Perjodohan
Berdarah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
Dalam gelap
wajah cantik di gadis pancarkan amarah keberingasan. Hati berucap. “Wiro, kalau
boleh memberi sejuta nama pada gadis berwarna biru itu. Tapi akhir dari
segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut dirimu
dari tanganku!”Perlahan-lahan orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima
jari dipentang kaku laksana lima potongan baja!. Mulut merapal mantera. Lima
jari tangan serta merta berubah menjadi merah laksana bara menyala. Di lain
kejap dari arah pohon besar melesat lima larik sinar merah. Menyambar cepat dan
ganas ke arah bagian tubuh sebelah belakang ratu Duyung.“Ratu! Intan! Awas! Ada
orang menyerangmu dari belakang!” teriak Wiro. Secepat kilat dia melompat ke
depan. Tangan kiri menodorng garis bermata biru itu sementara tangan kanan
lepaskan pukulan Kincir Padi Berputar disusul dengan pukulan Tangan Dewa
Menghantam Matahari.
********************
1
LENYAP
dicurinya Pedang Naga Suci dari tempat kediamannya di dasar telaga di puncak
Gunung Gede membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas bertindak turun gunung. Orang tua
sakti yang dianggap setengah Dewa ini berhasil menemukan si pencuri pedang
yaitu bukan lain adalah Luhrembulan, gadis cantik dari alam 1200 tahun silam.
Sebenarnya yang mengambil pedang sakti itu bukan Luhrembulan, tapi Nyai Tumbal
Jiwo yang dalam beberapa waktu belakangan ini menampilkan diri sebagai gadis
cantik bernama Nyi Wulas Pikan. Namun begitu berhasil mendapatkan pedang sakti,
Nyi Wulas Pikan tidak memampu memegang senjata itu. Tangannya terkelupas
melepuh kepanasan. Pedang yang kemudian dilempat oleh Nyi Wlas Pikan disambar
lalu dibawah kabur oleh Luhrembulan.
Ketika
Luhrembulan bertarung dengan Purnama yang sama-sama mahluk dari Latanahsilam,
Wiro berusaha mencegah. Dalam kalapnya Luhrembulan bukan saja menyerang Purnama
tetapi juga menyerbu Wiro. Tidak ada jalan lain, murid Sinto Gendeng terpaksa
mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Celakanya tanpa bisa dicegah kapak sakti
itu dirampas oleh Purnama lalu dipakai untuk menyerang Luhrembulan. Purnama
berhasil membunuh Luhrembulan dengan kapak sakti sementara Nyi Wulas Pikan
alias Nyai Tumbal Jiwo yang penasaran atas lenyapnya pedang sakti itu berusaha
mengejar dan mendapatkan Pedang Naga Suci 212 kembali. Di bagian sungai yang
dangkal dia bertemu dengan seorang pemuda gendut yang telah lebih dulu
menemukan Pedang Naga Suci 212. Walau senjata sakti itu beberapa kali menyerang
dirinya pemuda ini dengan mempergunakan sebuah kipas kertas berhasil
menjinakkan dan memegang pedang. Hal ini membuat kagum Nyi Wulas Pikan. Segera
saja dia keluar dari tempat persembunyiannya menemui pemuda gendut
berpenampilan dogol yang sebenarnya adalah salah satu tokoh rimba persilatan
dikenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti, keponakan Dewa Ketawa dan sobat
karib Pendekar 212 Wiro Sableng.
Begitu
berhadapan dengan si gendut Nyi Wulas Pikan kenalkan diri dan memuji.
“Hebat!
Kau mampu menjinakan Pedang Naga Suci Dua satu Dua! Bagamana kau melakukannya?
Mantera apa yang kau baca?”
Bujang
Gila Tapak Sakti yang tertarik akan kecantikan dan kesintalan tubuh molek si
gadis berpakaian hijau kedap-kedipkan mata dan menjawab.
“He … he.
Aku tidak membaca mantera apa apa. Kipas ini yang menolongku.”
“Hebat!
Kipasmu itu pasti sama saktinya dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua”
“He … he.
Kipasku cuma kipas jelek.” Si gendut merendah lalu bertanya.
“Bagaimana
kau tahu kalau pedang ini bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua?”
“Aku
hanya menduga. Tidakkah kau melihat ada guratan angka dua satu dua pada dua
sisi pedang?”Atas pertanyaan Nyi Wulas Pikan, si gendut memberi tabu, nama. Tak
lupa mengatakan babwa dia berusia 20 tahun walau sebenarnya sudah 80 tahun.
Tahu kalau Bujang Gila Tapak Sakti tertarik pada kecantikan wajah dan kemolekan
tubuhnya Nyi Wulas Pikan mulai menggoda dan merayu. Gadis ini mengatakan mau
dikawini si pemuda asal diajarkan bagaimana caranya agar bisa memegang Pedang
Naga Suci 212 tanpa tangan menderita panas dan luka melepuh. Bujang Gila Tapak
Sakti memberi tahu bahwa sebenarnya dia juga merasa panas memegang pedang
tersebut namun tangannya tidak sampai melepuh. Ini disebabkan karena dia
memiliki kekuatan berupa hawa dingin dalam tubuhnya.
“Kalau
begitu berikan kesaktian hawa dingin itu padaku,”mengajuk Nyi Wulas Pikan.
“Memberikan
hawa dingin dalam tubuhku padamu? Bagaimana caranya?”tanya Bujang Gila Tapak
Sakti pula.
Nyi Wulas
Pikan mendekati si gendut ia lalu berbisik. “Tiduri diriku. Kau berbuat pahala
sekaligus mendapat kenikmatan dan aku merasa bahagia.”
Mata
belok Bujang Gila Tapak Sakti mendelik tambah besar. Tubuhnya langsung
keringatan!
“Heh, kau
ini bicara apa?! Kau sungguhan?!”
“Aku
tidak main-main.”Jawab Nyi Wulas Pikan sambil kedipkan mata dan layangkan
senyum.
“Kita…
kita mau melakukannya dimana?”tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil pegang
bagian bawah celana gombrongnya seperti orang kebelet kencing!
Nyi Wulas
Pikan memandang berkeliling.
“Di bawah
pohon sana. Tanahnya tidak terlalu basah. Sepi dan kelindungan.”
Lalu
gadis jejadian Nyai Tumbal Jiwa ini mendahului melangkah cepat ke bawah pohon
besar.
Ketika
dilihatnya pemuda gendut masih tak beranjak dari tempatnya Nyi Wulas Pikan
lambaikan tangan memanggil. Bujang Gila Tapak Sakti tampang dan sikapnya boleh
dogol. Tapi ini tidak berarti otaknya tolol.
“Gadis
cantik, aku ya mau-mau saja dikasih barang enak. Tapi permainan sandiwara apa
yang tengah kau takukan?”ucap si gendut ini dalam hati. Namun dia jadi
terperangah ketika melihat di bawah pohon sana Nyi Wulas Pikan telah
menanggalkan seluruh pakaiannya sebelah atas hingga kini keadaan perempuan cantik
itu jadi setengah bugil!
Hawa
panas menjalari tubuh Bujang Gila Tapak Sakti. Bukan saja yang berasal dari
hawa sakti yang memancar dari pedang sakti bergulung tapi juga akibat menahan
gelora nafsu.
Perlahan-lahan
Bujang Gila Tapak Sakti berjalan ke arah pohon. Beberapa langkah lagi dia akan
sampai di hadapan Nyi Wulas Pikan tiba-tiba gulungan pedang sakti yang ada di
tangan kanannya memancarkan sinar terang dan sreett! Pedang terlepas dari
pegangan, membeset ke atas.
“Brett!.”
Lengan
kiri baju pemuda gendut robek. Kulit tergores. Selagi dia menahan sakit, pedang
sakti kembali berkelebat. Kali ini melesat ke arah Nyi Wulas Pikan. Mendapat
serangan ganas, gadis jejadian Nyi Tumbal Jiwo ini menangkis dengan menjentikan
lima jari tangan.
Lima
larik sinar merah angker menderu ke arah Pedang sakti. Pukulan Lima Jari
Akhirat!
Terdengar
suara berdentringan lima kali berturut-turut. Pedang Naga suci 212 nampak
tersentak limbung di udara. Namun sesaat kemudian didorong satu kekuatan luar
biasa senjata ini kembali ke arah Nyi Wulas Pikan. Si gadis berteriak keras,
secepat kilat jatuhkan diri ke tanah.
Pedang
Naga Suci 212 menancap di pohon besar sampai ke gagang. Nyi Wulas Pikan
menyadari dia tidak akan sanggup menghadapi senjata sakti itu maka dia cepat
menyambar baju yang tergeletak di tanah siap untuk kabur. Namun saat itu pedang
sakti yang menancap di pohon bergerak surut, mengambang di udara lalu di lain
kejap menderu ke arah dirinya! Kali ini Nyi Wulas Pikan tidak mampu bergerak
selamatkan diri karena saat itu dia sedang membungkuk tengah mengambil pakaian.
Kalau sampai dirinya dibantai pedang sakti, rohnya akan terlempar ke alam gaib
untuk selamalamanya, tak mungkin lagi berkeliaran gentayangan di muka bumi. Nyi
Wulas Pikan menjerit keras. Sesaat lagi pedang itu akan menancap di dadanya
yang busung putih tiba-tiba muncullah Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Pedang
Naga Suci Dua Satu Dua! Bukan saatnya kau membunuh! Kembali padaku!”
Pedang
sakti berhenti melesat lalu bergulung dan melayang ke arah sang Kiai. Setelah
menyimpan senjata itu di balik pakaian putihnya Kiai Gede Tapa Pamungkas
membentak Nyi Wulas Pikan.
“Gadis
jalang! Beraninya kau berbuat mesum di tempat ini!”
Nyi Wulas
Pikan mencibir, tertawa cekikikan lalu tinggalkan tempat itu sambil terapkan
ilmu Di balik Asap Roh Mencari Pahala.
“Jangan
pergi!”teriak Kiai Gede Tapa Pamungkas seraya mengejar.
Namun
sosok si gadis setengah bugil telah lenyap. Yang terdengar hanya suara ucapan
mengejek.
“Orang
tua! Aku tahu kau cuma pura-pura marah! Aku melihat sinar matamu! Kau menikmati
pemandangan dadaku yang bagus! Hik … hik … hik!”
Wajah
Kiai Gede Tapa Pamungkas berubah merah mengelam. Mulut berkomatkamit mengucap
istigfar berulang kali. Kini kemarahannya ditumpahkan pada si gendut Bujang
Gila Tapak Sakti.
********************
2
DENGAN
bergetar menahan amarah Kiai Gede Tapa Pamungkas menegur.
“Kau tahu
siapa diriku! Aku juga sudah tahu siapa dirimu! Apa pantas bagi seorang
pendekar rimba persilatan yang konon keponakan Dewa Ketawa berbuat mesum di
tempat ini?!”
Bujang
Gila Tapak Sakti Putar kopiah kupluknya lalu menjawab.
“Kiai,
aku tidak berbuat mesum. Perempuan itu sendiri yang menanggalkan bajunya. Aku
tidak menyuruh!”
“Bujan
Gila Tapak Sakti, jangan bermain kata-kata denganku!”
“Kiai,
dengar. Kau salah menduga. Gadis tadi bermaksud menggodaku. Usiaku sudah
delapan puluh tahun. Aku tak mungkin tertipu. Sebenamya gadis tadi ingin
mendapatkan pedang bergulung yang sudah kau simpan itu.”
“Sudahlah,
sulit aku percaya dengan ucapanmu. Aku hanya ingin tahu satu hal. Apa kau
berkomplot dengan gadis tadi, membantunya dengan ilmu kesaktianmu mencuri
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua dari tempat kediamanku di dasar telaga?”
“Kiai,
ceritanya begini. Aku menemui pedang bergulung itu sewaktu aku lagi berbaring
di sungai dangkal. Gadis tadi ingin menguasai pedang tapi tidak bisa. Jika dia
menyentuh pedang maka tangannya jadi melepuh.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas perhatikan tangan kanan Bujang Gila Tapak Sakti. Tangan itu
tampak agak kemerahan tapi tidak luka apa lagi melepuh. Ini satu pertanda bahwa
si pemuda memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Kalau
kau tidak bersekongkol dengan gadis jejadian tadi, lalu mengapa kau bisa
terpesat ke tempat ini?”
Si gendut
putar lagi kopiah kupluk di atas kepalanya. Tubuhnya mulai terasa panas. Dia
kembangkan kipas kertas dan kipas-kipas leher serta wajahnya. Kiai Gede Tapa
Pamungkas merasa ada hawa aneh keluar dari angin kipasan.
“Kiai,
tidak ada hujan tidak ada angin, tidak ada ujung tidak ada pangkal, dari tadi
kau selalu mengambil sikap mencurigaiku. Memangnya apa ada peraturan dalam
rimba persilatan bahwa seseorang tidak boleh pergi ke mana dia suka?”
“Memang
tidak ada peraturan. Tapi lain dengan dirimu!”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak sampai matanya yang belok berair. Dalam
tertawa hatinya kesal dan jengkel. Lantas saja ia lontarkan kata-kata mengejek.
“Ah,
rupanya aku ini ada kelainan. Tapi aku masih bisa bersyukur. Kiai, dibanding
dengan dirimu kita memang jelas-jelas lain. Kau kurus kerempeng. Aku gendut
berlemak! Kau berambut putih nyaris sulah. Rambutku hitam dan lebat! Kau punya
kumis dan janggut putih. Mukaku tembam tapi klimis. Aku mengenakan baju
terbalik dan celana komprang gombrong. Kau mengenakan pakaian selempang kain
putih tidak berjahit. Aku masih tegap, kau sudah reot. Aku masih ada bau-bau
wangi keringat, kau sudah bau tanah! Anuku masih kencang berkilat. Anumu pasti
sudah seperti terong peot. Mungkin juga rada-rada burik! Ha … ha… ha!”
Amarah
Kiai Gede Tapa Pamungkas mendidih. Kepalanya laksana mau meledak.
“Manusia
kurang ajar! Tutup mulutmu! Kau layak diberi pelajaran!”
Sang Kiai
gerakkan tangan kanan. Jarak si gendut dan orang tua itu cukup jauh namun
tangan si orang tua mendadak berubah panjang.
“Plaakk!!
Plaakk!!”
Dua
tamparan keras melanda pipi Bujang Gila Tapak Sakti kiri kanan. Ini bukan
tamparan biasa! Dua sudut bibir si pemuda gendut sampai pecah mengucurkan
darah. Sambil menahan sakit, setelah menyeka darah di pinggiran mulut dan yang
meleleh di dagu, si gendut keluarkan ucapan yang membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas
terkesima dan merasa menyesal.
“Kiai,
kalau aku memang bersalah dan kurang ajar, apakah begini cara seorang Kiai
memberi pelajaran. Seumur hidup aku akan mengingat pelajaran yang barusan kau
berikan padaku. Aku mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatimu memberi
pelajaran.”
Terhuyung-huyung
Bujang Gila Tapak Sakti putar tubuh lalu tertatih-tatih tinggalkan tempat itu.
Sang Kiai berusaha mengejar. Walau pemuda gendut itu tampaknya berjalan lamban
perlahan namun sebelum sempat si orang tua mendekat sosoknya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas hanya bisa menghela nafas panjang. Ketika dia hendak beranjak
dari tempat itu siap kembali ke puncak Gunung Gede dimana Ratu Duyung masih
menunggu mendadak dia merasa udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin.
Lebih dingin dari udara di puncak Gunking Cede. Tanah yang dipijak seolah telah
berubah menjadi es. Tubuhnya serasa terpendam di satu tempat yang luar biasa
dingin. Dua kaki menjadi kaku, tak mampu digerakkan.
Orang tua
ini kerahkan hawa hangat sakti dalam tubuh, tapi sia-sia saja. Sekujur badan
mulai menggigit. Geraham bergemeletukan. Di tidak mampu melawan rasa dingin!
Perlahan-lahan dari hidung dan telinganya meleleh keluar Cairan darah. Begitu
berada di luar telinga dan hidung langsung membeku.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mengucap istigfar berulang kali. “Aku telah berbuat salah.
Menyengsarakan orang lain yang mungkin tidak berdosa. Sudah tua begini, mengapa
aku tidak dapat menahan sabar? Apakah pemuda tadi yang melakukan pembalasan
atau Tuhan yang menghukum diriku?”Nafas Kiai Gede Tapa Pamungkas menyesak, dada
terasa berat. “Ya Tuhan, aku mohon ampun padamu. Dan kau pemuda bernama Bujang
Gila Tapak Sakti, aku minta maaf padamu atas perbuatanku.”
Baru saja
sang Kiai selesai mengeluarkan ucapan batin itu tiba-tiba hawa dingin yang
menyungkup serta merta lenyap. Tanah yang serasa es berubah hangat. Dua kakinya
yang kaku kini bisa digerakkan. Darah berhenti mengucur dari hidung dan telinga
bahkan noda merah yang membeku lenyap tanpa bekas. Dalam tubuh sang Kiai kini
mengalir hawa sejuk yang membuat dadanya terasa lapang dan hati menjadi lega.
Kiai Gede Tapa Pamungkas gelengkan kepala berulang kali.
“Pemuda
itu telah memberi pelajaran sangat baik padaku. Bujang Gila Tapak Sakti aku berterima
kasih padamu. Hari ini kau telah memberi pelajaran yang tidak akan aku lupakan
selama sisa hidupku.”
***********************
DI TEPI
sungai berair dangkal untuk beberapa lama Bujang Gila Tapak Sakti duduk
merenung pengalaman pahit yang barusan dialaminya. Ketika dia mencuri dua buah
bonang milik Keraton, kemarahan pamannya si Dewa Ketawa bukan olah-olah. Tetapi
orang tua yang juga bertubuh gemuk itu tidak pernah menampar apa lagi
memukulnya. Dia hanya dipendam di dalam liang es di puncak Gunung Mahameru.
Justru dengan kejadian itu dia mendapatkan ilmu kesaktian luar biasa.
“Seumur
hidup baru kali ini aku merasakan ditampar orang. Sakit di pipi tidak seberapa.
Tapi sakit di hati ini…”Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya Cuma tersenyum.
Usap-usap pipinya lalu masuk ke dalam sungai. Membasuh muka, membersihkan noda
darah di sudut bibir dan dagu.
Tiba-tiba
Bujang Gila Tapak Sakti mendengar suara orang. Suara perempuan.
“Ssstt ….
sstt. Gendut…!”
Buiang
Gila Tapak Sakti turunkan dua tangan yang dipakai membasuh muka. Berpaling ke
belakang. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dia memperhatikan berkeliling. Tidak
ada seorangpun. Kembali dia meneruskan mencuci muka.
“Sstt …
Gendut. Terong peot! Rada rada burik. Hik, … hik … !”
Bujang
Gila Tapak Sakti ulurkan tubuhnya yang gendut.
“Tak
mungkin aku salah mendengar. Ada orang bicara! Perempuan!”
Karena
kesal pemuda ini memaki.
“Sialan!
Aku bukan terong peot! Punyaku masih segar mengkilat! juga tidak radarada
burik! Punyaku licin mulus! Sialan!”
Sunyi.
Yang terdengar hanya suara gemerisik dedaunan tertiup angin. Bujang Gila Tapak
Sakti kembali membungkuk, meneruskan membasuh “Ssttt! Terong peot..! Apa kau
tidak dengar ditegur orang?!”
Bujang
Gila Tapak Sakti, terus saja membasuh muka. Tapi kali ini dia hanya
berpura-pura. Dia sudah tahu dari arah mana suara perempuan itu.
“Sstt!…sstt!
Hai terong peot! Kalau tidak menjawab nanti terongmu jadi busuk! Hik… bik..hik!”
Tubuh
gemuk ratusan kati Bujang Gita Tapak Sakti tiba-tiba melesat enteng ke udara!
Lalu melayang turun, berkelebat ke balik sebuah pohon besar di tepi kanan
sungai. Kipas di tangan kiri siap dipukulkan. Begitu si gendut sampai di balik
pohon dari tempat itu terdengar pekikan perempuan disusul tawa cekikikan.
“Anak
kecil! Siapa kau?!”Bentak Bujang Gila Tapak Sakti.
“Hik!
