Hari-Hari
Terkutuk
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
SATU
Bangunan
besar itu dari luar tampak sepi-sepi saja. Satu-satunya penerangan hanya sebuah
lampu minyak yang berkelap-kelip di bawah cucuran atap dekat pintu masuk yang
berada dalam keadaan tertutup. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kuda
mendatangi. Tak lama kemudian empat penunggang kuda memasuki halaman depan yang
gelap.
Lelaki
pertama bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kumis tebal
melingtang. Pakaiannya serba hitam. Keningnya diikat dengan sehelai kain hitam
dan di pinggang kirinya tergantung sebilah pedang. Orang ini bernama Kebo
Panaran. Dari gerak geriknya kelihatannya dia yang menjadi pemimpin dari
rombongan yang baru datang ini.
Orang
kedua bernama Bargas Pati, bertubuh gemuk berkepala botak plontos.
Mukanya
selalu berminyak. Baju dan ikat kepalanya serba merah. Di balik baju merahnya
dia membekal sebuah clurit besar.
Lelaki
ketiga berbadan kurus kering tapi tinggi jangkung. Kulitnya sangat pucat tidak
beda mayat. Dia mengenakan pakaina dan ikat kepala warna biru. Di pinggangnya melingkar
sebuah rantai besi yang rupanya menjadi senjatanya. Manusia satu ini dikenal
dengan nama Tunggul Anaprang.
Orang
terakhir bernama Legok Ambengan, mengenakan baju dan celana serta ikat kepala
warna hijau. Tubuhnya bungkuk dan di pinggangnya kiri kanan tersisip sepasang
golok pendek.
Belum
sempat keempat orang ini turun dari kuda masing-masing, dari samping kiri kanan
bangunan besar yang kelihatan sepi itu tiba-tiba muncul lima orang berpakaian
seragam hitam dan bertubuh rata-rata tinggi besar. Kelimanya membekal golok
besar di pinggangnya masing-masing.
Walau
empat penunggang kuda yang dating memiliki tampang sangar namun lima orang
berseragam hitam itu kelihatannya tidak menaruh rasa jerih. Malah salah seorang
dari mereka sambil bertolak pinggang menegur. Namanya Ranggas.
“Kalian
berempat kami lihat baru sekali ini datang kemari. Betul…….?”
Empat
penunggang kuda saling pandang satu sama lain lalu sama-sama menyeringai. Yang
di ujung sebelah kanan yaitu Bargas Pati berkata perlahan pada kawan di sampingnya.
“Tunggul
kau jawab saja pertanyaan monyet itu!”
Tunggul
Anaprang lalu membuka mulut. “Kami berempat memang baru sekali ini kemari.
Kenapa kau bertanya? Apa kau yang punya tempat ini?”
“ Aku dan
kawan-kawan bertanggung jawab atas keamanan di tempat ini.
Bagi
orang-orang baru ada aturannya sendiri!” jawab orang berbaju hitam yang masih
tegak sambil bertolak pinggang. “Pertama turun dari kuda masing-masing.
Orangorangku akan membawa binatang itu ke halaman belakang.”
“Hemm
begitu? Bagus juga pelayanan di tempat ini,” kata Kebo Panaran. Dia memberi
isyarat pada kawan-kawannya. Keempat orang ini lalu turun dari atas kuda.
Dua orang
anak buah si baju hitam memegang tali-tali kekang kuda lalu menuntun bintang
itu ke halaman belakang.
“Sekarang
kalian harus menyerahkan uang keamanan. Cukup sekali ini saja.
Lain kali
kalian datang tidak perlu.”
Legok
Ambengan berpaling pada Kebo Panaran. Kebo Panaran kedipkan matanya. “Berapa
besarnya uang keamanan itu?” bertanya Legok Ambengan kemudian.
“Seperlima
dari jumlah uang yang kalian bawa. Keluarkan semua isi kantong kalian!” jawab
Ranggas.
“Kami
sama sekali tidak membawa uang!” kata Kebo Panaran lalu tertawa gelak-gelak.
Tiga kawannya ikut-ikutan tertawa.
Merasa
dipermainkan Ranggas jadi marah.
“Jika
kalian tidak punya uang, lekas angkat kaki dari sini. Kuda-kuda kalian kami
tahan!”
“Begitu?”
Ujar Kebo Panaran sambil usap-usap berewoknya. “Mulai saat ini kau dan
teman-temanmu dipecat sebagai penjaga keamanan di tempat ini! Lekas minggat
dari hadapanku!”
Terkejutlah
Ranggas mendengar ucapan Kebo Panaran itu. Rasa terkejut ini disertai juga
dengan gejolak amarah. Karenanya Ranggas langsung melompati Kebo Panaran sambil
melayangkan tamparan. Sesaat lagi tamparan itu akan melanda muka Kebo Panaran
dengan keras tiba-tiba dari samping satu tangan mencekal lengan Ranggas. Sekali
sentak saja tubuh Rangas terpuntir terbungkuk-bungkuk membuatnya meringis
kesakitan. Dua orang anak buah kepala keamanan itu berteriak marah melihat
atasan mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa banyak bicara lagi keduanya
mencabut golok di pinggang masing-masing terus membabat ke arah si gemuk botak
Bargas Pati yang tengan memelintir lengan Ranggas.
Golok
pertama membacok ke arah batok kepala yang botak sedang golok kedua membabat ke
arah pinggang. Bargas Pati hanya ganda tertawa melihat serangan maut itu. Dari
kiri kanan dua orang kawannya berkelebat.
“Bukk……..Bukkk!”
Terdengar
dua kali suara bergedebuk disusul dengan jeritan dua orang anak buah Ranggas.
Keduanya terhuyung-huyung. Satu pegangi hidungnya yang mengucurkan darah,
satunya lagi menekapi mata kirinya yang juga mengucurkan darah. Golok mereka
berjatuhan ke tanah pada saat jotosan-jotosan Tunggul Anaprang dan Legok
Ambengan menghantam muka meraka. Selagi keduanya terhuyung-huyung begitu,
kaki-kaki kedua anak buah Kebo Panaran tadi ganti beraksi.
Kembali
dua orang yang berpakaian hitam itu keluarkan jeritan kesakitan lalu
tergelimpang roboh di tanah. Masing-masing menderita patah tiga tulang iga dan
remuk tulang dadanya!
Dua orang
anak buah Ranggas yang tadi membawa kuda-kuda ke halaman belakang berseru kaget
ketika mereka kembali dan melihat apa yang terjadi.
Keduanya
serta merta mencabut golok masing-masing lalu menyerang Tunggul Anaprang dan
Legok Ambengan. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan dua kawannya terdahulu.
Begitu keduanya menyerang, Legok dan Tunggul menyambutnya dengan tendangan yang
membuat keduanya terpental hampir satu tombak. Yang satu jatuh terduduk sambil
memegangi perutnya yang kena tendang.
Satunya
lagi terkapar dengan mulut hancur dan gigi-gigi rontok.
Ranggas
yang sedang menderita kesakitan karena tangannya masih dipuntir di belakang
punggung terbeliak kaget melihat kejadian itu. Dia sadar kini kalau berhadapan
dengan serombongan orang-orang berkepandaian tinggi. Namun satu hal yang masih
belum diketahuinya apakah mereka ini orang baik-baik atau bukan.
Melihat
kepada keadaan pakaian dan tampang-tampang mereka yang beringas bengis Ranggas
sulit mempercayai keempat orang itu adalah orang baik-baik.
“Kebo
Panaran mau diapakan monyet satu ini?” Tanya Bargas Pati yang menelikung tangan
Ranggas.
Kebo
Panaran berpaling pada Legok Ambengan lalu pada Tunggul Anaprang “Kalian tahu
apa yang harus dilakukan?”
Mendengar
ucapan Kebo Panaran itu kedua anak buahnya segera memndekati Ranggas. Dalam
keadaan tak berdaya Ranggas mereka jejali dengan jotosan-jotosan dan
tendangan-tendangan. Sekujur muka Ranggas babak belur berlumuran darah tak
karuan lagi. Ketika Bargas Pati melepas cekalannya Ranggas langsung roboh tapi dia
cukup kuat untuk tidak jatuh pingsan.
Pada saat
itu tiba-tiba pintu bangunan terbuka. Seorang lelaki berpakaian mewah keluar
sambil berkipas-kipas. Dia memperhatikan apa yang terjadi di halaman depan itu
sesaat lalu berkata. “Sahabat-sahabat jauh dari mana yang telah sudi memberi
pelajaran pada anak-anak buahku?”
Kebo
Panaran dan tiga temannya sama-sama berpaling ke pintu. Mereka perhatikan orang
yang tegak berkipas-kipas itu sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Gandul
Wirjo! Tidak sangka kowe rupanya yang jadi mucikari rumah cabul ini!” berseru
Kebo Panaran lalu melangkah besar-besar menghampiri orang di depan pintu
diikuti oleh ketiga anak buahnya. Kebo Panaran memegang bahu orang itu lalu
berpaling pada ketiga anak buahnya dan berkata “Kalian lihat dia sudah jadi
orang kaya sekarang! Tapi tidak lupa dengan teman-teman seperjuangan! Ha…. Ha…
ha….
Ayo kita
beri salam pada sahabat lama ini!” Kebo Panaran dan tiga orang lainnya segera
menyalami lelaki bernama Gandul Wirjo yang memang adalah pemilik bangunan besar
itu.
“Kalian
ke mari tentu punya maksud. Tidak bagus kalau maksud itu tidak kesampaian.
Jangan di luar saja. Mari masuk!”
Gandul
Wirjo membuka pintu lebar-lebar. Kebo Panaran dan ketiga kawannya masuk ke
dalam diikuti si pemilik bangunan. Sebelum ikut masuk Gandul Wirjo berpaling
pada Ranggas yang masih terkapar kesakian di tanah.
“Kerjamu
sebagai kepala keamanan bagus. Tapi lihat-lihat dulu siapa orang yang hendak
kau kerjakan. Sekarang kau kena batu sendiri Ranggas!”
Ranggas
diam saja. Tapi dalam hati dia memaki habis-habisan.
Di dalam
bangunan. Kelima orang itu duduk di sebuah ruangan yang berbau harum kayu
cendana. Mereka bercakap-cakap beberapa lama. Kemudian Kebo Panaran berkata.
“Bagaimana kalau obrolan ini kita sambung nanti. Sekarang aku dan teman-teman
ingin bersenang-senang lalu istirahat sampai menjelang pagi.”
Gandul
Wirjo tersenyum. “Jangan kawatir. Kalian akan mendapatkan kesenangan. Memang
sejak perang berakhir tidak terlalu mudah mencari perempuan cantik-cantik.”
Pemilik bangunan besar itu mengambil sebuah lonceng kecil dari atas meja lalu
digoyang-goyangkan dua kali. Tak berapa lama kemudian lima orang perempuan muda
muncul. Tiga diantaranya berparas lumayan. Mereka langsung mengelilingi Kebo
Panaran dan kawan-kawannya. Ada yang membelai rambut atau memijit-mijit bahu,
ada juga yang mengusap-usap lengan orang-orang itu.
“Para
sahabat, kalian silahkan memilih sendiri. Jangan pikirkan soal bayaran.
Semua aku
berikan denga cuma-cuma. Demi persahabatab kita di masa lalu dan dimasa
mendatang!”
Kebo
Panaran memilih perempuan yang bertubuh ramping dan ada tahi lalat di dagu
kirinya. Bargas Pati menarik lengan perempuan berkebaya biru yang dadanya
montok luar biasa. Satu demi satu perempuan-perempuan itu membawa tamu mereka
ke kamar masing-masing. Tinggal kini Tunggul Anaprang. Dia masih duduk
memandangi dua orang perempuan yang tegak di hadapannya.Tak satupun dari kedua
perempuan ini cocok dengan seleranya.
“Tunggul,
kau tunggu apa lagi? Pilih salah satu atau otak kotormu mungkin mau berbuat
macam-macam. Membawa keduanya sekaligus ke dalam kamar?”
bertanya
Gandul Wirjo.
Tunggul
Anaprang menggeleng “Tak satupun yang ku suka……..”
“Matamu
terbalik sahabatku! Kedua permpuan ini tidak jelek dan masih muda-muda!” kata
Gandul Wirjo pula.
“Terserah
kamu mau bilang apa, tapi aku tidak naksir satupun dari mereka.
Buatkan
saja aku kopi, biar aku istirahat di sini dan tidur barang seketika. Atau
mungkin kau masih ada persediaan perempuan yang lain?”
Gandul
Wirjo menyuruh masuk kedua perempuan pelacur yang masih berdiri di tempat itu.
Setelah keduanya masuk ke dalam. Pemilik rumah pelacuran yang sekaligus menjadi
mucikari itu berkata pada Tunggul Anaprang.
“Dulu di
masa sebelum dan di waktu peperangan kau adalah sahabatku paling dekat. Aku
tidak akan melupakan hal itu terus terang memang ada satu simpananku.
Baru
datan sore tadi. Aku bermaksud hendak menggarapnya ketika kau dan kawankawan
datang. Tapi demi persahabatan perempuan itu akan aku berikan padamu.
Hanya
untuk yang satu ini tak mungkin aku berikan secara cuma-cuma sahabat…..”
“Ah,
jangan begitu Gandul,” kata Tunggul Anaprang pula.
“Kau
lihat saja dulu orangnya Tunggul. Masih sangat muda. Kulit putih mulus.
Wajah
cantikluar biasa. Dia pasti orang baik-baik.”
Kedua
orang itu sampai di hadapan sebuah pintu. Selain ada ukirannya pintu satu ini
lebih besar dari pintu-pintu lain yang ada dalam bangunan besar rumah pelacuran
itu.
Gandul
Wirjo mengeluarkan sebuah anak kunci. Dengan kunci ini dibukanya pintu. Sebuah
lampu minyak besar di atas meja menerangi kamar yang ternyata sangat bagus.
Sebuah ranjang berkasur tebal empuk terletak di tengah kamar. Lalu disebuah
kursi rendah, dekat meja kecil tampak duduk seorang perempuan yang wajahnya
memang membuat jantung Tunggul Anaprang seperti berhenti berdetak. Rambutnya
hitam panjang tergerai menutupi dada kebayanya yang agak terbuka di sebelah
atas sehingga Tunggul dan Gandul dapat melihat payudaranya yang menggelembung
mulus. Betisnya yang putih tersembul dari balik kain panjang. Dia tampak agak
ketakutan.
“Bagaimana?”
bisik Gandul Wirjo.
“Benar-benar
luar biasa. Dari mana kau dapat yang satu ini? Aku percaya pada ucapanmu kalau
dia sebelumnya perempuan baik-baik. Buktinya dia tampak takut-takut. Wajahnya
betul-betul mempesona. Bagaimana kalau dia kuambil jadi istri…?”
“Itu bisa
urus kemudian sahabatku. Sekarang untuk malam ini berapa kau mau membayar?”
Mendengar
pertanyaan Gandul Wirjo itu Tunggul Anaprang merogoh saku pakaian birunya kiri
kanan. Dua tumpuk uang dimasukkannya ke dalam genggaman pemilik rumah pelacuran
itu. Malah kemudian dia mengambil lagi sebuah kantong kecil berisi sejumlah
uang dan dimasukkannya ke dalam saku pakaian Gandul Wirjo.
“Keluarlah
cepat. Aku sudah tidak tahan!” kata Tunggul Anaprang pula.
Dibukanya
pintu kamar lebar-lebar lalu didorngnya sahabatnya itu keluar. Begitu Gandul
Wirjo lenyap Tunggul Anaprang segera menutupkan pintu dan menguncinya sekali.
Sambil menyeringai dia melangkah mendekati kursi dimana duduk si dara jelita.
Sesaat Tunggul Anaprang tegak seperti tertegun memandangi wajah yang sangat
cantik itu. Dia rasa-rasa seperti pernah melihat gadis itu sebelumnya tapi lupa
entah dimana. Sebuah tahi lalat di pipi kiri menambah kecantikan parasnya.
“Siapa
namamu anak manis?” Tanya Tunggul Anaprang sambil meraba dagu perempuan yang
duduk di kursi. Tiba-tiba perempuan muda itu memegang lengan Tunggul Anaprang
kuat-kuat lalu menggigitnya. Tidak keras tapi malah membuat lelaki itu jadi
tambah terangsang.
Tunggul
Anaprang tertawa lebar. Hidungnya menghembuskan nafas memburu dan darahnya
menjadi panas. Sekujur tubuhnya bergetar. Tak tahan lagi lelaki ini segera
hendak membuka pakaian pelacur muda itu.
“Tunggu
dulu….” Perempuan itu berkata. “Kita masih banyak waktu. Tiduran saja. Raden
Mas tentu letih. Biar saya pijiti dulu….”
Tunggul
Anaprang tertawa mendengar dirinya dipanggil sebutan Raden Mas.
“Jangan
panggil aku dengan sebutan Raden Mas, sayangku. Namaku Tunggul Anaprang.
Gelarku si Rantai Maut. Kau boleh panggil namaku atau gelaranku.
Terserah
mana yang kau suka!” Lalu kedua tangan lelaki ini menjalar di bahu perempuan
itu.
Terangsang
oleh nafsu yang sulit ditahan-tahan Tunggul Anaprang sama sekali tidak melihat
adanya sambaran cahaya aneh pada kedua mata pelacur itu ketika dia mendengar
nama dan gelar yang dikatakannya.
“Berbaringlah
dulu. Biar saya pijit. Setelah itu baru kita bersenang-senang.
Sampai
pagi kalau mau….”
Meskipun
sudah sangat ingin memeluki dan menciumi pelacur muda itu namun Tunggul
Anaprang mengalah juga. Tanpa banyak cerita dia berbaring menelentang.
“Tengkurap
dulu. Biar punggungnya saya pijiti dulu.”
Tunggul
Anaprang tersenyum dan mengikuti apa yang dikatakan si pelacur.
Dia
membalikkan diri lalu menelungkup. Tangan kiri perempuan itu mulai memijiti
punggungnya. Tapi tanpa diketahui Tunggul Anaprang tangan kanannya bergerak ke
balik kebayanya.
******************
DUA
Matahari
memang belum terbit. Diluar udara masih gelap dan dingin. Namun di dalam
bangunan saat itu Kebo Panaran, Legok Ambengan dan Bargas Pati ditemani oleh
Gandul Wirjo sudah duduk-duduk mengobrol sambil menikmati kopi manis dan pisang
goreng hangat.
Karena
ditunggu-tunggu Tunggul Anaprang masih belum muncul Kebo Panaran mulai jengkel.
“Semua
sudah tahu kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Sontoloyo si Tunggul Anaprang
itu masih belum muncul! Tadi malam dia segan-seganan memilih pasangan. Kini
malah dia yang paling lama! Sialan!”
“Dia
selalu begitu! Seenaknya sendiri!” Ikut mengomel Legok Ambengan.
Lalu
berdiri sambil membetulkan ikat kepalanya. “Biar akan kugedor kamarnya!” Dia
berpaling pada Gandul Wirjo. Tunjukkan padaku kamarnya!”
Gandul
Wirjo melangkah lebih dulu. Legok Ambengan mengikuti dari belakang. Sampai di
hadapan pintu besar berukir pemilik rumah Pelacuran ini mengetuk pintu. Satu
kali. Tak ada sahutan. Dua kali dan sampai tiga kali tak ada sahutan. Legok
Ambengan hilang sabarnya. Pintu itu ditinjunya keraskeras seraya berteriak.
“Tunggul!
Keparat kau! Lekas bangun! Kita harus segera berangkat!”
Meski
sudah digedor dan teriaki seperti itu tetap saja dari dalam kamar tidak ada
jawaban.
“Gila! Masakan
dia tidur begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” maki Legok
Ambenga.
“Memang
aneh,” kata Gandul Wirjo pula. “Kalau Tunggul tidak terbangun, masakan
perempuan yang ada bersamanyajuaga tidak terbangun?”
“Akan
kugedor dan kupanggil sekali lagi. Kalau tidak ada jawaban pintu ini akan
kudobrak!” kata Legok Ambengan pula.
“Jangan
didobrak! Rusak pintuku! Pintu ini mahal dan ini kamar tidurku yang
daipakainya!”
“Perduli
setan!” jawab Legok Ambengan. Dia kembali menggedor dan berteriak lebih keras.
Tapi seperti tadi, tak ada suara jawaban.
“Setan
betul si Tunggul itu!” Serapah Legaok Ambengan. Dia melangkah menjauhi pintu.
Sebelum Gandul Wirjo sempat mencegah Legak Ambengan sudah meloncat dan
menerjang pintu dengan kaki kanannya. Pintu yang cukup tebal itu berderak jebol
lalu terpentang lebar. Legok Ambengan masuk ke dalam. Gandul Wirjo mengikuti.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dari kedua orang ini. Seperti melihat setan
kepala tujuh keduanya menghambur keluar kamar, kembali ke ruangan dimana Kebo
Panaran dan dua lainnya duduk menunggu.
“Kalian
mengejutkan aku saja!” Teriak Kebo Panaran marah. “Ada apa?
Tampang
kalian pucat seperti kain kafan!”
“Kebo…..Tunggul
Anaprang…” Suara Legok Ambengan seperti tercekik.
Tangannya
gemetar menunjuk ke arah kamar. “Di…di…dia dibunuh!”
Serta
merta Kebo Panaran dan kedua kawannya melompat dari kursi dan lari memasuki
kamar yang pintunya jebol terpentang. Begitu masuk Kebo Panaran langsung
tertegun. Mukanya mengelam!
“Keparat!
Siapa yang melakukan ini?!” teriaknya.
Di atas
tempat tidur terbujur tubuh Tunggul Anaprang dalam keadaan menelungkup, masih
berpakaian lengkap. Lehernya hampir putus akibat tebasan sebilah golok besar
yang masih menancap di leher itu. Darah yang mulai megering membasahi tempat
tidur dan ada yang mengalir jatuh ke lantai. Bargas Pati tutup kedua mukanya
dengan kedua tangan. Kebo Panaran pejamkan kedua mata. Legok Ambengan berdiri
di luar pagar, tersandar lemas ke dinding sedang Gandul Wirjo tertegun dengan
muka pucat!
Tiba-tiba
Kebo Panaran membalik. Dia melompat ke hadapan Gandul Wirjo dan mencekal leher
pakaian lelaki pemilik tempat pelacuran itu.
“Siapa
yang tidur dangan kawanku adi malam? Pasti pelacur itu pembunuhnya!”
Pucat
ketakutan, dengan terbata-bata Gandul Wirjo menjawab. “Tunggul tidur dengan
seorang pelacur muda. Namanya kalau aku tidak salah ingat Wardianing. Dia
pelacur baru. Baru datang sore kemarin….Tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang
membunuh Tunggul….”
Kebo
Panaran menarik leher pakaian andul Wirjo kuat-kuat lalu membanting lelaki itu
ke dinding kamar hingga Gandul merintih kesakitan.
“Kalau
bukan pelacur yang tidur bersamanya yang membunuh, lalu siapa?
Setan?!
Hanya mereka berdua dalam kamar ini. Kau lihat sana! Jendela kamar terbuka!
Berarti sehabis membunuh Tunggul pelacur keparat itu melarikan diri lewat
jendela. Dan tak satupun anak buahmu yang melihat keparat itu kabur!”
“Sulit
kupercaya Kebo,” kata Gandul Wirjo sambil usap-usap keningnya yang benjut sewaktu
terbanting ke dinding tadi. “ apa alasan pelacur itu membunuh Tunggul?”
Kebo
Panaran sesaat jadi terdiam mendengar kata-kata pemilik rumah pelacuran itu.
Sementara itu dari beberapa kamar sebelah menyebelah penghuninya ikut bangun
dan keluar mendengar ribut-ribut itu. Mereka semua mundur menjauh ketika
menyaksikan mayat Tunggul Anaprang yang masih ditancapi golok itu.
“Apapun
alasannya yang jelas kawanku itu sudah mampus dibunuhnya!”
“Kebo
Panaran,” Membuka mulut Bargas Pati. Jangan-jangan Gandul Wirjo berkomplot
dengan orang-orang kerajaan!”
Pucatlah
wajah Gandul Wirjo mendengar kata-kata si botak Bargas Pati itu.
“Demi
Tuhan! Aku bersumpah tidak punya hubungan apa-apa dengan orangorang kerajaan!”
“Siapa
peraya ucapanmua Gandul!” kata Kebo Panaran seraya satu tangannya mengusap-usap
wajah lelaki yang dicekalnya itu. “Kau dulu termasuk orang-orang yang berperang
melawan penguasa sekarang ini. Sementara kami diburu-buru kau
enak-enak
saja membuka usaha di tempat ini tanpa ada yang mengganggu. Tanpa ada
orang-orang kerajaan yang mengambil tindakan! Aneh bukan? Lalu kau punya
seorang pelacur yang baru kemarin sore datang ke tempat ini katamu! Dan pelacur
itu yang membunuh kawanku Tunggul. Mengapa semua serba kebetulan Gandul? Kau
merencanakan semua ini. Kau menjebak kami. Mungkin sebenarnya aku yang kau
tuju.
