendang ke arah kepala.
Saat itu berturut-turut mendadak ada suara mengiang bersahut-sahutan di telinganya. Suara perempuan.
“Mengobati luka sendiri lebih penting dari melampiaskan hawa amarah. Racun jahat hanya memberi waktu dua puluh satu hitungan.”
“Membunuh lawan tidak berdaya bukanlah sifat ksatria sejati.”
“Mendahulukan menyelamatkan seorang sahabat adalah lebih baik dari menuruti kata hati.”
Wiro terkesiap dan tertegun diam. Tendangan ke arah kepala Penguasa Atap Langit serta merta dibatalkan. “Siapa yang mengirimkan suara pengiang? Pasti pocong­pocong menari tadi.” Pikir Wiro.
Sang pendekar raba dadanya yang luka dan ternyata masih mengucurkan darah akibat injakan kasut berpaku Penguasa Atap Langit. Darah yang keluar dari luka bukan berwarna merah tapi sudah menghitam pertanda mengandung racun jahat. Wiro meraba pinggang pakaian sebelah kanan. Ternyata delapan bunga matahari kecil sudah ada lagi terselip di pinggang itu. Dia merasa lega.
Wiro cepat totok urat besar di pangkal leher dan dada untuk membendung racun jahat yang telah masuk ke dalam aliran darah. Tapi saat itu dia malah terbatuk-batuk semburkan darah. Pemandangannya mulai berkunang­kunang. Sekujur tubuh terasa panas!
“Kami hanya sejengkal dari ujung tanganmu. Mengapa tidak memanfaatkan Kuasa dan Kasih Sayang Gusti Allahmu?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengiang di telinga.
“Gusti Allah! Baru kali ini ada makhluk yang menyebut nama itu di negeri ini. Kami… kami… kalian siapa…?”
Tak ada jawaban.
Wiro tekap dadanya yang luka. Darah semakin deras mengucur.
“Pocong menari! Delapan bunga matahari!” Ucap Wiro dalam hati. Dia segera keluarkan delapan bunga matahari kecil dari balik pakaian. Dengan cepat delapan bunga diusapkan ke luka di dada. Delapan cahaya aneh bergemerlap. Ajaib! Saat itu juga darah hitam berhenti mengucur. Luka menutup tanpa bekas. Pemandangan yang berkunang-kunang kembali pulih. Hawa panas di tubuh serta merta lenyap. Wiro menatap delapan bunga matahari kecil penuh kagum dan seperti tidak percaya.
“Makhluk yang barusan bicara. Siapapun kau adanya aku berterima kasih kau telah mengingatkan dan menolongku!” Wiro berucap perlahan.
Beberapa langkah di depan sana Penguasa Atap Langit memandang ke arahnya. Tampangnya tegang. Mata tak berkesip, menatap takut ke arah delapan bunga matahari yang dipegang Wiro. Dia tampak lega ketika melihat Wiro menyimpan delapan bunga itu di balik pakaian.
“Makhluk jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada Ken Parantili! Di mana perempuan itu?!” Wiro membentak.
Penguasa Atap Langit membuka mulut. Namun dia tak mampu keluarkan suara. Lidah yang merah terjulur keluar mengepulkan asap. Kepala digeleng berulang kali.
Tiba-tiba satu bayangan melesat. Wiro berpaling. Yang muncul ternyata sukmanya yang rupanya mampu keluar dari selubung kain kafan, menggendong seseorang yang terbungkus dalam kain kafan merah.
“Ken Parantili!” Wiro cepat mendekat dan berusaha membuka kain kafan merah namun tak berhasil. Dicobanya merobek, juga tidak bisa. Dia kerahkan tenaga dalam lalu mencoba lagi. Tetap tidak bisa!
Penguasa Atap Langit keluarkan suara aneh dari tenggorokan. Mata menatap ke arah Wiro dan sosok yang terbungkus kain merah dalam gendongan sukma Wiro.
Dengan gerakan kepala dia memberi isyarat agar Wiro tidak berdiri di hadapan Ken Parantili.
“Kau mau berbuat apa?! Mau membunuh perempuan ini?!” Bentak Wiro.
Penguasa Atap Langit kembali menggeleng berulang kali. Mulut bergerak tapi tak ada suara yang keluar. Tiba­tiba dia jatuhkan diri ke tanah. Berguling ke samping kiri. Wiro bertindak waspada. Dengan cepat dia memutar tubuh sambil siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan yaitu Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.
“Penguasa Atap Langit! Saat ini aku bisa membunuhmu semudah membuang ludah! Tapi aku ingin kau bertobat! Kalau umurmu panjang mungkin banyak hal baik yang bisa kau lakukan. Kalau kau berlaku culas dan tetap berbuat kejahatan kau akan terkutuk selama-lamanya!”
Tiba-tiba di udara terdengar suara bergemuruh dan disertai suara teriakan riuh. Wiro mendongak. Yang muncul ternyata adalah tiga kelelawar raksasa pengawal Negeri Atap Langit dan puluhan makhluk arwah berwajah hitam putih. Sikap mereka jelas siap hendak menyerang Wiro dan sukmanya.
Penguasa Atap Langit berusaha berdiri. Tapi dia hanya mampu duduk menjelepok di tanah. Dalam keadaan seperti itu dia menatap ke atas, gelengkan kepala sambil menggoyangkan tangan.
“Yang Mulia! Kami datang menjemputmu!” Kelelawar raksasa di ujung kanan berkata.
“Yang Mulia, ijinkan kami membunuh dua makhluk kembar dan sosok yang ada dalam gendongan!” Kelelawar raksasa di sebelah tengah susul ucapan temannya.
Tampang Penguasa Atap Langit tampak berubah galak. Kembali dia menggeleng dan goyangkan tangan. Melihat hal ini tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk berwajah hitam putih keluarkan suara mengorok halus lalu melesat, tinggi ke udara malam yang gelap dan dingin. Setelah berputar tiga kali di atas sana, semuanya melesat ke arah timur, lenyap ditelan kegelapan.
Wiro dan sukmanya memandang ke arah Penguasa Atap Langit. Apa makhluk yang tadinya jahat ini telah berubah sifat? Wiro merasa ragu. Di hadapannya Penguasa Atap Langit manggut-manggut merunduk. Tiba-tiba kepala diangkat lalu dia meniup ke arah sosok terbungkus yang berada dalam gendongan sukma Wiro.
“Kurang ajar! Kau benar-benar culas! Kau mau berbuat apa?!” Wiro berteriak marah. Sukmanya menggereng seperti harimau terluka. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, tiupan Penguasa Atap Langit telah menyambar sosok terbungkus kain kafan merah yang ada dalam gendongan sukma Wiro.
Dess! Desss!
Kain kafan mengepul asap merah disertai menebarnya bau wangi setanggi! Wiro terkesiap. Sukma Wiro melengak karena sosok yang digendongnya mendadak menjadi enteng!


***********************
7

SEKALI lagi kain kafan mengepul asap merah. Begitu asap pupus, kain kafan merah ikut lenyap. Kini dalam gendongan sukma Wiro terlihat sosok Ken Parantili yang mengenakan pakaian putih berenda. Mata terpejam. Rambut hitam tergerai ke bawah. Kulit wajah, tangan dan kaki berwarna merah. Ini akibat terlalu lama tersekap dalam kain kafan merah. Penguasa Atap Langit kembali hendak meniup ke arah Ken Parantili. Namun saat itu Wiro telah memutar tubuh membuat gerakan untuk melepas pukulan sakti.
“Jahanam! Kau membunuh Ken Parantili!” Teriak Wiro langsung menghantam ke arah Penguasa Atap Langit dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah yang sejak tadi disiapkan. Tapi sang Penguasa ternyata tak ada lagi di tempat itu. Di tanah kelihatan satu lobang aneh sepemasukan tubuh manusia menyerupai terowongan panjang. Inilah yang disebut Terowongan Arwah. Terowongan jejadian seperti ini pernah dibuat oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan dipergunakan Eyang Semirang Biru ketika meloloskan diri dari Ruang Segi Tiga Nyawa setelah berhasil merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang kemudian ternyata palsu (Baca serial sebelumnya berjudul “Sesajen Atap Langit”).
Wiro terkesiap sesaat. Begitu sadar dia segera melanjutkan gerakan tangan melepas pukulan sakti. Tanah bergoncang, bangunan Puri Kesatu yang sudah ambruk kini tambah luluh lantak. Dua pohon mahoni di halaman Puri Kesatu terbongkar tumbang, lobang sepemasukan tubuh manusia kini berubah menjadi lobang besar sedalam lutut. Namun Penguasa Atap Langit sudah raib.
Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Keduanya segera berkelebat pergi. Siap meninggalkan Negeri Atap langit. Namun celakanya mereka tidak mampu mencari jalan keluar. Mereka tidak dapat menemukan Pintu Akhirat maupun Pintu Gerbang Atap Langit.
Sementara itu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam Putih berulang kali terbang di atas mereka namun tidak ada yang berani mendekat apalagi mengganggu.
Di kegelapan menjelang pagi tiba-tiba ada delapan cahaya merah berkiblat di langit. Delapan cahaya dengan cepat melesat ke bumi. Empat menghantam ke arah Wiro, empat lainnya menderu ke jurusan sukma Wiro!
“Awas! Serangan Delapan Sukma Merah!” Teriak Wiro. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua tangan sekaligus. Tangan kanan sudah dialiri aji kesaktian Pukulan Sinar Matahari hingga tampak memutih perak. Tangan kiri siap melancarkan Pukulan Harimau Dewa. Sukma Wiro melakukan hal yang sama setelah lebih dulu memindahkan Ken Parantili yang digendongnya ke atas bahu kanan.
Belum sempat keduanya melepas pukulan-pukulan sakti tiba-tiba di udara terdengar suara kepak sayap disertai suara teriakan-teriakan.
Blaarr!
Blaarr!
Tiga kelelawar raksasa melayang membesat udara. Dua di antaranya langsung terpanggang dan meledak hancur begitu dihantam empat cahaya merah. Sembilan makhluk Arwah Hitam Putih menjerit keras ketika tubuh mereka terkena percikan delapan cahaya merah. Seperti dua kelelawar raksasa, tubuh mereka hancur menjadi kepingan-kepingan yang dikobari api lalu berhamparan di tanah!
Kelelawar raksasa pengawal ketiga menggerung keras. Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih menjerit. Mereka semua tampak marah menyaksikan kematian dua kelelawar teman mereka serta sembilan makhluk Arwah Hitam Putih hingga berlaku lengah. Ketika delapan sinar merah lagi mendadak muncul di langit menyerang mereka, semuanya tidak berkesempatan menyelamatkan diri!
Pada saat itulah dua Pukulan Sinar Matahari dan dua Pukulan Harimau Dewa yang dilepas Wiro bersama sukmanya menggelegar ke udara!
Dua bola api raksasa membuntai di udara lalu meledak dahsyat. Hawa panas menghampar seolah matahari terik hanya sejengkal di atas kepala! Langit laksana mau runtuh. Negeri Atap Langit bergoncang seperti dihantam gempa di delapan penjuru. Tanah retak-retak. Beberapa bangunan berupa puri tempat kediaman para selir ambruk. Jeritan terdengar di mana-mana. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing disertai kilasan cahaya kuning redup yang kemudian lenyap.
Blukkk!
Sebuah benda melayang di udara lalu jatuh bergedebuk di tanah. Ketika diperhatikan ternyata itu adalah sosok seorang berpakaian dan berikat kepala hijau. Dari mulutnya mengucur lelehan darah. Bagian dada pakaian hijaunya tampak gelap kehitaman seperti hangus. Orang ini cepat bergerak bangun. Berdiri terhuyung-huyung sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wiro asli dan sukmanya.
“Kalian akan menerima pembalasan…”
Habis keluarkan ucapan orang itu sempoyongan lalu roboh ke tanah.
“Keparat Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jadi kau yang punya perbuatan! Pembalasan jatuh lebih dulu atas dirimu!” Teriak Pendekar 212. Seluruh tenaga dalam yang dimiliki disalurkan ke tangan kanan yang masih memancarkan cahaya perak menyilaukan. Ketika Wiro siap menghantam tiba-tiba ada suara perempuan mengiang di telinga.
“Jangan dibunuh! Nyawanya sudah ada yang memesan!”
Wiro terkesiap. “Delapan Pocong…” Ucap Wiro lalu tangan kanan meraba ke balik pinggang.
Saat itulah tiba-tiba, wusss! Sosok Sinuhun Muda Ghama Karadipa lenyap dari pemandangan. Di tanah tampak sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia. Terowongan Arwah!
“Delapan Pocong! Aku mohon kau jangan mencampuri urusanku! Karena ucapanmu makhluk jahat itu berhasil kabur!” Wiro mengomel karena jengkel.
“Kami bukan mencampuri. Kami hanya memberi ingat. Jangan marah dan jangan merasa kami menghalangi.” Terdengar jawaban mengiang di telinga Wiro.
Wiro dan sukmanya walau tidak mengalami cidera namun sama-sama tampak pucat tak berdarah, dada mendenyut sakit. Rambut berjingkrak lucu ke atas! Sosok Ken Parantili terguling di tanah masih dalam keadaan diam pingsan tak berkutik.
Sementara itu di udara sana, sadar kalau diri mereka telah ditolong oleh Wiro dan sukmanya kelelawar raksasa yang tinggal satu bersama puluhan makhluk Arwah Hitam Putih meluruk turun ke tanah, membuat sikap bersujud. Sepasang mata merah kelelawar raksasa berkedip. Lalu terdengar dia berucap.
“Saya dan semua pengawal Negeri Atap Langit menghatur terima kasih. Kau dan saudara kembarmu telah menyelamatkan kami dari serangan maut Sinuhun Muda Ghama Karadipa.”
Wiro tatap sebentar makhluk di hadapannya, melirik pada puluhan Arwah Hitam Putih lalu menjawab. “Sinuhun Muda? Bukankah dia sebenarnya berada di pihak kalian? Bukankah bersama Sinuhun Merah saudara kembaran nyawanya dia adalah kaki tangan malah bisa dianggap sebagai murid-murid Penguasa Atap Langit?”
“Keculasan setipis angin pagi. Itulah yang terjadi. Mulai hari ini kami semua menjadi hamba sahaya Yang Mulia berdua!”
Wiro asli dan Wiro sukma sama-sama terkejut dan saling pandang. Wiro asli menggeleng lalu garuk-garuk kepala. “Tidak, kami berdua bukan pimpinan kalian. Kalian bukan hamba sahaya kami.”
“Tapi itu adalah perintah Yang Mulia Penguasa Atap Langit kepada kami.” Jawab kelelawar raksasa yang membuat Wiro dan sukmanya kembali dibuat kaget.
“Di mana sekarang beradanya pimpinan kalian Penguasa Atap Langit?” Wiro bertanya.
“Kami tidak tahu. Setelah memberi perintah untuk melindungi Yang Mulia berdua bersama Selir Pertama, Yang Mulia Penguasa Atap Langit menghilang. Kami tidak tahu apakah kami akan bertemu lagi dengannya.”
“Dengar kalian semua. Saat ini lebih baik kalian mengurus sisa-sisa jenazah sahabat kalian yang masih berhamparan di tempat ini.” Berkata Wiro.
“Lalu Yang Mulia sendiri mau berbuat apa?” Tanya kelelawar raksasa pengawal Negeri Atap Langit.
Wiro tertawa mendengar dirinya terus-terusan dipanggil Yang Mulia. “Kami akan segera pergi dari tempat ini…”
Kelelawar raksasa dan puluhan Arwah Hitam Putih unjukkan wajah kecewa. Dengan suara perlahan kelelawar raksasa berkata. “Mohon dimaafkan kami tidak bisa mengantar atau menunjukkan jalan. Karena hal itu tidak diperintahkan oleh Yang Mulia Penguasa Atap Langit yang lama.”
“Tidak jadi apa. Kami bisa mencari jalan sendiri.” Jawab Wiro.
“Kalau begitu semoga Yang Mulia berdua mendapat tuntunan dari Para Dewa…”
“Ya… ya. Terima kasih.” Jawab Wiro yang tidak bisa mengerti mengapa makhluk-makhluk itu jadi berubah baik dan sangat menghormat dirinya. Mengapa Penguasa Atap Langit mengatakan pada makhluk-makhluk itu bahwa dirinya adalah pimpinan yang baru di Negeri Atap Langit. Jangan-jangan semua ini jebakan belaka. Suatu ketika Penguasa Atap Langit bisa saja muncul secara tak terduga membawa bencana yang lebih dahsyat.
Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Sang sukma segera menggendong Ken Parantili kembali. Lalu keduanya cepat-cepat meninggalkan tempat itu diikuti pandangan kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam Putih.


