Delapan Pocong Menari
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
***********************
1
MALAM
Selasa Kliwon. Di dalam Puri Kesatu di Negeri Atap Langit, Ken Parantili
benamkan wajah ke dada Pendekar 212, tangan merangkul pinggang, lalu perempuan
muda ini angkat kepalanya.
“Kita
harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah. Suara gamelan mulai terdengar
perlahan. Pertanda Penguasa Atap Langit dalam perjalanan ke tempat ini. Aku
harus sudah ada di atas tempat tidur ketika Penguasa Atap Langit datang. Apa
yang harus kau lakukan nanti akan akan aku beri tahu.”
Ken
Parantili menarik tangan Wiro. Keduanya melangkah menembus dinding. Di luar
Kawasan Atap Langit kembali terdengar suara teriakan.
“Penguasa
Atap Langit! Ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya besar!”
Ini
adalah teriakan yang kedua kali. Setelah gema teriakan lenyap dan keadaan sunyi
sebentar, tiba-tiba menggelegar teriakan balasan. Udara bergetar. Hawa dingin
terasa tambah mencucuk.
“Makhluk
yang berteriak! Aku Penguasa Atap Langit! Aku mengenali suaramu! Bukankah kau
Sinuhun Merah Penghisap Arwah?!”
“Benar
sekali, Penguasa Atap Langit. Terima kasih kau mau menjawab.”
“Kau
berani berada di Kawasan Atap Langit bukan pada hari yang yang ditentukan. Itu
pelanggaran pertama. Pelanggaran kedua, kau datang membawa kabar seolah
penghuni Negeri Atap Langit termasuk diriku adalah makhluk-makhluk tolol yang
tidak tahu menjaga keamanan Negeri! Apa maksudmu berteriak ada penyusup masuk
ke Kawasan Atap Langit? Para pengawalku, Tiga Kelelawar Raksasa dan dua ratus
Arwah Hitam Putih telah melakukan penyelidikan. Negeri dalam keadaan aman!
Bagaimana kau bisa mengatakan ada penyusup! Apakah kau sengaja hendak berbaik
budi menjilat untuk mendapatkan sesuatu? Apakah kau hendak memaksa agar aku
memberi ilmu hingga kau bisa masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa?”
“Penguasa
Atap Langit! Keinginan untuk masuk ke Ruang Segi Tiga Nyawa sudah aku lupakan!”
“Karena
keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi sudah lenyap, sudah keduluan diambil orang!
Dan kau hanya dapat keris palsu butut! Ha… ha… ha!”
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah seperti terhenyak. “Dia tahu apa yang terjadi,” katanya
dalam hati. Dia mendongak ke langit lalu menyahuti ucapan orang. “Penguasa Atap
Langit! Aku datang bukan untuk menjilat tapi memang hendak berbaik budi! Kau
telah banyak menolong diriku dan saudara kembar satu nyawa. Kau juga telah
banyak membantu Ksatria Junjungan Dirga Purana. Apa salahnya kalau aku memberi
tahu bahwa dirimu saat ini terancam bahaya besar?”
Dari
dalam Kawasan Atap Langit menggelegar tawa bergelak sang Penguasa.
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Aku peringatkan dirimu! Lekas menjauh dari kawasan
kekuasaanku! Kau baru boleh muncul lagi pada bulan purnama yang akan datang!”
“Tapi
Penguasa Atap Langit! Aku tidak bicara dusta. Aku tidak mengarang cerita…”
“Sinuhun
Merah! Ini peringatan terakhir! Kau ingin aku menyuruh Tiga Kelelawar Raksasa
membakar tubuhmu hingga leleh! Atau kau mau dua ratus makhluk Arwah Hitam Putih
mengorek jantungmu yang ada di dalam rongga dada sebelah kanan?!” Ancaman Penguasa
Atap Langit rupanya tidak tanggung-tanggung.
“Penguasa
Atap Langit. Aku minta maaf. Aku pergi sekarang! Aku hanya berusaha berbuat
kebaikan…”
“Aku
tidak perlu kebaikan dari makhluk semacammu. Bukankah selama ini kau dan
orang-orangmu yang selalu meminta kebaikan padaku?! Kebaikan dan ilmu yang aku
berikan kerap kali kau salah gunakan! Bukankah aku sudah mengingatkan
sebelumnya?!”
Di puncak
Gunung Semeru yang gelap dan dingin, mengambang di atas satu gundukan batu,
makhluk alam roh serba merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah mendengus. Dalam
hati dia menyumpah, “Makhluk congkak! Rohmu memang bisa amblas berkali-kali!
Tapi sekali ini kau akan menyesal sampai ke liang neraka! Begitu kau mampus aku
akan menguasai Kawasan Atap Langit!”
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah meludah sampai tiga kali. Ludahnya berwarna merah. Lalu
cepat dia berkelebat pergi.
“Tunggu!”
Suara Penguasa Atap Langit menggelegar.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah tahan gerakan.
“Sinuhun
Merah, aku memberi perintah padamu! Saat ini juga harap kau segera menemui anak
lelaki usia dua belas tahun bernama Dirga Purana. Katakan padanya sebelum
tengah hari besok, dia harus sudah mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri
ke hadapanku!”
Sesaat
Sinuhun Merah tertegun mendengar ucapan Penguasa Atap Langit itu. Dalam hati
dia membatin. “Aku punya dugaan, gadis cilik itu pasti akan dijadikan gundik
baru.” Ucap Sinuhun Merah dalam hati. “Sang Junjungan sedang mabuk cinta dengan
anak perempuan ayu bertubuh molek itu. Apa dia mau menyerahkan?”
“Sinuhun
Merah! Kau mendengar apa yang aku katakan?!”
“Aku
mendengar. Aku akan menemui Ksatria Junjungan Dirga Purana untuk menyampaikan
pesanmu.”
“Bukan
cuma disampaikan! Tapi juga untuk dilaksanakan!”
“Baik,
perintahmu akan aku laksanakan! Aku sendiri yang akan membawa anak perempuan
itu ke hadapanmu!”
“Tidak
perlu kamu! Aku sudah bosan terlalu sering melihat tampang merahmu! Suruh
makhluk lain yang bisa dipercaya! Kau mengerti?!”
“Aku
mengerti,” jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan menahan gelegak amarah.
Sebelum meninggalkan tempat itu dia semburkan ludah merah dua kali. Kaki kanan
digebrak hingga lereng batu yang menebingi bagian atas kawah Gunung Semeru
hancur berantakan.
Ketika
melayang dekat pinggiran kawah Gunung Semeru makhluk alam roh yang punya nyawa
kembar dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa ini walau gelap kelam namun di bawah
sana dia masih bisa melihat sosok empat orang mendekam kedinginan di depan
perapian yang apinya telah padam.
Orang-orang
itu adalah Ratu Randang, Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti
diceritakan sebelumnya mereka dilemparkan di tengah jalan oleh belahan batang
pohon beringin sewaktu Pendekar 212 Wiro Sableng diterbangkan menuju Negeri
Atap Langit.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah memperhatikan keadaan di puncak gunung. Menatap ke arah
kawah yang gelap lalu mengendus dalam-dalam.
“Hemm…”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergumam sambil usap janggut merahnya. “Aku
mencium baunya walau sudah jadi jerangkong! Makhluk bernama Lor Pengging Jumena
itu masih mendekam di sekitar kawah. Agaknya tengah menjaga keempat orang itu.
Sayang aku ada keperluan lebih penting. Kalau tidak apa susahnya mencelakai
keempat orang itu! Ratu Randang, kau tunggu pembalasanku! Kau terlalu banyak
menipu diriku dan nyawa kembarku! Aku akan betot semua ilmu yang pernah
kuberikan padamu, sekalian dengan jantung, hati, limpa dan ginjalmu!”
(Diceritakan sebelumnya makhluk bernama Lor Pengging Jumena itu adalah yang juga
dikenal dengan panggilan Embah Buyut Kumara Gandamayana).
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah meludah lalu melesat ke timur. Saat itu memang ada yang
merisaukan hatinya. Dia belum mengetahui apakah Empu Semirang Biru yang telah
diracunnya berhasil menemukan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala di tempat persembunyiannya.
**************************
Kembali
Ke Puri Kesatu, di dalam ruang tidur Selir Pertama. Ken Parantili melangkah ke
arah meja di mana ada tiga bunga mawar segar dalam tiga jambangan kaca. Di atas
meja juga terdapat sebuah gelas kaca tinggi berisi cairan kuning. Ken Parantili
meneguk habis cairan di dalam gelas kaca. Lalu mengambil dua kuntum bunga mawar
dari dalam jambangan kaca sebelah tengah dan menyelipkannya di atas telinga
kiri kanan yang dicanteli anting-anting mutiara, disepit dengan untaian rambut.
Bunga mawar ketiga diletakkan di balik dada pakaian.
“Wiro,
kita segera masuk ke ruang tidur besar di sebelah. Ikuti aku.”
Seperti
angin meniup udara kosong, kedua orang itu masuk ke kamar besar menembus dinding.
Begitu berada di kamar besar tempat di mana Penguasa Atap Langit akan datang
untuk terakhir kali menemui dirinya, Ken Parantili berkata pada Wiro. “Aku akan
membaringkan diri di atas tempat tidur. Kau berdirilah di sudut sebelah kiri
kepala tempat tidur. Jangan bergerak, jangan bersuara. Penguasa Atap Langit
tidak akan melihat dirimu karena rambutku masih menempel di dadamu. Namun untuk
menjaga segala kemungkinan, sesuai pesan Nyai Roro Manggut, aku harap sekarang
juga kau mengeluarkan ilmu kesaktian yang diberikannya yaitu Ilmu Meraga Sukma.
Sukmamu berdiri di sudut kanan, raga aslimu berdiri ke sudut kiri.”
“Ketika
Penguasa Atap Langit hendak membunuhmu, apa aku tetap tinggal diam, tidak
berusaha menolong?
Bukankah
itu budi yang harus aku lakukan?”
“Kau
bukannya tidak melakukan apa-apa. Semua yang telah kau lakukan dan apa yang aku
katakan jika kau turuti maka itu sudah pertolongan besar bagiku. Penguasa Atap
Langit tidak akan mampu membunuhku karena sebelumnya kau telah berbaring di
atas tempat tidur ini. Begitu dia mencium bekas bau tubuh dan keringatmu,
apalagi kalau sampai bersentuhan, ilmu kesaktiannya menjadi rontok! Karena itu
adalah pantangan bagi hampir semua ilmu kesaktiannya. Tidak ada selir yang
boleh berselingkuh…”
“Tapi aku
ingat percakapan kita beberapa waktu lalu tentang Selir Ketiga Windu Resmi. Dia
dicurigai berselingkuh dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Mengapa Penguasa
Atap Langit tidak celaka?”
“Selir
itu tidak berselingkuh di tempat ketiduran Penguasa Atap Langit yang ada di Puri
Ketiga. Selain itu giliran kematiannya masih dua purnama di muka. Lalu saat ini
dia sudah jadi mayat, kau timbun di pinggir Telaga Bersuci dan Bersegar Diri.
Jadi tak ada lagi yang perlu dibicarakan menyangkut selir itu.”
“Tapi
kita berdua tidak pernah melakukan perselingkuhan. Maksudku berbuat yang
bukan-bukan di atas tempat tidur.” Kata Wiro pula agak mesem-mesem.
“Itu
benar. Tapi yang menjadi masalah besar bagi Penguasa Atap Langit adalah jika
dia mencium apalagi sampai bersentuhan dengan bau badan atau keringat lelaki
lain. Dan lelaki itu ditakdirkan dirimu adanya…”
“Ini yang
aku tidak mengerti. Mengapa musti aku?!” Ujar Wiro pula.
“Aku
tidak tahu mengapa harus kau. Jika kau kelak bertemu dengan Nyi Roro Manggut,
kau bisa tanyakan hal itu padanya. Karena dia yang memberitahu kalau hanya kau
yang bisa menyelamatkan diriku.”
“Nenek
sakti itu…”
“Husss!”
Ken Parantili memotong ucapan Wiro. “Sahabatku, kau tahu siapa dia sebenarnya.
Aslinya bukankah dia seorang gadis cantik jelita?”
Wiro
ternganga. Tidak menyangka sang selir tahu banyak dan begitu jauh. Wiro
mendadak ingat. Ketika orang kepercayaan Penguasa Laut Selatan itu memberikan
Ilmu Meraga Sukma padanya, si nenek sakti terlebih dulu menguji dirinya secara
berat dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah merayu dan
menggodanya untuk menyentuh auratnya lalu melakukan hubungan badan. Wiro
menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Hal yang sama akan segera terjadi.
Apa aku sanggup menahan diri seperti dulu. Selir ini selain cantik kurasa punya
pengalaman soal begituan…” (Mengenai riwayat Wiro mendapat ilmu kesaktian dari
Nyi Roro Manggut dapat dibaca dalam serial “Meraga Sukma”).
Ken
Parantili tatap wajah sang pendekar sejurus lalu meneruskan ucapan. “Nyi Roro
Manggut berpesan, pada saat Penguasa Atap Langit hendak melaksanakan niatnya
membunuh diriku, maka kau harus segera mengeluarkan Ilmu Meraga Sukma.”
Wiro
anggukkan kepala. Lalu berkata. “Seorang kakek sakti yang dipanggil Embah Buyut
Kumara Gandamayana memberi tahu. Orang luar kalau pun bisa masuk ke dalam
Negeri Atap Langit tidak akan mampu melihat ujud Penguasa Atap Langit. Kecuali
jika dia berdiri kaki ke atas kepala ke bawah. Apa aku harus berjungkir balik
untuk bisa melihatnya?”
Ken
Parantili menggeleng. “Kau sudah mandi di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri yang
memiliki delapan pancuran. Matamu akan sama dengan mata semua penghuni Negeri
Atap Langit. Tak ada halangan atau kekuatan yang menyekat pandanganmu.”
“Yang
mampu melihat…, ujud asliku atau sukmaku?” Tanya Wiro.
“Dua-duanya.
Sebaliknya Penguasa Atap Langit tidak bisa melihat dirimu dan sukmamu karena
rambut penangkal milikku yang menempel di tubuhmu. Nah, kau sudah siap. Atau
masih ada yang ingin ditanyakan?”
Wiro jadi
tegang walau sesaat. “Aku sudah siap,” jawabnya kemudian setengah berbisik.
“Suara
gamelan sudah lenyap. Berarti Penguasa Atap Langit sudah ada di dekat Puri
Kesatu. Siap untuk masuk ke sini.”
Wiro
tergagap ketika begitu selesai bicara Ken Parantili goyangkan tubuh. Seluruh
pakaian yang tadi melekat melindungi auratnya lenyap entah ke mana! Kini yang
melekat di tubuhnya adalah mahkota emas berbentuk atap di kepala, anting-anting
dan kalung mutiara serta tiga kuntum bunga mawar merah. Dua tersepit di telinga
kiri kanan, satu lagi menempel di dada. Dalam keadaan seperti itu Ken Parantili
naik ke atas tempat tidur. Tubuh kemudian ditutup dengan sehelai kain sutera
merah muda yang sebelumnya terlipat di bawah salah satu bantal besar.
***********************
2
SELAGI
Wiro terpana dengan apa yang disaksikannya, Ken Parantili berkata. “Saatnya kau
merapal dan menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Berdiri di dua sudut ruangan di kiri
kanan kepala tempat tidur. Jangan bergerak, jangan bersuara, apapun yang
terjadi.”
Pendekar
212 segera melangkah ke sudut kiri ruangan. Duduk bersila. Dua tangan
diletakkan di atas paha lalu diangkat dan disilangkan di atas dada. Sepasang
mata dipejam. Mulut merapal aji kesaktian. Satu sosok berupa bayangan samar
keluar dari tubuh Wiro, membentuk ujud kembar utuh lalu melayang dan berdiri di
sudut kanan ruangan. Perlahan-lahan Wiro asli bangkit berdiri.
Hanya
sesaat setelah Wiro menerapkan Ilmu Meraga Sukma, satu kaki berkasut hijau
mencuat di langit-langit ruangan. Bersamaan dengan itu ada suara orang berucap.
“Ken
Parantili, Selir Pertama penghuni Puri Kesatu. Aku Penguasa Atap Langit, aku
datang! Apakah kau sudah bersiap diri?”
Di
langit-langit ruangan, Wiro melihat satu kaki lagi muncul menjuntai.
“Yang
Mulia Penguasa Atap Langit, saya Selir Pertama telah siap di atas tempat tidur.
Saya menunggu dengan segala kerinduan.” Walau bicara mesra sebenarnya Ken
Parantili telah muak dengan segala basa basi itu. Apalagi dia tahu kalau
kedatangan Penguasa Atap Langit kali ini merupakan kedatangan terakhir, yang
bukan saja seperti biasa untuk mengumbar nafsu tapi juga membekal niat jahat
hendak membunuhnya.
Dua kaki
di langit-langit meluncur ke bawah. Kelihataan sosok berjubah hijau tapi yang
kelihatan baru dari kaki sampai ke pinggang.
“Ken
Parantili, apakah kau telah meneguk habis Cairan Kuning Minuman Penggoda?”
“Saya
sudah menghabiskan minuman itu Yang Mulia,” jawab Ken Parantili sambil mengusap
tenggorokan.
“Apakah
kau juga telah memperelok diri dengan tiga kuntum bunga mawar merah pengharum
nafas, pelancar dan pemanas aliran darah?”
“Sudah
Yang Mulia.”
“Selir
Pertama Ken Parantili, apakah kau sadar kalau malam ini adalah pertemuan kita
yang terakhir. Dan bahwa malam ini kau akan menemui kematian di tanganku?”
Ken
Parantili merasa tubuhnya bergetar dan dingin. “Saya sadar Yang Mulia.” Jawab
sang selir kemudian.
“Apakah
kau berani menolak kematian atas dirimu?”
“Kalau
itu sudah takdir diri saya mana saya berani menolak.”
“Apa kau
ada permintaan, setelah kau mati ke mana jenazahmu akan dikirimkan?”
Ken Parantili
terdiam karena tidak menduga akan ditanya seperti itu. Akhirnya Selir Pertama
ini menjawab. “Saya tidak punya orang tua tidak punya saudara. Tidak punya
sanak tidak punya kadang. Bahkan desa kelahiran pun saya tidak pernah tahu.
Jika Yang Mulia sudi, mohon jenazah saya dimasukkan ke dalam kawah Gunung
Semeru. Saya hanya minta satu hal, sebelum jenazah saya dilempar ke kawah
Gunung Semeru, harap jantung saya yang ada di tangan Yang Mulia dikembalikan ke
dalam tubuh saya. Agar saya bisa menghadap Para Dewa di Kahyangan secara utuh!”
“Itu
pintamu, itu yang akan terjadi. Tetapi soal jantungmu, aku yang akan mengatur
karena sudah dimasukan ke Ruang Jantung Sembilan Belas. Sekarang aku akan turun
menemuimu!”
Sosok
berjubah hijau melayang turun ke bawah, berdiri di samping tempat tidur. Wiro
asli dan Wiro sukma samasama memperhatikan dengan mata tak berkesip. Ternyata
Penguasa Atap Langit bertubuh sedang, berkulit bersih putih dan berwajah
jernih. Di atas kepala yang rambutnya disanggul ke atas, terdapat sebuah
mahkota emas berbentuk atap. Ukurannya jauh lebih besar dari mahkota kepunyaan
Ken Parantili dan ditaburi ratna mutu manikam.
Wiro agak
terkesiap. Tadinya dia mengira Penguasa Atap Langit memiliki tubuh tinggi
besar, bertampang angker, paling tidak memelihara berewok dan kumis melintang.
Ternyata perkiraannya jauh meleset. Penguasa Atap Langit juga tidak mengenakan
pakaian kebesaran mewah. Pakaiannya sederhana saja, sehelai jubah panjang
berwarna hijau.
“Tampangnya
memang bersih jernih. Tidak ada keangkeran. Tapi sepasang mata tampak dingin
dan bibir tipis panjang tanda makhluk ini menyembunyikan kekejaman dahsyat
dalam dirinya,” Wiro berucap dalam hati sambil sepasang mata terus
memperhatikan.
Penguasa
Atap Langit untuk beberapa lama tegak di tepi tempat tidur, memperhatikan Ken
Parantili yang terbaring tertutup kain sutera tipis merah sebatas leher. Dengan
gerakan tenang dia melangkah mendekati tempat tidur. Tangan kiri menjangkau
mahkota emas di atas kepala sang selir lalu sekali tangan digerakkan mahkota
itu melesat ke atas, menancap di langit-langit kamar.
“Kau
tampak cantik sekali malam ini.” Penguasa Atas Langit memuji.
“Mungkin
hanya kecantikan ini yang bisa saya berikan terakhir kali pada Yang Mulia” kata
Ken Parantili.
“Kalau
begitu pejamkan kedua matamu. Kita segera mulai.” Tangan kiri Penguasa Atap
Langit kembali sibakkan rambut di wajah sang selir sebelah kiri lalu mengambil
bunga mawar yang terselip di telinga. Bunga digoyanggoyang di bawah hidung
lalu lenyap dimasukkan ke dalam mulut. Tidak tampak dia mengunyah atau menelan.
Dengan tangan kanan Penguasa Atap Langit mengambil bunga mawar kedua yang
terselip di telinga kanan. Seperti bunga pertama, bunga ini juga dimasukkan ke
dalam mulut. Setelah menatap wajah Ken Parantili sebentar, Penguasa Atap Langit
susupkan tangan kanan ke bawah kain sutera merah yang menutupi tubuh Ken
Parantili. Tangan menyusup dari arah leher, meluncur ke bawah. Ketika tangan
dikeluarkan dari balik kain merah, terlihat dia memegang bunga mawar ketiga.
Bunga inipun dimasukkan ke dalam mulut setelah lebih dulu digoyang di bawah
hidung.
Dari dua
sudut ruangan, sosok asli Pendekar 212 dan sosok sukma terus memperhatikan.
Tiba-tiba Penguasa Atap Langit angkat tangan kanan. Tangan itu dalam keadaan
terkepal diarahkan ke kepala Ken Parantili.
“Aneh,
mengapa dia ingin cepat-cepat membunuh selir itu! Akan memecahkan kepalanya!
Bukankah dia ingin bersenang-senang dulu? Agaknya apa yang terjadi tidak
seperti yang dikatakan Ken parantili.” Sosok asli Pendekar 212 langsung saja
menyiapkan serangan pukulan sakti di tangan kanan.
Tangan
kanan Penguasa Atap Langit yang mengepal bergerak, bukan berupa serangan
memukul kepala yang mematikan, tapi berubah menjadi usapan di atas wajah Ken
Parantili. Wiro asli dan Wiro sukma dapat melihat jelas kalau jari tengah dari
lima jari tangan yang dikembang dilipat ke telapak tangan.
“Sepertinya
dia hendak membunuh selir itu dengan Pukulan Sukma Merah. Tapi mengapa tangan
dan jarijarinya tidak berubah merah.” Wiro membatin.