“Demi
Tuhan Kebo! Aku bersumpah tidak merencanakan apapun! Siapa adanya pelacur itu
belum sempat kuselidiki. Bahkan aku belum menidurinya……”
“Sialan!
Aku tidak menanyakan kau sudah menidurinya atau belum!” bentak Kebo Panaran.
“Katakan cirri-ciri pelacur yang tidur bersama Tunggul malam tadi!”
“Orangnya
masih muda. Wajahnya bujur telur. Cantik. Kulitnya putih. Dia mengenakan kain
panjang dan kebaya berkembang-kembang. Di….. di pipi kirinya ada tahi lalat.”
“Bagus!”
desis Kebo Panaran. “Keteranganmu itu memberi keampunan padamu untuk tidak mati
dengan leher ditabas!”
Tangan
kanannya bergerak ke pinggang.
Gandul
Wirjo melihat golok keluar dari sarungnya. Dia berteriak.
“Kebo!
Jangan! Aku benar-benar tidak ada sangku paut dengan kematian Tunggul…..
Akh…..”
Ucapan
pemilik rumah pelacuran itu terputus begitu golok di tangan kanan Kebo Panaran
amblas masuk ke dalam perutnya. Sepasang mata Gandul Wirjo membeliak seperti
hendak melompat dari sarangnya. Mukanya sesaat merah lalu berubah menjadi
pucat. Dia merasakan panas darahnya sendiri keluar mengucur dari perutnya yang
robek besar!.
Kebo
Panaran dorong sosok tubuh Gandul Wirjo hingga terlempar ke kaki tempat tidur.
Lalu dia berpaling pada Legok Ambengan. “Kau ahli mencari jejak.
Bangsat
pembunuh itu harus dapat kita kejar!”
Legok
Ambengan mengangguk. “Kita harus berangkat sekarang juga! Pelacur itu pasti
sudah lari jauh!”
Kebo
Panaran, Legaok Ambengan dan Bargas Pati segera keluar dari rumah besar itu. Di
luar udara masih gelap. Legaok Ambengan yang memang memiliki keahlian mengusut
segala macam jejak memperhatikan keadaan halaman samping dekat jendela kamar di
mana Tunggul Anaprang dibunuh. Di bawah penerangan lampu minyak matanya yang
tajam melihat adanya bekas-bekas jejak kaki walaupun hampir tidak kentara.
Jejak-jejak kaki ini menuju ke kandang kuda.
“Orang
itu melarikan diri dengan kuda. Kelihatannya ke arah Timur…” kata Legok
Ambengan.
“Kalau
begitu segera kita kejar ke arah Timur!” kata Kebo Panaran pula.
Ketiga
orang ini lari ke kandang kuda. “Lihat, kuda kita hanya tinggal tiga. Berarti
yang seekor lagi dissambar pembunuh itu! Sialan! Kudaku yang dicurinya!” Saking
marahnya Kebo Panaran memukul tiang kandang kuda hingga patah!
******************
TIGA
Perlahan-lahan
udara mulai terang walau dinginnya malam masih menusuk menjelang pagi itu.
Ketika sang surya muncul menerangi jagat dan keadaan jadi terang benderang,
untuk pertama kalinya Kebo Panaran melihat segulung kertas tergantung dekat
buntalan barang di leher kudanya. Kertas itu berwarna putih tetapi penuh dengan
noda-noda darah.
“Heh,
kertas apa ini?” bertanya Kebo Panaran dalam hati. Merasa tidak enak lalu dia
berseru. “Kawan-kawan! Berhenti dulu!”
“Ada apa
Kebo?” Tanya Bargas Pati seraya menghentikan lari kudanya.
Legok
Ambengan ikut menghentikan kuda tunggangannya. Kedua orang ini sama memandang
pada orang yang jadi pemimpin mereka itu.
KeboPenaan
menunjuk pada gulunga kertas yang tergantung di leher kuda.
“Aku
tidak tahu benda apa ini. Tapi sebelumnya gulungan kertas ini tidak ada di
sini!”
Bargas
Pati usap kepala botaknya. “Coba kau ambil saja dan buka gulungannya.
Jangan-jangan sehelai surat…”
“Surat
berdarah….” Desisi Legok Ambengan.
Dengan
perasaan tidak enak Kebo Panaran betot gulungan kertas berdarah itu hingga
ikatannya, sehelai benang halus terlepas putus. Betul kata Bargas Pati.
Gulungan
kertas itu ternyata sehelai surat yang ditulis dengan darah. Walau tulisan di
atas kertas begitu buruk mungkin terburu-buru waktu ditulisnya namun Kebo Panaran
masih bisa membacanya dengan jelas.
Surat ini
kutulis dengan darah salah seorang dari kalian. Aku tidak akan berhenti sampai
kalian berlima kuhabisi! Roh suamiku dan akan mengejar kemanapun kalian pergi.
Kalian tidak ada tempat untuk lari!
Paras
Kebo Panaran sesaat tampak pucat.
“Ada apa
Kebo?” Tanya Bargas Pati.
“Berikan
padaku surat itu!” kata Legok Ambengan pula. Kebo Panaran menyerahkan kertas
yang dipegangnya pada kawannya itu. Bargas Pati mendekatkan dirinya pada Legok
Ambengan. Kedua orang ini kemudian sama-sama membaca isi surat yang ditulis
dengan darah itu. Keduanya seperti Kebo Panaran tadi langsung pucat.
“Membaca
isi surat itu….” kata Kebo Panaran setelah coba menenangkan diri.
“Yang
menulisnya tidak bisa tidak adalah Antini istri Lor Kameswara. Tapi bagaimana
aku bisa mempercayainya. Perempuan itu tidak memiliki kepandaian silat apalagi
nyali untuk melakukan hal ini. Membunuh Tunggul Anaprang lalu melenyapkan diri
dangan meninggalkan surat berdarah ini!”
“Dalam
waktu tiga bulan segala sesuatunya bisa terjadi…. Mungkin perempuan itu berguru
pada seorang pandai. Setelah memiliki bekal ilmu yang cukup dia lalu turun
tangan melakukan balas dendam terhadap kita. Korban pertamanya telah jatuh!
Kawan kita Tunggul Anaparang!”
“Omonganmu
membuat aku lebih sulit percaya Bargas Pati,” menyhut Kebo Panaran.
“Nyatanya
dia bisa mwmbunuh Tunggul. Dia bukan saja punya nyali dan ilmu Kebo. Tapi
bekerja dengan memakai otak! Dia bisa menyamar jadi pelacur. Mungkin dibantu
oleh Gandul Wirjo, mungkin juga tidak.”
“Kurasa
kita telah berbuat satu kesalahan,” kata Legok Ambengan.
“Apa
maksudmu?” Tanya Kebo Panaran sambil memandang ajam pada kawannya itu.
“Pada
peristiwa tiga bulan lalu itu, seharusnya perempuan itu kita habisi sekalian.
Tak ada saksi atas perbuatan kita! Tak akan ada yang balas dendam!” jawab Legok
Ambengan pula.
Bargas
Pati usap-usap lagi kepala botaknya. “Kalau ingat peristiwa itu justru
sebenarnya kita tidak boleh berlaku sekeji itu. Lor Kameswara adalah bekas
pimpinan yang kita hormati…”
“Tutup mulutmu
Bargas Pati!” hardik Kebo Panaran. “Aku tidak suka mendengar kau bicara begitu!
Semua sudah terjadi! Kita bersama yang melakukannya! Kenapa sekarang harus
disesali? Kau sendiri meniduri perempuan itu sampai beberapa kali! Ingat?”
Bargas
Pati terdiam. Kebo Panaran lanas kembali membuka mulut. “Sampai saat ini ada
satu teka-teki yang belum terjawab. Lenyapnya sahabat kita Ambar Parangkuning.
Perempuan itu menghilang beberapa saat setelah peristiwa di rumah Lor
Kameswara. Di mana dia sekarang tidak satupun dari kita yang tahu. Apakah dia
berkomplot dengan istri Lor Kameswara?”
“Kalau
hal itu sulit kupercaya. Ambar terlibat bersama kita. Bagaimana mungkin dia
berkomplot dengan Antini?!” ujar Bargas Pati.
“Betul
sekali Kebo. Hal itu tidak masuk akal!” berkata Legok Ambengan.
“Tapi
sudahlah. Kita tak perlu berdebat. Orang yang kita kejar tentu sudah tambah
jauh. Sebaiknya kita teruskan pengejaran. Menurut penglihatanku Antini atau
siapapun dia melarikan diri menuju ke Timur. Jika kita mengambil jalan lurus kita
akan sampai di sebuah bukit kecil. Di balik bukit itu ada sebuah kali besar.
Antara tempat ini ke kali besar itu ada jalan liar. Bukan mustahil si pembunuh
menempuh jalan itu. Sebab jika dia memang istri Lor Kameswara, perempuan itu
tidak tahu betul seluk beluk daerah ini. Di pasti mengikuti jalan yang sudah
sering dilalui orang sebelumnya.
Kurasa
kita bisa mengambil jalan memintas dan memotong arah larinya.”
“Aku dan
Bargas Pati mengikuti apa katamu saja Legok Ambengan,” kata Kebo Panaran. Makin
cepat kita menempuh jalan memintas yang kau katakan itu makin bagus. Kita
berangkat sekarang saja! Kau jalan di depan! Tapi…… ucapan Kebo Panaran
terhenti. “Aku khawatir, jangan-jangan Ambaar Parangkuning sudah jadi koban
pula. Dibunuh istri Lor Kameswara!”
“Tidak,
dia memang lenyap entah kemana. Tapi jika kau teliti surat tadi jelas si
pembunuh masih menyebut kita berlima. Bukan berempat. Berarti sahabat kita
perempuan itu masih hidup.”
Kebi
Panaran mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Legok Ambengan itu.
Ketika
rombongan tiga pengunggang kuda itu sampai di kaki bukit kecil yang dikatakn
Legok Ambengan udara tiba-tiba berubah. Siang yang tadinya terang benderang
mendadak menjadi gelap seperti senja. Gumpalan awan hitam kelabu bertebaran
menutupi langit. Dikejauhan mulai terdengar suara geledek ditimpali cahaya
sambaran kilat. Sesaat kemudian hujan yang bukan alang kepalang lebatnya turun
membasahi bumi.
“Kita mau
mencari tempat berteduh atau meneruskan pengejaran?” Tanya Legok Ambengan.
Bargas
Pati maunya berhenti dulu mencari perlindaungan sambil beristirahat.
Tapi Kebo
Panaran punya jalan pikiran lain.
“Hanya
orang-orang tolol yang takut pada hujan! Teruskan pengejaran.
Bukankah
kita harus cepat-cepat sampai di balik bukit sana?”
“Aku
setuju kita meneruskan pengejaran” kata Legok Ambengan. Aku kawatir hujan
membuat mataku kurang awas dan aku bisa kehilangan jejak-jejak orang yang kita
kejar. Ayo kita teruskan perjalanan.”
Hujan
yang sangat lebat dan lama membuat arus kali besar itu menjadi deras dan ganas.
Di beberapa tempat air kali meluap melewati tebing kali dan membanjiri daratan
sekitarnya sementara itu hujan masih terus turun seperti tidak akan berhenti.
Kebo Panaran
dan kawan-kawannya tidak bisa bergerak cepat dalam cuaca buruk seperti ini.
Namun demikian akhirnya mereka sampai juga ke balik bukit dan berhenti di tepi
kali yang sedang banjir.
“Celaka!”
kata Legok Ambengan. “Air hujan dan banjir membuat aku tidak dapat mengenali
jejak yang ditinggalkan orang yang kita kejar!”
“Keparat!”
maki Kebo Panaan sambil mengusap mukanya yang basah.
“Kerahkan
seluruh kepandaianm Legok! Orang itu harus kita kejar! Ingat! Dia telah
membunuh kawan kita Tunggu Anaprang!”
Legok Ambengan
menggigit bibir. Dia menyentakkan tali kekang kudanya, bergerak menyusuri tepi
kali ke arah hulu. Kebo Panaran dan Bargas Pati mengikuti.
Di satu
tempat Legok Ambengan hentikan kudanya dan menunjuk ke arah benda
kehijau-hijauan yang terapung-apung di atas genangan air di tepi kali.
“Bendad
apa itu?” Tanya Bargas Pati.
“Kotoran
kuda….” Sahut Legok Ambengan. “Kita mengejar ke arah yang beanar kawan-kawan!”
Lelaki itu tampak gembira. “Kotoran kuda itu pasti kotoran kuda orang yang kita
kejar!”
Mendengar
itu Kebo Panaran serta merta menyentakkan tali kekang kudanya dan mendahului
bergerak ke hulu kali yang arusnya tampak tambah deras.
Saat itu
udara masih gelap karena langit yang masih mendung tebal dan hujan yang terus
mendera turun. Di kejauhan kila menyambar dua kali berturut-turut. Sesaat udara
menjadi terang benderang. Kebo Panaran yang berkuda di sebelah depan kebetulan
memnadang ke arah kejauhan. Lalu terdengar dia berteriak.
“Aku
melihat seorang penunggang kuda di depan sana!”
“Pasti
dia!” teriak Legok Ambengan.
Ketiga
orang itu lalu sama memacu kuda masing-masing di bawah hujan lebat.
Tak lama
kemudian meraka berhasil menyusul penunggang kuda itu. Orang ini kelihatannya
seperti dalam bingung. Hendak terus ke arah hulu jalan terhalang oleh banjir besar.
Hendak menyeberang kali yang berarus besar itu tentu saja tidak mungkin.
Kebo
Panaan dan kawan-kawannya sampai di tempat itu. Melihat ada tiga orang berkuda
muncul, penunggang kuda tadi cepat membalikkan tunggangannya ke arah kanan dan
siap untuk melarikan diri.
“Jangan
lari!” teriak Kebo Panaran.
Baru saja
Kebo Panaran membentak begitu, dari arah kali muncul sebuah perahu disusul
terdengarnya suara orang menyanyi. Suara nyanyiannya tidak begitu jelas.
Ditelan oleh deru hujan, desau angin serta arus sungai yang menggila.
******************
EMPAT
Ini
merupakan satu pemandangan aneh kalau tidak mau dikatakan gila. Di atas kali
yang arusnya ganas mengerikan sementara hujan lebat masih terus menderu turun,
dalam cuaca yang masih gelap tiba-tiba kelihatan meluncur sebuah perahu. Perahu
ini terombang-ambing tidak menentu. Sesekali dilontarkan arus ke atas sampai
tinggi setengah tombak lalu dihenyakkan seperti hendak dibenam ke dasar kali.
Namun perahu itu kemudian muncul kembali. Beberapa kali perahu ini kelihatan
oleng dan hampir terbalik, tetapi kembali meluncur mantap! Apapun yang dibuat
arus, perahu itu sepertinya tidak mampu untuk dilempar diterbalikkan, apalagi
dibenamkan ke dasar kali.
Yang
lebih gilanya, di aas perahu itu tampak duduk seorang pemuda berpakaian serba
putih. Rambutnya yang gondrong serta pakaiannya telah basah kuyup oleh air
hujan dan terpaan air kali. Namun dia enak saja duduk di atas
perahunya
yang penuh air itu sambil bernyanyi-nyanyi seperti anak kecil yang sedang
kegirangan tanpa menyadari betapa bahaya maut mengancamnya!
Hujan turunlah
terus…..asyik!
Air kali
mengamuklah terus….asyik!
Perahuku
jelek tak mungkin tenggelam….asyik!
Aku
bersahabat dengan hujan……asyik!
Aku
bersahabat dengan air kali…..asyik!
Tapi demi
Tuhan jangan ada buaya di kali ini!
Suara
nyanyian itu disusul denag gelak tawa si pemuda. Setelah mengusap mukanya yang
basah dia kembali melantunkan nyanyian tadi berulang-ulang. Sampai pada suatu
saat dia melihat ada seorang penunggang kuda di tepi kali yang sedang banjir
itu. Penunggang kuda itu ternyata seorang pemuda berwajah cakap halus.
Tampaknya
dia tengah bingung karana idak dapat meneruskan perjalanan. Banjir di depannya
menghadang mengerikan.Membelok kiri berarti masuk ke dalam kali.
Membelok
kanan jalan terhalang oleh lereng batu yang cukup tinggi. Satu-satunya jalan
adalah kembali ke arah datangnya semula. Dalam keadaan seperti itu, sebelum
pemuda berkuda ini sempat mengambil keputusan tiba-tiba dari arah belakang
muncul tiga penunggang kuda. Ketiganya dalam keadaan basah kuyup dan
tampang-tampang mereka tampak garang sekali.
Tiga
penunggang kuda itu bukan lain adalah Kebo Panaran, Bargas Pati dan Legok
Ambengan.
“Jangan
lari!” teriak Kebo Panaran ketika dilihatnya penunggang kuda di depan sana
hendak memutar tunggangannya dan siap kabur!
Karena
memang sudah terkurung pemuda di atas kuda terpaksa duduk tak bergerak sehingga
Kebo Panaran dan kawan-kawannya dapat melihat jelas wajahnya.
Bargas
Pati menggerendeng “Bukan perempuan yang kita kejar!”
Kebo
Panaran juga hendak ikut-ikutan menggerendeng namun kemudian dia segera
mengenali kuda yang ditunggangi pemuda itu. Kuda miliknya yang hilang dicuri di
penginapan milik Gandul Wirjo!
“Itu
kudaku yang ditungganginya!” kata Kebo Panaran. Lalu segera mencabut golok
besarnya.
“Anak
muda! Lekas kaakan siapa dirimu dan dari mana kau dapat kuda itu?!” menghardik
Legok Ambengan.
Pemuda di
depan ketiga orang itu memperhatikan dengan pandangan mata tak berkesip.
“Aku
tidak kenal kalian. Kuda ini milikku. Apa kalian hendak merampok?!”
“Pemuda
kurang ajar! Kutabas batang lehermu!” teriak Kebo Panaran seraya memajukan
kudanya. “Jawab pertanyaan tadi atau kupisahkan kepalamu dari badan saat ini
juga!”
“Namaku
Jaliteng. Kuda ini milikku. Kubeli dari seorang tak kukenal beberapa waktu
lalu.”
“Siapa
orang yang menjual kuda itu?” tanya Bargas Pati.
“Seorang
perempuan muda. Cantik…..”
“Hemmm….”
Kebo Panaran usap-usap janggutnya yang basah.
“Aku mau
pergi. Menyingkirlah. Jangan menghadang jalan!” pemuda tadi berkata.
Kebo
Panaran melirik pada kedua temannya. Lalu berbisik “Aku curiga padanya.
Bagaimana pendapat kalian?”
“Pemuda
itu harus kita geledah! jawab Legok Ambengan. Lalu dia berseru.
“Lemparkan
buntalan yang kau bawa. Kami ingin memeriksa!”
Pemuda di
atas kuda memegang buntalan yang tergantung di leher kudanya lalu menjawab.
“Ada hak apa kau memeriksa aku? Lekas menyingkir sebelum aku jadi marah!”
Kebo
Panaran dan kedua kawannya tertawa bergelak mendengar ucapan pemuda cakap itu.
“Turun
daru kudamu! Berlutut di hadapan kami dan serahkan buntalan!” menghardik Kebo
Panaran.
“Perampok-perampok
picisan! Rasakan dulu senjataku ini!” Pemuda di atas kuda berteriak. Tangan
kanannya bergerak Lalu tiga buah pisau terbang meluncur ke arah Kebo Panaran, Bargas
Pati dan Legok Ambengan.
Bagi
orang biasa, serangan tiga pisau terbang itu kelihatannya hebat sekali dan
membahayakan keselamatan bahkan nyawa Kebo Panaran dan dua kawannya. Tetapi
bagi pemuda yang duduk cengar-cengir di atas perahu yang dipermainkan arus
kali, lemparan tiga pisau terbang tadi sama sekali tidak mantap dan tidak
disertai cukup aliran tenaga dalam. Ternyata memang benar. Dengan mudah Kebo
Panaran, Baras Pati dan Legok Ambengan memukul mental tiga serangan pisau
tersebut. Begitu berhasil mementahkan serangan lawan Kebo Panaran berteriak
“Legok! Lekas kau cincang pemuda itu!”
“Srett!
Srett!”
Di bawah
hujan lebat Legok Ambengan cabut sepasang goloknya dari pinggang. Sambil
memutar-mutar senjatanya di tangan kiri kanan Legok Ambengan menyerbu. Pemuda
yang diserang tidak tinggal diam. Dari balik punggungnya dia mencabut sebilah
pedang. Begitu Legok Ambengan mendekat dia sabatkan senjatanya.
“Trang…!
Trang….!”
Pedang
dan dua golok saling beradu.
Pemuda di
atas kuda diam-diam mengeluh. Bentrokan senjata tadi membuat tangannya yang
memegang pedang bergetar. Senjatanya hampir terlepas. Segera dia mundurkan
kudanya lalu coba menebas tubuh Legok Ambengan dari samping kiri.
Legok
Ambengan menangkis. Kali ini si pemuda berlaku cerdik. Dia tidak mau melakukan
bentrokan senjata. Lagi-lagi dia memundurkan kudanya. Dengan tangan kiri dia
melepas dua pisau terbang. Tapi dengan mudah kedua senjaa itu dihantam mental
oleh Legok Ambengan dengan kedua goloknya.
Kebo
Panaran yang sudah tidak sabaran melihat jalannya perkelahian segera menyerbu
dangan golok di tangan. Kini tak ampun lagi pemuda berwajah cakap itu terdesak
hebat.
Dalam
satu bentrokan hebat golok di tangan si pemuda kena dipukul lepas.
Pemuda
ini berseru kaget. Kudnya dilarikan menjauhi ketiga orang itu. Tapi dai salah
mengambil arah. Kudanya mundur ke arah pinggiran kali yang arusnya tengah
menggila! Tak ada kesempatan ataupun jalan untuk lari. Di depannya Kebo
Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan bergerak mendekat. Kebo Panaran
mencekal golok besar. Bargas Pati memegang senjatanya berupa sebuah clurit
besar sedang Legok Ambengan memegang sepasang golok.
Pemuda
berambut gondrong di atas perahu hentikan nyanyiannya. Dia menggaruk-garuk
kepala beberapa kali lalu berteriak.
“Sahabat!
Naik ke atas kudamu! Melompat ke mari!” Lalu pemuda di atas perahu mendayung
perahunya menuju tepian kali.
Sesaat
pemuda cakap di atas kuda jadi tercekat. Memang satu-satunya jalan untuk lari
adalah melompat ke atas perahu itu. Tapi dai tidak punya kemampuan
melakukannya. Baginya perahu itu masih terlalu jauh untuk dilompati!
“Sahabat!
Cepat! Melompat ke atas perahuku!” Teriak si gondrong di atas perahu. Dia
tambah mendekatkan perahunya ke pinggir kali.
“Melompatlah
kalau kau mampu!” kata Kebo Panaran sambil menyeringai.
Goloknya
berkelebat.
“Craassss!”
Kuda
tunggangan si pemuda meringkik keras ketika golok Kebo Panaran membabat
lehernya. Binatang ini mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Pemuda di
atas kuda itu terlempar ke arah kali. Jarak jatuhnya masuih jauh dari perahu di
atas kali. Melihat hal ini pemuda di atas perahu cepat memutar perahunya untuk
mneyambut jatuhnya pemuda tadi.
“Bangsat
kurang ajar!” maki Kebo Panaran. Lelaki itu mengangkat goloknya tinggi-tingg.
Lalu senjata ini dilemparkannya ke arah pemuda yang saat itu tubuhnya masih
melayang di atas kali.
Terdengar
pekik si pemuda ketika mata golok sempat mengiris daging bahunya. Bajunya
kelihatan merah oleh darah. Kakinya melejang dan kedua tangannya
menggapai-gapai akibat rasa takut dan sakit yang jadi satu. Sakit karena luka
di bahu kirinya cukup besar. Takut karena sebentar lagi dirinya akan amblas
masuk ke dalam air kali yang menggila sedang dia sama sekali tidak bisa
berenang.
Pada saat
yang menegangkan itu pemuda gondrong di atas perahu ternyata dapat menyorongkan
perahunya dalam waktu yang tepat. Tubuh pemuda yag terluka jatuh ke dalam
perahu. Pemuda yang jatuh kembali menjerit sedang perahu itu terlonjak ke atas
lalu miring ke kiri. Pemuda berambut gondrong cepat mengimbangi dengan membuat
gerakan-gerakan lucu. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dari pinggiran kali
tampak melesat dua buah senjata. Ternyata Legok Ambengan telah melemparkan
sepasang goloknya kearah pemuda gondrong di atas perahu.
“Walah!”
Si gondrong sesaat tampak bingung. Saat itu dia tengah berusaha agar perahu
jangan sampai terbalik. Di lantai perahu orang yang jatuh kembali menjerit lalu
mengerang kesakitaan sambil memegang bahunya. Celakanya orang ini malah
memegangi kaki pemuda gondrong hingga tak ampun lagi keseimbangannya benar-benar
hilang dan tubuhnya terjatuh ke kali. Dalam keadaan seperti ini dua golok
terbang daang menyambar! Satu mengarah dada satunya lagi mengincar perut.