***********************
8

KETIKA langit di ufuk timur mulai terang tanda fajar akan segera menyingsing, Wiro dan sukmanya sampai di satu kawasan berbatu-batu berhawa sangat dingin. Wiro melihat sukmanya tampak pucat dan gerakannya mulai lamban. Wiro sendiri saat itu merasa letih.
“Sukmaku sudah terlalu lama berada di alam luar. Belum pernah kejadian seperti ini. Saatnya dia harus masuk kembali ke dalam ragaku. Kalau tidak dia dan aku bisa sama-sama celaka.” Membatin Wiro yang saat itu merasa dadanya mulai sesak.
Wiro mengambil Ken Parantili dari gendongan sukmanya lalu membaringkan perempuan ini di tanah di atas rerumputan liar. Dia sendiri kemudian duduk bersila dan merapal ajian Meraga Sukma. Hanya sekejapan mata sosok utuh sukma Wiro berubah menjadi bayang-bayang lalu masuk ke dalam tubuh aslinya.
Kini perhatian Wiro tertuju pada Ken Parantili. Dia tidak melihat tanda-tanda totokan di bagian tubuh sebelah atas selir itu. Tidak ada cidera atau bekas pukulan. Tubuhnya juga tidak panas pertanda tidak ada racun jahat yang mendekam. Wiro letakkan telinga kiri di atas dada perempuan itu. Dia bisa mendengar detak jantung walaupun agak perlahan.
“Tak ada totokan, tak ada racun. Detak jantung masih terdengar tanda dia masih hidup. Tapi mengapa seluruh kulitnya berwarna merah? Akibat selubungan kain merah?”
“Kain aneh. Bagaimana aku bisa melenyapkan tanda merah di wajah dan sekujur tubuh selir ini? Kasihan kalau dia sampai cacat seumur hidup.” Wiro menggaruk kepala. “Aku harus bisa membuatnya sadar. Dia satu-satunya yang bisa menolong memberi tahu bagaimana keluar dari negeri sialan ini. Aku masih harus menolong Ni Gatri, mencari Eyang Sinto, menemukan kembali Kapak Naga Geni…”
Wiro letakkan telapak tangan kanan di kening Ken Parantili lalu kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Ditunggu beberapa lama perempuan itu lelap saja tidak bergerak. Tidak siuman. Wiro ganti memegang dua pergelangan kaki. Lalu kembali mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tubuh Ken Parantili. Sampai tubuhnya keringatan Ken Parantili masih terus tak berkutik, diam dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tenaga dalam dan hawa saktinya tidak mampu menembus masuk ke dalam tubuh sang selir.
Wiro duduk termenung, terus berpikir-pikir. Tiba-tiba saja dia ingat pada delapan bunga matahari kecil. Dengan cepat bunga dikeluarkan dari balik pakaian. Sesaat Wiro merasa bimbang. Bunga diusap-usap. Tangan diulur. Delapan bunga kecil perlahan-lahan disapukan ke bagian atas kepala lalu ke kening Ken Parantili. Selir itu masih belum juga siuman. Wiro lanjutkan mengusap delapan bunga matahari ke bagian wajah, terus ke leher. Ketika delapan bunga menyapu di atas dada sebelah kiri, desss!
Satu letupan halus tapi berkekuatan besar membuat Wiro terpelanting. Delapan bunga matahari tergoyang kencang, pancarkan warna kuning, coklat dan hijau. Sosok Ken Parantili sendiri mengapung ke udara mengepulkan asap merah lalu seperti ada yang menahan, perlahan-lahan jatuh tertelentang di tanah. Ketika Wiro mendatangi, warna merah pada wajah dan sekujur tubuh selir itu telah lenyap. Kulitnya kembali seperti semula walau wajah terlihat agak pucat.
Wiro cepat rangkul perempuan itu lalu mendudukkannya di tanah bersandar pada salah satu batang pohon mahoni yang tumbang. Dari mulut Ken Parantili keluar suara mendesah. Bersamaan dengan itu menyembur kepulan asap merah. Perlahan-lahan sepasang mata terbuka. Astaga! Bagian mata yang seharusnya putih kelihatan merah seperti saga!
Walau matanya merah namun pemandangannya tidak terganggu. Begitu melihat Wiro di hadapannya, Ken Parantili membuka mulut hendak bertanya. Tapi diberi isyarat oleh Wiro agar jangan bicara dulu.
“Sepasang matamu berwarna merah. Tadi waktu masih terpejam aku telah mengusap dengan bunga ini. Bagian tubuhmu yang lain bisa pulih, warna merah hilang. Tapi warna merah di matamu tidak lenyap.”
Ken Parantili hanya bisa mengusap-usap karena tidak dapat melihat sendiri keadaan matanya.
“Aku akan mengusapkan bunga ini sekali lagi. Matamu jangan dipejamkan.”
Ken Parantili mengangguk. Wajah sengaja ditengadah dan dua mata dibuka lebar-lebar. Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil di atas kedua mata perempuan muda itu. Ajaib memang kesaktian delapan bunga matahari kecil. Begitu tersentuh usapan bunga, bagian mata yang merah berubah pulih menjadi putih kembali.
“Matamu sudah sembuh. Warna merahnya sudah hilang.” Wiro memberi tahu.
Saking girangnya Ken Parantili mencium delapan bunga matahari lalu memeluk Wiro sambil mengucapkan terima kasih. “Kalau tidak ada bunga ini dan kau tidak menolong, dalam waktu tiga hari mataku akan menjadi buta. Itulah jahatnya Ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah.”
“Ilmu setan!” Rutuk Wiro. “Aku sudah membuktikan. Jangankan keluar, merobeknya saja aku tidak mampu. Sukmaku berhasil merobek sedikit namun kemudian dua tangannya dibuat tak berdaya!” Wiro menggaruk kepala lalu bertanya. “Apakah kau memiliki ilmu itu?”
“Setengah jalan.” Jawab Ken Parantili.
“Maksudmu?”
“Aku bisa mengeluarkan, namun tidak bisa melenyapkan. Penguasa Atap Langit hanya memberi tahu bahwa ada semacam rapalan disertai cara meniup untuk melepaskan seseorang yang telah dibungkus Ilmu Kain Kafan Sukma Merah. Aku tidak sempat mendapatkan rapalan itu.”
“Ah… itu rupanya yang dilakukan Penguasa Atap Langit. Baru aku ingat. Dia melenyapkan selubung kain kafan merah di tubuhmu dengan cara meniup. Berarti dia bermaksud mau menolong setelah berbuat jahat.”
“Perguasa Atap Langit yang melakukan? Bagaimana aku bisa percaya?” Ucap Ken Parantili pula. “Sahabat, sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi? Bagaimana kita bisa berada di sini? Mana Penguasa Atap Langit? Mana sukmamu?” Selir itu memandang berkeliling.
Wiro menceritakan apa yang terjadi.
“Jadi kau tidak membunuh Penguasa Atap Langit?” Tanya sang selir heran.
Wiro gelengkan kepala. “Saat itu dia dalam keadaan tak berdaya. Lalu aku juga melihat ada perubahan pada dirinya.”
Wiro tidak menceritakan adanya suara mengiang yang melarang dia membunuh Penguasa Atap Langit.
“Tapi ilmunya bisa saja pulih kembali. Jika hal itu sampai terjadi akan sangat berbahaya.”
“Mudah-mudahan saja dugaanmu keliru. Karena sewaktu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk berwajah hitam putih muncul hendak membunuhku, Penguasa Atap Langit melarang dan mengusir mereka. Kemudian ketika ada serangan Delapan Sukma Merah, dua kelelawar raksasa dan sembilan makhluk Arwah Hitam Putih mengorbankan diri melindungiku dan sukmaku…”
“Wiro, sulit aku percaya kalau bukan mendengar dari mulutmu sendiri. Tapi mengapa sekarang dia melenyapkan diri? Bukan mustahil tengah menghimpun kekuatan dan menyusun rencana balas dendam. Walau banyak ilmunya yang telah amblas dan rontok, agaknya Penguasa Atap Langit masih menyimpan beberapa ilmu kesaktian dahsyat.”
“Ken Parantili, yang lebih penting saat ini adalah mencari jalan keluar dari negeri keparat ini.” Berkata Wiro.
“Kita harus mencari pohon beringin yang dulu membawamu ke sini. Hanya pohon itu yang bisa membawamu keluar dari Negeri Atap Langit.”
“Hanya aku yang akan dibawa? Apa maksudmu? Kau akan tetap tinggal di negeri ini?” Bertanya Wiro.
“Aku tidak mungkin ikut bersamamu.”
“Mengapa tidak mungkin? Kau memilih tetap di sini bersama Penguasa Atap Langit yang pasti akan membunuhmu?” Bertanya Wiro.
“Aku tidak mungkin pergi tanpa lebih dulu mendapatkan kembali jantungku yang telah dicopot dan disimpan Penguasa Atap Langit di suatu tempat. Tanpa jantung, di dunia luar aku hanya bisa bertahan hidup selama tiga hari tiga malam. Kalau Penguasa Atap Langit bertindak gila dan bengis, dia bisa meremas jantungku dan saat itu juga aku akan menemui kematian secara lebih cepat.”
“Dia tidak akan melakukan itu. Ingat, seperti katamu dia ingin membunuh ragamu dengan tangannya sendiri. Karena hanya dengan cara itu dia bisa mempertahankan ilmu kesaktiannya yang masih tersisa.”
“Kau benar,” kata Ken Parantili sambil memegang lengan Wiro.
Seperti yang pernah diperlihatkan Ken Parantili kepada Wiro dengan cara membelah dadanya, selir ini memang tidak memiliki jantung. Dada kirinya kosong!
“Kalau begitu kita cari dulu jantungmu itu.” Kata Wiro pula.
Ken Parantili menggeleng. “Aku akan mengantarkanmu mencari pohon beringin yang dulu membawamu ke sini. Setelah bertemu kau pergi sendirian. Tidak perlu memikirkan diriku. Banyak pekerjaan sangat penting yang harus kau lakukan. Berlama-lama di sini aku khawatir akan terjadi sesuatu pada dirimu.”
Wiro ganti menggeleng. “Aku tidak akan pergi kalau tidak membawamu serta. Menyelamatkanmu juga merupakan satu tugas penting.”
“Di Negeri Atap Langit ada delapan belas orang selir lagi. Satu yang bernama Windu Resmi sudah menemui ajal. Masih ada tujuh belas orang yang kelak akan menemui nasib sama. Menemui kematian di tangan Penguasa Atap Langit. Apakah kau juga akan menolong mereka?”
Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu menggaruk kepala, “Itu bisa diatur. Kita lihat saja nanti. Yang jelas bagaimana kita bisa menyelamatkan orang lain kalau kita saja masih tersekap di sini? Sekarang lekas tunjukkan di mana Penguasa Atap Langit menyekap jantungmu!”
“Tempatnya sebuah goa. Letaknya sebenarnya tak jauh dari sini. Tapi keberadaannya seperti gaib. Untuk pergi ke sana perlu menunggang pohon beringin dan memakan waktu cukup lama. Itulah keanehan Negeri Atap Langit.” Menerangkan Ken Parantili.
Wiro jadi tidak sabaran. Dirangkulnya pinggang Ken Parantili lalu perempuan itu dipanggul di bahu kanan. “Kau tunjukkan jalan! Kita cari pohon itu sekarang juga!”
Sesaat Ken Parantili merasa terharu mendengar apa yang diucapkan dan hendak dilakukan Pendekar 212. Tangan kiri digelung di leher Wiro. Tangan kanan menunjuk ke depan, memberi isyarat ke mana Wiro harus bergerak.
“Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri.” Berkata sang selir.
Tapi murid Sinto Gendong telah melompat ke arah yang ditunjuk sang selir. Dia berlari dengan mempergunakan ilmu lari Kaki Angin pemberian Eyang Sinto Gendeng.
Ketika Ken Parantili dan Wiro sampai ke tempat di mana seharusnya berada pohon beringin sakti, mereka terkejut karena pohon itu tidak ada lagi di tempatnya semula. Di tanah terlihat satu lobang besar.
“Celaka! Pohon beringin lenyap dibongkar orang!” Teriak Ken Parantili. “Kita tidak mungkin keluar dari Negeri Atap Langit saat ini juga. Berarti kita harus menunggu selama tujuh hari tujuh malam baru bisa menemukan pohon beringin itu. Aku khawatir selama itu Penguasa Atap Langit, jika dia masih hidup, akan berusaha memulihkan diri lalu melakukan balas dendam yang dahsyat!”
Mendadak di langit ada suara berkesiuran.
Wiro mendongak ke atas. “Ken Parantili. Agaknya kita tidak perlu menunggu sampai tujuh hari tujuh malam…”