Hik! Apa matamu buta! Enak saja mengatakan aku anak kecil! Lihat! Aku sudah
punya anak tahu! Ini anakku!”
Dari
jengkel Bujang Gila Tapak Sakti jadi terperangah lalu menyeringai. Di
hadapannya saat itu berdiri sambil senyum-senyum seorang perempuan cantik
bertubuh kecil, membedong sebuah boneka kayu di atas dadanya.
“Sialan!
Jelek amat, nasibku hari ini. Habis ditampar kakek-kakek kini bertemu perempuan
sinting!”Kata Bujang Gila Tapak Sakti dalam hati.
“Tapi ….
apa benar dia gila? Wajahnya dipoles dandanan apik. Rambut rapi. Pakalan biru
bagus masih baru ….”
“Anak
kecil, kau ini siapa? Mengapa menggangguku?”
“Anak
kecil, anak kecil! Enak saja kau bicara! Pasti kau memang buta! Juga tuli! Apa
tidak melihat dan tidak mendengar ucapanku tadi. Aku sudah punya anak. Ini!”
Perempuan
bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu
dari bedongan kain lalu diacungkan ke depan. Bujang Gila Tapak Sakti delikkan
mata lalu hendak tertawa gelak-gelak. Tapi dia batalkan niat. “Orang gila kalau
dicemooh apa lagi dilayani keras dan galak malah tambah gila…”pikir si gendut
pula. Lalu keponakan Dewa Ketawa ini tersenyum lebar, membungkuk sedikit
memperhatikan boneka kayu.
“Ah.,
anakmu cantik sekali. Pasti perempuan. Siapa namanya?”
“Kemuning.”
“Lalu kau
sendiri siapa namanya?”kembali Bujang Gila Tapak Sakti bertanya.
“Kalau
namaku kau tak usah tahu. Tapi namamu aku sudah tahu!”
“Heh.,
betul?”
“Namamu
Bujang Gila Tapak Sakti kan? Masih bujangan tapi gila. Iya kan? Hik…hik.!”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa lebar. Dalam hati dia berkata. “Perempuan sinting,
bilang aku gila! Biar saja. Mungkin aku bisa cocokan berteman dengan dia.”Lalu
si gendut ini bertanya.
“Heh,
bagaimana kau bisa tahu namaku. Pasti kau sudah mengikutiku sejak lama.”
“Bukan
mengikuti, tapi aku dan anakku melihat sendiri apa yang kejadian sewaktu kau
mau main meong-meongan dengan gadis berbaju hijau itu.”
“Main
meong-meongan? Ha … ha… ha!”Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelakgelak hingga
dadanya yang gembrot dan perutnya yang buncit bergerak-gerak. Nyi Retno Mantili
ikutan tertawa.
“Kemuning
anakku! Lihat si gendut itu. Dadanya bergoncang goncang, perutnya seperti mau
meledak! Hik … hik… hik!”
********************
3
BUJANG
Gila hentikan tawa, usap kedua matanya yang basah oleh air mata. “Sobatku
ayu,”si gendut tidak mau lagi menyebut Nyi Retno sebagai anak kecil, takut di
damprat. “Kau tidak mau memberi tahu nama tidak jadi apa. Tapi aku mau tanya,
kau ada di tempat ini bagaimana ceritanya?”
“Tadinya
aku berada di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman Kiai yang memaki-makimu
itu.”
Bujang
Gila Tapak Sakti jadi heran.
“Maksudmu
Kia Gede Tapa Pamungkas?”
Nyi Retno
Mantili mengangguk.
“Ada
keperluan apa kau datang ke sana?”
“Bukannya
datang. Tadinya aku memang tinggal di sana. Aku ini muridnya Kiai itu, tahu!”
“Hah! Kau
jangan bercanda, sobatku ayu!”
“Siapa
yang bercanda! Aku memang muridnya. Tapi sekarang aku malas diam di sana. Kiai
itu banyak urusan dengan gadis-gadis cantik yang aku tidak suka.”
“Gadis-gadis
cantik siapa? Urusan apa?”Bujang Gila Tapak Sakti ingin tahu.
Nyi Retno
Mantili tidak segera menjawab. Wajahnya tampak cemberut namun sesaat kemudian
berubah sedih.
“Sobatku
molek ayu. Wajahmu kulihat seperti marah lalu berubah murung. Perkara apa
sebenarnya yang tengah kau hadapi. Kau mau mengatakan siapa adanya gadis-gadis
cantik itu?”
Nyi Retno
Mantili usap-usap kepala boneka kayu. Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
“Yang
pertama seorang gadis bermata biru seperti kelereng. Kiai memanggilnya Ratu
Duyung…”
“Ratu
Duyung? Ah ….”
“Kau
kenal dia?”tanya Nyi Retno Mantili.
“Dia
sahabatku ….”
“Aku
benci padanya! Kalau dia sahabatmu berarti aku juga benci padamu. Sudah aku tak
mau bicara lagi!”
“Sobatku
ayu. Jangan buru-buru marah. Kenapa kau benci pada gadis bermata biru bernama
Ratu Duyung itu?”
“Dia …
dia jahat”
“Jahat
bagaimana?”
“Dia mau
merampas ayah Kemuning!”
Kening si
gendut mengerenyit. Sepasang alis tebal naik ke atas. Mata melirik ke arah
boneka kayu. “Merampas ayah Kemuning?”Bujang Gila Tapak Sakti melongo heran.
Dalam
hati dia berkata. “Boneka kayu ini punya ayah? Siapa? Boneka juga?”
“Sobatku
ayu…”
“Jangan
panggil aku sobat. Aku tidak mau berteman lagi denganmu. Kau sahabat gadis
bemata kelereng itu! Sudah, aku benci padamu!”
“Kalau
kau tidak mau berteman lagi denganku, tak jadi apa. Aku tetap saja mau
bersahabat denganmu. Sudah, aku mulai keringatan. Aku mau berendam dulu dalam
sungai.”
Bujang
Gila Tapak Sakti lalu baringkan tubuhnya yang gemuk di dalam sungai dangkal.
Mata dipejam. Tangan kiri memegang kipas dan mengipas-ngipas. Dia seperti tidak
perdulikan lagi perempuan yang membawa boneka kayu bernama Kemuning itu.
Penasaran Nyi Retno Mantili melangkah ke tebing sungai.
“Aku juga
mau pergi dari sini.”Katanya. “Dasar gendut brengsek! Aku tahu kau suka sama
gadis bermata kelereng biru itu. Tapi kau tidak akan mendapatkannya. Kau tidak
tahu kalau dia mau dijodohkan dengan orang lain! Aku benci kau! Aku benci gadis
itu! Aku juga benci lelaki yang mau-mauan jadi Mak Comblang!”
Bujang
Gila Tapak Sakti bangkit dan duduk di dasar sungai dangkal berair jernih dan
sejuk.
“Gadis
itu mau dijodohkan dngan siapa aku tidak perduli. Kiai itu mau jadi Mak
comblang bukan urusanku! Ya sudah, pergi sana.!”
“Kalau
kau tahu dengan siapa si mata kelereng itu hendak dijodohkan, baru kau berhenti
pura-pura tidak mau tahu!”Nyi Retno balikkan badan.
“Eh
tunggu! Memangnya Ratu Duyung mau dijodohkan dengan siapa?”Bujang Gila Tapak
Sakti bertanya sambil bangkit berdiri.
“Dengan
ayah Kemuning!.”
“Lalu
ayah Kemuning siapa?”tanya si gendut sambil putar kopiah hitam di atas kepala.
“Wiro!”
“Wiro?
Wiro siapa?!”
“Apa kau
tuli?!”
“Aku
punya sahabat. Seorang pendekar. Namanya Wiro Sableng. Apa dia orangnya?!”
“Kalau
sudah tahu mengapa masih bertanya?!”
Si gendut
terdiam sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Aku
tidak yakin!”katanya.
“Tidak
yakin bagaimana?! Ratu Duyung sudah menunggu di tempat Kiai yang jadi Mak
Comblang itu. Wiro kabarnya akan segera datang sebelum bulan purnama besok
malam. Padahal sebelumnya aku juga sudah berada di sana. Ingin mempertemukan
anak ini dengan dia, ayahnya. Kemuning sudah lama sekali tidak bertemu ayahnya.
Dia sering menangis memanggil-manggil ayahnya.”
Bujang
Gila Tapak Sakti keluar dari dalam sungai. Tangan kiri masih berkipas-kipas, tangan
kanan memegang bahu Nyi Retno. Begitu disentuh perempuan ini terpekik.
“Ihhhh!
Tanganmu dingin seperti tangan hantu es!”
“Sobatku
ayu, aku tidak yakin Wiro mau kawin dengan Ratu Duyung walau aku tahu gadis
bermata biru itu cantik selangit tembus, memiliki ilmu kesaktian hebat dan
telah saling berbagi budi dengan Wiro sahabatku itu.”
“Lalu apa
si mata kelereng itu mau kawin denganmu?! Paling tidak kau berharap begitu. Iya
kan?!”
“Aku tahu
diri. Aku bersahabat dengan Ratu Duyung. Juga dengan Wiro,”
“Jadi
Wiro juga sahabatmu?”tanya Nyi Retno.
Si gendut
mengangguk. “Memangnya kenapa?”
“Kalau
begitu nanti katakan padanya. Jika dia kawin Kemuning anaknya akan marah, akan
sedih dan bisa sakit. Lalu mati!”Habis mengeluarkan ucapan wajah Nyi Retno
Mantili tampak redup. Lalu bahunya bergoncang dan isak tangis keluar perlahan
dari sela bibir.
Bujang
Gila Tapak Sakti merasa kasihan lalu berusaha membujuk.
“Sobatku
ayu, aku sudah bilang, aku yakin Wiro tidak mau kawin dengan Ratu Duyung.
Kalaupun mau tidak sekarang, Entah berapa belas tahun lagi!”
“Aku
tidak perduli dia mau kawin kapan. Besok atau lusa atau seratus tahun lagi!
Pokoknya dia bakal kawin! Kemuning akan kehilangan ayahnya!”
“Aku
bilang, aku tidak yakin.”
“Memangnya
kenapa?”tanya Nyi Retno.
“Dia
punya kekasih sekampung penuh!”jawab Bujang Gila Tapak Sakti yang membuat Nyi
Retno Mantili terpekik lalu menggerung keras.
“Hai …
hai, dengar. Jangan menangis dulu! Maksudku Wiro memang banyak digandrungi
disukai gadis cantik rimba persilatan. Tapi dia sendiri belum tentu mau. Lalu
kenapa kau menangis?”
Nyi Retno
usut air matanya.
“Yang
menangis bukan aku. Tapi anak ini. Kemuning…”Jawab Nyi Retno. “Aku … aku tahu
Wiro banyak kekasih. Semua mereka adalah gadis-gadis yang aku benci. Aku
menemui dua orang diantara mereka di puncak Gunung Gede. Di tempat kediaman
Kiai Gede Tapa Pamungkas.”
“Siapa
saja mereka?”tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Yang
pertama mengaku bernama Luhrembulan. Gadis dari alam seribu dua ratus silam!
Gila! Malah dia bilang sudah menikah dengan Wiro!”
“Itu
berita bohong! Aku tahu ceritanya.”
Baik
Bujang Gila Tapak Sakti maupun Nyi Retno Mantili tidak mengetahui kalau
Luhrembulan alias Hantu Santet Laknat telah menemui ajal di tangan Purnama.
Dibabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212 yang dirampas Purnama dari tangan Wiro.
“Betul
bohong? Jadi Wiro tidak benaran nikah dengan gadis bernama Luhrembulan itu?
Cuma kawin meong-meongan seperti yang tadi hendak kau lakukan dengan gadis
berbaju hijau itu?! Ah itu pun berarti dia telah mengkhianati Kemuning,
anaknya.”
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa. Lalu bertanya. “Siapa gadis lainnya?”
“Seorang
bernama Purnama. Juga berasal dari negeri butut antah berantah itu. Kau kenal
dia? Jangan-jangan dia sahabatmu juga!”
Bujang
Gila Tapak Sakti menggeleng.
“Lalu aku
juga bertemu dengan seorang gadis bernama Nyi Wulas Pikan. Mengaku Wiro adalah
kekasihnya. Dia itu gadis berpakaian hijau setengah bugil yang kau meongi tadi!”Kali
ini Bujang Gila tampak terkejut
“Eh,
mengapa tampangmu berubah?”tanya Nyi Retno Mantili.
“Kau
kelihatan terkejut! Pasti ada apa-apanya!”
“Aku
semakin tidak percaya! Mana mungkin Wiro punya kekasih seperti Nyi Wulas Pikan.
Gadis itu culas. Dia hendak menipuku. Minta ilmu agar bisa memegang Pedang Naga
Suci Dua Satu Dua.”
“Tapi kau
juga mau sama dia kan!”tukas Nyi Retno. “Eh tadi kau bilang Wiro punya kekasih
gadis sekampung! Gita! Banyak buanget! Siapa saja mereka?!”
Bujang
Gila terbayang wajah Anggini, Bidadari Angin Timur, Bunga, Puti Andini, Dewi
Ular. Tapi dia tidak mau memberi tahu.
“Sudah,
sebaiknya kita tidak membicarakan lagi soal gadis-gadis itu. Bagaimana kalau
aku antarkan kau ke tempat Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede…”
“Aku mau
kau antar kemana saja. Tapi tidak ke tempat Kiai itu.”
“Kenapa?”
Nyi Retno
Mantilli menggeleng. “Hatiku sangat sedih. Aku bisa berteriak. Aku bisa
mengamuk! Aku bisa membunuh Kiai itu! Atau membunuh si mata kelereng…”
“Lalu apa
kau tidak ingin bertemu dengan ayah Kemuning?”
“Aku jadi
bingung.”jawab Nyi Retno Mantili sambil mengusap kepala boneka kayu.
“Dari
pada bingung sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sambil jalan kita bicarakan
kemana kau mau pergi.”
“Tubuhmu
besar gendut. Kau pasti kuat. Saat ini aku dan Kemuning merasa letih. Kau mau
menggendong kami?”
“Bujang
Gila Tapak Sakti angkat tubuh kecil Nyi Retno Mantili lalu mendudukkannya di
bahu kanan.
“Hik..hik.
Kemuning, lemak dibahu si gendut ini tebal sekali. Ibu serasa duduk di atas
kasur tebal! Hik … hik … hik!”
Nyi Retno
mendadak hentikan tawanya. Dari balik rerumpunan semak belukar di tepi sungai
tiba-tiba melesat keluar seorang kakek berpakaian jubah gombrong hitam. Di
pinggangnya melilit seutas cambuk. Sepasang matanya tidak bisa diam. Selalu
bergerak berputar-putar. Dari mulutnya terdengar suara meracau seperti orang
membaca mantera. Rambut panjang sebahu. Sebelah kiri kepala di cat putih,
sebelah kanan dicat hitam. Kalau Nyi Retno Mantili murid Kiai Gede Tapa
Pamungkas dan orang berkepandaian tinggi seperti Bujang Gila Tapak Sakti tidak
tahu ada orang yang bersembunyi di dekat mereka, jelas sudah bahwa si kakek
berjubah hitam itu memiliki tingkat ilmu yang tidak sembarangan.
“Sobatku
ayu, apa kau kenal monyet berambut belang ini? Mungkin sahabatmu?!”
“Aku
tidak kenal. Dia bukan sahabatku!”jawab Nyi Retno Mantili.
“Kalau
begitu kita teruskan perjalanan. Mungkin monyet tua ini kesasar mencari pisang.
Di sini mana ada pisang. Mungkin pisang kuning yang ngambang dihanyutkan air
sungai! Ha…ha… ha!”
Nyi Retno
ikut tertawa cekikikan.
Bujang
Gila Tapak Sakti bergerak hendak melangkah.
“Tunggu
dulu!”kakek berpakaian hitam gombrong tiba-tiba membentak sambil menghadang
jalan si gendut. “Kau boleh saja tidak mengenal diriku! Tapi apakah kau juga
tidak mengenal tiga sahabatku ini?!”Si kakek lalu keluarkan sultan keras. Saat
itu juga dari batik rerumpunan semak belukar di tebing sungai, melesat keluar
tiga manusia aneh. Berdiri berjejer di samping kakek berambut belang. Melihat
ketiga orang ini air muka Nyi Retno Mantili jadi berubah.
“Kemuning!
Kau masih ingat tiga manusia aneh yang dulu menggantung ibumu di cabang pohon?!
Hik… hik… Hik! Sekarang apa mereka muncul hendak menggantung sahabat kita si
gendut ini?! Hik… hik… hik. Perlu tambang yang kuat dan pohon yang besar. ”
********************
4
KITA
kembali dulu ke puncak Gunung Gede. Sewaktu melihat Kiai Gede Tapa Pamungkas
muncul dengan wajah redup, Ratu Duyung yang duduk sendirian di tepi telaga
serta merta maklum kalau selain lenyapnya Pedang Naga Suci 212 sesuatu telah
terjadi di lereng atau kaki gunung. Gadis bermata biru ini cepat berdiri dan
menyapa.
“Kiai,
apakah Kiai berhasil mendapatkan kembali pedang sakti yang dicuri?”
“Tuhan
menolongku. Aku berhasil mendapatkan pedang sakti itu kembali.” Jawab Kiai Gede
Tapa Pamungkas.
“Kiai
juga tahu siapa yang mencurinya?”tanya Ratu Duyung lagi.
“Gadis
jejadian bernama Nyi Wulas Pikan yang berasal dari nenek jahat mahluk alam roh
bernama Nyai Tumbal Jiwo.”
“Bukankah
mahluk itu adalah guru dari Wira Bumi? Patih Kerajaan yang menemui ajal di
tangan Wiro beberapa waktu jalu.”
“Betul,”jawab
Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Saya
menyirap kabar kalau dia pernah mendatangi penguasa Laut Utara untuk minta
bantuan membunuh Wiro dan Nyi Retno Mantili,”kata Ratu Duyung pula.
“Gadis
jejadian itu masih untung tidak ditembus mati oleh pedang sakti. Dia melarikan
diri ketika aku pergoki hendak berbuat mesum dengan Bujang Gila Tapak Sakti.
Pedang Naga Suci Dua Satu Dua tidak pernah mau berada di sekitar tempat mesum,
atau dikuasai oleh orang-orang jahat dan bejat seperti dia. Kau tahu Ratu,
Sinto Gendeng saja muridku, tidak mampu memegang dan menyimpan senjata itu.”
Ratu
Duyung terkejut. “Bujang Gila Tapak Sakti? Saya tidak menduga. Sulit saya
mempercayai.”
“Akupun
tidak menyangka. Tapi begitulah. Perempuan salah satu titik kelemahan kaum
lelaki. Bujang Gila rupanya terpikat dengan kecantikan dan keelokan tubuh Nyi
Wulas Pikan,”kata sang Kiai. Dia tidak menceritakan perihal dia telah menampar
pemuda gendut itu dan bagaimana Bujang Gila Tapak Sakti kemudian membalas
dengan membuat dirinya diselubungi hawa dingin luar biasa. Sang Kiai menatap ke
langit. Udara masih mendung. Di batik kemendungan itu rembang petang telah
muncul dan tak lama lagi sang surya akan masuk ke ufuk tenggelamnya.
“Ratu
Duyung, aku punya dugaan kalau Wiro telah berada di sekitar Gunung Gede.
Berarti sebelum bulan purnama menyembul besok malam dia akan datang menemuiku.
Kita akan menunggunya di tepi telaga ini mulai sore besok. Saat ini sebaiknya
kita turun ke tempat kediamanku di dasar telaga.”Ratu Duyung tidak segera
beranjak dari tempatnya berdiri walau saat itu Kiai Gede Tapa Pamungkas telah
melangkah menuju telaga. Melihat gadis bermata biru itu hanya berdiam diri si
orang tua hentikan langkah dan bertanya.
“Ada apa
Ratu?”
“Kiai
mohon maafmu kalau saya berlaku lancang. Ada sesuatu yang sejak lama sebenarnya
ingin saya tanyakan.”
“Mengenai
apa?”tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas walau orang tua sakti ini diamdiam sudah bisa
menduga.
“Mengenai
permintaan Kiai menyuruh saya dan Wiro datang ke puncak Gunung Gede ini.”