Selagi
tubuhnya melayang jatuh ke dalam kali yang berarus deras, pemuda gondrong itu
gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
“Kunyuk
yang berlagak jadi pahlawan, rasakan sepasang golokku!” teriak Legok Ambengan
dari atas kudanya sambil bertolak pinggang sementara Kebo Panarandan Bargas
Pati menyeringai. Kelihaian Bagas Pati dalam memainkan dan melemparkan sepasang
golok selama ini sudah tersohor. Karenanya ketiga orang ini sudah sama
memastikan bahwa pemuda yang melayang jatuh ke kali akan ditambus golok pada
dada dan perutnya.
Namun apa
yang terjadi kemudian membuat ketiga orang itu berseru kaget.
******************
LIMA
Di atas
kali kelihatan warna terang menyilaukan mata. Bersamaan sengan itu terdengar
suara sperti gaung ribuan lebah. Hawa di tempat itu yang tadinya lembab dingin
mendadak menjadi panas. Lalu terdengar suara berdentrangan dua kali
berturut-turut. Dua golok yang tadi dilemparkan Legok Ambengan mental ke udara.
Yang
satunya patah dua lalu jatuh ke dalam kali. Saunya lagi mental utuh ke Pinggir
kali, tepat di depan Legok Ambengan dan kawan-kawannya. Ketika ketiga orang ini
memperhatikan golok yang tercampak di tanah becek itu, ternyata golok itu
berada dalam keadaan bengkok dan hitam hangus serta mengeluarkan kepulan asap!
Kebo
Panaran, Bargas Pati dan Legok Ambengan sama-sama ternganga dan sama-sama
memandang ke tengah kali. Saat itu mereka lihat perahu di tengah kali meluncur
ke seberang padahal tidak ada yang mendayung sedang pemuda yang tadi terjatuh
di dalamnya masih terbujur dan merintih pegangi bahunya “Aneh, ke mana
lenyyapnya pemuda gondrong di atas perahu tadi!” kata Kebo Panaran.
Selagi
Kebo Panaran dan dua temannya masih berada dalam keadaan tercekat heran
tiba-tiba dari dalam air kali mencuat sebuah pendayung. Benda ini melayang ke
pinggir kali, menyambar kepala kuda yang ditunggangi Legok Ambengan.
“Praakkk!”
Pendayung
itu patahdua. Kening kuda remuk. Binatang ini meringkik keras lalu berputar
kencang dan kabur hingga Legok Ambengan terpelanting dan jatuh duduk pada
bagian tanah yang becek!
“Bangsat
kurang ajar!” kutuk Legok Ambengan seraya berdiri dan pegangi pantat celananya
yang basah dan ditempeli Lumpur. Matanya memandang garang ke tengah kali. Saat
itu pemuda gondrong yang tadi lenyap kini tahu-tahu kelihatan lagi di atas
perahu sambil menjulur-julurkan lidah. Kedua ibu jari tangannya ditekankan ke
pelipis lalu jari-jarinya yang lain digerak-gerakkan.
“Keparat!
Berani dia mengejek kita! Teriak Legok Ambengan sambil kepalkan kedua tinju.
“Kalau bertemu akan kupaahkan batang lehernya!”
“Kurasa
dia bukan seorang pemuda sembarangan Legok,” kata Kebo Panaran.
“Pasti
tadi dia membuat mental sepasang golokmu. Pasti dia memiliki semacam senjata
yang hebat! Dan pasti dia pula yang melemparkan pendayung itu selagi menyelam
di dalam air!”
“Aku
tidak perdulikan bangsat gondrong itu!” kata Bargas Pati. “Yang membuatku
jengkel ialah lolosnya orang yang kita kejar….”
“Tolol!
Yang kita kejar sebenarnya Antini, istri Lor Kameswara, bukan pemuda seperti
banci itu!” bentak Legok Ambengan.
“Kau yang
tolol! Belum tentu dia benar-benar seorang pemuda! Buktinya dia ketakutan
ketika hendak kita geledah!” balas mendamprat Bargas Pati.
“Kudanya
masih ada di situ. Bargas, coba kau periksa buntalannya!” kata Kebo Panaran.
Bargas
Pati turun dari kudanya. Seluruh isi buntalan dikeluarkannya. Salah satu benda
yang keluar adalah sehelai kebaya dan kain panjang perempuan.
“Kebo
lihat! Apa kataku!” teriak Bargas Pati. “Pemuda tadi pasti Antini istri Lor
Kameswara. Buktinya dalam buntalan ini ada pakaian perempuan!”
“Kurang
ajar! Jadi dia rupanya yang tadi malam menyamar menjadi pelacur!
Jelas
memang dia yang membunuh Tunggul Anaprang! Kita harus cari perahu atau membuat
rakit dangan segera! Bangsat itu tidak boleh lolos!” Memandang ke depan Kebo
Panaran melihat perahu yang ditumpangi pemuda berambut gondrong serta pemuda
yang terluka telah mencapai pinggiran kali dan berhenti.
Di atas
perahu si gondrong membungkuk seraya berkata. “Sahabat, mari kugotong kau ke
daratan….”
Pemuda
ini tersentak kaget ketika orang yang hendak ditolongnya membuka mulut dan
berkata dengan suara keras. “Jangan sentuh!”
“Eh,
bagaimana ini?” Si gondrong garuk-garuk kepalanya. “Kau sanggup berdiri sendiri
dan berjalan dalam banjir? Arus banjir di daratan sana cukup keras….”
“Aku
sanggup berdiri dan bejalan sendiri. Aku berterima kasih kau tadi menolongku.”
Pemuda yang terbujur di atas lantai perahu yang basah itu berusaha bangkit
dangan berpegangan pada pinggiran perahu. Ukanya tampak mengernyit tanda dia
menahan sakit. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah di dalam air yang
tingginya sampai sepaha.
“Saudara,
kau terluka cukup parah…”
“Aku bisa
mengobatinya nanti. Sudah jangan perdulikan diriku…” Pemuda itu melangkah terus
melawan arus air yang cukup keras meskipun sudah cukup jauh dari kali.
Si
gondrong geleng-geleng kepala. “Pemuda aneh….” Katanya dalam hati lalu turun
dari perahu dn melangkah mengikuti pemuda di depannya.
“Kuharap
kau jangan mengikutiku!” Tiba-tiba pemuda di depan sana berkata.
“Agaknya
ada sesuatu yang kau takutkan, sahabat. Pasti ada suatu sebab mengapa
orang-orang di seberang kali sana hendak mencelakaimu.”
“Benar
atau tidaknya itu bukan urusanmu!” jawab si pemuda sambil perbaiki kait ikat
kepalanya.
“Namamu
siapa dan kau sebenarnya tangah menuju kemana?”
Yang
ditanya balas bertanya. “ Kau sendiri siapa dan mengapa mengikutiku?
Mengapa
ingin tahu? Bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu?”
“Aku
tidak butuh terima kasih….”
“Kalau
begitu sebutkan saja siapa dirimu!”
“Namaku
Wiro Sableng. Tujuan perjalananmu sama dengan tujuan perjalananku,” jawab si
gondrong.
“Hemmm…..
Dari namamu saja aku sudah pantas berhati-hati….”
“Kau
keliwat menghina, sahabat….”
“Tidak,
siapa bilang aku menghina….”
Pendekar
212 Wiro Sableng tersenyum. “Kau tidak hendak mengatakan namamu?” Tanya Wiro.
“Tidak
perlu. Dan sekali lagi aku bilang! Jangan mengikutiku!”
“Sudahlah
kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku tidak akan mengintil. Tapi aku sudah tahu
namamu!” kata Wiro pula.
“Heh?!”
Pemuda di depan Wiro hentikan langkah dan berpaling padanya.
“Kau tahu
namaku? Dari mana? Dari siapa?! Jangan menipu. Coba kau katakana siapa namaku
kalau kau memang tahu!”
“Kalau
tidak Sumini ya Suminah, kalau tidak Amini ya Aminah!” jawab Wiro lalu tertawa
gelak-gelak.
Paras si
pemuda yang cakap tampak menjadi merah. Dalam hati dia membatin
“Apa dia
tahu siapa diriku?” Sesaat pemuda ini memandang tak berkesip pada Wiro.
Tanpa
diketahuinya sebuah batang pohon yang dihanyutkan arus meluncur ke arahnya.
Wiro
berteriak memberi tahu tapi bang pohon itu telah menghantam pinggangnya hingga
pemuda itu terdorong keras dan terjerambab masuk ke dalam air. Sakit yang bukan
kepalang akibat hantaman batangan pohon tadi membuat dia tidak mampu untuk
bangkit. Tubuhnya segera tenggelam ke dalam air setinggi paha itu lalu terseret
oleh arus.
“Tol…tolong…!”
teriak pemuda itu. Tapi air kali jdai masuk ke dalam mulutnya. Membuat
megap-megap kelagapan dan semakin tak berdaya diseret arus banjir.
“Tolong……
teriakan pemuda itu kembali terdengar.
Wiro
melangkah bergerak meotong arah hanyutnya si pemuda.
“Tolong…..!”
Tubuh si
pemud hanyut di belakang Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng ini gerakkan tangan
kanannya ke belakang dan berhasil mencekal punggung pakaian pemuda itu lalu
diseretnya sambil terus melangkah.
Hujan
mulai mereda.
Di satu
tempat yang hanya sedikit digenangi air kali Wiro berhenti. Dia terkejut ketika
didapatinya orang yang diseret itu ternyata telah jatuh pingsan. Acuh tak acuh
Wiro bujurkan tubuh pemuda itu menelungkup dai tanah yang becek. Lalu dengan
kakinya ditekannya bagian pinggang si pemuda. Kelihatan air kaliyang sempat
terminum keluar mengucur dari mulutnya.
Wiro
membungkuk memeriksa luka di bahu kiri si pemuda. Luka itu cukup besar. Kalau
tidak segera dibersihkan dan diobati pasti akan membusuk. Wiro balikkan tubuh
si pemuda. Matanya menatap ke arah dada.
“Dadanya
kelihatan seperti rata. Tapi aku yakin…..” Wiro garuk-garuk kepalanya. Akhirnya
tangannya bergerak ke arah dada orang yang pingsan itu.
Meraba
dan memijat lalu cepat ditaiknya kembali ketika jari-jari tangannya terasa
menyentuh bagian tubuh yang membusung. “Tidak salah,” katanya. Dalam hati.
“Untung
tidak kupijat kuat-kuat….. Mengapa dia menyamar pasti ada satu rahasia.
Biar
lukanya kuobati lebih dulu.”
Baru saja
Wiro berkata dalam hati seperti itu tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Satu
bentakan keras terdengar.
“Pemuda
kurang ajar! Berani kau mengerayangi tubuh muridku!”
“Bukkk!”
Satu
tendangan menghantam punggung Pendekar 212 hingga murid Eyang Sinto Gendeng ini
terpelanting!
******************
ENAM
Untuk
beberapa lamanya Wiro terkapar terelungkup di tanah yang becek. Pakaian
putihnya di sebelah depan serta mukanya berkelukuran Lumpur tanah liat merah.
Sambil
mengernyit kesakitan Wiro memandang ke samping untuk melihat siapa yang bausan
telah menghantamnya.
Orang itu
ternyata seorang nenek berwajah pucat yang rambutnya kasar jabrik berwarna
kelabu. Dia mengenakan jubah hitam besar gombrong menjela tanah hingga kedua
kakinya tidak kelihatan. Sepasang lengan jubah juga gombrong menutupi kedua
tangannya. Tpai mata Wiro yang tajam dapat melihat bahwa pada kedua lengan
nenek tak dikenal ini tersisip sesuatu. Mungkin golok pendek mungkin juga
sebentuk pisau.
Sambil
garuk-garuk kepala dan masih mengernyit sakit Wiro bangkit lalu duduk di tanah.
“Nenek
muka pucat, aku tidak kenal kau. Mengapa membokong aku dengan tendangan?”
bertanya Wiro.
“Kau
tidak perlu kenal siapa aku! Masih untung aku cuma menendangmu!
Seharusnya
sudah kupecahkan kepalamu!” Si nenek menjawab dengan mata melotot dan
membentak. Suaranya halus aneh tapi melengking.
“Kenapa
kau hendak membunuhku?!”Tanya Wiro lagi seraya berdiri.
“Kenapa?
Monyet! Kau masih bisa bertanya? Apa kau masih tidak tahu kesalahanmu?!”
“Aku
tidak merasa berbuat salah. Malah aku barusan habis menolong pemuda itu!” jawab
Wiro.
“Setan
alas! Kau berdalih menolong! Aku tidak buta! Aku lihat jelas tadi kau meraba
memegang-megang dada muridku!”
“Ah” Wiro
menyeringai. “Kalau kau cemburu aku memegangi dada pemuda itu, jangan-jangan
dia bukan muridmu! Lelaki meraba lelaki apa salahnya? Janganjangan kau punya
hubungan asamara gila dengan pemuda ini!”
Si nenek
keluarkan suara melengking keras. Tangan kanannya digerakkan.
Dari
ujung lengan jubahnya keluar angin bersiuran. Menghantam deras ke arah Wiro
yang saat itu masih setengah berdiri. Yang keluar dari lengan jubah itu
ternyata bukan hanya pukaulan angin kosong ganas, tetapi tiba-tiba ikut melesat
sebilah pisau belati.
Pisau
terbang ini bersiuran deras di udara, melesat ke arah dada Pendekar 212!
“Tua
bangka edan!” maki Wiro. Dia terpaksa jatuhkan diri kea nah kembali.
Pukulan
tangan kosong dan pisau terbang lewat di atasnya lalu menancap di sebatang
pohon. Begitu lolos dari serangan orang Wiro cepat melompat bangkit lalu
menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka si nenek.
“Dengar
nenek muak pucat! Siapapun pemuda itu berada dalam keadaanterluka. Kau lihat
bahu kirinya….”
“Aku
tidak buta! Aku melihat! Tapi kau cuma mengarang cerita!”
‘Sialan!”
maki Wiro. Sudahlah! Jika pemuda itu memang muridmu kau uruslah sendiri!” Wiro
jadi jengkel lalu balikkan diri hendak tinggalkan tempat itu sementara paemuda
yang tadi ditolongnya masih tergeletak tidak sadarkan diri.
Si nenek
berteriak marah. “Setelah kau berbuat mesum terhadap muridku apa kau kira aku
akan biarkan kau pergi begitu saja?! Ulurkan dulu tangan kananmu yang tadi
menggerayangi tubuh muridku biar kupatahkan!”
“Eh tua
bangka ini benar-benar sial dangkalan!” kata Wiro dalam hati. Dia alirkan
separuh dari tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu melangkah ke hadapan si nenek
seraya ulurkan tangan itu.
“Kau mau
mematahkan tanganku? Lakukanlah!” kata Wiro seraya membelintangkan tangan
kanannya di depan hidung si nenek.
“Manusia
sombong! Lihat! Tanganmu akan kujadikan tiga potongan!
Nenek
muka pucat melompat sambil gerakkan kedua tangannya. Dengan pinggiran telapak
tangannya dia menghantam lengan Wiro.
“Krakkk!
Krakkk!”
Terdengar
suara berderak patah dua kali berturut-turut.
“Rasakan!”
teriak si nenek sambil menyeringai puas dan melompat mundur.
Namun
ketika dia memandang ke depan si nennek jadi melengak. Yang barusan dipukulnya
patah bukannya lengan pemuda berambut gondrong itu melainkan sebuah ranting
pohon!
Pendekar
212 tertawa mengakak.
“Nenek
muka pucat rambut jabrik!” kata Wiro pula sambil senyum-senyum.
“Kau
bilang matamu tidak buta tetapi kau lihat sendiri apa yang berusan kau paahkan?
Bukan tanganku tapi ranting kayu butut!”
Si nenek
sendiri memang sudah terkejut dan heran sejak tadi-tadi. Tak dapat dia menduga
apa yang telah terjadi. Jelas tadi dia memukul lengan si pemuda. Lalu bagaimana
kemudian dia jadi memukul ranting kayu sedang tangan Wiro jelas dilihatnya
masih utuh tidak cidera barang sedikitpun, apalagi patah tiga!
Sebenarnya
apakah yang telah dilakukan Pendekar 212?
Ketika
melangkah ke hadapan si nenek Wiro sempat menyambar sepotong ranting kayu yang
ada di dekat situ. Si nenek tidak melihatnya karena perhatiannya tertuju pada
tangan kanan yang dipentangkan Wiro tepat-tepat di depan hidungnya.
Sewaktu
si nenek memukulkan kedua tangannya dengan marah secepat kilat Wiro turunkan
tangan kanannya. Lalu sebagai gantinya dia palangkan ranting kayu itu.
Tentu
saja yang kemudian dipukul si nenek buakan tangannya melainkan ranting tadi!
Kalau
saja nenek muka pucat itu sadar akan keahlian orang mempermainkannya pasti
selanjutnya dia tidaka akan gegabah lagi. Namun dalam marahnya dia tidak dapat
berpikir banyak. Didahului suara menggembor perempuan tua ini berkelebat.
Sebilah belati melesat keluar dari lengan jubahnya kiri kanan, masuk ke dalam
genggamannya. Lalu dengan sepasang senjata ini dia melompat menyerang Wiro.
Murid
Sinto Gendeng yang masih tertwa-tawa gak terlambat membuat gerakan mengelak.
“Brett!”
Pisau di
tangan kiri si nenek sempat membabat dada kirinya. Maisih untung hanya baju
putihnya saja yang kena disambar hingga robek besar. Wiro melompat ke samping.
Lawan memburu dengan ganas. Dua pisau belati berkelebat di udara.
Pendekar
212 sambutt serangan si nenek dengan keluarkan jurus ilmu silat orang gila yang
dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya meliuk-liuk sempoyongan
seperti orang mabuk yang mau roboh. Nenek muka pucat jadi terkejut ketika
setelah tiga jurus menggempur bertubi-tubi tak satu serangannyapun dapat
mencapai sasaran. Penasaran dia lipat gandakan kecepatan dan tenaga
serangannya.
Tubuhnya
berubah jadi baying-bayang hitam yang melesat kian kemari. Pisaunya
menderu-deru menikam dan membabat.
Jurus-jurus
ganas si nenek membuat Pendekar 212 terdesak sampai tiga jurus.
Wiro
kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengannya. Getaran tanga dalam yang memancar
dari kedua tangannya emmbuat serangan sepasang pisau si nenek seperti tertahan
oleh satu kekuatan yang tidak terlihat.
“Hemmm….Pemuda
ini ternyata memilii tenaga dalam tinggi,” meyadari si nenek. Mak diapun
berlaku cerdik. Dia mulai keluarkan serangan-serangan tipuan dangan tangan
kanan sedanga angan kirir melancarkan serangan sungguhan.
“Tua
bangka ini licik juga!” kata Wiro dalam hati. Dia membuat gerakan mundur
sebagai pancingan. Ketika lawan mengejar Wiro membungkukkan tubuhnya lalu
tangannya bergerak melancarkan jurus pukulan Kepala Naga Menyusup Awan.
Tangan
kanannya mencuat ke atas, laksana seekor naga mematuk ke arah tangan kanan si
nenek. Perempuan tua ini berseru kaget dan cepat tarik tangan kananya. Tapi
terlambat. Lima ujung jari Pendekar 212 yang disusun rapat dan dikeraskan telah
lebih dulu menghujam di pergelangan tangannya.
Si nenek
terpekik. Pisau yang dipegangnya terlepas dan cepat disambar oleh Wiro. Sambil
melompat mundur kesakitan, dengan mata melotot nenek itu memandang tak berkesip
pada Pendekar 212. Wiro sendiri kini tegak dangan tangan kiri bertolak pinggang
sedang tangan kanan menimang-nimang belati milik si nenek.
“Pemuda
mesum! Siapa kau sebenarnya?” bertanya si nenek.
“Kau yang
lebih tua coba katakana siapa dirimu sesungguhnya!” membalas Wiro.
Ucapan
ini membuat si nenek jadi tidak enak. Dia berkata. “Saat ini aku bersedia
mengalah. Biar urusan kita anggap selesai. Kau boleh pergi. Biar aku mengurus
muridku itu.” Wiro tertawa.
‘Maaf
saja Nek. Aku terpaksa jual mahal sekarang! Kalau kau tidak mau menerangkan
siapa dirimu, juga mengatakan sengan jujur apa hubunganmu dengan pemuda ini,
terpaksa aku yang memintamu agar lekas-lekas minggat dari sini! Kau harus pergi
mencari tukang gunting untuk mencukur rambutmu yang jabrik itu!”
Si nenek
tmapak marah sekali dan menjadi mengkelap.
“Siapa
aku tidak bisa kukatakan. Tapi pemuda itu memang muridku!” jawab si nenek
hambpir berteriak.
Wiro
menyeringai. “Kau boleh pergi dengan aman Nek!” katanya.
“Aku akan
membawa serta muridku!”
“Tidak
bisa!”
“Keparat!
Kenapa tidak bisa?!”
“Aku tahu
siapa muridmu sebenarnya!”
Si nenek
melengak. “Maksudmu apa?!” bentak orang tua ini.
“Muridmu
bukan seorang lelaki! Tapi seorang permpuan!”
Si nenek
terpekik. Lalu seperti orang gila dia menyerbu ke arah Wiro. Di tangan kanannya
ada sebuah benda bulat. Benda ini dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Menyangka
benda itu adalah senjata rahasia, Wiro cepat menghantam dengan tangan kiri yang
mengandung tenaga dalam tinggi. Terdengar suara letupan keras yang disertai
menebarnya asap hitam tebal. Wiro cepat melompat menjauhi. Tetapi tempat
sekitar situ sudah keburu tertutup asap tebal yang menghalangi pemandangan.
Tangan di
depan matapun sulit untuk dilihat.
Ketika
akhirnya asap hitam itu perlahan-lahan pupus dan keadaan di tempat itu menjdai
terang seperti semula, Wiro dan si nenek yang tegak saling berhadaphadapan
menjadi terkejut. Pemuda yang pingsan di atas tanah tak ada lagi di tempat itu!
“Muridku
lenyap! Kau yang punya gara-gara!” teriak si nenek marah sekali.
“Tua
bangka goblok! Kalau kau tidak berlaku tolol melepas bola asap tadi tidak akan
terjadi urusan gila begini! Muridmu dilarikan orang salahmu sendiri!”
balik
mendamprat Wiro. Saat itu matanya melihat ujung ranting di salah satu semak
belukar bergoyang-goyang. Lalu di ujung ranting ada secarik robekan kain.
Ketika ditelitinya dia merasa yakin itu adalah robekan pakaian pemuda yang
pingsan tadi.
Berarti
siapapun yang melarikan pemuda itu , orangnya lari ke jurusan sini. Tanpa pikir
panjang Wiro segera berkelebat mengejar. Si nenek tak tinggal diam. Dia ikut
berkelebat ke jurusan larinya Wiro. Jengkel merasa diikuti Pendekar 212
balikkan tubuh dan tegak menghadang.
“Aku tak
suka kau ikuti! Uusan bisa jdai salah kaprah kalau kau muncul di mana aku
muncul!”
“Pemuda
sombong! Kemana aku pergi setanpun tidak bisa melarang! Apalagi manusia
sontoloyo macam kau!”
“Kalau
begitu kau tetaplah di sini! Tua bangka jelek!” tukas Wiro. Dia dorongkan kedua
tangannya ke arah si nenek.
Perempuan
tua itu berseru keras ketika dari arah Wiro menderu keluar angin deras laksana
topan prahara. Dia coba menerjang. Tapi tubuhnya terdorong keras. Dia kerahkan
seluruh kekuatannya luar dalam. Di depan sana Wiro sentakkan kedua tangannya.
Tak ampun lagi tubuh si nenek terpental jauh dan punggungnya terbanting ke
sabatang pohon. Dia coba lagi bergerak. Tapi badannya seperti menempel ke
batang poon itu. Sambil menggapai-gapai dia memaki panjang pendek. Namun Wiro
yang barusan melepaskan pukulan sakti bernama Benteng Topan Melanda Samudera
telah lenyap dari tempat itu. Sesaat kemudian dengan susah payah baru si nenek
berhasil melepaskan diri dari tekanan hawa sakti yang tadi dilepaskan Pendekar
212.
Dia
berkelebat ke arah lenyapnya Wiro. Namun nenek ini kembali terdengar memaki
ketika menyadari bahwa dia telah kehilangan jejak pemuda itu!
******************
TUJUH
Pendekar
212 Wiro Sableng hentikan larinya di satu kaki bukit karena kehilangan jejak
orang yang dikejarnya. Sambil memandang berkeliling Wiro berkata dalam hati.
“Aneh,
jejak orang itu sama sekali tidak terlihat di tanah yang becek. Tidak mungkin
orang itu lari tanpa menginjak tanah! Atau dia mempunyai kesaktian sehebat
Dewa?”
Wiro
memandang lagi berkelilig lalu menengadah ke atas memperhatikan pepohonan.
“Heh….?!”
Mudrid Sinto Gendeng keluarkan suara keheranan. Beberapa akar gantung
pohon-pohon besar yang ada di tempat itu kelihatn bergoyang-goyang. Tak ada
angin yang bertiup, tidak kelihatan burung terbang juga tidak tampak bajing
atau binatang pohon lainnya. “Mustahil akar itu bergoyang kalau tidak ada yang
menyentuhnya…..”