***********************
9

KETIKA Ken Parantili ikut mendongak menatap ke atas langit, darahnya tersirap. Dia melihat satu pohon beringin besar di udara dan bergerak melayang turun ke arah dirinya dan Wiro berada. Daun-daun dan akar di sebelah bawah bergetar mengeluarkan suara berdesir. Akar-akar gantung bergelayutan. Itulah pohon beringin yang tengah mereka cari!
Ken Parantili tidak merasa heran melihat pohon beringin bisa melayang di udara bergerak turun ke bawah. Keanehan seperti ini biasa-biasa saja di Negeri Atap Langit. Sebelumnya dia pernah membawa pohon itu keluar dari Negeri Atap Langit menuju kawasan Plaosan untuk mencari Wiro. Namun yang membuatnya terkesiap besar adalah ketika melihat ada dua tangan menggotong pohon itu. Di bawah batang pohon sebelah tengah ada satu sosok merah menopang batang pohon. Si penopang ternyata bukan lain Penguasa Atap Langit.
“Awas! Dia hendak menimbun kita dengan pohon beringin itu! Kurang ajar! Baru saja diberi ampun sudah berbuat culas!” Teriak Wiro marah. Serta-merta dia siapkan Pukulan Sinar Matahari.
Di atas sana, pohon beringin besar tidak dilempar ke bawah seperti yang diduga Wiro, tapi terus melayang ke bawah secara perlahan-lahan lalu tanpa suara, tanpa getaran pohon diturunkan ke tanah, hanya beberapa langkah di hadapan Wiro dan Ken Parantili.
Sebelum pohon menyentuh tanah, Penguasa Atap Langit menyelinap ke belakang pohon lalu, dess! Wiro melompat ke udara. Berusaha mengejar. Ken Parantili mengikuti. Ketika mereka sampai di balik batang pohon, Penguasa Atap Langit tidak kelihatan lagi. Yang tampak adalah satu lobang dalam sepemasukan tubuh manusia.
“Sial! Lagi-lagi Terowongan Arwah!” RutukWiro. “Jika Penguasa Atap langit muncul lagi kita harus bisa mencegah dia kabur dengan cara ini. Kau punya ilmu penangkalnya?” Bertanya Wiro.
Ken Parantili menggeleng, “Mungkin kau bisa mempergunakan ilmu membelah tanah seperti kau lakukan ketika memendam mayat selir Windu Resmi. Tapi tadi jelas Penguasa Atap Langit tidak punya niat jahat hendak mencelakai kita dengan menjatuhkan pohon besar itu.”
“Lalu mengapa dia kabur?”
“Mungkin dia merasa khawatir kita masih punya dugaan kalau dia makhluk jahat. Padahal mungkin sudah berubah. Buktinya tadi dia sengaja membawa pohon beringin yang kita cari ke sini.”
“Kau seperti membela makhluk yang hendak membunuhmu itu!”
“Sudah, tidak usah diperpanjang. Kalau kau memang mau mengajakku pergi dari Negeri Atap Langit, sekarang kita harus mencari goa tempat di mana jantungku disimpan.”
“Kalau Penguasa Atap Langit punya niat baik terhadapmu, seharusnya dia juga membawa jantungmu. Bukan cuma pohon beringin.” Jawab Wiro masih kesal.
“Mungkin dia punya kendala,” jawab Ken Parantili.
“Kendala apa?” Tanya Wiro.
“Mulut goa tempat penyekapan jantung bisa saja dianggap sebagai pintu pantangan yang bisa mencelakai dirinya. Berarti selama ini ada seseorang yang mewakili makhluk bejat itu menjaga goa.”
“Siapa orang atau makhluknya?” Tanya Wiro pula.
Ken Parantili tidak menjawab karena memang tidak tahu.
“Ken Parantili, mungkin saja Penguasa Atap Langit sudah tahu kalau kau akan mengambil jantungmu di goa penyekapan. Dia lantas menunggumu di sana. Begitu kau muncul dia akan membunuhmu dengan tangannya sendiri! Jika kau mati bukankah ada dugaan bahwa semua ilmu kesaktiannya akan kembali langgeng?”
Sejenak Ken Parantili terdiam mendengar ucapan Wiro. Kemudian dia berkata. “Kalau kau tidak menolong, sebenarnya aku sudah mati. Sekarang mengapa aku harus takut pada kematian yang tertunda?”
Wiro diam saja. Namun dalam hati dia membatin. “Kalau kau tidak takut menemui kematian, mengapa bersusah payah pergi ke Plaosan mencariku?”
Ken Parantili melompat ke atas batang pohon beringin. Sebelum menyusul naik, Wiro bertanya. “Goa tempat penyekapan jantung para selir itu apakah letaknya di dalam Negeri Atap Langit?”
“Setahuku berada di sebelah timur, di luar Negeri Atap Langit” Jawab Ken Parantili.
Akar dan dedaunan pohon beringin tergetar keras. Perlahan-lahan pohon itu bergerak naik ke atas.
Ken Parantili berteriak. “Wiro! Tunggu apalagi! Lekas naik ke sini!”
Wiro segera melompat naik. Baru saja menjajakkan kaki di batang pohon, tiba-tiba pohon beringin perlahan­lahan mulai bergerak naik ke udara. Wiro dan Ken Parantili berpegang erat ke cabang-cabang pohon.
“Ada sesuatu di pohon!” Tiba-tiba Ken Parantili berseru di dalam deru angin. Dia membungkuk mengambil sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang tersangkut di antara dedaunan lebat pohon beringin. Ketika berhasil disentuh dan diambil, darahnya tersirap. Ternyata benda itu adalah mahkota emas yang biasa dipakainya sehari­hari. Seperti diceritakan sebelumnya sewaktu berada di Puri Kesatu dan siap hendak meniduri sang selir, Penguasa Atap Langit melemparkan mahkota emas berbentuk atap yang ada di kepala selir itu ke langit-langit kamar.
“Pasti Penguasa Atap Langit sengaja meletakkan mahkota emas ini di sela-sela ranting dan daun pohon beringin. Apa maksudnya?” Ken Parantili berkata sambil memegang dan memperhatikan mahkota emas.
“Mungkin bermaksud baik tapi bisa juga ada niat jahat.” Jawab Wiro. Lalu diam-diam dia terapkan Ilmu Menembus Pandang dan menatap tak berkesip ke arah mahkota emas yang dipegang sang selir.
Tiba-tiba Wiro berteriak. “Ken Parantili! Cepat lempar mahkota emas itu! Aku melihat sesuatu!”
Selagi Ken Parantili tertegun dan hanya berdiam diri terkejut mendengar ucapan Wiro, murid Sinto Gendeng cepat merampas mahkota emas dari tangan perempuan itu lalu dilempar ke udara. Tiga tombak di udara mahkota emas meledak berkeping-keping. Dari balik ledakan menyembul sosok merah Penguasa Atap Langit. Tanpa mampu mengimbangi diri, setelah berjungkir balik sang penguasa jatuh terkapar di tanah.
Wiro siap melompat turun dari batang pohon. Namun saat itu pohon beringin terasa bergetar. Daun-daun pohon keluarkan suara bergemerisik, akar gantung mencuat ke atas. Akar di sebelah bawah bergerak-gerak. Cepat sekali pohon itu melesat tinggi ke udara.
Di bawah sana Penguasa Atap Langit tampak duduk di tanah sambil dua tangan menunjuk-nunjuk ke arah Wiro dan Ken Parantili. Lalu kepala dirundukkan, disentuh ke tanah berulang kali. Mulut mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
“Apa yang terjadi dengan makhluk itu? Maksud apa sampai dia menyelinap di mahkota emas kalau bukan maksud jahat!”
Ken Parantili sendiri saat itu tidak mampu keluarkan ucapan. Wajahnya yang tadi mulai berdarah kini kembali pucat dan tengkuknya terasa dingin.
“Ken Parantili…”
Sang selir memberi tanda agar Wiro tidak meneruskan ucapan. Tubuh dibungkukkan ke arah kelebatan daun­daun pohon beringin di sisi kanan sebelah depan. Di situ terselip sebuah benda hijau. Getaran pohon, tiupan angin yang kencang, tidak mudah untuk dapat mengambil benda itu. Wiro bertindak lebih dulu. Dua jari tangan kanan dipentang lurus. Lalu dia kerahkan tenaga dalam.
Wuuttt!
Lipatan benda hijau melesat dan masuk dalam jepitan dua tangan Wiro. Wiro memperhatikan.
“Daun keladi dilipat empat!” Wiro memberi tahu.
“Di Puri Agung kediaman Penguasa Atap Langit banyak tumbuh pohon keladi besar. Pasti dia juga yang meletakkan. Wiro, aku khawatir terjadi seperti tadi. Coba kau periksa dulu lipatan daun. Jangan-jangan Penguasa Atap Langit menyelinap lagi di dalam lipatan.”
“Daun ini tidak ada isi apa-apa. Tidak ketumpangan makhluk lain.” Menerangkan Wiro.
“Kalau begitu… Wiro, kau bisa membuka lipatan daun?”
“Sudah kubilang lipatan daun ini tidak ada isi apa-apa. Kau tak usah khawatir. Biar kubuang saja.”
“Pasti ada sesuatu. Kalau tidak mengapa ada yang meletakkan di pohon ini?” Ken Parantili bersikeras.
Sambil tangan kanan berpegang erat ke cabang pohon, dengan tangan kirinya Wiro mengeprat lipatan daun keladi. Begitu lipatan terbuka ternyata pada lembaran daun itu tertera sederet tulisan.
“Agaknya kau menerima surat cinta dari Penguasa Atap Langit. Aku tak mengerti bahasa tulisan ini. Kau baca sendiri!”
Wiro ulurkan lembaran daun keladi. Ken Parantili cepat mengambil lalu memperhatikan. Di atas daun keladi itu memang ada serangkaian tulisan yang bahasanya hanya bisa dimengerti oleh penghuni Negeri Atap Langit.
Begitu membaca apa yang tertera di atas lembaran daun, berubahlah paras Ken Parantili. Wajah mendadak sontak pucat, tubuh gemetar. Sepasang mata menatap ke arah Wiro sementara dada tampak bergerak turun naik.
“Tidaakkk!” Satu teriakan keras menggelegar keluar dari mulut Ken Parantili. Pohon beringin bergoncang tiga kali.
“Apa bunyi tulisan di daun itu?” Bertanya Wiro tidak sabaran.
Sepasang mata Ken Parantili membesar seolah hendak melompat keluar dari rongganya. Kepala digeleng. Mulut berulang kali mengucapkan kata tidak.
“Wiro…” Suara Ken Parantili perlahan dan lirih.
Wiro berusaha mendekat. Memegang bahu selir itu lalu berkata. “Kau mengalami guncangan hebat! Apa yang terjadi? Apa yang tertulis di atas daun keladi itu?”
“Aku, aku tidak bisa mengatakan. Aku lebih baik memilih mati saat ini juga!” Sepasang mata menatap ke bawah. Saat itu pohon beringin yang membawa dirinya dan Wiro berada dua ratus tombak di atas permukaan tanah.
Perlahan-lahan Ken Parantili lepaskan pegangannya pada daun keladi. Begitu disambar angin, daun ini melayang ke udara.
Wiro tahu apa yang hendak dilakukan Ken Parantili. “Jangan! Ken Parantili! Sadar!”
Ken Parantili pejamkan kedua matanya. Didahului teriakan keras dan panjang, selir itu hamburkan diri dari atas batang pohon beringin. Wiro berusaha menggapai pinggang perempuan itu tapi terlambat! Dia hanya mampu menarik robek salah satu bagian pakaian putih. Sosok Ken Parantili jatuh ke bawah, melayang berputar-putar, siap untuk menghunjam ke tanah!
Wiro kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki sambil membuat gerakan memberatkan diri agar pohon beringin melayang turun ke bawah. Namun pohon malah berputar­putar di udara. “Celaka! Apa yang harus aku lakukan? Perempuan itu! Apa yang membuatnya tiba-tiba menjadi nekad melakukan bunuh diri!”
Di saat luar biasa genting itu tiba-tiba terdengar suara mendengung halus. Lalu ada delapan benda kecil bercahaya. Walau sang surya telah naik dan udara berubah terang, namun delapan cahaya kecil tampak berpijar benderang. Di kejauhan terdengar suara alunan gamelan ditingkah tiupan seruling, tabuhan gendang dan gesekan rebab!
Delapan cahaya melesat ke arah sosok Ken Parantili yang tengah melayang jatuh. Pada ketinggian dua ratus tombak di atas tanah, delapan benda terang tiba-tiba berubah membentuk bayang-bayang menyerupai pocong. Anehnya sosok mereka tidak dibuntal kain kafan putih, tapi terbungkus kain coklat di sebelah atas, kain hijau dari pinggang ke bawah dan di pinggang melingkar ikat pinggang kain lebar berwarna kuning. Rambut yang panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di atas pohon beringin, delapan pocong yang wajahnya tidak terlihat jelas membuat gerakan meliuk-liuk, tangan dan kaki melambai kian kemari. Astaga! Mereka ternyata menari di bentangan udara! Mengikuti alunan gamelan.
Sebenarnya ini adalah satu pemandangan yang indah. Namun dalam terkesiapnya, Pendekar 212 justru merasa khawatir dan menatap dengan mata tak berkesip. Jantungnya berdegup keras. Lapat-lapat Wiro mendengar suara perempuan bernyanyi, bersahut-sahutan bait demi bait.
“Tidak dipanggil kami datang sendiri
Sebelum ajal berpantang mati
Pikiran manusia memang pendek
Tapi mengapa nyawa mau dipantek
Menolong orang adalah perbuatan terpuji
Tapi menolong diri kami siapa perduli
Tidak dipanggil datang sendiri
Agar tidak ada yang tersia-sia di atas bumi”
“Delapan Pocong Menari. Apakah mereka ini yang malam tadi menyelamatkan diriku.” Ucap Wiro dalam hati.
Pohon beringin di atas mana dia berada perlahan-lahan melayang turun. Di bawah sana Wiro melihat tujuh dari delapan pocong perempuan melesat ke arah tubuh Ken Parantili yang tengah jatuh dan saat itu berada dalam keadaan pingsan. Sementara satu pocong lagi terbang ke jurusan daun keladi yang tadi dilepas oleh selir itu dan melayang di udara. Di kejauhan tampak sebuah gunung yang puncaknya berselimut awan. Di balik awan kelihatan sebuah kawah besar mengepul asap putih.
Wiro meraba pinggang pakaian. Delapan bunga matahari kecil ternyata tidak ada lagi di balik pakaiannya!