“Oh soal
itu. Nanti akan kita bicarakan di tempat kediamanku.”
Ratu
Duyung merasa tidak puas. Dia bertanya lagi.
“Maaf
kalau saya keliru menduga. Apakah pertemuan kita bertiga ini menyangkut hal
perjodohan saya dengan Wiro?”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum.
“Perihal
langkah seseorang, rejeki, jodoh dan maut semua itu berada di tangan Yang Maha
Kuasa. Kita manusia hanya para pelaku yang menjalankan sesuai dengan
petunjuknya. Ratu, harap kau mau bersabar sampai besok malam. Mudah-mudahan
saja Wiro datang lebih cepat.”
“Seandainya
Wiro tidak datang?”
“Ah,
jangan berandai-andai seperti itu. Wiro pasti datang. Aku kakek gurunya. Aku
tahu dia seorang murid yang patuh…”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas lalu memberi isyarat. Kedua orang itu melangkah menuju telaga.
Jika ada orang lain menyaksikan pasti akan terheran-heran melihat bagaimana dua
orang sakti itu kemudian meluncur masuk dan lenyap ke dalam telaga.
***********************
MALAM
keesokan harinya. Udara terasa semakin dingin. Langit cukup cerah namun purnama
empat belas hari agak terhalang di balik saputan awan kelabu. Ratu Duyung
menambah kayu perapian penghangat tubuh. Saat itu hatinya diliputi berbagai
rasa.
“Ratu,
aku tahu hatimu saat ini tidak tenteram. Kau harus percaya bahwa Wiro akan
datang. Saat ini apakah kau tidak merasa kalau di sekitar telaga ada lebih dari
satu orang bersembunyi memperhatikan ke arah kita?”
“Terus
terang sejak tadi pagi saya tidak bisa tenang Kiai. Saya memang merasa tapi
tidak begitu memperhatikan kalau di sekitar sini ada orang-orang yang
bersembunyi dan memperhatikan kita. Apa yang ada di pikiran mereka bersembunyi
memata-matai kita?”
“Mereka
ikut menunggu kehadiran Wiro. Lalu ingin mendengarkan pembicaraan kita.”
“Apakah
kita perlu mengusir mereka Kiai?!”
“Selama
mereka hanya ingin tahu, ingin mendengar dan tidak berbuat sesuatu yang
mencelakai kita, aku rasa kita biarkan saja mereka. Kalaupun mereka mendengar pembicaraan
kita hal itu tidak perlu dipikirkan. Mungkin itu ada baiknya.”
“Maksud
Kia!?”
“Maksudku,
semua yang sembunyi di sekitar tempat ini adalah perempuan. Tapi aku menduga
diantara mereka ada seorang lelaki. Mereka …”
Ucapan
Kiai Gede Tapa Pamungkas terputus. Satu bayangan hitam berkelebat kemudian
berdiri di hadapan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Sambil membungkuk memberi hormat
orang ini berkata.
“Kiai,
salam hormat saya untukmu. Apakah saya datang terlambat?”
Saat itu
rembulan empat hari menyeruak dari balik saputan awan. Bentuknya bulat
memancarkan cahaya benderang sejuk, sungguh satu pemandangan yang indah sekali.
Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Ratu Duyung mengangkat kepala, memandang ke depan.
Kedua orang ini sama-sama melepas nafas lega.
“Pendekar
Dua Satu Dua, kau datang tepat waktu. Kami memang sudah lama menunggu. Aku
sendiri …”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas hentikan ucapan. Sepasang mata memperhatikan pemuda berambut
gondrong di hadapannya yang memang Pendekar 212 murid Sinto Gendeng Wiro
Sableng adanya.
“Wiro,
aku melihat satu kelainan pada dirimu. Selama ini kau selalu mengenakan baju
dan celana putih. Sejak kapan kau bertukar penampilan. Mengenakan baju dan
celana hitam komprang seperti ini?”
Wiro
tertawa lebar. Melirik ke arah Ratu Duyung, kedipkan mata lalu menjawab
pertanyaan sang Kiai.
“Saya
terkena musibah Kiai. Celana putih saya robek besar di sebelah bawah. Baju dan
celana hitam yang saya pakai ini adalah pemberi dari seorang penduduk desa di
kaki gunung.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum.
“Kiai,
saya sudah datang. Sahabat saya Ratu Duyung juga sudah hadir di sini. Sesuai
dengan pesan Kiai, apakah kita bisa memulai pembicaraan? Saya sangat ingin tahu
gerangan apa sebabnya Kiai memanggil kami berdua. Apakah ada kesalahan yang
telah kami lakukan?”Murid Sinto Gendeng ingin semua urusan bisa dilakukan
dengan cepat. Kalau sudah selesai dia akan buru-buru meninggalkan tempat itu.
Dia harus mencari Nyi Retno Mantili. Dia mengawatirkan keselamatan perempuan
malang itu!
“Kalian
berdua tidak memiliki kesalahan apa-apa.” Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Wiro, sebelum kita bicara, ada yang ingin aku tanyakan. Sebelum sampai ke
sini, siang tadi apakah kau mengalami sesuatu peristiwa?”
Wiro
terdiam berpikir pikir sambil menggaruk kepala. Peristiwa apa yang dimaksudkan
orang tua ini, pikirnya. Lalu dia ingat.
“Memang
ada satu kejadian Kiai. Siang tadi secara tidak sengaja saya menemui
Luhrembulan dan Purnama tengah bertarung di satu tempat di kaki gunung. Mereka
sama-sama berasal dari Latanahsilam. Negeri seribu dua ratus tahun silam. Saya
coba melerai tapi tak berhasil. Luhrembulan akhirnya tewas oleh Kapak Naga Geni
Dua Satu Dua milik saya yang dirampas Purnama. Purnama kemudian lenyap entah
kemana.”
Wajah
Ratu Duyung berubah ketika mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Perasaannya
sesaat bergejolak
“Hanya
itu saja?”tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Wiro
menggaruk kepala kembali.
“Luhrembulan
membekal Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Saya tidak tahu bagaimana senjata sakti
ini berada di tangannya,” Wiro menjelaskan. Lalu menambahkan. “Saya tidak
melihat jelas apa yang, terjadi kemudian. Namun kalau tidak salah pedang sakti
mungkin jatuh ke dalam sungai. Dihanyutkan arus ke hilir.”
“Senjata
itu sudah berada di tanganku kembali. Seorang mahluk alam roh bernama Nyai
Tumbal Jiwo mencuri senjata itu dari tempat kediamanku. Dugaanku Luhrembulan
kemudian berhasil merampasnya. Pedang sakti ditemukan oleh Bujang Gila Tapak
Sakti…”
“Bujang
Gila Tapak Sakti!” Wiro terkejut ketika mendengar sang Kiai menyebut nama
sahabatnya itu!
“Benar.
Pemuda gendut itu digoda oleh Nyi Wulas Pikan, penjelmaan Nyai Tumbal Jiwo.
Namun sebelum pedang jatuh ke tangan perempuan itu, aku datang dan berhasil
mendapatkan pedang sakti kembali…”
“Saya
sangat bersyukur pedang itu bisa diselamatkan,”ucap Wiro. Dia melirik ke arah
Ratu Duyung. Di saat bersamaan gadis cantik bermata biru in! juga memperhatikan
Wiro. Dua pasang mata saling beradu pandang. Dua hati dan dua rasa saling
bicara tanpa suara. Adakah perasaan kasih sayang timbul di lubuk hati? Lalu
sejauh mana perasaan kasih sayang itu mampu saling bersentuhan?
“Wiro,
dalam perjalanan ke sini apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno
Mantili?”Bertanya Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Saya
bertemu dengan Nyi Retno di kaki gunung. Waktu itu dia tengah berkelahi
menghadapi Luhrembulan. Saya berusaha melerai. Keduanya sama- sama terluka. Nyi
Retno kemudian melarikan diri entah kemana. Saya, kawatir sesuatu terjadi
dengan dirinya,”
“Sebenarnya
sejak beberapa hari lalu Nyi Retno tinggal di sini. Namun siang tadi dia pergi
begitu saja.”Jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Aneh
kalau dia bertindak seperti itu. Nyi Retno tidak memberi tahu pada Kiai dia mau
pergi ke mana.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas menghela napas panjang. “Dia tidak mengatakan apaapa.”
“Nyi
Retno seorang perempuan berperasaan sangat halus. Pasti ada sesuatu alasan
mengapa dia tidak berbuat begitu,”ucap Wiro pula. Kiai Gede Tapa Pamungkas
menatap ke arah telaga sambil mengelus janggut putih. Sikap ini memberikan
kesan kepada pendekar 212 Wiro Sableng bahwa telah terjadi sesuatu antara si
orang tua dengan Nyi Retno Mantili.
Wiro
berpaling pada Ratu Dayung dan bertanya. “Ratu, aku tidak tahu sudah berapa
lama kau di sini. Apakah kau sempat bertemu dengan Nyi Retno Mantili!”
Ratu
Duyung anggukkan kepala. Lalu menjelaskan. “Aku datang siang tadi ke sini
bersama Purnama.”
“Ah, jadi
sebelumnya Purnama juga datang ke sini. Setelah menewaskan Luhrembulan Purnama
lenyap entah kemana.”Menjelaskan Wiro.
“Siang
tadi Purnama mohon diri. Katanya hendak melihat-lihat keindahan kawasan ini.
Ternyata dia bertemu Luhrembulan, bertarung dan membunuh gadis alam roh itu.”
Ucap Ratu Duyung pula.
Wiro
menggaruk kepala. Menoleh pada Kiai Gede Tapa Pamungkas tapi tidak
berkata
apa-apa. Walau Wiro tidak berucap namun sang Kiai sudah tahu apa yang ada dalam
hati murid Sinto Gendeng ini.
“Kalian
berdua, apakah kita akan meneruskan pembicaraan di tempat ini. Atau kalian mau
ikut aku ke tempat kediamanku di dasar telaga?”
“Kiai,
kalau boleh biar kita bicara di sini saja.”Wiro menjawab lalu bertanya pada
Ratu Duyung. “Ratu, bagaimana pendapatmu?”
“Saya
setuju kita bicara di sini saja.”Jawab Ratu Duyung.
Wiro lalu
duduk di tanah. Dia sengaja memilih duduk menghadap ke depan agar bisa melihat
wajah Kiai Gede Tapa Pamungkas sekaligus dapat memperhatikan raut air muka Ratu
Duyung.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas gosokkan telapak tangannya satu sama lain. Dua tangan kemudian
diletakkan di atas kakinya yang duduk bersila. Wiro dan Ratu Duyung duduk
menunggu dengan dada berdebar.
“Wiro dan
Ratu Duyung. Apa yang hendak aku sampaikan pada kalian berdua sebelumnya sudah
menjadi pembicaraan antara aku dengan Sinto Gendeng. Selain itu muridku yang
lain yaitu saudara seperguruan Sinto Gendeng Sukat Tandika yang lebih dikenal
dengan panggilan Tua Gila juga sudah mengetahui hal ini. Kami sudah bersepakat
untuk memanggil kalian datang menemuiku di puncak Gunung Gede ini. Dan
Alhamdullilah kalian berdua saat ini sudah ada di hadapanku. Wiro ketahuilah,
kehadiranmu dalam rimba persilatan tanah Jawa telah mendatangkan banyak sekali
manfaat dan kebaikan.
Kebajikan
yang telah kau lakukan tidak bisa dihitung dan tidak dapat dinilai. Baik untuk
kemaslahatan orang banyak, rimba persilatan maupun bagi Kerajaan. Namun setelah
kami memperhatikan sekian lama, keberadaanmu seorang diri telah menimbulkan
banyak masalah. Bahkan kelak dikemudian hari hal itu bukan cuma menjadi
ganjalan atau kendala, tapi juga bisa mengancam keselamatan jiwamu serta
ketenangan rimba persilatan tanah Jawa.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas hentikan ucapan, perhatikan raut wajah Ratu Duyung beberapa
ketika sementara Wiro yang mulai merasa tidak sabaran berkata dalam hati.
“Kiai ini
bicara terlalu panjang. Apakah dia tidak bisa bicara langsung saja pada maksud
tujuannya? Lama-lama perutku jadi terasa mulas Wiro lalu menggaruk kepala. Kiai
Gede Tapa Pamungkas tersenyum. Dia tahu bagaimana perasaan sepasang muda-mudi
itu. Setelah mengusap janggut putihnya orang tua ini lanjutkan ucapan.
“Terus
terang selama ini kami memperhatikan dalam kehidupanmu kau memiliki begitu
banyak sahabat berupa gadis-gadis cantik. Hal itu adalah sangat lumrah bagi
seorang pemuda sepertimu. Persahabatan yang berlangsung lama lambat laun
menimbulkan perasaan-perasaan tertentu yang mendalam pada diri masing-masing.
Bahkan bersatu dengan aliran darah serta hembusan nafas. Satu diantaranya
adalah perasaan kasih sayang. Namun karena bukan hanya satu orang gadis yang
menyukaimu atau yang kau senangi maka perasaan kasih sayang itu bisa saja
terganjal oleh adanya persaingan untuk saling memperebutkan, dan pada satu saat
pihak yang merasa dikecewakan tidak mustahil akan berubah berbalik menjadi
kebencian. Kehidupan ini, apapun adanya ingin satu kejelasan. Wiro, sudah
saatnya kau membutuhkan seorang pendamping. Maksudku sudah satunya kau memiliki
seorang istri.”
Sang Kiai
sengaja tidak melanjutkan ucapan. Dia menatap dulu pada Pendekar 212 Wiro
Sableng lalu melirik memperhatikan wajah Ratu Duyung. Wiro tampak tersenyum dan
menggaruk kepala sementara Ratu Duyung tundukkan wajah yang bersemu merah.
“Wiro,
kami para sepuh, maksudku aku, Sinto Gendeng dan Tua Gila sudah sama menyetujui
untuk menjalinkan tali perjodohan antara dirimu dengan Ratu Duyung. Kami tahu
kau banyak mempunyai kerabat gadis lain. Semua cantik-cantik. Namun pilihan
kami jatuh pada Ratu Duyung. Ketahuilah bahwa kehidupan suami istri itu tidak
hanya bersandar pada kecantikan sang istri belaka. Tapi kau beruntung. Calon
istrimu selain cantik dan berilmu tinggi juga merupakan seorang perempuan penuh
bijaksana.”
Begitu
sang Kiai berhenti bicara, kesunyian menggantung di udara. Air telaga tidak
terdengar suara riaknya, dedaunan tidak terdengar suara gemerisiknya bahkan
angin malam seolah berhenti bertiup.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas kemudian memecah kesunyian dengan ucapan. “Kalian berdua jangan
diam saja. Bicaralah. Kemukakan pendapat. Kalau tidak ada yang bicara berarti
kalian telah sama menyetujui apa yang aku, Sinto Gendeng dan Tua gila
putuskan.”
Wiro
menggaruk kepala. Ratu Duyung tidak bergerak. Kepala masih tertunduk.
“Wiro,
kau duluan. Aku ingin mendengar pendapatmu. Bicara, jangan menggaruk kepala
saja…”
Di satu
tempat tersembunyi di dalam kegelapan, seseorang berkata perlahan. “Jauhjauh
aku datang ke sini hanya untuk mendengar pembicaraan yang sangat menghancurkan
hati ini. Wiro, apa jawabmu. Jangan berikan Kiamat padaku!”
********************
5
UNTUK
beberapa lamanya Pendekar 212 Wiro Sableng masih duduk berdiam diri. Sesekali
dia melirik ke arah Ratu Duyung yang masih duduk dengan kepala menunduk.
“Wiro…?”Kiai
Gede Tapa Pamungkas menegur.
Wiro
berdehem beberapa kali. Di wajahnya menyeruak senyum.
Namun di
lain saat wajah itu menunjukkan sikap penuh kesungguhan, membuat Kiai Gede Tapa
Pamungkas mendengar dan menatap terpana.
“Kiai,
saya sangat berterima kasih bahwa Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila
mempunyai perhatian akan masa depan kehidupan saya.
Karena
yang mengusulkan, sekaligus memutuskan adalah orang-orang yang sangat saya
hormati, maka tentu saja saya tidak berani menampik. Namun ini bukan berarti
saya menyatakan bersedia dan menyetujui semua ucapan Kiai. Terus terang bagi
saya perkawinan adalah satu hal yang sakral dan sangat suci. Saya merasa belum
sampai menginjak kejenjang kesucian itu. Karena itu bagi saya yang bodoh ini,
perkawinan bukan suatu yang layak dipaksakan. Bukankah lebih indah jika
masing-masing yang berkepentingan, si pemuda dan si gadis menemui tali
perjodohannya mereka sendiri, lalu sama-sama mengikat satu dengan yang lain.
Sementara itu Kiai, saya yang tolol ini merasa masih banyak yang harus dibenahi
dalam rimba persilatan tanah Jawa. Saya merasa sebagian dari kewajiban itu,
terletak di pundak saya. Saya tidak ingin hari ini buru-buru kawin lalu besok
menemui kematian di tangan musuh, meninggalkan seorang istri dalam derita
memilukan, mungkin pula dengan satu benih bayi di dalam kandungannya. Seperti
kata Kiai, kematian ada di tangan Tuhan, namun siapa yang tahu kapan kita bakal
mati?”
“Kiai dan
Eyang Sinto serta Kakek Tua Gila sudah saya anggap sebagai orang tua sendiri
karena sejak Eyang Sinto membawa saya ke Gunung Gede ini belasan tahun silam
untuk dijadikan murid, saya tidak mengenal siapa ibu saya, juga saya tidak tahu
siapa Ayah saya. Yang saya kenal dan temukan adalah dua makam mereka di
pekuburan gersang Jatiwalu, hampir sama rata dengan tanah, dipenuhi rumput
liar. Mungkin bagi saya untuk mencari tahu siapa kedua orang tua saya itu lebih
merupakan satu kewajiban yang luhur dibanding dengan perkawinan. Mungkin saya
salah. Untuk itu saya mohon maaf pada Kiai.”
“Selain
itu Kiai kalau saya telah menganggap Kiai, Eyang Sinto dan Kakek Tua Gila
sebagai orang tua, maka adalah sangat layak dan pada tempatnya kalau kepada Ratu
Duyung juga Kiai berikan kesempatan untuk menemui kedua orang tuanya untuk
memberitahukan hal ini. Itu jika Ratu Duyung memang bersedia menerima saya
sebagai suaminya. Kiai, Ratu Duyung saya mohon maaf kalau ada kata-kata dan
ucapan saya yang tidak pada tempatnya atau menyinggung perasaan Kiai serta
Ratu.”
Untuk
beberapa lama Kiai Gede Tapa Pamungkas menatap wajah sang pendekar. Dalam hati
orang tua ini berkata.
“Aku
tidak pernah menyangka. Pemuda yang selama ini selalu menunjukkan diri sebagai
seorang konyol temyata sungguh pandai bicara. Bukan itu saja. Dia juga pandai
menggantung urusan dengan melimpahkan pada orang lain. Aku tahu betul Ratu
Duyung juga tidak punya orang tua.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas alihkan padangannya pada Ratu Duyung.
“Gadis
bermata biru, aku ingin mendengar bagaimana tanggapanmu. Ucapan Wiro tadi ada
yang menyiratkan pertanyaan apakah kau mau menerima dirinya menjadi suamimu.”
Mendengar
pertanyaan yang terarah langsung Ratu Duyung tidak mampu segera menjawab.
Di tempat
tersembunyi di salah satu tepian telaga kembali terdengar suara orang berucap
perlahan.
“Ratu
Duyung, kalau kau berkomplot dengan Wiro memberikan kiamat padaku, aku akan
menganggap ini sebagai kejahatan. Selama langit berkembang, selama bumi
terbentang dan selama nafas di kandung badan, aku tidak akan melupakan hal ini!
Setelah
diam beberapa lama akhirnya Ratu Duyung menjawab, “Kiai, maafkan saya tidak
bisa bicara banyak. Apa yang dikatakan Wiro tadi benar. Untuk urusan ini saya
harus menemui orang tua saya. Kalau saya memang mempunyai orang tua.