Wiro
memutuskan masuk ke dalam rimba belantara di kaki bukit itu. Belum lama dia
bergerak di antara kerapatan pepohonan dan semak belukar tiba-tiba didengarnya
suara orang menarik nafas panjang berulang kali. Lalu ada suara berkata.
“Gila!
Panas sekali hari ini!”
Murid
Sinto Gendeng jadi melengak. “Siapa yang bicara?!” tanyanya dalam hati seraya
memandang kekiri dan kekanan.Tidak kelihatan orang yang berbicara itu.
“Hujan
baru saja reda. Udara masih terasa dingin. Enak saja ada yang berkata panas
sekali hari ini! Dia yang gila agaknya!”
“Uhhh….Uhhh….
Panas betul!”
Terdengar
lagi suara orang tadi. Kali ini daangnya dari arah serumpun semak belukar di
sebelah kanan. Wiro cepat bergerak ke arah semak belukar itu lalu menyibaknya.
“Sialan!
Tak ada siapa-siapa di sini!” maki Pendekar 212 ketika dia tidak menemui orang
yang tadi bicara. Padahal jelas suaranya datang dari arah belik semak belukar
itu!
“Uhh…Uhhh…
Panasnya benar-benar gila! Tubuhku sudah mandi keringat!
Untung
hujan tidak turun. Kalau turun pasti udara lebih panas lagi!”
“Benar-benar
gila!” maki Wiro lagi. “Siapa yang bicara seperti itu?!” Dia melangkah cepa ke
arah kiri. Karena suara yang barusan didengarnya datang dari balik sebatang
pohon besar. Namun begitu sampai di balik pohon tetap saja dia tidak menemukan
siapapun! Murid Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir keras.
“Orang yang barusan bicara jelas mempergunakan ilmu memindahkan suara.
Hingga
suaranya terdengar datang dari satu jurusan tetapi dia sendiri tidak ada di
tempat itu. Tapi otaknya miring. Aku hendak dipermainkannya! Hemmm…. Orang gila
harus dilayani secara gila!” Wiro garuk-garuk lagi kepalanya. Lalu dia mulai
menceloteh.
“Gila!
Memang gila udara hari ini! Panas luar biasa. Matahari seperti di atas batok
kepala! Ah, ingin rasanya mandi di kali. Tapi air kalipun pasti panas! Sialan!”
Wiro
diam. Suasana sunyi. Tapi tidak lama. Sesaat kemudian terdengar suara orang
tadi. “Nah apa kataku! Udara hari ini memang panas! Buktinya ada orang gila
yang barusan berucap begitu!”
“Sial
dangkalan! Aku dikatakan gila!” Wiro bantingkan kaki. Tangan kanannya diangkat
lalu dipukulkan ke arah rerumputan semak belukar. Dari balik semak belukar itu
tadi datangnya suara yang mengatakannya orang gila.
“Braakkk!”
Semak
belukar mental berantakan terkena pukulan tangan kosong mengandung tanaga dalam
yang dilepaskan Pendekar 212. Tak ada suara keluhan kesakitan, apalagi jeritan.
Untuk beberapa lamanya murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi tegak terdiam di
tempatnya. “Setan, aku benar-benar dipermainkan!”
Baru saja
Wiro membatin serperti itu tiba-tiba orang tadi kembali terdengar berucap.
“Kekasihku, ada orang gila dalam hutan ini. Sebaiknya kita menyingkir saja!”
Suara
terdengar tepat di atas kepala Pendekar 212. Wiro mendongak ke atas.
Astaga!
Sekali ini rupanya orang yang bicara tidak menggunakan ilmu memindahkan suara
lagi. Karena suaranya yang dating dari atas dan ketika dilihat dan ternyata dia
memang ada di atas pohon. Yang mengejutkan Wiro ialah ketika menyaksikan bahwa
orang yang bicara dilihatnya duduk di ujung cabang sebatang pohon. Di tangan
kanannya ada sehelai kipas lipat yang tiada hentinya digoyang-goyangkannya ke
wajah yang penuh keringat!
Orang
aneh ini mengenakan pakaian lucu. Celananya jelas terbalik. Bajunya juga
sengaja dipakai terbalik. Bagian belakang ditempatkan sebelah depan sedang
bagian depan yang ada kancingnya diletakkan di sebelah punggung! Mukanya bundar
merah dan tubuhnya gemuk bulat. Kedua matanya besar dan kepalanya memakai
sehelai peci hitam yang kupluk kebesaran.
Yang
lebih membuat Wiro terkejut adalaj ketika menyaksikan, pemuda yang tengah
dicarinya ternyata ada di samping si orang aneh, masih dalam keadaan pingsan
dan punggung bajunya terkait pada ujung sebuah ranting. Tubuh ini tergantung
terkatung-katung dan bergoyang-goyang ke atas ke bawah! Kalau ranting yang
mangait bajunya patah, tak ampun lagi pemuda tersebut akan jatuh ke tanah.
“Manusia
aneh. Kepandaiannya pasti luar biasa!” kata Wiro dalam hati sambil garuk-garuk
kepala. Lalu dai berseru. “Sobat di atas pohon! Hati-hati! Harap kau turunkan
sahabatku yang terkait di ujung ranting itu!”
Orang di
atas pohon memandang ke bawah ke arah Wiro. Mulutnya menyeringai. “Di atas
dunia, orang gila tidak punya sobat tidak punya sahabat!” katanya membalas
seruan Wiro tadi.
“Edan!”
maki Wiro dalam hati. “Orang di atas pohon! Kau melarikan sahabatku masih bisa
kumaafkan. Tapi kalau kau mempermainkan jiwanya di ujung ranting itu dan
samapai jatuh, aku akan menggebukmu sampai setengah mati!”
“Digebuk
setengah mati itu justru enak! Yang tidak enak kan kalau digebuk mati betulan!”
jawab orang gemuk di atas pohon.
“Gemuk
konyol!” teriak Wiro. “Kalau sudah mampus kau mana bisa merasakan enak atau
tidak enak!”
“Eh!
Makianmu membuat udara tambah panas!” kata orang di aas pohon lalu kembali
berkipas-kipas. “Jangan berani memaki lagi! Nanti aku kipas!”
“Kalau
kau tidak segera menurunkan sahabatku itu dari atas pohon aku akan mengambilnya
dan jangan menyesal kalau kau kebagian bogem mentah atau tendangan dariku.”
Mengancam Wiro.
“Hidup
delapan puluh tahun sekalipun aku tidak pernah menyesal. Lagi pula siapa
percaya kalau orang ini adalah sahabatmu. Bisa kau membuktikan?!” bertanya si
gemuk bulat di atas pohon.
“Persetan
dangan urusan bukti membukti. Yang jelas kau telah melarikan sahabatku itu.
Kini kau mempermainkan jiwanya dan menggantungnya di ujung ranting!” Dalam pada
itu Wiro jadi terheran-heran. Orang gemuk di aas pohon mengaku usianya delapan
puluh tahun. Padahal melihat wajah dan keadaan kulit badannya paling bantar dia
berusia dua puluh lima tahun!”
“Ternyata
kau bukan saja gila, tetapi juga tolol! Aku tidak merasa melarikan orang ini!”
“Lalu
bagaimana dia bisa tergantung di atas pohon sana. Dan kau juga ada di pohon
itu!”
“Soal
sama-sama di satu pohon bisa saja merupakan kebetulan!” jawab orang itu
seenaknya lalu tertawa gelak-gelak yang membuat Wiro tambah jengkel.
“Bagaimana
dia bisa tergantung di ujung ranting nanti kau bisa Tanya sendiri padanya kalau
dia sudah siuman! Sekarang kau lebih baik pergi! Ada lebih dari dua orang di
tempat ini embuat udara jadi tambah panas!” Lalu si gemuk di atas pohon kembali
berkipas-kipas.
“Kalau
kau tidak mau menurunkan pemuda sahabatku itu, terpaksa aku naik ke atas
pohon!”
“Sudahlah,
jangan banyak omong. Aku tahu kau ingin menolong orang ini karena sebenarnya
dia adalah kekasihmu. Paling tidak kau sudah tergila-gila padanya!
Jangan
kira aku tidak tahu siapa adanya orang yang kau katakan pemuda ini!”
“Kunyuk
berkopiah kupluk di atas pohon itu rupanya sudah tahu siapa adanya pemuda itu.
Jangan-jangan dia sudah menggerayangi tubuh perempuan itu!” Lalu Wiro bertanya.
“Hai! Bagaimana kau tahu kalau pemuda itu sebenarnya adalah perempuan?”
Yang
ditanya tersenyum-senyum lalu menjawab. “Ada dua buah bisul besar di dadanyakiri
kanan! Ha… ha… ha…!
Meskipun
jengkel tapi Wiro tidak dapat menahan ledakan tertawanya mendengar kata-kata
orang di atas pohon. Selagi dia tertawa bergelak, orang itupun ikut-ikutan
tertawa. Tubuhnya bergoyang-goyang. Akibatnya ranting di mana pemuda itu
terkait ikut bergoyang-goyang. Wiro menahan nafas kawatir si pemuda akan jatuh
ke tanah. Karena tidak sabar lagi murin Eyang Sinto Gendeng segera melompat ke
atas. Tangan kirinya didorongkan ke arah si gemuk. Satu gelombang angin
menyambar. Dengan sigap Wiro pergunakan tangan kanannya untuk menyambar sosok
tubuh pemuda yang tergantung dalam keadaan pingsan di ujung ranting.
Orang
gemuk berpakaian terbalik di atas pohon goyangan kaki kanannya.
Gerakannya
acuh tak acuh. Tapi gerakan kaki itu tidak lain adalah satu serangan berbahaya
yang mengeluarkan dan mengarah rusuk kiri Pendekar 212. Mau tak mau dia
terpaksa mengelak. Akibatnya sambaran tangan kanannya ke tubuh pemuda
tergantung di ujung ranting menjadi gagal.
Dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya Wiro kembali melompat.
Tangan
kiri lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Tubuh si gemuk tampak
bergoyang-goyang tapi hanya sesaat. Tiba-tiba dengan gerakan yang juga
kelihatan acuh tak acuh dia babatkan kipas di tangan kanannya ke bawah.
Murid
Eyang Sinto Gendeng merassakan tubuhnya disambar angin sejuk. Lalu satu
gelombang angin yang dasyat luar biasa menghantamnya dari atas. Dia coba
bertahan. Kerahkan seluruh tenaga luar dan dalam. Tapi tidak berhasil. Tubuhnya
terbanting jatuh dan terjengkang di tanah!
Untuk
beberapa saat lamanya Wiro terhenyak nanar. Ketika dia sadar cepatcepat dia
jatuhkan diri dan berguling menjauh, kalau dalam keadaan seperti itu orang di
atas pohon menghantamnya kembali pasti dia celaka. Tapi si gemuk itu tidak
melancarkan serangan susulan malah kelihatan duduk bergoyang-goyang kaki sambil
berkipas-kipas dan malah kini sambil bersiul-siul.
Wiro
memutar otak. “Kalau kulawan orang gila itu dengan kekrasan mungkin aku akan
menemui kesulitan. Jangan-jangan pemuda di ujung ranting itu juga bakal
celaka!” Wiro garuk-garuk kepala. Lalu dia mendongak dan berseru. “Pangeran!
Hari sudah hampir malam. Kalau malam dating hawa di sini tentu tambah panas.
Bagaimana
kalau Pangeran segera kuantar pulang ke Istana dan pemuda itu biar aku yang
mendukungnya?!”
“Eh!
Siapa yang memanggil aku dengan sebutan Pangeran!” Si gendut muka bulat di atas
pohon memandang kian ke mari celingak celinguk dengan sikap lucu dan tentunya
tidak lupa berkipas-kipas.
“Saya
yang memanggil Pangeran. Hamba sahaya Pengeran!” jawab Wiro dari bawah pohon.
Si gemuk
tertawa gelak-gelak. “Manusia kampret tolol! Aku bukan Pangeran.
Tapi
seorang Raja Di Raja!”
“Ah!
Maafkan hamba sahayamu ini Pangeran. Hamba sampai lupa kalau baru kemarin saja
kau telah diobatkan jadi Raja Di Raja,” kata Wiro sambil menahan geli.
“Bagaimana
Sri Baginda? Kita pulang sekarang? Permaisuri tentu sudah tak sabar menunggu
Sri Baginda di atas tilam….”
“Lagi-lagi
kau kampret tolol! Kau tahu aku Raja bujangan! Belum kawin!
Belu
punya permaisuri! Mungkin…. Mungkin dia akan kujadikan permaisuri!” kata si
gemuk sambil menunjuk dengan ujung kipas pada pemuda yang masih pingsan dan
dikaitkannya di ujung ranting.
“Ah,
lagi-lagi hamba berlaku tolol! Orang itu memang pantas menjadi permaisuri Sri
Baginda. Tapi dia dalam keadaan terluka. Apakah Sri Baginda tidak akan
membawanya turun lalu mengobatinya lebih dulu?!”
Si gemuk
tampak terkejut. Dia memeriksa sekujur tubuh pemuda di ujung ranting. “Astaga!
Kampret kau betul! Calon permaisuriku ini terluka bahu kirinya.
Harus
diobati dengan cepat………”
“Izinkan
hamba membawa turun sang permaisuri itu Sri Baginda,” kata Wiro.
“Kampret!
Aku tidak percaya padamu! Aku tidak mau permaisuriku disentuh makhluk macammu!”
jawab si gemuk. Lalu dia berkipas-kipas tiga kali berturut-turut.
Setelah
itu dia ulurkan tangan kirinya untuk mencekal leher pakaian si pemuda.
Dengan
satu gerakan yang enteng mengagumkan orang gemuk ini melayang turun sambil
membimbing tubuh si pemuda!
Begitu
ampai di bawah si gemuk membaringkan tubuh si pemuda di tanah.
Dia
berpaling pada Wiro. “Hamba sahayaku!” katanya.
“Saya Sri
Baginda…”
“Dari
atas kulihat tampangmu jelek! Sudah dekat begini justru malah tambah jelek!
Wiro
melengak jengkel tapi geli juga ada. Sambil garu-garuk kepala dia berkata. “Sri
Baginda, kita harus segera kembali ke Istana. Sebagai hamba sahaya, saya
bersedia memanggul tubuh permaisuri. Tapi jika Sri Baginda belum percaya,
silahkan pergi, apakah Sri Baginda tidak akan bersantap sekedar mengisi perut
lebih dulu? Istana kita cukup jauh dari sini.”
“Istana
kita cukup jauh dari sini katamu? Hemm….. Betul. Sekali ini kau betul kampret!
Lalu santapan apa yang hendak kau berikan padaku?”
Di dekat
sini ada sebatang pohon yang menghasilkan sejenis buah yang sangat manis.
Dengan izin Sri Baginda saya akan pergi mengambilnya barang sua tiga buah…”
“bagus ,
pergilah cepat!” kata si gemuk yang menganggap dirinya sebagai aja Di Raja.
Wiro
cepat menyelinap di antara semak belukar. Di satu tempat sebelumnya dia telah
melihat sebuah pohon yang berbuah merah. Dia tidak tahu nama buah itu namun dia
tahu kalau buah yang rasanya enak dan sangat manis itu kalau dimakan maka dalam
waktu beberapa saat saja orang yang memakannya akan mulas perutnya lalu akan
bocor terus-terusan sampai isi perutnya kosong!
Tapi baru
saja Wiro bergerak dua langkah si gendut tiba-tiba terdengar memanggil.
“Tunggu!”
“Sial!
Apa lagi maunya si gendut ini. Atau mungkin dia tahu kalau hendak ditipu?!”
******************
DELAPAN
Wiro
hentikan langkah dan berbalik. “Ada apa Sri Baginda memanggil saya?” tanaya
Wiro.
“Permaisuriku…..”
“Kenapa
dengan permaisuri Sri Baginda?” Tanya Wiro “Kampret! Tadi kau bilang
permaisuriku terluka dan harus segera diobati!”
“Ah,
maafkan hamba Sri Baginda. Apakah Sri Baginda segera hendak memeriksa lukanya?”
“Coba kau
telungkupkan tubuhnya! Tapia was kalau kau coba meraba-raba tempat-tempat yang
terlarang!
Wiro
menyeringai. “Masakan hamba berani berlaku kurang ajar terhadap seorang calon
permaisuri!” kata Wiro pula. Lalu dengan hati-hati tubuh si pemuda dibalikannya
hingga kini terbujur menelungkup. Si gendut jongkok di samping kiri.
Dengan
ujung kipasnya dikuakkannya pakaian yang robek di bahu kiri. Kelihatan luka
yang cukup dalam di bahu itu.
“Hemm……
Kalau aku tahu siapa orang yang melukai bahu calon permaisuriku ini, akan
kupatahkan batang lehernya!” kata si gendut. Lalu dia berlutut dan angkat
tangan kanan yang memegang kipas. Perutnya yang gendut tampak mengempis. Wiro
maklum kalau orang ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
“Srettt!”
Kipas di
tangan si gendut membuka lalu kipas ini diusapkannya kesekujur tubuh si pemuda
yang tertelungkup, mulai dari kepala sampai ke ujung kaki. Selesai mengusap si
gendut lipat kembali kipasnya dan selipkan benda ini di pinggang celananya yang
terbalik.
Masih
dalam keadaan berlutut si gendut kemudian usap-usapkan tangannya satu sama
lain. Ketika telapak tangan itu diangkat Wiro melihat warna kulit telapak kanan
telah berubah menjadi sangat merah dan mengeluarkan asap. Ada hawa dingin
keluar dari telapak tangan kanan itu yang terasa sampai tempat Wiro berdiri.
Perlahan-lahan
si gendut menurunkan tangan kanannya. Telapak tangan kanan ditempelkan di luka
pada bahu kiri si pemuda. Kemudian perlahan-lahan tangan itu diangkat. Ketika
tangan kanan diangkat, Wiro jadi melengak. Luka di bahu kiri si pemuda sembuh
sama sekali. Bahkan bekasnyapun tak kelihatan. Meski sudah sembuh tapi si
pemuda masih tetap tertelungkup pingsan.
“Si
gendut gila ini benar-benar memiliki kesaktian seperti Dewa!” kata Wiro dalam
hati penuh kagum. “Siapa dia sebenarnya. Eyang rasa-rasanya tak pernah
menceritakan tentang manusia satu ini….” Lalu Wiro bertanya. “Sri Baginda,
apakah sekarang hamba boleh pergi mengambil buah untuk santapan Sri Baginda
itu?”
“Ya, kau
boleh pergi sekarang….” Jawab si gendut tanpa mengalihkan pandangannya dari
sosok tubuh si pemuda yang tergeletak di tanah.
Wiro
segera berlalu. Tak lama kemudian dia muncul membawa tiga buah berkulit merah
dan keras. Wiro pecahkan buah pertama. Kelihatan isinya yang putih dan menebar
bau harum. Tenggorokan si gendut kelihatan turun naik. Begitu Wiro menyerahkan
buah itu serta merta dimakannya sengan rakus sampai mulutnya mengeluarkan suara
menyiplak.
“Enak
sekali. Manis sakali! Buah apa ini namanya? Tanya si gendut. Sebentar saja buah
pertama itu sudah lenyap ke dalam perutnya. Dia mengulurkan tangan minta buah
kedua. Wiro segera memberikan buah kedua. “Ah luar biasa sedapnya!” kata si
gendut dengan mata sampai terbalik-balik.
“Satu
lagi Sri Baginda……”
Si gendut
mengangguk tapi kepalanya kelihatan miring ke kiri dan matanya kini
terbalik-balik lain, tidak seperti tadi lagi. Tiba-tiba dia letakkan kedua
tangan di atas perut. “Mulas! Perutku mulas!” Kampret! Buah apa yang kau berikan
padaku?”
Si gendut
hendak marah. Tapi perutnya yang mulas tidak tertahankan membuat dia salah
tingkah. “Sialan!” teriaknya.
“Ikuti
hamba Sri Baginda. Ada tempat yang aman untuk buang hajat…” kata Wiro lalu
ditariknya tangan si gendut dan dibawanya menyusup ke balik beberapa semak
belukar. Di balik serumpunan semak belukar lebat dia berhenti. “Nah di sini
tempat yang baik Sri Baginda. Tak ada yang melihat Raja buang hajat besar di
sini….”
“Eh, kau
mau kemana?” Tanya si gendut sambil melorotkan celananya.
“Hamba
akan mencari air untuk pembersih Sri Baginda!” jawab Wiro.
“Tak usah
air. Daun saja!” kata si gendut pula. Lalu mulai jongkok.
“Daun di
hutan ini kebanyakan ada bulunya Sri Baginda. Hamba takut nanti selangkangan
Sri Baginda jadi lecet dan Sri Baginda punya perabotan menjadi bengkak dan
gatal!”
“Ah sudah
! Pergi sana! Jangan lama-lama….”
Si gendut
mengerenyit. Perutnya mulas sekali tapi yang mau dikeluarkan seperti macet.
Begitu
lenyap dari pemandangan si gendut Pendekar 212 Wiro Sableng segera lari ke
tempat di mana pemuda tadi masih tergeletak pingsan. Dengan cepat dipanggulnya
tubuh pemuda itu lalu berkelebat lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak
belukar.
Di
sebelah timur di bagian hutan yang sunyi Wiro henikan larinya. Saat itu sudah
memasuki rembang petang. Dia melihat pemuda itu mengerakkan kepalanya sedikit
ketika dibaringkan di tanah.
“Aku
harus benar-benar memastikan dia memang permpuan…” kata Wiro dalam hati. Lalu
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menganggalkan kain penutup
kepala si pemuda. Begitu kepalanya tersingkap kelihatanlah rambutnya yang hitam
panjang. Wiro membelai rambut itu dan menariknya dengan hati-hati.
Ternyata
rambut itu panjangnya sampai ke pinggang. Dan wajah si pemuda kini kelihatan
aslinya. Wajah seorang permepuan muda berparas cantik sekali.
“Hemmm….”
Wiro garuk-garuk kepala. Selagi dia berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya
tiba-tiba perempuan itu membuka kedua matanya. Pandangannya membentur Wiro.
Mulutnya terbuka hendak menjeri. Wiro cepat menekap mulutnya seraya berkata.
“Saudara jangan takut. Aku bukan orang jahat. Aku seorang sahabat….
Tekapanku
akan kulepaskan. Tapi ingat, jangan menjerit….” Wiro kawatir kalau ssampai
perempuan itu mengeluarkan jeritan akansempat terdengar si gendut gila berkepandaian
tinggi itu. Wiro belum lepaskan tekapannya karena dirasakannya mulut perempuan
itu bergerak-gerak entah hendak mengatakan sesuatu entah hendak berteriak.
“Dengar
namaku Wiro Sableng. Aku menemukanmu di kali sewaktu kau diserang oleh tiga
orang yang aku tidak kenal…..”
Sepasang
mat aperempuan itu terpejam sesaat. Perlahan-lahan Wiro melepaskan tekapannya.
Perempuan itu coba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Lalu tangan
kanannya meraba ke bahu kiri. Wiro cepat berkata. “Waktu kau melompat ke dalam
perahuku, salah seorang penyerang berhasil melukai bahu kirimu. Tapi sekarang
luka itu sudah sembuh. Ada seorang sakti yang mengobatimu!”
“Orang
sakti? Bukan kau…?” Tanya perempuan itu dengan suara halus perlahan.
“Bukan,
aku idak memiliki ilmu sehebat dia….”
“Sekarang
dimana orang sakti itu…?”
“Jauh di
dalam hutan sana. Aku sengaja membawamu lari daridia karena dia hendak
mengambilmu jadi permaisuri….”
Perlahan-lahan
perempuan itu bangkit dan duduk di tanah. “Kau jangan bicara ngacok!”
“Aku
tidak ngacok Saudari,” jawab Wiro. “Aku akan ceritakan padamu apa yang telah
terjadi setelah kau jatuh pingsan dihantam batangan pohon. Tapi aku ingin kau
memberi tahu namamu lebih dulu….”
“Saudari….?!”
Tiba-tiba perempuan itu saperti ingat sesuatu. Diraba kepalanya. Baru
disadarinya rambutnya yang hitam panjang telah tersingkap dan tergerai lepas.
Sesaat wajahnya tampak berubah. Dia juga ragu-ragu untuk
mengatakan
namanya. “Jangan-jangan kau adalah kaki tangan Kebo Panaran dan kawan-kawannya….”
“Siapa
Kebo Panaran?” Tanya Wiro.
Yang
ditanya tidak menjawab. Dia memandang jauh ke depan. Lalu tampak kedua matanya
berkaca-kaca. Tidak dapat membendung tangisnya akhirnya perempuan muda ini
menangis. Mula-mula perlahan, tapi lama-lama tangisnya jadi keras.
Wiro
melangkah bingung mundar mandir sambil garuk-garuk kepala. “Saudari hentikan
tangismu. Kalau terdengar oleh orang itu urusan bisa jadi berabe. Aku tak akan
sanggup lagi menolongmu!”
Perempuan
muda yang duduk di tanah mengusap pipi dan kedua matanya.