***********************
 10

SUARA alunan gamelan terdengar lebih keras. Tujuh perempuan berpakaian coklat-hijau berselempang ikat pinggang lebar berwarna kuning dalam gerakan seperti menari tiba-tiba berjungkir balik lalu laksana kilat melesat mendekati Ken Parantili. Hanya terpisah sejarak lima tombak mereka lepas ikat pinggang lebar lalu, sett… sett!
Tujuh ikat pinggang lebar bergulung melibat tubuh Ken Parantili. Untuk beberapa lamanya selir yang pingsan itu seperti berada dalam bedung ayunan. Tujuh ikat pinggang lebar terulur panjang. Tubuh Ken Parantili meluncur ke bawah, ke arah puncak gunung. Tinggal dua puluhan tombak dari tanah, tujuh gadis keluarkan suara nyanyian. Temannya yang seorang yang telah berhasil mendapatkan daun keladi ikut bergabung. Daun keladi disusupkan ke balik pakaian di bagian punggung Ken Parantili.
“Tidak dipanggil datang sendiri
Berarti kami tidak boleh menginjak bumi
Tegarkan diri kuatkan hati
Seorang sahabat akan datang memberi budi”
Lalu, delll… delll!
Tujuh ikat pinggang kuning disentak lepas. Tubuh Ken Parantili melayang jatuh ke arah pedataran kecil di dekat puncak gunung.
Melihat apa yang terjadi Wiro tersentak kaget dan berteriak. “Delapan pocong! Tadi kalian menolongnya! Sekarang mengapa dilepas jatuh! Apa itu bukan perbuatan sia-sia?!”
Delapan pocong tidak menyahuti. Sosok mereka melesat ke arah pohon beringin di mana Wiro berada. Setengah jalan delapan pocong berubah menjadi benda melayang yang memancar sinar seperti kunang-kunang di siang hari. Lalu, bleep… bleepp! Delapan cahaya lenyap.
Wiro menggaruk kepala. Meraba pinggang. Ternyata delapan bunga matahari kecil sudah ada lagi di balik pakaiannya! Wiro menepuk pinggul sendiri.
“Delapan Pocong! Mengapa…” Suara bentakan Wiro terputus oleh suara beberapa orang yang menjawab secara bersamaan.
“Kami tahu apa yang kami lakukan! Semua perlindungan datang dari Gusti Allahmu! Sekarang turun ke sana! Susul temanmu! Tolong dia!”
“Gusti Allah! Kalian tahu apa tentang Gusti Allahku!”
“Oalah sudah! Melompat sana!”
“Hai! Kalian mau membunuhku?!” Wiro berteriak kaget ketika tiba-tiba ada banyak tangan terasa mendorong punggungnya, ada juga yang menekan pantatnya!
Seseorang melepas pegangan tangannya pada cabang pohon. Lalu tubuh sang pendekar didorong ke depan. Tak ampun lagi Wiro terjungkal dari atas batang pohon beringin pada ketinggian sekitar seratus tombak dari tanah!
Kembali pada Ken Parantili. Selagi tubuhnya terus melayang jatuh dan hanya tinggal belasan tombak saja lagi akan hancur remuk menghantam tanah, entah bagaimana tiba-tiba perempuan muda ini sadar dari pingsannya. Kalau sebelumnya dia sengaja menghambur untuk bunuh diri tidak takut mati, namun melihat kenyataan saat itu apa yang terjadi atas dirinya tak urung dia menjerit keras. Menggapai kian kemari namun hanya menyentuh udara kosong. Tak ada sesuatu yang bisa dipakai bersigayut untuk menyelamatkan diri. Tidak ada seseorang yang diharapkan bisa menolong! Sebelum jatuh pingsan lagi untuk kedua kali tiba-tiba di bawah sana melesat satu benda berwarna merah muda. Di lain kejap Ken Parantili merasa ada orang memeluk tubuhnya yang bergeletar dan kucurkan keringat dingin.
“Sahabat dari Negeri Atap Langit! Kau rupanya!” Ada suara orang. “Tenang, tenang saja. Aku akan membawamu turun ke puncak gunung dengan selamat.”
Yang terdengar suara lelaki tapi halus dan lembut menyerupai suara perempuan! Ken Parantili berusaha memutar kepala untuk melihat siapa adanya orang yang menolong sementara dia merasa tubuhnya perlahan-lahan digendong turun ke satu pedataran kecil. Namun dia tidak bisa melihat wajah orang. Dia hanya mencium bau wangi tubuh dan pakaian orang yang merangkulnya. Ketika dua kakinya menginjak tanah dengan cepat Ken Parantili lepaskan diri dari pelukan orang. Memandang ke depan dia terkejut tapi juga gembira.
“Kau!”
Gadis cantik berpakaian merah muda di hadapannya tersenyum. “Kau masih ingat diriku? Kita berpisah baru kemarin senja. Namaku Jaka Pesolek…”
“Ya… ya, aku ingat namamu. Kau hebat! Terima kasih kau telah menolongku! Mana para sahabat yang lain…”
“Mereka ada di sekitar sini. Sebentar lagi pasti berdatangan. Aku malah mau tanya. Di mana beradanya Ksatria Panggilan alias sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia kemarin menyusulmu naik belahan pohon beringin.”
“Aku di sini! Segera mati kalau tidak ada yang menolong!” Tiba-tiba satu teriakan terdengar di udara. Satu sosok berpakaian merah melayang jatuh luar biasa cepat.
“Wiro! Kau! Apa yang terjadi?!” Jaka Pesolek berteriak terkejut. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat ke udara guna menolong Pendekar 212. Jaka Pesolek memang tidak memiliki ilmu kesaktian. Dia hanya punya ilmu bergerak cepat terutama melesat ke udara dan menangkap petir.
Sesaat lagi Jaka Pesolek akan menggapai tubuh Wiro yang jatuh tiba-tiba di udara melesat delapan larik kain panjang berwarna kuning. Dengan cepat delapan kain kuning membuntal tubuh Wiro. Untuk beberapa lama tubuh sang pendekar terayun-ayun di udara sambil bergerak turun. Jaka Pesolek yang tadi berniat hendak menolong kini ikut bergantungan pada salah satu kain kuning. Pada ketinggian dua tombak tidak sabar Wiro segera meloncat turun. Begitu dua kaki menginjak tanah, delapan kain panjang kuning yang tadi menyelamatkan dirinya lenyap dari pemandangan. Jaka Pesolek yang bergantung pada sehelai kain kuning cepat pula melompat
“Delapan Pocong Menari.” Ucap Wiro. “Aku berterima kasih kalian telah menolongku.”
“Hai! Kau bicara apa? Mana ada pocong di sini! Yang menolongmu adalah delapan kain kuning aneh yang barusan raib! Oala, balik dari negeri aneh dirimu juga berubah aneh! Hemm… Bajumu baru pula!” Berkata Jaka Pesolek.
Wiro delikkan mata. “Kau tahu apa?!”
Jaka Pesolek mencibir. “Yang aku mau tahu, apa kau sudah tidur dengan selir itu. Bagaimana rasanya? Enak? Apa aku sekarang bisa dapat bagian? Hik… hik… hik!”
Wiro pelintir telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang jantan bisa betina bisa ini mengaduh kesakitan. Wiro cepat mendatangi Ken Parantili.
“Kau baik-baik saja…?”
“Seharusnya aku tidak perlu ditolong. Biar mati saja. Siapa yang tadi menolongku?”
“Delapan bunga matahari.”
“Berarti delapan pocong itu.” Ken Parantili terdiam seperti berpikir. Lalu dia bertanya. “Kita berada di mana?”
“Di puncak Gunung Semeru.” Yang menjawab Jaka Pesolek.
Ken Parantili terdiam lagi. Lalu berkata. “Tidak jadi apa aku tadi tidak menemui ajal. Tiga hari lagi aku tetap akan mati.”
“Karena kau tidak memiliki jantung?”
Ken Parantili mengangguk.
“Kalau begitu kita kembali ke Negeri Atap Langit. Astaga, di mana beradanya pohon beringin itu?” Wiro memandang berkeliling tapi di pedataran di puncak gunung itu dia tidak menemukan pohon yang dicari.
“Pohon itu telah raib. Kembali ke Negeri Atap Langit” Berkata Ken Parantili, menjelaskan dengan suara lirih.
“Kau punya cara lain untuk bisa kembali ke sana?”
“Ada beberapa cara. Tapi aku tidak pernah tahu.”
“Sinuhun Merah Penghisap Arwah menurutmu pada waktu-waktu tertentu selalu pergi ke sana untuk melakukan upacara Sesajen Atap Langit.”
“Wiro, mana mungkin kita minta pertolongan pada makhluk alam arwah itu.”
“Kita harus mencari segala cara untuk bisa menolongmu.”
Ken Parantili tersenyum lalu letakkan kepala di dada Wiro, dua tangan memeluk sang pendekar. Jaka Pesolek terheran-heran melihat hal itu. Apalagi ketika menyaksikan Wiro mengusap kepala peerempuan itu. Dalam hati dia berkata. “Oala, agaknya mereka sudah saling bercinta.”
Ketika mengusap punggung Ken Parantili Wiro merasa ada sebuah benda di balik punggung pakaian sang selir. Dia hendak bertanya tapi perempuan itu mendahului bicara.
“Kau sahabatku paling baik. Aku sangat berterima kasih.” Berkata Ken Parantili. “Aku sudah cukup puas kalau selama tiga hari sisa hidupku bisa bersamamu. Aku ingin kau tetap berada di dekatku pada saat aku menghembuskan nafas terakhir.”
“Jangan berkata begitu. Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkanmu menemui kematian sebelum saatnya. Dia pasti akan menolongmu.”
“Gusti Allahmu Yang Maha Besar dan Maha Kuasa itu?” Tanya Ken Parantili.
Wiro tersenyum walau hatinya terenyuh mendengar kata-kata Ken Parantili. Selagi keduanya masih berpelukan tiba-tiba muncul Ratu Randang, Kunti Ambiri alias Dewi Ular yang kini tidak mau lagi memakai gelaran itu, dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Ken Parantili tenang-tenang saja. Sebaliknya agak rikuh Wiro lepaskan pelukan. Untuk beberapa ketika tempat itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara. Masing-masing hanya saling berpandangan.
“Kalian… aku…” Wiro menggaruk kepala.
Ratu Randang senyum-senyum. Sakuntaladewi menatap ke tanah sementara Kunti Ambiri memandang Wiro dan Ken Parantili berganti-ganti dengan mata tak berkesip. Ada rasa perih di lubuk hatinya. Namun kemudian si cantik berpakaian hijau tipis ini mengulum senyum.
Suasana sunyi pecah oleh suara batuk-batuk yang dibuat Ratu Randang. Entah memang batuk sungguhan atau dibuat-buat!