Tidak mau
keduluan dia segera angkat tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam dan
hawa sakti. Ini kesalahan yang tidak disadarinya.
Tangan
kanan Penguasa Atap Langit ternyata lagi-lagi tidak melancarkan serangan
melainkan bergerak ke atas kepalanya sendiri. Gerakan tertahan sebentar ketika
kepala digoyangkan.
Wuttt!
Mahkota
emas besar di atas kepala Penguasa Atap Langit melesat ke atas dan menancap di
langit-langit kamar, tepat menutupi mahkota emas yang lebih kecil, milik Ken
Parantili. Penguasa Atap Langit menyeringai.
“Mahkota
besar memayungi mahkota kecil, pertanda baik bagimu. Kau akan menemui kematian
dengan tenang!” kata Penguasa Atap Langit pada Ken Parantili.
Wiro yang
sudah tidak sabaran ingin menghantam, perlahan-lahan kembali turunkan tangan
yang masih dialiri tenaga dalam. Kesalahan kedua!
Penguasa
Atap Langit merasa dingin pada daun telinga kiri kanan. Sepasang mata menatap
wajah Ken Parantili. “Selir Pertama penghuni Puri Kesatu! Aku seperti merasa
ada hawa aneh bergerak di dalam kamar ini.”
Penguasa
Atap Langit memandang berkeliling. Dia tidak melihat ada orang atau benda lain
di tempat itu. “Aku ingat Sinuhun Merah Penghisan Arwah. Jangan-jangan benar
apa yang diberitahukannya padaku melalui teriakan dari luar Kawasan Atap
Langit. Aku Curiga! Buka dua matamu!”
***********************
3
PERLAHAN-LAHAN
Ken Parantili buka kedua matanya. Sekujur tubuh terasa dingin. Dia menduga
paling tidak salah satu dari sosok Wiro telah membuat gerakan. “Sudah diberi
tahu agar jangan bergerak…” Ken Parantili melirik ke arah sosok asli Wiro yang
berdiri di sudut kiri ruangan. “Mungkin dia mengira Penguasa Atap Langit hendak
membunuhku, mungkin dia membuat gerakan hendak mendahului menyerang. Berarti
dia mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Celaka!”
Ken
Parantili menjadi tegang. Dia hendak memberi tanda dengan kedipan mata ke arah
Wiro namun takut ketahuan Penguasa Atap Langit. “Aku harus cepat-cepat
mengajaknya naik ke tempat tidur. Agar tubuhnya bersentuhan dengan basahan
keringat Wiro yang masih menempel di bantal dan kasur…”
Sementara
itu Wiro asli dan Wiro sukma terkesiap kaget saling pandang. Wiro baru
menyadari kalau dia telah melakukan kesalahan. Membuat gerakan.
Wiro
melihat Ken Parantili membuka kedua mata, menggeliat sambil menurunkan kain
merah yang menutupi tubuhnya mulai dari leher sampai ke dada. Penguasa Atap Langit
tampaknya tidak terpengaruh dengan tubuh yang tersingkap itu. Sebaliknya sosok
asli wiro dan sukmanya ternganga dan terbeliak.
Lalu
terdengar Ken Parantili berucap. “Yang Mulia, yang kau dengar adalah desau
halus gerakan dua kakiku di atas kasur. Aku pasrah menunggu saat kematianku.
Tapi aku tidak tahan menunggu saat-saat terakhir kau mencumbuku di atas ranjang
ini. Aku ingin menghembuskan nafas terakhir tanpa beban.”
“Begitu…?”
Penguasa Atap Langit menyeringai lalu melangkah mundar-mandir di samping tempat
tidur. Beberapa kali dia menarik nafas dalam mengendus-endus. Di sudut kiri
kamar dia berhenti. Walau saat itu jaraknya hanya satu langkah dari sosok asli
Wiro, namun dia tidak bisa melihat atau mencium bau tubuh sang pendekar. Ini
karena rambut sakti sang selir yang masih menempel di tubuh Wiro. Selain itu
Ken Parantili telah membuat penangkal yaitu dengan menyuruh Wiro mandi di
Telaga Bersuci dan Bersegar Diri hingga Penguasa Atap Langit tidak mampu
mencium sosok sang pendekar.
“Selir
Pertama, aku percaya apa yang kau ucapkan barusan.” Berkata Penguasa Atap
Langit lalu dia bergerak mendekati tempat tidur. Tangan kanan diangkat ke atas
kepala membuka gulungan rambut yang dikonde. Begitu konde terlepas terlihat
kalau dia memiliki rambut hitam berkilat tergerai panjang sampai ke punggung,
menebar bau harum.
Di atas
tempat tidur Ken Parantili sengaja tersenyum untuk menutupi rasa tegang yang
memagut sampai ke wajah.
Dada
berdebar turun naik, Penguasa Atap Langit luruskan dua jari telunjuk tangan
kiri kanan lalu diguratkan di atas sepasang alis. Begitu digurat kedua alisnya
tampak kereng hitam dan tebal berkeluk. Lalu ibu jari tangan kanan disapukan di
atas bibir. Bibir yang tadinya agak pucat kini kelihatan merah segar. Dua
telapak tangan ditekapkan ke pipi. Sepasang pipi kini tampak merah segar
bercahaya!
Di sudut
ruangan sebelah kiri Wiro asli memperhatikan apa yang dilakukan Penguasa Atap
Langit dengan tercengang-cengang. “Apa yang dilakukan makhluk itu? Wajahnya
seperti dipoles dandanan apik. Oala, mengapa wajahnya seperti perempuan.
Lumayan cantik tapi hidung agak besar. He… he!”
Wiro
kemudian melihat Penguasa Atap Langit melambai-lambaikan dua tangan di atas
kepala, sepuluh jari dijentik-jentik. Aneh, dari ujung-ujung jari bertabur
kerlap-kerlip percikan terang seperti bunga api. Dua tangan disapukan mulai
dari kepala sampai ke kaki. Bau harum semerbak membalut tubuh Penguasa Atap
Langit. Menebar ke seluruh sudut ruangan. Wiro sampai terpana karena belum
pernah mencium bau harum semerbak seperti itu. Saluran pernafasan dan dadanya
terasa sejuk dan segar. Namun aliran darah berubah mengencang.
Penguasa
Atap Langit berdiri lurus-lurus. Mata menatap berbinar ke arah Ken Parantili.
Tiba-tiba dia goyangkan tubuh dan saat itu juga jubah hijau yang dikenakannya
merosot sampai ke pinggang.
Pendekar
212 dan sukmanya hampir saja mengeluarkan seruan tertahan saking kaget. Dua
pasang mata menatap membelalak ke arah dada Penguasa Atap Langit. “Astaga, jadi
benar! Tapi edan… mengapa ada bulu di pertengahan dada?!”
Ternyata
Penguasa Atap Langit memiliki dada putih bagus seperti seorang perempuan! Hanya
saja di bagian tengah dada terlihat ada bulunya.
“Wah!
Mengapa jubah tidak ditanggalkan seluruhnya hingga aku bisa melihat lebih
jelas, makhluk ini lelaki atu perempuan, atau sebangsa banci!” ucap wiro dalam
hati. Dia jadi ingat pada Jaka pesolek. Sepasang mata terus memperhatikan.
“Kekasihku
Ken Parantili, walau hidupmu hanya tingal setengah malaman, aku harap kau akan
menghiburku seperti yang sudah-sudah.”
Wiro dan
sukmanya sama melengak. Suara Penguasa Atap Langit yang terdengar di dalam
kamar jelas adalah suara perempuan, halus dan lembut.
“Penguasa
Atap Langit! Diriku milikmu. Mudahmudahan aku bisa memberikan yang lebih baik
pada saat terakhir ini…”
“Selir
edan, jelas tahu mau dibunuh malah bicara bermesra-mesra!” sosok asli Wiro
menggerutu dalam hati.
Tanpa
melepas seluruh jubahnya Penguasa Atap Langit bergerak naik ke atas tempat
tidur lalu membaringkan tubuh di samping Ken Parantili. Ketika dia hendak
memeluk dan mencium sang selir, tiba-tiba dessss… desss!
Asap
kelabu mengepul dari bantal dan kain tebal penutup tempat tidur yang masih
basah oleh keringat Wiro! Penguasa Atap Langit menjerit keras, tubuh terpental
ke udara lalu jatuh tergelimpang di lantai permadani. Wajah tampak pucat!
Suara
jeritan Penguasa Atap Langit tadi bukan suara lelaki sakti yang menggelegar.
Tapi itu adalah suara jeritan perempuan!
“Selir
jahanam! Kau membawa lelaki tidur di atas ranjangku!” Teriak Penguasa Atap
Langit. Kini suaranya kembali berubah menjadi suara laki-laki. Menggelegar
keras di dalam ruangan hingga menimbulkan getaran hebat! Sekujur tubuh
mengepulkan asap kelabu. Wajah yang sebelumnya jernih dipoles dandanan apik dan
juga tubuh sebelah atas yang tersingkap putih dan bagus perlahan-lahan berubah
berkerenyut lalu memutih dan leleh seperti timah mencair. Jubah hijau yang
masih melekat di tubuh sebelah bawah tampak putih gosong.
Menyaksikan
apa yang terjadi Wiro hampir tak percaya. Hanya karena bersentuhan dengan bau
badan dan keringatnya yang menempel di bantal serta tempat tidur, Penguasa Atap
Langit yang memiliki kesaktian hebat itu ternyata benar-benar mengalami celaka
luar biasa.
Dalam
keadaan seperti itu Penguasa Atap Langit berusaha bangkit tapi dia hanya mampu
terduduk di lantai. Dua tangan diangkat ke atas. Lalu menjerit lagi. Setelah
itu mulut berkomat-kamit pertanda ada sesuatu yang dirapalnya.
Lalu
setengah megap-megap dia berkata. “Selir jahanam! Kau merontokkan sembilan ilmu
kesaktianku, tapi jangan mengira aku tidak akan mampu membunuhmu! Jangan kira
kau bisa lolos dari kematian! Aku masih menyimpan ilmu yang tidak bisa
dimusnahkan oleh keringat dan bau tubuh lelaki yang berselingkuh denganmu! Aku
akan mencari tahu siapa adanya bangsat penyusup itu sekarang juga! Akan
kubunuh! Biar kau saksikan bagaimana aku membantai lelaki selingkuhanmu! Baru
setelah itu kau kuhabisi!”
Ken
Parantili terkejut mendengar ucapan Penguasa Atap Langit. Dia cepat goyangkan
tubuh. Saat itu pakaian putih berenda yang sebelumnya dikenakan kembali muncul
membalut tubuhnya yang sejak tadi dalam keadaan telanjang hanya terlindung kain
sutera tipis. Dengan cepat perempuan ini melompat dari tempat tidur.
“Kau mau
lari ke mana?!” Hardik Penguasa Atap Langit. Tubuhnya yang leleh kini mampu
berdiri walau terhuyunghuyung. Kelihatannya sebagian kekuatannya mulai pulih.
Jubah gosong putih yang tadi masih menggantung sepinggang rontok jatuh ke
lantai permadani. Ternyata bagian tubuh dari pinggang sampai ke kaki juga sudah
memutih leleh pula!
Wiro asli
dan Wiro sukma buka mata lebar-lebar, menatap ke bagian bawah perut Penguasa
Atap Langit. Namun keadaan tubuh yang leleh putih begitu rupa sulit untuk
memastikan apa sebenarnya jenis kelamin Penguasa Atap Langit. “Sial, aku tidak
bisa melihat apa dia punya kelamin lelaki atau perempuan. Mungkin juga dia
punya dua kelamin. Weehhh!” Wiro berkata dalam hati.
“Ken
Parantili, kau tidak bisa lolos. Aku telah menutup semua dinding, lantai dan
atap! Tidak ada jalan keluar bagimu!” Penguasa Atap Langit berteriak mengancam.
Ken
Parantili memandang seputar kamar, mendongak ke langit-langit. Wajah selir ini
berubah pucat ketika dia melihat bagaimana lantai yang ditutupi permadani,
dinding dan langit-langit kamar yang berwarna merah muda bergaris kuning kini berubah
menjadi hitam pekat bergaris merah berbuhul-buhul menyerupai jaring.
“Jaring
Sukma Merah!” ucap Ken Parantili. “Aku masih bisa menembus. Tapi bagaimana
dengan Wiro?”
Benda
putih aneh di pertengahan langit-langit yang menjadi penerang ruangan tiba-tiba
meredup. Rasa tegang dan takut yang amat sangat terlihat di wajah Ken
Parantili. “Kalau aku memang harus mati aku pasrah. Tapi bagaimanapun aku harus
menolong pemuda itu!”
Tiba-tiba
Selir Pertama itu berteriak keras. Tangan kanan diangkat setinggi dada lalu
dihantamkan ke arah Penguasa Atap Langit yang saat itu berdiri angker di tengah
ruangan.
Wusss!
Selarik
sinar kebiru-biruan menyembur lalu membentuk buntalan ombak, mengeluarkan suara
menderu seperti air mendidih melesat dari telapak tangan kanan Ken Parantili.
Uap luar biasa panas mengepul!
Dapatkan
dirinya diserang Penguasa Atap Langit malah tertawa bergelak. “Ombak Neraka
Mendidih! Kau mendapatkan ilmu itu dariku! Mana mungkin bisa mencelakaiku!
Selir jahanam! Saatnya kau menerima kematian di tanganku! Tubuhmu akan aku buat
jadi babi rebus!”
Penguasa
Atap Langit tekuk sepasang lutut. Dua tangan membuat gerakan menggapai ke
udara. Hanya beberapa jengkal lagi buntalan air mendidih akan mengguyur
tubuhnya, tiba-tiba sang penguasa membentak keras dan pukulkan dua tangan ke
atas.
Dess!
Desss!
Gelombang
air mendidih serta merta tertahan menggantung di udara. Penguasa Atap Langit
bantingkan kaki kanan ke lantai membuat permadani hangus.
Byuuuuurr!
Pukulan Ombak Mendidih berbalik menghambur ke arah Ken Parantili!
Penguasa
Atap Langit mendadak sontak terkejut besar ketika melihat di dalam ruangan Ken
Parantili bukannya ketakutan atau mencoba selamatkan diri tapi malah berdiri
kaki merenggang tangan berkacak di pinggang.
Tiba-tiba
selir ini teriakan ucapan. “Ombak hanya ada di laut! Di darat topan prahara
yang berkuasa!”
“Kurang
ajar! Dari mana dia tahu rapal penangkal itu!”
Penguasa
Atap Langit tersentak kaget sampai keluarkan suara menggembor keras.
Di
hadapannya Ken Parantili membungkuk sambil mendorongkan dua tangan dan kepala.
Di dalam ruangan bergemuruh deru angin. Lantai, empat dinding dan langitlangit
bergoyang. Pukulan Ombak Neraka Mendidih berbalik menyerang Penguasa Atap
Langit. Didahului suara hardikan marah Penguasa Atap Langit cepat angkat tangan
kiri. Lima larik sinar hitam mencuat.
“Kipas
Hitam Menyapu Puncak Semeru!” Ken Parantili berseru kaget dalam hati, mengenali
dan menyebut nama ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Penguasa Atap Langit.
Cepat-cepat dia bersurut mundur hingga punggung menyentuh dinding ruangan.
Sinar hitam menderu menebar membentuk lima kipas raksasa, langsung menghantam
ke depan memusnahkan serangan balik yang dilancarkan Ken Parantili. Gelombang
air biru bermuncratan ke seluruh ruangan membuat goncangan hebat, lalu raib
tanpa bekas tanpa membuat ruangan jadi basah.
Penguasa
Atap Langit rupanya tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan cepat dia
jentikkan lima jari tangan kanan. Lima sinar biru sangat halus menyambar tanpa
suara ke arah lima jalan darah di tubuh Ken Parantili.
“Lima
Jarum Penjahit Raga!” Dada Ken Parantili berdegup. Darah tersirap dan wajah
berubah pucat. “Celaka! Aku tidak tahu ilmu penangkalnya!”
Dreett…
dreett
***********************
4
DUA UJUD
Wiro yang berada di sudut ruangan tersentak kaget ketika melihat bagaimana Ken
Parantili tertegak kaku. Sekujur tubuh mulai dari leher sampai ke betis dilibat
cahaya halus kebiru-biruan seolah rajutan benang yang menjahit lima bagian
tubuhnya. Mulai dari leher, dada, pinggang, dua tangan dan sepasang kaki hingga
dia tidak bisa bergerak. Di atas kepala menancap lima benda aneh berbentuk
jarum sepanjang satu jengkal berwarna biru.
“Wiro!
Lekas lari! Tinggalkan tempat ini!” Ken Parantili berteriak.
“Ha… ha!
Jadi bergundal teman selingkuhanmu itu bernama Wiro. Nama aneh, orang dari mana
dia?! Aku mau lihat tampangnya. Apa dia lebih sakti dariku hingga bisa menembus
Jaring Sukma Merah yang telah membungkus seluruh Puri Kesatu!”
Sadar
kalau Wiro tidak mungkin menembus ilmu Jaring Sukma Merah, Ken Parantili
kembali berteriak. “Wiro! Cepat terapkan ilmu yang kau keluarkan di tepi
telaga!”
Mendengar
teriakan Ken Parantili, Pendekar 212 segera gerakkan kaki kanan ke depan.
Rrrrttttt!
Permadani
merah di lantai ruangan robek besar ketika Wiro menoreh dengan ujung ibu jari
kaki kanan. Tapi lantai tidak terbelah! Wiro asli terbelalak. Wiro sukma
melengak.
Ken
Parantili terkejut. Tidak menyangka Penguasa Atap Langit masih punya kesaktian
untuk mementahkan serangan Membelah Bumi Menyedot Arwah yang dilancarkan Wiro.
Sepasang
mata Penguasa Atap Langit mendelik. Dia menyaksikan permadani robek memanjang
tapi tidak melihat siapa yang melakukan. Kini dia benar-benar yakin. Walau
tidak dapat melihat ujud tapi dalam ruangan itu ada makhluk lain. Mungkin
manusia biasa, bisa juga makhluk alam arwah.
Penguasa
Atap Langit dongakkan kepala. Mulut komatkamit lalu meniup tiga kali
berturut-turut. Dalam ruangan muncul segulung cahaya kuning melayang
berputar-putar. Selain mengeluarkan suara tiupan angin menguing yang
menyakitkan telinga, gulungan angin bercahaya kuning juga punya kemampuan
menyedot!
“Celaka!
Dia mengeluarkan ilmu Raja Arwah Meniup Puncak Langit!” Kejut Ken Parantili.
Lalu dia berteriak memperingatkan. “Wiro awas! Tekap dadamu! Jangan sampai
rambutku terlepas tanggal dari tubuhmu!”
Namun
terlambat. Saat itu gulungan cahaya kuning telah memutar tiga kali di atas
kepala Wiro lalu melesat ke atas menembus langit-langit kamar.
Wuuusss!
Tubuh
Wiro terangkat sampai setengah tombak. Pakaiannya berkibar-kibar, dada baju
tersibak. Permadani penutup lantai melekuk ke atas. Tempat tidur besar naik ke
udara sampai dua jengkal lalu terhempas ke bawah.
Mendengar
teriakan Ken Parantili Wiro cepat dekapkan dua tangan di depan dada. Namun saat
itu sehelai rambut Ken Parantili yang melekat di dadanya terbetot ke atas,
menyusup keluar dari balik pakaian, melesat dan menancap laksana batangan lidi
di langit-langit kamar!
Ken
Parantili berteriak tegang. Rasanya dia ingin menjambak putus rambut di kepala
dan melemparkan ke arah Wiro. Namun saat itu dia tak mampu bergerak akibat Ilmu
Lima Jarum Penjahit Raga. Dua tangan menempel ke badan seolah dijahit!
Begitu
rambut yang selama ini menjadi pelindungnya tidak ada lagi di tubuh, dua sosok
Wiro yang asli dan yang sukma serta merta terlihat jelas oleh Penguasa Atap
Langit.
Sesaat
Penguasa Atap Langit terkesiap. Sepasang mata mendelik besar, pancarkan cahaya
merah menyala pertanda amarahnya sudah mendidih sampai kepala. Dia tidak
menyangka kalau ternyata ada dua orang lelaki muda di dalam kamar yang berarti
Selir Pertama telah berselingkuh bukan hanya dengan satu orang tapi dengan dua
orang sekaligus!
“Dua
pemuda aneh berambut gondrong. Pakaian, tampang sama. Apa mereka kembar?!”
Amarah Penguasa Atap Langit meledak. “Selir jahanam! Kau melindungi dua bangsat
ini dengan rambutmu hingga dia tidak terlihat dan bisa lolos masuk ke dalam
Negeri Atap Langit. Jadi dua pemuda gembel bejat ini yang telah menidurimu!”
“Yang
Mulia, kau sengaja unjukkan kemarahan untuk sembunyikan rasa takutmu pada dua
kekasihku yang gagah dan hebat itu! Hik… hik!” Ken Parantili mengejek lalu
tertawa cekikikan. Padahal dalam hati saat itu dia merasa sangat takut.
“Kau akan
menyaksikan! Saat ini juga keduanya akan kubantai habis!” Teriak Penguasa Atap
Langit.
“Tidak
usah keduanya. Coba kau hadapi yang satu di sudut kamar sebelah kiri saja. Apa
kau sanggup membunuhnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah.” Menyebut Ken
Parantili. Suara keras, air muka sunggingkan ejekan, membuat amarah Penguasa
Atap Langit semakin menggelegak. Sosok Wiro yang ada di sudut kiri ruangan
adalah sosok yang asli.
Ditantang
seperti itu meledaklah amarah Penguasa Atap Langit. Dia terpancing! Sambil
berjingkrak, dua tangan dihantamkan ke arah Wiro asli dan Wiro sukma. Kecuali
jari tengah yang dilipat ke bawah telapak, empat jari lainnya mencuat lurus ke
depan.
Wusss!
Delapan
larik sinar merah pekat berkiblat. Empat ke arah raga asli Wiro, empat lagi ke
sudut kanan ruangan di mana berdiri sukma Pendekar 212. Inilah perbedaan antara
Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Sang Penguasa. Sebagai pemilik ilmu kesaktian
Delapan Sukma Merah tersebut, Penguasa Atap Langit langsung melancarkan
serangan dari delapan jari tangannya. Sementara Dua Sinuhun lebih mengandalkan
delapan benjolan yang ada di kening. Jika benjolan lenyap maka lenyap pula ilmu
kesaktian itu.
“Wiro!
Ingat kejadian di Telaga Bersuci dan Bersegar Diri!” Berteriak Ken Parantili.
Dia sengaja tidak meneriaki agar Wiro menancapkan delapan jari tangan karena
kuatir jika Penguasa Atap Langit mengetahui hal itu, mungkin sekali dia akan
membatalkan serangan lalu menggempur dengan ilmu kesaktian lain.