Suara
tangisnya perlahan-lahan menyurut. “Aku tak mampu mengingat lagi… Ceritakan apa
yang terjadi selama aku pingsan.”
Wiro lalu
menuturkan apa yang terjadi yatiu sejak dia melihat permpuan itu diserang oleh
tiga penunggang kuda samapi dia diculik oleh si gendut gila dan akhirnya
berhasil dilarikan oleh Wiro sampai ke tampat itu.
“Kau
telah menolongku. Aku tak athu harus berterima kasih begaiman. Aku ingin segera
meninggalkan tempat ini…”
“Kita
bisa pergi sebentar lagi. Kau tak ingin menceritakan mengapa sebelumnya kau
menyamar sebagai seorang pemuda?”
Perempuan
itu meraba rambutnya kembali. “Orang-orang yang menyerangku di pinggir kali,
salah satu diantaranya adalah manusia terkutuk Kebo Panaran itu. Dua lainnya
Bargas Pati dan Legok Ambengan. Manusia-manusia jahanam! Aku bersumpah untuk
membunuh mereka…”
“Rupanya
ada satu perkara besar antara kau dangan orang-orang itu?”
Perempuan
itu mengangguk. “Perkara besar. Amat besar,” katanya perlahan.
“Jika kau
tidak mau menceritakan tidak jadi apa. Tapi aku punya firasat kau berada dalam
bahaya besar…”
Perempuan
itu terdiam sesaat. “Sejak dilahirkan aku sudah hidup dalam bahaya. Kedua orang
tuaku tewas dalam perang saudara. Selama masa peperangan aku dibawa ke
mana-mana. Setelah aku kawin ternyata hidupku tidak terlepas dari bahaya…”
‘Maafkan
aku, aku kira kau masih gadis…” kata Wiro sambil tersenyum dan menggaruk
kepala. Ucapan ini membuat perempuan di hadapannya menjadi merah parasnya. Wiro
segera mengalihkan pembicaraan. “Kau ingin kita segera pergi dari sini sekarang
juga?”
“Tunggu,
ada hal penting yang ingin kutanyakan. Tentang nenek berjubah hitam dan
berambut kasar itu. Ketika kau berkelahi dengan dia apakah kau menciderainya?”
“Tidak.
Ada keraguan pada diriku saat itu. Kawatir kalau dia memang gurumu…”
“Dia
memang guruku walau hanya sempat mengajarku lima silat selama tiga bulan…” kata
perempuan muda itu pula. “Aku harus segera mencarinya. Aku butuh bantuannya
menghadapi tiga manusia terkutuk itu.”
Wiro
hanya berdiam diri. Perempuan di depannya menatap wajahnya beberapa lama lalu
bertanya. “Kau kecewa kalau aku tidak mau menceritakan siapa diriku dan apa
yang telah terjadi padaku?”
Wiro
hanya tersenyum dan gelengkan kepala.
“Kurasa
kau orang baik dan mungkin bisa kupercaya. Baiklah, akan kukaakan siapa diriku.
Namaku Antini. Suamiku Lor Kameswara. Tapi dia sudah tewas.
Dibunuh
secara keji oleh Kebo Panaran dan tiga kawannya….”
******************
SEMBILAN
Bukit
kecil subur itu terletak di sebelah barat Kali Bogowonto, tak berapa jauh dari
Banyuurip. Di sebuah rumah seorang lelaki berusia sekitar setengah abad tengah
membersihkan biji-biji kopi dalam tiga buah keranjang besar. Dia telah
melakukan pekerjaan itu sejak pagi. Kelihatannya pekerjaan ringan saja tetapi
cukup melelahkan dan membuat tubuhnya pegal serta keringatan.
Karena
tenggorokannya terasa kering lelaki ini mengambil kendi tanah berisi air putih
lalu meneguknya. Selagi dia meneguk air inilah kedua matanya melihat lima orang
penunggang kuda muncul di kaki bukit sebelah barat dan bergerak ke arah
rumahnya.
Tak
berapa lama kemudian muncul lima penunggang kuda itu sudah memasuki halaman.
Ternyata mereka empat orang lelaki berpakaian kumal berambut panjang
riap-riapan dan bertampang sangar. Yang satu lagi seorang perempuan berpakaian
dan berikat kepala kuning. Wajahnya tak kalah seram dengan empat lelaki itu.
Kelima
penunggang kuda berhenti di depan rumah lalu turun dari kuda masing-masing.
Yang sebelah depan yaitu yang berubuh tinggi hitam, berewok dan berkumis tebal
berdiri berkacak pinggang sementara tiga lainnya tegak sambil menyeringai.
“Lor
Kameswara! Kau tidak mengenali kami lagi?!” Tanya si berewok dengan suara
lantang.
“Astaga!
Kalau tidak mendengar suaramu aku hampir lupa! Kebo Panaran!”
menyahut
lelaki di dalam rumah lalu melompat berdiri, menubruk dan merangkul si tinggi
hitam berewok. Dia juga memeluk empat orang lainnya sambil menyebut nama mereka
satu persatu. “Bargas Pati, Tunggul Anaprang, Legok Ambengan dan Ambar
Parangkuning!”
Orang
yang terakhir yakni perempuan berbaju kuning yang pada pinggangnya
bergelantungan selusin pisau belati tertawa tinggi lalu berkata. “Tidak salah
kalau dia tidak mengenal kita lagi. Habis, tampang dan pakaian kita dekil lecak
seperti ini! Hik…hik…hikkk!
Empat
kawannya menyeringai sedang si pemilik rumah yang bernama Lor Kameswara tertawa
lebar. Dia mempersilahkan kelima orang itu masuk dan duduk di atas sehelai
tikar lebar.
“Kau
kelihatan hidup tentram di sini Lor Kameswara,” kata lelaki bernama Bargas
Pati. Kepalanya botak. Tubuhnya gemuk. Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala
serba merah.
Yang
bernama Legok Ambengan ulurkan kepalanya ke dekat keranjang kopi.
“Kau
sudah jadi petani kopi rupanya. Dan sedang panen! Wah, kami datang tepat pada
waktunya untuk dapat menikmati kopi hasil kebunmu!”
“Jangan
kawatir. Akan ku buatkan kopi untuk kalian berlima,” kata Lor Kameswara. Lalu
di bertanya “Selama ini kemana saja kalian menghilang?”
“Siapa
bilang kami menghilang!” kata Kebo Panaran sambil mengusap berewoknya. Dia
berpaling pada kawan yang duduk di sebelahnya. “Legok, coba kau katakana pada
bekas pimpinan kita ini apa saja yang kita lakukan selama ini!”
Legok
Ambengan yang berpakaian serba hijau dengan dua golok tersisip di pinggangnya
kiri kanan bersandar ke dinding rumah. Sambil melunjurkan kedua kakinya dia
berkata “Satu bulan setelah pertemuan kita terakhir, kami berhasil menjebak
serombangan pasukan kerajaan. Mereka berjumlah dua belas orang dan membawa
barang-barang cukup berharga. Setelah itu kami berhasil menyusup masuk ke dalam
rumah kediaman Pangeran Blorong. Sejumlah harta dan uang kami rampas.
Bahkan
dua orang selir sang Pangeran sempat kami ajak berkeliling selama dua bulan.
Kami juga
sempat bergabung dengan para penjahat di hutan sebelah utara. Kami berhasil
mengumpulkan sejumlah harta kekayaan. Digabung dengan yang kita dapatkan di
masa perang tempo hari, kita berlima, berenam dengan kau boleh dibilang sudah
jadi orang-orang kaya baru…”
“Kalau
begitu kalian semua bisa menjalani hidup senang, tak perlu bekeliaran lagi”
kata Lor Kameswara.
“Maunya
memang begitu” menyahuti Kebo Panaran. “Tapi kami merasa peperangan belum
selesai. Itu pula sebabnya kami dating menemuimu. Kau bekas pimpinan kami di
masa perang. Sampai saat ini kami tetap menganggapmu sebagai pemimpin. Kami
datang untuk minta kau pimpin kembali guan melanjutkan perjuangan”
Sesaat
Lor Kameswara seperti tercengang mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu.
“Kawan-kawan, sakit hai kita terhadap Raja yang sekarang memang tak bisa lenyap
samapi kapanpun. Tetapi adalah sanagat berbahaya kalau kalian menjalani hidup
sebagai penjahat dan perampok malah berani memasuki tempat kediaman Pangeran
Blorong menculik dua selirnya dan membunuh pasukan kerajaan. Kalian akan jadi
sasaran pengejaran seumur hidup. Kalian bisa celaka. Kita semua bisa celaka!”
“Kau
kedengarannya seperti takut pada kerajaan, Lor Kameswara. Mana keberanian yang
pernah kau tunjukkan di masa perang dahulu?”
“Kebo
Panaran, sekarang keadaan sudah berubah,” kata Lor Kameswara pula.
“Maksudmu
berubah bagaimana?” Tanya Legok Ambengan. “Apanya yang berobah. Kau bilang
perang sudah berakhir. Kami mengatakan tidak!”
“Kau
keliru Legok. Perang nyata-nyata telah berakhir sejak jatuhnya Sri Baginda yang
lama tewas di tangan Raja yang sekarang memerintah. Ini kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri sahabat-sahabatku!”
Kebo
Panaran tertawa. “Kau keliru Lor Kameswara. Apa kau tidak tahu bagaimana
sisa-sisa perajurit kerajaan yang masih setia dengan Raja lama kini menyusun
kekuatan. Di mana-mana mereka melakukan perang susup atau perang gerilya. Walau
sedikit demi sedikit tetapi secara pasti mereka menggerogoti kekuatan Kerajaan
hingga satu ketika akan lumpuh dan hancur!”
“Kekuatan
pasukan yang setia pada Sri Baginda lama terlalu kecil. Terpencarpencar.
Mereka
mudah dihancurkan oleh pasukan Kerajaan.”
Kebo
Panaran geleng-gelengkan kepala. “Buktinya sampai saat ini pasukan Kerajaan
tidak mampu menghancurkan kami berlima!”
“Mungkin
sekarang tidak sahabatku! Ta pi percayalah. Kerajaan sekarang benar-benar kuat.
Mereka memiliki perajurit yang terlatih, perwira yang tangguh serta dibantu
oleh belasan tokoh-tokoh silat tingkat tinggi…”
“Itu
betul,” memotong Bargas Pati. “Tetapi apakah kita akan jadi patah semangat
hanya karena kelemahan yang tidak berarti itu? Kita bisa mengumpulkan harta dan
uang untuk membeli atau membuat senjata. Untuk menggembleng semua perajurit
kita bahkan kalau perlu membeli perwira dan okoh silat Kerajaan!”
“Aku
yakin tidak semudah itu melakukannya sahabat-sahabat,” kata Lor Kameswara pula.
“Sudahlah,
tak usah kita ributkan lagi soal apakah perang sudah selesai atau belum. Yang
jelas kami minta kau jadi pemimpin kami kembali. Kita akan kumpulkan kawan-kawan.
Bentuk pasukan baru. Kita pasti menang Kameswara.”
Yang
bicara adalah Ambar Parangkuning.
Di masa
perang saudara antara Ambar Parangkuning dan Lor Kameswara terjalin hubungan
mesra. Tapi hubungan itu keburu diketahui oleh istri Lor Kameswara sehingga perempuan
ini dalam marahnya melarikan diri. Malang baginya di tengah jalan dia diserang
penyakit menular dan akhirnya menemui ajal. Lor Kameswara merasa sangat
bersalah dan berdosa besar. Setelah perang selesai dia sama sekali tidak mau
melanjutkan hubungan dengan Ambar Parangkuning walau perempuan ini sebenarnya
sangat mengharapkan untuk diambilnya jadi istrinya. Lor Kameswara sendiri
kemudian mengucilkan diri di tempat sepi.
“Maafkan
aku Ambar,” menjawab Lor Kameswara. “Aku sudah terlalu tua memimpin satu perjuangan
yang sia-sia. Kebo Panaran bisa kalian jadikan pemimpin baru. Aku ingin di sisa
usiaku menikmati hidup yang tenteram….. Aku akan hidangkan kopi untuk kalian.”
Lalu Lor Kameswara berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian
dia keluar lagi membawa sebuah nampan kayu. Di atas nampan terdapat enam buah
cangkir tanah dan sebuah teko besar berisi kopi panas. Di atas nampan itu masih
ada sebuah piring kaleng besar berisi pisang goreng.
Kepulan
asap kopi yang harum serta sedapnya bau pisang goreng membuat air liur kelima
orang itu jadi berdecak.
Hidung
mereka kembang kempis. Dan mata mereka tiba-tiba saja menjadi membesar. Seorang
perempuan sanga muda, mungkin masih gadis, berkulit kuning langsa dan berwajah
cantik sekali serta memiliki potongan tubuh yang menggiurkan melangkah di
belakang Lor Kameswara. Orang-orang itu bertanya-tanya siapa adanya si jelita
yang menurut dugaan mereka berusia sekitar dua puluh tahunan itu.
Kebo
Panaran mengusap berewoknya. Kedua matanya tak berkesip. Tunggul Anaprang
membasahi bibir dangan ujung lidah berulang kali sedang Legok Ambengan dan
Bargas Pati seperi orang tersirap sihir, memandang tak bergerak dan tak
berkedip. Ambar Parangkuning tampak tenang saja. Namun diam-diam dalam dadanya
muncul satu getaran rasa cemburu.
“Tidak
kusangka kau menyimpan seorang dara jelita di rumah ini, Lor Kameswara!” kata
Kebo Panaran pada Lor Kameswara tetapi matanya memandang pada perempuan itu
dengan pandangan mata seperti hendak menelanjangi.
“Kami
tahu dari istrimu dulu kau tidak memiliki anak. Siapa gerangan bidadari ini
Kameswara?” Tanya Tunggul Anaprang pula sambil mengusap muka yang pucat
berulang kali.
Lor
Kameswara tersenyum. “Ini Antini, istriku….” Menerangkan Lor Kameswara.
Karena
tidak menduga sama sekali, karuan saja keempat lelaki itu jadi terkejut dan ada
yang keluarkan seruan tertahan. Sementara itu paras Ambar Parangkuning
kelihatan berubah.
“Istrimu
katamu Kames?” Tanya Bargas Pati.
“Betul…?”
Lor Kameswara meletakkan nampan di lantai yang beralaskan tikar. Kelima
kawannya jadi saling pandang.
“Kini aku
tahu. Rupanya ini sebabnya. Kau tak mau lagi meneruskan perjuangan, tak mau
lagi ikut perang karena kini kau sudah punya istri cantik jelita!” kata Kebo
Panaran.
“Boleh
saja kau bilang begitu. Tapi alasanku tadi sudah kukatakan. Aku ingin hidup
tenteram….”
Tunggul
Anaprang menyeringai. “Usia kalian pasti terpaut jauh. Istrimu ini sebenarnya
pantas jadi anakmu! Ha… ha… ha!”
Paras
istri Lor Kameswara jadi merah mendengat kata-kata itu. Lor Kameswara sendiri
merasa tidak enak dengan ucapan Tunggul Anaprang tadi. Namun dia tenang saja.
“Antini masih keponakan mendiang istriku. Dia anak baik. Kami tahu perbedaan
umur kami yang menyolok. Tetapi dia merasa berjodoh denganku. Kalau tidak ada
dia, siapa yang akan merawat tubuh keropok ini!”
“Kau
benar-benar tua bangka yang beruntung…” kata Legok Ambengan sementara Lor
Kameswara menyuruh istrinya menuangkan kopi hangat ke dalam enam cangkir tanah.
“Selagi
masih hangat silahkan kalian minum kopinya. Juga pisang gorengnya agar dicicipi,”
mempersilahkan tuan rumah.
Namun
tidak ada satu orangpun yang bergerak. Kecuali Ambar Parangkuning, leleaki yang
lima itu sama memperhatikan Antini melangkah masuk ke dalam rumah.
Betisnya
yang putih bagus dan tersingkap ketika melangkah membuat para lelaki yang
selama ini hanya berada dalam rimba belantara menjadi terangsang dan
berangan-angan kotor. Beberapa lama kemudian baru mereka meneuk minuman
masing-masing.
“Sedap
sekali kopi buatan istrimu,” memuji Legok Ambengan. “Kapan aku bisa mendapatkan
istri seperti istrimu itu!” Ucapan lelaki ini membuat kawankawannya yang lain
tertawa bergelak. Tetapi mereka sebenarnya tengah tenggelam dalam jalan pikiran
masing-masing. Ketika Kebo Panaran memandang padanya, Legok Ambengan kedipkan
mata kirinya. Kebo Panaran yang maklum akan arti kedipan mata itu membalas
dengan seringai. Tiba-tiba Kebo Panaran berdiri. “Aku ingin mencuci muka.
Wajahku terasa lengket oleh debu jalanan. Di mana letak sumur?”
“Di
halaman belakang. Mari kuantar,” kata Lor Kameswara pula.
“Tak
usah, aku bisa pergi sendiri!” Lalu Kebo Panaran bergegas masuk ke dalam rumah,
terus menuju halaman belakang. Tetapi sebenarnya bukan mencari sumur itu yang
hendak dilakukannya. Melainkan dia ingin melihat Antini yang cantik jelita
tadi, yang telah membakar aliran darahnya.
Istri Lor
Kameswara itu ternyata berada tidak jauh dari sumur di halaman belakang, tengah
menampi beras membelakanginya. Begitu samapi di dekat Antini , langsung saja
perempuan ini disergap dirangkulnya. Tentu saja perempuan ini terkejut dan
terpekik keras. Tampian beras yang dpegangnya terlepas jatuh dan beras
berserakan di tanah.
Di
serambi depan Lor Kameswara melompat dari duduknya begitu mendengar suara
jeritan istrinya dari belakang rumah. Namun baru saja dia hendak berdiri,
Bargas Pati, Legok Ambengan dan Tunggu Anaprang telah mendahului dan tegak
mengurungnya. Hanya Ambar Parangkuning yang masih tetap duduk di atas tikar.
Perempuan
ini sebenarnya sudah maklum apa yang terjadi di belakang sana dan apa yang
hendak dilakukan tiga kawannya itu. Hatinya sebenarnya tidak suka namun
kebencian karena merasa dilupakan begitu saja oleh Lor Kameswara membuat dia
tidak melakukan apa-apa.
Di
belakang sana kembali terdengar jeritan Antini.
“Minggir!”
bentak Lor Kameswara sambil berdiri. Tapi Legok Ambengan cepat menekan kedua
bahunya dari belakang.
“Kau
hendak kemana Kameswara? Tenang-tenang saja di sini. Obrolan kita belum
selesai…’ kata Legok Ambengan. Lor Kameswara merasa kedua bahunya seperti
ditekan oleh dua batu besar yang beratnya puluhan kati. Jelas Legok Ambengan
telah mengerahkan tenaga dalamnya.
“Singkirkan
kedua tanganmu Legok!” bentak Lor Kameswara.
“Tidak,
kecuali kalau kau mengatakan akan bersedia menjadi pimpinan kami lagi dan
berperang melawan Kerajaan!”
Di
halaman belakang lagi-lagi terdengar jeritan Antini.
“Keparat!
Aku tahu ada maksud kotor dan busuk dalam diri kalian berlima!
Awas!
Jika terjadi sesuatu dengan istriku kalian semua akan kubunuh!” Habis berkata
begitu Lor Kameswara tarik kedua tangan Legok Ambengan yang masih menekan
bahunya lalu sambil menjatuhkan diri dia membetot orang yang di belakangnya
itu.
Gerakan
Lor Kameswara secepat kilat dan daya tariknya luar biasa. Orang lain pasti akan
terbetot dan terbanting ke lantai. Tapi tidak demikian dengan Legok Ambengan.
Tubuhnya
memang terbanting ke depan tapi tidak sampai terhampar di lantai serambi.
Kedua
kakinya membuat gerakan cepat dan dia berhasil tegak, bersamaan dengan
bangkitnya Lor Kameswara.
Karena
Legok Ambengan perlu saat untuk mengimbangi dirinya, maka kesempatan ini
dipergunakan oleh Lor Kameswara untuk menghantam lelaki ini dengan satu jotosan
keras kea rah dadanya.
“Bukkk!”
Legok
Ambengan terlempar. Dari mulutnya keluar seruan kesakitan disusul dengan
mengucurnya darah dari mulut. Jelas dia mengalami luka di dalam yang parah.
Tetapi
manusia ini seperti mempunyai kekuatan aneh. Secara luar biasa dia menerjang ke
depan sambil menyemburkan darah yang ada dalam mulutnya ke muka Lor Kameswara.
Ludah campur darah menodai wajah Lor Kameswara.
Mendidih
darah bekas perwira Kerajaan ini. Didahului bentakan keras Lor Kameswara
kembali hendak menggasak orang di depannya itu. Namun dari kiri kanan saat itu
Tunggul Anaprang dan Bargas Pati bergerak cepat dan lancarkan serangan tangan
kosong yang dahsyat.
Sebagai
seorang bekas perwira Kerajaan Lor Kameswara memang memiliki kepandaian tinggi
disbanding dengan kawan-kawannya seperjuangan dulu. Namun dikeroyok tiga
membuat dia serta merta terdesak.
“Aku
tidak harus melayani masing-masing keparat ini. Aku harus menolong Antini.
Sesuatu terjadi di belakang sana!” kata Lor Kameswara dalam hati. Kaki kanannya
menendang mencari sasaran di perut Legok Ambengan. Serentak dengan itu tangan
kirinya menderu ke arah kepala Bargas Pati. Selagi kedua orang ini membuat
gerakan menghindar Lor Kameswara lepaskan pukulan tangan kosong ke arah Tunggul
Anaprang. Serangkum anagin menderu keras. Tunggul anaprang sudah tahu kalau
bekas pimpinannya itu memiliki tenaga dalam lebih tinggi darinya. Dia tak
berani menangkis karenanya cepat mengelak dangan melompat ke samping. Selagi
dua orang lainnya belum sempat berbuat sesuatu Lor Kameswara cepat menerjang
dan lari ke dlaam rumah, terus berkelebat ke halaman belakang.
“Kebo
Panaran keparat! Kubunuh kau!” teriak Lor Kameswara ketika menyaksikan apa yang
terjadi di halaman belakang dekat sumur.
******************
SEPULUH
Kebo
Panaran seperti orang kemasukan setan merobek pakaian Antini. Nafsu mesum
semakin membakar tubuh lelaki ini begitu dada istri Lor Kameswara itu
tersingkap lebar. Saat itu Legok Ambengan, Bargas Pati, Tunggul Anaprang serta
Ambar Parangkuning sudah berada pula di halaman belakang itu. Tiga lelaki ini
menahan nafas menyaksikan keindahan dada Antini.
“Kebo!
Jangan kau makan sendiri daun muda berwajah bidadari itu!” seru Tunggul
Anaprang. Lalu dia melompat dan mendekap Antini dari samping dan menciumi
oeremouan ini. Di saat yang sama Lor Kameswara telah menyerbu Kebo Panaran
dengan kemarahan yang tidak dapat dilukiskan. Tinjunya menderu ke arah muka
Kebo Panaran. Perkelahian seru segera terjadi tanpa Lor Kameswara menyadari
bahwakeadaan istrinya yang sedang dibelanya itu justru saat itu makin
berbahaya.
Tunggul
Anaprang, Bargas Pati dan Legok Ambengan berebut cepat menggerayangi tubuh
Antini yang benjerit-jerit tiada henti hingga suaranya serak.
“Manusia-manusia
iblis!” kertak Lor Kameswara. Dia memutar tubuh meninggalkan Kebo Panaran,
berkelebat ke arah Legok Ambengan. Tangannya bergerak cepat menyambar satu dari
dua golok yang tergantung di pinggang Legok.
Dengan
senjata itu lalu dia mengamuk. Melihat hal ini Kebo Panaran dan kawankawannya
segera pula menghunus senjata masing-masing. Kebo Panaran mencabut golok
besarnya. Tunggul Anaparang loloskan rantai besi yang menggelung pinggangnya.
Bargas PAti cepat keluarkan celurit besarnya sedang Legok Ambengan juga sudah
mencabut goloknya yang kini hanya tinggal satu.
Kini
perkelahian baralih dari hanya mempergunakan tangan kosong menjadi perkelahian
dengan senjata tajam. Saat itu hanya Ambar Parangkuning yang tidak ikut
mengeroyok dan tetap tegak di tempatnya.
“Antini!
Lari….. Selamatkan dirimu!” teriak Lor Kameswara ketika dia menyadari dirinya
mulai terdessak. Tapi sang istri malah belas berteriak “Kangmas Kames. Saya
memilih mati bersamamu……” Lalu perempuan muda ini menyambar sebilah parang yang
tersisip di dinding belakang rumah. Namun belum sempat dia menyentuh senjata
ini Tunggul Anaprang melompat dai kalangan perkelahian dan menyambar
pinggangnya. Kedua orang itu jatuh beulingan di tanah. Celakanya, ketika berada
di sebelah atas! Langsung saja dia menciumi dan menggerayangi tubuh Antini.
“Kangmas
Kames! Tolong…. Tolong!”
“Tunggul!