***********************
 11

WIRO, aku bicara mewakili semua sahabat di sini. Kami gembira kau kembali dengan selamat. Hanya saja kami tidak mengira sahabat Ken Parantili ikut bersamamu.”
Ucapan si nenek bagi Ken Parantili merupakan adanya bayangan rasa tidak senang atau rasa cemburu terhadap dirinya. Dari apa yang pernah didengarnya, sedikit banyak dia mengetahui hubungan Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri dengan Wiro. Si nenek telah kepincut jatuh hati. Sakuntaladewi punya kaul akan mengambil sang pendekar menjadi suami. Lalu Kunti Ambiri punya kisah lama dan panjang dengan Wiro. Di Bhumi Mataram perasaan cinta Kunti Ambiri itu berkembang jadi mendalam akibat berbagai keadaan yang lebih mendekatkannya pada Wiro.
Merasa tidak enak Ken Parantili berkata. “Sahabat semua. Sebenarnya kami dalam perjalanan ke satu goa rahasia. Tempat di mana jantungku disekap oleh Penguasa Atap Langit…”
“Ken Parantili. Kami semua melihat kau sebagai manusia hidup, tidak beda dengan diri kami. Bagaimana mungkin kau mengatakan tidak memiliki jantung?” Kunti Ambiri tiba-tiba memotong ucapan Ken Parantili.
Ken Parantili diam saja. Dia tahu kalau Kunti Ambiri bukan manusia. Tapi makhluk dari alam roh karena pernah menemui ajal dibunuh Wiro.
Jaka Pesolek menyeletuk. “Soal kau punya jantung atau tidak, walau aneh aku tidak perduli. Kau datang ke sini, berarti kau selamat, tidak jadi dibunuh Penguasa Atap Langit. Kalau menurut jalan ceritanya Penguasa Atap Langit saat ini pasti sudah mati. Semua itu menerangkan bahwa kalian berdua telah melaksanakan syarat pertolongan. Yaitu tidur atau melakukan hubungan badan mulai dari matahari tenggelam sampai fajar menyingsing! Nah itu yang kita-kita di sini ingin tahu bagaimana jalan ceritanya!”
Wajah Ken Parantili tampak bersemu merah. Saat itu pikirannya sedang kacau. Ucapan Jaka Pesolek, gadis yang dianggapnya aneh itu membuat dia gemas. Pendekar 212 sendiri melongo mendengar ucapan Jaka Pesolek itu.
Walau jengkel, dengan tenang Ken Parantili menjawab. “Selama berada di Negeri Atap Langit kami tidak pernah melakukan hubungan badan! Jangan para sahabat di sini menyangka yang bukan-bukan. Tidur tidak sama dengan melakukan hubungan badan…”
“Tapi!” Kunti Ambiri memotong namun tidak melanjutkan ucapan.
Masih dengan wajah merah Ken Parantili berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku mohon, sebaiknya kau saja yang menerangkan. Jelaskan semuanya pada para sahabat di sini. Jangan ada yang terlupa, jangan ada yang disembunyikan.”
Wiro menggaruk kepala. Karena tidak bisa mengelak dia lalu menuturkan apa yang terjadi sejak meninggalkan Bhumi Mataram pergi ke Negeri Atap Langit dan berada di puncak gunung itu. Semua orang terdiam mendengar cerita Wiro. Sampai Sakuntaladewi kemudian membuka mulut untuk pertama kali.
“Soal katamu kau tidak memiliki jantung. Bagaimana kami bisa percaya. Tidak ada manusia bisa hidup tanpa jantung.”
“Aku bukan tidak memiliki jantung. Tapi jantungku berada di luar tubuh. Disekap Penguasa Atap Langit di dalam sebuah goa.”
Dari wajah-wajah yang memandang pada Ken Parantili jelas mereka tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan selir itu.
“Ken Parantili, kalau kau tidak membuktikan sendiri sulit para sahabat di sini mempercayai ucapanmu. Perlihatkan pada mereka dada kirimu.”
Mendengar ucapan Wiro, Jaka Pesolek pentang matanya lebar-lebar, menatap tak berkesip. Ken Parantili melangkah mendekati Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi. Dia sengaja membelakangi Jaka Pesolek. Tapi gadis ini dengan cepat melompat ke samping Kunti Ambiri hingga dia bisa melihat jelas apa yang akan dilakukan orang.
Dengan tangan kirinya Ken Parantili menyibakkan dada pakaian putih berenda di bagian dada sebelah kiri. Begitu dadanya yang bagus terpentang putih, dengan ujung ibu jari tangan kanan dia menggurat kulit dan daging dadanya.
Sreett! Dada kiri terkuak menganga, isi rongganya terlihat jelas. Semua orang yang berdiri di hadapan Ken Parantili tersentak kaget dan tersurut mundur satu langkah!
“Para sahabat semua. Kalian tahu apa yang dinamakan jantung. Lihat baik-baik, apa ada jantung di dalam rongga dadaku sebelah kiri?!”
Tak ada yang menyahut. Semua hanya bisa menatap dengan mata mendelik dan mulut ternganga.
Ken Parantili usap dadanya dengan telapak tangan kanan. Dada kiri yang terbelah terkuak, menutup kembali tanpa bekas tanpa darah!
Walau merasa agak lega namun Wiro tetap saja menaruh khawatir. Dia mendekati Ken Parantili. Setengah berbisik Wiro berkata. “Waktu mengusap punggungmu tadi, aku merasa ada sebuah benda di balik pakaianmu. Sewaktu Delapan Pocong menolongmu, aku sempat melihat salah seorang dari mereka memasukkan sesuatu ke balik punggung bajumu. Kurasa saat ini benda itu masih ada di belakang punggungmu.”
Ken Parantili terkejut. Cepat-cepat dia mengulur tangan ke belakang. Dia jadi lebih terkejut lagi sewaktu melihat benda yang sejak tadi ada di punggungnya ternyata adalah lembaran daun keladi yang ditemuinya di sela-sela daun pohon beringin. Yang telah membuat dirinya sangat tergoncang dan nekad bunuh diri.
“Kau telah membaca apa yang tertulis di daun itu. Sekarang beritahu padaku apa bunyi tulisan itu. Jika kau ada kesulitan aku pasti akan menolong.”
“Tidak, kesulitanmu lebih besar dan lebih banyak dari yang aku hadapi.” Jawab Ken Parantili. Wajah pucat dan suara agak gagap. “Aku… aku harus pergi sekarang. Harap dimaafkan. Kau… kau pegang saja daun ini.”
“Kau… kau mau pergi ke mana?” Tanya Wiro.
Ken Parantili hanya menggeleng. Tiba-tiba tubuhnya berputar. Dua kaki bergeser membuka. Desss! Sosok Ken Parantili lenyap. Di tanah kelihatan sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia. Lobang itu kemudian lenyap tanpa bekas.
“Terowongan Arwah! Aku tidak mengira dia memiliki ilmu kesaktian itu!” Ucap Wiro melongo.
“Dengan terowongan seperti ini Empu Semirang Biru meloloskan diri sewaktu kabur mencuri Keris Kiai Sepuh Pelangi di Ruang Segi Tiga Nyawa.” Ratu Randang memberi tahu Wiro.
“Kau punya dari kakek sakti Kumara Gandamayana. Ilmu menyusup masuk ke dalam tanah. Apa kau tidak ingin mengejar selir itu?” Bertanya Kunti Ambiri.
Murid Sinto Gendeng seperti tidak perduli dengan apa yang dikatakan si nenek dan Kunti Ambiri walau dia mencium kalau dalam diri Kunti Ambiri masih terasa adanya kecemburuan. Wiro bentangkan lembaran daun keladi yang telah lusuh dan memperlihatkan pada Ratu Randang.
“Nek, kau orang Bhumi Mataram. Pasti bisa membaca tulisan ini. Tolong bacakan untukku apa isinya.”
Kening si nenek mengerenyit. Sepasang mata juling perhatikan tulisan yang tertera di daun keladi. Dia mulai membaca dan mulut berucap.
Ken Parantili,
Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam masa bertobat ini
aku ingin memberi tahu padamu
Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil
“Oala!” Jaka Pesolek berseru. “Hebat sekali! Baru tadi malam ditiduri sahabat kita ini! Sekarang sudah hamil!”
Ratu Randang hentikan bacaan. Wiro menatap geram pada Jaka Pesolek. “Pasang kupingmu! Pakai otakmu! Kalau tidak mengerti arti tulisan yang dibaca nenek itu pergi saja dari sini sebelum kutampar mulutmu!”
Jaka Pesolek melangkah mundur. Takut benar-benar ditampar Wiro.
“Nek, lanjutkan bacaanmu. Sebaiknya diulang lagi dari semula biar gadis kacoak ini mengerti!” Kata Wiro pada Ratu Randang.
Si nenek kembangkan daun keladi yang dipegangnya. Sebelum kembali membaca dia menatap dulu pada Jaka Pesolek. “Kalau kau berani lagi memotong bacaanku, aku yang akan lebih dulu meremas mulutmu sampai mencong!”
“Tidak Nek, aku tidak akan mengganggu bacaanmu.” Jawab Jaka Pesolek sambil menekap pipi kiri kanan.
Maka Ratu Randang mulai lagi membaca apa yang tertulis di atas daun keladi. Mulai dari bait pertama.
Ken Parantili,
Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam masa bertobat ini
aku ingin memberi tahu padamu
Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil
Usia kandunganmu telah tiga bulan
Bilamana kau melahirkan nanti
Maka bayimu adalah seorang anak laki-laki Beri dia nama Bintang Langit
Jika Yang Maha Kuasa memberi izin
Aku sangat berharap dapat menemui dirimu dan anak kita.
Wiro termenung beberapa lamanya. Dalam hati dia menduga-duga. “Pasti kehamilan itu yang telah menggoncang diri Ken Parantili. Dia mengandung jabang bayi hasil hubungannya sebagai selir dengan Penguasa Atap Langit. Hingga dia berbuat nekad menghambur hendak bunuh diri”
“Hanya itu saja Nek?” Tanya Wiro. “Tidak tertera siapa yang membuat tulisan itu?”
Ratu Randang menggeleng. “Walau tidak ada siapa penulisnya tapi aku yakin kita semua sudah tahu siapa yang membuat tulisan di atas daun keladi ini.”
“Aku mengerti dan tahu maksudmu Nek. Yang membuat pasti Penguasa Atap Langit.” Kata Wiro pula. Lalu dia menyambung ucapan. “Aku hanya merasa aneh. Kalau memang sudah mengandung tiga bulan, mengapa Ken Parantili seperti tidak mengetahui hal itu?”
“Apa kau tidak menanyakan hal itu padanya?” Tanya Kunti Ambiri.
“Soal kehamilan ini baru sekarang aku tahu, setelah Ratu Randang membacakan apa yang tertulis di daun keladi.”
“Bisa saja yang membuat tulisan di atas daun bukan Penguasa Atap Langit. Tapi seseorang yang menjadi selingkuhan selir itu.” Berkata Jaka Pesolek.
Wiro menarik nafas dalam. “Semua bisa terjadi di Negeri Atap Langit yang serba aneh ini. Waktu nanti yang akan mengatakan. Sekarang aku harus menemukan Ni Gatri secepat-cepatnya. Semula ada dua bahaya mengancam keselamatan dan kehormatan anak perempuan ini. Kini kurasa Penguasa Atap Langit tidak lagi punya niat melanjutkan maksud mengambil Ni Gatri menjadi selir pengganti Ken Parantili. Berarti satu-satunya bahaya yang mengancam datang dari anak lelaki sakti bernama Dirga Purana yang biasa disebut dengan panggilan Ksatria atau Sang Junjungan oleh para pengikutnya. Nek, menurut Ken Parantili kau mungkin bisa memberi tahu di mana gadis itu berada. Karena katanya kau pernah berada di sana.”
“Apa Ken Parantili menyebut nama tempat itu?” Tanya Ratu Randang.
“Dia tidak menyebut nama. Tapi tempat itu adalah sebuah telaga yang di belakangnya, terdapat satu air terjun. Di balik air terjun ada sebuah goa. Di dalam goa itu Ni Gatri disekap.”
Ratu Randang tersentak kaget. Lalu rundukkan kepala sembunyikan senyum.
“Kau masih bisa tersenyum Nek,” kata Sakuntaladewi.
“Aku hanya teringat pada satu kejadian. Di tempat itu aku menipu Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Mereka mengira meniduri diriku. Padahal aku sudah mengganti tubuhku dengan seekor anjing jejadian! Hik… hik… hik.” Bercerita Ratu Randang.
“Kau tahu letak goa itu Nek?” Tanya Wiro.
Si nenek mengangguk lalu memandang berkeliling. “Siapa mau ikut?”
“Kami semua Nek,” jawab Kunti Ambiri. Sakuntaladewi mengangguk tanda mengiyakan ucapan Ratu Randang.
“Bagaimana denganmu?” Tanya Ratu Randang pada Jaka Pesolek yang saat itu kembali membayangkan dada Ken Parantili yang bagus sebelum dibelah dikuak mengerikan. Ditanya orang, gadis ini jadi terkejut. Dia menjawab tapi salah bicara.
“Iya, dadanya putih bagus. Walau tidak ada jantung tak jadi apalah. Tidak kelihatan ini dari luar…”
Ratu Randang langsung saja jewer telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang ahli menangkap petir ini teraduh-aduh kesakitan. “Ditanya lain dijawab lain!” Si nenek mengomel.