“Selir
jahanam! Benar-benar kurang ajar! Jadi kau…”
Hardik
kemarahan Penguasa Atap Langit tidak selesai. Saat itu di sudut kiri ruangan
Wiro lipat jari tengah masingmasing tangan ke arah telapak. Tanpa berpaling,
delapan jari yang mencuat lurus kemudian ditancapkan ke dinding di belakangnya.
Kraakk!
Di sudut
kamar sebelah kanan sukma Wiro lakukan hal yang sama. Delapan jari tangan bukan
ditancap ke dinding kamar tapi diarahkan ke atas batok kepala sendiri!
Kreekkk!
Delapan
jari tangan tenggelam menancap ke dalam batok kepala. Tapi hebatnya tidak ada
darah yang meleleh atau otak yang muncrat. Malah sukma Pendekar 212
senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata!
Kamar
besar tidak berjendela tidak berpintu bergetar keras. Lantai laksana mau
amblas. Penguasa Atap Langit luar biasa kaget melihat apa yang dilakukan Wiro
asli, dan lebih melengak lagi menyaksikan apa yang diperbuat sukma Wiro.
“Makhluk
apa keparat yang satu ini! Manusia biasa tidak mungkin mencucuk kepalanya
sendiri sampai berlubang. Juga tidak ada darah mengucur!”
Penguasa
Atap Langit kemudian sadar kalau dirinya telah termakan pancingan orang. Dia
berteriak sambil menunjuk ke arah Ken Parantili. “Selir keparat! Kau memberi
tahu cara menangkal pada dua gembel…!”
Makian
Penguasa Atap Langit terhenti. Saat itu ada kekuatan aneh menggempur dirinya
hingga bergetar keras. Beberapa bagian tubuhnya yang memutih seperti lelehan
timah membeku jatuh berkeping-keping ke lantai ruangan. Sepasang mata
memberojol keluar, daun telinga mengepul api. Dari beberapa bagian tubuh
menyembur asap hitam.
Penguasa
Atap Langit menjerit keras. Seperti yang terjadi dengan Selir Ketiga Windu
Resmi, dia gerakkan sepuluh jari tangan mencekik leher sendiri! Kreekk!
Terdengar suara seperti tulang patah. Di leher tampak luka menganga. Tubuh
terhuyung limbung lalu tersungkur. Kening menempel di atas lantai, tubuh
sebelah bawah menungging ke atas. Dari mulut membuih busa merah.
Di
saat-saat genting seperti itu ternyata Penguasa Atap Langit masih mampu menguasai
diri. Didahului teriakan seperti anjing meraung dia tusukkan dua jari telunjuk
ke pusar di pertengahan perut hingga jebol membentuk dua lobang besar. Dari
dalam dua lobang ini mengepul keluar asap merah tipis yang dengan cepat
menyelubungi tubuhnya.
Penguasa
Atap Langit kembali meraung keras dan panjang. Begitu lolongan putus sosoknya
melesat ke atas. Ketika turun lagi menjejak lantai keadaannya berubah ujud.
Tubuh yang tadi berwarna putih seperti timah meleleh, kini tampak utuh seperti
manusia. Hanya saja keseluruhannya berwarna merah dan gerak-geriknya seperti
patung kayu kaku! Setiap membuat gerakan, beberapa bagian tubuh mengeluarkan
suara berkereketan.
Greekk!
Kepala
dan kaki yang diputar mengeluarkan suara menggidikan. Lantai yang tergeser mengepulkan
asap!
Greekk!
Dua
tangan bergerak ke depan. Sepuluh jari dipentang.
Masih
tersandar ke dinding ruangan Ken Parantili terkejut luar biasa. “Hyang Jagat
Bathara!” Untuk pertama kalinya selir ini mengucap nama Dewa. “Ternyata benar
dia memiliki ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah! Tak ada lagi harapan hidup
bagiku!” Ken Parantili berpaling ke arah Wiro lalu berteriak. “Wiro! Lekas
pergi! Tinggalkan tempat ini!”
Penguasa
Atap Langit tertawa bergelak. Suara tawanya membuat ruangan berguncang dan dada
berdegup. “Tidak ada satu makhlukpun bisa keluar dari tempat ini! Muncul di
sini mati di sini!”
Selesai
keluarkan ucapan Penguasa Atap Langit meniup ke arah Ken Parantili sementara
dua tangan dilambaikan ke depan. Tangan kanan melambai ke arah Wiro asli, tangan
kiri menyapu ke jurusan sukma Wiro.
Tiga
larik cahaya menggebubu dalam ruangan membentuk larikan kain lebar berwarna
merah disertai menebarnya bau bunga kemboja, bunga yang banyak tumbuh di
pekuburan!
Teriakan
Ken Parantili membuat Pendekar 212 bisa mengetahui kalau Penguasa Atap Langit
akan melancarkan serangan berupa ilmu yang dahsyat. Terlebih ketika hidungnya
mencium bau bunga kemboja mendadak berubah menjadi bau kemenyan dibakar!
Bukannya
menuruti apa yang dikatakan sang selir, murid Sinto Gendeng justru ingat pada
keterangan Ken Parantili sebelumnya, yaitu bahwa semua bangunan di Negeri Atap
Langit tidak ada pintu dan jendela. Karena setiap pintu dan jendela merupakan
pantangan bagi sang penguasa yang konon bisa membuat ilmu kesaktian yang ada padanya
akan lenyap satu persatu melalui pintu atau jendela itu.
Tidak
tunggu lebih lama Wiro segera hantamkan dua tangan. Tangan kanan melepas
pukulan Sinar Matahari diarahkan ke Penguasa Atap Langit, tangan kiri memukul
ke arah dinding melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Wiro sengaja
mengeluarkan pukulan sakti pemberian Tua Gila dari Andalas ini untuk menjebol
dinding membuat satu lobang atau pintu besar guna mematahkan kesaktian Penguasa
Atap Langit.
Di sudut
lain ruangan sukma Wiro tidak tinggal diam. Dengan gerakan yang tampak lamban
sosok mengapung, tubuh mengambang dalam ruangan, dua tangan bergerak menggapai
ke arah sosok Penguasa Atap Langit.
Mula-mula
sang penguasa tidak begitu memperhatikan. Namun ketika melihat sosok sukma Wiro
yang berubah dari utuh menjadi bayang-bayang kagetnya bukan alang kepalang.
Apalagi dua tangan yang menggapai kelihatan jelas mampu menembus tebaran kain
kafan merah tanpa merobeknya! Tampang Penguasa Atap Langit berubah. Jantung
berdegup keras.
“Tidak
mungkin! Aku menyirap kabar dia sudah lama menemui kematian. Bagaimana bisa
ilmunya…” Dalam kaget Penguasa Atap Langit tidak bisa berpikir panjang. Serta
merta Penguasa Atap Langit kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang
dimiliki! Tiga larik cahaya merah ilmu bernama Selubung Kain Kafan Sukma Merah
melebar dan bertambah tebal, membuntal menelikung ke arah Ken Parantili, Wiro
asli dan sukma Wiro. Dua tangan sukma Wiro yang tadi mampu menembus kain merah
mendadak sontak lenyap!
Bentrokan
kekuatan-kekuatan dahsyat menggelegar dalam ruangan. Ken Parantili menjerit
lalu sosoknya lenyap dalam buntalan cahaya berbentuk kain merah lebar dan
panjang! Sesaat terdengar suara jeritannya. Lalu diam. Tubuh yang tergulung
dalam buntalan kain kafan merah roboh ke lantai lalu laksana dihantam angin
prahara melesat ke samping kiri menembus dinding ruangan.
***********************
5
BERSAMAAN
dengan terlemparnya sosok Ken Parantili, Puri Kesatu tempat kediaman selir
pertama itu laksana dihantam gempa. Pukulan Sinar Matahari dan Dewa Topan
Menggusur Gunung berkiblat. Langitlangit ruangan runtuh. Dinding roboh di dua
tempat. Lantai rengkah. Wiro dan sosok sukma mencelat ke udara dalam keadaan
tubuh mengepul dan tergulung kain kafan merah.
Di dalam
ruangan yang sudah porak poranda, tubuh kaku seperti kayu Penguasa Atap Langit
tergontai-gontai, mengeluarkan suara greek-greek berulang kali seolah hendak
hancur bertanggalan. Namun luar biasanya cahaya putih panas pukulan Sinar
Matahari yang dihantamkan Wiro ke arahnya tampak mengapung di tengah ruangan,
tidak mampu mendekati sasaran!
Walau
sanggup mementahkan serangan Pendekar 212, namun ketika melihat dinding jebol
membentuk dua pintu besar terbuka, Penguasa Atap Langit sadar bahaya yang
mengancam. Dengan cepat dia melesat keluar dari dalam bangunan Puri Kesatu.
Satu cahaya merah melesat keluar dari dalam batok kepala sang penguasa,
pertanda ada satu ilmunya yang sempat terlepas keluar akibat berada dalam
ruangan yang dindingnya berlobang menyerupai pintu!
Di halaman
Puri Kesatu Pendekar 212 Wiro Sableng terhampar di tanah, bersebelahan dengan
sosok sukmanya. Keduanya terbungkus dalam gulungan kain kafan merah. Wiro
mencoba merobek kain merah yang membungkusnya dengan berbagai cara namun
sia-sia saja. Dia berusaha berdiri tapi roboh. Nafas mulai menyengal. Tubuhnya
mendadak terasa lemah hingga tidak mampu bergerak. Di sampingnya sukma Wiro
mengalami hal yang sama tapi masih mampu berdiri walau tergontai-gontai.
Wuttt!
Satu
bayangan merah berkelebat. Satu kaki tahu-tahu menendang punggung Wiro dari
belakang hingga sang pendekar tersungkur. Wiro merasa sekujur tubuh seperti
hancur remuk. Yang bisa dilakukannya hanya mengerang kesakitan dan menyumpah
habis-habisan. Kemudian dirasakannya ada satu kaki menginjak dadanya tepat di
arah jantung! Lalu breett! Ada orang merobek kain kafan yang menutupi
kepalanya.
Kain
kafan merah robek di bagian wajah Wiro hingga dia bisa melihat keadaan di
sekitarnya serta siapa yang menginjak dadanya. Bukan lain Penguasa Atap Langit!
Ketika dia memperhatikan, ternyata kasut merah yang menginjak dadanya memiliki
paku-paku runcing!
Di saat
bersamaan terdengar suara kepakan disertai suara teriakan hiruk-pikuk. Bau
busuk memenuhi udara malam. Di langit muncul tiga kelelawar raksasa dan puluhan
makhluk berwajah hitam putih, berambut riapriapan. Mata memberojol bisa keluar
masuk mengerikan!
Melihat
kedatangan para pengawal itu Penguasa Atap Langit bukannya gembira tapi malah
menghardik marah. “Aku sudah babak belur! Kalian baru muncul! Jahanam tidak berguna!
Pergi dari hadapanku. Jangan berani datang kalau tidak aku panggil!”
Salah
seekor kelelawar raksasa rundukkan kepala kuncupkan dua sayap lebar. Lalu dia
bicara dan suaranya tidak beda dengan manusia. “Yang Mulia, mohon maafmu. Kami
sudah tahu kalau sesuatu terjadi di Puri Kesatu. Namun ketika kami berusaha
menuju ke sini, ada kekuatan aneh yang membuat kami berputar-putar tak karuan
di langit. Setelah berusaha keras baru kami berhasil menembus. Kami mohon
maaf…”
“Aku
tidak perduli alasan kalian! Kalian sudah kuberi ilmu kesaktian! Mengapa bisa
berlaku tolol! Lekas menyingkir dari hadapanku! Jangan tunggu sampai aku
menjatuhkan azab hukuman atas kelalaian kalian!”
“Yang
Mulia, kami mohon maaf…”
“Sudah!
Menyingkir dari hadapanku! Kalian jaga saja perbatasan Negeri Atap Langit.
Jangan ada yang bisa lolos dari sini atau ada yang menyelinap masuk!”
Tiga
kelelawar raksasa rundukkan kepala. Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih keluarkan
suara memelas. Lalu semua makhluk berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Penguasa
Atap Langit gesekkan kaki kanannya. Pakupaku runcing di telapak kasut bukan
saja merobek baju tapi juga membuat luka dalam di dada Wiro. Dan pakupaku di
telapak kasut itu bukan paku biasa karena mengandung racun jahat yang bisa
mematikan seekor kerbau besar dalam waktu setengah harian!
Dalam
keadaan tak berdaya seperti itu Wiro masih berusaha mengeluarkan ilmu kesaktian
Sepasang Pedang Dewa, yaitu berupa sambaran dua sinar hijau yang keluar dari
kedua mata. Namun ilmu kesaktian itu tidak mampu dikeluarkan!
“Celaka,
apa yang terjadi dengan diriku!” Pikir Pendekar 212.
Ternyata
Penguasa Atap Langit masih memiliki ilmu yang mampu menghadang kekuatan dan
kesaktian Pendekar 212!
“Manusia
bejat penidur selir pertamaku! Jantungmu…! Aku akan menghancurkan jantungmu!
Ha… ha… ha!” Penguasa Atap Langit geser-geserkan kasut berpaku.
Tidak
mampu menahan sakit, Wiro berteriak namun tenggorokannya tercekik dan dari
mulut kelihatan ada lelehan darah mengucur!
Penguasa
Atap Langit kembali tertawa bergelak. Tenaga dalam dialirkan ke kaki kanan.
Pada saat dia siap menghunjamkan kaki itu ke dada Wiro untuk menghancurkan
jantung sang pendekar, tiba-tiba entah dari mana datangnya sayup-sayup
terdengar suara tabuhan gamelan.
Penguasa
Atap Langit terkesiap.
“Ada
suara seruling dan tabuhan gendang. Ada suara gesekan rebab. Itu bukan suara
gamelan Negeri Atap Langit. Aku merasa ada yang tidak beres. Hidungku mencium
bau wangi aneh…”
Tidak
tunggu lebih lama Penguasa Atap Langit segera gerakkan kaki kanan. Kasut merah
berpaku dihunjam keras ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun dia melengak
kaget. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam, kaki kanan itu
terasa kaku, berat dan tak sanggup digerakkan.
Dalam
keadaan seperti itu terdengar suara orang bernyanyi. Yang menyanyi lebih dari
satu orang. Tiap bait nyanyian dilantun saling bergantian. Suara yang menyanyi
adalah suara perempuan!
“Sebelum
ajal berpantang mati
Tidak
dipanggil datang sendiri
Jangan
membunuh sembarangan
Nyawa
manusia bukan barang ketengan
Tidak
dipanggil datang sendiri
Kehendak
Yang Kuasa adalah pasti
Sebelum
ajal berpantang mati
Jangan
menanam dendam di dalam hati
Lupakan
amarah agar bisa menanam budi”
Baik Wiro
maupun Penguasa Atap Langit sama-sama terkejut. Ada suara menyanyi tapi orang yang
menyanyi tidak kelihatan. Penguasa Atap Langit kertakkan rahang. Kaki kanan
kembali dihunjam kuat-kuat ke dada kiri Pendekar 212. Tiba-tiba di dalam gelap
dan dinginnya malam dari balik pinggang pakaian Wiro meluncur keluar delapan
benda aneh bercahaya, melayang seperti kunangkunang.
***********************
6
UJUD
kunang-kunang berubah membesar namun cahaya yang semula terang menjadi redup.
Bendabenda aneh ini kemudian membesar dan membesar hingga membentuk ujud
sangat samar, menyerupai sosok bayang-bayang delapan pocong hitam gelap,
meliuk-liuk seperti asap ditiup angin tetapi gerakannya seolah mengikuti suara
tetabuhan gamelan di kejauhan. Dari tubuh mereka yang hitam sesekali memancar
warna kuning, coklat dan hijau dan bau harum mewangi.
Sulit diduga
makhluk apa mereka adanya. Hantu atau makhluk jejadian dari alam arwah atau
mungkin setan kuburan yang terpesat gentayangan. Tapi apa memang ada kuburan di
Negeri Atap Langit?
Dalam
keadaan tak berdaya Wiro menghitung. Sosok samar itu berjumlah delapan.
Meliuk-liuk mengelilingi dirinya dan Penguasa Atap Langit yang mendadak tampak
ketakutan. Wiro ingat, warna kuning, coklat dan hijau adalah paduan tiga warna
yang ada pada kuntum bunga matahari!
Murid
Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri. Dia cepat menggerakkan tangan kanan.
Dalam keadaan tubuh lemah tiada daya dengan susah payah baru dia berhasil
meraba pinggang kanannya. Astaga! Walau masih belum yakin tapi dia merasa
dugaannya mungkin benar. Delapan bunga matahari kecil yang sebelumnya terselip
di pinggangnya tak ada lagi di tempat semula!
Wiro
lantas saja ingat pada keterangan Ken Parantili sewaktu berada di Puri Kesatu.
Saat itu sang selir berkata, “Kau harus menjaga delapan bunga itu baik-baik.
Karena
delapan
bunga sesungguhnya adalah delapan pocong gadis cantik. Jika kau melantunkan
sepenggal nyanyian, maka mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan kehendak
Yang Maha Kuasa mereka akan melakukan apa saja yang kau inginkan. Terutama
menolong dan menjaga keselamatan dirimu…” (Baca serial sebelumnya “Selir
Pamungkas”).
“Tapi aku
tidak melantunkan nyanyian. Aku tidak memanggil mereka. Mengapa mereka bisa
keluar dari dalam bunga…” Membatin Pendekar 212. Lalu dia ingat pada nyanyian
yang terdengar sebelum delapan pocong menari menampakkan diri. “Tidak dipanggil
datang sendiri… Kehendak Yang Kuasa adalah pasti… Sebelum ajal berpantang
mati…”
“Delapan
Pocong Menari… Mereka muncul sendiri. Keluar dari dalam delapan bunga matahari
untuk menolongku. Terima kasih delapan pocong! Terima kasih Gusti Allah!” Wiro
mengucap dalam hati.
Setelah
terkesiap cukup lama, Penguasa Atap Langit menggembor keras. Kreeek! Seluruh
tenaga dalam yang ada disalurkan ke kaki kanan untuk menjebol dada Wiro. Tangan
kiri kanan dipentang. Jari tengah dilipat.
Kreek!
Delapan
jari lainnya mencuat lurus, pancarkan cahaya merah!
“Sebelum
ajal berpantang mati. Jangan menanam dendam di dalam hati. Lupakan amarah agar
bisa menanam budi.”
Kembali
terdengar suara perempuan menyanyi. Lalu disusul suara meniup. Tiupan itu
perlahan saja namun Wiro melihat bagaimana sosok Penguasa Atap Langit tiba-tiba
terangkat ke atas, jungkir balik di udara malam tiga kali sebelum ambruk ke
tanah kepala ke bawah kaki ke atas! Untuk beberapa lama kepala Penguasa Atap
Langit menancap di tanah sampai sebatas leher sementara dua kaki
melejang-lejang.
Delapan
pocong hitam tiba-tiba palingkan wajah ke arah Wiro lalu sama-sama runcingkan
mulut siap meniup. Wiro jadi melengak kaget. Mengira dirinya akan diperlakukan
seperti Penguasa Atap langit, dilempar ke udara lalu dibanting ke bawah, kepala
menancap di tanah!
“Oala!
Kalau kalian mau membunuhku gebuk saja langsung batok kepalaku! Jangan dibuat
sengsara seperti makhluk itu!” Wiro keluarkan ucapan.
“Hik…
hik… hik!”
Terdengar
dua di antara pocong, tertawa mengikik. Membuat Wiro jadi heran. Lalu ada suara
berkata. “Hatihati… Jangan meniup terlalu keras. Bisa-bisa seluruh pakaiannya
ikut tanggal! Hik… hik… hik!”
“Memangnya
kita tidak boleh melihat pemuda telanjang?! Hik hik!” Ada suara bertanya lalu
ikutan cekikikan.
Delapan
mulut meniup! Wiro merasa ada sambaran angin halus meniup dirinya mulai dari
kepala sampai ke kaki.
Wuttt!
Kain
kafan merah yang membungkus tubuh Wiro lenyap seketika. Bersamaan dengan itu
kekuatannya kembali pulih. Wiro cepat melompat berdiri hendak mendatangi
delapan pocong hitam. Maksudnya hendak mengucapkan terima kasih sambil
memperhatikan bagaimana sesungguhnya wajah mereka. Tapi didahului suara tawa
cekikikan delapan makhluk itu lenyap tanpa bekas. Ketika memandang ke depan dia
melihat Penguasa Atap Langit pergunakan dua tangan menggebuk tanah hingga tanah
terbongkar dan kepalanya terlepas dari jepitan tanah. Walau kini bebas namun
kekuatannya seperti leleh. Tubuh terguling ke tanah, dada turun naik, nafas
megap-megap, lidah terjulur dan sepasang mata mencelat. Dua tangan memegangi
leher seperti berusaha melepaskan diri dari cekikan yang tidak kelihatan.
Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok sukmanya. Dia juga tidak melihat
Ken Parantili. Wiro tidak khawatir pada keselamatan sukmanya. Tapi dia merasa
takut kalau telah terjadi sesuatu dengan Ken Parantili.
“Selir
itu. Jangan-jangan sudah dihabisi Penguasa Atap Langit!”
Memikir
sampai ke situ Wiro melompat ke hadapan Penguasa Atap Langit yang tergelimpang
di tanah. Tanpa banyak cerita lagi kaki kanannya bergerak menendang ke arah
kepala.
Saat itu
berturut-turut mendadak ada suara mengiang bersahut-sahutan di telinganya.
Suara perempuan.
“Mengobati
luka sendiri lebih penting dari melampiaskan hawa amarah. Racun jahat hanya
memberi waktu dua puluh satu hitungan.”
“Membunuh
lawan tidak berdaya bukanlah sifat ksatria sejati.”
“Mendahulukan
menyelamatkan seorang sahabat adalah lebih baik dari menuruti kata hati.”
Wiro
terkesiap dan tertegun diam. Tendangan ke arah kepala Penguasa Atap Langit
serta merta dibatalkan. “Siapa yang mengirimkan suara pengiang? Pasti
pocongpocong menari tadi.” Pikir Wiro.
Sang
pendekar raba dadanya yang luka dan ternyata masih mengucurkan darah akibat
injakan kasut berpaku Penguasa Atap Langit. Darah yang keluar dari luka bukan
berwarna merah tapi sudah menghitam pertanda mengandung racun jahat. Wiro
meraba pinggang pakaian sebelah kanan. Ternyata delapan bunga matahari kecil
sudah ada lagi terselip di pinggang itu. Dia merasa lega.
Wiro
cepat totok urat besar di pangkal leher dan dada untuk membendung racun jahat
yang telah masuk ke dalam aliran darah. Tapi saat itu dia malah terbatuk-batuk
semburkan darah. Pemandangannya mulai berkunangkunang. Sekujur tubuh terasa
panas!
“Kami
hanya sejengkal dari ujung tanganmu. Mengapa tidak memanfaatkan Kuasa dan Kasih
Sayang Gusti Allahmu?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengiang di telinga.