Setan kau!” teriak Lor Kameswara. Dia tidak perdulikan lagi para pengeroyoknya,
langsung saja dia berkelebat ke kanan untuk menolong istrinya yang tengah
dinodai oaring. Namun saat itu pula clurit di tangan Bargas Pati menyambar.
Lor
Kameswara masih sempat melihat datangnya senjata lawan. Dia mengelak tapi
terlambat. Ujung clurit membabat pipi kirinya. Darah mengucur deras dari luka
yang terbuka. Antini menjerit keras.
Selagi
Lor Kameswara tertegun sempoyongan sambil pegangi wajahnya yang koyak. Golok
yang tadi dipegangnya sudah terlepas jatuh. Saat itulah Kebo Panaran dating
dari samping menusukkan goloknya ke perut Lor Kameswara.
“Jangan
bunuh dia!” Satu suara membentak.
“Heh?!”
gerakan tangan kanan Kebo Panaran sesaat terhenti. Dia berpaling ke samping,
“Heh?! Betul kau yang barusan bicara Ambar?!”
Ambar
Parangkuning memandang tajam dan tak berkesip pada Kebo Panaran membuat sesaat
lelaki ini jadi tertegun.
“Rupanya
kau masih mencintai dia, Ambar?!”
“Saat ini
kita bukan bicara soal cinta Kebo! Tapi soal persahabatan dan kehormatan!
Betapa keji pribadimu hendak membunuh kawan dan bekas pimpinan sendiri! Lebih
busuk lagi karena kau diam-diam mengatur untuk menodai istrinya!
Aku tidak
suka hal ini!”
“Jika kau
tidak suka, kau boleh pergi dari sini! Tunggu saja di halaman depan sampai kami
seleai!” Yang bicara adalah si botak Bargas Pati.
“Kalian
biadab semua! Rutuk Ambar Parangkuning lalu putar tubuh tinggalkan tempat itu.
Lor
Kameswara merasakan tubuhnya lemas akibat banyaknya darah yang keluar dari luka
di pipinya. Walau amarahnya masih mendidih namun dia seperti lumpuh dan tak
mampu melawan ketika tendangan Legok Ambengan menghanam pinggangnya sebelah
belakang. Tubuhnya terhantar di tanah. Lalu satu tendangan pada kepalanya
membuat pemandangannya serta merta gelap. Megap-megap dan boleh dikatakan sudah
setengah pingsan Lor Kameswara coba bangun. Namun tusukan golok Kebo Panaran ke
lehernya mengakhiri semuanya. Darah menyembur muncrat dari batang leher Lor
Kameswara. Bekas perwira yang malang ini terguling di tanah tanpa berkutik
lagi.
Melihat
suaminya menemui ajal seperti itu ditambah dia tidak bisa melepaskan diri dari
cengekraman Tunggul Anaprang, Antini seperti gila hanya bisa menjerit serak.
“Bunuh!
Bunuh saja aku!” teriak perempuan muda berusia dua puluh tahun ini.
Kebo
Panaran tertawa mengekeh. Sambil menyeka golok berdarahnya ke celana hitamnya
orang ini melangkah mendekati Tunggul Anaprang yang masih bersama Antini.
“Jangan
rakus! Jangan dimakan sendiri Tunggul!” kata Kebo Panaran sambil mencekal baju
biru Tunggul Anaprang lalu menariknya ke atas kemudian dibanting lagi ke tanah!
Dan berkata “Kau dan yang lain-lainnya gotong mayat Kameswara dan cemplungkan
ke dalam sumur!”
“Jang…
jangan….” Kata Antini perlahan yang sudah lemas tak punya kekuatan lagi.
Sesuai
perintah Kebo Panaran tiga orang kawannya segera menggotong jenazah Lor
Kameswara. Lalu jenazah itu dilemparkan ke dalam sumur!
Kebo
Panaran menyeringai. Dia berjongkok di samping Antini yang masih terbaring tak
berdaya di tanah. “Tak ada yang harus kau takutkan. Aku lebih muda dan lebih
gagah dari suamimu si tua bangka tak tahu diri itu. Jika kalau mau selamat
ikuti saja apa mauku dan mau kawan-kawanku. Mari kita bersenang-senang
sebentar!”
“Iblis!
Manusia durjana! Pergi!
Kebo
Panaran hanya ganda tertawa. Perlahan lahan dia buka ikat pinggang besarnya.
Lalu berlutut di samping tubuh Antini. Saat itu perempuan ini sudah tak punya
daya apa-apa lagi. Hanya air mata saja yang masih sanggup dikeluarkannya.
Dadanya
bergoncang keras ketika Kebo Panaran menarik kain panjangnya….Lalu dilihatnya
wajah lain di atas tubhnya. Lalu wajah lain lagi dan lain lagi….. Ini adalah
hari paling terkutuk bagi perempuan muda yang malang itu.
Menjelang
rembang petang keempat orang itu berkumpul di halaman depan rumah Lor
Kameswara.
“Eh, kuda
Ambar Kuning tidak kelihatan!” kata Bargas Pati sambil mengusap mukanya yang
penuh keringat.
“Dia
benar-benar sudah kabur rupanya!” menyahuti Legok Ambengan.
“Kabur
atau kemanapun dia tak usah dipikirkan. Cepat atau lambat dia pasti akan
bergabung lagi dengan kita. Tolol kalau dia pergi mentah-mentah begitu saja.
Apa dia
tidak ingin bagian dari segala harta kekayaan dan uang yang kita simpan di
tempat rahasia itu?!” Kebo Panaran meludah ke tanah. “Sudah jangan banyak
bicara lagi. Cepat tinggalkan tempat terkutuk ini!”
Besamaan
dengan tenggelamnya sang surya dan keadaan mulai gelap karena malam segera
tiba, di halaman depan rumah kediaman Lor Kameswara kelihatan satu bayangan.
Dengan cepat bayangan ini bergerak menuju halaman belakang. Begitu sampai di
halaman belakang orang yang muncul ini terdengar menghela nafas panjang.
Lalu dia
melangkah mendekati sosok tubuh Antini yang tergeletak di tanah. Orang ini
ternyata seorang nenek muka pucat berambut jabrik berjubah hitam gombrong
menjela tanah.
Beberapa
lama dia hanya tegak memandangi sosok tubuh tak bergerak itu dengan muka membesi
dan kedua tangan terkepal. Lalu orang ini membungkuk.
Dipegangnya
pergelangan tangan kiri Antini. Tak terasa denyutan nadi. “Mati…?”
pikirnya.
Lalu diturunkannya kepalanya , diletakkan di atas dada Antini. Perlahan sekali,
antara terdengar dan tidak, si nenek masih dapat menangkap suara detak jantung.
“Ah, dia masih hidup. Tapi keadaannya gawat sekali. Aku harus cepat-cepat
membawanya dari sini dan mengobatinya. Kasihan, kalaupun dia bisa kutolong
apakah batin dan perasaannya bisa diselamatkan?”
Nenek
berjubah hitam itu cepat memanggul Antini di bahu kirinya. Sebelum pergi dia
berpaling kea rah sumur di mana sebelumnya Kebo Panaran dan kawankawannya telah
mencemplungkan Lor Kameswara ke dalam sumur itu.
“Ah, dia
tak mungkin bisa kutolong. Semoga rohnya tenteram di tempat itu….” Si nenek
menghela nafas sekali lagi lalu sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu
bersama Antini. Tempat itu kini hanya diselimuti kepekatan malam dan kesunyian.
Antini
tidak tahu berapa lama dia jatuh pingsan. Sewaktu sadar didapatinya dirinya
tergolek dalam sebuah goa batu yang dinding-dindingnya terasa dingin.
Perempuan
malang ini sesaat menatap langit-langit goa. Dia coba berpikir dan
mengingat-ingat. Tiba-tiba satu goncangan dahsyat melanda benak dan hatinya.
Langsung
dari mulutnya terdengar suara jeritan. Dia akan terus menjerit kalau saja tidak
ada yang muncul. Seorang nenk bermuka pucat dan berambut kaku tegak muncul di
tempat itu. Wajahnya seram tapi suaranya lembut.
“Anakkua,
tabahkan hatimu. Aku tahu penderitaanmu lebih berat dari seisi jagat ini, lebih
dalam dari laut dan lebih tinggi dari langit. Aku mohon kau ingat pada Tuhan.
Dialah yang telah menekdirkan segala sesuatu dalam hidup kita ini. Kau harus
tabah anak. Aku akan menolongmu….”
Antini
bangkit dan duduk bersasndar ke dinding goa. Kejadian hebat yang menimpanya
telah membuat satu perubahan besar dalam diri perempuan yang masih sangat muda
ini. Kalau dulu dia merupakan seorang perempuan yang lenbut dengan segala
kehati-hatian, kini dia tampak begitu kasar dan berani walau sinar matanya
tidak dapat menyembunyikan rasa takut akibat kejadian terkutuk yang dialaminya.
“Kau
boleh panggil aku Nenek Tidar,” jawab si nenek muka pucat. “Kau tak usah takut
padaku. Aku tahu semua yang telah kau alami…..”
Mendengar
ucapan itu Antini langsung menjerit.
“Tenang…..Tenang
anakku,” kata Nenek Tidar. “Kau tidak usah takut. Saat ini kau berada di tempat
yang aman. Dengar, aku akan berusaha menolongmu…”
“Menolongku
Nek? Bagaimana mungkin kau bisa mengembalikan kehormaan dan kesucianku yang
telah dirusak manusia-manusia durjana itu….”
“Kalau
itu memang aku tidak dapat mengembalikannya. Tuhanpun tidak bisa.
Tetapi
kesucian dan kehormatan dalam arti kejiwaan, pasti kau bisa mendapatkannya
kembali.”
“Aku
tidak mengenal kau. Mengapa kau hendak menolongku. Aku curiga….”
Si nenek
menyeringai. “Dalam soal tolong menolong tidak harus kenal satu sama lain lebih
dahulu. Juga tak perlu rasa curiga padaku…..”
“Nek, kau
tahu apa yang ingin kulakukan saat ini?” tanya Antini.
Si nenek
menggeleng. “Coba kau katakan, anakku.”
“Aku
ingin bunuh diri! Menyusul suamiku!” Habis berkata begitu Antini kembali
menjerit lalu menangis keras.
Nenek
Tidar menghela nafas dalam lalu gelengkan kepala sambil membelai rambut
perempuan muda di hadapannya itu.
“Anakku,
jika kau bunuh diri dan mati, berarti selesailah kejahatan yang dilakukan oleh
keempat manusia durjana itu. Kejadian pada hari terkutuk itu akan dilupakan
orang. Berarti mereka tidak akan pernah menerima pembalasan. Kau seperti gila
menghadapi kenyataan keji yang menimpa dirimu. Tapi apakah kau tidak merasa
gila untuk bertekad menuntut balas aas perbuatan terkutuk yang mereka lakukan
terhadapmu? Apakah kau tidak punya niat untuk membalas kematian suaamimu?!
Mereka telah membuat satu hari terkutuk bagimu. Apakah kau tidak bertekad untuk
balas memberikan hari-hari terkutuk pada mereka?”
Si nenek
memmandang tak berkesip dan Antini hanya bisa tersandar diam dengan meulut
terkancing. Tetapi kedua metanya yang indah tibaa-tiba memancarkan satu sinar
menyeramkan. Sinar itu perlahan-lahan redup dan hilang. Kedua mata itu kini
tampak berkaca-kaca lagi.
Kemudain
terdengar suara Antini berkata “Tentu saja Nek, siaa orangnya yang tidak punya
niat membalaskan sakit hati dendam kesumat. Api aku yang lemah ini punya kemampuan
apa? Jangankan aku, pasukan Kerajaan saja tidak mampu menindak kelima manusia
terkutuk itu.”
“Asal kau
mau, kau pasti dapat melakukannya. Untuk itu pertama sekali kau harus mempunyai
kepandaian silat serta dasar-dasar ilmu tenaga dalam….”
“Aku sama
sekali tidak memiliki kepandaian apapun!” jawab Antini.
“Anak,
kau tak usah khawatir. Aku akan mengajarkan padamu dalam waktu singkat. Tiga
kali purnama kurasa sudh cukup bagimu untuk menguasainya. Aku maklum kalau tiga
bulan tidak mungkin bagimu untuk berbuat banyak dalam menghadapi
manusia-manusia terkutuk itu. Untuk itu kau akan kuajarkan ilmu kedua yaitu
ilmu penyamaran dan mempergunakan akal serta pikiran. Kecerdikan selalu dapat
mengalahkan kekuatan atau musuh yang bagaimanapun hebatnya….Nah yang jadi pertanyaan
kau mau mendekam selama tiga bulan di tempat ini bersamaku?”
Antini
tak segera menjawab. Dia seperti berpikir-pikir. Kemudaian perlahanlahan
kepalanya dianggukkan.
Si nenek
terawa lebar. Antini memperhatikan ada satu keanehan pada wajah orang tua ini
tapi dia belum dapat menerka keanehan apa yang tersembunyi di balik wajah
tersebut. Hanya ada satu pertanyaan yang tidak terjawab yaitu siapa sebenarnya
perempuan tua ini dan mengapa dia mau memberikan pertolongan….
Antini
memandang pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini telah menyelamatkannya.
Lalu apakah dia dapat dipercaya? Dari nama dan gerak geriknya Antini merasa
bimbang. Sejak malapetaka besar yang menimpa suaminya dan dirinya sendiri
kepercayaan terhadap lelaki boleh dikatakan sudah tidak ada lagi. Setiap dia
melihat lelaki langsung timbul rasa curiga dan jijik. Dan ada kobaran rasa
ingin membunuh semua lelaki yang ada di dunia ini!
Wiro
sendiri setelah mendengar penuturan Antini menjadi sangat kasihan pada
perempuan malang ini. Dalam hatinya timbul rasa ingin menolong.
“Jadi
selama tiga bulan kau digembleng oleh Nenek Tidar itu?” Antini mengangguk.
“Tiga
bulan waktu yang sangat singkat. Apapun ilmu yang kau miliki sekarang ini
rasanya belum cukup untuk dapat membalaskan dendam kesumat sementara dirimu
sendiri akan jadi bulan-bulanan maa bahaya.”
“Aku
tahu. Nenek Tidar juga berkata begitu. Itu sebebnya dia berpesan agar aku
mempergunakan akal dan kecerdikan dalam melawan kekuatan dan kedurjanaan.
Dengan
kepandaian menyamar yang diajarkan terbukti aku berhasil membunuh salah seorang
dari mereka. Aku berpura-pura jadi pelacur. Dengan cara itu aku dapat membunuh
Tunggul Anaprang. Sekarang tinggal empat orang lagi. Aku yakin akan dapat
menghabisi mereka semua. Yang paling aku incar adalah Kebo Panaran….”
“Masalahnya
yang kau hadapi bukan saja sulit dan berat. Tapi juga berbahaya.
Kalau kau
percaya padaku, aku bersedia membantumu.”
Antini
memandang lagi pada Pendekar 212. “Kau telah menolongku. Aku berterima kasih.
Tapi apakah aku percaya padamu, itu hal lain. Biar aku melakukan pembalasan
sendiri. Kalaupun aku mati, aku pasrah. Mungkin itu lebih baik bagiku!” Murid
Eyang Sinto Gendeng hanya bisa garuk-garuk kepala.
******************
SEBELAS
Rumah
makan Simpang Tiga yang memang terletak di simpang tiga Jati Gombol milik Among
Kuntoro sangat terkenal akan kelezatan masakannya. Selain itu harganya tidak
mahal, cukup terjangkau oleh mereka dari golongan bawah sekalipun.
Siang itu
Wiro duduk di satu sudut rumah makan sambil menunggu nasi yang dipesannya. Dia
tak lama menunggu, seorang pelayan lelaki muda bertampang lugu menggunakan
pakaian serta kopiah merah kebesaran dan wajah berswlomotan arang dapur dating
membawakan pesanannya. Sikapnya agak kikuk. Wiro tersenyum.
Begitu
pelayan hendak pergi Wiro cepat pegang lengannya seraya berkata “Dulu kau
menyamar sebagai pelacur. Sekarang sebagai pelayan rumah makan. Apayang akan
terjadi hari ini, Antini?”
Wajah
pelayan yang celemongan tampak menjadi pucat. Dalam hati dia berkata “Matanya
tajam sekali.” Lalu pelayan ini bertanya “Bagaimana dia bisa mengenali diriku?”
“Kau
mengajarkan agar berlaku cerdik. Nah aku hanya mengikuti ajaranmu.
Kau bisa
merubah pakaian dan wajahmu serta sikapmu seratus kali dalam satu hari.
Tapi kau
tidak bisa merobah kedua matamu. Aku mengenali mata dan caramu memandang.”
“Kalau
kau sudah tahu jangan macam-macam. Aku tak mau segala rencana yang sudah
kususun akan menjadi berantakan gara-gara keusilanmu!” Si pelayan yang memang
Antini adanya merengutkan tangannya. Baru saja dia melangkah masuk ke bagian
dalam rumah makan, di halaman depan dua pengunggang kuda yang baru dating
menambatkan kuda masing-masing lalu masuk ke dalam rumah makan dengan sikap
seolah-olah tempat itu milik mereka. Orang pertama berkepala botak gemuk dengan
wajah berminyak. Dia menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Sebuah
celurit besar tergantung di pinggang kanannya. Orang ini bukan lain adalah
Bargas Pati.
Teman
Bargas Pati yang mengenakan pakaian dan ikat kepala hijau serta membekal dua
buah golok tentu saja adalah Legok Ambengan. Kedua orang ini duduk terpisah
satu meja dari tempat Wiro asyik menyantap makanannya sambil angkat kaki.
Seorang
pelayan bukan Antini mendatangi. Bargas Pati menggebrak meja.
“Kami
sudah lapar. Kau melayani seperti siput! Siapkan ikan bakar dan ayam goreng.
Jangan
lupa sayuran. Cepat! Jangan lupa letakkan satu kendi tuak dan satu kendi air
putih di meja ini!” Kembali Bargas Pati menggebrak meja hingga pelayan di depannya
terlonjak kaget.
Si
pelayan membungkuk lalu cepat-cepat berlalu dari situ. Di balik pintu ruangan
dalam Antini memperhatikan. “Mereka hanya dating berdua. Kebo Panaran dan
perempuan bernama Ambar Parangkuning tidak kelihatan. Biar yang dua ini saja dulu
aku kerjakan….” Lalu Antini masuk ke dalam menemui pelayan yang satu tadi.
“Agar kau
tidak kena semprot dua monyet itu, biar aku yang menyiapkan dan menghidangkan
makanan mereka.”
Di tempat
duduknya Wiro memperhatikan dengan sudut mata. “Dari cerita Antini,
jangan-jangan dua orang ini adalah manusia-manusia terkutuk itu. Agaknya
sesuatu akan terjadi di tempat ini….”
Tak
selang berapa lama, pelayan muda itu muncul membawa makanan yang dipesan Bargas
Pati dan Legok Ambengan, lengkap dengan minuman.
“Pelayan
muka banci! Untung kau yang datang. Kalau pelayan tadi pasti sudah kutampar
karena lama sekali!”
Si
pelayan membungkuk dan meletakkan semua makanan dan minuman di atas meja dengan
sigap. “Mungkin ada pesanan lain?” Tanya si pelayan dengan hormat sekali.
Bargas Pati mengusap kepalanya yang botak lalu tertawa. “Suaramu halus seperti
tikus cerurut! Sudah pergi sana!” Setelah membungkuk si pelayan memutar tubuh
dan kedua orang itu segera saja menyantap makanan mereka. Sambil makan mereka
bicara dengan suara perlahan.
“Kalau
nanti Kebo Panaran datang, sebaiknya kita bicarakan soal harta dan uang yang
kita sembunyikan itu,” akta Bargas Pati.
“Maksudmu?”
Tanya Legok Ambengan sambil menggeragot paha ayam goreng.
“Aku
kawatir. Tempat kita menyembunyikan uang dan harta itu sewaktuwaktu bisa
bocor….”
“Kalau
Ambar Parangkuning yang kau takutkan, bukankah kita sudah memindahkan barang
dan uang itu ke tempat lain?” ujar Legok Ambengan.
“Sebaiknya
harta kekayaan itu segera kita bagi tiga saja. Lupakan si Ambar yang minggat
itu.” kata Bargas Pati pula.
“Kalau
sudah dibagi lantas apa?”
Belum
sempat Bargas Pati menjawab pertanyaan Legok Ambengan itu tibatiba dia
merasakan perutnya seperti dibalik-balik. “Sialan! Perutku mulas!”
“Gila!
Aku juga!” kata Legok Ambengan. Lalu cepat-cepat dia meneguk tuak dalam kendi
maksudnya agar mulasnya hilang. Justru rasa mulas itu makin menggila.
“Tunggu
aku di sini. Aku akan mencari kakus dulu!”
“Aku
juga! Kita sama-sama ke belakang! Sialan!” maki Bargas Pati seraya bangkit dari
kursinya. Sambil bergegas ke bagian belakang rumah makan Bargas Pati kembali
mengomel. “Keparat! Ada yang tidak beres dengan makanan dan minuman di sini!
Selesai buang hajat kita harus selidiki, Legok!”
“Aku
setuju. Akan kupatahkan batang lehernya kalau nanti ternyata makanannya ada
yang basi atau mengandung racun!”
Sampai di
belakang ternyata hanya ada satu kakus. Dan saat itu sedang diisi seorang tamu.
“Kurang ajar. Siapa di dalam. Lekas keluar!” teriak Bargas Pati lalu digedornya
pintu kakus. Terdengar suara orang di dalam. Lalu pintu terbuka sedikit.
Satu
kepala bermuka bopeng muncul “Ada apa…” Orang ini bertanya. Bargas Pati cekal
kerah pakaian orang itu lalu menariknya dengan kasar keluar kakus. Si bopeng
yang hanya mengenakan baju tanpa celana itu tentu saja berteriak-teriak.
“Hai!
Apa-apaan ini! Aku belum selessai! Apa kau sudah gila?!”
Bargas
Pati bantingkan orang itu ke lantai lalu masuk ke dalam kakus sambil
membantingkan pintu. Sementara itu Legok Ambengan yang sudah tidak tahan, dalam
keadaan kalang kabut enak saja menongkrong dekat cucian piring. Seorang
perempuan tua yang nyinyir yang sedangmembasuh sayuran dekat tempat itu
mengomel.
“Tua
bangka edan! Jangan di situ!”
“Perempuan
celaka! Apa katamu!” teriak Legok Ambengan. Lalu “Plaakk!”
Tangan
kanannya menampar hingga perempuan itu terbanting ke dekat sumur.
Dari
dalam rumah makan bergegas keluar seorang lelaki separuh baya. Dia adalah Among
Kuntoro pemilik rumah makan itu. Dia suah tahu apa yang terjadi maka dia cepat
berkata.
“Saudara
tamu, seratus langkah di belakang sana ada sebuah parit. Airnya cukup bersih.
Pergilah kesana…”
“Setan!
Kenapa kau tidak bilang dari tadi!”
Legok
Ambengan lalu lari ke arah yang ditunjuk pemilik rumah makan.
Seperti
yang dikatakn memang tidak jauh dari situ ada sebuah parit berair jernih.
Disitu
ditemuinya juga sebuah dinding gedek yang rupanya memang dibuat untuk orang
yang hendak buang hajat. Maka Legok Ambengan segera nongkrong di balik dinding
gedek itu.
Kembali
ke dalam kakus rumah makan. Sekujur tubuh dan wajah Bargas Pati mandi keringat.
Tapi sekarang dia benar-benar merasa lega setelah buang hajat. “Gila!
Baru
sekali ini aku mengalami begini! Pasti ada yang tidak beres dengan makanan di
sini. Ada orang yang bermaksud jahat! Masakan hanya aku dan Legok saja yang jadi
begini?! Keparat betul!”
Selagi si
botak gemuk ini mengomel dalam hati seperti itu tanpa diketahuinya sebuah benda
meluncur dari atas atap bangunan kakus. Benda ini ternyata adalah seutas ambang
hitam yang ujungnya melingkar berbentuk buhul besar. Tanpa suara tali itu
meluncur terus melewati kepala botak Bargas Pati. Ketika Bargas Pati merasakan
ada sesuatu yang menyentuh bagian belakang kepalanya lalu melihat ada benda
yang lewat di depan mata dan hidungnya, dia pergunakan tangan untuk
menangkapnya.
“Seran!
Apa pula ini….?!” Bentaknya. Itulah ucapan terakhir dalam hidupnya.
Baru
Bargas Pati sadar apa yang terjadi. Namun sudah terlambat. Dicobanya menarik
ali itu. Namun jiratan semakin kencang. Semakin dicobanya melepaskan diri
semakin kencang gelungan tambang di batang lehernya. Dia coba berdiri. Tambang
di atas kepalanya seperti ditarik dengan cepat dan lehernya kembali terjirat
kencang. Kedua mata si botak ini mulai memdelik. Mulutnya terbuka dan lidahnya
mulai terjulur.