***********************
12

SANG surya baru saja muncul jauh di ufuk timur. Udara masih agak temaram dipagut ujung malam. Satu bayangan merah berkelebat lalu berdiri di atas sebuah batu hitam yang bertebaran di pinggir telaga. Dua tangan diangkat ke atas. Saat itu juga curahan air terjun di depan telaga mendadak berhenti. Antara air terjun di sebelah atas dan sebelah bawah muncul ruang terbuka. Suasana sunyi karena terhentinya deru air terjun mendadak dirobek oleh suara aneh. Suara riuh ngeongan kucing.
Orang di atas batu, yang mengenakan blangkon dan pakaian serba merah serta memiliki delapan benjolan merah di kening, jadi tercekat. Dalam hati berkata. “Dia membawa serta peliharaannya Delapan Sukma Merah ke dalam goa. Jangan-jangan anak perempuan itu sudah…”
Ucapan hati orang di atas batu terputus ketika dari dalam goa kemudian ada suara membentak.
“Siapa berani kurang ajar mengganggu ketenteramanku?!”
Suara yang membentak suara anak kecil. Tapi memiliki gelegar hebat pertanda si bocah memiliki tenaga dalam hebat.
“Ksatria Junjungan Dirga Purana! Mohon maafmu. Saya Sinuhun Merah Penghisap Arwah datang menghadap. Membawa kabar kurang baik!”
Dari dalam goa terdengar suara kutuk serapah.
“Lagi-lagi kau! Ini kedua kali kau berani mengganggu diriku! Aku hendak bersenang-senang! Kau datang mengganggu dengan membawa kabar tidak baik! Apa kau tidak dapat menelan dulu kabar buruk itu di dalam perut busukmu?! Sinuhun! Jangan kau berani berlaku kurang ajar padaku!”
“Mohon maafmu Sang Junjungan. Namun ini sangat penting! Sebenarnya saya sudah menunggu sejak tengah malam tadi di sekitar telaga. Sekarang malam telah berganti siang. Saya tidak mungkin menunggu lebih lama.” Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah Penghisap Arwah sesaat nampak memancar terang lalu redup kembali.
Diam seketika. Lalu dari dalam goa terdengar suara. “Kau tunggu di telaga! Banyak hal aneh terjadi belakangan ini. Aku akan meminta Rakanda Delapan Sukma Merah untuk mengawasi keadaan lebih dulu. Jika kau membawa kabar buruk bukan mustahil ada yang menguntitmu datang ke tempat ini! Jika sampai orang luar tahu aku berada di sini bersama kekasihku, amblas nyawamu!”
“Saya menurut perintah!” Jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
“Aku juga akan memerintah Rakanda Delapan Sukma Merah untuk memeriksa dirimu. Apa kau Sinuhun Merah Penghisap Arwah sungguhan atau jejadian yang datang menyamar untuk mencelakai diriku!”
“Sang Junjungan, kau terlalu berkhawatir. Masakan tidak percaya padaku? Siapa orang lain yang mampu menahan deru air terjun selain diriku dan saudara nyawa kembarku Sinuhun Muda Ghama Karadipa!” Sinuhun Merah merasa tidak senang hendak diperlakukan seperti itu.
Dari dalam goa terdengar jawaban.
“Aku percaya padamu. Tapi aku lebih percaya pada kenyataan. Bukankah kau pernah ditipu nenek bernama Ratu Randang?! Kau merasa dan melihat meniduri dirinya. Padahal yang kau tiduri adalah seekor anjing! Ha… ha… ha! Aku tidak lupa cerita itu!”
Rahang Sinuhun Merah Penghisap Arwah menggembung. Tampang yang sudah merah kini menyala seperti saga. Kakinya bergetar. Kraak! Batu yang dipijak sampai retak akibat amarah yang menggelegak.
Tak selang berapa lama tempat itu dibuncah oleh suara ngeongan keras. Dari dalam goa melesat keluar delapan benda merah yang ternyata adalah delapan ekor anak kucing berbulu merah. Inilah binatang peliharaan Dirga Purana yang dipanggil dengan sebutan Rakanda Delapan Sukma Merah. Seolah delapan anak kucing itu adalah saudara-saudara tuanya! Delapan anak kucing ini bukan binatang biasa. Selain bulunya, sepasang mata juga berwarna merah. Daun telinga mencuat ke atas dan lebih besar dari anak kucing biasa. Di sudut bibir kiri kanan kelihatan taring lancip. Di kening ada satu benjolan merah. Dan hebatnya mereka memiliki kesaktian tinggi.
Delapan anak kucing itu melesat ke arah delapan pohon besar di sekeliling telaga. Di atas pohon mereka kembali mengeong riuh sambil sepasang mata memandang liar ke berbagai penjuru.
“Binatang tolol!” Maki Sinuhun Merah Dalam Hati. “Majikanmu ingin menyembunyikan diri di tempat ini! Kau malah mengeluarkan suara yang bisa menjadi perhatian orang!”
Baru saja Sinuhun Merah memaki, delapan anak kucing melompat dari atas pohon laksana terbang, lalu hinggap di kepala, bahu dan punggungnya. Binatang-binatang ini mengendus dan mencium-cium. Kalau saja kucing-kucing itu adalah kucing biasa, saat itu juga pasti sudah digebuk hancur kepala mereka oleh Sinuhun Merah.
Setelah memastikan tidak ada kelainan dan bahwa orang yang mereka periksa adalah benar Sinuhun Merah Penghisap Arwah, delapan anak kucing mengeong keras lalu melesat ke udara, menembus celah air terjun yang menggantung dan masuk kembali ke dalam goa!
“Jahanam!” Rutuk Sinuhun Merah.
Suasana sunyi hanya berlangsung sebentar. Dari dalam goa menggelegar keluar suara bocah yang disebut Ksatria Junjungan Dirga Purana.
“Sinuhun Merah! Kau tidak perlu masuk ke dalam goa! Aku yang akan keluar menemuimu!”
“Saya menunggu.” Jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Tak lama kemudian dari dalam goa melesat sosok seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Anak ini mengenakan seperangkat baju dan celana hitam yang diberi hiasan renda kuning emas pada kerah baju, lengan baju serta pergelangan kaki. Bagian atas baju tidak dikancing. Celana agak kedodoran. Rambut tebal awut­awutan. Wajah tampak merah. Anting-anting emas yang mencantel di telinga kiri berkilauan terkena sinar matahari pagi. Dengan gerakan enteng dia melayang turun dan jejakkan kaki di atas batu yang ada di depan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Berdiri dengan berkacak pinggang bersikap congkak. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat membungkuk dan susun sepuluh jari di atas kepala.
“Katakan, kabar buruk apa yang kau bawa!” Sang Junjungan Dirga Purana keluarkan ucapan. Waktu bertanya dia tidak menatap ke arah Sinuhun Merah tapi memandang berkeliling mengawasi keadaan sekitar telaga.
“Ksatria Junjungan, petang kemarin saya berusaha menemui Penguasa Atap Langit…”
“Bukan saatnya kau harus menemui makhluk itu!” Memotong Ksatria Junjungan.
“Benar sekali Sang Junjungan. Tapi saya merasa perlu menemui untuk memberi tahu kalau ada yang akan menyusup ke dalam Negeri Atap Langit untuk mencelakainya.”
“Ckk… ckk… ckk!” Si bocah keluarkan suara berdecak. “Hebatnya dirimu. Kau lebih senang menjaga keselamatan Penguasa Atap Langit daripada menjaga diriku! Apa kepentinganmu! Kau menyembunyikan sesuatu padaku?!”
“Bukan begitu Sang Junjungan. Saya tidak punya kepentingan pribadi. Juga tidak menyembunyikan sesuatu. Karena kalau Penguasa Atap Langit celaka, kita juga celaka. Bukankah kita hanya tinggal menunggu Sesajen Atap Langit sekali lagi lalu baru melancarkan rencana menyingkirkannya dari Negeri Atap Langit”
“Hemmm…” Ksatria Junjungan bergumam. “Beritaku padaku. Siapa yang menyusup hendak mencelakai Penguasa Atap Langit.”
“Siapa lagi kalau bukan pemuda dari negeri delapan ratus tahun mendatang itu!”
“Maksudmu pemuda berambut panjang yang dikenal dengan julukan Ksatria Panggilan itu?”
“Betul Sang Junjungan. Dia dibantu oleh selir pertama Penguasa Atap Langit bernama Ken Parantili…”
“Hemm…” Dirga Purana kembali bergumam. Mulut sunggingkan senyum. “Siapa nama selir yang jadi kekasih selingkuhanmu di Negeri Atap Langit?”
“Namanya Windu Resmi. Tapi saat ini saya rasa dia sudah menemui ajal. Dibunuh selir pertama, dibantu Ksatria Panggilan.”
“Kau sudah bersusah payah mendatangkan Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari untuk menghabisi si gondrong itu. Ternyata terus-terusan gagal. Semua karena kesalahan dan ketololanmu sendiri bersama saudara nyawa kembaranmu Ghama Karadipa! Sekarang kau mau melakukan apa? Mau minta bantuan apa padaku?!”
Tampang Sinuhun Merah tampak tegang. Dengan menindih rasa jengkel karena dianggap tolol, dia menjawab. “Saya datang tidak untuk minta bantuan apa­apa. Saya datang hanya memberi tahu. Membawa pesan Penguasa Atap Langit.”
“Pesan apa?” Tanya Dirga Purana dengan mata mendelik.
“Penguasa Atap Langit minta seseorang mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri itu kepadanya karena akan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken Parantili!”
“Aku tidak tuli, telingaku belum pekak! Penguasa Atap Langit inginkan Ni Gatri untuk jadi selirnya! Ha… ha… ha! Mengapa tidak dia sendiri yang datang kemari untuk menjemput?!”
Sinuhun Merah tidak menjawab.
Dirga Purana angkat kepala, menatap ke langit yang bertambah terang di atas telaga. “Jika Penguasa Atap Langit inginkan Ni Gatri sebagai selir baru, berarti selir pertama Ken Parantili saat ini sudah tamat riwayatnya. Dibunuh sang Penguasa. Bukankah begitu hukum setan yang dibuat sendiri oleh Penguasa Atap Langit?! Selir tertua harus dibunuh kalau hendak mengambil selir baru! Tapi mengapa kemudian si gondrong Ksatria Panggilan keparat itu muncul di Negeri Atap Langit? Mau menolong Ken Parantili? Katakan apa yang kau ketahui mengenai nasib terakhir selir pertama itu bersama Ksatria Panggilan. Mungkin keduanya saat ini sudah pada mampus! Tapi bisa juga masih gentayangan!”
Si bocah tiba-tiba ceburkan dirinya ke dalam telaga. Ketika muncul kembali dan berdiri di atas batu, wajahnya tampak segar. Kulit lebih bersih. Tapi rambut, tubuh maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
“Pergi kembali ke Negeri Atap Langit! Katakan pada Penguasa Atap Langit bahwa aku tidak akan menyerahkan anak perempuan itu. Apapun yang terjadi!”
“Sang Junjungan, kita masih perlu beberapa ilmu kesaktian lagi dari Penguasa Atap Langit. Bagaimana kalau kita bersikap lunak, berlaku cerdik. Kita berikan anak perempuan itu tapi kita tipu dia. Bukankah Sang Junjungan tidak bermaksud akan memiliki Ni Gatri untuk selama­lamanya? Di Bhumi Mataram ini kelak saya bisa mencarikan gadis pengganti yang lebih cantik dan molek dari Ni Gatri. Jika perlu yang berusia delapan sampai sepuluh tahun, agar sebanding dengan Sang Junjungan. Ni Gatri itu, bukankah dia dua tahun lebih tua dari Sang Junjungan?”
Si bocah Dirga Purana usap-usap anting emas di telinga kiri. Merenung sejenak lalu bertanya. “Sinuhun Merah, tipuan apa yang kau maksudkan yang akan kita lancarkan pada Penguasa Atap Langit?”
“Kita berikan saja Ni Gatri padanya. Tapi…”
“Tapi apa?” Tanya Dirga Purana.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah melangkah mendekati Dirga Purana. Tubuhnya yang tinggi dibungkukkan, lalu mulut membisikkan sesuatu ke telinga si bocah. Sepasang alias mata sang Junjungan mencuat ke atas, bola mata membesar lalu dia tertawa bergelak.
“Kau benar, Sinuhun. Aku sudah cukup lama menunggu sampai anak itu mau aku gauli. Kali ini aku akan mencekoknya sedikit dengan ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci Otak agar dia mengikuti semua apa mauku! Malah bisa-bisa nanti dia yang akan ketagihan! Ha… ha… ha! Kalau aku sudah puas, menjelang siang kau boleh membawa dan menyerahkan anak itu pada Penguasa Atap Langit…”
“Bukan saya, tapi saya akan menyuruh Ksatria Roh Jemputan untuk membawa dan menyerahkan anak perempuan itu pada Penguasa Atap Langit. Ini karena katanya dia tidak mau melihat tampang saya lagi!”
“Begitu?” Dirga Purana kembali tertawa. “Aku akan masuk kembali ke dalam goa. Kau berjaga-jaga. Kecuali aku memerlukanmu jangan sekali-kali berani mengganggu!”
“Perintah Sang Junjungan akan saya lakukan. Jangan khawatir. Pagi ini udara tampak cerah. Segala sesuatunya pasti akan berjalan lancar. Selamat bersenang-senang saya ucapkan.” Kata Sinuhun Merah sambil tersenyum dan membungkuk hormat.
Si bocah sakti Dirga Purana melesat melewati celah air terjun yang masih menggantung. Begitu sosoknya lenyap di dalam goa, air terjun kembali bertaut dan mencurah dengan mengeluarkan suara menderu berkepanjangan.