Kenyataannya
nasib saya tidak berbeda dengan Wiro, Seumur hidup sampai hari ini saya tidak
pernah mengetahui siapa kedua orang tua saya. Selama ini saya menganggap Nyai
Roro Kidul sebagai junjungan sekaligus pengganti orang tua saya. Berarti saya
harus menemui beliau terlebih dulu untuk meminta nasihat dan izin…”
Di tempat
gelap orang yang sejak tadi mencuri dengar pembicaraan kembali keluarkan
ucapan.
“Kau
tidak akan mendapat nasihat! Apa lagi mendapatkan izin dari Nyai Roro Kidul.
Karena aku tahu Nyai Roro Kidul juga menghormati Wiro! Apakah kau berani
menantang junjunganmu Penguasa Laut Selatan itu?!”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas lama merenung. Dalam hati di berkata.. “Si pemuda melempar bola.
Si gadis balas mempermainkan dan melempar lagi ke tempat lain. Aneh, apakah
kedua insan ini tidak saling mengasihi hingga mau bersembunyi dibalik
kata-kata?”
“Wiro,
Ratu Duyung,”akhirnya sang Kiai keluarkan ucapan. “Aku memang tidak memaksa
akan mendapat jawaban dari kalian saat ini juga. Seperti katamu tadi perkawinan
adalah sesuatu yang sakral dan suci. Namun jangan sampai terlalu larut dalam
dua hal itu hingga kalian tidak berbuat apa-apa. Ketahuilah perjodohan kalian
berdua akan banyak menyelamatkan dunia persilatan dari berbagai macam
malapetaka. Aku, Sinto Gendeng clan Tua Gila tidak ingin malapetaka itu
berbalik menciderai kalian.”
Orang
yang bersembunyi di tempat gelap tidak menunggu lebih lama segera berkelebat
meninggalkan tepian telaga. Di arah lain yang juga diselimuti kegelapan ada
seorang lelaki aneh bergerak keluar dari persembunyiannya sambil mengusap
wajahnya yang penuh dengan tancapan paku baja putih.
“Aku
mengira perempuan yang membawa boneka itu ada di sini. Bukankah ini tempat
kediaman gurunya? Dugaanku ternyata salah. Aku harus mencari kemana? Guru
mengatakan bahwa kalau aku kawin dengan perempuan gila, melakukan hubungan
badan, maka pada hubungan yang kedua puluh satu seluruh paku jahanam yang menancap
di tubuhku akan luruh!”Orang ini memandang berkeliling.”Kemana aku harus
mencari perempuan itu. Apakah aku bisa yakin Serikat Momok Tiga Racun jahanam
itu tidak akan mencari dan mengejarnya kembali? Kalau aku sampai kedahuluan,
celaka nasib diriku seumur umur!”(Mengenai Serikat Momok Tiga Racun harap baca
serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul “Si Cantik Gila Dari Gunung Gede.”)
********************
6
KESUNYIAN
kembali menggantung di tepi telaga. Tak ada yang bicara. Kalau memang
pembicaraan sudah selesai Wiro ingin segera meninggalkan tempat itu. Ingatan
dan rasa kawatirnya terhadap Nyi Retno Mantili tidak bisa hilang. Namun dia
tidak ingin dianggap kurang ajar.
Maka
murid Sinto Gendeng ini berusaha bersabar-sabar sambil sesekali melirik ke arah
Ratu Duyung lalu menambah kayu perapian. Tiba-tiba cuping hidung Pendekar 212
bergerak-gerak. Kepala kemudian menoleh ke kiri lalu berpaling ke kanan. Ketika
dia hendak melihat ke belakang Kiai Gede Tapa Pamungkas bertanya.
“Ada apa
Wiro?”
“Tidak
Kiai, tidak ada apa-apa”jawab murid Sinto Gendeng.
“Pemuda
ini berdusta. Aku tahu dia tengah mencium bau sesuatu. Aneh, aku tidak bisa
mencium apa yang diciumnya.”Membatin Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat itu
sebenarnya Wiro memang mencium bau sesuatu yakni harum bau bunga kenanga. Dalam
hati dia berucap.
“Bunga,
apakah kau ada di sekitar sini?”
Bunga
adalah gadis alam roh bernama Suci yang dalam rimba persilatan tanah Jawa
dijuluki Dewi Bunga Mayat. Seperti sekian banyak gadis cantik yang mengenal
Wiro, gadis inipun jatuh cinta pada sang pendekar. Namun dia menyadari
keberadaannya yang tak mungkin hidup menjadi pendamping Wiro. Baru saja Wiro
membatin, di telinganya sebelah kiri mengiang suara gadis alam roh itu.
“Wiro,
aku memang ada di sekitar sini. Kau lihat batu besar di tepi telaga sebelah
kanan? Aku duduk disitu, memandang ke arahmu. Aku tidak akan memperlihatkan
diri karena mungkin bisa menyusahkan dirimu.”
Wiro
berpaling ke kanan, ke arah sebuah batu besar yang terletak di tepi telaga. Dia
memang tidak melihat sosok jelas ataupun samar Bunga namun bau harum kembang
kenanga tercium semakin santar dan datang dari arah batu itu.
“Wiro,
kau masih ingat ketika dulu aku memberi tahu padamu. Jika kau mencari kawan
pendamping, maka yang cocok dan baik bagimu adalah gadis bermata biru Ratu
Duyung yang kini ada dihadapanmu. Ternyata apa yang aku katakan tidak berbeda
dengan keinginan Kiai Gede Tapa Pamungkas, gurumu Eyang Sinto Gendeng dan Kakek
Tua Gila. Aku merasa bahagia kalau ucapanku menjadi kenyataan. Aku merasa senang
jika keinginan tiga orang tua itu terlaksana. Aku memang mencintaimu. Sangat
mencintaimu. Perkawinanmu dengan Ratu Duyung kelak membuat diriku merasa sangat
kehilangan dirimu. Namun dalam kesedihanku ada kebahagiaan. Dalam derai air
mataku ada senyum syukur. Dalam ratapku ada senandung keikhlasan. Wiro, kalau
aku menyambut perjodohanmu dengan Ratu Duyung dengan penuh ketulusan, maka
mungkin banyak diantara para sahabat merasa kecewa dan tidak dapat menerimanya.
Berlakulah bijaksana sekaligus mengambil sikap waspada. Demi cintaku padamu aku
akan menjaga keselamatan dirimu dan Ratu Duyung. Wiro, saat ini ada seorang
gadis dari alam lain memandang sedih ke arahku seolah berbagi rasa. Aku tahu
dan kau juga tahu betapa dia sangat mengasihi dirimu. Namun juga ada satu
mahluk dari alam roh tidak suka kehadiranku di tempat ini. Aku harus pergi
sebelum yang satu ini berbuat jahat…”
“Siapa?!
Siapa yang hendak berbuat jahat padamu?!”Ucapan bernada keras itu terlepas
begitu saja dari mulut Wiro tanpa sadar. Membuat Kiai Gede Tapa Pamungkas dan
Ratu Duyung memandang terheran-heran.
“Wiro,
kau bicara dengan siapa?”tanya Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Wiro
menggaruk kepala. “Tololnya aku ini!”Wiro memaki diri sendiri.
“Wiro,
ada apa?”Ratu Duyung bertanya sambil mendekati sang pendekar.
Wiro
tidak bisa berdusta lagi.
“Maafkan
saya…”katanya. “Seorang sahabat dari alam roh yang ada di tempat ini memberi
tahu ada seorang mahluk alam roh lainnya tidak menyukai dirinya dan mungkin
hendak berbuat jahat…”
“Kalau
aku boleh tahu Wiro, siapa sahabat diri alam roh yang kau maksudkan itu?”
“Sahabat
kita Bunga,”jawab Wiro. “Terakhir sekali kalau aku tak salah kau bertemu dengan
dia ketika menolong diriku di pondok kediaman Ki Tambakpati beberapa waktu
lalu. Aku tidak tahu siapa mahluk satunya yang hendak berbuat jahat. Yang jelas
bukan Luhrembulan karena gadis dari Latanahsilam itu telah tewas di tangan
Purnama…”
Mendadak
Wiro terdiam. “Purnama,”ucapnya kemudian dengan suara bergetar dan agak
perlahan. “Mungkin dia yang dimaksudkan Bunga dengan mahluk alam roh yang
hendak berbuat jahat itu?”
“Aku
tidak yakin,”menyahuti Ratu Duyung. “Dia bersahabat dengan kita semua. Termasuk
dengan dirimu. Ingat, berapa kali Purnama menyelamatkan jiwamu dengan ilmu yang
ada dalam Kitab Seribu Pengobatan?”Disinilah letak ketulusan hati gadis bermata
biru ini, dia tahu Purnama sangat mencintai Wiro bahkan sering berbuat nekad
dan malah menjadi salah satu pesaing beratnya dalam mendapatkan cinta kasih
sang pendekar, namun untuk suatu hal yang benar dia tidak ragu mengatakan bahwa
itu adalah benar.
“Wiro,
kenapa tidak kau tanyakan saja pada Bunga siapa adanya mahluk alam roh yang
berniat jahat itu?”kata Ratu Duyung.
“Saat ini
Bunga sudah pergi. Aku tidak lagi mencium bau kembang kenanga miliknya. Namun
mahluk yang katanya hendak berbuat jahat itu kurasa masih ada di sekitar sini.”
“Sebelumnya,”kata
Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. “Ada seorang lelaki sembunyi ditepi telaga. Dia
hanya berada sebentar di tempat ini. Lalu pergi begitu saja. Agaknya dia
mencari seseorang. Namun tidak menemui orang itu di sini.”
“Kiai
bisa menduga siapa adanya lelaki itu? Mungkinkah Bujang Gila Tapak Sakti?”
bertanya Ratu Duyung.
“Mahluk
aneh. Hanya itu yang bisa aku rasakan dari keberadaannya,”jawab sang Kiai pula.
“Kiai,
kalau sekiranya menurut Kiai pembicaraan kita sudah selesai, apakah saya boleh
minta diri?”Tanya Pendekar 212. Saat itu ingatannya kembali, tertuju pada Nyi
Retrio Mantili. Dia harus segera mencari perempuan malang itu. Wiro kawatir
akan keselamatan dirinya. Kiai Gede Tapa Pamungkas bisa meraba apa yang ada
dalam benak dan hati sang pendekar. Namun sebelum dia menjawab Ratu Duyung
telah lebih dulu menyambung ucapan Wiro.
“Kiai,
saya juga ingin mohon diri. Saya segera kembali ke laut selatan untuk menemui
Nyai Roro Kidul.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas mengusap janggut putihnya beberapa kali. “Kalian berdua hendak
malam-malam begini. Mengapa menunggu sampai besok pagi saja?”
Baik Wiro
maupun Ratu Duyung tidak menjawab.
“Kalau
kalian memang berniat untuk pergi sekarang baiklah. Pergilah berdua. Sepanjang
perjalanan kalian bisa membicarakan perjodohan kalian. Dengan demikian kalian
akan merasa lebih dekat satu sama lain. Bisa saling menyelami hati
masingmasing.” Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula.
Ketika
Wiro dan Ratu Duyung hendak bergerak bangun, orang tua ini angkat tangan
kanannya.
“Aku
senang melihat kalian hendak pergi berdua-duaan. Tapi tunggu dulu. Tunggu,
jangan terburu-buru. Sebelum pergi ada satu hal yang hendak aku bicarakan
denganmu, Ratu Duyung!”
“Kalau
ada pembicaraan yang mungkin tidak boleh mendengar, biar saya menunggu di tepi
telaga sebelah sana.”Kata Wiro.
“Tidak
perlu. Akan lebih baik kalau kau ikut mendengar dan menyaksikan,” kata Kiai
Gede Tapa Pamungkas pula. Lalu dia menatap ke arah Ratu Duyung.
“Pertama
ada satu hal yang ingin akuusulkan. Hal ini juga sudah disetujui oleh Sinto
Gendeng dan Tua Gila. Sebagai insan yang cantik jelita, namamu sungguh indah
yaitu Ratu Duyung, cocok dengan orangnya. Namun dalam keseharian adalah lebih
baik jika kau memiliki nama lain. Kami para sepuh bertiga sebenarnya sudah
mempunyai beberapa nama pilihan untukmu. Namun adalah lebih pantas kalau Wiro
sebagai calon suamimu yang mencari dan memberikan nama bagimu. Kau setuju
Ratu?”
Ratu
Duyung tak bisa menjawab. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan ke arah Wiro.
“Wiro,
katakan, nama apa yang bagus untuk calon istrimu ini”
Wiro juga
tak bisa menjawab. Kalau dia menjawab berarti dia memang sudah menyetujui bahwa
Ratu Duyung adalah jodohnya, calon istrinya. Urusan bisa jadi panjang. Lagi
pula dia tidak mau mengikat diri.
Dalam
hati Wiro berkata. “Heran, mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas, Eyang Sinto dan
Kakek Tua Gila bersikeras menjodohkan dirinya dengan Ratu Duyung tanpa dia
diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat sendiri. Ah, tapi mungkin aku
yang tolol. Tidak mau berterus terang pada Kiai. Cuma, bagaimana mungkin
…Gendeng! Bagaimana aku jadi bisa terlibat dengan urusan geblek macam begini!”
“Wiro,
aku tahu kau memberikan banyak nama bagus pada beberapa gadis sahabatmu. Tidak
mungkin kau tidak bisa memberikan nama yang indah untuk Ratu Duyung calon
istrimu.”Kata Kiai Gede Tapa Pamungkas pula. Wiro masih tak menjawab. Hanya
memandangi tanah di hadapannya.
“Wiro …
?’
Sang
pendekar angkat kepala tapi memandang ke langit. Dia melihat bulan purnama
empat betas hari, bulat bercahaya indah sekali.
“Wiro,
aku menunggu…”berkata lagi Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Wiro,
cari, pilihkan nama untukku. Aku akan menerima nama apa saja,”tiba- tiba Ratu
Duyung berucap.
Wiro
merasa heran. Tidak menyangka kalau Ratu Duyung akan mengeluarkan ucapan
seperti itu. Ketika murid Sinto Gendeng menatap ke arah si gadis, Ratu Duyung
kedipkan sepasang matanya yang biru bagus. Wiro kini mengerti dan maklum arti
serta maksud Ratu Duyung memberi isyarat kedipan mata itu. Yaitu agar persoalan
bisa selesai dan mereka bisa cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Wiro kembali
menatap ke arah bulan purnama di langit biru bersih tak berawan. Begitu kepala
diturunkan dia langsung memandang ke arah Ratu Duyung.
“Kiai…”
********************
7
DI TIGA
tempat gelap dan tersembunyi sekitar telaga, tiga orang gadis tenggelam dalam
ketercekatan serta ketegangan menyaksikan dan mendengar pembicaraan Kiai Gede
Tapa Pamungkas, Wiro dan Ratu Duyung. Gadis pertama dalam kecantikan wajahnya
tampak pancaran amarah, keberingasan. Hatinya berucap.
“Wiro,
kau boleh memberi sejuta nama pada gadis bermata biru itu. Tapi akhir dari
segalanya adalah kematian! Tidak ada seorangpun boleh dan bisa merebut dirimu
dari tanganku”
Perlahan-lahan
orang ini angkat tangan kanannya ke atas. Lima jari dipentang kaku laksana lima
potongan baja!. Mulut merapal mantera. Lima jari tangan serta merta berubah
menjadi merah laksana bara menyala!
Gadis
kedua walau bisa menahan diri namun tak urung hatinya bergejolak keras. “Wiro
kau benar benar hendak memberi kiamat padaku. Aku mengaku sering berbuat keliru
padamu. Bahkan sikap diriku di matamu mungkin tampak congkak. Mungkin kau juga
menuduhku berselingkuh. Namun ketahuilah seumur hidup dunia akhirat hanya kau
satu-satunya lelaki yang kukasihi!”Begitu mudah Kau melupakan diriku hanya
karena tutur bicara manis penuh bujukan orang tua yang memaksakan kehendak itu.
Wiro kalaupun kelak aku harus mati karena siksa batin ini, aku rela kita mati
berdua dari pada melihat kau bersanding dengan gadis lain!”
Setelah
mengeluarkan suara hati, gadis di dalam kegelapan ini berkelebat pergi ke arah
timur dan lenyap dalam, kegelapan.
Gadis
ketiga berlainan dengan dua gadis terdahulu, yang satu ini unjukkan wajah
sedih, menatap sayu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Mata yang menatap itu
mulai berkaca-kaca. Walau dirinya diselimuti kegoncangan jiwa namun lubuk
hatinya masih mampu bersuara tenang.
“Jika kau
memang bukan jodohku, aku ikhlas menerima. Tapi apakah aku sanggup menghadapi
kenyataan hidup ini? Cobaan ini terlalu besar, terlalu berat bagiku. Bahuku
terlalu rapuh untuk memikul beban ini Wiro, bagaimana Mungkin kau tega
melakukan ini. Kau tahu aku mengasihimu. Sangat mengasihimu. Semudah itu kau
melupakan diriku? Seperti membalikkan telapak tangan? Aku tidak akan pernah
membangkit segala budi yang pernah kita tanam. Namun tidak adakah sedikitpun
benih kasih sayang dalam lubuk hatimu terhadap diriku?”
“Kiai
suara Pendekar 212 Wiro Sableng bergetar. Dia pandangi wajah orang tua di
hadapannya itu beberapa ketika lalu menatap ke arah Ratu Duyung dan lanjutkan
ucapannya. “Kiai, dengan izinmu saya memberi nama Intan pada Ratu Duyung.”
Sepasang
mata biru Ratu Duyung membesar dan memancarkan cahaya begemerlap. Di tempat
gelap di tepi telaga dua gadis cantik keluarkan suara tercekat. Yang satu
langsung berkelebat ke balik pohon besar mendekati arah duduk ke tiga orang di
tepi telaga, yang lainnya duduk terkulai tundukkan kepala. Air mata meluncur
jatuh membasahi pipi.
Kiai Gede
Tapa Pamungkas berseru gembira.
“Alhamdulillah.
Sungguh nama yang sangat bagus. Sangat cocok dengan diri dan pribadi orangnya.
Intan permata itu dimanapun berada, sekalipun di dalam lumpur akan tetapi
memancarkan cahaya murni, putih perlambang kesucian. Nama Ratu Duyung tidak
akan pernah hilang, dan nama Intan akan menjadi sandingan indah yang tiada
terperikan.”
Kiai Gede
Tapa Pamungkas tersenyum lega dan anggukkan kepala berulang kali. “Intan dan
Wiro, kata orang tua ini. “Sekarang aku sampai pada hal kedua.”
Dari
balik pakaiannya orang tua ini keluarkan benda putih bergulung yang bukan lain
adalah Pedang Naga Suci 212.
“Sejak
kematian sahabat kalian Puti Andini, aku sudah lama mencari seseorang yang
pantas menerima dan memegang pedang sakti ini. Saat ini aku telah menemukan
orangnya yang sangat pantas. Ratu Duyung senjata ini akan kuserahkan padamu.
Tunggu sampai pedang membuka gulungan dan melayang di udara, memberi hormat di
hadapanmu.”
Sang Kiai
letakkan pedang bergulung di atas telapak tangan kanan lalu diangsurkan ke arah
Ratu Duyung.
Gadis
bermata biru ini terkejut. Tak percaya mendengar ucapan si orang tua bahkan
Wiro juga agak terkesiap namun merasa senang kalau Kiai Gede Tapa Pamungkas
memang mau menyerahkan senjata sakti mandraguna itu pada Ratu Duyung.
“Kiai,”kata
Ratu Duyung. “Saya mana berani menerima senjata itu.”
“Ratu,”kata
Wiro. “Jangan menolak. Jangan mengabaikan kepercayaan yang diberikan Kiai
padamu. Guruku saja Eyang Sinto Gendeng tidak bisa dan tidak pantas mendapatkan
senjata itu.”
“Betul,”kata
sang Kiai pula. “Pedang sakti ini tidak sembarang orang bisa memilikinya.
Bahkan tidak gampang untuk bisa menyentuhnya. Seseorang yang tidak dikehendaki
pedang tangannya akan luka melepuh jika berani memegangnya. Ratu Duyung,
ketahuilah. Kau berjodoh dengan pedang ini., Sebagaimana kau berjodoh dengan
Wiro. Wiro telah memiliki Kapak Naga Geni Dua Satu Dua. Kini kau memiliki
Pedang Naga Suci Dun Satu Dua yang merupakan pasangan dari kapak sakti.