“Gusti
Allah! Baru kali ini ada makhluk yang menyebut nama itu di negeri ini. Kami…
kami… kalian siapa…?”
Tak ada
jawaban.
Wiro tekap
dadanya yang luka. Darah semakin deras mengucur.
“Pocong
menari! Delapan bunga matahari!” Ucap Wiro dalam hati. Dia segera keluarkan
delapan bunga matahari kecil dari balik pakaian. Dengan cepat delapan bunga
diusapkan ke luka di dada. Delapan cahaya aneh bergemerlap. Ajaib! Saat itu
juga darah hitam berhenti mengucur. Luka menutup tanpa bekas. Pemandangan yang
berkunang-kunang kembali pulih. Hawa panas di tubuh serta merta lenyap. Wiro
menatap delapan bunga matahari kecil penuh kagum dan seperti tidak percaya.
“Makhluk
yang barusan bicara. Siapapun kau adanya aku berterima kasih kau telah
mengingatkan dan menolongku!” Wiro berucap perlahan.
Beberapa
langkah di depan sana Penguasa Atap Langit memandang ke arahnya. Tampangnya
tegang. Mata tak berkesip, menatap takut ke arah delapan bunga matahari yang
dipegang Wiro. Dia tampak lega ketika melihat Wiro menyimpan delapan bunga itu
di balik pakaian.
“Makhluk
jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada Ken Parantili! Di mana perempuan
itu?!” Wiro membentak.
Penguasa
Atap Langit membuka mulut. Namun dia tak mampu keluarkan suara. Lidah yang
merah terjulur keluar mengepulkan asap. Kepala digeleng berulang kali.
Tiba-tiba
satu bayangan melesat. Wiro berpaling. Yang muncul ternyata sukmanya yang
rupanya mampu keluar dari selubung kain kafan, menggendong seseorang yang
terbungkus dalam kain kafan merah.
“Ken
Parantili!” Wiro cepat mendekat dan berusaha membuka kain kafan merah namun tak
berhasil. Dicobanya merobek, juga tidak bisa. Dia kerahkan tenaga dalam lalu
mencoba lagi. Tetap tidak bisa!
Penguasa
Atap Langit keluarkan suara aneh dari tenggorokan. Mata menatap ke arah Wiro
dan sosok yang terbungkus kain merah dalam gendongan sukma Wiro.
Dengan
gerakan kepala dia memberi isyarat agar Wiro tidak berdiri di hadapan Ken Parantili.
“Kau mau
berbuat apa?! Mau membunuh perempuan ini?!” Bentak Wiro.
Penguasa
Atap Langit kembali menggeleng berulang kali. Mulut bergerak tapi tak ada suara
yang keluar. Tibatiba dia jatuhkan diri ke tanah. Berguling ke samping kiri.
Wiro bertindak waspada. Dengan cepat dia memutar tubuh sambil siapkan satu
pukulan sakti di tangan kanan yaitu Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.
“Penguasa
Atap Langit! Saat ini aku bisa membunuhmu semudah membuang ludah! Tapi aku
ingin kau bertobat! Kalau umurmu panjang mungkin banyak hal baik yang bisa kau
lakukan. Kalau kau berlaku culas dan tetap berbuat kejahatan kau akan terkutuk
selama-lamanya!”
Tiba-tiba
di udara terdengar suara bergemuruh dan disertai suara teriakan riuh. Wiro
mendongak. Yang muncul ternyata adalah tiga kelelawar raksasa pengawal Negeri
Atap Langit dan puluhan makhluk arwah berwajah hitam putih. Sikap mereka jelas
siap hendak menyerang Wiro dan sukmanya.
Penguasa
Atap Langit berusaha berdiri. Tapi dia hanya mampu duduk menjelepok di tanah.
Dalam keadaan seperti itu dia menatap ke atas, gelengkan kepala sambil
menggoyangkan tangan.
“Yang
Mulia! Kami datang menjemputmu!” Kelelawar raksasa di ujung kanan berkata.
“Yang
Mulia, ijinkan kami membunuh dua makhluk kembar dan sosok yang ada dalam
gendongan!” Kelelawar raksasa di sebelah tengah susul ucapan temannya.
Tampang
Penguasa Atap Langit tampak berubah galak. Kembali dia menggeleng dan goyangkan
tangan. Melihat hal ini tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk berwajah
hitam putih keluarkan suara mengorok halus lalu melesat, tinggi ke udara malam
yang gelap dan dingin. Setelah berputar tiga kali di atas sana, semuanya
melesat ke arah timur, lenyap ditelan kegelapan.
Wiro dan
sukmanya memandang ke arah Penguasa Atap Langit. Apa makhluk yang tadinya jahat
ini telah berubah sifat? Wiro merasa ragu. Di hadapannya Penguasa Atap Langit
manggut-manggut merunduk. Tiba-tiba kepala diangkat lalu dia meniup ke arah
sosok terbungkus yang berada dalam gendongan sukma Wiro.
“Kurang
ajar! Kau benar-benar culas! Kau mau berbuat apa?!” Wiro berteriak marah.
Sukmanya menggereng seperti harimau terluka. Namun sebelum sempat melakukan
sesuatu, tiupan Penguasa Atap Langit telah menyambar sosok terbungkus kain
kafan merah yang ada dalam gendongan sukma Wiro.
Dess!
Desss!
Kain
kafan mengepul asap merah disertai menebarnya bau wangi setanggi! Wiro
terkesiap. Sukma Wiro melengak karena sosok yang digendongnya mendadak menjadi
enteng!
***********************
7
SEKALI
lagi kain kafan mengepul asap merah. Begitu asap pupus, kain kafan merah ikut
lenyap. Kini dalam gendongan sukma Wiro terlihat sosok Ken Parantili yang
mengenakan pakaian putih berenda. Mata terpejam. Rambut hitam tergerai ke
bawah. Kulit wajah, tangan dan kaki berwarna merah. Ini akibat terlalu lama
tersekap dalam kain kafan merah. Penguasa Atap Langit kembali hendak meniup ke
arah Ken Parantili. Namun saat itu Wiro telah memutar tubuh membuat gerakan
untuk melepas pukulan sakti.
“Jahanam!
Kau membunuh Ken Parantili!” Teriak Wiro langsung menghantam ke arah Penguasa
Atap Langit dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah yang sejak tadi
disiapkan. Tapi sang Penguasa ternyata tak ada lagi di tempat itu. Di tanah
kelihatan satu lobang aneh sepemasukan tubuh manusia menyerupai terowongan
panjang. Inilah yang disebut Terowongan Arwah. Terowongan jejadian seperti ini
pernah dibuat oleh Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan dipergunakan Eyang
Semirang Biru ketika meloloskan diri dari Ruang Segi Tiga Nyawa setelah
berhasil merampas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang kemudian ternyata palsu
(Baca serial sebelumnya berjudul “Sesajen Atap Langit”).
Wiro
terkesiap sesaat. Begitu sadar dia segera melanjutkan gerakan tangan melepas
pukulan sakti. Tanah bergoncang, bangunan Puri Kesatu yang sudah ambruk kini
tambah luluh lantak. Dua pohon mahoni di halaman Puri Kesatu terbongkar
tumbang, lobang sepemasukan tubuh manusia kini berubah menjadi lobang besar
sedalam lutut. Namun Penguasa Atap Langit sudah raib.
Wiro
memberi isyarat pada sukmanya. Keduanya segera berkelebat pergi. Siap
meninggalkan Negeri Atap langit. Namun celakanya mereka tidak mampu mencari
jalan keluar. Mereka tidak dapat menemukan Pintu Akhirat maupun Pintu Gerbang
Atap Langit.
Sementara
itu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam Putih berulang kali
terbang di atas mereka namun tidak ada yang berani mendekat apalagi mengganggu.
Di
kegelapan menjelang pagi tiba-tiba ada delapan cahaya merah berkiblat di
langit. Delapan cahaya dengan cepat melesat ke bumi. Empat menghantam ke arah
Wiro, empat lainnya menderu ke jurusan sukma Wiro!
“Awas!
Serangan Delapan Sukma Merah!” Teriak Wiro. Dengan cepat dia kerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti pada dua tangan sekaligus. Tangan kanan sudah dialiri aji
kesaktian Pukulan Sinar Matahari hingga tampak memutih perak. Tangan kiri siap
melancarkan Pukulan Harimau Dewa. Sukma Wiro melakukan hal yang sama setelah
lebih dulu memindahkan Ken Parantili yang digendongnya ke atas bahu kanan.
Belum
sempat keduanya melepas pukulan-pukulan sakti tiba-tiba di udara terdengar
suara kepak sayap disertai suara teriakan-teriakan.
Blaarr!
Blaarr!
Tiga
kelelawar raksasa melayang membesat udara. Dua di antaranya langsung terpanggang
dan meledak hancur begitu dihantam empat cahaya merah. Sembilan makhluk Arwah
Hitam Putih menjerit keras ketika tubuh mereka terkena percikan delapan cahaya
merah. Seperti dua kelelawar raksasa, tubuh mereka hancur menjadi
kepingan-kepingan yang dikobari api lalu berhamparan di tanah!
Kelelawar
raksasa pengawal ketiga menggerung keras. Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih
menjerit. Mereka semua tampak marah menyaksikan kematian dua kelelawar teman
mereka serta sembilan makhluk Arwah Hitam Putih hingga berlaku lengah. Ketika
delapan sinar merah lagi mendadak muncul di langit menyerang mereka, semuanya
tidak berkesempatan menyelamatkan diri!
Pada saat
itulah dua Pukulan Sinar Matahari dan dua Pukulan Harimau Dewa yang dilepas
Wiro bersama sukmanya menggelegar ke udara!
Dua bola
api raksasa membuntai di udara lalu meledak dahsyat. Hawa panas menghampar
seolah matahari terik hanya sejengkal di atas kepala! Langit laksana mau
runtuh. Negeri Atap Langit bergoncang seperti dihantam gempa di delapan
penjuru. Tanah retak-retak. Beberapa bangunan berupa puri tempat kediaman para
selir ambruk. Jeritan terdengar di mana-mana. Di kejauhan terdengar suara
raungan anjing disertai kilasan cahaya kuning redup yang kemudian lenyap.
Blukkk!
Sebuah
benda melayang di udara lalu jatuh bergedebuk di tanah. Ketika diperhatikan
ternyata itu adalah sosok seorang berpakaian dan berikat kepala hijau. Dari
mulutnya mengucur lelehan darah. Bagian dada pakaian hijaunya tampak gelap
kehitaman seperti hangus. Orang ini cepat bergerak bangun. Berdiri
terhuyung-huyung sambil menunjuk-nunjuk ke arah Wiro asli dan sukmanya.
“Kalian
akan menerima pembalasan…”
Habis
keluarkan ucapan orang itu sempoyongan lalu roboh ke tanah.
“Keparat
Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jadi kau yang punya perbuatan! Pembalasan jatuh
lebih dulu atas dirimu!” Teriak Pendekar 212. Seluruh tenaga dalam yang
dimiliki disalurkan ke tangan kanan yang masih memancarkan cahaya perak
menyilaukan. Ketika Wiro siap menghantam tiba-tiba ada suara perempuan mengiang
di telinga.
“Jangan
dibunuh! Nyawanya sudah ada yang memesan!”
Wiro
terkesiap. “Delapan Pocong…” Ucap Wiro lalu tangan kanan meraba ke balik
pinggang.
Saat
itulah tiba-tiba, wusss! Sosok Sinuhun Muda Ghama Karadipa lenyap dari
pemandangan. Di tanah tampak sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia.
Terowongan Arwah!
“Delapan
Pocong! Aku mohon kau jangan mencampuri urusanku! Karena ucapanmu makhluk jahat
itu berhasil kabur!” Wiro mengomel karena jengkel.
“Kami
bukan mencampuri. Kami hanya memberi ingat. Jangan marah dan jangan merasa kami
menghalangi.” Terdengar jawaban mengiang di telinga Wiro.
Wiro dan
sukmanya walau tidak mengalami cidera namun sama-sama tampak pucat tak
berdarah, dada mendenyut sakit. Rambut berjingkrak lucu ke atas! Sosok Ken
Parantili terguling di tanah masih dalam keadaan diam pingsan tak berkutik.
Sementara
itu di udara sana, sadar kalau diri mereka telah ditolong oleh Wiro dan
sukmanya kelelawar raksasa yang tinggal satu bersama puluhan makhluk Arwah
Hitam Putih meluruk turun ke tanah, membuat sikap bersujud. Sepasang mata merah
kelelawar raksasa berkedip. Lalu terdengar dia berucap.
“Saya dan
semua pengawal Negeri Atap Langit menghatur terima kasih. Kau dan saudara
kembarmu telah menyelamatkan kami dari serangan maut Sinuhun Muda Ghama
Karadipa.”
Wiro
tatap sebentar makhluk di hadapannya, melirik pada puluhan Arwah Hitam Putih
lalu menjawab. “Sinuhun Muda? Bukankah dia sebenarnya berada di pihak kalian?
Bukankah bersama Sinuhun Merah saudara kembaran nyawanya dia adalah kaki tangan
malah bisa dianggap sebagai murid-murid Penguasa Atap Langit?”
“Keculasan
setipis angin pagi. Itulah yang terjadi. Mulai hari ini kami semua menjadi
hamba sahaya Yang Mulia berdua!”
Wiro asli
dan Wiro sukma sama-sama terkejut dan saling pandang. Wiro asli menggeleng lalu
garuk-garuk kepala. “Tidak, kami berdua bukan pimpinan kalian. Kalian bukan
hamba sahaya kami.”
“Tapi itu
adalah perintah Yang Mulia Penguasa Atap Langit kepada kami.” Jawab kelelawar
raksasa yang membuat Wiro dan sukmanya kembali dibuat kaget.
“Di mana
sekarang beradanya pimpinan kalian Penguasa Atap Langit?” Wiro bertanya.
“Kami
tidak tahu. Setelah memberi perintah untuk melindungi Yang Mulia berdua bersama
Selir Pertama, Yang Mulia Penguasa Atap Langit menghilang. Kami tidak tahu
apakah kami akan bertemu lagi dengannya.”
“Dengar
kalian semua. Saat ini lebih baik kalian mengurus sisa-sisa jenazah sahabat
kalian yang masih berhamparan di tempat ini.” Berkata Wiro.
“Lalu
Yang Mulia sendiri mau berbuat apa?” Tanya kelelawar raksasa pengawal Negeri
Atap Langit.
Wiro
tertawa mendengar dirinya terus-terusan dipanggil Yang Mulia. “Kami akan segera
pergi dari tempat ini…”
Kelelawar
raksasa dan puluhan Arwah Hitam Putih unjukkan wajah kecewa. Dengan suara
perlahan kelelawar raksasa berkata. “Mohon dimaafkan kami tidak bisa mengantar
atau menunjukkan jalan. Karena hal itu tidak diperintahkan oleh Yang Mulia
Penguasa Atap Langit yang lama.”
“Tidak
jadi apa. Kami bisa mencari jalan sendiri.” Jawab Wiro.
“Kalau
begitu semoga Yang Mulia berdua mendapat tuntunan dari Para Dewa…”
“Ya… ya.
Terima kasih.” Jawab Wiro yang tidak bisa mengerti mengapa makhluk-makhluk itu
jadi berubah baik dan sangat menghormat dirinya. Mengapa Penguasa Atap Langit
mengatakan pada makhluk-makhluk itu bahwa dirinya adalah pimpinan yang baru di
Negeri Atap Langit. Jangan-jangan semua ini jebakan belaka. Suatu ketika
Penguasa Atap Langit bisa saja muncul secara tak terduga membawa bencana yang
lebih dahsyat.
Wiro
memberi isyarat pada sukmanya. Sang sukma segera menggendong Ken Parantili
kembali. Lalu keduanya cepat-cepat meninggalkan tempat itu diikuti pandangan
kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam Putih.
***********************
8
KETIKA
langit di ufuk timur mulai terang tanda fajar akan segera menyingsing, Wiro dan
sukmanya sampai di satu kawasan berbatu-batu berhawa sangat dingin. Wiro
melihat sukmanya tampak pucat dan gerakannya mulai lamban. Wiro sendiri saat
itu merasa letih.
“Sukmaku
sudah terlalu lama berada di alam luar. Belum pernah kejadian seperti ini.
Saatnya dia harus masuk kembali ke dalam ragaku. Kalau tidak dia dan aku bisa
sama-sama celaka.” Membatin Wiro yang saat itu merasa dadanya mulai sesak.
Wiro
mengambil Ken Parantili dari gendongan sukmanya lalu membaringkan perempuan ini
di tanah di atas rerumputan liar. Dia sendiri kemudian duduk bersila dan
merapal ajian Meraga Sukma. Hanya sekejapan mata sosok utuh sukma Wiro berubah
menjadi bayang-bayang lalu masuk ke dalam tubuh aslinya.
Kini
perhatian Wiro tertuju pada Ken Parantili. Dia tidak melihat tanda-tanda
totokan di bagian tubuh sebelah atas selir itu. Tidak ada cidera atau bekas
pukulan. Tubuhnya juga tidak panas pertanda tidak ada racun jahat yang
mendekam. Wiro letakkan telinga kiri di atas dada perempuan itu. Dia bisa
mendengar detak jantung walaupun agak perlahan.
“Tak ada
totokan, tak ada racun. Detak jantung masih terdengar tanda dia masih hidup.
Tapi mengapa seluruh kulitnya berwarna merah? Akibat selubungan kain merah?”
“Kain
aneh. Bagaimana aku bisa melenyapkan tanda merah di wajah dan sekujur tubuh
selir ini? Kasihan kalau dia sampai cacat seumur hidup.” Wiro menggaruk kepala.
“Aku harus bisa membuatnya sadar. Dia satu-satunya yang bisa menolong memberi
tahu bagaimana keluar dari negeri sialan ini. Aku masih harus menolong Ni
Gatri, mencari Eyang Sinto, menemukan kembali Kapak Naga Geni…”
Wiro
letakkan telapak tangan kanan di kening Ken Parantili lalu kerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti. Ditunggu beberapa lama perempuan itu lelap saja tidak
bergerak. Tidak siuman. Wiro ganti memegang dua pergelangan kaki. Lalu kembali
mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke tubuh Ken Parantili. Sampai tubuhnya
keringatan Ken Parantili masih terus tak berkutik, diam dalam keadaan tidak sadarkan
diri. Tenaga dalam dan hawa saktinya tidak mampu menembus masuk ke dalam tubuh
sang selir.
Wiro
duduk termenung, terus berpikir-pikir. Tiba-tiba saja dia ingat pada delapan
bunga matahari kecil. Dengan cepat bunga dikeluarkan dari balik pakaian. Sesaat
Wiro merasa bimbang. Bunga diusap-usap. Tangan diulur. Delapan bunga kecil
perlahan-lahan disapukan ke bagian atas kepala lalu ke kening Ken Parantili.
Selir itu masih belum juga siuman. Wiro lanjutkan mengusap delapan bunga
matahari ke bagian wajah, terus ke leher. Ketika delapan bunga menyapu di atas
dada sebelah kiri, desss!
Satu
letupan halus tapi berkekuatan besar membuat Wiro terpelanting. Delapan bunga
matahari tergoyang kencang, pancarkan warna kuning, coklat dan hijau. Sosok Ken
Parantili sendiri mengapung ke udara mengepulkan asap merah lalu seperti ada
yang menahan, perlahan-lahan jatuh tertelentang di tanah. Ketika Wiro
mendatangi, warna merah pada wajah dan sekujur tubuh selir itu telah lenyap.
Kulitnya kembali seperti semula walau wajah terlihat agak pucat.
Wiro
cepat rangkul perempuan itu lalu mendudukkannya di tanah bersandar pada salah
satu batang pohon mahoni yang tumbang. Dari mulut Ken Parantili keluar suara
mendesah. Bersamaan dengan itu menyembur kepulan asap merah. Perlahan-lahan sepasang
mata terbuka. Astaga! Bagian mata yang seharusnya putih kelihatan merah seperti
saga!
Walau
matanya merah namun pemandangannya tidak terganggu. Begitu melihat Wiro di
hadapannya, Ken Parantili membuka mulut hendak bertanya. Tapi diberi isyarat
oleh Wiro agar jangan bicara dulu.
“Sepasang
matamu berwarna merah. Tadi waktu masih terpejam aku telah mengusap dengan
bunga ini. Bagian tubuhmu yang lain bisa pulih, warna merah hilang. Tapi warna
merah di matamu tidak lenyap.”
Ken
Parantili hanya bisa mengusap-usap karena tidak dapat melihat sendiri keadaan
matanya.
“Aku akan
mengusapkan bunga ini sekali lagi. Matamu jangan dipejamkan.”
Ken
Parantili mengangguk. Wajah sengaja ditengadah dan dua mata dibuka lebar-lebar.
Wiro usapkan delapan bunga matahari kecil di atas kedua mata perempuan muda
itu. Ajaib memang kesaktian delapan bunga matahari kecil. Begitu tersentuh
usapan bunga, bagian mata yang merah berubah pulih menjadi putih kembali.
“Matamu
sudah sembuh. Warna merahnya sudah hilang.” Wiro memberi tahu.
Saking
girangnya Ken Parantili mencium delapan bunga matahari lalu memeluk Wiro sambil
mengucapkan terima kasih. “Kalau tidak ada bunga ini dan kau tidak menolong,
dalam waktu tiga hari mataku akan menjadi buta. Itulah jahatnya Ilmu Selubung
Kain Kafan Sukma Merah.”
“Ilmu
setan!” Rutuk Wiro. “Aku sudah membuktikan. Jangankan keluar, merobeknya saja
aku tidak mampu. Sukmaku berhasil merobek sedikit namun kemudian dua tangannya
dibuat tak berdaya!” Wiro menggaruk kepala lalu bertanya. “Apakah kau memiliki
ilmu itu?”
“Setengah
jalan.” Jawab Ken Parantili.
“Maksudmu?”
“Aku bisa
mengeluarkan, namun tidak bisa melenyapkan. Penguasa Atap Langit hanya memberi
tahu bahwa ada semacam rapalan disertai cara meniup untuk melepaskan seseorang
yang telah dibungkus Ilmu Kain Kafan Sukma Merah. Aku tidak sempat mendapatkan
rapalan itu.”
“Ah… itu
rupanya yang dilakukan Penguasa Atap Langit. Baru aku ingat. Dia melenyapkan
selubung kain kafan merah di tubuhmu dengan cara meniup. Berarti dia bermaksud
mau menolong setelah berbuat jahat.”
“Perguasa
Atap Langit yang melakukan? Bagaimana aku bisa percaya?” Ucap Ken Parantili
pula. “Sahabat, sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi? Bagaimana kita bisa
berada di sini? Mana Penguasa Atap Langit? Mana sukmamu?” Selir itu memandang berkeliling.
Wiro
menceritakan apa yang terjadi.