Ketika di
sebelah atas kembali tambang ditarik dan kedua kaki Bargas Pati tidak lagi
berpijak ke lantai kakus, terdengar suara berderak patah dan tanggalnya atulang
leher lelaki ini. Kedua kakinya melejang-lejang bebeapa kali. Setelah itu
tubuhnya tak berkutik lagi. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh yang mendekam di
atas atap bangunan kakus cepat menyelinap turun tanpa satu orangpun melihatnya!
Tak lama
kemudian Legok Ambengan muncul di belakang rumah makan.
Celana
hijaunya basah kuyup. Selesai membuang hajat dia berusaha mencuci celana itu.
Bagaimanapun dicucinya bau busuk yang melekat di situ masih tercium santar.
Begitu
sampai di pintu belakang rumah makan, dia berteriak. “Mana pemilik rumah makan
ini!”
Among
Kuntoro bergegas mendatangi dengan wajah ketakutan. “Ada yang tidak beres
dengan masakanmu! Aku dan kawanku kau beri makanan basi pasti!”
“Tidak
bisa jadi, semua makanan baru dimasak pagi tadi,” jawab Among Kuntoro. “Kalau
makanan di sini tercemar mengapa hanya saudarar tamu berdua saja yang diserang
mules?”
“Kalau
begitu pasti ada yang menaruh sesuatu di makanan kami! Kau harus bertanggung
jawab!”
“Maafkan
saya saudara tamu. Semua kebersihan dan pelayanan kami selalu terjamin…”
“Diam!”
sentak Legok ambengan. ‘Aku dan kawanku minta ganti kerugian.
Kau harus
bayar sepuluh ringgit perak pada kami berdua!”
“Saudara
tamu. Bagaimana bisa begitu. Saya…”
“Kalau
tidak kau berikan, akan kaim bakar rumah makan ini dan kupatahkan batang
lehermu!”
Pucatlah
wajah Among Kuntoro. Saat itu Legok Ambengan ingat pada Bargas Pati. “Mana
kawanku?!” tanyanya berteriak.
“Di….dia
masih di dalam kakus….” jawab Among Kuntoro.
“Dalam
kakus…. Mengapa lama sekali?!” Legok Ambengan tiba-tiba saja merasa tidak enak.
Untuk pergi ke parit, buang hajat lalu mencuci celana dan kembali ke rumah
makan itu jelas dia membutuhkan waktu cukup lama. Dalam waktu yang sebegitu
mustahil Bargas Pati juga mendekam dalam kakus. Maka dia melangkah menuju kakus
dan menggedor pintunya.
“Bargas!
Jangan kau ngeram dalam kakus ini. Cepat! Ada sepuluh ringgit perak menunggu
kita!”
Tak ada
jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan hendak berlalu tapi dia berbalik lagi
dan kembali menggedor.
“Bargas!
Kau tuli apa bisu?! Ayo cepat keluar!”
Tetapi
tak ada jawaban dari dalam kakus. Legok Ambengan dari tidak enak jadi curiga.
“Kalau kau masih tak menjawab akan kudobrak pintu kakus ini!”
mengancam
Legok Ambengan. Sementara itu beberapa orang tamu yang mendengar suara
ribut-ribut dan ingin tahu apa yang terjadi berdatangan ke belakang rumah
makan. Seorang diantaranya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Setetlah
beberapa kali menggedor dan berteriak memanggil-manggil kawannya itu dan tetap
tak ada jawaban, Legok Ambengan pergunakan kaki kanannya untuk menendang pintu
kakus. Pintu yang terbuat dari kayu tipis dan rapuh itu pecah berantakan. Legok
Ambengan menanggalkan sisa-sisa daun pintu yang masih menempel. Namun kemudian,
ketika dia memandang ke dalam kakus, satu teriakan keras keluar dari mulutnya.
MUkanya pucat dan kedua kakinya yang gemetar bersurut ke belakang!
Rumah
makan yang ramai itu menjadi geger ketika mayat si botak Bargas Pati akhirnya
ditemukan dalam kakus dalam keadaan tergantung. Mata mencelet, lidah terjulur.
Ada darah keluar dari hidung dan telinganya. Yang menusuk mata Bargas Pati
tergantung hanya mengenakan baju saja. Celana merahnya terongok di lantai
kakus.
“Seseorang
telah membunuh temanku!” teriak Legok Ambengan marah.
Dalam
marahnya dia melompat ke hadapan Among Kuntoro dan mencekik leher orang ini.
“Kau bertanggung jawab atas kematian temanku! Katakan siapa yang
menggantungnya!”
Tentu
saja pemilik rumah makan itu tidak bisa menjawab. Legok Ambengan jadi kalap.
Tinjunya menderu menghantam muka si pemilik rumah makan hingga hidungnya patah
dan darah mengucur. Tubuh Among Kuntoro kemudian
dibantingnya
ke lantai. Ketika hendak diinjaknya satu suara terdenagr berkata.
“Kawanmu
itu mungkin saja bunuh diri! Coba kau periksa dulu….!”
“Bangsat!
Siapa yang barusan berani bicara?!” bentak Legok Ambengan. Dia memandang
berkeliling. Dengan geram dipalingkannya kepalanya ke arah kakus yang pintunya
terpentang lebar. Saat itulah baru Legok Ambengan melihat kalau di kerah baju
merah yang dikenakan Bargas Pati teselip secarik kertas. Legok Ambengan masuk
ke dalam kakus dan berjingkat untuk dapat mengambil kertas itu. Begitu gulungan
kertas dibuka berubahlah paras Legok Ambengan. Dia segera mengenali bentuk
tulisan itu. Sama dengan tulisan yang ditinggalkan pembunuh Tunggul Anaprang
yang dibunuh di rumah pelacuran tempo hari. Bedanya kalau dulu ditulis dengan
darah, yang ini ditulis dengan kayu arang.
Di situ
tertulis dengan jelas :
Orang
kedua dari kalian tamat riwayatnya. Kalian bertiga tinggal menunggu giliran
untuk menghadap roh suamiku di pintu akhirat!
“Jadi…..
jadi dia….” Desis Legok Ambengan dengan bibir bergetar. “Janganjangan dia masih
ada di tempat ini….” Legok Ambengan memandang berkeliling.
Pandangannya
membentur wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku rasa-rasa pernah melihat
tampang ini sebelumnya. Tapi di mana…” Selagi Legok Ambengan mengingat-ingat
kedua matanya jatuh pada sosok tubuh pelayan yang tadi membawakan makanan dan
minuman pesanannya. “Eh….Tampangnya memang lain.
Tapi
sosok tubuhnya sama besar dengan pemuda di kali tempo hari. Dan…” Legok
Ambengan kembali berpaling pada Wiro. Dia ingat! “Pemuda gondrong ini adalah
orang yang menolong pemuda di kali itu….”
Sekali
lompat saja Legok Ambengan sudah mencekal leher pakaian Wiro.
“Mana
temanmu itu…. Lekas katakan di mana dia!”
“Temanku
banyak. Satu diantaranya yang mampus gantung diri itu! jawab Wiro seenaknya.
“Teman yang mana maksudmu?!”
Amarah
Legok Ambengan jadi mendidih. Surat yang dipegangnya ditempelkannya ke kening
Wiro. “Temanmu di kali dulu. Dia yang menulis surat ini.
Pasti!”
“Ah,
temanku semua buta huruf. Tak pandai menulis tak tahu baca…”
“Setan
kau berani mempermainkanku!” teriak Legok Ambengan marah. Lalu tinjunya
melayang ke muka Pendekar 212.
Namun
jotosan murid Eyang Sinto Gendeng mendarat di ulu hati Legok Ambengan lebih
dulu. Orang ini terpekik dan terpental dampai tiga langkah.
“Manusia
haram jadah!” rutuk Legok Ambengan. Kedua tangannya bergerak ke pinggang.
Sepasang golok andalannya kini tergenggam di tangan kiri kanan. “Setan
gondrong! Kucincang tubuhmu!” teriak Legok ambegan. Dua bilah golok berkiblat.
Wiro
cepat menyingkir. Orang serumah makan itu kembali gempar. Legok Ambengan
memburu Wiro dengan kedua goloknya. Namun setengah jalan langkahnya tertahan.
Dia mendengar
suara berdesing di belakangnya. Goloknya diputar di belakang punggung.
“Trang!”
Sebuah
pisau belati terbang terpental kena sambaran golok. Namun itu hanya satu dari
empat serangan pisau terbang yang sanggup dimentahkannya. Satu berhasil
dielakkan. Yang ketiga dan keempat menancap di punggung kiri dan pinggang
kanannya!
Legok
Ambengan menjerit keras. Dalam keadaan terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh
untuk melihat siapa yang membokongnya. Dia melihat pemuda pelayan berkopiah
merah tegak bertolak pinggang memandang tak berkesip dengan padangan angker ke
arahnya.
“Kau… Kau
Antini….” Desis Legok Ambengan.
Sambil
menyeringai si pelayan buka kopiah merahnya. Semua orang yang ada di situ
kecuali Wiro melengak ketika melihat di atas kepala si pemuda tergelung rambut
hitam panjang. Pemuda itu goyangkan kepalanya. Rambut yang tergelung tanggal
dan jatuh ke bahu.
“Astaga!
Pelayan ini perempuan rupanya!” seseorang berseru.
“Tidak
disangka wajahnya cantik sekali.” Seorang lain ikut berkata sementara si
pemilik rumah makan yaitu Among Kuntoro tercengang-cengang. Diapun tidak pernah
menyangka kalau pelayan yang baru bekerja beberapa hari itu ternyata adalah
seorang perempuan muda berparas sungguh jelita.
Dalam
keadaan seperti itu si pelayan yang tentu saja Antini adanya melangkah
mendekati Legok Ambengan. Setengah jalan dia membungkuk dan dengan cepat
mengambil golok milik Legok Ambengan yang tadi jatuh. Legok Ambengan yang lemas
karena banyak mengeluarkan darah dari dua luka di tubuhnya coba menangkis
dengan goloknya sewaktu Antini membacokkan senjatanya ke arah kepalanya.
“Trang!”
Golok di tangan Legok Ambengan mental.
“Jangan!
Jang….” Teriakan Legok Ambengan putus berubah menjadi jeritan dahsyat ketika
Antini menyorongkan goloknya ke bagian bawah perut lelaki itu.
Darah
muncrat mengerikan. Saat itu Antini sendiri merasakan tubuhnya menjadi limbung.
Selagi dia terhuyung dan tersandar ke dinding bangunan rumah makan, Pendekar
212 cepat mendatanginya. “Aku sudah menyiapkan dua ekor kuda di halaman
samping. Lekas tinggalkan tempat ini!” Tanpa banyak bicara Antini mengikuti
saja ketika dengan cepat Wiro menarik dirinya meninggalkan tempat itu.
Sementara
rumah makan dalam keadaan kacau balau keduanya berlalu dari situ.
******************
DUA BELAS
Wiro dan
Antini memacu kuda masing-masing menuju Selatan sementara sinar sang surya yang
tadinya putih silau dan terik kini berangsur menjadi lembut kekuningan tanda
hari mulai memasuki rembang petang.
“Ke mana
tujuanmu sekarang?” Tanya Wiro.
“Masih
ada dua orang manusia terkutuk yang harus kucari. Kebo Panaran dan perempuan
bernama ambar Parangkuning itu”
“Terus
terang aku memuji ketabahan dan keberanianmu. Kau telah berhasil membunuh tiga
dari lima manusia terkutuk itu. Itu bukan pekerjaan mudah. Setahuku di dekat
sini ada sebuah telaga kecil. Kuda-kuda tunggangan ini perlu istirahat dan
diberi minum. Dekat telaga ada pedataran rumput kecil. Keduanya bisa melepaskan
lelah sambil merumput…”
Antini
tidak menyahut. Tapi ketika Wiro membelokkan kudanya mengambil jalan menuju
telaga yang dikataknannya itu, Antini iktu membelok.
Telaga
itu terletak di sebuah lembah kecil yang subur. Dikelilingi oleh pohonpohon
rimbun serta bebatuan. Airnya jernih dan hawa di situ sejuk sekali. Wiro dan
Antini turun dari kudanya masing-masing dan melepas kedua kuda itu di pedataran
rumput segar. Wiro membasuh mukanya dengan air telaga sementara Antini duduk di
atas sebuah batu merendam kedua kakinya yang bagus ke dalam telaga.
“Perutku
lapar. Sayang kita tak membekal makanan…” kata Wiro sambil merebahkan diri di
atas rerumputan dan memandang ke langit lepas. Dari balik
pakaiannya
Antini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Ketika dibuka isinya ternyata
beberapa potong kue. Makanan itu diberikannya kepada Wiro. “Kalau lapar
makanlah…”
Wiro
mengambil sepotong kue. Sambil mengunyah dia berkata. “Kue itu pasti kau curi
di rumah makan itu.” Antini tersenyum.
“Ah! Ini
kali pertama aku melihatmu tersenyum!” kata Wiro.
“Aku
memang mencuri keu-kue ini di rumah makan. Tapi kau tidak lebih baik dariku.
Kau makan dan minum di rumah makan itu, lalu enak saja ngeloyor tidak
membayar!”
“Astaga!
Kau betul!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala hingga rambutnya berselomotan
minyak kue yang dimakannya. “Tapi tak usah khawatir. Sudah ada yang membayar.”
“Siapa?”
tanya Antini heran.
“Kau!”
jawab Wiro.
“Aku?”
Antini jadi heran.
“Betul.
Kau sudah bekerja di rumah makan itu beberapa hari. Berapapun kecilnya pasti
kau harus menerima upah. Nah upah yang belum kau ambil itulah pembayar makanan
dan minuman yang kusantap siang tadi!”
Mau tak
mau Antini tidak dapat menahan tawanya. Suara tawanya lepas dan merdu. Namun
suara tawa ini terhenti sewaktu salah seekor kuda yang masih merumput tiba-tiba
mengeluarkan suara meringkik. Wiro cepat bangkit sedang Antini sudah melompat
dari atas batu.
“Aku
melihat bayangan seseorang di balik pepohonan sana!” kata Wiro lalu berkelebat
mengejar. Tapi begitu sampai di dekat deretan pohon-pohon, bayangan yang
dimaksudnya sudah lenyap tanpa bekas. Dia kembali ke tempat Antini.
Dilihatnya
perempuan muda itu tengah mengambil sesuatu yang tersisip di kelebatan
bulu-bulu leher kudanya. Benda itu adalah segulung kertas.
“Kertas
ini sebelumnya tak ada di sini….” kata Antini.
“Ada
orang yang melemparkannya. Pasti dia berkepandaian tinggi kerana bukan
perkerjaan mudah menyusupkan gulungan kertas di antara bulu-bulu di leher kuda.
Coba kau buka. Kurasa sepucuk surat…”
Antini
membuka gulungan kertas itu. Di sebelah dalam gulungan kertas ini ternyata
diberati dengan sepotong kayu pangjang kecil. Dengan adanya kayu itu, seseorang
akan lebih mudah untuk melemparkan gulungan kertas. Dengan dada berdegub Antini
membuka gulungan kertas. Seperti yang dikatakan Wiro, kertas itu ternyata
memang sepucuk surat.
Kebo
Panaran berada di Goa Srindil di kaki timur bukit Batu Merah. Dia akan ada di
tempat itu pada purnama hari ketiga belas.
“Purnama
hari ketiga belas….” desis Pendekar 212. “Berarti besok malam…”
“Aku akan
segea menuju ke sana. Bukit Batu Merah satu hari satu malam perjalanan dari
sini!” kata Antini.
“Tunggu
dulu!” kata Wiro sambil cepat memegang tangn perempuan itu.
Sebelumnya
jangankan dipegang, diajak bicarapu Antini selalu ketus. Tapi kali ini dia diam
saja. Malah ajukan pertanyaan tanpa menarik tangannya yang dipegang hingga Wiro
sendiri yang lepaskan pegangannya.
“Kau tahu
siapa kira-kira yang membuat dan mengirimkan surat ini?” tanya Wiro. “Bukan
mustahil ada seseorang yang hendak menjebakmu”
“Siapa?”
tanya Antini. “Kebo Panaran?”
“Memang
sulit diduga. Tapi menusia terkutuk itu tidak akan melakukannya.
Dia pasti
akan membunuhmu begitu melihatmu berada di sini…”
“Kita
patut curiga. Tapi bukan tidak mungkin ada seorang teman yang tak mau diketahui
memberikan kisikan ini…”
“Misalnya
si gemuk yang menculik dan tergila-gila padamu itu,” kata Wiro pula yang
membuat paras Antini jadi bersemu merah.
“Seperti
dulu-dulu, aku tak ingin kau mengikuti perjalananku…” Pendekar 212 tampak
kecewa.
Antini
tersenyum. “Tapi sekali ini kau akan kuajak. Mungki aku perlu bantuanmu…”
Wiro
tertawa lebar. “Aku ada usul,” katanya. Kita harus menyamar.
Pergunakan
kepandaianmu untuk merubah dirimu dan juga diriku…”
“Tidak
terlalu sulit untuk merubah dirimu jadi seekor kambing misalnya,” kata Antini.
Keduanya lalu sama tertawa mengekeh.
Penyamaran
yang dibuat Antini cukup meyakinkan. Wiro telah berubah menjadi seorang kakek
berjanggut putih sedang Antini sendiri menjadi seorang nenek berambut
awut-awutan. Mereka memacu kuda masing-masing dan sama-sama tertawa jika
melihat keadaan diri satu sama lain.
Kedua
orang itu sampai di kaki bukit sebelah Timur menjelang sore keesokan harinya.
Sesuai dengan namanya bukit ini merupakan satu bukit yang selain ditumbuhi
pepohonan merah yang berusia ratusan tahun. Berbagai binatang hutan terdengar
memecahkan kesunyian.
“Menurut
bunyi surat, Kebo Panaran akan berada di tempat ini malam nanti.
Bagaimna
kalau kita mencari goa itu lebih dulu lalu menyelidikinya. Jika kita memang
dijebak, siang-siang begini akan lebih mudah mengetahuinya daripada menunggu
sampai malam tiba”
Wiro
berpikir sejenak. “Aku setuju pendapatmu, mari…” Lalu keduanya bergerak
menyusuri kaki timur bukit itu sampai akhirnya menemukan yang disebut Goa
Srindil itu. Goa itu terlihat jelas karena terletak dilamping bukit yang
terbuka.
Sebuah
tangga batu kelihatan menuju ke mulut goa.
“Itu
pasti goanya.” kata Wiro. Antini mengangguk dan hendak melompat.
Tapi Wiro
memberi isyarat. “Kita harus berhati-hati. Aku akan melakukan sesuatu untuk
membuktikan tidak ada yang menjebak kita di tempat ini.” Pendekar 212 lalu
kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu ampak berubah menjadi
putih menyilaukan disertai keluarnya hawa panas. Perlahan-lahan Wiro angkat
tangan kanan itu dan diarahkan ke bukit batu merah di lamping kanan mulut goa.
Ketika
tangan kanan itu dipukulkan maka berkiblatlah selatik sinar putih menyilaukan
membuat Antini bergidik. Pukulan Sinar Matahari! Begitu pukulan sakti itu
menghantam dinding bukit terdengar suara menggelegar. Bukit batu merah itu
seperti meledak. Hancuran batu berbongkah-bongkah beterbangan di udara.Antini
yang tidak menyangka kalau si pemuda itu memiliki kesaktian luar biasa seperti
itu jadi tercengang-cengang kagum. “Kalau ada orang di dalam goa atau di
sekitar sini, pasti dia akan muncul untuk menyelidiki. Kita tunggu dan lihat
saja!” kata Wiro.
Setelah
menunggu sekian lama tak ada gerakan dan tidak ada yang muncul murid Sinto
Gendeng turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Anitini. “Kau tunggu di
sini, biar aku yang menyelidiki ke dalam goa.”
“Aku ikut
bersamamu!” kata Antini.
“Aku
khawatir masih ada bahaya yang tersembunyi,” jawab Pendekar 212.
Tapi
sekali ini Antini memaksa hingga Wiro akhirnya mengalah. Keduanya menyelinap di
balik pepohonan, menaiki angga batu yang licin berlumut dengan hatihati dan
akhirnya sampai di mulut goa. Wiro mengintai ke dalam. Mula-mula hanya
kegelapan yang terlihat. Setelah matanya jadi biasa, dia dan juga Antini mulai
dapat melihat jelas isi goa. Goa Srindil ternyata hanya merupakan legukan dalam
pada bukit Batu Merah itu. Tak terdapat apa-apa di dalamnya kecuali tumpukan
dedaunan yang telah mongering. Wiro masuk. Antini mengikuti.
“Tak ada
apa-apanya dalam goa ini, “ kata Wiro. Lalu dia melangkah mendekati tumpukan
daun-daun kering. Tumpukan dedaunan itu ditendangtendangnya dengan kakinya.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu tersembunyi dibalik tumpukan daun-daun kering.
Kini Wiro pergunakan kedua tangannya untuk menyelidiki dan mengangkat daun-daun
kering itu.
“Antini
lihat!” seru Wiro. Antini segera mendatangi.
Di balik
daun-daun kering yang disingkapkan Wiro kelihatan sebuah peti kayu berlapiskan
emas. “Apa isi peti itu?” tanya Antini berbisik. “Bisa harta pusaka atau uang.
Bisa juga kosong. Tapi bisa juga berisi mayat!”
Antini
tersurut selangkah mendengar ucapan Wiro itu. Peti kayu berlapis seng itu
ternyata hanya diikat dengan sehelai tali sehingga Wiro tidak kesulitan untuk
membukanya.
Di dalam
peti itu kelihatan tumpukan berbagai macam perhiasan-perhiasan, uang perak dan
uang emas. Lalu ada cangkir dan piring terbuat dari porselen serta perunggu
berrlapis emas.
“Bagaimana
barang dan uang ini bisa berada di tempat ini?” tanya Antini heran.
“Aneh
memang.Orang yang mengirim surat itu pasti tahu peti ini berada di sini.
Anehnya mengapa dia tidak mengambil harta benda dan uang yang ada dalam peti
ini?!” ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala. Dimasukkanya kedua tangannya
ke dalam tumpukan uang dan barang-barang berharga di dalam peti. Di dasar peti
tangan kanannya memegang sebuah benda berbentuk bulat tapi kosong di sebelah
tengahnya. Perlahan-lahan dengan hati-hati Wiro memegang benda itu dan
mengangkatnya ke atas.
“Astaga!
Ini mahkota Kerajaan!” seru Wiro ketika melihat benda apa yang barusan
ditariknya dari dasar peti.. Sebuah mahkota emas bertabur berlian dan batubatu
permata warna warni.
“Aku
ingat……” kata Antini. “Ketika lima manusia terkutuk itu datang ke rumahku,
salah seorang dari merreka pernah menyebut harta pusaka yang mereka miliki.
Yang bisa dijual atau ditukar untuk dibelikan senjata guna melawan Kerajaan.
Pasti ini
harta yang dimaksudkan itu!”
“Kerajaan
memang pernah mengumumkan tentang lenyapnya mahkota ini.
Kepada
siapa yang menemukan dan mengembalikannya akan diberikan hadiah besar.
Hemm….
Pasti ini barang-barang hasil rampokan kelima orang durjana itu. Karena kini
hanya dua orang yang masih hidup berarti meraka akan membagi dua. Berarti benar
juga isi surat itu bahwa Kebo Panaran akan muncul di sini malam ini. Mungkin
dia muncul untuk mengambil peti ini.”
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang Wiro?” tanya Antini.
Pendekar
212 memasukkan mahkota emas itu ke dalam peti kembali. Lalu peti ditutupnya.
“Sebentar lagi malam segera tiba. Mudah-mudahan isi surat itu betul.
Kebo
panaran akan muncul di sini. Kita bersembunyi di sekitar sini, menunggu
kemunculannya!”
“Aku
sudah sangat ingin mencincang tubuhnya saat ini juga!” kata Antini.
Lalu
melangkah meninggalkan goa mengikuti Pendekar 212.
******************
TIGA BELAS
Datangnya
malam terasa lama seperti merayap. Ketika akhirnya sang surya tenggela dan
rimba belantara di kaki bikit Batu Merah itu menjadi gelap gulita, diamdiam Antini
jadi merinding juga. Di kejauhan terdengar suara auman binatang hutan.
Suara
jengkerik dan kodok terdengar di mana-mana.
“Kau
takut…?” bisik Wiro ketika dirasakannya Antini merapatkan diri ke dekatnya.
Ketika Atini hendak menjawab cepat Wiro memberi isyarat agar perempuan itu
jangan bicara. Laludia berbisik. “Aku mendengar suara derak rodaroda gerobak di
kejauhan…” Dia memandang ke arah selatan yaitu ujung kaki bukit dari arah mana
sebelumnya mereka datang. “Lihat, ada nyala api di kejauhan sana…”
Saat itu
selain terdengar suara gemeletak roda-roda gerobak, dari arah selatan memang
juga kelihatancahay aterang. Makin dekat makin kentara bahwa nyala terang itu
adalah nyala sebuah obor yang diikatkn pada bagian depan sebuah gerobak kecil
yang ditarik seekor kuda besar.