Bukankah itu satu pertanda bahwa kalian memang telah pantas terikat dalam satu
tali perjodohan?”
“Kena
aku!” ucap Wiro dalam hati. Tadi dia berkata hanya sekedar untuk meyakinkan
Ratu Duyung agar mau menerima Pedang Naga Suci 2,12 yang diberikan. Ternyata
sang Kiai mengaitkan pemberian itu dengan perjodohan dirinya dengan Ratu
Duyung. Seolah dia dan Ratu Duyung sudah berada dalam ikatan perjodohan secara
nyata! Sang pendekar mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Kiai Gede Tapa
Pamungkas lanjutkan ucapan.
“Ratu,
jaga dan rawat senjata ini dengan bak Maka dia akan menjaga dirimu dengan baik
pula.”Habis berkata begitu Kiai Gede Tapa Pamungkas goyangkan telapak tangan
kanannya. Dengan berbuat begitu, maka pedang sakti yang bergulung akan membuka,
melesat ke udara lalu mengapung di hadapan Ratu Duyung seolah memberi
penghormatan pada tuannya yang baru. Namun setelah sang Kiai menggoyangkan
telapak tangannya sampai tiga kali, senjata sakti itu tetap bergulung, sama
sekali tidak mau membuka. Berubahlah air muka Kiai Gede Tapa Pamungkas.
“Aneh,
apakah pedang sakti ini tidak suka pada Ratu Duyung. Biasanya enteng. Sekarang
mengapa terasa berat …. ?”pikir sang Kiai. Dia kerenyitkan kening, mengawasi
dengan pandangan lebih tajam. Sepasang mata orang tua ini tiba-tiba pancarkan
cahaya aneh.
Wiro yang
sejak tadi memperhatikan merasa ada yang tidak beres lantas bertanya. Hal ini
juga dirasakan Ratu Duyung.
“Kiai,
ada apa?”bertanya Pendekar 212.
“Pedang
Naga Geni Dua Satu Dua ini palsu!” ucap Kiai Gede Tapa Pamungkas dengan suara
keras bergetar!
“Bagaimana
mungkin?!”ujar Wiro sambil bangkit berdiri.
“Apa yang
terjadi?”tanya Ratu Duyung yang barusan saja diberi nama Intan. Rahang Kiai
Gede Tapa Pamungkas menggembung. Kumis dan janggutnya berjingkrak. Lima jari
tangan yang memegang gulungan pedang membuat gerakan meremas. Ini bukan remasan
biasa karena disertai tenaga dalam yang sanggup meremas hancur batu sebesar
kepalan!
“Kraakk!”
Gulungan
benda putih di tangan Kini Gede Tapa Pamungkas hancur nyaris jadi bubuk!
“Desss!”
Di saat
bersamaan hancuran benda itu mengepulkan asap kelabu. Kiai Gede Tapa Pamungkas
mengucap berulang kali.
“Ada yang
menipuku! Menukar gulungan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua asli dengan pedang
palsu!”
“Kiai,
kau bisa menduga siapa pelakunya?”tanya Wiro.
“Terakhir
sekali aku bertemu dengan…”
Ucapan
Kiai Gede Tapa Pamungkas terputus. Saat itu dari arah pohon besar melesat
keluar lima larik sinar merah. Menyambar cepat dan ganas ke arah bagian tubuh
sebelah belakang Ratu Duyung.
“Ratu!
Intan! Awas! Ada orang meyerangmu dari belakang!”teriak Wiro, Secepat kilat dia
melompat ke depan. Tangan kiri mendorong gadis bermata biru hingga terpelanting
ke samping dan jatuh di tanah, sementara tangan kanan lepaskan pukulan Kincir
Padi Berputar disusul, dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Pukulan
Kincir Padi Berputar warisan Sinto Gendeng selain dapat menangkis hantaman
serangan sekaligus memutar lima larik sinar merah melesat ke udara, mengalihkan
serangan ke arah yang aman. Sementara Tangan Dewa Menghantam Matahari yang
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh membuat lima larik sinar merah
menebar berantakan. Namun salah satu larikan sinar merah melesat ke arah Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Sebelum Kiai ini sempat menyingkir selamatkan diri,
larikan sinar merah telah menyerempet bahu kirinya.
Kain
putih yang menutupi bahu kiri sang Kiai robek hangus mengepulkan asap hitam.
Daging bahu memar merah. Orang tua ini keluarkan seruan pendek, jatuh berlutut
di tanah.
Wiro
cepat merangkul sosok Kiai Gede Tapa Pamungkas lalu berteriak. “Intan! Jaga
Kiai! Aku akan mengejar penyerang gelap itu! Akku sudah tahu siapa orangnya!”
Begitu
Intan alias Ratu Duyung mendatangi Wiro cepat berkelebat ke arah pohon besar di
sebelah kanan dari mana tadi dia melihat berkelebatnya satu bayangan berambut
panjang. Sewaktu melewati Intan, Wiro sempat berbisik.
“Kiai itu
hanya luka kecil. Aku tunggu kau besok pagi di kaki gunung sebelah timur, arah
jalan ke desa Jatiwalu. Temui aku di pekuburan Jatiwalu.”
Sambil menerapkan
ilmu Menembus Pandang yang didapat Wiro dari Ratu Duyung, Wiro mengejar
pembokong yang tadi melancarkan serangan berupa lima larik sinar merah.
“Pukulan
Lima Jari Akhirat! Aku sudah tahu siapa orangnya! Kurang ajar! Dia masih saja
gentayangan membuat perkara!”
********************
8
KITA
kembali pada Nyi Retno Mantili dan Bujang Gila Tapak Sakti yang dihadang kakek
tak dikenal. Dalam Bab 3 dituturkan pertemuan kedua orang itu yang saling
tertarik dan kemudian jadi bersahabat. Sementara berada dalam perjalanan yang
tidak tahu mau menuju kemana mendadak kedua orang ini dihadang oleh seorang
kakek berambut aneh sebahu. Rambut sebelah kiri kepala dicat putih, sebelah
kanan dicat hitam.
Mengenakan
jubah hitam gombrong. Seutas cambuk melilit di pinggang. Baik Bujang Gila Tapak
Sakti maupun Nyi Retno Mantili tidak mengenal siapa adanya kakek ini. Tanpa
perdulikan si orang tua aneh keduanya tinggalkan tempat itu. Namun si kakek
membuat gerakan menghadang di tengah jalan.
“Tunggu
dulu!” si kakek berpakaian hitam gombrong membentak sambil menghadang jalan
Bujang Gila Tapak Sakti yang mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanan. “Kau
boleh saja tidak mengenal diriku! Tapi apakah kau juga tidak mengenal tiga
sahabatku ini?”
Si kakek
lalu keluarkan suitan keras.
Saat itu
juga dari balik rerumpunan semak belukar di tebing sungai melesat keluar tiga
manusia aneh. Berdiri berjejer di samping kakek berambut belang. Melihat ketiga
orang ini walau air mukanya berubah namun tetap saja Nyi Retno Mantili
tertawa-tawa.
“Kemuning!
Kau masih ingat tiga manusia aneh yang dulu menggantung ibumu ini di cabang
pohon? Hik … hik … hik! Sekarang apa mereka muncul hendak menggantung sahabat
kita si gendut ini?! Hik… hik… hik! Perlu tambang yang kuat dan pohon yang
besar!”Tiga orang aneh yang tegak berjejer di samping kakek berambut putih
hitam sama-sama menyeringai. “Perempuan sinting! Sekarang rupanya kau sudah
punya kacung menggendongmu kemana-mana. Aku merindukan jantungmu! Kali ini
jangan harap kau bisa lari seperti dulu! Mana nenek keparat yang menipu kami
dengan monyet hutan itu! Hari ini benar-benar tak ada yang akan menolongmu! Kau
akan menjadi santapan kami bertiga!”
Orang
yang barusan bicara rupanya tidak memandang sebelah mata pada Bujang Gila Tapak
Sakti yang dianggapnya kacung gendut dogol Nyi Retno Mantili. Siapakah dia?
Manusia bertubuh katai ini adalah orang pertama dari komplotan jahat yang
menamakan diri Serikat Momok Tiga Racun. Dia dikenal dengan sebutan Momok
Pertama bernama Tukak Racun Kuning. Wajah dicat kuning bergaris-garis hijau.
Rambut lurus hitam berjingkrak kaku menyerupai lidi. Mengenakan pakaian kuning
gombrong menjela tanah.
“Aku
sudah tak sabar ingin mengunyah hatimu!”Berucap orang kedua di samping Momok
Pertama. Walau nyata dia adalah lelaki tapi berdandan dan bersuara halus
seperti perempuan karena memang dia seorang banci. Orang ini dikenal sebagai
Momok Kedua, bernama Alis Bisa Merah. Wajah dicat merah bergaris hitam.
Sepasang mata dihias dengan sipat mata kelabu. Alis hitam tebal melengkung.
Bibir dipalut gincu tebal warna ungu. Sepuluh kuku jari juga dicat warna ungu.
Mengenakan pakaian kembang kembang warna-warni. Seperti Momok Pertama si banci
ini memiliki rambut lurus ke atas kaku laksana lidi.
Orang
terakhir yang dikenal sebagai Momok Ketiga bernama Denok Tuba Biru adalah
seorang perempuan gemuk gembrot. Mengenakan pakaian berbentuk celana monyet
tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat meranggas terjulur kemanamana dan
paha putih gempal serta betis besar gembung bergoyang goyang.
“Ginjalmu
adalah bagianku.”Ucap si gembrot sambil menyeringai. “Pasti segar dan empuk!
Hik … hik … hik!”si gendut ini tertawa cekikikan lalu kedipkan mata pada Bujang
Gila Tapak Sakti. Bujang Gila balas kedipkan mata. Dia bukan saja terpesona
dengan tubuh gembrot melar itu tapi juga terperangah terangsang melihat bulu
ketiak Denok Tuba Biru yang lebat kasar dan hitam. Momok Ketiga berpaling pada
Momok Kedua dan berbisik. “Kacung gendut itu jangan kau ganggu. Dia bagianku!
Kulihat dia terpesona memandangku. Pasti dia senang mencium bulu ketiakku! Hik
… hik…”
Momok
Kedua Alis Bisa Merah senyum-senyum lalu menyahuti ucapan adik seperguruannya.
“Aku
mengalah saja. Aku mana punya selera pada lelaki gemuk. Yang sudah-sudah aku
temui cuma tubuh yang gemuk besar tapi itunya kecil sebesar ujung jari
kelingking! Hik … hik … hik!”
“Kau bisa
berkata begitu. Tapi sejak tadi aku memperhatikan. Lihat bagian bawah celananya
tampak menonjol besar. Berarti. Hemmm…” Berkata Momok Ketiga si gemuk gembrot
Denok Tuba Biru lalu tertawa gelak-gelak.
Momok
Kedua si banci Alis Tuba Bisa Merah ikutan tertawa tapi sambil mengejek.
“Kuharap
kau tidak keliru. Jangan-jangan cuma kantong menyannya yang besar alias kondor!
Hik… hik! Mau dibuat apa kantong menyan kondor? Mau dijadikan tetelan sayur
lodeh? Hik..hik..hik!”
“Kalian
bertiga apakah sudah siap?”Bertanya kakek rambut hitam putih.
“Kami
memang sudah kelaparan!”jawab Tukak Racun Kuning alias Momok Pertama.
Sambil
masih terus menggendong Nyi Retno di atas bahu kanannya, Bujang Gila Tapak
Sakti bertanya.
“Sobatku
ayu, kau kenal tiga manusia aneh ini?”
“Aku
pernah dengar ada yang menyebut mereka sebagai Momok. Mereka pernah menggantung
diriku kaki ke atas kepala ke bawah. Aku mau dipesiangi, dijebol tubuhku,
diambil jantung hati dan ginjaiku! Waktu itu untung ada orang pandai yang
menolong. Tanpa setahu mereka diriku diganti dengan monyet hutan. Begitu
selamat aku melarikan diri. Sobatmu Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng
mengetahui kejadian itu karena dia datang bersama nenek yang menolongku. Kalau
aku tidak salah ingat saat itu juga ada seorang pemuda aneh yang tubuhnya
ditancapi paku. Pemuda itu mengusir Tiga Momok ini.”
“Kalau
dulu mereka gagal berarti kali ini mereka hendak mengulangi maksud mereka. Cuma
sekarang datang membawa seorang kakek jelek yang rupanya mau dijadikan andalan.
Kau tetap tenang di atas bahuku. Kalau mereka berani macammacam akan kuhabisi
mereka saat ini juga!”Kata Bujang Gila Tapak Sakti. “Manusiamanusia jahat
seperti mereka tidak bisa dikasih hati. Mereka ingin memangsa bagian tubuhmu
pasti karena menuntut ilmu iblis!”
“Jauh-jauh
mereka mengejarku sampai ke sini. Aku tidak takut. Kemuning mampu membunuh
mereka semua!”jawab Nyi Retno pula.
Nyi Retno
Mantili lalu angkat tangan kanannya yang memegang boneka kayu. (Untuk jelasnya
apa yang telah dilakukan tiga manusia aneh yang dikenal dengan sebutan Tiga
Momok itu harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Si Cantik Gila Dari Gunung
Gede”)
Kakek
rambut putih hitam hentakkan kaki kiri ke tanah. Saat itu juga cambuk hitam
yang melilit di pinggang laksana seekor ular besar bergerak lepas melesat ke
udara. Semula Bujang Gila Tapak Sakti mengira cambuk aneh yang tanpa dipegang
itu akan melesat menyerangnya. Ternyata cambuk berputar-putar di atas kepala
hingga menimbulkan suara menderu dahsyat disertai cahaya hitam pekat bulat
bergelung yang makin lama makin besar dan melebar.
Tiba-tiba
orang tua berpakaian hitam gombrong hentakkan kaki kanan ke tanah.
“Wuutt!”
Saat itu
juga gulungan cahaya hitam berbentuk lingkaran melesat ke bawah, di lain kejap
telah menelikung Bujang Gila Tapak Sakti dan Nyi Retno Mantili. Tiga Momok yang
ikut berada dalam lingkaran tertawa-tawa. Mulut dibuka, lidah dijulur-julur.
Selangkah demi selangkah mereka mendekati Bujang Gila Tapak Sakti. Kakek baju
hitam gombrong hentakkan kaki kiri. Cambuk melesat berbalik dan melingkar
kembali di pinggangnya. Sementara lingkaran cahaya hitam terus mengurung Bujang
Gila Tapak Sakti dan Nyi Retno Mantili. Si kakek tegak memperhatikan dengan
pandangan tak berkesip sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Mulut
bergerakgerak merapal mantera.
“Mereka
sengaja mengurung kita. Agar kita tidak bisa lari! Aku akan hantam mereka
dengan sinar yang ketuar dari mata Kemuning. Biar mereka kelojotan tahu rasa!
Hik …hik!”Kata Nyi Retno pula.
“Sobatku
ayu harap kau tenang dan diam saja. Biar aku yang menghadapi.”
Bujang
Gila Tapak Sakti putar kopiah kupluknya lalu gerakkan tangan kiri ke atas. Di
tangan itu kini ada kipas kertas yang sekali digoyang serta merta membuka
lebar. Sambil menyeringai si gendut mulai berkipas-kipas.
“Ha … ha!
Lihat si gendut tolol itu menari kipas!”kata Momok Pertama sambil tertawa-tawa.
“Wutt!
Wuuttt!”
Kipas di
tangan kiri dikibas. Setiap kipas dikibas selarik angin dingin menggebu.
Sebentar saja hawa dingin luar biasa menghampar menyungkup di tempat itu
membuat Tiga Momok yang ada dalam lingkaran hitam tersentak kaget karena merasa
tubuh masing-masing seperti dipendam di dalam es! Momok Ketiga si gembrot Denok
Tuba Biru mulai goyah dua kakinya lalu jatuh berlutut di tanah.
“Aduh aku
kebelet kencing!”kata si banci Alis Bisa Merah Momok Kedua dengan suara gemetar
dan tubuh menggigil.
“Aku juga
… Hik..hik…”Kata si gembrot Momok Ketiga Denok Tuba Biru sambil pegangi bagian
bawah tubuhnya, terbungkuk-bungkuk masih dalam keadaan berlutut. Karena tidak
bisa menahan saat itu juga ia benar-benar kucurkan air kencing!
Bujang
Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh, terus berkipas-kipas lalu berkata.
“Asyik
kencing mancur! Nanti jangan lupa cebok. Ha … ha … ha!”
“Demang
Cambuk Item!”Momok Pertama tiba-tiba berteriak. “Lekas lakukan sesuatu sesuai
rencana! Kami sudah siap bersantap!”
Mendengar
teriakan itu, kakek berjubah hitam gombrong hentakkan kaki kanan tiga kali ke
tanah. Seperti tadi cambuk hitam di pinggang bergerak lepas, melesat ke udara
dan berkiblat mengeluarkan suara seperti petir menggelegar tiga kali
berturut-turut! Tiga cahaya hitam melesat ke dalam lingkaran hitam,
masing-masing mengarah tubuh Tiga Momok. Begitu tersambar cahaya hitam saat itu
juga tubuh ketiganya lenyap dari pemandangan.
Bujang
Gila Tapak Sakti tersentak kaget.
Dia
merasa ada tiga sambaran angin mendatangi. Kipas di tangan kiri segera dikibas
ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam penuh.
“Wuuuttt!”
“Braakk!”
Terdengar
satu pekikan keras. Namun bersamaan dengan itu sosok Nyi Retno Mantili yang ada
di atas bahu kanan Bujang Gila Tapak Sakti terasa ditarik orang. Masih sempat
terdengar pekikan pendek Nyi Retno lalu hening. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti
kembali menghantam dengan kipas sakti, dia hanya memukul udara kosong!
“Wuuttt!
Dess!”
Lingkaran
sinar hitam lenyap.
Memandang
berkeliling Bujang Gila Tapak Sakti dapatkan dirinya tinggal seorang diri di
tempat itu. Tiga Momok lenyap. Kakek berjubah gombrong hitam yang dipanggil
dengan nama Demang Cambuk Item juga tak ada lagi di situ. Dan yang paling
membuat Bujang Gila Tapak Sakti berteriak seperti orang gila adalah ketika
menyadari Nyi Retno Mantili yang selalu dipanggilnya dengan sobatku ayu sudah
tidak ada lagi di atas bahunya.
“Sobatku
ayu! Kemuning!”teriak si gendut sambil banting-banting kaki hingga tanah
bergetar. Dia bingung mau mengejar ke arah mana sementara cahaya matahari mulai
redup dan sebentar lagi malam segera datang.
********************
9
TIGA
orang berlari cepat ke arah selatan dalam kegelapan malam. Agaknya mereka cukup
kenal daerah ini. Karena walau berlari saling terpisah jauh, satu sama lain
namun mereka sama menuju ke arah sebuah gubuk yang terletak di satu kaki bukit.
Di sebelah depan berlari Demang Cambuk Item. Kakek berjubah gombrong hitam ini
berlari sambil memanggul tubuh si katai Momok Pertama, Tukak Racun Kuning.
Begitu sampai di gubuk, si kakek langsung membaringkan Tukak Racun Kuning di
lantai gubuk yang kotor. Walau maklum dia tidak bisa menyelamatkan lelaki katai
ini namun Demang Cambuk Item masih berusaha membuat beberapa totokan serta
mengalirkan hawa sakti ke tubuh Tukak Racun Kuning.
Suasana
di gubuk cukup gelap. Namun masih cukup jelas terlihat keadaan Momok Pertama.
Keningnya rengkah mengerikan. Seluruh wajah sampai kepala, leher dan sebagian
dada tertutup darah. Cidera berat yang dialami lelaki katai murid tertua Si
Bisu Racun Akhirat adalah akibat hantaman kipas kertas milik Bujang Gila Tapak
Sakti. Dari mulutnya di antara suara erangan terdengar dia berucap.
“Per…perempuan
gila itu…man…mana dia. Korek jantungnya. Aku … aku harus memakan jantung itu
sebelum … sebelum men … menemui ajal.”
“Tukak
Racun Kuning, tenang … sabar. Sebentar lagi saudaramu datang membawa perempuan
itu. Kau akan mendapatkan jantungnya….”