“Jadi kau
tidak membunuh Penguasa Atap Langit?” Tanya sang selir heran.
Wiro
gelengkan kepala. “Saat itu dia dalam keadaan tak berdaya. Lalu aku juga
melihat ada perubahan pada dirinya.”
Wiro
tidak menceritakan adanya suara mengiang yang melarang dia membunuh Penguasa
Atap Langit.
“Tapi
ilmunya bisa saja pulih kembali. Jika hal itu sampai terjadi akan sangat
berbahaya.”
“Mudah-mudahan
saja dugaanmu keliru. Karena sewaktu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk
berwajah hitam putih muncul hendak membunuhku, Penguasa Atap Langit melarang
dan mengusir mereka. Kemudian ketika ada serangan Delapan Sukma Merah, dua
kelelawar raksasa dan sembilan makhluk Arwah Hitam Putih mengorbankan diri
melindungiku dan sukmaku…”
“Wiro,
sulit aku percaya kalau bukan mendengar dari mulutmu sendiri. Tapi mengapa
sekarang dia melenyapkan diri? Bukan mustahil tengah menghimpun kekuatan dan
menyusun rencana balas dendam. Walau banyak ilmunya yang telah amblas dan
rontok, agaknya Penguasa Atap Langit masih menyimpan beberapa ilmu kesaktian
dahsyat.”
“Ken
Parantili, yang lebih penting saat ini adalah mencari jalan keluar dari negeri
keparat ini.” Berkata Wiro.
“Kita
harus mencari pohon beringin yang dulu membawamu ke sini. Hanya pohon itu yang
bisa membawamu keluar dari Negeri Atap Langit.”
“Hanya
aku yang akan dibawa? Apa maksudmu? Kau akan tetap tinggal di negeri ini?”
Bertanya Wiro.
“Aku
tidak mungkin ikut bersamamu.”
“Mengapa
tidak mungkin? Kau memilih tetap di sini bersama Penguasa Atap Langit yang
pasti akan membunuhmu?” Bertanya Wiro.
“Aku
tidak mungkin pergi tanpa lebih dulu mendapatkan kembali jantungku yang telah
dicopot dan disimpan Penguasa Atap Langit di suatu tempat. Tanpa jantung, di
dunia luar aku hanya bisa bertahan hidup selama tiga hari tiga malam. Kalau
Penguasa Atap Langit bertindak gila dan bengis, dia bisa meremas jantungku dan
saat itu juga aku akan menemui kematian secara lebih cepat.”
“Dia
tidak akan melakukan itu. Ingat, seperti katamu dia ingin membunuh ragamu
dengan tangannya sendiri. Karena hanya dengan cara itu dia bisa mempertahankan
ilmu kesaktiannya yang masih tersisa.”
“Kau
benar,” kata Ken Parantili sambil memegang lengan Wiro.
Seperti
yang pernah diperlihatkan Ken Parantili kepada Wiro dengan cara membelah
dadanya, selir ini memang tidak memiliki jantung. Dada kirinya kosong!
“Kalau
begitu kita cari dulu jantungmu itu.” Kata Wiro pula.
Ken
Parantili menggeleng. “Aku akan mengantarkanmu mencari pohon beringin yang dulu
membawamu ke sini. Setelah bertemu kau pergi sendirian. Tidak perlu memikirkan
diriku. Banyak pekerjaan sangat penting yang harus kau lakukan. Berlama-lama di
sini aku khawatir akan terjadi sesuatu pada dirimu.”
Wiro
ganti menggeleng. “Aku tidak akan pergi kalau tidak membawamu serta.
Menyelamatkanmu juga merupakan satu tugas penting.”
“Di
Negeri Atap Langit ada delapan belas orang selir lagi. Satu yang bernama Windu
Resmi sudah menemui ajal. Masih ada tujuh belas orang yang kelak akan menemui
nasib sama. Menemui kematian di tangan Penguasa Atap Langit. Apakah kau juga
akan menolong mereka?”
Murid
Sinto Gendeng menyeringai lalu menggaruk kepala, “Itu bisa diatur. Kita lihat
saja nanti. Yang jelas bagaimana kita bisa menyelamatkan orang lain kalau kita
saja masih tersekap di sini? Sekarang lekas tunjukkan di mana Penguasa Atap
Langit menyekap jantungmu!”
“Tempatnya
sebuah goa. Letaknya sebenarnya tak jauh dari sini. Tapi keberadaannya seperti
gaib. Untuk pergi ke sana perlu menunggang pohon beringin dan memakan waktu
cukup lama. Itulah keanehan Negeri Atap Langit.” Menerangkan Ken Parantili.
Wiro jadi
tidak sabaran. Dirangkulnya pinggang Ken Parantili lalu perempuan itu dipanggul
di bahu kanan. “Kau tunjukkan jalan! Kita cari pohon itu sekarang juga!”
Sesaat
Ken Parantili merasa terharu mendengar apa yang diucapkan dan hendak dilakukan
Pendekar 212. Tangan kiri digelung di leher Wiro. Tangan kanan menunjuk ke
depan, memberi isyarat ke mana Wiro harus bergerak.
“Turunkan
aku. Aku bisa berlari sendiri.” Berkata sang selir.
Tapi
murid Sinto Gendong telah melompat ke arah yang ditunjuk sang selir. Dia
berlari dengan mempergunakan ilmu lari Kaki Angin pemberian Eyang Sinto
Gendeng.
Ketika
Ken Parantili dan Wiro sampai ke tempat di mana seharusnya berada pohon
beringin sakti, mereka terkejut karena pohon itu tidak ada lagi di tempatnya
semula. Di tanah terlihat satu lobang besar.
“Celaka!
Pohon beringin lenyap dibongkar orang!” Teriak Ken Parantili. “Kita tidak
mungkin keluar dari Negeri Atap Langit saat ini juga. Berarti kita harus
menunggu selama tujuh hari tujuh malam baru bisa menemukan pohon beringin itu.
Aku khawatir selama itu Penguasa Atap Langit, jika dia masih hidup, akan
berusaha memulihkan diri lalu melakukan balas dendam yang dahsyat!”
Mendadak
di langit ada suara berkesiuran.
Wiro
mendongak ke atas. “Ken Parantili. Agaknya kita tidak perlu menunggu sampai
tujuh hari tujuh malam…”
***********************
9
KETIKA
Ken Parantili ikut mendongak menatap ke atas langit, darahnya tersirap. Dia
melihat satu pohon beringin besar di udara dan bergerak melayang turun ke arah
dirinya dan Wiro berada. Daun-daun dan akar di sebelah bawah bergetar
mengeluarkan suara berdesir. Akar-akar gantung bergelayutan. Itulah pohon
beringin yang tengah mereka cari!
Ken
Parantili tidak merasa heran melihat pohon beringin bisa melayang di udara
bergerak turun ke bawah. Keanehan seperti ini biasa-biasa saja di Negeri Atap
Langit. Sebelumnya dia pernah membawa pohon itu keluar dari Negeri Atap Langit
menuju kawasan Plaosan untuk mencari Wiro. Namun yang membuatnya terkesiap
besar adalah ketika melihat ada dua tangan menggotong pohon itu. Di bawah
batang pohon sebelah tengah ada satu sosok merah menopang batang pohon. Si
penopang ternyata bukan lain Penguasa Atap Langit.
“Awas!
Dia hendak menimbun kita dengan pohon beringin itu! Kurang ajar! Baru saja
diberi ampun sudah berbuat culas!” Teriak Wiro marah. Serta-merta dia siapkan
Pukulan Sinar Matahari.
Di atas
sana, pohon beringin besar tidak dilempar ke bawah seperti yang diduga Wiro,
tapi terus melayang ke bawah secara perlahan-lahan lalu tanpa suara, tanpa
getaran pohon diturunkan ke tanah, hanya beberapa langkah di hadapan Wiro dan
Ken Parantili.
Sebelum
pohon menyentuh tanah, Penguasa Atap Langit menyelinap ke belakang pohon lalu,
dess! Wiro melompat ke udara. Berusaha mengejar. Ken Parantili mengikuti.
Ketika mereka sampai di balik batang pohon, Penguasa Atap Langit tidak
kelihatan lagi. Yang tampak adalah satu lobang dalam sepemasukan tubuh manusia.
“Sial!
Lagi-lagi Terowongan Arwah!” RutukWiro. “Jika Penguasa Atap langit muncul lagi
kita harus bisa mencegah dia kabur dengan cara ini. Kau punya ilmu
penangkalnya?” Bertanya Wiro.
Ken
Parantili menggeleng, “Mungkin kau bisa mempergunakan ilmu membelah tanah
seperti kau lakukan ketika memendam mayat selir Windu Resmi. Tapi tadi jelas
Penguasa Atap Langit tidak punya niat jahat hendak mencelakai kita dengan
menjatuhkan pohon besar itu.”
“Lalu
mengapa dia kabur?”
“Mungkin
dia merasa khawatir kita masih punya dugaan kalau dia makhluk jahat. Padahal
mungkin sudah berubah. Buktinya tadi dia sengaja membawa pohon beringin yang
kita cari ke sini.”
“Kau
seperti membela makhluk yang hendak membunuhmu itu!”
“Sudah,
tidak usah diperpanjang. Kalau kau memang mau mengajakku pergi dari Negeri Atap
Langit, sekarang kita harus mencari goa tempat di mana jantungku disimpan.”
“Kalau
Penguasa Atap Langit punya niat baik terhadapmu, seharusnya dia juga membawa
jantungmu. Bukan cuma pohon beringin.” Jawab Wiro masih kesal.
“Mungkin
dia punya kendala,” jawab Ken Parantili.
“Kendala
apa?” Tanya Wiro.
“Mulut
goa tempat penyekapan jantung bisa saja dianggap sebagai pintu pantangan yang
bisa mencelakai dirinya. Berarti selama ini ada seseorang yang mewakili makhluk
bejat itu menjaga goa.”
“Siapa
orang atau makhluknya?” Tanya Wiro pula.
Ken
Parantili tidak menjawab karena memang tidak tahu.
“Ken
Parantili, mungkin saja Penguasa Atap Langit sudah tahu kalau kau akan
mengambil jantungmu di goa penyekapan. Dia lantas menunggumu di sana. Begitu
kau muncul dia akan membunuhmu dengan tangannya sendiri! Jika kau mati bukankah
ada dugaan bahwa semua ilmu kesaktiannya akan kembali langgeng?”
Sejenak
Ken Parantili terdiam mendengar ucapan Wiro. Kemudian dia berkata. “Kalau kau
tidak menolong, sebenarnya aku sudah mati. Sekarang mengapa aku harus takut
pada kematian yang tertunda?”
Wiro diam
saja. Namun dalam hati dia membatin. “Kalau kau tidak takut menemui kematian,
mengapa bersusah payah pergi ke Plaosan mencariku?”
Ken
Parantili melompat ke atas batang pohon beringin. Sebelum menyusul naik, Wiro
bertanya. “Goa tempat penyekapan jantung para selir itu apakah letaknya di
dalam Negeri Atap Langit?”
“Setahuku
berada di sebelah timur, di luar Negeri Atap Langit” Jawab Ken Parantili.
Akar dan
dedaunan pohon beringin tergetar keras. Perlahan-lahan pohon itu bergerak naik
ke atas.
Ken
Parantili berteriak. “Wiro! Tunggu apalagi! Lekas naik ke sini!”
Wiro
segera melompat naik. Baru saja menjajakkan kaki di batang pohon, tiba-tiba
pohon beringin perlahanlahan mulai bergerak naik ke udara. Wiro dan Ken
Parantili berpegang erat ke cabang-cabang pohon.
“Ada
sesuatu di pohon!” Tiba-tiba Ken Parantili berseru di dalam deru angin. Dia
membungkuk mengambil sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang tersangkut di
antara dedaunan lebat pohon beringin. Ketika berhasil disentuh dan diambil,
darahnya tersirap. Ternyata benda itu adalah mahkota emas yang biasa dipakainya
seharihari. Seperti diceritakan sebelumnya sewaktu berada di Puri Kesatu dan
siap hendak meniduri sang selir, Penguasa Atap Langit melemparkan mahkota emas
berbentuk atap yang ada di kepala selir itu ke langit-langit kamar.
“Pasti
Penguasa Atap Langit sengaja meletakkan mahkota emas ini di sela-sela ranting
dan daun pohon beringin. Apa maksudnya?” Ken Parantili berkata sambil memegang
dan memperhatikan mahkota emas.
“Mungkin
bermaksud baik tapi bisa juga ada niat jahat.” Jawab Wiro. Lalu diam-diam dia
terapkan Ilmu Menembus Pandang dan menatap tak berkesip ke arah mahkota emas
yang dipegang sang selir.
Tiba-tiba
Wiro berteriak. “Ken Parantili! Cepat lempar mahkota emas itu! Aku melihat
sesuatu!”
Selagi
Ken Parantili tertegun dan hanya berdiam diri terkejut mendengar ucapan Wiro,
murid Sinto Gendeng cepat merampas mahkota emas dari tangan perempuan itu lalu
dilempar ke udara. Tiga tombak di udara mahkota emas meledak berkeping-keping.
Dari balik ledakan menyembul sosok merah Penguasa Atap Langit. Tanpa mampu
mengimbangi diri, setelah berjungkir balik sang penguasa jatuh terkapar di
tanah.
Wiro siap
melompat turun dari batang pohon. Namun saat itu pohon beringin terasa
bergetar. Daun-daun pohon keluarkan suara bergemerisik, akar gantung mencuat ke
atas. Akar di sebelah bawah bergerak-gerak. Cepat sekali pohon itu melesat
tinggi ke udara.
Di bawah
sana Penguasa Atap Langit tampak duduk di tanah sambil dua tangan
menunjuk-nunjuk ke arah Wiro dan Ken Parantili. Lalu kepala dirundukkan,
disentuh ke tanah berulang kali. Mulut mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
“Apa yang
terjadi dengan makhluk itu? Maksud apa sampai dia menyelinap di mahkota emas
kalau bukan maksud jahat!”
Ken
Parantili sendiri saat itu tidak mampu keluarkan ucapan. Wajahnya yang tadi
mulai berdarah kini kembali pucat dan tengkuknya terasa dingin.
“Ken
Parantili…”
Sang
selir memberi tanda agar Wiro tidak meneruskan ucapan. Tubuh dibungkukkan ke
arah kelebatan daundaun pohon beringin di sisi kanan sebelah depan. Di situ
terselip sebuah benda hijau. Getaran pohon, tiupan angin yang kencang, tidak
mudah untuk dapat mengambil benda itu. Wiro bertindak lebih dulu. Dua jari
tangan kanan dipentang lurus. Lalu dia kerahkan tenaga dalam.
Wuuttt!
Lipatan
benda hijau melesat dan masuk dalam jepitan dua tangan Wiro. Wiro
memperhatikan.
“Daun
keladi dilipat empat!” Wiro memberi tahu.
“Di Puri
Agung kediaman Penguasa Atap Langit banyak tumbuh pohon keladi besar. Pasti dia
juga yang meletakkan. Wiro, aku khawatir terjadi seperti tadi. Coba kau periksa
dulu lipatan daun. Jangan-jangan Penguasa Atap Langit menyelinap lagi di dalam
lipatan.”
“Daun ini
tidak ada isi apa-apa. Tidak ketumpangan makhluk lain.” Menerangkan Wiro.
“Kalau
begitu… Wiro, kau bisa membuka lipatan daun?”
“Sudah
kubilang lipatan daun ini tidak ada isi apa-apa. Kau tak usah khawatir. Biar
kubuang saja.”
“Pasti
ada sesuatu. Kalau tidak mengapa ada yang meletakkan di pohon ini?” Ken
Parantili bersikeras.
Sambil
tangan kanan berpegang erat ke cabang pohon, dengan tangan kirinya Wiro
mengeprat lipatan daun keladi. Begitu lipatan terbuka ternyata pada lembaran
daun itu tertera sederet tulisan.
“Agaknya
kau menerima surat cinta dari Penguasa Atap Langit. Aku tak mengerti bahasa
tulisan ini. Kau baca sendiri!”
Wiro
ulurkan lembaran daun keladi. Ken Parantili cepat mengambil lalu memperhatikan.
Di atas daun keladi itu memang ada serangkaian tulisan yang bahasanya hanya
bisa dimengerti oleh penghuni Negeri Atap Langit.
Begitu
membaca apa yang tertera di atas lembaran daun, berubahlah paras Ken Parantili.
Wajah mendadak sontak pucat, tubuh gemetar. Sepasang mata menatap ke arah Wiro
sementara dada tampak bergerak turun naik.
“Tidaakkk!”
Satu teriakan keras menggelegar keluar dari mulut Ken Parantili. Pohon beringin
bergoncang tiga kali.
“Apa
bunyi tulisan di daun itu?” Bertanya Wiro tidak sabaran.
Sepasang
mata Ken Parantili membesar seolah hendak melompat keluar dari rongganya.
Kepala digeleng. Mulut berulang kali mengucapkan kata tidak.
“Wiro…”
Suara Ken Parantili perlahan dan lirih.
Wiro
berusaha mendekat. Memegang bahu selir itu lalu berkata. “Kau mengalami
guncangan hebat! Apa yang terjadi? Apa yang tertulis di atas daun keladi itu?”
“Aku, aku
tidak bisa mengatakan. Aku lebih baik memilih mati saat ini juga!” Sepasang
mata menatap ke bawah. Saat itu pohon beringin yang membawa dirinya dan Wiro
berada dua ratus tombak di atas permukaan tanah.
Perlahan-lahan
Ken Parantili lepaskan pegangannya pada daun keladi. Begitu disambar angin,
daun ini melayang ke udara.
Wiro tahu
apa yang hendak dilakukan Ken Parantili. “Jangan! Ken Parantili! Sadar!”
Ken
Parantili pejamkan kedua matanya. Didahului teriakan keras dan panjang, selir
itu hamburkan diri dari atas batang pohon beringin. Wiro berusaha menggapai
pinggang perempuan itu tapi terlambat! Dia hanya mampu menarik robek salah satu
bagian pakaian putih. Sosok Ken Parantili jatuh ke bawah, melayang
berputar-putar, siap untuk menghunjam ke tanah!
Wiro
kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki sambil membuat gerakan memberatkan diri
agar pohon beringin melayang turun ke bawah. Namun pohon malah berputarputar
di udara. “Celaka! Apa yang harus aku lakukan? Perempuan itu! Apa yang
membuatnya tiba-tiba menjadi nekad melakukan bunuh diri!”
Di saat
luar biasa genting itu tiba-tiba terdengar suara mendengung halus. Lalu ada
delapan benda kecil bercahaya. Walau sang surya telah naik dan udara berubah terang,
namun delapan cahaya kecil tampak berpijar benderang. Di kejauhan terdengar
suara alunan gamelan ditingkah tiupan seruling, tabuhan gendang dan gesekan
rebab!
Delapan
cahaya melesat ke arah sosok Ken Parantili yang tengah melayang jatuh. Pada
ketinggian dua ratus tombak di atas tanah, delapan benda terang tiba-tiba
berubah membentuk bayang-bayang menyerupai pocong. Anehnya sosok mereka tidak
dibuntal kain kafan putih, tapi terbungkus kain coklat di sebelah atas, kain
hijau dari pinggang ke bawah dan di pinggang melingkar ikat pinggang kain lebar
berwarna kuning. Rambut yang panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di
atas pohon beringin, delapan pocong yang wajahnya tidak terlihat jelas membuat
gerakan meliuk-liuk, tangan dan kaki melambai kian kemari. Astaga! Mereka
ternyata menari di bentangan udara! Mengikuti alunan gamelan.
Sebenarnya
ini adalah satu pemandangan yang indah. Namun dalam terkesiapnya, Pendekar 212
justru merasa khawatir dan menatap dengan mata tak berkesip. Jantungnya
berdegup keras. Lapat-lapat Wiro mendengar suara perempuan bernyanyi,
bersahut-sahutan bait demi bait.
“Tidak
dipanggil kami datang sendiri
Sebelum
ajal berpantang mati
Pikiran
manusia memang pendek
Tapi
mengapa nyawa mau dipantek
Menolong
orang adalah perbuatan terpuji
Tapi
menolong diri kami siapa perduli
Tidak
dipanggil datang sendiri
Agar
tidak ada yang tersia-sia di atas bumi”
“Delapan
Pocong Menari. Apakah mereka ini yang malam tadi menyelamatkan diriku.” Ucap
Wiro dalam hati.
Pohon
beringin di atas mana dia berada perlahan-lahan melayang turun. Di bawah sana
Wiro melihat tujuh dari delapan pocong perempuan melesat ke arah tubuh Ken
Parantili yang tengah jatuh dan saat itu berada dalam keadaan pingsan.
Sementara satu pocong lagi terbang ke jurusan daun keladi yang tadi dilepas
oleh selir itu dan melayang di udara. Di kejauhan tampak sebuah gunung yang
puncaknya berselimut awan. Di balik awan kelihatan sebuah kawah besar mengepul
asap putih.
Wiro
meraba pinggang pakaian. Delapan bunga matahari kecil ternyata tidak ada lagi
di balik pakaiannya!
***********************
10
SUARA
alunan gamelan terdengar lebih keras. Tujuh perempuan berpakaian coklat-hijau
berselempang ikat pinggang lebar berwarna kuning dalam gerakan seperti menari
tiba-tiba berjungkir balik lalu laksana kilat melesat mendekati Ken Parantili.
Hanya terpisah sejarak lima tombak mereka lepas ikat pinggang lebar lalu, sett…
sett!
Tujuh
ikat pinggang lebar bergulung melibat tubuh Ken Parantili. Untuk beberapa
lamanya selir yang pingsan itu seperti berada dalam bedung ayunan. Tujuh ikat
pinggang lebar terulur panjang. Tubuh Ken Parantili meluncur ke bawah, ke arah
puncak gunung. Tinggal dua puluhan tombak dari tanah, tujuh gadis keluarkan
suara nyanyian. Temannya yang seorang yang telah berhasil mendapatkan daun
keladi ikut bergabung. Daun keladi disusupkan ke balik pakaian di bagian
punggung Ken Parantili.
“Tidak
dipanggil datang sendiri
Berarti
kami tidak boleh menginjak bumi
Tegarkan
diri kuatkan hati
Seorang
sahabat akan datang memberi budi”
Lalu,
delll… delll!
Tujuh
ikat pinggang kuning disentak lepas. Tubuh Ken Parantili melayang jatuh ke arah
pedataran kecil di dekat puncak gunung.
Melihat
apa yang terjadi Wiro tersentak kaget dan berteriak. “Delapan pocong! Tadi kalian
menolongnya! Sekarang mengapa dilepas jatuh! Apa itu bukan perbuatan sia-sia?!”
Delapan
pocong tidak menyahuti. Sosok mereka melesat ke arah pohon beringin di mana
Wiro berada. Setengah jalan delapan pocong berubah menjadi benda melayang yang
memancar sinar seperti kunang-kunang di siang hari. Lalu, bleep… bleepp!