Di atas
gerobak hanya ada satu orang yakni yang bertindak sebagai sais. Nyala obor yang
terang membuat jelas keadaan sosok manusia satu ini. Tampangnya yang garang dan
sangar hampir tertutup oleh cambang bawuk serta kumis tebal. Dia mengenakan
ikat kepala dan pakaian hitam. Sebilah golok besar tergantung di pinggangnya.
“Memang
dia binatangnya!” bisik Antini.
“Maksudmu
Kebo Panaran?”
Antini
mengangguk. “Dia cuma datang sendirian. Iblis perempuan bernama Ambar
Parangkuning itu tidak ikut bersamanya. Aneh, ke mana menghilangnya iblis
perempuan itu?”
Gerobak
mencapai bagian bukit di mana terdapat tangga batu yang menuju ke mulut Goa
Srindil.
“Aku akan
membunuhnya saat ini juga!” kata Antini lalu bergerak dari tempatnya. Wiro
cepat menangkap pinggang perempuan ini.
“Jangan
kesusu,” bisik Wiro. “Kita tunggu dulu apa yang dilakukannya. Dia pasti akan
mengambil peti itu. Tapi bukan mustahil dia tidak datang sendirian.
Mungkin
dia membawa kawan yang sengaja mengawal dari kejauhan…”
“Perduli
ama apa dia membawa pengawal manusia atau setan sekalipun. Aku akan mencincang
tubhnya sampai lumat!”
“Antini,
sabar kataku. Kebo Panaran pasti berkepandaian jauh lebih tinggi dari yang
lain-lainnya yang telah kau bunuh. Jadi harus berhati-hati….. Tunggu samapi
kita mendapat kesempatan paling baik.”
“Menungu
sampai kapan?”
“Aku akan
beri tahu kapan saatnya kita harus bergerak,” jawab Wiro pula.
Lalu dari
balik pinggangnya dia mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itu berkilauan
dalam gelapnya malam. “Pegang ini. Kau bisa pergunakan senjata ini untuk
menghadapi Kebo Panaran. Aku khawatir jika kau hanya menghadapinya
dengan
tangan kosong….”
“Aku
masih membekal setengah lusin pisau belati pemberian guruk…”
“Jika
terjadi perkelahian di dalam goa, pisau terbang itu tak akan banyak gunanya,”
kata Wiro pula.
Antini
memperhatikan Kapak Maut Naga Geni 212 yang diulurkan Wiro.
“Senjata
apa ini? Kapak? Bermata dua dan beratnya pasti luar biasa….”
“Coba kau
pegang dulu.”
Antini
mengambil senjata itu. “Astaga. Enteng sekali!” kata Antini agak keras hingga
Wiro terpaksa cepat-cepat menutup mulutnya.
Saat itu
Kebo Panaran tampak sudah turun dari atas gerobak. Dia mengambil obor yang
terikat di bagian depan gerobak lalu mulai menaiki tangga batu menuju mulut Goa
Srindil di lamping bukit Batu Merah. Di mulut goa lelaki itu tampak berhenti
sesaat. Dia memandang ke dlaalm goa dengan pandangan tajam. Dan dia melihat ada
sesuatu perobahan pada bentuk tumpukan daun-daun kering yang ada di tempat itu.
Dia menghirup udara dalam goa dalam-dalam. “Hemmm… ada orang masuk ke sini
sebelumnya,” katanya. Obor di masukkannya ke dalam sebuah lobang pendek di
dinding goa. Lalu dengan cepat disibakkannya tumpukan daun-daun kering.
Hatinya
lega sedikit melihat peti berlapis seng itu masih ada di situ. Dengan cepat
dibukanya tali pengikat peti lalu tutup peti. Dia benar-benar lega ketika melihat
isi peti itu tidak berkurang sepotongpun. Segera peti diikatnya dengan tali
kembali. Kebo Panaran siap mengeluarkan peti itu dari dalam goa. Ketika tangan
kirinya hendak menjangkau obor tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Seorang
nenek-nenek berpakaian serba putih denga rambut awut-awutan tegak di depannya.
Di tangan kanannya dia memegang senjata aneh yaitu sebatang kapak bermata dua
yang masingmasing matanya mengeluarkan cahaya terang. Kejut Kebo Panaran bukan
alang kepalang.
“Tua
bangka! Siapa kau! Setan atau manusia?!”
Si nenek
yang bukan lain adalah Antini keluarkan suara tawa mengekeh.
“Orang
yang mau mampus memang layak bertanya. Aku tua bangka malaikat maut yang akan
mencabut nyawamu Kebo Panaran!”
“Eh! Kau
kenal namaku?!” kejut Kebo Panaran.
Si nenek
kembali mengekeh. “Malaikat maut selalu tahu pasti nama dan siapa orang yang
bakal diajaknya minggat ke akhirat. Hik… hik… hik… Aku sudah menyediakan tempat
yang baik untukmu di liang neraka!”
“Keparat
gila!” hardik Kebo Panaran. Sudut matanya melihat seseorang tegak di pintu goa.
Dia cepat berpaling. Di mulut goa dilihatnya tegak seorang kakek berjanggut
putih. Si kakek tertawa mengekeh dan berkata “Aku malaikat emannya malaikat
yang hendk emncabut nyawamu itu! Ha… ha… ha… Aku sengaja berdiri di sini agar
kau tidak bisa kabur!”
“Keparat!
Siapa mau kabur! Kalian berdua kalau tidak lekas angkat kaki dari sini akan
kupecahkan kepala kalian!”
“Mau
memecahkan kepalaku? Silahkan!” kata si kakek berjanggut yang tentunya adalah
Pendekar 212. Lalu dia ulurkan kepalanya ke arah Kebo Panaran.
Saking
marahnya Kebo Panaranlantas saja menghantam kepala itu dengan tinju kanan.
Gerakannya
cepat serta mengeluarkan suara menderu.
“Bukk!”
Kebo
Panaran mengeluh tinggi. Yang dihantamnya bukan kepala Pendekar 212, melainkan
sebuah batu besar yang dengan cepat disorongkan Wiro melindungi kepalanya. Batu
itu hancur lebur tapi tangan Kebo Panaran sendiri tampak lecet!
Sadarlah
Kebo Panaran kalau saat itu dia tidak berhadapan dengan orang-orang sinting. Si
kakek berjanggut jelas memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak mana dia mampu
berbuat seperi itu. Dia berpaling pada si nenek yang saat itu tegak
menyeringai.
“Kebo
Panaran! Kau sudah siap untuk dicincang?” Kapak di tangan si nenek
berputar-putar hingga cahayanya yang menggidikkan berpijar-pijar menyilaukan
mata Kebo Panaran.
“Tua
bangka buruk sepertimu hendak mencincang Kebo Panaran? Huh!”
Kebo
Panaran mendengus dan segera mencabut golok besar di pinggangnya. Sekali dia
mengayunkan tangn golok besar itu berkelebat ke arah leher si nenek. Antini
cepat angkat Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya untuk melindungi diri dan
menangkis. Di antara gaungan Kapak Naga Geni 212 terdengar suara berdentrangan.
“Trang!”
Mata
golok dan mata kapak saling bentrokan. Kebo Panaran berseru kaget seraya
melompat mundur. Golok di tangannya gompal besar dan senjata itu hampir
terlepas. Tangannya sendiri terasa panas kesemutan.
“Tua
bangka edan. Siapa kau sebenarnya?!” tanya Kebo Panaan membentak sambil melirik
ke arah kakek yang menghadang di pintu. Diam-diam hatinya mulai tidak enak. Si
nenek memiliki senjata aneh yang luar biasa. Sedang si kakek samapi saat itu
hanya bertangan kosong. Maka Kebo Panaran melompat ke arah mulut goa.
Ujung
goloknya secepat kilat ditudingkan ke leher Pendekar 212. Sebelum dia sempat
menusukkan senjata itu Pendekar 212 yang dalam samaran kakek berjanggut putih
menghantam dengan tangan kanan. Segulung angin dahsyat menerpa Kebo Panaran
sehingga lelaki ini terdorong ke dalam goa kembali. Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu si nenek yang memegang kapak telah menyergapnya. Kebo Panaran cepat
babatkan goloknya ke pinggang. Si nenek tak kalah cepat. Segera pula menghantam
dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara bergaung laksana tawon ngamuk
yang disertai berkiblatnya cahaya menyilaukan dan hawa panas menghampar.
Untuk
kedua kalinya kapak dan golok saling bentrokan. Kali ini Kebo Panaran tak
sanggup bertahan. Goloknya bukan saja patah dua tetapi juga terlepas mental.
Sebelum
dia bisa bergerak salah satu mata kapak yang dipegang si nenek telah menempel
di tenggorokannya.
“Nenek…aku
tidak kenal siapa kau. Aku tidak ada permusuhan apapun denganmu. Jika kau dan
kawanmu inginkan harta itu, kita bisa berunding. Aku tidak keberata membagi
tiga isi peti itu!”
Si nenek
terawa tinggi. Lalu gerakkan tangan kirinya ke atas kepala.
Rambutnya
yang awut-awutan tanggal dan kini kelihatan rambutnya yang asli, panjang hitam
terjela ke pinggang. Sepasang mata Kebo Panaran terbeliak tapi dia masih belum
dapat memastikan siapa adanya si rambut hitam bermuka nenek keriput itu.
“Kau
belum mengenali diriku Kebo Panaran?” Si nenek menyeringai. Lalu dia usap
wajahnya yang buruk. Selapis topeng tipis tersingkap lepas dan kini kelihatanlah
wajahnya yang asli.
“Kau… kau
istri Lor Kameswara….! Kau…. Kau Antini….!” Kata Kebo Panaran penuh kejut dan
wajah berubah pucat.
“Bagus!
Akhirnya kau mengenali diriku manusia terkutuk. Saat kematianmu sudah datang!”
Antini angkat tangannya yang memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Tiba-tiba
Kebo Panaran jatuhkan diri ke lantai goa dan berlutut. “Antini dosaku memang
besar. Tai aku yakin kau mau mengampuni diriku. Aku mengaku bersalah besar dan
bertobat….”
“Penyesalan
selalu datang terlambat manusia iblis!”
Dengar
Antini. Dalam peti itu ada harta kekayaan yang tidak terniali harganya.
Jika ka
mengampuni diriku separuh harta itu akan jadi milikmua. Kau akan hidup kaya
raya. Kau bisa mencari suami lain pengganti Lor Kameswara. Kau masih muda….”
“Manusia
keparat! Makan dulu kakiku ini! teriak Antini. Kaki kanannya melesat ke dada
Kebo Panaran hingga terdengar suara bergedebuk dan lelaki itu terkapar di
lantai. Tapi dia cepat bangkit dan berlutut kembali.
“Ampuni
selembar nyawaku Antini. Semua harta dalam peti itu boleh kau ambil. Asal kau
memprbolehkan aku pergi dari sini. Aku akan kembali ke jalan benar.
Aku tidak
akan melakukan kejahatan lagi. Juga tidak akan meneruskan pemberontakan….”
“Hemm….
Bagaimana dengan kawanmu yang satu lagi. Perempuan bernama Ambar Parangkuning
itu?!”
“Aku
tidak tahu dia berada di mana. Dia menghilang sejak peristiwa itu…”
jawab
Kebo Panaran. “Tapi aku tahu satu tempat di mana dia berada. Aku punya
petanya…” Lalu Kebo Panaran memasukkan tangannya ke balik pakaian hitamnya.
Ketika tangan
itu keluar yang dipegangnya bukan sehelai kertas atau peta melainkan sebuah
benda bulat hitam. Dengan cepat benda itu dipencetnya. “Tesss!” terdengar satu
letusan kecil. Bersamaan dengan itu asap hitam mengebubu memenuhi goa.
Antini
dan Wiro merasakan mata mereka menjadi perih, nafas sesak. Lutut mereka
tertekuk lalu keduanya terjatuh ke lantai goa. Antini merasakan ada tangan yang
menarik Kapak Naga geni yang dipegangnya. Dia berusaha mempertahankan tapi daya
dan kekuatannya seperti lenyap.
Begitu
berhasil merampas Kapak Maut Naga Geni 212 Kebo Panaran berkelebat ke pintu
goa. Namun baru saja dia sampai di luar satu tangan berkelebat ke dadanya dan
satu totokan bersarang di tubuhnya membuat Kebo Panaran tidak mampu bergerak
lagi, apalagi melarikan dri.
“Perempuan
laknat! Siapa kau?!” teriak Kebo Panaran ketika melihat orang yang menotoknya
adalah seorang nenek berambut kelabu kasar dan berjubah hitam.
Nenek itu
tertawa mengekeh.
“Anak
manusia, kejahatanmu sudah lewat takaran. Lebih dalam dari lautan dan lebih
tinggi dari langit. Jangan harap kau bisa melarikan diri. Malam ini kau sudah
ditakdirkan untuk menemui kematian di tangan perempuan yang telah kau rusak
kehormatannya dan keu bunhu suaminya!”
Saat itu
asap hitam yang ada di dalam goa berangsur-aangsur mulai pupus.
Udara
segar bertiup masuk sehingga Wiro dan Antini merasa dadanya yang sesak pulih
kembali. Kedua matanya tidak lagi perih dan rasa lemas di tubuh masingmasing
berangsur lenyap. Perlahan-lahan kedua orang ini berdiri. Melangkah ke mulut
goa mereka apatkan Kebo Panaran berada dalam keadaan tertotok dan memakimaki
seorang perempuan tua berjubah hitam.
Begitu
melihat si nenek berambut kelabu kasar ini, Antini langsun berteriak “Guru!”
“Ah, jadi
inilah manusia yang dipanggil dengan sebutan Nenek Tidar itu….” kata Wiro dalam
hati.
“Nek,
syukur kau muncul. Kalau tidak manusia terkutuk ini pasti sempat melarikan
diri!” Antini melompat ke hadapan Kebo Panaran dan cepat merampas kembali Kapak
Maut Naga Geni 212 yang dipegang Kebo Panaran di tangan kanannya.
Nenek Tidar
melirik sesaat pada muridnya lalu memperhatikan Pendekar 212.
Dengan
tangan kanannya dia menarik lengan Kebo Panaran ke dalam goa lalu melpaskan
totokan di tubuh lelaki itu. “Muridku Antini, saatmu melakukan pembalasan!”
Lalu dengan cepat dilepaskannya totokan di dada Kebo Panaran.
Mendengar
ucapan gurunya Antini yang memang sudah tidak sabaran segera melompat ke
hadapan Kebo Panaran. Kapak Naga Geni 212 berkelebat ke arah dada Kebo Panaran.
Lelaki ini cepat mengelak. Tapi begitu lolos dari serangan Antini kembali
memburu dengan senjata mustika di tangannya. Kebo Panaran yang sebenarnya sudah
putus asa berkelabat kian kemari menghindari sambaran kapak maut.itu. Namun di
satu sudut goa dia tidak mampu lagi mengelak. Salah satu mata kapak membabat
bahu kanannya. Lelakiinimenjerit setingi langit. Darah muncrat dari bahunya
yang hampir putus! Tubuhnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Dari mulutnya
terdengar suara aneh. Suara seperti gerungan dan teriakan kesakitan serta suara
seperti orang merta.
“Antini ampuni
di…..”
Ucapan
Kebo Panaran terputus. Kapak Maut Naga Geni 212 kembali berkiblat.
Kali ini
mencari sasaran di pangkal leher sebelah kiri. Kebo Panaran meraung keras
menggidikkan. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kapak di tangan Antini
berkelebat kembali. Kali ini menghantam ke bagian bawah perut Kebo Panaran.
Ketika senjata itu membelah selangkangannya, tak ada lagi jeritan yang keluar
dari mulut Kebo Panaran. Mungkin nyawanya sudah lepas sewaktu pangkal lehernya
kena dibacok tadi.
Tubuh
Kebo Panaran terjatuh ke lantai goa. Seperti orang kemasukan setan Antini
membacokkan kapak itu berulang kali ke kepala dan sekujur tubuh Kebo Panaran.
Mengerikan
sekali. Kapala dan tubuh Kebo Panaran tak berbentuk lagi. Terpotongpotong dalam
kepingan-kepingan menggidikkan.
Ketika
Nenek Tidar memegang bahunya dan berkata “Antini muridku, cukup.
Jangan
ikuti kemauan setan. Musuh besarmu sudah kau tamatkan riwayatnya…”
Pendekar
212 cepat mengambil Kapak Maut Naa Geni dari tangan Antini.
Antini
sendiri menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu menangis keras. Di antara
tangisnya terdengar suaranya berkata “Masih ada, masih ada satu lagi yang harus
kucari dan kubumuh. Perempuan bernama Ambar Parangkuning itu…!”
“kau akan
menemukannya, antini. Kau pasti akan menemuinya.” Bekata Nenek Tidar.
“Guru….Kau…kau
tahu di mna orang satu itu berada?”
“Dia ada
di dekat sini Antini. Dia tidak jauh darimu. Dia ada di depanmu!” jawab Nenek
Tidar.
“Guru,
apa maksudmu….? Tanya Antini seraya menurunkan kedua tangannya dan memandang
tepat-tepat pada perempuan tua di depannya.Wiro sendiri juga tampak heran dan
berusaha menduga-duga. “Jangan-jangan…”kata murid Sinto Gendeng dalam hati.
Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya Nenek Tidar menggerakkan tangan
kanannya ke muka. Dia seperti menarik sesuatu dari wajahnya.
Kagetlah
Antini ketika melihat wajah asli si nenek. Tapi dia masih belum yakin. Si nenek
yang kini berwajah jauh lebih muda membuka jubah hitamnya. Di balik jubah itu
ternyata dia mengenakan sehelai pakaian serba kuning. Ingatan Antini kembali
penuh.
“Kau……..Orang
kelima itu! Kau Ambar Parangkuning!” teriak Antini.
Perempuan
di hadapan Antini mengangguk dan tersenyum kecut. “Tidak salah.
Aku
memang Ambar Parangkuning. Salah satu dari lima manusia durjana yang melakukan
perbuatan terkutuk itu….Aku yang mnegirimkan surat bahwa Kebo Panaran akan
berada di sini. Lalu aku ikut muncul ke tempat ini agar kau dapat menyelesaikan
segala dendam kesumatmu secara tuntas. Aku sudah siap untuk menerima kematian.
Hukuman atas diriku tidak berbeda dengan empat kawanku lainnya….”
Antini
menjerit keras. Dia melompat berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari
tangan Wiro. Tapi sang pendekar berkelebat dan memegan lengan Antini seraya
berkata. “Jangan kau turutkan ajakan setan Antini. Saat ini kau harus berpikir
panjang sebelum mengambil keputusan…”
“Aku haru
membunuh dia! Dia salah seorang dari manusia-manusia terkutuk itu! Mereka
membunuh suamiku! Mereka merusak kehormatanku secara keji….”
“Antini…”
kata Ambar Parangkuning dengan suara tersendat. “Aku menyesal telah bergabung
dengan orang-orang itu. Aku tidak pernah menyangka mereka akan sebiadab itu.
Apa yang kami setujui bersama ialah meneruskan perjuangan meruntuhkan kekuasaan
Sri Baginda yang baru. Namun mereka kemudian menyimpang dari cita-cita perjuangan.
Mereka mulai merampok, membunuh dan merusak kehormatan anak istri orang. Puncak
kebengisan mereka terjadi ketika mereka membunuh suamimu Lor Kameswara lalu
memperkosamu bergantian. Aku berusaha melarang mereka tapi tak berhasil. Itulah
sebabnya sejak kejadian itu aku menghilang. Aku ikut merasa berdosa. Aku harus
mencari jalan untuk dapat lepas dari beban dosa yang begitu besar dan berat.
Itu sebabnya aku membawamu dan mengambil dirimu menjadi murid. Dengan
kepandaian yang tidak seberapa itu aku ingin agar kau mampu melkaukan
pembalasan membunuh semua musuh suamimu dan musuhmu sendiri. Termasuk diriku!
Antini, aku yang berdosa ini siap menerima kematian…”
Kedua
mata Antini tidak berkedip. Dia melihat Wiro tegak di hadapannya.
Sang
pendekar menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“Ingat
Antini, dia tidak sama dengan empat lelaki terkutuk itu. Walaupun dia termasuk
dalam kelompok mereka tapi jelas dia tidak ikut membunuh suamimu, juga tidak
ikut merusak dirimu. Inga juga jasanya yang telah mengusahakan agar kau dapat
membalaskan sakit hati dendam kesumatmu….”
“Anak
muda,” kata Ambar Parangkuning. “Segala jasa dan apa yang aku perbuat tidak ada
artinya. Aku tak ingin berlindung di balik semua itu untuk dikasihani. Antini,
lakukanlah Nak….”
Antini
menangis sesenggukan. “Tidak….Aku tidak akan membunuhmu.
Kau…kau
boleh pergi. Kalau kau pergi bawa serta peti berisi harta itu…”
Ambar
Parangkuning tampak tercengang. “Tidak salahkah pendengaanku?” ujarnya
perlahan.
“Pergilah.
Aku tahu kau orang baik. Bahkan aku harus berterima kasih pada hari itu kau
menyelamatkanku dan mengambilku jadi murid. Pergilah, biar kita berpisah dengan
hati sama tenteram dan tanpa rasa dendam…”
Sepasang
mata Ambar Parangkuning berkaca-kaca. Dia tegak dan melangkah mendekati peti
kayu berlapis seng. Dibukanya ikaan tali pada peti. Dia berpaling sesaat pada
Antini dan Pendekar 212.
“Aku
hanya akan mengambil benda dalam peti ini.” Lalu Ambar Parangkuning
mengeluarkan mahkota emas bertahta berlian dari dalam peti.
“Mahkota
ini adalah milik Kerajaan, siapapun yang memerintah saat ini. Aku merasa
brkewajiban untuk mengembalikannya ke Keraton.” Ambar Parangkuning menutup peti
kembali lalu dia melangkah mendekati Antini. “Aku berterima kasih atas
pengampunan yang kau berikan. Aku berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaanmu di
masa depan.” Ketika Ambar Parangkuning memeluknya, Antini merangkul tubuh
perempuan itu erat-erat.
“Selamat
tinggal Antini….” kata Ambar Parangkuning.
“Selamat
jalan guru….” Balas Antini yang membuat hati Ambar Parangkuning jadi sangat
terenyuh. Lalu dia cepat-cepat melangkah ke mulut goa. Di lain saat perempuan
lenyap dalam kegelapan malam.
Lama
Antini tertegun did lama goa. Khirnya dia berpaling pada Wiro. “Kau juga ingin
pergi…?” tanya Antini.
Pendekar
212 menggeleng. “Kau kulihat sangat letih. Sebaiknya kau beristirahat saja di
sini sambil menunggu pagi. Biar goa ini kubersihkan dulu….”
Dengan
kakinya Wiro tending mayat Kebo Panaran hingga menelat mental ke luar goa. Lalu
dengan daun-daun kering dibersihkannya lantai goa itu.
Antini
duduk di salah satu goa. Dia masih menatap Wiro. Lalu terdengar dia berucap
“Peti itu Wiro…. Barang-barang di dalamnya bukan milik kita. Semua hasil
rampokan….Harus kita kembalikan…”
“Kembalikan
pada siapa?” tanya Wiro. Ketika Antini tidak menyahut Wiro berkata. “Kurasa
tidak ada salahnya kau menyimpan isi peti itu untuk bekal masa depanmu…. Kau
telah kehilangan segal-galanya….”
Antini
menggeleng. “Aku akan menjual rumah dan lading mendiang suamiku.
Itu akan
kujadikan modal hidup di kemudian hari. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku.
Peti itu kuserahkan padamu….”
Wiro jadi
garuk-garuk kepala. “Terus terang aku memang tertarik dangan isi peti itu. Tapi
lebih terus terang aku tak mau memilikinya….”
“Lalu
akan kita apakan harta kekayaan itu….” tanya Antini.
“Sebaiknya
malam ini hal itu tak usah kita pikirkan dulu. Kau perlu istirahat.
Tidurlah
sepuasmu. Aku akan menjagamu di mulut goa sana…”
“Di mulut
goa? Kenapa mesti di mulut goa? Kenapa tidak sama-sama di dalam sini?”
Wiro
tertawa. “Kau tidak lagi membenci atau takut pada laki-laki?”
Antini
tertawa lebar. “Perlu apa takut pada seorang kakek tua renta yang tidak punya
daya apa-apap sepertimu ini!”
Astaga!
Wiro baru sadar. Saat itu dia masih mengenakan topeng tipis dengan wajah
seorang kakek lengkap dengan janggut putihnya. Cepat-cepat Wiro menanggalkan
topeng samaran itu.
“Nah,
kalau keadaanmu seperti ini sekarang, aku harus berhati-hati…” kata Antini
pula.
Wiro
tertawa bergelak. “Harus kau buktikan dulu, apa memang kau harus berhati-hati
terhadapku,” kata Wiro seraya menggeser duduknya. Lalu tangannya dilambaikan ke
arah obor. Obor padam. Goa serta merta diselimuti kegelapan. Antini terpekik.
Dalam takutnya tanpa disadarinya dia menggeser duduknya mendekati Wiro.
Dalam
gelap Wiro tertawa bergelak. Kemudian dirasakan jari-jari tangan perempuan itu
memegang jari-jari tangannya.
TAMAT
No comments:
Post a Comment