“Harus…harus
kumakan jantungnya. Itu perintah guruku si Bisu Racun Akhirat. A…ku akan
sege…ra menghadap guru… Mana … mana”
Tak
selang berapa lama Momok Ketiga si Denok Tuba Biru dengan nafas megapmegap
sampai di gubuk, disusul Momok Kedua Alis Bisa Merah. Kedua orang ini berseru
tercekat ketika melihat keadaan Momok Pertama. Buru-buru Momok Kedua yang
memanggul Nyi Retno Mantili letakkan sosok perempuan itu di lantai gubuk agak
jauh dari tubuh Momok Pertama, lalu dia menghampiri saudara seperguruannya yang
tergeletak di lantai gubuk tengah sakarat.
“Aku
sudah berusaha menotok, memberi aliran hawa sakti. Agaknya saudara tuamu ini
tak bisa ditolong,”bisik Demang Cambuk Item.
Momok
Kedua dan Momok Ketiga duduk di samping tubuh Momok Pertama. Keduanya mulai
terisak.
“Alis Bi
… Alis Bisa Merah … Den … Denok Tuba Bir … Biru. Kal … kalian ada di sini…”
“Tukak
Racun Kuning, kami berdua ada di sampingmu.”Menjawab Denok Tuba Biru Momok
Kedua.
“Tenang
saja. Kami berusaha menolongmu. Kau akan sembuh…”ucap Momok Kedua si banci Alis
Bisa Merah.
“Tidak …
aku akan menemui kematian. Se … sebelum ajal kali … kalian harus me …menyerah …
kan jantung per … perem … puan gila itu.”
Momok
Kedua dan Momok Ketiga saling pandang lalu berpaling pada Demang Cambuk Item.
Si kakek anggukkan kepala, berkata.
“Dia tahu
bakal menemui ajal. Apa yang di ucapkannya merupakan permintaan terakhir. Wajib
dipenuhi ….”
“Kalau
begitu seperti dulu, lekas kau belah dadanya. Pergunakan kuku jarimu yang
panjang runcing,”Momok Ketiga berkata pada Momok Kedua.
“Aku
lagi…”Momok Kedua merengut. “Bagaimana kalau ditunggu saja sampai dia mati.
Setelah mengurus mayatnya baru kita mengerjai perempuan sinting itu. Kau boleh
makan jantung dan ginjalnya. Aku tetap makan hatinya. Aku tidak mau serakah.”
“Ini
bukan persoalan serakah atau tidak serakah. Ini perintah guru. Kau juga barusan
mendengar ucapan Demang Cambuk Item. Lekas kau lakukan!”
Masih
bersungut cemberut Momok Kedua bangkit berdiri lalu mendatangi tubuh Nyi Retno
Mantili yang terbaring menelungkup tak berkutik karena sebelumnya telah ditotok
jalan darahnya hingga dia tak mampu bergerak ataupun bersuara. Momok Kedua
balikkan tubuh Nyi Retno Mantili lalu membungkuk. Dia perhatikan boneka kayu
yang terselip dibawah kain bedongan. Dengan cepat dia ambil boneka kayu itu.
Diperhatikan beberapa ketika dan dipencet-pencet pinggangnya lalu diselipkan di
dada bajunya yang menyerupai pakaian perempuan. Sepasang mata Nyi Retno Mantili
mendelik berapi-api. Hatinya berteriak. “Banci jahanam! Berani kau mengambil
anakku! Aku bersumpah membunuhmu!”
Walau
tidak bisa bergerak dan tidak mampu bersuara namun Nyi Retno Mantili masih
dapat mendengar apa yang tadi diucapkan Momok Ketiga. Dalam kemarahannya,
sepasang mata perempuan ini semakin membeliak besar ketika dia melihat Momok
Kedua mendatangi dan berjongkok di sampingnya.
“Kau
boleh membunuhku! Hik… hik! Kau boleh mengambil jantung, hati dan ginjaiku!
Kalau mati aku akan jadi setan dan mengejar dirimu seumur umur!”Ucapan itu
menggeledek dalam hati Nyi Retno Mantili. Dia berusaha menerapkan semua ilmu
menyelamatkan diri yang diajarikan Kiai Gede Tapa Pamungkas, namun sia-sia
karena tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya tidak mampu dialirkan dan
tingkat kepandaian perempuan bertubuh kecil ini untuk bisa membebaskan diri
dari totokan belum sampai ke sana.
Momok
Kedua tersenyum. Dia mengusap kening, membelai pipi perempuan ini lalu
menyingkap dan mengusap dada Nyi Retno Mantili.
“Kalau
saja kau lelaki, mungkin kita bisa bersuka-suka barang sebentar sebelum kau
menemui ajal. Wajahmu cantik. Tubuhmu begini halus dan mungil. Dadamu puthi dan
kencang. Sayang… Eh, apakah teman yang dulu menolongmu menjadi monyet hutan ada
di sekitar sini? Kalau saja dia bisa menolong lagi, kau tahu. Aku ini bisa jadi
lelaki juga bisa jadi perempuan. Aku pasti bisa membuatmu senang mulai dari
ujung rambut sampai ujung kaki.”
“Banci
jahanam! Manusia puntung neraka! “maki Nyi Retno Mantili yang hanya menggema di
dalam hati.
“Alis
Bisa Merah! Jangan ada pikiran macam-macam dalam benakmu! Lekas lakukan
tugasmu!”Momok Ketiga berteriak sewaktu melihat Momok Kedua masih belum juga
mengadakan apa yang harus dilakukannya, malah bicara sambil senyumsenyum. Momok
Kedua mencibir ke arah adik seperguruannya yang bertubuh gembrot itu lalu
breett!, Sekali tangan kirinya bergerak pakaian Nyi Retno Mantili robek besar
di bagian dada.
Momok
Kedua gulung lengan baju kiri kanan. Jari-jari tangan kanan diusap beberapa
kali dengan tangan kiri. Lima jari berkuku panjang dan runcing tajam menyamai
ketajaman pisau bermata dua digerak-gerakkan. Tiba-tiba didahului pekikan keras
mengerikan, Momok Kedua hunjamkan lima jari tangan kanannya kedada Nyi Retno
Mantili!
********************
10
SATU
jengkal lagi lima jari tangan Momok Kedua akan menjebol dada di arah jantung
Nyi Retno Mantili mendadak dari luar gubuk menderu satu sambaran angin luar
biasa dahsyat. Bersamaan dengan itu dua larik sinar hijau melesat di kegelapan
malam, membeset ke arah Momok Kedua. Melihat apa yang terjadi Demang Cambuk
Hitam tidak tinggal diam, hentakkan kaki kiri ke lantai gubuk sampai lantai
hancur jebol. Cambuk hitam yang melilit dipinggang bergerak membuka lalu
melesat ke arah datangnya dua larik sinar hijau!
Bangunan
gubuk hancur berantakan laksana dilanda topan. Sosok Momok Pertama yang tengah
sekarat terpental dan lenyap dalam kegelapan. Demang Cambuk Item terpental,
namun masih sanggup berguling di tamah lalu bangun berdiri. Tampangnya tampak
pucat. Dada berdenyut aneh tak karuan.
Momok
Ketiga menjerit keras. Tubuhnya yang gemuk mencelat sampai dua tombak di luar
gubuk yang hancur. Pakaian robek besar di beberapa tempat hingga tubuhnya
nyaris bugil. Walau babak belur namun si gendut berbulu ketiak lebat ini
selamat. Untuk beberapa dia terkapar di tanah, tak sanggup bergerak. Sebagian
rambutnya yang berbentuk lidi tegak rontok tak karuan. Lucunya ketika dia mulai
mampu bergerak, si gendut ini usap ketiaknya kiri kanan. Air mukanya tampak
lega. Mulutnya masih bisa berucap.
“Untung…
untung bulu ketiakku tidak ikut rontok…”
Akan
halnya Nyi Retno Mantili, begitu angin dahsyat menyapu, tubuhnya terpental ke
arah arah semak belukar dan terbaring menyangsrang di atas tanaman itu. Sekujur
badan terasa seperti remuk.
Momok
Kedua bernasib malang. Ketika tubuhnya disapu hantaman angin dahsyat yang
membuatnya terlempar ke udara, dia tidak mampu selamatkan diri dari sambaran
dua larik sinir hijau.
“Craass!
Tangan
kanannya dibabat putus sinar hijau pertama. Lelaki ini menjerit keras. Belum
habis jeritannya sinar hijau kedua datang menyambar paha kiri. Tak ampun bagian
tubuh ini pun putus amblas. Sosok Momok Kedua terbanting ke tanah. Mengerang
panjang lalu hek! Nyawa putus, tubuh tak berkutik lagi dan berubah menjadi
hijau! Di udara cambuk hitam berkelebat ganas menghantam dua larik sinar hijau
yang hendak menyambar kearah Demang Cambuk Hitam.
“Taarr!
Taar!”
Dua larik
sinar hijau berpijar terang dan keluarkan letusan-letusan keras. Cambuk hitam
seperti ular yang meregang nyawa, jatuh ke tanah menggelepar- gelepar. Dari
hitam berubah warna menjadi hijau. Demang Cambuk Item sang pemilik tidak
perdulikan lagi senjatanya itu. Nyalinya leleh sudah ketika melihat ke arah
kegelapan dimana tegak berdiri seorang lelaki muda berperawakan kekar dengan
keadaan luar biasa mengerikan. Sekujur tubuh orang ini mulai dari batok kepala
sampai ke wajah, tubuh dan terus ke kaki penuh ditancapi paku baja berkilat.
Sepasang mata pancarkan sinar hijau. Sinar angker ini perlahan-lahan meredup
dan akhirnya lenyap.
“Manusia
Paku! “desis Demang Cambuk Item. “Tiga Momok tidak mengarang cerita. Mahluk
angker ini benar benar ada!”
Tanpa
menunggu lebih lama lagi kakek berjubah hitam komprang ini segera putar tubuh
dan berkelebat lenyap dari tempat itu.
Denok
Tuba Biru serta merta jatuhkan diri ketika Manusia Paku mendatangi dan berdiri
di hadapannya. Saat itu hanya tinggal dia seorang dari Tiga Momok yang masih
hidup.
“Kita
masih ada sangkut-paut saudara seperguruan. Guruku adalah saudara angkat
mendiang gurumu Eyang Gusti Kelud. Aku mohon kiranya kau mengampuni selembar
nyawaku!”Momok Ketiga ini jatuhkan kening ke tanah berulang kali, meratap
meminta ampun.
“Dalam
keadaan terpojok tertangkap tangan enak sekali kau menyebut-nyebut hubungan
persaudaraan!”Manusia Paku mendengus.
“Sewaktu
pertama kali kalian hendak mencelakai perempuan itu aku sudah mengampuni dirimu
dan dua saudaramu. Hal itu sudah cakup menjadi peringatan agar kalian jangan
mengulangi perbuatan keji itu. Memakan jantung, hati dan ginjal manusia!
Terkutuk! Ilmu hitam laknat! Ternyata kalian tidak jera! Ternyata hari ini kau
dan saudara-saudaramu dibantu kakek edan tadi mengulangi lagi perbuatan dajal
itu!”
“Kami
tahu kesalahan kami! Aku tahu kesalahanku! Kami hanya menjalani pesan mendiang
guru.”Jawab si gemuk Momok Ketiga lalu menangis tersedu-sedu.
“Jangan
salahkan gurumu! Kau dan saudara-saudaramu diberi otak untuk berpikir!” Bentak
Manusia Paku.
“Kami
mengaku salah! Mohon ampunan. Aku masih ingin hidup panjang.”
“Pergi
sana!”Manusia Paku tendang pantat Momok Ketiga hingga terguling di tanah. Walau
menahan sakit namun si gembrot ini cepat bangun. Sambil usap-usap pantatnya
yang tadi kena tendang dia lari terbirit-birit. Di satu tempat dia hentikan
lari. Berpaling ke arah Manusia Paku lalu susun sepuluh jari di atas kepala. Sambil
membungkuk-bungkuk si gemuk ini berulang kali berkata.
“Terima
kasih … terima kasih kau mau mengampuni diriku! Aku tidak akan melupakan hal
ini! Terima kasih … !”
Manusia
Paku memperhatikan berkeliling. Begitu melihat Nyi Retno Mantili yang masih terkapar
di atas semak belukar dia segera mendatangi. Sekali lihat saja dia tahu kalau
perempuan ini berada dalam keadaan tertotok jalan suara dan tubuhnya. Manusia
Paku letakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Nyi Retno. Begitu dia
kerahkan tenaga dalam totokan di tubuh Nyi Retno serta merta musnah.
Lepas
dari totokan Nyi Retno melompat dan lari ke arah mayat Momok Alis Bisa Merah.
“Hai! Kau
mau kemana?!”bertanya Manusia Paku sambil mengikuti.
“Anakku!
Kemuning anakku!”
Begitu
menemui mayat Momok Kedua, Nyi Retno berteriak.
“Dia
mencuri anakku! Dia mencuri anakku!”
Nyi Retno
membungkuk. Memeriksa mayat di balik baju mayat Momok Kedua dia menemukan
boneka kayu. Namun begitu melihat boneka ini Nyi Retno langsung menjerit dan
jatuhkan diri ke tanah.
“Anakku!
Kemuning! Mengapa kau berubah menjadi hijau seperti mayat si jahat itu!
Penyakit apa yang menyerangmu? Hantu mana yang menyambatmu?! Atau mungkin …
mungkin kau juga sudah, mati! Kemuning!” Nyi Retno menggerung keras.
Manusia
Paku untuk beberapa lama hanya berdiri menyaksikan dengan perasaan hiba. Lalu
dia ulurkan tangan hendak mengambil boneka kayu dari tangan Nyi Retno.
Perempuan ini menjerit.
“Kau juga
hendak mencuri anakku? Kau ternyata manusia jahat! Sama dengan perempuan gendut
yang sudah jadi bangkai itu!”
“Tidak,
aku tidak akan mencuri anakmu. Aku justru bermaksud mengobatinya. Anakmu masih,
hidup. Mari, perbolehkan aku memegangnya sebentar. Warna kulit tubuh anakmu
akan aku kembalikan seperti semula.”
“Aku
tidak percaya, padamu! Kau ini manusia atau setan? Mengapa ada banyak paku
menancap di tubuhmu? Hik… hik! Apakah aku pernah melihatmu sebelumnya? Aku
ingat! Aku memang pernah melihatmu. Waktu kejadian tiga manusia aneh itu
menggantungku di pohon.”
“Bagus
kalau kau masih ingat. Berarti kau tahu aku tidak jahat. Sekarang kalau kau
tidak percaya, kau masih boleh memegang anakmu. Aku akan meletakkan tanganku,
di salah satu bagian tubuhnya. Kalau bisa di kepalanya.”
Nyi Retno
menatap bimbang. Namun kemudian dia ulurkan boneka itu. Manusia Paku lalu
letakkan tangannya di kepala boneka. Ada selarik cahaya putih keluar dari
tangan yang penuh paku, masuk ke dalam boneka. Sesaat kemudian boneka kayu yang
tadi berwarna hijau berubah kembali ke warna asal semula. Nyi Retno Mantili
berseru gembira lalu memeluk dan menciumi boneka kayu berulang kali. Kemudian
dia menatap Manusia Paku.
“Wajahmu
seram angker. Tapi hatimu baik! Hik… hik… !”
“Nyi
Retno, bukankah namamu Nyi Retno?”Manusia Paku bertanya.
“Namaku
memang Nyi Retno. Tapi aku tidak suka nama itu.”Jawab Nyi Retno.
“Sebaiknya
kita tinggalkan tempat ini. Kalau aku ajak apakah kau mau ikut bersamaku?”
“Eh, kau
mau ajak aku kemana? Niat jahat apa yang ada dalam otakmu! Hemm… Dasar
laki-laki. Pura-pura menolong. Padahal maksudnya sama saja!”
Manusia
Paku tertawa.
“Aku
tidak punya niat jahat. Aku bermaksud membawamu menemui guruku. Aku akan
meminta beliau menikahkan kita.”
“Apa?!”Nyi
Retno Mantili. Saking kaget suaranya setengah berteriak.
Namun
saat itu Manusia Paku telah merangkul pinggangnya lalu mendukung perempuan
cantik bertubuh kecil itu dan membawanya lari ke arah tenggara.
“Manusia
jahat! Kalau kau tidak melepaskan diriku, aku akan membunuhmu!”Nyi Retno
mengancam.
“Aku tahu
kau punya ilmu tinggi karena kabarnya kau adalah murid Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Tapi apa untungnya membunuh orang yang tidak bermaksud jahat
padamu?”
“Aku
tidak percaya! Tadi kau bilang apa? Kau mau membawa aku pada gurumu. Lalu
gurumu akan menikahkan kita!”
“Benar.”
“Gila!”
“Tidak
gila Nyi Retno. Tidak ada yang gila!”
“Kau
tahu! Anakku Kemuning ini sudah punya ayah!”
“Maksudmu
kau sudah punya suami?!”
“Kira-kira
begitu. Hik … hik!”
“Aku
tahu. Aku menyirap kabar. Kau memang punya suami. Malah suamimu itu adalah
Patih Kerajaan Wira Bumi. Tapi bukankah dia sudah menemui ajal? Tewas di tangan
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng sewaktu hendak menyelamatkan bayimu?”
“Kau sama
saja gilanya dengan yang lain-lain!”
“Maksudmu?”tanya
Manusia Paku. “Aku tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak kenal siapa itu
Mira Bumi! Aku tidak punya bayi selain Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi!
Bukan Patih Kerajaan!”
“Lalu
siapa?”tanya Manusia Paku.
“Pendekar
Dua Satu Dua Wiro Sableng.”
Manusia
Paku hentikan lari. Kaget!
“Siapa?!”
“Apa kau
tuli?!”
“Tidak.
Aku tidak tuli. Tapi coba katakan lagi.”
“Ayah
Kemuning itu Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Nah dengar sekarang? Ngerti
sekarang?”
Manusia
Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili beberapa ketika lalu tertawa gelakgelak.
Dalam hati kemudian dia berkata. “Kalau benar ucapan perempuan ini, mana yang
sableng. Perempuan ini atau si Wiro sobatku geblek itu!
***********************
DI BALIK
satu pohon besar, seorang gadis cantik yang sejak tadi mengikuti Manusia Paku
dan Nyi Retno Mantili tegak terdiam. Dia berpikir.
“Apakah
aku akan terus mengikuti dua orang itu? Kemana mahluk seram itu mau membawa Nyi
Retno? Apa aku harus menolong Nyi Retno?! Apa untungku? Malah jangan-jangan
kelak bisa membuat diriku kecewa besar di kemudian hari. Lagi pula aku lihat
janda Patih Kerajaan itu suka-suka saja digendong dan dibawa orang. Aneh, dalam
pikirannya yang tidak waras apa dia memang mau diajak nikah dengan manusia yang
tubuhnya penuh ditancapi paku itu? Kalau memang diajak nikah, kalau dia nanti
dibunuh bagaimana? Apakah aku tidak merasa bersalah karena tidak menolong?
Manusia Paku bernama Sandaka Arto Gampito. Aku mengenal dirimu tapi aku tidak
mengenal hatimu!”
Si gadis
bersandar ke batang pohon. Memandang ke langit kelam. Hatinya kembali bicara.
“Sebaiknya
aku tidak ikut campur urusan orang. Urusanku sendiri banyak yang belum selesai.
Biarkan segala sesuatu berjalan dengan sendirinya. Seperti air. Mengalir
mengikuti kemauan alam. Lalu apa yang akan aku lakukan sekarang? Kemana aku
akan pergi. Di puncak Gunung Gede jangan-jangan Wiro sudah mengikat tali
perjodohan dengan gadis bermata biru itu. Lalu orang di Kesultanan Cirebon
apakah dia tengah mengejar diriku saat ini? Apa yang hendak dilakukannya kalau
menemui diriku? Akan membunuhku karena telah membuat malu besar pada dirinya?
Ya Tuhan, mengapa susah sekali perjalanan hidup ini bagiku? Mengapa cobaan
datang silih berganti? Apakah semua ini karena kesalahanku sendiri?”