Delapan cahaya lenyap.
Wiro
menggaruk kepala. Meraba pinggang. Ternyata delapan bunga matahari kecil sudah
ada lagi di balik pakaiannya! Wiro menepuk pinggul sendiri.
“Delapan
Pocong! Mengapa…” Suara bentakan Wiro terputus oleh suara beberapa orang yang
menjawab secara bersamaan.
“Kami
tahu apa yang kami lakukan! Semua perlindungan datang dari Gusti Allahmu!
Sekarang turun ke sana! Susul temanmu! Tolong dia!”
“Gusti
Allah! Kalian tahu apa tentang Gusti Allahku!”
“Oalah
sudah! Melompat sana!”
“Hai!
Kalian mau membunuhku?!” Wiro berteriak kaget ketika tiba-tiba ada banyak
tangan terasa mendorong punggungnya, ada juga yang menekan pantatnya!
Seseorang
melepas pegangan tangannya pada cabang pohon. Lalu tubuh sang pendekar didorong
ke depan. Tak ampun lagi Wiro terjungkal dari atas batang pohon beringin pada
ketinggian sekitar seratus tombak dari tanah!
Kembali
pada Ken Parantili. Selagi tubuhnya terus melayang jatuh dan hanya tinggal
belasan tombak saja lagi akan hancur remuk menghantam tanah, entah bagaimana
tiba-tiba perempuan muda ini sadar dari pingsannya. Kalau sebelumnya dia
sengaja menghambur untuk bunuh diri tidak takut mati, namun melihat kenyataan
saat itu apa yang terjadi atas dirinya tak urung dia menjerit keras. Menggapai
kian kemari namun hanya menyentuh udara kosong. Tak ada sesuatu yang bisa
dipakai bersigayut untuk menyelamatkan diri. Tidak ada seseorang yang
diharapkan bisa menolong! Sebelum jatuh pingsan lagi untuk kedua kali tiba-tiba
di bawah sana melesat satu benda berwarna merah muda. Di lain kejap Ken
Parantili merasa ada orang memeluk tubuhnya yang bergeletar dan kucurkan
keringat dingin.
“Sahabat
dari Negeri Atap Langit! Kau rupanya!” Ada suara orang. “Tenang, tenang saja.
Aku akan membawamu turun ke puncak gunung dengan selamat.”
Yang
terdengar suara lelaki tapi halus dan lembut menyerupai suara perempuan! Ken
Parantili berusaha memutar kepala untuk melihat siapa adanya orang yang
menolong sementara dia merasa tubuhnya perlahan-lahan digendong turun ke satu
pedataran kecil. Namun dia tidak bisa melihat wajah orang. Dia hanya mencium
bau wangi tubuh dan pakaian orang yang merangkulnya. Ketika dua kakinya
menginjak tanah dengan cepat Ken Parantili lepaskan diri dari pelukan orang.
Memandang ke depan dia terkejut tapi juga gembira.
“Kau!”
Gadis
cantik berpakaian merah muda di hadapannya tersenyum. “Kau masih ingat diriku?
Kita berpisah baru kemarin senja. Namaku Jaka Pesolek…”
“Ya… ya,
aku ingat namamu. Kau hebat! Terima kasih kau telah menolongku! Mana para
sahabat yang lain…”
“Mereka ada
di sekitar sini. Sebentar lagi pasti berdatangan. Aku malah mau tanya. Di mana
beradanya Ksatria Panggilan alias sahabat Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia
kemarin menyusulmu naik belahan pohon beringin.”
“Aku di
sini! Segera mati kalau tidak ada yang menolong!” Tiba-tiba satu teriakan
terdengar di udara. Satu sosok berpakaian merah melayang jatuh luar biasa
cepat.
“Wiro!
Kau! Apa yang terjadi?!” Jaka Pesolek berteriak terkejut. Tidak menunggu lebih
lama dia segera melompat ke udara guna menolong Pendekar 212. Jaka Pesolek
memang tidak memiliki ilmu kesaktian. Dia hanya punya ilmu bergerak cepat
terutama melesat ke udara dan menangkap petir.
Sesaat
lagi Jaka Pesolek akan menggapai tubuh Wiro yang jatuh tiba-tiba di udara
melesat delapan larik kain panjang berwarna kuning. Dengan cepat delapan kain
kuning membuntal tubuh Wiro. Untuk beberapa lama tubuh sang pendekar
terayun-ayun di udara sambil bergerak turun. Jaka Pesolek yang tadi berniat
hendak menolong kini ikut bergantungan pada salah satu kain kuning. Pada
ketinggian dua tombak tidak sabar Wiro segera meloncat turun. Begitu dua kaki
menginjak tanah, delapan kain panjang kuning yang tadi menyelamatkan dirinya
lenyap dari pemandangan. Jaka Pesolek yang bergantung pada sehelai kain kuning
cepat pula melompat
“Delapan
Pocong Menari.” Ucap Wiro. “Aku berterima kasih kalian telah menolongku.”
“Hai! Kau
bicara apa? Mana ada pocong di sini! Yang menolongmu adalah delapan kain kuning
aneh yang barusan raib! Oala, balik dari negeri aneh dirimu juga berubah aneh!
Hemm… Bajumu baru pula!” Berkata Jaka Pesolek.
Wiro
delikkan mata. “Kau tahu apa?!”
Jaka
Pesolek mencibir. “Yang aku mau tahu, apa kau sudah tidur dengan selir itu.
Bagaimana rasanya? Enak? Apa aku sekarang bisa dapat bagian? Hik… hik… hik!”
Wiro
pelintir telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang jantan bisa betina bisa
ini mengaduh kesakitan. Wiro cepat mendatangi Ken Parantili.
“Kau
baik-baik saja…?”
“Seharusnya
aku tidak perlu ditolong. Biar mati saja. Siapa yang tadi menolongku?”
“Delapan
bunga matahari.”
“Berarti
delapan pocong itu.” Ken Parantili terdiam seperti berpikir. Lalu dia bertanya.
“Kita berada di mana?”
“Di
puncak Gunung Semeru.” Yang menjawab Jaka Pesolek.
Ken
Parantili terdiam lagi. Lalu berkata. “Tidak jadi apa aku tadi tidak menemui
ajal. Tiga hari lagi aku tetap akan mati.”
“Karena
kau tidak memiliki jantung?”
Ken
Parantili mengangguk.
“Kalau
begitu kita kembali ke Negeri Atap Langit. Astaga, di mana beradanya pohon
beringin itu?” Wiro memandang berkeliling tapi di pedataran di puncak gunung
itu dia tidak menemukan pohon yang dicari.
“Pohon
itu telah raib. Kembali ke Negeri Atap Langit” Berkata Ken Parantili,
menjelaskan dengan suara lirih.
“Kau
punya cara lain untuk bisa kembali ke sana?”
“Ada
beberapa cara. Tapi aku tidak pernah tahu.”
“Sinuhun
Merah Penghisap Arwah menurutmu pada waktu-waktu tertentu selalu pergi ke sana
untuk melakukan upacara Sesajen Atap Langit.”
“Wiro,
mana mungkin kita minta pertolongan pada makhluk alam arwah itu.”
“Kita
harus mencari segala cara untuk bisa menolongmu.”
Ken
Parantili tersenyum lalu letakkan kepala di dada Wiro, dua tangan memeluk sang
pendekar. Jaka Pesolek terheran-heran melihat hal itu. Apalagi ketika
menyaksikan Wiro mengusap kepala peerempuan itu. Dalam hati dia berkata. “Oala,
agaknya mereka sudah saling bercinta.”
Ketika
mengusap punggung Ken Parantili Wiro merasa ada sebuah benda di balik punggung
pakaian sang selir. Dia hendak bertanya tapi perempuan itu mendahului bicara.
“Kau
sahabatku paling baik. Aku sangat berterima kasih.” Berkata Ken Parantili. “Aku
sudah cukup puas kalau selama tiga hari sisa hidupku bisa bersamamu. Aku ingin
kau tetap berada di dekatku pada saat aku menghembuskan nafas terakhir.”
“Jangan
berkata begitu. Yang Maha Kuasa tidak akan membiarkanmu menemui kematian
sebelum saatnya. Dia pasti akan menolongmu.”
“Gusti
Allahmu Yang Maha Besar dan Maha Kuasa itu?” Tanya Ken Parantili.
Wiro
tersenyum walau hatinya terenyuh mendengar kata-kata Ken Parantili. Selagi
keduanya masih berpelukan tiba-tiba muncul Ratu Randang, Kunti Ambiri alias
Dewi Ular yang kini tidak mau lagi memakai gelaran itu, dan Sakuntaladewi alias
Dewi Kaki Tunggal.
Ken
Parantili tenang-tenang saja. Sebaliknya agak rikuh Wiro lepaskan pelukan.
Untuk beberapa ketika tempat itu menjadi sunyi. Tak ada yang bicara.
Masing-masing hanya saling berpandangan.
“Kalian…
aku…” Wiro menggaruk kepala.
Ratu
Randang senyum-senyum. Sakuntaladewi menatap ke tanah sementara Kunti Ambiri
memandang Wiro dan Ken Parantili berganti-ganti dengan mata tak berkesip. Ada
rasa perih di lubuk hatinya. Namun kemudian si cantik berpakaian hijau tipis
ini mengulum senyum.
Suasana
sunyi pecah oleh suara batuk-batuk yang dibuat Ratu Randang. Entah memang batuk
sungguhan atau dibuat-buat!
***********************
11
WIRO, aku
bicara mewakili semua sahabat di sini. Kami gembira kau kembali dengan selamat.
Hanya saja kami tidak mengira sahabat Ken Parantili ikut bersamamu.”
Ucapan si
nenek bagi Ken Parantili merupakan adanya bayangan rasa tidak senang atau rasa
cemburu terhadap dirinya. Dari apa yang pernah didengarnya, sedikit banyak dia
mengetahui hubungan Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri dengan Wiro.
Si nenek telah kepincut jatuh hati. Sakuntaladewi punya kaul akan mengambil
sang pendekar menjadi suami. Lalu Kunti Ambiri punya kisah lama dan panjang
dengan Wiro. Di Bhumi Mataram perasaan cinta Kunti Ambiri itu berkembang jadi
mendalam akibat berbagai keadaan yang lebih mendekatkannya pada Wiro.
Merasa
tidak enak Ken Parantili berkata. “Sahabat semua. Sebenarnya kami dalam
perjalanan ke satu goa rahasia. Tempat di mana jantungku disekap oleh Penguasa
Atap Langit…”
“Ken
Parantili. Kami semua melihat kau sebagai manusia hidup, tidak beda dengan diri
kami. Bagaimana mungkin kau mengatakan tidak memiliki jantung?” Kunti Ambiri
tiba-tiba memotong ucapan Ken Parantili.
Ken
Parantili diam saja. Dia tahu kalau Kunti Ambiri bukan manusia. Tapi makhluk
dari alam roh karena pernah menemui ajal dibunuh Wiro.
Jaka
Pesolek menyeletuk. “Soal kau punya jantung atau tidak, walau aneh aku tidak
perduli. Kau datang ke sini, berarti kau selamat, tidak jadi dibunuh Penguasa
Atap Langit. Kalau menurut jalan ceritanya Penguasa Atap Langit saat ini pasti
sudah mati. Semua itu menerangkan bahwa kalian berdua telah melaksanakan syarat
pertolongan. Yaitu tidur atau melakukan hubungan badan mulai dari matahari
tenggelam sampai fajar menyingsing! Nah itu yang kita-kita di sini ingin tahu
bagaimana jalan ceritanya!”
Wajah Ken
Parantili tampak bersemu merah. Saat itu pikirannya sedang kacau. Ucapan Jaka
Pesolek, gadis yang dianggapnya aneh itu membuat dia gemas. Pendekar 212
sendiri melongo mendengar ucapan Jaka Pesolek itu.
Walau
jengkel, dengan tenang Ken Parantili menjawab. “Selama berada di Negeri Atap
Langit kami tidak pernah melakukan hubungan badan! Jangan para sahabat di sini
menyangka yang bukan-bukan. Tidur tidak sama dengan melakukan hubungan badan…”
“Tapi!”
Kunti Ambiri memotong namun tidak melanjutkan ucapan.
Masih
dengan wajah merah Ken Parantili berpaling pada Wiro dan berkata. “Aku mohon,
sebaiknya kau saja yang menerangkan. Jelaskan semuanya pada para sahabat di
sini. Jangan ada yang terlupa, jangan ada yang disembunyikan.”
Wiro
menggaruk kepala. Karena tidak bisa mengelak dia lalu menuturkan apa yang
terjadi sejak meninggalkan Bhumi Mataram pergi ke Negeri Atap Langit dan berada
di puncak gunung itu. Semua orang terdiam mendengar cerita Wiro. Sampai
Sakuntaladewi kemudian membuka mulut untuk pertama kali.
“Soal
katamu kau tidak memiliki jantung. Bagaimana kami bisa percaya. Tidak ada
manusia bisa hidup tanpa jantung.”
“Aku
bukan tidak memiliki jantung. Tapi jantungku berada di luar tubuh. Disekap
Penguasa Atap Langit di dalam sebuah goa.”
Dari
wajah-wajah yang memandang pada Ken Parantili jelas mereka tidak bisa
mempercayai apa yang dikatakan selir itu.
“Ken
Parantili, kalau kau tidak membuktikan sendiri sulit para sahabat di sini
mempercayai ucapanmu. Perlihatkan pada mereka dada kirimu.”
Mendengar
ucapan Wiro, Jaka Pesolek pentang matanya lebar-lebar, menatap tak berkesip.
Ken Parantili melangkah mendekati Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakuntaladewi.
Dia sengaja membelakangi Jaka Pesolek. Tapi gadis ini dengan cepat melompat ke
samping Kunti Ambiri hingga dia bisa melihat jelas apa yang akan dilakukan
orang.
Dengan
tangan kirinya Ken Parantili menyibakkan dada pakaian putih berenda di bagian
dada sebelah kiri. Begitu dadanya yang bagus terpentang putih, dengan ujung ibu
jari tangan kanan dia menggurat kulit dan daging dadanya.
Sreett!
Dada kiri terkuak menganga, isi rongganya terlihat jelas. Semua orang yang
berdiri di hadapan Ken Parantili tersentak kaget dan tersurut mundur satu
langkah!
“Para
sahabat semua. Kalian tahu apa yang dinamakan jantung. Lihat baik-baik, apa ada
jantung di dalam rongga dadaku sebelah kiri?!”
Tak ada
yang menyahut. Semua hanya bisa menatap dengan mata mendelik dan mulut
ternganga.
Ken
Parantili usap dadanya dengan telapak tangan kanan. Dada kiri yang terbelah
terkuak, menutup kembali tanpa bekas tanpa darah!
Walau
merasa agak lega namun Wiro tetap saja menaruh khawatir. Dia mendekati Ken
Parantili. Setengah berbisik Wiro berkata. “Waktu mengusap punggungmu tadi, aku
merasa ada sebuah benda di balik pakaianmu. Sewaktu Delapan Pocong menolongmu,
aku sempat melihat salah seorang dari mereka memasukkan sesuatu ke balik
punggung bajumu. Kurasa saat ini benda itu masih ada di belakang punggungmu.”
Ken
Parantili terkejut. Cepat-cepat dia mengulur tangan ke belakang. Dia jadi lebih
terkejut lagi sewaktu melihat benda yang sejak tadi ada di punggungnya ternyata
adalah lembaran daun keladi yang ditemuinya di sela-sela daun pohon beringin.
Yang telah membuat dirinya sangat tergoncang dan nekad bunuh diri.
“Kau
telah membaca apa yang tertulis di daun itu. Sekarang beritahu padaku apa bunyi
tulisan itu. Jika kau ada kesulitan aku pasti akan menolong.”
“Tidak,
kesulitanmu lebih besar dan lebih banyak dari yang aku hadapi.” Jawab Ken
Parantili. Wajah pucat dan suara agak gagap. “Aku… aku harus pergi sekarang.
Harap dimaafkan. Kau… kau pegang saja daun ini.”
“Kau… kau
mau pergi ke mana?” Tanya Wiro.
Ken
Parantili hanya menggeleng. Tiba-tiba tubuhnya berputar. Dua kaki bergeser
membuka. Desss! Sosok Ken Parantili lenyap. Di tanah kelihatan sebuah lobang
sepemasukan tubuh manusia. Lobang itu kemudian lenyap tanpa bekas.
“Terowongan
Arwah! Aku tidak mengira dia memiliki ilmu kesaktian itu!” Ucap Wiro melongo.
“Dengan
terowongan seperti ini Empu Semirang Biru meloloskan diri sewaktu kabur mencuri
Keris Kiai Sepuh Pelangi di Ruang Segi Tiga Nyawa.” Ratu Randang memberi tahu
Wiro.
“Kau
punya dari kakek sakti Kumara Gandamayana. Ilmu menyusup masuk ke dalam tanah.
Apa kau tidak ingin mengejar selir itu?” Bertanya Kunti Ambiri.
Murid
Sinto Gendeng seperti tidak perduli dengan apa yang dikatakan si nenek dan
Kunti Ambiri walau dia mencium kalau dalam diri Kunti Ambiri masih terasa
adanya kecemburuan. Wiro bentangkan lembaran daun keladi yang telah lusuh dan
memperlihatkan pada Ratu Randang.
“Nek, kau
orang Bhumi Mataram. Pasti bisa membaca tulisan ini. Tolong bacakan untukku apa
isinya.”
Kening si
nenek mengerenyit. Sepasang mata juling perhatikan tulisan yang tertera di daun
keladi. Dia mulai membaca dan mulut berucap.
Ken
Parantili,
Selir
Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam
masa bertobat ini
aku ingin
memberi tahu padamu
Mungkin
di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya
kau tengah dalam keadaan hamil
“Oala!”
Jaka Pesolek berseru. “Hebat sekali! Baru tadi malam ditiduri sahabat kita ini!
Sekarang sudah hamil!”
Ratu
Randang hentikan bacaan. Wiro menatap geram pada Jaka Pesolek. “Pasang
kupingmu! Pakai otakmu! Kalau tidak mengerti arti tulisan yang dibaca nenek itu
pergi saja dari sini sebelum kutampar mulutmu!”
Jaka
Pesolek melangkah mundur. Takut benar-benar ditampar Wiro.
“Nek,
lanjutkan bacaanmu. Sebaiknya diulang lagi dari semula biar gadis kacoak ini
mengerti!” Kata Wiro pada Ratu Randang.
Si nenek
kembangkan daun keladi yang dipegangnya. Sebelum kembali membaca dia menatap
dulu pada Jaka Pesolek. “Kalau kau berani lagi memotong bacaanku, aku yang akan
lebih dulu meremas mulutmu sampai mencong!”
“Tidak
Nek, aku tidak akan mengganggu bacaanmu.” Jawab Jaka Pesolek sambil menekap
pipi kiri kanan.
Maka Ratu
Randang mulai lagi membaca apa yang tertulis di atas daun keladi. Mulai dari
bait pertama.
Ken
Parantili,
Selir
Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam
masa bertobat ini
aku ingin
memberi tahu padamu
Mungkin
di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya
kau tengah dalam keadaan hamil
Usia
kandunganmu telah tiga bulan
Bilamana
kau melahirkan nanti
Maka
bayimu adalah seorang anak laki-laki Beri dia nama Bintang Langit
Jika Yang
Maha Kuasa memberi izin
Aku
sangat berharap dapat menemui dirimu dan anak kita.
Wiro
termenung beberapa lamanya. Dalam hati dia menduga-duga. “Pasti kehamilan itu
yang telah menggoncang diri Ken Parantili. Dia mengandung jabang bayi hasil
hubungannya sebagai selir dengan Penguasa Atap Langit. Hingga dia berbuat nekad
menghambur hendak bunuh diri”
“Hanya
itu saja Nek?” Tanya Wiro. “Tidak tertera siapa yang membuat tulisan itu?”
Ratu
Randang menggeleng. “Walau tidak ada siapa penulisnya tapi aku yakin kita semua
sudah tahu siapa yang membuat tulisan di atas daun keladi ini.”
“Aku
mengerti dan tahu maksudmu Nek. Yang membuat pasti Penguasa Atap Langit.” Kata
Wiro pula. Lalu dia menyambung ucapan. “Aku hanya merasa aneh. Kalau memang
sudah mengandung tiga bulan, mengapa Ken Parantili seperti tidak mengetahui hal
itu?”
“Apa kau
tidak menanyakan hal itu padanya?” Tanya Kunti Ambiri.
“Soal
kehamilan ini baru sekarang aku tahu, setelah Ratu Randang membacakan apa yang
tertulis di daun keladi.”
“Bisa
saja yang membuat tulisan di atas daun bukan Penguasa Atap Langit. Tapi
seseorang yang menjadi selingkuhan selir itu.” Berkata Jaka Pesolek.
Wiro
menarik nafas dalam. “Semua bisa terjadi di Negeri Atap Langit yang serba aneh
ini. Waktu nanti yang akan mengatakan. Sekarang aku harus menemukan Ni Gatri
secepat-cepatnya. Semula ada dua bahaya mengancam keselamatan dan kehormatan
anak perempuan ini. Kini kurasa Penguasa Atap Langit tidak lagi punya niat
melanjutkan maksud mengambil Ni Gatri menjadi selir pengganti Ken Parantili.
Berarti satu-satunya bahaya yang mengancam datang dari anak lelaki sakti
bernama Dirga Purana yang biasa disebut dengan panggilan Ksatria atau Sang
Junjungan oleh para pengikutnya. Nek, menurut Ken Parantili kau mungkin bisa
memberi tahu di mana gadis itu berada. Karena katanya kau pernah berada di
sana.”
“Apa Ken
Parantili menyebut nama tempat itu?” Tanya Ratu Randang.
“Dia
tidak menyebut nama. Tapi tempat itu adalah sebuah telaga yang di belakangnya,
terdapat satu air terjun. Di balik air terjun ada sebuah goa. Di dalam goa itu
Ni Gatri disekap.”
Ratu
Randang tersentak kaget. Lalu rundukkan kepala sembunyikan senyum.
“Kau
masih bisa tersenyum Nek,” kata Sakuntaladewi.
“Aku
hanya teringat pada satu kejadian. Di tempat itu aku menipu Sinuhun Merah dan
Sinuhun Muda. Mereka mengira meniduri diriku. Padahal aku sudah mengganti
tubuhku dengan seekor anjing jejadian! Hik… hik… hik.” Bercerita Ratu Randang.
“Kau tahu
letak goa itu Nek?” Tanya Wiro.
Si nenek
mengangguk lalu memandang berkeliling. “Siapa mau ikut?”
“Kami
semua Nek,” jawab Kunti Ambiri. Sakuntaladewi mengangguk tanda mengiyakan
ucapan Ratu Randang.
“Bagaimana
denganmu?” Tanya Ratu Randang pada Jaka Pesolek yang saat itu kembali
membayangkan dada Ken Parantili yang bagus sebelum dibelah dikuak mengerikan.