***********************
13

BERSAMAAN dengan mulai naiknya matahari pagi, empat orang berlari cepat di dalam rimba belantara. Orang kelima berkelebat melompat dari satu pohon ke pohon lain. Agaknya dia memiliki ilmu meringankan tubuh serta gerakan kilat. Empat orang yang berlari di dalam rimba adalah Wiro, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Orang yang berkelebat dari pohon ke pohon bukan lain gadis berpakaian merah muda Jaka Pesolek.
Di satu tempat, di bawah sebuah pohon besar Wiro hentikan lari. Memberi tanda pada teman-temannya.
“Ada apa?” tanya Sakuntaladewi.
“Aku mendengar deru suara air.” Jawab Wiro.
“Berarti kita sudah dekat ke tempat yang dituju. Hati­hati. Bocah sakti itu pasti…”
Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun Jaka Pesolek. “Aku melihat…”
“Ssssh. Bicara perlahan. Kita sudah dekat dengan telaga dan air terjun.” Kunti Ambiri mengingatkan.
“Apa yang kau lihat?!” Bertanya Wiro.
“Aku melihat telaga. Lalu air terjun. Lalu ada orang duduk bersila di atas batu di tepi telaga. Kebetulan dia menghadap ke arahku. Orang itu Sinuhun Merah Penghisap Arwah.” Menerangkan Jaka Pesolek.
“Jika Sinuhun keparat itu ada di sekitar air terjun, berarti bocah mesum itu juga ada di sana. Pasti Sinuhun Merah tengah berjaga-jaga. Berarti kita bakal menemukan Ni Gatri. Aku akan membekuk batang leher makhluk itu lebih dulu. Ikuti aku.”
Ratu Randang pegang lengan Wiro. “Hati-hati dan ingat. Apa yang kau lihat belum tentu benda atau keadaan aslinya. Jika Sinuhun berjaga-jaga dia pasti mengeluarkan ilmu untuk berlindung. Dia punya Ilmu Penyesat. Dia juga memiliki ilmu yang disebut Tabir Langit Turun ke Bumi. Pandangan mata kita bisa tertipu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus mendahului menipunya.”
“Apa maksudmu, Nek?”
“Kita semua merubah diri menjadi binatang.”
“Ihhh! Binatang apa, Nek?” Tanya Jaka Pesolek yang langsung jadi dingin tengkuknya.
“Kau mau jadi apa? Monyet, kadal, anjing…” Balik bertanya Ratu Randang.
“Aku tidak mau jadi apa-apa Nek.” Jawab Jaka Pesolek pula. “Takut kalau sudah jadi monyet tidak bisa balik!”
“Nek, kita tetap saja dalam keadaan ujud apa adanya. Yang penting kalian semua sudah aku beri tahu ilmu penangkal kalau Sinuhun Merah menyerang dengan ilmu kesaktian yang memancarkan cahaya merah. Bocah bernama Dirga Purana itu pasti punya ilmu yang sama.”
“Aku setuju!” Celetuk Jaka Pesolek. “Dengar kalian semua. Aku akan menancing tua bangka itu agar dia lengah.”
“Apa yang hendak kau lakukan? Jangan mencari mati percuma!” Mengingatkan Sakuntaladewi.
“Kalian lihat saja. Kalau dia sudah terpancing kalian boleh membantainya beramai-ramai…”
“Tidak semudah itu!” Kata Ratu Randang pula.
“Mudah atau tidak itu urusan kita bersama. Aku tak punya ilmu kesaktian. Aku hanya bisa memancing. Lebihnya kalian yang punya pekerjaan. Gara-gara Empu Semirang Biru, aku tidak bisa kencing. Sekarang sepertinya aku merasa seperti mau kencing.”
“Kau mau mengencingi Sinuhun itu?!” Tanya Wiro.
“Dia yang akan mengencingiku! Hik… hik!” Jaka Pesolek menutup mulut dengan tangan kiri menahan tawa lalu berkelebat pergi.
“Gadis konyol itu bisa merusak semua rencana kita. Sebaiknya lekas diikuti!” Kunti Ambiri mendorong punggung Wiro.
Di depan sana Jaka Pesolek tanpa suara membuat gerakan kilat. Cepat sekali tahu-tahu dia sudah berada di dalam telaga pada bagian yang dangkal, hanya beberapa langkah di depan batu besar di mana Sinuhun Merah duduk bersila dengan mata terpejam.
“Gadis gila! Apa yang dilakukannya!” Wiro yang sembunyi di balik semak belukar lebat bersama tiga orang lainnya tersentak kaget ketika melihat di depan sana Jaka Pesolek menyibak bagian bawah pakaian merahnya sampai setinggi pinggul, melorotkan pakaian dalam lalu duduk menyonggeng.
Mendengar suara kecipuk air, Sinuhun Merah segera buka kedua mata yang terpejam. Begitu memandang ke depan langsung matanya membentur dua benda putih bulat, terbelah di sebelah bawah. Mula-mula dia tidak sadar benda apa itu adanya karena bagian tubuh atas Jaka Pesolek tertutup oleh batu besar. Ketika dia memperhatikan lagi dengan tak berkesip, kaget sang Sinuhun bukan kepalang. Darah tersirap! Yang dilihatnya di depan mata bukan lain adalah bokong manusia. Dari putih dan mulusnya jelas itu adalah aurat perempuan!
Di dalam telaga Jaka Pesolek sengaja goyang­goyangkan auratnya sebelah bawah sambil mendesah. “Ssshhh… sshhhhh.” Aurat diogel-ogel. Lalu dalam hati gadis ini mengomel. “Sial! Tadi sudah terasa tersesak kencing. Sekarang kenapa tidak mau keluar?!”
Sinuhun Merah melompat bangun dari duduknya. Langsung membentak. “Makhluk kurang ajar! Kuremas barangmu berani kencing di telaga milikku. Telaga pemandian Ksatria Junjungan!”
Jaka Pesolek berpura-pura kaget. Dia memekik lalu melompat ke atas batu. Untuk sekejapan kedua tangannya masih menyingsingkan bagian bawah pakaian ke atas, membuat Sinuhun Merah yang menyaksikan jadi ternganga tak berkedip!
“Oala! Aku tak mengira ada orang di sini! Tapi jangan marah! Aku belum sempat kencing! Hik… hik… hik!” Sambil tertawa-tawa Jaka Pesolek cepat tarik ke atas pakaian dalamnya lalu pakaian luar diturunkan ke bawah.
“Hai! Apa aku mengenalmu?” Sinuhun Merah bertanya ketika melihat ternyata orang yang dihardik adalah gadis berwajah cantik bertubuh tinggi semampai.
“Aku orang kampung. Mana kau mengenalku. Tapi sebaliknya aku mengenalmu. Bukankah kau orang gagah terkenal yang dipanggil dengan sebutan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aih… namanya seram angker mengerikan. Ternyata orangnya walau sudah bangkotan tapi masih gagah! Hik… hik… hik! Hai, jangan katakan aku tidak tertarik…”
“Siapa namamu? Kau datang dari mana? Mengapa bisa muncul di tempat ini?” Bertanya Sinuhun Merah. Suaranya yang tadi tinggi kini melembut.
“Sinuhun, mohon maafmu. Aku tak sengaja terpesat. Aku seorang sinden. Namaku Ni Goyang Apik…”
“Nama aneh…”
“Itu karena aku menyanyi sambil bergoyang. Baru menyanyi di atas panggung, belum di tempat ketiduran…”
“Mulutmu agak jahil. Tapi aku suka!” Kata Sinuhun Merah pula sambil mesem-mesem.
“Aku juga suka! Jarang aku menemui orang gagah sepertimu.” Balas Jaka Pesolek sambil melepas senyum dan goyangkan pinggul.
“Tadi kau lagi mau apa? Mau kencing tapi belum kesampaian…”
“Maafkan aku Sinuhun.”
“Kalau kau mau meneruskan kencing, silahkan saja. Biar aku menjagai.”
“Oooh baiknya Sinuhun…”
Sinuhun Merah pentang mata lebar-lebar ketika dilihatnya gadis cantik di atas batu menggerakkan tangan hendak menyingsingkan pakaian. Namun tiba-tiba ada empat bayangan berkelebat. Disertai suara lantang mengejek mempermainkan.
“Kami juga mau kencing! Tolong Sinuhun menjagai!”
Lalu di tempat itu menggelegar tawa bergelak. Ada suara tawa lelaki, yang lebih banyak suara tawa perempuan. Dan di atas batu, sambil berkacak pinggang Jaka Pesolek ikutan tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dua tangan diturunkan. Dipakai mengibas-ngibas bagian bawah pakaian merah muda. Sesekali lidah dicibirkan ke arah Sinuhun Merah.


***********************
 14

SINUHUN Merah sadar kalau dirinya telah tertipu, dibuat lengah hingga tidak mengetahui kemunculan empat orang yang bukan lain adalah Pendekar 212, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Dengan cepat Sinuhun Merah kuasai diri dari keterkejutan. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam ke kening. Delapan benjolan di kepalanya pancarkan cahaya terang. Wiro dan kawan-kawan berlaku waspada. Tapi Sinuhun Merah tidak lancarkan serangan. Malah tangan kiri berkacak pinggang dan tangan kanan menunjuk ke arah Ratu Randang. Mulut membentak. “Nenek bejat! Dicari-cari menghilang! Sekarang datang sendiri mengantar nyawa!”
“Huss! Jangan bicara seperti itu pada bekas kekasih. Aku datang bukan mengantar nyawa. Tapi mengantar dada dan paha! Hik… hik… hik!”
“Perempuan iblis!” Teriak Sinuhun Merah marah luar biasa. Dua lutut melipat, tubuh merunduk, delapan benjolan merah memancar terang.
“Tunggu!” Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak. “Sinuhun Merah. Ilmumu boleh selangit tembus! Tapi menghadapi kami berlima kau bisa konyol sebelum hitungan ke sepuluh! Kami mungkin bisa mengampuni roh busukmu kalau kau mau memberi tahu di mana beradanya anak perempuan bernama Ni Gatri!”
“Ha… ha! Jadi anak itu yang kau cari. Sayang terlambat! Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah membawanya ke Negeri Atap Langit untuk diserahkan pada sang Penguasa di sana dan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken Parantili! Apa kalian semua tidak diundang menghadiri pesta peresmian anak itu jadi selir?!”
Kunti Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek sama terkesiap mendengar ucapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi Wiro yang sudah tahu jalan cerita cuma menyeringai.
“Percuma kau jadi kacung pengawal Sang Junjungan. Ternyata kau tidak tahu banyak apa yang terjadi di Negeri Atap Langit! Apa majikanmu bocah mesum itu pernah memakimu sebagai makhluk tolol!”
Tampang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti bara menyala.
“Kalau kau tidak memberi tahu di mana anak perempuan itu berada, kami akan membantaimu bersama­sama!” Wiro mengancam.
“Ancaman hebat! Tapi pengecut!” Teriak Sinuhun Merah. “Jauh-jauh datang dari negeri delapan ratus tahun mendatang keberaniannya ternyata hanya mengandalkan bantuan orang lain! Main keroyok!”
“Jika bertarung satu lawan satu apakah kau berani menyerangnya dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang kau keluarkan dari delapan benjolan di keningmu. Atau kau mampu menghantamnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah?” Yang bicara adalah Kunti Ambiri. Dia sengaja mengatur jebakan setelah Wiro menceritakan penangkal semua pukulan lawan yang memancarkan cahaya merah.
“Aku punya puluhan ilmu kesaktian! Mengapa harus mengandalkan Delapan Sukma Merah?!”
“Ah! Rupanya Penguasa Atap Langit tidak lagi memberikan dua ilmu itu padamu. Apa itu gara-gara kau ketahuan berselingkuh dengan Selir Ketiga Windu Resmi? Ha… ha… ha! Kakek butut, sebaiknya kau tak usah petatang-peteteng gagah-gagahan masih menyandang benjolan di kening!” Wiro mengejek habis-habisan.
“Betul! Mendingan delapan benjolan itu kau pindahkan ke pantat!” Mengejek pula Ratu Randang.
Meledaklah amarah Sinuhun Merah.
“Perempuan jahanam! Mulutmu kotor! Dosa kejimu padaku sudah lewat takaran! Biar kau kubunuh duluan!”
“Oh ya?! Biar aku pentang dada menyambut seranganmu!” Tantang si nenek, lalu singkapkan dadanya yang masih bagus. “Dulu kau pernah membuat tanda telapak tangan berjari empat di dada ini! Coba aku lihat! Apa kau masih mampu melakukan!”
Amarah Sinuhun Merah tambah menggelegak. Tanpa sadar kalau dirinya tengah dijebak orang, didahului teriakan garang dia lepas Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus Langit dari delapan benjolan di kening. Serangan ini diarahkan pada Ratu Randang. Di saat bersamaan dia juga hantamkan dua tangan ke arah Wiro. Jari tengah sengaja dilipat ke telapak tangan. Delapan sinar merah Pukulan Delapan Sukma Merah berkiblat!
Kawasan sekitar telaga terang benderang oleh kilatan cahaya merah. Sampai-sampai air terjun sesaat terlihat dari putih berubah merah. Gelegar mengerikan menggema dahsyat. Pendekar 212 berteriak keras.
“Delapan jari menusuk batu!” Wiro pentang empat jari tangan kiri kanan. Mendengar teriakan itu tiga orang yakni Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti kedua tangan masing­masing. Jari tengah dilipat. Empat jari lainnya mencuat lurus laksana potongan besi. Lalu dengan kecepatan kilat mereka ikuti apa yang dilakukan Wiro. Hanya Jaka Pesolek yang tetap berdiri tak bergerak karena dia memang tidak punya kemampuan tenaga dalam dan hawa sakti.
Kraaakk!
Enam belas jari secara hampir bersamaan menancap di bebatuan di tepi telaga. Empat batu besar berderak hancur. Bersamaan dengan itu menggelegar dentuman luar biasa dahsyat. Air telaga muncrat ke udara sampai tiga tombak. Air terjun bergoyang-goyang, memukul ke kiri kanan tebing batu hingga longsor bergemuruh. Bebatuan di dalam telaga bermentalan. Pepohonan di hutan bertumbangan. Di mana-mana terlihat buntalan api!
Wiro dan semua orang yang ada di telaga mencelat ke udara. Tanpa mampu mengimbangi diri semuanya jatuh berkaparan. Ada yang setengah kecebur ke dalam air, ada yang terbanting di pinggiran telaga. Beberapa di antaranya kucurkan darah dari mulut, termasuk Jaka pesolek.
Akan halnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah, yang oleh Penguasa Atap Langit tidak pernah diberi tahu ilmu pantangan atau ilmu penangkal pukulan sakti yang dilancarkannya, menjerit setinggi langit. Enam belas cahaya merah pukulan sakti yang dilepaskan menghantam dirinya sendiri hingga terkutung-kutung dan tercabik-cabik. Sebagian tubuh hancur tak berbentuk lagi. Salah satu kutungan kaki menyangsrang di atas pohon. Belahan kepala mengapung di permukaan telaga!
Di saat-saat luar biasa mengerikan itu mendadak terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah walau ujud utuhnya tidak kelihatan. “Saudara nyawa kembar! Jemput rohku!”
Air terjun seketika seolah berhenti mengucur. Di langit tiba-tiba ada cahaya kuning yang dengan kecepatan kilat melesat ke arah telaga. Di atas telaga cahaya kuning berubah membentuk sosok seorang pemuda berpakaian serba hijau.
“Sinuhun Muda Ghama Karadipa…” Desis Wiro mengenali orang yang muncul dari langit. Saat itu dia dalam keadaan terkapar di tepi telaga, di antara semak belukar. Wiro berusaha bangkit, khawatir Sinuhun Muda akan melakukan serangan balasan. Dia beringsut menghampiri Ratu Randang yang berada paling dekat.
“Nek, kau tak apa-apa?”
“Aku, dadaku mendenyut sakit. Tapi tidak apa-apa. Sudah, jangan bicara dan jangan bergerak dulu. Kita tidak tahu apa yang terjadi. Mendekat ke sini. Di sini belukarnya lebih lebat.” Jawab Ratu Randang.
Apa yang dikatakan si nenek memang benar. Belukar yang ada di depan Ratu Randang lebih lebat dan lebih tinggi hingga sulit bagi orang lain bisa melihat mereka. Wiro mendekat hingga tubuhnya saling bersentuhan dengan tubuh si nenek. Ratu Randang memperhatikan wajah sang pendekar sebentar tapi diam saja tidak berkata apa-apa.
“Walau keadaan genting, tapi dia pasti senang dempet­dempetan seperti ini.” Kata Wiro dalam hati sambil senyum-senyum.
“Kau pasti merasani aku dalam hati!” Ratu Randang pelototkan matanya yang juling tapi bagus.
“Tidak, Nek. Aku hanya mengawatirkan keadaan teman­teman yang lain.” Bisik Wiro.
“Ssshh… Sudah, jangan bicara lagi.” Kata Ratu Randang lalu kembali menatap ke arah sosok Sinuhun Muda yang melayang bergerak turun mendekati telaga.
Sebelum terjadi serangan Ratu Randang sengaja menyibakkan dada bajunya untuk mengejek sekaligus menantang dan memancing kemarahan Sinuhun Merah. Ketika dia kemudian membuat gerakan menusuk batu dengan delapan jari, nenek ini tidak punya kesempatan untuk menutup bajunya kembali. Kini tanpa disadari pakaian itu masih tersingkap lebar dan Wiro tak sengaja melihatnya!
“Masih bagus…” Tak sadar Wiro keluarkan ucapan.
Ratu Randang melirik “Aku sudah bilang jangan bicara!”
“Ya sudah, Nek. Aku diam saja. Tidak bicara lagi.” Kata Wiro sambil memandang ke jurusan lain. Begitu si nenek tidak menatapnya lagi, kembali matanya mampir ke dada orang.
“Eh, tadi kau bilang apa? Apa yang masih bagus.” Tiba­tiba Ratu Randang bertanya.
“Anu, itu Nek. Yang putih menyembul. Masih mantap…” Jawab Wiro sambil senyum-senyum dan pura-pura menatap ke arah telaga.
Ratu Randang sibakkan sedikit semak belukar. Memperhatikan ke arah telaga dan sekitarnya. Dia tidak melihat sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan ucapan Wiro tadi. Penasaran si nenek tancapkan cubitan ke pinggang Wiro.
“Kau mau berteriak silahkan! Biar kacau semua urusan di tempat ini! Kalau kau tidak mau mengatakan apa maksud ucapanmu, aku cubit pinggangmu sampai dagingnya somplak!”
“Jangan Nek, aku tidak bermaksud usil. Tapi aku lihat sendiri…”
“Kau masih bicara berbelit-belit. Apa yang kau lihat sendiri?! Ayo katakan terus terang!”
“Itu Nek…” Wiro goyangkan kepalanya ke arah dada Ratu Randang. Si nenek tundukkan kepala, memandang ke arah dadanya sendiri.
“Oala! Gila! Sudah lama menikmati baru kau memberi tahu! Culas!” Ratu Randang mengomel tapi acuh saja dia tidak berusaha menutupi dada, hanya menggerakkan badan memunggungi Wiro.
Di udara sosok Ghama Karadipa mengambang sepuluh jengkal di atas permukaan telaga. Dua tangan dikembang. Dua telapak tangan pancarkan cahaya merah kekuningan.
“Apa yang dilakukan bangsat nyawa kembaran Sinuhun Merah itu!” Pikir Wiro. Diam-diam dia sudah siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.
Mendadak terjadi satu hal aneh. Semua kutungan tubuh, belahan kepala, cabikan daging, hancuran tulang belulang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti disedot dua tangan Sinuhun Muda yang memancarkan cahaya, melayang ke udara, bergabung membentuk sosok samar lalu masuk menyatu ke dalam tubuh saudara nyawa kembarnya Sinuhun Muda Ghama Karadipa!
“Nek, rupanya benar kata orang!” Wiro berkata pada Ratu Randang. “Sinuhun itu rohnya tidak bisa dihabisi. Karena satu sama lain merupakan nyawa kembar! Yang satu mati, yang satu sebagai nyawa cadangan!”
“Paling tidak sekarang hanya satu Sinuhun saja yang akan kita hadapi,” jawab si nenek pula.
“Makhluk-makhluk jahanam di bawah sana!” Sambil melayang ke udara Sinuhun Muda berteriak. “Kalian akan
menerima pembalasanku!”
Wiro angkat tangan kanan.
“Sang Junjungan di dalam goa! Kau sudah tahu apa yang terjadi! Kau tunggu apalagi! Bunuh mereka semua!” Kembali Sinuhun Muda berteriak.
Ketika Wiro siap menghantamkan Pukulan Sinar Matahari tiba-tiba di belakangnya air terjun berhenti mencurah. “Nek, air terjun terbelah. Ada celah aneh…”
“Ada yang akan keluar dari dalam goa! Waspadalah!” Kata Ratu Randang.
Saat mereka bicara di atas telaga sosok Sinuhun Muda yang dimasuki roh nyawa kembarnya laksana kilat melesat ke langit, lenyap dari pemandangan.
“Sial! Aku terlambat!”
Baru saja Wiro berucap tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh. Di antara air terjun yang terbelah menggantung melesat delapan ekor anak kucing merah. Empat ekor menyambar ke arah semak belukar di balik mana Wiro dan Ratu Randang berada. Dua ekor berkelebat ke jurusan Kunti Ambiri dan dua ekor lagi menyerbu Sakuntaladewi yang terbaring di tepi telaga berdampingan dengan Jaka Pesolek.
Pukulan Sinar Matahari yang tadi hendak dilepas untuk menghantam Sinuhun Muda, oleh Wiro kini diarahkan pada empat ekor anak kucing merah yang menyerbunya. Ratu Randang tidak tinggal diam. Dia segera lepaskan Pukulan Tombak Dewa Memancung Berhala! Di tempat lain Kunti Ambiri berguling di tanah lalu dalam kuda-kuda setengah mencangkung dia menggebrak dua pukulan ke arah dua anak kucing yang menyerbu.
Jaka Pesolek yang tidak punya ilmu pukulan secepat kilat melesat ke atas sebuah pohon. Meninggalkan Sakuntaladewi yang kini seorang diri harus menghadapi serangan dua ekor anak kucing merah. Gadis berkaki satu ini dengan cepat gerakkan dua tangan, keluarkan jurus Ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam belas cahaya biru berkiblat, menghambur ke arah dua ekor kucing. Ngeongan keras terdengar di mana-mana. Namun semua keriuhan itu ditelan oleh gelegar suara teriakan anak lelaki.
“Semua menahan diri! Siapa berani menyentuh satu saja dari Rakanda Delapan Sukma Merah, nyawa anak perempuan ini jadi tumbalnya!”
Delapan anak kucing mengeong keras. Tubuh mengambang di udara. Wiro sendiri dan empat orang lainnya tersentak kaget.
Ratu Randang memandang ke arah goa di balik air terjun. Apa yang dilihatnya membuat nenek ini serta merta berteriak. “Tahan serangan!”