********************
11
KITA
ikuti perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia berusaha mengejar orang yang
telah melancarkan serangan membokong terhadap Ratu Duyung yang malam itu telah
diberikan nama baru yaitu Intan.
Sebenarnya
tujuan murid Sinto Gendeng ini bukan semata ingin mengejar penyerang gelap tapi
sekaligus mencari kesempatan menghindar dari Kiai Gede Tapa Pamungkas yang
bicara panjang lebar mengenai perjodohannya dengan gadis cantik bermata biru
itu.
Meski
menerapkan ilmu Menembus Pandang namun tidak mudah bagi Wiro menjajagi sang
pembokong.
“Aneh,
aku tidak bisa mengejar. Padahal saat ini padaku masih ada Batu Mustika Angin
Laut Kencana Biru milik Ratu Duyung, pinjaman dari Nyai Roro Kidul. Setan pun
kalau lari pasti bisa kukejar!”Wiro garuk-garuk kepala. “Ilmu yang diberikan
Ratu Duyung sulit menembus. Berarti orang yang aku kejar memiliki kepandaian
luar biasa, atau sudah berada jauh diluar daya capai ilmu, atau bisa juga dia
adalah mahluk dari alam lain. Alam roh! Siapa? Purnama? Rasanya mungkin tidak.
Bunga? Sama sekali tidak mungkin. Dia barusan menemuiku di tempat kediaman
Kiai. Dia memberi segala, macam nasihat baik. Lalu siapa yang jadi biang racun?
Jejadian Nyai Tumbal liwo?”
Wiro
merasa tengkuknya dingin.
Sampai
langit di ufuk timur tampak terang tanda fajar telah menyingsing Wiro masih
belum dapat mengejar si pembokong. Di satu tempat dia hentikan lari. “Aneh, aku
mengejar orang. Tapi mengapa aku merasa ada seseorang justru menguntitku di
sebelah belakang?”Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa.
“Jangan-jangan aku kena diperdaya! Orang yang aku kejar menyelinap ke belakang
…”Wiro mencari tempat yang baik untuk istirahat. Dia akhirnya duduk di bawah
satu pohon rindang. Karena keletihan ditambah sapuan angin pagi yang sejuk
segar akhlirnya sang pendekar tertidur.
Sewaktu
terbangun Wiro tersentak kaget. Dia dapatkan Ratu Puyung duduk bersimpuh di
hadapannya.
“Ratu …
Intan, sudah lama kau herada di sini?”tanya Wiro.
Gadis
bermata biru tersenyum. Menatap Wiro seketika lalu berkata. “Intan. Aku suka
kau memanggilku dengan nama itu. Aku memang sudah lama di sini. Aku tidak
berani membangunkan. Untung kau terjaga lebih cepat. Kalau kau baru bangun
tengah hari nanti…
Wiro
tertawa.
“Kiai
mengijinkanmu pergi? Bagaimana keadaan lukanya?”
“Beliau
baik-baik saja. Dia akan segera sembuh. Dia yang meminta aku agar lekaslekas
menemuimu.”
“Kiai
tidak berkata apa-apa atau menitipkan pesan padamu?”
Ratu
Duyung gelengkan kepala.
“Aku
merasa kasihan pada Kiai. Bagaimana sampai bisa terjadi Pedang Naga Suci Dua
Satu Dua yang hendak diberikannya padamu ternyata adalah pedang palsu?”
“Aku juga
tidak mengerti. Perasaanku sama sepertimu. Kasihan pada Kiai. Aku menawarkan
diri untuk merawat lukanya. Tapi Kiai malah menyuruhku lekas-lekas menemuimu.”
Hening
sejenak. Lalu Ratu Duyung bertanya.
“Kau
tidak berhasil mengejar orang yang menyerangku secara gelap itu?”
“Dia
mampu melenyapkan diri. Tapi aku sudah bisa menduga siapa orangnya.”
“Siapa?”
“Jejadian
Nyai Tumbal Ijo”
“Mahluk
itu lagi” ucap Ratu Duyung.
“Intan,
selagi di kawasan ini, aku bermaksud ke Jatiwalu. Bukankah kita sebelumnya
berjanji akan bertemu dipekuburan Jatiwalu? Tapi kau datang lebih cepat. Aku
bermaksud menyambangi makam dua orang tuaku di pekuburan Jatiwalu.
“Aku
ingin sekali menyertaimu. Tapi Wiro aku mohon maaf. Aku harus cepat-cepat
menemui Nyai Roro Kidul”
“Membicarakan
perjodohan kita?” tanya Wiro.
“Aku
tidak tahu mau bicara apa dengan penguasa laut selatan yang sudah kuanggap
sebagai orang tua itu.”
“Sebaiknya
kau jangan bicara dulu dengan Nyai Roro Kidul.”
“Mengapa
Wiro? Kau tak ingin Nyai Roro Kidul merestui perjodohan kita?”
“Maksudku
bukan begitu,”Wiro menggaruk kepala. “Bagaimana kalau kita tunggu dulu sampai
Kiai menemukan kembali Pedang Naga Suci Dug Satu Dua yang asli?”
Ratu Duyung
tidak menjawab. Wajahnya tampak sedih. Kepala ditundukkan. Sesaat kemudian Ratu
Duyung angkat kepalanya.
“Wiro,
kita berpisah dulu untuk sementara di tempat ini. Seperti kataku tadi, aku
harus cepat menemui Nyai Roro Kidul. Saat ini apakah aku boleh meminta kembali
Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang ada padamu?”
“Tentu
saja”jawab Wiro. Lalu dia susupkan tangan kanan ke balik baju hitam yang
dikenakannya. Mengalirkan tenaga dalam dan kerahkan hawa sakti. Ketika tangan
dikeluarkan kelihatan satu benda biru lonjong bercahaya sebesar telur ayam.
Wiro menyerahkan batu sakti itu pada Ratu Duyung. Sang Ratu cepat-cepat
menyimpannya di balik pakaian.
“Wiro,
sebelum aku pergi bolehkah aku menciummu?”tanya Ratu Duyung.
Wiro diam
saja tapi tersenyum. Senyuman ini seolah sebagai pertanda bagi Ratu Duyung
bahwa dia diperbolehkan mencium. Maka gadis bermata biru ini lantas dekatkan
wajahnya ke wajah sang pendekar, mencium kening dan kedua pipi Wiro.
“Intan,
aku …”
Ucapan
Wiro tertahan ketika bibir basah Ratu Duyung menempel di atas bibirnya.
Sesaat
kemudian, gadis cantik itupun berkelebat lenyap.
Wiro
usap-usap bibirnya yang barusan dikecup lalu gelengkan kepala. “Aneh, tidak
pernah sebelumnya Ratu Duyung berbuat seperti itu. Menciumku. Apa mungkin
karena dia merasa aku ini sudah menjadi calon suaminya?”Murid Sinto Gendeng
garuk kepala habis-habisan!
***********************
PEKUBURAN
Jatiwalu tampak sepi pagi itu. Wiro duduk bersila di hadapan dua makam yang
tanahnya tidak lagi merah, tapi coklat gersang. Dua batu nisannya tersembunyi
di balik kelebatan alang-alang kering. Seorang lelaki tua mengenakan baju putih
lengan panjang dan kain sarung serta bercaping bambu, jongkok di samping Wiro.
Orang tua ini membantu Wiro mencabuti alang-alang dan rumput liar hingga dua
makam itu kini tampak bersih. Sambil meluruskan letak dua batu nisan yang sudah
hitam berlumut Wiro berkata.
“Bapak
tua Sukobekti, saya hanya bisa memberikan sedikit sedekah padamu. Nanti kalau
saya sudah pergi tolong dua batu nisan ini diganti dengan nisan baru. Yang sebelah
kanan ditulisi dengan nama Suci Bantari. Itu nama almarhumah Ibu saya. Nisan
sebelah kiri ditulis nama Ranaweleng, nama mendiang Ayah saya.”
Wiro lalu
menyerahkan sekeping perak pada lelaki tua bernama Sukobekti. “Pak tua, apakah
ini cukup untuk membuat dua nisan baru dan biaya merawat makam kedua orang tua
saya?”
Sukobekti
terperangah tak percaya. Mata terbelalak.
“Raden,
sedekah ini bagi saya sangat besar. Saya tidak berani menerima,”
“Ini
sudah jadi rejekimu Pak tua. Terimalah. Tak usah ragu.”
Dua rnata
si orang tua tampak berlinang. Dia mencium tangan Wiro sambil mengucap terima
kasih berulang kali.
“Bapak
kenal baik dengan mendiang ayah Raden. Beliau teman sepermainan. Bapak juga
tahu riwayat malang yang menimpa kedua orang tua Raden. Sebagai Kepala Kampung
Jatiwalu ayah Raden orangnya galak keras seperti baja. Tapi hati dan welas
asihnya selembut kapas. Ibu Raden seorang perempuan ayu cantik jelita. Sebelum
pergi, apakah Raden tidak ingin melihat tanah bekas kediaman kedua orang tua
Raden terlebih dulu? Rumahnya sudah tidak ada lagi karena dulu dibakar oleh
orang jahat bernama Mahesa Birawa…”
Wajah
Pendekar 212 nampak redup. Dipegangnya bahu Sukobekti dan berkata.
“Saya
tahu ceritanya, Pak tua. Sangat menyedihkan. Namun semua telah berlalu. Yang
saya harapkan saat ini adalah ketenteraman di alam baka bagi kedua orang tua
saya.”
“Betul
Raden. Kita harus banyak memanjatkan doa pada Gusti Allah untuk ketenangan
arwah kedua orang tua Raden…”
“Saya
mohon diri, Pak tua.”
“Saya
sekali lagi mengucapkan terima kasih atas sedekah besar yang Raden
berikan.”Sambil berdiri kembali orang tua itu menciumi tangan Wiro. Murid Sinto
Gendeng tertawa.
“Pak tua,
bukan Pak tua yang mencium tangan saya, tapi sayalah yang harus mencium tangan
Pak tua.”Wiro tarik tangan kanan orang tua itu lalu menciumnya. Si orang tua
tertawa tersipu. Dia betulkan letak caping bambu lalu berkata. “Raden, maafkan
kalau bapak berlaku lancang. Apakah saya boleh bertanya siapakah nama Raden
ini!”
“Nama
saya Wiro, Pak tua.”
“Wiro…”Sukobekti
mengangguk angguk.
“Sebelum
Raden pergi bolehkah saya menceritakan sesuatu?”
“Tentu
saja. Pak tua mau menceritakan apa.” tanyaWiro.
“Sekitar
satu tahun silam, tak lama setelah kejadian banjir bandang di daerah ini, ada
seorang pemuda datang ke kampung Jatiwalu. Seorang penduduk mengantarkannya ke
tanah bekas rumah kediaman kedua orang tua Raden. Saya menyertainya. Dia
mengatakan bahwa dia adalah putera mendiang Ranaweleng dan Suci Bantari.”
Wiro
pegang dagunya, menggaruk kepala lalu bertanya. “Pak tua ingat ciri-ciri pemuda
itu. Usianya seberapa? Lebih tua atau lebih muda dari saya? Pakaiannya?”
“Menurut
perkiraan saya, pemuda itu sekitar satu atau dua tahun lebih tua dari Raden.
Tubuhnya ramping, tinggi hampir sama dengan Raden, kulit kuning halus.
Pakaiannya saya ingat betul. Baju merah, celana ringkas hitam. Kepala ditutup
dengan sehelai setangah merah.”
“Apa dia
membekal atau membawa senjata?”
“Dia
tidak membawa apa-apa. Sikapnya santun, bicaranya sopan. Dia bukan seperti
seorang pendekar rimba persilatan.”
“Pak tua
menanyakan siapa namanya?”
“Saya
menyesal, waktu itu saya lupa menanyakan.”Jawab Sukobekti.
“Pak tua
tahu dia datang dari mana dan kemudian pergi kemana?”
Orang tua
yang ditanya menggeleng,
“Pemuda
itu wajahnya tampan. Dia juga minta diantar ke pekuburan sini. Dia berdoa di
depan makam kedua orang tua Raden. Saya lihat dua matanya berkaca-kaca.”
Darah
Wiro berdesir.
“Kalau
dia menangis, berarti dua makam ini memang makam orang tuanya. Tapi …”
“Tapi apa
Raden?”
Wiro tak
menjawab. Dia pegang bahu si orang tua, menatap sejurus pada dua makam lalu
tinggalkan pekuburan. Langkahnya gontai karena sambil berjalan Wiro memikirkan
cerita pak tua tadi.
“Seorang
pemuda, berusia satu dua tahun lebih tua dariku. Mengaku berayah Ranaweleng dan
ibu Suci Bantari. Apakah ini berarti aku mempunyai seorang kakak yang
sebelumnya tidak pernah aku ketahui? Tapi Eyang Sinto atau siapapun tidak
pernah menceritakan hal ini.”
Menjelang
keluar dari kawasan pekuburan tiba-tiba seseorang berkelebat dan berhenti di
depannya. Wiro yang sedang setengah melamun membelok ke kiri agar tidak
berbenturan lalu meneruskan, jalannya.
“Wiro,
kau tidak melihat diriku atau kau tidak kenal lagi padaku?” Satu suara
perempuan menegur.
Murid
Sinto Gendeng hentikan langkah, berpaling ke belakang. Astaga!
“Ratu
Duyung! Intan! Aku tengah memikirkan sesuatu. Sampai tidak melihat jalan tidak
melihat dirimu. Kukira saat ini kau sudah berada di tempat kediaman Nyai Roro
Kidul di laut selatan. Ada apa kau kembali? Sesuatu merubah jalan pikiranmu?”
Gadis
cantik bermata biru di depan Wiro kerenyitkan kening.
“Bukan
jalan pikiranku yang berubah. Jalan pikiranmu yang terasa aneh.”
“Aneh
bagaimana?”tanya Wiro sambil menggaruk kepala.
“Aku
memang datang agak terlambat. Agaknya kau telah menyambangi makam kedua orang
tuamu?”
“Betul.”Jawab
Wiro.
“Sewaktu
meninggalkan tempat kediaman Kiai malam tadi, bukankah kau mengatakan agar aku
menemuimu di pekuburan ini?”Tanya Ratu Duyung.
“Itu juga
betul. Tadi bukankah kita sudah bertemu pagi tadi dan kau minta diri karena
cepat-cepat ingin menghadap Nyai Roro Kidul?”
“Kita
bertemu pagi tadi? Bertemu dimana? Aneh, kenapa pembicaraan kita tidak nyambung?”Ratu
Duyung tatap wajah Pendekar 212. “Wiro, aku melihat kau seperti dalam satu
kebingungan. Apa yang terjadi? Aku tidak pernah bertemu denganmu pagi tadi.
Sesuai janji aku langsung datang ke pekuburan ini.”
“Intan,
rasanya kau yang aneh. Pagi tadi kau menunggui diriku yang sedang tidur di
bawah pohon. Ketika aku bangun kita bicara. Kau berkata akan menemui Nyai Roro
Kidul. Lalu kau minta Batu mustika Angin Laut Kencana Biru. Aku serahkan
padamu. Kau pergi. Sebelum pergi kau mencium keningku, pipi kiri kanan juga
mengecup bibirku. Apa kau lupa?”.
Ratu
Duyung tertawa panjang.
“Kau ini
bicara apa, Wiro? Aku ….”Mendadak Ratu Duyung hentikan ucapan.
Sepasang
mata biru menatap tak berkesip pada Pendekar 212. “Wiro sejak malam kau pergi
dan sampai pagi tadi aku tidak pernah bertemu dirimu. Kau mengatakan
menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Pada siapa?”
“Tentu
saja padamu Intan. Tak mungkin kau bisa lupa. Kejadiannya belum berapa lama.”
“Wiro,
kau harus sadar. Sesuatu telah terjadi. Kau telah bertemu dengan seseorang
menyerupai diriku. Aku yakin betul bal itu! Dan kau telah menyerahkan batu
sakti milik Nyai Roro Kidul pada orang yang kau sangkakan diriku itu. Ya Tuhan!
Kita tengah menghadapi satu masalah besar Wiro! Bagaimana aku berani bertemu dengan
Nyai Roro Kidul kalau batu sakti yang miliknya telah jatuh ke tangan orang lain
?!”
Wiro
melangkah mendekati Ratu Duyung.
“Intan,
kau tidak sedang bercanda?”
“Batu
sakti itu bukan barang mainan. Sama nilainya dengan nyawaku! Apakah kau anggap
aku bercanda?! Apakah selama ini aku pernah berlaku begitu berani mencium
wajahmu, mengecup bibirmu?”
“Aku
mengira kau berlaku begitu karena telah merasa diperjodohkan dengan diriku.”
Ucapan
Wiro membuat wajah Ratu Duyung menjadi bersemu merah. “Celaka! Kalau begitu aku
sudah kesalahan tangan! Seseorang menipuku!”Wiro jambak rambutnya sendiri,
pukul keningnya dengan telapak tangan berulang kali. “Siapa manusia kurang
ajarnya!”
“Jika dia
punya ilmu bersalin rupa, berarti dia bukan mahluk sembarangan, Wiro…”
“Kau benar
Intan. Aku menduga … Siapa lagi kalau bukan Nyai Tumbal Jiwo!”
“Wiro,
kemanapun kau pergi mencari mahluk alam roh yang mengambil batu sakti itu, aku
harus ikut!”
Wiro
pegang lengan Ratu Duyung.
“Intan,
aku telah berlaku sembrono. Aku telah melakukan satu kesalahan besar. Aku
harus
mendapatkan batu sakti itu kembali sekalipun harus menebus dengan jiwa ragaku!”
Ratu
Duyung lalu keluarkan cermin saktinya.
“Wiro,
kau masih ingat ke arah mana perginya mahluk yang menyerupai diriku itu?”
“Aku
tidak ingat. Tidak bisa memastikan. Tapi coba menyelidik ke arah barat.”
Ratu
Duyung berdiri menghadap ke arah barat. Cermin sakti digoyangkan beberapa kali.
Mata birunya melihat ada satu, titik biru di dalam cermin.
“Kau
benar Wiro. Si penipu berada di arah barat! Kita harus cepat mengejar ke sana!
Kerahkan ilmu Menembus Pandangmu.”Kata Ratu Duyung lalu gadis ini terapkan ilmu
menjajagi keberadaan seseorang yang bernama Menjajag Nafas Mendengar Detak
Jantung.
“Aku
sudah siap Intan.”
Ratu
Duyung ganti memegang lengan sang pendekar. Sambil bergandengan tangan keduanya
berkelebat ke arah barat.
********************
12
ORANG TUA
berkepala sulah sebelah berjubah kuning hentikan kuda tunggangan di bukit batu
yang menghadap Kali Cisanggarung, Saat itu sungai besar yang bermuara di
Tanjung Losari ini tengah dilanda banjir. Arus air mengamuk ganas mengeluarkan
suara mengerikan. Tak lama kemudian seorang penunggang kuda menyusul datang.
Orang ini masih muda, berwajah tampan, bertubuh tegap. Dia mengenakan pakaian
sederhana, baju dan celana berwarna coklat. Kening diikat dengan sehelai kain
biru, rambut hitam menjulai ke bahu.
“Paman
Kumba Pandika, apakah di sini tempatnya?” Si pemuda bertanya
Si orang
tua usap kepala kirinya yang sudah licin berkilat lalu usut rambut putih
panjang di sebelah kanan beberapa kali, baru membuka mulut.
“Raden,
aku hanya bisa mengantarmu sampai ke sini. Tempat yang kau tuju ada di kaki
bukit batu ini, tepat di bawah pohon jati tunggal. Saat ini tidak kelihatan.
Tapi kalau banjir dan air sudah surut, di arah bawah pohon jati tunggal kau
akan melihat sebuah mulut goa. Itulah tempat kediaman orang yang bisa memberi
pertolongan padamu.”
“Paman
tidak ikut menemui orang itu?”
“Orang
yang kau temui mempunyai pantangan. Hanya orang yang punya urusan yang boleh
menemuinya. Selain itu kalau orang tidak dikenal atau tidak membawa pengantar
maka dia tidak akan mau menerima, apa lagi menolong.”
Dari saku
jubah kuningnya Kumba Pandika keluarkan sebuah benda berupa pipa kecil terbuat
dari tulang harimau.