Ditanya orang, gadis ini jadi terkejut. Dia menjawab tapi salah bicara.
“Iya,
dadanya putih bagus. Walau tidak ada jantung tak jadi apalah. Tidak kelihatan
ini dari luar…”
Ratu
Randang langsung saja jewer telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang ahli
menangkap petir ini teraduh-aduh kesakitan. “Ditanya lain dijawab lain!” Si
nenek mengomel.
***********************
12
SANG
surya baru saja muncul jauh di ufuk timur. Udara masih agak temaram dipagut
ujung malam. Satu bayangan merah berkelebat lalu berdiri di atas sebuah batu
hitam yang bertebaran di pinggir telaga. Dua tangan diangkat ke atas. Saat itu
juga curahan air terjun di depan telaga mendadak berhenti. Antara air terjun di
sebelah atas dan sebelah bawah muncul ruang terbuka. Suasana sunyi karena
terhentinya deru air terjun mendadak dirobek oleh suara aneh. Suara riuh
ngeongan kucing.
Orang di
atas batu, yang mengenakan blangkon dan pakaian serba merah serta memiliki
delapan benjolan merah di kening, jadi tercekat. Dalam hati berkata. “Dia
membawa serta peliharaannya Delapan Sukma Merah ke dalam goa. Jangan-jangan
anak perempuan itu sudah…”
Ucapan
hati orang di atas batu terputus ketika dari dalam goa kemudian ada suara
membentak.
“Siapa
berani kurang ajar mengganggu ketenteramanku?!”
Suara
yang membentak suara anak kecil. Tapi memiliki gelegar hebat pertanda si bocah
memiliki tenaga dalam hebat.
“Ksatria
Junjungan Dirga Purana! Mohon maafmu. Saya Sinuhun Merah Penghisap Arwah datang
menghadap. Membawa kabar kurang baik!”
Dari
dalam goa terdengar suara kutuk serapah.
“Lagi-lagi
kau! Ini kedua kali kau berani mengganggu diriku! Aku hendak bersenang-senang!
Kau datang mengganggu dengan membawa kabar tidak baik! Apa kau tidak dapat
menelan dulu kabar buruk itu di dalam perut busukmu?! Sinuhun! Jangan kau
berani berlaku kurang ajar padaku!”
“Mohon
maafmu Sang Junjungan. Namun ini sangat penting! Sebenarnya saya sudah menunggu
sejak tengah malam tadi di sekitar telaga. Sekarang malam telah berganti siang.
Saya tidak mungkin menunggu lebih lama.” Delapan benjolan yang ada di kening
Sinuhun Merah Penghisap Arwah sesaat nampak memancar terang lalu redup kembali.
Diam
seketika. Lalu dari dalam goa terdengar suara. “Kau tunggu di telaga! Banyak
hal aneh terjadi belakangan ini. Aku akan meminta Rakanda Delapan Sukma Merah
untuk mengawasi keadaan lebih dulu. Jika kau membawa kabar buruk bukan mustahil
ada yang menguntitmu datang ke tempat ini! Jika sampai orang luar tahu aku
berada di sini bersama kekasihku, amblas nyawamu!”
“Saya
menurut perintah!” Jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
“Aku juga
akan memerintah Rakanda Delapan Sukma Merah untuk memeriksa dirimu. Apa kau
Sinuhun Merah Penghisap Arwah sungguhan atau jejadian yang datang menyamar
untuk mencelakai diriku!”
“Sang
Junjungan, kau terlalu berkhawatir. Masakan tidak percaya padaku? Siapa orang
lain yang mampu menahan deru air terjun selain diriku dan saudara nyawa
kembarku Sinuhun Muda Ghama Karadipa!” Sinuhun Merah merasa tidak senang hendak
diperlakukan seperti itu.
Dari
dalam goa terdengar jawaban.
“Aku
percaya padamu. Tapi aku lebih percaya pada kenyataan. Bukankah kau pernah
ditipu nenek bernama Ratu Randang?! Kau merasa dan melihat meniduri dirinya.
Padahal yang kau tiduri adalah seekor anjing! Ha… ha… ha! Aku tidak lupa cerita
itu!”
Rahang
Sinuhun Merah Penghisap Arwah menggembung. Tampang yang sudah merah kini
menyala seperti saga. Kakinya bergetar. Kraak! Batu yang dipijak sampai retak
akibat amarah yang menggelegak.
Tak
selang berapa lama tempat itu dibuncah oleh suara ngeongan keras. Dari dalam
goa melesat keluar delapan benda merah yang ternyata adalah delapan ekor anak
kucing berbulu merah. Inilah binatang peliharaan Dirga Purana yang dipanggil
dengan sebutan Rakanda Delapan Sukma Merah. Seolah delapan anak kucing itu
adalah saudara-saudara tuanya! Delapan anak kucing ini bukan binatang biasa.
Selain bulunya, sepasang mata juga berwarna merah. Daun telinga mencuat ke atas
dan lebih besar dari anak kucing biasa. Di sudut bibir kiri kanan kelihatan
taring lancip. Di kening ada satu benjolan merah. Dan hebatnya mereka memiliki
kesaktian tinggi.
Delapan
anak kucing itu melesat ke arah delapan pohon besar di sekeliling telaga. Di
atas pohon mereka kembali mengeong riuh sambil sepasang mata memandang liar ke
berbagai penjuru.
“Binatang
tolol!” Maki Sinuhun Merah Dalam Hati. “Majikanmu ingin menyembunyikan diri di
tempat ini! Kau malah mengeluarkan suara yang bisa menjadi perhatian orang!”
Baru saja
Sinuhun Merah memaki, delapan anak kucing melompat dari atas pohon laksana
terbang, lalu hinggap di kepala, bahu dan punggungnya. Binatang-binatang ini
mengendus dan mencium-cium. Kalau saja kucing-kucing itu adalah kucing biasa,
saat itu juga pasti sudah digebuk hancur kepala mereka oleh Sinuhun Merah.
Setelah
memastikan tidak ada kelainan dan bahwa orang yang mereka periksa adalah benar
Sinuhun Merah Penghisap Arwah, delapan anak kucing mengeong keras lalu melesat
ke udara, menembus celah air terjun yang menggantung dan masuk kembali ke dalam
goa!
“Jahanam!”
Rutuk Sinuhun Merah.
Suasana
sunyi hanya berlangsung sebentar. Dari dalam goa menggelegar keluar suara bocah
yang disebut Ksatria Junjungan Dirga Purana.
“Sinuhun
Merah! Kau tidak perlu masuk ke dalam goa! Aku yang akan keluar menemuimu!”
“Saya
menunggu.” Jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Tak lama
kemudian dari dalam goa melesat sosok seorang anak lelaki berusia sekitar dua
belas tahun. Anak ini mengenakan seperangkat baju dan celana hitam yang diberi
hiasan renda kuning emas pada kerah baju, lengan baju serta pergelangan kaki.
Bagian atas baju tidak dikancing. Celana agak kedodoran. Rambut tebal
awutawutan. Wajah tampak merah. Anting-anting emas yang mencantel di telinga
kiri berkilauan terkena sinar matahari pagi. Dengan gerakan enteng dia melayang
turun dan jejakkan kaki di atas batu yang ada di depan Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Berdiri dengan berkacak pinggang bersikap congkak. Sinuhun Merah
Penghisap Arwah cepat membungkuk dan susun sepuluh jari di atas kepala.
“Katakan,
kabar buruk apa yang kau bawa!” Sang Junjungan Dirga Purana keluarkan ucapan.
Waktu bertanya dia tidak menatap ke arah Sinuhun Merah tapi memandang
berkeliling mengawasi keadaan sekitar telaga.
“Ksatria
Junjungan, petang kemarin saya berusaha menemui Penguasa Atap Langit…”
“Bukan
saatnya kau harus menemui makhluk itu!” Memotong Ksatria Junjungan.
“Benar
sekali Sang Junjungan. Tapi saya merasa perlu menemui untuk memberi tahu kalau
ada yang akan menyusup ke dalam Negeri Atap Langit untuk mencelakainya.”
“Ckk…
ckk… ckk!” Si bocah keluarkan suara berdecak. “Hebatnya dirimu. Kau lebih
senang menjaga keselamatan Penguasa Atap Langit daripada menjaga diriku! Apa
kepentinganmu! Kau menyembunyikan sesuatu padaku?!”
“Bukan
begitu Sang Junjungan. Saya tidak punya kepentingan pribadi. Juga tidak
menyembunyikan sesuatu. Karena kalau Penguasa Atap Langit celaka, kita juga
celaka. Bukankah kita hanya tinggal menunggu Sesajen Atap Langit sekali lagi
lalu baru melancarkan rencana menyingkirkannya dari Negeri Atap Langit”
“Hemmm…”
Ksatria Junjungan bergumam. “Beritaku padaku. Siapa yang menyusup hendak
mencelakai Penguasa Atap Langit.”
“Siapa
lagi kalau bukan pemuda dari negeri delapan ratus tahun mendatang itu!”
“Maksudmu
pemuda berambut panjang yang dikenal dengan julukan Ksatria Panggilan itu?”
“Betul
Sang Junjungan. Dia dibantu oleh selir pertama Penguasa Atap Langit bernama Ken
Parantili…”
“Hemm…”
Dirga Purana kembali bergumam. Mulut sunggingkan senyum. “Siapa nama selir yang
jadi kekasih selingkuhanmu di Negeri Atap Langit?”
“Namanya
Windu Resmi. Tapi saat ini saya rasa dia sudah menemui ajal. Dibunuh selir
pertama, dibantu Ksatria Panggilan.”
“Kau
sudah bersusah payah mendatangkan Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari
untuk menghabisi si gondrong itu. Ternyata terus-terusan gagal. Semua karena
kesalahan dan ketololanmu sendiri bersama saudara nyawa kembaranmu Ghama
Karadipa! Sekarang kau mau melakukan apa? Mau minta bantuan apa padaku?!”
Tampang
Sinuhun Merah tampak tegang. Dengan menindih rasa jengkel karena dianggap
tolol, dia menjawab. “Saya datang tidak untuk minta bantuan apaapa. Saya
datang hanya memberi tahu. Membawa pesan Penguasa Atap Langit.”
“Pesan
apa?” Tanya Dirga Purana dengan mata mendelik.
“Penguasa
Atap Langit minta seseorang mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri itu
kepadanya karena akan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken Parantili!”
“Aku
tidak tuli, telingaku belum pekak! Penguasa Atap Langit inginkan Ni Gatri untuk
jadi selirnya! Ha… ha… ha! Mengapa tidak dia sendiri yang datang kemari untuk
menjemput?!”
Sinuhun
Merah tidak menjawab.
Dirga
Purana angkat kepala, menatap ke langit yang bertambah terang di atas telaga.
“Jika Penguasa Atap Langit inginkan Ni Gatri sebagai selir baru, berarti selir
pertama Ken Parantili saat ini sudah tamat riwayatnya. Dibunuh sang Penguasa.
Bukankah begitu hukum setan yang dibuat sendiri oleh Penguasa Atap Langit?!
Selir tertua harus dibunuh kalau hendak mengambil selir baru! Tapi mengapa kemudian
si gondrong Ksatria Panggilan keparat itu muncul di Negeri Atap Langit? Mau
menolong Ken Parantili? Katakan apa yang kau ketahui mengenai nasib terakhir
selir pertama itu bersama Ksatria Panggilan. Mungkin keduanya saat ini sudah
pada mampus! Tapi bisa juga masih gentayangan!”
Si bocah
tiba-tiba ceburkan dirinya ke dalam telaga. Ketika muncul kembali dan berdiri
di atas batu, wajahnya tampak segar. Kulit lebih bersih. Tapi rambut, tubuh
maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
“Pergi
kembali ke Negeri Atap Langit! Katakan pada Penguasa Atap Langit bahwa aku
tidak akan menyerahkan anak perempuan itu. Apapun yang terjadi!”
“Sang
Junjungan, kita masih perlu beberapa ilmu kesaktian lagi dari Penguasa Atap
Langit. Bagaimana kalau kita bersikap lunak, berlaku cerdik. Kita berikan anak
perempuan itu tapi kita tipu dia. Bukankah Sang Junjungan tidak bermaksud akan
memiliki Ni Gatri untuk selamalamanya? Di Bhumi Mataram ini kelak saya bisa
mencarikan gadis pengganti yang lebih cantik dan molek dari Ni Gatri. Jika
perlu yang berusia delapan sampai sepuluh tahun, agar sebanding dengan Sang
Junjungan. Ni Gatri itu, bukankah dia dua tahun lebih tua dari Sang Junjungan?”
Si bocah
Dirga Purana usap-usap anting emas di telinga kiri. Merenung sejenak lalu
bertanya. “Sinuhun Merah, tipuan apa yang kau maksudkan yang akan kita
lancarkan pada Penguasa Atap Langit?”
“Kita
berikan saja Ni Gatri padanya. Tapi…”
“Tapi
apa?” Tanya Dirga Purana.
Sinuhun
Merah Penghisap Arwah melangkah mendekati Dirga Purana. Tubuhnya yang tinggi
dibungkukkan, lalu mulut membisikkan sesuatu ke telinga si bocah. Sepasang
alias mata sang Junjungan mencuat ke atas, bola mata membesar lalu dia tertawa
bergelak.
“Kau
benar, Sinuhun. Aku sudah cukup lama menunggu sampai anak itu mau aku gauli.
Kali ini aku akan mencekoknya sedikit dengan ilmu Delapan Jalur Arwah Pencuci
Otak agar dia mengikuti semua apa mauku! Malah bisa-bisa nanti dia yang akan
ketagihan! Ha… ha… ha! Kalau aku sudah puas, menjelang siang kau boleh membawa
dan menyerahkan anak itu pada Penguasa Atap Langit…”
“Bukan
saya, tapi saya akan menyuruh Ksatria Roh Jemputan untuk membawa dan
menyerahkan anak perempuan itu pada Penguasa Atap Langit. Ini karena katanya
dia tidak mau melihat tampang saya lagi!”
“Begitu?”
Dirga Purana kembali tertawa. “Aku akan masuk kembali ke dalam goa. Kau
berjaga-jaga. Kecuali aku memerlukanmu jangan sekali-kali berani mengganggu!”
“Perintah
Sang Junjungan akan saya lakukan. Jangan khawatir. Pagi ini udara tampak cerah.
Segala sesuatunya pasti akan berjalan lancar. Selamat bersenang-senang saya
ucapkan.” Kata Sinuhun Merah sambil tersenyum dan membungkuk hormat.
Si bocah
sakti Dirga Purana melesat melewati celah air terjun yang masih menggantung.
Begitu sosoknya lenyap di dalam goa, air terjun kembali bertaut dan mencurah
dengan mengeluarkan suara menderu berkepanjangan.
***********************
13
BERSAMAAN
dengan mulai naiknya matahari pagi, empat orang berlari cepat di dalam rimba
belantara. Orang kelima berkelebat melompat dari satu pohon ke pohon lain.
Agaknya dia memiliki ilmu meringankan tubuh serta gerakan kilat. Empat orang
yang berlari di dalam rimba adalah Wiro, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi. Orang yang berkelebat dari pohon ke pohon bukan lain gadis
berpakaian merah muda Jaka Pesolek.
Di satu
tempat, di bawah sebuah pohon besar Wiro hentikan lari. Memberi tanda pada
teman-temannya.
“Ada
apa?” tanya Sakuntaladewi.
“Aku
mendengar deru suara air.” Jawab Wiro.
“Berarti
kita sudah dekat ke tempat yang dituju. Hatihati. Bocah sakti itu pasti…”
Tiba-tiba
dari atas pohon melayang turun Jaka Pesolek. “Aku melihat…”
“Ssssh.
Bicara perlahan. Kita sudah dekat dengan telaga dan air terjun.” Kunti Ambiri
mengingatkan.
“Apa yang
kau lihat?!” Bertanya Wiro.
“Aku
melihat telaga. Lalu air terjun. Lalu ada orang duduk bersila di atas batu di
tepi telaga. Kebetulan dia menghadap ke arahku. Orang itu Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.” Menerangkan Jaka Pesolek.
“Jika
Sinuhun keparat itu ada di sekitar air terjun, berarti bocah mesum itu juga ada
di sana. Pasti Sinuhun Merah tengah berjaga-jaga. Berarti kita bakal menemukan
Ni Gatri. Aku akan membekuk batang leher makhluk itu lebih dulu. Ikuti aku.”
Ratu
Randang pegang lengan Wiro. “Hati-hati dan ingat. Apa yang kau lihat belum
tentu benda atau keadaan aslinya. Jika Sinuhun berjaga-jaga dia pasti
mengeluarkan ilmu untuk berlindung. Dia punya Ilmu Penyesat. Dia juga memiliki
ilmu yang disebut Tabir Langit Turun ke Bumi. Pandangan mata kita bisa
tertipu.”
“Lalu apa
yang harus kita lakukan?”
“Kita
harus mendahului menipunya.”
“Apa
maksudmu, Nek?”
“Kita
semua merubah diri menjadi binatang.”
“Ihhh!
Binatang apa, Nek?” Tanya Jaka Pesolek yang langsung jadi dingin tengkuknya.
“Kau mau
jadi apa? Monyet, kadal, anjing…” Balik bertanya Ratu Randang.
“Aku
tidak mau jadi apa-apa Nek.” Jawab Jaka Pesolek pula. “Takut kalau sudah jadi
monyet tidak bisa balik!”
“Nek,
kita tetap saja dalam keadaan ujud apa adanya. Yang penting kalian semua sudah
aku beri tahu ilmu penangkal kalau Sinuhun Merah menyerang dengan ilmu
kesaktian yang memancarkan cahaya merah. Bocah bernama Dirga Purana itu pasti
punya ilmu yang sama.”
“Aku
setuju!” Celetuk Jaka Pesolek. “Dengar kalian semua. Aku akan menancing tua
bangka itu agar dia lengah.”
“Apa yang
hendak kau lakukan? Jangan mencari mati percuma!” Mengingatkan Sakuntaladewi.
“Kalian
lihat saja. Kalau dia sudah terpancing kalian boleh membantainya beramai-ramai…”
“Tidak
semudah itu!” Kata Ratu Randang pula.
“Mudah
atau tidak itu urusan kita bersama. Aku tak punya ilmu kesaktian. Aku hanya
bisa memancing. Lebihnya kalian yang punya pekerjaan. Gara-gara Empu Semirang
Biru, aku tidak bisa kencing. Sekarang sepertinya aku merasa seperti mau
kencing.”
“Kau mau
mengencingi Sinuhun itu?!” Tanya Wiro.
“Dia yang
akan mengencingiku! Hik… hik!” Jaka Pesolek menutup mulut dengan tangan kiri
menahan tawa lalu berkelebat pergi.
“Gadis
konyol itu bisa merusak semua rencana kita. Sebaiknya lekas diikuti!” Kunti
Ambiri mendorong punggung Wiro.
Di depan
sana Jaka Pesolek tanpa suara membuat gerakan kilat. Cepat sekali tahu-tahu dia
sudah berada di dalam telaga pada bagian yang dangkal, hanya beberapa langkah
di depan batu besar di mana Sinuhun Merah duduk bersila dengan mata terpejam.
“Gadis
gila! Apa yang dilakukannya!” Wiro yang sembunyi di balik semak belukar lebat
bersama tiga orang lainnya tersentak kaget ketika melihat di depan sana Jaka
Pesolek menyibak bagian bawah pakaian merahnya sampai setinggi pinggul,
melorotkan pakaian dalam lalu duduk menyonggeng.
Mendengar
suara kecipuk air, Sinuhun Merah segera buka kedua mata yang terpejam. Begitu
memandang ke depan langsung matanya membentur dua benda putih bulat, terbelah
di sebelah bawah. Mula-mula dia tidak sadar benda apa itu adanya karena bagian
tubuh atas Jaka Pesolek tertutup oleh batu besar. Ketika dia memperhatikan lagi
dengan tak berkesip, kaget sang Sinuhun bukan kepalang. Darah tersirap! Yang
dilihatnya di depan mata bukan lain adalah bokong manusia. Dari putih dan
mulusnya jelas itu adalah aurat perempuan!
Di dalam
telaga Jaka Pesolek sengaja goyanggoyangkan auratnya sebelah bawah sambil
mendesah. “Ssshhh… sshhhhh.” Aurat diogel-ogel. Lalu dalam hati gadis ini
mengomel. “Sial! Tadi sudah terasa tersesak kencing. Sekarang kenapa tidak mau
keluar?!”
Sinuhun
Merah melompat bangun dari duduknya. Langsung membentak. “Makhluk kurang ajar!
Kuremas barangmu berani kencing di telaga milikku. Telaga pemandian Ksatria
Junjungan!”
Jaka
Pesolek berpura-pura kaget. Dia memekik lalu melompat ke atas batu. Untuk
sekejapan kedua tangannya masih menyingsingkan bagian bawah pakaian ke atas,
membuat Sinuhun Merah yang menyaksikan jadi ternganga tak berkedip!
“Oala!
Aku tak mengira ada orang di sini! Tapi jangan marah! Aku belum sempat kencing!
Hik… hik… hik!” Sambil tertawa-tawa Jaka Pesolek cepat tarik ke atas pakaian
dalamnya lalu pakaian luar diturunkan ke bawah.
“Hai! Apa
aku mengenalmu?” Sinuhun Merah bertanya ketika melihat ternyata orang yang
dihardik adalah gadis berwajah cantik bertubuh tinggi semampai.
“Aku
orang kampung. Mana kau mengenalku. Tapi sebaliknya aku mengenalmu. Bukankah
kau orang gagah terkenal yang dipanggil dengan sebutan Sinuhun Merah Penghisap
Arwah. Aih… namanya seram angker mengerikan. Ternyata orangnya walau sudah
bangkotan tapi masih gagah! Hik… hik… hik! Hai, jangan katakan aku tidak
tertarik…”
“Siapa
namamu? Kau datang dari mana? Mengapa bisa muncul di tempat ini?” Bertanya
Sinuhun Merah. Suaranya yang tadi tinggi kini melembut.
“Sinuhun,
mohon maafmu. Aku tak sengaja terpesat. Aku seorang sinden. Namaku Ni Goyang
Apik…”
“Nama
aneh…”
“Itu
karena aku menyanyi sambil bergoyang. Baru menyanyi di atas panggung, belum di
tempat ketiduran…”
“Mulutmu
agak jahil. Tapi aku suka!” Kata Sinuhun Merah pula sambil mesem-mesem.
“Aku juga
suka! Jarang aku menemui orang gagah sepertimu.” Balas Jaka Pesolek sambil
melepas senyum dan goyangkan pinggul.
“Tadi kau
lagi mau apa? Mau kencing tapi belum kesampaian…”
“Maafkan
aku Sinuhun.”
“Kalau
kau mau meneruskan kencing, silahkan saja. Biar aku menjagai.”