***********************
15

DELAPAN ekor kucing merah walau tidak bergerak namun terus saja unjukkan sikap garang siap menyerang. Taring mencuat dan kuku merah runcing siap melancarkan serangan Cakar Sukma Merah.
Dari dalam goa di balik air terjun yang curah airnya tertahan, melesat sosok seorang anak lelaki. Di atas bahu kanan anak ini memanggul tubuh seorang anak perempuan. Ketika anak perempuan ini disandarkan ke tebing di tepi telaga dan wajahnya yang pucat terlihat jelas, kagetlah semua orang yang mengenali.
“Ni Gatri!” Wiro, Ratu Randang dan Kunti Ambiri sama­sama berteriak.
Keadaan anak perempuan itu sangat menyedihkan. Rambut kusut masai awut-awutan. Pakaian tidak karuan dan nyaris tersingkap di beberapa tempat. Sepasang mata nyalang tapi menatap kosong! Tidak dapat dipastikan apakah Ni Gatri dalam keadaan pingsan atau sedang sekarat!
“Bocah keparat! Kau membunuh anak itu!” Teriak Wiro.
“Diam!” Sentak Dirga Purana. “Semua orang yang ada di tempat ini! Dengar ucapanku!” Bocah yang tadi memanggul Ni Gatri dan bukan lain adalah Sang Junjungan Dirga Purana berdiri sambil mencekik leher anak perempuan itu. Lima jari tangan yang mencekik tampak luar biasa besar dan panjang, tidak pantas sebagai jari bocah berusia dua belas tahun. Rupanya Dirga Purana punya semacam ilmu yang membuat jari tangan bisa menjadi besar. “Dengar ucapanku!” Dirga Purana kembali berteriak. “Jika kalian ingin anak perempuan ini hidup, cepat tinggalkan tempat ini. Kecuali yang merasa diri berjuluk Ksatria Panggilan!”
Wiro mendelik. Rahang menggembung menahan amarah. “Nek, aku mau mengadu jiwa dengan bocah keparat itu!” Kata Wiro pada Ratu Randang.
“Aku khawatir itu tidak akan menyelamatkan Ni Gatri. Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi dengan anak perempuan itu!”
“Dirga Purana!” Berseru Ratu Randang. “Tinggalkan anak itu di tepi telaga. Kau boleh pergi!”
“Begitu? Mudah dan enak sekali! Tapi dengan satu syarat!”
“Syarat apa?” Tanya Ratu Randang.
“Ksatria Panggilan harus lebih dulu bunuh diri membenturkan kepala ke batu besar di hadapanku!”
“Laknat jahanam!” Rutuk Wiro.
“Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana semula! Bunuh mereka semua!”
Delapan anak kucing jantan merah mengeong keras. Gerakan mereka menyerang yang tadi tertahan kini diteruskan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara gamelan ditingkah bunyi rebab, tiupan seruling dan tabuhan gendang.
“Gila! Lagu gamelan itu adalah lagu pengiring kematian!” Teriak Ratu Randang dengan wajah pucat.
“Nek, aku belum mau mati!” Jaka Pesolek berkata setengah meratap dan melompat turun dari atas pohon, mendekati Ratu Randang seolah minta dilindungi.
Namun salah seekor anak kucing yang ada di depannya serta-merta menyerang. Mulut siap menggeragot, cakar siap merobek leher si gadis. Jaka Pesolek yang selama ini masih belum bisa kencing, saking takutnya saat itu sampai pancarkan air kencing!
Tujuh ekor kucing lainnya tidak tinggal diam. Binatang­binatang itu segera menyerbu ke arah orang-orang yang sudah diincar.
Ketika suara gong terdengar mengalun keras, tiba-tiba delapan sosok aneh yang mula-mula berbentuk delapan benda bersinar, muncul di tengah telaga. Perlahan-lahan ujud berubah menjadi asap lalu membentuk sosok pocong. Di sebelah atas berselubung kain coklat, di pinggang ada ikat pinggang kuning lalu di bagian bawah dilibat kain warna hijau. Delapan makhluk ini melayang mengambang di atas telaga, meliuk-liuk seperti menari mengikuti alunan gamelan! Sesekali wajah mereka menghadap ke arah orang-orang di tempat itu. Ternyata mereka memiliki wajah polos licin! Tak ada mata, hidung ataupun mulut!
“Delapan Pocong Menari!” Ucap Wiro.
“Kau kenal mereka?” Tanya Ratu Randang tercekat.
“Mereka… mereka berasal dari delapan bunga matahari kecil.” Wiro memberi tahu lantas raba pinggang pakaian. Ternyata delapan bunga matahari tidak ada lagi di balik pinggangnya.
Selagi semua orang kecuali Wiro terheran-heran, Dirga Purana merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Telinga kiri berdenging-denging. Dia punya firasat ada bahaya besar mengancam.
Dari tengah telaga, delapan pocong tiba-tiba keluarkan suara menyanyi.
“Mulut tidak ada, bagaimana bisa menyanyi?” Kata Jaka Pesolek heran ada takut juga ada.
Tidak dipanggil datang sendiri
Ini untuk terakhir kali
Karena delapan musuh sudahlah pasti
Mengadu jiwa menghadang mati
Berserah diri kepada Yang Kuasa
Kalaupun mati haruslah pasrah
Delapan pocong di tengah telaga bertepuk tiga kali. Pada tepukan yang ketiga dua tangan saling menggenggam. Didahului gerakan lemah gemulai dua tangan kemudian dikembang. Dari sela tangan yang mengembang itu berlompatan delapan anak kucing betina gemuk berbulu putih. Binatang-binatang ini mengeong keras lalu melompat ke arah delapan kucing merah.
Kejut bocah Dirga Purana bukan alang kepalang.
“Rakanda Delapan Sukma Merah! Lekas masuk ke dalam goa!” Dirga Purana berteriak memanggil delapan anak kucing merah. Tapi yang dipanggil sudah keburu melihat kemunculan kucing betina. Bukannya mereka menurut perintah sang majikan, malah melompat girang menghampiri delapan kucing betina montok dan mulai mencium menjilati.
“Celaka! Celaka besar!” Dirga Purana pukul kepala sendiri. Ni Gatri yang tadi dicekiknya terlepas jatuh ke tanah. Dua mata Dirga Purana membelalak ketika dia melihat delapan anak kucing jantan merah peliharaannya mulai mengeong keras menunggangi anak-anak kucing betina berbulu putih!
Dirga Purana berteriak keras. Jatuhkan diri hingga keningnya menyentuh tanah. “Pantangan besar telah dilanggar! Pantangan besar telah dilanggar!” Katanya berulang kali. Lalu didahului teriakan menyerupai lolongan anjing dia berdiri bangkit, siap melesat ke udara, masuk ke dalam goa lewat air terjun yang saat itu masih berhenti mencurah. Namun sang bocah tersentak kaget ketika dapatkan dirinya telah dikelilingi Wiro dan kawan-kawan!

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4496 - 4499

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4496-4499 Thomas benar-benar tercengang saat melihat pemandangan di depannya, wajahnya luar biasa.  "Ini...i...