“Berikan
pipa ini pada orang di dalam goa. Dia akan tahu siapa yang memberikan dan dia
akan mau menerima serta menolongmu.”
Pemuda
berpakaian coklat mengambil pipa tulang harimau yang diserahkan, menyimpan balk
baik di balik pakaiannya.
“Raden,
betapapun kami orang-orang Kesultanan Cirebon akan tetap menunggu Raden mau
kembali ke sana. Itu pesan yang disampaikan Pangeran Cakrabuana. Sekarang saya
harus kembali.”
“Sampaikan
terima kasih dan penghargaan saya pada Pangeran Cakrabuana. Kalau umur sama
panjang dan takdir menentukan saya harus kembali ke Cirebon, maka itu akan saya
lakukan. Saya juga berterima kasih pada Paman atas segala bantuan.”
Pemuda
berpakaian coklat majukan kudanya hingga dia bisa memeluk si orang tua dan
sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Kumba
Pandika pegang bahu si pemuda. Wajahnya tampak sedih.
“Raden,
tetaplah tabah. Ini semua merupakan cobaan. Mudah-mudahan kau bisa menemukan
gadis itu kembali.”
“Terima
kasih Paman. Mohon doa restumu.”
Setelah
tinggal sendirian pemuda itu pandangi air sungai Cisanggarung. Kapan banjir
akan surut. Mungkin nanti malam, bisa juga besok pagi. Tapi mungkin pula sampai
satu dua hari dimuka. Berapa lama dia harus menunggu?
Si pemuda
memandang berkeliling, mencari tempat yang baik untuk menunggu. Semalam suntuk
dia mendekam di bawah pohon jati tunggal. Untung hujan tak turun lagi. Namun
hawa dingin serta gigitan nyamuk cukup membuatnya menderita. Menjelang dinihari
pemuda ini masih bisa tertidur sebentar. Ketika bangun dia dapatkan hari telah
terang dan memandang ke sungai ternyata banjir telah surut. Seperti yang
dikatakan orang tua berkepala sulah sebelah Kumba Pandika, di kaki bukit batu
tepat di arah bawah pohon jati di seberang sungai muncul sebuah goa. Setelah
membersihan wajahnya dengan air embun yang ada di dedaunan pemuda ini segera
menuruni bukit batu. Di mulut goa dia berhenti sejenak sambil berpikir
bagaimana ada orang bisa tinggal di dalam goa pada saat banjir besar melanda.
Namun ketika dia menjejakkan kaki masuk ke dalam goa, pemuda ini
terheran-heran. Lantai goa yang terbuat dari tanah merah sama sekali tidak
basah apa lagi becek. Dari arah dalam goa dia mencium wangi bau kemenyan.
Berjalan
agak membungkuk sampai seratus langkah lebih, pemuda itu sampai pada sebuah
tangga batu putih terdiri dari tujuh undakan. Di bagian tangga paling atas ada
satu ruangan berbentuk segi tiga di selimuti suasana redup. Di ruangan ini, di
atas sebuah batu berbentuk kursi panjang, duduk melunjur satu sosok tubuh
hitam, gemuk luar biasa yang hanya mengenakan selembar cawat berwarna hitam
berkilat. Si pemuda hentikan langkah. Dia tidak dapat menduga, sosok orang yang
melunjur di atas batu itu lelaki atau perempuan. Kalau perempuan mengapa
dadanya berbulu. Kalau laki-laki mengapa memiliki dada seperti perempuan dengan
puting susu sebesar biji salak! Karena bagian atas ruangan agak gelap si pemuda
tidak bisa melihat wajah orang. Dia hanya Memperhatikan bahwa si gemuk itu
memiliki rambut hitam keriting panjang sampai ke siku tangan.
“Mengapa
berhenti?! Kau sudah masuk! Kalau bimbang kembali saja tapi tinggalkan satu
biji kemaluanmu di depan tangga!”
Tiba-tiba
si gemuk yang berbaring melunjur di atas kursi batu keluarkan ucapan. Suaranya
menggema membuat goa bergetar, debu bertaburan dan tanah berjatuhan. Ternyata
suaranya suara perempuan! Setelah menahan darah yang tersirap kaget si pemuda
lanjutkan langkah. Menaiki tangga sampai undakan ke tujuh hingga akhirnya dia
berada di hadapan perempuan gemuk di atas batu. Begitu berhadap-hadapan
merindinglah tengkuk pemuda ini. Perempuan gemuk berkulit hitam yang hanya
mengenakan cawat hitam itu ternyata tidak memiliki mata. Dua matanya hanya
merupakan dua rongga besar mengerikan! Si pemuda melihat di sisi kiri kursi
batu terdapat sebuah pendupaan dipenuhi berisi bara merah menyala dan menebar
asap tipis berbau wangi kemenyan.
“Siapa
kau?!”
Si gemuk
di atas kursi batu membentak.
“Nama
saya Tubagus Kesumaputera,”jawab pemuda berpakaian coklat.
“Aku
tidak kenal dirimu! Lekas minggat dari sini! Jangan lupa meninggalkan satu biji
kemaluanmu di depan tangga putih!”
“Saya
Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon,”coba menjelaskan si pemuda.
“Persetan!
Aku tidak perduli kau Kepala Pasukan atau Kepala Macan! Lekas pergi! Tanggalkan
satu biji, kemaluanmu! Letakkan di depan tangga!”Si gemuk angker kembali
mengusir.
“Saya
datang membawa pengantar. Sebuah pipa terbuat dari tulang harimau.”
“Hah!
Apa?!”Si gemuk seperti tersentak. Dia tampak berpikir lalu kembali membuka
mulut. “Manusia tolol! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?!”
“Mohon
saya di maafkan.”
“Mana
pipa itu. Berikan padaku. Aku mau tahu asli atau palsu!”
Pemuda
yang mengaku bernama Tubagus Kesumaputera keluarkan pipa yang diberikan Kumba
Pandika lalu cepat-cepat diserahkan pada perempuan gemuk berkulit hitam bermata
bolong.
Pipa
tulang dipegang, diendus beberapa kali lalu diselipkan ke dalam cawat hitam.
“Pipanya
asli!”kata si gemuk pula. “Kau boleh membuat urusan denganku! Kau sudah tahu
namaku?”
“Sudah…”
“Siapa?”
“Dewi
Tanjung Bulan Kemala Dewi Si gemuk tertawa bergelak hingga dadanya yang besar
bergoncang-goncang, “Di depan Dewi di belakang Dewi…”ucapnya.
“Katakan
apa keperluanmu.”
“Dewi,
saya datang untuk minta tolong, Saya telah dipermalukan oleh seorang gadis yang
akan menjadi istri saya…”
“Dipermalukan
bagaimana? Apa calon istrimu itu sudah dibuntingi lelaki lain hah?!”
“Tidak
Dewi. Saya dipermalukan ketika upacara pernikahan siap dilaksanakan. Saya dan
Kadi sudah menunggu. Upacara itu dilakukan di salah satu ruangan Istana
Cirebon. Disaksikan oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang, Tiba-tiba
saja calon istri saya menghilang melarikan diri. Seisi Istana dikerahkan untuk
mencari tapi tidak bertemu.”
“Apakah
kau mencintai calon istrimu itu?”bertanya si gemuk hitam yang bernama aneh Dewi
Tanjung Bulan Kemala Dewi.
“Tentu
saja saya mencintainya.”
“Apa
calon istrimu mencintai dirimu?”
“Saya
yakin dia mencintai saya. Kalau tidak mana mungkin dia mau saya ajak untuk
melangsungkan pernikahan. Namun entah apa sebabnya tiba-tiba saja dia
menghilang. Mempermalukan saya secara luar biasa di depan orang banyak. Kini
seluruh Kesultanan Cirebon sudah mengetahui kejadian itu.”
“Lalu apa
maumu Tubagus malang? Ingin perempuan itu kusantet kubunuh? Atau dibikin cacat
wajahnya seumur hidup?”
“Tidak
Dewi, saya tidak mau dia dibikin cacat. Apa lagi sampai dibunuh. Saya hanya
ingin dia kembali. Untuk itu saya akan mencarinya dimanapun dia berada. Untuk
mengetahui dimana dia berada itulah saya butuh bantuan Dewi…”
“Kalau
cuma itu kecil … Kecil!”kata sang Dewi pula dan kembali tertawa bergelak.
“Kau
ingin tahu dimana dia berada. Kau ingin menemuinya.”
“Betul
Dewi,”kata Tubagus Kesumaputera pula.
“Aku akan
memberi sedikit tambahan. AKu akan mengurungnya di satu daerah hingga dia tidak
bisa kemana-mana. Dengan cara itu kau akan mudah menemuinya.”
“Terima
kasih Dewi!”
“Katakan
padaku siapa nama calon istrimu yang kabur itu.”
“Namanya
Bidadari Angin Timur.”Jawab Tubagus Kesumaputhra.
“Waw!
Ternyata istrimu seorang bidadari rupanya. Bidadari sungguhan atau jejadian?
Apa dia punya nama lain?”
“Nama
aslinya Pandan Wangi. Tapi dia lebih dikenal dengan nama Bidadari Angin Timur
itu.”
“Baik!
Bidadari atau hantu sekalipun bagiku soal kecil!”
Dewi
Tanjung Bulan Kemala Dewi luruskan duduknya di atas kursi batu. Dadanya yang
besar membuyut jatuh sampai ke pusar. Dengan tangan kiri dia mengambil
pendupaan di sudut ruangan. Pendupaan di letakkan di atas pangkuan tanpa merasa
panas.
Sambil
mulutnya meracau, satu demi satu bara yang menyala di dalam pendupaan
dimasukkan ke dalam mulut, dikunyah dan ditelan seperti menyantap dodol.
Anehnya walau sudah banyak bara menyala yang ditelan tapi tumpukan bara di
dalam pendupaan tidak tampak berkurang.
Setelah
puas mengunyah belasan bara api, Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi rentangkan dua
tangan ke samping. Lalu dua tangan itu masing-masing mengambil sebuah bara
menyala dari dalam pendupaan. Dua buah bara menyala dimasukkan ke dalam mata
kiri kanan yang hanya merupakan rongga besar. Saat itu juga sepasang mata
tampak hidup, bergerak berputar-putar berwarna merah menyala! Dewi Tanjung
Bulan Kernala Dewi dongakkan kepala. Lalu mulutnya berucap lantang.
“Hantu
segala Hantu di daratan. Hantu segala Hantu di lautan. Hantu segala Hantu di
langit. Hantu segala Hantu di alam gaib! Ada mahluk yang akan kulihat.
Pinjamkan padaku sepasang mata kalian! Ada yang akan aku lihat!”
Saat itu
terdengar suara suitan keras di luar goa.
Tubuh
gemuk hitam bergoncang. Lalu delapan benda aneh melesat. Empat mengarah mata
kiri dan empat lagi mengarah mata kanan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi!
Sesaat
kemudian Tubagus Kesumaputera melihat pada rongga mata kiri kanan perempuan
gemuk itu kini bergelantungan empat buah mata besar. Sepasang berwarna hitam,
sepasang berwarna merah, sepasang berwarna biru dan sepasang lagi berwarna
kuning.
Seperti
orang kesurupan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi meracau panjang pendek. Dua
tangan disentak-sentakkan. Dada bergoncang turun naik. Sekujur tubuh mandi keringat.
“Hantu
Darat, Hantu Laut! Hantu Langit, Hantu Alam Gaib! Cukup! Aku berterima kasih.
Aku sudah melihat apa yang aku lihat! Terima kembali mata kalian!”
Diluar
goa kembali terdengar suara suitan aneh. Lalu empat pasang mata yang
bergelantungan di rongga mata kiri kanan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi melesat
satu persatu keluar goa!
“Tubagus
Kesumaputera,” Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi berkata. “Apakah kau lihat
sekujur tubuhku basah oleh keringat?”
“Saya
melihat Dewi”
“Buka
bajumu! Pergunakan baju itu untuk menyeka mengeringkan keringat di tubuhku!
Lakukan cepat!”
Tubagus
Kesumaputera yang lebih banyak dihantui perasaan takut cepat-cepat membuka
bajunya lalu dengan baju itu dia menyeka sampai kering keringat yang membasahi
sekujur tubuh perempuan gemuk berkulit hitam itu. Celakanya si gendut minta
agar tubuh di sebelah bawah diseka lebih lama.
“Sudah,
kenakan bajumu kembali!”
Tubagus
Kesumaputera mengenakan kembali bajunya yang telah basah oleh keringat.
“Waktu
kau menyeka keringatku, aku memperhatikan dirimu.” Berkata Dewi Tanjung Bulan
Kemala Dewi. “Aku melihat sosok lain dalam dirimu. Kepala Pasukan Kesultanan
Cirebon, siapa kau sebenarnya?”
Tubagus
Kesumaputera terkejut mendengar kata-kata itu.
“Saya…saya
memang mahluk malang. Saya datang dari negeri seribu dua ratus tahun silam.
Ujud saya di negeri itu adalah seekor binatang …”
“Landak
raksasa?” tanya Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi.
“Syukur
Dewi sudah mengetahui, sudah melihat. Nama saya di negeri asal saya adalah
Jatilandak”.
“Anak
muda. Aku mengira keberadaan dirimu itulah yang menjadi penyebab mengapa kau
bernasib malang. Sebenarnya tidak ada yang ingin mempermalukan dirimu. Namun
takdir jalan nasibmu sudah begitu …”
“Saya
mengerti Dewi. Itu sebabnya saya ingin sekali menemui Bidadari Angin Timur.
Kalau dia bisa kembali saya akan sangat bersyukur. Kalau dia tetap tidak mau,
saya tidak tahu bagaimana nasib diri saya ini selanjutnya. Mohon saya diberi
petunjuk, apakah Dewi telah mengetahui dimana beradanya Bidadari Angin Timur
saat ini?”
“Dia
berada disekitar Gunung Gede. Aku sudah memantek. Selama tujuh hari tujuh malam
dia tidak bisa keluar dari kawasan itu. Jadi kau harus dapat menemuinya selama
waktu itu. Lewat tujuh hari tujuh malam kau tidak bisa menemuinya, maka seumur
hidup agaknya kau tidak akan berjodoh dengan gadis itu!”.
“Terima
kasih atas petunjukmua Dewi. Terima kasih atas pertolonganmu. Untuk membalas
budi baikmua saya sudah menyediakan sesuatu.”
Dari
balik pinggang celananya Tubagus Kesumaputera keluarkan satu kantong putih.
"Apa
itu?!”tanya Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi acuh.
“Bukan
apa-apa Dewi. Sebagai tanda terima kasih saya. Perhiasan dari emas.”
Perempuan
gemuk keluarkan bara menyala dari dalam kedua mata, lalu ditaruh ke dalam
pendupaan. Dia kemudian lunjurkan tubuhnya kembali di atas kursi batu.
“Aku
tidak pernah meminta segala bayaran. Tubagus, simpan emas perhiasan itu.
Berikan saja nanti pada calon istrimu si Bidadari Angin Timur itu. Aku orang
jelek. Mana pantas memakai perhiasan segala! Ada cara tertentu kalau kau memang
mau membalas budi. Itupun kalau kau sudi. Kalau tidak suka kau boleh pergi.
Pipa tulang harimau yang kau berikan sudah cukup bagus untuk jadi barang
permainanku. Jika kau bertemu sampaikan salamku pada Kumba Pandika.”
“Dewi,
saya orang yang butuh pertolongan. Setelah Dewi tolong masakan saya akan pergi
melenggang begitu saja. Saya tetap ingin membalas budi kebaikan Dewi”
“Kalau
kau memang sudi, baiklah,”kata Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi Pula. Dua
tangannya lalu direntangkan kesamping. Dua kaki dilunjurkan lurus-lurus.
Dadanya yang besar bergoyang-goyang. “Anak muda, mendekatlah.” Tubagus
Kesumaputera mendekat ke samping kursi batu.
“Aku
tidak pernah mempunyai bayi. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang hubungan
ibu dengan anak. Maukah kau memberikan kasih sayang itu?”
Tubagus
Kesumaputera alias Jatilandak meski masih belum tahu maksud ucapan sang Dewi
terus saja anggukkan kepala. “Saya mau Dewi,”katanya.
Tangan
kanan Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi bergerak merangkul leher si pemuda lalu
ditarik mendekati dadanya sebelah kanan.
“Anak
muda, menyusulah seperti bayi…”ucap sang Dewi pula sambil pejamkan mata.
***********************
SIANG
harinya ketika Tubagus Kesumaputera alias Jatilandak keluar dari goa kediaman
Dewi Tanjung Bulan Kemala Dewi, tiba-tiba saja arus sungai membesar. Banjir
yang datang dari akibat hujan lebat di hulu menutup menggenang kemana-mana
hingga dalam waktu singkat goa yang tadi pagi dimasuki si pemuda lenyap dari
pemandangan.
Ketika
melangkah menuju pohon tempat dia menambatkan kuda. Tiba-tiba di sebelah kanan
pohon Tubagus Kesumaputera melihat seperti ada kabut tipis kebiruan. Lalu
muncul titik-titik biru begemerlap.
“Ibu ….
?”panggil Tubagus Kesumaputera.
Begitu
dia mendekat, seorang perempuan cantik berpakaian biru telah berdiri di samping
pohon sambil mengusap tengkuk kuda. Si pemuda segera memeluk lalu mencium
tangan perempuan tinggi semampai berambut panjang hitam yang bukan lain adalah
Luhmintari alias Purnama, ibu kandungnya sendiri.
“Bagaimana
Ibu tahu saya ada disini?”tanya Tubagus Kesumaputera.
“Anakku
Jatilandak. Ibu sudah mendengar apa yang terjadi dengan dirimu. Aku tidak ingin
mencampuri semua urusanmu dengan gadis itu karena urusanku sendiri juga banyak.
Sebaiknya engkau lebih banyak bermawas diri, menyadari keadaan kita sebenarnya.
Menyesali nasib dan mempersalahkan orang lain tidak ada gunanya. Yang penting
kau sudah berusaha. Biarlah takdir yang menentukan segalanya.”
“Ibu,
kalau ibu sudah mendengar kejadian yang memalukan itu ketahuilah, saya tidak
bermaksud jahat dan sama sekali tidak ada dendam terhadap Bidadari Angin Timur.
Saya hanya berharap. Walau harapan saya itu setipis kabut pagi. Kalau Bidadari
Angin Timur mau kembali pada saya, saya akan bersyukur. Tapi kalau tidak saya
hanya bisa pasrah.”
“Dimana
kau akan bisa menemukan gadis itu?”
“Orang
pandai di dalam goa di dasar sungai sana telah memberi tahu. Bidadari Angin
Timur ada di kawasan Gunung Gede. Saya akan mencarinya kesana.”
“Aku
memang sudah menduga kalau dia ada di sana. Kalau begitu pergilah. Lakukanlah
sesuatu yang terbaik.”
“Ibu
sendiri bagaimana hubungannya dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu?” tanya
sang putera.
Purnama
tersenyum. Di balik senyuman itu sang putera melihat adanya sesuatu yang
mengganjal.
“Saya
tidak ingin Ibu mengalami nasib seperti saya”
Purnama
masih tersenyum dan angguk-anggukkan kepala.
Jatilandak
membuka tali penambat kuda lalu melompat naik ke atas punggung binatang itu.
Sesaat setelah puteranya meninggalkan tempat itu baru Purnama tak sanggup lagi
membendung air matanya. Gadis dari negeri 1200 tahun silam ini teringat
bagaimana dengan hati pilu dia terpaksa meninggalkan tempat kediaman Kiai Gede
Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede. Purnama kemudian mengetahui pula kalau
disana bukan saja ada Ratu Duyung yang konon hendak dijodohkan dengan Wiro,
tetapi juga terdapat beberapa perempuan lain yang sama mencintai Wiro. Seperti
Luhrembulan, Nyi Retno Mantili dan mahluk jejadian yang menamakan diri Nyi
Wulas Pikan. Kemudian masih ada Bunga dan Bidadari Angin Timur yang muncul
secara sembunyi-sembunyi.
Purnama
menghela nafas dalam. “Apakah nasib diriku akan sama seperti nasib anakku?
Tidak mendapatkan orang yang dikasihi tapi malah mendapatkan malu besar.”
TAMAT
No comments:
Post a Comment