“Oooh
baiknya Sinuhun…”
Sinuhun
Merah pentang mata lebar-lebar ketika dilihatnya gadis cantik di atas batu
menggerakkan tangan hendak menyingsingkan pakaian. Namun tiba-tiba ada empat
bayangan berkelebat. Disertai suara lantang mengejek mempermainkan.
“Kami
juga mau kencing! Tolong Sinuhun menjagai!”
Lalu di
tempat itu menggelegar tawa bergelak. Ada suara tawa lelaki, yang lebih banyak
suara tawa perempuan. Dan di atas batu, sambil berkacak pinggang Jaka Pesolek
ikutan tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dua tangan diturunkan. Dipakai
mengibas-ngibas bagian bawah pakaian merah muda. Sesekali lidah dicibirkan ke
arah Sinuhun Merah.
***********************
14
SINUHUN
Merah sadar kalau dirinya telah tertipu, dibuat lengah hingga tidak mengetahui
kemunculan empat orang yang bukan lain adalah Pendekar 212, Ratu Randang, Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Dengan
cepat Sinuhun Merah kuasai diri dari keterkejutan. Diam-diam dia kerahkan
tenaga dalam ke kening. Delapan benjolan di kepalanya pancarkan cahaya terang.
Wiro dan kawan-kawan berlaku waspada. Tapi Sinuhun Merah tidak lancarkan
serangan. Malah tangan kiri berkacak pinggang dan tangan kanan menunjuk ke arah
Ratu Randang. Mulut membentak. “Nenek bejat! Dicari-cari menghilang! Sekarang
datang sendiri mengantar nyawa!”
“Huss!
Jangan bicara seperti itu pada bekas kekasih. Aku datang bukan mengantar nyawa.
Tapi mengantar dada dan paha! Hik… hik… hik!”
“Perempuan
iblis!” Teriak Sinuhun Merah marah luar biasa. Dua lutut melipat, tubuh
merunduk, delapan benjolan merah memancar terang.
“Tunggu!”
Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak. “Sinuhun Merah. Ilmumu boleh selangit
tembus! Tapi menghadapi kami berlima kau bisa konyol sebelum hitungan ke
sepuluh! Kami mungkin bisa mengampuni roh busukmu kalau kau mau memberi tahu di
mana beradanya anak perempuan bernama Ni Gatri!”
“Ha… ha!
Jadi anak itu yang kau cari. Sayang terlambat! Ksatria Roh Jemputan alias
Pangeran Matahari telah membawanya ke Negeri Atap Langit untuk diserahkan pada
sang Penguasa di sana dan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken
Parantili! Apa kalian semua tidak diundang menghadiri pesta peresmian anak itu
jadi selir?!”
Kunti
Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek sama terkesiap mendengar
ucapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi Wiro yang sudah tahu jalan cerita
cuma menyeringai.
“Percuma
kau jadi kacung pengawal Sang Junjungan. Ternyata kau tidak tahu banyak apa
yang terjadi di Negeri Atap Langit! Apa majikanmu bocah mesum itu pernah
memakimu sebagai makhluk tolol!”
Tampang
Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti bara menyala.
“Kalau
kau tidak memberi tahu di mana anak perempuan itu berada, kami akan membantaimu
bersamasama!” Wiro mengancam.
“Ancaman
hebat! Tapi pengecut!” Teriak Sinuhun Merah. “Jauh-jauh datang dari negeri
delapan ratus tahun mendatang keberaniannya ternyata hanya mengandalkan bantuan
orang lain! Main keroyok!”
“Jika
bertarung satu lawan satu apakah kau berani menyerangnya dengan Ilmu Delapan
Arwah Sesat Menembus Langit yang kau keluarkan dari delapan benjolan di
keningmu. Atau kau mampu menghantamnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah?”
Yang bicara adalah Kunti Ambiri. Dia sengaja mengatur jebakan setelah Wiro
menceritakan penangkal semua pukulan lawan yang memancarkan cahaya merah.
“Aku
punya puluhan ilmu kesaktian! Mengapa harus mengandalkan Delapan Sukma Merah?!”
“Ah!
Rupanya Penguasa Atap Langit tidak lagi memberikan dua ilmu itu padamu. Apa itu
gara-gara kau ketahuan berselingkuh dengan Selir Ketiga Windu Resmi? Ha… ha…
ha! Kakek butut, sebaiknya kau tak usah petatang-peteteng gagah-gagahan masih
menyandang benjolan di kening!” Wiro mengejek habis-habisan.
“Betul!
Mendingan delapan benjolan itu kau pindahkan ke pantat!” Mengejek pula Ratu
Randang.
Meledaklah
amarah Sinuhun Merah.
“Perempuan
jahanam! Mulutmu kotor! Dosa kejimu padaku sudah lewat takaran! Biar kau
kubunuh duluan!”
“Oh ya?!
Biar aku pentang dada menyambut seranganmu!” Tantang si nenek, lalu singkapkan
dadanya yang masih bagus. “Dulu kau pernah membuat tanda telapak tangan berjari
empat di dada ini! Coba aku lihat! Apa kau masih mampu melakukan!”
Amarah
Sinuhun Merah tambah menggelegak. Tanpa sadar kalau dirinya tengah dijebak
orang, didahului teriakan garang dia lepas Ilmu Delapan Arwah Sesat Menembus
Langit dari delapan benjolan di kening. Serangan ini diarahkan pada Ratu Randang.
Di saat bersamaan dia juga hantamkan dua tangan ke arah Wiro. Jari tengah
sengaja dilipat ke telapak tangan. Delapan sinar merah Pukulan Delapan Sukma
Merah berkiblat!
Kawasan
sekitar telaga terang benderang oleh kilatan cahaya merah. Sampai-sampai air
terjun sesaat terlihat dari putih berubah merah. Gelegar mengerikan menggema
dahsyat. Pendekar 212 berteriak keras.
“Delapan
jari menusuk batu!” Wiro pentang empat jari tangan kiri kanan. Mendengar
teriakan itu tiga orang yakni Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri
kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti kedua tangan masingmasing. Jari tengah
dilipat. Empat jari lainnya mencuat lurus laksana potongan besi. Lalu dengan
kecepatan kilat mereka ikuti apa yang dilakukan Wiro. Hanya Jaka Pesolek yang
tetap berdiri tak bergerak karena dia memang tidak punya kemampuan tenaga dalam
dan hawa sakti.
Kraaakk!
Enam
belas jari secara hampir bersamaan menancap di bebatuan di tepi telaga. Empat
batu besar berderak hancur. Bersamaan dengan itu menggelegar dentuman luar
biasa dahsyat. Air telaga muncrat ke udara sampai tiga tombak. Air terjun
bergoyang-goyang, memukul ke kiri kanan tebing batu hingga longsor bergemuruh.
Bebatuan di dalam telaga bermentalan. Pepohonan di hutan bertumbangan. Di
mana-mana terlihat buntalan api!
Wiro dan
semua orang yang ada di telaga mencelat ke udara. Tanpa mampu mengimbangi diri
semuanya jatuh berkaparan. Ada yang setengah kecebur ke dalam air, ada yang
terbanting di pinggiran telaga. Beberapa di antaranya kucurkan darah dari
mulut, termasuk Jaka pesolek.
Akan
halnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah, yang oleh Penguasa Atap Langit tidak
pernah diberi tahu ilmu pantangan atau ilmu penangkal pukulan sakti yang
dilancarkannya, menjerit setinggi langit. Enam belas cahaya merah pukulan sakti
yang dilepaskan menghantam dirinya sendiri hingga terkutung-kutung dan
tercabik-cabik. Sebagian tubuh hancur tak berbentuk lagi. Salah satu kutungan
kaki menyangsrang di atas pohon. Belahan kepala mengapung di permukaan telaga!
Di
saat-saat luar biasa mengerikan itu mendadak terdengar teriakan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah walau ujud utuhnya tidak kelihatan. “Saudara nyawa kembar!
Jemput rohku!”
Air
terjun seketika seolah berhenti mengucur. Di langit tiba-tiba ada cahaya kuning
yang dengan kecepatan kilat melesat ke arah telaga. Di atas telaga cahaya
kuning berubah membentuk sosok seorang pemuda berpakaian serba hijau.
“Sinuhun
Muda Ghama Karadipa…” Desis Wiro mengenali orang yang muncul dari langit. Saat
itu dia dalam keadaan terkapar di tepi telaga, di antara semak belukar. Wiro
berusaha bangkit, khawatir Sinuhun Muda akan melakukan serangan balasan. Dia
beringsut menghampiri Ratu Randang yang berada paling dekat.
“Nek, kau
tak apa-apa?”
“Aku,
dadaku mendenyut sakit. Tapi tidak apa-apa. Sudah, jangan bicara dan jangan
bergerak dulu. Kita tidak tahu apa yang terjadi. Mendekat ke sini. Di sini
belukarnya lebih lebat.” Jawab Ratu Randang.
Apa yang
dikatakan si nenek memang benar. Belukar yang ada di depan Ratu Randang lebih
lebat dan lebih tinggi hingga sulit bagi orang lain bisa melihat mereka. Wiro
mendekat hingga tubuhnya saling bersentuhan dengan tubuh si nenek. Ratu Randang
memperhatikan wajah sang pendekar sebentar tapi diam saja tidak berkata
apa-apa.
“Walau
keadaan genting, tapi dia pasti senang dempetdempetan seperti ini.” Kata Wiro
dalam hati sambil senyum-senyum.
“Kau
pasti merasani aku dalam hati!” Ratu Randang pelototkan matanya yang juling
tapi bagus.
“Tidak,
Nek. Aku hanya mengawatirkan keadaan temanteman yang lain.” Bisik Wiro.
“Ssshh…
Sudah, jangan bicara lagi.” Kata Ratu Randang lalu kembali menatap ke arah
sosok Sinuhun Muda yang melayang bergerak turun mendekati telaga.
Sebelum
terjadi serangan Ratu Randang sengaja menyibakkan dada bajunya untuk mengejek
sekaligus menantang dan memancing kemarahan Sinuhun Merah. Ketika dia kemudian
membuat gerakan menusuk batu dengan delapan jari, nenek ini tidak punya
kesempatan untuk menutup bajunya kembali. Kini tanpa disadari pakaian itu masih
tersingkap lebar dan Wiro tak sengaja melihatnya!
“Masih
bagus…” Tak sadar Wiro keluarkan ucapan.
Ratu
Randang melirik “Aku sudah bilang jangan bicara!”
“Ya
sudah, Nek. Aku diam saja. Tidak bicara lagi.” Kata Wiro sambil memandang ke
jurusan lain. Begitu si nenek tidak menatapnya lagi, kembali matanya mampir ke
dada orang.
“Eh, tadi
kau bilang apa? Apa yang masih bagus.” Tibatiba Ratu Randang bertanya.
“Anu, itu
Nek. Yang putih menyembul. Masih mantap…” Jawab Wiro sambil senyum-senyum dan
pura-pura menatap ke arah telaga.
Ratu
Randang sibakkan sedikit semak belukar. Memperhatikan ke arah telaga dan
sekitarnya. Dia tidak melihat sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan ucapan
Wiro tadi. Penasaran si nenek tancapkan cubitan ke pinggang Wiro.
“Kau mau
berteriak silahkan! Biar kacau semua urusan di tempat ini! Kalau kau tidak mau
mengatakan apa maksud ucapanmu, aku cubit pinggangmu sampai dagingnya somplak!”
“Jangan
Nek, aku tidak bermaksud usil. Tapi aku lihat sendiri…”
“Kau
masih bicara berbelit-belit. Apa yang kau lihat sendiri?! Ayo katakan terus
terang!”
“Itu
Nek…” Wiro goyangkan kepalanya ke arah dada Ratu Randang. Si nenek tundukkan
kepala, memandang ke arah dadanya sendiri.
“Oala!
Gila! Sudah lama menikmati baru kau memberi tahu! Culas!” Ratu Randang mengomel
tapi acuh saja dia tidak berusaha menutupi dada, hanya menggerakkan badan
memunggungi Wiro.
Di udara
sosok Ghama Karadipa mengambang sepuluh jengkal di atas permukaan telaga. Dua
tangan dikembang. Dua telapak tangan pancarkan cahaya merah kekuningan.
“Apa yang
dilakukan bangsat nyawa kembaran Sinuhun Merah itu!” Pikir Wiro. Diam-diam dia
sudah siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.
Mendadak
terjadi satu hal aneh. Semua kutungan tubuh, belahan kepala, cabikan daging,
hancuran tulang belulang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti disedot dua
tangan Sinuhun Muda yang memancarkan cahaya, melayang ke udara, bergabung
membentuk sosok samar lalu masuk menyatu ke dalam tubuh saudara nyawa kembarnya
Sinuhun Muda Ghama Karadipa!
“Nek,
rupanya benar kata orang!” Wiro berkata pada Ratu Randang. “Sinuhun itu rohnya
tidak bisa dihabisi. Karena satu sama lain merupakan nyawa kembar! Yang satu
mati, yang satu sebagai nyawa cadangan!”
“Paling
tidak sekarang hanya satu Sinuhun saja yang akan kita hadapi,” jawab si nenek
pula.
“Makhluk-makhluk
jahanam di bawah sana!” Sambil melayang ke udara Sinuhun Muda berteriak.
“Kalian akan
menerima
pembalasanku!”
Wiro
angkat tangan kanan.
“Sang
Junjungan di dalam goa! Kau sudah tahu apa yang terjadi! Kau tunggu apalagi!
Bunuh mereka semua!” Kembali Sinuhun Muda berteriak.
Ketika
Wiro siap menghantamkan Pukulan Sinar Matahari tiba-tiba di belakangnya air
terjun berhenti mencurah. “Nek, air terjun terbelah. Ada celah aneh…”
“Ada yang
akan keluar dari dalam goa! Waspadalah!” Kata Ratu Randang.
Saat
mereka bicara di atas telaga sosok Sinuhun Muda yang dimasuki roh nyawa
kembarnya laksana kilat melesat ke langit, lenyap dari pemandangan.
“Sial!
Aku terlambat!”
Baru saja
Wiro berucap tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh. Di antara air terjun yang
terbelah menggantung melesat delapan ekor anak kucing merah. Empat ekor
menyambar ke arah semak belukar di balik mana Wiro dan Ratu Randang berada. Dua
ekor berkelebat ke jurusan Kunti Ambiri dan dua ekor lagi menyerbu
Sakuntaladewi yang terbaring di tepi telaga berdampingan dengan Jaka Pesolek.
Pukulan
Sinar Matahari yang tadi hendak dilepas untuk menghantam Sinuhun Muda, oleh
Wiro kini diarahkan pada empat ekor anak kucing merah yang menyerbunya. Ratu
Randang tidak tinggal diam. Dia segera lepaskan Pukulan Tombak Dewa Memancung
Berhala! Di tempat lain Kunti Ambiri berguling di tanah lalu dalam kuda-kuda
setengah mencangkung dia menggebrak dua pukulan ke arah dua anak kucing yang
menyerbu.
Jaka
Pesolek yang tidak punya ilmu pukulan secepat kilat melesat ke atas sebuah
pohon. Meninggalkan Sakuntaladewi yang kini seorang diri harus menghadapi
serangan dua ekor anak kucing merah. Gadis berkaki satu ini dengan cepat
gerakkan dua tangan, keluarkan jurus Ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam
belas cahaya biru berkiblat, menghambur ke arah dua ekor kucing. Ngeongan keras
terdengar di mana-mana. Namun semua keriuhan itu ditelan oleh gelegar suara
teriakan anak lelaki.
“Semua
menahan diri! Siapa berani menyentuh satu saja dari Rakanda Delapan Sukma
Merah, nyawa anak perempuan ini jadi tumbalnya!”
Delapan
anak kucing mengeong keras. Tubuh mengambang di udara. Wiro sendiri dan empat
orang lainnya tersentak kaget.
Ratu
Randang memandang ke arah goa di balik air terjun. Apa yang dilihatnya membuat
nenek ini serta merta berteriak. “Tahan serangan!”
***********************
15
DELAPAN
ekor kucing merah walau tidak bergerak namun terus saja unjukkan sikap garang
siap menyerang. Taring mencuat dan kuku merah runcing siap melancarkan serangan
Cakar Sukma Merah.
Dari
dalam goa di balik air terjun yang curah airnya tertahan, melesat sosok seorang
anak lelaki. Di atas bahu kanan anak ini memanggul tubuh seorang anak
perempuan. Ketika anak perempuan ini disandarkan ke tebing di tepi telaga dan
wajahnya yang pucat terlihat jelas, kagetlah semua orang yang mengenali.
“Ni
Gatri!” Wiro, Ratu Randang dan Kunti Ambiri samasama berteriak.
Keadaan
anak perempuan itu sangat menyedihkan. Rambut kusut masai awut-awutan. Pakaian
tidak karuan dan nyaris tersingkap di beberapa tempat. Sepasang mata nyalang
tapi menatap kosong! Tidak dapat dipastikan apakah Ni Gatri dalam keadaan
pingsan atau sedang sekarat!
“Bocah
keparat! Kau membunuh anak itu!” Teriak Wiro.
“Diam!”
Sentak Dirga Purana. “Semua orang yang ada di tempat ini! Dengar ucapanku!”
Bocah yang tadi memanggul Ni Gatri dan bukan lain adalah Sang Junjungan Dirga
Purana berdiri sambil mencekik leher anak perempuan itu. Lima jari tangan yang
mencekik tampak luar biasa besar dan panjang, tidak pantas sebagai jari bocah
berusia dua belas tahun. Rupanya Dirga Purana punya semacam ilmu yang membuat
jari tangan bisa menjadi besar. “Dengar ucapanku!” Dirga Purana kembali
berteriak. “Jika kalian ingin anak perempuan ini hidup, cepat tinggalkan tempat
ini. Kecuali yang merasa diri berjuluk Ksatria Panggilan!”
Wiro
mendelik. Rahang menggembung menahan amarah. “Nek, aku mau mengadu jiwa dengan
bocah keparat itu!” Kata Wiro pada Ratu Randang.
“Aku
khawatir itu tidak akan menyelamatkan Ni Gatri. Sesuatu yang hebat agaknya
telah terjadi dengan anak perempuan itu!”
“Dirga
Purana!” Berseru Ratu Randang. “Tinggalkan anak itu di tepi telaga. Kau boleh
pergi!”
“Begitu?
Mudah dan enak sekali! Tapi dengan satu syarat!”
“Syarat
apa?” Tanya Ratu Randang.
“Ksatria
Panggilan harus lebih dulu bunuh diri membenturkan kepala ke batu besar di
hadapanku!”
“Laknat
jahanam!” Rutuk Wiro.
“Rakanda!
Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana semula! Bunuh mereka semua!”
Delapan
anak kucing jantan merah mengeong keras. Gerakan mereka menyerang yang tadi
tertahan kini diteruskan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara gamelan
ditingkah bunyi rebab, tiupan seruling dan tabuhan gendang.
“Gila!
Lagu gamelan itu adalah lagu pengiring kematian!” Teriak Ratu Randang dengan
wajah pucat.
“Nek, aku
belum mau mati!” Jaka Pesolek berkata setengah meratap dan melompat turun dari
atas pohon, mendekati Ratu Randang seolah minta dilindungi.
Namun
salah seekor anak kucing yang ada di depannya serta-merta menyerang. Mulut siap
menggeragot, cakar siap merobek leher si gadis. Jaka Pesolek yang selama ini
masih belum bisa kencing, saking takutnya saat itu sampai pancarkan air
kencing!
Tujuh
ekor kucing lainnya tidak tinggal diam. Binatangbinatang itu segera menyerbu
ke arah orang-orang yang sudah diincar.
Ketika
suara gong terdengar mengalun keras, tiba-tiba delapan sosok aneh yang
mula-mula berbentuk delapan benda bersinar, muncul di tengah telaga.
Perlahan-lahan ujud berubah menjadi asap lalu membentuk sosok pocong. Di
sebelah atas berselubung kain coklat, di pinggang ada ikat pinggang kuning lalu
di bagian bawah dilibat kain warna hijau. Delapan makhluk ini melayang
mengambang di atas telaga, meliuk-liuk seperti menari mengikuti alunan gamelan!
Sesekali wajah mereka menghadap ke arah orang-orang di tempat itu. Ternyata
mereka memiliki wajah polos licin! Tak ada mata, hidung ataupun mulut!
“Delapan
Pocong Menari!” Ucap Wiro.
“Kau
kenal mereka?” Tanya Ratu Randang tercekat.
“Mereka…
mereka berasal dari delapan bunga matahari kecil.” Wiro memberi tahu lantas
raba pinggang pakaian. Ternyata delapan bunga matahari tidak ada lagi di balik
pinggangnya.
Selagi
semua orang kecuali Wiro terheran-heran, Dirga Purana merasa getaran aneh
menjalari tubuhnya. Telinga kiri berdenging-denging. Dia punya firasat ada
bahaya besar mengancam.
Dari
tengah telaga, delapan pocong tiba-tiba keluarkan suara menyanyi.
“Mulut
tidak ada, bagaimana bisa menyanyi?” Kata Jaka Pesolek heran ada takut juga
ada.
Tidak
dipanggil datang sendiri
Ini untuk
terakhir kali
Karena
delapan musuh sudahlah pasti
Mengadu
jiwa menghadang mati
Berserah
diri kepada Yang Kuasa
Kalaupun
mati haruslah pasrah
Delapan
pocong di tengah telaga bertepuk tiga kali. Pada tepukan yang ketiga dua tangan
saling menggenggam. Didahului gerakan lemah gemulai dua tangan kemudian
dikembang. Dari sela tangan yang mengembang itu berlompatan delapan anak kucing
betina gemuk berbulu putih. Binatang-binatang ini mengeong keras lalu melompat
ke arah delapan kucing merah.
Kejut
bocah Dirga Purana bukan alang kepalang.
“Rakanda
Delapan Sukma Merah! Lekas masuk ke dalam goa!” Dirga Purana berteriak
memanggil delapan anak kucing merah. Tapi yang dipanggil sudah keburu melihat
kemunculan kucing betina. Bukannya mereka menurut perintah sang majikan, malah
melompat girang menghampiri delapan kucing betina montok dan mulai mencium
menjilati.
“Celaka!
Celaka besar!” Dirga Purana pukul kepala sendiri. Ni Gatri yang tadi dicekiknya
terlepas jatuh ke tanah. Dua mata Dirga Purana membelalak ketika dia melihat
delapan anak kucing jantan merah peliharaannya mulai mengeong keras menunggangi
anak-anak kucing betina berbulu putih!
Dirga
Purana berteriak keras. Jatuhkan diri hingga keningnya menyentuh tanah.
“Pantangan besar telah dilanggar! Pantangan besar telah dilanggar!” Katanya
berulang kali. Lalu didahului teriakan menyerupai lolongan anjing dia berdiri
bangkit, siap melesat ke udara, masuk ke dalam goa lewat air terjun yang saat
itu masih berhenti mencurah. Namun sang bocah tersentak kaget ketika dapatkan
dirinya telah dikelilingi Wiro dan kawan-kawan!
TAMAT
No comments:
Post a Comment